Pemeriksaan Uji Widal Retrospektif Untuk Mendiagnosis Demam Tifoid Pada Pasien Pediatrik Di Daerah...
-
Upload
kgs-mahendra-effendy-ii -
Category
Documents
-
view
39 -
download
2
description
Transcript of Pemeriksaan Uji Widal Retrospektif Untuk Mendiagnosis Demam Tifoid Pada Pasien Pediatrik Di Daerah...
Pemeriksaan Uji Widal Retrospektif untuk
Mendiagnosis Demam Tifoid pada Pasien
Pediatrik di Daerah Endemik Ralte Lalremruata, Sanjim Chadha, Preena Bhalla
Abstrak
Pendahuluan: Walaupun demam tifoid dikonfirmasi oleh kultur Salmonella typhi, uji Widal masih
digunakan secara luas di India, walaupun hanya terdapat sedikit informasi yang ada mengenai
realibilitasnya.
Bahan dan Metode: Kami meneliti uji Widal yang telah dilakukan di Rumah Sakit kami untuk
mendiagnosis demam tifoid pada anak-anak. Seratus pasien pediatrik berturut-turut yang
dilakukan pemeriksaan uji Widal dibagi menjadi empat kelompok: widal positif dan konsisten
secara klinis dengan demam tifoid, (Group 1; n=42), widal negatif tetapi konsisten secara klinis
(Group 2, n=12), widal positif tetapi tidak konsisten secara klinis (Group 3, n=12) dan widal
negatif dan juga tidak konsisten secara klinis (Group 4, n=34). Hasil dianalisis dengan beberapa
kriteria uji, yaitu sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value (PPV), dan negative predictive
value (NPV) menggunakan hasil kultur terkonfirmasi demam tifoid sebagai “positif sejati”.
Hasil: Kami menemukan bahwa 7/100 pasien memiliki hasil kultur yang terbukti demam tifoid.
Dengan menggunakan cut off ≥ 50 untuk aglutinin O atau ≥ 100 untuk aglutinin H, Uji Widal
memiliki sensitivitas 71,43%, spesifisitas 47,31%, positive predictive value 9,25% dan negative
predictive value 95,65%.
Kesimpulan: Uji Widal merupakan uji yang mudah, murah, dan relatif non invasif tetapi tidak
reliabel pada studi kami karena rendahnya nilai PPV. Sehingga diperlukan uji diagnostik cepat
yang lebih efisien untuk demam tifoid.
Kata Kunci: Diagnosis, Salmonella Typhi, Serologi
Pendahuluan
Demam tifoid merupakan penyakit endemik di India dan uji aglutinasi tuba Widal yang telah
digunakan hampir selama 100 tahun telah digunakan untuk mendiagnosis demam tifoid secara
serologis di India.1 Walaupun uji Widal memegang peranan penting dalam mendiagnosis demam
tifoid sejak dahulu, perkembangan terbaru menunjukkan beberapa kekurangannya dalam
penggunaan dan interpretasi hasilnya. Secara klasik, peningkatan titer antibodi empat kali lipat
pada paired sera dapat menjadi diagnosis demam tifoid.2 Akan tetapi, paired sera sering kali sulit
untuk didapatkan dan terapi antimikroba spesifik digunakan atas dasar kecurigaan klinis saja.3
Hasil satu uji Widal pada anak yang tidak tervaksin atau tidak terpapar mungkin memiliki beberapa
relevansi klinis. Akan tetapi, hasil satu uji Widal tidak dapat mendiagnostik secara signifikan pada
daerah endemik; sebagian disebabkan karena sulitnya membuat kondisi yang stabil ataupun karena
titer dasar dari uji aglutinasi Widal pada paparan berulang di daerah endemik merupakan hal yang
umum terjadi.4,5 Selain itu, karena terdapat kemungkinan demam yang berasal dari penyebab
infeksi lain, reaksi positif palsu dapat terjadi karena cross-reactivities dengan organisme non-
Salmonella lainnya.6,7 Penggunaan vaksin tifoid-paratifoid secara luas juga menyebabkan
kesalahan interpretasi hasil uji.8
Hal ini menyebabkan overdiagnosis dari demam tifoid dan membatasi kegunaan uji Widal sebagai
indikator diagnostik yang reliabel dari proses penyakit dan penanganannya di negara endemis.
Diagnosis demam tifoid berdasarkan gejala klinis saja sulit ditegakkan, dikarenakan gejala yang
beragam dan mirip dengan penyakit demam lainnya. Diagnosis pasti dari demam tifoid
memerlukan isolasi bakteri Salmonella typhi pasien.
Di negara kami, pasien sering mendapat antibiotik sebelum adanya hasil laboratorium dikarenakan
bakteri yang dapat diisolasikan dalam kultur darah hanya sedikit dan fasilitas kultur tidak tersedia
secara bebas. Evidence-based laboratory medicine mencoba mengatasi masalah penggunaan
pelayanan laboratorium dengan menggabungkan metode dari epidemiologi, biostatistika, klinis,
dan social science dengan sains dasar untuk mengevaluasi peran investigasi dalam penentuan
keputusan klinis dan hasilnya untuk pasien.9
Clinical audit merupakan alat penting untuk menilai dan mengembangkan kualitas pelayanan dari
laboratorium klinis.10,11 Mempertimbangkan fakta di atas, kami mempresentasikan di sini
pemeriksaan uji Widal yang dilakukan pada Rumah Sakit Pendidikan kami yang akan membantu
dalam pemahaman yang lebih baik tentang manfaat uji Widal sebagai indikator diagnostik di
Rumah Sakit kami, yang akan memberikan dampak mendalam pada manajemen pasien.
Metode dan Bahan
Studi ini merupakan studi retrospektif dari pemeriksaan uji aglutinasi tuba Widal yang
dilaksanakan dari Agustus 2012 hingga Juni 2013 di Laboratorium serologi dari Department of
Microbiology, Maulana Azad Medical College, Delhi, India setelah mendapatkan persetujuan
ethical clearance dari komite etik institusi. Laboratorium ini menerima sampel dari uji Widal yang
dilakukan pada semua bagian di Rumah Sakit Lok Nayak, Delhi, India yang merupakan Rumah
Sakit Pendidikan kami. Partisipan dalam studi ini adalah seratus anak berturut-turut (hingga usia
12 tahun) yang merupakan pasien yang diperiksakan uji Widal di-follow up di masing-masing
bangsal Bagian Anak Rumah Sakit Lok Nayak, apapun hasil ujinya. Setelah memberikan informed
consent pada orangtua pasien, kami meninjau data epidemiologis, klinis dan bakteriologis dari
riwayat medis sebelumnya. Seluruh kasus diselidiki tentang lama penyakit sebelum masuk rumah
sakit, keluhan sekarang, tanda klinis dan gejala serta detil personal dari masing-masing kasus yang
dicatat dalam rekam medis. Tanda klinis dan gejala yang didefinisikan oleh Centers for Disease
Control and Prevention (CDC), Atlanta, Georgia, Amerika Serikat tentang demam tifoid
digunakan untuk mendiagnosis klinis kasus demam tifoid pada studi ini.12
Sampel darah dari semua kasus didapatkan dalam vacutainer biasa tanpa antikoagulan di
Laboratorium Serologi. Darah dibiarkan menggumpal dalam vacutainer biasa dan serum
dipisahkan dengan sentrifugasi pada 2500 rpm selama 10 menit, dalam satu hingga tiga jam
pengumpulan. Spesimen lalu diproses dengan menggunakan alat komersial (Set antigen demam;
Span Diagnostic Ltd.) sesuai dengan instruksi pabrik. Sera untuk kontrol positif dan negatif juga
termasuk di dalamnya. Pembacaan uji diambil setelah inkubasi semalaman pada suhu 37oC oleh
seorang ahli mikrobiologi klinis dengan pengalaman tiga tahun. Cut-off nilai positif untuk
diagnosis demam enterik dengan uji Widal pada pasien pediatrik diadopsi dari laboratorium kami
(1:50 untuk aglutinin O dan 1:100 untuk aglutinin H) yang juga digunakan pada penilaian ini.
Sampel darah dikumpulkan secara aseptic dari semua partisipan studi ini dalam botol kultur darah
anak yang berisi Brain Heart Infusion broth yang dikirim ke laboratorium bakteriologi departemen
kami pada hari pertama masuk rumah sakit sebelum memulai terapi apapun. Botol kultur darah
diinkubasi pada suhu 37oC secara aerobik selama 24 jam dan kemudian dilakukan sub-cultur di
atas media agar darah domba 5% dan agar MacConkey. Setelah inkubasi secara aerobik selama 24
jam pada suhu 37oC, yaitu pada hari ketiga, diperiksa pertumbuhan bakteri pada cawan berisi
media tersebut. Cawan yang tidak menunjukkan pertumbuhan bakteri setelah 48 jam dilakukan
sub-cultur kembali pada kedua media di atas pada hari kelima. Organisme yang dikultur
diidentifikasi secara biokimia dan uji serotipe yang merupakan protokol standar di laboratorium
bakteriologi kami. Demam enterik dikonfirmasi dengan isolasi Salmonella typhi dari kultur darah.
Semua subyek penelitian anak dimulai terapi empiris dengan monocef (ceftriaxone) intravena
dengan dosis 100 mg/kg berat badan dalam dua dosis terbagi per hari. Tanggapan mereka terhadap
obat ini juga dicatat. Semua subjek penelitian kemudian dikelompokkan menjadi empat kelompok:
widal positif dan secara klinis konsisten dengan demam tifoid (Kelompok 1; n=42), widal negatif
tetapi secara klinis konsisten dengan demam tifoid (Kelompok 2, n=12), widal positif tetapi tidak
konsisten secara klinis dengan demam tifoid (Kelompok 3, n=12) dan widal negatif tetapi tidak
secara klinis konsisten dengan demam tifoid (Kelompok 4, n=34).
Hasil dianalisis dengan beberapa kriteria uji, yaitu sensitivitas, spesifisitas, positive predictive
value (PPV), dan negative predictive value (NPV). Sensitifitas (angka positif sejati) didefinisikan
sebagai kemungkinan hasil uji Widal memberikan hasil positif dengan hasil kultur darah terbukti
terdapat demam tifoid. Spesifisitas (angka negatif sejati) adalah kemungkinan hasil uji Widal
memberikan hasil negatif dengan tidak adanya demam tifoid. Positive predictive value adalah
kemungkinan adanya tifoid dengan hasil uji positif juga, sedangkan negative predictive value
adalah kemungkinan tidak adanya tifoid dengan hasil uji negatif juga. Nilai tersebut dikalkulasikan
menggunakan kasus demam tifoid terkonfirmasi oleh kultur sebagai positif sejati dan kasus dimana
Salmonella typhi tidak terisolasi dari kultur darah sebagai negatif sejati.
Hasil
Sejumlah 100 orang anak dengan demam terdaftar dalam studi ini. Usia rata-rata dari subjek studi
kami adalah 5,9 ± 3,36 tahun (Usia berkisar antara 6 bulan sampai 12 tahun). Rasio laki-laki
dengan perempuan adalah 1,27:1 (56 laki-laki dan 44 perempuan).
Tabel/Gambar 1 menunjukkan titer Widal pada empat kelompok studi. Pada kasus Kelompok 1
tidak ada sampel dengan fase convalescent yang menerima uji paired sera. Satu sampel
menunjukkan hasil positif untuk AH (1%). Dua puluh sampel (dari 42) dikirim dalam 7 hari demam
dan dua puluh dua (dari 42) dikirim setelah demam hari ke-7. Tidak ada sampel yang menunjukkan
hasil positif Salmonella typhi pada kultur darah setelah 48 jam inkubasi tetapi lima (dari 42)
menunjukkan hasil positif pada kultur hari ke-5. Tiga puluh lima (dari 42) pasien menjadi tidak
demam dalam 5 hari pemberian ceftriaxone dan empat pasien menunjukkan respon yang sama
sebelum hari ke-5. Tiga pasien dirawat dengan tambahan antibiotik azithromycin sehingga
menimbulkan respon.
Tabel/Gambar 1. Kelompok studi aglutinin O dan H.
Titer
Semua
anak
n=100
no.
(%)
Kelompok 1
(Widal + dan
konsisten secara
klinis)
n= 42 no. (%)
Kelompok 2
(Widal – dan
konsisten secara
klinis)
n= 12 no. (%)
Kelompok 3 (Widal
+ tetapi tidak
konsisten secara
klinis)
n=12 no. (%)
Kelompok 4
(Widal – dan tidak
konsisten secara
klinis)
n= 34 no. (%)
AO
≥ 400 8(8) 7(16,67) 0(0) 1(8,34) 0(0)
=200 8(8) 8(19,04) 0(0) 0(0) 0(0)
=100 10(10) 10(23,8) 0(0) 0(0) 0(0)
=50 28(28) 17(40,47) 0(0) 11(91,67) 0(0)
<50 46(46) 0(0) 12(100) 0(0) 34(100)
AH
≥ 400 25(25) 23(54,76) 0(0) 2(16,67) 0(0)
=200 5(5) 4(9,52) 0(0) 1(8,34) 0(0)
=100 24(24) 15(35,71) 0(0) 9(75) 0(0)
=50 1(1) 0(0) 1(8,34) 0(0) 0(0)
<50 45(45) 0(0) 11(91,67) 0(0) 34(34)
Sampel dari Kelompok 2 menunjukkan antibodi O dan H dengan titer <50. Sebelas sampel (dari
12) dikirim dalam 7 hari demam dan satu (dari 12) dikirim setelah hari ke-7. Dua kasus
menunjukkan hasil kultur darah positif untuk Salmonella typhi setelah 48 jam inkubasi. Semua
pasein pada kelompok ini menjadi tidak demam dalam 5 hari pemberian ceftriaxone.
Tabel/Gambar 2 menunjukkan hasil uji Widal untuk kasus Kelompok 3 dan diagnosis akhirnya
yang mempertimbangkan seluruh pemeriksaan laboratoriumnya. Tidak ada kasus yang
menunjukkan kultur darah positif untuk Salmonella typhi. Empat sampel (dari 12) dikirim dalam
7 hari demam dan delapan sampel (dari 12) dikirim setelah hari ke-7. Semuanya telah dimulai
terapi ceftraixone dan lima dari pasien tersebut menjadi tidak demam setelah 5 hari pemberian
obat.
Tabel/Gambar 2. Hasil uji Widal dan diagnosis akhir dari kasus Kelompok 3 (Widal + tapi
tidak konsisten secara klinis), n=12.
Sampel no. Typhi O Typhi H Diagnosis klinis
1. =50 =100 Pulmonary kochs
2. >400 >400 Penyakit hati kronis
3. =50 =100 Penyakit hati kronis
4. =50 =100 Pansitopenia
5. =50 =200 Malaria
6. =50 =100 Malaria
7. =50 =100 Pneumonia
8. =50 =100 Pneumonia
9. =50 =100 Penyakit hati kronis
10. =50 >400 Ingesti kerosene
11. =50 =100 Abses hati
12. =50 =100 Penyakit hati kronis
Kelompok 4 (Widal negatif dan tidak konsisten secara klinis) berisi pasien yang didiagnosis selain
penyakit infeksi non-tifoid.
Tabel/Gambar 3 menunjukkan distribusi partisipan pada studi kami berdasarkan hasil kultur darah
dan uji Widal.
Tabel/Gambar 3. Distribusi kasus berdasarkan hasil kultur darah dan uji Widal.
Kultur postitif
(demam enterik positif)
Kultur negatif (demam
enterik negatif) Jumlah
Widal positif 5 (Positif sejati) 49 (Positif palsu) 54
Widal negatif 2 (Negatif palsu) 44 (Negatif sejati) 46
Jumlah 7 93 100
Tabel/Gambar 4 menunjukkan sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value (PPV), dan
negative predictive value (NPV) dari uji Widal dengan menggunakan kasus dengan hasil kultur
sesuai demam tifoid sebagai “positif sejati” dan semua demam pada anak-anak lainnya dengan
kultur darah Salmonella typhi negatif sebagai “negatif sejati”.
Tabel/Gambar 4. Kinerja uji Widal untuk diagnosis demam enterik
Sensitivitas 5/7(71,43%)
Spesifisitas 44/93(47,31%)
Positive predictive value (PPV) 5/54(9,25%)
Negative predictive value (NPV) 44/46(95,65%)
Diskusi
Uji Widal telah digunakan selama lebih dari seabad di negara berkembang untuk diagnosis demam
tifoid tetapi uji ini dilaporkan memiliki sensitifitas, spesifisitas, dan positive predictive value yang
rendah.13,14 Kami menyajikan penilaian manfaat uji Widal untuk mendiagnosis demam tifoid pada
pasien anak di salah satu Rumah Sakit pelayanan tersier yang terbesar dan tersibuk di New Delhi.
Lima puluh empat kasus dari seratus yang terdaftar dalam studi kami memenuhi kriteria definisi
kasus demam tifoid CDC. Dari keseluruhan partisipan, hanya empat puluh dua kasus yang
menunjukkan hasil uji Widal positif (Kelompok 1). Dua belas kasus memiliki hasil uji Widal
positif tetapi tidak sesuai dengan klinisnya (Kelompok 3). Hasil positif ini yang tidak sesuai klinis
ini mungkin disebabkan karena antibodi yang telah ada dari paparan infeksi Salmonella typhi
sebelumnya, infeksi subklinis ataupun terjadinya cross reacting antibodies akibat demam non-
tifoid lainnya. Tetapi, semuanya telah memulai terapi Ceftriaxone sebelum menerima hasil uji
Widal. Sampel darah untuk kasus dengan hasil uji Widal positif (n=54) dikirim pada hari masuk
Rumah Sakit; 44,45% (24 sampel) dikirim dalam 7 hari demam dan 55,56% dikirim sebelum
demam hari ke-7. Pandangan tradisional bahwa uji ini akan positif pada minggu kedua penyakit
tidak sesuai dengan data kami, nilai positif dari TH (p=0,0243) lebih banyak ditemukan pada
minggu kedua penyakit. Perbedaan yang secara satistik signifikan yang tidak diobservasi untuk
titer TO (p =0.0912) dan titer AH (p=1.00) antara minggu kedua dan pertama penyakit. Temuan ini
mendukung kesimpulan peneliti lain bahwa di daerah endemik aglutinin H dan aglutinin O muncul
lebih awal pada perjalanan penyakitnya15,16 dan mungkin paling disebabkan oleh populasi yang
sudah secara imunologis tersensitisasi.
Semua kasus dalam studi kami diberikan terapi awal Ceftriaxone. Tindakan tersebut menyebabkan
muncul dan tersebarnya strain yang resisten terhadap obat pada masyarakat. Salmonella typhi telah
resisten terhadap Ceftriaxone, Azithromycin dan Ciprofloxacin dari berbagai bagian dunia;
resistensi Ciprofloxacin juga begitu umum sehingga tidak dapat digunakan secara rutin.17
Walaupun sebaiknya terapi antimikroba spesifik hanya dimulai setelah keluar hasil konfirmasi
penyakit dari laboratorium, terapi antibiotik dimulai pada pasien dengan kecurigaan tinggi demam
enterik berdasarkan klinis saja. Selain itu, manfaat terapi antibiotik perlu dipertimbangkan secara
hati-hati terhadap kelemahan penyebaran strain resisten antibiotik. Pengamatan lain yang menarik
diperhatikan untuk dicata dalam penelitian kami adalah uji Widal yang diminta pada kasus tanpa
bukti klinis penyakit (kasus Kelompok 3 dan 4) dan bahwa uji Widal dilaporkan tidak memeiliki
dampak pada penanganan pasien sebagai terapi tidak berubah pada Kelompok 2 (Widal – dan
konsisten secara klinis) kasus setelah pelaporan uji.
Dengan menggunakan cut off ≥ 50 untuk aglutinin O atau ≥100 untuk aglutinin H, uji Widal
memeberikan sensitivitas 71,43%, spesifisitas 47,1%, dan positive predictive value 9,26% dan
negative predictive value 24 dai 95,65%. Hal ini berbeda dengan temuan peneliti lain yang telah
melaporkan tingginya PPV uji Widal pada anak.3,18 Akan tetapi studi dari Tanzania telah
melaporkan hasil yang mirip dengan studi kami dimana didapatkan hasil uji Widal dengan PPV
yang rendah dan NPV yang tinggi pada anak-anak.19 Hal tersebut telah diperdebatkan bahwa PPV
adalah pengukuran yang paling penting dari metode diagnostik karena hal ini mewakili proporsi
dengan hasil uji positif yang memperbaiki diagnosis.20 Pada studi kami, hasil negatif memiliki
nilai prediktif yang baik untuk tidak adanya penyakit, tetapi hasil positif memiliki nilai prediktif
yang sangat rendah untuk demam tifoid.
Singkatnya uji Widal yang kami siapkan telah dilakukan dengan baik dalam hal sensitivitas dan
spesifisitasnya tetapi uji ini hanya berguna untuk mengeksklusikan penyakit. Mempertimbangkan
murahnya uji Widal dan tidak adanya uji yang murahnya sebanding, uji Widal sepertinya tetap
menjadi pilihan uji di berbagai negara berkembang.
Kesimpulan
Diagnosis demam tifoid berdasarkan klinis saja sulit ditegakkan, dikarenakan gejala yang beragam
dan mirip dengan penyakit demam lainnya.
Diagnosis pasti demam tifoid memerlukan isolasi bakteri Salmonella typhi atau paratyphi pasien.
Akan tetapi karena pasien sering mendapat terapi antibiotik sebelum diagnosis laboratorium,
bakteri yang dapat diisolasikan dari kultur darah menjadi sangat sedikit. Selain itu, ketidakadaan
fasilitas mikrobiologis dan lamanya menunggu hasil kultur (7 sampai 10 hari) telah diketahui
menjadi alasan pemilihan uji Widal.
Tingginya hasil positif palsu dalam diagnosis demam tifoid menyebabkan perburukan dari
resistensi antibiotik di India. Selain itu, hasil uji ini harus diinterpretasikan dengan memerhatikan
gejala klinis pasien, riwayat vaksinasi dan lain-lain yang menunjukkan pentingnya komunikasi
antara laboratorium dan klinis. Akan tetapi hasil uji Widal negatif pada anak dengan gejala klinis
sesuai dengan demam tifoid bermanfaat untuk mengekslusikan penyakit lain dan mencegah
penggunaan terapi antimikroba spesifik yang tidak diperlukan karena negative predictive value
yang tinggi. Beberapa pertanyaan penting lainnya yang perlu ditangani adalah:
- Apa yang seharusnya menjadi dasar permintaan uji Widal pada daerah endemis?
- Kriteria klinis apa yang ditetapkan oleh CDC atau demam itu sendiri dan apa yang seharusnya
menjadi dasar untuk memulai terapi antimikroba spesifik secara empiris?
- Kecurigaan klinis atau konfirmasi laboratorium dan bagaimana laporan uji Widal merubah
penanganan pasien pada kasus uji Widal negatif yang telah memulai terapi Ceftriaxone empiris
berdasarkan klinis?
Sebuah uji diagnostik yang sangat spesifik dan sensitif, sangat diperlukan agar dapat memberikan
kontribusi kesehatan yang lebih baik pada daerah endemik dengan fasilitas yang kurang baik
dimana akses terhadap pekerja laboratorium yang sangat terlatih dengan waktu yang cukup sangat
lah jarang.
Ucapan Terima Kasih
Penulis berterima kasih kepada Bapak Sukhbir dan Ibu Seema atas bantuan teknis mereka.
Daftar Pustaka
1. Pal S, Prakash R, Juyal D, Sharma N, Rana A, Negi S. The baseline widal titre among the
healthy individuals of the hilly areas in the garhwal region of uttarakhand. India. J Clin Diagn
Res. 2013; 7(3):437-40.
2. House D, Chinh NT, Diep TS, Parry CM, Wain J, Dougan G, et al. Use of paired serum samples
for serodiagnosis of typhoid fever. J Clin Microbiol. 2005; 43(9): 4889-90.
3. Kulkarni ML, Rego SJ. Value of single widal test in the diagnosis of typhoid fever. Indian
Journal of Paediatrics. 1994; 31(11): 1373-6.
4. Olopenia LA, King AL. Widal agglutination test-100 years later: still plagued by controversy.
Postgrad Med J. 2000; 76: 80-4.
5. Levine MM, Grados O, Gilman RH, Woodward WE, Solis-Plaza R, Waldman W. Diagnostic
value of the Widal test in areas endemic for typhoid fever. Am J Trop Med Hyg. 1978;
27(4):795-800.
6. Reynolds DW, Carpenter L, Simon WH. Diagnostic specificity of Widal’s reaction for typhoid
fever. JAMA. 1970; 204: 2192-3.
7. Pang T, Puthucheary SD. Significance and value of the Widal test in the diagnosis of typhoid
fever in an endemic area. J Clin Pathol. 1983; 36(4): 471-5.
8. Wicks ACB, Holmes GS. Davidson L. Endemic typhoid fever: a diagnostic pitfall. Q J Med.
1971; 40: 341-54
9. Horvath AR. Evidence-based laboratory medicine. Orv Hetil. 2003; 144(18): 869-76.
10. Ally SH, Ahmed A, Hanif R. An audit of serological tests carried out at clinical laboratory of
Ayub Teaching Hospital, Abbottabad. J Ayub Med Coll Abbottabad. 2005; 17(2): 75-8.
11. Bonini P, Plebani M, Ceriotti F, Rubboli F. Errors in laboratory medicine. Clin Chem. 2002;
48(5): 691-8.
12. Case definitions for infectious conditions under public health surveillance. Centers for Disease
Control and Prevention. MMWR Recomm Rep. 1997; 46(RR-10): 1-55.
13. Sherwal Bl, Dhamija RK, Randhawa VS, Jais M, Kaintura A, Kumar M. A comparative study
of Typhidot and Widal test in patients of Typhoid fever. JIACM. 2004; 5:244-6.
14. Begum Z, Hossain Md A, Shamsuzzaman AKM, Ahsan Md M, Musa AKM, Mahmud Md C,
et al. Evalutaion of Typhidot(IgM) for Early Diagnosis of Typhoid fever. Bangladesh J Med
Microbiol. 2009; 3:10-3.
15. Saha SK, Ruhulamin M, Hanif M, Islam M, Khan WA. Interpretation of the Widal test in the
diagnosis of typhoid fever in Bangladeshi children. Ann Trop Paediatr. 1996; 16(1): 75-8.
16. Senewiratne B, Senewiratne K. Reassessment of the Widal test in the diagnosis of typhoid.
Gastroenterology. 1977; 73: 233-6.
17. U. S. Department of Health and Human Services, Centers for Disease Control and Prevention.
Antibiotic resistance threats in the United States 2013. Tersedia dari:
http://www.cdc.gov/drugresistance/threat-report-2013/pdf/ar-threats-2013-508.pdf.
18. Noorbakhsh S, Rimaz S, Rahbarimanesh AA, Mamishi S. Interpretation of the Widal test in
Infected Children. Iranian J Publ Health. 2003; 32(1); 35-7.
19. Ley B, Mtove G, Thriemer K, Amos B, von Seidlein L, Hendriksen I, et al. Evaluation of the
Widal tube agglutination test for the diagnosis of typhoid fever among children admitted to a
rural hospital in Tanzania and a comparison with previous studies. BMC Infect Dis. 2010;
10:180.
20. Altman DG, Bland JM. Diagnostic tests 2: Predictive values. BMJ. 1994; 309:10.
ANALISIS VIA
Validity:
a. Design: Studi retrospektif
b. Populasi dan sampel: Populasi dalam studi ini adalah pasien anak yang dilakukan
pemeriksaan uji aglutinasi tuba Widal di Rumah Sakit Lok Nayak, Delhi, India. Sampel
dalam studi ini adalah seratus anak berturut-turut (hingga usia 12 tahun) yang merupakan
pasien yang diperiksakan uji Widal dan di-follow up di masing-masing bangsal Bagian
Anak Rumah Sakit Lok Nayak dari bulan Agustus 2012 hingga Juni 2013.
c. Pengumpulan sampel: consecutive sampling
Importance:
a. Karakteristik subjek: Kedua kelompok memiliki karakteristik yang sama yaitu subjek
dengan hemofilia A berat yang belum pernah mendapatkan terapi.
b. Drop out: Pasien yang tidak mendapatkan inform consent, data pasien tidak dapat jelas
kualitasnya, pasien tidak dapat di-follow-up, pasien meninggal karena perdarahan
intraserebral, pasien yang tidak diobati, pasien yang tidak diketahui status inhibitornya.
c. Analisis: Data dianalisis dengan menggunakan metode analisis survival, yaitu dengan
pooled logistic regression untuk hubungan antara munculnya inhibitor dengan faktor-
faktor terkait dengan pengobatan pada waktu tertentu (pada paparan pertama dan pada
pasien dengan pengobatan on-demand). Hubungan antara munculnya inhibitor dengan
faktor-faktor yang terkait dengan variasi waktu dinilai dengan marginal structural method,
faktor determinan yang dapat mengacaukan asosiasi spesifik penelitian dinilai dengan
analisis univariat.
Applicability:
a. Apakah hasil penelitian ini dapat di terapkan di Indonesia?
Menurut kelompok kami penelitian ini dapat diterapkan di Indonesia karena di Indonesia
sendiri cukup banyak pasien yang menderita hemofilia A berat dan banyak yang
mengalami hemofilia A inhibitor dengan setelah pemberian FVIII dalam dosis besar
sehingga dibutuhkan alternatif lain untuk mengobati hemofilia A tanpa menimbulkan efek
samping lain.
b. Apakah hasil penelitian ini dapat diaplikasikan ke pasien?
Menurut kami, penelitian ini dapat diterapkan kepada pasien, namun pelaksanaannya harus
dengan kerjasama yang baik dari pihak pasien dan rumah sakit, karena mengingat harga
yang dibutuhkan untuk produk FVIII.
c. Apakah pasien kita mempunyai potensi yang menguntungkan atau merugikan jika
terapi tersebut diterapkan?
Menurut kami, apabila terapi tersebut diterapkan sesuai dengan rekomendasi, maka dapat
membantu menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pada pasien -pasien tersebut.
ANALISIS PICO
Problem:
Demam tifoid merupakan penyakit endemik di India. Uji aglutinasi tuba Widal telah digunakan
hampir selama 100 tahun telah digunakan untuk mendiagnosis demam tifoid secara serologis di
India. Akan tetapi perkembangan terbaru menunjukkan beberapa kekurangannya dalam
penggunaan dan interpretasi hasilnya yang disebabkan oleh sulitnya membuat kondisi yang stabil
ataupun karena titer dasar dari uji aglutinasi Widal pada paparan berulang di daerah endemic yang
berbeda, kemungkinan demam yang berasal dari penyebab infeksi lain, reaksi positif palsu dan
penggunaan vaksin tifoid-paratifoid secara luas juga menyebabkan kesalahan interpretasi hasil uji.
Selain itu, pasien sering mendapat antibiotik sebelum adanya hasil laboratorium dikarenakan
bakteri yang dapat diisolasikan dalam kultur darah hanya sedikit dan fasilitas kultur tidak tersedia
secara bebas.
Patient:
Populasi:
Pasien anak yang dilakukan pemeriksaan uji aglutinasi tuba Widal di Rumah Sakit Lok Nayak,
Delhi, India.
Sampel:
seratus anak berturut-turut (hingga usia 12 tahun) yang merupakan pasien yang diperiksakan uji
Widal dan di-follow up di masing-masing bangsal Bagian Anak Rumah Sakit Lok Nayak dari
bulan Agustus 2012 hingga Juni 2013.
Intervention:
Penelitian ini merupakan penelitian observasi, sehingga tidak diperoleh adanya intervensi dari
peneliti.
Comparison:
Studi ini membandingkan hasil studinya dengan pelitian lain, baik yang memiliki hasil yang
berbeda ataupun hasil yang mirip. Hasil yang dibandingkannya adalah sesuai dengan kriteria
ujinya, yaitu sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value dan negative predictive value. Akan
tetapi hasil uji yang paling dibandingkan adalah nilai positive predictive value dan negative
predictive value.
Outcomes:
Uji Widal memiliki sensitivitas 71,43%, spesifisitas 47,1%, dan positive predictive value 9,26%
dan negative predictive value 24 dai 95,65%. Singkatnya uji Widal dalam studi ini telah dilakukan
dengan baik dalam hal sensitivitas dan spesifisitasnya tetapi uji ini hanya berguna untuk
mengeksklusikan penyakit. Mempertimbangkan murahnya uji Widal dan tidak adanya uji yang
murahnya sebanding, uji Widal sepertinya tetap menjadi pilihan uji di berbagai negara berkembang.