Pemodelan dan Inversi 3-Dimensi Data Magnetotellurik untuk ...

12
Pemodelan dan Inversi 3-Dimensi Data Magnetotellurik untuk Mendelineasi Sistem Geotermal Yunus Daud 1 , Chevy Iskandar 2 1 Laboratorium Geothermal, Departemen Fisika, FMIPA UI, Kampus UI Depok 16424 2 Departemen Fisika, FMIPA UI, Kampus UI Depok 16424 [email protected], [email protected] Abstrak Dalam beberapa tahun terakhir, pembahasan mengenai inversi 3-dimensi (3-D) untuk pemodelan data magnetotelurik menjadi pembahasan yang menarik untuk dibahas oleh para ilmuwan geofisika. Hal ini disebabkan hasil pengolahan data lapangan yang dikorelasikan dengan data geologi dan geokimia masih terdapat ambiguitas dalam interpretasi hasil inversi 2-dimensi (2-D) dibandingkan hasil pemodelan dengan inversi 3-D. Salah satu faktor penyebabnya adalah bumi yang memiliki model tiga dimensi, maka model 2-D terkadang kurang bisa digunakan untuk menjelaskan kondisi bumi yang kompleks secara 3-D. Untuk mempermudah pemahaman lebih lanjut mengenai hal tersebut, dilakukan pembuatan model sintetik 3-D dengan menggunakan software WinGlink dan MT3DFor-X. Model sintetik 3-D dibentuk dari model yang sederhana untuk melihat pengaruh efek anomali 3-D bawah permukaan, sampai dengan model yang kompleks yaitu sistem geotermal. Model sintetik yang dibuat kemudian diinversi 2-D dan 3-D dan dibandingkan hasilnya. Pemodelan dengan inversi 2-D dan 3-D secara berturut-turut dilakukan dengan menggunakan software WinGlink dan MT3DInv-X. Hasil dari kedua inversi tersebut kemudian diinterpretasi yang selanjutnya dapat digunakan sebagai acuan dalam pemilihan inversi yang digunakan dalam pengolahan data magnetotellurik ataupun sebagai bahan pertimbangan saat pengambilan data magnetotelurik di lapangan. Selain itu, variasi ukuran grid terhadap pemodelan 3-D dibahas juga pada penelitian ini, sehingga nantinya dapat digunakan juga sebagai acuan dalam pemodelan data 3-D dengan menggunakan data lapangan. Kata Kunci : Metode Magnetotellurik, Model sintetik 3-Dimensi, Inversi 2-Dimensi, Inversi 3-Dimensi Abstract In few recent years, the discussion about 3-dimensional (3-D) inversion for magnetotelluric (MT) data modeling has become the interesting topic for geophysicists. It is caused by the the ambiguity of 2-D inversion result compared with 3-D inversion result of field data processing when it is correlated with geological and geochemistry data. One of the contributing factor is that the Earth is in 3-D shape, so the 2-D model often less describes the complex 3-D Earth model. For further understanding about this topic, a synthetic 3-D model was made using WinGLink and MT3Dfor-X software. 3-D synthetic model is formed from the simple one, to see the effect of the 3-D subsurface anomali towards both inversion results, to the complex one such as geothermal system. The synthetic model is then inversed in 2-D and 3-D approaches to compare the result. 2-D inversion model is conducted using WinGLink and 3-D inversion model is conducted using MT3Dinv-X. Both results can be used as reference of choosing which inversion process is used for modeling magnetotelluric data and can be used to consider the field survey design. Furthermore, the number of grid variation in 3-D modeling is also discussed in this work as the consideration of 3-D modeling of field data. Key Words : Magnetotelluric Method, Synthetic 3-D Models, 2-D Inversion, 3-D Inversion 1. PENDAHULUAN Metode magnetotellurik (MT) merupakan metode yang paling sering digunakan dalam eksplorasi panasbumi karena kemampuannya untuk mendeteksi kondisi permukaan bawah tanah yang cukup dalam. Kedalaman penetrasi metode ini dikarenakan dapat mengukur gelombang elektromagnet dengan frekuensi yang rendah, yaitu sekitar 100-0.001 Hz. Parameter yang diukur adalah signal elektromagnetik alami, yaitu medan magnet bumi (Hx, Hy dan Hz) dan medan listrik bumi (Ex dan Ey). Sedangkan, parameter yang dianalisis berupa apparent resistivity dan phase. Dari pemetaan resistivitas bawah permukaan inilah nantinya kita dapat mengetahui di mana keberadaan sistem panasbumi dengan lebih akurat, seperti clay cap, reservoar dan heat source. Pemetaan sistem panasbumi tersebut kemudian dapat dimodelkan, baik itu dalam bentuk 1-D, 2-D Pemodelan dan inversi..., Chevy Iskandar, FMIPA UI, 2013.

Transcript of Pemodelan dan Inversi 3-Dimensi Data Magnetotellurik untuk ...

Page 1: Pemodelan dan Inversi 3-Dimensi Data Magnetotellurik untuk ...

Pemodelan dan Inversi 3-Dimensi Data Magnetotellurik untuk Mendelineasi Sistem Geotermal

Yunus Daud1, Chevy Iskandar2

1Laboratorium Geothermal, Departemen Fisika, FMIPA UI, Kampus UI Depok 16424 2Departemen Fisika, FMIPA UI, Kampus UI Depok 16424

[email protected], [email protected]

Abstrak

Dalam beberapa tahun terakhir, pembahasan mengenai inversi 3-dimensi (3-D) untuk pemodelan data magnetotelurik menjadi pembahasan yang menarik untuk dibahas oleh para ilmuwan geofisika. Hal ini disebabkan hasil pengolahan data lapangan yang dikorelasikan dengan data geologi dan geokimia masih terdapat ambiguitas dalam interpretasi hasil inversi 2-dimensi (2-D) dibandingkan hasil pemodelan dengan inversi 3-D. Salah satu faktor penyebabnya adalah bumi yang memiliki model tiga dimensi, maka model 2-D terkadang kurang bisa digunakan untuk menjelaskan kondisi bumi yang kompleks secara 3-D. Untuk mempermudah pemahaman lebih lanjut mengenai hal tersebut, dilakukan pembuatan model sintetik 3-D dengan menggunakan software WinGlink dan MT3DFor-X. Model sintetik 3-D dibentuk dari model yang sederhana untuk melihat pengaruh efek anomali 3-D bawah permukaan, sampai dengan model yang kompleks yaitu sistem geotermal. Model sintetik yang dibuat kemudian diinversi 2-D dan 3-D dan dibandingkan hasilnya. Pemodelan dengan inversi 2-D dan 3-D secara berturut-turut dilakukan dengan menggunakan software WinGlink dan MT3DInv-X. Hasil dari kedua inversi tersebut kemudian diinterpretasi yang selanjutnya dapat digunakan sebagai acuan dalam pemilihan inversi yang digunakan dalam pengolahan data magnetotellurik ataupun sebagai bahan pertimbangan saat pengambilan data magnetotelurik di lapangan. Selain itu, variasi ukuran grid terhadap pemodelan 3-D dibahas juga pada penelitian ini, sehingga nantinya dapat digunakan juga sebagai acuan dalam pemodelan data 3-D dengan menggunakan data lapangan.

Kata Kunci : Metode Magnetotellurik, Model sintetik 3-Dimensi, Inversi 2-Dimensi, Inversi 3-Dimensi

Abstract In few recent years, the discussion about 3-dimensional (3-D) inversion for magnetotelluric (MT) data modeling has become the interesting topic for geophysicists. It is caused by the the ambiguity of 2-D inversion result compared with 3-D inversion result of field data processing when it is correlated with geological and geochemistry data. One of the contributing factor is that the Earth is in 3-D shape, so the 2-D model often less describes the complex 3-D Earth model. For further understanding about this topic, a synthetic 3-D model was made using WinGLink and MT3Dfor-X software. 3-D synthetic model is formed from the simple one, to see the effect of the 3-D subsurface anomali towards both inversion results, to the complex one such as geothermal system. The synthetic model is then inversed in 2-D and 3-D approaches to compare the result. 2-D inversion model is conducted using WinGLink and 3-D inversion model is conducted using MT3Dinv-X. Both results can be used as reference of choosing which inversion process is used for modeling magnetotelluric data and can be used to consider the field survey design. Furthermore, the number of grid variation in 3-D modeling is also discussed in this work as the consideration of 3-D modeling of field data. Key Words : Magnetotelluric Method, Synthetic 3-D Models, 2-D Inversion, 3-D Inversion

1. PENDAHULUAN

Metode magnetotellurik (MT) merupakan metode yang paling sering digunakan dalam eksplorasi panasbumi karena kemampuannya untuk mendeteksi kondisi permukaan bawah tanah yang cukup dalam. Kedalaman penetrasi metode ini dikarenakan dapat mengukur gelombang elektromagnet dengan frekuensi yang rendah, yaitu sekitar 100-0.001 Hz. Parameter yang diukur adalah signal elektromagnetik

alami, yaitu medan magnet bumi (Hx, Hy dan Hz) dan medan listrik bumi (Ex dan Ey).

Sedangkan, parameter yang dianalisis berupa

apparent resistivity dan phase. Dari pemetaan resistivitas bawah permukaan inilah nantinya kita dapat mengetahui di mana keberadaan sistem panasbumi dengan lebih akurat, seperti clay cap, reservoar dan heat source.

Pemetaan sistem panasbumi tersebut kemudian dapat dimodelkan, baik itu dalam bentuk 1-D, 2-D

Pemodelan dan inversi..., Chevy Iskandar, FMIPA UI, 2013.

Page 2: Pemodelan dan Inversi 3-Dimensi Data Magnetotellurik untuk ...

maupun 3-D. Pemodelan tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan informasi yang terkandung dalam data

0

2500

50000 4000 8000

Easting (m)

Dep

th (m

)

0

2500

50000 4000 8000

Easting (m)

Dep

th (m

)

0

2500

50000 4000 8000

Easting (m)

Dep

th (m

)

0

2500

50000 4000 8000

Easting (m)D

epth

(m)

Gbr 1. Model sintetik 3-D untuk memperkirakan distribusi resistivitas bawah permukaan.

Pemodelan inversi 1-D, 2-D, dan 3-D Magnetotellurik dapat terlihat dalam kasus Glass Mountain (Cumming, et al., 2010). Dalam paper tersebut dijelaskan bahwa pemodelan inversi 1-D dapat memberikan gambaran secara kasar penyebaran resistivitas bawah permukaan, namun dengan batasan tepi yang masih belum detail. Sedangkan untuk pemodelan inversi 2-D, dapat memberikan gambaran resistivitas bawah permukaan yang lebih baik dibandingkan 1-D. Pemodelan inversi 3-D lebih baik dalam menampilkan penyebaran resistivitas batuan bawah permukaan. Hal tersebut dikarenakan, dengan inversi 3-D dapat diperoleh informasi mengenai ketebalan dari clay cap yang ada di wilayah tersebut dengan baik. Pengembangan lebih lanjut inversi 3-D ini biasanya jarang dilakukan. Hal tersebut dikarenakan, pemodelan inversi 3-D membutuhkan komputasi yang lebih kompleks (Wannamaker, et al., 1984). Dalam pengolahan datanya pun lebih rumit dibandingkan dengan inversi 1-D dan 2-D, baik dalam hal waktu pengerjaan maupun perangkat elektronik yang dibutuhkan untuk proses inversi.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, pembahasan mengenai inversi 3-D untuk pengolahan data magnetotellurik menjadi pembahasan yang menarik untuk dibahas oleh para ilmuwan geofisika. Hal ini disebabkan hasil pengolahan data lapangan yang dikorelasikan dengan data geologi dan geokimia masih terdapat ambiguitas dalam interpretasi hasil inversi 2-D dibandingkan inversi 3-D. Salah satu faktor penyebabnya adalah bumi yang memiliki model tiga dimensi, maka model 2-D terkadang kurang bisa digunakan untuk menjelaskan kondisi

bumi yang kompleks secara 3-D (Siripunvaraporn, 2102). Oleh karena pentingnya pemahaman lebih lanjut mengenai hal tersebut, maka dalam penelitian tugas akhir ini akan dikaji lebih dalam mengenai pemodelan 3-D dari data sintetik (forward), mulai dari model yang sederhana sampai model yang lebih kompleks yaitu sistem geotermal. Pembuatan model sintetik 3-D yang dibuat kemudian diinversi 3-D dan 2-D. Hasil dari kedua inversi tersebut selanjutnya dibandingkan dengan model data sintetik dan dianalisis. Hasil analisisnya dapat digunakan sebagai acuan pertimbangan pemilihan inversi yang digunakan dalam pengolahan data magnetotellurik dan sebagai bahan pertimbangan dari pengambilan data Magnetotellurik di lapangan. Selain itu juga, dalam penelitian ini juga akan dibahas mengenai analisis pengaruh variasi ukuran dan jumlah grid yang digunakan terhadap hasil resolusi yang didapatkan dalam pemodelan inversi 3-D. Sehingga nantinya dapat berguna dalam pemilihan kriteria ukuran grid yang terbaik dalam pemrosesan menggunakan data lapangan

2. METODE PENELITIAN Pembuatan Model

Pembuatan mesh grid merupakan tahapan awal sebelum pembuatan model sintetik. Hal ini sangat penting dilakukan agar bentuk dan ukuran model dapat disesuaikan dengan bentuk dari mesh grid nya. Mesh grid ini setiap elemennya diwakili oleh setiap sel. Ukuran dan jumlah dari elemen-elemen ini mempengaruhi terhadap akurasi data yang dihasilkan, dimana ukuran sel yang lebih kecil

Ohm m

Pemodelan dan inversi..., Chevy Iskandar, FMIPA UI, 2013.

Page 3: Pemodelan dan Inversi 3-Dimensi Data Magnetotellurik untuk ...

memiliki keakurasian yang lebih tinggi dibandingkan dengan ukuran sel yang lebih besar.

Pada penelitian ini area interest nya memiliki luas sekitar 10,24 km2 dengan jarak antar kolom selnya uniform 333 meter. Jumlah stasiun yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 16 stasiun dengan jarak antar stasiunnya dibuat 1 km. Dalam software MT3DFor-X dan WinGlink parameter yang digunakan dibuat sama persis. Jarak antar stasiun di dalam area interest terhadap sumbu-X maupun sumbu-Y sebesar 333 meter. Untuk di luar daerah interest ( x-padding dan y-padding), menggunakan 3 kolom (padding) dengan peningkatan setiap kolomnya menggunakan faktor pengali 1.5. Untuk kedalamannya terdiri dari 10 layer dengan lapisan pertamanya tebalnya 50 meter dan mengalami peningkatan dengan faktor pengali sebesar 1.5 sampai kedalamannya sekitar 5600 meter. Periode maksimum yang digunakan 100s dan periode minimum yang digunakan sebesar 0.01s. Model yang dibuat ini bervariasi mulai dari yang sederhana untuk menganalisis efek 3-D bwah permukaan sampai dengan yang lebih kompleks yaitu sistem geotermal seperti pada Gbr 1. Inversi 2-D Data MT

Setelah mendapatkan kurva MT dari tiap stasiun yang ada berdasarkan hasil dari model forward yang dibuat, maka tahap selanjutnya adalah melakukan inversi 2 dimensi dengan menggunakan software WinGlink. Hasil kurva MT tersebut disimpan dalam bentuk file EDI, yang nantinya file inilah yang digunakan sebagai input untuk melakukan inversi 2D. Untuk algoritma yang dipergunakan dalam software WinGlink adalah prinsip NLCG (Rodi and Mackie, 2001).

Sebelum melakukan proses inversi 2D, pertama-tama dilakukan pemilihan line yang nantinya akan dilakukan proses inversi 2-D. Hal ini dilaukan karena proses invesi 2-D ini merupakan permodelan distribusi resistivitas bawah permukaan dalam bentuk profile 2 dimensi. Pemilihan line yang dimaksudkan adalah menentukan jumlah lintasan untuk proses invesi dari titik-titik stasiun yang ada. Setelah pemilihan line untuk diinversi selesai, maka dapat dilakukan proses inversi 2-D.

Inversi 3-D Data MT Proses inversi 3-D dilakukan dengan menggunakan software MT3DInv-X (Daud, et al., 2012). Software ini dikembangkan oleh PT. NewQuest Geotechnology dan mengaplikasikan algoritma Data Space Occam’s Inversion yang diperkenalkan oleh Siripunvaraporn et al (2005).

Dalam pengolahan inversi 3D yang dilakukan bergantung dari 2 hal, yaitu data (N) dan model (M). Yang dimaksud oleh data (N) adalah jumlah stasiun (Ns), jumlah priode (Np) dan jumlah respons impedansi (Nr). Sementara itu, yang dimaksudkan dengan model (M) adalah jumlah

blok pada arah x (Mx), jumlah blok pada arah y (My) dan pada arah vertikal (Mz) (Amriyah, 2012).

Sebelum melakukan proses inversi 3D ini, diperlukan parameter-parameter untuk menjalankan prosesnya. Parameter tersebut meliputi : input data, initial model dan data file. Input yang dimasukkan ke dalam proses pengolahan data dengan menggunakan inversi 3D, MT3DInv-X salah satunya adalah file data. Di dalam file tersebut berisikan tentang jumlah stasiun yang akan diolah, lokasi titik-titik stasiun, jumlah periode yang digunakan, jumlah respons impedansi, nilai impedansi setiap stasiun dan nilai error impedansi dari titik-titik stasiun. Selain file data, nnput yang dimasukkan ke dalam proses pengolahan data dengan menggunakan inversi 3D, MT3DInv-X adalah initial model. Di dalam file tersebut berisikan tentang jumlah blok pada arah x,y dan z, ukuran blok, dan initial nilai resistivitas. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Forward Calculation

Hasil kalkulasi forward dari model sintetik 3-D berupa kurva apparent resistivity dan phase seperti yang terlihat pada Gambar 2. Hasil dari kalkulasi forward inilah yang nantinya sebagai input dalam pemodelan 2-D dan 3-D.

0

2500

50000 4000 8000

Easting (m)

Dep

th (m

)

(a)

10

10

10

10

10 10 10 10 10

0

1

2

3

-2 -1 0 1 2

App.

Res

istiv

ity (O

hm m

)

Period (sec)

Phas

e (d

eg) 180

90

0

-90

-180

10

10

10

10

10 10 10 10 10

0

1

2

3

-2 -1 0 1 2

180

90

0

-90

-180

FR-A3

(b)

Gbr 2. (a) Model Sintetik (b) Kurva apparent resistivity dan phase hasil kalkulasi forward

Hasil Inversi 2D dan 3D

Dari hasil perbandingan inversi 2-D dan 3-D pada Gbr 3, dapat terlihat hasil perbandingan

Pemodelan dan inversi..., Chevy Iskandar, FMIPA UI, 2013.

Page 4: Pemodelan dan Inversi 3-Dimensi Data Magnetotellurik untuk ...

model sintetik dengan pemodelan hasil inversi 2D dan 3D dalam memodelkan anomali benda 3D dibawah permukaan. Keberadaan benda 3D dimensi (3D effect) ini ternyata sangat mempengaruhi hasil dari pemodelan dengan inversi 2D, hal ini dapat disebabkan karena dalam proses inversi 2D, untuk proses inversinya setiap lintasan, sehingga kurang dapat menggambarkan benda 3D di bawah permukaan dengan baik, terutama dari segi geometrinya (ukuran, bentuk, dan kedalaman). Berbeda halnya dengan inversi 3D, yang dalam proses inversinya menghitung secara keseluruhan titik stasiun yang berada di daerah pengukuran, sehingga dalam menggambarkan efek 3D benda di bawah permukaan, dapat memodelkan hasil yang lebih baik dari segi geometri benda dibandingkan dengan inversi 2D.

Dari Gbr 4 juga dapat dilihat bahwa pemodelan inversi 2D kurang baik dalam meng-cover area di luar daerah interest sehingga hasil pemodelannya kurang sesuai dibandingkan pemodelan dengan inversi 3D. Hal ini dikarenakan, dalam pemodelan dengan inversi 3D, melakukan proses kalkulasi secara keseluruhan baik di daerah interest maupun diluarnya, sehingga area di luar daerah interest dapat ter-cover dengan cukup baik. Hal ini penting dilakukan dalam aplikasi pengukuran data di lapangan, di mana sebaiknya dalam proses akuisisi data MT, perlu dilakukan pengukuran beberapa titik di luar area interest untuk menghilangkan efek ujung (edge effect) dari titik stasiun yang ada pada daerah interest sehingga data yang dimodelkan lebih valid.

Variasi Jumlah Grid Vertikal pada pemodelan 3-D dengan Menggunakan Model Sintetik

Dalam pengolahan inversi 3D yang dilakukan bergantung dari 2 hal, yaitu data (N) dan model (M). Data (N) adalah jumlah stasiun (Ns), jumlah priode (Np) dan jumlah respons impedansi (Nr). Sementara itu, yang dimaksudkan dengan model (M) adalah jumlah blok (grid) pada arah x (Mx), jumlah blok pada arah y (My) dan pada arah vertikal (Mz). Dalam pembahasan ini, yang akan dibahas adalah mengenai variasi jumlah grid yang digunakan pada arah vertikal saja yang berpengaruh terhadap jumlah layer pada kedalaman tertentu, sedangkan parameter yang lainnya dibuat sama. Untuk faktor pengali 1.5 terhadap bertambahnya kedalaman, jumlah blok grid yang digunakan 10 dan untuk faktor pengali 1.2 jumlah blok grid yang digunakan 18. Jumlah blok yang digunakan pada arah vertikal ini menunjukan jumlah layer yang digunakan dalam proses inversi 3D.

Dari hasil yang didapatkan pada Gbr 5, memperlihatkan bahwa variasi pemakaian ukuran dan jumlah grid pada pemodelan inversi 3D dari model sintetik yang sama mempengaruhi hasil dari pemodelan 3D. Semakin kecil ukuran grid yang

digunakan dalam pemodelan 3D, maka hasil resolusi yang dihasilkan untuk menggambarkan anomali bawah permukaannya akan semakin baik. Hal ini dapat terlihat dari hasil pemodelannya, dimana dengan menggunakan faktor pengali 1.2, nilai resistivitas bawah permukaan dari model dapat terlihat lebih jelas dibandingkan dengan menggunakan faktor pengali 1.5. Variasi Jumlah Grid Vertikal pada pemodelan 3-D dengan Menggunakan Data Lapangan

Pada pembahasan subbab ini, akan dibahas mengenai penggunaan variasi jumlah grid (blok) vertikal terhadap hasil pemodelan 3-D dengan menggunakan data lapangan panasbumi Arjuno-Welirang. Pemodelan sistem pansbumi Arjuno- Welirang ini sebelumnya sudah dilakukan dimulai dari proses inspeksi data time series, seleksi cross-power dan sampai dengan pemodelan 3-D nya (Fahmi, 2013). Dalam pemodelan 3-D tersebut, menggunakan faktor pengali 1.5 terhadap jumlah grid vertikal yang digunakan. Pada penelitian ini akan dibandingkan hasilnya dengan menggunakan faktor pengali 1.2, dimana untuk mencapai kedalaman yang sama dengan faktor pengali 1.5 dibutuhkan jumlah grid yang lebih banyak, karena ukuran gridnya menjadi lebih rapat.

Pada Gbr 6 dan Gbr 7 memperlihatkan hasil penampang resistivitas hasil inversi 3-D pada penggunaan grid vertikal dengan faktor dengan faktor pengali 1.5 dan 1.2, dimana nilai RMS dengan menggunakan faktor pengali 1.5 bernilai 10.8035 dan untuk faktor pengali 1.2 nilai RMS nya 9.6634. Secara keseluruhan, hasil pemodelan dari kedua variasi memperlihatkan hasil yang tidak jauh berbeda, dimana terdapat lapisan resistif dibagian atas, kemudian lapisan konduktif di bawahnya. Lapisan resistif yang cukup tinggi dibagian atas, pada penggunaan faktor pengali 1.2 terlihat lebih jelas dibandingkan dengan faktor pengali 1.5, begitu juga dengan lapisan konduktif di bawahnya.

Perbedaan yang cukup terlihat dari hasil kedua variasi tersebut, terdapat pada nilai resistivitas yang tinggi, yang diduga sebagai heat source. Pada penggunaan faktor pengali 1.5, keberadaan heat source dengan kedalaman yang sama dengan penggunaan faktor pengali 1.2 masih belum jelas terlihat, sedangkan untuk faktor pengali 1.2 sudah cukup jelas terlihat. Penampang resistivitas hasil inversi 3-D pada lintasan D dan J menunjukan keberadaan struktur updome dibawah puncak Welirang. Posisi lintasan D dan J di daerah penyelidikan dapat dilihat pada Gbr 6 dan Gbr 7.

Untuk memperlihatkan secara lebih jelas, keseluruhan hasil perbandingan kedua variasi penggunaan grid vertikal dengan faktor dengan faktor pengali 1.5 dan 1.2 dapat dilihat pada Gbr 8. Secara keseluruhan, hasil visualisasi 3-D kedua variasi menunjukan hasil yang tidak jauh berbeda,

Pemodelan dan inversi..., Chevy Iskandar, FMIPA UI, 2013.

Page 5: Pemodelan dan Inversi 3-Dimensi Data Magnetotellurik untuk ...

hanya saja secara lebih spesifik, penggunaan faktor pengali 1.2 lebih memperlihatkan hasil yang lebih detail dalam menggambarkan anomali bawah permukaannya. Visualisasi 3-D struktur resistivitas batuan hasil inversi 3-D ini dilakukan dengan menggunakan software Geoslicer-X (Daud, et al., 2010).

4. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.

1. Secara umum, pemodelan dengan inversi 2D dan 3D mampu menggambarkan resistivitas bawah permukaan dari model sintetik 3D dengan cukup baik.

2. Hasil pemodelan inversi 3D lebih baik menggambarkan kondisi struktur dan nilai resistivitas di bawah permukaan dari model sistem geotermal yang dibuat dibandingkan dengan pemodelan inversi 2D.

3. Hasil inversi 3D memiliki keunggulan dibandingkan dengan hasil inversi 2D diantaranya:

a) Dapat menggambarkan geometri anomali benda 3D di bawah permukaan dengan lebih baik dibandingkan hasil inversi 2D.

b) Dapat menggambarkan resistivitas bawah permukaan di titik stasiun yang berada di bagian ujung dengan lebih baik, dibandingan dengan hasil inversi 2D.

4. Jumlah blok grid vertikal dengan faktor pengali 1.2 yang digunakan dalam pemodelan inversi 3D, menghasilkan resolusi yang lebih baik dibandingkan faktor pengali 1.5 untuk menggambarkan anomali bawah permukaannya.

Beberapa saran dari penulis yang dapat diberikan untuk perkembangan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sebaiknya dilakukan pembuatan model sintetik 3D dengan jumlah stasiun yang lebih banyak dan model sistem geotermal yang lain.

2. Untuk pengembangan pemodelan inversi 3D, perlu dilakukan optimalisasi pemakaian blok grid yang dipakai sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam pemodelan 3D yang lebih baik.

3. Dalam proses akuisisi data MT, perlu dilakukan pengambilan data di luar perkiraan daerah interest untuk menghilangkan efek tepi (edge effect) dari titik stasiun yang ada pada perkiraan daerah interest sehingga data yang dimodelkan lebih valid.

UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan dalam bentuk apapun, baik secara langsung maupun tidak langsung pada penelitian ini, diantaranya kepada PT NewQuest Geotechnology yang telah memberikan sarana dan prasarana bagi penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. DAFTAR ACUAN [1] Amriyah, Qonita. (2012). Pemodelan Data

Magnetotellurik Multidimensi untuk Mendeliniasi Sistem Geotermal Daerah Tawau, Malaysia. Skripsi. Departemen Fisika, FMIPA, Universitas Indonesia.

[2] Cumming, W. dan Mackie, R. (2010). Resistivity Imaging of Geotermal Resources Using 1D, 2D and 3D MT Inversion and TDEM Static Shift Correction Illustrated by a Glass Mountain Case History. Proceedings World Geotermal Congress 2010.

[3] Daud, Yunus,, Herditama, Dzil., Saputra, Rahman., Agung, Lendriadi., Amriyah, Qonita., Aswo Wambra., dan Pratama, Surya Aji. 2012. 3-D Inversion of MT Data Using MT3DInv-X Software. Proceedings 12th Annual Indonesian Geothermal Association Meeting and Conference 2012.

[4] Daud, Yunus, dan Saputra, Rachman, 2010, GeoSlicer-X : A 3-D Interactive Software for Geothermal Data Analysis. Proceedings World Geothermal Congress 2010.

[5] Fahmi, Fikri. (2013). Pemodelan Sistem Geothermal Arjuno Welirang dengan Menggunakan Data Magnetotellurik. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Depok.

[6] Rodi, W dan Mackie, R. L. (2001). Nonlinear Conjugate GradientAlgorithm for 2D Magnetotelluric Inversion. Geophysics Vol. 66, No. 1 ; page 174-187.

[7] Siripunvaraporn, W., Egbert, G. L., Yongmiwon, dan Uyeshima, M. (2005). Three-dimensional Magnetotelluric Inversion: Data Space Method. Physics of The Earth and Planetary Interiors 150 (2005) 3-14.

[8] Siripunvaraporn, Weerachai, 2012, Three-Dimensional Magnetotelluric Inversion: An Introductory Guide for Developers and Users, Surv Geophys (2012) 33:5-27.

Pemodelan dan inversi..., Chevy Iskandar, FMIPA UI, 2013.

Page 6: Pemodelan dan Inversi 3-Dimensi Data Magnetotellurik untuk ...

Pemodelan dan inversi..., Chevy Iskandar, FMIPA UI, 2013.

Page 7: Pemodelan dan Inversi 3-Dimensi Data Magnetotellurik untuk ...

0

2500

5000

Dep

th (m

)

4000Easting (m)

0

2500

5000

Dep

th (m

)

4000Easting (m)

0

2500

5000

Dept

h (m

)

4000Easting (m)

0

2500

5000

Dept

h (m

)

4000Easting (m)

0

2500

5000

Dept

h (m

)

4000Easting (m)

0

2500

5000

Dep

th (m

)

4000Easting (m)

Gbr 3 Hasil perbandingan inversi 2-D dan 3-D terhadap model sintetik 3-D satu dan dua

Ohm m

Model Sintetik 3-D

Hasil Inversi 2-D

Hasil Inversi 3-D

Pemodelan dan inversi..., Chevy Iskandar, FMIPA UI, 2013.

Page 8: Pemodelan dan Inversi 3-Dimensi Data Magnetotellurik untuk ...

0

2500

5000

De

pth

(m)

4000Easting (m)

0

2500

5000

Dep

th (m

)

4000Easting (m)

0

2500

5000

Dept

h (m

)

4000Easting (m)

0

2500

5000

Dep

th (m

)

4000Easting (m)

0

2500

5000

Dep

th (m

)

4000Easting (m)

0

2500

5000

Dep

th (m

)

4000Easting (m)

Gbr 4. Hasil perbandingan inversi 2-D dan 3-D terhadap model sintetik 3-D tiga dan empat

Model Sintetik 3-D

Hasil Inversi 2-D

Hasil Inversi 3-D

Ohm m

Pemodelan dan inversi..., Chevy Iskandar, FMIPA UI, 2013.

Page 9: Pemodelan dan Inversi 3-Dimensi Data Magnetotellurik untuk ...

0

2500

5000

De

pth

(m)

4000Easting (m)

Orig

ina

l mod

el

0

2500

5000

De

pth

(m)

4000Easting (m)

0

2500

5000

Dep

th (m

)

4000Easting (m)

3D M

odel

0

2500

5000

Dep

th (m

)

4000Easting (m)

0

2500

5000

Dep

th (m

)

4000Easting (m)

3D M

odel

0

2500

5000

Dep

th (m

)

4000Easting (m)

Gbr 5. Hasil perbandingan inversi 3D dengan variasi jumlah grid pada arah vertikal dengan faktor pengali 1.5 (tengah) dan 1.2 (bawah)

Model Sintetik

Hasil Inversi 2-D

Hasil Inversi 3-D Ohm m

Pemodelan dan inversi..., Chevy Iskandar, FMIPA UI, 2013.

Page 10: Pemodelan dan Inversi 3-Dimensi Data Magnetotellurik untuk ...

(a)

(b)

Gbr 6. (a) Penggunaan grid vertikal dengan faktor pengali 1.5 dan (b) 1.2 pada Line D

Pemodelan dan inversi..., Chevy Iskandar, FMIPA UI, 2013.

Page 11: Pemodelan dan Inversi 3-Dimensi Data Magnetotellurik untuk ...

(a)

(b)

Gbr 7. (a) Penggunaan grid vertikal dengan faktor pengali 1.5 dan (b) 1.2 pada Line J

Pemodelan dan inversi..., Chevy Iskandar, FMIPA UI, 2013.

Page 12: Pemodelan dan Inversi 3-Dimensi Data Magnetotellurik untuk ...

(a)

(b)

Gbr 8. Hasil Visualisasi 3-D

(a) Penggunaan grid vertikal dengan faktor pengali 1.5 dan (b) 1.2

Pemodelan dan inversi..., Chevy Iskandar, FMIPA UI, 2013.