5. BAB IVeprints.walisongo.ac.id/1483/6/105112043_Tesis_Bab4.pdf · penentuan awal bulan Ramadhan...
Transcript of 5. BAB IVeprints.walisongo.ac.id/1483/6/105112043_Tesis_Bab4.pdf · penentuan awal bulan Ramadhan...
89
BAB IV
AKTUALISASI KONSEP WILĀYATUL ḤUKMI DALAM PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYAH
A. Analisa terhadap Penentuan Awal Bulan Qamariyah dengan Pendekatan
Wilayatul Ḥukmi Perspektif NU
Nahdlatul Ulama sebagai organisasi masa keagamaan dengan jumlah
pengikut terbesar di Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah, yang
menjunjung tinggi dan mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad Ṣalallāhu ‘alaihi
wa sallam serta tuntunan para sahabat dan hasil ijtihad para ulama madzab empat
(Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Metode yang digunakan dalam penentuan
awal bulan di organisasi ini adalah dengan metode imkanurru’yah dengan kriteria
masuk bulan baru bila ketinggian hilal pada saat Matahari terbenam lebih dari dari
20. Namun, NU tidak menerapkan hasil hitungan ini dalam tiga bulan Qamariyah
seperti bulan Ramaḍan, Syawwal dan Żulhijjah, karena mereka menunggu hasil
rukyah di lapangan. (Nawawi. S.A., 2004:19).
Organisasi Nahdlatul Ulama berpendapat bahwa penetapan awal bulan
terutama yang berkaitan dengan ibadah (Ramaḍan, Syawwal dan Żulhijjah)
haruslah ditempuh dengan rukyah. Hal ini karena menurut NU mereka berpegang
pada tuntunan hadis-hadis Rasulullah Ṣalallāhu ‘alaihi wa sallam yang jumlahnya
tidak kurang dari 23 buah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, an-Nasa;i, Ibnu Majah, at-Tirmidzi, Imam Malik, Ahmad bin Hambal, ad-
Darimi, Ibnu Hibban, al-Hakim, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, dll., yakni
menggunakan dasar ru’yatul hilal bil fi’li yaitu melihat hilal langsung di lapangan
90
pada hari ke-29 (malam ke-30) atau menggunakan dasar istikmal yaitu
menyempurnakan umur bulan menjadi 30 hari, manakala pada hari ke-29 (malam
ke-30) itu hilal tak berhasil di-ru’yah. (Nawawi.S.A., 2010: 37)
Dalam hal urusan penentuan awal bulan ini, Nahdlatul Ulama telah
membentuk sub organisasi yang berada di bawah Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama, yang kemudian diberi nama Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama. Tugas
utama dari lembaga ini adalah melakukan kajian dan penelitian permasalahan
Falakiyah yang sebenarnya tidak hanya mencakup permasalahan awal bulan, akan
tetapi lebih luas adalah masalah yang berkaitan dengan ke-falakiyah-an, yaitu
meliputi permasalahan awal bulan termasuk di dalamnya kalender, waktu shalat,
arah kiblat, dan gerhana. Lembaga ini bertujuan untuk memberikan penjelasan
secara praktis maupun keilmuwan kepada masyarakat luas dan lebih-lebih
terutama kepada anggotanya untuk memperoleh pemahaman mengenai persoalan-
persoalan yang berkaitan dengan masalah tersebut. Hal ini dirasa penting
mengingat bahwa masalah ini adalah masalah pokok dalam peribadatan, dimana
pelaksanaan ibadah akan menjadi syah secara syar’i salah satunya adalah dengan
memenuhi ketetapan mengenai masalah ke-falakiyah-an ini.
Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) didirikan dari tingkat pusat
sampai daerah sebagai wadah berhimpunnya ahli hisab, astronom, dan ahli
rukyah; menyelenggarakan diklat hisab dan rukyah dari tingkat dasar sampai
tingkat mahir; menangani masalah-masalah kefalakiyahan dan pemanfaatannya.
Setiap menjelang awal tahun, LFNU menyelenggarakan musyawarah ahli hisab,
astronom, dan ahli rukyah untuk merumuskan hitungan hisab kalender tahun-
91
tahun berikutnya. Hisab jama’i/kolektif/penyerasian, diumumkan melalui almanak
setiap tahun dan digunakan untuk penyelenggaraan rukyatul hilal. (Ghazalie
Masroeri, 2010).
Pelaksanaan rukyah hilal oleh Nahdlatul Ulama dilakukan dengan
membentuk dan menyiapkan pelaksanaan rukyah yang tersebar di berbagai tempat
di seluruh Indonesia. Pelaksana rukyah yang tergabung dalam organisasi ini
sebelumnya telah dibekali pengetahuan mengenai teknis rukyah melalui pelatihan-
pelatihan yang diselenggarakan, sehingga pelaksana rukyah adalah orang-orang
yang telah dianggap memiliki ketrampilan teknis dan pengetahuan yang
memenuhi syarat.
Tempat pelaksanaan ru’yah yang dikoordinir oleh Nahdlatul Ulama
melalui Lajnah Falakiyah NU (LFNU) tersebar di seluruh wilayah Indonesia,
sebagai contoh untuk melakukan rukyah awal bulan Ramadhan dilaksanakan di
lebih dari 70 lokasi1 (Khoirul Anam, 2012). Lokasi ru’yah yang tersebar di
seluruh wilayah ini bertujuan agar hasil ru’yah dapat merepresentasikan
keseluruhan wilayah Indonesia. Demikian pula diharapkan agar bila ada sebagian
wilayah Indonesia yang tertutup awan, maka pada lokasi yang lain cuacanya cerah
sehingga pelaksanaan ru’yatul hilal dapat berhasil. Seperti yang disampaikan oleh
1 Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) melaksanakan rukyatul hilal untuk penentuan awal bulan Ramadhan 1433 H di sedikitnya 70 titik ru’yah seluruh Indonesia. Ru’yah dilaksanakan pada Kamis 19 Juli 2012, bertepatan dengan 29 Sya’ban 1433 H.Rukyatul hilal atau observasi bulan sabit juga didukung oleh 120 peru’yah bersertifikat nasional, dan para ahli hisab-ru’yah setempat. (NU Online, Penentuan Aal Ramadhan 1433 H Lajnah Falakiyah Siap Ru’yah di 70 Titik)
92
Slamet Hambali2 dengan lokasi yang tersebar itu maka laporan dari salah satu titik
saja dari manapun lokasi rukyah tersebut dapat digunakan sebagai dasar bagi
PBNU untuk menetapkan awal bulan bagi seluruh wilayah Indonesia.
Sementara mengenai wilayah keberlakuan penentuan awal bulan ini3 NU
menganut pendekatan bahwa hasil ru’yah diberlakukan untuk seluruh wilayah
Indonesia. NU berpandangan bahwa karena Indonesia merupakan satu kesatuan
wilayah kekuasaan (pemerintahan) maka dalam hal penentuan awal bulan
haruslah dicapai kesamaan. Ru’yah yang diterima sebagai dasar adalah hasil
ru’yah di Indonesia (bukan ru’yah global) dengan wawasan satu wilayah hukum
NKRI. Sehingga apabila salah satu tempat di Indonesia dapat menyaksikan hilal,
maka hasil ru’yah demikian ini menjadi dasar itsbatul aam yang berlaku bagi umat
Islam di seluruh Indonesia (Ghazalie Masroeri, 2012).
Hal ini mengisyaratkan bahwa Nahdlatul Ulama sebagai ormas keagamaan
terbesar di Indonesia menginginkan bahwa dalam satu wilayah pemerintahan
negara Indonesia dalam urusan penentuan awal bulan hendaknya dicapai satu
kesatuan meskipun wilayah negara Indonesia yang membentang dari Sabang
sampai Merauke dengan bentangan yang sangat panjang meliputi tiga daerah
waktu. Bentangan yang demikian panjang ini bila dikaitkan dengan konsep maṭla’
sebenarnya akan terbagi-bagi ke dalam banyak sekali maṭla’ yang masing-masing
seharusnya melakukan rukyah sendiri-sendiri.
2 Slamet Hambali, Wakil Ketua Lajnah Falakiyah PBNU, wawancara dilakukan pada tanggal 15 November 2012 jam 16.30 WIB. 3 Dalam hal ini sesuai dengan prinsip NU yang mendasarkan penetapan awal bulan melalui rukyah
93
Menurut mazhab Syafi’i, jika terbukti ada ru’yah di suatu negeri, ru’yah
ini hanya berlaku untuk daerah-daerah yang dekat, yaitu yang masih satu mat}la’,
dengan kriteria satu matla’ adalah jarak 24 farsakh atau daerah sejauh 133 km.
Sedangkan negeri-negeri yang jauh (di atas 133 km), tidak terikat dengan ru’yah
yang terbukti di negeri tersebut.
Namun pengikut mazhab Syafii di Indonesia saat ini sebenarnya
tidaklah berpegang pada konsep maṭla’ ini. Sebab, jarak yang membentang
antara ujung barat sampai ujung timur Indonesia adalah 5200 km. Jika dalam
jarak 133 km ada satu maṭla’, maka di Indonesia akan ada sekitar 39 maṭla’.
Karena kesulitan ini, maka menurut KH Sahal Mahfuzh NU harus pindah mazhab
(intiqal mazhab). Dengan berbagai dalil NU tidak berpindah ke mazhab jumhur
ulama’, yakni satu ru’yah untuk seluruh dunia, melainkan konsep baru yang
diberi nama wilayat al- ḥukmi. Yaitu satu ru’yah berlaku untuk negara nasional
yang ada sekarang (Al Baghdadi, 2007, 101).
Dengan demikian dasar penetapan ini telah sesuai dengan keputusan
Majelis Ulama Indonesia tahun 2003 tentang Penentuan Awal Ramadhan, Awal
Syawal/Idul Fitri, dan Awal Zulhijjah/Idul Adha yang menyatakan bahwa
penentuan awal bulan Hijriyah berlaku maṭla’ masing-masing negara. Akan
tetapi untuk poin keputusan MUI yang menyatakan bahwa hasil Ru’yah dari
negara lain yang satu maṭla’ dengan Indonesia, maka dalam hal ini NU tetap
hanya menggunakan rukyah yang berada di lokasi wilayah negara Indonesia.
94
Ru’yah yang diterima di Indonesia ialah ru’yah Nasional, yakni ru’yah
yang diselenggarakan di dalam negeri dan berlaku satu wilayah hukum.
Perbedaan hasil ru’yah di Indonesia dengan Negara lain seperti Saudi Arabia
tidaklah menjadi masalah. (Ghazalie Masroeri, 2010). Mengenai masalah maṭla’
ini telah lama NU menganut bahwa tidak ada perbedaan awal bulan dalam suatu
negara/pemerintahan, hal ini sudah tercantum dalam dokumen resmi NU (berita
Mabarat, berita Nahdhatul Ulama, Kumpulan Masalah Diniyah Muktamar NU,
dan AULA) sejak 1926-2003. Secara jelas dalam Munas Alim Ulama Situbondo
disebutkan dalam ahkâmu’l Fuqaha no. 342: “Penetapan Pemerintah tentang awal
Ramadlan dan Syawal dengan menggunakan dasar hisab, tidak wajib diikuti.
Sebab menurut jumhurus salaf bahwa tsubut awal Ramadlan dan awal Syawal itu
hanya birru’yah au itmamil adadi tsalatsina yauman.
Setelah itu pada Munas Alim Ulama NU di Pesantren Ihya Ulumuddin
Kesugihan, Cilacap pada 23-26 Rabi’ul Awal 1408 H/15-18 November 1987 M,
persoalan maṭla’ mulai diperbincangkan. Secara jelas disebutkan dalam ahkamu’l
Fuqaha no. 369 poin 5 b: “NU telah lama mengikuti pendapat ulama yang tidak
membedakan Maṭla’ dalam penetapan awal Ramadlan, Idul Fitri dan Idul Adha,
yakni ru’yatul hilal di salah satu tempat Indonesia yang diterima oleh Pemerintah
sebagai dasar penetapan awal Ramadlan, Idul Fitri dan Idul Adha berlaku di
seluruh Indonesia walaupun berbeda maṭla’nya”.
Demikian pula sesuai dengan keputusan dalam Musyawarah Nasional
Alim Ulama (15-16 Nopember 1987) sebagai berikut :
95
Penanggalan yang diumumkan oleh hakim atau gubernur boleh dikukuhkan jika didasarkan pada metode melihat Bulan. NU telah lama mengikuti pendapat para ulama bahwa satu penanggalan yang pasti harus ditetapkan untuk Indonesia dengan mengabaikan aspek bulan (mathla’-pen) di seluruh negeri. Melaksanakan rukyah merupakan kewajiban agama dalam pandangan empat imam mazhab kecuali Hambali yang menganggapnya bermanfaat saja. Pelaksanaan Rukyah oleh Pemerintah sudah cukup bagi seluruh masyarakat muslim di Indonesia. Komisi Hisab dan Rukyah dalam NU harus melaksanakan prinsip Rukyah dengan menentukan awal bulan Sya’ban, awal Ramadhan dan melakukan rukyahpada malam 30 Syawal dan Dzulqa’idah kemudian melaporkan penemuannya tentang awal Dzulhijjah kepada Pemerintah karena Pemerintah sering tidak memberikan keterangan yang terperinci mengenai tanggal tersebut. Hasilnya harus disebarluaskan NU wilayah dan cabang di seluruh Indonesia. Semua warga NU di segala lapisan harus diinstruksikan untuk meneliti siaran Pemerintah mengenai tanggal tersebut, jika penanggalan berdasarkan rukyah harus diikuti, tetapi jika berdasarkan hisab, bisa diabaikan, dan tanggal yang sebenarnya adalah hari setelah diperluaskannya pengumuman tersebut. Pendekatan ini sesuai dengan keputusan NU sebelumnya dan UUD 1945 (Pasal 29 ayat 2). (Hooker, 2003:154)
Dari isi keputusan itu dapat disimpulkan bahwa penetapan awal bulan
terutama untuk bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah adalah dilakukan hanya
dengan ru’yatul hilal dan istikmal. Sedangkan Rukyah yang digunakan sebagai
dasar penentuan awal bulan adalah hasil rukyah di Indonesia dan berlaku di
seluruh wilayah Indonesia (wilayatul hukmi). Ini berarti bahwa laporan
keberhasilan rukyah di salah satu lokasi dapat diberlakukan bagi seluruh wilayah
Indonesia. Dengan demikian berdasarkan adanya laporan keberhasilan rukyah
dari salah satu lokasi maka ulil amri (pemerintah) dapat menetapkan keputusan
(itsbat) mengenai awal bulan yang diberlakukan bagi seluruh Indonesia. Setelah
dikeluarkan itsbat, maka NU mengeluarkan ikhbar tentang sikap NU mengenai
penentuan awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah
96
atas dasar rukyatul hilal yang didukung dengan hisab yang akurat sesuai dengan
kriteria imkanur ru’yah. (Ghazalie Masroeri, 2010).
Pendekatan analisis maṭla’ secara astronomis digunakan dengan dasar
pemikiran bahwa ketidakpastian hasil ru’yah yang ditunjukkan oleh kurva garis
ru’yah. Batas kemungkinan daerah bisa diru’yah bisa digambarkan dengan kurva
ru’yah yang akan menggambarkan daerah yang kemungkinan bisa teru’yah dan
daerah yang kemungkinan tidak teru’yah. Kurva ini merupakan garis lengkung
yang menghubungkan tempat-tempat yang pada saat Matahari terbenam
mempunyai ketinggian hilal yang sama. Menurut Ilyas (dalam Anwar, 2008) zone
ketidakpastian ru’yah sebesar 200-300, dimana angka inilah yang digunakan untuk
kriteria imkanurru’yah-nya Ilyas, dengan kriteria beda tinggi bulan-matahari 40
untuk beda azimut besar dan 100 untuk beda azimut 00. Akan tetapi bila digunakan
kriteria imkanurru’yah 20 seperti yang digunakan Nahdlatul Ulama maka zone
ketidakpastian menjadi semakin besar. Merujuk bahwa data hilal yang dapat
teramati di Indonesia setelah dieliminasi dengan data yang meragukan, dapat
diambil kesimpulan bahwa ketinggian 20 sebagai batas imkanurru’yah ternyata
lemah setelah dianalisa. Batas imkanurru’yah 20 didasarkan hasil ru’yatul hilal
yang menyatakan posisi bulan yang teramati pada tanggal 29 Juni 1984 bertepatan
dengan 1 Syawal 1404 dimana dilaporkan hilal teramati di Jakarta, Pelabuhan
Ratu (Jawa Barat), dan Parepare (Sulsel). Sementara hasil analisis menunjukkan
bahwa pada saat itu terdapat obyek langit lain yang berpotensi dianggap seperti
hilal karena posisinya berdekatan dengan bulan. Obyek tersebut dari hasil
simulasi adalah Venus dan Merkurius yang memiliki kecerahan bisa ratusan kali
97
lebih besar dari hilal.4 Dengan demikian angka 20 sebagai batas imkanurrkyat
masih tergolong asumsi karena tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, bahkan dapat
dikatakan masih terlalu jauh dari ambang batas imkanurrukyat yang dibuat oleh
para astronom.
Dengan kenyataan di atas apabila digunakan batas imkan ru’yah 20 maka
dengan menggunakan pendekatan astronomi, menurut penulis teori ketidakpastian
hasil ru’yah hanya dapat diberlakukan ke arah timur sepanjang tidak melebihi
garis batas imkan ru’yah 20 tersebut. Hal ini dengan dasar pemikiran bahwa
semakin ke arah timur posisi hilal semakin rendah, apalagi apabila sampai
melintasi garis batas imkanurru’yah maka semakin tidak mungkin untuk meru’yah
hilal. Daerah yang berada di sebelah timur garis kurve imkanurru’yah 20 adalah
daerah yang tidak mungkin akan menyaksikan hilal dan oleh karenanya bulan
yang masih berjalan dilakukan istikmal. Sementara daerah yang berada di sebelah
barat garis imkanuurkyat 20 sudah memenuhi imkanurru’yah, akan tetapi karena
NU tetap menggunakan ru’yah sebagai penentu awal bulan, maka apabila ada
laporan ru’yah di suatu tempat di zone ini maka malam itu dapat ditetapkan
sebagai awal bulan baru di seluruh zone yang sudah masuk persyaratan
imkanurru’yah.
Untuk memperjelas uraian di atas sebagai contoh kejadian pada awal
bulan Syawal 1426 (tahun 2005 M), dimana garis ketinggian hilal 20 membelah
wilayah Indonesia. Garis ini melintasi pulau Kalimantan dan kepulauan di
4 Lihat Ma’rufin, 2007, milis RHI
98
Indonesia Bagian Timur. Laporan ru’yah menyatakan bahwa terlihat hilal di
Cakung dan Gresik (Arkanuddin, 2011).
Gambar 1.
Peta Ketinggian Hilal akhir Ramadhan 1426 H pada saat Matahari terbenam tanggal 2 November 2005 dalam derajat
Untuk mengetahui kota-kota mana saja yang sudah memenuhi
imkanurru’yah 20 dan kota-kota mana yang ketinggian hilalnya masih kurang dari
batas imkannurru’yah dapat dilihat pada tabel berikut :
Kota Koordinat Saat Matahari Terbenam Imkan
Rukyah Bujur Lintang Tinggi Umur Elongasi
Ambon 128.14E 3.42S 1.75 7.89 4.12 Tidak
Balikpapan 116.49E 1.15S 1.91 8.60 4.35 Tidak
Banda_Aceh 95.20E 5.35N 1.99 9.92 4.75 Tidak
Bandung 107.37E 6.57S 2.60 9.32 4.76 Ya
Banjarmasin 114.40E 3.22S 2.13 8.79 4.46 Ya
Denpasar 115.13E 8.37S 2.48 8.84 4.60 Ya
Gresik 112.39E 7.09S 2.46 8.99 4.64 Ya
JAKARTA 106.49E 6.10S 2.57 9.36 4.76 Ya
Jambi 103.38E 1.36S 2.33 9.49 4.71 Ya
Jayapura 140.38E 2.28S 1.31 7.04 3.81 Tidak
Kendari 122.35E 3.57S 1.93 8.27 4.27 Tidak
Kupang 123.55E 10.12S 2.31 8.29 4.41 Ya
Lhokseumawe 97.08E 5.11N 1.97 9.80 4.70 Tidak
99
Makassar 119.27E 5.08S 2.11 8.50 4.38 Ya
Mataram 116.08E 8.35S 2.45 8.78 4.58 Ya
Medan 98.39E 3.33N 2.06 9.73 4.70 Ya
Menado 124.53E 1.33N 1.48 8.02 4.12 Tidak
Merauke 140.23E 8.30S 1.70 7.16 3.93 Tidak
Padang 100.21E 0.57S 2.37 9.70 4.77 Ya
Palangkaraya 113.56E 2.16S 2.07 8.82 4.45 Ya
Palembang 104.47E 2.57S 2.39 9.44 4.70 Ya
Palu 119.51E 0.54S 1.8 8.40 4.28 Tidak
Pekanbaru 101.28E 0.30N 2.23 9.60 4.69 Ya
Pel. Ratu 106.34E 7.02S 2.64 9.39 4.8 Ya
Pontianak 109.13E 0.05S 2.05 9.09 4.51 Ya
Samarinda 117.11E 0.28S 1.84 8.57 4.32 Tidak
Semarang 110.24E 7.00S 2.52 9.13 4.69 Ya
Yogyakarta 110.21E 7.48S 2.57 9.15 4.71 Ya
Sumber : Khafid, 2009
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa ada banyak kota-kota yang belum
masuk kriteria imkannurru’yah. Ini menjadi permasalahan tersendiri jika
dihubungkan dengan ketentuan Nahdlatul Ulama dalam penetapan awal bulan
yang mensyaratkan hilal harus terlihat melalui observasi dan ketinggiannya
mencapai minimal 20.
Bila dilakukan tinjauan maṭla’ dengan pendekatan fikih astronomi
dengan menggunakan persamaan yang diusulkan Nawawi (2004)5 maka untuk
kasus kejadian tahun 2005 (Syawal 1426) dimana dilaporkan klaim ru’yah dari
Cakung (106050’ BT dan 6012’ LS dan Gresik (112039’ BT dan 7009’ LS)
Maka batas maṭla’ ke arah timur dapat dihitung dari markaz Jakarta :
(2˚57’ - 2˚) : 0˚ 30’ 28,6” x 15 = 28˚03’15” (mencapai 134053’ BT,
yaitu provinsi Irian Jaya Barat)
5 Teori yang diusulkan nawawi (2004) dengan memperhitungkan kecepatan gerak semu Bumi dan Bulan (lihat Bab III)
100
Dan bila dihitung dari markaz Gresik :
(2˚46’ - 2˚) : 0˚ 30’ 28,6” x 15 = 22˚38’5” (mencapai 135017’ BT,
yaitu provini Irian Jaya Barat). Dengan kata lain hampir seluruh
wilayah Indonesia bisa tercakupi.
Pemikiran tentang fikih astronomi juga bisa dibandingkan dengan pendapat
tentang penyusunan kalender Islam. Pemikiran para ahli dalam penentuan
kalender Islam menurut Iman (2009: 179) yang bersifat internasional sekarang
terdapat dua kecenderungan pokok. Pertama, kecenderungan kepada kalender
zonal dan kedua, kecenderungan kepada kalender unifikasi.
Kalender zonal masih bervariasi lagi dalam menentukan jumlah zonanya.
Diantaranya kalender yang digagas oleh Ilyas dengan membagi dunia ke dalam
tiga zone yaitu zona Asia-Pasifik dan Australia, zona Eropa, Asia Barat dan
Afrika, dan zona Amerika. Selanjutnya kalender yang digagas oleh Qasum yang
membagi kawasan dunia menjadi empat zona tanggal, sebagai berikut:
1) Zona pertama dari posisi 150° BT hingga 75° BT, yang meliputi Asia
Selatan, Timur dan Tenggara (India, Cina, Indonesia, Malaysia, dst.);
2) Zona kedua dari posisi 75° BT hingga 30° BT, yang meliputi Jazirah Arab,
Syam, Iran, Afganistan, bekas republik-republik Sofyet dan Rusia;
3) Zona ketiga dari posisi 30° BT hingga 45° BB, yang meliputi Afrika dan
Eropa; dan
4) Zona keempat dari posisi 45° BB hingga 120° BB, yang meliputi Amerika
Utara dan Amerika Selatan.
101
Tipe ketiga adalah kalender Hijriyah Universal, pada tahun 2001 diusulkan oleh
Audah yang membagi dunia menjadi dua zone. Dari ketiga tipe kalender dengan
zone-zone tanggal tersebut mempunyai ketentuan bahwa bila di salah satu tempat
sudah teru’yah (dalam hal ini adalah ru’yah yang dihisab / imkanurru’yah) maka
dapat dilakukan transfer rukyah ke seluruh zone tersebut sehingga bulan baru bisa
di mulai. Awal bulan baru Qamariyah dapat diberlakukan untuk zone lain yang
terletak di sebelah Barat dari zone yang teru’yah (imkanrru’yah) tersebut,
sementara untuk zone lain yang berada di sebelah timurnya memulai awal bulan
baru sehari setelahnya.
Konsep satu maṭla’ wilayatul hukmi yang diterapkan oleh Nahdlatul
Ulama ini menurut penulis mirip dengan proses transfer rukyah pada sistem
kalender zonal di atas. Pada kalender zonal proses transfer rukyah diberlakukan
dalam satu zone tersebut, sementara konsep keberlakuan penentuan awal bulan
Nahdatul Ulama dimana bila ada laporan keberhasilan ru’yah6 di salah satu
tempat di seluruh wilayah Indonesia, maka dilakukan transfer ru’yah ke seluruh
wilayah agar dapat memulai awal bulan Qamariyah bersama-sama. Apakah
transfer rukyah dapat dilakukan ke seluruh wilayah Indonesia? Sehingga bila
seandainya keberhasilan rukyah berada hanya di bagian paling barat wilayah
Indonesia (Sabang atau di Pelabuhan Ratu) dapatkah ditransfer ke bagian paling
timur (Merauke atau Jayapura)? Dengan penggunaan metode ru’yah, baik ru’yah
bil fi’li atau ru’yah yang dihitung, maka muncullah ketidakpastian hasil rukyah, di
6 Ru’yah yang diterima laporannya adalah bila ketinggian hilal lebih dari 20 sesuai dengan kriteria yang dipegang Nahdlatul Ulama.
102
satu tempat hilal terlihat dan di tempat lain tidak terlihat, dari sinilah berawal
munculnya konsep maṭla’7.
Pembahasan konsep maṭla’ disini difokuskan kepada maṭla’ lokal, karena
Nahdlataul Ulama tidak menggunakan maṭla’ global. Pembagian maṭla’ lokal
sendiri ada yang berdasarkan jarak, iklim, dan wilayatul hukmi. Sementara secara
astronomi batas keberlakuan maṭla’ adalah garis batas tanggal hijriyah dimana
batasnya adalah garis imkanuru’yah. Oleh karena itu penulis berpendapat bahwa
transfer ru’yah ke arah timur dapat dilakukan selagi daerah tersebut ketinggian
hilalnya sudah positif, dengan kata lain bahwa secara filosofis hilal telah
terbentuk. Sebaliknya transfer ru’yah tidak dapat dilakukan bila ketinggian hilal
masih di bawah ufuk. Hal ini sejalan dengan pendapat Audah (2009)
“Tidaklah dapat diterima secara syar’i dan ilmiah memulai bulan
hijriyah ketika ru’yah mustahil dilakukan di sejumlah bagian dunia
Islam. Bahkan pendukung hisab yang memegangi konjungsi dan menolak
ru’yahpun tidak akan menerima pengabaian seperti ini” 8.
Paham fikih dalam penentuan awal bulan ini menyatakan bahwa bila di
suatu tempat telah dapat dilihat hilal maka berlakulah ketentuan awal bulan untuk
seluruh negeri dimana berkuasa hakim (pemerintah). Dengan ketentuan di atas
wilayah negara Indonesia dapat dianggap sebagai satu kesatuan maṭla’ atau
kesatuan wilayah yang tidak terpecah-pecah. Sehingga begitu garis batas
imkanurru’yah mengenai wilayah Indonesia, maka ketentuan syara’ mengenai
keberlakuan ru’yah diberlakukan untuk seluruh wilayah negara tersebut.
7 Definisi dan pengertian matlak sudah dibahas pada bab III 8 Lihat lampiran kalender bersangkutan dalam ‘Audah, “al-Taqwîm al-Hijrî al-‘Âlami”,
http://www.icoproject.org/pdf/2001_UHD.pdf
103
B. Analisa terhadap Penentuan Awal Bulan Qomariyah dengan Pendekatan
Wilayatul Hukmi Perspektif Muhammadiyah
Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan tertua di Indonesia yang
memiliki pengikut cukup besar memiliki tanggung jawab terhadap anggota serta
pengikutnya untuk memberikan arahan dalam masalah awal bulan Qomariyah.
Dalam hal penentuan awal bulan Qomariyah, Muhammadiyah sebagai gerakan
tajdid memahami bahwa perintah Nabi untuk penentuan awal bulan Qomariyah
tidak hanya dilakukan dengan rukyah tetapi pada saat ini dengan pengetahuan
modern yang sudah berkembang pesat maka dapat digunakan hisab.
Hisab yang digunakan digunakan di lingkungan Muhammadiyah adalah
hisab hakiki wujudul hilal, yaitu awal bulan Qomariyah dimulai apabila terpenuhi
tiga kriteria berikut :
1. Telah terjadi ijtimak (konjungsi)
2. Ijtimak (konjungsi) terjadi sebelum Matahari terbenam, dan
3. Pada saat terbenam Matahari priringan atas Bulan berada di atas ufuk
(bulan baru telah wujud). (Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah,
2009: 78)
Penggunaan ketiga kriteria tersebut digunakan secara kumulatif, dalam
arti ketiganya harus terpenuhi sekaligus. Apabila salah satu tidak terpenuhi maka
bulan baru belum mulai. Kriteria ini diilhami dari isyarat dalam firman Allah
SWT pada surat Yasin ayat 39.
104
“Dan telah kami tetapkan bagi Bulan manzilah-manzilah, sehingga
(setelah sampai ke manzilah terakhir) kembalilah dia sebagai tandan yang tua.
Tidaklah mungkin bagi Matahari mendapatkan Bulan dan malam pun tidak dapat
mendahului siang. Masing-masing beredar menurut garis edarnya”. (Yasin
Selain ketentuan tersebut di atas Muhammadiyah juga memberlakukan
penentuan awal bulan Qomariyah dengan pendekatan wilayatul ṭukmi, yaitu
memberlakukan penentuan awal bulan untuk seluruh wilayah Indonesia. Ini
memberikan arti bahwa dimanapun di seluruh wilayah Indonesia telah memenuhi
ketiga persyaratan wujudul hilal tersebut di atas, maka seluruh wilayah Indonesia
dinyatakan sudah memasuki bulan baru. Dengan demikian berarti dalam satu
wilayah negara (Indonesia) awal bulan terjadi pada hari yang sama.
Dalam konteks Muhammadiyah, penentuan awal bulan hanya mencakup
wilayah hukum Indonesia saja. Sedangkan wilayah di luar wilayah Indonesia
tidak menjadikan hasil hisab untuk dipertimbangkan dalam penentuan awal
bulan.
Penggunaan pendekatan wilayatul hukmi dalam Muhammadiyah
terkandung maksud untuk menghindari mafsadat dengan cara penyeragaman hari
dalam mengawali bulan Qomariyah dalam suatu negara. Untuk itu
Muhammadiyah mengambil kebijakan bahwa penentuan awal bulan ini dilakukan
oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah setelah menerima masukan dari Pimpinan
Muhammadiyah di tingkat daerah. Dalam hal ini penetapan awal bulan
105
Muhammadiyah dilakukan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat
Muhammadiyah.
Konsep wilayatul hukmi yang digunakan oleh Muhammadiyah adalah
merupakan wujud dari pelaksanaan Keputusan Musyawarah Nasional XXV
Tarjih Muhammadiyah tahun 20009. Dalam lampiran hasil keputusan Munas
tersebut pada salah satu poin memberikan arahan tentang pedoman Penetapan
Awal Bulan Qomariyah dan Maṭla’ dimana dijelaskan bahwa “Mathla’ yang
digunakan adalah Mathla’ yang didasarkan wilayatul hukmi”. Selanjutnya
Keputusan Munas tersebut diperkuat kembali dalam Musyawarah Nasional
XXVI Tarjih Muhammadiyah tahun 200310 yang juga menegaskan bahwa
“Mathla’ yang digunakan adalah mathla’ yang didasarkan pada wilayatul ṭukmi
(Indonesia)”.
Dengan melalui pendekatan wilayatul hukmi memberikan akibat bahwa
dalam satu wilayah negara (pemerintahan) hanya ada satu tanggal dalam satu
hari. Penerapan wilayatul hukmi tidak bermasalah bila diterapkan pada bulan-
bulan dimana hasil perhitungan hisab menunjukkan kesamaan untuk seluruh
wilayah Indonesia. Akan tetapi bila terjadi perbedaan hasil perhitungan dengan
ditunjukkan oleh hasil hisab ketinggian hilal dimana pada sebagian wilayah
bernilai positif yang berarti bahwa pada saat terbenam Matahari, posisi hilal
9 Musyawarah Nasional Tarjih XXV yang berlangsung pada tanggal 3 – 6 Rabiul Akhir 1421 H bertepatan dengan tanggal 5 – 8 Juli 2000 M bertempat di Pondok Gede Jakarta Timur dan dihadiri oleh anggota Tarjih Pusat 10 Musyawarah Nasional Tarjih XXVI berlangsung pada tanggal 5-9 Sya’ban 1424 H bertepatan dengan tanggal 1 – 5 Oktober 2003 bertempat di Padang, Sumatera Barat dan dihadiri oleh anggota Tarjih Pusat
106
sudah di atas ufuk, sementara di sebagian wilayah yang lain ketinggian hilal
masih negatif yang berarti pada saat Matahari posisi Bulan masih di bawah ufuk.
Untuk kasus kejadian ini Muhammadiyah karena menggunakan prinsip wilayatul
hukmi maka daerah dengan ketinggian hilal masih negatif dapat dimasukkan ke
dalam daerah yang sudah positif posisi hilalnya sehingga daerah itupun bisa
memasuki awal bulan baru pada saat tersebut.
Dalam keadaan kondisi tersebut diatas dapat dilihat bahwa batas
penanggalan qomariyah melewati Indonesia11. Garis batas wujudul hilal yang
menandai batas penanggalan ini pada saat-saat tertentu akan melintasi Indonesia
sehingga pada saat inilah menurut Muhammadiyah pendekatan wilayatul hukmi
harus dilakukan agar tidak terjadi perbedaan tanggal pada hari yang sama.
Sementara itu, bila garis batas wujudul hilal membelah wilayah
kesatuan Republik Indonesia yang “besarnya hampir sama”12, maka Pimpinan
Pusat Muhammadiyah akan menggunakan kriteria wujudul hilal nasional13 dalam
menentukan awal bulan qomariyah, khususnya awal Ramadhan, Syawal, dan
Dzulhijjah. Hal ini dilakukan dalam rangka membangun kemaslahatan dan
kebersamaan internal Muhammadiyah14. Namun jika garis batas wujudul hilal
membelah dua wilayah kesatuan Republik Indonesia dan sebagian besar sudah
11 Yaitu maksudnya garis batas penanggalan yang dihisab dengan kriteria wujudul hilal, atau selanjutnya disebut garis batas wujudul hilal. 12 Perhatikan kasus awal Syawal 1381 H/1962 dan awal Syawal 1427 H/2006 13 Menurut teori ini awal bulan qomariyah dimulai apabila setelah terjadi ijtimak (conjunction) Matahari tenggelam lebih dahulu dibandingkan Bulan (moonset after sunset), pada saat itu posisi Bulan di atas ufuk di seluruh wilayah Indonesia. Artinya pada saat Matahari terbenam (sumset) secara filosofis hilal sudah ada di seluruh Indonesia. 14 Hal ini sebagai aplikasi Manhaj Tarjih Muhammadiyah model Istislahi/Burhani. Uraian selengkapnya baca Manhaj Tarjih Muhammadiyah.
107
wujud15 maka diberlakukan konsep maṭla’ sebagaimana yang tertuang dalam
putusan Munas Tarjih di Padang tahun 2003 (Majelis Tarjih dan Tajdid PP
Muhammadiyah, 2008).
Hal ini pernah terjadi pada tahun 2007, yaitu pada saat awal bulan
Syawal, dimana pada saat itu ijtimak terjadi tanggal 11 Oktober 2007 pada jam
12.02 WIB. Pada saat Matahari terbenam di wilayah Indonesia terdapat sebagian
wilayah dimana hilal sudah di atas ufuk, sementara di sebagian wilayah lain hilal
masih di bawah ufuk (lihat gambar 2). Dengan berdasarkan keadaan demikian
Muhammadiyah mengeluarkan maklumat nomor : 03/MLM/I.0/E/2007 tentang
Penetapan 1 Syawal 1428 Hijriyah, yang menyatakan bahwa berdasarkan hisab
wujudul hilal dan pemberlakuan maṭla’ wilayatul hukmi maka tanggal 1 syawal
1428 jatuh pada tanggal 12 Oktober 2007.
Gambar 3 :
Garis batas wujudul hilal penanda akhir Ramadhan 1428 H
15 Perhatikan awal Syawal 1423 H/2002 M.
108
Dengan melihat kasus di atas, maka menurut Djamaluddin (2003), akan
menimbulkan masalah. Penggunaan hisab murni yang dianut Muhammadiyah16
tanpa mengadopsi kriteria ru’yah17 akan kontradiksi dengan penggunaan maṭla’.
Konsepsi maṭla’ berangkat dari ketidakpastian ru’yah. Di satu daerah hilal
tampak, dan di daerah lain tidak tampak. Pada zaman Ibnu Abbas maṭla’ dapat
diterapkan tanpa masalah karena komunikasi antar daerah masih sangat buruk.
Tetapi dengan makin baiknya komunikasi kesaksian ru’yatul hilal di suatu daerah
segera dapat tersebar. Dalam hal ini konsep maṭla’ diperlukan karena untuk
memberikan kepastian keberlakuan ru’yatul hilal. Dengan hisab murni maṭla’
tidak diperlukan lagi. Garis tanggal dapat digunakan sebagai pembatas daerah
yang mana yang masuk tanggal lebih dahulu daripada daerah yang lain. Tetapi
dengan konsekuensi kemungkinan satu wilayah hukum terpecah dua
(Djamaluddin, 2003).
Pendapat Djamaluddin tersebut di atas menganalisa konsep maṭla’
dengan pendekatan astronomis. Sehingga dengan demikian keputusan Pimpinan
Pusat Muhammadiyah yang menggunakan konsep wilayatul hukmi untuk
penetapan awal Syawal 1428 tersebut berpotensi tidak terpenuhinya persyaratan
syar’i dalam mengakhiri Ramadhan. Muhammadiyah berpandangan bahwa dalam
mengawali dan mengakhiri bulan dimana salah satu persyaratannya adalah pada
saat terbenamnya Matahari, Bulan sudah di atas ufuk (Majelis Tarjih dan Tajdid
16 Hisab murni yang dimaksud adalah hisab wujudul hilal yang dipegang Muhammadiyah, yaitu hisab yang mendasarkan awal bulan qomariyah berdasarkan bulan baru astronomi atau ijtimak.(lihat Djamaluddin, 2003, Pengertian dan Perbandingan Mazhab tentang Hisab dan Ru’yah, makalah disampaikan pada Munas Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah di Padang). 17 Maksudnya kriteria imkanurru’yah.
109
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2009). Sementara bila dilihat dari gambar 3 di
atas terdapat beberapa daerah yang pada saat Matahari terbenam ketinggian
hilalnya masih minus dengan kata lain masih dibawah ufuk. Dengan demikian
daerah di sebelah kanan garis wujudul hilal tersebut memulai awal bulan Syawal
tidak sesuai dengan ketentuan PP Muhammadiyah.
Dari perspektif fikih, Muhammadiyah sebenarnya berusaha untuk
menggabungkan konsepsi maṭla’ yang telah dikonstruksikan oleh para ulama,
yang mana konsep maṭla’ tersebut berangkat dari pengamatan hilal secara
langsung (rukyah bil fi’li), dan menerapkan konsep maṭla’ ke dalam penentuan
awal bulan melalui hisab wujudul hilal. Pelaksanaan pendekatan astronomi murni
dalam masalah wilayah keberlakuan awal bulan tentu akan sangat menyulitkan.
Belum lagi apabila dikaitkan dengan perbedaan wilayah administrasi kota atau
provinsi, dalam lokasi kota yang berdekatan bisa berbeda awal bulannya dengan
penerapan garis tanggal. Dengan demikian sebetulnya melalui pendekatan
wilayatul hukmi yang merupakan salah satu mazhab dalam masalah maṭla’,
Muhammadiyah berusaha untuk melakukan penyatuan awal bulan dalam wilayah
negara Indonesia.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah tidak bisa mengingkari kenyataan
mengenai daerah yang hilalnya masih di bawah ufuk pada keadaan kasus
tersebut. Oleh karena itu Pimpinan Pusat Muhammadiyah memahami bahwa
menjelang 1 syawal 142818 di sebagian daerah hilal belum wujud. Sehingga
18 Kasus ini juga terjadi pada saat akhir Ramadhan 1427 atau menjelang awal Syawal 1427 bertepatan dengan 22 Oktober 2006, ketika itu garis wujudul hilal membelah Indonesia sehingga
110
Muhammadiyah memahami dan menghargai pendapat dan keyakinan warga
Muhammadiyah yang berada di daerah-daerah yang hilalnya belum wujud untuk
mengamalkan ibadah idul fitri sesuai dengan pemahaman dan keyakinannya.
Dengan demikian PP Muhammadiyah memberikan kesempatan warganya untuk
melakukan istikmal atau menggenapkan bulan berjalan (Ramadhan) menjadi tiga
puluh (30) hari.
Penulis berpendapat bahwa dengan kebolehan warga Muhammadiyah
untuk beridul fitri tidak sama dengan keputusan PP Muhammadiyah
menunjukkan bahwa ternyata konsep wilayatul hukmi yang dipegang
Muhammadiyah belum bisa dilaksanakan secara konsisten. Masih terdapat
keraguan untuk memberlakukan secara tegas keputusan ini terutama apabila garis
batas wujudul hilal membelah Indonesia.
Muhammadiyah masih menyisakan persoalan adalah karena adanya maṭla’
wilayatul hukmi (satu kesatuan hukum wilayah Indonesia), sehingga ketika terjadi
kasus garis batas wujudul hilal melewati wilayah Indonesia dan membagi wilayah
Indonesia menjadi dua bagian (sudah wujud dan belum wujud). Timbul persoalan,
bagian mana yang harus mengikuti, yang sudah wujud mengikuti yang belum
wujud atau sebaliknya yang belum wujud mengikuti yang sudah wujud?
(Amiruddin, 2007).
Bertolak dari kasus di atas maka usulan kriteria wilayatul hukmi baru
seperti yang diusulkan oleh Azhari (2007), patut dipertimbangkan oleh
di sebagian timur Indonesia pada saat Matahari terbenam hilal sudah di bawah ufuk (bulan terbenam lebih dulu)
111
Muhammadiyah. Kriteria yang diusulkan tersebut adalah bahwa awal bulan
qomariyah dimulai ketika setelah ijtimak Matahari terbenam terlebih dahulu
dibandingkan Bulan (moonset after sunset), pada saat itu posisi hilal di atas ufuk
di seluruh Indonesia19. Kriteria ini dibangun dengan kehendak untuk
mendasarkan nalar integrasi-ilmiah yang merupakan kombinasi dan integrasi
antara nalar literal-inderawi dan nalar rasional-ilmiah. Hal ini berdasarkan
pemikiran untuk mendapatkan titik temu antara hisab dan rukyah perlu
mempertemukan persepsi tentang hilal. Rumusan yang diajukan adalah : Hilal
adalah bulan setelah ijtimak yang secara filosofis pada saat terbenam matahari
(sunset) telah ada di seluruh wilayah Indonesia.
Dengan menggunakan kriteria ini maka akan dapat dipastikan bahwa
ketika memasuki bulan baru (lebih khusus lagi untuk bulan Romadhon, Syawal,
dan Zulhijjah) semua wilayah Indonesia telah mengalami hilal di atas ufuk,
sehingga apa yang menjadi kriteria wujudul hilal sesuai dengan pedoman
Pimpinan Pusat Muhammadiyah sudah terpenuhi. Dengan demikian akan
menghindari membawa daerah yang belum memenuhi kriteria untuk mengikuti
daerah yang telah memenuhi kriteria. Meskipun demikian terdapat pula
kelemahan dari kriteria wujudul hilal Indonesia, yaitu untuk daerah di sebelah
Barat garis batas wujudul hilal terpaksa harus menunggu daerah di sebelah timur
untuk memulai bulan baru.
19 Bandingkan dengan pendapat Saadoe’ddin Djambek (1976: 39) dalam bukunya berjudul Hisab Awal Bulan, yang berpendapat agar garis batas tanggal dibelokkan ke arah Barat apabila melintasi pulau.
112
Untuk mengatasi hal tersebut dapat pula dengan menggunakan konsep
maṭla’ secara astronomis, yaitu menggunakan batas tanggal sebagai batas
maṭla’. Ini dapat dilakukan dengan membuat daftar kota-kota yang telah masuk
awal bulan, yang berarti bulan telah wujud dan daftar kota-kota yang harus
menunggu 1 hari lagi untuk memasuki bulan baru dikarenakan bulan telah wujud.
Pemilihan “kota” sebagai batas wujudul hilal dapat juga diperluas dengan
“pulau” sesuai dengan pertimbangan mana yang lebih kecil maḍaratnya dan lebih
besar manfaatnya. Dengan cara ini dalam satu negara Indonesia dimungkinkan
ada dua penanggalan yang diberlakukan. Ini sesuai dengan pendapat Djamaluddin
(2003) yang menyatakan bahwa :
........Dengan hisab murni, matla’ tidak diperlukan lagi. Garis tanggal dapat digunakan sebagai pembatas daerah yang mana yang masuk tanggal lebih dahulu dari daerah lainnya. Tentu dengan konsekuensi kemungkinan satu wilayah hukum terpecah dua....
Apabila ini diterapkan berarti bila garis batas wujudul hilal melintas
Indonesia, daerah yang terletak di sebelah barat garis akan memulai masuk
tanggal 1 lebih dahulu dari pada daerah di sebelah timurnya. Dan praktek ini
sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh Muhammadiyah pada syawal 1381 H
(tahun 1962), dimana ketika itu hilal membelah wilayah Indonesia, sebagian hilal
sudah wujud dan sebagian lainnya hilal belum wujud. Maka melalui surat edaran
yang dikeluarkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah tertanggal 26 Januari
1962 Nomor III/IV.A/1962, menyatakan bahwa untuk daerah sebelah barat
Makasar lebaran tanggal 7 Maret 1962 sedangkan daerah sebelah timur Makasar
berlebaran tanggal 8 Maret 1962.