5. BAB IVeprints.walisongo.ac.id/1483/6/105112043_Tesis_Bab4.pdf · penentuan awal bulan Ramadhan...

24
89 BAB IV AKTUALISASI KONSEP WILĀYATUL UKMI DALAM PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYAH A. Analisa terhadap Penentuan Awal Bulan Qamariyah dengan Pendekatan Wilayatul ukmi Perspektif NU Nahdlatul Ulama sebagai organisasi masa keagamaan dengan jumlah pengikut terbesar di Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah, yang menjunjung tinggi dan mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad alallāhu ‘alaihi wa sallam serta tuntunan para sahabat dan hasil ijtihad para ulama madzab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Metode yang digunakan dalam penentuan awal bulan di organisasi ini adalah dengan metode imkanurru’yah dengan kriteria masuk bulan baru bila ketinggian hilal pada saat Matahari terbenam lebih dari dari 2 0 . Namun, NU tidak menerapkan hasil hitungan ini dalam tiga bulan Qamariyah seperti bulan Ramaan, Syawwal dan Żulhijjah, karena mereka menunggu hasil rukyah di lapangan. (Nawawi. S.A., 2004:19). Organisasi Nahdlatul Ulama berpendapat bahwa penetapan awal bulan terutama yang berkaitan dengan ibadah (Ramaan, Syawwal dan Żulhijjah) haruslah ditempuh dengan rukyah. Hal ini karena menurut NU mereka berpegang pada tuntunan hadis-hadis Rasulullah alallāhu ‘alaihi wa sallam yang jumlahnya tidak kurang dari 23 buah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa;i, Ibnu Majah, at-Tirmidzi, Imam Malik, Ahmad bin Hambal, ad- Darimi, Ibnu Hibban, al-Hakim, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, dll., yakni menggunakan dasar ru’yatul hilal bil fi’li yaitu melihat hilal langsung di lapangan

Transcript of 5. BAB IVeprints.walisongo.ac.id/1483/6/105112043_Tesis_Bab4.pdf · penentuan awal bulan Ramadhan...

Page 1: 5. BAB IVeprints.walisongo.ac.id/1483/6/105112043_Tesis_Bab4.pdf · penentuan awal bulan Ramadhan 1433 H di sedikitnya 70 titik ru’yah seluruh Indonesia. Ru’yah dilaksanakan pada

89

BAB IV

AKTUALISASI KONSEP WILĀYATUL ḤUKMI DALAM PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYAH

A. Analisa terhadap Penentuan Awal Bulan Qamariyah dengan Pendekatan

Wilayatul Ḥukmi Perspektif NU

Nahdlatul Ulama sebagai organisasi masa keagamaan dengan jumlah

pengikut terbesar di Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah, yang

menjunjung tinggi dan mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad Ṣalallāhu ‘alaihi

wa sallam serta tuntunan para sahabat dan hasil ijtihad para ulama madzab empat

(Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Metode yang digunakan dalam penentuan

awal bulan di organisasi ini adalah dengan metode imkanurru’yah dengan kriteria

masuk bulan baru bila ketinggian hilal pada saat Matahari terbenam lebih dari dari

20. Namun, NU tidak menerapkan hasil hitungan ini dalam tiga bulan Qamariyah

seperti bulan Ramaḍan, Syawwal dan Żulhijjah, karena mereka menunggu hasil

rukyah di lapangan. (Nawawi. S.A., 2004:19).

Organisasi Nahdlatul Ulama berpendapat bahwa penetapan awal bulan

terutama yang berkaitan dengan ibadah (Ramaḍan, Syawwal dan Żulhijjah)

haruslah ditempuh dengan rukyah. Hal ini karena menurut NU mereka berpegang

pada tuntunan hadis-hadis Rasulullah Ṣalallāhu ‘alaihi wa sallam yang jumlahnya

tidak kurang dari 23 buah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu

Dawud, an-Nasa;i, Ibnu Majah, at-Tirmidzi, Imam Malik, Ahmad bin Hambal, ad-

Darimi, Ibnu Hibban, al-Hakim, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, dll., yakni

menggunakan dasar ru’yatul hilal bil fi’li yaitu melihat hilal langsung di lapangan

Page 2: 5. BAB IVeprints.walisongo.ac.id/1483/6/105112043_Tesis_Bab4.pdf · penentuan awal bulan Ramadhan 1433 H di sedikitnya 70 titik ru’yah seluruh Indonesia. Ru’yah dilaksanakan pada

90

pada hari ke-29 (malam ke-30) atau menggunakan dasar istikmal yaitu

menyempurnakan umur bulan menjadi 30 hari, manakala pada hari ke-29 (malam

ke-30) itu hilal tak berhasil di-ru’yah. (Nawawi.S.A., 2010: 37)

Dalam hal urusan penentuan awal bulan ini, Nahdlatul Ulama telah

membentuk sub organisasi yang berada di bawah Pengurus Besar Nahdlatul

Ulama, yang kemudian diberi nama Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama. Tugas

utama dari lembaga ini adalah melakukan kajian dan penelitian permasalahan

Falakiyah yang sebenarnya tidak hanya mencakup permasalahan awal bulan, akan

tetapi lebih luas adalah masalah yang berkaitan dengan ke-falakiyah-an, yaitu

meliputi permasalahan awal bulan termasuk di dalamnya kalender, waktu shalat,

arah kiblat, dan gerhana. Lembaga ini bertujuan untuk memberikan penjelasan

secara praktis maupun keilmuwan kepada masyarakat luas dan lebih-lebih

terutama kepada anggotanya untuk memperoleh pemahaman mengenai persoalan-

persoalan yang berkaitan dengan masalah tersebut. Hal ini dirasa penting

mengingat bahwa masalah ini adalah masalah pokok dalam peribadatan, dimana

pelaksanaan ibadah akan menjadi syah secara syar’i salah satunya adalah dengan

memenuhi ketetapan mengenai masalah ke-falakiyah-an ini.

Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) didirikan dari tingkat pusat

sampai daerah sebagai wadah berhimpunnya ahli hisab, astronom, dan ahli

rukyah; menyelenggarakan diklat hisab dan rukyah dari tingkat dasar sampai

tingkat mahir; menangani masalah-masalah kefalakiyahan dan pemanfaatannya.

Setiap menjelang awal tahun, LFNU menyelenggarakan musyawarah ahli hisab,

astronom, dan ahli rukyah untuk merumuskan hitungan hisab kalender tahun-

Page 3: 5. BAB IVeprints.walisongo.ac.id/1483/6/105112043_Tesis_Bab4.pdf · penentuan awal bulan Ramadhan 1433 H di sedikitnya 70 titik ru’yah seluruh Indonesia. Ru’yah dilaksanakan pada

91

tahun berikutnya. Hisab jama’i/kolektif/penyerasian, diumumkan melalui almanak

setiap tahun dan digunakan untuk penyelenggaraan rukyatul hilal. (Ghazalie

Masroeri, 2010).

Pelaksanaan rukyah hilal oleh Nahdlatul Ulama dilakukan dengan

membentuk dan menyiapkan pelaksanaan rukyah yang tersebar di berbagai tempat

di seluruh Indonesia. Pelaksana rukyah yang tergabung dalam organisasi ini

sebelumnya telah dibekali pengetahuan mengenai teknis rukyah melalui pelatihan-

pelatihan yang diselenggarakan, sehingga pelaksana rukyah adalah orang-orang

yang telah dianggap memiliki ketrampilan teknis dan pengetahuan yang

memenuhi syarat.

Tempat pelaksanaan ru’yah yang dikoordinir oleh Nahdlatul Ulama

melalui Lajnah Falakiyah NU (LFNU) tersebar di seluruh wilayah Indonesia,

sebagai contoh untuk melakukan rukyah awal bulan Ramadhan dilaksanakan di

lebih dari 70 lokasi1 (Khoirul Anam, 2012). Lokasi ru’yah yang tersebar di

seluruh wilayah ini bertujuan agar hasil ru’yah dapat merepresentasikan

keseluruhan wilayah Indonesia. Demikian pula diharapkan agar bila ada sebagian

wilayah Indonesia yang tertutup awan, maka pada lokasi yang lain cuacanya cerah

sehingga pelaksanaan ru’yatul hilal dapat berhasil. Seperti yang disampaikan oleh

1 Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) melaksanakan rukyatul hilal untuk penentuan awal bulan Ramadhan 1433 H di sedikitnya 70 titik ru’yah seluruh Indonesia. Ru’yah dilaksanakan pada Kamis 19 Juli 2012, bertepatan dengan 29 Sya’ban 1433 H.Rukyatul hilal atau observasi bulan sabit juga didukung oleh 120 peru’yah bersertifikat nasional, dan para ahli hisab-ru’yah setempat. (NU Online, Penentuan Aal Ramadhan 1433 H Lajnah Falakiyah Siap Ru’yah di 70 Titik)

Page 4: 5. BAB IVeprints.walisongo.ac.id/1483/6/105112043_Tesis_Bab4.pdf · penentuan awal bulan Ramadhan 1433 H di sedikitnya 70 titik ru’yah seluruh Indonesia. Ru’yah dilaksanakan pada

92

Slamet Hambali2 dengan lokasi yang tersebar itu maka laporan dari salah satu titik

saja dari manapun lokasi rukyah tersebut dapat digunakan sebagai dasar bagi

PBNU untuk menetapkan awal bulan bagi seluruh wilayah Indonesia.

Sementara mengenai wilayah keberlakuan penentuan awal bulan ini3 NU

menganut pendekatan bahwa hasil ru’yah diberlakukan untuk seluruh wilayah

Indonesia. NU berpandangan bahwa karena Indonesia merupakan satu kesatuan

wilayah kekuasaan (pemerintahan) maka dalam hal penentuan awal bulan

haruslah dicapai kesamaan. Ru’yah yang diterima sebagai dasar adalah hasil

ru’yah di Indonesia (bukan ru’yah global) dengan wawasan satu wilayah hukum

NKRI. Sehingga apabila salah satu tempat di Indonesia dapat menyaksikan hilal,

maka hasil ru’yah demikian ini menjadi dasar itsbatul aam yang berlaku bagi umat

Islam di seluruh Indonesia (Ghazalie Masroeri, 2012).

Hal ini mengisyaratkan bahwa Nahdlatul Ulama sebagai ormas keagamaan

terbesar di Indonesia menginginkan bahwa dalam satu wilayah pemerintahan

negara Indonesia dalam urusan penentuan awal bulan hendaknya dicapai satu

kesatuan meskipun wilayah negara Indonesia yang membentang dari Sabang

sampai Merauke dengan bentangan yang sangat panjang meliputi tiga daerah

waktu. Bentangan yang demikian panjang ini bila dikaitkan dengan konsep maṭla’

sebenarnya akan terbagi-bagi ke dalam banyak sekali maṭla’ yang masing-masing

seharusnya melakukan rukyah sendiri-sendiri.

2 Slamet Hambali, Wakil Ketua Lajnah Falakiyah PBNU, wawancara dilakukan pada tanggal 15 November 2012 jam 16.30 WIB. 3 Dalam hal ini sesuai dengan prinsip NU yang mendasarkan penetapan awal bulan melalui rukyah

Page 5: 5. BAB IVeprints.walisongo.ac.id/1483/6/105112043_Tesis_Bab4.pdf · penentuan awal bulan Ramadhan 1433 H di sedikitnya 70 titik ru’yah seluruh Indonesia. Ru’yah dilaksanakan pada

93

Menurut mazhab Syafi’i, jika terbukti ada ru’yah di suatu negeri, ru’yah

ini hanya berlaku untuk daerah-daerah yang dekat, yaitu yang masih satu mat}la’,

dengan kriteria satu matla’ adalah jarak 24 farsakh atau daerah sejauh 133 km.

Sedangkan negeri-negeri yang jauh (di atas 133 km), tidak terikat dengan ru’yah

yang terbukti di negeri tersebut.

Namun pengikut mazhab Syafii di Indonesia saat ini sebenarnya

tidaklah berpegang pada konsep maṭla’ ini. Sebab, jarak yang membentang

antara ujung barat sampai ujung timur Indonesia adalah 5200 km. Jika dalam

jarak 133 km ada satu maṭla’, maka di Indonesia akan ada sekitar 39 maṭla’.

Karena kesulitan ini, maka menurut KH Sahal Mahfuzh NU harus pindah mazhab

(intiqal mazhab). Dengan berbagai dalil NU tidak berpindah ke mazhab jumhur

ulama’, yakni satu ru’yah untuk seluruh dunia, melainkan konsep baru yang

diberi nama wilayat al- ḥukmi. Yaitu satu ru’yah berlaku untuk negara nasional

yang ada sekarang (Al Baghdadi, 2007, 101).

Dengan demikian dasar penetapan ini telah sesuai dengan keputusan

Majelis Ulama Indonesia tahun 2003 tentang Penentuan Awal Ramadhan, Awal

Syawal/Idul Fitri, dan Awal Zulhijjah/Idul Adha yang menyatakan bahwa

penentuan awal bulan Hijriyah berlaku maṭla’ masing-masing negara. Akan

tetapi untuk poin keputusan MUI yang menyatakan bahwa hasil Ru’yah dari

negara lain yang satu maṭla’ dengan Indonesia, maka dalam hal ini NU tetap

hanya menggunakan rukyah yang berada di lokasi wilayah negara Indonesia.

Page 6: 5. BAB IVeprints.walisongo.ac.id/1483/6/105112043_Tesis_Bab4.pdf · penentuan awal bulan Ramadhan 1433 H di sedikitnya 70 titik ru’yah seluruh Indonesia. Ru’yah dilaksanakan pada

94

Ru’yah yang diterima di Indonesia ialah ru’yah Nasional, yakni ru’yah

yang diselenggarakan di dalam negeri dan berlaku satu wilayah hukum.

Perbedaan hasil ru’yah di Indonesia dengan Negara lain seperti Saudi Arabia

tidaklah menjadi masalah. (Ghazalie Masroeri, 2010). Mengenai masalah maṭla’

ini telah lama NU menganut bahwa tidak ada perbedaan awal bulan dalam suatu

negara/pemerintahan, hal ini sudah tercantum dalam dokumen resmi NU (berita

Mabarat, berita Nahdhatul Ulama, Kumpulan Masalah Diniyah Muktamar NU,

dan AULA) sejak 1926-2003. Secara jelas dalam Munas Alim Ulama Situbondo

disebutkan dalam ahkâmu’l Fuqaha no. 342: “Penetapan Pemerintah tentang awal

Ramadlan dan Syawal dengan menggunakan dasar hisab, tidak wajib diikuti.

Sebab menurut jumhurus salaf bahwa tsubut awal Ramadlan dan awal Syawal itu

hanya birru’yah au itmamil adadi tsalatsina yauman.

Setelah itu pada Munas Alim Ulama NU di Pesantren Ihya Ulumuddin

Kesugihan, Cilacap pada 23-26 Rabi’ul Awal 1408 H/15-18 November 1987 M,

persoalan maṭla’ mulai diperbincangkan. Secara jelas disebutkan dalam ahkamu’l

Fuqaha no. 369 poin 5 b: “NU telah lama mengikuti pendapat ulama yang tidak

membedakan Maṭla’ dalam penetapan awal Ramadlan, Idul Fitri dan Idul Adha,

yakni ru’yatul hilal di salah satu tempat Indonesia yang diterima oleh Pemerintah

sebagai dasar penetapan awal Ramadlan, Idul Fitri dan Idul Adha berlaku di

seluruh Indonesia walaupun berbeda maṭla’nya”.

Demikian pula sesuai dengan keputusan dalam Musyawarah Nasional

Alim Ulama (15-16 Nopember 1987) sebagai berikut :

Page 7: 5. BAB IVeprints.walisongo.ac.id/1483/6/105112043_Tesis_Bab4.pdf · penentuan awal bulan Ramadhan 1433 H di sedikitnya 70 titik ru’yah seluruh Indonesia. Ru’yah dilaksanakan pada

95

Penanggalan yang diumumkan oleh hakim atau gubernur boleh dikukuhkan jika didasarkan pada metode melihat Bulan. NU telah lama mengikuti pendapat para ulama bahwa satu penanggalan yang pasti harus ditetapkan untuk Indonesia dengan mengabaikan aspek bulan (mathla’-pen) di seluruh negeri. Melaksanakan rukyah merupakan kewajiban agama dalam pandangan empat imam mazhab kecuali Hambali yang menganggapnya bermanfaat saja. Pelaksanaan Rukyah oleh Pemerintah sudah cukup bagi seluruh masyarakat muslim di Indonesia. Komisi Hisab dan Rukyah dalam NU harus melaksanakan prinsip Rukyah dengan menentukan awal bulan Sya’ban, awal Ramadhan dan melakukan rukyahpada malam 30 Syawal dan Dzulqa’idah kemudian melaporkan penemuannya tentang awal Dzulhijjah kepada Pemerintah karena Pemerintah sering tidak memberikan keterangan yang terperinci mengenai tanggal tersebut. Hasilnya harus disebarluaskan NU wilayah dan cabang di seluruh Indonesia. Semua warga NU di segala lapisan harus diinstruksikan untuk meneliti siaran Pemerintah mengenai tanggal tersebut, jika penanggalan berdasarkan rukyah harus diikuti, tetapi jika berdasarkan hisab, bisa diabaikan, dan tanggal yang sebenarnya adalah hari setelah diperluaskannya pengumuman tersebut. Pendekatan ini sesuai dengan keputusan NU sebelumnya dan UUD 1945 (Pasal 29 ayat 2). (Hooker, 2003:154)

Dari isi keputusan itu dapat disimpulkan bahwa penetapan awal bulan

terutama untuk bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah adalah dilakukan hanya

dengan ru’yatul hilal dan istikmal. Sedangkan Rukyah yang digunakan sebagai

dasar penentuan awal bulan adalah hasil rukyah di Indonesia dan berlaku di

seluruh wilayah Indonesia (wilayatul hukmi). Ini berarti bahwa laporan

keberhasilan rukyah di salah satu lokasi dapat diberlakukan bagi seluruh wilayah

Indonesia. Dengan demikian berdasarkan adanya laporan keberhasilan rukyah

dari salah satu lokasi maka ulil amri (pemerintah) dapat menetapkan keputusan

(itsbat) mengenai awal bulan yang diberlakukan bagi seluruh Indonesia. Setelah

dikeluarkan itsbat, maka NU mengeluarkan ikhbar tentang sikap NU mengenai

penentuan awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah

Page 8: 5. BAB IVeprints.walisongo.ac.id/1483/6/105112043_Tesis_Bab4.pdf · penentuan awal bulan Ramadhan 1433 H di sedikitnya 70 titik ru’yah seluruh Indonesia. Ru’yah dilaksanakan pada

96

atas dasar rukyatul hilal yang didukung dengan hisab yang akurat sesuai dengan

kriteria imkanur ru’yah. (Ghazalie Masroeri, 2010).

Pendekatan analisis maṭla’ secara astronomis digunakan dengan dasar

pemikiran bahwa ketidakpastian hasil ru’yah yang ditunjukkan oleh kurva garis

ru’yah. Batas kemungkinan daerah bisa diru’yah bisa digambarkan dengan kurva

ru’yah yang akan menggambarkan daerah yang kemungkinan bisa teru’yah dan

daerah yang kemungkinan tidak teru’yah. Kurva ini merupakan garis lengkung

yang menghubungkan tempat-tempat yang pada saat Matahari terbenam

mempunyai ketinggian hilal yang sama. Menurut Ilyas (dalam Anwar, 2008) zone

ketidakpastian ru’yah sebesar 200-300, dimana angka inilah yang digunakan untuk

kriteria imkanurru’yah-nya Ilyas, dengan kriteria beda tinggi bulan-matahari 40

untuk beda azimut besar dan 100 untuk beda azimut 00. Akan tetapi bila digunakan

kriteria imkanurru’yah 20 seperti yang digunakan Nahdlatul Ulama maka zone

ketidakpastian menjadi semakin besar. Merujuk bahwa data hilal yang dapat

teramati di Indonesia setelah dieliminasi dengan data yang meragukan, dapat

diambil kesimpulan bahwa ketinggian 20 sebagai batas imkanurru’yah ternyata

lemah setelah dianalisa. Batas imkanurru’yah 20 didasarkan hasil ru’yatul hilal

yang menyatakan posisi bulan yang teramati pada tanggal 29 Juni 1984 bertepatan

dengan 1 Syawal 1404 dimana dilaporkan hilal teramati di Jakarta, Pelabuhan

Ratu (Jawa Barat), dan Parepare (Sulsel). Sementara hasil analisis menunjukkan

bahwa pada saat itu terdapat obyek langit lain yang berpotensi dianggap seperti

hilal karena posisinya berdekatan dengan bulan. Obyek tersebut dari hasil

simulasi adalah Venus dan Merkurius yang memiliki kecerahan bisa ratusan kali

Page 9: 5. BAB IVeprints.walisongo.ac.id/1483/6/105112043_Tesis_Bab4.pdf · penentuan awal bulan Ramadhan 1433 H di sedikitnya 70 titik ru’yah seluruh Indonesia. Ru’yah dilaksanakan pada

97

lebih besar dari hilal.4 Dengan demikian angka 20 sebagai batas imkanurrkyat

masih tergolong asumsi karena tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, bahkan dapat

dikatakan masih terlalu jauh dari ambang batas imkanurrukyat yang dibuat oleh

para astronom.

Dengan kenyataan di atas apabila digunakan batas imkan ru’yah 20 maka

dengan menggunakan pendekatan astronomi, menurut penulis teori ketidakpastian

hasil ru’yah hanya dapat diberlakukan ke arah timur sepanjang tidak melebihi

garis batas imkan ru’yah 20 tersebut. Hal ini dengan dasar pemikiran bahwa

semakin ke arah timur posisi hilal semakin rendah, apalagi apabila sampai

melintasi garis batas imkanurru’yah maka semakin tidak mungkin untuk meru’yah

hilal. Daerah yang berada di sebelah timur garis kurve imkanurru’yah 20 adalah

daerah yang tidak mungkin akan menyaksikan hilal dan oleh karenanya bulan

yang masih berjalan dilakukan istikmal. Sementara daerah yang berada di sebelah

barat garis imkanuurkyat 20 sudah memenuhi imkanurru’yah, akan tetapi karena

NU tetap menggunakan ru’yah sebagai penentu awal bulan, maka apabila ada

laporan ru’yah di suatu tempat di zone ini maka malam itu dapat ditetapkan

sebagai awal bulan baru di seluruh zone yang sudah masuk persyaratan

imkanurru’yah.

Untuk memperjelas uraian di atas sebagai contoh kejadian pada awal

bulan Syawal 1426 (tahun 2005 M), dimana garis ketinggian hilal 20 membelah

wilayah Indonesia. Garis ini melintasi pulau Kalimantan dan kepulauan di

4 Lihat Ma’rufin, 2007, milis RHI

Page 10: 5. BAB IVeprints.walisongo.ac.id/1483/6/105112043_Tesis_Bab4.pdf · penentuan awal bulan Ramadhan 1433 H di sedikitnya 70 titik ru’yah seluruh Indonesia. Ru’yah dilaksanakan pada

98

Indonesia Bagian Timur. Laporan ru’yah menyatakan bahwa terlihat hilal di

Cakung dan Gresik (Arkanuddin, 2011).

Gambar 1.

Peta Ketinggian Hilal akhir Ramadhan 1426 H pada saat Matahari terbenam tanggal 2 November 2005 dalam derajat

Untuk mengetahui kota-kota mana saja yang sudah memenuhi

imkanurru’yah 20 dan kota-kota mana yang ketinggian hilalnya masih kurang dari

batas imkannurru’yah dapat dilihat pada tabel berikut :

Kota Koordinat Saat Matahari Terbenam Imkan

Rukyah Bujur Lintang Tinggi Umur Elongasi

Ambon 128.14E 3.42S 1.75 7.89 4.12 Tidak

Balikpapan 116.49E 1.15S 1.91 8.60 4.35 Tidak

Banda_Aceh 95.20E 5.35N 1.99 9.92 4.75 Tidak

Bandung 107.37E 6.57S 2.60 9.32 4.76 Ya

Banjarmasin 114.40E 3.22S 2.13 8.79 4.46 Ya

Denpasar 115.13E 8.37S 2.48 8.84 4.60 Ya

Gresik 112.39E 7.09S 2.46 8.99 4.64 Ya

JAKARTA 106.49E 6.10S 2.57 9.36 4.76 Ya

Jambi 103.38E 1.36S 2.33 9.49 4.71 Ya

Jayapura 140.38E 2.28S 1.31 7.04 3.81 Tidak

Kendari 122.35E 3.57S 1.93 8.27 4.27 Tidak

Kupang 123.55E 10.12S 2.31 8.29 4.41 Ya

Lhokseumawe 97.08E 5.11N 1.97 9.80 4.70 Tidak

Page 11: 5. BAB IVeprints.walisongo.ac.id/1483/6/105112043_Tesis_Bab4.pdf · penentuan awal bulan Ramadhan 1433 H di sedikitnya 70 titik ru’yah seluruh Indonesia. Ru’yah dilaksanakan pada

99

Makassar 119.27E 5.08S 2.11 8.50 4.38 Ya

Mataram 116.08E 8.35S 2.45 8.78 4.58 Ya

Medan 98.39E 3.33N 2.06 9.73 4.70 Ya

Menado 124.53E 1.33N 1.48 8.02 4.12 Tidak

Merauke 140.23E 8.30S 1.70 7.16 3.93 Tidak

Padang 100.21E 0.57S 2.37 9.70 4.77 Ya

Palangkaraya 113.56E 2.16S 2.07 8.82 4.45 Ya

Palembang 104.47E 2.57S 2.39 9.44 4.70 Ya

Palu 119.51E 0.54S 1.8 8.40 4.28 Tidak

Pekanbaru 101.28E 0.30N 2.23 9.60 4.69 Ya

Pel. Ratu 106.34E 7.02S 2.64 9.39 4.8 Ya

Pontianak 109.13E 0.05S 2.05 9.09 4.51 Ya

Samarinda 117.11E 0.28S 1.84 8.57 4.32 Tidak

Semarang 110.24E 7.00S 2.52 9.13 4.69 Ya

Yogyakarta 110.21E 7.48S 2.57 9.15 4.71 Ya

Sumber : Khafid, 2009

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa ada banyak kota-kota yang belum

masuk kriteria imkannurru’yah. Ini menjadi permasalahan tersendiri jika

dihubungkan dengan ketentuan Nahdlatul Ulama dalam penetapan awal bulan

yang mensyaratkan hilal harus terlihat melalui observasi dan ketinggiannya

mencapai minimal 20.

Bila dilakukan tinjauan maṭla’ dengan pendekatan fikih astronomi

dengan menggunakan persamaan yang diusulkan Nawawi (2004)5 maka untuk

kasus kejadian tahun 2005 (Syawal 1426) dimana dilaporkan klaim ru’yah dari

Cakung (106050’ BT dan 6012’ LS dan Gresik (112039’ BT dan 7009’ LS)

Maka batas maṭla’ ke arah timur dapat dihitung dari markaz Jakarta :

(2˚57’ - 2˚) : 0˚ 30’ 28,6” x 15 = 28˚03’15” (mencapai 134053’ BT,

yaitu provinsi Irian Jaya Barat)

5 Teori yang diusulkan nawawi (2004) dengan memperhitungkan kecepatan gerak semu Bumi dan Bulan (lihat Bab III)

Page 12: 5. BAB IVeprints.walisongo.ac.id/1483/6/105112043_Tesis_Bab4.pdf · penentuan awal bulan Ramadhan 1433 H di sedikitnya 70 titik ru’yah seluruh Indonesia. Ru’yah dilaksanakan pada

100

Dan bila dihitung dari markaz Gresik :

(2˚46’ - 2˚) : 0˚ 30’ 28,6” x 15 = 22˚38’5” (mencapai 135017’ BT,

yaitu provini Irian Jaya Barat). Dengan kata lain hampir seluruh

wilayah Indonesia bisa tercakupi.

Pemikiran tentang fikih astronomi juga bisa dibandingkan dengan pendapat

tentang penyusunan kalender Islam. Pemikiran para ahli dalam penentuan

kalender Islam menurut Iman (2009: 179) yang bersifat internasional sekarang

terdapat dua kecenderungan pokok. Pertama, kecenderungan kepada kalender

zonal dan kedua, kecenderungan kepada kalender unifikasi.

Kalender zonal masih bervariasi lagi dalam menentukan jumlah zonanya.

Diantaranya kalender yang digagas oleh Ilyas dengan membagi dunia ke dalam

tiga zone yaitu zona Asia-Pasifik dan Australia, zona Eropa, Asia Barat dan

Afrika, dan zona Amerika. Selanjutnya kalender yang digagas oleh Qasum yang

membagi kawasan dunia menjadi empat zona tanggal, sebagai berikut:

1) Zona pertama dari posisi 150° BT hingga 75° BT, yang meliputi Asia

Selatan, Timur dan Tenggara (India, Cina, Indonesia, Malaysia, dst.);

2) Zona kedua dari posisi 75° BT hingga 30° BT, yang meliputi Jazirah Arab,

Syam, Iran, Afganistan, bekas republik-republik Sofyet dan Rusia;

3) Zona ketiga dari posisi 30° BT hingga 45° BB, yang meliputi Afrika dan

Eropa; dan

4) Zona keempat dari posisi 45° BB hingga 120° BB, yang meliputi Amerika

Utara dan Amerika Selatan.

Page 13: 5. BAB IVeprints.walisongo.ac.id/1483/6/105112043_Tesis_Bab4.pdf · penentuan awal bulan Ramadhan 1433 H di sedikitnya 70 titik ru’yah seluruh Indonesia. Ru’yah dilaksanakan pada

101

Tipe ketiga adalah kalender Hijriyah Universal, pada tahun 2001 diusulkan oleh

Audah yang membagi dunia menjadi dua zone. Dari ketiga tipe kalender dengan

zone-zone tanggal tersebut mempunyai ketentuan bahwa bila di salah satu tempat

sudah teru’yah (dalam hal ini adalah ru’yah yang dihisab / imkanurru’yah) maka

dapat dilakukan transfer rukyah ke seluruh zone tersebut sehingga bulan baru bisa

di mulai. Awal bulan baru Qamariyah dapat diberlakukan untuk zone lain yang

terletak di sebelah Barat dari zone yang teru’yah (imkanrru’yah) tersebut,

sementara untuk zone lain yang berada di sebelah timurnya memulai awal bulan

baru sehari setelahnya.

Konsep satu maṭla’ wilayatul hukmi yang diterapkan oleh Nahdlatul

Ulama ini menurut penulis mirip dengan proses transfer rukyah pada sistem

kalender zonal di atas. Pada kalender zonal proses transfer rukyah diberlakukan

dalam satu zone tersebut, sementara konsep keberlakuan penentuan awal bulan

Nahdatul Ulama dimana bila ada laporan keberhasilan ru’yah6 di salah satu

tempat di seluruh wilayah Indonesia, maka dilakukan transfer ru’yah ke seluruh

wilayah agar dapat memulai awal bulan Qamariyah bersama-sama. Apakah

transfer rukyah dapat dilakukan ke seluruh wilayah Indonesia? Sehingga bila

seandainya keberhasilan rukyah berada hanya di bagian paling barat wilayah

Indonesia (Sabang atau di Pelabuhan Ratu) dapatkah ditransfer ke bagian paling

timur (Merauke atau Jayapura)? Dengan penggunaan metode ru’yah, baik ru’yah

bil fi’li atau ru’yah yang dihitung, maka muncullah ketidakpastian hasil rukyah, di

6 Ru’yah yang diterima laporannya adalah bila ketinggian hilal lebih dari 20 sesuai dengan kriteria yang dipegang Nahdlatul Ulama.

Page 14: 5. BAB IVeprints.walisongo.ac.id/1483/6/105112043_Tesis_Bab4.pdf · penentuan awal bulan Ramadhan 1433 H di sedikitnya 70 titik ru’yah seluruh Indonesia. Ru’yah dilaksanakan pada

102

satu tempat hilal terlihat dan di tempat lain tidak terlihat, dari sinilah berawal

munculnya konsep maṭla’7.

Pembahasan konsep maṭla’ disini difokuskan kepada maṭla’ lokal, karena

Nahdlataul Ulama tidak menggunakan maṭla’ global. Pembagian maṭla’ lokal

sendiri ada yang berdasarkan jarak, iklim, dan wilayatul hukmi. Sementara secara

astronomi batas keberlakuan maṭla’ adalah garis batas tanggal hijriyah dimana

batasnya adalah garis imkanuru’yah. Oleh karena itu penulis berpendapat bahwa

transfer ru’yah ke arah timur dapat dilakukan selagi daerah tersebut ketinggian

hilalnya sudah positif, dengan kata lain bahwa secara filosofis hilal telah

terbentuk. Sebaliknya transfer ru’yah tidak dapat dilakukan bila ketinggian hilal

masih di bawah ufuk. Hal ini sejalan dengan pendapat Audah (2009)

“Tidaklah dapat diterima secara syar’i dan ilmiah memulai bulan

hijriyah ketika ru’yah mustahil dilakukan di sejumlah bagian dunia

Islam. Bahkan pendukung hisab yang memegangi konjungsi dan menolak

ru’yahpun tidak akan menerima pengabaian seperti ini” 8.

Paham fikih dalam penentuan awal bulan ini menyatakan bahwa bila di

suatu tempat telah dapat dilihat hilal maka berlakulah ketentuan awal bulan untuk

seluruh negeri dimana berkuasa hakim (pemerintah). Dengan ketentuan di atas

wilayah negara Indonesia dapat dianggap sebagai satu kesatuan maṭla’ atau

kesatuan wilayah yang tidak terpecah-pecah. Sehingga begitu garis batas

imkanurru’yah mengenai wilayah Indonesia, maka ketentuan syara’ mengenai

keberlakuan ru’yah diberlakukan untuk seluruh wilayah negara tersebut.

7 Definisi dan pengertian matlak sudah dibahas pada bab III 8 Lihat lampiran kalender bersangkutan dalam ‘Audah, “al-Taqwîm al-Hijrî al-‘Âlami”,

http://www.icoproject.org/pdf/2001_UHD.pdf

Page 15: 5. BAB IVeprints.walisongo.ac.id/1483/6/105112043_Tesis_Bab4.pdf · penentuan awal bulan Ramadhan 1433 H di sedikitnya 70 titik ru’yah seluruh Indonesia. Ru’yah dilaksanakan pada

103

B. Analisa terhadap Penentuan Awal Bulan Qomariyah dengan Pendekatan

Wilayatul Hukmi Perspektif Muhammadiyah

Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan tertua di Indonesia yang

memiliki pengikut cukup besar memiliki tanggung jawab terhadap anggota serta

pengikutnya untuk memberikan arahan dalam masalah awal bulan Qomariyah.

Dalam hal penentuan awal bulan Qomariyah, Muhammadiyah sebagai gerakan

tajdid memahami bahwa perintah Nabi untuk penentuan awal bulan Qomariyah

tidak hanya dilakukan dengan rukyah tetapi pada saat ini dengan pengetahuan

modern yang sudah berkembang pesat maka dapat digunakan hisab.

Hisab yang digunakan digunakan di lingkungan Muhammadiyah adalah

hisab hakiki wujudul hilal, yaitu awal bulan Qomariyah dimulai apabila terpenuhi

tiga kriteria berikut :

1. Telah terjadi ijtimak (konjungsi)

2. Ijtimak (konjungsi) terjadi sebelum Matahari terbenam, dan

3. Pada saat terbenam Matahari priringan atas Bulan berada di atas ufuk

(bulan baru telah wujud). (Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah,

2009: 78)

Penggunaan ketiga kriteria tersebut digunakan secara kumulatif, dalam

arti ketiganya harus terpenuhi sekaligus. Apabila salah satu tidak terpenuhi maka

bulan baru belum mulai. Kriteria ini diilhami dari isyarat dalam firman Allah

SWT pada surat Yasin ayat 39.

Page 16: 5. BAB IVeprints.walisongo.ac.id/1483/6/105112043_Tesis_Bab4.pdf · penentuan awal bulan Ramadhan 1433 H di sedikitnya 70 titik ru’yah seluruh Indonesia. Ru’yah dilaksanakan pada

104

“Dan telah kami tetapkan bagi Bulan manzilah-manzilah, sehingga

(setelah sampai ke manzilah terakhir) kembalilah dia sebagai tandan yang tua.

Tidaklah mungkin bagi Matahari mendapatkan Bulan dan malam pun tidak dapat

mendahului siang. Masing-masing beredar menurut garis edarnya”. (Yasin

Selain ketentuan tersebut di atas Muhammadiyah juga memberlakukan

penentuan awal bulan Qomariyah dengan pendekatan wilayatul ṭukmi, yaitu

memberlakukan penentuan awal bulan untuk seluruh wilayah Indonesia. Ini

memberikan arti bahwa dimanapun di seluruh wilayah Indonesia telah memenuhi

ketiga persyaratan wujudul hilal tersebut di atas, maka seluruh wilayah Indonesia

dinyatakan sudah memasuki bulan baru. Dengan demikian berarti dalam satu

wilayah negara (Indonesia) awal bulan terjadi pada hari yang sama.

Dalam konteks Muhammadiyah, penentuan awal bulan hanya mencakup

wilayah hukum Indonesia saja. Sedangkan wilayah di luar wilayah Indonesia

tidak menjadikan hasil hisab untuk dipertimbangkan dalam penentuan awal

bulan.

Penggunaan pendekatan wilayatul hukmi dalam Muhammadiyah

terkandung maksud untuk menghindari mafsadat dengan cara penyeragaman hari

dalam mengawali bulan Qomariyah dalam suatu negara. Untuk itu

Muhammadiyah mengambil kebijakan bahwa penentuan awal bulan ini dilakukan

oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah setelah menerima masukan dari Pimpinan

Muhammadiyah di tingkat daerah. Dalam hal ini penetapan awal bulan

Page 17: 5. BAB IVeprints.walisongo.ac.id/1483/6/105112043_Tesis_Bab4.pdf · penentuan awal bulan Ramadhan 1433 H di sedikitnya 70 titik ru’yah seluruh Indonesia. Ru’yah dilaksanakan pada

105

Muhammadiyah dilakukan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat

Muhammadiyah.

Konsep wilayatul hukmi yang digunakan oleh Muhammadiyah adalah

merupakan wujud dari pelaksanaan Keputusan Musyawarah Nasional XXV

Tarjih Muhammadiyah tahun 20009. Dalam lampiran hasil keputusan Munas

tersebut pada salah satu poin memberikan arahan tentang pedoman Penetapan

Awal Bulan Qomariyah dan Maṭla’ dimana dijelaskan bahwa “Mathla’ yang

digunakan adalah Mathla’ yang didasarkan wilayatul hukmi”. Selanjutnya

Keputusan Munas tersebut diperkuat kembali dalam Musyawarah Nasional

XXVI Tarjih Muhammadiyah tahun 200310 yang juga menegaskan bahwa

“Mathla’ yang digunakan adalah mathla’ yang didasarkan pada wilayatul ṭukmi

(Indonesia)”.

Dengan melalui pendekatan wilayatul hukmi memberikan akibat bahwa

dalam satu wilayah negara (pemerintahan) hanya ada satu tanggal dalam satu

hari. Penerapan wilayatul hukmi tidak bermasalah bila diterapkan pada bulan-

bulan dimana hasil perhitungan hisab menunjukkan kesamaan untuk seluruh

wilayah Indonesia. Akan tetapi bila terjadi perbedaan hasil perhitungan dengan

ditunjukkan oleh hasil hisab ketinggian hilal dimana pada sebagian wilayah

bernilai positif yang berarti bahwa pada saat terbenam Matahari, posisi hilal

9 Musyawarah Nasional Tarjih XXV yang berlangsung pada tanggal 3 – 6 Rabiul Akhir 1421 H bertepatan dengan tanggal 5 – 8 Juli 2000 M bertempat di Pondok Gede Jakarta Timur dan dihadiri oleh anggota Tarjih Pusat 10 Musyawarah Nasional Tarjih XXVI berlangsung pada tanggal 5-9 Sya’ban 1424 H bertepatan dengan tanggal 1 – 5 Oktober 2003 bertempat di Padang, Sumatera Barat dan dihadiri oleh anggota Tarjih Pusat

Page 18: 5. BAB IVeprints.walisongo.ac.id/1483/6/105112043_Tesis_Bab4.pdf · penentuan awal bulan Ramadhan 1433 H di sedikitnya 70 titik ru’yah seluruh Indonesia. Ru’yah dilaksanakan pada

106

sudah di atas ufuk, sementara di sebagian wilayah yang lain ketinggian hilal

masih negatif yang berarti pada saat Matahari posisi Bulan masih di bawah ufuk.

Untuk kasus kejadian ini Muhammadiyah karena menggunakan prinsip wilayatul

hukmi maka daerah dengan ketinggian hilal masih negatif dapat dimasukkan ke

dalam daerah yang sudah positif posisi hilalnya sehingga daerah itupun bisa

memasuki awal bulan baru pada saat tersebut.

Dalam keadaan kondisi tersebut diatas dapat dilihat bahwa batas

penanggalan qomariyah melewati Indonesia11. Garis batas wujudul hilal yang

menandai batas penanggalan ini pada saat-saat tertentu akan melintasi Indonesia

sehingga pada saat inilah menurut Muhammadiyah pendekatan wilayatul hukmi

harus dilakukan agar tidak terjadi perbedaan tanggal pada hari yang sama.

Sementara itu, bila garis batas wujudul hilal membelah wilayah

kesatuan Republik Indonesia yang “besarnya hampir sama”12, maka Pimpinan

Pusat Muhammadiyah akan menggunakan kriteria wujudul hilal nasional13 dalam

menentukan awal bulan qomariyah, khususnya awal Ramadhan, Syawal, dan

Dzulhijjah. Hal ini dilakukan dalam rangka membangun kemaslahatan dan

kebersamaan internal Muhammadiyah14. Namun jika garis batas wujudul hilal

membelah dua wilayah kesatuan Republik Indonesia dan sebagian besar sudah

11 Yaitu maksudnya garis batas penanggalan yang dihisab dengan kriteria wujudul hilal, atau selanjutnya disebut garis batas wujudul hilal. 12 Perhatikan kasus awal Syawal 1381 H/1962 dan awal Syawal 1427 H/2006 13 Menurut teori ini awal bulan qomariyah dimulai apabila setelah terjadi ijtimak (conjunction) Matahari tenggelam lebih dahulu dibandingkan Bulan (moonset after sunset), pada saat itu posisi Bulan di atas ufuk di seluruh wilayah Indonesia. Artinya pada saat Matahari terbenam (sumset) secara filosofis hilal sudah ada di seluruh Indonesia. 14 Hal ini sebagai aplikasi Manhaj Tarjih Muhammadiyah model Istislahi/Burhani. Uraian selengkapnya baca Manhaj Tarjih Muhammadiyah.

Page 19: 5. BAB IVeprints.walisongo.ac.id/1483/6/105112043_Tesis_Bab4.pdf · penentuan awal bulan Ramadhan 1433 H di sedikitnya 70 titik ru’yah seluruh Indonesia. Ru’yah dilaksanakan pada

107

wujud15 maka diberlakukan konsep maṭla’ sebagaimana yang tertuang dalam

putusan Munas Tarjih di Padang tahun 2003 (Majelis Tarjih dan Tajdid PP

Muhammadiyah, 2008).

Hal ini pernah terjadi pada tahun 2007, yaitu pada saat awal bulan

Syawal, dimana pada saat itu ijtimak terjadi tanggal 11 Oktober 2007 pada jam

12.02 WIB. Pada saat Matahari terbenam di wilayah Indonesia terdapat sebagian

wilayah dimana hilal sudah di atas ufuk, sementara di sebagian wilayah lain hilal

masih di bawah ufuk (lihat gambar 2). Dengan berdasarkan keadaan demikian

Muhammadiyah mengeluarkan maklumat nomor : 03/MLM/I.0/E/2007 tentang

Penetapan 1 Syawal 1428 Hijriyah, yang menyatakan bahwa berdasarkan hisab

wujudul hilal dan pemberlakuan maṭla’ wilayatul hukmi maka tanggal 1 syawal

1428 jatuh pada tanggal 12 Oktober 2007.

Gambar 3 :

Garis batas wujudul hilal penanda akhir Ramadhan 1428 H

15 Perhatikan awal Syawal 1423 H/2002 M.

Page 20: 5. BAB IVeprints.walisongo.ac.id/1483/6/105112043_Tesis_Bab4.pdf · penentuan awal bulan Ramadhan 1433 H di sedikitnya 70 titik ru’yah seluruh Indonesia. Ru’yah dilaksanakan pada

108

Dengan melihat kasus di atas, maka menurut Djamaluddin (2003), akan

menimbulkan masalah. Penggunaan hisab murni yang dianut Muhammadiyah16

tanpa mengadopsi kriteria ru’yah17 akan kontradiksi dengan penggunaan maṭla’.

Konsepsi maṭla’ berangkat dari ketidakpastian ru’yah. Di satu daerah hilal

tampak, dan di daerah lain tidak tampak. Pada zaman Ibnu Abbas maṭla’ dapat

diterapkan tanpa masalah karena komunikasi antar daerah masih sangat buruk.

Tetapi dengan makin baiknya komunikasi kesaksian ru’yatul hilal di suatu daerah

segera dapat tersebar. Dalam hal ini konsep maṭla’ diperlukan karena untuk

memberikan kepastian keberlakuan ru’yatul hilal. Dengan hisab murni maṭla’

tidak diperlukan lagi. Garis tanggal dapat digunakan sebagai pembatas daerah

yang mana yang masuk tanggal lebih dahulu daripada daerah yang lain. Tetapi

dengan konsekuensi kemungkinan satu wilayah hukum terpecah dua

(Djamaluddin, 2003).

Pendapat Djamaluddin tersebut di atas menganalisa konsep maṭla’

dengan pendekatan astronomis. Sehingga dengan demikian keputusan Pimpinan

Pusat Muhammadiyah yang menggunakan konsep wilayatul hukmi untuk

penetapan awal Syawal 1428 tersebut berpotensi tidak terpenuhinya persyaratan

syar’i dalam mengakhiri Ramadhan. Muhammadiyah berpandangan bahwa dalam

mengawali dan mengakhiri bulan dimana salah satu persyaratannya adalah pada

saat terbenamnya Matahari, Bulan sudah di atas ufuk (Majelis Tarjih dan Tajdid

16 Hisab murni yang dimaksud adalah hisab wujudul hilal yang dipegang Muhammadiyah, yaitu hisab yang mendasarkan awal bulan qomariyah berdasarkan bulan baru astronomi atau ijtimak.(lihat Djamaluddin, 2003, Pengertian dan Perbandingan Mazhab tentang Hisab dan Ru’yah, makalah disampaikan pada Munas Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah di Padang). 17 Maksudnya kriteria imkanurru’yah.

Page 21: 5. BAB IVeprints.walisongo.ac.id/1483/6/105112043_Tesis_Bab4.pdf · penentuan awal bulan Ramadhan 1433 H di sedikitnya 70 titik ru’yah seluruh Indonesia. Ru’yah dilaksanakan pada

109

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2009). Sementara bila dilihat dari gambar 3 di

atas terdapat beberapa daerah yang pada saat Matahari terbenam ketinggian

hilalnya masih minus dengan kata lain masih dibawah ufuk. Dengan demikian

daerah di sebelah kanan garis wujudul hilal tersebut memulai awal bulan Syawal

tidak sesuai dengan ketentuan PP Muhammadiyah.

Dari perspektif fikih, Muhammadiyah sebenarnya berusaha untuk

menggabungkan konsepsi maṭla’ yang telah dikonstruksikan oleh para ulama,

yang mana konsep maṭla’ tersebut berangkat dari pengamatan hilal secara

langsung (rukyah bil fi’li), dan menerapkan konsep maṭla’ ke dalam penentuan

awal bulan melalui hisab wujudul hilal. Pelaksanaan pendekatan astronomi murni

dalam masalah wilayah keberlakuan awal bulan tentu akan sangat menyulitkan.

Belum lagi apabila dikaitkan dengan perbedaan wilayah administrasi kota atau

provinsi, dalam lokasi kota yang berdekatan bisa berbeda awal bulannya dengan

penerapan garis tanggal. Dengan demikian sebetulnya melalui pendekatan

wilayatul hukmi yang merupakan salah satu mazhab dalam masalah maṭla’,

Muhammadiyah berusaha untuk melakukan penyatuan awal bulan dalam wilayah

negara Indonesia.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah tidak bisa mengingkari kenyataan

mengenai daerah yang hilalnya masih di bawah ufuk pada keadaan kasus

tersebut. Oleh karena itu Pimpinan Pusat Muhammadiyah memahami bahwa

menjelang 1 syawal 142818 di sebagian daerah hilal belum wujud. Sehingga

18 Kasus ini juga terjadi pada saat akhir Ramadhan 1427 atau menjelang awal Syawal 1427 bertepatan dengan 22 Oktober 2006, ketika itu garis wujudul hilal membelah Indonesia sehingga

Page 22: 5. BAB IVeprints.walisongo.ac.id/1483/6/105112043_Tesis_Bab4.pdf · penentuan awal bulan Ramadhan 1433 H di sedikitnya 70 titik ru’yah seluruh Indonesia. Ru’yah dilaksanakan pada

110

Muhammadiyah memahami dan menghargai pendapat dan keyakinan warga

Muhammadiyah yang berada di daerah-daerah yang hilalnya belum wujud untuk

mengamalkan ibadah idul fitri sesuai dengan pemahaman dan keyakinannya.

Dengan demikian PP Muhammadiyah memberikan kesempatan warganya untuk

melakukan istikmal atau menggenapkan bulan berjalan (Ramadhan) menjadi tiga

puluh (30) hari.

Penulis berpendapat bahwa dengan kebolehan warga Muhammadiyah

untuk beridul fitri tidak sama dengan keputusan PP Muhammadiyah

menunjukkan bahwa ternyata konsep wilayatul hukmi yang dipegang

Muhammadiyah belum bisa dilaksanakan secara konsisten. Masih terdapat

keraguan untuk memberlakukan secara tegas keputusan ini terutama apabila garis

batas wujudul hilal membelah Indonesia.

Muhammadiyah masih menyisakan persoalan adalah karena adanya maṭla’

wilayatul hukmi (satu kesatuan hukum wilayah Indonesia), sehingga ketika terjadi

kasus garis batas wujudul hilal melewati wilayah Indonesia dan membagi wilayah

Indonesia menjadi dua bagian (sudah wujud dan belum wujud). Timbul persoalan,

bagian mana yang harus mengikuti, yang sudah wujud mengikuti yang belum

wujud atau sebaliknya yang belum wujud mengikuti yang sudah wujud?

(Amiruddin, 2007).

Bertolak dari kasus di atas maka usulan kriteria wilayatul hukmi baru

seperti yang diusulkan oleh Azhari (2007), patut dipertimbangkan oleh

di sebagian timur Indonesia pada saat Matahari terbenam hilal sudah di bawah ufuk (bulan terbenam lebih dulu)

Page 23: 5. BAB IVeprints.walisongo.ac.id/1483/6/105112043_Tesis_Bab4.pdf · penentuan awal bulan Ramadhan 1433 H di sedikitnya 70 titik ru’yah seluruh Indonesia. Ru’yah dilaksanakan pada

111

Muhammadiyah. Kriteria yang diusulkan tersebut adalah bahwa awal bulan

qomariyah dimulai ketika setelah ijtimak Matahari terbenam terlebih dahulu

dibandingkan Bulan (moonset after sunset), pada saat itu posisi hilal di atas ufuk

di seluruh Indonesia19. Kriteria ini dibangun dengan kehendak untuk

mendasarkan nalar integrasi-ilmiah yang merupakan kombinasi dan integrasi

antara nalar literal-inderawi dan nalar rasional-ilmiah. Hal ini berdasarkan

pemikiran untuk mendapatkan titik temu antara hisab dan rukyah perlu

mempertemukan persepsi tentang hilal. Rumusan yang diajukan adalah : Hilal

adalah bulan setelah ijtimak yang secara filosofis pada saat terbenam matahari

(sunset) telah ada di seluruh wilayah Indonesia.

Dengan menggunakan kriteria ini maka akan dapat dipastikan bahwa

ketika memasuki bulan baru (lebih khusus lagi untuk bulan Romadhon, Syawal,

dan Zulhijjah) semua wilayah Indonesia telah mengalami hilal di atas ufuk,

sehingga apa yang menjadi kriteria wujudul hilal sesuai dengan pedoman

Pimpinan Pusat Muhammadiyah sudah terpenuhi. Dengan demikian akan

menghindari membawa daerah yang belum memenuhi kriteria untuk mengikuti

daerah yang telah memenuhi kriteria. Meskipun demikian terdapat pula

kelemahan dari kriteria wujudul hilal Indonesia, yaitu untuk daerah di sebelah

Barat garis batas wujudul hilal terpaksa harus menunggu daerah di sebelah timur

untuk memulai bulan baru.

19 Bandingkan dengan pendapat Saadoe’ddin Djambek (1976: 39) dalam bukunya berjudul Hisab Awal Bulan, yang berpendapat agar garis batas tanggal dibelokkan ke arah Barat apabila melintasi pulau.

Page 24: 5. BAB IVeprints.walisongo.ac.id/1483/6/105112043_Tesis_Bab4.pdf · penentuan awal bulan Ramadhan 1433 H di sedikitnya 70 titik ru’yah seluruh Indonesia. Ru’yah dilaksanakan pada

112

Untuk mengatasi hal tersebut dapat pula dengan menggunakan konsep

maṭla’ secara astronomis, yaitu menggunakan batas tanggal sebagai batas

maṭla’. Ini dapat dilakukan dengan membuat daftar kota-kota yang telah masuk

awal bulan, yang berarti bulan telah wujud dan daftar kota-kota yang harus

menunggu 1 hari lagi untuk memasuki bulan baru dikarenakan bulan telah wujud.

Pemilihan “kota” sebagai batas wujudul hilal dapat juga diperluas dengan

“pulau” sesuai dengan pertimbangan mana yang lebih kecil maḍaratnya dan lebih

besar manfaatnya. Dengan cara ini dalam satu negara Indonesia dimungkinkan

ada dua penanggalan yang diberlakukan. Ini sesuai dengan pendapat Djamaluddin

(2003) yang menyatakan bahwa :

........Dengan hisab murni, matla’ tidak diperlukan lagi. Garis tanggal dapat digunakan sebagai pembatas daerah yang mana yang masuk tanggal lebih dahulu dari daerah lainnya. Tentu dengan konsekuensi kemungkinan satu wilayah hukum terpecah dua....

Apabila ini diterapkan berarti bila garis batas wujudul hilal melintas

Indonesia, daerah yang terletak di sebelah barat garis akan memulai masuk

tanggal 1 lebih dahulu dari pada daerah di sebelah timurnya. Dan praktek ini

sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh Muhammadiyah pada syawal 1381 H

(tahun 1962), dimana ketika itu hilal membelah wilayah Indonesia, sebagian hilal

sudah wujud dan sebagian lainnya hilal belum wujud. Maka melalui surat edaran

yang dikeluarkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah tertanggal 26 Januari

1962 Nomor III/IV.A/1962, menyatakan bahwa untuk daerah sebelah barat

Makasar lebaran tanggal 7 Maret 1962 sedangkan daerah sebelah timur Makasar

berlebaran tanggal 8 Maret 1962.