PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

33
NO 110/Desember 2007 - Januari 2008/Tahun XXVII Pemeriksaan Dana Perimbangan 28 tahun PEMERIKSA

Transcript of PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

Page 1: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

NO 110/Desember 2007 - Januari 2008/Tahun XXVII

Pemeriksaan Dana Perimbangan

28 tahun

PEMERIKSA

Page 2: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

�NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

Plt.

Ketu

a BP

K Ira

n se

kalig

us W

akil

Pres

iden

Iran

mel

akuk

an k

erja

sam

a de

ngan

BPK

-RI d

i bid

ang

pem

erik

saan

sek

tor p

ublik

. A

nwar

Nas

utio

n be

rhar

ap B

PK d

apat

bel

ajar

dar

i BPK

Iran

terk

ait m

anaj

emen

aud

it bi

dang

per

min

yaka

n.

Page 3: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

�NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

Page 4: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

2 NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

“Ada data daerah yang direkayasa” Drs. Maulana Ginting, MM:

WAWANCARA 27

LAPORAN UTAMA

DAFTAR ISI

Pengurangan Disparitas Pembangunan Ekonomi Regional Melalui Desentralisasi Fiskal

LAPORAN KHUSUS

24Alokasi dana perimbangan bertujuan menguran-gi kesenjangan antara kebutuhan pengeluaran dan kapasitas fiskal pemerintah daerah serta se-bagai sarana untuk memeratakan pendapatan dan mengurangi kesenjangan antar wilayah di Indonesia. Usia tujuh tahun desentralisasi belum sepenuhnya mampu menjawab tantangan ketim-pangan pembangunan regional. Output pem-bangunan pasca kebijakan desentralisasi justru semakin memusat ke pulau Jawa, termasuk Bali.

PERBAIKAN PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA DAN KEUANGAN DAERAH

Peranan Lembaga Pemeriksa dalam Mengawal Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah

Perbaikan transparansi dan akuntabilitas fiskal merupakan salah satu kunci bagi keberhasilan perombakan sistem sosial yang kita lakukan se-lama era reformasi, sejak krisis ekonomi tahun 1997-1998. Reformasi telah menggantikan sistem ekonomi yang terlalu banyak campur tan-gan Pemerintah dan perencanaan yang sentralistis pada masa Orde Baru dengan sistem yang lebih banyak menggunakan mekanisme pasar.

Pengelolaan keuangan negara yang profesional, terbuka, dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, diperlukan untuk memastikan pengelolaan sumber daya yang efektif. Seiring dengan lahirnya paket UU keuangan negara, reformasi pengelolaan keuangan negara menuju ter-ciptanya good governance terus bergulir dan men-galami penyempurnaan dari aspek perencanaan, pengelolaan, pertanggungjawaban dan pengawasan.

EDITORIALMenanti Kejujuran...

SAATNYA BERBAGI YANG ADIL DAN TRANSPARANMelimpahkan urusan pemerintah pusat ke daerah tanpa diikuti suatu pengaturan tentu tidak mudah. Pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional merupakan aset bangsa milik bersama

HASIL PEMERIKSAAN ATAS DANA PERIMBANGANPemerintah telah berupaya menyempurnakan mekanisme penetapan alokasi dan penyaluran Dana Perimbangan, namun demikian masih terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari Pemerintah

SEKILAS TENTANG DANA PERIMBANGANDana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari penda-patan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk menda-nai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentrali-sasi. Dana Perimbangan tersebut dibentuk untuk mendukung pendanaan program otonomi daerah yang disalurkan berupa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH).

...Pemerintah pusat juga harus dapat me-realisasikan percepatan proses pencairan DAK dan memahami kondisi faktual yang terjadi di daerah....

KETUK PALU MK ATAS JUDICIAL REVIEW UU KUP REVIU

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie telah menjatuhkan ketuk palu atas pengajuan Judicial Review (uji materi) Undang-Undang Ke-tentuan Umum tentang Tata Cara Perpajakan. Ketukan palu Hakim Ketua MK pada tanggal 15 Mei 2008 tersebut merupakan kenyataan pa-hit tak hanya bagi BPK, namun juga bagi rakyat. Hal tersebut berarti transparansi perpajakan di negeri ini belum dapat dilakukan dengan baik.

29

11415

19

21

5

Page 5: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

�NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

Diterbitkan oleh Biro Humas & LN, Badan Pemeriksa Keuangan,

STT No. 722/SK/Ditjen PPG/STT

Susunan Dewan RedaksiMajalah Pemeriksa

Pelindung

Dharma Bhakti

Pemimpin RedaksiCris Kuntadi

Anggota RedaksiYudhi RamdanM. Yusuf Jhon

Ekowati Tyas RahayuDian Desilia

Bestantia IndraswatiR. Edi Susila

Gunawan Wisaksono

Staf RedaksiNurmalasari

Barlis Baharuddin

Desain GrafisSutriono

Rianto PrawotoAlamat Redaksi dan Tata Usaha

Gedung BPK-RI Jln. Gatot Subroto No.�� Jakarta Telp.

(02�)5704�95-6 Pes.2�4/208 Fax.(02�)57950285

Email: [email protected]

Redaksi menerima kiriman artikel (disertai dengan softcopy dan foto penulis) sesuai dengan misi majalah PEMERIKSA.Redaksi berhak mengoreksi/mengubah naskah yang diterima sepanjang tidak mengubah isi naskah. Isi majalah ini tidaklah berarti sama dengan pendirian Badan Pemeriksa Keuangan.

MAJALAH DWIWULANAN BPK-RI

RALAT

TERTULIS :Ketua BPK RI memberikan kenang-kenangan kepada Wakil Ketua BPK Malaysia, 14 Maret 2008 di Jakarta.

SEHARUSNYA :Ketua BPK RI memberikan kenang-kenangan kepada Wakil Ketua BPK Malaysia, 14 Maret 2008 di Bali

TERTULIS :Penandatanganan kesepakatan bersama antara BPK-RI dan JAN Malaysia di Jakarta pada tanggal 14 Maret 2008.

SEHARUSNYA :Penandatanganan kesepakatan bersama antara BPK-RI dan JAN Malaysia di Bali pada tanggal 14 Maret 2008.

Dalam Penerbitan Majalah Pemeriksa Edisi No.111/Tahun 2008 terdapat kesalahan dalam penulisan keterangan gambar sebagai berikut:

RAGAMGood Coorporate Governance Masih Jauh Dari Harapan

AGENDA PERISTIWA-Opini Disclaimer untuk LKPP 2007 -Media Workshop BPK ”Penyelewengan Dana Perimbangan”-”Penerimaan Migas Tidak Transparan”

-”MOU BPK RI dan BPK IRAN”

KONSULTASI HUKUMGratifikasi

BAHASA PROFESIBahasa yang Terukur

GALERI FOTO

AUDIT-Pengelolaan Limbah Rumah Sakit

Pengenalan, Identifikasi dan Permasalahannya

-Pengelolaan Akuntansi Yang Andal Menuju “BPK: Leading By Example”

HUKUMMTJSL dan Kewajiban Lingkungan

DAERAHTransmigrasi, Semilir Angin Di Saat Terik

LITBANGPenerapan Kebijakan Fiskal Yang Efektif

KESEHATANDi Balik Kenikmatan Merokok

GENDITKODE ETIK ala GENDIT

MANAJEMENMemimpin dengan Hatii

KELUARGA Ketika Istri Lebih Sukses

AGAMAKisah Burung Hud-hud

28 TAHUN PEMERIKSAKOMENTAR:

31

33

41

43

4446

52

555861636466687071

NO 110/Desember 2007 - Januari 2008/Tahun XXVII

Pemeriksaan Dana Perimbangan

28 tahun

PEMERIKSA

Page 6: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

4 NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

Semangat kedaulatan negara yang merupakan amanah pendiri bangsa harus terus dipelihara

dan dipertahankan. Kedaulatan tersebut dapat diperta-hankan apabila ada suatu keadilan dan kesetaraan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Salah satunya adalah terciptanya suatu keseimbangan dinami-ka pembangunan yang merata untuk seluruh wilayah NKRI tercinta ini. Untuk itu, peranan pemerintah sangat penting untuk mengendalikan roda pembangunan yang adil dan berkesinambungan melalui perimbangan keua-ngan negara dengan mengucurkan dana perimbangan yang mencakup Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH).

Diakui, proses pengucuran dana merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dengan peme-rintah daerah. Tanggung jawab pemerintah pusat adalah jujur terhadap dasar penetapan formula pengucuran dana, dan mekanisme pengucuran dana tersebut sampai ke kocek pemerintah daerah. Tanggung jawab pemer-intah daerah adalah jujur terhadap data dan informasi yang diberikan kepada pemerintah pusat dan mekanisme pengelolaan dana yang diterima untuk kepentingan men-ingkatkan kemakmuran rakyat.

Pada hasil pemeriksaan BPK tahun 2007, tampak bahwa tanggung jawab pemerintah pusat dan pemer-intah daerah belum dapat diterima kejujurannya. Keju-juran ini juga diartikan sebagai transparansi mengenai bagaimana formula dan data penyaluran dana diproses oleh pemerintah pusat. Data DAU masih dipertanyakan sumber datanya. Sumber data DBH Migas tidak pernah diketahui dengan pasti oleh pemerintah daerah. Semen-tara pemerintah daerah seakan “acuh“ terhadap formula dan sumber data penyaluran dana perimbangan. Ket-erlambatan DAK mendorong pemda “akrobat” dengan proses pengelolaan di akhir tahun anggaran, sehingga jelas tujuan membangun daerah menjadi terbengkalai. Ujung-ujungnya idle cash dana dari pusat ini “diman-faatkan” dengan penempatan dalam bentuk SBI di Bank Indonesia melalui BPD-BPD yang notabene kasir bagi pemda.

Potret BPK ini merupakan suatu sinyalemen bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk duduk

bersama dan berintrospeksi terhadap kejujuran dalam penetapan, penyaluran, penerimaan dan penggunaan dana perimbangan. Di sisi lain, BPK ke depan harus da-pat mengidentifikasi area-area yang perlu didalami untuk dapat mencegah berkembangnya penyimpangan mana-jemen dana perimbangan.

Rakyat sedang menunggu kejujuran kita bersama dalam memberikan sebesar-besarnya kemakmuran untuk seluruh rakyat Indonesia yang tidak menyiakan-nyiakan jerih payah pendiri bangsa ini untuk menjaga keutuhan NKRI.

Pada edisi kali ini yang bertepatan dengan ulang ta-hun MP yang ke 28, segenap redaksi mengucapkan teri-makasih atas kritik dan saran seluruh pembaca setia MP.

Penilaian tentang MP yang semakin membaik dari sisi substansi/isi dan layout akan kami jadikan benchmark agar kedepan kami bisa lebih memuaskan para pembaca yang budiman.

Kami juga memohon maaf apabila saat ini belum mampu menerbitkan majalah bulanan seperti harapan 67% pembaca. Permintaan MP menjadi majalah bulanan yang sebelumnya adalah majalah triwulanan akan men-jadi cambuk bagi kami seluruh dewan redaksi yang tidak mungkin terealisasi tanpa dukungan Bapak/Ibu semua- nya (CK)

Menunggu Kejujuran ?

Page 7: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

5NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

PERBAIKAN PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA DAN KEUANGAN DAERAH

LIPUTAN UTAMA

Perbaikan transparansi dan akuntabilitas fiskal merupakan

salah satu kunci bagi keberhasilan perombakan sistem sosial yang kita lakukan selama era reformasi, sejak krisis ekonomi tahun 1997-1998. Reformasi telah menggantikan sistem ekonomi yang terlalu banyak campur tangan Pemerintah dan perencanaan yang sentralistis pada masa Orde Baru dengan sistem yang lebih ban-yak menggunakan mekanisme pasar.

Transparansi dan akuntabilitas untuk menjamin adanya simetri in-formasi pasar sekaligus merupakan kunci pokok agar dapat meman-faatkan globalisasi perekonomian. Dalam proses globalisasi itu, pasar barang dan jasa, pasar uang maupun faktor produksi kita lainnya, teruta-ma tenaga kerja, telah semakin ter-integraasi dengan pasar dunia.

Berbagai Elemen Perbaikan Sistem Fiskal

Kelemahan dalam sistem keuang-an negara Indonesia yang diwarisi dari Pemerintahan Orde Baru adalah bersifat mendasar. Kelemahan terse-but meliputi desain dan pelaksanaan sistem pengendalian internal, keti-dakpatuhan terhadap peraturan per-undang-undangan, penyimpanan keuangan negara yang semerawut, tidak adanya informasi tentang aset maupun hutang negara, dan peng-ungkapan SAL yang tidak konsisten dan tidak memadai.

Untuk meningkatkan transpa-ransi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, Pemerintah era reformasi telah melakukan koreksi

secara menyeluruh sistem keuang-an negara yang dipergunakan pada masa Pemerintahan Orde Baru. Ko-reksi pertama adalah dengan me-nyatukan anggaran negara yang tadinya dibagi dalam dua kelompok, yakni: anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Dalam masa Orde Baru, anggaran rutin dikontrol oleh Departemen Keuangan sedangkan besarnya anggaran pembangunan struktur pembelanjaannya maupun alokasinya adalah dikendalikan oleh Bappenas.

Berdasarkan Paket Ketiga UU di bidang Keuangan Negara Tahun 2003-2004, mulailah disusun per-tanggungjawaban keuangan negara yang transparan dan akuntabel dalam LKPP (Laporan Keuangan Pemerin-tah Pusat) Tahun 2004. Sebelum-nya, Pemerintah mempertanggung jawabkan Pelaksanaan APBN dalam bentuk PAN (Perhitungan Anggaran Negara). Walaupun masih jauh dari sempurna, dan belum direviu oleh pengawas internal Pemerintah, LKPP Tahun 2004, 2005 dan 2006 telah memuat rangkaian perubahan sistem fiskal yang disajikan dalam bentuk neraca, lebih rinci dan lebih sistema-tis sehingga lebih mudah dipahami dan dicerna oleh masyarakat luas. Penyajian keuangan negara dalam bentuk neraca dan format baru, yang telah diaudit oleh BPK-RI tersebut, adalah merupakan suatu tonggak se-jarah kemajuan dalam pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan negara kita.

LKPP format baru sekarang ini sistem pembukuannya menjadi sis-

tem pembukuan yang menggunakan dua sisi berpasangan (double entry). Diharapkan seluruh instansi peme-rintahan akan menggunakan sistem akuntansi yang terpadu dan dikompu-terisasi serta menerapkan desentrali-sasi pelaksanaan akuntansi secara berjenjang oleh unit-unit akuntansi baik di kantor pusat instansi mau-pun di daerah. Untuk menjaga ‘qua-lity assurance’ Laporan Keuangan Pemerintah, UU mensyaratkan agar aparat pengawasan internal perlu mereviunya dulu sebelum ditanda-tangani oleh Menteri/Ketua Lem-baga/Kepala Instansi Pemerintah dan diserahkan untuk diperiksa oleh BPK. Dengan sistem akuntansi berjenjang dan ‘quality assurance’ seperti ini, masalah ataupun kelemahan dalam satu unit pemerintahan akan segera dapat diditeksi dan dilokalisir untuk dikoreksi. Secara bertahap, basis anggaran negara akan dirubah dari pengeluaran kas menjadi akrual (ac-crual). Anggaran negara dengan basis akrual itu mencatat komitmen atau hak maupun kewajiban kontijensi negara terutama untuk penerimaan maupun pengeluaran yang melam-paui masa satu tahun anggaran.

Temuan dan Opini Pemeriksaan BPK Tahun 2004-2006

Dari segi teknis, setidaknya ada sepuluh kelemahan sistem pengen-dalian internal keuangan negara yang ditemukan oleh pemeriksaan BPK atas LKPP dan LKPD pada tahun ang-garan 2004, 2005 dan 2006. Kelemah-an tersebut adalah, pertama, masih perlunya perbaikan mendasar sistem

Prof. Dr. Anwar Nasution

Page 8: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

6 NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

akuntansi keuangan negara agar da-pat diseragamkan sesuai dengan sis-tem yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan pada tahun 2003 dan 2005. Kedua, perlunya sinkronisasi sistem komputer instansi Pemerintah agar menjadi terintegrasi dan kompatibel antara satu dengan lainnya.

Ketiga, perlunya mengimplemen-tasikan sistem perbendaharaan tung-gal agar uang negara tidak lagi terse-bar di berbagai rekening, termasuk rekening individu pejabat negara yang sudah lama meninggal dunia. LKPP Tahun 2004 melaporkan bahwa sebanyak 957 dari rekening-reke-ning Pemerintah pada bank-bank senilai Rp20,55 triliun adalah dicatat atas nama pribadi pejabat negara, termasuk yang sudah lama mening-gal dunia. LKPP tahun 2005 dan 2006 melaporkan adanya peningkatan jumlah rekening seperti itu dengan jumlah uang yang lebih besar pula. Hal yang sama juga terjadi ditingkat Provinsi, Kabupaten maupun Kota.

Keempat, perlunya inventarisasi aset dan utang negara, baik di tingkat Pusat maupun Daerah. Kelima, per-lunya penyediaan tenaga administrasi pembukuan pada setiap unit instansi pemerintahan, mulai dari tingkat Pusat hingga Daerah. Keenam, per-lunya transparansi dan akuntabilitas pemungutan pajak maupun penyim-panannya sebelum di transfer ke kas negara. Ketujuh, perlunya sinkro-nisasi penerimaan dan pengeluaran disektor perminyakan dengan perin-cian ongkos produksi penambangan migas oleh kontraktor swasta harus dirasionalisir dalam perhitungan ‘cost recovery’ agar dapat mengopti-malkan penerimaan negara.

Kedelapan, tidak dimungkinkan-nya BPK melaksanakan tugas kons-titusionalnya untuk melakukan pemeriksaan atas penerimaan nega-ra yang bersumber dari pajak. UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 6 Tahun 1983 ten-tang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan bahwa pemeriksaan pajak oleh BPK hanya boleh dilakukan dengan ijin tertulis dari Menteri Keuangan. Dalam re-

alita, hampir tidak pernah Menteri Keuangan memberikan ijin untuk melakukan pemeriksaan pajak.

Kesembilan, perlunya penertiban dasar pemungutan PNBP (Peneri-maan Negara Bukan Pajak), penyim-panan dan penggunaannya. Kesepu-luh, belum adanya quality assurance Laporan Keuangan Departemen/Lembaga maupun Pemda karena be-lum direviu oleh aparat pengawasan internal pemerintah sebagaimana di-harapkan oleh UU, sebelum ditanda-tangani oleh Menteri/Kepala Instansi maupun Gubernur serta Bupati/Wa-likota dan diserahkan untuk diperiksa oleh BPK.

Untuk mendorong peningkatan quality asurance, memberdayakan aparat pengawasan internal Pemerin-tah dan sekaligus dapat memisahkan tanggungjawab antara Auditee deng-an auditor, BPK meminta auditee membuat MLR (Management Repre-sentative Letter) yang ditandatangani oleh auditee maupun auditor.

Temuan Pemeriksaan BPK Periode 2004-2006

Walaupun sudah ada kemajuan, namun opini Hasil Pemeriksaan atas LKPP sampai dengan 2007 maupun LKPD sampai dengan 2006 belum menggembirakan karena banyak yang mendapatkan disclaimer. Laporan Pemeriksaan 85 entitas Pemerintah Pusat tahun 2007 adalah terdiri dari 12 entitas yang mendapat opini Wa-jar Tanpa Pengecualian (14 persen), 2 entitas Wajar Tanpa Pengecuali-an dengan Paragraf Penjelasan (2 persen), 33 entitas Wajar Dengan Pengecualian (39 persen), 37 entitas Tidak Memberi Pendapat (42 persen) dan satu entitas mendapatkan opini Adverse.

Di tingkat daerah, hasil pemerik-saan BPK atas 459 LKPD Tahun 2006 terdiri dari 33 Provinsi dan 426 Ka-bupaten/Kota. BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas 3 LKPD, Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas 326 LKPD, Tidak Mem-berikan Pendapat (Disclaimer) atas 102 LKPD dan Tidak Wajar (TW) ke-pada 28 LKPD. Dari opini tersebut

dapat diketahui bahwa masih banyak entitas yaitu sekitar 28% LKPD yang masih belum tertib dalam pengelo-laan dan penyajian atau kewajaran laporan keuangannya. Sampai akhir 2007, terdapat enam LKPD Tahun 2006 yang belum disampaikan ke BPK yaitu, satu LKPD Kabupaten di Provinsi NAD, satu LKPD Kabupaten di Provinsi Maluku Utara, tiga LKPD Kabupaten di Provinsi Papua, dan satu LKPD Kabupaten di Provinsi Pa-pua Barat.

Tidak dipenuhinya batas waktu penyusunan, dan penyampaiannya ke BPK untuk diperiksa disebabkan kemampuan pemerintah daerah un-tuk menyusun LKPD sangat terbatas. Seharusnya BPKP dapat digunakan oleh Pemerintah untuk membangun sistem akuntansi dan pertanggungja-waban keuangan negara serta meng-atasi kelangkaan tenaga akuntan pada instansi teknis, baik tingkat Pu-sat maupun Pemda.

Salah satu sumber penyebab keti-dakpastian penyelenggaraan keuang-an daerah adalah karena tidak adanya suatu desain yang jelas dari Pemerin-tah Pusat dalam melaksanakan Pa-ket Tiga UU Keuangan Negara Tahun 2003-2004 dalam kaitannya dengan otonomi daerah. Departemen Tek-nis belum rela untuk menyerahkan kewenangan yang seharusnya telah didesentralisasikan kepada Pemerin-tah Daerah.

Departemen Dalam Negeri belum sepenuhnya sejalan dengan Departe-men Keuangan dalam penetapan me-kanisme transfer keuangan dari Pusat ke Daerah maupun tentang penyusu-nan administrasi pengelolaan keua-ngan daerah. Tidak adanya desain dalam pelaksanaan penyelenggaraan keuangan daerah itu tercermin dari adanya rangkaian peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yang tidak jelas, multi tafsir, rumit, tidak stabil dan sering berubah. Se-mentara itu, belum semua daerah memiliki Peraturan Daerah mengenai pengelolaan keuangan daerah. Juga belum semua daerah memiliki Per-aturan Kepala Daerah tentang Kebi-jakan Akuntansi Pemerintah Daerah.

Page 9: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

7NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

Temuan signifikan pemeriksaan BPK atas LKPD Tahun 2006 adalah: 1) temuan yang berindikasi keru-gian negara sebanyak 1.127 temuan senilai Rp6,00 triliun; 2) terdapat kekurangan penerimaan sebanyak 722 temuan senilai Rp2,62 triliun; 3) temuan yang bersifat adminis-trasi sebanyak 1.287 temuan senilai Rp40,97 triliun; 4) ketidakhematan/pemborosan dalam pelaksanaan ang-garan atau inefisiensi sebanyak 1.131 temuan senilai Rp16,99 triliun dan 5) penggunaan anggaran tidak sesuai dengan tujuan yang ditetapkan atau tidak dimanfaatkan sebanyak 1.687 temuan senilai Rp43,60 triliun.

Temuan Pemeriksaan BPK Tahun 2007 Tentang Dana Perimbangan

Dalam semester II Tahun 2007, BPK melakukan pemeriksaan atas penetapan alokasi dan penyaluran Dana Perimbangan pada Tahun 2006 yang ditransfer dari Pemerintah Pu-sat ke Pemerintah Daerah. Pemerik-saan ini baru mencakup 210 Peme-rintah Kabupaten/Kota, disamping seluruh 33 Pemerintah Provinsi. Tu-juan pemeriksaan adalah untuk me-nilai apakah: (1) sistem pengendalian intern (SPI) atas penetapan alokasi, penyaluran, dan penerimaan Dana Perimbangan telah memadai; dan (2) penetapan alokasi, penyaluran dan penerimaan Dana Perimbangan telah dilakukan secara tepat jumlah, tepat waktu, dan tepat rekening, serta sesuai dengan ketentuan un-dang-undang. Jadi pemeriksaan be-lum mencakup penggunaannya yang dilaporkan dalam LKPD.

Dana Perimbangan merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membelanjai kebutuhannya dalam rangka pelaksanaan desen-tralisasi. Tujuan dari pemberian dana itu adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerin-tah Pusat dan Pemerintah Daerah maupun kesenjangan antara sesama Pemerintah Daerah. Disatu pihak, Dana Perimbangan sangat berperan sebagai perekat NKRI. Di lain pihak, alokasi dana itu sangat sensitif dan,

kalau tidak hati-hati dalam pelak-sanaannya, dapat menjadi penyebab ketidak percayaan, kecemburuan ataupun perpecahan antar daerah serta rawan terhadap penyalahgu-naan. Oleh karena itu pengelolaan dana tersebut harus benar dan sesu-ai dengan kesepakatan yang dimuat dalam peraturan perundang-undang-an yang berlaku.

Adapun temuan hasil pemeriksaan atas penetapan alokasi dan penyaluran Dana Perimbangan yang signifikan, antara lain, adalah sebagai berikut:

1. Tidak adanya harmonisasi dan konsistensi antara ketentuan Pasal 4 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2006 tentang Penetapan Alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) dengan peraturan yang lebih tinggi sehingga beberapa daerah menda-pat alokasi DAU lebih dari seharus-nya sebesar Rp168,46 miliar;

2. Penghitungan DAU tidak selu-ruhnya didasarkan pada data dasar yang jelas;

3. Data dasar berupa luas wilayah yang digunakan untuk penghitungan DAU belum sepenuhnya mengacu pada PP Nomor 55 Tahun 2005;

4. Penghitungan alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) tidak mengikuti kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis yang ditetapkan se-hingga alokasi DAK tahun 2006 sebe-sar Rp1,42 triliun dan tahun 2007 sebesar Rp1,07 triliun tidak mempu-nyai dasar;

5. Terdapat kesalahan penghitung-an alokasi DAK sehingga 21 daerah kurang alokasi sebesar Rp4,22 miliar dan 15 daerah kelebihan alokasi DAK sebesar Rp1,26 miliar;

6. Pencairan DAK TA 2006 tidak sesuai ketentuan dan pada akhir TA 2006 dana tersebut menumpuk pada kas daerah atau kas Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) sehingga berpotensi digunakan di luar tujuan semula;

7. DAK untuk Dana Reboisasi sebesar Rp998,71 juta yang berasal dari TA 2002 s.d. 2005 sudah dike-luarkan dari kas negara, tapi masih tersimpan di rekening khusus Dirjen

Perbendaharaan;8. Dana Bagi Hasil Sumber Daya

Alam (DBH SDA) terlambat disalur-kan dan terdapat DBH SDA tahun 2006 yang belum disalurkan sebesar Rp1,15 triliun;

9. Realisasi DBH SDA Minyak Bumi Triwulan I Tahun 2007 yang merupa-kan hak Provinsi/Kota/Kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur kurang disalurkan sebesar Rp71,99 miliar;

10. Penerimaan dana perimbang-an pada 45 Pemerintah Daerah se-nilai Rp1,54 triliun dilakukan tanpa melalui kas daerah, diantaranya sebesar Rp71,18 miliar digunakan secara langsung tanpa melalui me-kanisme APBD dan sebesar Rp149,34 miliar belum disetor ke kas daerah;

11. Penerimaan dan pengelolaan upah pungut Pajak Bumi dan Bang-unan/Bea Pengalihan Hak Tanah dan Bangunan (PBB/BPHTB) pada 90 Pemerintah Daerah senilai Rp120,88 miliar dilakukan di luar mekanisme APBD dan diantaranya digunakan langsung sebesar Rp90,77 miliar dan sebesar Rp19,27 miliar belum dise-tor ke Kas Daerah. Dalam era mod-ern sekarang ini, pemungutan PBB/BPHTB masih didasarkan pada cara tradisional, pemungutan pajak era Kerajaan Mataram yang memberi upah pungut kepada Kapten Cina untuk mengungut pajak bagi kera-jaan. Padahal, berbeda dengan da-hulu, kini Pemerintah sudah memiliki aparat dan administrasi perpajakan modern maupun teknologi canggih termasuk foto udara untuk meman-tau kondisi setiap jengkal tanah dan bangunan.

Hasil pemeriksaan di atas mencer-minkan kelemahan dalam cara penetapan dan penyaluran Dana Perimbangan oleh Pemerintah Pusat dan penerimaannya oleh Pemerintah Daerah, sebagai berikut :

1. Lemahnya koordinasi antara Pemerintah dan DPR dalam mengim-plementasikan ketentuan Dana Per-imbangan, khususnya UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005, sehingga terdapat penetapan alokasi Dana Perimbangan berten-tangan dengan kedua ketentuan

Page 10: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

8 NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

tersebut;2. Belum bainya keterpaduan atau sinkronisasi antara

APBN dengan APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota mau-pun koordinasi kebijakan antara ketiga lapis pemerintah-an itu;

3. Belum ada mekanisme monitoring dan rekonsiliasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk memastikan bahwa dana yang disalurkan Pemerin-tah Pusat sudah diterima oleh Pemerintah Daerah dan dicatat sebagai peneri-maan pada kas Daerah;

4. Masih kurang efek-tifnya koordinasi antara Departemen Keuangan, Departemen Teknis, dan Pemerintah Daerah dalam menentukan besarnya re-alisasi DBH SDA sehingga penyaluran DBH SDA ter-lambat;

5. Belum ada prose-dur yang memadai untuk memberikan keyakinan kepada Pemerintah Dae-rah mengenai jumlah Dana Perimbangan yang akan dialokasikan kepada suatu daerah, serta waktu pe-nyalurannya terutama un-tuk DBH SDA; dan

6. Terbukanya peluang akan penyalahgunaan Dana Perimbangan karena adanya kebijakan Pemerin-tah Pusat pada tahun 2006 yang memberikan perin-tah kepada Pemerintah Daerah untuk segera mencairkan DAK pada akhir tahun tanpa melihat kesiapan Pemerintah Daerah untuk mere-alisasikannya;

Berdasarkan berbagai kelemahan di atas, BPK me-nyimpulkan bahwa penetapan penyaluran, dan pene-rimaan dana perimbangan belum sepenuhnya transparan, belum akuntabel, belum memiliki sistem pengendalian intern yang memadai, dan belum sepenuhnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta belum adanya harmonisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN dan APBD) untuk memperjelas sasaran pembang-unan nasional dan daerah.

Peranan DPR dan DPRD Untuk Menindak Lanjuti Temuan BPK

Peranan DPR dan DPRD masih perlu ditingkatkan un-

tuk dapat mewujudkan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Peranan DPR itu dapat dilakukan de-ngan melakukan sinkronisasi UU agar jangan bertentang-an antara satu dengan lainnya. Di tingkat Pusat, contoh pertentangan antara UU adalah UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Paket tiga UU

Keuangan Negara Tahun 2003-2004. Peranan DPR dan DPRD untuk meningkatkan transpa-ransi dan akuntabilitas fiskal juga dapat diwu-judkan melalui tindak lanjut temuan BPK un-tuk menyempurnakan sistem pengendalian in-ternal keuangan negara dan keuangan daerah.

Untuk dapat menindaklanjuti per-baikan kelemahan mendasar adminis-trasi keuangan negara tersebut, BPK telah me-nyarankan kepada DPR untuk dapat memben-tuk suatu Panitia Akunt-abilitas Publik (PAP). Di Parlemen negara asing PAP itu disebut sebagai Public Accounts and Au-dit Committee (PAAC). PAP adalah merupakan perwujudan dari kekua-saan DPR dan DPRD sebagai pemegang hak budjet dan fungsi pengawasan. DPR dan

DPRD di Indonesia sudah memiliki Panitia Anggaran un-tuk membahas rencana anggaran negara tingkat Pusat dan Daerah. DPR dan DPRD juga sudah memiliki komisi-komisi yang mengawasi penggunaan anggaran dan kiner-ja sektoral Departemen teknis. Namun, DPR dan DPRD kita belum memiliki PAP yang memantau pelaksanaan RAPBN dan RAPBD secara keseluruhan. PAP perlu dalam rangka pelaksanaan hak bujet dan fungsi pengawasan DPR/DPRD agar dapat menjadi lebih efektif dan efisien.

Pembentukan PAP oleh DPR-RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota menjadi semakin penting untuk men-dorong Pemerintah mempercepat pembangunan sistem keuangannya sesuai dengan Paket tiga UU Keuangan Ne-gara Tahun 2003-2004. Pelaksanaan hak budjet dan efek-tifnya fungsi pengawasan DPRD sangat menentukan atas perwujudan demokrasi politik dan keberhasilan otonomi daerah. **

LANGKAH – LANGKAH MENUJU OPINI WAJAR TANPA PENGECUALIAN (Berdasarkan Paket Tiga UU Keuangan Negara Tahun 2003 – 2004)

NO. Bidang-bidang yang perlu perhatian

Uraian

1. Sistem Pembukuan Penyusunan pertanggungjawaban keuangan negara berupa laporan keuangan yang mengacu pada Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) Tahun 2005. Laporan Keuangan Pemerintah itu terdiri dari Laporan Realisasi APBN (LRA), Laporan Arus Kas (LAK), dan Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) yang dilampiri dengan laporan keuangan BUMN/BUMD dan badan lainnya.

Penggunaan Sistem Perbendaharaan Tunggal (Single Treasury Account).

2. Sistem Aplikasi Teknologi Komputer ( IT related)

Sistem Aplikasi Teknologi Komputer yang terintegrasi.

3. Inventarisasi Aset dan hutang Aset dan hutang negara perlu diinventarisasi sesuai peraturan perundang-undangan dan disertai dengan bukti kepemilikan yang sah dan dicatat serta dipertanggungjawabkan dalam neraca.

4. Jadwal waktu penyusunan laporan keuangan dan pemeriksaan serta pertanggungjawabkan anggaran

Laporan Keuangan disampaikan untuk diperiksa kepada BPK paling lambat 3 bulan setelah tahun anggaran berakhir. Pada gilirannya, BPK menyampaikan laporan hasil pemeriksaannya, dengan opini, kepada DPR/DPD/DPRD dan auditee dua bulan kemudian.

5. Quality Assurance yang dilakukan oleh Pengawas Intern

Pengawas internal (BPKP, Irjen, SPI dan Bawasda Provinsi serta Kabupaten/Kota) bertugas untuk mengawasi mutu laporan pertanggungjawaban keuangan yang disusun oleh departemen / instansi Pemerintah / Pemda.

6. Sumber Daya Manusia Penetapan status bendahara sebagai jabatan fungsional.

Bendahara atau pegawai yang menangani pembukuan dan pengawasan seyogyanya memiliki pengetahuan dasar ilmu akuntansi.

SDM dapat diperoleh dengan merekrut tenaga BPKP atau dengan memberikan pelatihan kepada pegawai mengenai akuntansi keuangan Negara/ daerah.

Page 11: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

9NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

Page 12: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

�0 NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

Contoh Management Representative Letter.

Management Representative Letter

[Kop Surat Kementerian Negara/Lembaga]

Jakarta,[tanggal]

Yth. Anggota Pembina Keuangan Negara ....Badan Pemeriksa Keuangan RI di Jakarta

Perihal: Surat Representasi Manajemen

Kami memberikan surat representasi ini sehubungan dengan pemeriksaan BPK-RI atas Laporan Keuangan [Nama Kementerian Negara/Lembaga] Tahun ......, yang terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran untuk tahun yang berakhir tanggal 31 Desember ....., Neraca per 31 Desember ......., dan Catatan atas Laporan Keuangan. Kami menegaskan bahwa kami bertanggung jawab atas penyajian wajar laporan realisasi anggaran, neraca dan catatan atas laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.

Representasi tertentu dalam surat ini diberikan terbatas pada hal-hal yang material. Sesuatu dipandang material, tanpa melihat besarnya, jika sesuatu tersebut menyangkut penghilangan atau salah saji informasi akuntansi yang, dengan mempertimbangkan keadaan yang melingkupinya, menjadikan pertimbangan orang yang berpikiran wajar yang meletakkan kepercayaan pada informasi tersebut akan berubah atau terpengaruh oleh penghilangan atau salah saji tersebut.

Kami menegaskan, berdasarkan keyakinan dan pengetahuan kami yang terbaik, representasi berikut ini telah kami buat kepada tim BPK-RI selama pemeriksaan: 1. Laporan keuangan yang disebut di atas disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi

pemerintah. 2. Kami telah menyediakan semua data material kepada tim BPK-RI. 3. Semua transaksi yang material sudah dicatat dalam catatan akuntansi yang melandasi laporan

keuangan. 4. [Nama Kementerian Negara/Lembaga] memiliki hak penuh atas aktiva yang dimiliki, dan tidak

terdapat gadai atau penjaminan atas aktiva atau aktiva yang digadaikan. 5. Tidak terdapat kemungkinan tindakan pelanggaran terhadap hukum dan peraturan yang dampaknya

dapat dipertimbangkan untuk diungkapkan dalam laporan keuangan. 6. Semua kewajiban material sudah dicatat atau diungkapkan sesuai dengan prinsip akuntansi yang

berlaku umum. 7. Tidak terdapat tagihan atau penilaian yang belum dinyatakan yang harus dinyatakan dan yang

seharusnya diungkapkan yang belum diungkapkan. 8. [Nama Kementerian Negara/Lembaga] telah mematuhi semua aspek perjanjian kontrak yang akan

mempunyai dampak material terhadap laporan keuangan jika terjadi pelanggaran. 9. Tidak terdapat peristiwa atau transaksi material yang terjadi setelah tanggal 31 Desember ...... yang

belum dicatat secara memadai dalam laporan keuangan atau diungkapkan dalam catatan laporan keuangan.

10. Tidak terdapat kecurangan material (kesalahan disengaja atau penghilangan jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan dan penyalahgunaan aset yang dapat berdampak material terhadap laporan keuangan) atau kecurangan lain yang melibatkan pimpinan atau pegawai yang memiliki peran penting dalam pengendalian intern.

11. Kami bertanggung jawab untuk menyelenggarakan dan memelihara pengendalian intern. 12. Kami telah menilai efektifitas pengendalian intern dalam hal:

a. Keandalan pelaporan keuangan – transaksi-transaksi telah dicatat, diproses, dan diringkas secara memadai untuk memungkinkan penyusunan laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, dan aset telah dilindungi dari kehilangan yang disebabkan oleh pengambilalihan, penggunaan, atau pelepasan yang tidak sah.

b. Ketaatan pada peraturan yang berlaku – transaksi-transaksi dilaksanakan sesuai dengan (i) undang-undang yang mengatur penggunaan kewenangan anggaran dan peraturan perundangan lainnya yang berdampak langsung dan material terhadap laporan keuangan, dan (ii) undang-undang, peraturan, dan keputusan terkait lainnya.

13. Kami telah menyampaikan semua kelemahan signifikan yang ada pada perancangan dan pelaksanaan pengendalian intern yang dapat berdampak negatif terhadap kemampuan entitas dalam mencapai tujuan pengendalian intern dan mengindikasikan kelemahan-kelemahan yang material.

14. Kami bertanggung jawab atas pelaksanaan dan penyelenggaraan sistem pengelolaan keuangan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan tentang keuangan negara dan standar akuntansi pemerintah.

15. Kami telah menilai sistem pengelolaan keuangan untuk menentukan kesesuaian dengan ketentuan-ketentuan terkait sistem pengelolaan keuangan.

16. Sistem pengelolaan keuangan telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan sistem pengelolaan keuangan dan standar akuntansi pemerintah.

17. Kami bertanggung jawab atas kepatuhan entitas terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. 18. Kami telah mengidentifikasi dan mengungkapkan semua peraturan dan undang-undang yang

berdampak langsung dan material terhadap penentuan jumlah dalam laporan keuangan. 19. Kami telah menyampaikan semua kejadian ketidakpatuhan terhadap peraturan dan perundang-

undangan yang berlaku. [ Kementerian Negara/Lembaga],

[Nama Pimpinan KementerianNegara/Lembaga]

Page 13: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

��NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

Peranan Lembaga Pemeriksa dalam Mengawal Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah

LIPUTAN UTAMA

Oleh:Hasan Bisri, Anggota BPK RIDari acara “Pemantapan Wawasan Kebangsaan bagi Unsur Pimpinan dan Anggota DPRD se-Indonesia Angkatan XVII”Jakarta, 18 April 2008

Pengelolaan keuangan negara yang profesional, ter-buka, dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, diperlukan untuk memastikan pengelolaan sumber daya yang efektif. Seiring dengan lahirnya paket UU keuangan negara, reformasi pengelo-laan keuangan negara menuju terciptanya good govern-ance terus bergulir dan mengalami penyempurnaan dari aspek perencanaan, pengelolaan, pertanggungjawaban dan pengawasan. Di samping itu berdampak pula pada pengelolaan keuangan daerah, dengan diterbitkan UU no 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Derah sebagai penyempunaan UU 22 Tahun 1999 ten-tang Pemerintah Daerah dan UU 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Hubungan Keuangan Daerah dan Pemerintah PusatPedoman pengelolaan keuangan daerah diperlu-

kan untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah oleh pemerintah daerah. Hal ini juga dapat memastikan bahwa otonomi daerah yang mencakup desentralisasi dan dekonsentrasi urusan dan kewenangan pusat kepa-da daerah dapat mencapai tujuannya, yaitu menciptakan transparansi fiskal dan alokasi dan distribusi pembangu-nan nasional.

Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) selama empat tahun anggaran menunjukkan bahwa perkemban-gan dana perimbangan yang mencakup Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khu-sus (DAK) adalah sebagai berikut:

dalam miliar rupiah

Sumber data : LKPP 2004, 2005 dan 2006 audited dan 2007 unau-dited*)**) data tersebut belum termasuk Dana Otonomi Khusus dan Penyesuian yang pada TA 2007 mencapai Rp9,28 triliun.

Realisasi DBH yang meliputi bagi hasil sumber daya alam dan bagi hasil perpajakan selama empat tahun mengalami kenaikan rata-rata sebesar 32,99% per tahun, namun menurun pada 2007. Sedangkan realiasasi DAU untuk membiayai pelaksanaan desentralisasi di provinsi dan kota/kabupaten mengalami kenaian yang signifikan pada 2006 dibanding tahun sebelumnya dan terus me-ningkat sampai 2007. DAK untuk pembiayaan program pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pemekaran peme-rintah, kelautan dan pertanian dan lain-lain juga menga-lami kenaikan signifikan pada 2006 dan 2007 dibanding tahun sebelumnya hanya mencapai 18 %. Sedangkan proporsi dana perimbangan terhadap total realisasi be-lanja APBN selama 3 tahun berturut-turut makin mening-kat yaitu 28,76%, 28,10% dan 33,11%, menurun sedikit pada tahun 2007 menjadi 32,20%.

Kemandirian kemampuan keuangan daerah bervariasi terlihat dari proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) ter-hadap penerimaan daerah. Pada pemda di wilayah Su-matera, komposisi antara PAD dan dana perimbangan relatif seimbang, sedangkan pemda di wilayah Jawa relatif lebih mampu membiayai sendiri dengan rata-rata 72% PAD terhadap penerimaan daerah. Sebagian besar pemda di Indonesia bagian timur masih memiliki keter-gantungan yang cukup tinggi terhadap dana perimbang-an yaitu kisaran 70% ke atas.

Hasil pemeriksaan BPK atas pengelolaan Keuangan Dae-rah

BPK mengemban amanat konstitusi yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan dengan lingkup pemeriksaan semua unsur keuangan ne-gara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Sampai saat ini, BPK memiliki 28 Kantor Perwakilan di 28 Provinsi dan di-harapkan pada akhir 2008 dapat membuka perwakilan di seluruh provinsi di Indonesia. Dengan jumlah entitas yang harus diperiksa sebanyak 468 pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, kota) dan BUMD, BPK telah melak-sanakan pemeriksaan keuangan atas laporan keuangan daerah sebanyak 95 % dari objek yang ang ada.

No Dana Perimbangan 2004 2005 2006 2007 *)1 DBH 36.700 49.692 64.889 62.914

2 DAU 82.130 88.765 145.664 164.7873 DAK 4.036 4.763 11.556 16.240

Total Dana Perimbangan

122.866 143.222 222.109 243.941

Total APBN 427.177 509.632 670.728 757.638Proporsi Dana Perimbangan terhadap APBN **)

28,76% 28,10% 33,11% 32,20%

Page 14: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

�2 NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

Hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Peme-rintah Daerah (LKPD) Tahun Anggaran 2006 atas 459 LKPD provinsi/kabupaten/kota yang diperiksa menunjukkan 3 LKPD memperoleh opini ”Wajar Tanpa Pengecualian”, 326 LKPD “Wajar Dengan Pengecualian” (WDP), 102 LKPD memperoleh “Tidak Menyatakan Pendapat” (TMP), dan 28 LKPD memperoleh “Tidak Wajar”.

Isu-isu signifikan pada pemda terkait laporan keuang-an antara lain: adanya pendapatan yang tidak disetor ke kas daerah dan dikelola di luar mekanisme APBD serta masih terlambatnya penyetoran pendapatan ke kas dae-rah; adanya belanja daerah yang tidak sesuai dengan ke-tentuan yang berlaku dan dilaksanakan tidak mengikuti prosedur pengadaan barang dan jasa; Prosedur pen-catatan dan pelaporan barang milik daerah belum tertib dan masih terdapat aset yang belum jelas status kepemi-likan.

Sementara itu, hasil pemeriksaan BPK atas pelak-sanaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuang-an daerah menunjukkan isu yang signifikan terjadi pada pemda: adanya belanja dana dekosentrasi berupa belanja modal yang didistribusikan kepada pemda dan pengelo-laan asetnya tidak dikelola dengan tertib, sehingga dapat menimbulkan hilang aset negara dan tidak terdokumen-tasi dengan baik; penetapan, penyaluran dan penggunaan dana perimbangan belum mencerminkan pengendalian yang memadai terutama menyangkut validitas dan aku-rasi formula dasar untuk DAU dan perencanaan kegiatan untuk DAK yang dapat menyimpang dari program yang telah ditetapkan oleh departemen teknis terkait.

Ada beberapa kelemahan hampir di semua departe-men/lembaga dan pemda dalam penyusunan laporan keuangan, yaitu: perlunya perbaikan mendasar sistem akuntansi keuangan negara; sistem komputer instansi pemerintah belum sinkron; Single Treasury Account be-lum diterapkan atas pengelolaan rekening negara; serta keterbatasan tenaga administrasi pembukuan pada se-tiap unit pemerintah, mulai dari tingkat pusat hingga daerah.

Hasil-hasil pemeriksaan BPK tersebut, menunjukkan pengelolaan keuangan daerah mempunyai potensi risiko yang harus segera diantisipasi dan diselesaikan oleh pemerintah daerah provinsi, kota dan kabupaten.

Pemeriksaan atas penetapan dan penyaluran dana per-imbangan

Dana Perimbangan (DP) adalah dana yang bersumber dari Pemerintah Pusat yang dialokasikan kepada Pemda untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelak-sanaan desentralisasi. Terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH). Pengelolaan DP oleh Pemerintah Pusat dilakukan oleh Departemen Keuangan dengan melibatkan bebera-pa instansi lainnya. Sedangkan pengelolaan pada Pemda dilakukan oleh Biro/Bagian Keuangan dan Dinas Penda-

patan Daerah pada Pemerintah Provinsi atau Kabupaten/Kota. Pada dasarnya, alokasi DP ditetapkan dalam pem-bahasan RAPBN antara Pemerintah dan DPR.

Pemeriksaan ditujukan untuk menilai apakah: 1) Sis-tem Pengendalian Intern (SPI) atas penetapan alokasi, penyaluran, dan penerimaan DP telah memadai; dan 2) penetapan alokasi, penyaluran, dan penerimaan DP telah dilakukan secara tepat jumlah, waktu, dan rekening, ser-ta sesuai dengan ketentuan perundangan. Pemeriksaan dilakukan atas Penetapan Alokasi dan Penyaluran DP oleh Pemerintah Pusat serta Penerimaan DP oleh Pem-da TA 2006 dan semester I TA 2007. Pemeriksaan dila-kukan pada Pemerintah Pusat (Departemen Keuangan dan instansi terkait lainnya), 33 pemerintah provinsi, dan 210 pemerintah kabupaten/kota. Pemeriksaan tidak mencakup penggunaan DP yang telah dilaporkan dalam LKPD.

Anggaran dan realisasi Dana Perimbangan dari tahun 2001 sampai dengan Semester I Tahun 2007 dapat dilihat pada grafik berikut.

Gambar di atas menunjukkan anggaran dan realisa-si DP yang selalu meningkat dari 2001 sejalan dengan peningkatan APBN dan realisasinya. Anggaran DP 2006 meningkat cukup signifikan, yaitu DAU meningkat Rp57 triliun (64,10%), DAK meningkat Rp7 triliun (139,66%) dan DBH meningkat Rp7 triliun (13,31%) dibanding ang-garan 2005. Sedangkan anggaran DP untuk 2007, DAU meningkat Rp19 triliun (13,13%), DAK meningkat Rp5 triliun (47,75%) dan DBH meningkat Rp9 triliun (14,93%) dibandingkan 2006.

Tabel 1. Anggaran dan Realisasi Dana Perimbangan TA 2006 dan Semester I TA 2007

(dalam miliar rupiah)

-

50,000,000,000,000

100,000,000,000,000

150,000,000,000,000

200,000,000,000,000

250,000,000,000,000

300,000,000,000,000

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Anggaran

Realisasi

Page 15: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

��NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

Anggaran dan Realisasi Dana Perimbangan TA 2007 (Se-mester I)

Gambar di atas menunjukkan bahwa realisasi DP TA 2006 sebesar 102,46% di atas anggaran, antara lain di-sebabkan penerimaan negara yang dibagihasilkan, yaitu penerimaan sumber daya alam, yang realisasinya di atas anggaran. Sedangkan realisasi TA 2007 (sampai dengan semester I) hanya 42,66% yang disebabkan kelambatan Pemerintah Pusat dalam menyalurkan DBH khususnya DBH SDA dan Pemda yang belum mencairkan DAK.

Hasil pemeriksaan dana perimbanganHasil evaluasi atas sistem pengendalian intern me-

nyimpulkan adanya kelemahan yang signifikan antara lain sebagai berikut:

• Lemahnya koordinasi antara Pemerintah dan DPR dalam mengimplementasikan ketentuan DP, khu-susnya UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemda dan PP No 55/2005 tentang DP.

• Masih kurang efektifnya koordinasi antara Dep-keu, Departemen Teknis, dan Pemda dalam menentukan besarnya realisasi DBH SDA sehingga penyalurannya ter-lambat.

• Adanya peluang terjadi penyalahgunaan DAK, ka-rena adanya kebijakan Pemerintah Pusat pada 2006 yang memberi perintah kepada Pemda untuk segera mencair-kan DAK pada akhir tahun tanpa melihat kesiapan Pemda untuk merealisasikannya.

• Penetapan alokasi DAK Tahun 2006 pada bebera-pa tahap dan beberapa bidang dengan total nilai Rp1,41 triliun dan pada penetapan Alokasi DAK Tahun 2007 un-tuk Bidang Praspem Prioritas I, II dan III dengan total ni-lai Rp539,06 miliar serta Tahap II untuk seluruh bidang Rp535,00 miliar tidak dilakukan sesuai dengan proses pe-netapan alokasi DAK, yaitu menggunakan kriteria umum, khusus, dan teknis sebagaimana diatur dalam PP 55 Ta-hun 2005. Hal ini mengakibatkan pengalokasian DAK Ta-

hun 2006 dan Tahun 2007 sebesar Rp2,48 triliun diterima oleh daerah yang tidak berhak sesuai ketentuan.

• Berdasarkan hasil pemeriksaan atas bukti-bukti pengajuan pencairan, penyaluran, dan penerimaan DAK TA 2006 pada 210 kabupaten/kota, diketahui bahwa pencairan DAK seharusnya dilakukan secara triwulanan, namun ternyata pencairan tiap tahap terlambat antara 2-6 bulan, bahkan sebagian besar dilakukan pada bu-lan Desember 2006, diantaranya dengan menggunakan bukti pencairan secara formalitas. Pencairan seharusnya dilakukan ketika saldo rekening DAK maksimal 10% dari jumlah DAK yang telah dicairkan pada tahap sebelumnya, namun dalam pelaksanaannya, pencairan DAK untuk tiap tahapan dilakukan ketika saldo DAK pada rekening ter-sebut masih di atas 10%. Terdapat penumpukan saldo DAK pada akhir 2006 yang belum dimanfaatkan Rp1,06 triliun, padahal seharusnya kegiatan fisik harus sudah selesai dan dapat dimanfaatkan pada akhir 2006.

• PP 55 Tahun 2005 mengatur bahwa DP disalur-kan dengan cara pemindahan dari kas umum negara ke kas umum daerah atau kas daerah. Dalam pelaksanaan-nya, terdapat DP (selain biaya pungut PBB) Tahun 2006 dan semester I Tahun 2007 yang tidak langsung disa-lurkan ke Kas Umum Daerah, yaitu terjadi pada 45 pe-merintah daerah senilai Rp1,54 triliun. Dana tersebut diterima atau ditampung pada rekening di luar Rekening Kas Daerah dan/atau rekening yang tidak dilaporkan da-lam LKPD. Dari jumlah tersebut, Rp1,33 triliun telah di-setorkan ke kas daerah, Rp71,18 miliar digunakan secara langsung, dan sebesar Rp149,34 miliar masih tersimpan di rekening penampungan. Penggunaan secara langsung adalah penggunaan oleh pejabat atau oknum yang tidak dilakukan melalui mekanisme APBD dan tidak dilaporkan dalam LKPD, yaitu antara lain digunakan untuk pengelu-aran yang tidak jelas pertanggungjawabannya.

BPK merekomendasikan agar Pemerintah Pusat dalam hal ini Depkeu menyempurnakan mekanisme penetapan alokasi, monitoring, dan rekonsiliasi dalam pengelolaan DP. Selain itu juga meninjau kembali kebijakan pembe-rian BP PBB sesuai dengan praktik yang lazim saat ini; menyempurnakan ketentuan yang saling bertentangan dan tidak konsisten dan; merealisasikan DP yang belum disalurkan sesuai ketentuan; pemda yang masih menyim-pan DP di luar kas daerah agar segera menyetorkan sisa DP ke kas daerah dan melaporkannya ke dalam LKPD, agar dapat meningkatkan akuntabilitas dan meningkatkan pengendalian atas DP; serta pemda yang melakukan penggunaan langsung mempertanggungjawabkan peng-gunaan langsung DP yang diterima tidak melalui rekening Kas Daerah.

Peran Lembaga Perwakilan Sebagai upaya mengawal transparansi dan akunta-

bilitas pengelolaan keuangan negara/daerah, peranan BPK tidak lepas dari peran aktif DPR/DPRD/DPD dalam mendorong proses dan hasil audit. Hal ini demi meme-

Jenis

DP

2006 2007 (s.d. semester I)Anggaran Realisasi % Anggaran Realisasi %

DAU 145.664 145.664 100,00 164.787 95.764 58,11DAK 11.570 11.566 99,97 17.094 2.065 12,08DBH 59.564 64.900 108,96 68.461 8.980 13,12Total 216.798 222.13 102,46 250.342 106.809 42,66

Anggaran dan Realisasi Dana Perimbangan TA 2006

Hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Peme-rintah Daerah (LKPD) Tahun Anggaran 2006 atas 459 LKPD provinsi/kabupaten/kota yang diperiksa menunjukkan 3 LKPD memperoleh opini ”Wajar Tanpa Pengecualian”, 326 LKPD “Wajar Dengan Pengecualian” (WDP), 102 LKPD memperoleh “Tidak Menyatakan Pendapat” (TMP), dan 28 LKPD memperoleh “Tidak Wajar”.

Isu-isu signifikan pada pemda terkait laporan keuang-an antara lain: adanya pendapatan yang tidak disetor ke kas daerah dan dikelola di luar mekanisme APBD serta masih terlambatnya penyetoran pendapatan ke kas dae-rah; adanya belanja daerah yang tidak sesuai dengan ke-tentuan yang berlaku dan dilaksanakan tidak mengikuti prosedur pengadaan barang dan jasa; Prosedur pen-catatan dan pelaporan barang milik daerah belum tertib dan masih terdapat aset yang belum jelas status kepemi-likan.

Sementara itu, hasil pemeriksaan BPK atas pelak-sanaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuang-an daerah menunjukkan isu yang signifikan terjadi pada pemda: adanya belanja dana dekosentrasi berupa belanja modal yang didistribusikan kepada pemda dan pengelo-laan asetnya tidak dikelola dengan tertib, sehingga dapat menimbulkan hilang aset negara dan tidak terdokumen-tasi dengan baik; penetapan, penyaluran dan penggunaan dana perimbangan belum mencerminkan pengendalian yang memadai terutama menyangkut validitas dan aku-rasi formula dasar untuk DAU dan perencanaan kegiatan untuk DAK yang dapat menyimpang dari program yang telah ditetapkan oleh departemen teknis terkait.

Ada beberapa kelemahan hampir di semua departe-men/lembaga dan pemda dalam penyusunan laporan keuangan, yaitu: perlunya perbaikan mendasar sistem akuntansi keuangan negara; sistem komputer instansi pemerintah belum sinkron; Single Treasury Account be-lum diterapkan atas pengelolaan rekening negara; serta keterbatasan tenaga administrasi pembukuan pada se-tiap unit pemerintah, mulai dari tingkat pusat hingga daerah.

Hasil-hasil pemeriksaan BPK tersebut, menunjukkan pengelolaan keuangan daerah mempunyai potensi risiko yang harus segera diantisipasi dan diselesaikan oleh pemerintah daerah provinsi, kota dan kabupaten.

Pemeriksaan atas penetapan dan penyaluran dana per-imbangan

Dana Perimbangan (DP) adalah dana yang bersumber dari Pemerintah Pusat yang dialokasikan kepada Pemda untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelak-sanaan desentralisasi. Terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH). Pengelolaan DP oleh Pemerintah Pusat dilakukan oleh Departemen Keuangan dengan melibatkan bebera-pa instansi lainnya. Sedangkan pengelolaan pada Pemda dilakukan oleh Biro/Bagian Keuangan dan Dinas Penda-

patan Daerah pada Pemerintah Provinsi atau Kabupaten/Kota. Pada dasarnya, alokasi DP ditetapkan dalam pem-bahasan RAPBN antara Pemerintah dan DPR.

Pemeriksaan ditujukan untuk menilai apakah: 1) Sis-tem Pengendalian Intern (SPI) atas penetapan alokasi, penyaluran, dan penerimaan DP telah memadai; dan 2) penetapan alokasi, penyaluran, dan penerimaan DP telah dilakukan secara tepat jumlah, waktu, dan rekening, ser-ta sesuai dengan ketentuan perundangan. Pemeriksaan dilakukan atas Penetapan Alokasi dan Penyaluran DP oleh Pemerintah Pusat serta Penerimaan DP oleh Pem-da TA 2006 dan semester I TA 2007. Pemeriksaan dila-kukan pada Pemerintah Pusat (Departemen Keuangan dan instansi terkait lainnya), 33 pemerintah provinsi, dan 210 pemerintah kabupaten/kota. Pemeriksaan tidak mencakup penggunaan DP yang telah dilaporkan dalam LKPD.

Anggaran dan realisasi Dana Perimbangan dari tahun 2001 sampai dengan Semester I Tahun 2007 dapat dilihat pada grafik berikut.

Gambar di atas menunjukkan anggaran dan realisa-si DP yang selalu meningkat dari 2001 sejalan dengan peningkatan APBN dan realisasinya. Anggaran DP 2006 meningkat cukup signifikan, yaitu DAU meningkat Rp57 triliun (64,10%), DAK meningkat Rp7 triliun (139,66%) dan DBH meningkat Rp7 triliun (13,31%) dibanding ang-garan 2005. Sedangkan anggaran DP untuk 2007, DAU meningkat Rp19 triliun (13,13%), DAK meningkat Rp5 triliun (47,75%) dan DBH meningkat Rp9 triliun (14,93%) dibandingkan 2006.

Tabel 1. Anggaran dan Realisasi Dana Perimbangan TA 2006 dan Semester I TA 2007

(dalam miliar rupiah)

Page 16: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

�4 NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

nuhi harapan dan kebutuhan pemilik kepentingan. Sesuai pasal 17 UU No. 15 Tahun 2004, hasil pemeriksaan BPK disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD selambat-lambat-nya 2 bulan setelah BPK menerima Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Daerah. Ini membuktikan bahwa BPK mempunyai kewajiban dalam memberikan assurance (keyakinan yang memadai) atas pertanggungjawaban pemerintah pusat/daerah dalam mengelola keuangan negara sebelum lembaga perwakilan menerima pertang-gungjawaban tersebut.

Lembaga perwakilan sesuai pasal 21 UU No. 15 Tahun 2004 menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK dengan mnelakukan pembahasan sesuai dengan kewenangan-nya dan dapat meminta penjelasan BPK dalam rangka menindaklanjuti hasil pemeriksaan tersebut. Ini artinya fungsi tindak lanjut sepenuhnya dimiliki lembaga perwa-kilan. Efektivitas hasil pemeriksaan terletak sejauh mana lembaga perwakilan mau memanfaatkan momen ini untuk memastikan informasi pengelolaan keuangan ne-gara/derah telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan dan memenuhi aspek kehematan, efisiensi dan efektivitas. Apabila dari hasil pemeriksaan lembaga perwakilan memerlukan pendalaman masalah terhadap masalah yang dikemukakan, sesuai dengan pa-sal tersebut DPR/DPRD dapat meminta BPK untuk mela-kukan pemeriksaan lanjutan.

Dalam optimalisasi pengelolaan keuangan daerah, BPK telah membina hubungan dengan DPRD dengan membuat kesepakatan kerja sama dalam menjaga hu-bungan kerja terkait proses dan hasil pemeriksaan BPK di seluruh pemda provinsi/kota/kabupaten dengan kantor perwakilan BPK RI. Ini semua merupakan upaya bersama menyeleraskan dan mengefektifkan hasil pemeriksaan BPK yang berguna bagi rakyat pada umumnya. Sehingga publik mengetahui dengan terbuka, dan seimbang ten-tang proses pengelolaan keuangan daerah di wilayahnya masing-masing. **

No. Entitas Pemda yang Diperiksa

Penggunaan Langsung DP pada Pemda (%)

1 Provinsi NAD 6 3 50.002 Provinsi Sumatera Utara 16 4 25.003 Provinsi Sumatera Barat 9 0 04 Provinsi Riau 9 2 22.225 Provinsi Jambi 6 1 16.676 Provinsi Kepulauan Riau 2 0 07 Provinsi Sumatera Selatan 8 2 25.008 Propinsi Bengkulu 5 1 20.009 Provinsi Bangka Belitung 4 0 010 Provinsi Lampung 8 1 12.5011 Provinsi DKI Jakarta 1 0 012 Provinsi Banten 7 0 013 Provinsi Jawa Barat 18 3 16.6714 Provinsi DI Yogyakarta 4 3 75.0015 Provinsi Jawa Tengah 20 5 25.0016 Provinsi Jawa Timur 16 4 25.0017 Provinsi Kalimantan Barat 4 1 25.0018 Provinsi Kalimantan Tengah 4 0 019 Provinsi Kalimantan Timur 8 1 12.5020 Provinsi Kalimantan Selatan 4 0 021 Provinsi Sulawesi Utara 6 2 33.3322 Provinsi Gorontalo 6 3 50.0023 Provinsi Sulawesi Tengah 4 2 50.0024 Provinsi Sulawesi Tenggara 4 3 75.0025 Provinsi Sulawesi Barat 4 1 25.0026 Provinsi Sulawesi Selatan 18 6 33.3327 Provinsi Bali 4 0 028 Provinsi NTB 6 1 16.6729 Provinsi NTT 8 5 62.5030 Provinsi Maluku 4 2 50.0031 Provinsi Maluku Utara 2 1 50.0032 Provinsi Papua Barat 8 8 100.0033 Provinsi Papua 10 9 90.00

Jumlah 243 74 30.45%

Tabel di atas menunjukkan bahwa 10 pemerintah provinsi/kabupaten/kota, yaitu Provinsi NAD, Provinsi DIY, Provinsi Gorontalo, Provinsi Sulawesi Tengah Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi NTT, Provinsi Maluku, Provinsi Maluku Utara, Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua sebagian besar (≥50%) menggunakan langsung DP yang diterima dari Pemerintah Pusat, 15 provinsi sebagian kecil (<50%) pemerintah kabupaten/kota di wilayahnya menggunakan langsung DP yang diterima dari Pemerintah Pusat. Hanya delapan (8) provinsi yang pemerintah/kabupaten/kota menggunakan DP sesuai dengan ketentuan

Page 17: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

�5NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

SAATNYA BERBAGI YANG ADIL DAN TRANSPARAN

Konsep yang muliaMelimpahkan urusan peme-

rintah pusat ke daerah tanpa diikuti suatu pengaturan tentu tidak mu-dah. Pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional merupakan aset bangsa milik bersama. Proses tersebut harus mencerminkan suatu pola pembagian yang jelas, adil dan transparan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Tidak ada dusta antara keduanya. Untuk itu, kedua belah pihak perlu duduk bersama menyepakati “aturan main” yang cukup fair. Dan paling penting, rakyat harus paham betul aturan main tersebut. Pemerin-tah dan DPR juga telah menyepakati hal terse-but dan tertuang dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Peme-rintah Pusat dan Peme-rintah Daerah.

U n d a n g - U n d a n g ini lahir dalam rangka penyelenggaraan otono-mi daerah, penyerahan, pelimpahan, dan penugasan urusan pemerintah kepada Daerah secara nyata dan bertanggung jawab, yang harus diikuti dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional secara adil. Dengan UU ini, diharapkan tercipta sistem per-imbangan yang benar-benar propor-sional. Artinya, jelas berapa bagian masing-masing pemerintah dengan dasar yang adil dan dapat dipertang-gungjawabkan melalui proses yang demokratis.

Dalam proses tersebut, peme-rintah pusat harus selalu melibatkan

lembaga perwakilan dan pemerin-tah daerah. Tidak ada proses yang “abu-abu” atau tidak jelas siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana mempertanggungjawabkannya. Im-plikasi ketidakjelasan dapat meng-ganggu “keadilan” pemerintah pusat untuk “jeli” membantu kemampuan keuangan suatu daerah. Hak daerah yang telah memberikan kontribusi pendapatan nasional secara fair dan transparan harus dikembalikan. Tidak kalah penting, program nasional pada

bidang-bidang tertentu dapat dilak-sanakan dengan efektif dan selaras dengan pembangunan nasional.

Sebagai implementasi dari per-imbangan keuangan negara, maka pemerintah mengeluarkan opera-sionalisasi dana perimbangan ke dalam suatu PP No. 55 Tahun 2005. Peraturan Pemerintah ini mengatur bagaimana proses penetapan, pe-nyaluran dan pertanggungjawaban harus dikelola oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dalam PP

tersebut, diatur bahwa Dana Per-imbangan bertujuan untuk men-ciptakan keseimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan dae-rah serta antara Pemerintahan Daerah yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH) dari penerimaan pa-jak dan SDA, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

Pemerataan kemampuan keuang-an antar daerah

Wilayah Indonesia terbagi ke dalam daerah yang cukup bera-gam dari tatanan perekonomian,

Oleh: Yudi Ramdan

LAPORAN UTAMALAPORAN UTAMA

Gorontalo dan Papua, daerah yang diuntungkan dengan aturan pembagian DAU

Page 18: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

�6 NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

kualitas dan kuantitas sumber daya, dan luasan wilayah daerah mas-ing-masing. Pemerintah daerah se-laku aparatur yang mengelola roda pemerintahan dan perekonomian memerlukan dana untuk membiayai operasional penyelenggaraan yang tidak boleh tidak harus tersedia, misalnya untuk pembiayaan belanja aparat pemerintah daerah. Semen-tara itu sumber pembiayaan yang dimiliki cukup bervariasi. Ada daerah yang memiliki pendapatan asli dae-rah yang tinggi namun ada juga yang rendah. Untuk itu Pemerintah Pusat melalui pengucuran DAU memas-tikan bahwa pemerataan ke-mampuan keuangan antar dae-rah dapat diwujudkan secara adil dan transparan.

Rumusan per-hitungan uang yang dikucurkan didasarkan suatu formula yang men-jamin kebutuhan daerah dan kemam-puan daerah dapat diselaraskan. Kebutuhan daerah dicerminkan dari luas daerah, keadaan geogra-fis, jumlah penduduk, tingkat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di daerah, dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah. Sedangkan kapasitas fiskal dicer-minkan dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil Pajak, dan Sumber Daya Alam.

Artinya, kesalahan dalam hi-tung-hitungan DAU tersebut dapat berimplikasi timbulnya ketidakadil-an pembagian keuangan. Misalnya dalam penentuan kebutuhan daerah, bisa jadi pemerintah pusat kurang te-pat menghitung luasan daerah atau jumlah penduduk. Validitas sumber data dan bagaimana mengolahnya menjadi isu tersendiri yang harus dicermati dalam menghitung besaran dana yang dikucurkan ke daerah.

Mengembalikan hak atas potensi daerah

Hasil bumi pertiwi cukup berlim-pah dan cukup signifikan menyum-

bang pendapatan negara melalui hasil sumber daya alam dan pajak. Provinsi Nangroe Aceh Darussa lam yang

kaya akan gas bumi, Pa-pua yang kaya akan pertam-bangan tem-baga, dan Kutai K e r t a n a g a r a kaya akan mi-nyak bumi tentu harus memper-oleh hak atas has- i l bumi yang telah d i -tarik oleh Peme-rintah Pusat mela- l u i kontrak bagi hasil dengan perusahaan-perusahaan asing. Un-tuk itu, pengucuran DBH kepada daerah diharapkan menjawab proses

pengembalian hak atas potensi dae-rah kepada daerah penghasil.

Pertanyaan yang menggelitik atas proses tersebut adalah sejauh mana pemerintah daerah ikut terlibat me-nentukan besaran pembagian DBH ini. Bukan prosentase pembagian

yang dipertanyakan, melainkan lebih pada besaran pendapatan hasil bumi

yang riil yang dihasilkan oleh suatu perusahaan yang menguras

hasil bumi di daerah peng-hasil. Dengan sentralisasi penentuan besaran hasil bumi oleh pemerintah pusat dikhawatirkan ada “ketidakjujuran” proses validasi atas besaran tersebut.

Pemerintah pusat tidak boleh tu-

tup mata b a h w a t r a n s -p a ra n s i besaran dan pro-

porsi hasil potensi dae-

rah ditunggu dan diharapkan

oleh daerah. Keti-ka pusat gagal men-

jelaskan dan mem-pertanggungjawabkan

proses pengucuran dana yang menjadi hak daerah,

maka akan berimplikasi timbul-nya gap antara pendapatan negara

yang cukup besar dari daerah peng-hasil dengan kondisi perkembangan pembangunan di daerah yang ber-sangkutan.

Menjaga kesinambungan program nasional

Dapat dibayangkan apabila pem-bangunan sekolah-sekolah tidak merata antara satu daerah dengan daerah lain, maka distribusi kualitas pendidikan dan sumber daya manu-sia Indonesia terancam. Begitu pula, ketika ada KLB Demam Berdarah di beberapa daerah diperlukan suatu pola penanggulangan secara nasio-nal yang kemudian diikuti oleh setiap

Page 19: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

�7NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

daerah dalam menyiapkan sarana dan prasarana yang menunjang atas kegiatan tersebut. Ini semua merupakan refleksi suatu fenomena kebutuhan pelayanan dasar yang wa-jib dipenuhi oleh pemerintah pusat bersama dengan pemerintah daerah secara terpadu dan terarah.

Untuk menjamin pemenuhan ke-butuhan sarana dan prasarana pela-yanan dasar masyarakat, Dana Aloka-si Khusus (DAK) digelontorkan untuk mendanai kegiatan khusus yang men-jadi urusan daerah dan merupakan prioritas nasional, sesuai dengan fungsi yang merupakan perwujudan tugas kepemerintahan di bidang ter-tentu. Agar terjadi keterpaduan dan arah yang jelas, maka Departemen Teknis yang paham betul program na-sional pada bidang tertentu menyu-sun kriteria umum dan teknis yang akan dijadikan pedoman pemerintah daerah untuk menggunakan dana DAK yang diterima daerah.

Kucuran dana perimbangan dari Pemerintah Pusat ke daerah cukup signifikan yaitu mencapai 1/3 dari total belanja pemerintah pusat. Ini jelas memberi isyarat bahwa pro-gram yang didesentralisasikan Pusat ke Daerah cukup strategis dan menyi-tas perhatian bersama untuk memas-tikan bahwa penggunaan dana harus dapat mencapai sasaran dan tujuan yang diamanatkan dalam UU yaitu menjaga keseimbangan kemampuan keuangan daerah untuk dapat mem-bangun dan menjaga roda pemba-ngunan secara berkesinambungan.

Tren penyaluran Dana Perimbang-an tujuh tahun terakhir menunjukkan peningkatan anggaran dan realisa-sinya. Anggaran Dana Perimbangan tahun 2006 meningkat cukup signi-fikan, yaitu DAU meningkat sebesar Rp57 triliun (64,10%), DAK mening-kat sebesar Rp7 triliun (139,66%) dan DBH meningkat sebesar Rp7 triliun (13,31%) dibandingkan ang-garan tahun 2005, sedangkan untuk tahun anggaran 2007, DAU mening-kat sebesar Rp19 triliun (13,13%),

DAK meningkat sebesar Rp5 triliun (47,75%) dan DBH meningkat sebe-sar Rp9 triliun dibandingkan tahun anggaran 2006.

Perhitungan yang dipertanyakan Proporsi DAU untuk provin-

si dan untuk kabupaten/kota ma-sing-masing 10% dan 90% dan da-pat berubah sesuai dengan adanya pergeseran imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota. DAU dialokasikan atas dasar formula dengan konsep Alokasi Dasar dan ce-lah Fiskal Alokasi Dasar dihitung ber-dasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. Celah Fiskal dihitung berdasarkan selisih antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal. Data Kebutuhan Fiskal terdiri atas: jum-lah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, Produk Do-mestik Regional Bruto per kapita,dan Indeks Pembangunan Manusia. Data Kapasitas Fiskal terdiri atas Pendapa-tan Asli Daerah dan Dana Bagi Hasil.

Hasil pemeriksaan BPK ter-nyata rumusan dan perhitungan di atas kertas tidak didukung de-ngan kebijakan yang harmonis dan konsisten. Ini tampak pada dasar penetepan dalam Peraturan Presi-den Nomor 104 Tahun 2006 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provin-

si, Kabupaten dan Kota Tahun 2007 yang tidak sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005 sehingga beberapa dae-rah mendapatkan alokasi DAU lebih besar daripada yang seharusnya. 6 (enam) daerah antara lain provinsi Gorontalo, kota Kediri, Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Jayapu-ra, dan Kabupaten Mimika menda-patkan alokasi DAU tahun anggaran 2007 lebih kecil daripada alokasi DAU tahun anggaran 2006 sehingga ber-dasarkan Perpres Nomor 104 Tahun 2006, enam daerah tersebut men-dapatkan Dana Penyesuaian dengan nilai total Rp168,46 miliar.

Perhitungan alokasi DAU tidak didasarkan data dasar yang valid. Ini dibuktikan dengan tidak ada bukti penyampaian data dari BPS se-bagai lembaga yang kompeten dan perbedaan data dengan data dae-rah. Kondisi ditambah adanya krite-ria data luas wilayah yang berbeda, sehingga ini berakibat daerah yang memiliki lautan yang luas menda-patkan keuntungan dengan menda-patkan alokasi DAU yang lebih besar daripada daerah yang tidak memiliki lautan atau luas lautannya kecil.

Proporsi uang yang dibagi

Page 20: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

�8 NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

Penumpukan dana di akhir tahunPencairan DAK seharusnya di-

lakukan bertahap secara triwulanan, yaitu tahap I (triwulan I) s.d. tahap III (triwulan III) masing-masing sebe-sar 30% dan tahap IV (triwulan IV) sebesar 10%. Namun dalam pelak-sanaannya, pencairan DAK untuk tiap tahapan terlambat antara 2 - 6 bulan, bahkan sebagian besar dilaku-kan pada bulan Desember 2006. Pen-cairan pada akhir Desember 2006 terjadi pada seluruh kabupaten/kota yang diperiksa. Hasil pemeriksaan BPK terbukti total DAK yang dicairkan pada akhir Desember 2006 tersebut adalah sebesar Rp2.020.000,00 juta.

Kebijakan pemerintah pusat untuk menggelontorkan DAK di akhir tahun ini berimplikasi pada keterlambatan program pembangunan di daerah

karena tidak memperhatikan kondisi dan kesiapan daerah dalam mengelo-la dan mempertanggungjawabkan dana tersebut. Inilah yang dikhawat-irkan, ada “idle cash” yang tidak me-ningkatkan kesejahteraan masya-rakat di daerah. Kelebihan likuiditas yang pada umumnya disimpan pada bank pembangunan daerah tersebut, dapat digunakan sebagai penempat-an pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) atau Surat Utang Negara (SUN), serta rawan penyimpangan.

Kondisi serupa terjadi pula pada penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) ter-utama DBH Sumber Daya Alam yaitu PNBP yang berasal dari pengelolaan SDA, seperti minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan dan perikanan. Hasil penelusuran terhadap rekening koran dari escrow

account tersebut diketahui bahwa sampai dengan saat pemeriksaan tanggal 10 September 2007 terdapat DBH SDA yang belum disalurkan ke-pada daerah sebesar Rp1.151 miliar.

Dana disimpan di tempat rawan

Sesuai dengan ketentuan, Peme-rintah Daerah menerima Dana Perimbangan dalam Rekening Kas Umum Daerah. Dalam hal Rekening Kas Umum Daerah belum ditetapkan, Pemerintah Daerah dapat menerima Dana Perimbangan melalui rekening yang ditetapkan sebagai Rekening Kas Daerah dengan keputusan kepala daerah dan dilaporkan dalam Lapor-an Keuangan Pemerintah Daerah. pertanggungjawaban penerimaan dan penggunaan Dana Perimbangan mengikuti mekanisme APBD.

Hasil pemerikaan BPK menun-jukkan Dana Perimbangan berupa DAU, DAK, dan DBH selain Biaya Pemungutan PBB yang telah disalur-kan ke Pemerintah Daerah pada dua TAHUN sebesar Rp1.522.431,54 juta diterima atau ditampung pada reke-ning di luar Rekening Kas Daerah dan/atau rekening yang tidak dilaporkan dalam neraca sebagai bagian Lapor-an Keuangan Pemerintah Daerah. Dari sejumlah Rp1.538.623,37 juta tersebut, BPK telah mengungkapkan permasalahan penerimaan Dana Perimbangan di luar Kasda sebe-sar Rp110.402,34 juta dalam hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah tahun 2006.

Pentingnya keadilan dan trans-paransi penetapan dan penyaluran serta pertanggungjawaban Dana Perimbangan, diperlukan dengan penyempurnaan mekanisme peneta-pan alokasi dan penyaluran yang didukung desain dan implementasi pengendalian intern yang memadai. Sehingga tujuan untuk mendorong roda pembangunan di daerah dan terjaganya keseimbangan kemam-puan antar daerah bukan menjadi jargon saja, melainkan terasa oleh lapisan masyarakat yang menghara-pkan kebutuhan dasarnya terpenuhi. **

Grafik Alokasi DAU (Sebelum Dana Penyesuaian)

Grafik Alokasi DAU (Sesudah Dana Penyesuaian)

Page 21: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

�9NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004,

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan pemeriksaan terhadap penetapan alokasi dan penyaluran Dana Perimbangan oleh Pemerintah Pusat serta peneri-maan Dana Perimbangan oleh Pemerintah Daerah tahun anggaran (TA) 2006 dan Semester I TA 2007. Pemeriksaan dilakukan pada Pemerintah Pusat (Departemen Keuang-an dan instansi terkait lainnya), 33 pemerintah provinsi dan 210 pemerintah kabupaten/kota. Pemeriksaan tidak mencakup penggunaan Dana Perimbangan yang telah di-laporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah.

Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan dengan tu-juan tertentu yaitu untuk menilai apakah sistem peng-endalian intern atas penetapan alokasi, penyaluran dan penerimaan Dana Perimbangan telah memadai dan apa-kah penetapan alokasi, penyaluran dan penerimaan Dana Perimbangan telah dilakukan secara tepat jumlah, tepat waktu dan tepat rekening serta sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Temuan BPKDana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari

Pemerintah Pusat yang dialokasikan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang terdiri dari Dana Aloka-si Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH). Pengelolaan Dana Perimbangan oleh Pemerintah Pusat dilakukan oleh Departemen Keuangan dengan melibatkan beberapa instansi lainnya, sedang-kan pengelolaan pada pemerintah daerah dilakukan oleh Biro/Bagian Keuangan dan Dinas Pendapatan Daerah pada pemerintah provinsi/kabupaten/kota. Alokasi Dana Perimbangan ditetapkan dalam pembahasan RAPBN antara Pemerintah dan DPR.

Anggaran dan realisasi Dana Perimbangan (dalam tri-liun rupiah) adalah sebagai berikut:

Pemerintah telah berupaya menyempurnakan me-kanisme penetapan alokasi dan penyaluran Dana Per-imbangan, namun demikian masih terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari Pemerintah, berkaitan dengan desain pengendalian intern maupun pelaksanaannya. Hasil evaluasi atas sistem pengendalian intern menyimpulkan adanya kelemahan yang signifikan sebagai berikut:

1. Lemahnya koordinasi antara Pemerintah dan DPR dalam mengimplementasikan ketentuan Dana Perim-bangan, khususnya UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005, sehingga terdapat penetapan alokasi Dana Perimbangan bertentangan dengan kedua ketentuan tersebut;

2. Belum ada mekanisme monitoring dan rekonsiliasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk memastikan bahwa dana yang disalurkan Pemerintah Pusat sudah diterima oleh pemerintah daerah dan pene-rimaannya di Kas Daerah;

3. Masih kurang efektifnya koordinasi antara Departe-men Keuangan, departemen teknis, dan pemerintah dae-rah dalam menentukan besarnya realisasi DBH sumber daya alam (SDA) sehingga penyalurannya terlambat;

4. Belum ada prosedur yang memadai untuk mem-berikan keyakinan kepada pemerintah daerah mengenai jumlah Dana Perimbangan yang akan dialokasikan ke-pada suatu daerah, serta waktu penyalurannya terutama untuk DBH SDA; dan

5. Adanya peluang terjadi penyalahgunaan kebijakan Pemerintah Pusat pada tahun 2006 yang memberikan perintah kepada pemerintah daerah untuk segera men-cairkan DAK pada akhir tahun tanpa melihat kesiapan pemerintah daerah untuk merealisasikannya.

Sebagai dampak kelemahan pengendalian intern tersebut, BPK mengemukakan 11 temuan, yaitu:

1. Tidak adanya harmonisasi dan konsistensi antara ke-tentuan Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2006 ten-

HASIL PEMERIKSAAN ATAS DANA PERIMBANGAN

NO URAIAN 2006 2007 (realisasi sd Smt I)ANGG REAL % ANGG REAL %

1. Dana Alokasi Umum 145,66 145,66 100,00 164,79 95,76 58,112. Dana Alokasi Khusus 11,57 11,57 99,97 17,09 2,07 12,083. Dana Bagi Hasil 59,56 64,90 108,96 68,46 8,98 13,12

JUMLAH 216,80 222,13 102,46 250,34 106,81 42,66

Page 22: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

20 NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

tang penetapan alokasi DAU dengan peraturan yang lebih tinggi sehingga beberapa daerah mendapat alokasi DAU lebih dari seharusnya sebesar Rp168,46 miliar;

2. Penghitungan DAU tidak seluruhnya didasarkan pada data dasar yang jelas;

3. Data dasar berupa luas wilayah yang digunakan un-tuk penghitungan DAU belum sepenuhnya mengacu pada PP Nomor 55 Tahun 2005;

4. Penghitungan alokasi DAK tidak mengikuti kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis yang ditetapkan sehingga alokasi DAK tahun 2006 sebesar Rp1,42 triliun dan tahun 2007 sebesar Rp1,07 triliun tidak mempunyai dasar;

5. Terdapat kesalahan penghitungan alokasi DAK se-hingga 21 daerah kurang alokasi sebesar Rp4,22 miliar dan 15 daerah kelebihan alokasi DAK sebesar Rp1,26 miliar;

6. Pencairan DAK TA 2006 tidak sesuai ketentuan dan pada akhir TA 2006 dana tersebut menumpuk pada kas daerah atau kas satuan kerja pemerintah daerah sehingga berpotensi digunakan di luar tujuan semula;

7. DAK untuk Dana Reboisasi sebesar Rp998,71 juta yang berasal dari TA 2002 s.d. 2005 sudah dikeluarkan dari kas negara, masih tersimpan di rekening khusus Dirjen Per-bendaharaan dan belum disalurkan;

8. DBH SDA terlambat disalurkan dan terdapat DBH SDA tahun 2006 yang belum disalurkan sebesar Rp1,15 triliun;

9. Realisasi DBH SDA Minyak Bumi Triwulan I Tahun 2007 yang merupakan hak provinsi/kota/kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur kurang disalurkan sebesar Rp71,99 miliar;

10. Penerimaan dana perimbangan pada 45 pemerin-tah daerah senilai Rp1,54 triliun dilakukan tanpa melalui kas daerah, diantaranya sebesar Rp71,18 miliar digunakan secara langsung tanpa melalui mekanisme APBD dan sebe-sar Rp149,34 miliar belum disetor ke Kas Daerah;

11. Penerimaan dan pengelolaan upah pungut PBB/BPHTB pada 90 pemerintah daerah senilai Rp120,88 mi-liar dilakukan di luar mekanisme APBD dan diantaranya digunakan langsung sebesar Rp90,77 miliar dan sebesar Rp19,27 miliar belum disetor ke Kas Daerah.

Atas permasalahan tersebut, BPK menyarankan agar:1. Pemerintah daerah yang masih menyimpan Dana

Perimbangan di luar Kas Daerah sebesar Rp168,61 miliar, agar segera menyetorkan sisa Dana Perimbangan ke Kas Daerah dan melaporkannya ke dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Hal ini dapat meningkatkan akunta-bilitas dan meningkatkan pengendalian atas Dana Perim-bangan tersebut; dan

2. Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Keuang-an agar: (1) menyempurnakan mekanisme penetapan alokasi, monitoring, dan rekonsiliasi dalam pengelolaan Dana Perimbangan, (2) menyempurnakan ketentuan yang saling bertentangan dan tidak konsisten, dan (3) mereali-sasikan Dana Perimbangan yang belum disalurkan sesuai ketentuan. **

Disadur oleh Cris Kuntadi, MM, CPA. Sumber: LHP atas Penetapan, Penyaluran, dan Pene-rimaan Dana Perim-bangan Tahun Anggaran 2006 dan 2007 (Semester I)

Page 23: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

2�NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari penda-

patan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Perimbangan tersebut dibentuk untuk mendukung pendanaan program otonomi daerah yang disalurkan berupa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH).

DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah yang dimaksudkan untuk mengura-ngi ketimpangan kemampuan keuang-an antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah, yang merupakan selisih antara ke b u t u h a n daerah (fiscal need) dan po-tensi daerah (fiscal capa-city). Daerah yang potensi fiskalnya be-sar tetapi ke b u t u h a n f i s k a l n y a kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebal iknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif be-sar. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai fak-

tor pemerataan kapasitas fiskal. Dana Alokasi Khusus dimaksud-

kan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus pada dae-rah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk mem-biayai kebutuhan sarana dan pra-sarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar ter-tentu atau untuk mendorong perce-patan pembangunan daerah.

Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan angka persentase ter-tentu dengan memperhatikan poten-si daerah penghasil. DBH terdiri dari DBH Pajak dan DBH Sumber Daya Alam (SDA).

PerhitunganPenetapan alokasi Dana Perim-

bangan dilakukan oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini Presiden dan/

atau Menteri Keuangan, berdasarkan alokasi anggaran yang telah ditetap-kan dalam UU APBN. Penghitungan DAU dilakukan oleh Departemen Keuangan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, se-bagai berikut:

1. DAU dialokasikan untuk peme-rintah provinsi/kabupaten/kota dengan jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto;

2. DAU untuk suatu daerah di-alokasikan berdasarkan formula yang terdiri atas celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal merupakan selisih antara kebutuhan fiskal dan kapa-sitas fiskal. Kebutuhan fiskal diukur dengan menggunakan variabel jum-lah penduduk, luas wilayah, indeks

kemahalan konstruksi, produk do-mestik regional bruto per kapita, dan indeks pembangunan manusia. Kapasitas fiskal diukur berdasarkan Pendapatan Asli Daerah dan DBH.

SEKILAS TENTANG

Page 24: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

22 NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

Alokasi dasar dihitung berdasar-kan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. Data yang digunakan dalam penghitungan DAU diperoleh dari lembaga statistik Pemerintah dan/atau lembaga Pemerintah yang ber-wenang menerbitkan data yang da-pat dipertanggungjawabkan. Dalam hal data tersebut tidak tersedia, data yang digunakan adalah data dasar penghitungan DAU tahun sebelum-nya;

3. Daerah yang memiliki nilai ce-lah fiskal lebih besar dari 0 (nol), menerima DAU sebesar alokasi dasar ditambah celah fiskal. Dae-rah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan 0 (nol), menerima DAU sebesar alokasi dasar. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut lebih kecil dari alokasi dasar, menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah diper-hitungkan nilai celah fiskal. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal nega-tif dan nilai negatif tersebut sama atau lebih besar dari alokasi dasar, tidak menerima DAU. Formula DAU tersebut digunakan mulai tahun ang-

garan 2006 dan berlaku sepenuhnya tahun anggaran 2008. Sampai deng-an tahun anggaran 2007, alokasi DAU yang diberlakukan untuk ma-sing-masing daerah ditetapkan tidak lebih kecil dari tahun anggaran 2005. Apabila DAU untuk daerah tertentu lebih kecil dari tahun anggaran 2005, kepada daerah yang bersangkutan dialokasikan Dana Penyesuaian yang besarnya sesuai dengan kemampuan dan perekonomian negara. Alokasi DAU per daerah ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

Penghitungan DAK dilakukan oleh Departemen Keuangan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, sebagai berikut:

1. DAK dialokasikan kepada dae-rah tertentu untuk mendanai kegiat-an khusus yang merupakan bagian dan program yang menjadi prioritas nasional yang menjadi urusan dae-rah. Daerah tertentu sebagaimana dimaksud adalah daerah yang dapat memperoleh alokasi DAK berdasar-kan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis;

2. Program yang menjadi priori-

tas nasional dimuat dalam Rencana Kerja Pemerintah tahun anggaran bersangkutan. Menteri teknis meng-usulkan kegiatan khusus yang akan didanai dari DAK dan ditetapkan sete-lah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah. Menteri teknis kemudian menyam-paikan ketetapan tentang kegiatan khusus dimaksud kepada Menteri Keuangan. Setelah menerima usulan kegiatan khusus dimaksud, Menteri Keuangan melakukan penghitungan alokasi DAK;

3. Penghitungan alokasi DAK di-lakukan melalui 2 (dua) tahapan, yaitu penentuan daerah tertentu yang menerima DAK dan penentuan besaran alokasi DAK masing-masing daerah. Penentuan daerah tertentu harus memenuhi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Besaran alokasi DAK masing-masing daerah ditentukan dengan perhi-tungan indeks berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus dan kriteria

0

50

100

150

200

250

20012002 2003

20042005

2006 2007

dalam triliun rupiahPERKEMBANGAN ANGGARAN DAN REALISASI TA 2001-2007

Anggaran

Realisasi

Page 25: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

2�NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

teknis. Kriteria umum dirumuskan berdasarkan kemampuan keuan-gan daerah yang dicerminkan dari peneri-maan umum APBD setelah dikurangi belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah. Kemampuan keuan-gan daerah dihitung melalui indeks fiskal neto. Daerah yang memenuhi criteria umum merupakan daerah dengan indeks fiskal neto tertentu yang ditetapkan setiap tahun. Krite-ria khusus dirumuskan berdasarkan peraturan per-undang-undangan yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus dan karakteristik daerah. Kriteria khusus dirumuskan melalui indeks kewilayahan oleh Menteri Keuangan dengan memper-timbangkan masuk-an dari Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional dan menteri/pimpinan lembaga terkait. Kriteria teknis disu-sun berdasarkan indikator-indikator kegiatan khusus yang akan didanai dari DAK. Kriteria teknis dirumuskan melalui indeks teknis oleh menteri te-knis terkait dan disampaikan kepada Menteri Keuangan. Alokasi DAK per daerah ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

DBH yang disalurkan oleh Peme-rintah Pusat kepada Pemerintah Dae-rah terdiri dari:

1. Dana Bagi Hasil Pajak (DBH Pa-jak). Alokasi DBH Pajak berupa pem-bagian hasil penerimaan negara dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bang-unan (BPHTB), Pajak Penghasilan Pasal 25 dan 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (PPh WPOPDN) dan Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21). Alokasi sementara PBB dan BPHTB ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan rencana penerimaan PBB dan BPHTB, sedang-kan realisasi penyaluran dilakukan setiap minggu berdasarkan realisasi penerimaan. Alokasi sementara DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 ditetapkan berdasarkan rencana penerimaan PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21, sedangkan alokasi definitif ditetapkan berdasarkan prognosa re-alisasi penerimaan PPh Pasal 25 dan 29 WPOPDN dan PPh Pasal 21 tahun

anggaran berjalan.2. Dana Bagi Hasil Sumber Daya

Alam (DBH SDA). Penghitungan perkiraan alokasi DBH SDA dilaku-kan oleh departemen teknis (De-partemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Kehutanan, serta Departemen Kelautan dan Peri-kanan) yang menetapkan daerah penghasil dan dasar penghitungan DBH SDA setelah berkonsultasi den-gan Menteri Dalam Negeri. Dalam hal sumber daya alam berada pada wilayah yang berbatasan atau be-

rada pada lebih dan satu daerah, Menteri Dalam Negeri menetapkan daerah penghasil sumber daya alam berdasarkan pertimbangan menteri teknis terkait. Ketetapan Menteri Dalam Negeri tersebut menjadi dasar penghitungan DBH SDA oleh menteri teknis. Ketetapan menteri teknis disampaikan kepada Menteri Keuangan yang kemudian menetap-kan perkiraan alokasi DBH SDA untuk masing-masing daerah. **

MEKANISME DAU

Disarikan oleh Cris Kuntadi, MM, CPA

Page 26: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

24 NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

Pengurangan Disparitas Pembangunan Ekonomi Regional Melalui Desentralisasi Fiskal

LIPUTAN KHUSUS

Pemberlakuan otonomi daerah pada tahun 2001 te-lah mengubah paradigma pembangunan Indone-

sia dari sistem top down (sentralisasi) menjadi bottom up (desentralisasi). Implementasi desentralisasi di Indonesia didasarkan pada UU No. 22 dan 25 Tahun 1999 yang ke-mudian direvisi dengan UU No. 32 dan 33 Tahun 2004.

Desentralisasi memiliki dimensi yang luas antara lain menyangkut aspek desentralisasi politik (political decen-tralization); desentralisasi administratif (administrative decentralization); desentralisasi fiskal (fiscal decentrali-zation); dan desentralisasi ekonomi (Economic or Market Decentralization) (Sidik, 2002). Dalam konteks hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, sistem desentra-lisasi memberikan tanggung jawab yang lebih besar ke-pada pemerintah daerah dalam hal sebagian tertentu fungsi kepemerintahan, penggunaan anggaran, serta kebijakan pembangunan. Pemberian kewenangan lebih luas kepada daerah membawa konsekuensi tertentu bagi daerah untuk menjalankan kewenangannnya itu. Salah satunya adalah daerah harus mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang menjadi kewenangannya

Usia tujuh tahun desentralisasi fiskal di Indonesia belum sepenuhnya mampu menjawab tantangan pem-bangunan regional yang semakin kompleks. Hal tersebut disebabkan perubahan sistem dari sentralistik ke desen-traliasi belum secara otomatis diikuti kesiapan daerah khususnya kabupaten/kota yang menjadi basis otonomi daerah. Sejumlah permasalahan yang menggelayuti pelaksanaan sistem desentralisasi antara lain (1) Rendah-nya kemandirian fiskal pemerintah daerah. Hal tersebut dapat dilihat pada pembentukan Pendapatan Asli Dae-rah (PAD) masih rendah dan komposisi dana dari trans-fer pemerintah Pusat yang masih tinggi. (2) Desentra-lisasi fiskal belum mampu menjadi sarana yang mampu mendistribusikan ”kue” pembangunan ke seluruh daerah secara merata dan proporsional sehingga ketimpangan pendapatan antar wilayah semakin berkurang. Formu-lasi dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah justru semakin membuka peluang terjadinya ketimpangan pembangunan. Daerah yang memiliki jum-lah penduduk besar justru memperoleh kucuran dana

yang makin besar. (3) Desentralisasi fiskal ditengarai juga merupakan desentralisasi korupsi dari pusat ke daerah. (4) Otonomi daerah bertujuan mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Fenomena yang terjadi justru sebaliknya, masyarakat dijadikan obyek income generating pemerintah daerah melalui penerbitan ber-bagai macam peraturan.

Desentralisasi dan Peningkatan Pelayanan PublikPendulum waktu telah membawa Indonesia pada

sistem desentralisasi yang diharapkan lebih mendekat-kan pelayanan kepada masyarakat. Aturan kelembagaan memberikan wewenang kepada Pemerintah Daerah da-lam pengambilan keputusan pembangunan daerah sei-ring dengan alokasi dana yang semakin besar (money follows function). Dengan demikian desentralisasi fiskal menjadi jawaban masalah asimetry informations dimana sistem sentralistik tidak mampu menyediakan barang/jasa publik yang benar-benar menjadi kebutuhan masya-rakat atau stakeholder di daerah.

Secara ekonomi, desentralisasi fiskal diharapkan mam-pu mengalokasikan sumberdaya secara efisien. Menurut pandangan federalisme fiskal, barang publik lokal (local public goods) akan lebih efisien dan akuntabel jika dise-diakan oleh sistem yang terdesentralisasi. Ada beberapa hal yang mendasari alasan tersebut yakni (1) Pemerintah daerah lebih mengetahui wilayah mana saja yang mem-butuhkan alokasi barang publik. (2) Pemerintah daerah lebih memahami preferensi masyarakat di wilayahnya. (3) Tekanan akibat persaingan antar daerah memaksa pemerintah daerah untuk lebih inovatif dan akuntabel terhadap masyarakatnya (Bahl, 1999; Oates, 1993). Se-mentara itu dari aspek politis, desentralisasi merupakan upaya untuk meredam gerakan separatis yang tidak puas terhadap monopoli pemerintah pusat sebagai kekuatan sentral dalam pengambilan keputusan (Ebel dan Yilmaz, 2001). Sistem desentralisasi ini banyak dianut oleh nega-ra-negara yang tengah mengalami transisi dari non-de-mocratic government menuju democratic government.

Namun demikian pelaksanaan desentralisasi fiskal di negara berkembang seringkali tidak seindah idealita. De-sentralisasi di negara berkembang justru menimbulkan

Alokasi dana perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan antara kebutuhan penge-luaran dan kapasitas fiskal pemerintah daerah serta sebagai sarana untuk memeratakan pen-dapatan dan mengurangi kesenjangan antar wilayah di Indonesia. Usia tujuh tahun desentra-lisasi belum sepenuhnya mampu menjawab tantangan ketimpangan pembangunan regional. Output pembangunan pasca kebijakan desentralisasi justru semakin memusat ke pulau Jawa,

termasuk Bali.

Oleh: Gunawan Wisaksono

Page 27: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

25NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

biaya tinggi, inefisien, meningkatkan kesenjangan, serta ketidakstabilan makroekonomi (Prud’homme, 1995 da-lam Bird dan Vaillancourt, 2000). Selain itu, upaya-upaya yang dilakukan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan daerah kurang diikuti upaya untuk mening-katkan kualitas layanan publik.

Ketergantungan Pemerintah Daerah Terhadap Dana Perimbangan

Sistem desentralisasi fiskal yang berlangsung di Indo-nesia masih ditandai dengan ketergantungan fiskal pe-merintah daerah yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Dana perimbangan menjadi sumber dana yang paling dominan dalam struktur keuangan pemerintah daerah (kabupaten/kota). Dana perimbangan sebagai unsur u-tama rancang bangun desentralisasi terdiri dari tiga ele-men yakni penerimaan bagi hasil (pajak dan non-pajak), Dana hibah yang penggunaannya tidak ditetapkan (Dana Alokasi Umum/DAU), dan Dana hibah yang penggunaan-nya ditetapkan (Dana Alokasi Khusus/DAK). Alokasi dana yang ditransfer kepada pemerintah daerah mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2002 saat oto-nomi daerah mulai diberlakukan, alokasi belanja untuk dana perimbangan yang ditransfer ke daerah sebesar Rp.94,7 triliun. Pos dana perimbangan tersebut mening-kat tiga kali lipat ditahun 2008 menjadi Rp.278,4 triliun.

Secara umum kemampuan daerah untuk menggali pendapatan yang berasal dari sumber internal masih rendah. Pemerintah daerah belum sepenuhnya mampu secara mandiri mendanai kegiatan pembangunan. Se-bagian besar pemerintah daerah masih nyadong ke-pada pemerintah pusat. Hal tersebut dapat dilihat pada komposisi alokasi dana perimbangan dalam APBD masih cukup besar jika dibandingkan dengan penerimaan PAD. Berdasarkan perhitungan Bank Dunia tahun 2004, sekitar 62,1% pendapatan pemerintah kabupaten/kota di Indo-nesia berasal dari DAU sedangkan pendapatan yang be-rasal dari PAD hanya sekitar 8,3%. Pendapatan terbesar kedua berasal dari bagi hasil pajak dengan persentase sebesar 11,2%.

Tabel 1. Komposisi Pendapatan Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia 2004

Sumber: World Bank

Disparitas Pembangunan Ekonomi RegionalSalah satu tujuan pemberian dana perimbangan ke-

pada daerah adalah untuk mengurangi kesenjangan antara kebutuhan pengeluaran dan kapasitas fiskal pe-merintah daerah sehingga pemerintah kabupaten/kota mampu menyediakan layanan masyarakat yang sudah didesentralisasikan dengan mempertimbangkan perbe-daan kondisi sosial ekonomi masyarakat di seluruh wila-yah Indonesia. Selain itu, dana perimbangan merupakan salah satu sarana untuk memeratakan pendapatan serta mengurangi kesenjangan antar wilayah di Indonesia.

Sejak diterapkan sistem desentralisasi fiskal, tingkat pendapatan telah mengalami peningkatan di seluruh In-donesia. Namun demikian hal yang perlu menjadi catatan adalah daerah yang relatif kaya berkembang lebih cepat dibanding daerah yang relatif miskin. Peranan dana pe-rimbangan yang diharapkan mampu mengurangi meng-urangi kesenjangan pembangunan regional di Indone-sia belum sepenuhnya terwujud. Data BPS pada tabel 1 menunjukkan bahwa setelah desentralisasi fiskal diber-lakukan pada tahun 2001, output pembangunan justru semakin memusat ke pulau Jawa, termasuk Madura dan Bali. Distribusi hasil pembangunan di Pulau Jawa dan Bali hingga tahun 2006 menyerap sekitar 61,5% dari total PDB Indonesia. Bandingkan dengan data tahun 1999 (sebelum otonomi) dimana kue pembangunan yang didistribusikan di Pulau Jawa dan Bali sekitar 59,7%. Apabila di break-down lebih lanjut, pusat peredaran ekonomi nasional be-rada di Propinsi DKI Jakarta dengan persentase 17,37%, kemudian diikuti Jawa Timur dan Jawa Barat dengan kon-tribusi masing-masing sebesar 15,07% dan 14,05%.

Beberapa propinsi seperti NAD, Papua, serta Kaliman-tan Timur memiliki PDRB per kapita yang lebih tinggi di-banding rata-rata nasional. Penyebabnya adalah wilayah tersebut kaya akan sumberdaya alam seperti minyak bumi, gas alam, emas, tembaga, dll. Namun demikian tidak berarti propinsi-propinsi tersebut terbebas dari ke-miskinan. Ada suatu ironi dalam proses pembangunan di Indonesia dimana kemiskinan yang tinggi justru terjadi di wilayah-wilayah yang menjadi ladang uang. Daerah-dae-rah seperti Papua, NAD, Maluku, dan NTT justru memiliki presentase penduduk yang berada di bawah garis kemis-kinan cukup besar yakni diatas 27% dari jumlah pendu-duk di wilayah tersebut.

DAU62.1%

PAD8.3% Bagi hasil

pajak11.2%

Bagi hasil SDA7.2%

DAK3.0%

Pendapatan lain-lain

8.2%

...wilayah tersebut kaya akan sumberdaya alam seperti minyak bumi, gas alam, emas, tem-baga, dll. Namun demikian tidak berarti pro-pinsi-propinsi tersebut terbebas dari kemiskinan. Ada suatu ironi dalam proses pembangunan di Indonesia dimana kemiskinan yang tinggi justru terjadi di wilayah-wilayah yang menjadi ladang uang...

Page 28: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

26 NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

Drs. Maulana Ginting, MM:

Tabel 2. Distribusi Pendapatan Antar Wilayah di Indo-nesia (%)

Wilayah 1999 2001 2002 2004 2006Sumatera 22,6 22,12 22,46 22,14 21,91Jawa dan Bali 59,7 60,44 60,26 61,00 61,51Kalimantan 9,7 9,62 9,46 9,14 9,03Sulawesi 4,4 4,27 4,27 4,34 4,46Pulau Lainnya 3,9 3,55 3,55 3,39 3,09

Sumber: BPS, diolahDesentralisasi fiskal sebagai salah satu sarana untuk

mewujudkan keadilan dan kemerataan ekonomi antar wilayah belum terwujud secara maksimal. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta pendapatan per kapita yang besar belum sepenuhnya mampu memecahkan persoal-an ketimpangan pembangunan dan kemiskinan. Hal ini mengindikasikan ada permasalahan dalam alokasi distri-busi pendapatan di Indonesia sehingga kue pembangu-nan hanya dinikmati sejumlah pihak tertentu dan hanya memutar di wilayah tertentu saja. Jika mendasarkan pada data BPS terlihat bahwa pelaksanaan otonomi daerah se-jak tahun 2001 justru semakin memperlebar kesen-jangan pembangunan antar wilayah. Daerah yang kaya semakin tumbuh cepat sementara wilayah yang marginal semakin jauh tertinggal. **

Daftar PustakaBahl, Roy, 1999, Intergovermental Transfer In Devel-

oping And Countries : Principles And Practice, Draft, Janu-ary 19,1999.

Bird, Richard M, & Vaillancourt, Francois, 2000, De-sentralisasi Fiskal di Negara Berkembang, Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama.

Ebel, Robert D & Yilmaz, Serdar, 2001, Concept Of Fis-cal Decentralization And Worldwide

Overview, International Symposium Québec Commis-sion on Fiscal Imbalance, Québec City, Québec Septem-ber 13 and 14, 2001.

Oates, Wallace E, 1993, Fiscal Decentralization And Economic Development, National Tax Journal Volume 46 No 2 Juni 1993.

Sidik, Machfud, 2002, Kebijakan, Implementasi Dan Pandangan Ke Depan Perimbangan Keuangan Pusat Dan Daerah, Seminar Nasional ”Menciptakan Good Gover-nance demi Mendukung Otonomi Daerah dan Desentra-lisasi Fiskal”, Yogyakarta, 20 April 2002.

278.4244.6216.6

142.3123.1111.1

94.7

149.63.57.26.99.23.50

50

100

150

200

250

300

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Dana Perimbangan Dana Otonomi Khusus

Grafik 1. Transfer Dana ke Daerah (Triliun Rupiah) Sumber: Departemen Keuangan *) Tahun 2002-2006 adalah angka realisasi **) Tahun 2007 dan 2008 adalah APBN

Page 29: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

27NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

Drs. Maulana Ginting, MM:

“Ada data daerah yang direkayasa”

WAWANCARA

Kamis 22 Mei 2008 di Padang, Staf Redaksi Majalah PEMRIKSA Yudi Ramdan melakukan wawancara

dengan Kepala Perwakilan BPK di Padang Drs Maulana Ginting, MM yang sebelumnya Kalan BPK di Banda Aceh. Beliau menjadi penanggung jawab pemeriksaan Dana Perimbangan pada beberapa Pemda di Provinsi, Kota dan Kabupaten Banda Aceh serta menyoroti penyaluran dan penggunaan Dana Perimbangan dari sisi pemeriksaaan atas pemerintah daerah.

Banyak isu yang diuta-rakan beliau, antara lain ma-salah penggunaan langsung bagian upah pungut dari penarikan Dana Bagi Hasil Pa-jak, keterlambatan penyalur-an DAK, pengaruh terhadap pemeriksaan LKPD, serta kendala pemeriksaan dan manfaat pemeriksaan dana perimbangan.

Hasil pemeriksaan Dana Perimbangan menyebutkan salah satu penyimpangan di daerah adalah penggunaan langsung upah pungut atas DBH Pajak PBB. Bagaimana pendapat Anda tentang ma-salah tersebut terutama ten-tang eksistensi dan proses penggunaan langsung terse-but?

Menurut saya, kita harus lebih melihat kasus ini de-ngan jernih. Satu sisi dalam kerangka intensifikasi pene-rimaan pajak terutama inten-sifikasi penarikan PBB yang melibatkan aparat desa yang door to door harus tetap dipertahankan, tentunya dengan pembenahan sistem. Secara jangka panjang harus ditinjau sektor mana yang

memperoleh bagian upah pungut misalnya perkebunan dan kehutanan.

Mengenai penyaluran DAK yang terlambat, bagaima-na cara pandangnya dari sisi audit?

Memang betul, pemeriksaan kami menunjukkan bahwa realisasi penerimaan DAK di pemda pada kas daerah kebanyakan terjadi pada triwulan IV. Hal terse-but dapat mendorong praktik-praktik akrobat atas be-lanja daerah terutama belanja modal. Namun di sisi lain,

urgensi program atau kegiatan belanja tersebut memang benar-benar, se-hingga mendorong praktik tersebut terjadi. Misalnya DAK untuk Pendidikan atas rehabilitasi yang meli-batkan komite sekolah. Dari sisi audit, apapun alas-annya memang salah, kare-na pembiayaan kegiatan tersebut melebihi TA yang bersangkutan. Ke depan-nya, perencanaan peng-gunaan DAK harus lebih dimatangkan sehingga re-alisasi tidak bertumpuk di akhir tahun . Pemerintah pusat juga harus dapat merealisasikan percepatan proses pencairan DAK dan memahami kondisi faktual yang terjadi di daerah.

Bagaimana hubungan hasil pemeriksaan Dana Perimbangan terhadap pemeriksaan LKPD?

Pemeriksaan Dana Perimbangan dari sisi

pemeriksaan atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah merupakan bagian yang tidak terpisah-kan dari pemeriksaan keuangan atas LKPD, terutama

Page 30: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

28 NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

pemeriksaan atas pendapatan yang dihubungkan de-ngan Laporan Arus Kas yang berpengaruh pada kewajaran perhitungan SILPA di daerah. Beberapa kasus misalnya adanya dana yang diblokir pada rekening di luar kas dae-rah merupakan bagian pemeriksaan yang memastikan bahwa sumber-sumber dana telah masuk tepat waktu, tepat jumlah dan tepat rekening pada rekening BUD.

Apakah ditemui kendala dalam pemeriksaan dana perimbangan?

Tidak ada kendala yang signifikan dalam proses pemeriksaan. Permasalahan pemeriksaan atas dana per-imbangan terutama DAU dan DBH praktis hanya masalah ketepatan waktu penerimaan dana dan rekonsiliasi data antara pusat dan daerah. Sedangkan masalah penggu-naan Dana Perimbangan sudah melebur menjadi bagian dari belanja daerah, yang diperiksa pada pengelolaan dan pertanggungjawaban belanja daerah. Kecuali DAK yang memang secara spesifik menetapkan program dan kriteria kegiatan mana saja yang harus didanai melalui DAK tersebut.

Ada sinyalemen daerah membantu memainkan data dasar DAU, bagaimana audit dapat membuktikan sinyelemen tersebut?

Diakui agak sulit dilakukan pada pemeriksaan di dae-

rah, karena proses penetapan angka DAU berada di pusat meskipun tidak dapat dipungkiri ada data daerah yang direkayasa. Formula dan variabel perhitungan DAU yang rumit memerlukan suatu analisa mendalam. Kira-kira prosedur apa yang tepat untuk membuktikan sinyalemen permainan angka DAU. Yang dapat dilakukan adalah kon-firmasi pada pihak yang kompeten di daerah.

Berarti diperlukan pemeriksaan lanjutan atas peng-gunaan DAK?

Menurut pendapat saya perlu juga untuk direncana-kan, namun dari hasil sidang badan, kalau tidak salah, pemeriksaan tidak ditujukan pada asal sumber dana melainkan pada program. Namun hasil pemeriksaan in-terim awal tahun ini, kami menemukan bahwa ada DAK yang ditampung di rekening pribadi dengan cukup mate-rial yang pengendaliannya kurang memadai. Hal ini terjadi karena mepetnya DAK diterima daerah sementara aktivi-tas tersebut harus dituntaskan. Untuk memastikan tidak ada penyimpangan atas pengelolaan penggunaan DAK yang lewat tahun, diperlukan suatu prosedur pemerik-saan yang lebih mendalam, antara lain DAK pendidikan dan kesehatan. **

(YRB)

Page 31: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

29NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

KETUK PALU MK ATAS JUDICIAL REVIEW UU KUP

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie telah menjatuhkan ketuk palu atas pengajuan Judicial Review (uji materi) Undang-Undang Ketentuan Umum tentang Tata Cara Perpajakan. Ketukan palu Hakim Ketua MK pada tanggal �5 Mei 2008 tersebut merupakan kenyataan pahit tak hanya bagi BPK, namun juga bagi rakyat. Hal tersebut berarti transparansi perpajakan di neg-eri ini belum dapat dilakukan dengan baik.

REVIU

Kamis, 15 Mei 2008, MK telah mengeluarkan keputusan final

seputar polemik dalam pemeriksaan perpajakan antara BPK dan Ditjen Pa-jak. MK memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, telah menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan BPK untuk Pe-ngujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Keti-ga Atas Undang-Undang Nomor 6 Ta-hun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Re-publik Indonesia Tahun 1945.

Dalam keputusan Nomor 3/PUU-VI/2008, MK menyatakan permo-honan uji materi UU KUP yang diaju-kan BPK “tidak dapat diterima” (niet ontvankelijk verklaard). Ada bebera-pa pertimbangan yang membuat MK mengambil keputusan di atas, yakni:

1. Ada ketidakharmonisan antar undang-undang, in casu UU Perpa-jakan dan sejumlah undang-undang dalam bidang atau yang berkait de-ngan keuangan negara (UU Keuang-an Negara, UU Pemeriksaan Keuang-an Negara, UU BPK). Hal tersebut menyebabkan terjadinya benturan antara dua kepentingan hukum yang sama-sama dilindungi oleh konstitu-si. Dengan demikian dapat disimpul-kan bahwa dalam perkara pengujian undang-undang a quo, yang bukan perkara sengketa kewenangan kons-titusional lembaga negara, tidak dapat ditentukan adanya kerugian kewenangan konstitusional BPK se-bagai akibat berlakunya Pasal 34 ayat (2a) huruf b dan Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) UU Perpajakan.

2. Meskipun BPK memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, namun oleh karena tidak dapat diten-tukan adanya kerugian kewenangan konstitusional BPK (seperti diuraikan di atas), maka syarat kedudukan hu-kum (legal standing) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK tidak terpenuhi sehingga permo-honan harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verk-laard).

Kilas Balik JR UU KUPBPK mengajukan permohonan ke-

pada (MK) untuk melakukan judicial review atas Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 juncto Undang-Un-dang Nomor 6 Tahun 1983 (selanjut-nya disingkat UU Pajak) pada Febru-ari lalu. Langkah ini ditempuh sebagai upaya terakhir BPK dalam rangka mengakses pemeriksaan atas peneri-maan pajak di negeri ini. Rupanya, pengajuan uji materi UU KUP ini juga menarik perhatian media massa dan masyarakat. Hal ini mungkin disebab-kan karena ini merupakan yang per-tama kalinya suatu lembaga negara prestisius mengajukan judicial review (uji materi).

Namun majunya BPK ke Gedung MK oleh sebagian pihak dianggap sebagai sebuah pertarungan antara BPK dan Pemerintah, dalam hal ini Ditjen Pajak – Departemen Keuang-an. Perkara ini merupakan pertem-puran antara kewenangan konstitu-sional BPK yang diargumentasikan BPK dengan hak konstitusional

berupa hak atas rahasia pribadi yang oleh Pemerintah dan KADIN diklaim dilanggar apabila BPK memeriksa pa-jak.

Di lain sisi, masyarakat pun meng-inginkan adanya transparansi atas pengelolaan pajak baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran-nya. Meski selama ini masyarakat tak melihat secara langsung praktik-praktik penyimpangan perpajakan, tapi dugaan terjadinya penyimpang-an pada kantor-kantor pajak sebe-narnya bukan sekadar rumor. Misal seperti pembukuan ganda, laporan palsu, restitusi pajak atas transaksi fiktif, hingga “kesalahan ketik.” Oleh sebab itu pemeriksaan BPK atas penerimaan pajak seharusnya dapat menjadi langkah awal dalam rang-ka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas penerimaan pajak ne-gara.

BPK secara konstitusional adalah lembaga negara seperti tersebut di dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, dimana BPK memiliki kewenangan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara secara bebas dan mandiri. Dalam pelaksanaan tugas pemerik-saan, BPK dapat:

a. meminta dokumen yang wajib disampaikan oleh pejabat atau pihak lain yang berkaitan dengan pelak-sanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan ne-gara;

b. mengakses semua data yang disimpan di berbagai media, aset, lokasi, dan segala jenis barang atau dokumen dalam penguasaan atau

Page 32: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

�0 NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII

kendali dari entitas yang menjadi objek pemeriksaan atau entitas lain yang dipandang perlu dalam pelak-sanaan tugas pemeriksaannya”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU Nomor 15 Tahun 2004 juncto Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, se-lanjutnya disingkat UU Nomor 17 Ta-hun 2003, BPK berwenang melakukan pemeriksaan atas seluruh keuangan negara, yang meliputi penerimaan negara – baik berupa pajak dan non pajak, memeriksa seluruh aset dan piutang negara maupun utangnya, memeriksa penempatan kekayaan negara – serta penggunaan pengelu-aran negara.

Tetapi pada kenyataannya ternya-ta BPK menemui berbagai kendala dalam melakukan pemeriksaan pa-jak. UU Nomor 6 Tahun 1983 juncto UU Nomor 28 Tahun 2007 telah membatasi kewenangan BPK mela-lui norma yang diatur dalam Pasal 34 ayat (2a) huruf b dan Penjelasan Pasal 34 ayat (2a). Dikatakan mem-batasi, karena menurut norma yang diatur dalam ketentuan Pasal 34 ayat (2a) huruf b UU Nomor 6 Tahun 1983 juncto UU Nomor 28 Tahun 2007 pejabat pajak dan atau tenaga ahli hanya dapat memberikan keterang-an kepada BPK setelah mendapat penetapan oleh Menteri Keuan-gan. Pasal 34 ayat (2a) ini pun telah menggambarkan bahwa kewenang-an untuk melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara tidak hanya dimiliki oleh “lembaga negara” - yaitu BPK - tetapi juga dimiliki oleh “instansi pemerintah”.

Selanjutnya, menurut Penjelasan Pasal 34 ayat (2a) UU Nomor 6 Ta-hun 1983 juncto UU Nomor 28 Tahun 2007, tidak semua data dan/atau ke-terangan dapat diberikan kepada BPK selaku “lembaga negara” dimaksud, melainkan hanya keterangan tentang identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpa-jakan. Penjelasan Pasal 34 ayat (2a), telah merugikan kewenangan konsti-tusional BPK karena mengingkari dan bertentangan dengan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945.

Alotnya Proses SidangSidang yang telah diselenggarakan

dalam memproses perkara judicial review ini berlangsung sebanyak ada 3 (tiga) kali, yakni Sidang Pleno I tang-gal 5 Februari 2008, Sidang Pleno II tanggal 19 Februari 2008, dan Sidang Pleno III tanggal 27 Februari 2008. Sidang Pleno ini dipimpin oleh selu-ruh Anggota Majelis Hakim MK, yang terdiri dari Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, Prof. Dr. HM. Laica Marzuki, SH, H. Achmad Roestandi, SH, Prof. HAS Natabaya, S., LL.M, H. Abdul Mukhtie Fadjar, SH, MS, I Dewa Gede Palguna, SH, MH, Maruarar Siahaan, SH, Dr. Harjono, SH, M.CL, dan Soedarsono, SH.

Selama tiga kali sidang bisa dika-takan sidang-sidang tersebut ber-jalan dengan sangat alot. Masing-masing pihak bersikukuh pada opini dengan mengemukakan beragam argumen yang cukup kuat. Tak cukup sampai di situ, baik BPK maupun De-partemen Keuangan berupaya untuk menghadirkan saksi-saksi dari ka-langan praktisi ekonomi dan hukum dalam rangka meneguhkan penda-patnya. Uniknya, pihak pemerintah merasa perlu menyertakan berkas-berkas yang dikemas dalam 12 koper besar sebagai alat bukti. Ketegangan pun kerap mewarnai sidang-sidang yang dilalui oleh BPK di Gedung MK. Namun, dari pihak BPK memiliki keyakinan tersendiri bahwa perjuan-gan melalui uji materi UU KUP ini akan menuai hasil. Oleh sebab itu, keputusan yang dikeluarkan oleh MK pada Kamis (15/5) lalu dirasa cukup mengejutkan.

Gagalnya Transparansi FiskalKeputusan yang dikeluarkan oleh

MK menunjukkan bahwa penegakan transparansi dan akuntabilitas fiskal masih jauh dari yang diharapkan un-tuk dapat meningkatkan kesejahte-raan dan kemakmuran rakyat. Pa-dahal sesuai Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, BPK dibentuk sebagai suatu lembaga negara yang bebas dan mandiri hanya untuk melakukan satu mandat saja, yaitu untuk memeriksa

setiap sen uang yang dipungut ne-gara, dari mana pun sumbernya, di mana pun disimpan dan untuk apa-pun dipergunakan.

Dengan adanya keputusan MK tersebut, berarti BPK tidak dapat melaksanakan mandat konstitusi un-tuk melakukan pemeriksaan keuang-an negara termasuk pajak. Hal itu berarti BPK juga tidak dapat mem-berikan informasi hasil pemeriksaan pajak yang benar dan utuh kepada rakyat melalui DPR untuk melaksana-kan hak budgetnya.

Sebagai akhir dari sebuah ba-bak di Gedung MK, maka hambatan pemeriksaan pajak yang ada dalam UU KUP masih tetap ada. Pertama adalah dalam prosedur pemberian data dan informasi oleh Ditjen Pa-jak sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (2a) huruf b UU KUP. Kedua adalah terbatasnya jenis informa-si yang dapat diperoleh oleh BPK RI dalam melakukan pemeriksaan penerimaan negara dari pajak se-bagaimana diatur dalam penjelasan pasal 34 ayat (2a) UU KUP.

BPK berharap agar DPR dan Pe-merintah mencari solusi untuk me-negakkan transparansi dan akun-tabilitas penerimaan negara dari pajak. Sistem self assessment – yang merupakan sistem perpajakan ter-baik – akan tetap menjadi sistem yang rawan kebocoran jika tidak ada pemeriksaan eksternal yang inde-penden. Tidak adanya akses atas in-formasi perpajakan untuk keperluan pemeriksaan berarti tidak ada trans-paransi dan akuntabilitas. Ketiadaan transparansi dan akuntabilitas me-nyebabkan BPK tidak dapat mem-berikan pendapat (disclaimer) atas kewajaran penyajian laporan keu-angan pemerintah yang sekitar 70% rekening penerimaannya berasal dari pajak. Oleh sebab itu masih diperlu-kan adanya usaha untuk memecah-kan masalah agar transparansi dan akuntabilitas keuangan negara dapat ditegakkan untuk sepenuhnya demi kesejahteraan dan kemakmuran ra-kyat (welfare state). **Disarikan oleh Dian Desilia Widyasari dari keputusan MK

Page 33: PEMERIKSAAN DANA PERIMBANGAN

��NO ��2/April 2008 - Juni 2008/Tahun XXVIII