PENDAHULUAN -...

30
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sastra anak diperuntukkan bagi anak-anak. Balai Pustaka adalah salah satu penerbit pada masa Orde Baru yang kompeten pada penyediaan bacaan dan sastra anak. Balai Pustaka memberi kesempatan kepada para penulis untuk menerbitkan karya sastra bagi anak-anak. Pada masa awal Orde Baru, ketersediaan bacaan anak di Indonesia terasa sangat kurang. Sastra anak yang diterbitkan oleh Balai Pustaka selain dipergunakan sebagai sarana penyedia bacaan anak, juga sebagai sarana pendukung jalannya roda pembangunan yang sedang berlangsung. Kesadaran untuk membangun budaya melalui sastra anak di Indonesia cukup besar, namun tertahan oleh keadaan ekonomi yang buruk. Itulah sebabnya pada tahun 1970-an pemerintah mengadakan Proyek Pengadaan Buku Inpres untuk mendorong pertumbuhan perbukuan pada umumnya dan sastra anak khususnya di Indonesia (Sarumpaet, 2010: 11). Balai Pustaka adalah salah satu lembaga yang menerbitkan buku-buku Inpres tersebut. Sastra anak Balai Pustaka yang terbit pada tahun 80-an ini ditulis oleh penulis dari berbagai wilayah di Indonesia. Biasanya para penulis adalah guru SD dan praktisi pendidikan lainnya. Karya-karya mereka disaring melalui lomba menulis bacaan untuk anak-anak Indonesia. Tema-tema cinta tanah air dalam wujud yang beraneka ragam tertuang dalam karya-karya sastra tesebut. Negara dalam hal ini melalui Balai Pustaka melakukan seleksi terhadap sastra anak yang akan

Transcript of PENDAHULUAN -...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sastra anak diperuntukkan bagi anak-anak. Balai Pustaka adalah salah satu

penerbit pada masa Orde Baru yang kompeten pada penyediaan bacaan dan sastra

anak. Balai Pustaka memberi kesempatan kepada para penulis untuk menerbitkan

karya sastra bagi anak-anak. Pada masa awal Orde Baru, ketersediaan bacaan anak

di Indonesia terasa sangat kurang. Sastra anak yang diterbitkan oleh Balai Pustaka

selain dipergunakan sebagai sarana penyedia bacaan anak, juga sebagai sarana

pendukung jalannya roda pembangunan yang sedang berlangsung.

Kesadaran untuk membangun budaya melalui sastra anak di Indonesia

cukup besar, namun tertahan oleh keadaan ekonomi yang buruk. Itulah sebabnya

pada tahun 1970-an pemerintah mengadakan Proyek Pengadaan Buku Inpres untuk

mendorong pertumbuhan perbukuan pada umumnya dan sastra anak khususnya di

Indonesia (Sarumpaet, 2010: 11). Balai Pustaka adalah salah satu lembaga yang

menerbitkan buku-buku Inpres tersebut.

Sastra anak Balai Pustaka yang terbit pada tahun 80-an ini ditulis oleh

penulis dari berbagai wilayah di Indonesia. Biasanya para penulis adalah guru SD

dan praktisi pendidikan lainnya. Karya-karya mereka disaring melalui lomba

menulis bacaan untuk anak-anak Indonesia. Tema-tema cinta tanah air dalam wujud

yang beraneka ragam tertuang dalam karya-karya sastra tesebut. Negara dalam hal

ini melalui Balai Pustaka melakukan seleksi terhadap sastra anak yang akan

2

diterbitkan. Saat itu belum banyak bacaan anak yang tersedia, sementara negara

berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsanya. Karya-karya sastra yang

diterbitkan tersebut dinilai mampu mencerdaskan anak-anak Indonesia sekaligus

menjadi pendorong lajunya pembangunan.

Sastra anak Balai Pustaka yang terbit pada tahun 80-an menampilkan aneka

ragam tema. Sastra anak dengan tema perjuangan mengentaskan kemiskinan dan

kebodohan antara lain Penghuni Hutan Tutupan karya Sumartha (1981, 1993, dan

2007), Penyelamat Desa karya Muhd. Yacob (1982 dan 2007), Taman Sekolah

karya Manto DG (1983 dan 2007), Bunga-bunga Hari Esok karya Sasmito (1983,

1992, 1992, 1996, 2007), Jono yang Pernah Putus Sekolah karya Imam Mahfud,

B.A. (1985 dan 2007), Supiyah karya Kusaeri Ys. (1985, 1986, dan 2007), Karena

Cincin karya Yunus St. Majolelo (1986, 1992, 1994 Inp, dan 1996), dan Pendekar

Budi Tanpa Melati karya A. Muin Dulmas (1986 dan 2007). Tema-tema ini

mengetengahkan orang-orang desa yang menderita kemiskinan supaya hidup lebih

sejahtera dengan memanfaatkan program-program yang dikeluarkan oleh

pemerintah misalnya dengan adanya sekolah nonformal, menghilangkan

kepercayaan kepada alam gaib, kemandirian ekonomi, dan pengorbanan guru di

daerah terpencil dalam rangka membangun bangsanya.

Bacaan anak dengan tema perjuangan membela tanah air dari rongrongan

penjajah antara lain Magelang Kembali karya MK. Prayitno (1983 dan 2007),

Persembahan Terakhir karya Warsidi (1983 dan 2007), Pejuang-pejuang Ulet di

Lereng Sumbing karya Suprapto HP (1985 dan 2007), Pengorbanan karya Sudarmi

(1986), dan Pandu Cucu Seorang Pejuang karya A. Malik Thachir, B.A. (1986 dan

3

2007). Sastra anak dengan tema peperangan melukiskan perang fisik yang

dilakukan oleh bangsa Indonesia dengan melibatkan peranan anak-anak, misalnya

beberapa anak yang menjadi mata-mata tentara Indonesia, anak kecil atau remaja

yang ikut terjun ke medan peperangan, anak-anak yang mengisahkan perjuangan

kakeknya ketika melawan Belanda, dan sebagainya. Sastra anak dengan tema

peperangan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada masa Orde Baru ini bertujuan

untuk menanamkan cinta tanah air kepada anak-anak, antara lain berani

mempertahankan tanah air dari penjajah, menghargai sekaligus meneruskan cita-

cita perjuangan para pahlawan, tidak bergantung kepada bangsa lain, berani

berkorban untuk tanah air dan bangsa, dan sebagainya.

Jika ditinjau dari jenis-jenis bacaan anak yang pernah dikemukakan para

ahli, sastra anak terbitan Balai Pustaka tersebut termasuk jenis cerita realistik.

Cerita realistik biasanya bercerita tentang masalah-masalah sosial dengan

menampilkan tokoh utama protagonis sebagai pelaku cerita. Masalah-masalah yang

dihadapi tokoh itulah yang menjadi sumber pengembangan konflik dan alur cerita.

Konflik yang dikisahkan dapat berkaitan dengan masalah diri sendiri, orang lain,

atau sosial, dan bersifat realistik sebagaimana ditemukan dalam kehidupan sehari-

hari (Nurgiyantoro, 2005: 15).

Karya-karya di atas menampilkan kehidupan yang syarat dengan kearifan

lokal. Gotong-royong, kasih sayang dengan sesama manusia, menghormati orang

tua, mencintai desa, dan meneladani tokoh masyarakat atau pejabat yang berkuasa

dipadukan dengan program-program pembangunan yang berlandaskan Pancasila.

Namun ketika menerbitkan karya-karya ini, Balai Pustaka kurang memerhatikan

4

estetika keredaksian. Tim redaksi seakan tidak bisa menyesuaikan buku-buku yang

diterbitkan dengan anak-anak Indonesia yang akan membacanya. Berbeda dengan

buku-buku anak yang diterbitkan oleh penerbit swasta atau karya-karya terjemahan.

Mereka mempertimbangkan segi keterbacaannya bagi anak-anak dengan

menampilkan konsep tata letak yang rapi, ukuran buku yang beragam, gambar dan

warna yang menarik, dan sebagainya.

Sastra anak memiliki pengaruh besar terhadap pemikiran anak-anak yang

membacanya. Jika menilik latar pada tahun 80-an, bacaan anak yang diterbitkan

oleh Balai Pustaka seakan menjadi bacaan wajib bagi anak-anak sekolah sebab di

perpustakaan sekolah atau perpustakaan umum yang dikelola pemerintah, karya-

karya ini mudah dijumpai.

Anak merupakan objek pembangunan. Oleh karena itu, pada masa Orde

Baru pemerintah menerbitkan bacaan anak, terutama karya sastra yang sejalan

dengan nilai-nilai pembangunan kala itu. Pada tahun 80-an, Orde Baru berada

dalam masa jaya atau masa subur di mana seluruh sendi kehidupan bernegara tertata

rapi sedemikian rupa sesuai dengan kehendak pemerintah. Begitu pula bacaan anak

yang tersedia disesuaikan dengan idealisme pemerintah sebagai pelaku kuasa.

Sastra anak Balai Pustaka berada dalam “zona nyaman” mengingat pada saat itu

banyak karya-karya yang dilarang terbit. Balai Pustaka sebagai penerbit menjadi

alat strategi kuasa pemerintah Orde Baru, yaitu melahirkan karya-karya yang

mendukung wacana Orde Baru, bahkan menjadikan pembangunan Orde Baru

sebagai acuannya.

5

Sastra anak Balai Pustaka yang terbit pada tahun 80-an merupakan salah

satu bentuk strategi yang dikeluarkan oleh pemerintah Orde Baru untuk

membangun bangsanya. Ketika anak-anak berhasil mewarisi “cinta tanah air” dan

menjadi “manusia pembangunan” sebagaimana yang tertuang di dalam cerita, maka

kelak ketika dewasa mereka akan mencintai tanah airnya dengan membangun

bangsanya sebagaimana terdapat dalam sejumlah karya sastra tersebut. Dengan

demikian, sastra anak dengan tema-tema tersebut merupakan salah satu bentuk

wacana dukungan terhadap wacana yang dikembangkan oleh pemerintah Orde

Baru.

Melalui wacana yang mendominasi suatu waktu dalam sejarah dan suatu

tempat di dunia, manusia memiliki kerangka-pikir, atau pandangan dunia tertentu

(Jones, 2009: 174). Jadi ada background atau latar yang mengawali penerbitan

karya-karya ini. Para penulis yang sebagian besar adalah praktisi pendidikan adalah

pihak atau subjek yang digunakan untuk mewujudkan strategi pemerintah Orde

Baru. Para pendidik dinilai mampu untuk “menyampaikan misi pemerintah” karena

mereka terbiasa mendidik anak-anak. Hanya karya yang “sesuai” lah yang dapat

diterbitkan sehingga para penulis berlomba-lomba membuat karya yang “sesuai”

atau karya yang membangun bangsa. Mau tidak mau latar yang bersifat

“membangun” tersebut masuk ke dalam karya-karya sastra yang diterbitkan. Ada

kemungkinan karya-karya yang masuk ke redaksi Balai Pustaka tidak bisa

diterbitkan karena tidak memenangkan syarat-syarat tersebut.

Tanpa disadari sesungguhnya di dalam karya tersebut terdapat pembatasan-

pembatasan, keharusan, bahkan rekayasa, yaitu melalui media bahasa. Di dalamnya

6

terdapat semacam kewajiban atau kebolehan yang diterapkan oleh pemerintah Orde

Baru. Karya sastra anak tersebut tidak bertentangan dengan Pancasila karena

Pancasila dijadikan satu-satunya asas dalam seluruh sendi kehidupan; tetapi ada

keharusan untuk mendukungnya.

Madan Sarup mengatakan bahwa Foucault bergeser dari determinasi

linguistik ke pandangan bahwa individu dibentuk pola hubungan kekuasaan, di

mana kekuasaan menjadi prinsip realitas sosial yang tertinggi (Sarup, 2011: 111).

Tanpa disadari realitas kehidupan itu diselubungi dan dibentuk oleh kuasa yang

serba kompleks. Persebaran wacana kuasa tidak hanya terbatas pada karya sastra

anak Balai Pustaka tahun 80-an saja. Persebaran wacana kuasa Orde Baru tersebut

berlangsung dan tersebar di mana-mana dalam bentuk yang beraneka ragam,

misalnya melalui siaran televisi dan radio yang menyerukan semangat untuk

membangun bangsa dan keberhasilan pembangunan yang telah diraih, pemutaran

film-film perjuangan, peringatan hari kesaktian Pancasila sehubungan dengan

peristiwa G 30 S, pembentukan aparat keamanan di desa-desa, ABRI masuk desa,

dan program-program pemerintah lainnya.

Dari sejumlah karya sastra anak yang terbit pada masa Orde Baru, karya-

karya sastra yang dimenangkan dan berhasil diterbitkan oleh Balai Pustaka yang

dominan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru adalah Penyelamat

Desa karya Muhd. Yacob, Taman Sekolah karya Manto DG, Bunga-bunga Hari

Esok karya Sasmito, dan Pandu Cucu Seorang Pejuang karya A. Malik Thachir.

Jadi, karya-karya tersebut merupakan salah satu bentuk cara melestarikan keutuhan

negara yang dibangun oleh pemerintah Orde Baru. Di samping itu ada beberapa

7

penerbit yang menerbitkan karya-karya sastra untuk anak, misalnya penerbit Tiga

Serangkai, Gramedia, dan sebagainya.

1.2. Rumusan Masalah

Penelitian ini berusaha menjawab persoalan konstruksi yang dibangun oleh

pemerintah Orde Baru dalam sastra anak terbitan Balai Pustaka tahun 80-an, yaitu

dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Bagaimana formasi wacana kuasa Orde Baru yang melatari karya sastra anak

Balai Pustaka tahun 80-an?

2. Bagaimana konstruksi sastra anak Balai Pustaka tahun 80-an, apakah konstruksi

tersebut melawan kuasa Orde Baru, atau sebaliknya?

3. Bagaimana relasi wacana dalam sastra anak Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Teoretis

Penelitian ini bertujuan memanfaatkan teori wacana kuasa Michel Foucault

dalam kajian sastra.

1.3.2. Tujuan Praktis

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap konstruksi Orde Baru dalam

jalinan naratif sastra anak Balai Pustaka tahun 80-an. Dalam proses penelusuran

tersebut penelitian ini berusaha meneliti trik penarasian dalam merepresentasikan

Orde Baru pada karya-karya tersebut. Terkait dengan permasalahan ini, secara

khusus penelitian ini bertujuan untuk:

8

1. Mengungkap kuasa wacana Orde Baru yang dibangun dalam sastra anak

Balai Pustaka tahun 80-an.

2. Mengungkap konstruksi sastra anak Balai Pustaka, apakah konstruksi

tersebut melawan kuasa pemerintah Orde Baru, atau sebaliknya.

3. Mengungkap kemungkinan persebaran wacana dalam sastra selain Balai

Pustaka.

1.4. Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai sastra anak pernah dikemukakan oleh beberapa ahli.

Topik pertama adalah penelitian atau tulisan yang dikemukakan oleh para ahli

mengenai bacaan anak-anak. Buku berjudul Batjaan Anak-anak (Pandangan

Beberapa Achli) yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1966

mengetengahkan serba-serbi bacaan anak, misalnya bacaan anak ditinjau dari

pendidikan nasional, bacaan anak-anak dan hubungannya dengan identifikasi diri,

beberapa persoalan tentang buku bacaan anak-anak, bahan antropologi dalam

bacaan anak-anak dan remaja, sastrawan dan bacaan anak-anak, dan sebagainya.

Buku kedua adalah Serba-serbi Cerita Anak-anak (1996) yang ditulis oleh

Sugihastuti. Buku yang berisi kumpulan artikel ini mengulas sejumlah daya tarik

cerita anak-anak.

Topik kedua mengenai nilai-nilai dalam sastra anak pernah diteliti oleh

Burhan Nurgiyantoro dalam Sastra Anak, Pengantar Pemahaman Dunia Anak

(2005). Dengan menyimpulkan pendapat dari Saxby (1991, 5-10) dan Huck dkk

(1987: 6-14), peneliti membagi kontribusi sastra anak menjadi nilai personal dan

9

nilai pendidikan. Wening Udasmoro dkk. dalam penelitiannya Sastra Anak dan

Pendidikan Karakter (2012) melihat sastra anak sebagai sebuah praktik sosial dan

budaya. Sastra anak merupakan arena kontestasi yang digunakan subjek-subjek

yang berbeda untuk meraih harapan-harapan, antara lain menanamkan nilai positif

untuk mengontruksi karakter anak, di samping meraih keuntungan finansial.

Penelitian ini menambahkan kritik terhadap ideologi dan industri buku sastra anak.

Topik ketiga adalah kritik atas terbitnya buku-buku bacaan anak era Orde

Baru. Dalam penelitiannya Kajian Sastra Anak Prancis (....?) pada bagian “Seputar

Cerita Anak di Indonesia”, Siti Hariti Sastriyani mengemukakan bahwa pada

dekade 80-an, banyak sekali terbit buku-buku bacaan anak dengan judul-judul

bombastis yang sarat dengan misi pembangunan. Isi karya sastra diseragamkan

seputar melestarikan lingkungan hidup, menanamkan semangat persatuan dan

kesatuan, memberdayakan sumberdaya nabati dan hewani, dan sebagainya. Buku-

buku tersebut terasa kurang renyah untuk dinikmati karena tidak sesuai dengan

realitas keseharian dunia anak-anak. Buku tersebut terkesan menggurui karena para

penulisnya adalah para guru, pensiunan, penilik sekolah, dan praktisi pendidikan

lainnya yaitu melalui penulisan naskah buku bacaan anak yang diselenggarakan

oleh Proyek Perbukuan. Selain itu, buku dikemas kurang menarik atau asal terbit.

Buku-buku tersebut jelas kalah saing dengan buku-buku asing yang muncul dalam

terjemahan yang menarik sehingga lebih disukai anak-anak Indonesia.

Topik keempat adalah pedoman penelitian mengenai sastra anak. Riris K.

Toha-Sarumpaet dalam bukunya Pedoman Penelitian Sastra Anak (2010)

mengemukakan bahwa meneliti sastra anak dapat dilakukan melalui beberapa

10

pendekatan, di antaranya pendekatan formalis/new criticism, pendekatan

historis/sejarah, pendekatan reader-response atau pendekatan traksaksi,

pendekatan psikoanalitik, dan pendekatan feminis. Peneliti juga memberikan

gambaran bagaimana cara meneliti sastra anak, sekaligus memberikan contoh

penelitian yang sudah ada.

Topik kelima adalah sastra anak dalam hubungannya dengan cerita rakyat

Nusantara. Murti Bunanta dalam penelitiannya Problematika Penulisan Cerita

Rakyat untuk Anak di Indonesia (1998) mengambil kajian dongeng Bawang Merah

Bawang Putih. Peneliti menyimpulkan bahwa penulisan kembali cerita rakyat

untuk anak mengundang permasalahan. Cerita rakyat asalnya berbentuk lisan

sehingga mengalami perubahan dalam bentuk tulisnya. Cerita rakyat tidak

dikhususkan untuk anak-anak sehingga dianggap tidak semestinya diketahui anak,

misalnya kekerasan, erotisme, dan sebagainya. Selain itu ditemukan permasalahan

dalam hal penafsiran yang berlebihan, tema tidak digarap dengan luas, latar tempat

dan waktu kurang dipahami, penokohan hanya difokuskan pada karakteristik

tertentu saja, dan sebagainya.

Topik keenam adalah gambaran mengenai bacaan anak zaman dahulu,

terdapat dalam penelitian Christantiowati dalam Bacaan Anak Tempo Doeloe,

Kajian Pendahuluan Periode 1908-1945 (1996). Dalam kesimpulannya peneliti

menyebutkan beberapa kalangan yang menyediakan bacaan untuk anak, antara lain

percetakan negara, penerbitan missionaris, penerbitan swasta Belanda, penerbitan

Cina peranakan, penerbitan pribumi, Komisi Bacaan Rakyat, Balai Poestaka (1917-

1945), dan Kokumin Tosyokyoku (1942-1945).

11

Topik ketujuh adalah maskulinitas dalam sastra anak Balai Pustaka.

Penelitian mengenai sastra anak Balai Pustaka juga pernah dilakukan oleh Nur

Wulan dari University of Sidney dalam “Masculinities in colonial Indonesian

children’s literature” yang terdapat dalam jurnal Ex Plus Ultra volume 1 September

2009. Artikel ini memfokuskan pada representasi maskulinitas dalam tiga tipe teks-

teks yang diterbitkan oleh Balai Pustaka selama dua dekade periode kolonial, yang

meliputi karya-karya adaptasi, teks-teks Melayu, dan teks-teks Jawa. Penerbit Balai

Pustaka yang merepresentasikan subjek laki-laki pada dekade pertama abad kedua

puluh menunjukkan usaha dengan membuat tokoh laki-laki yang patuh dan tidak

mengeluh. Ini dapat dilihat pada teks-teks yang mempersembahkan karakter laki-

laki yang lebih tegas. Pada awal cerita anak yang bersifat realis memberitahukan

tentang kehidupan sehari-hari anak-anak pribumi, kemajuan tipe yang

menunjukkan laki-laki sebagai subjek adalah sangat jelas terlihat dalam kelembutan

dari kenakalan dan kesukaberterusterangan yang ditampilkan oleh tokoh protagonis

laki-laki dari teks-teks yang bersifat adaptasi. Menantang, memberanikan diri, dan

pengalaman hidup yang mengancam merupakan khas Tom dan petualangan Huck

Finn’s yang diadaptasi secara lokal. Adaptasi lokal ini memasukkan pesan-pesan

didaktis yang disampaikan lebih jauh untuk tipe ideal subjek laki-laki. Teks-teks

yang ditulis oleh penulis-penulis Sumatra cenderung untuk mengedepankan

semangat sebagai pengusaha atau perantau yang menampilkan tokoh protagonis

laki-laki yang memilik orientasi untuk masa depan dan pandai mengatur dalam

pembelanjaan uang. Teks-teks Jawa merepresentasikan nilai-nilai priyayi

terkemuka, sebagai kontrol dan kecakapan untuk mengontrol kemarahan. Balai

12

Pustaka selama tahun-tahun pertumbuhannya itu menunjukkan untuk mengisi

individualitas protagonis laki-laki dalam cerita-cerita anaknya. Dalam

perkembangan subjek-subjek laki-laki yang ideal memperlihatkan kebaikan dalam

penerapan kebijakan budaya para koloni dan sesusai dengan dugaan-dugaan

maskulinitas yang ditegakkan oleh komunitas-komunitas lokal yang mana teks

dihadirkan.

Topik kedelapan adalah penelitian mengenai hubungan wacanan kesastraan

dan kuasa Orde Baru. Marshall Alexander Clark dalam penelitiannya Wayang

Mbeling, Sastra Indonesia Menjelang Akhir Orde Baru (2008) menegaskan bahwa

Indonesia Orde Bari ditandai dengan budaya menindas, koersi, dan sensor. Kasus-

kasus pelarangan, penahanan, dan pengadilan yang melibatkan seniman dan kaum

intelektual merupakan pengalaman yang biasa. Penyair dilarang tampil di beberapa

kota, misalnya, Rendra, salah seorang penyair dan penulis skenario yang dinyatakan

sangat kritis yang muncul pada era Orde Baru, dilarang tampil di kampung

halamannya, Yogyakarta, selama beberapa tahun. Penyair terkemuka lainnya,

seperti Emha Ainun Nadjib, yang mengiklankan pembacaan puisinya dibatalkan

hanya lantaran pulpen birokrat. Penulis terkemuka, seperti Pramoedya Ananta Toer,

yang menghabiskan sebagian besar masa Orde Barunya dengan diasingkan di Pula

Buru, pulau terpencil di Indonesia Timur. Beberapa penulis lain, seperti Pipit

Rochijat, memilih mengasingkan diri di Eropa. Bahkan pada saat-saat akhir rezim

Orde Baru, para seniman – khususnya penyair seperti Wiji Thukul – harus

membayar harga yang sangat mahal untuk aktivisme budaya. Namun, segelintir

seniman bisa tetap bertahan dari budaya sensor Orde baru. Tentunya hampir

13

semuanya mengalami pembatasan keras atas beberapa kebebasan ekspresinya.

Meski, seperti seringkali terjadi di negara-negara yang represif dan otoriter di dunia

ini, untuk segelintir kecil kondisi ini mengilhami prestasi budaya yang luar biasa.

Pada akhirnya, secara meyakinkan kita bisa menyatakan bahwa sensor mengilhami

satu generasi seniman untuk menggali dan mensubversikan ekspresi budaya yang

unggul Pulau Jawa, yakni pentas wayang kulit. Sebagian besar penelitian ini

membahas upaya-upaya tertentu untuk menyesuaikan dan memperbarui cerita

pewayangan tradisional, di tengah-tengah budaya yang didukung oleh negara dan

sensor yang dipaksakan sendiri. Signifikansi dari fenomena budaya yang menyebar

ini terletak pada konteks sejarah tempat berlangsungnya penafsiran ulang

(reinterpretasi): tahun-tahun terakhir rezim Orde Baru Soeharto. Saat sensor dan

swa-sensor sebenarnya melumpuhkan impuls-impuls kritis ekspresi budaya

Indonesia, kembali pada mitologi dalam beberapa hal merupakan sarana pragmatis

untuk mengatasi badai. Cara terbaik apa untuk menyesuaikan diri dengan keadaan

yang tak menyenangkan selain kembali pada kejayaan masa lalu kaum eskapis, dan

menghidupkan kembali mitos masa kanak-kanak seseorang? Namun putaran

nostalgis juga ada, dalam artian yang lebih signifikan, merupakan usaha untuk

meruntuhkan otoritas Orde Baru. Dengan ketepatan wayang, yang oleh otoritas

rezim Orde Baru dimanipulasi untuk tujuan-tujuan politiknya, para aktivis budaya

Indonesia mampu memadukan secara sempurna senjata simbolis yang digunakan

untuk meradikalisasi lawannya.

Apakah ‘senjata simbolis’ terus melayani tujuan yang sama pada era pasca-

Orde Baru? Jawaban pertanyaan ini adalah, mungkin bisa diduga, tidak. Dengan

14

mundurnya Soeharto, rezim Orde Baru runtuh dan pembatasan kebebasan

berekspresi mengendur, para penulis Indonesia, nyaris tanpa kecuali, mengalihkan

perhatianya pada hal lain. Tak lagi kita lihat novel-novel dan cerpen-cerpen tentang

wayang, seperti yang tampak saat Orde Baru. Demikian pula, kolom wayang

mbeling yang menghasut tidak lagi muncul di koran-koran metropolitan. Meski,

wayang tetap sangat populer, relevan dan inovatif (Mrázek, 2002), dan ekspresi

budaya pada era pasca-Orde baru tetap hidup dan ada di mana-mana (Ajidarma,

2002; Lindsay, 2005). Lebih jauh lagi, sastra, sebagai kesadaran kritis atas negara,

masih mempunyai peran yang bisa dimainkan, meski – atau tepatnya dikarenakan

– kurangnya fokus oposisi yang homogen pada era pasca-Soeharto, pada sastra

Indonesia, media dan ekspresi budaya yang lebih luas, kita dapat melihat awal

optimisme, suatu budaya plural yang baru, dan hidupnya lagi rasa penyimpangan

sosial. jelas iklim budaya Indonesia berubah semakin baik sejak berakhirnya rezim

Orde Baru. Meski, tuntutan bahwa produksi dan diskusi seni Indonesia – dan

khususnya sastra- harus dijalankan dengan syarat komitmen sosialnya tetap

tumbuh.

Jelaslah bahwa ekspresi budaya Indonesia menyisakan sepenuhnya saluran

dan sarana publik bagi kritik politik dan sosial dan pertentangan budaya. Tentu saja

generasi penerus para penulis, seniman, pembuat film, dan musisi Indonesia juga

akan mencari bahasa dan gaya penentangan dan perlawanannya sendiri. Sensasi

pemerintahan, presiden dan media akan datang dan pergi. Episode-episode teror,

koersi, dan bencana alam mungkin pula terjadi. Bayangan hitam komunisme,

pembunuhan masal tahun 1960-an, dan trauma kekerasan di era Orde Baru akan

15

tetap hidup. Kita hanya butuh kesabaran untuk melihat bagaimana memori

individual, kolektif, dan budaya mengingatkan akan pengalaman-pengalaman

tersebut (Clark, 2008: 197-199).

Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, belum ada penelitian mengenai

karya-karya sastra anak di Indonesia, khususnya sastra anak Balai Pustaka tahun

80-an yang dikaji menggunakan teori kuasa wacana Michel Foucault.

1.5. Landasan Teori

1.5.1. Wacana Kuasa

Foucault mengemukakan kekuasaan merupakan sebutan yang diletakkan

pada keadaan, cara-cara, keberagaman, situasi yang kompleks dan sulit

didefinisikan atau dipetakan. Kekuasaan tidak terletak pada hubungan dualisme

antara hukum yang ada dan kekuasaan yang memegangnya, atau hubungan

dualisme antara pemberontakan dan cara mempertahankan. Foucault

mengungggulkan yang disebut “kekuasaan kontra” atau kekuasaan yang

bertentangan atau berbeda, tidak lazim, tidak normal, yang membentuk seluruh fisik

mikro dari berbagai kekuasaan. Jadi, fisik mikro terdiri dari berbagai kekuasaan

yang mengandung kontra atau keberbedaan dari kelaziman pada umumnya

(Foucault, 2008: 11).

Foucault akan memperkenalkan suatu pengertian yang mampu

memperhitungkan berbagai perubahan dan transformasi budaya. Itulah yang

disebut pengertian episteme, yaitu himpunan berbagai kaidah yang melandasi dan

mengatur produksi wacana pada suatu masa tertentu (Foucault, 2008: 12).

16

Foucault mempopulerkan kondisi produk sosial melalui istilah wacana atau

diskursif. ... wacana adalah sekaligus alat dan dampak kekuasaan, dan juga

hambatan, sandungan, titik perlawanan dan titik awal dari strategi yang berlawanan.

Wacana menyampaikan dan menghasilkan kekuasaan; wacana memperkokohnya

tetapi sekaligus mengikisnya; memaparkannya, membuatnya rentan dan

memungkinkannya untuk dihambat (Foucault, 2008: 131). Kondisi sosial dipenuhi

dengan keanekaragaman wacana yang saling bertumpang tindih, saling

bertentangan, saling mendukung, atau tidak ada hubungannya sama sekali. Wacana

diciptakan melalui proses sosial yang serba kompleks. Wacana yang meluncur di

tengah-tengah kehidupan sosial akan disambut dengan wacana baru, baik yang

bertentangan, mendukung, atau tidak bersinggungan. Wacana-wacana baru sebagai

sambutan dari wacana awal berkemungkinan memperkokoh, menghambat, bahkan

menguburkan wacana lama.

1.5.2. Kesatuan-kesatuan Wacana

Foucault (2012: 60) memperkenalkan adanya kesatuan-kesatuan wacana.

Foucault mengemukakan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan

diskursus tidak pernah ada akhirnya. Apa yang diutarakan dalam wacana itu bisa

dijelaskan dengan pengutaraan yang lain. Oleh karena itu jika kita menganalisis

suatu wacana kita harus mempelajari atau menerima pernyataan itu ketika pertama

kali muncul. Lalu menemukan faktor-faktor yang membuatnya muncul atau eksis

di tengah-tengah masyarakat, dijelaskan batas-batas wacana tersebut, sekaligus

menentukan hubungan-hubungannya dengan wacana lain yang berkembang saat

itu. Di balik sebuah wacana yang tumbuh di tengah masyarakat, tidak akan dicari

17

wacana-wacana lain yang mungkin terkandung di dalamnya. Bahwa wacana yang

satu dengan yang lain itu berbeda. Di dalam sebuah wacana tidak didapat dalam

wacana yang lain.

1.5.3. Tatanan Wacana

Teori Foucault mengenai tatanan wacana berangkat dari hipotesis bahwa

dalam setiap masyarakat produksi wacana selalu sekaligus dikontrol, diseleksi,

diorganisasi, dan didistribusikan dengan sejumlah prosedur yang peranannya

adalah untuk mengawasi kuasa-kuasa dan bahaya-bahayanya, untuk memperoleh

penguasaan atas peristiwa-peristiwanya yang bersifat kebetulan, untuk

menghindarkan materialitasnya yang berat dan membosankan (Faruk, 2012: 242).

Salah satu prosedur dalam produksi wacana itu adalah eksklusi yang antara

lain, berupa pelarangan. Ada tiga jenis pelarangan yang, menurut Foucault, saling

berinteraksi, saling memperkuat, dan saling melengkapi, yaitu (a) larangan objektif,

tidak semua orang mempunyai hak untuk berbicara mengenai semua hal, (b)

larangan kontekstual, orang tidak boleh berbicara mengenai segala sesuatu di

sembarang kesempatan, dan (c) larangan subjektif, tidak semua orang mempunyai

hak untuk berbicara mengenai segala sesuatu (Faruk, 2012: 241).

Berbagai larangan itu menunjukkan bahwa wacana terkait dengan hasrat

dan kuasa (Faruk, 2012: 242). Prinsip eksklusi yang lain adalah pemisahan dan

penolakan (Faruk, 2012: 243). Sistem eksklusi yang ketiga adalah gagasan

mengenai yang benar dan salah (Faruk, 2012: 243).

Selain prosedur eksternal, terdapat juga prosedur internal yang berfungsi

untuk mengontrol dan membatasi wacana. Prosedur-prosedur internal diperlukan

18

karena wacana-wacana itu sendiri melaksanakan kontrolnya sendiri dengan antara

lain sistem klasifikasi, penataan, dan pendistribusian (Faruk, 2012: 244).

Foucault juga mengemukakan adanya bentuk represi. Represi bukanlah cara

memahami bagaimana kekuasaan beroperasi melalui wacana-wacana. Represi

merupakan salah satu bentuk penekanan terhadap kemunculan wacana tertentu.

Foucault mengemukakan beberapa ciri pokok, yakni hubungan negatif, instansi

aturan, siklus larangan, logika sensor, dan kekuasaan perangkat (Foucault, 2008:

110-112).

Hubungan negatif. Kekuasaan yang berlangsung di dalam suatu wilayah

atau bidang tidak dapat menghambat atau mengekang terhadap munculnya wacana

tertentu, meskipun kekuasaan itu tidak menunjukkan bahwa wacana yang lain tidak

hadir atau muncul di situ. Masing-masing wacana memiliki batas tersendiri. Antara

wacana satu dengan yang lain terikat pada batasannya masing-masing. Sehingga

dampak yang diperoleh bagi kekuasaan hanyalah munculnya batasan-batasan

tersebut.

Instansi aturan. Kekuasaan menentukan adanya hukum dalam produk sosial

tertentu, salah satunya pada bidang bacaan anak. Pertama, bacaan anak ditempatkan

oleh kekuasaan dalam sistem biner: diperbolehkan-dilarang, bermanfaat bagi

negara-tidak bermanfaat, dan sebagainya. Kemudian kekuasaan akan menentukan

bagi sastra atau bacaan anak tersebut mengenai pedoman atau aturan tertentu yang

sekaligus bertugas memberi bentuk kejelasan. Sastra atau bacaan anak akan

diuraikan berdasarkan suatu hukum tertentu.

19

Terakhir, kekuasaan mengeluarkan aturan atau hukum sebagai bentuk

ucapan sang kuasa. Kekuasaannya dalam kancah sastra anak dilakukan

menggunakan media bahasa sekaligus melalui wacana. Undang-undang atau

kebijakan negara merupakan bentuk murni kekuasaan. Termasuk bagaimana cara-

cara yang dilakukan dalam hubungannya dengan karya sastra anak. Cara

perwujudannya adalah melalui proses yang bersifat yuridis-kewacanaan.

Siklus larangan. Kekuasaan yang sedang berlangsung menjadikan hukum

larangan sebagai tindak fungsionalnya. Semua itu bertujuan supaya karya sastra

anak yang berkembang dapat menyangkal dirinya sendiri. Bentuk sangkalan antara

lain munculnya alasan mengapa instansi atau lembaga penerbit mengeluarkan karya

tertentu. Alat yang digunakan oleh kekuasaan adalah berupa dorongan, dukungan,

pendanaan; bahkan adanya ancaman, hukuman, bahkan pelarangan atau

pemusnahan.

Logika sensor. Larangan yang dimasud adalah ketegasan bahwa suatu karya

atau wacana tertentu tidak boleh beredar, harus dikekang, tidak diizinkan terbit lagi,

disangkal, tidak dikatakan, dan sebagainya.

Kekuasaan perangkat. Kekuasaan mengenai wacana tertentu diterapkan

secara merata di segala tataran. Termasuk dalam karya sastra anak-anak. Kekuasaan

berkembang di dalam segala bentuk karya sastra anak, segala genre, segala penerbit

atau lembaga, dan sebagainya.

Gagasan tentang suatu energi yang berontak, yang harus dibungkam, bagi

mereka tampak tidak memadai untuk memerinci cara penyampaian kekuasaan dan

hasrat. Mereka menganggap bahwa kekuasaan dan hasrat itu berkaitan dengan cara

20

yang lebih rumit dan lebih bersifat kodrati daripada permainan antara, di satu pihak,

suatu energi liar, alami dan hidup, yang naik terus-menerus dari bawah dan, di pihak

lain, suatu perintah dari atas yang berusaha menghalanginya; tidak perlu mereka-

reka bahwa hasrat ditindas, mengingat bahwa hukum pembentuk hasrat dan

kekosonganlah yang menegakkannya. Hubungan kekuasaan memang sudah hadir

di mana hasrat hadir; jadi, salah kita sendiri jika kita dituding sebagai yang

bertanggung jawab dalam represi yang tampil sesudahnya; namun percuma juga

jika kita menyelidiki hasrat tanpa mempertimbangkan kekuasaan (Foucault, 2008:

108). Berbagai produk sosial yang tumbuh di masyarakat merupakan manifestasi

dari energi yang selama ini tidak tampak di permukaan. Ada kaitan erat antara

produk sosial tersebut dengan kekuasaan yang melingkupinya.

Foucault pernah memberikan kritik terhadap lembaga-lembaga politis yang

muncul pada abad ke-19. Kritik yang diberikan jauh lebih radikal dengan tujuan

bukan hanya menunjukkan bahwa kekuasaan yang nyata lolos dari aturan hukum,

tetapi menunjukkan bahwa sistem hukum hanyalah suatu cara dan alat untuk

melegalkan kekerasan. Sistem hukum tersebut memfungsikan dirinya untuk

melestarikan dominasi tentang ketidaksejajaran atau ketidakadilan dengan

mengacukan diri pada hukum yang berlaku secara umum atau universal dalam

cakupan kekuasaan tersebut (lihat Foucault, 2008: 117).

1.5.4. Objek-objek Wacana

Foucault juga mengemukakan bentuk-bentuk objek. Ia mampertanyakan

apakah ada kemungkinan objek-objek yang ada ditempatkan secara berurutan

supaya tertata kemudian bisa memperlihatkan kemungkinan celah-celah dan di

21

bagian lain mengandung banyak informasi. Yang mengatur semua itu supaya bisa

disebut objek diskursus antara lain (a) Memetakan permukaan kemunculan (surface

of emergence) objek-objek tersebut pertama kali, (b) Mendeskripsikan otoritas yang

terdapat di dalam pembatasan-pembatasan ini (Foucault, 2012: 84). (c)

Menganalisa jaringan spesifikasi (Foucault, 2012: 85).

Kemunculan suatu objek dalam ranah dan waktu tertentu perlu dipetakan.

Berdasarkan rasionalitas, kode-kode, atau syarat-syarat kemunculannya, di sana

terletak perbedaan antara satu objek wacana dengan objek wacana yang lain.

Masing-masing objek memiliki batasan-batasan tertentu yang dibentuk oleh

otoritas yang menguasainya. Perlu ditemukan sumbernya, peranannya, pihak yang

bermain di dalamnya, dan tujuannya mengapa otoritas tententu melakukan

pembatasan-pembatasan terhadap objek yang diciptakannya. Objek diskursus itu

memiliki jaringan spesifikasi yang berasal dari pertentangan, pengelompokan,

pengklasifikasian tertentu sehingga ia terbentuk menjadi objek yang mengandung

wacana yang berbeda dengan objek lain.

Berdasarkan bentuk-bentuk objek di atas, Foucault mengemukakan

beberapa catatan dan konsekuensi.

1. Syarat yang harus dipenuhi bagi penampakan sebuah objek diskursus

(Foucault, 2012: 89). Foucault mengemukakan perlunya syarat historis jika ingin

membicarakan apa saja mengenai suatu objek diskursus, termasuk bagaimana orang

lain membicarakan objek wacana yang sama. Juga diperlukan syarat-syarat yang

tepat untuk memastikan adanya hubungan antara objek tersebut dengan objek lain,

22

apakah relasi tersebut berjauhan, berdekatan, serupa, sama, bentuk transformasinya,

jaraknya, dan sebagainya sejauh kita mengetahuinya.

2. Relasi-relasi ini terdapat di antara institusi-instutusi, peroses-proses

ekonomi dan sosial, pola-pola tingkah laku, sistem norma, teknik, tipe-tipe

klasifikasi, pola-pola karakterisasi; relasi-relasi ini tidak hadir dalam objek; tidak

berperan ketika satu objek dianalisa, relasi tersebut tidak menandakan adanya

jaringan, rasionalitas imanen (Foucault, 2012: 90). Relasi antara satu wacana

dengan wacana yang lain tidak terletak di dalam objek yang hadir dari masing-

masing wacana. Relasi terletak di antara isntitusi-institusi yang membentuknya,

proses-proses sosial yang terjadi di masyarakat, tingkah laku, sistem atau aturan

masyarakat, dan sebagainya.

3. Relasi-relasi ini pertama-tama harus dibedakan dari apa yang kita sebut

relasi-relasi “primer”, dan secara independen dalam setiap diskursus dan objek

diskursus bisa digambarkan terjadi antara institusi, teknik, bentuk-bentuk sosial,

dan lain-lain (Foucault, 2012: 90). Relasi-relasi tersebut tidak terletak pada satu

relasi garis besar tentang produk sosial tertentu.

4. Relasi-relasi diskursif bukanlah bagian internal dari diskursus. Relasi-

relasi ini tidak menghubungkan konsep atau kata-kata satu sama lain, dia tidak

membentuk struktur deduksi atau retoris antara proposisi dengan kalimat (Foucault,

2012: 91). Relasi yang terbangun di antara berbagai wacana bukanlah bagian dari

wacana tersebut. Konsep-konsep yang terdapat di dalam wacana tidak dihubungkan

oleh relasi antarwacana. Konsep-konsep tersebut tidak membentuk struktur

23

wacana, misalnya terdapat dalam struktur kalimat, pernyataan, atau ungkapan-

ungkapan yang mengandung wacana.

1.5.5. Lembaga Kekuasaan

Foucault juga mengemukakan adanya lembaga kekuasaan yang menaungi

berkembangnya wacana tertentu. Foucault mengungkapkan, “... - alasannya adalah

lembaga itu ditampilkan sebagai instansi pengatur, perantara, pembatas, sebagai

suatu cara untuk menata hubungan di antara berbagai kekuasaan itu, untuk

menetapkan suatu asas untuk melemahkannya dan mendistribusikannya

berdasarkan batas-batas dan hierarki yang mapan (Foucault, 2008: 115).

Lembaga-lembaga seperti negara, penerbit, atau instansi lainnya

ditampilkan sebagai pihak yang memberikan pembatasan atau pihak yang

mengeluarkan regulasi terhadap suatu produk sosial, termasuk karya sastra untuk

anak-anak yang tercakup dalam wilayah kekuasaannya. Kekuasaan juga memiliki

peranan dalam menata hubungan di antara berbagai wacana yang terdapat di

dalamnya, melemahkan suatu wacana, mendistribusikan wacana, atau memancing

munculnya wacana-wacana yang lain.

Foucault mengungkapkan, “Dibandingkan dengan berbagai kekuatan yang

harus dihadapinya, berbagai bentuk lembaga kekuasaan itu telah berfungsi sebagai

asas hukum yang berada lebih tinggi daripada hukum heterogen, dengan tiga ciri

yaitu membentuk diri sendiri sebagai kesatuan, menyamakan kehendaknya dengan

hukum, dan berfungsi melalui berbagai mekanisme larangan dan sanksi (Foucault,

2008: 115).

24

Banyak kekuatan yang harus dihadapi oleh kekuasaan. Namun

dibandingkan berbagai kekuatan tersebut, lembaga-lembaga yang memegang kuasa

tersebut memfungsikan dirinya sebagai hukum, pengatur, pembuat kebijakan, dan

sebagainya yang memposisikan dirinya lebih tinggi dibanding satu hukum yang

berlaku untuk banyak hal.

Lembaga kekuasaan membentuk dirinya sebagai kesatuan. Ia akan

memposisikan kehendaknya setara dengan hukum, serta memfungsikan dirinya

melalui larangan dan sanksi. Dalam kasus karya sastra anak, lembaga kekuasaan

yang membentuk dirinya sebagai satu kesatuan antara lain negara melalui dinas

pendidikan, penerbit, sekolah-sekolah, dan sebagainya. Masing-masing dikenal

sebagai satu kesatuan. Kesatuan dinas pendidikan dan kebudayaan berbeda dengan

kesatuan yang lain. Penerbit Balai Pustaka adalah kesatuan. Berbeda dengan

penerbit lain, dan sebagainya. Lembaga-lembaga ini akan menyamakan

kedudukannya dengan hukum, misalnya hukum negara, hukum yang berlaku di

wilayah tertentu, dan sebagainya. Masing-masing menetapkan sesuatu yang

dilarang dan mengeluarkan sanksi.

1.5.6. Hubungan Antarwacana

Sebuah wacana muncul berdampingan dengan wacana-wacana yang lain

yang berada dalam lingkup suatu kuasa tertentu. Berbagai wacana yang ada

berhubungan satu sama lain dalam lingkup kekuasaan. Bisa saja di antara berbagai

wacana tersebut terdapat pertentangan-pertentangan meskipun menggunakan

strategi yang sama dalam rangka mengembangkan wacananya masing-masing.

25

Sebaliknya, antara dua wacana atau lebih menggunakan strategi yang berlawanan

meski memuat mengandung wacana yang sama (lihat Foucault, 2008: 132).

Dalam formasi-formasi diskursif, Foucault mengemukakan empat hipotesa.

Hipotesa pertama – yang muncul ke hadapan saya sebagai sesuatu yang terlihat

sangat mudah dibuktikan- yaitu bentuk-bentuk pernyataan itu berbeda-beda dan

berada dalam waktu yang berlainan pula (Foucault, 2012: 67). Wacana

mengandung pernyataan-pernyataan yang berfungsi melaksanakan strategi-strategi

tertentu sebagai perwujudannya. Masing-masing pernyataan tersebut tidak

mengandung maksud yang sama dan beroperasi dalam waktu yang berlainan pula.

Hipotesa kedua mencoba untuk mendefinisikan sekelompok relasi yang

terjadi antar pernyataan-pernyataan: yakni bentuk dan tipe-tipe hubungan

(connexion) antara mereka (Foucault, 2012: 70). Antara pernyataan satu dengan

pernyataan lain dalam satu wacana atau lebih tercipta relasi. Relasi tersebut bisa

dilacak setelah ditemukan bentuk-bentuk dan tipe hubungan di antara wacana

tersebut. Tipe hubungan misalnya saling berlawanan, bertentangan, senada, dan

sebagainya.

Dengan riset dan hipotesa lain: apakah tidak mungkin menciptakan

kelompok-kelompok pernyataan dengan cara menentukan sistem konsep-konsep

yang permanen dan padu (koheren)? (Foucault, 2012: 72). Di antara berbagai

bentuk pernyataan tersebut dapat dipilah-pilah berdasarkan konsep-konsep yang

saling terkait satu sama lain yang terdapat di dalamnya.

Terakhir, Foucault mengelompokkan pernyataan-pernyataan yang

terkandung dalam wacana tersebut, kemudian membuat deskripsi

26

antarhubungannya, kemudian menjelaskan bentuk-bentuk yang terlihat, termasuk

mengidentifikasi adanya tema-tema yang teratur atau ajeg (lihat Foucault, 2012:

73).

1.5.7. Modalitas-modalitas Penyampaian

Mengenai pembentukan modalitas-modalitas penyampaian, Foucault

terlebih dahulu menemukan hukum-hukum operasi yang berlaku di balik

pernyataan-pernyataan ini serta menentukan dari mana mereka datang. (a)

Pertanyaan pertama, siapa yang berbicara? Di antara totalitas individu yang bicara,

siapa yang punya hak untuk berbicara dalam bahasa “ini” (language). Siapa yang

kualifaid untuk itu? (Foucault, 2012: 98). Siapa yang berbicara merupakan

perwujudan siapa yang menyampaikan wacana. Subjek memanifestasikan wacana

melalui ujaran atau bahasa. Bahasa tersebut tampil dalam wujudnya yang beragam,

misalnya siaran berita, buku, rumor di masyarakat, dan sebagainya. Pihak yang

menyampaikan adalah pihak yang memiliki kuasa terhadap massa tertentu yang

menjadi cakupan wilayah kekuasaannya.

(b) Kita juga harus mendeskripsikan situs-situs institusional tempat para

dokter membuat diskursus mereka, dan dari sinilah diskursus tersebut menerima

sumber-sumber serta titik-titik aplikasinya (objek-objek spesifik dan instrumen-

instrumen verifikasinya) (Foucault, 2012: 100). Situs-situs institusional yang

membuat diskursus antara lain negara melalui lembaganya, penerbit, sekolah-

sekolah, atau para penulis. Mereka terikat akan tempat di mana mereka eksis

sehingga mengeluarkan wacana tertentu yang berkaitan erat dengan asal mula

27

mereka. Setelah itu akan ditemukan titik-titik aplikasi, ditujukan bagi subjek siapa

serta peralatan yang mereka gunakan.

(c) Posisi dari satu subjek juga ditentukan oleh situasi yang memungkinkan

dia bertindak dalam kaitannya dengan berbagai domain dan kelompok objek-objek:

dilihat dari pengetahuannya tentang penyelidikan, eksplisit atau implisit, dia adalah

subjek yang bertanya (mencari tahu); dilihat dari susunan informasi yang

diterimanya, dia adalah subjek yang mendengar; berdasarkan tipe-deskriptif, dia

adalah subjek yang mengamati (Foucault, 2012: 102). Posisi dari satu subjek juga

ditentukan oleh situasi yang memungkinkan dia bertindak dalam kaitannya dengan

berbagai domain dan kelompok objek-objek: dilihat dari pengetahuannya tentang

penyelidikan, eksplisit atau implisit, dia adalah subjek yang bertanya (mencari

tahu); dilihat dari susunan informasi yang diterimanya, dia adalah subjek yang

mendengar; berdasarkan tipe-deskriptif, dia adalah subjek yang mengamati

Untuk menganalisis wacana-wacana yang mendominasi objek tertentu

maka harus diketahui landasan di mana kekuasaan itu berada dan mendominasinya.

Subjek memiliki strategi-strategi tertentu untuk membentuk atau menciptakan

realitas dengan tujuan untuk melestarikan kuasa atau keberlangsungan subjek.

Strategi tersebut menjadi latar belakang terciptanya sesuatu. Realitas tersebut dapat

berupa dukungan atau perlawanan terhadap wacana kuasa yang sedang

berlangsung. Kuasa tersebut tidak terjadi dalam bentuk tunggal, melainkan

berlangsung dan tersebar ke mana-mana dengan bentuk yang beraneka ragam.

28

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Jenis Penelitian

Metode penelitian merupakan cara kerja untuk memahami objek yang akan

diteliti. Jenis penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini adalah penelitian

kualitatif.

1.6.2. Objek Kajian

Objek penelitian dibagi menjadi dua, yaitu objek formal dan objek material.

Objek formal meliputi wacana kuasa Orde Baru yang dibangun dalam sastra anak

terbitan Balai Pustaka tahun 80-an. Objek material adalah bacaan anak terbitan

Balai Pustaka tahun 80-an, yaitu Penyelamat Desa karya Muhd. Yacob, Taman

Sekolah karya Manto DG, Bunga-bunga Hari Esok karya Sasmito, dan Pandu Cucu

Seorang Pejuang karya A. Malik Thachir.

1.6.3. Jenis Data

Jenis data merupakan segala informasi yang menyangkut aspek karya sastra,

media karya sastra itu dilahirkan, dan konstruksi yang terdapat di dalamnya.

1.6.4. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu sumber primer

dan sumber sekunder. Sumber primer terdiri dari karya-karya sastra anak terbitan

Balai Pustaka yang terbit tahun 80-an, yakni Penyelamat Desa karya Muhd. Yacob,

Taman Sekolah karya Manto DG, Bunga-bunga Hari Esok karya Sasmito, dan

Pandu Cucu Seorang Pejuang karya A. Malik Thachir. Sumber sekunder dalam

penelitian ini meliputi seluruh pustaka yang memiliki relevansi dan mendukung

29

tema penelitian ini, misalnya penelitian yang pernah ada, artikel ilmiah, koran,

website/internet, dan lain-lain.

1.6.5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi teknik observasi

dan penelusuran pustaka. Teknik observasi dilakukan dengan membaca dan

mencatat seluruh informasi yang didapat dari data primer. Teknik penelusuran

pustaka dilakukan dengan mengumpulkan, membaca, dan mencatat informasi dari

data sekunder.

1.6.6. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dilakukan dengan pengklasifikasian kemudian diambil

empat karya, yaitu Penyelamat Desa karya Muhd. Yacob, Taman Sekolah karya

Manto DG, Bunga-bunga Hari Esok karya Sasmito, dan Pandu Cucu Seorang

Pejuang karya A. Malik Thachir. Tahap selanjutnya adalah interaksi antardata.

Aspek-aspek dalam karya-karya tersebut dihubungkan dengan wacana kuasa yang

sedang berlangsung ketika karya-karya tersebut diterbitkan. Tahap interpretasi

digunakan untuk sastra anak Balai Pustaka terbitan tahun 80-an berdasarkan

wacana kuasa Michel Foucault.

Menurut Faruk (2012: 250-251), langkah-langkah metodologis yang

dilakukan bagi analisis wacananya adalah sebagai berikut. Pertama, prinsip

pembalikan, yakni dengan melihat adanya suatu pemotongan dan penyaringan

wacana. Kedua, prinsip diskontinuitas, yakni prinsip yang menyangkut kesediaan

menempatkan aneka wacana di dalam masyarakat bukan sekadar sebagai yang

ditekankan oleh wacana utama, melainkan terutama sebagai wacana yang tidak

30

berkesinambungan, yang saling melintasi, saling berjajar, tetapi juga saling

mengeksklusi dan tidak saling kenal. Ketiga, prinsip spesifitas, yakni anggapan

bahwa wacana merupakan sebuah tindakan kekerasan yang dilakukan manusia

terhadap benda-benda, suatu praktik yang dipaksakan pada benda-benda itu, dan,

dalam praktik itulah, peristiwa-peristiwa wacana menemukan prinsip

regularitasnya. Keempat, prinsip eksterioritas, yakni menyangkut perlunya

memerhatikan kondisi-kondisi eksternal yang memungkinkan wacana,

pemunculannya, regularitasnya, apa yang membangkitkan serangkaian peristiwa-

peristiwa itu dan apa yang akan mengukuhkan batas-batasnya.

1.7. Sistematika Penyajian

Penelitian ini terdiri atas lima bab. Bab pertama mendiskusikan latar

belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori,

metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab dua menguraikan formasi

wacana kuasa Orde Baru yang melatari sastra anak Balai Pustaka terbitan tahun 80-

an. Bab tiga menguraikan narasi dan konstruksi wacana Orde Baru yang terdapat

dalam sastra anak Balai Pustaka tahun 80-an. Bab empat menguraikan jalinan

wacana kuasa dalam sastra anak Balai Pustaka tahun 80-an. Bab lima menguraikan

relasi wacana dalam sastra anak Indonesia. Bab enam adalah penutup atau

kesimpulan penelitian.