Pemanfaatan minyak biji kapuk randu
-
Upload
akhi-setiawan -
Category
Presentations & Public Speaking
-
view
556 -
download
6
description
Transcript of Pemanfaatan minyak biji kapuk randu
PEMANFAATAN MINYAK BIJI KAPUK RANDU(Ceiba pentandra) DALAM PEMBUATAN BIODIESEL DENGAN TEKNOLOGI GELOMBANG MIKRO
1. Kapuk Randu
Kapuk adalah suatu serabut lembut yang tumbuh di sekitar suatu semak belukar yang asli kepada daerah
subtropis dan tropis. Serabut kapuk setelah diproses untuk memindahkan benih dan jejak lilin, protein, dll.
terdiri dari selulosa suatu polimer alami. Produksi kapas sangat efisien dimana hanya sekitar kurang dari
sepuluh persen berat dari kapuk yang terbuang sewaktu dilakukan pengolahan awal sehingga menjadi
bahan baku. Tanaman kapas tumbuh pada daerah tropis dan subtropis yang beriklim hangat (panas).
Tanaman kapuk umumnya merupakan tanaman yang pendek dan berpohon kecil. Buah kapuk dikatakan
matang dan siap dipanen jika telah berumur 5-6 bulan. Jenis kapuk yang telah dibudidayakan berjumlah
sekitar 200 varietas dan tiap varietas mempunyai bentuk buah dan struktur serat yang berbeda. Minyak ini
berasal dari India , cina, mesir, afrika, amerika selatan (balittas, 2000)
2. Minyak Biji Kapuk Randu
Minyak biji kapuk diperoleh dari biji tanaman kapuk. Minyak biji kapuk diperoleh dari proses
pengekstraksian biji kapuk. Spesies
yang umum dikenal dari tanaman kapuk yaitu :
- Gossypium hirsutum (USA dan Australia)
- G. arboreum dan G. herbaceum (Asia)
- G. barbadense (Egypt)
Biji kapuk ini memiliki kandungan minyak biji kapuk sebanyak 16,14 % dengan kelembaban < 10 %.
Kandungan asam lemak minyak biji kapuk yang paling banyak adalah asam linoleat C18:2 (asam lemak tak
jenuh / unsaturated fatty acid) (kemala, 2006).
Minyak biji kapuk biasanya digunakan sebagai alat penerangan, minyak pelumas, campuran lemak babi,
minyak salad, bahan untuk membuat sabun, membuat margarine, mambuat mentega putih (wikipedia,
2005).
3. Pemurnian Minyak Biji Kapuk
Tujuan utama dari proses pemurnian minyak adalah untuk menghilangkan rasa serta bau yang tidak enak,
warna yang tidak menarik (kecoklatan) dan memperpanjang masa simpan minyak sebelum dikonsumsi atau
digunakan sebagai bahan mentah dalam industri (Ketaren, 1986). Di dalam minyak yang belum dimurnikan
terdapat bermacam-macam kotoran yang larut maupun tidak larut dalam minyak dan suspense koloid.
Kotoran yang larut antara lain: asam lemak bebas, aldehida, keton, zat warna dan tokoferol. Sedangkan
yang tidak larut misalnya getah, lendir, protein, fosfatida yang berasal dari sumber minyak (Sardjono,
1983).
Pada umumnya minyak untuk tujuan bahan pangan dimurnikan melalui tahapan proses sebagai berikut: 1.
Pemisahan bahan dengan cara penguapan, degumming dan pencucian dengan asam, 2. Pemisahan asam
lemak bebas dengan cara netralisasi, 3. Dekolorisasi dengan proses pemucatan, 4. Deodorisasi, 5.
Pemisahan gliserida jenuh (stearin) dengan cara pendinginan (chilling). Disamping itu kadang dilakukan
penambahan flavour dan zat warna sehingga didapatkan minyak dengan rasa serta bau yang enak dan
warna yang menarik (Ketaren, 1986).
4. Transesterifikasi
Transesterifikasi adalah suatu reaksi antara ester dengan alkohol membentuk ester baru dan alkohol baru,
dalam hal ini terjadi pertukaran bagian alkohol suatu ester (Santoso, 1998). Shantha (1992) menyebutkan
bahwa pereaksi-pereaksi transesterifikasi secara umum dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu pereaksi
katalis asam dan basa. Katalis asam yang biasa digunakan adalah asam klorida dalam etanol, asam sulfat
dalam etanol dan borontrifluorida dalam etanol. Katalis basa yang biasa digunakan adalah natrium etoksida
dalam etanol dan Natrium hidroksida dalam etanol.
Transesterifikasi dengan katalis asam diawali dengan serangan proton terhadap atom oksigen gugus
karbonil menghasilkan kation yang terstabilkan oleh resonansi. Tahap kedua, alkohol (R -OH) sebagai
nukleofil menyerang atom karbon karbonil dari kation yang terstabilkan membentuk zat antara tetrahedral.
Tahap ketiga, terjadi eliminasi dan pembebasan proton menghasilkan ester dan alkohol baru. Reaksi
transesterifikasi berlangsung dapat balik sehingga untuk menggeser reaksi ke arah produk dapat dilakukan
dengan menggunakan salah satu pereaksi berlebih.
Mekanisme transesterifikasi dengan katalis basa diawali dengan reaksi antara ion hidroksida (OH-) dengan
alkohol membentuk alkoksida. Selanjutnya alkoksida yang terbentuk menyerang gugus karbonil (dengan
gugus karbonil sp2) pada ester A membentuk zat antara tetrahedral (dengan atom C sp3) yang sangat tidak
stabil, tahap selanjutnya eliminasi menghasilkan ester (B) baru dan alkohol baru (R’OH)
5. Biodiesel
Biodiesel merupakan bahan bakar yang dapat menggantikan bahan bakar solar yang renewable (Demirbas,
2007). Dengan semakin mahalnya dan terbatasnya BBM fosil di alam maka harus dicari energi alternatif
yang dapat diperbaharui yang antara lain biofuel misalnya biodiesel. Beberapa kajian seperti yang
dikemukakan oleh Robert Manurung ITB bahwa minyak nabati dapat langsung digunakan sebagai minyak
diesel. Namun demikian banyak penelitian lain menunjukkan bahwa minyak nabati memiliki viskositas yang
sangat tinggi (Demirbas, 2007) dapat 10-20 kali minyak solar, dan tingginya viskositas minyak nabati dapat
menyebabkan pembakaran tidak sempurna dan menimbulkan kerak pada ruang pembakaran. Agar minyak
nabati dapat digunakan sebagai bahan bakar harus diturunkan viskositasnya sampai mendekati viskositas
solar (Anonim Warta pertamina, 2006).
Reaksi transesterifikasi dari lemak/minyak dapat dilakukan untuk menurunkan viskositas minyak nabati
sehingga dihasilkan etil ester asam lemak. Transestrifikasi dapat menurunkan viskositas minyak nabati
sampai 85% (Alamu, 2007, dan Demirbas, 2007). Reaksi transesterifikasi minyak nabati dapat dilakukan
dengan mereaksikan minyak yang merupakan trigliserida dengan alkohol (metanol/etanol) dengan katalis
asam atau basa, sehingga dihasilkan alkil ester asam lemak dan hasil samping gliserol.
Secara stoikiometri 1 mol triasilgliserol (trigliserida) memerlukan 3 mol etanol (alkohol) dan dihasilkan 1
mol gliserol dan 3 mol ester asam lemak. Berdasarkan kajian mekanisme reaksi yang dilalui, reaksi
transesterifikasi pembuatan biodiesel melalui pembentukan zat antara (intermediate) yaitu mono dan
digliserida, dengan bentuk molekul tetrahidral (bentuk tidak stabil untuk gugus karbonil), seleha itu tahap
selanjutnya adalah pembentukan metil ester (Heyda, dkk., 2008).
Ester asam lemak yang dihasilkan selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar pengganti solar dan
sering disebut biodiesel. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi reaksi transesterifikasi minyak
nabati menjadi biodiesel yakni antara lain faktor perbandingan fraksi mol antara minyak dengan alkohol,
katalis yang digunakan dimana dapat katalis asam atau basa, kualitas bahan baku yang digunakan,
temperatur reaksi, dan kondisi berlangsungnya reaksi.
Pada pembuatan biodiesel secara konvensional, kondisi yang digunakan adalah dengan pengadukan
mekanis pada reaksi minyak nabati dengan metanol atau etanol. Cara ini menghasilkan rendemen yang
tidak terlalu tinggi dan memerlukan waktu relatif lama. Di samping itu juga adanya kesulitan dalam
memisahkan produk, biodiesel dan gliserol. Misalnya reaksi transterifikasi skala labobaratorium minyak
sawit (Crude Palm Oil) dengan etanol 20% dan katalis NaOH 1%, memerlukan waktu 90 menit dengan
rendemen hasil 95,4% (Alamu, 2007).
Untuk meningkatkan laju reaksi pembuatan biodiesel adalah proses kondisi alkohol superkritis dan proses
gelembung. Penggunakan etanol (alkohol) superkritis dalam pembuatan biodiesel dapat mengurangi
penggunaan katalis dan keberadaan air dalam jumlah tertentu dapat mempertinggi hasil (Kusdiana, 2004).
Namun teknologi superkritis memerlukan temperatur dan tekanan tinggi sehingga sulit dilakukan dan ma sih
efektif untuk skala laboratorium.
Transesterifikasi minyak nabati dengan alkohol menjadi biodiesel skala industri pada umumnya dilakukan
dengan sistem bath dengan pengadukan mekanis, dengan katalis basa pada perbandingan minyak dengan
etanol 1:6 , dan waktu yang diperlukan sekitar 2 jam dengan hasil rendemen yang dicapai sekitar 96%.
Pengaruh pengunaan katalis sangat berpengaruh pada laju reaksi pembuatan bidiesel. Katalis basa atau
asam dapat digunakan dalam reaksi transesterifikasi, namun demikian katalis basa lebih cepat dan kurang
korosif dibandingkan asam (Shweta Shah,2004). Sebagai katalis basa dapat digunakan kalium hidroksida
maupun natrium hidroksida. Sedangkan konsentrasi katalis basa juga menentukan laju dan hasil reaksi,
semakin tinggi konsentrasi katalis, reaksi akan berlangsung semakin cepat, namun jika konsentrasi katalis
basa terlalu tinggi akan timbul masalah dalam pemisahan hasil (Nouriddini, 1998). Bahkan pada konsentrasi
katalis basa lebih 8% hasil transesterifikas malah turun (Zyong Tang, 2007).
Salah satu reagen penting selain minyak dalam pembuatan biodiesel adalah alkohol yang digunakan dimana
alkohol yang diperlukan dapat etanol atau metanol. Senyawa etanol lebih banyak digunakan karena
harganya lebih murah (Wirawan, 2006), namun sebenarnya bersifat lebih toksik dibandingkan etanol.
Secara stoikiometri kebutuhan alkohol pada pembuatan biodiesel pada perbandingan 1:3, namun demikian
dalam praktek fraksi alkohol yang diperlukan bervariasi, dari 1:6 sampai 1:9 (Sharma, 2008) tergantung
bahan baku yang digunakan, semakin tinggi fraksi alkohol maka konversinya juga semakin tinggi (Nourodin,
1998).
Teknologi pembuatan biodiesel dengan reaksi transesterifikasi terus berkembang, dari yang konvensional
dengan hanya perlakuan pengadukan mekanis, sampai dengan alkohol superkritis, dan kini telah
berkembang dengan reaksi transesterifikasi yang dapat dipercepat dengan adanya gelombang microwave
dan ultrasonik. Reaksi transesterifikasi dengan teknologi ultrasonik dapat berlangsung lebih cepat dan d apat
menurunkan penggunaan katalis hingga 50 %, serta pemisahan hasil yang lebih mudah (Hielscher,2000),
Bahkan penggunaan gelombang ultrasonik tanduk getar dapat berlangsung dalam satu menit saja
(Bambang Susilo, 2008). Dengan kemajuan teknologi yang ada, secara nyata dapat meningkatkan laju
reaksi pembuatan biodiesel, namun demikian apakah dapat lebih efisien untuk pengembangan biodiesel di
Indonesia masih diperlukan kajian yang mendalam, karena teknologi yang dimaksud cukup mahal.
Kebutuhan minyak solar Indonesia sangat tinggi, meskipun sebagai negara penghasil BBM namaun untuk
memenuhi kebutuhan di dalam negeri Indonesia masih impor solar hampir 7 juta Kl/tahun. Dengan asumsi
hanya mensubstitusi 2% kebutuhan solar nasional kebutuhan biodiesel 800 ribu Kl/tahun (Anonim, Road
Map Kementrian ESDM, 2005), sehingga pasar biodiesel di Indonersia sangat besar. Pengembangan
biodiesel sebagai pengganti solar, meskipun dari aspek lingkungan lebih menguntungkan maka yang tidak
kalah pentingnya adalah tinjauan dari aspek ekonomisnya, karena kalau biodiesel jauh lebih mahal dari BBM
maka akan kurang mendapat respon dari pengguna (masyarakat atau industri). Oleh karena itu diperlukan
bahan baku biodiesel yang banyak terdapat atau mungkin dapat dikembangkan di indonesia serta
kontinuitas pasokannya terjamin. Minyak kelapa sawit (CPO), minyak jarak, limbah cair pabrik kelapa sawit
(CPO parit) serta minyak goreng bekas mempunyai potensi yang besar untuk dieksplorasi sebagai bahan
baku biodiesel.
Penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar mempunyai beberapa keuntungan yakni:
· Biodisel tidak akan habis karena dapat ditanam atau diperbaharui sumbernya.
· Dengan berkembangnya biodiesel jelas akan dapat memanfaatkan tanah-tanah kritis yang banyak tersebar
diseluruh pelosok tanah air.
· Menciptakan lapangan kerja baru baik dibidang pertanian/budidaya sawit dan jarak, pabrik -pabrik mini
agroindustri pengolah biodisel sehingga akibatnya dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
· Aman digunakan sebagai bahan bakar, emisi hidokarbon lebih sedikit, sehingga penggunaan biodisel ini
akan menurunkan polusi udara akibat kendaraan bermotor.