Pemikiran pemikiran para tokoh

26
PEMIKIRAN-PEMIKIRAN PARA TOKOH 1. Pemikiran Ibnu Sina Abu Ali Al-Husein Ibn Abdullah Ibn Sina lahir di Bukhara tahun 370 h/980 m. Ia dianggap seorang yang cerdas, karena dalam usia yang sangat muda (17 Tahun) Ibnu Sina telah di kenal sebagai filosof dan dokter terkemuka di Bukhara selain itu Ibnu Sina juga dikenal sebagai tokoh yang luar biasa. Kecuali seorang ilmuwan ia juga dapat melakukan berbagai macam pekerjaan dengan baik seperti dalam bidang kedokteran, pendidikan, penasehat politik, pengarang dan bahkan menjadi waziar (mentri). Sebagai ilmuwan Ibnu Sina telah berhasil menyumbangkan buah pemikirannya dalam buku karangannya yang berjumlah 276 buah. Diantara karya besarnya adalah Al-Syifa berupa ensiklopedi tentang fisika, matematika dan logika. Kemudian Al-Qanur Al- Tabibb adalah sebuah ensiklopedi kedokteran. Pemikiran Ibnu Sina yang banyak keterkaitannya dengan pendidikan, barangkali menyangkut pemikirannya tentang filsafah ilmu. Menurut Ibnu Sina ilmu terbagi menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Ilmu yang tak kekal 2. Ilmu yang kekal (hikmah). Ilmu yang kekal dipandang dari peranannya sebagai alat disebut logika. Berdasarkan tujuannya maka ilmu dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Ilmu praktis seperti ilmu kealaman, matematika, ilmu ketuhanan dan ilmu kulli. 2. Ilmu praktis adalah ilmu akhlak, ilmu kepengurusan, rumah ilmu, pengurusan kota dan ilmu nabi (syariah). Menurut Ibnu Sina pendidikan yang diberikanoleh nabi pada hakikatnya adalah pendidikan kemanusiaan. Bahwa pemikiran pendidikan Ibnu Sina bersifat komprehensif. Menurut Ibnu Sina tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan (sa’adat) kebahagian dicapai secara bertingkat, sesuai dengan tingkat pendidikan yang dikemukakannya, yaitu kebahagiaan pribadi, kebahagiaan rumah tangga, kebahagiaan masyarakat, kebahagian manusia secara menyeluruh dan kebahagian akhir adalah kebahagian manusia di hari akhirat. Kebahagian manusia secara menyeluruh menurut Ibnu Sina hanya akan mungkin dicapai melalui risalah kenabian. Jadi para nabilah yang membawa manusia mencapai kebahagian secara menyeluruh. Dalam pemikiran pendidikannya Ibnu Sina telah menguraikan tentang psikologi pendidikan, terlihat dari uraian-uraiannya mengenai hubungan anak dengan tingkatan usia, kemauan dan bakat anak. Dengan mengetahui latar belakang tingkat perkembangannya,

Transcript of Pemikiran pemikiran para tokoh

PEMIKIRAN-PEMIKIRAN PARA TOKOH

1. Pemikiran Ibnu Sina

Abu Ali Al-Husein Ibn Abdullah Ibn Sina lahir di Bukhara tahun 370 h/980 m. Ia dianggap seorang yang cerdas, karena dalam usia yang sangat muda (17 Tahun) Ibnu Sina telah di kenal sebagai filosof dan dokter terkemuka di Bukhara selain itu Ibnu Sina juga dikenal sebagai tokoh yang luar biasa. Kecuali seorang ilmuwan ia juga dapat melakukan berbagai macam pekerjaan dengan baik seperti dalam bidang kedokteran, pendidikan, penasehat politik, pengarang dan bahkan menjadi waziar (mentri).

Sebagai ilmuwan Ibnu Sina telah berhasil menyumbangkan buah pemikirannya dalam buku karangannya yang berjumlah 276 buah. Diantara karya besarnya adalah Al-Syifa berupa ensiklopedi tentang fisika, matematika dan logika. Kemudian Al-Qanur Al-Tabibb adalah sebuah ensiklopedi kedokteran.

Pemikiran Ibnu Sina yang banyak keterkaitannya dengan pendidikan, barangkali menyangkut pemikirannya tentang filsafah ilmu.

Menurut Ibnu Sina ilmu terbagi menjadi 2 (dua), yaitu:

1. Ilmu yang tak kekal2. Ilmu yang kekal (hikmah). Ilmu yang kekal dipandang dari peranannya sebagai alat

disebut logika.

Berdasarkan tujuannya maka ilmu dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:

1. Ilmu praktis seperti ilmu kealaman, matematika, ilmu ketuhanan dan ilmu kulli.2. Ilmu praktis adalah ilmu akhlak, ilmu kepengurusan, rumah ilmu, pengurusan kota dan

ilmu nabi (syariah).

Menurut Ibnu Sina pendidikan yang diberikanoleh nabi pada hakikatnya adalah pendidikan kemanusiaan. Bahwa pemikiran pendidikan Ibnu Sina bersifat komprehensif.

Menurut Ibnu Sina tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan (sa’adat) kebahagian dicapai secara bertingkat, sesuai dengan tingkat pendidikan yang dikemukakannya, yaitu kebahagiaan pribadi, kebahagiaan rumah tangga, kebahagiaan masyarakat, kebahagian manusia secara menyeluruh dan kebahagian akhir adalah kebahagian manusia di hari akhirat. Kebahagian manusia secara menyeluruh menurut Ibnu Sina hanya akan mungkin dicapai melalui risalah kenabian. Jadi para nabilah yang membawa manusia mencapai kebahagian secara menyeluruh.

Dalam pemikiran pendidikannya Ibnu Sina telah menguraikan tentang psikologi pendidikan, terlihat dari uraian-uraiannya mengenai hubungan anak dengan tingkatan usia, kemauan dan bakat anak. Dengan mengetahui latar belakang tingkat perkembangannya, bakat dan kemauan anak maka bimbingan yang di berikan kepada anak akan lebih berhasil. Menurut Ibnu Sina kecendrungan manusia untuk memilih pekerjaan yang berbeda dikarenakan didalam diri manusia terdapat faktor yang tersembunyi yang sukar dipahami / dimengerti dan sulit untuk di ukur kadarnya.

Pemikiran pendidikan Ibnu Sina tampaknya telah membuka selubung keagungan tokoh ini. Di dunia barat sendiri pemikiran pendidikan anak baru dilakukan menjelang abad ke-18. Dietrich Tiediman (1787) merupakan orang pertama kali di dunia barat yang menyusun psikologi anak-anak. Kemudian disusul oleh buku Die Seele Des Kindes karangan Wilhelm Preyer (1882) barulah para ahli pendidikan di barat mempelajari anak-anak melalui kajian ilmiah.

Ahli-ahli pendidikan islam terutama Ibnu Sina dan Al-Ghazali ternyata telah mengemukakan pemikiran tentang psikologi perkembangan.

2. Plato

Socrates adalah sangat besar berpengaruh terhadap pemikiran Plato, ia adalah murid setia Socrates yang banyak mewarisi tradisi keilmuan dan filsafat gurunya, malalui Plato pemikiran-pemikiran Socrates dilestarikan, Socrates mempunyai kelemahan karena buah atau hasil dari pemikirannya tidak ditulis dalam bentuk tulisan oleh Plato, adalah kemudian Plato berinisiatif menulis semua pemikiran-pemikiran gurunya, melalui karya Plato yang fenomenal diantarannya; dialog, republic, negara dan apologia.

Nilai-nilai atau pandangan Plato pada dasarnya adalah pandangan tentang kebajikan  sebagai dasar negara ideal, ajaran Socrates kebajikan pengetahuan adalah diterima secara taken for granted, jadi penulis melihat bahwa pemikiran Plato nilai- nilai orisionalitasnya dipertannyakan, penulis berani mengatakan bahwa pemikiran Plato tidak ada, tapi yang ada adalah kelanjutan pemikiran Socrates saja yang ditulis dan dilanjutkan oleh Plato, artinya Plato hanya melanjutkan pemikiran Socrates yang kemudian dikembangkannya yang tidak terlalu mendalam, jadi  menurut penulis kita tidak boleh terlalu mengagung-agungkan pemikiran Plato itu sendiri.

Menurut Plato negara ideal menganut prinsip yang mementingkan kebajikan. Kebajikan menurut Plato adalah pengetahuan. Apapun yang dilakukan atas nama Negara harus dengan tujuan untuk mencapai kebajikan, atas dasar itulah kemudian Plato memandang perlunya kehidupan bernegara. Tidak ada cara lain menurut Plato untuk membanguan pengetahuan kecuali dengan lembaga-lembaga pendidikan,  inilah yang kemudian memotivasi Plato untuk mendirikan sekolah dan akademi pengetahuan.

Plato menilai negara yang mengabaikan prinsip kebajikan jauh dari negara yang di dambakan oleh manusia, sehinga negara yang ideal menurut Plato adalah negara negara yang menjunjung kebajikan. Plato mengambarkan seorang filsuf adalah dokter, filsuf meski mengetahui penyakit-penyakit yang dialami oleh masyarakat, mampu mendiagnosa dan mendeteksi sejak dini. Plato beranggapan munculnya negara adalah akibat hubungan timbal balik dan rasa saling membutuhkan antar sesama manusia.

Plato berangapan munculnya negara karena adanya hubungan timbal balik dan rasa saling membutuhkan antara sesama manusia, manusia juga dianugerahi bakat dan kemampuan yang tidak sama, pembagian kerja-kerja sosial muncul akibat adanya perbedaan alami, masing-masing memiliki bakat alamiah yang berbeda, perbedaan bakat dan kemampuan justru baik bagi kehidupan masyarakat, karena menciptakan saling ketergantungan, setiap manusia tentu tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya secara subsistensi, yang untuk memenuhi kebutuhan tersebut membutuhkan orang lain, negara dalam hal ini berkewajiban memperhatikan pertukaran timbal balik, dan berusaha agar kebutuhan masyarakat terpenuhi.

Negara ideal menurut Plato juga didasarkan pada prinsip-prinsip larangan atas kepemilikan pribadi, baik dalam bentuk uang atau harta, keluarga, anak dan istri inilah yang disebut nihilism. Dengan adanya hak atas kepemilikan menurut filsuf ini akan tercipta kecemburuan dan kesenjangan sosial yang menyebabkan semua orang untuk menumpuk kekayaannya , yang mengakibatkan kompetisi yang tidak sehat. Anak yang baru lahir tidak boleh dikasuh oleh ibu yang melahirkan tapi itu dipelihara oleh Negara, sehinga seorang anak tidak tahu ibu dan bapaknya, diharapkan akan menjadi manusia yang unggul, yang tidak terikat oleh ikatan keluarga dan hanya memiliki loyalitas mati terhadap negara.

Plato juga tidak memperkenankan lembaga perkawinan, tak seorang pun yang dapat mengklaim istri mereka, istri hanya bisa menjadi hak kolektif, hubungan seks yang dilakukan tidak boleh monogam melainkan poligami, Plato melihat lembaga perkawinan membuat ketidaksamaan antara laki-laki dan perempuan, yang lembaga perkawinan telah mengekang bakat alami manusia dan membuat diskriminasi.

Pemikiran Plato yang anti individualism yang telah merusak kehidupan sosial masyarakat Athena, manusia menjadi individualism hanya mementingkan kebutuhan diri mereka sendiri dan mengabaikan kepentingan orang lain. Padahal kehidupan bernegara menekankan petingnya saling ketergantungan sesama warga negara.

Ada tuduhan yang mengatakan bahwa Plato adalah anti demokrasi, adalah argumentasi ini membenarkan tuduhan itu. Mengapa Plato menjadi anti demokrasi, pemikiran Plato tidak terlepas dalam konteks sosio-hostoris kehancuran Athena. Kehancuran Athena menurut Plato bukan hanya karena kekalahan Athena dalam perang peloponesos. Kemenanagan Sparta atas Athena menunjukkan prinsip-prinsip dari kenegaraan bersifat Aristokrat militeristik yang ternyata lebih unggul dibandingakan dengan struktur kenegaraan Athena yang demokratis. Inilah yang melahirkan karya-karya Plato dalam judul republik. Dalam buku ini Plato secara tegas

menunjukkan simpati dan kekagumannya kepada sistem kenegaraan otoriter Sparta dan antipatinya kepada demokrasi. Plato menuduh kehancuran Athena disebabkan akibat demokrasi yang lemah dan disintegrasi serta tidak stabil.

Di Negara demokrasi setiap orang berhak dan memiliki kebebasan dalam melakukan apa yang dikehendakinya, tanpa ada kontrol yang ketat dari negara, karena adanya kebebasan setiap orang berhak dalam mengkritik orang lain, terlepas apakah yang di kritik tersebut rakyat atau negara. Bila kekuatan saling mengkritik tanpa adanya control pemerintah, maka akan  menimbulkan kekacauan sosial.

Etika PlatoApakah tujuan hidup manusia? Bagi Plato adalah kehidupan yang senang dan bahagia,

manusia harus mengupayakan kesenangan dan kebahagian itu, menurut plato kesenangan itu tidak hanya kepuasan hawa nafsu selama hidup di dunia, Plato sepakat dengan kesenangan dua dunia itu. Dunia ide semua ide dengan ide yang baik atau kebaikan dengan kebajikan sebagai ide yang tertinggi di dunia, ide adalah realitas yang sesunguhnya, sementara segala sesuatu yang ada di indrawi merupakan realitas bayangan . Hanya orang yang baik dan bijaksana yang akan dapat memahami segala sesuatu yang beraneka ragam yang berubah-ubah yang ada di dunia indrawi.

Dengan demikian jelas bahwa etika Plato adalah etika yang berdasarkan dengan ilmu pengetahuan yang benar itu, sementara pengetahuan hanya dapat diperoleh diraih, dimiliki lewat akal budi, maka itulah kenapa etika Plato disebut dengan etika rasional.

3. Aristoteles

Aristoteles adalah murid Plato di akademi, dikenal sebagai pemikir emperis-realis berbeda dengan Plato yang berfikir utopis dan idealis. Bisa jadi pemikiran Aristoteles  adalah bentuk protes terhadap pemikiran dan gagasan  Plato.

Negara menurut Aristoteles diibaratkan dengan tubuh manusia, negara lahir dalam bentuk yang sederhana kemudian berkembang menjadi kuat dan sederhana, setelah itu hancur dan tenggelam dalam sejarah.  Negara terbentuk karena manusia yang membutuhkan Negara, manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa orang lain, hubungan saling ketergantungan antara individu dengan masyarakat.

Negara ideal menurut Plato adalah city state, negara yang tidak terlalu luas dan tidak terlalu kecil, negara luas akan sulit untuk menjaganya, sementara negara yang terlalu kecil akan sulit untuk dipertahankan karena mudah dikuasai. Menurut Aristoteles, negara adalah lembaga politik yang paling berdaulat, bukan berarti lembaga ini tidak memiliki batasan kekuasaan. Tujuan terbentuknya negara adalah untuk kesejahteraan seluruh penduduk atau rakyat bukan kesejahteraan individu. Negara yang baik menurut Plato adalah negara yang dapat mencapai tujuan-tujuan negara. Sementara negara yang tidak dapat melaksanakan tujuan-tujua tersebut maka adalah negara gagal.

Idealnya menurut Aristoteles monarki sebagai negara ideal, karena ia diperintah oleh seoarang filsuf, arif dan bijaksana. Kekuasaan untuk kesejahteraan rakyat. Tapi Aristoteles menyadari sistem monarki nyaris tak mungkin ada dalam realitas, ia hanya gagasan yang lahir bersifat normative  yang sangat sukar diwujudkan dalam dunia emperis. Oleh karena itu demokrasi menurut Aristoteles dari tiga bentuk negara itu yang bisa diwujudkan dalam kenyataan. Berbeda dengan Plato tidak bersifat realistik ketimbang Aristoteles .

Berbeda dengan Plato mengenai hak milik, Aristoteles membenarkan adanya hak milik individu, hak milik penting untuk memberikan tanggung jawab bagi seseorang untuk mempertahankan kelangsungan kehidupan sosial.   

Karya terbesar filsafat yang dihasilkan oleh Aristoteles adalah logika, sehingga banyak orang mengatakan dia sebagai penemu, atau bapak logika, sebebarnya istilah logika tidak pernah dipergunakan oleh Aristoteles, tapi juga kita mengenal ini dengan dealetika, inti dari logika adalah cara untuk menarik prosisi demi mencari kebenaran, juga sebagai sarana untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Pengaruh Aristoteles terhadap cara berpikir Barat di belakang harisungguh mendalam. Di zaman dulu dan zaman pertengahan, hasil karyanyaditerjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Latin, Arab, Itali, Perancis,Ibrani, Jerman dan Inggris. Penulis-penulis Yunani yang munculkemudian, begitu pula filosof-filosof  Byzantium mempelajari karyanyadan menaruh kekaguman yang sangat. Perlu juga dicatat, buahpikirannya banyak membawa pengaruh pada filosof Islam dan berabad-abad lamanya tulisan-tulisannya mendominir cara berpikir Barat. Ibnu Rusyd (Averroes), mungkin filosof Arab yang paling terkemuka, mencoba merumuskan suatu

perpaduan antara Teologi Islam dengan rasionalisme Aristoteles. Maimomides, pemikir paling terkemuka Yahudi abad tengah berhasil mencapai sintesa dengan Yudaisme.

 Tetapi, hasil kerja paling gemilang dari perbuatan macam itu adalah Summa Theologia-nya cendikiawan Nasrani St. Thomas Aquinas. Di luar daftar ini masih sangat banyak kaum cerdik pandai abad tengah yang terpengaruh demikian dalamnya oleh pikiran Aristoteles. Kekaguman orang kepada  Aristoteles menjadi begitu melonjak di akhir abad tengah tatkala keadaan sudah mengarah pada penyembahan berhala. Dalam keadaan itu tulisan-tulisan Aristoteles lebih merupakan semacam bungkus intelek yang jitu tempat mempertanyakan problem lebih lanjut daripada semacam lampu penerang jalan. Aristoteles yang gemar meneliti dan memikirkan ihwal dirinya tak salah lagi kurang sepakat dengan sanjungan membabi buta dari generasi berikutnya terhadap tulisan-tulisannya.

Beberapa ide Aristoteles kelihatan reaksioner diukur dengan kacamatasekarang. Misalnya, dia mendukung perbudakan karena dianggapnya sejalan dengan garis hukum alam. Dia percaya kerendahan martabat wanita ketimbang laki-laki. Kedua ide ini-tentu saja-mencerminkan pandangan yang berlaku pada zaman itu. Tetapi, tak kurang pulabanyaknya buah pikiran Aristoteles yang mencengangkan modernnya, misalnya kalimatnya, “Kemiskinan adalah bapaknya revolusi dan kejahatan,” dan kalimat “Barangsiapa yang sudah merenungi dalam-dalam seni memerintah manusia pasti yakin bahwa nasib sesuatu emperiumtergantung pada pendidikan anak-anak mudanya.” (Tentu saja, waktu itu belum ada sekolah seperti yang kita kenal sekarang).

4. Al Kindi

Menurut al-Kindī filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang yang benar (knowledge of truth). Konsepsi filsafat al-Kindī secara umum memusatkan pada penjelasan tentang metafisika dan studi tentang kebenaran. Pencapaian kebenaran menurut al-Kindī adalah dengan filsafat. Oleh sebab itu, ilmu filsafat menurut al-Kindī adalah ilmu yang paling mulya. Ia mengatakan:”Sesunggunghnya ilmu manusia yang derajatnya paling mulya adalah ilmu filosof. Dengan ilmu ini hakikat ilmu didefinisikan, dan tujuan filosof memperlajari filsafat adalah mengetahui Al-Haq (Allah)”. Sedangkan ilmu filsafat yang paling mulya dan paling tinggi derajatnya adalah Filsafat yang Pertama (Falsafah al-‘Ūlā). Yakni ilmu tentang al-Haq al- Ūlā yang menjadi Sebab segala sesuatu (‘illah kulli syai’) yang tidak lain adalah Tuhan Allah SWT.

Pada asas pokok filsafatnya ini, al-Kindī mempertemukan dengan agama. Dalam arti, bahwa tujuan filsafatnya dan tujuan pokok agama adalah sama, yakni keduanya adalah ilmu dalam rangka mencapai kepada yang benar. Kejelasan hubungan antar keduanya dapat dilihat dari penjelasan al-Kindī, bahwa dasar antar filsafat dan agama memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut terdapat dalam empat hal; pertama, ilmu agama merupakan bagian dari filsafat, kedua, wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian, ketiga, menurut ilmu, secara logika diperintahkan dalam agama dan keempat, teologi adalah bagian dari filsafat dan umat Islam wajib belajar teologi juga filsafat.

Bagi al-Kindī, filsafat Islam didasarkan kepada al-Qur’ān. Al-Qur’ān memberikan pemecahan-pemecahan atas masalah yang hakiki, misalnya tentang teori penciptaan, hari kebangkitan, kiamat dsb. Hal tersebut menurut al-Kindī sangat meyakinkan, jelas dan menyeluruh, sehingga al-Qur’ān telah mengungguli dalih-dalih para filsuf.

Dengan pemikirannya tersebut, ilmu filsafat oleh al-Kindī ditempatkan sebagai bagian dari budaya Islam. Meskipun dalam beberapa teoritik, ia mengadopasi dari Aristoteles Neo-Platonis, akan tetapi gagasan-gagasannya dari mengintegrasikan filsafat dan agama itu menghasilkan gagasan baru. Tampak sekali, ia berusahan mendamaikan antara warisan Yunani yang tidak bertentangan dengan syari’at dengan agama Islam, dengan asas-asas yang berdasarkan metafisik, bukan fisik belaka. Ia menggunakan istilah-istilah filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dia dikenal orang yang pertama menyususn kosa kata Arab untuk istilah-istilah filsafat dan menetapkan definisi berbagai kategori. Untuk tujuan ini dia menulis sebuah buku Risālah fī Hudūd al-Asyyā wa Rusūmihā.

Karena asas yang dibangun di atasnya adalah agama, maka ia menyatakan bahwa filsafat mengikuti jalur ahli logika dan memandang bahwa agama sebagai sebuah ilmu rabbāniyah dan memposisikannya di atas filafat. Ilmu ini diambil melalui jalur para Nabi. Melalui penafsiran filosofis, agama menjadi selaras dengan filsafat. Pencapaian kebenaran agama, disamping dengan wahyu, sebagai sumber pokok ilmu pengetahuan juga mempergunakan akal. Sedangakan falsafah juga mempergunakan akal, bahkan falsafah al-Kindī juga mendasarkan pada wahyu, hal

itu dibuktikan dalam beberapa konsep dan teorinya secara diametral bersebarangan dengan konsepsi Aristoteles maupun Plato, seperti konsep keesaan Tuhan, alam, dan penciptaan dari ketiadaan.

Jika konsep kunci (konsep Tuhan) berseberangan dengan filsafat Aristoteles, berarti pandangan hidup (worldview) – nya juga berbeda. Sebab, sebuah teori atau konsep lahir dari worldview seseorang dan akan menjadi perbeda teori tersebut jika pandangannya tentang Tuhan berbeda. Thomas F Wall mengatakan, percaya pada Tuhan berimplikasi pada kepercayaan bahwa sumber pengetahuan dan moralitas adalah Tuhan dan sebaliknya tidak percaya pada Tuhan akan menghasilkan kepercayaan bahwa sumber pengetahuan adalah subyektifitas manusia.

Dalam konteks epistemologi Islam, Tuhan adalah tema sentral. Ia adalah sumber kebenaran yang utama yang mutlak. Maka, filsafat al-Kindī bisa dikatakan telah memasuki konteks ini. Sebab, ia memberi penekanan pada konsep keilahian. Ia mengatakan filsafat yang pertama (al-Falsafah al-Ūlā) adalah pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan penyebab dari semua kebenaran.

Sang Penyebab semua sebab itulah adalah Tuhan. Dengan demikian, filsafat al-Kindī adalah membahas soal Tuhan dan agama menjadi dasar filsafatnya. Dengan demikian kerja filsafat yang dilakukan al-Kindī adalah mengharmonisasi antara fislafat dan agama, bahwa antar keduanya tidak ada perbedaan yang kontras. Ia mengatakan “Falsafah yang termulia dan tertinggi derajatnya adalah falsafah utama, yaitu ilmu tentang Yang Benar Pertama, yang menjadi sebab bagi segala yang benar”. Hal ini yang membedakan dengan orientasi filafat Aristotele, bahwa filsafat adalah ilmu tentang wujud karena yang wujud memiliki kebenaran. Berarti, orienatasi filsafat al-Kindī adalah metafisik sedangan Aristotele adalah dibangun di atas teori fisika.

 Pemikiran al-Kindī Tentang Konsep Tuhan

Tuhan menurut Al-Kindi adalah pencipta alam, bukan penggerak pertama. Tuhan itu Esa, Azali, ia unik. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh. Ia hanyalah keEsaan belaka, selain Tuhan semuanya mengandung arti banyak. Pembahasan utama filasfatnya adalah tentang konsep ketuhanan. Karena filsafat menurutnya, adalah menyelidiki kebenaran, maka filafat pertamanya adalah pengetahuan tentang Allah. Allah adalah Kebenaran Pertama (al-Haqq al-Awwal), Yang Benar Tunggal (al-Haqq al-Wāhid) dan penyebab semua kebenaran. Dengan demikian corak filsafat al-Kindī adalah teistik, semua kajian tentang teori-teori kefilsafatannya mengandung pendekatan yang teistik. Untuk itu, sebelum memulai kajian tentang teori filsafat, ia membahas filsafat metafisika, dan konsep Tuhan.

Argumentasi kosmologis tampaknya mendominasi pemikiran al-Kindī dalam menjelaskan ketuhanan. Bagi al-Kindī, Allah adalah Penyebab segalanya dan penyebab kebenaran. Untuk mengatakan bahwa Allah adalah penyebab segala kebenaran adalah sama saja dengan mengatakan bahwa Allah adalah penyebab dari semua ini. Sebab dari segala sebab itu adalah Allah. Sebab itu hanya satu, tidak mungkin banyak. Alam semesta berjalan secara teratur atas dasar sebab Dzat yang Satu. Sehingga konsep sentral dalam teologi Filsafat Pertamanya adalah tentang keesaan. Teologi filsafat al-Kindī memiliki dua aspek utama; pertama, membuktikan harus ada yang Satu yang Benar (the true one), yang merupakan penyebab dari segala sesuatu dan mendiskusikan kebenaran the True One ini.

Pertama-tama al-Kindī  menjelaskan bahwa tidak ada yang bisa menjadi penyebabnya sendiri. Ia mengungkapkan, benda-benda di alam ini merupakan juz’iyyāt (particular). Kajian filsafat ketuhannannya bukanlah pada juziyyāt yang jumlahnya tak terbatas itu, akan tetapi yang paling penting dalam falsafahnya adalah hakikat dalam partikular itu, yakni kulliyāt (universal). Tiap-tiap benda memiliki dua hakikat, hakikat sebagai juz’i yang disebut al-aniyah dan hakikat kulli yang disebut māhiyah yakni hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan spesies.

Tuhan tidak mempunyai hakikat dalam arti aniyah atau mahiyah, karena Ia bukan termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam. Tuhan juga tidak mempunyai bentuk mahiyah karena Tuhan tidak termasuk genus atau spesies. Tuhan hanya satu dan tidak ada yang srupa dengan Tuhan. Ia Dzat yang unik, yang lain bisa mengandung arti banyak.

Al-Kindī berpendapat bahwa setiap jenis predikat menunjukkan kesatuan dan keanekaragaman. Misalnya hewan, adalah salah satu genus, tetapi terdiri dari sebuah keragaman spesies. Manusia adalah satu spesies tetapi terdiri dari banyak individu dan manusia yang tunggal adalah salah satu individu dari individu-individu yang lain terdiri dari banyak bagian

tubuh. Selanjutnya, ia beragurmen, keragaman itu memiliki hubungan produk integral. Satu bagian, bukanlah disebabkan oleh stipan serangkaian bagian yang lain. Berarti, harus ada penyebab luar untuk semua keanekaragaman yang integral tersebut, penyebab itu satu, eksklusif dan sepenuhnya bebas dari keragaman yang multi genus. Yang Satu itulah Yang Benar, yang tidak lain adalah Tuhan.

Wujud Tuhan itu adalah eksklusif, yang berbeda dengan yang lain. Sifat, Wujud, eksistensi dan keberadaan sama sekali tidak bisa dipahami secara penuh oleh akal manusia. Maka, baginya, untuk memahami itu semua, maka diturunkanlah Nabi, sebagai utusan Allah, yang akan menjelaskan hal-hal yang tidak mampu disingkap oleh akal manusia. Penjelasan Allah yang dibawa oleh Nabi melalui media yang dinamakan wahyu. Al-Kindī, secara jelas meyakini bahwa rasio manusi memiliki sisi kelemahan. Karena kelemahan itulah, tidak semua pengetahuan tidak bisa ditangkap oleh akal. Maka untuk membantu pemahaman yang tidak bisa dijelaskan akal maka, manusia perlu dibimbing oleh wahyu. Hanya saja, dalam aspek penjelasan sifat-sifat Tuhan, al-Kindī  masih terpengaruh oleh Mu’tazilah dan Aristoteles. Hal itu misalnya, dilihat dari penjelasannya bahwa sifat-sifat Tuhan diungkapkan dengan bentuk kalimat negatif, yaitu dengan ungkapan “tidak” atau “bukan”. Bawa Tuhan itu tidak seperti manusia.

Tidak seperti Aristoteles, al-Kindī mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta, bukan penggerak Pertama. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh. Tuhan adalah Penyebab dari segala sebab. Setelah melakukan sebab itu, Tuhan tetap melakukan sesuatu (‘Illah al-Fā’ilah). Disini Tuhan tidak diposisikan seperti konsep Aristoteles, yang mengatakan Tuhan tidak bergerak, sehingga ia tidak melakukan sesuatu apapun setelah emanasi. Sehingga Tuhan dalam pemahaman Aristoteles tidak memahami yang partikular. Berbeda dengan al-Kindī, menurutnya Tuhan tetap melakukan sesuatu.

Al-Kindī menyebut, Tuhan yang seperti ini dinamakan agen yang benar. Dia menjadi penyebab dan bertindak aktif. Tuhan adalah pelaku yang sebenarnya, sedangkan yang lain adalah pelaku yang metaforis (agen kiasan). Karena, keduanya bertindak dan ditindaklanjuti. Berkaitan dengan teori penciptakan, al-Kindī memiliki keunikan tersendiri. Ia membagi alam menjadi dua, alam atas dan alam bahwah. Secara general, wujud alam tersebut disebabkan oleh Penyebab Pertama, yaitu Tuhan.

Proses keberadaan antara wujud alam atas dan alam bawah ini berbeda Alam atas yang terdiri dari wujud spiritual, seperti akal, jiwa dan ruh. Sedangkan alam bahwah adalah teridiri dari wujud badaniyah manusia, materi bentuk alam dunia dan lain sebagainya. Alam atas sebagai wujud spiritual keberadaanya tidak melaui prosep penciptaan (creation/khalq), akan tetapi ia ada melalui emanasi. Sedangkan alam bawah keberadaannya melalui proses penciptaan.

Namun, analisis secara umum al-Kindī tetap dikatakan bahwa Tuhan baginya adalah pencipta bukan penggerak pertama. Konsep Tuhan sebagai penggerak pertama adalah konsep Aristoteles. Di sini ia berseberangan dengan Aristoteles. Maka, bagi al-Kindī alam dunia mempunyai permulaan, ia diciptakan dari ketiadaan. Alam menurut al-Kindī tidak qadīm. Sedangkan menurut Aristoteles alam adalah qadīm. Yang beremanasi dari sebab pertama adalah alam, dalam arti alam atas tadi.

Alam atas, pada mulanya beremanasi dari Sebab Pertama, bergantung dan berkaitan dengan al-Haq. Tetapi terpisah dari-Nya, karena alam terbatas dalam ruang dan waktu. Berarti, akal atau jiwa setelah terpisah, benar-benar substansi, essensinya berbeda dengan Tuhan. Setelah beremanasi, wujud intelek dan jiwa tadi memiliki genus, spesises, diferensia, sifat dan aksiden. Maka setiap benda terdiri atas materi dan bentuk, terbatas raung dan bergerak dalam waktu. Ia dzat yang terbatas, meskipun benda tersebut adalah wujud dunia. Karena terbatas, ia tidak kekal. Hanya Allah-lah yang kekal.

Sedang alam dalam konsep Aristoteles, terbatas oleh ruang, tetapi tak terbatas oleh waktu. Sebab gerak alam seabadi dengan Sang Penggerak Tak Tergerakkan (Unmomed Mover). Tuhan bagi Aristoteles adalah Penggerak, akan tetapi Tak Tergerakkan, sebab baginya, jika Tuhan bergerak, maka ia akan berbilang, karena setiap gerak akan melahirkan sifat baru. Terbilangnya sifat menjadikan terbilangnya dzat.

Teori keabadian alam al-Kindī juga berbeda dengan filosof muslim paripatetik setelahnya. Keabadian alam ditolak oleh al-Kindī, karena alam ini diciptakan. Mengenai hal ini, ia memberikan pemecahan yang radikal, dengan membahas gagasan tentang ketakterhinggaan secara matematik. Benda-benda fisik teridiri atas materi dan bentuk, dan bergerak di dalam ruang dan waktu. Jadi, materi, bentuk, ruang dan waktu merupakan unsur  dari setiap fisik. Wujud, yang berkait erat dengan fisik, waktu dan ruang adalah terbatas, karena mereka takkan ada, kecuali dalam keterbatasan.

Waktu bukanlah gerak, melainkan bilangan pengukur gerak karena waktu tidak lain adalah yang dahulu dan yang kemudian. Bilangan ada dua macam, yaitu tersendiri dan berkesinambungan. Waktu bukanlah bilangan tersendiri, tetapi berkesinambungan. Oleh sebab itu, waktu dapat ditentukan, yang berporoses dari dulu hingga kelak. Dengan kata lain, waktu merupakan jumlah yang dahulu dan yang berikutnya, yang berkesinambungan. Waktu adalah bagian dari pengetahuan tentang kuantitas. Ruang, gerak dan waktu adalah kuantitas.

5. Rene Descrates

Awalnya Descartes digelisahkan oleh ketidakpastian pemikiran Skolastik dalam menghadapi hasil-hasil ilmu positif renaissance. Aliran yang mengaku merujuk pada pemikiran Aristotelian ini mengandaikan segala sesuatu dipengaruhi ketakhayulan dan cenderung spekulatif. Jelas klaim ini amat bertolak belakang dengan pemikiran Aristoteles. Pasalnya, filsafat Aristoteles bertolak dari prinsip pertama ”substansi konkret”—sebuah prinsip fundamental yang abadi bertentangan dengan prinsip filsafat "ide" Plato. Descartes juga diresahkan oleh kepercayaan yang kuat kalangan gereja mengenai doktrin Anselmus bahwa dasar filasafat hanyalah iman, credo ut intelligam.

Kecemasan-kecemasan ini memantik Descartes untuk berikhtiar menemukan basis ”kebenaran” yang rasional dan sistematis, tidak spekulatif, juga tidak sekedar yakin.

Karena itu, ia memulai filsafatnya dengan terlebih dahulu meragukan segala sesuatu. Gejala-gejala yang nampak, ia ragukan semua. Ia ragu terhadap apa yang ia tangkap melalui inderawi. Sampai akhirnya ia menemukan yang pasti; sesuatu yang sama sekali tidak ia ragukan—dan tidak bisa diragukan—oleh (si)apapun, yaitu “saya sedang ragu”. “Saya sedang ragu” disebabkan karena “saya berpikir”. “Saya berpikir” merupakan suatu kebenaran karena tidak ada yang meragukan lagi. “Saya berpikir” adalah benar, karenanya pasti “ada”. Jika “saya berpikir” menjadi “ada”, maka kesimpulannya “saya berpikir, maka saya ada”. Cogito ergo sum.

Descartes menyebut keraguan itu sebagai “keraguan metodis universal”. Maksud kata “keraguan” disini bukan dalam arti kebingungan yang tak berkesudahan, melainkan mempertanyakan kembali kinerja akal budi. “Keraguan” dipraktekkan sebagai tahap awal menuju kepastian, menjaring yang benar dari yang salah, dan meretas jalan kepastian dari kemungkinan. Keraguan disebut juga sebagai “metodis” karena “keraguan” adalah cara penalaran mengungkap kebenaran secara reflektif-radikal-filosofis. Perjalanan menuju kebenaran ini mesti direntang tanpa batas sampai keraguan itu membatasi diri dengan menemukan kepastian yang “benar-benar pasti” dan ”pasti benar”. Karenanya, keraguan metodis, kata Descartes, mesti bersifat “universal”.

Proses penemuan dasar filsafat Descartes amat berkaitan erat dengan tiga hal mendasar. Pertama, persoalan pencarian kepastian melalui ide yang jelas dan terpilah—disini Descartes menolak basis filsafat yang bersifat kemungkinan atau spekulatif. Kedua, Descartes ingin meletakkan dasar filsafatnya bertolak dari diri subyek. Baginya, hanya subyek yang memiliki kesadaran tentang dirinya sendiri—metode cogito atau imanentisme Descartes (aku yang secara langsung mengenal diriku sendiri). Ketiga, Descartes hendak memberikan basis intelektual bagi eksistensi Tuhan sebagai titik tolak seluruh kebenaran, pengetahuan, dan pemahaman. Proses rumit epistemik ini telah menggiring Descartes berkelindan menemukan basis filsafatnya secara otentik, sekaligus meruntuhkan puing-puing dasar filsafat yang bergema kuat pada waktu itu.

Metode cogito menuntun Descartes menemukan dasar pemikirannya tentang hakikat (ontologis) segala sesuatu yang ia kemukakan melalui tiga titik dasar: substansi, atribut, dan modus.

Pertama, substansi adalah “apa yang ada sedemikian rupa” [9], sehingga keber-ada-annya tidak memerlukan sesuatu yang lain. Substansi model ini, oleh Descartes, disebut sebagai ”substansi absolut”, dan hanya satu, yaitu Tuhan sebagai causa sui atau penyebab bagi dirinya sendiri yang sempurna adanya. Descartes juga mengandaikan substansi lain, yang ia sebut sebagai ”substansi relatif” atau substaintia creata (substansi buatan). Macamnya ada dua, yaitu substansi jiwa/roh—bersifat bebas, aktif dan mental—dan substansi materi/bendawi—bersifat fisis dan berjalan menurut hukum-hukum fisika. Eksistensi substansi ini semata-mata tergantung bantuan substansi absolut. Oleh karenanya, pengertian substansi relatif tidak dapat disamakan dengan pengertian substansi absolut.

Setiap substansi, kata Descartes, memiliki atribut atau sifat asasi, dimana sifat asasi ini mutlak ada dan tidak dapat ditiadakan. Ada-nya sifat asasi ini hanya dapat diketahui secara jelas melalui sifat-sifat yang lain. Jika kita lansir dalam substansi bendawi/materi, maka atribut yang

kita temukan berupa keluasan (extentio atau res extensa). Dan jika kita telisik dalam substansi roh/jiwa, maka atribut substansi berupa pemikiran (cogitation atau res cogitans) [10]. Melalui dua atribut substansi ini, demikian Descartes, maka substansi absolut dapat dikenal oleh akal budi manusia.

Selain atribut, substansi masih mempunyai suatu enstitas lagi, yang Descartes sebut sebagai modus (jamak modi). Modus adalah sifat substansi yang dapat berubah, plural dan sebetulnya tidak mutlak ada dalam substansi. Artinya, modus ini diandaikan sebagai jejak-jejak—meminjam istilah Derrida—atau ciri-ciri yang menuntun kita menuju pengetahuan mengenai hakikat substansi—sekalipun, kata Descartes, akal hanya mampu menangkap atribut-atributnya saja. Jika kita telusuri dalam substansi bendawi/materi, maka modus yang ditemukan seperti bentuk, besar, kecil, gerak, situasi, dan ciri-ciri lahiriyah lainnya. Dan jika kita teliti dalam substansi roh/jiwa, maka modus yang muncul berupa gagasan-gagasan individual yang dilakukan secara sadar seperti ide, pertimbangan, meragukan, memahami, membayangkan, berkehendak, merasa, berimajinasi, dan aktivitas kemampuan lainnya.

Descartes mengandaikan roh/jiwa memiliki sifat asasi lebih “cerdas” dari sifat asasi bendawi/materi, karena secara a priori roh/jiwa membawa pengertian-pengertian tunggal tentang substansi roh dan bendawi serta mampu memilah-milah secara jelas (clear and distinctly atau self-evident) suatu gagasan atau idea tanpa terpengaruh oleh gagasan atau idea-idea yang lain. Melalui sifat asasi roh/jiwa, pengertian yang terungkap bukan hanya substansi bendawi dan rohani saja, melainkan menjamah substansi pertama, yaitu substansi Tuhan yang tiada batasnya.

Disinilah letak perbedaan ontologi Descartes dengan pemikiran ontologi yang lain. Ia mengandaikan akal (rasio) mempunyai kemampuan menjangkau pengetahuan tentang segala hal, termasuk pengetahuan (substansi) Tuhan. Sekalipun yang mampu dijangkau sebetulnya, kata Descartes, hanyalah atribut substansi belaka.

Justru di titik inilah filsafat Dercartes menemukan kerapuhan fundamental ketika dipaksa membicarakan tentang hubungan eksistensi substansi jiwa dan badan. Pendapatnya bahwa substansi Tuhan adalah pemegang otoritas atau—meminjam istilah Pak Joksis—“penjamin” eksistensi substansi jiwa dan substansi badan, makin memperjelas bahwa tidak sepenuhnya segala kebenaran selalu bermuara dari subyek yang sadar. Menurut kadarnya sendiri muncul banyak fakta bahwa manusia sering dihadapkan pada realitas (yang benar dan pasti) diluar jangkauannya sebagai subyek yang sadar.

Dengan demikian akan kesulitan bagi kita mengemukakan secara pasti “bagaimana” sebenarnya hubungan antara jiwa dan badan terjadi. Descartes hanya menunjukkan akhir hubungan jiwa dan badan adalah membentuk manusia sempurna. Sementara, keduanya ia anggap sebagai res yang berbeda, terpisah, dan tidak terjalin hubungan yang serius. Maka, menjadi aneh ketika tiba-tiba Descartes membawa “Tuhan” yang berada diluar subyek sadar sebagai “penjamin” dari eksistensi jiwa dan badan yang berada di dalam subyek sadar. Barangkali berangkat dari kegamangan ini banyak orang menyangka pemikiran Descartes bernada dualistik (baca: “dualisme Cartesian”).

Lepas dari sangkaan-sangkaan itu, satu hal yang mesti diakui bahwa gagasan Descartes berupa “cogito ergo sum” telah memprovokasi lahirnya modernisme, seraya membawa para ilmuwan dan filsuf keluar dari kemelut doktrin-doktrin filsafat Skolastik dan Gereja. Filsafatnya telah membantu menyulut manusia-manusia jaman sekarang berpikir rasional, sistematis, bahkan mengamsusikannya “benar-benar pasti” dan “pasti benar”. Sebuah gejala menuju pengabsolutan “rasio” sebagai “logos”, dan seringkali bersebarangan dengan “iman” maupun “mitos”.

6. Al-Farabi

Al-Farabi menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pada tahun 1890 Dieterici menerjemahkan beberapa risalah pendek al-Farabi, umumnya yang berkaitan dengan sains. Bukunya yang merupakan sumbangan terhadap sosiologi adalah Risalah fi Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah yang kemudian diedit dan diterjemahkan oleh Dieterici sebagai Philosophia de Araber dan Der Mustarstaat Von Al-Farabi. Buku penting lain yang diterjemahkan ke berbagai bahasa Barat adalah Musiqi al-Kabir dan Ihsa al-Ulum, sebuah karya ensiklopedis yang kemudian banyak berpengaruh atas penulis Barat.

Bukunya Ihsa al-Ulum merupakan encyclopedia mengenai ilmu akhlak yang terbagi atas lima bagian: 1. bahasa, 2. ilmu hitung, 3. logika, 4. ilmu-ilmu alam (natural sciences), dan 5. politik dan sosial ekonomi (sosio ekonomi). Para ahli fikir mutakhir mengakui, bahwa mereka berhutang budi kepada al-Farabi atas segala yang telah mereka capai di bidang ilmu

pengetahuan. Dalam mengambil sesuatu bahan ilmiah dari asalnya al-Farabi memakai jalan peng-alasan yang sangat teliti yang berdasarkan dialektika.

Dan ini dilakukan dengan meletakkan qaedah-qaedah umum lalu daripadanya diambil alasan yang diperlukan. Pendapat al-Farabi mengenai wujud Allah dan pengetahuan umum yang bersangkutan dengan Aqlil Awal (first intelegence) dan lainnya diambil kurang lebih dari teori Aristoteles mengenai penciptaan (creation). Tetapi al-Farabi tidak percaya akan kekekalan alam, yang menurut pendapat Aristoteles alam itu adalah kekal.

Menurut al-Farabi alam ini mempunyai pangkal dan ujung (awal dan akhir). Selanjutnya al-Farabi percaya pula akan adanya hidup setelah mati; yang menjadi hari pengadilan bagi manusia, yang berakhir mendapat ganjaran baik atau buruk menurut perbuatan mereka di masa hidup di atas bumi. Telah pasti bahwa pendapat al-Farabi ini adalah bawaan dari al-Qur’an dan Hadits. Maka bagi al-Farabi logika bukanlah satu jalan untuk mencapai ma’rifat, tetapi ia adalah alat pencapai ma’rifat. Logika bukanlah jalan untuk mendapatkan hakikat, tetapi ia sendirilah pendapat dari hakikat itu.

Tata kerja akal dalam proses pemikiran (amaliyat al-fikri), menurut al-Farabi meningkat secara bertahap. Akal pada seseorang bayi bersifat potensial (aqlu bil quwwati), yang disebut oleh al-Farabi dengan aqlul-hayuli (material intelect). Aqlul-hayuli itu bersifat pasif (passive intelect), dan mulai bergerak menjadi akal berkarya (aqlu bil-fi’li, actual intellect) setelah menerimakan gambaran bentuk-bentuk (al surah, forms) melalui kodrat indriani (al hassat) maupun kodrat imajinasi (al mutakhayyilat). Ia pun mengolahnya menjadi pengertian-pengertian (al ma’ani, conceptions) dan pada tahap itu ia pun berubah menjadi akal berdaya guna (aqlul-mustafad, acquired intellect).

Akal berdaya guna (aqlul-mustafad, acquired intellect) itu sekedar bertindak mengolah, mencari hubungan-hubungan diantara segala pengertian, untuk merekamkan tahu (al’ilm, knowledge) pada perbendaharaan ingatan. Akan tetapi tahu itu sendiri menurut al-Farabi adalah anugerah dari akal giat (aqlul-fa’al, active intellect) yakni kodrat ilahi, sebagai akibat dari kegiatan akal berdayaguna itu. Tahu di dalam perbendaharaan ingatan itu berpangkal pada materi dan bentuk (al madah dan al shurah) yang ditangkap oleh kodrat indriani dari alam luar. Materi itu tidak punya perwujudan tanpa bentuk. Akan tetapi di dalam proses pemikiran (amaliyat alfikri) senantiasa materi itu dipisahkan dengan bentuk hingga diperkirakan perwujudan materi tanpa bentuk, yang oleh al-Farabi disebut dengan al hayuli dan oleh Aristoteles, disebut dengan hyule.

Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Menurut Al-FarabiAl-farabi telah memberikan klasifikasi tentang ilmu pengetahuan dalam tujuh bagian, yaitu:

logika, percakapan, matematika, physika, metaphysika, politik, dan ilmu fikhi (jurisprudence). Ketujuh ilmu pengetahuan ini telah melingkupi seluruh kebudayaan Islam pada masa itu.Ilmu pengetahuan tentang percakapan, yang dikenal sebagai ilmu al-lisan, dibaginya pula atas tujuh bagian, yaitu: bahasa gramatika, syntax (ilmu tarkib al-kalam), syair, menulis dan membaca. Aturan ilmu bahasa yang melingkupi ketujuh pembagian ini, merupakan tujuh bagian pula, yaitu: ilmu kalimat mufrad, ilmu kalimat yang dihubungkan oleh harf el-jar (proposition), undang-undang tentang penulisan yang benar, undang-undang tentang pembacaan yang betul, dan aturan tentang syair yang baik.

Ilmu logika, diajarkan kepada tingkatan tinggi, bagi orang-orang yang hendak menyediakan dirinya menjadi sarjana. Oleh karena itu, ilmu logika itu lebih dipandang bersifat seni daripada sifatnya sebagai ilmu. Ilmu atau seni logika pada umumnya terdiri sebagai berikut: “Supaya dapat mengoreksi fikiran seseorang, untuk mendapatkan kebenaran”. Logika itu dibagi dalam delapan bagian, dimulainya dengan Catagory dan disudahi dengan syair (poetry).Orang Arab juga memasukkan ilmu balaghah (rothorika) dan syair menjadi bagian dari ilmu logika. Kemudian setelah diselidiki, ternyata bahwa itu termasuk dalam bagian mantik, maka sekarang ini pembagian ilmu logika menjadi sembilan fasal.

Tentang matematika, al-Farabi membaginya menjadi tujuh bagian, yaitu: arithmatika, geometri, optika, astronomi, musik, hisabaqi (Latin: arte ponderum), dan mekanika.Metaphysika, ditujukan pada dua jenis pelajaran. Pertama, pengetahuan tentang makhluk dan kedua, contoh-contoh dasar atau filsafat ilmu. Tentang ilmu makhluk, dikatakannya sebagai ilmu yang mempelajari dasar-dasar makhluk yang tidak didasarkan kepada bentuk jasmani atau benda-benda berupa tubuh.

Politik, dikatakannya juga sebagai ilmu sipil, yang menjurus kepada etika dan politika. Filsuf-filusuf Islam, menyalin perkataan Politeia dari bahasa Yunani, dengan perkataan Madani.

Arti perkataan ini adalah sipil yang berhubungan dengan kota. Ilmu agama, dibaginya kepada fikih (Yurisprudence) dan kalam (theology). Ilmu kalam ada dua cabangnya yang kemudian dimasukkan menjadi ilmu agama, adalah pengetahuan baru yang dimasukkan ke dalam Islam. Klasifikasinya dalam perincian ilmu pengetahuan dapat disimpulkan sebagai berikut:a. Ilmu bahasa: syntaksis, gramatika, pengucapan dan tuturan, dan puisi.b. Logika: pembagian, definisi dan komposisi gagasan-gagasan yang sederhana. Bagian-bagian

logika setelah istilah-istilahnya didefinisikan ada lima:1) Syarat-syarat yang perlu bagi premis-premis yang akan menuju suatu sylogisme untuk

ilmu tertentu.2) Definisi sylogisme yang berguna dan cara untuk menemukan bukti dialektal.3) Penelitian kesalahan dalam bukti-bukti, penelitian atas hal-hal yang dilewatkan dan

kesalahan-kesalahan yang dilakukan dalam penalaran dan cara-cara untuk mencegahnya.4) Definisi oratori: sylogisme yang digunakan untuk membawakan pembahasan di depan

publik.5) Studi mengenai puisi, bagaimana harus menyesuaikannya dengan tiap subyek, kesalahan

dan ketidaksempurnaannya.c. Sains persiapan:

1) Aritmetika: praktis teoritis2) Geometri: praktis teoritis3) Optika4) Sains tentang langit: astrologi, gerak dan sosok benda-benda langit.5) Musik: praktis teoritis6) Ilmu tentang timbangan.7) Ilmu membuat alat-alat (pembuatan mesin-mesin dan instrumen-instrumen sederhana

untuk digunakan dalam berbagai seni dan sains, seperti astronomi dan musik).d. Fisika (sains kealaman), metafisika (sains yang berhubungan dengan Tuhan dan prinsip-

prinsip benda). Fisika:1) Ilmu tentang prinsip-prinsip yang mendasari benda-benda alam.2) Ilmu tentang sifat dan ciri elemen, dan prinsip yang mengatur kombinasi elemen menjadi

benda.3) Ilmu tentang pembentukan dan kerusakan benda.4) Ilmu tentang reaksi yang terjadi pada elemen-elemen dalam membentuk ikatan.5) Ilmu tentang benda-benda ikatan yang terbentuk dari empat elemen dan sifat-sifatnya.6) Ilmu mineral.7) Ilmu tumbuhan.8) Ilmu hewan.9) Metafisika:

a) Ilmu tentang hakikat benda.b) Ilmu tentang prinsip-prinsip sains khusus dan sains pengamatan.c) Ilmu tentang benda non-jasadi, kualitas-kualitas dan ciri-cirinya yang akhirnya

menuju kepada ilmu tentang kebenaran, yaitu mengenai Allah yang salah satu nama-Nya ialah kebenaran(al-Haqq).

e. Ilmu kemasyarakatan:1) Jurisprudensi2) Retorik.

7. Ibnu Khaldun

Pada kitab yang dibuat oleh Ibnu Khaldun tersebut, banyak uraian  yang menjelaskan tentang kegiatan-kegiatan perekonomian, yaitu:a. Mekanisme Pasar

Ibnu Khaldun secara khusus memberikan ulasan tentang harga dalam bukunya al-Muqaddimah pada suatu bab berjudul ”Harga-harga di Kota”. Ia membagi jenis barang menjadi dua jenis, yaitu barang kebutuhan pokok dan barang pelengkap.      Menurutnya, bila suatu kota berkembang dan populasinya bertambah banyak, maka pengadaan barang-barang kebutuhan pokok menjadi prioritas. Jadi suatu harga ditentukan oleh jumlah distribusi ataupun penawaran suatu daerah, dikarenakan jumlah penduduk suatu kota besar yang padat dan memiliki jumlah persediaan barang pokok yang melebihi kebutuhan dan kemudian memiliki tingkat penawaran yang lebih tinggi dibandingkan

dengan kota kecil yang memiliki jumlah penduduk yang relatif lebih sedikit. Yang kemudian akan berdampak pada harga yang relatif lebih murah.      Begitu sebaliknya, supply bahan pokok suatu kota kecil yang relatif lebih sedikit, dengan terbatasnya persediaan maka harga juga akan relatif mahal.

Sedangkan permintaan pada bahan-bahan pelengkap akan meningkat sejalan dengan berkembangnya suatu kota dan berubahnya gaya hidup, dikarenakan segala kebutuhan pokok dengan mudah mereka dapati dan seiring dengan bertambahnya kebutuhan lain, maka tingkat permintaan pada bahan pelengkap akan naik, walaupun dengan tingkat harga yang relatif mahal dan jumlah barang yang relatif sedikit, dikarenakan terdapat banyak jumlah orang kaya disana, maka mereka pun sanggup membayar dengan tingkat permintaan yang tinggi yang kemudian akan berdampak pada naiknya harga tersebut.

Istilah dari ekonomi kontemporer terhadap teori pada paragraf sebelumnya ialah, terjadinya suatu peningkatan disposible income dari penduduk suatu kota besar. Dengan naiknya disposible income tersebut dapat meningkatkan marginal propensity to consume terhadap barang-barang mewah dari setiap penduduk kota tersebut.

Pada bagian lain, Ibnu Khaldun menjelaskan pengaruh naik dan turunnya penawaran terhadap harga. Ketika barang-barang yang tersedia sedikit, harga akan naik. Namun, bila jarak antar kota dekat dan aman untuk melakukan perjalanan, akan banyak barang yang diimpor sehingga ketersediaan barang akan melimpah, dan harga-harga akan turun. Jadi kemudahan dalam hal pendistribusian akan berpengaruh pada kestabilan harga.

Berikut beberapa faktor menurut Ibnu Khaldun yang dijadikan indikator dalam kegiatan suatu perekonomian di suatu pasar.

1) Faktor-faktor penentu keseimbangan hargaa) Kekuatan Permintaan dan Penawaranb) Tinggi rendahnya suatu pajak (bea cukai)c) Biaya Produksid) Perilaku penimbuan (Monopoli)

2) Faktor-faktor penentu Penawarana) Tingkat Permintaanb) Tingkat keuntungan relatifc) Tingkat usaha manusiad) Besarnya tenaga buruh (tingkat ketrampilan)e) Ketenangan dan Keamanan

3) Faktor-faktor penentu Permintaana) Pendapatanb) Jumlah pendudukc) Kebiasaan masyarakat (adat istiadat)d) Tingkat pembangunane) Tingkat kesejahteraan masyarakat

Dalam hal ini, pengaruh permintaan dan penawaran terhadap penentuan harga tidak begitu baik dipahami di dunia barat sampai akhir abad ke-19 dan 20. Para ekonom Inggris pra-klasik dan bahkan pendiri aliran klasik, Adam Smith, secara umum hanya menekankan pada peranan biaya produksi, khususnya peranan pekerja buruh dalam penentuan harga.

Istilah permintaan dan penawaran dalam literatur bahasa Inggris pertama kali digunakan sekitar tahun 1767, meski demikian pengaruh permintaan dan penawaran dalam penentuan harga di pasar baru dikenal pada dekade kedua di abad ke-19. Padahal Ibnu Khaldu telah menemukan pengaruh permintaan dan penawaran terhadap penentuan harga. Ia mengemukakan bahwa dalam keadaan nilai uang yang tidak berubah, kenaikan atau penurunan harga semata-mata ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan.

b. KeuntunganKeuntungan menurut Ibnu Khaldun, adalah nilai yang timbul dari kerja manusia, yang

diperoleh dari usaha untuk mencapai barang-barang dan perhatian untuk memilikinya. Oleh karena itu, kerja manusia merupakan elemen penting dalam proses produksi.

Ibnu Khaldun mengemukakan bahwa nilai sesuatu itu terletak pada kerja manusia yang dicurahkan kepadanya, atau dengan kata lain subtansi nilai itu adalah kerja, dan segala yang terpenting dalam kerja tersebut adalah pencurahan tenaga untuk memproduksi sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Khalifah

Ali ra, ”Nilai setiap orang terletak pada keahlian yang dimilikinya”. Pengertian tersebut mengartikan bahwasanya derajat seseorang ditentukan oleh ilmu yang dimilikinya.

Terdapat hubungan timbal balik antara nilai kerja dan hasil kerja produksi, ini berarti bila kualitas dan kuantitas nilai kerja menurun, maka nilai produksi pun akan menurun, begitupun sebaliknya.

Dalam konsep keuntungan menurut Ibnu Khaldun, nilai kerja menempati poin sentral dalam teori produksi, ia mengharuskan dalam setiap penentuan biaya produksi, biaya tenaga kerja harus dimasukkan kedalamnya karena dengan adanya usaha dan kerja, laba dan keuntungan akan diperoleh, dan bila tidak ada kerja maka tidak akan ada produksi.

c. Pembagian KerjaIbnu Khaldun berpendapat bahwa apabila pekerjaan dibagi-bagi diantara masyarakat

berdasarkan spesialisasi, menurutnya akan menghasilkan output yang lebih besar. Konsep pembagian kerja Ibnu Khaldun ini berimplikasi pada peningkatan hasil produksi.

Dan sebagaimana teori division of labor nya Adam Smith (1729-1790), pembagian kerja akan mendorong spesialisasi, dimana orang akan memilih mengerjakan yang terbaik sesuai dengan bakat dan kemampuannya masing-masing, hal ini akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja, pada akhirnya akan meningkatkan hasil produksi secara total.[18]

d. Keuangan PublikBerkenaan dengan keuangan publik dalam hal ini pajak, yang berfungsi sebagai sumber

utama pemasukan negara, haruslah dikelola dengan sebaik mungkin, sehingga dapat memberikan hasil yang maksimal, yang nantinya dapat digunakan untuk memperbaiki kesejahteraan sosial rakyat.

Dalam hal ini, menurut Ibnu Khaldun, keberadaan departemen perpajakan sangat penting bagi kekuasaan raja (pemerintah). Jabatan ini berkaitan dengan operasi pajak dan memelihara hak-hak negara dalam masalah pendapatan dan pengeluaran negara.

Ibnu Khaldun berpendapat dalam hal pajak, haruslah berdasarkan pemerataan, kenetralan, kemudahan, dan produktivitas.

e. Standar Kekayaan NegaraMenurut Ibnu Khaldun, kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di

negara tersebut, tetapi kekayaan suatu negara ditentukan oleh tingkat produksi domestik dan neraca pembayaran yang positif dari negara tersebut.[19] Dengan demikian, negara yang makmur adalah negara yang mampu memproduksi lebih banyak dari yang dibutuhkan, sehingga kelebihan hasil produksi tersebut diekspor, dan pada akhirnya akan menambah kemakmuran di negara tersebut.

Berikut merupakan konsep ekonomi menurut Ibnu Khaldun sebagai indikator dari kekayaan suatu negara,1) Tingkat Produk Domestik Bruto

Bila suatu negara mencetak uang dengan sebanyak-banyaknya, itu bukan merupakan refleksi dari pesatnya pertumbuhan sektor produksi (baik barang maupun jasa). Maka uang yang melimpah itu tidak ada artinya, yang membuat jumlah uang lebih banyak dibanding jumlah ketersediaan barang dan jasa.

2) Neraca Pembayaran Positif

Ibnu Khaldun menegaskan bahwa neraca pembayaran yang positif akan meningkatkan kekayaan negara tersebut. Neraca pembayaran  yang positif menggambarkan dua hal:a) Tingkat produksi yang tinggi.

Jika tingkat produksi suatu negara tinggi dan melebihi dari jumlah permintaan domestik negara tersebut, atau supply lebih besar dibanding demand. Maka memungkinkan negara tersebut melakukan kegiatan ekspor.

b) Tingkat efisiensi yang tinggiBila tingkat efisiensi suatu negara lebih tinggi dibanding negara lain, maka dengan tingkat efisiensi yang lebih tinggi maka komoditi suatu negara mampu masuk ke negara lain dengan harga yang lebih kompetitif.

f. Perdagangan InternasionalTeori Ibnu Khaldun tentang pembagian kerja (division of labor) merupakan embrio dari

teori perdagangan internasional yang berkembang pesat pada era merkantilisme di abad ke-

17. Hal itu disadari analisisnya tentang pertukaran atau perdagangan diantara negara-negara miskin dan negara kaya yang menimbulkan kecenderungan suatu negara untuk mengimpor ataupun menekspor dari negara lain. Bagi penganut paham merkantilisme, sumber kekayaan negara adalah dari perdagangan luar negeri, dan uang sebagai hasil surplus perdagangan adalah sumber kekuasaan.

Ibnu Khaldun mengatakan bahwa melalui perdagangan luar negeri, kepuasan masyarakat, keuntungan pedagang dan kekayaan negara semuanya meningkat. Dan barang-barang dagangan menjadi lebih bernilai ketika para pedagang membawanya dari suatu negara ke negara lain. Perdagangan luar negeri ini dapat menyumbang  secara positif kepada tingkat pendapatan negara lain.

Perdagangan luar negeri ini dapat menyumbang secara positif kepada tingkat pendapatan negara, tingkat pertumbuhan serta tingkat kemakmuran. Jika barang-barang luar negeri memiliki kualitas yang lebih baik dari dalam negeri, ini akan memicu impor. Pada saat yang sama produsen dalam negeri harus berhadapan dengan produk berkualitas tinggi dan kompetitif sehingga mereka harus berusaha untuk meningkatkan produksi mereka.

g. Konsep UangIbnu Khaldun secara jelas mengemukakan bahwa emas dan perak selain berfungsi

sebagai uang juga digunakan sebagai medium pertukaran dan alat pengukur nilai sesuatu. Juga pula uang itu tidak harus mengandung emas dan perak, hanya saja emas dan perak dijadikan standar nilai uang, sementara pemerintah menetapkan harganya secara konsisten. Oleh karena itu Ibnu Khaldun menyarankan agar harga emas dan perak itu konstan meskipun harga-harga lain berfluktuasi.

Berdasarkan pendapat Ibnu Khaldun diatas, sebenarnya standar mata uang yang ia sarankan masih merupakan standar emas hanya saja standar  emas dengan sistem the gold bullion standard, yaitu ketika logam emas bukan merupakan alat tukar namun otoritas moneter menjadikan logam tersebut sebagai parameter dalam menentukan nilai tukar uang yang beredar. Koin emas tidak lagi secara langsung dipakai sebagai mata uang. Dalam sistem ini, diperlukan suatu kesetaraan antara uang kertas yang beredar dengan jumlah emas yang disimpan sebagai back up. Setiap orang bebas memperjualbelikan emas, tetapi pemerintah menetapkan harga emas.

Mengenai nilai tukar mata uang, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang yang beredar di negara tersebut, tetapi oleh tingkat produksi dan neraca pembayaran yang positif. Ia menyatakan bahwa nilai uang di suatu negara merefleksikan kemampuan produksi dari negara tersebut. sehingga bila kemampuan produksinya menurun, maka nilai uangnya akan menurun, dan harga secara berkesinambungan akan meningkat, dan pada kondisi ini inflasi terjadi. Karena itu, dalam perdagangan internasional, nilai tukar uang antar negara sebenarnya tergantung pada kemampuan masing-masing negara memperoleh neraca pembayaran positif.

h. Kesejahteraan MasyarakatKesejahteraan dan pembangunan, menurut Ibnu Khaldu, bergantung pada aktivitas

ekonomi, jumlah dan pembagian tenaga kerja, luasnya pasar, tunjangan dan fasilitas yang disediakan negara, serta peralatan. Pada gilirannya tergantung pada tabungan atau surplus yang dihasilkan setelah memenuhi kebutuhan masyarakat. Semakin banyak aktivitas yang dilakukan, maka negara akan semakin besar. Pendapatan yang besar akan memberikan kontribusi terhadap tingkat tabungan yang lebih tinggi dan investasi yang lebih besar untuk peralatan dan dengan demikian akan ada kontribusi yang lebih besar di dalama pembangunan dan kesejahteraan.      Alat untuk mencapai kesejahteraan dan pembangunan yang paling utama menurut Ibnu Khaldun adalah masyarakat, pemerintah, dan keadilan. Di masyarakat, solidaritas diperlukan untuk meningkatkan kerja sama, sehingga akan meningkatkan produktivitas, solidaritas akan menguat jika ada keadilan.

8. Ibnu Thufail

Beberapa pemikiran/pendapat Ibnu Thufail, yaitu Ada dua jalan untuk mengenal Tuhan, yaitu dengan jalan akal atau dengan jalan syariat. Kedua jalan tidaklah bertentangan, karena akhir daripada filsafat adalah mengenai Allah (marifatullah).

Di dalam roman filsafatnya yang menarik itu Ibnu Thufail menggambarkan kepada manusia bahwa kepercayaan kepada Allah adalah satu bagian dari fitrah manusia yang tidak dapat disangkal dan bahwa akal yang sehat dengan memperhatikan dan merenungkan alam sekitarnya tentu akan sampai kepada Tuhan.1. Sifat Allah itu pada dua kelompok:

a. Sifat-sifat yang menetapkan wujud Zat Allah, ilmu, kudrat dan hikmah. Sifat-sifat ini adalah Zat-Nya sendiri. Hal ini untuk meniadakan ta’addud al-qudama (berbilangnya yang qadim) sebagaimana paham mu’tazilah.

b. Sifat salab, yakni sifat-sifat yang menafikan paham kebendaan dari Zat Allah. Dengan demikian, Allah suci dari kaitan dengan kebendaan.

2. Filsafat dan agama tidak bertentangan dengan kata lain, akal tidak bertentangan dengan Wahyu. Allah tidak hanya dapat diketahui dengan Wahyu, tetapi juga dapat diketahui dengan akal.Agama penuh dengan perbandingan, persamaan dan persepsi-persepsi antropomorfosis,

sehingga cukup mudah dipahami oleh orang banyak. Filsafat merupakan bagian dari kebenaran esoteris, yang menafsirkan lambang-lambang agama agar diperoleh pengertian-pengertian yang hakiki.

Walaupun Ibnu Thufail menyadari tingkatan akal manusia itu berbeda-beda Roman Hayy Ibn Yaqzhan: “Hayy pun menjadi tahu akan tingkatan-tingkatan manusia. Ia dapati” tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada diri mereka (masing-masing). “mereka menjadikan hawa nafsu mereka sebagai Ilah mereka. Dan mereka sama halnya seperti hewan yang tak berpikir. Qadimnya dunia (bumi dan alam semesta alam), hal ini bertolak belakang dengan pendapat Al-Ghazali.

9. Ibnu Rusyd

Dalam kitabnya Fash al Maqal ini, ibn Rusyd berpandangan bahwa mempelajari filsafat bisa dihukumi wajib. Dengan dasar argumentasi bahwa filsafat tak ubahnya mempelajari hal-hal yang wujud yang lantas orang berusaha menarik pelajaran / hikmah / ’ibrah darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha Pencipta. Semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang maujud atau tentang ciptaan Tuhan , maka semakin sempurnalah ia bisa mendekati pengetahuan tentang adanya Tuhan. Bahkan dalam banyak ayat-ayat-Nya Tuhan mendorong manusia untuk senantiasa menggunakan daya nalarnya dalam merenungi ciptaan-ciptaanNya.      Jika kemudian seseorang dalam pemikirannya semakin menjauh dengan dasar-dasar syar’iy maka ada beberapa kemungkinan, pertama, ia tidak memiliki kemampuan / kapasitas yang memadai berkecimpung dalam dunia filsafat , kedua, ketidakmampuan dirinya mengendalikan diri untuk untuk tidak terseret pada hal-hal yang dilarang oleh agama dan yang ketiga adalah ketiadaan pendamping /guru yang handal yang bisa membimbingnya memmahami dengan benar tentang suatu obyek pemikiran tertentu.

Oleh karena itu tidak mungkin filsuf akan berubah enjadi mul;hid, tidak mempercayai eksistensi Tuhan/ meragukan keberadaaan Tuhan, Kalaupun ia berada dalam kondisi semacam itu bisa dipastikan ia mengalami salah satu dari 3 faktor di atas, atau terdapat dalam dirinya gabungan 2 atau 3 faktor-faktor tersebut. Sebab kemmapuan manusia dalam manusia dalam menenrima kebenaran dan bertindak dalam mencari pengetahuan berbeda-beda. Ibn Rusyd berpendapat ada 3 macam cara manusia dalam memperoleh pengetahuan yakni:a) Lewat metode Khatabi (Retorika)b) lewat metode Jadali (dialektika)c) Lewat metode Burhani (demonstratif)

Metode Khatabi digunakan oleh mereka yang sama sekali tidak termasuk ahli takwil , yaitu orang-orang yang berfikir retorik, yang merupakan mayoritas manusia. Sebab tidak ad seorangpun yang berakal sehat kecuali dari elompok manusia dengan kriteria pembuktian semacam ini (khatabi).

Metode Jadali dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil dialektika. Mereka itu secara alamiyah atau tradisi mampu berfikir secara dialektikMetode Burhani dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil yaqini. Mereka itu secara alamiah mampu karena latihan, yakni latihan filsafat, sehingga mampu berfikir secara demonstratif.Konsep Ibn Rusyd Tentang Teori Penciptaan Alam

Berkaitan dengan penciptaan alam, Rusyd yang menganut teori Kausalitas (hukum sebab-akibat), berpendapat bahwa memahami alam harus dengan dalil-dalil tertentu agar dapat sampai kepada hakikat dan eksistensi alam.

Setidaknya ada tiga dalil untuk menjelaskan teori itu, kata Rusyd, yaitu:Pertama, dalil inayah yakni dalil yang mengemukakan bahwa alam dan seluruh kejadian

yang ada di dalamnya, seperti siang dan malam, matahari dan bulan, semuanya menunjukkan adanya penciptaan yang teratur dan rapi yang didasarkan atas ilmu dan kebijaksanaan. Dalil ini mendorong orang untuk melakukan penyelidikan dan penggalian yang terus menerus sesuai dengan pandangan akal fikirannya. Dalil ini pula yang akan membawa kepada pengetahuan yang benar sesuai dengan ketentuan Alquran.

Kedua, dalil ikhtira' yaitu asumsi yang menunjukkan bahwa penciptaan alam dan makhluk di dalamnya nampak jelas dalam gejala-gejala yang dimiliki makhluk hidup. Semakin tinggi tingkatan makhluk hidup itu, kata Rusyd, semakin tinggi pula berbagai macam kegiatan dan pekerjaannya. Hal ini tidak terjadi secara kebetulan. Sebab, bila terjadi secara kebetulan, tentu saja tingkatan hidup tidak berbeda-beda. Ini menunjukkan adanya pencipta yang mengatur kehidupan. Dalil ini sesuai dengan syariat Islam, dimana banyak ayat yang menunjukkan perintah untuk memikirkan seluruh kejadian alam ini.

Ketiga, dalil gerak disebut juga dalil penggerak pertama yang diambil dari Aristoteles. Dalil tersebut mengungkapkan bahwa alam semesta bergerak dengan suatu gerakan yang abadi, dan gerakan ini mengandung adanya penggerak pertama yang tidak bergerak dan berbenda, yaitu Tuhan.

Menurut Rusyd, benda-benda langit beserta gerakannya dijadikan oleh Tuhan dari tiada dan bukan dalam zaman. Sebab, zaman tidak mungkin mendahului wujud perkara yang bergerak, selama zaman itu kita anggap sebagai ukuran gerakannya. Jadi gerakan menghendaki adanya penggerak pertama atau sesuatu sebab yang mengeluarkan dari tiada menjadi wujud. Rusyd yang juga dikenal sebagai 'pelanjut' aliran Aristoteles ini, menilai bahwa substansi yang lebih dahulu itulah yang memberikan wujud kepada substansi yang kemudian tanpa memerlukan kepada pemberi form (Tuhan) yang ada di luarnya.

Polemik hebat keduanya misalnya dalam masalah bangkitnya kembali manusia setelah meninggal. Menurut Rusyd, pembangkitan yang di maksud kaum filsuf adalah pembangkitan ruhy, bukan jasmani. Pandangan ini berakar dari filsafat mereka tentang jiwa. Bagi Rusyd, juga kaum filosof lainnya, yang penting bagi manusia adalah jiwanya. Kebahagiaan dan ketenangan hakiki adalah kebahagiaan jiwa. Sedang bagi Al Ghazali, kebangkitan kembali manusia tak hanya secara ruh, tapi juga jasmaniyah.

Rusyd juga mengajari kita bagaimana membangun rules of dialogue, dalam kaitan memahami 'orang lain' di luar kita. Teorinya ini ia dasarkan pada tiga prinsip epistemologis, yaitu:

Pertama, keharusan untuk memahami 'yang lain' dalam sistem referensinya sendiri. Dalam kasus ini, terlihat dari penerapan metode aksiomatik dalam menafsirkan diskursus filosofis ilmu-ilmu Yunani.

Kedua, dalam kaitan relasi kita dengan barat, adalah prinsip menciptakan kembali hubungan yang subur antara dua kutub dengan mengedepankan hak untuk berbeda. Ibnu Rusyd membela pendapat bahwa tidak ada kontradiksi antara kebenaran agama dan filsafat, tapi terjadi harmoni di antara keduanya. Harmoni tidak berarti sama dan identik. Karena itu, hak untuk berbeda harus dihargai.

Ketiga, mengembangkan sikap toleransi. Rusyd menolak cara-cara Al Ghazali menguliti para filosof tidak dengan tujuan mencari kebenaran. "Tujuan saya," kata Al Ghazali, "adalah mempertanyakan tesis mereka dan saya berhasil." Ibnu Rusyd menjawab, "Ini tidak sewajarnya dilakukan oleh orang terpelajar karena tujuan orang terpelajar tak lain adalah mencari kebenaran dan bukan menyebarkan karaguan."

Terlepas dari perbedaan itu, betapapun Ibnu Rusyd telah mengajarkan kita prinsip dan nilai-nilai beragama yang rasional, toleran, dan ramah. Pengalaman dan pelajaran yang baik di masa lalu itu pula yang pernah mengantarkan kejayaan Islam di abad pertengahan.