PEMBUNUHAN SEBAGAI PENGHALANG MENERIMA …repositori.uin-alauddin.ac.id/4644/1/Muh. Abdullah.pdf ·...

107
PEMBUNUHAN SEBAGAI PENGHALANG MENERIMA WARISAN (Studi Perbandingan Hukum Perdata dan Hukum Islam) Diajukan untuk Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum Pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar Oleh: MUH. ABDULLAH NIM. 104 001 050 19 FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR 2010

Transcript of PEMBUNUHAN SEBAGAI PENGHALANG MENERIMA …repositori.uin-alauddin.ac.id/4644/1/Muh. Abdullah.pdf ·...

PEMBUNUHAN SEBAGAI PENGHALANG

MENERIMA WARISAN

(Studi Perbandingan Hukum Perdata dan Hukum Islam)

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum Islam

Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum

Pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Alauddin Makassar

Oleh:

MUH. ABDULLAH NIM. 104 001 050 19

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN

MAKASSAR

2010

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Dengan penuh kesadaran, penyusun yang bertanda tangan di bawah ini

menyatakan bahwa skripsi ini benar adalah hasil karya penyusun sendiri. Jika di

kemudian hari terbukti bahwa ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat

oleh orang lain, sebagian atau seluruhnya, maka skripsi dan gelar yang diperoleh

karenanya batal demi hukum.

Makassar, 12 April 2010

Penulis,

Muh. Abdullah

Nim : 10400105019

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Pembimbing penelitian skripsi saudara Muh Abdullah. NIM. 104 001 050 19

mahasiswa Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum pada Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Alauddin Makassar setelah dengan seksama meneliti dan mengoreksi

Skripsi yang bersangkutan dengan judul “PEMBUNUHAN SEBAGAI

PENGHALANG MENERIMA WARISAN (STUDI PERBANDINGAN HUKUM

PERDATA DAN HUKUM ISLAM” memandang bahwa skripsi tersebut telah

memenuhi syarat-syarat ilmiah dan dapat disetujui untuk sidang munaqasah.

Demikian persetujuan ini diberikan untuk proses selanjutnya.

Makassar, 2010

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Supardin, M.HI. Alimuddin, S.Ag., M.Ag.

Nip. 19650302 199403 1 003 Nip. 19720302 200501 1 003

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil Alamin.

Dengan segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT. yang telah

melimpahkan rahmat dan Inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana.

Demikian pula shalawat dan taslim penulis peruntukan kepada junjungan

Nabiyullah Muhammad S AW. begitupun kepada segenap keluarganya dan orang-

orang yang mengikuti mereka dalam kebenaran yang dibawah oleh Rasulullah.

Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa dalam menyelesaikan studi

maupun penulisan karya ilmiah ini, tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik

material lebih-lebih yang bersifat moral. Oleh karena itu, patutlah kiranya penulis

menyampaikan kata syukur dan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya

kepada:

1. Ibunda dan Ayahanda yang tercinta, yang dengan sabar dan susah payah

membesarkan dan membiayai penulis dari awal hingga sekarang, sehingga

skripsi ini dapat terselasaikan.

2. Bapak Rektor Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar dan para pembantu

Rektor I, II, III atas segala bimbingan dan dorongannya kepada penulis.

3. Bapak Dekan dan pembantu Dekan I, II, III Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar yang telah dengan sungguh-

sungguh membina Fakultas ini.

4. Bapak Drs. Supardin, M.HI dan Alimuddin, S.Ag., M.Ag yang telah

mengorbankan waktunya untuk membimbing dan memberikan petunjuk kepada

penulis, sehingga terwujudlah skripsi ini.

5. Ibunda Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab Hukum dan Sekertaris Jurusan

Perbandingan Mazhab Hukum yang juga telah memberikan arahan-arahan

mengenai judul skripsi ini.

6. Bapak/Ibu dosen, Asisten Dosen dalam lingkungan pada Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Akhirnya dengan selesainya skripsi ini, semoga skripsi ini dapat

bermanfaat buat kita semua sebagai bahan renungan dan bacaan bagi pihak yang

membutuhkan untuk dapat dikembangkan lebih lanjut. Harapan dan do’a kiranya

Allah SWT. Senantiasa memberikan kepada kita sekalian kesehatan yang baik,

baik jasmani maupun rohani dan melapangkan jalan hidup kita sekalian untuk

mencapai tujuan yang kita cita-citakan selama ini. Amien Yaa Rabbal Alamin.

Makassar 12 April 2010

Muh. Abdullah

Nim : 10400105019

DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................ i

Pernyataan Keaslian Skripsi .......................................................................... ii

Persetujuan Pembimbing ............................................................................... iii

Kata Pengantar ............................................................................................... iv

Daftar Isi ......................................................................................................... vi

Abstrak ........................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………… ................ 1

A. Latar Belakang ................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .............................................................................. 3

C. Hipotesis ............................................................................................ 3

D. Pengertian Judul ................................................................................ 5

E. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 7

F. Metodologi ........................................................................................ 9

G. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ........................................................ 10

BAB II DASAR DAN SUMBER HUKUM KEWARISAN …. ................ 11

A. Pengertian Hukum Kewarisan Perdata dan Hukum

Kewarisan Islam ................................................................................. 11

B. Dasar-dasar Hukum Kewarisan Perdata dan Kewarisan

Islam .................................................................................................. 16

C. Syarat-syarat Kewarisan Perdata dan Kewarisan Islam ...................... 33

BAB III AHLI WARIS DAN PEMBAGIANNYA .................................... 38

A. Menurut Hukum Perdata ................................................................... 38

1. Golongan I ..................................................................................... 38

2. Golongan II .................................................................................... 42

3. Golongan III ................................................................................... 43

4. Golongan IV ................................................................................... 45

5. Kemungkinan Golongan III dan IV Mewaris Bersama ..................... 46

B. Menurut Hukum Islam ....................................................................... 48

1. Ahli Waris ...................................................................................... 48

2. Golongan Ahli Waris ..................................................................... 49

3. Pembagian Harta Warisan ............................................................ 55

BAB IV ANALISIS TINDAKAN PEMBUNUHAN DALAM

KEWARISAN ………………………………………… ................ 66

A. Analisa Pembunuhan Menurut Hukum Perdata ................................. 68

1. Pengertian Pembunuhan .............................................................. 68

2. Macam-macam Pembunuhan ....................................................... 70

3. Pembunuhan yang tidak Mendapat Warisan ................................ 75

B. Analisis Pembunuhan Menurut Islam ................................................. 77

1. Pengertian Pembunuhan .............................................................. 77

2. Macam-macam Pembunuhan ....................................................... 79

3. Pembunuhan yang tidak Mendapat Warisan ................................ 84

BAB V PENUTUP ........................................................................................ 89

A. Kesimpulan ........................................................................................ 89

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 96

ABSTRAK

Nama : Muh. Abdullah

N I M : 10400105019

Fak/Jurusan : Syari’ah dan Hukum/Perbandingan Mazhab dan Hukum

Judul Skripsi : Pembunuhan sebagai penghalang menerima warisan

(Studi Perbandingan hukum perdata dan hukum Islam

Skripsi ini membahas tentang “ pembunuhan sebagai penghalang menerima

warisan (Studi Perbandingan Hukum Perdata dan Hukum Islam)’’. Penulis

mengangkat dua permasalahan yang diambil dari judul, yaitu bagaimana

pembunuhan dalam hukum perdata dan hukum Islam serta membahas pula

bagaimana pembunuhan sebagai penghalang menerima warisan.

Penelitian ini bersifat kepustakaan (Library Research) dimana diambil

pendapat-pendapat para ahli hukum positif dan hukum Islam dalam buku-buku

referensi yang ada sebagai rujukan penyusunan penelitian ini dengan menggunakan

pendekatan Komparatif (Comparative Approach) untuk melihat sejauh mana

pendapat-pendapat para ahli tentang pembunuhan dalam kewarisan.

Dari hasil penelitian, penulis menunjukkan bahwa suatu tindakan

pembunuhan memberikan dampak terhadap hukum kewarisan baik dilihat dari

tinjauan hukum perdata maupun dari tinjauan Fiqh.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa suatu tindakan pembunuhan dapat

mengakibatkan putusnya hubungan mewarisi meskipun si ahli waris merupakan

kerabat terdekat ataupun bahwa ahli waris merupakan pewaris tunggal dari

pewarisnya.

viii

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta

kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya

bagi para ahli warisnya. Pada dasarnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban

dalam lapangan hukum kekayaan/harta benda saja yang dapat

diwariskan.

Banyak orang yang mengetahui, menurut undang-undang bahwa

yang berhak untuk menjadi ahli waris adalah para keluarga sedarah, baik

sah maupun luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama.

Selanjutnya, dalam hal bila mana baik keluarga sedarah maupun si yang

hidup terlama diantara suami istri tidak ada, maka segala harta

peninggalan yang meninggal dunia menjadi milik Negara. Kemudian

yang wajib melunasi segala utangnya dengan catatan harta peninggalan

nya mencukupi untuk itu.

Demikian juga semua ahli waris dengan sendirinya karena hukum,

memperoleh hak atas segala barang, segala hak dan segala piutang yang

meninggal dunia. Apabila timbul perselisihan sekitar siapakah ahli

warisnya dan siapakah yang berhak memperoleh hak milik seperti diatas,

maka hakim memerintahkan agar segala harta peninggalan yang

meninggal dunia itu ditaruh terlebih dahulu dalam penyimpanan.1

1 Oemar Salim, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia (Jakarta:Bumi Aksara, 1987) h. v

2

Hukum waris dapat dipaparkan sebagai seluruh aturan yang

menyangkut pergantian kedudukan harta kekayaan yang menyangkut

himpunan aktiva2 dan pasiva3 orang yang meninggal dunia. Ketertiban

hukum yang berhenti sebagai pendukung hak dan kewajiban dinamakan

ahli waris. Dalam makna hukum kekayaan para ahli waris pada

hakekatnya, melanjutkan pribadi pewaris mengisi kekosongan yang

terjadi karena kematian.4

Selain dari pada itu, hukum waris tidak hanya mengatur siapa saja

yang dapat untuk memperoleh warisan. Akan tetapi, juga mengatur setiap

hal yang mengakibatkan tidak dapat untuk menerima warisan ataupun

akibat adanya halangan untuk mendapat hak waris. Adapun halangan-

halangan itu adalah karena pengaruh orang atau kekerabatan, yakni

adanya hubungan darah yang lebih dekat oleh pewaris dengan ahli

warisnya sehingga ahli waris yang lain menjadi terhalang. Berikutnya

adalah adanya halangan karena pengaruh suatu washaf (sifat) yang biasa

juga dikenal dengan sebutan mawani’ul irtsi.

Pengaruh sifat yang dimaksud disini, adalah seorang ahli waris

yang sebenarnya memiliki hak untuk mendapatkan harta warisan dari Si-

pewaris, namun karena padanya terdapat salah satu keadaan tertentu

menyebabkan ia tidak dapat menerima warisan dari si-pewaris tidak

dapat menerima warisan (adanya dianggap tidak ada). Maksudnya

2 Aktiva adalah sejumlah benda yang nyata ada/atau berupa tagihan/piutang kepada pihak

ketiga, dan juga dapat berupa hak cipta dan sebagainya 3 Pasiva adalah sejumlah hutang pewaris yang harus dilunasi pada pihak ketiga, maupun

kewajiban lainnya (menyimpan benda orang lain dan sebagainya). 4M.JA.Van Mourik, Studi Kasus Hukum Waris (Bandung:PT Eresco, 1993) h. 1

3

sekalipun ia memenuhi syarat-syarat sebagai ahli waris, tetapi karena

adanya pengaruh sifat itu menyebabkan ia tidak memperoleh warisan.5

Adapun salah satu sifat yang dimaksud adalah karena pembunuhan

yang dilakukan ahli waris kepada sipewaris. oleh karena hal tersebut

mengakibatkan halangan bagi ahli waris atas harta warisan, hal ini sesuai

dengan hadits Rasulullah, yang artinya; “Pembunuh itu tidak mewaris”.

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas

maka penulis jadikan masalah pokok adalah: Pembunuhan Sebagai

Penghalang Menerima Warisan (Studi Perbandingan Hukum perdata dan

Hukum Islam) dari pokok masalah tersebut maka penulis merumuskan

dua sub masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pembunuhan dalam hukum perdata dan hukum Islam?

2. Bagaimana pembunuhan sebagai penghalang menerima warisan?

C. Hipotesis

Dari permasalahan yang dikemukakan di atas, maka sebagai

kerangka teori atau landasan berpijak dalam membahas skripsi ini, maka

penulis membuat hipotesa sebagai berikut:

1. Pembunuhan adalah suatu tindakan atau perbuatan manusia yang

menyebabkan hilangnya nyawa, pembunuhan itu sendiri terbagi atas

dua bagian, yaitu; pembunuhan sengaja yakni suatu perbuatan dengan

maksud menganiaya dan mengakibatkan hilangnya nyawa ataupun

melakukan sesuatu hal yang berbahaya pada korban hingga

5 Drs.A.Assaad Yunus, Pokok-pokok Hukum Kewarisan (Jakarta,PT. Alqushwa, 1992)

4

membuatnya meninggal dikarenakan dengan niat untuk

menghilangkan nyawanya, adapun jenis pembunuhan lainnya adalah

pembunuhan kesalahan yakni, perbuatan yang mengakibatkan

kematian seseorang yang tidak disertai dengan niat melainkan karena

kelalaian/ketidak sengajaan,

2. Menurut ketentuan pasal 838 KUHPdt, yang dianggap tidak patut

menjadi ahli waris dan karenanya tidak berhak mewarisi, salah satunya

adalah karena melakukan tidakan kriminal kepada si-pewaris, yakni;

“mereka yang telah di hukum di persalahkan telah membunuh, atau

mencoba membunuh si yang meninggal”.6

Adapun menurut pandangan ulama islam, mereka berbeda pandangan

diantara mereka, yakni; Menurut Ulama Syafi’iyah, berpendapat

bahwa: “segala macam bentuk pembunuhan yang dilakukan oleh

seseorang ahli waris kepada pewarisnya adalah menjadi penghalang

baginya untuk menerima harta warisan”, sedangkan menurut ulama

Hanafiyah, berpendapat bahwa: “Pembunuhan yang menjadikan

seseorang ahli waris termasuk mawani’ul irtsi ialah pembunuhan

yang mengakibatkan adanya sangsi qishash dan kaffarah”. Adapun

maksud Pembunuhan yang bersangsi qishash ialah pembunuhan yang

dilakukan dengan sengaja atau direncanakan sebelumnya, sedangkan

pembunuhan yang besangsi kaffarah yaitu:

6 Prof. R. Subekti, S.H. dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang HUKUM PERDATA (Cet

37; Jakarta, PT PRADNYA PARAMITA, 2006) h. 223.

5

Pembunuhan mirip sengaja (shibhul ‘amdi), yaitu sengaja

melakukan penganiyayaan dengan pukulan tanpa niat

membunuhnya, tetapi ternyata yang dipukul meninggal dunia,

Pembunuhan karena khilaf (qathil-khata’i), misalnya: seseorang

menembak binatang buruan, yang dikenai sasaran peluru adalah

manusia,

Pembunuhan yang dianggap khilaf (al-jari madjrol khathai)

misalnya seorang yang membawa benda berat tanpa disengaja

terlepas menjatuhi seseorang hingga ia mati.7

D. Pengertian Judul

Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini, maka penulis terlebih

dahulu mengemukakan beberapa pengertian dari kata-kata yang dianggap

penting sebagai berikut:

Pembunuhan merupakan suatu tindakan atau perbuatan yang

disengaja ataupun karena kehilafan sehingga mengakibatkan seseorang

meninggal dunia.

Penghalang adalah suatu sebab atau alasan yang mengakibatkan

sesuatu tidak dapat mencapai maupun memiliki yang di inginkan karena

ketentuan suatu kaedah-kaedah.

Warisan ialah segala harta yang ditinggalkan oleh pewaris setelah

dikurangi dengan semua hutangnya8 dan akan dibagikan kepada ahli

warisnya menurut ketentuan yang berlaku.

7 Drs. A. Assaad Yunus, Pokok-pokok Hukum Kewarisan Islam (Faraidh), (Jakarta, PT

Alqushwa, Nov 2006).

6

Perbandingan merupakan sistem atau cara mencari perbedaan

ataupun persamaan antara satu dengan yang lainnya dengan tujuan

menganalisis guna mendapatkan jawaban yang lebih spesifik.

Hukum perdata menurut Subekti; “Dalam arti luas meliputi semua

hukum privat materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur

kepentingan-kepentingan perseorangan”9.

Adapun kalau kita menyebut hukum Islam, maka perlu dijernihkan

dulu apa yang dimaksud dengan hukum Islam ini. Dalam agama Islam

ada dua istilah yang biasanya diterjemahkan menjadi hukum Islam, yaitu

Syariah (Syara’) dan Fiqh. Pengertian ini sering di kacaukan

pemakaiannya, kadang-kadang sebagai hal yang sinonim dan kadang-

kadang sebagai hal yang berbeda.

Adaapun yang membedakan syariat dengan fiqh, yakni: Syariat

adalah hukum-hukum yang telah jelas nash-NYA atau qathi, sedangkan

Fiqh adalah hukum-hukum yang zhanni yang dapat dimasuki pemikiran

manusia (ijtihadi)10. Namun dalam hal Skripsi ini, pengertian hukum

Islam kita menggunakan pengertian Fiqh.

Adapun dalam pembahasan hukum Islam pada skripsi ini juga

membahas permasalahan dalam Kompilasi Hukum Islam, dimana yang

dimaksud kompilasi dalam pengertian kompilasi hukum Islam ini adalah

merupakan rangkuman dari berbagai kitab yang ditulis oleh para ulama

8 Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H.Hukum Perdata Indonesia, (Cet. 3; Bandar Lampung, PT

Citra Aditya Bakti, Feb 2000) h. 192. 9 F.X. Suhardana S.H (Cet. 2; Jakarta PT Gramedia Pusaka Utama, 1996) h. 6.

10 DR. Bustanul Arifin, S.H, PELEMBAGAAN HUKUM ISLAM DIINDONESIA, Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya (Jakarta; Gema Insani Press, 1996) h. 40.

7

fiqh yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama

untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun kedalam suatu

himpunan11

Dari uraian diatas, maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud

dari pengertian judul skripsi ini adalah terhalangnya seorang ahli waris

untuk mendapatkan warisan dikarenakan perbuatan menghilangkan

nyawa dari si-pewaris dengan cara melakukan perbandingan antara

hukum Perdata dengan hukum Islam.

E. Tinjauan Pustaka

Skripsi ini membahas tentang “pembunuhan sebagai penghalang

menerima warisan (studi perbandingan hak-hak keperdataan dan hukum

Islam)”. Karena itu dilihat dari sisi literatur yang digunakan

menunjukkan bahwa secara khusus menggunakan dua sumber yang

berbeda, yakni literatur yang bersumber dari hukum positif (Indonesia)

dan literatur yang bersumber dari hukum Islam.

Adapun literatur yang membahas dari sisi hukum Islam tentang

warisan pembunuh dapat di peroleh dari ayat-ayat al-Qur’an dan al-hadits

serta buku-buku yang berkaitan dengan masalah tersebut, seperti yang

disusun oleh Drs. A. Assad Yunus “Pokok-pokok Hukum Kewarisan

Islam (Faraid)” dimana dalam buku ini membahas tentang hukum-

hukum dalam kewarisan serta menjelaskan segalah hal yang berkaitan

dengannya. Sama halnya dengan yang di atas, buku yang disusun oleh

Effendi Perangin, S.H, dalam bukunnya “Hukum Waris” juga membahas

11 H. ABDURRAHMAN, SH. MH., KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA (Cet; 2,

Jakarta; AKADEMIKA PRESSINDO, 1995) h. 14.

8

masalah-masalah yang berkaitan dengan kewarisan serta hukum-

hukumnya hanya saja dalam buku ini dilengkapi dengan contoh-contoh

sederhana pembagian warisan.

Oemar Salim ”Dasar-dasar Hukum Waris” membahas tentang

dasar-dasar dalam kewarisan dan juga seputar permasalahan yang

kemungkinan dapat terjadi didalam kewarisan yang dilengkapi dengan

solusi-solusi dalam memecahkan permasalahan tersebut.

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Dalam bukunya

”Fiqhi Mawaris” yang menjelaskan kandungan ilmu kewarisan serta

memaparkan syarat-syarat dan rukun-rukun yang dikandungnya serta

pembagiannya masing-masing kepada ahli waris.

Prof. Drs. H. A. Djazuli dengan judul bukunya “Fiqih Jinayah

(Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam)” dimana di dalamnya

memuat tentang hukum-hukum pidana Islam serta ganjaran terhadap

pelanggaran hukum yang dilengkapi dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan

Hadits Rasulullah seta pendapat-pendapat para ulama.

Adapun literatur yang berkaitan dengan hukum positif/perdata

seperti yang disusun oleh Prof. R. Subekti, S.H bersama R. Tjitrosudibio

dengan bukunya “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata” yang di

dalamnya menguraikan isi dari pasal-pasal Undang-Undang keperdataan

yang dilengkapi dengan tambahan Undang-Undang pokok Agraria dan

Undang-Undang Perkawinan.

Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H dalam bukunya “Hukum

Perdata Indonesia” dimana dalam buku tersebut membahas pengertian

9

hukum perdata, sejarahnya, dan sumber dasar dari hukum perdata.

Didalam buku ini juga menguraikan segala permasalahan pada hukum

badan pribadi, hukum keluarga, hukum benda dan sebagainya.

Dari beberapa literatur diatas, belum ada yang membahas tentang

judul yang menyangkut “pembunuhan sebagai penghalang kewarisan”

secara khusus ataupun mendalam, melainkan hanya menjelaskan

beberapa hal dasar dari judul. Maka dari itu, penulis akan mencoba

membahas lebih dalam lagi terhadap judul skripsi ini pada pembahasan

selanjudnya.

F. Metodologi

Penelitian skripsi ini berbentuk penelitian kepustakaan (library

research). Dimana metode penelitian ini mencakup dua hal yaitu:

1. Metode Pengumpulan Data.

Data yang dikumpul diperoleh dari berbagai literatur yang ada dan

relevan dengan pembahasan serta berhubungan dengan masalah pokok

yang ingin dibahas dalam skripsi ini.

2. Metode Pengolahan Data

Data-data yang telah diperoleh akan diolah berdasarkan metode

induktif, deduktif dan komparatif. Metode induktif yang dimaksud

disini yaitu menarik kesimpulan khusus dari informasi yang bersifat

umum. Metode deduktif yaitu upaya generalisasi terhadap informasi

yang bersifat umum. Sedangkan metode komparatif yaitu

membandingkan data-data yang ada antara satu sama lain untuk ditarik

suatu solusi apabila terdapat perbedaan.

10

G. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

Adapun tujuan penulisan penyusunan skripsi ini adalah sebagai

berikut:

1. Untuk menjelaskan kriteria pembunuhan yang tidak layak untuk

mendapatkan warisan.

2. Untuk mengetahui kemungkinan kepada pembunuh mendapatkan

warisan.

Sedangkan kegunaan penulisan penyusunan skripsi ini adalah

sebagai berikut:

1. Untuk memperkaya khasanah intelektual tentang hukum kewarisan

terkhusus dalam kasus warisan pembunuh.

2. Untuk meningkatkan pemahaman terhadap hukum-hukum positif dan

hukum Islam, dalam hal ini khususnya pada kasus kewarisan.

3. Untuk memenuhi salah satu persyaratan administratif penyelesaian

studi pada Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas

Syari’ah UIN Alauddin Makassar.

11

BAB II

DASAR DAN SUMBER HUKUM KEWARISAN

A. Pengertian Hukum Kewarisan Perdata dan Hukum Kewarisan

Islam

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata

secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum

kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup

kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami

peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang

selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum kematian

seseorang, di antaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan

kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal

dunia tersebut. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai

akibat meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum waris. Untuk

pengertian hukum “waris” sampai saat ini baik para ahli hukum

Indonesia maupun di dalam kepustakaan ilmu hukum Indonesia, belum

terdapat keseragaman pengertian, sehingga istilah untuk hukum waris

masih beraneka ragam. Misalnya saja, Wirjono Prodjodokoro,

menggunakan istilah “hukum warisan”. Hazairin, mempergunakan istilah

“hukum kewarisan” dan Soepomo menyebutnya dengan istilah “ hukum

waris”.12

Dengan beberapa istilah ketiga ahli hukum tersebut di atas, baik

mengenai penulisan istilahnya maupun berkenaan dengan pengertian

12 Dr. Eman Suparman, S.H.,M.H, Hukum Waris Indonesia, Dalam Perspektif Islam, Adat,

dan BW (Cet 2; Bandung, PT Refika Aditama, 2007) h. 1

12

hukum waris itu sendiri, penulis lebih cenderung mengikuti istilah

“hukum kewarisan” di dalam penulisan skripsi ini.

1. Pengertian Hukum Kewarisan Perdata

Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia

adalah berasal dari Burgerlijk Wetboek yang terdiri dari 4 buku, dimana

hukum kewarisan diatur dalam hukum kebendaan yakni pada jilid II

KUH Perdata, yang dimulai dari pasal 830 KUH Perdata sampai dengan

pasal 1130 KUH Perdata.

Didalam KUH Perdata tidak ditemukan pengertian hukum waris,

tetapi yang ada hanya konsep-konsep tentang kewarisan, orang yang

berdasarkan ketentuan berhak dan tidak berhak menerima warisan dan

sebagainya. Namun pada pasal 830 KUH Perdata yang berbunyi;

“Pewarisan hanya berlangsung karena kematian”13. Dapat dipahami

sebuah pengertian bahwa “jika seseorang meninggal dunia, maka seluruh

harta hak dan kewajibannya akan beralih / berpindah kepada para ahli

warisnya”.

Berdasarkan pasal 830 Kitab Undang-undang Hukum Perdata di

atas, beberapa ahli telah merumuskan hukum kewarisan, yakni;

Vollmar berpendapat bahwa “hukum waris adalah perpindahan

dari sebuah harta kekayaan seutuhnya, jadi keseluruhan hak-hak dan

wajib-wajib, dari orang yang mewariskan kepada warisnya”. Pendapat ini

hanya di fokuskan kepada pemindahan harta kekayaan dari pewaris

kepada ahli warisnya. Pendapat lainnya di kemukakan oleh Pitlo. Ia

13 Frof subekti, S.H. dan R. Tjitrosudibio, op. cit., h.221.

13

berpendapat bahwa “hukum waris adalah kumpulan peraturan, yang

mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu

mengenai pemindahan kekayaan yang di tinggalkan oleh si mati dan

akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik

dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan

antara mereka dengan pihak ketiga”. Pendapat Pitlo ini agak luas, karena

didalam pemindahan kekayaan itu, tidak hanya hubungan antara ahli

waris yang satu dengan ahli waris lainnya, namun juga di atur tentang

hubungan antara ahli waris dengan pihak ketiga. Hubungan dengan pihak

ketiga ini berkaitan dengan masalah-masalah utang piutang pewaris pada

saat masih hidup.14

Pada hakekatnya hukum waris dapat timbul di karenakan adanya

peristiwa kematian, dimana peristiwa kematian ini menimpa pada salah

satu anggota keluarga, misalnya ayah, ibu atau anak, dengan demikian

apa bila terjadi peristiwa kematian terhadap salah satu anggota keluarga

tersebut, maka yang menjadi persoalan bukanlah peristiwa kematiannya,

melainkan harta kekayaan yang ditinggalkan, dengan kata lain; adakah

harta kekayaan yang ditinggalkan?, siapa sajakah ahli warisnya?, serta

siapa sajakah yang berhak menanggulangi hartanya terhadap pihak ketiga

(masalah utang piutang si mati).

Jika dirumuskan, maka “hukum waris adalah segala peraturan

hukum yang mengatur tentang beralihnya harta warisan dari pewaris

karena kematian kepada ahli waris atau orang yang ditunjuk”. Dari

14 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, BW, (Jakarta; Sinar Grafika, 2002) h. 137-

138

14

rumusan ini dapat diketahui unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian

hukum waris itu sebagai berikut:

a). Subjek hukum waris yaitu pewaris, ahli waris, dan orang yang

ditunjuk berdasarkan wasiat;

b). Peristiwa hukum waris yaitu meninggalnya pewaris;

c). Hubungan hukum waris yaitu hak dan kewajiban ahli waris;

d). Objek hukum waris yaitu harta warisan peninggalan almarhum.

2. Pengertian Hukum Kewarisan Islam

Di dalam Islam, ilmu kewarisan biasa pula disebut dengan ilmu

Faraid, hal ini sesuai dengan yang tertuang dalam kitab-kitab Fiqh yang

membahas tentang hukum waris, dimana dalam hal ini yang dimaksud

dengan ilmu faraid adalah ilmu yang mempelajari tentang hukum-hukum

kewarisan seperti masalah ketentuan dalam pewarisan, hal-hal yang

menyebabkan mendapat warisan ataupun tidak mendapat warisan dan

cara pembagiannya masing-masing dan menjadi sebuah kepatutan oleh

ummat Islam untuk mengikutinya sebagai sarana menjaga

keberlangsungan hidup keluarga dan bersaudara dalam umat Islam.

Perkataan mewaris dalam bahasa Arab berasal dari kata “warisa”,

“yarisu”, “irsan”, “wamiirasan”.15

Firman Allah dalam Qs. An-naml: 16 dan Qs. Al-qashash: 58

dikatakan:

15 Syaikh Muhammad Ali Ash-shabuni, Hukum Waris (Cet; 1, Solo: CV Pustaka Mantiq,

1994) h. 30

15

...

Terjemahnya;

“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud. … (QS. An Naml (27); 16),16

Terjemahnya;

“ … . Dan kami adalah pewarisya. (QS. Al Qashash (28) ; 58).17

Menurut lughot, arti kata “mewaris” adalah perpindahan sesuatu

dari seseorang kepada orang lain atau dari satu golongan kepada

golongan yang lain, pengertian ini mempunyai cakupan yang lebih luas,

karena tidak hanya menyangkut harta benda saja, melainkan juga ilmu

atau kemuliaan. Termasuk dalam pengertian ini adalah sabda rasulullah

saw:

“ulama’ adalah pewaris para Nabi”.

Hadits ini mengisyaratkan bahwa Nabi mewariskan sesuatu kepada

para Ulama. Padahal Nabi tidak pernah mewariskan harta ataupun uang,

tetapi hanya mewariskan ilmu. Dengan demikian, siapapun yang

mempelajari ilmu (Agama), maka ia akan mewarisi ilmu dari Nabi.18

Pengertian mewaris menurut istilah ialah: pindahnya hak milik

orang yang meninggal dunia kepada para ahli warisnya yang masih

16 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahannya (Surabaya: CV. Jaya Sakti, 2002) h.595

17 Ibid, h. 619 18 Syaikh Muhammad Ali Ash-shabuni., op. cit., h. 31.

16

hidup, baik yang ditinggalkannya itu berupa harta bergerak dan tidak

bergerak atau hak-hak menurut hukum syara’.19

Dalam redaksi lain yang dijelaskan oleh Teungku Muhammad

Hasbi Asy-Shiddieqy bahwa, “kewarisan adalah beberapa kaidah yang

terpetik dari fiqih dan hisab untuk mengetahui secara khusus mengenai

segala yang mempunyai hak terhadap peninggalan si mati dan bagian ahli

waris dari harta peninggalan tersebut”20

Adapun pengertian secara khusus tentang kewarisan, tertuang

BAB I Pasal 171a Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi: “Hukum

kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak

pemilikan harta pe-ninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa

yang berhak menjadi ahli waris dan berapa ba-gianya masing-masing”.21

B. Dasar-dasar Hukum Kewarisan Perdata dan Kewarisan Islam

Dalam pembahasan sebelumnya, telah di jelaskan bahwa, hukum

kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta

kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang telah meninggal serta

akibatnya bagi para ahli warisnya. Maka berdasarkan hal tersebut

mestilah ada yang mengatur ataupun sesuatu yang dapat dijadikan hukum

untuk melangsungkan kewarisan, baik itu dalam lingkup hukum

kewarisan perdata maupun dalam hukum kewarisan Islam.

19 Muhammad Ali As-Shabuni, Hukum Waris Dalam Syari’at Islam (Cet; III, Bandung: CV

Diponegoro, 1995).,h.41. 20 Drs. Dian Khairul Umam, FIQIH MAWARIS (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 1999) h.

14. 21 Tim Redaksi FOKUSMEDIA, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Fokusmedia, 2005) h.

56.

17

1. Dasar Hukum Kewarisan Perdata

Pada hakekatnya, hukum kewarisan Perdata hanya mengenal satu

sumber sebagai dasar hukum kewarisan, yakni pada Kitab Undang-

undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Dimana didalamnya,

kewarisan diidentikkan dengan kebendaan dan merupakan hukum yang

mengatur segala hal menyangkut hak waris sebagai salah satu cara untuk

memperoleh hak kebendaan, hal ini tertuang dalam pasal 584 KUH

Perdata dan oleh karenanya ditempatkan dalam buku ke- 2 KUH Perdata.

Pasal 584:

Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain,

melainkan dengan pemilikan, karena perlekatan; karena daluwarsa,

karena kewarisan, baik menurut undang-undang, maupun menurut surat

wasiat, dan karena penunjukan atau penyerahan berdasar atas suatu

peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh

seseorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu.22

Menurut KUH Perdata, ada dua cara untuk mendapatkan warisan

yang tetuang dalam pasal 830 KUH Perdata sampai dengan pasal 1130

KUH Perdata. Dua cara yang dimaksud itu adalah;

ahli waris menurut ketentuan Undang-undang, dan

karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).

Sebagai sumber hukum kewarisan, Kitab Undang-undang Hukum

Perdata menjelaskan segala hal yang menyangkut ketentuan-ketentuan

22 Frof. R. Subekti, S. H. dan R. Tjitrosudibio, op cit, h 174

18

hukum kewarisan perdata. Diantaranya, tentang bagaimanakah pewarisan

itu dan siapa sajakah yang patut mendapatkan warisan dan aturannya.

Pasal 832

Menurut undang-undang yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah,

para keluarga sedarah, baik sah, maupun luar kawin dan si suami atau

istri yang hidup terlama, semua menurut peraturan tertera di bawah ini.

Dalam hal, bilamana baik keluarga sedarah, maupun si yang hidup

terlama di antara suami istri, tidak ada, maka segala harta peninggalan si

yang meninggal, menjadi milik Negara, yang mana wajib akan melunasi

segala utangnya, sekedar harga harta peninggalan mencukupi untuk itu.23

Berkenaan dengan pasal yang disebutkan di atas, KUH Perdata

juga mengatur kebolehan seseorang untuk menuntut hak supaya segala

apa yang termasuk harta peninggalan yang meninggal diserahkan

padanya berdasarkan haknya sebagai ahli waris, seperti yang tertuang

dalam pasal 833 dan pasal 834 KUH Perdata. Namun untuk melakukan

tuntutan hak hendaklah dilakukan sebelum gugur karena kedaluarsa,

dengan tenggang waktu tiga puluh tahun setelah harta warisan dibagikan

(pasal 835).24

Oleh karena disebutkan ada yang patut untuk menerima warisan,

maka ketentuannya ada juga yang tidak patut mendapatkan warisan,

meskipun berdasarkan faktanya memiliki hubungan darah atau

kekerabatan yang dekat dengan pewaris, namun karena melakukan

23 Ibid, h. 221 24 Ibid, h. 222

19

sesuatu yang terlarang oleh KUH Perdata terhadap pewaris,

menjadikannya tidak patut mendapat warisan.

Pasal 838

Yang dianggap tak patut menjadi waris dan karenanya pun dikecualikan

dari pewarisan ialah:

1. mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh,

atau mencoba membunuh si yang meninggal;

2. mereka yang dengan putusan Hakim pernah dipersalahkan karena

secara fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap si yang meninggal,

ialah suatu pengaduan telah melakukan sesuatu kejahatan yang

terancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman

yang lebih berat;

3. mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si yang

meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya;

4. mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat

wasiat si yang meninggal.25

Bila mana harta warisan telah dibagikan sedangkan si penerima

termaksud salah satu dari ketentuan diatas dinyatakan tidak patut

menerima warisan, maka wajib baginya mengembalikan segala hasil dan

pendapatan yang telah dinikmatinya (Pasal 839). Akan tetapi apabila

anak-anak dari seorang yang telah dinyatakan tak patut menjadi waris,

atas diri sendiri mempunyai panggilan untuk menjadi waris, maka

tidaklah mereka karena kesalahan orang tua tadi, dikecualikan dari

25 Ibid, h. 223

20

pewarisan; namun orang tua itulah sama sekali tak berhak menuntut

supaya diperbolehkan menikmati hasil barang-barang dari warisan (Pasal

840).26

Selain dari pada itu, KUH Perdata juga mengatur masalah

pergantian tempat, yakni; berpindahnya hak untuk menerima warisan

kepada keturunannya dikarenakan meninggal sebelum sempat mendapat

harta warisan dari pewarisnya yang terlebih dahulu telah meninggal,

masalah ini diatur dalam pasal 841 KUH Perdata sampai pasal 851 KUH

Perdata.

Perihal tesamen atau wasiat

disamping undang-undang, dasar hukum seseorang mewarisi harta

peninggalan pewaris, dapat juga melalui cara ditunjuk dalam surat

wasiat. Surat wasiat testamen adalah “suatu pernyataan tentang apa yang

dikehendaki setelah ia meninggal dunia”. Sifat utama surat wasiat adalah

mempunyai kekuatan berlaku setelah pembuat wasiat meninggal dan

tidak dapat ditarik kembali.27

Pasal 875

Adapun yang dinamakan surat wasiat atau testamen ialah suatu akta yang

memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan

terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut

kembali lagi.28

26 Ibid 27 Dr. Eman Suparman, S. H., M. H., op cit, h. 29 28 Prof. R. Subekti, S. H. dan R. Tjitrosudibio, op cit, h. 232

21

Seseorang dapat mewariskan sebagian atau seluruhnya hartanya

dengan surat wasiat. Apabila seseorang hanya menetapkan sebagian dari

hartanya melalui surat wasiat, maka sisanya merupakan bagian ahli waris

berdasarkan undang-undang (ahli waris ab intestato). Jadi, pemberian

seseorang pewaris berdasarkan surat wasiat tidak termaksud untuk

menghapuskan hak untuk mewaris secara ab intestato.29

Pasal 919

Bagian dari harta kekayaan seorang, yang mana ia diperbolehkan

menggunakannya secara bebas, bolehlah ia memberikan atau

menghibahkannya kepada orang lain, baik seluruhnya, maupun untuk

sebagian, baik dengan perbuatan perdata antara yang masih hidup,

maupun dengan surat wasiat, baik kepada bukan ahli waris, maupun

kepada anak-anaknya atau kepada mereka yang berhak menerima

warisan, namun kesemuanya itu dengan tak mengurangi kewajiban

sekalian penerima pemberian atau hibah tadi, untuk memasukkan

kembali dalam warisan, segala apa yang telah diberikan atau dihibahkan

kepada mereka, ….. .30

Mengenai pembuatan suatu surat wasiat hendaklah ditulis sendiri

serta ditandatangani oleh si pemberi warisan dihadapan seorang notaris

dan dua orang saksi yang kemudian disimpan notaris yang telah ditunjuk

tadi serta diberikan wewenang untuk membacakannya pada waktu yang

telah ditentukan dihadapan para ahli warisnya, ketentuan ini dibahas pada

29 Dr. Eman Suparman, S. H., M. H. loc. cit. 30 Prof. R. Subekti, S. H. dan R. Tjitrosudibio, op cit, h. 240-241

22

pasal 930-953 KUH Perdata beserta beberapa ketentuan yang berkenaan

dengannya.

2. Dasar Hukum Kewarisan Islam

Hukum kewarisan Islam pada dasarnya bersumber kepada

beberapa ayat Alquran dan Hadis Rasulullah yang terdiri dari ucapan,

perbuatan, dan hal-hal yang ditaqrirkan Rasulullah. Baik dalam Alquran

maupun Hadis-hadis Rasulullah, dasar hukum kawarisan itu ada yang

secara tegas mengatur, dan ada yang secara tersirat, bahkan kadang-

kadang hanya berisi pokok-pokoknya saja, yang paling banyak ditemui

dasar atau sumber hukum kewarisan itu dalam Surah An-Nisaa’;

disamping surah lainnya sebagai pembantu31

Berbeda dengan hukum perdata yang menjadikan KUHP sebagai

sumber hukum kewarisan tunggal sebagai dasar hukumnya, maka hukum

kewarisan Islam mempunyai dasar dari beberapa sumber, yakni; Alquran

dan Hadis Rasulullah yang merupakan sumber pokok serta Al-Ijma’ dan

Al-Ijtihad sebagai sumber pendukung. Adapun rinciannya sebagai

berikut:

a. Al-Quran

Alquran merupakan sumber utama sebagai ajaran agama Islam tak

terkecuali mengenai masalah kewarisan, yang mana didalamnya

membahas berbagai macam dari ketentuan kewarisan dalam Islam,

seperti ayat-ayat yang langsung menjelaskan pembagian warisan dengan

bagian-bagian yang telah ditentukan jumlahnya serta ayat-ayat yang

31 H. M. Idris Ramulyo, S. H., M. H., Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dengan

Kewarisan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 2004) h. 35.

23

sifatnya pelengkap, yakni ayat-ayat yang berfungsi sebagai penjelas atau

pembantu dalam pembahasan mengenai petunjuk Alquran berkaitan

dengan hukum kewarisan Islam.32

Q. S. al – Nisaa' (4) : 7

Terjemahnya;

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan

kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan

ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang

telah ditetapkan”33.

Q. S. al – Nisaa' (4) : 11

32 Dr. Abdul Ghofur Anshori, S. H., M. H., Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep

Kewarisan Bilateral Hazairin (Yokyakarta: UII Press Yogyakarta, anggota IKAPI, 2005) h. 25-26. 33 Departemen Agama RI, op cit, h. 116

24

Terjemahnya;

“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-

anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua

orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari

dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak

perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk

dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang

ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang

meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja),

maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai

beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-

pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)

sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu

tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak)

manfa’atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah

Maha Mengetaui lagi Maha Bijaksana”.34

Q. S. al – Nisaa' (4) : 12

34 Ibid

25

Terjemahnnya;

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh

isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu

mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang

ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)

sesudah dibayar hutangnya Para isteri memperoleh seperempat harta yang

kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai

anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu

tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah

dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun

perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,

tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang

saudara perempuan (seibu saja), maka masing-masing dari kedua jenis

saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari

seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi

wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak

memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu

sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui

lagi Maha Penyantun”.35

35 Ibid, h. 117

26

Q. S. al – Nisaa' (4) : 33

Terjemahnya;

“ Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak

dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. dan (jika ada) orang-

orang yang kamu Telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah

kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala

sesuatu”36

.

Q. S. al – Nisaa' (4) : 176

Terjemahnya;

“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah

memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal

dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan,

36 Ibid, h. 122-123

27

Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang

ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta

saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara

perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang

ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri

dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara

laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah

menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah

Maha mengetahui segala sesuatu.”37

Dari beberapa ayat diatas dijelaskan bahwa tiap-tiap manusia

memiliki hak dari harta kedua orang tua dan kerabatnya begitu pula

sebaliknya, sehingga apabila terjadi kematian maka haruslah ada

pengurusan hartanya berupa hukum kewarisan. Selain itu dijelaskan pula

ketentuan-ketentuan jumlah harta pusaka yang dapat diterima dari

pewaris kepada ahli warisnya dalam kondisi dan situasi tertentu.

Telah dijelaskan bahwa; selain mengenai dasar pokok kewrisan,

ada juga ayat-ayat yang sifatnya pembantu atau penjelas terhadap ayat-

ayat pokok kewarisan, ayat-ayat itu diantaranya menjelaskan tentang

kewajiban-kewjiban serta larangan-larangannya dalam hukum kewrisan.

Ayat-ayat yang dimaksud diantaranya adalah;

1). Kewjiban pewaris untuk memperhatikan kesejahteraan ahli waris:

Q. S. al – Nisaa' (4) : 9

37 Ibid, h. 153

28

Terjemahnya;

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya

meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka

khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka

bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang

benar”38.

Q. S. al – Baqarah (2) : 233

Terjemahnnya;

“ Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,

yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah

memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang

tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang

ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena

anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin

menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan

permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin

38 Ibid, h. 116

29

anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila

kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu

kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu

kerjakan39”.

2). Dasar mewarisi karena pertalian darah:

Q. S. al – Anfal (8) : 75

Terjemahnya;

“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu Kemudian berhijrah serta

berjihad bersamamu Maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga).

orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih

berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab

Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”40.

Q. S. al – Ahzab (33) : 6

39 ibid, h. 57 40 Ibid, h. 274

30

Terjemahnya;

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri

mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. dan orang-orang

yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-

mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-

orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-

saudaramu (seagama). adalah yang demikian itu Telah tertulis di dalam

Kitab (Allah)”41.

b. Al-Hadits

Al Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah

Alquran dimana dalam ketentuannya tidak boleh bertentangan atau harus

sejalan dengan Alquran. Hadits adalah segala ketetapan hukum yang

diberikan oleh Rasulullah, yakni berupa perkataan, perbuatan dan taqrir

Nabi.

Berikut ini beberapa hadis yang ada kaitannya dengan hukum

kewarisan. Sesuai dengan yang dikutip oleh H. M. Idris Ramulyo, S.H.,

M.H., dari Sajuti Thalib dalam bukunya Hukum Kewrisan di Indonesia.

1. Hadis Nabi dari Ibnu ‘Abbas riwayat Al-Bukhari dan Muslim yang

berbunyi: “Berikanlah fara’idh (bagian yang telah ditentukan dalam

Alquran) kepada yang berhak menerimanya dan selebihnya berikanlah

kepada keluarga laki-laki yang terdekat”.

2. Hadis Rasulullah saw.yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At-

Tirmidzi dan An-Nasaa’I, bersabda Rasulullah saw.: “Belajarlah

Alquran dan ajarkanlah kepada manusia, dan belajarlah fara’idh dan

ajarkanlah dia karena sesungguhnya kamu adalah seorang yang akan

41 Ibid, h. 667

31

mati dan ilmu akan terangkat, bisa jadi akan ada dua orang yang

berselisih, tetapi mereka tak akan ketemu kepada seorang yang akan

menggambarkan kepada mereka (hukumnya)”.

3. Hadis Rasulullah saw. diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ad-

Daaraquthni, berbunyi sebagai berikut. “Belajarlah fara’idh dan

ajarkanlah kepada manusia, karena ia itu separuh ilmu, dan ia itu

akan dilupakan. Fara’idh adalah ilmu pertama yang akan tercabut

dari umatku”.

4. Hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan

Ibnu Majah berbunyi sebagai berikut.

“Ilmu itu tiga, selain dari itu semuanya cabang, yaituAyat yang

tegas;Sunnah yang sahih;Pembagian warisan yang adil”.

5. Hadis Rasulullah saw. yang dari jabir menurut riwayat Imam Abu

Daud, At-Tirmidszi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad yang Maksudnya:

isteri Sa’ad Ibn Rabi’ datang kepada Rasulullah saw. bersama dua

orang anak perempuannya lalu ia berkata: “Ya Rasulullah, ini dua

orang anak perempuan Sa’ad Ibn Rabi’ yang telah gugur dalam

peperangan bersama Anda di Uhud. Paman mereka mengambil harta

peninggalan ayah mereka dan tidak memberikan apa-apa untuk

mereka. Sedangkan keduanya tidak mungkin kawin tanpa harta”. Nabi

bersabda: Allah akan menetapkan hukum dalam kejadian itu”.

Sesudah itu turunlah ayat tentang kewarisan, kemudian Rasulullah

memanggil paman mereka dan Rasulullah bersabda: “Berikanlah dua

32

pertiga untuk dua orang anak sa’ad, seperdelapan untuk jandanya,

dan sisanya adalah untukmu”.

6.Hadis Rasulullah saw, yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan

Muslim, Rasulullah bersabda:

“Orang Islam tidak mewarisi orang kafir, demikian juga orang kafir

tidak menjadi ahli waris bagi orang Islam”.

7. Hadis Rasulullah saw, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:

“Tidak dapat warisan seorang anak kecil, kecuali apabila ia lahir

dengan bersuara (menangis atau hidup)”.

8. Hadis Rasulullah saw, yang berasal dari Abu Hurairah, diriwayatkan

oleh Imam Abu Daud dan Ibnu Majah, Rasulullah saw, telah bersabda:

“Seorang yang telah membunuh tidak berhak menerima warisan dari

orang yang dibunuhnya”.42

c. Al-Ijma’ dan Al-Ijtihad

Al-Ijma’ adalah kesepakatan kaum muslimin menerima ketentuan

hukum warisan yang terdapat di dalam Al-quran dan Al-sunnah, sebagian

ketentuan hukum yang harus dilaksanakan dalam upaya mewujudkan

keadilan dalam masyarakat. Karena ketentuan tersebut telah diterima

secara sepakat, maka tidak ada alasan untuk menolaknya. Para ulama

mendefinisikan Ijma’ yaitu kesepakatan seluruh ulama mujtahid tentang

suatu ketentuan hukum syara’ mengenai suatu masa setelah wafatnya

Rasulullah SAW.43

42 H. M. Idris Ramulyo, S. H., M. H., op. cit., h. 56-58. 43 Dr. Ahmad Rofiq, MA., Fiqh Mawaris (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002) h. 27

33

Al-Ijtihad adalah pemikiran Sahabat atau Ulama yang memiliki

cukup syarat dan kriteria sebagai mujtahid, untuk menjawab persoalan-

persoalan pembagian warisan. Yang dimaksud di sini adalah ijtihad

dalam penerapan hukum (tathbiq al-ahkam), bukan untuk mengubah

pemahaman atau ketentuan yang ada.44

Adapun salah satu contohnya, yakni yang terjadi di zaman

pemerintahan khalifah Umar bin Khathab r.a. yaitu ketika beliau

didatangi oleh salah seorang sahabat yang menanyakan penyelesaian

suatu masalah seseorang yang meninggalkan ahli waris suami yang fard-

nya ½, dan 2 orang saudari sekandung yang fard-nya 2/3. Semula beliau

bimbang dan tidak mengetahui siapakah yang berhak didahulukan

menurut ketentuan Allah SWT. Dan sekiranya beliau mengetahuinya

tentu beliau akan mendahulukannya dan siapakah yang harus diakhirkan

oleh Allah SWT. Yang kalau mengetahuinya, niscaya beliau akan

mengakhirkannya. Masalah tersebut kemudian dimusyawarahkan

dengan Zaid bin Sabit r.a. dan Abbas bin Abdul Muthalib r.a. kemudian

atas usul Abbas bin Abdul Muthalib, Umar bin Khathab r.a. memutuskan

aul45 atas masalah yang semula diragukan.46

C. Syarat-Syarat Kewarisan Perdata Dan Kewarisan Islam

Pada hakikatnya ketentuan dari syarat kewarisan Perdata dengan

kewarisan Islam secara pokok tidak memiliki perbedaan yang berarti,

44 Ibid 45 Aul adalah adanya kelebihan dalam saham ahli waris dari besarnya asal masalah dan adanya

penyusutan dalam kadar penerimaan mereka, dikarenakan asal masalahnya tidak cukup memenuhi fard-fard dari ashabul furud (Muhammad makhluf).

46 Drs. Dian Khairul Umam., Fiqih Mawaris (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999) h. 135

34

melainkan saling berkesinambungan antara yang satu dengan yang

lainnya. Hanya saja dalam sub pokoknya memiliki sedikit perbedaan,

untuk lebih memperjelas dari ketentuan-ketentuan yang ada berikut

adalah syarat kewarisan hukum perdata dan hukum Islam.

1. Syarat Kewarisan Perdata

Berdasarkan KUH Perdata, untuk terjadinya kewarisan setidaknya

memiliki tiga syarat, yakni;

a. Kematian

Berdasarkan ketentuan pasal 830 KUH Perdata menyebutkan,

bahwa pewarisan hanya dapat berlangsung karena adanya kematian,

namun dapat pula terjadi kewarisan berdasarkan keputusan hakim, hal

yang kedua ini sesuai dengan ketentuan dari pasal 470 KUH Perdata.

Harta peninggalan tidak dapat dibagikan sebelum sipewaris itu

belum dinyatakan meninggal secara hakiki atau atas dasar keputusan

hakim. Jika seseorang hilang sehingga tidak diketahui keadaanya, maka

untuk menentukan statusnya apakah ia masih hidup ataukah sudah mati,

dapat ditentukan berdasarkan keputusan hakim dengan bukti-bukti yang

autentik. Setelah ada keputusan hakim tentang kematian seseorang,

barulah harta peninggalannya dapat dibagi-bagikan kepada ahli warisnya.

b. Para ahli waris harus masih hidup.

Para ahli waris harus benar-benar masih hidup ketika orang yang

memberi warisan meninggal, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 836

KUH Perdata: …. Supaya dapat bertindak sebagai waris, seorang harus

35

telah ada, pada saat warisan jatuh meluang47. Dengan demikian, bila

terjadi suatu peristiwa dimana terdiri dua orang yang secara hakekat

dapat saling mewarisi mendapatkan musibah yang sama dan

mengakibatkan mereka meninggal, maka berdasarkan saksi dan bukti,

haruslah jelas siapa yang meninggal lebih dulu, supaya harta

peninggalannya dapat juga dibagikan kepada yang meninggal kemudian,

sebelum harta si yang terakhir ini dapat dibagikan kepada para ahli

warisnya. Karena bila tidak diketahui siapa yang meninggal lebih dahulu,

maka berdasarkan ketentuan pasal 831 dan pasal 894 KUH Perdata

dianggaplah mereka mati bersama dan mengakibatkan tidak dapat saling

mewarisi satu sama lainnya.

c. Tidak ada halangan bagi ahli waris untuk mendapat warisan.

Maksudnya bahwa, yang menjadi ahli waris jelas kedudukan

golongannya dan tak ada golongan lain yang menghalanginya, ataukah

ahli waris tidak menjadi salah satu dari ketentuan yang dianggap tidak

layak mendapat warisan.

2. Syarat Kewarisan Islam

Sama halnya kewarisan perdata, syarat kewarisan Islam juga hanya

dapat terjadi bila terpenuhinya tiga ketentuan, yakni;

a. Meninggalnya pewaris dengan sebenarnya maupun secara hukum,

Dengan adanya syarat yang pertama diatas, maka segala harta dan

hak seseorang tidak boleh dibagikan kecuali orang tersebut benar-benar

47 Frof. R. Subekti, S. H. dan R. Tjitrosudibio, op cit., h. 222

36

telah meninggal dunia ataukah berdasarkan keputusan hakim telah

dinyatakan telah meninggal.

Dalam pelaksanaan hukum kewarisan Islam, dikenal juga mati

secara taqdiri sehingga dapat pula dijalankan kewarisan dikarenakan hal

tersebut. Mati taqdiri adalah anggapan atau perkiraan bahwa seseorang

telah meninggal dunia. Misalnya, seseorang yang diketahui ikut

berperang, atau tujuan lain yang secara lahiriah diduga dapat mengancam

keselamatan dirinya. Setelah beberapa tahun, ternyata tidak diketahui

kabar beritanya, dan patut diduga secara kuat bahwa orang tersebut telah

meninggal dunia, maka ia dapat dinyatakan telah meninggal.48

b. Hidupnya ahli waris setelah kematian si pewaris,

Ahli waris bisa mendapatkan harta peninggaalan hanya melalui

kewarisan serta jelasnya keadaan ahli waris, dengan kata lain ahli waris

harus benar/jelas ada ketika pewaris meninggal.

Jika dua orang atau lebih yang saling mewarisi meninggal dunia

dalam suatu kecelakaan dalam suatu kecelakaan dan tidak diketahui siapa

yang meninggal terlebih dahulu, maka mereka tidak boleh memiliki

tirkah diantara satu sama lain, maka tirkah semuanya menjadi hak ahli

waris masing-masing yang masih hidup.49

c. Mengetahui kedudukan atau status ahli waris.

Kedudukan ahli waris berdasarkan hubungannya dengan pewaris

harus diketahui secara pasti dan jelas, seperti sebagai suami atau istri,

anak kandung, saudara kandung, dan sebagainya, sehingga memudahkan

48 Drs. Dian Khairul Umam, op cit, h.136 49 Muhammad Ali As-Shabuni, Hukum Waris Dalam Syari’at Islam., op cit., h. 49

37

dalam menentukan pembagian warisnya. Besarnya bagian waris akan

berbeda jika hubungan dengan pewaris berbeda. Seseorang akan

mendapat bagian pokok sedangkan yang lainnya akan mendapat bagian

sisa; seseorang bisa terhalang oleh ahli waris lain sementara lainnya

tidak.50

50 Syekh Muhammad Ali ash-Shabuni, Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan Hadis

(Bandung; Trigenda Karya, 1995) h. 48-49.

38

BAB III

AHLI WARIS DAN PEMBAGIANNYA

A. Menurut Hukum Perdata

Di dalam KUH Perdata ada empat golongan yang secara bergiliran

berhak untuk mendapatkan harta warisan dari pewarisnya. Artinya,

apabila golongan pertama masih ada, maka golongan kedua dan

seterusnya tidak mendapat harta peninggalan, demikian pula jika

golongan pertama tidak ada, maka yang berhak mendapat warisan adalah

golongan kedua sehingga golongan tiga dan empat tidak mendapat

warisan, begitu juga pada golongan berikutnya, hanya saja, dalam aturan

KUHP memungkinkan golongan tiga dan empat mewaris bersama yakni

apabila keluarga sedarah pewaris pada golongan tiga telah dikloving dan

ternyata satu garis sudah tidak ada, maka separuh harta warisan jatuh

kepada keturunan satu garis yang sudah tidak ada tadi yakni sebagian

dari golongan empat. Adapun golongan itu, adalah;

1. Golongan I

Golongan pertama terdiri dari suami atau istri yang hidup terlama,

anak-anak beserta keturunannya dalam garis kebawah baik sah maupun

tidak sah, dengan tidak membedakan laki-laki atau perempuan, dan

dengan tidak membedakan urutan kelahiran. Mereka itu menyingkirkan

anggota keluarga yang lain dalam garis keatas, dan dalam garis

kesamping.51

51 H. M. Idris Ramulyo, S. H., M. H., op. cit., h. 96

39

Berikut adalah ahli waris golongan pertama dan bagiannya masing-

masing serta penjelasan yang berkenaan dengannya. Suami atau istri

yang hidup terlama serta anak-anak dan keturunannya.

Bagan 1

A B

C D E

F G

A orang yang meninggal.

B istrinya.

C, D dan E anak-anak A dan B.

F dan G anak-anak E, cucu A dan B

A Orang yang meninggal, B Istrinya C, D dan E anak-anak A dan B dan

F serta G adalah anak-anak E atau cucu A dan B

Semua: istri A, anak A dan cucu A adalah ahli waris golongan I. Juga

termasuk golongan pertama semua keturunan C, D, E, F, dan G.

Pembagian warisan dalam hal diatas ialah:

B, C dan D masing-masing mendapat ¼ dari harta warisan. Karena E

meninggal lebih dahulu dari A, maka bagiannya dibagi sama oleh

anaknya F dan G masing-masing mendapat 1/8.

Menurut pasal 852:

“Anak-anak atau sekalian keturunan mereka, biar dilahirkan dari lain-lain

perkawinan sekalipun, mewaris dari kedua orang tua, kakek, nenek atau

40

semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus keatas,

dengan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran lebih dulu”.52

Jadi dalam pewarisan tidak membedakan antara laki-laki dan

perempuan, lahir lebih dahulu atau belakangan dan lahir dari perkawinan

pertama atau kedua, semuanya sama saja.

Ayat 2 pasal 852 menyatakan: “Mereka mewaris kepala demi

kepala, jika dengan si meninggal mereka bertalian keluarga dalam derajat

kesatu dan masing-masing mempunyai hak karena diri sendiri”.

Bagan 2

A

B C D

A meninggal.

B, C dan D adalah anak-anak A, bertalian keluarga derajat kesatu dengan A.

B, C dan D mewaris kepala demi Kepala (sama kedudukan dan bagian masing-masing).

Lanjutan dari ayat 2 pasal 852: “… mereka mewaris pancang

demi pancang, jika sekalian mereka atau sekedar sebagian mereka

bertindak sebagai pengganti”.53

52 Frof. R. Subekti, S. H. dan R. Tjitrosudibio, op cit., h. 225-226 53 Ibid., h. 226.

41

Bagan 3

A

B C D

E F

G H I

J K

Dalam pancang B, C dan D harta warisan dibagi lebih dahulu.

Bagian D dibagi oleh E dan F. Bagian F dibagi lagi oleh G, H dan I.

Bagian G dibagi pula oleh J dan K.

Pasal 852 a(1) menetapkan, bahwa bagian suami/istri yang hidup

terlama maka bagian warisannya adalah sama besar dengan bagian

seorang anak. Jika terdapat perkawinan kedua dan seterusnya dan ada

anak-anak/keturunan dari perkawinan pertama, maka bagian suami/istri

sama besar dengan bagian terkecil dari seorang anak/keturunan dari

perkawinan pertama. Bagian janda/duda itu tidak boleh lebih dari ¼ harta

peninggalan.54

54 Effendi Parangin, SH, Hukum Waris, (Cet. 3, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001) h.

27-29.

42

2. Golongan II

Golongan kedua ini terdiri dari orang tua (bapak dan ibu) dan

saudara-saudara (kakak dan adik) dari orang yang meninggal dunia. Pada

asasnya orangtua dipersamakan dengan saudara.55

Pembagian warisan golongan kedua ini diatur dalam pasal 854,

855 dan 856 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), menurut

pasal-pasal diatas dijelaskan bahwa; apabila seseorang meninggal dunia,

maka harta warisannya jatuh kepada orangtua (bapak dan/atau ibu)

dan/atau saudara-saudara (kakak dan adik) serta anak keturunannya

Bagan 4

B C

A D E

F G

A orang yang meninggal.

B dan C ayah dan ibu A.

D dan E saudara A.

F dan G anak E, kemanakan A.

Semua: ayah dan ibu A, saudara-saudara A dan keturunannya

adalah ahli waris golongan kedua. Pembagian warisan dalam hal ini

ialah:

55 H. M. Idris Ramulyo, S. H., M. H., op. cit., h. 96

43

B, C dan D mendapat masing-masing 1/4. E meninggal lebih dahulu,

sehingga kedudukannya digantikan kedua anaknya yang masing-masing

mendapat setengah dari yang seharusnya didapatkan E, yaitu masing-

masingnya kebagian 1/8.

3. Golongan III

Dari pasal 854 dan pasal 859 KUH Perdata (BW) dapat

disimpulkan, apabila pewaris tidak meninggalkan anak-anak, cucu-cucu,

keturunan seterusnya, saudara-saudara, janda atau duda, orang tua (ayah

dan ibu) dan hanya meninggalkan kakek dan nenek dari pancar ayah dan

ibu. Maka harta warisan terlebih dahulu harus dibagi dua sebelum

diibagikan.

Ciri khas perhitungan bagian masing-masing ahli waris golongan

III adalah diawali dengan pembagian harta atas dua bagian yang sama

(dikloving). Dasar hukum ketentuan untuk golongan III adalah pasal 850

KUH Perdata. Berikut bunyi selengkapnya: “Dengan tak mengurangi

ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal 854, 855 dan 859, tiap-tiap

warisan yang mana, baik seluruhnya maupun untuk sebahagiaan para

keluarga sedarah dalam garis lurus keatas atau dalam garis menyimpang

harus dibelah menjadi dua bagian yang sama, bagian-bagian mana yang

satu adalah untuk sekalian sanaksaudara dalam garis bapak dan yang lain

untuk sanak saudara dalam garis ibu.56

Berdasarkan pasal 850 KUH Perdata diatas dapat dijelaskan

dengan bagan berikut ini;

56 Anisitus Amanat, S. H., CN, MEMBAGI WARISAN, Berdasarkan Pasal-pasal Hukum

Perdata BW (Cet 3, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2003) h. 124

44

Bagan 5

B C D E

F G

A

A orang yang meninggal.

B dan C adalah orangtua F, kakek dan nenek A.

D dan E adalah orangtua G, kakek dan nenek A57

.

Semua: B dan C adalah kakek dan nenek A dari pihak ayah (F) dan

D dan E adalah kakek dan nenek A dari pihak ibu (G). Pembagian

warisan dalam hal ini ialah:

Berdasarkan pasal 850 dan pasal 853 (1) KUHP, harta warisan mula-

mula dibagi dua;

½ untuk pihak ayah (B dan C).

½ untuk pihak ibu (D dan E).

Jadi, pembagian warisan dalam hal tadi ialah: B dan C mendapat ¼

setelah membagi bagian secara rata ½ tadi, begitu pula dengan D dan E,

masing-masing mendapat ¼.

57 Ibid,

45

4. Golongan IV

Ahli waris golongan keempat adalah saudara/i dari kedua orangtua

serta sekalian keturunannya mereka sampai derajat keenam dengan

kemungkinan derajat ketujuh karena pergantian tempat. Golongan ahli

waris ini termasuk dalam pengertian keluarga sedarah dalam garis

menyimpang. Sistem pewarisan untuk ahli waris golongan IV ini

merupakan kelanjutan dari sistem yang ada pada golongan III, yaitu

adanya sistem kloving atau pembagian harta warisan atas dua bagian

yang sama.58

Pasal 858 menentukan: Jika tidak ada saudara laki-laki dan perempuan

dan tidak ada pula keluarga sedarah dalam salah satu garis keatas,

setengah bagian dari warisan menjadi bagian sekeluarga sedarah dalam

garis masih hidup, setengah bagian lainnya, kecuali dalam pasal 859

menjadi bagian saudara dalam garis yang lain.

Dari pasal 858 dapat dijelaskan dengan bagan berikut, dimana

menunjukkan bahwa; keluarga kesamping ada dua kelompok. Pertama,

keluarga garis kesamping dari pihak ayah. Kedua, keluarga garis

kesamping dari pihak ibu.

58 Ibid, h. 125

46

2 3

4

5

6

7

5

7

6

C

D

E

Bagan 659

3 2

Sebelah kiri adalah keluarga kesamping dari pihak bapak

(kelompok D dan E). sebelah kanan adalah keluarga garis kesamping dari

pihak ibu (kelompok B dan C).

Penderajatannya adalah. B dan D merupakan keluarga garis

kesamping derajat keenam. B dan D merupakan batas yang boleh

mewaris, sedangkan C dan E masuk derajat ketujuh, jadi tidak termasuk

ahli waris, namun salah satu atau keduanya dari mereka (C dan E) dapat

menjadi pewaris pengganti bila sampai derajat keenam telah meninggal

lebih dahulu daripada si pewaris.

5. Kemungkinan Golongan III Dan IV Mewaris Bersama.

Pada pembahasan sebelumnya telah disinggung tentang ciri khas

perhitungan bagian masing-masing ahli waris golongan III, yaitu diawali

59 Ibid. h. 126

4 1

A

B

47

B

dengan pembagian harta warisan atas dua bagian yang sama. Juga telah

dibicarakan sistem kloving ahli waris golongan IV. Oleh karena harta

warisan pewaris pada ahli waris golongan III sudah dikloving, maka ada

kemungkinan keluarga sedarah garis bapak hanya kakek atau nenek saja

(golongan III), sedangkan keluarga sedarah garis ibu tidak ada kakek atau

nenek dan yang ada hanya saudara/i ibu (golongan IV).60

Bagan 7

C D E F

A

A orang yang meninggal.

B ayahnya ayah, kakek dari pihak ayah.

E dan F saudara/i ibu, paman/bibi A.

Semua: B adalah kakek A dari garis ayah merupakan ahli waris

golongan III sedangkan E dan F adalah saudara/i ibunya A adalah ahli

waris golongan IV.

Pembagian warisan dalam hal diatas ialah:

½ untuk pihak ayah (B).

½ untuk pihak ibu (E dan F).

Jadi, pembagian warisan setelah dikloving adalah: B mendapat 1/2

sebagai pihak dari garis ayah, sedangkan E dan F yang merupakan pihak

60Ibid, h. 127

48

dari garis ibu mendapat masing-masing ¼ bagian setelah setengahnya

harta warisan itu dibagi dua.

Apabila keluarga sedarah pewaris dalam salah satu garis tidak ada,

maka seluruh warisan pewaris menurut pasal 861 ayat 2 KUH Perdata

jatuh kepada keluarga sedarah dalam garis yang masih ada itu. Pasal 861

ayat 2 berbunyi: “Jika dalam garis yang satu tidak ada keluarga sedarah

dalam derajat yang mengizinkan untuk mewaris, maka segala keluarga

sedarah dalam garis yang lain memperoleh seluruh warisan.61

B. Menurut Hukum Islam

Sebelum berbicara mengenai pembagian masing-masing ahli

waris, hendaknya kita merinci terlebih dahulu beberapa hal yang

berkaitan dengannya, yakni mengenai siapakah yang dapat disebut ahli

waris serta pembagian kelompok diantara mereka yaitu sebagai berikut:

1. Ahli waris

Didalam Islam diketahui bahwa ahli waris terdiri dari dua macam,

yakni ahli waris nasabiyah yaitu ahli waris yang hubungan kewarisannya

didasarkan karena hubungan darah (kekerabatan) dan ahli waris

sababiyah yaitu ahli waris yang hubungan kewarisannya karena suatu

sebab, yaitu sebab pernikahan dan memerdekakan budak, atau menurut

sebagian mazhab Hanafiyah, karena sebab perjanjian (janji setia).62

61 Ibid, h. 128. 62 Drs. Ahmad Rofiq. M. A., HUKUM ISLAM DI INDONESIA (Cet 6: Jakarta, PT

RajaGrafindo Persada, 2003) h. 383.

49

2. Golongan ahli waris

Berdasarkan bagian atau berhak tidaknya seseorang menerima

warisan, maka ahli waris dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:

a. Ahli waris zul furud

Zul furud atau zawil furud, biasa juga disebut ashabul furud,

artinya ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu sesuai dengan yang

ditentukan Al-quran, dan hadis Nabi SAW.

Dalam pembagian harta waris, para ahli waris dari ashabul furud

harus didahulukan daripada golongan asabah dan zawil arham kalau ada.

Hal ini harta peninggalan itu akan habis dibagikan kepada ashabul furud

sesuai dengan bagiannya masing-masing. Bila ada sisanya, sisa harta

inilah yang kemudian dibagikan kepada ahli waris dari golongan asabah,

sesuai dengan ketentuan dalam pembagian pusaka kepada mereka.63

b. Ahli waris asabah

Asabah menurut bahasa berarti semua kerabat seorang laki-laki

yang berasal dari ayah. Mereka disebut asabah karena mereka

merupakan orang-orang yang menghalangi atau melindungi.64

Menurut Hasanain Muhammad Makhluf, asabah adalah orang-

orang yang tidak mempunyai saham-saham (bagian-bagian) tertentu,

tetapi mengambil bagian yang tersisa setelah diambil bagian yang tersisa

setelah diambil bagian ashabul furud, atau mengambil seluruh harta

peninggalan apabila tidak ada seorang pun ahli waris ashabul furud.65

63 Drs. Dian Khairul Umam, op cit, h. 61 64 Ibid. h.75 65Prof. Dari. H. Suparman Usman, S. H. dan Drs. Yusuf Somawinata, FIQH MAWARIS (Cet.

2:Jakarta: GAYA MEDIA PRATAMA, 2002) h. 73

50

Berdasarkan hal diatas, dapat dipahami bahwa ahli waris asabah,

adakalanya mendapatkan bagian, namun pula terkadang tidak mendapat

bagian bila harta warisan habis dibagikan kepada ahli waris ashabul

furud ataukah bahkan mendapat semua harta warisan bila yang bertindak

sebagai ahli waris ashabul furud tidak ada sama sekali.

Menurut Sayid Sabiq; Asabah terdiri atas dua bagian yakni asabah

nasabiyah dan asabah sababiyah. Asabah Nasabiyah berdasarkan adanya

ikatan kekerabatan, sedangkan asabah sababiyah berdasarkan adanya

memerdekakan hamba sahaya/budak.66

Mengenai Asabah Nasabiyah, Rifa’i Arief membaginya menjadi

tiga bagian, yaitu: Asabah bil nafsi, Asabah bil ghair dan Asabah ma’al

ghair67Adapun penjelasan dari ketiga golongan ini ialah:

(1). Asabah bil nafsi

Yang dimaksud dengan asabah binafsi adalah kerabat laki-laki

yang dipertalikan dengan orang yang meninggal tanpa diselingi oleh

orang perempuan.68

Ketentuan ini mengandung dua pengertian, yaitu: pertama,

bahwa diantara mereka tidak ada perantara sama sekali dengan orang

yang meninggal, seperti anak laki-laki dan ayah orang yang

meninggal; serta yang kedua, bahwa terdapatnya perantara pewaris

dengan ahli waris tetapi bukan perempuan, seperti cucu laki-laki dari

anak laki-laki, ayahnya ayah, saudara sekandung dan saudara seayah.

66 Ibid. h. 74 67 Ibid 68 Drs. Dian Khairul Umam, op cit, h. 79

51

Jika orang yang menjadi perantara itu perempuan, seperti cucu

laki-laki dari anak perempuan, ayahnya ibu, dan saudara seibu,

mereka bukan asabah bil nafsi. Kedua orang pertama sebagai zawil

arham, dan seorang yang terakhir sebagai ashabul furud.

Berikut adalah orang-orang yang berhak menjadi penerima

‘asabah bil nafsi, terdiri dari 12 orang, yaitu:

1. Anak laki-laki,

2. Cucu laki-laki pancar laki-laki,

3. Bapak,

4. Kakek,

5. Saudara laki-laki sekandung,

6. Saudara laki-laki sebapak,

7. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung,

8. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak,

9. Paman sekandung,

10. Paman sebapak,

11. Anak laki-laki paman sekandung dan

12. Anak laki-laki paman seayah.

(2). Asabah bil ghair

Asabah bil ghair adalah seseorang atau sekelompok anak

perempuan bersama seorang atau sekelompok anak laki-laki, dan

seorang atau sekelompok saudara perempuan dengan seorang atau

sekelompok saudara laki-laki, manakala kelompok laki-laki tersebut

52

ahli waris asabah bil nafsi69, bila itu terjadi maka dengan sendirinya

menjadi asabah bil ghair.

Mereka terdiri atas empat orang wanita fard. Mereka

mendapat ½ bila tunggal dan 2/3 bila lebih dari seorang. Keempat

orang wanita tersebut adalah:

1. Anak perempuan kandung menjadi asabah bersama anak laki-laki

kandung,

2. Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan) menjadi

asabah anak laki-lakinya anak laki-laki,

3. Saudara perempuan sekandung menjadi asabah bersama saudara

laki-laki sekandung,

4. Saudara perempuan seayah menjadi asabah bersama saudara laki-

laki seayah.

Apabila salah seorang dari keempat perempuan tersebut

bersama salah seorang muasib binafsi yang derajat dan kekuatannya

sama, ia menjadi asabah bil ghair (bersama orang lain). Ia bersama-

sama dengan muasib-nya menerima sisa harta peninggalan dari

ashabul furud atau menerima seluruh harta peninggalan bila tidak

ada ashabul furud, dengan ketentuan orang laki-laki mendapat dua

kali lipat bagian orang perempuan.70

(3). Asabah ma’al ghair

Asabah ma’al ghair adalah seorang atau sekelompok saudara

perempuan, baik sekandung maupun sebapak, yang mewaris

69 Prof. Dari. H. Suparman Usman, S. H. dan Drs. Yusuf Somawinata, op cit, h. 77 70 Drs. Dian Khairul Umam, op cit, h. 88

53

bersama-sama dengan seorang atau sekelompok anak perempuan atau

cucu perempuan pancar laki-laki, manakala tidak ada anak laki-laki,

cucu laki-laki pancar laki-laki, atau bapak serta tidak ada saudaranya

yang laki-laki, yang menjadikannya sebagai ahli waris ashabal bil

ghair.71

Asabah ma’al ghair hanya terdiri atas saudara perempuan

sekandung dan saudara perempuan seayah.

Kedua orang tersebut dapat menjadi asabah ma’al ghair,

dengan beberapa syarat berikut:

1. Berdampingan dengan seorang atau beberapa orang anak

perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki dan

seterusnya ke bawah,

2. Tidak berdampingan dengan saudaranya yang menjadi muasib-

nya.

Muasib ma’al ghair itu hanya diperlukan semata-mata untuk

menjadikan asabah beberapa saudara perempuan yang di-asabah-

kan memperoleh sisa harta peninggalan setelah digunakan untuk

memenuhi bagian ashabul furud, termasuk bagian muasib-nya.

c. Ahli waris zul arham

Kata Al-arham adalah bentuk jamak dari kata Rahman, yang

menurut bahasa artinya ialah tempat terbentuknya janin dalam perut

ibunya. Pengertian tersebut kemudian diperluas sebagai sebutan untuk

setiap orang yang dihubungkan nasabnya kepada seseorang akibat

71 Prof. Dari. H. Suparman Usman, S. H. dan Drs. Yusuf Somawinata, op cit, h. 78-79

54

adanya hubungan darah72. Keluasan arti zul arham tersebut diambil

pengertian lafazh ulul arham yang terdapat dalam Al-qur’an :

Terjemahnya;

“…Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu, sebagiannya lebih

berhak terhadap sesamanya (dari ada yang bukan kerabat) didalam kitab

Allah… .” (QS. Al-Anfal (8) :75)73

Secara umum pengertian zul arham mencakup seluruh keluarga

yang mempunyai hubungan kerabat dengan orang yang meninggal, baik

yang termasuk ahli waris golongan ashabul furud, asabah, baik laki-laki

maupun perempuan, baik seorang maupun banyak.

Dari uraian tersebut, dapat diketahui bahwa zul arham menurut

istilah adalah mereka (semua ahli waris) yang tidak memiliki bagian

tertentu dalam Al-quran dan As-sunnah, serta bukan termasuk asabah.

Jadi, setiap kerabat yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan

orang yang meninggal dan tidak mewarisi melalui furud dan ta’sib, dia

termasuk zul arham.74

Adapun yang termasuk zawil arham diantaranya, sebagai berikut:

1. Cucu perempuan pancar perempuan dan seterusnya kebawah,

2. Cucu laki-laki pancar perempuan dan seterusnya kebawah,

72 Drs. Dian Khairul Umam, op cit, h. 97 73 Departemen Agama RI, op cit, h.274 74 Ibid, h. 98.

55

3. Anak perempuan saudara laki-laki sekandung dan seterusnya kebawah,

4. Anak perempuan saudara laki-laki sebapak dan seterusnya kebawah,

5. Anak laki-laki saudara perempuan sekandung dan seterusnya kebawah,

6. Anak perempuan saudara perempuan sekandung dan seterusnya

kebawah,

7. Anak laki-laki saudara perempuan sebapak dan seterusnya kebawah,

8. Kakek dari pihak ibu dan seterusnya keatas,

9. Dan sebagainya.75

3. Pembagian harta warisan

Pada dasarnya hukum kewarisan Islam berlaku untuk seluruh umat

Islam di dunia, hanya saja banyak diantaranya (Negara Islam) melakukan

penyesuaian aturan hukum terhadap keperluan serta penyelarasan kondisi

kemasyarakatan suatu Negara masing-masing, tak terkecuali di

Indonesia.

Di Indonesia sendiri dikenal aturan hukum kewarisan Islam yang

secara khusus diatur dalam “Kompilasi Hukum Islam”, dimana dalam

penjabarannya tidak jauh berbeda dengan hukum kewarisan Islam murni,

hal ini dikarenakan secara garis besarnya tetap berpedoman pada garis

besar yang tersirat dalam Al-quran dan As-Sunnah, hanya saja sedikit

menyesuaikan dengan hokum kewarisan yang sudah ada terlebih dahulu

di Indonesia; yakni hukum kewarisan perdata yang lebih dikenal dengan

“ Hukum BW”.

75 Prof. Dr. H. Suparman Usman, S. H. dan Drs. Yusuf Somawinata, op cit, h. 80-81.

56

Sehingga berdasarkan hal diatas perlu dirumuskan pembagian

harta waris menurut hukum Islam, yakni berdasarkan fiqh (Al-quran dan

As-Sunnah) serta berdasarkan KHI (Kompilasi Hukum Islam).

a. Pembagian berdasarkan fiqh

Didalam Al-quran terdapat beberapa ayat yang langsung dan

yang tidak langsung menyinggung mengenai kewarisan, seperti surah al-

Nisa’ ayat 7, 8, 11, 12, 13, 14, 33, dan 176 serta pada surah al-Anfal ayat

75. Namun yang langsung berbicara tentang furudh atau faraid (rincian

bagian dalam waris) hanya tiga ayat, yakni pada surat al-Nisa’ ayat 11,

12, dan 176.

(1) Surah al-Nisa’ ayat 11 membahas mengenai;

Hak anak laki-laki dan anak perempuan dengan uraian:

a) anak perempuan tunggal mendapat ½,

b) anak perempuan lebih dari seorang mendapat 2/3,

c) anak perempuan bersama dengan anak laki-laki dengan

bandingan pembagian seorang anak laki-laki sama dengan dua

orang perempuan.

Hak ibu dan ayah dengan uraian;

a) ibu dan ayah masing-masing menerima 1/6 bila pewaris

meninggalkan anak,

b) ibu menerima 1/3 bila pewaris tidak meninggalkan anak,

c) ibu menerima 1/6 bila pewaris tidak meninggalkan anak namun

memiliki beberapa orang saudara.

57

Ayah dan ibu bersama dengan anak-anak berada dalam kedudukan

yang sama.

(2) Surah al-Nisaa’ ayat 12 membahas mengenai:

Hak kewarisan suami atau isteri dengan uraian:

a) Suami yang kematian isteri menerima hak ½ bila isterinya tidak

meninggalkan anak, dan ¼ kalau isterinya meninggalkan anak,

b) Isteri yang kematian suami menerima ¼ bila suaminya tidak

meninggalkan anak, dan 1/8 jika suami meninggalkan anak.

Hak saudara-saudara bila pewaris adalah kalalah dengan uraian:

a) bila saudara (laki-laki atau perempuan) hanya seorang maka

mendapat 1/6,

b) bila saudara lebih dari seorang, maka mereka bersama mendapat

1/3.

(3). Surah al-Nisaa’ ayat 176 membahas tentang dua hal:

Kalalah didefinisikan sebagai seorang yang meninggal dunia dan

tidak meninggalkan anak,

Bila pewaris adalah kalalah, saudara menerima hak dengan uraian:

a) seorang saudara perempuan mendapat ½,

b) lebih dari seorang saudara perempuan, maka mereka bersekutu

mendapat bagian 2/3 harta peninggalan,

c) bila bergabung saudara laki-laki dan perempuan, mereka

menerima semua bagian sisa dengan bandingan seorang laki-laki

sama dengan dua bagian perempuan.

58

Dari penjelasan diatas mengenai faraid dalam Al-Quran yang

begitu mudah dan sederhana. Al-quran hanya menjelaskan kewarisan

secara furudh dan tidak menjelaskan kewarisan secara terbuka atau

mereka yang berhak mewarisi seluruh harta jika seorang diri dan

mewarisi sisa bila ada bersama ashabul furud yang lain. Maka inilah

yang disebut dengan kewarisan asabah dan system pembagiannya adalah

sebagai berikut;

1. Anak perempuan:

½ : sendiri

2/3 : berbilang

Abg : ada anak laki-laki

2. Cucu perempuan dari garis laki-laki

½ : sendiri

2/3 : berbilang

1/6 : ada satu anak perempuan

Abg : ada cucu laki-laki

M : ada dua anak perempuan atau ada anak laki-laki

3. Ibu

1/3 : tidak ada: anak, cucu, dua saudara atau lebih

1/6 : ada anak, cucu, dua saudara atau lebih

4. Bapak

1/6 : ada anak laki-laki

1/6+a: bersama anak perempuan/cucu perempuan garis laki-laki

Abn : tidak ada anak laki-laki/ cucu laki-laki

59

5. Nenek

1/6 : seorang atau berbilang

Dr pihak ibu M : ada ibu

Dr pihak bapak M : ada ibu dan bapak

6. Kakek

1/6 : ada anak lk2/ cucu lk2

1/6+a : ada anak prp/ cucu prp

Abn : tidak ada anak lk2 atau cucu lk2

M : jika ada ayah

7. Sdr perempuan sekandung

½ : seorang

2/3 : berbilang

Amg : bersama anak prp atau cucu prp

Abg : bersama saudara lk2 kandung

M : ada anak lk2, cucu lk2 atau ayah

8. Sdr perempuan seayah

½ : sendiri

2/3 : berbilang

1/6 : bersama satu orang saudara kandung

Abg : bersama saudara lk2 seayah

Amg : bersama anak prp atau cucu prp

M : ada anak lk2, cucu lk2, ayah, sdr lk2 kandung, saudara kandung

prp ketika bersama anak prp/ cucu prp, 2 sdr prp jika saudara

prp seayah tidak bersama dengan saudara lk2 seayah.

60

9. Saudara seibu (laki-laki/prp)

1/6 :sendiri

1/3 : berbilang

M : ada anak/ cucu, ayah, dan kakek

10. Suami

½ : tidak ada anak atau cucu

¼ : ada anak atau cucu

11. Isteri

¼ : tidak ada anak atau cucu

1/8 : ada anak atau cucu76

b. Pembagian berdasarkan KHI (Kompilasi Hukum Islam)

Pada dasarnya “Kompilasi hukum Islam” itu adalah hukum

berdasarkan fiqh itu sendiri, oleh karenanya isi dari pada KHI tidak jauh

berbeda dengan hukum kewarisan Islam berdasarkan fiqh hanya saja

mengalami beberapa penyesuaian terhadap kondisi ke-Indonesia-an.

Berdasarkan hal diatas, dalam persoalan mengenai besarnya

bagian warisan dalam KHI, ada beberapa hal penting diperhatikan

dimana dapat berupa persamaan dan perbedaan dengan hukum kewarisan

berdasarkan fiqh:

1. Mengenai porsi perbandingan bagian wanita dan bagian laki-laki

masih dipertahankan secara ketat bahwa bagian anak laki-laki adalah

dua berbanding satu dengan anak perempuan, walaupun sebenarnya

cukup banyak orang termasuk dari kalangan umat Islam sendiri yang

76 Kumpulan Arsip St Asma Amin S.Hi.

61

menginginkan penentuan bagian yang sama antara laki-laki dan

perempuan. Tetapi karena dalil Al-quran tentang hal ini cukup tegas,

maka Kompilasi Hukum Islam menuangkannya sebagaimana tersebut

diatas. Pasal 176 KHI menyebutkan “…. Dan apabila anak perempuan

bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki

adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan”.

2. Mengenai prinsip musyawarah dalam pembagian berdasarkan KHI

juga dimungkinkan, hal ini tertuang dalam Pasal 183 yang

menyebutkan bahwa para ahli waris dapat bersepakat melakukan

perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing

menyadari bagiannya.

3. Penentuan bagian dari masing-masing ahli waris adalah sesuai dengan

ketentuan faraid yang umumnya ditentukan kasus per kasus seperti

dapat dilihat dalam pasal 177-182 KHI.

4. Dalam Kompilasi Hukum Islam diterangkan secara jelas adanya ahli

waris pengganti, yakni adanya hak bagi anak terhadap warisan yang

seharusnya diterima oleh bapaknya dari pewarisnya, hanya saja

meninggal sebelum sempat mendapat hak warisannya. Hal ini

dituangkan dalam pasal 185 ayat (1) KHI: “Ahli waris yang meninggal

lebih dahulu dari pada pewaris maka kedudukannya dapat digantikan

oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173 KHI.

Adapun untuk pembagiannya secara terinci, berikut adalah

berdasarkan aturan Kompilasi Hukum Islam menurut urutan pasal per

pasalnya:

62

1. Anak perempuan mendapat bagian

½ bila hanya seorang,

2/3 bila dua orang atau lebih,

Sisa bersama-sama anak laki-laki, dengan ketentuan dia

menerima separuh bagian anak laki-laki.

Pasal 176 KHI menyebutkan:

“Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian,

bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua

pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan

anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding

satu dengan anak perempuan”.

2. Ayah, menerima bagian:

Sisa bila tidak ada far’u waris (anak atau cucu),

1/6 bila bersama anak laki-laki dan/atau anak perempuan,

1/6 tambah sisa, jika bersama anak perempuan saja,

2/3 sisa dalam masalah garrawain (ahli warisnya terdiri dari:

suami/isteri, ibu dan ayah)

Pasal 177 Kompilasi menyatakan bagian ayah yang tidak lazim

dalam fiqh, karena biasanya ayah bagiannya adalah sisa apabila tidak

ada anak.

3. Ibu, menerima bagian

1/6 bila ada anak (satu atau lebih),

1/3 bila tidak ada anak atau saudara dua lebih, dan atau bersama

satu orang saudara saja,

63

1/3 sisa dalam masalah garrawain.

Dinyatakan dalam pasal 178 KHI:

1) Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara

atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih,

maka ia mendapat sepertiga bagian.

2) Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh

janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah.

4. Saudara perempuan seibu, menerima bagian:

1/6 satu orang tidak bersama anak dan ayah,

1/3 dua orang atau lebih, tidak bersama anak dan ayah

Pasal 181 KHI berbunyi:

Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka

saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing

mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih

maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian.

5. Saudara perempuan sekandung, menerima:

½ satu orang, tidak ada anak dan ayah,

2/3 dua orang atau lebih, tidak bersama anak dan ayah,

Sisa, bersama saudara laki-laki sekandung, dengan ketentuan ia

menerima separuh bagian saudara laki-laki (asabah bil ghair),

Sisa, karena ada anak atau cucu perempuan garis laki-laki (asabah

ma’al gair).

6. Saudara perempuan seayah, menerima bagian:

½ satu orang, tidak ada anak dan ayah,

64

2/3 dua atau lebih, tidak ada anak dan ayah,

Sisa, bersama saudara laki-laki seayah,

1/6 bersama satu saudara perempuan sekandung, sebagai

pelengkap 2/3,

Sisa, karena ada anak atau cucu perempuan garis laki-laki (asabah

ma’al ghair).

Dalam Kompilasi ditegaskan dalam pasal 182:”Bila seorang

meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak, sedang ia

mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia

mendapat separuh bagian. Bila saudara perempuan tersebut

bersama-sama dengan saudara perempuan sekandung atau seayah

dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua

pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama

dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian

saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara

perempuan.

7. Kakek dari garis ayah (prinsipnya dianalogikan kepada ayah, kecuali

dalam keadaan bersama-sama saudara-saudara sekandung atau

seayah)” menerima bagian:

1/6 bila bersama anak atau cucu,

Sisa, tidak ada anak atau cucu,

1/6 tambah sisa, hanya bersama anak atau cucu perempuan,

1/3 / muqasamah dalam keadaan bersama saudara-saudara

sekandung atau seayah, memilih yang menguntungkan,

65

1/6 / 1/3x sisa/muqasama sisa bersama saudara-saudara

sekandung atau seayah dan ahli waris lain, dengan ketentuan

memilih yang menguntungkan.

8. Nenek, menerima bagian:

1/6 baik seorang atau lebih.

9. Cucu perempuan garis laki-laki:

½ satu orang tidak ada mu’assib (penyebab menerima sisa),

2/3 dua orang atau lebih,

1/6 bersama satu anak perempuan (penyempurna 2/3),

Sisa (asbah bil gair) bersama cucu laki-laki garis laki-laki.

10. Suami, menerima:

½ bila tidak ada anak atau cucu,

¼ bila ada anak atau cucu.

Pasal 179 KHI: “Duda mendapat separuh bagian bila pewarisan

tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak,

maka duda mendapat seperempat bagian.”

11. Isteri menerima bagian:

½ bila tidak ada anak atau cucu,

1/8 bila ada anak atau cucu.

Pasal 180 KHI:“Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris

tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak,

maka janda mendapat seperdelapan bagian”.77

77 Drs. Ahmad Rofiq. M. A., op cit. h. 409-413.

66

BAB IV

ANALISIS TINDAKAN PEMBUNUHAN

DALAM KEWARISAN

Sebelum membahas mengenai masalah jenis-jenis pembunuhan

serta yang pembunuhan yang tidak mendapat warisan, sebaiknya kita

membahas terlebih dahulu mengenai siapa-siapa saja yang tidak

mendapat warisan.

Pada hakikatnya, terdapat persamaan antara KUH Perdata dengan

hukum fiqh mengenai yang tidak berhak mendapatkan warisan, hanya

saja fiqh Islam lebih kepada masalah keagamaan.

Dalam KUH Perdata, yang dianggap tidak patut menjadi ahli

waris, ialah: mereka yang dihukum karena dipersalahkan telah

membunuh atau mencoba membunuh simeninggal; mereka yang dengan

putusan Hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah telah

mengajukan pengaduan terhadap si yang meninggal, ialah suatu

pengaduan telah melakukan suatu kejahatan yang dengan hukuman

penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat; mereka yang

dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si yang meninggal

untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya; mereka yang telah

menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si yang

meninggal.

Dari hal diatas jelaslah bahwa, terdapat beberapa orang yang

berdasarkan ketentuan berhak mendapatkan warisan hanya saja karena

adanya tindakan ataupun perbuatan kepada si pewaris yang berupa

67

kejahatan dengan ganjaran pidana, mengakibatkannya tidak berhak

mendapatkan warisan.

Sama halnya dengan Hukum Islam, dimana juga terdapat

beberapa hal yang berdasarkan ketentuan tidak berhak mendapat warisan

dari Si-pewaris, hanya saja terdapat perbedaan mengenai jumlah

ketentuan perbuatan atau sesuatu hal yang menyebabkan tidak mendapat

warisan, ini dikarenakan terjadinya perbedaan berdasarkan situasi dan

kondisi oleh sipemikir atau ahli ilmu kewarisan dengan pemikir-pemikir

lainnya, ada yang menyebutkan tiga bagian, empat bagian, lima bagian

dan ada pula dengan jumlah yang sama tetapi berbeda ketentuan.

Menurut Dr. Eman Suparman, S.H., M.H. dalam bukunya Hukum

Kewarisan Indonesia menyebutkan: “terdapat tiga kondisi yang

mengakibatkan seseorang tidak berhak mendapat warisan yakni; ahli

waris yang membunuh pewaris, orang yang murtad dan orang yang kafir

tidak berhak mendapatkan warisan dari si pewaris.”78

Didalam buku Fiqh Mawaris, Hukum Kewarisan Islam yang

disusun oleh Prof. Dr. H. Suparman Usman, S.H dan Drs. Yusuf

Somawinata menyimpulkan, “ada empat perkara yang menyebabkan

tidak mendapat warisan, yakni; perbudakan, pembunuhan, berlainan

agama dan berlainan Negara”79, sedangkan yang disimpulkan oleh H.M.

Idris Ramulyo, S.H., M.H. dalam bukunya yang berjudul Perbandingan

Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab Undang-undang

Hukum Perdata, “ada lima hal yang mengakibatkan seseorang tidak

78 Dr. Eman Suparman, S. H., M. H., op cit, h. 23-24. 79Prof. Dr. H. Suparman Usman, S. H. dan Drs. Yusuf Somawinata, op cit, h. 32.

68

mendapatkan warisan, yakni; karena perbudakan, karena pembunuhan,

berlainan agama, murtad dan karena hilang tanpa berita”80.

Secara garis besar, kita dapat menyimpulkan bahwa yang

terhalang untuk mendapatkan warisan dalam konteks Islam kekinian

adalah karena pembunuhan dan berlainan agama, sedangkan mengenai

perbudakan tak lagi dijadikan alasan karena sudah tak ada lagi,

sedangkan murtad dan kafir sudah termasuk kedalam berlainan agama,

adapun yang mengenai berlainan Negara menurut penyusun tidak dapat

dijadikan alasan karena pada hakekatnya selama memiliki hubungan

kekerabatan terhadap si pewaris, berarti memiliki hak terhadap harta

peninggalannya. Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 173

menyebutkan bahwa, seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila

dengan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang

tetap, dihukum karena:

a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau

menganiaya berat pada pewaris,

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa

pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan

hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

A. Analisis pembunuhan menurut hukum perdata

1. Pengertian pembunuhan

Setiap perbuatan pidana pasti ada pertanggung jawaban pidananya,

begitu pula dengan pembunuhan. Dalam Kitab Undang-undang Hukum

80 H. M. Idris Ramulyo, S. H., M. H., op cit, h. 88-89

69

Pidana (KUHP) terdapat beberapa ketentuan yang mengatur tentang

pembunuhan, yaitu yang tercantum dalam pasal-pasal: 338 (pembunuhan

biasa) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 15 tahun penjara, 339

(pembunuhan dengan pemberatan/yang dikualifisir) dengan ancaman

pidana setinggi-tingginya 5 tahun penjara, 340 (pembunuhan berencana)

dengan ancaman pidana setinggi-tingginya pidana mati atau seumur

hidup atau 20 tahun penjara, 341 (pembunuhan bayi/anak biasa) dengan

ancaman pidana setinggi-tingginya 7 tahun penjara, 342 (pembunuhan

bayi berencana) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 9 tahun

penjara, 343 (untuk mengancam orang lain/selain ibu yang terlibat

pembunuhan bayi) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya sama

dengan 338 atau 340, 344 (euthanasia) dengan ancaman pidana setinggi-

tingginya 12 tahun penjara, 345 (mendorong orang lain bunuh diri)

dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 4 tahun penjara, 346-349

(aborsi) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya (antara 4 - 12 tahun)

penjara, 351 ayat 3 (penganiayaan biasa yang mengakibatkan matinya

orang) dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 7 tahun penjara, 353

ayat 3 (penganiayaan berencana yang mengakibatkan matinya orang)

70

dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 9 tahun penjara, 354 ayat 2

(penganiayaan berat yang mengakibatkan matinya orang dengan

ancaman pidana setinggi-tingginya 10 tahun penjara, 355 ayat 2

(penganiayaan berat berencana yang mengakibatkan matinya orang)

dengan ancaman pidana setinggi-tingginya 15 tahun penjara, 359 (karena

kelalaiannya mengakibatkan matinya orang) dengan ancaman pidana

setinggi-tingginya 5 tahun penjara atau satu tahun kurungan .

Berdasarkan hal diatas dapat dipahami bahwa pembunuhan dapat

terjadi terhadap dan oleh siapa saja baik secara langsung maupun melalui

perantara (pengeksekusi) dan dapat dikenai hukuman pidana yang

berbeda-beda tergantung dari jenis pembunuhan yang dilakukan, baik

yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja.

2. Macam-macam pembunuhan

Berbicara mengenai permasalahan pembunuhan dalam Hukum

Kewarisan, maka secara otomatis menyangkut masalah Hukum Pidana.

Dimana pada hakikatnya pembunuhan berkenaan langsung serta

menyangkut tentang Hukum Pidana dan lebih dikenal dengan kejahatan

terhadap nyawa. Didalam KUH Pidana mengenai pembunuhan,

pembunuhan terbagi atas dua bagian, yakni; kejahatan terhadap

71

nyawa/pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja dan kejahatan

terhadap nyawa/pembunuhan yang dilakukan tidak dengan sengaja81.

Berikut ini perincian mengenai kejahatan terhadap nyawa/

pembunuhan dengan sementara mengesampingkan keterkaitannya

dengan masalah kewarisan.

a. Kejahatan terhadap nyawa (pembunuhan) yang dilakukan dengan

sengaja.

Pada prinsipnya sebuah tindakan akan menimbulkan sebuah

akibat, dimana dalam hal ini sebuah tindakan kejahatan terhadap

nyawa tentunya akan berdampak kepada nyawa seseorang yang

menjadi korban. Sehingga perlu untuk dibedakan jenis-jenis tindakan

pembunuhan dengan sengaja karena memiliki dampak yang berbeda

baik kepada korban maupun terhadap pelakunya. Jenis-jenis

pembunuhan itu ialah;

1. Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok82.

Kejahatan terhadap nyawa (pembunuhan) yang dilakukan

dengan sengaja dalam bentuk pokok, dimuat dalam pasal 338 KUH

Pidana yang rumusannya adalah: “Barangsiapa dengan sengaja

menghilangkan nyawa orang lain dipidana karena pembunuhan

dengan pidana penjara paling lama 15 tahun”83.

81 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa (Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2001) h. 55 82 Ibid, h. 56. 83 DR. Andi Hamzah, S.H., KUHP dan KUHAP, edisi revisi 2008 (Cet. 15: Jakarta: Rineka

Cipta, 2007) h.135

72

2. Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului dengan tindakan

pidana lain84.

Pembunuhan yang dimaksud ini adalah sebagaimana yang

dirumuskan dalam pasal 339 KUH Pidana, yang berbunyi:

“Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului suatu tindak

pidana lain, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan

atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk menghindarkan

diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal

tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan benda

yang diperolehnya secara melawan hukum, dipidana dengan

pidana penjara seumur hidup atau sementara waktu, paling lama

20 tahun”85.

3. Pembunuhan berencana86.

Pembunuhan dengan rencana lebih dulu atau disingkat dengan

pembunuhan berencana, adalah pembunuhan yang paling berat

ancaman pidananya dari seluruh bentuk kejahatan terhadap nyawa

manusia, diatur dalam pasal 340 KUH Pidana yang rumusannya

adalah: “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana

terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain, dipidana karena

pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana

penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20

tahun”87.

84Adami Chazawi, loc. cit. 85 DR. Andi Hamzah, S.H., loc. cit. 86 Adami Chazawi, loc. cit. 87 DR. Andi Hamzah, S.H., loc. cit.

73

4. Pembunuhan ibu terhadap bayinya pada saat atau tidak lama setelah

dilahirkan88.

Bentuk pembunuhan yang dilakukan oleh ibu terhadap

bayinya pada saat dan tidak lama setelah dilahirkan, yang dalam

praktik hukum sering disebut pembunuhan bayi, bentuk

pembunuhan ini diatur dalam dua pasal KUH Pidana, yakni:

Pasal 341:

“Seorang ibu yang takut akan ketahuan melahirkan bayi pada saat

bayi dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja

menghilangkan nyawa anaknya dipidana penjara paling lama 7

tahun”89.

Pasal 342:

“Seorang ibu yang untuk melaksanakan keputusan kehendak yang

telah diambilnya karena takut akan ketahuan bahwa dia akan

melahirkan bayi, pada saat bayi dilahirkan atau tidak lama

kemudian dengan sengaja menghilangkan nyawa bayinya itu,

dipidana karena pembunuhan bayinya sendiri dengan rencana,

dengan pidana penjara paling lama 9 tahun”90.

5. Pembunuhan atas permintaan korban91.

Bentuk pembunuhan ini diatur dalam pasal 344 KUH Pidana,

yang merumuskan sebagai berikut: “Barang siapa menghilangkan

nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas

88 Adami Chazawi, loc. cit. 89 DR. Andi Hamzah, S.H., op cit. h. 135 90 Ibid 91 Adami Chazawi, loc. cit.

74

dinyatakan dengan kesungguhan hati, dipidana dengan pidana

penjara paling lama 12 tahun”92.

6. Penganjuran dan pertolongan pada bunuh diri93.

Kejahatan yang dimaksud adalah yang tercantum dalam pasal

345 KUH Pidana, yang rumusannya adalah:

“Barang siapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh

diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau member sarana

kepadanya untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4

tahun kalau orang itu jadi bunuh diri”94.

b. Kejahatan terhadap nyawa (pembunuhan) yang dilakukan dengan

tidak sengaja.

Telah dijelaskan diatas bahwa setiap tindakan kejahatan terhadap

nyawa akan menimbulkan akibat bagi korban dan pelaku, tidak

terkecuali kepada tindakan kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan

dengan tidak sengaja.

Mengenai hal tersebut dijelaskan dalam rumusan pasal 359 KUH

pidana yang berbunyi; “Barangsiapa karena kesalahannya

(kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, dipidana dengan pidana

penjara paling lama 5 tahun atau pidana paling lama 1 tahun”95.

Pada hakekatnya suatu tindakan pembunuhan yang dilakukan

dengan tidak sengaja, tidak memiliki perbedaan yang berarti bila

dibandingkan dengan tindakan pembunuhan yang dilakukan dengan

92 Ibid 93 Adami Chazawi, loc. cit. 94 DR. Andi Hamzah, S.H., loc. cit. 95 Ibid. h. 135

75

sengaja, keduanya merupakan tindakan yang melanggar dimata hukum

dan harus diganjar dengan hukuman pidana. Hanya saja pembunuhan

yang dilakukan dengan tidak sengaja dilengkapi dengan unsur

kelalaian dimana bila dibandingkan dengan unsur dari tindakan

pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja tidak memilikinya dan

hanya memiliki 3 unsur yakni: adanya perbuatan tertentu, adanya

akibat kematian orang lain dan adanya hubungan kausal antara wujud

perbuatan dengan akibat kematian orang lain.

Adapun unsur kelalaian atau kurang kehati-hatian dalam hal yang

disebutkan pasal 359 KUH Pidana adalah bukan ditunjukkan pada

kurang hati-hatinya perbuatan, tetapi ditujukan pada akibat yang

ditimbulkannya, sehingga termasuk didalamnya suatu pelanggaran dan

mengakibatkan hukum pidana.

3. Pembunuhan Yang Tidak Mendapat Warisan

Berdasarkan ketentuan dari pasal 838 KUH Perdata, telah

disebutkan bahwa salah satu yang tidak dapat memperoleh warisan

meskipun diantara mereka (pewaris dengan ahli waris) memiliki

hubungan kekerabatan terdekat dari yang lainnya adalah karena

perbuatan pembunuhan oleh ahli waris kepada pewarisnya. Hal ini

disebutkan dalam ayat 1, yakni; “mereka yang telah dihukum karena

dipersalahkan telah membunuh si yang telah meninggal”.

Dari bunyi ayat pasal tersebut diatas tidak menyebutkan jenis-jenis

pembunuhan yang dimaksud, sehingga memberikan indikasi bahwa

semua yang termasuk pembunuhan baik itu pembunuhan tidak disengaja,

76

terlebih yang merupakan pembunuhan disengaja tidak mendapatkan

warisan. Hal ini disebabkan dihawatirkannya memberikan peluang

terhadap mereka yang memiliki itikad tidak baik terhadap korban untuk

mendapatkan harta benda yang dimilikinya sehingga dapat disebutkan

dalam surat keputusan pengadilan sebagai salah satu ahli warisnya.

Namun apabila ternyata ahli waris yang berdasarkan keputusan

dianggap tidak patut menerima warisan telah menerima atau menguasai

sebagian atau seluruh harta peninggalan karena berpura-pura sebagai ahli

waris yang memiliki hak, maka dia wajib mengembalikan semua harta

benda yang dikuasainya termasuk hasil-hasil yang telah dinikmatinya. Ini

sesuai dengan yang disebutkan dalam KUH Perdata pasal 839. Yakni;

“Tiap-tiap waris, yang karena tak patut telah dikecualikan dari pewarisan,

berwajib mengembalikan segala hasil dan pendapatan yang telah

dinikmatinya semenjak warisan jatuh meluang.”96.

Adapun mengenai bilamana yang dianggap tidak patut menerima

warisan memiliki anak ataupun keturunan, maka anak itu berhak atas

dirinya sendiri memperoleh warisan dari pewaris, artinya apabila

menurut hukum warisan anak-anak itu tanpa perantaraan orang tuanya

mendapat hak selaku ahli waris maka anak itu tidak boleh dirugikan

akibat dari kesalahan orang tuanya tetapi orang tuanya itulah yang sama

sekali tidak mendapat warisan. Ini sesuai dengan pasal 840 KUH Perdata,

yakni; “Apabila anak-anak dari seorang yang telah dinyatakan tak patut

menjadi waris, atas diri sendiri mempunyai panggilan untuk menjadi

96 Frof. R. Subekti, S. H. dan R. Tjitrosudibio, op cit., h. 222

77

waris, maka tidaklah mereka karena kesalahan orang tua tadi,

dikecualikan dari pewarisan; namun orang tua itulahsama sekali tak

berhak menuntut supaya diperbolehkan menikmati hasil barang-barang

dari warisan, yang mana, menurut undang-undang hak nikmat hasilnya

diberikan kepada orang tua atas barang-barang anaknya.”97.

B. Analisis Pembunuhan Menurut Hukum Islam

1. Pengertian Pembunuhan

Manusia merupakan makhluk yang paling dimuliakan oleh Allah.

Allah menciptakan manusia dengan kekuasaannya sendiri, meniupkan

ruh-Nya kepadanya, memerintahkan semua malaikat sujud kepadanya,

Dia menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya di bumi dan

membekalinya dengan kekuatan serta ilmu agar ia dapat menguasai bumi

ini. Dengan demikian, manusia dapat meraih kesejahteraan kehidupan

materiil dan spiritual secara maksimal.

Namun manusia tidak akan meraih sebuah kesuksesan atau tidak

dapat merealisasikan semua yang didambakan kecuali pengembangan

dirinya terlaksana dan semua hak-haknya terpenuhi.

Hak-hak yang paling utama dijamin oleh Islam adalah hak hidup,

hak kepemilikan, hak pemeliharaan kehormatan, hak kemerdekaan, hak

persamaan dan hak menuntut ilmu pengetahuan. Hak-hak tersebut

merupakan hak milik manusia secara mutlak berdasarkan pandangan dari

sudut manusiawi tanpa mempertimbangkan warna kulit, agama, bangsa,

Negara dan posisinya dalam masyarakat.

97 Ibid, h. 223.

78

Berdasarkan yang tertuang diatas, hak yang paling utama dan

wajib mendapat perhatian diantara sekian hak ialah hak hidup. Oleh

karenanya, tak dibenarkan seseorang untuk merusak hidup orang lain,

baik berupa penganiayaan terlebih dahulu ataupun langsung, terlebih lagi

bila melakukan pembunuhan terhadap jiwa yang bukan hak.

Allah Berfirman:

Terjemahnya;

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah

(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan

barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya kami Telah memberi

kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui

batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat

pertolongan”. (QS. al-Isra’ (17) : 33).98

Dari Firman Allah diatas, jelaslah keharamannya untuk melakukan

suatu tindakan pembunuhan kecuali terhadap orang yang kafir dan orang

yang murtad itupun melalui jalan hukum syari’ah, dan apabila terjadi

pembunuhan yang bukan hak, maka mendapat balasan yang setimpal

terhadap perbuatannya tergantung dari jenis pembunuhan yang dilakukan

ataukah sikap yang diberi oleh keluarga terbunuh. Jenis-jenis hukuman

98 Departemen Agama RI, op cit, h. 429

79

yang dapat diperoleh si pembunuhan dapat berupa sangsi diyat, dapat

berupa sangsi kaffarah, bahkan dapat pula berupa sangsi qishash.

Adapun yang dimaksudkan dengan pembunuhan adalah suatu

tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang

lain dan mengakibatkannya meninggal dunia baik secara langsung

maupun tidak langsung dan diganjar dengan hukuman berdasarkan

ketentuan hukum yang berlaku.

Para ulama mendefinisikan pembunuhan dengan suatu perbuatan

manusia yang menyebabkan hilangnya nyawa99, serta membaginya dalam

tiga bagian, yakni; pembunuhan sengaja, pembunuhan mirip sengaja dan

pembunuhan karena suatu kesalahan.

2. Macam-macam Pembunuhan

Secara garis besar, tindakan pembunuhan merupakan suatu reaksi

terhadap orang lain sehingga mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain

yang mana dapat dipisahkan menjadi dua bagian, yakni; pembunuhan

sengaja dan pembunuhan karena kesalahan.

Pembunuhan sengaja merupakan suatu tindakan menghilangkan

nyawa seseorang baik secara langsung maupun melalui tindakan

penganiayaan terlebih dahulu yang dilakukan karena telah ada niat

sebelumnya ataupun karena kondisi yang memaksa untuk melakukan

tindakan pembunuhan. Yang dimaksud dengan pembunuhan kesalahan

adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan kematian yang tidak disertai

99 Frof. Drs. H. A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Cet. 3; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000) h.

121.

80

niat untuk membunuh. Dasar pembagian ini adalah pada Firman Allah

S.W.T. yang hanya memperkenalkan kedua jenis pembunuhan ini;

Q. S. al – Nisaa' (4) : 92-93.

.

Terjemahnya;

”Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang

lain), kecuali Karena tersalah (Tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh

seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang

hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada

keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)

bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian

(damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh)

membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta

memerdekakan hamba sahaya yang beriman. barangsiapa yang tidak

memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan

berturut-turut untuk penerimaan Taubat dari pada Allah. dan adalah Allah

81

Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. “Dan barangsiapa yang membunuh

seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia

di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta

menyediakan azab yang besar baginya.”100

Adapun menurut para ulama fiqh, membagi pembunuhan menjadi

beberapa bagian, yakni;

a. Pembunuhan sengaja (qatl al-‘amd), yaitu suatu perbuatan

penganiayaan terhadap seseorang dengan maksud untuk

menghilangkan nyawanya101.

pembunuhan seperti ini biasanya menggunakan alat yang

diyakini dapat menghilangkan nyawa seseorang, dengan asumsi

untuk adanya kepastian bahwa korban yang dituju akan benar-benar

mendapatkan ajalnya, adapun alat yang digunakan bisa berupa

benda yang tumpul dan keras seperti batu atau kayu balok, bisa juga

dengan benda yang tajam seperti pisau, parang, badik dan

sebagainya, ataupun menggunakan tali yang dapat digunakan untuk

menjerat, atau bisa apa saja yang pada intinya ingin dengan sengaja

menghilangkan nyawa korbannya.

b. Pembunuhan semi sengaja (qatl syibh al-‘amd), yaitu perbuatan

penganiayaan terhadap seseorang tidak dengan maksud untuk

membunuhnya tetapi mengakibatkan kematian102.

Perbuatan yang mengakibatkan kematian ini tidak

ditentukan bentuknya, namun pada dasarnya ada suatu tindakan

100 Departemen Agama RI, op cit, h. 135-136 101 Frof. Drs. H. A., op cit., h. 123. 102 Ibid, h. 123.

82

yang dilakukan pelaku terhadap korbannya dengan maksud untuk

menganiaya atau mencelakakan tanpa maksud untuk menghilangkan

nyawa korban namun pada akhirnya meninggal dunia.

Pembunuhan seperti ini misalnya seseorang memukul orang

lain yang mengakibatkan orang tersebut meninggal, atau misalnya

memberikan hukuman kepada seseorang karena kesalahan yang

telah diperbuat namun mengakibatkan orang yang terhukum itu

meninggal dunia.

c. Pembunuhan tidak sengaja atau dengan kesalahan (qatl al-khtha’),

perbuatan ini biasanya dilakukan tanpa ada niat membunuh namun

dalam melakukannya memang berbahaya terhadap orang lain dan

terjadinya kesalahan sehingga mengakibatkan kematian, jenis ini

ada tiga kemungkinan, yaitu:

1. Bila si pelaku pembunuhan sengaja melakukan suatu perbuatan

dengan tanpa maksud melakukan suatu kejahatan, tetapi

mengakibatkan kematian seseorang, seperti seseorang yang

menembak binatang buruan tetapi yang dikenai sasaran peluru

ternyata manusia.

2. Bila si pelaku sengaja melakukan perbuatan dan mempunyai niat

membunuh seseorang yang dalam persangkaannya boleh

dibunuh, namun ternyata orang tersebut tidak boleh dibunuh,

misalnya sengaja menembak seseorang yang disangka musuh

dalam peperangan, tapi ternyata kawan sendiri.

83

3. Bila si pelaku tidak bermaksud melakukan kejahatan, tetapi

akibat kelalaiannya dapat menimbulkan kematian, seperti

seseorang terjatuh dan menimpa bayi yang berada dibawahnya

hingga mati103.

Dari jenis pembunuhan tersebut diatas termasuk juga

pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap seperti

pembunuhan yang dilakukan oleh anak kecil dan pembunuhan yang

dilakukan oleh orang gila ataupun orang yang dalam keadaan tidur.

d. Pembunuhan yang dianggap khilaf (al-jari majrol khathai),

pembunuhan ini biasanya tidak terduga datangnya dan memang

pada hakikatnya tidak ada niat untuk mencelakakan seseorang,

namun karena kelalaiannya mengakibatkan seseorang meninggal104.

Pembunuhan ini biasanya terjadi karena kurangnya hati-

hatian ataupun dikarenakan kelalaian, seperti seseorang yang

membawa benda berat diatas gedung namun karena kesalahannya

benda itu terjatuh dan menimpa seseorang dibawah sehingga

mengakibatkan kematian ataukah seseorang yang membawa

binatang buas ditempat umum dan karena kurang kuatnya tali yang

mengikat binatang tersebut mengakibatkan terlepas dan menerkam

orang disekitarnya hingga meninggal.

Pada hakekatnya pembunuhan sengaja, pembunuhan semi

sengaja dan pembunuhan tidak sengaja atau dengan kesalahan dapat

pula disebut sebagai pembunuhan yang langsung (mubasyarah),

103 Ibid. h. 123. 104 Drs.A.Assaad Yunus,Pokok-pokok Hukum Kewarisan Islam (Faraidh), op cit. h. 34.

84

sedangkan pembunuhan yang dianggap khilaf dapat disebut sebagai

pembunuhan yang tidak langsung (tasabbub).105

3. Pembunuhan yang tidak mendapat warisan

Pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ahli waris terhadap

pewarisnya, adalah salah satu sifat yang menyebabkan tersingkirnya

untuk menerima harta warisan dari pewaris yang dibunuhnya. Ketetapan

tersebut telah dijelaskan oleh Hadits Rasulullah SAW, yakni sebagai

berikut;

“Barang siapa membunuh korban, maka ia tidak dapat mewarisinya

sekalipun orang yang terbunuh itu tidak mempunyai ahli waris selain

dirinya, dan apabila si terbunuh itu orang tuanya atau anaknya, maka si

pembunuh itu tidak berhak menerima harta warisan” (HR. Ahmad).106

Mengingat karena bermacam-macamnya jenis pembunuhan, para

ulama hanya sepakat dengan pembunuhan sengaja dan disertai dengan

tindak penganiayaan yang tidak berhak mendapatkan warisan dari

sipewaris sedangkan sebagiannya para ulama berbeda pendapat.

Menurut ulama Syafi’iyah, berpendapat bahwa pembunuhan itu

mutlak menjadi penghalang pewarisan. Baik pembunuhan yang disengaja

maupun karena silap, baik dilakukan secara langsung (mubasyarah)

maupun tidak langsung (tasabbub), baik dilakukan karena menjalankan

hak (kewajiban) maupun bukan, baik pembunuhan yang akil baligh

maupun orang yang tidak/belum akil baligh107.

105 Ibid, h. 35 106 Drs.A.Assaad Yunus, op cit. h. 32 107 Prof. Dr. H. Suparman Usman, S. H. dan Drs. Yusuf Somawinata, op cit, h. 34.

85

Menurut ulama Hanafiyah, berpendapat bahwa pembunuhan yang

menjadikan seseorang ahli waris termasuk mawani’ul irtsi ialah

pembunuhan yang mengakibatkan adanya sangsi qishash dan kaffarah.

Pembunuhan yang bersangsi qishash, yaitu yang dilakukan

berdasarkan kesengajaan dengan mempergunakan alat-alat yang dapat

dianggap dapat menghancurkan anggota badan orang lain, seperti senjata

tajam, alat peledak, benda berat, kayu runcing, dan lain sebagainya108.

Firman Allah S.W.T. :

....

Terjemahnnya;

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan

dengan orang-orang yang dibunuh …”(QS. al-Baqarah (2): 178).109

Juga dalam Firman Allah S.W.T. :

Terjemahnnya;

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka

balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka

108 Ibid. 109 Departemen Agama RI, op cit, h. 43

86

kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”.

(QS. al-Nisaa’ (4) : 93).110

Sedangkan pembunuhan yang bersangsi kaffarah, yaitu

pembunuhan yang dituntut sebagai penebus kelalaiannya dengan

membebaskan seorang budak wanita Islam atau kalau tidak mungkin, ia

dituntut menjalankan puasa dua bulan berturut-turut, seperti pembunuhan

mirip sengaja, pembunuhan karena silap, atau pembunuhan yang

dianggap silap.111

Firman Allah Swt:

Terjemahnnya;

“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang

lain), kecuali Karena tersalah (Tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh

110 Ibid, h. 136 111 Prof. Dr. H. Suparman Usman, S. H. dan Drs. Yusuf Somawinata, loc. cit.

87

seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang

hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada

keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)

bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian

(damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh)

membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta

memerdekakan hamba sahaya yang beriman. barangsiapa yang tidak

memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan

berturut-turut untuk penerimaan Taubat dari pada Allah. dan adalah Allah

Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Nisaa’ (4) : 92).112

Menurut ulama Malikiyah; sesungguhnya pembunuhan yang

menjadi penghalang pewarisan adalah pembunuhan yang disengaja,

pembunuhan mirip sengaja dan pembunuhan tidak langsung (tasabbub)

yang disengaja seperti sengaja melepaskan binatang buas hingga

menerkam seseorang dan menyebabkannya meninggal113 atau membuat

lubang untuk menjebak seseorang.

Ulama Hanabilah berpendapat bahwa pembunuhan yang menjadi

penghalang pewarisan adalah pembunuhan tanpa hak yang dibebani

sanksi qishash, diyat dan kafarat, seperti pembunuhan dengan sengaja,

mirip disengaja, karena silap, dianggap silap, tidak langsung, maupun

yang dilakukan oleh orang tidak cakap, seperti anak kecil dan orang yang

dalam keadaan tidak sadar (seperti orang gila dan orang yang dalam

keadaan tidur).114

Menurut ulama Hambaliyah, berpendapat bahwa jenis

pembunuhan yang menjadi penghalang mewarisi adalah pembunuhan

112 Departemen Agama RI, op cit, h. 135 113 Drs.A.Assaad Yunus, op cit. h. 36. 114 Prof. Dr. H. Suparman Usman, S. H. dan Drs. Yusuf Somawinata, op cit. h. 36.

88

sengaja, pembunuhan mirip sengaja, pembunuhan karena khilaf,

pembunuhan dianggap khilaf, pembunuhan tidak langsung (tasabbub)

dan pembunuhan yang dilakukan oleh yang tidak cakap bertindak.115

115 Drs.A.Assaad Yunus, loc. cit.

89

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, penulis dapat menarik sebuah

kesimpulan bahwa pembunuhan merupakan suatu tindak pidana yang

mengakibatkan seseorang untuk terhalangi mendapatkan warisan.

Adapun pengertian dan macam-macam pembunuhan serta jenis-jenis

pembunuhan yang tidak mendapatkan warisan menurut ketentuan hukum

kewarisan Perdata dan hukum kewarisan Islam.

1. Analisis pembunuhan dalam kewarisan menurut hukum Perdata

a). pengertian pembunuhan

Pembunuhan adalah suatu tindakan atau perbuatan manusia yang

menyebabkan hilangnya nyawa baik dilakukan dengan sengaja

ataupun tidak sengaja.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

terdapat beberapa ketentuan yang mengatur tentang pembunuhan,

yaitu yang tercantum dalam pasal 338 (pembunuhan biasa), pasal

339 (pembunuhan dengan pemberatan/yang dikualifisir), pasal 340

(pembunuhan berencana), pasal 341 (pembunuhan bayi/anak biasa),

pasal 342 (pembunuhan bayi berencana), pasal 343 (untuk

mengancam orang lain/selain ibu yang terlibat pembunuhan bayi),

dan sebagainya.

90

b). Macam-macam pembunuhan.

Mengenai permasalahan pembunuhan dalam Hukum Kewarisan,

maka secara otomatis menyangkut masalah Hukum Pidana.

Dimana pada hakikatnya pembunuhan berkenaan langsung serta

menyangkut tentang Hukum Pidana dan lebih dikenal dengan

kejahatan terhadap nyawa. Didalam KUH Pidana mengenai

pembunuhan, pembunuhan terbagi atas dua bagian. Yakni:

(1) Kejahatan terhadap nyawa (pembunuhan) yang dilakukan

dengan sengaja. Yang dimaksud adalah pembunuhan yang

mengandung unsur kesengajaan dalam bertindak, kesengajaan

dalam sasaran dan kesengajaan dalam hal alat yang digunakan.

Adapun macam-macamnya ialah:

a. Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok,

b. Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului dengan

tindakan pidana lain,

c. Pembunuhan berencana,

d. Pembunuhan ibu terhadap bayinya pada saat atau tidak lama

setelah dilahirkan,

e. Pembunuhan atas permintaan korban dan

f. Penganjuran dan pertolongan pada bunuh diri,

(2) Kejahatan terhadap nyawa (pembunuhan) yang dilakukan

dengan tidak sengaja. Yang dimaksud adalah suatu tindakan

yang dilakukan tanpa adanya unsur kesengajaan terhadap orang

lain dan mengakibatkannya meninggal dunia.

91

Pembunuhan yang dilakukan dengan tidak sengaja diatur

dalam KUH Pidana pasal 359 yang berbunyi: “Barangsiapa

karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain

mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun

atau pidana paling lama 1 tahun”

c). Pembunuhan yang tidak mendapat warisan.

Berdasarkan ketentuan dari pasal 838 KUH Perdata, disebutkan

bahwa salah satu yang tidak dapat memperoleh warisan adalah karena

perbuatan pembunuhan oleh ahli waris kepada pewarisnya.

Dari ayat 1 pasal 838 tidak menyebutkan jenis-jenis pembunuhan

yang menjadi penghalang kewarisan, sehingga memberikan indikasi

bahwa semua yang termasuk pembunuhan baik itu pembunuhan tidak

disengaja, terlebih yang merupakan pembunuhan disengaja, tidak

mendapatkan warisan. Hal ini disebabkan dihawatirkannya memberikan

peluang terhadap mereka yang memiliki itikad tidak baik terhadap

korban untuk mendapatkan harta benda yang dimilikinya sehingga dapat

disebutkan dalam surat keputusan pengadilan sebagai salah satu ahli

warisnya.

2. Analisis pembunuhan dalam kewarisan menurut hukum Islam

a) pengertian pembunuhan

pembunuhan adalah suatu tindakan atau perbuatan yang

dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain dan

mengakibatkannya meninggal dunia baik secara langsung maupun

92

tidak langsung dan diganjar dengan hukuman berdasarkan

ketentuan hukum yang berlaku.

Para ulama mendefinisikan pembunuhan dengan suatu

perbuatan manusia yang menyebabkan hilangnya nyawa.

Berdasarkan hal diatas, maka sesungguhnya tidak

dibenarkan seseorang untuk merusak hidup orang lain, baik berupa

penganiayaan terlebih dahulu ataupun langsung, terlebih lagi bila

melakukan pembunuhan terhadap jiwa yang bukan hak.

Allah Berfirman:

....

Terjemahnya;

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan

Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan)

yang benar.

b). macam-macam pembunuhan

Secara garis besar, tindakan pembunuhan merupakan suatu

reaksi terhadap orang lain sehingga mengakibatkan hilangkan

nyawa orang lain yang mana dapat dipisahkan menjadi dua bagian,

yakni; pembunuhan sengaja dan pembunuhan karena kesalahan.

Adapun menurut para ulama fiqh, membagi pembunuhan

menjadi beberapa bagian, yakni;

93

1. Pembunuhan sengaja (qatl al-‘amd), yaitu suatu perbuatan

penganiayaan terhadap seseorang dengan maksud untuk

menghilangkan nyawanya.

2. Pembunuhan semi sengaja (qatl syibh al-‘amd), yaitu perbuatan

penganiayaan terhadap seseorang tidak dengan maksud untuk

membunuhnya tetapi mengakibatkan kematian.

3. Pembunuhan tidak sengaja atau dengan kesalahan (qatl al-

khtha’), perbuatan ini biasanya dilakukan tanpa ada niat

membunuh namun dalam melakukannya memang berbahaya

terhadap orang lain dan terjadinya kesalahan sehingga

mengakibatkan kematian.

4. Pembunuhan yang dianggap khilaf (al-jari majrol khathai),

pembunuhan ini biasanya tidak terduga datangnya dan memang

pada hakikatnya tidak ada niat untuk mencelakakan seseorang,

namun karena kelalaiannya mengakibatkan seseorang

meninggal.

c). pembunuhan yang tidak mendapat warisan

Pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ahli waris terhadap

pewarisnya, adalah salah satu sifat yang menyebabkan tersingkirnya

untuk menerima harta warisan dari pewaris yang dibunuhnya.

Ketetapan tersebut telah dijelaskan oleh Hadits Rasulullah SAW,

sebagaimana artinya disebutkan;

“Barang siapa membunuh korban, maka ia tidak dapat mewarisinya

sekalipun orang yang terbunuh itu tidak mempunyai ahli waris

94

selain dirinya, dan apabila si terbunuh itu orang tuanya atau

anaknya, maka si pembunuh itu tidak berhak menerima harta

warisan” (HR. Ahmad)

Mengingat karena bermacam-macamnya jenis pembunuhan,

para ulama hanya sepakat dengan pembunuhan sengaja dan disertai

dengan tindak penganiayaan yang tidak berhak mendapatkan

warisan dari sipewaris sedangkan sebagiannya para ulama berbeda

pendapat.

Menurut ulama Syafi’iyah, berpendapat bahwa pembunuhan

itu mutlak menjadi penghalang pewarisan. Baik pembunuhan yang

disengaja maupun karena silap, baik dilakukan secara langsung

(mubasyarah) maupun tidak langsung (tasabbub), baik dilakukan

karena menjalankan hak (kewajiban) maupun bukan, baik

pembunuhan yang akil baligh maupun orang yang tidak/belum akil

baligh

Menurut ulama Hanafiyah, berpendapat bahwa pembunuhan

yang menjadikan seseorang ahli waris termasuk mawani’ul irtsi

ialah pembunuhan yang mengakibatkan adanya sangsi qishash

dan kaffarah.

Menurut ulama Malikiyah; sesungguhnya pembunuhan yang

menjadi penghalang pewarisan adalah pembunuhan yang

disengaja, pembunuhan mirip sengaja dan pembunuhan tidak

langsung (tasabbub) yang disengaja seperti sengaja melepaskan

95

binatang buas hingga menerkam seseorang dan menyebabkannya

meninggal atau membuat lubang untuk menjebak seseorang.

Ulama Hanabilah berpendapat bahwa pembunuhan yang

menjadi penghalang pewarisan adalah pembunuhan tanpa hak yang

dibebani sanksi qishash, diyat dan kafarat, seperti pembunuhan

dengan sengaja, mirip disengaja, karena silap, dianggap silap, tidak

langsung, maupun yang dilakukan oleh orang tidak cakap, seperti

anak kecil dan orang yang dalam keadaan tidak sadar (seperti

orang gila dan orang yang dalam keadaan tidur)

Menurut ulama Hambaliyah, berpendapat bahwa jenis

pembunuhan yang menjadi penghalang mewarisi adalah

pembunuhan sengaja, pembunuhan mirip sengaja, pembunuhan

karena khilaf, pembunuhan dianggap khilaf, pembunuhan tidak

langsung (tasabbub) dan pembunuhan yang dilakukan oleh yang

tidak cakap bertindak.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA (Cet. 2; Jakarta;

AKADEMIKA PERSSINDO) 1995.

Amanat, Anisitus. CN. MEMBAGI WARISAN, berdasarkan pasal-pasal hukum

perdata BW (cet. 3; jakarta; PT RajaGrafindo Persada) 2003.

Anshori, Abdul Ghofur. Filsafat Hukum Kewarisan Islam, konsep Kewarisan

Bilateral Hazairin (yokyakarta; UII Press Yogyakarta, anggota IKAPI)

2005.

Arifin, Bustanul. PELEMBAGAAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA, Akar

Sejarah, Hambatan Dan Prospeknya (Jakarta; Gema Insan Press) 1996.

As-Shabuni, Muhammad Ali. hukum waris dalam syari’at islam (Cet. III;

Bandung; CV. Diponegoro) 1995.

Ash-Shabuni, Syaikh Muhammad Ali. Hukum Waris (Cet. 1; solo; CV. Pustaka

Mantiq) 1994.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Surabaya CV. Jaya Sakti)

2002.

Djazuli, A. Fiqh Jinayah (Cet. 3; Jakarta; PT RajaGrafindo Persada) 2000.

FOKUSMEDIA, Tim Redaksi. Kompilasi Hukum Islam (Bandung; Fokusmedia)

2005.

Hamzah, Andi. KUHP dan KUHAP (Cet. 15; Rineka Cipta) 2007

Mourik, M. JA. Van. Studi Kasus Hukum Waris (Bandung: PT. Eresco) 1993.

Ash-Shabuni, Syekh Muhammad Ali. Hukum Waris Menurut Al-Qur’an Dan

Hadist (bandung; trigenda karya) 1995.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia (Cet. 3; Bandar Lampung, PT.

Citra Aditya Bakti) 2000.

Parangin, Effendi. Hukum Waris (Cet. 3; PT. RajaGrafindo Persada) 2001.

Ramulyo, M. Idris. Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta; Sinar Grafika) 2004.

Rofiq, Ahmad. Fiqh Mawaris (Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada) 2002.

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam Di Indonesia (Cet. 6; Jakarta; PT. RajaGrafindo

Persada) 2003.

Saleh, E. Hassa. Kajian Fiqh Nabawi Dan Fiqh Kontemporer (Jakarta; Rajawali

Pers) 2008

Salim, Oemar. Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia (Jakarta; Bumi Aksara)

1987.

Salim, S. Pengantar Hukum Perdata Tertulis, BW (Jakarta Sinar Grafika) 2002.

Subekti, R, dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Cet. 37;

jakarta; PT. Pradnya Paramita) 2006.

Suhardana, F.X. Buku Panduan Mahasiswa (Cet. 2; Jakarta PT. Gramedia Pusaka

Utama) 1996.

Suparman, Eman. Hukum Waris Indonesia, Dalam Perspektif Islam, Adat, Dan

BW (Cet. 2; Bandung; PT. Refika Aditama) 2007.

Umam, Dian Khairul. Fiqih Mawaris (Bandung; CV. PUSTAKA SETIA) 1999.

Usman, Suparman dan Yusuf Somawinata. Fiqh Mawaris (Cet. 2; Jakarta; GAYA

MEDIA PRATAM) 2002.

YUNUS, A. Assaad. Pokok-Pokok Hukum Kewarisan (Jakarta; PT. Alqushwa)

1992.

Yunus, A. Assaad. Pokok-Pokok Hukum Kewarisan Islam (Faraidh) (Jakarta; PT.

Alqushwa) 2006.