Pengadaan Pengadaan Jasa Konsultan Jasa Konsultansi Badan Usaha Badan Usaha
PEMBATALAN SEPIHAK KONTRAK PENGADAAN JASA …repository.untag-sby.ac.id/1199/7/JURNAL.pdf ·...
Transcript of PEMBATALAN SEPIHAK KONTRAK PENGADAAN JASA …repository.untag-sby.ac.id/1199/7/JURNAL.pdf ·...
1
PEMBATALAN SEPIHAK KONTRAK PENGADAAN JASA KONSTRUKSI PT CIKA KARYA
NUSANTARA OLEH PEJABAT PEMBUAT KOMITMEN DINAS PERUMAHAN RAKYAT
DAN KAWASAN, CIPTA KARYA DAN TATA RUANG PEMERINTAH KOTA SURABAYA
Mochammad Anjang Cahyono
Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Jl. Semolowaru Nomor 45 Surabaya 60118, Indonesia
081357666876, [email protected]
Abstrak
Pada perkembangannya, Negara perlu bekerja sama dengan berbagai pihak dalam masalah
pembangunan segala sarana untuk mendukung kehidupan berbangsa dan bernegara, salah
satunya dengan pihak swasta. Oleh karenanya pemerintah melalui Peraturan Presiden tentang
pengadaan barang dan/jasa diberikan kewenangan untuk melakukan itu melalui pembuatan
kontrak. Namun pada prakteknya hal ini tidak selalu berjalan dengan mulus karena banyak
terjadi keterlambatan, dan masalah lain baik disengaja ataupun tidak. Pemerintah melalui
Pejabat Pembuat Komitmen diberikan kewenangan tersebut oleh perpres dan peraturan
pelaksananya diberikan kewenangan untuk membatalkan secara sepihak apabila menurut
penilaian Pejabat Pembuat Komitmen terjadi hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya. Hal
yang menjadi debatable adalah seharusnya para pihak dalam kontrak harus berada dalam
kedudukan, dan posisi tawar menawar yang sama. Adanya Pemberian kewenangan tersebut
seakan memberikan ketimpangan kedudukan antara pemerintah dan pihak penyedia
barang/jasa dalam Kontrak Kerja Pengadaan Barang/Jasa. Salah satu contohnya adalah PT Cika
Karya Nusantara dan Pemerintah Kota Surabaya.
Pada penelitian ini, penulis akan menganalisa tentang apakah pembatalan ketentuan
pembatalan kontrak secara sepihak yang diberikan untuk Pejabat Pembuat Komitmen tidak
bertentangan dengan kaidah-kaidah hokum yang berlaku di Indonesia, serta bagaimana
analisis terhadap sengketa pemutusan kontrak sepihak antara PT Cika Karya Nusantara
Melawan Pemerintah Kota Surabaya dengan menggunakan metode pendekatan perundang-
undangan, pendekatan konsep, dan pendekatan kasus dengan menganalisa beberapa putusan-
putusan yang terkait dengan penelitian ini.
Hasil dari penelitian ini adalah bahwa ketentuan yang memberikan kewenangan pembatalan
kontrak secara sepihak pada Pejabat Pembuat Komitmen, tidak melanggar kaidah hokum,
namun dapat menjadi penyebab terjadinya penyalahgunaan keadaan (misbruik van
omstandigheden), dalam kasus PT Cika Karya Nusantara melawan Pemerintah Kota Surabaya,
Pemerintah kota Surabaya melalui Pejabat Pembuat Komitmen telah melakukan
penyalahgunaan keadaan dengan menentukan secara sepihak waktu perpanjangan pengerjaan
pembangunan gedung tanpa memperhatikan pihak penyedia jasa.
Kata kunci : Pembatalan Kontrak, Kedudukan para pihak, Penyalahgunaan Keadaan.
Abstrack
In its development, the State needs to cooperate with various parties in the matter of development
of all means to support the life of nation and state, one with the private sector. Therefore, the
government through the Presidential Regulation on the procurement of goods and / services is
authorized to do so through the making of contracts. But in practice this does not always run
smoothly because there are many delays, and other problems whether intentional or not. The
Government through the Committing Officer is given such authority by a presidential decree and
PEMBATALAN SEPIHAK KONTRAK PENGADAAN JASA KONSTRUKSI PT CIKA KARYA
NUSANTARA OLEH PEJABAT PEMBUAT KOMITMEN DINAS PERUMAHAN RAKYAT
DAN KAWASAN, CIPTA KARYA DAN TATA RUANG PEMERINTAH KOTA SURABAYA
2
the regulation is authorized to cancel unilaterally if according to the rating of the Committing
Officer the things mentioned above. The thing that becomes debatable is that the parties to the
contract must be in a position, and the same bargaining position. The existence of such Authority
shall give an unbalanced position between the government and the providers of goods / services in
the Contract of Procurement of Goods / Services. One example is PT Cika Karya Nusantara and
Surabaya City Government.
In this study, the authors will analyze whether the cancellation of the terms of unilateral contract
cancellation given to the Committing Officer does not conflict with the legal rules applicable in
Indonesia, as well as how the analysis of unilateral contract termination disputes between PT
Cika Karya Nusantara Against Surabaya City Government using legal approaches, concept
approaches, and case approaches by analyzing some of the decisions related to this research.
The result of this study is that the provisions that authorize the unilateral cancellation of
contracts at the Committing Officer, do not violate the legal rules, but may be the cause of misuse
of the state (eg vanbrandic van omstandigheden), in the case of PT Cika Karya Nusantara against
the Surabaya City Government, Surabaya through the Committing Officer has committed misuse
of the circumstances by determining unilaterally the extension of construction work without
regard to the service provider.
Keywords: Cancellation of Contract, Position of the Parties, Abuse of Circumstances.
PENDAHULUAN
Jasa pemborongan adalah hal yang sangat lazim dilakukan dewasa kini, baik itu antara swasta
dengan swasta, ataupun swasta dengan pemerintah sebagai bouwheer dalam pekerjaan proyek.
Maka para pihak yang memiliki pekerjaan (owner/bouwheer) dan pemborong (kontraktor), terikat
dalam suatu perjajian pemborongan tentang pembuatan suatu karya.1 Istilah pemborongan sendiri
sebenarnya mempunyai cakupan yang lebih luas daripada istilah konstruksi, sebab istilah
pemborongam dapat saja berarti bahwa yang diborong tersebut bukan hanya
konstruksinya/pembangunanya, melainkan dapat juga pengadaan barang saja.2
Berdasarkan Buku ke III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (burgerlijk wetboek) kontrak
pemborongan dapat dikatagorikan sebagai pernjanjian konsensuil yaitu perjanjian yang lahir sejak
adanya kata sepakat antara kedua belah pihak yang memborongkan dengan pihak pemborong
mengenai pembuatan suatu karya dan harga borongan/kontrak. Dengan “disepakati”nya hal
tersebut perjanjian atau kontrak pemborongan mengikat kedua belah pihak, artinya perjanjian
atau kontrak itu tidak dapat dibatalkan tanpa persetujuan yang lainnya, otomatis pembatalan
secara sepihak tersebut melanggar prinsip konsensuil yang ada dalam perjanjian.
Pada prakteknya, pelaksaan kontrak Pengadaan Barang dan/atau Jasa dilakukan melalui
pemilihan penyedia jasa dengan pelelangan umum atau terbatas berdasarkan prinsip persaingan
sehat. Namun hal tersebut tidak mengurangi kemungkinan terjadinya keterlambatan, kelalaian
dari salah satu pihak (wanprestasi), baik yang dilakukan secara sengaja atau karena keadaan
memaksa (force majeure). Hal itu menyebabkan tidak jarang terjadi ketidakpuasaan Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) atas pelaksanaan kontrak pengadaan barang dan/atau jasa.
Ketidakpuasaan tersebut tidak jarang berujung pada pemutusan kontrak secara sepihak oleh
1 F.X. Djumialdji, Perjanjian Pemborongan, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1996, h.5.
2Munir Fuady, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, h.12
M. Anjang Cahyono
3
Pejabat Pembuat Komitmen bahkan juga berujung pada dimasukkannya penyedia barang
dan/atau jasa kedalam daftar hitam.
Hal inilah yang terjadi pada PT.Cika Karya Nusantara dan pemerintah Kota Surabaya. Melalui
surat Pemutusan Kontrak No,642.2/0111/436.6.2/2013, pemerintah Kota Surabaya memutuskan
secara sepihak kontrak konstruksi dengan PT.Cika Karya Nusantara untuk pembangunan Gedung
Type B SDN Klampis Ngasem I No.246 dan IV No.560 Surabaya, hal tersebut membuat PT. Cika
Karya Nusantara dimasukkan dalam daftar hitam oleh pemerintah Kota Surabaya. Hal tersebut
menjadikan PT. Cika Karta Nusantara selaku penyedia jasa konstruksi mengalami kerugian baik
sekarang maupun dikemudian hari karena dimasukkannya dalam daftar hitam.
Hal ini menjadi polemik karena ketentuan mengenai pembatalan kontrak secara sepihak
sebagaimana diatur dalam pasal 93 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah terkesan terlalu berpihak kepada pemerintah
melalui Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Padahal Kontrak pengadaan barang dan/atau jasa
adalah bersifat konsensuil yang artinya antara pihak penyedia dan pembeli harusnya seimbang.
Memang paska berlakunya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah tidak memberikan kewenangan kepada PPK untuk
membatalkan kontrak secara sepihak, namun dalam ketentuan peralihan, menyataan bahwa
peraturan presiden tersebut tidak membatalkan peraturan pelaksana peraturan presiden
sebelumnya. Padahal dalam Peraturan Walikota Surabaya Nomor 73 Tahun 2012 sebagaimana
diubah dengan Peraturan Walikota Surabaya Nomor 30 Tahun 2015 tentang Perubahan Kelima
atas Peraturan Walikota Surabaya Nomor 73 Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Penggunaan
Langsung Anggaran Belanja dan Pengadaan Barang/ memberi kewenangan Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) untuk membatalkan kontrak secara sepihak. Hal-hal itulah yang
melatarbelakangi penulis untuk menulis skripsi ini.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalah di atas, penulis menarik beberapa permasalan antara lain:
1. Apakah ketentuan pembatalan kontrak secara sepihak oleh pemerintah sesuai dengan
ketentuan peraturan kaidah-kaidah hokum yang berlaku di Indonesia?
2. Bagaimana analisa terhadap sengketa pembatalan kontrak yang dilakukan oleh pemeritah
kota surabata teradap PT. Cika Karya Nusantara?
1. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu
penelitian hukum untuk menemukan aturan-aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun
doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.3 Penelitian ini menggunakan
pendekatan perundang-undangan (statue aoproach), pendekatan kasus (case approach). dan
pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan
menelaah4 ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 tentang
Perbuahan kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan barang dan Jasa
Pemerintah, Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
3Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencara Prenada Media Group, Jakarta 2010,h. 35
4 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta, Kencana Media Group, 2011 cetakan ke 7, h.133.
PEMBATALAN SEPIHAK KONTRAK PENGADAAN JASA KONSTRUKSI PT CIKA KARYA
NUSANTARA OLEH PEJABAT PEMBUAT KOMITMEN DINAS PERUMAHAN RAKYAT
DAN KAWASAN, CIPTA KARYA DAN TATA RUANG PEMERINTAH KOTA SURABAYA
4
Barang/Jasa Pemerintah, Peraturan Walikota Surabaya Nomor 30 Tahun 2015 tentang Perubahan
kelima atas peraturan walikota Surabaya Nomor 73 Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis
Penggunaan Langsung Anggaran Belanja dan Pengadaan Barang dan Jasa. Serta putusan-putusan
dan produk perundang-undangan yang terkait dengan objek yang diteliti. Pendekatan kasus
dilakukan dengan menelaah kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang menjadi
putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.5yaitu:
- Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Surabaya Nomor
197/B/2013/PT.TUN.SBY
Pendekatan konsep dilakukan dengan menelaah konsep-konsep yang berkaitan dengan isu
yang dihadapi. Pendekatan konsep dilakukan manakala penelitian tidak beranjak dari aturan
hukum yang ada. Hal itu dilakukan karena memang belum atau tidak ada aturan hukum
untuk masalah yang dihdapi.6
PEMBAHASAN
Mengenai pengertian serta unsur-unsur yang ada dalam Hukum Perjanjian. didalam Hukum Perdata
juga diatur mengenai asas-asas yang harus ditaati dalam hal dibuatnya perjanjian. Asas-asas tersebut antara
lain :
a. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme sering diartikan sebagai kesepakatan untuk lahirnya kesepakatan. Dalam asas ini
memperlihatkan bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua atau lebih orang
telah mengikat, dan karenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian
tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau consensus, meskipun kesepakatan
tersebut telah dicapai secara lisan sematamata. Hal ini berarti pada prinsipnya perjanjian yang mengikat dan
berlaku sebagai perikatan bagi para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas, walau demikian, untuk
menjaga kepentingan pihak debitor (atau yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi) diadakanlah bentuk-
bentuk formalitas atau dipersyaratkan adanya suatu tindakan tertentu.7
b. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral di dalam hukum perjanjian.
Meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan hukum namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat
dalam hubungan kontraktual para pihak. Kebebasan berperjanjian pada dasarnya merupakan perwujudan dari
kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia yang perkembangannya dilandasi semangat liberalisme yang
mengagungkan kebebasan individu.
Menurut asas kebebasan berperjanjian, seseorang pada umumnya mempunyai pilihan bebas untuk
mengadakan perjanjian. Didalam asas ini terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan
5Ibid, h. 134 6Ibid, h.177
7Ibid., h. 34.
M. Anjang Cahyono
5
atau tidak melakukan perjanjian. Menurut Sutan Remi Sjahdeini asas kebebasan berperjanjian menurut
hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut8 :
(1) Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
(2) Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.
(3) Kebebasan untuk menentukan atau memilih kuasa dari perjanjian yang akan dibuatnya.
(4) Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
(5) Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
(6) Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang – undang yang bersifat
opsional (aanvullend optional).
c. Asas Mengikatnya Perjanjian (Pacta Sunt Servanda)
Asas pacta sunt servanda disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat
perjanjian. Asas pacta sunt servanda menggariskan bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati
substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang . Mereka
tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak.9 Setiap orang
yang membuat perjanjian, maka mereka terikat untuk memenuhi perjanjian tersebut, karena perjanjian
tersebut mengandung janji- janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana
mengikatnya undang-undang. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menentukan
bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.10
d. Asas Itikad Baik
Asas itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang itikad
baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata bahwa perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik.
Sementara itu, Arrest H.R di negeri Belanda memberikan peranan tertinggi terhadap itikad baik dalam tahap
praperjanjian bahkan kesesatan di tempatkan dibawah asas itikad baik, bukan lagi pada teori kehendak.
Begitu pentingnya itikad baik tersebut sehingga dalam perundang-undangan atau perjanjian antara para
pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh itikad
baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak
dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. Bagi masing-masing calon pihak
dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang wajar
terhadap pihak lawan sebelum menandatangani perjanjian atau masing-masing pihak harus menaruh
perhatian yang cukup dalam menutup perjanjian yang berkaitan dengan itikad baik. Walaupun itikad baik
para pihak dalam perjanjian sangat ditekankan pada tahap praperjanjian, secara umum itikad baik harus
8 Agus Yudha Hernoko, Hukum Kontrak Asas Proporsionalitas dalam Perjanjian Komersial, Kencana:
Jakarta, 2011, h.110. 9 Salim HS dkk, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU), PT Sinar Grafika: Jakarta,
2008, h.2. 10
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, PT Rajawali Press: Jakarta, 2011, h.4.
PEMBATALAN SEPIHAK KONTRAK PENGADAAN JASA KONSTRUKSI PT CIKA KARYA
NUSANTARA OLEH PEJABAT PEMBUAT KOMITMEN DINAS PERUMAHAN RAKYAT
DAN KAWASAN, CIPTA KARYA DAN TATA RUANG PEMERINTAH KOTA SURABAYA
6
selalu ada pada setiap tahap perjanjian sehingga kepentingan pihak yang satu selalu dapat diperhatikan oleh
pihak lainnya.11
e. Asas Kepercayaan
Dalam asas ini dinyatakan bahwa para pihak yang mengikatkan dirinya dalam sebuah perjanjian harus dapat
menimbulkan kepercayaan diantara mereka. Artinya, kedua belah pihak percaya bahwa satu sama lain akan
memenuhi prestasinya di kemudian hari.
f. Asas Persamaan Hak
Dalam asas ini, para pihak mempunyai derajat yang sama, tidak ada perbedaan dan penyalahgunaan keadaan
(misbruik van omstandingheden) dan kedua belah pihak wajib saling menghormati.
g. Asas Kebiasaan
Berdasarkan Pasal 1339 dan Pasal 1347 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian tidak hanya
mengikat pada hal-hal yang diatur secara tegas dalam isi perjanjian, tetapi juga paa hal-hal yang berlaku
sebagai kebiasaan dalam masyarakat, dimana selalu mengalami perubahan.
1. Pembatalan Kontrak Secara Sepihak Oleh Pemerintah
Bentuk pemberian kewenangan kepada pemerintah untuk membatalkan kontrak secara sepihak
tersebut terdapat pada beberapa Peraturan Presiden yang mengatur menganai pengadaan barang
dan jasa pemerintah. Namun, paska adanya Peraturan Presiden 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah melalui PPK tidak diberikan kewenangan untuk membatalkan
kontrak secara sepihak, tapi dalam ketentuan peralihan, menyatakan bahwa peraturan presiden
tersebut tidak membatalkan peraturan pelaksana peraturan presiden sebelumnya. Padahal dalam
Peraturan Walikota Surabaya Nomor 73 Tahun 2012 sebagaimana diubah dengan Peraturan
Walikota Surabaya Nomor 30 Tahun 2015 tentang Perubahan Kelima atas Peraturan Walikota
Surabaya Nomor 73 Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Penggunaan Langsung Anggaran
Belanja dan Pengadaan Barang/Jasa memberi kewenangan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
untuk membatalkan kontrak secara sepihak.
Hal yang menjadi permasalahan sebenarnya adalah apakah diberikannya kewenangan terhadap
PPK untuk membatalkan kontrak secara sepihak tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah
hukum yang berlaku di Indonesia. Untuk menjawab hal tersebut, terlebih dahulu penulis akan
menjabarkan salah satu ketentuan pasal yang memberikan kewenangan kepada Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) untuk membatalkan kontrak secara sepihak, sebagaimana diatur dalam
Peraturan Walikota Surabaya Nomor 30 Tahun 2015 tentang Perubahan Kelima atas Peraturan
Walikota Surabaya Nomor 73 Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Penggunaan Langsung
Anggaran Belanja dan Pengadaan Barang/Jasa. Pasal 77 ayat (2) mengatur :
“Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dapat memutuskan kontrak secara sepihak apabila :
a. kebutuhan barang/jasa dapat ditunda melebihi batas berkahirnya kontrak;
b. berdasarkan penelitian Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Penyedia Barang/Jasa tidak
akan mampu menyelesaikan keseluruhan pekerjaan walaupun diberikan kesempatan
sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan
pekerjaan untuk menyelesaikan pekerjaan;
11
Ibid.,h.5.
M. Anjang Cahyono
7
c. setelah diberikan kesempatan menyelesaikan pekerjaan sampai dengan 50 (lima puluh)
hari kalender sejak masa berkahirnya pelaksanaan pkerjaan, penyedia Barang/Jasa tidak
dapat menyelesaikan pekerjaan;
d. Penyedia barang/jasa lalai/cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya dan tidak
memperbaiki kelalainya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan;
e. Penyedia Barang/Jasa terbukti melakukan Kolusi Korupsi Nepotisme (KKN), kecurangan
dan/atau pemalsuan dalam proses pengadaan yang diputuskan oleh instansi yang
berwenang; dan/atau
f. Pengaduan tentang penyimpangan prosedur, dugaan Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN)
dan/atau pelanggaran persaingan sehat dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
dinyatakan benar oleh instansi berwenang.”
Jika kita mencermati ketentuan pasal di atas, ada ketimpangan antara pihak penyedia barang/jasa
dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), yaitu dalam hal Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
berwenang membatalkan kontrak secara sepihak apabila terjadi hal-hal yang melanggar kontrak
dengan penilaian personal dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sendiri. Tentu secara awam,
model klausul seperti ini sangat mirip dengan klausula baku. Namun yang menjadi persoalan
adalah, sebenarnya kewenangan itu berada di luar perjanjian dan diberikan oleh peraturan
perundang-undangan. Jadi secara tidak langsung sebenarnya, sejak awal kedudukan para pihak
adalah seimbang dalam perjanjian, namun menjadi timpang karena ada peraturan perundang-
undangan yang memberikan salah satu pihak kewenangan ekstra dari pihak lainnya.
Selanjutnya, penulis menghubungkan ketentuan pasal tersebut dengan alasan-alasan yang dapat
membatalkan perjanjian sebagaimana telah dibahas dalam sub-bab sebelumnya. Sejatinya,
kebebasan berkontrak berinti pada kedudukan kedua belah pihak yang sama kuat, mereka
memiliki (bargaining power) yang sama, sehingga masing-masing pihak berkeudukan sebagai mitra
kontrak. Karena itu, harus selalu diingat, bahwa penyusunan kontrak seyogyanya harus
mengedepankan win-win attitude, yaitu sebuah sikap yang dilandasi oleh itikad, bahwa kontrak itu
sedapat mungkin akan menguntungkan secara timba balik. Itulah sebabnya, pangkal tolak dari
setiap kontrak sebenarnya adalah itikad baik, sekalipun dalam penyusunannya boleh saja
melibatkan taktik dan strategi.12
Pada perkembanganya juga, prinsip kebebasan berkontrak mengalami berbagai macam
pembatansan-pembatasan dalam penerapannya, terutama terhadap akibat negative yang
ditimbulkan yaitu ketidakadilan dalam berkontrak. Disinilah Negara mengambil perannya untuk
membatasi hal tersebut baik melalui peraturan perundang-undangan ataupun melalui berbagai
putusan hakim. Akibat nyata dari perkembangan ini adalah berkurangnya kebebasan Individu.13
Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Friedman bahwa kebebasan berkontrak masih
dianggap aspek yang essensial dari kebebasan individu, tetapi tidak lagi mempunyai nilai absolut
seperti satu abad lalu (freedom of contract is still regarded as an essential aspect of Individual freesim, but
it has no longer the absolute value attributed to it a century ago).14 Namun, sejatinya adanya
pembatasan-pembatasan tersebut bertujuan untuk menyeimbangkan kedudukan para pihak agar
memiliki (bargaining power) yang sama dan menghindari akibat-akibat negative dari adanya
perjanjian. Di Indonesia, hal itu tertuang dalam pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata).
12
Budiono Kusumohamidjojo, Panduan Untuk Merancang Kontrak, Jakarta, Grasindo, 2001, h.3. 13
Herlien Budiono, Azas Keseimbanhan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berlandasakan Azazs
Azas Wigati Indonesia, alih bahasa Tristam P. Moeliono, Bandungm Citra Aditya Bakti, 2006, h.109 14
W. Friedman, Legal Theory, Foruth Edition, Londing, Steven and Sons Limited, 1960, h.369
PEMBATALAN SEPIHAK KONTRAK PENGADAAN JASA KONSTRUKSI PT CIKA KARYA
NUSANTARA OLEH PEJABAT PEMBUAT KOMITMEN DINAS PERUMAHAN RAKYAT
DAN KAWASAN, CIPTA KARYA DAN TATA RUANG PEMERINTAH KOTA SURABAYA
8
Kembali pada ketentuan pasal 77 ayat (2) diatas, jelas sebenarnya dapat dikatakan bahwa
ketentuan pasal tersebut mengakibatkan adanya ketimpangan (bargaining power) kedua belah
pihak, dalam hal ini pihak yang posisi tawarnya lebih kuat adalah pemerintah melalui Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK). Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Van Dunne, ia
berpendapat bahwa tidaklah tepat menyatakan perjanjian yang terjadi dibawah pengaruh
penyalahgunaan bertentangan dengan kebiasaan yang baik. Penyalahgunaan keadaan itu
berhubungan dengan terjadinya kontrak. Bahwa suatu perjanjian terjadi dalam keadaan-keadaan
tertentu tidak mempunyai pengaruh atas dibolehkan tidaknya sebab perjanjian itu.15
Penyalahgunaan keadaan itu menyangkut keadaan-keadaan yang berperan pada terjadinya
kontrak : menikmati keadaan orang lain tidak dibolehkan, tetapi menyebabkan kehendak yang
disalahgnakan menjadi tidak bebas.16 Selanjutnya, Cohen pernah berpendapat bahwa tidaklah
tepat untuk menggolongkan penyalahgunaan keadaan sebagai kausa yang tidak halal
(ongeoorloofde oorzak), karena kausa yang tiak halal memiliki ciri yang sangat berbeda, karena tidak
ada kaitannya dengan kehendak yang cacat (wilsgebrek). Perbedaanya adalah bahwa, dalam
ongeoorlofde oorzak tidaklah perlu salah satu pihak untuk mendalilkannya sebagai alasan untuk
membatalkan suatu perjanjian, namun hakim secara ex officio wajib mempertimbangkannya.
Dalam wilsgebrek: pernyataan batal atau pembatalan perjanjian hanya akan diperiksa oleh hakim
kalau didalilkan oleh yang bersangkutan.17
Melalui paparan penjelasan diatas, penulis dapat mengatakan bahwa sebenarnya, ketentuan yang
memberikan kewenangan terhadap Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk membatalkan
kontrak secara sepihak bukanlah merupakan hal yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan serta kaidah hukum yang ada di Indonesia. Karena pada dasarnya, ketika ketentuan
tersebut merupakan pelanggaran terhadap kaidah-kaidah hukum yang ada, maka ia dapat
dinyatakan sebagai kausa yang tidak halal (ongeoorloofde oorzak). Namun, ketentuan dalam
peraturan tersebut, merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden). Karena pada prinsipnya secara teoritis
perjanjian harus diawali oleh kedua belah pihak yang bersepakat dan mempunyai kedudukan
yang sama, posisi tawar menawar (bargaining power) yang sama juga. Adanya ketentuan pasal
tersebut merupakan sebuah pengejawentahan dari ketimpangan kedudukan salah satu pihak,
dalam hal ini adalah dalam kontrak pengadaan Barang/Jasa pemerintah, dimana pihak yang lebih
tinggi adalah pemerintah melalui Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Namun sesuai dengan apa
yang dinyatakan Cohen sebelumnya bahwa hal tersebut hanya dapat dikataka sebagai bentuk
wilsgebrek apabila ada pihak yang mendalilkannya sebagai alasan yang dapat membatalkan
perjanjian. Sepanjang tidak ada pihak yang mendalilkan demikian, maka ia bukanlah merupakan
penyalahgunaan, melainkan menurut heman penulis hanya sebagai salah satu penyebab yang
dapat menimbulkan penyalahgunaan keadaan dalam kontrak pengadaan Barang/Jasa
pemerintah.
2. Analisis Terhadap Sengketa Pembatalan Kontrak Secara Sepihak oleh Pemerintah Kota
Surabaya terhadap PT. Cika Karya Nusantara
Pada sub-bab sebelumnya, penulis telah memaparkan secara luas mengenai apakah pembatalan
kontrak secara sepihak yang dilakukan oleh pemerintah bertentangan dengan kaidah-kaidah
15
Van Dunne, Diktat Kursus Hukum Perikatan yang diterjemahkan Sudikno Martokusumo, Yogyakarta, h.9. 16
Ibid, h.10. 17
Varia Peradilan, 14 Nopember 1986, h.87.
M. Anjang Cahyono
9
hukum yang ada di Indonesia atau tidak. Berikutnya, dalam sub-bab ini penulis akan membahas
tentang contoh kasus yang terjadi karena adanya pembatalan kontrak secara sepihak oleh
pemerintah dalam kontrak pengadaan barang dan jasa. Kasus tersebut adalah kasus antara PT
CIKA KARYA NUSANTARA selaku penyedia jasa melawan Pemerintah Kota Surabaya. Kasus itu
didasari oleh keberatan dari pihak penyedia jasa atas pembatalan kontrak secara sepihak oleh
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang berujung pada pemberian sanksi daftar hitam selama 2
(dua) tahun oleh PPK terhadap penyedia jasa. Adapun duduk perkaranya, yaitu :
1. Bahwa penggugat sebagai pihak penyedia jasa telah melaksanakan pekerjaan
pembangunan Gedung Type B Sekolah Dasar Negeri Klampis Ngasem 1 No,246 dan IV No.
560 Surabaya yang telah disepakati oleh penggugat dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
pada Dinas Cipta Karya dan Rara Ruang Pemerintah Kota urabaya berdasarkan kontrak jasa
Pemborongan Dinas Cipta Karya Dan Tata Ruang No. 642.2/2304/436.6/2012, tanggal 6 juli
2012.
2. Bahwa pada saat penggugat melaksanakan pekerjaan pembangunan gedung Type B
Sekolah Dasar Negeri Klampis Ngasem I No. 246 dan IV No,560 Surabaya, penggugat
mengalami kendala dalam melaksanakan peerjaannya dikarenakan tidak diperbolehkannya
oleh pihak sekolah untuk melakukan aktivitas pekerjaan, sebagaimana surat dari Kepala
Sekolah Dasar Negeri Klampis Ngasem IV No. 560 Surabaya Nomor
422/22/436.5.6.16.8/2012, tanggal 13 nopmber 2012 tentang tidak diperbolehkannya
kendaraan material proyek Penggugat untuk masuk lokasi sekolah pada jam 08:00 sampai
dengan jam 15:00 karena pada jam tersebut ada aktivitas belajar mengajar. Apabila penggugat
melaksanakan pekerjaan pada jam tersebut, maka akan mengganggu kegiatan sekolah dan
membahayakan bagi para siswa, oleh karena itu Penggugat baru bisa melaksanakan pekerjaan
diluar jam belajar mengajar di sekolah tersebut, sehingga waktu pengerjaan pun menjadi
pendek atau berkurang dan berakibat tidak tepatnya waktu penyelesaian pembangunan
gedung sebagaimana yang disepakati dalam kontrak jasa pemborongan antara penggugat
dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
3. Bahwa kendala yang dihadapi oleh penggugat tersebut di atas, bukanlah suatu kesengajaan
yang dibuat oleh penggugat dikarenakan fakta di lapangan, pihak Dinas Cipta Karya dan Tata
Ruang (DCKTR) Pemerintah Kota Surabaya yang dalam hal ini PPK tidak pernah melakukan
sosialisasi kepada pihak sekolah akan adanya aktivitas pembangunan gedung di sekolah
tersebut,
4. Bahwa oleh karena keterbatasan waktu pengerjaan yang dilakukan oleh Penggugat, maka
oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dianggap pekerjaan Penggugat tidak selesai 100%
sebagaimana Kontrak Jasa Pemborongan. Namun Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) telah
memberikan perpanjangan waktu pengerjaan selama 50 (lima puluh) hari kepada Pengggugat
secara paksa, walaupun Penggugat sendiri sudah menyampaikan secara lisan kepada Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) bilamana waktu yang diberikan tersebut sangat mustahil untuk
bisa diselesaikan oleh Penggugat.
5. Bahwa setelah perpanjangan waktu pengerjaan yang diberikan oleh Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) kepada Penggugat, faktanya Penggugat tetap tidak dapat menyelesaikannya
100%.
6. Bahwa oleh karena Penggugat dianggao oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tidak dapat
menyelesaikan pekerjaan 100% sebagaimana yang telah disepakati, maka kepalada Dinas
Cipta Karya dan Tata Ruang (DCKTR) Pemerintah Kota Surabaya mengeluarkan Surat
PEMBATALAN SEPIHAK KONTRAK PENGADAAN JASA KONSTRUKSI PT CIKA KARYA
NUSANTARA OLEH PEJABAT PEMBUAT KOMITMEN DINAS PERUMAHAN RAKYAT
DAN KAWASAN, CIPTA KARYA DAN TATA RUANG PEMERINTAH KOTA SURABAYA
10
Pemberitahuan No.602/662/436.6/2013, tanggal 4 februari 2013 tentang penghentian
pekerjaan.
7. Bahwa penggugat pernah menyampaikan usulan secara lisan kepada Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) untuk bermusyawarah mufakat tentang perselisihan terkait tidak selesainya
pekerjaan Penggugat yang dikarenakan bukan kesalahan Penggugat, namun Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) tidak mengindahkan azas musyawarah mufakat sebagai langkah awal
timbunya perselisihan, maka Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) jelas-jelas telah melanggar
Pasal 98 PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG
PEDOMAN TEKNIS PELAKSANAAN ANGGARAN BELANJA LANGSUNG DAN
PENGADAAN BARANG/JASA.
8. Bahwa berdasarkan Surat Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (DCKTR) Pemerintah
Kota Surabaya tersebut, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) mengeluarkan Surat Pernyataan
Wanprestasi/Pemutusan Kontrak No.602/662/436.6/2013, tanggal 5 februari 2013 terhadap
Penggugat yang dinyatakan telah melakukan wanprestasi, sehingga dilakukan Pemutusan
Kontrak oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Penggugat diberikan sanksi dimasukkan
dalam daftar hitam.
9. Bahwa menurut penggugat, surat pernyataan Wanprestasi/Pemutusan Kontrak tersebut
mengandung kejanggalan dan atau keragu-raguan bagi Penggugat, karena Surat Pernyataan
Wanprestasi/Pemutusan Kontrak dibuat dan ditandatangani oleh seorang Plh. Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK).
10. Bahwa selain itu Surat Pernyataan Wanprestasi/Pemutusan Kontrak
No.642.2/0111/436.6.2/2013 tanggal 5 februari 2013 adalah suatu keputusan yang tidak
berdasar pada Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) sebagaimana yang tertuang
pada Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Neagara yang Bersih dan
Bebas Korupsi Kolusi Nepotisme. Bahwa keputusan tersebut sangat bertentangan dengan
AUPB yaitu pasal 3 khususnya pada asas bertindak cermat. Sesuai asas tersebut semestinya
Tergugat 1 dalam mengambil keputusan untuk memutuskan kontrak harus bertindak
berhatii-hati. Karena akibat keputusan Tergugat 1 akan timbul kerugian bagi penggugat.
11. Bahwa keputusan tergugat 1 juga tindak mengindahkan Asas Kebijaksanaan, asas tersebut
harusnya dijadikan rumusan dalam mengambil keputusan. Faktanya Tergugat 1 sangat
mengetahui kendala-kendala yang dihadapi oleh Penggugat sehingga Penggugat tidak dapat
menyelesaikan sebagaimana yang ditentukan dalam Kontrak Jasa Pemborongan.
12. Bahwa surat pernyataan Wanprestasi/Pemutusan Kontrak No.642.2/0111/436.6.2/2013
tanggal 5 februari 2013 yang dibuat dan ditandatangani oleh tergugat 1 adalah keputusan
yang tidak berdasar pada AUPB, sehingga surat tersebut haruslah dinyatakan batal atau tidak
sah dan mewajibkan Tergugat 1 untuk mencabut surat tersebut.
13. Bahwa lebih irnis lagi bagi penggugat, pada hari dan tanggal yang sama yaitu 5 februari
2013, tergugat II telag menetapkan penggugat pada daftar hitam penyedia barang/jasa selama
2 (dua) tahun terhitung 5 februari 2013 sampai dengan 5 februari 2015.
14. Bahwa terlebih lagi penetapan dafar hitam penyedia Barang/Jasa yang dibuat an
ditandatangani oleh Tergugat II terhadap penggugat sangat bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yaitu Peraturan Preside RI. Nomor 24 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/Jasa pasal 118 ayat 2 huruf b yang berbunyi “sanksi pencantuman
dakam daftar hitam” dan pasal 118 ayat a yang berbunyi “pemberinan sanksi sebagai
M. Anjang Cahyono
11
dimaksud pada ayat 2 huruf b dilakukan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna
Anggaran setelah mendapat masukan dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)/Unit Layanan
Pengadaan (ULP)/Pejabat pengadaan sesuai dengan ketentuan” j.o pasal 5 peraturan kepala
lembaga kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah nomor : 7 Tahun 2011 tentang
Petunjuk Teknis Operasional Daftar Hitam yang berbunyi : “Pengguna Anggaran/Kuasa
Pengguna Anggaran berwenang menetapkan Daftar Hitam terhadap Penyedia Barang/Jasa
dan/atau Penerbit Jaminan pada penyelenggaraan Pengadaan Barang/Jasa”
15. Bahwa terkait pembangunan gedung type B (SMPN 24 SURABAYA) penggugat sebagai
pihak penyedia jasa telah melaksanakan pekerjaan pembangunan gedung type B SMPN 24
Surabaya yang telah disepakati oleh penggugat dengan pejabat pembuat komitmen (PPK)
pada dinas cipta karya dan tata ruang pemerintah kota Surabaya berdasarkan Kontrak Jasa
Pemborongan Dinas Cipta Karta dan Tata Euang, No. 642.2/2197/436.6.2/2012 ranggal 28
juni 2012.
16. Bahwa penggugat dalam melaksanakan pekerjaan proyek pembangunan Gedung Type B
SMPN 4 Surabaya, ternyata menemui kendala dari warga setempat di lingkungan proyek
pekerjaan penggugat yang keberatan dengan keberadaan kendaraan pengangkuut material
proyek yang melweati akses jalan warga yang merupakan akses satu-satunya bagi penggugat
untuk mencapai likasi proyek, sehingga mengakibatkan rusaknya sarana jalan (paving dan
gorong-gorong). Untuk itu warga meminta Penggugat untuk sementara tidak melewati akses
jalan warga karena warga menuntut penggugat untuk memperbaiki sarana jalan warga, dan
jika perbaikan akses jalam warga tersebut selesai, maka penggugat boleh kembalo
melaksanakan proyek pekerjaannya dengan melewati kembali akses jalan warga tersebut.
17. Bahwa dari kendala yang dihadapi penggugat tersebut di atas, mengakibatkan molornya
waktu pengerjaan proyek gedung Type B SMPN 24 Surabaya, sehinngga penyelesaian
pekerjaan penggugat tidak sesuai dengan jadwal yang telah disepakati sebagaimana Kontrak
Jasa Pemboongan dan kendala yang dihadapi oleh Penggugat tersebut juga telah diketahu
sebelumnya oleh tergugat I saat diadakan rapat dengan warga setempat di lingkungan proyek
pekerjaan penggugat.
18. Bahwa dari kendala yang dihadapi oleh penggugat dalam pelaksanaan pekerjaan
pembbangunan Gedung-gedung type B SMPN 24 Surabaya, bukanlah suatu kesengajaan yang
dibuat oleh Penggugat. Fakta di lapangan penggugat dihadapkan dengan kendala dengan
warga setempat sehingga tidak dapat melaksanakan pekerjaan dengan maksimal
sebagaimana yang telah disepakati natara Penggugat dan PPK (Pejabat Pembuat Komitmen).
19. Bahwa kendala yang dihadapi oleh penggugat tersebut di atas, bukanlah suatu
kesengajaan yang dibuat oleh penggugat dikarenakan fakta di lapangan, pihak dinas cipta
karta dan tata ruang pemerintah kota Surabaya yang dalam hal ini PPK tidak pernah
melakukan sosialisasi kepada pihak sekolah akan adanya aktibitas pembangunan gedung di
sekolah tersebut.
20. Bahwa oleh karena keterbatasan waktu pengerjaan yang dilakukan oleh Penggugat, maka
oleh PPK dianggap pekerjaan penggugat tidak selesai 100% sebagaimana kontrak jasa
pemborongan, namun Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) telah memberikan perpanjangan
waktu selama 50 hari kepada penggungat secara paksa, walaupun penggugat sendiri sudah
menyampaikan secara lisan kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) bilamana waktu yang
diberikan tersebut sangat mustahil untuk bisa diselesaikan oleh Penggugat.
PEMBATALAN SEPIHAK KONTRAK PENGADAAN JASA KONSTRUKSI PT CIKA KARYA
NUSANTARA OLEH PEJABAT PEMBUAT KOMITMEN DINAS PERUMAHAN RAKYAT
DAN KAWASAN, CIPTA KARYA DAN TATA RUANG PEMERINTAH KOTA SURABAYA
12
21. Bahwa setelah perpanjangan waktu pengerjaan yang diberikan oleh Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) kepada penggugat, faktanya Penggugat tetap tidak dapat menyelesaikannya
100%.
22. Bahwa karena hal tersebut, tertanggal 4 februari 2013 hubungan kontrak diputus secara
sepihak dan pihak penyedia jasa dimasukkan dalam daftar hitam atau blacklist.
Berdasarkan duduk perkara tersebut, pihak PT Cika Karya Nusantara mengajukan upaya
pembatalan atas surat penghentian kontrak kepada Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya.
Melalui Putusan Nomor 47/G/2013, PTUN Surabaya mengabulkan gugatan PT Cika Karya
Nusantara dengan dalil yang pada prinsipnya adalah menyatakan bahwa Plh Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) telah melampaui
kewenangannya dan melakukan cacat prosedur dalam terbitnya surat keputusan penghentian
kontrak dan pemberian sanksi daftar hitam. Dalam pertimbangannya sangat sedikit dijumpai
bahwa majelis hakim PTUN Surabaya mempertimbangkan aspek keperdataan melainkan
hanya berkutat pada kewenangan. Tentu ini tidak salah karena memang sejatinya itulah
kompetensi dari Peradilan Tata Usaha Negara.
Hal tersebut berbeda dengan pertimbangan yang dipakai oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara dalam Putusan PTTUN Nomor 197/B/2013 yang mengabulkan permohonan banding
pihak tergugat dalam kasus tersebut. Pertimbangan majelis hakim dalam pengambilan keputusan
tersebut antara lain :
1. Bahwa menurut majelis hakim, Tergugat I/Pembanding dan Tergugat II/Pembanding dalam
eksepsi/ dan jawabanya, khususnya dalam eksepsinya mengajukan eksepsi kompetensi absolut
bahwa Pengadilan Tingkat Pertama tidak berwenang mengadilili karena merupakan
Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak dapat disengketakan du Pengadilan Tata Usaha
Negara sebagaimana dimaksud Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara yang telah diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009, selain itu Tergugat I dan Tergugat UU juga mengemukakan alasan-
alasan karena Penggugat/terbanding telah melakukan wanprestasi dalam kontrak
pemborongan barang dan jasa sebagaimana dimaksud sebelumnya.
2. Bahwa dengan mempertimbangkan bukti T I, II-5 dan 7 diubungkan dengan bukti P-3 an P-5
hubungan hukum antara tergugat I/Pembandung dan Penggugat/terbanding dalam kontrak
jasa pemborongan, yang mana Tergugat I sebagai pemberi kerja Kontrak Pemborongan dan
Jasa dan Penggugat/terbanding sebagai pelaksana kerja pemborongan dan jasa. Meskipun
tergugat I/Pembanding adalah salah satu instansi pemerintah dalam hal ini dapat dikualifikasi
sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, akan tetapi Tindakan yang dilakukan oleh tergugat
I/Pembanding dalam konteks oerkara ini adalah dalam posisi melaksanakan egiatan
keperdataan yaitu perjanjian pemborongan dan jasa. Dalam situasi perjanjian kontrak ini,
kedudukan hukum tergugat I/Penggugat adalah dalam ranah hubungan keperdataan yaitu
sebagai piak-pihak dalam perjanjian (kedua belah pihak berpekara terikat dalam kontrak kerja
yang mereka setujui bersama). Jadi tindakan tergugat I dalam menerbitkan atau melakukan
pemutusan hubungan kerja dan menyatakan Penggugtat/Terbanding melakukan wanprestasi
merupakan rangkaian kontrak pemborongan (Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa
ini). Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 2a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 seperti
yag didalilkan Tergugat I/Pembanding dan Tergugat II/ Pembanding. Sedangkan tindakan
Tergugat II/Pembanding merupakan tindak lanjut yang dlakukan Tergugat I/ Pembanding.
M. Anjang Cahyono
13
Dengan berdasarkan pertimbangan tersebut, majelis hakim menerima eksepsi yang diajukan
oleh pembanding.
Seperti yang telah penulis jabarkan sebelumnya, terdapat perbedaan pendapat antara majelis
hakim alam tingkat pertama dan majelis hakim dalam tingkat banding dalam memutus sengkete
tersebut. Perbedaan tersebut sangat mencolok berada pada apakah tindakan pemutusan kontrak
dan pemberian sanksi daftar hitam merupakan tindakan hukum publik pemerintah (publiek
rechtelijkehandelingen) atau tindakan hukum privat pemerintah (private rechtelijkehandelingen).
Untuk itu, pertama-tama penulis akan mengular secara singkat mengenai tindakan hukum
pemerintah (bestuur rechthandelingen).
Dalam koridor hukum administrasi, pemerintah merupakan subjek hukumnya. Hal ini berarti
dapat dikatakan bahwa pemerintah merupakan pendukung hak-hak dan kewejiban-kewajiban
hukum (dragger van de rechten en plichten). Selayaknya subjek hukum pada umumnya, pemerintah
juga melakukan tindakan. Tindakan tersebut adalah tindakan nyata (bestuur feitelijkehandelingen)
maupun tindakan hukum pemerintah (bestuur rechttelijkehandelingen). Tindakan nyata tidak
memiliki relevansi dengan hukum, oleh karenanya tidak menimbulkan akibat-akibat hukum.
Sedangkan tindakan hukum menurut Huisman merupakan tindakan yang berdasarkan sifat-
sifatnya dapat menimbullkan akibat hukum, “Een rechtshandeling is gericht op het scheppen van
rechten of plichten” yang artinya tindakan humum adalah tindakan yang dimaksudkan untuk
menciptakan hak dan kewajiban.
Berdasarkan pengertian tersebut terdapat beberapa unsur di dalamnya. Muchsan menyebutkan
unsur-unsur tindakan hukum pemerintahan adalah sebagai berikut :
a) Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintahan dalam kedudukannya sebagai penguasa
maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuursorganen) dengan prakarsa dan
tanggung jawab sendiri.
b) Perbuatan tersebut dapat dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan.
c) Perbauatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di
bidang hukum administrasi.
d) Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan Negara
dan rakyat.
Tindakan pemerintah yang termasuk dalam tindakan hukum dibagi dalam dua jenis, yaitu :
1. Tindakan Hukum Publik Pemerintah (publiek rechstelijkehandelingen). Tindkan hukum publik
pemerintah dibagi menjadi dua, yaitu : Perbuatan Hukum Publik yang Bersegi Satu (eenzijdige
publiekrechttelijke handelingen) dan Pebuatan Hukum Publik Pemerintah Bersegi Dua
(tweezijdige publiekerechtelijkke handelingen) yang oleh Van Der Pot, Kranenberg-Vegting,
Wiarda, dan Donner mengaki adanya hukum publik yang bersegi dua atau adanya perjanjian
dalam hukum publik. Ia memberi contoh, adanya kortverband contract atau kontrak kerja
jangka pendek yang diadakan seorang swasta sebagai pekerja dengan pihak pemerintah
sebagai pihak pemberi pekerjaa.
2. Tindakan Hukum Privat Pemerintah (privat rechtelijkkehandelingen), yaitu suatu tindakan
pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan hukum privat degan subyek hukum-hukum
lain. Seperti sewa-menyewa, jual-beli, dan sebagainya.
Mencermati penjelasan singkat mengenai tindakan hukum pemerintah di atas, maka menurut
penulis adalah tidak tepat ketika majelis hakim menyatakan bahwa tindakan penerbitan surat
penghentian kontrak secara sepihak dan pemberian sanksi blacklist terhadap PT. Cika Karya
Nusantara adalah murni sebagai tindakan dalam koridor hukum perdata. Bagi penulis,
pernyataan tesebut merupakan pelanggaran atas azas hukum vigilantibus jus scriptum (Hakim
PEMBATALAN SEPIHAK KONTRAK PENGADAAN JASA KONSTRUKSI PT CIKA KARYA
NUSANTARA OLEH PEJABAT PEMBUAT KOMITMEN DINAS PERUMAHAN RAKYAT
DAN KAWASAN, CIPTA KARYA DAN TATA RUANG PEMERINTAH KOTA SURABAYA
14
dilarang membuat kesembronoan dalam memutus perkara). Karena jika kita cermati penjelasan di
atas, maka dalam hal pembuatan kontrak pengadaan barang dan jasa, pemerintah tunduk dalam
hukum perdata, sedangkan dalam pengambilan keputusan untuk membatalkan kontrak secara
sepihak dan memberikan sanksi blacklist, kewenangan itu tidak diberikan oleh kontrak, namun
diberikan oleh Peraturan Presiden dan Peraturan Walikota Surabaya yang merupakan peraturan
perundang-undangan. Sehingga, tidakrlah tepat jika dikatakan itu merupakan private
rechtetlijkkehandelingen, melainkan merupakan tweezijdige publiekerechtelijkke handelingen dalam
bentuk perbuatan hukum keperdataan dalam ranah hukum publik.
Pada putusan hakim baik ditingkat pertama ataupun banding, majelis hakim tidak banyak
membahas mengenai hubungan keperdataan antara kedua belah pihak. Karenanya selain
menganalis sengketa ini melalui pertimbangan hakim, penulis akan menganalisa juga dengan
memperhatikan duduk perkara yang telah penulis paparkan sebelumnya.
Secara teoritis dan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam hukum perjanjian,
ada ketentuan mengenai hak-hal yang dapat membatalkan sebuah perjanjian berdasarkan
terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat yang telah diatur dalam ketentuan pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Syarat yang pertama adalah syarat subjektif
(kecakapan dan kesepakatan) yang jika tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan
(fernietigbaar) dan yang kedua adalah syarat objektif (adanya objek tertentu dan kausa yang halal)
yang jika tidak terpenuhi akan berakibat batal demi hukum terhadap perjanjian (nietig van
rechtswege).
Jika kita amati berdasarkan syarat objektifnya, tentu saja kontrak jasa pemborongan antara PT
Cika Karya Nusantara dan Pemerintah Kota Surabaya telah memenuhi segala syarat objektifnya.
Yaitu pertama, objek yang diperjanjikan adalah jelas yaitu jasa untuk pembangunan Gedung Type
A dan Gedung Type SDN Klampis Ngasem dan SMPN 24 Surabaya. Tentu saja juga, objek untuk
penyediaan jasa konstruksi bukanlah hal yang melanggar hukum, karenanya kontrak ini tidak
memuat kausa yang tidak halal.
Selanjutnya dari segi subjekif, tentu PT Cika Karya Nusantara dan Pemerintah Kota Surabaya
tidak perlu dipertanyakan kecakapannya menurut hukum. Sehingga, berikutnya adalah masalah
kesepakatan antara kedua belah pihak. Seperti yang telah penulis paparkan secara rinci dalam
sub-bab sebelumnya, dalam pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata),
diatur mengenai hal-hal yang dapat membatalkan kesepakatan karena adanya keccacatan dalam
berkehendak (wilsgebreken). Hal tersebut antara lain adalah adanya Kekhilafan atau kesesatan
(dwang), Paksaan (dwaling), Kebohongan atau penipuan (bedrog) dan ketentuan lain yang tidak
diatur dalam KUHPerdata yaitu Penyalahgunaan Keadaan (misbruik van omstandigheden).
Jika kita cermati dalam duduk perkara, tidak dapat kita temukan adanya unsur Kesesatan (dwang),
Paksaan (dwaling), ataupun kebohongan (bedrog). Namun jika kita amati terdapat penyalahgunaan
keadaan (misbruik van omstaghiden) dalam duduk perkara, yaitu :
• Bahwa kendala yang dihadapi oleh penggugat tersebut di atas, bukanlah suatu kesengajaan
yang dibuat oleh penggugat dikarenakan fakta di lapangan, pihak dinas cipta karta dan tata
ruang pemerintah kota Surabaya yang dalam hal ini Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tidak
pernah melakukan sosialisasi kepada pihak sekolah akan adanya aktivitas pembangunan
gedung di sekolah tersebut.
• Bahwa oleh karena keterbatasan waktu pengerjaan yang dilakukan oleh Penggugat, maka
oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dianggap pekerjaan penggugat tidak selesai 100%
M. Anjang Cahyono
15
sebagaimana kontrak jasa pemborongan, namun Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) telah
memberikan perpanjangan waktu selama 50 hari kepada penggungat secara paksa, walaupun
penggugat sendiri sudah menyampaikan secara lisan kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
bilamana waktu yang diberikan tersebut sangat mustahil untuk bisa diselesaikan oleh
Penggugat.
• Bahwa setelah perpanjangan waktu pengerjaan yang diberikan oleh Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) kepada penggugat, faktanya Penggugat tetap tidak dapat menyelesaikannya
100%.
Menurut penulis, melalui kronologis tersebut tentu telah terjadi Penyalahgunaan Keadaan
(misbruik van omstandigheden) yang dilakukan oleh Pihak Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
terhadap penyedia jasa konstruksi, dalam hal ini adalah PT. Cika Karya Nusantara. Karena, seperti
yang telah penulis jabarkan sebelumnya, penyalahgunaan keadaan dapat terjadi jika adanya
kedudukan yang tidak seimbang antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. Dalam hal ini
PPK melalui Peraturan Presiden dan juga Peraturan Wali kota Surabaya diberikan bargaining
power yang lebih kuat, karena dia diberikan kewenangan untuk memutuskan kontrak secara
sepihak ketika ada wanprestasi dengan salah satu bentuknya adalah keterlambatan dari pihak
penyedia jasa, dengan penilaian yang ditentukan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sendiri.
Hal ini terlihat jelas bahwa, walaupun sebenarnya kesalahan ada pada Pejabat Pembuat Komitmen
(PPK) yang tidak pernah mensosialisasikan pembangunan Gedung kepada pihak sekolah yang
menyebabkan terpotongnya waktu pelaksanaan pembangunan gedung. Juga tidak
disosialisakannya kepada warga tentang adanya kendaraan proyek yang akan lewat melalui jalur
utama warga. Terlebih ketika dilakukan rapat dengan warga, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
mengerti bahwa sebenarnya keterlambatan bukanlah kesalahan dari penyedia jasa. Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) memang memberikan solusi dengan memberikan tambahan waktu,
namun kesepakatan ini tidak didasari oleh consent kedua belah pihak, mengingat pihak penyedia
jasa sudah mengatakan bahwa tambahan waktu tersebut tidak akan cukup. Meskipun begitu, PPK
tetap menyatakan penyedia jasa dalam hal ini adalah PT. CIKA KARYA NUSANTARA
melakukan wanprestasi. Tentu bagi penulis, ini adalah bentuk penyalahgunaan keadaan yang
jelas-jelas dilakukan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) karena pihak penyedia jasa tidak
memiliki kedudukan tawar yang sama dalam menentukan apakah keadaan tersebut kesalahan
penyedia jasa ataupun tidak dan juga keadaan tawar menawar dalam hal penambahan waktu.
Kesalahan yang dilakukan oleh pihak penyedia jasa konstruksi (PT CIKA KARYA NUSANTARA)
adalah membawa hal ini dalam ranah Pengadilan Tata Usaha Negara. Padahal menurut penulis,
seharusnya terlebih dahulu pihak penyedia jasa menggugat secara keperdataan untuk
membatalkan klausula penambahan waktu yang tidak cukup dengan alasan bahwa dalam
menentukan hal itu Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) telah melakukan penyalahgunaan keadaan,
yang mengakibatkan kontrak tersebut dapat dibatalkan baik sebagian maupun seluruhnya.
Setelah itu barulah gugat Surat Penghentian Kontrak Kerja, serta Pemberian Sanksi Blacklist atau
daftar hitam dengan bukti tambahan berupa, dinyatakannya batal perjanjian itu oleh pengadilan.
Sehingga mau tidak mau surat Penghentian Kontrak Kerja dan Pemberian Sanksi Blacklist karena
dianggap wanprestasi, menjadi tidak relevan dan cacat secara materi.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan dalam sub-bab sebelumnya, maka penulis
mengambil kesimpulan yang antara lain :
PEMBATALAN SEPIHAK KONTRAK PENGADAAN JASA KONSTRUKSI PT CIKA KARYA
NUSANTARA OLEH PEJABAT PEMBUAT KOMITMEN DINAS PERUMAHAN RAKYAT
DAN KAWASAN, CIPTA KARYA DAN TATA RUANG PEMERINTAH KOTA SURABAYA
16
1. Ketentuan pemberian kewenangan kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk
membatalkan kontrak secara sepihak dan untuk menilai keadaan-keadaan yang
menyebabkan keterlambatan dari pihak penyedia jasa secara sepihak yang terdapat dalam
peraturan pelaksana Peraturan Presiden Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang lama,
tidaklah melanggar kaidah-kaidah hukum yang berlaku di Indonesia. Namun ketentuan
tersebut dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya penyalahgunaan keadaan (misbruik
van omstandigheden), karena terdapat ketimpangan kedudukan antara pihak pemerintah
dan penyedia barang/jasa.
2. Telah terjadi penyalahgunaan yang dilakukan oleh Pejabat Pembuat Komitmen atas PT
Cika Karya Nusantara dalam hal penambahan waktu kerja yang tidak disepakati kedua
belah pihak, namun diputus sepihak oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) karena, kedua
belah pihak tidak memiliki posisi tawar menawar (bargaining position) yang sama.
Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang telah penulis paparkan diatas, maka saran dari
penulis antara lain :
1. Ketentuan Peralihan yang ada pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16
Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah dirubah, sehingga tidak hanya
mennyatakan peraturan presiden Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang lama tidak
berlaku saja, melainkan juga segala peraturan pelaksana yang terkait dengannya. atau;
2. Diberikannya aturan tambahan pada Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang mengatur secara tegas bahwa Pejabat
Pembuat Komitmen (PPK) tidak bisa membatalkan kontrak secara pihak, dan terkait
pembatalan kontrak secara sepihak, harus diajukan terlebih dahulu ke Pengadilan Negeri.
Hal ini penting untuk menjaga posisi kedua belah pihak agar memiliki kedudukan, posisi
tawar menawar (berganing position), kekuatan tawar menawar (bargaining power) yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Budiono, Herlien, 2006, Azas Keseimbanhan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian
Berlandasakan Azazs Azas Wigati Indonesia, alih bahasa Tristam P. Moeliono, Bandung, Citra
Aditya Bakti,
_______________2011, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT
Citra Aditya Bakti, Bandung,
Djumialdji, F.X, 1991, Perjanjian Pemborongan, Jakarta, PT Rineka Cipta:
_____________,1996, Perjanjian Pemborongan, PT. Rineka Cipta, Jakarta,
Dunne, Van, Diktat Kursus Hukum Perikatan yang diterjemahkan Sudikno Martokusumo, Yogyakarta
Friedman, W, 1960, Legal Theory, Foruth Edition, Londing, Steven and Sons Limited.
Fuady, Munir, 1998, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
Hermoko, Agus Yudha, 2011, Hukum Kontrak Asas Proporsionalitas dalam Perjanjian Komersial,
Kencana: Jakarta,
HR, Ridwan, 2006 Hukum Aadministrasi Negara, Jakarta, Raja Grafindo Persada,
M. Anjang Cahyono
17
HS, Salim dkk, 2008, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (Mou), PT Sinar Grafika:
Jakarta,
H.S, Salim, 2008, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta,
_________, 2010, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, PT Sinar Grafika: Jakarta,
I. Ervianto, Wulfram, 2005 Manajemen Proyek Konstruksi, YogyakArtha: C.V Andi,
Kartini Muljadi dkk, 2006, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Kencana: Jakarta,
Kusumohamidjojo, Budiono, 2001, Panduan Untuk Merancang Kontrak, Jakarta, Grasindo,
Marzuki, Peter Mahmudi, 2010, Penelitian Hukum, Kencara Prenada Media Group, Jakarta
____________________, .2011 Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Media Group, cetakan ke 7
Mertokusumo, Sudikno, 2009,Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty: Yogyakarta,
Miru, Ahmadi, 2011 Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, PT Rajawali Press: Jakarta.
Muhammad,Abdulkadir, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti: Bandung,
Muchsan, 1981, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negara ke Peradilan Administrasi
Negara, Yogyakarta, Liberty,
Patrik, Purwahid, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Bandung : Mandar Maju,
Rahman, Hassanudin, 2003, Contract Drafting Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, PT. Citra
Aditya Bakti, Jakarta,
Simanjuntak, Ricardo, 2003, Akibat Dari Tindakan-Tindakan Hukum Terhadap Pencantuman Klausula
Baku Dalam Asuransi Yang Bertentangan Dengan Pasal 18 UU No.8/1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Jurnal Hukum Bisnis Vol 22,
S.S. Soemadipradja, Rahmad, 2010, Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa, Nasional Legal
Reform Program, Jakarta,
Subekti dan Tjitrosudibio, 2008, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT Pradnya Paramita:
Jakarta
Subekti, 1992, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet 24, Jakarta, PT. Intermensa,
______, Hukum Perjanjian, 2002, PT Intermesa, Jakarta,
Sutantio, Retnowulan, 1990, Perjanjian Menurut Hukum Indonesia, varia peradilan,Tahun V No.56
Mei
Utrecht, 1986, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Surabaya, Pustaka Tinta Mas,
Yasin, Nazarkhan, 2006, Mengenal Perjanjian Konstruksi di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama:
Jakarta,
Jurnal :
Bandingkan KUHPerdata, Redaksi Aksara Sukses, 2013
Fatmah Paparang, 2016, Misbruik Van Omstandigheden dalam Perkembangan Hukum Kontrak,
Internet :
https://www.hukum-hukum.com/2015/03/paksaan-dan-penipuan-dalam-perjanjian.html,
diakses tgl 3 April 2018.