PEMBENTUKAN DAN PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH … · delegasian berdasarkan UU, PP, dan/atau...
Transcript of PEMBENTUKAN DAN PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH … · delegasian berdasarkan UU, PP, dan/atau...
1
PEMBENTUKAN DAN PENCABUTAN
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPU)
1. Kewenangan Regulatori Presiden
Dalam demokrasi, dipahami bahwa kedaulatan atau kekuasaan tertinggi berada di
tangan rakyat, bukan di tangan wakil rakyat ataupun di tangan kepala negara dan kepala
pemerintahan. Inilah yang ditegaskan pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan,
“Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Dalam demokrasi, rakyat yang berdaulat itulah yang berwenang mengatur dirinya sendiri
sesuai dengan prinsip otonomi, yaitu “auto” “nomos” yang berarti mengatur dirinya sendiri,
melalui perantaraan wakil-wakilnya di DPR yang menurut Pasal 20 ayat (1) UUD 1945
merupakan pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. Sedangkan menurut Pasal 5
ayat (1) UUD 1945, Presiden hanya berhak mengajuk rancangan undang-undang kepada DPR,
bukan lagi sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang, seperti di era pra-
reformasi.1
Karena itu, pada prinsipnya, pembentukan peraturan yang mengikat untuk umum
hanya dapat dilakukan oleh rakyat melalui para wakilnya di DPR, atau dilakukan berdasarkan
perintah atau kewenangan delegasian berdasarkan undang-undang (legislative delegation of
rule-making power) atau hal-hal yang memang perlu diatur oleh pemerintah berdasarkan
atribusi kewenangan menurut Undang-Undang Dasar. Karena itu, berdasarkan UUD 1945,
Presiden sebagai kepala pemerintahan memiliki kewenangan untuk mengatur atau
“regulatory power” dalam beberapa kategori sebagai berikut:
1) Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa Presiden berhak mengajukan RUU kepada
DPR. Disamping itu, Presiden berwenang membahas bersama RUU untuk memberikan
persetujuan atau penolakan terhadap RUU menurut Pasal 20 ayat (2) dan (3) UUD 1945,
dan akhirnya berwenang pula mengesahkan RUU yang telah mendapat persetujuan
bersama itu menjadi UU sebagaimana mestinya menurut Pasal 20 ayat (4) dan (5) UUD
1945.
2) Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud oleh
Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan, “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa,
Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.
Produk hukum inilah yang biasa dinamakan PERPU yang dapat ditetapkan dalam keadaan
biasa atau dalam keadaan darurat;
3) Peraturan Pemerintah atribusian UUD 1945 sebagaimana dimaksud oleh Pasal 5 aat (2)
UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk
menjalankan undang-undang sebagaimana mestiya”. Ini merupakan kewenangan atribusi
oleh UUD, diperintahkan atau tidak oleh undang-undang, Presiden dapat menerbitkan PP
1 Sebelum Perubahan UUD 1945, Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR”. Pasal ini dengan Perubahan Pertama UUD 1945 pada tahun 1999 berubah menjadi, “Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR”, sedangkan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menjadi berbunyi, “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.
2
untuk mengisi kekosongan hukum atau untuk menjalankan undang-undang sebagaimana
mestinya.
4) Peraturan Pemerintah delegasian Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam UU No.
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jika UU
mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mengatur lebih lanjur sesuatu ketentuan
udang-undang, Presiden berwnenang menetapkan Peraturan Pemerintah berdasarkan
delegasi kewenangan oleh undang-undang (legislative delegation of rule-making power).
5) Peraturan Presiden (PERPRES) yang dapa ditetapkan oleh Presiden, baik atas dasar
delegasi pengaturan lebih lanjut berdasarkan UU atau PP, ataupun berdasarkan prinsip
“frij ermessen” dimana Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dianggap
dengan sendiri berwenang mengatur sendiri hal-hal yang (i) bersifat administratif, dan (ii
berkenaan dengan masalah internal pemerintahan dalam bentuk Peraturan Presiden.
6) Peraturan Menteri (PERMEN) sebagai produk regulasi berdasarkan kewenangan
delegasian berdasarkan UU, PP, dan/atau Perpres. Atas dasar pelimpahan atau
pendelegasian kewenangan regulatori lebih lanjut berdasarkan UU, PP atau PERPRES
tersebut di atas itulah selanjutnya dapat dilakukan sub-pelimpahan wewenang, atau sub-
delegasi kewenangan regulatori kepada Menteri, yang diidealkan sebagai pejabat dengan
kedudukan politik terendah yang dapat diberi kewenangan regulatori.
Kewenangan regulatori atau kewenangan untuk mengatur yang ada pada Presiden
sebagai kepala pemerintahan terbatas hanya sebagaimana disebut di atas. Di luar mekanisme
tersebut di atas, Presiden tidak boleh melampaui kewenangan konstitusional yang sudah
ditentukan berdasarkan UUD 1945, termasuk dalam menngunakan instrumen PERPU untuk
membuat kebijakan baru yang bersifat permanen atau bersifat sementara.
Pelimpahan wewenang regulatori kepada pejabat PNS atau ASN yang bukan pejabat
politik, juga sebaiknya ditiadakan, dilarang, dan tidak dipraktikkan lagi sebagaimana sampai
sekarang masih dipraktikkan berdasarkan pelbagai UU yang sesungguhnya bertentangan
dengan prinsip UUD 1945. Pejabat ASN adalah pelayan, bukan pejabat pembubat hukum
yang menentukan hak dan kewajiban warga negara dalam lalu lintas hukum.
Selain itu, keseluruhan sistem hierarki peraturan perundang-undangan di atas harus
bersifat konsisten, tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang berada di atasnya.
Norma hukum yang lebih tinggi itulah yang mempresuposisikan validitas norma hukum yang
ada di bawahnya. Karena itu, PERMEN tidak boleh bertentangan dengan PERPRES, PERPRES
tidak boleh bertentangan dengan PP, dan PP tidak boleh bertentangan dengan UU.
Sedangkan UU dan PERPU tidak boleh bertentangan dengan UUD, kecuali PERPU untuk dan
dalam keadaan darurat yang diperbolehkan untuk sementara waktu yang terbatas dan
terawasi dengan ketat mengesampingkan atau menangguhkan keberlakuan suatu ketentuan
UUD 1945 untuk maksud mengatasi keadaan bahaya hingga menjadi pulih kembali
berdasarkan ketentuan Pasal 12 UUD 1945.
Namun, sebagaimana telah dikemukakan di atas, PERPU No. 1 Tahun 2020 ini tidak
dapat dikategorikan sebagai PERPU untuk dan dalam keadaan darurat dimaksud, karena sama
sekali tidak merujuk kepada ketentuan Pasal 12 UUD 1945. Ketentuan Pasal 12 ini
3
menyatakan, “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan
bahaya ditetapkan dengan undang-undang”. Dari Pasal 12 ini dapat diketahui bahwa:
1) Syarat-syarat dan akibat hukum keadaan bahaya itu ditetapkan dengan undang-undang
dalam pengertian bahwa pernyataan keadaan bahaya itu ditetapkan dengan undang-
undang disertai pengaturan mengenai kebijakan-kebijakan khusus yang diberlakukan
untuk mengatasi masalah dan mengembalikan keadaan menjadi pulih seperti keadaan
semula; dan
2) Syarat-syarat dan akibat hukum keadaan bahaya itu perlu diatur lebih lanjut dalam dan
dengan undang-undang yang tersendiri. Sampai sekarang, Undang-Undang yang masih
berlaku mengenai hal ini adalah UU No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, tetapi
isinya banyak yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, termasuk dengan
ketentuan baru UUD 1945 pasca Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga, dan Keempat pada
tahun 1999-2002.
2. Tentang PERPU
Coba perhatikan baik-baik apa sesungguhnya yang selama ini kita pahami sebagai
PERPU atau kadang-kadang ditulis PERPPU. PERPU adalah singkat perkataan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagai nama yang diberikan Undang-Undang sejak
zaman Orde Lama, Orde Baru, dan sampai sekarang di masa sesudah Reformasi untuk
menyebut mengenai peraturan pemerintah yang digunakan sebagai pengganti undang-
undang makakala Presiden perlu memberlakuan kebijakan baru yang dibentuk dengan
undang-undang tetapi oleh karena pertimbangan kegentingan yang memaksa, peraturan itu
belum sempat dimintakan persetujuannya kepada DPR, sehingga dipandang cukup untuk
sementara waktu dituangkan dulu dalam bentuk peraturan pemerintah pengganti undang-
undang yang dinamakan PERPU. Karena itu, sebenarnya, PERPU itu berbentuk Peraturan
Pemerintah.
Hal ini sangat terang dari rumusan UUD 1945 sendiri, yaitu pada Pasal 22 ayat (1), (2),
dan (3), yang menyatakan:
(1) Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang;
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang
berikut;
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Dari ketentuan Pasal 22 tersebut, yang dinamakan PERPU tidak lain merupakan
Peraturan Pemerintah, tetapi berisi kebijakan normatif yang merupakan materi muatan
undang-undang yang seharusnya dibentuk atas persetujuan bersama oleh DPR dengan
Presiden sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945. Namun, oleh karena
kegentingan yang memaksa itu, maka berdasarkan ketentuan Pasal 22 di atas, materi undang-
undang itu dituangkan dulu dalam bentuk PERPU. UUD 1945 sendiri tidak menyebutkan nama
resmi dari peraturan jenis ini, karena pada tahun 1945, hal ini belum tuntas dibahas oleh para
4
perumus UUD 1945. Bahkan, ketika Soepomo dan kawan-kawan kembali terlibat Menyusun
naskah Konstitusi RIS Tahun 1949, penamaan peraturan ini baru dibuat baku dalam rumusan
Konstitusi RIS, yaitu dinamakan undang-undang darurat, yaitu undang-undang yang dibentuk
untuk dan dalam keadaan darurat. Bahkan nama yang sama terus dipakai ketika Soepomo
dan kawan-kawan kembali dipercaya Menyusun UUDS Tahun 1950.
Artinya, dari awal pembentukan UUD 1945, sebenarnya, yang dimaksudkan dengan
peraturan pemerintahan sebagai pengganti undang-undang dalam rumusan Pasal 22 UUD
1945 itu tidak lain adalah undang-undang darurat, yaitu undang-undang yang dibentuk untuk
dan dalam keadaan darurat atau keadaan bahaya sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal
12 UUD 1945. Karena itu, kandungan pengertian mengenai peraturan pemerintah sebagai
pengganti undang-undang yang dimaksud dalam Pasal 22 UUD 1945 harus dibaca dalam
kaitannya dengan ketentuan mengenai keadaan bahaya yang diatur dalam Pasal 12 UUD
1945. Keduanya jangan dipisahkan.
Namun, dalam praktik sejak zaman Presiden Seokarno, Presiden Soeharto dan
seterusnya, telah terbentuk pengertian dan dikembangkan praktik adanya bentuk hukum
tersendiri bernama PERPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) sebagai
undang-undang yang dibentuk dalam keadaan genting yang memaksa, sehingga belum dapat
dimintakan persetujuannya kepada DPR. Maka jadilah setiap Presiden telah memproduksi
begitu banyak PERPU. Selain Presiden Soekarno, yang dapat dikatakan paling banyak
menerbitkan PERPU adalah Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Karena itu, saya namakan
bahwa hal ini sudah menjadi konvensi ketatanegaraan (constitutional convention) yang secara
implisit juga berarti telah mengembangkan pengertian baru mengenai ketentuan UUD 1945
berkenaan dengan pengertian pemerintah pemerintah pengganti undang-undang ini sebagai
produk konstitusional yang sah dan setara kedudukannya dengan undang-undang.
Namun dengan dikembangkannya pengertian PERPU sebagai UU sementara tersebut,
tidak berarti bahwa PERPU yang terkait dengan ketentuan Pasal 12 UUD 1945 menjadi tidak
ada. PERPU yang dibentuk untuk dan dalam keadaan bahaya menurut Pasal 12 UUD 1945
tetap harus dipahami secara berbeda dan tersendiri dari pengertian PERPU biasa tersebut.
Kedua tipe PERPU ini akan dibahas tersendiri pada bagian setelah ini. Yang jelas, keduanya
harus diakui ada dan sah secara konstitusional. Yang satu sah adanya karena memang
ditentukan keberadaannya menurut UUD 1945, yaitu untuk menetapkan berlakunya keadaan
bahaya disertai pengaturan mengenai kebijakan-kebijakan yang khusus untuk dipergunakan
dalam rangka mengatasi keadaan darurat. Sedangkan yang kedua, timbul dari penafsiran di
kemudian hari dan tumbuh dalam praktik menjadi konvensi ketatanegaraan yang juga
merupakan salah satu bentuk perubahan konstitusi tidak secara formal (formal amendment)
melainkan melalui konvensi ketatanegaraan (constitutional convention) yang menurut para
ahli seperti C.F. Strong juga dianggap sah sebagai salah satu metode perubahan konstitusi
modern.
Namun, di samping itu, perlu juga dijelaskan bahwa dari uraian mengenai hakikat
bentuk PERPU sebagai peraturan pemerintah tersebut di atas, kita dapat membedakan antara
bentuk hukum dan materi norma yang terdapat dalam suatu peraturan. Bentuk PERPU adalah
Peraturan Pemerintah (PP), tetapi kandungan materinya adalah materi Undang-Undang (UU).
5
Karena itu, kita mesti waspada mengenai pembedaan antara bentuk dan isi dalam teori dan
praktik. Secara teoritis, dapat saja terjadi, bahwa materi norma yang hendak diberlakukan
adalah materi undang-undang, tetapi oleh Pemerintah (di masa entah kapan) dituangkan
dalam bentuk Peraturan Pemerintah saja, ataupun dalam bentuk Peraturan Presiden. Hal
yang sama mungkin saja terjadi, ada materi kebijakan normatif yang seharusnya dituangkan
dalam bentuk Peraturan Daerah (PERDA), tetapi oleh Kepala Daerah dituangkan dalam
bentuk Peraturan Kepala Daerah (PERKADA). Jikalau DPR, dan DPRD yang bersangkutan tidak
aktif melakukan fungsi pengawasan normatif yang bersifat substantif mengenai pembentukan
peraturan, yang seharusnya merupakan peraturan pelaksana saja dari undang-undang atau
peraturan daerah, maka produk-produk “executive acts” tersebut akan berjalan sangat lancer
dengan mengabaikan peran legislasi lembaga perwakilan rakyat di tingkat pusat ataupun di
tingkat daerah.
Karena pengertian mengenai “wet in formeele zin” dan “wet in materiele zin” penting
untuk dipahami dengan baik, sehingga konteks materi dengan bentuk hukumnya dapat
dibedakan dengan benar. Dalam menjalankan fungsi pengujian pun, baik para hakim di
lingkungan Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung juga harus benar-benar awas
dengan keduanya, sehingga tidak tergesa-gesa menentukan sikap terhadap permohonan
pengujian yang diajukan kepadanya. Jangan hanya karena bentuk formalnya adalah peraturan
di bawah undang-undang, Mahkamah Konstitusi serta merta menyatakan tidak berwenang
menguji sesuatu peraturan yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Bahkan pun suatu
Peraturan Daerah dapat saja merupakan peraturan yang secara formal di bawah UU tetapi
secara materiel, mempunyai karakteristik sebagai materi undang-undang, karena misalnya
mengatur hal-hal yang berkenaan dengan hak-hak asasi manusia yang merupakan ranah
pengaturan oleh UUD 1945.
3. Dua Tipe PERPU
Banyak orang yang salah mengerti mengenai hakikat PERPU dan gagal memahami
perbedaan antara dua tipe PERPU dalam sistem konstitusi kita berdasarkan UUD 1945.
Keduanya harus dibedakan, yaitu:
1) PERPU sebagai undang-undang biasa yang bersifat sementara, karena kegentingan yang
memaksa belum mendapat persetujuan DPR berdasarkan Pasal 22 UUD 1945;
2) PERPU untuk dan dalam kondisi negara dalam keadaan darurat atau keadaan bahaya
menurut Pasal 12 jo Pasal 22 UUD 1945.
Perpu yang pertama dimaksudkan sebagai pengganti undang-undang pada umumnya,
yang diniatkan untuk berlaku permanen sebagai undang-undang biasa. PERPU tipe pertama
ini berisi kebijakan-kebijakan yang penting untuk segera dituangkan dalam bentuk UU, tetapi
oleh karena kegentingan yang memaksa, tidak tersedia cukup waktu untuk mengajukan,
membahas, dan mendapatkan persetujuan bersama dengan DPR-RI guna mengesahkannya
menjadi undang-undang. Karena itu, untuk sementara waktu, kebijakan-kebijakan baru
dimaksud dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-
Undang atau PERPU untuk sementara waktu, sampai persetujuan DPR dapat diperoleh
6
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Oleh karena statusnya adalah
undang-undang biasa pada umumnya, tentu saja, PERPU tipe pertama ini dapat saja
mengubah pelbagai ketentuan dalam undang-undang lain dan bahkan mempraktikkan
metode “omnibus” untuk mengubah banyak undang-undang secara sekaligus, asalkan
materinya tidak bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sedangkan PERPU tipe kedua tidak dimaksudkan untuk berlaku permanen, melainkan
hanya untuk sementara waktu selama keadaan darurat. PERPU tipe kedua ini: (i) dapat
dipakai sebagai sarana pemberlakuan keadaan darurat, dan sekaligus (ii) sebagai sarana
penuangan kebijakan hukum yang bersifat khusus untuk mengatasi dan menaggulangi
masalah-masalah yang timbul dalam keadaan bahaya atau darurat; serta (iii) sebagai sarana
untuk memulihkan keadaan sehingga kembali kepada keadaan semula menurut sistem
hukum yang normal; dan (iv) pengaturan tentang pencabutan atau berakhirnya keadaan
darurat disertai pengaturan mengenai segala akibat hukum setelah keadaan bahaya atau
darurat dinyatakan berakhir, dalam Ketentuan Peralihan atau Ketentuan Penutup. Bahkan
dalam statusnya sebagai produk hukum yang bersifat sementara untuk dan dalam keadaan
darurat tersebut, tindakan pemerintahan dalam keadaan darurat itu (Emergency Powers)
dapat menangguhkan atau mengesampingkan pelbagai ketentuan undang-undang lain dan
bahkan menangguhkan berlakukan pasal-pasal tentang hak asasi manusia dan lain-lain yang
telah ditentukan dan dijamin oleh UUD 1945. Tindakan mengensampingkan atau
menangguhkan berlakunya undang-undang lain, atau bahkan ketentuan UUD 1945, sama
sekali tidak dapat dilakukan oleh PERPU tipe pertama, karena pada hakikatnya, PERPU tipe
pertama adalah undang-undang biasa yang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.
Pembedaan kedua macam PERPU juga berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman.
Dalam praktik di Amerika Serikatpun perkembangan semacam ini, juga dialami, sehingga
sampai sekarang diakui adanya 2 macam undang-undang, yang satu dalam keadaan darurat,
dan yang lain bukan dalam keadaan darurat tetapi cara pembentukannya dilakukan
berdasarkan prinsip kegentingan yang memaksa sebagaimana praktik di Indonesia. Bahkan
peraturan di bawah undang-undang pun dapat dibentuk menurut tatacara yang tidak lazim,
meskipun bukan dalam keadaan darurat. Misalnya, dalam studi yang dilakukan oleh Abbe R.
Gluck, Anne Joseph O’Connell, dan Rosa Po, juga tergambar adanya praktik yang tidak
konvensional dalam pembentukan hukum, terutama dalam proses pembentukan peraturan di
bawah undang-undang yang diberi pengecualian dengan putusan “judicial review” oleh
pengadilan federal berdasarkan prinsip “good cause exception”, yaitu untuk tidak mengikuti
ketentuan procedural yang dinilai terlalu kaku dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan yang mendesak dibutuhkan untuk kepentingan umum.2 Hal itu disebut
juga sebagai “emergency rule-making”, meskipun bukan dalam kondisi negara dalam keadaan
darurat.
Dengan demikian, ada undang-undang atau peraturan yang dapat ditetapkan dalam
keadaan darurat, dan ada pula undang-undang atau peraturan yang bersifat khusus yang
diperkenankan menyimpang dari prosedur pembentukan yang biasa, meskipun bukan dalam
2 Abbe R. Gluck, Anne Joseph O’Connell, dan Rosa Po, “Unorthodox Lawmaking, Unorthodox Reulemaking”, Columbia Law Review, Volume 115, No. 7, 2020.
7
keadaan darurat, melainkan hanya karena alas an kegentingan yang memaksa sebagaimana
praktik di Indonesia. Artinya, PERPU juga dapat dilihat dari dua keadaan, yaitu PERPU yang
dibentuk ketika negara berada dalam keadaan darurat, dan ada pula PERPU yang biasa, yang
ditetapkan bukan dalam keadaan darurat yang bersifat sementara, tetapi karena kegentingan
yang memaksa ditetapkan sebagai undang-undang yang bersifat sementara sampai
mendapat persetujuan DPR sehingga resmi berubah menjadi undang-undang yang berlaku
untuk kepentingan permanen.
4. Pemberlakuan PERPU
Bagaimanakah prosedur pemberlakuan PERPU? Secara sederhana, kapan saja,
Presiden menganggap adanya kebutuhan yang sangat mendesak dan tidak dapat ditunda
mengenai suatu kebijakan pemerintahan yang perlu dijalankan, namun, jika dilaksanakan
dengan tanpa lebih dulu mengaturnya dengan undang-undang, maka kebijakan tersebut akan
melanggar undang-undang, maka timbul kebutuhan nyata untuk membentuk undang-undang
baru. Namun, dalam waktu yang tersedia, dinilai tidak cukup waktu untuk membentuk
undang-undang menurut tatacara yang biasa, sehingga dalam keadaan kegentingan yang
memaksa itu, berlakulah ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang memberikan
kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang (PERPU). Dengan demikian, pemberlakuan PERPU itu dapat dilakukan secara
sepihak oleh Presiden kapan saja menurutnya hal itu dibutuhkan, dengan catatan bahwa
PERPU itu hanya bersifat sementara sampai pada persidangan DPR berikutnya, hal itu
diajukan oleh Presiden untuk selanjutnya apabila telah mendapat persetujuan bersama oleh
DPR-RI sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, maka PERPU itu akan berubah
menjadi UU. Jika tidak disetujui, maka PERPU itu harus dicabut sesuai dengan ketentuan Pasal
22 ayat (3) UUD 1945.
Oleh karena PERPU adalah produk hukum Presiden, maka naskah PERPU ditulis dalam
Kepala Surat Presiden Republik Indonesia, belum dalam bentuk Undang-Undang. Penomeran
PERPU juga belum didasarkan atas penomeran undang-undang sebagaimana yang sudah
diundangkan dalam Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara. Namun, oleh karena
tipe PERPU, sebagaimana digambarkan diatas ada dua macam, yaitu PERPU dalam keadaan
biasa tetapi memenuhi syarat kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 UUD 1945, dan
PERPU yang ditetapkan untuk dan dalam keadaan darurat menurut Pasal 12 UUD 1945, maka
pemberlakuan keduanya juga memerlukan penjelasan yang berbeda.
PERPU pertama, sepenuhnya dimaksudkan sebagai undang-undang yang bersifat
sementara, sampai disetujui bersama oleh DPR, dengan sendirinya akan berubah menjadi
undang-undang sebagaimana mestinya dengan muatan kebijakan yang juga akan berlaku
permanen sesuai dengan undang-undang pada umumnya. Sedangkan PERPU tipe kedua
adalah PERPU yang ditetapkan untuk dan dalam keadaan darurat. Maksud, PERPU itu
ditetapkan (i) untuk memberlakukan keadaan darurat dengan kebijakan-kebijakan yang
bersifat khusus dan berjangka waktu sementara sampai keadaan darurat berakhir, dan (ii)
dalam keadaan darurat yang sudah dideklarasikan oleh Presiden sebagaimana mestinya
sesuai dengan ketentuan Pasal 12 UUD 1945.
8
Karena itu, penetapan PERPU tipe kedua ini dapat dilakukan dengan didahului atau
secara bersama dengan Keputusan Presiden yang mendeklarasikan perubahan keadaan dari
keadaan normal kepada keadaan darurat menurut Pasal 12 UUD 1945 dan UU tentang
Keadaan Bahaya. Bahkan, selain Keppres dan PERPU, dapat pula ditambah dengan Instruksi
Presiden (INPRES) yang lebih operasional memandu pelaksanaan oleh lembaga-lembaga
pelaksana di lapangan. Dengan demikian, ada 3 instrumen hukum yang dapat ditetapkan
sekaligus ada hari yang sama, yaitu:
1) Keppres yang mendeklarasikan keadaan darurat;
2) PERPU yang berisi kebijakan-kebijakan yang bersifat sementara yang dapat menangguhkan
berlakunya pelbagai undang-undang, termasuk kebijakan khusus yang menangguhkan hak
asasi manusia atau berlakunya ketentuan tertentu dalam UUD 1945 untuk sementara
waktu sampai keadaan pulih kembali;
3) INPRES yang memandu pelaksanaan operasional dan arahan-arahan teknis bagi lembaga-
lembaga atau instansi-instansi pelaksana, baik di tingkat pusat provinsi, maupun
kabupaten dan kota di seluruh Indonesia.
Bahkan, ketika sejak awal menghadapi ancaman Covid-19, UU No. 23 Tahun 1959
tentang Keadaan Bahaya yang merupakan undang-undang peninggalan zaman Orde Lama
yang masih berlaku sampai sekarang yang mejabarkan ketentuan Pasal 12 UUD 1945 sebagai
satu-satunya ketentuan mengenai keadaan darurat dalam UUD 1945, seharusnya juga ikut
diubah dengan PERPU yang tersendiri, yaitu PERPU tentang Keadaan Darurat atau Bahaya.
Dengan demikian, pada waktu yang sama dapat ditetapkan 4 instrumen hukum sekaligus,
yaitu:
1) PERPU tentang Keadaan Bahaya;
2) Keputusan Presiden tentang Keadaan Bahaya Covid-19;
3) PERPU tentang Covid-19;
4) INPRES tentang Penanganan Covid-19.
Khusus mengenai instrumen pemberlakuan keadaan darurat dan pengakhiran atau
pencabutan keadaan darurat dapat diperdebatkan mengenai dua kemungkinan instrumen,
yaitu (i) dengan Undang-Undang, atau (ii) dengan Keputusan Presiden. Pasal 12 UUD 1945
menentukan, “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan
bahaya ditetapkan dengan undang-undang”. Dengan instrumen hukum tertulis berbentuk
apakah, Presiden menyatakan keadaan bahaya? Dalam rumusan Pasal 12 UUD 1945 tersebut
terdapat 2 hal, yaitu: (i) Yang menyatakan atau mendeklarasikan keadaan bahaya itu adalah
Presiden, baik untuk menyatakan mulai berlakunya maupun untuk menyatakan berakhirnya
keadaan bahaya itu; (ii) ketentuan mengenai syarat-syarat dan akibat hukum keadaan darurat
itu ditetapkan dengan undang-undang, dalam pengertian bahwa hak itu (a) secara umum
“diatur dengan undang-undang”, dan (b) secara kasuistik ditetapkan dengan “undang-
undang” yang khusus diberlakukan untuk dan selama keadaan darurat yang bersangkutan
disertai pengaturan tentang kebijakan-kebijakan khusus yang ditentukan untuk mengatasi
keadaan dan selama keadaan bahaya tersebut.
9
Dengan demikian, pernyataan “ditetapkan dengan undang-undang” dalam rumusan
Pasal 12 itu dapat saja ditafsirkan terbagi ke dalam dua pengertian umum dan khusus, yaitu
(i) Undang-Undang yang akan mengatur ketentuan umum mengenai keadaan darurat, dan (ii)
Undang-undang yang ditetapkan khusus untuk memberlakukan keadaan darurat dan
mengatur kebijakan khusus untuk dan selama keadaan darurat atau bahaya tersebut.
Namun,undang-undang kategori kedua ini karena kegentingan yang memaksa, dituangkan
sementara dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.
Dalam kalimat kedua rumusan Pasal 12 tersebut jelas dinyatakan bahwa “syarat-
syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”. Artinya, yang
ditetapkan dengan undang-undang itu adalah “syarat dan akibatnya keadaan bahaya”.
Syaratnya apa dan akibatnya apa itu yang “ditetapkan dengan undang-undang”. Perkataan
“ditetapkan” disini dapat pula dipahami mengandung makna “diatur dengan undang-
undang”, yaitu mengenai apa saja syarat-syarat dan apa pula akibat-akibat permberlakuan
keadaan bahaya itu harus diatur dengan undang-undang. Dengan demikian dapat diartikan
bahwa pernyataan berlakunya keadaan darurat atau bahaya tersebut tidak harus terdapat
dalam undang-undang yang bersangkutan, melainkan cukup dituangkan dalam bentuk
keputusan administrasi saja, yaitu Keputusan Presiden, tetapi pengaturan mengenai syarat
dan akibatnya keadaan bahaya itu diatur lebih dulu dengan atau dalam undang-undang. Hal
ini jelas dari kalimat pertama yang menentukan bahwa Presiden menyatakan keadaan
bahaya. Artinya, pernyataan keadaan bahaya itu bukan di dalam undang-undang yang
mengharuskan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, melainkan cukup dinyatakan
oleh Presiden saja.
Dengan demikian, pernyataan bahwa syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya
“ditetapkan dengan undang-undang” lebih tepat dipahami dalam pengertian “diatur dengan
undang-undang”. Undang-undang yang dimaksud dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu
(i) undang-undang yang mengatur keadaan bahaya secara umum, dan (ii) undang-undang
yang secara spesifik mengatur kebijakan khusus untuk dan dalam keadaan darurat kasus per
kasus, hingga keadaan darurat itu pulih kembali. Undang-undang kategori kedua ini, oleh
karena keadaan yang genting dan memaksa, dapat dituangkan lebih dulu dalam bentuk
PERPU keadaan darurat. Sedangkan undang-undang yang berlaku umum dapat juga diubah
dalam suasana keadaan darurat, sehingga perubahannya juga dapat dilakukan dalam bentuk
PERPU. Misalnya, UU No. 23 Tahun 1959 pada mulanya juga adalah PERPU. Jika dalam
suasana krisis Covid-19 dewasa ini, UU No, 23 Tahun 1959 itu hendak diperbaiki agar lebih
sesuai dengan perkembangan zaman terutama setelah terjadinya Perubahan UUD 1945,
maka UU No. 23 Tahun 1959 itu dapat saja diperbaiki atau diubah, atau bahkan diganti
dengan undang-undang baru yaitu dengan PERPU tentang Keadaan Bahaya sebagai
penjabaran dari ketentuan Pasal 12 UUD 1945.
Dengan demikian, untuk menghadapi ancaman bahaya Covid-19, sudah seharusnya
Pemerintah menerbitkan (i) Keputusan Presiden yang menyatakan berlakunya Keadaan
Bahaya Covid-19; (ii) PERPU tentang Keadaan Bahaya sebagai penjabaran Pasal 12 UUD 1945
yang dimaksud untuk mengubah atau menggantikan UU No. 23 Tahun 1959; (iii) PERPU
10
tentang Penanggulangan Bahaya Covid-19 Tahun 2020 yang berisi kebijakan-kebijakan khusus
yang menyimpang untuk semenara waktu dari pelbagai ketentuan Undang-Undang yang
berlaku untuk maksud mengatasi keadaan darurat sampai keadaan biasa pulih kembali; dan
ditambah dengan (iv) Instruksi Presiden (INPRES) tentang Upaya Penanggulangan Bahaya
Covid-19 yang berisi kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah teknis operasional
penanggulangan keadaan bahaya Covid-19 oleh seluruh jajaran organ pemerintahan pusat
dan daerah di seluruh Indonesia.
5. Pengajuan Rancangan dan Pencabutan PERPU
Menurut UU No. 12 Tahun 2011 jo UU MD3, pencabutan PERPU dilakukan dengan
UU. Ini tidak tepat dan sudah seharusnya diperbaiki. PERPU ditetapkan secara sepihak oleh
Presiden, maka pencabutannya seharusnya juga cukup dilakukan secara sepihak oleh
Presiden sendiri, yaitu dicabut secara administratif dengan Keputusan Presiden (Keppres)
sebagai produk administrasi. Namun, dalam Pasal 52 UU No. 12 Tahun 2011, ditentukan
bahwa:
(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam
persidangan yang berikut;
(2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang
penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang;
(3) DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
(4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang mendapat persetujuan DPR
dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut
ditetapkan menjadi UndangUndang;
(5) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang tidak mendapat
persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku;
(6) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus
dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden
mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang;
(7) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum
dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
(8) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi Undang-
Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam
rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Menurut ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, sebagaimana diulangi lagi oleh Pasal
52 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, PERPU harus mendapat persetujuan DPR-RI paling lambat
11
dalam persidangan yang berikut. Dalam Penjelasan Pasal 52 Ayat (1) ini, ditegaskan bahwa
“Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan.” Karena itu, Presiden harus
mengajukan PERPU yang ditetapkannya untuk disetujui atau ditolak oleh DPR secepatnya,
sebelum masa sidang berikutnya tersebut. Menurut Pasal 52 ayat (2) UU tersebut,
“Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang”.
Artinya, setelah menetapkan PERPU, Pemerintah segera harus menyusun Rancangan
UU tentang penetapan PERPU itu menjadi undang-undang. Hal yang sama harus dilakukan
jika PERPU itu tidak mendapat persetujuan dalam rapat paripurna DPR, yaitu DPR atau
Pemerintah harus mengajukan Rancangan UU tentang Pencabutan PERPU sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (6). Rancangan UU tentang Pencabutan PERPU itu ditetapkan
menjadi undang-undang dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat
(5), yaitu yang menyatakan, “Dalam hal PERPU tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat
paripurna, PERPU tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku”. Dengan
demikian, rapat paripurna DPR yang menyatakan menolak PERPU, dan yang menyatakan
mencabut PERPU serta menetapkan UU tentang pencabutannya adalah rapat paripurna yang
sama. Karena itu, dalam sidang atau rapat paripurna yang dimaksud, Rancangan UU tentang
Pengesahan PERPU dan Rancangan UU tentang Pencabutan PERPU sudah harus siap dan
tersedia untukditetapkan dalam rapat paripurna DPR-RI yang tersebut.
Jika ketentuan demikian ditaati, maka tidak perlu ada kekuatiran mengenai berlarut-
larutnya mekanisme penetapan PERPU menjadi UU ataupun pencabutannya sebagai
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, kelemahan aturan tersebut dapat
dilihat dari segi administrasi. Pertama, PERPU sama sekali belum diundangkan dalam
Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara, tetapi ketika dicabut dengan UU, maka
dengan sendirinya pencabutannya itu akan diundangkan dalam Lembaran Negara dan
Tambahan Lembaran Negara. Pengaturan demikian jelas tidak tepat. Kedua, PERPU
ditetapkan secara sepihak oleh Presiden, maka seharusnya, pencabutannya juga cukup
dilakukan secara sepihak oleh Presiden sebagai pejabat yang menetapkan berlakunya.
Presiden yang menetapkan dan Presiden pula yang harus mencabutnya. Kewenangan kontrol
oleh DPR sudah cukup dengan kewenangannya untuk menyatakan mennyetuji atau tidak
menyetujuiPERPU itu, sedangkan selebihnya, cukup Presiden yang menetapkan
pencabutannya. Ketiga, pencabutan dilakukan dengan undang-undang, berarti pencabutan
harus dilakukan secara bersama-sama oleh Presiden dan DPR melalui persidangan di DPR.
Mekanisme demikian jelas melanggar ketentuan UUD 1945 yang menentukan bahwa “Dalam
hal ikhwal kegentingan yang memaksa Presiden berhak menetapkan peratruan pemerintah
sebagai pengganti undang-undang”. Karena itu, jika PERPU ditolak oleh DPR, sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 22 ayat (3) UUD 1945 junctis Pasal 52 ayat (4) dan (5) UU No. 12 Tahun
2011.
Karena itu, pencabutan PERPU yang sudah dinyatakan ditolak atau tidak mendapat
persetujuan oleh DPR, cukup dituangkan dalam bentuk keputusan yang ditandatangani oleh
12
Presiden sebagai pejabat yang menetapkan PERPU itu. Artinya, pencabutan PERPU cukup
dilakukan dengan keputusan administrasi saja, bukan dalam bentuk produk regulasi ataupun
legislasi. Pelbagai ketentuan mengenai pembentukan dan pencabutan PERPU ini seharusnya
memang perlu diatur tersendiri. Karena itu, dalam Pasal 53 UU No. 12 Tahun 2011 juga
ditentukan bahwa “Ketentuan mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang diatur dengan Peraturan Presiden.” Dengan
perkataan “diatur dengan Peraturan Presiden” tersebut menunjukkan bahwa sudah
semestinya ada Peraturan Presiden yang tersendiri mengatur mengenai soal PERPU ini.
Sayangnya, sampai sekarang Perpres yang dimaksud belum dibentuk. Yang ada adalah
Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Peraturan Perundang-Undangan (LNRI Tahun 2014 No. 199). Namun, Perpres ini tidak
mengatur secara tersendiri mengenai PERPU, melainkan mengatur pelaksanaan UU No. 12
Tahun 2011 secara umum. Padahal, UU No. 12 Tahun 2011 mengamanatkan untuk
disusunnya Peraturan Presiden yang tersendiri mengenai PERPU. Seyogyanya, hal-hal yang
bersifat administratif mengenai perancangan, pengajuan, persetujuan menjadi UU, dan
pencabutan PERPU diatur tersendiri dengan Peraturan Presiden sesuai dengan amanat Pasal
53 UU No. 12 Tahun 2011.
Di dalamnya, sebaiknya diatur mengenai format rumusan PERPU, dan mekanisme
penetapan dan pengajuannya oleh Presiden kepada DPR dengan maksud untuk dibahas guna
mendapatkan keputusan diterima atau ditolak oleh DPR. Dalam hal PERPU disetujui oleh DPR
juga perlu diatur bagaimana format PERPU diubah menjadi format UU. Sebagai
perbandingan, mungkinkah naskah PERPU disetarakan dengan naskah Konvensi Internasional,
dan naskah RAPBN yang dituangkan menjadi undang-undang dengan selembar naskah
dengan lampiran. UU yang ditetapkan oleh DPR hanya berupa lembaran naskah UU,
sedangkan naskah APBN dan Konvensi Internasional ditempatkan sebagai lampiran UU yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari naskah UU itu sendiri. Demikian pula dengan UU
yang ditetapkan oleh DPR cukup 1 lembar saja, sedangkan PERPU dijadikan lampiran yang
tidak terpisahkan dengan UU. UU itu menyatakan pesetujuan DPR dan menetapkan PERPU
tersebut berlaku sebagai UU. Sedangkan jika PERPU itu ditolak, maka DPR cukup menetapkan
1 lembaran Keputusan DPR yang menyatakan menolak, sehingga atas dasar itu, Presiden
menetapkan Keputusan Presiden yang menyatakan mencabut PERPU yang bersangkutan.
Dengan demikian, dapat dibedakan dengan jelas dan tegas di antara fungsi-fungsi atau
kewenangan kelembagaan, dan di antara produk hukum keputusan legislasi atau regulasi, dan
produk hukum keputusan administrasi. PERPU sebagai produk regulasi ditetapkan oleh
Presiden sampai mendapat persetujuan oleh DPR, berubah statusnya menjadi UU. Tetapi UU
yang ditetapkan oleh DPR itu cukup dalam bentuk lembaran UU sebagaimana UU APBN atau
UU Konvensi Internasional. Karena itu, format PERPU tidak perlu diubah lebih dulu dalam
bentuk RUU. Karena keputusan yang dibutuhkan dari DPR hanya 2 kemungkinan pernyataan,
yaitu (i) menyetujui PERPU menjadi UU atau (ii) menolak atau tidak menyetujui PERPU
menjadi UU. Karena itu, pernyataan menerima cukup dituangkan dalam kertas keputusan
yang berlaku sebagai UU, sedangkan jika DPR menolak, maka pernyataan penolakan itu tidak
perlu berbentuk UU, melainkan cukup dalam risalah rapat ditegaskan menolak atau
dituangkan dalam bentuk keputusan tersendiri yang menyatakan menolak PERPU, sehingga
13
atas dasar itu, Presiden mencabut PERPU dengan menetapkan Keputusan Presiden yang
mencabut PERPU tersebut secara administratif.