PEMEKARAN WILAYAH DAN POLITIK IDENTITAS PDF/S2/Ilmu Religi dan Budaya/076322002... · sangat...
Transcript of PEMEKARAN WILAYAH DAN POLITIK IDENTITAS PDF/S2/Ilmu Religi dan Budaya/076322002... · sangat...
TESIS
PEMEKARAN WILAYAH DAN POLITIK IDENTITAS STUDI KASUS DI WAISARISA, KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT,
MALUKU
Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Magister Humaniora
(M.Hum.) pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Oleh :
FABIOLA SINTHYA SEITTE
076322002
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
YOGYAKARTA
2009
ii
iii
Prof. Dr. A. Supratiknya
Lembaran Pernyataan
Saya yang bertanda tangan dibawah ini, Fabiola Sinthya Seitte, NIM:
076322002, dengan ini menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan
tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis oleh orang lain kecuali yang diacu secara tertulis dalam naskah
ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 11 Desember 2009,
Penulis
iv
v
Motto
Takut akan Tuhan
adalah permulaan Pengetahuan,
(Amsal 1: 7a)
vi
vii
Kata Pengantar
Ide penulisan tesis ini berawal dari rasa keprihatinan yang saya pendam dari
Ambon terhadap nasib salah seorang adik (dan ribuan tenaga kerja lainnya) yang
mengalami PHK pada pabrik pengolahan kayu lapis di Waisarisa, Kabupaten
Seram Bagian Barat. Rasa keprihatinan ini kemudian menjadi suatu hal yang
menarik ketika saya diperhadapkan pada mata kuliah Marxisme. Ide ini kemudian
oleh Pa‟ Budiawan diarahkan bukan pada masalah ketidakadilan yang dialami
tetapi pada bagaimana para mantan pekerja ini bergulat dengan identitas-identitas
mereka sebagai mantan pekerja pabrik maupun sebagai etnis mayoritas dan
minoritas dalam sebuah kabupaten baru. Saya mengakui untuk sampai pada tahap
ini, saya sangat tertolong oleh berbagai bantuan yang diberikan. Oleh karena itu
pada kesempatan ini, secara pribadi saya ingin mengucapkan danke banya voor
semua orang yang telah membantu saya selama saya berstudi di IRB yang tidak
dapat saya sebutkan satu per satu.
Danke voor Direktur Program Pasca Sarjana, Kaprodi dan Wakaprodi IRB.
Untuk semua dosen yang selama ini telah membekali saya dengan sejumlah ilmu,
Pa‟ Nardi, Romo Bas, Bu‟ Katrin, Romo Moko, Pa‟George, Romo Hary Susanto,
Mbak Devi dan Mbak Stefani, khususnya untuk Pa‟ Budiawan dan Pa‟ Anton
Haryono yang begitu sabar membimbing saya serta mengajarkan saya banyak hal
baik, termasuk secara tidak langsung dan tanpa disadari oleh kalian. Bahkan
penulisan tesis ini tidak akan selesai tanpa bimbingan dan arahan kalian berdua.
Untuk Romo Banar atas diskusi-diskusi menarik yang semakin menambah
wawasan saya. Untuk mbak Hengki atas pelayanannya serta mas-mas dan mbak
pada WS dan perpustakaan.
Danke voor Ketua STAKPN Ambon, R. Souhaly, SH,MH, yang telah
memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar, serta para Pembantu Ketua I,II
dan III. Pemda Propinsi Maluku Bidang Kesra yang telah membantu dengan
dukungan dana pada awal saya berstudi. Sesama rekan dari STAKPN Ambon di
Jogja, Bapa Agus, Bu Angky, Usi Udi, Usi Ko, Usi Echi dan Ona, serta untuk Nn
Venty atas semua bantuannya. Teman-teman IRB angkatan 2007, Vivin, Novel,
viii
Sansan, Tia, Uul, Anas, Karin, Trisno, Boy, Mas Dedy, Wahyu, khusus buat Bu
Risma untuk dorongannya yang tak henti-hentinya.
Danke voor Drs.Nataniel Elake, M.Si (Bu‟ Tanel) yang selalu memberikan
bantuan setiap kali saya perlukan, bahkan untuk semua informasi yang diberikan
termasuk membagi pengalaman selama berstudi di Makasar untuk saya. Semua
kebaikan itu saya tidak bisa membalasnya, hanya doa yang dapat saya berikan
semoga engkau tetap menjadi inspirasi bagi banyak orang. Juga untuk para
informan serta perangkat Desa Waisarisa dan staf kantor Bupati SBB yang telah
memberikan sejumlah informasi yang saya butuhkan untuk kelengkapan penulisan
ini. Khusus untuk Mas Yanto dan Usi Nonce atas kesediaan menjadi bapa dan
mama piara saya selama penelitian di Waisarisa. Juga untuk Keluarga Kakisina di
Piru, Bapa Agus, Mama Ati, Bu Ade dan Usi Moni yang selalu memberikan
bantuan dan dukungan untuk saya. Juga untuk Keluarga Ahyate (Angky, Erna dan
anak-anak). Untuk sahabatku Pdt. Lita Tuamely (ingatlah “viva forever together”),
Jus Anamofa, Fani dan Wien, Plavius, Eby H serta semua teman-teman lain atas
kebersamaan selama ini. Juga untuk Keluarga Anguarmase untuk bantuannya
dalam penyelesaian tesis ini.
Danke banya voor kakak-kakak dan adik-adikku, Bu Ampi, Usi Lisa, Ade
Nova, O64N dan Bu Cila serta semua keponakanku, Icky, Ge, Bapin, Adri
(Topilus), Dave (Rambo), Dinda, Ona Kety atas semua bantuan dan dorongan
semangat yang tak terkira, terutama dalam mengurus kedua buah hatiku serta
menjadi teman bermain mereka. Keluarga besar Seitte-Frans (khusus untuk Opa
Cada) dan keluarga Lekitoo (Mama Yo dan Son), Keluarga Suryaman serta Nn
Ema T.
Natalis Mathias Lekitoo, suamiku tercinta serta kedua buah hatiku, Jovi dan
Ona Tasya, atas semua pengorbanan yang diberikan selama ini, untuk doa yang tak
henti-hentinya, untuk cinta dan kepercayaan yang berwujud pada kerelaan kalian
mengizinkan mama pergi belajar jauh di tana orang, untuk celoteh yang
menguatkan ketika kerinduan menyergap hati bahkan untuk kesabaran kalian
menanti mama pulang. Pada akhirnya kesuksesan ini merupakan buah dari
pengorbanan kalian.
ix
Papa Agus dan Mama Sien Seitte, nama kalian yang saya cantumkan
terakhir dalam lembaran ini, bukan bermaksud mengecilkan arti kehadiran dan
pengorbanan kalian tapi saya tetap meyakini bahwa yang terakhir akan menjadi
yang pertama. Karena itu kalian adalah orang pertama dalam hati saya. Karena
kalianlah saya ada. Untuk semua keringat, doa dan air mata yang kalian taruhkan
hanya untuk hidup anak-anakmu. Semuanya tidak akan sia-sia, teriring doa yang
tulus, semoga Tete Manis mau kasih umur panjang voor papa deng mama supaya
tetap menjadi sombar untuk anak- cucu.
x
ABSTRAK
Setelah terjadi reformasi, otonomisasi daerah seakan-akan memberikan
peluang bagi daerah-daerah untuk berkembang. Dari sisi jumlah, terjadi
peningkatan jumlah propinsi diikuti dengan peningkatan kabupaten kota dan
kecamatan-kecamatan yang merupakan salah satu syarat mutlak terjadinya
pemekaran. Dari aspek tujuan, pemekaran bertujuan untuk mendekatkan
pemerintah dengan rakyatnya yang diwujudkan dalam bentuk pembangunan-
pembangunan diberbagai bidang. Tapi Otonomi daerah yang berwujud pada
pemekaran wilayah menyisakan banyak persoalan. Daerah-daerah yang merasa
tidak puas beramai-ramai menuntut mekar lepas dari kabupaten atau propinsi induk
dengan harapan dapat mengatur diri sendiri. Pemekaran daerah juga setidaknya
ikut memberikan harapan bagi masyarakat di daerah mekaran baru, khususnya
akses ke sumber-sumber daya publik. Etnis yang termarjinalkan mulai bangkit dan
memperjuangkan hak-haknya. Terjadi tegangan antara para pendatang dan putera
daerah.
Masalah tegangan antara para pendatang dan putera daerah juga terjadi
pada Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB). Perebutan sumber-sumber daya publik
pasca pemekaran kabupaten seakan-akan menjadi sebuah arena pertarungan
identitas “asli” dan bukan. Isu pengutamaan putera daerah yang beredar bersamaan
dengan perjuangan pemekaran kabupaten seakan-akan menjadi sebuah harga mati.
Putera daerah mengklaim hak mereka pada sumber-sumber daya publik.
Tesis ini bermaksud menunjukkan bahwa motivasi pemekaran kabupaten
Seram Bagian Barat untuk kepentingan masyarakat, yakni agar masyarakat SBB
dapat menikmati pembangunan yang setara dengan daerah-daerah lainnya. Selain
itu motif lainnya adalah memperjuangkan nasib putera daerah yang setiap kali
harus kalah dan tersingkir dalam perebutan sumber-sumber daya publik. Namun
motivasi motivasi terselubung yang dibawa oleh masing-masing tokoh pemekaran
justru menjadikan putera daerah berada pada tingkatan yang sama dengan para
pendatang. Identitas sebagai yang asli/lokal bukan menjadi sebuah jaminan
kesuksesan dalam perebutan sumber-sumber daya publik. Putera daerah pada
xi
akhirnya harus mengalami hal yang sama ketika masih berada dalam wilayah
administratif Kabupaten Maluku Tengah. Masyarakat Waisarisa yang adalah
mantan pekerja pabrik turut merasakannya. Bagi mereka ketika bersama dalam
perebutan sumber daya publik, sesama mantan pekerja pabrik yang merupakan
etnis lain dianggap merupakan saingan. Tetapi ketika mereka sama-sama gagal
dalam perebutan sumber daya publik tersebut, kebersamaa mereka wujudkan dalam
kehidupan yang harmonis sebagai sesama mantan pekerja pabrik.
xii
Daftar Isi
Halaman Judul ……………………………………………………....………i
Lembar Persetujuan ....…..…………………………………………....…...…ii
Lembar Pengesahan ........................................................................................iii
Lembar Pernyataan .........................................................................................iv
Lembar Motto …....……………………………………………………...........v
Kata Pengantar ………………………………………………………....……..vi
Abstrak ……………...……………………………………..………….....…..ix
Daftar Isi ……………………………………………………………....……...xi
Bab I. Pendahuluan
1. Latar Belakang ..…… …………………....……………....…...1
2. Perumusan Masalah ................…………………….....……...5
3. Tujuan Penelitian .……........………………………....……...6
4. Kerangka Konseptual ....……………………………....…....6
5. Tinjauan Pustaka ...........................................................13
6. Metodologi Penelitian ............................................................17
7. Sistematika Penulisan ...........................................................20
Bab II. Seram Bagian Barat: Geografi, Demografi dan Mitos-Sejarah
1. Pengantar ...............................................................................21
2. Gambaran Umum Seram Bagian Barat ..................................24
A. Letak Geografis ........................................................24
B. Kondisi Demografi ....................................................26
C. Sumber Daya dan Pembangunan ................................29
3. Sejarah Lokal Masyarakat Seram Bagian Barat .......................31
A. Mitos Yang Berkembang Dalam
Masyarakat Seram dan Sejarah Adat ..........................33
B. Masa Kolonial Belanda .............................................38
4. Sejarah Panjang Yang berujung Pada Pemekaran ...................41
5. Catatan Penutup .....................................................................43
xiii
Bab III. Menuju Terbentuknya Kabupaten Seram Bagian Barat:
Proses Politik dan Proses Administif
1. Pengantar ...............................................................................45
2. Pemekaran Wilayah Seram Bagian Barat ...............................47
A. Di Awal Perjuangan .................................................49
B. Pemekaran Kabupaten Baru ......................................51
C. Alasan-alasan di balik Usulan
Pemekaran ...............................................................57
3. Catatan Penutup ..................................................................64
Bab IV. Pergumulan Kabupaten Baru dan Politik Identitas
1. Pengantar ................................................................................66
2. Mengenal Masyarakat Waisarisa
A. Geografis dan Demografis ........................................69
B. Sejarah Lokal Masyarakat Waisarisa ..........................71
3. Masyarakat Bekas Pekerja Pabrik .........................................72
4. Proses Pengidentifikasian Diri „Lokal/Asli‟
dan „Pendatang (Orang dagang) „ ......................................75
A. Penduduk „Lokal/Asli‟ ..............................................76
B. „Pendatang‟ ...............................................................78
5. Upaya Perebutan Sumber-sumber Daya Publik ......................84
6. Identifikasi Masyarakat: Sebuah Perjuangan hidup ................91
A. Berjuang Untuk Hidup .............................................91
B. Kesamaan Identifikasi Diri .......................................94
7. Catatan Penutup ...................................................................95
Bab V. Penutup ....................................................................................98
Daftar Pustaka ............................................................................................105
Lampiran-lampiran
BAB I
P E N D A H U L U A N
1. Latar Belakang
Sejak tahun 1998 dengan jatuhnya Soeharto dari kursi kepresidenan,
banyak pengamat menyatakan bahwa Indonesia memasuki suatu era baru dalam
bidang pemerintahan, yakni dari pemerintahan yang tersentralisasi ke pemerintahan
yang terdesentralisasi. Artinya, daerah di beri kewenangan yang lebih besar untuk
mengatur dirinya sendiri (otonom). Ini jelas terlihat dengan adanya undang-undang
otonomi daerah, walaupun garis pemisah tentang tanggung jawab dan klaim-klaim
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah belum begitu jelas1.
Sejak dikeluarkannya undang-undang otonomi daerah, Propinsi Maluku
yang pada awalnya hanya terdiri dari tiga kabupaten dan satu kotamadya,
dimekarkan menjadi 9 kabupaten, 2 kota dan 1 propinsi baru yakni Maluku Utara.
Pemekaran wilayah-wilayah ini cukup membawa dampak bagi kehidupan
masyarakat di daerah-daerah hasil pemekaran, terutama berkaitan dengan
distribusi akses terhadap sumber-sumber daya publik. Ini dikarenakan tingginya
angka pengangguran akibat konflik yang melanda propinsi ini beberapa waktu
sebelumnya. Pengangguran di Maluku dan Maluku Utara tahun 1999 mencapai
120.000 orang atau 13, 34% dari angkatan kerja. Jumlah ini meningkat di tahun
2001 mencapai 17,40%, jumlah ini kemudian mulai menurun, seiring mulai
membaiknya kondisi keamanan. Sampai akhir tahun 2003, pengangguran
1 Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (ed), Politik Lokal Di Indonesia, , Jakarta, KITLV
dan Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm.13.
2
mencapai 15,43% dari jumlah usia kerja. Pada Desember 2004, Tingkat
Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) sebanyak 505.296 orang dengan
penggangguran hampir mencapai 76.000 orang atau sekitar 15%.2 Jumlah ini
perlahan-lahan mulai turun namun jumlah pengangguran termasuk kategori cukup
tinggi dibandingkan yang terjadi di Kawasan Timur Indonesia (KTI) lainnya.
Masalah perebutan akses sumber-sumber daya publik juga melanda
Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), salah satu kabupaten baru hasil pemekaran
dari Kabupaten Maluku Tengah. Di kabupaten ini bukan hanya berdiam
masyarakat lokal SBB serta orang Maluku sendiri, tetapi juga etnis lain dari luar
Maluku. Adanya etnis lain yang berdiam di daerah ini karena bermacam-macam
alasan. Alasan terbesar adalah mengikuti program pemerintah Orde Baru, yakni
transmigrasi nasional. Kehadiran etnis lain di daerah ini pada awalnya tidak
bermasalah. Antara penduduk lokal dengan pendatang hidup saling
berdampingan.
Demikian pula dengan apa yang terjadi di „negeri‟3 Waisarisa. Waisarisa
adalah satu daerah di wilayah kabupaten SBB dengan komposisi penduduk yang
sangat beragam karena adanya pabrik pengolahan kayu lapis milik PT. Djayanti
Group. Pabrik ini menyerap banyak tenaga kerja yang bukan hanya etnis SBB
atau Maluku, tetapi juga banyak dari etnis Jawa, Toraja, Minahasa, dll. Mereka
yang berasal dari etnis luar Maluku, terutama Jawa dan Toraja, didatangkan secara
besar-besaran dengan menggunakan sistem angkatan kerja. Ketika mereka tiba
2 www.detiknews.com/ dan www.disnakertrans-jateng.go.id/ , tanggal 2 April 2009 dan
www.hamline.edu/apakhabar/ dan http//74.125.153.132/ tanggal 27 Oktober 2009. 3 Negeri merupakan sebutan umum untuk desa di Maluku. Ketika pemerintahan orde baru, negeri-
negeri di Maluku mengalami perubahan nama menjadi desa dan sistem pemerintahannya pun
diseragamkan dengan desa-desa di Jawa..
3
untuk pertama kalinya, tidak pernah ada rasa iri dan perasaan tersaingi dari
penduduk lokal. Selain itu, karena merupakan tenaga kerja yang khusus
didatangkan dari luar Maluku oleh perusahaan, maka keberadaan mereka sangat
dilindungi oleh pihak perusahaan yang bersangkutan. Lagipula keberadaan
mereka di sana hanya untuk bekerja, bukan untuk hal-hal lain yang dapat
menyusahkan kehidupan mereka bersama.
Kemp-kemp yang disediakan pihak perusahaan dihuni bersama-sama baik
etnis lokal maupun pendatang. Dalam kehidupan bersama ini terjadi perjumpaan
multietnik dan multikultural. Ketika konflik Ambon yang mengedepankan isu
agama terjadi, daerah Waisarisa boleh dikatakan tidak terjamah sama sekali.
Masyarakat telah belajar dari perjumpaan-perjumpaan yang terjadi, sehingga
konflik relatif dapat dihindari.
Dengan kondisi keamanan yang mulai membaik, undang-undang otonomi
daerah mulai diberlakukan. Atas perjuangan tokoh-tokoh masyarakat, lahirlah
kabupaten-kabupaten baru. Pemekaran kabupaten-kabupaten baru ini membawa
harapan baru tentang akan adanya perbaikan dalam setiap bidang kehidupan buat
masyarakat yang bermukim di daerah hasil pemekaran tersebut. Salah satunya
adalah Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) yang beribukota di Piru, yang
disahkan dengan UU No. 40 Tahun 2003. Kasus inipun terjadi pada kabupaten ini
(SBB). Pemekaran kabupaten-kabupaten baru ini selalu diikuti dengan perekrutan
tenaga kerja baru pada instansi pemerintah kabupaten dalam jumlah besar. Wacana
yang berkembang sebelum pelaksanaan proses seleksi penerimaan pegawai adalah
pengutamaan “anak daerah”4 dan bukan “orang dagang”
5. Walaupun sudah hidup
4 Istilah ini artinya sejajar dengan putera daerah
4
bertahun-tahun di Maluku bahkan di SBB, para pendatang tetap dianggap orang
luar. Dengan kata lain berhembusnya isu ini seakan-akan menutup peluang
bagi etnis lain dari luar SBB, bahkan dari luar Maluku untuk mendapatkan
pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Proses perjumpaan yang telah
terjadi bertahun-tahun seolah-olah tidak lagi diperhitungkan. Perbedaan etnis
menjadi isu utama dalam seleksi penerimaan PNS bukan perbedaan agama dan
keyakinan.
Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang dialami oleh warga Waisarisa.
Tes yang pertama kali dilakukan diikuti oleh ribuan pelamar, termasuk orang-
orang Waisarisa yang pada saat itu masih berstatus sebagai karyawan PT. Jayanti
grup. Bukan hanya anak daerah yang berlomba-lomba, tetapi juga menarik minat
orang-orang dari luar SBB. Ada rasa optimis “anak daerah” SBB bahwa mereka
akan diterima sebagai PNS. Tapi kenyataan yang terjadi di luar dugaan mereka.
Dari hasil yang diumumkan, muncul nama-nama yang berasal dari luar SBB. Hal
ini tentu saja membawa rasa kecewa di kalangan orang Waisarisa. Mereka
beranggapan bahwa sebagai orang Seram dan putera daerah SBB, mereka lebih
berhak atas sumber-sumber daya publik tersebut daripada orang-orang luar. Rasa
kekecewaan semakin diperkuat ketika pada tahun 2006 pabrik mengadakan PHK
besar-besaran terhadap dua ribu lebih karyawannya dan disusul dengan penutupan
pabrik itu pada tahun berikutnya. Mereka menilai pemerintah seakan-akan
menutup mata terhadap nasib mereka.
5 Istilah ini selalu dikenakan kepada orang asing atau bukan penduduk asli setempat yang berdiam
ditengah-tengan penduduk asli. Misalnya saja orang Waisarisa menyebut orang dari etnis luar yang
berdiam ditengah-tengah mereka dengan sebutan ini. Istilah ini bukan saja ditujukan pada orang-
orang dari luar propinsi Maluku tetapi juga kepada sesama orang Maluku, yang berlainan pulau
maupun negeri/kampung.
5
Dengan gambaran di atas, identitas seseorang kembali dipertanyakan.
Sebelum pemekaran wilayah tidak ada wacana penguatan identitas etnis. Tetapi
setelah pemekaran wilayah, penguatan identitas etnis ini kemudian dimunculkan
dalam upaya perebutan sumber-sumber daya publik. Fenomena inilah yang akan
saya kaji.
2. Perumusan Masalah
Dengan melihat latar belakang diatas maka pertanyaan masalah yang muncul
adalah: Sejauh mana politik identitas berperan dalam perebutan sumber-sumber
daya publik paska pemekaran wilayah di kabupaten Seram Bagian Barat?
Pertanyaan umum tersebut diuraikan kedalam beberapa pertanyaan penelitian
sebagai berikut :
1. Bagaimana etnis “pendatang” dan etnis “lokal” saling memandang?
Bagaimana masing-masing mendefinisikan identitas mereka?
2. Bagaimana pandangan etnis “pendatang” dan etnis “lokal” terhadap isu
“putra daerah” yang digulirkan dalam proses penerimaan Calon Pegawai
Negeri Sipil pasca pemekaran?
3. Bagaimana identifikasi diri yang dibangun oleh orang Waisarisa (pendatang
maupun lokal) dalam menjembatani penguatan-penguatan identitas etnis
pasca seleksi CPNS?
3. Tujuan Penelitian
6
Dengan melihat gambaran permasalahan diatas maka penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Mendeskripsikan proses politisasi identitas pasca pemekaran kabupaten baru.
2. Mengungkapkan fungsi politisasi identitas dalam proses perebutan
sumber- sumber daya publik.
4. Kerangka Konseptual
Ketika pada akhirnya pemerintah pusat menyetujui usulan pemekaran
Kabupaten Seram Bagian Barat dengan UU No.40 tahun 2003, ada rasa lega yang
tersirat dari ungkapan-ungkapan oleh orang-orang yang berasal dari Seram Bagian
Barat. Rasa lega itu dikaitkan dengan terbukanya lapangan pekerjaan, “Syukurlah,
dengan berdiri sendiri maka setidaknya anak-anak daerah SBB punya peluang
besar untuk mendapat pekerjaan di negeri sendiri”. Demikianlah ungkapan seorang
ibu asal SBB bahkan mungkin orang-orang SBB lainnya. Sekali lagi kata anak
daerah ini patut digarisbawahi. Ungkapan “anak daerah” telah menjadi kata kunci
bagi orang-orang yang merasa berasal dari Seram Bagian Barat (SBB). Ini
merupakan pembeda mereka yang mengaku berasal dari SBB dengan orang lain
yang bukan berasal dari SBB berdasarkan nama keluarga (fam)6 yang diwariskan.
Anak daerah dan nama keluarga (fam) merupakan dua hal yang saling
berhubungan satu dengan yang lainnya dan berkaitan erat dengan masalah yang
terjadi di kabupaten baru hasil pemekaran. Kedua hal ini juga yang menjadi
instrumen pengidentifikasian diri. Menurut Stuart Hall, pada dasarnya identitas
6 Kata ini sengaja penulis cetak miring. Fam bagi orang Maluku merupakan sebutan untuk nama
keluarga/marga, dan masing-masing etnis Maluku memilikinya dibelakang nama depannya,
misalnya nama keluarga yang penulis pakai.
7
selalu dinyatakan sebagai bentuk representasi diri. Ide atau gagasan tentang
identitas merupakan suatu hal yang kontradiktoris, karena terdiri dari satu atau
lebih wacana yang berproses melewati atau membatasi yang lainnya.7 Artinya,
identitas seseorang dapat merepresentasikan banyak hal dan oleh karena itu tidak
tunggal serta selalu berproses. Identitas itu bersifat cair, ia akan berubah ketika
situasi yang dihadapi berbeda pula. Dengan banyak komponen itulah maka kita
dapat menggambarkan diri kita dan orang lain sehingga dapatlah dikatakan bahwa
identitas menurut Hall selalu bersifat relasional. Defenisi tentang “diri” itu selalu
terkait dengan siapa yang dilihat/dibayangkan sebagai yang “lain”.
Sejalan dengan pikiran Hall, Robin Tolmach Lakoff menyatakan bahwa
identitas manusia adalah sebuah „proses‟ yang dikonstruksi dan dapat berubah oleh
pengalaman hidup. Identitas dikonstuksi lewat sebuah cara yang sangat kompleks
dengan maupun tanpa kesadaran. Dalam beberapa kasus, ia menyatakan bahwa
identitas sama dengan proses pengidentifikasian seseorang terhadap keanggotaan
dari komunitasnya.8 Dengan melihat pendapat di atas dapat dikatakan bahwa Hall
dan Lakoff memiliki pandangan bahwa identitas itu disamakan dengan
pengidentifikasian diri dan melewati sebuah proses yang dikonstruksi berulang-
ulang oleh pengalaman yang berbeda-beda. Atau dengan kata lain, bagi Hall dan
Lakoff, identitas itu bersifat cair. Seperti yang diungkapkan oleh Kobena Mercer
bahwa identitas itu merupakan sebuah kata kunci dalam perkembangan politik,
bahkan kata identitas juga bisa ditafsirkan dalam makna yang berbeda maupun
7 Stuart Hall, “Old and New Indentities, Old And New Ethnicities”, dalam Anthony D. King (ed),
Culture, Globalization And The World-System, Binghamton ,The Macmillan Press Ltd, 1991, hlm.
49. 8 Robin Tolmach Lakoff, “Identity: „You Are What You Eat”, dalam Anna de Fina, dkk (ed)
Discourse and Identity, Crambridge, Cambridge University, 2006, hlm. 142-143.
8
sama tergantung siapa pelakunya.9 Artinya, bahwa identitas bersifat cair karena ia
bebas diartikan oleh siapa saja tergantung kepentingan yang ingin dicapai. Bahkan
kelompok-kelompok etnis sebagai tatanan sosial pun terbentuk bila seseorang
menggunakan identitas etnisnya dalam mengkategorikan/mengidentifikasi dirinya
dan orang lain untuk tujuan interaksi.10
Pada kasus Waisarisa, asumsinya adalah bahwa yang dipakai sebagai
tanda identifikasi diri adalah nama keluarga (fam). Tanda ini akan dipakai jika
berkaitan dengan upaya perebutan sumber-sumber daya publik. Lain lagi jika
masalah yang dihadapi secara komunal sebagai sebuah masyarakat (sosial) bekas
pekerja, tentunya indikator pengidentifikasian diri itupun berbeda pula. Misalnya
saja yang dipakai adalah buruh pabrik yang terkena PHK gelombang pertama dan
kedua atau kelompok kerja pada bagian alat berat di pabrik. Akhirnya dapat
dikatakan bahwa nama keluarga (fam) yang dipakai sebagai penanda hanya
merupakan salah satu dari begitu banyak penanda-penanda yang lain misalnya
etnis, agama, pekerjaan, dll.
Dalam pengidentifikasian diri yang menggunakan nama keluarga (fam),
orang selalu mengaitkannya dengan perebutan sumber-sumber daya publik untuk
membedakan yang asli dan pendatang. Banyak contoh menunjukkan bahwa nama
keluarga (fam) ini pada akhirnya bermuara pada apa yang disebut etnis. Etnis
pendatang dan etnis lokal itu yang selalu bergaung setelah pemekaran kabupaten
Seram Bagian Barat. Sebenarnya, apa yang dimaksudkan dengan etnis itu sendiri?
9 Kobena Mercer, “1968”:Periodizing Politics and Identity”, dalam Lawrence Grossberg, dkk (ed),
Cultural Studies, New York & London, Roudledge, 1992, hlm. 424. 10
Fredrik Barth, Ethnic Group and Boundaries, Bergen and London, Universitets Forlaget and
George Allen & UNWIN, 1970, hlm.14.
9
Menurut Anthony D. Smith, etnis atau komunitas etnis dapat diartikan
sebagai penamaan populasi manusia yang memiliki mitos, sejarah dan budaya yang
sama, memiliki tanah tumpah darah (homeland) dan memiliki rasa solidaritas11
.
Dengan demikian komunitas ini juga lebih mengacu pada sistem primodial yang
telah berlangsung lama. Hal senada juga diungkapkan oleh Tilaar bahwa pada
dasarnya suatu kelompok etnis memiliki enam sifat dasar diantaranya adalah
memiliki nama khas yang mengidentifikasikan hakikat dari suatu masyarakat serta
terikat dengan tanah tumpah darah.12
Mengacu pada kedua pendapat ini maka,
mereka yang mengaku sebagai anak daerah Seram Bagian Barat merasa bahwa
mereka adalah etnis Seram Barat karena mereka memiliki nama keluarga dan mitos
terutama tentang tiga batang air/aer: Tala (Kecamatan Kairatu), Eti (Kecamatan
Seram Barat) dan Sapalewa (Kecamatan Taniwel), sejarah dan budaya yang sama,
tanah tumpah darah (homeland) yang telah berdiri menjadi daerah otonom. Dari
sinilah rasa solidaritas sebagai orang Seram Bagian Barat dibangun. Dengan
demikian ketika diperhadapkan dengan perebutan sumber-sumber daya publik,
etnis SBB mulai membangun benteng pertahanan dengan isu putera asli daerah.
Asumsinya bahwa dengan adanya isu ini memungkinkan putera-puteri daerah
memiliki kesempatan besar dalam perebutan sumber-sumber daya publik.
Ketika telah berdiri menjadi sebuah kabupaten yang mandiri, dalam upaya
perebutan sumber-sumber daya publik tersebut, masalah identitas mulai mencuat.
Seiring dengan berjalannya waktu, kontestasi politik lokal yang mengetengahkan
isu identitas kembali dimunculkan. Politik identitas ini seakan-akan merupakan
11
Anthony D. Smith, “Structure and Persistence of Etnie”, dalam Montserrat Guibernau dan John
Rex (ed), The Ethnicity Reader, Cambridge, Polity Press, 1997, hlm.27 12
H.A.R. Tilaar, Mengindonesia, Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, Jakarta, PT.Rineka
Cipta, 2007, hlm.6.
10
jalan terakhir dalam perebutan lapangan pekerjaan. Politik identitas itu mengacu
pada mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun
identitas sosial) sebagai sumberdaya dan sarana politik.13
Mengacu pada kasus Waisarisa dimana banyak penduduknya berasal dari
luar Seram, maka hal ini tentulah dapat dipahami. Mereka yang merasa sebagai
orang lokal/putera asli daerah mengklaim bahwa mereka lebih berhak bekerja di
negeri mereka sendiri ketimbang etnis/orang lain. Asumsi mereka adalah bahwa
negeri mereka akan maju jika dipimpin oleh orang-orang mereka sendiri. Sejalan
dengan itu Gustiana Kambo, mengutip Halls dan Gay, mengatakan bahwa politik
identitas merujuk pada berbagai bentuk mobilisasi politik atas dasar identitas
kolektif yang sebelumnya sering disembunyikan, ditekan, diabaikan baik oleh
kelompok dominan yang terdapat dalam sebuah sistem demokrasi liberal atau oleh
agenda politik kewarganegaraan yang diusung untuk dan atas nama demokrasi
yang lebih progresif.14
Mengacu pada pendapat tadi pertanyaan yang muncul adalah apakah
memang selama ini orang/etnis Seram Bagian Barat merasa selalu
menyembunyikan identitas kolektifnya, karena selalu ditekan dan diabaikan oleh
etnis lain yang dominan? Bukankah politik identitas selalu dikaitkan dengan
sentimen primordialisme? Sentimen primordialisme bukan hanya berbicara
tentang diri sendiri atau siapa kami, tetapi juga cenderung untuk melihat relasi
kekuasaan terutama berkaitan dengan siapakah yang dianggap “the other”. Bagi
13
Ari Setyaningrum, „Memetakan lokasi Bagi Politik Identitas dalam Wacana Politik Poskolonial‟,
Jurnal Mandatory, Edisi 2/Tahun 2/2005, Yogyakarta, IRE, 2005, hlm.18. 14
Gustiana Kambo, “Memahami Politik Identitas, Pemikiran Tentang Pencarian identitas Etnik:
Sebuah Kajian Dalam Pembentukan Propinsi Sulawesi Barat‟ makalah, disampaikan pada seminar
internasional Percik dengan tema “Dinamika Politik lokal di Indonesia”, Salatiga, 15-17 Juli 2008.
11
penduduk “asli” Waisarisa, ketika masih sama-sama bekerja di pabrik, mungkin ia
tidak merasa bahwa sesama pekerja etnis pendatang adalah “orang lain”, tetapi ia
menjadi “orang lain“ ketika konteks yang dihadapi mulai berubah, sama-sama
dalam urusan memperjuangkan hidup.
Masalah etnisitas telah menjadi sebuah hal penting dalam membicarakan
berbagai fenomena di seputar masalah otonomi daerah. Otonomi daerah selalu
dikaitkan dengan kebijakan daerah untuk mengatur dirinya sendiri. Konsep
otonomi daerah pada hakikatnya mengandung arti adanya kebebasan daerah untuk
mengambil keputusan, baik politik maupun administratif, menurut prakarsa
sendiri.15
Secara normatif otonomi daerah lebih menekankan aspek
kemandirian daerah dalam mengurus dirinya sendiri, tak lain untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat serta mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya. Otonomi
daerah memicu terjadinya pemekaran wilayah-wilayah. Pemekaran wilayah sendiri
merupakan suatu proses pembagian wilayah menjadi lebih dari satu wilayah,
dengan tujuan meningkatkan pelayanan dan mempercepat pembangunan.16
Sejalan
dengan pemikiran itu, Henk S. Nordholt dan Gerry van Klinken menyatakan
bahwa pemekaran daerah merupakan sebutan untuk subdivisi distrik-distrik dan
provinsi yang ada dalam rangka menciptakan unit-unit administratif baru.17
Dari
kedua pendapat ini terlihat bahwa yang menjadi alasan adanya pemekaran sebuah
daerah baru bukan cuma keinginan mengatur dirinya sendiri, tetapi secara
administratif lebih mempermudah pelayanan kepada masyarakat.
15
Lili Romli, Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2007, hlm.7. 16
Yadi Surya Diputra, “Analisa Kekuatan Politik Etnisitas Dalam Proses Pemekaran Propinsi Pulau
Sumbawa”, makalah, disampaikan pada seminar internasional Percik dengan tema “Dinamika
Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 15-17 Juli 2008, hlm.11 17
Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, op.cit, hlm.25.
12
Bagi masyarakat Seram Bagian Barat, menjadi sebuah kabupaten sendiri
lepas dari kabupaten induk, secara administratif sangat mempermudah
mendapatkan pelayanan birokrasi, karena jarak yang harus ditempuh tidaklah jauh
dibandingkan ke Masohi, ibukota Kabupaten Maluku Tengah. Jarak antara Kairatu
(kecamatan SBB yang berbatasan dengan Kabupaten Maluku Tengah) kurang
lebih sekitar 148 km18
, belum lagi dengan kecamatan-kecamatan yang tidak
berbatasan langsung. Selama ini untuk mengurus keperluan administrasi maka
orang dari Seram Bagian Barat harus ke Masohi. Secara geografis, jarak yang harus
ditempuh cukup jauh dengan kondisi jalan raya yang rusak cukup parah sehingga
memakan biaya yang tidak sedikit. Selain itu prasarana jalan raya ini tidak
langsung menghubungkan beberapa daerah dengan Masohi disebabkan kondisi
geografis yang tidak memungkinkan, belum lagi sarana transportasi yang sulit
menyebabkan pengurusan bisa memakan waktu berhari-hari dan mahal. Jadi,
alasan pemekaran ini bukan karena masalah perbedaan etnis semata, tetapi lebih
pada alasan pelayanan atministratif yang lebih efisien. Dengan kata lain, untuk
mempersempit rentang kendali pemerintahan.
5. Tinjauan Pustaka
Ketika berbicara tentang otonomisasi daerah yang berwujud pada
pemekaran wilayah, pemikiran kita akan dibawa pada adanya kemandirian dan
desentralisasi kekuasaan. Dengan adanya desentralisasi ini maka daerah mendapat
kewenangan yang lebih besar untuk mengatur jalannya roda pembangunan di
daerah bersangkutan. Ada banyak penelitian yang telah dilakukan baik pribadi
18
http://www2.kompas.com/ tanggal 12 Desember 2008.
13
maupun berkelompok untuk melihat persoalan yang terjadi di seputar otonomisasi
daerah. Mulai dari perlunya merevisi UU Otonomi Daerah yang selama ini telah
digunakan sampai pada masalah kontestasi politik lokal.
Berdasarkan tulisan-tulisan tersebut tampak bahwa masalah otonomisasi
daerah selalu ditinjau dari aspek yuridisnya (Lili Romli,2007; Ni‟matul
Huda,2007), tetapi ada beberapa tulisan yang berbicara dari sisi kontestasi politik
lokal, misalnya tentang bagaimana para elit lokal mulai melebarkan pengaruhnya
untuk turut mengambil bagian dalam setiap proyek daerah paska otonomisasi (John
F. McCarthy, 2007; Erwiza Erman, 2007; Akiko Morishita, 2006, dll). Dari sisi
kontestasi politik ini ada beberapa orang yang sudah mulai berbicara tentang politik
identitas (Yadi Surya Diputra, 2008; Gustiana A. Kambo, 2008; Carole Foucher,
2007; Myrna Eindhoven,2007). Tulisan-tulisan mengenai otonomisasi daerah dan
kaitannya dengan politik identitas ini semuanya sangat menarik karena kasus yang
dihadapi oleh setiap daerah berdasarkan hasil penelitian ini hampir sama. Alasan
sebuah daerah ingin mekar atau terlepas dari daerah induk (entah propinsi atau
kabupaten), selalu dikaitkan dengan identitas etnis dan rasa termarjinalkan dalam
bidang sosial maupun bidang ekonomi oleh etnis “dominan”.
Dalam tulisan Myrna Eindhoven misalnya, alasan terpisahnya kepulauan
Mentawai sebagai sebuah kabupaten sendiri lepas dari kabupaten Padang Pariaman
di daratan Sumatera disebabkan kurangnya perhatian pemerintah Kabupaten
Padang Pariaman yang berada di daratan Sumatra terhadap pembangunan di
kepulauan ini. Selain itu juga adanya diskriminasi agama yang dimunculkan
sebagai sebuah persyaratan, yakni dengan adanya peraturan daerah yang
14
mengharuskan para pelamar Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) harus beragama
Islam.
…Selain itu, untuk bisa melamar menjadi pegawai negeri, ada syarat yang
bersangkutan harus orang Muslim, dan hal ini membuat sebagaian besar
orang Mentawai praktis tidak mungkin melamar posisi-posisi di
pemerintahan. Karena menjadi orang Kristen sejak awal abad ke-20,
mayoritas orang Mentawai sekarang memandang Kristenitas sebagai
bagian integral dari identitas mereka. Meskipun begitu, ada beberapa
kasus yang diketahui ketika orang-orang Mentawai beralih memeluk
agama Islam atau setidak-tidaknya mengubah nama Kristen menjadi nama
Islam-agar bisa memenuhi syarat sebagai pegawai negeri.19
Hal ini menyebabkan etnis Mentawai merasa terpinggirkan karena mayoritas
beragama Kristen. Seiring dengan masalah tersebut identitas yang dipolitisir ikut
menentukan dalam pengambilan kebijakan tentang kepemimpinan “putra daerah”.
Tulisan Gustiana A. Kambo juga mencirikan hal yang sama yakni adanya
ketidakpuasan etnis Mandar yang merasa didominasi oleh etnis Bugis. Padahal
etnis Mandar merasa memiliki sejarah kolektif tentang asal usul dan keberadaan
mereka sendiri. Seperti yang diungkapkan bahwa politik perbedaan (politik
identitas) antaretnik di Sulawesi Selatan didasarkan atas dominasi etnik dominan
(Bugis) atas kelompok minoritas dan marginal (Mandar). Dengan alasan inilah
mereka lepas dari Propinsi Sulawesi Selatan dan membentuk Propinsi Sulawesi
Barat.20
Dari kedua kajian di atas dapat kita lihat betapa identitas dapat menjadi
sebuah kekuatan untuk menentukan nasib sendiri lewat pemekaran sebuah daerah
19
Myrna Eindhoven, “Penjajah Baru? Identitas, Representasi, dan Pemerintahan di Kepulauan
Mentawai Pasca-Orde Baru”, dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken (ed), Politik
Lokal di Indonesia, Jakarta, KITLV dan YOI, 2007, hlm.92. 20
Gustiana Kambo, “Memahami Politik Identitas, Pemikiran Tentang Pencarian identitas Etnik:
Sebuah Kajian Dalam Pembentukan Propinsi Sulawesi Barat‟ makalah, disampaikan pada seminar
internasional Percik dengan tema “Dinamika Politik lokal di Indonesia”, Salatiga, 15-17 Juli 2008.
15
baru. Artinya, identitas etnis dan atau agama telah menjadi alasan utama
pemekaran. Namun, hal ini berbanding terbalik dengan kondisi yang dihadapi oleh
Kabupaten Seram Bagian Barat. Isu tentang perbedaan etnis bukan menjadi alasan
mendasar pemekaran. Isu identitas etnis baru dimunculkan setelah terjadi
pemekaran dalam upaya perebutan sumber-sumber daya publik antara etnis “asli”
dan “pendatang” (orang dagang). Bagi orang Maluku sendiri, penyebutan
seseorang dengan istilah “orang dagang” bukan cuma ditujukan bagi orang-orang
yang berasal dari etnis di luar Maluku (etnis Jawa, Buton, Bugis-Makasar, dll).
Sebutan ini juga dikenakan bagi orang-orang Maluku sendiri yang berasal dari
bahkan pulau bahkan negeri yang berbeda.21
Misalnya, orang Saparua memanggil
orang-orang Seram atau orang Kei dengan sebutan ini (baca: orang dagang). Hal
ini pun terjadi di Waisarisa yang dihuni bukan saja oleh penduduk lokal, tetapi oleh
berbagai suku bekas pekerja pabrik. Seorang mantan pekerja yang berasal dari desa
Allang dan menikah dengan perempuan Waisarisa, oleh keluarga istrinya tetap
disebut orang dagang.22
Identitas menjadi salah satu variabel kunci. Penduduk
lokal (asli Waisarisa dan Seram Bagian Barat) akhirnya menggunakan variabel
kunci ini sebagai justifikasi untuk dapat menjadi CPNS bahkan PNS.
Selain hal itu, yang menarik dari daerah Seram Bagian Barat khususnya
Waisarisa adalah bahwa daerah ini tidak terjamah konflik sama sekali sehingga
ketika terjadi pemekaran wilayah, agama bukanlah sebuah alasan yang cukup
penting untuk membedakan yang lokal dan pendatang. Hal ini disebabkan karena
21
Maluku merupakan propinsi kepulauan yang terdiri dari kurang lebih 972 pulau, dengan Pulau
Seram sebagai pulau terbesar (Sumber: Asisten I Sekda Maluku 2007,
http://www.malukuprov.go.id/) tanggal 12 Desember 2008. 22
Seperti yang diungkapkan oleh seorang mantan pekerja pabrik berinisial AS, tanggal 13 Januari
2009.
16
dalam kehidupan masyarakat pada umumnya terjadi pembauran, dimana tempat
tinggal tidak berdasar pada agama yang dipeluk. Hal ini berbeda dengan negeri-
negeri lainnya di Maluku, terutama pasca-konflik Ambon.23
6. Metodologi Penelitian
A. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi
kasus, dengan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yakni:
1. Observasi lapangan dengan mengamati langsung kehidupan
penduduk Waisarisa baik orang lokal maupun pendatang yang
sampai saat ini masih bertahan di kemp perusahaan serta wacana-
wacana seputar pemekaran wilayah.
2. Wawancara; teknik ini diharapkan dapat menggali sejumlah
informasi penting melalui interaksi dengan para informan.
3. Pendalaman berbagai dokumen tertulis untuk mendapatkan
gambaran tentang sejarah adat masyarakat SBB sampai pada upaya-
upaya pemekaran dan seputar politisasi identitas dalam perebutan
sumber-sumber daya publik.
23
Pada umumnya negeri-negeri di Maluku, memiliki pemeluk agama yang homogen. Artinya
bahwa sebuah agama menjadi agama tunggal di sebuah negeri tertentu pula sehingga ketika
menyebut sebuah nama negeri maka orang akan langsung tahu agama yang dianut oleh masyarakat
negeri tersebut. Misalnya negeri Kamariang, orang langsung tahu bahwa ia merupakan sebuah
negeri Kristen sedangkan Mamala, orang langsung tahu bahwa itu adalah negeri Islam. Kalaupun
pada akhirnya ada dua negeri yang memiliki kesamaan nama mungkin karena adanya pertalian
darah antara leluhur negeri-negeri tersebut (ade-kaka) maka akan ada penambahan nama
berdasarkan agama yang dianut oleh masyarakat negeri tersebut, misalnya negeri Sirisori Sarane
(Sirisori Kristen) dan Sirisori Salam (Sirisori Islam). Agama Islam telah lebih dulu ada
dibandingkan agama Kristen. Agama tersebar lewat jalur perdagangan yang dikembangkan oleh
para pedagang dari Jawa dan Gowa (Sulawesi Selatan) dan juga pengaruh dari kerajaan Ternate dan
Tidore di Maluku Utara. Sedangkan agama Katolik dan Protestan disebarkan oleh bangsa Portugis
dan Belanda yang cukup giat mengadakan pengkristenan terhadap negeri-negeri yang pada awalnya
telah beragama Islam.
17
Kombinasi ketiga teknik pengumpulan data ini digunakan untuk
mendapatkan data yang tidak dapat digali dari satu teknik tertentu.
B. Yang menjadi informan adalah penduduk Waisarisa baik pendatang maupun
lokal, yang telah memiliki pekerjaan maupun belum, teristimewa mantan
tenaga kerja pabrik kayu lapis, aparat pemerintahan setempat (bisa dari
negeri Waisarisa maupun dari pemerintah kabupaten). Hal ini guna
mendapat data yang akurat tentang pemekaran dan implikasinya pada
politisasi identitas. Selain dari masyarakat Waisarisa dan pemerintah,
penulis juga berupaya mendapat data dari beberapa orang tua asal SBB
guna penyempurnaan data mengenai sejarah adat masyarakat SBB. Penulis
merasa tertarik menulis tentang kondisi kabupaten baru ini karena walaupun
sebagai etnis Seram Bagian Barat yang tidak pernah merasakan pahit
getirnya hidup di negeri asal, kondisi pasca pemekaran ini dengan berbagai
permasalahan yang terjadi menimbulkan pertanyaan besar tentang politik
identitas yang sedang dipraktekkan. Walaupun para informannya sebagian
berasal dari etnis lain, penulis tetap pada posisi tidak berpihak dan
menganggap bahwa informasi yang didapatkan dari setiap informan itu
penting. Mungkin akan ada keraguan dari etnis pendatang tentang
keberadaan penulis sebagai putera daerah SBB dan rasa subjektivitas
sebagai seorang peneliti bisa saja muncul. Untuk mengatasi masalah
tersebut, penulis menggunakan seorang mantan pekerja pabrik etnis Jawa
yang mendampingi penulis melakukan wawancara awal dengan para
informan.
18
C. Wawancara dilakukan secara terbuka dengan pertanyaan semi terstruktur.
Artinya informasi digali lewat wawancara berdasarkan pertanyaan-
pertanyaan penelitian tetapi bisa juga terjadi pengembangan pertanyaan
berdasarkan informasi yang diberikan. Kesemuanya bertujuan untuk
menggali lebih jauh sejumlah informasi penting yang belum terdapat dalam
lampiran pertanyaan-pertanyaan operasional. Selain itu juga agar para
informan dapat mengemukakan apa yang mereka tahu dan rasakan serta
harapan-harapan mereka tanpa harus diintervensi oleh penulis terlebih
dulu.
D. Penelitian ini dilakukan di negeri Waisarisa, Kecamatan Kairatu, Kabupaten
Seram Bagian Barat. Lokasi ini dipilih karena memiliki keunikan.
Penduduknya bukan hanya penduduk asli/lokal, tetapi terdiri dari berbagai
etnis karena dulunya di wilayah ini berdiri pabrik pengolahan kayu lapis
yang mempekerjakan banyak orang dari berbagai etnis. Ketika pabrik ini
tutup, orang-orang tersebut tetap tinggal dan menetap di negeri ini
bersamaan dengan pemekaran wilayah Kabupaten SBB. Selain itu pula
yang cukup menarik dari Waisarisa adalah penduduk asli Waisarisa juga
bukan merupakan etnis SBB, melainkan orang-orang yang berasal dari
Pulau Nusalaut di Kecamatan Maluku Tengah. Mereka sudah menempati
tanah ini sekitar dua generasi.
7. Sistematika Penulisan
Tesis ini terdiri atas 5 bab dengan sistematika sebagai berikut : bab I
merupakan pendahuluan yang berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan
penilitian, kerangka teori yang memaparkan sejumlah kata kunci yang menjadi
19
sandaran penulisan ini, tinjauan pustaka yang mengupas penelitian-penelitian
dengan topik yang sama namun dengan sudut pandang yang berbeda, serta
metodologi penelitian. Bab II akan memaparkan gambaran Kabupaten Seram
Bagian Barat baik letak dan kondisi geografis, demografi, serta deskripsi sejarah
lokal. Deskripsi sejarah lokal diawali dengan mitos tentang asal-usul etnis Seram
sampai pada perjuangan mengusir Belanda dari Seram Barat serta penentuan batas
wilayah yang dirunut dari sejarah tersebut. Bab III akan membahas proses
pemekaran wilayah baik secara administratif maupun secara politik ditingkat
birokrasi pemerintahan pusat maupun daerah dan dalam lingkup masyarakat SBB
sendiri serta implikasinya dengan isu politik identitas. Bab IV akan menyoroti
identifikasi pendatang dan penduduk lokal dalam kaitannya dengan proses
rekrutmen pegawai negeri, indikator-indikator yang dipakai Pemda untuk
mengetahui pendatang dan penduduk lokal serta upaya-upaya untuk meredam
kemungkinan terjadinya ketegangan antar etnis akibat politisasi identitas dalam
rekrutmen CPNS. Bab V merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari
seluruh hasil penulisan serta saran-saran.
20
B A B II
SERAM BAGIAN BARAT:
GEOGRAFI, DEMOGRAFI DAN MIT0S-SEJARAH
Sejarah harus dihormati,…..
Sejarah tidak bersinonim dengan nostalgia hampa
atau pemujaan tanpa pandang bulu pada masa lalu.
Sebaliknya, ia mewadahi semua yang telah dibangun selama berabad-abad:
ingatan, lambang-lambang, pranata-pranata, bahasa,
karya seni dan semua hal lain tempat orang bisa terikat secara sah.
(Amin Maalouf, 2004)
1. Pengantar
Desentralisasi pemerintahan yang terjadi saat ini turut membuka artikulasi
keberadaan suatu kelompok etnis yang selama ini merasa didominasi etnis lain.
Berbagai upaya dilakukan etnis itu untuk menggali kembali simbol-simbol budaya
yang sebelumnya terkungkung oleh budaya Orde Baru. Penggalian simbol budaya
ini kemudian menjadi sebuah pemicu ide pemekaran karena adanya kesamaan
budaya yang dianggap berbeda dengan budaya mayoritas/dominan. Oleh sebab
itu setiap komunitas yang relatif homogen mempunyai kebudayaan tersendiri
yang merupakan ciri khas dari kelompok etnis tersebut.24
Dari sinilah perasaan
primordial dibangun, entah itu secara kesukuan ataupun kepercayaan/religi.
24
H.A.R. Tilaar, Mengindonesia, Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, Jakarta, PT. Rineka
Cipta, 2007, hlm.2.
21
Bab ini akan memaparkan gambaran Seram Bagian Barat (SBB) bukan
semata-mata sebagai satu kesatuan administratif (geografis, demografi) tetapi juga
sebagai sebuah kesatuan kultural-historis. Hal ini karena pemekaran wilayah yang
berlangsung di tahun 2004 membagi Pulau Seram menjadi tiga wilayah
administratif. Tetapi secara kultural historis masyarakat Seram tetap satu yang
terbagi dalam dua suku, yakni Alune dan Wemale. Kultur historis masyarakat
Seram ini menarik karena sama seperti masyarakat lainnya, masyarakat Seram pun
memiliki sejarah panjang dengan warisan budaya yang sampai saat ini tetap
dipelihara dari generasi ke generasi. Bahkan sejarah awal masyarakat Seram dapat
ditelusuri dari mitos-mitos yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Diantaranya mitos Nunusaku.25
Mitos Nunusaku masyarakat Seram sampai saat ini masih dipercaya
merupakan cikal bakal masyarakat Maluku pada umumnya. Dalam tuturan mitos
ini terkandung patokan yang dijadikan penentuan batas wilayah administratif
Seram Bagian Barat pada saat kabupaten ini sedang diperjuangkan menjadi sebuah
wilayah administratif baru. Mitos-mitos yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat ini menjadi gambaran kehidupan etnis Seram, bagaimana mereka
memandang diri mereka dan orang-orang lain di sekitar mereka. Mitos Nunusaku
merupakan gambaran kehidupan dalam kebersamaan dengan orang luar.
Mitos-mitos yang hidup dalam masyarakat Seram dan sejarah panjang
mereka menjadi bukti bahwa sejak dulu etnis Seram bukan etnis yang menutup diri
terhadap etnis lain yang ada disekitarnya, walaupun mereka merupakan etnis
25
Nunusaku secara etimologi berarti pohon beringin. Nunu artinya beringin dan saku artinya
pohon.
22
mayoritas. Nunusaku yang menjadi mitos sentral26
etnis Seram merupakan sebuah
gambaran keterbukaan etnis Seram terhadap orang luar. Sehingga pada akhirnya
ketika kabupaten Seram Bagian Barat berdiri, nilai-nilai filosofis Nunusaku
diharapkan dapat tertanam dalam setiap kehidupan etnis Seram, yakni mereka tetap
memandang etnis lain sebagai sesama mereka, kendati terjadi perebutan sumber-
sumber daya publik di Seram Bagian Barat.
Dengan melihat paparan di atas, bab ini berisikan gambaran umum Seram
Bagian Barat. Gambaran SBB akan dimulai dengan mengenal SBB lebih dekat
baik letak wilayah, kondisi demografinya serta potensi yang dimiliki oleh SBB
berupa sumber daya alam dan sumber daya manusianya. Selain itu bab ini juga
berisikan sejarah panjang masyarakat Seram yang dapat ditelusuri lewat mitos-
mitos berkembang dalam kehidupan masyarakat Seram dan yang merupakan dasar
masyarakat Seram berpikir tentang diri mereka. Sejarah ini juga akan menyinggung
perjuangan masyarakat Seram ketika berada dalam penguasaan kolonial Belanda
sampai pada perjuangan untuk mekar menjadi sebuah kabupaten baru.
2. Gambaran Umum Seram Bagian Barat27
A. Letak Geografis
Seram Bagian Barat (SBB) adalah salah satu kabupaten baru hasil
pemekaran dari Kabupaten Maluku Tengah. Wilayahnya meliputi Pulau Seram
bagian barat serta beberapa pulau kecil yang berada diseputarnya namun sebagian
besar wilayahnya berada di Pulau Seram. Secara geografis kabupaten ini terletak
26
Kata ini sengaja penulis miringkan untuk menunjukan pentingnya mitos Nunusaku dalam
kehidupan etnis Seram 27
Data diambil dari Buku Seram Bagian Barat Dalam Angka 2007, hasil kerjasama Badan Pusat
Statistik Kabupaten Seram Bagian Barat dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Kabupaten Seram Bagian Barat serta beberapa sumber lainnya.
23
antara 2˚ 55‟ – 3˚ 30‟ Lintang Selatan dan 127˚ - 55˚ Bujur Timur, dengan batas
wilayah sebagai berikut :
a. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Maluku Tengah;
b. Sebelah barat berbatasan dengan Laut Buru;
c. Sebelah utara dengan Laut Seram;
d. Sebelah selatan dengan Laut Banda.
Ketika melihat peta Seram Bagian Barat maka sudah dapat dipastikan
bahwa kabupaten ini memiliki luas laut yang lebih besar dibandingkan luas
daratannya. Luas laut mencapai 79.005 km² dan luas daratan sekitar 5.176 km² dari
total keseluruhan luas wilayahnya sekitar 84.181 km². Kabupaten ini juga terbagi
atas 4 kecamatan yakni:
1. Kecamatan Huamual Belakang seluas 569,36 km²;
2. Kecamatan Seram Barat seluas 879,92 km²;
3. Kecamatan Kairatu seluas 1.811,60 km² dan,
4. Kecamatan Taniwel seluas 1.915,12 km²
Kabupaten ini terdiri dari 62 pulau dengan Pulau Seram sebagai pulau yang
terbesar dan yang berpenghuni hanya sekitar 10 pulau dan yang tidak berpenghuni
sekitar 52 pulau. Kabupaten ini banyak dialiri aliran sungai besar dan kecil, tetapi
yang menjadi pusat cerita yang diwariskan turun temurun adalah Sungai Tala di
Kecamatan Kairatu, Sungai Eti di Kecamatan Seram Barat dan Sungai Sapalewa di
Kecamatan Taniwel yang oleh Bupati Seram Bagian Barat dikatakan sebagai
“aliran sungai kehidupan”.28
28
Disampaikan pada acara pembukaan seminar Sejarah dan Bahasa Tiga Batang Air tanggal 15
Januari 2009, Tabloid Umum Nusa Ina, Kamis 22 s/d Selasa, 27 Januari 2009.
24
Dengan beribukota di Piru maka pelayanan publik dipermudah. Jarak yang
ditempuh dari masing-masing kecamatan ke ibukota kabupaten tidaklah jauh jika
dibandingkan ke ibukota kabupaten lama (Masohi ibukota Kabupaten Maluku
Tengah). Perjalanan dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi darat yang
memakan waktu beberapa jam saja. Kalaupun ada yang masih menggunakan
transportasi laut, hal ini lebih disebabkan pada belum tersedianya akses jalan raya
ke Piru (sampai draf ini ditulis sementara masih dikerjakan) misalnya beberapa
desa di kecamatan Huamual Belakang. Berikut jarak masing-masing kecamatan
dengan Piru selaku ibukota kabupaten :
a. Waesala (Kec. Huamual Belakang) 35,0 km;
b. Piru (Kec. Seram Barat) 1,0 km;
c. Kairatu (Kec. Kairatu) 48,0 km;
d. Taniwel (Kec. Taniwel) 76,7 km.
Dengan melihat jarak antara kecamatan-kecamatan yang ada dengan Piru
selaku ibukota kabupaten maka dapat dikatakan bahwa pemekaran wilayah ini
setidaknya memang telah membantu masyarakat memperpendek jarak untuk
urusan pelayanan publik. Walaupun demikian, ketika Surat Keputusan Menteri
Dalam Negeri tentang pemekaran kabupaten ini disahkan, sempat terjadi polemik
seputar letak ibukota kabupaten yang baru tersebut.
B. Kondisi Demografi
Dalam setiap pembangunan, yang menjadi sasaran pembangunan adalah
masyarakat. Di sisi lain penduduk atau masyarakat juga adalah pelaku
pembangunan itu sendiri. Sedangkan pemerintah adalah fasilitator dan pelayan
masyarakat, menampung aspirasi masyarakat dan memberikan pelayanan bagi
25
aktivitas warga masyarakat. Oleh karena itu sumber daya manusialah yang selalu
diperhatikan oleh pemerintah yang sedang membangun. Hal ini terjadi mengingat
masyarakat di daerah-daerah yang baru dimekarkan selalu menuntut untuk dapat
berperan dalam bidang-bidang pemerintahan.29
Hal ini menjadi masalah apabila
pada daerah-daerah ini kualitas sumber daya manusianya dianggap belum layak
untuk berperan dalam bidang pemerintahan tersebut. Ditambah pula dengan
tingginya laju pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan lapangan
pekerjaan yang tersedia. Hal ini juga terjadi pada Kabupaten SBB.
Jumlah penduduk SBB menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal
Daerah (BKPMD) Maluku tahun 2004-2005 adalah sekitar 148.988 jiwa dengan
klasifikasi laki-laki :75.115 jiwa sedangkan perempuan 73.873 jiwa yang tersebar
pada empat kecamatan. Kecamatan Seram Barat: 53.909 jiwa; Kecamatan Kairatu:
49.481 jiwa; Kecamatan Taniwel: 16.936 jiwa dan Kecamatan Huamual Belakang:
28.662 jiwa.. Penduduk ini tersebar pada 89 desa serta 126 dusun.30
Jumlah ini
mengalami peningkatan yang cukup besar pada tahun-tahun berikutnya. Data yang
diperoleh dari Seram Bagian Barat Dalam Angka Tahun 2007 menyebutkan bahwa
pada tahun 2006 jumlah penduduk SBB sebanyak 157.318 jiwa dan menjadi
158.478 jiwa pada tahun 2007. Laju pertumbuhan penduduk mengalami
peningkatan sebesar 0,62 persen pada tahun 2006 menjadi 0,74 persen pada tahun
2007. Faktor peningkatan jumlah penduduk yang cukup tinggi ini pendukungnya
adalah penerimaan pegawai yang cukup banyak tetapi berasal bukan dari
Kabupaten SBB sendiri, melainkan berasal dari Maluku tengah dan kota Ambon,
29
J.W.Ajawaila, “Etnisitas dan Pemekaran Wilayah”, opini dalam Harian Siwalima, Selasa 23
September 2003 Edisi 243/IX Tahun IV. 30
http://www.bkpmd-maluku.com/ tanggal 2 April 2009.
26
bahkan luar propinsi Maluku. Selain itu juga masih kurang kesadaran sebagian
penduduk (terutama yang bermukim di pedesaan) untuk membatasi jumlah anak.
Hal ini disebabkan mereka membutuhkan banyak tenaga untuk berkebun dan yang
diharapkan untuk membantu adalah anak-anak mereka sendiri. Selain itu adanya
proses pewarisan nama keluarga/fam yang mengikuti garis keturunan laki-laki,
sehingga setiap keluarga tetap berupaya memiliki anak laki-laki.
Pemda SBB telah berupaya menekan laju pertumbuhan penduduk tersebut.
Hal ini dilakukan mengingat tingginya angka pertumbuhan penduduk selalu tidak
berimbang dengan ketersediaan lapangan pekerjaan, baik pada birokrasi
pemerintah maupun pada sektor swasta. Oleh karena itu salah satu cara yang
ditempuh pemda adalah dengan menggalakkan program Keluarga Berencana
(KB). Program KB ini diharapkan dapat menggugah masyarakat demi alasan
perbaikan hidup anak cucu di kemudian hari.
Selain program KB, perhatian Pemda SBB juga diarahkan pada upaya
pemerataan penyebaran penduduk. Hal ini dikarenakan sekitar 36 persen penduduk
SBB terkonsentrasi di Kecamatan Seram Barat. Padahal luas kecamatan ini hanya
17 persen dari luas kabupaten. Keadaan ini kontras dengan kecamatan Taniwel.
Kecamatan Taniwel memiliki luas sekitar 37 persen dari luas seluruh kabupaten
tetapi hanya dihuni oleh sekitar 11 persen dari jumlah penduduk SBB. Pemda
Kabupaten SBB boleh saja berupaya melakukan penyebaran penduduk agar tidak
hanya terkonsentrasi pada Kecamatan Seram Barat yang dianggap sudah padat.
Namun tindakan nyata pemda untuk mengurangi kepadatan itu belumlah nampak.
Program ini akan menemui kesulitan jika pemda tidak memiliki gambaran jelas
penyebab terjadinya ketimpangan penyebaran penduduk tersebut.
27
Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan
penyebaran penduduk. Misalnya, Piru sebagai ibukota kabupaten, sedikit banyak
memberikan sumbangan bertambahnya jumlah penduduk yang mendiami Piru dan
daerah-daerah di sekitarnya. Hal ini tentu dapat dipahami mengingat semua
kegiatan administrasi pemerintahan maupun ekonomi berpusat di Piru. Selain itu
akses jalan raya yang menghubungkan Piru dengan dua kecamatan lainnya
(Huamual belakang dan Taniwel) rusak parah, apalagi di musim hujan. Ini
menyebabkan lambatnya pembangunan di dua kecamatan ini. Pembangunan yang
berjalan lambat di dua kecamatan ini tentu saja akan menghambat laju
perekonomian karena pengusaha lokal yang berasal dari luar kecamatan ini enggan
berinvestasi di daerah-daerah ini. Tingginya modal yang harus dikeluarkan tidak
seimbang dengan daya dukung masyarakat. Akibatnya justru mereka akan merugi.
Dalam bidang pendidikan, Pemda SBB telah berupaya semaksimal
mungkin mengupayakan pendidikan yang layak bagi warganya. Upaya-upaya itu
diantaranya dengan mengadakan program pemberantasan buta huruf serta
penambahan jumlah tenaga pengajar (guru) dan sejumlah gedung sekolah yang
pada gilirannya dapat meningkatkan jumlah siswa. Hal ini dilakukan dengan
harapan ketersediaan fasilitas-fasilitas pendidikan akan dapat meningkatkan mutu
pendidikan. Jumlah sekolah sampai tahun 2005 adalah 274 buah dengan rincian
TK: 17, SD/MI: 183, SLTP/MTS: 52 dan SMU/MA: 22.31
C. Sumber Daya dan Pembangunan
Sebagaimana diungkapkan Bosko bahwa dengan adanya permintaan akan
persediaan sumber daya alam menyebabkan adanya pencarian dan gerakan
31
http://www.bkpmd-maluku.com/ tanggal 2 April 2009.
28
eksploitasi sumber-sumber ini sampai pada daerah-daerah terpencil.32
Di sela-sela
upaya peningkatan dan optimaliasi SDM yang sedang gencar-gencarnya dilakukan
oleh Pemda SBB, berdasarkan hasil survei para ahli yang khusus didatangkan dari
Jakarta, kabupaten ini bukan hanya berlimpah dengan hasil hutan, perkebunan atau
hasil laut (ikan dan mutiara), tetapi juga telah ditemukan sejumlah titik yang
mengandung hasil tambang bernilai jual tinggi, diantaranya nikel dan emas.
Bahkan menurut seorang informan, hasil tambang nikel dan emas jika nantinya
diolah hasilnya dapat dipakai untuk membangun Kota Piru sebagai ibukota
kabupaten, terutama di bidang infrastruktur. Apalagi dalam merancang tata kota
ini pemda mengadakan kerja sama dengan ITB.33
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa bisa jadi suatu saat nanti ada perusahaan yang tertarik untuk
berinvestasi dan bekerja sama dengan pemda SBB. Keuntungannya dapat dipakai
untuk pembangunan daerah.
Pembangunan di bidang infrastruktur ini ditegaskan karena memang sampai
saat ini kantor-kantor masih dibangun secara bertahap. Misalnya saja kantor bupati
masih menggunakan bekas kantor Camat Seram Barat karena kantor definitifnya
masih belum dibangun (sementara masih dalam penggusuran jalan ke lokasi
kantor). Bahkan ada sebagaian instansi yang masih mengontrak/menyewa rumah-
rumah warga sebagai kantor (misalnya Kesbanglinmas, kantor Pendidikan dan
Olahraga, dll). Dalam pandangan penulis sendiri sebenarnya tidak layak disebut
kantor apalagi dalam konteks kabupaten. Hal ini dikarenakan dengan ruangan yang
sempit dan jumlah ruangan yang terbatas sangat menyulitkan pelayanan
32
Rafael Edy Bosko, Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam
(terjem), Jakarta, Elsam, 2006, hlm. 84. 33
Wawancara dengan seorang bapak berinisial MS, tanggal 21 Desember 2008.
29
administrasi kepada warga. Belum lagi pada siang hari sering terjadi pemadaman
listrik dari PLN sehingga semakin memperumit pengurusan. Dari kondisi ini
terlihat belum adanya kesiapan SBB sebagai kabupaten baru dalam hal persiapan
infrastukturnya, bahkan sampai ulang tahun yang ke-5 tanggal 07 Januari 2009
lalu.
3. Sejarah Lokal Masyarakat SBB
Terbentuknya kabupaten Seram Bagian Barat tidak dapat dipisahkan dari
sejarah masyarakat adat yang ada sampai saat ini. Bagi masyarakat adat SBB,
sejarah tentang asal-usul mereka tidak akan terlupakan. Apalagi konflik yang
mendera Propinsi Maluku beberapa waktu lalu ikut menegaskan keberadaan
mereka sebagai penjaga “Nusa Ina”34
.
Sampai saat ini etnis Seram masih mempercayai cerita tentang Nunusaku
dan asal-muasal mereka sebagai orang Seram. Bahkan bukan cuma etnis Seram
tetapi orang Maluku pada umumnya. Walaupun demikian mereka tidak dapat
mengatakan bahwa cerita ini merupakan sebuah mitos ataukah sejarah. Bagi
mereka itu tidak terlalu penting dibandingkan makna filosofis yang terkandung
dalam cerita tersebut.35
Hal ini tentu dapat dipahami mengingat cerita ini sudah
turun temurun diwariskan oleh orang-orang tua mereka. Penulispun mendengar
tuturan cerita yang sama oleh orang tua yang adalah etnis Seram, dan penulispun
menganggap bahwa cerita Nunusaku ini hanya merupakan sebuah mitos. Sebab
sampai saat ini ada beberapa versi cerita tentang Nunusaku tersebut. Pertanyaan
34
Nusa Ina merupakan sebutan untuk Pulau Seram. Nusa Ina sendiri artinya Pulau Ibu. Nusa artinya
pulau dan Ina artinya Ibu. Ada banyak cerita yang berkembang seputar penyebutan Pulau Seram
sebagai “Pulau Ibu” 35
Wawancara dengan seorang bapak yang berinisial AK, tanggal 28 Januari 2009
30
yang muncul adalah benarkah Nunusaku ini hanya merupakan sebuah mitos? Lalu
apakah sebenarnya mitos itu?
Menurut Eliade, mitos adalah sejarah mengenai apa yang terjadi di masa
lalu. Sejarah di sini dipahami sebagai sejarah kudus/sakral karena berbicara tentang
sesuatu yang bersifat mistis. Ia hadir untuk memproklamirkan kehadiran sebuah
situasi kosmis baru atau sebuah kejadian kuno.36
Dengan demikian dapat dipahami
dari pemikiran Eliade bahwa mitos merupakan cara masyarakat arkais
menceritakan keberadaan mereka melintasi dunia yang supra-natural menuju
kenyataan dunia ini dan cerita ini dianggap kudus sehingga perlu adanya pewarisan
bagi generasi berikutnya. Bahwa untuk mengetahui keberadaan/asal usul maupun
segala ritus-ritus dan tindakan mereka di dunia dapat dipahami melalui
kenyataan-kenyataan yang ditunjukkan oleh mitos tersebut.
Seperti yang diungkapkan oleh Eliade di atas ketika dibenturkan dengan
pandangan etnis Seram tentang Nunusaku, maka akan dijumpai sebuah makna
mendalam. Makna inilah yang diyakini merupakan kosmologi etnis Seram tentang
keberadaan mereka. Cerita Nunusaku hadir untuk menceritakan kejadian kuno
etnis Seram. Kejadian ini adalah cerita tentang awal mula kehidupan etnis Seram
dibawah pemerintahan sebuah kerajaan besar namun akhirnya hancur karena
adanya perpecahan dalam masyarakat. Berdasarkan pandangan Eliade, Susanto
mengelompokkan mitos ke dalam beberapa tipe, yakni mitos kosmogoni
(menceritakan tentang penciptaan alam semesta secara keseluruhan) dan mitos
asal-usul (menceritakan tentang asal mula segala sesuatu, asal mula makluk hidup,
pulau-pulau, tempat-tempat suci, dsb). Tipe mitos asal-usul ini melengkapi mitos
36
Mircea Eliade, Sakral dan Profan (terjemahan), Yogyakarta, Fajar Pustaka Baru, 2002, hlm. 94.
31
kosmogoni, menceritakan tentang bagaimana dunia itu diubah, ditambah atau
dikurangi.37
Dari pengertian mitos serta beberapa tipenya, cerita Nunusaku dapat
dikatagorikan sebagai mitos asal-usul. Sebab cerita Nunusaku inilah yang menjadi
dasar kepercayaan masyarakat Seram dan Maluku pada umumnya tentang asal-
usul keberadaan mereka sebagai penduduk pribumi yang menempati pulau-pulau di
Maluku. Selain itu keberadaan Nunusaku tidak dapat dibuktikan secara faktual,
walaupun banyak tetua adat menyatakan bahwa Nunusaku berada di salah satu
gunung di Seram Bagian Barat. Bagi sebagian etnis Seram, ada yang merasa takut
untuk menceritakan kisah Nunusaku bahkan untuk mencari tahu letak Nunusaku
tersebut melebihi apa yang diketahui. Karena bagi mereka ini merupakan sebuah
hal yang tabu (mengandung sanksi baik bagi individu maupun kelompoknya).
A. Mitos yang Berkembang dalam Masyarakat Seram dan Sejarah Adat
Menurut tuturan para tetua adat bahwa pada awalnya di Pulau Seram (Nusa
Ina) terdapat sebuah kerajaan yang bernama Nunusaku. Diperkirakan bahwa
Nunusaku ini berada di wilayah Seram Bagian Barat.38
Dalam kerajaan ini
terdapat kelompok-kelompok berdasarkan pekerjaannya. Kelompok yang pertama
adalah kelompok menenun atau dalam bahasa tana39
disebut kelompok Auna
(yang akhirnya melahirkan suku Alune) dan kelompok kedua adalah kelompok
berburu atau kelompok Wema (menurunkan suku Wemale). Kelompok ini timbul
37
Hary Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade, Yogyakarta, Kanisius, 1987, hlm.
74,76-77. 38
J. E. Lokollo, Pela-Gandong Dari Pulau Ambon (Seri Budaya), Ambon, Lembaga
Kebudayaan Daerah Maluku, 1998, hlm. 3. 39
Bahasa tana merupakan istilah masyarakat lokal yang menunjuk pada bahasa daerah setempat
(Seram/Alune dan Wemale). Bahasa ini umumnya dipakai pada upacara-upacara adat.
32
karena adanya kebiasaan yang sama. Walaupun demikian bahasa yang digunakan
saat itu masih satu artinya bahasa komunikasi mereka masih sama. Dari dua
kebiasaan yang berbeda ini mulailah terjadi segregesi dalam masyarakat
Nunusaku.40
Suatu ketika terjadi kekacauan (perang saudara) di Nunusaku. Alasan
peperangan karena kedua kelompok (Wema dan Auna) memperebutkan Rapie
Hainuwele41
, perempuan yang terkenal paling cantik di kerajaan tersebut. Karena
terjadi peperangan, seluruh penduduknya menyebar ke seluruh pulau (Pulau
Seram) bahkan ada yang sampai meninggalkan pulau dan menyeberang ke pulau-
pulau lainnya di Maluku.42
Setelah perpisahan tersebut, para orang tua dari kedua
kelompok kemudian menurunkan bahasa yang berbeda kepada anak cucu mereka.
Kelompok Auna kemudian menurunkan suku Alune dengan bahasa Alune dan
kelompok Wema menurunkan suku Wemale dengan bahasa Wemale. Lama
kelamaan bahasa asli yang mereka gunakan ketika masih sama-sama di Nunusaku
perlahan-lahan mulai hilang.43
Pengakuan bahwa penduduk yang mendiami
pulau-pulau di Maluku berasal dari Pulau Seram bukan hanya milik orang Seram
semata. Pengakuan ini juga milik orang Maluku pada umumnya. Mereka juga
menganggap bahwa memang tete nene moyang44
mereka berasal dari Pulau Seram
40
Wawancara dengan beberapa orang tua etnis SBB, tanggal 25 Februari 2009 dan 2 Maret 2009 41
Mitos tentang Rapie Hainuwele ini merupakan awal terjadinya peperangan antara kedua
kelompok dalam masyarakat Nunusaku. Rapie Hainuwele sendiri artinya putri yang berasal dari
kuming kelapa. Mitos Rapie Hainuwele ini sudah ditulis oleh Agustina Kakiay dalam tesis tahun
2001. 42
Wawancara dengan Bapak AS, tanggal 18 Desember 2008, hal ini ikut pula menegaskan
keyakinan masyarakat Maluku bahwa mereka berasal dari Pulau Seram. 43
Wawancara dengan seorang tokoh masyarakat SBB berinisial NE, tanggal 2 Maret 2009. 44
Tete nene adalah sebutan lokal untuk kakek nenek, tetapi dalam konteks bahasa diatas
diterjemahkan sebagai nenek moyang atau para leluhur.
33
dan setelah beranak pinak, mereka akhirnya menyebar ke seluruh wilayah
Maluku.45
Menurut Lokollo, ada beberapa perkembangan kehidupan sosial di
Nunusaku yang ikut membuat masyarakatnya berpencar. Diantaranya adalah
adanya pertambahan jumlah penduduk, dasar ucapan dan cara rumpun Patasiwa
dan Patalima berbahasa dan adanya perbedaan ketrampilan, antara lain cara
menenun pakaian diantara anggota kedua rumpun tersebut.46
Patasiwa adalah
kelompok sembilan dan patalima adalah kelompok lima. Masyarakat Maluku
Tengah (termasuk Seram Barat) umumnya termasuk salah satu kelompok ini.
Adapun susunan sosial kelompok sembilan terdiri dari sembilan satuan yang lebih
kecil, misalnya sembilan pemukiman, dsb. Begitu pula dengan kelompok lima.47
Itu berarti bahwa susunan dan perangkat negeri/desa atau adat tersebut termasuk
dalam kelompok Patasiwa atau Patalima.
Dari pembagian itu dapatlah dikatakan bahwa penghuni Pulau Seram pada
umumnya terdiri dari dua suku, yakni Alune dan Wemale. Terjadinya perpecahan
dalam masyarakat Nunusaku ikut menentukan terbentuknya kelompok-kelompok
baru. Terbentuknya kelompok baru ini dengan membawa pola kehidupan sama
dari kelompok asal mereka yang pada akhirnya mereka pelihara sampai menyebar
ke pulau-pulau lainnya di Maluku, terutama Ambon-Lease (Saparua, Haruku dan
Nusalaut).
45
Pemda Propinsi Maluku, The Wondeful Islands Maluku, Jakarta-Ambon, Gibon Books dan
Pemprov Maluku, 2008, hlm. 82. 46
J. E. Lokollo, op cit, hlm. 8, hal ini juga diungkapkan oleh NE, tanggal 2 Maret 2009 47
Frank L. Cooley, Mimbar dan Takhta (terjemahan), Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1987, hlm.
118.
34
Menurut Cooley, kelompok Patasiwa menghuni wilayah Seram sebelah
barat Sungai Mala, sedangkan orang-orang Patalima menghuni daerah-daerah
sebelah timurnya.48
Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan salah satu tokoh
masyarakat SBB bahwa kelompok Patalima menghuni wilayah sebelah timur
Sungai Makina (perbatasan Kecamatan Taniwel Kabupaten SBB dengan
Kecamatan Seram Utara Kabupaten Maluku Tengah) dan di sebelah selatannya
dengan Sungai Mala. Jadi wilayah sebelah timur sungai Mala merupakan wilayah
Patalima. Sedangkan sebelah barat Sungai Mala dan Makina merupakan wilayah
Patasiwa. Walaupun demikian ada juga kelompok patasiwa yang pada akhirnya
masuk pada wilayah patalima dan begitu pula sebaliknya. Dalam pandangan
masyarakat Seram, kelompok patasiwa dan patalima merupakan nama lain dari
suku Wemale dan Alune. Tetapi ada perkecualian untuk suku Wemale, misalnya
saja tidak semua suku Wemale termasuk dalam kelompok Patasiwa, Wemale
Ulipatai49
ada sebagian Patasiwa dan ada sebagian Patalima.50
Kelompok Patasiwa dan Patalima ini mungkin merupakan gabungan dari
beberapa sub-sub suku dari Alune dan Wemale dan mungkin juga merupakan
sebuah bentuk kelompok politik yang berupaya membendung serangan dari Utara
(empat kerajaan besar, yakni Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo/Halmahera).
Hal lain yang berkembang juga adalah bahwa ketika terjadi perang antara Patasiwa
dan Patalima yang memakan banyak korban, orang-orang tua dari kedua
kelompok bersepakat untuk melupakan permusuhan dan mengangkat sumpah
48
Frank L. Cooley, ibid, hlm. 119 49
Ini merupakan nama sub suku yang diberikan berdasarkan wilayah tempat tinggalnya. Selain
Wemale Ulipatai ada juga Wemale Yapioupatai yang menghuni daerah Elpaputi yang secara
administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Maluku tengah, sedangkan Wemale Ulipatai masuk
dalam wilayah administratif Kabupaten SBB (Kecamatan Taniwel). 50
Wawancara tanggal 2 Maret 2009.
35
untuk hidup bersatu dalam perdamaian satu dengan yang lain dan tidak ada lagi
bakalai51
apalagi dalam skala besar seperti konflik Maluku.
Perjanjian orang-orang tua antara dua kelompok tadi dilakukan di batas
wilayah kedua kelompok, yakni di Kali Makina dan Kali Mala. Janji ini dipegang
teguh supaya pada gilirannya nilai-nilainya dapat diwariskan kepada generasi
berikutnya. Bahkan menurut penuturan salah satu orang tua, adanya janji ini
dapat memotivasi seluruh aparatur SBB agar memiliki kinerja yang baik. Dari
peristiwa itu diperkirakan muncul istilah miloku atau maloku, yang artinya diikat
menjadi satu. Diduga bahwa kedua kata ini ikut melahirkan kata Maluku yang
diambil menjadi nama propinsi.52
Selain itu pula bahwa kata miloku dan maloku
dianggap pula berasal dari bahasa Maluku Utara atau setidaknya telah mendapat
pengaruh dari bahasa Maluku Utara. Hal ini dapat dipahami mengingat pada saat
itu telah terjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Maluku Utara.
B. Masa Kolonial Belanda
Ketika Belanda menguasai Maluku, seluruh etnis Seram/Nusa Ina
mengadakan perlawanan. Kekuasaan Kolonial Belanda menghancurkan sistem
Pata/Uli. Sebagai gantinya Belanda mendirikan negeri-negeri/desa yang berdiri
sendiri yang langsung tunduk kepada pejabat-pejabat VOC.53
Hal ini dilakukan
Belanda guna mempersempit ruang gerak masyarakat pribumi supaya tidak
mengadakan perlawanan. Dengan kata lain, untuk mempermudah penguasaan
daerah-daerah yang dianggap potensial mengadakan perlawanan, pemerintah
kolonial menyeragamkan bentuk-bentuk pemerintahan lokal. Selain itu juga untuk
51
Pertengkaran/perkelahian 52
Wawancara tanggal 2 Maret 2009 53
Frank L. Cooley, op.cit, hlm. 224
36
membantu Belanda memperlancar monopoli perdagangan rempah-rempah yang
sangat laku di pasaran Eropa.
Ketika Belanda datang dan menggantikan Portugis, mereka membentuk
Inama-inama (semacam kantong-kantong pemerintahan) dengan tujuan untuk
dapat menguasai Seram dan memadamkan perlawanan-perlawanan masyarakat
yang oleh Belanda dianggap sebagai pemberontak. Di daerah Seram Bagian Barat
dibentuk tiga inama besar yang meliputi tiga sungai besar di daerah itu, yakni
Inama Etibatai (secara administratif masuk Kecamatan Seram Barat), Inama
Talabatai (masuk wilayah administratif Kecamatan Kairatu) dan Inama
Sapalewabatai (masuk wilayah administratif Kecamatan Taniwel). Dari ketiga
Inama ini diangkatlah lembaga tua-tua adat (Saniri) yang nantinya mengatur
kehidupan masyarakat yang berada pada ketiga Inama tersebut, tetapi tetap tunduk
secara mutlak kepada pejabat VOC.
Adapun pembentukan ketiga inama ini berdasarkan pada aliran ketiga
sungai tersebut, yakni Tala, Eti dan Sapalewa. Menurut informasi seorang bapak
bahwa pembentukan berdasarkan sungai-sungai ini karena menurut cerita yang
dia terima dari orang-orang tua, kapala air (hulu) ketiga sungai berasal dari
Nunusaku tersebut. Air yang keluar dari sebelah bawah akar beringin (nunu)
kemudian tertampung dalam sebuah danau dimana danau inilah yang menjadi
kapala air ketiga sungai.54
Itulah mengapa sampai ketiga air ini sangat penting
bagi kehidupan masyarakat Seram Bagian Barat. Mereka tetap menganggap diri
mereka satu, karena berasal dari satu kapala.
54
Wawancara dengan seorang bapak yang berinisial AK, tanggal 28 Januari 2009
37
Selain itu menurut informan tersebut, Belanda juga ingin membentuk
Inama Ulipatai yang meliputi wilayah seputar Sungai Uli. Namun ini tidak jadi
dilaksanakan entah apa sebabnya. Tetapi pada intinya inama-inama dibentuk
Belanda guna pengendalian kekuasaan. Hal ini dilakukan karena sebelum Belanda
menguasai Seram, telah terjadi perang antara etnis Seram/Nusa Ina melawan
Portugis yang dikenal dengan nama Perang Sahulau. Bahkan menurut tuturan
orang-orang tua, hal ini merupakan perang pertama kalinya di Maluku, walaupun
kepastian tahunnya tidak jelas dan tidak pernah tercatat dalam sejarah Indonesia.55
Ternyata usaha Belanda untuk menaklukkan Seram Barat melalui
pendekatan pada daerah-daerah adat sama seperti cara yang dipakai di Kalimantan.
Dengan menggunakan pendekatan adat, yakni mengayau (headhunting) yang
memiliki citra yang mampu menimbulkan dampak psikologis kepada publik
sangat besar untuk kemudian dipakai mencapai kepentingan kolonial.56
Kedua cara
ini memang kelihatannya cukup berhasil dengan makin bertambahnya wilayah-
wilayah jajahan.
Walaupun inama-inama telah dibentuk namun masih saja terjadi berbagai
perlawanan masyarakat ketiga inama tersebut. Salah satunya adalah perlawanan
masyarakat Taniwel yang pada saat itu masih berdiam di daerah pegunungan.
Daerah yang menjadi incaran Belanda adalah Riring-Romasoal dan Uweng
Pegunungan. Hal ini dikarenakan kedua daerah ini merupakan pusat perlawanan
dari daerah Taniwel. Pada tahun 1820 terjadi perang Romasoal, dan di tahun 1825-
55
Wawancara tanggal 18 Desember 2008 dan 2 Maret 2009. 56
John Bamba, “Borneo Headhunters : Imej dan Manipulasi” dalam Okamoto Masaaki dan Abdur
Rozaki (ed), Kelompok Kekerasan Dan Bos Lokal di Era Reformasi, Yogyakarta, IRE Press dan
CSEAS Universitas Kyoto, 2006, hlm. 117-118.
38
1826 Belanda mengadakan ekspedisi ke Romasoal dan berhasil menaklukannya.57
Selain itu juga daerah-daerah lain di Seram Barat dapat ditaklukkan oleh Belanda.
Dari penaklukan inilah, Belanda semakin memperketat keamanan dengan
membentuk Saniri Tiga Batang Air (Tala, Eti dan Sapalewa) yang sangat berperan
dalam menggalang persatuan di antara masyarakat adat ketiga inama tersebut.
Selain itu ketiga inama ini memiliki otoritas tertinggi dalam menentukan peraturan-
peraturan yang berlaku pada ketiga wilayah ini. Kepemimpinan Saniri Tiga Batang
Air ini merupakan contoh besarnya peran lembaga-lembaga adat dalam kehidupan
masyarakat Maluku.58
4. Sejarah Panjang yang Berujung Pada Pemekaran Wilayah
Ketika pada akhirnya Belanda harus mengakui kedaulatan Indonesia dan
meninggalkan Indonesia, akar masyarakat adat ketiga inama itu telah tertanam
dalam kehidupan masyarakat Seram Bagian Barat hingga saat ini. Ketika pada
akhirnya otonomisasi daerah yang memungkinkan pengembangan daerah propinsi
dan kabupaten/kota muncul, ada suatu pemikiran untuk berdiri sendiri lepas dari
kabupaten Maluku Tengah. Dengan bermodalkan sejarah panjang itu masyarakat
Seram Bagian Barat menuntut hak untuk dapat mengatur kehidupan mereka
sendiri.
Dengan meletakkan dasar pada perjanjian orang-orang tua setelah turun
dari Nunusaku dan juga inama-inama yang dibentuk oleh Belanda, diletakkanlah
batas administratif wilayah Kabupaten SBB. Secara administratif, wilayah SBB
sebelah selatan (Kecamatan Kairatu) berbatasan dengan Sungai Tala dan sebelah
57
Wawancara tanggal 2 Maret dan 25 pebruari 2009. 58
Bandingkan tulisan Paschalis Maria Laksono tentang kehidupan masyarakat Kei yang patuh pada
lembaga adat mereka dan menjunjung setiap keputusan lembaga adat mereka dalam The Common
Ground In The Kei Islands, Yogyakarta, Galang Press, 2002, hlm. 19-23.
39
utara (Kecamatan Taniwel) berbatasan dengan Sungai Makina. Menurut seorang
tokoh pemekaran bahwa secara normatif (administratif) memang batas wilayahnya
di Kali Tala, tapi berdasarkan pendekatan adat/historis, letaknya di Sungai Mala.59
Hal ini dipertahankan berdasarkan sejarah perjalanan orang-orang tua yang
mengikat perjanjian di Makina Mala. Janji ini kemudian dipegang teguh oleh anak-
anak adat yang disebut etnis Nusa Ina.
Oleh karena itu, sampai sekarang masih terjadi polemik antara Pemda
SBB dengan Pemda Kabupaten Maluku Tengah tentang batas wilayah. Hal ini
dapat dimengerti karena secara normatif administratif batas antara Kecamatan
Kairatu dengan Samasuru adalah Kali Tala ketika masih sama-sama dalam wilayah
administratif Maluku Tengah. Alasan Pemda SBB berjuang untuk peletakan batas
wilayah ini bukan saja karena nilai filosofis yang dikandung, tetapi juga karena
adanya perbedaan letak batas antara kedua kabupaten ini seperti yang tercantum
dalam rekomendasi Bupati Maluku Tengah (Rudolf Ruka) dengan lampiran UU
No. 40 tahun 2003 ( Undang-undang Pemekaran Kabupaten SBB, SBT dan
Kepulauan Aru). Sampai saat ini ketika ada pertanyaan seputar batas wilayah
SBB, apakah di Tala ataukah di Mala, banyak yang masih bingung dan enggan
menjawab, termasuk orang-orang yang duduk pada birokrasi pemerintahan SBB
sendiri. Alasannya karena hal ini masih bersifat rahasia dan sedang diperjuangkan
oleh pemda SBB.60
Dengan demikian dari gambaran tentang Nunusaku dan perjalanan tete-
nene moyang dalam membentuk kehidupan bersama yang damai, etnis Seram tetap
berada dalam satu pemikiran bersama bahwa mereka semua adalah satu dan sama.
59
Wawancara tanggal 2 Maret 2009 60
Wawancara dengan seorang Birokrat Pemda SBB yang berinisial JK, tanggal 24 Januari 2009.
40
Dari informasi-informasi yang dikumpulkan terlihat dengan jelas bahwa usaha
pewarisan nilai-nilai filosofis orang-orang tua selalu menjadi dasar pijakan bagi
mereka yang menamakan dirinya anak-anak adat. Bahkan dasar filosofis Makina-
Mala inilah yang dijadikan dasar dalam proses peletakan batas kabupaten baru
walaupun sampai draf ini ditulis sengketa antara Kabupaten SBB dan Maluku
Tengah belum juga ada penyelesaian. Makina Mala merupakan sebuah teritori
yang memiliki makna bagi kehidupan anak-anak adat setempat.
Lewat kepemimpinan Saniri Tiga Batang Air yang ikut mewariskan nilai-
nilai kearifan lokal, orang Seram Bagian Barat semakin merasa mantap untuk
berdiri sendiri. Bahkan banyak harapan yang disandarkan ketika kabupaten ini
berdiri. Nilai filosofis dari Makina Mala adalah bahwa seluruh masyarakat SBB
terutama pemerintah daerah merasa semakin perlu menggali nilai-nilai kearifan
lokal yang selama ini telah ada dan terpelihara dalam kehidupan bersama. Mereka
boleh berbeda dalam wilayah administratif pemerintahan, tetapi tetap merupakan
etnis Seram/Nusa Ina yang dalam tuturan orang tua adalah satu.
5. Catatan Penutup
Kehidupan masyarakat Seram dapat dipelajari melalui mitos-mitos yang
berkembang selama ini. Nunusaku yang merupakan mitos sentral masyarakat
Seram menjadi salah satu narasi munculnya rasa primordialisme kesukuan.
Masyarakat Seram Bagian Barat memandang Nunusaku sebagai asal mereka baik
Suku Alune maupun Wemale. Bagi mereka itu bukan sebuah hal yang penting.
Terlebih lagi dengan adanya pembentukan Saniri Tiga Batang Air oleh Belanda,
hal ini semakin memperkokoh rasa kebersamaan mereka sebagai etnis Seram.
Perjalanan sejarah orang-orang tua itu mereka abadikan dalam ingatan yang selalu
41
diwariskan kepada generasi berikutnya, dengan harapan agar anak cucu kelak
tetap mengingat Nunusaku sebagai perlambang orang Seram, serta dapat menjadi
sebuah pengikat rasa kebersamaan sebagai etnis Seram.
Sejarah adat masyarakat SBB akhirnya turut memberikan sumbangan
terhadap cara pandang masyarakat Seram. Bagaimana mereka memandang diri
mereka sendiri dan bagaimana mereka memandang orang lain yang berada di
lingkungan mereka. Secara keseluruhan, masyarakat Seram Bagian Barat
memandang bahwa mereka adalah satu. Mereka boleh berbeda dalam wilayah
administratif pemerintahan (Kabupaten SBB, Kabupaten SBT/Seram Bagian Timur
dan Kabupaten Maluku Tengah), tapi dalam budaya dan sejarah mereka tetap satu
karena keluar dari Nunusaku. Hal itu terjadi ketika berbicara tentang asal usul
mereka sebagai etnis Seram. Tapi bagaimana jika rasa kesamaan dan kebersamaan
etnis Seram ini dipertaruhkan dalam perebutan sumber-sumber ekonomi?
Perjalanan panjang yang berujung pada pemekaran setidaknya
meninggalkan sebuah pertanyaan besar. Apakah perjuangan pemekaran Kabupaten
SBB dan SBT merupakan sebuah bukti atas makin menipisnya rasa kebersamaan
etnis Seram yang berada pada wilayah Seram Barat, Tengah dan Timur?
Pertanyaan ini mengemuka sebab selama ini mereka selalu mengagung-agungkan
Nunusaku sebagai lambang pemersatu seluruh masyarakat Seram. Selain itu ketika
nantinya diperhadapkan pada perebutan sumber daya publik, apakah kebersamaan
dan kesatuan mereka masih bisa dipertahankan. Kalau memang makin menipisnya
rasa kebersamaan ini sebagai pemicu ide pemekaran, berarti dapat dikatakan
Nunusaku hanyalah sebuah fantasi masyarakat Seram akan kehidupan kebersamaan
yang akrab seperti pada masa lampau.
42
B A B III
MENUJU TERBENTUKNYA KABUPATEN SBB :
PROSES POLITIK DAN PROSES ADMINISTRATIF
1. Pengantar
Angin segar reformasi yang sedang berhembus di Indonesia membawa
pesan demokrasi dan otonomisasi daerah yang selama ini diperjuangkan
masyarakat. Banyak daerah yang selama pemerintahan otoriter Orde Baru merasa
dikungkung kebebasannya kini mulai bangkit memperjuangkan hak untuk
mengatur sumber daya lokal. Entah atas nama rakyat atau atas nama pribadi yang
diselewengkan dengan kepentingan rakyat. Di atas semua itu pemekaran wilayah
menjadi satu alternatif untuk meredam keinginan beberapa daerah yang hendak
memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bab ini akan membahas proses perjuangan masyarakat Seram Bagian Barat
menjadi sebuah kabupaten baru, terpisah dari Kabupaten Maluku Tengah.
Perjuangan masyarakat SBB untuk mekar sangat menarik karena memiliki alasan-
alasan cukup rasional. Pertama, rentang kendali pemerintahan yang cukup jauh
antara beberapa kecamatan dengan Masohi sebagai ibukota. Dengan akses jalan
raya yang rusak cukup parah, bahkan ada beberapa kecamatan yang tidak dapat
dicapai melalui jalur darat menyebabkan lambatnya pembangunan infrastruktur
yang berpengaruh pada proses pelayanan administratif dalam berbagai hal.
Kedua, sebagai etnis asli Seram, justru dalam setiap kali perebutan sumber-
sumber daya publik (dalam birokrasi pemerintahan) mereka selalu terdesak dan
43
kalah. Mereka selalu menjadi kaum nomor dua dan keberadaannya tidak
diperhitungkan sama sekali. Mereka merasa terpinggirkan di negeri sendiri. Tidak
banyak etnis asli Seram yang duduk dalam birokrasi pemerintahan. Bahkan seakan
sudah menjadi tradisi bahwa yang berperan di birokrasi pemerintahan Kabupaten
Maluku tengah adalah orang-orang Haturima Hatuhaha (sebutan untuk nama
kampung-kampung tertentu di Pulau Haruku seperti Pelau, Kailolo, dll).61
Dari
sinilah muncul sebuah ide besar tentang pemekaran wilayah SBB yang diharapkan
dapat memberikan kesempatan kepada putera-puteri Seram, khususnya SBB,
untuk dapat bekerja pada birokrasi pemerintahan.
Bab ini terlebih dahulu akan memaparkan proses pemekaran wilayah
Seram Bagian Barat. Pemekaran ini diawali dengan adanya saling lempar opini
antar anggota DPRD Kabupaten Maluku Tengah dan masyarakat tentang
kemungkinan pemekaran kabupaten SBB. Selain itu juga akan dibahas tentang
perjuangan masyarakat dan elit-elit SBB di tingkat birokrasi, terutama di tingkat
kabupaten induk (Maluku Tengah) yang enggan melepaskan Seram Bagian Barat,
serta proses pengusulan pemekaran di tingkat pusat. Bab ini juga akan menyoroti
motivasi-motivasi pemekaran dan sebuah resume sebagai catatan penutup.
2. Pemekaran Wilayah Seram Bagian Barat
Pemekaran wilayah di Indonesia entah pada tingkat kabupaten/kota ataupun
propinsi dewasa ini mengacu pada Undang-undang nomor 32 tahun 2004.
Berdasarkan UU ini, untuk mengusulkan pemekaran sebuah daerah baru
setidaknya ada tiga syarat yang harus dipenuhi. Ketiga syarat itu adalah syarat
administrasi, syarat teknis dan syarat fisik, yang semuanya selalu ditunjukkan
61
Seperti ungkapan seorang pemuda berinisial OS, tanggal 17 Agustus 2009.
44
dengan angka-angka.62
Artinya, dalam pemekaran ini yang selalu menjadi acuan
adalah berapa jumlah kecamatan yang dipunyai oleh sebuah wilayah jika ingin
menjadi sebuah kabupaten otonom. Demikian halnya dengan propinsi. Sebuah
wilayah yang hendak mekar menjadi kabupaten, sekurang-kurangnya ia harus
memiliki paling sedikit lima kecamatan dan empat kecamatan untuk kota serta
lima kabupaten untuk propinsi.63
Menurut Giri A. Taufik bahwa tujuan dari pemekaran dapat ditinjau dari beberapa
aspek, yakni:64
1. Aspek sosial budaya, salah satunya diharapkan dapat
mengakomodasikan identitas-identitas lokal yang pada gilirannya dapat
berpengaruh pada masyarakat lokal untuk menentukan tujuan-tujuan
pembangunannya.
2. Aspek politik, diharapkan bisa melibatkan dan meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam mengambil kebijakan karena rentang kendali
menjadi lebih pendek.
3. Aspek ekonomi, diharapkan bisa meningkatkan efisiensi dan efektivitas
proses pengambilan keputusan, sehingga pemerintah dengan cepat dapat
merespon kepentingan-kepentingan masyarakat.
Dengan demikian pemekaran wilayah ini adalah untuk kepentingan masyarakat,
yakni untuk mendekatkan pemerintah dengan masyarakat serta pemberdayaan
62
Giri Ahmad Taufik, “Konsepsi Pemekaran Aceh (ALA ABAS) Dan Pengaruhnya Terhadap
Peningkatan Kesejahteraan dan Kehidupan Kultural Masyarakat”, dalam Ning Retnaningsih, dkk
(ed), Penataan Daerah (Territorial Reform) dan Dinamikanya, Salatiga, Percik, 2008, hlm.128-
129. 63
Sebagaimana yang tercantum dalam UU No 32 tahun 2004, pasal 5. Selain persyaratan fisik
tentang jumlah kecamatan dan kabupaten maka syarat lainnya adalah mengenai lokasi calon
ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan. 64
Giri Ahmad Taufik, loc cit.
45
masyarakat pada aras lokal dengan selalu memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal
masyarakat, yang pada gilirannya menjadikan masyarakat sebagai penentu
kebijakan daerahnya sendiri.65
Jika mengacu pada undang-undang tersebut, maka SBB sebenarnya tidak
layak untuk dimekarkan menjadi sebuah kabupaten baru sebab syarat fisik berupa
jumlah kecamatan yang harus dipunyai oleh sebuah daerah jika ingin mekar
menjadi kabupaten otonom tidak terpenuhi. Pada awalnya kabupaten ini hanya
terdiri dari tiga kecamatan yakni kecamatan Seram Barat I (Kairatu), Kecamatan
Seram Barat II (Piru) dan Kecamatan Taniwel. Selain itu belum adanya sarana dan
prasarana pemerintahan yang memadai yang dapat menunjang SBB sebagai
kabupaten baru. Belum lagi adanya polemik seputar lokasi calon ibukota kabupaten
jika merujuk pada UU No.40 tahun 2003 pasal 9, sebab dalam undang-undang
tersebut dicantumkan bahwa lokasi ibukota kabupaten berada pada Dataran
Hunipopu, sedangkan Dataran Hunipopu sampai saat ini masih merupakan sebuah
lahan kosong (tidak berpenghuni).66
Dengan demikian sebagai kabupaten baru
SBB jauh dari kesiapan, tetapi karena desakan anak-anak adat yang menginginkan
pemekaran kabupaten cukup kuat, maka undang-undang ini pun tidak menjadi
masalah. Yang menjadi masalah adalah apakah masyarakat SBB siap membangun
kabupaten yang baru.
65
Tri Ratnawati, Potret Pemerintahan Lokal di Indonesia Di Masa Perubahan, Yogyakarta dan
Jakarta, Pustaka Pelajar dan Pusat Penelitian Politik LIPI, 2006, hlm. 87 66
Wawancara dengan salah satu orang tua yang bermukim di Piru berinisial MS tanggal 21
Desember 2008, selain itu penulispun telah melihat langsung dataran ini.
46
A. Di Awal Perjuangan Sejarah terbentuknya Kabupaten SBB setidaknya hampir sama dengan
sejarah pemekaran kabupaten /kota bahkan propinsi lainnya di Indonesia. Selalu
didahului dengan ketidakpuasan dan keluhan-keluhan para elit lokal daerah
bersangkutan. Hal ini kemudian mendapat dukungan masyarakat. Sebuah wilayah
yang merasa kepentingannya selalu diabaikan oleh pemerintah daerah dengan
sendirinya akan berupaya memekarkan diri lepas dari kabupaten induk. Belum lagi
penyelenggaraan otonomi daerah lebih didominasi oleh pemerintah daerah yang
kurang melibatkan masyarakat dan beranggapan bahwa keterlibatan masyarakat
telah terwakili oleh DPRD.67
Hal ini pun terjadi pada daerah Seram Bagian Barat yang merupakan salah
satu daerah Kabupaten Maluku Tengah. Wilayah Kabupaten Maluku Tengah
meliputi seluruh Pulau Seram serta beberapa gugusan pulau di seputarnya, bahkan
sampai pada beberapa kepulauan di Laut Banda (untuk lebih jelas dapat dilihat
pada lampiran). Dengan rentang kendali yang cukup luas dan tidak didukung akses
sarana dan prasarana transportasi yang memadai, inilah yang menjadi alasan utama
tuntutan pemekaran oleh masyarakat SBB. Selain itu, pembangunan di beberapa
pulau bahkan di Pulau Seram sendiri berjalan sangat lambat. Seperti yang
diungkapkan oleh seorang putera daerah SBB, Ir. Niko Puttileihalat, bahwa kalau
SBB dan SBT (Seram Bagian Timur) tidak dimekarkan, maka sampai kapan
pembangunan yang sudah berjalan kurang lebih 50 tahun ini bisa dinikmati oleh
orang-orang di ujung Seram Timur dan ujung Seram Barat.68
Pernyataan tersebut
67
Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme, Yogyakarta, Graha
Ilmu, 2009, hlm.315. 68
Harian Umum Siwalima, Kamis 9 Januari 2003, Edisi 048/XII tahun IV.
47
menunjukkan bahwa salah satu cara mempercepat pembangunan di bagian Pulau
Seram adalah dengan pemekaran wilayah menjadi beberapa wilayah administratif
baru lepas dari Kabupaten Maluku Tengah.
Dengan adanya isu-isu yang sengaja dihembuskan oleh tokoh-tokoh
tertentu yang menyatakan bahwa SBB dan SBT belum siap untuk berdiri menjadi
sebuah kabupaten baru, banyak putera-puteri daerah SBB yang membantah hal
tersebut dengan semakin memperjuangkan pemekaran daerah ini. Misalnya saja
pernyataan seorang anggota DPRD Propinsi Maluku yang berinisial JT bahwa jika
dibandingkan SBB dan SBT, sebenarnya Kepulauan Aru jauh lebih siap menjadi
kabupaten baru. Pernyataan ini pun tidak dapat dibenarkan mengingat SBB dan
SBT sangat kaya sumber daya alam, baik hasil hutan dan perkebunan maupun
bahan tambang (minyak bumi, nikel dan emas).
Isu-isu lain yang berkembang di seputar wacana pemekaran Kabupaten
SBB adalah kesiapan masyarakat dan anak-anak daerah SBB. Maksudnya adalah
apakah seluruh masyarakat SBB sudah siap untuk dimekarkan lepas dari Maluku
Tengah. Namun isu inipun tidak berlangsung lama. Sebab, isu ini dibalas dengan
pernyataan masyarakat SBB lewat latupati-latupati (raja-raja/bapa raja/kepala desa)
se-SBB yang menyatakan kesungguhan mereka untuk lepas dari Maluku Tengah
dan berdiri sebagai sebuah daerah otonom baru. Demikianlah awal pemekaran
kabupaten ini penuh dengan adu argumentasi antara masyarakat SBB dengan
masyarakat non-SBB ataupun dengan Pemerintah Maluku Tengah yang
menyebabkan hampir terjadinya perkelahian antar anggota DPRD Maluku Tengah
48
pada saat membahas rencana pemekaran SBB dan SBT pada tanggal 27 Pebruari
2003.69
B. Pemekaran Kabupaten Baru70
Berbekalkan keyakinan untuk mengatur diri sendiri sebagai daerah otonom,
para elit lokal dan masyarakat SBB bertekad untuk mekar dari Kabupaten Maluku
Tengah. Hal ini tak lepas dari semangat reformasi yang mengedepankan
desentralisasi kekuasaan untuk kepentingan masyarakat. Kondisi ini semakin
diperkuat dengan adanya kebijakan pemerintah pusat maupun daerah untuk
memekarkan daerah-daerah baru. Sebagaimana respon pemerintah Propinsi
Maluku yang akhirnya mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Propinsi Maluku
Nomor 1 tahun 1997 tentang pemekaran 5 daerah otonom di Propinsi Maluku.
Di setiap awal proses pemekaran suatu daerah, kekuatan masyarakat
menjadi salah satu faktor penentu. Seperti yang diungkapkan oleh Yaya Mulyana
bahwa sinergi kekuatan-kekuatan masyarakat dapat menjadi salah satu faktor
penentu keberhasilan pemekaran propinsi Banten yang lepas dari Propinsi Jawa
Barat.71
Demikian juga dengan Kabupaten SBB yang ingin mekar dari Kabupaten
Maluku Tengah sebagai wujud pelaksanaan surat keputusan Pemerintah Daerah
Propinsi Maluku.
Para elit lokal SBB dan masyarakat SBB ingin berdiri sendiri sebagai
sebuah wilayah administrasi baru. Pemekaran wilayah SBB berangkat dari sebuah
idealisme elit-elit SBB yang mengidam-idamkan adanya sebuah kabupaten yang
69
Harian Umum Siwalima, Jumat 28 Februari 2003, Edisi: 028/II Tahun IV 70
Sebagian sejarah pemekaran ini diperoleh dari arsip Sekda SBB bagian pemerintahan. 71
Yaya Mulyana, “Dimensi Gerakan Dalam Pembentukan Propinsi Banten”, dalam Erick Hiariej,
Ucu Martanto, Ahmad Musyaddad (Ed), Politik Transisi Pasca Soeharto, Yogyakarta, FISIPOL
UGM, 2004, hlm.202.
49
bisa menjadi sarana bagi putera-puteri daerahnya untuk berkarya di birokrasi
pemerintahan tanpa takut tersaingi oleh orang luar. Selain itu, walaupun tidak
memiliki organisasi resmi yang dapat menjadi sarana penggerak, ide pemekaran ini
tetap dimantapkan dalam setiap pertemuan para elit SBB.72
Ide ini kemudian
mereka satukan dalam perjuangan di tingkat birokrasi pemerintahan maupun di
tingkat masyarakat yang memang selama ini menginginkan sebuah perubahan bagi
daerah mereka.
Pada awalnya keputusan Pemda Propinsi tidak dapat diimplementasikan
oleh Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah. Padahal telah dilakukan uji kelayakan
oleh Tim Studi Kelayakan Seram Bagian Barat Propinsi Maluku dan Bappeda
Propinsi Maluku pada bulan Oktober sampai Nopember 2000.73
Terhadap uji
kelayakan ini, menurut pendapat Ketua Tim Kerja Otonomi Daerah Komisi II
DPR-RI sebagaimana dikutip Makagansa, penentuan kelayakan daerah merupakan
titik awal dan sangat menentukan daya mandiri daerah itu untuk membangun ke
depan dan tidak menjadi beban dan tanggung jawab negara.74
Dengan dukungan
pemerintah propinsi, SBB dinilai layak berdiri menjadi sebuah kabupaten otonom.
Dengan kondisi yang demikian, Consorsium Nusa Ina (CNI) selaku NGO
dan putera-puteri daerah SBB yang berdiam di luar SBB bersama sejumlah institusi
kemasyarakatan, para latupati75
yang ada di empat kecamatan (Huamual Belakang,
Kairatu, Seram Barat dan Taniwel), mulai melakukan tekanan-tekanan politik ke
72
Wawacara tanggal 17 Januari 2009, dengan seorang pemuda yang juga turut bekerja untuk
proses ini berinisial OS 73
Harian Umum Siwalima, Selasa 19 Agustus 2003, Edisi 214/VIII Tahun IV. 74
Makagansa, op.cit, hlm. 165. 75
Latupati adalah raja yang membawahi beberapa orang raja.
50
berbagai institusi pemerintahan. Tujuannya untuk mencapai kesepakatan guna
proses pemekaran tersebut.
Sikap Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah yang tidak segera
merespons keputusan Pemerintah Maluku dan segala aspirasi masyarakat SBB
merupakan salah satu faktor kendala desentralisasi. Menurut Edie Toet Hendratno,
kendala tersebut adalah adanya ketidaktulusan di kalangan pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah untuk mendudukkan masyarakat pada posisi yang
sebenarnya. Posisinya yakni sebagai elemen penting dalam proses pengambilan
keputusan.76
Atau dengan kata lain bahwa adanya kecenderungan Pemerintah
Kabupaten Maluku Tengah tidak rela melepaskan SBB dan SBT menjadi
kabupaten otonom baru mengingat daerah-daerah ini kaya sumber daya alam,
merupakan salah satu faktor yang dapat menyumbang kemandirian ekonomi suatu
daerah.77
Selain itu, perjuangan masyarakat yang dimotori CNI ini menunjukkan
bahwa organisasi-organisasi tingkat lokal memiliki pengaruh yang begitu kuat
karena didukung berbagai tokoh masyarakat yang sudah diakui (cukup terkenal di
kalangan masyarakat Seram bahkan Maluku).78
Tokoh-tokoh masyarakat ini bukan
saja yang berdiam di SBB sendiri, melainkan juga melibatkan sejumlah tokoh-
76
Edie Toet Hendratno, op.cit, hlm. 69. Menurutnya selain adanya ketidaktulusan pemerintah baik
pusat maupun daerah, faktor lain yang menjadi kendala desentralisasi adalah skala besaran wilayah
operasi pemerintah daerah yang mengakibatkan penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi
kurang efektif terutama dalam menangani persoalan sosial dan ekonomi. 77
Lili Romli, Potret Otonomi Daerah Dan Wakil Rakyat Di Tingkat Lokal, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2007, hlm. 58. 78
Bandingkan dengan tulisan Yaya Mulyana tentang proses pemekaran Propinsi Banten yang
dimotori oleh kelompok-kelompok masyarakat, LSM-LSM, himpunan-himpunan maupun forum-
forum serta mahasiswa yang setidaknya telah mengecap pendidikan metropolitan yang
mencetuskan pikiran-pikiran guna pemekaran tersebut, Dalam Dimensi Gerakan dalam
Pembentukan Propinsi Banten, op.cit, hlm. 208.
51
tokoh yang berada di luar SBB (Ambon dan sekitarnya) yang cukup vokal bersuara
tentang pemekaran.
Dengan adanya tekanan-tekanan yang dilakukan oleh masyarakat SBB
melalui perwakilan CNI dicapailah hasil-hasil yang cukup menggembirakan.
Diantaranya adalah Rekomendasi Bupati Maluku Tengah (Rudolf Ruka) Nomor :
100/87/Rek/2002 tanggal 21 Juni 2002 tentang dukungan pemekaran Kabupaten
Seram Bagian Barat. Dukungan ini bukan saja diperoleh dari Bupati Maluku
Tengah tetapi juga dari Ketua DPRD Kabupaten Maluku Tengah, Hasbullah Selan,
SHi (Sarjana Hukum Islam). Menurut informasi yang didapat bahwa rekomendasi
yang dikeluarkan oleh Bupati Rudolf Ruka adalah berdasarkan tulisan salah satu
tokoh pemekaran SBB.79
Menurut para elit SBB, Rekomendasi Bupati Maluku Tengah dan dukungan
ketua DPRD merupakan titik awal pengusulan kabupaten SBB ke DPR-RI.
Adapun pengusulan ini nantinya akan masuk dalam agenda pembahasan dewan.
Dengan dukungan 20 anggota DPR-RI sebagai hak usul inisiatif dewan maka
dalam Rapat Paripurna DPR-RI tanggal 27 Nopember 2002 telah diambil
keputusan tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemekaran Kabupaten
SBB. Keputusan ini sebagai hak usul inisiatif dewan dan didukung semua fraksi.
Demikianlah secara politis Seram Bagian Barat telah final dan hanya menunggu
proses administrasi.
79
Wawancara dengan seorang tokoh pemekaran berinisial NE tanggal 2 Maret 2009. Dari
penjelasan tokoh inilah tersingkap jelas kenapa sampai saat ini masih ada beda pendapat antara
Pemerintah Kabupaten SBB dengan Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah tentang tapal batas
kedua kabupaten ini.
52
Consorsium Nusa Ina (CNI) dalam gerakan pemekaran berjalan tanpa
dukungan dana dari pemerintah daerah. Namun dengan tekad dan semangat telah
memfasilitasi dokumen administrasi mulai dari pengumpulan dukungan masyarakat
SBB, membuat studi kelayakan, pembuatan lambang kabupaten80
serta
memfasilitasi kelengkapan normatif lainnya. Kelengkapan itu antara lain dukungan
pemerintah daerah dan DPRD Kabupaten Maluku Tengah. Dukungan Pemerintah
Maluku Tengah yang dirasakan lambat mengindikasikan kekurangseriusan dalam
proses tersebut.
Tanggapan yang kurang serius dari Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah
menyebabkan adanya campur tangan pemerintah propinsi dan pemerintah pusat
yang selalu memberikan tekanan politik dan hukum. Pemerintah Propinsi Maluku
menyatakan dukungannya dengan mengeluarkan SK Gubernur Maluku Nomor 139
tahun 2003 tentang kesanggupan pemenuhan Propinsi Maluku atas dukungan dana
bagi kabupaten baru. Selain itu juga dukungan datang dari Komisi II DPR-RI.
Terhadap dukungan DPR-RI ini banyak suara yang mempertanyakan dukungan
mereka. Misalnya dalam kasus pemekaran salah satu kabupaten di Sumba (Propinsi
NTT) ditemukan bahwa kedatangan anggota DPR di daerah tersebut bukan dalam
rangka penilaian layak atau tidak, melainkan dalam fungsi konsultatif. Maksudnya
adalah mengarahkan dan memberikan saran-saran bagaimana pemekaran dapat
mulus dan digolkan.81
Hal ini tentu saja akan berpengaruh ketika daerah tersebut
jadi dimekarkan.
80
Pembuatan lambang kabupaten ini dikerjakan oleh tokoh-tokoh pemekaran serta tokoh-tokoh
masyarakat SBB, salah satu tokoh tersebut yang menjadi responden. Dengan motto Saka Mese
Nusa (bahasa Wemale) artinya Jaga Pulau Bai-bai (jaga pulau dengan baik). 81
Makagansa, op.cit, hlm.187-188.
53
Dengan dukungan dari semua pihak, maka semua kelengkapan administratif
dari pemerintah kabupaten induk dan pemerintah propinsi pada waktunya dapat
dipenuhi. Pada tanggal 10 – 20 Nopember 2003 diadakan pembahasan Rancangan
Undang-Undang Pemekaran. Pembahasan RUU ini menyangkut pemekaran 24
kabupaten dari 13 propinsi di seluruh Indonesia oleh pemerintah pusat bersama
DPR-RI. Pembahasan ini dihadiri oleh LO (Liason Officer) dan perwakilan tiap
propinsi. Propinsi Maluku diwakili ketua CNI (Jacobus Fredik Puttileihalat, S.Sos).
Oleh Dr. Sijagor Situmorang yang mewakili pemerintah pusat, ditunjuklah ketua
CNI untuk mempresentasikan tiga kabupaten di propinsi Maluku, yakni Seram
Bagian Barat (SBB), Seram Bagian Timur (SBT) dan Kepulauan Aru.
Pada tanggal 7 Januari 2004 di Jakarta telah diresmikan berlakunya 24
daerah otonom baru di seluruh Indonesia. Oleh karena tanggal tersebut ditetapkan
sebagai hari lahirnya kedua puluh empat daerah itu. Pengukuhan tanggal 7 Januari
2004 sebagai hari lahirnya Kabupaten SBB ditetapkan dengan Surat Keputusan
Bupati SBB Nomor: 141-04 tanggal 25 Agustus 2005.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk menuju sebuah perubahan
sangat diperlukan dukungan masyarakat. Dukungan masyarakat tentunya dapat
menjadi daya dorong untuk maju di bawah pengawasan pemerintah daerah dan
pusat. Perjuangan panjang masyarakat SBB dan masyarakat daerah lain hasil
pemekaran ini setidaknya telah membuktikan bahwa kekuatan masyarakat di era
desentralisasi kekuasaan cukup mampu membawa perubahan bagi masyarakat itu
sendiri tanpa menunggu perubahan dari pemerintah. Sebab, yang menjadi sasaran
pemekaran adalah masyarakat itu sendiri.
C. Alasan-alasan di Balik Usulan Pemekaran
54
Ketika tercetus keinginan untuk berdiri sendiri sebagai sebuah daerah
otonom, dalam pengajuan proposal untuk mekar setidaknya tercantum alasan-
alasan mendasar. Alasan-alasan ini dapat menjadi dasar pijakan bagi pemerintah
daerah maupun pusat guna persetujuan pemekaran. Alasan utama yang sering
dikemukakan dalam proses pemekaran suatu daerah menurut Makagansa adalah
peningkatan pelayanan publik dengan memperpendek rentang kendali
pemerintahan dalam wilayah-wilayah yang lebih kecil. Selain itu juga peningkatan
kesejahteraan menjadi salah satu alasan cukup populer terkait dengan pembagian
pendapatan daerah dari hasil sumber daya alam yang tidak seimbang antara daerah
dengan pusat. Masalah identifikasi etnis juga disebut-sebut sebagai salah satu
alasan utama.
Bagi para elit SBB alasan utama pemekaran adalah memperkecil rentang
kendali guna pelayanan publik. Hal ini tentulah dapat dipahami mengingat rentang
kendali wilayah administratif Kabupaten Maluku Tengah yang terbentang dari
timur ke barat sangat luas. Belum lagi akses sarana dan prasarana transportasi yang
tidak memadai. Hal inilah yang mendorong timbulnya gerakan pro pemekaran
yang disponsori oleh CNI dan tokoh-tokoh masyarakat SBB lainnya. Jadi alasan
yang dikemukakan disini bukan semata-mata copy- paste dari alasan pemekaran
daerah lain.
Di antara alasan yang diberikan tersebut, muncul pertanyaan lain yang
cukup penting untuk mendapat perhatian. Apakah hanya alasan itu yang
mendorong tokoh-tokoh elit SBB berjuang untuk lepas dari Kabupaten Maluku
Tengah? Atau adakah alasan lain yang cukup kuat memotivasi para tokoh pejuang
55
pemekaran? Semua itu nantinya dapat terjawab ketika daerah SBB telah resmi
berdiri sebagai sebuah kabupaten baru.
Ada beberapa alasan/sebab terjadinya pemekaran. Seperti yang
diungkapkan oleh Aloysius Gunadi Brata, alasan tersebut adalah penyebaran
geografis (wilayah administratif yang cukup luas), keragaman politik etnis,
kekayaan sumber daya alam dan juga soal korupsi elit-elit lokal yang memburu
peluang-peluang ekonomis pemekaran.82
Dari pendapat tersebut kelihatannya
alasan yang mendasar hampir selalu ada di setiap proses pemekaran. Walaupun
demikian belum tentu semua alasan dimasukkan sebagai alasan resmi pemekaran
(tercatat dalam proposal pemekaran yang diajukan kepada pemerintah daerah
maupun pemerintah pusat). Banyak daerah ketika hendak mekar selalu mengajukan
diri dengan alasan yang kelihatannya sangat logis. Tetapi di balik semua alasan-
alasan yang kelihatannya logis tersebut, terselip alasan-alasan yang tidak pernah
disinggung di depan publik.
Seperti yang diungkapkan oleh Makagansa bahwa memang di luar alasan
formal yang sering digembar-gemborkan ada beberapa alasan yang tidak diucapkan
namun sesungguhnya menjadi semangat pemekaran daerah.83
Alasan-alasan
tersebut diantaranya adalah:
1. Motif politik identitas kultural; selama ini banyak etnis dan sub-etnis
yang merasa terpinggirkan dalam akses terhadap sumber-sumber daya
publik. Ini kemudian mendorong para elit mereka berupaya menggalang
82
Aloysius Gunadi Brata, “Konsolidasi Daerah dan Pelayanan Publik”, dalam Ning retnaningsih,
dkk (ed), Penataan Daerah (Territorial Reform) Dan Dinamikanya, Salatiga, Percik, 2008, hlm.
59. 83
Makagansa, op.cit, hlm. 165-166.
56
dukungan masyarakat dengan menghembuskan isu etnis tersebut.
Misalnya saja dalam tulisan Gustiana Kambo yang memperlihatkan
betapa Suku Mandar ingin mekar menjadi sebuah propinsi baru lepas
dari dominasi Suku Bugis di Propinsi Sulawesi Selatan karena merasa
memiliki identitas budaya sendiri, Pemekaran Kabupaten Mentawai
yang lepas dari Padang Pariaman dan kasus pada daerah-daerah
mekaran lainnya.
2. Motif menciptakan peluang perekrutan jabatan bagi elit lokal; dari motif
ini terlihat dengan jelas keinginan menciptakan posisi kekuasaan yang
lebih banyak di daerah tertentu. Hal ini dapat dipahami mengingat
pembentukan daerah administratif baru semakin menciptakan peluang
bagi perekrutan kepala daerah baru dan berbagai jabatan-jabatan
strategis lainnya sampai pada sejumlah besar tenaga kerja pada birokrasi
pemerintahan. Bahkan tidak jarang terjadi bahwa seringkali para
pemrakarsa pemekaran tersebut akhirnya terpilih menjadi kepala daerah
dan wakilnya, entah itu bupati ataupun gubernur.
Dari alasan-alasan ini terlihat dengan jelas bahwa pemekaran yang selalu
dikatakan untuk masyarakat sebenarnya hanya merupakan bagian kecil yang ingin
dicapai oleh tokoh-tokoh pejuang pemekaran suatu daerah. Dengan kata lain,
pemekaran diboncengi kepentingan pribadi. Atau, tujuan-tujuan pragmatis sangat
dominan dalam pemekaran wilayah di era reformasi dan sebaliknya kepentingan
57
publik hanya sebagai „tumpangan‟ bagi aktor-aktor dalam mencapai self-interest
mereka yang sesungguhnya.84
Dengan melihat alasan-alasan/motif pemekaran di atas, baik yang tersurat
maupun tidak, hal ini dapat dipakai untuk membedah kondisi pemekaran
Kabupaten SBB yang merupakan salah satu kabupaten mekaran baru di Propinsi
Maluku bersama dengan Kabupaten SBT dan Kepulauan Aru. Benarkah SBB
mekar semata-mata hanya karena alasan pelayanan publik yang mempermudah
masyarakat serta mendekatkan pemerintah dengan masyarakat? Apakah tidak ada
motivasi lain selain hal tersebut? Pertanyaan ini kemudian mengemuka setelah
kabupaten SBB mekar.
Menurut seorang responden yang juga adalah seorang tokoh gerakan
pemekaran, sebenarnya alasan yang dikemukakan dalam draf usulan pemekaran
hanya bersifat umum. Maksudnya, yang dikemukakan dalam draf tersebut
hanyalah demi alasan pelayanan publik dengan memperkecil rentang kendali dari
Masohi sampai ke Seram Barat (bahkan beberapa pulau sekitarnya) dan Taniwel,
tetapi ada alasan mendasar yang tidak dicantumkan. Kalau alasannya untuk
memperkecil rentang kendali pemerintahan maka sebenarnya yang menjadi
permasalahan adalah pada sarana dan prasarana transportasi. Pemerintah
Kabupaten Maluku Tengah bisa saja diminta untuk membuat jalan raya dari Tala
langsung ke Taniwel. Selain itu juga, memperbaiki jalan raya yang
menghubungkan Masohi dengan kecamatan-kecamatan lain. Sedangkan untuk
mengatasi jauhnya jarak yang ditempuh untuk pelayanan administratif maka dapat
dibangun beberapa kantor camat pembantu di wilayah-wilayah tersebut, biaya yang
84
Tri Ratnawati, Pemekaran Daerah, Politik Lokal & Beberapa Isu terseleksi, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2009, hlm.34-35.
58
dikeluarkan untuk pembangunan ini jauh lebih murah jika dibandingkan dengan
biaya pemekaran kabupaten baru.85
Dari penjelasan itu setidak-tidaknya dapat diketahui beberapa hal
menyangkut keinginan masyarakat SBB untuk mekar. Diantaranya adalah bahwa
selama berada dalam wilayah administratif Kabupaten Maluku Tengah, tidak
adanya kesetaraan dalam pembangunan. Maksudnya pembangunan itu lebih
banyak menjangkau daerah-daerah seputar Masohi. Contohnya jalan trans-Seram
yang menghubungkan Masohi dengan Wahai (Kecamatan Seram Utara) yang
diaspal hotmix sehingga mempermudah akses ke Masohi.
Selain lambatnya pembangunan menjangkau wilayah barat dan timur Pulau
Seram, memperkecil rentang kendali sebenarnya bukan merupakan sebuah alasan
yang kuat untuk pemekaran. Alasan sebenarnya muncul dalam pertanyaan awal
yang tokoh (Bapak NE) ini lontarkan bahwa selama dalam Kabupaten Maluku
Tengah, ada berapa banyak Anak Seram yang duduk pada birokrasi pemerintahan?
Hal ini tentunya menyiratkan alasan-alasan yang sebenarnya menjadi dasar pijakan
tokoh-tokoh pemekaran untuk bertindak. Dengan mempertanyakan berapa banyak
Anak Seram pada birokrasi Pemerintahan Kabupaten Maluku Tengah
mengindikasikan adanya rasa ketidakpuasan diperlakukan tidak adil oleh
Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah. Oleh karena itulah maka para tokoh ini
berjuang agar setidaknya SBB dapat menjadi sebuah kabupaten baru yang dapat
menampung aspirasi masyarakat SBB terlebih khusus memperhatikan semua nilai-
nilai kearifan lokal yang terdapat dalam kultur masyarakat SBB.
85
Wawancara dengan seorang tokoh pemekaran yang berinisial NE, tanggal 2 Maret 2009.
59
Dengan alasan yang diungkapkan tersebut telah terjawab apa yang selama
ini melatarbelakangi perjuangan pemekaran. Seperti yang diungkapkan oleh
Makagansa bahwa alasan yang tidak digembar-gemborkan adalah perjuangan atas
nama etnis dan masyarakat yang termarjinalkan. Perjuangan ini adalah upaya agar
anak-anak Seram mendapat pengakuan bahwa mereka juga mampu berkarya pada
birokrasi pemerintahan hanya saja tidak diberi kesempatan oleh Pemerintah
Maluku Tengah. Selain itu juga mereka berhak untuk bekerja di daerah mereka
tanpa takut disaingi oleh orang lain.
Ketika pada akhirnya SBB berdiri menjadi sebuah kabupaten otonom, dan
berhadapan dengan proses pilkada yang pertama di tahun 2005, calon-calon yang
maju dalam perebutan kursi bupati dan wakil bupati semuanya diisi oleh tokoh-
tokoh pemekaran. Menurut salah seorang informan yang turut bekerja untuk
pemekaran kabupaten ini, adanya tokoh-tokoh pemekaran yang maju sebagai calon
bupati dan wakil bupati hanya untuk menyiasati undang-undang pemilihan kepala
daerah. Sebab jika ini tidak dilakukan, maka akan ada calon yang berasal dari luar
SBB (bukan etnis SBB) dan tidak tertutup kemungkinan bisa saja orang yang
berasal dari luar SBB tersebut yang menjadi bupati pertama kabupaten SBB. Hal
inilah yang diantisipasi oleh para tokoh pemekaran tersebut, sehingga siapapun
yang memenangkan kursi bupati dan wakil bupati pertama SBB adalah orang SBB
sendiri.86
Informasi ini kelihatannya sangat rasional, namun ketika dibenturkan
dengan kenyataan yang terjadi di lapangan, misalnya besarnya biaya kampanye
yang dikeluarkan oleh masing-masing calon bahkan sampai dengan masalah tarik-
86
Wawancara tanggal 17 Agustus 2009.
60
ulur hasil pemilihan, informan ini hanya mampu mengatakan bahwa ini sudah
menyangkut masalah politik dan ia tidak dapat menjawabnya. Itu berarti bahwa
tujuan pemekaran yang pada awalnya baik telah berubah menjadi sebuah arena
perebutan kekuasaan di kalangan tokoh-tokoh pemekaran itu sendiri.
Dari sinilah awal alasan pengutamaan putera-puteri daerah ini
dimunculkan. Putera-puteri Seram merasa bahwa pemekaran itu hanya untuk
mereka. Hanya mereka yang berhak duduk dalam birokrasi pemerintahan karena
memang itulah yang sejak awal diperjuangkan. Tetapi di atas semua itu putera-
puteri Seram harus siap bersaing dengan orang lain akibat adanya niat-niat
tersembunyi yang dibawa sejak awal perjuangan pemekaran daerah.
3. Catatan Penutup
Dengan paparan di atas, pemekaran Kabupaten SBB merupakan bukti
kerjasama masyarakat dengan tokoh elit masyarakat SBB baik yang bermukim di
SBB maupun di Ambon dan sekitarnya. Para elit SBB dalam memperjuangkan
pemekaran kabupaten baru tidak sendirian. Mereka mendapat dukungan dari
masyarakat SBB terlebih lagi oleh para latupati, meskipun pada awalnya proses
pemekaran ini tersendat-sendat karena adanya ketidaktulusan Pemda Kabupaten
Maluku Tengah.
Adapun tujuan pemekaran Kabupaten SBB adalah untuk kesejahteraan
masyarakat SBB, yakni mempermudah pelayanan administratif dan mendekatkan
pemerintah dengan masyarakat. Tetapi tujuan utama yang menjadi ide dasar
pemekaran ini adalah memperjuangkan nasib putera-puteri Seram, khususnya
Seram Bagian Barat, yang termarjinalkan di daerah sendiri. Keprihatinan ini
berawal dari sebuah kenyataan sangat minimnya putera-puteri Seram yang duduk
61
pada birokrasi pemerintahan Kabupaten Maluku Tengah. Dari adanya keprihatinan
tersebut, di awal pemekaran telah berhembus isu adanya pengutamaan putera-
puteri daerah. Mereka yang merasa sebagai etnis SBB semakin yakin adanya suatu
perbaikan kondisi dengan berdiri sebagai sebuah kabupaten otonom lepas dari
Maluku Tengah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dengan adanya pemekaran
kabupaten baru, banyak peluang putera-puteri daerah SBB untuk bekerja dan
mengabdi di negeri sendiri khususnya pada birokrasi pemerintahan. Mereka yang
merasa sebagai putera-puteri daerah SBB sangat menyakini hal tersebut. Bahkan
mereka merasa yakin bahwa isu pengutamaan putera daerah ini akan benar-benar
dilaksanakan. Itu berarti akan menutup peluang bagi para pendatang.
62
B A B IV
PERGUMULAN KABUPATEN BARU
DAN POLITISASI IDENTITAS
1. Pengantar
Terbentuknya kabupaten baru melambungkan banyak harapan, teristimewa
di kalangan warga daerah SBB. Bab ini akan menyoroti politisasi identitas dalam
kaitannya dengan upaya-upaya perebutan sumber-sumber daya publik, terutama di
kalangan masyarakat Waisarisa. Ada beberapa alasan mengapa masyarakat
Waisarisa yang penulis angkat disini. Pertama, masyarakat Waisarisa merupakan
masyarakat yang sangat heterogen. Artinya, mereka bukan merupakan masyarakat
yang memiliki kesamaan-kesamaan tertentu sebagaimana layaknya masyarakat
pada negeri-negeri87
di Maluku pada umumnya.88
Mereka tidak terdiri atas satu
etnis, tetapi beberapa etnis dengan kepercayaan dan budaya yang berbeda pula.
Adanya pabrik pengolahan kayu lapis milik PT. Djayanti Group di daerah ini
menyebabkan banyak orang dari berbagai daerah, bahkan dari luar propinsi
Maluku, datang bekerja di sini.
Kedua, politisasi identitas paska pemekaran SBB sebagai kabupaten baru
sangat marak dibicarakan. Artinya, politisasi identitas dalam kaitannya dengan
perebutan sumber-sumber daya publik menjadi isu krusial dalam wacana
87
Lihat catatan kaki 3 pada Bab I. 88
Perbedaan Waisarisa dengan negeri-negeri lain di Maluku yang lebih spesifik sudah penulis
utarakan pada bab I secara terperinci (lihat catatan kaki 21)
63
pemekaran wilayah.89
Politisasi identitas ini menjadi menarik karena etnis
Maluku pada umumnya memiliki nama keluarga (fam)90
yang melekat pada diri
masing-masing orang sejak lahir. Dengan fam ini antar orang Maluku sendiri
dapat saling mengenali asal negeri masing-masing. Fam ini kemudian menjadi
sebuah penanda identitas etnis seseorang.
Pada waktu SBB mekar menjadi kabupaten baru, berkembang wacana
penerimaan CPNS hanya untuk putera daerah91
SBB. Salah satu indikator putera
daerah dalam pandangan masyarakat SBB adalah mereka yang memakai fam etnis
SBB. Syarif Ibrahim Aqadrie92
merumuskan pengertian putera daerah dengan
mengemukakan dua indikator. Indikator pertama adalah keterikatan melalui
hubungan vertikal dari garis ayah. Berdasarkan indikator ini ia merumuskan,
bahwa putera daerah adalah semua orang yang memiliki hubungan darah atau
ikatan genealogis dengan kelompok etnis yang menjadi kelompok mayoritas atau
yang dianggap asli, dan telah sangat lama mendiami daerah atau lokasi domisili
kelompok etnis itu.93
Indikator kedua adalah bahwa putera daerah tidak hanya ditentukan oleh
hubungan genealogis, tetapi juga oleh faktor tempat kelahiran. Artinya, setiap
89
Kalimat yang tercetak miring ini sengaja penulis lakukan untuk menjelaskan adanya
kepentingan-kepentingan masyarakat yang ingin bekerja di birokrasi pemerintahan. Kepentingan
masyarakat ini selalu terkait dengan adanya pandangan umum dalam kehidupan masyarakat
Maluku bahwa lebih baik menjadi PNS daripada bekerja pada sektor swasta karena alasan lebih
terjaminnya masa depan. Selain pandangan umum tersebut, sampai saat ini masih sedikitnya,
bahkan hampir tidak ada sektor-sektor swasta yang turut mengambil peranan dalam pembangunan
masyarakat di SBB, menyebabkan hampir sebagian besar warga SBB berorientasi menjadi PNS
dan bukan untuk menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. 90
Lihat catatan kaki 6 Bab I. 91
Kata ini sengaja penulis miringkan karena sampai sekarang masih ada kerancuan pengertiaannya
dalam pandangan masyarakat awam SBB. 92
Profesor Sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Tanjungpura
Pontianak. 93
Syarif Ibrahim Aqadrie, “Pemekaran Wilayah: Masalah dan Implementasinya Dalam
Pembangunan Daerah Di Kalimantan Barat”, dalam Ning Retnaningsih, dkk (ed), Penataan
Daerah dan Dinamikanya, Salatiga, Percik, 2008, hlm. 57-58.
64
orang yang lahir dan berdomisili di tempat tersebut minimal sekitar satu generasi
atau 25 tahun adalah juga putra daerah yang memiliki hak dan kewajiban yang
sama.94
Dari pengertian ini jelas bahwa putera daerah bukan hanya mereka yang
menggunakan fam etnis SBB saja, melainkan juga setiap orang yang telah
bermukim lama sekitar satu generasi di daerah SBB.
Selain adanya nama fam yang melekat di belakang setiap nama individu
yang merupakan ciri khas orang Maluku, hal yang cukup menarik adalah bahwa
walaupun orang-orang Nusalaut sudah sekitar dua generasi menempati tanah
Waisarisa, mereka tetap mengenakan nama fam dari negeri asal mereka
(Nusalaut). Di satu sisi mereka merasa telah menjadi orang SBB, tetapi di sisi lain
mereka tetap menyadari keberadaan mereka sebagai orang Nusalaut. Hal ini selalu
membuat mereka berada dalam ambivalensi “siapakah kami sebenarnya”. Hal ini
semakin rumit ketika diperhadapkan pada seleksi penerimaan CPNS. Wacana yang
beredar jauh hari sebelum pemekaran adalah pengutamaan putera daerah SBB
dalam seleksi penerimaan pegawai.95
Dengan melihat paparan di atas, bab ini berisikan gambaran umum
Waisarisa, baik geografi, demografi serta sejarah lokal masyarakat Waisarisa.
Selain itu bab ini juga memaparkan kehidupan mantan pekerja pabrik baik
masyarakat lokal maupun pendatang yang sampai saat ini masih tinggal bersama di
Waisarisa sampai pada pengidentifikasian penduduk lokal/asli dan pendatang
(orang dagang) berdasarkan daerah asal dan tempat kelahiran. Proses
94
ibi d, Pendapat ini Ia dipakai untuk membedah permasalahan siapakah yang dikatakan putera
daerah Kalimantan Barat, karena adanya etnis-etnis lain (tionghoa dan Melayu-Arab) yang
menghuni Kalimantan Barat sejak abad-18 M. (Syarif Ibrahim Aqadrie, Pemerintahan, Otonomi
Daerah, Idenetifikasi Etnis dan Konflik Horizontal di Kalimantan, dalam Desentralisasi dan
Otonomi Daerah, Jakarta, LIPI Press, 2007, hlm.188). 95
Issu inipun sempat penulis dengar sewaktu para elit masyarakat SBB sedang memperjuangkan
pemekaran kabupaten tersebut sekitar tahun 2003.
65
pengidentifikasian penduduk asli dan pendatang ini sampai pada upaya perebutan
sumber-sumber daya publik serta proses negosiasi antara penduduk lokal dan
pendatang.
2. Masyarakat Waisarisa
A. Geografis dan Demografis
Waisarisa adalah sebuah negeri yang terletak di Kecamatan Kairatu,
wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat. Daerah ini dapat ditempuh
sekitar kurang lebih 3-4 jam perjalanan dari Ambon selaku ibukota propinsi
Maluku dan 20-25 menit dari Piru, ibukota kabupaten SBB. Secara
geografis, Waisarisa berbatasan dengan Air Aru di sebelah barat, Kali
Waisarisa di sebelah timur. Sebelah utara dengan hutan rimba (kurang lebih
berjarak 15 km dari tepi pantai) dan sebelah selatan dengan laut teluk
Piru.96
Ketika pada tahun 1983 pabrik pengolahan kayu lapis mulai
beroperasi97
di Waisarisa dan Kamal, Waisarisa menjadi sebuah negeri
industri yang ramai karena begitu banyak pendatang yang bermukim di sini.
Waisarisa akhirnya menjadi sebuah negeri yang terdiri dari berbagai macam
etnis dan sub etnis. Mereka hidup bersama dengan pola budaya yang
berbeda. Baik yang menempati kemp perusahaan maupun yang tinggal di
rumah penduduk.
Dengan adanya pabrik itu, jumlah penduduk Waisarisa pun
bertambah. Jumlah penduduk Waisarisa sebanyak 1.712 jiwa dari 481 KK
(Kepala Keluarga), laki-laki sebanyak 896 jiwa, perempuan sebesar 816
jiwa yang tersebar pada 3 RW dan lokasi kemp. Selain itu Waisarisa
96
Sumber: Kantor Desa Waisarisa, tanggal 17 Januari 2009. 97
http://www2.kompas.com/ tanggal 12 Desember 2008.
66
dikenal sebagai sebuah negeri Kristen. Tetapi data yang diperoleh
menunjukkan bahwa hal ini tidak benar. Selain Kristen Protestan ada juga
pemeluk agama-agama lainnya. Islam merupakan agama mayoritas kedua
dengan jumlah 579 jiwa. Walaupun tingkat keragaman agama dan
kepercayaan cukup tinggi, namun tidak pernah sekalipun para pemeluk
agama yang berbeda ini saling cekcok satu dengan yang lain. Satu hal yang
tidak dapat dipungkiri bahwa banyak penduduk Waisarisa yang dulu
bekerja di pabrik, akhirnya memilih menjadi petani dan beberapa sektor
swasta lainnya (tukang ojek dan pengumpul batu, dll).
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa Waisarisa telah menjadi
sebuah negeri majemuk dengan adanya pembangunan pabrik pengolahan
kayu lapis. Kendati demikian berdasarkan pengamatan langsung Waisarisa
tetap sama seperti negeri-negeri lainnya di Maluku, yakni agak lambat
tersentuh pembangunan walaupun jaraknya cukup dekat ke Piru bahkan ke
Ambon. Selain itu walaupun terdiri dari berbagai etnis dan budaya yang
berbeda, semuanya dapat hidup berdampingan tanpa mengalami
persinggungan yang dapat membawa perpecahan dalam masyarakat.
Pendek kata, berbeda dari Ambon dan beberapa kawasan lain di Maluku,
keragaman penduduk di Waisarisa tidak menimbulkan konflik kekerasan.
B. Sejarah Lokal Masyarakat Waisarisa98
Keberadaan suatu etnis di suatu tempat memiliki sejarahnya secara
tersendiri, khususnya menyangkut status yang dimiliki oleh suatu etnis
98
Bahan-bahan paparan sejarah lokal ini diperoleh dari penulusuran arsip pada kantor Desa
Waisarisa, serta wawancara dengan orang-orang tua yang termasuk dalam rombongan kedua yang
datang ke Waisarisa serta kepala desa.
67
dalam hubungannya dengan etnis lain.99
Pada awal bab ini telah penulis
ungkapkan bahwa penduduk lokal Waisarisa bukan etnis SBB. Mereka
merupakan orang-orang Nusalaut.100
Adapun keberadaan mereka di tanah
Waisarisa ini sudah sekitar dua generasi terhitung sejak tahun 1949. Tanah
yang mereka tempati merupakan pemberian secara adat oleh Raja Eti, Raja
Kaibobo dan Waesamu (diwakili oleh salah satu Kapala Soa101
).
Penyerahan tanah Waisarisa secara adat dilakukan pada tanggal 23
Oktober 1949 sekaligus mengukuhkan bahwa anak-anak Nusahulawano
resmi sebagai pemilik tanah Waisarisa sejak tahun 1949. Menurut seorang
Oma (nenek) bermarga Leiwakabessy, ketika suaminya pensiun dan
kembali dari Sorong, setelah ke Nalahia102
, mereka langsung Waisarisa di
awal tahun 1960. Ketika mereka datang sudah ada beberapa rumah orang
Nusalaut, lama-kelamaan makin bertambahlah orang-orang Nusalaut yang
mendiami tanah ini.103
Karena sudah menempati tanah ini cukup lama, orang-orang
Waisarisa tetap menyatakan diri sebagai orang Waisarisa. Mereka merasa
sebagai orang Waisarisa tetapi sekaligus mereka juga tahu bahwa orang-
orang tua mereka berasal dari Nusalaut. Walaupun menyadari keberadaan
mereka sebagai generasi yang berasal dari Nusalaut, banyak yang tidak
99
Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006,
hlm. 84. 100
Kata-kata ini sengaja penulis miringkan karena ini merupakan ungkapan orang Maluku terhadap
asal etnis yang lebih merujuk pada nama pulau tempat mereka berasal bahkan ada yang merujuk
pada nama negeri (kampung) ia berasal. Dapat dibandingkan dengan asal fam (catatan kaki 5 Bab
I). 101
Soa adalah suatu bagian administratif dalam desa/negeri dalam lingkup tradisional terdiri dari
sejumlah mata-rumah (klen), kapala Soa berarti, pemimpin sebuah Soa. 102
Salah satu nama negeri di Nusalaut. 103
Wawancara tanggal 14 Januari 2009.
68
pernah tahu bagaimanakah negeri asal mereka di Nusalaut. Hal ini
dikarenakan mereka tidak pernah diajak pulang untuk sekedar menengok
kampung halaman. Kalaupun pernah rata-rata baru sekali.104
Tetapi bagi
seorang perempuan Waisarisa, ketika menikah harta kawinnya harus tetap
dibawa kembali ke rumah tua105
asal perempuan tersebut yakni di
Nusalaut.106
3. Masyarakat Bekas Pekerja Pabrik
Sejak awal pemberiannya, Waisarisa hanya dihuni oleh masyarakat lokal
(yang berasal dari Nusalaut). Tetapi pada tahun 1983, pabrik pengolahan kayu lapis
milik PT.Djayanti Group didirikan di daerah ini (dan juga Kamal). Daerah inipun
menjadi ramai, penduduk Waisarisa bertambah, dan terjadi perjumpaan antar
budaya yang berbeda. Perbedaan latar belakang ini tidak pernah menjadi alasan
untuk tidak saling berkomunikasi, apalagi mereka sama-sama bekerja di pabrik.
Ketika bekerja di pabrik, antar sesama pekerja tidak pernah saling bentrok,
seperti yang diungkapkan para informan bahwa mereka sama-sama bekerja di
pabrik untuk hidup. Oleh pihak perusahaan mereka disediakan kemp-kemp tempat
tinggal. Kalau sampai terjadi pertengkaran diantara mereka resikonya adalah
dikeluarkan dari kemp tersebut.107
Selain itu, oleh pihak perusahaan selalu
diadakan kegiatan-kegiatan yang melibatkan semua pekerja, baik penduduk lokal
104
Wawancara dengan beberapa orang, diantaranya berinisial AP, OP, HL, tanggal 14,15,16 Januari
2009. 105
Rumah Tua merupakan sebutan untuk rumah yang dibangun dan dihuni oleh pendiri pertama,
rumah itu dianggap sebagai pusat klen. Selanjutnya rumah itu akan dijaga oleh anak laki-laki tertua.
Saudara-saudaranya baik laki-laki maupun perempuan boleh menempati rumah tersebut bersama-
sama dengan dia selama belum menikah. (Frank L. Cooley, Mimbar dan Tahta (terjm), Jakarta,
Pustaka Sinar Harapan, 1987, hlm.47). 106
Seperti pengakuan ibu WS dan HL, tanggal 14 Januari 2009. 107
Wawancara dengan seorang bapak berinisial ANM (etnis Flores), dan seorang ibu yang
berinisial MTS (etnis Toraja, mantan bendahara pabrik), tanggal 15 Januari 2009.
69
maupun pendatang. Kegiatan tersebut misalnya pasar murah yang dilaksanakan di
lingkungan pabrik, lomba-lomba olah raga pada saat-saat tertentu bahkan
panggung hiburan setiap hari Jumat.108
Dari keterangan ini dapat dibayangkan
bahwa mereka memang betul-betul dapat saling berinteraksi dengan baik.
Perbedaan tidak menjadi penghalang untuk hidup bersama. Selain itu, untuk
bekerja pada sektor swasta, penduduk lokal harus bisa hidup berdampingan dengan
orang-orang yang berbeda dengan mereka (budaya dan agama).
Ketika kerusuhan melanda di berbagai bagian Maluku bahkan juga di Kota
Ambon, daerah Waisarisa tenang-tenang saja. Padahal daerah ini dikelilingi oleh
negeri-negeri Kristen. Bahkan ketika kerusuhan sedang berlangsung, para
penghuni kemp-kemp perusahaan yang berlokasi di Nurue dan Waesamu, terutama
yang beragama Islam, mengungsi ke kemp Waisarisa dan Kamal (lokasi pabrik).109
Hal ini terjadi karena mereka beranggapan bahwa dekat ke lokasi pabrik, selalu ada
jaminan keamanan dari pihak perusahaan. Dan memang daerah ini tetap aman
kendati penduduknya sangat beragam baik dari segi etnis maupun agama.110
Pada tahun 2004 ketika terjadi pemekaran kabupaten baru (SBB),
perusahaan ini masih beroperasi. Tetapi pada tahun 2006, perusahaan dinyatakan
mengalami kerugian sehingga harus mengurangi ribuan tenaga kerjanya.111
Pada
tahun 2007, perusahaan dinyatakan pailit.112
Kekecewaan di hati para mantan
pekerja bukan karena adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), tetapi mereka
kecewa lantaran hak-hak mereka belum tuntas diselesaikan oleh pihak perusahaan.
108
Wawancara dengan MTS dan FM, AS, Y, tanggal 15 Januari 2009. 109
Wawancara dengan seorang bapak berinisial YR, tanggal 23 Desember 2008. 110
Hal ini dapat dimengerti karena kerusuhan Maluku dan Ambon pada khususnya oleh hampir
semua masyarakat dikatakan merupakan perang agama yakni Islam dan Kristen. 111
Diperkirakan jumlahnya mencapai 2.362 tenaga kerja pada masing-masing bagian. 112
wawancara dengan mantan pekerja yang berinisial AS, AP, Y dan OP, tanggal 14, 15 dan 17
Januari 2009.
70
Pemilik perusahaan berjanji akan membayarnya setelah perusahaan laku dilelang.
Sampai draf ini ditulis, mantan pekerja ini belum menerima pembayaran sisa gaji
11 bulan dan uang pesangon padahal perusahaan telah laku dilelang pada bulan
Oktober 2008.113
Selain itu, oleh pemilik perusahaan yang baru, mantan pekerja
yang masih menghuni kemp harus segera keluar karena kemp akan dibersihkan.114
Pada akhirnya industri yang telah mengumpulkan mereka, hanya membiarkan
mereka hidup selama diperlukan, tetapi akan segera meninggalkan mereka ketika
sudah tidak diperlukan.115
Hal ini yang terjadi pada pekerja pabrik Waisarisa yang
masih terikat kontrak dengan PT. Djanyanti Group sampai saat ini.
4. Proses Pengidentifikasian Diri “Lokal/Asli” dan “Pendatang”
Dalam kehidupan sehari-hari, orang Waisarisa sama seperti orang Maluku
lainnya tetap membedakan seseorang berdasarkan nama keluarganya (fam). Dari
nama keluarga, mereka mampu mengidentifikasikan asal seseorang. Misalnya saja
nama-nama keluarga (fam) etnis SBB (Puttileihalat, Kermite). Dalam penyebutan
sehari-hari, sebutannya langsung dispesifikkan dengan menyebut negeri asal fam
tersebut. Hal ini nampak dalam wawancara dengan beberapa informan yang
langsung menyebut dirinya dan orang-orang tertentu dengan negeri asalnya,
misalnya „orang Alang‟ (sebuah negeri di Pulau Ambon), „orang Kaibobo‟ (sebuah
negeri di SBB) atau „orang Porto‟ (sebuah negeri di Pulau Saparua). Hal ini
menunjukkan bahwa memang nama keluarga/fam yang merupakan salah satu
identitas pribadi dapat menjadi sebuah identitas kolektif, yakni negeri asal. Seperti
113
Wawancara tanggal 21 Desember 2008 dengan seorang bapak berinisial MS dan tanggal 15 dan
17 Januari 2009 dengan OP, Y , AP (ketiganya mantan pekerja pabrik). 114
Wawancara dengan bapak ANM (etnis Flores) dan ibu S (etnis Jawa) tanggal 14 Januari 2009. 115
Karl Marx, Naskah-naskah Ekonomi dan Filsafat Tahun 1844 (terjm), Jakarta, Hasta Mitra,
hlm.34.
71
diungkapkan Erikson, identitas pribadi dapat menjadi sebuah identitas kolektif.116
Identitas pribadi yang kemudian menjadi identitas kolektif ini tergambar dalam
kehidupan sehari-hari orang Maluku pada umumnya. Tetapi identitas ini kemudian
semakin berperan pada saat-saat tertentu, salah satunya adalah pada saat perebutan
sumber-sumber daya publik, seperti yang terjadi di Kabupaten SBB.
A. Penduduk “Lokal/Asli”
Siapakah kami sebenarnya? Demikianlah ungkapan masyarakat Waisarisa
terhadap diri mereka sendiri. Lahir dan besar di Waisarisa bukan merupakan
sebuah pilihan hidup melainkan sebuah kenyataan yang harus diterima. Betapa
tidak; karena dilahirkan dan dibesarkan di Waisarisa, generasi orang-orang
Nusalaut yang mendiami Waisarisa ini telah merasa menjadi orang Seram. Mereka
bukan hanya merasakan tetapi juga mengakui bahwa mereka adalah orang Seram
walaupun tete-nene117
mereka berasal dari Nusalaut. Mereka mengaku sebagai
orang Seram, tetapi mereka juga tidak menyangkal bahwa nama fam yang mereka
bawa/pakai adalah nama fam orang-orang Nusalaut, seperti ungkapan beberapa
mantan pekerja pabrik:
“…beta pikir yang dinamakan putra daerah itu jua termasuk katong karena
katong lahir basar di Waisarisa. Memang katong pung fam orang Nusalaut,
tapi katong rasa katong ini orang Seram, jadi kalau tanya katong, katong
bilang katong ini orang Seram…”118
“...Katong ini memang dari Nusalaut, barang fam yang katong pake kan
dari Nusalaut, tapi katong ini su jadi orang Seram...abis katong lahir deng
116
Hans Mol, “Religion and Identity”, dalam Victor Hayes (ed), Identity Issues and World
Religion, Bedford Park South Australia, AASRSA, 1986, hlm. 65. 117
Lihat catatan kaki 20 bab II. 118
Wawancara dengan OP tanggal 14 Januari 2009, terjemahannya kira-kira demikian”…Saya pikir
yang dinamakan putra daerah SBB itu juga termasuk kita di sini karena kita lahir dan besar di
Waisarisa. Memang nama marga kita adalah nama marga Nusalaut, tapi kami merasa sebagai
orang Seram, jadi kalau ditanya, ya kami ini orang Seram…”
72
basar di sini. Beta sa baru pulang ka Nusalaut satu kali..jadi ya mau bilang
apa katong ini orang Seram jua...”119
Dari ungkapan di atas jelas bahwa mereka tetap mengaku sebagai putera daerah
SBB karena memang mereka lahir dan dibesarkan di SBB walaupun mereka bukan
etnis SBB. Seperti yang diungkapkan oleh Isaach bahwa nama-nama pribadi atau
perorangan biasanya akan menjadi sebuah tanda dari identitas kelompok.120
Nama
fam orang Waisarisa secara pribadi menunjukan identitas kelompok entah sebagai
orang Waisarisa ataupun orang Nusalaut.
Terkait dengan pertanyaan siapakah putera daerah SBB sebenarnya dan
apakah orang Waisarisa masuk dalam kategori putera SBB atau tidak, banyak
pendapat dari orang-orang tua yang adalah tokoh-tokoh pemekaran tentang hal
tersebut. Menurut seorang bapak yang adalah etnis SBB, yang dimaksud dengan
orang Seram Bagian Barat adalah setiap orang yang lahir, besar dan tinggal di
wilayah SBB. Sedangkan yang dimaksud dengan etnis SBB adalah mereka yang
memikul fam (nama marga/keluarga) asli SBB. Orang-orang ini walaupun tidak
dilahirkan dan dibesarkan bahkan tidak pernah menginjakkan kakinya di SBB
tetapi mereka tetap dikatagorikan sebagai etnis SBB.121
Hal senada juga
diungkapkan oleh salah satu orang tua bahwa orang SBB adalah setiap orang yang
telah menjadi penduduk SBB (ia lahir dan berdiam/tinggal di SBB). Dengan kata
lain, mereka yang memiliki hak politiknya di SBB. Sedangkan yang dimaksud
119
Wawancara dengan seorang Ibu berinisial HL, tanggal 14 Januari 2009, diterjemahkan kira-kira
demikian: “...Kami ini memang asal dari Nusalaut, karena nama fam yang kami pakai adalah dari
Nusaut, tapi kami ini sudah menjadi orang Seram..karena kami lahir dan dibesarkan di sini
(Waisarisa). Saya saja baru ke Nusalaut satu kali...jadi mau bilang apapun kami ini orang Seram
juga...” 120
Harold R. Isaacs, Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1993,
hlm.97. 121
Wawancara dengan NE, yang adalah tokoh pemekaran tanggal 2 Maret 2009.
73
dengan etnis SBB adalah mereka yang nenek moyangnya berasal dari SBB atau
mereka yang memikul nama fam/marga SBB.122
Mengacu pada kedua pendapat orang tua di atas, dapat dikatakan bahwa
putera daerah SBB adalah orang-orang SBB dan etnis SBB.123
Demikianlah
tergambar dengan jelas bahwa apa yang diungkapkan oleh masyarakat Waisarisa
tentang keberadaan diri mereka, didukung oleh pendapat kedua tokoh SBB tadi.
Dengan sendirinya orang-orang Waisarisa juga termasuk dalam kelompok orang
SBB karena sudah sejak 1949 menempati daerah ini. Bahkan mereka telah
memiliki hak politik yang digunakan setiap Pemilu Legislatif dan Pilkada termasuk
pada pemilihan Bupati dan Wakil Bupati SBB yang pertama tahun 2005. Mereka
juga berhak atas segala potensi daerah ini sebanding dengan etnis SBB lainnya.
B. “Pendatang (Orang Dagang)”
Ketika orang Waisarisa memandang diri mereka sebagai orang Seram,
maka terhadap para pekerja pabrik yang baru datang bekerja ketika ada pabrik,
mereka menyebutnya dengan sebutan pendatang atau dalam bahasa lokalnya
sebagai orang dagang.124
Istilah ini mereka tujukan kepada semua pendatang yang
berada di tengah-tengah mereka (Jawa, Flores, Toraja, bahkan Maluku lainnya).
Contohnya, seorang asal Waisarisa menikah dengan orang dari luar Waisarisa,
tetapi kemudian menetap di Waisarisa, maka mereka akan disebut dengan istilah
ini. Seperti yang diungkapkan oleh seorang mantan pekerja yang menikah dengan
perempuan asal Waisarisa demikian:
122
Wawancara dengan bapak MS, tanggal 21 Desember 2008. 123
Pengertian putera daerah ini sama seperti yang diungkapkan oleh Syarif Ibrahim Aqadrie, dapat
dilihat pada catatan kaki 6 dan 7. 124
Lihat catatan kaki 5 Bab I tentang arti dan penggunaan istilah ini.
74
“…kalau beta bukang orang Waisarisa, beta orang Alang-Ambon, beta
datang karja disini dari taong 1995, beta kaweng deng parampuang sini,
beta pung ipar-ipar…bini pung sudara-sudara panggel beta orang dagang,
karna beta seng asal dari sini……Istilah orang dagang ini jua dong pake
waktu pemilihan bapa raja baru-baru, barang waktu itu ada calon bukang
orang Waisarisa tapi dari Porto, amper-amper kaco gara-gara sebutan
orang dagang ini, dong pake istilah ini supaya orang Waisarisa pili dong
pung orang sandiri, supaya bisa menang….”125
Dari informasi ini dapat disimpulkan bahwa istilah orang dagang dapat menjadi
pemicu terjadinya perpecahan.
Istilah orang dagang pada awalnya hanya ditujukan pada semua pendatang
yang berada di tengah-tengah suatu komunitas negeri/kampung tanpa adanya
pikiran untuk mempolitisirnya, kecuali untuk menunjukan bahwa mereka yang
disebut orang dagang itu bukan berasal dari komunitas mereka. Tetapi, dalam
sebuah pertarungan untuk memperebutkan sumber daya publik (umumnya berupa
jabatan atau kesempatan kerja pada birokrasi pemerintahan), istilah ini berubah
menjadi hal yang menguntungkan bagi komunitas mayoritas dan sangat merugikan
serta menyulitkan komunitas minoritas. Sebagai suatu etnis yang merupakan
kelompok pendatang dan berinteraksi dengan etnis asal yang terdapat di suatu
tempat, maka secara alami akan menempatkan pendatang dalam posisi yang relatif
lemah. Namun demikian, etnis tersebut memiliki status yang relatif seimbang
dengan etnis lain pada saat mereka sama-sama berstatus sebagai pendatang dalam
125
Diterjemahkan kira-kira seperti ini : “…kalau saya bukan orang Waisarisa, saya orang Alang-
Ambon, saya kerja disini sejak tahun 1995, saya menikah dengan perempuan disini (Waisarisa),
saudara-saudara istri saya menyebut saya orang dagang karena memang saya tidak berasal dari
sini…istilah ini juga mereka pakai sewaktu pemilihan bapa raja (kepala desa) karena waktu itu ada
calon lain asal negeri Porto, hampir terjadi perkelahian karena sebutan ini..mereka pakai istilah
ini supaya orang Waisarisa tetap memilih orang mereka sendiri, supaya bisa menang…”
Wawancara dengan AS, tanggal 14 Januari 2009.
75
lingkungan sosial yang baru.126
Walaupun sama-sama orang Maluku tetapi tetap
ada klasifikasi yang spesifik lagi berdasarkan daerah asal seseorang yang ditandai
dengan nama fam. Proses penamaan ini juga menunjukan bahwa tetap ada
perbedaan antara kami dengan mereka, kendati telah menikah dan menjadi bagian
dari keluarga.
Orang dagang dan bukan orang dagang menurut seorang tokoh pemekaran
yang juga adalah etnis SBB merupakan sebuah istilah yang pada umumnya
digunakan oleh orang-orang Ambon-Lease (Ambon, Saparua, Haruku dan
Nusalaut), tetapi bukan oleh orang Seram.
“…Istilah orang dagang deng bukang orang dagang ini istilah orang
Ambon-Lease…atau lebe banya dipake orang-orang Ambon-Lease, katong
orang Seram seng pernah kanal istilah orang dagang. Sebab berdasarkan
sejarah, katong bukang cuma kanal istilah kaweng kaluar127
tetapi juga
katong kanal apa yang katong biasa bilang kaweng maso128
atau dalam
katong pung bahasa bilang masawang…”129
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa istilah orang dagang ini bukan
merupakan sebuah istilah lokal etnis Seram, melainkan sapaan yang dikenal di
lingkungan sosial masyarakat Ambon-Lease. Tidak heran jika orang Waisarisa
yang merupakan keturunan masyarakat Lease tampak akrab dengan istilah ini,
126
Irwan Abdullah, loc cit. 127
Kaweng kaluar (kawin keluar) artinya bahwa seorang perempuan ketika menikah, ia harus
mengikuti suaminya, entah suaminya itu berasal masih satu kampung dengannya ataupun dari
daerah berbeda. Ia tidak berhak atas dusun (sebutan lain untuk kebun yang cukup luas dan biasanya
berisikan tanaman umur panjang seperti kelapa, cengkeh, pala, dll) yang dimiliki oleh orang tuanya
melainkan atas dusun yang menjadi bagian suaminya. 128
Kaweng maso/masawang (kawin masuk) artinya seorang laki-laki ketika menikah ia mengikuti
istrinya, menetap di kampung istrinya dan ia juga dapat berhak atas dusun yang dimiliki istrinya.
Sekalipun demikian nama marga (fam) tetap ia pakai demikian juga dengan anak-anak yang
dilahirkan baginya. 129
Diterjemahkan kira-kira demikian,“…Istilah orang dagang dan bukan orang dagang ini lebih
banyak dipakai oleh orang-orang Ambon-Lease, kita orang Seram tidak kenal (tidak pakai) istilah
ini. Sebab berdasarkan sejarah, kita bukan cuma mengenal kawin keluar tapi kita juga kenal kawin
masuk atau dalam bahasa daerah kita (baca: bahasa Wemale) disebut masawang…” Wawancara
dengan salah satu orang tua dan juga tokoh pemekaran berinisial NE, tanggal 1 Januari 2009.
76
bahkan istilah ini mampu dimanfaatkan sebagai senjata untuk menaklukkan orang-
orang yang berasal dari luar dalam perebutan posisi sebagai kepala desa.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Warnaen Suwarsi bahwa konflik antar etnis
lebih banyak bersumber pada persaingan dalam bidang ekonomi dan perebutan
sumber daya umum.130
Perebutan kekuasaan di tingkat lokal dalam masyarakat
Waisarisa dapat membawa perpecahan dalam lingkup sosial antara pendatang dan
penduduk asli.
Selain adanya kawin masuk tadi, filosofi yang berkembang seputar siapakah
yang lokal dan pendatang sebenarnya tergambar dalam mitos tentang Nunusaku131
atau pohon beringin. Bahwa pohon beringin yang dipunyai orang Seram ini
berbeda dengan pohon beringin dari daerah lain. Pohon beringin ini akarnya
mampu mengikat segala jenis tumbuhan yang tumbuh di dekatnya tanpa
mematikan tumbuhan tersebut.132
Demikian juga yang terjadi dan mewarnai pola
pikir orang Seram. Dari uraian ini hendak digambarkan bahwa pohon beringin
yang merupakan perlambang orang Seram mampu menerima dan merangkul orang
lain dan hidup berdampingan dengan mereka tanpa sedikitpun memperdulikan latar
belakang mereka. Bahkan mereka semua dipandang sebagai bagian dari orang
Seram. Penerimaan orang Seram terhadap orang luar Seram juga nampak dari
tradisi maro-maro.133
Dengan demikian ada celah etnisitas orang Seram yang
bisa di „masuki‟ oleh orang lain. Seperti yang diungkapkan oleh Barth bahwa
130
Warnaen Suwarsi, Stereotip Etnis Dalam Masyarakat Multietnis, Yogyakarta, Mata Bangsa,
2002, hlm. 36. 131
Telah dibahas pada bab II. 132
Wawancara tanggal 1 Januari 2009. 133
Bernyanyi dengan menggunakan bahasa tana (daerah setempat) sambil berangkulan satu dengan
yang lain mengelilingi lampu (pelita). Setiap orang yang dirangkul termasuk orang luar Seram
dengan sendirinya diterima sebagai saudara.
77
etnisitas itu bisa diseberangi karena etnisitas itu ditentukan oleh interaksi antar
masyarakat.134
Bagi mereka yang berasal dari Toraja, Jawa, Flores, dll, mereka tetap
menyadari keberadaan diri mereka. Mereka sadar bahwa mereka adalah
pendatang. Alasan mereka adalah karena mereka memang tidak berasal dari situ
(SBB/Waisarisa). Mereka ada di situ karena tuntutan pekerjaan. Berdasarkan
angkatan kerja mereka didatangkan dari negeri-negeri mereka. Berdasarkan
budaya, jelas-jelas mereka berbeda. Walaupun demikian ada yang telah menikah
dengan penduduk lokal namun tetap saja menganggap diri mereka pendatang.
Seperti yang diungkapkan oleh seorang mantan pekerja yang telah menikah dengan
perempuan Waisarisa bahwa memang sudah begitu, mereka harus menyadari diri
bahwa mereka ini cuma pendatang.135
Mereka menyadari diri sebagai pendatang, karena itu mereka tetap
mengajari anak-anak mereka cerita tentang asal-usul dan adat-istiadat mereka.
Contohnya, sebagai orang Toraja, mereka mulai memperkenalkan adat dengan
memutar kaset CD tentang adat istiadat orang Toraja kepada anak-anak mereka,
bahkan ada yang pernah mengajak anak-anaknya pulang ke kampung halaman di
Toraja. Selain itu juga walaupun telah jauh dari kampung halaman namun adat
istiadat mereka tidak pernah mereka lupakan. Bahkan sedikit-sedikit masih mereka
praktekkan, misalnya saja pada saat orang meninggal ataupun acara syukuran dari
salah satu komunitas mereka.136
Hal serupa juga dilakukan oleh mantan pekerja
etnis Jawa yang menikah dengan perempuan asal negeri Kaibobo (SBB). Ia bahkan
134
Fredrik Barth, Ethnic Groups and Boundaries, Bergen dan London, Universitets Forlaget dan
George Allen & UNWIN, 1970, hlm.10. 135
Wawancara dengan mantan pekerja etnis Toraja berinisial LT tanggal 11 Januari 2009. 136
Wawancara dengan mantan pekerja berinisial MTS dan LT tanggal 15 dan 11 Januari 2009.
78
sudah pernah mengajak istri anaknya pulang ke Jawa saat kerusuhan terjadi di
Ambon, bahkan anak-anaknya dinamai dengan ciri khas kejawaannya, misalnya
Eko dan Yudi Saputra.137
Adanya perkawinan campur antar etnis dan upaya
memperkenalkan budaya masing-masing, menurut Irwan Abdullah, bagi anak-anak
mereka menjadi tidak begitu jelas etnisnya dalam setting kultural tertentu.138
Artinya, anak-anak lebih sering menjadi terpengaruh dengan sebuah budaya yang
lebih dominan, entah budaya ayah ataupun ibu.
Hal ini menunjukkan bahwa walaupun jauh dari negeri mereka tetapi
budaya yang mereka miliki tidak akan hilang. Proses pengenalan daerah asal tetap
mereka lakukan terhadap keturunan mereka yang lahir di negeri orang dengan
harapan kelak si anak tahu bahwa mereka berasal dari daerah A atau B dan bukan
penduduk asli Seram/SBB. Selain usaha mengenalkan anak pada budaya leluhur
mereka, upaya menunjukkan kepada anak adalah dengan mengajak mereka pulang
menjenguk kampung halaman. Dengan demikian walaupun telah bertahun-tahun
di negeri orang, status mereka sebagai pendatang tetap melekat sampai kapanpun.
Hanya saja status ini tidak terlalu dipermasalahkan ketika masih sama-sama
menjadi pekerja pabrik.
5. Upaya Perebutan Sumber-sumber Daya Publik
Ketika muncul upaya memekarkan kabupaten ini di kalangan elit
masyarakat SBB, isu yang mengiringi perjuangan adalah pengutamaan putera
daerah di setiap birokrasi pemerintahan. Ada rasa kepuasan dan kelegaan dalam
diri masing-masing putera-puteri SBB ketika pada akhirnya negeri ini dimekarkan
dengan Undang-undang No.40 Tahun 2003. Setidaknya demikianlah ungkapan
137
Wawancara dengan mantan pekerja berinisial Y etnis Jawa, tanggal 10 Januari 2009. 138
Irwan Abdullah, op cit, hlm. 17
79
yang dikeluarkan oleh orang SBB terhadap keadaan ini. Hal ini dapat dipahami
mengingat betapa sulitnya mendapatkan pekerjaan di birokrasi pemerintahan, baik
propinsi maupun kabupaten. Walaupun sudah dinyatakan mekar tahun 2003
(tanggal 18 Desember) namun peresmiannya baru berlangsung pada awal tahun
2004. Pada awal pemekaran ini, ditunjuklah seorang Pejabat Sementara (PJS)
bupati hingga berlangsungnya pemilihan bupati di tahun 2005.
Pada saat pemekaran mulai terjadi, pabrik pengolahan kayu lapis masih
beroperasi. Meskipun demikian ketika pada tahun 2005 diadakan tes penerimaan
CPNS pertama kalinya untuk duduk pada birokrasi pemerintahan kabupaten,
banyak orang Waisarisa yang adalah pekerja pabrik mengikuti tes tersebut.
“…kabupaten mekar kamuka dolo kalau seng salah sekitar taong 2003-
2004, tes pertama taong 2005, waktu itu katong masih karja di pabrik, tapi
rame-rame katong iko…par nasib ni! Katong disini iko banya lai… tapi
seng lolos. Tes-tes selanjutnya beta seng iko lai, macam beta su pamalas
lai…”139
Dari pernyataan di atas terungkap alasan mereka mengikuti tes tersebut. Mereka
hanya ingin kesejahteraan hidup dan alasan terjaminnya masa depan.140
Hal ini
disadari oleh hampir semua pekerja pabrik yang merasa sebagai orang SBB dan
berhak atas sumber-sumber daya publik. Seperti yang diungkapkan oleh salah
seorang putera daerah SBB:
139
Diterjemahkan kira-kira demikian,“…Kabupaten mekar duluan, kalau tidak salah sekitar
2003-2004, tes pertama tahun 2005, waktu itu kami masih kerja dipabrik, tapi kami mengikutinya
berramai-ramai…semua untuk hidup! Kami disini banyak yang ikut…tapi tidak lolos. Tes-tes
selanjutnya saya tidak mengikutinya lagi soalnya saya sudah malas…” Seperti yang diungkapkan
oleh OP, tanggal 14 Januari 2009. 140
Selain OP ada beberapa mantan pekerja pabrik yang berpendapat sama yakni Y, FM, MTS, AS
yang diwawancarai pada waktu yang berbeda-beda
80
“…baru-baru tes pertama beta iko…waktu itu masih karja di pabrik, beta
pikir kan beta putra daerah asli, baru beta ni kan kamareng termasuk tim
sukses par Bob ni, baru beta satu kampong lai, sama-sama orang
Kaibobo…”141
Merasa sebagai orang SBB asli menyebabkan banyak etnis SBB mengklaim hak-
hak mereka terhadap sumber daya publik. Mereka merasa lebih berhak untuk
bekerja di birokrasi pemerintahan lebih dari pendatang yang telah bermukim di
SBB maupun orang luar yang baru datang untuk mengikuti tes tersebut.
Menurut informasi, yang diterima pada birokrasi pemerintahan SBB
kebanyakan berasal dari luar SBB. Hal senada juga diungkapkan oleh beberapa
pejabat pada birokrasi pemerintahan SBB bahwa yang diterima bekerja pada
birokrasi SBB bukan orang SBB saja. SBB terbuka menerima pelamar dari mana
saja. Jadi yang dipentingkan bukan cuma orang SBB saja yang bisa bekerja di sini
(SBB).142
Pernyataan para birokrat ini bukan isapan jempol semata melainkan
didukung dengan daftar nama hasil seleksi CPNS pada birokrasi SBB untuk
pertama kalinya tanggal 24 Maret 2006. Selain itu, para birokrat juga
membandingkan banyaknya orang luar SBB yang menduduki posisi-posisi strategis
bidang pemerintahan Kabupaten SBB. Misalnya saja Sekda dan beberapa orang
stafnya berasal dari Ambon, Kepala BKD berasal dari Saparua, Kadis Pendidikan
dan Pariwisata berasal dari Buton, Kadis PU berasal dari Saparua dan beberapa
jabatan strategis lainnya. Mereka beranggapan bahwa untuk menduduki jabatan
141
Wawancara dengan seorang mantan pekerja pabrik berinisial FM, asal desa Kaibobo (Kabupaten
SBB) yang diterjemahkan kira-kira demikian: “...Tes yang diselenggarakan pertama kali saya
mengikutinya..pada waktu itu saya masih bekerja di pabrik, saya berpikir bahwa saya putera
daerah SBB, kemudian pada waktu pemilihan bupati saya menjadi tim sukses untuk Bob, saya juga
berasal dari kampung yang sama dengan beliau (baca: Bob, bupati SBB saat ini), sama-sama
berasal dari Kaibobo...” 142
Wawancara dengan birokrat pemda SBB berinisial JL dan JK, tanggal 9 dan 24 Januari 2009.
Kedua orang birokrat ini juga bukan etnis asli SBB.
81
struktural, orang SBB belum ada yang bisa/mampu. Bahkan informasi yang
penulis peroleh mengenai gambaran kabupaten SBB semuanya diperoleh dari para
pegawai etnis luar bukan SBB misalnya dari Kisar (Kabupaten Maluku Barat
Daya), dan etnis Toraja.
Dari 178 nama yang dinyatakan lolos, 144 orang diantaranya bukan marga
(fam) asli SBB, sedangkan etnis SBB hanya sekitar 64 orang. Itu berarti bahwa
sekitar 64,1% bukan etnis SBB sedangkan etnis SBB hanya sekitar 35,9%. Yang
lolos ini ada yang berasal dari Jawa, Buton bahkan daerah lainnya di Maluku.
Nama-nama yang berasal dari luar Maluku misalnya Suprianto, Suprapto,
Yuningsih, Zainudin, Nyoman Riswan, dll yang merupakan etnis Jawa dan Bali.
Nama-nama etnis Buton misalnya Wa Rosna,Wa Ica, La Abugafar, dll. Nama-
nama fam orang Maluku yang bukan etnis asli SBB adalah Manuhutu,
Latumahina, Luhukay, Sahetapy, dll (asal Pulau Saparua Kabupaten Maluku
Tengah), Lambiombir, Anaktototy, Barlajery, Bulokroy (dari Kabupaten Maluku
Tengara Barat dan Kabupaten Maluku Barat Daya). Sedangkan fam asli SBB baik
Islam maupun Kristen yang lolos tidak sebanding dengan para pendatang.
Marga/fam SBB yang lolos misalnya Souhali, Pocerattu, Putirulan, Tuamely,
Mawene, Samal, dll.143
Dengan melihat daftar nama hasil seleksi CPNS tersebut, dapat dikatakan
bahwa etnis SBB memiliki peluang lebih kecil dibandingkan dengan para
pendatang. Isu pengutamaan putera-puteri daerah tidak pernah terlaksana. Salah
satu faktor yang menyebabkan diterimanya pendatang lebih banyak dari putera-
puteri SBB adalah pada panitia pelaksana seleksi tes CPNS tersebut. Menurut
143
Untuk lebih jelas nama-nama fam yang merupakan etnis SBB asli dan bukan SBB yang lolos
dalam seleksi CPNS tahun 2006 dapat dilihat pada lampiran 1.
82
infomasi, setiap seleksi penerimaan CPNS di lingkungan birokrasi Pemkab SBB
yang menjadi panitianya selalu Kepala dan pegawai di lingkungan Badan
Kepegawaian Daerah (BKD). Kepala BKD ini bukan etnis/orang SBB, melainkan
berasal dari Pulau Saparua yang berinisial JL. Selain itu ia juga merupakan
seorang birokrat di Masohi semasa masih bergabung dalam Kabupaten Maluku
Tengah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa anak-anak daerah akhirnya harus
berbagi kesempatan dengan pendatang meskipun di daerahnya sendiri. Sedikit
banyak tergambar apa yang berlaku di Kabupaten Maluku Tengah mulai
dipraktekkan di SBB. Peluang putera puteri daerah tergantung pada kekuasaan
yang berlaku dalam birokrasi SBB.
Hasil seleksi CPNS menunjukkan bahwa dari Waisarisa hanya dua orang
yang lolos. Itupun mereka bukan orang Waisarisa. Mereka yang lolos ini berasal
dari Saparua. Mereka ada di Waisarisa justru karena mereka sudah menjadi guru
kontrak lebih dulu dan ditempatkan pada Sekolah Dasar Sarihalawane.144
Hal
senada juga diungkapkan oleh salah seorang mantan pekerja etnis Flores bahwa
keponakannya juga lolos karena ia dari tenaga kesehatan yang memang sangat
diperlukan.145
Terlepas dari semua itu, apakah memang diterimanya seseorang karena
pada birokrasi pemerintahan tenaganya diperlukan (secara intelektual dan
motivasinya), ataukah juga yang memiliki latar belakang tertentu (punya koneksi
orang dalam) yang dapat dinyatakan lolos? Pertanyaan ini setidaknya dapat
membantu menjawab persoalan terkait dengan penerimaan „orang luar‟ (bukan
144
Wawancara dengan AS, OP tanggal 14 Januari 2009. 145
Wawancara dengan seorang bapak ANM, tanggal 14 Januari 2009.
83
berasal dan tinggal di SBB) yang menurut masyarakat SBB sangat tidak adil bagi
mereka;
“…hasil tes yang diumumkan beta seng puas skali lia akang… kalau katong lia
nama-nama PNS di atas pada umumnya orang Buton, Bugis, sedangkan anak
daerah dipinggirkan…Anak-anak daerah yang honor saja banya, bolom
pengangkatan, nanti sapa yang dapa SK tu...”146
“…lia hasil tes memang seng puas, kalau tanya adil k seng, pasti seng adil
tapi mau bagimana…. Memang su bagitu jua, tergantung dia pung
pendekatan…”147
Seperti yang diungkapkan oleh informan di atas bahwa mereka tidak puas
dan merasa diperlakukan tidak adil. Ketidakpuasan ini disebabkan harapan yang
demikian besar sewaktu pemekaran kabupaten (wacana pengutamaan putera
daerah), namun harapan ini tidak menjadi kenyataan. Entah mengapa,
ketidakpuasan ini bukan cuma milik orang-orang yang pernah gagal dalam tes
penerimaan CPNS semata, tetapi juga orang-orang yang belum pernah mengikuti
tes sama sekali. Akibat kekecewaan ini, menurut beberapa informasi yang
diperoleh, sempat terjadi demo oleh para tenaga honorer etnis SBB yang tidak
kunjung menjadi CPNS setelah sekian tahun bekerja. Tetapi hal ini kemudian
dibantah oleh birokrat SBB bahwa itu bukanlah demo, melainkan hanya keributan
146
Diterjemahkan kira-kira demikian,“…hasil tes yang diumumkan sangat tidak memuaskan, kalau
kita lihat, nama-nama PNS di atas (baca: Piru) pada umumnya orang Buton, Bugis, sedangkan
anak daerah terpinggirkan…Anak-anak daerah yang menjadi tenaga honorer saja banyak tapi
tidak ada pengangkatan, tidak tahu nanti siapa yang mendapat SK (sebagai CPNS)...” Wawancara
dengan mantan pekerja berinisial AP, tanggal 17 Januari 2009. 147
“…lihat hasil tes memang tidak puas, kalau ditanya adil atau tidak , ya pasti tidak adil tapi mau
bagaimana lagi… Memang sudah begitu, tergantung pendekatannya…” Wawancara dengan OP
tanggal 14 Januari 2009. Bahkan yang lebih ekstrim lagi seorang mantan pekerja mengatakan
bahwa ia tidak pernah akan mengikuti tes CPNS lagi selama Yakobus Puttileihalat masih menjadi
bupati.
84
biasa sebagai bentuk ketidakpuasan orang-orang SBB yang tidak diterima sebagai
CPNS.148
Dengan kenyataan ini, pertanyaan yang muncul adalah apakah isu putera
daerah ini hanya sebuah wacana yang sengaja dihembuskan oleh pihak tertentu
guna suatu kepentingan? Berdasarkan informasi yang didapat dari mereka yang
berjuang untuk pemekaran ini menunjukan bahwa tujuan awal pemekaran ini
sebenarnya adalah untuk memperjuangkan nasib orang-orang SBB yang selama ini
termarjinalkan.149
Berdasarkan tujuan inilah, orang-orang SBB seakan-akan
memiliki kesempatan besar untuk bekerja di negeri sendiri. Dari sinilah
kekecewaan itu berawal. Sebagaimana yang diungkapkan oleh salah satu orang tua
demikian;
“…tapi skarang ini setiap kali ada tes, yang datang orang dari luar lalu
mereka yang diterima sedangkan katong pung ana-ana hanya dudu nganga
sa. Ini tidak bisa dibiarkan. Ini namanya perampokan. Dong rampok
katong pung ana-ana jatah. Dong musti inga kalu dong waktu pemilihan
bupati kan dong pilih untuk Maluku Tengah yo skarang pulang ka Maluku
Tengah karna dong pung hak politik disana. Disini katong pung ana-ana
pung hak politik, selain itu orang-orang yang pung tanah kabong dong su
lapas akang par bangun kantor-kantor, bupati musti inga supaya ganti
tanah itu dengan angka orang-orang ini pung ana-ana jadi PNS bukan
trima orang luar….(sambil menyalahkan Kepala BKD yang menurutnya
banyak menerima orang luar).”150
148
Wawancara dengan AP dan Y tanggal 17 Januari 2009 dan birokrat berinisial JK tanggal 24
Januari 2009. 149
Wawancara dengan tokoh pemekaran NE tanggal 1 Januari 2009. 150
Diterjemahkan kira-kira demikian,“…tapi sekarang ini setiap kali ada tes yang datang orang
dari luar lalu mereka yang di terima sedangkan anak-anak kita hanya lihat saja. Ini tidak bisa
dibiarkan, ini namanya perampokan. Mereka merampok jatah anak-anak kita. Mereka mestinya
ingat kalau mereka sewaktu pemilihan bupati, mereka memilih untuk wilayah Maluku Tengah
karena memang hak politiknya disana. Disini menjadi hak politik anak-anak kita, selain itu banyak
orang yang sudah melepaskan hak tanah atas kebun-kebun mereka untuk pembangunan kantor-
kantor bupati mestinya mengganti tanah tersebut dengan mengangkat anak-anak pemilik kebun
tersebut menjadi PNS bukan menerima para pendatang...”, wawancara dengan seorang bapak
berinisial MS, tanggal 21 Desember 2008.
85
Dari ungkapan kedua orang tua ini tampak ada semacam keyakinan dan
harapan bahwa alasan hakikat pemekaran adalah untuk warga SBB dan bahwa
yang lebih berhak adalah anak-anak SBB sendiri. Tapi kenyataannya banyak orang
yang berasal dari luar menganggap bahwa orang SBB itu sebenarnya tidak punya
potensi karena minimnya jumlah sarjana. Maka ketika ada isu putera daerah,
mereka menanggapinya dengan santai.151
Ternyata hal ini juga didukung oleh
keterangan para birokrat sambil merujuk contoh bahwa sekda, kepala BKD dan ada
beberapa yang lain juga bukan orang SBB. Mereka beranggapan bahwa sampai
saat ini orang SBB belum ada yang mampu.
Pendapat beberapa informan di atas menunjukkan adanya suatu keyakinan
bahwa memang putera-puteri SBB sendiri belum memiliki daya saing dengan
pendatang yang dalam pandangan mereka lebih layak menjadi PNS. Hal ini
kemudian mereka buktikan dengan banyaknya pendatang yang bekerja di birokrasi
SBB. Terhadap informasi ini, anak-anak daerah SBB bereaksi, mereka
beranggapan bahwa mereka cukup mampu dan berpotensi untuk bekerja pada
birokrasi pemerintahan, hanya saja kesempatan itu tidak ditunjang oleh birokrat
SBB yang lebih banyak menerima orang luar.152
Dari pendapat-pendapat ini,
kelihatan adanya upaya pembelaan diri dari anak daerah tentang potensi diri
mereka, pendatang juga tetap memandang orang Seram belum layak untuk bekerja
di negeri sendiri.
6. Identifikasi Masyarakat: Sebuah Perjuangan Hidup
A. Berjuang Untuk Hidup
151
Wawancara dengan seorang guru honorer Waihatu berinisial M, tanggal 20 Desember 2008. 152
Wawancara dengan putera-putri SBB berinisial NA, KS dan FM , tanggal 20 Desember 2008,
7 dan 13 Januari 2009.
86
Ketidakpuasan terhadap hasil tes menyebabkan banyak orang merasa
„kapok‟ mengikuti tes-tes berikutnya. Memang benar bahwa mengikuti tes punya
alasan cukup kuat, yakni untuk perbaikan hidup ke depan. Tetapi ketika
dihadapkan pada realita ini, mereka tampak tak lagi punya harapan, walaupun
keinginan menjadi pegawai negeri tetap ada. Banyak yang sudah tidak tertarik
mengikuti tes CPNS, tapi bagi seorang mantan pekerja asal Allang (sebuah negeri
di Pulau Ambon) misalnya, yang sudah menjadi warga Waisarisa mengaku bahwa
ia akan mencoba terus sampai kapanpun, seperti yang dikatakannya berikut ini:
“…taong-taong depan kalau ada tes par SMA, beta tetap iko, iya...samua
par perbaikan hidup. Abis di Seram ni kalu katong seng usaha cari karja
lalu nanti bagimana sedangkan kacil dong su skola….?”153
Dari penuturan itu, sangat jelas bahwa walaupun merasa diperlakukan tidak adil,
namun demi hidup yang lebih baik ke depan, mereka harus tetap berjuang. Hal
senada juga diungkapkan oleh beberapa orang lainnya bahwa kalau ada tes
berikutnya dengan formasi SMA, mereka akan mengikutinya sampai batas usia
maksimal untuk tes.154
Walaupun tidak dekat dengan pejabat manapun atau
keuangan yang cukup namun mereka tetap berniat mencoba peruntungan dengan
mengikuti tes.
Karena masih adanya keinginan mengikuti tes, ada beberapa upaya yang
dilakukan oleh masyarakat Waisarisa mantan pekerja pabrik untuk hal tersebut. Di
antaranya adalah menjadi tenaga honorer pada instansi pemerintah, walaupun
mereka pesimis bahwa nasib mereka akan lebih baik.
153
Diterjemahkan kira-kira demikian,“…tahun-tahun depan kalau ada tes ( baca : CPNS) untuk
tamatan SMA, saya akan tetap ikut..ya semuanya untuk perbaikkan hidup. Habis di Seram ini kalau
kami tidak usaha mencari pekerjaan lalu kedepannya bagaimana sedangkan anak-anak saya sudah
sekolah..,?” Wawancara dengan AS tanggal 14 Januari 2009. 154
Wawancara dengan OP, tanggal 14 Januari 2009.
87
“…keinginan untuk iko tes masih ada…ya skarang katong masih usaha-
usaha ni usi, beta ada honor di kantor kecamatan pembantu di Kamal
sini… tapi masih bagitu-bagitu jua abis seng ada kejelasan pengangkatan
baru yang honor banya…”155
Mereka masih berupaya mendapatkan taraf hidup yang lebih baik. Tetap menjadi
tenaga honorer belum jelas pengangkatannya sebagai CPNS. Hal ini dikarenakan
banyaknya tenaga honorer yang melebihi kapasitas pada setiap instansi. Karena
jumlahnya cukup banyak, ada keraguan tentang siapakah yang akan mengantongi
Surat Keputusan pengangkatan CPNS dan hal ini menyebabkan banyak yang
akhirnya memilih berhenti.
Bagi penduduk Waisarisa yang sudah di-PHK dan yang selalu gagal dalam
tes CPNS, saat ini untuk tetap menjaga kestabilan ekonomi keluarga mereka
berupaya menciptakan pekerjaan sendiri. Banyak diantara mereka yang kemudian
menjadi tukang ojek. Menurut pengakuan diantara mereka, dalam sehari ia bisa
mengantongi uang paling rendah sekitar Rp.40.000,- Jumlah ini termasuk lumayan
dibandingkan ia harus menunggu tes CPNS. Selain itu ia bisa juga membagi sedikit
waktunya untuk berkebun. Dari penghasilan ojeknya ini sebagian dapat di tabung
untuk masa depan anak-anaknya. Memang ia masih berkeinginan menjadi Pegawai
Negeri tapi dengan keadaan yang seperti ini ia tidak berjanji bahwa ia akan
155
Diterjemahkan kira-kira demikian, “…keinginan untuk mengikuti tes itu masih tetap ada..ya
sekarang ini kami masih berusaha, sekarang saya lagi honor di kantor kecamatan pembantu di
Kamal, tapi keadaannya masih begitu saja sebab sampai sekarang tidak ada kejelasan
(pengangkatan sebagai CPNS) sedangkan tenaga honorer saja banyak…” Wawancara tanggal 17
Januari 2009.
88
mengikuti tes lagi di SBB melainkan saat ini ia telah ditawari oleh saudara istrinya
yang berada di Buru untuk dapat mengikuti tes Pol.PP (Pamong Praja).156
Selain menjadi tukang ojek, banyak diantara mereka yang akhirnya
berprofesi sebagai pengumpul batu untuk dijual ke proyek-proyek pembangunan.
Mereka bekerja serabutan untuk menyambung hidup, antara lain sebagai buruh
pada pembangunan sekolah dan selokan-selokan di kampung sendiri.157
Sungguhpun demikian mereka masih tetap memiliki harapan ke depan, kalau
pemerintah mau melihat nasib mereka terutama berkaitan dengan segala hak-hak
mereka pada PT.Djayanti Group. Inilah kalimat yang selalu terdengar setiap kali
mereka diingatkan akan keberadaan mereka sebagai mantan pekerja.
B. Kesamaan Identifikasi Diri
Ketika masih bersama-sama bekerja di pabrik, penduduk asli Waisarisa dan
SBB lainnya tidak pernah memandang sesama pekerja dari luar sebagai saingan
mereka. Sampai akhirnya mereka di-PHK bersama-sama, keharmonisan hidup ini
tetap mereka pelihara. Mereka, sesama pekerja merasa senasib bahkan keberadaan
mereka yang berasal dari luar ini juga menimbulkan keprihatinan di hati orang
Waisarisa.
“…Iya Usi, katong di sini rasa kasiang lia dong lai, katong di sini bai biar
bagitu katong masih bisa karja kabong voor makan ka seng masih bisa
ojek ka karja yang laeng tapi dong mau karja apa…tanah sa seng punya…
mau pulang ka Jawa sana su seng ada kepeng, apalai ana-ana su skola di
sini, pokoknya kasiang…”158
156
Wawancara dengan seorang mantan pekerja yang berinisial AP, tanggal 17 Januari 2009. 157
Informasi dari seorang ibu rumah tangga mantan pekerja berinisial HL yang suaminya bekerja
pada proyek pembangunan gedung sekolah dasar tanggal 14 Januari 2009 dan mantan pekerja
lainnya etnis toraja berinisial LT tanggal 11 Januari 2009. 158
Diterjemahkan kira-kira demikian,“…ya Usi, kami di sini (Waisarisa) merasa kasihan melihat
mereka, kami di sini kondisinya masih untung biarpun begitu kami masih bisa kerja kerja di kebun
untuk makan, kalau tidak kami masih bisa ojek atau kerja yang lain tapi mereka mau kerja apa…
tanah saja tidak punya …mau pulang ke Jawa sudah tidak punya uang apalagi anak-anak sudah
bersekolah di sini…” Wawancara dengan seorang mantan pekerja orang Waisarisa berinisial AP,
tanggal 17 Januari 2009.
89
Betapa memprihatinkan nasib para pekerja teristimewa bagi mereka yang berasal
dari Jawa dan daerah lainnya di Indonesia. Mereka bertahan di kemp-kemp tanpa
kejelasan kapan hak mereka akan dibayarkan.
Sebagian etnis non-SBB yang masih memiliki sedikit tabungan, akhirnya
memilih pulang ke kampung halaman di Jawa, Toraja dan Manado. Mereka yang
masih bertahan di kemp mendapat dukungan rekan-rekan sesama pekerja asal
Waisarisa. Hal ini dilakukan oleh orang Waisarisa mengingat nasib mereka sama.
Tetapi orang Waisarisa merasa lebih beruntung karena berada di kampung
halaman sendiri. Bagi yang tidak kembali ke kampung-kampung halaman di luar
Maluku, mereka tetap bertahan di kemp-kemp sambil bekerja serabutan dengan
mengikuti penduduk lokal sebagai buruh bangunan maupun sebagai pengumpul
batu demi bertahan hidup.
Penduduk lokal Waisarisa akhirnya memandang sesama mantan pekerja
dari etnis lain sebagai pihak yang senasib. Oleh karena itu mereka mengharapkan
bantuan pemerintah daerah untuk mengatasi masalah mereka. Perkawinan yang
terjadi antar etnis sesama pekerja, baik antara pendatang dengan orang Waisarisa
maupun pendatang dengan sesama pendatang juga tidak menimbulkan masalah.
Kebanyakan yang berasal dari luar akhirnya memilih tinggal di rumah mertua yang
adalah orang Waisarisa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa merasa senasib
(sebagai sesama mantan pekerja pabrik) akhirnya menyebabkan orang Waisarisa
tetap memandang etnis lain bukan sebagai saingan yang perlu ditakuti.
90
7. Catatan Penutup
Walaupun berasal dari daerah yang berbeda namun perbedaan ini bukan
merupakan sebuah hal yang menjadi sumber konflik antara orang Waisarisa dengan
pendatang yang ada di tengah-tengah mereka. Bahkan ketika berada sebagai
mantan pekerja pabrik, orang Waisarisa memandang etnis lain sebagai bagian dari
mereka karena merasa senasib. Ke”kita”an ini mereka wujudkan dengan sama-
sama memperjuangkan hak-hak yang belum mereka dapatkan.
Mereka kemudian akan berdiri pada posisi yang berseberangan ketika
berbicara tentang perebutan sumber-sumber daya publik. Orang Waisarisa
memandang orang lain yang baru datang untuk mengikuti tes adalah saingan.
Mereka tetap dikatakan sebagai pendatang. Identitas putera daerah kembali mereka
pertanyakan. Mereka juga merasa sebagai orang Seram karena sudah bertahun-
tahun hidup di SBB. Ke”kita”an orang Waisarisa akhirnya bergeser. Mereka
memandang diri mereka sebagai orang-orang yang juga berhak atas sumber daya
publik tersebut sedangkan orang-orang yang berasal dari luar tidak berhak sama
sekali.
Ke”kita”an orang Waisarisa dengan sesama mantan pekerja ini dapat
dikatakan bersifat sementara . Artinya, ke”kita”an ini mungkin akan berubah
ketika hak-hak mereka tuntas diselesaikan oleh perusahaan dan mereka semua
bersaing mengikuti tes memperebutkan posisi pada birokrasi pemerintahan SBB.
Ketika masih sama-sama memperjuangkan hak mereka, istilah orang dagang tetap
mereka pakai untuk sesama mantan pekerja. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun
sama-sama sebagai mantan pekerja, tetapi mereka tetap memandang pendatang
sebagai orang yang berasal dari luar, walaupun ada solidaritas.
91
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa identitas masyarakat Waisarisa
sangat tergantung pada relasi dengan siapa yang dibayangkan sebagai “the other”.
Dalam upaya memperjuangkan hak-hak mereka sebagai mantan karyawan PT.
Djayanti Group, identifikasi diri mereka adalah sebagai mantan pekerja. Identitas
mereka menjadi berbeda ketika sama-sama berada dalam upaya perebutan sumber-
sumber daya publik. Dasar identifikasi mereka adalah „orang Seram‟ dan „bukan
orang Seram‟. Atau, dengan kata lain dasar pengidentifikasian masyarakat
Waisarisa berubah-ubah, bersifat cair dan relasional, tergantung pada konteks
kontestasi perebutan sumber-sumber daya publik.
92
BAB V
CATATAN PENUTUP
Desentralisasi yang terjadi saat ini ikut memberikan peluang bagi daerah-
daerah untuk mengembangkan diri agar kurang bergantung pada pemerintah pusat.
Pengembangan diri ini mau tidak mau menyisakan rasa ketidakpuasan pada daerah-
daerah yang selama ini merasa kepentingannya selalu diabaikan, yang berujung
pada tuntutan untuk mekar. Pemekaran wilayah seakan-akan menjadi hak
mutlak daerah-daerah yang merasa termarjinalkan selama pemerintahan Rezim
Orde Baru. Pemekaran wilayah ini kemudian dianggap menjadi sebuah kata kunci
penyelesaian masalah-masalah daerah dan dinilai sebagai sebuah jalan yang dapat
memecahkan berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat, khususnya
persoalan di bidang sosial dan ekonomi. Banyak daerah yang ingin mekar entah
itu menjadi sebuah kecamatan, kabupaten/kota bahkan propinsi. Alasan yang
diungkapkan cukup logis, yakni untuk memperkecil rentang kendali pemerintahan
serta mendekatkan pelayanan pemerintah dengan rakyatnya.
Pemekaran wilayah yang terjadi pada umumnya membawa sebuah harapan
baru bagi masyarakat yang selama ini merasa tertindas oleh etnis dominan baik
secara kultural maupun ekonomi. Etnis-etnis yang selama ini merasa didominasi
etnis dominan mulai bangkit dan memperjuangkan kepentingannya. Identitas etnis
kembali menguat. Salah satu cara adalah perjuangan untuk mekar lepas dari
propinsi atau kabupaten induk. Pemekaran diharapkan dapat menjadi sebuah
sarana bagi etnis yang selama ini merasa didominasi oleh etnis lain untuk berkarya
93
di daerah sendiri, entah sebagai PNS atau di sektor swasta. Hal yang tidak dapat
dipungkiri adalah bahwa setiap pemekaran yang terjadi merupakan inisiatif para
elit lokal yang didukung sepenuhnya oleh masyarakat setempat.
Dalam menggalang dukungan masyarakat, alasan yang dipakai bukanlah
menyangkut suatu kondisi yang jauh dari kehidupan masyarakat setempat
melainkan bersumber pada kondisi riil masyarakat. Salah satu isu menarik yang
sering kali dipakai dalam merebut perhatian masyarakat adalah sentimen
primordial. Isu identitas menjadi sebuah hal menarik dan menjadi alat yang
mampu mengikat setiap anggota komunitas entah itu etnis ataupun agama.
Misalnya saja bagi para pemuka masyarakat di Kepulauan Riau (Kepri), identitas
yang dianggap mampu menyatukan seluruh masyarakat Kepri (dalam hal
territorial) adalah identitas Melayu.159
Walaupun pada akhirnya identitas Melayu
ini kemudian akan berbenturan dengan identitas China yang jelas-jelas unggul
dalam bidang ekonomi.
Bagi tokoh-tokoh elit Masyarakat SBB, pemekaran wilayah Seram Bagian
Barat (SBB) menjadi sebuah harga mati bagi pengembangan daerah ini ke depan
baik di sektor pembangunan maupun untuk kesejahteraan manusianya. Hidup
bersama dalam Kabupaten Maluku Tengah menyebabkan etnis Seram seakan-
akan tidak punya pilihan hidup dan harus tersingkir dalam setiap perebutan
sumber-sumber daya publik di daerah sendiri. Hanya sedikit etnis Seram yang
duduk pada birokrasi pemerintahan, itupun hanya sebagai pegawai rendahan.
Persoalan yang dihadapi bukan pada mampu atau tidaknya mereka bersaing dengan
159
Carole Foucher, “Menggugat Batas-batas di Kepulauan Riau”, dalam Henk Schulte Nordhold
dan Gerry van Klinken (ed), Politik Lokal di Indonesia, Jakarta, KITLV dan Yayasan Obor
Indonesia, 2007, hlm. 585.
94
orang-orang luar melainkan pada kesempatan yang diberikan, siapakah yang
berkuasa dan pola kekuasaan yang dijalankan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pemekaran wilayah mampu menjembatani
kesenjangan antara pemerintah dengan rakyatnya, namun di sisi lain pemekaran
wilayah justru merupakan sebuah „batu loncatan‟ bagi sebagian elit masyarakat
lokal mencapai keinginannya berkuasa tanpa mempertimbangkan apa yang hendak
diperjuangkan. Keadaan inipun terjadi pada pemekaran kabupaten Mentawai. Para
elit lokal yang berkuasa akhirnya memilih berkoalisi dengan orang-orang asing
yang oleh masyarakat setempat dianggap tidak mempedulikan budaya dan sumber
daya alam mereka. Para elit ini kemudian dengan mudah melupakan ide-ide awal
pemekaran daerah tentang hak menentukan nasib sendiri serta hak mendapat akses
menuju sumber-sumber daya alam.160
Pemekaran wilayah dengan berbasis identitas kultural kemudian melahirkan
isu pengutamaan putera daerah. Setiap warga yang selama ini tersingkir dalam
perebutan sumber daya publik kembali memiliki kesempatan tersebut. Orang SBB
dan khususnya Waisarisa mulai membentengi diri dengan isu putera daerah
tersebut. Ada garis pemisah yang jelas antara orang lokal dan pendatang meskipun
selama ini telah terjadi interaksi antara mereka. Untuk menegaskan hal itu mereka
menyebut diri dengan penduduk asli sedangkan pendatang dengan sebutan orang
dagang, begitu pula sebaliknya. Berangkat dari isu ini semua putera daerah SBB
berlega hati dengan asumsi bahwa mereka memang lebih berhak atas sumber-
sumber daya publik. Banyak harapan putera daerah yang disandarkan pada daerah
160
Myrna Eindhoven, “Penjajah Baru? Identitas, Representasi, dan Pemerintahan di Kepulauan
Mentawai Pasca-Orde Baru”, dalam Henk Schulte Nordhold dan Gerry van Klinken (ed), Politik
Lokal di Indonesia, Jakarta, KITLV dan Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm.115
95
baru dengan pemerintahan baru. Tapi ketika kabupaten baru tidak menjanjikan apa-
apa, semua harapan seakan-akan pupus. Putera daerah dan bukan putera daerah
bukan menjadi sebuah hal penting dalam perebutan sumber-sumber daya publik
pada kabupaten baru. Putera daerah diperhadapkan pada kenyataan bahwa bukan
mereka saja yang memiliki hak untuk bekerja di daerah sendiri. Mereka menjadi
kecewa. Pemerintah baru yang diharapkan akan berpihak pada mereka justru
berpihak pada orang luar yang dianggap sebagai saingan.
Dalam perebutan sumber-sumber daya publik jumlah putera asli daerah
yang diterima sebagai CPNS selalu menjadi perhatian masyarakat. Justru karena
dalam prosentase kelulusan jumlah orang luar yang lebih banyak dari putera
daerah. menyebabkan munculnya pertanyaan kritis masyarakat tentang tujuan
pemekaran wilayah ini. Bukankah pemekaran wilayah ini bertujuan untuk
memperjuangkan nasib putera-puteri daerah yang selama ini dianggap tidak
mampu dan termarjinalkan? Pemekaran wilayah ini seakan-akan merupakan
perpanjangan tangan penguasa dari Maluku Tengah yang tetap dipertahankan pada
pemerintahan baru di SBB.
Hal ini menunjukkan bahwa pemekaran daerah justru telah menjadi ajang
pelebaran sayap kekuasaan. Pemekaran ini bukan menghasilkan para birokrat baru
dengan membawa ide-ide awal perjuangan pemekaran, melainkan tetap
mempertahankan birokrat lama yang bukan putera asli daerah SBB. Perebutan
sumber-sumber daya publik pada akhirnya menempatkan putera asli daerah dan
orang-orang luar pada arena yang sama. Bukan saja putera daerah (etnis SBB dan
warga SBB) yang berhak atas sumber-sumber daya publik, melainkan siapa saja
bahkan yang berasal dari luar Maluku. Hal ini menunjukkan bahwa dalam level
96
tertentu antar orang Maluku sendiri ada perbedaan dan batas-batas yang cukup
jelas. Identitas seseorang yang didasarkan pada nama fam merupakan penanda
asal seseorang sekaligus juga sebagai pembeda. Namun dalam kasus perebutan
sumber-sumber daya publik di SBB, batas-batas ini hilang dan digantikan dengan
batas-batas yang diciptakan oleh pemerintah sendiri. Siapakah yang dianggap layak
menduduki birokrasi pemerintahan tergantung ketentuan penguasa. Atau dengan
kata lain berhak atau tidaknya seseorang bukan tergantung pada asli atau tidaknya
melainkan pada pemegang kekuasaan. Bagi penduduk Waisarisa harapan yang
pernah ada akhirnya hilang. Penduduk lokal maupun pendatang akhirnya harus
merasa senasib kembali. Walaupun mereka berbeda secara etnis dan agama namun
dipersatukan oleh nasib, yakni sebagai mantan pekerja maupun sebagai orang-
orang yang gagal dalam perebutan sumber-sumber daya publik di kabupaten baru.
Hal ini menunjukkan bahwa identitas dapat mengental pada satu sisi namun
bisa mencair pada sisi lainnya tergantung kondisi (suhu sosial-politik) yang
dihadapi. Identitas bisa berubah wujud seperti layaknya benda-benda padat.
Tetapi perubahannya itu berlawanan dengan hukum alam. Jika benda padat akan
mencair pada suhu yang panas, dan membeku pada suhu dingin, tetapi identitas itu
sebaliknya: memadat pada suhu (politik) yang memanas, dan akan mencair pada
suhu (politik) yang normal. Identitas sebagai orang SBB mengental ketika
diperhadapkan dengan perebutan sumber daya publik, namun akan mencair
kembali ketika kompetisi memperebutkan sumber-sumber daya publik ini telah
lewat/selesai.
Pada akhirnya orientasi pemekaran wilayah bukan lagi pada kesejahteraan
masyarakat, melainkan pada ambisi tokoh-tokoh masyarakat untuk berkuasa.
97
Pemekaran wilayah akhirnya menyisakan banyak hal yang masih harus
diperjuangkan. Kesejahteraan masyarakat di daerah pemekaran adalah satu
diantaranya. Penulis mengakui bahwa penelitian tentang pemekaran wilayah yang
diawali dengan isu politisasi identitas ini membawa penulis pada suatu
pengalaman berbagi masalah dengan masyarakat yang selama ini tetap
terpinggirkan setiap kali terjadi perebutan sumber-sumber daya publik baik semasa
masih bergabung dalam Kabupaten Maluku Tengah maupun saat ini di kabupaten
baru yang katanya didirikan untuk memperjuangkan nasib mereka. Mereka
seakan-akan tidak berdaya melawan rezim kekuasaan lama yang sampai saat ini
masih tetap dipertahankan pada birokrasi pemerintahan kabupaten baru. Bagi
mereka kesempatan mereka untuk bekerja pada birokrasi pemerintahan hanya
mereka dapatkan ketika menjadi sebuah kabupaten baru. Tapi hal itu jauh dari apa
yang mereka bayangkan. Ide awal pemekaran tentang memperjuangkan nasib
putera-puteri daerah hanya sebuah retorika. Orang-orang yang berasal dari luar
SBB bahkan dari luar Maluku yang memiliki peluang itu lebih besar. Pandangan
mereka bukan lagi diarahkan pada siapakah kami dan siapakah sesama kami
melainkan lebih pada siapakah yang berkuasa dan yang berhak menentukan
kelulusan tersebut. Sebagai sesama orang Maluku, mereka tidak bisa menentukan
siapakah yang berhak atas sumber-sumber daya publik di SBB walaupun itu
merupakan motif awal perjuangan pemekaran kabupaten ini. Tetapi sekali lagi
yang menentukan berhak atau tidaknya itu ada di tangan penguasa dan bukan
masyarakat lokal.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan identitas kultural pada
level masyarakat SBB telah mengantarkan SBB menjadi sebuah kabupaten
98
otonom. Namun pendekatan ini akhirnya tidak menghasilkan apa-apa bagi etnis
SBB setiap kali terjadi perebutan sumber-sumber daya publik. Ini menunjukkan
bahwa pemekaran yang terjadi (Kabupaten SBB) bukanlah murni untuk
kepentingan masyarakat. Kepentingan ini ditunggangi oleh oknum-oknum tertentu
untuk melebarkan kekuasaan. Pada akhirnya etnis dan masyarakat SBB yang telah
termarjinalkan setiap kali perebutan sumber-sumber daya publik selama masih
berada dalam wilayah administratif Kabupaten Maluku Tengah kini harus
mengalaminya lagi. Mereka mengalami remarjinalisasi ini di daerah sendiri.
99
Daftar Pustaka
A. Buku
Abdullah, Irwan, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2006.
Aqadrie Syarif I, “ Pemekaran Wilayah: Masalah dan Implementasinya dalam
Pembangunan Daerah di Kalimantan Barat”, dalam Ning
Retnaningsih dkk (ed), Dinamika Politik Lokal di Indonesia:
Penataan Daerah (Territorial Reform) dan Dinamikanya,
Salatiga, Percik, 2008.
----------“Pemerintahan, Otonomisasi Daerah, Identifikasi Etnis dan Konflik
Horisontal di Kalimantan”, dalam Syamsuddin Haris (ed), Desentralisasi
dan Otonomi Daerah, Jakarta, LIPI Press, 2007.
Bamba, John, “ Borneo Headhunters: Imej dan Manipulasi”, dalam Okamoto
Masaaki dan Abdur Rozaki (ed), Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di
Era Reformasi, Yogyakarta, IRE Press, 2006.
Barth, Fredrik, Ethnic Groups and Boundaries, Bergen dan London,
Universitets Forlaget dan George Allen & UNWIN, 1970.
Bosko, Rafael Edy, Hak-hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan
Sumber Daya Alam, Jakarta, ELSAM dan AMAN, 2006.
BPS dan Bappeda Kabupaten SBB, Seram Bagian Barat Dalam Angka 2007,
Piru, BPS dan Bappeda Kabupaten SBB, 2008.
Brata, Aloysius Gunadi, “Konsolidasi Daerah dan Pelayanan Publik”, dalam Ning
Retnaningsih, dkk (ed), Dinamika Politik Lokal di Indonesia:
Penataan Daerah (Territorial Reform) dan Dinamikanya, Salatiga,
Percik, 2008.
Cooley, Frank L, Mimbar dan Takhta (terjem), Jakarta, Pustaka Sinar
Harapan, 1987.
Eindhoven, Myrna, “Penjajah Baru? Identitas, Representasi dan Pemerintahan di
Kepulauan Mentawai Pasca-Orde Baru”, dalam Henk S. Nordholt dan
100
Gerry van Klinken (ed), Politik Lokal di Indonesia, Jakarta, KITLV &
Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Eliade, Mircea, Sakral dan Profan (terjem), Yogyakarta, Fajar Pustaka Baru, 2002.
Foucher, Carole, “Menggugat Batas-batas di Kepulauan Riau”, dalam Henk S.
Norddholt dan Gerry van Klinken, (ed), Politik Lokal di Indonesia, Jakarta,
KITLV & Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Hall, Stuart, “Old ang New Identities, Old and New Ethnicities”, dalam Anthony
D. King (ed), Culture, Globalization and The World-System Contemporary
Conditions For The Representation of Identity, Hampshire &
London, The Macmillan Press Ltd, 1991.
Hendratno, Edie Toet, Negara Kesatuan, Desentralisasi dan Federalisme, Jakarta
& Yogyakarta, Universitas Pancasila & Graha Ilmu, 2009
Isaacs, Harold, Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis, Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia, 1993.
Lakoff, Robin Tolmach, “Identity: You Are, What You Eat”, dalam Anna de Finna,
dkk (ed), Discourse and Identity, Cambridge, Cambridge University
Press, 2006.
Laksono, Paschalis Maria, The Common Ground in The Kei Islands,
Yogyakarta, Galang Press., 2002
Lokollo, J.E, Pela-Gandong Dari Pulau Ambon (Seri Budaya), Ambon,
Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1996.
Maalouf, Amin, Atas Nama Identitas (terjem), Yogyakarta, Resist Book, 2004.
Makagansa, H.R, Tantangan Pemekaran Daerah, Yogyakarta, FusPad, 2008.
Marx, Karl, Naskah-naskah Ekonomi dan Filsafat Tahun 1844 (terjem), Jakarta,
Hasta Mitra.
Mercer, Kobena, “1968‟: Periodizing Politics and Identity”, dalam Lawrence
Grossberg, dkk (ed), Cultural Studies, New York & London, Routledge,
1992.
Mol, Hans, “Religion and Identity” dalam Victor Hayes (ed), Identity Issues and
World Religions, South Australia, AASRSA College of Advanced
Education, 1986.
101
Mulyana, Yaya, “Dimensi Gerakan dalam Pembentukan Propinsi Banten”, dalam
Erick Hiariej, dkk (ed), Politik Transisi Pasca Soeharto, Yogyakarta,
FISIPOL UGM, 2004.
Nordholt, Henk Schulte & Gerry van Klinken, Politik Lokal di Indonesia,
Jakarta, KITLV & Yayasan Obor Indonesia, 2007
Pemda Propinsi Maluku, The Wonderful Islands Maluku, Jakarta & Ambon,
Gibon Books & Pemda Propinsi Maluku, 2008.
Ratnawati, Tri, Pemekaran Daerah Politik Lokal dan Beberapa Isu Terseleksi,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009
---------, Potret Pemerintahan Lokal di Indonesia di Masa Perubahan, 2006,
Jakarta & Yogyakarta, P3LIPI & Pustaka Pelajar.
Romli, Lili, Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007.
Smith, Anthony D, “Structure and Persistence of Etnie”, dalam Montserrat
Guibernau dan John Rex (ed), The Ethnicity Reader, Cambridge & Malden,
Polity Press & Blackwell Publishers inc, 1997.
Susanto, Hary, Mitos Menurut Pemikiran Eliade, Yogyakarta, Kanisius, 1987.
Suwarsi, Warnaen, Stereotip Etnis Dalam Masyarakat Multietnis, Yogyakarta,
Mata Bangsa, 2002.
Taufik, Giri A, “Konsepsi Pemekaran Aceh (ALA ABAS) dan Pengaruhnya
Terhadap Peningkatan Kesejahteraan dan Kehidupan Kultural Masyarakat”,
dalam Ning Retnaningsih, dkk (ed), Dinamika Politik Lokal di Indonesia:
Penataan Daerah (territorial Reform) dan Dinamikanya, Salatiga,
Percik, 2008.
Tilaar, H.A.R., Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia,
Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2007.
B. Artikel, Makalah, dll.
Ajawaila J.W., “Etnisitas dan Pemekaran Wilayah” Harian Umum Siwalima,
Selasa, 23 September 2003, Edisi 243/IX Tahun IV.
Diputra, Yadi Surya, “Analisa Kekuatan Politik Etnisitas Dalam Proses Pemekaran
Propinsi Pulau Sumbawa”, disampaikan dalam Seminar
102
Internasional Percik dengan tema “ Dinamika Politik Lokal di Indonesia”,
Salatiga, 15- 17 Juli 2008.
Harian Umum Siwalima, “Gara-gara Pemekaran Seram Barat-Timur, Anggota
DPRD Malteng Nyaris Adu Jotos”, Jumat, 28 Februari 2003.
---------, “Soal Peluang Seram Barat-Timur Jadi Kabupaten”, Kamis, 9 Januari
2003.
---------, “Hasil Studi Kelayakan, Piru Jadi Ibukota Kabupaten SBB”, Selasa, 19
Agustus 2003.
Kambo, Gustiana, “Memahami Politik Identitas, Pemikiran Tentang Pencarian
Identitas Etnik: Sebuah Kajian Dalam Pembentukan Propinsi Sulawesi
Barat”, disampaikan dalam Seminar Internasional Percik dengan tema
“Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Salatiga, 15-17 Juli 2008.
Pemda Kabupaten SBB, “Sejarah Singkat Terbentuknya Kabupaten Seram Bagian
Barat”, 7 Januari 2005.
Setyaningrum, Arie, “Memetakan Lokasi bagi „Politik Identitas‟ dalam Wacana
Politik Poskolonial”, 2005, dalam Jurnal Mandatory, Edisi 2/Tahun 2/2005,
Yogyakarta, IRE, hlm.18
Tabloid Nusa Ina, “Pemda SBB Gelar Seminar Sejarah dan Bahasa Tiga Batang
Air”, 22-27 Januari 2009.
Tapilatu Wim, “Sejarah Penyerahan Tanah Sarihalawane”, Arsip Kantor Desa
Waisarisa.
http://www2.kompas.com/ tanggal 12 Desember 2008.
http://www.bkpmd-maluku.com/ tanggal 2 April 2009.
http://www.detiknews.com/ tanggal 2 April 2009.
http://www.disnakertrans-jateng.go.id/ tanggal 2 April 2009.
http://www.hamline.edu/apakhabar/ tanggal 27 Oktober 2009.
http://www.malukuprov.go.id/ tanggal 12 Desember 2008.
103
LAMPIRAN 1
DAFTAR NAMA LULUS CPNS 2006
104
105
LAMPIRAN III
PULAU SERAM BAGIAN BARAT
106
LAMPIRAN IV
PULAU SERAM
107
LAMPIRAN V
PULAU MALUKU SETELAH PEMEKARAN
108
LAMPIRAN VI
PULAU MALUKU SEBELUM PEMEKARAN
109
LAMPIRAN VII
WAISARISA
110
LAMPIRAN VIII
KAMP PEKERJA PABRIK PENGOLAHAN KAYU LAPIS
111
LAMPIRAN IX
Daftar Nama Informan
1. Agus Kakisina
2. Agus Seite
3. Amos Sabandar
4. Ates Parihala
5. Agus NM.
6. Bace Mailoa
7. Nengsih Ahiyate
8. Kace Silaya
9. Fery Manait
10. Marta Tamu Salempang
11. Sri
12. Mon Souhuken
13. Nataniel Elake
14. Poly Leiwakabessy
15. Lius Tanan
16. Yanto
17. Oce Parihala
18. Oce Sapasuru
19. Herly Leiwakabessy/Kainama
20. Jems Kapuate
21. Judith Louhanapessy