Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja...

49
Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai Musik Pengiring Ibadah TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas Teologi guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains dalam bidang Teologi (S.Si.Teol) Program Studi Teologi Oleh: Anggrayni Eka Putri Tresna Bunga 712013050 FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2017

Transcript of Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja...

Page 1: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari

terhadap Penggunaan Gamelan sebagai Musik Pengiring Ibadah

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas Teologi guna memenuhi

sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains dalam bidang

Teologi (S.Si.Teol)

Program Studi Teologi

Oleh:

Anggrayni Eka Putri Tresna Bunga

712013050

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2017

Page 2: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai
Page 3: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai
Page 4: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai
Page 5: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai
Page 6: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

vi

KATA PENGANTAR

Segala ungkapan syukur penulis naikkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena

melalui berkat dan kasih karunia-Nya yang melimpah, Tugas Akhir ini dapat

terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Campur tangan-Nya yang

begitu besar telah nyata dalam penyertaannya di setiap langkah perjuangan

penulis. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada:

Pertama, terima kasih yang sebesar-besarnya untuk Ayah, Ibu, dan Reyksi,

untuk setiap doa, kepercayaan dan motivasi yang selalu menjadi penyemangat

terbesar. Salam penuh cinta untuk kalian.

Kedua, terima kasih dan salam hormat kepada kedua dosen pembimbing,

Bapak Dr. David Samiyono dan Bapak Pdt. Dr. Jacob Daan Engel, atas bimbingan

dan pengarahan yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas

Akhir ini dengan baik.

Ketiga, terima kasih yang sebesar-besarnya kepada jemaat GKPB Pniel

Blimbingsari yang sangat ramah dan membantu penulis dalam mencari data untuk

menyelesaikan Tugas Akhir ini. Kiranya Tuhan selalu menyertai kehidupan iman

bapak dan ibu sekalian.

Keempat, terima kasih yang sebesar-besarnya untuk wali study, Bapak Dr.

Tony Tampake, yang telah menjadi orang tua yang selalu mengarahkan,

membimbing, dan memperhatikan penulis ditanah perantauan selama masa

perkuliahan ini.

Kelima, terima kasih dan hormat bagi seluruh dosen Fakultas Teologi

Universitas Kristen Satya Wacana, atas seluruh ilmu dan pengalaman yang telah

dibagikan untuk membuka wawasan berpikir penulis selama proses perkuliahan.

Terkhusus untuk Bapak Prof. Pdt. John A. Titaley dan Pdt. Yusak B. Setyawan,

Ph.D, yang selalu menginspirasi saya dalam memaknai kehidupan.

Keenam, terima kasih untuk seluruh staff tata usaha Fakultas Teologi

Universitas Satya Wacana (Ibu Budi, Mas Adi, Mas Eko, Mbak Liana) yang

sangat membantu penulis dalam mengurus administrasi.

Page 7: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

vii

Ketujuh, salam penuh cinta kepada Vocal Group Lentera Kasih yang telah

menjadi keluarga baru dalam mengembangkan potensi bermusik dan membuat

masa-masa perkuliahan penulis menjadi lebih berwarna.

Kedelapan, salam penuh cinta untuk Neny Woza dan Beatrix yang selalu

menemani dan memberikan semangat untuk menyelesaikan Tugas Akhir ini.

Kesembilan, salam penuh kasih untuk Edgar Funay yang selalu menemani,

memberikan semangat dan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan Tugas

Akhir ini. Kiranya Tuhan memberkati setiap langkah perjalanan ini.

Kesepuluh, terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang

telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini. Mohon maaf oleh

karena keterbatasannya, penulis tidak dapat disebutkan satu persatu. Kiranya

berkat Tuhan selalu melimpah.

Akhir kata penulis berharap agar Tugas Akhir ini dapat bermanfaat dan

memberikan sumbangan pengetahuan bagi sivitas akademika dan pihak-pihak

yang membutuhkan. Tuhan memberkati.

Salatiga, 12 September 2017

Penulis

Page 8: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

viii

DAFTAR ISI

Judul ......................................................................................................................... i

Lembar Pengesahan ................................................................................................ ii

Pernyataan Tidak Plagiat ....................................................................................... iii

Pernyataan Persetujuan Akses .............................................................................. iv

Pernyataan Persetujuan Publikasi ........................................................................ v

Kata Pengantar ....................................................................................................... vi-vii

Daftar Isi .................................................................................................................. viii

Motto ........................................................................................................................ ix

Abstrak ..................................................................................................................... x

I. Pendahuluan

Latar Belakang .................................................................................................... 1-4

Metode Penelitian .............................................................................................. 4-5

Sistematika Penulisan ........................................................................................ 5-6

II. Musik Tradisional sebagai Kebudayaan

Kebudayaan ........................................................................................................ 6-9

Unsur-unsur Kebudayaan ................................................................................... 9

Fungsi Kebudayaan ............................................................................................ 10-11

Gamelan sebagai Musik Tradisional .................................................................. 11-13

Penggunaan Musik di Gereja ............................................................................. 13-15

III. Gereja Kristen Protestan di Bali – di Blimbingsari

Letak Geografis dan Profil GKPB Pniel Blimbingsari ...................................... 15-18

Penggunaan Gamelan di GKPB Pniel Blimbingsari .......................................... 18-22

Kontroversi Penggunaan Gamelan sebagai Musik Pengiring Ibadah ................ 22-25

IV. Gamelan dalam Tradisi Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel”

Blimbingsari ...................................................................................................... 25-35

V. Penutup

Kesimpulan ........................................................................................................ 35-36

Saran ................................................................................................................... 36-37

Daftar Pustaka ......................................................................................................... 38-39

Page 9: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

ix

MOTTO

DREAM

BELIEVE

SEE IT

AND MAKE IT HAPPEN

Page 10: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

x

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis pemahaman

jemaat GKPB Pniel Blimbingsari terhadap penggunaan gamelan sebagai musik

pengiring ibadah. Gamelan merupakan alat musik tradisional masyarakat Bali

yang seringkali digunakan dalam upacara sakral umat Hindu. Oleh karena itu,

ketika gamelan digunakan di dalam ibadah Kristen dengan tujuan kontekstualisasi

gereja dengan budaya setempat, terjadi kontroversi di kalangan jemaat GKPB

Pniel Blimbingsari. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode deskriptif

kualitatif. Data diambil menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, seperti

observasi dan wawancara. Data yang telah didapat kemudian dianalisa

menggunakan teori kebudayaan dan musik tradisional. Pada akhirnya penulis

menemukan bahwa gamelan merupakan salah satu sarana bagi GKPB Pniel

Blimbingsari untuk mengakrabkan diri dengan masyarakat setempat. Melalui

gamelan sebagai budaya Bali jemaat ingin mengungkapkan bahwa meskipun

beragama Kristen, mereka bukanlah persekutuan yang eksklusif dan juga

merupakan orang Bali yang menghargai budaya Bali. Alasan beberapa jemaat

tidak setuju dengan penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah adalah

karena sebagian jemaat yang dulunya berlatarbelakang agama Hindu beranggapan

bahwa berani berkomitmen mengikut Kristus berarti harus meninggalkan

kehidupan yang lama dan hidup baru bersama Kristus, termasuk meninggalkan

budaya umat Hindu. Maka dari itu, GKPB Pniel Blimbingsari terus melakukan

pendekatan dengan cara menggunakan gamelan secara berkala di ibadah-ibadah

tertentu serta melakukan perkaderan terhadap generasi muda, sehingga jemaat

semakin lama mulai menyadari bahwa orang Kristen juga harus bertumbuh

bersama dengan masyarakat.

Kata kunci: gamelan, kebudayaan, kontekstualisasi.

Page 11: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

1

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Musik adalah ekspresi seni yang berpangkal pada tubuh. Musik terdiri atas

suatu peredaran atau feedback atau arus balik dari menyembunyikan,

mendengarkan, dan menyembunyikan kembali. Membuat musik sama artinya

dengan berdialog dengan tubuh. Setiap manusia tentunya akan sadar, jika mereka

sedang mempelajari suatu aliran musik tertentu, pastilah gerakan yang dilakukan

saat itu bukanlah gerakan tubuhnya sehari-hari.1

Musik berfungsi sebagai sarana untuk mengekspresikan ekspresi emosional,

kenikmatan estetis, hiburan, komunikasi, representasi simbolis, respon fisik,

memperkuat norma-norma sosial, pengesahan institusi-institusi sosial dan ritual,

sumbangan pada pelestarian dan stabilitas kebudayaan, dan sumbangan pada

integritas masyarakat. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa musik sangat

berkaitan dengan kehidupan manusia sebagai sarana untuk mengekspresikan

perasaan manusia, baik itu ekspresi sedih, senang, kecewa, bahagia, maka

penyajian musik yang tepat dapat menyentuh emosional manusia.2

Melihat kenyataan bahwa musik tidak dapat lepas dari kehidupan manusia,

maka tidak jarang musik juga dilibatkan dalam suatu kegiatan ibadah, dengan

kata lain, pada saat ini musik merupakan bagian integral dalam kegiatan ibadah

yang dilakukan oleh manusia, bahkan dalam tata ibadah gereja saat ini musik

memainkan peranan yang sangat penting karena didalamnya musik juga

merupakan suatu sarana yang dipakai untuk dapat mengekspresikan iman kepada

Tuhan.

Dalam konteks budaya, musik dapat memiliki ciri khas, corak, dan

warnanya tersendiri, tergantung kebutuhan sejarah dan lingkungan di mana

musik itu hidup. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa musik

itu bersifat kontekstual. Musik bukan saja merupakan suatu hal yang bersifat

universal tetapi juga bersifat lokal karena terkait dengan konteksnya.3

1 Shin Nakagawa, Musik dan Kosmos: Sebuah Pengantar Etnomusikologi (Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 2000), 42-43. 2 Alan P. Merriam, The Anthropology of Music (Northwestern: University Press, 1964),

222-226. 3 Aristarchus Sukarto, “Kontekstualisasi Musik Gerejawi: Suatu Pertimbangan Teologis

dan Kultura,” Jurnal Teologi Gema Duta Wacana, edisi Musik Gerejawi, No. 48 (1994): 119.

Page 12: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

2

Demikian halnya dengan musik gereja, di mana pada saat ini beberapa gereja

telah melakukan usaha kontekstualisasi musik gereja dengan budaya atau

lingkungan setempat, meskipun hal tersebut tidak mudah untuk dilakukan. Hal ini

terjadi karena pada kenyataannya banyak gereja telah merasa nyaman

menggunakan musik kontemporer sebagai musik pengiring ibadahnya, yang

menyebabkan situasi di mana gereja dianggap kurang mengenal dan tidak mau

berbaur dengan budaya yang ada. Ironisnya, ketika ada usaha dari gereja untuk

mengkontekstualkan diri dengan budaya yang ada, contohnya dengan

menggunakan musik tradisional sebagai musik pengiring ibadah, banyak anggota

jemaat yang pada akhirnya kurang bisa menikmati dan menghayati ibadah,

dikarenakan tidak terbiasa dengan iringan musik tradisional yang digunakan.

Padahal, merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan bahwa

kontekstualisasi musik gereja itu dilakukan sebagai upaya mengkontekstualkan

gereja itu sendiri, supaya gereja tidak menjadi bagian yang asing bagi

lingkungannya.

Salah satu contoh usaha mengkontekstualisasikan musik tradisional dalam

ibadah adalah dengan menggunakan iringan gamelan sebagai musik pengiring

ibadah. Kontekstualisasi musik tradisional dengan menggunakan gamelan ini

sebelumnya telah diteliti oleh Kurniawan, salah seorang mahasiswa Teologi,

Universitas Kristen Satya Wacana, yang meneliti penggunaan gamelan dalam

konteks GKJ (Gereja Kristen Jawa).

Usaha kontekstualisasi musik gereja ini juga dilakukan oleh jemaat GKPB

(Gereja Kristen Protestan di Bali), yang terletak di sebuah desa kecil bernama

Blimbingsari, di bagian barat Pulau Bali. Menjadi gereja yang berdiri ditengah

mayoritas masyarakat dan kebudayaan Hindu, GKPB Pniel Blimbingsari juga

memperlihatkan usahanya dalam mengkontekstualkan diri dengan kebudayaan

setempat. Hal ini menjadi nyata ketika dalam kegiatan ibadahnya, gereja ini

menggunakan alat musik tradisional, yaitu gamelan sebagai sarana pengiring

ibadah.

Dalam tradisi Bali, gamelan biasanya digunakan untuk mengiringi orang

yang sedang menari, digunakan untuk konser gamelan, sebagai hiburan, sebagai

sarana pendidikan moral, sebagai pengiring drama gong Bali dan sebagai sarana

Page 13: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

3

spiritual keagamaan.4

Dalam seni ritual keagamaan, musik gamelan adalah bagian yang integral

demi menciptakan aura mistis dalam ritual tersebut. Secara garis besar, ritual-

ritual ini memiliki ciri-ciri khas tersendiri, yaitu diperlukan tempat pertunjukkan

yang terpilih yang terkadang dianggap sakral. Diperlukan pemilihan hari serta

saat yang terpilih yang biasanya juga dianggap sakral. Diperlukan pemain yang

terpilih, biasanya mereka yang dianggap suci atau yang telah membersihkan diri

secara spiritual. Diperlukan seperangkat sesaji yang terkadang sangat banyak

jenis dan macamnya. Terakhir, lebih mementingkan penampilan secara estetis

dan memerlukan busana yang khas.5

Fungsi gamelan yang terakhir, yaitu sebagai sarana seni ritual keagamaan

inilah yang masih sangat kental terlihat di lingkungan GKPB, khususnya di

GKPB Pniel Blimbingsari, yaitu ibadah dilaksanakan dengan dipakainya gamelan

sebagai musik pengiring jalannya ibadah, tetapi disesuaikan dengan konteks

kekristenan.

Dalam perkembangannya, GKPB Pniel Blimbingsari berusaha untuk tetap

mempertahankan budaya, agar budaya itu tidak lenyap diterpa arus modernisasi

yang ada karena budaya juga merupakan suatu hal yang sangat berharga dan

mencerminkan identitasnya sebagai umat Kristiani yang bersuku Bali. Upaya

untuk tetap menjaga budaya Bali khususnya mempertahankan dan tetap

menggunakan gamelan ini terlihat dari banyaknya anggota jemaat, mulai dari

para generasi tua sampai anak-anak Sekolah Minggu, yang bisa memainkan

gamelan tersebut. Bagi mereka yang menikmati jenis musik gamelan ini merasa

bahwa ketika gamelan digunakan untuk mengiringi ibadah, maka hal itu mampu

memberikan nuansa baru pada saat ibadah berlangsung.

Akan tetapi, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, upaya

kontekstualisasi dalam hal musik gereja bukanlah merupakan hal yang mudah

untuk dilakukan. Permasalahan mulai muncul ketika terjadi pro dan kontra

diantara jemaat, dikarenakan tidak semua anggota jemaat bisa menerima jika

jalannya ibadah diiringi oleh musik tradisional, yaitu gamelan itu sendiri.

4 I Wayan Senen, Perempuan Dalam Seni Pertunjukan di Bali (Yogyakarta: BP ISI,

2005), 96. 5 I Nyoman Sukerna, Gamelan Jegog Bali (Semarang: Intra Pustaka Utama, 2003), 36.

Page 14: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

4

Fenomena ini tampak karena ada pengakuan dari beberapa jemaat di GKPB Pniel

Blimbingsari yang lebih menyukai ibadah jika diiringi oleh musik populer yang

bersifat kontemporer, yaitu musik yang muncul pada zaman ini, yang menjadi

populer di kalangan masyarakat umum dan mudah untuk diterima serta dihayati.

Beberapa jemaat ini menganggap penggunaan gamelan sebagai musik pengiring

ibadah terkesan mistik karena gamelan sering digunakan dalam upacara sakral

agama Hindu.6

Perbedaan pendapat ini jelas menjadi sebuah permasalahan yang serius di

dalam gereja, karena pada akhirnya akan ada jemaat yang kurang bisa bahkan

tidak bisa menghayati ibadah hanya karena merasa tidak nyaman dengan alunan

musik tradisional yang digunakan, sehingga kegiatan ibadah tidak membawa

pertumbuhan iman bagi jemaat. Oleh karena itu, pertanyaan penelitian

sehubungan dengan latar belakang ini adalah, “Bagaimana pemahaman jemaat

GKPB Pniel Blimbingsari terhadap penggunaan gamelan sebagai musik

pengiring ibadah?” dan tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan

menganalisis pemahaman jemaat GKPB Pniel Blimbingsari terhadap penggunaan

gamelan sebagai musik pengiring ibadah.

2. Metode Penelitian

Dalam penelitian kali ini, penulis melakukan jenis penelitian lapangan

dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan pengertian bahwa

penelitian ini akan dilakukan dengan cara mendeskripsikan permasalahan yang

ada untuk kemudian di analisa menggunakan beberapa teknik pengumpulan

data. Teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu

metode observasi, dan metode wawancara.

Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan

menggunakan panca indera mata sebagai alat bantu utamanya selain panca

indera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut dan kulit.7 Dalam penelitian

yang dimaksud pengamatan tidak hanya sekedar melihat saja melainkan juga

perlu keaktifan untuk meresapi, mencermati, memaknai dan akhirnya mencatat.

6 Wawancara dengan Bapak I Made John Ronny, Jemaat sekaligus Perkebel (Kepala

Desa) Blimbingsari, 28 Agustus 2016, 12.00 WITA. 7 Burhan Bungsin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan

Ilmu Sosial Lainnya (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 115.

Page 15: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

5

Jadi, dalam metode observasi alat yang digunakan dapat berupa pedoman

observasi, catatan, check list, maupun alat-alat perekam lainnya.8 Sehubungan

dengan itu, dalam penelitian ini penulis juga menggunakan teknik pengumpulan

data dalam bentuk observasi langsung ke tempat penelitian untuk mengetahui

secara langsung situasi dan kondisi di tempat penelitian.

Wawancara adalah proses tanya jawab secara tatap muka yang dilaksanakan

oleh pewawancara dengan orang yang diwawancarai untuk memperoleh

informasi yang dibutuhkan. Namun perlu diingat bahwa wawancara bukan

sekedar upaya tanya jawab untuk memperoleh informasi saja melainkan juga

untuk memperoleh kesan langsung dari responden, memancing jawaban

responden, menilai kebenaran jawaban yang diberikan.9 Penulis juga

menggunakan teknik wawancara untuk mengetahui pemahaman jemaat terhadap

permasalahan yang akan dianalisa di dalam penelitian ini. Adapun informan

yang akan diwawancarai adalah pendeta, majelis, dan beberapa warga dewasa

(warga SIDI) di GKPB Pniel Blimbingsari. Alasan penulis memilih GKPB Pniel

Blimbingsari sebagai lokasi penelitian adalah karena gereja ini merupakan salah

satu gereja yang masih menggunakan gamelan sebagai musik pengiring ibadah.

Iringan gamelan biasanya digunakan dalam prosesi ibadah Minggu di minggu I,

di mana ibadah tersebut menggunakan bahasa daerah, bahasa Bali. Selain itu,

terdapat juga kontroversi karena berbagai alasan diantara jemaat akibat

penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah.

3. Sistematika Penulisan

Penulis akan membagi tulisan ini ke dalam 5 bab, yakni sebagai berikut:

Bagian satu adalah pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bagian

dua adalah landasan teori tentang musik tradisional dalam ibadah yang meliputi

pemahaman tentang gamelan dan peran gamelan dalam ibadah. Selain itu akan

disajikan juga teori tentang kebudayaan. Bagian tiga adalah temuan hasil

penelitian di lapangan yang meliputi deskripsi dan pemahaman jemaat. Bagian

8 B. Sandjaja dan Albertus Heriyanto, Panduan Penelitian (Jakarta: Prestasi Pustaka

Publisher, 2006), 143. 9 Sandjaja dan Heriyanto, Panduan Penelitian, 147.

Page 16: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

6

empat adalah pembahasan dan analisa hasil penelitian di lapangan dengan teori

kebudayaan dan musik tradisional. Bagian kelima adalah penutup yang meliputi

kesimpulan berupa temuan yang di dapat melalui pengolahan data hasil

penelitian dan saran kontribusi untuk penelitian selanjutnya.

II. MUSIK TRADISIONAL SEBAGAI KEBUDAYAAN

1. Kebudayaan

Kebudayaan merupakan fenomena yang menyangkut keseharian dari orang-

orang yang menetap disuatu tempat. Ada banyak ahli dan teori yang mencoba

mendeskripsikan apa itu kebudayaan. Menurut ilmu antropologi, kebudayaan

adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam

rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.10

Hal itu berarti hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan karena hanya

sedikit dari tindakan manusia dalam rangka kehidupan manusia yang tidak perlu

dibiasakan dengan belajar.11

Setiap jejak manusia dapat dijadikan kebudayaan.

Jika lebih dikembangkan lagi seluruh ide, pemikiran yang timbul dari pemikiran

manusia dapat menjadi karya dalam kehidupan ini dan dapat menunjuang

kehidupan yang lebih baik pada manusia itu sendiri.12

Maka dari itu, dapat

dikatakan bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari unsur-unsuk kebudayaan

dikarenakan berbagai tindakan, baik yang menghasilkan suatu karya baru atau

menggunakan karya yang lama.

Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk

jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Oleh karena itu, kebudayaan

dapat diartikan sebagai, “hal-hal yang bersangkutan dengan akal.” Ada pendapat

lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari majemuk budi-

itu.13

Melalui pengertian ini dapat dikatakan bahwa kebudayaan merupakan wujud

dari setiap rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola dan dijadikan

sebagai sebuah identitas dalam kelompok-kelompok tertentu. Manusia dan

10

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Aksara Baru, 1979), 193. 11

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, 194. 12

Ridayani Simanjuntak, “Esensi Pendidikan Tarian Serampang Dua Belas,” dalam

Korelasi Kebudayaan dan Pendidikan: Membangun Pendidikan Berbasis Budaya Lokal, ed.

Bungsran Antonius Simanjuntak (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), 168. 13

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, 195.

Page 17: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

7

kebudayaan itu juga dapat dikatakan saling terkait satu sama lain. Tanpa manusia,

kebudayaan itu tidak akan lahir, begitu juga tanpa kebudayaan manusia akan

terlihat seperti mati.

J.J. Honigmann membedakan adanya tiga “gejala kebudayaan”, yaitu ideas,

activities, dan artifacts. Ketiga gejala kebudayaan ini selaras dengan pendirian

Koentjaraningrat yang berpendapat bahwa ada tiga wujud kebudayaan. Wujud

pertama yang selaras dengan ideas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu

kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan

sebagainya. Wujud pertama juga sering dikatakan sebagai wujud ideal dari

kebudayaan. Dalam hal yang pertama ingin menjelaskan bahwa ide maupun

gagasan itu tidak dapat dilihat maupun diraba, namun harus diaplikasikan dan

dituangkan dalam tulisan-tulisan yang berkualitas dan dijadikan buku-buku yang

bermanfaat bagi masyarakat setempat maupun masyarakat luas. Ide-ide dan

gagasan-gagasan ini pada akhirnya akan membentuk suatu sistem budaya atau

cultural system, yang pada saat ini sering disebut dengan adat istiadat.14

Manusia merupakan homo socius atau makhluk yang selalu berkawan. Pola

hidup demikian dapat membentuk sebuah relasi sosial yang menjadikan manusia

hidup secara berkelompok.15

Akan tetapi, nyatanya pola hidup berkelompok tidak

dapat sepenuhnya menjamin bahwa kehidupan manusia akan berjalan damai tanpa

adanya kekacauan. Hal ini dikarenakan meskipun manusia merupakan homo

socius, disatu sisi pada dasarnya manusia adalah makhluk yang rasional, penuh

perhitungan, berpusat pada diri sendiri (selfish), dan individualis.16

Sifat seperti

ini seringkali menjadikan manusia sebagai makhluk yang selalu ingin bersaing

dalam hal apapun dan pada akhirnya menjadi penyebab kekacauan di dalam

sebuah kelompok masyarakat. Maka dari itu, diperlukan sebuah sistem, atau

norma-norma, atau peraturan untuk mengatur pola hidup masyarakat yang pada

saat ini tertuang dalam adat istiadat. Oleh karena itu, di dalam perbedaan

sekalipun adat istiadat yang terbentuk dari ide-ide dan gagasan-gagasan, yang

telah disepakati bersama di dalam masyarakat pada akhirnya akan mempersatukan

14

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, 200-201. 15

Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Kebudayaan: Proses Realisasi Manusia

(Yogyakarta: Jalasutra, 2010), 72. 16

Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Teori-Teori Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius,

2013), 54.

Page 18: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

8

segala perbedaan yang ada. Kesatuan ini pada akhirnya akan membentuk rasa

aman dan damai yang sudah seharusnya dilestarikan sebagai media pembelajaran

bagi masyarakat setempat maupun masyarakat luas.

Wujud kedua adalah wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas

serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud kedua ini juga

disebut dengan sistem sosial atau social system. Sistem sosial ini terdiri atas

aktivitas-aktivitas manusia seperti berinteraksi, bersosialisasi, serta bergaul

dengan manusia yang lain, menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan nilai-nilai

yang telah disepakati dan adat tata kelakukan. Aktivitas manusia ini tidak abstrak,

tetapi konkret, dapat dilihat dengan cara difoto, didokumentasikan, diobservasi.17

Proses terbentuknya suatu masyarakat adalah apabila ada sekelompok orang yang

bermukim disatu wilayah, yang hidup bersama dan mendukung nilai-nilai, dan

cara berlaku atau kebudayaan yang dimiliki bersama dalam hidup kelompok

tersebut. Manusia yang hidup berkelompok atau masyarakat ini hidup bersama

dengan menganut nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai tersebut menjadi pedoman bagi

masyarakat bersangkutan, yang diabstraksikan dan dinamakan kebudayaan. Hal

ini menandakan bahwa, masyarakat yaitu orang-orang yang hidup berkelompok,

tidak pernah terpisah dari nilai-nilainya.18

Nilai-nilai kebudayaan inilah yang pada

akhirnya membentuk suatu sistem sosial di dalam masyarakat. Sistem sosial inilah

yang menjadi pedoman agar manusia bisa hidup berdampingan satu sama lain,

karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan relasi

dengan sesamanya.

Wujud kebudayaan ketiga adalah kebudayaan sebagai benda-benda hasil

karya manusia. Wujud ketiga ini disebut juga sebagai kebudayaan fisik dan tidak

memerlukan banyak penjelasan, karena berupa keseluruhan dari hasil fisik dan

aktivitas, perbuatan, dan karya manusia itu sendiri.19

Kebudayaan fisik ini sangat

mudah dijumpai disekitar kita, dalam rupa benda-benda yang memperlengkapi

aktivitas manusia sehari-hari. Salah satu benda hasil karya manusia yang

merupakan wujud fisik dari kebudayaan adalah alat-alat musik, misalnya gamelan.

17

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, 201-202. 18

T. O. Ihromi, Pokok-pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Indonesia, 2016), xviii-xix. 19

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, 202.

Page 19: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

9

Dalam kebudayaan Bali, gamelan merupakan wujud fisik yang digunakan sebagai

musik pengiring berbagai macam kegiatan, terutama sebagai sarana spiritual

untuk membangun suasana ibadah sehingga orang-orang dapat lebih menghayati

jalannya ibadah tersebut.

Ketiga wujud kebudayaan yang terurai diatas, dalam kehidupan manusia

berkaitan satu dengan yang lainnya. Kebudayaan ideal dan adat istiadat dapat

mengatur dan memberikan arah kepada tindakan aktivitas manusia sehingga

menghasilkan kebudayaan fisik yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia

itu sendiri. Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup

tertentu yang lama-kelamaan semakin menjauhkan manusia dari lingkungan

alamiahnya sehingga mempengaruhi pola perbuatan dan cara berpikir manusia.20

2. Unsur-unsur Kebudayaan

Keseluruhan tindakan masyarakat luas yang berpola itu dapat diperinci ke

dalam pranata-pranata yang khusus. Sejajar dengan hal tersebut suatu kebudayaan

yang luas itu pun dapat pula diperinci ke dalam unsur-unsurnya yang khusus. Ada

tujuh unsur-unsur kebudayaan yang dapat ditemui pada semua bangsa di dunia ini.

Ketujuh unsur tersebut adalah bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial,

sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem

religi, dan kesenian.21

Ketujuh unsur-unsur ini saling berkaitan satu dengan yang

lainnya. Misalnya saja dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan sarana penyalur

kepercayaan, nilai, estetika, dan norma, termasuk seni dan religi, bahkan unsur-

unsur lain pun dapat melebur di dalamnya. Keterkaitan ketujuh unsur-unsur ini

dapat menjadi suatu tatanan yang mengatur pola hidup masyarakat yang

multikultur.

3. Fungsi Kebudayaan

Kebudayaan memiliki fungsi yang sangat besar bagi kehidupan manusia dan

masyarakat. Dikatakan demikian karena kebutuhan-kebutuhan masyarakat

sebagian besar dipenuhi melalui kebudayaan yang bersumber dari pada

masyarakat itu sendiri, meskipun seringkali hasil dari kebudayaan itu juga terbatas

20

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, 202. 21

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, 217-218.

Page 20: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

10

dalam memenuhi kebutuhan manusia. Maka dari itu, secara fungsional,

keberadaan kebudayaan dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

Pertama, fungsi kebudayaan untuk melindungi diri terhadap alam, di mana

hasil karya dari manusia, menimbulkan teknologi atau kebudayaan fisik yang

mempunyai kegunaan utama di dalam melindungi masyarakat terhadap

lingkungan alamnya.22

Pemanfaatan kebudayaan yang baik dapat menjadikan

manusia lebih bisa untuk menghadapi tantangan-tantangan alam di sekitarnya.

Kedua, fungsi kebudayaan untuk mengatur hubungan antar manusia.

Khususnya dalam mengatur hubungan antar manusia, kebudayaan disebut sebagai

suatu struktur normatif atau design for living, yaitu garis-garis atau petunjuk-

petunjuk dalam hidup. Artinya kebudayaan adalah suatu garis-garis pokok tentang

perilaku mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang dilarang.23

Garis-garis

pokok atau petunjuk hidup ini diwujudkan dalam suatu sistem budaya atau adat

istiadat yang telah disepakati bersama dalam suatu masyarakat tertentu. Nilai-nilai

yang tertuang dalam adat istiadat inilah yang menjadi pedoman untuk mengatur

hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat.

Ketiga, fungsi kebudayaan sebagai wadah segenap perasaan manusia. Apabila

manusia sudah dapat mempertahankan diri dan menyesuaikan diri dengan alam,

dan juga jikalau manusia telah mampu hidup dengan manusia lain dalam suasana

damai, maka timbullah keinginan manusia untuk menciptakan sesuatu dalam

menyatakan perasaan dan keinginannya kepada orang lain. Dalam menyatakan

perasaan dan keinginannya, manusia mewujudkannya dalam suatu karya. Salah

satu contohnya adalah kesenian yang dapat berwujud seni suara, seni musik, seni

tari, seni lukis, seni ukir, dan lain sebagainya.24

Gamelan adalah salah satu hasil

karya manusia yang berwujud karya seni musik, dengan kata lain gamelan

merupakan wujud dari fungsi kebudayaan untuk menyatakan perasaan manusia

melalui sebuah karya seni.

Setiap daerah dan setiap kelompok masyarakat memiliki kebudayaan yang

berberbeda-beda. Maka dari itu, nilai-nilai dari kebudayaan itu sendiri juga

berbeda disatu tempat dengan tempat yang lainnya, tergantung dimana

22

Tri Widiarto, Pengantar Antropologi Budaya (Salatiga:Widya Sari Press, 2005), 41-42. 23

Widiarto, Pengantar Antropologi, 42-46. 24

Widiarto, Pengantar Antropologi, 46-47.

Page 21: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

11

kebudayaan itu tumbuh. Mentaati kebudayaan, melestarikan kebudayaan, dan

pemanfaatan kebudayaan dengan cara bijak sudah seharusnya dilakukan oleh

kelompok masyarakat, sehingga kebudayaan tersebut dapat menjadi sarana untuk

mengatur kehidupan masyarakat menuju kehidupannya yang damai. Gamelan

merupakan salah satu kebudayaan lokal yang dimiliki oleh masyarakat tertentu,

misalnya masyarakat Bali

4. Gamelan sebagai Musik Tradisional

Musik adalah seni pengungkapan gagasan melalui bunyi, yang unsur

dasarnya berupa melodi, irama, dan harmoni, dengan unsur pendukung berupa

gagasan, sifat, dan warna bunyi. Dalam penyajiannya, musik seringkali juga

berpadu dengan unsur-unsur lain, seperti bahasa, gerak, ataupun warna.25

Hal ini

menandakan bahwa musik mempunyai peranan di dalam aktivitas manusia,

seperti dalam pekerjaan, dalam bidang tari, atau dalam bidang permainan. Musik,

seperti juga bahasa, merupakan aktivitas manusia yang menggunakan elemen

dasar suara. Perbedaannya terletak pada tujuan dan pengaturannya.

Di Indonesia, musik berkembang sesuai dengan tradisi yang ada di

masyarakat tertentu dan diwariskan secara turun-temurun. Musik tersebut dikenal

dengan musik tradisional. Musik tradisional berasal dari luapan makna emosi

masyarakat, sejarah, dan kehidupan masyarakat yang terdiri dari fungsi, bentuk,

sejarah dan ciri khas daerah tertentu.26

Musik tradisional mempunyai ciri dan sifat

yang dapat membedakan dari mana musik tradisional itu berasal.27

Oleh karena

itu, dapat dikatakan, bahwa musik tradisional dalam banyak hal digunakan untuk

keperluan hidup suatu komunitas yang kemudian menyebabkan musik tradisional

identik dengan identitas suatu daerah.

Secara umum musik tradisional memiliki beberapa ciri-ciri: 1) Ide musik

tidak disampaikan melalui tulisan berupa notasi atau partitur, tetapi secara lisan

oleh penciptanya. 2) Diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke

generasi berikutnya secara lisan, sehingga tetap dikenal oleh masyarakatnya. 3)

25

M. Soeharto, Kamus Musik (Jakarta: Gramedia, 1992), 86. 26

Philip V. Bohlman, The Study of Folk Music in The Modern World (Bloomington:

Indiana University Press, 1988), 16. 27

Sila Widhyatama, Sejarah Musik dan Apresiasi Seni (Jakarta: Balai Pustaka, 2012), 35-

36.

Page 22: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

12

Syair lagu berbahasa daerah. Selain itu, alunan melodi dan iramanya juga

menunjukkan ciri khas kedaerahan. 4) Iring-iringan lagu menggunakan alat musik

khas daerah.28

Kesenian tradisional pada umumnya tidak diketahui pasti kapan

dan siapa penciptanya. Hal ini dikarenakan kesenian tradisional atau kesenian

rakyat bukan merupakan hasil kreativitas individu, tetapi secara anonim bersama

kreatifitas masyarakat yang mendukungnya.29

Sampai saat ini nyatanya musik

tradisional dapat terus hidup di dalam hati masyarakat karena secara tidak

langsung tradisi yang diwariskan secaea turun-temurun tersebut lama-kelaman

menjadi sebuah ciri khas dan jati diri daerah di mana musik tradisional itu

berkembang, dengan kata lain, suatu musik tradisional di dalamnya terdapat

gambaran mentalitas, prinsip-prinsip ekspresif, dan nilai-nilai estetik suatu jenis

masyarakat.

Dalam perkembangannya musik tradisional juga dibagi atas musik

instrumental dan musik vokal. Musik instrumental bersumber dari alat-alat musik

yang digunakan untuk menghasilkan bunyi. Musik instrumental dibedakan

berdasarkan cara penggunaannya, alat musik tiup (seruling, terompet, flute, dan

lainnya), alat musik tabuh (gamelan, tifa, rebana, drum, kolintang, dan lainnya),

alat musik petik (gitar, kecapi, harpa, dan lainnya). Sementara itu, musik vokal

bersumber pada suara manusia.30

Dalam kenyataannya kedua jenis musik ini

seringkali digunakan secara bersama-sama.

Dibeberapa wilayah di Indonesia perkembangan seni tradisional sangat dijaga

kelestariannya, bahkan dalam berbagai kegiatan kedaerahan seni musik tradisional

menjadi sarana pilihan, baik itu untuk hiburan ataupun sarana spiritual.

Gamelan, merupakan salah satu alat musik tradisional yang bersifat

instrumental, yang seringkali digunakan dalam setiap kegiatan kedaerahan,

khususnya Jawa dan Bali. Gamelan adalah suatu bentuk pernyataan musikal yang

bersifat majemuk dan mempunyai tingkat perkembangan yang tinggi serta maju.31

Gamelan berasal dari kata “gamel”, yang dalam bahasa Jawa dan Bali berarti

28

Maryanto, Dwi Wahyu Candra Dewi, dan Syahlan Mattiro, Tinjauan Etnomusikologi:

Musik Kuriding Suku Dayak Bakumpai (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2014), 19. 29

Umar Kayam, Seni, Tradisi, Masyarakat (Jakarta:Sinar Harapan, 1981), 60. 30

M. Th. Mawene, Gereja yang Bernyanyi (Yogyakarta: Andi, 2004), 1-2. 31

Ensiklopedi Musik Indonesia: Seri F-J (Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, 1985) 22.

Page 23: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

13

“pukul”.32

Jadi, gamelan merupakan suatu aktifitas menabuh yang dilakukan oleh

beberapa orang, yang kemudian menjadi nama suatu alat musik ansambel.

Berbeda dari masyarakat Jawa, masyarakat Bali menyebut gamelan dengan

gambelan. Terdapat kurang lebih 26 perangkat gamelan di Bali, di mana

perangkat satu dengan yang lain memiliki fungsi, ricikan (tangguhan), pendukung,

maupun repertoar gending (nyanyian) yang berbeda-beda. Gamelan Bali biasanya

lebih menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong.33

Sama halnya

dengan kebudayaan musik ditempat lain, gamelan Bali juga memiliki sejarah yang

panjang hingga perkembangannya sampai saat ini. Gamelan pn memiliki makna

yang mendalam bagi masyarakat Bali, karena tidak hanya digunakan sebagai

sarana hiburan semata, melainkan juga sebagai sarana spiritual untuk mengiringi

ritus-ritus keagamaan.

5. Penggunaan Musik di Gereja

Sejak awal hadirnya sejarah musik, musik memang dipergunakan sebagai

sarana pemujaan karena musik dianggap berasal dari dewa-dewi.34

Seiring

dengan berjalannya waktu, lahirnya kekristenan dan musik pun menjadi bagian

yang integral dalam kehidupan kekristenan. Istilah musik liturgi atau musik

gereja atau musica sacra digunakan sebagai penggambaran terhadap

berkembangnya musik dalam suasana kekristenan, serta menjadi salah satu

unsur dan bentuk ungkapan liturgi gereja. Oleh karena itu, istilah musik gereja

sering dipahami sebagai keseluruhan jenis musik yang digunakan dalam liturgi,

sedangkan nyanyian liturgi menunjuk pada hasil atau apa yang dinyanyikan

dalam rangka musik gereja.35

Liturgi yang merupakan perayaan iman gereja senantiasa tidak dapat lepas

dari unsur musik. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan gereja perdana yang

sudah mengenal musik, yaitu musik yang berakar pada ibadat Yahudi. Dalam

Perjanjian Baru, kita mencatat bahwa Yesus dan para murid menyanyikan kidung

32

Pono Banoe, Kamus Musik (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 158. 33

Pande Made Sukerta, Gending-gending Gong Gede: Sebuah Analisa Bentuk (Jakarta:

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2002), 1. 34

David Samiyono, Materi Kuliah Pengantar Kedalam Sejarah Musik Gereja (Salatiga:

Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2006), ii. 35

E. Martasudjita dan J. Kristanto, Panduan Memilih Nyanyian Liturgi (Yogyakarta:

Kanisius, 2011), 14.

Page 24: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

14

Hallel (Mat 26:30; Mrk 14:26). Umat beriman juga bernyanyi dalam ibadat

mereka. Maka penulis surat Efesus dan Kolose berkata, “… dan berkata-katalah

seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani.

Bernyanyilah dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati” (Ef 5:19; Kol

:16).36

Sejarah gereja selanjutnya mencatat bahwa gereja tidak pernah lepas dari

musik. Nyanyian Gregorian yang dikumpulkan oleh Paus Gregorius Agung pada

abad 8 merupakan contoh klasik jenis musik nyanyian yang bertahan hingga hari

ini.37

Musik gereja mengalami sejarah perkembangan yang panjang. Dikarenakan

belum ada notasi, maka sampai dengan abad ke-10 musik gereja sama dengan

musik Gregorian, yang diteruskan secara lisan dan improvisasi. Musik Gregorian

sering disebut sebagai musik monofon, yaitu suatu jenis musik yang terdiri dari

suatu suara saja, tanpa iringan apapun.38

Oleh karena itu, tidak heran jika pada

zaman ini musik Gregorian yang seharusnya dibawakan dengan satu suara,

dinyanyikan dengan beberapa suara oleh paduan suara dan terkadang teks asli dari

Kitab Suci juga diganti atau disisipi dengan naskah tambahan.39

Tidak hanya musik nyanyian yang mampu berkembang dan bertahan hingga

saat ini. Alat-alat musik yang digunakan pun juga terus berkembang dalam sejarah

musik. Meskipun pada mulanya gereja sangat berhati-hati dengan alat musik,

namun perlahan gereja mulai menerima penggunaan alat-alat musik itu dalam

liturgi, sejauh alat musik tersebut dapat mendukung liturgi.

Gamelan merupakan salah satu contoh alat musik tradisional yang pada saat

ini sering digunakan sebagai musik pengiring ibadah, khususnya beberapa gereja

di Bali. Bagi jemaat Bali, mengkontekstualisasikan diri dengan seni tradisional

setempat merupakan sarana penaburan kebenaran firman Tuhan, dilingkungan

masyarakat Bali dan juga dilingkungan masyarakat lain. Penggunaan gamelan pun

disesuaikan dengan kebutuhan dan nyanyian liturgi, karena tujuan dari sebuah

musik ibadah adalah kemuliaan Allah dan pengudusan orang beriman. Maka dari

36

Martasudjita dan Kristanto, Panduan Memilih, 11-12. 37

Martasudjita dan Kristanto, Panduan Memilih, 13 38

Karl Edmund Prier, Sejarah Musik: Jilid 1 (Yogyakarta: Pustaka Musik Liturgi, 1991)

86. 39

A. Hauken, Ensiklopedi Gereja: Jilid V (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005),

269.

Page 25: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

15

itu sebuah musik gereja harus dapat menolong jemaat untuk membuka diri dalam

pembaharuan iman.

Pada saat ini ada dua jenis musik yang sering digunakan dalam kegiatan

ibadah di gereja, yaitu musik modern dan musik tradisional. Musik modern

dikenal dengan nama musik populer yang dipengaruhi oleh gaya musik Barat.

Musik modern ini biasa dimainkan menggunakan alat musik Barat, misalnya

piano, gitar, bass, drum, dan sebagainya.

Jenis musik kedua adalah musik tradisional. Biasanya musik yang digunakan

merupakan ciri khas daerah di mana gereja itu berada. Alat-alat musik yang

berkembang dan digunakan sebagai sarana pendukung liturgi saat ini pun

disesuaikan dengan tradisi setempat, sehingga muncullah suatu kontektualisasi

terhadap penggunaan alat musik tradisional sebagai musik pengiring ibadah.

Dalam kajian penelitian ini akan menggunakan musik tradisional sebagai alat

analisa penelitian. Maka dari itu, judul dari penelitian ini adalah, “Pemahaman

Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai Musik

Pengiring Ibadah.”

II. GEREJA KRISTEN PROTESTAN DI BALI – DI BLIMBINGSARI

1. Letak Geografis dan Profil GKPB Pniel Blimbingsari

Secara geografis, Desa Blimbingsari terletak di Kecamatan Melaya,

Kabupaten Jembrana. Di sebelah timur, Desa Blimbingsari berbatasan dengan

Desa Ekasari dan Desa Palasari, di sebelah utara dan barat berbatasan dengan

Taman Nasional Bali Barat, dan di sebelah selatan berbatasan dengan dusun

Pangkung Tanah dan Desa Melaya.

Penamaan Blimbingsari mempunyai sejarah yang sederhana, meskipun

sejarah terbentuknya desa itu sendiri tidak dapat dikatakan sederhana. Sejarah

Blimbingsari dapat dituturkan secara singkat, berawal dari pembaptisan 12 orang

Bali oleh Pdt. Dr. Jeffrey di Tukad Yeh Poh, Untal-untal, Dalung. Lahirnya gereja

Bali ini adalah berkat panggilan Tuhan kepada Pdt. Tsang To Hang dari Christian

and Missionary Alliance (C&MA), yang menyerahkan seluruh hidupnya

memenangkan Kerajaan Allah meskipun jalan yang dilalui sangat beresiko. Hal

ini terjadi karena Pdt. Tsang To Hang yang berasal dari aliran fundamentalis

Page 26: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

16

menyatakan bahwa menjadi orang Kristen harus lahir baru, mengikuti apa yang

dari sorga dan menolak segala sesuatu yang berhubungan dengan dewa-dewa

yang dianggap kafir. Orang Kristen harus menolak segala bentuk persembahan

maupun kerja gotong-royong di Pura desa, Pura keluarga, kuburan, maupun

sawah-sawah yang berhubungan dengan agama Hindu.40

Akibatnya timbul perlawanan dari saudara yang beragama Hindu, yang

mengakibatkan kekacauan di manapun kekristenan itu berada. Orang Kristen Bali

dibuang (maselong) atau dikucilkan, tidak diajak berbicara, dibuang dari keluarga,

tidak boleh menguburkan di kuburan Hindu, tidak boleh mendapat air untuk

sawah-sawah karena menurut kepercayaan Hindu, air adalah milik Dewi sri. Isi

lumbung mereka diambil, dicemooh, dicaci maki, dan banyak kesulitan lain yang

dihadapi oleh orang Kristen Bali. Akibatnya pemerintah Belanda pada saat itu

memutuskan untuk mengucilkan orang Kristen Bali ke alas (hutan) angker di

wilayah Bali Barat dengan tujuan agar mereka mati, karena di dalam hutan

tersebut banyak terdapat binatang buas. Singkat cerita, berkat pertolongan Tuhan

dan juga kerja keras dari orang Kristen Bali pada saat itu, mereka berhasil

memberdayakan hutan angker yang penuh dengan binatang buas menajdi sebuah

desa yang asri sampai dengan saat ini.41

Dibalik sejarah terbentuknya kekristenan awal di Bali yang begitu rumit,

penamaan desa Blimbingsari sendiri memiliki sejarah yang sederhana. Ketika

orang Kristen Bali dibuang ke hutan angker Bali Barat, mereka tidak putus asa

dan menjauh dari Tuhan, tetapi terus berusaha untuk bertahan hidup. Dalam

pergumulannya, mereka pun mulai mengusahakan hutan tersebut sehingga layak

untuk dijadikan tempat tinggal, sehingga mereka mulai menebang sebagian pohon

untuk dijadikan lahan pemukiman. Diantara pohon yang ditebang terdapat banyak

pohon belimbing hutan yang disebut belimbing talun, yaitu pohon yang bentuk

daunnya hampir sama dengan daun belimbing, tetapi daun-daun muda yang baru

tumbuh berwarna merah muda dan tampak sangat indah karena daun-daun itu

40

Ketut Suyaga Ayub, Blimbingsari The Promise Land: Gereja Kristen Protestan di Bali

(Yogyakarta: Andi, 2014), 18-23. 41

Ayub, Blimbingsari The Promise, 23-39.

Page 27: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

17

tumbuh pada bulan-bulan tertentu secara bersamaan. Daerah tersebut kemudian

diberi nama “Blimbingsari”.42

Tata letak desa Blimbingsari dapat dikatakan unik, karena jalannya dibuat

dengan formasi salib. Arah utara ke selatan, dibuatkan jalan panjang, seolah-olah

tempat tubuh Yesus, mulai dari kepala hingga kaki yang dipaku. Sementara dari

barat ke timur dibuatkan jalan yang pendek, sebagai tempat tangan Yesus yang

dipaku pada salib. Formasi salib ini dibuat berdasarkan budaya Bali, yaitu tanah

kuburan diletakkan dibagian selatan, di arah tenggara. Sebagaimana hal pura,

Gereja ditempatkan dibagian utara, di arah timur laut, tetapi seiring berjalannya

waktu, Gereja dipindahkan dibagian barat. Kemudian, sebagai patokan di

pertemuan kayu salib ditanam sebuah pohon beringin besar, yang saat ini telah

dibuatkan sebuah tugu, yang sekaligus menjadi pusat aktivitas masyarakat dalam

berjualan makanan khas Bali, seusai ibadah Minggu.43

Penamaan dan penataan

desa Blimbingsari memang terkesan sederhana, tetapi dibalik kesederhanaannya

itu tersimpan makna bersejarah atas lahirnya GKPB.44

Pada saat ini, secara keseluruhan jemaat GKPB Pniel Blimbingsari terdiri dari

175 KK dengan jumlah anggota jemaat kurang lebih 800 jiwa. Jumlah ini

kemungkinan akan meningkat, mengingat pada tahun ini majelis setempat belum

melakukan pendataan ulang kepada warga jemaat.45

Mayoritas jemaat

Blimbingsari adalah pensiunan dari kota yang memilih pulang kampung dan

menetap di kampung. Maka dari itu, kebanyakan jemaat di Desa Blimbingsari

bermatapencaharian sebagai petani atau berkebun.46

Selain warga jemaat menetap di Desa Blimbingsari, GKPB Pniel

Blimbingsari juga memiliki jemaat diaspora. Jemaat diaspora adalah jemaat yang

secara status tercatat sebagai jemaat GKPB Pniel Blimbingsari, tetapi karena

pekerjaan, pendidikan, ataupun kepentingan lainnya mereka terpaksa harus

meninggalkan desa dan merantau ke luar desa. Oleh karena itu, perayaan hari raya

gerejawi menjadi momen yang paling ditunggu oleh jemaat diaspora, karena

42

Ayub, Blimbingsari The Promise, 49. 43

Ayub, Blimbingsari The Promise, 50-51. 44

I Wayan Sunarya, Blimbingsari Selayang Pandang (Yogyakarta: Andi, 2015), 1. 45

Wawancara dengan Ibu Pendeta Hetty Widowaty, Pendeta GKPB Pniel Blimbingsari,

12 Agustus 2017, pukul 10.30 WITA. 46

Wawancara dengan Bapak I Made Suwrirya, Majelis GKPB Pniel Blimbingsari, 12

Agustus 2017, pukul 11.00 WITA.

Page 28: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

18

disanalah mereka akan memiliki kesempatan untuk pulang ke kampung halaman

dan berkumpul serta beribadah bersama keluarga.47

Desa Blimbingsari saat ini telah berkembang menjadi desa wisata. Kearifan

lokal yang ada menjadikan Desa Blimbingsari memiliki daya tarik tersendiri, tidak

hanya bagi wisatawan lokal, melainkan juga wisatawan asing dari berbagai

negara. Tidak jarang para wisatawan asing sengaja datang untuk menetap secara

sementara hanya untuk mempelajari kearifan lokal yang ada, bahkan mereka juga

membantu jemaat dalam bentuk pengajaran bahasa Inggris, khususnya mengajar

anak-anak panti asuhan yang berada di Desa Blimbingsari.48

2. Penggunaan Gamelan di GKPB Pniel Blimbingsari

Musik adalah penghayatan isi hati manusia yang diungkapkan dalam bentuk

bunyi yang teratur dengan melodi atau ritme serta mempunyai unsur atau

keselarasan yang indah.49

Maka dari itu, musik seringkali dijadikan sebagai sarana

dalam mengekspresikan emosional manusia. Musik tidak hanya dapat dijadikan

sebagai sarana hiburan saja, melainkan musik juga seringkali dijadikan sebagai

sarana spiritualitas, yaitu sebagai pengiring dalam suatu upacara keagamaan.

Di dalam konteks kekristenan, musik digunakan sebagai sarana pendukung

liturgi. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan gereja perdana yang sudah

mengenal musik, yaitu musik yang berakar pada ibadat Yahudi.50

Sampai saat ini

penggunaan musik sebagai sarana pendukung liturgi terus berkembang. Pada

mulanya gereja-gereja, khususnya di Indonesia lebih sering menggunakan musik

bernuansa Eropa, atau yang lebih dikenal dengan musik modern sebagai musik

pengiring ibadah. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu musik bernuansa

tradisional pun mulai digunakan sebagai upaya mengkontekstualisasikan diri

dengan budaya di mana gereja itu bertumbuh.

Upaya mengkontekstualisasikan diri dengan budaya dilakukan pula oleh

jemaat GKPB Pniel Blimbingsari, dengan mengadakan ibadah kontekstual setiap

satu bulan sekali, di minggu pertama. Di dalam ibadah kontekstual, seluruh

47

Wawancara dengan Ibu Pendeta Hetty Widowaty, Pendeta GKPB Pniel Blimbingsari,

12 Agustus 2017, pukul 10.30 WITA. 48

Wawancara dengan Ibu Pendeta Hetty Widowaty, Pendeta GKPB Pniel Blimbingsari,

12 Agustus 2017, pukul 10.30 WITA. 49

Widhyatama, Sejarah Musik, 1. 50

Martasudjita dan Kristanto, Panduan Memilih, 11-12.

Page 29: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

19

rangkaian ibadah bernuansa budaya Bali. Di mulai dari penggunaan bahasa dalam

liturgi dan khotbah adalah bahasa Bali, pakaian yang digunakan adalah pakaian

adat Bali, dan musik yang digunakan pun bernuansa Bali. Gamelan gong, menjadi

alat musik tradisional yang dipakai oleh jemaat GKPB Pniel Blimbingsari sebagai

musik pengiring di dalam ibadah kontekstual. Ibadah ini dirangkai dengan ibadah

keluarga, dengan kata lain tidak hanya warga dewasa atau warga SIDI yang

mengikuti ibadah kontekstual, melainkan seluruh kategorial, mulai dari Sekolah

Minggu sampai lansia.51

Kontekstualisasi budaya merupakan suatu upaya sinode GKPB dalam

mengekspresikan iman Kristen melalui karya seni. Berawal setelah Tsang To

Hang diusir dari Bali oleh Pemerintah Belanda karena dianggap sebagai orang

yang bertanggung jaab atas keributan yang terjadi di masyarakat sebagai akibat

dari ajarannya yang radikal, missionaris Belanda mengajak para pemimpin orang

Kristen Bali untuk membuat geguritan (sajak) yang dapat dinyanyikan dengan

tembang (lagu) tradisional seperti Pupuh Sinom, Pupuh Ginanti, dan sebagainya.

Bersamaan dengan hal tersebut, kurang lebih sejak tahun limapuluhan GKPB

Pniel Blimbingsari mencoba mendekatkan diri dengan budaya Bali. Pada saat itu,

Pendeta Made Rungu, Ketua Sinode GKPB yang pertama, merasa bahwa sebagai

satu-satunya desa Kristen di Bali, Desa Blimbingsari kurang semarak. Maka dari

itu, digunakanlah seni pewayangan untuk memberitakan Injil dalam ibadah,

karena secara kebetulan beberapa jemaat adalah seorang “dalang” ketika masih

beragama Hindu. Akan tetapi, tidak disangka jemaat GKPB Pniel Blimbingsari

mendapatkan sambutan yang luar biasa tidak hanya dari penduduk Desa

Blimbingsari, melainkan juga dari desa-desa lainnya di Kecamatan Melaya. Dari

sinilah mulai timbul pemikiran, bagaimana caranya menjadikan kebudayaan Bali

sebagai sarana pemberitaan Injil. Lama setelah itu, sekitar tahun delapan puluhan,

bertepatan dengan Jubelium GKPB Pniel Blimbingsari, barulah gereja ini

menggunakan gamelan sebagai alat musik untuk mengiringi ibadah. Hingga saat

51

Wawancara dengan Ibu Pendeta Hetty Widowaty, Pendeta GKPB Pniel Blimbingsari,

12 Agustus 2017, pukul 10.30 WITA.

Page 30: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

20

ini gamelan masih terus digunakan, tidak hanya dalam ibadah kontekstual saja,

melainkan juga dalam perayaan hari raya gerejawi dan juga perjamuan kudus.52

Faktor yang mendasari jemaat GKPB Pniel Blimbingsari menggunakan

gamelan sebagai musik pengiring ibadah, yaitu karena gamelan merupakan

kesenian khas dalam budaya Bali. Seni gamelan sudah dikenal sejak zaman

kerajaan terdahulu dan seringkali digunakan dalam pelaksanaan upacara sakral

agama Hindu. Seiring dengan berjalannya waktu, gamelan menjadi kesenian

tradisional yang memiliki daya tarik tersendiri dan dijadikan sebagai sarana

hiburan. Gamelan Bali dibagi menjadi tiga jenis, yaitu gamelan golongan tua

(gamelan gambang, gamelan luang, gamelan gender wayang, dan sebagainya),

gamelan golongan madya (gamelan gambuh, gamelan legong, gamelan janger,

dan sebagainya), dan gamelan modern (gamelan joged bumbung, gamelan gong

kebyar, gamelan blaganjur). Melihat pembagian golongan ini maka dapat

dikatakan bahwa gamelan tua dan gamelan madya adalah jenis gamelan yang

bersifat sakral dan dalam filosofi agama Hindu, kedua jenis gamelan ini tidak

boleh dipergunakan disembarang tempat karena dikhususkan sebagai sarana

pemujaan roh-roh. Biasanya dalam tradisi Bali, sebelum memainkan gamelan ini,

masyarakat Hindu terlebih dahulu menghaturkan banten dengan tujuan memohon

taksu. Banten adalah persembahan suci yang dibuat dengan sarana tertentu, seperti

bunga, buah-buahan, daun sirih, nasi, jajanan, dan sebagainya. Sedangkan, taksu

menurut kepercayaan umat Hindu adalah kekuatan roh leluhur yang bersifat

magis. Oleh karena itu, secara otomatis kedua gamelan ini tidak diperkenankan

jika digunakan dalam konteks ibadah Kristen karena bertentangan dengan nilai-

nilai Kristiani.53

Gamelan yang boleh dipergunakan dalam konteks ibadah Kristen adalah

gamelan modern yang disesuaikan dengan kebutuhan ibadah. GKPB Pniel

Blimbingsari menggunakan gamelan gong kebyar sebagai musik pengiring

ibadah. Gamelan gong kebyar terdiri dari instrumen-instrumen, seperti: 1) Gangsa

berbilah sepuluh, terdiri dari dua pengugal, dua pemade, dan empat kantil. 2)

52

Wawancara dengan Bapak I Made Suwrirya, Majelis GKPB Pniel Blimbingsari, 12

Agustus 2017, pukul 11.00 WITA. 53

Wawancara dengan Bapak I Ketut Wirta, Jemaat sekaligus Pelatih Gamelan di GKPB

Pniel Blimbingsari, 12 Agustus 2017, pukul 12.00 WITA.

Page 31: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

21

Jegogan berbilah lima, dua tungguh. 3) Calung berbilah lima, dua tungguh. 4)

Reyong berbilah dua belas, satu tungguh. 5) Kendang besar, dua buah, terdiri dari

satu kendang lanang dan satu kendang wadon. 6) Cengceng, satu pangkon. 7)

Kajar, satu buah. 8) Gong, satu buah. 9) Kempur, satu buah. 10) Kemong, satu

buah. 11) Suling, satu buah.54

Pada mulanya, GKPB Pniel Blimbingsari memiliki 2 sekaa gambelan

(kelompok penabuh gamelan), yang terdiri dari sekaa kaum bapak dan sekaa

kaum ibu yang bernama sekaa Ester. Kebanyakan anggota dari kedua sekaa ini

merupakan warga lansia yang sangat mencintai kegiatan menabuh gamelan.

Ditengah keadaan fisik yang semakin melemah, kedua sekaa ini tetap memiliki

semangat yang tinggi dalam memainkan gamelan dalam ibadah tertentu karena

menabuh gamelan merupakan hobi mereka. Di satu sisi, keadaan fisik yang

melemah juga mengakibatkan penggunaan gamelan sebagai musik pengiring

ibadah sempat berhenti dalam waktu yang cukup lama. Hingga pada suatu saat,

ketika Bapak Pendeta Ketut Suyaga Ayub menjadi pendeta jemaat di GKPB Pniel

Blimbingsari, barulah semangat penggunaan gamelan dibangkitkan lagi. Belajar

dari pengalaman sebelumnya, kedua sekaa yang ada menyadari bahwa diperlukan

suatu kaderisasi terhadap jemaat muda dalam menabuh gamelan, sehingga

penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah bisa dilakukan secara terus

menerus. Maka dari itu, dibentuklah sekaa Gloria yang beranggotakan para

penabuh muda.55

Penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah, sekaligus menjadi

upaya gereja dalam mengkontekstualisasikan diri dengan budaya setempat

ternyata sangat membuahkan respons yang baik tidak hanya dari jemaat GKPB

Pniel Blimbingsari, tetapi juga bagi masyarakat mayoritas. Hal ini terbukti dari

ketertarikan masyarakat Hindu yang merasa dihargai ketika kekristenan mau

mencoba mendekatkan diri dengan budaya yang ada. Tidak jarang beberapa

masyarakat Hindu turut berpartisipasi dalam kegiatan menabuh di dalam suatu

ibadah di GKPB Pniel Blimbingsari dan tidak jarang pula sekaa gamelan GKPB

54

Wawancara dengan Bapak I Ketut Wirta, Jemaat sekaligus Pelatih Gamelan di GKPB

Pniel Blimbingsari, 12 Agustus 2017, pukul 12.00 WITA. 55

Wawancara dengan Ibu Rai Miarti, Jemaat sekaligus Penabuh Gamelan di GKPB Pniel

Blimbingsari, 13 Agustus 2017, pukul 11.00 WITA.

Page 32: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

22

Pniel Blimbingsari diundang untuk menabuh di beberapa acara yang

diselenggarakan oleh masyarakat Hindu.56

Bagi jemaat GKPB Pniel Blimbingsari sendiri, beribadah sambil

mendengarkan alunan musik gamelan ditambah dengan menggunakan bahasa Bali

dan pakaian adat Bali, membuat mereka merasa lebih dekat dengan budaya yang

ada. Sebagai jemaat “tua”, kontektualisasi budaya dijadikan sarana dalam

pemberitaan Injil. Salah satu contoh, melalui penggunaan gamelan, jemaat GKPB

Pniel Blimbingsari seolah ingin mengatakan bahwa, “Walaupun kami beragama

Kristen, tetapi kami adalah orang Bali yang menghargai dan ingin melestarikan

budaya Bali. Oleh karena itu terimalah kami sebagai bagian dari masyarakat Bali.

Terlebih kami akan merasa senang apabila masyarakat mau menjadi bagian dari

kami.”57

3. Kontroversi Penggunaan Gamelan sebagai Musik Pengiring Ibadah

Upaya mengkontekstualisasikan diri dengan budaya setempat bukanlah hal

yang mudah untuk dilakukan, apalagi di dalam konteks kekristenan. Hal ini

jugalah yang menjadi hambatan bagi GKPB Pniel Blimbingsari ketika mencoba

mendekatkan diri dengan budaya Bali melalui penggunaan gamelan sebagai musik

pengiring ibadah. Meskipun banyak jemaat dapat menerima usaha

kontekstualisasi ini, namun nyatanya ada beberapa jemaat yang keberatan dengan

adanya pendekatan budaya ini, khususnya penggunaan gamelan. Hal ini tentu saja

menjadi kekhawatiran tersendiri bagi pemimpin jemaat, karena biarpun rasa

keberatan itu tidak disampaikan secara langsung, namun kekhawatiran akan

adanya kubu-kubu yang memecah kebersamaan sangat meresahkan.58

Hal ini bermula dari pemikiran radikal para orang Kristen angkatan pertama

dibawah asuhan missionaris Tsang To Hang. Dalam ajarannya, beliau mengatakan

kepada orang Kristen angkatan pertama untuk meninggalkan dan memutuskan

hubungan dengan adat istiadat Bali. Akan tetapi, doktrin yang salah tersebut

malah membuat kesalahpahaman yang mendalam bagi orang Kristen pada waktu

56

Wawancara dengan Bapak I Made Suwrirya, Majelis GKPB Pniel Blimbingsari, 12

Agustus 2017, pukul 11.00 WITA. 57

Wawancara dengan Ibu Pendeta Hetty Widowaty, Pendeta GKPB Pniel Blimbingsari,

12 Agustus 2017, pukul 10.30 WITA. 58

Wawancara dengan Bapak I Made John Ronny, Perbekel (Kepala Desa) Blimbingsari

sekaligus Jemaat di GKPB Pniel Blimbingsari, 13 Agustus 2017, pukul 12.00 WITA.

Page 33: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

23

itu sehingga membuat pemikiran mereka menjadi sangat radikal. Mereka tidak

hanya memutuskan hubungan, melainkan membenci segala hal yang berkaitan

dengan agama Hindu. Mereka tidak segan-segan membongkar sanggah dan

merusak tempat-tempat keramat yang dihormati sebagai tempat suci orang orang

Hindu, sebagai bukti bahwa mereka telah bertobat. Pemikiran-pemikiran radikal

semacam ini menjadikan orang Kristen sebagai persekutuan yang eksklusif dan

terlepas dari masyarakat. Tidak hanya terlepas secara organisasi dari masyarakat,

namun gaya hidup dan gaya berpakaian pun lebih mengikuti gaya berpakaian

Eropa daripada mengenakan pakaian adat Bali. Segala jenis perhiasan yang

bernuansa Bali juga ikut dibuang, karena menurut pemahaman mereka, menjadi

Kristen adalah menjadi manusia baru. Jadi, memakai cara ataupun adat istiadat

Bali menurut mereka adalah bertentangan dengan status yang baru, yaitu sebagai

warga Kerajaan Allah.59

Pemahaman seperti inilah yang menjadi dasar penolakan jemaat angkatan

pertama terhadap penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah di GKPB

Pniel Blimbingsari. Tidak hanya penggunaan gamelan saja yang menjadi

persoalan. Ketika GKPB Pniel Blimbingsari mencoba menggunakan hiasan-

hiasan bernuansa Bali dalam suatu perayaan ataupun Hari Raya Gerejawi, maka

penolakan itupun terjadi. Bahkan, arsitektur gereja yang bernuansa Bali juga ikut

menjadi kritikan bagi beberapa orang-orang “tua” di GKPB Pniel Blimbingsari.60

Hal ini selaras dengan kenyataan bahwa ternyata kebanyakan dari orang-orang

Kristen angkatan pertama ini adalah orang-orang yang tidak puas akan agama

mereka terdahulu dan merasa menemukan jawaban dari permasalahan mereka di

dalam Injil Kristus. Oleh karena itu, mereka sangat tidak suka jika orang Kristen

memasukkan kebudayaan yang telah ditinggalkan itu ke dalam suatu ibadah di

Gereja.61

Kontroversi seputar penggunaan gamelan sebagai alat musik pengiring ibadah

tidak hanya terjadi dikalangan beberapa orang-orang “tua” di GKPB Pniel

59

Wawancara dengan Bapak I Made John Ronny, Perbekel (Kepala Desa) Blimbingsari

sekaligus Jemaat di GKPB Pniel Blimbingsari, 13 Agustus 2017, pukul 12.00 WITA. 60

Wawancara dengan Ibu Rai Miarti, Jemaat sekaligus Penabuh Gamelan di GKPB Pniel

Blimbingsari, 13 Agustus 2017, pukul 11.00 WITA. 61

Wawancara dengan Bapak I Made John Ronny, Perbekel (Kepala Desa) Blimbingsari

sekaligus Jemaat di GKPB Pniel Blimbingsari, 13 Agustus 2017, pukul 12.00 WITA.

Page 34: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

24

Blimbingsari, melainkan juga di kalangan generasi muda. Meskipun para generasi

muda menerima penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah adalah

dalam rangka upaya lebih mendekatkan diri dengan budaya Bali, tetapi tidak

sedikit dari mereka juga yang mengaku kurang bisa menikmati musik gamelan itu

sendiri.62

Hal ini dikarenakan melodi gamelan tidak sama dengan melodi musik

kontemporer. Gamelan merupakan alat musik yang bernada pentatonik, di mana

notasi “fa” dan “si” tidak ada. Maka dari itu, lagu-lagu kidung jemaat yang bisa

dimainkan dengan gamelan sangat terbatas. Tidak jarang ketika dilaksanakan

ibadah kontekstual dengan menggunakan gamelan sebagai musik pengiring

ibadah, lagu yang dinyanyikan selalu mengulang lagu yang sama dan ketika lagu

lain dipaksakan untuk diiringi menggunakan gamelan, maka secara otomatis

jemaat akan merasa bingung karena nadanya tidak sesuai.63

Selain merasa tidak mengerti dengan melodi gamelan, beberapa generasi

muda yang telah terbiasa mendengarkan musik modern bernuansa Barat juga

mengaku merasa jenuh karena lagu yang dimainkan dengan musik gamelan hanya

mengulang lagu yang sama. Hal ini selain menimbulkan perasaan jenuh dan bosan

sepanjang kegiatan ibadah, pada akhirnya membuat mereka kurang bisa

menghayati makna dari ibadah tersebut.64

Oleh karena itu, para seniman Kristen

telah berupaya mengaransemen ulang beberapa lagu di Kidung Jemaat dan

menyesuaikan dengan nada pentatonik sehingga dapat dimainkan dengan

gamelan, sehingga lagu yang dimainkan dalam setiap ibadah dapat lebih

bervariasi.65

Meskipun banyak terdapat kontroversi seputar penggunaan gamelan sebagai

musik pengiring ibadah dalam rangka gereja mengkontekstualisasikan diri dengan

budaya yang ada, namun nyatanya hal tersebut tidak mengurangi makna ibadah

bagi sebagian besar jemaat GKPB Pniel Blimbingsari. Tidak sedikit dari jemaat

yang merasa lebih tenang dan merasa jalannya kegiatan ibadah menjadi lebih

62

Wawancara dengan Saudara I Putu Adi Suprayitno, Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari,

13 Agustus 2017, pukul 13.00 WITA. 63

Wawancara dengan Bapak I Ketut Wirta, Jemaat sekaligus Pelatih Gamelan di GKPB

Pniel Blimbingsari, 12 Agustus 2017, pukul 12.00 WITA. 64

Wawancara dengan Saudara Decky Florentana, Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari, 13

Agustus 2017, pukul 13.30 WITA. 65

Wawancara dengan Bapak I Made Suwrirya, Majelis GKPB Pniel Blimbingsari, 12

Agustus 2017, pukul 11.00 WITA.

Page 35: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

25

sakral ketika musik gamelan telah dikumandangkan. Hal ini menandakan bahwa

sebuah kebudayaan dapat dijadikan sarana untuk mengekspresikan iman.

IV. GAMELAN DALAM TRADISI GEREJA KRISTEN PROTESTAN

DI BALI “PNIEL” BLIMBINGSARI

Kebudayaan identik dengan seluruh tindakan keseharian manusia yang

menetap di suatu tempat tertentu. Bahkan kebudayaan seringkali dijadikan sebuah

identitas bagi suatu kelompok masyarakat dan sedemikian rupa dijaga

kelestariannya untuk kemudian diwariskan secara turun-temurun kepada generasi

penerusnya dan biasanya melalui tradisi lisan. Kebudayaan membuat manusia

dapat menghasilkan benda-benda yang berguna bagi kehidupan manusia itu

sendiri. Sama halnya dengan pendapat Koentjaraningrat yang mengatakan bahwa

ada tiga wujud kebudayaan, dan salah satunya adalah kebudayaan fisik.

Kebudayaan fisik ini sangat mudah dijumpai disekitar kehidupan manusia, dalam

rupa benda-benda yang menunjang aktivitas manusia. Salah satu kebudayaan fisik

adalah alat-alat musik. Alat musik yang lekat dengan kebudayaan atau tradisi

dikenal dengan sebutan alat musik tradisional. Biasanya alat musik tradisional

memiliki ciri khas tersendiri, tergantung di mana alat musik itu berkembang.

Pengungkapan identitas melalui kebudayaan ini dilakukan pula oleh jemaat

GKPB Pniel Blimbingsari, melalui penggunaan gamelan sebagai musik pengiring

ibadah. GKPB Pniel Blimbingsari merupakan gereja yang berada dalam lingkup

kebudayaan Bali. Maka dari itu, penggunaan gamelan sebagai musik tradisional

pengiring ibadah merupakan salah satu contoh kontekstualisasi gereja terhadap

kebudayaan Bali. Bohlman mengatakan bahwa musik tradisional merupakan

luapan makna emosi masyarakat, sejarah, dan kehidupan masyarakat yang terdiri

dari fungsi, bentuk, sejarah dan ciri khas daerah tertentu. Gamelan merupakan

musik tradisional khas daerah Bali, yang digunakan oleh jemaat GKPB Pniel

Blimbingsari sebagai sarana untuk menyampaikan identitas mereka sebagai orang

Kristen yang berbudaya Bali.

Musik telah menjadi bagian yang integral dalam suatu kegiatan ibadah,

sebagai sarana pendukung liturgi. Hal ini selaras dengan pendapat yang

dikemukakan oleh Martasudjita dan Kristanto yang mengatakan, bahwa sejak

Page 36: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

26

awal perkembangannya gereja perdana yang sudah mengenal musik, yaitu musik

yang berakar pada ibadat Yahudi, sehingga musik yang digunakan disesuaikan

dengan tradisi yang ada. Hal ini jugalah yang telah dilakukan oleh jemaat GKPB

Pniel Blimbingsari selama bertahun-tahun, yaitu menggunakan gamelan sebagai

musik pengiring ibadah. Selain sebagai pendukung liturgi, maksud dari

penggunaan gamelan dalam ibadah adalah agar gereja lebih dekat dengan budaya.

Oleh karena itu, selain digunakan di dalam ibadah kontekstual, yaitu ibadah yang

menggunakan liturgi budaya Bali, gamelan juga digunakan untuk mengiringi

ibadah hari raya gerejawi dan perjamuan kudus.

Gamelan merupakan alat musik tradisional masyarakat Bali, sekaligus

menjadi kebudayaan fisik yang diwariskan kepada masyarakat Bali hingga saat

ini. Maka dari itu, tidak mengherankan jika penggunaan gamelan sarat dengan

upacara-upacara sakral agama Hindu. Penggunaan gamelan dalam upacara sakral

ini pun tidak bisa dimainkan secara sembarangan. Sebelum mulai “megambel”,

sebagai tradisi umat Hindu akan terlebih dahulu menghaturkan banten kepada

roh-roh leluhur mereka untuk memohon izin dalam memainkan gamelan. Umat

Hindu percaya, bahwa di dalam gamelan bersemayam roh-roh leluhur mereka.

Maka dari itu, mebanten selain untuk memohon izin memainkan gamelan, juga

dimaksudkan supaya para pemain gamelan memperoleh kekuatan magis yang

dipercaya akan melindungi mereka dari kekuatan lain yang mencelakakan.

Kepercayaan seperti ini pada akhirnya membuat umat Hindu tidak dapat

terpisah dari nilai-nilai tradisinya. Hal ini selaras dengan pernyataan Ihromi yang

mengemukakan bahwa masyarakat yang hidup berkelompok, tidak dapat terpisah

dari nilai-nilainya. Bahkan Koentjaraningrat juga mengatakan, bahwa nilai-nilai

tersebut pada akhirnya akan membentuk suatu sistem sosial yang dijadikan

pedoman hidup di dalam masyarakat tersebut. Kegiatan menghaturkan banten

sebelum memainkan gamelan merupakan suatu sistem sosial yang terbentuk dari

nilai-nilai yang ada di masyarakat Bali. Nilai-nilai tersebut pun berkembang

menjadi suatu kebudayaan yang disepakati bersama oleh masyarakat yang

membentuk suatu kepercayaan.

Akan tetapi, sistem sosial yang terbentuk dan menjadi sebuah kepercayaan

bagi masyarakat Bali, nyatanya kurang sesuai jika dipakai dalam konteks

Page 37: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

27

kekristenan. Dalam Keluaran 20: 3-4 berkata, “Jangan ada padamu allah lain

dihadapan-Ku. Jangan membuat patung bagimu… Jangan sujud menyembah

kepadanya…” Melalui ayat ini dapat disimpulkan bahwa persembahan sesaji

kepada roh-roh leluhur apalagi disertai dengan unsur-unsur kekuatan magis,

sangatlah bertentangan dengan nilai-nilai Kristen. Hal ini dikarenakan kekristenan

mempercayai bahwa Allah Tritunggal adalah satu-satu Tuhan yang berkuasa atas

segala kuasa dilangit dan dibumi.

Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari menyadari hal tersebut, maka gamelan

yang digunakan dalam prosesi ibadah adalah gamelan modern yang biasanya

difungsikan sebagai sarana hiburan oleh umat Hindu. Di sisi lain, jemaat GKPB

Pniel Blimbingsari juga tidak melupakan sistem sosial yang terbentuk dari nilai-

nilai tradisi yang ada di masyarakat Bali. Oleh sebab itu, sebelum melakukan

permainan gamelan di dalam ibadah, para sekaa (kelompok penabuh) terlebih

dahulu akan berdoa memohon berkat Tuhan, karena tujuan permainan gamelan

mereka adalah untuk memuji Tuhan. Hal ini secara tidak langsung menjadi sarana

Pekabaran Injil yang luar biasa bagi jemaat GKPB Pniel Blimbingsari, karena

“hanya” melalui doa sebelum memainkan gamelan orang Kristen secara tidak

langsung telah menampakkan kuasa Kristus yang mengalahkan segala kuasa lain,

tanpa mengabaikan sistem sosial yang telah terbentuk menjadi suatu kebudayaan

di masyarakat Bali.

Menurut Koentjaraningrat secara antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan

sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan

manusia yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Oleh karena itu, segala

sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan atau aktivitas manusia adalah

kebudayaan, karena hampir seluruh kegiatan manusia harus disesuaikan dengan

belajar. Begitu pula halnya dengan permainan gamelan. Sebagai bentuk

kebudayaan fisik atau hasil karya manusia, gamelan dapat dijadikan sarana yang

mendidik bagi masyarakat Bali. Dikatakan demikian, karena melalui permainan

atau pertunjukkan gamelan, masyarakat dapat belajar bagaimana kebudayaan itu

membentuk suatu sistem sosial dan pada akhirnya menjadi pedoman hidup bagi

masyarakat. GKPB Pniel Blimbingsari sadar bahwa gereja juga harus peduli

dengan kebudayaan yang ada di masyarakat. Maka dari itu, penggunaan gamelan

Page 38: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

28

sebagai musik pengiring ibadah merupakan salah satu cara untuk mendidik jemaat

agar secara bersama-sama melestarikan kebudayaan Bali, sehingga kebudayaan

tersebut tidak tergerus oleh waktu dan dapat diwariskan kepada generasi

berikutnya.

Gamelan merupakan sarana bagi jemaat GKPB Pniel Blimbingsari dalam

mengekspresikan iman melalui suatu kebudayaan yang berbentuk karya seni.

Secara tidak langsung, pengungkapan ekspresi dengan melibatkan budaya yang

ada menjadi sebuah sarana komunikasi iman antara jemaat dengan masyarakat

mayoritas. Melalui gamelan, jemaat GKPB Pniel Blimbingsari ingin

menyampaikan bahwa mereka bukanlah suatu persekutuan yang eksklusif dan

terpisah dari masyarakat, melainkan mereka tetaplah orang Bali yang

menghormati budaya serta ingin turut serta dalam melestarikan kebudayaan Bali

meskipun mereka orang Kristen. Hal ini selaras dengan pandangan yang

dikemukakan oleh Koentjaraningrat yang mengungkapkan bahwa kebudayaan

adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa yang membawa manusia untuk dapat

memahami kehidupannya. Artinya gamelan sebagai kebudayaan Bali merupakan

hasil dari cipta, karsa, dan rasa tersebut yang kemudian menjadi sebuah identitas

bagi masyarakat Bali. Kusumohamidjojo mengatakan bahwa manusia adalah

homo socius atau makhluk yang berkawan dan pola hidupnya cenderung

berkelompok. Menyadari hal tersebut maka identitas masyarakat Bali digunakan

oleh jemaat GKPB Pniel Blimbingsari untuk lebih mendekatkan diri dan menjalin

relasi yang harmonis dengan masyarakat mayoritas yang beragama Hindu. Hal ini

dilakukan agar tercipta sebuah kesatuan yang membentu rasa aman dan damai

diantara masyarakat, karena menurut Sutrisno dan Putranto, meskipun homo

socius, di satu sisi pada dasarnya manusia adalah makhluk yang rasional,

berpusat pada diri sendiri, dan individualis. Sikap ini tentu saja akan

menyebabkan kekacauan dikehidupan manusia itu sendiri. Oleh karena itu,

melalui penggunaan gamelan sebagai budaya Bali, jemaat GKPB Pniel

Blimbingsari menunjukkan bahwa kebudayaan dapat menjadi alat pemersatu yang

menciptakan kedamaian. Bukti nyatanya adalah ketika umat Hindu bisa menerima

keberadaan orang Kristen dan mengundang sekaa gamelan jemaat GKPB Pniel

Page 39: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

29

Blimbingsari di beberapa acara masyarakat Bali, bahkan tidak jarang beberapa

umat Hindu turut serta memainkan gamelan di ibadah Kristen.

Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari menyadari, bahwa meskipun mereka adalah

orang Kristen, namun mereka tetaplah orang Bali yang tidak bisa melepaskan diri

dari budaya Bali. Hal ini dikarenakan sebelum memutuskan untuk menjadi orang

percaya dan masih beragama Hindu, kebanyakan jemaat GKPB Pniel

Blimbingsari merupakan seorang seniman Bali, seperti dalang, penabuh, dan

sebagainya. Bahkan, Pendeta pertama di GKPB Pniel Blimbingsari sekaligus

Bishop pertama Sinode GKPB merupakan seorang penabuh kendang gupek. Oleh

karena itu, pada awalnya penggunaan gamelan hanya dikarenakan para seniman

rindu untuk memainkan kesenian tradisional Bali dan ingin agar Desa

Blimbingsari ini semarak dengan adanya hiburan, maka secara tidak langsung

permainan gamelan merupakan sarana untuk menyatakan perasaan jemaat.

Keinginan ini selaras dengan pernyatakan Widiarto yang menyatakan bahwa salah

satu fungsi kebudayaan adalah sebagai wadah bagi segenap perasaan manusia.

Melalui penggunaan gamelan jemaat GKPB Pniel Blimbingsari dapat menyatakan

perasaannya melalui karya seni. Pernyataan perasaan itu tidak hanya pernyataan

puas karena mereka masih bisa menggunakan gamelan sebagai alat musik

tradisional Bali di dalam ibadah Kristen, namun juga sebagai bentuk rasa syukur

karena melalui budaya mereka tetap bisa memuliakan Tuhan. Soeharto juga

menyatakan bahwa musik adalah seni pengungkapan gagasan melalui bunyi.

Penggunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah merupakan suatu ungkapan

terima kasih jemaat kepada Tuhan. Jemaat menyadari bahwa keberadaan mereka

di tengah-tengah masyarakat mayoritas yang berbudaya Bali hingga saat ini

merupakan anugerah yang Tuhan berikan kepada mereka, maka untuk

mewujudkan perasaan syukur atas anugerah tersebut, gamelan dijadikan sebagai

sarana untuk mengucap syukur.

Selain untuk mengungkapkan perasaan, Widiarto juga mengatakan bahwa

kebudayaan juga berfungsi sebagai pengatur hubungan antar manusia. Ibadah

kontekstual dengan menggunakan segala budaya Bali menjadi contohnya. Ketika

jemaat datang mengikuti ibadah dalam nuansa budaya Bali, mereka menjadi

leluasa untuk berinteraksi dengan sesamanya, karena merasa bukan menjadi

Page 40: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

30

bagian yang asing dari budaya tersebut. Ketika musik gamelan mengalun untuk

mengiringi nyanyian dalam ibadah, jemaat merasakan suatu keteduhan dalam

menghayati prosesi ibadah tersebut. Hasilnya adalah persekutuan antara manusia

dengan Tuhan menjadi lebih erat. Selain itu, menggunakan kebudayaan Bali

dalam suatu ibadah Kristen menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi jemaat

GKB Pniel Blimbingsari, karena selain mampu mengakrabkan diri dengan

budaya, mereka membuktikan bahwa mereka memiliki ciri khas tersendiri sebagai

orang yang berbudaya Indonesia, khususnya Bali, dan tidak selalu harus memakai

budaya Barat dalam setiap ibadah. Bagi jemaat GKPB Pniel Blimbingsari,

memainkan gamelan tidak hanya sekedar sebuah hobi, melainkan melalui

permainan gamelan jemaat dapat bersaksi ditengah-tengah masyarakat bahwa

mereka pun mencintai kebudayaan Bali meskipun beragama Kristen. Jemaat juga

ingin menyampaikan bahwa mereka bukanlah persekutuan yang terlepas dari

masyarakat, melainkan mereka hadir bersama dengan masyarakat. Untuk itu,

gamelan dijadikan sarana komunikasi yang tidak hanya memperbaiki persekutuan

antar jemaat, melainkan juga mempererat relasi dengan masyarakat mayoritas.

Dalam sejarahnya, jemaat GKPB Pniel Blimbingsari adalah jemaat yang

dibuang ke hutan karena pemerintah Belanda tidak menginginkan adanya

perpecahan diantara orang Kristen Bali dan umat Hindu. Hal ini dikarenakan

pemikiran umat Kristen pada saat itu sangat radikal akibat pemahaman radikal

yang diberikan oleh missionaris Tsang To Hang. Orang Kristen pertama di GKPB

Pniel Blimbingsari beranggapan bahwa menggunakan segala atribut budaya Bali

di dalam ibadah Kristen sangatlah bertentangan dengan status mereka sebagai

warga Kerajaan Allah. Bagi mereka, berani berkomitmen mengikut Kristus berarti

harus meninggalkan kehidupan yang lama, termasuk meninggalkan segala atribut

dan budaya umat Hindu, kemudian memulai hidup baru di dalam Kristus.

Pemikiran seperti ini bukanlah pemikiran yang salah, karena tidak ada kata

“mendua” di dalam hidup bersekutu dengan Kristus. Akan tetapi, menjadi salah

ketika membawa pemikiran radikal di dalam jemaat dan membuat jemaat menjadi

orang Kristen yang eksklusif. Jemaat menjadi persekutuan yang asing di tengah

masyarakat dan terpisah dari budaya yang ada di masyarakat. Hal ini menjadi

nyata ketika penggunaan gamelan juga menjadi kontroversi di dalam jemaat.

Page 41: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

31

Menurut hasil wawancara jemaat “tua-tua” menentang penggunaan gamelan

sebagai alat musik pengiring ibadah karena gamelan merupakan musik tradisional

Bali yang sering digunakan di dalam upacara sakral umat Hindu. Menurut mereka

hal ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai Kristiani karena masih terhubung

dengan kehidupan mereka yang lama. Kontroversi seperti ini jelaslah akan

berdampak tidak baik di dalam persekutuan antar jemaat, karena bisa saja ibadah

yang berlangsung tidak membawa perjumpaan iman antara jemaat dengan Tuhan.

Selain itu, kontroversi ini juga menjadi dilema tersendiri bagi jemaat GKPB Pniel

Blimbingsari, karena disatu sisi jemaat ingin mendekatkan diri dengan budaya

yang ada dengan melakukan usaha kontekstulisasi agar tidak menjadi bagian yang

asing dari masyarakat, tetapi disatu sisi ibadah yang diselenggarakan di gereja

juga harus membawa jemaat kepada refleksi iman antara pribadi jemaat dengan

Tuhan.

Sebenarnya usaha kontekstualisasi yang dilakukan gereja dengan budaya

setempat bukanlah hal yang salah. Penggunaan gamelan sebagai musik pengiring

ibadah merupakan salah satu usaha kontekstualisasi yang di lakukan oleh GKPB

Pniel Blimbingsari. Berpatokan pada Mazmur 150 yang kurang lebih berbunyi,

“… Pujilah Dia dengan tiupan sangkakala, pujilah Dia dengan gambus dan

kecapi... Biarlah segala yang bernafas memuji Tuhan…” Artinya bahwa setiap

orang diperkenankan untuk memuji Tuhan dengan segala alat musik yang ada.

Memang benar bahwa gamelan merupakan alat musik tradisional masyarakat Bali

yang seringkali digunakan di dalam upacara sakral umat Hindu. Sebelum

menggunakannya pun harus disertai dengan mebanten untuk meminta

keselamatan dari roh-roh leluhur, menurut kepercayaan umat Hindu. Akan tetapi,

bukanlah hal yang tidak mungkin jika gamelan digunakan di dalam ibadah

Kristen. Tentu saja penggunaannya pun harus disesuaikan dengan kebutuhan dan

nilai-nilai Kristiani. Misalnya saja mebanten, yang bagi umat Hindu adalah cara

mereka bersembahyang. Maka dari itu, jika gamelan digunakan di dalam ibadah,

maka orang Kristen bisa memulainya dengan berdoa menurut Kekristenan, tanpa

disertai dengan sesaji seperti yang dilakukan umat Hindu. Berdoa bagi orang

Kristen merupakan alat untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Selain itu, doa

merupakan suatu bentuk ungkapan rasa syukur manusia atas anugerah yang telah

Page 42: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

32

dikaruniakan Tuhan di dalam kehidupan manusia, termasuk memohon

keselamatan kepada Tuhan sebelum memainkan gamelan dalam sebuah ibadah,

dengan kata lain berdoa sebelum memainkan gamelan dalam sebuah ibadah

adalah untuk mempersiapkan diri menyambut hadirat Tuhan dengan alat musik

dan nyanyian yang ada, sehingga dapat membawa pertumbuhan iman bagi jemaat.

Kebudayaan yang ada disekitar manusia, bukanlah alat untuk memecah

persatuan diantara umat manusia. Melainkan alat untuk mempersatukan perbedaan

diantara umat. Meskipun beberapa jemaat GKPB Pniel Blimbingsari masih

bertahan dengan pola pikir masa lalu yang kurang tepat, namun seiring

berjalannya waktu dengan pemahaman yang diberikan secara terus menerus,

jemaat akhirnya dapat menerima kontekstualisasi yang dilakukan gereja terhadap

budaya Bali, meskipun belum sepenuhnya. GKPB Pniel Blimbingsari

beranggapan bahwa sebagai orang Bali, mereka memiliki gamelan sebagai alat

musik tradisional, maka mereka harus memanfaatkannya sebagai sarana untuk

memuliakan Tuhan. Penggunaan alat musik Barat, seperti piano, gitas, bass, drum,

dan sebagainya sebagai alat musik pengiring ibadah, merupakan hal yang wajar

ditemui dalam ibadah di gereja-gereja Indonesia. Akan tetapi, jemaat GKPB Pniel

Blimbingsari menyadari bahwa tidak sepenuhnya mereka harus menjadi sama

dengan gereja-gereja kebanyakan dan memilih untuk mengakrabkan diri dengan

budaya. Melalui pengunaan gamelan sebagai musik pengiring ibadah, jemaat

memilih identitas gereja sendiri. Mereka bangga ketika menggunakan gamelan

dalam kegiatan ibadah, meskipun tidak menutup diri juga dari musik-musik

bernuansa Barat karena musik gamelan hanya digunakan dalam ibadah-ibadah

tertentu saja.

Gamelan tidak digunakan sebagai alat musik di dalam setiap ibadah, karena

pada saat ini lagu-lagu yang dapat dimainkan oleh gamelan bersifat terbatas.

Sebagai alat musik pentatonik, nada-nada gamelan tidak sama dengan nada-nada

yang terdapat di piano. Oleh karena itu, lagu-lagu yang dimainkan oleh gamelan

di dalam ibadah cenderung hanya menggunakan lagu yang sama. Akibatnya, tidak

sedikit dari jemaat yang merasa jenuh dan menurut pengakuan beberapa generasi

muda, mereka kurang bisa memahami iring-iringan musik gamelan, karena tidak

seperti musik modern yang bisa dipelajari melalui partitur. Maryanto, dkk,

Page 43: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

33

mengatakan bahwa ciri-ciri musik tradisional pada umumnya adalah diwariskan

secara turun-temurun melalui tradisi lisan. Hal ini selaras dengan pernyataan

Kayam yang mengatakan bahwa musik tradisional umumnya tidak diketaui kapan

dan siapa penciptanya. Gamelan sebagai alat musik tradisional khas daerah Bali

merupakan warisan yang diturunkan melalui tradisi lisan. Artinya ide musik

gamelan tidak disampaikan melalui notasi ataupun partitur tertentu, maka untuk

mempertahankan kelestariannya diperlukan penyampaian lisan yang dilakukan

dengan cara latihan kepada jemaat, terlebih generasi muda. Latihan ini tidak

hanya dilakukan untuk menjaga kelestarian dari penggunaan gamelan itu sendiri,

melainkan juga untuk menimbulkan kecintaan para generasi muda terhadap

budaya yang ada, sehingga ketika ibadah yang diadakan menggunakan gamelan

sebagai alat musik pengiring ibadah, setiap kategori jemaat dapat menghayati

makna ibadah dengan baik dan membawa mereka ke dalam pertumbuhan iman.

GKPB Pniel Blimbingsari menyadari hal tersebut, maka mereka pun membentuk

sekaa gamelan yang baru, yang beranggotakan para generasi muda sebagai bentuk

pewarisan budaya.

Manusia dan kebudayaan saling berkaitan. Tanpa manusia, kebudayaan itu

tidak akan lahir, begitu juga tanpa kebudayaan manusia akan terlihat seperti mati.

Kebudayaan juga membawa identitas tersendiri bagi masyarakat di mana

kebudayaan itu berkembang. Tidak hanya itu, kebudayaan menjadikan manusia

dapat mengungkapkan perasaan-perasaanya. Bagi jemaat GKPB Pniel

Blimbingsari, kebudayaan merupakan sarana bagi mereka untuk mengungkapkan

perasaan syukur mereka kepada Tuhan. Penggunaan gamelan menjadi salah satu

sarana bagi jemaat untuk mengekspresikan rasa syukurnya. Tidak hanya itu,

gamelan juga dijadikan alat untuk mengekspresikan iman jemaat, sekaligus

menjadi alat Pekabaran Injil bagi jemaat GKPB Pniel Blimbingsari. Sebagai salah

satu kebudayaan Bali, penggunaan gamelan sebagai alat musik pengiring ibadah

dapat membawa jemaat lebih bisa menghayati kegiatan ibadah. Penggunaan

gamelan di gereja pun tidak hanya mendapatkan respons yang baik antar jemaat,

melainkan juga dengan masyarakat Hindu di sekitar lingkungan gereja.

Masyarakat merasa bahwa kebudayaan Bali sangat dihargai oleh orang Kristen,

maka tidak jarang beberapa masyarakat Hindu turut ambil bagian dalam menabuh

Page 44: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

34

gamelan di ibadah Kristen. Umat Hindu merasa bahwa jemaat GKPB Pniel

Blimbingsari memiliki visi yang sama, yaitu melestarikan budaya Bali.

Kebudayaan dijadikan sebagai sebuah norma yang mengatur pola kehidupan

bermasyarakat. Norma ini sering disebut dengan adat istiadat. Koentjaraningrat

mengatakan bahwa di dalam perbedaan sekalipun adat istiadat yang terbentuk

dari ide-ide dan gagasan-gagasan yang telah disepakati bersama di dalam

masyarakat, pada akhirnya akan mempersatukan segala perbedaan yang ada. Oleh

karena itu, gamelan sebagai suatu kebudayaan membentuk suatu sistem adat

istiadat yang ada diantara jemaat GKPB Pniel Blimbingsari dan umat Hindu, yang

akhirnya mempersatukan perbedaan keyakinan sehingga membentuk rasa aman

dan damai dalam menjalani kehidupan.

Pendekatan budaya yang dilakukan oleh jemaat GKPB Pniel Blimbingsari

pada akhirnya membawa perubahan sosial bagi jemaat itu sendiri. Perlahan-lahan

jemaat mulai menggunakan tradisi Bali disetiap kesempatan dan disesuaikan

dengan konteks kekristenan. Misalnya saja tradisi ngejot dan pemasangan penjor.

Tradisi ngejot merupakan tradisi berbagi menurut kepercayaan umat Hindu.

Biasanya dalam sebuah upacara, umat Hindu akan menghidangkan makanan yang

terlebih dahulu didoakan menurut kepercayaan umat Hindu. Setelah itu makanan

tersebut akan dibagikan kepada tetangga mereka. Tradisi ini diadaptasi oleh

jemaat GKPB Pniel Blimbingsari, tentu saja disesuaikan dengan konteks

kekristenan dan biasa dilakukan pada hari raya gerejawi, seperti Natal, Paskah,

dan sebagainya. Tradisi ngejot ini dilakukan sebagai bentuk ungkapan syukur

jemaat atas berkat Tuhan yang melimpah di kehidupan mereka, maka

pengungkapan rasa syukur itu mereka wujudnyatakan dalam hal berbagi sehingga

orang lain juga dapat merasakan berkat Tuhan yang melimpah.

Selain tradisi ngejot, dalam suatu hari raya gerejawi, GKPB Pniel

Blimbingsari juga sering mendirikan penjor, yaitu tiang bambu dengan ujung

melengkung dan biasanya dihias dengan menggunakan janur dan hasil kebun.

Bagi umat Hindu, penjor merupakan simbol gunung yang memberikan

keselamatan dan kesejahteraan. Oleh karena itu, GKPB Pniel Blimbingsari

menggunakan penjor sebagai bentuk ungkapan syukur atas berkat yang melimpah

melalui hasil kebun mereka. Biasanya untuk menyesuaikannya dengan konteks

Page 45: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

35

kekristenan, diujung penjor akan digantungkan ornamen salib yang terbuat dari

janur.

Tradisi-tradisi yang digunakan oleh GKPB Pniel Blimbingsari merupakan

salah satu bentuk usaha kontekstualisasi budaya supaya gereja semakin dekat

dengan lingkungannya. Maka dari itu, tidak mengherankan jika pada saat ini Desa

Blimbingsari berkembang menjadi desa wisata yang diminati oleh wisatawan

lokal maupun wisatawan asing. Segala unsur kebudayaan Bali yang digunakan

dalam ibadah Kristen, seperti yang dilakukan oleh GKPB Pniel Blimbingsari

merupakan salah satu contoh bahwa sesungguhnya gereja pun turut bertumbuh

bersama masyarakat. Gamelan menjadi salah satu unsur pemersatu bagi seluruh

rangkaian tradisi yang digunakan. Ketika GKPB Pniel Blimbingsari telah

menggunakan gamelan sebagai musik pengiring ibadahnya, maka secara otomatis

hal tersebut menandakan perayaan penting sedang dilakukan oleh gereja dan

seluruh rangkaian liturgi, simbol-simbol, dan tradisi pun pasti menggunakan

kebudayaan Bali yang telah disesuaikan dengan kekristenan.

III. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Kebudayaan identik dengan keseluruhan tindakan manusia yang menetap

disuatu tempat tertentu dan menghasilkan suatu karya yang berguna untuk

menopang kehidupan manusia itu sendiri. Hal ini menjadikan kebudayaan

seringkali dijadikan sebagai identitas bagi sekelompok masyarakat tergantung di

mana kebudayaan itu berkembang. GKPB Pniel Blimbingsari menggunakan

gamelan sebagai musik pengiring ibadah, sekaligus menjadikan gamelan sebagai

identitas budayanya, yaitu budaya Bali.

Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari memahami bahwa penggunaan gamelan

dan budaya Bali dalam ibadah Kristen merupakan salah satu cara untuk

mendekatkan diri dengan budaya dan masyarakat mayoritas beragama Hindu,

sehingga gereja tidak menjadi persekutuan yang asing di tengah masyarakat.

Selain itu, penggunaan gamelan sebagai alat musik pengiring ibadah juga menjadi

sarana Pekabaran Injil bagi jemaat, karena penggunaannya bisa disesuaikan

dengan konteks kekristenan, tanpa mengurangi makna dari budaya itu sendiri.

Page 46: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

36

Usaha kontektualisasi budaya dengan menggunakan gamelan sebagai alat

musik pengiring ibadah memang bukanlah hal yang mudah. Kontroversi diantara

jemaat perihal penggunaan gamelan terjadi, karena beberapa jemaat “tua” yang

sebelumnya beragama Hindu memahami bahwa ketika mereka sudah

berkomitmen untuk menjadi manusia baru di dalam Kristus, berarti mereka harus

meninggalkan kehidupan yang lama, termasuk budaya yang berkaitan dengan

agama Hindu. Gamelan merupakan alat musik yang sering digunakan dalam

upacara sakral umat Hindu, maka dari itu menurut mereka gamelan tidak boleh

digunakan di dalam ibadah Kristen. Tidak hanya beberapa orang “tua”, beberapa

generasi muda pun kurang bisa menghayati jalannya ibadah ketika gamelan

digunakan sebagai musik pengiring ibadah. Hal ini dikarenakan kurangnya

pemahaman generasi muda tentang gamelan. Oleh karena itu, untuk meredakan

kontroversi yang ada, GKPB Pniel Blimbingsari terus melakukan pendekatan agar

seluruh jemaat dapat memahami makna dari kontekstualiasi budaya, dalam hal ini

penggunaan gamelan, di dalam ibadah. Gamelan terus digunakan secara berkala di

dalam ibadah kontekstual dan hari raya gerejawi. Hasilnya, lama-kelamaan jemaat

mulai terbiasa dan lebih bisa menghayati prosesi ibadah ketika diiringi dengan

gamelan.

2. Saran

Kontekstualisasi budaya yang dilakukan oleh jemaat GKPB Pniel

Blimbingsari merupakan salah satu contoh positif yang dapat diterapkan oleh

gereja-gereja masa kini. Tulisan ini merupakan rujukan bagi gereja-gereja di

Indonesia, khusunya gereja di Bali agar memahami bahwa gereja tidak seharusnya

melupakan budaya dan menjadi sebuah persekutuan eksklusif yang terlepas dari

masyarakat. Gereja harus lebih mendekatkan diri dengan adat dan budaya

setempat karena sejatinya kekristenan berkembang bersama adat dan budaya.

GKPB Pniel Blimbingsari memberikan contoh yang positif perihal bagaimana

gereja mengakrabkan diri dengan budaya, sehingga hasil yang dicapai tidak hanya

bermanfaat bagi gereja, melainkan juga bagi seluruh masyarakat di sekitar gereja.

Apa yang dilakukan oleh GKPB Pniel Blimbingsari kiranya menjadi acuan bagi

GKPB diseluruh Bali dalam mendekatkan diri dengan budaya yang ada, sehingga

Page 47: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

37

gereja tidak bertumbuh dan berkembang sendiri, melainkan bertumbuh bersama

dengan masyarakat.

Page 48: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

38

Daftar Pustaka

Ayub, Ketut Suyaga. Blimbingsari The Promise Land: Gereja Kristen Protestan

di Bali. Yogyakarta: Andi, 2014.

Banoe, Pono. Kamus Musik. Yogyakarta: Kanisius, 2011.

Bohlman, Philip V. The Study of Folk Music in The Modern World. Bloomington:

Indiana University Press, 1988.

Bungsin, Burhan. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,

dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.

Ensiklopedi Musik Indonesia: Seri F-J. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, 1985.

Hauken, A. Ensiklopedi Gereja: Jilid V. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka,

2005

Ihromi, T. O. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Indonesia, 2016.

Kayam, Umar. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta:Sinar Harapan, 1981.

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru, 1979.

Kusumohamidjojo, Budiono. Filsafat Kebudayaan: Proses Realisasi Manusia.

Yogyakarta: Jalasutra, 2010.

Martasudjita, E. dan J. Kristanto. Panduan Memilih Nyanyian Liturgi.

Yogyakarta: Kanisius, 2011.

Maryanto, Dwi Wahyu Candra Dewi, dan Syahlan Mattiro. Tinjauan

Etnomusikologi: Musik Kuriding Suku Dayak Bakumpai. Yogyakarta:

Aswaja Pressindo, 2014.

Mawene, M. Th. Gereja yang Bernyanyi. Yogyakarta: Andi, 2004.

Merriam, Alan P. The Anthropology of Music. Northwestern: University Press,

1964.

Nakagawa, Shin. Musik dan Kosmos: Sebuah Pengantar Etnomusikologi. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 2000.

Prier, Karl Edmund. Sejarah Musik: Jilid 1. Yogyakarta: Pustaka Musik Liturgi,

1991.

Page 49: Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel ...€¦ · Pemahaman Jemaat Gereja Kristen Protestan di Bali “Pniel” Blimbingsari terhadap Penggunaan Gamelan sebagai

39

Samiyono, David. Materi Kuliah Pengantar Kedalam Sejarah Musik Gereja.

Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2006.

Sandjaja, B. dan Albertus Heriyanto. Panduan Penelitian. Jakarta: Prestasi

Pustaka Publisher, 2006.

Senen, I Wayan. Perempuan Dalam Seni Pertunjukan di Bali. Yogyakarta: BP

ISI, 2005.

Simanjuntak, Ridayani. “Esensi Pendidikan Tarian Serampang Dua Belas.” Dalam

Korelasi Kebudayaan dan Pendidikan: Membangun Pendidikan Berbasis

Budaya Lokal, disunting oleh Bungaran Antonius Simanjuntak. Jakarta:

Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014.

Soeharto, M. Kamus Musik. Jakarta: Gramedia, 1992.

Sukarto, Aristarchus. “Kontekstualisasi Musik Gerejawi: Suatu Pertimbangan

Teologis dan Kultura.” Jurnal Teologi Gema Duta Wacana edisi Musik

Gerejawi, no. 48 (1994): 119.

Sukerna, Nyoman. Gamelan Jegog Bali. Semarang: Intra Pustaka Utama, 2003.

Sukerta, Pande Made. Gending-gending Gong Gede: Sebuah Analisa Bentuk.

Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2002.

Sunarya, I Wayan. Blimbingsari Selayang Pandang. Yogyakarta: Andi, 2015

Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta:

Kanisius, 2013.

Widhyatama, Sila. Sejarah Musik dan Apresiasi Seni. Jakarta: Balai Pustaka,

2012.

Widiarto, Tri. Pengantar Antropologi Budaya. Salatiga:Widya Sari Press, 2005.