Pendahuluan - Joy Kumaat | make small world · Web viewDominasi pasang surut, mengakibatkan...
Transcript of Pendahuluan - Joy Kumaat | make small world · Web viewDominasi pasang surut, mengakibatkan...
I. PENDAHULUAN
I.1 Aksiologi Ekosistem Pesisir
Ekosistem pesisir dan laut merupakan ekosistem alamiah yang produktif, unik dan
mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Selain menghasilkan bahan dasar untuk
pemenuhan kebutuhan pangan, keperluan rumah tangga dan industri yang dalam konteks
ekonomi bernilai komersial tinggi, ekosistem pesisir dan laut juga memiliki fungsi-fungsi
ekologis penting, antara lain sebagai penyedia nutrien, sebagai tempat pemijahan, tempat
pengasuhan dan tumbuh besar, serta tempat mencari makanan bagi beragam biota laut. Di
samping itu, ekosistem pesisir dan laut berperan pula sebagai pelindung pantai atau penahan
abrasi bagi wilayah daratan yang berada di belakang ekosistem ini (Bengen, 2002). Tata
ruang sebagai wujud struktural ruang dan pola penggunaannya secara terencana atau tidak
dari bagian permukaan bumi di laut dan pesisir, dikenal selama ini sebagai objek dalam
memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Selain mengandung beraneka ragam sumber daya
alam dan jasa lingkungan yang telah dan sementara dimanfaatkan manusia, ruang laut dan
pesisir menampilkan berbagai isu menyangkut keterbatasan dan konflik dalam
penggunaannya. Untuk mengharapkan keberlanjutan manfaat ruang laut dan pesisir, berbagai
upaya sadar selayaknya digiatkan dalam suatu rangkaian penataan ruang. Secara normatif,
penataan ruang dipahami sebagai suatu rangkaian proses perencanaan, pemanfaatan dan
pengendalian pemanfaatan ruang yang dialokasikan menjadi kawasan lindung dan kawasan
budidaya (UU Nomor 24 Tahun 1992). Perencanaan tata ruang memungkinkan fungsi dan
manfaat ruang tersebut dapat berkelanjutan dinikmati oleh manusia. Hal ini menjadi semakin
penting karena ruang laut dan pesisir peka terhadap gangguan sehingga setiap kegiatan
pemanfaatan dan pengembangan di mana pun juga di wilayah ini, secara potensial dapat
merupakan sumber kerusakan bagi ekosistem-ekosistem di wilayah ini (Dahuri et al, 2001).
Wilayah pantai dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa tipe. Sejarah perkembangan
pengklasifikasian pantai di awali tahun 1930 oleh Francis Shepard kemudian mengalami
beberapa kali perubahan pada tahun 1948, 1963 dan terakhir di perbaharui pada tahun 1973
dimana klasifikasi ini menjadi standart dan dipakai oleh U.S Army of Engineers (1998)
sebagai dasar untuk membuat klasifikasi pantai. Pantai berlumpur sendiri secara genetik di
golongkan sebagai marine deposition coast. Secara harafiah di ambil dari bahasa inggris
adalah mudflat atau salt marshes yang berbentuk delta (deltaic) atau pantai secara gradien
datar dan memiliki pengaruh gelombang kecil (U.S Army Of Engineers, 1998; Delgado et al,
2002).
Peran ekosistem pantai berlumpur di wilayah pesisir tergambar oleh kehadiran
ekosistem lainnya seperti ekosistem hutan mangrove dan ekosistem delta yang saling
memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya. Adanya aktivitas fauna dan flora serta
keadaan hydrodinamika air laut seperti kejadian pasang dan surut (tidal), arus pasang surut
(tidal current), gelombang (waves), distribusi salinitas dan transport sedimen merupakan
suatu keadaan in situ dari ekosistem ini (Sunarto, 2002).
1.2 Alur Pikir
Walaupun sudah banyak informasi dan literatur menceritakan keadaan-keadaan
alamiah di atas akan tetapi pembahasan keterkaitan antara rantai makanan, proses-proses
fisik dan aliran karbon di ekosistem pantai berlumpur belumlah dijalaskan secara spesisik
kebermaknaanya dalam suatu runutan dimensi ekosistem pesisir. Pembahasan makalah ini
dititikberatkan pada dimensi dinamika ekosistem pesisir yang majemuk dengan alur pikir
sebagai berikut:
Gambar 1. Bagan alir alur pikir rantai makanan, proses-proses fisik dan aliran karbon di ekosistem pantai berlumpur.
II. TINJAUAN FILOSOFIS
II.1 Ekosistem Pantai Berlumpur
Pantai berlumpur dicirikan oleh ukuran butiran sedimen sangat halus dan memiliki
tingkat bahan organik yang tinggi, pantai ini pula banyak dipengaruhi oleh pasang surut yang
mengaduk sedimen secara periodik. Interaksi organisme dengan sedimen dan pengaruh
evaporasi perairan sangat tinggi di lingkungannya. Seperti yang terdapat di laut kuning,
Korea Selatan dan teluk Fundy di Amerika Utara adalah gambaran luasnya daerah kepesisiran
dengan dominasi sebagai daerah pengendapan lumpur (mud deposition) yang mengurung
daerah tersebut, sehingga menjadikan pantai berlumpur sebagai mintakat yang memiliki
pengaruh energi rendah seperti estuari dan lagoon juga sebagai daerah pemasukan air tawar
(influx freshwaters) dalam jumlah yang besar sehingga kompleksitas sedimen dominan adalah
berbutir halus (dominantly fine-grained sediments).
Bagaimanapun, pelumpuran yang terjadi di wilayah pantai tidak hanya disebabkan
oleh energi lingkungan rendah, akantetapi bahwa kelipahan sedimen seperti sedimen halus,
pengendapan lumpur dapat tetap berlaku dan bahkan pada pantai yang memiliki pengaruh
gelombang yang besar.
Gambar 2. Faktor pengontrol konsentrasi sediment di kolom air (Webster et al, 2003)
Selanjutnya, oleh Webster et al, 2003 membagi tidalflat kedalam 3 (tiga) model.
Pertama, subtidal., merupakan daerah di bawah pasang surut dan selalu terekspose
(kelihatan) daratannya karena tidak tertutup oleh genangan air. Sedimen akan membentuk
sabuk (belt) searah dengan garis pantai dimana pengaruh daerah intertidal sangat besar
sehingga sedimen dasar dari subtidal ini membentuk liang (burrowed) dan butiran
(pelletized). Aliran air juga, turut serta di dalam pergerakan sedimen memotong areal ini,
menjadikan ukuran butiran sedimennya bertambah halus. Penghalusan sedimen tersebut
terjadi karena dipindahkannya sedimen berukuran kasar (coarse sediment) oleh aliran sungai
dan setelah mencapai muara sungai akan dikurung oleh kondisi pasang-surut daerahnya,
sehingga tidak mudah tertembus oleh pengaruh eksternal lainnya. Adanya proses ini,
mengakibatkan daerah muara sungai selalu terjadi pelumpuran .
Kedua, Zona Intertidal., merupakan zona yang berada di antara surut normal dan
pasang tinggi yang mana keterjadian pasang dan surutnya terjadi dua kali dalam sehari
(semidiurnal tides). Gabungan gaya yang mengangkut selama waktu transport, akan
mengakibatkan deposisi dimuara sungai, susunan lithologi pantai campuran pasir dan lumpur
terdapat dibagian tengah sedangkan pasir dominan berada paling datar (ujung) dari zona
intertidal. Transport sediment tersuspensi (melayang) di rataan intertidal, membentuk formasi
lumpur dan liat yang mempunyai keadaan bioturbasi, rekahan lumpur dan pelemahan arus.
Di daerah tengah dari rataan intertidal, terkover separuh siklus pasang surutnya memiliki
perioda penenggelaman sama dengan perioda pengangkutan sedimen pada setiap lapisan yang
terbentuk di rataan tersebut. Keadaan dinamis antara pasir dan lumpur akan saling bertukar
tempat akibat pengaruh aliran atau olakan gelombang dengan kecenderungan bahwa olakan
ini akan membawa material sedimen kelaut lapas (open sea). Pengangkutan dan pengendapan
pasir, adalah merupakan fenomena yang terjadi di zona intertidal pantai berlumpur, terindikasi
bahwa transport sedimen melayang dan didasar air umumnya aktiv pada saat pasang terendah.
Ketiga, Zona Supralittoral., merupakan zona di atas pasang naik sedangkan
sedimennya terdeposit ditunjukkan oleh adanya subareal dengan kondisi pada umumnya
memiliki waktu penggenangan selama terjadi badai (musim semi). Zone ini dibagi dengan
melihat kondisi alamiah pantai tersebut, yang mana diawali oleh tumbuhnya beberapa
vegetasi pantai berlumpur dan badan pasir. Storm-Driven di daerah supratidal ikut serta di
dalam mensuplai sedimen sehingga menciptakan lapisan sedimen hanya dalam beberapa jam.
Lapisan ini yang terbentuk akibat badai akan terjadi pengkayaan karbon oleh ganggang
organik, yang berkembang biak saat terjadi badai. Pada bagian lain dari daerah supralittoral
dominasi ganggang blue-green filamentous menjerat dan mengikat sedimen berbutir halus
lewat alga yang ada di daerah subtidal. Pengikatan sedimen oleh alga di daerah subtidal
sehingga terjadi penumpukan sedimen di muara sungai, disamping itupula banyaknya
sedimen diakibatkan oleh banjir. Dominasi pasang surut, mengakibatkan pelumpuran
sehingga pada waktu penggenangan akan terbentuk beting-beting lumpur sedangkan pada saat
surut akan mengalami pengeringan.
Gambar 3. Klasifikasi wilayah pesisir ( Webster et al, 2003)
II.2 Rantai Makanan Pantai Berlumpur
Rantai makanan adalah perpindahan energi makanan dari sumber daya tumbuhan
melalui seri organisme atau melalui jenjang makan (tumbuhan-herbivora-carnivora). Pada
setiap tahap pemindahan energi, 80%–90% energi potensial hilang sebagai panas, karena itu
langkah-langkah dalam rantai makanan terbatas 4-5 langkah saja. Dengan perkataan lain,
semakin pendek rantai makanan semakin besar pula energi yang tersedia
(http://id.wikipedia.org/wiki/rantai_makanan).
Ada dua tipe dasar rantai makanan:
1. Rantai makanan rerumputan (grazing food chain). Misalnya: tumbuhan-herbivora-
carnivora.
2. Rantai makanan sisa (detritus food chain). Bahan mati mikroorganisme (detrivora =
organisme pemakan sisa) predator.
Suatu rantai adalah suatu pola yang kompleks saling terhubung, rantai makanan di dalam
suatu komunitas yang kompleks antar komunitas, selain daripada itu, suatu rantai makanan
adalah suatu kelompok organisma yang melibatkan perpindahan energi dari sumber utamanya
(yaitu., cahaya matahari, phytoplankton, zooplankton, larval ikan, kecil ikan, ikan besar,
binatang menyusui). Jenis dan variasi rantai makanan adalah sama banyak seperti
jenis/spesies di antara mereka dan tempat kediaman yang mendukung mereka. Selanjutnya,
rantai makanan dianalisa didasarkan pada pemahaman bagaimana rantai makanan tersebut
memperbaiki mekanisme pembentukannya (gambar 4). Ini dapat lebih lanjut dianalisa sebab
bagaimanapun jenis tunggal boleh menduduki lebih dari satu tingkatan trophic di dalam suatu
rantai makanan ( Krebs 1972 in Johannessen et al, 2005).
Gambar 4. Rantai makanan di wilayah pesisir (Long, 1982 in Johannessen et al, 2005)
Dalam bagian ini, diuraikan tiga bagian terbesar dalam rantai makanan (Johannessen et al,
2005) yaitu: phytoplankton, zooplankton, dan infauna benthic. Sebab phytoplankton dan
zooplankton adalah komponen rantai makanan utama dan penting, dimana bagian ini berisi
informasi yang mendukung keberadaan organisme tersebut. Sedangkan, infauna benthic
adalah proses yang melengkapi pentingnya rantai makanan di dalam ekosistem pantai
berlumpur. Selanjutnya, pembahasan ini penekananya pada bagaimana mata rantai antara
rantai makanan dan tempat berlundungnya (tidal flat; pantai berlumpur).
II.2.1 PHYTOPLANKTON
Pertumbuhan phytoplankton di wilayah pantai berlumpur diatur dengan suatu interaksi
antara matahari, hujan, bahan gizi, dan gerakan massa air, serta convergensi yang di akibatkan
oleh arus laut. Sampai jumlah tertentu produksi phytoplankton tergantung pada cuaca,
dengan pencampuran dan stratifikasi kolom air yang mengendalikan produktivitas utama.
Percampuran massa air vertikal yang kuat mempunyai suatu efek negatif terhadap
produktivitas, dengan mengurangi perkembangan phytoplankton maka terjadi penambahan
energi itu sendiri dan penting bagi fotosintesis. Bagaimanapun, pencampuran vertikal adalah
juga diuntungkan karena proses penambahan energi, yang membawa bahan gizi (nutrient)
dari air menuju ke permukaan di mana mereka dapat digunakan oleh phytoplankton.
II.2.2 ZOOPLANKTON DAN HETEROTROPHS LAIN
Zooplankton dan heterotrophs lain (suatu tingkatan organisma trophic sekunder yang
berlaku sebagai consumer utama organik) di dalam kolom air mengisi suatu relung ekologis
penting sebagai mata rantai antara produksi phytoplankton utama dan produktivitas ikan. Ikan
contohnya, dengan ukuran panjang antara 50 - 200 milimeter, seperti; ikan herring juvenile
dan dewasa, smelt, stickleback, sand lance, dan ikan salem dewasa, minyak ikan, hake,
pollock, lingcod, sablefish, dan ikan hiu kecil, memperoleh bagian terbesar gizi mereka dari
zooplankton dan heterotrophs lain. Penambahan konsumen utama ini adalah mangsa utama
untuk sculpins, rockfish, ikan hiu, burung, dan paus ballen (Strimbling and Cornwel, 1997).
Di muara sungai Duwamish (dengan kedalaman 4), ditemukan ikan salem muda memangsa
gammarid amphipods yang lebih besar dari ukuran tubuhnya. Selain itu, ikan salem juga
menyukai jenis Corophium salmonis dan Eogammarus confervicolus. Sebagai tambahan,
gammarid amphipods, dalam bentuk juvenille mengkonsumsi calanoid dan harpacticoid
copepods. Merah muda pemuda ikan salem, pada sisi lain, lebih menyukai harpacticoids yang
diikuti oleh calanoid copepods. Juvenille chinook mempercayakan kepada gammaridean
amphipods dan calanoid copepods sebagai betuk diet mereka. Di awali studi oleh Zedler
(1980), menunjukkan bahwa 85 sampai 92 % zooplankton di teluk adalah calanoid copepods.
Secara teknis, istilah zooplankton mengacu pada format hewan plankton, yang tinggal di
kolom air dan pergerakan utama semata-mata dikendalikan oleh keadaan insitu lingkungan
(current movement). Bagaimanapun, yang mereka lakukan akan mempunyai kemampuan
untuk berpindah tempat vertikal terhadap kolom air dan boleh juga berpindah tempat secara
horisontal dari pantai ke laut lepas sepanjang yaitu musim semi dan musim panas dalam
untuk mencari lokasi yang cocok untuk pertumbuhan mereka. Migrasi vertikal menciptakan
sonik lapisan menyebar ketika zooplankton bergerak ke permukaan pada malam hari dan
tempat yag terdalam pada siang hari. Pada daerah berlumpur dengan olakan gelombang
besar, migrasi vertical zooplankton akan terhalang. Sedangkan, migrasi horisontal musiman
mengakibatkan zooplankton akan mengalami blooming (pengkayaan).
II.2.3. INFAUNA DAN EPIFAUNA BENTHIC
Infauna Benthic (organisma yang tinggal di sedimen) dan epifauna (organisma yang
mempertahankan hidup di sedimen) adalah suatu kumpulan taxa berbeda-beda mencakup
clam, ketam, cacing, keong, udang, dan ikan. Sedangkan burrowers, adalah binatang pemakan
bangkai, pemangsa, dan pemberi makan/tempat makan sejumlah phytoplankton, zooplankton,
sedimen, detritus dan nutrient lainnya.
Mereka berperan penting dalam jaring makanan di pantai berlumpur, juga bertindak
sebagai konvertor untuk pembuatan bahan-bahan organik pada tingkatan trophic lebih tinggi,
sehingga menyokong peningkatan produktivitas alam bebas (wildlife) dan ikan. Di lain pihak,
ikan-ikan demersal, neretic, dan pemangsa terestrial contohnya elasmobranchs ( ikan hiu,
skates dan manta rays-pari), flatfish dan bottomdwelling jenis lainnya; shorebirds; mamalia
laut, termasuk ikan paus dan berang-berang laut; dan manusia. Dengan diuraikannya secara
rinci bagaimana berbagai rantai makanan terhubung ke dalam suatu jaringan makanan terpadu
pada benthic community dalam system dinamika pantai berlumpur adalah penting untuk di
jawab bahwa ekosistem pantai berlumpur ini berperan di dalam keseimbangan produktifitas
primer perairan.
II.3 Proses-proses Fisik di Pantai Berlumpur
Fenomena pergerakan air dan aliran sedimen di daerah pesisir, lebih khusus untuk
dataran delta dan hutan mangrove adalah fenomena khusus dan spesifik. Genesa pantai
berlumpur oleh Sunarto (2002), tersusun oleh materi lebek/lumpur. Proses sedimentasi
dipantai dapat dibedakan menjadi deposisi dan siltasi (Simeoni et al, 2002). Deposisi
umumnya diartikan sebagai pengendapan sedimen lepas (klastik), sedangkan siltasi atau
pelumpuran diartikan sebagai pengendapan material lumpur atau sedimen lembek (Nittrouer
and Kravitz, 1996).
Proses hydro-physical yang terjadi di pantai berlumpur adalah suatu rejim dari seluruh
variabel kejadian dimana angka rata-rata menjadi penting sebagai acuan melihat pergerakan
air (current),dinamika pasang surut (tidal assymetri) dan energi gelombang (wave energy)
pada suatu musim (Carter, 2002). Pergerakan massa air ini banyak mempengaruhi
keberadaan organisme pantai berlumpur (Elliot et al, 1998). Pergerakan uni-directional,
multi-directional dan ocillatory, adalah tiga tipe yang berbeda pergerakan massa air di pantai
berlumpur dimana pergerakan air ini akan memberikan tekanan yang menguntungkan
keadaan lingkungan itu sendiri (Carter, 2002). Selain itu, selama badai (storm event) di
daerah pantai berlumpur akan menimbulkan perubahan ekstrim pembentukan energi dan arah
gelombang (Pethick, 1984; Dyer, 1998). Menurut Buller and McMannus (1979) pantai
berlumpur sangat sensitive terhadap pengaruh perubahan hydro-physical lingkungan perairan.
Sebagai contoh, aksi gelombang yang muncul secara periodik dapat merubah paras pantai
berlumpur secara fisik akibat diterjang badai, sehingga lumpur atau pasir akan terangkat
setinggi 20 cm. Seperti adanya kejadian badai, merupakan suatu mekanisme penting yang
dapat mengurutkan kembali sedimen (lumpur), sisa-sisa partikel kasar dan pelepasan kembali
kealam sedimen-sedimen yang telah tercemar (Buller and McManus, 1979).
Proses-proses fisik di pantai berlumpur merupakan suatu sistem yang saling kait-mengkait
antara sistem daratan dan lautan. Pada sistem di estuaria adalah merupakan contoh kasus
yang menarik, di karenakan pada sistem inilah pada umumnya tedapat pantai berlumpur.
Aliran energi pada wlayah estuari mencakup aliran keluar dan aliran kedalam, yang dapat
merubah bentuk bentang alam dari sistem estuari tersebut (Towned, 2004). Secara umum
estuaria merupakan bagian dari pantai dimana aliran sungai bermuara. Terdapat berbagai cara
dalam mendefinisikan dan mengklasifikasi estuaria. Dimana, estuaria dipandang sebagai
daerah yang terjangkau oleh aliran pasang surut dari laut terbuka, terdapat gradien salinitas
dan densitas yang dihasilkan oleh proses pertemuan antara aliran air laut salinitas tinggi dan
air sungai bersalinitas rendah (Dyer, 1998.,Towned, 2004).
Gambar 5. Model Sistemis Aliran di Daerah Estuari (Towned, 2004)
Disajikan pada model sistemik di atas (gambar 5) oleh Towned (2004), membagi atas
tiga (3) kompartement utama sebagai acuan terjadinya proses aliran di daerah estuari.
Kompartement pertama adalah: Marine System, dimana proses utama sebagai pengendali
gerak adalah tekanan (pressure) sehingga terbentuknya hembusan yang mengakibatkan angin
dan gelombang (Finlayson, 2005). Pusatnya adalah merupakan olakan yang berasal dari
pasang surut dan peningkatan massa air laut. Kompartemen selanjutnya adalah: Estuary,
terbagi atas dua bagian utama adalah dimensi butiran sedimen (granula) dan bentuk alamiah
estuaria, pengaruh utama yang terjadi pada sistem ini adalah prosess terjadinya aktivitas
pasang surut (tidal assymetri) sehingga terjadi gerakan aliran seperti current density dan
secondary circulation.
Lain halnya proses sistemis dinamika pergerakan sedimen di daerah estuari adalah
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan di antara ketiga sistem yang ada di wilayah
pesisir. Contoh kasus pada gambar 6, memperlihatkan bahwa behaviour system dari pantai
berlumpur (Towned, 2004) di awali oleh pengaruh laut (marine system) dan daratan
(catchment basin). Sifat neutral bouyant pada sistem estuari mempengaruhi sifat aliran (arus)
baik dari darat maupun laut sehingga sedimen akan terkonsentrasi di muara sungai (Long et
al, 2000).
Gambar 6. Model Sistemis Aliran Sedimen Halus di Daerah Estuari (Towned, 2004)
Demikianpula, proses yang terjadi di pantai berpasir, dimana proses keluar masuknya
air di dalam sistem karena adanya pengaruh dari tiga (3) model sistem yang ada. Pertama
adalah pada sistem laut (marine system), dominan di pantai berpasir adalah sedimen halus
menumpuk membentuk dan terakumulasi di wilayah estuari (Anthony dan Orford, 2002).
Morfodinamika pantai rendah (estuaria, pantai berpasir, berlumpur, lagoon) sudah dilakukan
banyak penelitian dengan menggunakan skala waktu tercatat di awali oleh : Sherman et al.,
1994; Hegge et al., 1996; Jackson, 1999; Lampe et al., 2003; Goodfellow dan Stephenson,
2005) dan juga untuk jangka waktu panjang sudah di mulai oleh Nordstrom dan Jackson,
1992; Benavente et al., 2000; dan Costas et al., 2005.
Dari analisis sistem yang di lakukan oleh Towned, didukung pula oleh Costas et al,
2005, bahwa distribusi sedimen mengarah kemuara akan memiliki ukuran butiran sediman
yang lebih kecil, sampai di bagian tengah daerah estuaria (mid – estuaria). Perbedaan yang
ditunjukkan oleh Allen, 1972 in Lampe et al, 2003 disebabkan karena di daerah estuaria
tersebut mengalami gangguan oleh adanya aktivitas manusia. Dimana umumnya daerah
estuaria sendiri adanya pemanfaatan berlebih dengan didirikannya banyak daerah industri.
Oleh karena itu, dinamika sifat fisik di wilayah pantai berlumpur merupakan suatu
fenomena tersendiri, walaupu telah mengalami banyak gangguan campur tangan manusia
akan tetapi wilayah ini sendiri belumlah mendapat perhatian khusus di dalam memanfaatkan
sebagai lahan potensial.
II.4. Aliran Karbon di Pantai Berlumpur
II.4.1. Sumber Karbon
Laut mengandung sekitar 36.000 gigaton karbon, dimana sebagian besar dalam bentuk
ion bikarbonat (Janzen, 2004). Karbon anorganik, yaitu senyawa karbon tanpa ikatan karbon-
karbon atau karbon-hidrogen, adalah penting dalam reaksinya di dalam air. Oleh Houghton
(2005) mendeskripsikan bahwa pertukaran karbon ini menjadi penting dalam mengontrol pH
di laut dan juga dapat berubah sebagai sumber (source) atau lubuk (sink) karbon (Meybeck,
1993 in Abril et al, 2002). Karbon siap untuk saling dipertukarkan antara atmosfer dan lautan.
Pada daerah upwelling, karbon dilepaskan ke atmosfer. Sebaliknya, pada daerah downwelling
karbon (CO2) berpindah dari atmosfer ke lautan. Pada saat CO2 memasuki lautan, asam
karbonat terbentuk:
CO2 + H2O ⇌ H2CO3 ......................................................................... (1)
Reaksi ini memiliki sifat dua arah, mencapai sebuah kesetimbangan kimia. Reaksi lainnya
yang penting dalam mengontrol nilai pH lautan adalah pelepasan ion hidrogen dan
bikarbonat. Reaksi ini mengontrol perubahan yang besar pada pH:
H2CO3 ⇌ H+ + HCO3− ........................................................................ (2)
Sumber karbon (carbon sink) diakibatkan oleh adanya produksi primer di daerah pesisir
termasuk fitoplankton, bentik mikroalga, rumput laut, kebun kelp, padang lamun, rawa pasang
surut dan hutan mangrove (Thom et al, 1993). Sumber kabon lainnya juga terdapat di
sepanjang pantai, adalah wilayah daratnya, estuari dan datang dari laut itu sendiri.
Gambar 7. Diagram dari siklus karbon. Angka dengan warna hitam menyatakan berapa banyak karbon tersimpan dalam berbagai reservoir, dalam milyar ton ("GtC" berarti Giga Ton Karbon). Angka dengan warna biru menyatakan berapa banyak karbon berpindah antar reservoir setiap
tahun. Sedimen, sebagaimana yang diberikan dalam diagram, tidak termasuk ~70 juta GtC batuan karbonat dan kerogen.
(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/siklus_karbon)
Keberadaan karbon di pantai sumbernya oleh (Valiela, 1984) menggambarkan datang
dari adanya diffusi (dissolved), organisme laut yang sudah mati (particulate), dan sampah-
sampah di wilayah estuari serta berasal dari daratan. Kontribusi aliran karbon dari daratan
adalah C/N > 10, sedangkan dari perairan sendiri sebesar C/N < 6, penyebabnya tingginya
variasi tersebut diakibatkan oleh tingginya pasokan air tawar dari sungai dan sumber karbon
itu sendiri (Gattusso et al, 1998). Selanjutnya, sumber di dalam (internal sources) akibat
adanya proses dissolved dan particulate (gambar 6) dari karbon itu sendiri termasuk daur
ulang partikel, exudation from producers, terlepas sel yang patah dan kotoran-kotoran
konsumer (Valiela, 1984).
Gambar 8. Proses Dissolved dan Particulated di dalam sedimen (Jahnke, 2000)
Peristiwa ini akibat adanya peristiwa upwelling, oleh karena, terjadi resuspensi
partikel karbon yang mengendap di dasar perairan sehingga membentuk sumber baru dari
karbon itu sendiri (Webster et al, 2003).
II.4.2 Metabolisme Karbon
Proses metabolisme karbon di pantai berlumpur masih sangat minim informasinya,
umumnya hanya digambarkan bagaimana siklus karbon yang terjadi secara umum. Proses
metabolisme digambarkan oleh Thom et al, 1996, sebagai berikut:
GCP = NPP + AR + HR
dimana,
GCP = gross community productivity
NPP = autotrophic net primary productivity
AR = respiration by autotrophs
HR = respiration by heterotrophs.
Hubungan dengan definisi di atas adalah:
CR = community respiration = AR + HR
GPP = gross primary productivity = NPP + AR.
Adalah penting untuk mengingat-ingat hubungan dan definisi ini ketika
mendiskusikan tentang sistem metabolisme. Mereka menjadi penting sekali mengenai
manfaat kalkulasi perubahan terus menerus karbon. Sebagai contoh, kapan sistem GPP > CR
adalah autotrophic dan suatu sumber karbon netto. Kapan sistem GPP< CR, adalah suatu
sumber karbon netto ditetapkan. Walaupun, untuk kepentingan mengevaluasi sumber
(source) dan lubuk (sink) karbon, kebanyakan studi hanya menyediakan sebagian dari ukuran
ini dan oleh karena itu, total perubahan terus menerus karbon tidak bisa dengan teliti dan
dihitung (Thom et al, 1995).
II.4.3. Carbon Fixation
Tumbuh-tumbuhan bentik di perairan secara kasar dihitung memiliki total 6% NPP
atau Net Primary Production (table 1), yang mana sistem kepesisiran juga termasuk di
dalamnya memiliki setengah produksi yang dihasilkan olehnya (Thom, 1993). Sedangkan
keterjadian upwelling terhadap produksi buana (global) carbon fixation (reaksi reduksi yang
membutuhkan energi) laut lepas hanya berkisar 7% (Abril dan Borges,2004). Sistem
kepesisiran ini mengidikasiakan tingginya produksi menuju nisbah rata-rata biomassa
musiman (P:B), yang bermakna bahwa perputaran dan eksport yang terjadi adalah relatif
penting pada skala global (Thom, 1990).
Julat nisbah P:B terbentang dari sekitar satu (1) sampai dengan tigaratus (300),
menunjukan bahwa biomassa akan digantikan satu atau akan diberikan 300 pada setiap waktu
terjadinya fiksasi karbon (Valiela, 1984). Sistem perakaran angiosperm juga, adalah
merupakan contoh bahwa dengan adanya akar yang dangkal dan dekat dengan sirkulasi air
tawar serta garis pantai menunjukkan bahwa kedua sistem ini memiliki tingkat produktifitas
tinggi dan menjadi pusat kegiatan sumberdaya perikanan (Thom et al, 1995). Laju julat siklus
pasang surut rawa pasang surut, hutan mangrove dan padang lamun terhadap NPP (total
produktivitas primer) cakupannya berkisar 300 – 1000 gC m-2 (Mann, 1982 in Thom et al,
1995)). Sedangkan alga sudah termasuk rumput laut dan kebun kelp memiliki julat NPP
adalah sebesar 400 – 900 gC m-2y-1 (Mann, 1982 in Thom et al 1995).
Tabel 1. Total Net Primary Production (NPP) from World System (Valiela, 1984, modification)
Area 106
km2
NPP gCm-
2y-1
Tot.NPP1 X
106mTCy-1
% of Total
System
% of Total
Golbal
Marine Systems:
Open Ocean 332 46 15.355 74.1 24.1
Upwellings 0.4 185 74 0.4 0.1
Continental Shelf 27 111 2.997 14.5 4.7
Alga Beds & Reefs 0.6 925 555 2.7 0.9
Estuaries (exp. Marsh) 1.4 555 777 3.7 1.2
Tot. Marine 361.4 57 20.726 100.0 32.5
Continental System:
Terrestrial
Environmental
145 273 39.540 91.7 61.9
Swamp & Marsh 2 1.110 2.220 5.1 3.5
Lakes & Streams 2 148 296 0.7 0.5
Tot. Continental Shelf 149 289 43.112 100.0 67.5
Total Benthic
Aquaticegetation
3.552 5.6
i.e: alga beds, reefs, segrasses, mangroves, swamps and marshes1This is (NPP in gC m-2 y-1) x (area).
II.4.4 Pembatasan Karbon dan Pengkayaan CO2
Ketersediaan data yang sangat terbatas terhadap limitasi karbon dan pengkayaan CO2
hanya terdapat pada sistem Fotosintesa tumbuh-tumbuhan yang ada di daerah pantai.
Bagaimanapun, sedikitnya ada lima (5) pembuktian menyatakan bahwa C-limitasi sedang
terjadi dan didominasi oleh tumbuhan-tumbuhan laut. Pertama, adalah adanya indikasi
bahwa c-limitasi umumnya dapat diperoleh dari hasil perbandingan antara C:N:P tumbuhan
laut (Atkinson dan Smith, 1983). Rata-rata antara C:N adalah 22, yang diduga 13% dari
spesies tumbuhan laut terekam perbandingannya antara C:N adalah 5 dan 10. Atkinson dan
Smith (1983) secara detail menerangkan bahwa rasio terendah perbandingan antara C:N
ditemukan di bawah kondisi terhadap tingginya konsentrasi nitrogen. Duarte (1992) juga
mendiskripsikan bahwa terdapat kandungan nutrient pada tumbuhan air dan mereka
menemukannya terlebih pada strata macrophytes seperti macroalga yang mempunyai kadar
karbon yang rendah sedangkan lamun dan strata angiosperm memiliki tingkat nutrient yang
tinggi. Kejadian ini diakibatkan oleh physiological condition dari keterbatasan karbon di
pantai (Thom et al, 1995). Ke-dua, oleh Drake (1992) dan beberapa rekan kerjanya dalam
kurun waktu yang lama (sekitar 5 tahun) melakukan percobaan mengenai system pengkayaan
karbor di pantai menunjukkan bahwa C3 dari tumbuhan Scirpus olneyi menunjukkan
peningkatan tajam jika dibandingkan C4 pada tumbuhan Spartina patent di teluk Chesapeake.
Pada umumnya, laju produksi akan meningkat 30 – 80 % di bawah konsentrasi CO2 ganda.
Ke-tiga, pengkayaan CO2 dapat digunakan untuk meningkatkan produksi secara komersial
yaitu rumput laut dengan spesies gracilaria dan chondrus (Munfrod, press comm in Thom et
al, 1995). Ke-empat, sistem kebun kelp memiliki tingkat biomassa yang sangat tinggi, dan
apabila kehadiran kebun kelp signifikan di wilayah pantai akan meningkatkan perekrutan
senyawaan karbon pada masa perkembangannya (Foster and Shiel, 1985 in Thon et al, 1995).
Ke-lima, percobaan yang dilakukan oleh Bartelle in Thom, 1996) pendapatnya adalah
pembatasan CO2 pada spesies-spesies lamun dan kebun kelp setelah dievaluasi dilaboratorium
akan mengalami pengkayaan CO2 apabila ada pegaruh dari air laut dan proses fotosintesis di
pantai berlumpur khususnya dari spesies Zoostera marina (lamun) dan Nereocytis lutkeana
(kebun kelp).
III. PENUTUP
Pantai berlumpur adalah merupakan salah satu wilayah yang berada di pesisir
memiliki cadangan niutrient yang melimpah. Walaupun, pantai ini sendiri belum banyak di
manfaatkan secara berkelanjutan, dimana fungsi pantai ini sendiri hanya merupakan bagian
kecil yang ada di sub-sub ekosistem wilayah pesisir. Cadangan karbon yang tersedia di pantai
berlumpur belum banyak terungkap, terbukti dari hasil penelusuran pustaka sangat sedikit
informasi yang diberikan oleh para peneliti. Akan tetapi ini bukan merupakan suatu
hambatan untuk di telaah lebih lanjut untuk di kaji berkenaan dengan issue global saat ini.
Yang menarik ditelusuri adalah proses sink dan source carbon di pantai berlumpur itu
sendiri, yang penulis ketahui bahawa untuk dilautan lepas atau samudera sudah banyak
ditelaah dan diinformasikan mengenai dua kasus tersebut.
Lainnya halnya dengan keberadaan fisik pantai berlumpur, proses dinamika yang
dimodelkan oleh Towned adalah merupakan jawaban bahwa wilayah pantai berlumpur adalah
artopogenik, dimana menunjukkan kekhasan alamiah di lihat adanya pengaruh aktiv antara
laut dan darat itu sendiri. Pelumpuran yang terjadi adalah merupakan proses panjang, sehinga
wilayah estuaria sendiri mengalami banyak tekanan baik secara natural maupun human
impact terhadap sistem tersebut.
Selanjutnya, food chain di pantai berlumpur sudah banyak di eksplorasi dari beberapa
literatur terbaca bahwa di pantai-pantai Eropa dan Amerika sudah banyak dilakukan
penelitian, seperti yang dilakukan oleh Webster dan kawan-kawan pada tahun 2003, dimana
mereka mengkaji pengaruh kolom air tawar dan air laut terhadap rantai makanan juga dengan
mengklasifikasikan setiap zona-zona pantai berlumpur itu sendiri. Kemudian oleh
Johannessen pada tahun 2005 mendefinisikan siklus Krebs yang berkembang sejak tahun
1972 dan disempurnakan walaupun dilakukan dala skala kecil untuk wilayah pantai
berlumpur dan pantai secara keseluruhan.
Di Indonesia sendiri, informasi-informasi mengenai diamika fisik pantai berlumpur,
siklus karbon dan rantai makanan masih sangat kurang. Walaupun demikian makalah ini
mencoba melengkapi kekurangan informasi tersebut, akantetapi bukan bertujuan dijadikan
sebagai bahan referensi ilmiah. Makalah ini di harapkan bisa menambah wawasan sesama
peneliti untuk didiskusikan lebih lanjut dengan melakukan berbagai kajian dan pendekatan
untuk menjawab semua pernyataan-pernyataan di atas yang adalah merupakan hasil
penelusuran waktu yang terbatas.