Pendekatan Antropologis Di Dalam Memahami Agama
-
Upload
muhammad-nufail -
Category
Documents
-
view
23 -
download
0
Transcript of Pendekatan Antropologis Di Dalam Memahami Agama
MAKALAH
Pendekatan Antropologis di Dalam Memahami Agama
Makalah Ini Diajukan Untuk MemenuhiTugas Mata Kuliah Penulisan Karya Ilmiah/ B. Indonesia
Oleh :M. Romli Syadzali
(NIM : 2012.8602.0032)
Dibimbing oleh :Syarifuddin, M.Pd, MA.TESOL
Fakultas Agama IslamProdi Pendidikan Bahasa Arab
UNIVERSITAS YUDHARTA PASURUAN2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada saat ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di
dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh
hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekedar disampaikan dalam
khotbah, melainkan secara konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam
memecahkan masalah.
Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman
agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis normatif yang
dilengkapi dengan pemahaman agama dengan menggunakan pendekatan lain salah
satunya adalah pendekatan antropolgis, yang secara konseptual dapat memberikan
jawaban terhadap masalah yang timbul.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, bisa ditarik rumusan permasalahan sebagai
berikut :
1. Apakah yang dimaksud antropologis?
2. Apakah fungsi pendekatan antropologis di dalam memahami agama ?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah, tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui maksud dari antropologis.
2. Untuk mengetahui fungsi pendekatan antropologis di dalam memahami agama.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendekatan Antropolgis
Pendekatan di sini maksudnya adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat
dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam
hubungan ini, Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan
menggunakan berbagai paradigma.1
Sedangkan antropologi menurut bahasa adalah ilmu tentang manusia, khususnya
tentang asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaannya pada masa
lampau2. Menurut etimologi, pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat
diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik
keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
B. Antropologis Sebagai Pendekatan Dalam Memahami Agama
Melalui pendekatan antropologis, agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-
masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan serta memberikan jawabannya.
Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu agama.
Antropologi dalam kaitan ini lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya
partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang
mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pengamatan sosiologis.
Penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan tanpa
berpihjak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan
teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan di
bidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model matematis,
banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian historis.
Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka dalam berbagai penelitian antropologi
agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan
kondisi agama dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan golongan
miskin pada umumnya, lebih tertarik kepada gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat
1 Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, Cet. 18 (2011), hal. 28.2 Setiawan, Ebta, Software Kamus Besar Bahasa Indonesia v1.3, 2010-2011
2
mesianis, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan
golongan orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang
sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya. Karl Mark
(1818-1883),sebagai contoh, melihat agama sebagai apium atau candu masyarakat tertentu
sehingga mendorongnya untuk memperkenalkan teori konflik atau yang bisa disebut
dengan teori pertentengen keles. Menurutnya,agama bisa disalahfungsikan oleh kalangan
tertentu untuk mekestarikan status quo peran tokoh-tokoh agama yang mendukung
kapitalisme di Eropa yang beragama Kristen. Lain halnya dengan Max Weber (1864-
1920). Dia melihat adanya korelasi positf antara ajaran protestan dengan munculnya
semangat kapitalisme modern. Etika protestan dilhatnya sebagai cikal bakal etos kerja
masyarakat industri modern yang kapitalistik. Cara pandang Weber ini kemudian
diteruskan oleh Robert N.Bellah dalam karyanya the religion of tokugawa. Dia juga
melihat adanya korelasi positif antara ajaran agama Tokugawa. Dia juga melihat adanya
korelasi positif antara ajaran agama Tokugawa,yakni semacam campuran antara agama
Budha dan sinto pada era pemerintahan Meiji dengan semangat etos kerja orang Jepang
modern. Tidak ketinggalan,seorang yahudi kelahiran paris,Maxime Rodinson,dalam
bukunya islam and Capitalism menganggap bahwa ekonomi Islam itu lebih dekat kepada
sistem kapitalisme, atau sekurang-kurangnya tidak mengharamkan prinsip-prinsip dasar
kapitalisme.
Melalui pendekatan antropologis di atas, kita melihat bahwa agama ternyata
berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dalam
hubungan ini, jika kita ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang, maka
dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan keagamaannya.
Selanjutnya melalui pendekatan antropologis ini, kita dapat melihat agama dalam
hubungannya dengan mekanisme (social organization) juga tidak kalah menarik untuk
diketahui oleh para peneliti sosial keagamaan. Kasus di Indonesia, peneliti Clifford Geertz
dalam karyanya The Religion of Java, dapat dijadikan contoh yang baik dalam bidang ini.
Geertz melihat adanya klasifikasi sosial dalam masyarakat Muslim di Jawa, antara santri,
priyayi dan abangan. Sungguhpun hasil penelitian antropologis di Jawa timur ini
mendapat sanggahan dari berbagai ilmuan sosial yang lain, namun konstruksi stratifikasi
sosial yang dikemukakannya cukup membuat orang berfikir ulang untuk mengecek ulang
keabsahannya.
3
Melalui pendekatan antropologis fenomenologis ini kita juga dapat melihat hubungan
antara agama dan negara (state and religion). Topik ini juga tidak pernah kering dikupas
oleh para peneliti. Akan selalu menarik fenomena negara agama, seperti Vatikan dalam
bandingannya dengan negara-negara sekuler di sekelilingnya di Eropa Barat. Juga melihat
kenyataan negara Turki modern yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi
konstitusi negaranya menyebut sekuralisme sebagai prinsip dasar kenegaraan yang tidak
dapat ditawar-tawar. Belum lagi meneliti dan membandingkan Kerajaan Saudi Arabia dan
negara Republik Iran yang berdasarkan Islam. Orang akan bertanya apa sebenarnya yang
menyebabkan kedua sistem sama-sama menyatakan Islam sebagai asas tunggalnya, yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi menjadikan Pancasila sebagai asas
tunggal.
Selanjutnya, melalui pendekatan antropologis ini juga dapat ditemukan keterkaitan
agama dengan psikoterapi. Sigmun Freud (1956-1939) pernah mengaitkan agama dengan
Oedipus Complex, yakni pengalaman infantile seorang anak yang tidak berdaya di
hadapan kekuatan dan kekuasaan bapaknya. Agama dinilainya sebagai neurosis. Dalam
psikoanalisanya, dia mengungkapkan hubungan antara id, ego dan superego. Meskipun
hasil penelitian Freud berakhir dengan kurang simpati terhadap realita keberagaman
manusia, tetapi temannya ini cukup memberi peringatan terhadap beberapa kasus
keberagaman tertentu yang lebih terkait dengan patologi sosial maupun kejiwaan. Jika
Freud oleh beberapa kalangan dilihat terlalu minor melihat fenomena keberagaman
manusia, lain halnya dengan psikoanalisis yang dikemukakan C.G. Jung.Jung malah
menemukan hasil temuan psikoanalisisnya yang berbalik arah dari apa yang ditemukan
oleh Freud. Menurutnya, ada korelasi yang sangat positif antara agama dan kesehatan
mental.
Melalui pendekatan antropologis sebagaimana tersebut di atas terlihat dengan jelas
hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia, dan dengan itu pula
agama terlihat akrab dan fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan manusia.
Pendekatan antropologis seperti itu diperlukan adanya, sebab banyak berbagai hal
yang dibicarakan agama hanya bisa dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan
antropologis. Dalam Alqur’an, sebagai sumber utama ajaran Islam misalnya kita
memperoleh informasi tentang kapal Nabi Nuh di gunung Arafat, kisah Ashabul Kahfi
yang bertahan hidup dalam gua lebih dari tiga ratus tahun lamanya. Di mana kira-kira
4
bangkai kapal Nabi Nuh itu; di mana kira-kira gua itu; dan bagaimana pula bisa terjadi hal
yang menakjubkan itu; ataukah hal demikian merupakan kisah fiktif. Tentu masih banyak
lagi contoh lain yang hanya dijelaskan dengan bantuan ahli geografi dan arkeologi.
Dengan demikian, pendekatan antropologi sangat dibutuhkan dalam memahami
ajaran agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi yang
dapat dijelaskan lewat bantuan ilmu antropologi dengan cabang-cabangnya.
5
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu
upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat.
Melalui pendekatan antropologis, agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-
masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan serta memberikan jawabannya.
Melalui pendekatan antropologis ini juga, kita dapat melihat agama dalam hubungannya
dengan mekanisme (social organization) juga tidak kalah menarik untuk diketahui oleh
para peneliti sosial keagamaan.
Melalui pendekatan antropologis fenomenologis, kita juga dapat melihat hubungan antara
agama dan negara (state and religion). Selanjutnya, melalui pendekatan antropologis ini
juga dapat ditemukan keterkaitan agama dengan psikoterapi.
Melalui pendekatan antropologis sebagaimana tersebut di atas terlihat dengan jelas
hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia, dan dengan itu pula
agama terlihat akrab dan fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan manusia.
Dengan demikian, pendekatan antropologi sangat dibutuhkan dalam memahami
ajaran agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi yang
dapat dijelaskan lewat bantuan ilmu antropologi dengan cabang-cabangnya.
B. Saran-saran
Kami menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masihlah jauh dari sempurna, maka
dari itu kritik dan saran dari teman-teman dan bapak dosen pembimbing akan selalu kami
nanti demi kesempurnaan tugas-tugas kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, Cet. 18 (2011).
Setiawan, Ebta, Software Kamus Besar Bahasa Indonesia v1.3, 2010-2011
6