PEMBENTUKAN DAN PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH … · delegasian berdasarkan UU, PP, dan/atau...

13
1 PEMBENTUKAN DAN PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPU) 1. Kewenangan Regulatori Presiden Dalam demokrasi, dipahami bahwa kedaulatan atau kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, bukan di tangan wakil rakyat ataupun di tangan kepala negara dan kepala pemerintahan. Inilah yang ditegaskan pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dalam demokrasi, rakyat yang berdaulat itulah yang berwenang mengatur dirinya sendiri sesuai dengan prinsip otonomi, yaitu “auto” “nomos” yang berarti mengatur dirinya sendiri, melalui perantaraan wakil-wakilnya di DPR yang menurut Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 merupakan pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. Sedangkan menurut Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, Presiden hanya berhak mengajuk rancangan undang-undang kepada DPR, bukan lagi sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang, seperti di era pra- reformasi. 1 Karena itu, pada prinsipnya, pembentukan peraturan yang mengikat untuk umum hanya dapat dilakukan oleh rakyat melalui para wakilnya di DPR, atau dilakukan berdasarkan perintah atau kewenangan delegasian berdasarkan undang-undang (legislative delegation of rule-making power) atau hal-hal yang memang perlu diatur oleh pemerintah berdasarkan atribusi kewenangan menurut Undang-Undang Dasar. Karena itu, berdasarkan UUD 1945, Presiden sebagai kepala pemerintahan memiliki kewenangan untuk mengatur atau regulatory power” dalam beberapa kategori sebagai berikut: 1) Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR. Disamping itu, Presiden berwenang membahas bersama RUU untuk memberikan persetujuan atau penolakan terhadap RUU menurut Pasal 20 ayat (2) dan (3) UUD 1945, dan akhirnya berwenang pula mengesahkan RUU yang telah mendapat persetujuan bersama itu menjadi UU sebagaimana mestinya menurut Pasal 20 ayat (4) dan (5) UUD 1945. 2) Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan, “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Produk hukum inilah yang biasa dinamakan PERPU yang dapat ditetapkan dalam keadaan biasa atau dalam keadaan darurat; 3) Peraturan Pemerintah atribusian UUD 1945 sebagaimana dimaksud oleh Pasal 5 aat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestiya”. Ini merupakan kewenangan atribusi oleh UUD, diperintahkan atau tidak oleh undang-undang, Presiden dapat menerbitkan PP 1 Sebelum Perubahan UUD 1945, Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR”. Pasal ini dengan Perubahan Pertama UUD 1945 pada tahun 1999 berubah menjadi, “Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR”, sedangkan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menjadi berbunyi, “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.

Transcript of PEMBENTUKAN DAN PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH … · delegasian berdasarkan UU, PP, dan/atau...

Page 1: PEMBENTUKAN DAN PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH … · delegasian berdasarkan UU, PP, dan/atau Perpres. Atas dasar pelimpahan atau pendelegasian kewenangan regulatori lebih lanjut

1

PEMBENTUKAN DAN PENCABUTAN

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPU)

1. Kewenangan Regulatori Presiden

Dalam demokrasi, dipahami bahwa kedaulatan atau kekuasaan tertinggi berada di

tangan rakyat, bukan di tangan wakil rakyat ataupun di tangan kepala negara dan kepala

pemerintahan. Inilah yang ditegaskan pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan,

“Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

Dalam demokrasi, rakyat yang berdaulat itulah yang berwenang mengatur dirinya sendiri

sesuai dengan prinsip otonomi, yaitu “auto” “nomos” yang berarti mengatur dirinya sendiri,

melalui perantaraan wakil-wakilnya di DPR yang menurut Pasal 20 ayat (1) UUD 1945

merupakan pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. Sedangkan menurut Pasal 5

ayat (1) UUD 1945, Presiden hanya berhak mengajuk rancangan undang-undang kepada DPR,

bukan lagi sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang, seperti di era pra-

reformasi.1

Karena itu, pada prinsipnya, pembentukan peraturan yang mengikat untuk umum

hanya dapat dilakukan oleh rakyat melalui para wakilnya di DPR, atau dilakukan berdasarkan

perintah atau kewenangan delegasian berdasarkan undang-undang (legislative delegation of

rule-making power) atau hal-hal yang memang perlu diatur oleh pemerintah berdasarkan

atribusi kewenangan menurut Undang-Undang Dasar. Karena itu, berdasarkan UUD 1945,

Presiden sebagai kepala pemerintahan memiliki kewenangan untuk mengatur atau

“regulatory power” dalam beberapa kategori sebagai berikut:

1) Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa Presiden berhak mengajukan RUU kepada

DPR. Disamping itu, Presiden berwenang membahas bersama RUU untuk memberikan

persetujuan atau penolakan terhadap RUU menurut Pasal 20 ayat (2) dan (3) UUD 1945,

dan akhirnya berwenang pula mengesahkan RUU yang telah mendapat persetujuan

bersama itu menjadi UU sebagaimana mestinya menurut Pasal 20 ayat (4) dan (5) UUD

1945.

2) Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud oleh

Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan, “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa,

Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.

Produk hukum inilah yang biasa dinamakan PERPU yang dapat ditetapkan dalam keadaan

biasa atau dalam keadaan darurat;

3) Peraturan Pemerintah atribusian UUD 1945 sebagaimana dimaksud oleh Pasal 5 aat (2)

UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk

menjalankan undang-undang sebagaimana mestiya”. Ini merupakan kewenangan atribusi

oleh UUD, diperintahkan atau tidak oleh undang-undang, Presiden dapat menerbitkan PP

1 Sebelum Perubahan UUD 1945, Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR”. Pasal ini dengan Perubahan Pertama UUD 1945 pada tahun 1999 berubah menjadi, “Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR”, sedangkan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menjadi berbunyi, “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.

Page 2: PEMBENTUKAN DAN PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH … · delegasian berdasarkan UU, PP, dan/atau Perpres. Atas dasar pelimpahan atau pendelegasian kewenangan regulatori lebih lanjut

2

untuk mengisi kekosongan hukum atau untuk menjalankan undang-undang sebagaimana

mestinya.

4) Peraturan Pemerintah delegasian Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam UU No.

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jika UU

mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mengatur lebih lanjur sesuatu ketentuan

udang-undang, Presiden berwnenang menetapkan Peraturan Pemerintah berdasarkan

delegasi kewenangan oleh undang-undang (legislative delegation of rule-making power).

5) Peraturan Presiden (PERPRES) yang dapa ditetapkan oleh Presiden, baik atas dasar

delegasi pengaturan lebih lanjut berdasarkan UU atau PP, ataupun berdasarkan prinsip

“frij ermessen” dimana Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dianggap

dengan sendiri berwenang mengatur sendiri hal-hal yang (i) bersifat administratif, dan (ii

berkenaan dengan masalah internal pemerintahan dalam bentuk Peraturan Presiden.

6) Peraturan Menteri (PERMEN) sebagai produk regulasi berdasarkan kewenangan

delegasian berdasarkan UU, PP, dan/atau Perpres. Atas dasar pelimpahan atau

pendelegasian kewenangan regulatori lebih lanjut berdasarkan UU, PP atau PERPRES

tersebut di atas itulah selanjutnya dapat dilakukan sub-pelimpahan wewenang, atau sub-

delegasi kewenangan regulatori kepada Menteri, yang diidealkan sebagai pejabat dengan

kedudukan politik terendah yang dapat diberi kewenangan regulatori.

Kewenangan regulatori atau kewenangan untuk mengatur yang ada pada Presiden

sebagai kepala pemerintahan terbatas hanya sebagaimana disebut di atas. Di luar mekanisme

tersebut di atas, Presiden tidak boleh melampaui kewenangan konstitusional yang sudah

ditentukan berdasarkan UUD 1945, termasuk dalam menngunakan instrumen PERPU untuk

membuat kebijakan baru yang bersifat permanen atau bersifat sementara.

Pelimpahan wewenang regulatori kepada pejabat PNS atau ASN yang bukan pejabat

politik, juga sebaiknya ditiadakan, dilarang, dan tidak dipraktikkan lagi sebagaimana sampai

sekarang masih dipraktikkan berdasarkan pelbagai UU yang sesungguhnya bertentangan

dengan prinsip UUD 1945. Pejabat ASN adalah pelayan, bukan pejabat pembubat hukum

yang menentukan hak dan kewajiban warga negara dalam lalu lintas hukum.

Selain itu, keseluruhan sistem hierarki peraturan perundang-undangan di atas harus

bersifat konsisten, tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang berada di atasnya.

Norma hukum yang lebih tinggi itulah yang mempresuposisikan validitas norma hukum yang

ada di bawahnya. Karena itu, PERMEN tidak boleh bertentangan dengan PERPRES, PERPRES

tidak boleh bertentangan dengan PP, dan PP tidak boleh bertentangan dengan UU.

Sedangkan UU dan PERPU tidak boleh bertentangan dengan UUD, kecuali PERPU untuk dan

dalam keadaan darurat yang diperbolehkan untuk sementara waktu yang terbatas dan

terawasi dengan ketat mengesampingkan atau menangguhkan keberlakuan suatu ketentuan

UUD 1945 untuk maksud mengatasi keadaan bahaya hingga menjadi pulih kembali

berdasarkan ketentuan Pasal 12 UUD 1945.

Namun, sebagaimana telah dikemukakan di atas, PERPU No. 1 Tahun 2020 ini tidak

dapat dikategorikan sebagai PERPU untuk dan dalam keadaan darurat dimaksud, karena sama

sekali tidak merujuk kepada ketentuan Pasal 12 UUD 1945. Ketentuan Pasal 12 ini

Page 3: PEMBENTUKAN DAN PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH … · delegasian berdasarkan UU, PP, dan/atau Perpres. Atas dasar pelimpahan atau pendelegasian kewenangan regulatori lebih lanjut

3

menyatakan, “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan

bahaya ditetapkan dengan undang-undang”. Dari Pasal 12 ini dapat diketahui bahwa:

1) Syarat-syarat dan akibat hukum keadaan bahaya itu ditetapkan dengan undang-undang

dalam pengertian bahwa pernyataan keadaan bahaya itu ditetapkan dengan undang-

undang disertai pengaturan mengenai kebijakan-kebijakan khusus yang diberlakukan

untuk mengatasi masalah dan mengembalikan keadaan menjadi pulih seperti keadaan

semula; dan

2) Syarat-syarat dan akibat hukum keadaan bahaya itu perlu diatur lebih lanjut dalam dan

dengan undang-undang yang tersendiri. Sampai sekarang, Undang-Undang yang masih

berlaku mengenai hal ini adalah UU No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, tetapi

isinya banyak yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, termasuk dengan

ketentuan baru UUD 1945 pasca Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga, dan Keempat pada

tahun 1999-2002.

2. Tentang PERPU

Coba perhatikan baik-baik apa sesungguhnya yang selama ini kita pahami sebagai

PERPU atau kadang-kadang ditulis PERPPU. PERPU adalah singkat perkataan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagai nama yang diberikan Undang-Undang sejak

zaman Orde Lama, Orde Baru, dan sampai sekarang di masa sesudah Reformasi untuk

menyebut mengenai peraturan pemerintah yang digunakan sebagai pengganti undang-

undang makakala Presiden perlu memberlakuan kebijakan baru yang dibentuk dengan

undang-undang tetapi oleh karena pertimbangan kegentingan yang memaksa, peraturan itu

belum sempat dimintakan persetujuannya kepada DPR, sehingga dipandang cukup untuk

sementara waktu dituangkan dulu dalam bentuk peraturan pemerintah pengganti undang-

undang yang dinamakan PERPU. Karena itu, sebenarnya, PERPU itu berbentuk Peraturan

Pemerintah.

Hal ini sangat terang dari rumusan UUD 1945 sendiri, yaitu pada Pasal 22 ayat (1), (2),

dan (3), yang menyatakan:

(1) Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan

pemerintah sebagai pengganti undang-undang;

(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang

berikut;

(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

Dari ketentuan Pasal 22 tersebut, yang dinamakan PERPU tidak lain merupakan

Peraturan Pemerintah, tetapi berisi kebijakan normatif yang merupakan materi muatan

undang-undang yang seharusnya dibentuk atas persetujuan bersama oleh DPR dengan

Presiden sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945. Namun, oleh karena

kegentingan yang memaksa itu, maka berdasarkan ketentuan Pasal 22 di atas, materi undang-

undang itu dituangkan dulu dalam bentuk PERPU. UUD 1945 sendiri tidak menyebutkan nama

resmi dari peraturan jenis ini, karena pada tahun 1945, hal ini belum tuntas dibahas oleh para

Page 4: PEMBENTUKAN DAN PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH … · delegasian berdasarkan UU, PP, dan/atau Perpres. Atas dasar pelimpahan atau pendelegasian kewenangan regulatori lebih lanjut

4

perumus UUD 1945. Bahkan, ketika Soepomo dan kawan-kawan kembali terlibat Menyusun

naskah Konstitusi RIS Tahun 1949, penamaan peraturan ini baru dibuat baku dalam rumusan

Konstitusi RIS, yaitu dinamakan undang-undang darurat, yaitu undang-undang yang dibentuk

untuk dan dalam keadaan darurat. Bahkan nama yang sama terus dipakai ketika Soepomo

dan kawan-kawan kembali dipercaya Menyusun UUDS Tahun 1950.

Artinya, dari awal pembentukan UUD 1945, sebenarnya, yang dimaksudkan dengan

peraturan pemerintahan sebagai pengganti undang-undang dalam rumusan Pasal 22 UUD

1945 itu tidak lain adalah undang-undang darurat, yaitu undang-undang yang dibentuk untuk

dan dalam keadaan darurat atau keadaan bahaya sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal

12 UUD 1945. Karena itu, kandungan pengertian mengenai peraturan pemerintah sebagai

pengganti undang-undang yang dimaksud dalam Pasal 22 UUD 1945 harus dibaca dalam

kaitannya dengan ketentuan mengenai keadaan bahaya yang diatur dalam Pasal 12 UUD

1945. Keduanya jangan dipisahkan.

Namun, dalam praktik sejak zaman Presiden Seokarno, Presiden Soeharto dan

seterusnya, telah terbentuk pengertian dan dikembangkan praktik adanya bentuk hukum

tersendiri bernama PERPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) sebagai

undang-undang yang dibentuk dalam keadaan genting yang memaksa, sehingga belum dapat

dimintakan persetujuannya kepada DPR. Maka jadilah setiap Presiden telah memproduksi

begitu banyak PERPU. Selain Presiden Soekarno, yang dapat dikatakan paling banyak

menerbitkan PERPU adalah Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Karena itu, saya namakan

bahwa hal ini sudah menjadi konvensi ketatanegaraan (constitutional convention) yang secara

implisit juga berarti telah mengembangkan pengertian baru mengenai ketentuan UUD 1945

berkenaan dengan pengertian pemerintah pemerintah pengganti undang-undang ini sebagai

produk konstitusional yang sah dan setara kedudukannya dengan undang-undang.

Namun dengan dikembangkannya pengertian PERPU sebagai UU sementara tersebut,

tidak berarti bahwa PERPU yang terkait dengan ketentuan Pasal 12 UUD 1945 menjadi tidak

ada. PERPU yang dibentuk untuk dan dalam keadaan bahaya menurut Pasal 12 UUD 1945

tetap harus dipahami secara berbeda dan tersendiri dari pengertian PERPU biasa tersebut.

Kedua tipe PERPU ini akan dibahas tersendiri pada bagian setelah ini. Yang jelas, keduanya

harus diakui ada dan sah secara konstitusional. Yang satu sah adanya karena memang

ditentukan keberadaannya menurut UUD 1945, yaitu untuk menetapkan berlakunya keadaan

bahaya disertai pengaturan mengenai kebijakan-kebijakan yang khusus untuk dipergunakan

dalam rangka mengatasi keadaan darurat. Sedangkan yang kedua, timbul dari penafsiran di

kemudian hari dan tumbuh dalam praktik menjadi konvensi ketatanegaraan yang juga

merupakan salah satu bentuk perubahan konstitusi tidak secara formal (formal amendment)

melainkan melalui konvensi ketatanegaraan (constitutional convention) yang menurut para

ahli seperti C.F. Strong juga dianggap sah sebagai salah satu metode perubahan konstitusi

modern.

Namun, di samping itu, perlu juga dijelaskan bahwa dari uraian mengenai hakikat

bentuk PERPU sebagai peraturan pemerintah tersebut di atas, kita dapat membedakan antara

bentuk hukum dan materi norma yang terdapat dalam suatu peraturan. Bentuk PERPU adalah

Peraturan Pemerintah (PP), tetapi kandungan materinya adalah materi Undang-Undang (UU).

Page 5: PEMBENTUKAN DAN PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH … · delegasian berdasarkan UU, PP, dan/atau Perpres. Atas dasar pelimpahan atau pendelegasian kewenangan regulatori lebih lanjut

5

Karena itu, kita mesti waspada mengenai pembedaan antara bentuk dan isi dalam teori dan

praktik. Secara teoritis, dapat saja terjadi, bahwa materi norma yang hendak diberlakukan

adalah materi undang-undang, tetapi oleh Pemerintah (di masa entah kapan) dituangkan

dalam bentuk Peraturan Pemerintah saja, ataupun dalam bentuk Peraturan Presiden. Hal

yang sama mungkin saja terjadi, ada materi kebijakan normatif yang seharusnya dituangkan

dalam bentuk Peraturan Daerah (PERDA), tetapi oleh Kepala Daerah dituangkan dalam

bentuk Peraturan Kepala Daerah (PERKADA). Jikalau DPR, dan DPRD yang bersangkutan tidak

aktif melakukan fungsi pengawasan normatif yang bersifat substantif mengenai pembentukan

peraturan, yang seharusnya merupakan peraturan pelaksana saja dari undang-undang atau

peraturan daerah, maka produk-produk “executive acts” tersebut akan berjalan sangat lancer

dengan mengabaikan peran legislasi lembaga perwakilan rakyat di tingkat pusat ataupun di

tingkat daerah.

Karena pengertian mengenai “wet in formeele zin” dan “wet in materiele zin” penting

untuk dipahami dengan baik, sehingga konteks materi dengan bentuk hukumnya dapat

dibedakan dengan benar. Dalam menjalankan fungsi pengujian pun, baik para hakim di

lingkungan Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung juga harus benar-benar awas

dengan keduanya, sehingga tidak tergesa-gesa menentukan sikap terhadap permohonan

pengujian yang diajukan kepadanya. Jangan hanya karena bentuk formalnya adalah peraturan

di bawah undang-undang, Mahkamah Konstitusi serta merta menyatakan tidak berwenang

menguji sesuatu peraturan yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Bahkan pun suatu

Peraturan Daerah dapat saja merupakan peraturan yang secara formal di bawah UU tetapi

secara materiel, mempunyai karakteristik sebagai materi undang-undang, karena misalnya

mengatur hal-hal yang berkenaan dengan hak-hak asasi manusia yang merupakan ranah

pengaturan oleh UUD 1945.

3. Dua Tipe PERPU

Banyak orang yang salah mengerti mengenai hakikat PERPU dan gagal memahami

perbedaan antara dua tipe PERPU dalam sistem konstitusi kita berdasarkan UUD 1945.

Keduanya harus dibedakan, yaitu:

1) PERPU sebagai undang-undang biasa yang bersifat sementara, karena kegentingan yang

memaksa belum mendapat persetujuan DPR berdasarkan Pasal 22 UUD 1945;

2) PERPU untuk dan dalam kondisi negara dalam keadaan darurat atau keadaan bahaya

menurut Pasal 12 jo Pasal 22 UUD 1945.

Perpu yang pertama dimaksudkan sebagai pengganti undang-undang pada umumnya,

yang diniatkan untuk berlaku permanen sebagai undang-undang biasa. PERPU tipe pertama

ini berisi kebijakan-kebijakan yang penting untuk segera dituangkan dalam bentuk UU, tetapi

oleh karena kegentingan yang memaksa, tidak tersedia cukup waktu untuk mengajukan,

membahas, dan mendapatkan persetujuan bersama dengan DPR-RI guna mengesahkannya

menjadi undang-undang. Karena itu, untuk sementara waktu, kebijakan-kebijakan baru

dimaksud dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-

Undang atau PERPU untuk sementara waktu, sampai persetujuan DPR dapat diperoleh

Page 6: PEMBENTUKAN DAN PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH … · delegasian berdasarkan UU, PP, dan/atau Perpres. Atas dasar pelimpahan atau pendelegasian kewenangan regulatori lebih lanjut

6

sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Oleh karena statusnya adalah

undang-undang biasa pada umumnya, tentu saja, PERPU tipe pertama ini dapat saja

mengubah pelbagai ketentuan dalam undang-undang lain dan bahkan mempraktikkan

metode “omnibus” untuk mengubah banyak undang-undang secara sekaligus, asalkan

materinya tidak bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sedangkan PERPU tipe kedua tidak dimaksudkan untuk berlaku permanen, melainkan

hanya untuk sementara waktu selama keadaan darurat. PERPU tipe kedua ini: (i) dapat

dipakai sebagai sarana pemberlakuan keadaan darurat, dan sekaligus (ii) sebagai sarana

penuangan kebijakan hukum yang bersifat khusus untuk mengatasi dan menaggulangi

masalah-masalah yang timbul dalam keadaan bahaya atau darurat; serta (iii) sebagai sarana

untuk memulihkan keadaan sehingga kembali kepada keadaan semula menurut sistem

hukum yang normal; dan (iv) pengaturan tentang pencabutan atau berakhirnya keadaan

darurat disertai pengaturan mengenai segala akibat hukum setelah keadaan bahaya atau

darurat dinyatakan berakhir, dalam Ketentuan Peralihan atau Ketentuan Penutup. Bahkan

dalam statusnya sebagai produk hukum yang bersifat sementara untuk dan dalam keadaan

darurat tersebut, tindakan pemerintahan dalam keadaan darurat itu (Emergency Powers)

dapat menangguhkan atau mengesampingkan pelbagai ketentuan undang-undang lain dan

bahkan menangguhkan berlakukan pasal-pasal tentang hak asasi manusia dan lain-lain yang

telah ditentukan dan dijamin oleh UUD 1945. Tindakan mengensampingkan atau

menangguhkan berlakunya undang-undang lain, atau bahkan ketentuan UUD 1945, sama

sekali tidak dapat dilakukan oleh PERPU tipe pertama, karena pada hakikatnya, PERPU tipe

pertama adalah undang-undang biasa yang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.

Pembedaan kedua macam PERPU juga berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman.

Dalam praktik di Amerika Serikatpun perkembangan semacam ini, juga dialami, sehingga

sampai sekarang diakui adanya 2 macam undang-undang, yang satu dalam keadaan darurat,

dan yang lain bukan dalam keadaan darurat tetapi cara pembentukannya dilakukan

berdasarkan prinsip kegentingan yang memaksa sebagaimana praktik di Indonesia. Bahkan

peraturan di bawah undang-undang pun dapat dibentuk menurut tatacara yang tidak lazim,

meskipun bukan dalam keadaan darurat. Misalnya, dalam studi yang dilakukan oleh Abbe R.

Gluck, Anne Joseph O’Connell, dan Rosa Po, juga tergambar adanya praktik yang tidak

konvensional dalam pembentukan hukum, terutama dalam proses pembentukan peraturan di

bawah undang-undang yang diberi pengecualian dengan putusan “judicial review” oleh

pengadilan federal berdasarkan prinsip “good cause exception”, yaitu untuk tidak mengikuti

ketentuan procedural yang dinilai terlalu kaku dalam proses pembentukan peraturan

perundang-undangan yang mendesak dibutuhkan untuk kepentingan umum.2 Hal itu disebut

juga sebagai “emergency rule-making”, meskipun bukan dalam kondisi negara dalam keadaan

darurat.

Dengan demikian, ada undang-undang atau peraturan yang dapat ditetapkan dalam

keadaan darurat, dan ada pula undang-undang atau peraturan yang bersifat khusus yang

diperkenankan menyimpang dari prosedur pembentukan yang biasa, meskipun bukan dalam

2 Abbe R. Gluck, Anne Joseph O’Connell, dan Rosa Po, “Unorthodox Lawmaking, Unorthodox Reulemaking”, Columbia Law Review, Volume 115, No. 7, 2020.

Page 7: PEMBENTUKAN DAN PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH … · delegasian berdasarkan UU, PP, dan/atau Perpres. Atas dasar pelimpahan atau pendelegasian kewenangan regulatori lebih lanjut

7

keadaan darurat, melainkan hanya karena alas an kegentingan yang memaksa sebagaimana

praktik di Indonesia. Artinya, PERPU juga dapat dilihat dari dua keadaan, yaitu PERPU yang

dibentuk ketika negara berada dalam keadaan darurat, dan ada pula PERPU yang biasa, yang

ditetapkan bukan dalam keadaan darurat yang bersifat sementara, tetapi karena kegentingan

yang memaksa ditetapkan sebagai undang-undang yang bersifat sementara sampai

mendapat persetujuan DPR sehingga resmi berubah menjadi undang-undang yang berlaku

untuk kepentingan permanen.

4. Pemberlakuan PERPU

Bagaimanakah prosedur pemberlakuan PERPU? Secara sederhana, kapan saja,

Presiden menganggap adanya kebutuhan yang sangat mendesak dan tidak dapat ditunda

mengenai suatu kebijakan pemerintahan yang perlu dijalankan, namun, jika dilaksanakan

dengan tanpa lebih dulu mengaturnya dengan undang-undang, maka kebijakan tersebut akan

melanggar undang-undang, maka timbul kebutuhan nyata untuk membentuk undang-undang

baru. Namun, dalam waktu yang tersedia, dinilai tidak cukup waktu untuk membentuk

undang-undang menurut tatacara yang biasa, sehingga dalam keadaan kegentingan yang

memaksa itu, berlakulah ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang memberikan

kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti

undang-undang (PERPU). Dengan demikian, pemberlakuan PERPU itu dapat dilakukan secara

sepihak oleh Presiden kapan saja menurutnya hal itu dibutuhkan, dengan catatan bahwa

PERPU itu hanya bersifat sementara sampai pada persidangan DPR berikutnya, hal itu

diajukan oleh Presiden untuk selanjutnya apabila telah mendapat persetujuan bersama oleh

DPR-RI sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, maka PERPU itu akan berubah

menjadi UU. Jika tidak disetujui, maka PERPU itu harus dicabut sesuai dengan ketentuan Pasal

22 ayat (3) UUD 1945.

Oleh karena PERPU adalah produk hukum Presiden, maka naskah PERPU ditulis dalam

Kepala Surat Presiden Republik Indonesia, belum dalam bentuk Undang-Undang. Penomeran

PERPU juga belum didasarkan atas penomeran undang-undang sebagaimana yang sudah

diundangkan dalam Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara. Namun, oleh karena

tipe PERPU, sebagaimana digambarkan diatas ada dua macam, yaitu PERPU dalam keadaan

biasa tetapi memenuhi syarat kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 UUD 1945, dan

PERPU yang ditetapkan untuk dan dalam keadaan darurat menurut Pasal 12 UUD 1945, maka

pemberlakuan keduanya juga memerlukan penjelasan yang berbeda.

PERPU pertama, sepenuhnya dimaksudkan sebagai undang-undang yang bersifat

sementara, sampai disetujui bersama oleh DPR, dengan sendirinya akan berubah menjadi

undang-undang sebagaimana mestinya dengan muatan kebijakan yang juga akan berlaku

permanen sesuai dengan undang-undang pada umumnya. Sedangkan PERPU tipe kedua

adalah PERPU yang ditetapkan untuk dan dalam keadaan darurat. Maksud, PERPU itu

ditetapkan (i) untuk memberlakukan keadaan darurat dengan kebijakan-kebijakan yang

bersifat khusus dan berjangka waktu sementara sampai keadaan darurat berakhir, dan (ii)

dalam keadaan darurat yang sudah dideklarasikan oleh Presiden sebagaimana mestinya

sesuai dengan ketentuan Pasal 12 UUD 1945.

Page 8: PEMBENTUKAN DAN PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH … · delegasian berdasarkan UU, PP, dan/atau Perpres. Atas dasar pelimpahan atau pendelegasian kewenangan regulatori lebih lanjut

8

Karena itu, penetapan PERPU tipe kedua ini dapat dilakukan dengan didahului atau

secara bersama dengan Keputusan Presiden yang mendeklarasikan perubahan keadaan dari

keadaan normal kepada keadaan darurat menurut Pasal 12 UUD 1945 dan UU tentang

Keadaan Bahaya. Bahkan, selain Keppres dan PERPU, dapat pula ditambah dengan Instruksi

Presiden (INPRES) yang lebih operasional memandu pelaksanaan oleh lembaga-lembaga

pelaksana di lapangan. Dengan demikian, ada 3 instrumen hukum yang dapat ditetapkan

sekaligus ada hari yang sama, yaitu:

1) Keppres yang mendeklarasikan keadaan darurat;

2) PERPU yang berisi kebijakan-kebijakan yang bersifat sementara yang dapat menangguhkan

berlakunya pelbagai undang-undang, termasuk kebijakan khusus yang menangguhkan hak

asasi manusia atau berlakunya ketentuan tertentu dalam UUD 1945 untuk sementara

waktu sampai keadaan pulih kembali;

3) INPRES yang memandu pelaksanaan operasional dan arahan-arahan teknis bagi lembaga-

lembaga atau instansi-instansi pelaksana, baik di tingkat pusat provinsi, maupun

kabupaten dan kota di seluruh Indonesia.

Bahkan, ketika sejak awal menghadapi ancaman Covid-19, UU No. 23 Tahun 1959

tentang Keadaan Bahaya yang merupakan undang-undang peninggalan zaman Orde Lama

yang masih berlaku sampai sekarang yang mejabarkan ketentuan Pasal 12 UUD 1945 sebagai

satu-satunya ketentuan mengenai keadaan darurat dalam UUD 1945, seharusnya juga ikut

diubah dengan PERPU yang tersendiri, yaitu PERPU tentang Keadaan Darurat atau Bahaya.

Dengan demikian, pada waktu yang sama dapat ditetapkan 4 instrumen hukum sekaligus,

yaitu:

1) PERPU tentang Keadaan Bahaya;

2) Keputusan Presiden tentang Keadaan Bahaya Covid-19;

3) PERPU tentang Covid-19;

4) INPRES tentang Penanganan Covid-19.

Khusus mengenai instrumen pemberlakuan keadaan darurat dan pengakhiran atau

pencabutan keadaan darurat dapat diperdebatkan mengenai dua kemungkinan instrumen,

yaitu (i) dengan Undang-Undang, atau (ii) dengan Keputusan Presiden. Pasal 12 UUD 1945

menentukan, “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan

bahaya ditetapkan dengan undang-undang”. Dengan instrumen hukum tertulis berbentuk

apakah, Presiden menyatakan keadaan bahaya? Dalam rumusan Pasal 12 UUD 1945 tersebut

terdapat 2 hal, yaitu: (i) Yang menyatakan atau mendeklarasikan keadaan bahaya itu adalah

Presiden, baik untuk menyatakan mulai berlakunya maupun untuk menyatakan berakhirnya

keadaan bahaya itu; (ii) ketentuan mengenai syarat-syarat dan akibat hukum keadaan darurat

itu ditetapkan dengan undang-undang, dalam pengertian bahwa hak itu (a) secara umum

“diatur dengan undang-undang”, dan (b) secara kasuistik ditetapkan dengan “undang-

undang” yang khusus diberlakukan untuk dan selama keadaan darurat yang bersangkutan

disertai pengaturan tentang kebijakan-kebijakan khusus yang ditentukan untuk mengatasi

keadaan dan selama keadaan bahaya tersebut.

Page 9: PEMBENTUKAN DAN PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH … · delegasian berdasarkan UU, PP, dan/atau Perpres. Atas dasar pelimpahan atau pendelegasian kewenangan regulatori lebih lanjut

9

Dengan demikian, pernyataan “ditetapkan dengan undang-undang” dalam rumusan

Pasal 12 itu dapat saja ditafsirkan terbagi ke dalam dua pengertian umum dan khusus, yaitu

(i) Undang-Undang yang akan mengatur ketentuan umum mengenai keadaan darurat, dan (ii)

Undang-undang yang ditetapkan khusus untuk memberlakukan keadaan darurat dan

mengatur kebijakan khusus untuk dan selama keadaan darurat atau bahaya tersebut.

Namun,undang-undang kategori kedua ini karena kegentingan yang memaksa, dituangkan

sementara dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana

dimaksud oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.

Dalam kalimat kedua rumusan Pasal 12 tersebut jelas dinyatakan bahwa “syarat-

syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”. Artinya, yang

ditetapkan dengan undang-undang itu adalah “syarat dan akibatnya keadaan bahaya”.

Syaratnya apa dan akibatnya apa itu yang “ditetapkan dengan undang-undang”. Perkataan

“ditetapkan” disini dapat pula dipahami mengandung makna “diatur dengan undang-

undang”, yaitu mengenai apa saja syarat-syarat dan apa pula akibat-akibat permberlakuan

keadaan bahaya itu harus diatur dengan undang-undang. Dengan demikian dapat diartikan

bahwa pernyataan berlakunya keadaan darurat atau bahaya tersebut tidak harus terdapat

dalam undang-undang yang bersangkutan, melainkan cukup dituangkan dalam bentuk

keputusan administrasi saja, yaitu Keputusan Presiden, tetapi pengaturan mengenai syarat

dan akibatnya keadaan bahaya itu diatur lebih dulu dengan atau dalam undang-undang. Hal

ini jelas dari kalimat pertama yang menentukan bahwa Presiden menyatakan keadaan

bahaya. Artinya, pernyataan keadaan bahaya itu bukan di dalam undang-undang yang

mengharuskan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, melainkan cukup dinyatakan

oleh Presiden saja.

Dengan demikian, pernyataan bahwa syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya

“ditetapkan dengan undang-undang” lebih tepat dipahami dalam pengertian “diatur dengan

undang-undang”. Undang-undang yang dimaksud dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu

(i) undang-undang yang mengatur keadaan bahaya secara umum, dan (ii) undang-undang

yang secara spesifik mengatur kebijakan khusus untuk dan dalam keadaan darurat kasus per

kasus, hingga keadaan darurat itu pulih kembali. Undang-undang kategori kedua ini, oleh

karena keadaan yang genting dan memaksa, dapat dituangkan lebih dulu dalam bentuk

PERPU keadaan darurat. Sedangkan undang-undang yang berlaku umum dapat juga diubah

dalam suasana keadaan darurat, sehingga perubahannya juga dapat dilakukan dalam bentuk

PERPU. Misalnya, UU No. 23 Tahun 1959 pada mulanya juga adalah PERPU. Jika dalam

suasana krisis Covid-19 dewasa ini, UU No, 23 Tahun 1959 itu hendak diperbaiki agar lebih

sesuai dengan perkembangan zaman terutama setelah terjadinya Perubahan UUD 1945,

maka UU No. 23 Tahun 1959 itu dapat saja diperbaiki atau diubah, atau bahkan diganti

dengan undang-undang baru yaitu dengan PERPU tentang Keadaan Bahaya sebagai

penjabaran dari ketentuan Pasal 12 UUD 1945.

Dengan demikian, untuk menghadapi ancaman bahaya Covid-19, sudah seharusnya

Pemerintah menerbitkan (i) Keputusan Presiden yang menyatakan berlakunya Keadaan

Bahaya Covid-19; (ii) PERPU tentang Keadaan Bahaya sebagai penjabaran Pasal 12 UUD 1945

yang dimaksud untuk mengubah atau menggantikan UU No. 23 Tahun 1959; (iii) PERPU

Page 10: PEMBENTUKAN DAN PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH … · delegasian berdasarkan UU, PP, dan/atau Perpres. Atas dasar pelimpahan atau pendelegasian kewenangan regulatori lebih lanjut

10

tentang Penanggulangan Bahaya Covid-19 Tahun 2020 yang berisi kebijakan-kebijakan khusus

yang menyimpang untuk semenara waktu dari pelbagai ketentuan Undang-Undang yang

berlaku untuk maksud mengatasi keadaan darurat sampai keadaan biasa pulih kembali; dan

ditambah dengan (iv) Instruksi Presiden (INPRES) tentang Upaya Penanggulangan Bahaya

Covid-19 yang berisi kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah teknis operasional

penanggulangan keadaan bahaya Covid-19 oleh seluruh jajaran organ pemerintahan pusat

dan daerah di seluruh Indonesia.

5. Pengajuan Rancangan dan Pencabutan PERPU

Menurut UU No. 12 Tahun 2011 jo UU MD3, pencabutan PERPU dilakukan dengan

UU. Ini tidak tepat dan sudah seharusnya diperbaiki. PERPU ditetapkan secara sepihak oleh

Presiden, maka pencabutannya seharusnya juga cukup dilakukan secara sepihak oleh

Presiden sendiri, yaitu dicabut secara administratif dengan Keputusan Presiden (Keppres)

sebagai produk administrasi. Namun, dalam Pasal 52 UU No. 12 Tahun 2011, ditentukan

bahwa:

(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam

persidangan yang berikut;

(2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang

penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang;

(3) DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

(4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang mendapat persetujuan DPR

dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut

ditetapkan menjadi UndangUndang;

(5) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang tidak mendapat

persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku;

(6) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus

dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden

mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang;

(7) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum

dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

(8) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi Undang-

Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam

rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

Menurut ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, sebagaimana diulangi lagi oleh Pasal

52 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, PERPU harus mendapat persetujuan DPR-RI paling lambat

Page 11: PEMBENTUKAN DAN PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH … · delegasian berdasarkan UU, PP, dan/atau Perpres. Atas dasar pelimpahan atau pendelegasian kewenangan regulatori lebih lanjut

11

dalam persidangan yang berikut. Dalam Penjelasan Pasal 52 Ayat (1) ini, ditegaskan bahwa

“Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan.” Karena itu, Presiden harus

mengajukan PERPU yang ditetapkannya untuk disetujui atau ditolak oleh DPR secepatnya,

sebelum masa sidang berikutnya tersebut. Menurut Pasal 52 ayat (2) UU tersebut,

“Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang”.

Artinya, setelah menetapkan PERPU, Pemerintah segera harus menyusun Rancangan

UU tentang penetapan PERPU itu menjadi undang-undang. Hal yang sama harus dilakukan

jika PERPU itu tidak mendapat persetujuan dalam rapat paripurna DPR, yaitu DPR atau

Pemerintah harus mengajukan Rancangan UU tentang Pencabutan PERPU sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 52 ayat (6). Rancangan UU tentang Pencabutan PERPU itu ditetapkan

menjadi undang-undang dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat

(5), yaitu yang menyatakan, “Dalam hal PERPU tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat

paripurna, PERPU tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku”. Dengan

demikian, rapat paripurna DPR yang menyatakan menolak PERPU, dan yang menyatakan

mencabut PERPU serta menetapkan UU tentang pencabutannya adalah rapat paripurna yang

sama. Karena itu, dalam sidang atau rapat paripurna yang dimaksud, Rancangan UU tentang

Pengesahan PERPU dan Rancangan UU tentang Pencabutan PERPU sudah harus siap dan

tersedia untukditetapkan dalam rapat paripurna DPR-RI yang tersebut.

Jika ketentuan demikian ditaati, maka tidak perlu ada kekuatiran mengenai berlarut-

larutnya mekanisme penetapan PERPU menjadi UU ataupun pencabutannya sebagai

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, kelemahan aturan tersebut dapat

dilihat dari segi administrasi. Pertama, PERPU sama sekali belum diundangkan dalam

Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara, tetapi ketika dicabut dengan UU, maka

dengan sendirinya pencabutannya itu akan diundangkan dalam Lembaran Negara dan

Tambahan Lembaran Negara. Pengaturan demikian jelas tidak tepat. Kedua, PERPU

ditetapkan secara sepihak oleh Presiden, maka seharusnya, pencabutannya juga cukup

dilakukan secara sepihak oleh Presiden sebagai pejabat yang menetapkan berlakunya.

Presiden yang menetapkan dan Presiden pula yang harus mencabutnya. Kewenangan kontrol

oleh DPR sudah cukup dengan kewenangannya untuk menyatakan mennyetuji atau tidak

menyetujuiPERPU itu, sedangkan selebihnya, cukup Presiden yang menetapkan

pencabutannya. Ketiga, pencabutan dilakukan dengan undang-undang, berarti pencabutan

harus dilakukan secara bersama-sama oleh Presiden dan DPR melalui persidangan di DPR.

Mekanisme demikian jelas melanggar ketentuan UUD 1945 yang menentukan bahwa “Dalam

hal ikhwal kegentingan yang memaksa Presiden berhak menetapkan peratruan pemerintah

sebagai pengganti undang-undang”. Karena itu, jika PERPU ditolak oleh DPR, sebagaimana

dimaksud oleh Pasal 22 ayat (3) UUD 1945 junctis Pasal 52 ayat (4) dan (5) UU No. 12 Tahun

2011.

Karena itu, pencabutan PERPU yang sudah dinyatakan ditolak atau tidak mendapat

persetujuan oleh DPR, cukup dituangkan dalam bentuk keputusan yang ditandatangani oleh

Page 12: PEMBENTUKAN DAN PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH … · delegasian berdasarkan UU, PP, dan/atau Perpres. Atas dasar pelimpahan atau pendelegasian kewenangan regulatori lebih lanjut

12

Presiden sebagai pejabat yang menetapkan PERPU itu. Artinya, pencabutan PERPU cukup

dilakukan dengan keputusan administrasi saja, bukan dalam bentuk produk regulasi ataupun

legislasi. Pelbagai ketentuan mengenai pembentukan dan pencabutan PERPU ini seharusnya

memang perlu diatur tersendiri. Karena itu, dalam Pasal 53 UU No. 12 Tahun 2011 juga

ditentukan bahwa “Ketentuan mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang diatur dengan Peraturan Presiden.” Dengan

perkataan “diatur dengan Peraturan Presiden” tersebut menunjukkan bahwa sudah

semestinya ada Peraturan Presiden yang tersendiri mengatur mengenai soal PERPU ini.

Sayangnya, sampai sekarang Perpres yang dimaksud belum dibentuk. Yang ada adalah

Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU No. 12 Tahun 2011 tentang

Peraturan Perundang-Undangan (LNRI Tahun 2014 No. 199). Namun, Perpres ini tidak

mengatur secara tersendiri mengenai PERPU, melainkan mengatur pelaksanaan UU No. 12

Tahun 2011 secara umum. Padahal, UU No. 12 Tahun 2011 mengamanatkan untuk

disusunnya Peraturan Presiden yang tersendiri mengenai PERPU. Seyogyanya, hal-hal yang

bersifat administratif mengenai perancangan, pengajuan, persetujuan menjadi UU, dan

pencabutan PERPU diatur tersendiri dengan Peraturan Presiden sesuai dengan amanat Pasal

53 UU No. 12 Tahun 2011.

Di dalamnya, sebaiknya diatur mengenai format rumusan PERPU, dan mekanisme

penetapan dan pengajuannya oleh Presiden kepada DPR dengan maksud untuk dibahas guna

mendapatkan keputusan diterima atau ditolak oleh DPR. Dalam hal PERPU disetujui oleh DPR

juga perlu diatur bagaimana format PERPU diubah menjadi format UU. Sebagai

perbandingan, mungkinkah naskah PERPU disetarakan dengan naskah Konvensi Internasional,

dan naskah RAPBN yang dituangkan menjadi undang-undang dengan selembar naskah

dengan lampiran. UU yang ditetapkan oleh DPR hanya berupa lembaran naskah UU,

sedangkan naskah APBN dan Konvensi Internasional ditempatkan sebagai lampiran UU yang

merupakan bagian tidak terpisahkan dari naskah UU itu sendiri. Demikian pula dengan UU

yang ditetapkan oleh DPR cukup 1 lembar saja, sedangkan PERPU dijadikan lampiran yang

tidak terpisahkan dengan UU. UU itu menyatakan pesetujuan DPR dan menetapkan PERPU

tersebut berlaku sebagai UU. Sedangkan jika PERPU itu ditolak, maka DPR cukup menetapkan

1 lembaran Keputusan DPR yang menyatakan menolak, sehingga atas dasar itu, Presiden

menetapkan Keputusan Presiden yang menyatakan mencabut PERPU yang bersangkutan.

Dengan demikian, dapat dibedakan dengan jelas dan tegas di antara fungsi-fungsi atau

kewenangan kelembagaan, dan di antara produk hukum keputusan legislasi atau regulasi, dan

produk hukum keputusan administrasi. PERPU sebagai produk regulasi ditetapkan oleh

Presiden sampai mendapat persetujuan oleh DPR, berubah statusnya menjadi UU. Tetapi UU

yang ditetapkan oleh DPR itu cukup dalam bentuk lembaran UU sebagaimana UU APBN atau

UU Konvensi Internasional. Karena itu, format PERPU tidak perlu diubah lebih dulu dalam

bentuk RUU. Karena keputusan yang dibutuhkan dari DPR hanya 2 kemungkinan pernyataan,

yaitu (i) menyetujui PERPU menjadi UU atau (ii) menolak atau tidak menyetujui PERPU

menjadi UU. Karena itu, pernyataan menerima cukup dituangkan dalam kertas keputusan

yang berlaku sebagai UU, sedangkan jika DPR menolak, maka pernyataan penolakan itu tidak

perlu berbentuk UU, melainkan cukup dalam risalah rapat ditegaskan menolak atau

dituangkan dalam bentuk keputusan tersendiri yang menyatakan menolak PERPU, sehingga

Page 13: PEMBENTUKAN DAN PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH … · delegasian berdasarkan UU, PP, dan/atau Perpres. Atas dasar pelimpahan atau pendelegasian kewenangan regulatori lebih lanjut

13

atas dasar itu, Presiden mencabut PERPU dengan menetapkan Keputusan Presiden yang

mencabut PERPU tersebut secara administratif.