Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam...

37
57 BAB IV PELAKSANAAN H{ISAB dan RU’YAH DI INDONESIA A. Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesia Pada dasarnya, persoalan h}isab ru’yah tidak hanya meliputi persoalan penentuan awal bulan Qamariyah (dalam hal ini penentuan awal Ramadhan, Shawal, dan Dhulhijjah). 1 Namun karena persoalan penentuan awal bulan Qamariyah ini lebih mempunyai gereget -lebih berpotensi menimbulkan perbedaan- maka wajar jika persoalan h}isab ru’yah lebih identik dengan persoalan awal bulan Qamariyah tersebut daripada persoalan lainnya. Berpijak pada alur logika tersebut, penulis memfokuskan pembahasan ini pada pemikiran (h}isab ru’yah) penentuan awal bulan Qamariyah (dalam hal ini awal Ramadhan dan Shawal). Akar perbedaan pemikiran h}isab ru’yah di Indonesia pada dasarnya tidak berbeda dengan akar perbedaan pemikiran para fuqaha’ (terdahulu), yakni perbedaan pemahaman Al-Qur’an dan hadith-hadits h}isab ru’yah. 2 1 Di antara kedua belas bulan Hijriyah yang paling mendapat perhatian umat Islam adalah Ramadlan, Syawal, Dzulhijjah, sebab di dalamnya terdapat kewajiban berpuasa dan haji atas umat Islam. Lihat Q.S. al-Baqarah: 185 dan 197. Penetapan awal bulan Hijriyah selain ketiga bulan tersebut dapat dipakai hisab. Karena dalam hal ini tidak diperlukan ithba>t al-Qad}i. Penetapan bulan ini semata-mata untuk perhitungan waktu, tidak benar-benar untuk kepentingan ibadah. Baca Imam Abu al-Hayan, Al-ah}r al-Muh}it} Jilid II (Kairo: Beirut, t.th), 62. 2 Secara redaksional, dalam Al-Qur’an tidak ada ayat yang secara tegas menerangkan kewajiban pemakaian metode penetapan awal bulan Qamariyah. Namun sangat banyak ditemukan hadits- hadits hisab ru’yah yang secara redaksional berbeda-beda, tetapi esensinya tidak jauh berbeda. Sebagaimana hadith riwayat Abu Dawud dan Aishah r.a.: ‚Nabi saw sangat memerhatikan (akhir) bulan sha’ban melebihi bulan-bulan yaang lain kemudian beliau berpuasa karena melihat (hila>l) Ramadlan. Apabila hila>l terhalang awan, beliau menghitung bilangan bulan menjadi 30 hari, selanjutnya beliau berpuasa.‛ Lihat Abu H{usain Muslim bin al-H{ajjaj, S{ah}ih} Muslim (Kairo: Dar al-Fikr, t.th), 481. Bandingkan Muhammad bin Isma’il al-Bukhari>, Matan al-

Transcript of Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam...

Page 1: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

57

BAB IV

PELAKSANAAN H{ISAB dan RU’YAH DI INDONESIA

A. Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesia

Pada dasarnya, persoalan h}isab ru’yah tidak hanya meliputi persoalan

penentuan awal bulan Qamariyah (dalam hal ini penentuan awal Ramadhan,

Shawal, dan Dhulhijjah).1 Namun karena persoalan penentuan awal bulan

Qamariyah ini lebih mempunyai gereget -lebih berpotensi menimbulkan

perbedaan- maka wajar jika persoalan h}isab ru’yah lebih identik dengan

persoalan awal bulan Qamariyah tersebut daripada persoalan lainnya.

Berpijak pada alur logika tersebut, penulis memfokuskan pembahasan ini

pada pemikiran (h}isab ru’yah) penentuan awal bulan Qamariyah (dalam hal

ini awal Ramadhan dan Shawal).

Akar perbedaan pemikiran h}isab ru’yah di Indonesia pada dasarnya

tidak berbeda dengan akar perbedaan pemikiran para fuqaha’ (terdahulu),

yakni perbedaan pemahaman Al-Qur’an dan hadith-hadits h}isab ru’yah.2

1 Di antara kedua belas bulan Hijriyah yang paling mendapat perhatian umat Islam adalah

Ramadlan, Syawal, Dzulhijjah, sebab di dalamnya terdapat kewajiban berpuasa dan haji atas

umat Islam. Lihat Q.S. al-Baqarah: 185 dan 197. Penetapan awal bulan Hijriyah selain ketiga

bulan tersebut dapat dipakai hisab. Karena dalam hal ini tidak diperlukan ithba>t al-Qad}i. Penetapan bulan ini semata-mata untuk perhitungan waktu, tidak benar-benar untuk

kepentingan ibadah. Baca Imam Abu al-Hayan, Al-ah}r al-Muh}it} Jilid II (Kairo: Beirut, t.th), 62. 2 Secara redaksional, dalam Al-Qur’an tidak ada ayat yang secara tegas menerangkan kewajiban

pemakaian metode penetapan awal bulan Qamariyah. Namun sangat banyak ditemukan hadits-

hadits hisab ru’yah yang secara redaksional berbeda-beda, tetapi esensinya tidak jauh berbeda.

Sebagaimana hadith riwayat Abu Dawud dan Aishah r.a.: ‚Nabi saw sangat memerhatikan

(akhir) bulan sha’ban melebihi bulan-bulan yaang lain kemudian beliau berpuasa karena melihat

(hila>l) Ramadlan. Apabila hila>l terhalang awan, beliau menghitung bilangan bulan menjadi 30

hari, selanjutnya beliau berpuasa.‛ Lihat Abu H{usain Muslim bin al-H{ajjaj, S{ah}ih} Muslim (Kairo: Dar al-Fikr, t.th), 481. Bandingkan Muhammad bin Isma’il al-Bukhari>, Matan al-

Page 2: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

58

Hanya saja dalam wacana pemikiran h}isab ru’yah di Indonesia, ragam

pemikirannya lebih majemuk dibanding ragam pemikiran dalam wacana

h}isab ru’yah pada kalangan para fuqaha’ (terdahulu). Hal ini karena

persentuhan Islam sebagai great tradition dengan budaya lokal atau little

tradition yang sering menimbulkan corak budaya tersendiri di luar dugaan.

Dalam konteks ini disebut paham keislaman yang bersifat lokal, seperti

Islam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java.3 Fenomena

semacam inilah yang sering melahirkan pemikiran tersendiri, dalam

pemikiran h}isab ru’yah seperti pemikiran h}isab rukyah oboge atau asapon.4

Pemikiran-pemikiran h}isab ru’yah di Indonesia tersebut di antaranya:

1. Pemikiran H{isab Ru’yah Madhhab Tradisional ‘ala Islam Jawa

Pemikiran ini sering disebut dengan pemikiran aboge yakni cara

penentuan awal Ramadlan, Shawal, dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

pada perhitungan tahun Jawa lama (khuruf aboge) dan ru’yah al-Hila>l

(observasi dengan mata telanjang saat tenggelamnya matahari).5

Dalam pemikiran aboge ada beberapa prinsip utama, yakni,

pertama, prinsip penentuan tanggal selain berdasarkan kalender Hindu-

Bukhari (Mesir: Dar Ih}ya’ al-‘Arabiyah, t.th), 327. Bandingkan juga Muhammad ‘Ali bin

Muhammad al-Shaukani>, Nail al-Aut}a>r, Jilid IV (Bierut: Dar al-Fikr, t.th ), 262. 3 Mengenai pemikiran Islam jawanya Geertz dapat dibaca dalam Clifford Geertz, Abangan, santri, priyayi dalam Masyarakat jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981).

4 Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyah (Jakarta: Erlangga, 2002), 82.

5 Menurut penelitian Andy Ahmad Zaelany, bahwa penentuan hari raya lebaran secara tradisional

‘ala Islam jawa sudah dikenal lama oleh masyarakat Jawa. Hampir semua masyarakat

mengenalnya-atau paling tidak mendengarnya- sebagaimana ynag dipraktikkan oleh penduduk

yang tinggal di Dusun Golak, terletak di Desa Genteng Kecamatan Ambarawa Semarang Jawa

Tengah. Hasil penelitian ini dapat dilihat dalam Andy Ahmad Zaelany, Menentukan Hari Lebaran Ala Islam Jawa Kasus Dusun Golak, Ambarawa (Jurnal Ulumul Qur’an, vol. vI, 1996),

62-70.

Page 3: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

59

Muslim-Jawa, adalah dina niku tukule enjing lan ditanggal dalu (hari itu

lahirnya pagi dan diberi tanggal malam harinya).

Kedua, bahwa jumlah hari dari bulan puasa menurut cara

perhitungan aboge selalu genap 30 hari, tidak pernah 29 hari seperti pada

cara perhitungan hari falak (versi pemerintah). Adapun istilah aboge

dapat dirinci bahwa a berasal dari alip, salah satu dari delapan tahun

siklus windu, bo mengacu pada rebo (hari Rabu), dan ge berasal dari

wage, salah satu dari hari pasaran yang lima. Ini berarti pada tahun Alip

selalu dimulai pada hari Rabu Wage, dengan mengetahui ini maka akan

dapat menghitung hari jatuh riyaya (hari lebaran) setiap tahun.

Cara yang lebih singkat adalah mengambil hari permulaan tahun (1

Sura) dan menggunakan rumus waljiro. Wal adalah bulan Shawal, ji

berarti tanggal siji (satu), dan ro adalah berarti loro (dua), yaitu hari

pasarannya. Ini berarti bahwa hari lebaran jatuh pada tanggal 1 Shawal

dihitung dengan menghitung satu dari hari mingguan dan dua hari pasaran

pada permulaan tahun. Misalnya, kalau permulaan tahun itu ehe, dan

tanggal satu Sura pada hari Ngahad Pon, maka hari lebaran akan jatuh

pada hari Ngahad wage.6

Ketiga, dalam penentuan awal bulan Ramadlan dan awal bulan

Shawal digunakan istilah pletek7 yang berarti terbukti atau semua

6 Clifford Greetz, Abangan…510. Dan bandingkan juga dengan Slamet Hambali, Almanak Sepanjang Masa (Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 1978), 7-10.

7 Istilah pletek disini dapat dikaitkan dengan prinsip yang pertama, yaitu bahwa tanggal dihitung

mulai Maghrib hari itu. Semisal hari lebaran nasional jatuh pada hari Kamis, sekitar pukul 18.00

yang ditandai dengan takbiran dan sesajen. Adapun shalat Id diselenggarakan keesokan harinya,

Page 4: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

60

masyarakat telah melihat bulan dengan mata telanjang, sebagaimana

dasar dari hadith-hadith h}isab ru’yah. Sehingga wajar jika pengikut

pemikiran ini memulai puasa atau lebaran selalu setelah satu hari dari

penetapan Pemerintah. Sebagaimana hasil penelitian Andy Ahmad

Zaelany, bahwa pemikiran h}isab ru’yah madhhab tradisional ‘ala Islam

Jawa selama ini sebagaimana yang dipraktikkan di masyarakat Dusun

Golok Desa Genteng Kecamatan Ambarawa Semarang Jawa Tengah.8

Namun jika ditilik dari perjalanan historisnya pemikiran h}isab

ru’yah madhhab tradisional ‘ala Islam Jawa ini ternyata berasal dari

pemikiran h}isab ru’yah (kalender) Saka9 yang diperbaharui oleh Sultan

Agung Hanyokrokusumo,10

yakni disesuaikan dengan perhitungan lunar

(Qamariyah) dan tidak lagi menggunakan sistem perhitungan solar

(Shamsiyah). Peralihan tersebut terjadi pada tanggal 1 Sura tahun Alip

1555 (tahun Jawa) yang bertepatan dengan tanggal 8 Juli 1633 M yakni

hari jumat Legi.11

Dari tahun 1633 M sampai sekarang, kalender ini sudah

yakni Jumat pagi. Perbedaan ini bisa menjadi dua hari bila bulan Ramadlan hanya 29 hari. Hal

ini karena dalam kalender Hijriyah-Jawa bulan puasa selalu berjumlah 30 hari. Lihat Andy

Ahmad Zaelany, Menentukan Hari Lebaran,...67. 8Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyah,...84.

9 Saka secara bahasa Jawa berarti perbuatan, berasal dari kata Sansekerta Syaka yang berarti

bangsa Seyth. Sedangkan menurut kamus Jawa Kuno (Kawi): saka atau sakabda yaang berarti

tahun saka (mulai tahun 76 M oleh Sahwaha), yakni perhitungan menurut perjalanan matahari,

atau dalam arti tahun Hindu yang dimulai bertahtanya Adji Saka. Lihat C.C. Berg, Penulisan Sejarah Jawa, Terj. S. Gunawan (Jakarta: Bratara Karya Aksara, 1985), 93. Bandingkan L.

Wardiwarsito, Kamus Jawa Kuno (Kawi)-Indonesia (Jakarta: Nusa Indah, 1978), 330.

Bandingkan juga S. Prawiro Atmojoyo, Bausastra Jawa-Indonesia, Jilid II (Jakarta: Masagung,

1980), 158-159. 10

Sri Sultan Muhammad Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo adalah Raja pada Kerajaan

Mataram II pada tahun 1613-1645 M, lihat MUI Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalender Islam Sultan Agung adalah Kalender Nasional (Yogyakarta: Offset, 1987), 12.

11 Kartono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa Perpaduannya Dengan Islam (Yogyakarta:

Aditya Media, 1995), 200.

Page 5: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

61

3 kali mengalami penyesuaian, sehingga sampai sekarang kalender ini

sudah mengalami perubahan empat kali dasar permulaan awal tahun,

yakni mulai dengan pemikiran h}isab ru’yah ajumgi (tahun Alip mulai

pada hari Jumat Legi), kemudian akawon (tahun Alip mulai pada hari

Kamis Kliwon), kemudian aboge (tahun Alip mulai pada hari Rabu

Wage), kemudian asapon (tahun Alip mulai pada hari Selasa Pon).12

Metode yang terakhir inilah (pemikiran asapon) yang sampai sekarang ini

dipegang oleh mayoritas umat Islam Jawa (Kejawen) terutama dikalangan

lingkungan Keraton Yogyakarta.13

Dari realita tersebut, tampak bahwa sampai saat ini ternyata tidak

hanya pemikiran aboge saja yang hidup di masyarakat, namun pemikiran

asapon yang notabene merupakan pemikiran h}isab ru’yah madhhab

tradisional yang terbaru juga hidup di masyarakat. Malahan menurut

perhitungan kalender Jawa, pemikiran aboge sudah harus diganti dengan

pemikiran asapon.14 Tetapi dalam dataran realitas ternyata pemikiran

aboge masih berlaku juga dikalangan umat Islam Jawa.

2. Pemikiran H{isab Ru’yah Madhhab Ru’yah

Dalam wacana h}isab ru’yah di Indonesia, Madhhab Ru’yah ini

selalu diidentikkan dengan pemikiran h}isab ru’yah Nahdlatul Ulama.15

12

Prinsip perhitungan kalender Jawa, baik pemikiran ajumgi, akawon, aboge, dan asapon, pada

dasarnya sama, hanya berbeda dalam penentuan awal tahun Alipnya. 13

Tjokorda Ria Sudharta, I Gusti Oka Hermawan, W.Winda Winaban, Kalender 301 Tahun (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), 22.

14 H. G. Den Hollander, Beknopt Leerboekje der Cosmografie, Terj. I Made Sugita (Jakarta: J.B.

Wolters Groningen, 1951), 81-83. 15

Hanya karena pemikiran secara institusi yang lebih dikenal dan karena Nahdlatul Ulama

merupakan organisasi kemasyarakatan yang besar di Indonesia, maka pemikirannya menjadi

Page 6: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

62

Namun pengidentikan ini kiranya tidak dapat diterima seratus persen

kebenarannya. Karena pada dasarnya dalam Madhhab Ru’yah terdapat

beberapa madhhab kecil yang mempunyai perbedaan-perbedaan yang

prinsipil, dan Nahdlatul Ulama sendiri termasuk salah satu dari madhhab

kecil tersebut. Madhhab-madhhab kecil tersebut muncul karena adanya

perbedaan pemahaman term ru’yah. Di antaranya dalam hal:16

a. Pemahaman Mat}la’17

Ada pendapat yang menyatakan bahwa h}asil ru’yah disuatu

tempat berlaku untuk seluruh dunia. Hal ini dengan argumentasi bahwa

khit}ab dari hadith-hadith h}isab ru’yah ditujukan pada seluruh umat

Islam di dunia, tidak dibedakan oleh perbedaan geografis dan batas-

batas daerah kekuasaan. Pemikiran inilah yang terkenal dengan ru’yah

internasional yang dipegang oleh Komisi Penyatuan Kalender Hijriah

Internasiaonal, dimana dalam konteks keindonesiaan diwakili oleh

kelompok Hizbut Tahrir.18

Pendapat lain menyatakan bahwa h}asil ru’yah di suatu tempat

hanya berlaku bagi suatu daerah kekuasaan hakim yang meng-ithba>t-

kan h}asil ru’yah tersebut. Pemikiran ini terkenal dengan ru’yah fi al-

wila>yah al-h}ukmi sebagaimana pemikiran yang selama ini dipegang

(terkesan) membesar dan mendominasi dalam pemikiran Madhhab Ru’yah, sehinggah

menggelembung dan tersimbolkan sebagai (satu-satunya) Madhhab Ru’yah di Indonesia. 16

B. J. Habibie, Ru’yah Dengan Teknologi (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), 14-16. 17

Mat}la’ adalah tempat terbitnya benda-benda langit, dalam bahasa Inggris disebut Rising Place.

Sementara itu dalam istilah falak, mat}la’ adalah batas daerah berdasarkan jangkauan dilihatnya

hilal atau dengan kata lain mat}la’ adalah batas geografis keberlakuan ru’yah. Susiknan Azhari,

Ensiklopedi Hisab Rukyat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 139. 18

Hizbut Tahrir adalah jamaatul Muslimin Hisbullah yang mengampanyekan Daulah Islamiyyah.

Wali al-Fatah, Khila>fah ‘Ala> Minh}a>j al-Nubuwwah (Jakarta: al-Jama’ah, 1990), 83.

Page 7: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

63

oleh Nahdlatul Ulama secara institusi. Penulis memberi qayyid

Nahdlatul Ulama secara institusi atau struktural, karena dalam

Nahdlatul Ulama secara kultural terdapat pemikiran yang beragam dan

demokratis.19

Selain itu juga ada pendapat hanya memberlakukan

ru’yah sebatas pada daerah yang dianggap memang memungkinkan

adanya ru’yah tersebut. Dalam konteks keindonesiaan, pemikiran ini

kiranya tidak berkembang, dan kalaupun ada mungkin hanya pada

perorangan saja.

b. Pemahaman Keadilan

Hal ini sebenarnya tidak hanya murni permasalahan ru’yah,

namun juga sangat terkait dengan permasalahan h}isab. Karena

penilaian bahwa seseorang ‚adil‛ dalam hal melihat hila>l sangat

berkaitan dengan perhitungan hisab di mana hila>l itu dilihat. Apa yang

dicontohkan Abdullah Taufik20

dalam kasus 1 shawal 1412, 1413, dan

1424 H merupakan kasus tersebut, dimana laporan ru’yah tidak dapat

diterima karena masih di bawah ufuk21. Kemudian tahun 1418 H juga

19

Sisi demokratisnya tampak dari adanya kebebasan warga NU dalam memegang pemikiran

h}isab ru’yah, sebagaimana banyak pesantren yang notabene basis NU, namun memegang

pemikiran hisab murni, seperti Pondok Pesantren al-Falah Ploso Mojo Kediri. Di samping

memang NU sendiri memberi kebebasan berfikir dalam hal ini, selama tidak difatwakan kepada

masyarakat awam, lihat Abdul Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Nahdlatul Ulama (Hasil Muktamar dan Munas Ulama ke-1 th. 1926 sampai dengan ke-29 th. 1994), (Surabaya: PP RMI

bekerjasama dengan Dinamika Pres, 1997), 301. 20

Wakil ketua Mahkama Agung dimasa pemerintahan Gus Dur ketika masih menjabat sebagai

Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam dalam setiap menyampaikan makalahnya

dalam forum Orientasi Tenaga teknisi H{isab Ru’yah yang diselenggarakan ileh PTA se-Indonesia

selama ini. 21

Ufuk adalah kaki langit (horison), yaitu lingkaran besar yang membagi bola langit menjadi dua

bagian yang sama (bagian langit yang kelihatan dan bagian langit yang tidak kelihatan).

Lingkaran ini menjadi batas pemandangan mata seseorang. Tiap-tiap orang yang berlainan

Page 8: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

64

terulang lagi, hanya saja terdapat perbedaan, yakni untuk 1418 pada

waktu itu semua sistem sepakat bahwa pada saat matahari terbenam

tanggal 28 Januari 1998 hila>l awal Shawal sudah wujud (di atas 0-1,5

derajat), tetapi belum imka>n al-Ru’yah (dapat dilihat). Berkaitan

dengan itu, Muker H{isab Ru’yah tahun 1996, 1997, dan 1998 belum

dapat memutuskan awal Syawal 1418 berdasarkan perhitungan yang

ada, dan pada akhir Ramadlan tersebut memang ada laporan ru’yah

dari Bawean dan Cakung, tetapi ditolak oleh Menteri Agama setelah

memerhatikan pendapat sebagian besar peserta sidang ithba>t. Dalam

sidang tersebut, diantara ormas Islam hanya Muhammadiyah yang

meminta supaya laporan kesaksian tersebut diterima, dan yang lain

menolak dengan alasan belum imka>n al-Ru’yah.22

Berangkat dari permasalahan madhhab-madhhab kecil dalam

wacana h}isab ru’yah di Indonesia tersebut, menurut penulis, hal ini

merupakan jelmaan dari ragam pemikiran Madhhab Ru’yah pada

kalangan fuqaha>’ terdahulu.23

3. Pemikiran H{isab Ru’yah Madhhab H{isab

Sebagaimana dalam pemikiran Madhhab Ru’yah, dalam Madhhab

H{isab pun terdapat ragam pemikiran madhhab-madhhab kecil sebagai

tempat, berlainan pula kaki langitnya. Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 223.

22 Mengenai keputusan Menteri Agama tentang penetapan 1 Shawal tahun 1412, 1413, 1414, dan

1418 H dapat dilihat dalam Depag, Himpunan Keputusan Menteri Agama tentang Penetapan Tanggal 1 Ramadlan dan Shawl Tahun 1381-1418 H/1962-1997 M.

23 Mengenai ragam pemikiran Madhhab Ru’yah pada kalangan fuqaha>’ dapat dilihat tuntas dalam

Syihabuddin Ahmad bin H{ajar al-Haitami>, Tuh}fah al-Muhta>j, Jilid III (Kairo: eirut, t.t), 382.

Dan lihat juga Abdul Hamid al-Sharwani>, H{ashiyyah al-Sharwan>ni>, Jilid III (Kaairo: eirut, t.t),

332.

Page 9: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

65

dampak dari adanya perbedaan sistem yang dipakai atau yang dipegangi.

Di Indonesia, sistem h}isab yang berkembang pada dasarnya banyak sekali,

hanya saja jika ditilik dari dasar pijakannya, ia terbagi dalam dua macam

yakni hisab ‘urfi24 dan hisab h}aqi>qi>25.

Hisab ‘urfi dalam konteks keindonesiaan diwakili oleh pemikiran

h}isab ru’yah madhhab tradisional ‘ala Islam Jawa yang terekam dalam

sistem aboge dan sistem asapon. Sedangkan hisab h}aqi>qi> dapat dilihat

dari pendirian yang mendasarkan pada ijtima>’, yakni sistem yang

berpendapat bahwa hakikat bulan Qamariyah itu dimulai sejak terjadinya

ijtima>’. Hal ini dalam kalangan pemikir hisab terkenal dengan istilah

ijtima>’ al-Nayyirain ithba>tun baina al-Shahrain, dan ini sesuai dengan

ketentuan astronomi bahwa konjungsi merupakan batas antar dua lonar

months. Oleh karena ijtima>’ itu hanya terjadi sekali dalam sebulan dan

tidak ada hubungannya dengan tempat-tempat di muka bumi, maka waktu

ijtima>’ dapat dialami secara berlainan menurut perhitungan waktu

setempat. Ijtima>’ bisa terjadi pada pagi hari di suatu tempat, dan di saat

yang sama terjadi pada siang hari atau malam hari di tempat lain. Oleh

karena itu, dalam praktiknya awal bulan Qamariyah ditetapkan

berdasarkan ijtima>’ yang terjadi sebelum matahari terbenam atau sebelum

24

H{isab ‘urfi adalah sistem hisab penentuan awal bulan Qamariyah yang didasarkan pada waktu

rata-rata peredaran bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional. Sistem hisab

ini dimulai sejak ditetapkan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra (17 H) sebagai acuan untuk

menyusun kalender Islam abadi. Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2012), 79. Lihat juga Muhammad Nur, Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariah (Jakarta: Depag RI, 1983), 7.

25 H{isab h}aqi>qi> adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang

sebenarnya. Menurut sistem ini umur tiap bulan tidaklah konstan dan juga tidak beraturan,

melainkan tergantung posisi hilal setiap awal bulan. ibid,.7.

Page 10: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

66

tengah malam, atau sebelum terbit fajar, sesuai dengan perbedaan cara

pandang tentang kapan dimulainya hari.

Ada juga sistem h}isab yang mendasarkan pada posisi hila>l, yakni

penentuan awal bulan Qamariyah tidak hanya didasarkan pada ijtima>’

melainkan harus diperhatikan posisi hila>l di atas ufuk saat terbenam

setelah terjadinya ijtima.’.

Dalam sistem ini terbagi menjadi tiga yakni:

a. Sistem yang berpedoman pada ufuk haqiqi yakni ufuk yang berjarak 90

derajat dari titik zenith. Prinsip utama dalam sistem ini adalah sudah

masuk bulan baru, bila hasil hisab menyatakan hila>l sudah di atas ufuk

haqiqi (positif) walaupun tidak imka>n al-Ru’yah. Sehingga sistem ini

dikenal dengan sistem hisab wuju>d al-Hila>l sebagaimana prinsip yang

dipegang oleh Muhammadiyah secara institusi.26

b. Sistem yang berpedoman pada ufuk mar’i, yakni ufuk haqiqi dengan

mempertimbangkan refraksi(bias cahaya) dan tinggi tempat observasi,

sebagaiman pendapat yang dipegang madhhab kecil (kalender) Menara

Kudus.27

c. Sistem yang berpedoman pada imka>n al-Ru’yah, jadi meskipun posisi

hila>l sudah wujud di atas ufuk haqiqi atau mar’i, awal bulan Qamariyah

26

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan majlis tarjih Muhammadiyah, cet. III, t.t.,

291-292. Lihat juga Oman Fathurrahman, Penentuan Awal Ramadhan dan Syawal 1418/1998 yang disampaikan dalam acara lokakarya imsakiyyah PPM IAIN Walisongo Semarang, 20

November 1997. 27

Pendapat ini dipegang oleh ulama kharismatik (almarhum) KH. Turaihan Kudus yang begitu

disegani dan banyak pengikutnya, baca Slamet Hambali, Penentuan 1 Syawal 1414 H/1994 M, dalam al-Ahkam No. 10, Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 1993.

Page 11: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

67

masih tetap belum dapat ditetapkan, kecuali apabila hila>l sudah

mencapai posisi yang dinyatakan dapat dilihat.

Mengenai sistem imka>n al-Ru’yah, pada bulan Maret 1998 para

ulama ahli h}isab dan ru’yah dan para perwakilan organisasi masyarakat

Islam mengadakan musyawarah kriteria imka>n al-Ru’yah untuk

Indonesia. Di mana keputusan musyawarahnya baru dihasilkan pada

tanggal 28 September 1998. Keputusannya adalah :

1. Penentuan awal bulan Qamariyah didasarkan pada sistem h}isab h}aqi>qi>

tah}qi>qi> dan atau ru’yah.

2. Penentuan awal bulan Qamariyah yang terkait dengan pelaksanaan

ibadah mahd}ah, yaitu awal Ramadlan, Shawal, dan Dzulhijjah

ditetapkan dengan memperhitungkan hisab h}aqi>qi> tah}qi>qi dan ru’yah.

3. Kesaksian ru’yah dapat diterima apabila ketinggian hila>l 2 derajat dan

jarak ijtima>’ ke ghuru>b matahari minimal 8 jam.

4. Kesaksian ru’yah hila>l tidak dapat diterima apabila ketinggian hila>l

kurang dari 2 derajat, maka awal bulan ditetapkan berdasarkan

istikma>l.

5. Apabila ketinggian hila>l 2 derajat atau lebih, awal bulan dapat

ditetapkan.

6. Kriteri imka>n al-Ru’yah tersebut di atas akan dilakukan penelitian

lebih lanjut.

7. Menghimbau kepada seluruh pimpinan organisasi ke masyarakat Islam

untuk menyosialisasikan keputusan ini.

Page 12: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

68

8. Dalam melaksanakan ithba>t, pemerintah mendengarkan pendapat-

pendapat dari organisasi kemasyarakatan Islam dan para ahli.

Dalam menanggapi ketetapan tersebut, walau sudah disepakati

adanya batasan minimal imka>n al-Ru’yah, namun ternyata belum

disepakati tentang boleh dan tidaknya penetapan awal bulan dengan

berpedoman pada imka>n al-Ru’yah. Nahdlatul Ulama tidak

membolehkannya, sementara Muhammadiyah juga masih berpegang pada

hisab wuju>d al-Hila>l.

Walaupun dalam Muker 1999/2000, baik Nahdlatul Ulama

maupun Muhammadiyah menyatakan akan membahas masalah kriteria

imka>n al-Ru’yah tersebut pada muktamarnya masing-masing, namun

sampai sekarang mereka masih juga berpegang pada prinsip masing-

masing. Sehingga saat ini sistem imka>n al-Ru’yah terkesan sebagai

madhhab Pemerintah.

Oleh karena itu, dengan melihat fenomena semacam itu, kiranya

wajar jika di Indonesia selama ini sering terjadi perbedaan dalam

penetapan awal dan akhir Ramadlan serta awal Dhulhijjah.

B. Dinamika Penetapan Awal Ramadhan dan Hari Raya ‘Idul Fitri di Indonesia

Persoalan penentuan hila>l bulan Ramadlan dan Syawal/Hari Raya

„Idul Fitri yang diterima sebagai bentuk ritus ajaran agama Islam yang

bersumber dari hadits Nabi Saw., dimana realitanya mengandung polemik di

beberapa kalangan umat Islam. Hal semacam ini berimplikasi menjadi sebuah

persoalan yang dilematis dan sering kali menimbulkan perbedaan pendapat

Page 13: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

69

sehingga menyisakan permusuhan antar umat Islam itu sendiri. Keadaan ini

semakin memebingungkan terlebih bila satu sama lain kelihatan kontras

dalam perbedaan bahkan kadang saling menyingkirkan satu sama lain.

Kontroversi semacam ini akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia,

seperti yang baru-baru ini terjadi pada penentuan awal Ramadlan dan „Idul

Fitri tahun 1430 H. Sebagian umat Islam ada yang memulai awal Ramadlan

hari Jum‟at (21/8/09) dan melaksanakan shalat „Id pada Sabtu (19/9/09)

seperti yang dilakukan oleh jama‟ah Istighosah al-„Ainul Bāhirah desa Keras

kecamatan Diwek Jombang, ada yang memulai awal Ramadlan hari Sabtu

(22/08/09) dan berlebaran Minggu (20/9/09) sebagaimana yang dilakukan

mayoritas umat Islam Indonesia sesuai dengan ketetapan sidang itsbat

pemerintah, sementara itu ratusan jama‟ah Tariqah Naqsabandiyah

Chalidiyah al-'Aliyah yang berpusat di Dusun Kapas, Desa Dukuhklopo

Peterongan Jombang memulai awal puasa hari Minggu (23/08/09) dan

berlebaran Senin (21/9/09).28

Sedangkan umat Islam penganut Aboge (Alif

Rabo Wage) di Probolinggo dan Pasuruan yang menggunakan hitungan

kalender Jawa melaksanakan shalat „Id pada hari Selasa (22/9/09).29

Hal ini

mestinya tidak terjadi apabila para Ulama yang menjadi panutan Umat bisa

memahami dan mengamalkan syari‟at dengan benar.

Umat Islam yang berhari raya berdasarkan keyakinan tidak

menggunakan metode h}isab dan ru‟yah seperti yang dilakukan oleh jama‟ah

Istighosah al-„Ainul Bāhirah desa Keras kecamatan Diwek Jombang dan

28

‚Tiga Kali Shalat ‘Id di Hari Berbeda‛, Jawa Pos, 22 September 2009, 9. 29

‚Aboge Baru Berlebaran Kemarin‛, Jawa Pos, 23 September 2009, 9.

Page 14: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

70

yang menggunakan hitungan kalender jawa seperti penganut Aboge serta

berdasarkan h}isab wujud al-H{ilal ataupun klaim ru‟yah, tidak memiliki dasar

yang kuat bahkan juga tidak memiliki argumentasi syar‟i yang

diperhitungkan. Mereka salah, karena tidak merujuk pada pendapat ulama

terdahulu yang berpegang pada Al-Qur‟an dan Sunnah. Ada tiga sisi

kesalahan yang mereka lakukan, yaitu: tidak mentaati pemimpin,

bertentangan dengan hasil h}isab falak qath’i, dan mengabaikan persatuan

umat.30

1. Tidak Mengikuti Keputusan Pemerintah

Sejak masa awal-awal Islam puasa Ramadlan dan Hari Raya 'Idul

Fitri ditentukan dengan penetapan seorang Hakim. Hal ini berlaku hingga

sekarang, begitu juga dengan penentuan awal bulan Dzulhijjah untuk

menetapkan hari wukuf di Arafah, dan inilah kebiasaan yang dilakukan

oleh Muslimin.31

Hal ini berbeda dengan kebiasaan yang terjadi di Indonesia.

Penetapan bulan Ramadlan dan Syawal merupakan wewenag pemerintah.

Tidak seorang atau organisasipun yang berhak menetapkan awal bulan,

meskipun penetapan itu dibungkus dengan istilah pemberitahuan.

Demikian pula, tidak seorangpun boleh berseberangan dengan keputusan

pemerintah, karena hal itu akan menimbulkan fitnah dan perpecahan umat.

Hal inilah yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia. Beberapa ayat Al-

30

Moh. Najib Buchori, http ://www.ppalanwar.com/news/5/63/mensikapi-perbedaan-idul-Fitri-

1427-H-d,detail_news_mawaid}/. 31

Maimun Zubair, Nus}us} al-Akhyar fi al-S{aum wa al-Ift}a>r (Rembang; Penerbit al-Ma’had al-

Diniyah al-Anwar, 1997), 7.

Page 15: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

71

Qur‟an, Hadith, dan teks ulama terdahulu mengindikasikan kewajiban taat

kepada Pemerintah;

يا أيها الذين آمنوا أطيعوا اهلل وأطيعوا الرسول وأويل األمر منكم فإن تنازعتم يف شيء فردوه إىل اهلل والرسول إن كنتم تؤمنون باهلل واليوم اآلخر ذلك خري

(95وأحسن تأويال )النساء:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul

(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan

pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-

Qur‟an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman

kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama

(bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS an-Nisā‟:59)32

Tentang ayat di atas Imām Qurtubī dalam Tafsir-nya mengatakan

bahwa ayat sebelumnya adalah porsi dawuh Allah kepada para pemimpin

agar menyampaikan amanat dan memerintah dengan adil. Dan ayat ini

adalah porsi perintah kepada rakyat. Pertama-tama seorang rakyat harus

mentaati Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-

Nya. Kedua, mentaati Rasulullah. Dan ketiga, mentaati pemimpin negara.

Penafsiran sesuai dengan pendapat mayoritas, Abū Hurairah, Ibnu Abbas,

dan ulama lain. Qurtubi> juga mengutip dari Sahl bin Abdullah al-Tusturī

yang mengatakan bahwa pemimpin negara harus ditaati dalam 7 (tujuh)

masalah: Pencetakan Dirham dan Dinar, peneraan alat ukur, hukum, Haji,

Jum‟ah, dua hari raya, dan perang.33

32

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung : CV Penerbit J-ART, 2005),

88. 33

Maimun Zubair, Risālah fi Mauqifinā Haula al-S{aum wa al-Ifthār ‘āmun 1427 H (Rembang :

Penerbit al-Ma’had ad-Diniyyah al-Anwar, 1997), 9-10.

Page 16: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

72

Sedang Imām Shaukanī berpendapat bahwa yang dimaksud ulul

amri adalah para Imām, sult}an, qad}i dan semua orang yang memiliki

kekuasaan shar‟ī, bukan kekuasaan shaithanī. Dan maksud mematuhi

mereka adalah mematuhi perintah dan menjauhi larangannya sepanjang

bukan perkara maksiat.34

Dalam hal ini Sahl bin Abdullah berkata:

“Manusia senantiasa berada di dalam kebaikan sepanjang mereka

menghormati pemimpin dan ulama. Jika mereka menghormati kedua

kelompok ini maka Allah akan mensejahterkan kehidupan dunia dan

akhirat mereka. Dan jika mereka meremehkan kedua kelompok ini, maka

Allah akan merusak kehidupan dunia dan akhirat mereka”.35

Sejumlah Hadith yang mencapai bilangan mutawatir juga

mengindikasikan hal sama. Bagi mereka yang bersedia berpegang pada

Hadith, tentu tidak ragu lagi baginya tentang kewajiban mematuhi

pemimpin negara. Bahkan dalam sebuah Hadith sahih disebutkan:

ياح عن أنس بن مالك ث نا يي بن سعيد عن شعبة عن أب الت د حد ث نا مسد حداللو عنو قال قال رسول اللو صلى اللو عليو وسلم اسعوا وأطيعوا وإن است عمل رضي

عليكم عبد حبشي كأن رأسو زبيبة ) رواه البخارى ىف الكتاب األحكام، الباب السمع و الطاعة لألمام ما مل تكن معصية (

“Telah meriwayatkan kepadaku Musaddad ; telah meriwayatkan

kepadaku Yahya bin Sa‟īd dari Syu‟bah dari Abī al-Tiyyāh dari Anas bin

Mālik ra. Berkata ; bahwa Rasulullah Saw bersabda : Dengarkanlah dan

taatilah walaupun yang diutus untuk mengurusi kamu adalah hamba dari

kaum Habasyi yang seakan-akan kepalanya mirip dengan anggur kering /

kismis.”.36

34

Shaukanī, Fath al-Qadīr (Bairut : Dār al- Fikr, 1997), I, 726. 35

Qurtubi>, Tafsir al-Jami’ al-Ahka>m al-Qur’an (Bairut : Darul Fikr, 1999), V, 249. 36

HR. Imām Bukhārī : 6609.

Page 17: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

73

Hadith lain menyebutkan tentang kewajiban mentaati pemimpin

sepanjang mereka mendirikan shalat, tidak memperlihatkan kekufuran

secara nyata, dan tidak memerintahkan maksiat. Hadith tersebut di atas

mengimplikasikan bahwa meskipun seorang pemimpin melakukan

kezhaliman paling dhalim sekalipun tetap harus ditaati sepanjang

kezhaliman tersebut tidak sampai mengakibatkan kekufuran yang nyata,

dan selama perintahnya tidak termasuk maksiat. Dintara perintah

pemimpin yang wajib ditaati adalah mengemban tugas dan menduduki

jabatan keagamaan dimana hal itu tidak termasuk maksiat. Demkian pula

perintah untuk berperang, memungut hak-hak yang menjadi kewajiban

rakyat, menegakkan syariat dalam persengketaan, dan melaksanakan had

bagi mereka yang layak mendapatkannya.

Secara umum, mematuhi pemimpin adalah kewajiban bagi mereka

yang berada di bawah wilayah kekuasaannya sepanjang tidak berimplikasi

maksiat. Dan dalam kasus semacam itu, berinteraksi dengan pemimpin

negara bisa menjadi hal niscaya, tentu dengan batasan seperti tersebut di

atas. Dan dalil-dalil yang menunjuk kewajiban mamatuhi pemimpin sudah

mencapai bilangan mutawatir. Bahkan Al-Qur‟an sendiri mengisyaratkan

hal tersebut seperti termaktub dalam surat al-Nisā‟ di atas.37

Dari penuturan di atas dapat diketahui bahwa sikap berseberangan

mereka dengan keputusan pemerintah -dalam hal ini diwakili oleh

Departemen Kementrian Agama- tentang penetapan awal bulan Ramadlan

37

Maimun , Risālah, 11-13.

Page 18: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

74

dan Shawal yang tidak memiliki landasan shar‟ī yang benar tidak

diperkenankan, karena perbedaan itu dapat menyulut fitnah diantara umat

Islam serta dapat menimbulkan salah duga terhadap mereka.38

2. Bertentangan dengan kalkulasi falak

Menurut pendapat yang kuat, penetapan awal bulan hanya bisa

dilakukan dengan melihat hila>l39, dan bukan dengan keberadaan hila>l di

atas ufuk meskipun tidak mungkin terlihat. Pendapat ini disetujui kalangan

pakar falak dan kalangan lain serta disepakati mayoritas ulama.

Menurut kalangan ahli falak, yang dimaksud dengan melihat hila>l

adalah kemungkinan hila>l dapat dilihat sesuai dengan ketinggiannya di

atas ufuk. Dan mereka menyatakan bahwa hila>l mungkin dilihat jika

ketinggiannya mencapai lebih dari satu derajat40

.

Dengan demikian jelaslah, orang-orang yang menetapkan awal

bulan Syawwal -dengan dasar bahwa keberadaan hila>l sekecil apapun

dapat dijadikan acuan untuk menetapkan awal bulan- jauh dari kebenaran

dan bertentangan dengan Sunnah. Sebab, Syariat mendasarkan hukum

puasa dan lebaran pada ru'yah41

baik dalam pengertian aktual42

maupun

potensial, dan bukan sekedar keberadaan hila>l. Rasulullah Saw. bersabda:

38

Moh. Najib Buchori, http ://www.ppalanwar.com/news/5/63/mensikapi-perbedaan-‘idul-Fitri-

1427-H-d,detail_news_mawaidl/. 39

Bulan sabīt dalam bahasa Inggris disebut Cresent, yaitu bulan sAbīt yang nampak pada

beberapa saat sesudah ijtima’, yakni antara tanggal satu sampai menjelang terjadinya rupa semu

Bulan pada terbit awwal. Lihat Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat (Yogyakarta :

Pustaka Palajar, 2005), 64. 40

Standar imkanurru’yah menurut Departemen Agama adalah lebih besar dari 2 derajat 41

Istilah ini terkenal dalam kalangan masyarakat Indonesia yang berarti melihat atau mengamati

hila>l dengan mata ataupun dengan teleskop pada saat Matahari terbenam menjelang bulan baru

Qamariyah.

Page 19: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

75

ال تصوموا حىت تروا اهلالل وال تفطروا حىت ترووه

“Janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan janganlah kalian

membatalkan puasa (mengakhiri masa puasa) hingga melihat hila>l”.43

Hal ini didukung oleh pendapat para ulama. Berikut kutipan

beberapa pendapat ulama:

a) Salah satu hal yang dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan adalah

kalkulasi falak. Tetapi hal ini hanya berlaku bagi orang tersebut dan

orang lain yang mempercayainya. Bahkan Imām Abbãdī seperti dikutip

Imām Qalyubī mengatakan “Bahwa jika kalkulasi eksak falak (hisab

qath'ī) mengindikasikan ketidak-mungkinan ru'yah maka kesaksian

ru'yah dari seorang yang bisa dipercaya („adil) sekalipun tidak bisa

diterima. Dalam keadaan demikian puasa tidak diperkenankan. Dan

menentang hal tersebut adalah kesombongan”.44

b) Seperti dikatakan oleh Imām Subkī “Kesaksian seorang yang adil

(kredibel) tentang ru'yah bisa diterima hanya ketika kalkulasi falak

mengindikasikan kemungkinan ru'yah. Tetapi jika kalkulasi falak

mengindikasikan ketidak-mungkinan ru'yah, dan kalkulasi tersebut

dilakukan dengan metode yang eksak, maka kesaksian tersebut tidak

dapat diterima. Sebab dengan demikian ru'yah menjadi sesuatu yang

mustahil”. Lebih lanjut Imām Subkī mengatakan “Bahwa kemustahilan

42

Ru’yatul Hilal Aktual secara etimologis adalah benar-benar melihat bulan sabit. Sedangkan

secara terminologis adalah salah satu metode penentuan awal bulan Qamariyah yang memadukan

antara hisab dan ru’yah. 43

HR. Bukhārī : 1773. 44

Qalyubī dan Umairah, Hasiyat Qalyubī wa Umairoh 'ala Sharh al-Mahallī (Bairut : Dār al-

Kutub al-Ilmiyah, 2003), Juz II, 63.

Page 20: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

76

semacam ini termasuk kemustahilan definitif yang berawal dari

kemustahilan asumtif. Dan dalam kasus semacam ini keputusan seorang

hakim harus dibatalkan. Dalam al-Iy'āb Subkī menilai bahwa

kesimpulan di atas lebih tepat (istaujaha). Ia membantah jika kalkulasi

falak dikatakan hanya bersifat asumtif dan karenanya tidak

mengimplikasikan kemustahilan. Menurutnya kemustahilan itu bisa saja

terjadi jika hasil berbagai kalkulasi falak yang eksak sepakat atas

kemustahilan tersebut. Seandainya kesepakatan itu benar benar terjadi,

maka kesaksian ru'yah tidak dapat diterima. Sebab syarat objek

kesaksian adalah dimungkinkannya objek kesaksian tersebut, baik dari

sudut tinjauan akal, kebiasaan maupun syara'. Disamping itu, kesaksian

hanya bersifat asumtif. Dan yang asumtif tidak bisa mengugurkan yang

definitive”.45

c) Jika satu atau dua orang bersaksi tentang ru'yah sedangkan hasil

kalkulasi falak mengindikasikan ketidak-mungkinan ru'yah tersebut,

maka menurut Subkī kesaksian itu tidak dapat diterima. Sebab kalkulasi

falak bersifat definitif sedangkan kesaksian hanya bersifat asumtif. Dan

yang asumtif tidak bisa menggugurkan hal yang bersifat definitif. Al-

Haetamī dalam Tuhfah membedakan hasil kalkulasi falak yang

disepakati dan yang tidak. Dan menurutnya, pendapat ini lebih tepat. Ia

mengatakan bahwa jika sejumlah ahli falak yang mencapai bilangan

mutawatir sepakat atas ketidak-mungkinan ru'yah dan kalkulasi mereka

45

Al-Turmusī, Mauhibat dhi al-Fad} (Bairut : Dār al-Fikr, 2000), IV, 158-159.

Page 21: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

77

menggunakan metode eksak, maka kesaksian ru'yah ditolak. Dan jika

tidak demikian, maka kesaksian dapat diterima.46

d) Imām Subkī di dalam fatawa menyebutkan jika kalkulasi falak yang

eksak menafikan kemungkinan ru'yah, maka hakim harus menolak

kesaksian siapapun berkenaan dengan ru'yah. Imām Subkī juga

menyebutkan bahwa salah satu kewajiban seorang hakim adalah

menilai kesaksian saksi dalam perkara apapun. Jika fakta empiris

mendustakan kesaksian tersebut, maka ia harus menolaknya. Dan dalam

keadaan demikian kesaksian tidak lagi bernilai sakral. Lebih jauh Imām

Subkī mengatakan bahwa syarat seorang saksi adalah, apa yang

dipersaksikan merupakan hal yang mungkin secara empiris, rasional

maupun syar‟ī. Oleh karena itu jika h}isab qat}'ī mengindikasikan

ketidak-mungkinan, maka secara shar'ī menerima kesaksian adalah hal

mustahil. Sebab dengan demikian perkara yang dipersaksikan juga

menjadi hal yang mustahil. Dan Shara' tidak mungkin berpijak pada

kemustahilan. Sedangkan kesaksian seorang saksi bisa saja dilakukan

atas dasar halusinasi, kesalahan ataupun kebohongan.47

e) Qod}i 'Iyad} mengatakan “Bahwa pendapat Imam Subki> (pendapat diatas)

tidak bertentangan dengan pendapat fuqaha' yang menyatakan bahwa

h}isab tidak bisa dijadikan pijakan. Sebab apa yang mereka katakan

46

Abī Bakar 'Utsmān bin Muhammad Shat}t}ā, ''I'ānah al-T{ālibīn (Bairut : Dār al-Fikr, 2007),

II,359. 47

Taqiyuddin Ali bin Abdul Kãfi al-Subki>, Fata>wa al-Subki> (Bairut : Darul Kutub al-Ilmiyah,

2004), Juz I, 219-220.

Page 22: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

78

berkenaan dengan kasus sebaliknya, yaitu ketika h}isab mengindikasikan

kemungkinan ru'yah”.48

3. Mengabaikan Persatuan Umat

Kesalahan ketiga adalah umat Islam telah meninggalkan suatu

kewajiban, yaitu kewajiban menyatukan suara umat dalam persoalan

agama sepanjang tidak ada keadaan darurat yang mengharuskan

perbedaan. Berupaya menyatukan umat dalam melaksanakan puasa,

lebaran dan ritual keagamaan lain adalah tuntutan. Jika kita tidak mampu

mencapai kesatuan universal yang mencakup seluruh umat Islam di dunia,

maka setidak-tidaknya kita harus mengupayakan kesatuan parsial yang

hanya mencakup sebagian umat di satu wilayah.

Umat Islam di satu negara atau satu daerah tidak boleh dibiarkan

terkotak-kotak: sebagian berpuasa karena berasumsi hari itu telah

memasuki bulan Ramadhan dan sebagian lain belum berpuasa karena

menganggap hari itu masih berada di bulan Sha'ban dan di bulan

berikutnya sekelompok orang masih berpuasa dan kelompok lain sudah

berlebaran. Ini situasi yang tidak dapat dibenarkan. Dan yang disepakati

Ulama adalah bahwasannya hukumnya Hakim/penetapanya Pemerintah

(Kontor Kementrian Agama), bisa menghilangkan perbedaan di dalam

permasalahan yang diperdebatkan (Penetapan awal bulan Ramadhan dan

Shawal). Maka ketika Pemerintah/Menteri Agama (Mahkamah

Agung/Majlis Ulama Indonesia/Organisasi Agama Islam) mengeluarkan

48

Qad}i> 'Iyad} bin Musa, Hasiyat al-Umdah ala Sharh Ihka>m al-Ah}ka>m (Bairut : Darul Fikr, 2001),

Juz 3, 328.

Page 23: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

79

penetapan awal Puasa Ramadlan atau Hari Raya „Idul Fitri, maka umat

Islam wajib mentaatinya, karena hal tersebut adalah merupakan kepatuhan

terhadap kebaikan.49

Kebersebrangan mereka dengan ketetapan pemerintah dan

mayoritas umat Islam dapat menyulut fitnah, perpecahan, dan saling

kebencian diantara umat. Secara shar'ī ini adalah hal tercela. Allah SWT

telah berfirman:

ل ر سبيل المؤمني ن ولو ما ومن يشاقق الرسول من ب عد ما ت ب ي و اهلدى وي تبع غي ت وىل ونصلو جهنم وساءت مصريا

“Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran

baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang

mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah

dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan

Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.50

Disamping itu sikap semacam ini juga memberikan angin segar

bagi para musuh Islam sekaligus membantu mewujudkan tujuan besar

mereka, yaitu memecah belah umat Islam secara religius maupun sosial.

Seorang tokoh musuh Islam, Bernard Louis, seperti dikutip Syaikh Dr.

Said Ramdlan al-But}i> dalam al-Jihad fi al-Islam, mengatakan:

“Westernisasi di kawasan Arab telah memecah belah kawaasan tersebut. Dan

perpecahan politis ini dikuti dengan perpecahan sosial budaya. Sebenarnya

mencaplok kawasan ini hanya bisa dilakukan dengan jalan memecah belah.

Politisi manapun di dunia, jika ditanyakan kepadanya tentang bagaimana

menundukkan kawasan Arab, pasti ia hanya memilih cara yang dilakukan barat,

yaitu memecah belah kawasan dengan isu sektarian, memecah belah sosial

budaya, mengobarkan permusuhan, memperluas wilayah perselisihan, dan

49

Maimun Zubair, Nus}ūs} Al-Akhyār Fī Al-S{aum Wa Al-Ift}ār (Rembang : Penerbit al-Ma’had al-

Diniyyah al-Anwar, 1998), 19-20. 50

Al-Qur’an ; 4: 115.

Page 24: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

80

mengintensifkan publikasi perselisihan tersebut. Tidak diragukan lagi, orang yang

melakukan ini akan merasa bersedih jika ia menyaksikan perdamaian diatanra

kelompok-kelompok Islam dan akan merasa berbahagia jika terjadi peperangan

diantara mereka. Barangkali orang yang menafikan Barat dalam menyulut sumbu

peperangan memiliki satu diantara dua kemungkinan: menipu atau tertipu.51

C. Upaya Melakukan Rekontruksi Solusi

Upaya pemerintah untuk menjembatani metode H{isab dan Ru’yah

masih jauh dari hasil yang diharapkan. Masalahnya, solusi yang diajukan

sebagai jalan tengah itu dianggap belum mewadahi kriteria wuju>d al-Hila>l.

Dan kemudian, dianggap cenderung meligitimasi metode Ru’yah belaka

dengan angka-angka visibilitas hilal yang dianggap tidak berdasar. Karena

itu, harus ada solusi lain yang lebih bisa mewadahi keduanya. Untuk itu

penulis coba memformulasikan dibagian ini.

Yang pertama, tentang ketinggian hila>l. Untuk menjembatani antara

H{isab dan Ru’yah, metode imkan al-Ru’yah memasang kriteria ketinggian

hilal minimal 2 derajat dengan usia hilal minimal 8 jam. Kriteria ini

sebenarnya memang tidak punya landasan kuat, kecuali hanya

menerjemahkan kriteria Ru’yah dalam bentuk angka. Bahwa, supaya terlihat

oleh mata, maka hila>l harus berumur 8 jam dengan ketinggian 2 derajat.

Sementara, kriteria ini pun tidak menjamin hilal akan kelihatan, karena

berbagai hal termasuk karena mendung, atau rendahnya lokasi pengamatan,

ataupun cahaya latar yang kuat. Hal ini membuktikan bahwa metode Ru’yah

harus dilakukan dalam bingkai H{isab. Bukan sebaliknya, H{isab dipahami

51

Moh. Najib Bukhori, http://www.ppalanwar.com/news/5/63/Mensikapi-Perbedaan-‘Idul-Fitri-

1427H-/d,detail_news_mawaidl/.

Page 25: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

81

dalam bingkai Ru’yah. Jika H{isab harus menyesuaikan diri kepada Ru’yah,

hasilnya akan menjadi tidak menentu.52

Yang kedua, tentang ijtima’ qabla ghuru>b atau konjungsi sebelum

Maghrib. Menurut penulis, kapan pun konjungsinya sebenarnya tidak

menjadi masalah. Yang penting, bulan baru datangnya setelah ijtima’. Jika

belum terjadi ijtima’, pasti masih bulan lama. Dan sesaat setelah ijtima’ itu,

bulan baru pun datang.

Metode imkan al-Ru’yah menyanggah wuju>d al-Hila>l sebagai tidak

punya pijakan ilmiah, karena hanya bermain di tataran teoritis yang tidak

bisa dibuktikan dengan mata. Tentu saja sanggahan seperti ini kurang tepat,

karena kesimpulan tentang bulan baru itu secara ilmiah bisa dibenarkan.

Tentang terjadinya ijtima’ ini, memang wilayahnya berada pada

metode H{isab dan tidak bisa dilihat secara langsung oleh mata, bahwa

Matahari, Bulan, dan Bumi sudah berada dalam posisi segaris. Justru di

sinilah metode Ru’yah terbukti harus di letakkan dalam bingkai Hisab. Jika

tidak, pengamatan yang dilakukan akan menjadi tidak menentu, dan

berpotensi keliru. Karena tidak tahu kapan terjadinya ijtima’.

Perlu melakukan H{isab terlebih dahulu, sehingga diperoleh hitungan

di atas kertas bahwa ijtima’ terjadi pada jam sekian-sekian, kemudian

melakukan Ru’yah. Kalau pun karena sesuatu hal-misalnya mendung tebal-

lantas hila>l tidak terlihat, maka itu tidak meruntuhkan hasil H{isab. Justru

52

Sebagai contoh, berapa derajatkah ketinggian hila>l supaya terlihat di puncak gunung? Dan

hasilnya apa juga valid bagi mereka yang tinggal di lembah di kota yang sama, dimana hila>l pasti

membutuhkan derajat yang lebih tinggi lagi. Tentu saja, tidak bisa dijadikan patokan. Kalau kita

mengambil patokan yang di gunung, pasti tidak cocok buat yang ada di lembah dan sebaliknya.

Page 26: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

82

Ru’yah-nya yang harus dipertanyakan. Karena, secara ilmiah sudah dihitung

dengan akurasi yang bisa dipertanggung jawabkan dan teruji selama

bertahun-tahun.

Yang ketiga, tentang konsep datangnya bulan baru yang harus seiring

dengan tenggelamnya matahari. Selama ini datangnya bulan baru selalu

ditepatkan dengan pergantian siang ke malam hari di waktu Maghrib.

Padahal, usia bulan Hijriyah adalah 29,5 hari53

. Dan hila>l menjelang Maghrib

itu bisa saja muncul sebelum terjadinya ijtima’.

Jadi kriteria utamanya bukan hila>l yang harus terlihat di sekitar

Maghrib, melainkan adalah terjadinya ijtima’. Dalam kasus munculnya hila>l

sebelum ijtima’ itu, tentu tidak akan bisa teratasi oleh metode Ru’yah.

Karena metode Ru’yah tidak pernah tahu kapan terjadinya ijtima’. Peristiwa

konjungsi (ijtima’) itu hanya bisa diketahui dengan metode Ru’yah bi al-

‘Ilmi (H{isab). Jadi Ru’yah harus diletakkan dalam bingkai H{isab. Yakni

dengan meletakkan konsep ijtima’ sebagai pembatas datangnya bulan baru.

Menurut penulis, sebaiknya ada pemisahan pemahaman antara saat

pergantian bulan dengan pergantian hari dalam kalender Hijriyah. Pergantian

bulan adalah saat-saat dimana Bulan sudah melewati saat ijtima’ atau

konjungsinya. Sedangkan pergantian hari ditandai dengan tenggelamnya

matahari.

Dengan cara ini tidak rancu lagi bahwa bulan Ramadhan sudah datang

sesaat setelah ijtima’, sesaat setelah berakhirnya bulan Sha’ban. Kalau pun,

53

Tepatnya satu bulan adalah 29,530589 hari sama dengan periode bulan mengitari bumi. Agus

Mustofa, Jangan Asal ikut-ikutan Hisab dan Rukyat (Surabaya: PADMA press, 2013), 59.

Page 27: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

83

ijtima’ itu terjadi sebelum Maghrib, maka sisa waktu sampai Maghrib itu

digenapkan ke bulan Sha’ban, itu tidak ada masalah. Tetapi, secara

substansial, bulan Sha’ban sebenarnya sudah berakhir. Dan bulan Ramadhan

sudah datang.

Contoh kasus yang sesuia dengan masalah di atas adalah saat

penetapan awal Ramadhan 1433 H dimana antara H{isab dan Ru’yah

mengalami kondisi kontroversial. Awal Sha’bannya sama, yakni 21 Juni

2012, akhir Sha’bannya pun sama yakni ditandai oleh peristiwa ijtima’ pada

tanggal 19 Juli 2012, pukul 11.24 WIB. Tetapi anehnya, awal Ramadhannya

berbeda. Yang menggunakan wujud al-Hila>l, satu Ramadhannya jatuh pada

20 Juli 2012, sedangkan yang menggunakan Ru’yah menetapkan satu

Ramadhannya 21 Juli 2012.54

Ini, menjadi contoh penjelas, bahwa metode Ru’yah harus

ditempatkan dalam bingkai H{isab yang akurat. Jika dibalik, kasusnya akan

menjadi tidak menentu dan cenderung keliru. Karena, sejak awal sudah

kurang tepat dalam menetapkan asumsi. Tidak pada kriteria yang obyektif

melainkan bertumpu pada kriteria yang subyektif.

54

Kenapa bisa terjadi demikian, ketika ijtima’ terjadi tanggal 19 Juli pukul 11.24 WIB,

sebenarnya secara Astronomi bulan Sha’ban sudah berakhir. Sehingga, sisa hari sampai dengan

datangnya Maghrib itu hanyalah berupa penggenapan saja ke akhir bulan Sha’ban, masih disebut

sebagai tanggal 29 Sha’ban. Tetapi begitu melewati Maghrib, harinya sudah berganti ke tanggal

1 Ramadhan. Pergantian bulan terjadi di siang hari pukul 11.24 WIB, tetapi pergantian tanggal

terjadi sesudah Maghrib. Dengan cara ini menjadi jelas kondisinya.

Tetapi menjadi aneh, ketika metode Ru’yah memutuskan tanggal 1 Ramadhannya baru jatuh

keesokan harinya, dengan alasan sore itu hila>l tidak kelihatan. Disebabkan usia bulan masih di

bawah 8 jam, dan ketinggian hilal di bawah 2 derajat. Bahkan secara ilmiah lantas menyulut

pertanyaan, kenapa penggenapan akhir Sha’ban bisa sampai lebih dari 1 hari. Yakni, mulai pukul

11.24 WIB di siang hari (19 Juli) sampai siang hari berikutnya (20 Juli), dan masih ditambah lagi

sampai datangnya Maghrib. Mestinya, sebuah penggenapan tidak memakan waktu dari satu hari,

24 jam. (pada kasus ini, penggenapannya sampai sejauh lebih dari 30 jam).

Page 28: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

84

Oleh sebab itu dengan memisahkan saat pergantian bulan dan

pergantian hari, kondisinya akan menjadi clear. Sehingga bisa memberikan

koridor yang jelas kepada para peru’yah, bahwa saat melakukan Ru’yah itu

sebenarnya bulan sudah berganti. Masalahnya tinggal apakah hila>l-nya

kelihatan ataukah tidak, kalau kelihatan, hasilnya meyakinkan. Dan kalua

tidak kelihatan, mesti dilakukan kajian apakah karena hila>l-nya tertutup

awan, atau terlalu kuat latar cahayanya sehingga tak tertangkap mata, atau

kondosi atmosfer yang terlalu menyerap cahaya tipis hila>l, atau kurang

tinggi lokasi pengamatannya. Untuk opsi terakhir mungkin terasa

kontroversial, karena selama ini pengamatan hila>l selalu dilakukan di

pantai.55

Yang keempat, dalam kasus ijtima’ terjadi setelah Maghrib, tidak ada

masalah ketika bisa dipisahkan antara saat pergantian bulan dan saat

pergantian hari. Kapan pun ijtima’ terjadi, maka disitulah saat-saat

pergantian bulan. Meskipun, hari belum berganti atau sudah berganti, yang

ditandai oleh terbenamnya matahari.

Jika ijtima’ terjadi sebelum Maghrib, maka setelah Maghrib itu

langsung masuk awal bulan. Dan jika ijtima’ terjadi sesudah Maghrib, maka

bulan sudah berganti, tetapi harinya digenapkan kepada bulan sebelumnya.56

Yang kelima, tentang pemisahan antara waktu astronomi dan waktu

ibadah. Penentuan waktu astronomi dan waktu ibadah sebaiknya dipisahkan.

55

Agus Mustofa, Jangan Asal Ikut-ikutan,...241. 56

Misalnya, pada tanggal 29 Sha’ban ijtima’ terjadi sesudah maghrib, maka menggenapkan bulan

Sha’ban sampai datangnya Maghrib keesokan hari. Saat itu barulah ditetapkan sebagai tanggal 1.

Dengan cara ini tidak ada penggenapan yang melebihi 24 jam.

Page 29: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

85

Waktu astronomi disandarkan pada realitas benda-benda langit, sedangkan

waktu ibadah ditentukan berdasarkan ketentuan syariat.

Keduanya memang bisa bertemu disatu titik ketika momentumnya

tepat. Tetapi, juga bisa berbeda ketika permulaan waktu astornomi tidak

persis sama dengan permulaan waktu ibadah. Konkretnya, ketika ijtima’

terjadi pada tanggal 19 Juli 2012, pukul 11.24 WIB, maka itulah waktu

astronomi yang menandai bulan Sha’ban sudah berakhir, dan bulan

Ramadhan sudah datang. Namun, tidak seketika itu lantas melakukan ibadah

puasa Ramadhan. Karena ibadah puasa dilakukan dengan waktu tertentu,

yaitu semenjak menjelang fajar sampai datangnya Maghrib.

Karena itu, tidak ada keharusan untuk menepatkan awal Ramadhan

dengan awal puasa Ramadhan. Awal bulan Ramadhan ditentukan oleh

pergerakan Bulan, sedangkan awal puasa Ramadhan ditentukan berdasarkan

pergerakan Matahari. Sehingga, momentumnya berbeda.

Dengan cara ini, penetapan awal Ramadhan menjadi tidak kompleks,

dan lebih pasti. Karena hanya bergantung kepada satu variabel saja, yaitu

ijtima’. Begitu ijtima’ terjadi, maka bulan Sha’ban habis, dan berganti

dengan bulan Ramadhan.

Untuk waktu ibadahnya terserah kepada masing-masing pihak yang

menggunakan H{isab atau pun Ru’yah. Bagi yang menganut wujud al-Hila>l

bakal menetapkan awal ibadah puasanya setelah matahari terbenam hari itu

juga. Sedangkan bagi yang menganut metode Ru’yah, jika sore itu hila>l

Page 30: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

86

terlalu tipis dan tidak kelihatan oleh mata telanjang, mungkin akan

menetapkan awal ibadah puasanya lusa.

Masing-masing punya landasan shar’inya, dengan konsekwensi dan

pertanggungjawaban yang bersifat ‘ubudiyah. Yang menggunakan metode

H{isab, bersandarnya pada ayat berikut ini.

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir/menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur‛.57

Kalimat فليصمه الشهر منكم شهد فمن tidak menyebut dengan hila>l

(moon), melainkan menyebut shahr (month). Artinya jika seseorang sudah

57

Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia,

2012), 35.

Page 31: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

87

meyakini bahwa saat itu bulan Ramadhan sudah datang maka hendaknya ia

segera berpuasa.58

Dan di sisi lain, bagi yang melakukan Ru’yah juga bisa menetapkan

ibadah puasanya dimulai hari sesudahnya dengan bersandar pada hadith-

hadith berikut ini.

Hadith yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, hadith nomor 1775:

ث نا مالك عن نافع عن عب ث نا عبد اللو بن مسلمة حد هما حد د اللو بن عمر رضي اللو عن أن رسول اللو صلى اللو عليو وسلم ذكر رمضان ف قال ال تصوموا حىت ت روا اهلالل وال

59ت فطروا حىت ت روه فإن غم عليكم فاقدروا لو

Hadith yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, hadith nomor 1795:

ث نا يي بن يي قال ق رأت على مالك ع هما عن حد ن نافع عن ابن عمر رضي اللو عن فطروا النب صلى اللو عليو وسلم أنو ذكر رمضان ف قال ال تصوموا حىت ت روا اهلالل وال ت

60حىت ت روه فإن أغمي عليكم فاقدروا لو

Hadith yang diriwayatkan oleh Imām Al-Nasā'ī , hadith nomor 2088 :

ل بن ىشام عن إسعيل ع ن اا م د ب ن زي اد ع ن أب ىري رة ق ال ق ال خب رنا مؤم ش عبة ع ن وا رسول اللو صلى اللو عليو وسلم صوموا لرؤيتو وأفطروا لرؤيتو فإن غم عليكم الش هر ف عدو

61ثالثي

Dengan begitu pertanggungjawabannya sudah masuk wilayah ibadah

dan syariatnya. Tetapi, untuk penentuan awal bulan Ramadhan, dasarnya

58

Agus Mustofa, Jangan Asal Ikut-ikutan,...244. 59

Ahmad bin ‘Alī bin Hajar al-‘Asqalānī, Fath}ul Bāri> bi Sharh}i S{ah}i>h} al-Bukhārī : Kitāb al-S{aum

(Bairut : Dār al-Fiqr, 1991), IV, 614. 60

Abī al-Husain Muslim al-Hajjāj al-Qasyairī, S{ah}i>h} Muslim: kitab al-S{iyām (Bairut : Dār al-

Kutub al-‘Almiyyah, 1992), II, 759. 61

Jala>luddi>n al-Suyut}i>, Sunan al-Nasā’ī Bisharh}i al-H{fidh Jala>luddi>n al-Suyut}i> wa H{ashiyah al-

Ima>m al-Tandi>, Kitab al-S{iya>m (Bairut : Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t), IV, 133.

Page 32: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

88

tidak bisa dijumpai dalam Al-Qur’an dan hadith, sehingga tidak ketemu

pijakan syar’inya. Awal bulan ramadhan harus disandarkan pada pijakan

ilmiah, dan bersandar pada posisi segaris antara Matahari, Bulan, dan Bumi.

Dengan demikian, ini akan menjadi solusi yang semakin mendekatkan

antara penganut metode Hisab dan penganut metode Ru’yah. Argumentasi

wujud al-Hila>l dan Ru’yah sama-sama memperoleh tempat. Pijakannya pun

menjadi lebih kokoh dan tidak rancu. Waktu astronominya disandarkan

kepada ijtima’, dan waktu ibadahnya disandarkan kepada Al-Qur’an dan

hadith.

Yang keenam, apabila pemisahan antara waktu astronomi dan waktu

ibadah sudah disepakati, maka bisa melangkah lebih jauh lagi pada batas-

batas waktu ibadah yang lebih spesifik. Ini karena waktu astronomi

datangnya bulan Ramadhan adalah ditentukan oleh Bulan, sedang waktu

puasa sebenarnya ditentukan oleh Matahari. Selama ini kontroversi

penetapan awal bulan itu selalu dikaitkan dengan saat-saat peralihan hari,

yakni disekitar Maghrib.

Padahal yang sedang diperdebatkan itu sebenarnya adalah ibadah yang

diawalinya baru besok pagi. Puasa dimulai saat menjelang fajar, sedangkan

shalat ‘Id dilakukan pada waktu d }uha (esok hari). Oleh sebab itu tidak perlu

lagi mempermasalahkan tentang hila>l yang datang sekitar waktu Maghrib,

karena waktu puasa dan shalat ‘Id-nya masih beberapa jam lagi. Jika

dihitung-hitung, waktu sahur itu masih lama sekitar 9-10 jam dari Maghrib.

Dan waktu shalat ‘Id masih sekitar 12 jam dari maghrib. Artinya, jika hila>l

Page 33: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

89

pada saat maghrib itu berusia 0 jam, maka pada saat sahur, hila>l Ramadhan

sudah akan berusia 9-10 jam. Dengan begitu puasa yang dilakukan itu benar-

benar berada di bulan Ramadhan, bukan di bulan Sha’ban, karena usia hila>l

sudah lebih dari 8 jam, sesuai dengan ketentuan yang berlaku saat ini.

Dan jika saat itu menjelang akhir bulan Ramadhan, maka seandainya

hila>l Shawal baru muncul di sekitar Maghrib, keesokan harinya pukul 06.00

pagi itu pun sudah pati 1 Shawal, dengan usia Bulan/hilal sekitar 12 jam.

Sebaliknya, jika menetukan 1 Shawal baru lusanya, maka sesungguhnya

tidak shalat di tanggal 1 Shawal, melainkan di tanggal 2 Syawal. Dan dengan

analogi yang sama, jika itu diterapkan pada hila>l Ramadhan, berarti memulai

puasa Ramadhan bukan pada tanggal 1 Ramadhan, melainkan pada tanggal 2

Ramadhan. Kasus ini terjadi pada Ramadhan 1433 H, atau tahun 2012 M

yang lalu.62

Inilah pentingnya memisahkan antara penetapan waktu Astronomi

dan waktu ibadah. Kedua-duanya akan memperoleh pijakan yang jelas. Yang

satu berdasarkan kaidah ilmiah bertumpu pada ijtima’nya bulan, dan yang

lainnya berdasarkan dalil shar’i, bertumpu pada Al-Qur’an maupun hadith.

Dimana di dalil shar’i inilah yang dimungkinkan berbeda antara penganut

metode H{isab dan penganut metode Ru’yah. Yang wujud al-Hila>l mengacu

pada Al-Qur’an tentang shahr (month) sedangkan yang imkan al-Ru’yah

mengacu pada hadith tentang hila>l (moon). Keduanya sah-sah saja, karena

62

Agus Mustofa, Jangan Asal Ikut-ikutan,...247.

Page 34: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

90

memang ada dalilnya. Dan masing-masing pihak akan merasa lega karena

memperoleh pembenaran atas ijtihadnya.

D. Tawaran Formulasi Penyatuan Madhhab H{isab dan Madhhab Ru’yah

Karena banyaknya madhhab dalam penentuan awal Ramadhan,

Shawal, dan Dhulhijjah di Indonesia, maka banyak juga pihak yang tergugah

untuk mengupayakan penyatuan. Terbukti dari berbagai pengalaman,

perbedaan seringkali membingungkan masyarakat awam, bahkan seringkali

mengoyak jalinan ukhuwah islamiyah. Akan tetapi, sampai sekarang belum

ada pendapat yang dapat diterima oleh semua pihak. Namun demikian,

upaya penyatuan Pemerintah dengan madhhab imka>n al-Ru’yah dengan

format kekuasaan ithba>t pada Pemerintah sebenarnya merupakan upaya yang

lebih mempunyai peluang untuk dapat diterima oleh semua pihak. Upaya

Pemerintah ini pada dasarnya berpijak pada upaya tercapainya keseragaman,

kemaslahatan, dan persatuan umat Islam Indonesia. Hal ini sebagaimana

dasarnya: h}ukmu al-H}ikam ilza>>mun wa yarfa’u al-Khila>f63 (keputusan

hakim/Pemerintah itu mengikat dan menyelesaikan perbedaan pendapat).

Sehingga keputusan yang diambil Pemerintah, yang berupaya

mengakomodir semua madhhab, semestinya dapat diterima dan diikuti oleh

semua pihak. Namun dalam dataran realitas, ternyata masing-masing pihak

mengeluarkan keputusan sendiri-sendiri. Walaupun pada dasarnya mereka

sudah menyatakan mengakui dan menerima upaya penyatuan Pemerintah

63

Shamsuddin Muhammad Ibnu ‘Abbas al-Shahir bi al-Shafi’I S{aghir, Niha>yahJilid III (Kairo:

Dar al-Fikr, t.th), 149. Lihat pula Abdurrahman al-Jaziri, Fiqh ‘Ala al-Madha>hib al-‘Arba’ah Jilid I (Kairo: Dar al-Fikr), 433-435.

Page 35: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

91

tersebut, namun NU dalam menghadapi Idhul Adha 1420 H misalnya,

mengeluarkan ikhbar. Walaupun hanya sekadar ikhbar ternyata terkesan

wajib dipegangi dan diamalkan oleh warganya. Pemikiran ini berdasarkan

pada pemikiran Imam Ramli dalam Niha>yah al-Muh}tar dan Afifuddin bin

Umar dalam al-Fata>wa> al-Shar’iyyah.64

Begitu juga dengan Muhammadiyah, sebagaimana dalam kasus

mencolok ketika penetapan awal Ramadhan 1435 H/2014 M.

Muhammadiyah mengeluarkan fatwa terlebih dahulu tentang penetapan 1

Ramadhan 1435 H tanpa menungguh pelaksanaan ru’yah Pemerintah, bahkan

tanpa menunggu pengumuman (ithba>t) dari Pemerintah. Di samping itu,

ternyata masing-masing pihak juga tampak belum bisa menerima tawaran

(upaya penyatuan) pemerintah dengan sepenuh hati.

Padahal upaya Pemerintah -dengan madhhab imka>n al-Ru’yah-

tersebut pada dasarnya sudah berusaha mengakomodir semua pihak dengan

mendekatkan atau menjembatani dua madhhab besar yakni Madhhab Ru’yah

dan Madhhab H{isab di Indonesia. Karena Madhhab imka>n al-Ru’yah (sistem

ru’yah yang bersendikan h}isab) pada dasarnya merupakan upaya memadukan

antara Madhhab H{isab dengan Madhhab Ru’yah. Jadi Madhhab imka>n al-

Ru’yah berupaya bagaimana hasil h}isab-nya dapat sesuai dengan ru’yah dan

ru’yah-nya tepat sasaran sesuai dengan data h}isab-nya, hal ini mengingat

objek sasarannya sama, yakni hila>l.

64

‚…dan perkataan bahwa ikhbar (pengumuman) orang yang adil itu diamalkan pada sebagian

besar bab-bab dalam fiqih.‛ Baca Afifuddin bin ‘Umar, al-Fata>wa> al-Shar’iyyah (Hadramaut:

Dar al-Fikr, t.th), 149.

Page 36: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

92

Berdasarkan lembaran sejarah pemikiran h}isab ru’yah, ternyata

embrio madhhab imka>n al-Ru’yah sudah lama diperbincangkan dikalangan

ulama fiqih, di antara yang memelopori adalah al-Qulyubi>, Ibn Qasim al-

Ubbadi>, al-Sharwani>, dan al-Subki>.65

Hanya saja, kriteria imka>n al-Ru’yah-

nya belum ada kesepakatan atau belum ada kriteria yang dapat diterima

semua pihak.

Penulis melihat bahwa kriteria tinggi hila>l yang dapat diru’yah atau

penentuan bulan baru berdasarkan umur bulan dari wakru ke waktu, akan

selalu berubah. Hal ini dapat dipahami sejalan dengan perubahan alam raya

dan posisinya, sekalipun perbedaannya sangat halus sekali.

Karena melihat pentingnya kriteria imka>n al-Ru’yah tersebut,

Pemerintah dalam hal ini Kementrian Agama merasa perlu memberikan

solusi alternatif dengan menawarkan kriteria yang dapat diterima semua

pihak dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Madhhab yang

berupaya bagaimana mendapatkan hasil penetapan di mana data h}isab-nya

sesuai dengan pelaksanaan ru’yah, sedangkan ru’yah-nya tepat sasaran sesuai

dengan data h}isab-nya secara ilmiah.

Hanya saja untuk menentukan kriteria dalam formulasi madhhab

imka>n al-Ru’yah, penulis berpendapat akan keharusan diadakannya

penelitian secara kontinu setiap tahun bahkan setiap terjadi perubahan gejala

65

Mereka lebih sepakat bahwa ru’yah diartikan dengan imka>n al-Ru’yah (posisi hila>l untuk

diru’yah). Dengan kata lain bahwa yang dimaksud dengan ru’yah adalah segala hal yang dapat

memberikan dugaan kuat (dhanni) bahwa hila>l telah ada di atas ufuk dan mungkin untuk di

ru’yah. Lihat dalam Shihabuddin al-Qulyubi>, H{shiyyah al-Minha>j al-T{a>libi>n, ijilid II (Kairo:

Must}afa al-Babi al-Halabi>, 1956), 49. Lihat juga Al-Sharwani>, H{ashiyyah Sharwa>ni>, jilid III

(Kairo: Bairut, t.th), 373.

Page 37: Pemikiran dan Madhhab H{isab Ru’yah di Indonesiadigilib.uinsby.ac.id/992/6/Bab 4.pdfIslam jawa-atau dalam bahasa Geertz disebut religion of java ... dan Dhulhijjah dengan bersandarkan

93

alam (menurut kacamata astronomi). Ini merupaka salah satu upaya

mendapatkan data yang akurat. Karena secara astronomi, penulis melihat

bahwa kriteria imka>n al-Ru’yah, berdasarkan data umur bulan dari waktu-ke

waktu, akan mengalami perubahan.

Jadi, formulasi yang lebih tepat dalam upaya penyatuan Madhhab

Hisab dengan Madhhab Ru’yah adalah madhhab imka>n al-Ru’yah

kontemporer. Dalam artian bahwa kriteria imka>n al-Ru’yah-nya berdasarkan

data-data h{isab kontemporer dari hasil penelitian kontemporer yang akurat,

sehingga dapat menghasilkan kriteria imka>n al-Ru’yah yang akurat juga.