Pemeriksaan Uji Widal Retrospektif Untuk Mendiagnosis Demam Tifoid Pada Pasien Pediatrik Di Daerah...

10
Pemeriksaan Uji Widal Retrospektif untuk Mendiagnosis Demam Tifoid pada Pasien Pediatrik di Daerah Endemik Ralte Lalremruata, Sanjim Chadha, Preena Bhalla Abstrak Pendahuluan: Walaupun demam tifoid dikonfirmasi oleh kultur Salmonella typhi, uji Widal masih digunakan secara luas di India, walaupun hanya terdapat sedikit informasi yang ada mengenai realibilitasnya. Bahan dan Metode: Kami meneliti uji Widal yang telah dilakukan di Rumah Sakit kami untuk mendiagnosis demam tifoid pada anak-anak. Seratus pasien pediatrik berturut-turut yang dilakukan pemeriksaan uji Widal dibagi menjadi empat kelompok: widal positif dan konsisten secara klinis dengan demam tifoid, (Group 1; n=42), widal negatif tetapi konsisten secara klinis (Group 2, n=12), widal positif tetapi tidak konsisten secara klinis (Group 3, n=12) dan widal negatif dan juga tidak konsisten secara klinis (Group 4, n=34). Hasil dianalisis dengan beberapa kriteria uji, yaitu sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value (PPV), dan negative predictive value (NPV) menggunakan hasil kultur terkonfirmasi demam tifoid sebagai positif sejati”. Hasil: Kami menemukan bahwa 7/100 pasien memiliki hasil kultur yang terbukti demam tifoid. Dengan menggunakan cut off ≥ 50 untuk aglutinin O atau 100 untuk aglutinin H, Uji Widal memiliki sensitivitas 71,43%, spesifisitas 47,31%, positive predictive value 9,25% dan negative predictive value 95,65%. Kesimpulan: Uji Widal merupakan uji yang mudah, murah, dan relatif non invasif tetapi tidak reliabel pada studi kami karena rendahnya nilai PPV. Sehingga diperlukan uji diagnostik cepat yang lebih efisien untuk demam tifoid. Kata Kunci: Diagnosis, Salmonella Typhi, Serologi Pendahuluan Demam tifoid merupakan penyakit endemik di India dan uji aglutinasi tuba Widal yang telah digunakan hampir selama 100 tahun telah digunakan untuk mendiagnosis demam tifoid secara serologis di India. 1 Walaupun uji Widal memegang peranan penting dalam mendiagnosis demam tifoid sejak dahulu, perkembangan terbaru menunjukkan beberapa kekurangannya dalam penggunaan dan interpretasi hasilnya. Secara klasik, peningkatan titer antibodi empat kali lipat

description

Uji Widal

Transcript of Pemeriksaan Uji Widal Retrospektif Untuk Mendiagnosis Demam Tifoid Pada Pasien Pediatrik Di Daerah...

Page 1: Pemeriksaan Uji Widal Retrospektif Untuk Mendiagnosis Demam Tifoid Pada Pasien Pediatrik Di Daerah Endemik

Pemeriksaan Uji Widal Retrospektif untuk

Mendiagnosis Demam Tifoid pada Pasien

Pediatrik di Daerah Endemik Ralte Lalremruata, Sanjim Chadha, Preena Bhalla

Abstrak

Pendahuluan: Walaupun demam tifoid dikonfirmasi oleh kultur Salmonella typhi, uji Widal masih

digunakan secara luas di India, walaupun hanya terdapat sedikit informasi yang ada mengenai

realibilitasnya.

Bahan dan Metode: Kami meneliti uji Widal yang telah dilakukan di Rumah Sakit kami untuk

mendiagnosis demam tifoid pada anak-anak. Seratus pasien pediatrik berturut-turut yang

dilakukan pemeriksaan uji Widal dibagi menjadi empat kelompok: widal positif dan konsisten

secara klinis dengan demam tifoid, (Group 1; n=42), widal negatif tetapi konsisten secara klinis

(Group 2, n=12), widal positif tetapi tidak konsisten secara klinis (Group 3, n=12) dan widal

negatif dan juga tidak konsisten secara klinis (Group 4, n=34). Hasil dianalisis dengan beberapa

kriteria uji, yaitu sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value (PPV), dan negative predictive

value (NPV) menggunakan hasil kultur terkonfirmasi demam tifoid sebagai “positif sejati”.

Hasil: Kami menemukan bahwa 7/100 pasien memiliki hasil kultur yang terbukti demam tifoid.

Dengan menggunakan cut off ≥ 50 untuk aglutinin O atau ≥ 100 untuk aglutinin H, Uji Widal

memiliki sensitivitas 71,43%, spesifisitas 47,31%, positive predictive value 9,25% dan negative

predictive value 95,65%.

Kesimpulan: Uji Widal merupakan uji yang mudah, murah, dan relatif non invasif tetapi tidak

reliabel pada studi kami karena rendahnya nilai PPV. Sehingga diperlukan uji diagnostik cepat

yang lebih efisien untuk demam tifoid.

Kata Kunci: Diagnosis, Salmonella Typhi, Serologi

Pendahuluan

Demam tifoid merupakan penyakit endemik di India dan uji aglutinasi tuba Widal yang telah

digunakan hampir selama 100 tahun telah digunakan untuk mendiagnosis demam tifoid secara

serologis di India.1 Walaupun uji Widal memegang peranan penting dalam mendiagnosis demam

tifoid sejak dahulu, perkembangan terbaru menunjukkan beberapa kekurangannya dalam

penggunaan dan interpretasi hasilnya. Secara klasik, peningkatan titer antibodi empat kali lipat

Page 2: Pemeriksaan Uji Widal Retrospektif Untuk Mendiagnosis Demam Tifoid Pada Pasien Pediatrik Di Daerah Endemik

pada paired sera dapat menjadi diagnosis demam tifoid.2 Akan tetapi, paired sera sering kali sulit

untuk didapatkan dan terapi antimikroba spesifik digunakan atas dasar kecurigaan klinis saja.3

Hasil satu uji Widal pada anak yang tidak tervaksin atau tidak terpapar mungkin memiliki beberapa

relevansi klinis. Akan tetapi, hasil satu uji Widal tidak dapat mendiagnostik secara signifikan pada

daerah endemik; sebagian disebabkan karena sulitnya membuat kondisi yang stabil ataupun karena

titer dasar dari uji aglutinasi Widal pada paparan berulang di daerah endemik merupakan hal yang

umum terjadi.4,5 Selain itu, karena terdapat kemungkinan demam yang berasal dari penyebab

infeksi lain, reaksi positif palsu dapat terjadi karena cross-reactivities dengan organisme non-

Salmonella lainnya.6,7 Penggunaan vaksin tifoid-paratifoid secara luas juga menyebabkan

kesalahan interpretasi hasil uji.8

Hal ini menyebabkan overdiagnosis dari demam tifoid dan membatasi kegunaan uji Widal sebagai

indikator diagnostik yang reliabel dari proses penyakit dan penanganannya di negara endemis.

Diagnosis demam tifoid berdasarkan gejala klinis saja sulit ditegakkan, dikarenakan gejala yang

beragam dan mirip dengan penyakit demam lainnya. Diagnosis pasti dari demam tifoid

memerlukan isolasi bakteri Salmonella typhi pasien.

Di negara kami, pasien sering mendapat antibiotik sebelum adanya hasil laboratorium dikarenakan

bakteri yang dapat diisolasikan dalam kultur darah hanya sedikit dan fasilitas kultur tidak tersedia

secara bebas. Evidence-based laboratory medicine mencoba mengatasi masalah penggunaan

pelayanan laboratorium dengan menggabungkan metode dari epidemiologi, biostatistika, klinis,

dan social science dengan sains dasar untuk mengevaluasi peran investigasi dalam penentuan

keputusan klinis dan hasilnya untuk pasien.9

Clinical audit merupakan alat penting untuk menilai dan mengembangkan kualitas pelayanan dari

laboratorium klinis.10,11 Mempertimbangkan fakta di atas, kami mempresentasikan di sini

pemeriksaan uji Widal yang dilakukan pada Rumah Sakit Pendidikan kami yang akan membantu

dalam pemahaman yang lebih baik tentang manfaat uji Widal sebagai indikator diagnostik di

Rumah Sakit kami, yang akan memberikan dampak mendalam pada manajemen pasien.

Metode dan Bahan

Studi ini merupakan studi retrospektif dari pemeriksaan uji aglutinasi tuba Widal yang

dilaksanakan dari Agustus 2012 hingga Juni 2013 di Laboratorium serologi dari Department of

Microbiology, Maulana Azad Medical College, Delhi, India setelah mendapatkan persetujuan

ethical clearance dari komite etik institusi. Laboratorium ini menerima sampel dari uji Widal yang

dilakukan pada semua bagian di Rumah Sakit Lok Nayak, Delhi, India yang merupakan Rumah

Sakit Pendidikan kami. Partisipan dalam studi ini adalah seratus anak berturut-turut (hingga usia

12 tahun) yang merupakan pasien yang diperiksakan uji Widal di-follow up di masing-masing

bangsal Bagian Anak Rumah Sakit Lok Nayak, apapun hasil ujinya. Setelah memberikan informed

consent pada orangtua pasien, kami meninjau data epidemiologis, klinis dan bakteriologis dari

riwayat medis sebelumnya. Seluruh kasus diselidiki tentang lama penyakit sebelum masuk rumah

sakit, keluhan sekarang, tanda klinis dan gejala serta detil personal dari masing-masing kasus yang

dicatat dalam rekam medis. Tanda klinis dan gejala yang didefinisikan oleh Centers for Disease

Page 3: Pemeriksaan Uji Widal Retrospektif Untuk Mendiagnosis Demam Tifoid Pada Pasien Pediatrik Di Daerah Endemik

Control and Prevention (CDC), Atlanta, Georgia, Amerika Serikat tentang demam tifoid

digunakan untuk mendiagnosis klinis kasus demam tifoid pada studi ini.12

Sampel darah dari semua kasus didapatkan dalam vacutainer biasa tanpa antikoagulan di

Laboratorium Serologi. Darah dibiarkan menggumpal dalam vacutainer biasa dan serum

dipisahkan dengan sentrifugasi pada 2500 rpm selama 10 menit, dalam satu hingga tiga jam

pengumpulan. Spesimen lalu diproses dengan menggunakan alat komersial (Set antigen demam;

Span Diagnostic Ltd.) sesuai dengan instruksi pabrik. Sera untuk kontrol positif dan negatif juga

termasuk di dalamnya. Pembacaan uji diambil setelah inkubasi semalaman pada suhu 37oC oleh

seorang ahli mikrobiologi klinis dengan pengalaman tiga tahun. Cut-off nilai positif untuk

diagnosis demam enterik dengan uji Widal pada pasien pediatrik diadopsi dari laboratorium kami

(1:50 untuk aglutinin O dan 1:100 untuk aglutinin H) yang juga digunakan pada penilaian ini.

Sampel darah dikumpulkan secara aseptic dari semua partisipan studi ini dalam botol kultur darah

anak yang berisi Brain Heart Infusion broth yang dikirim ke laboratorium bakteriologi departemen

kami pada hari pertama masuk rumah sakit sebelum memulai terapi apapun. Botol kultur darah

diinkubasi pada suhu 37oC secara aerobik selama 24 jam dan kemudian dilakukan sub-cultur di

atas media agar darah domba 5% dan agar MacConkey. Setelah inkubasi secara aerobik selama 24

jam pada suhu 37oC, yaitu pada hari ketiga, diperiksa pertumbuhan bakteri pada cawan berisi

media tersebut. Cawan yang tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri setelah 48 jam dilakukan

sub-cultur kembali pada kedua media di atas pada hari kelima. Organisme yang dikultur

diidentifikasi secara biokimia dan uji serotipe yang merupakan protokol standar di laboratorium

bakteriologi kami. Demam enterik dikonfirmasi dengan isolasi Salmonella typhi dari kultur darah.

Semua subyek penelitian anak dimulai terapi empiris dengan monocef (ceftriaxone) intravena

dengan dosis 100 mg/kg berat badan dalam dua dosis terbagi per hari. Tanggapan mereka terhadap

obat ini juga dicatat. Semua subjek penelitian kemudian dikelompokkan menjadi empat kelompok:

widal positif dan secara klinis konsisten dengan demam tifoid (Kelompok 1; n=42), widal negatif

tetapi secara klinis konsisten dengan demam tifoid (Kelompok 2, n=12), widal positif tetapi tidak

konsisten secara klinis dengan demam tifoid (Kelompok 3, n=12) dan widal negatif tetapi tidak

secara klinis konsisten dengan demam tifoid (Kelompok 4, n=34).

Hasil dianalisis dengan beberapa kriteria uji, yaitu sensitivitas, spesifisitas, positive predictive

value (PPV), dan negative predictive value (NPV). Sensitifitas (angka positif sejati) didefinisikan

sebagai kemungkinan hasil uji Widal memberikan hasil positif dengan hasil kultur darah terbukti

terdapat demam tifoid. Spesifisitas (angka negatif sejati) adalah kemungkinan hasil uji Widal

memberikan hasil negatif dengan tidak adanya demam tifoid. Positive predictive value adalah

kemungkinan adanya tifoid dengan hasil uji positif juga, sedangkan negative predictive value

adalah kemungkinan tidak adanya tifoid dengan hasil uji negatif juga. Nilai tersebut dikalkulasikan

menggunakan kasus demam tifoid terkonfirmasi oleh kultur sebagai positif sejati dan kasus dimana

Salmonella typhi tidak terisolasi dari kultur darah sebagai negatif sejati.

Page 4: Pemeriksaan Uji Widal Retrospektif Untuk Mendiagnosis Demam Tifoid Pada Pasien Pediatrik Di Daerah Endemik

Hasil

Sejumlah 100 orang anak dengan demam terdaftar dalam studi ini. Usia rata-rata dari subjek studi

kami adalah 5,9 ± 3,36 tahun (Usia berkisar antara 6 bulan sampai 12 tahun). Rasio laki-laki

dengan perempuan adalah 1,27:1 (56 laki-laki dan 44 perempuan).

Tabel/Gambar 1 menunjukkan titer Widal pada empat kelompok studi. Pada kasus Kelompok 1

tidak ada sampel dengan fase convalescent yang menerima uji paired sera. Satu sampel

menunjukkan hasil positif untuk AH (1%). Dua puluh sampel (dari 42) dikirim dalam 7 hari demam

dan dua puluh dua (dari 42) dikirim setelah demam hari ke-7. Tidak ada sampel yang menunjukkan

hasil positif Salmonella typhi pada kultur darah setelah 48 jam inkubasi tetapi lima (dari 42)

menunjukkan hasil positif pada kultur hari ke-5. Tiga puluh lima (dari 42) pasien menjadi tidak

demam dalam 5 hari pemberian ceftriaxone dan empat pasien menunjukkan respon yang sama

sebelum hari ke-5. Tiga pasien dirawat dengan tambahan antibiotik azithromycin sehingga

menimbulkan respon.

Tabel/Gambar 1. Kelompok studi aglutinin O dan H.

Titer

Semua

anak

n=100

no.

(%)

Kelompok 1

(Widal + dan

konsisten secara

klinis)

n= 42 no. (%)

Kelompok 2

(Widal – dan

konsisten secara

klinis)

n= 12 no. (%)

Kelompok 3 (Widal

+ tetapi tidak

konsisten secara

klinis)

n=12 no. (%)

Kelompok 4

(Widal – dan tidak

konsisten secara

klinis)

n= 34 no. (%)

AO

≥ 400 8(8) 7(16,67) 0(0) 1(8,34) 0(0)

=200 8(8) 8(19,04) 0(0) 0(0) 0(0)

=100 10(10) 10(23,8) 0(0) 0(0) 0(0)

=50 28(28) 17(40,47) 0(0) 11(91,67) 0(0)

<50 46(46) 0(0) 12(100) 0(0) 34(100)

AH

≥ 400 25(25) 23(54,76) 0(0) 2(16,67) 0(0)

=200 5(5) 4(9,52) 0(0) 1(8,34) 0(0)

=100 24(24) 15(35,71) 0(0) 9(75) 0(0)

=50 1(1) 0(0) 1(8,34) 0(0) 0(0)

<50 45(45) 0(0) 11(91,67) 0(0) 34(34)

Sampel dari Kelompok 2 menunjukkan antibodi O dan H dengan titer <50. Sebelas sampel (dari

12) dikirim dalam 7 hari demam dan satu (dari 12) dikirim setelah hari ke-7. Dua kasus

menunjukkan hasil kultur darah positif untuk Salmonella typhi setelah 48 jam inkubasi. Semua

pasein pada kelompok ini menjadi tidak demam dalam 5 hari pemberian ceftriaxone.

Tabel/Gambar 2 menunjukkan hasil uji Widal untuk kasus Kelompok 3 dan diagnosis akhirnya

yang mempertimbangkan seluruh pemeriksaan laboratoriumnya. Tidak ada kasus yang

menunjukkan kultur darah positif untuk Salmonella typhi. Empat sampel (dari 12) dikirim dalam

7 hari demam dan delapan sampel (dari 12) dikirim setelah hari ke-7. Semuanya telah dimulai

terapi ceftraixone dan lima dari pasien tersebut menjadi tidak demam setelah 5 hari pemberian

obat.

Page 5: Pemeriksaan Uji Widal Retrospektif Untuk Mendiagnosis Demam Tifoid Pada Pasien Pediatrik Di Daerah Endemik

Tabel/Gambar 2. Hasil uji Widal dan diagnosis akhir dari kasus Kelompok 3 (Widal + tapi

tidak konsisten secara klinis), n=12.

Sampel no. Typhi O Typhi H Diagnosis klinis

1. =50 =100 Pulmonary kochs

2. >400 >400 Penyakit hati kronis

3. =50 =100 Penyakit hati kronis

4. =50 =100 Pansitopenia

5. =50 =200 Malaria

6. =50 =100 Malaria

7. =50 =100 Pneumonia

8. =50 =100 Pneumonia

9. =50 =100 Penyakit hati kronis

10. =50 >400 Ingesti kerosene

11. =50 =100 Abses hati

12. =50 =100 Penyakit hati kronis

Kelompok 4 (Widal negatif dan tidak konsisten secara klinis) berisi pasien yang didiagnosis selain

penyakit infeksi non-tifoid.

Tabel/Gambar 3 menunjukkan distribusi partisipan pada studi kami berdasarkan hasil kultur darah

dan uji Widal.

Tabel/Gambar 3. Distribusi kasus berdasarkan hasil kultur darah dan uji Widal.

Kultur postitif

(demam enterik positif)

Kultur negatif (demam

enterik negatif) Jumlah

Widal positif 5 (Positif sejati) 49 (Positif palsu) 54

Widal negatif 2 (Negatif palsu) 44 (Negatif sejati) 46

Jumlah 7 93 100

Tabel/Gambar 4 menunjukkan sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value (PPV), dan

negative predictive value (NPV) dari uji Widal dengan menggunakan kasus dengan hasil kultur

sesuai demam tifoid sebagai “positif sejati” dan semua demam pada anak-anak lainnya dengan

kultur darah Salmonella typhi negatif sebagai “negatif sejati”.

Tabel/Gambar 4. Kinerja uji Widal untuk diagnosis demam enterik

Sensitivitas 5/7(71,43%)

Spesifisitas 44/93(47,31%)

Positive predictive value (PPV) 5/54(9,25%)

Negative predictive value (NPV) 44/46(95,65%)

Page 6: Pemeriksaan Uji Widal Retrospektif Untuk Mendiagnosis Demam Tifoid Pada Pasien Pediatrik Di Daerah Endemik

Diskusi

Uji Widal telah digunakan selama lebih dari seabad di negara berkembang untuk diagnosis demam

tifoid tetapi uji ini dilaporkan memiliki sensitifitas, spesifisitas, dan positive predictive value yang

rendah.13,14 Kami menyajikan penilaian manfaat uji Widal untuk mendiagnosis demam tifoid pada

pasien anak di salah satu Rumah Sakit pelayanan tersier yang terbesar dan tersibuk di New Delhi.

Lima puluh empat kasus dari seratus yang terdaftar dalam studi kami memenuhi kriteria definisi

kasus demam tifoid CDC. Dari keseluruhan partisipan, hanya empat puluh dua kasus yang

menunjukkan hasil uji Widal positif (Kelompok 1). Dua belas kasus memiliki hasil uji Widal

positif tetapi tidak sesuai dengan klinisnya (Kelompok 3). Hasil positif ini yang tidak sesuai klinis

ini mungkin disebabkan karena antibodi yang telah ada dari paparan infeksi Salmonella typhi

sebelumnya, infeksi subklinis ataupun terjadinya cross reacting antibodies akibat demam non-

tifoid lainnya. Tetapi, semuanya telah memulai terapi Ceftriaxone sebelum menerima hasil uji

Widal. Sampel darah untuk kasus dengan hasil uji Widal positif (n=54) dikirim pada hari masuk

Rumah Sakit; 44,45% (24 sampel) dikirim dalam 7 hari demam dan 55,56% dikirim sebelum

demam hari ke-7. Pandangan tradisional bahwa uji ini akan positif pada minggu kedua penyakit

tidak sesuai dengan data kami, nilai positif dari TH (p=0,0243) lebih banyak ditemukan pada

minggu kedua penyakit. Perbedaan yang secara satistik signifikan yang tidak diobservasi untuk

titer TO (p =0.0912) dan titer AH (p=1.00) antara minggu kedua dan pertama penyakit. Temuan ini

mendukung kesimpulan peneliti lain bahwa di daerah endemik aglutinin H dan aglutinin O muncul

lebih awal pada perjalanan penyakitnya15,16 dan mungkin paling disebabkan oleh populasi yang

sudah secara imunologis tersensitisasi.

Semua kasus dalam studi kami diberikan terapi awal Ceftriaxone. Tindakan tersebut menyebabkan

muncul dan tersebarnya strain yang resisten terhadap obat pada masyarakat. Salmonella typhi telah

resisten terhadap Ceftriaxone, Azithromycin dan Ciprofloxacin dari berbagai bagian dunia;

resistensi Ciprofloxacin juga begitu umum sehingga tidak dapat digunakan secara rutin.17

Walaupun sebaiknya terapi antimikroba spesifik hanya dimulai setelah keluar hasil konfirmasi

penyakit dari laboratorium, terapi antibiotik dimulai pada pasien dengan kecurigaan tinggi demam

enterik berdasarkan klinis saja. Selain itu, manfaat terapi antibiotik perlu dipertimbangkan secara

hati-hati terhadap kelemahan penyebaran strain resisten antibiotik. Pengamatan lain yang menarik

diperhatikan untuk dicata dalam penelitian kami adalah uji Widal yang diminta pada kasus tanpa

bukti klinis penyakit (kasus Kelompok 3 dan 4) dan bahwa uji Widal dilaporkan tidak memeiliki

dampak pada penanganan pasien sebagai terapi tidak berubah pada Kelompok 2 (Widal – dan

konsisten secara klinis) kasus setelah pelaporan uji.

Dengan menggunakan cut off ≥ 50 untuk aglutinin O atau ≥100 untuk aglutinin H, uji Widal

memeberikan sensitivitas 71,43%, spesifisitas 47,1%, dan positive predictive value 9,26% dan

negative predictive value 24 dai 95,65%. Hal ini berbeda dengan temuan peneliti lain yang telah

melaporkan tingginya PPV uji Widal pada anak.3,18 Akan tetapi studi dari Tanzania telah

melaporkan hasil yang mirip dengan studi kami dimana didapatkan hasil uji Widal dengan PPV

yang rendah dan NPV yang tinggi pada anak-anak.19 Hal tersebut telah diperdebatkan bahwa PPV

adalah pengukuran yang paling penting dari metode diagnostik karena hal ini mewakili proporsi

dengan hasil uji positif yang memperbaiki diagnosis.20 Pada studi kami, hasil negatif memiliki

Page 7: Pemeriksaan Uji Widal Retrospektif Untuk Mendiagnosis Demam Tifoid Pada Pasien Pediatrik Di Daerah Endemik

nilai prediktif yang baik untuk tidak adanya penyakit, tetapi hasil positif memiliki nilai prediktif

yang sangat rendah untuk demam tifoid.

Singkatnya uji Widal yang kami siapkan telah dilakukan dengan baik dalam hal sensitivitas dan

spesifisitasnya tetapi uji ini hanya berguna untuk mengeksklusikan penyakit. Mempertimbangkan

murahnya uji Widal dan tidak adanya uji yang murahnya sebanding, uji Widal sepertinya tetap

menjadi pilihan uji di berbagai negara berkembang.

Kesimpulan

Diagnosis demam tifoid berdasarkan klinis saja sulit ditegakkan, dikarenakan gejala yang beragam

dan mirip dengan penyakit demam lainnya.

Diagnosis pasti demam tifoid memerlukan isolasi bakteri Salmonella typhi atau paratyphi pasien.

Akan tetapi karena pasien sering mendapat terapi antibiotik sebelum diagnosis laboratorium,

bakteri yang dapat diisolasikan dari kultur darah menjadi sangat sedikit. Selain itu, ketidakadaan

fasilitas mikrobiologis dan lamanya menunggu hasil kultur (7 sampai 10 hari) telah diketahui

menjadi alasan pemilihan uji Widal.

Tingginya hasil positif palsu dalam diagnosis demam tifoid menyebabkan perburukan dari

resistensi antibiotik di India. Selain itu, hasil uji ini harus diinterpretasikan dengan memerhatikan

gejala klinis pasien, riwayat vaksinasi dan lain-lain yang menunjukkan pentingnya komunikasi

antara laboratorium dan klinis. Akan tetapi hasil uji Widal negatif pada anak dengan gejala klinis

sesuai dengan demam tifoid bermanfaat untuk mengekslusikan penyakit lain dan mencegah

penggunaan terapi antimikroba spesifik yang tidak diperlukan karena negative predictive value

yang tinggi. Beberapa pertanyaan penting lainnya yang perlu ditangani adalah:

- Apa yang seharusnya menjadi dasar permintaan uji Widal pada daerah endemis?

- Kriteria klinis apa yang ditetapkan oleh CDC atau demam itu sendiri dan apa yang seharusnya

menjadi dasar untuk memulai terapi antimikroba spesifik secara empiris?

- Kecurigaan klinis atau konfirmasi laboratorium dan bagaimana laporan uji Widal merubah

penanganan pasien pada kasus uji Widal negatif yang telah memulai terapi Ceftriaxone empiris

berdasarkan klinis?

Sebuah uji diagnostik yang sangat spesifik dan sensitif, sangat diperlukan agar dapat memberikan

kontribusi kesehatan yang lebih baik pada daerah endemik dengan fasilitas yang kurang baik

dimana akses terhadap pekerja laboratorium yang sangat terlatih dengan waktu yang cukup sangat

lah jarang.

Ucapan Terima Kasih

Penulis berterima kasih kepada Bapak Sukhbir dan Ibu Seema atas bantuan teknis mereka.

Page 8: Pemeriksaan Uji Widal Retrospektif Untuk Mendiagnosis Demam Tifoid Pada Pasien Pediatrik Di Daerah Endemik

Daftar Pustaka

1. Pal S, Prakash R, Juyal D, Sharma N, Rana A, Negi S. The baseline widal titre among the

healthy individuals of the hilly areas in the garhwal region of uttarakhand. India. J Clin Diagn

Res. 2013; 7(3):437-40.

2. House D, Chinh NT, Diep TS, Parry CM, Wain J, Dougan G, et al. Use of paired serum samples

for serodiagnosis of typhoid fever. J Clin Microbiol. 2005; 43(9): 4889-90.

3. Kulkarni ML, Rego SJ. Value of single widal test in the diagnosis of typhoid fever. Indian

Journal of Paediatrics. 1994; 31(11): 1373-6.

4. Olopenia LA, King AL. Widal agglutination test-100 years later: still plagued by controversy.

Postgrad Med J. 2000; 76: 80-4.

5. Levine MM, Grados O, Gilman RH, Woodward WE, Solis-Plaza R, Waldman W. Diagnostic

value of the Widal test in areas endemic for typhoid fever. Am J Trop Med Hyg. 1978;

27(4):795-800.

6. Reynolds DW, Carpenter L, Simon WH. Diagnostic specificity of Widal’s reaction for typhoid

fever. JAMA. 1970; 204: 2192-3.

7. Pang T, Puthucheary SD. Significance and value of the Widal test in the diagnosis of typhoid

fever in an endemic area. J Clin Pathol. 1983; 36(4): 471-5.

8. Wicks ACB, Holmes GS. Davidson L. Endemic typhoid fever: a diagnostic pitfall. Q J Med.

1971; 40: 341-54

9. Horvath AR. Evidence-based laboratory medicine. Orv Hetil. 2003; 144(18): 869-76.

10. Ally SH, Ahmed A, Hanif R. An audit of serological tests carried out at clinical laboratory of

Ayub Teaching Hospital, Abbottabad. J Ayub Med Coll Abbottabad. 2005; 17(2): 75-8.

11. Bonini P, Plebani M, Ceriotti F, Rubboli F. Errors in laboratory medicine. Clin Chem. 2002;

48(5): 691-8.

12. Case definitions for infectious conditions under public health surveillance. Centers for Disease

Control and Prevention. MMWR Recomm Rep. 1997; 46(RR-10): 1-55.

13. Sherwal Bl, Dhamija RK, Randhawa VS, Jais M, Kaintura A, Kumar M. A comparative study

of Typhidot and Widal test in patients of Typhoid fever. JIACM. 2004; 5:244-6.

14. Begum Z, Hossain Md A, Shamsuzzaman AKM, Ahsan Md M, Musa AKM, Mahmud Md C,

et al. Evalutaion of Typhidot(IgM) for Early Diagnosis of Typhoid fever. Bangladesh J Med

Microbiol. 2009; 3:10-3.

15. Saha SK, Ruhulamin M, Hanif M, Islam M, Khan WA. Interpretation of the Widal test in the

diagnosis of typhoid fever in Bangladeshi children. Ann Trop Paediatr. 1996; 16(1): 75-8.

16. Senewiratne B, Senewiratne K. Reassessment of the Widal test in the diagnosis of typhoid.

Gastroenterology. 1977; 73: 233-6.

17. U. S. Department of Health and Human Services, Centers for Disease Control and Prevention.

Antibiotic resistance threats in the United States 2013. Tersedia dari:

http://www.cdc.gov/drugresistance/threat-report-2013/pdf/ar-threats-2013-508.pdf.

18. Noorbakhsh S, Rimaz S, Rahbarimanesh AA, Mamishi S. Interpretation of the Widal test in

Infected Children. Iranian J Publ Health. 2003; 32(1); 35-7.

19. Ley B, Mtove G, Thriemer K, Amos B, von Seidlein L, Hendriksen I, et al. Evaluation of the

Widal tube agglutination test for the diagnosis of typhoid fever among children admitted to a

rural hospital in Tanzania and a comparison with previous studies. BMC Infect Dis. 2010;

10:180.

20. Altman DG, Bland JM. Diagnostic tests 2: Predictive values. BMJ. 1994; 309:10.

Page 9: Pemeriksaan Uji Widal Retrospektif Untuk Mendiagnosis Demam Tifoid Pada Pasien Pediatrik Di Daerah Endemik

ANALISIS VIA

Validity:

a. Design: Studi retrospektif

b. Populasi dan sampel: Populasi dalam studi ini adalah pasien anak yang dilakukan

pemeriksaan uji aglutinasi tuba Widal di Rumah Sakit Lok Nayak, Delhi, India. Sampel

dalam studi ini adalah seratus anak berturut-turut (hingga usia 12 tahun) yang merupakan

pasien yang diperiksakan uji Widal dan di-follow up di masing-masing bangsal Bagian

Anak Rumah Sakit Lok Nayak dari bulan Agustus 2012 hingga Juni 2013.

c. Pengumpulan sampel: consecutive sampling

Importance:

a. Karakteristik subjek: Kedua kelompok memiliki karakteristik yang sama yaitu subjek

dengan hemofilia A berat yang belum pernah mendapatkan terapi.

b. Drop out: Pasien yang tidak mendapatkan inform consent, data pasien tidak dapat jelas

kualitasnya, pasien tidak dapat di-follow-up, pasien meninggal karena perdarahan

intraserebral, pasien yang tidak diobati, pasien yang tidak diketahui status inhibitornya.

c. Analisis: Data dianalisis dengan menggunakan metode analisis survival, yaitu dengan

pooled logistic regression untuk hubungan antara munculnya inhibitor dengan faktor-

faktor terkait dengan pengobatan pada waktu tertentu (pada paparan pertama dan pada

pasien dengan pengobatan on-demand). Hubungan antara munculnya inhibitor dengan

faktor-faktor yang terkait dengan variasi waktu dinilai dengan marginal structural method,

faktor determinan yang dapat mengacaukan asosiasi spesifik penelitian dinilai dengan

analisis univariat.

Applicability:

a. Apakah hasil penelitian ini dapat di terapkan di Indonesia?

Menurut kelompok kami penelitian ini dapat diterapkan di Indonesia karena di Indonesia

sendiri cukup banyak pasien yang menderita hemofilia A berat dan banyak yang

mengalami hemofilia A inhibitor dengan setelah pemberian FVIII dalam dosis besar

sehingga dibutuhkan alternatif lain untuk mengobati hemofilia A tanpa menimbulkan efek

samping lain.

b. Apakah hasil penelitian ini dapat diaplikasikan ke pasien?

Menurut kami, penelitian ini dapat diterapkan kepada pasien, namun pelaksanaannya harus

dengan kerjasama yang baik dari pihak pasien dan rumah sakit, karena mengingat harga

yang dibutuhkan untuk produk FVIII.

c. Apakah pasien kita mempunyai potensi yang menguntungkan atau merugikan jika

terapi tersebut diterapkan?

Menurut kami, apabila terapi tersebut diterapkan sesuai dengan rekomendasi, maka dapat

membantu menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pada pasien -pasien tersebut.

Page 10: Pemeriksaan Uji Widal Retrospektif Untuk Mendiagnosis Demam Tifoid Pada Pasien Pediatrik Di Daerah Endemik

ANALISIS PICO

Problem:

Demam tifoid merupakan penyakit endemik di India. Uji aglutinasi tuba Widal telah digunakan

hampir selama 100 tahun telah digunakan untuk mendiagnosis demam tifoid secara serologis di

India. Akan tetapi perkembangan terbaru menunjukkan beberapa kekurangannya dalam

penggunaan dan interpretasi hasilnya yang disebabkan oleh sulitnya membuat kondisi yang stabil

ataupun karena titer dasar dari uji aglutinasi Widal pada paparan berulang di daerah endemic yang

berbeda, kemungkinan demam yang berasal dari penyebab infeksi lain, reaksi positif palsu dan

penggunaan vaksin tifoid-paratifoid secara luas juga menyebabkan kesalahan interpretasi hasil uji.

Selain itu, pasien sering mendapat antibiotik sebelum adanya hasil laboratorium dikarenakan

bakteri yang dapat diisolasikan dalam kultur darah hanya sedikit dan fasilitas kultur tidak tersedia

secara bebas.

Patient:

Populasi:

Pasien anak yang dilakukan pemeriksaan uji aglutinasi tuba Widal di Rumah Sakit Lok Nayak,

Delhi, India.

Sampel:

seratus anak berturut-turut (hingga usia 12 tahun) yang merupakan pasien yang diperiksakan uji

Widal dan di-follow up di masing-masing bangsal Bagian Anak Rumah Sakit Lok Nayak dari

bulan Agustus 2012 hingga Juni 2013.

Intervention:

Penelitian ini merupakan penelitian observasi, sehingga tidak diperoleh adanya intervensi dari

peneliti.

Comparison:

Studi ini membandingkan hasil studinya dengan pelitian lain, baik yang memiliki hasil yang

berbeda ataupun hasil yang mirip. Hasil yang dibandingkannya adalah sesuai dengan kriteria

ujinya, yaitu sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value dan negative predictive value. Akan

tetapi hasil uji yang paling dibandingkan adalah nilai positive predictive value dan negative

predictive value.

Outcomes:

Uji Widal memiliki sensitivitas 71,43%, spesifisitas 47,1%, dan positive predictive value 9,26%

dan negative predictive value 24 dai 95,65%. Singkatnya uji Widal dalam studi ini telah dilakukan

dengan baik dalam hal sensitivitas dan spesifisitasnya tetapi uji ini hanya berguna untuk

mengeksklusikan penyakit. Mempertimbangkan murahnya uji Widal dan tidak adanya uji yang

murahnya sebanding, uji Widal sepertinya tetap menjadi pilihan uji di berbagai negara berkembang.