PENDEKATAN KOMPREHENSIF DALAM · PDF filePenulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui...
Transcript of PENDEKATAN KOMPREHENSIF DALAM · PDF filePenulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui...
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.1 No. 2 April 2015
PENDEKATAN KOMPREHENSIF DALAM PENGELOLAAN
GARANSI PRODUK UNTUK MEMINIMALISASI ONGKOS GARANSI DAN
MENINGKATKAN PENJUALAN PRODUK
Oleh :
Ir. Risma Sinaga, MT
Dosen Fakultas Teknik Industri, US XII, Medan
Abstrak
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pendekatan
komprehensif dalam pengelolaan garansi produk untuk meminimalisasi ongkos garansi dan
meningkatkan penjualan produk. Penulisan makalah ini menggunakan metode tinjauan
kepustakaan (library research). Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa perkembangan
menyebabkan pengelolaan garansi produk berubah dari moda reaktif menjadi proaktif. Moda
reaktif lebih memfokuskan pada penanganan klaim garansi dan bertujuan untuk
meminimalisasi jumlah klaim konsumen (ongkos garansi). Manajemen garansi dengan moda
proaktif bertujuan tidak saja meminimalisasi ongkos garansi tapi juga memaksimumkan
kepuasan konsumen, citra produk dan penjualan sehingga membutuhkan pendekatan yang
terintegrasi, yang menggabungkan aspek teknikal dan aspek komersial dalam pengelolaan
garansi. Pada makalah ini, telah dibahas suatu pendekatan terintegrasi dalam pengelolaan
garansi, di mana interaksi antar fungsi desain produk, manufaktur, pemasaran dan purna jual
dilihat dari kedua aspek penting tadi. Dan pengelolaan garansi dengan pendekatan terintegrasi
ini dilakukan baik selama periode sebelum maupun sesudah peluncuran produk ke pasar.
Kata kunci : pendekatan komprehensif dan garansi produk
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Sekarang ini, produsen yang
memproduksi durable products seperti
produk otomotif, produk elektronik,
mesin/peralatan, menjual produk tersebut
dengan garansi. Garansi (warranty) adalah
suatu perjanjian krontraktual (contractual
agreement) yang mengharuskan produsen
untuk merektifikasi (memperbaiki atau
mengganti) produk yang mengalami
kerusakan selama masa garansi. Umumnya
perbaikan produk rusak tidak dikenakan
biaya kepada konsumen. Untuk garansi
tertentu, rektifikasi mengharuskan
pengembalian uang (money back) sebagian
atau 100% dari harga jual kepada
konsumen.
Sangat sulit untuk mengetahui
kapan tepatnya garansi pertama kali
dikenalkan. Namun, jika garansi dipandang
sebagai liabilitas produk (pertanggung-
jawaban produsen), maka pada zaman Raja
Babilonia, Hammurabi pada tahun 1800
sebelum Masehi, ditemukan undang-
undang yang memberikan hukuman keras
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.1 No. 2 April 2015
untuk craftmen yang terbukti melakukan
kesalahan sehingga menghasilkan produk
cacat (Blischke dan Murthy, 1994). Di
Amerika, undang-undang yang
berhubungan dengan garansi produk
terdapat dalam The Magnuson-Moss Act
dan Uniform Commercial Code (UCC)
yang efektif sejak tahun 1975. Sejak saat
itu, hak konsumen untuk mendapatkan
produk yang baik dalam transaksi
pembelian produk dilindungi oleh undang-
undang, karena undang-undang tersebut
mengharuskan produsen memberikan
garansi untuk durable products yang
harganya lebih dari $15. Dengan demikian,
aturan umum yang sebelumnya berlaku
yaitu caveat emptor (let the buyer beware)
atau konsumen harus waspada dalam
memilih produk agar terhidar dari membeli
produk cacat, berubah menjadi let the
manufacturer beware karena produsen
wajib untuk mengganti dengan yang baru
atau memperbaikinya (merektifikasi) jika
produk rusak selama masa garansi dan
kerusakan bukan karena kesalahan pakai
(misuse). Di Indonesia, undang-undang
yang melindungi hak konsumen terdapat
pada Undang-Undang nomor 8 tahun 1999
tentang perlindungan konsumen. Dengan
undang-undang ini, produsen/pelaku usaha
yang memproduksi produk/barang yang
umur pakainya 1 (satu) tahun atau lebih,
wajib menyediakan suku cadang dan/atau
fasilitas purna jual serta memberikan
garansi.
Garansi, pada kenyataannya, tidak
saja memberikan manfaat kepada
konsumen tetapi juga kepada produsen.
Bagi konsumen, garansi melindungi dari
membeli produk yang cacat, dan bagi
produsen, garansi membatasi klaim yang
tidak rasional dari konsumen. Disamping
itu, produsen juga dapat memanfaatkan
garansi sebagai alat promosi yang efektif
untuk produknya, karena produk dengan
masa garansi yang lebih lama memberikan
sinyal kepada konsumen bahwa produk
tersebut memiliki kualitas yang lebih baik.
Memperhatikan penjelasan di atas,
garansi memiliki 2 peranan penting yaitu
(1) sebagai instrumen untuk melidungi
konsumen dari membeli produk cacat dan
juga melindungi produsen dari klaim
konsumen yang tidak masuk akal, serta (2)
sebagai alat promosi yang efektif untuk
meningkatkan penjualan produk.
Untuk produk baru, konsumen
umumnya ragu terhadap kinerja produk
tersebut. Pada konteks ini, garansi
memainkan peranan penting dalam
memberikan jaminan kepada konsumen
bahwa produk akan berfungsi sesuai
dengan yang dijanjikan. Sekarang ini,
dengan berkembangnya kompleksitas dari
produk, maka sangat sulit bagi konsumen
untuk mengevaluasi mutu produk pada saat
membeli. Jenis produk yang sebanding
dari produsen yang berbeda sangat sulit
dibedakan kualitasnya, sebagai contoh, TV,
komputer, telepon genggam, dan lain-lain.
Apabila produk sejenis dengan merek
berbeda sangat sulit dibedakan, maka
faktor-faktor purna jual, garansi,
ketersediaan dan ongkos suku cadang,
layanan, pemeliharaan, dan lain-lain
menjadi penentu bagi konsumen dalam
memilih produk (Lele dan Karmarkar,
1983).
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.1 No. 2 April 2015
Namun, menawarkan produk
dengan garansi berarti tambahan ongkos
bagi produsen, karena harus memperbaiki
produk rusak (atau disebut layanan garansi)
selama masa garansi. Ongkos garansi ini
membebani produsen secara signifikan
dengan sebaran ongkos 1,5-3% dari total
penjualan (Blischke dan Murthy, 1994).
Sebagai contoh, industri otomotif di
Amerika Utara mengeluarkan 10 milyar
dollar (100 triliyun rupiah) untuk
pelayanan garansi per tahun (Roehm,
2003). Sekarang ini di Eropa, belum pernah
terjadi sebelumnya, garansi telah menjadi
salah satu tantangan besar bagi manajemen
perusahaan, karena ongkos garansi yang
semakin besar (dapat mencapai 10 juta
euro per tahun (120 milyar rupiah) untuk
satu produsen produk elektronik di Eropa)
dan meningkatnya ketidakpuasan
konsumen terhadap layanan garansi
(Thomann, 2005).
Di Indonesia, untuk industri sepeda
motor dengan empat juta unit per tahun,
ongkos pelayanan garansi per tahun
diperkirakan sebesar 200 milyar rupiah
(atau 0,5% dari perjualan per tahun).
Besaran itu tidak besar secara nasional,
tetapi jika dilihat dari satu perusahaan yang
memiliki pangsa pasar 57%, maka ongkos
garansi yang harus ditanggung
diperkirakan sebesar 100 milyar per tahun
(dihitung dari data klaim tahun 1998) dan
jumlah ini cukup signifikan bagi
perusahaan (Iskandar dan Blischke, 2001).
Untuk industri mobil, diperkirakan sebesar
50-100 milyar rupiah per tahun untuk satu
produsen (perkiraan ini masih kasar dan
perlu dilengkapi dengan data yang lebih
akurat). Hal ini disebabkan karena data
klaim garansi merupakan data yang tidak
terbuka untuk publik atau sangat
dirahasiakan oleh perusahaan.
Sejak tahun 1980-an garansi telah
dimanfaatkan sebagai instrumen yang
efektif dalam mempromosikan produk.
Industri otomotif Jepang berhasil
melakukan penetrasi pasar di Amerika
dengan menawarkan masa garansi yang
lebih lama yaitu dua sampai tiga tahun,
sedangkan yang lainnya menawarkan
garansi hanya satu tahun. Pada konteks ini,
garansi dapat memberikan informasi untuk
pembedaan produk (product
differentiation). Dan sepuluh tahun
balakangan ini, layanan purna jual,
termasuk garansi, telah menjadi elemen
penting dalam memenangkan persaingan di
pasar (Murthy dan Blishcke, 1995).
Dengan demikian, gagal dalam
mengelola garansi secara efektif berakibat
bukan saja ongkos pelayanan garansi yang
tidak terkendali tapi juga berdampak pada
ketidakpuasan konsumen dan kehilangan
penjualan. Ini selanjutnya berdampak
negatif terhadap kinerja perusahaan secara
keseluruhan.
1.2. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan
untuk mengetahui bagaimana pendekatan
komprehensif dalam pengelolaan garansi
produk untuk meminimalisasi ongkos
garansi dan meningkatkan penjualan
produk.
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.1 No. 2 April 2015
1.3. Metode Penulisan
Penulisan makalah ini
menggunakan metode tinjauan kepustakaan
(library research).
2. Uraian Teoritis
2.1. Konsep Dasar Garansi
Jenis garansi dapat dikelompokkan
ke dalam tiga kategori, yaitu garansi satu
dimensi, garansi dua dimensi, dan garansi
tambahan (extended warranty).
a. Garansi Satu Dimensi
Kebijakan garansi satu dimensi
dikarakteristikkan oleh satu atribut, yaitu
umur produk atau pemakaian. Sebagai
contoh, sebuah TV digaransi selama satu
tahun. Jenis garansi ini dibagi ke dalam
dua kategori utama yaitu Free Replacement
Warranty (FRW) dan Pro Rata Warranty
(PRW).
Pada FRW, perbaikan produk yang
mengalami kerusakan selama masa garansi
tanpa dikenakan biaya kepada konsumen.
Sedangkan, pada PRW, produk baru
sebagai pengganti dari produk yang rusak
dalam masa garansi diberikan dengan
harga diskon. Atau konsumen harus
mengeluarkan sejumlah uang (yang
besarnya proporsional terhadap sisa masa
garansi pada saat produk rusak) untuk
mendapatkan produk baru. FRW cocok
diterapkan untuk produk yang dapat
direparasi, misalnya komputer, sedangkan
PRW tepat untuk produk yang tidak dapat
direparasi, misalnya ban mobil. Penelitian
untuk garansi sederhana ini telah banyak
dilakukan dan kajian dapat dilihat pada
Blischke dan Murthy (1994).
b. Garansi Dua Dimensi
Kebijakan garansi dua dimensi
dikarakteristikkan oleh dua atribut
(dimensi), di mana satu dimensi
menjelaskan batas umur dan dimensi yang
lainnya penggunaan. Garansi dua dimensi
banyak ditawarkan untuk produk otomotif,
pesawat terbang, dan lain-lain. Sebagai
contoh, sebuah mobil atau sepeda motor
diberi garansi satu tahun atau 12.000 km,
tergantung yang mana yang berakhir lebih
dahulu. Penelitian dalam garansi dua
dimensi belum banyak dilakukan dan
berikut ini adalah sebagian riset dalam
bidang ini: Iskandar (1992); Iskandar,
Murthy dan Wilson (1994); Murthy,
Iskandar dan Wilson (1995); Iskandar,
Murthy, dan Jack ( 2005).
c. Garansi Tambahan (Extended
Warranty)
Beberapa tahun terakhir ini,
produsen menawarkan garansi tambahan
(extended warranty). Sebagai contoh,
banyak dealer yang menawarkan penjualan
mobil dengan garansi tambahan setelah
masa garansi dasar (base warranty)
berakhir, misalnya perpanjangan waktu
garansi satu tahun. Hal serupa untuk
produk elektronik, di mana pembeli dapat
mengajukan garansi tambahan, misalnya
satu sampai dua tahun. Garansi dapat
diperpanjang dengan melakukan kontrak
kesepakatan baru tetapi konsumen harus
mengeluarkan sejumlah uang atau membeli
jasa ini. Garansi tambahan ini merupakan
pilihan bagi konsumen untuk
memperpanjang atau tidak, atau sifatnya
tidak diwajibkan. Garansi tambahan dapat
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.1 No. 2 April 2015
ditawarkan oleh produsen maupun pihak
ketiga. Garansi tambahan mirip dengan
service contract di mana ada pihak luar
(produsen atau pihak ketiga) yang sanggup
merawat produk untuk periode tertentu
berdasarkan kontrak dengan pemilik
produk (Padmanabhan dan Rao, 1993).
Bagi produsen, garansi tambahan
memberikan layanan purna jual kepada
konsumen yang tidak terbatas pada masa
garansi tetapi juga di luar garansi. Layanan
purna jual yang baik akan menciptakan
kepuasan pelanggan (customer
satisfication) yang tinggi, sehingga akan
menambah loyalitas konsumen terhadap
produk. Dan ini dapat digunakan sebagai
alat promosi yang efektif untuk
memenangkan persaingan dengan produk
yang sejenis.
Penawaran ongkos yang relatif
murah dan garansi tambahan yang
menguntungkan konsumen membuat jasa
garansi tambahan menjadi suatu produk
yang menarik bagi konsumen. Dan ini
membuka peluang bisnis untuk
memberikan jasa garansi tambahan oleh
pihak ketiga.
2.2. Upaya Penurunan Ongkos Garansi
Telah dijelaskan pada bagian
Pendahuluan bahwa menjual produk
dengan garansi menambah ongkos kepada
produsen. Dilaporkan di dalam literatur
garansi produk, bahwa ongkos garansi per
tahun untuk satu perusahaan besar
(misalnya, perusahaan otomotif (General
Motor) atau komputer (HP) dapat
mencapai milyaran dollar per tahun.
Besarannya antara 2-10% dari harga jual
yang tergantung pada produk dan
perusahaannya (informasi rinci dapat
dilihat dalam ―Warranty Week‖
(www.warrantyweek.com)).
Dengan demikian, pendekatan
untuk mengurangi ongkos garansi
mendapat perhatian besar dari
pemanufaktur (manufacturer). Terdapat
tiga pendekatan untuk mereduksi ongkos
garansi, yaitu:
(1) meningkatkan keandalan produk,
(2) menerapkan pemeliharaan pencegahan,
dan
(3) menggunakan strategi layanan garansi
yang efektif.
Peningkatan keandalan (misalnya,
menggunakan material/komponen yang
lebih andal/kuat, desain produk yang lebih
baik) merupakan satu cara untuk
menurunkan peluang terjadinya kerusakan
selama masa garansi. Dan hal ini
selanjutnya berdampak pada penurunan
jumlah kerusakan dan klaim garansi.
Upaya ini memerlukan ongkos (tetap dan
variabel) tetapi di sisi lain, dapat
menurunkan ongkos garansi. Pendekatan
ini dilakukan jika penurunan ongkos
garansi yang dihasilkan lebih besar dari
ongkos peningkatan keandalan.
Pemeliharaan pencegahan
(preventive maintenance) dapat diterapkan
untuk mengendalikan degradasi kinerja
(penurunan keandalan) produk yang
berlebihan, sehingga dapat mengurangi
jumlah kerusakan selama masa garansi.
Melakukan tindakan pemeliharaan, di satu
sisi, membutuhkan ongkos tetapi di sisi
lain, dapat mengurangi jumlah kerusakan
dan klaim garansi. Kebijakan pemeliharaan
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.1 No. 2 April 2015
yang optimal diperlukan untuk
mengendalikan kerusakan selama masa
garansi dan ongkos garansi.
Untuk produk yang dapat
direparasi, strategi pelayanan garansi
memberikan pedoman kepada
pemanufaktur (manufacturer) untuk
merektifikasi (memperbaiki/mengganti)
produk rusak selama masa garansi, apakah
produk yang rusak direparasi atau diganti.
Mengganti item (komponen, modul,
assembly atau produk) memerlukan
ongkos yang mahal, tetapi dapat
mengurangi/menghindari kerusakan selama
sisa masa garansi. Sedangkan mereparasi
ongkosnya murah, tetapi kemungkinan
terjadinya kerusakan berulang tinggi. Suatu
strategi yang efektif dapat menurunkan
ongkos garansi secara signifikan. Pada
kasus ini, pemanufaktur memiliki pilihan,
yaitu mereparasi atau mengganti item yang
rusak selama masa garansi. Apabila ongkos
penggantian mahal dibandingan ongkos
reparasi, maka strategi layanan garansi
(warranty servicing strategy) tidak
ekonomis. Murthy dan Jack (2007)
membahas berbagai strategi layanan yang
telah dikembangkan untuk produk yang
dijual dengan garansi satu dimensi (seperti
TV, komputer dan produk elektronik
lainnya). Untuk produk yang dijual dengan
garansi dua dimensi, seperti produk
otomotif (truk, bus, mobil dan sepeda
motor), Iskandar dan Murthy (2003) dan
Iskandar et al., (2005) meneliti dua strategi
layanan yang berbeda.
Untuk memperoleh penurunan
ongkos garansi yang optimal, diperlukan
suatu pendekatan yang terintegrasi yang
mengkombinasikan pendekatan (1)-(3) di
atas (Gambar 1).
Topik riset dalam bidang garansi
yang menarik untuk diteliti meliputi: (1)
model yang mengkombinasikan strategi
layanan dan peningkatan keandalan, (2)
model strategi layanan yang
mempertimbangkan pemeliharaan
pencegahan, serta (3) model yang
mengintegrasikan strategi layanan,
peningkatan keandalan dan pemeliharaan
pencegahan. Catatan, (4) merupakan topik
penelitian dalam bidang keandalan dan
pemeliharaan, di luar materi makalah ini.
Beberapa mahasiswa S3 sedang meneliti
topik-topik tersebut.
Strategi
LayananPemeliharaan
Pencegahan
Peningkatan
Keandalan
1
2
3
4
Gambar 1. Pendekatan terintegrasi untuk
mengurangi ongkos garansi
2.3. Manajemen Garansi
Manajemen garansi dapat
didefinisikan sebagai suatu pengelolaan
(manajemen) dari semua kegiatan yang
berhubungan dengan garansi produk. Pada
awalnya, pengelolaan garansi bersifat
reaktif, yaitu difokuskan pada penanganan
klaim garansi dari konsumen. Dalam
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.1 No. 2 April 2015
konteks ini, mengelola garansi dapat berarti
bagaimana meminimalisasi atau bahkan
menghindari klaim dari konsumen.
Perkembangan bisnis sekarang
mengharuskan perusahaan harus mengubah
paradigma dalam mengelola garansi—yaitu
dari moda reaktif menjadi moda proaktif—
yang memanfaatkan garansi untuk
membangun citra merek dan loyalitas
konsumen melalui layanan purna-jual yang
prima (exceptional customer service)
kepada konsumen, bukan sekadar
meminimalisasi jumlah klaim garansi (atau
tanggung jawab produsen terhadap produk
yang dijual).
Manajemen garansi harus
mengintegrasikan aspek teknikal dan aspek
komersial karena aspek teknikal (misalnya
keandalan dan kualitas produk)
memengaruhi ongkos garansi dan ini
selanjutnya memengaruhi aspek komersial
(misalnya harga jual dan penjualan) dan
akhirnya memengaruhi kinerja perusahaan.
Namun, hal ini membutuhkan
pendekatan yang komprehensif melibatkan
fungsi desain produk, manufaktur,
pemasaran dan layanan purna jual, dan
mempertimbangkan interaksi antar fungsi-
fungsi tersebut dari aspek komersial dan
aspek teknikal. Atau dengan kata lain,
dibutuhkan pendekatan yang terintegrasi
dalam manajemen garansi.
2.3. Manajemen Garansi dan
Perkembangannya
Literatur dalam bidang garansi
berkembang dengan pesat dan aspek yang
diteliti sangat beragam, meliputi aspek
rekayasa (desain, manufaktur, pelayanan),
legal, akuntansi, pemasaran, dan analisis
ongkos. Penelitian yang dilakukan masih
terkotak-kotak, membahas dari satu aspek
saja, dan belum mengintegrasikan aspek-
aspek yang lainnya. Murthy dan Blishcke
(1995) mengembangkan suatu kerangka
yang koheren—mengintegrasikan beberapa
aspek yang berbeda—untuk menganalisis
garansi.
Sebaliknya, literatur mengenai
manajemen garansi produk belum banyak
mendapatkan perhatian dari peneliti.
Penelitian Brennan (1994) lebih difokuskan
pada administrasi garansi, Menezes dan
Quelch (1990) membahas penggunaan
garansi sebagai senjata strategi ofensif
untuk meningkatkan penjualan dan
keuntungan. Selanjutnya, Blishcke dan
Murthy (2000) meneliti manajemen garansi
dengan mempertimbangkan aspek yang
lebih komprehensif. Dua aspek penting
yang harus dipertimbangkan dalam
pengelolaan garansi adalah (1) aspek
teknikal dan (2) aspek komersial.
Aspek teknikal (meliputi rekayasa
dari desain produk dan proses manufaktur),
yang memengaruhi kualitas produk.
Kegagalan dari aspek ini berakibat pada
keandalan dan kualitas produk rendah, dan
ini kemudian berdampak pada jumlah
klaim yang sangat besar (eksesif klaim).
Eksesif klaim juga bisa disebabkan oleh
masa garansi yang terlalu panjang.
Pendekatan pada bagian (3) memfokuskan
pada aspek teknikal dan juga melibatkan
tindakan pemeliharaan dan strategi layanan
garansi (atau masih bersifat parsial).
Aspek komersial meliputi
pemasaran dan pelayanan purna jual.
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.1 No. 2 April 2015
Eksesif klaim, karena aspek teknikal, yaitu
kualitas dan keandalan produk yang
rendah, akan menyebabkan peningkatan
ongkos garansi dan jumlah ketidakpuasan
konsumen. Dan ini selanjutnya berakibat
pada penurunan citra produk dan
kehilangan penjualan dari produk saat ini.
Citra produk (dan citra merek) yang
menurun dapat memengaruhi penjualan
produk lain pada masa mendatang.
Ketidakpuasan konsumen juga dapat
disebabkan oleh pelayanan garansi yang
buruk, keterlambatan dalam memproses
klaim, reparasi yang tidak sempurna, dan
lain-lain. Dan akhirnya, adalah penuruan
keuntungan perusahaan.
Peranan dan pentingnya garansi
semakin besar dari tahun ke tahun dan hal
ini menjadi pemicu terjadinya perubahan
dari manajemen garansi. Perkembangan
manajemen garansi dapat dijelaskan ke
dalam tiga tahap berdasarkan karakteristik
pengelolaannya, apakah bersifat reaktif,
preventif, atau proaktif (Murthy dan
Blishcke, 2007).
Manajemen garansi tahap I
merupakan pengelolaan dengan moda
reaktif, yaitu hanya mengelola klaim
garansi. Pada tahap ini, garansi
dipertimbangkan setelah keputusan pada
pengembangan dan perancangan produk,
proses manufaktur, dan pemasaran
dilakukan. Sebagai contoh, layanan purna
jual tidak dipandang sebagai sesuatu yang
strategik dan ongkos garansi dihitung
secara sederhana, yaitu beberapa persen
dari harga jual.
Tujuan moda ini difokuskan pada
minimalisasi ongkos garansi dan
mempercepat penyelesaian permasalahan
yang berhubungan dengan klaim garansi
(Gambar 2).
Hubungan antara fungsi
pengembangan dan perancangan produk,
proses manufaktur, dan pemasaran
dijelaskan berikut ini. Pengembangan
produk dimulai dengan riset dan
pengembangan yang dilaksanakan melalui
serangkaian langkah termasuk
pembentukkan prototipe, pengujian, dan
rancangan final. Selanjutnya, adalah proses
manufaktur, yang meliputi perencanaan
proses, tools, lintas produksi, dan persiapan
lainnya yang diperlukan untuk proses
produksi produk. Selanjutnya kegiatan
pemasaran, meliputi promosi produk,
distribusi produk, dan kegiatan lain yang
berhubungan dengan pemasaran. Dengan
pendekatan concurent engineering,
keputusan pada tahap desain dan
manufaktur dapat dilakukan secara
bersamaan dan juga keputusan pada tahap
pemasaran. Dan ini selanjutnya dapat
memperpendek waktu yang dibutuhkan
untuk meluncurkan produk ke pasar.
Penerapan pendekatan concurent
engineering untuk pengembangan produk
memberikan manfaat yang signifikan.
Setelah produk dibeli oleh konsumen,
produsen dapat menerapkan kebijakan
pemeliharaan pada produk selama masa
garansi. Hal ini dilakukan dengan
memberikan pemeliharaan periodik yang
tidak dikenakan ongkos kepada konsumen
atau dengan ongkos yang tidak penuh
(potongan harga) sehingga menarik bagi
konsumen. Cara lain adalah mewajibkan
konsumen untuk melakukan pemeliharaan
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.1 No. 2 April 2015
periodik ke service station resmi dengan
ongkos ditanggung konsumen, jika tidak
melakukan pemeliharaan periodik maka
klaim garansi tidak berlaku.
Pengembangan &
Perancangan Produk
Proses Manufaktur
dan PemeliharaanPemasaran
Aspek Teknikal Aspek Komersial
Gambar 2.
Manajemen Garansi Tahap I (Blishcke dan
Murthy,1995).
Manajemen garansi tahap II
merupakan moda preventif yang bertujuan
untuk meminimalisasi klaim garansi dan
permasalahan yang timbul dengan menjual
produk bergaransi. Hal ini dilakukan
dengan menghasilkan produk yang
berkualitas tinggi sebagai hasil dari proses
pengembangan dan perancangan produk,
dan manufaktur yang baik. Pada tahap ini,
garansi sudah dipertimbangkan sebagai alat
promosi sehingga sudah menjadi bagian
dari pemasaran, tetapi pertimbangan aspek
teknikal dan aspek komersial untuk
memberikan layanan purna jual yang prima
masih bersifat sekuensial (lihat Gambar 3).
Moda ini berkembang dalam sepuluh tahun
terakhir ini, yaitu setelah layanan purna
jual (garansi dasar dan garansi tambahan)
menjadi elemen penting dalam
memenangkan persaingan di pasar. Karena
itu, keputusan mengenai layanan purna jual
dipertimbangkan sebagai bagian dari
keputusan pemasaran, tetapi belum
terintegrasi dengan pengembangan dan
perancangan produk serta proses
manufaktur (Blishcke dan Murthy, 1995).
Pengembangan &
Perancangan Produk
Proses Manufaktur
dan PemeliharaanPemasaran
Layanan Purna-
Jual
Aspek Teknikal Aspek Komersial
Gambar 3.
Manajemen Garansi Tahap II (Blishcke dan
Murthy, 1995).
Manajemen garansi tahap III
merupakan moda proaktif, yang
memanfaatkan garansi sebagai instrumen
penting dalam membangun kepuasan
konsumen, citra produk, product
differentiation dan loyalitas konsumen. Di
sini, garansi digunakan sebagai alat untuk
berkompetisi di pasar. Koordinasi yang erat
antara aspek teknikal dan komersial dalam
pengelolaan garansi sangat diperlukan
untuk memberikan layanan purna jual yang
prima dan meningkatkan kepuasan
konsumen disatu pihak serta
meminimalisasi ongkos garansi di pihak
yang lain (lihat Gambar 4). Prasyarat
keberhasilan manajemen garansi tahap III
ini adalah interaksi yang erat antara aspek
teknikal dan aspek komersial. Atau dengan
kata lain, pendekatan yang efektif untuk
mengelola garansi harus mengintegrasikan
aspek teknikal dan aspek komersial.
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.1 No. 2 April 2015
Pengembangan
dan Perancangan
Produk
1
Proses
Manufaktur dan
Pemeliharaan
Pemasaran
3
Layanan
Purna-Jual
4
Pendekatan Terintegrasi
Aspek Teknikal
Aspek Komersial
Manajemen Garansi Produk
Gambar 4. Manajemen Garansi tahap III
2.4. Kebutuhan untuk Pendekatan
Terintegrasi
Manajemen garansi tahap III
membutuhkan suatu pendekatan yang
komprehensif yang mengintegrasikan
fungsi-fungsi pengembangan dan
perancangan produk, manufaktur,
pemasaran, pemeliharaan dan layanan
purna jual. Melalui dua aspek penting,
yaitu aspek teknikal dan aspek komersial,
berikut ini dijelaskan hubungan antar
fungsi-fungsi tersebut.
2.5. Hubungan Antar Fungsi dari Aspek
Teknikal
Berikut ini dijelaskan hubungan
antar fungsi pengembangan dan
perancangan produk, dan manufaktur (dan
juga pemeliharaan) dari aspek teknikal
yang berhubungan dengan keandalan dan
kualitas produk. Pada tahap desain, fitur
utama (yang berhubungan dengan garansi)
adalah keandalan produk dan fitur yang
lainnya seperti kemampuan-rawat
(maintainability). Tahap manufaktur
meliputi penentuan dua hal penting yaitu
manufacturablity (kemudahan untuk
diproduksi dalam jumlah besar) dan
kualitas dari proses manufaktur yang
berhubungan dengan kemampuan proses
untuk menghasilkan produk yang dapat
memenuhi persyaratan kualitas. Produk
yang tidak memenuhi persyaratan kualitas
(produk cacat) memiliki keandalan yang
rendah (inferior) dibandingkan dengan
yang memenuhi persyaratan.
Dengan demikian, produk cacat
yang sampai ke pembeli dapat
menimbulkan ongkos garansi yang jauh
lebih besar dari produk yang memenuhi
persyaratan kualitas. Kualitas manufaktur
dapat dipengaruhi oleh desain proses dan
kemampuan proses, kinerja pemasok
material dan komponen, pengendalian
kualitas, dan tingkat keterampilan
operator. Setelah produk dibeli dan
dipergunakan oleh konsumen, fungsi
pemeliharaan dapat diterapkan oleh
produsen dengan memberikan layanan
pemeliharaan periodik gratis atau dengan
potong harga, sehingga tindakan
pemeliharaan tersebut dapat
mengendalikan jumlah kerusakan selama
masa garansi.
2.6. Hubungan Antar Fungsi dari Aspek
Komersial
Aspek komersial berhubungan
dengan penentuan harga, promosi,
kepuasan konsumen, keuntungan, dan lain-
lain. Garansi, pada aspek ini, secara
langsung dan tidak langsung memengaruhi
fungsi pemasaran dan fungsi layanan purna
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.1 No. 2 April 2015
jual. Penjelasan hubungan antar fungsi dari
aspek komersial dalam pengelolaan garansi
produk dijelaskan berikut ini.
Sebagai alat pemasaran, garansi
memainkan peranan penting dalam
memberikan jaminan terhadap
ketidakpastian dari kualitas produk.
Pemanfaatan garansi sebagai alat
pemasaran tergantung pada apakah strategi
pemasaran yang dilakukan bersifat
offensive atau deffensive. Dan hal ini
tergantung dari apakah perusahaan adalah
pemimpin pasar (market leader) atau
bukan. Garansi dipandang sebagai senjata
penyerang (an offensive tool) apabila
digunakan untuk memberikan sinyal
keandalan produk yang tinggi kepada
konsumen.
Apabila produsen menggunakan
moda reaktif, garansi dipergunakan sebagai
senjata bertahan (a deffensive tool) dengan
tujuan untuk memenuhi kompetisi agar
tidak kehilangan penjualan dan
memperbaiki kesalahpahaman konsumen
terhadap kualitas produk. Garansi FRW
dapat dipandang sebagai an offensive
strategy, sedangkan PRW sebagai a
deffensive strategy.
2.7. Interaksi Aspek Teknikal dan
Aspek Komersial
Interaksi aspek teknikal dan aspek
komersial menentukan tingkat profitabilitas
dari suatu produk. Garansi yang lebih lama
dapat menimbulkan efek promosi yang
dahsyat dan meningkatkan penjualan
secara signifikan, tetapi hal ini
membutuhkan kualitas produk yang tinggi
untuk meminimalisasi jumlah
kerusakan/klaim selama masa garansi dan
akhirnya dapat mengendalikan ongkos
garansi. Terdapat trade-off antara (1)
ongkos desain dan manufaktur, dan (2)
ongkos untuk pelayanan garansi.
Kerjasama yang erat antara fungsi desain,
manufaktur, dan pemasaran dapat
memberikan alokasi ongkos yang optimal
dari kedua ongkos tersebut.
Di samping itu, interaksi antara
beberapa fungsi di dalam perusahaan dan
pemasok (supplier) dan pihak ketiga yang
memberikan jasa garansi tambahan
dibutuhkan dalam mengelola garansi secara
efektif. Manajemen garansi yang efektif
harus mempertimbangkan interaksi dari
keempat faktor tersebut (lihat Gambar 4),
selama siklus hidup produk, dari tahap
sebelum peluncuran produk dan setelah
peluncuran produk.
Pilihan pada tahap desain dan
manufaktur memengaruhi kualitas produk
dan kemudian ongkos garansi. Sebaliknya,
keputusan mengenai garansi yang
ditawarkan harus sesuai dengan kualitas
produk agar ongkos klaim garansi
terkendali, dan ini selanjutnya
memengaruhi keputusan pada desain
produk dan manufaktur (proses produksi
dan pengendalian kualitas).
Sebelum peluncuran produk baru,
pertimbangan garansi produk dimulai sejak
awal yaitu dari tahap pengembangan
produk, desain produk, desain proses,
persiapan rencana pemasaran, dan akhirnya
perumusan spesifikasi garansi. Di sini,
manajemen harus menentukan nilai target
dari produk seperti fitur fungsional yang
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.1 No. 2 April 2015
diiginkan, ongkos per-unit dan harga jual
yang diinginkan.
Pada tahap setelah peluncuran
produk, manajemen garansi memonitor dan
mengevaluasi layanan purna jual, umpan
balik ke desain dan manufatur untuk
peningkatan kualitas produk, pemasaran
untuk perubahan kebijakan garansi, harga
jual dan layanan purna jual, dan semua
tindakan revisi pada tahap ini yang
diperlukan selama masa garansi. Pada
tahap ini, kecepatan penyampaian data
kinerja dan kualitas produk yang diperoleh
dari konsumen melalui service
station/dealer untuk analisis keandalan
produk sangat diperlukan. Dan selanjutnya,
bermanfaat untuk perbaikan kualitas
produk di lantai pabrik dan desain produk.
Sumber data kinerja dan kualitas
produk umumnya hanya berasal dari data
klaim garansi dan data perbaikan produk
rusak. Data ini selanjutnya digunakan
untuk memperbaiki ongkos garansi dan
untuk prediksi klaim garansi ke depan. Di
samping itu, data tersebut diteruskan ke
divisi rekayasa, produksi, pengendalian
kualitas, dan manajemen garansi untuk
mengevaluasi kebijakan garansi yang
diberikan.
3. Pembahasan
Manajemen garansi di Indonesia
umumnya masih pada tahap I dan sebagian
kecil sudah berada pada tahap II.
Umumnya, masih bersifat reaktif, lebih
memfokuskan pada pemrosesan klaim
garansi dan penyelesaian permasalahan
yang muncul akibat dari garansi.
Perusahaan belum banyak menggunakan
garansi sebagai an offensive tool dalam
pemasaran produk. Kebanyakan
perusahaan menawarkan garansi untuk
memenuhi persyaratan memasuki suatu
pasar, lebih pada a deffensive tool. Bahkan,
pada periode sebelum tahun 2000, pada
industri sepeda motor, garansi hanya
melindungi kerusakan pertama selama
masa garansi yang pendek, yaitu enam
bulan, atau bersifat membatasi tanggung
jawab produsen. Sementara itu, pada
periode tersebut, di negara maju, garansi
untuk produk otomotif diberikan dua
sampai lima tahun dan melindungi semua
kerusakan (untuk komponen yang dijamin)
yang terjadi selama masa garansi.
Di samping itu, untuk produk yang
dijual di Indonesia, tidak semua komponen
kendaraan bermotor dijamin oleh garansi
tetapi hanya sebagian komponen saja.
Sedangkan di Amerika dan Eropa, sejak
beberapa tahun yang lalu, produsen telah
menawarkan bumper-to-bumper warranty
yang menjamin hampir seluruh komponen
dari suatu kendaraan bermotor dan
memberikan garansi tiga sampai sepuluh
tahun untuk power train.
Bahkan, di Amerika, telah
diberlakukan aturan baru untuk melindungi
pembeli kendaraan bermotor yang disebut
Lemon Law. Dengan aturan ini, jika suatu
komponen dari produk mengalami
kerusakan lebih dari jumlah tertentu,
misalnya tiga kali, selama masa garansi
maka konsumen berhak atas produk baru.
Perlindungan yang maksimal ini akan
berdampak positif terhadap kepuasan
pelangan yang selanjutnya meningkatkan
citra produk. Ini merupakan contoh dari
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.1 No. 2 April 2015
pemanfaatan garansi sebagai an offensive
tool dalam mempromosikan produk.
Berhubungan dengan data klaim
dan data perbaikan produk rusak, data
tersebut belum digunakan secara maksimal
untuk memperbaiki kinerja produk dan
mengevaluasi ongkos garansi atau untuk
prediksi klaim garansi. Data klaim
dikumpulkan oleh dealer hanya untuk
keperluan penagihan pembayaran klaim
garansi ke produsen yang dilakukan
bulanan. Data ini sudah dipergunakan
untuk keperluan perbaikan kualitas produk,
tetapi umpan balik kinerja produk ke
pabrik masih lambat, yaitu dua sampai
empat minggu, karena mengikuti
mekanisme penagihan pembayaran klaim
garansi. Hal ini menunjukkan bahwa perlu
suatu mekanisme yang berbeda (berbasis
web atau memanfaatkan Internet) untuk
mendapatkan data kinerja produk yang
bersumber dari data klaim, untuk
peningkatan kualitas produk.
Hanya sebagian kecil produsen
yang sudah memanfaatkan garansi sebagai
instrumen untuk penetrasi pasar
(manajemen garansi tahap II), seperti pada
industri sepeda motor, di mana satu
produsen menawarkan garansi untuk mesin
selama tiga tahun (garansi sebagai an
offensive tool), dan kemudian diikuti oleh
produsen lainnya (garansi sebagai a
deffensive tool).
Umumnya, data klaim belum
digunakan secara maksimal untuk
memodelkan keandalan produk dan
memperbaiki kinerja garansi, misalnya
untuk prediksi klaim garansi. Penelitian
yang telah memanfaatkan data klaim
garansi untuk memodelkan keandalan
produk (sepeda motor) dan memprediksi
ongkos garansi dapat dilihat pada Iskandar
dan Blischke (2003) dan Anantasari dan
Iskandar (2003).
4. Penutup
Peranan dan pentingnya garansi
dalam pemasaran produk dari tahun ke
tahun semakin besar. Bersamaan dengan
itu, beban ongkos garansi dan
ketidakpuasan konsumen terhadap layanan
garansi juga meningkat secara signifikan
sehingga semakin meminta perhatian yang
besar dari manajemen.
Perkembangan garansi tersebut
menyebabkan pengelolaan garansi produk
berubah dari moda reaktif menjadi proaktif.
Moda reaktif lebih memfokuskan pada
penanganan klaim garansi dan bertujuan
untuk meminimalisasi jumlah klaim
konsumen (ongkos garansi). Manajemen
garansi dengan moda proaktif bertujuan
tidak saja meminimalisasi ongkos garansi
tapi juga memaksimumkan kepuasan
konsumen, citra produk dan penjualan
sehingga membutuhkan pendekatan yang
terintegrasi, yang menggabungkan aspek
teknikal dan aspek komersial dalam
pengelolaan garansi. Pada makalah ini,
telah dibahas suatu pendekatan terintegrasi
dalam pengelolaan garansi, di mana
interaksi antar fungsi desain produk,
manufaktur, pemasaran dan purna jual
dilihat dari kedua aspek penting tadi. Dan
pengelolaan garansi dengan pendekatan
terintegrasi ini dilakukan baik selama
periode sebelum maupun sesudah
peluncuran produk ke pasar.
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.1 No. 2 April 2015
Manajemen garansi di Indonesia
umumnya masih pada tahap I yaitu bersifat
reaktif, lebih memfokuskan pada
pemrosesan klaim garansi dan penyelesaian
permasalahan yang muncul akibat dari
garansi. Perusahaan belum banyak
menggunakan garansi sebagai an offensive
tool dalam pemasaran produk. Kebanyakan
perusahaan menawarkan garansi untuk
memenuhi persyaratan memasuki suatu
pasar, jadi lebih pada a deffensive tool.
Hanya sebagian kecil produsen yang sudah
memanfaatkan garansi sebagai instrumen
untuk penetrasi pasar (manajemen garansi
tahap II), seperti pada industri sepeda
motor, di mana satu produsen menawarkan
garansi untuk mesin selama tiga tahun
(garansi sebagai an offensive tool), dan
kemudian diikuti oleh produsen lainnya
(garansi sebagai a deffensive tool).
Garansi yang ditawarkan bersifat
terbatas–tidak semua komponen kendaraan
bermotor dijamin oleh garansi–hanya
sebagian komponen saja. Sedangkan, sejak
beberapa tahun yang lalu, di Amerika dan
Eropa, produsen telah menawarkan
bumper-to-bumper warranty yang
menjamin hampir seluruh komponen dari
suatu kendaraan bermotor dan memberikan
garansi tiga sampai sepuluh tahun untuk
power train.
Dalam rangka mendapatkan
proteksi yang layak bagi konsumen
terhadap produk yang dibeli, lembaga
konsumen (yang merepresentasikan
kepentingan konsumen) bekerjasama
dengan pembuat peraturan publik (law
maker) harus berperan aktif untuk
menghasilkan undang-undang (peraturan)
mengenai garansi produk (yang spesifik
untuk setiap jenis durable product) yang
dapat memberikan proteksi baik bagi
konsumen maupun produsen. Dan ini akan
melengkapi Undang-Undang nomor 8
tahun 1999, tentang perlindungan
konsumen, yang masih bersifat global,
untuk semua jenis produk.
Daftar Pustaka
Anantasari dan Iskandar, B.P. 2003,
―Estimasi Ongkos Garansi Sepeda
Motor dengan Melibatkan Data
Follow-up‖, Proceeding Seminar
Sistem Produksi VI Jurusan Teknik
Industri, Institut Teknologi
Bandung.
Brennan, J.R. 1994. Warranties, Planning,
Analysis, and Implementation,
Mc.GrawHill, New York.
Blischke, Wallace R. and Murthy, D.N.
Prabharkar, 1994. Warranty Cost
Analysis, Marcel Dekker Inc., New
York.
Blischke, Wallace R. and Murthy, D.N.
Prabharkar, 1995. Product
Warranty Handbook, Marcel
Dekker Inc., New York.
Husniah, H., B.P. Iskandar. 2008, Optimal
replacement policy for a product
sold with a two-dimensional
warranty, Proceedings Asia Pacific
Industrial Engineering and
Management Systems Conference.
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.1 No. 2 April 2015
Iskandar, BP. 1992. ―Modelling and
Analysis of Two-Dimensional
Warranty Policies‖, Disertasi S3,
The Departement of Mechanical
Engineering University of
Queensland St. Lucia, Brisbane.
Iskandar, B.P., Murthy, D.N.P, Wilson, R. J.
1994.Two Dimensional
Combination Warranties, RAIRO,
France.
Iskandar, B.P., Murthy, D.N.P., Repair-
Replace Strategies for Two-
Dimensional Warranty Policies,
Mathematical and Computer
Modelling, 38, ISSN 0895-7177,
Desember, 2003, 1233--1241.
Iskandar, B.P. and Blischke, W.R. 2003,
Reliability and Warranty Analysis
of a Motorcycle Based on
Claims Data, Case Studies in
Reliability and Maintenance, edited
by W. R. Blischke and D. N. P.
Murthy, John Wiley & Sons.
Iskandar B.P., Murthy, D.N.P., Jack, N.
2005, A New Repair – Replace
Strategy for Items Sold with A Two
– Dimensional Warranty, Computer
& Operations Research 32,
pp. 669 – 682.
Iskandar B.P., Murthy, D.N.P., Jack, N.
2007, A New Repair – Replace
Strategy Based on Usage
Rate for Items Sold with A Two –
Dimensional Warranty,
Proceedings, Asia Pacific
Conference on Manufacturing
Systems.
Iskandar B.P, and Jack N. 2008. Warranty
servicing with imperfect repair for
products sold with a two-
dimensional warranty. Proc. of the
3rd
International Workshop on
Advanced Reliability Modelling III,
529--536.
Jack, N., B.P. Iskandar and D.N.P. Murthy.
2009, A new repair-replace strategy
based on usage rate for items sold
with a two-dimensional warranty.
Reliability Engineering and
System Safety 94 611–617.
Lele, M.M dan Karmarkar, U.S. 1983.
Good product support is smart
marketing, Harvard Business Rev.,
Vol. 61, pp. 124--132.
Menezes, M.A.J dan Quelch, J.A. 1990.
Leverage your warranty program,
Sloan Manage. Rev., Vol 31, No. 4,
pp. 69--80.
Murthy, D. N. P., Iskandar, B.P, and
Wilson, R. J. 1995. ―Two-
dimensional failure free warranties:
Two-dimensional point process
models,‖ Operations Research 43:
356--366.
Murthy, D.N. Prabharkar dan Blischke,
Wallace R. 2000. Strategic
Warranty Management: A Life-
Jurnal Ilmiah “DUNIA ILMU” Vol.1 No. 2 April 2015
Cycle Approcah, IEEE Transaction
of Engineering Management, Vol.
47, No. 1, pp. 40--54.
D.N.P. Murthy and N. Jack. 2007.
Warranty servicing. Encyclopaedia
of statistics in quality and
reliability. pp. 2091--2097.
Murthy, D.N. Prabharkar dan Blischke,
Wallace R. 2007, Warranty
Management and Produc
Manufacture, Spriger, London.
Padmanabhan, V. dan Rao, Ram C., 1993.
―Warranty Policy and Extended
Service Contracts: Theory and an
Application to Automobiles‖,
Marketing Science, Vol 12, No 3.