PEMULIHAN SETELAH CEDERA OTAK .docx

42
PEMULIHAN SETELAH CEDERA OTAK: mekanisme dan prinsip Nudo RJ. Recovery after brain injury: mechanisms and principles. Frontiers in Human Neuroscience. Desember 2013, Vol 7 Dua puluh tahun terakhir telah mewakili periode penting dalam perkembangan prinsip-prinsip neuroplastisitas, khususnya pemulihan dari cedera neurologik. Hal itu telah secara umum diterima bahwa cedera otak yang didapat, seperti terjadi pada stroke atau trauma, memulai kaskade kejadian regeneratif yang bertahan beberapa minggu, jika tidak berbulan-bulan. Banyak peneliti telah menunjukkan hubungan paralel antara plastisitas post cedera dengan kejadian molekuler seluler yang berlangsung selama perkembangan otak normal. Ketika bukti untuk prinsip dan mekanisme neuroplastisitas post cedera dikumpulkan sedikit demi sedikit, pendekatan terbaru untuk intervensi terapi telah diusulkan. Satu pokok penting dijadikan sebagai pengalaman para dokter dan ilmuwan dalam pengetahuan mereka tentang mekanisme neuroplastisitas telah bertumbuh: pengalaman tingkah laku merupakan modulator kuat untuk plastisitas otak. Sementara adanya bukti kuat terhadap prinsip ini pada otak yang normal dan sehat, cedera otak dapat ditundukkan. Berdasarkan

Transcript of PEMULIHAN SETELAH CEDERA OTAK .docx

PEMULIHAN SETELAH CEDERA OTAK: mekanisme dan prinsipNudo RJ. Recovery after brain injury: mechanisms and principles. Frontiers in Human Neuroscience. Desember 2013, Vol 7

Dua puluh tahun terakhir telah mewakili periode penting dalam perkembangan prinsip-prinsip neuroplastisitas, khususnya pemulihan dari cedera neurologik. Hal itu telah secara umum diterima bahwa cedera otak yang didapat, seperti terjadi pada stroke atau trauma, memulai kaskade kejadian regeneratif yang bertahan beberapa minggu, jika tidak berbulan-bulan. Banyak peneliti telah menunjukkan hubungan paralel antara plastisitas post cedera dengan kejadian molekuler seluler yang berlangsung selama perkembangan otak normal. Ketika bukti untuk prinsip dan mekanisme neuroplastisitas post cedera dikumpulkan sedikit demi sedikit, pendekatan terbaru untuk intervensi terapi telah diusulkan. Satu pokok penting dijadikan sebagai pengalaman para dokter dan ilmuwan dalam pengetahuan mereka tentang mekanisme neuroplastisitas telah bertumbuh: pengalaman tingkah laku merupakan modulator kuat untuk plastisitas otak. Sementara adanya bukti kuat terhadap prinsip ini pada otak yang normal dan sehat, cedera otak dapat ditundukkan. Berdasarkan kualitas dan kuantitas pengalaman motorik, otak dapat dibentuk ulang setelah cedera baik secara adaptif atau maladaptif. Tulisan ini mengulas penelitian-penelitian terpilih yang telah menunjukkan perubahan neurofisiologi dan neuroanatomi yang dipicu oleh pengalaman motorik, oleh cedera otak, dan interaksi dari proses-proses ini. Sebagai tambahan, penelitian terbaru menggunakan teknik baru dan elegan yang menyediakan ide perspektif pada kejadian yang berlangsung pada cedera otak, menyediakan periode untuk plastisitas post cedera. Pendekatan baru ini mungkin mempercepat tahap penelitian dasar, dan menyediakan banyak kesempatan untuk menerjemahkan prinsip dasar ke dalam metodologi terapi.

Kata kunci : korteks motorik, stroke, cedera otak traumatik, pertumbuhan aksonal, pembelajaran motorik, pemulihanPENDAHULUANSetelah cedera pada korteks serebral, sebagaimana sering terjadi pada stroke dan cedera trauma otak (TBI), sebagian besar daerah motorik-sensoris otak depan terkena, termasuk korteks frontalis dan parietalis dan/atau struktur subkortikal di striatum dan talamus, menghasilkan defisit fungsi motorik pada bagian tubuh kontralateral. Namun, pemulihan spontan terjadi dalam waktu minggu dan bulan sesuai cedera. Pemahaman mengenai bagaimana struktur sensoris-motoris dapat membantu pemulihan fungsi seperti itu merupakan tujuan utama dalam penelitian terbaru. Tulisan ini akan mengulas model teori dan bukti empiris baru untuk plastisitas fungsional pada sistem motorik kortikal. Data-data ini menyediakan pemahaman mendasar mengenai prinsip plastisitas yang dibutuhkan untuk memahami dan mengoptimalkan efek intervensi terapi yang dirancang untuk mendukung penyesuaian plastisitas.

MEKANISME YANG MENDASARI PLASTISITAS BERGANTUNG PENGALAMAN DI KORTEKS MOTORIKDekade percobaan pada korteks serebral telah menunjukkan banyak contoh fisiologi dan anatomi dari plastisitas kortikal. Selama fenomena seperti ini telah diteliti diseluruh area kortikal, artikel yang ditampilkan akan fokus hanya pada somatosensoris dan korteks motorik, karena kepentingan mereka dalam memahami pemulihan motorik setelah cedera otak. Meskipun proses ini dipicu oleh beberapa kejadian eksogen dan endogen, satu modulator yang sangat kuat yaitu pengalaman tingkah laku. Banyak hal emergensi pada masing-masing daerah kortikal dibentuk melalui perintah tingkah laku, dirangsang sebagian besar oleh pengulangan, dan kejadian temporal yang tidak terduga. Sebagai contoh, aktivitas motorik yang membutuhkan koordinasi temporal yang tepat dari otot dan sendi harus dilatih berulang-ulang. Pengulangan seperti ini dianggap dapat merangsang pembentukan modul berbeda dimana aktivitas penggabungan diwakilkan sebagai satu unit.Kunci untuk memahami plastisitas pada otak dewasa dapat ditemukan diseluruh perkembangan literatur neurosains. Selama perkembangan otak, pedoman isyarat untuk pertumbuhan aksonal adalah bergantung pada aktivitas. Ada dua fase dalam pematangan koneksi talamokortikal. Pada fase pertama, akson talamokortikal diarahkan ke target kortikal-nya melalui molekul penuntun aksonal. Proses ini mungkin mencakup aktivitas neural spontan. Pada fase kedua, aktivitas kortikal menuntun pertumbuhan aksonal dalam korteks serebral, menentukan pola hubungan topologik. Pola percabangan aksonal post-natal dalam korteks serebral juga ditunjukkan untuk melibatkan aktivitas sensorik mungkin melalui memulai sinyal retrograd molekul seperti BDNF.Meskipun pertumbuhan aksonal dalam waktu yang lama sempat dipikirkan tidak ada pada hewan dewasa, cedera membentuk lingkungan matang yang istimewa untuk proses pertumbuhan aksonal dimulai lagi. Setelah infark iskemik fokal pada tikus, aktivitas neuronal yang serempak merupakan sebuah sinyal untuk pertumbuhan aksonal post infark dimulai dari hemisfer kortikal intak ke korteks peri-infark dan striatum dorsal kontralateral. Sehingga, bukti sekarang mendukung kepentingan aktivitas kortikal untuk pertumbuhan aksonal dalam perkembangan dan kematangan otak. Itu disusul bahwa perbedaan dalam pengalaman tingkah laku pos-infark mungkin mempengaruhi neuron mana yang menjadi target untuk pertumbuhan akson lokal dan renggang melalui membedakan aktivitas spesifik area kortikal.Adalah hal penting untuk disampaikan bahwa penguatan itu kritis untuk plastisitas yang terjadi di neuron kortikal hewan dewasa. Paparan sederhana ke rangsangan sensoris menyebabkan perubahan sedikit atau tidak ada perubahan yang menetap dalam daerah penerimaan. Prinsip ini digambarkan dalam penelitian dimana somatosensoris dan rangsangan auditori diperlihatkan pada hewan. Hewan ini dihadiahi untuk membedakan properti fisik dari hanya satu modalitas. Plastisitas daerah penerimaan terlihat pada korteks yang bertanggung jawab terhadap modalitas sensoris yang relevan, tetapi tidak pada modalitas irelevan.Beberapa prinsip umum pada peta pengaturan motorik mendasari kemampuan korteks motorik untuk menyandikan kemampuan motorik. Pertama, peta motorik terpecah, dalam arti mereka terdiri dari gambaran gerakan yang banyak dan tumpang tindih (Gambar 1). Kedua, area yang berdekatan dalam peta kortikal motorik sangat berhubungan melalui jaringan padat serabut intrakortikal. Ketiga, peta ini sangat dinamis dan dapat dimodulasi oleh sejumlah rangsangan intrinsik dan ektrinsik. Bersama, karakter-karakter ini menyediakan kerangka yang memfasilitasi penerimaan ide sinergi otot, setidaknya sebagian, melalui perubahan konektivitas intrakortikal pada gambaran pergerakan individu.

Gambar 1. Gambaran pergerakan tungkai depan distal pada korteks motorik primer (area 4) pada seekor tupai

Namun, proses dinamis alamiah dari peta motorik memungkiri topik tentang kestabilan koneksi neural yang harus diatur untuk merespon perintah lingkungan dan menguasai kemampuan motorik yang didapat. Faktanya, menggunakan pemicu rangsangan rata-rata electromyographic activity di M1 monyet, tampaknya bahwa fasilitasi dan supresi pada otot individu anehnya stabil walaupun ada perubahan pada persendian, pergantian postur, dan banyak fase yang terjadi. Dalam korteks, keseimbangan ini diraih melalui interaksi koneksi eksitatori dan inhibitori dari sel piramid dan jaringan inhibitori lokal. Hal ini pada gilirannya membutuhkan mekanisme internal yang mampu menggeser keseimbangan ini ke arah memperkuat hubungan koneksi sinaps.Koneksi serabut horisontal berasal dari neuron eksitatori piramidal dan mengizinkan suatu ko-aktivasi dari kolumna kortikal yang berdekatan atau tidak. Sebagai tambahan, mereka juga menghasilkan respon inhibitori melalui aktivasi GABAergik interneuron. Selanjutnya, aktivitas ini dimediasi melalui potensiasi jangka panjang (LTP) dan depresi jangka panjang (LTD) antara area korteks motorik yang jauh. Dalam preparat setelah pembelajaran motorik, tikus memiliki potensi amplitudo yang lebih besar pada korteks motorik sisi kontralateral dari tungkai depan yang dilatih. Sehingga, kekuatan sinaps dari koneksi horisontal di korteks motorik dapat diubah dan dapat menyediakan bahan untuk mengubah topografi peta motorik selama memahirkan kemampuan motorik. Bersama, karakteristik serabut horisontal ini menyediakan sebuah mekanisme yang mampu memfasilitasi aktivitasi sinergis banyak otot yang dibutuhkan untuk memahirkan kemampuan motorik, demikian juga menyediakan sebuah mekanisme, melalui proses inhibitori, terhadap peta kestabilan motorik yang dibutuhkan untuk mengatur kestabilan, gambaran neural respon kepada lingkungan yang tidak berhubungan.Hipotesis bahwa Hebbian-like changes dalam koneksi sinaps intrakortikal berbeda dengan neuron korteks untuk membentuk modul fungsional memperoleh dukungan lebih lanjut melalui sebuah penelitian pada korteks motorik dari monyet dewasa. Penelitian ini menunjukkan bahwa keluaran korteks motorik dapat diubah melalui pola pelepasan neuronal palsu. Elektroda ditanam dalam korteks motorik monyet dan dua kutub dipilih atas dasar respon mereka terhadap ICMS. ICMS memproduksi gerakan berbeda pada dua kutub, yang ditempatkan 1-2 mm terpisah. Kemudian pelepasannya direkam dari kutub pertama dan digunakan untuk merangsang kutub kedua dengan sebuah penetapan penghambat. Ketika ICMS digunakan untuk menentukan keluaran dari kedua kutub beberapa minggu berikut, ditemukan bahwa kutub 2 mendapatkan sifat dari kutub 1ICMSmenimbulkan pergerakan yang sama. Penelitian ini menyediakan dukungan lebih lanjut untuk dugaan bahwa korelasi temporal terhadap masukan dan keluaran merangsang timbulnya gabungan di antara modul korteks motorik.Perubahan struktural juga terjadi pada hewan dewasa sebagai sebuah resiko pengalaman. Morfologi dendrit dan sinaps dari neuron korteks motorik diubah melalui latihan pembelajaran motorik yang spesifik. Proses LTP dan pengembangan dendrit spinal telah ditunjukkan pada preparat yang sama dari korteks motorik selama latihan kemampuan. Pembentukan dendrit spinal terjadi sangat cepat, dalam 1 jam di neuron piramidal pada korteks motorik sisi kontralateral terhadap tungkai yang dilatih. Selanjutnya, latihan yang berikut menstabilkan penegmbangan spinal, agaknya sebagai sebuah dasar latihan kemampuan motorik dalam memori jangka panjang. Perubahan struktural sangat spesifik pada neuron yang dilatih. Kategori-kategori gen terkait dengan fase awal pembelajaran kemampuan motorik telah diidentifikasi dan mencakup gen untuk mengatur plastisitas sinaps, sinaptogenesis, dan dinamis sitoskeletal. Namun, akan muncul bahwa penyebaran sinaptogenesis dan plastisitas peta motorik hanya bukti secara relatif terhadap fase akhir memahirkan kemampuan motorik, ketika memori motorik untuk kemampuan tersebut berkedudukan kuat.Dopamin tampaknya memainkan peran yang signifikan dalam memahirkan kemampuan motorik. Korteks motorik, setidaknya pada tikus, menerima sejumlah dopamin, lebih banyak dari area tegmental ventral. Luft dan koleganya menemukan bahwa setelah deplesi dopamin (melalui injeksi 6-hidroksi-dopamin), tikus terganggu dalam melatih penyerapan kembali. Namun, jika mereka telah mempelajarinya, gambarannya tidak akan terganggu. Gangguan ini dibalikkan dengan suntikan levodopa. Penelitian ini dan yang lainnya menyediakan bukti kuat bahwa dopamin secara spesifik memainkan peran dalam penggabungan memori motorik.

PEMBELAJARAN KEMAMPUAN MOTORIK DAN PLASTISITAS DALAM PETA MOTORIKIstilah pembelajaran motorik tidak dengan pasti diartikan dalam kebanyakan model percobaan, tetapi malah dipikirkan sebagai bentuk pembelajaran prosedural yang meliputi pemahiran kemampuan dan adaptasi motorik. Yang lebih spesifik adalah pembelajaran kemampuan motorik itu sendiri, yang sering digambarkan sebagai modifikasi sinergi otot temporal dan spasial, yang berakhir pada rentetan pergerakan yang halus, tepat, dan konsisten. Sejajar dengan percobaan hewan, penelitian pencitraan fungsional pada tingkat manusia telah mengarahkan ke suatu hipotesis bahwa pembelajaran motorik memiliki dua tahap proses. Tahap pertama itu cepat, dan hasilnya ketika penurunan aktivitas neural. Tahap kedua itu tahap lebih lambat dan berakhir pada peningkatan dan pengembangan aktivitas M1.Satu teknik yang menyediakan informasi berharga mengenai plastisitas fungsional di peta motorik dalam percobaan hewan adalah intracortical microstimulation (ICMS) (Gambar 1). Seperti halnya dalam penelitian plastisitas di korteks motorik non primata, ICMS menggunakan glass microelectrodes (10-20 m) diisi dengan NaCl 3,5 M. Arus dialiri melalui kawat platinum yang dimasukkan ke dalam elektroda stimulasi. Stimulusnya mengandung 13.200 s cathodal, getaran monofasik daliri pada 350 Hz, dngan arus maksimum 30A. Elektroda menurun tegak lurus dengan permukaan korteks ke kedalaman 1750 m, yang targetnya itu lapisan V korteks, tempat badan sel kortikospinal. Kadar arus dibutuhkan untuk membangkitkan gerakan pada hewan percobaan yang sedang dibius. Penetrasi elektroda ditambahkan ke 250m, dan direkam dalam gambar digital pada permukaan kortikal. Prosedur ini membolehkan derivasi peta resolusi tinggi dari pergerakan kortikal motorik digmbarkan dengan kerusakan jaringan yang tidak berarti, sehingga adanya pengulangan prosedur pemetaan pada subjek yang sama. Secara khas, peta dasar didapat sebelum latihan tingkah laku. Peta ini mengandung gambaran pergerakan jari dan pergelangan/distal dari tungkai depan, dibatasi secara medial dan lateral oleh gambaran bahu proksimal. Batas kaudal mengandung korteks somatosensori (area 3a), sehingga pergerakannya jarang ditimbulkan pada arus yang dipakai dalam penelitian ini (maksimum 30 A).Berdasarkan hasil ICMS pada non-primata, gambaran topografi umum bagian tubuh yang spesifik sangat konsisten dalam M1, tetapi keberagaman individu tetap ada pada topografi di level yang lebih halus, contohnya dalam gambaran tangan. Ukuran gambaran tangan dapat berubah-ubah 100% di monyet yang berbeda, perbedaan ini tidak dapat dihitung berdasarkan ukuran hewan tersebut. Telah dihipotesiskan bahwa variasi individu dalam peta motorik merupakan hasil dari pengalaman sensorimotorik tiap-tiap individu yang membentuk prosedur pemetaan motorik.Untuk memeriksa hubungan antara pembelajaran kemampuan motorik dengan perubahan gambaran pemetaan motorik, latihan ketangkasan manual sering bermanfaat. Aparatus khas terdiri dari plexiglas board yang melekat pada bagian depan kandang monyet. Papan ini terdiri dari sumur makanan dengan beragam ukuran: ukuran yang terbesar dapat dimasuki seluruh tangan, sementara ukuran paling kecil hanya dapat dimasuki satu atau dua jari. Butiran makanan yang kecil dan berbau ditempatkan dalam sumur pada waktu yang sama. Saat hasil awal sangat kurang, monyet sangat ahli dan terlatih dalam latihan ini, mendapat kembali 500-600 butiran makanan per hari dalam 1-2 minggu.Manfaat latihan ketangkasan manual dikombinasikan dengan pemetaan ICMS penting untuk menunjukkan hubungan dinamis antara pembelajaran kemampuan motorik dan plastisitas peta kortikal. Penelitian pertama untuk memeriksa hubungan ini menggunakan berbagai perintah tingkah laku untuk secara selektif mengaktivasi komponen spesifik dalam peta motorik. Penelitian ini menggunakan 3 monyet yang dilatih pada latihan ketangkasan manual untuk mengambil makanan menggunakan pergerakan jari dan pergelangan. Subjek keempat dilatih untuk menggunakan pergelangan dan lengan bawah untuk menerima butiran dengan menutup mata. Latihan dilanjutkan selama kurang lebih 10-11 hari, cukup untuk meraih kadar asimptomatik. Setelah latihan pemetaan ICMS menyatakan perubahan dalam topografi pemetaan motorik yang secara langsung mencerminkan perintah tingkah laku khusus. Jadi, monyet yang dilatih dengan latihan ketangkasan manual menunjukkan peningkatan dalam gambaran jari dan berhubungan dengan penurunan gambaran pergelangan dan bahu dibandingkan dengan pemetaan sebelum latihan (Gambar 2), saat monyet dilatih dalam keadaan menutup mata memperlihatkan efek yang berlawanansebuah peningkatan gambaran pergelangan dan lengan bawah pada pengeluaran gambaran jari.

Gambar 2. Gambaran distal tungkai depan pada kortek motorik setelah latihan kemampuan jari ditunjukkan melalui ICMS (A) sebelum latihan, (B) setelah latihan, (C) monyet mengambil butiran makanan dalam sumur kecil

Sebagai tambahan, peningkatan pergerakan banyak sendi oleh ICMS juga diteliti. Pergerakan ini terdiri dari pelaksanaan pergerakan jari dan pergelangan tangan bersamaan pada kadar arus ICMS rendah, dan hanya diteliti setelah latihan ketangkasan manual menggunakan jari. Sebelum dan setelah latihan, ambang batas untuk membangkitkan respon banyak sendi secara signifikan lebih rendah daripada respon satu sendi. Hasil ini menyiratkan bahwa gerakan yang simultan atau beruntun dapat terkait di korteks motorik melalui aktivasi berulang. Ada kemungkinan bahwa korelasi temporal input dan output di korteks motorik merangsang munculnya sifat, karena tampaknya berhubungan dengan korteks somatosensoris. Jadi, sinergi otot dan sendi digunakan dalam kerja korteks motorik kompleks dan terlatih dapat didukung oleh perubahan jaringan lokal dalam korteks motorik. Sebagai latihan keterampilan menjadi lebih stereotip dalam gerakan persendian, modul fungsional muncul di korteks untuk menghubungkan output dari kelompok motoneuron yang berbeda.

PEMBELAJARAN KEMAMPUAN MOTORIK vs KEGUNAAN MOTORIKTemuan ini mengarah pada pertanyaan tentang aspek pembelajaran keterampilan motorik apa yang mendorong perubahan pada gambaran peta motorik. Mengingat bahwa dalam percobaan sebelumnya, subjek dilatih berulang-ulang pada tugas keterampilan motorik yang sama, adalah mungkin bahwa peningkatan aktivitas otot menghasilkan perubahan pada gambaran peta motorik. Untuk mengatasi masalah ini, sekelompok monyet dilatih secara eksklusif di sumur terbesar atau sumur terkecil dalam latihan ketangkasan digital. Dasar pemikiran dalam desain ini adalah bahwa sumur terbesar memungkinkan untuk gerakan sederhana banyak jari untuk pengambilan butiran makanan, yang tidak memerlukan subjek untuk mengembangkan gerakan keterampilan jari baru, karena hanya menggenggam makanan adalah bagian normal dari perilaku mereka sehari-hari. Pengambilan butiran makanan kecil, sebaliknya, mengharuskan monyet untuk memanipulasi 1-2 jari untuk mengambil butiran, yang jauh lebih sulit diberikan bahwa monyet tupai kekurangan proyeksi kortikospinalis monosynaptic untuk motoneurons, yang mungkin membatasi individuasi gerakan jari.Dibandingkan dengan peta pra-latihan, monyet yang dilatih pada pengambilan di sumur besar tidak menunjukkan perluasan gambaran jari, sementara mereka yang dilatih dengan sumur kecil menunjukkan perluasan gambaran jari. Temuan ini sangat menyarankan bahwa peningkatan aktivitas motorik tanpa adanya akuisisi keterampilan motorik tidak cukup untuk mendorong perubahan neurofisiologis di korteks motorik. Temuan serupa telah ditemukan pada hewan pengerat mengambil butiran makanan vs menekan bar. Tikus yang belajar untuk mengambil butiran dari platform yang berputar ditampilkan gerakan lebih distal di peta motorik mereka. Perluasan ini dikaitkan dengan synaptogenesis yang bermakna. Tikus yang hanya menekan bar menunjukkan tidak ada perubahan peta atau synaptogenesis (Gambar 3). Dengan demikian, plastisitas di korteks motorik dapat dikatakan tergantung keterampilan atau pembelajaran, daripada dengan keras tergantung kegunaannya. Tugas yang memerlukan akuisisi keterampilan motorik baru menginduksi perubahan neurofisiologis dan neuroanatomi di korteks motorik, tapi tugas-tugas pelatihan gerakan atau kekuatan berulang yang sederhana tidak.

PLASTISITAS DI KORTEKS MOTORIK AKIBAT CEDERADefisit dalam fungsi motorik sangat umum di berbagai kondisi neurologis. Namun, sistem saraf pusat mempertahankan kapasitas yang mengesankan untuk pulih dan beradaptasi dengan cedera tersebut. Disebut pemulihan spontan (atau alami) jika terjadi setelah cedera tulang belakang, TBI, dan stroke. Oleh karena itu, pemahaman dasar tentang mekanisme yang mendasari pemulihan spontan dari fungsional adalah langkah awal dalam pengembangan terapi modulator yang dapat meningkatkan tingkat pemulihan dan titik akhir. Saat cedera terbatas pada satu atau area motorik lain terjadi hanya pada middle cerebral artery (MCA) stroke dan TBI fokal atau reseksi bedah saraf, data eksperimen dari model hewan sangat berharga dalam mengidentifikasi mekanisme yang mendasari pemulihan bermotor setelah cedera SSP. Saat pemulihan pada berbagai ukuran hasil terjadi secara spontan setelah cedera, banyak pemulihan ini mungkin karena kompensasi perilaku. Sebagai contoh, sudah diketahui pada stroke bahwa gerakan kompensasi tubuh bekerja selama usaha yang dilakukan. Dalam kasus penelitian di atas, kombinasi dari peningkatan ketidakgunaan jari yang terganggu, dengan peningkatan penggunaan proksimal bisa menjelaskan pergeseran dalam peta topografi. Dalam model tikus TBI fokal, setara tikus dari M1, yang area kaudal tungkai atas, terluka. Dengan tidak adanya pelatihan rehabilitatif (pemulihan spontan), kinerja perilaku pada latihan mengambil butiran memburuk, tetapi pada 5 minggu pasca-cedera, dan tikus masih memiliki defisit yang signifikan. Pada titik waktu ini, setara dengan tikus premotor cortex (area tubuh depan rostral) berisi representasi ukuran tubuh depan yang normal. Namun, peta ICMS mengungkapkan distribusi representasi tubuh depan: representasi jari berkurang, sementara representasi proksimal diperbesar. Dengan demikian, setidaknya dengan tidak adanya pelatihan perilaku berulang, plastisitas di area motorik terhindar yang terjadi secara spontan mungkin sebagian besar mencerminkan perkembangan motorik pola kompensasi, daripada pemulihan sejati pola kinematik asli (Gambar 4).Kemajuan pemulihan itu sendiri dapat diduga berasal dari sebuah proses pengembalian dan pembelajaran kembali dari fungsi yang hilang, dan juga adaptasi dan kompensasi pertahanan, fungsi residual. Dengan demikian, hal itu mengikuti bahwa mekanisme neurofisiologi yang mendukung pembelajaran kembali pada korteks yang intak harus menengahi pembelajaran dan adaptasi motorik pada otak yang cedera. Sejumlah penelitian selama abad terakhir menyediakan bukti substansial untuk mendukung peran plastisitas neural dalam pemulihan fungsional, baik secara spontan atau diperintah.

PLASTISITAS PADA KORTEKS MOTORIK YANG UTUH DAN BERDEKATAN SETELAH CEDERA FOKALBukti langsung bahwa daerah yang berdekatan dengan korteks mungkin berfungsi dengan cara sendiri setelah cedera dapat ditelusuri ke penelitian pada pertengahan abad ke-20. Monyet menjadi percobaan cedera fokal untuk representasi jempol. Ketika otak yang dipetakan setelah pemulihan perilaku, daerah jempol muncul kembali di wilayah kortikal yang berdekatan. Namun, menggunakan teknik ICMS, hasil yang ditemukan agak berbeda setelah diteliti oleh Nudo dkk pada tahun 1990-an. Lesi kecil dibuat pada bagian gambaran distal tungkai atas (DFL) pada tupai, dan hewan membolehkan untuk pemulihan secara spontan (tanpa keuntungan rehabilitasi) untuk beberapa minggu. Kebalikan dengan penemuan sebelumnya, gambaran DFL yang tersisa mengecil ukurannya, memberikan jalan untuk mengembangkan gambaran proksimal.

Gambar 3. Efek berbeda dari keterampilan vs kegunaan

Namun, ada hewan yang menjalani rehabilitasi dengan tungkai yang terganggu, DFL dipertahankan atau dikembangkan. Dalam peninjauan ulang, sangat mungkin bahwa kemunculan kembali gambaran jempol pada penelitian sebelumnya oleh Glees dan Cole dapat dirangsang oleh perintah tingkah laku post-cedera.

Gambar 4. Pengaturan kembali korteks premotorik tikus setelah tubrukan kortikal terkontrol pada korteks motorik primer

Pengaturan kembali setelah post-iskemik dari korteks sensorimotor juga telah ditunjukkan baru-baru ini dalam transgenic mice expressing the light-sensitive channelrhodopsin-2 in layer V pyramidal neurons. Seperti dalam penelitian lain, aktivitas neuronal pada area infark di samping korteks mengalami penurunan. Infark motor korteks mengakibatkan peta somatosensori untuk timbul dalam korteks motorik yang sehat dekat lesi. Penelitian ini menambahkan kepercayaan ekstra untuk dugaan bahwa daerah yang tidak cedera dapat memainkan fungsi sendiri.Penelitian pada penderita stroke yang sedang berusaha hidup juga menunjukkan bahwa korteks yang sehat dapat memainkan peran dalam pemulihan neurologik. Menggunakan transcranial magnetic stimulation (TMS) setelah stroke, telah menunjukkan bahwa eksitabilitas korteks motorik menurun menjelang cedera, dan gambaran kortikal pada otot yang terkena juga berkurang. Itu mungkin bahwa efek ini terjadi dari kombinasi diaschisis-like phenomena dan tidak digunakannya tungkai yang terkena. Selanjutnya, setelah beberapa minggu rehabilitasi, gambaran motorik pada hemisfer yang cedera membesar sehubungan dengan peta awal post cedera. Juga, gerakan langsung dengan tangan yang terganggu didukung, pembesaran signifikan dari gambaran tungkai paretic dihasilkan, hampir setara dengan hasil pada non-primata.Perubahan neuroanatomi terjadi pada korteks cedera. Antara 3-14 hari post infark, tikus menunjukkan peningkatan GAP-43 immunoreactivity, menunjukkan perkembangan signifikan neurite pada daerah peri-infark. Kemudian, 14-60 hari post-cedera, pewarnaan synaptophysin meningkat, menandakan peningkatan synaptogenesis. Pertumbuhan lokal terjadi pada area peri-infark. Pertumbuhan arteriolar kolateral dan kapiler baru terbentuk pada tepi iskemik. Gambar sekarang menunjukkan pengembangan lingkungan peri-infark dalam hal penghambatan pertumbuhan ditekan selama 1 bulan post-infark. Periode ini diikuti dengan gelombang kemajuan pertumbuhan yang dapat modulasi proses penyembuhan otak sendiri.Dalam dekade terakhir, beberapa teknik baru telah diterapkan pada model binatang tentang iskemia yang memberi kita wawasan baru ke dalam dinamika temporal dari plastisitas pasca-cedera. Dalam serangkaian percobaan yang elegan, Murphy dan koleganya menggunakan 2-foton mikroskop pada hewan hidup di somatosensori korteks tikus selama iskemia disebabkan oleh salah satu injeksi endothelin-1 (sebuah vasokonstriktor kuat) langsung ke korteks, atau dengan injeksi vena dari Rose Bengal diikuti oleh photoactivation (model stroke yang photothrombotic) di korteks. Ketika iskemia lokal menjadi parah, tulang belakang melemah dalam waktu kurang dari 10 menit. Kehilangan dendritik tulang belakang tidak tergantung dari aktivasi reseptor NMDA. Namun, depolarisasi mitokondria dapat mengakibatkan kematian sel terjadi dalam 1-3 menit. Kehilangan dendritik tulang belakang dan depolarisasi mitokondrial dapat kembali jika reperfusi terjadi dalam 1 jam, dan punggungnya memugar. Respon hemodinamik yang ditimbulkan oleh sensoris diperoleh menggunakan pencitraan optikal intrinsik menunjukkan bahwa respon sensoris diblok pada daerah dendrit yang rusak. Kelompok ini juga mengambil keuntungan dari kemajuan terkini dalam model transgenik yang sekarang siap sedia. Melalui pemanfaatan model stroke fototrombotik untuk tikus transgenik yang lapisan V neuron kortikal dipasangi label dengan protein fluoresens kuning, struktur dendrit dapat diperiksa pada neuron lapisan V tunggal. Fungsi tambahan dari dekstran, Texas Red, membolehkan peneliti untuk dengan tepat menentukan batasan inti iskemik. Hasil menetapkan kerusakan dendrit pada inti iskemik ditemukan dengan pencitraan dua-photon pada hewan hidup. Namun, kerusakan dendrit dibatasi hanya sejauh 300 m di sekitar batas iskemik. Di luar daerah ini, dendrit masih intak. Oleh karena itu, setidaknya pada model fototrombosis untuk menghasilkan infark iskemik, bahan pokok untuk plastisitas struktural dan fungsional ada pada korteks peri-infark.Teknik model tikus transgenik ini sekarang telah menunjukkan bahwa dendrit sungguh dapat diubah untuk beberapa minggu setelah iskemik. Peningkatan signifikan pada pembentukan dendrit tulang belakang berlanjut memuncak pada 1-2 minggu post-iskemik dan bertahan sampai 6 minggu. Selama jangka waktu ini, dendrit yang berada dekat stroke memendek, sementara dendrit yang jauh berkembang. Penelitian oleh Carmichael dan koleganya menunjukkan pada model stroke fototrombotik yang reorganisasi fungsional terjadi di wilayah peri-infark yang sama seperti halnya tunas aksonal, menunjukkan substrat anatomi untuk plastisitas fungsional.

Gambar 5. Perubahan pemetaan fungsional dalam tungkai atas (sFL) dan tungkai belakang (sHL) korteks somatosensoris setelah infark fokal pada tikus

PLASTISITAS FUNGSIONAL DAN STRUKTURAL PADA REGIO TERKECIL SETELAH KERUSAKAN FOKAL DI M1Otak primata dikaruniai kaya dengan jaringan intrakortikal yang menyediakan komunikasi timbal balik pada bermacam-macam area sensori dan motorik. Cedera pada korteks motorik menyebabkan potensi kerusakan integrasi jaringan sensorimotor, yang menyebabkan kehilangan kontrol motorik. Regulasi dari reseptor NMDA dan GABA menimbulkan ipsilesional dan hemisfer kontralateral. Neuron kortikal terkecil menunjukan adanya inti yang iskemik, dan mengekspresikan gen pertumbuhan akson, dendrit, dan cabang susunan sitoskeleton. Sejak pengembangan kompensasi perilaku dan keterlibatan M1, berkontribusi terhadap penyembuhan spontan. Masuk akal jika area motorik yang intak, menunjukan beberapa indikasi kesembuhan fungsional, melalui hubungan intrakortikal dengan regio kortikal lainnya dan/atau hubungan langsung dengan jalur kortikospinal.Percobaan oleh Liu and Rouiller menunjukan inaktifasi korteks premotor pada primata dengan GABAergic agonist muscimol, berdasarkan lesi iskemik dan defisit perilaku. Pengembalian kembali tidak diamati dengan inaktifasi peri lesi atau korteks kontralateral. Jika korteks premotorik dapat mengkompensasi kerusakan fungsi motot pada cedera M1, akan timbul perubahan fisiologi yang menyertai penyembuhan. Pada monyet dewasa, teknik ICMS digunakan untuk menunjukan karakteristik pada kedua M1 dan PMv, sebelum dan sesudah percobaan iskemik infark yang menghancurkan 50% M1. Semua subjek menunjukan korelasi jumlah representatif M1 yang hancur. Dengan kata lain makin banyak lesi pada M1, makin banyak kompensasi penyusunan kembali PMv. Penelitian TMS pada pasien stroke yang sembuh juga munjukan area premotorik kembali dengan kemampuan sendiri.Menariknya, ketika lesi pada monyet lebih kecil 50% pada area M1, representatif dari PMv juga berkurang. Pemeriksaan pada spektrum M1, berbagai ukuran infark, hubungan linear dapta dilihat. Hasil ini menimbulkan fakta bahwa beberapa lesi area M1 subtotal merusakan keseluruhan hubungan M1-PMv. Fenomena ini mengingatkan kepada penjelasan klasik Lashley tentang hubungan antara massa serebral dan perubahan perilaku. Berdasarkan hipotesis ini, ukuran lesi diasumsikan secara umum berhubungan dengan defisit kerusakan, dimana lokasi lesi berkaitan dengan spesifikasi defisit.Lashley juga menunjukan konsep kemiripan potensi yang masing-masing bagian memberikan kemampuan area korteks untuk mengkode atau memproduksi kontrol perilaku normal pada keseluruhan area. Setelah lesi yang lebih kecil, jarngan M1 yang ada dapat berpotensi sembuh secara fungsional. Penyusunan kembali akan menyebabkan interkoneksi area korteks menjadi lebih pasif dan menghasilkan kehilangan hubungan interkortikal. Pada lesi yang lebih besar, penyusunan kembali jaringan mungkin tidak mencukupi pada motorik normal. Berdasarkan hewan percobaan, korteks kontralesional dapat mecakup penyembuhan perilaku. Sinyal interhemisfer ditimbulkan segera setelah stroke, sehingga respon sensory memproduksi stimulasi dari kedua kontralateral atau ipsilateral. Pada perubahan pendek, perubahan neuroanatomi di korteks yang intak menimbulkan penggunaan terikat yang meningkatkan penggunaan efek.Sejak diketahui perubahan neuroanatomi timbul di area peri infark, dan jaringan neuronal terhubung rapat, itu diikuti dengan banyak perubahan fungsional yang telah diamati pada regio kortikal terkecil yang mungkin memiliki korelasi. Bukti sekarang menunjukan serat kortikal efferen kembali memulih setelah cedera. Setelah lesi kortikal pada tikus percobaan, corticostriatalfibers, yang terutama menghubungkan berbagai corticalmotor daerah dengan ipsilateralstriatum, yang tumbuh dari daerah intak (kontralesional) korteks, dan berakhir di striatum kontralateral. Plastisitas tersebut dalam menyeberangi sistem serat corticofugal dapat menyediakan satu mekanisme pada belahan hemisfer untuk berpartisipasi pada proses pemulihan. Bukti bahwa synaptogenesis dan pertumbuhan aksonal terjadi pada zona peri-infark setelah cedera kortikal telah dibahas di atas. Selanjutnya, setelah cedera iskemik untuk representasi tangan M1 primata, pola koneksi yang paling intracortical dari PMV tetap utuh. Namun, bila dibandingkan dengan monyet kontrol, setelah lesi M1 monyet menunjukkan proliferasi yang luar biasa dimana proyeksi terminal di korteks sensorik primer (S1), khususnya di representasi tangan daerah 1 dan 2 (Gambar 6). Demikian juga, daerah somatosensori ini memiliki peningkatan yang signifikan dalam jumlah sel tubuh retrograd, sehingga menunjukkan peningkatan proyeksi timbal balik dari S1 ke PMV. Sebagai tambahan, proyeksi axon dari PMv, secara signifikan berubah pada daerah yang mendekati lesi. Temuan ini sangat menarik, mengingat adanya hubungan langsung antara intracortical M1 dan korteks somatosensori, serta adanya proyeksi kortikospinalis langsung yang berasal dari PMV. Pada otak yang intak, M1 menerima masukan dari berbagai daerah lobus parietalis yang memasok kulit dan proprioseptif yang sebagian besar terpisah di daerah tangan M1 di bagian posterior dari M1, dan proprioseptif berada di lebih anterior. Pentingnya masukan somatosensori secara fungsional ini dapat dilihat dari studi menggunakan lesi diskrit pada subregional di M1. Lesi di daerah posterior M1 mengakibatkan defisit perilaku mirip dengan yang terlihat setelah lesi S1. Defisit ini tampaknya mirip dengan agnosia sensorik di yang mencapai hewan untuk makanan, tetapi tidak diketahui apakah item tersebut benar-benar ada. Lesi anterior M1 daerah tangan mengakibatkan defisit dalam jangkauan metrik, yang mungkin menunjukkan gangguan proprioseptif dalam korteks motorik. pelajaran dari studi ini adalah bahwa korteks motor tidak dapat dianggap semata-mata sebagai struktur motor. Dengan demikian, setelah cedera M1, ada pengurangan masukan substansial somatosensori ke daerah motorik. Bisa jadi, hubungan baru antara PMV dan S1 merupakan upaya oleh sistem motorik kortikal yang terhubung dengan masukan somatosensori. Namun, belum diketahui apakah hubungan ini adalah fungsional, adaptif atau maladaptif. Ada kemungkinan bahwa fenomena yang berhubungan dengan zona cedera bukanlah suatu yang unik. Hal ini lebih mungkin bahwa banyak struktur, baik kortikal dan subkortikal, yang biasanya dihubungkan dengan jaringan yang terluka menjalani fisiologis substansial, dan perubahan anatomi. Sebagai contoh, masing-masing lain area motorik kortikal cenderung mengubah pola konektivitas intracortical mereka sejak target mereka rusak. Jika demikian, maka bahwa otak dengan cedera fokal adalah sistem yang sangat berbeda. Hal ini tidak hanya sebuah sistem normal dengan bagian yang hilang. Jika penyusunan kembali intracortical adalah proses yang dapat diprediksi seperti yang kita pikirkan, maka kita mungkin bisa mulai mengembangkan cara-cara meningkatkan adaptif, sementara menekan pola koneksi yang tak sesuai. Setelah stroke, perubahan luas terjadi pada pola aktivasi, yang berhubungan dengan gerakan ekstremitas, di kedua belahan otak ipsilesional dan kontralesional. Apakah aktivasi bilateral tersebut adaptif atau maladaptif masih menjadi bahan perdebatan. Peningkatan aktivasi ipsilateral setelah stroke cukup luas, termasuk daerah premotor yang terhindar (Weilleretal., 1992; Seitzetal 2005.). Dalam satu studi longitudinal, peningkatan aktivasi SMA berkorelasi dengan pemulihan yang lebih baik (Loubinouxetal., 2003). Penderita stroke dengan stroke MCA yang termasuk PM daerah lateral, memiliki efek pemulihan yang buruk (Miyaietal., 1999), sedangkan peningkatan PM aktivitas lateral otak yang dikaitkan dengan pemulihan yang lebih baik (Miyaietal., 2003). Dalam sebuah eksperimen analog dengan monyet percobaan yang diinaktivasi sekunder, PMD ipsilesional penderita stroke manusia bersifat tidak aktif sementara. Prosedur ini mengakibatkan penundaan waktu reaksi yang tidak dihasilkan oleh inaktivasi PMD kontralesional atau PMD subyek yang sehat (Fridmanetal., 2004). Dari hasil sampai saat ini, tidaklah mungkin untuk menentukan apakah area motor merupakan komponen penting dalam pemulihan kemampuan motorik setelah stroke. Kami berhipotesis bahwa seluruh kortikal dan subkortikal sistem motor yang terhindar oleh cedera berpartisipasi tergantung pada luas dan lokasi dari cedera. Setidaknya beberapa fungsi dari daerah yang terluka dengan demikian didistribusikan di seluruh jaringan motorik kortikal dan subkortikal yang tersisa.

Gambar 6. Pemasangan kembali koneksi kortikokortikal setelah infark iskemik

INTERAKSI CEDERA DAN PENGALAMAN: HUBUNGAN NEURAL DENGAN LEARNED NON-USEPada periode akut cedera neural, kemampuan motorik seringkali dibandingkan masing-masing. Taub dan teman-teman menyarankan selama fase ini, percobaan penyempurnaan latihan dengan cara perbandingan sering kali tidak berhasil, atau sukar, yang mana keduanya merupakan kondisi pada efek samping yang ekstrim, yang kedepannya mengurangi usaha yang ada. Kondisi ini disebut learned non-use yang berkembang pada fase akut kemampuan motorik. Dari asumsi ini, ditetapkan fungsi yang dapat berkembang pada pasien stroke kronik. Pada khususnya, kelompok ini mengembangkan inovasi yang mendekati yang disebut constraint-inducedmovement theraphy (CIMT). Ide dibalik CIMT ini berasal dari eksperimen fundamental yang dikonduksi primata berdasarkan pokok-pokok primata tersebut. Pada experimen ini, efek pada upper limb dipantau selama cedera. Perilaku penyesuaian ini tidak dimanipulasi, bahkan setelah 3-6 bulan periode penyembuhan. Negative feedback mengacu pada ketidak berhasilan efek pada upper limb. Setelah periode penyembuhan, dimana kemampuan affek menjadi stabil, lanjutan perilaku, disebabkan dari learned non-use ini. Bagaimanapun, karena fenomena ini, penggunaan aktual yang berefek kurang dari potensi sesungguhnya.Dukungan penuh untuk formulasi learned non-use datang dari sebuah penelitian yang mana diaplikasikan langsung pada upper limb dari hewan percobaan dengan durasi 3 bulan, yang mencegah fenomena learned non-use muncul ketika tingkat pengendaliannya diturunkan. Pada tahun berikutnya, model CIMT muncul. Percobaan klinis A Landmark Phase III telah mendemonstrasikan bahwa angka kesembuhan stroke meningkat secara signifikan pada hasil fungsional setelah CIMT 1 tahun.Prosedur penggunaan CIMT adalah dengan menarik teknik yang sama yang digunakan oleh Nudo et.al yang mendemonstrasikan penyusunan kembali stroke peri-infark diikuti stroke fokal pada primata. Setelah stroke, primata yang berada pada kelompok rehabilitasi dipakaikan jaket berlengan panjang untuk mengukur panjangnya lengan. Ini diperlukan untuk menguji kemampuan motorik pada primata, tanpa mengendalikan perbandingan lengan. Bagaimanapun, jika timbul setelah cedera otak, akan terdapat potensi kemungkinan adanya interpretasi post-injury platicity. Kebiasaan perilaku dan interaksi cedera neural seperti itu, dapat mengubah produk bagian korteks pada mekanisme cedera dan proses perubahan perilaku.Ketidakpenggunaan bebas pada cedera neural, jarang terdapat pada pemeriksaan dengan teknik mapping yang mendeskribsikan manusia dan primata. Sementara penelitian TMS menunjukan terdapat hasil yang tipikal pada individu dengan fraktur. Dalam suatu penelitian longitudinal yang unik, Miliken et at. memeriksa susunan korteks motorik pada primata yang sehat dan normal. Detal dari ICMS diuji secara longitudinal, sebelum dan sesudah 35 minggu setelah pembatasan forelimb bagian distal. Hasil dari demonstrasi tersebut adalah pembagian kembali presentasi lengan. Selanjutnya, perubahan yang reversibel berupa pengembalian kemampuan perilaku umum selama 1 minggu, dan akhirnya menjadi normal. Bagaimana pun efek pada hewan dapat kembali, bersamaan setelah cedera dapat kembali lagi, dan dapat mendukung [enguatan mototrik kembali.Dengan integritas pada kerusakan hemisfer, Jones et al. telah mendemonstrasikan pada model tikus yang mengkompensasi kemampuan pembelajaran efek penyembuhan fungsional. Efek-efek ini jarang terlihat pada hewan percobaan dengan tugas bimanual.

Gambar 7. Efek tidak terpakai pada pemetaan motorik ketika tidak ada cedera

PELUANG SEMBUH PADA CEDERA OTAK BERDASARKAN PRINSIP NEUROPLASTISITASSeperti diskusi diatas, cedera pada otak karena trauma atau stroke, menyebabkan peristiwa molekular dan selular pada sekeliling jaringan mengakibatkan perubahan temporer dan permanen dari sturktur anatomi dan fisiologi. Banyak dari perubahan ini bersifat patologik, dan berpotensi menyebabkan kerusakan. Bagaimanapun, proses penyesuaian akan dimulai pada masa awal fase post-injury dan menurunkan sifat patologik atau perubahan neuroplastic yang akan memperbaiki fungsi. Pemahaman tentang proses pada tahap molekuler, seluler, maupun jaringan baru saja dimulai. Tetapi perkembangan pengetahuan belakangan ini, telah muncul hipotesis tentang efek spesifik dari penanganan post-injury pada penyembuhan fungsional yang berdasarkan neuroanatomi dan neurofisiologi.Potensi tersembunyi pada mekanisme neuroplaticity setelah stroke telah didemonstrasikan pada penggunaan tikus yang tidak mempunyai reseptor Nogo. Nogo adalah protein yang terdapat pada pertumbuhan axon. Tikus yang tidak memiliki reseptor Nogo mengalami penyembuhan fungsi motorik setelah stroke lebih baik. Lebih lanjut, tikus yang mendapatkan anti Nogo antibodi mengalami hasil lebih baik pada penyembuhan perilaku 1 minggu setelah stroke. Penatalaksanaan farmakologi dengan D-amphetamine setelah stroke, juga menunjukan tanda perbaikan neokortikal, sinaptogenesis, dan perilaku.Hasil dari bukti terkait yang telah didemonstrasikan menunjukan otak bersifat plastic setelah cedera neuron, dan pengalaman tingkah laku dapat mengubah struktur dan fungsi otak baik pada keadaan sehat maupun cedera. Oleh karena itulah sudah jelas bahwa prinsip neuroplasticity dapat dijadikan sebagai dasar pemulihan. Bagaimanapun untuk mengembangkan keefektifan, bukti rehabilitasi, waktu dan dosis, diperlukan analisis molekular, selular, dan jaringan.Seperti kebanyakan efek obat-obat pada cedera otak, terdapat periode waktu optimal yang paling efektif digunakan untuk paradigma pelatihan perilaku. Regulasi protein juga terlibat dalam pertumbuhan neural, yang menyebabkan relatifitas waktu kesembuhan setelah cedera. Selain itu, percobaan klinis terkini telah didemonstrasikan dengan hasil yang dapat dikembangkan bahkan beberapa tahun setelah stroke, yang mana waktu optimal dapat dimaksimalkan berdasarkan deteksi awal cedera. Pemakaian aksonal pada proses pemrograman adalah salah satu pemicunya, setidaknya pada model hewan yang dimulai 1-3 hari setelah stroke, dan matang setelah 1 bulan. Gen neuronal growth-promoting dan growth-inhibiting dapat dijalankan dan dihentikan selama periode post injury. Sebagai tambahan, pemicu neurogenesis terjadi setelah batasan waktu optimal. Oleh karena itu perlu dipahami bagaimana pengalaman kebiasaan perilaku dapat memiliki mekanisme yang berbeda setiap waktunya.Demikian juga, banyak efek yang bersifat merusak dari penanganan perilaku yang diberikan paling awal dan memerlukan percobaan yang lebih kompleks. Penyelidik dan terapis di bidang rehabilitasi neuro menjadi sensitif terhadap isu ini, yang kemudian melaporkan bahwa tikus dengan gangguan tungkai ringan berakhir dengan cedera neuronal yang berlebihan. Mekanisme yang telah di usulkan sebagai potensi cedera meliputi reseptor NMDA yang memediasi peningkatan proses setelah cedera otak, dan penggunaan extrim dari tungkai yang rusak dapat menyebabkan peningkatan lebih lanjut dari proses tersebut, dan hasil akhirnya adalah eksitotoksisitas glutamat. Penelitian lainnya mendemonstrasikan volume infark yang lebih kecil dan berkembang pada penyembuhan tikus dengan oklusi MCA dan diikuti oleh running treadmill selama 28 hari. Penulis juga menemukan peningkatan faktor neurotropik dan penurunan faktor apoptosis pada grup treadmill. Ini mungkin disebabkan bahwa tipe tersebut dan kebanyakan aktifitas motorik berlangsung pada proses regenerasi pada kematian neuronal selama fase awal dari cedera otak. Bagaimanapun, yang menjadi catatan adalah tikus merupakan binatang berkaki empat , sehingga penggunaan tungkai yang mengalami gangguan merupakan bentuk yang relatif berat dari penggunaan berlebihan. Tikus tersebut harus menggunakan tungkai yang rusak untuk dukungan postural, penampilan, makan, dan pergerakan. Fenomena penggunaan tungkai yang berlebihan dapat dengan mudah muncul dan sering, latihan yang berulang-ulang tidak sepenuhnya diketahui.Penelitian tentang deteksi awal menyebabkan munculnya isu ke-2 yaitu tentang dosis optimal dari pengalaman perilaku. Faktor ini tidak hanya penting untuk memahami batasan yang aman untuk rehabilitasi akut, tapi juga hubungan respons dosis terhadap protokol rehabilitasi pada periode penanganan setelah stroke. Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian perilaku setelah cedera otak memiliki keuntungan tingginya motivasi pemanfaatan subjek yang jadwal makannya dikontrol. Hal ini sering diulang pada level yang cukup tinggi dibandingkan dengan terapi rata-rata yang dilakukan pada penelitian dengan subjek manusia. Ini penting untuk mendefinisikan bahwa pasien stroke dapat mentolelir kondisi tertentu dan dapat menjadi lebih baik. Pemeriksaan terhadap 18 pasien stroke kronik mendemonstrasikan bahwa melipatgandakan pengulangan terapi upper motor menghasilkan perkembangan fungsi motor yang signifikan. Analisis yang terbaru secara metaanalisis juga menunjukan bukti yang sama. Bagaimanapun, penelitian meta analisis untuk menguji hubungan respon dosis lebih rumit dengan adanya perbedaan dalam menentukan dosis (jumlah pengulangan, jumlah hari, jumlah sesi), dan variasi hasil yang diperkerjakan. Penelitian untuk menilai hubungan kedua fase baik akut maupun kronik masih sangat diperlukan.Rasionalnya, mekanisme ini baru dapat diketahui sepenuhnya dengan penelitian yang dicoba pada hewan percobaan (non-human) untuk menentukan aktifitas molekular dan selular yang terpengaruh dengan kenaikan dosis. Apakah pengulangan tersebut dapat meningkatkan faktor neurotropik yang lebih baik? Apakah dapat menambah jumlah kesembuhan sinaptik? Pada akhirnya, hasil dari uji klinis, kepraktisan, dan ekonomi akan menuntun kita dalam memutuskan mengenai dosis, perkembangan model neurobiologikal untuk faktor yang sangat penting ini akan menentukan tentang batasan terapi.