PENDAHULUAN -...
Transcript of PENDAHULUAN -...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sastra anak diperuntukkan bagi anak-anak. Balai Pustaka adalah salah satu
penerbit pada masa Orde Baru yang kompeten pada penyediaan bacaan dan sastra
anak. Balai Pustaka memberi kesempatan kepada para penulis untuk menerbitkan
karya sastra bagi anak-anak. Pada masa awal Orde Baru, ketersediaan bacaan anak
di Indonesia terasa sangat kurang. Sastra anak yang diterbitkan oleh Balai Pustaka
selain dipergunakan sebagai sarana penyedia bacaan anak, juga sebagai sarana
pendukung jalannya roda pembangunan yang sedang berlangsung.
Kesadaran untuk membangun budaya melalui sastra anak di Indonesia
cukup besar, namun tertahan oleh keadaan ekonomi yang buruk. Itulah sebabnya
pada tahun 1970-an pemerintah mengadakan Proyek Pengadaan Buku Inpres untuk
mendorong pertumbuhan perbukuan pada umumnya dan sastra anak khususnya di
Indonesia (Sarumpaet, 2010: 11). Balai Pustaka adalah salah satu lembaga yang
menerbitkan buku-buku Inpres tersebut.
Sastra anak Balai Pustaka yang terbit pada tahun 80-an ini ditulis oleh
penulis dari berbagai wilayah di Indonesia. Biasanya para penulis adalah guru SD
dan praktisi pendidikan lainnya. Karya-karya mereka disaring melalui lomba
menulis bacaan untuk anak-anak Indonesia. Tema-tema cinta tanah air dalam wujud
yang beraneka ragam tertuang dalam karya-karya sastra tesebut. Negara dalam hal
ini melalui Balai Pustaka melakukan seleksi terhadap sastra anak yang akan
2
diterbitkan. Saat itu belum banyak bacaan anak yang tersedia, sementara negara
berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsanya. Karya-karya sastra yang
diterbitkan tersebut dinilai mampu mencerdaskan anak-anak Indonesia sekaligus
menjadi pendorong lajunya pembangunan.
Sastra anak Balai Pustaka yang terbit pada tahun 80-an menampilkan aneka
ragam tema. Sastra anak dengan tema perjuangan mengentaskan kemiskinan dan
kebodohan antara lain Penghuni Hutan Tutupan karya Sumartha (1981, 1993, dan
2007), Penyelamat Desa karya Muhd. Yacob (1982 dan 2007), Taman Sekolah
karya Manto DG (1983 dan 2007), Bunga-bunga Hari Esok karya Sasmito (1983,
1992, 1992, 1996, 2007), Jono yang Pernah Putus Sekolah karya Imam Mahfud,
B.A. (1985 dan 2007), Supiyah karya Kusaeri Ys. (1985, 1986, dan 2007), Karena
Cincin karya Yunus St. Majolelo (1986, 1992, 1994 Inp, dan 1996), dan Pendekar
Budi Tanpa Melati karya A. Muin Dulmas (1986 dan 2007). Tema-tema ini
mengetengahkan orang-orang desa yang menderita kemiskinan supaya hidup lebih
sejahtera dengan memanfaatkan program-program yang dikeluarkan oleh
pemerintah misalnya dengan adanya sekolah nonformal, menghilangkan
kepercayaan kepada alam gaib, kemandirian ekonomi, dan pengorbanan guru di
daerah terpencil dalam rangka membangun bangsanya.
Bacaan anak dengan tema perjuangan membela tanah air dari rongrongan
penjajah antara lain Magelang Kembali karya MK. Prayitno (1983 dan 2007),
Persembahan Terakhir karya Warsidi (1983 dan 2007), Pejuang-pejuang Ulet di
Lereng Sumbing karya Suprapto HP (1985 dan 2007), Pengorbanan karya Sudarmi
(1986), dan Pandu Cucu Seorang Pejuang karya A. Malik Thachir, B.A. (1986 dan
3
2007). Sastra anak dengan tema peperangan melukiskan perang fisik yang
dilakukan oleh bangsa Indonesia dengan melibatkan peranan anak-anak, misalnya
beberapa anak yang menjadi mata-mata tentara Indonesia, anak kecil atau remaja
yang ikut terjun ke medan peperangan, anak-anak yang mengisahkan perjuangan
kakeknya ketika melawan Belanda, dan sebagainya. Sastra anak dengan tema
peperangan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada masa Orde Baru ini bertujuan
untuk menanamkan cinta tanah air kepada anak-anak, antara lain berani
mempertahankan tanah air dari penjajah, menghargai sekaligus meneruskan cita-
cita perjuangan para pahlawan, tidak bergantung kepada bangsa lain, berani
berkorban untuk tanah air dan bangsa, dan sebagainya.
Jika ditinjau dari jenis-jenis bacaan anak yang pernah dikemukakan para
ahli, sastra anak terbitan Balai Pustaka tersebut termasuk jenis cerita realistik.
Cerita realistik biasanya bercerita tentang masalah-masalah sosial dengan
menampilkan tokoh utama protagonis sebagai pelaku cerita. Masalah-masalah yang
dihadapi tokoh itulah yang menjadi sumber pengembangan konflik dan alur cerita.
Konflik yang dikisahkan dapat berkaitan dengan masalah diri sendiri, orang lain,
atau sosial, dan bersifat realistik sebagaimana ditemukan dalam kehidupan sehari-
hari (Nurgiyantoro, 2005: 15).
Karya-karya di atas menampilkan kehidupan yang syarat dengan kearifan
lokal. Gotong-royong, kasih sayang dengan sesama manusia, menghormati orang
tua, mencintai desa, dan meneladani tokoh masyarakat atau pejabat yang berkuasa
dipadukan dengan program-program pembangunan yang berlandaskan Pancasila.
Namun ketika menerbitkan karya-karya ini, Balai Pustaka kurang memerhatikan
4
estetika keredaksian. Tim redaksi seakan tidak bisa menyesuaikan buku-buku yang
diterbitkan dengan anak-anak Indonesia yang akan membacanya. Berbeda dengan
buku-buku anak yang diterbitkan oleh penerbit swasta atau karya-karya terjemahan.
Mereka mempertimbangkan segi keterbacaannya bagi anak-anak dengan
menampilkan konsep tata letak yang rapi, ukuran buku yang beragam, gambar dan
warna yang menarik, dan sebagainya.
Sastra anak memiliki pengaruh besar terhadap pemikiran anak-anak yang
membacanya. Jika menilik latar pada tahun 80-an, bacaan anak yang diterbitkan
oleh Balai Pustaka seakan menjadi bacaan wajib bagi anak-anak sekolah sebab di
perpustakaan sekolah atau perpustakaan umum yang dikelola pemerintah, karya-
karya ini mudah dijumpai.
Anak merupakan objek pembangunan. Oleh karena itu, pada masa Orde
Baru pemerintah menerbitkan bacaan anak, terutama karya sastra yang sejalan
dengan nilai-nilai pembangunan kala itu. Pada tahun 80-an, Orde Baru berada
dalam masa jaya atau masa subur di mana seluruh sendi kehidupan bernegara tertata
rapi sedemikian rupa sesuai dengan kehendak pemerintah. Begitu pula bacaan anak
yang tersedia disesuaikan dengan idealisme pemerintah sebagai pelaku kuasa.
Sastra anak Balai Pustaka berada dalam “zona nyaman” mengingat pada saat itu
banyak karya-karya yang dilarang terbit. Balai Pustaka sebagai penerbit menjadi
alat strategi kuasa pemerintah Orde Baru, yaitu melahirkan karya-karya yang
mendukung wacana Orde Baru, bahkan menjadikan pembangunan Orde Baru
sebagai acuannya.
5
Sastra anak Balai Pustaka yang terbit pada tahun 80-an merupakan salah
satu bentuk strategi yang dikeluarkan oleh pemerintah Orde Baru untuk
membangun bangsanya. Ketika anak-anak berhasil mewarisi “cinta tanah air” dan
menjadi “manusia pembangunan” sebagaimana yang tertuang di dalam cerita, maka
kelak ketika dewasa mereka akan mencintai tanah airnya dengan membangun
bangsanya sebagaimana terdapat dalam sejumlah karya sastra tersebut. Dengan
demikian, sastra anak dengan tema-tema tersebut merupakan salah satu bentuk
wacana dukungan terhadap wacana yang dikembangkan oleh pemerintah Orde
Baru.
Melalui wacana yang mendominasi suatu waktu dalam sejarah dan suatu
tempat di dunia, manusia memiliki kerangka-pikir, atau pandangan dunia tertentu
(Jones, 2009: 174). Jadi ada background atau latar yang mengawali penerbitan
karya-karya ini. Para penulis yang sebagian besar adalah praktisi pendidikan adalah
pihak atau subjek yang digunakan untuk mewujudkan strategi pemerintah Orde
Baru. Para pendidik dinilai mampu untuk “menyampaikan misi pemerintah” karena
mereka terbiasa mendidik anak-anak. Hanya karya yang “sesuai” lah yang dapat
diterbitkan sehingga para penulis berlomba-lomba membuat karya yang “sesuai”
atau karya yang membangun bangsa. Mau tidak mau latar yang bersifat
“membangun” tersebut masuk ke dalam karya-karya sastra yang diterbitkan. Ada
kemungkinan karya-karya yang masuk ke redaksi Balai Pustaka tidak bisa
diterbitkan karena tidak memenangkan syarat-syarat tersebut.
Tanpa disadari sesungguhnya di dalam karya tersebut terdapat pembatasan-
pembatasan, keharusan, bahkan rekayasa, yaitu melalui media bahasa. Di dalamnya
6
terdapat semacam kewajiban atau kebolehan yang diterapkan oleh pemerintah Orde
Baru. Karya sastra anak tersebut tidak bertentangan dengan Pancasila karena
Pancasila dijadikan satu-satunya asas dalam seluruh sendi kehidupan; tetapi ada
keharusan untuk mendukungnya.
Madan Sarup mengatakan bahwa Foucault bergeser dari determinasi
linguistik ke pandangan bahwa individu dibentuk pola hubungan kekuasaan, di
mana kekuasaan menjadi prinsip realitas sosial yang tertinggi (Sarup, 2011: 111).
Tanpa disadari realitas kehidupan itu diselubungi dan dibentuk oleh kuasa yang
serba kompleks. Persebaran wacana kuasa tidak hanya terbatas pada karya sastra
anak Balai Pustaka tahun 80-an saja. Persebaran wacana kuasa Orde Baru tersebut
berlangsung dan tersebar di mana-mana dalam bentuk yang beraneka ragam,
misalnya melalui siaran televisi dan radio yang menyerukan semangat untuk
membangun bangsa dan keberhasilan pembangunan yang telah diraih, pemutaran
film-film perjuangan, peringatan hari kesaktian Pancasila sehubungan dengan
peristiwa G 30 S, pembentukan aparat keamanan di desa-desa, ABRI masuk desa,
dan program-program pemerintah lainnya.
Dari sejumlah karya sastra anak yang terbit pada masa Orde Baru, karya-
karya sastra yang dimenangkan dan berhasil diterbitkan oleh Balai Pustaka yang
dominan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru adalah Penyelamat
Desa karya Muhd. Yacob, Taman Sekolah karya Manto DG, Bunga-bunga Hari
Esok karya Sasmito, dan Pandu Cucu Seorang Pejuang karya A. Malik Thachir.
Jadi, karya-karya tersebut merupakan salah satu bentuk cara melestarikan keutuhan
negara yang dibangun oleh pemerintah Orde Baru. Di samping itu ada beberapa
7
penerbit yang menerbitkan karya-karya sastra untuk anak, misalnya penerbit Tiga
Serangkai, Gramedia, dan sebagainya.
1.2. Rumusan Masalah
Penelitian ini berusaha menjawab persoalan konstruksi yang dibangun oleh
pemerintah Orde Baru dalam sastra anak terbitan Balai Pustaka tahun 80-an, yaitu
dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Bagaimana formasi wacana kuasa Orde Baru yang melatari karya sastra anak
Balai Pustaka tahun 80-an?
2. Bagaimana konstruksi sastra anak Balai Pustaka tahun 80-an, apakah konstruksi
tersebut melawan kuasa Orde Baru, atau sebaliknya?
3. Bagaimana relasi wacana dalam sastra anak Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Teoretis
Penelitian ini bertujuan memanfaatkan teori wacana kuasa Michel Foucault
dalam kajian sastra.
1.3.2. Tujuan Praktis
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap konstruksi Orde Baru dalam
jalinan naratif sastra anak Balai Pustaka tahun 80-an. Dalam proses penelusuran
tersebut penelitian ini berusaha meneliti trik penarasian dalam merepresentasikan
Orde Baru pada karya-karya tersebut. Terkait dengan permasalahan ini, secara
khusus penelitian ini bertujuan untuk:
8
1. Mengungkap kuasa wacana Orde Baru yang dibangun dalam sastra anak
Balai Pustaka tahun 80-an.
2. Mengungkap konstruksi sastra anak Balai Pustaka, apakah konstruksi
tersebut melawan kuasa pemerintah Orde Baru, atau sebaliknya.
3. Mengungkap kemungkinan persebaran wacana dalam sastra selain Balai
Pustaka.
1.4. Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai sastra anak pernah dikemukakan oleh beberapa ahli.
Topik pertama adalah penelitian atau tulisan yang dikemukakan oleh para ahli
mengenai bacaan anak-anak. Buku berjudul Batjaan Anak-anak (Pandangan
Beberapa Achli) yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1966
mengetengahkan serba-serbi bacaan anak, misalnya bacaan anak ditinjau dari
pendidikan nasional, bacaan anak-anak dan hubungannya dengan identifikasi diri,
beberapa persoalan tentang buku bacaan anak-anak, bahan antropologi dalam
bacaan anak-anak dan remaja, sastrawan dan bacaan anak-anak, dan sebagainya.
Buku kedua adalah Serba-serbi Cerita Anak-anak (1996) yang ditulis oleh
Sugihastuti. Buku yang berisi kumpulan artikel ini mengulas sejumlah daya tarik
cerita anak-anak.
Topik kedua mengenai nilai-nilai dalam sastra anak pernah diteliti oleh
Burhan Nurgiyantoro dalam Sastra Anak, Pengantar Pemahaman Dunia Anak
(2005). Dengan menyimpulkan pendapat dari Saxby (1991, 5-10) dan Huck dkk
(1987: 6-14), peneliti membagi kontribusi sastra anak menjadi nilai personal dan
9
nilai pendidikan. Wening Udasmoro dkk. dalam penelitiannya Sastra Anak dan
Pendidikan Karakter (2012) melihat sastra anak sebagai sebuah praktik sosial dan
budaya. Sastra anak merupakan arena kontestasi yang digunakan subjek-subjek
yang berbeda untuk meraih harapan-harapan, antara lain menanamkan nilai positif
untuk mengontruksi karakter anak, di samping meraih keuntungan finansial.
Penelitian ini menambahkan kritik terhadap ideologi dan industri buku sastra anak.
Topik ketiga adalah kritik atas terbitnya buku-buku bacaan anak era Orde
Baru. Dalam penelitiannya Kajian Sastra Anak Prancis (....?) pada bagian “Seputar
Cerita Anak di Indonesia”, Siti Hariti Sastriyani mengemukakan bahwa pada
dekade 80-an, banyak sekali terbit buku-buku bacaan anak dengan judul-judul
bombastis yang sarat dengan misi pembangunan. Isi karya sastra diseragamkan
seputar melestarikan lingkungan hidup, menanamkan semangat persatuan dan
kesatuan, memberdayakan sumberdaya nabati dan hewani, dan sebagainya. Buku-
buku tersebut terasa kurang renyah untuk dinikmati karena tidak sesuai dengan
realitas keseharian dunia anak-anak. Buku tersebut terkesan menggurui karena para
penulisnya adalah para guru, pensiunan, penilik sekolah, dan praktisi pendidikan
lainnya yaitu melalui penulisan naskah buku bacaan anak yang diselenggarakan
oleh Proyek Perbukuan. Selain itu, buku dikemas kurang menarik atau asal terbit.
Buku-buku tersebut jelas kalah saing dengan buku-buku asing yang muncul dalam
terjemahan yang menarik sehingga lebih disukai anak-anak Indonesia.
Topik keempat adalah pedoman penelitian mengenai sastra anak. Riris K.
Toha-Sarumpaet dalam bukunya Pedoman Penelitian Sastra Anak (2010)
mengemukakan bahwa meneliti sastra anak dapat dilakukan melalui beberapa
10
pendekatan, di antaranya pendekatan formalis/new criticism, pendekatan
historis/sejarah, pendekatan reader-response atau pendekatan traksaksi,
pendekatan psikoanalitik, dan pendekatan feminis. Peneliti juga memberikan
gambaran bagaimana cara meneliti sastra anak, sekaligus memberikan contoh
penelitian yang sudah ada.
Topik kelima adalah sastra anak dalam hubungannya dengan cerita rakyat
Nusantara. Murti Bunanta dalam penelitiannya Problematika Penulisan Cerita
Rakyat untuk Anak di Indonesia (1998) mengambil kajian dongeng Bawang Merah
Bawang Putih. Peneliti menyimpulkan bahwa penulisan kembali cerita rakyat
untuk anak mengundang permasalahan. Cerita rakyat asalnya berbentuk lisan
sehingga mengalami perubahan dalam bentuk tulisnya. Cerita rakyat tidak
dikhususkan untuk anak-anak sehingga dianggap tidak semestinya diketahui anak,
misalnya kekerasan, erotisme, dan sebagainya. Selain itu ditemukan permasalahan
dalam hal penafsiran yang berlebihan, tema tidak digarap dengan luas, latar tempat
dan waktu kurang dipahami, penokohan hanya difokuskan pada karakteristik
tertentu saja, dan sebagainya.
Topik keenam adalah gambaran mengenai bacaan anak zaman dahulu,
terdapat dalam penelitian Christantiowati dalam Bacaan Anak Tempo Doeloe,
Kajian Pendahuluan Periode 1908-1945 (1996). Dalam kesimpulannya peneliti
menyebutkan beberapa kalangan yang menyediakan bacaan untuk anak, antara lain
percetakan negara, penerbitan missionaris, penerbitan swasta Belanda, penerbitan
Cina peranakan, penerbitan pribumi, Komisi Bacaan Rakyat, Balai Poestaka (1917-
1945), dan Kokumin Tosyokyoku (1942-1945).
11
Topik ketujuh adalah maskulinitas dalam sastra anak Balai Pustaka.
Penelitian mengenai sastra anak Balai Pustaka juga pernah dilakukan oleh Nur
Wulan dari University of Sidney dalam “Masculinities in colonial Indonesian
children’s literature” yang terdapat dalam jurnal Ex Plus Ultra volume 1 September
2009. Artikel ini memfokuskan pada representasi maskulinitas dalam tiga tipe teks-
teks yang diterbitkan oleh Balai Pustaka selama dua dekade periode kolonial, yang
meliputi karya-karya adaptasi, teks-teks Melayu, dan teks-teks Jawa. Penerbit Balai
Pustaka yang merepresentasikan subjek laki-laki pada dekade pertama abad kedua
puluh menunjukkan usaha dengan membuat tokoh laki-laki yang patuh dan tidak
mengeluh. Ini dapat dilihat pada teks-teks yang mempersembahkan karakter laki-
laki yang lebih tegas. Pada awal cerita anak yang bersifat realis memberitahukan
tentang kehidupan sehari-hari anak-anak pribumi, kemajuan tipe yang
menunjukkan laki-laki sebagai subjek adalah sangat jelas terlihat dalam kelembutan
dari kenakalan dan kesukaberterusterangan yang ditampilkan oleh tokoh protagonis
laki-laki dari teks-teks yang bersifat adaptasi. Menantang, memberanikan diri, dan
pengalaman hidup yang mengancam merupakan khas Tom dan petualangan Huck
Finn’s yang diadaptasi secara lokal. Adaptasi lokal ini memasukkan pesan-pesan
didaktis yang disampaikan lebih jauh untuk tipe ideal subjek laki-laki. Teks-teks
yang ditulis oleh penulis-penulis Sumatra cenderung untuk mengedepankan
semangat sebagai pengusaha atau perantau yang menampilkan tokoh protagonis
laki-laki yang memilik orientasi untuk masa depan dan pandai mengatur dalam
pembelanjaan uang. Teks-teks Jawa merepresentasikan nilai-nilai priyayi
terkemuka, sebagai kontrol dan kecakapan untuk mengontrol kemarahan. Balai
12
Pustaka selama tahun-tahun pertumbuhannya itu menunjukkan untuk mengisi
individualitas protagonis laki-laki dalam cerita-cerita anaknya. Dalam
perkembangan subjek-subjek laki-laki yang ideal memperlihatkan kebaikan dalam
penerapan kebijakan budaya para koloni dan sesusai dengan dugaan-dugaan
maskulinitas yang ditegakkan oleh komunitas-komunitas lokal yang mana teks
dihadirkan.
Topik kedelapan adalah penelitian mengenai hubungan wacanan kesastraan
dan kuasa Orde Baru. Marshall Alexander Clark dalam penelitiannya Wayang
Mbeling, Sastra Indonesia Menjelang Akhir Orde Baru (2008) menegaskan bahwa
Indonesia Orde Bari ditandai dengan budaya menindas, koersi, dan sensor. Kasus-
kasus pelarangan, penahanan, dan pengadilan yang melibatkan seniman dan kaum
intelektual merupakan pengalaman yang biasa. Penyair dilarang tampil di beberapa
kota, misalnya, Rendra, salah seorang penyair dan penulis skenario yang dinyatakan
sangat kritis yang muncul pada era Orde Baru, dilarang tampil di kampung
halamannya, Yogyakarta, selama beberapa tahun. Penyair terkemuka lainnya,
seperti Emha Ainun Nadjib, yang mengiklankan pembacaan puisinya dibatalkan
hanya lantaran pulpen birokrat. Penulis terkemuka, seperti Pramoedya Ananta Toer,
yang menghabiskan sebagian besar masa Orde Barunya dengan diasingkan di Pula
Buru, pulau terpencil di Indonesia Timur. Beberapa penulis lain, seperti Pipit
Rochijat, memilih mengasingkan diri di Eropa. Bahkan pada saat-saat akhir rezim
Orde Baru, para seniman – khususnya penyair seperti Wiji Thukul – harus
membayar harga yang sangat mahal untuk aktivisme budaya. Namun, segelintir
seniman bisa tetap bertahan dari budaya sensor Orde baru. Tentunya hampir
13
semuanya mengalami pembatasan keras atas beberapa kebebasan ekspresinya.
Meski, seperti seringkali terjadi di negara-negara yang represif dan otoriter di dunia
ini, untuk segelintir kecil kondisi ini mengilhami prestasi budaya yang luar biasa.
Pada akhirnya, secara meyakinkan kita bisa menyatakan bahwa sensor mengilhami
satu generasi seniman untuk menggali dan mensubversikan ekspresi budaya yang
unggul Pulau Jawa, yakni pentas wayang kulit. Sebagian besar penelitian ini
membahas upaya-upaya tertentu untuk menyesuaikan dan memperbarui cerita
pewayangan tradisional, di tengah-tengah budaya yang didukung oleh negara dan
sensor yang dipaksakan sendiri. Signifikansi dari fenomena budaya yang menyebar
ini terletak pada konteks sejarah tempat berlangsungnya penafsiran ulang
(reinterpretasi): tahun-tahun terakhir rezim Orde Baru Soeharto. Saat sensor dan
swa-sensor sebenarnya melumpuhkan impuls-impuls kritis ekspresi budaya
Indonesia, kembali pada mitologi dalam beberapa hal merupakan sarana pragmatis
untuk mengatasi badai. Cara terbaik apa untuk menyesuaikan diri dengan keadaan
yang tak menyenangkan selain kembali pada kejayaan masa lalu kaum eskapis, dan
menghidupkan kembali mitos masa kanak-kanak seseorang? Namun putaran
nostalgis juga ada, dalam artian yang lebih signifikan, merupakan usaha untuk
meruntuhkan otoritas Orde Baru. Dengan ketepatan wayang, yang oleh otoritas
rezim Orde Baru dimanipulasi untuk tujuan-tujuan politiknya, para aktivis budaya
Indonesia mampu memadukan secara sempurna senjata simbolis yang digunakan
untuk meradikalisasi lawannya.
Apakah ‘senjata simbolis’ terus melayani tujuan yang sama pada era pasca-
Orde Baru? Jawaban pertanyaan ini adalah, mungkin bisa diduga, tidak. Dengan
14
mundurnya Soeharto, rezim Orde Baru runtuh dan pembatasan kebebasan
berekspresi mengendur, para penulis Indonesia, nyaris tanpa kecuali, mengalihkan
perhatianya pada hal lain. Tak lagi kita lihat novel-novel dan cerpen-cerpen tentang
wayang, seperti yang tampak saat Orde Baru. Demikian pula, kolom wayang
mbeling yang menghasut tidak lagi muncul di koran-koran metropolitan. Meski,
wayang tetap sangat populer, relevan dan inovatif (Mrázek, 2002), dan ekspresi
budaya pada era pasca-Orde baru tetap hidup dan ada di mana-mana (Ajidarma,
2002; Lindsay, 2005). Lebih jauh lagi, sastra, sebagai kesadaran kritis atas negara,
masih mempunyai peran yang bisa dimainkan, meski – atau tepatnya dikarenakan
– kurangnya fokus oposisi yang homogen pada era pasca-Soeharto, pada sastra
Indonesia, media dan ekspresi budaya yang lebih luas, kita dapat melihat awal
optimisme, suatu budaya plural yang baru, dan hidupnya lagi rasa penyimpangan
sosial. jelas iklim budaya Indonesia berubah semakin baik sejak berakhirnya rezim
Orde Baru. Meski, tuntutan bahwa produksi dan diskusi seni Indonesia – dan
khususnya sastra- harus dijalankan dengan syarat komitmen sosialnya tetap
tumbuh.
Jelaslah bahwa ekspresi budaya Indonesia menyisakan sepenuhnya saluran
dan sarana publik bagi kritik politik dan sosial dan pertentangan budaya. Tentu saja
generasi penerus para penulis, seniman, pembuat film, dan musisi Indonesia juga
akan mencari bahasa dan gaya penentangan dan perlawanannya sendiri. Sensasi
pemerintahan, presiden dan media akan datang dan pergi. Episode-episode teror,
koersi, dan bencana alam mungkin pula terjadi. Bayangan hitam komunisme,
pembunuhan masal tahun 1960-an, dan trauma kekerasan di era Orde Baru akan
15
tetap hidup. Kita hanya butuh kesabaran untuk melihat bagaimana memori
individual, kolektif, dan budaya mengingatkan akan pengalaman-pengalaman
tersebut (Clark, 2008: 197-199).
Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, belum ada penelitian mengenai
karya-karya sastra anak di Indonesia, khususnya sastra anak Balai Pustaka tahun
80-an yang dikaji menggunakan teori kuasa wacana Michel Foucault.
1.5. Landasan Teori
1.5.1. Wacana Kuasa
Foucault mengemukakan kekuasaan merupakan sebutan yang diletakkan
pada keadaan, cara-cara, keberagaman, situasi yang kompleks dan sulit
didefinisikan atau dipetakan. Kekuasaan tidak terletak pada hubungan dualisme
antara hukum yang ada dan kekuasaan yang memegangnya, atau hubungan
dualisme antara pemberontakan dan cara mempertahankan. Foucault
mengungggulkan yang disebut “kekuasaan kontra” atau kekuasaan yang
bertentangan atau berbeda, tidak lazim, tidak normal, yang membentuk seluruh fisik
mikro dari berbagai kekuasaan. Jadi, fisik mikro terdiri dari berbagai kekuasaan
yang mengandung kontra atau keberbedaan dari kelaziman pada umumnya
(Foucault, 2008: 11).
Foucault akan memperkenalkan suatu pengertian yang mampu
memperhitungkan berbagai perubahan dan transformasi budaya. Itulah yang
disebut pengertian episteme, yaitu himpunan berbagai kaidah yang melandasi dan
mengatur produksi wacana pada suatu masa tertentu (Foucault, 2008: 12).
16
Foucault mempopulerkan kondisi produk sosial melalui istilah wacana atau
diskursif. ... wacana adalah sekaligus alat dan dampak kekuasaan, dan juga
hambatan, sandungan, titik perlawanan dan titik awal dari strategi yang berlawanan.
Wacana menyampaikan dan menghasilkan kekuasaan; wacana memperkokohnya
tetapi sekaligus mengikisnya; memaparkannya, membuatnya rentan dan
memungkinkannya untuk dihambat (Foucault, 2008: 131). Kondisi sosial dipenuhi
dengan keanekaragaman wacana yang saling bertumpang tindih, saling
bertentangan, saling mendukung, atau tidak ada hubungannya sama sekali. Wacana
diciptakan melalui proses sosial yang serba kompleks. Wacana yang meluncur di
tengah-tengah kehidupan sosial akan disambut dengan wacana baru, baik yang
bertentangan, mendukung, atau tidak bersinggungan. Wacana-wacana baru sebagai
sambutan dari wacana awal berkemungkinan memperkokoh, menghambat, bahkan
menguburkan wacana lama.
1.5.2. Kesatuan-kesatuan Wacana
Foucault (2012: 60) memperkenalkan adanya kesatuan-kesatuan wacana.
Foucault mengemukakan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan
diskursus tidak pernah ada akhirnya. Apa yang diutarakan dalam wacana itu bisa
dijelaskan dengan pengutaraan yang lain. Oleh karena itu jika kita menganalisis
suatu wacana kita harus mempelajari atau menerima pernyataan itu ketika pertama
kali muncul. Lalu menemukan faktor-faktor yang membuatnya muncul atau eksis
di tengah-tengah masyarakat, dijelaskan batas-batas wacana tersebut, sekaligus
menentukan hubungan-hubungannya dengan wacana lain yang berkembang saat
itu. Di balik sebuah wacana yang tumbuh di tengah masyarakat, tidak akan dicari
17
wacana-wacana lain yang mungkin terkandung di dalamnya. Bahwa wacana yang
satu dengan yang lain itu berbeda. Di dalam sebuah wacana tidak didapat dalam
wacana yang lain.
1.5.3. Tatanan Wacana
Teori Foucault mengenai tatanan wacana berangkat dari hipotesis bahwa
dalam setiap masyarakat produksi wacana selalu sekaligus dikontrol, diseleksi,
diorganisasi, dan didistribusikan dengan sejumlah prosedur yang peranannya
adalah untuk mengawasi kuasa-kuasa dan bahaya-bahayanya, untuk memperoleh
penguasaan atas peristiwa-peristiwanya yang bersifat kebetulan, untuk
menghindarkan materialitasnya yang berat dan membosankan (Faruk, 2012: 242).
Salah satu prosedur dalam produksi wacana itu adalah eksklusi yang antara
lain, berupa pelarangan. Ada tiga jenis pelarangan yang, menurut Foucault, saling
berinteraksi, saling memperkuat, dan saling melengkapi, yaitu (a) larangan objektif,
tidak semua orang mempunyai hak untuk berbicara mengenai semua hal, (b)
larangan kontekstual, orang tidak boleh berbicara mengenai segala sesuatu di
sembarang kesempatan, dan (c) larangan subjektif, tidak semua orang mempunyai
hak untuk berbicara mengenai segala sesuatu (Faruk, 2012: 241).
Berbagai larangan itu menunjukkan bahwa wacana terkait dengan hasrat
dan kuasa (Faruk, 2012: 242). Prinsip eksklusi yang lain adalah pemisahan dan
penolakan (Faruk, 2012: 243). Sistem eksklusi yang ketiga adalah gagasan
mengenai yang benar dan salah (Faruk, 2012: 243).
Selain prosedur eksternal, terdapat juga prosedur internal yang berfungsi
untuk mengontrol dan membatasi wacana. Prosedur-prosedur internal diperlukan
18
karena wacana-wacana itu sendiri melaksanakan kontrolnya sendiri dengan antara
lain sistem klasifikasi, penataan, dan pendistribusian (Faruk, 2012: 244).
Foucault juga mengemukakan adanya bentuk represi. Represi bukanlah cara
memahami bagaimana kekuasaan beroperasi melalui wacana-wacana. Represi
merupakan salah satu bentuk penekanan terhadap kemunculan wacana tertentu.
Foucault mengemukakan beberapa ciri pokok, yakni hubungan negatif, instansi
aturan, siklus larangan, logika sensor, dan kekuasaan perangkat (Foucault, 2008:
110-112).
Hubungan negatif. Kekuasaan yang berlangsung di dalam suatu wilayah
atau bidang tidak dapat menghambat atau mengekang terhadap munculnya wacana
tertentu, meskipun kekuasaan itu tidak menunjukkan bahwa wacana yang lain tidak
hadir atau muncul di situ. Masing-masing wacana memiliki batas tersendiri. Antara
wacana satu dengan yang lain terikat pada batasannya masing-masing. Sehingga
dampak yang diperoleh bagi kekuasaan hanyalah munculnya batasan-batasan
tersebut.
Instansi aturan. Kekuasaan menentukan adanya hukum dalam produk sosial
tertentu, salah satunya pada bidang bacaan anak. Pertama, bacaan anak ditempatkan
oleh kekuasaan dalam sistem biner: diperbolehkan-dilarang, bermanfaat bagi
negara-tidak bermanfaat, dan sebagainya. Kemudian kekuasaan akan menentukan
bagi sastra atau bacaan anak tersebut mengenai pedoman atau aturan tertentu yang
sekaligus bertugas memberi bentuk kejelasan. Sastra atau bacaan anak akan
diuraikan berdasarkan suatu hukum tertentu.
19
Terakhir, kekuasaan mengeluarkan aturan atau hukum sebagai bentuk
ucapan sang kuasa. Kekuasaannya dalam kancah sastra anak dilakukan
menggunakan media bahasa sekaligus melalui wacana. Undang-undang atau
kebijakan negara merupakan bentuk murni kekuasaan. Termasuk bagaimana cara-
cara yang dilakukan dalam hubungannya dengan karya sastra anak. Cara
perwujudannya adalah melalui proses yang bersifat yuridis-kewacanaan.
Siklus larangan. Kekuasaan yang sedang berlangsung menjadikan hukum
larangan sebagai tindak fungsionalnya. Semua itu bertujuan supaya karya sastra
anak yang berkembang dapat menyangkal dirinya sendiri. Bentuk sangkalan antara
lain munculnya alasan mengapa instansi atau lembaga penerbit mengeluarkan karya
tertentu. Alat yang digunakan oleh kekuasaan adalah berupa dorongan, dukungan,
pendanaan; bahkan adanya ancaman, hukuman, bahkan pelarangan atau
pemusnahan.
Logika sensor. Larangan yang dimasud adalah ketegasan bahwa suatu karya
atau wacana tertentu tidak boleh beredar, harus dikekang, tidak diizinkan terbit lagi,
disangkal, tidak dikatakan, dan sebagainya.
Kekuasaan perangkat. Kekuasaan mengenai wacana tertentu diterapkan
secara merata di segala tataran. Termasuk dalam karya sastra anak-anak. Kekuasaan
berkembang di dalam segala bentuk karya sastra anak, segala genre, segala penerbit
atau lembaga, dan sebagainya.
Gagasan tentang suatu energi yang berontak, yang harus dibungkam, bagi
mereka tampak tidak memadai untuk memerinci cara penyampaian kekuasaan dan
hasrat. Mereka menganggap bahwa kekuasaan dan hasrat itu berkaitan dengan cara
20
yang lebih rumit dan lebih bersifat kodrati daripada permainan antara, di satu pihak,
suatu energi liar, alami dan hidup, yang naik terus-menerus dari bawah dan, di pihak
lain, suatu perintah dari atas yang berusaha menghalanginya; tidak perlu mereka-
reka bahwa hasrat ditindas, mengingat bahwa hukum pembentuk hasrat dan
kekosonganlah yang menegakkannya. Hubungan kekuasaan memang sudah hadir
di mana hasrat hadir; jadi, salah kita sendiri jika kita dituding sebagai yang
bertanggung jawab dalam represi yang tampil sesudahnya; namun percuma juga
jika kita menyelidiki hasrat tanpa mempertimbangkan kekuasaan (Foucault, 2008:
108). Berbagai produk sosial yang tumbuh di masyarakat merupakan manifestasi
dari energi yang selama ini tidak tampak di permukaan. Ada kaitan erat antara
produk sosial tersebut dengan kekuasaan yang melingkupinya.
Foucault pernah memberikan kritik terhadap lembaga-lembaga politis yang
muncul pada abad ke-19. Kritik yang diberikan jauh lebih radikal dengan tujuan
bukan hanya menunjukkan bahwa kekuasaan yang nyata lolos dari aturan hukum,
tetapi menunjukkan bahwa sistem hukum hanyalah suatu cara dan alat untuk
melegalkan kekerasan. Sistem hukum tersebut memfungsikan dirinya untuk
melestarikan dominasi tentang ketidaksejajaran atau ketidakadilan dengan
mengacukan diri pada hukum yang berlaku secara umum atau universal dalam
cakupan kekuasaan tersebut (lihat Foucault, 2008: 117).
1.5.4. Objek-objek Wacana
Foucault juga mengemukakan bentuk-bentuk objek. Ia mampertanyakan
apakah ada kemungkinan objek-objek yang ada ditempatkan secara berurutan
supaya tertata kemudian bisa memperlihatkan kemungkinan celah-celah dan di
21
bagian lain mengandung banyak informasi. Yang mengatur semua itu supaya bisa
disebut objek diskursus antara lain (a) Memetakan permukaan kemunculan (surface
of emergence) objek-objek tersebut pertama kali, (b) Mendeskripsikan otoritas yang
terdapat di dalam pembatasan-pembatasan ini (Foucault, 2012: 84). (c)
Menganalisa jaringan spesifikasi (Foucault, 2012: 85).
Kemunculan suatu objek dalam ranah dan waktu tertentu perlu dipetakan.
Berdasarkan rasionalitas, kode-kode, atau syarat-syarat kemunculannya, di sana
terletak perbedaan antara satu objek wacana dengan objek wacana yang lain.
Masing-masing objek memiliki batasan-batasan tertentu yang dibentuk oleh
otoritas yang menguasainya. Perlu ditemukan sumbernya, peranannya, pihak yang
bermain di dalamnya, dan tujuannya mengapa otoritas tententu melakukan
pembatasan-pembatasan terhadap objek yang diciptakannya. Objek diskursus itu
memiliki jaringan spesifikasi yang berasal dari pertentangan, pengelompokan,
pengklasifikasian tertentu sehingga ia terbentuk menjadi objek yang mengandung
wacana yang berbeda dengan objek lain.
Berdasarkan bentuk-bentuk objek di atas, Foucault mengemukakan
beberapa catatan dan konsekuensi.
1. Syarat yang harus dipenuhi bagi penampakan sebuah objek diskursus
(Foucault, 2012: 89). Foucault mengemukakan perlunya syarat historis jika ingin
membicarakan apa saja mengenai suatu objek diskursus, termasuk bagaimana orang
lain membicarakan objek wacana yang sama. Juga diperlukan syarat-syarat yang
tepat untuk memastikan adanya hubungan antara objek tersebut dengan objek lain,
22
apakah relasi tersebut berjauhan, berdekatan, serupa, sama, bentuk transformasinya,
jaraknya, dan sebagainya sejauh kita mengetahuinya.
2. Relasi-relasi ini terdapat di antara institusi-instutusi, peroses-proses
ekonomi dan sosial, pola-pola tingkah laku, sistem norma, teknik, tipe-tipe
klasifikasi, pola-pola karakterisasi; relasi-relasi ini tidak hadir dalam objek; tidak
berperan ketika satu objek dianalisa, relasi tersebut tidak menandakan adanya
jaringan, rasionalitas imanen (Foucault, 2012: 90). Relasi antara satu wacana
dengan wacana yang lain tidak terletak di dalam objek yang hadir dari masing-
masing wacana. Relasi terletak di antara isntitusi-institusi yang membentuknya,
proses-proses sosial yang terjadi di masyarakat, tingkah laku, sistem atau aturan
masyarakat, dan sebagainya.
3. Relasi-relasi ini pertama-tama harus dibedakan dari apa yang kita sebut
relasi-relasi “primer”, dan secara independen dalam setiap diskursus dan objek
diskursus bisa digambarkan terjadi antara institusi, teknik, bentuk-bentuk sosial,
dan lain-lain (Foucault, 2012: 90). Relasi-relasi tersebut tidak terletak pada satu
relasi garis besar tentang produk sosial tertentu.
4. Relasi-relasi diskursif bukanlah bagian internal dari diskursus. Relasi-
relasi ini tidak menghubungkan konsep atau kata-kata satu sama lain, dia tidak
membentuk struktur deduksi atau retoris antara proposisi dengan kalimat (Foucault,
2012: 91). Relasi yang terbangun di antara berbagai wacana bukanlah bagian dari
wacana tersebut. Konsep-konsep yang terdapat di dalam wacana tidak dihubungkan
oleh relasi antarwacana. Konsep-konsep tersebut tidak membentuk struktur
23
wacana, misalnya terdapat dalam struktur kalimat, pernyataan, atau ungkapan-
ungkapan yang mengandung wacana.
1.5.5. Lembaga Kekuasaan
Foucault juga mengemukakan adanya lembaga kekuasaan yang menaungi
berkembangnya wacana tertentu. Foucault mengungkapkan, “... - alasannya adalah
lembaga itu ditampilkan sebagai instansi pengatur, perantara, pembatas, sebagai
suatu cara untuk menata hubungan di antara berbagai kekuasaan itu, untuk
menetapkan suatu asas untuk melemahkannya dan mendistribusikannya
berdasarkan batas-batas dan hierarki yang mapan (Foucault, 2008: 115).
Lembaga-lembaga seperti negara, penerbit, atau instansi lainnya
ditampilkan sebagai pihak yang memberikan pembatasan atau pihak yang
mengeluarkan regulasi terhadap suatu produk sosial, termasuk karya sastra untuk
anak-anak yang tercakup dalam wilayah kekuasaannya. Kekuasaan juga memiliki
peranan dalam menata hubungan di antara berbagai wacana yang terdapat di
dalamnya, melemahkan suatu wacana, mendistribusikan wacana, atau memancing
munculnya wacana-wacana yang lain.
Foucault mengungkapkan, “Dibandingkan dengan berbagai kekuatan yang
harus dihadapinya, berbagai bentuk lembaga kekuasaan itu telah berfungsi sebagai
asas hukum yang berada lebih tinggi daripada hukum heterogen, dengan tiga ciri
yaitu membentuk diri sendiri sebagai kesatuan, menyamakan kehendaknya dengan
hukum, dan berfungsi melalui berbagai mekanisme larangan dan sanksi (Foucault,
2008: 115).
24
Banyak kekuatan yang harus dihadapi oleh kekuasaan. Namun
dibandingkan berbagai kekuatan tersebut, lembaga-lembaga yang memegang kuasa
tersebut memfungsikan dirinya sebagai hukum, pengatur, pembuat kebijakan, dan
sebagainya yang memposisikan dirinya lebih tinggi dibanding satu hukum yang
berlaku untuk banyak hal.
Lembaga kekuasaan membentuk dirinya sebagai kesatuan. Ia akan
memposisikan kehendaknya setara dengan hukum, serta memfungsikan dirinya
melalui larangan dan sanksi. Dalam kasus karya sastra anak, lembaga kekuasaan
yang membentuk dirinya sebagai satu kesatuan antara lain negara melalui dinas
pendidikan, penerbit, sekolah-sekolah, dan sebagainya. Masing-masing dikenal
sebagai satu kesatuan. Kesatuan dinas pendidikan dan kebudayaan berbeda dengan
kesatuan yang lain. Penerbit Balai Pustaka adalah kesatuan. Berbeda dengan
penerbit lain, dan sebagainya. Lembaga-lembaga ini akan menyamakan
kedudukannya dengan hukum, misalnya hukum negara, hukum yang berlaku di
wilayah tertentu, dan sebagainya. Masing-masing menetapkan sesuatu yang
dilarang dan mengeluarkan sanksi.
1.5.6. Hubungan Antarwacana
Sebuah wacana muncul berdampingan dengan wacana-wacana yang lain
yang berada dalam lingkup suatu kuasa tertentu. Berbagai wacana yang ada
berhubungan satu sama lain dalam lingkup kekuasaan. Bisa saja di antara berbagai
wacana tersebut terdapat pertentangan-pertentangan meskipun menggunakan
strategi yang sama dalam rangka mengembangkan wacananya masing-masing.
25
Sebaliknya, antara dua wacana atau lebih menggunakan strategi yang berlawanan
meski memuat mengandung wacana yang sama (lihat Foucault, 2008: 132).
Dalam formasi-formasi diskursif, Foucault mengemukakan empat hipotesa.
Hipotesa pertama – yang muncul ke hadapan saya sebagai sesuatu yang terlihat
sangat mudah dibuktikan- yaitu bentuk-bentuk pernyataan itu berbeda-beda dan
berada dalam waktu yang berlainan pula (Foucault, 2012: 67). Wacana
mengandung pernyataan-pernyataan yang berfungsi melaksanakan strategi-strategi
tertentu sebagai perwujudannya. Masing-masing pernyataan tersebut tidak
mengandung maksud yang sama dan beroperasi dalam waktu yang berlainan pula.
Hipotesa kedua mencoba untuk mendefinisikan sekelompok relasi yang
terjadi antar pernyataan-pernyataan: yakni bentuk dan tipe-tipe hubungan
(connexion) antara mereka (Foucault, 2012: 70). Antara pernyataan satu dengan
pernyataan lain dalam satu wacana atau lebih tercipta relasi. Relasi tersebut bisa
dilacak setelah ditemukan bentuk-bentuk dan tipe hubungan di antara wacana
tersebut. Tipe hubungan misalnya saling berlawanan, bertentangan, senada, dan
sebagainya.
Dengan riset dan hipotesa lain: apakah tidak mungkin menciptakan
kelompok-kelompok pernyataan dengan cara menentukan sistem konsep-konsep
yang permanen dan padu (koheren)? (Foucault, 2012: 72). Di antara berbagai
bentuk pernyataan tersebut dapat dipilah-pilah berdasarkan konsep-konsep yang
saling terkait satu sama lain yang terdapat di dalamnya.
Terakhir, Foucault mengelompokkan pernyataan-pernyataan yang
terkandung dalam wacana tersebut, kemudian membuat deskripsi
26
antarhubungannya, kemudian menjelaskan bentuk-bentuk yang terlihat, termasuk
mengidentifikasi adanya tema-tema yang teratur atau ajeg (lihat Foucault, 2012:
73).
1.5.7. Modalitas-modalitas Penyampaian
Mengenai pembentukan modalitas-modalitas penyampaian, Foucault
terlebih dahulu menemukan hukum-hukum operasi yang berlaku di balik
pernyataan-pernyataan ini serta menentukan dari mana mereka datang. (a)
Pertanyaan pertama, siapa yang berbicara? Di antara totalitas individu yang bicara,
siapa yang punya hak untuk berbicara dalam bahasa “ini” (language). Siapa yang
kualifaid untuk itu? (Foucault, 2012: 98). Siapa yang berbicara merupakan
perwujudan siapa yang menyampaikan wacana. Subjek memanifestasikan wacana
melalui ujaran atau bahasa. Bahasa tersebut tampil dalam wujudnya yang beragam,
misalnya siaran berita, buku, rumor di masyarakat, dan sebagainya. Pihak yang
menyampaikan adalah pihak yang memiliki kuasa terhadap massa tertentu yang
menjadi cakupan wilayah kekuasaannya.
(b) Kita juga harus mendeskripsikan situs-situs institusional tempat para
dokter membuat diskursus mereka, dan dari sinilah diskursus tersebut menerima
sumber-sumber serta titik-titik aplikasinya (objek-objek spesifik dan instrumen-
instrumen verifikasinya) (Foucault, 2012: 100). Situs-situs institusional yang
membuat diskursus antara lain negara melalui lembaganya, penerbit, sekolah-
sekolah, atau para penulis. Mereka terikat akan tempat di mana mereka eksis
sehingga mengeluarkan wacana tertentu yang berkaitan erat dengan asal mula
27
mereka. Setelah itu akan ditemukan titik-titik aplikasi, ditujukan bagi subjek siapa
serta peralatan yang mereka gunakan.
(c) Posisi dari satu subjek juga ditentukan oleh situasi yang memungkinkan
dia bertindak dalam kaitannya dengan berbagai domain dan kelompok objek-objek:
dilihat dari pengetahuannya tentang penyelidikan, eksplisit atau implisit, dia adalah
subjek yang bertanya (mencari tahu); dilihat dari susunan informasi yang
diterimanya, dia adalah subjek yang mendengar; berdasarkan tipe-deskriptif, dia
adalah subjek yang mengamati (Foucault, 2012: 102). Posisi dari satu subjek juga
ditentukan oleh situasi yang memungkinkan dia bertindak dalam kaitannya dengan
berbagai domain dan kelompok objek-objek: dilihat dari pengetahuannya tentang
penyelidikan, eksplisit atau implisit, dia adalah subjek yang bertanya (mencari
tahu); dilihat dari susunan informasi yang diterimanya, dia adalah subjek yang
mendengar; berdasarkan tipe-deskriptif, dia adalah subjek yang mengamati
Untuk menganalisis wacana-wacana yang mendominasi objek tertentu
maka harus diketahui landasan di mana kekuasaan itu berada dan mendominasinya.
Subjek memiliki strategi-strategi tertentu untuk membentuk atau menciptakan
realitas dengan tujuan untuk melestarikan kuasa atau keberlangsungan subjek.
Strategi tersebut menjadi latar belakang terciptanya sesuatu. Realitas tersebut dapat
berupa dukungan atau perlawanan terhadap wacana kuasa yang sedang
berlangsung. Kuasa tersebut tidak terjadi dalam bentuk tunggal, melainkan
berlangsung dan tersebar ke mana-mana dengan bentuk yang beraneka ragam.
28
1.6. Metode Penelitian
1.6.1. Jenis Penelitian
Metode penelitian merupakan cara kerja untuk memahami objek yang akan
diteliti. Jenis penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif.
1.6.2. Objek Kajian
Objek penelitian dibagi menjadi dua, yaitu objek formal dan objek material.
Objek formal meliputi wacana kuasa Orde Baru yang dibangun dalam sastra anak
terbitan Balai Pustaka tahun 80-an. Objek material adalah bacaan anak terbitan
Balai Pustaka tahun 80-an, yaitu Penyelamat Desa karya Muhd. Yacob, Taman
Sekolah karya Manto DG, Bunga-bunga Hari Esok karya Sasmito, dan Pandu Cucu
Seorang Pejuang karya A. Malik Thachir.
1.6.3. Jenis Data
Jenis data merupakan segala informasi yang menyangkut aspek karya sastra,
media karya sastra itu dilahirkan, dan konstruksi yang terdapat di dalamnya.
1.6.4. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu sumber primer
dan sumber sekunder. Sumber primer terdiri dari karya-karya sastra anak terbitan
Balai Pustaka yang terbit tahun 80-an, yakni Penyelamat Desa karya Muhd. Yacob,
Taman Sekolah karya Manto DG, Bunga-bunga Hari Esok karya Sasmito, dan
Pandu Cucu Seorang Pejuang karya A. Malik Thachir. Sumber sekunder dalam
penelitian ini meliputi seluruh pustaka yang memiliki relevansi dan mendukung
29
tema penelitian ini, misalnya penelitian yang pernah ada, artikel ilmiah, koran,
website/internet, dan lain-lain.
1.6.5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi teknik observasi
dan penelusuran pustaka. Teknik observasi dilakukan dengan membaca dan
mencatat seluruh informasi yang didapat dari data primer. Teknik penelusuran
pustaka dilakukan dengan mengumpulkan, membaca, dan mencatat informasi dari
data sekunder.
1.6.6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dilakukan dengan pengklasifikasian kemudian diambil
empat karya, yaitu Penyelamat Desa karya Muhd. Yacob, Taman Sekolah karya
Manto DG, Bunga-bunga Hari Esok karya Sasmito, dan Pandu Cucu Seorang
Pejuang karya A. Malik Thachir. Tahap selanjutnya adalah interaksi antardata.
Aspek-aspek dalam karya-karya tersebut dihubungkan dengan wacana kuasa yang
sedang berlangsung ketika karya-karya tersebut diterbitkan. Tahap interpretasi
digunakan untuk sastra anak Balai Pustaka terbitan tahun 80-an berdasarkan
wacana kuasa Michel Foucault.
Menurut Faruk (2012: 250-251), langkah-langkah metodologis yang
dilakukan bagi analisis wacananya adalah sebagai berikut. Pertama, prinsip
pembalikan, yakni dengan melihat adanya suatu pemotongan dan penyaringan
wacana. Kedua, prinsip diskontinuitas, yakni prinsip yang menyangkut kesediaan
menempatkan aneka wacana di dalam masyarakat bukan sekadar sebagai yang
ditekankan oleh wacana utama, melainkan terutama sebagai wacana yang tidak
30
berkesinambungan, yang saling melintasi, saling berjajar, tetapi juga saling
mengeksklusi dan tidak saling kenal. Ketiga, prinsip spesifitas, yakni anggapan
bahwa wacana merupakan sebuah tindakan kekerasan yang dilakukan manusia
terhadap benda-benda, suatu praktik yang dipaksakan pada benda-benda itu, dan,
dalam praktik itulah, peristiwa-peristiwa wacana menemukan prinsip
regularitasnya. Keempat, prinsip eksterioritas, yakni menyangkut perlunya
memerhatikan kondisi-kondisi eksternal yang memungkinkan wacana,
pemunculannya, regularitasnya, apa yang membangkitkan serangkaian peristiwa-
peristiwa itu dan apa yang akan mengukuhkan batas-batasnya.
1.7. Sistematika Penyajian
Penelitian ini terdiri atas lima bab. Bab pertama mendiskusikan latar
belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori,
metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab dua menguraikan formasi
wacana kuasa Orde Baru yang melatari sastra anak Balai Pustaka terbitan tahun 80-
an. Bab tiga menguraikan narasi dan konstruksi wacana Orde Baru yang terdapat
dalam sastra anak Balai Pustaka tahun 80-an. Bab empat menguraikan jalinan
wacana kuasa dalam sastra anak Balai Pustaka tahun 80-an. Bab lima menguraikan
relasi wacana dalam sastra anak Indonesia. Bab enam adalah penutup atau
kesimpulan penelitian.