PENAFSIRAN (BANGSA) DALAM - N PEMBACAAN MU AMMAD...
Transcript of PENAFSIRAN (BANGSA) DALAM - N PEMBACAAN MU AMMAD...
PENAFSIRAN (BANGSA) DALAM - N
PEMBACAAN MUḤAMMAD SYA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Agama (S.Ag)
Oleh Muhamad Isrop
NIM: 1112034000078
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR‟ĀN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM
NEGRI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./ 2018 M
O
l
e
h
M
u
h
a
m
a
d
I
s
r
o
p
N
I
M
:
1
1
1
2
0
3
4
0
0
0
0
7
8
ABSTRAK
Penafsiran Syu‟ȗb Dalam al-Qur‟ān:
Pembacaan Hermeneutika Muḥammad Syaḥrȗr
Skripsi ini membahas tentang penafsiran konsep Syu‟ȗb dalam al-
Qur‟ān menurut pemikiran Muḥammad Syaḥrȗr. Pembacaan hermeneutika
Muḥammad Syaḥrȗr terhadap konsep tersebut belum ada yang membahas,
di tengah pentingnya kontribusi pemikiran yang bersangkutan atas wacana
bangsa secara umum.
Dengan menggunakan metode deskriptif analitik, penulis berusaha
menjawab masalah penelitiannya, yaitu: bagaimana Muḥammad Syaḥrȗr
menafsirkan surāh al-Hujrāt/49:13, dengan menggunakan pendekatan
pembacaan modern yang ditawarkannya.
Penelitian ini menemukan bahwa M. Syahrȗr berkontribusi pada
sistimatisasi pembentukkan suatu bangsa. Menurut pemikir lain suatu
bangsa terbentuk apabila sekumpulan kelompok manusia mampu
membangun sejarah dan tujuan hidup bersama. Pemikir lain menambahkan
unsur kepemilikkan bahasa dan adat istiadat yang sama. Sementara M.
Syahrȗr melihat bahwa suatu bangsa terbentuk secara evaluatif mulai dari
kumpulan manusia yang hidup bersama tapi belum mempunyai ikatan dan
tujuan yang sama seperti kumpulan orang yang dikategorikan memiliki
kebudayaan primitif. Kelompok ini disebut oleh Syahrȗr sebagai ummat.
Kelompok tersebut berkembang menjadi qabȋlah. Qabȋlah ini dicirikan telah
memiliki bahasa yang mereka gunakan sehari-hari. Apabila sejumlah
qabȋlah bersatu dan bersepakat untuk hidup bersama dengan peradaban
yang mereka miliki maka mereka ini menurut Syahrȗr disebut Syu‟ȗb
(bangsa). pandangan Syahrȗr menarik untuk dibahas karena Ia
menjelaskannya secara lebih alamiah.
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan rasa syukur penulis haturkan pada zat ilahi Rabbi yang
mahakuasa yang telah memberikan kesehatan, rahmat dan kesejahteraan
bagi para hamba-Nya, serta menurunkan lembaran-lembaran yang
tersucikan, lembaran yang sangat interpretatif dengan lafal dan makna
sebagai sumber pengetahuan yang senantiasa perlu kita jamah. Shalawat dan
salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muḥammad SAW, sahabat-
sahabatnya dan kepada semua pengikutnya sampai akhir zaman. Amma
Ba‟du.
Studi ini bagian kecil untuk mendorong umat Islam supaya bisa
menjadi berkualitas, seperti halnya para „Ulama´(ilmuan) dan Nabi
terdahulu. Di samping itu, mungkin dalam tulisan ini masih ada kekurangan
mohon bagi yang berkepentingan memberikan kritik dan sarannya. Karena
penulis sangat terbuka dan mengucapkan terimakasih.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengalami berbagai ujian
yang menyita waktu dan materi, serta desakan berbagai hal. Penulisan
skripsi ini sungguh bukanlah hal yang sepele, melalui mekanisme proses
yang mengharuskan menggunakan frame ijtihād (fokus), mujāhadah
(perjuangan jasmani dan rohani), jihȃd (memperbaiki sisi jelek pribadi),
sabar (tidak putus asa), dan tawakal (optimis berhasil). Seperti melacak dan
mencari bahan pustaka, serta kebutuhan berfikir bahkan sikap al-„ajalah
(segala sesuat yang disegerakan). Namun, karena sadar akan tanggungjawab
seorang akademisi, penulis merasa bahagia. Sehingga dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Tentunya, tugas akhir ini dapat terselesaikan berkat
ii
kontribusi dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan penghargaan dan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dede Rosyada, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
menempuh studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin beserta jajarannya. Yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk bergelut di dalam bidang keilmuan
Ushuluddin.
3. Ibu Dr. Lilik Umi Kutsum, MA. Selaku Ketua Jurusan Ilmu al-
Qur‟an dan Tafsir, dan Ibu Dra. Banun Binaningrum M.Pd selaku
sekertaris jurusan.
4. Dosen pembimbing Skripsi, yakni Kusmana, MA. Ph.D. Yang telah
memberikan komentar dan catatan dalam penulisan skripsi ini,
dengan ketulusan hatinya memberikan bimbingan dan arahannya
sehingga, penulis dapat mengatasi kesulitan dalam penyelesaian
skripsi ini.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, yang telah memberikan banyak ilmu dan bimbingan kepada
penulis.
6. Orang tua, Ema Iroh dan Apa M. Taopik, yang telah mencurahkan
kasih sayangnya dan do‟a sepanjang waktu. Senantiasa berusaha
memberikan yang terbaik buat anak-anaknya. Penulis merasa
beruntung dididik dengan pendidikan ketuhanan yang mereka bina.
iii
7. Para sahabat-sahabat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII), Forum Mahasiswa Alumni Turus (Format), sahabat-sahabat
Tafsir Hadis angkatan 2012, dan semua pihak yang tidak dapat
penulis sebutkan di sini satu persatu, yang telah memberikan ilmu
dan pengalaman berorganisasi, serta membantu dan memberikan
dorongan dan dukungan yang tulus kepada penulis.
8. Serta semua pihak yang telah membantu penulis baik dari segi
materi maupun in materi.
Semoga Allah SWT selalu memberkahi dan membalas semua
kebaikan pihak-pihak yang turut serta membantu penyelesaian skripsi ini.
Sebagai penutup, semoga studi ini bermanfaat. Penulis memohon ampunan
kepada Allah SWT yang maha pengampun. Sadaqa allahu al-„Azim,
percaya pada janji tuhan itu niscaya (semua perkataan-Nya Benar).
Amȋn yȃ Allȃh yȃ Rabb al-lȃmȋn.
Jakarta, Maret 2018
Muhamad Isrop
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................ v
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................
vii BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................ 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 9
D. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 9
E. Metodologi Penelitian................................................................ 11
F. Sistematika Penulisan ................................................................ 13
BAB II BANGSA: TEORI DAN TAFSIR
A. Pengertian Bangsa .................................................................... 15
B. Teori ......................................................................................... 20
1. Teori Klasik ......................................................................... 20
1.1. Teori Bangsa Menurut Aristoteles ............................... 20
1.2. Teori Bangsa Menurut Ibnu Khaldun .......................... 21
2. Teori Modern ....................................................................... 23
2.1. Teori Bangsa Menurut Ernest Renan........................... 23
2.2. Teori Bangsa Menurut Soekarno ................................. 23
C. Bangsa (Syu‟ȗb) dalam al-Qur‟ān ............................................ 26
1. Tafsir Surāh al-Hujrāt Ayat 13 ............................................ 26
a. Teks dan Terjemah......................................................... 26
b. Asbab Nuzul ................................................................. 26
c. Tafsir Ayat .................................................................... 27
1. Tafsir Klasik-Pertengahan......................................... 27
2. Tafsir Modern............................................................ 28
D. Kajian Bangsa (Syu‟ȗb) dalam Pemikir Islam.......................... 30
v
BAB III MUḤAMMAD SYAHRȖR: RIWAYAT HIDUP DAN
PEMIKIRAN
A. Riwayat Hidup ...................................................................33
1. Pendidikan dan Karir ....................................................33
2. Karya-karya Muḥammad Syahrȗr.................................37
B. Pemikiran Muḥammad Syahrȗr.........................................40
1. Kajian Islam ..................................................................40
2. Pembacaan Hermeneutik...............................................45
BAB IV BANGSA (SYU‟ȖB) DALAM AL-QUR‟ĀN MENURUT
MUḤAMMAD SYAHRȖR
A. Makna Bangsa (Syu‟ȗb)............................................................ 53
B. Bangsa (Syu‟ȗb) dalam al-Qur‟ān ............................................ 55
C. Faktor-Faktor Terbentuknya Bangsa (Syu‟ȗb) ......................... 58
D. Perbedaan Bangsa (Syu‟ȗb), Ummat, Qaumiyyȃh dan Negara 60
E. Signifikansi Makna Syu‟ȗb di Indonesia .................................. 68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................... 72
B. Rekomendasi ............................................................................ 73
DAFTAR PUSTAKA
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini
berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi yang terdapatdalam buku
Pedoman Akademik Program Strata 1 tahun 2012-2013 UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
a. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
ḥ ha dengan titik di bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
ṣ es dengan titik di bawah ص
ḍ de dengan titik di bawah ض
ṭ te dengan titik di bawah ط
ẓ zet dengan titik di bawah ظ
„ عkoma terbalik di atas hadap
kanan
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
vii
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrof ء
Y Ye ي
b. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa Indonesia,
terdiri dari vocal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vocal tunggal, ketentuan alihaksaranya adalah sebagai berikut:
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
◌ A Fathah
◌ I Kasrah
◌ U Dammah
Ada pun untuk vokal rangkap, ketentuan alihaksaranya adalah
sebagai berikut:
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
◌ ي Ai a dan i
◌ و Au a dan u
Vokal Panjang
Ketentuan alihaksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
viii
Ā a dengan garis di atas
Ī i dengan garis di atas ى ي
ى وū u dengan garis di atas
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu ال , dialihaksarakan menjadi hurup /l/, baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-
diwân bukan ad-diwân.
Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda (◌), dalam alihaksara ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan
tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu
terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.
Misalnya, kata روة ,tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah الرض
demikian seterusnya.
Ta Marbûtah
Berkaitandenganalihaksaraini, jikahurufta marbûtahterdapatpada
kata yang berdirisendiri, makahuruftersebutdialihaksarakanmenjadihuruf /h/
(lihatcontoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah
tersebut diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta
marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menja dihuruf /t/ (lihat contoh 3).
Contoh:
ix
No TandaVokal Latin Keterangan
Tarîqah رطيقة 1
ااجلمعة ايمالسإل ة 2al-Jâmi‟ah al-Islâmiyyah
Wahdat al-wujûd وحدة اولجود 3
Huruf Kapital
Meski pun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal,
dalam alihaksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan
mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan
(EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat,
huruf awal, nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting
diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis
dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal
atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid
Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi).
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat
diterapkan dalam alihaksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak
miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu
ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alihaksaranya.
Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun
akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-
Palimbani, tidak „Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak
Nûr al-Dîn al-Rânirî.
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kata bangsa dalam bahasa Arab berasal dari kata Sya‟uba yang
bermakna “perkumpulan kelompok” (tajammu‟) atau sempalan (firqah).1
Sya‟b, syu‟bah, dan insyi‟ab, adalah istilah yang mempunyai arti bahwa
bangsa manusia di planet bumi ini terbagi dalam berbagai cabang
(syu‟bah). Setiap cabang merupakan satu bangsa tersendiri. Artinya mereka
memisahkan diri dalam berbagai kelompok, dan kelompok itu merupakan
cabang dari kumpulan manusia.2
Abdullah Yusuf Ali menjelaskan kata sya‟b dengan nation.3
Untuk
membantu memahami kata sya‟b. Ia menggunakan dua pendekatan :
pertama, pendekatan sejarah, yang menjelaskan tentang sya‟b turun
berkenaan dengan persepsi masyarakat Arab tentang kemuliaan status sosial
berupa diskriminasi antara budak dan non budak, antara kulit putih dan kulit
hitam dalam kasus Bilal bin Rabah.4
Kedua, dengan pendekatan sistematis,
ayat tersebut memiliki kandungan pokok berikut: a. Seruan Allah kepada
manusia secara universal bahwa Allah menciptakan manusia dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, b. Konsekuensi logis dari penciptaan,
yakni perkembangan dan penyebaran manusia menjadi Syu‟ȗb dan qaba‟il,
c. Sesuai dengan makna dasar kata Syu‟ȗb yakni manusia berkumpul pada
1 Muhammad Syahrur, Tirani islam, Genealogi Masyarakat dan
Negara.Penerjemah Saifuddin Zuhri dan Badrus Syamsul (Yogyakarta:LkiS 1994), h. 88. 2
Ali Syariati, Ummah dan Imamah, Suatu Tinjauan Sosiologis, terj. Afif
Muhammad (Bandung: Pustaka Hidayat), h. 47. 3
Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of The Holy Qur‟an (Maryland, Amana
Corporation, 1992), h.85. 4
Qamaruddin Saleh, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat- aayat Al-Qur‟an, (Bandung: CV. Diponogoro, 1996), cet. 18, h. 75.
1
satu rumpun keturunan tertentu dan tersebar dalam berbagai kelompok
sosial dan mereka diharapkan saling mengenal, d. Kemuliaan manusia
ditentukan oleh tingkat ketakwaan.
Berdasarkan pendekatan di atas, Syu‟ȗb dapat diartikan sebagai
kelompok sosial yang besar, yang memiliki tradisi atau berinteraksi satu
dengan yang lainnya untuk saling mengenal, dan menggunakan bahasa
tertentu yang membedakan dari kelompok sosial lainnya. Sedangkan
pengertian bangsa menurut Grosby adalah wilayah komunitas dari tanah
kelahiran.5
Paham bangsa pada dasarnya belum dikenal pada masa turunnya al-
Qur‟ān. Paham ini baru muncul dan berkembang di Eropa sejak akhir abad
ke-18, dan baru dikenalkan oleh umat Islam setelah kehadiran Napoleon ke
Mesir pada tahun 1798 M.6
Ketika itu Napoleon bermaksud menyingkirkan
kekuasaan Mamlik dan untuk itu Ia menonjolkan bahwa Mamlik adalah
orang-orang Turki yang berbeda keturunannya dengan orang-orang Mesir.
Oleh karena itu, para pakar berbeda pendapat tentang unsur-unsur yang
harus terpenuhi untuk menamai suatu kelompok manusia sebagai suatu
bangsa. Demikian pula berbeda pendapat tentang ciri-ciri mutlak harus
terpenuhi dalam mewujudkan suatu bangsa.
Secara antropologis, dalam realitasnya perbedaan suku, bangsa dan
agama sesuatu yang tidak bisa dipungkiri dan dihindarkan. Hal ini adalah
keniscayaan sebagai hukum alam. Perbedaan bangsa, warna kulit dan
bahasa di dalam al-Qur‟ān dengan tegas menyatakan :
5 Steven Grosby, Nasionalisme (Surabaya: Portico, Cet.1, 2010), h. 11. 6
Perpustakaan Nasional RI, al-Qur‟an dan Kenegaraan: Tafsir al-Qur‟an Tematik (Jakarta: Lajnah Pentashihan al-Qur‟an, 2011), h. 21.
Dan di antara kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda tanda bagi orang yang mengetahui” (ar-Rum: 22).
7
Pandangan Al-Qur‟ān terhadap perbedaan diletakkan dalam bingkai
untuk menunjukkan prinsip persamaan (egalitarianisme), persatuan dan
persaudaraan universal. Dengan hal tersebut, manusia dapat melakukan
kerjasama, dialog keterbukaan sekalipun terdapat banyak perbedaan.
Perbedaan yang ada bukan dimaksud untuk menunjukkan superioritas
masing-masing terhadap yang lain, melainkan saling mengenal dan
menghargai keragaman. Kita memang berbeda tetapi perbedaan sebagai titik
awal untuk menyatu, sehingga komitmen dan partisipasi dalam bangsa perlu
diperbaharui dalam menyikapi perbedaan keragaman.
Di sisi lain, perbedaan suku dan bangsa terkadang menjadi konflik
horizontal (individu vs Individu) dan vertikal (Negara vs Negara). Konflik
terjadi akibat rasa fanatisme suku (etnosentris) yang berlebihan yang
berujung pada faham kesukuan yang eksklusif, menganggap dirinya suku
yang unggul atau rasis (racism).8
Munculnya fenomena konflik atas nama etnis, suku, bangsa dan
agama melahirkan sikap radikalisme yang berdampak pada upaya
perpecahan sebagai agama, bangsa dan negara. Mereka berbicara atas nama
7
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah (Jakarta: PT. Citra Kharisma
Bunda, 2009),h. 571. 8
Dalam Kamus filsafat, rasisme (racism) adalah membenarkan perbedaan warna kulit, ketidaksamaan sosial, eksploitasi dan peperangnan diantara orang-orang yang pada kenyataanya termasuk suku atau ras yang berbeda. Lihat, Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 932.
kepentingan kelompok, dengan mengorbankan kepentingan yang lebih
besar, yaitu: persatuan dan kesatuan.
Padahal al-Qur‟ān telah menegaskan pentingnya persatuan dan
kesatuan dengan menunjukkan dari keturunan yang sama-satu (QS. An-
Nisā‟/4: 1). Selain itu, al-Qur‟ān menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada
paksaan dalam memeluk agama (surāh al-Baqarāh/1: 256). Dan bagi umat
Islam untuk berpegang teguh pada agama Allah, dan janganlah bercerai-
berai (surāh al-„Imrān/3: 103). Rasa perasatuan dan kesatuan tergusur dan
terkikis oleh fanatisme agama, suku dan bangsa yang menjadi idiologi
dominan dan menyebabkan virus perpecahan di kalangan suku dan bangsa.
Lebih-lebih dalam hubungan antar agama yang seiman, juga terjadi
perpecahan yang berujung pada sikap saling bermusuhan.
Kenyataan di atas menunjukan bahwa umat Islam belum mampu
secara tepat menangkap pesan-pesan al-Qur‟ān dan hadis tentang
masyarakat sebagaimana mestinya, termasuk di dalamnya Syu‟ȗb (bangsa)
sehingga belum mampu mengimplementasikan dan membumikan pesannya
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk itulah penggalian
konsep Syu‟ȗb dalam Qur‟ān akan sangat diperlukan sekali guna
merumuskan konsep yang utuh dan menyempurnakan cara pandang yang
masih sepihak terhadap pesan al-Qur‟ān.
Term yang digunakan dalam al-Qur‟ān yang menunjuk makna
bangsa memiliki varian yang beragam yaitu ummah, qaum, Syu‟ȗb, dan
qabȋlah. Kosa kata yang digunakan al-Qur‟ān secara bahasa dapat kita lacak
perbedaan akar katanya yang berimplikasi pada penekanan makna yang
terkandung di balik teks dan kata. Hal ini terkait dengan prinsip bahwa kata-
kata dalam al-Qur‟ān tidak ada yang sinonim (asinonimitas). Satu kata
hanya mempunyai satu makna.9
Untuk memahami wawasan al-Qur‟ān tentang terma bangsa, salah
satu pertanyaan yang dapat muncul adalah, kata apakah yang sebenarnya
dipergunakan oleh kitab suci al-Qur‟ān untuk menunjukkan konsep bangsa ?
apakah Syu‟ȗb, qaum, atau ummah.
Kata qaum dan qaumiyyah, sering dipahami dengan arti bangsa dan
kebangsaan Arab. Kebangsaan Arab dinyatakan oleh orang-orang Arab
dewasa ini dengan istilah al-Qaumiyyah al-„Arȃbiyyah. Pusat Bahasa Arab
Mesir pada tahun 1960, dalam buku Mu‟jam al-Wasith menerjemahkan
bangsa dengan kata ummah.
Namun penulis menunjuk pada kata Syu‟ȗb yang terdapat pada surāh
al-Hujrāt/49: 13.
Artinya: “ Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
9Metodologi ini dipaparkan dengan jelas dalam corak tafsir sastrawi (al-Tafsir al-
Bayani) yang dikembangkan oleh Amin al-Khulli. Ia merupakan tokoh mufasir
kontemporer yang memperlopori lahirnya tafsir gaya baru, yaitu tafsir sastrawi, yang
prinsipnya adalah bahwa al-Qur‟an adalah kitab sastra terbesar. Metode tafsir ini lalu
dikembangkan oleh murid sekaligus istrinya, Aisyah Abd al-Rahman Bint al-Syati kedalam
empat metodologi. Pertama, menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, kedua, munasabah
antar ayat maupun antar surat, ketiga, metode yang berpegang pada prinsip bahwa ibrah itu
sesuai dengan bunyi teks, bukan dengan asba al-Nuzul, keempat, keyakinan bahwa kata-
kata di dalam al-Qur‟an tidak ada sinonim (sinonimitas). Baca muhammad Yusron,
“Mengenal Pemikiran Bint al-Syati‟ Tentang al-Qur‟an” dalam kumpulan tulisan dosen
Tafsir Hadis, UIN Sunan Kalijaga, Muhammad Yusron (Dkk), Studi Tafsir Kontemporer
(Yogyakarta: TH-Press, 2006), h. 25.
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
10
Dalam ayat ini, kata Syu‟ȗb yang diterjemahkan sebagai “Bangsa”
seperti ditemukan dalam terjemahan al-Qur‟ān yang disusun oleh
Departemen Agama RI.
Terkait konsep Bangsa (Syu‟ȗb), penulis mengangkat salah satu
pemikiran yang dianggap fenomenal. Pemikiran yang tertuang dalam karya-
karyanya mengandung pro kontra,11
dialah Dr. Ir. Muḥammad Syahrȗr.
Tokoh yang lahir di Damaskus ini adalah seorang insinyur yang meraih
gelar master dan doktoralnya dalam bidang perminyakan dan tehnik
bangunan. Di sini timbul tanda tanya besar, karena jika dilihat dari
background pendidikannya tidak memiliki kualitas seorang mufasir, jika
melirik pada kriteria yang di sebutkan oleh Imam al-Suyūti. Kendatipun
demikian di sisi lain ia banyak tertarik tentang linguistik dan ilmu-ilmu
humaniora, salah satu teman sekaligus guru diskusinya adalah Dr. Ja‟far
Dikk al-Bāb.12
Sebagai seorang yang ahli dalam bidang linguistik kontroversial, Ia
banyak mengeluarkan teori-teori bahkan pemaknaan baru yang tak pernah
terbetik dalam nalar pemikiran lain. Tentunya dikarenakan rujukan terhadap
kamus Maqȃyȋs Lughāh karya Ibn al-Farisi, sebuah kamus yang dianggap
10 Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah (Jakarta: PT. Citra Kharisma
Bunda, 2009),h. 744. 11
Setiap pemikiran selayakya disikapi dengan kepala dingin, betapapun berbedanya dengan kita. Hanya dengan demikianlah, kita bisa mengambil jarak untuk mengkaji dan melakukan refleksi secara mendasar terhadap apa yang tertuang dalam setiap gagasan, khususnya yang terdapat dalam buku-buku Syahrur. Lihat, Muhammad Syahrur, prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur‟an Kontemporer, terj. Sahiron Samsuddin, MA
dan Burhanuddin (Yogyakarta: eLSAQ press, 2004), cet ke I, h. xi. 12
Muhammad Syahrur, Tirani Islam,h. X.
syadz (Asing), yang berpijak pada la tarȃduf fi al-kalimȃt, (tidak adanya
sinonimitas dalam tiap kata), yang telah banyak memberinya inspirasi untuk
mengeluarkan sebuah makna kata baru, dalam memahami bahasa
masyarakat dan negara.
Dalam hal ini Muḥammad Syaḥrȗr ikut mewarnai pergulatan
intelektual muslim tentang konsep negara dan bangsa, Syaḥrȗr melakukan
sebuah eksplorasi jauh; melacak genealogi negara dalam al-Qur‟ān.
Menurutnya pertama-tama manusia berkembang sebagai keluarga, belum
ada suku atau klan. Perkembangan selanjutnya manusia berkembang
menjadi sebuah klan yang menghimpun antar keluarga, dan dari klan ini
lahirnya sebuah suku. Dari komunitas suku, manusia berkembang menjadi
komunitas bangsa (Syu‟ȗb).13
Perkembangan-perkembangan ini memiliki karakteristik dan
konsekuensinya sendiri. Dalam hal ini, perkembangan manusia itu
mengarah pada kemajuan, bukan kemunduran. Misalnya, tipologi awal
manusia menyerupai hewan; dan di masa lalu moralitas pun berkembang
sesuai dengan tahapannya (misalnya masalah zina belum ada pengharaman
dalam wahyu (al-Qur‟ān), di masa Adam dan Ibrahim. Dalam hal ini,
Syaḥrȗr sedang menolak keras mereka yang mengatakan bahwa
perkembangan dunia sekarang ini ada dalam posisi bejat, amoral dan
mundur ketika mengarah kepada konsep negara dan bangsa.
Dalam perkembangan peradaban, konsep bangsa adalah konsep
tertinggi yang lebih berperadaban, setelah melampaui keluarga, klan, dan
13 Muhammad Syahrur, Tirani Islam,h. 84.
suku. Islam dalam hal ini, datang di tengah-tengah peradaban manusia yang
juga masih bersandarkan kesukuan. Karena itu, moralitas-moralitas dan
legalitas hukum yang diciptakannya sesuai dengan perkembangannya, tidak
lebih. Hanya saja, moralitas-moralitas dan dan legalitasnya berkembang
sesuai dengan masa umat Islam, bahkan pasca Nabi. Tujuannya untuk
menyesuaikan “isi” dengan bentuk legalnya, atau menyesuaikan antara
perubahan dan substansinya.
Menurut Syahrȗr, Syu‟ȗb adalah sekumpulan manusia ( yȃ ayuhȃ an-
nȃs) yang berakal, mereka mempunyai bahasa yang berafiliasi dengan satu
qaum ataupun lebih. Mereka mempunyai naluri serupa, namun berbeda
kebudayaan. Syu‟ȗb, dimana didalamnya tercakup ummah ataupun umam,
maknanya lebih umum daripada definisi ummat dan qaumiyyah. Sebab,
makna Syu‟ȗb sendiri sebenarnya telah mencakup makna keduanya, dan ia
mengandung makna yang tidak tercakup dalam makna keduanya.14
Berdasarkan uraian di atas penulis akan mencoba memaparkan
sekaligus menjelaskan ide-ide yang dikemukakan oleh Muḥammad Syahrȗr
dengan judul “PENAFSIRAN SYU‟ȖB DALAM AL-QUR‟ĀN:
PEMBACAAN HERMENEUTIKA MUḤAMMAD SYAḤRȖR”
14 Syahrur, Tirani Islam, h.88-89.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dari pemaparan penulis di atas, penulis memfokuskan
pembahasannya pada Qs. al-Hujrat ayat 13 yang berkaitan dengan syu”ub
(Bangsa), dan pemikiran menurut Muḥammad Syahrȗr.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah yang telah dibatasi, penulis merumuskan
masalah sebagai berikut:
Bagaimana Muḥammad Syaḥrȗr menafsirkan Qs. al-Hujrāt/49:13
dalam kaitannya dengan wacana Syu‟ȗb (bangsa) ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara umum penelitian ini menjelaskan bagaimana pandangan
Muḥammad Syahrȗr khususnya mengenai konsep bangsa (Syu‟ȗb). Secara
khusus dalam penulisan ini bertujuan untuk: pertama. Mengidentifikasi
sumbangan pemikiran Muḥammad Syaḥrȗr dalam wacana Syu‟ȗb (bangsa)
Kedua, mengetahui dan menjelaskan makna bangsa yang digunakan di
dalam al-Qur‟ān. Ketiga, mengetahui dan mendeskripsikan pandangan para
tokoh terhadap bangsa.
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan sumbangan berarti
bagi studi pemikir Islam khususnya yang berbicara tentang Syu‟ȗb (bangsa)
di dalam al-Qur‟ān.
D. Tinjauan Pustaka
Dari pengamatan penulis, sampai saat ini penulis belum
menemukan sarjana lain yang telah membahas pandangan Syaḥrȗr tentang
Syu‟ȗb. adapun penelitian sebelumnya banyak membahas tentang konsep
Syu‟ȗb secara terpisah atau pemikiran Islam Syaḥrȗr secara umum.
Dalam tinjauan pustaka di sini, penulis meninjau dari beberapa hal
berikut: pertama, sejauh penulis dapat ketahui karya-karya ilmiah yang ada,
tidak menyoroti pemikiran Muḥammad Syahrȗr tentang konsep bangsa
(Syu‟ȗb).15
Kedua, beberapa karya ilmiah yang membahas tentang konsepsi
bangsa (Syu‟ȗb), tetapi tidak memfokuskan hanya kepada konsep bangsa
saja. Antara lain : Membumikan al-Qur‟ān karya M. Quraish Shihab, tahun
2010,16
Tirani Islam: Genealogi Masyarakat dan Negara karya Muḥammad
15 Misalnya, Ahmad Azhar Fitriyanto menulis tentang “Menggugat Diskriminasi
Jender: Model Pemahaman Syahrȗr atas Ayat-Ayat Jender” (2004). Muhammad
NurKholis menulis tentang “Rekontruksi Konsep Iman dan Islam: model Pemahamad M
Syahrȗr” (2004), Muhammad Musadad menulis tentang “Kontekstualisasi al-Qur‟an
Menurut Fazlur Rahman dan Muhammad Syahrȗr”(2005), Sobrun menulis tentang “Aurat
Perempuan Dalam Perspektif Muhammad Syahrȗr”(2006). Noor Rohman menulis
tentang, Konsep Kepemimpinan (Qiwamah) Perempuan dalam al-Qur‟an; Analisis Tafsir
Muhammad Syahrȗr”. Tahun 2009.Irfan Soleh menulis tentang “Aurat Perempuan
Diamata Pengkritik Muhammad Syahrȗr” tahun 2010. Ahmad Zaki Mubarak menulis
tentang ”Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir al-Qur‟an “ala” Muhammad
Syahrȗr” tahun 2007. Kholilurrahman dalam skripsinya “Taraduf (Sinonim) dalam al-
Qur‟an: Telaah Pemikiran Muhammad Syahrȗr dalam Al-Kitab wa al-Qur‟an” tahun
2007. M. Sahlan menulis tentang “Pemikiran Muhammad Syahrȗr tentang Sistem
Pembagian Harta Waris” dengan kode 2228. Fahrur Razi dalam Skripsinya “Wasiat dan
Waris dalam al-Qur‟an Perspektif Muhammad Syahrȗr” dengan Kode 812 PPST. Arif
Furqon menulis tentang “Metodologi Fiqih Islam Kontemporer Menurut Muhammad
Syahrȗr” dengan kode 1070 PPST. M. Tohar al-Abza dalam Skripsinya “Kontekstualisasi
al-Qur‟an: Studi Kriti atas Metodologi dalam Pandangan Muhammad Syahrȗr tentang
Asbab an-Nuzul dalam Pembacaan al-Qur‟an” dengan kode 1092 PPST. 16
dalam bukunya ini beliau membahas tentang karakter terpenting bagi suatu bangsa atau kelompok yang unggul. Buku tersebut menyinggung paham kebangsaaan menurut al-Qur‟an dengan menunjuk pada kata Ummah dan Ashabiyah, namun di sini tidak dijelaskan secara terperinci keta syu‟ub dengan makna dalam konteks Arab saat al-Qur‟an diturunkan.
Syahrȗr, Tahun 2003,17
Muqaddimah karya Ibn Kholdun, tahun 1986,18
dan
Ummah dan Imammah: suatu tinjauan sosiologis karya Ali Syari‟ati.19
E. Metodologi Penelitian
Metodologi adalah bagian epistemologi20
yang mengkaji perihal
urutan langkah-langkah yang ditempuh supaya pengetahuan yang diperoleh
memenuhi ciri-ciri ilmiah. Terkait dengan hal ini, metodologi juga dapat
dipandang sebagai bagian dari logika yang mengkaji kaidah penalaran yang
tepat.21
Metodologi merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran
supaya menjadi terarah, sistematis dan objektif. Dalam kajian ini, penulis
menggunakan penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian (baca:
Historis faktual), misalnya perilaku persepsi, motivasi, tindakan, dll secara
holistik, dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa,
pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode ilmiah.22
Pengertian penelitian kualitatif bisa
disederhanakan sebagai data penelitian yang tidak berbentuk angka, atau
17
Dalam buku ini beliau menjelaskan bagaimana perkembangan dan pertumbuhan
masyarakat dan negara yang awalnya dari keluarga berkembang menjadi bangsa, 18
Menjelaskan tentang konsep ashabiyat diposisikan dalam kerangka dan bagunan awal berdirinya negara dan kekuasaan serta perkembangannya, fokus buku ini, menganalisanya dari aspek sosiologis dan historis, bukan dari sudut pandang al-Qur‟an.
19 yang membicarakan spektrum dan beberapa pengertian tentang ummat. Dalam
penjelasan nya tidak ada sebutan ummat tanpa adanya imammah. Namun penjelasan buku
ini lebih menonjol pemahaman hubungan ummat dengan kepemimpinan. 20
Epistemologi adalah sebuh cabang ilmu filsafat yang secara khusus mengkaji teori ilmu pengetahuan, meliputi kajian tentang hakikat ilmu, sumber ilmu, metode, dan uji kebenaran(verifikasi). Lihat, Abdul Mustakim, Epistimologi Tafsir Kontemporer (LkiS Group, 2010), h. 10. Lihat juga, Jujun S.Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar
Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), h. 119. 21
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 107. Lihat Juga, Muhammad Syahrȗr, Prinsip dan Dasar Hermeneutika, h. xvi-
xvii. 22
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), cet. Ke-26, h. 6.
tidak diangkakan. Sebab, dalam menganalisis data menggunakan kata-kata.
Menurut Jujun S. Suriasumantri, Sifat pokok penelitian kualitatif adalah
mengembangkan konsep-konsep baru yang bersifat mendasar dan teoritis.
Dalam proses pengumpulan data, penulis menggunakan library
research (studi kepustakaan) yaitu penelitian yang cara kerjanya
menggunakan data dan informasi dari berbagai macam materi dan literatur
baik berupa buku, majalah, surat kabar, naskah, catatan, ensiklopedi,
dokumen, serta karya ilmiah yang berupa makalah ataupun artikel yang
relevan dengan obyek penelitian, baik dari sumber primer maupun
sekunder.23
Untuk data primer penulis merujuk pada kitab Dirȃsȃt Islȃmiyyah
Mu‟ȃṣirah fi ad-Daulȃh wa al-Mujtama yang diterjemahkan dengan judul
Tirani Islam: Genealogi Masyarakat dan Negara, dan al-Kitab wa al-
Qur‟ān karya Muḥammad Syahrȗr. Untuk data sekunder penulis
menggunakan buku-buku, kamus, artikel, makalah yang berkaitan dengan
kajian yang dibahas.
Selanjutnya, setelah data terkumpul maka data dianalisis untuk
mendapatkan konklusi. Metode analisis yang digunakan dalam pembahasan
skripsi ini adalah Metode Deskriptif Analitik. Metode deskriptif yaitu suatu
metode yang bermaksud untuk menggambarkan data-data dalam menguji
atau menjelaskan sebuah hipotesa guna menjawab pertanyaan penelitian.
Sedangkan analitis yaitu sebuah tahapan guna menguraikan atau menafsiran
data-data yang telah terkumpul dan tersusun secara sistematis. Jadi metode
23 Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), h. 03.
deskriptif analitik yaitu sebuah metode pembahasan untuk memaparkan data
yang telah tersusun dengan melakukan kajian dan tafsiran terhadap data
tersebut. 24
Sebagai pedoman penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku
Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Biro Akademik dan
Kemahasiswaan Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
2012.25
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dan lebih sistematisnya pembahasan skripsi
ini, maka berikut ini penulis jelaskan dalam sistematika penulisan.
Secara garis besar Skripsi ini terdiri dari lima bab tiap bab dibagi
menjadi sub bab, dan setiap sub bab mempunyai pembahasan masing-
masing yang mana antara satu dan yang lainya saling berkaitan. Adapun
lima bab yang dimaksud adalah sebagai berikut :
Bab Pertama. Pendahuluan. Dalam pembahasan ini berisikan Latar
Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
Tinjauan Pustaka, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Bab Kedua. Penggambaran secara umum tentang Konsep Bangsa:
Teori dan Tafsir, yang meliputi: Pengertian Bangsa, teori, Syu‟ȗb (Bangsa)
dalam al-Qur‟ān, dan Kajian Bangsa (Syu‟ȗb) dalam Pemikir Islam.
Bab Ketiga. Menerangkan sekilas tentang biografi Muḥammad
Syahrȗr dan Pemikirannya, yang meliputi: Riwayat Hidup, Pendidikan dan
Karir, Karya, dan Pemikiran.
24 Komaruddin, Kamus Riset (Bandung: Angkasa, 1989), h.23. 25
Mohammad Matsna HS, dkk., Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012-2013.
Bab Keempat. Membahas tentang Bangsa (Syu‟ȗb) dalam al-Qur‟ān
Menurut Muḥammad Syahrȗr yang meliputi: Makna Bangsa
(Syu‟ȗb),Sejarah Terbentuknya Bangsa (Syu‟ȗb), Tujuan, Perbedaan bagsa
(Syu‟ȗb), Ummat, Qaumiyyah dan Negara dan signifikansi makna Syu‟ȗb di
Indonesia.
Bab Kelima. Merupakan Penutup, berisi tentang Kesimpulan, yang
merupakan jawaban atas persoalan dalam skripsi ini. Di samping itu di
jelaskan pula tentang saran-saran dan rekomendasi.
BAB II
BANGSA: TEORI DAN TAFSIR
A. Pengertian Bangsa
Bangsa mempunyai dua pengertian, pengertian antropologis-
sosiologis, dan politis.1
Dalam pengertian antropologis-sosiologis, bangsa
adalah suatu masyarakat yang merupakan suatu persekutuan hidup yang
berdiri sendiri dan masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut
merasa satu kesatuan ras, bahasa, agama, sejarah dan adat istiadat. Dalam
pengertian antropologis dapat pula anggota satu bangsa ini tersebar di
beberapa negara. Adapun yang dimaksud bangsa dalam pengertian politik
adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan mereka tunduk
kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan
ke dalam.
Para ahli kebangsaan menyatakan bahwa kehidupan berbangsa
mensyaratkan adannya “kehendak untuk bersatu”. Dengan kata lain,
kehidupan berbangsa terjadi karena masing-masing warga negara merasa
dirinya satu kesatuan yang tak terpisahkan, baik disebabkan kesatuan
geografis, nasib, maupun tujuan. Kesadaran berbangsa seharusnya
melahirkan kesadaran sosial, di mana masing-masing warga senantiasa
terikat dengan tatanan sosial tempatnya berada. Karena itu, sistem hukum
dan sistem sosial memiliki arti sangat penting bagi setiap individu, karena
1 Aminuddin Nur, Pengantar Studi Sejarah Pergerakan Nasional (Jakarta:
Pembimbing Massa, 1967) h. 87.
15
16 16
didalamnya menyangkut hak dan kewajiban yang diperoleh dan
dilaksanakan.2
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Bangsa adalah
kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan
sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri.3
Definisi-definisi bangsa berkisar
mulai dari yang menekankan faktor-faktor obyektif seperti bahasa, agama,
dan adat istiadat, wilayah dan institusi, sampai definisi-definisi yang
sepenuhnya menekankan faktor-faktor subyektif seperti sikap, persepsi,
sentimen. Contoh definisi yang menekankan faktor-faktor obyektif datang
dari Joseph Stalin: „Suatu bangsa terbentuk secara historis, merupakan
komunitas rakyat stabil yang terbentuk dengan dasar kesamaan bahasa,
wilayah, kehidupan ekonomi, serta persamaan psikologis yang terwujud
dalam budaya yang sama. Contoh definisi yang lebih subjektif mengenai
bangsa berasal dari Benedict Anderson: Bangsa adalah suatu komunitas
politik yang dibayangkan secara inheren terbatas sekaligus berkedaulatan.4
Definisi-definisi ini tidak diragukan lagi menetapkan ciri-ciri penting
konsep bangsa, namun kedua definisi tersebut tetap dapat dipertanyakan.
Karena definisi „objektif‟ mempunyai sifat spesifik, mereka nyaris selalu
mengabaikan sejumlah kasus bangsa yang telah diterima secara luas,
kadang-kadang seperti disengaja. Seperti ditunjukan oleh Max Weber
2 Kementerian Agama RI, Tafsir al-Qur‟an Tematik: Etika Berkeluarga,
Bermasyarakat, dan Berpolitik ( Jakarta: Kementerian Agama RI, 2012), h. 85. 3
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 134.
4 Anthony D. Smith, Nasionalisme: Teori Ideologi dan Sejarah (Jakarta, Penertbit
Erlangga, 2002), h. 13.
17 17
(1948),5
kriteria bangsa yang murni objektif adalah bahasa, agama, wilayah
dan sebagainya. Sebaliknya, pada umumnya definisi subjektif terlalu
melebar dalam melihat kasus-kasusnya. Penekanan pada sentimen,
kehendak, imajinasi dan persepsi sebagai kriteria bangsa dan kepemilikan
nasional membuat definisi ini sulit membedakan bangsa dengan kolektivitas
jenis lainnya seperti agama, suku, negara kota, dan kerajaan. Akibatnya,
muncul tambahan-tambahan pandangan sebjektif yang serupa itu pula.
Secara umum, solusi yang diterapkan adalah memilih kriteria yang
meliputi spektrum „objek-subjek‟. Strategi ini telah menghasilkan banyak
definisi yang menarik dan berguna. Namun demikian, kebanyakan
mahasiswa dalam bidang ini setuju dalam dua hal: pertama, bangsa
bukanlah negara kedua, bukan pula suatu komunitas etnik.
Bangsa bukan negara karena konsep negara berkaitan dengan
kegiatan institusional, sedangkan aktivitas bangsa bercirikan suatu jenis
komunitas. Konsep negara dapat ditetapkan sebagai himpunan institusi-
institusi otonom, yang berbeda dengan institusi yang lainnya, memiliki
monopoli yang sah untuk melakukan pemaksaan dan perampasan di wilayah
bersangkutan. Hal ini berbeda dengan konsep bangsa, bahwa bangsa adalah
komunitas yang dirasakan dan dijalani, dengan anggota yang berbagi tanah
air serta budaya bersama.
Terdapat tumpang tindih antara bangsa dan komunitas etnik karena
keduanya sama-sama menjadi bagian dari kelompok fenomena yang sama
(identitas budaya kolektif). Tetapi bangsa bukanlah komunitas etnik, karena
5
Riris K. Toha Sarumpaet (ed.), Krisis Budaya? Oasis Guru Besar Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya UI (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia 2016), h.287.
18 18
biasanya komunitas etnik tidak mempunyai rujukan politik, dan dalam
banyak hal, juga kekurangan budaya publik, bahkan kekurangan dimensi
teritorial, karena, komunitas etnik belum tentu memerlukan kepemilikan
fisik di dalam wilayah historisnya. Sementara itu, bangsa bangsa harus
mempunyai tanah air sendiri, setidak-tidaknya untuk jangka panjang
tertentu. Untuk menyatakan kemerdekaan dan agar diakui, bangsa juga perlu
mengevolusikan suatu budaya publik dan berkeinginan untuk menentukan
diri sendiri. Di pihak lain, bangsa belum tentu perlu memiliki negara
berdaulat sendiri, yang diperlukan hanyalah aspirasi untuk mendapatkan
otonomi yang dibarengi kekuasaan fisik dan tanah airnya.
Pengertian utama dari bangsa dan yang paling sering dikemukakan
dalam literatur adalah pengertian politis. Pengertian ini menyamakan rakyat
dan negara menurut pengertian revolusi Amerika dan Perancis, suatu
penyamaan yang biasa dijumpai dalam ungkapan-ungkapan seperti negara-
bangsa (Nation-State), Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations), atau
retorika para presiden akhir abad ke 20. Bangsa adalah kelompok para
warganegara yang kedaulatan kolektifnya membentuk suatu negara yang
merupakan ekspresi politik mereka. Apapun pengertian lain dari bangsa
tersebut, unsur kewarganegaraan dan partisipasi atau pilihan masa selalu ada
dalam istilah itu.
Di dalam Islam “bangsa dan suku-suku” sebagai pemberi identitas,
dan dengan demikian meletakkan fondasi pluralitas. Di sini penulis
mengutip satu firman Allah yang menjadikan manusia pelbagai bangsa;
19 19
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal- mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al-Hujrat/49:13).
6
Dalam ayat ini Allah menampilkan kata Syu‟ȗb dan qaba‟il dan
tidak menyebut kata umam atau qaumiyyah. Dua term ini (umam dan
qaumiyyah) telah tercakup dalam term Syu‟ȗb.7
Menurut Mujahid, Qatadah dan adh-Dhahhak, Syu‟ȗb, adalah „nasab
yang jauh‟, sementara Qabȋlah (suku) adalah nasab yang dekat.8
Adapun
dari Ibnu „Abbas r.a. diriwayatkan dua pendapat. Pertama, Syu‟ȗb dipakai
untuk non Arab, yang dalam kalimat sahabat Nabi itu diwakili sebutan
maula: budak dan mantan budak (asing). Sementara itu qabȋlah untuk
kelompok Arab. Berdasarkan itu, al-Qusyairi mengenakan Syu‟ȗb untuk
mereka yang oleh orang Arab tidak dikenal asal keturunannya, seperti
kelompok Hindi, Turki, dan seterusnya. Kedua, Ibnu Abbas juga
menganggap Syu‟ȗb sebagai jumma‟: himpunan asal segala sesuatu.9
Tengku M Hasby Ash-Shiddiqy dalam Tafsir al-Qur‟ān al-Majid
“ANNUR” menyatakan bahwa ayat ini, Allah SWT telah menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah supaya kamu saling mengenal,
6
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah (Jakarta: PT. Citra Kharisma
Bunda, 2009),h. 744. 7 Muhammad Syahrȗr, Tirani Islam, h. 88. 8
Imam at-Thābari, Tafsir at-Thābari( Beirut: Daar al-Kutub al-„Alamiyyah,1994)
juz 17. h. 768. 9.Imam al-Thābari, Tafsīr al-Thābari, h. 769
20 20
bukan untuk bermusuhan. Jelasnya Allah SWT menjadikan kamu terdiri
dari beberapa bangsa dan warna kulit adalah supaya kamu lebih tertarik
untuk saling berkenalan. Inilah dasar demokrasi yang benar dalam Islam
yang menghilangkan kasta-kasta dan perbedaan-perbedaan bangsa. Masih
adanya perbedaan rasial (apartheid), sangat ditentang oleh agama.10
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa bangsa adalah
kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan
sejarahnya, serta mempunyai pemerintahan sendiri dan mempunyai sejarah
dan tujuan yang sama.
B. Teori
1. Teori Klasik
1.1 Teori Bangsa Menurut Aristoteles
Aristoteles (w.322 SM)11
adalah seorang pemikir politik empiris-
realis, berbeda dengan Plato yang dijuluki idealis-utopianis. Bisa dikatakan
bahwa pemikiran Aristoteles (Aristotelianism) merupakan suatu bentuk
pemberontakan terhadap gagasan Plato (Platonism). Itu tampak, misalnya,
dari cara keduanya melihat realitas dan metodologi filsafatnya. Dalam
merumuskan teori-teori politik, Aristoteles menggunakan metode induktif
dengan bertitik dari fakta-fakta „nyata‟ atau empiris. Sedangkan Plato,
menggunakan metode deduktif dan merumuskan teorinya berdasarkan
kekuatan imajinatif pikiran.12
10 M. Hasbi As-Shiddiqy, Tafsir al-Qur‟an al-Majid “ANNUR” (Semarang,
Pustaka Rizqi, 1995), Cet. Ke 2. H.3792. 11 K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Manado: PT. Kanisius, 1999), h. 154. 12
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat. Kajian Sejarah Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 43-44.
21 21
Aristoteles melahirkan karya besar di bidang pemikiran
ketatanegraan, yaitu Politics: The Athenian Constitution. Buku ini
merupakan kumpulan kuliah-kuliahnya di Lyceum, pusat studi yang
didirikannya. Dalam karya ini Aristoteles membahas konsep-konsep dasar
dalam ilmu politik, asal mula negara, negara ideal, warga negara ideal,
pembagian kekuasaan politik, keadilan dan kedaulatan, penguasa yang ideal,
catatan penelitian tentang konstitusi dan analisa terhadap instabilitas negara,
revolusi kaum miskin dan uraian tentang cara-cara memelihara stabilitas
negara.
Menurut Aristoteles terbentuknya sebuah Negara karena adanya
manusia saling membutuhkan, manusia bukanlah makhluk yang bisa hidup
tanpa manusia lain. Itu sebabnya dalam kehidupan bermasyarakat dan
negara selalu terjadi ketergantungan antara individu dalam masyarakat.13
Aristoteles setuju dengan Sokrates dan Plato dalam menolak
pendirian kaum Sofis bahwa negara itu berdasarkan adat kebiasaan bukan
berdasarkan Kodrat. Buat Aristoteles, negara tidak berasal dari suatu
inisiatif dari pihak manusia, tetapi menurut kodratnya manusia hidup dalam
negara. Dalam buku Politica Aristoteles mengatakan bahwa manusia
menurut kodratnya merupakan zoon politikon (manusia adalah makhluk
sosial).14
1.2 Teori Bangsa Menurut Ibnu Khaldun
Menurut Ibn Khaldun manusia diciptakan sebagai makhluk politik
atau sosial, yaitu mahluk yang selalu membutuhkan orang lain dalam
13 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2007),h. 45. 14
K. Bartens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Pt. Kanisius, 2016) h. 200.
22 22
mempertahankan hidupnya. Maka dari itu, sesungguhnya organisasi
kemasyarakatan umat manusia adalah suatu keharusan. Para filosof telah
melahirkan kenyataan ini dengan perkataan mereka yaitu manusia adalah
bersifat politis menurut tabiatnya. Ini berarti, ia memerlukan satu organisasi
kemasyarakatan, yang menurut filosof dinamakan “kota”.15
Ibnu Khaldun telah membedakan antara masyarakat dan negara.
Khaldun berpendapat bahwa berhubungan dengan tabiat dan fitrah
kejadiannya, manusia itu memerlukan masyarakat. Artinya bahwa manusia
itu memerlukan kerjasama antara sesamanya untuk dapat hidup, baik untuk
memperoleh makanan maupun mempertahankan diri.16
Suatu bangsa menurut Ibnu Khaldun terbentuk melalui kelompok
dominan (al-ashabiyyah) yang berkuasa terhadap yang lainnya dari masa
kanak-kanak, dewasa masa tua hingga mati. Umur suatu bangsa juga sama
dengan umumnya umur seorang manusia. Suatu umat atau kerajaan yang
mulai tumbuh dari puing-puing reruntuhan dari umat sebelumnya
berkembang mulai dengan fase nomad (tidak menetap) sebagai fase kanak-
kanak bagi manusia, setelah itu datang fase kelebihan dari kebutuhan pokok
yang menimbulkan kemajuan yang merupakan fase kedewasaan. Kemudian
datang fase kejenuhan dimana orang tenggelam dalam kemewahan dan
kemaksiatan serta tidak ada kemajuan untuk berjuang. Fase ini adalah fase
kerentanan yang akhirnya sampai pada suatu titik yang disebut ajal, dan
sejak itu hancurlah umat atau kerajaan tersebut.17
15 Ibn Khaldun, Muqaddimah penerj. Ahmadie Thoha ( Jakarta: Penerbit Pustaka
Firdaus, 2011), h. 71. 16 Khaldun, Muqaddimah, h. X. 17
Khaldun, al-Muqaddimah, h.134-135
23 23
2. Teori Modern
2.1 Teori Bangsa Menurut Ernest Renan
Menurut Renan (w. 1892 M) bangsa itu adalah satu jiwa yang
melekat pada sekelompok manusia yang merasa dirinya bersatu, karena
mempunyai nasib dan penderitaan yang sama di masa lampau dan
mempunyai cita-cita yang sama di masa depan.18
Renan tidak menyinggung-nyinggung persamaan ras, keturunan,
agama, bahasa, tradisi politik sebagai syarat untuk dapat terwujudnya suatu
bangsa melainkan cukup dengan persamaan sejarah dan cita-cita saja.
Seberapa jauh apa yang dikatakan Renan adalah masuk akal, karena
jika kita lihat bangsa Swiss menggunakan tiga bahasa tetapi mereka tetap
merasa satu bangsa, demikian juga bangsa Amerika Serikat tetap merasa
satu bangsa walaupun terdiri dari berbagai ras dan agama.
Ernest Renan mengatakan bahwa Negara kebangsaan adalah jiwa,
satu perinsip spirit. Dua hal yang sebenarnya satu, membentuk jiwa, satu
perinsip spirit itu. Yang satu ialah warisan sejarah yang menjadi kepunyaan
bersama yang kedua persetujuan hakekat mengenai keinginan untuk hidup
bersama dan kemauan untuk selanjutnya meneruskan pusaka bersama
sebaik mungkin.19
2.2 Teori Bangsa Menurut Soekarno
Soekarno (w. 1970 M) sebagai seorang intelektual indonesia yang
aktif berpolitik sejak masa mudanya dan pendiri sebuah partai nasional,
18 Ernest Renan, Apakah Bangsa Itu, penerj. Sunario (Bandung: Penerbit
Alumni,1994),h.51 19
Ahmad Rustandi, Dkk. Islam Marxisme, Liberalisme, Nasionalisme ( Bandung: Jajaran Universitas Islam Nusantara, 1977), h.91.
24 24
memiliki konsep kebangsaan sendiri. Pada tanggal 1 juni 1945 Soekarno
menyampaikan pidatonya yang sangat bersejarah yang kemudian dikenal
dengan hari lahirnya Pancasila. Dalam pidatonya itu Soekarno mengutip
Renan, bahwa Syarat bangsa ialah kehendak akan bersatu, Orang-orangnya
merasa diri satu, dan mau bersatu.20
Pada waktu itu sebenarnya bukanlah pertama kali Soekarno
menyampaikan konsepnya tentang kebangsaan. Pada tahun 1926 dalam
karyanya yang sangat terkenal “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”
Soekarno menulis
“...Bangsa itu menurut pujangga ini adalah satu nyawa, satu azas akal, yang terjadi dua hal. Pertama: rakyat itu dulunya harus bersama menjalani satu riwayat. Kedua, rakyat itu sekarang harus mempunyai kemauan, keinginan, hidup menjadi satu. Bukannya jenis (Ras), bukannya bahasa, bukannya agama, melainkan perasaan butuh, bukan pula batas negri yang menjadikan bangsa itu.
21
Dalam karyanya itu, ia juga mengutip pendapat Otto Bauer yang
berpendapat: “bangsa itu adalah suatu persamaan perangai yang terjadi dari
persatuan hal ihwal yang telah di jalani oleh rakyat itu”.22
Walaupun Soekarno mengutip pendapat Otto Bauer yang dekat
dengan pengertian antropologis, tetapi Soekarno dengan tegas membedakan
pengertian antropologis dan bangsa dalam pengertian politik. Soekarno
menulis: “paham ras (jenis) itu adalah suatu paham biologis, sedangkan
nasionaliteit itu suatu paham sosiologis (ilmu pergaulan hidup).23
20 Soekarno, Lahirnya Pancasila. Dalam Mr. Soepardo dkk., Manusia dan
Masyarakat Baru Indonesia, (Civics) (Jakarta: Balai Pustaka, 1962). h. 298. 21 Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi ( jakarta: Penerbit Panitya, 1965), h. 2. 22 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, h. 3. 23
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, h. 7.
25 25
Soekarno sebenarnya tidak hanya mengutip dari pendapat Renan dan
Bauer, tetapi ia juga mengkritik keduanya dan memberi makna baru
terhadap nasionalisme dengan menambahkan unsur yang ketiga yaitu
hubungan orang dan tempat, yang dengan bahasa populernya yaitu
“patriotisme”.24
Tentang patriotisme, Soekarno menjelaskan:
“Renan menentukan hubungan manusia dengan manusia, yaitu antara keinginan dengan keinginan. Otto Bauer demikian juga, menentukan hubungan nasibnya manusia dengan nasibnya manusia. Tetapi Renan dan Otto Bauer tidak menentukan hubungan manusia dengan bumi. Dimana ia hidup, dimana ia ditumbuhkan, dimana ia menjadi manusia utama, ialah tanah air dan dimana ia kemudian berani membela tanah air yang memberikan kepada ia segala kemungkinan untuk hidup.”
25
Dalam pidato lahirnya pancasila itu, Soekarno mengatakan bahwa
patriotisme itu adalah kecintaan yang didasarkan kepada hubungan gaib
antara manusia dengan bumi.
Dengan demikian ia berpendapat bahwa nasionalisme itu dalam
hakikatnya mengecualikan segala pihak yang tak ikut mempunyai keinginan
hidup menjadi satu dengan rakyat.
Bagi Soekarno, bangsa, kebangsaan atau nasionalisme dan tanah air
merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat di pisahkan Ia memandang
semuanya sebagai “ibu Indonesia” yang memberikan seluruh isi alamnya
buat hidup kita semua.26
24 Ruslan Abdulgani, Nation and Character Building Republik Indonesia (jakarta:
Seksi Penerangan KOTI, 1965), h. 12. 25 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, h. 12. 26
Nazaruddin Syamsuddin, Soekarno, Pemikiran Politik dan Kenyataan Praktek (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1993), h. 38.
26 26
C. Bangsa (Syu‟ȗb) dalam al-Qur‟ān
1. Tafsir Qs. al-Hujrat Ayat 13
a. Teks dan Terjemah
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal- mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”(Qs. al- Hujrat/49:13).
27
b. Asbab Nuzul
Salah satu upaya memahami al-Qur‟ān adalah dengan meninjau serta
mempelajari asbab an-nuzulnya. Dengan pemahaman asbab an-nuzul ini
maka seorang penafsir atau peneliti al-Qur‟ān akan lebih proporsional dan
kontekstual dalam analisanya.
Asbab an-Nuzul adalah sesuatu hal yang karenanya al-Qur‟ān
diturunkan untuk menerangkan status hukumnya, pada masa hal itu terjadi,
baik berupa peristiwa maupun pertanyaan.28
Tetapi tidak berarti bahwa
setiap ayat al-Qur‟ān ada asbab nuzulnya karena tidak semua ayat al-Qur‟ān
turun karena suatu peristiwa kejadian atau pertanyaan. Ada di antara ayat al-
Qur‟ān yang diturunkan sebagai permulaan, tanpa sebab mengenai aqidah,
iman, kewajiban Islam, dan syari‟at Allah dalam kehidupan pribadi dan
27 Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah (Jakarta: PT. Citra Kharisma
Bunda, 2009),h. 744. 28
Manna Khalil Qattan, Mabahits fi Ulumil Qur‟an (Studi Ilmu-Ilmu al-Qur‟an), terj. Muzakir AS (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2000), cet V, h. 100.
27 27
sosial.29
Al-Ja‟bari menyebutkan al-Qur‟ān diturunkan dalam dua kategori:
yang turun tanpa sebab dan yang turun karena suatu peristiwa atau
pertanyaan.30
Dapat di katakan bahwa tidak semua ayat yang ada di dalam
al-Qur‟ān ada asbab Nuzulnya melainkan ayat ayat tertentu saja yang
terdapat asbab an-nuzulnya.
Dalam suatu riwayat ayat ini (Qs al-Hujrāt/49:13) turun ketika fathu
Mekkah, Bilal naik ke atas ka‟bah dan adzan. Berkatalah beberapa orang
“Apakah pantas budak hitam adzan di atas Ka‟bah ?”. Maka berkatalah
yang lainnya: “sekiranya Allah membenci orang ini, pasti Allah
menggantinya”. Ayat ini (Qs. al-Hujrat:13) turun sebagai penegas bahwa
dalam Islam tidak ada diskriminasi, dan yang paling mulia adalah yang
paling takwa.31
c. Tafsir Ayat
1. Tafsir Klasik-Pertengahan
Pada kitab Tafsir Jami‟ al-Bayȃn an-Ta‟wȋl Ayi al-Qur‟ān karya Abu
Ja‟far Muḥammad Bin Jarir ath-Thobari (w. 310 H) dalam surat al-Hujrat
ayat 13, Ia menafsirkan bahwasanya Allah telah menciptakan manusia dari
seorang laki-laki (yakni Adam), dan seorang Perempuan (yakni Hawa),
kemudian menjadikan umat manusia berpecah-pecah menjadi bangsa-
bangsa.32
29 Manna Khalil Qattan, Mabahits fi Ulumil Qur‟ȃn (Studi Ilmu-Ilmu al-Qur‟an),
terj. Muzakir AS (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2000), cet V, h. 109. 30
Al-Itqan, jilid 1, h.28. 31
Qamaruddin Shaleh, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat- Ayat Al-Qur‟an (Bandung: CV. Diponogoro, 1996), h. 475. 32
Abu Ja‟far Muhammad Bin Jarir ath-Thȃbari, Tafsir Jami‟ al-Bayȃn an-Ta‟wȋl Ayi al- Qur‟ān (Beirut: Dar al-Kutb al-„Alamiyyah,1994), juz.23 h. 767.
28 28
Maksud dari bangsa-bangsa disini menurut al-Thābari adalah sebagian
ada yang ber-nasab dengan yang jauh sebagian lainnya dengan nasab yang
dekat. Orang yang bernasab yang jauh adalah bangsa-bangsa (satu bangsa),
sebagai contoh orang yang bernasab dekat adalah bangsa Mundhar dan
bangsa Rabi‟ah. Sedangkan orang yang bernasab dengan nasab yang dekat
adalah warga qabilah atau bisa di sebut suku. Seperti suku Tamim dan
Rabi‟ah.33
Sedangkan menurut Ibn katsīr (W. 1372 M.) dalam tafsir Ibn katsīr, Ia
menafsirkan bahwasanya Allah mengabarkan kepada manusia bahwasanya
Allah menciptakan mereka (manusia) dari satu jiwa, yakni Adam dan Hawa.
Kemudian menjadikan mereka syu‟ūb (berbangsa-bangsa). Ibn Katsir
menjelaskan bahwasanya syu‟ūb lebih umum dari qabilah atau disebut
dengan clan non Arab, sedangkan qabilah adalah clan Arab.34
2. Tafsir Modern
Dalam kajian surat al-Hujrāt ayat 13 ini, kitab tafsir al-Maraghi
karya Ahmad Musthafa bin Muḥammad bin Abdul Mun‟im al-Maraghi (w.
1952 M) menjelaskan bahwa ای أیاھ اانلس إان لخقمكان نم ذرك اونىث hai manusia,
sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari adam dan hawa. Maka
kenapa kamu saling mengolok-olok sesama kamu, sebagian kamu mengejek
sebagian yang lainnya, padahal kalian bersaudara dalam nasab dan sangat
33
Abu Ja‟far Muhammad Bin Jarir ath-Thȃbari, Tafsir Jami‟ al-Bayȃn an-Ta‟wȋl
Ayi al-Qur‟ān (Beirut: Dar al-Kutb al-„Alamiyyah,1994),Juz 23 h. 768. 34
Syaikh Ahmad Syakir, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir (Jakarta, Darus Sunnah, 2014). h. 96.
29 29
mengherankan bila saling mencela sesama saudaramu atau saling mengejek,
atau panggil memanggil dengan gelar yang jelek.35
Al-Maraghi dengan mengutip riwayat dari Abu Ubaidah
menceritakan bahwa tingkatan keturunan yang dikenal bangsa Arab ada
tujuh, yaitu: (1) syab (2) Qabilāh, (3) Imārah, (4) bat, (5) Fakh, (6) fasīlat,
(7) Asyirah. Masing-masing tingkatan tersebut tercakup dalam tingkatan
sebelumnya. Artinya, beberapa Qabīlah berada di bawah Sya‟b, Imarah di
bawah Qabīlah, Bat di bawah Imarah, fakh di bawah bath, dan seterusnya.36
Lebih jauh lagi, Al-Maraghi memberikan contoh khuzaimah adalah
Syu‟b, sedangkan Kinānah adalah Qabīlah, Quraisy adalah Imarah, Qusyai
adalah bat, „Abd Manāf adalah Fakh, Hasyim adalah Fashilah, dan al-„Abas
adalah Asyīrah.37
Sedangkan dalam tafsir fi Ẓilȃlil Qur‟ȃn karya Sayyid Qutb (W.1966
M ). Beliau tidak terlalu berkomentar tentang akar kata di dalam ayat Al-
Qur‟ān. Beliau hanya menafsirkan surat Qs al-Hujrāt/49:13 secara isi pokok
kandungan di dalam ayat. Menurutnya tujuan dijadikanya kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku adalah bukan untuk saling menjanggal dan
memusuhi, melainkan untuk saling mengenal dan hidup harmonis.
Perbedaan bahasa, warna kulit, watak, akhlak, potensi, dan kesiapan,
merupakan perbedaan yang tidak mesti berujung pada perselisihan dan
perpecahan. Selanjutnya, sayyid Qutb menuntut kerjasama untuk memikul
semua tugas dan memenuhi semua kebutuhan. Warna kulit, ras, bahasa,
35
Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Marȃghi, terj. Anshori Umar Sitanggal
(Semarang: Toha Putra, 1993), cet. 3. H. 236. 36
Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Marāghi (Mesir: Musthafa al-Bābi al- halabi, 1394/1979), juz XXVI, h.235.
37 Al-Marāghi, Tafsir al-Maraghi. h. 235
30 30
tanah air dan lainnya tidak punya nilai didalam timbangan Allah. Yang ada
hanya satu timbangan yang dengannya nilai-nilai di tetapkan dan keutamaan
manusia di ketahui.38
D. Kajian Bangsa (Syu‟ȗb) dalam Pemikir Islam
Pada mulanya masyarakat Islam terdiri dari masyarakat orang-orang
mukmin di kota Makkah. Setelah melampaui perjuangan yang pahit dan
berkepanjangan, penganut-penganut Nabi Muhammad hijrah ke Yastrib,
Nabi Muḥammad berhasil menegakkan sebuah negara politik Islam yang
pertama. setelah nabi Muḥammad wafat, bentuk negara ini kemudian
dikenal sebagai kekhalifahan.
Sebelum kedatangan Islam orang-orang Arab tidak mengenal
konsep negara. Konsep ini bersumber dari pemikiran baru dan sangat
berbeda dari konsep-konsep semacamnya yang telah ada pada masa itu.
Negara Madinah tidak berdasarkan batas-batas geografis, ras, wana kulit,
atau nasionalitas. Negara ini mewakili kehendak bersama dari sebuah
masyarakat penganut Islam yang terorganisir dan tidak mengenal klan, suku,
dan nation yang disebut ummah. Ummah yang menegakan negara ini pada
hakikatnya bersifat supranasional dan satu-satunya kekuatan pemersatu
umat manusia yang berbeda-beda didalam tradisi, adat kebiasaan, ras, dan
nasionalitas adalah wahyu Allah yang disampaikan kepada mereka melalui
Nabi-Nya, yaknu Muḥammad Saw.39
Menurut al-Gozali, manusia adalah mahluk sosial yang tidak dapat
hidup tanpa bantuan orang lain. Di sinilah perlunya mereka hidup
38 Sayyid Qutb, Tafsir fi Ẓilȃlil Qur‟ȃn (Kairo: Darusy Syuruq, 1982), h. 288. 39
Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taimiah (Bandung, Penerbit Pustaka, 1971), h. 171.
31 31
bermasyarakat dan bernegara. Namun demikian, lanjut al-Gozali, hidup
bermasyarakat bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan praktis duniawi,
melainkan juga untuk persiapan bagi kehidupan akhirat kelak..40
Menurut Quraish Shihab dalam mengkaji ayat tentang kebangsaan,
beliau lebih berpendapat kata bangsa yang lebih pantas untuk dipergunakan
oleh kitab suci al-Qur‟ān adalah kata Qaum dan Qaumiyah. Karna qaum dan
qaumiyah sering di pahami dengan arti bangsa dan kebangsaan. Kebangsaan
Arab dinyatakan oleh orang-orang arab dewasa ini dengn istilah Al-
Qaumiyāh al-Arabiyah.41
Paham kebangsaan adalah sesuatu yang bersifat
abstrak, tidak dapat di sentuh; bagaikan listrik, hanya diketahui gejala dan
unsur bukti keberadaannya, namun bukan unsur-unsurnya.
Menurut Quraish Shihab, ada beberapa unsur yang mendasari paham
Kebangsaan, yaitu: Pertama, Persatuan dan kesatuan. Kedua, asal
keturunan. Ketiga, bahasa. Keempat, Adat istiadat. Kelima, sejarah. Dan
keenam, cinta tanah air.42
Sementara Hamka menjelaskan bahwa terjadi berbagai bangsa,
suku, dan sampai kepada perincian yang lebih kecil, bukanlah mereka agar
bertambah lama bertambah jauh, melainkan supaya mereka saling
mengenal. Kalau kita perhatikan dengan seksama adakah menjadi
peringatan yang lebih dalam lagi bagi manusia yang silau matanya karena
terpesona urusan kebangsaan dan kesukuan sehingga mereka lupa bahwa
keduanya itu gunanya bukan untuk membanggakan suatu bangsa kepada
40
Muhammad Iqbal, dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 29. 41
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an (Jakarta: PT. Mizan Pustaka, 2013),h.436.
42Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an.h. 429.
32 32
bangsa yang lain. Kita di dunia bukan untuk bermusuhan, melainkan untuk
saling kenal mengenal dan hidup berbangsa-bangsa, bersuku-suku bisa saja
menimbulkan permusuhan dan pepeerangan, karena orang telah lupa
kepada nilai ketakwaan.43
Dapat di tarik suatu benang merah bahwa bangsa dalam pemikir
Islam tidak terlepas dari suatu generasi dan komunitas yang mempunyai
misi dan sejarah yang sama.
43 Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta, Pustaka Panjimas, 1988), cet I. h. 208-210.
BAB III
MUḤAMMAD SYAHRȖR: RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN
A. Riwayat Hidup
1. Pendidikan dan Karir
Muḥammad Syahrȗr sebagai pemikir muslim reformis-moderat1
yang menguasai bahasa Inggris dan bahasa Rusia, selain bahasa ibunya
sendiri, bahasa Arab. Dilahirkan di Salihiyyah Damaskus, Syiria, pada 11
maret 1938.2
Oleh orang tuanya dikirim bukan pada pondokan (Kuttab) atau
sekolah keagamaan lokal (madrasah), tetapi justru ia menjalani pendidikan
dasar dan menengahnya yakni ibtidai‟yyah, i‟dadiyyah, dan tsanawiyyah
diselesaikan di lembaga pendidikan „Abd al-Rahman al-Kawakib3
di
Kalmidan, tepatnya di pinggir kota sebelah selatan Damaskus yang berada
di luar batas dinding kota tua.4
Tamat pada tahun 1957. Ayahnya bernama
Dayb Ibn Dayb (almarhum) dan ibunya Siddiqah Bint Salih Filyûn
(almarhum). Syahrȗr menikah dengan „Azizah (al-marhum). Dari
pernikahan tersebut dikaruniai lima orang anak, yaitu Tariq (menikah
dengan Rihab), al-Lais ( menikah dengan Uligha), Basul (menikah dengan
1 Menurut Hasan Hanafi, Muhammad Syahrȗr, dan Muhammad Imarah, pemikiran
Islam Arab dapat dipetakan menjadi tiga. Pertama, aliran konservatif (sebagian orang
menyebutkan tradisional-konservatif), ciri yang menonjol dari aliran ini adalah berpegang
ketat secara tekstulis-literalis terhadap warisan pemikiran masa lalu (turas) dan cenderung
anti kemoderenan. Kedua, aliran progresif-skularis, aliran ini menyerukan skularisme,
modernisme, dan menolak semua warisan Islam, serta sikapnya yang “membeo” (taklid)
terhadap barat. Ketiga, aliran reformis-moderat, aliran ini menjadi sintesa kreatif dari dua
aliran sebelumnya, aliran ini mengajak umat Islam untuk kembali ke al-Qur‟an (dengan
membaca al-Qur‟an secara kontekstual dan berorientasi kepada masa depan), dan menerima
modernitas sejauh ia membawa kemaslahatan bagi umat. Lihat, Abdul Mustaqim,
Epistimologi Tafsir Kontemporer, h. 111-113. 2
Muhammad Syahrȗr, Dialektika Kosmos dan Manusia: Dasar-Dasar
Epistimologi Qur‟ani, trj. M. Firdaus (Bandung: Nuansa Cendikia, 2004), h. 5. 3
Masduki, “Usaha Pembaruan Ushul Fiqh Muhammad Syahrȗr,” al-Qalam, Vol.
25, No. 1 (Januari-April), h. 109 4 Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, h.94.
33
34 34
Rosya), Masun (menikah dengan Ala), dan Rima (menikah dengan Lu‟ay).
Sedangkan cucu-cucu Syahrȗr diantaranya: Muḥammad, Sami, Kinan,
Yasmin, Hasyim dan Romi.5
Syahrȗr melanjutkan studinya dalam bidang teknik sipil (handasah
madaniyyah) di Saratow, dekat Uni Soviet (sekarang Rusia), pada maret
1957 atas beasiswa pemerintah setempat6
hingga berhasil meraih gelar
Diploma dalam teknik sipil pada tahun 1964.7
Selanjutnya, pada tahun 1968
oleh pihak Universitas ia dikirim ke Universitas College Irlandia di Dublin
untuk memperoleh gelar Magister dan Doktoralnya dalam spesialisasi
Mekanika Pertahanan dan Fondasi, hingga memperoleh gelar Master of
Science pada tahun 1969 dan gelar doktornya pada tahun 1972.8
Selanjutnya
ia kembali ke Syiria dan bergabung di Universitas Damaskus dan menjadi
mitra sebuah perusahaan teknik sipil.9
Syahrȗr juga mengajar di Fakultas
Teknik Sipil Universitas Damaskus dalam bidang Mekanika Pertahanan dan
Geologi.10
Bersama beberapa rekannya membuka biro Konsultasi Teknik.
Syahrȗr juga pernah menjadi tenaga ahli pada Al-Saud Consult Saudi Arab
pada tahun 1982-1983.11
5 Adreas Christmann, “Bentuk Teks Wahyu Tetap, tetapi kandungannya selalu
berubah: Tekstualitas al-Qur‟an dan Penafsirannya dalam buku al-Kitab wa al-Qur‟an karya
Muhammad Syahrȗr”. Pengantar dalam Muhammad Syahrȗr, Metodologi Fiqih Islam
Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2002), h.19. 6 Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, h. 92. 7
Muhadz Ali Jidzar, “Studi Pemikiran Konsep Sunnah Menurut Muhammad Syahrȗr: Sebagai Metode Istinbat Hukum Islam,” (Skripsi S1 Fakultas Syari‟ah, IAIN
Walisongo Semarang, 2011), h.34. Lihat juga, Syahrȗr, Taifif Munabi al-Irhab (Beirut: al-
Ahali, 2008), h. 19. 8
Christmann, “Bentuk teks Wahyu Tetap, tetapi kandungannya selalu Berubah: Tekstualitas dan Penafsirannya dalam al-Kitab wa al-Qur‟an Karya Muhammad Syahrȗr”, h.19.
9 Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, h. 94. 10 Masduki, “Usaha Pembaharuan Ushul Fiqih Muhammad Syahrȗr,” h.109. 11
Muhammad Syahrȗr, Dialektika Kosmos dan Manusia, h.5.
35 35
Pada tahun 1995, Syahrȗr pernah diundang menjadi peserta
kehormatan dan terlibat dalam debat publik mengenai pemikiran keIslaman
di Libanon dan Maroko. Meski dasar pendidikan Syahrȗr adalah teknik,
namun hal ini bukan berarti bahwa ia sama sekali tidak mempunyai
perhatian terhadap wacana pemikiran keIslaman. Di kemudian hari sejarah
mencatat bahwa Syhrȗr akhirnya tertarik untuk mengkaji al-Qur‟ān dan
Hadis secara lebih serius dengan cara pendekatan filsafat bahasa dan
dibingkai dengan teori ilmu eksaktanya, bahkan ia juga menulis buku dan
artikel tentang pemikiran keIslaman.
Perhatian Syahrȗr tentang kajian ilmu keIslaman sebenarnya telah
dimulai sejak berada di Dublin, Irlandia pada tahun 1970-1980 ketika
mengambil program magister dan doktor dalam bidang teknik sipil
(handasah al-madaniyyah) di Universitas Negri Irlandia. Disamping itu,
peranan temannya, Doktor Ja‟far Dik al-Bȃb juga sangat besar. Berkat
pertemuanya dengn Ja‟far pada tahun 1958 dan 1964, Syahrȗr dapat belajar
banyak tentang ilmu-ilmu bahasa (linguistik).12
Sejak itu, Syahrūr mulai
menganalisa ayat-ayat al-Qur‟ān dengan pendekatan baru. Setelah itu ia
mulai bergelut dan mendalami bidang linguistik, termasuk filologi, dan
menyalami beberapa pandangan-pandangan tokoh kenamaan seperti al-
Farā‟, Abū „Alī al-Fārisī, Ibn Jinni hingga Abd Qāhir al-Jurjāni.13
Dari tokoh-tokoh ini Syahrȗr mengetahui bahwa ucapan adalah
sarana pengungkapan makna dan dia menemukan linguistik Arab tidak
12 Muhammad Syahrȗr, Al-Kitab wa al-Qur‟an; Qirȃ‟ah mu‟ȃshirah (Syiria:
Syirkah al-Mathbu‟ah, 2000), h. 46-47. 13
Muḥamad Syahrūr, al-Islam wa al-Iman: Manzhumah al-Qiyām. Penejemah, M. Zaid Su‟di (Yogyakarta: IRCisoD, 2015), h.6.
36 36
memiliki konsep sinonim (Muradif).14
Selain itu juga antara nahwu dan
balaghah tidak bisa dipisahkan, sehingga menurutnya, selama ini telah
terjadi kerancuan dan kesalahan fatal dalam pengajaran bahasa Arab di
berbagai sekolahan dan universitas.
Syiria, negara di mana Syahrȗr dilahirkan, adalah sebuah negara
yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Seperti umumnya yang
dialami negara-negara Timur Tengah, Syiria juga pernah menghadapi
problema modernitas, khususnya benturan keagamaan dengan gerakan
modernitas Barat. Problema ini muncul karena disamping Syiria pernah
diinvasi oleh Prancis, juga dampak dari gerakan modernisasi Turki, dimana
Syiria pernah menjadi bagian dari dinasti Utsmaniyah di Turki. Problema ini
pada gilirannya memunculkan tokoh-tokoh semisal Jamaluddin al-Qasimi
(1866-1914) dan Thahir al-Jazairi (1852-1920) yang berussaha
menggalakakan reformasi keagamaan di Syiria.
Gagasan al-Qasimi ini selanjutnya diteruskan oleh Thahir al-Jazairi
beserta teman-temannya. Dan kali ini gagasan lebih mengarah pada upaya
untuk memajukan bidang pendidikan. Dari sinilah kemudian akan terlihat
bahwa iklim intelektual di Syiria setingkat lebih maju ketimbang negara-
negara muslim Arab lainnya yang masih memberlakukan hukum Islam
positif secara kaku, terutama dalam hal kebebasan berpendapat. Angin segar
bagi tumbuhnya imperium pemikiran di negara Syiria lebih nyata dan
menjanjikan ketimbang di negara-negara Arab lainnya. Sehingga lantaran
itu pulalah mengapa orang-orang liberal seperti Syahrȗr dapat hidup dengan
61.
14 Muhammad Syahrȗr, Prinsip Dasar Hermeneutika al-Qur‟an Kontemporer, h.
37 37
leluasa di Syiria setelah mengemukakan ide-ide kreatifnya yang bagi banyak
negara muslim lainnya menjadi sangat terlarang dan tidak berhukum.
Dilihat dari latar belakang pendidikannya, secara formal Syahrȗr
belum pernah menempuh studi dalam bidang keIslaman. Namun Syahrȗr
belajar secara non formal dan otodidak tentang kajian keIslaman khususnya
dalam bidang penafsiran al-Qur‟ān. Hal ini dilakukan selama puluhan tahun.
Pemikiran-pemikiran tentang keIslaman perlu diapresiasi dengan kritis
untuk memperkaya khazanah keilmuan di dunia Islam.
2. Karya-Karya
Syahrȗr adalah seorang pemikir yang produktif, hal itu terbukti
dengan banyaknya tulisan yang dipublikasikan olehnya. Tulisannya tidak
hanya terkait dengan bidang spesialisasinya, tehnik fondasi bangunan, tetapi
juga tentang wacana keagamaan yang didefinisikan olehnya sebagai seri
“Qirȃ‟ah Mu‟ȃṣirah” yang semuanya diterbitkan oleh Dar al-Ahali li al-
Tibā‟ah wa al-Nasyr wa al-Tawzī‟. Damaskus, Syiria. kita dapat
menyaksikan karya-karya beliau diantaranya, ialah:
1) Di bidang tehnik antara lain:
a. Handasah al-Asasiyah (Tehnik Fondasi Bangunan) tiga
volume.
b. Handasah al-Turȃbiyah (Tehnik Pertahanan).
2) Di bidang keIslaman antara lain:
a. Al-Kitȃb wa al-Qur‟ān: Qira‟ah Mu‟ȃṣirah (1990)15
15 Tiga bab dari buku ini telah diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam bahasa
Indonesia. Bab pertama buku ini telah diterjemahkan oleh Sahiron Syamsuddin dan
Burhanuddin dengan judul Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur‟an Kontemporer
(Yogyakarta: Elsaq Press, 2004). Dan bab kedua diterjemahkan oleh M. Firdaus dengan
38 38
b. Dirȃsah Islȃmiyah mu‟ȃṣirah fi al-Daulah wa al-
Mujtama‟ (1994)16
c. Al-Islȃm wa al-Imȃn: Manẓȗmat al-Qiyȃmah (1996)17
d. Naḥw Uṣȗl Jadȋdah lil Fiqh al-Islȃmi; Fiqh al-Mar‟ah
(2000).18
e. Taifif Manȃbi‟ al-Irhȃb.19
Setelah terbit, al-Kitȃb wa al-Qur‟ān: Qirȃ‟ah Mu‟ȃṣirah
mengalami sukses luar biasa dan dinilai sebagai salah satu buku terlaris
(BestSeller) di Timur Tengah. Terbukti, buku tersebut terjual kurang lebih
20.000 eksemplar.20
Bahkan, Sultan Qaboos di Oman mendistribusikan
buku tersebut dikalangan para mentrinya dan merekomendasikan mereka
untuk membacanya. Para sarjana non muslim semisal Wael B. Hallaq, Dale
judul Dialektika Kosmos dan Manusia Dasar-dasar Epistimologi Qur‟ani (Bandung:
Nuansa, 2004). Sedangkan bab ketiganya telah diterjemahkan oleh Sahiron Syamsuddin
dan Burhanuddin Dzikri dengan judul Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam
Kontemporer (Yogyakarta: Elsaq, 2007). 16
Buku ini berisi tentang tema sosial politik ysng terkait dengan masyarakat dan Negara. Buku ini juga telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Saifuddin Zuhri dan Badrus Samsul Fata dengan judul Tirani Islam Genealogi Masyarakat dan Negara
(Yogyakarta: Lkis, 2003). 17
Pada buku ini Syarur berusaha mendengkontruksi tentang konsep klasik akan rumusan rukun Islam dan rukun iman berdasarkan al-Qur‟an yang lebih mengarah kepada makna universalitan Islam yang inklusif dalam konstalasi global. Dan ia juga membahas tentang Islam dan politik. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh M. Zaid Su‟di dengan judul Islam dan Iman Aturan-Aturan Pokok (Yogyakarta: Jendela, 2002).
18 Buku ini lebih sebagai penekanan proyek hermeneutika al-Qur‟annya. Serta ia
mengembangkan teori tersebut terutama yang berkaitan dengan metodologi Fiqh Islam Kontemporer. Buku ini telah diterjemahkan oleh Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin dengan judul metodologi Fiqh Islam Kontemporer (Yogyakarta: Elsaq, 2004).
19 Buku ini menjelaskan term-term atau kunci yang digunakan Muhammad
Syahrȗr dalam buku-buku Sebelumnya. Seperti, Tanzil Hakim, umm Kitab, al-Furqon dan
lainnya. Ia juga mengulas tentang masalah jihad dan perang (Qital), Amar ma‟ruf Nahi
Munkar, serta masalah maqasidu syari‟ah. 20
Sahiron Samsuddin, “metode Intratekstualitas Muhammad Syahrȗr Penafsiran al-Qur‟an”, dalam Abdul Mustakim dan Sahiron Samsuddin (Ed), Studi al-Qur‟an kontemporer; Wacana Baru berbagai metodologi tafsir, (Yogyakarta: Tiara Wacana 2002), cet.1. h.133.
39 39
F. Eickelman, dan Peter Clark. Mengemukakan kekagumannya terhadap
pemikiran Muḥammad Syahrȗr yang kreatif dan inovatif.21
Pada Tahun 1999, Syahrȗr menerbitkan sebuah Booklet berjudul
Masru‟ Mitsȃq al-„Amal al-Islami yang dimaksudkan sebagai pedoman bagi
gerakan kebangkitan Islam (The Revival of Islam ) abad 21. Booklet ini oleh
Dale F. Eckelman dan Ismail Abu Shahadeh di terjemahkan kedalam bahasa
inggris dengan judul Islamist Charter: Proposal For an Islamic
Convenant.22
Disamping tulisan-tulisan Syahrȗr yang terkemas dalam bentuk
buku, Ia juga aktif menulis artikel yang dimuat dalam beberapa majalah,
jurnal maupun wabsitenya sendiri, seperti: “Reading the religious Text: a
New approch”; 23
The Devine Text and Pluralism in Moslem Society.”24
Dalam Muslim Politic Report (14 Agustus 1997); “Appliying The Concept
Of Limit to The Right of Muslim Woman”.25
“The Book And The
Qur‟an”.26” Islam In The 1995 Beijing World Conference on Women”
dalam Kuwait Newspaper;27
“Nahwu I‟adati Tartib Awȃliyat al-Tsaqafah
21 Sahiron Syamsuddin, Metode intelektualitas, h. 133. 22 Ahmad Zaki Mubarok, Pendekatan Strukturalisme Linguistik, h. 147-148. 23
Artikel ini telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Saifuddin Zuhri Quddsy dengan judul Pendekatan Baru dalam Membaca Teks Keagamaan. Dalam Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika al-Qur‟an Mazhab Yogya (Yogyakarta: Islamika, 2003), h.
269. 24
Artikel ini telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Muhammad Zaki Husain dengan Judul Teks Ketuhanan dan Pluralisme dalam Masyarakat Muslim. Dalam Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika al-Qur‟an, h.255.
25 Zaki Mubarok. Pendekatan Strukturalisme, h.148.
26 Artikel ini meerupakan kumpulan pokok-pokok produk pemikiran Syahrȗr yang
di edit oleh pihak Islam21.org. adapun sub judul yang termasuk dalam artikel ini adalah The Nature Of The Book, The Stright Petch, Quranic Limit, Women‟s Dress Code, Interes (Riba), dan What‟s Greater Than Salat?, Lihat Zaki Mubarak, Pendekatan Strukturalisme, h. 188.
27 Artikel ini telah diedit oleh Charles Kurzman dalam buku Liberal Islam: A
sourcerbook, dan telah diterjemahkn ke dalam bahasa Indonesia oleh Bahrul Ulum dan Heri
40 40
al-„Arabiyȃh al-Islȃmiyȃh: Maqalah al-Islȃm wa al-imȃn”;”Haula al-
Qira‟ah al-Mu‟asirah lil Quran”;28
“Ta‟liq ala al-kutub wa al-Maqalat wa
al-Rudud allati Sudirat hawla al-Kitȃb wa al-Qur‟ān: Qira‟ah Mu‟ȃṣirah”.
Tulisan yang terakhir ini merupakan jawaban Muḥammad Syahrȗr terhadap
para pengkritiknya, yang ia sisipkan dalam bukunya yang kedua Dirasat
Islȃmiyȃh Mu‟ȃṣirah fi al-Daulȃh wa al-Mujtama‟.29
B. PEMIKIRAN MUḤAMMAD SYAHRȖR
1. Kajian Islam
Muḥammad Syahrȗr mengkritik konservatisme pemikiran Islam dan
berusaha untuk mendekonstruksi hegemoni pemikiran klasik yang masih
tertanam kuat dalam pengetahuan dan kesadaaran umat Islam. Sebab, nalar
klasik dengan segala karya yang telah dihasilkannya bukanlah produk
pemikiran yang semuanya bersifat sakral dan harus diterapkan dalam segala
ruang dan waktu. Hal ini disebabkan antara lain karena ada perbedaan jarak
waktu yang terlampau jauh antara dulu dan sekarang. Disamping itu juga
karena sebagian produk pemikiran klasik ada juga yang dirasakan sudah
kurang relevan dengan konteks sekarang, sehingga jika tidak dikaji ulang
secara kritis akan membahayakan masa depan umat Islam itu sendiri. Oleh
karena itu, dengan lantang ia menyerukan kepada segenap umat Islam untuk
mengkaji kembali pemikiran keIslaman selama ini sampai keakar-akarnya
Junaidi dengan judul Wacana Islam Liberal Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu
Global (Jakarta: Paramadina, 2001) 28 Zaki Mubarak, Pendekatan Strukturalisme, h. 148. 29
Tulisan ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Burhanuddin Dzikri dengan judul “Mereka mengkritik Syahrȗr Menjawab” dan diikut
terbitkan dalam bagian catatan akhir buku Muhammad Syahrȗr, Prinsip dan Dasar
Hermeneutik, h. 289-306.
41 41
yang paling dalam, yaitu sistem pemikiran (episteme) yang selama ini dianut
oleh umat Islam.30
Persoalan mendasar yang memunculkan kegelisahan Muḥammad
Syahrȗr untuk melakukan kajian keIslaman secara komprehensif dapat
dibedakan dalam dua dimensi yang saling terkait, yaitu realitas masyarakat
Islam kontemporer dan realitas doktrin tradisi (turats) dalam Islam. Syahrȗr
melihat bahwa komunitas muslim saat ini masih terpolarisasi dalam dua
kubu, yaitu:
Pertama, kelompok yang berpegang secara ketat pada arti literal dari
tradisi. Mereka berkeyakinan bahwa warisan tersebut menyimpan kebenaran
absolut. Apa yang cocok untuk komunitas pertama dari orang-orang muslim
di zaman Nabi Muḥammad SAW, juga cocok untuk semua orang muslim di
zaman apapun.
Kedua, kelompok yang cenderung menyerukan sekularisme dan
modernitas serta menolak semua warisan Islam, termasuk al-Qur‟ān sebagai
bagian dari tradisi yang diwarisi, yang hanya menjadi candu bagi pendapat
umum. Bagi mereka, ritual adalah gambar ketidakjelasan. Pemimpin dalam
kelompok ini adalah golongan Marxian, Komunis dan beberapa nasionalis
Arab.31
Menurut Syahrȗr, semua kelompok ini telah gagal memenuhi janji
mereka untuk menyediakan modernitas kepada masyarakatnya. Kegagalan
30
Lihat pengantar buku Muhammad Syahrȗr, Metodologi Fiqih Islam
Kontemporer. Penerjemah Sahiron Syamsuddin (Yogyakarta: elSAQ Press, 2004). 31
Kelompok kedua yang disebutkan oleh Syahrȗr ini belum jelas apakah mereka masih beragama Islam atau tidak. Karena apabila mereka telah benar-benar meninggalkan al-Qur‟an secara keseluruhan maka berarti mereka telah keluar dari Islam.
42 42
dua kelompok inilah yang kemudian memunculkan kelompok ketiga,
dimana Syahrȗr mengklaim dirinya berada di dalamnya.32
Salah satu kontribusi Syahrȗr dalam kajian Islam kontemporer
adalah teori limit (Naẓariyyah al-Ḥudȗd) yang dibangunnya di atas metode
linguistik. Teori limit ini berdasarkan atas pemahaman terhadap dua istilah,
yaitu al-Ḥȃnif dan al-Istiqȃmah. Al-Ḥȃnif menggambarkan zaman atau
konteks waktu dan sejarah, sedangkan al-Istiqȃmah menggambaarkan
undang-undang atau batasan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Al-
Ḥȃnif menunjukan dinamika dan gerakan, namun gerakan ini dibatasi
dengan batasan hukum yang telah ditentukan Allah Swt.33
Dengan
demikian, hubungan antara al-Hānif dengan al-Istiqāmah secara
keseluruhan bersifat dialektik, dimana yang tetap dan yang berubah
senantiasa saling terkait. Dialektika adalah kemestian untuk menunjukan
bahwa hukum itu adaptable terhadap konteks ruang dan waktu.
Teori Limit (Naẓariyyah al-Ḥudȗd) dikemukakan Syahrȗr
berlandaskan kepada surāh an-Nisā‟/6; 13-14, penggalan ayat tersebut
adalah “Tilka Hudȗdallȃh” menegaskan bahwa penetapan batas-batas
hukum (ḥudud) menjadi hak Allah semata, sedangkan Muḥammad dalam
hal ini bukanah seorang sari‟ (pembuat hukum) melainkan pelopor ijtihad
dalam Islam.34
Secara umum, teori batas ini menjelaskan bahwa dalam ketentuan
Allah yang disebutkan dalam al-kitab dan al-Sunnah terdapat batas bawah
32 Muhammad Syahrȗr, al-Kitab wa al-Qur‟an: Qira‟ah al-Muashiroh (Syria:
Syirkah al-Mathbu‟ah, 2000), h.34. 33
Syahrȗr, al-Kitab wa al-Qur‟an, h.449. 34
Syahrȗr, al-Kitab wa al-Qur‟an, h. 458
43 43
dan batas atas bagi seluruh perbuatan manusia. Batas bawah merupakan
batas minimal yang dituntut oleh hukum dalam kasus tertentu, sedangkan
batas atas merupakan maksimalnya. Perbuatan hukum yang kurang dari
batas minimal tidak sah, demikian juga yang melebihi batas maksimal.
Ketika batas-batas ini dilanggar, maka hukuman harus dijatuhkan menurut
proporsi pelanggaran yang terjadi. Jadi manusia dapat melakukan gerak
dinamis dalam batas-batas yang telah ditentukan. Disinilah, menurut
Syahrȗr, letak kekuatan hukum Islam. Dengan memahami teori ini maka
akan dapat dilahirkan banyak ketentuan hukum. Karena itupula maka risalah
Muḥammad SAW dinamakan umm al-kitab karena sifatnya yang hanif
berdasarkan teori batas ini.35
Ada beberapa contoh yang masuk dalam batasan minimal, yaitu
dalam surāh An-Nisȃ‟/6:
35 M Amin Abdullah, Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fikih dan
Dampaknya Pada Fikih Kontemporer, dalam Ainurrofiq, “Mazhab Yogya; Menggagas
Paradigma Fikih Kontemporer” (Yogyakarta: Ar-Ruz, 2002), h.136.
44 44
batas minimal dalam pengharaman perempuan-perempuan untuk
dinikahi yang terdiri dari keluarga dan kerabat dekat. Contoh lain pada
surȃh al-Māidah/5:3
Dalam ayat ini Allah menetapkan batas minimal terhadap jenis-jenis
makanan yang dikonsumsi.
Selain itu, contoh yang masuk dalam batasan maksimal, yaitu dalam
surat al-Māidah/5: 38
yang menjelaskan tentang hukuman bagi pencuri. Atau dalam al-
Baqārah/1:178,
Allah menjelaskan bahwa hukuman maksimal bagi pembunuh yang tidak
beralasan adalah hukuman mati.
45 45
2. Pembacaan Hermeneutika
Pemikiran hermeneutika Muḥammad Syaḥrȗr sejatinya di pengaruhi
dari beberapa aspek. Di antaranya, filsafat proses, metode historis linguistik,
dan juga unsur-unsur dari relativisme dan dialektika Hegel. Namun dari
semua itu, ada dua aspek yang paling nampak dalam pemikiran Syaḥrȗr
ialah filsafat proses dan metode historis linguistik.
Filsafat proses yang menjadi landasan pemikiran hermeneutik
Syaḥrȗr ini tampak ketika Ia membicarakan tentang konsep triodiknya yaitu
al-kaynȗnah (keadaan awal) , al-sairȗrah (keadaan menjadi) dan keadaan
jadi. Filsafati proses beranggapan bahwa segala yang ada dalam dunia ini
selalu berhubungan satu sama lain. Dan semuanya selalu dalam keadaan
berkembang dan dinamis tanpa pernah berhenti. Sebagai kondisi awal
(kaynȗnah). Syahrȗr berpendapat bahwasanya segala wujud yang material.
Segala sesuatu dalam keadaan kondisi awal (kaynȗnah) ini akan menuju
keadaan selanjutnya, yaitu keadaan menjadi atau progress (sayrȗrah)
kemudian keadaan jadi (sharȗrah).36
Dalam hal ini Syaḥrȗr meletakkan
segala sesuatu yang ada di dunia ini dalam posisi awal (kaynunah) termasuk
dalam pembahasan tentang al-Qur‟ān, hal ini berarti al-Qur‟ān beserta
maknanya akan selalu berubah dan berkembang mengikut perkembangan
zaman. Memang Syaḥrȗr tetap beranggapan bahwa teks al-Qur‟ān ialah teks
yang absolut yang mana langsung dari Allah, tetapi makna al-Qur‟ān selalu
berubah mengikuti perkembangan zaman serta bagaimana kondisi
36 Muhammad Syahrur, Nahwa Uṣȗl al-Jadidȃh Lil Fiqh al-Islȃmi (Damaskus: al-
Ahali li at-Thiba‟ah wa an Nasyr wa at Tauzi‟,2000),27.
46 46
masyarakat yang melikupinya dan interaksi masyarakat terhadap teks al-
Qur‟ān tersebut.
Selain itu, Syaḥrȗr juga terpengaruh oleh dialektika filsafat George
Wilhem Friedrich Hegel (1770-1831). Dalam perkembangannya, istilah
dialektika telah dikenal sebelumnya dan digunakan dalam konteks dan
pengertian yang berbeda-beda oleh setiap tokoh. Orang pertama yang
menggunakan istilah ini sebagai sebuah metode adalah Sokrates. Dalam
pemaknaan klasik Sokrates dialektika diartikan sebagai sebuah metode
untuk menemukan kebenaran dengan jalan dialog. Kemudian pada tahapan
selanjutnya, dialektika ini digunakan oleh Hegel dan dijadikan sebagai teori
untuk menjelaskan sejarah, kemudian pada abad ke-17, Karl Marx
mengambil dialektika Hegel sebagai landasan untuk merumuskan filsafat
matrealismenya.37
Dialektika Hegel mengandung tiga unsur, yaitu: pertama tesis,
adalah ide pertama yang menjadikan preposisi pertama. Yang dari tesis ini
kemudian memunculkan sesuatu yang menjadi lawannya, yaitu antitesis.
Kedua, antitesis, yaitu nagasi dari tesis yang pertama. Ketiga, sintesis yaitu
tesis lain yang muncul setelah terjadinya konflik antara kedua yang
berlawanan yang kemudian menghasilkan sebuah konpromi antara
keduanya. Selanjutnya, sintetis dengan sendirinya kembali menjadi tesis dan
37
Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur‟‟an: Qira‟ah Mu‟ashirah. Penerjemah
M. Firdaus, Epistimologi Qur‟ani: Tafsir Ayat-Ayat al-Qur‟an berbasis Matrealisme,
Dialektika Historis (Bandung: Penerbit Marja, 2015), h. 21.
47 47
mendapatkan sintetisnya kembali. Dialektika ini menjadi skema tetap bagi
perkembangan alam dan sejarah dalam keseluruhan.38
Dalam hal ini, Muḥammad Syaḥrȗr mengonstruksikan dialektika
sebagai landasan epistimologi alternatif bagi umat Islam. Syaḥrȗr membagi
dialektika menjadi dua. Pertama, dialektika yang sifatnya umum berlaku
untuk kosmos di luar kesadaran manusia. Dalam dialektika kosmos ini
terdapat dua bentuk, yaitu dialektika internal dan eksternal. Dialektika
internal-lah yang menyebabkan terjadi kehancuran bentuk. Sebagai
contohnya adalah batu yang selama ini di anggap benda padat yang tidak
berubah ternyata sesuai dengan penelitian ilmiah di dalamnya ada proses
dialektik.39
Kedua, dialektika yang berlaku untuk konteks manusia.
Dialektika tersebut termanifestasi dalam pemikiran manusia. Sebagaimana
dalam Qs al-Kahfi:54: wa kāna al-insānu akṣara syai‟in jadala.Bagi
Syahrūr, term al-rahman dan al-saytān dalam mushaf adalah bentuk dari
pemikiran manusia.
Muḥammad Syahrȗr yang didukung oleh guru linguistiknya, Ja‟far
Dakk al-Bab, menyatakan bahwa al-Qur‟ān merupakan kitab berbahasa
Arab otentik yang memiliki dua sisi kemukjizatan, sastrawi (al-ijȃz al-
balȃgȋ) dan ilmiah (al-ijȃz al-ilmȋ) untuk memahami aspek sastrawi al-
Qur‟ān perlu digunakan pendekatan deskriptif-signifikatif40
(al-Manhȃj al-
waṣfi al-wȃzifi), sedangkan aspek ilmiahnya harus dipahami dengan
38
Muhammad Syahrur, Dialektika Kosmos dan manusia (terj. Al-Kitab wa al-
Qur‟an, Qira‟ah Mu‟ashirah jilid 2). (Bandung, Penerbit Nuansa. 2004).h. 21. 39
Muhammad Syahrur, Dialektika Kosmos dan Manusia, h.22-23. 40
Signifikasi (Arab: al-manhaj al-wazifi) oleh Roland Barthes diidentikan dengan semiosis, yaitu suatu proses yang memandukan penanda dan petanda sehingga menghasilkan tanda. Kris Budiman, Kosa Kata Semiotik, (Yogyakarta: LkiS, 1999), h.107- 108.
48 48
pendekatan historis ilmiah (al-manhȃj al-tȃrikhi al-„ilmi), yang keduanya
diletakkan dalam bingkai studi linguistik.
Muḥammad Syahrȗr mempunyai landasan teori baru berdasarkan
pada penolakan sinonimitas bahasa Arab. karenanya, Syahrȗr menolak
pendapat bahwa term Al-Kitāb41
adalah sinonim dari al-Qur‟ān. Menurut
Syahrȗr, al-Qur‟ān atau dalam bahasa Syahrȗr al-Kitȃb, terbagi kedalam
tiga macam: (1) Umm al-Kitȃb ( ayat-ayat muhkȃmat); yaitu ayat-ayat yang
menandai kerasulan Muḥammad, yang secara khusus didefinisikan juga
sebagai “Ummu al-Kitab” yang berarti induk al-Kitab. Ayat ini terkait
dengan tema ibadah, muamalah, akhlak, dan hudud serta hukum
kontemporer sesuai dengan perubahan kondisi sosial dan ekonomi manusia.
(2) al-Qur‟ān wa al-sab‟ al-matsȃni (ayat-ayat mutasyabihȃt ); yaitu ayat
akidah. Al-Kitab menyebutnya dengan istilah al-Qur‟ān dan al-sab‟u al-
matsȃni. Ayat ini hanya dapat dikaji dengan cara takwil karena sesuai
dengan ilmu pengetahuan yang relatif. (3) Tafsil al-kitȃb.42
Umm al-kitȃb,
yang di turunkan langsung dari Allah kepada Nabi Muḥammad selama 23
tahun dalam bentuk al-inzal dan al-tanzil secara tak terpisahkan,43
memuat
ayat-ayat yang berkaitan dengan al-suluk al-insani dalam bidang hukum dan
akhlak dan terbuka untuk dilakukan ijtihad (bukan dalam ibadah murni)
sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat tertentu.44
41 Yang dimaksud dengan istilah al-kitab ini adalah himpunan seluruh objek
pewahyuan yang disampaikan Allah kepada Muhammad yang mencakup bentuk tekstual
wahyu dan muatannya. Al-Kitab terdiri dari seluruh ayat-ayat yang terhimpun dalam
mushaf sejak dari surat al-fatihah hingga akhir surat an-Nas. Lihat, Muhammad Syahrȗr,
al-Kitab wa al-Qur‟an, h. 54. 42 Syahrȗr, al-Kitab wa al-Qur‟an, h. 51-61. 43 Syahrȗr, al-Kitab wa al-Qur‟an, h. 157-166. 44
Syahrȗr, al-Kitab wa al-Qur‟an, h. 37.
49 49
Syahrȗr berpendapat bahwa Al-Qur‟ān berbeda dengan al-Kitab,
seperti terlihat dalam surat al-Hijr :1 بم نی ءان .yang artinya كلت اءیت الكتب ورق
“ini adalah (sebagian dari) ayat-ayat kitab (yang sempurna) yaitu (ayat-ayat)
al-Qur‟ān yang memberi penjelasan.” dalam linguistik Arab fungsi ataf
adalah untuk menunjukan adanya perbedaan atau untuk menunjukan antara
kata yang umum dan khusus. Ada dua kemungkinan pemahaman disini.
Pertama, al-Qur‟ān adalah sebuah entitas dan al-Kitab adalah entitas yang
lain. Namun persamaan diantara keduanya adalah sama-sama dari Allah.
Kedua, al-Qur‟ān adalah bagian dari al-Kitab dan penyandingan keduanya
berfungsi penunjukan yang khusus dari yang umum. Seperti Syahrȗr
menghendaki pemahaman yang kedua, hal ini terbukti ketika menyebut al-
Kitab, hudan lil al-muttaqȋn karena dalam al-Kitab tercantum hukum-
hukum ibadah, muamalah dan akhlak, yaitu kandungan yang mendorong
terciptanya ketakwaan, selain juga mengandung al-Qur‟ān. Dan ketika
menyebut al-Qur‟ān, Allah berfirman; Hudan lil an-nȃs. Seluruh orang
bertakwa adalah manusia, tetapi tidak seluruh manusia adalah orang yang
bertakwa.45
Berkaitan dengan al-Qur‟ān46
(dalam pengertian spesifik Syahrȗr),
salah satu bagian dari al-Mutasyȃbihat, yang diturunkan dalam dua bentuk
al-Inzȃl dan al-Tanzȋl secara terpisahkan oleh al-lawh al-mahfȗd dan dari
Imȃm Mubin berisi dua bagian. Bagian pertama adalah bagian yang tetap
45 Muhammad Syahrȗr, Prinsip Dasar Hermeneutika al-Qur‟an, h. 73-74. 46
Syahrȗr memahami al-Qur‟an sebagai himpunan aturan-aturan yang tersimpan dalam Lauh Mahfidz dan al-Imam al-Mubin. Lauh mahfudz berisi ketentuan umum yang mengatur alam semesta dan telah ditetapkan secara pasti sejak awal penciptaan sampai akhir masa dunia. Sedangkan al-iman al-mubin memuat ketentuan-ketentuan rinci bagi kejadian-kejadian alamiah dan arsip peristiwa-peristiwa historis. Lihat. Muhammad Syahrȗr, al-Kitab wa al-Qur‟an, h. 65.
50 50
dan tidak pernah mengalami perubahan (al-Juz‟ al-Tsȃbit). Hal ini berupa
kaidah-kaidah umum yang mengatur semua alam semesta mulai dari awal
penciptaan sampai hari kiamat. Adapun bagian kedua adalah bagian yang
bisa berubah ( al-juz al-mutaghayyir) tergantung faktor-faktor alamiyah
objektif yang mempengaruhinya. Yang termasuk dalam kategori ini ialah
peristiwa-peristiwa alam yang spesifik, seperti perubahan angin, jenis
kelamin, gempa dll., dan peristiwa-peristiwa historis (al-Qasȃs).47
Bagi Syahrȗr, al-Qur‟ān adalah kitab yang senantiasa relevan untuk
setiap ruang dan waktu. Namun hal tersebut meniscayakan sebuah
pembacaan yang kreatif dan produktif sehingga ia benar-benar tampil
sebagai solusi alternatif problem sosial-keagamaan umat manusia
kontemporer. Hal senada juga sebelumnya telah dilontarkan oleh Ibnu
Kholdun sebagaimana dikutip Tholha Hasan sebagai kesimpulan dari kitab
Muqaddimah-nya bahwa “Tiada Masyarakat manusia yang tidak
berubah”.48
Dengan demikian, al-Qur‟ān akan senantiasa menemukan
maknanya di setiap zaman sebagai sebuah teks yang suci yang Shalihun li
kulli zaman wa makan (senantiasa aktual dalam setiap konteks waktu dan
ruang).
Syahrȗr berusaha mendialogkan teks al-Qur‟ān yang statis dan
terbatas dengan konteks perkembangan zaman yang dinamis dan tidak
terbatas. Selain itu, ia menganggap bahwa memperhatikan perkembangan
sejarah untuk memaknai teks suci sangat penting, karena sebuah teks
47 Abdul Mustakim dan Shiron Syamsuddin, Studi al-Qur‟an Kontemporer (
Yogyakarta, PT Tiara Wacana Yogya, 2002), h. 136. 48
Muhammad Tholha Hasan, Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman (jakarta: Lantabora press, 2005), h.18.
51 51
memiliki konteks sosio-historis yang melikupinya, sehingga teks al-Qur‟ān
perlu ditafsirkan seiring dengan tantangan dan problem kontemporer, agar
tetap relevan untuk setiap zaman dan tempat.
Al-Qur‟ān memang tidaklah dinamis. Al-Qur‟ān bersifat absolut,
tetap dan tidak mungkin berubah. Namun yang perlu diperhatikan disini
adalah perbedaan antara al-Qur‟ān dan pemahaman terhadap al-Qur‟ān.
Jelas antara keduanya ada perbedaan. Al-Qur‟ān memang tidak berubah dan
tidak bisa diubah oleh siapapun, yang berhak atas terjadinya perubahan itu
hanyalah tuhan karena al-Qur‟ān merupakan produk-Nya. Sementara,
pemahaman terhadap al-Qur‟ān itu dinamis tidak absolut, berubah-ubah,
tergantung bagaimana kita memahami selaras dengan konteks zaman,
perkembangan ilmu pengetahuan, laju pemikiran dan peradaban manusia.
Selanjutnya Syahrȗr memposisikan Nabi dan Sunnah sebagai
penentu hukum (musyarri‟). Karena harus di pahami bahwa segala sesuatu
yang dilakukan Nabi merupakan sebetuk interaksi awal dalam
mengamalkan ajaran Islam pada abad ketujuh hijriyah.49
Peran Nabi adalah mengubah ajaran yang mutlak ke dalam bentuk
yang relatif (taḥwil al-mutlak ilȃ nasbi), dan menentukan segala sesuatu
dalam batasan yang ditentukan Allah pada penggal ruang dan waktu
tertentu, yaitu di Arab pada abad ketujuh Hijriah. Saat itu Nabi telah
menunjukkan prestasi yang luar biasa. Konsep ini menempatkan beliau
sebagai orang terkemuka dalam sejarah. Substansi perbuatan Nabi-lah yang
49 Muhammad Syahrȗr, Prinsip Dasar Hermenutika al-Qur‟an Kontemporer,
(Yogyakarta, eLSAQ Press, 2004), h. 50.
52 52
harus kita tiru dan menjadi sunnahnya sepanjang waktu, yaitu mengubah
ajaran yang mutlak menjadi relatif.50
Nabi tidak pernah memasukan unsur hawa nafsu (keinginan sendiri)
dalam hukum, putusan, perkataan dan perbuatannya. Meski peran kenabian
yang diembannya telah mengantarkan beliau pada delarajat yang paling
tinggi, namun bagaimanapun juga tidak dapat dinyatakan bahwa seluruh
perkataan dan perbuatan beliau termasuk Wahyu.51
Pemahaman sunnah menurut Syahrȗr adalah merujuk kepada
kehidupan Muḥammad sebagai Nabi yang hidup di bumi Arab dengan
segala tantangan yang ada, yakni politik, budaya, dan sosial. Kalaupun
sebagian sahabat menganggap yang disamppaikan Nabi sebagai wahyu,
namun Nabi tidak terpengaruh dengan semua itu. Nabi pun tidak pernah
menyuruh agar pernyataanya ditulis. Anggapan sebagian bahwa penyebab
Nabi tidak membukukan pernyataanya (hadis) karena takut bercampur
dengan al-Qur‟ān.
Bagi Syahrȗr, sunnah Nabi berbeda dengan kitab-kitab hadits, baik
kitab-kitab musnad, shahȋh, sunan, mustadrak, maupun syarah-syarahnya.
Urgensi hadis nabi tergantung pada seberapa penting aspek yang dikandung
oleh hadis tersebut. Hadis-hadis tentang waris, anjuran menjaga anak yatim,
dan menjaga hak bertentangga jelas berbeda sama sekali arti pentingnya di
bandingkan dengan hadis yang berbicara tentang berdiam di mesjid,
menjilati jari setelah makan, menjahit sandal, dan menyulam pakaian.52
50 Syahrȗr, Prinsip Dasar Hermenutika al-Qur‟an, h. 51. 51 Syahrȗr, Al-Kitab wa al-Qur‟an, h. 545. 52
Mustaqim, Episitimologi Tafsir Kontemporer. h. 156
BAB IV
BANGSA (SYU‟ȖB) DALAM AL-QUR‟ĀN MENURUT
MUḤAMMAD SYAHRȖR
A. Makna Bangsa (Syu‟ȗb)
Secara etimologi (bahasa) kata Syu‟ȗb terdiri dari tiga huruf, syin,
„aīn, dan ba.yang mengandung arti mengumpulkan, memisah-misahkan dan
juga memperbaiki.1
Atau juga bermakna perkumpulan kelompok atau
sempalan. Syu‟ȗb dalam pemahaman Muḥammad Syahrȗr adalah
sekumpulan manusia yang berakal. Mereka yang mempunyai bahasa dan
berafiliasi dengan satu qaum atau lebih. Mereka mempunyai naluri serupa,
namun berbeda kebudayaan.2
Sedangkan secara terminologi makna syu‟ub terbagi menjadi dua.
Makna syu‟ub yang dipahami pada masa klasik (sebelum abad 18) dan
makna syu‟ub pada masa modern setelah konsep negara bangsa (nation-
state) berkembang.
Pada masa klasik syu‟ūb dipahami sebagai kumpulan qabilāh-
qabilāh besar, sedangkan qabilāh merupakan induk dari berbagai macam
keluarga.3
Menurut Mujahid, Qatadah dan ad-dhahhak, syu‟ub adalah nasab
yang jauh, sementara qabilȃh adalah nasab yang dekat.4
Adapun Ibn Abbas
meriwayatkan dua pendapat. Pertama, syu‟ub dipakai untuk non Arab yang
1 Ibnu Faris, mu‟jam al-Maqāyis fĪ al-Lughāh (Beirut, Dār al-Fikr, 1994),h. 527. 2 Syahrȗr, Tirani Islam, h. 88. 3
Shahih Bukhari, j. 4, h. 177
3489 - حدنثا خالد نب دیزی اكلاھلي حدنثا أبو ركب، نع أبي صحین، نع دیعس نب جیبر، نع ابن عباس ريض ا
طون " قلبائل: الب وا م، عنھما، {وجعلنامك ا بوع وقبائل لتعارفوا} [ارجحلتا: 13]، اقل: " الشعوب: القبائل العاظ4
Abu Ja‟far Muhammad Bin Jarir ath-Thȃbari, Tafsir Jami‟ al-Bayȃn an-Ta‟wȋl
Ayi al-Qur‟ān (Jakarta: Pustaka Azam, 2009), h. 768.
53
54 54
dalam kalimat sahabat nabi itu di wakili sebutan budak dan mantan budak.
Sementara itu qabilah untuk kelompok Arab. Berdasarkan itu, al-Qusairi
mengenakan syu‟ub untuk mereka yang oleh orang Arab tidak dikenal asal
keturunannya, seperti kelompok Hindi, Turki, dan seterusnya.
Sedangkan dalam terminologi modern Bangsa (Syu‟ȗb) adalah satu
jiwa yang melekat pada sekelompok manusia yang merasa dirinya bersatu,
karena mempunyai nasib dan penderitaan yang sama di masa lampau dan
mempunyai cita-cita yang sama dimasa depan. Selanjutnya Soekarno
mengartikan bangsa (Syu‟ȗb) sebagai satu nyawa, satu azas akal, yang
mempunyai sejarah dan keinginan untuk hidup bersama.5
Sementara menurut muḥammad Syahrȗr, Syu‟ȗb (bangsa) adalah
sekumpulan manusia yang berakal. Mereka mempunyai bahasa yang satu
dan berafiliasi dengan satu qaum ataupun lebih.6
Syu‟ȗb (bangsa) dalam bingkai pemahaman kemanusiaan merupakan
sekumpulan entitas yang bervariasi (Kumpulan ego = al-anȃ), terpisah dan
berbeda yang tidak bisa larut dalam bingkai masyarakat. Andaikan
karakteristik ini tidak ada, niscaya individu itu menjadi menjadi semata-m
ata kuantitas bilangan yang ada dalam kelompok, dan tidak bisa dibedakan
dari yang lainnya. bener-bener seperti pola prilaku binatang.
Sedangkan dalam makna sebaliknya, Syu‟ȗb merupakan
“penggabungan”. Syu‟ȗb merupakan gabungan entitas-entitas yang
beragam, lalu disatukan oleh hubungan kesadaran dan diikat oleh asas
kemaslahatan bersama yang dituangkan dalam bentuk sistem legislasi dan
5 Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi ( jakarta: Penerbit Panitya, 1965), h. 2.
6 Muḥamad Syahrūr, Dirāsāt Islāmiyyah mu‟ashirah fi ad-Daulah wa al-Mujtan,
terjemahan Saifuddin Zuhri dan Badrus Syamsul (Yogyakarta: LKiS, 2003), h.88-89.
55 55
hukum perundang-undangan. Sistem tanah air (wathan). Pada gilirannya,
hubungan tersebut diatur oleh kekuasaan yang dinamakan “negara”, yang
kekuasaannya meliputi zona-zona teritorial tanah air.
B. Bangsa (Syu‟ȗb) dalam al-Qur‟ān
Term yang digunakan dalam al-Qur‟ān yang menunjuk makna
bangsa memiliki varian yang beragam yaitu ummah, qaum, Syu‟ȗb, dan
qabȋlah. Kosa kata yang digunakan al-Qur‟ān secara bahasa dapat kita lacak
perbedaan akar katanya yang berimplikasi pada penekanan makna yang
terkandung dibalik teks dan kata. Hal ini terkait dengan prinsip bahwa kata-
kata dalam al-Qur‟ān tidak ada yang sinonim (asinonimitas). Satu kata
hanya mempunyai satu makna.7
Berdasarkan penelusuran penulis dengan menggunakan metode kata
melalui kitab mu‟jam al-mufahras karya Muḥammad Fuadz „Abd al-Bāqi,
dengan menggunakan kata ع واب terdapat satu ayat pada surat al-Hujrāt/49:
11.8
Untuk mengungkapkan manusia sebagai kelompok, al-Qur‟ān
mengunakan beberapa term, seperti Sya‟b, qabȋlah, qawm. Kata sya‟b yang
terdiri dari huruf syȋn,-„ain-bȃ menunjuk pada dua arti yang berlawanan,
8
Metodologi ini dipaparkan dengan jelas dalam corak tafsir sastrawi (al-Tafsir al-
Bayani) yang dikembangkan oleh Amin al-Khulli. Ia merupakan tokoh mufasir
kontemporer yang memperlopori lahirnya tafsir gaya baru, yaitu tafsir sastrawi, yang
prinsipnya adalah bahwa al-Qur‟an adalah kitab sastra terbesar. Metode tafsir ini lalu
dikembangkan oleh murid sekaligus istrinya, Aisyah Abd al-Rahman Bint al-Syati kedalam
empat metodologi. Pertama, menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, kedua, munasabah
antar ayat maupun antar surat, ketiga, metode yang berpegang pada prinsip bahwa ibrah itu
sesuai dengan bunyi teks, bukan dengan asba al-Nuzul, keempat, keyakinan bahwa kata-
kata di dalam al-Qur‟an tidak ada sinonim (sinonimitas). Baca muhammad Yusron,
“Mengenal Pemikiran Bint al-Syati‟ Tentang al-Qur‟an” dalam kumpulan tulisan dosen
Tafsir Hadis, UIN Sunan Kalijaga, Muhammad Yusron (Dkk), Studi Tafsir Kontemporer
(Yogyakarta: TH-Press, 2006), h. 25 8
Muhammad Fuadz al-Baqi, Mu‟zam al-Mufahras li Ahfadzil Qur‟an ( Mesir, Dar al-Qutb al-Mishiriyyah, 1363 H), h. 383.
56 56
yaitu al-iftirȃq wa al-ijtimȃ.9
Kata al-ijtimȃ sendiri berarti berkumpul
karena kata sya‟b menunjuk pada pemisah dan pemilah antara anggota
kelompok dan bukan anggota kelompok. Adapun kata qabȋlah berarti banȗ
„abin wȃhid, 10
yakni satu kelompok orang yang berasal dari satu keturunan.
Masing-masing dari kedua kata tersebut disebutkan dalam al-Qur‟ān dalam
bentuk jamak pada suatu tempat. Yakni dalam surat al-Hujrāt/49: 13.
Sebagian mufasir menjelaskan kata asy-sya‟b sebagai komunitas terbesar
yang mengikat manusia, yang didalamnya terdapat subkelompok yang
disebut qabȋlah, dan qabȋlah terdiri dari sub-sub kelompok yang lebih kecil
yakni ummat. Dengan kata lain, qabȋlah merupakan komunitas kecil yang
menjadi anggota dari sya‟b.11
Sebagian yang lainnya menjelaskan kata sya‟b
sebagai kelompok non Arab dan qabȋlah sebagai kelompok Arab
sebagaimana satu pendapat yang dikutip oleh Ibnu Abbas dan Al-
Tahabarsyi.12
Menurut Muḥammad Syahrȗr, al-Qur‟ān telah memposisikan
rumpun (qabȋlah) dan bangsa (Syu‟ȗb) secara bergandengan, dan tidak
antara ummah dengan Syu‟ȗb. hal itu dikarenakan qabilȃh dan Syu‟ȗb itu
dalam kategori sejenis.13
9 Ahmad Ibnu Faris, Mu‟jam Maqāyis al-Lughāh, III, h.190-191. 10 Ibnu Manzhur, Lisan al-„Arab al-Muhith, III, h. 12. 11
Lihat, Abu as-Su‟ud ibn Muḥammad al-Imadi al-Hanāfi, Irsyad al-„aqla as- Ssalim ila Mazaya al-Kitab al-Karim, V (Riyadh, Maktabah ar-Riyadh al-Haditsah) h. 180;
az-zamakhsyari, al-Kasysyaf, III, h. 569. Dan Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, IV, h. 218. 12
Al-Fayruzabadi, Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, III, h. 569; dan Ibn
Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, IV. h. 218. 13
Ketika sekumpulan qabilȃh berusaha untuk bersatu, baik secara sukarela ataupun terpaksa, ranah kehidupan yang satu dengan yang lainnya, maka qabilȃh tersebut telah membentuk syu‟ub yang hidup dalam ranah kehidupan yang mempunyai zona teritorial: tanah air. Lihat. Syahrȗr, Tirani Islam, h. 90.
57 57
Al-Marāghi dengan mengutip riwayat Abu Ubaidah menceritakan
bahwa tingkatan keturunan yang dikenal bangsa Arab ada tujuh, yaitu; (1)
Sya‟b, (2) Qabȋlah, (3) Imarah, (4) Bat, (5) Fakh, (6) Fasȋlah, (7) Asyȋrah.
Masing-masing tingkatan tersebut tercakup dalan tingkatan sebelumnya.
Artinya beberapa qabȋlah berada di bawah Syu‟ȗb. imȃrah berada di bawah
qabȋlah, bat berada di bawah imȃrah, fakh berada di bawah bat, fashilȃh
berada di bawah fakh dan Asyȋrah berada di bawah fasȋlah.14
Qs al-Hujrāt/49:13 :
13. Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal- mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
15
Ayat ini dimulai dengan panggilan an-nas sebagai term global yang
mencakup semua term. Kata an-nas yang merupakan bentuk jamak dari al-
insan adalah terma yang umum digunakan oleh al-Qur‟ān (disebut 240 kali)
untuk menunjuk manusia secara global yang melampaui makna term-term
yang menunjuk kelompok manusia tertentu. Dalam hal ini, sistem relasi
antar term-term adalah : 16
14 Ahmad Musthofa, Tafsir Al-Maraghi, h. 235. 15
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah (Jakarta: PT. Citra Kharisma
Bunda, 2009),h. 744. 16
Munzir Hitami, Revolusi Sejarah Manusia (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2009), h. 45-46.
58 58
al insan
1
an-nas
2
syuub
qabilah
umat
Lingkaran pertama di atas menjelaskan manusia sebagai individu yang
kemudian membentuk komunitas dengan bermacam bentuk ikatan yang
biasanya disebut masyarakat yang tercermin dalam lingkaran ketiga.
Adapun lingkaran kedua merupakan term yang mencakup semua term
lainnya. Manusia dengan semua dimensinya, sesuai dengan konsep
penciptaan dalam al-Qur‟ān. Bukan mahluk yang muncul secara tiba-tiba.
Sedangkan lingkaran ketiga adalah term-term yang ada didalam alqur‟an.
ummat adalah sub kelompok manusia yang paling kecil, setelah itu adalah
qabȋlah yang terdiri dari kelompok-kelompok yang lebih kecil, dan Syu‟ȗb
adalah komunitas terbesar yang mengikat semua komunitas manusia.
C. Faktor-Faktor Terbentuknya Bangsa (Syu‟ȗb)
Syahrȗr menjelaskan faktor-faktor terbentuknya suatu bangsa
dengan menggunakan filsafat proses, dimana dalam melihat bahwa suatu
bangsa terbentuk pertama dengan meninggalkan pola kehidupan hewan
melalui kesadaran anak (setelah kematangan biologis) kedua orang tua.
Dengan demikian maka wilayah keluarga tahap awal menjadi meluas
dimana keluarga tersebut kemudian membentuk klan dengan keluarga-
59 59
keluarga kecil lainnya. Wilayah klan meluas pula dengan bergabungnya
berbagai macam klan yang memiliki hubungan dekat untuk membentuk
sebuah rumpun (qabȋlah).
Ketika sekumpulan qabȋlah berusaha untuk bersatu, baik secara
sukarela ataupun terpaksa, ranah kehidupan yang satu dengan yang lainnya,
maka qabȋlah terebut telah membentuk Syu‟ȗb yang hidup dalam ranah
kehidupan yang mempunyai zona teritorial: tanah air. Dengan demikian,
tanah air dan Syu‟ȗb merupakan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan,
sedangkan qaumiyyah dan ummat merupakan dua unsur yang tercakup
dalam definisi Syu‟ȗb.
Diagram evolusi terbetuknya Syu‟ȗb menurut Syaḥrȗr :
Ummat Qaumiyyah Syu‟ȗb (bangsa)
Pola manusia sama
dengan pola kehidupan
hewan, dan kemudian
berproses mejauhi
kehidupan hewan
tesebut. Akan tetapi
yang tersisa adalah
keserupaan prilaku.
Priode ini dinamakan
dengan “masa
prasejarah”.
Ummat yang kemudian
mempunyai
kebudayaan dan
bahasa. Karena bahasa
merupakan perangkat
(media) berfikir,
penalaran, dan
eksplanasi sebagai
karakteristik khas
manusia berakal
tertentu.
Ketika satu qaum
dengan qaum yang
lainnya berusaha untuk
bersatu. Maka qaum
tersebut telah
membentuk Syu‟ȗb
yang hidup dalam
ranah kehidupan yang
mempunyai zona
teritorial :tanah air.
60 60
Adapun keberadaan bangsa dikarenakan dua hal: (1) individu itu
sebagai pribadi yang hidup terisolasi yang dapat menjaga dalam kebebasan
individunya, dan semua manusia sejalan dengan hukum-hukum sosial,
ekonomi, dan hak-hak asasi; (2) karena manusia menggabungkan
komunitasnya dalam bingkai kebudayaan mereka yang beragam (umam)
dan keragaman bahasa mereka (qaumiyyȃt).
Sedangkan menurut Quraish Shihab faktor-faktor terjadinya bangsa
antara lain adanya kesatuan dan persatuan, asal keturunan, bahasa, adat
istiadat, sejarah, dan cinta tanah air.17
D. Perbedaan Bangsa (Syu‟ȗb) dengan Ummat, Qaumiyyah dan Negara
Setelah kita mengetahui apa makna Syu‟ȗb, faktor terbetuknya, kini
penulis ingin memaparkan perbedaan Syu‟ȗb dengan term-term yg lainnya.
yakni qawm, ummah dan negara. kata Syu‟ȗb disebut didalam al-Qur‟ān
hanya satu kali, qabȋlah (dari qabail atau jamaknya qabȃil) hanya dua kali,
istilah ummah disebut sebanyak 64 kali dalam 24 surat, dan kata qawm
sangat banyak dipakai, yaitu 382 kali, yang artinya juga beberapa macam
seperti people, folk, heathen (penyembah berhala) dan enemy (musuh).
term-term tersebut akan dijelaskan secara lebih rinci di bawah ini :
1. Syu‟ȗb
Kata ini terdiri dari tiga huruf, syȋn, „aȋn, dan bȃ. Secara umum kata
yang tersusun dari ketiga huruf tersebut mengandung arti mengumpulkan,
memisah-misahkan, dan juga memperbaiki.18
Bentuk jamak dari kata
529.
17 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007),h.
18
Ibnu Fȃris, Mu‟jam al-Maqȃyȋs fȋ al-Lughȃh (Beirut: Dȃr al-Fikr, 1994), h. 527.
61 61
tersebut adalah Syu‟ȗb. secara bahasa, kata tersebut mengandung arti suku
besar yang bernasab kepada suatu nenek moyang tertentu. Seperti suku
Rabi‟ah dan Mundhar.19
Syu‟ȗb menurut Syaḥrȗr adalah sekumpulan manusia berakal yang
mempunyai bahasa dan berafiliasi dengan satu qaum atau lebih. Mereka
mempunyai naluri serupa, namun berbeda kebudayaan. Syu‟ȗb maknanya
lebih umum dari ummah dan qaumiyyah. Karena didalamnya terdapat
ummah dan qaumiyyah. Sebab makna Syu‟ȗb sendiri telah mencakup makna
keduanya, dan makna Syu‟ȗb sendiri maknanya tidak tercakup dalam
makna keduanya.20
Dalam perkembangannya, Allah menyebutkan dalam Qs. al-
Hujrat/49:11 dzakarin wa untsa, lalu ada perubahan dalam perkembangan
komunitas manusia, kemudian menjadi Syu‟ȗb(bangsa), dan
qabȋlah(rumpun) melalui perkembangan yang sehat.
2. Ummat
Dalam al-Qur‟ān, istilah ummah disebut sebanyak 64 kali dalam 24
surat.21
Ummah mengandung banyak arti, seperti bangsa, masyarakat atau
kelompok keagamaan, waktu, juga pemimpin atau sinonim dengan imam.
Kebanyakan ayat yang mengandung kata ummat dengan beberapa
artinya itu, ternyata sebagian besar diturunkan dalam priode Makkah,
walaupun pada tahun-tahun akhir priode ini. Dari 24 surat yang memuatnya,
hanya empat surat saja yang memuat 11 ayat dan 13 kata umat yang turun di
19
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsȋr al-Marȃghi (Kairo: Mustafa al-Bȃbi al-
Halabi, 1394-1974), juz XXVI, h. 235. 20 Syahrur, Tirani Islam. h. 89 21
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur‟an (Jakarta: PARAMADINA, 1996), h. 482-483.
62 62
madinah. Hampir semua kata ummah yang turun di Makkah itu
mengandung arti bangsa, bagian dari bangsa atau generasi dalam sejarah. 22
Secara terminologis, kata ummat berasal dari kata amma-yaummu
yang berarti menuju dan meneladani. Dari akar yang sama lahir antara lain
kata “umm” yang berarti “íbu” dan “Imam” yang maknanya “pemimpin”.23
dalam terma ummah, Beberapa penulis membedakan antara makna
religius dan makna sosial. Pengertian terma ummah dalam al-Qur‟ān
menggunakan makna yang berbeda. Terkadang bermakna masa atau waktu
terdapat dalam QS. Yusuf/12: 45, pola atau metode terdapat dalam Qs. az-
zukhuf/43:22, al-imam (Pemimpin atau pemuka), al-ummi atau juga
bermakna komunitas agama secara umum. Pada masa kini, terma tersebut
diartian dengan komunitas Islam, sebab diyakini memiliki kandungan
makna religius ketimbang makna sosio-historis.
Makna-makna ummah yang disebut dalam al-Qur‟ān dapat dilihat
secara sederhana dalam bagan model konseptual di bawah ini :
Binatang- Binatang
Imam Jin &
Manusia
ummah
Waktu Manusia
Agama Tauhid
h.486.
429.
22 Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur‟an (Jakarta: PARAMADINA, 1996),
23
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007),h.
63 63
Ibnu Khaldun (1332-1406 M) menganalisis terma tersebut dengan
pendekatan sosiologis. Dia mengartikulasikan bahwa ummah memiliki
kandungan makna yang berhubungan erat dengan konsep group, people
(rakyat) atau ras, dengan sedikit dikesampingkan faktor bahasa. Baginya
terma ummah merupakan sebuah fenomena baru yang memiliki cakupan
lebih luas dari dinasti atau negara.24
Istilah ummat menurut Ali Syariati berasal dari kata “amma” artinya
bermaksud (qasada) dan berniat keras („azimah). Pengertian ini terdiri atas
tiga arti yakni: gerakan, tujuan, dan ketetapan hati yang sadar. Dan
sepanjang kata “amma” itu pada mulanya mencakup arti “kemajuan”, maka
tentunya Ia memperlihatkan diri sebagai kata yang terdiri atas empat arti,
yaitu: usaha, gerakan, kemajuan dan tujuan.25
Atas dasar ini, ummah
menurut Ali Syari‟ati adalah masyarakat yang hijrah, atau kumpulan orang
yang semua individunya sepakat dalam tujuan yang sama dan masing-
masing membantu agar bergerak ke arah dan tujuan yang diharapkan atas
dasar kepemimpinan yang sama.
Sedangkan Muḥammad Syahrȗr berpendapat bahwa Pola kehidupan
manusia sama dengan pola kehidupan hewan, dan kemudia berproses
menjadi manusia dan mulai menjauhi pola kehidupan hewan tersebut. Akan
tetapi yang tersisa adalah keserupaan perilaku. Periode ini dinamakan
dengan “masa prasejarah”, dan tidak mempunyai evolusi tertentu untuk
membentuk prilaku sadar yang berbeda antara satu ummat dengan ummat
24Abdul Fatah, Kewargaan dalam Islam: Tafsir Baru Tentang Konsep Ummat
(Yogyakarta: Lembaga pengkaji Agama dan Masyarakat (LPAM), 2004), 74-75. 25
Ali Syariati, Ummah dan Imammah (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), h.50.
64 64
yang lainnya. dari situ Allah berfirman: bahwa pada awalnya manusia
adalah satu ummat.26
Bersama dengan proses evolusi sejarah, telah terjadi perbedaan
perilaku manusia (individu) munuju komunitas manusia (kumpulan
manusia) disebabkan oleh perkembangan (evolusi) pengetahuan, syari‟at
(hukum-hukum), dan adat istiadat. Maka terbentuklah ummat. Ini adalah
rahasia keagungan tuhan semesta alam sebagaimana dalam firman Allah :
Manusia dahulunya hanyalah satu umat, Kemudian mereka
berselisih. kalau tidaklah Karena suatu ketetapan yang Telah ada
dari Tuhanmu dahulu, Pastilah Telah diberi Keputusan di antara
mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu. (Qs.
Yunus/10:19)
Kata ummat dalam terma kontemporer adalah “kebudayaan”, yaitu
mata rantai perkembangan secara terus menerus yang menghubungkan
priode sejarah klasik, pertengahan, dan modern.
Dapat disimpulakan bahwa terma ummat itu adalah istilah yang
sangat umum yang bisa berlaku pada hewan yang bersifat instingtif (al-
ghȃrizȋ), dan kemudian berubah menjadi perilaku individu manusia.
Selanjutnya, menjadi perilaku sadar (pada tahap transisi) dari pola kehidupan
hewan pada pola kehidupan masyarakat,, bersamaan dengan munculnya
keluarga dan ranah kehidupan (al-majȃl al-hayawani), dan memunculkan
ragam kesadaran berbudaya, syari‟at, adat istiadat, dan tradisi yang berbeda.
Komunitas manusia muncul pertama kali pada masa Nabi Nuh, dan
26 Syahrȗr, Tirani Islam. h.48.
65 65
kemudian perbedaan ini berkembang bersamaan dengan diutusnya para Nabi
dan Rasul dan ajaran-ajaran yamg mereka bawa, seperti pengetahuan
hukum-hukum, aturan-aturan, dan norma-norma yang beragam.27
3. Qaumiyyah
Kata Qaum memiliki dua makna dasar, yaitu „kelompok manusia‟
dan „berdiri atau bangkit‟. Kata qaum dipergunakan untuk menunjukan
sekumpulan manusia yang bangkit untuk berperang membela sesuatu. Al-
Raghib al-Asfahani menjelaskan bahwa qwn seakar dengan qama-yaqumu-
qiaman yang berarti berdiri. Secara leksikal, qaumiyyah adalah kelompok
manusia yang dihimpun oleh suatu hubungan atau ikatan yang mereka
tegakan di tempat qawn tersebut berada.28
Menurut Syahrȗr faktor terbentuknya qaumiyyah adalah bahasa,
sebab baginya munculnya qaumiyyah itu bersaman dengan bahasa sebagai
media komunikasi antara pembicara dan pendengar.29
Syahrȗr menyebutkan terma qaum sebagai tahapan lebih lanjut
(tinggi) atas terma ummat. Syahrȗr juga mengartikan terma qaumiyyah
menjadi tiga. Yaitu:
a. komunitas laki-laki. Indikasi ini menunjukkan bahwa terma
qaumihi dan terma qaum sebagaimana dalam ayat QS. al-Hujrat [49]:1130
hanya berlaku pada laki-laki.
27 Syahrȗr, Tirani Islam. h.55. 28 Ali Nurdin, Quranic Society, h.82-83. 29 Syahrȗr, Tirani Islam, h.60. 30
Lihat al-Qur‟an dan Terjemah Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemah (Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda, 2009),h. 744.
66 66
b. komunitas manusia berakal, baik laki-laki maupun perempuan
pada kondisi sosial masyarakat tertentu. Sebagaimana firman Allah yg
terdapat pada QS. Nuh [31]:1-2.
Sesungguhnya kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan
memerintahkan): "Berilah kaummu peringatan sebelum datang
kepadanya azab yang pedih", Nuh berkata: "Hai kaumku,
Sesungguhnya Aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan
kepada kamu.(Qs. Nuh: 1-2).
c. Komunitas manusia berakal yang mempunyai satu bahasa
Sesungguhnya qaum memiliki dua prinsip dasar: (1) karakteristik subyektif
(dzat) sebagai sebuah keniscayaan bagi eksistensi qaum sampai terbetuknya
bahasa, yaitu adanya komunitas manusia yang menggunakan bahasa sebagai
perangkat pemikiran, alat komunikasi, dan bentuk kebudayaan bagi
komunitas ini melalui bahasa. (2) karakteristik obyektif (maudhu‟i), saat
kita letakkan bentuk mudhȃf pada terma qaum, seperti ungkapan “Qaum
(suku) Arab”. Hal ini menunjukan adanya eksistensi objektif terdiri dari
kuantitas manusia yang menggunakan bahasa Arab sebagai eksistensi
objektif bila dihubungkan dengan qaum-qaum lainnya.31
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan
pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan
itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri. jangan memanggil dengan
gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk
sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang
zalim. 31
Syahrȗr , Tirani Islam. h. 73
67 67
4. Negara
Negara adalah sebuah lembaga kekuasaan yang dibentuk untuk
menyelenggarakan kepentingan bersama, yaitu keamanan, ketertiban
masyarakat, kestabilan hukum dan stabilitas politik.32
Istilah negara dalam berbagai bangsa antara lain: country (Eng), land
(Ger), Pays (Fre), Daulah (Arab). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
negara diartikan dengan : 1) Organisasi di suatu wilayah yang mempunyai
kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat, 2) kelompok sosial
yang menduduki wilayah atau daerah tertentu diorganisir di bawah lembaga
politik dan pemerintahan yang efektif, mempunyai kekuasaan politik
berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.33
Keberadaan negara, seperti organisasi secara umum, adalah untuk
memudahkan anggota (rakyat) mencapai tujuan bersama atau cita-citanya.
Keinginan bersama ini dirumuskan dalam suatu dokumen yang disebut
dengan konstitusi, termasuk didalamnya nilai-nilai yang dijunjung tinggi
oleh rakyat sebagai anggota negaranya. Sebagai dokumen yang
mencantumkan cita-cita bersama sebagai maksud didirikannya negara.
kostitusi merupakan dokumen hukum tertinggi pada suatu negara.
Karenanya, dia juga mengatur bagaimana negara dikelola. Konstitusi di
Indonesia disebut dengan Undang Undang Dasar.34
476.
32 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur‟ȃn (Jakarta: Paramadin, 1996), h.
33 Hasan Alwi, Dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia (t,tp, Balai Pustaka, t.th.),
Cetakan Pertama, Edisi Tiga, h. 777. 34
Perpustakaan Nasional RI, al-Qur‟an dan Kenegaraan (Tafsir Tematik) (Jakarta: Laznah Pentashihan al-Qur‟an, 2011), h.22.
68 68
Menurut Syahrȗr, negara adalah media pengungkapan dari realitas
tertentu yang di jadikan sebagai ranah kehidupan oleh bangsa tertentu
(terdiri dari multi-qaum dan multi-ummat, atau satu qaum dan satu ummat,
serta multi qaum dan satu ummat)secara institusional.35
Institusi yang
memiliki karakteristik subjektif dan objektif sekaligus, dalam kaitannya
dengan pola interaksi pengaruh mempengaruhi secara dialektis (timbal
balik).
Dalam pengertian yang telah di paparkan di atas, jelas sekali bahwa
term Syu‟ȗb, qaum, qabȋlah, ummat dan negara mempunyai pengertian dan
fungsi yang berbeda-beda tetapi saling terikat satu sama lain. Dimana
komunitas manusia pertama-tama adalah satu ummat kemudian mereka
menjadi berbagai ummat. Setelah mereka mempunyai bahasa tertentu
mereka menjadi qaumiyyah. Ketika satu qaum atau lebih mempunyai naluri
yang sama bersatu maka di sebut dengan Syu‟ȗb. kemudian mereka hidup
dalam satu tanah air berikut batasannya yang satu dan mempunyai sistem
sosial, ekonomi, dan politik yang satu. Hubungan yang bertujuan untuk
kemaslahatan bersama menumbuhkan sistem perpolitikan dan menjadi
sebuah negara.
E. Signifikansi Makna Syu‟ȗb di Indonesia
Syu‟ȗb(bangsa) dalam perspektif Muḥammad Syaḥrȗr adalah
gabungan entitas-entitas yang beragam, lalu disatukan oleh hubungan
kesadaran dan diikat oleh asas kemaslahatan bersama yang dituangkan
dalam bentuk sistem legislasi dan hukum perundang-undangan. Sistem ini
35
Syahrȗr, Tirani Islam, h.193.
69 69
diberlakukan pada ranah kehidupan yang dinamakan tanah air
(wathan/state) pada gilirannya, hubungan tersebut diatur oleh kekuasaan
yang dinamakan negara, yang kekuasaanya meliputi zona teritorial tanah air.
Dalam sejarahnya Indonesia merupkan bekas jajahan porgis,
belanda, jepang. Dahulu Indonesia di kenal dengan sebutan hindia belanda.
Rangkaian pulau-pulau yang terletak di antara dua benua dan dua samudera.
Suku asli nya ras melayunesia. Unsur masyarakat yang membentuk bangsa
Indonesia terdiri atas bermacam-macam suku, adat istiadat, kebudayaan dan
agama yang berdiam dalam satu zona teritorial (negara).
Terdapat lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa di
Indonesia, atau tepatnya 1340 suku menurut sensus BPS tahun 2010. Suku
jawa adalah suku terbesar di Indonesia dengan jumlah mencapai 41% dari
total populasi. Orang Jawa kebanyakan berkumpul di pulau Jawa, akan
tetapi jutaan jiwa telah bertransmigrasi dan tersebar ke berbagai Nusantara.
Suku sunda, suku batak dan suku Madura adalah kelompok terbesar
berikutnya di negara ini. 36
Dari 1340 suku yang ada di Indonesia mempunyai bahasa masing-
masing. tetapi dari semua bahasa yang terdapat dalam suku tersebut hanya
ada satu bahasa yang telah di sepakati sebagai bahasa nasional, yaitu bahasa
indonesia. Pada prinsipnya, menurut pendekatan linguistik, asal-usul suatu
bangsa dapat ditelusuri melalui penyebaran bahasanya.
Makna bangsa menurut Muḥammad Syaḥrȗr tersebut sesuai dengan
konteks keIndonesiaan. Makna bangsa di Indonesia sendiri di pahami
36
Badan Pusat Statistik, Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa
Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010. (badan Pusat Statik. 2011)
diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia
70 70
sebagai kelompok manusia yang bersamaan asal keturunan, adat istiadat,
bahasa, dan sejarahnya.37
Sebagaimana Funding father Indonesia Ir.
Soekarno merumuskan bangsa sebagai satu nyawa satu azas akal yang
terjadi dua hal, pertama, rakyat itu dulunya harus bersama menjalani satu
riwayat. Kedua, rakyat itu harus mempunyai kemauan, keinginan hidup
menjadi satu. Bukannya jenis (ras), bukannya bahasa, bukannya agama
melainkan perasaan butuh.
Syaḥrȗr juga menjadikan Bahasa sebagai pola hubungan kesadaran,
karena bahasa sendiri merupakan perangkat pemikiran dan alat komunikasi.
Dengan adanya keragaman bahasa, manusia dapat dibedakan menjadi
sebuah komunitas yang didasarkan kepada konsep konsep dasar bahasa,
dalam bahasa Syaḥrȗr disebut dengan qaumiyāh.38
Indonesia mempunyai suku-suku yang banyak, setiap suku
mempunyai bahasa masing-masing tetapi mereka telah menyepakati bahasa
yang satu, suku-suku itu kemudian berusaha untuk bersatu, baik secara
sukarela maupun terpaksa, ranah kehidupan yang satu dan yang lainnya,
maka suku-suku tersebut telah membentuk bangsa yang hidup dalam zona
teritorial: tanah air. Dengan demikian, bangsa dan tanah air merupakan dua
sisi mata uang yang tidak terpisahkan.
Indonesia adalah bangsa yang mempunyai pusat negara di Jakarta.
Dengan begitu setiap jengkal tanah yang ada di belahan Indonesia, yang
berada dalam kekuasaan Negara yang beribukota di Jakarta, dapat disebut
dengan tanah Air (wathan). Sedangkan seluruh manusia yang hidup di tanah
37 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Indonesia, h.134. 38
Syahrur, Tirani Islam.h.90.
71 71
ini (yang berada di bawah kekuasaan negara) di sebut dengan Bangsa
(Syu‟ȗb). terlepas darimana suku dan apa bahasa mereka. Mereka hidup
dalam satu tanah air, berikut batasannya yang satu dan mempunyai sistem
sosial, ekonomi, dan politik yang satu juga. Hubungan yang terbangun
dalam individu bangsa adalah hubungan untuk kemaslahatan bersama, yang
pada gilirannya menumbuhkan sistem politik (negara).39
39 Syahrur, Tirani Islam. h.91.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada bagian akhir penelitian ini, penulis berusaha mengambil
kesimpulan-kesimpulan sebagai cakupan dari semua pembahasan yang telah
penulis urai, disamping sebagai jawaban dari rumusan masalah mengenai
persoalan konsep Syu‟ȗb (bangsa).
Mufasir menjelaskan kata asy-sya‟b sebagai komunitas terbesar yang
mengikat manusia, yang didalamnya terdapat subkelompok yang disebut
qabȋlah, dan qabȋlah terdiri dari sub-sub kelompok yang lebih kecil yakni
Ummat. Dengan kata lain, qabȋlah merupakan komunitas kecil yang
menjadi anggota dari Syu‟ȗb. Sebagian yang lainnya menjelaskan kata
Syu‟ȗb sebagai kelompok non Arab dan qabȋlah sebagai kelompok Arab
sebagaimana satu pendapat yang di kutip oleh Ibnu Abbas dan Ath-
Tahabarsyi.
Menurut Muḥammad Syahrȗr Syu‟ȗb adalah sekumpulan manusia
yang berakal. Mereka mempunyai bahasa dan berafiliasi dengan satu qaum
atau lebih. Mereka mempunyai naluri serupa, namun berbeda kebudayaan.
Makna Syu‟ȗb lebih umum daripada makna ummat dan qaumiyyah. Sebab,
makna Syu‟ȗb sendiri sebenarnya telah mencakup makna keduanya. Dan ia
mengandung makna yang tidak tercakup dalam makna keduanya. Pada
awalnya manusia adalah satu ummat namun kemudian manjadi berbagai
ummat. Setelah manusia memiliki bahasa tertentu maka mereka telah
menjadi qaumiyyah. kemudian ketika sekumpulan qaumiyyah berusaha
bersatu secara sukarela ataupun terpaksa, ranah kehidupan yang satu dengan
72
73
yang lainnya, maka qaumiyyah tersebut telah menjadi Syu‟ȗb yang hidup
dalam ranah kehidupan yang mempunyai zona teritorial: tanah air.
B. Rekomendasi
Dalam rangka melengkapi penelitian ini, penulis menganggap perlu
merekomendasikan untuk dijadikan bahan penelitian lanjut:
1. Penelitian studi al-Qur‟ān dengan model pendekatan
hermeneutika masih perlu digalakkan.
2. Setiap kata memiliki makna yang berlapis-lapis, sehingga
wajar Syaḥrȗr menolak sisi makna yang terkandung dalam
sebuah kata dalam kamus adalah statis, tetap dan tidak
berkembang sebagaimana awal pembentukannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulgani, Ruslan. Nation and Character Building Republik Indonesia.
Jakarta: Seksi Penerangan KOTI, 1965.
Abu al-Su‟ud ibn Muḥammad al-Imadi al-Hanāfi, Irsyad al-„aqla al-Salim
ila Mazaya al-Kitāb al-Karīm, V, Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-
Haditsah.
Syariati, ali, Ummah dan Imammah, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995
Alwi, Hasan. Dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, t,tp, Balai Pustaka, t.th.,
Cetakan Pertama, Edisi Tiga.
Amin, Muḥammad Abdullah, “Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul
Fikih dan Dampaknya Pada Fikih Kontemporer”. Madzhab Yogya,
Menggagas paradigma Fikih Kontemporer, Yogyakarta: ar-Ruz, 2002.
Asa, Sya‟bah, Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2000.
Badan Pusat Statistik, Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan
Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk
2010. (badan Pusat Statik. 2011) diakses dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Baqi, Muḥammad Fuad Abd, Mu‟zam al-Mufahras li Ahfadz Qur‟an,
Kairo: Dar al-Qutb al-Mishiriyyah, 1363 H.
Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. Manado: PT Kanisius, 1999.
Budiman, Kris, Kosa Kata Semiotik, Yogyakarta: LkiS, 1999.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008.
Fatah, Abdul, Kewargaan dalam Islam: Tafsir Baru Tentang Konsep
Ummat, Yogyakarta: Lembaga pengkaji Agama dan Masyarakat
(LPAM), 2004.
Fayruzabadi, Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, III.
Grosby, Stave, Nasionalisme. Surabaya: portico, cet 1, 2010.
Hadi, Sutisno, Metodologi Research. Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996.
73
74
Hamka, Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988.
Hasan, Muḥammad Tholha, Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan
Zaman, jakarta: Lantabora press, 2005.
Hasbi, M. al-Shiddiqy.Tafsir al-Qur‟ān al-Majid “ANNUR”. Semarang:
Pustaka Rizki, 1995.
Hitami, Munzir, Revolusi Sejarah Manusia, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta,
2009.
Iqbal, Muḥammad dan Husein Amin Nasution, Pemikiran Politik Islam.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.
Ibn Fȃris, Mu‟jam al-Maqȃyȋs fȋ al-Lughȃh, Beirut: Dȃr al-Fikr, 1994
Ibn Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, IV. Mesir: Dar al-Kutb, 2000.
Kementerian Agama RI, Tafsir al-Qur‟ān Tematik: Etika Berkeluarga,
Bermasyarakat, dan Berpolitik. Jakarta: Kementrian Agama RI,
2012.
-----------, al-Qur‟ȃn dan Terjemahnya. Semarang, Toha Putera. 1989.
Khan, Qamaruddin, Pemikiran Politik Ibnu Taimiah. Bandung: Penerbit
Pustaka, 1971.
Kholdun, Ibn. Muqaddimah. Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 2011.
Komaruddin, Kamus Riset. Bandung: Angkasa, 1989.
Manzhur, Ibn, Lisan al-„Arab al-Muhith, III, h. 12.
Maraghi, Ahmad Musthofa, Tafsir al-Maraghi, terj. Semarang: Toha Putera,
1993.
Masduki, Usaha Pembaharuan Ushul Fikih Muḥammad Syaḥrȗr, “al-
Qalam”, Vol 25, No.1.
Moleong, J Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja
Rosdakarya,2009.
Mustakim, Abdul dan Sahiron Syamsuddin, Studi al-Qur‟ān Kontemporer,
Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2002.
Mustakim, Abdul. Epistimologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: Lkis
group, 2010.
Mustansyir, Rizal dan Munir Misnal, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2001.
75
Nur, Aminuddin, Pengantar Studi Sejarah Pergerakan Nasional. Jakarta:
Pembimbing Massa, 1967.
Perpustakaan Nasional RI, al-Qur‟ān dan Kenegaraan (Tafsir Tematik),
Jakarta: Laznah Pentashihan al-Qur‟ān, 2011.
Qattan, Manna Khalil, Mabahits Fȋ ulȗm al-Qur‟ān (Studi Ilmu-Ilmu al-
Qur‟ȃn, Terj. Muzakir AS. Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2000.
Qutb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an, Kairo: Darusy Syuruq, 1982.
Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedi al-Qur‟ān, Jakarta: Paramadina, 1996.
Rustandi, Ahmad, Dkk. Islam, Marxisme, Liberalisme, Nasionalisme. Bandung: Jajaran Universitas Islam Nusantara, 1977.
Saleh, Qamaruddin. Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya
Ayat-Ayat al-Qur‟ān. Bandung: CV Diponogoro, 1996, cet 18.
Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur‟ān, Jakarta: PT. Mizan Pustaka,
2013.
Smith, D, Anthony, Nasionalisme Teori Idiologi dan Sejarah. Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2002.
Soekarno, Dibawah Bedera Revolusi. Jakarta: Penerbit Panitya, 1965.
-----------. Lahirnya Pancasila, Jakarta: Balai Pustaka, 1962.
Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat, Kajian Sejarah Pemikiran
Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2001.
Suriasumantri, Jujun, Filsafat Ilmu:Sebuah pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan. 2003.
Suyuti,Jalaluddin. Al-itqan fi „Ulum al-Qur‟an, Jilid I. Beirut: Daar al-Kutb
al-„Ilmiyyah, 2003.
Syaḥrȗr, Muḥammad, al-kitab wa al-Qur‟ān qira‟ah mu‟asirah, Damaskus:
Al-Ahali, 1990.
----------, Dialektika Kosmos dan Manusia: Dasar-Dasar Epistimologi
Qur‟ani, Terj. M. Firdaus. Bandung: Nuansa Cendikia, 2004.
76
-----------. Epistimologi al-Qur‟ān: Tafsir Konteporer Ayat-Ayat Al-Qur‟ān
Berbasis Materialisme Dialektika Historis.
----------. Nahwa Ushul al-Jadidah Lil Fiqh al-Islāmi, Damaskus: al-Ahali li
al-Thibā‟ah wa an Nasīr wa al-Tauzi‟,2000.
----------,prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur‟ān Kontemporer, terj.
Sahiron Samsuddin, MA dan Burhanuddin, Yogyakarta: eLSAQ
press, 2004.
----------.Tirani Islam: Geneologi Masyarakat dan Negara. Yogyakarta:lkis,
2003.
Syakir, Ahmad Syaikh. Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsīr. Jakarta, Darus
Sunnah, 2014.
Syamsuddin, Nazaruddin, Soekarno, Pemikiran Politik dan Kenyataan
Praktek. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993.
Syamsuddin, Sahiron, dan Abdul Mustakim, Studi al-Qur‟ān Kontemporer;
Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir. Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2002.
----------, Shiron. Dan Burhanuddin. Metodologi Fikih Islam Kontemporer.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.
Syariati, Ali. ummah dan Imammah, Suatu Tinjauan Sosiologis. Terj. Afif
Muḥammad Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.
Thobari, Imam, jami‟ al-Bayan Ta‟wili Ayi al-Qur‟ān, Jakarta: Pustaka
Azam, 2009.
Yusron, Muhammad, “Mengenal Pemikiran Bint al-Syāti‟ Tentang al-
Qur‟ān” dalam kumpulan tulisan dosen Tafsir Hadis, UIN Sunan
Kalijaga, Muhammad Yusron (Dkk), Studi Tafsir Kontemporer,
Yogyakarta: TH-Press, 2006.
Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf III, Beirut: Dar al-Fikr, 1977.