pemicu3

36
Pemicu 3 (Strategy problem) : Seorang laki-laki berusia 28 tahun dibawa ke UGD dengan keluhan kedua tungkai tidak dapat digerakkan, berat badan dan nafsu makan menurun sejak 2 bulan yang lalu. Kadang-kadang disertai keringat malam. Keluhan diawali dengan rasa nyeri di daerah punggung 6 bulan yang lalu. Nyeri terkadang dirasakan menjalar ke paha kanan. Sejak 4 bulan yang lalu kedua tungkai sering kesemutan dan mulai baal. Baal dirasakan dari daerah perut sampai ke bawah Dua bulan yang lalu pasien mulai merasakan kedua tungkainya lemah. Makin lama makin berat sampai akhirya tidak dapat digerakkan. Dua minggu terakhir pasien mulai sulit buang air besar dan buang air kecil. Satu tahun sebelum pasien mengalami gejala ini, ia dipecat dari tempat kerjanya. Sejak saat itu pasien dilaporkan bahwa ia mudah tersinggung dan menjadi marah. Dengan adanya gejala di atas, reaksi emosi pasien menjadi lebih labil dan membuat keluarganya menjadi resah. Pada pemeriksaan fisik di sekitar vertebra torakal tampak benjolan yang teraba keras, terfiksir dan tidak ada nyeri tekan. Pada pemeriksaan neurologis didapatkan hipestesi terhadap rasa raba dan nyeri setinggi dermatom T10 ke bawah. Prorioseptif dan rasa vibrasi kedua tungkai terganggu. Kekuatan motorik kedua tungkai 0. Klonus patela dan akiles +/+. Rossolimo dan MendelBechtrew +/+. Pemeriksaan status mental didapatkan mood yang iritabel, afek gelisah dan serasi. Tidak dijumpai adanya gangguan persepsi dan isi pikir pasien lebih banyak didominasi oleh kekecewaan pasien akan kondisi dirinya yang mengalami sakit seperti itu. I. Klarifikasi dan Definisi 1. Hipestesi: berkurangnya kepekaan kulit atau kepekaan terhadap sensasi khusus 1

Transcript of pemicu3

Page 1: pemicu3

Pemicu 3 (Strategy problem) :

Seorang laki-laki berusia 28 tahun dibawa ke UGD dengan keluhan kedua tungkai tidak dapat digerakkan, berat badan dan nafsu makan menurun sejak 2 bulan yang lalu. Kadang-kadang disertai keringat malam.

Keluhan diawali dengan rasa nyeri di daerah punggung 6 bulan yang lalu. Nyeri terkadang dirasakan menjalar ke paha kanan. Sejak 4 bulan yang lalu kedua tungkai sering kesemutan dan mulai baal. Baal dirasakan dari daerah perut sampai ke bawah Dua bulan yang lalu pasien mulai merasakan kedua tungkainya lemah. Makin lama makin berat sampai akhirya tidak dapat digerakkan. Dua minggu terakhir pasien mulai sulit buang air besar dan buang air kecil.

Satu tahun sebelum pasien mengalami gejala ini, ia dipecat dari tempat kerjanya. Sejak saat itu pasien dilaporkan bahwa ia mudah tersinggung dan menjadi marah. Dengan adanya gejala di atas, reaksi emosi pasien menjadi lebih labil dan membuat keluarganya menjadi resah.

Pada pemeriksaan fisik di sekitar vertebra torakal tampak benjolan yang teraba keras, terfiksir dan tidak ada nyeri tekan.

Pada pemeriksaan neurologis didapatkan hipestesi terhadap rasa raba dan nyeri setinggi dermatom T10 ke bawah. Prorioseptif dan rasa vibrasi kedua tungkai terganggu. Kekuatan motorik kedua tungkai 0. Klonus patela dan akiles +/+. Rossolimo dan MendelBechtrew +/+. Pemeriksaan status mental didapatkan mood yang iritabel, afek gelisah dan serasi. Tidak dijumpai adanya gangguan persepsi dan isi pikir pasien lebih banyak didominasi oleh kekecewaan pasien akan kondisi dirinya yang mengalami sakit seperti itu.

I. Klarifikasi dan Definisi1. Hipestesi: berkurangnya kepekaan kulit atau kepekaan terhadap sensasi khusus2. Klonus ialah kontraksi ritmik dari otot, yang timbul bila otot diregangkan secara

pasif.

II. Keyword1. Kedua tungkai tidak dapat digerakkan2. Benjolan di vertebra torakal3. Nyeri punggung 6 bulan yang lalu

III. Rumusan Masalah

Laki-laki 28 tahun dibawa ke UGD dengan keluhan kedua kaki tidak dapat digerakkan. Berat badan dan nafsu makan menurun sejak 2 bulan yang lalu.

1

Page 2: pemicu3

IV. Analisis Masalah

V. Hipotesis

Laki-laki 28 tahun mengalami neurofibroma pada vertebra torakal 10 dan gangguan depresi.

VI. Learning Issues1. Spondilitis Tuberkulosis2. Neurofibroma3. Kelumpuhan LMN dan UMN4. Pemeriksaan Refleks5. Studi kasus

VII. Pembahasan1.2 Spondilitis Tuberkulosa

a) DefinisiSpondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis tulang belakang adalah peradangan

granulomatosa yang bersifat kronis destruktif oleh Mycobacterium tuberculosis. Dikenal pula dengan nama Pott’s disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 - L3 dan paling jarang pada vertebra C1 – 2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi jarang menyerang arkus vertebrae.

2

Laki-laki 28 tahunKeluhan:

1. Nafsu makan dan BB menurun

2. Keringat malam3. Kedua tungai tidak

dapat digerakkanBenjolan teraba keras pada vertebra T10

Riwayat:

1. Nyeri punggung 6 bulan yang lalu

2. Tungkai mulai baal 4 bulan yang lalu

3. Sulit BAB dan BAk sejak 2 minggu yang lalu

4. Dipecat 1 tahun yang lalu

Diagnosis banding:

1. Spondilitis Tuberkulosis

2. Neurofibroma Depresi ?

Page 3: pemicu3

b) Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV). Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola resistensi obat.

Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat acid-fastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain.

c) Patogenesis

Spondilitis tuberkulosa merupakan suatu tuberkulosis tulang yang sifatnya sekunder dari TBC tempat lain di dalam tubuh. Penyebarannya secara hematogen, diduga terjadinya penyakit ini sering karena penyebaran hematogen dari infeksi traktus urinarius melalui pleksus Batson. Infeksi TBC vertebra ditandai dengan proses destruksi tulang progresif tetapi lambat di bagian depan (anterior vertebral body). Penyebaran dari jaringan yang mengalami perkejuan akan menghalangi proses pembentukan tulang sehingga berbentuk tuberculos squestra.

Sedang jaringan granulasi TBC akan penetrasi ke korteks dan terbentuk abses paravertebral yang dapat menjalar ke atas atau bawah lewat ligamentum longitudinal anterior dan posterior. Sedangkan diskus intervertebralis karena avaskular lebih resisten tetapi akan mengalami dehidrasi dan penyempitan karena dirusak oleh jaringan granulasi TBC. Kerusakan progresif bagian anterior vertebra akan menimbulkan kifosis.

Perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa terdiri dari lima stadium yaitu:

1. Stadium implantasiSetelah bakteri berada dalam tulang, apabila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak pada daerah sentral vertebra.

2. Stadium destruksi awalSelanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra dan penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.

3. Stadium destruksi lanjutPada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra, dan terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses, yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium

3

Page 4: pemicu3

destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum dan kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra sehingga menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.

4. Stadium gangguan neurologisGangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi tetapi ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi di daerah ini. Apabila terjadi gangguan neurologis, perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia yaitu:i. Derajat I

Kelemahan pada anggota gerak bawah setelah beraktivitas atau berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.

ii. Derajat IIKelemahan pada anggota gerak bawah tetapi penderita masih dapat melakukan pekerjaannya.

iii. Derajat IIIKelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak atau aktivitas penderita disertai dengan hipoestesia atau anestesia.

iv. Derajat IVGangguan saraf sensoris dan motoris disertai dengan gangguan defekasi dan miksi.

TBC paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya. Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang tidak aktif atau sembuh terjadi karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. TBC paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai dengan angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.

5. Stadium deformitas residualStadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah stadium implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen karena kerusakan vertebra yang masif di depan.

d) PatologiTuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen atau

penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang. Pada penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius.

Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang berasal dari fokus primer di paru-paru sementara pada orang dewasa penyebaran terjadi dari fokus ekstrapulmoner

4

Page 5: pemicu3

(usus, ginjal, tonsil). Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbar yang memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batson’s yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra.

Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk spondilitis:

1) Peridiskal / paradiskalInfeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah

ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak ditemukan di regio lumbal.

2) SentralInfeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalahartikan

sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio torakal.

3) AnteriorInfeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan

dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses prevertebral dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral.

4) Bentuk atipikalDikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat

diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%.

Infeksi tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang cancellous dari vertebra. Area infeksi secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi ke dalam korteks tipis korpus vertebra sepanjang ligamen longitudinal anterior, melibatkan dua atau lebih vertebrae yang berdekatan melalui perluasan di bawah ligamentum longitudinal anterior atau secara langsung melewati diskus intervertebralis. Terkadang dapat ditemukan fokus yang multipel yang dipisahkan oleh vertebra yang normal, atau infeksi dapat juga berdiseminasi ke vertebra yang jauh melalui abses paravertebral. Terjadinya nekrosis perkijuan yang meluas mencegah pembentukan tulang baru dan pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi

5

Page 6: pemicu3

avascular sehingga menimbulkan tuberculous sequestra, terutama di regio torakal. Discus intervertebralis, yang avaskular, relatif lebih resisten terhadap infeksi tuberkulosa.

Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal ke dalam ruang diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya corpus vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus, sekunder karena perubahan kapasitas fungsional dari end plate. Suplai darah juga akan semakin terganggu dengan timbulnya endarteritis yang menyebabkan tulang menjadi nekrosis.

Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut akan menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan sehingga kemudian akan terjadi kolaps vertebra dengan sendi intervertebral dan lengkung syaraf posterior tetap intak, jadi akan timbul deformitas berbentuk kifosis yang progresifitasnya (angulasi posterior) tergantung dari derajat kerusakan, level lesi dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila sudah timbul deformitas ini, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah meluas. Di regio torakal kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal yang normal; di area lumbar hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbar lordosis dimana sebagian besar dari berat badan ditransmisikan ke posterior sehingga akan terjadi parsial kolaps; sedangkan di bagian servikal, kolaps hanya bersifat minimal, kalaupun tampak hal itu disebabkan karena sebagian besar berat badan disalurkan melalui prosesus artikular. Dengan adanya peningkatan sudut kifosis di regio torakal, tulang-tulang iga akan menumpuk menimbulkan bentuk deformitas rongga dada berupa barrel chest.

Proses penyembuhan kemudian terjadi secara bertahap dengan timbulnya fibrosis dan kalsifikasi jaringan granulomatosa tuberkulosa. Terkadang jaringan fibrosa itu mengalami osifikasi, sehingga mengakibatkan ankilosis tulang vertebra yang kolaps.

Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus. Dengan kolapsnya korpus vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosa, bahan perkijuan, dan tulang nekrotik serta sumsum tulang akan menonjol keluar melalui korteks dan berakumulasi di bawah ligamentum longitudinal anterior. Cold abcesss ini kemudian berjalan sesuai dengan pengaruh gaya gravitasi sepanjang bidang fasial dan akan tampak secara eksternal pada jarak tertentu dari tempat lesi aslinya.

Di regio lumbal abses berjalan sepanjang otot psoas dan biasanya berjalan menuju lipat paha dibawah ligamen inguinal. Di regio torakal, ligamentum longitudinal menghambat jalannya abses, tampak pada radiogram sebagai gambaran bayangan berbentuk fusiform radioopak pada atau sedikit dibawah level vertebra yang terkena, jika terdapat tegangan yang besar dapat terjadi ruptur ke dalam mediastinum, membentuk gambaran abses paravertebral yang menyerupai ‘sarang burung’. Terkadang, abses torakal dapat mencapai dinding dada anterior di area parasternal, memasuki area retrofaringeal atau berjalan sesuai gravitasi ke lateral menuju bagian tepi leher.

Sejumlah mekanisme yang menimbulkan defisit neurologis dapat timbul pada pasien dengan spondilitis tuberkulosa. Kompresi syaraf sendiri dapat terjadi karena kelainan pada tulang (kifosis) atau dalam canalis spinalis (karena perluasan langsung dari infeksi

6

Page 7: pemicu3

granulomatosa) tanpa keterlibatan dari tulang (seperti epidural granuloma, intradural granuloma, tuberculous arachnoiditis). Salah satu defisit neurologis yang paling sering terjadi adalah paraplegia yang dikenal dengan nama Pott’s paraplegia. Paraplegia ini dapat timbul secara akut ataupun kronis (setelah hilangnya penyakit) tergantung dari kecepatan peningkatan tekanan mekanik kompresi medula spinalis. Pada penelitian yang dilakukan Hodgson di Cleveland, paraplegia ini biasanya terjadi pada pasien berusia kurang dari 10 tahun (kurang lebih 2/3 kasus) dan tidak ada predileksi berdasarkan jenis kelamin untuk kejadian ini.

e) Pott’s ParaplegiaSorrel-Dejerine mengklasifikasikan Pott’s paraplegia menjadi:

1) Early onset paresisTerjadi kurang dari dua tahun sejak onset penyakit

2) Late onset paresisTerjadi setelah lebih dari dua tahun sejak onset penyakit

Sementara itu Seddon dan Butler memodifikasi klasifikasi Sorrel menjadi tiga tipe:

1) Type I (paraplegia of active disease) / berjalan akutOnset dini, terjadi dalam dua tahun pertama sejak onset penyakit, dan

dihubungkan dengan penyakit yang aktif. Dapat membaik (tidak permanen).

2) Type IIOnsetnya juga dini, dihubungkan dengan penyakit yang aktif, bersifat

permanen bahkan walaupun infeksi tuberkulosa menjadi tenang. Penyebab timbulnya paraplegia pada tipe I dan II dapat disebabkan oleh karena :

a. Tekanan eksternal pada korda spinalis dan duramaterDapat disebabkan oleh karena adanya granuloma di kanalis spinalis, adanya

abses, material perkijuan, sekuestra tulang dan diskus atau karena subluksasi atau dislokasi patologis vertebra. Secara klinis pasien akan menampakkan kelemahan alat gerak bawah dengan spastisitas yang bervariasi, tetapi tidak tampak adanya spasme otot involunter dan reflek withdrawal.

b. Invasi duramater oleh tuberkulosaTampak gambaran meningomielitis tuberkulosa atau araknoiditis

tuberkulosa.Secara klinis pasien tampak mempunyai spastisitas yang berat dengan spasme otot involunter dan reflek withdrawal. Prognosis tipe ini buruk dan bervariasi sesuai dengan luasnya kerusakan korda spinalis. Secara umum dapat terjadi inkontinensia urin dan feses, gangguan sensoris dan paraplegia.

3) Type III / yang berjalan kronisOnset paraplegi terjadi pada fase lanjut. Tidak dapat ditentukan apakah dapat

membaik. Bisa terjadi karena tekanan corda spinalis oleh granuloma epidural, fibrosis meningen dan adanya jaringan granulasi serta adanya tekanan pada corda spinalis,

7

Page 8: pemicu3

peningkatan deformitas kifotik ke anterior, reaktivasi penyakit atau insufisiensi vaskuler (trombosis pembuluh darah yang mensuplai corda spinalis).

f) Penegakkan DiagnosaGambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada banyak faktor.

Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan berevolusi lambat. Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa pasti bervariasi dari bulan hingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya dua tahun setelah infeksi tuberkulosa.

1) Anamnesaa. Gambaran adanya penyakit sistemik: kehilangan berat badan, keringat malam, demam

yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta cachexia. Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya keinginan bermain di luar rumah. Sering tidak tampak jelas pada pasien yang cukup gizi sementara pada pasien dengan kondisi kurang gizi, maka demam (terkadang demam tinggi), hilangnya berat badan dan berkurangnya nafsu makan akan terlihat dengan jelas.

b. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai nyeri dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari nodus limfatikus, tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.

c. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di daerah telingan atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan menampakkan nyeri yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian torakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri pasien akan menahan punggungnya menjadi kaku.

d. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.

e. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam posisi dagu disangga oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital. Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong trakhea ke sternal notch sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang dewasa akan menyebabkan tetraparesis (Hsu dan Leong 1984). Dislokasi atlantoaksial karena tuberkulosa jarang terjadi dan merupakan salah satu penyebab kompresi cervicomedullary di negara yang sedang berkembang. Hal ini perlu diperhatikan karena gambaran klinisnya serupa dengan tuberkulosa di regio servikal (Lal et al. 1992).

f. Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan

8

Page 9: pemicu3

punggungnya tetap kaku (coin test). Jika terdapat abses, maka abses dapat berjalan di bagian kiri atau kanan mengelilingi rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika menekan abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda spinalis dan menyebabkan paralisis.

g. Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas paha. Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul.

h. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis). Terjadi pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis lebih banyak di temukan pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul paraplegia akan tampak spastisitas dari alat gerak bawah dengan refleks tendon dalam yang hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan kelemahan otorik yang bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal.

i. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri akut seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang ataupun sendi mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa. 2) Pemeriksaan Fisik

a. Tampak adanya deformitas, dapat berupa: kifosis (gibbus/angulasi tulang belakang), skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan dislokasi.

b. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit diatasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan abses piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka, retropharynx, atau di sisi leher (di belakang otot sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess.

c. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena.

d. Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus spinosusvertebrae yang terkena, sering tampak tenderness. Pemeriksaan

3) Penunjang :a. Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari

100mm/jam.b. Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative

(PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi pemaparan dahulu maupun yang baru terjadi oleh mycobacterium. Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area berindurasi, kemerahan dengan diameter ³ 10mm di sekitar tempat suntikan 48-72 jam setelah suntikan. Hasil yang negatif tampak pada ± 20% kasus dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis

9

Page 10: pemicu3

milier) dan pada pasien yang immunitas selulernya tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi atau disertai penyakit lain)

c. Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal), sputum dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paru-paru yang aktif)

d. Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat relatif. Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin haemolysins, typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang sulit dan pada pusat kesehatan dengan peralatan yang cukup canggih) untuk menyingkirkan diagnosa banding.

e. Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan kemungkinan infeksi TBC. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial akan memberikan hasil yang lebih baik.

4) RadiologisGambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.

- Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang abnormal).

- Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti adanya tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat setelah 3-8 minggu onset penyakit.

- Jika mungkin lakukan rontgen dari arah antero-posterior dan lateral. - Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut inferior

corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut sehingga tampak penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan, serta erosi corpus vertebrae anterior yang berbentuk scalloping karena penyebaran infeksi dari area subligamentous.

- Infeksi tuberkulosa jarang melibatkan pedikel, lamina, prosesus transversus atau prosesus spinosus.

- Keterlibatan bagian lateral corpus vertebra akan menyebabkan timbulnya deformita scoliosis (jarang)

- Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa yang sudah lama akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi lebih besar dari lebarnya (vertebra yang normal mempunyai rasio lebar lebih besar terhadap tingginya). Bentuk ini dikenal dengan nama long vertebra atau tall vertebra, terjadi karena adanya stress biomekanik yang lama di bagian kaudal gibbus sehingga vertebra menjadi lebih tinggi. Kondisi ini banyak terlihat pada kasus tuberkulosa dengan pusat pertumbuhan korpus vertebra yang belum menutup saat terkena penyakit tuberkulosa yang melibatkan vertebra torakal.

- Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan psoas. Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular dengan kalsifikasi. Abses psoas akan tampak sebagai bayangan jaringan lunak yang mengalami peningkatan densitas dengan atau tanpa kalsifikasi pada saat

10

Page 11: pemicu3

penyembuhan. Deteksi (evaluasi) adanya abses epidural sangatlah penting, oleh karena merupakan salah satu indikasi tindakan operasi (tergantung ukuran abses).

5) Computed Tomography (CT Scan)Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga yang sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf posterior seperti pedikel tampak lebih baik dengan CT Scan.

6) Magnetic Resonance Imaging (MRI)- Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat

kompresif dengan yang bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang belakang. Bermanfaat untuk :

- Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat konservatif atau operatif.

- Membantu menilai respon terapi. - Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen tulang kecil dan kalsifikasi di

abses.7) Neddle biopsi / operasi eksplorasi (costotransversectomi) dari lesi spinal mungkin

diperlukan pada kasus yang sulit tetapi membutuhkan pengalaman dan pembacaan histologi yang baik (untuk menegakkan diagnosa yang absolut)(berhasil pada 50% kasus).

8) Diagnosis juga dapat dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi pus paravertebral yang diperiksa secara mikroskopis untuk mencari basil tuberkulosa dan granuloma, lalu kemudian dapat diinokulasi di dalam guinea babi.

g) Komplikasi1. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan

ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia – prognosa baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis – prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis.

2. Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal ke dalam pleura.

h) Diagnosa Banding1. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis). Adanya

sklerosis atau pembentukan tulang baru pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi piogenik. Selain itu keterlibatan dua atau lebih corpus vertebra yang berdekatan lebih menunjukkan adanya infeksi tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain.

2. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid). Dapat dibedakan dari pemeriksaan laboratorium.

11

Page 12: pemicu3

3. Tumor/penyakit keganasan (leukemia, Hodgkin’s disease, eosinophilic granuloma, aneurysma bone cyst dan Ewing’s sarcoma) Metastase dapat menyebabkan destruksi dan kolapsnya corpus vertebra tetapi berbeda dengan spondilitis tuberkulosa karena ruang diskusnya tetap dipertahankan. Secara radiologis kelainan karena infeksi mempunyai bentuk yang lebih difus sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas.

4. Scheuermann’s disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh karena tidak adanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut superior dan inferior bagian anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal.

i) Manajemen terapi1) Terapi Konservatif

a. Pemberian nutrisi yang bergizib. Pemberian kemoterapi atau terapi anti tuberkulosa

Pemberian kemoterapi anti tuberkulosa merupakan prinsip utama terapi pada seluruh kasus termasuk tuberkulosa tulang belakang. Pemberian dini obat antituberkulosa dapat secara signifikan mengurangi morbiditas dan mortalitas.Hasil penelitian Tuli dan Kumar dengan 100 pasien di India yang menjalani terapi dengan tiga obat untuk tuberkulosa tulang belakang menunjukkan hasil yang memuaskan. Mereka menyimpulkan bahwa untuk kondisi negara yang belum berkembang secara ekonomi manajemen terapi ini merupakan suatu pilihan yang baik dan kesulitan dalam mengisolasi bakteri tidak harus menunda pemberian terapi. Adanya pola resistensi obat yang bervariasi memerlukan adanya suatu pemantauan yang ketat selama pemberian terapi, karena kultur dan uji sensitivitas terhadap obat anti tuberculosa memakan waktu lama (kurang lebih 6-8 minggu) dan perlu biaya yang cukup besar sehingga situasi klinis membuat dilakukannya terapi terlebih dahulu lebih penting walaupun tanpa bukti konfirmasi tentang adanya tuberkulosa. Adanya respon yang baik terhadap obat antituberculosa juga merupakan suatu bentuk penegakkan diagnostik.

c. Istirahat tirah baring (resting)Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest pada turning

frame/plaster bed atau continous bed rest disertai dengan pemberian kemoterapi. Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut dan bila tidak tersedia keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi radikal spinal anterior, atau bila terdapat masalah teknik yang terlalu membahayakan.

Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung 3-4 minggu, sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda klinis, radiologis dan laboratorium. Secara klinis ditemukan berkurangnya rasa nyeri, hilangnya spasme otot paravertebral, nafsu makan dan berat badan meningkat, suhu badan normal.

12

Page 13: pemicu3

Secara laboratoris menunjukkan penurunan laju endap darah, Mantoux test umumnya < 10 mm. Pada pemeriksaan radiologis tidak dijumpai bertambahnya destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester.

Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal dapat diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra torakal, torakolumbal dan lumbal atas diimobilisasi dengan body cast jacket; sedangkan pada daerah lumbal bawah, lumbosakral dan sakral dilakukan immobilisasi dengan body jacket atau korset dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul. Lama immobilisasi berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita diperbolehkan berobat jalan.

Terapi untuk Pott’s paraplegia pada dasarnya juga sama yaitu immobilisasi di plaster shell dan pemberian kemoterapi. Pada kondisi ini perawatan selama tirah baring untuk mencegah timbulnya kontraktur pada kaki yang mengalami paralisa sangatlah penting. Alat gerak bawah harus dalam posisi lutut sedikit fleksi dan kaki dalam posisi netral. Dengan regimen seperti ini maka lebih dari 60% kasus paraplegia akan membaik dalam beberapa bulan. Hal ini disebabkan oleh karena terjadinya resorpsi cold abscess intraspinal yang menyebabkan dekompresi.

Seperti telah disebutkan diatas bahwa selama pengobatan penderita harus menjalani kontrol secara berkala, dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan laboratoris. Bila tidak didapatkan kemajuan, maka perlu dipertimbangkan hal-hal seperti adanya resistensi obat tuberkulostatika, jaringan kaseonekrotik dan sekuester yang banyak, keadaan umum penderita yang jelek, gizi kurang serta kontrol yang tidak teratur serta disiplin yang kurang.

2) Terapi OperatifSebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang

mengalami perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja (Medical Research Council). Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yang mempunyai lesi kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya kelainan neurologis. Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di tempat tidur selama 3-6 minggu.

Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu pemberian terapi obat antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak memberikan respon yang baik sehingga lesi spinal paling efektif diterapi dengan operasi secara langsung dan tumpul untuk mengevakuasi “pus” tuberkulosa, mengambil sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan memfusikan segmen tulang belakang yang terlibat.

Selain indikasi diatas, operasi debridement dengan fusi dan dekompresi juga diindikasikan bila :

1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi.2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan

13

Page 14: pemicu3

3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan mengancam

atau kifosis berat saat ini5. Penyakit yang rekuren

Pott’s paraplegia sendiri selalu merupakan indikasi perlunya suatu tindakan operasi (Hodgson) akan tetapi Griffiths dan Seddon mengklasifikasikan indikasi operasi menjadi:1) Indikasi absolut

a. Paraplegia dengan onset selama terapi konservatif; operasi tidak dilakukan bila timbul tanda dari keterlibatan traktur piramidalis, tetapi ditunda hingga terjadi kelemahan motorik.

b. Paraplegia yang menjadi memburuk atau tetapi statis walaupun diberikan terapi konservatif

c. Hilangnya kekuatan motorik secara lengkap selama 1 bulan walaupun telah diberi terapi konservatif.

d. Paraplegia disertai dengan spastisitas yang tidak terkontrol sehingga tirah baring dan immobilisasi menjadi sesuatu yang tidak memungkinkan atau terdapat resiko adanya nekrosis karena tekanan pada kulit.

e. Paraplegia berat dengan onset yang cepat, mengindikasikan tekanan yang besar yang tidak biasa terjadi dari abses atau kecelakaan mekanis; dapat juga disebabkan karena trombosis vaskuler yang tidak dapat terdiagnosa

f. Paraplegia berat; paraplegia flasid, paraplegia dalam posisi fleksi, hilangnya sensibilitas secara lengkap, atau hilangnya kekuatan motorik selama lebih dari 6 bulan (indikasi operasi segera tanpa percobaan pemberikan terapi konservatif)

2) Indikasi relatif1. Paraplegia yang rekuren bahwa dengan paralisis ringan sebelumnya 2. Paraplegia pada usia lanjut, indikasi untuk operasi diperkuat karena

kemungkinan pengaruh buruk dari immobilisasi 3. Paraplegia yang disertai nyeri, nyeri dapat disebabkan karena spasme atau

kompresi syaraf 4. Komplikasi seperti infeksi traktur urinarius atau batu

Pilihan pendekatan operasi dilakukan berdasarkan lokasi lesi, bisa melalui pendekatan dari arah anterior atau posterior. Secara umum jika lesi utama di anterior maka operasi dilakukan melalui pendekatan arah anterior dan anterolateral sedangkan jika lesi di posterior maka dilakukan operasi dengan pendekatan dari posterior. Saat ini terapi operasi dengan menggunakan pendekatan dari arah anterior (prosedur HongKong) merupakan suatu prosedur yang dilakukan hampir di setiap pusat kesehatan. Walaupun dipilih tindakan operatif, pemberian kemoterapi antituberkulosa tetaplah penting. Pemberian kemoterapi tambahan 10 hari sebelum operasi telah direkomendasikan. Pendapat lain menyatakan bahwa kemoterapi diberikan 4-6 minggu sebelum fokus tuberkulosa dieradikasi secara langsung dengan pendekatan anterior. Area nekrotik dengan perkijuan yang mengandung tulang mati

14

Page 15: pemicu3

dan jaringan granulasi dievakuasi yang kemudian rongga yang ditinggalkannya diisi oleh autogenous bone graft dari tulang iga. Pendekatan langsung secara radikal ini mendorong penyembuhan yang cepat dan tercapainya stabilisasi dini tulang belakang dengan memfusikan vertebra yang terkena. Fusi spinal posterior dilakukan hanya bila terdapat destruksi dua atau lebih korpus vertebra, adanya intabilitas karena destruksi elemen posterior atau konsolidasi tulang terlambat serta tidak dapat dilakukan pendekatan dari anterior.

j) PencegahanVaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) merupakan suatu strain Mycobacterium

bovis yang dilemahkan sehingga virulensinya berkurang. BCG akan menstimulasi immunitas, meningkatkan daya tahan tubuh tanpa menimbulkan hal-hal yang membahayakan. Vaksinasi ini bersifat aman tetapi efektifitas untuk pencegahannya masih kontroversial. Percobaan terkontrol di beberapa negara Barat, dimana sebagian besar anakanaknya cukup gizi, BCG telah menunjukkan efek proteksi pada sekitar 80% anak selama 15 tahun setelah pemberian sebelum timbulnya infeksi pertama. Akan tetapi percobaan lain dengan tipe percobaan yang sama di Amerika dan India telah gagal menunjukkan keuntungan pemberian BCG. Sejumlah kecil penelitian pada bayi di negara miskin menunjukkan adanya efek proteksi terutama terhadap kondisi tuberkulosa milier dan meningitis tuberkulosa. Pada tahun 1978, The Joint Tuberculosis Committee merekomendasikan vaksinasi BCG pada seluruh orang yang uji tuberkulinnya negatif dan pada seluruh bayi yang baru lahir pada populasi immigran di Inggris.

Saat ini WHO dan International Union Against Tuberculosis and Lung Disease tetap menyarankan pemberian BCG pada semua infant sebagai suatu yang rutin pada negara-negara dengan prevalensi tuberkulosa tinggi (kecuali pada beberapa kasus seperti pada AIDS aktif). Dosis normal vaksinasi ini 0,05 ml untuk neonatus dan bayi sedangkan 0,1 ml untuk anak yang lebih besar dan dewasa. Oleh karena efek utama dari vaksinasi bayi adalah untuk memproteksi anak dan biasanya anak dengan tuberkulosis primer biasanya tidak infeksius, maka BCG hanya mempunyai sedikit efek dalam mengurangi jumlah infeksi pada orang dewasa. Untuk mengurangi insidensinya di kelompok orang dewasa maka yang lebih penting adalah terapi yang baik terhadap seluruh pasien dengan sputum berbasil tahan asam (BTA) positif karena hanya bentuk inilah yang mudah menular. Diperlukan kontrol yang efektif dari infeksi tuberkulosa di populasi masyarakat sehingga seluruh kontak tuberkulosa harus diteliti dan diterapi.

Selain BCG, pemberian terapi profilaksis dengan INH berdosis harian 5mg/kg/hari selama 1 tahun juga telah dapat dibuktikan mengurangi resiko infeksi tuberkulosa.

k) PrognosaPrognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia dan

kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta terapi yang diberikan.

15

Page 16: pemicu3

2.2 Neurofibroma

Neurofibroma adalah tumor pada selubung saraf. Ada 2 jenis dari neurofibromatosis yaitu:

1. NF tipe 1Mutasi: terjadi pada gen NF-1 di kromosom 17q11.2.Mekanisme: produk dari gen NF-1, neurofibromin adalah protein aktivator GTPase(guanosine triphosphate) yang mempengaruhi proliferasi dan diferensiasi normal sel Schwann. Meskipun perannya belum dapat dimengerti sepenuhnya, protein ini dianggap berperan sebagai protein supresor tumor.Insidensi: 1:3000 pada populasi umum.Manifestasi klinik:

a. Neurofibroma(proliferasi sel Schwann, sel perineural, dan fibroblas). Ada tiga jenis, yaitu kutaneus, subkutaneus, dan pleksiform.

b. Cafe-au-lalt-spots (makula kutaneus berpigmen)

c. Lisch nodule (hamartoma iris)d. Glioma optik (astrositoma pilositik)

Catatan penting: neurofibroma pleksiform dapat bertransformasi menjadi tumor selubung saraf tepi ganas. (Kemp et al, 2008)

2. NF tipe 2 (Kemp et al, 2008)Mutasi: pada gen NF-2 di kromosom 22q12.Mekanisme: produk gen NF-2, merlin yaitu sebuah protein yang mengikat membran sel dan komponen sitoskeletal(terutama aktin) dan memainkan peran dalam regulasi inhibisi dan proliferasi sel Schwann. Seperti gen NF-1, gen NF-2 juga dianggap sebagai gen supresi tumor.Insidensi: 1: 40000-50000 pada populasi umum.Manifestasi klinik: schwannoma akustik bilateral dan meningioma multiple.

Terapi yang dilakukan berdasarkan atas usia, saraf mana yang terkena, toleransi terhadap prosedur, dan progresivitas penyakit. Penatalaksanaan lainnya adalah dengan kemoterapi. Menggunakan aktif anti-kanker obat-obatan untuk mengurangi ukuran tumor, atau untuk benar-benar memberantas itu. Namun demikian, itu menimbulkan banyak efek samping, seperti rambut rontok, sembelit, pusing, depresi, dan rambut rontok. Sebuah intervensi pengobatan umum dan ideal adalah terapi radiasi, dan pengobatan CyberKnife untuk neurofibroma adalah contoh dari ini. Prosedur ini lebih aman untuk digunakan karena tidak menimbulkan rasa sakit dan tidak akan membunuh sel-sel sehat lainnya dalam tubuh. Ini juga tidak menyebabkan banyak efek samping. Terapi radiasi menggunakan sinar gamma

16

Page 17: pemicu3

frekuensi rendah untuk mengangkat tumor. Apa yang baik tentang ini adalah bahwa radiasi hanya dipancarkan langsung ke lokasi tumor, dan tidak akan merusak jaringan sekitarnya atau organ dalam yang lewat.

Treatment dengan plastic surgery hanya akan mengangkat tumornya saja, padahal NF adalah penyakit genetik yang artinya “kesalahan” berada pada bagian kromosom (bagian koding manusia) bukan di bagian luar. Treatment yang dapat dilakukan adalah terapi yg ditemukan oleh Dr weinberg yang disebut sebagai Electro-desiccation.

Dalam Electro-desiccation, arus listrik digunakan untuk mengeringkan dan membunuh jaringan neurofibroma. Treatment ini menggunakan pisau jenis kauter dengan titik tipis dan menjalankan arus melalui neurofibroma tersebut, memgeringkan dan membunuh fibroma. Teknik ini kurang invasif dibandingkan dengan metode penghapusan tradisional bedah (dengan cara konvensional ini biasanya neurofibroma akan muncul lagi dan lagi). Prosedur Electro-desiccation biasanya dilakukan pada pasien rawat jalan atau dasar berjalan. Hal ini sering dilakukan dalam satu atau dua jam. Bius lokal dapat digunakan ketika menghapus cluster tumor dari area kecil dari tubuh, tetapi anestesi umum diperlukan untuk penyerapan di daerah yang lebih besar dari kulit. Operasi biasanya tanpa rasa sakit dan karena anestesi pasien baru umumnya pulang dalam satu atau dua jam.

Prognosis untuk pasien dengan neurofibromatosis tergantung pada jenis.

a. Tipe 1 NF dapat mengurangi harapan hidup hingga 15 tahun, biasanya karena tumor ganas. Diagnosis dini dan pengobatan (misalnya, pembedahan, radiasi) dapat mengurangi tingkat kematian.

b. Prognosis untuk pasien dengan tipe 2 NF tergantung pada usia, onset serta jumlah dan lokasi dari tumor. Diagnosis yang tepat dan pengobatan (operasi) dapat meningkatkan harapan hidup lebih dari 15 tahun setelah diagnosis.

3.2 Kelumpuhan UMN dan LMN

Lintasan motorik berisi upper motor neuron, sinaps dalam batang otak atau medula spinalis, dan lower motor neuron. Badan sel saraf upper motor neuron berada di dalam daerah motorik pada korteks serebri dan beberapa nukleus pada batang otak. Akson sel saraf ini bersinaps dengan nukleus motorik dalam batang otak (untuk nervus kranialis) dan dalam medula spinalis (untuk saraf tepi). Lower motor neuron memiliki badan sel saraf di dalam medula spinalis yang dinamakan sel-sel kornu anterior. Aksonnya mentransmisikan impuls melewati radiks anterior serta saraf spinal ke saraf tepi dan kemudian berakhir pada sambungan neuromuskular.

Ada tiga jenis lintasan motorik yang berada pada sel kornu anterior, yaitu traktus kortikospinalis, sistem ganglia basalis, dan sistemn serebelar. Setiap gerakan baik yang dimulai secara volunter di dalam korteks serebri, maupun secara otomatis di dalam gangglia basalis, atau secara refleks di dalam reseptor sensorik, pada akhirnya harus diterjemahkan menjadi tindakan atau kerja yang nyata melalui sel-sel kornu anterior. Lesi pada slah satu daerah ini akan memengaruhi gerakan atau aktivitas refleks.

17

Page 18: pemicu3

Ketika upper motor neuron mengalami kerusakan di atas persilangan jaras sarafnya dalam medula oblongata, gangguan motorik akan terjadi pada sisi yang berlawanan atau kontralateral. Pada kerusakan yang terjadi di bawah persilangan tersebut, gangguan motorik akan ditemukan pada sisi tubuh yang sama atau ipsilateral. Ekstrimitas yang terkena akan menjadi lemah atau mengalami paralisis (kelumpuhan), gerakan yang terampil, rumit, halus akan terlihat kasar. Tonus akan meningkat meningkat dan refleks tendon menunjukkan aktivitas yang berlebihan serta ditemukan refleks patologis.

Kerusakan pada lower motor neuron menyebabkan kelemahan serta paralisis yang ipsilateral, tetapi pada kasus ini tonus serta refleks ototnya akan berkurang atau tidak ada.

Kelumpuhan UMN dicirikan oleh tanda-tanda kelumpuhan UMN, yaitu tanda-tanda yang khas bagi disfungsi susunan UMN. Adapun tanda-tanda kelumpuhan UMN itu ialah

a. Tonus otot meninggi atau HipertoniGejala tersebut diatas terjadi karena hilangnya pengaruh inhibisi korteks

motorik tambahan terhadap inti-inti intrinsik medulla spinalis. b. Hiperfleksia

Pada kerusukan di wilayah susunan UMN, refleks tendon lebih peka daripada keadaan biasa (=normal). Keadaan abnormal itu dianamakan Hiperfleksi. Dalam keadaan ini gerak otot bangkit secara berlebihan, kendatipun perangsagan pada tendon sangat lemah.

c. KlonusHiperfleksi sering diiringi oleh klonus. Tanda ini adalah gerak otot reflectorik,

yang bangkit secara berulang-ulang selama peranngsangan masih berlangsung.d. Refleks patologik

Pada kerusakan UMN dapat disaksikan adanya refleks-refleks yang tidak dapat dibangkitkan pada orang-orang yang sehat.

e. Tidak ada atrofi pada otot-otot yang lumpuhf. Refleks automatisme spinal

Jika motorneuron tidak lagi mempunyai hubungan dengan korteks motorik primer dan korteks motorik tambahan bukanlah bearti bahwa ia tidak berdaya menggerakkan otot. Ia masih dapat digerakkan oleh rangsangan yang datangnya dari susunan system saraf pusat dibawah tingkat lesi. Gerakan yang bangkit akibat perangsangan tersebut dinamakan Refleks automatisme spinal. yang sering disaksikan pada seorang hemiplegik ialah lengan yang lumpuh bergerak pada waktu menguap. Pada penderita paraplegik akibat lesi transversal di medulla spinalis bagian atas, dapat dijumpai kejang fleksi lutut sejenak, padahal kedua tungkai lumpuh, apabila penderita terkejut.

Lesi paralitik disusuna LMN bearti suatu lesi yang merusak motorneuron, aksonya, ‘motor end plate’ atau otot skeletal, sehingga tidak terdapat gerakan apapun, walaupun impuls motorik dapat dapat tiba pada motorneuron. Kelumpuhan yang tibul itu disertai tanda-tanda LMN sebagai berikut:

18

Page 19: pemicu3

a. Seluruh gerakan, baik yang voluntary maupun yang reflektorik tidak dapat dbangkitkan. Ini bearti bahwa kelumpuhan disertai oleh:a. Hilangnya refleks tendon (=arefleksia) danb. Tak adanya refleks patologik

b. Karena lesi LMN itu, maka bagian eferen lengkung refleks,- berikut ‘gamma loop’-, tidak berfungsi lagi, sehingga: c. Tonus otot hilang

c. Musnahnya motorneuron berikut dengan aksonya bearti pula, bahwa kesatuan motorik runtuh, sehingga:d. Atrofi otot cepat terjadi

Pada pemicu ditemukan peningkatan aktivitas refleks pada patela dan akiles, kemudian tonus otot yang menghilang, dan ditemukan adanya refleks patologis yang positif, yaitu rossolimo dan mendelbetchtrew yang menandakan bahwa pasien tersebut mengalami lesi pada UMN (Upper Motor Neuron).

4.2 Pemeriksaan Refleks

1) Aktifitas refleks :Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon menggunakan refleks

hammer. Skala untuk peringkat refleks yaitu :0 = tidak ada respon1 = hypoactive / penurunan respon, kelemahan ( + )2 = normal ( ++ )3 = lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal ( +++ )4 = hyperaktif, dengan klonus ( ++++)

2) Refleks-refleks yang diperiksa adalah :1. Refleks Patella. Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi kurang

lebih 300. Tendon patella (ditengah-tengah patella dan tuberositas tibiae) dipukul dengan refleks hammer. Respon berupa kontraksi otot quadriceps femoris yaitu ekstensi dari lutut.

2. Refleks Achilles. Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks ini kaki yang diperiksa bisa diletakkan / disilangkan diatas tungkai bawah kontralateral.

19

Page 20: pemicu3

Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa gerakan plantar fleksi kaki.

3. Refleks Rossolimo. Merupakan pemeriksaan reflex patologis yaitu dengan cara melakukan pengetukan hammer pada telapak kaki. Reflex patologis dikatakan positif jika terjadi fleksi jari-jari kaki pada sendi interfalangeal.

4. Refleks Mendel-Beckhterew. Merupakan pemeriksaan reflex patologis yaitu dengan cara melakukan pengetukan dorsum pedis pada daerah os coboideum. Reflex patologis dikatakan positif jika terjadi fleksi jari-jari kaki pada sendi interfalangeal.

5.2 Studi Kasus1. Adanya nyeri pada pasien

Pada awal terkena penyakit spondilitis TB, bakteri penyebab yaitu Mycobacterium tuberculosis mulai melakukan invasi pada vertebra pasien. Bakteri akan mulai untuk berduplikasi atau memperbanyak diri dan menyebabkan peradangan pada tulang belakang pasien. Peradangan yang terjadi akan mengundang sistem imun untuk datang. Hasil akhirnya adalah terbentuknya pus atau abses dari interaksi bakteri dan sistem imun. Selain menyebabkan peradangan, bakteri ini juga menyebabkan hancurnya kolumna vertebra dan penyempitan diskus intervertebralis. Deformitas pada kolumna vertebra ini dimulai dari bagian anterior. Bagian anterior merupakan tempat lewatnya neuron motorik, sementara neuron sensorik lewat di bagian posterior kolumna vertebralis.

Akibatnya bagian awal yang terkena adalah bagian neuron motorik sehingga gejala pada pasien biasanya kelemahan tungkai sampai paralisis, sementara neuron sensorik belum terkena sehingga tetap dapat mempersepsikan nyeri akibat penekanan dari pus atau abses.

20

Page 21: pemicu3

Kemudian 6 bulan berikutnya pasien tidak dapat merasakan nyeri lagi pada tulang belakangnya karena deformitas pada kolumna vertebralis telah mencapai bagian posterior sehingga terkena pada neuron sensorik, akibatnya pasien tidak dapat mempersepsikan nyeri lagi.

2. Rasa nyeri pada punggung dapat menyebar sampai ke paha kanan

Rasa nyeri pada daerah punggung disebabkan oleh proses peradangan pada tulang belakang regio torakal yang terinfeksi mycobacterium tuberculosis. Tulang yang meradang akan menjadi gepeng karena berat tubuh di atasnya. Akibatnya kolom tulang belakang pada tempat ini akan melengkung ke arah dorsal. Lengkungan setempat kolumna vertebral ini jika hanya terjadi pada satu segmen, maka bentuknya akan meruncing dan menyerupai sebuah benjolan disebut gibus.

Nyeri yang menjalar ke paha kanan kemungkinan disebabkan oleh 2 hal, yaitu:

a. Peradangan pada segmen torakal yang menjalar/mengenai segmen lumbal.b. Segmen torakal yang telah menjadi gibus, menyebabkan penyempitan pada

rongga vertebral dan menjepit serabut saraf lumbal.

3. Mengapa Pasien Berkeringat pada Malam Hari?

Keringat malam adalah suatu keluhan subyektif berupa berkeringat pada malam hari yang diakibatkan oleh irama temperatur sirkadian normal yang berlebihan. Suhu tubuh normal manusia memiliki irama sirkadian di mana paling rendah pada pagi hari sebelum fajar yaitu 36.1°C dan meningkat menjadi 37.4 °C atau lebih tinggi pada sore hari sekitar pukul 18.00 sehingga kejadian demam/keringat malam mungkin dihubungkan dengan irama sirkadian ini. Variasi antara suhu tubuh terendah dan tertinggi dari setiap orang berbeda-beda tetapi konsisten pada setiap orang. Belum diketahui dengan jelas mengapa tuberkulosis menyebabkan demam pada malam hari.

Ada pendapat keringat malam pada pasien tuberkulosis aktif terjadi sebagai respon salah satu molekul sinyal peptida yaitu tumour necrosis factor alpha (TNF-α) yang dikeluarkan oleh sel-sel sistem imun di mana mereka bereaksi terhadap bakteri infeksius (M.tuberculosis). Monosit yang merupakan sumber TNF-α akan meninggalkan aliran darah menuju kumpulan kuman M.tuberculosis dan menjadi makrofag migrasi. Walaupun makrofag ini tidak dapat mengeradikasi bakteri secara keseluruhan, tetapi pada orang imunokompeten makrofag dan sel-sel sitokin lainnya akan mengelilingi kompleks bakteri tersebut untuk mencegah penyebaran bakteri lebih lanjut ke jaringan sekitarnya. TNF-α yang dikeluarkan secara berlebihan sebagai respon imun ini akan menyebabkan demam, keringat malam, nekrosis, dan penurunan berat badan di mana semua ini merupakan karakteristik dari tuberkulosis.

Demam timbul sebagai akibat respon sinyal kimia yang bersirkulasi yang menyebabkan hipotalamus mengatur ulang suhu tubuh ke temperatur yang lebih tinggi untuk sesaat. Selanjutnya suhu tubuh akan kembali normal dan panas yang berlebihan akan

21

Page 22: pemicu3

dikeluarkan melalui keringat. Untuk lebih jelasnya berikut adalah fase demam. Pertama yaitu fase inisiasi di mana vasokonstriksi kutaneus akan menyebabkan retensi panas dan menggigil untuk menghasilkan panas tambahan. Ketika set point baru tercapai maka menggigil akan berhenti. Dengan menurunnya set point menjadi normal, vasodilatasi kutaneus menyebabkan hilangnya panas ke lingkungan dalam bentuk berkeringat.

4. Hubungan antara kondisi kejiwaan pasien dengan penyakit yang diderita saat ini1) Status Mental Pasien Sebelum Sakit

Orang dengan tipe kepribadian tertutup termasuk tipe yang mudah terkena stres. Umumnya orang dengan tipe kepribadian ini akan mudah menderita gangguan emosi dan secara sadar berusaha menekan perasaan tersebut. Orang dengan kondisi tersebut rentan terhadap serangan penyakit.

Salah satu sebab menurunnya kekebalan tubuh (immunitas) adalah adanya stres dan kondisi stres ini akan melemahkan respon imunitas. Dalam keadaan stres atau emosi seperti marah atau sedih, hipotalamus yang merupakan pusat emosi akan terangsang dan kemudian akan merangsang kelenjar hipofisis yang akan merangsang kelenjar adrenal untuk mengeluarkan glukokortikoid. Jika hormon tersebut keluar secara berlebihan akan terjasi kerusakan pada tubuh yang mengakibatkan antibodi dan respon peradangan menurun.

Menurunnya sistem imunitas ini mempermudah agen penyakit masuk menyerang tubuh, karena kemampuan sel tersebut untuk mengenal dan melawan musuh tidak dapat berfungsi secara baik. Dapat disimpulkan bahwa stres psikologis berpengaruh terhadap rusaknya kemampuan pembunuhan sel secara alami.

2) Status Mental Pasien Setelah Sakit

Manusia mempunyai sifat holistik, dalam artian manusia adalah makhluk fisik yang sekaligus psikologis, yang mana kedua aspek ini saling berkaitan satu sama lain dan saling mempengaruhi. Sehingga apa yang terjadi pada kondisi fisik manusia akan mempengaruhi pula kondisi psikologisnya. Dengan kata lain setiap penyakit fisik yang dialami seseorang tidak hanya menyerang manusia secara fisik saja, tetapi juga dapat mebawa masalah pada kondisi psikologisnya.

Hal ini dapat kita lihat pada pasien yang menderita penyakit yang berat. Secara umum akan terjadi tiga bentuk respon emosional yang bisa muncul, yaitu penolakan, kecemasan, dan depresi. Dalam keadaan tersebut sangat sulit bagi pasien untuk menerima keadaan dirinya dan akan menimbulkan stres secara terus-menerus. Akibatnya selain penyakit tersebut mempengaruhi fisiknya tetapi juga mempengaruhi psikologinya.

Menghadapi penderitaan fisik dan mental akibat penyakit yang parah, umumnya pasien akan memiliki penerimaan diri yang rendah, harga diri rendah, merasa putus asa, bosan, cemas, frustasi, tertekan, dan takut kehilangan seseorang. Jika perasaan-perasaan tersebut dirasakan pasien dalam waktu cukup lama dapat mengakibatkan depresi. Kemungkinan terjasinya gangguan psikologi seperti depresi, kecemasan, kemarahan, perasaan tidak berdaya dan tidak berharga dialami antara 23%-66% pasien.

22

Page 23: pemicu3

VIII. Kesimpulan

Laki-laki 28 tahun mengalami Spondilitis Tuberkulosis di vertebra torakal bawah sehingga mengalami defisit neurologis berupa Pott’s Paraplegia

23

Page 24: pemicu3

DAFTAR PUSTAKA

Bickley, Lynn S dan Szilagyi, Peter G, 2009., Pemeriksaan Fisik dan riwayat Kesehatan, EGC, Jakarta.

Harrop, D.S. and Sharan, A.D. 2009. Spinal Cord Tumors - Management of Intradural Intramedullary Neoplasms. [serial online]. http://emedicine.medscape.com/article/249306-print.

Helmi, Zairin Noor. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Selemba Medika

Kemp et al. 2008. The Big Picture of Pathology. USA: Mc-Graw Hill

Mardjoni, Mahar dan Priguna Sidharta. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat

Paramarta, Epi dkk, 2008, Spondilitis Tuberkulosa, Jurnal Sari Pediatri., 10:177-183.

Saddock BJ, Saddock VA. Schizophrenia In:Kaplan & Saddock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 10th ed. New York: Lippicontt Williams & Wilkins. 2007.

24