peluang dan tantangan non-konvensional hidrokarbon di indonesia
-
Upload
dennis-fernando -
Category
Documents
-
view
217 -
download
0
Transcript of peluang dan tantangan non-konvensional hidrokarbon di indonesia
8/20/2019 peluang dan tantangan non-konvensional hidrokarbon di indonesia
http://slidepdf.com/reader/full/peluang-dan-tantangan-non-konvensional-hidrokarbon-di-indonesia 1/5
PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN HIDROKARBON NON KONVENSIONAL DI
INDONESIA
Semenjak sumur minyak pertamakali dibor di Indonesia oleh J. Reerink, seorang Belanda, di daerah
Majalengka pada tahun 1871, semenjak itu pula minyak bumi bagaikan darah negara kita, mengalirmelalui pembuluh-pembuluh berupa pipa transmisi dan tanker-tanker minyak. Minyak pun menjadi
primadona untuk menggerakkan perekonomian hingga saat ini. Tidak hanya di Indonesia, di sebagian
besar negara di dunia, minyak menjadi pondasi penting bagi pembangunan, bahkan dapat
mempengaruhi tingkat inflasi di suatu negara. Tak heran minyak sangat cocok mendapat sebutan
“emas hitam”, dimana ia memegang peranan penting dalam ketahanan energi dan ekonomi di
kebanyakan negara.
Pertanyaannya adalah mengapa minyak menjadi sedemikian primadona? Mengapa sedemikian
mempengaruhi inflasi suatu negara? Apabila dibandingkan gas, minyak lebih aman dan lebih mudah
dalam pengolahannya, tidak perlu wadah khusus bertekanan tinggi, ataupun liquefaction dan lain
sebagainya. Apabila dibandingkan batubara, minyak sangat praktis dan mudah dibawa kemana-
kemana, dengan kandungan energi yang lebih banyak per satuan berat pula. Apalagi dibandingkan
dengan energi lain semisal energi angin dan air, minyak jelas memiliki banyak kelebihan, utamanya
dari jumlah energi yang dihasilkan per satuan beratnya. Dengan seluruh kelebihan ini, banyak
kegiatan yang manusia lakukan sangat tergantung oleh minyak. Bukan rahasia pula bahwa siapayang mengontrol minyak, akan mengontrol dunia.
Setelah Indonesia merdeka, negara kita memulai ketergantungannya pada minyak sekitar 15 tahun
setelah proklamasi, yaitu pada tahun 1960 ketika negara kita membeli Shell Indonesia di lapangan
Cepu seharga US$ 110 juta. Mulai dari saat itu, dengan PSC ( Production Sharing Contract ), minyak
konvensional mulai diproduksikan dengan menggandeng cukup banyak kontraktor asing. Pada masa
jayanya, lapangan-lapangan minyak di Indonesia mampu memproduksikan lebih dari 1 MMSTBPD
(juta barrel per hari). Namun sesuai dengan hukum alam bahwa reservoir minyak yang makin turuntekanannya juga akan makin menurun produksinya, maka saat ini untuk mencapai 930 MSTBPD (ribu
barrel per hari) saja, kontraktor-kontraktor harus putar otak dengan berbagai inovasi serta
melakukan IOR ( Improved Oil Recovery ) yang memakan kapital tidak sedikit. Tentu banyak orang
migas berkata bahwa hal ini hanyalah karena kurangnya eksplorasi di Indonesia. Sudah majemuk
bagi pelaku-pelaku migas di negara kita untuk berkata bahwa saat ini yang tinggal sedikit hanyalah
cadangan, sedangkan potensi masih cukup banyak, dan daerah-daerah frontier serta laut dalam
harus lebih banyak dieksplorasi, agar cadangan kita bertambah.
8/20/2019 peluang dan tantangan non-konvensional hidrokarbon di indonesia
http://slidepdf.com/reader/full/peluang-dan-tantangan-non-konvensional-hidrokarbon-di-indonesia 2/5
Tentunya terbersit dalam pikiran, setelah dieksplorasi dan berhasil, cadangan kita bertambah, lalu
apa? Akankah demand minyak di negara ini turun? Penghematan-penghematan memang dilakukan
dan harus berhasil, namun hal tersebut hanya memperlambat kenaikannya, ibarat seorang tua yang
diberi penyambung kehidupan di rumah sakit di ibu kota, memperpanjang waktunya sebelum
dijemput ajal. Kenaikan demand akan terus terjadi, seperti kepastian bahwa orang tua tersebut
bertemu malaikat maut. Demand minyak akan terus naik, sementara supply nya tetap, atau
sekalipun bertambah karena adanya eksplorasi, sulit mengimbangi kenaikan demand. Sampai pada
suatu saat harganya akan terlalu tinggi untuk dibeli, dan pada saat itu energi-energi terbarukan yang
selama ini terpinggirkan,menemukan tempatnya di masyarakat sebagai pendamping yang kurang
lebih setara bagi minyak. Meskipun demikian, rasa-rasanya minyak atau secara umum hidrokarbon
masih sulit untuk digantikan, apalagi minyak sangat vital bagi industri petrokimia, dan energi primer
transportasi.
Pada saat yang sedemikian maka sering dimunculkan istilah cadangan hidrokarbon non konvensional
(unconventional hydrocarbon reserve ). Secara bahasa awam, cadangan hidrokarbon non
konvensional adalah cadangan hidrokarbon yang tak biasa: diambil dengan cara tak biasa, dan
harganya pun tak biasa. Letak ketakbiasaannya sebenarnya bukan secara by nature namun lebih
karena perilaku alami manusia yang mencari yang mudah dahulu, baru yang susah-susah kemudian,
ketika yang mudah sudah mulai habis.
Cadangan hidrokarbon yang ‘biasa’ contohnya adalah yang saat ini banyak dieksploitasi: cadangan -
cadangan besar, di darat maupun laut dangkal, serta mudah diambil karena misalnya mudah
mengalir, di Indonesia misalnya lapangan Minas dan blok Mahakam. Sedikit lebih ‘tak biasa’ dari itu
adalah cadangan-cadangan besar yang terletak di laut dalam ( deep water ). Contoh proyek deep
Gambar 1: Segitiga sumberdaya Holditch: sumberdaya non konvensional
membutuhkan teknologi dan pendanaan yang lebih besar. Sumber: Presentasi Prof
Ertekin
8/20/2019 peluang dan tantangan non-konvensional hidrokarbon di indonesia
http://slidepdf.com/reader/full/peluang-dan-tantangan-non-konvensional-hidrokarbon-di-indonesia 3/5
water di Indonesia adalah lapangan West Seno. Untuk contoh cadangan yang ‘tak biasa’ misalnya
adalah CBM ( Coal Bed Methane ), minyak berat, serta gas hidrat. CBM terkandung dalam sebagian
besar lapisan batubara di Kalimantan dan Sumatera, sedangkan minyak berat contohnya ada di Duri.
Bagi sebagian besar negara di dunia termasuk Indonesia, eksploitasi atas cadangan hidrokarbon nonkonvensional amat berharga untuk mengamankan pasokan energi primer selain dari minyak selama
beberapa tahun bahkan abad, tergantung dari besar cadangan yang ada. Namun tentu saja ada
persyaratan yang harus dipenuhi sebelum cadangan hidrokarbon non konvensional ini dapat
menjadi komersial. Faktor pertama adalah harga. Selama harga hidrokarbon konvensional belum
melambung terlampau tinggi, maka eksploitasi cadangan non konvensional masih belum feasible .
Hal ini juga berkaitan dengan faktor kedua yaitu teknologi. Karena sifat cadangannya yang tak biasa
semisal sulit mengalir karena terlalu kental atau tersimpan di lapisan batubara, maka teknologi yang
dipakai pun harus khusus, dan pengembangan teknologi baru pun memerlukan biaya. Faktor lainnya
yang menentukan adalah pendanaan dari negara melalui mekanisme Cost Recovery kepada
kontraktor-kontraktor yang mengusahakan migas konvensional maupun non konvensional.
Di Indonesia, kontraktor-kontraktor migas bergerak berdasarkan kontrak yang sebagian besar
diantaranya, menggunakan Cost Recovery . Inti dari Cost Recovery adalah bahwa setelah minyak
dan/atau gas terproduksikan, investasi, biaya O&M kontraktor diganti oleh negara agar negara tetap
menjadi pihak yang mengusahakan migas di negaranya sendiri, sehingga otomatis setiap investasikontraktor sudah menjadi milik Indonesia. Namun demikian, negara tidak akan mengganti biaya-
biaya ini dengan gegabah, dan dengan penuh perhitungan. Apabila dianggap masuk akal, maka akan
disetujui dan diganti (di- recover ) sedangkan apabila tidak maka tidak akan disetujui.
Sejauh ini beberapa kontraktor memang telah mengungkapkan keinginannya untuk masuk ke ranah
bisnis hidrokarbon non konvensional khususnya CBM, bahkan ada kontraktor yang salah satu sumur
CBM nya telah berproduksi. Namun demikian sumur CBM tersebut berproduksi dengan rate yang
tidak ekonomis apabila dibandingkan dengan sumur gas konvensional. Pengalaman ini tentu sajadapat diambil baik sebagai lesson learned maupun best practice oleh kontraktor-kontraktor yang lain
maupun pemerintah bahwa setelah proses dewatering di CBM gas memang dapat keluar. Dalam
kasus CBM, karena hidrokarbon ini terletak dalam reservoir yang seringkali dangkal, tekanannya pun
kecil sehingga rate nya kecil, dan dibutuhkan ribuan sumur dengan teknologi multilateral ataupun
pinate untuk mencapai rate yang ekonomis. Baik CBM maupun migas konvensional, faktor ekonomis
merupakan faktor yang amat penting, dan menentukan keberjalanan proyek tersebut kedepannya.
Selain CBM, potensi hidrokarbon non konvensional lain yang terlihat menarik di Indonesia adalah
shale gas dan oil shale
8/20/2019 peluang dan tantangan non-konvensional hidrokarbon di indonesia
http://slidepdf.com/reader/full/peluang-dan-tantangan-non-konvensional-hidrokarbon-di-indonesia 4/5
Sebegitu sulitnyakah pengembangan hidrokarbon berembel-embel non konvensional ini di
Indonesia? Melihat kenyataan sekarang, ada beberapa hal yang patut dicermati mengenai
hidrokarbon non konvensional di Indonesia. Pertama, pemerintah selama ini memang terlihat
menggembar-gemborkan kepada kontraktor migas maupun batubara untuk mengusahakan CBM
yang tersebar di wilayah-wilayah kerja yang sebagian besar terletak di Sumatera dan Kalimantan,
namun produksi gas yang cukup kecil dari salah satu kontraktor yang telah selesai melakukan
dewatering seharusnya menjadi lesson learned bagi pemerintah untuk mendanai proyek-proyek
sejenis. Problemnya adalah keekonomian proyek CBM sangat berbeda dengan migas konvensional,
dimana ratenya memang akan sustain untuk waktu yang cukup lama, namun dalam jumlah yang
jauh lebih kecil.
Kedua, saat-saat sekarang ini nampaknya kontraktor maupun pemerintah sama-sama hanya
bermanis mulut untuk CBM dan lebih tertarik untuk mengembangkan migas konvensional di
Indonesia bagian timur dan laut dalam ( deepwater ), dimana keduanya punya alasan yang bagus
untuk itu. Daerah-daerah frontier di Indonesia timur menjanjikan cekungan-cekungan yang sebagian
terkesplorasi namun belum berproduksi, demikian pula deepwater menjanjikan cadangan-cadangan
raksasa dimana pemboran satu sumur seharga 50 juta USD menjadi tidak masalah, karena sumur-
sumur migas konvensional berproduksi sangat besar dibandingkan sumur CBM.
Gambar 2: Peta cekungan-cekungan yang berpotensi di Indonesia, terlihat bahwa
banyak cekungan di Indonesia timur belum memperlihatkan tanda-tanda produksi, dan
dibutuhkan lebih banyak eksplorasi. Sumber: BP Migas
8/20/2019 peluang dan tantangan non-konvensional hidrokarbon di indonesia
http://slidepdf.com/reader/full/peluang-dan-tantangan-non-konvensional-hidrokarbon-di-indonesia 5/5
Ketiga, potensi hidrokarbon non konvensional membutuhkan teknologi dan pengalaman, expertise .
Untuk dapat memanfaatkan hidrokarbon non konvensional di Indonesia tidak bisa hanya sekadar
mencomot pengalaman dan teknologi untuk mengembangkan sumberdaya tersebut dari negara lain
yang telah mengembangkan lebih dahulu, karena kondisi geologi kita memang dapat berbeda.
Misalnya, lapisan batubara kita bukan tipikal tebal dan dangkal namun interbedded dan dalam,
ataupun terhubung dengan akuifer ataupun faktor lainnya. Sehingga, mental “tanam modal proyek
berjalan” seperti di migas konvensional sudah tidak dapat dipakai lagi. Penelitian untuk
memproduksikan hidrokarbon non konvensional di negara kita tidak hanya butuh modal namun
butuh waktu, dan ini berlaku tidak hanya untuk CBM namun juga untuk sumberdaya hidrokarbon
non konvensional lainnya.
Kita juga harus mengakui bahwa Indonesia adalah negara yang hingga saat ini masih berjuang untuk
memenuhi produksi energinya. Saat ini negara kita terengah-engah untuk memenuhi target lifting
APBN 2011 sebesar 945 ribu barrel per day, sementara realisasi berada di angka sekitar 930 ribu
barrel per day, karena hambatan-hambatan di berbagai lapangan. Implikasi dari hal tersebut adalah
difokuskannya usaha pada eksplorasi dan eksploitasi hidrokarbon konvensional di laut dalam dan
daerah timur Indonesia, sehingga nampaknya hidrokarbon non konvensional di Indonesia harus
menunggu saat yang tepat. Namun demikian, penelitian-penelitian dan pilot project ke arah ini tidak
boleh berhenti begitu saja, karena di masa depan apabila sumber hidrokarbon non konvensional
dibutuhkan, akan terlalu terlambat untuk melakukan penelitian dan pengujian di masa tersebut,
karena demand sudah mendesak untuk dipenuhi.
Secara umum, potensi hidrokarbon non konvensional di Indonesia memang menjanjikan, namun
demikian pemerintah yang memiliki dana terbatas pada saat ini seharusnya lebih memfokuskan diri
pada minyak dan gas konvensional di deepwater dan Indonesia Timur yang berpotensi besar dalam
mengamankan pasokan energi Indonesia dalam beberapa tahun mendatang. CBM, Oil Shale , Gas
Shale , hidrat gas serta hidrokarbon non konvensional lainnya harus mulai dilakukan pilot project
untuk mengetahui potensi dan strategi pengembangannya yang pas di negara kita, karena vital
untuk mengamankan pasokan energi di Indonesia di masa depan. Untuk menjamin
pengembangannya, maka payung hukum berupa peraturan dan undang-undang juga harus dibuat
agar investor yang menanamkan modalnya di sektor ini merasa aman. Langkah berikutnya tentunya
mirip dengan di sektor migas konvensional saat ini, yaitu setelah kita mempelajari teknologi dan
strategi pengembangan hidrokarbon non konvensional melalui kontrak kerjasama dengan
kontraktor, diharapkan kedepannya Indonesia mampu mengelola hidrokarbon konvensional maupun
non konvensional secara mandiri untuk mencapai ketahanan energinya sendiri.