digilib.uns.ac.id/Pembinaan-Moral-Narapidana...ii PEMBINAAN MORAL NARAPIDANA RESIDIVIS DALAM...
Transcript of digilib.uns.ac.id/Pembinaan-Moral-Narapidana...ii PEMBINAAN MORAL NARAPIDANA RESIDIVIS DALAM...
PEMBINAAN MORAL NARAPIDANA RESIDIVIS
DALAM MEMBENTUK GOOD CITIZEN DI RUMAH TAHANAN
NEGARA KLAS 1 SURAKARTA
SKRIPSI
Oleh:
ROSIANA RAHAYU
K6407011
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PEMBINAAN MORAL NARAPIDANA RESIDIVIS
DALAM MEMBENTUK GOOD CITIZEN DI RUMAH TAHANAN
NEGARA KLAS 1 SURAKARTA
Oleh
ROSIANA RAHAYU
K6407011
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana
Pendidikan Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
Rosiana Rahayu. PEMBINAAN MORAL NARAPIDANA RESIDIVIS DALAM MEMBENTUK GOOD CITIZEN DI RUMAH TAHANAN NEGARA KLAS 1 SURAKARTA. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret. November 2011.
Tujuan penelitian ini adalah (1) Mendeskripsikan moral narapidana
residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pengulangan tindak pidana yang dilakukan. (2) Mengetahui pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. (3) Mengetahui faktor yang menjadi pendorong dan penghambat pelaksanaan pembinaan moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pembentukan good citizen.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan strategi penelitian tunggal terpancang. Sumber data yang digunakan adalah informan, peristiwa, tempat atau lokasi, dan dokumen. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling dan snowball sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Validitas data yang diperoleh dengan teknik trianggulasi data, trianggulasi metode dan review informan. Analisis data menggunakan analisis data model interaktif yaitu pengumpulan data, reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: (1) Moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta hanya sebatas pemahaman moral saja sedangkan sebagian narapidana residivis belum memiliki perasaan moral dan tindakan moral juga belum terbentuk. (2). Pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta tidak berhasil membentuk narapidana residivis menjadi warga negara yang baik (good citizen) sebab sebanyak 70 % narapidana residivis tidak terbentuk sebagai pribadi yang terdidik secara moral. Hal tersebut diketahui bahwa dari 10 narapidana residivis yang mempunyai kesadaran moral hanya 4 orang (40%) sedangkan ditinjau dari tindakan moral hanya 2 orang (20%). Selain itu, masih terjadi pengulangan tindak pidana sehingga arah pembinaan moral yang sesuai tujuan pemasyarakatan tidak tercapai. (3). Faktor pendorong pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta meliputi: kesadaran narapidana residivis dalam mengikuti pembinaan, peraturan perundang-undangan yang mendukung pelaksanaan pembinaan, sarana dan prasarana yang menunjang, motivasi dan dukungan moril dari keluarga narapidana residivis atas stigma negatif masyarakat, dan pengawasan yang baik saat proses pembinaan berlangsung. Sedangkan faktor penghambat pelaksanaan pembinaan moral narapidana residivis terkait pembentukan good citizen meliputi: perilaku narapidana residivis yang tidak baik saat mengikuti pembinaan, perbedaan tingkat intelektual yang dilatarbelakangi pendidikan narapidana residivis yang rendah, terbatasnya sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan pembinaan, belum ada peraturan tentang pola pembinaan khusus narapidana residivis, dan stigma negatif masyarakat terhadap narapidana residivis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRACT Rosiana Rahayu. CREATING GOOD CITIZEN IN THE FIRST CLASS OF SURAKARTA PENITENTIARY. Thesis. Surakarta: Teacher Training and Education Faculty of Sebelas Maret University. October 2011.
moral in the First Class of Surakarta penitentiary relative to the crime
building in creating good citizen in the First Class of Surakarta Penitentiary, and
moral building in the First Class of Surakarta Penitentiary relative to creating good citizen.
This study employed a descriptive qualitative method with a single embedded research strategy. The data source used consisted of informant, event and document. The sampling technique used was purposive sampling and snowball sampling. Techniques of collecting data used were interview, observation, and document analysis. Data validity was obtained using data and method triangulation techniques and review informant. The data analysis was done using an interactive analysis encompassing data reduction, data display and conclusion drawing.
Based on the result of research, it can be concluded that: (1) the recurrent ry is only limited to
moral conception. It is because their moral feeling and moral action have not been established. (2) The implementation of moral building to the recurrent prisoners in the First Class of Surakarta penitentiary has not successfully created the recurrent prisoners into good citizens because any 70% the recurrent prisoners formed as a education morality person. Is known that 10 people who has morality consciousness while only 40 % whereas in term of moral only 2 people (20%). In addition, some recurrent prisoners still repeat the criminal action so that the direction of moral building consistent with the objective of moral building has not been achieved. (3) The factors supporting the moral building to the recurrent prisoners in the First Class of Surakarta penitentiary
supporting the implementation of building, supporting infrastructures, moral r the negative
stigma among the society, and good supervision during the building process.
moral building relative to the good citizen creation includes the recurrent s not-good behavior during building process, the difference of
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
Kotornya akhlak itu lebih besar bahayanya dari pada kotornya materi. Maka,
wajib bagi setiap individu untuk membersihkan jasmani dan rohaninya sebelum
memasuki kehidupan baru
(Dr. Kasis Karel)
Sesungguhnya kerendahan moral itu adalah tantangan yang paling besar yang
sangat ditakuti manusia. Dan, keutamaan moral itu adalah suatu harapan yang
paling besar yan
(Plato)
Mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, mereka yang menyuruh
mungkar dan bersegera mengerjakan berbagai
kebaikan. Maka, mereka itu termasuk orang-orang yang sholeh
(Al- Surat Ali-Imron: 114)
Akhlak yang baik bergantung pada kesiapan diri untuk berakhlak. Manusia
menjadi adil karena menegakkan keadilan, menjadi bijaksana karena menekuni
kebijaksanaan, dan menjadi berani karena bertindak berani. Untuk
mewujudkannya, perlu niat, usaha keras, dan pembiasaan maka, hasil yang
diperoleh akan memuaskan
(Penulis)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan kepada:
Allah SWT atas nikmat dan karunia-Nya
Bapak dan Ibu tercinta yang telah
memberikan restu dalam setiap
perjalanan hidup
Kakak-kakak kandung tersayang, Eko
Rosdianto dan Windi Rosdiana yang
telah memberikan doa dan motivasi
Priema Ariz Setiawan yang selalu
mendokan dan memberikan dukungan
Teman-teman PPKn angkatan 2007 yang
selalu memberikan semangat
Sahabat terbaik Nur Aprilia, Indriyani,
Rizki Tri. K, dan Sri Sulastri yang selalu
membantu dan memberikan semangat
Almamater
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan pada program
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian
penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya
kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu, atas segala bentuk
bantuannya, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah
memberikan ijin penelitian guna menyusun skripsi ini.
2. Drs. Saiful Bachri, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial FKIP UNS Surakarta, yang telah menyetujui penyusunan skripsi ini.
3. Dr. Sri Haryati, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan FKIP UNS Surakarta yang telah memberikan ijin untuk
menyusun skripsi.
4. Dr. Winarno, S.Pd, M.Si., selaku Pembimbing I yang dengan sabar telah
memberikan pengarahan, bimbingan, dan motivasi sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
5. Triana Rejekiningsih, SH, KN, MP.d., selaku Pembimbing II yang dengan
sabar telah memberikan bimbingan, pengarahan dan dorongan selama penulis
menyelesaikan skripsi ini.
6. Drs. E. Sunar Ardinarto, M.Pd., selaku Pembimbing Akademik yang telah
memberikan bimbingan serta pengarahan.
7. Bapak/Ibu dosen Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan, sehingga penulis mampu
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
8. Petugas dan penghuni Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang dengan
senang hati membantu penulis dalam pengumpulan data yang penulis perlukan
dalam penyusunan skripsi ini.
9. Semua pihak yang membantu penulis baik moril maupun materiil yang tidak
bisa penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis berharap, semoga Allah SWT selalu memberikan barokah dan
anugerah yang terbaik atas jasa yang mereka berikan.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah berusaha semaksimal
mungkin, namun penulis menyadari bahwa skripsi ini masih ada kekurangan
karena keterbatasan penulis. Dengan segala kerendahan hati, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan
skripsi ini.
Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya,
dan bagi pembaca pada umumnya.
Surakarta, November 2011
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PENGAJUAN ............................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iv
HALAMAN ABSTRAK .................................................................................. v
ABSTRACT ....................................................................................................... vi
MOTTO ........................................................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... viii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Perumusan Masalah ........................................................................ 8
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 8
D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 9
BAB II LANDASAN TEORI ........................................................................ 10
A. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 10
1. Tinjauan tentang Moral .............................................................. 10
2. Tinjauan tentang Pembinaan Moral ........................................... 27
3. Tinjauan tentang Teori Pemidanaan............................................ 32
4. Tinjauan tentang Narapidana Residivis ...................................... 38
5. Tinjauan Umum tentang Pembinaan Berdasarkan Sistem
Pemasyarakatan ........................................................................... 47
6. Tinjauan tentang Good Citizen ................................................... 59
7. Hubungan antara Warga Negara yang Baik dengan Moral ....... 64
8. Hubungan antara Pendidikan Kewarganegaraan dengan
Pembinaan Moral di Lembaga Pemasyarakatan ........................ 66
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
B. Kerangka Berfikir ........................................................................... 71
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................................ 74
A. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ 74
B. Bentuk dan Strategi Penelitian ........................................................ 75
C. Sumber Data ................................................................................... 77
D. Teknik Sampling ............................................................................. 80
E. Teknik Pengumpulan Data .............................................................. 82
F. Validitas Data .................................................................................. 86
G. Analisis Data ................................................................................... 89
H. Prosedur Penelitian .......................................................................... 92
BAB IV HASIL PENELITIAN ....................................................................... 94
A. Deskripsi Lokasi Penelitian ............................................................. 94
1. Sejarah Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta .................... 94
2. Struktur Organisasi Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta .. 98
3. Proses Penerimanaan, Pendaftaran dan Penempatan Narapidana
di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta .............................. 102
4. Kondisi Warga Binaan Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta ..................................................................................... 105
5. Petugas Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ..................... 108
6. Bentuk-Bentuk Kerja Sama Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta dengan Berbagai Instansi yang Terkait dengan
Pelaksanaan Pembinaan .............................................................. 111
B. Deskripsi Permasalahan Penelitian .................................................. 112
1. Moral Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta Terkait dengan Pengulangan Tindak Pidana yang
Dilakukan ................................................................................... 112
2. Pelaksanaan Pembinaan Moral terhadap Narapidana Residivis
dalam Membentuk Good Citizen di Rumah Tahanan Negara
Klas 1 Surakarta .......................................................................... 138
3. Faktor Pendorong dan Penghambat Pembinaan Moral terhadap
Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta Terkait Pembentukan Good Citizen ............................ 172
C. Temuan Studi ................................................................................... 194
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN .................................... 214
A. Kesimpulan ...................................................................................... 214
B. Implikasi .......................................................................................... 217
C. Saran ................................................................................................ 218
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 221
LAMPIRAN ..................................................................................................... 225
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
Tabel
1. Jadual Kegiatan Penelitian ................................................................
2. Jumlah Warga Binaan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
per Bulan Juni 2011 .....................................................................................
3. Daftar Nama Narapidana Residivis per Bulan Juni 2011 di
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ...................................................
4. Petugas Pembinaan atau Pembina Rumah Tahanan Negara Klas
1 Surakarta. ................................................................................................
5. Daftar Nama dan Tindak Pidana yang Pernah Dilakukan
Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta ................................................................................................
6. Hasil Identifikasi Bentuk-Bentuk Tindak Pidana yang
Dilakukan oleh Narapidana Residivis Rumah Tahanan Negara
Klas 1 Surakarta pada Bulan Juni 2011. ......................................................
7. Jumlah Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta yang Didasarkan pada Tingkat Pendidikan Tahun
2011. ................................................................................................
8. Faktor Penyebab Narapidana Residivis di Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta Melakukan Tindak Pidana ................................
9. Jadual Pelaksanaan Kegiatan Pembinaan Kesadaran Agama
Islam di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. ................................
10. Jadual Pelaksanaan Kegiatan Pembinaan Kemandirian di
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. ..................................................
11. Metode dan Wujud Pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas
1 Surakarta ................................................................................................
12. Evaluasi Keberhasilan Pelaksanaan Pembinaan Moral terhadap
Narapidana Residivis Terkait dengan Pembentukan Good
Citizen. ................................................................................................
13. Jumlah Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta tahun 2009-2011 ................................................................
75
106
107
109
113
115
130
135
150
160
162
166
170
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.
Gambar 2.
Gambar 3.
Gambar 4.
Alur Tahapan Pelaksanaan Pembinaan ............................................................
Skema Kerangka Berfikir ................................................................
Analisis Data Model Interaktif ................................................................
Struktur Organisasi Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta ................................................................................................
53
73
92
99
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Lampiran
1. Daftar Informan ..........................................................................................
2. Data Jumlah Residivis Tahun 2009-2011 di Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ..............................................................
3. Jadual Kegiatan Pembinaan Bagi Warga Binaan
Pemasyarakatan di Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta ................................................................................................
4. Hasil Evaluasi Perkembangan Diri Narapidana Residivis
yang Belum Menunjukkan Perilaku yang Baik Ditinjau
dalam Laporan Perkembangan Warga Binaan
Pemasyarakatan Tahun 2011................................................................
5. Pedoman Wawancara ................................................................
6. Catatan Lapangan dengan Narapidana residivis ................................
7. Catatan Lapangan dengan Petugas Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta................................................................
8. Catatan Lapangan dengan Pembina Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta................................................................
9. Catatan Lapangan dengan Perwakilan dari Narapidana
Residivis ................................................................................................
10. Foto-Foto Hasil Observasi ................................................................
11. Trianggulasi Data .......................................................................................
12. Trianggulasi Metode ................................................................
13. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi Kepada Dekan
FKIP UNS ................................................................................................
14. Surat Keputusan Dekan FKIP UNS Tentang Ijin
Penyusunan Skripsi ................................................................
15. Surat Permohonan Ijin Research/ Penelitian Kepada
Rektor UNS ................................................................................................
16. Surat Permohonan Pengantar Ijin Penelitian Kepada
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM
225
227
234
236
242
246
268
284
299
307
313
321
330
331
332
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
Lampiran
Lampiran
Lampiran
Jawa Tengah di Semarang ................................................................
17. Surat Ijin Penelitian dari Kepala Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah di Semarang ......................
18. Surat Ijin Masuk untuk Mengadakan Penelitian di Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ..............................................................
19. Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian dari Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. .............................................................
333
334
335
336
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Republik Indonesia merupakan negara hukum atau rechstaat.
Dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) disebutkan dengan tegas bahwa
Pasal tersebut mengandung arti bahwa, hukum
memegang kekuasaan tertinggi. Setiap warga negara Indonesia wajib menjunjung
tinggi hukum dan berhak untuk memperoleh persamaan dalam hukum dan
pemerintahan. Hal tersebut dipertegas dalam bunyi pasal 27 ayat (1)
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib
Selanjutnya, dalam bunyi pasal 28 D ayat (1) yang disebutkan bahwa
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil,
memegang peranan yang sangat penting dalam penegakan keadilan.
Hukum merupakan salah satu pranata yang dibutuhkan untuk
mengantisipasi perkembangan yang pesat dalam kehidupan manusia yang
menetapkan apa yang harus dilakukan atau apa yang boleh serta dilarang dalam
rangka menjaga ketertiban dan keteraturan masyarakat. Selain itu, hukum
diperlukan guna mengantisipasi penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di
dalam masyarakat. Timbulnya kejahatan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor
individu saja melainkan juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan masyarakat.
Pada awalnya, manusia dalam melangsungkan kehidupan berawal dari hasrat
untuk memenuhi kebutuhan pokok dan seseorang dalam keadaan ekonomi buruk
akan kesulitan memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, manusia terdorong
melakukan perbuatan menyimpang yaitu melakukan kejahatan. Kejahatan tersebut
menyebabkan terganggunya kenyamanan dan ketertiban dalam kehidupan
masyarakat pada khususnya dan kehidupan negara pada umumnya. Pada dasarnya,
segala macam bentuk kejahatan menimbulkan dampak buruk yang merugikan
baik terhadap diri pelaku kejahatan tersebut maupun masyarakat luas. Oleh sebab
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
itu, diperlukan sanksi pidana dalam upaya menanggulangi kejahatan. Sanksi
pidana merupakan salah satu sarana yang paling efektif yang digunakan dalam
menanggulangi kejahatan. Sebab, sanksi pidana diberikan agar pelanggar jera atas
perbuatan pidana yang dilakukan dan tidak mengulangi kejahatan kembali. Sanksi
pidana diatur dalam pasal 10 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang
menyebutkan tentang pidana pokok dan pidana tambahan.
meliputi: pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda.
Sedangkan pidana tambahan meliputi: pencabutan hak-hak tertentu, perampasan
barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim . (Moelyatno, 2003: 5-
6). Penerapan sanksi pidana tersebut diatur dalam sistem hukum di Indonesia yang
dikenal dengan pemidanaan.
Seiring dengan perkembangan masalah-masalah pemidanaan yang terjadi
di dunia barat, pandangan dan sikap hidup bangsa Indonesia dalam menghadapi
berbagai masalah dalam negara khususnya kepenjaraan baru diwujudkan pada
tahun 1963 dengan mengubah sistem kepenjaraannya menjadi sistem
pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan adalah salah satu pranata hukum yang
tidak dapat dipisahkan dalam kerangka besar bangunan hukum di Indonesia,
khususnya dalam kerangka hukum pidana. Tujuan pembinaan dalam pemidanaan
adalah agar narapidana tidak mengulangi kembali perbuatannya dan bisa
menemukan kembali kepercayaan dirinya serta dapat diterima kembali menjadi
bagian dari anggota masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Dwidja
Priyatno (2006: 53-54) mengatakan bahwa, danaan meliputi
pencegahan, pembinaan, keseimbangan masyarakat, dan pembebasan rasa
bersalah Hal tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Pencegahan berarti mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat.
2. Pembinaan berarti memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang baik dan berguna. Pembinaan dilakukan dengan
merehabilitasi tetapi juga meresosiliasi terpidana dan mengintegrasikan yang
bersangkutan ke dalam masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
3. Keseimbangan dalam masyarakat berarti penyelesaian konflik yang
ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Dimaksudkan untuk
mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat tindak pidana yang telah
dilakukan.
4. Pembebasan rasa bersalah berarti membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Tujuannya bersifat spiritual yang dicerminkan dalam Pancasila sebagai dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selanjutnya, disebutkan pula dalam UU No. 12 tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan dalam pasal 2 dinyatakan bahwa:
Tujuan pemasyarakatan adalah sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga negara binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. (Dwidja Priyatno, 2006: 180).
Pola pembinaan terhadap narapidana di Indonesia didasarkan pada
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990
tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan alenia kedua ditegaskan bahwa:
Secara umum dapat dikatakan bahwa pembinaan dan bimbingan pemasyarakatan haruslah ditingkatkan melalui pendekatan pembinaan mental (agama, Pancasila dan sebagainya) meliputi pemulihan harga diri sebagai pribadi maupun warga negara yang meyakini pribadinya masih memiliki potensi produktif bagi pembangunan bangsa (Ismail Sholeh, 1990: 3).
Berdasarkan peraturan tersebut maka, pola pembinaan di lembaga
pemasyarakatan diberikan melalui pembinaan mental seperti pendidikan agama
dan pendidikan budi pekerti. Arah pembinaan di lembaga pemasyarakatan harus
dimulai dengan membentuk moral narapidana sebab, moral yang baik akan
menangkal seseorang untuk melakukan perbuatan jahat. Sebagaimana yang
diungkapkan menurut filosof Jerman Kenith dalam Miqdad Yaljan (2004:21)
menyatakan bahwa:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Sesungguhnya manusia tidak akan sampai pada kesempurnaan, kecuali melalui pendidikan. Melalui pendidikan dapat mencerdaskan dan membuat hati baik. Jadi akhlak tidak hanya berbicara tentang tingkah laku (perbuatan) yang telihat dengan kasat mata, tetapi lebih dari pada itu membersihkan jiwa dari segala perbuatan hina dan jahat bahkan menghiasinya dengan segala sisi keutamaan secara lahir dan batin.
Pembinaan yang terbaik bagi keberhasilan warga binaan sangat
tergantung oleh faktor narapidana itu sendiri, bentuk pembinaan, dan pranata
hukum. Selama ini, perhatian banyak diberikan terhadap lembaga-lembaga hukum
yang bergerak langsung dalam penegakan hukum baik di lembaga pembuat
undang-undang maupun pihak yang bertanggung jawab dalam hal pelaksanaannya
seperti polisi, hakim ataupun jaksa. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah
peran serta masyarakat yang diharapkan dapat membantu pelaksanaan pembinaan
narapidana. Masyarakat memiliki peranan yang sangat berarti dalam proses
resosialisasi narapidana yang saat ini masih sulit dilaksanakan. Hal ini
dikarenakan, setelah narapidana selesai menjalani hukumannya kemudian siap
kembali ke masyarakat, tidak jarang muncul permasalahan misalnya dikarenakan
kurang siapnya masyarakat menerima mantan narapidana serta sulitnya
narapidana memperoleh pekerjaan. Perhatian tersebut dirasa kurang oleh lembaga
pemasyarakatan. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat keberhasilan dalam suatu
lembaga pemasyarakatan yang masih kurang. Salah satu diantaranya masih
ditemukan residivis atau pelaku pidana yang pernah menjalani pemidanaan dalam
suatu lembaga pemasyarakatan dan kemudian mengulangi kembali tindak pidana.
Berdasarkan data yang penulis peroleh dari berbagai sumber informasi
ternyata, masih banyak residivis yang melakukan pengulangan tindak pidana
setelah keluar dari dari lembaga pemasyarakatan khususnya di Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta. Adapun data-data narapidana residivis yang melakukan
pengulangan tindak pidana adalah sebagai berikut:
Operasi Sikat Lindas Bandar (Silindar) yang digelar dalam setahun
terakhir, terdapat 117 pengedar dan pengguna narkotika dan obat terlarang
(narkoba) ditangkap petugas Polresta Surakarta. Ratusan tersangka yang berasal
dari berbagai kelompok sindikat maupun perseorangan yang diringkus polisi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Termasuk di dalamnya seorang mantan narapidana residivis. (Suara Merdeka,
tanggal 13 Maret 2011 dikutip dalam http://suaramerdeka.com/v1/indeks
Php/read/news).
Fakta lainnya dalam sebuah media massa yang menyebutkan ditemukan
seorang residivis di Solo, Jawa Tengah, kembali berurusan dengan polisi karena
mencuri beberapa handphone tempat counter di kawasan Sumber, Banjarsari pada
hari Selasa (10/2/2011). Tersangka bernama, Agus Waluyo sebenarnya baru saja
keluar dari penjara satu bulan lalu karena mencuri. (Antara News, tanggal 10
Maret 2011 dikutip dalam http://antaranews.hileud.com/ hileudnews
/title=residivis kembali berurusan dengan polisi &id =226380).
Fakta selanjutnya menyebutkan seorang residivis kembali diciduk aparat
Satuan Reskrim Polres Karanganyar, Jawa Tengah, karena memiliki 0,2 gram
shabu. Tersangka bernama Sardi Haryanto alias Penguk, ditangkap di rumahnya
di Dusun Jumog, Desa Jaten, Karanganyar. Sebelumnya, Sardi pernah mendekam
di Rumah Tahanan Klas 1 Surakarta karena kasus narkoba pada tahun 2005.
(Harian Joglo Semar, tanggal 12 April 2010 dikutip dalam
http://harian.joglosemar.com).
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, dapat diketahui bahwa banyak
kejahatan yang dilakukan residivis. Hal ini menunjukkan bahwa, para pelaku
tindak pidana yang dikategorikan residivis belum jera setelah mereka menjalani
pidana di lembaga pemasyarakatan. Kenyataan ini kemudian mengantarkan kita
pada sebuah pertanyaan bahwa, bagaimana sebenarnya pelaksanaan pembinaan
yang diberikan lembaga pemasyarakatan terhadap narapidana residivis selama ini.
Sampai dimanakah efek positif yang di dapat dari proses pembinaan yang pernah
diberikan petugas pemasyarakatan kepada pelaku kejahatan khususnya narapidana
residivis. Tindak kejahatan yang dilakukan berulang-ulang oleh residivis mungkin
ada yang salah dalam mekanisme pembinaan sehingga tujuan dari pemidanaan
dalam upaya mencegah narapidana residivis untuk tidak mengulangi tindak pidana
kembali belum tercapai. Pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh residivis
menunjukkan bahwa residivis mengalami masalah moral. Dikatakan demikian
sebab, mereka masih tetap melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
hukum. Oleh sebab itu, perlu mengetahui bagaimana moral residivis selama ini.
Apa yang menyebabkan residivis melakukan tindakan tidak bermoral yaitu
pengulangan tindak pidana.
Kondisi inilah yang menjadi tantangan besar bagi khususnya Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta untuk melaksanakan pembinaan moral bagi
narapidana residivis dalam upaya membentuk perilaku moral yang baik sehingga
pada akhirnya setelah ia keluar dari Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
mampu menjadi manusia normal yang mengemban tugasnya sebagai warga
negara yang baik dalam memajukan pembangunan nasional. Pembinaan terhadap
narapidana residivis diharapkan menjadi perhatian khusus oleh pembina
pemasyarakatan. Pembina pemasyarakatan diharapkan memiliki metode
pembinaan yang tepat bagi narapidana kambuhan seperti residivis.
Narapidana residivis sebagai warga negara yang hilang kemerdekaannya
di lembaga pemasyarakatan merupakan insan dan sumber daya manusia yang
masih memiliki potensi untuk dikembangkan dalam kemajuan pembangunan
negara. Dalam pasal 31 UUD 1945 ayat (1) berbunyi bahwa etiap warga negara
,
setiap warga negara berhak mendapat pendidikan tidak terkecuali bagi narapidana
residivis. Dengan harapan setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan, ia dapat
melaksanakan perannya sebagai warga negara yang baik (good citizen) untuk
berpartisipasi dalam pembangunan negara. Untuk menjadi warga negara yang
baik, memerlukan sejumlah kompetensi kewarganegaraan yang meliputi
pengetahuan kewarganegaraan, keterampilan kewarganegaraan, dan nilai warga
negara (civic knownladge, civic skills, dan civic value). Bagi narapidana,
penguasaan mengenai kompetensi kewarganegaraan dapat diperoleh melalui
pembinaan yang diberikan lembaga pemasyarakatan.
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta sebagai lembaga
pemasyarakatan melaksanakan pembinaan moral berdasarkan pemasyarakatan.
Tujuan pembinaan diarahkan agar narapidana dapat memperbaiki diri, dan tidak
mengulangi kembali perbuatan tindak pidana, serta mampu berintegrasi dengan
masyarakat. Pelaksanaan pembinaan moral diberikan dengan berbagai program
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
pembinaan. Salah satu program pembinaan yang diselenggarakan di Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah pembinaan kesadaran agama islam. Pada
awal tahun 2009 Rutan mendirikan pondok pesantren dalam Rutan sebagai bentuk
kegiatan pembinaan kesadaran agama islam.
Menurut keterangan Kepala Seksi Pelayanan Tahanan Rumah Tahanan Negara Klas I Surakarta, Bapak Agustiyar Ekantoro di Solo menjelaskan bahwa, pondok pesantren yang didirikan di dalam Rutan Klas 1 Surakarta merupakan yang pertama di Indonesia. Pendirian pesantren tersebut, merupakan proyek percontohan Departemen Hukum dan HAM dalam pembinaan narapidana. Program dari pesantren diharapkan dapat sinergi dengan proram rehabilitasi yang dimiliki Rutan. Sementara itu, pendiri Yayasan Wisata Hati, Ustad Mansur mengatakan bahwa pendirian pesantren di dalam Rutan ini, merupakan keinginan dari para narapidana yang menjadi warga binaan Rutan Klas I Surakarta. Respon untuk mendirikan pesantren tersebut oleh pihak Rutan dan Departemen Hukum dan HAM sangat berguna sekali dalam membantu narapidana agar lebih bisa diterima kembali oleh masyarakat ketika masa pidana narapidana telah berakhir. (Antara News, tanggal 13 Oktober 2009 halaman 7).
Pembinaan yang diberikan kepada narapidana bertujuan membentuk
mental narapidana agar memiliki moral yang baik diharapkan dapat membentuk
watak dan mampu menyerap nilai-nilai positif dari program-program pembinaan
yang telah diberikan. Watak yang dimaksud disini merupakan kualitas individu
dalam mengaktualisasikan potensinya berupa sikap atau perilaku sesuai tuntutan
hidup atas dasar nilai, norma, dan moral yang menjadi komitmennya. Menurut W.
L Dewarant dalam Miqdad Yaljan (2004: 76) menyampaikan bahwa -
faktor yang dapat membangun dan menjaga peradaban adalah akhlak. Andaikata
faktor-faktor ini hilang dapat dipastikan bahwa dasar-dasar peradaban atau negara
tersebut mengandung arti bahwa, untuk dapat membangun suatu
peradaban dalam hal ini negara maka, harus dimulai dari akhlak atau moral yang
baik yang dimulai dari setiap warga negara atau masyarakat.
Bertitik tolak dari uraian di atas maka, penulis merasa tertarik untuk
mengambil skripsi dengan judul Moral Narapidana Residivis
dalam Membentuk Good Citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dan untuk mempermudah pembahasan
dalam penelitian sehingga sasaran yang hendak dicapai jelas dan tegas maka,
penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta terkait pengulangan tindak pidana yang dilakukan?
2. Bagaimana pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam
membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ?
3. Faktor apa sajakah yang menjadi pendorong dan penghambat pelaksanaan
pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara
Klas 1 Surakarta terkait pembentukan good citizen?
C. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian tentunya mempunyai tujuan yang telah ditetapkan. Tanpa
tujuan maka, penelitian yang dilakukan tidak akan memberikan manfaat. Adapun
tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara
Klas 1 Surakarta terkait pengulangan tindak pidana yang dilakukan.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis
dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
3. Untuk mengetahui faktor yang menjadi pendorong dan penghambat
pelaksanaan pembinaan moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara
Klas 1 Surakarta terkait pembentukan good citizen.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan
pembaca pada umumnya baik secara teoritis maupun secara praktis, antara lain
sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan wawasan dan masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan
khususnya bidang studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)
dalam mengimplementasikan mata kuliah yang berhubungan dengan
pendidikan budi pekerti seperti mata kuliah Dasar dan Konsep Pendidikan
Moral (DKPM) dan Hukum Pidana.
b. Sebagai bahan masukan dan referensi bagi penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan masukan yang bermanfaat bagi pihak Rumah Tahanan Negara
Klas 1 Surakarta terkait dengan pembinaan moral terhadap narapidana residivis
untuk memperbaiki akhlak atau moral sehingga tidak mengulangi tindak
pidana kembali dan mampu berbaur dengan masyarakat.
b. Dengan penelitian ini, diharapkan akan lebih meningkatkan dan
menyempurnakan pembinaan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta kepada
narapidana residivis agar lebih efektif. Sehingga arah pembentukan good
citizen dapat terwujud yaitu narapidana residivis mampu mengembangkan
kompetensi kewarganegaraan yang berguna dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
c. Memotivasi para residivis agar lebih percaya diri untuk berintegrasi dengan
masyarakat setelah keluar dari Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
a. Tahap-Tahap Perkembangan Moral
Menurut L. Kohlberg dalam K. Bertens (2007: 80-84) mengemukakan
enam tahap perkembangan moral yang dikaitkan satu sama lain dalam tiga
tingkat (levels) berturut-
Keenam tahap perkembangan moral dapat dijelaskan sebagai berikut:
1). Tingkat prakonvensional
Pada tingkat ini, seseorang mengakui adanya aturan-aturan yang baik dan
buruk. Penilaian tentang baik buruknya perbuatan hanya ditentukan oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
faktor-faktor dari luar. Pada tingkat prakonvensional ini dapat dibedakan
dua tahap yaitu:
a) The punishment and obidience orientation (orientasi hukuman dan
kepatuhan) yaitu patuh karena tata hukuman. Seorang anak mendasarkan
perbuatannya atas otoritas konkret (orang tua atau guru) dan atas
hukuman yang akan menyusul bila ia tidak patuh.
b) The instrumental relatives orientation yaitu patuh sekedar memuaskan
orang lain. Perbuatan adalah baik, jika instrumen atau alat dapat
memenuhi kebutuhan sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang
lain.
2). Tingkat konvensional
Penelitian Kohlberg menunjukkan bahwa, biasanya anak mulai beralih ke
tingkat ini antara umur sepuluh dan tiga belas tahun. Di sini perbuatan-
perbuatan mulai dinilai atas dasar norma-norma umum, kewajiban, dan
otoritas yang dijunjung tinggi. Dalam tingkat ini, anak mampu
mengidentifikasikan diri dengan kelompok sosialnya beserta norma-
normanya. Tingkat ke dua ini juga mencakup dua tahap:
a) Interpersonal concordance good boy-nice girl orientation
(penyesuaian dengan kelompok dan orientasi menjadi anak manis).
Dalam tahap ini, anak cenderung mengarahkan diri pada keinginan serta
harapan dari para anggota keluarga atau kelompok lain (sekolah di sini
tentu penting). Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan
dan membantu orang lain serta disetujui oleh mereka. Anak mengambil
sikap: saya adalah anak manis (good boy-nice girl) sebagaimana
diharapkan oleh orang tua, guru dan sebagainya ia ingin bertingkah laku
secara wajar artinya, menurut norma-norma yang berlaku. Jika ia
melanggar norma-norma kelompoknya, ia merasa malu dan bersalah.
b) Law and order orientation (orientasi hukum dan ketertiban).
Dalam tahap ini anak mampu menyesuaikan diri dengan otoritas
kelompok. Perilaku yang baik adalah melakukan kewajibannya,
menghormati otoritas dan mempertahankan ketertiban sosial yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
berlaku demi ketertiban itu sendiri. Orang yang melakukan aturan-aturan
tradisional atau menyimpang dari ketertiban sosial jelas bersalah.
3). Tingkat pascakonvensional
(principled level). Pada tingkat ketiga ini, hidup moral dipandang sebagai
penerimaan tanggung jawab pribadi atas dasar prinsip-prinsip yang dianut
dalam batin. Norma-norma yang ditentukan dalam masyarakat tidak dengan
sendirinya berlaku, tetapi harus dinilai atas dasar prinsip-prinsip dari
kebebasan pribadi. Tingkat ketiga ini mempunyai dua tahap yaitu:
a) Social contract legalistik orientation (orientasi kontrak-sosial legalistis).
Di sini disadari relativisme nilai-nilai, pendapat-pendapat pribadi, dan
kebutuhan akan usaha-usaha untuk mencapai konsensus. Disamping apa
yang disetujui secara demokratis, baik buruknya tergantung pada nilai-
nilai, dan pendapat pribadi. Segi hukum ditekankan tetapi diperhatikan
secara khusus kemungkinan untuk mengubah hukum, asal hal itu terjadi
demi kegunaan sosial.
b) Universal ethical principle orientation (orientasi prinsip etika yang
universal). Dalam tahap ini, orang mengatur tingkah laku dan penilaian
moralnya berdasarkan hati nurani pribadi. Yang mencolok adalah bahwa
prinsip-prinsip etis dan hati nurani berlaku secara universal. Pada
dasarnya prinsip-prinsip ini menyangkut keadilan, kesediaan membantu
satu sama lain, persamaan hak manusia, dan hormat untuk martabat
manusia. Orang yang melanggar prinsip-prinsip hati nurani ini akan
mengalami penyesalan yang mendalam (remorse). Ia mengutuk dirinya,
karena tidak mengikuti keyakinan moralnya sendiri. Menurut Kohlberg,
penelitiannya telah menunjukkan bahwa hanya sedikit orang yang
mencapai tahap keenam ini.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, dari ketiga
tingkatan tersebut terdapat enam tahap perkembangan moral dengan berbagai
motif. Dengan adanya perkembangan moral, seseorang akan memiliki
pemahaman moral sehingga dalam perilaku mereka selalu memperhatikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
aturan-aturan yang ada. Namun, apabila perkembangan moral seseorang tidak
mencapai pada tingkat sesudah konvensional maka, akan mengakibatkan
seseorang menjadi salah bertindak. Pada tingkat ini, seseorang berusaha
mendapatkan perumusan mengenai nilai-nilai moral dan berusaha merumuskan
prinsip-prinsip yang sah (valid) dan yang dapat diterapkan baik yang berasal
dari individu atau kelompok. Dalam tingkat ini, seseorang akan mengetahui
benar-salahnya tindakan yang ia lakukan. Karena hal tersebut ditentukan oleh
keputusan suara hati nurani manusia sebagai individu. Pada intinya keputusan
tersebut berkaitan dengan prinsip keadilan, kesamaan hak asasi, dan hormat
pada harkat (nilai) manusia sebagai pribadi. Berdasarkan permasalahan yang
peneliti teliti yaitu berkaitan dengan harkat dan martabat manusia sebagai
pribadi yang bermoral.
Melihat perkembangan moral manusia di atas, maka tentu akan ada
sebuah proses yang tidak lepas dari perkembangan moral itu sendiri. Proses
yang dimaksud adalah dengan pembinaan moral. Pembinaan moral sangat
penting diberikan kepada narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas
1 Surakarta agar mereka menghargai dirinya sendiri sebagai manusia yang
bermoral. Dengan adanya pembinaan moral yang efektif, akan membawa
perubahan sikap yang positif bagi peserta didiknya (narapidana residivis
sebagai warga binaan). Sebaliknya, dengan pembinaan moral yang dinilai
kurang efektif akan membawa perubahan yang negatif bagi peserta didik yang
bahkan dapat melakukan penyimpangan-penyimpangan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
BAB II
LANDASAN TEORI
A.Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan tentang Moral
b. Pengertian Moral
Menurut Bambang Daroeso (1988: 22) menjelaskan pengertian moral
adalah sebagai berikut:
mos moresyang berarti adat istiadat, kebiasaan, atau tingkah laku. Dalam bahasa Yunani moral dikenal dengan kata ethos
yang selanjutnya dikenal dengan budi pekerti. Dalam bahasa Indonesia kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku baku dalam hidup.
Menurut Magnis Suseno dalam Asri Budiningsih (2008: 24) disebutkan
bahwa
manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari
Dalam jurnal ilmu pendidikan oleh Masganti Sit (2010: 3) dinyatakan
bahwa:
Kata moral selalu dipandang memiliki makna yang tumpang tindih dengan kata akhlak, etika, budi pekerti dan nilai. Namun, pada hakekatnya ada beberapa perbedaan diantara kelima istilah ini. Akhlak menekankan perbuatan baik yang dilakukan dalam berhubungan dengan Allah, manusia, dan alam untuk mencari keridhoan Allah. Etika adalah bagian dari filsafat yang membicarakan perbuatan baik dan buruk. Budi pekerti adalah kumpulan tata krama yang dipandang baik dalam budaya tertentu. Nilai merupakan rujukan dalam menentukan keputusan dalam melakukan suatu perbuatan. Sedangkan moral adalah perbuatan baik yang mensejahterakan kehidupan manusia. Persamaan kelima istilah ini terletak pada inti pembicaraannya tentang perbuatan terpuji yang seharusnya dilakukan manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
Menurut Kaelan (2004: 93) dinyatakan bahwa
ajaran-ajaran ataupun wejangan-wejangan, patokan-patokan, kumpulan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
peraturan, baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup
Definisi lain menurut Poerwodarminta dalam Hamid Darmadi (2009:
50) mengatakan bahwa,
Dalam jurnal ilmu pendidikan oleh Halim yang mengutip para pakar
ilmu-ilmu sosial dalam Sabar Budi Raharjo (2010: 233) dinyatakan bahwa
akhlak atau moral mempunyai empat makna yaitu:
1) Moral adalah sekumpulan kaidah perilaku yang diterima dalam satu zaman atau sekelompok orang.
2) Moral adalah sekumpulan kaidah perilaku yang dianggap baik berdasarkan kelayakan bukan berdasarkan syarat.
3) Moral adalah teori akal tentang kebaikan dan keburukan menurut filsafat.
4) Tujuan-tujuan kehidupan yang mempunyai warna humanisme yang kental, yang tercipta dengan adanya hubungan-hubungan sosial.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, moral adalah
kumpulan peraturan tentang bagaimana manusia harus bertingkah laku yang
baik dalam hidup atau dengan kata lain perilaku dan perbuatan manusia yang
dianggap baik dan buruk. Moral pada dasarnya tumbuh dan berkembang dalam
pergaulan dengan sesama manusia dan masyarakat, akhirnya terbentuklah
moral dengan melalui tahap-tahap perkembangan.
c. Tahap-Tahap Perkembangan Moral
Menurut L. Kohlberg dalam K. Bertens (2007: 80-84) mengemukakan
enam tahap perkembangan moral yang dikaitkan satu sama lain dalam tiga
tingkat (levels) berturut-
Keenam tahap perkembangan moral dapat dijelaskan sebagai berikut:
1). Tingkat prakonvensional
Pada tingkat ini, seseorang mengakui adanya aturan-aturan yang baik dan
buruk. Penilaian tentang baik buruknya perbuatan hanya ditentukan oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
faktor-faktor dari luar. Pada tingkat prakonvensional ini dapat dibedakan
dua tahap yaitu:
c) The punishment and obidience orientation (orientasi hukuman dan
kepatuhan) yaitu patuh karena tata hukuman. Seorang anak mendasarkan
perbuatannya atas otoritas konkret (orang tua atau guru) dan atas
hukuman yang akan menyusul bila ia tidak patuh.
d) The instrumental relatives orientation yaitu patuh sekedar memuaskan
orang lain. Perbuatan adalah baik, jika instrumen atau alat dapat
memenuhi kebutuhan sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang
lain.
2). Tingkat konvensional
Penelitian Kohlberg menunjukkan bahwa, biasanya anak mulai beralih ke
tingkat ini antara umur sepuluh dan tiga belas tahun. Di sini perbuatan-
perbuatan mulai dinilai atas dasar norma-norma umum, kewajiban, dan
otoritas yang dijunjung tinggi. Dalam tingkat ini, anak mampu
mengidentifikasikan diri dengan kelompok sosialnya beserta norma-
normanya. Tingkat ke dua ini juga mencakup dua tahap:
c) Interpersonal concordance good boy-nice girl orientation
(penyesuaian dengan kelompok dan orientasi menjadi anak manis).
Dalam tahap ini, anak cenderung mengarahkan diri pada keinginan serta
harapan dari para anggota keluarga atau kelompok lain (sekolah di sini
tentu penting). Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan
dan membantu orang lain serta disetujui oleh mereka. Anak mengambil
sikap: saya adalah anak manis (good boy-nice girl) sebagaimana
diharapkan oleh orang tua, guru dan sebagainya ia ingin bertingkah laku
secara wajar artinya, menurut norma-norma yang berlaku. Jika ia
melanggar norma-norma kelompoknya, ia merasa malu dan bersalah.
d) Law and order orientation (orientasi hukum dan ketertiban).
Dalam tahap ini anak mampu menyesuaikan diri dengan otoritas
kelompok. Perilaku yang baik adalah melakukan kewajibannya,
menghormati otoritas dan mempertahankan ketertiban sosial yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
berlaku demi ketertiban itu sendiri. Orang yang melakukan aturan-aturan
tradisional atau menyimpang dari ketertiban sosial jelas bersalah.
3). Tingkat pascakonvensional
(principled level). Pada tingkat ketiga ini, hidup moral dipandang sebagai
penerimaan tanggung jawab pribadi atas dasar prinsip-prinsip yang dianut
dalam batin. Norma-norma yang ditentukan dalam masyarakat tidak dengan
sendirinya berlaku, tetapi harus dinilai atas dasar prinsip-prinsip dari
kebebasan pribadi. Tingkat ketiga ini mempunyai dua tahap yaitu:
c) Social contract legalistik orientation (orientasi kontrak-sosial legalistis).
Di sini disadari relativisme nilai-nilai, pendapat-pendapat pribadi, dan
kebutuhan akan usaha-usaha untuk mencapai konsensus. Disamping apa
yang disetujui secara demokratis, baik buruknya tergantung pada nilai-
nilai, dan pendapat pribadi. Segi hukum ditekankan tetapi diperhatikan
secara khusus kemungkinan untuk mengubah hukum, asal hal itu terjadi
demi kegunaan sosial.
d) Universal ethical principle orientation (orientasi prinsip etika yang
universal). Dalam tahap ini, orang mengatur tingkah laku dan penilaian
moralnya berdasarkan hati nurani pribadi. Yang mencolok adalah bahwa
prinsip-prinsip etis dan hati nurani berlaku secara universal. Pada
dasarnya prinsip-prinsip ini menyangkut keadilan, kesediaan membantu
satu sama lain, persamaan hak manusia, dan hormat untuk martabat
manusia. Orang yang melanggar prinsip-prinsip hati nurani ini akan
mengalami penyesalan yang mendalam (remorse). Ia mengutuk dirinya,
karena tidak mengikuti keyakinan moralnya sendiri. Menurut Kohlberg,
penelitiannya telah menunjukkan bahwa hanya sedikit orang yang
mencapai tahap keenam ini.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, dari ketiga
tingkatan tersebut terdapat enam tahap perkembangan moral dengan berbagai
motif. Dengan adanya perkembangan moral, seseorang akan memiliki
pemahaman moral sehingga dalam perilaku mereka selalu memperhatikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
aturan-aturan yang ada. Namun, apabila perkembangan moral seseorang tidak
mencapai pada tingkat sesudah konvensional maka, akan mengakibatkan
seseorang menjadi salah bertindak. Pada tingkat ini, seseorang berusaha
mendapatkan perumusan mengenai nilai-nilai moral dan berusaha merumuskan
prinsip-prinsip yang sah (valid) dan yang dapat diterapkan baik yang berasal
dari individu atau kelompok. Dalam tingkat ini, seseorang akan mengetahui
benar-salahnya tindakan yang ia lakukan. Karena hal tersebut ditentukan oleh
keputusan suara hati nurani manusia sebagai individu. Pada intinya keputusan
tersebut berkaitan dengan prinsip keadilan, kesamaan hak asasi, dan hormat
pada harkat (nilai) manusia sebagai pribadi. Berdasarkan permasalahan yang
peneliti teliti yaitu berkaitan dengan harkat dan martabat manusia sebagai
pribadi yang bermoral.
Melihat perkembangan moral manusia di atas, maka tentu akan ada
sebuah proses yang tidak lepas dari perkembangan moral itu sendiri. Proses
yang dimaksud adalah dengan pembinaan moral. Pembinaan moral sangat
penting diberikan kepada narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas
1 Surakarta agar mereka menghargai dirinya sendiri sebagai manusia yang
bermoral. Dengan adanya pembinaan moral yang efektif, akan membawa
perubahan sikap yang positif bagi peserta didiknya (narapidana residivis
sebagai warga binaan). Sebaliknya, dengan pembinaan moral yang dinilai
kurang efektif akan membawa perubahan yang negatif bagi peserta didik yang
bahkan dapat melakukan penyimpangan-penyimpangan.
d. Pribadi yang bermoral
Ronal Durka menyebutkan tentang ciri-ciri orang yang matang secara
moral (morally nature person) adalah sebagai berikut:
1) Mampu memperbaiki situasi moral dan memposisikan diri atas perbuatan
yang telah disepakati sehingga mereka akan bertindak sesuai dengan norma
dalam masyarakat.
2) Mengetahui perbuatan mana yang baik dan buruk sehingga seseorang
mampu memberikan keputusan moral.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
3) Memiliki karakter baik atas perbuatan yang dilakukan untuk mencapai
kesepakatan bersama.
4) Mengetahui perbuatan yang paling baik tentang apa yang akan atau
seharusnya dilakukan.
5) Kemampuan untuk mengolah sebab-sebab moral (Hamid Darmadi, 2009:
30-31).
Kesimpulan dari uraian di atas adalah bahwa seseorang yang matang
secara moral adalah orang yang bertindak sesuai dengan aturan yang ada.
Dalam hal ini, berarti orang tersebut sudah menjadi pribadi yang terdidik
secara moral.
Menurut Cheppy Haricahyono (1988: 110-111) disebutkan bahwa,
Pribadi yang terdidik secara moral adalah seseorang yang belajar (di sekolah
atau dimanapun juga) untuk hidup dalam satu cara yang merefleksikan kesan
dan praktik kewajiban untuk mengembangkan norma-norma dan cita-cita
Higgins dan Gilingan dalam Hamid Darmadi (2009: 31) dikemukakan
bahwa:
Ciri orang bermoral ialah selalu merasakan adanya moral basesand (tuntutan dan keharusan moral) untuk selalu bertanggung jawab terhadap atau akan adanya yaitu 1) Needs and welfare of the individual and others, 2) The involpment and implication of the self and consequences of outher, 3) Intrinsik value of sosial relationships.
Jadi, inti dari kutipan di atas bahwa, ciri orang yang bermoral adalah
orang yang selalu bertanggung jawab terhadap kebutuhan dan kesejahteraan
individu dan masyarakat, bertanggung jawab terhadap perkembangan, dan
implikasi diri dan konsekuensi dari masyarakat, serta bertanggung jawab
terhadap nilai intrinsik dari hubungan sosial. Nilai intrinsik yang dimaksud
disini adalah nilai dari suatu nilai moral dan norma dan kehidupan secara
umum. Orang dikatakan bermoral apabila orang tersebut tidak melanggar nilai-
nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat.
e. Nilai Moral
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Hamid Darmadi (2009: 27-28) berpendapat bahwa,
sesuatu yang berharga baik menurut standar logika (benar-salah), estetika
(baik-buruk), etika (adil atau tidak adil), agama (dosa dan haram-halal) dan
value am bidang kajian filsafat. Istilah nilai dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda
worth goodnessdan kata kerja yang artinya suatu kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian. (Fransena dalam Hamid Darmadi, 2009: 67).
Menurut Winarno (2006: 5) menyatakan bahwa,
Dalam dictionary of sosiology and related sciences dikemukakan
Jadi, nilai itu pada hakekatnya sifat atau kualitas yang melekat pada
suatu objek, bukan objek itu sendiri.
yang mengandung nilai artinya ada sifat atau kualitas yang
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan
bahwa, nilai adalah suatu kualitas yang melekat pada suatu hal yang
bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Setelah mengetahui pengertian nilai, selanjutnya dikemukakan
mengenai pengertian moral. Hamid Darmadi (2009: 50) mengatakan bahwa,
Sedangkan Sjarkawi (2006: 29) menyatak
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa nilai moral adalah suatu
nilai yang dijunjung tinggi dalam masyarakat dan memberikan penilaian
terhadap tingkah laku manusia. Tidak semua nilai adalah nilai moral, tetapi
nilai moral berkaitan dengan perilaku manusia tentang hal yang baik dan
buruk. Sehingga terdapat ciri-ciri terkait dengan nilai moral.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Menurut K. Bertens (2007: 143-147) mengemukakan bahwa, -ciri
nilai moral yaitu berkaitan dengan tanggung jawab kita, hati nurani,
Ciri-ciri moral tersebut, dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1) Berkaitan dengan tanggung jawab kita.
Nilai moral ini berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggung jawab.
Dengan nilai-nilai moral mengakibatkan bahwa seseorang dianggap bersalah
atau tidak bersalah, karena ia bertanggung jawab.
2) Berkaitan dengan hati nurani.
Salah satu ciri khas nilai moral berkaitan dengan hati nurani. Nilai ini
menimbulkan suara dari hati nurani yang menuduh kita bila meremehkan
atau menentang nilai-nilai moral dan memuji kita bila mewujudkan nilai-
nilai moral.
3) Mewajibkan.
Nilai moral mewajibkan kita secara absolut dan tidak bisa ditawar-tawar.
Sehingga, nilai moral ini harus diakui dan harus direalisasikan. Tidak bisa
diterima bila seseorang acuh tak acuh terhadap nilai-nilai ini.
4) Bersifat formal.
Nilai moral bersifat formal artinya bahwa kita merealisasikan nilai-nilai
moral tersebut dengan mengikutsertakan nilai-nilai lain dalam suatu tingkah
laku moral.
Jadi, dari berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang
menjadi ciri khas dalam menandai nilai moral adalah tindakan manusia yang
dilakukan secara sengaja, secara mau, dan mengetahui bahwa tindakan itu
secara langsung berkenaan dengan nilai pribadi manusia (person) dan
masyarakat. Dengan demikian, perlu ditanamkan nilai moral supaya manusia
mempunyai moral yang baik. Nilai moral mengacu pada perilaku manusia yang
diwujudkan dalam bentuk tindakan baik disengaja maupun tidak. Tindakan
tersebut berkaitan dengan manusia sebagai pribadi maupun manusia dalam
masyarakat. Sehingga, nilai moral ini perlu ditanamkan agar manusia menjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
pribadi yang bermoral yang tidak hanya mengetahui benar atau salah namun,
mampu bertindak secara moral.
Menurut Lickona di dalam bukunya yang berjudul educating for
character yang dikutip oleh Asri Budiningsih (2008: 6) mengatakan
pentingnya menekankan tiga unsur dalam menanamkan nilai moral yaitu,
Pengertian atau pemahaman moral (moral knowing), perasaan moral (moral
feeling), dan tindakan moral (moral action
Berikut ini penjelasan mengenai pengetahuan moral, perasaan moral
dan tindakan moral.
1) Pengertian atau pemahaman moral
Pengertian atau pemahaman moral adalah kesadaran rasionalitas moral atau
alasan mengapa seseorang harus melakukan hal itu atau suatu pengambilan
keputusan berdasarkan nilai-nilai moral. Pengetahuan atau pemahaman
moral ini merujuk kepada aspek kognitif tentang moraliti (akhlak) yang
melibatkan pemahaman tentang apa yang betul dan baik. Penalaran moral
sebagai unsur pengetahuan moral (moral knowing) artinya penalaran moral
pada intinya bersifat rasional. Suatu keputusan moral bukanlah soal
perasaan, melainkan selalu mengandung tafsiran kognitif yang aktif dengan
memperhatikan tuntutan, hak, kewajiban, dan keterlibatan individu, atau
kelompok terhadap hal-hal yang lain.
2) Perasaan moral
Perasaan moral adalah perasaan yang lebih pada kesadaran akan hal-hal
yang baik dan tidak baik dengan perasaan empati terhadap orang lain
merupakan ekspresi dari perasaan moral. Menurut Hoffman (1984)
mengatakan bahwa, tingkat empati muncul ketika seseorang sanggup
memahami kesulitan-kesulitan yang ada dalam lingkungannya dan
menyadari bahwa situasi atau status seseorang dalam kehidupannya menjadi
sumber beban stres dan merasakan kesengsaraan orang lain. Seseorang dapat
dikatakan memiliki perasaan moral yang baik apabila ia memiliki
kemampuan untuk memahami perasaan orang lain sehingga mampu
mengkomunikasikan perasaan disebut underlying feelings.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
3) Tindakan moral
Tindakan moral adalah kemampuan untuk melakukan keputusan-keputusan
moral ke dalam perilaku nyata.
Menurut Thomas Lickona dalam Winarno (2009: 13) dinyatakan
bahwa,
baik (knowing the good), menginginkan hal yang baik (describing the good)
dan melakukan hal yang baik (doing the good
Terkait dengan hal tersebut, Asri Budiningsih (2008: 71) mengatakan
bahwa:
Tingkat empati seseorang akan berpengaruh terhadap tindakan-tindakan
moralnya. Moral selain dapat didekati dari segi kognitif (penalaran moral) juga
dapat dapat didekati dari segi afektif (perasaan moral). Secara terintegrasi
aspek-aspek tersebut akan mendorong terjadinya tindakan moral
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penanaman nilai
moral diperlukan untuk membentuk manusia yang berkarakter yaitu individu
yang mengetahui tentang kebaikan (knowing the good), menginginkan dan
mencintai kebaikan (desiring and loving the good), dan melakukan kebaikan
(acting the good). Dalam penelitian ini, peneliti menekankan pada unsur
pengetahuan moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling), dan
tindakan moral (moral action). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa untuk
mengetahui moral seseorang, apabila sudah memiliki pemahaman tentang
moral, dan seseorang akan mempunyai rasa cinta terhadap perbuatan yang baik
ketika mereka memiliki perasaan moral, sehingga setelah seseorang memiliki
pengetahuan dan perasaan moral maka ia akan mampu melakukan keputusan
dan perasaan moralnya kedalam perilaku nyata yang berupa tindakan moral.
Tindakan moral diartikan sebagai tindakan manusia yang muncul melalui
pertimbangan rasional yang mandiri, sehingga selalu dilakukan secara sadar,
bebas, bukan paksaan. Dengan demikian, ia pasti bertanggung jawab atas apa
yang telah ia pilih dan menetapkannya sebagai sesuatu yang pasti dilakukan
dan menjadikannya sebagai bagian yang tidak dapat dilepaskan dari dirinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Sesuai dengan rumusan masalah yang terkait dengan moral narapidana
residivis berarti bahwa, seberapa jauh tingkat kematangan pemahaman moral
dan perasaan moral serta tindakan moral yang dimilikinya. Pengetahuan moral
narapidana residivis yang terkait dengan pengulangan tindak pidana yang
dilakukan dapat diketahui melalui pemahaman mereka terhadap konsep tindak
pidana yang telah dilakukannya. Seberapa jauh narapidana residivis
mengetahui bahwa tindakan yang dilakukan melanggar norma-norma
masyarakat khususnya norma hukum. Kemudian, perasaan moral dapat
diketahui melalui tingkat kesadaran moral narapidana atas perbuatan yang
dilakukan serta kepekaan mereka terhadap kesulitan yang dialami orang lain
dalam hal ini korban. Winarno (2006: 9) berpendapat bahwa,
adalah kesadaran dalam diri manusia bahwa perbuatannya didasarkan atas rasa
mengenai tindakan tidak bermoral narapidana residivis yang terkait dengan
pengulangan tindak pidana. Untuk menilai tindakan narapidana residivis yang
terkait dengan pengulangan tindak pidana, peneliti akan menjabarkan teori
tentang penilaian tindakan moral. Dengan demikian, akan diketahui bagaimana
sebenarnya tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana residivis jika ditinjau
dari segi moral
f. Teori tentang Penilaian Tindakan Moral
Dalam Cheppy Haricahyono (1995: 107) menyebutkan teori moral
Pentingnya pertimbangan moral sebagai alat
penilaian atau evaluasi moral terhadap dimensi kepribadian sekaligus tindakan-
tindakan seseorang. Pertimbangan moral tersebut menunjuk pada tindakan
yang merupakan kewajiban moral, larangan moral, dan tindakan non trival
Penjelasan mengenai kewajiban moral, larangan moral, dan tindakan
non trival adalah sebagai berikut:
1) Tindakan sebagai kewajiban moral adalah tindakan yang benar kalau
diwujudkan dan salah kalau tidak diwujudkan.
2) Tindakan sebagai larangan moral adalah tindakan-tindakan yang salah kalau
diwujudkan dan benar kalau tidak diwujudkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
3) Tindakan sebagai non trival adalah tindakan-tindakan yang mempunyai
konsekuensi penting. Artinya tindakan tindakan-tindakan yang ada dibalik
apa yang secara moral memang dituntut, meskipun mengandung resiko dan
pengorbanan moral.
Menurut Elisa (2011: 2) yang dimuat dalam
http://www.scribd.com/doc 58523585/teorijeremy-bentham menyebutkan
mengenai teori tindakan moral menurut Jeremy Bentham adalah sebagai
berikut:
1) Teori egois etis Tindakan dari setiap orang pada dasarnya adalah untuk mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Egois dianggap bermoral karena kebahagiaan dan kepentingan pribadi dalam bentuk hidup, hak dan keamanan. Secara moral dianggap baik dan untuk dilakukan.
2) Teori utilitarianisme Tindakan adalah baik dan tepat secara moral jika tindakan tersebut mendatangkan manfaat atau keuntungan bagi masyarakat. Tindakan yang mempunyai manfaat terbesar adalah tindakan yang baik.
Teori di atas digunakan peneliti dalam menilai tindakan narapidana
residivis terkait dengan pengulangan tindak pidana. Sebelum dilakukan
penilaian moral, peneliti perlu menyelidiki tindakan narapidana residivis
dengan beberapa pendekatan etika.
Menurut K. Bertens (2007: 4-
etika merupakan ilmu yang menyelidiki tingkah laku manusia moral tetapi ada
cara untuk mempelajari moralitas atau pendekatan ilmiah tentang tingkah laku
moral.
Menurut K. Bertens (2007: 15) menyebutkan tiga pendekatan tentang
etika yaitu Etika deskriptif, etika normatif, dan etika metaetika. Dimana ketiga
pendekatan tersebut sebagai dasar untuk mempelajari moralitas seseorang
Penjelasan mengenai ketiga pendekatan tentang etika adalah sebagai
berikut:
1) Etika deskriptif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Etika deskriptif melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas misalnya
adat kebiasaan, anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, tindakan-
tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Etika deskriptif
mempelajari moralitas yang terdapat dalam individu tertentu, dalam
kebudayaan tertentu, atau subkultur yang tertentu dalam suatu periode
sejarah dan sebagainya. Sebab, etika ini tidak memberikan penilaian moral.
2) Etika normatif
Etika normatif merupakan bagian penting dari etika karena menitikberatkan
pada diskusi-diskusi yang paling menarik tentang masalah-masalah moral.
Di sini ahli bersangkutan tidak bertindak sebagai penonton netral, tetapi ia
melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia.
Penilaian itu dibentuk atas dasar norma-norma. Etika normatif itu tidak
deskriptif melainkan preskriptif (memerintahkan), tidak melukiskan
melainkan menentukan benar tidaknya tingkah laku atau anggapan moral.
Untuk itu, ia mengemukakan argumentasi-argumentasi yang bertumpu pada
norma-norma atau prinsip-prinsip etis yang dianggap tidak dapat ditawar-
tawar.
3) Etika metaetika
Metaetika mempelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis. Metaetika
mengarahkan perhatiannya kepada arti khusus dari bahasa etika itu.
Misalnya penggunaan kata baik dalam menafsirkan sesuatu memiliki
pengertian yang sama.
Dari ketiga pendekatan etika yang telah dipaparkan di atas, peneliti
menggunakan 2 pendekatan yaitu pendekatan deskriptif dan pendekatan
normatif. Pendekatan deskriptif digunakan peneliti untuk mendeskripsikan
moralitas narapidana residivis mengenai anggapan-anggapan tentang perbuatan
baik dan buruk sehingga muncul keputusan moral misalnya anggapan tentang
tindak pidana yang telah dilakukan (pemahaman moral), perasaan empati
dalam diri narapidana residivis atas tindak pidana yang telah dilakukan
(perasaan moral), dan latar belakang pendidikan moral yang telah diterima.
Jadi, pendekatan deskriptif digunakan untuk menggambarkan moralitas dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
diri narapidana residivis yang terkait dengan pemahaman dan perasaan moral
atas tindak pidana yang dilakukan. Sedangkan etika normatif digunakan
penelti guna menilai tindakan moral narapidana residivis atas dasar teori-teori
penilaian tindakan moral.
g. Norma Moral
Winarno (2006: 6) mengatakan bahwa,
manusia sebagai perwujudan dari nilai tentang bagaimana seyogyanya manusia
Sedangkan Kaelan (2004: 92) mengatakan
bahwa,
Sementara itu,
norma merupakan petunjuk tingkah laku yang harus dilakukan dan tidak boleh
dilakukan berdasarkan nilai-
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa norma merupakan
perwujudan dari nilai yang berisi anjuran, perintah, pengaturan, larangan untuk
berbuat atau tidak berbuat bagi manusia.
Ukuran atau pedoman itu dinamakan norma. Norma bisa berbentuk
tertulis atau tidak tertulis yang dapat digolongkan menjadi berbagai macam.
Menurut Winarno (2006: 6-7) Norma-norma yang
berlaku di masyarakat secara umum digolongkan menjadi 4 macam yaitu
Penjelasan mengenai keempat norma tersebut adalah sebagai berikut:
1) Norma agama yaitu peraturan hidup manusia yang berisi perintah dan
larangan yang berasal dari Tuhan.
2) Norma moral/kesusilaan adalah peraturan/kaidah yang bersunber dari hati
nurani dan merupakan nilai-nilai moral yang mengikat manusia.
3) Norma kesopanan dalah peraturan/kaidah yang bersumber dari pergaulan
hidup antar sesama manusia.
4) Norma hukum adalah peraturan/kaidah yang diciptakan oleh kekuasaan
resmi atau negara yang sifatnya mengikat atau memaksa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa norma dapat berupa
norma agama, moral/kesusilaan, kesopanan dan hukum. Sehingga semua
perilaku moral harus selalu sesuai dengan kaidah-kaidah yang sudah ada.
Menurut Asri Budiningsih (2008: 24) -norma moral adalah
Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan
bahwa, norma moral adalah kaidah atau patokan yang dijadikan manusia
sebagai tolok ukur untuk menentukan baik buruknya perilaku manusia dan
untuk menjadikan seseorang menjadi bermoral maka diperlukan suatu
pendidikan yang dapat memperbaiki moral tersebut.
h. Teori Teori tentang Etika
Menurut K. Bertens (2007: 235-260) mengemukakan teori tentang etika
Hedonisme, eudemonisme, utilitarisme, dan deontologi
Keempat teori etika dijelaskan sebagai berikut:
1) Hedonisme
Hedomisme berasal dari bahasa Yunani (hedone) berarti kesenangan yaitu
baik apa yang memuaskan keinginan. Hedonisme mengandung suatu
egoisme, karena hanya memperhatikan kepentingan dirinya saja. Yang
dimaksud egoisme disini adalah egoisme etis atau egoisme yang mengatakan
bahwa seseorang tidak mempunyai kewajiban moral membuat sesuatu yang
lain dari pada yang terbaik bagi dirinya sendiri.
2) Eudemonisme
Berasal dari filsuf Aristoteles. Teori ini menegaskan bahwa, setiap kegiatan
manusia mengejar suatu tujuan. Seseorang mencapai tujuan akhir dengan
menjalankan fungsinya dengan baik. Karena itu, manusia mencapai
kebahagiaan dengan menjalankan secara paling baik kegiatan-kegiatan
rasionalnya dan tidak cukup dengan melakukan beberapa kali saja, namun
sebagai suatu sikap tetap. Menurut Aristoteles, manusia yang baik dalam arti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
moral, jika selalu mengadakan pilihan-pilihan rasionalnya yang tepat dalam
perbuatan-perbuatan moralnya dan mencapai keunggulan dalam penalaran
intelektual. Orang seperti itu adalah bahagia.
3) Utilitarisme
Utilitarisme dibagi menjadi dua yaitu:
a) Utilitarisme klasik
Teori ini menjelaskan bahwa, menurut kodratnya manusia menghindari
ketidaksenangan dan mencari kesenangan. Kebahagiaan akan tercapai
jika memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Suatu perbuatan
dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat meningkatkan atau
mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin. Kebahagiaan itu
menyangkut seluruh umat manusia. Moralitas itu menyangkut suatu
tindakan harus ditentukan dengan menimbang kegunaanya untuk
mencapai kebahagiaan umat manusia.
b) Utilitarisme aturan
Teori ini menegaskan bahwa, prinsip kegunaan tidak harus diterapkan
atas salah satu perbuatan, melainkan atas aturan-aturan moral yang
mengatur perbuatan-perbuatan kita. Perbuatan adalah baik secara moral
bila sesuai dengan aturan moral yang paling berguna bagi suatu
masyarakat.
4) Deontologi
Sistem etika yang tidak mengukur baik tidaknya suatu perbuatan
berdasarkan hasilnya, melainkan semata-mata berdasarkan maksud si pelaku
dalam melakukan perbuatan tersebut. Sistem ini tidak menyoroti tujuan yang
dipilih bagi perbuatan atau keputusan kita, melainkan semata-mata wajib
tidaknya perbuatan dan keputusan kita.
a) Deontologi menurut Immanuel Kant
Menurut Immanuel Kant yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya
hanyalah kehendak yang baik. Kehendak menjadi baik jika bertindak
karena kewajiban. Perbuatan adalah baik jika hanya dilakukan karena
wajib dilakukan. Bertindak sesuai dengan kewajiban oleh Immanuel Kant
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
disebut legalitas. Dengan legalitas kita memenuhi norma hukum. Suatu
perbuatan bersifat bermoral jika dilakukan semata-mata karena rasa
hormat untuk hukum moral. Dengan hukum moral dimaksudkannya
kewajiban. Menurut Immanuel Kant membedakan kewajiban moral
sebagai imperatif kategoris dan imperatif hipotetis. Kewajiban moral
mengandung suatu imperatif kategoris artinya perintah yang mewajibkan
begitu saja tanpa syarat. Sebaliknya, imperatif hipotetis selalu
diikutsertakan sebuah syarat. Hukum moral harus dipahami sebagai
imperatif kategoris, maka dalam bertindak secara moral kehendak harus
otonom dan bukan heteronom. Kehendak bersifat otonom bila
menentukan dirinya sendiri sedangkan heteronom membiarkan diri
ditentukan oleh faktor di luar dirinya seperti kecenderungan dan emosi.
b) Deontologi menurut W.D. Ross
Menurut W.D. Ross, setiap manusia mempunyai intuisi tentang
kewajiban artinya kewajiban itu berlaku langsung kepada manusia. Tetapi
manusia tidak mempunyai intuisi tentang apa yang terbaik dalam situasi
konkret. Untuk itu, perlunya akal budi yang mempertimbangkan dalam
setiap kasus mana kewajiban yang paling penting. Kewajiban itu
merupakan kewajiban prima facie artinya suatu kewajiban untuk
sementara dan hanya berlaku sampai timbul kewajiban penting lagi.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa teori etika digunakan peneliti untuk
menilai moralitas seseorang dalam hal ini narapidana residivis. Moralitas
diukur setelah narapidana residivis mengikuti pembinaan moral di Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Teori etika tersebut meliputi: hedonisme,
eudemonisme, utilitarisme, dan deontology.
2. Tinjauan Umum tentang Pembinaan Moral
a. Pengertian Pembinaan Moral
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa yang
2)
Pembaharuan dan penyempurnaan; 3) Usaha, tindakan dan kegiatan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil
(Peter Sammy dan Yenny Salim, 2007: 205).
Menurut Miftah Thoha (2003: 12)
proses, hasil atau pernyataan menjadi lebih baik. Dalam hal ini menunjukkan
adanya kemajuan, peningkatan, pertumbuhan, evolusi atas berbagai
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, pembinaan
merupakan suatu cara, proses, tindakan yang diwujudkan dalam bentuk
kegiatan tertentu dengan maksud adanya kemajuan atau peningkatan guna
memperoleh hasil yang lebih baik.
Sedangkan mengenai pengertian moral telah dijelaskan sebelumnya
bahwa, moral berhubungan dengan baik dan buruk terhadap tingkah laku
manusia. Tingkah laku ini mendasarkan diri pada norma-norma yang berlaku
dalam masyarakat.
Menurut Zubaedi (2005: 11) dijelaskan mengenai pengertian
pembinaan adalah sebagai berikut:
Pembinaan sebagai latihan pendidikan. Sejauh berhubungan dengan pengembangan manusia. Pembinaan menekankan pengembangan manusia pada segi praktis, pengembangan sikap, kemampuan dan kecakapan. Dalam pembinaan, orang dibantu untuk mendapatkan pengetahuan dan menjalankannya.
Menurut Parsono (1989: 1) secara hakiki mengenai pengertian
pendidikan adalah sebagai berikut:
Proses pemanusiaan manusia atau suatu kegiatan memanusiakan manusia. Melalui pendidikan yang terprogram dan terkelola dengan baik dan intensif, titik optimum usaha pendidikan akan terwujud. Pendidikan dikatakan berhasil apabila mampu mengubah tingkah laku manusia ke arah yang positif.
Menurut Redja Mudyahardjo (2001: 56) dinyatakan bahwa:
Proses pendidikan dapat dilakukan di sekolah ataupun di luar sekolah baik yang dilembagakan (pendidikan nonformal, seperti kursus, pelatihan, kelompok belajar, penitipan bayi, dan sebagainya), maupun yang tidak dilembagakan (pendidikan informal, seperti pendidikan dalam keluarga,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
pendidikan dalam perpustakaan, pendidikan dalam perusahaan, pendidikan dalam tempat peribadatan, dan sebagainya).
Menurut Emma Handoko (2001 dalam
http://emmahandoko.blogspot.com) menyebutkan
mengatakan bahwa pendidikan berlangsung di dalam lembaga sekolah,
keluarga dan masyarakat atau disebut
Adapun yang dimaksud Tri Pusat Pendidikan tersebut antara lain:
1) Pendidikan keluarga
Pendidikan keluarga adalah pendidikan yang diberikan oleh orang tua
kepada anak-anaknya sesuai dan dipersiapkan untuk kehidupan anak-anak
itu di masyarakat kelak. Materi pendidikannya meliputi nilai agama ataupun
nilai dan norma dari sikap yang baik. Dalam hal ini, orang tua harus
memberikan pendidikan dengan cara memberi contoh yang baik dalam
perkataan maupun perbuatan agar anak dapat menyerap apa yang dilihat dan
didengar dari lingkungannya terutama lingkungan keluarga.
2) Pendidikan sekolah
Pendidikan sekolah adalah semua bentuk pendidikan yang diselenggarakan
dengan sengaja, tertib dan berencana di dalam kegiatan persekolahan. Di
sekolah terdapat norma-norma atau aturan yang harus diikuti oleh setiap
peserta didiknya dan norma itu berpengaruh sekali dalam pembentukan
kepribadiannya guna bekal kehidupan di masyarakat kelak.
3) Pendidikan masyarakat
Pendidikan masyarakat adalah bentuk pendidikan yang diselenggarakan
dengan sengaja, tertib dan berencana di luar kegiatan persekolahan atau di
lingkungan masyarakat sesuai dengan kebutuhan tertentu. Masyarakat
sebagai lembaga pendidikan ketiga sesudah keluarga dan sekolah. Di
masyarakat terdapat norma-norma sosial budaya yang harus diikuti oleh
warganya dan norma-norma itu berpengaruh dalam pembentukan
kepribadian. Norma-norma masyarakat yang berpengaruh tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
merupakan aturan-aturan yang ditularkan dari generasi tua kepada generasi
muda.
Dalam jurnal ilmu pendidikan oleh Masganti Sit (2010: 2) dinyatakan
bahwa, tentang pendidikan juga telah memunculkan berbagai
rumusan tujuan pendidikan yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan
sarana menyempurnakan perkembangan potensi-potensi manusia termasuk
Menurut Ki Hajar Dewantara dalam Nurul Zuriah (2007: 123)
mengatakan bahwa:
Pengajaran moral tidak lain adalah mendukung perkembangan hidup anak-anak, lahir dan batin dari sifat kodratinya menuju ke arah peradaban dalam sifatnya yang umum. Sedangkan syarat pendidikan budi pekerti menurut Ki Hajar Dewantara disebut dengan metode ngerti, ngrasa, nglakoni (menyadari, menginsafi, dan melakukan).
Berdasarkan pengertian di atas peneliti menyimpulkan bahwa,
pembinaan moral adalah suatu usaha atau kegiatan dalam rangka membina
tingkah laku agar menjadi manusia yang baik sesuai dengan norma yang
berlaku. Pembinaan moral dapat diwujudkan melalui pendidikan yang akan
membantu proses perkembangan moral seseorang. Dimana dalam pembinaan
moral tersebut terjadi proses pembelajaran yang mengubah tingkah laku
manusia ke arah yang lebih baik (positif). Jadi, pembinaan moral ini
menyangkut pembinaan sikap dan tingkah laku moral yang baik.
Berdasarkan masalah yang peneliti lakukan mengenai pembinaan moral
terhadap narapidana residivis yaitu, Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
menyelenggarakan pembinaan moral melalui pendidikan nonformal yang
menyangkut pendidikan agama, pendidikan budi pekerti, dan pendidikan
lainnya bagi warga binaan pemasyarakatan termasuk narapidana residivis.
Pembinaan moral diberikan kepada narapidana residivis sebagai usaha untuk
memperbaiki moral mereka menjadi baik sehingga dapat berperilaku atau
bertindak sesuai dengan aturan atau norma dalam masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
b. Tujuan Pembinaan Moral
Telah disinggung sebelumnya bahwa, pembinaan moral diberikan
melalui pendidikan. Salah satu bentuk pendidikan yang mampu merubah moral
seseorang adalah pendidikan moral dan pendidikan agama. Melalui kedua
wadah tersebut akan diajarkan mengenai nilai moral, nilai ketuhanan, dan nilai
sosial yang sangat berguna untuk membentuk akhlak manusia menjadi baik.
Hamid Darmadi (2007: 56-57) menyampaikan mengenai pengertian
pendidikan moral menurut pandangan Pancasila dan UUD 1945. Pendidikan
moral merupakan suatu proses pembelajaran antara guru dan peserta didik
tentang ajaran moral atau budi pekerti yang sesuai dengan amanat nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945. Oleh sebab itu, pendidikan moral dapat disajikan
dalam bentuk keilmuan maupun mental spiritual keagamaan. Pendidikan moral
tersebut harus diberikan secara terus-menerus kepada peserta didik sehingga
proses pembelajaran bukan hanya bersifat teknis melainkan nomatif dalam arti
perubahan tingkah laku peserta didik sesuai dengan tujuan yang diinginkan
yaitu terbentuknya pribadi yang bermoral dan berbudi pekerti luhur.
Tujuan pendidikan moral menurut Dreeben dalam Nurul Zuriah (2007:
mengarahkan seseorang menjadi
bermoral, yang penting adalah bagaimana agar seseorang dapat menyesuaikan
Sedangkan tujuan dari pendidikan
moral menurut Hamid Darmadi (2009: 51) adalah
menghormati manusia sebagai manusia serta memperlakukan manusia sebagai
Jadi, berdasarkan pendapat di atas peneliti menyimpulkan bahwa,
tujuan pembinaan moral adalah menyalurkan nilai-nilai moral kepada warga
negara menjadi pribadi manusia yang memiliki ahlak dan watak yang bermoral
sehingga mampu menerapkan nilai-nilai moralnya tersebut dalam
kehidupannya. Terkait dengan pembinaan moral bagi narapidana residivis
adalah bahwa narapidana residivis memperoleh pembinaan selama di lembaga
pemasyarakatan yaitu Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam upaya
memperbaiki moral narapidana residivis agar memiliki watak dan ahlak yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
bermoral sehingga setelah keluar dari Rutan tidak mengulangi tindak pidana
kembali.
3. Tinjauan tentang Teori Pemidanaan
Sebelum menguaraikan tentang teori pemidanaan perlu dijelaskan terlebih
dahulu mengenai konsep pidana, pemidanaan, dan tujuan pemidanaan.
a. Pengertian Pidana dan Pemidanaan Menurut Hambali Tholib (2009: 12) mengenai pengertian pidana adalah
sebagai berikut:
Pidana berasal dari kata straf (Belanda) diartikan dengan hukuman. Pidana didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau diberikan negara kepada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana.
Hal senada disampaikan oleh Sudarto dalam Hambali Tholib (2009: 12)
kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat
Pendapat lain ditambahkan oleh Muladi dan Nawawi Arief dalam
Hambali Tholib (2009: 13) yang mengatakan bahwa unsur-unsur dalam pidana
adalah sebagai berikut:
1) Pidana pada hakekatnya merupakan pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
2) Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai wewenang.
3) Pidana dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pidana merupakan
sesuatu penderitaan atau pengenaan yang secara sengaja diberikan kepada
orang yang melakukan perbuatan tindak pidana karena bertentangan dengan
undang-undang.
Sedangkan pengertian pemidanaan menurut Hambali Tholib (2009: 15)
Pemidanaan berarti pengenaan atau pemberian atau penjatuhan pidana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Selanjutnya menurut Sholehuddin dalam Dwidja Priyatno (2006: 14)
mengatakan bahwa,
tindakan aktivis program legislasi atau yuridiksi untuk menormatifkan jenis
dan bentuk sanksi sebagai landasan keabsahan penegakan hukum dengan
Hambali Tholib (2009: 13) mengatakan bahwa:
mempunyai kekuasaan berupa pengenaan penderitaan nestapa atau akibat lain
yang tidak menyenangkan kepada seseorang yang telah melakukan
pelanggaran kaidah hukum atau tindak pidana menurut undang-
Packer dalam Hambali Tholib (2009: 15) menyebutkan pentingnya
sanksi pidana sebagai salah satu instrumen kebijakan dalam upaya
penanggulangan kejahatan adalah sebagai berikut:
1) Sanksi pidana sangat diperlukan, kita tidak dapat hidup sekarang maupun masa yang akan datang tanpa pidana.
2) Sangksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia dan dimiliki untuk menghadapi kejahatan atau bahaya besar.
3) Sanksi pidana suatu ketika merupakan jaminan utama yang merupakan pengancaman sebagai penjamin secara manusiawi. Moelyatno (2003: 5-6) menyebutkan tentang sanksi pidana pokok dan
pidana tambahan menurut pasal 10 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Pidana pokok meliputi pidana mati, pidana penjara, pidana
kurungan, dan pidana denda sedangkan pidana tambahan meliputi pencabutan
hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman
Sanksi pidana tersebut digunakan dalam menanggulangi kejahatan agar
pelanggar jera atas perbuatan pidana yang dilakukan dan tidak mengulangi
kejahatan kembali.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pemidanaan
merupakan pengenaan atau pemberian pidana melalui sanksi pidana. Sanksi
pidana diberikan sebagai suatu ancaman yang berupa penderitaan atas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
pelanggaran terhadap norma hukum atau tindak pidana menurut undang-
undang. Sanksi pidana diperlukan sebagai upaya penenggulangan kejahatan
yakni melalui acaman pidana. ancaman pidana tersebut meliputi pidana pokok
berupa pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda serta
pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-
barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim
b. Teori Pemidanaan tentang Tujuan Pemidanaan Menurut Sudarto dalam Hambali Tholib (2009: 13) sebagai berikut:
Tujuan dari kebijakan pemidanaan adalah menetapkan suatu pidana tidak
terlepas dari tujuan politik hukum yang pada umumnya mengandung arti
bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundangan
yang paling baik untuk memenuhi keadilan dan
Dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa teori yang mendasari
tujuan pemidanaan. Teori-teori ini berkembang seiring dengan pertumbuhan
pemikiran dan budaya manusia yang semakin maju yaitu dalam hal semakin
diperhatikannya nilai-nilai kemanusiaan. Dwidja Priyatno (2006: 22-28)
Penjelasan mengenai teori absolut atau pembalasan, teori relatif atau
tujuan dan teori gabungan adalah sebagai berikut:
1) Teori Absolut atau Pembalasan
Penganut teori ini adalah J. M van Bemmelen, Immanuel Kant, dan Hegel.
Teori absolut atau pembalasan mengajarkan bahwa pidana dijatuhkan
semata-mata karena telah melakukan kejahatan atau tindak pidana. Setiap
kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak dan tidak dapat
ditawar. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dengan
dijatuhkannya pidana, tidak peduli apakah masyarakat mungkin akan
dirugikan sehingga pembalasan (vergelding) sebagai alasan untuk
memidana kejahatan.
2) Teori Relatif atau Tujuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Penganut teori ini adalah J.Andenaes dan Nigel Walker. Teori ini
mengajarkan bahwa, memidana bukanlah memutuskan tuntutan absolut dari
keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak memiliki nilai, tetapi hanya sebagai
sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat sehingga pemidanaan
harus mempunyai tujuan-tujuan yang bermanfaat. Tujuan pidana menurut
teori tujuan adalah menjamin tertib hukum dan masyarakat serta untuk
mencegah kejahatan dan menahan niat buruk pembuat.
3) Teori Gabungan
Penganut teori ini adalah Pallegrino Rossi. Teori ini mengajarkan bahwa
sekalipun pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya tidak
boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun pidana harus
mempunyai pengaruh yaitu perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat
dan prevensi general. Sehingga tujuan pemidanaan adalah untuk
memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan tindak
pidana.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa, teori tentang tujuan pemidanaan
meliputi teori absolut atau pembalasan, teori relatif atau tujuan, dan teori
gabungan. Dari ketiga teori yang digunakan peneliti adalah teori gabungan
yakni sebagai acuan peneliti untuk menganalisis pelaksanaan pembinaan di
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam kerangka pemidanaan di
Indonesia yang sesuai dengan prinsip Pancasila yaitu pemidanaan dilakukan
dengan upaya untuk memperbaiki kerusakan moral narapidana residivis dan
bertujuan untuk melindungi masyarakat atas tidak pidana yang dilakukan oleh
narapidana residivis.
c. Tujuan Pemidanaan di Indonesia Menurut Djoko Prakoso (1991: 24) dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) tahun 1972 dapat dijumpai tentang maksud tujuan
pemidanaan disebutkan dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) adalah sebagai berikut :
1) Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman masyarakat, negara, masyarakat, dan penduduk.
2) Untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
3) Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindakan pidana.
4) Pemidanaan tidak dimaksud untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Menurut Hambali Tholib (2009: 20) disebutkan bahwa:
Tujuan hukum pidana di Indonesia adalah agar supaya dengan ridho Tuhan Yang Maha Esa cita-cita bangsa Indonesia untuk mewujudkan masyarakat Pancasila jangan dihambat dan dihalangi oleh tindak pidana. Sehingga baik negara Indonesia, masyarakat, badan-badan hukum, maupun warga negara Republik Indonesia, serta penduduk lainnya mendapat pengayoman.
Dwidja Priyatno (2006: 18-19) menjelaskan bahwa,
Indonesia menekankan pada perspektif Pancasila yang berorientasi pada
prinsip sila-sila Pancasila
Penjelasan mengenai pemidanaan di Indonesia yang menekankan pada
prinsip sila-sila Pancasila adalah sebagai berikut:
1) Pemidanaan harus diarahkan pada penyadaran iman dari terpidana agar
bertobat menjadi manusia yang beriman dan taat.
2) Pemidanaan tidak boleh mencerai-beraikan hak-hak asasinya yang paling
dasar dan tidak boleh merendahkan martabat masyarakat.
3) Pemidanaan diarahkan untuk menanamkan rasa cinta terhadap bangsa.
4) Pemidanaan diarahkan untuk menumbuhkan kedewasaan bagi warga negara
yang mampu mengendalikan diri, disiplin, dan menghormati serta menaati
hukum sebagai wujud keputusan rakyat.
5) Pemidanaan diarahkan menumbuhkan kesadaran akan kewajiban setiap
individu sebagai mahluk sosial yang menjunjung keadilan bersama dengan
orang lain sesama warga masyarakat.
Tujuan pemida
-18).
Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Dalam pasal 1 Rancangan Undang-Undang KUHP (Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana) disebutkan bahwa tujuan pemidanaan berfungsi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
sebagai pengayoman artinya narapidana akan diayomi secara bersama-sama
oleh warga masyarakat lain agar memiliki kepribadian yang luhur menjadi
warga negara yang baik dalam rangka ikut membangun masyarakat sosialis
Indonesia yang adil dan makmur. Sedangkan pembimbingan adalah narapidana
dibimbing agar kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat yang selanjutnya
pemidanaan diserahkan kepada lembaga pemasyarakatan yang tidak terlepas
dari fungsi hukum agar narapidana jera atas perbuatan jahat yang dilakukan
sesuai dengan prinsip pemasyarakatan yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pemidanaan
mengandung arti negara dalam menjatuhkan pidana haruslah menjamin
kemerdekaan individu dan menjaga supaya pribadi manusia tetap dihormati.
Oleh karena itu, pemidanaan harus mempunyai tujuan dan fungsi menjaga
keseimbangan individu dengan kepentingan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan bersama. Pemidanaan ditujukan guna melindungi individu,
masyarakat dan kepentingan negara atas perbuatan tercela atau kejahatan yang
dilakukan seseorang akibat melanggar hukum yang telah ditetapkan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KHUP). Maksud pemidanaan adalah
untuk mencegah dilakukan tindak pidana dengan cara memasyarakatkan
terpidana melalui pembinaan dan pengayoman supaya terpidana menjadi orang
yang baik. Selain itu, pelaksanaan pemidanaan harus mendasarkan pada
perpekstif nilai-nilai Pancasila. Oleh sebab itu, dalam melaksanakan
pemidanaan yang di Indonesia salah satunya diserahkan dalam lembaga
pemasyarakatan.
4. Tinjauan tentang Narapidana Residivis
a. Pengertian Narapidana Residivis
dikenai hukuman atau pidana atau terpidana yang telah menerima putusan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Selanjutnya Lin Song dan Roxanne (1994: 3) dalam jurnal internasional
menyebutkan bahwa,
Dari kutipan dalam jurnal internasional tersebut dapat diartikan bahwa,
pengulangan tindak pidana (residive) didefinisikan penangkapan kembali,
pemulihan kembali, atau pulang kembali seseorang.
Menurut Kartini Kartono (2001: 130) mengatakan bahwa,
merupakan penjahat-penjahat yang berulang-ulang keluar masuk penjara.
Selalu mengulangi perbuatan jahat, baik yang serupa ataupun yang berbeda
Sedangkan Elliot dalam Simadjuntak (1981: 75)
narapidana sebagai penjahat ialah orang yang telah membuang atau tidak
mengakui nilai-nilai masyarakat dimana masih berkeliaran di luar penjara yaitu
residivis yang tertangkap. Mereka itu benar-
orang yang selalu mengulangi perbuatan seperti perampok, pengemis, dan
pencuri. Dan perbuatannya tertera dalam pasal 104 sampai 485 KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana) di Indonesia. Mereka termasuk the habitual
criminal
Menurut pendapat dari R. Achmad Soemadi Praja dan Romli
Atmasasmita (1979: 14) mengenai pengertian residivis dan bukan residivis
adalah sebagai berikut:
1) Residivis yaitu seseorang yang telah dijatuhi pidana oleh hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap suatu perbuatan pidana dan sebelumnya telah mendapat putusan hakim atas kejahatan lain yang telah dilakukan.
2) Bukan residivis yakni seseorang yang dijatuhi putusan pidana oleh hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap suatu perbuatan pidana yang pertama dilakukan.
Tindak pidana yang terjadi dalam hal seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi putusan hakim yang bersifat tetap (in kracht van gewijsde), kemudian melakukan suatu tindak pidana lagi. Pengertian residive hampir sama dengan seseorang yang melakukan lebih dari satu tindak pidana (concursus realis), tetapi perbedaannya ada pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
ditetapkannya putusan hakim yang bersifat tetap yang berupa pemidanaan terhadap tindak pidana yang dilakukan terdahulu atau sebelumnya (Winarno Budyatmojo, 2000: 71).
Menurut Djoko Prakoso (1991: 30) dinyatakan bahwa,
merupakan pelaksana perbuatan yang membahayakan kepentingan hukum.
Kepentingan hukum adalah hak-hak, hubungan-hubungan, keadaan-keadaan
dan gangguan-
Berdasarkan pengertian menurut para ahli di atas dapat disimpulkan
bahwa narapidana residivis yaitu seseorang dijatuhkan hakim dengan kekuatan
hukum tetap diberikan pidana kepadanya karena suatu perbuatan melanggar
hukum atas perbuatan kejahatan atau tindak pidana yang diulanginya.
b. Pengelompokkan Narapidana Residivis menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia
Winarno Budiyatmojo (2000: 72-78) Sistem
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) di Indonesia menganut residive
khusus yang diatur dalam Buku II tentang Kejahatan yaitu: residive sejenis dan
residive kelom
Penjabaran mengenai residive sejenis dan residive kelompok adalah
sebagai berikut:
1) Residive sejenis
Residive sejenis meliputi pasal 144 (2) KUHP tentang penghinaan kepada
kepala negara sahabat yang berhubungan dengan penerbitan dan percetakan,
pasal 157 (2) KUHP tentang penghinaan terhadap golongan-golongan rakyat
Indonesia yang berhubungan dengan penerbitan dan percetakan, pasal 161
(2) KUHP tentang perbuatan menghasut supaya melakukan perbuatan
pidana, menentang penguasa umum dengan kekerasan yang berhubungan
dengan penerbitan dan percetakan, pasal 163 (2) KUHP tentang
penawaran/sarana melakukan tindak pidana yang berhubungan dengan
penerbitan dan percetakan, pasal 208 (2) KUHP tentang penghinaan
terhadap penguasa atau badan umum, pasal 216 (3) KUHP tentang
penyalahgunaan jabatan atau wewenang atau menghalangi pejabat untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
melaksanakan tugas guna menjalankan ketentuan perundang-undangan,
pasal 321 (2) KUHP tentang penghinaan yang dilakukan pada saat
menjalankan mata pencaharian, pasal 393 (2) KUHP tentang menjual,
menawarkan atau mengedarkan dan sebagainya barang-barang yang
bermerk palsu, dan pasal 303 bis (2) tentang perjudian.
Syarat residive sejenis adalah sebagai berikut:
a) Kejahatan yang diulangi harus sama atau sejenis dengan kejahatan
terdahulu.
b) Antara kejahatan yang terdahulu dan kejahatan yang diulangi harus ada
keputusan hakim.
c) Pengulangannya dilakukan dalam tenggang waktu tertentu yaitu 5 tahun
sejak ada keputusan hakim tetap.
2) Residive Kelompok
Residive kelompok terbagi atas 3 bagian sebagai berikut:
a) Pasal 486 KUHP mengenai kejahatan-kejahatan terhadap harta benda dan
pemalsuan terdiri dari pemalsuan mata uang (pasal 244 KUHP sampai
pasal 248 KUHP), pemalsuan surat (pasal 263 sampai Pasal 264 KUHP),
pencurian (pasal 362, 363, dan 365 KUHP), pemerasan (Pasal 368
KUHP), pengancaman (pasal 369 KUHP), penggelapan (pasal 372,
374,375 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP), kejahatan jabatan (pasal
415, pasal 417, pasal 432 KUHP), penadahan (pasal 480, pasal 481
KUHP).
b) Pasal 487 KUHP mengenai kejahatan-kejahatan terhadap orang terdiri
dari Penyerangan dan makar kepala negara (pasal 131, pasal 140, pasal
141 KUHP), pembunuhan biasa dan pembunuhan berencana (pasal 338,
pasal 339, 340 KUHP), pembunuhan anak (pasal 341, pasal 342 KUHP),
abortus (pasal 347 KUHP, pasal 348 KUHP), penganiayaan biasa/berat
dan penganiayaan berencana (pasal 351, pasal 353, pasal 354, pasal 355
KUHP), kejahatan pelayaran yang berupa pembajakan (pasal 438 KUHP,
pasal 443 KUHP), dan insubordinasi (pasal 459 sampai pasal 460
KUHP).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
c) Pasal 488 mengenai kejahatan penghinaan yang berhubungan dengan
penerbitan atau percetakan terdiri dari penghinaan terhadap kepala negara
sahabat (pasal 142 sampai pasal 144 KUHP), penghinaan terhadap
penguasa atau badan umum (pasal 207 KUHP, pasal 208 KUHP),
penghinaan terhadap orang pada umumnya (pasal 310 dan pasal 321
KUHP), kejahatan penerbitan dan percetakan (pasal 483 KUHP dan pasal
484 KUHP).
Syarat residive kelompok adalah sebagai berikut:
(1) Kejahatan yang diulangi harus termasuk dalam satu kelompok jenis
dengan kejahatan yang pertama atau yang terdahulu.
(2) Dengan adanya kelompok jenis residive yang telah dikemukakan,
seseorang bisa dikatakan melakukan pengulangan apabila ia
mengulangi tindak pidana dalam satu kelompok jenis yang sama.
Seseorang yang melakukan tindak pidana yang diatur dalam pasal 351
KUHP yaitu penganiayaan kemudian melakukan tindak pidana lagi
yang dijerat dengan Pasal 338 tindak pidana pembunuhan, dapat
dikatakan sebagai residive karena tindak pidana tersebut masih
termasuk dalam satu kelompok jenis yaitu kejahatan terhadap orang
dan diatur dalam pasal 487 KUHP.
(3) Antara kejahatan yang diulangi dengan yang pertama atau terdahulu
harus sudah ada putusan hakim dengan kekuatan hukum tetap.
(4) Pidana yang pernah dijatuhkan hakim terdahulu harus berupa pidana
penjara.
(5) Ketika melakukan pengulangan, tenggang waktunya adalah
(a) Belum lewat 5 tahun sejak menjalani untuk seluruh atau sebagian
pidana penjara yang dijatuhkan terdahulu atau sejak pidana
tersebut sama sekali telah terhapuskan.
(b) Belum lewat tenggang waktu daluwarsa kewenangan menjalankan
pidana penjara yang terdahulu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Berdasarkan uraian di atas makadapat disimpulkan bahwa menurut
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) di Indonesia terdapat dua
kelompok residive yaitu residive yang sejenis dan residive kelompok sejenis.
Syarat berlakunya narapidana residivis adalah sebagai berikut:
1) Mengulang kejahatan yang sama atau oleh undang-undang dianggap sama.
Misalnya kali ini ia mencuri lain kali ia mencuri lagi walaupun benda yang
dicuri berbeda dan juga mengenai waktu maupun cara mencurinya tidak
sama.
2) Antara perbuatan yang satu dengan yang lain pernah ada keputusan hakim
yang menjatuhkan pidana secara sah.
3) Pernah menjalani pidana baik untuk seluruh maupun sebagian.
4) Waktu melakukan tindak pidana yang diulang itu kewajiban melaksanakan
pidana terhadap perbuatan yang pertama belum kadaluarsa. Misalnya setelah
dijatuhi pidana maka terpidana melarikan diri kemudian dalam waktu
tertentu melakukan tindak pidana lagi sedangkan yang diadili dan dipidana
untuk perkara yang diulang itu dan waktu untuk melaksanakan pidana yang
pertama belum daluwarsa.
5) Yang bersalah atau terpidana melakukan tindak pidana ulangan belum 5
tahun berselang sejak bebas menjalankan pidana dari perbuatan yang sama.
c. Faktor Penyebab Timbulnya Kejahatan oleh Narapidana Residivis
Kejahatan adalah setiap perbuatan yang dilarang oleh hukum publik
untuk melindungi masyarakat dan memberi sanksi berupa pidana negara.
Perbuatan itu diberi hukuman karena melanggar norma-norma
(Abdulsyani, 1987: 13).
Pendapat lain oleh Simadjuntak (1981: 71) menyebutkan bahwa,
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, kejahatan yang
dilakukan oleh narapidana residivis merupakan suatu perbuatan yang tidak
boleh dibiarkan sebab menimbulkan goncangan dalam masyarakat. Gejala
munculnya kejahatan dalam masyarakat ternyata disebabkan oleh banyak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
faktor. Untuk menjawab mengenai faktor sebab-sebab timbulnya kejahatan
maka, peneliti mengemukakan beberapa teori dalam ilmu kriminologi.
Menurut Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa (2005: 19-64)
menyebutkan bahwa, untuk mencari kejelasan mengenai sebab kejahatan dalam
peradaban manusia lahirlah teori-
spiritualis, teori differential organization, teori ekonomi, teori sosial bond, dan
teori mental disorder
Berikut ini akan dijabarkan mengenai teori-teori tersebut:
1) Teori spiritualis menurut George B Vold.
Dalam teori spiritualis dijelaskan bahwa, seseorang yang telah melakukan
suatu kejahatan dipandang sebagai orang yang terkena bujukan setan (evil
atau demon). Sehingga orang berbuat jahat karena lepasnya iman yang
dimiliki oleh manusia sehingga mudah terpengaruh oleh roh jahat. Jadi, teori
ini menjelaskan bahwa, penyebab seseorang melakukan kejahatan karena
sistem keyakinan atau iman seseorang yang lemah.
2) Teori differential organization menurut Sutherland
Teori ini menjelaskan bahwa, pergaulan seseorang berperan terhadap
pembentukan tingkah laku. Dari lingkungan tertentu lahir norma tertentu.
Jika seseorang bergaul dengan pencuri, maka lama-kelamaan menganggap
bahwa mencuri adalah hal wajar. Kejahatan dipelajari dalam pergaulan
manusia. Kejahatan hanya ada dalam masyarakat diantara pergaulan
individu. Orang belajar jahat dalam masyarakat, tanpa ada masyarakat tidak
ada kejahatan. Jadi, teori ini menjelaskan bahwa, penyebab seseorang
melakukan kejahatan karena pengaruh lingkungan atau pergaulan yang
salah.
3) Teori ekonomi menurut Marx
Penganut teori ini adalah Marx, pengikutnya William Bonger, dan Mr.H
Calkoen. Dalam teori ini dijelaskan bahwa kejahatan timbul karena
kemiskinan. Kemiskinan mendorong kepada kejahatan. Orang miskin
meminum alkohol diluar batas, akibatnya tidak langsung adalah kejahatan.
Miskinnya masyarakat erat sekali dengan hubungannya dengan rendahnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
penghasilan. Mereka tidak puas dengan penghasilannya yang sah.
Selanjutnya Mr.H.Calkoen menambahkan bahwa, kemiskinan dan
pengangguran dipandangnya sebagai sebab utama dari kejahatan ekonomi.
Sebagai bukti kejahatan para orang Yahudi di Amsterdam. Jadi, teori ini
menjelaskan bahwa penyebab seseorang melakukan kejahatan karena
kemiskinan, rendahnya penghasilan, dan pengangguran.
4) Teori sosial bond menurut Travis Hirchi
Menurut teori ini menjelaskan bahwa, seseorang melakukan perbuatan
menyimpang disebabkan karena hilangnya ikatan kontrol sosial dalam diri
seseorang. Ikatan kontrol sosial tersebut meliputi: a) commitment yaitu
hilangnya keterikatan seseorang pada sub sistem seperti sekolah, pekerjaan,
organisasi dan kelompok sosial, b) beliefs yaitu hilangnya aspek moral yang
terdapat dalam ikatan sosial.
5) Teori mental disorder menurut James C.Prichard
Dalam teori ini dijelaskan bahwa seseorang melakukan kejahatan
disebabkan karena terjadi kekacauan mental. Berdasarkan hasil penelitian
oleh James C. Prichard sebanyak 20 hingga 60 persen penghuni lembaga
pemasyarakatan mengalami satu tipe mental disorder (penyakit mental).
Menurutnya penyakit mental tadi disebut dengan psychopathy atau
antisocial personality yaitu suatu ketidakmampuan belajar dari pengalaman,
kurang keramahan dan perasaan tidak bersalah. Seorang psychopath telihat
memiliki kesehatan mental yang bagus tetapi sebenarnya hanyalah suatu
mask of sanity (topeng kewarasan) Seorang psychopath ditandai dengan
tidak menghargai kebenaran, tidak tulus, tidak merasa malu, bersalah atau
terhina. Mereka berbohong dan melakukan kecurangan tanpa ada keraguan.
Jadi, teori ini menjelaskan bahwa sebab seseorang melakukan kejahatan
karena penyakit mental.
Jadi, teori-teori di atas digunakan peneliti untuk menganalisis faktor
penyebab pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana residivis
di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Teori tersebut berupa teori
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
spiritualis, teori differential organization, teori ekonomi, teori sosial bond, dan
teori mental disorder.
d. Upaya Penanggulangan Kejahatan
Menurut Abdulsyani (1987: 28) menyebutkan tentang beberapa metode
untu Metode moralistik, abolisionalistik dan
Berikut ini penjelasan mengenai metode tersebut:
1) Metode moralistik artinya pembinaan yang dilakukan dengan cara bentuk
mental-spiritual ke arah yang positif misalnya dilakukan oleh para pendidik,
para ahli agama, dan ahli jiwa.
2) Metode abilasionalistik artinya pembinaan dilakukan dengan cara
konseptual yang harus direncanakan atas dasar hasil penelitian kriminologis
dengan menggali sumber-sumber penyebabnya dari faktor-faktor yang
berhubungan dengan perbuatan kejahatan.
3) Metode operasional artinya metode pencegahan yang dilakukan oleh pihak
kepolisian.
Reckless dalam Abdulsyani (1987: 135) mengemukakan tentang konsep
penanggulangan kejahatan adalah sebagai berikut:
Konsepsi umum dalam penanggulangan kejahatan yang berhubungan dengan mekanisme peradilan pidana dan partisipasi masyarakat yang meliputi pemantapan aparatur penegak hukum, perundang-undangan, mekanisme peradilan pidana, koordinasi aparatur penegak hukum dan pemerintah, dan partisipasi masyarakat.
Reckless
dilakukan melalui treatment (perlakuan) dan punishment (penghukuman)
(Abdulsyani, 1987: 138-142).
Penjelasan mengenai treatment (perlakuan) dan punishment
(penghukuman) adalah sebagai berikut:
1) Treatment (perlakuan) menitikberatkan kepada usaha perlakuan dengan
tidak Menerapkan sanksi pidana. Perlakuan ini bertujuan supaya pelaku
kejahatan dapat kembali sadar akan kekeliruan atau kesalahan dan dapat
bergaul kembali di dalam masyarakat .
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
2) Punishment (pengukuman) merupakan tindakan untuk memberikan
penderitaan terhadap pelaku kejahatan yang sebanding atau mungkin lebih
berat dari akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan kejahatan tersebut, baik
berupa hukuman pemenjaraan atau hukuman yang bersifat penderaan.
e. Penanggulangan Kejahatan berdasarkan Pemasyarakatan
Abdulsyani (1987: 27) menyebutkan tentang upaya penanggulangan
kejahatan adalah sebagai berikut:
Penanggulangan terhadap kejahatan mencakup aktivitas preventif yang berupaya memperbaiki perilaku seseorang yang telah dinyatakan bersalah (terhukum) di lembaga pemasyarakatan. Upaya perbaikan terhadap perilaku kejahatan tersebut dilaksanakan dengan mengubah cara-cara penyiksaan dan isolasi sebagai ganjaran atas penebus kesalahan ke arah suatu sistem pembinaan dan pendidikan serta penyadaran sehingga tidak terulang kembali.
Sedangkan menurut pendapat Stephan Hurwitz tentang upaya
menanggulangi kejahatan adalah sebagai berikut:
Kejahatan yang dipandang sebagai kebiasaan seseorang yang menjadi kebiasaan (berulang-ulang) bahkan menjadi mata pencaharian misalnya pencurian, pencopetan, pencurian dengan kekerasan dan penadahan dengan cara diberikan pemidanaan adalah sia-sia. Sebab diperkirakan mereka akan meneruskan cara hidup kriminal sehingga tindakan-tindakan keras demi keamanan masyarakat. Oleh sebab itu, perlu upaya yang lebih berat dari sekedar pidana terhadap pelaku kejahatan (Abdulsyani, 1987: 141)
Bertitik tolak pada upaya penanggulangan kejahatan yang diuraikan di
atas, bahwa upaya penanggulangan kejahatan menekankan pada usaha
pembinaan yang tidak lepas dari pemidanaan sebab, dengan pemidanaan yang
sifatnya penghukuman saja tidak efektif mengurangi angka kejahatan.
Saharjo dalam Abdulsyani (1987: 141) mengatakan bahwa:
na penjara ialah pemasyarakatan. Artinya, masyarakat diayomi
terhadap diulanginya perbuatan jahat oleh terpidana tetapi juga orang-orang
yang tersesat (terpidana) juga diayomi dengan memberikan bekal hidup
Berdasarkan uraian di atas maka, penulis menyimpulkan bahwa cara
yang paling efektif dilakukan untuk menanggulangi pengulangan tindak pidana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
yang dilakukan oleh narapidana residivis adalah pembinaan (treatment) dari
pada sekedar penghukuman (punishment). Penganggulangan diserahkan salah
satu diantaranya oleh lembaga pemasyarakatan dalam kerangka hukum pidana.
5. Tinjauan Umum tentang Pembinaan Berdasarkan Sistem
Pemasyarakatan
a. Pengertian Pembinaan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan tentang pengertian
dan cara membina, 2) Pembaharuan
dan penyempurnaan, dan 3) Usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan
secara berdaya dan berhasil guna untuk memperoleh has
(Peter Sammy dan Yenny Salim, 2007: 205).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pembinaan
merupakan suatu usaha atau cara atau kegiatan dalam rangka meningkatkan
kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan
perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani dari narapidana untuk
memperoleh hasil yang lebih baik.
b. Pengertian Sistem Pemasyarakatan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
pendapat, peristiwa, kepercayaan dan sebagainya yang disusun dan diatur
Peter Sammy dan Yenny Salim, 2007: 1442).
Menurut Romli Atmasasmita (1982: 44) disebutkan bahwa,
Menurut Dwidja Priyatno (2006: 162) disebutkan mengenai pengertian
sistem pemasyarakatan berdasarkan UU No. 12 Tahun 1995 tentang
pemasyarakatan adalah sebagai berikut:
Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
pembangunan dan dapat hidup wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Menurut Dwidja Priyatno (2006: 180) dinyatakan bahwa,
pemasyarakatan merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana.
Oleh karena itu, pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa, sistem
pemasyarakatan merupakan rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana yang
tidak terlepas dari konsep pemidanaan dalam upaya memasyarakatkan kembali
warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila untuk meningkatkan
kualitas warga binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak
mengulangi tindak pidana serta dapat berperan aktif dalam pembangunan dan
dapat hidup wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.
02-PK.04.10 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia disebutkan beberapa pengertian
tentang:
Warga binaan pemasyarakatan, lembaga pemasyarakatan, Rumah Tahanan
Negara, pembinaan narapidana, pembina pemasyarakatan dan Tim Pengamat
Pemasyarakatan (TPP). Dimana, cakupan konsep tersebut merupakan
komponen dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan
Penjelasan mengenai komponen tersebut, adalah sebagai berikut:
1) Warga binaan pemasyarakatan sebagai penghuni Rutan yang meliputi,
narapidana, anak negara, dan tahanan Rutan.
2) Lembaga pemasyarakatan adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang
menampung, merawat, dan membina narapidana.
3) Rumah tahanan negara adalah unit pelaksana teknis tempat tersangka atau
terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan.
4) Pembinaan narapidana ialah semua usaha yang ditujukan untuk
memperbaiki dan meningkatkan akhlak (budi pekerti) para narapidana dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
anak didik yang berada di dalam lembaga pemasyarakatan atau Rumah
tahanan (intramural treatment).
5) Pembina pemasyarakatan adalah pegawai pemasyarakatan yang melakukan
pembinaan secara langsung terhadap narapidana, anak negara, dan tahanan
(intramural treatment) atau mereka yang terdiri dari perorangan, kelompok
atau organisasi yang secara langsung maupun tidak langsung ikut melakukan
atau mendukung pembinaan narapidana, anak negara, dan tahanan
(intramural treatment).
6) Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) adalah tim yang bertugas memberi
pertimbangan kepada pimpinan dalam rangka tugas pengamatan terhadap
pelaksanaan pembinaan narapidana, anak negara atau sipil, dan klien
pemasyarakatan.
c. Pembinaan berdasarkan Pemasyarakatan
Menurut Dwidja Priyatno (2006: 194) dinyatakan bahwa,
merupakan kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani
Menurut Bambang Poernomo (1986: 187) menyebutkan tentang
pembinaan narapidana berdasarkan sistem pemasyarakatan adalah sebagai
berikut:
Pembinaan narapidana mempunyai arti memperlakukan seseorang berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik. Atas dasar pengertian pembinaan yang demikian itu, sasaran yang perlu dibina adalah pribadi dan budi pekerti narapidana, yang didorong untuk membangkitkan rasa harga diri sendiri dan pada diri orang lain, serta mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tenteram dan sejahtera dalam masyarakat dan selanjutnya berpotensi untuk menjadi manusia yang berpribadi luhur dan bermoral tinggi.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa, pembinaan
berdasarkan sistem pemasyarakatan merupakan usaha melalui suatu kegiatan
dalam rangka perbaikan terhadap seseorang yang terpidana dalam hal ini
narapidana agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
tindak pidana. Usaha pembinaan tersebut meliputi: peningkatan kualitas
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku,
profesionalisme, kesehatan jasmani dan rohani. Melalui pembinaan tersebut
maka, narapidana akan diayomi dan diberikan bimbingan sebagai bekal
hidupnya kelak setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam
pembangunan, dan dapat hidup wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggung jawab.
d. Tujuan Pembinaan Berdasarkan Pemasyarakatan
Tujuan pembinaan adalah pemasyarakatan yang dapat dibagi dalam tiga
hal yaitu:
1) Setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan tidak lagi melakukan tindak pidana.
2) Menjadi manusia yang berguna, berperan aktif dan kreatif membangun bangsa dan negaranya.
3) Mampu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akherat (C. I. Harsono, 1995: 47). Menurut Dwidja Priyatno (2006: 10) dijelaskan bahwa:
Tujuan dari pembinaan dalam sistem pemasyarakatan adalah membentuk warga binaan agar menjadi manusia seutuhnya menyadari kesalahan memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat berperan aktif dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, tujuan pembinaan
pemasyarakatan dimaksudkan membentuk warga binaan agar memperbaiki
diri, tidak mengulangi tindak pidana dan berperan aktif dalam pembangunan
sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.
e. Tahap-Tahap Pembinaan dalam Lembaga Pemasayarakatan
Menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor:
M. 02-PK.04.10 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan,
menyebutkan tentang tahapan pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan
adalah sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
1) Tahap pertama adalah pembinaan awal yang didahului dengan masa pengamatan, penelitian dan pengenalan lingkungan (mapenaling), sejak diterima sampai sekurang-kurangnya 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya.
2) Tahap kedua adalah pembinaan lanjutan di atas 1/3 sampai sekurang-kurangnya 1/2 dari masa pidana yang sebenarnya.
3) Tahap ketiga adalah pembinaan lanjutan di atas 1/2 sampai sekurang-kurangnya 2/3 dari masa pidana yang sebenarnya.
4) Tahap keempat adalah pembinaan lanjutan/bimbingan di atas 2/3 sampai selesai masa pidananya (Ismail Saleh, 1990: 16)
Menurut Surat Edaran K.P.10.13/3/1 tanggal 8 Februari 1965 tentang
pemasyarakatan di Indonesia dalam Dwidja Piyatno (2006: 99-
pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan meliputi tahap pertama, tahap
Penjabaran tahapan pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan adalah
sebagai berikut:
1) Tahap pertama
Setiap narapidana yang masuk di lembaga pemasyarakatan dilakukan
penelitian untuk segala hal ikhwal perihal dirinya, termasuk sebab-sebab ia
melakukan kejahatan, dimana ia tinggal, bagaimana keadaan ekonominya,
latar belakang pendidikan dan sebagainya.
2) Tahap kedua
Jika proses pembinaan narapidana yang bersangkutan telah berlangsung
selama-lamanya 1/3 dari masa pidana, dan menurut Dewan Pembina
Pemasyarakatan sudah mencapai kemajuan antara lain menunjukkan
keinsyafan, disiplin dan patuh pada peraturan tata tertib yang berlaku di
lembaga pemasyarakatan maka, kepada narapidana yang bersangkutan
diberikan kebebasan lebih banyak.
3) Tahap lanjutan
Bilamana proses pembinaan terhadap narapidana yang bersangkutan telah
menjalani 1/2 dari masa pidana, dan menurut Dewan Pembinaan
Pemasyarakatan telah dicapai kemajuan yang baik secara fisik maupun
mental dan dari segi keterampilan telah baik, maka dapat diperluas dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
mengadakan asimilasi dengan masyarakat luar tetapi masih dengan
pengawasan dari lembaga pemasyarakatan.
4) Tahap akhir
Jika proses pembinaan telah dijalani 2/3 masa pidana dan dinyatakan oleh
Dewan Pembinaan Pemasyarakatan telah mencapai cukup kemajuan dalam
proses pembinaan antara lain bahwa, narapidana telah cukup menunjukkan
perbaikan-perbaikan dalam tingkah laku, kecakapan dan lain-lain. Maka,
tempat atau wadah utama dari proses pembinaanya ialah Balai
Pemasyarakatan (BAPAS). Di tempat baru ini, narapidana diberi akan
memperoleh pembimbingan sehingga prosesnya bukan lagi pembinaan. Di
tempat baru ini, bersamaan dengan ini dipupuk rasa harga diri, tata krama,
sehingga dalam masyarakat luas timbul kepercayaannya dan berubah
sikapnya terhadap narapidana.
Berikut ini, secara ringkas dapat dilihat dalam bagan tentang alur
tahapan pelaksanaan pembinaan di lembaga pemasyarakatan.
Tahap pertama
Tahap kedua (pembinaan)
Tahap ketiga( lanjutan)
Tahap akhir
Gambar 1. Alur Tahapan Pelaksanaan Pembinaan
f. Metode Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan
Menurut C.I. Harsono (1995: 431) disebutkan bahwa:
agar dapat secara efektif dan efisien diterima oleh narapidana sehingga dapat
menghasilkan perubahan dalam diri narapidana baik perubahan dalam berfikir,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Beberapa hal tentang metode pembinaan di lembaga pemasyarakatan
menurut C.I.Harsono (1995: 342-385) meliputi, dalam
lembaga pemasyarakatan meliputi: metode pembinaan berdasarkan situasi
sesuai dengan kebutuhan pembinaan narapidana, metode pembinaan
perorangan (individual treatment), dan metode pembinaan secara kelompok
(classical treatment)
Penjelasan mengenai metode pembinaan di lembaga pemasyarakatan
adalah sebagai berikut:
1) Metode pembinaan berdasarkan situasi sesuai dengan kebutuhan pembinaan
narapidana. Metode ini dibagi menjadi dua pendekatan yaitu:
a) Pendekatan dari atas kebawah (top down approach).
Dalam metode ini, materi pembinaan berasal dari pembina atau paket
pembinaan dari narapidana yang telah disediakan dari atas. Warga binaan
tidak ikut menentukan jenis pembinaan yang akan dijalaninya, tetapi
langsung saja menerima pembinaan dari para pembina. Paket pembinaan
narapidana dengan pendekatan dari atas, dipilihkan materi-materi umum
yang harus diketahui setiap narapidana dalam rangka pembinaan bagi diri
sendiri, pendekatan kepada Tuhan Yang Maha, bagi persatuan dan
kesatuan bangsa dan untuk kehidupan di masa mendatang setelah keluar
dari lembaga pemasyarakatan. Metode pembinaan dengan pendekatan
dari atas ke bawah harus memperhatikan faktor situasi artinya pembina
harus memiliki kemampuan untuk mengubah situasi yang berbeda dalam
sebuah pembinaan, menjadi sebuah situasi yang disukai dan disepakati
oleh narapidana sehingga mampu menghilangkan kendala dalam situasi
pribadi. Semua narapidana yang ikut dalam pembinaan tersebut akan
terikat dalam situasi pembinaan, sehingga tidak seorangpun yang mampu
melepaskan diri dari situasi tersebut.
b) Pendekatan dari bawah ke atas (botton up approach)
Suatu cara pembinaan narapidana dengan memperhatikan kebutuhan
pembinaan atau kebutuhan belajar narapidana. Tidak setiap narapidana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
mempunyai kebutuhan belajar dan minat belajar yang sama. Semua
sangat tergantung pada diri pribadi narapidana dan fasilitas pembinaan
yang dimiliki oleh lembaga pemasyarakatan setempat. Seringkali seorang
narapidana tidak tahu atas kebutuhan pembinaan bagi dirinya atau
kebutuhan belajarnya. Hal ini dikarenakan narapidana tersebut tidak tahu
apa kebutuhan pembinaan narapidana bagi dirinya atau kebutuhan
belajarnya.
2) Pembinaan perorangan (individual treatment)
Pembinaan perorangan (individual treatment) adalah pembinaan yang
diberikan kepada narapidana secara perseorangan oleh petugas pembina.
Diterapkannya pembinaan secara perorangan ini dikarenakan tingkat
kematangan intelektual, emosi dan logika dari tiap narapidana tidak sama.
Namun, pembinaan secara perorangan sangat bermanfaat jika narapidana
juga mempunyai kemauan untuk merubah dirinya sendiri. Pembinaan secara
perorangan juga akan mendekatkan diri antara petugas dengan narapidana,
sehingga tidak timbul rasa takut yang berlebihan dari narapidana terhadap
petugas.
3) Pembinaan secara kelompok (classical treatment)
Pembinaan secara kelompok dapat dilakukan dengan metode tanya jawab,
simulasi, permainan atau pembentukan tim. Dalam pembinaan kelompok,
pembina harus mampu mengajak narapidana untuk memahami nilai-nilai
positif yang tumbuh di masyarakat atau di kelompok untuk dijadikan bahan
pembinaan secara kelompok. Hal ini dikarenakan, setelah keluar dari
lembaga pemasyarakatan narapidana akan berbaur lagi dengan masyarakat
atau kelompok (keluarga) sehingga nilai positif yang tumbuh dalam
kelompok, keluarga, dan masyarakat akan sangat berguna bagi pemahaman
hidup masyarakat untuk hidup yang saling bergantungan.
Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa, metode pembinaan
digunakan sebagai sarana bagi warga binaan untuk menyampaikan materi
binaan dengan harapan agar pelaksanaan pembinaan terhadap warga binaan
akan lebih efektif dan efisien. Berhasil tidaknya pelaksanaan metode
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
pembinaan sangat bergantung pada materi pembinaan, warga binaan, dan
pembina. Jika metode yang digunakan tepat maka, proses pembinaan akan
dikatakan berhasil yang dapat dilihat dari perubahan sikap atau perilaku warga
binaan ke arah yang lebih baik.
g. Faktor Pendorong dan Penghambat Pembinaan Narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan
1) Faktor Pendorong Pembinaan Narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan
Menurut C. I. Harsono (1995: 36-73) disebutkan bahwa, -
faktor yang mempengaruhi pembinaan narapidana di lembaga
pemasyarakatan meliputi narapidana, petugas pembina, sarana fisik lembaga
pemasyarakatan, keluarga dan masyarakat
Berikut ini penjabaran mengenai faktor-faktor di atas:
a) Narapidana
Narapidana sebagai subyek sekaligus obyek yang akan menerima
pembinaan selama berada di lembaga pemasyarakatan. Pembinaan yang
terbaik bagi keberhasilan narapidana dalam menjalani pidana dan dapat
kembali ke masyarakat serta tidak mengulangi perbuatannya adalah
pembinaan yang berasal dari dalam diri narapidana itu sendiri. Artinya,
narapidana perlu membina dirinya sendiri dengan merubah diri. Adanya
kemauan dan kesadaran dalam diri narapidana sangat menentukan
keberhasilan pembinaan.
b) Petugas atau pembina
Petugas atau pembina merupakan komponen utama dalam menunjang
keberhasilan pembinaan. Petugas pemasyarakatan mempunyai tugas
pokok membina narapidana. Tanpa bantuan orang lain, petugas
pemasyarakatan tetap harus menjalin kerja sama sebagai pembina
narapidana.
c) Sarana fisik lembaga pemasyarakatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Dengan adanya sarana dan prasarana akan memperlancar keberhasilan
pembinaan. Sarana dan prasarana tersebut akan memudahkan petugas
untuk menyampaikan materi pembinaan sehingga lebih efektif.
d) Keluarga dan masyarakat
Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam pembinaan
narapidana. Dalam sistem pemasyarakatan, muncul pentingnya hubungan
keluarga dengan narapidana untuk memotivasi narapidana agar tidak stres
selama di lembaga pemasyarakatan. Untuk mendapatkan hasil yang
maksimal maka, keluarga ikut serta membina narapidana dengan
membangun kesadaran diri atau self development. Sedangkan masyarakat
mempunyai fungsi memberikan motivasi bagi keluarga dan berusaha
menerima kehadiran narapidana setelah mereka bebas dari lembaga
pemasyarakatan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, faktor yang
dapat mendorong pelaksanaan pembinaan di lembaga pemasyarakatan
meliputi narapidana, petugas pembina, sarana fisik lembaga
pemasyarakatan, keluarga dan masyarakat.
2) Faktor Penghambat Pelaksanaan Pembinaan Narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan
Menurut Romli Atmasasmita, faktor-faktor yang menghambat
pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan antara lain: ) Masalah
peraturan perundangan, b) masalah sarana personalia, c) sarana fisik
lembaga pemasyarakatan, dan
Atmasasmita, 1982: 15).
Dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-
PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan
disebutkan bahwa:
Faktor penghambat pelaksanaan pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan yaitu sikap acuh keluarga narapidana, ketidakpercayaan masyarakat terhadap mantan narapidana, kualitas dan kuantitas petugas pemasyarakatan yang belum memadai, sarana dan prasarana yang kurang, dan anggaran yang kurang (Ismail Saleh, 1990: 6).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Penjabaran mengenai faktor penghambat di atas adalah sebagai
berikut:
a) Sikap acuh keluarga narapidana. Sikap acuh tak acuh keluarga narapidana
menghambat pelaksanaan pembinaan, karena masih ada keluarga
narapidana yang bersangkutan tidak memperhatikan lagi nasib narapidana
tersebut.
b) Ketidakpercayaan masyarakat terhadap mantan narapidana. Partisipasi
masyarakat yang masih perlu ditingkatkan karena masih didapati
kenyataan bahwa, sebagian anggota masyarakat masih enggan menerima
kembali bekas narapidana.
c) Kualitas dan kuantitas petugas yang kurang memadai. Kualitas dan
kuantitas petugas yang kurang memadai akan menghambat pelaksanaan
pembinaan. Oleh sebab itu, haruslah selalu diusahakan agar kualitas
petugas dapat mampu menjawab tantangan-tantangan dan masalah-
masalah yang selalu ada dalam muncul di lingkungan lembaga
pemasyarakatan. Kekurangan dalam kualitas atau jumlah petugas,
hendaknya dapat diatasi dengan peningkatan kualitas dan
pengorganisasian yang rapih sehingga tidak menjadi faktor penghambat
atau bahkan menjadi ancaman bagi pembinaan dan keamanan atau
ketertiban.
d) Sarana atau fasilitas pembinaan. Kekurangan sarana dan fasilitas baik
dalam jumiah maupun mutu telah menjadi penghambat pembinaan
bahkan telah menjadi salah satu penyebab rawannya keamanan atau
ketertiban. Hal tersebut menjadi tugas dan kewajiban bagi lembaga
pemasyarakatan untuk memelihara dan merawat semua sarana atau
fasilitas yang ada dan mendayagunakannya secara optimal.
e) Anggaran. Anggaran yang kurang dapat menghambat pelaksanaan
pembinaan sebab anggaran dipergunakan untuk membiayai keperluan
peralatan. Sekalipun dirasakan kurang mencukupi untuk kebutuhan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
seluruh program pembinaan, namun hendaklah diusahakan memanfaatkan
anggaran yang tersedia.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, faktor yang
menghambat pelaksanaan pembinaan di lembaga pemasyarakatan meliputi
masalah dalam diri narapidana, masalah peraturan perundangan, sikap acuh
keluarga narapidana, ketidakpercayaan masyarakat terhadap mantan
narapidana, kualitas dan kuantitas petugas pemasyarakatan yang belum
memadai, sarana dan prasarana yang kurang, dan anggaran (dana) yang
kurang.
6. Tinjauan tentang Good Citizen
a. Pengertian Good Citizen
Istilah good citizen sering disebut sebagai warga negara yang baik. Good
citizen diambil dari istilah bahasa Inggris. Good berarti baik, dan citizen berarti
warga negara. Dari kedua pengertian tersebut jika digabungkan bahwa good
citizen berarti warga negara yang baik.
Menurut Winarno dan Wijianto (2010: 23) disebutkan bahwa,
mengandung pengertian peserta, anggota atau warga dari suatu organisasi
perkumpulan. Warga negara merupakan anggota yang sah dari suatu
mas
Menurut Tunner dalam Winarno (2009: 4-5) mengatakan bahwa,
a citizen a member of group living under certain
laws warga negara adalah anggota dari sekelompok
manusia yang hidup atau tinggal di wilayah hukum tertentu. Dikatakan
demikian karena warga negara terdiri dari orang-orang yang mengambil peran
dalam kehidupan bernegara yaitu yang bisa memerintah dan diperintah. Orang
yang memerintah dan diperintah itu sewaktu-waktu dapat bertukar peran dan
mereka harus sanggup memainkan peran yang berguna dalam negara. Peran
warga negara tersebut meliputi 2 hal yaitu:
1) Peran warga negara dalam kondisi masyarakat demokratis yang sudah
mapan dengan iklim politik yang normal yang memiliki aktivitas seperti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
kegiatan partai politik, mengabdikan diri dalam organisasi sosial, dan ikut
dalam bela negara.
2) Peran warga negara terlibat aktif dalam berbagai aktivitas dalam masyarakat
pluralistik hingga memperoleh pemahaman, bukan mengabaikan situasi
berlangsung begitu saja.
Menurut Gross dan Zeleney dalam Aziz Wahab dan Sapriya (2009: 17)
mengatakan bahwa:
Caharacteristic good citizen bay defining him in of five essential as one who 1) caherises democraic value and bases him action on them, 2) recognizes the work toward their solutions, 3) is aware and takes responsibility for meeting basic human needs, 4) practices democratic human relations in family, school and community 5) proseses and uses knowledge, skill and abilities nessary in a democratic society.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diterjemahkan bahwa
karakteristik seorang warga negara yang baik memenuhi salah satu diantaranya,
1) menghargai nilai-nilai demokrasi dan menjadikannya dasar dalam setiap
perilaku, 2) menyadari permasalahan-permasalahan sosial dan memiliki
keinginan dan kemampuan memberi solusi, 3) menyadari dan mengambil
tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, 4) menjunjung
demokrasi dalam hubungan keluarga, sekolah dan kelompok, 5) proses dan
penggunaan pengetahuan, keterampilan dan tanggung jawab yang dibutuhkan
dalam masyarakat demokrasi.
Menurut Margaret Stimman Branson dalam Winarno dan Wijianto
(2010: 50) menjelaskan mengenai warga negara yang baik adalah sebagai
berikut:
Warga negara yang baik adalah warga negara yang mau dan mampu berpartisipasi dan bertanggung jawab yang didasari oleh pengetahuan, keterampilan, dan penerapan nilai warga negara (civic knownladge, skills and valuedes) yang dapat diperoleh dari berbagai disiplin ilmu sosial yang dapat digunakan secara baik guna memudahkannya dalam kehidupannya di masyarakat terutama di dalam membuat keputusan serta dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya baik sebagai individu, anggota masyarakat ataupun warga negara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
Aziz Wahab dan Sapriya (2009: 55) yang menegaskan kembali bahwa,
civic knownladge, civic skills dan civic
dispositions
Berikut ini penjelasan mengenai civic knowledge, civic skills dan civic
disposition.
1) Pengetahuan warga negara (civic knowledge) yaitu berkenaan dengan apa-
apa yang perlu diketahui dan dipahami secara layak oleh warga negara.
Pengetahuan kewarganegaraan meliputi pengetahuan tentang: prinsip dan
proses demokrasi, lembaga pemerintah dan nonpemerintah, identitas
nasional, pemerintahan berdasarkan hukum, peradilan yang bebas dan tidak
memihak, korupsi, sejarah nasional, hak dan kewajiban warga negara, hak
asasi manusia, hak sipil, dan hak politik.
2) Keterampilan warga negara (civic skills) yaitu berkaitan dengan apa yang
seharusnya dapat dilakukan oleh warga negara bagi kelangsungan bangsa
dan negara . Keterampilan warga negara (civic skills) meliputi: kecakapan
intelektual dan kecakapan partisipatoris. Kecakapan intelektual meliputi:
mengidentifikasikan (identifying), menggambarkan (describing),
menganalisis, menilai, mengambil, dan mempertahankan posisi atas suatu
isu (taking and definding position on public issue). Sedangkan kecakapan
partisipatoris meliputi: berinteraksi (interacting), mamantau (monitoring),
dan mempengaruhi (influencing).
3) Karakter warga negara (civic dispositions) yaitu berkaitan dengan watak,
sikap atau karakter kewarganegaraan. Karakter memfokuskan bagaimana
mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku.
Watak kewarganegaraan (civic disposition) menunjuk pada karakter privat
dan karakter publik. Dalam karakter privat meliputi: tanggung jawab moral,
disiplin diri, dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari
setiap individu. Sedangkan karakter publik meliputi kepedulian sebagai
warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main (rule of law), berfikir
kritis, dan kemampuan untuk mendengar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa, good citizen memiliki
istilah yang sama dengan warga negara yang baik. Sebagai warga negara yang
baik, harus mampu menjalankan perannya dalam pembangunan negara.
Seseorang dapat dikatakan sebagai warga negara yang baik, apabila memiliki
berbagai kemampuan atau kompetensi kewarganegaraan. Kompetensi
kewarganegaraan tersebut meliputi: pengetahuan kewarganegaraan,
keterampilan kewarganegaraan, dan watak atau karakter kewarganegaraan,
serta penerapan nilai kewarganegaraan (civic knownladge, skills, civic
disposition, and civic value). Kompetensi tersebut digunakan secara baik
dimaksudkan untuk memudahkan warga negara terutama dalam membuat
keputusan dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya baik sebagai
individu, anggota masyarakat, ataupun warga negara.
b. Unsur Pembentukan Good Citizen
Menurut Van Gunsteren dalam Aziz Wahab dan Sapriya (2009: 204)
disebutkan bahwa:
The degree to which people succeed in directing their construction of plurality toward citizenship also depend on supportive instiutution, as well as on the intensity of the emotion and the nature of the identies at stake all factors that to some degree exeed the reach of even the best trained and most rational individuals.
Dari pendapat tersebut, dapat diartikan bahwa terdapat empat unsur
untuk mendukung pembentukan kewarganegaraan yang menentukan
pencapaian warga negara yang telah terlatih dan mampu berfikir secara rasional
yaitu kompetensi, institusi, emosi, dan identitas. Dari empat unsur tersebut
dikategorikan sebagai syarat warga negara yang baik dalam masyarakat
demokratis.
Berikut ini penjelasan mengenai keempat unsur tersebut:
1) Unsur kompetensi
Kompetensi berarti kemampuan pikir secara baik dan kecakapan sosial
praktis. Kemampuan itu meliputi: kecakapan yang terkait dengan potensi
diri seperti kemampuan mendengarkan, kemampuan mengungkapkan
pendapat, gagasan, dan perasaan secara jelas, dan melatih pengendalian diri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
serta pengetahuan diri. Unsur-unsur kompetensi kewarganegaraan meliputi
tindakan berfikir praktis tentang penerapan aturan bagaimana mengatasi
kekurangan yang dimiliki dan kegagalan berusaha serta menerima gagasan
orang lain sehingga mampu bertindak secara benar. Seseorang warga negara
yang baik bukan hanya mampu mengembangkan potensinya semata,
melainkan menyadari kelemahan yang ada dalam dirinya dan mampu
mengatasi kelemahan itu.
2) Unsur organisasi
Warga negara yang kompeten tidak hanya tergantung pada individu dan
orang lain, tetapi juga keadaan institusi dimana warga negara itu berada.
3) Unsur identitas
Unsur identitas menjadi penting bagi warga negara sebab, dengan identitas
inilah seseorang yang sebelumnya tidak dikenal menjadi terkenal.
4) Unsur emosi
Emosi bagi warga negara merupakan keniscayaan karena setiap orang pasti
mempunyai emosi. Emosi tersebut berupa tindakan yang sifatnya emosional
seperti antusiasme, jatuh cinta, takut, solidaritas kelompok, mengalah, dan
menghambakan diri.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa unsur yang
membentuk seseorang menjadi warga negara yang baik (good citizen) meliputi:
kompetensi, institusi, emosi, dan identitas. Keempat unsur tersebut, sebagai
syarat menjadi warga negara yang baik dalam masyarakat demokratis. Dalam
penelitian ini, narapidana residivis sebagai warga negara yang hilang
kemerdekaannya di lembaga pemasyarakatan akan diasah kemampuannya
melalui pembinaan selama berada di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
Apabila keempat unsur di atas telah ditanamkan dalam diri narapidana residivis
berarti dikatakan telah terbentuk pribadi good citizen.
7. Hubungan antara Warga Negara yang Baik dengan Moral
Menurut Emaile Durkeim dalam Cheppy Haricahyono (1995: 346)
disebutkan bahwa, Morality is a sistem of rules of conduct. Morality consist of
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
system of action that predetermine conduc
Dari pendapat tersebut dapat diartikan bahwa, untuk menjadi bermoral
seseorang tidak hanya dituntut untuk sekedar mampu bertindak. Tetapi akan lebih
dari pada itu mampu bertindak demi masyarakat dan negara.
Peran warga negara dimulai dari membangun individu manusia yang bermoral baik, menjalankan norma yang ada dalam masyarakat dan agama, dan mentaati peraturan yang ada dalam suatu negara. Menekankan bahwa kedamaian suatu negara atau dunia akan tercapai jika setiap individu dapat mengamankan dirinya sehingga kedamaian dapat dimulai dari diri sendiri dan berkembang dalam lingkungan yang lebih luas. Dengan dimulai dari individu yang baik maka, dapat diterima dalam masyarakat, sehingga mampu memberikan ide atau gagasan untuk diterima di dalam masyarakat. (Ari Mariyono, 2009: 2 diakses dalam http://www.tanahputih.org/artikel/74.)
Hal senada disampaikan menurut Bambang Daroeso (1988: 45-46)
ekatnya adalah etis, mempunyai potensi untuk menjadi
manusia yang bermoral, dan potensi untuk hidup penuh dengan nilai dan norma.
Manusia sebagai warga negara yang bermoral berperan penting dalam
Moral warga negara adalah baik-buruknya tindakan, sikap, dan tingkah laku manusia yang menjalankan kewajiban sebagai warga negara. Moral warga negara menjadi salah satu penentu atau prasyarat kualitas seorang agar berhasil dalam menggerakkan pembangunan di segala bidang kehidupan. Oleh sebab itu, moralitas merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia secara individu maupun secara kelompok, untuk menjadi panduan dasar bagi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam rangka mewujudkan keteraturan dan ketertiban. Apabila moralitas suatu bangsa buruk maka, yang terjadi adalah kekacauan-kekacauan yang berujung pada terhentinya pembangunan. (Heru Hendarto, 2011: 1 diakses dalam http://filsafat. kompasiana.com/2011/03/27).
Berdasarkan uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa, hubungan antara
warga negara yang baik dengan moral adalah moral sebagai pedoman warga
negara untuk bertindak sesuai dengan norma-norma dalam masyarakat. Setiap
warga negara berperan menjalankan kewajiban untuk mematuhi norma yang telah
disepakati oleh masyarakat dan negara. Oleh sebab itu, sebagai warga negara yang
baik harus dimulai dengan membangun moral yang baik. Sebab, untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
membangun negara yang damai dan sejahtera harus dimulai dari individu yang
bermoral. Moral warga negara menjadi penentu kualitas seseorang agar berhasil
menggerakkan pembangunan. Moral warga negara yang baik, akan menimbulkan
ketertiban dan mewujudkan keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Perlu diketahui bahwa warga negara yang baik (good citizen) berbeda
dengan orang yang baik (good man). Menurut Winarno (2009: 39) disebutkan
bahwa, good man adalah mereka yang hidup dengan kebajikan dan rasa
hormat dalam kehidupannya. Sedangkan good citizen tidak hanya hidup dengan
hal tersebut termasuk kehidupan privat, tetapi juga komitmen untuk berpartisipasi
Menurut Sapriya dalam Winarno (2009: 10) menyebutkan penegasan
tentang pendapat Aristoteles yaitu:
good citizen dan bad citizen. We must notes
different constitution require different type of good citizen, while the good man is
always same. Good citizen berbeda dengan good man. Good citizen amat
Selanjutnya Aristoteles mengatakan, ia dipaksa menjadi warga
negara yang baik meskipun mereka tidak baik secara moral (man is forced to be a
good citizen even if not a morally good person) . (Aziz Wahab dan Sapriya, 2009:
55).
Dari kedua pendapat di atas dapat diartikan bahwa, antara warga negara
yang baik (good citizen) dengan orang yang baik (good man) mengandung arti
yang berbeda. Warga negara yang baik (good citizen) belum tentu bermoral sebab,
mereka dituntut berperilaku baik karena melaksanakan kewajibannya terhadap
negara sesuai dengan konstitusi. Warga negara memiliki kewajiban untuk
berpartisipasi aktif dalam pembangunan negara dan mematuhi norma-norma yang
ada dalam negara. Negara menerapkan norma hukum yang mengatur warga
negara agar mematuhi peraturan perundang-undangan. Sehingga secara otomatis
warga negara harus tunduk terhadap konstitusi atau perundang-undangan yang
telah ditetapkan oleh negara. Hukum bersifat memaksa serta memberikan sanksi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
jika melakukan tindakan yang tidak bermoral atau menyimpang dari peraturan
tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa, hukum mampu menempatkan diri
untuk menciptakan moral dalam diri seseorang. Sedangkan good man atau orang
yang baik adalah mereka yang selalu hidup dengan kebajikan dan rasa hormat
dalam kehidupannya. Moral telah terbentuk secara alamiah dalam dirinya
sehingga mampu menempatkan diri untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai
moral yang dimilikinya sehingga tanpa dipaksa ia telah memiliki kesadaran untuk
bertindak secara moral.
8. Hubungan antara Pendidikan Kewarganegaraan dengan Pembinaan
Moral di Lembaga Pemasyarakatan
Menurut Stanley B. Diamond dalam Aziz Wahab dan Sapriya (2009: 28)
mengatakan bahwa:
Pendidikan kewarganegaraan memiliki pengertian dalam arti luas dan arti sempit. Pendidikan kewarganegaraan dalam arti luas diorientasikan pada citizen education yang menekankan pada keterlibatan dan partisipasi warga negara dalam permasalahan-permasalahan kemasyarakatan. Sedangkan dalam arti sempit civic education berkaitan dengan kehidupan sekolah dan masyarakat.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan
kewarganegaraan memiliki arti luas dan sempit. Dalam arti luas civic education
adalah partisipasi dalam masalah kemasyarakatan sedangkan arti sempit berkaitan
dengan mata pelajaran dalam sekolah dan masyarakat.
Kemudian dijelaskan bahwa, pendidikan kewarganegaraan membahas
masalah yang lebih kompleks dan beraneka segi yang mungkin dibutuhkan jika
warga negara. Hal tersebut disampaikan oleh Cogan dan Derriot dalam Winarno
(2009: 1-4) mengatakan bah
sebagai suatu masalah kompleks dalam multidimensi yang terdiri atas 4 dimensi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Penjelasan mengenai dimensi tersebut adalah sebagai berikut:
a. Dimensi pribadi
Dimensi pribadi diartikan bahwa kewarganegaraan yang multidimensi
membutuhkan pengembangan satu kapasitas pribadi dan sosial. Dalam konteks
ini, kewarganegaraan bukanlah sesuatu yang dibatasi pada suatu mata pelajaran
tertentu melainkan membangun iklim sosial dan dapat diidentifikasikan sebagai
satu prioritas oleh setiap orang yang terlibat dalam jalannya pendidikan. Jadi,
masyarakat umum terutama lembaga masyarakat ikut berperan dalam
mengembangkan praktik pendidikan kewarganegaraan kepada lingkungan
masyarakat.
b. Dimensi sosial
Dimensi sosial kewarganegaraan mengakui bahwa, meskipun sifat-sifat pribadi
perlu namun tidaklah cukup untuk menghasilkan warga negara multidimensi.
Kewarganegaraan merupakan aktivitas sosial yang melibatkan orang yang
hidup dan bekerja sama untuk tujuan kewarganegaraan maka, warga negara
harus mampu bekerja dan berinteraksi dengan orang lain di dalam berbagai
keadaan dan konteks.
c. Dimensi spasial
Pada dimensi spasial, mengharuskan warga negara mampu hidup dan bekerja
pada serangkaian tingkat yang saling berhubungan dari tingkat lokal sampai
multinasional. Warga negara harus memandang diri mereka sebagai anggota
dari komunitas yang tumpang tindih antar lokal, regional, nasional, dan
multinasional.
d. Dimensi temporal
Dimensi temporal diartikan kewarganegaraan dimaksudkan bahwa warga
negara dalam menghadapi tantangan-tantangan sekarang tidaklah begitu terikat
pada masa lalu dan masa mendatang. Tetapi kewarganegaraan multidimensi
menekankan pada keadaan sekarang dan tantangan agar ditempatkan dalam
konteks baik masa lalu maupun masa yang akan datang sebagai solusi pendek
semata terhadap persoalan dapat dihindari dan dimanapun memungkinkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Pendapat lain ditambahkan oleh Winarno dan Wijianto (2010: 62)
mengatakan bahwa:
diterapkan dalam dunia pendidikan persekolahan dan masyarakat. Sebagai kajian lintas bidang keilmuan, pendidikan kewarganegaraan mempunyai 2 tugas pokok. Pertama, membangun body knowledge dimana pendidikan kewarganegaraan membutuhkan pendekatan ilmu sosial sebagai pendukungnya. Kedua, membangun karakter warga negara sebagai bidang pengembangan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, pendidikan
kewarganegaraan memiliki tujuan yang urgen yaitu menjadikan masyarakat
Indonesia agar menjadi warga negara yang baik sesuai dengan Pancasila dan UUD
1945 sehingga mampu mengembangkan peranan dalam setiap kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pendidikan kewarganegaraan ternyata membahas
sesuatu yang sangat kompleks yang memiliki berbagai aspek yaitu dimensi
pribadi, dimensi sosial, dimensi spasial dan dimensi temporal. Dengan demikian,
pendidikan kewarganegaraan merangkum tentang bagaimana setiap warga negara
dituntut untuk memiliki kepekaan untuk berperan aktif dalam mengatasi terhadap
masalah-masalah sosial (masyarakat) dalam setiap ruang dan waktu. Selain itu,
pendidikan kewarganegaraan dapat diterapkan dalam lingkup persekolahan
maupun masyarakat.
Selanjutnya Cogan dan Derriot dalam Winarno (2009: 37) menyebutkan
tentang konsep kewargenegaraan secara umum dapat diklasifikasikan dalam 5
kategori yaitu:
Sense of identify (perasaan identitas), the enjoyment of certain right (pemilikan hak-hak tertentu), the fulfiment of corresponding obligation (pemenuhan kewajiban-kewajiban yang sesuai), a degree of interest and involvement in public affair (tingkat ketertarikan dan keterlibatan dalam masalah publik), an acceptance of basic social values (penerimaan terhadap nilai-nilai sosial dasar).
Dari keempat elemen di atas, peneliti menekankan pada elemen ketiga dan
keempat dimana kewarganegaraan terdiri atas ragam tanggung jawab, kewajiban
dan tugas. Peran kewarganegaraan mencakup atas tanggung jawab untuk ikut
andil atau aktif dalam masalah publik. Pendidikan kewarganegaraan menuntut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
agar setiap warga negara mampu menerima nilai-nilai sosial. Hal tersebut
disampaikan pula oleh pendapat Winarno ( 2009: 1) mengatakan bahwa:
Citizen education diartikan sebagai the constribution of education to the development of those characteristic of being a citizen diartikan sebagai kontribusi atau dampak pendidikan terhadap pengembangan karakteristik yang menandai seorang warga negara. Pendidikan yang dimaksudkan juga diartikan dalam pengertian yang luas mencakup formal, informal, dan nonformal sehingga konteks pendidikan kewarganegaraan harus dikampanyekan kepada seluruh lapisan masyarakat dan semua instansi atau jajaran pemerintahan. Dengan demikian, warga negara mampu menerima nilai-nilai sosial dalam masyarakat.
Winarno dan Wijianto (2010: 68-
pendidikan kewarganegaraan dapat berlangsung dalam berbagai lingkup
a. Pendidikan formal taman kanak-kanak atau sekolah dasar sampai perguruan
tinggi baik dalam mata pelajaran tersendiri atau terintegrasi.
b. Pendidikan formal yang berkaitan dengan lembaga keagamaan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Pendidikan nonformal yang diselenggarakan bagi warga masyarakat yang
memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah,
atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan
sepanjang hayat.
d. Pendidikan kedianasan yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga
non departemen.
e. Pendidikan di lingkungan perusahaan.
f. Pendidikan di lingkungan organisasi kemasyarakatan dan partai politik yang
berkaitan dengan pendidikan dasar kepemimpinan maupun pendidikan
perjenjangan kader yang diselenggarakan oleh organisasi tersebut.
Berdasarkan pendapat di atas dapat diartikan bahwa, pendidikan
kewarganegaraan bukanlah sebuah pendidikan yang dibatasi pada lingkungan
formal saja sebagai suatu mata pelajaran kewarganegaraan yang berdiri sendiri
namun, dapat dilaksanakan dalam lingkungan nonformal, masyarakat, organisasi,
dan perusahanaan. Oleh sebab itu, pendidikan kewargenegaraan dapat diselipkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
atau terintegrasi dalam mata pelajaran lain yaitu pendidikan moral sebab
pendidikan moral merupakan bagian dari ranah pendidikan kewarganegaraan.
Kedua mata pelajaran tersebut tidak hanya diajarkan dalam persekolahan tetapi
dikembangkan dalam konteks sosial (masyarakat). Seperti yang diungkapkan oleh
Cheppy Haricahyono (1995: 209) mengemukakan bahwa:
Pendidikan moral dewasa ini dikatakan unik sebab diajarkan dalam berbagai kegiatan pendidikan, dimana pendidikan moral tidak hanya meliput realitas hidup manusia sehari-hari yang nampak dalam kegiatan kelas tetapi mencakup berbagai permasalahan yang terkait dengan eksistensi manusia bahkan yang paling mendasar sekalipun.
Selanjutnya ditambahkan oleh Durkeim dalam Cheppy Haricahyono
yang penting dalam segala sesuatu yang berobyekkan masyarakat sehingga
berkembang bersamaan dengan ranah sosial, sehingga moralitas dimulai dengan
keterlibatan individu dalam masyarakat dan bukan semata untuk merefleksikan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan hubungan antara pendidikan
kewarganegaraan dan pendidikan moral adalah bahwa pendidikan moral
merupakan disiplin ilmu yang merupakan bagian dari substansi dalam pendidikan
kewarganegaraan. Keduanya sama-sama membahas mengenai bagaimana
membentuk seorang menjadi warga negara yang baik dan bermoral. Pendidikan
kewarganegaraan dalam penelitian ini mengarahkan penyelesaian yang merujuk
pada konteks sosial yaitu pendidikan kewarganegaraan berbasis masyarakat (civic
community) bahwa, pendidikan kewarganegaraan ikut andil dalam memecahkan
masalah publik (sosial). Dalam penelitian ini, sebagai upaya untuk mengatasi
masalah publik salah satunya diserahkan kepada lembaga sosial yaitu lembaga
pemasyarakatan (Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta) yang terkait dengan
penerapan pendidikan moral sebagai salah satu disiplin ilmu dalam pendidikan
kewarganegaraan. Sebagai suatu lembaga nonformal, Rumah Tahanan Negara
Klas 1 Surakarta melaksanakan pembinaan moral sebagai salah satu wujud
sebagai upaya merubah narapidana residivis menjadi warga negara yang bermoral.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
Pembinaan moral tersebut dilaksanakan melalui pendidikan agama dan
pendidikan moral.
B. Kerangka Berfikir
Kerangka berpikir adalah alur pemikiran atau penalaran seseorang yang
didasarkan pada masalah penelitian yang digambarkan dengan skema secara
sistematik. Atau dapat juga menjelaskan suatu variabel yang mengacu pada
landasan teori. Berdasarkan kajian teori di atas, maka penulis dapat menyusun
kerangka berpikir sebagai berikut:
Moral memegang peranan penting dalam kehidupan manusia yang
berhubungan dengan baik dan buruk terhadap tingkah laku manusia. Tingkah laku
manusia mendasarkan diri pada norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Apabila seseorang mengindahkan norma tersebut, maka akan banyak terjadi
tindakan menyimpang. Fenomena meningkatnya kejahatan seperti pembunuhan,
kekerasan, pencurian dan lain-lain menunjukkan bahwa, norma-norma yang
berlaku dalam masyarakat sudah terabaikan. Oleh sebab itu, dibutuhkan hukum
guna menanggulangi tindak kejahatan yang dilakukan masyarakat. Dalam upaya
menanggulangi masalah kejahatan, dikeluarkan sistem hukum di Indonesia yang
dikenal dengan sistem pemidanaan. Sistem pemidanaan di Indonesia diatur dalam
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Pemidanaan mengatur semua
perbuatan yang boleh dilakukan dan dilarang yang disertai dengan sanksi pidana
yang tegas. Pemidan
narapidana yang dikenal dengan nama pemasyarakatan. Sehingga masalah
pemidanaan salah satunya diserahkan kepada lembaga pemasyarakatan.
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta sebagai lembaga
pemasyarakatan melaksanakan pembinaan yang didasarkan pada Keputusan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang pola
pembinaan narapidana atau tahanan. Pola pembinaan dimulai dengan membentuk
moral narapidana melalui pembinaan mental. Tujuan pembinaan tersebut,
diarahkan sesuai dengan UU No. 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan yaitu
agar narapidana dapat memperbaiki diri dan tidak mengulangi kembali perbuatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
tindak pidana. Lebih dari pada itu, narapidana akan dibekali sejumlah penguasaan
kompetensi kewarganegaraan dengan harapan menjadi warga negara yang baik
(good citizen). Penguasaan kompetensi kewarganegaraan tersebut meliputi: civic
knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), civic skills (keterampilan
kewarganegaraan), dan civic virtue (penerapan nilai-nilai kewarganegaraan).
Namun, kenyataan di lapangan menyebutkan bahwa, masih terjadi
pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana residivis. Kenyataan
ini kemudian mengantarkan pada sebuah asumsi bahwa, pemidanaan yang
diberikan oleh Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta belum memberikan efek
jera bagi narapidana residivis. Pengulangan tindak pidana oleh narapidana
residivis mungkin ada yang salah dalam mekanisme pelaksanaan pembinaan di
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta hingga tujuan dari pembinaan itu sendiri
yaitu mengembalikan narapidana ke tengah masyarakat tidak tercapai.
Pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana residivis
menunjukkan bahwa moral yang dimiliki masih rendah. Oleh sebab itu itu,
peneliti perlu mengetahui bagaimanakah moral narapidana residivis selama ini
yang terkait dengan tindak pidana yang dilakukan. Pengulangan tindak pidana
yang dilakukan narapidana residivis menunjukkan bahwa, pelaksanaan pembinaan
di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam mengembalikan moral
narapidana residivis selama ini belum efektif. Oleh sebab itu, peneliti perlu
mengetahui faktor pendorong dan penghambat pelaksanaan pembinaan moral
terhadap narapidana residivis sehingga arah pembentukan good citizen belum
tercapai.
Untuk memperjelas keterangan di atas agar memudahkan dalam
memahaminya, telah disediakan dalam bentuk skema kerangka berpikir sebagai
berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Gambar 2. Skema Kerangka Berpikir
Keberhasilan Pembentukan Good Citizen Narapidana
Residivis
UU No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
Pembinaan Moral di Rumah Tahanan Negara
Klas 1 Surakarta
Faktor Pendorong Pembinaan
Faktor Penghambat Pembinaan
Moral Narapidana Residivis
Terkait Pengulangan Tindak Pidana
Keputusan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola
Pembinaan Narapidana atau Tahanan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Kualitas dari penelitian kualitatif tidak tergantung oleh luas tidaknya masalah
dan besar kecilnya populasi tetapi ditentukan oleh ketajaman di dalam menganalisa
data atau permasalahannya. Sehingga perlu adanya suatu pembatasan tempat
penelitian yang jelas. Tempat penelitian merupakan suatu lokasi dimana penelitian
akan dilakukan untuk memperoleh data sesuai dengan permasalahan yang diajukan.
Sesuai dengan tujuan penelitian, penulis memilih lokasi penelitian di Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang beralamat di Jalan Slamet Riyadi No. 18
Surakarta. Hal ini diambil dengan alasan bahwa peneliti melihat adanya masalah yang
menarik untuk diteliti yaitu sebagai berikut:
a. Terjadi peningkatan jumlah penghuni narapidana residivis di Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta pada tahun 2010-2011.
b. Peneliti merasa tertarik untuk mengadakan penelitian guna mengetahui bagaimana
pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta selama ini.
c. Tahun 2009 Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta mendirikan pondok
pesantren sebagai proyek percontohan Departemen Hukum dan HAM bagi Rumah
Tahana Negara di seluruh wilayah Indonesia. Pondok pesantren tersebut sebagai
salah satu kegiatan pembinaan agama dalam membentuk pribadi narapidana yang
bermoral.
2. Waktu Penelitian
Waktu yang digunakan dalam penelitian ini dimulai dari pengajuan judul
sampai dengan penyusunan laporan hasil penelitian. Waktu ini meliputi persiapan
sampai penyusunan laporan penelitian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Jadual kegiatan penelitian adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Jadual Kegiatan Penelitian
No Kegiatan Tahun 2011
Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nov
1. Pengajuan Judul
2. Penyusunan Proposal
3. Ijin Penelitian
4. Pengumpulan Data
5. Analisis Data
6. Penyusunan Laporan
B. Bentuk dan Strategi Penelitian
1. Bentuk Penelitian
Bentuk penelitian merupakan cara yang digunakan oleh peneliti dalam
menyusun penelitian yang bertujuan untuk memahami suatu masalah dan cara
pemecahan masalah tersebut. Menurut Lexy J. Moleong (2009: 4) yang mengutip
pendapatnya Bogdan dan Taylor menyatakan bahwa, Penelitian kualitatif adalah
prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis atau lisan dari orang-
Menurut H.B Sutopo (2006: 37) disebutkan bahwa,
diarahkan pada kondisi asli dimana dan kapan subjek penelitian berada, artinya
Bentuk penelitian ini merupakan sebuah penelitian kualitatif dan bersifat
deskriptif karena dalam penelitian ini mengarah pada pendeskripsian secara rinci dan
mendalam mengenai potret kondisi tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut apa
yang ada di lapangan studinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
Sesuai dengan penjelasan di atas, peneliti akan mendeskripsikan mengenai
masalah sebagai berikut:
a. Moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait
pengulangan tindak pidana yang dilakukan.
b. Pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam membentuk
good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
c. Faktor pendorong dan penghambat pelaksanaan pembinaan moral terhadap
narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait
pembentukan good citizen.
2. Strategi Penelitian
Strategi penelitian diperlukan untuk mengkaji permasalahan yang diteliti
secara tepat. Strategi yang dipilih akan digunakan untuk mengamati, mengumpulkan
informasi, mengkaji analisis hasil penelitian, dan untuk menetapkan sampel, serta
pemilihan instrumen penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan informasi.
Menurut H.B. Sutopo (2006: 39) dijelaskan bahwa:
bentuk penelitian terpancang
(embedded research) yaitu penelitian kualitatif yang sudah menentukan fokus
penelitian berupa variabel utamanya yang akan dikaji berdasarkan pada tujuan dan
minat penelitinya sebelum peneliti .
Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah strategi tunggal
terpancang. Maksud dari strategi tunggal terpancang dalam penelitian ini,
mengandung pengertian sebagai berikut: tunggal artinya hanya ada satu lokasi yang
akan diteliti yaitu Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta serta pembahasan
masalah hanya terpancang pada perumusan masalah yang telah diuraikan di depan
pada bab pendahuluan yaitu a. Moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara
Klas 1 Surakarta terkait pengulangan tindak pidana yang dilakukan, b. Pelaksanaan
pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam membentuk good citizen di
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, c. Faktor pendorong dan penghambat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta terkait pembentukan good citizen.
C. Sumber Data
Menurut H.B. Sutopo (2006: 56) menyatakan bahwa,
penelitian kualitatif dapat berupa sumber atau informan, peristiwa atau aktifitas,
perilaku, tempat atau lokasi, benda, gambar, rekaman, dan
Pendapat lain tentang sumber data dalam penelitian kualitatif adalah yang
diungkap oleh Lofland yang dikutip oleh Lexy J. Moleong (2009: 157) dijelaskan
bahwa, -kata, dan tindakan,
selebihnya data tambahan seperti dokumen dan lain-
tersebut, pada bagian ini jenis datanya dibagi ke dalam kata-kata, tindakan, sumber
data tertulis, dan foto.
Sebelum menentukan sumber data, peneliti akan menentukan data apa saja
yang ingin peneliti peroleh yang terkait dengan rumusan masalah. Data yang ingin
dicari adalah 1. Moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta terkait pengulangan tindak pidana yang dilakukan, 2. Pelaksanaan
pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam membentuk good citizen di
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, 3. Faktor pendorong dan penghambat
pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta terkait pembentukan good citizen.
Untuk mendapatkan data di atas maka, peneliti dapat menentukan sumber data.
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data yang berupa
informan, peristiwa atau aktivitas, tempat atau lokasi serta dokumen dan arsip. Untuk
lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:
1. Informan
Pengertian informan menurut H.B. Sutopo (2006: 57) menyebutkan bahwa,
berupa manusia (narasumber) sangat penting perannya sebagai
individu yang memiliki informasinya, karena posisi inilah sumber data yang berupa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
manusia di dalam penelitian kualitatif lebih tepat disebut sebagai informan daripada
Menurut M. Burhan Bungin (2008: 138) dijelaskan bahwa,
informan dengan maksud tidak selalu menjadi wakil dari seluruh objek penelitian,
tetapi yang penting informan memiliki pengetahuan yang cukup serta mampu
Informan adalah orang yang dipandang mengetahui permasalahan dalam
penelitian secara mendalam dan dapat dipercaya, sehingga dapat dijadikan sumber
yang mantap. Adapun informan yang diperlukan antara lain:
a. Narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang berjumlah
10 orang.
b. Petugas Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
1) Bapak Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S. Sos. M.M selaku Kepala Seksi Pelayanan
Tahanan.
2) Bapak Drs. Haryana selaku Kepala Pengelolaan Rutan.
c. Pembina Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta meliputi:
1) Bapak Suramto selaku Wakil Kepala Sub Seksi Bantuan Hukum dan
Penyuluhan berperan sebagai ketua program pembinaan kesadaran agama islam.
2) Bapak Didit Santoso, S.Pd selaku Staff Sub Seksi Bantuan Hukum dan
Penyuluhan berperan sebagai ketua program pembinaan kesadaran agama
nasrani.
3) Bapak Slamet S.St. selaku Kepala Seksi Bantuan Hukum dan Penyuluhan
berperan sebagai ketua program pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara.
4) Bapak Tentrem Basuki, S.Pd. selaku Staff Sub Seksi Bantuan Hukum dan
Penyuluhan berperan sebagai ketua program pembinan intelektual.
5) Bapak Wagimin, SE. selaku Staff Bantuan Hukum dan Penyuluhan berperan
sebagai ketua program pembinaan kesadaran hukum.
6) Bapak Wiyono, SE. selaku Kepala Seksi Bimbingan Kerja dan Kegiatan
berperan sebagai ketua program pembinaan kemandirian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
7) Bapak Sarwono selaku Staff Sub Seksi Bantuan Hukum dan Penyuluhan
berperan sebagai ketua program pembinaan bentuk olah raga.
Adapun daftar informan di atas dapat dilihat pada lampiran 1.
2. Peristiwa atau Aktivitas
Menurut H.B Sutopo (2006: 58) dijelaskan bahwa,
peristiwa atau aktivitas, peneliti bisa mengetahui bagaimana sesuatu terjadi secara
.
Aktivitas yang peneliti amati adalah pelaksanaan pembinaan moral terhadap
narapidana residivis dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas
1 Surakarta. Aktivitas pembinaan moral tersebut meliputi:
a. Kegiatan atau aktivitas narapidana residivis dalam mengikuti pembinaan kesadaran
keagamaan islam di masjid An-Nur Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
b. Kegiatan atau aktivitas narapidana residivis dalam mengikuti pembinaan kesadaran
intelektual di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
c. Kegiatan atau aktivitas narapidana residivis dalam mengikuti pembinaan kesadaran
hukum di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
d. Sikap narapidana residivis setelah diberikan pembinaan (sudah menunjukkan
perubahan atau belum).
e. Faktor yang mendorong dan menghambat pelaksanaan pembinaan moral seperti:
1) Sikap narapidana residivis saat mengikuti pembinaan.
2) Sikap pembina Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam
menyampaikan pembinaan.
3) Sarana dan prasarana yang terkait dengan sarana personil dan fasilitas
pelaksanaan pembinaan.
4) Peraturan yang digunakan dalam pelaksanaan pembinaan moral di Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
5) Kunjungan keluarga dalam ruang besukan yang terkait dengan motivasi dan
dukungan moril terhadap narapidana.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
3. Tempat atau Lokasi
Menurut H.B Sutopo (2006: 60) menyatakan bahwa,
adalah berkaitan dengan sasaran atau permasalahan penelitian. Sering juga
m
Dalam penelitian ini, lokasi yang dijadikan tempat penelitian adalah Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
4. Dokumen dan Arsip
Dokumen dan arsip merupakan bahan tertulis yang berhubungan dengan suatu
peristiwa atau aktivitas tertentu. Dalam mengkaji dokumen tidak hanya mencatat apa
yang tertulis, tetapi juga berusaha menggali dan menangkap makna yang tersirat dari
dokumen tersebut.
Adapun dokumen dan arsip yang digunakan peneliti sebagai sumber data
adalah:
a. Data jumlah residivis tahun 2009-2011 di Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta. (Dapat dilihat lampiran 2).
b. Jadual kegiatan pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan di Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta. (Dapat dilihat pada lampiran 3).
c. Hasil evaluasi perkembangan diri narapidana residivis yang belum menunjukkan
perilaku yang baik ditinjau dalam laporan perkembangan warga binaan
pemasyarakatan tahun 2011. (Dapat dilihat dalam lampiran 4).
D. Teknik Sampling
Menurut Lexy J. Moleong (2009: 224)
kualitatif, sampling digunakan untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari
berbagai macam sumber dan bangunannya (construction). Sampling ialah menggali
Menurut Bogdan dan Biklen dalam H.B. Sutopo (2006: 63) dinyatakan bahwa:
Cuplikan dalam penelitian kualitatif sering juga dinyatakan sebagai internal sampling yaitu sampling diambil untuk mewakili informasinya bukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
populasinya, dengan kelengkapan dan kedalamannya yang tidak perlu ditentukan oleh jumlah sumber datanya, karena jumlah informan yang kecil bisa saja menjelaskan informasi tertentu secara lebih lengkap dan benar dari pada informasi yang diperoleh dari jumlah narasumber yang lebih banyak, yang mungkin kurang mengetahui dan memahami informasi yang sebenarnya.
Menurut Lexy J. Moleong (2009: 224) menyebutkan bahwa:
Dalam penelitian kualitatif, menyarankan sampling yang memadai dapat disusun yaitu bahwa kelompok harus terdiri atas anggota-anggota dari sesuatu populasi yang lebih besar. Peserta dipilih sekitar 20% dari orang-orang yang ada. Pemilihan peserta jangan terlalu besar sehingga partisipasi anggota menjadi sangat berkurang dan jangan terlalu kecil sehingga gagal memperoleh cakupan yang luas dibanding hanya seorang. Bagaimanapun jumlah peserta tergantung tujuan penelitian.
Menurut Sugiyono (2010: 300) menyatakan bahwa
kualitatif, teknik sampling yang sering digunakan adalah purposive sampling dan
snowball sampling Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber
data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu misalnya orang tersebut
paling tahu tentang apa yang peneliti harapkan. Sedangkan snowball sampling adalah
teknik pengambilan sampel sumber data yang pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-
lama menjadi besar. Hal ini dilakukan karena dari jumlah sumber data yang sedikit
tersebut belum mampu memberikan data yang lengkap, sehingga mencari orang lain
lagi yang dapat digunakan sebagai sumber data. Dengan demikian, jumlah sampel
data akan semakin besar seperti bola salju yang menggenlinding.
Jadi, teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive
sampling dan snowball sampling
Dari hasil yang didapat setelah melakukan penelitian di Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta maka, peneliti memperoleh sumber data sebagai berikut:
1. Sumber data secara purposive sampling yaitu
a. Sumber data secara purposive sampling dilakukan kepada narapidana residivis
di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta sebab, mereka merupakan sumber
informan yang paling mengetahui terkait dengan moral atas pengulangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
tindak pidana yang dilakukannya. Peneliti mengambil narapidana residivis
yang berjumlah 10 orang untuk dijadikan informan dari jumlah narapidana
residivis 20 secara keseluruhan (populasi) yaitu tindak pidana pencurian 6
orang, tindak pidana pembunuhan 1 orang, tindak pidana penggelapan 1 orang,
tindak pidana kekerasan 1 orang, dan tindak pidana penipuan 1 orang.
b. Sumber data secara purposive sampling juga ditujukan petugas Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yaitu Bapak Agustiyar Ekantoro,
Bc.IP.S.Sos.M.M selaku Kepala Seksi Pelayanan Tahanan Rutan Klas 1
Surakarta. Beliau adalah sumber data yang paling mengetahui informasi secara
mendalam mengenai pelaksanaan pembinaan moral narapidana residivis serta
faktor pendorong dan penghambat pelaksanaan pembinaan moral narapidana
residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam membentuk good
citizen.
2. Teknik snowball sampling ditujukan kepada Bapak Drs. Haryana selaku Kepala
Pengelolaan Rutan, dan pembina Rutan yaitu Bapak Suramto, Bapak Didit
Santoso, Bapak Slamet S.St, Bapak Tentrem Basuki S.Pd, Bapak Wagimin,
Bapak Wiyono, SE, dan Bapak Sarwono, dan perwakilan 3 orang narapidana
residivis. Kepada beberapa sumber data tersebut, maka akan diperoleh data yang
lebih lengkap terkait pelaksanaan pembinaan moral narapidana residivis serta
faktor pendorong dan penghambat pelaksanaan pembinaan moral narapidana
residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam membentuk good
citizen.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara-cara operasional yang ditempuh oleh
penulis untuk memperoleh data yang diperlukan. Berhasil tidaknya suatu penelitian
tergantung pada data yang obyektif. Oleh karena itu, sangat perlu diperhatikan teknik
pengumpulan data yang dipergunakan sebagai alat pengambil data.
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang diperlukan adalah :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
1. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Menurut Lexy J.
(interviwer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (responden) yang
Menurut H.B. Sutopo, (2006: 69) dinyatakan bahwa:
Wawancara mendalam (in depth interviewing) yaitu teknik wawancara yang paling banyak digunakan dalam penelitian kualitatif, terutama pada penelitian lapangan dan ingin menggali informasi secara mendalam dan lengkap dari narasumber... .Di dalam melakukan wawancara, situasi akrab harus diusahakan dan dikembangkan peneliti.
Menurut Sugiyono (2010: 194-199) mengatakan bahwa, penelitian
kualitatif terdapat 2 teknik pengumpulan data melalui wawancara yaitu wawancara
Berikut ini penjelasan mengenai wawancara terstuktur dan wawancara tidak
terstuktur.
a. Wawancara terstruktur adalah teknik pengumpulan data, bila peneliti telah
mengetahui pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh. Dalam melakukan
wawancara, pewawancara menggunakan pedoman wawancara.
b. Wawancara tidak terstuktur merupakan wawancara yang bebas dimana peneliti
hanya menggunakan pedoman wawancara yang tidak tersusun secara sistematis
dan lengkap namun hanya berupa garis-garis besarnya permasalahan yang akan
ditanyakan. Teknik wawancara ini sering digunakan dalam penelitian pendahuluan
atau malahan untuk penelitian yang lebih mendalam. Peneliti lebih banyak
mendengarkan apa yang diceritakan responden. Berdasarkan analisis terhadap
setiap jawaban dari responden tersebut, maka peneliti dapat mengajukan
pertanyaan berikutnya yang lebih terarah pada suatu tujuan.
Peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam (in depth interviewing)
sebab peneliti berusaha menggali lebih dalam untuk memperoleh data yang lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
lengkap. Selain itu peneliti juga menggunakan teknik wawancara terstruktur dan
wawancara tidak terstruktur. Wawancara terstruktur dilakukan kepada petugas dan
pembina Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Peneliti telah membuat pedoman
wawancara sebelum melaksanakan wawancara. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
informasi tentang pelaksanaan pembinaan moral narapidana residivis di Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam membentuk good citizen, serta faktor
pendorong dan penghambat pelaksanaan pembinaan moral narapidana residivis
terkait pembentukan good citizen.
Sedangkan wawancara tidak terstruktur dilakukan kepada narapidana residivis
di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Teknik wawancara tidak terstruktur
dilakukan kepada narapidana residivis sebab informan sulit diajak berinteraksi
sehingga sulit diperoleh keterangan darinya dengan maksud untuk mengetahui moral
narapidana residivis yang terkait dengan pengulangan tindak pidana. Untuk
memperoleh data dari informan peneliti berusaha mendengarkan terlebih dahulu
beberapa keterangan yang disampaikan oleh informan baru kemudian dapat
mengajukan pertanyaan berikutnya yang lebih terarah pada suatu tujuan.
Adapun pedoman wawancara di atas, dapat dilihat pada lampiran 5, catatan
lapangan dengan narapidana residivis, catatan lapangan dengan petugas Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, catatan lapangan dengan pembina Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta, dan catatan lapangan dengan perwakilan narapidana
residivis secara urut dapat dilihat pada lampiran 6, lampiran 7, lampiran 8 dan
lampiran 9.
2. Observasi
Menurut H.B Sutopo (2006: 64)
data dari sumber data yang berupa peristiwa, tempat atau lokasi dan benda serta
Menurut Susan Sainback dalam Sugiyono (2010: 310) membagi observasi
berpartisipasi menjadi empat yang meliputi, Passive participation, moderate
participation, active participation, dan complete participation
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
Hal tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut:
a. Partisipasi pasif (passive participation), peneliti datang sendiri di tempat kegiatan
orang yang diamati, tetapi tidak ikut terlibat.
b. Partisipasi moderat (moderate participation), peneliti dalam mengumpulkan data
ikut observasi partisipasif dalam beberapa kegiatan, tetapi tidak semuanya.
c. Partisipasi aktif (active participation), peneliti ikut melakukan apa yang dilakukan
oleh narasumber, tetapi belum sepenuhnya lengkap.
d. Partisipasi lengkap (complete participation), peneliti sudah terlibat sepenuhnya
terhadap apa yang dilakukan narasumber data.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan observasi partisipasi moderat
(moderate participation) yaitu peneliti dalam mengumpulkan data melakukan
pengamatan dan juga ikut dalam beberapa kegiatan pembinaan moral narapidana
residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dengan mencatat berbagai hal
yang dianggap perlu mendukung penelitian ini, tetapi tidak semuanya. Observasi
yang dilakukan peneliti dengan cara mengamati kondisi dan perilaku pelaku dalam
hal ini narapidana residivis pada saat mengikuti pembinaan di Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta. Mengenai hasil observasi, peneliti melampirkan foto
mengenai aktivitas kegiatan dalam pelaksanaan pembinaan moral narapidana
residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Adapun foto-foto hasil
observasi dapat dilihat pada lampiran 10.
3. Analisis Dokumen
Dalam teknik dokumentasi peneliti melakukan telaah kepustakaan dan content
analysis. Menurut H.B Sutopo (2006: 69) berpendapat bahwa,
disebut juga content analysis dan yang dimaksud bahwa peneliti bukan hanya sekedar
mencatat isi penting yang tersurat dalam dokumen atau arsip tetapi juga tentang
Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah data jumlah residivis
tahun 2009-2011 di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, jadual kegiatan
pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan dan hasil evaluasi perkembangan diri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
narapidana residivis yang belum menunjukkan perilaku yang baik ditinjau dalam
laporan perkembangan warga binaan pemasyarakatan tahun 2011.
F. Validitas Data
Menurut Sugiyono (2010: 363) dinyatakan bahwa,
derajad ketepatan antara data yang terjadi pada obyek penelitian dengan daya yang
Validitas data adalah keabsahan data yang diperoleh di dalam penelitian atau
suatu data yang diakui keabsahannya. Pengujian data dilakukan dengan trianggulasi
data untuk menjamin kemantapan dari data penelitian ini. Data yang telah
dikumpulkan, diolah, diuji kesahihannya melalui teknik pemeriksaan tertentu. Dalam
penelitian kualitatif terdapat beberapa cara antara lain berupa teknik trianggulasi dan
review informan.
1. Trianggulasi
Menurut H.B Sutopo (2006: 78) dinyatakan bahwa,
cara yang paling umum digunakan bagi peningkatan validitas dalam peningkatan
Menurut Patton yang dikutip oleh H.B. Sutopo (2006: 78-82) Triangulasi data
ada 4 (empat) macam yaitu,
Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a. Triangulasi data atau trianggulasi sumber, artinya data yang sama atau sejenis akan
lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber yang berbeda.
b. Triangulasi metode, jenis triangulasi ini bisa dilakukan oleh seorang peneliti
dengan mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik dan
metode yang berbeda.
c. Triangulasi peneliti, yaitu hasil penelitian baik data atau simpulan mengenai
bagian tertentu atau keseluruhannya bisa diuji validitasnya dari beberapa peneliti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
d. Triangulasi teori, triangulasi ini dilakukan peneliti dengan menggunakan
perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan trianggulasi data dan trianggulasi
metode. Trianggulasi data diartikan bahwa, peneliti menggunakan teknik
pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data yang sama atau
sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber yang
berbeda. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan cara mencari data dari informan.
Sedangkan trianggulasi metode disini dilakukan peneliti dalam mengumpulkan data
dengan metode yang berbeda-beda antara lain dilakukan dengan wawancara,
pengamatan dan analisis dokumen yang berhubungan dengan permasalahan dalam
penelitian ini.
a. Trianggulasi data dilakukan kepada narapidana residivis yang berjumlah 10 orang
dengan mengajukan pertanyaan yang sama melalui metode wawancara dengan
maksud untuk mengetahui moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara
Klas 1 Surakarta yang terkait dengan pengulangan tindak pidana. Selain itu,
trianggulasi data juga dilakukan petugas Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
yaitu Bapak Agustiyar Ekantoro Bc.IP.S.Sos M.M, Bapak Drs. Haryana, Bapak
Suramto, Bapak Didit Santoso, S.Pd, Bapak Tentrem Basuki, S.Pd, Bapak
Wagimin, SE, Bapak Wiyono, SE, dan Bapak Sarwono. Kepada beberapa informan
tersebut, peneliti melakukan wawancara dengan maksud untuk mengetahui
bagaimana pelaksanaan pembinaan moral narapidana residivis di Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta khususnya tahapan pelaksanaan pembinaan bagi
narapidana residivis dan juga untuk mengetahui faktor pendorong dan penghambat
pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam membentuk
good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
Untuk lebih jelasnya mengenai trianggulasi data dapat dilihat lampiran 11.
b.Trianggulasi metode digunakan untuk mengetahui pelaksanaan pembinaan moral
kepada narapidana residivis dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta serta faktor pendorong dan penghambat pembinaan moral
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Trianggulasi metode dilakukan
dengan mengumpulkan data sejenis tetapi menggunakan metode yang berbeda yaitu
metode wawancara, observasi dan analisis dokumen. Wawancara dilakukan kepada
petugas Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yaitu Bapak Agustiyar Ekantoro
Bc.IP.S.Sos M.M, Bapak Drs. Haryana, Bapak Slamet.S.St Bapak Suramto, Bapak
Didit Santoso, S.Pd, Bapak Tentrem Basuki, S.Pd, Bapak Wagimin, SE, Bapak
Wiyono, SE, dan Bapak Sarwono. Berdasarkan data dari hasil wawancara tersebut,
kemudian dibandingkan dengan hasil pengamatan dan analisis dokumen. Hasil
pengamatan berhubungan dengan pelaksanaan pembinaan moral terhadap
narapidana residivis yaitu aktivitas pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta terhadap narapidana residivis dan perilaku narapidana residivis selama
mengikuti pembinaan. Sedangkan faktor yang mendorong dan menghambat
pelaksanaan pembinaan moral di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta seperti
perilaku narapidana residivis, sarana dan prasarana, dana, dan kunjungan keluarga.
Mengenai analisis dokumen meliputi: hasil evaluasi perkembangan diri narapidana
residivis yang belum menunjukkan perilaku yang baik ditinjau dalam laporan
perkembangan warga binaan pemasyarakatan tahun 2011 dan data jumlah residivis
tahun 2009-2011 di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Untuk lebih jelasnya
mengenai trianggulasi metode dapat dilihat lampiran 12.
2. Review infoman
H.B Sutopo (2006:83) menyatakan bahwa:
Cara ini merupakan usaha pengembangan validitas penelitian yang sering digunakan oleh penelitian kualitatif. Pada waktu peneliti sudah mendapatkan data yang cukup lengkap dan berusaha menyusun sajian datanya walaupun mungkin masih belum menyeluruh, maka unit-unit laporan yang disusunnya perlu dikomunikasikan dengan informan pokok (key informan).
Setelah peneliti mendapatkan data yang cukup lengkap dari hasil wawancara,
observasi dan analisis dokumen, selanjutnya peneliti perlu mengomunikasikan
kembali hasil penelitian tersebut kepada sumber informan. Tujuannya adalah apakah
data yang diperoleh peneliti itu setelah dicek kembali ke lapangan sudah benar atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
perlu dilakukan perbaikan. Peneliti melakukan review informan dengan
mengkomunikasikan kembali kepada sumber informan yaitu Bapak Agustiyar
Ekantoro, Bc.IP.S.Sos. selaku Kepala Seksi Pelayanan Tahanan Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta yang dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 3 September
2011 pukul 09.00 WIB.
G. Analisis Data
Lexy J. Moleong (2009: 280) menyatakan bahwa,
mengatur urutan data, mengorganisasikan data ke dalam suatu pola, kategori, dan
satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan tempat dirumuskan hipotesis
kerja seperti disar
Menurut H.B Sutopo (2006
dari tiga komponen utama pokok meliputi pengumpulan data, reduksi data, sajian
data, dan penarikan
Sedangkan menurut Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman (1992: 16),
disebutkan bahwa, Analisis terdiri dari empat alur kegiatan yang terjadi secara
bersamaan yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, penarikan
Adapun komponen utama dalam proses analisis ini sebelum tahap reduksi data
adalah pengumpulan data yaitu:
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan kegiatan yang digunakan untuk memperoleh
informasi yang berupa kalimat-kalimat yang dikumpulkan melalui kegiatan observasi,
wawancara, dan dokumen. Data yang diperoleh masih berupa data mentah yang tidak
teratur, sehingga diperlukan analisis agar data menjadi teratur.
2. Reduksi Data
Menurut H.B. Sutopo (2006: 92) berpendapat,
dari proses analisis, yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
hal-hal yang tidak penting dan mengatur data sedemikian rupa sehingga simpulan
penelitian
Sedangkan Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman (1992: 16)
mengatakan bahwa,
perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang
muncul dari catatan-
3. Penyajian Data
Menurut Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman (1992: 17) disebutkan
bahwa,
memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengam
Sajian data merupakan suatu rakitan dari organisasi informasi, deskripsi dalam bentuk narasi yang memungkinkan simpulan penelitian dapat dilakukan. Sajian data selain dalam bentuk narasi kalimat, juga dapat meliputi berbagai jenis matriks, gambar/skema, jaringan kerja kaitan kegiatan, dan juga tabel sebagai pendukung narasinya (H.B. Sutopo, 2006: 93).
Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti kemudian menyajikan data yang
terkait dengan judul penelitian yaitu pembinaan moral narapidana residivis dalam
membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
Adapun data yang dapat disajikan untuk menjawab rumusan masalah adalah
sebagai berikut:
a. Moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait
pengulangan tindak pidana yang dilakukan.
b. Pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam membentuk
good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
c. Faktor pendorong dan penghambat pelaksanaan pembinaan moral terhadap
narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait
pembentukan good citizen.
4. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi
Penarikan kesimpulan diperoleh bukan hanya sampai pada akhir pengumpulan
data, melainkan dibutuhkan suatu verifikasi yang berupa pengulangan dengan melihat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
kembali fieldnote (data mentah) agar kesimpulan yang diambil lebih kuat dan bisa
dipertanggungjawabkan.
Menurut H.B Sutopo (2006: 116) menyatakan bahwa,
tidak akan terjadi sampai pada proses pengumpulan data berakhir, simpulan perlu
diverifikasi agar cukup mantap dan benar-
Sedangkan Menurut Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman (1992: 19),
disebutkan bahwa,
sebagian dari satu kegiatan dari konfigurasi yang utuh... . Singkatnya, makna-makna
yang muncul dari data harus diuji kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya,
Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman (1992: 19) menyatakan bahwa,
sesuatu yang jalin-menjalin pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan
data dalam bentuk yang sejajar untuk membangun wawasan umum yang disebut
Keempat komponen utama tersebut, merupakan suatu rangkaian dalam
proses analisis data yang satu dengan yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan,
dimana komponen yang satu merupakan langkah menuju komponen yang lainnya,
sehingga dapat dikatakan bahwa dalam penelitian kualitatif tidak bisa mengambil
salah satu komponen saja. Penarikan kesimpulan merupakan hasil dari suatu proses
penelitian yang tidak dapat terpisahkan dari proses sebelumnya, karena merupakan
satu kesatuan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam bagan berikut ini:
Gambar 3: Analisis Data Model Interaktif
(Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, 1992: 20).
H. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi langkah-
langkah sebagai berikut :
1. Tahap Pra Lapangan
Tahap ini dilakukan dengan melakukan kegiatan mulai dari penentuan lokasi
penelitian, meninjau lokasi penelitian, membuat dan mengurus proposal serta
mengurus perijinan guna melaksanakan penelitian di lapangan.
2. Tahap Pelaksanaan Lapangan
Tahap ini terbagi menjadi tiga kegiatan meliputi :
a. Mengumpulkan data di lokasi studi dengan melakukan observasi, wawancara
mendalam, dan mencatat serta menyimpan dokumen.
b. Melakukan review dan pembahasan beragam data yang telah terkumpul.
c. Memilah dan mengatur data sesuai kebutuhan.
Pengumpulan Data
Kesimpulan-kesimpulan:
Penarikan/ Verifikasi
Reduksi Data
Penyajian data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
3. Tahap Analisis Data
Tahap ini terbagi menjadi empat kegiatan meliputi :
a. Menentukan teknik analisa data yang tepat sesuai proposal penelitian.
b. Mengembangkan sajian data dengan analisis lanjut kemudian di cross check
dengan temuan di lapangan.
c. Setelah dapat data yang sesuai intensitas kebutuhan maka dilakukan proses
verifikasi dan pengayaan dengan mengkonsultasikan dengan orang yang dianggap
lebih ahli.
d. Setelah selesai, baru dibuat simpulan akhir sebagai temuan penelitian.
4. Tahap Penyusunan Laporan Penelitian
Tahap ini terbagi menjadi tiga kegiatan meliputi :
a. Penyusunan laporan awal.
b. Review laporan: dengan melakukan pengecekan ulang laporan yang telah tersusun
bilamana terdapat kekeliruan atau kesalahan untuk kemudian dilakukan perbaikan
laporan.
c. Penyusunan laporan akhir.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian
Deskripsi lokasi penelitian adalah tahapan dimana data yang diperoleh peneliti
di lapangan penelitian yaitu di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang terkait
dengan pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam membentuk good
citizen dikumpulkan, kemudian data tersebut diolah dan dianalisis sehingga dapat
disajikan secara sistematis. Aspek-aspek yang diteliti dapat dijabarkan sebagai
berikut: 1. Sejarah Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, 2. Struktur organisasi
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, 3. Proses penerimanaan, pendaftaran dan
penempatan narapidana di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, 4. Kondisi
warga binaan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, 5. Petugas Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta, 6. Bentuk-bentuk kerja sama Rumah Tahanan Negara Klas
1 Surakarta dengan berbagai instansi yang terkait dengan pelaksanan pembinaan.
Aspek-aspek tersebut akan dijabarkan sebagai berikut:
1. Sejarah Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
Berdasarkan UU No. 12 tahun 1995 pasal 1 tentang pemasyarakatan
Pemasyarakatan merupakan kegiatan untuk melakukan
pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan
dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemindahan dalam tata
peradi Untuk menerapkannya, dilaksanakan dengan menggunakan sistem
pemasyarakatan yaitu suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan
warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilakukan secara terpadu
antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga
binaan pemasyarakatan agar dapat menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak
mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan
masyarakat, serta berperan aktif dalam pembangunan dan dapat hidup wajar sebagai
warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Oleh sebab itu, untuk menjadi warga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
negara yang baik, warga binaan perlu dibekali beberapa kompetensi dasar dimana
mereka peroleh dari pembinaan selama di Rutan atau lembaga pemasyarakatan.
Kompetensi tersebut meliputi kompetensi kewarganegaraan berupa pengetahuan
kewarganegaraan, keterampilan kewarganegaraan dan watak kewarganegaraan (civic
knowledge, civic skils dan civic dispositions).
Pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana residivis disediakan suatu
lembaga pemasyarakatan yang berfungsi sebagai sarana pembinaan. Disebutkan pula
bahwa, setiap Ibukota Kabupaten dan Kotamadya idealnya didirikan lembaga
pemasyarakatan. Namun dalam kenyataannya, tidak semua narapidana dapat
ditempatkan lembaga pemasyarakatan, tetapi ada juga yang ditempatkan di Rumah
Tahanan Negara (Rutan). Di Karisidenan Surakarta, narapidana residivis yang
ditempatkan di lembaga pemasyarakatan yaitu lembaga pemasyarakatan Sragen.
Dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.03.UM.01.06
tahun 1983 tentang penetapan lembaga pemasyarakatan tertentu sebagai Rumah
Tahanan Negara, disebutkan pula bahwa Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
disamping sebagai Rutan, juga ada beberapa ruangan yang digunakan sebagai
lembaga pemasyarakatan.
Peneliti melakukan penelitian di kota Surakarta. Di kota Surakarta tidak
terdapat lembaga pemasyarakatan namun hanya ada Rumah Tahanan Negara (Rutan).
Karena tidak terdapat lembaga pemasyarakatan maka, sebagian besar narapidana
ditempatkan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Lokasi penelitian di Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terletak di Jalan Slamet Riyadi No. 18 Surakarta.
Lokasi tersebut tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Kehakiman
No.M.02.PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana dan Tahanan
yang menganjurkan agar letak bangunan berada di luar kota. Pada kenyataannya,
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta justru berada di tengah kota. Meskipun
tidak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, terdapat keuntungan yang diperoleh
dengan letak Rumah Tahanan Negara (Rutan) di tengah kota yaitu kemudahan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
hal transportasi, komunikasi, penerangan, air bersih, dan jauh dari kemungkinan
bencana alam.
Bangunan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta berdiri di atas tanah
seluas kurang lebih 8110 m2. Bila dilihat dari luar masih kelihatan menggunakan
model bangunan lama karena merupakan peninggalan zaman kolonial Belanda yang
didirikan pada tahun 1878 dan terakhir direnovasi pada tahun 1983. Sampai sekarang
baru sekali mengalami renovasi sehingga beberapa ruangan Rumah Tahanan Negara
Klas 1 Surakarta sudah tidak layak huni. Terletak dibagian sebelah depan yaitu
bangunan di sebelah selatan sendiri dan memiliki dua lantai. Karena ruang kantor-
kantor mulai dari Kepala Rumah Tahanan Negara hingga Kepala Seksi-Seksi dan Sub
Seksi berada disini, kecuali untuk kantor Kepala Seksi Pelayanan Tahanan, kantor
Sub Seksi Bantuan dan Penyuluhan (Ban-Huk), kantor Bimbingan Kerja dan
Kegiatan (Bim-Keg). Kantor Sub Seksi Bantuan dan Penyuluhan (Ban-Huk), terletak
di dalam bersebelahan dengan ruang klinik, sebelah barat aula dan di utara masjid
Rutan bernama masjid An-Nur sebagai pembinaan keagamaan islam. Sedangkan
kantor Bimbingan Kerja dan Kegiatan berada di dalam gedung bengkel kerja yang
terletak di sebelah utara klinik.
Penghuni Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terdiri dari narapidana
dan tahanan yang kapasitas daya tampung keseluruhannya mencapai ±600 orang.
Namun saat peneliti melakukan penelitian, berdasarkan data dari Kepala Seksi
Administrasi dan Perawatan menyebutkan bahwa penghuni Rumah Tahanan Negara
Klas 1 Surakarta berjumlah hingga bulan Juni 2011 sebanyak 597 orang, yang terdiri
dari narapidana dan tahanan baik laki-laki maupun perempuan. Berdasarkan daftar
laporan registrasi Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, penghuni narapidana
residivis sendiri terhitung per bulan Juni tahun 2011 sebanyak 20 orang.
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta memiliki blok-blok yang berisi sel-
sel. Pengertian Blok adalah bangunan yang terdiri dari beberapa kamar yang
ditempati oleh warga binaan dengan klasifikasi tertentu. Seperti jenis kelamin, status
warga binaan tersebut, apakah tahanan atau narapidana serta khususnya narapidana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
dengan tindak pidana kriminal, narkoba dan terorisme. Fasilitas dalam setiap blok ada
kamar mandi, cuci, dan kakus (MCK). Dalam Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta terdapat empat blok yaitu blok A, B, C, dan D, ditambah satu ruang khusus
straff cell. Dalam blok-blok dibagi dalam kamar-kamar. Kamar terbagi menjadi dua
jenis yakni kapasitas besar dan kecil. Kapasitas besar dapat menampung maksimal 40
orang sedangkan kamar kapasitas kecil menampung maksimal 6 orang. Untuk kamar
di straff cell ada 3 kamar, tiap kamar berisi satu orang.
a. Blok A
Blok A terdiri dari 8 kamar meliputi kamar ukuran kecil dan kamar ukuran sedang.
Blok A dihuni oleh warga binaan perempuan baik yang bersangkutan masih
berstatus tahanan maupun narapidana, tanpa membedakan jenis kasusnya. Artinya
blok A dihuni oleh warga binaan yang jenis kelaminnya perempuan saja atau waria
dengan catatan atas persetujuan Kepala Rutan.
b. Blok B
Blok B terdiri atas 11 kamar yang terdiri dari 4 kamar ukuran kecil, 2 kamar
ukuran sedang, dan 5 kamar ukuran besar. Blok B dihuni oleh tahanan laki-laki
yang statusnya tersangka maupun terdakwa. Blok ini diperuntukan bagi warga
binaan yang statusnya masih tahanan yaitu selama dalam proses penyidikan atau
proses pengadilan sebelum diputuskan oleh hakim pengadilan.
c. Blok C
Blok C terdiri dari 4 kamar yang semuanya merupakan kamar besar. Blok C
khusus dihuni oleh warga binaan yang berstatus narapidana dengan kasus kriminal.
Kasus kriminal diantaranya pembunuhan, perampokan, perjudian, penodongan,
penipuan, pemerkosaan, penggelapan, pencurian, penganiayaaan, penjambretan
dan korupsi. Khusus bagi narapidana residivis, dibuatkan blok kamar tersendiri
sehingga terpisah dengan narapidana lain. Narapidana residivis ditempatkan di
kamar 2 yang menampung sampai 40 orang. Alasan penempatan narapidana
residivis secara terpisah dengan narapidana biasa dikarenakan faktor keamanan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
Sebab dikhawatirkan memberikan pengaruh buruk bagi narapidana bukan residivis
yang kemudian menimbulkan kekacauan.
d. Blok D
Blok D terdiri atas 9 kamar meliputi 1 kamar ukuran besar dan 8 kamar ukuran
kecil. Blok D diperuntukkan bagi warga binaan yang statusnya tahanan maupun
narapidana dengan kasus narkoba berjenis kelamin pria.
e. Straff cell atau ruang isolasi
Selain keempat blok kamar di atas, terdapat sel khusus untuk pengasingan yang
disebut dengan straff cell. Straff cell atau sel isolasi yaitu sel khusus yang
difungsikan untuk memberikan shock therapy atau hukuman disiplin khusus bagi
warga binaan yang melanggar tata tertib Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
yang dipandang sangat meresahkan atau mengganggu jalannya pembinaan serta
keamanan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta misalnya perkelahian antar
narapidana. Straff cell berukuran 1 m dibanding 2,5 m cukup untuk satu orang
yang terdiri dari 3 kamar. Sebelum warga binaan yang dimasukan ke dalam straff
cell akan diberikan peringatan terlebih dahulu. Namun, jika dengan teguran ia
masih tetap membandel maka, akan dimasukkan kesana. Selanjutnya, jika ia
melakukan pelanggaran lagi terhadap tata tertib maka, akan dilaporkan polisi
untuk dibuat Berita Acara. Dilaporkan polisi apabila warga binaan telah
melakukan tindak pidana di dalam Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
misalnya melakukan pemerasan antar narapidana, memakai obat-obat terlarang
(narkoba), penganiayaan, dan lain-lain yang merupakan peristiwa hukum. Dalam
sel isolasi yang bersangkutan tidak bisa keluar dari selnya paling lama 7 hari
sesuai dengan Prosedur Tetap (Protap) yang ada.
2. Struktur Organisasi Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta merupakan salah satu Unit
Pelaksana Teknis (UPT) Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Hak Asasi
Manusia) Jawa Tengah yang terletak di Jalan Dr. Cipto No.64 Semarang yang
mempunyai tugas pokok dan fungsi merawat dan membina narapidana, tahanan, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
anak didik pemasyarakatan dalam rangka proses pemasyarakatan. Agar pelaksanaan
pembinaan dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan susunan pengurus
organisasi. Susunan pengurus organisasi didasarkan pada Surat Keputusan Menteri
Kehakiman R.I No.M.04 PR 07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Rumah Tahanan Negara dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara.
Berikut Struktur Organisasi Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
Gambar 4. Struktur Organisasi Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
Agar memudahkan memahami susunan struktur organisasi Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta berikut ini penjelasan mengenai tugas dari setiap bagian :
a. Kepala Rumah Tahanan Negara (Rutan).
Tugas Kepala Rumah Tahanan Negara (Rutan) adalah melaksanakan perawatan
terhadap terdakwa dan tersangka menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Selain itu, Kepala Rumah Tahanan Negara (Rutan) berfungsi atas
Kepala Rumah
Urusan Tata Usaha
Ka. Seksi Pelayanan Tahanan
Ka. Seksi Pengelolaan Rutan
Kepala K.P. Rutan
Ka. Subsi Bimb. Keg
Ka. Subsi Umum
Ka.Subsi Keu &
Perlengkp
Ka. Subsi Ban-Huk & Penyuluhan
Ka.subsi Adm &
Perawatan
Staff K. Regu
Pengamanan Staff Staff Staff Staff
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
pelayanan tahanan, pemeliharaan keamanan dan ketertiban Rutan, melaksanakan
pengelolaan Rutan, dan melaksanakan urusan tata usaha. Kepala Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta yang menjabat saat ini adalah Azwar, Bc,IP. SH.MM.
b. Seksi Pelayanan Tahanan.
Seksi Pelayanan Tahanan mempunyai tugas melakukan pengadministrasian dan
perawatan, mempersiapkan pemberian bantuan hukum dan penyuluhan serta
memberikan bimbingan kegiatan bagi tahanan. Kepala seksi Pelayanan Tahanan
saat ini dipimpin oleh Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos.M.M.
Untuk melakukan tugas tersebut, seksi pelayanan tahanan mempunyai fungsi :
1) Melakukan pengadministrasian, membuat statistik dan dokumentasi tahanan
serta memberikan perawatan dan pemeliharaan kesehatan tahanan.
2) Mempersiapkan pemberian bantuan hukum dan penyuluhan bagi tahanan.
3) Memberikan bimbingan kegiatan bagi tahanan.
Seksi Pelayanan Tahanan terdiri atas 3 (tiga) bagian yaitu:
1) Sub Seksi Administrasi dan Perawatan.
Mempunyai tugas melakukan penataan tahanan dan barang-barang bawaannya,
membuat statistik dan dokumentasi serta memberikan perawatan dan mengurus
kesehatan tahanan. Sub Seksi Administrasi dan Perawatan saat ini dipimpin
oleh Dra. Cariati Mahanani.
2) Sub Seksi Bantuan Hukum dan Penyuluhan.
Mempunyai tugas mempersiapkan pemberian bantuan hukum dari penasehat
hukum, memberikan penyuluhan rohani dan jasmani serta mempersiapkan
bahan bacaan bagi tahanan. Sub Seksi Bantuan hukum dan penyuluhan saat ini
dipimpin oleh Slamet, S.St.
3) Sub Seksi Bimbingan Kegiatan.
Mempunyai tugas bimbingan kegiatan tahanan. Sub Seksi Bimbingan Kegiatan
saat ini dipimpin oleh Wiyono, SE.
c. Seksi Pengelolaan Rumah Tahanan Negara (Rutan).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
Seksi Pengelolaan Rumah Tahanan Negara (Rutan) yang saat ini dipimpin oleh
Drs. Haryana mempunyai tugas melakukan pengurusan keuangan, perlengkapan
dan rumah tangga Rumah Tahanan Negara (Rutan). Untuk menyelenggarakan
tugas-tugas tersebut Seksi Pengelolaan Rumah Tahanan Negara (Rutan)
mempunyai fungsi sebagai berikut:
1) Melakukan urusan keuangan dan perlengkapan.
2) Melakukan urusan rumah tangga dan kepegawaian
Seksi Pengelolaan Rutan dalam tugasnya dibantu 2 (dua) sub seksi yang
terdiri dari:
1) Sub Seksi Keuangan dan Perlengkapan.
Mempunyai tugas melakukan urusan keuangan dan perlengkapan Rutan.
Dipimpin oleh Suwondo, SE.
2) Sub Seksi Umum.
Mempunyai tugas melakukan urusan rumah tangga dan kepegawaian.
Dipimpin oleh Drs. Sutarjo.
d. Kesatuan Pengamanan Rutan (KPR)
Kesatuan Pengamanan Rutan mempunyai tugas melakukan pemeliharaan
keamanan dan ketertiban Rutan. Adapun tugas dari Kesatuan Pengamanan Rutan
adalah sebagai berikut:
1) Melakukan administrasi keamanan dan ketertiban Rutan.
2) Melakukan penjagaan dan pengawasan terhadap tahanan.
3) Melakukan pemeliharaan keamanan dan ketertiban Rutan.
4) Melakukan penerimaan, penempatan dan pengeluaran tahanan serta memonitor
keamanan dan tata tertib tahanan pada tingkat pemeriksaan.
5) Membuat laporan dan berita acara pelaksanaan pengamanan dan penertiban.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
Sasaran pengamanan diarahkan pada Rutan dengan perangkat sarana dan
prasarana yang meliputi :
1) Tahanan.
2) Pegawai.
3) Bangunan dan perlengkapannya.
4) Anggota regu kerja.
Agar Kesatuan Pengamanan Rutan dapat menjalankan tugas sesuai dengan
yang diharapkan, Kesatuan Pengamanan Rutan dipimpin oleh seorang Kepala
Kesatuan Pengamanan Rutan yaitu Oga Giofanni Darmawan, Amd.IP, S.Sos,
S.H, M.Si yang membawahi 5 regu petugas penjagaan, dimana setiap regu terdiri
dari 14 orang dan bertugas secara bergilir selama 24 jam.
e. Urusan Tata Usaha yang mempunyai tugas untuk melakukan surat-menyurat dan
kearsipan. Surat-surat yang berasal dari instansi lain harus melalui urusan tata
usaha untuk diagendakan. Urusan tata usaha dipimpin oleh Lusita, S.Sos.
3. Proses Penerimanaan, Pendaftaran, dan Penempatan Narapidana
di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
a. Penerimaan Narapidana
Dalam menerima penghuni baru, Rutan tidak bisa melakukan dengan
sesuka hati, namun harus melalui prosedur aturan Rutan yang mana melalui
tahap-tahap sebagai berikut:
1) Dalam penerimaan narapidana yang baru masuk Rutan harus disertai dengan
surat-surat keterangan yang sah (surat penetapan atau perintah dari
Pengadilan Negeri atau Kepolisian).
2) Penerimaan narapidana pertama kali dilakukan oleh penjaga pintu gerbang
yang sedang bertugas dan telah ditunjuk oleh Kepala Kesatuan Pengamanan
Rutan.
3) Regu jaga yang menerima narapidana segera memeriksa surat-surat yang
dibawa adalah sah atau tidak, serta mencocokkan identitas narapidana
dengan surat keterangan yang dibawa tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
4) Regu jaga yang menerima narapidana kepada komandan regu jaga.
5) Komandan jaga meneliti dan memeriksa ulang surat-surat tersebut, barang
bawaan dan mencocokkan surat-surat tersebut dengan diri narapidana yang
bersangkutan.
6) Setelah selesai dilakukan pemeriksaan, dilakukan penggeledahan terhadap
narapidana tersebut.
7) Dalam melakukan penggeledahan tetap memperhatikan norma-norma yang
berlaku yaitu bila narapidana tersebut adalah wanita maka petugas yang
menggeledahnya pun juga harus petugas wanita.
8) Jika dalam penggeledahan tersebut ditemukan barang-barang yang
berbahaya, maka barang tersebut diamankan oleh petugas.
9) Setelah penggeledahan selesai dilakukan maka komandan jaga
memerintahkan anggota regu jaga untuk mengantarkan narapidana beserta
surat-surat dan barang-barangnya kepada petugas pendaftaran di bagian sub
seksi administrasi.
b. Pendaftaran Narapidana
1) Petugas bagian pendaftaran memeriksa kembali surat keterangan (perintah
atau penetapan) dan mencocokkannya dengan diri narapidana yang
bersangkutan.
2) Mencatat identitas narapidana pada buku register B.
3) Memeriksa kembali barang-barang bawaan narapidana, kemudian dicatat
dalam buku penitipan barang, selanjutnya barang-barang tersebut diberi label
misalnya ditulis nama pemiliknya.
4) Perhiasan maupun barang-barang berharga lainnya dicatat dalam buku
register D, selanjutnya barang-barang tersebut disimpan dalam lemari besi.
5) Petugas pendaftaran mencatat identitas narapidana, mengambil sidik jari,
serta mengambil foto narapidana yang bersangkutan.
6) Dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh dokter maupun petugas medis di
Rutan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
7) Setelah dilakukan pemeriksaan kesehatan, petugas pendaftaran membuat
berita acara narapidana yang ditandatangani bersama dengan petugas
pendaftaran atas nama Kepala Rutan.
c. Penempatan narapidana
1) Petugas baru ditempatkan dalam blok penerimaan dan pengenalan
lingkungan dan wajib mengikuti kegiatan pengenalan lingkungan.
2) Narapidana yang memiliki penyakit menular, dikarantina agar tidak menular
pada narapidana yang lain dan dicatat dalam buku khusus. Bila pihak Rutan
tidak bias mengatasi penyakit tersebut maka narapidana dirujuk ke Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD).
3) Setiap narapidana wajib diteliti latar belakang kehidupannya untuk
kepentingan pembinaan seperti identitas diri, riwayat pendidikan, latar
belakang keluarga, pekerjaan, dan potensi diri (minat dan bakat atau
keterampilan yang dimiliki).
4) Dalam penempatan narapidana harus memperhatikan penggolongan mereka
yang didasarkan pada: umur, jenis kelamin, residivis, jenis tindak pidana,
lama masa hukuman.
5) Khusus narapidana residivis, akan ditempatkan secara khusus pada blok
tersendiri yaitu di Blok C agar tidak mengganggu narapidana biasa yang
dapat memberikan pengaruh buruk.
6) Untuk mengetahui data penghuni blok dapat dilihat pada papan yang
ditempel di sebelah kanan/kiri pintu setiap kamar, informasi berupa nama,
lama masa hukuman, nomor, tanggal keluar dari Rutan.
7) Pengenalan lingkungan dilakukan petugas blok dengan bekerja sama dengan
Ban-Huk (Bantuan Hukum) untuk memberikan penjelasan tentang hak dan
kewajiban narapidana serta pengenalan terhadap peraturan dan ketentuan
yang berlaku. Namun, untuk narapidana residivis tidak dilakukan pengenalan
lingkungan sebab sebelumnya mereka telah menjalani pemidanaan di Rumah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta sehingga telah mengetahui kondisi
lingkungan Rutan.
8) Guna mendukung pelaksanaan proses pembinaan, maka Rutan menyerahkan
tugas secara khusus kepada pembina pemasyarakatan dan petugas
pengamanan pemasyarakatan. Sedangkan penilaian pelaksanaan pembinaan
dilaksanakan oleh wali pemasyarakatan dan TPP (Tim Pengamat
Pemasyarakatan).
4. Kondisi Warga Binaan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
a. Warga Binaan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta menampung warga binaan yang
berstatus tahanan dan narapidana. Tahanan adalah orang yang dikenakan
hukuman sementara untuk menunggu keputusan dari hakim. Sedangkan
narapidana adalah orang yang telah mendapat putusan hakim memiliki kekuatan
hukum tetap menjalani pidana yang hilang kemerdekaannya di lembaga
pemasyarakatan.
Narapidana di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dikelompokkan
menjadi 2 kelas penggolongan yaitu:
1) Narapidana dijatuhi hukuman kurang dari 1 tahun.
2) Narapidana yang dijatuhi hukuman lebih dari 1 tahun atau 12 bulan.
Narapidana yang masa hukumannya kurang dari 1 tahun akan ditempatkan
di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta sedangkan bagi narapidana yang sisa
masa hukumannya lebih dari 1 tahun atau 12 bulan, akan dipindahkan ke lembaga
pemasyarakatan terdekat yaitu lembaga pemasyarakatan Sragen atau lembaga
pemasyarakatan lainnya setelah menjalani masa pidana 1 tahun di Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Pertimbangannya adalah biaya yang murah dan
agar narapidana tersebut tidak jauh dari domisilinya. Bertujuan agar pihak
keluarga tidak kesulitan untuk menjenguk atau membesuk, karena adanya
kedekatan dengan keluarga akan menentramkan jiwa narapidana sehingga akan
meminimalisir kemungkinan tekanan jiwa yang akhirnya menyulitkan proses
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
pemulihannya. Pemindahan narapidana harus mendapatkan rekomendasi dari
Kepala Kantor Wilayah (Ka.Kanwil) Departemen Hukum dan HAM (Hak Asasi
Manusia) provinsi Jawa Tengah. Narapidana yang sisa masa hukumannya lebih
dari 12 bulan atau 1 tahun namun karena masih diperlukan tenaganya atau
keahliannya untuk membantu Rutan maka, yang bersangkutan dapat diajukan
untuk tidak dipindah.
Warga binaan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang berstatus
narapidana dan tahanan berseragam kaos warna biru muda. Di bagian belakang
tamping berseragam
berwarna biru tua dan diberi kartu identitas diri. Tamping merupakan istilah oleh
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta bagi narapidana yang diberi
kepercayaan untuk membantu petugas pemasyarakatan menyelesaikan tugasnya.
Tamping merupakan narapidana yang diberi lisensi khusus melalui berbagai
penilaian yang kemudian diajukan ke Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP)
untuk menyalurkan keahliannya. Tamping diperuntukkan hanya pada narapidana
kasus kriminal tidak untuk kasus narkoba dan terorisme. Adapun jumlah warga
binaan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta keseluruhan baik yang berstatus
sebagai tahanan maupun narapidana pada bulan Juni 2011 yang terlihat dalam
tabel berikut :
Tabel 2. Jumlah Warga Binaan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta pada Bulan Juni 2011
Narapidana Anak Pemuda Dewasa Jumlah total
Pria Wanita
Pria Wanita Pria Wanita
7 - 28 - 174 16
7 28 190 255
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
Tahanan
Anak Pemuda Dewasa Jumlah total
Pria Wanita Pria Wanita Pria Wanita
11 1 51 3 256 20
12 54 276 342
Sumber Data: Sub Seksi Administrasi dan Perawatan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Tanggal 23 Juni 2011.
Keterangan dari tabel di atas dapat diketahui bahwa, jumlah penghuni atau
warga binaan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta secara keseluruhan adalah
597 orang, dimana terdiri dari 255 yang berstatus narapidana dan 342 yang
berstatus tahanan.
b. Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta menyebut narapidana residivis
dengan perdikat R atau residivis. Sejak narapidana residivis pertama masuk Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, akan diberi tanda mana R khususnya dalam
buku register yang berkode tulisan warna merah dengan maksud untuk
memudahkan petugas untuk mencari data narapidana residivis. Jumlah narapidana
residivis pada bulan Juni 2011 di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah
20 orang. Mengenai daftar nama narapidana residivis pada bulan Juni 2011 adalah
sebagai berikut:
Tabel 3. Daftar Nama Narapidana Residivis pada Bulan Juni 2011 di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
No. Nama Residivis
Kasus Terakhir (KUHP) Masa Pidana
Intensitas Pengulangan
Tindak Pidana 1 Bayu Waluyo Pasal 378 KUHP (Penipuan) 9 bulan 2 kali 2. Afif Solokhin Pasal 363 KUHP (Pencurian
Turut Serta) 5 bulan 4 kali
3 Pradana Setiawan
Pasal 363 KUHP (Pencurian Turut Serta)
5 bulan 5 kali
4 Tedy Surahman
Pasal 372 KUHP (Penggelapan)
1 tahun 6 bulan
2 kali
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
5. Handoko Sri Hartanto
Pasal 365 KUHP (Pencurian dengan Kekerasan)
12 bulan 3 kali
6. Suwandi Pasal 363 KUHP (Pencurian Turut Serta)
5 bulan 3 kali
7. Ramlan Butar Pasal 365 KUHP (Pencurian dengan Kekerasan)
12 bulan 3 kali
8 Rohadi Pasal 363 KUHP (Pencurian Turut Serta)
5 bulan 4 kali
9 Dwi Martanto Pasal 340 KUHP (Pembunuhan Berencana)
5 tahun 2 kali
10 Iwan Pasal 363 KUHP (Pencurian Turut Serta)
5 bulan 2 kali
11 Marcus Sudarmo
Pasal 362 KUHP (Pencurian)
1 tahun 2 bulan
7 kali
12. Agus Waluyo Pasal 170 KUHP (Kekerasan)
1 tahun 4 bulan
5 kali
13 Boro Enteng Pasal 170 KUHP (Kekerasan)
1 tahun 4 bulan
3 kali
14 Ardi Eli.L Pasal 363 KUHP (Pencurian Turut Serta)
5 bulan 4 kali
15 Eko Tri Hartanto
Pasal 363 KUHP (Pencurian Turut Serta)
5 bulan 3 kali
16 Triyadi Pasal 363 KUHP (Pencurian Turut Serta)
5 bulan 2 kali
17 Siswanto Pasal 362 KUHP (Pencurian)
1 tahun 2 bulan
4 kali
18 Kusnadi Pasal 365 KUHP (Pencurian dengan Kekerasan)
12 bulan 3 kali
19 Puji Hariyanto
Pasal 365 KUHP (Pencurian dengan Kekerasan)
12 bulan 2 kali
20 Dedi Rosadi Pasal 362 KUHP (Pencurian)
1 tahun 2 bulan
2 kali
Sumber Data: Sub Seksi Administrasi dan Perawatan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Tanggal 23 Juni 2011.
5. Petugas Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
Petugas Rumah Tahanan (Rutan) merupakan unsur aparatur negara yang
bertugas untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan dalam usaha
mencapai tujuan nasional, sehingga sebagai petugas Rumah Tahanan Negara Klas 1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
Surakarta tidak terlepas juga dari tugas pembinaan dan tugas keamanan terhadap
warga binaan pemasyarakatan.
a. Petugas Pembinaan atau Pembina Rutan
Petugas pembinaan berfungsi membina narapidana residivis dalam usaha
memberikan bekal kepada narapidana untuk hidup bermasyarakat sehingga warga
negara yang baik (good citizen), bermoral, taat terhadap norma, dan tidak
mengulangi perbuatan tindak pidana. Adapun nama petugas pembinaan atau
pembina di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta sebagai berikut:
Tabel 4. Petugas Pembinaan atau Pembina Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
No. Nama Pembina Rutan Sub Seksi Program Pembinaan 1. 1. Bapak Suramto
2. Bapak Tentrem Basuki, S.Pd
Bantuan Hukum dan Penyuluhan
Pembinaan Kesadaran Agama Islam
2. 1. Bapak Didit Santoso, S.Pd
2. Ibu Salome Titalo 3. Bapak Herman
Songkoloyo
Bantuan Hukum dan Penyuluhan
Pembinaan Kesadaran Agama Nasrani
3. Bapak Slamet, S.St Bantuan Hukum dan Penyuluhan
Pembinaan Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
4. Bapak Tentrem Basuki, S.Pd
Bantuan Hukum dan Penyuluhan
Pembinaan Intelektual
5. Bapak Wagimin, SE
Bantuan Hukum dan Penyuluhan
Pembinaan Kesadaran Hukum
6. Bapak Wiyono, SE Bimbingan Kerja dan Kegiatan
Pembinaan Keterampilan Untuk Usaha Mandiri
7. Bapak Sarwono Bantuan Hukum dan Penyuluhan
Pembinaan Olah Raga
Sumber Data: Seksi Bantuan Hukum dan Penyuluhan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Tahun 2011.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
b. Petugas Pengamanan Rutan
Petugas pengamanan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
dilaksanakan oleh Kesatuan Pengamanan Rutan (KPR) berfungsi menjaga
keamanan dan memelihara ketertiban Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
dalam mencegah pelarian narapidana keluar tembok Rutan, melakukan penjagaan,
pengawasan terhadap tahanan, melakukan penerimaan, penempatan, dan
pengeluaran tahanan, serta memonitor tata tertib tahanan pada tingkat
pemeriksaan.
Dalam pelaksanaannya, petugas pengamanan Rutan dibantu oleh petugas
regu jaga yang bertugas secara bergilir selama 24 jam. Kesatuan pengamanan
Rutan (KPR) membawahi 2 sub kelompok area kerja pengamanan Rutan.
1) Sub kelompok pertama berkewajiban menjaga keamanan secara umum
lingkungan Rutan, baik yang menjaga keluar masuknya warga binaan dalam
pintu blok dan orang-orang yang akan masuk Rutan. Yang dimaksud pihak luar
disini adalah pihak kepolisian, pengacara, utusan dari instansi lain yang
berkepentingan baik jaksa maupun pengadilan atau kedinasan atau departemen
tertentu dan pembesuk serta pihak lain yang berkepentingan dengan Rutan.
2) Sub kelompok kedua terdapat 4 (empat) regu. Tiap regu berkekuatan kurang
lebih 16 orang. Tiap regu mempunyai satu komandan dan wakil komandan.
Sistem kerjanya dengan bergantian (shift) pagi, siang, dan malam dengan libur
2 hari setiap minggunya. Untuk waktu shift adalah sebagai berikut:
a) Shift pagi : Pukul 07.00WIB s.d 13.00 WIB.
b) Shift siang : Pukul 13.00 WIB s.d 20.00 WIB.
c) Shift malam : Pukul 20.00 WIB s.d 07.00 WIB.
Shift pagi bertugas membukakan pintu-pintu blok kamar di masing-masing dan
petugas shift siang untuk mengunci pintu-pintu dan sel-sel kamar. Pada setiap
pergantian shift terdapat berita acara penyerahan tugas dan hasil selama
penjagaan dari petugas penjaga shift sebenarnya kepada petugas penjaga yang
menggantikannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
6. Bentuk-Bentuk Kerja Sama Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
dengan Berbagai Instansi yang Terkait dengan Pelaksanaan Pembinaan
Dalam pelaksanaan pembinaan, Rutan Klas 1 Surakarta menjalin kerjasama
dengan beberapa instansi pemerintah maupun swasta. Bentuk kerja sama tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Kerja sama dengan Departemen Agama yang berupa pengiriman seseorang
pembimbing rohani yang bertugas memberikan bimbingan, ceramah dan
pengetahuan agama dan memberikan sumbangan berupa buku-buku pendidikan
agama.
b. Kerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional yaitu berupa program
pemberantasan buta huruf dan perpustakaan keliling.
c. Kerjasama dengan Departemen Kesehatan yaitu program pemeriksaan kesehatan
fisik dan psikologis warga binaan.
d. Kerjasama dengan Departemen Tenaga Kerja yaitu program pemberian latihan
kerja yang dianggap penting dalam proses pembinaan.
e. Kerja sama dengan Yayasan Wisata Hati yaitu pengiriman ustad dari Pondok
f. Kerjasama dengan masyarakat baik kelompok atau perorangan. Biasanya
dilaksanakan eks narapidana atau lembaga swadaya masyarakat.
B. Deskripsi Permasalahan Penelitian
Deskripsi masalah penelitian merupakan tahapan dimana peneliti memperoleh
data an moral narapidana residivis
dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara
dikumpulkan melalui teknik wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Kemudian
data tersebut diolah dan dianalisis sehingga dapat disajikan secara sistematis. Data
tersebut disajikan sesuai dengan rumusan masalah dalam bab pendahuluan. Adapun
aspek-aspek yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu 1. Moral narapidana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait dengan pengulangan
tindak pidana yang dilakukan, 2. Pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana
residivis dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta,
3. Faktor pendorong dan penghambat pelaksanaan pembinaan moral terhadap
narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait pembentukan
good citizen. Aspek-aspek tersebut dijabarkan sebagai berikut:
1. Moral Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
Terkait dengan Pengulangan Tindak Pidana yang Dilakukan
Moral memegang peranan penting dalam kehidupan manusia yang
berhubungan dengan baik dan buruk terhadap tingkah laku manusia. Tingkah laku
ini mendasarkan diri pada norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Seseorang dikatakan bermoral, bilamana seseorang telah memiliki pemahaman
moral yang kemudian mampu mengaplikasikan dalam tindakannya. Tindakan yang
dilakukan, tentu saja harus sesuai dengan norma-norma dalam masyarakat.
Apabila seseorang telah melanggar norma maka, ia dikatakan tidak bermoral. Hal
tersebut nampak pada narapidana residivis yang melakukan perbuatan tindak
pidana. Mereka dikatakan tidak bermoral disebabkan melakukan tindakan yang
dilakukan melanggar norma hukum. Sebutan narapidana residivis berarti seseorang
yang pernah menjalani pemidanaan dalam lembaga pemasyarakatan, kemudian
setelah keluar ia mengulangi perbuatan tindak pidana baik yang sejenis maupun
tidak, sehingga harus menjalani pemidanaan kembali.
Penelitian dalam rumusan masalah ini, dimaksudkan untuk mengetahui
moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait
dengan pengulangan tindak pidana yang dilakukan. Sesuai dengan kajian pustaka,
peneliti akan mengkaji beberapa aspek yang meliputi a. Identifikasi bentuk-bentuk
tindak pidana atau kejahatan yang dilakukan narapidana residivis di Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, b. Pengetahuan moral narapidana residivis atas
tindak pidana yang dilakukan, c. Perasaan moral narapidana residivis atas tindak
pidana yang dilakukan, d. Latar belakang pendidikan moral yang diperoleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
narapidana residivis, e. Perilaku narapidana residivis terkait pengulangan tindak
pidana (tindakan moral). Berikut ini penjelasan mengenai aspek-aspek tersebut:
a. Identifikasi Bentuk-Bentuk Tindak Pidana atau Kejahatan yang Dilakukan
Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
Identifikasi dilakukan guna mengetahui bentuk-bentuk tindak pidana atau
kejahatan apa saja yang dilakukan narapidana residivis. Setelah peneliti melakukan
melakukan obeservasi pada Sub Seksi Administrasi dan Perawatan, peneliti
mendapatkan data mengenai tindak pidana yang pernah dilakukan narapidana
residivis. Adapun data mengenai tindak pidana yang pernah dilakukan narapidana
residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
Tabel 5. Daftar Nama dan Tindak Pidana yang Pernah Dilakukan Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
No. Nama Residivis Tindak pidana yang pernah dilakukan 1 Bayu Waluyo Pencurian dan Penipuan 2. Afif Solokhin Pencurian 3 Pradana Setiawan Pencabulan dan Pencurian 4 Tedy Surahman Pencurian dan Penggelapan 5. Handoko Sri Hartanto Pencurian 6. Suwandi Pencurian 7. Ramlan Butar Pencurian 8 Rohadi Penipuan, Kekerasan, dan Pencurian 9 Dwi Martanto Pencurian dan Pembunuhan
10 Iwan Kekerasan dan Pencurian 11 Marcus Sudarmo Penganiayaan dan Pencurian 12. Agus Waluyo Pencurian dan Kekerasan 13 Boro Enteng Pencurian dan Kekerasan 14 Ardi Eli.L Pencurian 15 Eko Tri Hartanto Pencurian 16 Triyadi Pencurian 17 Siswanto Pencurian 18 Kusnadi Penipuan dan Kekerasan 19 Puji hariyanto Pencurian 20 Dedi rosadi Pencurian
Sumber Data: Sub Seksi Administrasi dan Perawatan Bulan Juli 2011.
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa, tidak semua narapidana
residivis melakukan pengulangan tindak pidana dengan jenis tindak pidana yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
sama artinya seorang narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana
dapat berbeda jenis tindak pidananya. Misalnya narapidana residivis bernama
Pradana Setiawan sebelum kasus terakhir tindak pidana pencurian, sebelumnya ia
pernah terjerat kasus pencabulan. Dari 20 narapidana residivis yang melakukan
pengulangan tindak pidana tidak sejenis adalah 10 orang. Selebihnya, narapidana
residivis melakukan pengulangan tindak pidana sejenis yaitu melakukan tindak
pidana pencurian.
Hal senada juga diperkuat berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak
Agustiyar Ekantoro, Bc.IP.S.Sos.M.M, pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2011
menjelaskan yang mengenai tindak pidana narapidana residivis adalah sebagai
berikut:
Untuk tahun 2011 kasus yang dilakukan oleh narapidana residivis lebih banyak pada kasus pencurian. Data tersebut diperoleh dari Sub Seksi Administrasi dan Perawatan. Setiap narapidana yang melakukan pengulangan tindak pidana tidak mutlak melakukan jenis tindak pidana yang sama. Bisa saja ia masuk kembali ke Rutan karena melakukan tindak pidana yang berbeda misalnya kasus Bayu Waluyo, sebelum kasus penipuan dahulu ia pernah terjerat kasus pencurian. (Catatan lapangan 11).
Berdasarkan hasil wawancara di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa
narapidana residivis menjalani pemidanaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta melakukan pengulangan tindak pidana tidak mutlak selalu dengan tindak
pidana yang sama.
Setelah peneliti mengetahui tindak pidana apa saja yang pernah dilakukan
narapidana residivis, selanjutnya peneliti melakukan identifikasi dengan
menggolongkan bentuk-bentuk tindak pidana pada kasus terakhir yang dilakukan
narapidana residivis. Adapun hasil identifikasi bentuk-bentuk tindak pidana yang
dilakukan oleh narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
pada bulan Juni 2011.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
Tabel 6. Hasil Identifikasi Bentuk-Bentuk Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta pada Bulan Juni 2011.
No. Tindak Pidana atau Kejahatan Terakhir Jumlah 1 Penipuan 1 orang 2. Pencurian 15 orang 3. Kekerasan 2 orang 4. Pembunuhan 1 orang 5. Penggelapan 1 orang
Sumber Data: Sub Seksi Administrasi dan Perawatan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
Berdasarkan tabel di atas, maka dapat diketahui bahwa terdapat 5 bentuk
tindak pidana atau kejahatan yang dilakukan narapidana residivis di Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta bulan Juni tahun 2011. Kasus pencurian
menduduki posisi terbanyak dengan jumlah 15 orang, disusul kasus kekerasan
berjumlah 2 orang, kemudian kasus penipuaan 1 orang, dan kasus penggelapan 1
orang serta kasus pembunuhan 1 orang. Dengan demikian, peneliti menyimpulkan
bahwa masih ditemukan narapidana residivis yang melakukan pengulangan tindak
pidana di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Tindak pidana tersebut berupa
penipuan, pencurian, kekerasan, pembunuhan dan penggelapan. Pengulangan
tindak pidana yang dilakukan narapidana residivis Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta didominasi dengan tindak pidana pencurian.
b. Pengetahuan Moral Narapidana Residivis atas Tindak Pidana yang
Dilakukan
Pemahaman moral diartikan dengan kesadaran rasionalitas moral atau
alasan mengapa seseorang harus melakukan hal itu. Penalaran moral sebagai unsur
pengetahuan moral dalam pengambilan keputusan berdasarkan nilai moral yang
merujuk pada aspek kognitif tentang yang baik atau buruk dengan memperhatikan
tuntutan, hak, kewajiban dan keterlibatan individu atau kelompok. Pengetahuan
moral yang dimiliki oleh narapidana residivis mengandung arti seberapa jauh
mereka memahami perbuatan tindak pidana yang dilakukan. Apakah selama ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
mereka menyadari bahwa tindak yang dilakukan telah melanggar norma hukum.
Dengan demikian, dapat diketahui seberapa jauh tingkat pemahaman moralnya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan narapidana residivis bernama Agus
Waluyo (kekerasan pasal 170 KUHP) hasil wawancara pada hari Senin tanggal 11
Juli 2011 adalah sebagai berikut:
Kekerasan yang saya tahu adalah menyakiti atau melukai badan atau fisik orang lain baik yang di sengaja maupun tidak. Saya tahu bahwa perbuatan kekerasan itu melanggar norma hukum. Tetapi karena emosi akhirnya terpaksa melakukan kekerasan. Setelah melakukan perbuatan tersebut baru saya sadari bahwa saya salah. (Catatan lapangan 7).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Agus Waluyo yang melakukan
tindak pidana kekerasan peneliti menyimpulkan bahwa, informan memahami
mengenai kekerasan yang dilakukan. Menurut pendapatnya, kekerasan berarti
tindakan menyakiti seseorang yang dilakukan secara sengaja sehingga
menimbulkan sakit atau penderitaan. Selain itu, informan menyadari bahwa
perbuatan tindak pidana tersebut melanggar norma hukum.
Hasil wawancara berikutnya dengan narapidana residivis benama Bayu
Waluyo (narapidana residivis kasus penipuan pasal 378 KUHP) pada
tanggal 8 Juli 2011:
Penipuan menurut saya, kalau kita dengan sengaja membohongi orang lain misalnya kita janji pinjem uang trus ndak dikembalikan dalam kurun waktu tertentu. Kalau tindakan saya dengan dengan mencampur pewarna pada makanan kok bisa dibilang menipu. Saya orang miskin, harusnya hukum juga mengerti kondisi saya. Saya ndak ada niatan meracuni orang. Tetapi saya ikhlas berada di Rutan. (Catatan lapangan 1).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bambang Waluyo yang melakukan
tindak pidana penipuan peneliti menyimpulkan bahwa, informan telah memahami
tentang konsep penipuan. Namun, ia sendiri kurang mengetahui bahwa perbuatan
menipu bertentangan dengan norma hukum. Bahkan, ia mencoba mencari
kenyamanan dan membela diri atas tindak pidana penipuan yang dilakukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
Dengan demikian, dikatakan bahwa pengetahuan moral yang dimilikinya masih
rendah.
Selain kasus kekerasan dan penipuan, peneliti juga melakukan wawancara
dengan narapidana residivis atas tindak pidana pencurian. Hasil wawancara dengan
Afif Solikhin (narapidana residivis kasus pencurian turut serta pasal 363 KUHP)
mengambil barang milik orang lain. Saya sadar bahwa mencuri sepeda motor
adalah salah karena memang bukan hak saya. Perbuatan yang saya lakukan
Hasil wawancara berikutnya dengan Ramlan Butar (pencurian dengan
kekerasan pasal 365 KUHP) pada hari Rabu tanggal 13 Juli 2011, menuturkan hal
yang sama adalah sebagai berikut:
Mencuri berarti seseorang yang memang dalam keadaan mendesak mengambil sesuatu yang bukan haknya. Seseorang yang mencuri pasti karena ia berada dalam posisi yang sulit misalnya kebutuhan ekonomi. Saya sendiri terpaksa mencuri karena yang faktor ekonomi. Niatnya ingin cari kerja tetapi tidak mempunyai keterampilan. Mau usaha nggak ada modal. Ya sudah jadi mencuri saja. (Catatan lapangan 4).
Hasil wawancara lainnya dengan Marcus Sudarmo (pencurian pasal 362
KUHP) pada hari Kamis tanggal 14 Juli 2011 mengatakan:
Mencuri adalah mengambil barang milik orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya. Saya sudah 7 kali masuk Rutan. Petugas Rutan sampai bosan melihat saya bolak-balik masuk sini. Sejak kecil saya sudah hidup merantau. Kehidupan yang keras membuat saya harus melakukan perbuatan tersebut. Tujuan hidup saya adalah bahagia. Mengenai urusan akherat nanti belakangan. Saya sendiri sadar bahwa perbuatan mencuri dilarang, tetapi saya merasa nyaman dengan pekerjaan tersebut. (Catatan lapangan 6).
Hasil wawancara juga dilakukan dengan narapidana residivis bernama Ardi
Eli.L kasus pencurian turut serta pasal 363 KUHP pada hari Kamis tanggal 15 Juli
2011 sebagai berikut:
(Catatan lapangan 8).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
Hasil senada disampaikan oleh narapidana residivis yang bernama Puji
Hariyanto (pencurian dengan kekerasan pasal 365 KUHP) wawancara pada hari
berarti mengambil
barang milik orang lain misalnya uang, barang-barang berharga seperti emas,
elektronik, dan yang bisa diuangkan. Perbuatan tersebut dilakukan tanpa ada orang
(Catatan lapangan 9).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh narapidana residivis yang bernama
(Catatan lapangan 10).
Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa,
hampir seluruh narapidana residivis dengan kasus pencurian mengetahui mengenai
perbuatan mencuri. Mencuri adalah mengambil sesuatu yang bukan haknya.
Alasan mereka mencuri karena minimnya keahlian atau keterampilan. Lebih
parahnya lagi adalah perbuatan mencuri sebagai bagian dari mata pencaharian
dengan alasan menompang biaya hidup. Terdapat 2 narapidana residivis yang
mengatakan demikian. Tuntutan ekonomi dan kehidupan yang keras menyebabkan
narapidana residivis melakukan pencurian.
Peneliti kemudian melakukan wawancara dengan narapidana residivis
bernama Dwi Martanto (pembunuhan berencana pasal 340 KUHP) pada hari Senin
tanggal 11 Juli 2011 adalah sebagai berikut:
Membunuh berarti menghilangkan nyawa orang lain, baik yang dilakukan secara sengaja atau tidak. Kasus pembunuhan yang saya lakukan terhadap isteri dipicu karena api cemburu. Saya sangat menyesal melakukan perbuatan tersebut sebab selalu dihantui rasa bersalah. Saya berhak mendapat hukuman yang seberat-beratnya untuk menebus dosa. Namun, jika diberi kesempatan saya ingin insyaf. (Catatan lapangan 5).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Dwi Martanto dapat diketahui
bahwa, ia memiliki pemahaman moral yang baik sebab memahami tentang konsep
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
perbuatan membunuh. Ia juga memahami bahwa membunuh melanggar norma
hukum sehingga harus menerima sanksi pidana.
Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara dengan narapidana residivis
bernama Tedy Surahman (penggelapan pasal 372 KUHP) pada hari Sabtu tanggal
9 Juli 2011 adalah sebagai berikut:
Saya kurang tau makna penggelapan itu apa. Hanya saya sering dengar istilah itu. Menurut saya, penggelapan merupakan bagian dari korupsi. Saya dijatuhi pidana oleh hakim bilangnya karena kasus penggelapan pasal 372 KUHP atas tuduhan telah menggelapkan uang tunjangan para pegawai. (Catatan lapangan 3).
Hasil wawancara dengan Tedy Surahman, peneliti menyimpulkan bahwa ia
belum memahami mengenai konsep tidak pidana penggelapan bahkan ia tidak
menyadari bahwa tindak pidana penggelapan yang dilakukan melanggar norma
hukum.
Berdasarkan hasil wawancara dengan 10 narapidana residivis di atas
peneliti menyimpulkan bahwa, sebanyak 9 orang (90%) narapidana residivis di
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta telah memiliki pemahaman atau
pengetahuan moral. Hal tersebut diketahui bahwa mereka memahami mengenai
perbuatan tindak pidana yang mereka lakukan. Pada kasus pencurian misalnya,
hampir semua narapidana mengetahui tentang konsep pencurian. Mereka
mengatakan bahwa: ng atau sesuatu
dengan kasus kekerasan, penipuan, dan pembunuhan. Selain itu, mereka
mengetahui bahwa perbuatan tindak pidana yang dilakukan telah melanggar norma
hukum sehingga harus menerima sanksi pidana. Sebagian besar narapidana
residivis mengalami penyesalan setelah melakukan tindak pidana sebab tidak
mengikuti hati nurani. Mereka tampak menerima dengan ikhlas atas perbuatan
tindak pidana yang dilakukan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, hampir
keseluruhan narapidana residivis memiliki pengetahuan atau pemahaman moral
yang sangat baik. Dari 10 narapidana residivis, hanya ada 1 narapidana residivis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
yang belum mengetahui apakah perbuatan yang dilakukan itu merupakan tindak
pidana yaitu narapidana residivis kasus penggelapan.
c. Perasaan Moral Narapidana Residivis Terkait dengan Tindak Pidana yang
Dilakukan
Perasaan moral merupakan kesadaran akan hal-hal yang baik atau tidak
baik. Salah satu wujud perasaan moral adalah empati. Empati mengandung makna
bahwa, seseorang mencoba untuk mengerti keadaan orang lain sebagaimana orang
tersebut mengertinya. Dengan adanya sikap empati seseorang mampu memahami
kesulitan-kesulitan yang ada di lingkungannya, memahami situasi seseorang, dan
mampu merasakan kesengsaraan orang lain.
Perasaan moral dari narapidana residivis yang terkait dengan tindak pidana
yang dilakukan mengandung arti bahwa, bagaimana narapidana residivis
memahami perasaan orang lain khususnya korban sebagai akibat perbuatan tindak
pidana yang dilakukan. Perasaan moral ini mengukur seberapa jauh narapidana
residivis memiliki kepekaan untuk memposisikan dirinya terhadap kondisi
kesulitan yang dialami korban jika hal yang sama terjadi pada dirinya sendiri.
Artinya apabila kondisi yang dialami korban atas perbuatan tindak pidana itu
berbalik kepadanya. Untuk mengetahui perasaan moral narapidana residivis,
peneliti mengajukan pertanyaan yang menunjukkan perasaan moral yaitu:
g telah saudara
lakukan merugikan orang lain (korban)? Bagaimana perasaan saudara jika hal
Beberapa narapidana residivis menunjukkan perasaan moral melalui
perasaan empati untuk mengerti kondisi korban atas tindak pidana yang dilakukan.
Selain itu, telah nampak kesadaran moral dalam diri narapidana residivis.
Kesadaran moral timbul ketika mereka menyadari bahwa perbuatan yang
dilakukan telah menimbulkan beban atau kesulitan bagi korban tindak pidana
seperti yang disampaikan oleh narapidana residivis bernama Ramlan Butar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
(pencurian dengan kekerasan pasal 365 KUHP) pada hari Rabu tanggal 13 Juli
2011, adalah sebagai berikut:
Saya sadar sekali bahwa perbuatan yang saya lakukan membahayakan. Bahkan, saya sendiri malu untuk membaur orang-orang sekitar. Setelah keluar dari Rutan ini, semoga masyarakat mau menerima kehadiran saya kembali. Sebab kasihan orang tua sendiri dirumah tidak ada yang mengurusi. Padahal saya mencuri sedikit tetapi kenapa hukuman yang dijalani begitu berat. Saya hanya bisa pasrah. (Catatan lapangan 4).
Berdasarkan wawancara dengan narapidana residivis bernama Ramlan
Butar, peneliti menyimpulkan bahwa informan tersebut telah memiliki perasaan
moral yang baik sebab ia menyadari bahwa perbuatannya telah membahayakan
jiwa korban.
Hasil wawancara berikutnya dengan narapidana residivis Agus Waluyo
(kekerasan pasal 170 KUHP) pada hari Senin tanggal 11 Juli 2011 adalah sebagai
berikut:
Saya sadar perbuatan yang saya lakukan (kekerasan) membuat korban terluka. Bahkan, saya harus menanggung resiko ganti rugi biaya Rumah Sakit. Saya juga kasihan melihat kondisi korban bisa separah itu. Pada waktu saya berkelahi saat itu dalam keadaan tidak sadarkan diri sebab mabuk berat sehingga tidak mampu mengontrol emosi. Saya tidak akan mengulangi kembali perbuatan tersebut karena kapok mbak. Saya sadar telah melakukan kesalahan sebab jika hal tersebut dialami saya sendiri pasti tidak enak rasanya. (Catatan lapangan 7).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Agus Waluyo, peneliti
menyimpulkan bahwa perasaan empati dalam dirinya telah ada. Akibat tindak
pidana yang dilakukan, membuat dirinya merasa iba dan ikut merasakan
penderitaan yang dialami korban. Dengan harapan bahwa, hal tersebut (perbuatan
tindak pidana kekerasan) tidak akan menimpa dirinya. Ketika peneliti melakukan
wawancara terlihat ekspresi wajah yang menunjukkan penyesalan yang mendalam
atas perbuatan tindak pidana yang telah dilakukan. Ia berusaha meyakinkan diri
untuk berubah menjadi orang yang baik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
Berdasarkan hasil wawancara dengan Afif Solikhin (narapidana residivis
adalah sebagai berikut:
Saya mencuri karena terpaksa. Sebenarnya tidak ingin melakukan perbuatan tersebut. Namun, tujuan saya mencuri karena ingin membahagiakan orang terdekat khususnya orang tua. Saya sadar bahwa, mencuri telah merugikan orang lain dalam hal ini korban. Saya merasa perbuatan tersebut tidak disukai banyak orang. Saya tidak pernah berfikir jika hal tersebut menimpa saya, sebab belum pernah mengalaminya. Tau sendiri mbak saya orang tidak mampu. Apa yang mau dicuri dari saya (sembari tertawa). (Catatan lapangan 2).
Berdasarkan hasil wawancara dengan narapidana residivis bernama Afif
Solikhin peneliti menyimpulkan bahwa, ia tampak terbuka dan tenang ketika
memberikan jawaban dari pertanyaan yang diajukan oleh pembicara (peneliti).
Dari hasil wawancara menunjukkan bahwa dalam diri narapidana residivis ini telah
memiliki perasaan empati. Perasaan empati ditunjukkan dengan mengungkapkan
bahwa perbuatan yang dilakukan telah merugikan korban dan tidak disukai oleh
masyarakat. Hal tersebut berarti bahwa ia telah memiliki perasaan moral.
Hasil wawancara selanjutnya dengan Dedi Rosadi (pencurian pasal 365
Saya sadar bahwa mencuri telah menimbulkan penderitaan dan menyebabkan susah orang lain. Tetapi hidup saya juga serba susah. Penghasilan saya gak cukup untuk kebutuhan anak dan isteri. Saya berharap jangan sampai anak saya nantinya mengikuti jejak saya. Walaupun bapaknya mantan penjahat tetapi saya tidak pernah mengajarkan hal-hal tidak baik kepada mereka. (Catatan lapangan 10).
Berdasarkan wawancara dengan narapidana residivis bernama Dedi Rosadi,
peneliti menyimpulkan bahwa, perasaan moral dalam diri narapidana dikatakan
baik. Ia sangat peka terhadap kesulitan orang lain. Muncul kesadaran moral bahwa
perbuatan yang dilakukannya (mencuri) menimbulkan penderitaan bagi korban.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
Wawancara berikutnya dengan narapidana residivis bernama Dwi Martanto
(pembunuhan berencana pasal 340 KUHP) adalah sebagai berikut:
Setiap orang pasti menganggap bahwa membunuh adalah perbuatan paling jahat. Saya sadar bahwa perbuatan yang saya lakukan menjijikkan dan tidak terampuni. Akibat perbuatan ini, membuat hidup saya menjadi tidak tenang. Jiwa selalu diselimuti gelimang dosa berkepanjangan. Seandainya saya mampu mengendalikan emosi mungkin hal tersebut tidak akan terjadi. Saya sangat menyayangi istri saya. Entah bagaimana jadinya jika hal tersebut menimpa saya sendiri. Pasti mertua dendam sekali dengan saya karena membunuhnya anaknya. Saya hanya bisa mengelus dada. (Wawancara: Senin, 11 Juli 2011). (Catatan lapangan 5).
Berdasarkan hasil wawancara di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa
narapidana residivis yang bernama Dwi Martanto telah memiliki perasaan moral.
Ia mampu memposisikan dirinya untuk berusaha mengerti keadaan yang dialami
isterinya Perasaan moral timbul setelah ia menyadari bahwa isterinya telah
meninggal dunia sehingga muncul penyesalan yang mengakibatkan dirinya
terbebani atau stres. Perasaan moral ditunjukkan dengan perasaan rasa bersalah,
perasaan empati, dan perasaan sabar. Ia nekad membunuh sebab tidak mampu
menahan emosi karena cemburu isterinya berselingkuh.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Puji Hariyanto (pencurian dengan
berikut:
Saya sadar mencuri telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Perasaan tidak tega sewaktu mengambil uang. Rasa takut dan cemas kerap muncul. Saya tidak ingin mengulangi kembali cukup dengan masuk penjara sekarang menjadi pengalaman terpahit dan terakhir dalam hidup saya. Sebab takut karma tidak mau hal tersebut menimpa saya sendiri. Saya ingin tobat. (Catatan lapangan 9).
Berdasarkan hasil wawancara dengan narapidana residivis bernama Puji
Hariyanto, peneliti menyimpulkan bahwa informan telah menunjukkan perasaan
moral. Informan sadar bahwa tindak pidana yang dilakukan telah menimbulkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
kerugian bagi orang lain. Informan mengatakan bahwa ia melakukan perbuatan
tersebut bertentangan dengan hati nurani sebab ada perasaan tidak tega, cemas dan
takut sewaktu mencuri.
Disisi lain, perasaan moral belum ditunjukkan dalam diri narapidana
residivis dimana nampak ketidakpedulian mereka terhadap orang lain khususnya
korban. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bayu Waluyo (narapidana residivis
sebagai berikut: Gimana ya mba, saya juga tidak ingin berbuat menipu dengan
menjual terasi palsu. Saya sadar bahwa perbuatan saya salah tetapi saya butuh
1).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bayu Waluyo peneliti menyimpulkan
bahwa belum terlihat perasaan empati dalam dirinya sebab, ketika dilakukan
wawancara informan terkesan tidak fokus pada pertanyaan yang diajukan
pembicara (peneliti).
Hasil wawancara lainnya dengan seorang narapidana residivis bernama
Ardi Eli.L (pencurian turut serta pasal 363 KUHP) pada hari Kamis tangal 15 Juli
2011 adalah sebagai berikut: Gak peduli dengan orang lain. Saya mencuri karena
butuh sekali uang untuk operasi bapak. Melihat dia sehat merupakan kebahagiaan
Catatan lapangan 8).
Berdasarkan hasil wawancara dengan narapidana residivis bernama Ardi
Eli. L, peneliti menyimpulkan bahwa ia tidak memiliki perasaan moral. Hal
tersebut tampak dari rasa ketidakpeduliaannya terhadap perasaan orang lain atas
perbuatan tindak pidana (pencurian) yang dilakukan. Sifat egois menyebabkan
informan tidak memiliki perasaan moral.
Hal senada disampaikan berdasarkan hasil wawancara dengan narapidana
residivis Tedy Surahman (penggelapan pasal 372 KUHP) pada hari Sabtu tanggal
9 Juli 2011 adalah sebagai berikut: Gimana ya mbak saya juga butuh uang.
Kasus penggelapan yang saya lakukan tidaklah separah kasus korupsi yang
dilakukan orang-orang ).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan bernama Tedy Surahman
peneliti menyimpulkan bahwa, informan belum memiliki perasaan moral. Ia
terkesan cuek dan tidak mau peduli terhadap pertanyaan yang diajukan oleh
pembicara (peneliti). Bahkan informan berusaha membela diri atas perbuatan
penggelapan yang dilakukan.
Hasil wawancara selanjutnya dengan Marcus Sudarmo (pencurian pasal
362 KUHP) pada hari Kamis tanggal 14 Juli 2011 mengatakan sebagai berikut:
Selama ini saya mencuri itu melihat kondisi seseorang. Biasanya saya mencuri barang-barang kepunyaan orang kaya yang banyak duitnya. Jadi tidak sembarangan asal mencuri. Saya rasa perbuatan yang saya lakukan wajar. Harusnya hukum tidak memandang saya sebelah mata. Saya sadar kalau mencuri melanggar hukum. Tetapi saya tidak begitu setuju bahwa perbuatan saya merugikan orang lain. (Catatan lapangan 6).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Marcus Sudarmo, peneliti
menyimpulkan bahwa perasaan moral yang dimilikinya dikatakan rendah sebab,
ia tidak peduli atas penderitaan korban. Baginya mencuri tidak merugikan orang
lain sebab perbuatan yang dilakukan dianggap wajar dan sebaliknya ia berharap
agar orang lain mengerti kondisi dirinya. Ia sama sekali tidak memiliki perasaan
bersalah atas perbuatan tindakan mencuri yang dilakukannya sampai berulang-
ulang. Bahkan ketika diwawancarai, narapidana menunjukkan sikap yang tenang
dan tidak ada perasaan takut untuk mengungkapkan perasaannya tersebut.
Setelah peneliti melakukan wawancara dengan 10 narapidana residivis di
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang terkait dengan perasaan moral,
peneliti menyimpulkan bahwa, hanya 5 orang (50%) narapidana residivis yang
memiliki perasaan moral yang baik. Sikap narapidana residivis yang cukup
terbuka mempermudah peneliti untuk mengetahui perasaan moralnya. Perasaan
moral diketahui dari kondisi emosional yang dialami oleh narapidana residivis.
Ketika peneliti melakukan wawancara, tampak terlihat ekspresi wajah yang
menunjukkan adanya penyesalan dalam diri narapidana sebagai akibat atas tindak
pidana yang dilakukan. Mereka mengatakan bahwa, perbuatan yang dilakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
telah merugikan dan membahayakan korban ataupun masyarakat. Perasaan moral
narapidana residivis diwujudkan dengan mengungkapkan perasaan empati kepada
korban seperti perasaan peduli, iba, dan ikut merasakan kesulitan korban. Namun,
sejauh ini perasaan moral yang ditunjukkan narapidana residivis diungkapkan
melalui kata-kata (ucapan) ketika melakukan wawancara dengan peneliti.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa, ditemukan beberapa narapidana
yang belum memiliki perasaan moral misalnya ketika peneliti melakukan
wawancara beberapa narapidana residivis menunjukkan perasaan tidak peduli atas
kesulitan yang dialami oleh korban. Ketidakpedulian narapidana residivis
tersebut, dapat diketahui dari ucapan yang disampaikan oleh narapidana residivis
seperti: Saya tidak mau peduli
faktor yang menyebabkan rendahnya perasaan moral narapidana residivis adalah
sifat egois dan keserakahan dalam diri narapidana residivis serta pemahaman arti
pentingnya menghargai perasaan orang lain yang rendah.
d. Latar Belakang Pendidikan Moral yang Diperoleh Narapidana Residivis
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
Moral manusia tidak berkembang dengan sendirinya. Moral berkembang
seiring dengan berkembangnya kemampuan biologis, psikologis, dan sosial.
Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan moral seseorang baik berasal
dari intern maupun ekstern. Pendidikan adalah salah satu faktor ekstern yang
dapat mempengaruhi perkembangan moral seseorang. Salah satu cabang
pendidikan yang mengarahkan seseorang menjadi bermoral adalah pendidikan
moral. Pendidikan moral merupakan suatu proses pembelajaran yang mengubah
tingkah laku manusia ke arah yang lebih baik. Pendidikan moral diperoleh dari
pendidikan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat yang sering dikenal dengan
tersebut, yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan moral seseorang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
adalah keluarga. Sebab, keluarga merupakan pusat pendidikan primer atau utama.
Mengingat pendidikan moral memegang peranan yang sangat penting dalam
membentuk perilaku manusia menjadi baik, kemudian peneliti perlu mengetahui
bagaimana latar belakang pendidikan moral yang selama ini diterima oleh
narapidana residivis dalam lingkungan keluarga. Dengan demikian, akan
diketahui apakah semua narapidana residivis mendapat pendidikan moral yang
cukup baik atau tidak dari keluarganya.
Setelah peneliti melakukan wawancara, ternyata sebagian besar
narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta kurang
mendapatkan pendidikan moral yang baik dari keluarga. Hal tersebut disebabkan
karena faktor orang tua misalnya kesibukan orang tua bekerja, orang tua
meninggal dunia, bercerai (broken home), pendidikan orang tua yang rendah, dan
kecenderungan orang tua mempercayakan narapidana residivis memperoleh
pendidikan moral kepada lembaga pendidikan agama seperti pondok pesantren.
Disisi lain, beberapa narapidana residivis telah memperoleh pendidikan
moral dari keluarga. Salah satu wujud pendidikan moral yang diberikan keluarga
kepada narapidana residivis berupa nilai-nilai agama (religius) serta nilai-nilai
kebaikan seperti nasehat yang baik dari orang tua. Seperti yang diutarakan oleh
narapidana r
(Catatan lapangan 1).
Hal senada juga disampaikan oleh narapidana residivis bernama Dwi
selalu diajarkan mengaji, sholat lima waktu, dan puasa sunnah. Orang tua selalu
memberikan nasehat agar saya menjadi orang yan
(Catatan lapangan 5).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
santun kepada yang lebih tua, dan menjadi lelaki yan
(Catatan lapangan 10).
Meskipun pendidikan orang tua dari narapidana residivis minim,
khususnya pengetahuan agama, namun pada kesempatan tertentu orang tua dari
narapidana residivis tetap dapat memberikan pendidikan moral berupa nasehat
dan ajaran tentang nilai kebaikan.
Berikut hasil wawancara dengan Ramlan Butar pada hari Sabtu tanggal 13
Juli 2011 adalah sebagai berikut:
Sejak kecil, saya mendapat pendidikan moral dari keluarga misalnya disuruh mengaji setiap hari, sholat lima waktu, diberi wejangan mengenai sikap yang baik kepada orang tua, bergaul dengan orang yang baik, tidak boleh menyakiti perasaan orang lain, dan mengikuti norma-norma masyarakat. Bahkan sampai dewasapun, orang tua tetap memberikan nasehat. (Catatan lapangan 4).
Hasil wawancara selanjutnya disampaikan oleh Tedy Surahman pada hari
Sabtu tanggal 9 Juli 2011 adalah sebagai berikut:
Selama saya hidup, orang tua memberikan kasih sayang yang melimpah. Orang tua saya memang kaya sehingga, saya sendiri selalu hidup berkecukupan. Namun dalam segi agama, saya merasa kurang baik sebab orang tua jarang mengajari mengaji. Namun, mereka selalu mengajari saya agar menjadi manusia yang bertanggung jawab dan tidak boleh menyusahkan orang lain. (Catatan lapangan 3).
Berdasarkan hasil wawancara di atas, peneliti menyimpulkan sebanyak 5
narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta telah
memperoleh pendidikan moral dari keluarga. Pendidikan moral yang diberikan
kepada narapidana residivis melalui keluarga berupa ceramah atau perintah
mengenai sesuatu yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Keluarga
mensosialisasikan nilai-nilai moral kepada narapidana residivis semenjak kecil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
bahkan hingga dewasa. Nilai-nilai moral tersebut berupa nilai religius (agama)
seperti ibadah kepada Tuhan, puasa, dan mengaji. Disamping itu, nilai kebaikan
ditanamkan sebagai suatu kebiasaan dalam diri narapidana residivis. Nilai-nilai
kebaikan itu berupa nasehat seperti menghargai orang tua, tanggung jawab pada
diri sendiri, tidak menyakiti perasaan orang lain, dan tata krama atau unggah-
ungguh. Nilai-nilai tersebut diberikan dengan harapan narapidana residivis mampu
memiliki perilaku moral yang baik.
Selain pendidikan moral diberikan dalam keluarga, penanaman nilai-nilai
moral juga di dapatkan selama narapidana residivis berada di bangku sekolah.
Dalam pendidikan formal (sekolah) diajarkan pendidikan agama dan pendidikan
budi pekerti dari mata pelajaran tertentu seperti mata pelajaran pendidikan agama,
bimbingan dan konseling (BK), ataupun ajaran moral baik dalam bentuk ceramah
maupun memberi contoh teladan dari guru (tenaga pendidik). Kenyataan di
lapangan, beberapa narapidana residivis tidak mampu melanjutkan jenjang
pendidikan.
Adapun jumlah narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta yang didasarkan pada tingkat pendidikan tahun 2011.
Tabel 7. Jumlah Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang Didasarkan pada Tingkat Pendidikan Tahun 2011
Tingkat Pendidikan Jumlah Narapidana Residivis SD tidak lulus 2 orang Lulus SD 5 orang SMP tidak lulus 5 orang SMP lulus 6 orang SMA 2 orang
Sumber Data: Sub Seksi Bantuan Hukum dan Penyuluhan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta tahun 2011.
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa, jenjang pendidikan formal yang
ditempuh narapidana residivis paling banyak hanya sampai tingkat SMP yaitu
berjumlah 6 orang. Bahkan, ada narapidana residivis yang tidak lulus SD yaitu 2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
orang. Hal tersebut berarti tingkat pendidikan yang diperoleh sebagian narapidana
residivis masih rendah.
Berdasarkan hasil wawancara dan data dari tabel di atas dapat peneliti
menyimpulkan bahwa, masih ditemukan beberapa narapidana residivis yang belum
memperoleh pendidikan moral secara maksimal baik dari lingkungan keluarga atau
pendidikan formal (sekolah). Padahal, melalui kedua agen tersebut (pendidikan
keluarga dan sekolah) sangat berpengaruh terhadap perkembangan moral
narapidana residivis. Seperti yang disampaikan Kohlberg dalam Asri Budiningsih
Orang tua memiliki peran dalam usaha
menumbuhkan perkembangan moral anak. Orang tua akan mengenalkan mengenai
pandangan tertentu dan mendorong terbentuknya dialog. Di samping itu, sekolah
dan masyarakat luas serta kelompok sebaya akan meningkatkan perkembangan
.
e. Perilaku Narapidana Residivis yang Terkait dengan Pengulangan Tindak
Pidana (Tindakan Moral)
Moral berarti berbicara tentang sesuatu yang bertalian dengan baik
buruknya perilaku manusia. Ketika moral dikaitkan dengan subjeknya yaitu
manusia, maka akan semakin terasa derajat urgensi atau kepentingannya apalagi
ketika moral manusia cenderung mengarah ke perilaku tidak bermoral. Untuk
menilai perilaku seseorang yang bermoral atau tidak bermoral dibutuhkan
pertimbangan moral. Pertimbangan moral dimaksudkan sebagai evaluasi atau
penilaian mengenai tindakan seseorang. Dengan pertimbangan moral inilah akan
dijadikan alat penilaian yang merujuk pada tindak pidana narapidana residivis.
Pertimbangan moral digunakan peneliti untuk mengetahui alasan atau faktor yang
menyebabkan narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana.
Demikian pula, dalam ilmu hukum pidana menyebutkan pentingnya menyelidiki
sebab-sebab dari kejahatan pada diri orang dalam rangka memberantas kejahatan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
Oleh sebab itu, peneliti akan mengkaji alasan atau faktor apa sajakah yang
menyebabkan narapidana residivis melakukan tindak pidana.
Masalah kepribadian sering dapat menimbulkan tingkah laku yang
menyimpang, lebih lagi jika seorang individu dapat dikategorikan tertekan
perasaannya. Orang yang tertekan perasaannya mempunyai kecenderungan untuk
melakukan kejahatan. Seperti yang dialami oleh narapidana residivis kasus
pembunuhan berencana pasal 340 KUHP yang bernama Dwi Martanto adalah
sebagai berikut:
Saya membunuh istri karena cemburu atas perselingkuhan yang dilakukannya dengan teman laki-laki sekantornya. Awalnya saya tidak percaya kalau istri selingkuh dan hanya mendengar dari tetangga bahwa setiap pulang kerja, isteri selalu diantar pulang teman sekantornya itu. Saya dan istri sempat adu mulut hebat. Malam hari tanggal 13 November 2009, niat jahat muncul dalam diri karena selalu terbayang-bayang perlakuan isteri selingkuh. Akhirnya pada waktu istri tidur, saya mencekiknya hingga tewas. (Wawancara: Senin, 11 Juli 2011). (Catatan lapangan 5).
Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa,
narapidana residivis yang bernama Dwi Martanto melakukan pembunuhan karena
sakit hati akibat isterinya berselingkuh. Secara psikologis, dia melakukan
perbuatan tersebut karena emosi yang tidak dapat dikendalikan.
Selain masalah kepribadian, faktor penyebab melakukan tindak pidana
adalah pengaruh minuman keras. Seperti yang dialami oleh narapidana residivis
Agus Waluyo (kekerasan pasal 170 KUHP). Akibat minuman keras yang sering
dikonsumsi menyebabkan ia tidak dapat mengendalikan emosi sehingga ketika
tanpa sadar berkelahi. Berikut hasil wawancara pada hari Senin tanggal 11 Juli
2011:
Sebelum masuk penjara lagi, saya menjalani masa hukuman karena kasus pencurian. Pada waktu itu, dalam keadaan mabuk berat dan kondisi yang tidak sadar mencuri 6 buah handphone di counter milik tetangga. Selanjutnya, kasus pidana yang kedua adalah kekerasan. Kekerasan yang saya lakukan yaitu berkelahi dengan teman dengan kondisi setengah sadar karena mabuk. (Catatan lapangan 7).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
Terlepas dari masalah kepribadian dan akibat minuman keras, beberapa
narapidana residivis melakukan tindak pidana karena faktor kebutuhan ekonomi
yang mendesak sehingga pada akhirnya terpaksa berbuat menyimpang demi
memenuhi kebutuhan tersebut. Seperti yang dialami oleh beberapa narapidana
residivis bernama Bayu Waluyo (narapidana residivis kasus penipuan pasal 378
Pekerjaan saya sebagai sales makanan yaitu roti kering. Saya menawarkan dagangan kepada para pelanggan di kios-kios makanan. Pelanggan saya sudah banyak sekitar 10 orang. Namun, awal tahun 2008 usaha yang saya dirikan bangkrut. Akhirnya saya beralih berdagang terasi. Dalam pengolahannya saya campur pewarna buatan agar terlihat segar. Modal sedikit tetapi untungnya banyak. Suatu saat pelanggan mengeluh bahwa terasi yang saya jual palsu kemudian melapor kepada pihak yang berwajib. Saya melakukan tindak pidana tersebut karena ingin membantu orang tua. (Catatan lapangan 1).
Hasil wawancara berikutnya dengan Ramlan Butar (pencurian dengan
kekerasan pasal 365 KUHP) pada hari Rabu tanggal 13 Juli 2011, menuturkan hal
yang sama adalah sebagai berikut:
Dengan maksud ingin membantu orang tua, saya mencuri handphone dan sejumlah uang pada seorang ibu yang pada waktu itu duduk di terminal. Pada waktu itu, kondisi sekitar sepi sehingga saya gunakan kesempatan tersebut dengan merampas tas. Ibu tersebut sempat berusaha melawan. Karena panik, saya mengancam dan memukul keras kepalanya hingga pingsan. Saya mencuri tujuannya karena ingin membahagiakan orang tua agar bisa hidup berkecukupan. (Catatan lapangan 4).
Hasil wawancara lainnya dengan Marcus Sudarmo (pencurian pasal 362
KUHP) pada hari Kamis tanggal 14 Juli 2011 mengatakan sebagai berikut:
digital di sebuah
).
Alasan yang serupa yaitu faktor ekonomi menyebabkan narapidana
residivis bernama Ardi Eli.L (pencurian turut serta pasal 363 KUHP) akhirnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133
mencuri karena membutuhkan uang untuk membiayai operasi ayahnya. Pada hari
Kamis tanggal 15 Juli 2011 adalah sebagai berikut:
Saya mencuri karena membutuhkan uang untuk biaya operasi ayah. Sebelumnya, saya telah menguasai teknik kunci sepeda motor sehingga dengan mudah mencuri sepeda motor yang diparkir di pinggir jalan yang tidak dikunci stang. Sebelum saya kabur membawa sepeda motor tersebut, tukang parkir sempat berteriak maling akhirnya saya tikam lengan tangan dia dengan pisau. Namun, belum sempat kabur saya sudah diamuk massa. (Wawancara: Kamis, Tanggal 15 Juli 2011). (Catatan lapangan 8).
Demi menyekolahkan anak, seorang narapidana residivis nekad mencuri.
Seperti yang dilakukan oleh Dedi Rosadi (pencurian pasal 365 KUHP) pada hari
Saya mencuri bersama dengan teman yang sehari-hari sebagai kenet angkutan. Barang yang dicuri adalah sebuah komputer di rental. Ide mencuri berawal dari saya. Karena membutuhkan uang untuk biaya sekolah anak, akhirnya saya mencuri. Saya mendobrak dan mencongkel gembok pintu rentalan sedangkan teman saya yang mengambil komputer. Esok harinya komputer dijual dengan harga Rp.900.000,-. Uang tersebut kita bagi dua. (Catatan lapangan 10).
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narapidana residivis di atas,
peneliti menyimpulkan bahwa narapidana residivis melakukan tindak pidana
disebabkan karena faktor ekonomi dengan alasan seperti ekonomi keluarga yang
rendah (miskin), biaya sekolah, memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan memenuhi
kebutuhan yang mendesak seperti biaya operasi Rumah Sakit.
Selain kedua alasan penyebab penyimpangan di atas, narapidana residivis
melakukan tindak pidana dengan mengambil kesempatan yang ada. Seperti yang
dilakukan oleh narapiana residivis bernama Tedy Surahman (penggelapan pasal
372 KUHP) pada hari Sabtu tanggal 9 Juli 2011 adalah sebagai berikut:
diberi amanah Kepala Kantor untuk menjadi bendahara. Dalam setiap kesempatan,
uang tunjangan karyawan setiap bulannya saya ambil 5 persen. Uang tersebut saya
gunakan untuk modal menika .
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134
Ternyata, lingkungan pergaulan juga dapat mempengaruhi seseorang
melakukan tindak pidana. Seperti yang dialami narapidana residivis bernama Afif
Solikhin (narapidana residivis kasus pencurian turut serta pasal 363 KUHP) pada
Saya bersama dengan teman, mencuri uang dalam kotak amal di sebuah masjid yang tidak jauh dari rumah saya. Teman saya memang sudah lama berniat mengajak saya untuk mencuri. Karena terpengaruh, akhirnya saya mau melakukan. Teman saya yang mencongkel gembok kotak amal dan saya yang menjaga sekitar sebab takut ada orang yang melihat. Karena merasa berdosa akhirnya saya mengakui kesalahan dengan melaporkan diri kepada pihak yang berwajib. (Catatan lapangan 2).
Disamping itu, faktor sulitnya mendapatkan pekerjaan yang memadai
merupakan penyebab narapidana residivis melakukan tindak pidana. Artinya
narapidana residivis merasa bahwa karena statusnya sebagai mantan narapidana
sehingga ia merasa sulit memperoleh pekerjaan. Oleh sebab itulah, narapidana
residivis mencari kemudahan memperoleh materi (uang) sehingga mencari jalan
instan dengan melakukan tindak pidana. Seperti yang dilakukan oleh Puji
Hariyanto (pencurian dengan kekerasan pasal 365 KUHP) wawancara pada hari
Hidup dalam masyarakat serba sulit mbak. Ingin kerja di pabrik tetapi selalu ditolak. Ujung-ujungya menjadi buruh. Saya merasa kerja menjadi buruh itu capek, sehingga mau tidak mau mencuri lagi. Saya merasa tidak takut berbuat mencuri sebab sudah menjadi pekerjaan saya. Kasu terakhir adalah saya mencuri uang tetangga sebesar Rp. 5.345.000,- sewaktu mereka sedang tertidur. Perbuatan mencuri yang saya lakukan ternyata diketahui oleh Satpam penjaga rumah. Karena saya merasa panik, akhirnya memukulnya dengan sebilah kayu sampai pingsan. (Catatan lapangan 9).
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa, sebagian besar
narapidana residivis mengalami masalah moral. Masalah moral yaitu mengapa
narapidana residivis melakukan tindak pidana. Masalah moral yang dialami oleh
narapidana residivis disebabkan oleh beberapa faktor. Adapun faktor yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135
menyebabkan narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana adalah
sebagai berikut:
Tabel 8. Faktor Penyebab Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Melakukan Tindak Pidana
No. Faktor melakukan tindak pidana Jumlah 1. Emosi yang tidak terkendali 1 orang 2. Pengaruh minuman keras (alkohol) 1 orang 3. Faktor ekonomi keluarga yang rendah atau
kemiskinan 5 orang
4. Faktor adanya kesempatan 1 orang 5. Sulitnya mendapat pekerjaan 1 orang 6. Lingkungan pergaulan yang buruk 1 orang
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa, terdapat 6 faktor penyebab
narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta melakukan tindak
pidana. Faktor tersebut meliputi: emosi yang tidak terkendali, pengaruh minuman
keras (alkohol), ekonomi yang rendah atau kemiskinan, adanya kesempatan,
sulitnya mendapat pekerjaan, dan lingkungan pergaulan yang buruk. Dari beberapa
faktor tersebut, ternyata faktor yang paling banyak mempengaruhi narapidana
residivis melakukan pengulangan tindak pidana disebabkan ekonomi yang rendah
dengan jumlah 5 orang. Tindak pidana yang dilakukan narapidana residivis
didominasi dengan kasus pencurian. Kenyataan di lapangan, narapidana residivis
mencuri karena membutuhkan uang demi menyambung kelangsungan keluarga
dan hidupnya. Narapidana residivis terpaksa mencuri untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, membiayai sekolah anak, dan biaya operasi orang tua. Bahkan, seorang
narapidana residivis mengatakan bahwa ia menjadikan tindak pidana sebagai
pekerjaannya (mata pencaharian). Hal tersebut dilakukan oleh narapidana residivis
bernama Puji Hariyanto (pencurian dengan kekerasan pasal 365 KUHP). Sulitnya
mencari dan mendapat pekerjaan menjadi alasan dia mencuri.
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa meskipun
sebagian besar narapidana residivis telah memiliki pemahaman moral yang sangat
baik, kemudian beberapa narapidana residivis telah memiliki perasaan moral, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
136
sebagian besar narapidana residivis telah memperoleh pendidikan moral yang baik
dari keluarga atau sekolah namun, dari segi tindakan moral belum terwujud sebab
mereka masih melakukan pengulangan tindak pidana. Tindak pidana yang
dilakukan oleh narapidana residivis dikatakan perbuatan tidak bermoral karena,
tidak sesuai dengan nilai-nilai moral yaitu tidak memiliki perikemanusiaan, tidak
jujur, tidak memiliki tanggung jawab, dan ketamakan atau keserakahan. Hal
tersebut menunjukkan bahwa tindakan moralnya belum baik. Menurut Fakhrurazi
yang dikutip dalam Miqdad Yaljan (2004: 26) dinyatakan bahwa:
Kesempurnaan sifat manusia ada dalam dua hal. Yang pertama, hendaknya
seseorang mengetahui yang benar secara benar. Kedua, hendaknya seseorang
mengetahui kebaikan untuk diamalkannya menjadi pintu pembuka jalan kebaikan
tersebut, diartikan bahwa seseorang dapat dikatakan bermoral apabila dari
pengetahuan yang dimiliknya dapat diwujudkan dalam tindakan moral. Nilai-nilai
moral yang didapatkan oleh narapidana residivis seharusnya dapat diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kecenderungan mereka untuk
berbuat atau berperilaku buruk (jahat) tidak akan terjadi. Namun, kenyataan di
lapangan menyebutkan bahwa narapidana residivis mengalami masalah moral
sehingga melakukan pengulangan tindak pidana. Penyebab narapidana residivis
melakukan pengulangan tindak pidana adalah faktor intern seperti masalah
kepribadian (emosi) dan juga faktor ekstern seperti rendahnya ekonomi keluarga
atau kemiskinan, kesempatan, sulitnya memperoleh pekerjaan, lingkungan
pergaulan yang buruk, dan pengaruh minuman keras.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, pengetahuan moral dan perasaan
moral saja bukanlah unsur mutlak yang menjamin seseorang memiliki moral yang
baik. Namun, dibutuhkan pembiasaan dan iman yang kuat yang dapat
mempengaruhi perkembangan moral seseorang. Jika perkembangan moral
seseorang telah matang, akhirnya seseorang akan bertindak secara moral.
Sebaliknya, jika perkembangan moral seseorang belum matang, maka akan terjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
137
kecenderungan seseorang dapat melakukan perbuatan menyimpang (jahat) yang
menjadi masalah moral dalam dirinya. Hal tersebut nampak pada narapidana
residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang mengalami masalah
moral. Dengan demikian, perlunya memperhatikan sisi masalah moral yang
dihadapi narapidana residivis. Hal tersebut menjadi bagian yang cukup penting
sebab dengan mengetahui masalah moral yang dihadapi narapidana residivis, akan
diketahui penyebab mereka melakukan perbuatan menyimpang sehingga dapat
diberikan solusi atau pemecahan masalahnya. Oleh sebab itulah, sebagai alternatif
pemecahan masalah moral yang dihadapi narapidana residivis dapat dilakukan
melalui pembinaan moral dalam lembaga pemasyarakatan. Pembinaan moral yang
diterapkan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta sebagai salah satu solutif
dalam rangka mensosialisasikan nilai-nilai moral kepada narapidana residivis,
dimana dalam penerapan pembinaan moral tersebut tidak terlepas pula dari sistem
pemidanaan dengan tujuan agar narapidana residivis jera sehingga tidak
mengulangi kembali tindak pidana yang diharapkan nantinya narapidana residivis
menjadi pribadi yang bermoral dan menjadi warga negara yang baik (good citizen).
2. Pelaksanaan Pembinaan Moral terhadap Narapidana Residivis dalam
Membentuk Good Citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
Meskipun Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta bukanlah lembaga
pemasyarakatan namun, dalam pelaksanaan pemidanaan bagi narapidana residivis
menggunakan sistem pemasyarakatan yang lebih difokuskan pada pembinaan dan
rehabilitasi dari pada sekedar sistem penjara yang lebih pada unsur balas dendam. Hal
tersebut sesuai dengan Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.
G8/506, 17 Juni 1964 disebutkan bahwa,
anak pidana telah berubah secara mendasar yaitu sistem kepenjaraan menjadi sistem
t diketahui bahwa sistem
pemenjaraan tidaklah cukup memberikan manfaat yang baik. Perlu dilakukan
perubahan sistem pemidanaan yang efektif dalam mengurangi diulanginya tindak
kejahatan. Sebab melalui sistem pidana penjara saja, ternyata tidak mengurangi angka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
138
kejahatan. Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam melaksanakan pembinaan
pun, tidak bisa lepas dari sistem pemenjaraan dimana melalui sistem tersebut
bertujuan agar narapidana jera dan tidak mengulangi perbuatan tindak pidana.
Tujuan pembinaan yang diterapkan di Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta adalah narapidana tidak melanggar hukum lagi, narapidana dapat
berpartisipasi aktif dan positif dalam pembangunan (manusia mandiri) dan narapidana
hidup bahagia dunia akherat. Dalam rangka mencapai tujuan pembinaan tersebut,
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta mengupayakan pelaksanaan pembinaan
secara maksimal. Lebih dari pada itu, pembinaan yang dilaksanakan di Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta diarahkan guna membentuk moral narapidana
residivis sehingga akhirnya menjadi warga negara yang baik (good citizen).
Pembinaan tersebut diperuntukkan bagi seluruh warga binaan pemasyarakatan, tidak
terkecuali bagi narapidana residivis. Sesuai dengan kajian pustaka, peneliti akan
mengkaji beberapa aspek yang terkait dengan pelaksanaan pembinaan moral bagi
narapidana residivis. Aspek-aspek tersebut meliputi: a. Pola pembinaan narapidana
residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, b. Tahapan pelaksanaan
pembinaan narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, c.
Metode pembinaan dan wujud program pembinaan bagi narapidana residivis di
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, d. Keberhasilan pembinaan narapidana
residivis terkait pembentukan good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta. Berikut ini penjabaran mengenai aspek-aspek tersebut:
a. Pola Pembinaan Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro,
Bc.IP.S.Sos M.M pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa:
Pola pembinaan yang dilaksanakan bagi narapidana residivis adalah sama dengan narapidana lainnya. Pola pembinaan mengacu pada Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan. Merujuk pada aturan tersebut maka kita terapkan pada narapidana residivis. Pola pembinaan terbagi atas pembinaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
139
yang dilakukan di dalam Rutan dan pembinaan di luar Rutan. (Catatan lapangan 11).
Bapak Drs. Haryana selaku Kepala Pengelolaan pada tanggal 29 Juni 2011
menambahkan bahwa:
Tidak ada pola pembinaan khusus bagi narapidana residivis. Semua narapidana atau warga binaan diperlakukan sama dan mendapat pembinaan yang sama. Pembedaannya hanya fungsi pengawasan yang lebih diperketat. Selain itu, narapidana residivis akan ditempatkan pada blok yang berbeda dengan narapidana lainnya. Hal ini dilakukan supaya tidak terjadi keributan antara narapidana residivis dengan narapidana bukan residivis. (Catatan lapangan 12).
Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas pemasyarakatan di atas,
peneliti menyimpulkan bahwa pelaksanaan pembinaan bagi narapidana residivis di
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta mengacu kepada Keputusan Menteri
Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan
Narapidana atau Tahanan. Pola pembinaan yang diberikan kepada narapidana
residivis adalah sama dengan narapidana lainnya (bukan residivis) karena belum
ada pola pembinaan khusus bagi narapidana residivis.
Selama peneliti melakukan pengamatan dan analisis dokumen
menunjukkan bahwa, pola pembinaan bagi narapidana residivis yang dilaksanakan
di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta memang merujuk pada Keputusan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola
Pembinaan Narapidana atau Tahanan. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa,
pola pembinaan terdiri dari pembinaan yang dilaksanakan di dalam Rutan dan
pembinaan yang dilakukan di luar Rutan. Pola pembinaan yang dilaksanakan di
dalam lembaga pemasyarakatan meliputi pemberian program-program pembinaan
baik yang bersifat mengasah mental (psikis) maupun fisik (keterampilan).
Sedangkan pembinaan di dalam maupun di luar Rutan misalnya belajar di sekolah-
sekolah negeri, belajar di tempat latihan kerja milik industri atau dinas lain,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
140
beribadah seperti sholat di masjid, gereja dan sebagainya, berolahraga bersama
masyarakat, pemberian asimilasi, dan pengurangan masa pidana/remisi.
Bagi narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, pola
pembinaan dilaksanakan dalam Rutan saja. Tidak ada wujud program pembinaan
yang secara khusus diberikan bagi narapidana residivis sehingga dalam
pelaksanaannya sama dengan narapidana lainnya. Narapidana residivis
memperoleh program pembinaan kepribadian dan program pembinaan
kemandirian. Sedangkan untuk narapidana bukan residivis terkecuali kasus
narkotika, korupsi, penipuan, dan terorisme tetap mendapatkan pembinaan di
dalam maupun di luar Rutan. Hal tersebut menandakan adanya perbedaan
mengenai pola pembinaan bagi narapidana residivis dan bukan residivis.
Perbedaan lainnya adalah dalam hal pengawasan. Selama pembinaan
berlangsung, pengawasan lebih dioptimalkan terhadap narapidana residivis.
Petugas Rutan sering memberikan hukuman disiplin terhadap narapidana residivis
misalnya push up apabila narapidana residivis melakukan pelanggaran. Adapun
maksud petugas bersikap demikian, agar narapidana residivis patuh dan disiplin
dalam mengikuti pembinaan. Sebab bagi pembina, narapidana residivis adalah
seseorang yang memiliki kepribadian buruk dan ndableg sehingga harus diberi
hukuman yang tentunya tidak menyimpang dari prinsip-prinsip pemasyarakatan.
Dengan demikian, diharapkan narapidana residivis jera atas perbuatan tindak
pidana yang dilakukan sehingga tidak menjalani pemidanaan kembali di Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
Di samping itu, mengenai penempatan blok kamar, bagi narapidana
residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dibedakan dengan
narapidana bukan residivis. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari terjadinya
perkelahian atau pengaruh buruk bagi narapidana lainnya. Bagi narapidana
residivis yang melakukan pengulangan tindak pidana berkali-kali hingga 3 kali
lebih akan diberikan rehabilitasi secara optimal yaitu mendatangkan psikiater dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
141
luar sebab dikhawatirkan narapidana residivis dihinggapi keluhan jiwa yang tidak
dapat diatasi sendiri kelainannya sehingga tidak bertambah parah.
b. Tahapan Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Residivis di Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta
Tahapan pembinaan merupakan langkah-langkah yang diberikan kepada
narapidana selama menjalani masa pidana di Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta. Dalam tahapan pelaksanaan ini narapidana akan menjalani tahapan awal
sampai tahap akhir. Tahapan pengalihan pembinaan dari satu tahap ke tahap
berikutnya ditetapkan oleh TPP (Tim Pengamat Pemasyarakatan). TPP (Tim
Pengamat Pemasyarakatan) dapat memutuskan pengalihan tahapan pembinaan
adalah berdasarkan data dari hasil evaluasi dalam laporan perkembangan warga
binaan pemasyarakatan yang diberikan oleh wali pemasyarakatan.
Tahapan pembinaan yang dilaksanakan oleh TPP (Tim Pengamat
Pemasyarakatan) mempunyai fungsi sebagai berikut:
1) Memberikan saran mengenai bentuk dan program pembinaan serta bimbingan
dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan.
2) Membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan dan pembimbingan.
3) Menerima keluhan dan pengaduan dari warga binaan pemasyarakatan.
Secara garis besar, tahapan pelaksanaan pembinaan bagi narapidana
residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah sebagai berikut:
1) Tahap Awal atau Orientasi
Pada tahap awal, semua narapidana didata untuk mengetahui identitas
dan latar belakang kehidupannya. Kemudian diberikan pengarahan tentang tata
tertib, hak dan kewajibannya. Tahap ini berlangsung 0 sampai 1/3 masa pidana.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro,
Bc.IP.S.Sos.M.M, pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa:
Tahapan awal pembinaan untuk narapidana residivis hanya dilakukan pendataan ulang yang terkait dengan identitas, perkara pidana dan masa pidana. Narapidana tidak perlu diperkenalkan kembali pada tata tertib Rutan serta hak dan kewajiban yang harus dipatuhi sebab narapidana sudah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
142
mengetahui sebelumnya karena pernah masuk Rutan. Selanjutnya, narapidana residivis akan ditempatkan dalam blok kamar tersendiri dimana kita bedakan dengan narapidana bukan residivis dengan maksud untuk menghindari adanya keributan. (Catatan lapangan 11).
Menurut Bapak Drs. Haryana .pada tanggal 29 Juni 2011 menambahkan
bahwa:
an pembinaan yaitu
orientasi, tahapan lanjutan, dan tahap akhir sehingga pembinaan diberikan di
dalam Rutan. Mereka tidak memperoleh pembinaan di luar Rutan seperti
(Catatan lapangan 12).
Berdasarkan hasil wawancara dengannarapidana residivis Bayu Waluyo
Awal masuk Rutan ini, oleh petugas pendaftaran dilakukan pendataan mengenai identitas diri dan keluarga pada buku register B, kemudian pemeriksaan kesehatan oleh petugas medis Rutan, selanjutnya ditempatkan dalam blok penerimaan. Karena dahulu saya pernah terdaftar sebagai mantan narapidana sehingga tidak dilakukan kegiatan pengenalan lingkungan ataupun penjelasan mengenai tata tertib serta hak dan kewajiban narapidana. Namun mewajibkan saya mengikuti kegiatan program pembinaan agama islam dan pembinaan lainnya kecuali pembinaan kemandirian. (Catatan lapangan 20).
Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa,
tahapan awal pembinaan untuk narapidana residivis hanya dilakukan pendataan
ulang. Pendataan ulang dilakukan untuk mengetahui kasus baru apa yang
dilakukannya dan berapa lama masa pidananya dengan tujuan sebagai bahan
pertimbangan untuk pembinaannya. Selanjutnya, narapidana residivis akan
ditempatkan dalam blok yang berbeda dengan narapidana bukan residivis
artinya narapidana residivis ditempatkan dalam blok kamar tersendiri dengan
maksud uttuk menghindari adanya keributan. Narapidana tidak perlu
diperkenalkan kembali mengenai tata tertib Rutan serta hak dan kewajiban
sebagai narapidana. Hal tersebut dikarenakan narapidana residivis telah
mengetahui sebelumnya karena pernah menjalani pemidanaan di Rutan Klas 1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
143
Surakarta. Setelah masa orientasi berlangsung selama 1/3 masa pidana, maka
narapidana residivis dapat mengikuti program pembinaan berupa pembinaan
kepribadian. Pembinaan kepribadian di Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta meliputi pembinaan kesadaran agama, pembinaan intelektual,
pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara, dan pembinaan kesadaran
hukum serta pembinaan bentuk olah raga.
2) Tahap Lanjutan
Tahap ini berlangsung 1/3 sampai 1/2 masa pidana. Dengan berakhirnya
tahap awal maka, setiap narapidana mengikuti tahap lanjutan dengan pemberian
program pembinaan kemandirian. Program pembinaan yang diberikan,
disesuaikan dengan minat dan bakat atau bahkan bagi narapidana yang belum
memiliki potensi dalam dirinya. Pembinaan kemandirian dilaksanakan dengan
memberikan keterampilan sebagai bekal bagi narapidana setelah keluar dari
Rutan. Dalam tahapan lanjutan, juga sebagai bahan pertimbangan apakah
seorang narapidana dapat melanjutkan tahap asimilasi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro,
Bc.IP.S.Sos.M.M, pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa:
Meskipun narapidana residivis pernah mengikuti kegiatan pembinaan terdahulu namun, ketika masuk kembali tetap ia wajib mengikuti program pembinaan bahkan sangat dianjurkan sebab dapat mengasah minat dan bakat serta keterampilan mereka sehingga setelah keluar dari Rutan, mereka dapat hidup mandiri. (Catatan lapangan 11).
Hal senada disampaikan berdasarkan hasil wawancara dengan
narapidana residivis yang bernama Bayu Waluyo
2011 mengatakan bahwa: telah satu bulan mengikuti pembinaan keagamaan
dan pembinaan lainnya, untuk mengasah keterampilan menjahit saya disarankan
20).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
144
Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa,
narapidana residivis dianjurkan untuk mengikuti tahapan lanjutan. Tahapan
lanjutan berupa pemberian program pembinaan kemandirian. Meskipun
narapidana residivis pernah mengikuti kegiatan pembinaan terdahulu karena
pernah mengikuti tahapan pelaksanaan pembinaan, namun melalui program
pembinaan kemandirian akan mengasah kembali minat dan bakat yang mereka
miliki sehingga nantinya setelah keluar dari Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta narapidana residivis memperoleh bekal keterampilan sehingga dapat
hidup mandiri.
3) Tahap Asimilasi
Tahap ini berlangsung 1/2 sampai 2/3 masa pidana. Asimilasi
merupakan proses pembinaan yang dilaksanakan di luar lembaga
pemasyarakatan dengan membaurkan narapidana dalam kehidupan masyarakat.
Sesuai dengan hasil evaluasi narapidana pada sidang TPP (Tim Pengamat
Pemasyarakatan) yang didasarkan pada laporan hasil perkembangan warga
binaan pemasyarakatan telah dinyatakan bahwa narapidana menunjukkan
perilaku yang baik dan telah memperoleh keterampilan maka, mereka dapat
mengusulkan diri untuk menjalani tahap pembinaan ketiga yaitu asimilasi.
Pengajuan asimilasi ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Kehakiman dan
HAM Provinsi Jawa Tengah melalui Kepala Rutan yang bersangkutan sesuai
dengan persyaratan yang telah ditetapkan. Bagi narapidana yang dikabulkan
permohonannya maka, dapat melakukan asimilasi dengan cara kepadanya
dipekerjakan diluar tembok namun masih dalam pengawasan yang ringan.
Bentuk program asimilasi misalnya narapidana bekerja di pabrik dimana pabrik
tersebut membutuhkan tenaganya maka, ia pergi ke pabrik pagi hari dan sore
pulang ke Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro,
Bc.IP.S.Sos. M.M, pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
145
Khusus untuk kegiatan asimilasi, narapidana residivis tidak kita berikan seperti halnya narapidana kasus narkoba, teroris dan kasus penipuan. Kalau narapidana narkoba, teroris dan kasus penipuan memang ada surat edarannya untuk supaya tidak diberikan asimilasi, tetapi kalau narapidana residivis merupakan kebijakan kita sendiri karena kita tidak mau menanggung resiko keamanan bila narapidana residivis diijinkan melaksanakan pembinaan di luar tembok Rutan. Secara hukum, Kepala Rutan mengacu pada Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan No.E.PK.04.10-715 tahun 2004 perihal asimilasi tidak diberikan kepada narapidana penipuan, psikotropika dan kasus terorisme. (Catatan lapangan 11).
Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa
tahap asimilasi bagi narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta tidak diberikan. Kebijakan ini dimaksudkan mengingat pengalaman
pahit petugas atas kaburnya narapidana dari Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta. Pihak Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta tidak mau
menanggung resiko sebab bila narapidana residivis diijinkan melaksanakan
pembinaan di luar tembok Rutan, dikhawatirkan melarikan diri. Peniadaan
asimilasi Kepala Rutan mengacu pada Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan
No.E.PK.04.10-715 tahun 2004 perihal
penafsiran peraturan tersebut diterapkan pada narapidana residivis di Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dengan alasan keamanan.
4) Tahap akhir (minimum security)
Tahap ini berlangsung 2/3 masa pidana hingga bebas. Tahap ini
narapidana tidak lagi diberikan pembinaan melainkan pembimbingan.
Pembimbingan tidak dilakukan oleh petugas Rutan, tetapi dilakukan oleh
petugas Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Surakarta. Tahap ini juga disebut
sebagai tahap integrasi yang dilakukan di luar Rutan dapat berupa PB
(Pembebasan Bersyarat) dan remisi (pengurangan masa pidana). Bagi
narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
146
memperoleh PB (Pembebasan Bersyarat) dan remisi (pengurangan masa
pidana).
Berdasarkan penjabaran mengenai tahapan pelaksanaan pembinaan kepada
narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yaitu menjalani
menjalani tahap awal atau orientasi, tahap lanjutan, dan tahapan akhir (bebas).
Dalam menjalani tahapan tersebut, narapidana residivis tidak memperoleh
asimilasi, PB (Pembebasan Bersyarat), dan remisi (pengurangan masa pidana).
Narapidana residivis tidak memperoleh hak asimilasi karena Rutan membuat
kebijakan tentang peniadaan asimilasi khususnya bagi kasus penipuan, narkoba,
teorisme dan juga narapidana residivis. Pertimbangan peniadaan asimilasi bagi
narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta merujuk pada
Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan No.E.PK.04.10-715 tahun 2004 tentang,
Asimilasi tidak diberikan kepada narapidana penipuan, psikotropika dan kasus
terorisme . Kemudian dari penafsiran peraturan tersebut, diterapkan pada
narapidana residivis dengan alasan keamanan.
Jika dikaitkan dengan tahapan perkembangan menurut Kohlberg dalam K.
Bertens (2007: 80-84) mengemukakan enam tahap perkembangan moral yang
dikaitkan satu sama lain dalam tiga tingkat (levels) berturut-
prakonvensional, tingkat konvensional dan tingkat pascakonvensional
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta belum mengarahkan pada
perkembangan akhir yaitu pembentukan pribadi yang bermoral dalam diri setiap
narapidana, namun ketika narapidana residivis menjalani pembinaan kepribadian
nampaknya diarahkan kepada perkembangan moralnya yaitu dengan penyadaran
moral melalui peningkatan keimanan dan ketakwaan yaitu pembinaan kesadaran
agama.
c. Metode Pembinaan dan Wujud Program Pembinaan Narapidana Residivis di
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
Metode pembinaan merupakan cara untuk menyampaikan materi
pembinaan agar dapat secara efektif dan efisien diterima oleh narapidana sehingga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
147
dapat menghasilkan perubahan dalam diri narapidana baik perubahan dalam
berfikir, bertindak atau bertingkah laku. Melalui metode yang tepat maka materi
pembinaan dapat tersampaikan secara maksimal. Penyampaian materi pembinaan
tidak dapat dilakukan asal saja atau dengan kata lain berdasar kemauan penyampai
materi, tetapi harus memperhatikan sampai seberapa jauh kesiapan narapidana
dalam menerima materi pembinaan. Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
melaksanakan program pembinaan yaitu pembinaan kepribadian dan kemandirian.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro,
Bc.IP.S.Sos. M.M, pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa:
Program pembinaan yang bersifat kepribadian diarahkan agar narapidana membentuk watak mampu meningkatkan ketakwaan dan intelektual, sehingga diharapkan nantinya menjadi warga negara yang baik, patuh pada peraturan, taat hukum, memiliki jiwa yang bermoral, serta hidup secara produktif. Sedangkan untuk pembinaan yang bersifat kemandirian lebih menitikberatkan pada pembentukan pribadi manusia yang mandiri dan lebih produktif dalam pembangunan. (Catatan lapangan 11).
Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa, secara
garis besar program pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
terbagi atas 2 (dua) macam yaitu :
1) Pembinaan yang bersifat kepribadian.
Pembinaan yang bersifat kepribadian bertujuan membentuk watak narapidana
sehingga mampu meningkatkan ketakwaan dan intelektual yang diharapkan
nantinya menjadi warga negara yang baik, patuh pada peraturan, taat hukum
memiliki jiwa yang bermoral, serta hidup secara produktif.
2) Program pembinaan yang bersifat kemandirian.
Pembinaan yang bersifat kemandirian lebih menitikberatkan pada pembentukan
pribadi manusia yang mandiri dan lebih produktif dalam pembangunan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
148
Untuk melaksanakan kedua program pembinaan di atas, Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta menentukan metode pembinaan yang sesuai dengan
pemasyarakatan. Adapun metode yang digunakan pihak Rumah Tahanan Negara
Klas 1 Surakarta dalam melaksanakan program pembinaan adalah sebagai berikut:
1) Metode pembinaan berdasarkan situasi sesuai dengan kebutuhan dengan
pendekatan dari atas ke bawah (top down approach).
Metode ini dimaksudkan bahwa pembinaan yang diberikan harus
disesuaikan dengan latar belakang kehidupan dan tingkat kebutuhan narapidana.
Selain itu, pembina juga harus mempertimbangkan sarana dan prasarana serta
anggaran yang dimiliki Rutan. Dalam metode ini, materi pembinaan berasal dari
pembina yang disesuaikan dengan kebutuhan narapidana sehingga narapidana
tinggal menerima wujud program pembinaan. Melalui metode ini, narapidana
akan terikat dalam situasi pembinaan sehingga ia tidak bisa lepas dari situasi
tersebut. Adapun wujud program pembinaan yang dilaksanakan di Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang sesuai dengan metode ini yaitu
pembinaan kesadaran agama islam, pembinaan kesadaran agama nasrani, dan
pembinaan bentuk olah raga. Berikut ini penjelasan mengenai ketiga wujud
pembinaan tersebut.
a) Pembinaan Kesadaran Agama Islam.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Suramto mengenai
metode pembinaan pada pembinaan agama Islam pada hari Senin tanggal 4
Juli 2011 adalah sebagai berikut:
disesuaikan dengan kebutuhan
narapidana. Mereka tinggal menerima materi sehingga sifatnya terikat dan
wajib diikuti. Setiap narapidana membutuhkan siraman rohani sehingga
membentuk perilaku yang baik ).
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa, metode
yang disampaikan dalam pembinaan kesadaran agama adalah sesuai dengan
kebutuhan narapidana sebab setiap narapidana berhak untuk memperoleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
149
pendidikan dalam hal ini pendidikan agama. Program pembinaan ini wajib
diikuti oleh narapidana sebagai bentuk perbaikan moral narapidana.
Selama peneliti melakukan pengamatan di lapangan ternyata benar
bahwa metode pembinaan berdasarkan situasi sesuai dengan kebutuhan
dengan pendekatan dari atas ke bawah (top down approach) yang
dilaksanakan dalam pembinaan kesadaran agama Islam disesuaikan dengan
kebutuhan narapidana. Setiap narapidana berhak mendapatkan pendidikan
agama. Tujuan pembinaan kesadaran agama Islam sifatnya lebih kepada
psikis narapidana dengan maksud meningkatkan keimanan dan ketakwaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebab jika iman mereka kuat maka, mereka
mengenal Tuhan dan takut dosa sehingga dapat mengendalikan perbuatan
yang tidak baik. Narapidana disadarkan agar insyaf dan tidak mengulangi
perbuatan jahat lagi. Pembinaan kesadaran agama Islam merupakan wujud
program pembinaan yang paling utama dan wajib diikuti oleh narapidana.
Ketua program pembinaan kesadaran islam adalah Bapak Suramto. Bentuk
kegiatan yang dilaksanakan dalam pembinaan kesadaran agama Islam
sebagai upaya perbaikan moral meliputi pendidikan agama Islam oleh MTA
(Majelis Tafsir Al- serta sholat
maghrib dan subuh berjamaah.
Adapun jadual pelaksanaan kegiatan pembinaan kesadaran agama
Islam di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah sebagai berikut:
Tabel 9. Jadual Pelaksanaan Kegiatan Pembinaan Kesadaran Agama Islam di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
No. Jenis Kegiatan Waktu Kegiatan 1. Pendidikan agama islam dari
MTA (Majelis Tafsir Al- .
Hari senin pukul 15.30-16.30 WIB.
2. Pengajian menjelang sholat dzuhur.
Setiap hari kecuali hari minggu pukul 11.00-12.00 WIB.
3. Sholat maghrib dan subuh berjamaah dalam kamar masing-
Setiap hari.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
150
masing. Sumber Data: Bagian Sub seksi Bantuan hukum dan Penyuluhan Tanggal 4 Juli 2011.
Dari kegiatan pembinaan kesadaran agama Islam di atas ternyata
merupakan salah satu bentuk pembinaan moral. Narapidana residivis
diberikan bekal pendidikan agama yang diarahkan pada penyadaran moral
yaitu mengasah keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Tujuan pembinaan tersebut adalah agar narapidana residivis insyaf dan tidak
mengulangi kembali tindak pidana.
Selain kegiatan pembinaan kesadaran Islam di atas, hal menarik
adalah Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta mengadakan kegiatan
keagamaan islam berbasis pesantren. Awal tahun 2009, sebuah pondok
pesantren didirikan dalam Rutan yang merupakan salah satu program
pembinaan kesadaran agama islam. Pondok pesantren dalam lingkungan
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta merupakan proyek percontohan
Departemen Hukum dan HAM bagi Rutan yang ada di seluruh Indonesia.
Pondok pesantren ini diperuntukkan bagi semua warga binaan
pemasyarakatan. Pondok pesantren yang dijadikan contoh adalah pondok
diawali ketika Ustad Yusuf Masyur mengadakan bakti sosial ke Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dibawah Yayasan Wisata Hati miliknya.
Cita-
yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Kemudian melakukan kerja sama
dengan pihak Rutan untuk mendirikan pondok pesantren dalam Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
Rutan Surakarta .
Tujuan dibentuk pondok pesantren dalam Rutan adalah memulihkan
kesadaran narapidana terkait dengan kejahatan yang dilakukan, menyeleksi,
mengorganisir, dan mengarahkan narapidana agar menjadi santri, serta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
151
membekali iman agar memiliki akidah keislaman yang kuat. Sekitar 6 ustad
secara sukarela tanpa mendapat pesangon. Dalam kurun waktu tahun 2011
ini telah mencetak 3 orang yang berstatus narapidana residivis penghafal
mulai hari senin sampai kamis. Penghafalan Al- ro,
Al- - , Al- -surat pendek
lainnya. Selanjutnya,
dapat menghafal surat-surat Al-Qur an pendek oleh ustad jika belum lancar
maka, ustad akan menuntun narapidana sampai hafal selanjutnya pada waktu
akhir masa pidana hampir selesai diberi evaluasi secara tertulis tentang
kemampuan baca tulis Al-
Selama mengadakan kegiatan penelitian, peneliti pernah terlibat
secara langsung dengan mengikuti kegiatan pembinaan kesadaran agama
islam yaitu pengajian menjelang sholat dzuhur pada tanggal 5 Juli 2011
pukul 11.00-12.00 WIB di masjid An-Nur Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta. Kegiatan pengajian tersebut diisi dengan ceramah keagamaan
islam oleh Ustad Lanjar yang secara khusus di datangkan dari Pondok
Pesantren Al-Bukhori. Materi ceramah yang disampaikan terkait dengan
peningkatan keimanan dan ketakwaan manusia kepada Allah SWT.
b) Pembinaan Kesadaran Agama Nasrani
Metode yang digunakan dalam pembinaan kesadaran agama nasrani
adalah sama dengan pembinaan kesadaran agama islam dimana metode yang
didasarkan pada kebutuhan narapidana. Pembinaan ini, ditujukan kepada
narapidana yang beragama nasrani. Tujuan dari wujud pembinaan ini adalah
memperteguh keimanan narapidana agar mereka dapat menginsafi perbuatan
yang telah mereka lakukan dan menimbulkan niat untuk tidak melakukan
tindak pidana kembali. Pembinaan kesadaran agama nasrani diketuai oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
152
Bapak Didit Santoso, S.Pd selaku Staff Sub Seksi Bantuan Hukum dan
Penyuluhan.
Bentuk kegiatan yang dilaksanakan dalam pembinaan nasrani adalah
menjalankan ibadah nasrani, doa bersama, dan kegiatan koor. Kegiatan
ibadah nasrani dan doa bersama dilaksanakan secara bersamaan setiap hari
minggu pukul 09.00-11.30 WIB. Sedangkan untuk kegiatan koor
dilaksanak
pelaksanaan kegiatan tersebut, Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
menyediakan gereja yang terletak di halaman belakang aula di sebelah timur
gedung Bimbingan Kerja dan Kegiatan, tepatnya di depan blok C. Tersedia
juga alat musik drum guna mendukung kegiatan koor. Namun, pihak Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta tidak menyediakan pendeta atau pastur
sehingga harus menjalin kerja sama dengan pihak luar agar narapidana tetap
memperoleh pelayanan pendeta.
c) Pembinaan Bentuk Olah Raga
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sarwono menyampaikan
tentang metode pembinaan bentuk olah raga pada hari selasa tanggal 5 Juli
2011 adalah sebagai berikut:
dengan
kebutuhan mereka. Setiap warga binaan diberikan hak untuk memperoleh
kesehatan jasmaniah. Sehingga pembinaan ini
(Catatan lapangan 19).
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa, metode
yang digunakan dalam pembinaan bentuk olah raga yaitu pembina
memberikan materi melalui kegiatan fisik berupa olah raga yang disesuaikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
153
dengan kebutuhan narapidana. Dengan demikian, setiap warga binaan
pemasyarakatan diberikan kesempatan untuk memperoleh pembinaan olah
raga demi menjaga kesehatan narapidana. Sebab kesehatan merupakan suatu
kebutuhan dalam setiap manusia. Pembinaan ini sifatnya wajib diikuti oleh
narapidana.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan peneliti melihat bahwa,
seluruh narapidana residivis wajib mengikuti pembinaan olah raga. Bentuk
kegiatan yang dilaksanakan dalam pembinaan ini adalah senam pagi yang
dilaksanakan setiap hari pada pukul 07.00 WIB dan olah raga volly setiap
hari sabtu pukul 15.00 WIB. Pembinaan olah raga bertujuan untuk menjaga
kebugaran jasmani narapidana.
2) Metode pembinaan dari bawah ke atas (botton up approach).
Metode dari bawah ke atas (botton up approach) yaitu suatu cara
menyampaikan materi pembinaan dengan memperhatikan kebutuhan belajar
narapidana. Hal ini disebabkan karena setiap narapidana mempunyai kebutuhan
belajar dan minat belajar yang tidak sama. Semua sangat tergantung pada diri
pribadi narapidana dan fasilitas pembinaan yang dimiliki oleh oleh Rutan.
Wujud pembinaan yang sesuai dengan metode ini adalah pembinaan intelektual.
Berikut ini penjelasan mengenai pembinaan intelektual di Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta:
a) Pembinaan Intelektual
Menurut hasil wawancara dengan Bapak Tentrem Basuki, SP.d pada
hari Selasa tanggal 5 Juli 2011 adalah sebagai berikut:
Metode dalam pembinaan intelektual disesuaikan dengan kebutuhan narapidana sebab tingkat pendidikan berbeda. Narapidana sendiri ada yang masih SD, SMP, atau SMA malah ada yang belum lulus sekolah atau buta huruf. Selanjutnya, pembina akan memberikan materi pembinaan yang sesuai dengan kebutuhan belajar dari narapidana tersebut. (Catatan lapangan 16).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
154
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa, metode
yang digunakan dalam pembinaan intelektual adalah dari bawah keatas
(botton up approach) yaitu sebelum pembina Rutan memberikan materi
pembinaan, maka harus mengetahui terlebih dahulu tingkat kebutuhan dan
minat belajar narapidana untuk memudahkan pembina memberikan materi
pembinaan sebab tidak semua narapidana memiliki tingkat pendidikan atau
intelegensi yang sama. Cara metode ini cukup efektif sebab pembina
mengetahui bagaimana materi yang cocok diberikan sesuai dengan tingkat
pendidikan atau intelegensi.
Setelah peneliti melakukan pengamatan di lapangan ternyata benar
bahwa, metode dari bawah ke atas (botton up approach) diterapkan pada
pembinaan intelektual. Sebelum pembina memberikan materi pembinaan
terlebih dahulu mengetahui jenjang pendidikan dan minat belajar narapidana.
Semua sangat tergantung pada diri pribadi narapidana dan fasilitas
pembinaan yang dimiliki oleh Rutan. Pembina akan memfasilitasi materi
pembinaan dan sarana yang mendukung demi kelancaran pembinaan.
Pembinaan intelektual bertujuan untuk meningkatkan wawasan narapidana.
Bentuk kegiatan yang dilaksanakan dalam pembinaan intelektual di Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah perpustakaan keliling dan
pemberantasan buta huruf. Perpustakaan keliling dilaksanakan setiap
seminggu sekali dimana Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta menerima
kunjungan yang didatangkan dari luar yaitu Kantor Perpustakaan dan Arsip
Kota Surakarta. Sedangkan kegiatan pemberantasan buta huruf dilaksanakan
setiap hari kamis dari pukul 08.00-11.00 WIB. Kegiatan pemberantasan buta
huruf adalah kejar paket A yang setingkat dengan SD. Guna mendukung
kegiatan tersebut, Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta menyediakan
fasilitas perpustakaan berupa buku-buku bacaan seperti majalah, novel, buku
pendidikan, buku tentang hukum, agama dan lain-lain. Dalam mengevaluasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
155
kegiatan pemberantasan buta huruf, dilakukan tes ulangan setelah materi
pelajaran selesai diberikan.
Dalam pelaksanaan pembinaan intelektual, peneliti juga pernah terlibat
secara langsung mengikuti kegiatan pembinaan seperti pemberantasan buta
huruf misalnya dengan mengajari narapidana residivis yang belum lancar
membaca. Selain itu, peneliti diberikan kesempatan oleh pembina Rutan
untuk mengajar materi yang terkait dengan pendidikan moral yang
dilaksanakan pada tanggal 7 Juli 2011 di ruang perpustakaan Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
3) Metode Pembinaan Perorangan (Individual Treathment).
Metode pembinaan perorangan (individual treathment) yaitu cara
menyampaikan materi pembinaan yang dilakukan secara perseorangan dan
disesuaikan dengan tingkat kematangan intelektual, emosi, dan logika
narapidana. Metode yang diberikan secara perorangan bertujuan terjalinnya
hubungan yang baik antara pembina dengan narapidana sehingga tidak timbul
rasa takut yang berlebihan dari narapidana terhadap petugas. Selain itu juga,
membuka banyak kemungkinan bagi narapidana untuk mengeluarkan isi
hatinya, tujuan hidupnya, kendala yang dihadapi sehingga pembina dapat
memberikan alternatif terbaik bagi pemecahannya. Adapun wujud program
pembinaan yang dilaksanakan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang
sesuai dengan metode ini yaitu pembinaan kesadaran hukum. Berikut ini
penjelasan mengenai pembinaan kesadaran hukum:
a) Pembinaan Kesadaran Hukum.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Wagimin, SE pada hari
Senin tanggal 4 Juli 2011 adalah sebagai berikut:
Kegiatan pembinaan ini dilakukan secara face to face sehingga dapat dicari jalan keluarnya misalnya berkaitan dengan kondisi kejiwaan. Narapidana merasa tertekan, khawatir, cemas dan perasaan lain karena stres akibat pidana yang menimpanya. Metoda pendekatan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
156
diutamakan ialah metoda persuasif, edukatif, komunikatif, dan akomodatif (PEKA). (Catatan lapangan 17).
Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa,
metode yang digunakan dalam pembinaan kesadaran hukum dilakukan
secara perorangan dengan face to face. Metode pendekatan yang diutamakan
ialah metode Persuasif, Edukatif, Komunikatif dan Akomodatif (PEKA).
Melalui metode tersebut, pembina akan memasukan pengaruh, mendidik,
dan juga berkomunikasi secara langsung dengan narapidana. Tugas pembina
Rutan akan mengarahkan dan mencari jalan keluar untuk mengatasi
permasalahan yang dialami oleh narapidana misalnya berkaitan dengan
kondisi kejiwaan misalnya merasa tertekan, khawatir, cemas, dan perasaan
lain karena stres akibat pidana yang menimpanya dimana narapidana yang
bersangkutan tidak dapat menyelesaikan sendiri masalah tersebut.
Setelah peneliti melakukan pengamatan di lapangan memang benar
bahwa, metode pembinaan perorangan (individual treathment) diterapkan
pada pembinaan kesadaran hukum. Pembinaan kesadaran hukum bertujuan
untuk menciptakan suatu kesadaran yang tinggi pada setiap narapidana
sehingga mereka mengetahui hak dan kewajibannya. Narapidana akan
disadarkan dengan pendekatan hukum yaitu dengan memberikan penjelasan
tentang akibat-akibat hukum yang diterima oleh seseorang jika melakukan
tindakan yang melanggar hukum. Bentuk kegiatan yang dilaksanakan dalam
pembinaan hukum seperti ajaran taat pada hukum, konseling, dan ceramah
hukum. Berikut penjelasan mengenai kegiatan pembinaan hukum.
(1) Ajaran taat pada norma hukum
Ajaran taat pada hukum bertujuan agar narapidana selalu disiplin
terhadap peraturan dan norma hukum. Ajaran taat pada hukum
dilaksanakan dengan memerintahkan narapidana untuk disiplin dan
mematuhi tata tertib Rutan. Apabila narapidana melakukan kesalahan
atau melanggar kedisiplinan maka, petugas Bantuan Hukum dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
157
penyuluhan akan menindaknya. Namun, jika kesalahan tersebut
dirasakan tidak terlalu berat maka, penanganannya hanya dengan
memberikan teguran serta pengarahan terhadap yang bersangkutan.
Sebaliknya, jika kesalahan berat maka, petugas Staff Seksi Bantuan
Hukum dan Penyuluhan atau petugas pengamanan Rutan, akan
menindak lanjuti dengan memberikan hukuman fisik atau jika fatal akan
ditempatkan dalam straff cell untuk pemberian shock therapy.
Narapidana yang dimasukkan dalam straff cell misalnya karena
berkelahi, melawan petugas karena melakukan kekerasan, dan mencoba
kabur dari Rutan.
(2) Konseling
Konseling dilakukan dengan memberikan masukan berupa saran
atau perintah berupa larangan untuk tidak mengulangi tindak pidana dan
akibat yang dilakukan jika melanggar hukum. Konseling diwujudkan
dengan penyuluhan hukum yang bertujuan untuk mencapai kadar
kesadaran hukum yang tinggi sehingga sebagai warga negara, menyadari
hak dan kewajibannya dalam rangka turut menegakkan hukum dan
keadilan, perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, dan
terbentuknya perilaku warga negara Indonesia yang taat kepada hukum.
Penyuluhan hukum bertujuan lebih lanjut untuk membentuk Keluarga
Sadar Hukum (KADARKUM) yang dibina selama berada dalam
lingkungan pembinaan maupun setelah berada kembali di tengah-tengah
masyarakat. Penyuluhan hukum diselenggarakan secara langsung yaitu
penyuluh (pembina Rutan) berhadapan langsung dengan sasaran yang
disuluh (narapidana) dalam temu sadar hukum dan sambung rasa,
sehingga dapat bertatap muka langsung misalnya melalui ceramah,
diskusi, dan temuwicara. Narapidana secara perorangan menyampaikan
keluhan kepada petugas atau pembinaan di bagian Bantuan Hukum dan
Penyuluhan untuk mengajarkan tentang moral atau ajaran tentang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
158
Kalau berbuat jahat kita akan memperoleh sanksi
berupa dosa. Kejahatan tidak hanya merugikan diri sendiri tetapi juga
merugikan orang lain. Apabila hal ini dialami oleh narapidana sendiri
bagaimana perasaannya . Kegiatan ini dibuka setiap hari pukul 09.00-
12.00 di ruangan bantuan hukum dan penyuluhan. Pemberian konseling
diberikan oleh Bapak Wagimin, SE. Beliau adalah pembina Rutan dari
Sub Seksi Bantuan Hukum dan Penyuluhan.
(3) Ceramah hukum
Ceramah kesadaran hukum dilakukan oleh petugas Rutan atau
sekali waktu mendatangkan dari pihak kepolisian dan kejaksaan untuk
memberikan sumbangan dalam menyampaikan materi yang sesuai
dengan bidang hukum. Melalui kegiatan ini, narapidana dapat
menanyakan secara luas mengenai seputar upaya hukum.
4) Metode pembinaan secara kelompok (classical treatment).
Metode pembinaan secara kelompok (classical treatment) dilakukan
dengan pembentukan tim. Dimana dalam metode ini, narapidana mengasah
kembali potensi yang ada di dalam dirinya berdasarkan pengalaman dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan metode ini, narapidana memahami nilai-nilai
positif yang tumbuh di masyarakat sehingga setelah keluar dari Rutan, ia dapat
berbaur dengan masyarakat. Wujud pembinaan yang sesuai dengan metode ini
adalah pembinaan kemandirian. Berikut ini penjelasan mengenai pembinaan
kemandirian.
a) Pembinaan kemandirian.
Menurut Wiyono, SE. selaku Kepala Seksi Bimbingan Kerja, ketika
dimintai wawancara pada hari Selasa tanggal 5 Juli 2011 mengenai metode
yang digunakan dalam pembinaan kemandirian adalah sebagai berikut:
Metode pembinaan kemandirian dilakukan secara kelompok dengan membentuk tim. Narapidana dikelompokkan sesuai dengan bakat masing-masing dengan maksud mengasah potensi dari pengalaman
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
159
sehari-hari. Narapidana yang tidak memiliki keterampilan juga diberi kesempatan untuk mengikuti pembinaan ini. (Catatan lapangan 18).
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa, metode
yang digunakan dalam pembinaan kemandirian di Rumah Tahanan Negara
Klas 1 Surakarta adalah metode pembinaan secara kelompok (classical
treatment). Pembina Rutan akan mengelompokkan narapidana sesuai
dengan bakat dan minatnya. Kemudian narapidana akan memilih jenis
kegiatan kemandirian yang sesuai dengan keterampilan yang dimiliki. Bagi
narapidana yang tidak memiliki keterampilan apapun, tetap akan diberikan
kesempatan untuk mengikuti pembinaan ini. Metode ini berusaha mengasah
kembali potensi yang ada dalam diri narapidana berdasarkan
pengalamannya yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Setelah peneliti melakukan pengamatan di lapangan, memang benar
metode yang pembinaan secara kelompok (classical treatment) diterapkan
dalam pembinaan kemandirian. Narapidana akan dikelompokkan
berdasarkan minat, potensi dan keterampilan yang dimiliki. Setelah itu
pembina akan memfasilitasi dengan berbagai sarana dan prasarana yang
terkait dengan keterampilan. Dalam pembinaan kemandirian ini, Rutan
menyediakan fasilitas seperti bahan baku mebelair, mesin jahit, las dan
bahan baku membuat keset. Pembinaan kemandirian dilaksanakan di ruang
Bimbingan Kerja dan Kegiatan. Pembinaan kemandirian bertujuan untuk
mengasah minat dan bakat narapidana guna mendukung usaha-usaha
mandiri. Melalui pembinaan kemandirian ini, narapidana akan memperoleh
bekal keterampilan dimaksudkan agar setelah habis masa hukumannya dan
kembali ke tengah-tengah masyarakat dapat menghidupi dirinya sendiri
serta meninggalkan perbuatan yang melanggar hukum. Metode ini cocok
digunakan bagi narapidana yang ingin mengembangkan bakat dan minatnya
serta mengasah kemampuan keterampilan yang sudah dimiliki guna
mendukung usaha mandiri setelah keluar dari Rutan. Adapun beberapa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
160
kegiatan yang dilaksanakan dalam pembinaan kemandirian di Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah sebagai berikut:
Tabel 10. Jadual Pelaksanaan Kegiatan Pembinaan Kemandirian di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
Hari Jam Jenis Kegiatan Pembinaan Kemandirian
Senin s.d Rabu 08.00-12.00 WIB 1. Mebelair 2. Keset 3. Menjahit 4. Cukur rambut
Kamis 08.00-12.00 WIB 1. Las 2. Elektronika
s.d Sabtu
08.00-10.30 WIB Menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai hari kemarin
Sumber Data: Sub Seksi Bimbingan Kerja dan Kegiatan Tanggal 5 Juli 2011.
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa, terdapat 6 kegiatan
dalam pembinaan kemandirian yang berupa mebelair, keset, menjahit, cukur
rambut, las dan elektronika. Kegiatan tersebut dilaksanakan setiap hari sejak
pagi hingga siang hari. Ada sekitar 5 orang narapidana residivis yang
mengikuti program pembinaan kemandirian. Ukuran keberhasilan
pembinaan kemandirian dilakukan melalui pelatihan-pelatihan dari beberapa
kegiatan guna mengetahui apakah keterampilan yang selama ini diperoleh
telah dikuasai. Beberapa aspek yang dinilai dalam pembinaan kemandirian
terkait dengan kecakapan narapidana yaitu tingkat kedisiplinan, kerja sama
dengan narapidana lain, keuletan, tanggung jawab, dan motivasi. Bagi
narapidana mampu menghasilkan karya yang produktif maka, mereka akan
diberi upah. Semua hasil karya baik yang berasal dari kegiatan bimbingan
bakat maupun keterampilan dicatat dalam buku hasil karya. Semua hasil
karya disimpan dengan baik dan tertib dalam gudang penyimpanan.
Sebagai catatan, keseluruhan dari wujud program pembinaan kepribadian
harus diikuti oleh semua narapidana tanpa terkecuali. Pembinaan kepribadian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
161
tersebut meliputi: pembinaan kesadaran agama, pembinaan bentuk olah raga,
pembinaan intelektual, pembinaan kesadaran hukum, dan pembinaan kesadaran
berbangsa dan bernegara. Sedangkan program pembinaan kemandirian sifatnya
hanya jangka pendek. Namun pada dasarnya, setiap narapidana harus mengikuti
paling tidak satu kegiatan dalam pembinaan kemandirian karena merupakan
pemberian bekal kepada narapidana khususnya residivis untuk nantinya sebagai
keterampilan tambahan atau sebagai mata pencaharian pokok dalam mencukupi
kebutuhan hidupnya setelah selesai menjalani masa pidana.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa semua
metode pembinaan yang digunakan oleh pembina Rutan di Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta merupakan cara untuk menyampaikan materi pembinaan
agar dapat secara efektif dan efisien diterima oleh narapidana sehingga dapat
menghasilkan perubahan dalam diri narapidana baik perubahan dalam berfikir,
bertindak, atau bertingkah laku. Metode yang digunakan oleh pembina dalam
menyampaikan materi pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
meliputi: metode pembinaan berdasarkan situasi sesuai dengan kebutuhan dari atas
ke bawah (top down approach), metode dari bawah ke atas (botton up approach),
metode pembinaan perorangan (individual treatment), dan metode pembinaan
secara kelompok (classical treatment). Metode pembinaan dan wujud pembinaan
tersebut diberikan kepada semua narapidana termasuk narapidana residivis.
Setelah peneliti mengadakan observasi, kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa ternyata masih ada metode yang dilaksanakan oleh Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam menyampaikan materi pembinaan yaitu
metode pembinaan dengan latihan fisik. Metode ini dimaksudkan untuk melatih
narapidana memiliki semangat bernegara. Metode dilakukan dengan langkah
keamanan yang dilakukan sesuai dengan tingkat keadaan yang dihadapi.
Selanjutnya, pembina memberikan kegiatan fisik untuk melatih kedisiplinan.
Selain itu, membentuk narapidana mejadi manusia Pancasila dimana mereka
dituntut memiliki jiwa patriotisme yang tinggi. Wujud pembinaan yang sesuai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
162
dengan metode ini adalah pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara.
Pembinaan ini bertujuan untuk melatih dan membentuk narapidana memiliki jiwa
kebangsaan, cinta tanah air bangsa. Bentuk kegiatan yang diselenggarakan berupa
latihan baris-berbaris, latihan upacara bendera di lapangan Rutan setiap 17
Agustus dan upacara bendera setiap hari senin pagi. Latihan tersebut dilaksanakan
setiap hari senin pukul 15.00 sampai 17.00 WIB. Ketua program pembinaan
kesadaran berbangsa dan bernegara adalah Bapak Slamet, S.St.
Guna mempermudah pemahaman mengenai metode dan wujud pembinaan
di atas, maka peneliti menyediakan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
Tabel 11. Metode dan Wujud Pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
No. Metode Pembinaan
Wujud Pembinaan
1.
Metode Pembinaan Berdasarkan Situasi sesuai dengan Kebutuhan dengan Pendekatan dari Atas ke Bawah (top down approach).
1. Pembinaan Kesadaran Agama Islam
2. Pembinaan Kesadaran Agama Nasrani
3. Pembinaan Bentuk Olah Raga 2. Metode Pembinaan dengan
Pendekatan dari Bawah ke Atas (botton up approach)
Pembinaan Intelektual
3. Metode Pembinaan Perorangan
(individual treathment) Pembinaan Kesadaran Hukum
4. Metode Pembinaan secara Kelompok (classical treatment)
Pembinaan Kemandirian
5. Metode Pembinaan dengan Pendekatan Latihan Fisik.
Pembinaan Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
d. Evaluasi Keberhasilan Pembinaan Moral terhadap Narapidana Residivis
Terkait Pembentukan Good Citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta
Pelaksanaan pembinaan dikatakan berhasil apabila narapidana dapat
menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
163
kembali. Hal tersebut dipertegas menurut UU No. 12 tahun 1995 tentang
pemasyarakatan dalam Pasal 2 dinyatakan bahwa:
Tujuan pemasyarakatan adalah membentuk warga negara binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik (good citizen) dan bertanggung jawab (Dwidja Priyatno, 2006: 180).
Dalam mencapai tujuan tersebut, pihak Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta telah berusaha semaksimal mungkin dalam mewujudkan pembinaan
yang sesuai dengan tujuan pemasyarakatan. Tujuan akhir dari pemasyarakatan
adalah membentuk narapidana menjadi warga negara yang baik (good citizen).
Untuk menjadi warga negara yang baik, harus dimulai dengan membangun pribadi
yang bermoral. Narapidana residivis sebagai warga negara yang hilang
kemerdekaannya selama di lembaga pemasyarakatan memiliki kesempatan untuk
mengembangkan potensi yang dimiliki. Kompetensi kewarganegaraan diperoleh
melalui program pembinaan yang diberikan Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta kepada narapidana residivis. Melalui pembinaan tersebut, diharapkan
narapidana residivis dapat memperbaiki diri untuk merubah moral mereka menjadi
baik dan tidak mengulangi kembali tindak pidana. Pembinaan moral merupakan
cara yang ditempuh Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta agar narapidana
memilki mental dan watak yang bermoral sehingga narapidana bertindak sesuai
dengan hati nurani atau kesadaran diri.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Bambang Poernomo (1986: 187) yang
mengatakan bahwa:
Pembinaan narapidana mempunyai arti memberlakukan seseorang yang berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik. Atas dasar pengertian pembinaan yang demikian itu, sasaran yang perlu dibina adalah pribadi dan budi pekerti narapidana, yang terdorong untuk membangkitkan rasa harga diri pada diri sendiri dan pada orang lain, serta menggambarkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
164
kehidupan yang tenteram dan sejahtera dalam masyarakat, dan selanjutnya berpotensi untuk menjadi manusia yang berpribadi luhur dan bermoral tinggi.
Dalam mewujudkan moral yang baik pada narapidana residivis tidaklah
mudah karena menyangkut kebiasaan hidup mereka yang biasanya hidup bebas
tanpa aturan. Bahkan, mereka bertindak melanggar norma-norma yang ada dalam
masyarakat yaitu pengulangan tindak pidana. Sehingga pembina dan petugas
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta memiliki tugas ekstra dalam
mengembalikan moral narapidana menjadi baik. Adanya metode dan wujud
pembinaan yang telah diberikan selama ini seharusnya mampu merubah
narapidana menjadi lebih baik.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro,
Bc.IP.S.Sos. M.M, pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai berikut:
Pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta sebanyak 60 % untuk pembinaan mental kepribadian sedangkan 40% untuk pembinaan fisik berupa kemandirian. Menurut saya, program pembinaan yang mampu mengubah moral narapidana menjadi lebih baik adalah program pembinaan kepribadian sebab program pembinaan kepribadian tujuan utamanya adalah merubah moral narapidana untuk tidak mengulangi perbuatan tindak pidana kembali sedangkan pembinaan program kemandirian lebih mengasah pada minat, bakat dan mengembangkan keterampilan agar setelah ia bebas dari Rutan dapat menjadi manusia yang mandiri. (Catatan lapangan 21).
Hal senada disampaikan oleh Bapak Drs. Haryana pada hasil wawancara
tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai berikut:
Menurut saya program pembinaan yang mampu merubah moral narapidana residivis menjadi pribadi yang bermoral adalah pembinaan kesadaran agama, dan pembinaan kesadaran hukum. Melalui pembinaan kesadaran agama maka narapidana residivis akan memperoleh pendidikan agama yang baik. Nilai-nilai religius yang telah di dapat akan menompang narapidana residivis untuk mencegah perbuatan yang dilarang oleh ajaran agama. Iman mereka akan kuat. Kemudian kesadaran hukum, narapidana akan memperoleh pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti. Narapidana residivis akan memperoleh nilai-nilai moral sehingga nantinya dapat menentukan perbuatan mana yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
165
baik dan buruk agar bertindak sesuai dengan norma dan aturan yang ada dalam masyarakat. (Catatan lapangan 22).
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa, diantara
program pembinaan yang dilaksanakan di Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta yang mampu merubah moral narapidana menjadi lebih baik cenderung
kepada program pembinaan kepribadian yang meliputi pembinaan kesadaran
agama dan pembinaan kesadaran hukum. Melalui pembinaan kesadaran agama,
narapidana residivis akan memperoleh pendidikan agama. Nilai-nilai religius yang
telah di dapat akan menompang narapidana residivis untuk mencegah perbuatan
yang dilarang oleh ajaran agama. Kemudian pembinaan kesadaran hukum,
narapidana residivis akan memperoleh pendidikan moral yang mampu menyerap
nilai-nilai moral sehingga nantinya dapat menentukan perbuatan mana yang baik
dan buruk agar bertindak sesuai dengan norma dan aturan yang ada dalam
masyarakat.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro,
Bc.IP.S.Sos. M.M, pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai berikut:
terhadap narapidana residivis
dapat ditinjau dari prestasi narapidana residivis dan perubahan perilaku atau sikap
).
Hal senada disampaikan oleh Bapak Drs. Haryana pada hasil wawancara
tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai berikut:
Pembinaan moral dikatakan berhasil apabila semua narapidana mampu
menunjukkan perilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari, tidak mengulangi
tindak pidana dan hidup wajar sebagai pribadi yang beriman kepada Tuhan, dan
patuh terhadap norma-norma yang ada
Berdasarkan uraian di atas peneliti menentukan indikator keberhasilan
pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis terkait dengan
pembentukan good citizen yang ditinjau dari tujuan pembinaan berdasarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
166
pemasyarakatan yaitu kesadaran diri berubah, perbaikan perilaku dalam kehidupan
sehari-hari serta tidak mengulangi kembali tindak pidana. Peneliti menentukan
indikator keberhasilan pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis
terkait dengan pembentukan good citizen meliputi: kesadaran moral (moral
feeling) dan tindakan moral (moral action). Adapun hasil evaluasi tentang
keberhasilan pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis terkait
dengan pembentukan good citizen yang terlihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 12. Evaluasi Keberhasilan Pelaksanaan Pembinaan Moral terhadap Narapidana Residivis Terkait dengan Pembentukan Good Citizen.
No.
Indikator
Aspek
Jumlah narapidana
residivis (%) 1.
Kesadaran moral (moral feeling)
Kesadaran narapidana residivis selama mengikuti pembinaan kesadaran agama islam dan kesadaran hukum.
40%
2.
Tindakan moral (moral action)
Perilaku yang baik dalam mengikuti pembinaan moral.
20%.
Perubahan perilaku yang baik setelah mengikuti pembinaan moral.
0%.
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa, ditinjau pada kesadaran
moral (moral feeling) dari 10 narapidana residivis yang memiliki kesadaran diri
untuk mengikuti pembinaan kesadaran agama islam dan pembinaan kesadaran
hukum hanya 4 orang (40%). Hal tersebut diketahui berdasarkan absensi yang
dipegang oleh pembina Rutan dimana mereka rutin mengikuti pembinaan tersebut.
Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara dengan beberapa narapidana
residivis untuk mengetahui kesadaran moral mereka.
tanggal 8 Juli 2011 adalah sebagai berikut:
Melalui pembinaan agama saya merasa lebih mengenal Tuhan, menyadari bahwa selama ini melakukan kesalahan atas tindak pidana yang saya lakukan. Sekarang terbiasa sholat lima waktu yang tadinya bolong-bolong. Sedangkan dengan mengikuti kegiatan kemandirian (menjahit) lebih bisa mengasah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
167
kemampuan dan mendapat teman-teman baru sehingga diharapkan setelah keluar nanti bisa membuka usaha menjahit pakaian. (Catatan lapangan 20).
Hal senada disampaikan oleh narapidana residivis Afif Solikhin pada hari
Dengan mengikuti pembinaan di Rutan, saya mendapat ilmu yang belum pernah saya dapatkan sebelumnya misalnya pengetahuan agama, disiplin, keharusan patuh pada tata tertib. Di Rutan ini, saya bisa sharing dengan petugas Rutan dan narapidana lain. Perubahan setelah mengikuti pembinaan adalah saya merasa dapat menjalani hidup lebih baik, optimis dan semangat. (Catatan lapangan 21).
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa, program-
program pembinaan yang dilaksanakan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
memiliki pengaruh yang baik terhadap perubahan perilaku narapidana residivis.
Melalui pembinaan kepribadian seperti pembinaan kesadaran agama dan
pembinaan kesadaran hukum, narapidana akan memperoleh pengetahuan agama,
pengetahuan moral, dan wawasan tentang arti pentingnya taat terhadap norma.
Dari pengetahuan yang diperoleh setelah mengikuti pembinaan tersebut, ternyata
mampu merubah perilaku moral narapidana residivis menjadi lebih baik seperti
rajin beribadah, menjalani hidup yang lebih optimis, dan sikap disiplin.
Untuk mengecek kesadaran moral yang dimiliki oleh narapidana residivis
maka, peneliti melakukan pengamatan pada tanggal 20 Juli 2011. Kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa sebanyak 6 orang narapidana residivis belum
memiliki kesadaran moral tentang arti pentingya pembinaan moral. Mereka
mengatakan bahwa mengikuti pembinaan moral karena ikut-ikutan yaitu sebanyak
2 orang, mengikuti pembinaan moral karena perintah dari pembina Rutan yaitu
sebanyak 2 orang dan alasan mengikuti pembinaan kesadaran hukum atau
kesadaran agama islam karena alasan mengisi waktu luang dari pada menganggur
yaitu sebanyak 2 orang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
168
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pembinaan moral di Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta yang diberikan melalui pembinaan kesadaran agama dan
kesadaran hukum dikatakan belum berhasil menyadarkan moral (moral feeling)
dari narapidana residivis.
Selanjutnya ditinjau dari tindakan moral yaitu perubahan perilaku
narapidana residivis menjadi bermoral. Kenyataan di lapangan menyebutkan
bahwa dari 10 narapidana residivis yang memiliki perilaku yang baik setelah
mengikuti pembinaan hanya 2 orang (20 %). Hal tersebut dapat diketahui
berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti. Narapidana residivis
telah menunjukkan kecakapan sosial artinya mereka mampu menjalin interaksi
yang baik dengan narapidana yang lain ataupun dengan petugas Rutan. Narapidana
residivis menunjukkan sikap saling hormat menghomati dan tenggang rasa selama
mengikuti pembinaan. Selain kecakapan sosial, beberapa narapidana residivis telah
memiliki skill yang ditunjukkan dengan bakatnya masing-masing. Pada pembinaan
kesadaran agama islam, sejumlah 2 narapidana residivis dipercaya oleh petugas
Rutan untuk menjadi tamping. Misalnya mengisi kegiatan ceramah keagamaan
(ustad) dalam kegiatan ceramah menjelang dzuhur dan ditugaskan untuk
mengelola kegiatan pesantren. Selanjutnya dilihat dari penerapan nilai-nilai moral
dalam keseharian mereka berada di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
a) Nilai religius dan nilai tanggung jawab.
Setelah peneliti mengadakan pengamatan di lapangan pada tanggal 20-23 Juli
2011, ternyata penerapan nilai religius dan nilai tanggung jawab tampak dalam
keseharian narapidana residivis selama berada di Rumah Tahanan Negara Klas
1 Surakarta. Nilai-nilai tersebut mereka peroleh setelah mengikuti pembinaan
kesadaran agama islam. Sebanyak 2 orang narapidana residivis rajin
menjalankan sholat berjamaah dan mengikuti ceramah harian menjelang dzuhur
di masjid An-Nur Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Narapidana
residivis menjalankan kegiatan tersebut sebagai bentuk rasa tanggung jawab
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
169
moralnya sebagai manusia kepada Sang Kholik (Tuhan), sesama manusia dan
lingkungan sekitar.
b) Nilai kerukunan dan sosial
Penerapan nilai kerukunan nampak dalam aktivitas pembinaan atau keseharian
narapidana residivis. Hal tersebut dapat diketahui dari hubungan saling hormat-
menghormati antara narapidana residivis dengan petugas pemasyarakatan
ataupun interaksi dengan sesama narapidana. Kemudian terlihat juga pada
kegiatan kerja bakti yang dilaksanakan tanggal 23 Juli 2011, menunjukkan
bahwa antara narapidana residivis dengan narapidana lain saling bergotong
royong untuk membersihkan lingkungan Rutan.
Untuk mengecek perubahan sikap atau perilaku yang baik dalam diri
narapidana residivis, peneliti melihat hasil evaluasi laporan perkembangan warga
binaan pemasyarakatan yang dipegang oleh wali Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta. Wali adalah petugas Rutan yang ditugaskan untuk membimbing dan
mengevaluasi perkembangan diri narapidana. Kenyataannya, setelah peneliti
melakukan pengamatan pada hasil evaluasi laporan perkembangan warga binaan
pemasyarakatan yang dipegang oleh wali diketahui 2 orang narapidana residivis
yang mendapatkan catatan kurang baik karena pernah melakukan pelanggaran tata
tertib Rutan yaitu percobaan pelarian diri atau pernah bertengkar dengan
narapidana lainnya sehingga harus dimasukkan ke dalam straff cell. Narapidana
residivis tersebut adalah Marcus Sudarmo dan Agus Waluyo. Selain itu, peneliti
juga melakukan wawancara dengan pembina Rutan menunjukkan bahwa,
sebanyak 7 narapidana residivis belum menunjukkan kesadaran diri selama
mengikuti pembinaan yaitu malas (2 orang), membuat gaduh saat mengikuti
pembinaan kesadaran agama islam (1 orang), mengobrol sendiri (1 orang),
berkelahi (1 orang), tidur saat mengikuti pembinaan (1 orang), bahkan berusaha
melarikan diri dari Rutan (1 orang). Selama peneliti melakukan pengamatan
mengenai aktivitas narapidana residivis dalam mengikuti berbagai pembinaan pada
tanggal 23-28 Juli 2011 diketahui bahwa, beberapa narapidana residivis malas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
170
mengikuti kegiatan ceramah menjelang dzuhur dan tidur pada saat mengikuti
pembinaan tersebut, pura-pura sakit sehingga tidak mengikuti pembinaan
kemandirian, dan tidak serius mengikuti latihan baris-berbaris pada pembinaan
kesadaran berbangsa dan bernegara.
Selanjutnya, peneliti juga melakukan kroscek pada tanggal 24 Juli 2011
menyebutkan dari data yang diperoleh peneliti pada Seksi Administrasi dan
Perawatan Rutan Klas 1 Surakarta. Adapun jumlah narapidana residivis di Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam kurun waktu tahun 2009-2011 adalah
sebagai berikut:
Tabel 13. Jumlah Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Tahun 2009-2011.
No Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011
1. 27 17 20
Sumber: Seksi Administrasi dan Perawatan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta Tanggal 3 Agustus 2011.
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa pengulangan tindak
pidana meningkat dari tahun 2010 sampai 2011. Hal tersebut menunjukkan bahwa
masih ditemukan narapidana residivis yang tetap saja melakukan perbuatan tindak
pidana. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pembinaan moral di Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta yang diberikan melalui pembinaan kesadaran agama dan
kesadaran hukum dikatakan tidak berhasil membentuk tindakan moral (moral
action) dari narapidana residivis. Hal tersebut karena masih ditemukan perilaku
yang tidak baik selama atau setelah narapidana residivis menmgikuti pembinaan
moral.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pembinaan moral
terhadap narapidana residivis yang terkait dengan pembentukan good citizen
dikatakan tidak berhasil. Hal tersebut diketahui bahwa sebesar 70 % dari 10
narapidana residivis belum terdidik sebagai pribadi yang bermoral yang ditinjau
dari kesadaran moral dan tindakan moral mereka. Dari 10 narapidana residivis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
171
yang mempunyai kesadaran moral hanya 4 orang (40%) sedangkan ditinjau dari
tindakan moral hanya 2 orang (20%). Hal ini seperti yang diungkapkan oleh
moral adalah seseorang yang belajar (di sekolah atau di manapun juga) untuk
hidup dalam satu cara yang merefleksikan kesan dan praktik kewajiban untuk
mengembangkan norma-norma dan cita-
yang terdidik secara moral adalah seseorang yang telah belajar atau dibina untuk
bertindak sesuai dengan aturan-aturan yang ada dan menjadi sadar dan bahagia
dengan tindakan-tindakan dan nilai-nilainya. Fakta di lapangan menunjukkan
bahwa, narapidana residivis yang belum memiliki kesadaran moral selama
pembinaan berlangsung misalnya mengikuti pembinaan moral karena ikut-ikutan,
mengikuti pembinaan moral karena perintah dari pembina Rutan dan alasan
mengikuti pembinaan kesadaran hukum atau kesadaran agama islam karena
mengisi waktu luang dari pada menganggur. Sedangkan dari segi tindakan moral
adalah narapidana residivis belum menunjukkan perilaku yang baik selama
mengikuti pembinaan yaitu malas, membuat gaduh saat mengikuti pembinaan,
mengobrol sendiri, berkelahi, tidur saat mengikuti pembinaan, pura-pura sakit
sehingga tidak mengikuti pembinaan, bahkan berusaha melarikan diri dari Rutan.
Selain itu, ditinjau juga dari meningkatnya pengulangan tindak pidana yang
dilakukan oleh narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
selama kurun waktu 2010-2011. Hampir semua narapidana residivis melakukan
pengulangan tindak pidana padahal mereka sebelumnya telah mendapatkan
pembinaan moral selama di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Jika
dikaitkan dengan tujuan akhir dari pembinaan berdasarkan pemasyarakatan yaitu
narapidana residivis mampu memperbaiki diri, menyadari kesalahan dan menjadi
warga negara yang baik (good citizen) dan bermoral nampaknya tidak terealisasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
172
3. Faktor Pendorong dan Penghambat Pelaksanaan Pembinaan Moral terhadap
Narapidana Residivis dalam Membentuk Good Citizen di Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta
a. Faktor Pendorong Pelaksanaan Pembinaan Moral terhadap Narapidana
Residivis dalam Membentuk Good Citizen di Rumah Tahanan Klas 1
Surakarta
Keberhasilan pembinaan bagi narapidana residivis di Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta ternyata dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang
mendorong keberhasilan pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana
residivis meliputi 1) Kesadaran narapidana residivis dalam mengikuti pembinaan,
2) Peraturan perundang-undangan yang mendukung, 3) Sarana dan prasarana yang
menunjang, 4) Motivasi dan dukungan moril dari keluarga narapidana residivis
atas stigma negatif masyarakat, dan 5) Pengawasan yang baik saat pembinaan
berlangsung. Berikut ini penjabaran mengenai faktor tersebut:
a. Kesadaran narapidana residivis dalam mengikuti pembinaan
Narapidana residivis merupakan subyek utama dalam berlangsungnya
proses pembinaan. Selama di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta,
narapidana residivis akan diberikan program pembinaan baik pembinaan
kepribadian maupun pembinaan keterampilan. Sifat dan tingkat intelegensi yang
dimiliki oleh setiap narapidana residivis berbeda-beda sehingga menimbulkan
tanggapan yang berbeda pula terhadap pembinaan yang diberikan. Oleh sebab
itu, keberhasilan pembinaan sangat ditentukan oleh narapidana residivis itu
sendiri.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro,
Bc.IP.S.Sos. M.M pada hari tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai berikut:
Narapidana merupakan faktor keberhasilan pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Jika kesadaran narapidana telah mencapai high consciousness (narapidana yang telah memiliki kesadaran penuh) yaitu narapidana yang telah mengenal dirinya sendiri dan mampu memotivasi diri sendiri ke arah yang positif maka, pembina dalam memberikan materi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
173
pembinaan juga menjadi ringan namun sebaliknya jika tingkat kesadaran rendah maka akan sulit bagi pembina untuk membina mereka. (Catatan lapangan 11).
Hal senada juga disampaikan berdasarkan hasil wawancara dengan
Bapak Drs. Haryana pada tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai berikut:
Bagi narapidana residivis yang telah yang telah memiliki kesadaran yang penuh artinya konsisten dan berkesinambungan dalam bertindak secara moral misalnya rutin mengikuti setiap pembinaan, telah menunjukkan sikap yang baik, maka akan mempermudah pembina menyampaikan materi pembinaan. (Catatan lapangan 12).
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa,
keberhasilan pembinaan ditentukan oleh narapidana itu sendiri. Narapidana
yang memiliki kesadaran penuh (tinggi) akan mempermudah berlangsungnya
proses pembinaan. Dalam kenyataan di lapangan menyebutkan, sebagian
narapidana residivis telah memiliki kesadaran akan pentingnya pembinaan. Dari
pembinaan yang diberikan Rutan, narapidana mampu menyerap nilai positif
dengan harapan tidak mengulangi kembali tindak pidana. Lebih dari pada itu,
melalui pembinaan akan mengubah narapidana residivis menjadi sosok pribadi
yang bermoral.
Setelah peneliti melakukan pengamatan pada lembar absensi yang
dipegang oleh pembina Rutan pada tanggal 25 Juli 2011 menyebutkan bahwa,
beberapa narapidana residivis mengikuti pembinaan secara rutin khususnya
pada pembinaan kesadaran agama. Sebanyak 16 narapidana residivis rutin
mengikuti kegiatan baca tulis Al-
menjelang sholat dzuhur. Pada pembinaan intelektual, hanya 3 narapidana
residivis yang rutin mengikuti kegiatan pemberantasan buta huruf. Kemudian
pada pembinaan berbangsa dan bernegara 10 orang narapidana residivis rutin
mengkuti kegiatan latihan baris-berbaris. Selanjutnya, pada pembinaan
kesadaran hukum hanya 9 narapidana residivis yang rutin mengikuti kegiatan
konseling. Kamudian pada pembinaan kemandirian, sebanyak 2 orang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
174
narapidana residivis rutin mengikuti kegiatan usaha kemandirian misalnya
kegiatan mebelair dan kegiatan las. Sedangkan pada pembinaan bentuk olah
raga hanya 2 narapidana residivis yang mengikuti yaitu kegiatan olah raga
volly.
Narapidana residivis mengikuti pembinaan di Rumah Tahanan Negara
Klas 1 Surakarta atas kesadaran diri walaupun awalnya hanya ikut-ikutan dalam
mengikuti pembinaan seperti narapidana lainnya. Namun, setelah mengikuti
pembinaan ternyata tergerak hatinya untuk selalu mengikuti pembinaan
tersebut. Dengan mengikuti pembinaan tersebut, mereka merasakan adanya
perubahan yang lebih baik yaitu menjadi sosok pribadi yang ikhlas, peningkatan
keimanan dan ketakwaan, tumbuhnya sikap disiplin, motivasi, dan sikap
optimis dalam menjalani hidup.
Seperti yang diungkapkan oleh salah satu narapidana residivis yang
berikut:
Saya selalu Rutin mengikuti pembinaan yang dilaksanakan di Rutan. Sejak awal masuk Rutan, saya merasa tertarik pada pembinaan yang diberikan khususnya keagamaan dan kemandirian. Setelah mengikuti kegiatan keagamaan ceramah yang dilaksanakan menjelang dzuhur rasanya hati saya menjadi tenang sehingga rajin beribadah. Saya mengikuti pembinaan atas kemauan pribadi sebab dengan pembinaan dirasa sangat penting sebagai bekal hidup setelah keluar dari Rutan. (Catatan lapangan 20).
Hal senada disampaikan oleh narapidana residivis Afif Solikhin pada
Awalnya saya mengikuti pembinaan karena terpaksa dan ikut-ikutan saja. Alhamdulilah saat ini rutin kegiatan pondok pesantren. Tidak hanya sebatas pembinaan kesadaran agama islam, pembinaan lainnya seperti olah raga, intelektual dan kemandirian juga aktif mengikuti. Setelah saya mengikuti pembinaan-pembinaan di Rutan, saya merasa menjadi sosok yang penuh semangat. Awalnya sangat frustasi karena bolak-balik masuk Rutan. Keluar dari penjara mau kerja apa bingung. Berkat pembinaan kemandirian, saya mampu mengasah potensi keterampilan las. Petugas selalu memberikan motivasi dan kerap mengatakan bahwa manusia selalu bergelimang dosa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
175
Buat apa mengutuk diri, kalau kamu ingin berubah pasti Tuhan memberikan jalan . Kata-kata tersebut selalu teringat dan menjadikan diri untuk optimis dalam menjalani hidup. (Catatan lapangan 21).
b. Peraturan perundang-undangan yang mendukung
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan
merupakan hasil pemikiran secara mendasar dari sistem kepenjaraan menjadi
sistem pemasyarakatan. Di dalam pelaksanaannya dibuatlah peraturan
perundang-undangan yang mendukung pelaksanaan pembinaan.
Adapun peraturan yang mendukung pelaksanaan pembinaan di antara
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta antara lain:
a) Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Dengan peraturan ini, akan mempermudah pihak Rumah Tahanan Negara
Klas 1 Surakarta dalam menyusun program pembinaan bagi narapidana.
b) Peraturan Pemerintah RI Nomor 57 tahun 1999 tentang Kerja Sama
Penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan.
Peraturan Pemerintah ini, memberikan peluang bagi pihak Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta untuk menjalin kerja sama baik bersifat fungsional
maupun kemitraan guna melaksanakan program pembinaan dan
pembimbingan tertentu dengan instansi pemerintah, badan-badan
kemasyarakatan, dan perorangan. Sebagai contoh bentuk kerja sama dalam
mendukung pembinaan keagamaan islam antara Rumah Tahanan Negara
Klas 1 Surakarta dengan Yayasan Wisata Hati dalam mendirikan Pondok
Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta.
c) Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan No.E.PK.04.10-715 tahun 2004 perihal
Asimilasi tidak Diberikan kepada Narapidana Penipuan, Psikotropika dan
Kasus Terorisme.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
176
Peraturan ini diterapkan oleh Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta guna
mempermudah pelaksanaan pembinaan. Dengan peraturan ini, sebagai dasar
peniadaan tahapan asimilasi bagi narapidana residivis dengan alasan
keamanan yang dikhawatirkan terjadi pelarian dari narapidana residivis.
c. Sarana dan prasarana yang menunjang
Sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang tidak kalah
penting dalam memperlancar pelaksanaan pembinaan. Sarana dan prasarana
yang terkait meliputi pembina pemasyarakatan (sarana personil) yang memadai,
dana, dan fasilitas yang mendukung. Berikut ini penjabaran mengenai sarana
dan prasarana yang menunjang pelaksanaan pembinaan moral di Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta:
a) Pembina pemasyarakatan dan sarana personil yang memadai
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro,
Bc.IP.S.Sos. M.M, pada hari tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa:
menunjang pelaksanaan pembinaan, sangat bergantung kepada
pembina pemasyarakatan. Oleh karenanya, pembina harus dapat menjadi
(Catatan lapangan 11).
Hasil wawancara berikutnya dengan Bapak Drs. Haryana selaku
Kepala Pengelolaan Rutan pada tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa:
Pembina menjadi faktor yang penting dalam proses pelaksanaan pembinaan. Penyampaikan materi pembinaan oleh pembina sangat mempengaruhi pemahaman narapidana residivis sehingga dibutuhkan pembina yang berkompeten. Dengan demikian perlu ditingkatkan profesionalismenya dengan menempuh pendidikan yang tinggi. (Catatan lapangan 12).
Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa,
pembina pemasyarakatan menjadi faktor yang penting dalam pelaksanaan
pembinaan moral bagi narapidana residivis. Sebagai seorang pendidik,
pembina pemasyarakatan harus memiliki pengetahuan yang luas untuk
meningkatkan profesionalisme yang tentu saja disesuaikan dengan bidang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
177
pembinaannya. Hal tersebut disebabkan pembina sebagai fasilitator dalam
menyampaikan materi pembinaan dan sekaligus sebagai teladan yang baik
bagi narapidana residivis untuk mewujudkan pribadi narapidana yang
terdidik secara moral.
Setelah peneliti melakukan pengamatan di lapangan, ternyata
melihat komposisi personalia di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
sekarang ini belum menunjukkan adanya kualitas dan kuantitas tenaga yang
dibutuhkan untuk menjamin pelaksanaan pembinaan secara berdaya guna
dan berhasil guna. Untuk mengatasi keterbatasan personil tersebut, maka
diadakan usaha-usaha pendidikan, penataran, kursus, dan penambahan
personil yang secara khusus didatangkan dari luar. Oleh sebab itu, Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta berusaha menambah personil yang
mampu memperlancar jalannya proses pembinaan seperti ustad untuk
pembinaan kesadaran agama islam, pastur yang didatangkan dari luar dalam
menunjang kegiatan pembinaan kesadaran agama nasrani, dan seorang
tamping yang bertugas menggantikan pembina apabila tidak dapat hadir
mengisi kegiatan pembinaan.
b) Dana atau keuangan yang menunjang kegiatan program pembinaan
Dana atau keuangan merupakan salah satu faktor pendukung dalam
pelaksanaan pembinaan. dana tersebut dipergunakan untuk membiayai
sarana dan fasilitas pembinaan misalnya pembiayaan peralatan pembinaan,
pembiayaan gedung dan biaya kantor-kantor yang diperlukan. Yang
menonjol disini adalah pembiayaan peralatan pembinaan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro,
Bc.IP.S.Sos.M.M, pada hari tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa:
laksanaan pembinaan di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
178
Rutan. Sebab dana tersebut dipergunakan untuk membeli fasilitas yang
terkait dengan . (Catatan lapangan 11).
Hal tersebut dibenarkan oleh Bapak Drs. Haryana selaku Kepala
Pengelolaan Rutan pada tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa
Dana untuk pelaksanaan pembinaan dapat menunjang keberhasilan pembinaan. Dana yang diperoleh Rutan selama ini dari DIPA atau eks narapidana yang telah sukses. Selama ini, dana dipergunakan untuk kegiatan pembinaan seperti pembinaan kesadaran keagamaan dan pembinaan kemandirian. Dana tersebut diperoleh dari DIPA sehingga sangat membantu sekali bagi keberhasilan pembinaan. (Catatan lapangan 12).
Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa,
dana mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan pembinaan. Dana tersebut
dipergunakan untuk membiayai sarana dan prasarana khususnya terkait
dengan fasilitas pembinaan. Untuk program pembinaan fisik seperti
program pembinaan kemandirian, biaya diperoleh dari DIPA (Daftar Isian
Penunjang Anggaran). Begitu pula pada program pembinaan kepribadian,
dana juga diperoleh dari DIPA (Daftar Isian Penunjang Anggaran).
Selama peneliti melakukan pengamatan di lapangan menunjukkan
bahwa, selain dana diperoleh dari DIPA (Daftar Isian Penunjang Anggaran),
pihak Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta telah menjalin kerjasama
dengan pihak luar dalam bentuk kemitraan seperti kerja sama dengan
pondok pesantren Al-Bukhori, Yayasan Wisata Hati, MTA (Majelis Tafsir
Al- Selain itu, dana juga diperoleh dari eks narapidana yang telah
sukses misalnya Bapak Sugondo. Dana tersebut dipergunakan oleh Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta untuk membeli peralatan yang terkait
dengan pembinaan kemandirian misalnya mesin jahit, bahan baku mebelair,
dan bahan baku pembuatan kanopi. Selain itu, dana tersebut juga
dipergunakan untuk membiayai pembina yang didatangkan dari luar
misalnya pastur, ustad, dan psikiater.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
179
c) Fasilitas yang menunjang pelaksanaan pembinaan
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro,
Bc.IP.S.Sos.M.M, pada hari tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa:
pembinaan di
Rutan ini. Dengan fasilitas tersebut akan mempermudah dan memperlancar
(Catatan lapangan 11). Hal tersebut dibenarkan oleh
Bapak Drs. Haryana selaku Kepala Pengelolaan Rutan pada tanggal 29 Juni
2011 mengatakan bahwa: itas yang mendukung jalannya proses
pembinaan meliputi tempat dan peralatan untuk pembinaan. Fasilitas di
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta memang cukup memadai. Dimana
(Catatan lapangan
12).
Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan
fasilitas yang disedikan oleh Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
memperlancar proses pembinaan. Fasilitas tersebut berupa peralatan
maupun tempat untuk berlangsungnya pembinaan. Ternyata fasilitas yang
diberikan selama ini dirasa telah cukup memadai.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan yang dilakukan peneliti
pada tanggal 30 Juni 2011 diketahui bahwa, terdapat beberapa fasilitas yang
diberikan oleh Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta guna mendukung
keberhasilan proses kegiatan pembinaan. Fasilitas tersebut antara lain
sebagai berikut:
(1) Pembinaan kesadaran agama meliputi: masjid An-Nur, Al-
tenda.
(2) Pembinaan kesadaran agama nasrani meliputi: gereja dan alat musik
drum.
(3) Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara meliputi: lapangan
sebagai latihan baris-berbaris.
(4) Pembinaan intelektual meliputi: perpustakaan dan buku-buku bacaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
180
(5) Pembinaan kesadaran hukum berupa ruang konseling
(6) Pembinaan usaha mandiri meliputi: bahan baku keterampilan yang
meliputi kain untuk membuat keset, mesin jahit, alat-alat cukur, dan las.
(7) Pembinaan bentuk olah raga meliputi: lapangan dekat aula untuk
kegiatan olah raga dan tape untuk senam pagi.
d. Motivasi dan dukungan moril dari keluarga narapidana residivis atas stigma
negatif masyarakat
Adanya asumsi dari sebagian besar masyarakat yang belum
memberikan kepercayaan kepada narapidana residivis dan memberikan stigma
negatif kepada mereka menyebabkan hilangnya rasa percaya diri. Selain itu,
narapidana residivis cenderung dikucilkan sebab mereka dicap sebagai orang
jahat. Apalagi bagi seorang narapidana residivis yang kerap keluar masuk
penjara sehingga citra buruk sebagai mantan penjahat semakin melekat dalam
diri mereka dan sukar untuk dihilangkan. Oleh sebab itu, keluarga memiliki
peran dalam memberikan motivasi dan dukungan moril untuk mengembalikan
rasa percaya diri narapidana residivis ketika keluar dari Rutan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro,
Bc.IP.S.Sos.M.M, pada hari tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai berikut:
Salah satu faktor yang menunjang keberhasilan pembinaan khususnya mengembalikan moral narapidana adalah keluarga. Apabila keluarga dari narapidana residivis kerap memberikan motivasi maka mereka tidak akan stres selama berada di Rutan. Stres yang berkepanjangan mengakibatkan ketidakefektifan proses pembinaan. Oleh sebab itu, hendaknya keluarga secara rutin melihat kondisi narapidana dengan melakukan kunjungan untuk mengetahui perkembangan pribadi narapidana. Sehingga setelah keluar dari Rutan ia mampu beradaptasi dan tegar atas stigma negatif yang akan mempengaruhi kehidupannya. (Catatan lapangan 11).
Hal tersebut dibenarkan oleh Bapak Drs. Haryana selaku Kepala
Pengelolaan Rutan, pada tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa:
Selain pembina pemasyarakatan, dana dan fasilitas yang memadai, peran keluarga menjadi pendorong keberhasilan pembinaan. Sebab merekalah yang paling mengetahui kondisi narapidana sebab pembina kadang tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
181
mengetahui kebutuhan mereka. Oleh sebab itulah keluarga hendaknya rutin melakukan kunjungan paling tidak seminggu sekali untuk memberikan dorongan atau motivasi kepada narapidana residivis dalam memberikan pesan moral. (Catatan lapangan 12).
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa, keluarga
merupakan salah satu faktor yang mendorong keberhasilan pembinaan.
Keluarga memilliki peran yang besar dalam memberikan motivasi dan rasa
percaya diri kepada narapidana residivis agar tidak stres ketika mereka
berhadapan dengan masyarakat luar. Stres berkepanjangan yang dialami oleh
narapidana residivis, mengakibatkan ketidakefektifan proses pembinaan. Sebab,
pembina Rutan harus berusaha ekstra dalam mengembalikan rasa percaya diri
mereka dimana hal tersebut pasti membutuhkan waktu yang cukup lama. Disisi
lain, pembina Rutan kurang begitu mengetahui kondisi yang dialami narapidana
residivis, sebab yang paling mengetahui kondisi narapidana residivis adalah
keluarga yang bersangkutan. Kedekatan diantara keduanya mempengaruhi
kondisi kejiwaan narapidana residivis. Oleh sebab itu, hendaknya keluarga
secara rutin melihat kondisi narapidana dengan melakukan kunjungan untuk
mengetahui perkembangan pribadi narapidana sehingga setelah keluar dari
Rutan, narapidana residivis mampu beradaptasi dan tegar atas stigma negatif
yang akan mempengaruhi kehidupannya.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan pada tanggal 1 September
2011 peneliti melihat beberapa keluarga dari narapidana residivis kerap
mengunjungi Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, walaupun hanya
sekedar memberikan makanan, pakaian atau keperluan lainnya. Dalam aula
besukan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta tampak ramai keluarga
duduk-duduk bercengkrama dengan narapidana. Terlihat hubungan yang
harmonis dan akrab diantara anak-anak, isteri, atau orang tua dari narapidana.
Peneliti sempat bergabung dengan salah satu keluarga dari narapidana residivis
yang bernama Triyadi. Peneliti mengamati bahwa, nampaknya narapidana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
182
residivis tersebut, berusaha menumpahkan keluh kesah mereka kepada keluarga.
Dibalik ekspresi wajahnya yang gembira karena dikunjungi oleh keluarga,
terlihat jelas narapidana residivis tersebut mengalami stres. Dia mengungkapkan
bahwa:
memberikan nasehat-nasehat atau pesan moral kepada narapidana residivis agar
sabar dan ikhlas selama menjalani pemidanaan di Rumah Tahanan Negara Klas
1 Surakarta.
e. Pengawasan yang baik saat proses pembinaan berlangsung.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agustiyar Ekantoro,
Bc.IP.S.Sos. M.M, pada Hari tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai berikut:
Meskipun Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta memiliki petugas tersendiri yaitu petugas pengamanan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa pembina juga turut serta dalam menjaga keamanan. Pembina akan melakukan pengawasan khususnya kepada narapidana residivis. Hal ini disebabkan pengalaman pahit Rutan atas pelarian narapidana residivis. (Catatan lapangan 11).
Kemudian berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Drs. Haryana
selaku kepala pengelolaan Rutan pada tanggal 29 Juni 2011 mengatakan bahwa:
Keberhasilan pembinaan moral, juga didorong oleh pengawasan pembina terhadap narapidana residivis. Selama proses pembinaan berlangsung, pembina akan memantau ketat aktivitas narapidana residivis. Usaha ini sebagai bentuk upaya Rutan untuk menghindari adanya hal-hal yang tidak diinginkan seperti perkelahian antara naripada residivis dan bukan residivis dan percobaan perlarian narapidana residivis. Jika tidak dilakukan pengawasan ektra, tidak akan timbul kesadaran diri dari narapidana untuk berubah. (Catatan lapangan 22).
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pembina
pemasyarakatan di atas dapat diketahui bahwa, pengawasan yang baik saat
proses pembinaan berlangsung sangat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan
pembinaan. Pengalaman pahit yang dirasakan oleh pihak Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta atas pelarian narapidana residivis agaknya menjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
183
perhatian pembina Rutan dalam melakukan pengawasan yang lebih baik pada
saat proses pembinaan berlangsung. Selain itu, pengawasan dilakukan sebagai
upaya meningkatkan kedisiplinan dan menyadarkan narapidana residivis yang
berperilaku tidak baik misalnya malas atau semaunya sendiri dalam mengikuti
pembinaan. Sebab, dengan pengawasan dari pembina Rutan maka narapidana
residivis akan bersungguh-sungguh mengikuti kegiatan pembinaan. Disamping
itu, sebagai pembelajaran bagi narapidana residivis agar mereka jera untuk tidak
melakukan perbuatan tindak pidana. Pengawasan ini dirasa sangat efektif
terhadap keberhasilan proses pembinaan.
Selama peneliti melakukan observasi di lapangan tanggal 15 Juni sampai
29 Juli 2011 selama proses pembinaan, pembina Rutan melakukan pengawasan
terhadap semua narapidana baik yang residivis maupun yang bukan residivis.
Misalnya Bapak Suramto selaku pembina kesadaran agama islam selalu
memantau proses berlangsungnya pembinaan. Semua narapidana yang
mengikuti pembinaan akan dicek satu persatu dengan absensi. Pada pembinaan
lain seperti pembinaan intelektual, pembinaan kemandirian, pembinaan
kesadaran berbangsa dan bernegara juga demikian. Bahkan, pembina
menggunakan seperangkat alat pengamanan seperti tongkat, borgol, dan pistol
untuk melengkapi kegiatan pengawasan dalam berlangsungnya pembinaan
sebab dikhawatirkan ada narapidana yang melakukan pelanggaran tata tertib
seperti perkelahian dengan narapidana lain, percobaan lari dari Rutan, atau
berusaha melawan pembina. Pada tanggal 16 Juli 2011 peneliti pernah
menjumpai seorang narapidana residivis bernama Bayu Waluyo mencoba lari
kabur dari Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta pada saat mengikuti
pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara. Akhirnya, Bayu Waluyo
ditangkap dan langsung diborgol oleh pembina Rutan yaitu Bapak Slamet, S.St.
Kemudian diserahkan kepada petugas pengamanan Rutan untuk diberikan
peringatan keras. Oleh karena perbuatannya tersebut, petugas pengamanan
Rutan akan memasukkannya ke dalam straff cell atau ruang isolasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
184
b. Faktor Penghambat Pembinaan Moral terhadap Narapidana Residivis dalam
Membentuk Good Citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
Pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta ternyata mengalami beberapa kendala. Adapun
faktor-faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pembinaan moral terhadap
narapidana residivis dalam membentuk good citizen meliputi: 1) Perilaku
narapidana residivis yang tidak baik saat mengikuti pembinaan, 2). Perbedaan
tingkat intelektual yang dilatarbelakangi pendidikan narapidana residivis yang
rendah, 3). Terbatasnya sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan
pembinaan, 4). Belum ada peraturan tentang pola pembinaan khusus narapidana
residivis, 5). Stigma negatif masyarakat terhadap narapidana residivis.
Berikut penjabaran mengenai faktor-faktor penghambat:
1) Perilaku Narapidana Residivis yang Tidak Baik Saat Mengikuti Pembinaan
Narapidana residivis merupakan salah satu penghuni Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta, dimana mereka adalah subyek sekaligus obyek utama
dalam pelaksanaan pembinaan. Narapidana residivis yang pernah menerima
pembinaan selama di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta, seharusnya
setelah keluar dari Rutan telah berubah menjadi pribadi yang bermoral. Namun
dalam kenyataannya, masih menunjukkan moral yang rendah. Hal tersebut
diketahui dari pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana
residivis. Selain itu, selama pelaksanaan pembinaan berlangsung ditemukan
beberapa narapidana residivis masih menunjukkan tingkah laku yang tidak
baik. Berdasarkan hasil wawancara kepada Bapak Agustiyar Ekantoro,
Bc.IP.S.Sos. M.M, pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai
berikut:
Saya sering mendapat laporan dari pembina tentang kasus yang dilakukan residivis. Narapidana mencoba kabur dari Rutan dengan cara mengelabui petugas, laporan kekerasan karena motif balas dendam ketika pihak korban mengunjungi Rutan, serta pertengkaran dengan narapidana biasa. Namanya juga bekas penjahat dari segi pengalaman mereka sudah lihai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
185
sulit sekali merubah mereka menjadi manusia yang baik. Kebanyakan dari mereka melakukan kejahatan karena urusan perut. Nampaknya perilaku tersebut menghambat proses pembinaan. (Catatan lapangan 11).
Hal senada disampaikan berdasarkan hasil wawancara dengan
pembina kesadaran agama islam, Bapak Suramto pada hari Senin tanggal 4 Juli
2011 adalah sebagai berikut:
Pernah saya temui narapidana residivis yang pada waktu pembinaan residivis tidur pada saat kegiatan ceramah. Bahkan pada waktu pembinaan ada yang malas-malasan bahkan pernah pura-pura dengan alasan sakit sehingga tidak bisa mengikuti pembinaan. Akibatnya mempengaruhi narapidana lainnya untuk ikut-ikutan. Padahal sudah sering diperingatkan. (Catatan lapangan 13).
Selanjutnya, berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Slamet, S.St
pada hari Sabtu tanggal 3 Juli 2011 mengatakan bahwa:
tidak serius dan malas pada saat mengikuti kegiatan latihan baris-berbaris
(Catatan lapangan
15).
Narapidana residivis mengatakan bahwa mereka terpaksa mengikuti
pembinaan, dimana hanya ikut-ikutan saja bahkan ada yang berpura-pura mau
mengikuti pembinaan. Seperti yang disampaikan narapidana residivis Marcus
Sudarmo pada tanggal 14 Juli 2011 adalah sebagai berikut:
Selama saya ikut pembinaan di Rutan, program pembinaan yang pertama wajib dilaksanakan adalah keagamaan. Saya disuruh sholat jamaah dan mengaji bareng-bareng narapidana lain. Saya hanya ikut-ikutan saja mengikutinya karena takut dimarahi oleh petugas. Pembinaan lain seperti olah raga, intelektual, dan keterampilan juga seperti itu. Selain itu, dari pada nganggur mbak, tidak ada kerjaan ya saya ikuti saja pembinaan disini. (Catatan lapangan 22).
Berdasarkan hasil wawancara di atas, peneliti menyimpulkan bahwa
dari segi pengalaman seharusnya narapidana residivis lebih menguasai tentang
program pembinaan yang mampu meningkatkan kualitas perubahan sikap baik
pada diri mereka. Namun dalam kenyataan menunjukkan bahwa program
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
186
pembinaan yang diberikan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta untuk
menjadikan narapidana residivis menjadi warga negara yang baik, belum
terealisasi. Hal tersebut terbukti masih ditemukannya perilaku narapidana
residivis yang tidak baik saat mengikuti pembinaan yang ternyata menghambat
pelaksanaan pembinaan moral. Perilaku tersebut misalnya tidak mengikuti
pembinaan dengan berpura-pura karena alasan sakit, narapidana yang malas
mengikuti pembinaan, dan tidur pada saat proses pembinaan berlangsung.
Perilaku narapidana residvis tersebut ternyata mempengaruhi narapidana
lainnya untuk ikut-ikutan melakukan hal demikian.
Setelah peneliti melakukan pengamatan di lapangan, sepanjang ini
sikap yang ditunjukkan narapidana residivis selama mengikuti kegiatan
pembinaan dikatakan cukup baik. Mereka mengikuti kegiatan pembinaan
dengan serius, namun ada beberapa narapidana residivis yang belum
menunjukkan perilaku yang baik misalnya membuat gaduh pada saat
mengikuti pembinaan kesadaran agama islam yaitu kegiatan ceramah
keagamaan menjelang dzuhur. Kemudian pada waktu pembinaan kesadaran
berbangsa dan bernegara yaitu kegiatan upacara bendera hari senin pagi
peneliti menemukan 2 orang narapidana residivis asyik mengobrol sendiri atau
bersenda gurau dengan narapidana lainnya. Hal tersebut membuktikan bahwa
masih ditemukan perilaku yang tidak baik selama narapidana residivis
mengikuti kegiatan pembinaan.
2) Perbedaan Tingkat Intelektual yang Dilatarbelakangi Pendidikan Narapidana
Residivis Rendah
Selain masalah yang terkait dengan perilaku yang tidak baik dari
narapidana residivis, ada pula faktor lain yang menjadi penghambat bagi
pembina dalam pelaksanaan kegiatan program pembinaan. Faktor tersebut
adalah perbedaan tingkat intelektual yang dilatarbelakangi pendidikan
narapidana residivis rendah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
187
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Suramto pada hari Senin
tanggal 4 Juli 2011 adalah sebagai berikut:
-
sehingga menghambat pelaksanaan kegiatan
(Catatan lapangan 13).
Kemudian berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Tentrem
Basuki, S.Pd pada hari Selasa tanggal 5 Juli 2011 adalah sebagai berikut:
r,
buta huruf sehingga pembina merasakan kesulitan dalam menyampaikan
).
Hasil wawancara berikutnya dengan Bapak Wagimin, SE pada hari
Senin tanggal 4 Juli 2011 adalah sebagai berikut:
memberikan konseling disebabkan sebagian
dari narapidana tingkat pendidikan rendah menyebabkan sulitnya terjalin
17).
Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwa
perbedaan tingkat intelektual yang dilatarbelakangi pendidikan narapidana
residivis rendah menghambat pelaksanaan pembinaan moral. Hal tersebut
menyebabkan sulitnya pembina Rutan memberikan materi pembinaan secara
maksimal. Kenyataan di lapangan, masih ditemukan narapidana residivis yang
tidak mampu baca tulis atau buta huruf yaitu sebanyak 3 orang. Hal tersebut
dikarenakan tingkat pendidikan mereka yang rendah.
3) Terbatasnya Sarana dan Prasarana yang Mendukung Kegiatan Pembinaan
Sarana dan prasarana merupakan faktor yang penting dalam menunjang
keberhasilan pembinaan. Namun, mengingat terbatasnya anggaran yang
dimiliki Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta maka, sarana dan prasarana
pembinaan tidak semuanya dapat dilengkapi. Hal tersebut menyebabkan
kegiatan pembinaan menjadi terhambat. Hambatan yang terkait dengan sarana
dan prasarana meliputi: kurangnya sarana personil dan kesibukan pembina
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
188
Rutan, dan kurangnya fasilitas yang mendukung kegiatan program pembinaan.
Berikut penjabaran mengenai faktor penghambat pelaksanaan pembinaan yang
terkait dengan sarana dan prasarana:
a) Kurangnya sarana personil dan kesibukan pembina Rutan
Berdasarkan hasil wawancara kepada Bapak Agustiyar Ekantoro,
Bc.IP.S.Sos.M.M, pada hari Sabtu, tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai
berikut:
Terbatasnya tenaga pengajar membuat pelaksanaan pembinaan terhambat. Untuk pembinaan kesadaran agama, masih kekurangan ustad dan pembina untuk kegiatan koor. Sedangkan mengenai program kemandirian, masih mengandalkan kemampuan narapidana itu sendiri. Sebab, pembina Rutan belum menguasai semua bidang keterampilan seperti las dan elektronik. (Catatan lapangan 11).
Hal senada diperkuat dari hasil wawancara dengan Bapak Suramto
pada tanggal 4 Juli 2011 adalah sebagai berikut:
ustad untuk kegiatan penghafalan Al- ).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Didit Santoso, S.Pd pada hari
Senin tanggal 4 Juli 2011 mengatakan bahwa:
dengan pembinaan kesadaran agama nasrani adalah kita masih harus
mendatangkan pastur ).
Hasil wawancara berikutnya dengan Bapak Tentrem Basuki, S.Pd pada hari
Selasa tanggal 5 Juli 2011 mengatakan
intelektual, Rutan kekurangan tenaga pendidik sehingga masih
. (Catatan lapangan 16). Berdasarkan hasil
wawancara dengan Bapak Wagimin, SE pada hari Selasa tanggal 5 Juli
2011 adalah sebagai berikut:
pembinaan kesadaran hukum adalah kesibukan pembina sehingga tidak
dapat memberikan pelayanan konseling secara maks
lapangan 17).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
189
Berdasarkan hasil wawancara di atas, diketahui bahwa faktor yang
menghambat pelaksanaan pembinaan moral di Rumah Tahanan Negara
Klas 1 Surakarta yang terkait sarana personil adalah kurangnya tenaga
pengajar pada pembinaan kesadaran agama dan intelektual seperti ustad,
pastur, pembina koor dan tenaga pendidik. Disisi lain, pada pembinaan
kesadaran hukum terhambat oleh kesibukan pembina Rutan. Oleh sebab
itu, pelaksanaan pembinaan menjadi tidak maksimal.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, memang selama
pembina Rutan menyampaikan materi pembinaan dibantu oleh beberapa
pihak seperti ustad, pembina koor, pastur, dan tamping. Ada sebanyak 6
orang ustad yang dikirim dari pondok pesantren untuk mengisi kegiatan
baca tulis Al- n. Namun, dengan jumlah ustad tersebut kurang
mengimbangi banyaknya narapidana residivis yang mengikuti kegiatan
baca tulis Al- an. Selanjutnya, pembina koor dan pastur sendiri masih
harus di datangkan dari luar. Disisi lain, adanya kesibukan petugas Rutan
menyebabkan pembinaan menjadi terhambat misalnya acara penataran dan
dinas luar kota sehingga, kadangkala pembina Rutan menyerahkan tugas
pembinaan kepada tamping. Tamping adalah narapidana yang dipercaya
pihak Rutan untuk membantu petugas Rutan menyelesaikan pekerjaan
mereka.
b) Kurangnya fasilitas yang mendukung kegiatan program pembinaan
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Suramto pada hari
Senin tanggal 4 Juli 2011 adalah sebagai berikut:
Kegiatan kesadaran agama islam belum maksimal terkait dengan kurangnya tempat untuk kegiatan ceramah. Sebab selama ini belum ada tempat atau ruangan khusus untuk kegiatan pembinaan kesadaran agama islam. Disisi lain, kita juga kekurangan Al- . (Catatan lapangan 13).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
190
Hasil wawancara berikutnya dengan Bapak Tentrem Basuki, S.Pd
pada hari Selasa tanggal 5 Juli 2011 mengatakan bahwa:
Kendala pada kegiatan intelektual yang terkait dengan sarana dan prasarana adalah sempitnya ruang perpustakaan, buku bacaan, serta minimnya bangku atau kursi. Padahal kegiatan ini sangat bermanfaat untuk menambah wawasan narapidana. (Catatan lapangan 16).
Sedangkan, berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Wiyono,
SE pada hari Selasa tanggal 5 Juli 2011 mengatakan bahwa:
kemandirian belum berjalan secara optimal karena tersendat bahan baku
yang masih kurang, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Bahan baku
(Catatan
lapangan 18). Selanjutnya berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak
Sarwono tanggal 5 Juli 2011 y,
Rutan belum menyediakan lapangan kh (Catatan
lapangan 19).
Berdasarkan beberapa hasil wawancara di atas, peneliti
menyimpulkan bahwa, kurangnya fasilitas menjadi penghambat
pelaksanaan pembinaan. Hambatan yang terkait dengan fasilitas di Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah sebagai berikut:
(1) Pembinaan kesadaran agama islam: masih kekurangan tempat untuk
kegiatan ceramah agama dimana Rutan harus menggunakan lapangan
sebab, masjid tidak dapat menampung jumlah narapidana yang
mengikuti kegiatan tersebut. Selain masalah tempat, kendala lainnya
berupa kurangnya fasilitas berupa Al-Q
(2) Pembinaan intelektual: kendala terkait dengan ruangan perpustakaan
yang sempit, kurangnya buku-buku bacaan, bangku atau kursi
sehingga dari narapidana sendiri kurang antusias untuk mengunjungi.
(3) Pembinaan keterampilan: masih kurang dari segi jumlah dan
kualitasnya. Di samping itu, masih terbentur mengenai bahan baku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
191
yang disebabkan minimnya anggaran yang dimiliki Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta. Bahan baku tersebut meliputi: las, bahan
baku elektronik, dan mebelair. Bahkan, bahan baku berasal dari
narapidana.
(4) Pembinaan bentuk olah raga: belum ada lapangan khusus kegiatan
olah raga volly.
Setelah peneliti melakukan obervasi pada tanggal 23 Juli 2011,
beberapa fasilitas Rutan Klas 1 Surakarta yang terkait dengan kegiatan
pembinaan memang nampak belum memadai. Pada kegiatan pembinaan
kesadaran agama islam misalnya kegiatan baca tulis Al-Q
kekurangan Al- aik terjemahan maupun bukan. Peneliti
menjumpai beberapa Al-
ceramah menjelang dzuhur, masih kekurangan tempat sehingga harus
memakai lapangan karena tidak mampu menampung jumlah narapidana
secara keseluruhan. Selanjutnya pada pembinaan intelektual, dalam
perpustakaan terlihat kursi yang sudah rusak, ruangan yang sempit dan
tampak tidak terawat sehingga terlihat kotor. Kemudian pada pembinaan
kemandirian, meskipun ruangan untuk kegiatan kemandirian begitu luas,
namun tampak beberapa fasilitas seperti 2 buah mesin jahit dan 1
perlengkapan las tidak dapat difungsikan lagi.
4) Belum Ada Peraturan tentang Pola Pembinaan Khusus Narapidana Residivis
Peraturan yang digunakan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
mengenai pola pembinaan bagi narapidana residivis mengacu kepada Menteri
Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola
Pembinaan Narapidan atau Tahanan, sehingga tidak ada perbedaan antara pola
pembinaan bagi narapidana residivis atau bukan residivis. Oleh karena itu,
dalam pelaksanaannya, ditafsirkan sama dengan pola pembinaan narapidana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
192
yang bukan residivis sebab belum ada pola pembinaan khusus bagi narapidana
residivis. Karena belum adanya pola pembinaan khusus bagi narapidana
residivis maka pembinaan menjadi tidak efektif.
5) Stigma Negatif Masyarakat terhadap Narapidana Residivis
Berdasarkan hasil wawancara kepada Bapak Agustiyar Ekantoro,
Bc.IP.S.Sos.M.M, pada hari Sabtu, tanggal 29 Juni 2011 adalah sebagai
berikut:
Terhambatnya pelaksanaan pembinaan moral tidak hanya disebabkan faktor pelaksanaan pembinaan yang dilaksanakan di Rutan namun, stigma negatif dari masyarakat terhadap narapidana residivis juga berpengaruh terhadap pelaksanaan pembinaan. Kenyataan di lapangan, banyak masyarakat belum bisa menerima keberadaan bekas narapidana. (Catatan lapangan 11).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Drs. Haryana pada hari
Sabtu tanggal 3 Juli 2011 adalah sebagai berikut:
Stigma negatif masyarakat terhadap narapidana residivis mengakibatkan hilangnya rasa percaya diri. Kesulitan narapidana residivis beradaptasi dengan masyarakat, mendorong mereka melakukan tindak pidana kembali. Sehingga pembinaan menjadi tidak efektif. (Catatan lapangan 12).
Seperti yang diutarakan oleh narapidana residivis Marcus Sudarmo
pada tanggal 14 Juli 2011 adalah sebagai berikut:
jika berada dalam lingkungan masyarakat. Masyarakat memandang saya
sebagai orang yang jahat. Saya sadar, sebagai bekas penjahat belum bisa
me ).
Hal senada juga disampaikan oleh narapidana residivis bernama Afif
Solikhin, wawa Juli 2011 adalah sebagai
berikut:
Saya kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan masyarakat sekitar masih menganggap saya sebagai orang jahat. Padahal saya berniat menjadi orang yang baik. Setelah keluar dari sini saya mau mencari kerja yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
193
halal yaitu bisnis buka warung nasi. Saya hadapi semua ini dengan tabah. (Catatan lapangan 21).
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa, stigma
negatif masyarakat menghambat pelaksanaan pembinaan moral di Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Masyarakat masih kerap memberikan
stigma negatif terhadap narapidana residivis yang masih mengecap citra buruk
sebagai mantan penjahat. Hal tersebut menyebabkan hilangnya rasa percaya
diri mereka dan akhirnya melakukan tindak pidana kembali. Dalam
kenyataannya, masih ditemukan narapidana residivis yang melakukan
pengulangan tindak pidana. Melihat kondisi demikian, Rumah Tahanan Negara
Klas 1 Surakarta harus bekerja ekstra memberikan pembinaan dan berupaya
mengembalikan rasa percaya diri yang hilang terhadap narapidana residivis.
Hal tersebut belum dapat sepenuhnya direalisasikan oleh Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta.
C. Temuan Studi
Dalam subbab ini, peneliti menganalisis informasi yang berhasil dikumpulkan
di lapangan sesuai dengan perumusan masalah dan selanjutnya dikaitkan dengan teori
yang ada. Berdasarkan hasil penelitian yang dihubungkan dengan kajian teori maka,
peneliti menemukan beberapa hal yang penting yaitu sebagai berikut :
1. Moral Narapidana Residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
Terkait dengan Pengulangan Tindak Pidana yang Dilakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
194
Untuk mengetahui seseorang dikatakan bermoral dapat dilihat dari tiga unsur
yaitu pemahaman moral, perasaan moral, dan tindakan moral. Menurut Lickona
dalam bukunya educating for character dalam Asri Budiningsih (2008: 6)
menyebutkan unsur dalam menanamkan nilai moral
penelitian di lapangan menyebutkan bahwa, pengetahuan moral sebagian besar
narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dikatakan sangat
baik. Dari 10 narapidana residivis, hanya ada 1 narapidana residivis yang tidak
mengetahui apakah perbuatan yang dilakukan itu termasuk tindak pidana yaitu pada
narapidana residivis kasus penggelapan. Itu berarti pemahaman moral narapidana
residivis mencapai 90% dari 10 orang. Pengetahuan moral narapidana residivis
dikatakan sangat baik sebab mereka memahami konsep tindak pidana yang dilakukan.
Pada kasus pencurian misalnya, hampir semua narapidana residivis mengetahui
tentang makna pencurian. Mereka mengatakan bahwa,
oleh narapidana residivis dengan kasus kekerasan, penipuan, dan pembunuhan.
Mereka mengetahui konsep tindakan yang telah dilakukan. Selain itu, mereka juga
mengetahui bahwa perbuatan tindak pidana yang dilakukan telah melanggar norma
hukum sehingga harus menerima sanksi pidana. Sebagian besar narapidana residivis
mengalami penyesalan setelah melakukan tindak pidana sebab tidak mengikuti hati
nurani. Mereka tampak menerima dengan ikhlas atas perbuatan yang dilakukan. Jika
dikaitkan dengan teori perkembangan moral menurut Kohlberg dapat diketahui
bahwa, tingkat kematangan pemahaman moral narapidana residivis (kasus pencurian,
pembunuhan, kekerasan dan penipuan) berada pada tingkat VI (orientasi prinsip etis
universal). Secara moral, mereka memahami perbuatan tindak pidana yang dilakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
195
adalah bertentangan dengan norma hukum. Sebagian narapidana mengalami
penyesalan setelah melakukan tindak pidana karena perbuatan yang dilakukan
bertentangan dengan hati nurani.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat menurut L. Kohlberg dalam K. Bertens
(2007: 80-84) dalam tahap perkembangan moral dijelaskan bahwa:
Dalam tahap VI (orientasi prinsip etis universal) orang mengatur tingkah laku dan penilaian moralnya berdasarkan hati nurani pribadi. Yang mencolok adalah bahwa prinsip-prinsip etis dan hati nurani berlaku secara universal. Pada dasarnya prinsi-prinsip ini menyangkut keadilan, kesedian membantu satu sama lain, persamaan hak manusia dan hormat untuk martabat manusia sebagai pribadi. Orang yang melanggar prinsip-prinsip hati nurani ini akan mengalami penyesalan yang mendalam (remorse). Ia mengutuk dirinya, karena tidak mengikuti keyakinan moralnya sendiri.
Selain pengetahuan moral di atas, perasaan moral yang dimiliki sebagian
besar narapidana residivis dikatakan cukup baik. Dari 10 orang narapidana residivis
hanya 5 orang telah memiliki perasaan moral yang sangat baik. Itu berarti perasaan
moral narapidana residivis sekitar 50% dari 10 orang. Narapidana residivis tersebut
berada dalam skala empati tahapan underlying feelings yaitu kemampuan untuk
memahami perasaan orang lain. Perasaan moral ditunjukkan dengan mengungkapkan
Mencuri dapat memba Artinya mereka
paham bahwa, perbuatan yang dilakukan telah merugikan orang lain. Perasaan moral
diketahui dari kondisi emosional yang dialami oleh narapidana residivis. Ketika
peneliti melakukan wawancara, tampak terlihat dari ekspresi wajah yang
menunjukkan adanya penyesalan dari narapidana sebagai akibat atas tindak pidana
yang dilakukan. Mereka mengatakan bahwa perbuatan yang dilakukan telah
merugikan, membahayakan dan menyusahkan orang dalam hal ini (korban). Perasaan
moral narapidana residivis diwujudkan dengan mengungkapkan perasaan empati
kepada korban seperti perasaan peduli, iba, dan ikut merasakan kesulitan si korban.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
196
Namun, sejauh ini perasaan moral yang ditunjukkan narapidana residivis hanya
diungkapkan melalui kata-kata (ucapan) yang diketahui ketika dilakukan wawancara.
Hal tersebut relevan dengan apa yang disampaikan oleh Hoffman (1984) dalam Asri
Budiningsih (2008: 53) dari hasil penelitian yang dilakukan menyebutkan bahwa
Tingkat empati paling lanjut muncul ketika seseorang sanggup memahami kesulitan-
kesulitan yang ada dalam lingkungannya dan menyadari bahwa situasi atau status
seseorang dalam kehidupannya menjadi sumber beban stres dan merasakan
kesengsaraan orang l
Berdasarkan pemaparan di atas diketahui bahwa, hampir seluruh narapidana
residivis memiliki pemahaman moral yang sangat baik. Selain itu, perasaan empati
(perasaan moral) yang dimiliki sebagian besar narapidana residivis sudah ada.
Namun, dari sudut tindakan moral belum dikatakan baik sebab narapidana residivis
masih melakukan pengulangan tidak pidana seperti pencurian, penggelapan,
penipuan, pembunuhan dan kekerasan yang secara moral bertentangan dengan nilai-
nilai moral seperti tidak memiliki perikemanusiaan, tidak jujur, tidak memiliki
tanggung jawab, dan ketamakan atau keserakahan. Berdasarkan hasil penelitian
menyatakan bahwa sebagian besar narapidana residivis mengalami masalah moral
sehingga melakukan tindak pidana. Masalah moral tersebut yaitu mengapa
narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana. Masalah moral yang
dialami oleh narapidana residivis disebabkan oleh beberapa faktor. Penyebab
narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana adalah faktor intern
seperti masalah kepribadian (emosi) dan juga faktor ekstern seperti rendahnya
ekonomi keluarga atau kemiskinan, kesempatan, sulitnya memperoleh pekerjaan,
lingkungan pergaulan yang buruk, dan pengaruh minuman keras. Dalam teori dari
beberapa faktor tersebut, ternyata faktor yang paling banyak mempengaruhi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
197
narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana adalah disebabkan
ekonomi yang rendah dengan kasus pencurian yang paling mendominasi.
Dalam teori ekonomi menurut Marx dalam Topo Santoso dan Eva Achjani
Zulfa (2005: 34) mengatakan bahwa, Kejahatan timbul karena kemiskinan. Orang
miskin meminum alkohol diluar batas, akibatnya tidak langsung adalah kejahatan
Miskinnya masyarakat erat sekali dengan hubungannya dengan rendahnya
askan bahwa penyebab seseorang melakukan
kejahatan karena kemiskinan, rendahnya penghasilan, dan pengangguran. Dalam
kenyataan di lapangan menyebutkan bahwa, narapidana residivis yang melakukan
pengulangan tindak pidana disebabkan karena keadaan ekonomi keluarga yang
rendah dimana mereka tidak mampu menghidupi kebutuhan sehari-hari. Selain itu,
sulitnya mendapatkan pekerjaan membuat mereka melakukan perbuatan tersebut.
Tindak pidana yang dilakukan didominasi dengan kasus pencurian.
Sedangkan teori sosial bond menurut Travis Hirchi dalam Topo Santoso dan
Eva Achjani Zulfa (2005: 43) mengatakan bahwa:
Seseorang melakukan perbuatan menyimpang disebabkan karena hilangnya ikatan kontrol sosial dalam diri seseorang. Ikatan kontrol sosial tersebut meliputi: a. commitment yaitu hilangnya keterikatan seseorang pada sub sistem seperti sekolah, pekerjaan, organisasi dan kelompok sosial, b. beliefs yaitu hilangnya aspek moral yang terdapat dalam ikatan sosial.
Dari teori tersebut berarti bahwa, penyebab seseorang melakukan kejahatan
disebabkan karena hilangnya sistem kontrol dalam diri yaitu tidak memiliki
pekerjaan, pendidikan yang rendah, dan hilangnya nilai-nilai moral dalam diri
seseorang. Jika dikaitkan dengan penyebab narapidana residivis melakukan
pengulangan tindak pidana khususnya kasus pencurian adalah sebagian besar
narapidana residivis terus melakukan perbuatan mencuri karena sulitnya
mendapatkan pekerjaan yang layak sebab ketidakpercayaan masyarakat atau instansi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
198
terhadap mantan narapidana residivis menyebabkan sulit diterima untuk bekerja.
Selain itu, beberapa narapidana residivis masih berpendidikan rendah sehingga tidak
memiliki keahlian dan pada akhirnya mencuri. Kemudian dari segi hilangnya nilai-
nilai moral yang dianut oleh sebagian besar narapidana residivis adalah meskipun
narapidana residivis telah memiliki pemahaman dan perasaan moral yang baik.
Bahkan beberapa narapidana residivis telah memperoleh pendidikan moral dari
keluarga dan pendidikan formal namun, mereka masih melakukan pengulangan
tindak pidana. Perbuatan tindak pidana yang dilakukan narapidana residivis
dipandang sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral seperti
ketamakan, keegoisan, tidak memiliki perasaan terhadap orang lain, keserakahan, dan
ketidakpedulian. Hal tersebut berarti nilai moral tidak lagi dianut oleh mereka.
Selain itu, pandangan dari teori differential organization menurut Sutherland
dalam Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa (2005: 23) yang mengatakan bahwa:
Kejahatan dipelajari dalam pergaulan manusia. Kejahatan hanya ada dalam
masyarakat diantara pergaulan individu. Orang belajar jahat dalam masyarakat, tanpa
ada Jadi, teori ini menjelaskan bahwa, penyebab
seseorang melakukan kejahatan karena pengaruh lingkungan atau pergaulan yang
salah. Dari teori tersebut benar bahwa, salah satu penyebab seseorang melakukan
tindak pidana dipengaruhi oleh lingkungan pergaulan. Seperti yang dialami oleh
Suwandi dimana ia mencuri karena bergaul dengan temannya seorang pencuri.
Teori selanjutnya adalah teori mental disorder menurut James C.Prichard
dalam Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa (2005: 54) yang menyebutkan bahwa:
Seseorang melakukan kejahatan disebabkan karena terjadi kekacauan mental Berdasarkan hasil penelitian oleh James C. Prichard sebanyak 20 hingga 60 persen penghuni lembaga pemasyarakatan mengalami satu tipe mental disorder (penyakit mental) yang disebut dengan psychopathy atau antisocial personality
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
199
yaitu suatu ketidakmampuan belajar dari pengalaman, kurang keramahan dan perasaan tidak bersalah.
Dari teori tersebut berarti bahwa, seseorang dapat melakukan perbuatan jahat
karena gangguan mental. Seperti yang dialami oleh narapidana residivis bernama Puji
Hariyanto (pencurian dengan kekerasan pasal 365 KUHP). Ia menjadikan tindak
pidana sebagai pekerjaannya (mata pencaharian). Hal tersebut dilakukan oleh karena
sulitnya mencari dan mendapat pekerjaan sehingga menjadi alasan dia mencuri. Ia
mencuri dengan penuh kesadaran bahkan, tidak merasa bersalah setelah mencuri.
Menurutnya mencuri adalah perbuatan wajar.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana penilaian terhadap tindakan yang
dilakukan narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait
dengan masalah moral (pengulangan tindak pidana). Dalam menilai tindakan atau
perilaku narapidana residivis yang terkait dengan pengulangan tindak pidana, peneliti
menggunakan pada pendekatan etika normatif menurut K. Bertens (2007: 15) yang
bertumpu pada masalah-masalah moral. Ahli yang bersangkutan melibatkan diri
dengan mengemukakan penilaian perilaku manusia . Jadi, menurut pendekatan etika
ini peneliti berusaha menilai perilaku narapidana residivis terkait dengan pengulangan
tindak pidana yang dilakukan jika ditinjau dari segi moral.
Berdasarkan teori egois etis menurut Jeremy Bentham dalam Elisa (2011: 2)
yang dikutip dari http://www.scribd.com/doc58523585/teorijeremy-bentham
menyebutkan bahwa Tindakan dari setiap orang pada dasarnya adalah untuk
mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Egois dianggap
bermoral karena kebahagiaan dan kepentingan pribadi dalam bentuk hidup, hak dan
keamanan. Secara moral di Menurut teori tersebut,
jika dikaitkan dengan kondisi yang dialami oleh narapidana residivis bernama Ardi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
200
Eli.L (pencurian turut serta pasal 363 KUHP). Ia mencuri karena membutuhkan biaya
operasi ayahnya. Atas tindakan yang telah dilakukan adalah dianggap baik sebab
demi mencapai kebahagiaan yaitu terpenuhinya hak hidup ayahnya. Secara moral,
berdasarkan teori ini tindakan yang dilakukan dianggap baik dan pantas untuk
diupayakan sebab ia melakukan perbuatan tersebut demi menjaga kelangsungan
hidup. Begitu pula pada kasus pencurian yang dilakukan narapidana residivis
bernama Dedi Rosadi (pencurian pasal 365 KUHP). Demi menyekolahkan anak
seorang narapidana residivis akhirnya mencuri. Demi kelangsungan hidup keluarga,
tidak peduli benar atau salah, asal mendapatkan apa yang diinginkannya. Sehingga
dapat dikatakan mencuri adalah tindakan baik. Baik karena tujuannya demi untuk
menolong keluarga tetapi caranya salah karena bertentangan dengan nilai moral yaitu
ketamakan, ketidakpedulian, dan tidak memiliki perasaan terhadap kesulitan orang
lain.
Selanjutnya teori utilitarianisme menurut Jeremy Bentham dalam Elisa (2011:
2) yang dikutip dari http://www.scribd.com/doc58523585/teorijeremy-bentham
Tindakan adalah baik dan tepat secara moral jika tindakan
tersebut mendatangkan manfaat atau keuntungan dan sebaliknya tindakan yang
dilakukannya tidak mendatangkan manfaat apapun baik bagi diri sendiri maupun
orang lain maka tindakan yang dilakukan dikatakan tidak bermoral
teori tersebut, dapat dikaitkan dengan kasus pencurian yang dilakukan oleh Ramlan
Butar (pencurian dengan kekerasan pasal 365 KUHP). Ia merasa bahwa perbuatan
mencuri sebenarnya ingin membahagiakan kedua orang tuanya. Namun, ia tidak
menyadari bahwa akibat dari perbuatannya tersebut merugikan dirinya sendiri dan
orang lain. Seperti halnya yang dialami oleh narapidana residivis lainnya yang
melakukan pengulangan tindak pidana seperti pembunuhan, penggelapan, penipuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
201
dan kekerasan. Atas perbuatan yang mereka lakukan tidak menimbulkan manfaat
yang baik, malah sebaliknya merugikan diri sendiri, korban serta meresahkan
masyarakat.
Berikutnya adalah teori moral menurut Sokrates dalam Cheppy Haricahyono
(1995: 107) mengatakan bahwa:
Dalam tindakan seseorang dilakukan dengan pertimbangan moral. Pertimbangan moral meliputi meliputi a. tindakan sebagai kewajiban moral (tindakan yang benar kalau diwujudkan dan salah kalau tidak diwujudkan). b. tindakan yang merupakan larangan moral (tindakan yang salah kalau diwujudkan dan benar kalau tidak diwujudkan). c. tindakan non trival (tindakan yang ada dibalik apa yang dituntut meski mengandung resiko atau pengorbanan).
Pada kasus pencurian oleh narapidana residivis yang bernama Ardi Eli.L
(pencurian turut serta pasal 363 KUHP). Secara moral, tindakan yang dilakukan
sebagai kewajiban moral. Narapidana residivis mencuri karena mermbutuhkan uang
demi biaya operasi ayahnya. Mencuri merupakan perbuatan yang dibenarkan demi
menyelamatkan nyawa ayahnya sebab jika membiarkan maka ayahnya dapat
meninggal dunia. Oleh sebab itu, ia terpaksa mencuri. Demi kelangsungan hidup
ayahnya, Ardi Eli.L berusaha mengorbankan dirinya dengan cara mencuri walaupun
harus mendapat hukuman atau pemidanaan di Rutan. Atas tindakan yang dilakukan
oleh Ardi Eli.L tersebut, juga termasuk dalam kategori non trivial yaitu tindakan yang
ada dibalik apa yang secara moral memang dituntut, meskipun mengandung resiko
dan pengorbanan diri secara total. Berbeda halnya dengan kasus pencurian yang
dilakukan oleh Puji Hariyanto. Ia mencuri karena sulit memperoleh pekerjaan.
Bahkan, mencuri sebagai sebuah pekerjaan (mata pencaharian). Secara moral,
tindakan yang dilakukan merupakan larangan moral sebab mencuri demi
kepentingannya sendiri dan menyalahi aturan hukum serta bertentangan dengan nilai-
nilai moral yaitu keegoisan dan keserakahan. Pada kasus penggelapan, penipuan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
202
pembunuhan dan kekerasan juga demikian. Tindakan yang dilakukan merupakan
larangan moral sebab mengakibatkan kerugian atau dampak bagi orang lain.
2. Pelaksanaan Pembinaan Moral terhadap Narapidana Residivis dalam
Membentuk Good Citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
Meskipun Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta bukanlah lembaga
pemasyarakatan, namun dalam pelaksanaan pemidanaan bagi narapidana residivis
menggunakan sistem pemasyarakatan. Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
melaksanakan pembinaan pun, tidak bisa lepas dari sistem pemenjaraan dimana
melalui sistem tersebut bertujuan agar narapidana jera dan tidak lagi mengulangi
perbuatan. Tujuan dari pembinaan Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah
tidak melanggar hukum lagi, dapat berpartisipasi aktif dan positif dalam
pembangunan (manusia mandiri), dan hidup bahagia dunia akherat. Hal tersebut
sesuai dengan Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.G8/506
17 Juni 1964 yang menjelaskan bahwa
pidana telah berubah secara mendasar yaitu sistem kepenjaraan menjadi sistem
Dalam teori gabungan menurut Pallegrino Rossi dalam Dwidja
Priyatno (2006: 24) tentang tujuan pemidanaan disebutkan bahwa:
Sekalipun pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun pidana harus mempunyai pengaruh yaitu perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general. Sehingga tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan tindak pidana.
Dari teori tersebut, narapidana residivis berada di Rumah Tahanan Negara
Klas 1 Surakarta dalam rangka melaksanakan pemidanaan dimana mereka akan
dibatasi kemerdekaannya sebagai akibat melakukan tindak pidana. Namun, mereka
diberikan hak untuk memperoleh pembinaan sebagai upaya rehabilitasi agar setelah
keluar dari Rutan tidak mengulangi kembali tindak pidana dan akhirnya menjadi
warga negara yang baik (good citizen) karena tujuan pemidanaan bukanlah sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
203
unsur balas dendam tetapi lebih kepada perbaikan moral narapidana residivis yang
dilakukan melalui pembinaan.
Pelaksanaan pembinaan yang diterapkan Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta terhadap narapidana residivis merujuk kepada Keputusan Menteri
Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan
Narapidana atau Tahanan. Dikatakan demikian sebab, Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta telah menerapkan beberapa pembinaan baik berupa pembinaan yang
sifatnya kepribadian maupun kemandirian. Pembinaan yang bersifat kepribadian
bertujuan membentuk watak narapidana sehingga mampu meningkatkan ketakwaan
dan intelektual yang diharapkan nantinya menjadi warga negara yang baik, patuh
pada peraturan, taat hukum memiliki jiwa yang bermoral serta hidup secara produktif.
Sedangkan pembinaan yang bersifat kemandirian lebih menitikberatkan pada
pembentukan pribadi manusia yang mandiri dan lebih produktif dalam pembangunan.
Wujud program yang diberikan meliputi pembinaan kesadaran agama, pembinaan
intelektual, pembinaan kesadaran hukum, pembinaan kesadaran berbangsa dan
bernegara, pembinaan bentuk olah raga, dan pembinaan kemandirian. Hal tersebut
berarti pelaksanaan pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta telah
sesuai dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun
1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan alenia kedua, menegaskan
bahwa:
Pembinaan dan bimbingan pemasyarakatan haruslah ditingkatkan melalui pendekatan pembinaan mental (agama, Pancasila dan sebagainya) meliputi pemulihan harga diri sebagai pribadi maupun sebagai warganegara yang meyakini dirinya masih memiliki potensi produktif bagi pembangunan bangsa dan oleh karena itu mereka dididik (dilatih) juga untuk menguasai ketrampilan tertentu guna dapat hidup mandiri dan berguna bagi pembangunan. lni berarti, bahwa pembinaan dan bimbingan yang diberikan mencakup bidang mental dan keterampilan. (Ismail Sholeh, 1990: 3).
Meskipun Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta telah melaksanakan
berdasarkan sistem pemasyarakatan dan pola pembinaan berdasarkan Keputusan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
204
Pembinaan Narapidana atau Tahanan, namun nampaknya keberhasilan pembinaan
narapidana residivis belum sesuai dengan tujuan pemasyarakatan. Tujuan
pemasyarakatan menurut UU No 12 tahun 1995 adalah agar narapidana residivis
menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana. Dalam
kenyataannya, masih ditemukan beberapa narapidana residivis yang belum
menunjukkan perilaku yang baik selama mengikuti pembinaan. Narapidana residivis
mengatakan bahwa mereka mengikuti pembinaan hanya ikut-ikutan saja sebab jika
tidak mengikuti takut ditegur oleh pembina atau petugas Rutan. Dalam teori etika
deontologi menurut Immanuel Kant dalam K.Bertens (1998: 235-260) mengatakan
Kehendak menjadi baik jika bertindak karena kewajiban. Menurut pemikiran
Kant adalah menyimpulkan otonomi kehendak dan heteronom kehendak. Kehendak
bersifat otonom bila menentukan dirinya sendiri sedangkan heteronom membiarkan
diri ditentukan oleh faktor di luar dirinya
Dari teori tersebut dapat diartikan bahwa seseorang dikatakan baik apabila
bertindak karena kewajiban. Seseorang akan bertindak sesuai dengan kesadaran diri
bukan karena perintah orang lain. Jika dikaitkan dengan teori tersebut dapat diartikan
bahwa perilaku narapidana residivis yang belum menunjukkan kesadaran diri selama
mengikuti pembinaan seperti malas, tidur, membuat gaduh, pura-pura sakit,
mengobrol sendiri, tidak serius, dan bahkan mencoba kabur dari Rutan menunjukkan
bahwa mereka belum moral. Berdasarkan fakta tersebut maka, dapat dikatakan bahwa
pembinaan moral terhadap narapidana residivis yang terkait dengan pembentukan
narapidana residivis menjadi warga negara yang baik dan bermoral (good citizen)
dikatakan belum berhasil sebab, beberapa narapidana residivis yang belum terbentuk
sebagai pribadi yang terdidik secara moral. Selain itu, masih terjadi pengulangan
tindak pidana bahkan meningkat dari tahun 2010 sampai 2011. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh Cheppy H.C (1988: 110: 111) mengatakan bahwa,
terdidik secara moral adalah seseorang yang belajar (di sekolah atau dimanapun juga)
untuk hidup dalam satu cara yang merefleksikan kesan dan praktik kewajiban untuk
mengembangkan norma-norma dan cita-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
205
Jadi, peneliti menyimpulkan bahwa keberhasilan pelaksanaan pembinaan di
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta sangat ditentukan oleh kesadaran moral
dari narapidana residivis selama mengikuti pembinaan sehingga upaya penyadaran
moral terhadap narapidana harus lebih ditekankan. Selama ini, usaha dari pihak Rutan
melaksanakan pembinaan kepada narapidana residivis dikatakan sudah cukup
maksimal. Terbukti dari dengan dibentuknya lagi wujud pembinaan yaitu pembinaan
latihan fisik dan menambahkan kegiatan pada pembinaan kesadaran agama islam
melalui kegiatan pesantren.
3. Faktor Pendorong dan Penghambat Pelaksanaan Pembinaan Moral terhadap
Narapidana Residivis dalam Membentuk Good Citizen di Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta
a. Faktor Pendorong Pembinaan Moral terhadap Narapidana Residivis dalam
Membentuk Good Citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
Faktor pendorong pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam
membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta adalah
sebagai berikut:
1) Kesadaran narapidana residivis dalam mengikuti pembinaan
Keberhasilan pembinaan ditentukan oleh narapidana itu sendiri.
Narapidana yang memiliki kesadaran penuh (tinggi) akan mempermudah
berlangsungnya proses pembinaan. Dalam kenyataan di lapangan menyebutkan,
sebagian narapidana residivis telah memiliki kesadaran akan pentingnya
pembinaan. Dari pembinaan yang diberikan Rutan, narapidana mampu
menyerap nilai positif dengan harapan tidak mengulangi kembali tindak pidana.
Lebih dari pada itu, melalui pembinaan akan mengubah narapidana residivis
menjadi sosok pribadi yang bermoral.
Hal tersebut relevan dengan pendapat C.I Harsono (1995: 36)
mengatakan bahwa:
Narapidana subyek sekaligus obyek yang akan menerima pembinaan selama berada di lembaga pemasyarakatan sebab pembinaan yang terbaik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
206
bagi keberhasilan narapidana dalam menjalani pidana dan dapat kembali ke masyarakat serta tidak mengulangi perbuatannya adalah pembinaan yang berasal dari dalam diri narapidana itu sendiri. Artinya narapidana perlu membina dirinya sendiri dengan merubah diri. Adanya kemauan dan kesadaran dalam diri narapidana sangat menentukan keberhasilan pembinaan.
2) Peraturan perundang-undangan yang mendukung pelaksanaan pembinaan
Peraturan perundang-undangan sangat mendukung pelaksanaan
pembinaan moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta. Misalnya Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 tahun 1999 tentang
Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Dengan peraturan tersebut, akan mempermudah pihak Rutan dalam menyusun
program pembinaan bagi narapidana khususnya residivis. Selain itu juga,
Peraturan Pemerintah RI Nomor 57 tahun 1999 tentang Kerja Sama
Penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan. Peraturan Pemerintah ini memberikan peluang kepada
instansi pemerintah, badan-badan kemasyarakatan dan perorangan untuk ikut
berperan aktif dalam membina narapidana menjalin kerja sama baik bersifat
fungsional maupun kemitraan guna melaksanakan program pembinaan dan
pembimbingan tertentu. Kemudian, Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan
No.E.PK.04.10-715 tahun 2004 perihal Asimilasi tidak Diberikan Kepada
Narapidana Penipuan, Psikotropika dan Kasus Terorisme. Peraturan ini
diterapkan oleh Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta guna mempermudah
pelaksanaan pembinaan. Dengan peraturan ini sebagai dasar peniadaan tahapan
asimilasi bagi narapidana residivis sebagai alasan keamanan.
3) Sarana dan prasarana yang menunjang
a) Pembina Rutan dan sarana personil yang memadai
Pembina pemasyarakatan menjadi faktor yang penting dalam
pelaksanaan pembinaan moral bagi narapidana residivis. Hal tersebut
disebabkan pembina sebagai fasilitator dalam menyampaikan materi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
207
pembinaan dan sekaligus sebagai teladan yang baik bagi narapidana
residivis untuk mewujudkan pribadi narapidana yang terdidik secara moral.
Guna mendukung kelancaran pembinaan, Rutan juga menambah sarana
personil seperti seperti ustad, pastur dan tamping.
Hal tersebut relevan dengan pendapat C.I Harsono (1995: 73)
Petugas atau pembina merupakan komponen utama
dalam menunjang keberhasilan pembinaan. Petugas pemasyarakatan
mempunyai tugas pokok membina narapidana. Tanpa bantuan orang lain,
petugas pemasyarakatan tetap harus menjalin kerja sama sebagai pembina
narapidana
b) Dana atau keuangan yang menunjang kegiatan program pembinaan
Dana atau keuangan merupakan salah satu faktor pendukung
dalam pelaksanaan pembinaan. Dana diperoleh dari Rumah Tahanan Negara
Klas 1 Surakarta, bantuan dari pemerintah dan swasta ataupun bantuan dari
eks narapidana yang telah sukses. Biaya tersebut digunakan untuk
menompang biaya kegiatan dari masing-masing program pembinaan.
c) Fasilitas yang menunjang pelaksanaan pembinaan
Fasilitas yang disedikan oleh Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta memperlancar proses pembinaan. Fasilitas berupa alat-alat,
tempat, dan barang-barang tertentu yang disediakan Rutan guna menunjang
kegiatan pembinaan.
Hal tersebut senada dengan pendapat C.I. Harsono (1995: 35)
dinyatakan bahwa,
memperlancar keberhasilan pembinaan. Sarana dan prasarana tersebut akan
memudahkan petugas untuk menyampaikan materi pembinaan sehingga
4) Motivasi dan dukungan moril dari keluarga narapidana residivis atas stigma
negatif masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
208
Keluarga memilliki peran yang besar dalam memberikan motivasi
dan rasa percaya diri kepada narapidana residivis agar tidak stres ketika
mereka berhadapan dengan masyarakat luar. Stres yang berkepanjangan yang
dialami oleh narapidana residivis, mengakibatkan ketidakefektifan proses
pembinaan. Kedekatan di antara keduanya mempengaruhi kondisi kejiwaan
narapidana. Dalam kenyataan dilapangan keluarga dari narapidana residivis
kerap melakukan kunjungan ke Rutan untuk memberikan motivasi dan
dukungan moril kepada narapidana residivis. Hal tersebut dirasa cukup efektif
untuk memperlancar proses pembinaan moral bagi narapidana residivis.
Hal tersebut relevan dengan pendapat pendapat C.I. Harsono (1995:
67) mengatakan bahwa:
Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam pembinaan narapidana. Dalam sistem pemasyarakatan, muncul pentingnya hubungan keluarga dengan narapidana untuk memotivasi narapidana agar tidak stres selama di lembaga pemasyarakatan. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, maka keluarga ikut serta membina narapidana dengan membangun kesadaran diri atau self development.
5) Pengawasan yang baik saat proses pembinaan berlangsung
Pengawasan yang baik saat proses pembinaan berlangsung sangat
mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan pembinaan. Pengalaman pahit yang
dirasakan oleh pihak Rutan atas pelarian narapidana residivis agaknya menjadi
perhatian petugas Rutan dalam melakukan pengawasan dan keamanan yang
lebih baik pada saat proses pembinaan berlangsung. Pengawasan dilakukan
sebagai bentuk upaya meningkatkan kedisiplinan dalam diri narapidana dan
menyadarkan narapidana residivis agar mereka tidak malas dan semaunya
sendiri dalam mengikuti pembinaan.
Berdasarkan uraian mengenai faktor pendorong keberhasilan pelaksanaan
pembinaan moral di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta dalam membentuk
good citizen maka, ternyata tidak relevan dengan C.I Harsono ( 1995: -
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
209
faktor yang mendorong yang mendorong dan menghambat pembinaan narapidara
di lembaga pemasyarakatan antara lain meliputi narapidana, petugas atau pembina,
keluarga dan sarana fisik lembaga pemasyarakatan
menyebutkan bahwa, masih ada faktor lain yang dapat mendorong keberhasilan
pelaksanaan pembinaan di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta bagi
narapidana residivis yang terkait dengan pembentukan good citizen yaitu peraturan
perundang-undangan, dana atau keuangan, dan pengawasan yang baik saat proses
pembinaan berlangsung.
b. Faktor Penghambat Pembinaan Moral terhadap Narapidana Residivis dalam
Membentuk Good Citizen di Rutan Klas 1 Surakarta
1) Perilaku narapidana residivis yang tidak baik saat mengikuti pembinaan
Masih ditemukannya perilaku narapidana residivis yang tidak baik
saat mengikuti pembinaan yang ternyata menghambat pelaksanaan pembinaan
moral. Perilaku tersebut misalnya tidak mengikuti pembinaan dengan berpura-
pura karena alasan sakit, narapidana yang malas mengikuti pembinaan dan
tidur pada saat proses pembinaan berlangsung. Perilaku narapidana residvis
tersebut ternyata mempengaruhi narapidana lainnya untuk ikut-ikutan
melakukan hal demikian.
2) Perbedaan tingkat intelektual yang dilatarbelakangi pendidikan narapidana
residivis yang rendah
Faktor perbedaan tingkat intelektual yang dilatarbelakangi pendidikan
narapidana residivis yang rendah mempengaruhi terhambatnya pelaksanaan
pembinaan yang menyebabkan sulitnya pembina memberikan materi
pembinaan secara maksimal. Masih ditemukan narapidana residivis yang tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
210
mampu baca tulis atau buta huruf yaitu sebanyak 3 orang. Hal tersebut
dikarenakan tingkat pendidikan yang rendah.
Berdasarkan uraian di atas ternyata, perilaku narapidana residivis yang
tidak baik saat mengikuti pembinaan dan perbedaan tingkat intelektual dan
latar belakang pendidikan narapidana residivis yang tidak sama dapat
menghambat pelaksanaan pembinaan moral. Kedua faktor tersebut merupakan
masalah yang berasal dari dalam diri narapidana. Hal tersebut relevan menurut
pendapat Romli Atmasasmita (1982: 15) mengatakan bahwa,
menghambat pelaksanaan pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan dapat
.
3) Terbatasnya sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan pembinaan
Sarana dan prasarana tersebut meliputi kurangnya sarana personil
(tenaga pengajar) dan kurangnya fasilitas yang mendukung kegiatan program
pembinaan.
a) Kurangnya sarana personil dan kesibukan pembina Rutan
Salah satu yang menghambat pelaksanaan pembinaan moral di
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta yang terkait dengan sarana
personil adalah kurangnya tenaga pengajar pada pembinaan kesadaran
agama seperti ustad, pastur, dan pembina kegiatan koor. Pada pembinaan
intelektual masih kekurangan tenaga pengajar seperti guru. Disisi lain, pada
pembinaan kemandirian terhambat oleh kesibukan pembina karena tidak
dapat mengisi pembinaan. Oleh sebab itu, pelaksanaan pembinaan menjadi
tidak maksimal.
Hal tersebut relevan menurut Keputusan Menteri Kehakiman
Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan
Narapidana atau Tahanan yang menyebutkan bahwa :
Kualitas dan kuantitas petugas yang kurang memadai akan menghambat pelaksanaan pembinaan Kekurangan dalam kualitas atau jumlah petugas hendaknya dapat diatasi dengan peningkatan kualitas dan pengorganisasian yang rapih, sehingga tidak menjadi faktor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
211
penghambat atau bahkan menjadi ancaman bagi pembinaan dan keamanan atau ketertiban (Ismail Sholeh, 1990: 6).
b) Kurangnya fasilitas yang mendukung kegiatan program pembinaan
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan menyebutkan bahwa
kurangnya fasilitas menjadi penghambat pelaksanaan pembinaan. Hambatan
yang terkait dengan fasilitas di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
meliputi kurangnya peralatan atau kurangnya tempat yang terkait dengan
pelaksanan pembinaan. Misalnya dalam kegiatan pembinaan kesadaran
keagamaan islam masih harus menggunakan lapangan untuk kegiatan
ceramah sebab masjid tidak bisa menampungnya dan kurangnya fasilitas
berupa Al-Q Dalam kegiatan pembinaan intelektual
kendala terkait dengan sarana yaitu ruangan perpustakaan yang sempit,
kurangnya buku-buku bacaan, bangku dan kursi. Fasilitas untuk pembinaan
kemandirian di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta masih kurang dari
segi jumlah dan kualitasnya seperti bahan baku tersebut meliputi: las, bahan
baku elektronik dan mebelair. Bahkan bahan baku juga diperoleh dari
narapidana sendiri.
Hal tersebut relevan menurut Keputusan Menteri Kehakiman
Republik Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan
Narapidana atau Tahanan Kekurangan sarana
dan fasilitas baik dalam jumlah maupun mutu telah menjadi penghambat
pembinaan bahkan telah menjadi salah satu penyebab rawannya keamanan
atau ketertiban (Ismail Sholeh, 1990: 6).
4) Belum ada peraturan tentang pola pembinaan khusus narapidana residivis.
Peraturan yang mengatur mengenai pola pembinaan khusus bagi
narapidana residivis tidak ada. Yang ada adalah pola pembinaan narapidana
secara umum (bukan residivis), sehingga dalam pelaksanaannya ditafsirkan
sama dengan pola pembinaan narapidana yang bukan residivis. Jika terdapat
pola pembinaan khusus bagi narapidana residivis mungkin, pembinaan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
212
lembaga pemasyarakatan menjadi lebih efektif. Hal tersebut relevan menurut
pendapat Rom
menghambat pelaksanaan pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan yaitu
masalah peraturan perundangan .
5) Stigma negatif masyarakat terhadap narapidana residivis
Stigma negatif masyarakat menghambat pelaksanaan pembinaan
moral di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Masyarakat masih kerap
memberikan stigma negatif terhadap narapidana residivis yang masih
mengecap citra buruk sebagai mantan penjahat. Hal tersebut menyebabkan
hilangnya rasa percaya diri sehingga melakukan tindak pidana kembali.
Melihat kondisi demikian, Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta harus
bekerja ekstra dalam memberikan pembinaan serta upaya mengembalikan rasa
percaya diri yang hilang dan citra buruk sebagai mantan penjahat.
Hal tersebut relevan menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau
Tahanan rhadap mantan narapidana
menghambat pelaksanaan pembinaan. Partisipasi masyarakat yang kurang perlu
juga ditingkatkan karena masih didapati kenyataan sebagian anggota masyarakat
masih eng (Ismail
Saleh, 1990: 6).
Berdasarkan faktor penghambat keberhasilan pelaksanaan pembinaan
moral narapidana residivis dalam membentuk good citizen di Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta maka, hal tersebut relevan dengan pendapat Romli
Atmasasmita (1982: 15) -faktor yang menghambat pembinaan narapidana
di lembaga pemasyarakatan meliputi: masalah peraturan perundangan, masalah
sarana personalia, sarana fisik lembaga pemasyara
Selanjutnya ditambahkan pula menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau
Tahanan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
213
lembaga pemasyarakatan yaitu sikap acuh keluarga narapidana, ketidakpercayaan
masyarakat terhadap mantan narapidana, kualitas dan kuantitas petugas
pemasyarakatan yang belum memadai, sarana dan prasarana yang kurang, serta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
214
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan di lapangan dan analisis yang
telah dilakukan oleh peneliti, maka dapat ditarik suatu kesimpulan guna menjawab
perumusan masalah. Adapun kesimpulan peneliti adalah sebagai berikut :
1. Moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta hanya
sebatas pemahaman moral saja. Kenyataan di lapangan diketahui bahwa, meskipun
seluruh narapidana residivis memiliki pemahaman moral sangat baik yaitu
mencapai 90% dari 10 narapidana residivis namun, ditinjau dari perasaan moral
hanya mencapai 50% dari jumlah 10 orang narapidana residivis sebab hanya 5
orang saja yang telah memiliki perasaan moral yang baik sedangkan tindakan
moral mereka juga belum terbentuk. Hal tersebut diketahui dari pengulangan
tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana residivis. Dari hasil penelitian
menyebutkan bahwa, tindak pidana terakhir yang dilakukan narapidana residivis
meliputi pencurian, penipuan, kekerasan, penggelapan dan pembunuhan. Diketahui
bahwa, ternyata narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
mengalami masalah moral sehingga melakukan pengulangan tindak pidana.
Penyebab narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana adalah faktor
intern seperti masalah kepribadian (emosi) dan juga faktor ekstern seperti
rendahnya ekonomi keluarga atau kemiskinan, kesempatan, sulitnya memperoleh
pekerjaan, lingkungan pergaulan yang buruk, dan pengaruh minuman keras.
2. Pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta merujuk kepada Keputusan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau
Tahanan yang mengacu pada sistem pemasyarakatan. Pola pembinaan terhadap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
215
narapidana residivis dilaksanakan di dalam Rutan dengan pemberian program
pembinaan kepribadian dan kemandirian. Hal tersebut nampak dalam tahapan
pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana residivis, metode pembinaan yang
meliputi: a. Metode pembinaan berdasarkan situasi sesuai dengan kebutuhan
dengan pendekatan dari atas ke bawah (top down approach), b. Metode pembinaan
dengan pendekatan dari bawah ke atas (botton up approach), c. Metode pembinaan
perorangan (individual treathment). d. Metode pembinaan secara kelompok
(classical treatment), e. Metode pembinaan dengan pendekatan latihan fisik.
Meskipun Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta telah melaksanakan
pembinaan moral berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia
M.02-PK.04 tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan yang
mengacu pada sistem pemasyarakatan, namun nampaknya pembinaan moral
terhadap narapidana residivis yang sesuai dengan tujuan pemasyarakatan dikatakan
tidak berhasil. Hal tersebut diketahui bahwa sebesar 70 % dari 10 narapidana
residivis tidak terdidik sebagai pribadi yang bermoral yang ditinjau dari kesadaran
moral dan tindakan moral mereka. Dari 10 narapidana residivis yang mempunyai
kesadaran moral hanya 4 orang (40%) sedangkan ditinjau dari tindakan moral
hanya 2 orang (20%). Fakta di lapangan menunjukkan bahwa, narapidana
residivis yang belum memiliki kesadaran moral selama pembinaan berlangsung
misalnya mengikuti pembinaan moral karena ikut-ikutan, mengikuti pembinaan
moral karena perintah dari pembina Rutan dan alasan mengikuti pembinaan
kesadaran hukum atau kesadaran agama islam karena mengisi waktu luang dari
pada menganggur. Sedangkan dari segi tindakan moral adalah narapidana residivis
belum menunjukkan perilaku yang baik selama mengikuti pembinaan yaitu malas,
membuat gaduh saat mengikuti pembinaan, mengobrol sendiri, berkelahi, tidur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
216
saat mengikuti pembinaan, pura-pura sakit sehingga tidak mengikuti pembinaan,
bahkan berusaha melarikan diri dari Rutan. Selain itu, ditinjau juga dari
meningkatnya pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana residivis
di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta selama kurun waktu 2010-2011.
Hampir semua narapidana residivis melakukan pengulangan tindak pidana padahal
mereka sebelumnya telah mendapatkan pembinaan moral selama di Rumah
Tahanan Negara Klas 1 Surakarta. Jika dikaitkan dengan tujuan akhir dari
pembinaan berdasarkan pemasyarakatan yaitu narapidana residivis mampu
memperbaiki diri, menyadari kesalahan dan menjadi warga negara yang baik
(good citizen) dan bermoral nampaknya tidak terealisasi.
3. Faktor pendorong dan penghambat pelaksanaan pembinaan moral terhadap
narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta terkait
pembentukan good citizen adalah sebagai berikut:
f. Faktor pendorong pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam
membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta meliputi:
1) Kesadaran narapidana residivis dalam mengikuti pembinaan, 2) Peraturan
perundang-undangan yang mendukung pelaksanaan pembinaan, 3) Sarana dan
prasarana yang menunjang seperti pembina pemasyarakatan dan sarana personil
yang memadai, dana atau keuangan yang menunjang kegiatan program
pembinaan, dan fasilitas yang menunjang pelaksanaan pembinaan, 4) Motivasi
dan dukungan moril dari keluarga narapidana residivis atas stigma negatif
masyarakat, dan 5) Pengawasan yang baik saat proses pembinaan berlangsung.
g. Faktor penghambat pembinaan moral terhadap narapidana residivis dalam
membentuk good citizen di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta meliputi:
1) Perilaku narapidana residivis yang tidak baik saat mengikuti pembinaan, 2)
Perbedaan tingkat intelektual yang dilatarbelakangi pendidikan narapidana
residivis yang rendah, 3). Terbatasnya sarana dan prasarana yang mendukung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
217
kegiatan pembinaan seperti kurangnya sarana personil dan kesibukan pembina
pemasyarakatan serta kurangnya fasilitas yang mendukung kegiatan program
pembinaan, 4) Belum ada peraturan tentang pola pembinaan khusus narapidana
residivis, dan 5) Stigma negatif masyarakat terhadap narapidana residivis.
B. Implikasi Berdasarkan kesimpulan atas jawaban yang telah dirumuskan di atas,
ternyata dapat menimbulkan implikasi sebagai berikut:
1. Meskipun pemahaman moral narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas
1 Surakarta dikatakan sangat baik namun hanya sebagian narapidana residivis yang
memiliki perasaan moral sedangkan tindakan moral mereka belum terbentuk sebab
masih melakukan pengulangan tindak pidana maka narapidana residivis belum
dikatakan bermoral. Hal tersebut berarti moral narapidana residivis hanya sebatas
pada pemahaman moral saja. Jika moral narapidana residivis hanya sebatas pada
pengetahuan moral maka sulit terbentuk tindakan moral sehingga kecenderungan
terjadinya pengulangan tindak pidana oleh narapidana residivis akan tetap terjadi
sebab orang dikatakan bermoral apabila dari pengetahuan moral yang dimilikinya
dapat dipalikasikan dalam tindakan moral.
2. Pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis di Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta dikatakan tidak berhasil membentuk good citizen sebab
hampir seluruh narapidana residivis belum terbentuk sebagai pribadi yang terdidik
secara moral yaitu belum menunjukkan kesadaran diri selama mengikuti
pembinaan, masih ditemukan perilaku narapidana residivis yang tidak baik, dan
masih terjadi pengulangan tindak pidana yang dilakukan narapidana residivis.
Melihat kondisi tersebut maka pembinaan yang sesuai dengan tujuan
pemasyarakatan tidak dapat terwujud.
3. Karena dalam pelaksanaan pembinaan moral terhadap narapidana residivis di
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta mengalami beberapa kendala (faktor
penghambat) mengakibatkan ketidakefektifan perbaikan moral narapidana
residivis sehingga sulit terbentuk good citizen.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
218
C. Saran
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi dari penelitian ini, maka peneliti
dapat mengemukakan saran-saran sebagai berikut:
1. Setelah mengetahui bahwa moral sebagian narapidana residivis hanya sebatas pada
pemahaman moral saja maka narapidana residivis perlu mengasah pengetahuan
moral sehingga terbentuk tindakan moral yaitu rutin mengikuti pembinaan
khsususnya pembinaan kepribadian di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta.
2. Setelah mengetahui bahwa pelaksanaan pembinaan moral di Rumah Tahanan
Negara Klas 1 Surakarta tidak berhasil membentuk narapidana residivis menjadi
pribadi yang bermoral sehingga arah pembentukan warga negara yang baik (good
citizen) menjadi tidak tercapai. Oleh sebab itu, peneliti memberikan saran-saran
sebagai berikut:
a. Bagi narapidana residivis hendaknya segera menyadari kesalahan dengan cara
lebih mendekatkan lagi kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan begitu, maka
kemungkinan untuk melakukan tindak pidana sangat kecil sebab takut dosa.
b. Pihak Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta
1) Perlu mendatangkan seorang psikiater yang profesional atau ahli spiritual
agama yang dapat membantu narapidana residivis untuk memecahkan
permasalahan dalam dirinya khususnya berkaitan dengan kondisi kejiwaan
atas kemungkinan terjadinya depresi atau masalah moral yang tidak dapat
diatasi oleh narapidana residivis sendiri. Dengan demikian, akan dapat
ditemukan solusi atau jalan keluarnya.
2) Pihak Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta perlu membuat penempatan
khusus untuk pelaksanaan pembinaan moral bagi narapidana residivis agar
disendirikan dengan narapidana lain.
3) Pihak Rutan perlu melakukan monitoring terkait pelaksanaan pembinaan
moral sejak narapidana residivis menerima program pembinaan moral
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
219
sampai berakhirnya pelaksanaan pembinaan moral tersebut. Dengan
demikian, narapidana residivis akan memperoleh pengetahuan moral yang
baik sebab hal tersebut sangat mempengaruhi tingkat kematangan
perkembangan moral mereka.
4) Pihak Rutan perlu mencoba menerapkan sebuah model pembelajaran
pendidikan kewarganegaraan yang inovatif dan menyegarkan bagi warga
binaan pemasyarakatan dimana model pembelajaran tersebut terintegrasi
dalam materi pembinaan moral sebab mengingat tujuan pendidikan
kewarganegaraan adalah membentuk masyarakat Indonesia menjadi warga
negara yang baik (good citizen).
5) Meningkatkan kerja sama dengan pihak instansi baik pemerintah maupun
swasta untuk menyalurkan narapidana agar dapat dipekerjakan sesuai
dengan bidang keahlian atau keterampilan yang dimiliki sebab masalah
pengulangan tindak pidana terletak pada ekonomi rendah dan sulitnya
narapidana memperoleh pekerjaan. Dengan mereka bekerja maka
memperkecil kemungkinan melakukan tindak pidana kembali.
c. Bagi pemerintah
1) Perlu dibuatkan kurikulum pendidikan moral yang secara khusus diterapkan
dalam lembaga pemasyarakatan.
2) Mengeluarkan kebijakan khusus tentang pola pembinaan bagi narapidana
residivis.
3) Hasil penelitian menyatakan bahwa, sebagian besar narapidana residivis di
Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta melakukan pengulangan tindak
pidana karena faktor ekonomi dan sulitnya memperoleh pekerjaan. Oleh
karena itu, pemerintah seharusnya memberikan dan memperluas lapangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
220
pekerjaan khususnya kepada eks narapidana residivis agar bekal
keterampilan yang diperoleh selama di Rumah Tahanan Negara Klas 1
Surakarta dapat bermanfaat sehingga frekuensi pengulangan tindak pidana
akan berkurang.
d. Bagi mahasiswa hendaknya ikut berpartisipasi aktif dalam hal pengabdian
masyarakat, misalnya mengajarkan materi pendidikan moral di lembaga
pemasyarakatan atau ikut berperan aktif dalam kegiatan penyuluhan-
penyuluhan baik yang dilakukan oleh aparat hukum atau lembaga masyarakat.
e. Bagi masyarakat hendaknya memberikan kesempatan kepada narapidna
residivis yang telah kembali ke dalam masyarakat dengan mellibatkan mereka
dalam kegiatan kemasyarakatan atau organisasi tertentu serta menerima
keberadaan mereka kembali dengan mambuang stigma dan asumsi negatif
tentang narapidana residivis sebagai mantan penjahat sehingga mereka dapat
menjalankan fungsi sosial sebagai anggota masyarakat.
3. Setelah mengetahui bahwa dalam pelaksanaan pembinaan moral terhadap
narapidana residivis di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Surakarta mengalami
beberapa kendala (faktor penghambat) sehingga sulit terbentuk good citizen maka,
petugas dan pembina Rutan perlu meminimalisir faktor penghambat tersebut yaitu
menambah tenaga pengajar khusus untuk membimbing narapidana residivis yang
buta huruf dan tidak bisa baca tulis, menjalin kerjasama dengan instansi yang
terkait dengan penerangan atau penyuluhan kepada masyarakat untuk
meminimalisir stigma negatif dari masyarakat, dan pembina Rutan lebih mengasah
kembali pengetahuan yang sesuai dengan disiplin ilmu misalnya dengan
menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user