PEMENUHAN HAK ATAS BANTUAN HUKUM BAGI …digilib.unila.ac.id/55579/3/SKRIPSI TANPA BAB...

59
PEMENUHAN HAK ATAS BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT MISKIN DI PROVINSI LAMPUNG Oleh: Sumaindra Jarwadi FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2018

Transcript of PEMENUHAN HAK ATAS BANTUAN HUKUM BAGI …digilib.unila.ac.id/55579/3/SKRIPSI TANPA BAB...

PEMENUHAN HAK ATAS BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT

MISKIN DI PROVINSI LAMPUNG

Oleh:

Sumaindra Jarwadi

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2018

ABSTRAK

PEMENUHAN HAK ATAS BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT

MISKIN DI PROVINSI LAMPUNG

Oleh

Sumaindra Jarwadi

Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan

Hukum, Pemerintah Provinsi Lampung mengeluarkan Peraturan Daerah Provinsi

Lampung Nomor 3 Tahun 2015 tentang Bantuan Hukum Untuk Masyarakat Miskin

sebagai payung hukum dalam pendanaan bantuan hukum, tetapi masih banyak

masyarakat miskin yang belum mendapatkan pendampingan hukum yang memadai.

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan permasalahan yang dihadapi dalam

implementasi pemenuhan hak-hak masyarakat miskin untuk mengakses layanan

hukum di Provinsi Lampung. Kegiatan penelitian dilaksanakan tahun 2017 di DPRD

Provinsi Lampung, Pemerintah Provinsi Lampung, Kanwil Kementerian Hukum dan

HAM Provinsi Lampung dan LBH Bandar Lampung. Data kualitatif dikumpulkan

dengan menggunakan metode studi literatur dan wawancara, yang kemudian

dianalisis dengan metode Yuridis Empiris. Studi ini menemukan bahwa pemenuhan

hak bantuan hukum bagi masyarakat miskin masih dihambat oleh Peraturan Daerah

Provinsi Lampung Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Bantuan Hukum Untuk Masyarakat

Miskin yang belum dapat dilaksanakan, keterbatasan jumlah Organisasi Bantuan

Hukum (OBH) dan masih sedikitnya perkara yang dapat ditangani oleh OBH karena

keterbatasan anggaran. Disarankan agar pemerintah dapat melaksanakan layanan

bantuan hukum sesuai Perda bantuan hukum, mengeluarkan peraturan teknis terkait

pelaksanaan penganggaran bantuan hukum, serta dorongan dari pemerintah dan

Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Lampung untuk meningkatkan

jumlah di Provinsi Lampung.

Kata kunci: Hak atas Bantuan Hukum, Pemenuhan, Masyarakat Miskin

ABSTRACT

FULFILLMENT OF RIGHTS FOR LEGAL ASSISTANCE FOR POOR

COMMUNITIES IN LAMPUNG PROVINCE

By

Sumaindra Jarwadi

After the enactment of Law Number 16 Year 2011 concerning Legal Aid, the

Government of Lampung Province issued Lampung Provincial Regulation Number 3

of 2015 concerning Legal Aid for the Poor as a legal umbrella in legal aid

assistance, but there are still many poor people who have not received adequate legal

assistance. This study discusses what should be done in Lampung Province. Research

activities carried out in 2017 at the People's Representative Council in Lampung

Province, Regional Government of Lampung Province, Regional Office of the

Ministry of Law and Human Rights of Lampung Province and Bandar Lampung

Legal Aid Institute. Qualitative data is collected using literature study and interview

methods, which are then analyzed by the Empirical Juridical method. This study

found that the fulfillment of legal aid rights for the poor is still hampered by the

Lampung Provincial Regulation Number 3 of 2015 concerning Legal Aid for the Poor

which cannot be implemented, legal aid organizations are limited and there are still a

number of cases that can be handled because of budget constraints. It is

recommended that the government be able to implement legal assistance services in

accordance with the law on legal assistance, issue technical regulations related to

the implementation of the legal aid budget, as well as encouragement from the

Government and Regional Offices of the Lampung Province Law and Human Rights

Department to increase the number in Lampung Province.

Keywords: the right to legal assistance, fulfillment, poor communities

PEMENUHAN HAK ATAS BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT

MISKIN DI PROVINSI LAMPUNG

Oleh

Sumaindra Jarwadi

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Hukum Tata Negara

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2018

Judul Skripsi : PEMENUHAN HAK ATAS BANTUAN HUKUM

BAGI MASYARAKAT MISKIN DI PROVINSI

LAMPUNG

Nama Mahasiswa : Sumaindra Jarwadi No. Pokok Mahasiswa : 1212011333

Bagian : Hukum Tata Negara

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Ahmad Saleh, S.H., M.H. Martha Riananda, S.H., M.H. NIP.19780925 200801 1 015 NIP. 19800310 200604 2 001

2. Ketua Bagian Hukum Tata Negara

Dr. Budiyono, S.H., M.H.

NIP. 19741019 200501 1 002

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Ahmad Saleh, S.H., M.H. ........................

Sekertaris/Anggota : Martha Riananda, S.H.,M.H. ........................

Penguji Utama : Dr. Budiyono, S.H., M.H. ........................

2. Dekan Fakultas Hukum Unila

Prof. Dr. Maroni, S.H., M.H. NIP. 1960310 198703 1 002

Tanggal Lulus Ujian Skripsi: 26 Desember 2018

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sebenarnya

bahwa:

1. Skripsi dengan judul Pemenuhan Hak Atas Bantuan Hukum di Provinsi

Lampung adalah karya tulis ilmiah saya sendiri dan tidak melakukan penjiplakan

atau plagiat maupun pengutipan atas karya tulis ilmiah penulis lain yang tidak

sesuai dengan etika ilmiah yang dalam dunia akademik atau yang disebut

plagiarisme.

2. Hak intelektual atas karya tulis ilmiah ini diserahkan sepenuhnya kepada

Universitas Lampung.

Demikian pernyataan ini buat dengan kesadaran dan tanggungjawab, apabila

dikemudian hari terdapat kekeliruan saya bersedia bertanggungjawab sesuai dengan

peraturan hukum yang berlaku.

Bandar Lampung, Desember 2018

Pembuat Pernyataan,

Sumaindra Jarwadi

NPM. 1212011333

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Poncowarno, Lampung Tengah 7 Mei 1993. Merupakan anak

pertama dari dua bersaudara (sulung) pasangan Ayahanda Sukirman dan Ibunda

Sodiyah. Penulis menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 02

Poncowarno dan lulus pada tahun 2005, kemudian melanjutkan di Sekolah Menengah

Pertama Negeri (SMPN) 01 Kalirejo dan lulus pada tahun 2008, selanjutnya

mengenyam pendidikan di Sekolah Madarasah Aliyah Bustanul Ulum Kalirejo,

Lampung Tengah dan lulus pada tahun 2012. Selanjutnya penulis terdaftar sebagai

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Penerimaan

Mahasiswa Perluasan Akses Pendidikan (PMPAP) tahun 2012.

Selama menempuh pendidikan tinggi penulis mendapatkan beasiswa PMPAP,

Peningkatan Prestasi Akademik (PPA), serta Bidikmisi dan telah melaksanakan

Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada tahun 2015 di Desa Dipasena Makmur, Kecamatan

Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang. Selain itu, penulis juga aktif dalam

berbagai organisasi baik intra maupun ekstra kampus, yaitu Ketua Umum UKM-F

MAHKAMAH FH Unila (2015), Ketua Bidang Eksternal HIMA HTN FH Unila

(2016), Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Hukum Unila (HMI

KHU) (2016), Staft EKOSOB YLBHI-LBH Bandar Lampung (2018).

MOTTO

“Dalam keadilan itu ada kebenaran,

tapi dalam kebenaran itu belum tentu ada keadilan”

(Artidjo Alkostar)

“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya

terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja

dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih

baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali”

(Tan Malaka)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan untuk keluarga tercinta

Ayahanda (Sukirman) dan Ibunda (Sodiyah) serta Adik (Ari Yanto)

Tak lupa seluruh kawan seperjuangan LBH Bandar Lampung, kawan

himpunan dan Mahkamah FH UNILA

Almamater Tercinta

SANWACANA

Puji Syukur penulis kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya

penulis dapat menyelesaikan Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Strata satu Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung yang

berjudul Pemenuhan Hak Atas Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin di

Provinsi Lampung.

Penulis menyadari banyak pihak yang sudah terlibat dalam proses penyelesaian

skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka pada kesempatan ini

penulis menyampaikan ucapan terima kasih dengan niat tulus dan ikhlas yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Maroni,S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Lampung.

2. Bapak Dr. Budiyono, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara

Fakultas Hukum Universitas Lampung dan juga sebagai Pembahas I yang telah

memberikan saran dan kritik yang membangun terhadap skripsi penulis.

3. Ibu Martha Riananda, S.H., M.H., Sekretaris Bagian Hukum Tata Negara

Fakultas Hukum Universitas Lampung serta selaku Pembimbing II atas kesabaran

dan ketulusannya yang luar biasa dalam mendengarkan setiap keluhan penulis,

sehingga berkat nasehat dan bimbingannya secara komprehensif menjadi inspirasi

agar skripsi ini dapat penulis selesaikan.

4. Bapak Ahmad Saleh, S.H., M.H., selaku Pembimbing I atas kesabaran dan

kesediaannya dengan ikhlas meluangkan waktu disela-sela kesibukan

memberikan nasehat, bimbingan, serta motivasi yang menjadi cambuk bagi

penulis untuk berbuat lebih baik dan segera menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Yulia Neta, S.H., M.Si., M.H., selaku Pembahas II atas kritik, saran, dan

masukan yang membangun terhadap skripsi ini.

6. Bapak Ahmad Sofyan,S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik yang telah

membantu penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas

Lampung.

7. Seluruh Civitas Akademica Fakultas Hukum Universitas Lampung yang penuh

dedikasi dalam memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis serta segala

bantuan yang diberikan kepada penulis selama menempuh studi.

8. Pakde Marji, Pakde Narto, Kiyai Jamroni, dan Bang Ofal yang telah menjadi

Bapak dan Abang bagi penulis. Terima kasih atas segala nasehat dan motivasi

yang diberikan juga kopi hitam kental yang selalu tersaji disela-sela diskusi.

9. Emak Ita/Sari , terima kasih karena telah menjadi solusi bagi penulis untuk terus

dapat survive di saat keuangan penulis defisit.

10. Putri Nugrahaini yang selalu memberi semangat dan bantuannya sehingga penulis

selalu semangat dalam menyelesaikan skrisi ini.

11. Abang dan Atu serta Adik-adik UKM-F MAHKAMAH. Bang Dian, Bang

Mamad, Bang Kodri, Atu Herra, Ratna, Silvialismarini, Julia Silviana, Nadzira,

Hendi, Ridwan, Annisa (Dede), Acit, Ghika, Evi, Dhea, Manda, Hardi, Prima,

serta adik-adik Maksum, Rexzi, Raudah, Darwin, Ungkas, Reno, Gian, Bowo,

Alif, Ika, Popi, Lala, Merza, Rio, Saptori, Bahara, Feri, Erwin, Ebi, dan Ismi.

Bersama yakin bisa.

12. Kawan-kawan di HIMA HTN yang telah menjadi bagian dari penulis dalam

berdialektika dan berdiskusi.

13. Kanda, Yunda, dan Adinda keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam

Komisariat Hukum Unila (HMI KHU) yang telah menjadi wadah candradimuka

intelektual, sehingga penulis selalu mencoba untuk berproses menjadi insan yang

lebih baik lagi kedepan. Semoga silaturahmi kita akan selalu tetap terjalin dan

terjaga. Yakin Usaha Sampai.

14. Saudara perjuangan di kantor LBH Bandar Lampung Dir Alian, Bang Awang,

Bang Bangkit, Bang Ilyas, Bang Ringgo, Bang Kodri, serta Bowo, Hendi, Prima,

Cik Ali, Syofia, Mbk Anggi terus berjuang untuk si miskin dan tertindas.

15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi kita semua.

Aamiin.

Bandar Lampung, Desember 2018

Sumaindra Jarwadi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL Halaman

ABSTRAK

ABSTRACT

HALAMAN PERSETUJUAN

HALAMAN PENGESAHAN

LEMBAR PERNYATAAN

RIWAYAT HIDUP

MOTTO

PERSEMBAHAN

SANWACANA

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................... 4

1.3 Ruang Lingkup Penelitian ........................................................ 4

1.4 Tujuan Penelitian .................................................................... 4

1.5 Kegunaan Penelitian ................................................................ 5

1.5.1 Kegunaan Teoritis .......................................................... 5

1.5.2 Kegunaan Praktis ........................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 6

2.1 Pemenuhan Hak Sebagai Tanggung Jawan Negara ................ 6

2.2 Hak Warga Negara Atas bantuan Hukum ............................... 8

2.2.1 Hak Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia ..................... 9

2.3 Hak Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Di Indonesia ............ 15

2.4 Bantuan Hukum Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia .......... 21

2.5 Tanggung Jawab Negara Terhadap Pemenuhan Hak Atas

Bantuan Hukum Dalam konstitusi .............................................. 24

2.6 Bantuan Hukum Dan Lembaga Bantuan Hukum ....................... 30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................................... 35

3.1 Jenis Penelitian ........................................................................ 35

3.2 Pendekatan Masalah ................................................................ 36

3.2.1 Pendekatan Yuridis Normatif.......................................... 36

3.2.2 Pendekatan Yuridis Empiris............................................ 36

3.3 Data dan Sumber Data .............................................................. 36

3.3.1 Data Primer ..................................................................... 36

3.3.2 Data Sekunder ................................................................. 36

3.4 Metode Pengumpulan Dan Pengolahan Data ........................... 38

3.4.1 Metode Pengumpulan Data ............................................. 38

3.4.2 Studi Lapangan ............................................................... 38

3.4.3 Prosedur Pengumpulan data ............................................ 38

3.5 Analisis Data ........................................................................... 39

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 40

4.1 Pelaksanaan bantuan Hukum Di Provinsi Lampung Dengan

Adanya Perda Bantuan Hukum No. 3 Tahun 2015 Tentang

Bantuan Hukum Untuk Masyarakat Miskin ............................ 40

4.1.1 Kondisi Bantuan Hukum Di Provinsi Lampung .......... 40

4.1.2 Dasar hukum Pemebentukan Perda No. 3 Tahun

2015 Tentang Bantuan Hukum Untuk Masyarakat

Miskin Di Provinsi Lampung ....................................... 45

4.1.3 Pelaksanaan Perda No. 3 Tahun 2015 Tentang

Bantuan Hukum Untuk Masyarakat Miskin

Di Provinsi Lampung … .............................................. 47

4.2 Pemberian Bantuan Hukum Oleh Organisasi Bantuan

Hukum (OBH) Yang Terakreditasi Oleh Kementerian Hukum

dan HAM RI ........................................................................ 60

4.2.1. Pemenuhan Hak Atas Bantuan Hukum Oleh Organisasi

Bantuan Hukum yang Terakreditasi dan Terverifikasi oleh

Kemenkumham di Provinsi Lampung .......................... 60

4.2.2. Efektifitas Pelaksanaan Bantuan Hukum di Provinsi

Lampung ....................................................................... 64

Bab V KESIMPULAN DAN SARAN ………………… .......................... 68

5.1 Kesimpulan……. ..................................................................... 68

5.2 Saran ........................................................................ 69

DAFTAR PUSTAKA ………………………. ................................... 70

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hak konstitusional warga negara atas perlindungan hukum, kepastian hukum dan

persamaan di hadapan hukum dalam hubungannya negara hukum kostitusional

bermakna bahwa segala tindakan negara harus di dasarkan pada konstitusi dan hukum

yang berintikan pada pengayoman warga negara yang mempunyai tujuan akhir

kepada kesejahteraan1. Pendapat Bagir Manan mengenai elemen Negara hukum

memuat tiga dimensi penting yaitu dimensi politik, hukum dan sosial ekonomi2.

Kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan bantuan hukum bagi masyarakat

miskin sejalan dengan UUD 1945 terutama tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Pasal

28D (1) menyebutkan: “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,

dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum”.

1 Budiyono. Rudy, Konstitusi dan HAM, Bandar Lampung, (Bandar Lampung: Indepth Publishing,

2014), hlm. 14 2 Menurut Bagir Manan, dimensi politik, Negara hukum memuat prinsip pembatasan kekuasaan yang

menjelma dalam keharusan paham Negara kosntitusi, pembagian (pemisahan) kekuasaan,

kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dan jaminan serta penghormatan terhadap hak asasi (HAM),

Budiyono. Rudy, ibid., hlm. 16

2

Hak untuk dibela juga merupakan hak asasi manusia, setiap warga negara yang di

jamin dalam Universal Declaration of Human Right3, International Covenant on

Civil and Political Right (ICCPR)4. Setiap individu bebas memilih pembelaan yang

diinginkannya sendiri. Hak untuk memilih pembelaan itu berlaku bagi setiap individu

tanpa membedakan latar belakangnya. Jika kebebasan individu diakui, maka

persamaan di depan hukum juga harus diakui.5

Pertimbangan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, fakir miskin memiliki hak konstitusional

untuk diwakili dan dibela oleh advokat atau pembela umum baik di dalam maupun di

luar pengadilan (legal aid) sama seperti orang mampu mendapatkan jasa hukum

advokat (legal servis).6 Negara mengeluarkan Undang-Undang No 16 Tahun 2011

tentang Bantuan Hukum, dengan di keluarkan undang-undang ini diharapkan mampu

menjadi jaminan kepada masyarakat terkait bantuan hukum secara cuma-cuma.

Penyelanggaraan bantuan hukum ini di tujukan kepada perorangan atau kelompok

masyarakat miskin yang biayanya dibebankan kepada Negara (pasal 16). Undang-

undang ini menjadi jaminan terhadap warga Negara terhadap akses keadilan dan

kesamaan di depan hukum (pasal 3 huruf a).

Undang-undang ini mensyaratkan bagi masyarakat yang ingin mendapatkan bantuan

hukum harus mendapatkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa atau

3 Universal Declaration of Human Right, Pasal 6: “Evryone has the right recognition everywereas a

person before the law”. (The United Nations Departement of PublicInformation 1988, hlm. 5).

Dalam Frans Hendra, Probono Publico. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009),hlm. 4. 4 International Covenant on Civil and Political Right, 1988, Pasal 16: “Everyone shall Have the rigrt

to recognition everywhere as a person before the law”. The United Nations Departement of Public

Information, hlm. 27. ICCPR telah di ratifikasi melelui UU No 12 tahun 2005. Ibid, hlm. 4. 5 W. Friedmann, 1960, Legal Theory, London: Steven and Son Limited, hlm. 389. Ibid, hlm. 4.

6 Frans Hendar, Ibid, hlm. 5.

3

pejabat setingkat di lingkungannya (pasal 14 huruf c). Kategori miskin dalam sudut

pandang undang-undang ini adalah ekonomi material dan fisik yang melihat

kemiskinan sebagai ketidak mampuan memenuhi kebutuhan dasar yaitu hak atas

pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha,

dan/atau perumahan. Pemenuhan hak ini seharusnya melihat bahwa kaum miskin

memiliki hak-hak dasar yang dipahami sebagai hak untuk menikmati hidup yang

bermartabat serta hak yang di jamin oleh peraturan perundang –undangan.

Hak-hak tersebut integrative atau tidak terpisah-pisah dan berdiri sendiri, sehingga

tidak terpenuhinya satu hak akan berpengaruh terhadap hak-hak lainnya.7 Sejalan

dengan pemenuhan hak warga negara merupakan tanggung jawab negara dalam hal

ini adalah pemerintah. Secara jelas dalam Pasal 17 UU No 39 tahun1999 tentang

HAM bahwa :

“Setiap orang. tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan

dengan mengajukan permohonan. pengaduan, dan gugatan, baik dalam

perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses

peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang

menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk

memperoleh putusan yang adil dan benar”.

Perda No. 3 tahun 2015 tentang Bantuan Hukum Untuk Masyarakat Miskin di

Provinsi Lampung, merupakan payung hukum daerah dalam penganggaran

penyelenggaraan bantuan hukum di Lampung sebagai amanat Pasal 19 UU No. 16

Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, bahwa Daerah dapat mengalokasikan

7 Dinamika HAM, Jurnal. Vol. 11. No. 2 , Mei-Agustus 2011

4

anggaran penyelenggaraan Bantuan Hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD). Dalam pelaksanaanya Perda tersebut sampai dengan hari ini belum

dapat di jalankan.

Bertitik tolak dari permasalahan itulah, yang menjadi daya tarik penulis untuk

mengangkat masalah yang ada untuk dituangkan dalam Penulisan Ilmiah yang

berjudul “Pemenuhan Hak Atas Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin Di

Provinsi Lampung”

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemikiran yang telah di uraikan pada latar belakang di atas, penulis

merumuskan permasalahan sebagai berikut:

Bagaimanakah Pemenuhan Hak Atas Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin Di

Provinsi Lampung?

1.3. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini membahas tentang pemenuhan hak atas bantuan hukum

di Provinsi Lampung.

1.4. Tujuan Penelitian

Mengetahui pelaksanaan pemenuhan hak atas bantuan hukum di Provinsi Lampung

sebagai jaminan HAM dalam pemenuhan hak-hak dasar warga negara di Provinsi

Lampung.

5

1.5. Kegunaan Penelitian

1.5.1 Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penelitian ini berguna untuk mengembangkan ilmu pengetahuan

khususnya dalam bidang Hukum Tata Negara untuk memperdalam pemahaman dan

pengetahuan mengenai hak atas bantuan hukum di Provinsi Lampung sebagai

jaminan HAM dalam pemenuhan hak-hak dasar warga negara di Provinsi Lampung.

1.5.2 Kegunaan Praktis

Penelitian ini secara praktis digunakan untuk:

a) Menambah bahan referensi atau informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan

khususnya mahasiswa HTN dalam memahami pemenuhan hak atas bantuan

hukum di Provinsi Lampung sebagai jaminan HAM oleh negara dalam tanggung

jawab melindungi hak-hak dasar warga Negara.

b) Memenuhi persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) di

Fakultas Hukum Universitas Lampung.

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemenuhan Hak Sebagai Tanggung Jawab Negara

Negara menurut Roger H. Soltau adalah alat (agency) atau wewenang (authority)

yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama rakyat

(the state is an agency or authority managing or controlling these (common) affairs

on behalf of and in the name of the community).”8

Negara menjadi pihak yang paling bertanggung jawab, karena berdasarkan sifat-

sifatnya yang khusus, antara lain: Memaksa, Memonopoli dan Mencakup semua,

negara menjadi satu-satunya “organisasi” yang berdaulat, yang berhak mengatur dan

memaksakan kebijakan serta berbagai produk peraturan, atas nama masyarakat.

Berkat kekuasaan yang dimilikinya, negara memiliki otoritas untuk mendesakkan

terciptanya perlindungan hukum terhadap hak-hak asasi setiap warga Negara.

Tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak warga negara tidak bisa dilepaskan

dari kekuasaan yang dimiliki oleh negara. Kekuasaan negara berlandaskan pada

8 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 39.

7

konsepsi kedaulatan. Konsepsi kedaulatan berkenaan dengan pemegang kekuasaan

tertinggi. Kekuasaan ini bisa dipandang dari kekuasaan di bidang politik dan

kekuasaan di bidang ekonomi serta bidang lainnya.9

Berdasarkan UUD 1945, konsep kedaulatan yang berlaku di Indonesia adalah

kedaulatan rakyat yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi,

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang

Dasar.” UUD 1945 menjadi pedoman bagaimana penyelenggaraan kedaulatan rakyat

ini dilakukan.

Dasar konstitusionalnya disebutkan dalam Pasal 28D UUD 1945 khususnya yang

mengatur mengenai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum

yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Selain perspektif penguasaan oleh negara berdasarkan Pasal 28D UUD 1945, UUD

1945 juga mengatur pemenuhan hak asasi manusia. HAM menduduki posisi

tersendiri dalam UUD 1945. Pengaturannya dilakukan dalam satu bab tersendiri yang

memuat secara komprehensif perlindungan atas hak asasi manusia.10

Dari perpektif HAM pemenuhan hak warga negara diatur utamanya dalam Pasal 28D

UUD 1945 mengenai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian

hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Di dalam ketentuan

ini memang tidak disebutkan secara spesifik mengenai hak atas bantuan hukum.

9 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2005), hlm. 147. 10

Dalam UUD 1945 Hak Asasi Manusia diatur dalam Bab XA Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J.

8

namun, tidak terpenuhinya hak atas bantuan hukum atau akses terhadap hak atas

bantuan hukum akan menghalangi terpenuhinya hak-hak yang lain. sehingga, dengan

demikian, pemenuhan hak atas bantuan hukum menjadi prasyarat terpenuhinya hak-

hak sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 28D UUD 1945.

Sebagai hak asasi manusia, maka pemenuhan hak atas bantuan hukum dilakukan

dengan paradigma menghargai (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi

(to fulfil). Pradigma demikian juga diadopsi dalam UUD 1945 sebagaimana yang

disebutkan dalam ketentuan Pasal 28I ayat (4) yang mengatur tentang tanggung jawab

negara utamanya pemerintah dalam melindungi, memajukan, menegakkan dan

memenuhi hak asasi manusia. Berdasarkan ketentuan ini pula maka pemenuhan hak

atas bantuan hukum sebagai bagian dari hak asasi manusia menjadi tanggungjawab

negara khususnya pemerintah.

2.2. Hak Warga Negara Atas Bantuan Hukum

Negara dapat diartikan sebagai organisasi manusia yang bekerjasama untuk mencapai

tujuan bersama. Sedangkan tujuan negara adalah menciptakan kesejahteraan bagi

rakyatnya (bonum publicum, common good, common weal) . Menurut Harold J.

Laski, tujuan negara adalah menciptakan keadaan dimana rakyatnya dapat mencapai

terkabulnya keinginan-keinginan secara maksimal (creation of those conditions under

which the members of the state may attain the maximum satisfaction of their

desires).11

11

Op. Cit, Miriam Budiardjo, hlm. 45.

9

Melalui pembukaan UUD 1945, bangsa Indonesia menyatakan cita-cita (tujuan)

luhurnya untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang mampu

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, bahkan turut

serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

abadi dan keadilan sosial.

2.2.1. Hak Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

Manusia di ciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang

menjamin derajat sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian yang disebut

dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai

manusia sebagai karunia dari Sang Pencipta.12

Karena manusia diciptakan

kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang sama, maka prinsip kesamaan dan

kesederajatan merupakan hak utama dalam interaksi sosial. Namun kenyataanya

menunjukan bahwa manusia selalu hidup dalam komunitas sosial untuk dapat

menjaga derajat manusia dan mencapai tujuannya.

Hak Asasi Manusia merupakan terjemahan dari istilah droit’s de I’homme dalam

bahasa perancis yang berarti „Hak Manusia”. Bahasa Inggrisnya Human Right, yang

dalam bahasa Belanda disebut Menselijke rechten.13

Istilah Hak Asasi Manusia

(HAM) merupakan istilah yang bisa digunakan untuk menggantikan istilah Human

12

Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mendefinisikan Hak

Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai

mahluk Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan anugrah-Nya yang wajib di hormati, dijunjung

tinggi, di lindungi oleh negara, hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta

perlindungan hakrkat martabat manusia. LN RI Tahun 1999 No. 165, TLN Negra RI No. 3886. 13

Op.Cit. Budiyono, Rudy. hlm 57.

10

Right. Disamping itu juga yang menggunakan istilah hak-hak dasar manusia atau

fundamental right atau basic right. Secara etimologis, hak asasi manusia terbentuk

dari tiga kata, yaitu hak, asasi dan manusia, dua kata pertama, hak dan asasi berasal

dari bahasa arab, sedangkan manusia berasal dari bahsa Indonesia.14

Di Indonesia umumnya digunakan istilah: “hak-hak asasi”, yang merupakan

terjemahan dari basic right dalam bahsa inggris dan Grondrecten dalam bahasa

Belanda. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan, misalnya dalam Konstitusi

Republik Indonesia Serikat 1949, Undang-Undang Dasar Sementara 1950, Ketetapan

MPR Nomor XIV/MPRS/1966 bahkan dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978

tentang pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila digunakan istilah “Hak-hak

Asasi Manusia”.15

Dalam islam, para ahli fiqh, berbeda pendapat terkait pengertian hak. Ada ulama yang

mengartikan hak mencakup hak-hak materi, sedangkan ulama lain mengartikan hak

hanya untuk hal-hal yang non-materi. Ulama lain mengartikan hak sebagai hak atas

benda dan segala sesuatu yang lahir dari suatu akad (perjanjian), seperti jual beli.16

Hak asasi manusia di kenal di barat pertama kali dengan istilah right of man yang

sebelumnya adalah natur right. Namun, paralel dengan semangat yang ingin di

tegakkan, oleh Eleanor Roosevelt di ganti dengan nama human right, karena pokok

14

Ibid, hlm 57. 15

Ibid, hlm58. 16

Nurcholish Madjid, Islam dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011),

hlm.36.

11

tema right of human menafikkan right of woman. Bagi Roosevelt, terminology

human right bersifat netral dan universal.17

John locke

18 yang mengatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak-hak yang di

anugrahkan langsung oleh Tuhan sebagai kodrat manusia. Inilah hak yang didasarkan

pada pemberian sejati alam dalam diri manusia. Istilah teknis dalam wacana HAM,

konsep ini disebut dengan „Hukum Kodrat”. Inilah yang mendasari Jan Materson,

anggota Komisi HAM PBB mengatakan, “human right could be generally defined as

those right which inherent in our nature and wichout which can not live as human

being”. (hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia,

tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia).19

Pada dasarnya hak asasi manusia bersifat umum dan universal karena hak yang

dimiliki manusia tidak memiliki perbedaan atas bangsa, ras, atau jenis kelami. Hak

dasasr inilah manusia memiliki kesempatan yang sama dalam berbagai macam aspek

untuk mengembangkan berbagai macam potensi. Ada tiga hak asasi yang paling

fundamental (pokok)20

, yaitu:

1. Hak hidup (life)

2. Hak kebebasan (liberty);

3. Hak memiliki (property).

17

Ibid, hlm. 37. 18

Ibid. 19

Ibid, hlm. 38. 20

Budiyono, Rudy, Op.Cit, hlm 58.

12

Sering dikemukakan pengertian konseptual hak asasi manusia dalam sejarah

instrument hukum internasional setidak-tidaknya telah melampaui tiga generasi

perkembangan. Ketiga generasi perkembangan konsepsi hak asasi manusia itu adalah

sebagai berikut.21

Generasi pertama, pemikiran mengenai konsepsi hak asasi manusia yang sejak lama

berkembang dalam wacana para ilmuan sejak era enlightenment di Eropa, meningkat

menjadi dokumen-dokumen hukum internasional yang resmi. Puncak perkembangan

generasi pertama ahak asasi manusia ini adalah pada peristiwa penandatangan naskah

Universal Deklaration of Human Right22

oleh Perserikatan bangsa bangsa pada tahun

1948 setelah sebelumnya ide-ide perlindungan hak asasi manusia itu tercantum dalam

naskah-naskah bersejarah di beberapa negara, seperti Inggris seperti Magna Charta

dan Bill Of Right, di Amerika Serikat dengan Deklaration Of Independence, dan di

Prancis dengan Declaration of Right of Man and of the Citizent. Dalam konsepsi

generasi pertama ini elemen dasar konsepsi hak asasi manusia itu mencakup soal

prinsip integritas manusia, keutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan

politik.

Perkembangan selanjutnya yang dapat di sebut sebagai hak asasi manusia Generasi

Kedua, di samping adanya International Covenant on Civil and political Right23

,

konsep hak asasi manusia mencakup pula upaya menjamin pemenuhan kebutuhan

21

Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar demokrasi, (Jakarta, Sinar Grafika, 2011),

hlm. 214-215. 22

Ditetapkan oleh Majelis Umum dalam Resolusi 217 A (III) tertanggal 10 desember 1948. 23

Ditetapkan melaui Resolusi Majelis Umum 2200 A (III) tertanggal 16 desember 1966.

13

untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial, dan kebudayaan, termasuk hak atas

pendidikan, hak untuk menentukan status politik, hak untuk menikmati ragam

penemuan ilmiah, dan lain sebagainya. Puncak perkembangan kedua ini tercapai

dengan di tandatanganinya International Covenant on Economic, Social and Cultural

Right24

pada tahun 1966.

Kemudian pada tahuan 1986, muncul pula konsepsi baru hak asasi manusia, yaitu

mencakup pengertian hak untuk pembangunan atau right to development. Hak atas

atau untuk pembangunan ini mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju

yang berlaku bagi semua bagian dari kehidupan bangsa tersebut. Hak untuk atau atas

pembangunan ini antara lain meliputi hak untuk berpartisipasi dalam proses

pembangunan, dan hak untuk menikmati hasil-hasil pembangunan tersebut,

menikmati hasil-hasil perkembangan ekonomi sosial, kebudayaan, pendidikan

kesehatan, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, dan lain sebagainya. Konsepsi

inilah yang oleh para ahli disebut sebagai konsepsi hak asasi manusia Generasi tiga.

Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik di ratifikasi oleh 120 negara, sedang Hak

Ekonomi, Sosial, Budaya di ratifikasi oleh 119 negara. Detail butir-butir hak dalam

kovenan-kovenan itu sebagai berikut:25

1. Hak sipil sebagai ruang kebesasan bagi setiap individu yang mesti dijamin oleh

setiap pemerintah. Bentuk jaminan itu berupa tidak adanya intervensi, baik oleh

pribadi (individu), masyarakat, kelompok maupun pemerintah. Hak-hak itu

24

Ditetapkan mealui Resolusi Majelis Umum 2200 A (III) tertanggal 16 desember 1966. 25

Nurchilish Madjid, Op. Cit, hlm 49-51.

14

berupa: hak untuk hidup, hak untuk kebebasan, hak berkeluaga, hak milik

pribadi, hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk melaksanakan ibadah, hak

keasilan dalam hukum, hak untuk tidak di perlakukan sewenang-wenang, dan

hak untuk mendapatkan keamanan.

2. Hak-hak politik, yang dimaksud dengan hak-hak politik adalah kewenangan

warga negara utuk memberikan kontribusi atau adil dalam perjalanan

kenegaraan. Kontribusi ini bisa perorangan atau kelompok. Hak-hak itu berupa:

hak kebebasan untuk berkumpul dan berserikat, hak untuk membentuk partai

politik, hak untuk ikut serta dalam pemilu, dan hak untuk dipilih menduduki

jabatan publik.

3. Hak-hak warga negara adalah hak yang dimiliki oleh setiap orang yang tinggal

dalam suatau negara, dan negara mengakuinya dalam berbagai prinsip

kewarganegaraan yang umumnya dianut oleh setiap negara. Hak itu meliputi hak

untuk memperoleh pengakuan kewarganegaraan, hak untuk bergerak bebas

dalam negara, hak untuk meninggalkan dan kembali ke negaranya, dan ha katas

suaka politik.

4. Hak-hak sosial ekonomi adalah hak yang dimiliki oleh seseorang untuk ikut serta

menghilangkan kesenjangan sosial dan kerimpangan ekonomi; juga hak untuk

menikmati prosuk-prosuk alam dimana mereka tinggal dan menjadi warga

negara. Hal itu berupa hak atas pekerjaan, hak atas taraf hidup yang layak

(sandang, papan, perumahan, dan kesehatan), dan hak atas pendidikan.

5. Hak-hak kebudayaan adalah hak untuk turut serta dalam kehidupan masyarakat,

untuk ambil bagian dalam kemajuan ilmu pengetahuan, ha katas perlindungan

15

kepentingan moral dan materialyang timbul dari karya cipta dalam bidang seni

dan ilmu pengetahuan.

6. Hak-hak minoritas adalah hak yang dimiliki oleh kelompok atau golongan kecil

dalam konteks kehidupan masyarakat dan bangsa. Hak itu mencakup hak untuk

mendapat perlindungan dan keamanan, hak atas kebebasan berkeyakinan dan

beragama.

7. Hak-hak bangsa-bangsa adalah hak fundamental setiap bangsa untuk menentukan

nasib sendiri menentukan posisinya dalam hubungan internasiona, serta untuk

memilih bentuk pemerintahan sesuai aspirasi rakyatnya. Hak itu mencakup hak

untuk merdeka dari penjajahan, hak untuk menetukan bentuk negara sesuai

dengan aspirasi dan kebutuhan, serta hak untuk bebas dari intervensi asing.

8. Hak dalam wacana asasi kontemporer adalah kebutuhan masyarakat kontemporer

dimana berkembang wacana tertentu yang mengetengahkan hak-hak, misalnya

“hak atas lingkungan hidup” dan “hak atas kebebasan pers” yang sebenarnya

sudah termaktub dalam kebebasan untuk menyatakan pendapat.

2.3. Hak Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Di Indonesia

Hak asasi manusia merupakan sebagian dasar isi suatu konstitusi. Jika dilihat dari

ketiga UUD/konstitusi yang berlaku di Indonesia, hanya pada Konstitusi RIS 1949

dan UUDS 1950 hak asasi manusia mendapat tempat yang penting karena kedua

UUD atau Konstitusi memuatnya secara terperinci. Hal ini di sebabkan karena KRIS

16

1949 dibuat setelah Deklaration of Human Right, sedangkan UUDS 1950 adalah

perubahan dari Konstitusi RIS 1949 melalui UU Federal No. 7 Tahun 1950.26

Para pendiri negara terdapat perbedaan pendapat terkait perlu atau tidaknya di

muatnya pengaturan hak asasi manusia dalam UUD. Perbedaan pendapat itu menjadi

dua kelompok27

yaitu Ir. Soekarno dan Mr. Soepomo berpendapat bahwa tidak

perlunya pengaturan hak asasi manusia dalam UUD, dengan dasar pemikiran bahwa

negara yang akan diwujudkan adalah negara dengan paham kekeluargaan

(integralistik), berbeda dengan drs. Moh. Hatta dan Mr. Moh. Yamin berpendapat

menyetujui prinsip kekeluargaan dan menentang individualisme dan liberalisme.

Namun dalam rangka mencegah jangan sampai timbul negara kekuasaan memandang

perlu untuk dimasukkan pasal-pasal mengenai warga negara.

Perdebatan tersebut terbentur dengan keburuhan yang lebih mendasar yakni

kemerdekaaan dari negara penjajah, di samping belum lahirnya deklarasi universal

tentang HAM oleh PBB, sehingga perumusan aturan dasar dalam UUD 1945

jumlahnya terbatas. Hal tersebut dapat terlihat dalam pasal 27, 28, 29, dan 31 UUD

1945.28

Perdebatan para pendiri negara tentang HAM berlanjut sampai pasca kemerdekaan

yaitu: 1945-1950, 1950-1959, 1959-1966, 1966-1998, dan Indonesia kontemporer

26

Dasril Radjab, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm, 177. 27

Ibid, hlm 178-179. 28

Ibid, hlm, 180.

17

(Indonesia pasca Orde Baru). Tiap-tiap periode memiliki ciri khas sendiri dalam

pengaturannya, yaitu sebagai berikut29

:

1) Periode 1945-1950

Pemikiran pada periode ini lebih menekankan pada pada wacana untuk merdeka, hak

kebebasan dan menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Dalam periode ini

dapat di cirikan sebagai berikut:

a) Bidang sipil politik, melalui:

1. UUD 1945 (Pembukaan, pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30,

Penjelasan Pasal 24 dan 25)

2. Maklumat Pemerintah 01 November 1945;

3. Maklumat Pemerintah 03 November 1945;

4. Maklumat Pemerintah 14 November 1945;

5. KRIS, Khusu Bab V, Pasal 7-33;

6. KUHP Pasal 99.

b) Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya melalui:

1. UUD 1945 (Pasal 27, Pasal 31, Pasal 33, Pasal 34, Penjelasan Pasal 31-32;

2. KRIS Pasal 36-40.

2) Periode 1950-1959

Pada masa ini dikenal dengan sistem pemerintahan parlementer. Sejarah HAM di

Indonesia pada masa ini merupakan masa yang paling kondusif, sejalan dengan

prinsip demokrasi liberal pada waktu itu dimana suasana kebebasan mendapat tempat

dalam kehidupan politik nasional. Sejarah HAM pada masa ini dapat dilihat dengan

lima indikator, yaitu:

29

Op. Cit, Budiyono, Rudy, hlm, 89-95.

18

1. Munculnya partai-partai politik dengan berbagai macam ideologi;

2. Adanya kebebasan pers;

3. Pelaksanaan pemilihan umum secara aman, jujur dan demokratis;

4. Kontrol parlemen atas eksekutif;

5. Pedebatan HAM secara bebas dan demokratis.

Dalam periode ini juga tercatat bahwa Indonesia telah meratifikasi dua konvensi

internasional HAM, yaitu:

1. Konvensi Genewa tahun 1949 yang mencakup perlindungan hak bagi korban

perang, tawanan perang, dan perlindungan sipil waktu perang;

2. Konvensi tentang hak politik perempuan yang mencakup hak perempuan untuk

memilih dan dipilih tanpa perlakuan diskriminatif dan hak perempuan untuk

menempati jabatan publik.

c) Periode 1959-1966

Pada periode ini dilihat bahwa Demokrasi Liberal digantikan dengan Demokrasi

Terpimpin. Demokrasi Terpimpin menjadi bentuk penolakan dari Presiden Soekarno

atas Demokrasi Liberal karena dirasa tidak cocok dengan kultur masyarakat

Indonesia, Demokrasi Parlementer lebih condong ke barat. Akibat dari Demokrasi

Terpimpin ini Presiden tidak bisa dikontrol melalui perlemen, justru sebaliknya.

Keabsolutan presiden Soekarno ini justru memasung kebebasan warga negara.

d) Periode 1966-1998

Pada era Orde Baru, sifat kekuasaan terhadap HAM sangatlah anti. Dimana HAM di

anggap sebagai produk barat. Tidak jauh berbeda dengan Orde Lama di mana pada

era Orde Baru ini memandang HAM dan demokrasi sebagai produk barat yang

19

individualistik yang bertentangan dengan sifat gotong royong. Di antaranya

penolakan oleh orde baru, yaitu:

1. HAM adalah produk pemikiran barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur

budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila;

2. Bangsa Indonesia telah terlebih dahulu mengenal konsep HAM sebagai mana

tertuang dalam UUD 1945 yang lahir terlebih dahulu dibandingkan dengan

Demokrasi Universal HAM.

3. Isu HAM sering kali digunakan oleh orang-orang barat untuk memojokkan

negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.

Dengan sikap orde baru yang sangat otoriter ini maka banyak sekali gerakan-gerakan

yang terjadi melalui LSM, NGO yang terus mendorong HAM di Indonesia, maka

pada tahun 1990-an Indonesia telah merativikasi Konvensi HAM, yaitu:

1. Konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan,

melalui UU No. 7 Tahun 1974;

2. Konvensi anti-apartheid dalam olahraga, melalui UU No. 48 tahun 1993;

3. Konvensi hak anak , melalui Keppres No. 36 Tahun 1990.

e) Periode Pasca Orde Baru

Pada periode ini merupakan periode yang sangat penting bagi pembangunan HAM di

Indonesia. Dengan berakhirnya masa orde baru maka lahirlah era demokrasi dan

HAM. Perbaikan pelaksanaan HAM di tunjukan dengan perencanaan program HAM

20

yang dikenal dengan istilah Aksi Nasional HAM, pada Agustus 1998, agenda HAM

ini bersandarkan pada empat pilar, yaitu:

1. Pengesahan perangkat Internasional di bidang HAM;

2. Deseminasi informasi dan pendidikan tentang HAM;

3. Penentuan skla prioritas pelaksanaan HAM;

4. Pelaksanaan isi perangkat Internasional di bidang HAM yang telah di

ratifikasinya melalui undang-undang nasional

Menurut Prof. Dr. Notonegoro30

, Hak adalah kuasa untuk menerima atau melakukan

suatu yang semestinya diterima atau dilakukan oleh pihak tertentu dan hak tersebut

tidak dapat dicabut atau diambil oleh pihak lain. Hak dan kewajiban merupakan suatu

yang tidak dapat dipisahkan. Bahwa setiap warga Negara memiliki hak dan

kewajiban untuk mendapatkan penghidupan yang layak, menjadi konsep dasar hak-

hak konstitusional yang tertulis dalam UUD 1945. Pemenuhan hak-hak tersebut

menjadi kewajiban pemerintah Indonesia sebagai penyelenggara negara.

UUD 1945 mengakui dan menghormati hak asasi setiap individu manusia yang

berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Penduduk

Indonesia atau bukan diperlakukan sebagai manusia yang memiliki hak dasar yang

diakui universal. Prinsip-prinsip ini juga berlaku pula bagi setiap individu Warga

30

www.mahkamahkonstitusi.go.id. (diakses pada 07-01-2018)

21

Negara Indonesia (WNI) bahkan, disamping jaminan HAM itu, setiap WNI juga

diberikan jaminan hak konstitusional dalam UUD 1945.31

Hak-hak warga Negara yang dijamin dalam konstitusi UUD 1945 memberikan

kesempurnaan dalam tataran tekstual, hak-hak dasar sebagai manusia hampir

seluruhnya dijamin dalam UUD 1945. Hak-hak konstitusional dan materi muatan

HAM dalam UUD 1945 yang dipahami sebagai konstitusionalisme yang berwujud

pada upaya perwujudan hak-hak konstitusional warga negara harus dipahami secara

tektual, tafsir konteks dan implementasi tekstual yang melandasi pemerintah dalam

mewujudkan mandat konstitusinya.32

2.4. Bantuan Hukum Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

Dalam kajian Hak Asasi Manusia, hak atas bantuan hukum dianggap sebagai bagian

dari proses peradilan yang adil dan merupakan salah satu pilar dari prinsip negara

hukum. Hak tersebut telah mendapatkan pengakuan sebagai salah satu prinsip HAM

yang diterima secara universal. Jaminan atas hak ini diatur dalam berbagai Instrumen

HAM Internasional. Instrumen Internasional yang menjamin hak atas bantuan

hukum, yaitu: a. Pasal 7 DUHAM menjamin persamaan kedudukan di muka hukum;

b. Pasal 16 dan Pasal 26 ICCPR menjamin bahwa semua orang berhak untuk

perlindungan dari hukum serta harus dihindarkan adanya diskriminasi berdasarkan

apapun termasuk status kekayaan; c. Pasal 14 ayat (3) ICCPR, memberikan syarat

31

Adam, Teologi Konstitusi Hak Asasi Manusia Atas Kebebasan Bragama di Indonesia, (Yogyakarta:

LKIS Pelangi Aksara, 2015), hlm. 21. 32

Oki, Terasing di Negeri Sendiri (Kritik Atas Pengabaian Hak-Hak Konstitusional Masyarakat

Hutan Register. 45 Mesuji, Lampuny), (Bandar Lampung: Independent Publising, 2012), hlm.20.

22

terkait bantuan hukum yaitu: 1) kepentingan-kepentingan keadilan; dan 2) tidak

mampu membayar advokat. Hak ini termasuk jenis Non-derogable rights (tidak dapat

dikurangi). Hal tersebut diatas dimaksudkan juga dengan bantuan hukum yang

diberikan pemerintah kepada masyarakat yang kurang mampu. Bantuan hukum yang

diberikan haruslah memuat substansi HAM. Bantuan hukum harus mengacu pada

HAM karena harus melindungi hak-hak rakyat untuk mendapatkan bantuan hukum

dan memperjuangkan kepentingan yang sah dan damai.

Dalam konteks perlindungan HAM, merujuk kepada Pasal 1 butir 6 Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, mekanisme perlindungan HAM

yang disandarkan pada lembaga peradilan membutuhkan penguatan atas jaminan

proses peradilan yang adil (free trial). Dalam hal ini dibutuhkan pengakuan terhadap

HAM terkait dengan persamaan di muka hukum, telah diatur dalam Pasal 28 D ayat

(1) amandemen ke-2 UUD 1945 yang memberikan jaminan terhadap pengakuan,

perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama bagi setiap

orang. Dalam tataran yang lebih operasional, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia mengatur sejumlah hak-hak dasar yang dilindungi oleh

Negara, antara lain hak untuk memperoleh keadilan. Setiap orang, tanpa diskriminasi

berhak memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan

gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili

melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara

yang menjamin pemeriksaan secara objektif.

23

Selanjutnya untuk bisa menilai kualitas praktek dari sistem bantuan hukum, UNDP

memberikan beberapa indikator yang bisa dijadikan pedoman penilaian yaitu:33

a. Akses masyarakat terhadap bantuan hukum

Layanan bantuan hukum tentu harus bisa diakses oleh masyarakat yang

membutuhkan. Lembaga pemberi bantuan hukum harus bisa menjangkau seluruh

wilayah masyarakat sehingga mudah diakses. Kemudahan akses juga dapat

meningkatkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap sistem bantuan hukum.

Akses juga tidak hanya berkaitan dengan lokasi, tapi juga waktu. Perlu diketahui

juga berapa waktu yang disediakan oleh lembaga bantuan hukum dalam sehari atau

seminggu untuk memberikan layanan bantuan hukum.

b. Kesederhanaan sistem untuk mengakses bantuan hukum

Sistem bantuan hukum juga sebaiknya dibuat sederhana atau diberikan panduan

yang memudahkan. Sehingga sistem bantuan hukum itu mudah diakses oleh

Penerima Bantuan Hukum dan mudah dilakukan oleh Pemberi Bantuan Hukum.

c. Kecepatan respon bantuan hukum

Seberapa cepat lembaga bantuan hukum memberikan respon terhadap

permintaan bantuan hukum juga menjadi tolak ukur keberhasilan sistem bantuan

hukum. Respon yang cepat juga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat

terkait sistem bantuan hukum yang berlangsung. Respon cepat juga berkaitan

33

Anna Ogdorova, UNDP, International Study of Primary Legal Aid Systems with the Focus on the

Countries of Central and Eastern Europe and CIS, 2012, hlm. 5.

24

dengan berapa banyak tahapan yang perlu ditempuh pemohon bantuan hukum

untuk mendapatkan layanan bantuan hukum.

2.5. Tanggung Jawab Negara Dalam Pemenuhan Hak Atas Bantuan Hukum

Dalam Kosntitusi

Hak atas bantuan hukum adalah hak asasi manusia. Sebuah katalog hak dasar yang

saat ini tengah menguat promosinya. Bantuan hukum berkembang tidak saja dalam

konteks pembelaan korban pelanggaran hak-hak sipil dan politik, melainkan juga

menjadi salah satu metode dalam promosi dan pembelaan hak-hak ekonomi, sosial,

dan budaya (hak ekosob).34

Prinsip dasar negara hukum ada tiga: supremasi hukum, persamaan dimuka hukum,

dan penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak boleh bertentangan dengan

hukum.

Bahwa Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Fakir miskin dan anak-anak yang

terlantar dipelihara oleh negara”. Dengan demikian, negara mengakui adanya hak

ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan politik para fakir miskin. Oleh karena itu, orang

miskin pun berhak untuk mendapatkan bantuan hukum baik di dalam maupun di luar

pengadilan (legal aid), sama seperti orang mampu yang mendapatkan jasa hukum

dari advokat (legal service). Bantuan hukum merupakan tugas dan tanggung jawab

negara dan merupakan hak konstitusional setiap warga negara.35

34

Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum Di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2007, hlm. xi-xii. 35

Patra M. Zen, et al, Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia, YLBHI dan AusAID, 2009, hlm. 34-35.

25

Jaminan untuk mendapatkan bantuan hukum telah diatur dalam Undang-undang No.

39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia di dalam Pasal 17, 18, 19, dan 34.

Indonesia telah merativikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik

(Kovenan Hak-hak Sipil dan politik – International Covenant on Civil and Political

Rights), yang pada Pasal 16 serta Pasal 26 Konvensi tersebut menjamin akan

persamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law). Semua orang berhak

atas perlindungan dari hukum serta harus dihindarkan adanya diskriminasi

berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik

berbeda, nasional atau asal-muasal kebangsaan, kekayaan, kelahiran atau status yang

lain-lainnya.36

Hak untuk memperoleh bantuan hukum merupakan hak mendasar atau asasi bagi

seseorang yang terkena masalah hukum. Sebab memperoleh bantuan hukum

merupakan salah satu bentuk akses terhadap keadilan bagi mereka yang atau

berurusan dengan masalah hukum. Memperoleh bantuan hukum juga merupakan

salah satu perwujudan dari persamaan didepan hukum. Prinsip equality before the law

ini sudah dimuat dalam pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu bahwa

setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum

yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ini merupakan konsekuensi

Negara Indonesia adalah negara hukum (pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hasil perubahan

ketiga). Ada tiga prinsip negara hukum (rechstaat), yaitu supremasi hukum

(supremacy of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan

36

A Patra M. Zen dan Daniel Hutagalung, Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia, (Jakarta: YLBHI

dan PSHK, 2006), hlm. 47.

26

penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due

process of law).37

Ketentuan umum untuk memperoleh bantuan hukum terdapat di

dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

sebagaimana berikut:

Pasal 37 menyebutkan:

“Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan

hukum.”

Pasal 38 menegaskan:

“Perkara pidana seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan

dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan

advokat.”

Kemudian, dalam Pasal 39 menyebutkan:

“Dalam memberikan bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam

pasal 37, advokat wajib membantu penyelesaian perkara dengan

menjunjung tinggi hukum dan keadilan.”

Bantuan hukum dapat diartikan segala macam bentuk bantuan atau pemberian jasa

berkenaan dengan masalah hukum yang diberikan oleh seseorang yang mempunyai

keahlian hukum kepada mereka yang terlibat dalam perkara baik langsung maupun

tidak langsung dengan mengutamakan mereka yang tidak mampu,38

adapun bantuan

37

Asfinawati dan Mas Achmad Santosa, Bantuan Hukum Akses Masyarakat Marjinal Terhadap

Keadilan Tinjauan Sejarah, Konsep, Kebijakan, Penerapan dan Perbandingan Di Berbagai

Negara, (Jakarta: LBH Jakarta, 2007), hlm. 97-98. 38

Abdurrahman, Pembaharuan Hukum Acara Pidana Dan Hukum Acara Pidana Baru Di Indonesia,

(Bandung: Alumni, 1980), hlm. 112.

27

hukum menurut Pasal 1 angka (9) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang

Advokat adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara cuma-cuma kepada

klien yang tidak mampu.

Pemberian bantuan hukum merupakan sarana penunjang bagi penegakan hukum pada

umumnya dan usaha perlindungan hak-hak asasi manusia dari tindakan sewenang-

wenang aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum (pidana) merupakan bagian

komponen struktur hukum pidana, sehingga betapapun sempurnanya substansi

hukum pidana tanpa penegakan hukum, maka tidak ada manfaatnya dalam

mewujudkan tujuan sistem peradilan pidana. Substansi bantuan hukum di Indonesia

menjadi pertanyaan paling mendasar, yaitu apakah bantuan hukum itu bersifat wajib

ataukah baru diwajibkan setelah beberapa syarat tertentu dipenuhi. Bantuan hukum

adalah instrumen penting dalam Sistem Peradilan Pidana karena merupakan bagian

dari perlindungan HAM, khususnya terhadap hak atas kebebasan dan hak atas jiwa-

raga tersangka/terdakwa.39

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah mengangkat dan

menempatkan tersangka atau terdakwa dalam kedudukan yang berderajat, sebagai

makhluk Tuhan yang memiliki harkat derajat kemanusiaan yang utuh. Tersangka atau

terdakwa telah ditempatkan KUHAP dalam posisi his entity and dignity as a human

being, yang harus diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Hukum

39

O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, (Bandung:

PT Alumni, 2006), hlm. 237.

28

mesti ditegakkan, namun dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap tersangka

atau terdakwa tidak boleh ditelanjangi hak asasi utama yang melekat pada dirinya.40

Hak-hak warga ini tidak akan ada artinya, bilamana secara sewenang-wenang negara

dapat (melalui aparatnya); membunuh (extrajudicial execution), menangkap,

menahan, menyiksa, menggeledah dan menyita barang seorang warga Negara dengan

sewenang-wenang. Praktik-praktik tersebut menyimpang dari ketentuan suatu negara

hukum.41

Hak tersangka dapat dikembangkan, baik melalui undang-undang, putusan

pengadilan (yurisprudensi) maupun cara-cara yang baik dalam penegakan hukum.

Menurut Mardjono asas-asas tersebut di atas adalah bagian dari pemahaman yang

benar tentang due process of law (proses hukum yang adil) yang salah satu unsurnya

adalah tersangka dan terdakwa harus diberikan jaminan-jaminan untuk dapat

membela diri sepenuh-penuhnya. Bagaimana seorang tersangka dapat dengan baik

membela dirinya dalam interogasi oleh penyidik bilamana dia tidak diberitahukan

dengan jelas alasan penangkapannya. Asas ini juga menjelaskan mengapa penasihat

hukum sejak saat penangkapan berhak untuk melihat berkas perkara yang disusun

oleh penyidik sebagai dasar pengajuan perkara kepada jaksa/penuntut.42

40

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan

Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 1-2. 41

Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan

Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Bandung: Alumni, 2007),

hlm. 111. 42

Ibid.

29

Pengertian Bantuan Hukum dalam KUHAP menurut M. Yahya Harahap43

menyatakan bahwa:

“Bantuan hukum yang dimaksud KUHAP meliputi pemberian jasa bantuan

hukum secara profesional dan formal, dalam bentuk pemberian jasa bantuan

hukum setiap orang yang terlibat dalam kasus tindak pidana, baik secara cuma-

cuma bagi mereka yang tidak mampu dan miskin maupun memberi bantuan

kepada mereka yang mampu oleh para advokat dengan jalan menerima imbalan

jasa”.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum mengatur norma

baru dalam pemberian bantuan hukum kepada yang tidak mampu. Pasal 6 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum mengatur

pemberian bantuan hukum kepada penerima bantuan hukum diselenggarakan oleh

Menteri Hukum dan HAM dan dilaksanakan oleh pemberi bantuan hukum.

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang

memberikan bantuan hukum adalah advokat. Pasal 22 ayat (1) menyebutkan Advokat

wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang

tidak mampu. Dalam hal ini berarti kewajiban pemberian bantuan hukum berada pada

tangan advokat.

Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan

Hukum mengatur pelaksanaan bantuan hukum dilakukan oleh pemberi bantuan

hukum yang memenuhi syarat berdasarkan Undang-Undang, yaitu berbadan hukum,

43

M. Yahya Harahap, ibid , hlm. 348.

30

terakreditasi berdasarkan undang-undang, memiliki kantor atau sekretariat yang tetap,

memiliki pengurus dan memiliki program bantuan hukum. Berdasarkan uraian

tersebut, dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan

Hukum, pemberian bantuan hukum tidak hanya berada di tangan advokat, tetapi juga

terdapat pada lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi

layanan bantuan hukum.

2.6. Bantuan Hukum dan Lembaga Bantuan Hukum

Pada dasarnya, bantuan hukum bagi masyarakat miskin merupakan bagian dari

strategi untuk memberikan pelayanan hukum (legal services) yang sejalan dengan

Hak Asasi Manusia. Namun, permasalahan yang muncul kemudian adalah wacana

siapa yang seharusnya memiliki tanggungjawab untuk memberikan pemenuhan

terhadap hak atas layanan bantuan hukum tersebut. Selama ini, konsep pro bono lebih

cenderung diasosiasikan dengan adanya budi baik dari para pekerja hukum,

khususnya dari kalangan advokat. Pandangan ini seolah-olah melepaskan negara dari

tanggung jawabnya dalam pemenuhan terhadap hak atas bantuan hukum. Meskipun

demikian, dipahami bahwa kegiatan memberikan layanan hukum secara pro bono

sesungguhnya bukanlah merupakan substitusi dari keberadaan sistem bantuan hukum

yang dibangun dan dioperasikan oleh negara. Sebaliknya, layanan pro bono dari para

advokat sesungguhnya hanya bersifat pendukung dari layanan bantuan hukum yang

menjadi tanggungjawab negara, dimana layanan pro bono tersebut cenderung

dikhususkan bagi kalangan masyarakat yang tidak terjangkau layanan bantuan hukum

yang disediakan oleh negara. Dengan demikian, umumnya layanan hukum lebih

31

banyak dilakukan oleh kalangan masyarakat sipil, negara tetap memiliki kewajiban

konstitusi untuk membangun sistem bantuan hukum yang mampu memenuhi hak

masyarakat yang membutuhkannya.

Tujuan dari bantuan hukum, baik sebagai pro bono maupun legal aid, pada dasarnya

adalah untuk memberdayakan masyarakat miskin yang memiliki keterbatasan access

to justice. Todung Mulya Lubis mengatakan bahwa bantuan hukum sesungguhnya

tidak dapat menghindarkan diri dari tujuan menata kembali masyarakat di tengah

adanya kepincangan struktural yang tajam dengan menciptakan pusat-pusat kekuatan

(power resources) dan sekaligus mengadakan redistribusi kekuasaan untuk

melaksanakan partisipasi dari bawah.44

Di pihak lain, Adnan Buyung Nasution

menyatakan bahwa “bantuan hukum pada hakekatnya adalah sebuah program yang

tidak hanya merupakan aksi kultural akan tetapi juga aksi struktural yang diarahkan

pada perubahan tatanan masyarakat yang tidak adil menuju tatanan yang lebih

mampu memberikan nafas yang nyaman bagi golongan mayoritas.45

Secara

sederhana, bantuan hukum dapat dilihat sebagai jasa hukum yang khusus diberikan

kepada fakir miskin yang memerlukan pembelaan secara cuma-cuma, baik di luar

maupun di dalam pengadilan, baik untuk perkara perdata, pidana, maupun tata usaha

negara oleh seseorang yang mengerti seluk beluk pembelaan hukum, asas-asas dan

kaidah hukum serta hak asasi manusia. Dengan demikian, bantuan hukum

44

Frans Hendra Winata, Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin Untuk Memperoleh

Bantuan Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 23 45

Ibid., hlm. 22.

32

sesungguhnya dapat dilihat sebagai suatu program yang diperuntukkan bagi

masyarakat miskin.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum menentukan siapa

saja yang wajib menjalankan program bantuan hukum dan cara menjalankannya.

Undang-undang bantuan hukum juga mengatur organisai mana saja yang dapat

dikualivikasikan sebagai organisasi bantuan hukum. Hal ini berkaitan dengan

fenomena yang terjadi di masyarakat, yaitu beberapa organisasi yang mengklaim

sebagai organisasi bantuan hukum namun berpraktik komersial sebagaimana

layaknya suatu kantor advokat dan tidak menjalankan praktik pekerjaan pro bono

public.46

Hak-hak fakir miskin yang diakui oleh UUD 1945 menjadi relevan untuk dijujung

dengan dana yang diperoleh dari negara maupun masyarakat. Tidak berlebihan jika

APBN mengalokasikan dana bantuan hukum guna mengentaskan kemiskinan.

Alokasi dana dari APBN ini akan dikoordinasikan melalui Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia. Pasal 7 ayat (1) huruf b UU Bantuan Hukum yang menentukan

bahwa Menteri berwenang melakukan verifikasi dan akreditasi terhadap lembaga

bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan untuk memenuhi kelayakan sebagai

Pemberi Bantuan Hukum. Menurut Mahkamah Konstitusi, syarat pemberi bantuan

hukum yang harus berbadan hukum, terakreditasi, memiliki kantor atau sekretariat

yang tetap, memiliki pengurus, dan memiliki program Bantuan Hukum adalah

46

Ibid, hlm.183.

33

sesuatu yang lazim untuk menentukan kelayakan suatu lembaga yang secara hukum

berhak memberikan bantuan hukum.

Dalam menentukan kelayakan tersebut, Pemerintah perlu melakukan verifikasi,

seleksi, dan evaluasi, serta memberikan akreditasi bagi lembaga pemberi bantuan

hukum yang memenuhi atau tidak memenuhi syarat sebagai pemberi bantuan hukum.

Adapun mengenai syarat memiliki kantor atau sekretariat yang tetap dan memiliki

pengurus adalah wajar karena terkait dengan pertanggungjawaban pelaksanaan

pemberian bantuan hukum oleh suatu lembaga, terutama berhubungan dengan

pertanggungjawaban keuangan negara yang dipergunakannya. Oleh karena itu,

organisasi pemberi bantuan hukum untuk mendapatkan dana bantuan hukum dari

APBN harus dilakukan verifikasi, seleksi, dan evaluasi, serta memberikan akreditasi

bagi lembaga pemberi bantuan hukum yang memenuhi atau tidak memenuhi syarat

sebagai pemberi bantuan hukum.

Pada tahun 1980 konsep bantuan hukum struktural menjadi arus utama LBH menuju

pendampingan hukum kolektif. Dengan diperkenalkannya konsep ini, bantuan hukum

diharapkan menjadi aktivitas jangka panjang. Fokus LBH akhirnya diubah dari skema

litigasi menjadi nonlitigasi.47

Halangan utama dari bantuan hukum struktural adalah

pemerintah yang berkuasa itu sendiri. Pemerintah sangat memperhatikan bahwa

bantuan hukum struktural akan beralih menjadi gerakan politis dan subversif yang

mencoba menantang pemerintah yang berkuasa.48

47

Ibid, hlm. 59 48

Ibid, hlm. 61.

34

Bantuan hukum struktural tujuannya adalah membuat masyarakat sadar akan hak

asasi manusia dan hak fakir miskin untuk memperoleh bantuan hukum. Bantuan

hukum struktural yang mengacu kepada upaya merombak ketidakadilan dalam sistem

sosial. Bantuan hukum ini tidak saja diarahkan untuk membantu individu dalam kasus

tertentu, tetapi juga menekankan kasus-kasus yang bersifat struktural. bantuan hukum

menjadi kekuatan yang bergerak menuju restrukturisasi orde sosial agar tercipta pola

hubungan yang lebih adil dan emansipatif. Bantuan hukum struktural harus memihak

mayoritas penduduk yang lemah. Menurut Adnan Buyung Nasution bantuan hukum

struktural terdiri dari serangkaian program kegiatan yang bertujuan mengubah pola

hubungan yang tidak adil menjadi pola hubungan yang sejajar dan emansipatif

melalui sarana hukum maupun sarana lainnya. Hal ini merupakan prasyarat bagi

pengembangan hukum yang memperjuangkan keadilan bagi masyarakat miskin di

Indonesia.49

49

Ibid, hlm. 63-65.

35

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis empiris. Secara empiris karena

penelitian ini didasarkan pada indentifikasi hukum dalam implementasinya di

masyarakat.50

Kajian dilakukan sebagai metode pengumpulan data dengan usaha

inventarisir, tidak hanya menggunakan metode deduksi tetapi dengan metode induksi

yang digunakan untuk melengkapi sistem yang telah disusun dan ditata melelui

koleksi dan inventarisir.51

Kajian empiris dalam penelitian ini digunakan sebagai

metode penelitian hukum yang melihat bahwa hukum dapat digunakan untuk

merekayasa sosial, dengan cara demikian mencoba mempengaruhi dan mengarahkan

proses interaksi sosial yang berlangsung di masyarakat.52

50

Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm.42. 51

Ibid, hlm. 71. 52

Ibid, hlm. 75.

36

3.2. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara yaitu:

3.2.1 Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan mengkaji dan

menelaah terhadap literature hukum dan peraturan perundang-undangan, yaitu dengan

mencari maksud dan tujuan dari peraturan perundang-undangan itu.

3.2.2 Pendekatan Yuridis Empiris

Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan penelitian dengan cara mengumpulkan

data primer. Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan menelaah hukum dalam

kenyataan di masyarakat berdasarkan fakta-fakta yang objektif berupa data,

informasi, dan pendapat yang diperoleh dengan observasi langsung terhadap

permasalahan yang dibahas.

3.3. Data dan Sumber Data

3.3.1 Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh penulis dari hasil studi di lapangan. Data

primer dari hasil wawancara dengan pemerintah Provinsi Lampung, selain itu data

diperoleh dari hasil pelaksanaan bantuan hukum oleh Pemerintah Provinsi Lampung.

3.3.2 Data Sekunder

Data yang digunakan dalam penelitian yuridis normative dan yuridis empiris ini

selain dengan data wawancara, penulis juga menggunakan bahan hukum. Data yang

37

digunakan meliputi dahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tersier53

, yaitu antara lain sebagai berikut:

1) Bahan Hukum Primer, antara lain:

1. Undang-Undang Dasar Kesatuan Republik Indonesia 1945;

2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum;

3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;

4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;

5. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

6. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

7. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang digunakan antara lain, doktrin atau pendapat ahli hukum

tatanegara, dan buku-buku, termasuk jurnal ilmiah.

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang member penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan sekunder.54

Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah

kamus bahasa Indonesia dan kamus hukum.

53

Ibid, Bambang.Sunggono, hlm.114. 54

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Karya Bakti, 2004),

hlm.82.

38

3.4. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

3.4.1 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan (library research) dengan cara

membaca, mempelajari, menafsirkan dan menganalisa peraturan perundang-

undangan, studi dokumen baik dokumen hukum yang di publikasikan melalui media

cetak maupun media elektronik serta studi catatan hukum berupa buku-buku literature

hukum atau bahan hukum tertulis lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang

dibahas.55

3.4.2 Studi Lapangan

Studi dimaksud untuk memperoleh data primer dilakukan dengan menggunakan

metode wawancara (interview), dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang

berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam penelitian. Penelitian ini melakukan

wawancara kepada Pemerintah Provinsi Lampung terkait pemenuhan Hak Atas

Bantuan Hukum dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor

3 Tahun 2015 tentang Bantuan Hukum Untuk Masyarakat Miskin.

3.4.3 Prosedur Pengumpulan data

Pengolahan data dilakukan untuk memperoleh analisa data yang telah diperoleh

dengan permasalahan yang diteliti. Adapun pengolahan data dimaksud meliputi

tahapan sebagaimana berikut:

55

Amirudin dan H. Zainal Aksin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, PT Raja Grafindo

Persada, 2012), hlm.166.

39

a) Seleksi data, yaitu yang didapatkan dari penelitian diperiksa dan diteliti untuk

mengetahui apakah data yang didapat itu sudah sesuai dengan pokok penelitian

ini sehingga dapat terhindar dari kesalahan data.

b) Klasifikasi data, menghubungkan data-data yang diperoleh sehingga

menghasilkan suatu uraian yang kemudian dapat ditarik kesimpulan.

c) Sistematika data, yaitu proses penyusunan dan penempatan sesuai dengan pokok

permasalahan secara sistematis sehingga memudahkan analisa data.

3.5 Analisis Data

Data yang sudah terkumpul dari penelitian kemudian dianalisis dengan menggunakan

kualitatif, yaitu mendeskripsikan data dan fakta yang dihasilkan atau dengan kata lain

yaitu menguraikan data dengan kalimat-kalimat yang tersusun secara terperinci,

sistematis, dan analisis, sehingga akan mempermudah dalam membuat kesimpulan

dari penelitian di lampangan dengan interprestasi, evaluasi dan pengetahuan umum.

Setelah data di analisis yang menguraikan fakta-fakta yang bersifat umum.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Pelaksanaan pemenuhan Hak atas Bantuan Hukum di Provinsi Lampung sampai hari

ini masih belum maksimal. Dalam penelitian penulis menemukan beberapa kendala

yaitu masih terbatasnya jumlah Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang melakukan

bantuan hukum di Provinsi Lampung, dimana hanya terdapat di dua (2) Kabupaten

Kota di Provinsi Lampung yang memiliki Organisasi Bantuan Hukum yang

terakreditasi dan terverifikasi, terlebih lagi dengan anggaran yang di berikan oleh

APBN hanya terbatas maka penanganan perkara oleh pemberi bantuan hukum di

Provinsi Lampung masih sangat sedikit, rata-rata OBH hanya mendapat 13 perkara

setiap kali penganggaran oleh APBN. Terkait pelaksanaan Perda No. 3 Tahun 2015

Tentang Bantuan Hukum Untuk Masyarakat Miskin di Provinsi Lampung masih

belum dapat dilaksanakan karena didalamnya terdapat pasal yang bertentangan yaitu

Pasal 8 Perda No. 3 Tahun 2015 yang berbicara terkait pelaksanaan akreditasi dan

verifikasi Organisasi Bantuan Hukum (OBH). Selanjtnya sampai dengan hari ini

belum adanya Peraturan Gubernur terkait dengan pelaksanaan Perda No. 3 tahun

69

2015 Tentang Bantuan Hukum Untuk Masyarakat Miskin sehingga sampai dengan

hari ini perda tersebut belum dapat dilaksanakan.

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, saran

yang diajukan oleh penulis adalah sebagai berikut:

Perlu adanya revisi Perda Bantuan Hukum No. 3 tahun 2015 Tentang Bantuan

Hukum Untuk Masyarakat Miskin. Revisi perda tersebut dilakukan untuk

membatalkan atau merubah pasal 8 yang bertentangan dengan Undang-Undang No.

16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Pasal tersebut yang memberikan

Pemerintah Daerah kewenangan terkait verifikasi dan akreditasi yang merupakan

kewenagan Menteri Hukum dan HAM sesuai Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No.

16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Keterbatasan jumlah Organisasi Bantuan

Hukum (OBH) dan Jumlah perkara yang ditangani oleh Organisasi Bantuan Hukum

(OBH) dikarenakan pendanaan yang terbatas oleh APBN maka Pemerintah Daerah

wajib menganggarkan melalui APBD sesuai amanat Pasal 21 ayat (1) Perda No. 3

Tahun 2015 tentang Bantuan Hukum Untyuk Masyarakat Miskin. Selanjutnya dalam

pelaksanaan Perda No. 3 Tahun 2015 Tentang bantuan Hukum Untuk Masyarakat

Miskin Pemerintah Daerah harus mengeluarkan Peraturan Gubernur sebagai petunjuk

teknis pelaksanaan penganggaran bantuan hukum di Provinsi Lampung.

70

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdurrahman, 1980, Pembaharuan Hukum Acara Pidana Dan Hukum Acara Pidana

Baru Di Indonesia, Bandung: Alumni.

Adam, 2015, Teologi Konstitusi Hak Asasi Manusia Atas Kebebasan Beragama di

Indonesia, Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara.

Amirudin dan H. Zainal Aksin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada.

Asfinawati dan Mas Achmad Santosa, 2007, Bantuan Hukum Akses Masyarakat

Marjinal Terhadap Keadilan Tinjauan Sejarah, Konsep, Kebijakan,

Penerapan dan Perbandingan Di Berbagai Negara, Jakarta: LBH Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Asshiddiqie, Jimly, 2011 Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar demokrasi, Jakarta,

Sinar Grafika.

Budiardjo, Mariam, 1996, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama,

Budiyono dan Rudy, 2014, Konstitusi dan HAM, Bandar Lampung: Indepth

Publishing,

Harahap, M. Yahya, 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika.

Kaligis, O.C., 2006, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan

Terpidana, Bandung: PT Alumni.

71

M. Zen, A Patra dan Daniel Hutagalung, 2006, Panduan Bantuan Hukum Di

Indonesia, Jakarta: YLBHI dan PSHK.

M. Zen, A Patra, 2009, et al, Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia, Jakarta:

YLBHI dan AusAID.

Madjid, Nurcholish, 2011, Islam dan Hak Asasi Manusia,(Jakarta:Gramedia Pustaka

Utama.

Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: PT. Citra

Karya Bakti.

Nasution, Adnan Buyung, 2007, Bantuan Hukum Di Indonesia, Jakarta: LP3ES.

Ogdorova, Anna, UNDP, 2012, International Study of Primary Legal Aid Systems

with the Focus on the Countries of Central and Eastern Europe and CIS.

Oki, 2012, Terasing di Negeri Sendiri (Kritik Atas Pengabaian Hak-Hak

Konstitusional Masyarakat Hutan Register. 45 Mesuji, Lampuny), Bandar

Lampung: Independent Publishing.

Radjab, Dasril, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta.

Rukmini, Mien, 2007, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan

Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana

Indonesia, Bandung: Alumni.

Sugono, Bambang, 2011, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada.

W. Friedmann, 1960, Legal Theory, London: Steven and Son Limited.

Winata, Frans Hendra, 2009, Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin

Untuk Memperoleh Bantuan Hukum, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama.

B. Jurnal, Makalah, dan lainnya

Dinamika HAM, Jurnal. Vol. 11. No. 2 , Mei-Agustus 2011

www.mahkamahkonstitusi.go.id. diakses pada 07-01-2018

https://lampung.bps.go.id/ di akses pada 2 agustus 2018