pelayananumum

172
i KATA PENGANTAR Sampai dengan tahun 2004, Komisi Hukum Nasional sesuai dengan mandat yang dimilikinya berdasarkan Keputusan Presiden No. 15 Tahun 2000, secara berkelanjutan menjalankan fungsinya dalam memberikan pendapat kepada Presiden tentang pelbagai kebijakan hukum serta pembentukan rencana pembaharuan hukum nasional Indonesia. Salah satu elemen penting di dalam sistem hukum Indonesia yang tidak luput dari perhatian Komisi Hukum Nasional adalah bidang hukum administrasi negara. Bidang hukum administrasi negara dirasakan semakin penting peran dan fungsinya di dalam era reformasi hukum dewasa ini, khususnya karena semakin beragamnya dan kompleksnya tugas-tugas publik yang harus diselenggarakan demi peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan juga karena semakin besarnya kewenangan pemerintah di daerah dalam mengelola potensi-potensi lokalnya di dalam kerangka otonomi daerah. Fungsi koordinasi, integrasi, sinkronisasi melalui kaidah-kaidah hukum administrasi negara yang modern semakin menjadi kebutuhan yang mendesak untuk diwujudkan dalam rangka peningkatan kualitas pelaksanaan tugas-tugas negara itu. Menyadari hal itu, Komisi Hukum Nasional beranggapan bahwa perkembangan kehidupan bernegara dewasa ini sedang berada dalam momentum terbaiknya untuk pelaksanaan reformasi di bidang hukum administrasi negara, dan dalam kaitan itu Komisi beranggapan bahwa sektor yang perlu mendapat prioritas perhatian adalah bidang Pelayanan Publik. Pelayanan publik di Indonesia dewasa ini, baik secara nasional maupun secara regional hampir berada pada titik nadir. Hal ini tercermin dari semakin banyaknya keluhan dan sorotan negatif yang datang dari warga masyarakat sebagai penerima pelayanan publik, baik mengenai kualitas pelayanan dan produk pelayanan yang rendah, tingkat responsivitas petugas pelayanan, bahkan penanganan terhadap keluhan-keluhan publik, yang tidak memuaskan, kecenderungan- kecenderungan KKN, dsb. Kesemuanya itu semakin membuktikan bahwa pembenahan di bidang Pelayanan Publik perlu mendapatkan perhatian utama.

Transcript of pelayananumum

Page 1: pelayananumum

i

KATA PENGANTAR

Sampai dengan tahun 2004, Komisi Hukum Nasional sesuai dengan mandat yang

dimilikinya berdasarkan Keputusan Presiden No. 15 Tahun 2000, secara berkelanjutan

menjalankan fungsinya dalam memberikan pendapat kepada Presiden tentang pelbagai

kebijakan hukum serta pembentukan rencana pembaharuan hukum nasional Indonesia.

Salah satu elemen penting di dalam sistem hukum Indonesia yang tidak luput dari

perhatian Komisi Hukum Nasional adalah bidang hukum administrasi negara.

Bidang hukum administrasi negara dirasakan semakin penting peran dan fungsinya di

dalam era reformasi hukum dewasa ini, khususnya karena semakin beragamnya dan

kompleksnya tugas-tugas publik yang harus diselenggarakan demi peningkatan

kesejahteraan masyarakat, dan juga karena semakin besarnya kewenangan pemerintah

di daerah dalam mengelola potensi-potensi lokalnya di dalam kerangka otonomi daerah.

Fungsi koordinasi, integrasi, sinkronisasi melalui kaidah-kaidah hukum administrasi

negara yang modern semakin menjadi kebutuhan yang mendesak untuk diwujudkan

dalam rangka peningkatan kualitas pelaksanaan tugas-tugas negara itu.

Menyadari hal itu, Komisi Hukum Nasional beranggapan bahwa perkembangan

kehidupan bernegara dewasa ini sedang berada dalam momentum terbaiknya untuk

pelaksanaan reformasi di bidang hukum administrasi negara, dan dalam kaitan itu

Komisi beranggapan bahwa sektor yang perlu mendapat prioritas perhatian adalah

bidang Pelayanan Publik. Pelayanan publik di Indonesia dewasa ini, baik secara

nasional maupun secara regional hampir berada pada titik nadir. Hal ini tercermin dari

semakin banyaknya keluhan dan sorotan negatif yang datang dari warga masyarakat

sebagai penerima pelayanan publik, baik mengenai kualitas pelayanan dan produk

pelayanan yang rendah, tingkat responsivitas petugas pelayanan, bahkan penanganan

terhadap keluhan-keluhan publik, yang tidak memuaskan, kecenderungan-

kecenderungan KKN, dsb. Kesemuanya itu semakin membuktikan bahwa pembenahan di

bidang Pelayanan Publik perlu mendapatkan perhatian utama.

Page 2: pelayananumum

ii

Menghadapi situasi ini, Komisi Hukum Nasional menyadari sepenuhnya bahwa inti

permasalahannya keprihatinan terhadap kualitas pelayanan publik di Indonesia terletak

pada tidak adanya dan/atau tidak bekerjanya Sistem Pelayanan Publik sebagaimana

mestinya, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem administrasi

negara Indonesia. Dalam kerangka berpikir pembenahan hukum dan sistem

administrasi negara Indonesia pada umumnya, Komisi Hukum Nasional pada tahun 2004

menyelenggarakan penelitian yang bertema: “Membangun Sistem Pemerintahan yang

Layak dan Melakukan Reformasi Hukum Administrasi: “Reformasi Hukum

Administrasi Negara dalam Rangka Pelayanan Umum ”. Dengan tema itu, Tim

Peneliti telah merencanakan dan mengusulkan serangkaian kegiatan pengumpulan dan

analisis data/informasi yang dilakukan baik terhadap peraturan perundang-undangan

nasional, regional, dan sektoral mengenai pelayanan publik, aspirasi instansi-instansi

penyelenggara pelayanan publik dan masyarakat pengguna jasa publik atau fihak-fihak

yang dianggap representatif untuk menyuarakan aspirasi itu.

Atas dasar persetujuan dan kerjasama dengan pihak Sekretariat Negara Republik

Indonesia, maka Komisi Hukum Nasional pada bulan Juli 2004 secara resmi membentuk

sebuah Tim Penelitian, yang diketuai oleh Prof. J.E. Sahetapy, dengan anggota-

anggota sebagai berikut:

a. Agustinus Pohan, SH, MS

b. Robertus Budi Prastowo, SH, M.Hum

c. Bayu Seto Hardjowahono, SH, LL.M

d. Nurul Diana, SH.,MH

Harus diakui bahwa dengan keterbatasan waktu yang tersedia (bulan Juli – November

2004), serta keterbatasan dana, Tim Peneliti harus bekerja keras, fleksibel, kreatif dan

efisien agar penelitian tetap dapat mencapai hasil dengan kualitas yang secara optimal

dapat dipertanggungjawabkan. Tim memulai pelaksanaan tugas-tugasnya pada bulan

Juli 2004 dan berlangsung secara intensif selama 3,5 bulan sampai dengan disusunnya

laporan penelitian ini. Tenggang waktu yang sangat terbatas itu, secara intensif diisi

dengan kegiatan penyusunan proposal dan persiapan administrasi penelitian, penelitian

Page 3: pelayananumum

iii

normatif, penelitian lapangan, beberapa kali focused group discussions dengan nara

sumber dan responden yang mewakili pelbagai unsur dan kepentingan, analisis data dan

penyusunan interim report, workshop, dan penyusunan laporan akhir.

Berkat kerjasama yang baik dan dukungan dari semua fihak, khususnya fihak Sekretariat

Negara RI dan instansi-instansi penyelenggara pelayanan publik baik di tingkat pusat

maupun di daerah, serta berkat rahmat Tuhan YME, Tim Peneliti akhirnya berhasil

menuntaskan penelitian ini dan menyusun kesimpulan dan rekomendasinya di dalam

laporan ini. Untuk itu Tim juga mengucapkan banyak terima kasih kepada para Nara

Sumber yang berperan sangat aktif dalam memberi masukan-masukan berharga untuk

memperkaya hasil penelitian ini, kepada para staf administrasi penelitian yang tanpa

mengenal lelah berkerja keras berupaya agar kegiatan penelitian ini dapat selesai para

waktunya, serta kepada pihak-pihak independen yang menyumbangkan tenaga dan

fikirannya untuk melancarkan kegiatan Tim.

Harapan utama Komisi Hukum Nasional dengan diselesaikannya penelitian ini adalah

bahwa hasil-hasil penelitian akan dapat bermanfaat besar dalam upaya reformasi

hukum, khususnya dalam pembinaan regulasi dan sistem Pelayanan Publik Nasional

Indonesia di masa depan. Harapan Tim Peneliti, setidak-tidaknya hasil penelitian ini

akan merangsang studi, penelitian, serta perumusan kebijakan lebih lanjut di bidang

pelayanan publik dan hukum administrasi negara Indonesia, dalam rangka menuju

masyarakat Indonesia baru yang demokratis dan madani.

Terima Kasih.

Page 4: pelayananumum

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang ........................................................................... 1

2. Permasalahan ............................................................................ 7

3. Tujuan dan Sasaran Penelitian .................................................... 10

4. Metode Penelitian ....................................................................... 13

5. Evaluasi Pelaksanaan Penelitian ................................................... 17

6. Organisasi Penelitian ................................................................... 18

BAB II HASIL PENELITIAN NORMATIF SISTEM PENYELENGGARAAN

PELAYANAN PUBLIK INDONESIA

1. Sistem Penyelenggaraan Pelayanan Publik Nasional Indonesia ...... 19

A. Regulasi tentang Pelayanan Publik ......................................... 22

B. Asas-Asas Penyelenggaraan Pelayanan Publik ......................... 23

C. Standar Minimum Pelayanan .................................................. 26

D. Norma-Norma Perilaku Petugas Penyelenggara Pelayanan

Publik ................................................................................... 26

2. Sistem Pengelolaan Keluhan Publik

A. Elemen-Elemen Sistem Pengelolaan Keluhan Publik ................. 41

B. Deskripsi Pengaturan Pelayanan Publik secara Sektoral ........... 46

a. Pelayanan Administrasi Badan Pertanahan Nasional ........... 48

b. Pelayanan Administrasi Kantor Catatan Sipil ...................... 50

c. Pelayanan Administrasi Kepolisian .................................... 51

d. Pelayanan Barang PT. Telekomunikasi Indonesia ............... 53

e. Pelayanan Barang PT. PLN ............................................... 54

f. Pelayanan Jasa Kesehatan Pusat Kesehatan Masyarakat...... 55

g. Pelayanan Jasa PT. Pos Indonesia ..................................... 58

Page 5: pelayananumum

v

C. Deskripsi Pengaturan Pelayanan Keluhan Publik secara Sektoral

a. Pelayanan Keluhan pada Badan Pertanahan Nasional ........ 59

b. Pelayanan Keluhan pada Kantor Catatan Sipil ................... 60

c. Pelayanan Keluhan pada Kantor Kepolisian ....................... 61

d. Pelayanan Keluhan pada PT. Telekomunikasi Indonesia ..... 61

e. Pelayanan Keluhan pada PT. PLN ..................................... 66

f. Pelayanan Keluhan pada Pusat Kesehatan Masyarakat ....... 69

g. Pelayanan Keluhan pada PT. Pos Indonesia ....................... 70

3. A. Analisis Normatif Pengaturan Sistem Penyelenggaraan

Pelayanan Publik .................................................................. 70

B. Analisis Normatif Pengaturan Sistem Pelayanan Keluhan

Publik .................................................................................. 75

BAB III PELAKSANAAN PELAYANAN PUBLIK DAN PELAYANAN KELUHAN

PUBLIK

1. Pelaksanaan Pelayanan Publik dan Pelayanan Keluhan Publik

A. Badan Pertanahan Nasional ................................................... 88

B. Kantor Catatan Sipil .............................................................. 91

C. Kantor Kepolisian ................................................................. 96

D. PT. Telekomunikasi Indonesia ................................................ 99

E. PT. PLN ................................................................................ 100

F. PT. Pos Indonesia ................................................................. 101

G. Pusat Kesehatan Masyarakat ................................................. 103

2. Persepsi Masyarakat terhadap Pelayanan Publik dan Pelayanan Keluhan

Publik

A. Persepsi Masyarakat terhadap Pelayanan Publik ...................... 104

B. Persepsi Masyarakat terhadap Pelayanan Keluhan Publik .......... 108

Page 6: pelayananumum

vi

BAB IV STANDAR KUALITAS DAN MEKANISME PELAYANAN PUBLIK DAN

PELAYANAN KELUHAN PUBLIK

1. Standar Kualitas Pelayanan Publik yang Ideal dan Realistik ........... 111

2. Standar Minimum Kualitas Pelayanan Keluhan Publik .................... 118

3. Masalah-Masalah dalam Proses Pelayanan Keluhan Publik ............ 128

4. Mengkaji Kemungkinan Mengikutsertakan Biro Hukum dalam

Pelayanan Keluhan Publik .......................................................... 138

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan dan Rekomendasi .......................................................... 144

Daftar Pustaka ............................................................................................. 163

Page 7: pelayananumum

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Dalam rangka mempercepat proses penyempurnaan pelaksanaan

pembangunan negara dan bangsa yang dalam beberapa tahun terakhir ini

mengalami banyak hambatan dan perlambatan, serta untuk mengejar pelbagai

ketertinggalan yang dialami negara dan bangsa Indonesia dalam upaya peningkatan

kualitas hidup bangsa Indonesia, maka salah satu aspek penting yang menuntut

perhatian sangat besar dewasa ini adalah upaya-upaya nyata untuk peningkatan

etos kerja dan kinerja dari aparatur pemerintahan.

Salah satu fungsi utama dalam penyelenggaraan pemerintahan yang

menjadi kewajiban aparatur pemerintah adalah penyelenggaraan pelayanan

publik. Peraturan perundangan Indonesia telah memberikan landasan formal

penyelenggaraan pelayanan publik yang didasarkan pada Asas-asas Umum

Pemerintahan Yang Baik. Pasal 3 Undang-undang No.28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

(selanjutnya UU KKN) menyebutkan asas-asas yang menjadi landasan

penyelenggaraan pelayanan publik terdiri dari: asas kepastian hukum; asas tertib

penyelenggaraan Negara; asas kepentingan umum; asas keterbukaan; asas

proporsionalitas; asas profesionalitas; dan asas akuntabilitas.

Selanjutnya berkaitan dengan pelaksanaan kinerja pemerintah tersebut,

telah diundangkan pula Instruksi Presiden No.7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas

Kinerja Instansi Pemerintahan yang menginstruksikan instansi Pemerintahan untuk

menyampaikan laporan akuntabilitas kinerja instansi kepada Presiden dan Instruksi

Presiden No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan Mutu Pelayanan Aparatur

Pemerintahan Kepada Masyarakat. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat

difahami sebagai pedoman bagi aparatur pemerintah dalam memberikan pelayanan

publik. Namun demikian, sampai dengan tahun 2003, fungsi pedoman-pedoman

tersebut masih dirasakan kurang memadai karena belum adanya pedoman umum

yang dapat dijadikan standar penilaian perilaku aparat penyedia pelayanan publik

dalam pelaksanaan tugas-tugasnya sehari-hari. Baru sejak diundangkannya:

Page 8: pelayananumum

2

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63/KEP/M.PAN/2003

tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik (selanjutnya

disebut KepMenpan No. 63/2003), yang kemudian diikuti oleh Keputusan-

keputusan Menpan yang dimaksudkan untuk mendukung Kepmen No. 63/2003,

yaitu:

Keputusan No: Kep/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan

Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah

selanjutnya disebut Kepmenpan No. 25/2004), dan

Keputusan No: Kep/26/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi

dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik (selanjutnya

disebut Kepmenpan No. 26/2004),

maka secara yuridik hukum positif Indonesia dapat dianggap telah cukup

meletakkan dasar hukum formal untuk memperbaiki kinerja lembaga terutama

lembaga atau instansi penyelenggara pelayanan publik1. Gagasan untuk

menetapkan aturan-aturan hukum yang menyangkut pelayanan publik dapat

difahami sebagai salah satu wujud dari tekad nasional untuk memperbaiki fungsi

dan kualitas pelayanan publik di Indonesia.

Secara umum pelayanan publik dapat diartikan sebagai: kewajiban yang

diamanatkan oleh Konstitusi untuk dilaksanakan oleh Pemerintah guna memenuhi

hak-hak warga masyarakat. Di dalam Kepmenpan No. 63/2003, yang dimaksud

dengan pelayanan publik adalah:

“segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara

pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan

maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan”.2

1 Sesuai Lampiran Keputusan Menpan No. 63/2003 (bagian I.C tentang Pengertian

Umum, butir 5), Pemberi Pelayanan Publik adalah pejabat/pegawai instansi pemerintah yang melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2 Butir C. Pengertian Umum, sub. 1;

Page 9: pelayananumum

3

Pandangan lain membatasi pengertian pelayanan publik sebagai:

“suatu kewajiban yang diberikan oleh Konstitusi atau undang-undang

kepada Pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar warga Negara atau

penduduk atas suatu pelayanan (publik).3”

Lebih lanjut, berdasarkan Keputusan Menpan No. 63/2003, pelayanan

publik dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: Kelompok Pelayanan Administratif,

Kelompok Pelayanan Barang dan Kelompok Pelayanan Jasa. Makna dari masing-

masing kelompok pelayanan tersebut dijelaskan sebagai berikut 4:

- Kelompok Pelayanan Administratif: yaitu pelayanan yang menghasilkan

berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik. Beberapa jenis

pelayanan publik yang dapat dikategorikan sebagai bagian dari pelayanan

administrasi misalnya: penerbitan dokumen yang berkaitan dengan:

a. status kependudukan atau kewarganegaraan (misalnya: Kartu Tanda

Penduduk, pasport, akta nikah, akta kelahiran, akta kematian, dll.);

b. status kepemilikan (misalnya: Sertifikat Hak Atas Tanah, Buku Pemilik

Kendaraan Bermotor, dll.);

c. status kompetensi (misalnya: Surat Ijin Mengemudi, Ijin Mendirikan

Bangunan, Surat Ijin Usaha, dll.).

Kelompok Pelayanan Barang: pelayanan yang menghasilkan berbagai

bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik. Hal ini berkaitan dengan tugas-

tugas yang dilaksanakan oleh negara selaku pelaku usaha, yang kewenangannya

dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara (misalnya penyediaan air minum/air

bersih, penyediaan listrik, penyediaan jaringan telekomunikasi, dll.);

- Kelompok Pelayanan Jasa: pelayanan yang menghasilkan berbagai

bentuk/jenis barang yang dibutuhkan oleh publik (misalnya: pelayanan

pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi,

penyelenggaraan post, dll.).

3 Lihat juga hasil kajian Kelompok Kerja B3-KHN 2001/2002 dalam Laporan Akhir

Penelitian tentang Prosedur Penyampaian Keluhan Publik, kerja sama antara Komisi Hukum Nasional dengan Fakultas Hukum UNPAR, 2001-2002, hal….

4 bagian IV Lampiran Kep No. 63/KEP/M.PAN/2003

Page 10: pelayananumum

4

Walaupun Keputusan-keputusan Menpan tersebut di atas diharapkan

dapat berfungsi sebagai pedoman dan petunjuk-teknis bagi seluruh instansi

penyelenggara pelayanan publik serta demi terwujudnya penyelenggaraan

pelayanan publik yang prima5, namun kenyataan di Indonesia menunjukkan masih

banyaknya keluhan serta ketidakpuasan terhadap kualitas aparatur pemerintahan

dalam menjalankan tugas-tugas pelayanan publiknya, terutama bila dikaitkan

dengan kewajiban untuk memperhatikan Asas-asas Penyelenggaraan

Pemerintahan yang Baik (Principles of Good Governance). Tidak jarang pula

bahwa rendahnya kualitas pelayanan publik ini pada gilirannya menjadi penyebab

timbulnya kasus-kasus yang dapat dikategorikan sebagai maladministrasi

(maladministration) 6.

Ruang lingkup penyelenggaraan pelayanan publik dewasa ini semakin

meluas dan menyentuh tidak saja pemenuhan atau penegakan hak-hak dasar

manusia, seperti pendidikan, sandang, pangan, perumahan, pekerjaan yang layak,

jaminan kesehatan, lingkungan hidup yang sehat, dan sebagainya, tetapi juga

menyangkut hal-hal yang langsung menyentuh kehidupan manusia sehari-hari,

seperti perijinan, identitas status, penyaluran kebutuhan bahan pokok,

transportasi, telekomunikasi, dan sebagainya. Seiring dengan semakin

meningkatnya kompleksitas pelayanan publik, baik secara kualitatif maupun

kuantitatif, maka semakin terasa pula adanya kebutuhan untuk meningkatkan

kualitas dan kuantitas pelayanan publik pada umumnya, yang salah satu caranya

adalah melalui upaya reformasi sistem regulasi penyelenggaraan pelayanan publik.

Mengingat bahwa reformasi di bidang ini erat kaitannya dengan tata aturan

(regulasi) di bidang hukum administrasi negara, maka reformasi terhadap sistem

5 Lihat Bagian B. Maksud dan Tujuan. 6 Keadaan di mana sebuah badan publik dianggap telah gagal untuk bertindak sesuai

dengan aturan atau prinsip-prinsip yang mengikat badan itu atau pengurus dari badan itu. Pengertian ini merupakan terjemahan dari definisi “maladministration” yang digunakan oleh Lembaga Ombudsman Masyarakat Eropa (The European Ombudsman) yaitu: “maladministration occurs when a public body fails to act in accordance with a rule or principle which is binding upon it”. Diajukan di dalam Annual Report 1997 dan diterima sebagai definisi resmi oleh Parlemen Eropa. Bandingkan pula dengan Pasal 1,butir 9 Rancangan UU Ombudsman Nasional: Tindakan Maladministrasi adalah perbuatan atau pengabaian kewajiban hukum instansi dan atau pejabat pemerintahan yang melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Page 11: pelayananumum

5

pelayanan publik di Indonesia tidak lagi cukup untuk digantungkan pada adanya

suatu peraturan perundang-undangan sebagai peraturan payung saja. Reformasi

hukum administrasi yang bermuara pada pembenahan dan penertiban

penyelenggaraan pelayanan publik haruslah dilaksanakan sebagai upaya

aktualisasi peraturan perundang-undangan yang sudah ada dan atau perumusan

peraturan perundang-undangan baru. Reformasi administrasi dapat meliputi:

reformasi administrasi yang ditujukan untuk perbaikan birokrasi, inovasi,

peningkatan kualitas ‘produk’ pelayanan, atau peningkatan efisiensi dan efektifitas

pelayanan publik, dan penghormatan serta perlindungan terhadap hak-hak

masyarakat penerima pelayanan publik. Sementara itu, urgensi dari

dilaksanakannya reformasi itu memperoleh pembenarannya di dalam kebutuhan

nyata untuk mengatasi ketidakpastian dan perubahan-perubahan yang senantiasa

terjadi dalam lingkungan organisasi.

Bagian II dari Keputusan Menpan No. 63/2003 menegaskan bahwa:

“ …hakekat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada

masyarakat yang merupakan perwujudan dari kewajiban aparatur pemerintahan

sebagai abdi masyarakat.”

Bertitik tolak dari pengertian itu, sebenarnya dapat disimpulkan bahwa

hakekat Pelayanan Publik bertolak dari, di satu pihak, kewajiban aparat birokrasi

untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam kedudukannya sebagai

abdi masyarakat dan sesuai peraturan hukum yang berlaku di satu pihak, dan di

lain pihak, hak masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik yang prima dari

aparatur pemerintah. Kedua hak ini sebenarnya merupakan dua sisi dari mata

uang yang sama. Reformasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik hendaknya

diartikan sebagai upaya mengembalikan perwujudan asas-asas penyelenggaraan

pemerintahan yang baik dan bersih (principles of good and clean government) ke

dalam dua perpektif di atas, dan titik konvergensi dari kedua esensi tersebutlah

yang dimanifestasikan ke dalam penyelenggaraan pelayanan publik berdasarkan

asas-asas pemerintahan yang baik dan bersih. Beberapa pra-kondisi yang

Page 12: pelayananumum

6

tampaknya perlu ditumbuh-kembangkan untuk menciptakan suasana yang

kondusif untuk melaksanakan reformasi tersebut adalah:

1. Kehidupan masyarakat yang berbasis pada kedaulatan rakyat, dimana

terdapat ruang bagi rakyat untuk dapat berpartisipasi dalam proses

pengambilan kebijakan politik dengan berorientasi pada konsensus rakyat;

2. Adanya komponen kelembagaan yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan,

potensi, kondisi obyektif, dan karakter sosial ekonomi dan budaya rakyat;

3. Diakuinya seoptimal mungkin perimbangan kekuasaan dan kewenangan

dalam hubungan antar lembaga sehingga dimungkinkan pelaksanaan checks

dan balances;

4. pembagian kewenangan yang jelas di antara bidang-bidang pemerintahan

yang sesuai dengan tugas dan fungsinya, namun tanpa menutup

kemungkinan terjadinya sinergi antara satu fungsi pelayanan dengan lainnya;

5. Dilaksanakanya fungsi-fungsi manajemen pemerintahan yang didasarkan pada

rasionalitas, obyektivitas, efektivitas, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas;

6. Berfungsinya lembaga legislatif yang dapat meningkatkan kemampuannya

dalam hal melakukan fungsi kontrol, legislasi dan perumusan kebijakan

pemerintah, baik di tingkat pusat dan daerah;

7. Adanya visi, misi dan tujuan umum, yang jelas dalam menetapkan strategi

kebijakan pemerintah yang responsif terhadap perubahan rakyat;

8. Ditumbuhkannya kesadaran pada penyelenggara pelayanan publik bahwa

pelaksanaan fungsi-fungsi publik pada dasarnya bertolak tidak saja dari aspek

kewenangan (authority) saja, tapi di sisi lain juga bertolak dari aspek

pemenuhan hak-hak masyarakat untuk memperoleh pelayanan yang

baik/prima

Beberapa pra-kondisi tersebut dapat juga dijadikan parameter politik

dalam penyelenggaraan pelayanan publik, dan bila diletakkan dalam konteks

reformasi, maka hal ini menuntut adanya perubahan pemahaman dari sekedar

orientasi untuk membenahi dan meningkatkan kinerja birokrasi pemerintahan saja,

tetapi terutama harus diarahkan untuk menjawab dan memenuhi kebutuhan dan

peningkatan kesejahteraan rakyat. Melalui analogi dengan pemikiran yang

Page 13: pelayananumum

7

dikembangkan dalam dunia bisnis, maka organisasi dan kinerja organisasi

penyelenggara pelayanan publik harus dilaksanakan dalam koridor customers

satisfaction. Hal terakhir inilah yang menyebabkan persoalan ‘bagaimana

masyarakat sebagai customer dapat dipenuhi hak-haknya tidak saja menyangkut

peningkatan kualitas ‘produk’ pelayanan publiknya, tetapi juga peningkatan

standar kualitas mekanisme dan proses pelayanan serta mekanisme dan proses

yang tersedia bagi masyarakat untuk menyampaikan ketidakpuasan dan keluhan-

keluhannya atas pelayanan publik yang diperolehnya.

Dalam rangka melakukan pembaruan hukum administrasi, khususnya

yang berkaitan langsung dengan sistem penyelenggaraan pelayanan publik seperti

yang dimaksud di ataslah, maka melalui Program Induk KHN yaitu Sub. Komisi B

akan melakukan penelitian yang bertopik: Membangun Sistem Pemerintahan

yang Layak dan Reformasi Hukum Administrasi, dan fokus kajian akan

diarahkan pada sub-topik “Reformasi Hukum Administrasi Negara dalam

Rangka Pelayanan Publik.”

2. PERMASALAHAN

Seperti telah disinggung di atas, beberapa esensi dalam penyelenggaraan

pelayanan publik yang perlu selalu disadari adalah:

(1) adanya kewajiban pada pihak administrasi negara untuk menjalankan fungsi

dan wewenangnya berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan

bersih;

(2) pengakuan terhadap hak asasi setiap warganegara atas pemerintahan dan

perilaku administratif yang baik;

(3) keaneka ragaman jenis serta lingkup pelaksanaan pelayanan publik di

Indonesia sebagai akibat dari adanya keragaman urusan dan kepentingan

masyarakat yang harus dipenuhi melalui penyelenggaraan pelayanan publik;

Berkaitan dengan hal-hal di atas, tampaknya terdapat tiga gejala

utama yang menjadi menjadi pemicu perhatian pada penelitian ini, yaitu:

Page 14: pelayananumum

8

a. Rendahnya kualitas pelayanan publik yang dilaksanakan oleh sebagian

aparatur pemerintahan atau administrasi negara dalam menjalankan tugas

dan fungsinya. Di dalam kerangka hukum administrasi positif Indonesia saat

ini telah diatur tentang standar minimum kualitas pelayanan, namun

kepatuhan terhadap standar minimum pelayanan publik tersebut masih belum

terlihat manifestasinya dalam pelaksanaan tugas aparatur pemerintahan. Hal

ini terbukti dari masih sangat banyaknya keluhan dan ketidakpuasan yang

dilontarkan masyarakat Perlu dikaji lebih lanjut adalah upaya untuk membuat

agar standar minimum pelayanan publik tersebut dapat menjadi pedoman

yang efektif, sehingga dapat tercipta kepastian dan perlindungan hukum, baik

bagi para penyelenggara pelayanan publik sendiri maupun bagi

masyarakat/anggota masyarakat;

b. Birokrasi yang panjang (red-tape bureaucracy) dan adanya tumpang

tindih tugas dan kewenangan, yang menyebabkan penyelenggaraan

pelayanan publik menjadi panjang dan melalui proses yang berbelit-belit,

sehingga tidak mustahil memperbesar kemungkinan timbulnya ekonomi biaya

tinggi, terjadinya penyalahgunaan wewenang, korupsi, kolusi dan nepotisme,

perlakuan diskriminatif, dsb.

c. Rendahnya pengawasan external dari masyarakat (social control)

terhadap penyelenggaraan pelayanan publik, sebagai akibat dari

ketidak jelasan standar dan prosedur pelayanan, serta prosedur

peyampaian keluhan pengguna jasa pelayanan publik. Karena itu

tidak cukup dirasakan adanya tekanan sosial (social pressure) yang memaksa

penyelenggara pelayanan publik harus memperbaiki kinerja mereka. Salah

satu wujud dari peningkatan kontrol sosial ini, misalnya, melalui pembenahan

sistem dan prosedur pelayanan keluhan publik (public complaints/grievance

system & procedure) yang baik. Lebih jauh lagi, penelitian pendahuluan

menunjukkan bahwa peraturan perUUan yang tampaknya dipersiapkan

sebagai ‘umbrella regulation’ di bidang pelayanan publik yang berlaku secara

nasional, juga sangat sedikit menghadirkan ketentuan-ketentuan yang secara

tegas menetapkan sistem dan standar pelayanan atas keluhan publik

(public complaints, public grievance standards and procedure.

Page 15: pelayananumum

9

Dengan demikian, sistem pelaksanaan pelayanan publik yang berorientasi pada

kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat, setidak-tidaknya harus memberikan

pedoman komprehensif yang mengikat aparat dan masyarakat tentang:

1. Jaminan bahwa pelayanan publik tersebut dikelola secara profesional dan

bertanggungjawab oleh petugas publik yang berwenang untuk memberikan

pelayanan publik (Code of Conduct for Public Servants);

2. Prosedur yang dapat menjamin transparansi dan akuntabilitas proses

pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pejabat atau petugas yang

berwenang;

3. Jaminan bahwa manfaat pelayanan publik yang diharapkan dan dibutuhkan

oleh masyarakat tersebut dapat diperoleh secara layak, wajar, dan

proporsional bila dihadapkan dengan biaya dan pengorbanan yang harus

diberikan;

4. Jaminan, baik secara yuridik maupun etik, bahwa hak masyarakat untuk

memperoleh pelayanan prima itu didukung oleh standar dan mekanisme

pengajuan keluhan yang memadai.

Dari uraian latar belakang permasalahan yang ada, maka dapat disimpulkan

beberapa pertanyaan penelitian yang hendak dijawab di dalam penelitian ini,

yaitu:

1. Bagaimanakah konsistensi pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang

telah mengatur fungsi pelayanan publik sebagai ‘peraturan payung’ di dalam

penyelenggaraan pelayanan publik pada masing-masing bidang atau sektor?

2. Bagaimanakah pandangan masyarakat sebagai penerima pelayanan mengenai

pelayanan publik yang dilakukan oleh instansi pelayanan publik dewasa ini

dan apakah fungsi pelayanan publik tersebut sudah dilakukan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku?

3. Bagaimanakah penyelenggaraan pelayanan publik yang berorientasi pada

kebutuhan dan kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan seutuhnya melalui

penyediaan standar dan prosedur pelayanan keluhan publik yang dapat

Page 16: pelayananumum

10

berfungsi sebagai sumber masukan dan koreksi bagi sistem pelayanan publik

dalam arti umum maupun sektoral?

3. TUJUAN DAN SASARAN PENELITIAN

3.1. TUJUAN UMUM

Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, tujuan umum

dari pengkajian dan penelitian ini adalah perumusan kesimpulan-

kesimpulan umum dan rekomendasi mengenai:

Prospek Pembentukan dan Pengembanngan Prosedur Pelayanan

Publik di dalam Hukum Positif Indonesia

3.2. TUJUAN KHUSUS

Memperhatikan permasalahan-permasalahan dan kondisi saat ini

di Indonesia seperti yang telah diuraikan di atas, Kelompok Kerja dapat

membuat asumsi umum bahwa upaya pembinaan dan pembentukan

suatu Prosedur dan Mekanisme Pelayanan Publik, yang secara utuh

dan terpadu memuat dan menetapkan:

1. kewajiban-kewajiban utama setiap pejabat administrasi negara (dalam

arti yang seluas-luasnya) untuk menjalankan fungsinya berdasarkan

prinsip-prinsip Perilaku Administrasi yang baik (Principles of Good

Administrative Behaviour);

2. hak-hak setiap anggota masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik

secara layak dan sesuai dengan harapan-harapan mereka yang sah;

3. ketentuan-ketentuan tentang (i) subyek-subyek hukum yang harus

menyelenggarakan pelayanan publik, (ii) faktor saat dan tenggang-waktu

pelayanan publik, (iii) tata cara dan persyaratan permohonan pelayanan

publik yang dibutuhkan oleh masyarakat, (iv) akibat hukum serta sanksi-

sanksi yang tegas dan jelas bagi penyelenggara pelayanan publik yang

melanggar kewenangan dan tugas mereka.

Page 17: pelayananumum

11

4. Sub-sistem standar dan prosedur pelayanan keluhan publik yang

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan seyogyanya tunduk pada

prinsip-prinsip yang sama dengan prinsip-prinsip good governance yang

berlaku atas sistem pelayanan publik pada umumnya;

Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, maka ada beberapa sasaran pokok

dalam penelitian ini, yaitu:

Tujuan Khusus I:

Mengkaji sinkronisasi dan konsistensi peraturan perundang-undangan yang, di

satu pihak telah meletakan dasar-dasar penyelenggaraan pelayanan publik

secara umum dan nasional, dengan peraturan perundang-undangan dan

prosedur pelayanan publik yang telah dibuat untuk penyelenggaraan

pelayanan publik pada masing-masing bidang atau sektor di lain pihak.

Pertanyaan Penelitian:

1. Bagaimanakah pola pengaturan di dalam aturan-aturan hukum positif

Indonesia tentang penyelenggaraan pelayanan publik nasional, yang

berfungsi sebagai aturan payung untuk peraturan-peraturan sejenis yang

bersifat sektoral?

2. Sektor-sektor pelayanan publik apa sajakah yang dewasa ini telah

memiliki peraturan tentang penyelenggaraan pelayanan publik? Sejauh

mana tingkat responsivitas aturan payung itu terhadap kebutuhan-

kebutuhan khas yang ada di setiap sektor pelayanan dan sejauh mana

aturan payung itu sendiri dapat berfungsi sebagai pedoman untuk

pengembangan peraturan-peraturan yang bersifat sektoral tadi?

3. Adakah perbedaan pola pengaturan di berbagai sektor pelayanan publik

yang berpotensi memperburuk kinerja aparatur pemerintah dalam

menyelenggarakan pelayanan publik?

Page 18: pelayananumum

12

Tujuan Khusus II:

Tujuan khusus berikutnya yang hendak dikaji melalui penelitian ini adalah

bagaimana pandangan masyarakat tentang pelayanan publik yang secara aktual

diselenggarakan oleh instansi-instansi penyelenggara pelayanan publik, dan

selanjutnya untuk mengukur apakah pelayanan publik tersebut telah

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku (baik umum maupun sektoral).

Pertanyaan Penelitian:

Guna menjawab pertanyaan penelitian di atas, maka telah dianalisis pelbagai

data dan informasi yang menyangkut:

a. Prosedur untuk pelayanan publik baik bagi pemberi maupun penerima.

b. Tingkat transparansi baik menyangkut persyaratan maupun biaya pelayanan

publik.

c. Kepastian akan jangka waktu pelayanan publik yang dibutuhkan.

d. Ketepatan (akurasi) dari pelayanan publik yang diterima (apakah pelayanan

publik yang diterima sesuai dengan yang dibutuhkan).

e. Kelengkapan sarana dan prasaran dari instansi penyelenggara pelayanan

publik.

f. Kompetensi dari petugas yang memberikan pelayanan publik, baik dalam

hal pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap, dan perilaku yang

dibutuhkan.

g. Standar yang berlaku baik secara umum maupun sektoral bagi instansi

pelayan publik.

Tujuan Khusus III:

Melalui penelitian ini hendak diperoleh gambaran umum tentang standar

kualitas dan mekanisme pelayanan keluhan publik yang perlu dikembangkan

sebagai bagian integral dari suatu sistem pelayanan publik yang utuh, bersifat

umum dan nasional, dan berorientasi pada kebutuhan dan kesejahteraan

rakyat.

Page 19: pelayananumum

13

Pertanyaan Penelitian:

1. Adakah standar kualitas pelayanan keluhan publik, baik dalam arti etik

maupun yuridik yang dapat dianggap sebagai pola dasar pelayanan

keluhan publik di Indonesia.

2. Apakah yang seharusnya menjadi unsur-unsur dari suatu sistem

pelayanan keluhan publik yang dapat diterapkan sebagai acuan nasional

serta bagaimana seharusnya penjabaran atau aplikasinya dalam sistem

pelayanan keluhan publik di pelbagai sektor pelayanan jasa publik.

3. Apakah biro-biro hukum di dalam instansi-instansi penyelenggara

pelayanan publik dapat berfungsi sebagai biro pusat pemrosesan dan

penyelesaian keluhan-keluhan publik di instansi yang bersangkutan.

Fungsi dan kompetensi apa saja yang perlu dimiliki biro-biro hukum itu,

agar mereka dapat berfungsi seperti di atas.

Sebagai hasil akhir dari sasaran yang telah dihasilkan tersebut,

Tim merekomendasikan suatu gambaran ideal dari suatu sistem

penyelenggaraan pelayanan publik (yang salah satu komponennya adalah

mekanisme penyampaian keluhan publik), antara lain adalah:

a. Aparatur pemerintah memiliki kinerja yang lebih baik karena adanya

panduan operasional yang dapat menjadi standar minimum dalam

menyelenggarakan pelayanan publik;

b. Masyarakat menjadi lebih tahu dan memahami hak-hak mereka

dalam memperoleh pelayanan publik yang baik;

c. Terciptanya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang utuh

dan secara inherent mencakup juga elemen pelayanan keluhan,

sehingga dapat diwujudkan fungsi pelayanan yang benar-benar

berorientasi pada kepuasan masyarakat pengguna jasa.

4. METODE PENELITIAN

1. Untuk menjawab persoalan penelitian yang menyangkut sinkronisasi

peraturan perundang-undangan yang mengatur fungsi pelayanan publik di

pelbagai sektor pelayanan, akan dilakukan penelitian normative-yuridis

Page 20: pelayananumum

14

terhadap peraturan perundang-undangan positif di Indonesia . Analisis telah

dilakukan baik secara vertikal maupun secara horisontal. Pada tahap pertama

Tim telah merumuskan beberapa asas-asas hukum yang harus menjadi

landasan fungsi pelayanan publik dan menentukan komponen-komponen

utama dari suatu sistem penyelenggaraan pelayanan publik, yang kemudian

dijadikan sebagai norma kritik dalam mengevaluasi peraturan perundang-

undangan hukum positif, baik yang bersifat umum maupun yang khusus

berlaku di suatu instansi pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan publik.

Beberapa perundangan-undangan yang telah diteliti adalah

perUUan yang menyangkut standar dan prosedur pelayanan publik yang

berlaku secara nasional di Indonesia serta regulasi-regulasi di beberapa

instansi publik yang dipilih sebagai reposnden. Kriteria yang dipergunakan

oleh Tim untuk memilih sample penelitian adalah sejalan dengan

pengelompokan jenis pelayanan publik, seperti yang dimaksud di dalam

Kepmenpan No. 63/2003, yang meliputi pelayanan administrasi, pelayanan

barang dan pelayanan jasa, dengan mempertimbangkan:

- Luas lingkup / jangkauan pelayanannya yang bersifat nasional;

- Jenis pelayanannya berkaitan dengan kepentingan atau kebutuhan pokok

(basic needs) masyarakat.

Atas dasar hal diatas Tim menentukan sampel sebagai berikut:

a. Kelompok Pelayanan Administratif:

- Badan Pertanahan Nasional (penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah)

- Kantor Catatan Sipil atau Dinas Kependudukan (akta kelahiran dan

akta kematian)

- Kepolisian (penerbitan perijinan misalnya ijin keramaian).

b. Kelompok Pelayanan Barang:

- Perusahaan Penyelenggara Telekomunikasi 7

- Perusahaan Listrik Negara

7 Disadari sepenuhnya bahwa Kepmenpan No. 63/2003 mengkategorikan pelayanan

telekomunikasi sebagai pelayanan barang, dan disebut pelayanan jaringan telekomunikasi.

Page 21: pelayananumum

15

c. Kelompok Pelayanan Jasa:

- Pusat-pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat

- Kantor Pos.

2. Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang menyangkut aspirasi

dan pandangan masyarakat mengenai kualitas pelayanan publik, secara ideal

survey seharusnya diselenggarakan terhadap sejumlah anggota masyarakat

yang dianggap representatif. Namun dengan mengingat keterbatasan

biaya serta waktu, dan juga dengan mengingat cakupan wilayah

penelitian yang tidak dibatasi pada suatu wilayah tertentu di

Indonesia, maka metoda survey tidak mungkin untuk dilakukan.

Karena itu dengan memperhatikan kendala biaya, waktu serta luasnya cakupan

wilayah penelitian yang diharapkan, maka penelitian ini memusatkan

perhatiannya pada analisis dan penarikan kesimpulan dari data

sekunder, khususnya berupa hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan pihak

lain, baik yang dilakukan oleh intansi pemberi layanan publik itu sendiri atau

penelitian yang dilakukan oleh pihak yang independen seperti halnya masyarakat

(LSM), perguruan tinggi atau lembaga lainnya. Termasuk data sekunder yang

akan digunakan adalah, antara lain, hasil penelitian yang telah dilakukan oleh

Kelompok Kerja Komisi Hukum Nasional dalam penelitian tentang Sistem

Penyampaian Keluhan Publik.

Selain penggunaan data sekunder sebagaimana dimaksud di atas, juga telah

diselenggarakan beberapa sesi wawancara dan/atau FGD (focused group

discussions) dengan sejumlah responden yang, dengan kriteria tertentu,

dipandang dapat dikualifikasi sebagai informan (pemberi informasi) dari apa

yang dirasakan dan dialami masyarakat dalam menerima layanan publik. Focus

Group Discussion (FGD) juga telah diselenggarakan dengan sejumlah nara

sumber, baik yang sudah ditetapkan sebagai nara sumber dalam penelitian ini

maupun dengan nara sumber lainnya yang dianggap memiliki kapabilitas dalam

bidang-bidang pelayanan publik yang terkait dalam penelitian ini.

Page 22: pelayananumum

16

3. Untuk memperoleh gambaran seutuhnya mengenai kemungkinan

pengembangan fungsi pelayanan keluhan publik sebagai bagian yang utuh

dari sistem pelayanan publik nasional maupun sektoral, Tim telah:

a. Melaksanakan kajian kepustakaan untuk untuk mengetahui prinsip-prinsip

dan teori-teori tentang pelayanan keluhan publik, baik dari segi hukum

maupun dari segi etika-profesional.

b. Melaksanakan kajian perbandingan untuk mengetahui model, sistem dan

prosedur pelayanan keluhan publik yang diselenggarakan dalam public

services di beberapa negara lain.

c. Menggali kriteria ideal dan normatif pelayanan keluhan publik di

Indonesia dan mengkaji keutuhan serta konsistensi sistem pelayanan

keluhan publik dikaitkan dengan sistem pelayanan publik yang saat ini

diberlakukan di dalam hukum positif Indonesia;

d. Meneliti kesenjangan yang ada antara fungsi dan tugas Biro-biro hukum

pada instansi-instansi pemerintah dewasa ini dengan fungsi dan tugas

yang harus diembannya seandainya biro-biro ini hendak menjadi pusat

pelayanan dan pemrosesan keluhan-keluhan dari instansi yang

bersangkutan;

e. Menyelenggarakan lokakarya dengan mengikutsertakan para Narasumber

yang dipilih oleh Tim dan para stakeholder pelayanan publik baik pejabat

instansi pemerintah, akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat, maupun

para pengemban profesi yang secara langsung berhubungan dengan

intansi pelayanan publik seperti notaris. Lokakarya yang diselenggarakan

di Bandung pada tanggal 30 Oktober 2004 tersebut bertujuan untuk

memberi masukan-masukan dari pelbagai sudut pandang, dengan tujuan

untuk memperkaya perolehan data penelitian. Narasumber yang telah

diminta untuk berpartisipasi adalah:

1. Jendral Pol (Purn) Chairudin Ismail (mantan Kapolri yang masih

concern terhadap pengembangan lembaga kepolisian, kritis

melakukan pemikiran terhadap peningkatan kinerja Kepolisian

Negara).

2. Anton Sujata,SH (Kepala Komisi Ombudsman Nasional)

Page 23: pelayananumum

17

3. Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin,SH (Guru Besar Hukum Administrasi

Negara, yang juga mantan birokrat)

4. Soewito, SH (seorang akademisi, ahli di bidang Hukum

Pemerintahan Daerah dan mantan birokrat di lingkungan

Departemen Dalam Negeri).

Sedangkan Ir. Thomas Widjanarko (seorang akademisi dan pejabat di PT

TELKOM) yang diharapkan dapat memberikan masukan tentang

pelaksnaan pelayanan publik untuk sektor bisnis, khususnya PT TELKOM

tidak dapat hadir.

5. EVALUASI TERHADAP PELAKSANAAN PENELITIAN

Berdasarkan evaluasi Tim terhadap kinerja Tim dan pelaksanaan

penelitian, dapat disimpulkan beberapa hasil evaluasi sebagai berikut:

1. Dalam pelaksanaan FGD, beberapa responden yang diharapkan hadir untuk

mewakili institusi penyelenggara pelayanan publik yang hendak diteliti,

ternyata tidak memenuhi undangan Tim, sehingga mengharuskan Tim untuk

memperoleh data dan informasi dari sumber-sumber lain;

2. Dalam pelaksanaan FGD, beberapa responden yang hadir mewakili instansi

yang diundang, ternyata bukan merupakan pejabat atau fungsionaris yang

relevan dengan fokus penelitian yang hendak didiskusikan;

3. Petugas atau pejabat yang dalam kenyataannya hadir dalam sesi-sesi FGD

atau menjadi subyek wawancara dipandang tidak cukup memiliki kompetensi

yang memadai untuk menjadi responden pada penelitian ini;

4. Dalam pelaksanaan wawancara, beberapa responden yang diwawancara

bukan merupakan pejabat atau fungsionaris yang relevan dengan fokus

penelitian yang menjadi pokok wawancara. Responden dalam kategori ini

umumnya kurang mampu memberikan informasi yang dibutuhkan, karena

ketidaktahuan atau karena jawaban-jawaban yang diberikan lebih merupakan

asumsi-asumsi pribadi saja;

5. Tim mengalami kegagalan untuk mewawancarai beberapa responden

penelitian yang diharapkan, dikarenakan beberapa responden samasekali

menolak untuk menerima staf peneliti atau tidak bersedia untuk bertemu

Page 24: pelayananumum

18

dalam rangka pelaksanaan penelitian,sekalipun sebelumnya telah menyatakan

kesediaannya ;

6. Beberapa responden yang telah ditentukan untuk diwawancara ternyata

samasekali tidak berhasil dijumpai walaupun pelbagai upaya telah dilakukan

oleh Tim untuk menjumpainya;

6. ORGANISASI PENELITIAN

Anggaran kegiatan proyek ini bersumber dari APBN yang disalurkan

melalui Sekretariat Negara. Penanggungjawab penelitian adalah Komisi Hukum

Nasional (KHN) Republik Indonesia.

Kelompok Kerja Komisi B-5 terdiri dari:

Agustinus Pohan, SH., MS.

Bayu Seto, SH., LL.M.

Budi Prastowo, SH., MHum.

Nara Sumber:

1. Jendral Pol (Purn) Chairudin Ismail

2. Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin,SH

3. Soewito MD,SH

4. Anton Sujata,SH

5. Prof. Dr. JE Sahetapy, SH

Lokasi Penelitian:

1. Jakarta

2. Bandung

3. Semarang

4. Surabaya

Page 25: pelayananumum

19

BAB II

HASIL PENELITIAN NORMATIF

SISTEM PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK

INDONESIA

1. Sistem Penyelenggaraan Pelayanan Publik Nasional Indonesia

Secara luas istilah Pelayanan Publik dapat diartikan sebagai: kegiatan-

kegiatan dan obyek-obyek tertentu yang secara khusus dimaksudkan untuk

memenuhi kebutuhan masyarakat umum (the general public) atau memberikan

dukungan terhadap upaya meningkatkan kenikmatan dan kemudahan (comfort and

conveniences) bagi seluruh masyarakat8.

Di dalam hukum administrasi negara Indonesia, istilah “pelayanan publik”

diartikan sebagai:

”segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah sebagai

upaya pemenuhan kebutuhan orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan

hukum maupun sebagai pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan”9

Definisi yang digunakan di dalam salah satu aturan hukum positif

Indonesia di atas memiliki lingkup yang lebih sempit karena dengan demikian tidak

mencakup pelayanan bagi masyarakat umum yang diselenggarakan oleh pihak-pihak

swasta (baik melalui konsesi, franchise, atau penunjukkan lainnya10) dan juga tidak

mencakup pelayanan publik yang diselenggarakan dalam rangka penegakan hukum

8 Bila dibandingkan dengan term “Public Service” di dalam Black’s Law Dictionary”

yang diberi makna: “A term applied to the objects and enterprises of certain kinds of corporations which specially serve the needs of the general public or conduce to the comfort and convenience of an entire community …“, maka term ini mencakup juga pengertian kegiatan dan usaha yang dijalankan oleh public corporations sebagai perusahaan milik swasta yang memperoleh konsesi dari negara untuk menyelenggarakan pelayanan publik.

9 Berdasarkan pengertian umum yang dimuat di dalam Lampiran 3 Keputusan Menpan

No. 63/Kep/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, pada Paragraf I, butir C.

10 Kecuali tentunya Badan-badan Usaha Milik Negara dan Milik Daerah, yang oleh

Keputusan Menpan No.63/2003 dikategorikan sebagai Instansi Pemerintah. Dalam situasi di mana sebuah BUMN atau BUMD melaksanakan tugasnya melalui kerjasama kontraktual atau konsesional dengan fihak-fihak swasta dalam menyelenggarakan pelayanan publik, maka fihak-fihak swasta itu akan terikat pula pada peraturan perundang-undangan mengenai pelayanan publik yang berlaku, sekurang-kurangnya sebagai standar minimum kualitas pelayanannya.

Page 26: pelayananumum

20

dan keadilan di dalam masyarakat oleh aparat-aparat non-eksekutif, seperti polisi,

kejaksaan atau pengadilan.

Sebagai titik tolak, beberapa esensi dalam penyelenggaraan pelayanan

publik yang perlu selalu disadari adalah bahwa masalah pelayanan publik bersumber

pada:

(4) adanya kewajiban pada pihak administrasi negara untuk menjalankan fungsi

dan wewenangnya berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan

bersih;

(5) adanya pengakuan terhadap hak asasi setiap warganegara atas pemerintahan,

perilaku administratif , dan kualitas hasil-pelayanan yang baik;

(6) adanya keaneka ragaman jenis serta bidang pelayanan publik di Indonesia

sebagai akibat dari adanya keragaman urusan dan kepentingan masyarakat

yang harus dipenuhi melalui penyelenggaraan pelayanan publik;

Terlepas dari perbedaan jenis dan bidang pelayanan di atas, aktivitas

pelayanan publik hampir selalu berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas

penyelenggaraan pemerintahan, di mana semua tugas-tugas yang harus

diselenggarakan dalam rangka merealisasikan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum

(public policies) pemerintah harus dapat didelegasikan pada fihak-fihak atau

institusi-institusi tertentu yang memiliki kewenangan (authority), kompetensi

(competence), dan sumber-sumber daya (resources) untuk menyelenggarakan

pelayanan publik kepada masyarakat umum. Sejalan dengan itu, beberapa hal pokok

yang selalu melekat sebagai ciri dari Pelayanan Publik dan Penyelenggara pelayanan

publik (public servants) adalah bahwa Pelayanan Publik:

a. Umumnya diselenggarakan sebagai pengejawantahan dari dan dalam rangka

realisasi kebijaksanaan negara yang ditujukan untuk masyarakat umum (dalam

wujud penetapan hak dan kewajiban bagi warga masyarakat) yang ditetapkan

melalui aturan-aturan hukum/perundang-undangan;

b. Diselenggarakan oleh petugas-petugas atau instansi-instansi yang berdasarkan

hukum dan peraturan perUUan diberi kewenangan serta diwajibkan untuk

memenuhi kualifikasi-kualifikasi tertentu untuk memberikan pelayanan dalam

urusan tertentu di dalam masyarakat;

Page 27: pelayananumum

21

c. Menyangkut penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat yang dijalankan

berdasarkan kerangka prosedural tertentu yang telah distandardisir dari segi

kinerja maupun kualitasnya;

d. Menyangkut pelbagai urusan dan kepentingan masyarakat umum di pelbagai

bidang kehidupan, yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara, dan

karena itu penyelenggaraannya dapat berkenaan dengan pelayanan

administratif, penyediaan barang, penyediaan jasa bagi masyarakat 11 atau

gabungan dari jenis-jenis pelayanan itu;

e. Tingkat keberhasilannya hampir selalu diukur dari tingkat kepuasan masyarakat

penerima pelayanan publik, baik dari segi kualitas pelayanan, praktikabilitas,

tingkat biaya pelayanan yang harus dikeluarkan, kualitas produk

(barang/jasa/status), tingkat responsivitas terhadap keanekaragaman

kepentingan dan kebutuhan di dalam masyarakat, dan tingkat responsivitas

terhadap keluhan-keluhan yang disampaikan oleh masyarakat;

f. Selalu harus diselenggarakan berdasarkan standar kualitas hasil-kerja tertentu

yang mengikat para penyelenggara pelayanan publik sehingga dapat dijamin

pencapaian tingkat kepuasan masyarakat penerima pelayanan publik yang

minimal seragam secara nasional dan atau seragam di pelbagai sektor pelayanan

publik yang ada;

g. Selalu berhadapan dengan pluralitas di dalam masyarakat, baik dari segi

kepentingan (interests), kebutuhan (necessities), latar belakang ekonomi, sosial,

politik, budaya, dsb, sehingga dalam penyelenggaraannya tercakup pula adanya

jaminan untuk bersifat non-diskriminatif, proporsional, obyektif dan imparsial12.

11 Bahkan apabila sebagian dari tugas-tugas kepolisian hendak dikategorikan sebagai

pelayanan publik, maka tugas-tugas ini dapat dilihat sebagai pelayanan publik yang khusus, yaitu pelayanan untuk penegakan hukum dan ketertiban di dalam masyarakat.

12 Sebagai perbandingan, di dalam wacana tentang Pelayanan Publik di luar Indonesia,

dikenal konsep “citizenry” yang mengandung makna bahwa pelayanan publik lebih dari sekedar menyediakan pelayanan pada pelanggan atau klien, bukan sekedar memberikan layanan konsultasi pada pihak-pihak yang berkepentingan, dan bahkan lebih dari sekedar mengupayakan efisiensi demi kepentingan para pembayar pajak. Pelayanan publik menyediakan pelayanan kepada masyarakat secara keseluruhan, tanpa melihat pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok kepentingan yang berada di belakangnya. Disarikan dari: Shergold, Peter, Ethics and the Changing Nature of Public Service, makalah pada The Fifth International Conference on Public Sector Ethics – Between Past and Future, Australia, 1996. Makalah dapat dilihat seutuhnya pada http://www.apsc.gov.au/media/shergold050896.htm

Page 28: pelayananumum

22

Artinya juga, bila terdapat penyimpangan-penyimpangan terhadap hal itu hanya

dapat dibenarkan bila terdapat justifikasinya di dalam hukum;

h. Karena pada tingkat realisasinya dilaksanakan oleh petugas-petugas atau

pejabat-pejabat publik tertentu, adanya standar perilaku yang mencakup standar

etik maupun manajerial dalam wujud code of good conduct menjadi keharusan.

Standar perilaku semacam itu harus menjadi pedoman perilaku bagi para

petugas/pejabat dan pedoman penilaian terhadap pemenuhan hak-hak

masyarakat untuk memperoleh pelayanan prima.

Dari gambaran di atas, untuk sementara dapat disimpulkan bahwa

apabila orang berbicara tentang Sistem Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Indonesia yang seutuhnya, maka terdapat faktor-faktor utama yang perlu

bersinergi dan saling mengisi dalam mendukung bekerjanya keseluruhan sistem itu

secara optimal. Faktor-faktor itu meliputi:

A. Regulasi tentang Pelayanan Publik,

Regulasi pelayanan publik berwujud seperangkat peraturan perundang-

undangan, yang sebagian besar merupakan kaidah-kaidah hukum administrasi

negara, yang memberikan dasar hukum dari beroperasinya sistem pelayanan

publik. Elemen regulasi ini memiliki peran yang sentral, karena secara utuh ia

mengintegrasikan, memberikan kekuatan berlaku yang mengikat, serta menjaga

keutuhan dan konsistensi di dalam seluruh sistem pelayanan publik. Peraturan-

peraturan hukum meletakkan dasar yuridik serta menjadi dasar keabsahan dari:

- keberadaan hukum (legal existence) institusi-institusi administrasi negara

penyelenggara pelayanan publik;

- bekerjanya struktur organisasi, pengisian jabatan-jabatan dan fungsi-fungsi

penyelenggara pelayanan publik dengan pejabat-pejabat dengan kualifikasi

dan kompetensi tertentu;

- penetapan dan pelaksanaan tugas, tanggung jawab, kewenangan dan hak-

hak penyelenggara pelayanan publik;

- pengakuan kedudukan, dan penegakan hak, kewajiban, serta tanggung

jawab warga masyarakat pengguna pelayanan jasa publik;

Page 29: pelayananumum

23

- penetapan berlakunya proses/prosedur penyelenggaraan pelayanan jasa

publik serta standar minimum pelayanan (tolok ukur kinerja/hasil

kerja/kualitas produk) termasuk indeks kepuasan masyarakat dan

proses/prosedur pengajuan dan pelayanan keluhan publik (public complaint

/public grievance);

- berlakunya standar perilaku (standard of conduct) para penjabat

penyelenggara pelayanan publik;

B. Asas-asas Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Dimaksud dengan asas-asas penyelenggaraan pelayanan publik adalah

prinsip-prinsip dasar yang menjadi acuan dalam pengorganisasian, acuan kerja,

serta pedoman penilaian-kinerja bagi setiap lembaga penyelenggara pelayanan

publik. Asas-asas yang dapat dikategorikan sebagai asas-asas umum administrasi

publik yang baik (general principles of good administration) ini harus bersifat

umum dan adaptif terhadap keunikan jenis-jenis pelayanan yang mungkin

diselenggarakan secara publik.

Bersifat umum karena asas-asas ini secara langsung menyentuh hakekat

pelayanan publik sebagai wujud dari upaya melaksanakan tugas pemerintah

dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat banyak dan/atau tugas pelaksanaan

perintah peraturan perundang-undangan.

Bersifat adaptif, karena asas-asas ini harus dapat berfungsi sebagai

acuan dalam setiap kegiatan administrasi negara yang bersentuhan langsung

dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat umum, baik di bidang

pelayanan administratif, pelayanan jasa, pelayanan barang, ataupun kombinasi

dari pelayanan-pelayanan tersebut. Dengan sifat adaptif ini maka asas-asas ini

dapat selalu dijabarkan lebih lanjut di dalam penetapan aturan-aturan teknis,

baik yang menyangkut sistem, prosedur, standar kualitas, pelayanan keluhan,

dsb dari setiap jenis pelayanan publik.

Asas-asas utama, yang berdasarkan penelitian team, melekat secara

inherent pada esensi Pelayanan Publik adalah13:

13 Asas-asas ini merupakan hasil modifikasi yang dilakukan oleh Tim serta kombinasi

antara asas-asas yang dikembangkan oleh Cadbury Committee di Inggris pada tahun 1992: Lihat: “Report of the Committee on the Financial Aspects of Corporate Governance”, dengan

Page 30: pelayananumum

24

(1) Asas Keterbukaan (openness)

Keterbukaan menjadi salah satu asas utama untuk menjamin bahwa para

stakeholders14 dapat mengandalkan proses pengambilan keputusan,

tindakan-tindakan oleh institusi-institusi publik, pengelolaan aktivitas, serta

pengelolaan sumber-sumber daya manusia di dalam institusi-institusi

pelayanan publik. Keterbukaan (mungkin setara dengan asas transparansi)

yang diwujudkan melalui pembinaan komunikasi secara penuh, terinci dan

jelas dengan para stakeholders menjadi salah satu prinsip utama dari suatu

good governance, termasuk dalam penyelenggaraan pelayanan publik;

(2) Asas Integritas

Integritas mengandung makna “berurusan secara langsung”

(straightforward dealings) dan ketuntasan (completeness) dalam

pelaksanaan fungsi-fungsi pelayanan publik. Asas moral yang mendasari

asas integritas ini terutama adalah kejujuran, obyektivitas dan standar

kesantunan yang tinggi, serta tanggung jawab atas penggunaan dana-dana

dan sumber daya publik;

(3) Asas Akuntabilitas

Asas ini berkenaan dengan proses di mana unit-unit pelayanan publik dan

orang-orang yang berfungsi di dalamnya harus bertanggung jawab atas

keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan yang dibuatnya, serta

kebersediaan untuk menjalani proses pengawasan baik eksternal (dari

masyarakat) maupun internal (dari atasan). Singkatnya, akuntabilitas

melahirkan kewajiban untuk bertanggung jawab atas fungsi dan

kewenangan yang secara sah dipercayakan kepada setiap public servant .

asas-asas Administrasi yang Baik (General Principles of Good Administration) yang ditetapkan oleh European Commission dalam: Code of Good Administrative Behaviour: Relatons ewith the Public, Official Journal of the European Communities: OJ L 267,20.20.2000.

14 Dalam konteks penelitian ini, stakeholders pada dasarnya adalah warga masyarakat

pengguna jasa layanan publik, masyarakat pembayar pajak, institusi-institusi administrasi negara lain, institusi-institusi swasta, yang secara langsung atau tidak langsung berkepentingan dalam memperoleh layanan publik. Bandingkan dengan: International Federation of Accountants, Corporate Governance in The Public Sector: A Governing Body Perspective, Juli 2000, hal 16, note 2.

Page 31: pelayananumum

25

(4) Asas Legalitas

Berdasarkan asas lawfulness ini, setiap tindakan, pengambilan keputusan,

serta pelaksanaan fungsi suatu institusi pelayanan publik harus sejalan

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan dijalankan sesuai

dengan aturan dan prosedur yang ditetapkan berdasarkan peraturan

perundang-undangan. Legalitas di sini seyogyanya diartikan secara luas dan

tidak hanya mencakup legalitas formal saja, tetapi juga legalitas dalam arti

material/substansial

(5) Asas Non-Diskriminasi dan Perlakuan Yang Sama

Institusi-institusi penyelenggara pelayanan publik harus bekerja atas dasar

prinsip pemberian pelayanan yang sama dan setara kepada warga

masyarakat, tanpa membedakan gender, ras, agama/kepercayaan,

kemampuan fisik, aspirasi politik, dsb. Artinya, perlakuan yang berbeda

terhadap suatu kasus yang pada dasarnya sama dengan kasus-kasus lain,

harus secara tegas mendapatkan pembenarannya di dalam fakta-fakta

khusus yang relevan di dalam kasus tersebut;

(6) Asas Proporsionalitas

Asas ini meletakkan kewajiban pada setiap penyelenggaraan pelayanan

publik untuk menjamin bahwa beban yang harus ditanggung oleh

masyarakat pengguna jasa layanan publik akibat tindakan-tindakan yang

diambil oleh institusi pelayanan publik harus berbanding secara proporsional

dengan tujuan atau manfaat yang hendak diperoleh oleh warga masyarakat

ybs. Asas ini berkaitan erat dengan beban-beban administratif, biaya dan

waktu pelayanan yang harus ditanggung oleh masyarakat apabila mereka

hendak memperoleh pelayanan publik.

(7) Asas Konsistensi

Berdasarkan asas ini, warga masyarakat dan/atau stakeholders layanan

publik pada umumnya memperoleh jaminan bahwa institusi-institusi

pelayanan publik akan bekerja secara konsisten sesuai pola-kerjanya yang

normal dalam perilaku administratifnya. Artinya juga, penyimpangan

terhadap asas ini (dispensasi, perlakuan khusus, dsb) harus memperoleh

pembenarannya secara sah (duly justified).

Page 32: pelayananumum

26

C. Standar Minimum Pelayanan

Yang dimaksudkan dengan Standar Minimum Pelayanan adalah standar

kualitas pelayanan yang sekurang-kurangnya harus dipenuhi oleh setiap

institusi penyelenggara pelayanan publik dengan kualitas hasil kerja yang diukur

dari tingkat kepuasan minimum yang dapat diterima masyarakat pengguna

pelayanan publik. Standar Minimum Pelayanan itu harus dapat menjadi acuan:

- Bagi instansi penyelenggara pelayanan publik dalam menilai tingkat

keberhasilannya dalam perencanaan, pengorganisasian, penetapan dan

pelaksanaan mekanisme operasi dan prosedur pelayanan, penetapan

kompetensi petugas, serta bekerjanya mekanisme dan prosedur pelayanan

terhadap keluhan publik;

- Bagi masyarakat penerima pelayanan publik dalam menetapkan hak dan

kewajibannya sebagai konsumen, mengukur kualitas hasil pelayanan yang

diberikan oleh instansi yang bersangkutan, serta kedudukan dan hak-haknya

untuk mengajukan keluhan-keluhan.

D. Norma-norma Perilaku Petugas Penyelenggara Pelayanan Publik

Faktor terpenting untuk bekerjanya sebuah sistem pelayanan publik

secara optimal pada akhirnya terletak pada faktor petugas atau pejabat/pegawai

pemberi pelayanan publik, termasuk pejabat-pejabat yang membawahi dan

memiliki hubungan organisatoris-hirarkis dengan petugas-petugas tadi. Petugas

sebaiknya diartikan setara dengan public official atau orang yang dipekerjakan

pada sebuah otoritas administrasi publik15, dan dalam menjalankan fungsinya itu

tindak-tanduk mereka perlu dibatasi oleh seperangkat norma-norma yang

dituangkan di dalam Code of Conduct for Public Officials, yang antara lain

mencakup norma-norma tentang:

- kewajiban untuk bekerja sesuai dengan aturan-aturan hukum dan standar

etik yang relevan dengan fungsinya;

15 Dalam draft code of conduct untuk petugas pelayanan publik yang dihasilkan melalui

penelitian yang dilakukan oleh Corruption Research Centre dan UNDP di Negara Georgia digunakan istilah Public Servant. Draft disusun oleh Khidashelli, Vazha, Gegidze, Thea, Corruption Research Centre, Tbilisi, Georgia, 2001, http://crc.gateway.ge/ .

Page 33: pelayananumum

27

- kewajiban untuk menempatkan diri secara netral dari atau bebas dari

pengaruh kepentingan politis atau ekonomis tertentu;

- kewajiban untuk bersikap dan bekerja dengan jujur, imparsial, dan efisien;

- kewajiban untuk senantiasa bekerja dengan sopan santun, baik terhadap

warga masyarakat yang dilayaninya, maupun terhadap atasan, kolega

maupun bawahannya;

- kewajiban untuk menghindarkan diri dari pertentangan antara kepentingan

pribadi dengan posisi publiknya;

- kewajiban untuk tidak mengambil keuntungan yang tidak wajar dari posisi

atau kedudukannya demi kepentingan pribadi;

- kewajiban untuk senantiasa berperilaku sedemikian rupa demi

mempertahankan dan meningkatkan kepercayaan dan keyakinan publik

terhadap integritas, imparsialitas serta efektivitas pelayanan publik yang

diselenggarakannya;

- kewajiban untuk melaksanakan tugas dan fungsinya atas dasar itikad baik,

ketekunan berdasarkan keakhlian profesional, pengetahuan dan pengalaman

yang memadai;

- kewajiban untuk senantiasa menjaga keseimbangan antara penghormatan

terhadap hak-hak asasi dan kebebasan warga masyarakat dengan kewajiban

untuk mendahulukan kepentingan umum, dan tidak menetapkan

pembatasan-pembatasan yang tidak wajar (unreasonable restrictions);

- kewajiban untuk menghormati hak warga masyarakat atas informasi publik;

- sanksi-sanksi hukum yang tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran terhadap

Code of conduct ini;

Yang menjadi pertanyaan penelitian utama pada bagian ini adalah:

Bagaimana pengaturan masalah pelayanan publik di dalam Hukum

Positif Indonesia melalui peraturan-peraturan hukum administrasi

negara yang bersifat nasional?

Sampai dengan disusunnya laporan penelitian ini, Sumber-sumber hukum

primer yang dapat diklasifikasi sebagai peraturan perundang-undangan khusus

dan secara teknis mengatur tentang penyelenggaraan pelayanan publik secara

Page 34: pelayananumum

28

nasional masih terbatas pada regulasi setingkat Surat Keputusan Menteri,

walaupun peraturan-peraturan ini dapat dianggap sebagai aturan pelaksanaan

dari pelbagai peraturan perundang-undangan setingkat Undang-undang sampai

dengan Instruksi Presiden yang secara umum mengatur Kewenangan

pemerintahan pada tingkat pusat dan daerah, serta upaya untuk menciptakan

pemerintahan yang bersih dari unsur-unsur korupsi, kolusi dan nepotisme 16.

Beberapa peraturan perundangan utama yang secara khusus mengatur

mengenai pelayanan publik atau beberapa elemennya adalah:

(a) Undang-undang No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, khsusnya Pasal

2 ayat (4) dan ayat (5), serta Pasal 16.

(b) Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1995 tentang

Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada

Masyarakat (Selanjutnya disebut Inpres No. 1/1995);

(c) Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor

63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan

Pelayanan Publik (Selanjutnya disebut Kepmenpan No. 63/2003);

(d) Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor

25/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks

Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah (Selanjutnya

disebut Kepmenpan No. 25/2004);

(e) Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor

26/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan

Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik (Selanjutnya

disebut: Kepmenpan No. 26/2004).

Di bawah ini akan disajikan hasil pengkajian Tim terhadap substansi dari

ketiga Kepmen tersebut, terutama ditinjau dari segi keutuhannya sebagai bagian

dari sistem hukum pelayanan publik nasional Indonesia:

16 Misalnya, UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (yang diubah melalui UU No.

32/2004), UU No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004, Peraturan Pemerintah No. 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom, Peraturan Pemerintah No. 71/2000 tentang Tatacara Pelaksanaan Peran serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Instruksi Presiden No. 1/1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur kepada Masyarakat.

Page 35: pelayananumum

29

a. UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, yang merupakan

penyempurnaan terhadap UU No. 22/1999, khususnya pasal 16 ayat (1)

dan (2) pada dasarnya merupakan aturan yang memberikan dasar

pembenaran formal dari pemberlakuan Pedoman-pedoman Pelayanan Publik

yang ditetapkan oleh Menpan, sekurang-kurangnya sebelum

diberlakukannya sebuah Undang-undang tentang Pelayanan Umum. Pasal

16 berbunyi:

(1) Hubungan dalam bidang pemerintahan umum antara Pemerintah

dengan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 2

ayat (4) dan ayat (5) meliputi:

a. Kewenangan, tanggung jawab, dan penentuan standar

pelayanan minimal;

b. Pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi

kewenangan daerah, dan

c. Fasilitasi pelaksanaan kerjasama antarpemerintah daerah dalam

penyelenggaraan pelayanan umum;

(2) Hubungan dalam bidang Pelayanan umum antarpemerintah daerah

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:

a. pelaksanaan bidang pelayanan umum antarpemerintah daerah;

b. kerjasama antarpemerintah daerah dalam penyelenggaraan

pelayanan umum, dan

c. pengelolaan perizinan bersama bidang pelayanan umum

b. Inpres No. 1/1995 yang masih merupakan produk perundang-undangan

pre-reformasi hukum sebenarnya hanya memuat perintah Presiden kepada

para instansi-instansi pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah

untuk secara terkoordinasi mengambil langkah-langkah guna memperbaiki

dan meningkatkan mutu pelayanan publik, baik yang menyangkut urusan

pelayanan pemerintah, pembangunan maupun kemasyarakatan. Inpres ini

pada dasarnya hanya berfungsi sebagai dasar hukum bagi instansi-instansi

publik untuk mulai melaksanakan hal itu, tanpa dilengkapi suatu pola umum

upaya peningkatan mutu pelayanan yang dikehendaki atau mengenai pihak-

pihak yang bertanggung jawab untuk merealisasikan hal tersebut.

Page 36: pelayananumum

30

c. Walaupun dituangkan dalam bentuk Keputusan Menteri, secara umum

Kepmenpan No. 63/2003 dapat dianggap sebagai peraturan mendasar

untuk mewujudkan tekad melaksanakan TAP MPR No. XI/1998 tentang

Penyelenggaraan Negara Yang Bebas dan Bersih dari Korupsi, Kolusi dan

Nepotisme, melalui pembinaan Aparatur Negara yang mampu menjalankan

tugas dan fungsinya secara professional, produktif, transparan dan bebas

KKN, yang diwujudkan melalui peningkatan kinerja aparatur administrasi

negara dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Sebagai Pedoman Umum, Kepmenpan No. 63/2003 menetapkan

orientasi pelayanan publik ke arah pemenuhan kebutuhan dan kepuasan

penerima pelayanan, sehingga dapat meningkatkan daya saing dalam

pemberian pelayanan barang dan jasa. Sejalan dengan semakin besarnya

kecenderungan untuk melihat masalah penyelenggaraan pemerintahan di

dalam konteks otonomi daerah, maka Kepmenpan No. 63/2003 merupakan

peletak dasar untuk17:

o penyelenggaraan pelayanan dengan jalur birokrasi yang lebih ringkas;

o memberi peluang bagi pemerintah daerah untuk melakukan terobosan-

terobosan di dalam sistem penyelenggaraan pelayanan publik sehingga

dapat mendukung upaya peningkatan kualitas pelayanan;

o membuka kemungkinan pemanfaatan kemajuan teknologi sebagai solusi

dalam memenuhi aspek transparansi, akuntabilitas dan partisipasi

masyarakat, serta lebih menjamin tersedianya data dan informasi pada

instansi pemerintah yang dapat dianalisis dan dimanfaatkan secara

cepat, akuran, dan aman;

d. Satu hal yang merupakan amanat tersirat, namun tidak secara tegas terurai

di dalam substansi sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang

dikehendaki oleh KepMenpan No. 63/2003 ini adalah memahami idea

masyarakat penerima pelayanan publik sebagai “konsumen akhir” seperti

yang dimaksudkan di dalam Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen (UUPK). Hal ini terbukti dari penyebutan UUPK

17 Lihat Pendahuluan, butir A, Latar Belakang.

Page 37: pelayananumum

31

sebagai salah satu sumber hukum utama bagi Kepmenpan No. 63/1999 18.

Walaupun secara ideal kebijakan ini tampak sangat baik dan berani, namun

beberapa masalah diduga dapat timbul dari perwujudan kebijakan ini dalam

kenyataan, seperti misalnya:

- Kesulitan untuk sepenuhnya menganggap relasi antara penyelenggara

pelayanan publik dan penerima pelayanan publik sebagai relasi antara

pelaku bisnis dan konsumen akhir sesuai kriteria lingkup berlaku

UUPK.

- Kesulitan di atas akan membawa dampak terhadap akurasi dari

pemahaman instansi penyelenggara pelayanan publik sebagai pelaku

bisnis, dan pada gilirannya, menimbulkan “deadlock” untuk dapat

menuntut tanggung jawab instansi publik itu berdasarkan UUPK 19.

- Kesulitan lain yang dapat timbul adalah untuk memahami sepenuhnya

pengertian warga masyarakat penerima pelayanan publik sebagai

konsumen akhir seperti yang dimaksudkan di dalam UUPK, mengingat

kenyataan tidak sepenuhnya penerima pelayanan publik dapat

dikategorikan sebagai end consumer dari suatu produk. (misalnya

notaris dalam hubungannya dengan BPN, event organizers dalam

hubungannya dengan instansi penerbit perijinan, Pelayanan PT Telkom

atau PLN terhadap konsumen industri, dsb);

- Inkonsistensi-inkonsistensi di atas secara langsung juga berdampak

pada prospek dan efektivitas penyelesaian sengketa-sengketa yang

menyangkut pelayanan publik melalui Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen20.

e. Ditinjau dari “Maksud dan Tujuan” pembuatan Kepmenpan No. 63/2003,

yaitu untuk menjadi acuan bagi seluruh penyelenggara pelayanan publik di

18 Lihat Konsiderans “Mengingat” butir 1. 19 Penjelasan Pasal 1 Angka 3 UUPK: “Pelaku Usaha yang termasuk dalam pengertian ini

adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.” 20 Walaupun ada pandangan di kalangan BPSK yang justru menekankan pada kata “dan

lain-lain” dari pengertian “Pelaku Usaha” yang dimaksud di dalam UUPK untuk “menjaring” instansi-instansi pelayanan publik ke dalam lingkup berlaku UUPK.

Page 38: pelayananumum

32

Indonesia untuk mendorong terwujudnya pelayanan publik yang prima,

maka daya berlaku Kepmenpan No. 63/2003 terhadap seluruh instansi

penyelenggara pelayanan publik inipun patut dipertanyakan. Kedudukan

hirarkis perUUan dari Pedoman Umum (dalam bentuk Keputusan Menteri)

yang seringkali lebih rendah dari aturan-aturan hukum yang menjadi dasar

eksistensi serta landasan kerja instansi-instansi penyelenggara pelayanan

publik yang hendak diaturnya, menyebabkan efektivitas berlakunya

Kepmenpan 63/2003 patut dipertanyakan. Hasil penelitian di lapangan akan

menggambarkan persoalan ini dalam kenyataan .

f. Paragraf I, butir C. tentang Pengertian Umum dari Kepmenpan 63/2003

dalam butir 4 nya membatasi pengertian “Unit Penyelenggara Pelayanan

Publik” sebagai unit kerja pada Instansi Pemerintah yang secara langsung

memberikan pelayanan kepada penerima pelayanan publik”. Namun

demikian, di dalam Paragraf V, butir G dibuka kemungkinan untuk

penyelenggaraan pelayanan publik melalui Biro Jasa Pelayanan.

Kemungkinan semacam ini akan mengurangi sifat “pelayanan publik” dalam

arti sebenarnya, dan memasukkan aspek “komersial” ke dalam

penyelenggaraan pelayanan publik. Secara praktikal, hal ini mungkin akan

meningkatkan kualitas pelayanan bagi masyarakat, walaupun secara

potensial dapat menimbulkan masalah-masalah penyulit (complications),

seperti:

- peningkatan “cost” yang harus ditanggung oleh masyarakat penerima

pelayanan publik;

- kejelasan hubungan hukum antara instansi penyelenggara pelayanan

publik dengan biro jasa pelayanan. Apakah biro semacam itu akan

berkedudukan sebagai agen (agency) dan apabila jawabannya bersifat

afirmatif, apakah ia akan menjadi agen dari warga masyarakat penerima

jasa pelayanan, atau dari instansi penyelenggara pelayanan publik

sebagai “prinsipal” nya.

- Masalah di atas akan kembali memunculkan persoalan tentang mungkin

atau tidaknya keluhan-keluhan yang timbul akibat rendahnya kualitas

pelayanan dapat dianggap sebagai “pelanggaran terhadap hak-hak

Page 39: pelayananumum

33

konsumen” sesuai yang dimaksud di dalam UUPK, ataukah harus

dianggap sebagai “praktek maladministrasi” yang tunduk pada domain

aturan –aturan hukum administrasi negara;

g. Paragraf III Kepmenpan 63/2003 menetapkan sejumlah asas Pelayanan

Publik. Sebagian besar dari asas-asas yang umumnya diakui sebagai asas-

asas pokok pelayanan publik telah dicakup oleh bagian ini, walaupun

umumnya lebih diarahkan pada asas-asas bekerjanya sistem dan proses

pelayanan publik, dan kurang diarahkan pada kualitas etik para pengemban

fungsi pelayanan publiknya, serta standar kualitas produk atau keluaran dari

pelayanan yang diberikan. Kepmenpan No. 26/2004 sudah menjabarkan dua

asas utama pelayanan publik ke dalam petunjuk teknis yang lebih terinci

(lihat butir h di bawah ini)

h. Beberapa asas pokok pelayanan publik yang sudah dicakup oleh Kepmenpan

No. 63/2003 dan atau Kepmenpan No. 26/2004, walaupun beberapa

mungkin dengan pemaknaan yang agak berbeda, adalah:

- Asas Keterbukaan (dis. Asas Transparansi), yang diberi makna yang

lebih sempit daripada asas openness, karena lebih diarahkan pada

kemudahan untuk mengakses pelayanan (accessability), ketersediaan

(abundancy), serta kesederhanaan proses (simplicity), namun kurang

menyentuh keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan dan

komunikasi dengan para stakeholders. Asas ini dijabarkan lebih lanjut di

dalam Kepmenpan No. 26/2004, yang mengartikan “transparansi”

sebagai “Pelaksanaan tugas dan kegiatan yang bersifat terbuka bagi

masyarakat dari proses kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan

pengawasan/pengendaliannya, serta kemudahan akses bagi semua

pihak atas informasi.Dalam sebuah sistem penyelenggaraan pelayanan

publik, asas transparansi ini dijabarkan dalam bentuk petunjuk teknis

yang harus diwujudkan dalam:

• Manajemen dan penyelenggaraan pelayanan publik

• Prosedur Pelayanan

• Persyaratan teknis dan administratif pelayanan

Page 40: pelayananumum

34

• Rincian biaya pelayanan

• Waktu Penyelesaian Pelayanan

• Pejabat yang Berwenang dan Bertanggung jawab

• Lokasi Pelayanan

• Janji Pelayanan

• Standar Pelayanan Publik

• Informasi Pelayanan

- Asas Akuntabilitas di dalam Kepmenpan No. 26/2004 diberi makna

sebagai “keharusan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik dapat

dipertanggungjawabkan, baik kepada publik maupun kepada

atasan/pimpinan unit pelayanan instansi pemerintah sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. Pertanggungjawaban yang dimaksud di

atas meliputi akuntabilitas:

• Kinerja pelayanan publik

• Biaya pelayanan publik

• Produk Pelayanan Publik

- Asas Non-Diskriminatif (dis. Asas Kesamaan Hak)

- Asas Proporsionalitas (dis. Asas Keseimbangan Hak dan Kewajiban),

yang dirumuskan secara luas dalam wujud kewajiban pihak penyedia

dan penerima pelayanan untuk memenuhi hak dan kewajibannya

masing-masing. Yang tampak belum dicakup oleh asas ini adalah

pemahaman dasar mengenai proporsionalitas antara besarnya upaya

atau tindakan yang diambil dalam penyelenggaraan pelayanan publik

dengan manfaat atau tujuan yang hendak dicapai melalui pemberian

pelayanan itu;

Asas-asas yang secara teoretis melekat pada esensi pelayanan

publik, namun belum diatur secara eksplisit di dalam Kepmenpan No.

63/2003 adalah:

Page 41: pelayananumum

35

- Asas Integritas, yang menunjuk ke arah, baik sistem, prosedur,

maupun pejabat pelaksana pelayanan publik, terutama aspek-aspek etis

yang dianggap relevan dengan cara kerja pejabat penyelenggara

pelayanan publik (kejujuran, obyektivitas, serta kesantunan);

- Asas Legalitas, yang memberikan dasar keabsahan yuridik pada

setiap tindakan, pengambilan keputusan ataupun pelaksanaan fungsi

pelayanan publik. Tampaknya, Kepmenpan No. 63/2003 telah secara

implisit memuatnya di dalam asas Akuntabilitas yang diberi makna:

dapat dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan peraturan perundang-

undangan. Pengertian umum Pelayanan Publik yang dimuat di dalam

Paragraf I butir C.1 juga tampaknya sudah mencakup asas legalitas ini;

- Asas Konsistensi, yang sebenarnya sangat penting untuk memberi

jaminan kepada para penerima pelayanan jasa publik bahwa proses

pelayanan pada dasarnya harus dijalankan berdasarkan prosedur

normal, dan bahwa pengecualian (atau dispensasi) hanya diberikan bila

didukung oleh justifikasi yang valid berdasarkan hukum;

Asas-asas pelayanan publik yang dimuat secara khas di dalam

Kepmenpan No. 63/2003, dan mungkin akan membentuk kekhasan pada

sistem penyelenggaraan pelayanan publik Indonesia, adalah:

- Asas Kondisional, yang membenarkan penyelenggaraan pelayanan

publik dengan mengacu pada kondisi dan kemampuan pemberi dan

penerima pelayanan. Bila tidak diartikan secara berhati-hati, asas ini

mungkin akan menjadi counter productive terhadap upaya

penyeragaman mutu pelayanan publik secara nasional, dan pada titik

tertentu dapat bersinggungan dengan asas non-diskriminasi.

- Asas Partisipatif, yang bermakna bahwa pelayanan publik harus

mendorong peran-serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan

publik, dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan

masyarakat. Bila dimaknai secara tepat, asas ini penting artinya,

terutama untuk memberikan pembenaran terhadap bekerjanya fungsi

kontrol masyarakat terhadap fungsi dan kinerja pelayanan publik, serta

asas pendukung bagi masyarakat dalam menyampaikan keluhan-keluhan

Page 42: pelayananumum

36

nya atas rendahnya kualitas pelayanan atau praktek-praktek

maladministrasi.

i. Kepmenpan No. 63/2003 membedakan Kelompok Pelayanan Publik ke

dalam tiga kelompok, yaitu: Kelompok Pelayanan Administratif, Kelompok

Pelayanan Barang, dan Kelompok Pelayanan Jasa. Kategorisasi tersebut

dapat dianggap kurang realistik karena kenyataan di dalam masyarakat

menunjukkan adanya ketidak-cocokan atau tumpang-tindih antara

pengelompokan itu dengan sifat pelayanan yang diselenggarakan oleh

instansi-instansi pelayanan publik tertentu. Beberapa contoh yang dapat

menggambarkan, misalnya:

• pelayanan di bidang telekomunikasi, yang dapat mencakup tidak saja

penyediaan jaringan telekomunikasi (barang) namun juga penyediaan

jasa telekomunikasi.

• pelayanan publik yang diberikan oleh pihak kepolisian yang dipahami

tidak saja untuk melayani (to serve) masyarakat, tetapi terutama juga

untuk memberikan perlindungan (to protect) terhadap masyarakat

melalui upaya-upaya penegakan hukum.

• Pelayanan yang diberikan oleh instansi-instansi di bawah Badan

Pertanahan Nasional, yang tidak saja berkaitan dengan penerbitan

sertifikat tanah (administratif), tetapi juga pembentukan dan

perlindungan hak-hak hukum atas tanah; Karena itu, keraguan

mengenai pengelompokan ini tidak harus menjadi masalah, bila:

• Setiap instansi penyelenggara pelayanan publik seharusnya

membangun dan melaksanakan standar pelayanannya sendiri yang

selain merupakan standar yang dibakukan, dipublikasikan, dan yang

wajib ditaati oleh baik pemberi maupun penerima pelayanan, juga

akan bersifat khas mengingat kekhasan dari ‘produk’ pelayanan yang

diberikannya.

• Sebuah sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang bersifat

nasional, paling jauh hanya menyediakan standar minimum

pelayanan publik, yang berfungsi sebagai acuan atau pedoman

Page 43: pelayananumum

37

mengenai struktur atau kerangka dasar (basic structure/framework)

dari suatu sistem pelayanan publik;

• Yang perlu ditetapkan di dalam standar minimum seperti itu adalah

asas-asas apa saja yang harus mendasari, serta elemen-elemen apa

saja yang harus ada pada setiap sistem pelayanan publik yang

hendak dikembangkan oleh masing-masing instansi secara individual;

j. Sistem penyelenggaraan pelayanan publik bekerja atas dasar asas

keterbukaan dan terutama asas akuntabilitas. Sebelum terbitnya

Kepmenpan No. 63/2003 dan Kepmenpan No. 26/2004, keberadaan suatu

sistem penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia masih belum jelas

dan tidak memiliki dasar legalitas yang pasti sebagai sistem yang

‘integrated’. Maksudnya, peraturan perUUan di dalam hukum positif

Indonesia sebelumnya sudah memberikan dasar hukum cukup lengkap

namun yang pada dasarnya baru dapat :

• menjadi prinsip-prinsip penuntun (guiding principles) bagi setiap dan

semua lembaga dan fungsi di Indonesia yang menyelenggarakan

fungsi pelayanan publik;

• membuktikan adanya pengakuan di dalam hukum positif Indonesia

terhadap hak asasi warganegara serta warga masyarakat untuk

memperoleh perilaku administrasi yang baik (good administrative

behaviour);

• Tersebar di pelbagai peraturan perundang-undangan dan merupakan

salah satu aspek saja dari masalah pemberantasan KKN,

penyelenggaraan pemerintah yang bersih, atau perlindungan hak

asasi manusia 21, dan belum merupakan suatu sub-sistem dari sebuah

sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang utuh.

‘Kelengkapan’ yang dimaksud di atas tersimpul dari sudah tersedianya

peraturan perundang-undangan yang memadai untuk mendasari

pembentukan suatu sistem pelayanan publik yang bersifat umum dan

21 Untuk pengkajian normatif terhadap peraturan-peraturan perundang-undangan ini

secara lebih mendalam, lihat lebih lanjut dalam hasil penelitian: Komisi Hukum Nasional & Universitas Katolik Parahyangan, Prosedur Penyampaian Publik, 2002, tidak dipublikasi.

Page 44: pelayananumum

38

nasional. Beberapa ‘excerpt’ dari penelitian yang diadakan sebelum tahun

2003 menunjukkan bahwa:

• Hukum positif Indonesia pada dasarnya sudah meletakkan kewajiban-

kewajiban utama pada setiap fungsi pelayanan publik di Indonesia

untuk bekerja atas dasar prinsip-prinsip Pemerintahan yang baik

(pasal 3 UU No.28/1999);

• Hukum positif Indonesia sudah mengakui bahwa peran-serta

masyarakat dalam penyelenggaraan negara yang bersih melalui

fungsi kontrol-sosial sebenarnya tidak saja merupakan hak tetapi juga

tanggung jawab masyarakat (Pasal 8 UU No.28/1999). Namun

demikian disadari sepenuhnya, ketentuan yang masih bersifat abstrak

ini baru dapat diwujudkan dengan baik dan utuh apabila sistem

hukum positif Indonesia dilengkapi pula dengan suatu standar

minimum suatu sistem pelayanan publik yang lebih konkrit dan

realistik;

• Hukum positif Indonesia sudah menetapkan (atau setidak-tidaknya

memiliki gambaran) secara umum mengenai fungsi-fungsi publik apa

saja yang dapat menjadi sasaran kontrol-sosial dan keluhan publik

(Pasal 2 UU No.28/1999). Sebagai Ius Constituendum, Pasal 1 dan

pasal 8 draft RUU Ombudsman Nasional) sebenarnya sudah

mengaturnya secara lebih terinci;

• Dari peraturan-peraturan hukum yang ada sebelum tahun 2003 orang

masih dapat mempermasalahkan rentang sasaran (target span) dari

suatu sistem pengelolaan pelayanan publik dan keluhan publik di

Indonesia, yang tampaknya cukup diarahkan pada fungsi-fungsi yang

ada di bawah kekuasaan eksekutif (d.h.i. Pemerintah dalam arti

sempit) saja. Walaupun tidak disebut dengan tegas di dalam

peraturan perUUan yang ada (c/q UUNo.28/1999), masalah sistem

pengelolaan keluhan publik juga menjadi persoalan bagi badan-

badan usaha milik negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD,

dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN yang di samping bertugas

memberikan pelayanan publik, juga berfungsi sebagai lembaga bisnis

Page 45: pelayananumum

39

yang harus menjadi profit-making entities. Di dalam Kepmenpan No.

63/2003 yang dikategorikan sebagai penyelenggara pelayanan publik,

dan dengan demikian juga pelayanan terhadap keluhan publiknya,

mencakup instansi pemerintah sebagai suatu ‘sebutan kolektif

meliputi semua satuan kerja/satuan organisasi dari mulai Kementrian,

departemen, instansi pemerintah lainnya di pusat maupun daerah,

dan sebagainya, sampai dengan badan-badan usaha milik negara,

daerah ataupun badan hukum milik negara. Di samping itu, unit-unit

kesekretariatan dari lembaga tertinggi dan lembaga-lembaga tinggi

negara (non eksekutif) juga masuk dalam kategori penyelenggara

pelayanan publik. Bila ditinjau secara agak simplistik, sebenarnya

apapun kategori instansi publik, memang beroperasinya instansi-

instansi semacam itu selalu menghadapi kemungkinan adanya

gugatan Maladministrasi22, dan karena itu perlu berfungsi di

dalam sebuah sistem pelayanan publik (termasuk sub-sistem

pengelolaan keluhan publiknya) yang struktur dasarnya diatur secara

nasional.

• Setelah diterbitkannya Kepmenpan No. 63/2003 dan juga Kepmenpan

No. 25/2004 dan Kepmenpan No. 25/2004, maka struktur dasar

dari suatu Sistem Penyelenggaraan Pelayanan Publik yang utuh dan

berlaku nasional sebenarnya dapat dianggap sudah terbentuk 23.

k. Paragraf V butir B dari Kepmenpan No. 63/2003 menetapkan beberapa

prinsip pelayanan publik, yang pada dasarnya sudah menjabarkan asas-asas

pelayanan publik yang disebut di atas. Dalam pelaksanaannya, prinsip-

22 Pengertian Maladministrasi yang seyogyanya menjadi salah satu elemen yang dapat

memicu bekerjanya suatu mekanisme keluhan publik, ternyata belum didefinisikan di dalam hukum positif Indonesia. Di dalam ius constituendum (Draft RUU tentang Ombudsman Nasional) hal ini sudah didefinisikan dengan lebih tegas, baik secara umum (pasal 1 butir 9 Draft) maupun secara lebih terinci (Pasal 11 Draft).

23 Pada saat Penelitian ini berlangsung, sebuah prakarsa untuk merumuskan sebuah

rancangan undang-undang tentang Pelayanan Publik telah dilakukan pada tingkat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, dan sedang menunggu persetujuan Presiden.

Page 46: pelayananumum

40

prinsip ini harus menjiwai setiap elemen pelayanan sesuai relevansinya,

yang meliputi24:

Prosedur Pelayanan

Jangka Waktu Pelayanan

Biaya Pelayanan

Produk Pelayanan

Sarana dan Prasarana Pelayanan

Kompetensi petugas pemberi pelayanan

Bila dikaitkan dengan Kepmenpan No. 25/2004 tentang

Indeks Kepuasan Masyarakat, maka keenam elemen pelayanan tersebut

telah dijabarkan lebih lanjut menjadi 14 unsur minimal yang harus ada

sebagai dasar pengukuran indeks kepuasan masyarakat. Bila dilakukan

pengelompokan lebih lanjut, maka:

i. Unsur Prosedur Pelayanan mencakup beberapa sub-unsur yang

digunakan untuk menilai kinerja instansi pelayanan publik adalah: (i)

kesederhanaan prosedur pelayanan, (ii) persyaratan pelayanan dan (iii)

keadilan mendapatkan pelayanan; Dalam kaitan ini, Tim beranggapan

bahwa elemen Prosedur Pelayanan ini perlu dijabarkan lagi ke dalam

sub-unsur baru, yaitu: Prosedur Pelayanan Keluhan Masyarakat,

yang sangat penting untuk menilai indeks kepuasan masyarakat

terhadap kinerja instansi pelayanan publik yang bersangkutan;

ii. Unsur Jangka Waktu Pelayanan mencakup sub-unsur (iv) kecepatan

pelayanan dan (v) kepastian jadwal pelayanan; Dalam kaitan dengan

proses pelayanan keluhan masyarakat terhadap produk yang diberikan,

perlu dirumuskan sebuah sub-unsur tambahan, yaitu tingkat

ketanggapan(responsiveness) dalam pemrosesan dan

penyelesaian keluhan-keluhan publik.

iii. Unsur Biaya Pelayanan mencakup sub-sub unsur: (vi) kewajaran biaya

pelayanan dan (vii) kepastian biaya pelayanan;

24 Sesuai dengan Keputusan Menpan No. 63/2003, Pedoman Umum, Bagian V, butir B

tentang Standar Pelayanan Publik.

Page 47: pelayananumum

41

iv. Unsur Produk Pelayanan tampaknya tidak dikelompokkan lebih jauh,

mengingat kekhasan produk dari setiap instansi pelayanan publik, yang

sejalan dengan Paragraf V Butir B Kepmenpan No. 63/2003, diwajibkan

memiliki standar pelayanan yang dipublikasikan sebagai jaminan

adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Tim berpendapat bahwa

kesesuaian produk dengan standar yang telah ditetapkan

sangatlah penting untuk menjadi salah satu unsur minimal untuk

mengukur kepuasan masyarakat;

v. Unsur Sarana dan Prasarana Pelayanan dijabarkan lebih lanjut menjadi

sub-sub unsur: (viii) Kenyamanan Lingkungan dan (ix) Keamanan

Pelayanan. Untuk unsur ini Tim berpendapat bahwa sejalan dengan niat

pemerintah yang dituangkan di dalam Paragraf I Butir A di dalam

Pedoman Umum Kepmenpan No. 63/2003 bahwa pemanfaatan

teknologi informasi harus didorong dalam rangka memenuhi aspek

transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat, maka sub unsur

baru yang menyangkut tingkat pemanfaatan teknologi informasi,

juga di masa depan perlu dijadikan salah satu tolok ukur minimal untuk

menilai kepuasan masyarakat;

vi. Unsur Kompetensi Petugas Pemberi Pelayanan, tampaknya menjadi

unsur yang memperoleh perhatian sangat besar dalam penilaian kinerja

sebuah instansi pelayanan publik. Unsur ini telah dijabarkan lebih lanjut

ke dalam sub-sub unsur: (x) Kejelasan Petugas Pelayanan, (xi)

Kedisiplinan Petugas Pelayanan, (xii) Tanggung Jawab petugas

Pelayanan, (xiii) Kemampuan Petugas Pelayanan, dan (xiv) Kesopanan

dan Keramahan Petugas;

2. Sistem Pengelolaan Keluhan Publik

A. Elemen-elemen dari suatu Sistem Pengelolaan Keluhan Publik

Seperti telah disinggung sebelumnya, struktur dasar suatu Sistem

Pelayanan Publik yang utuh dan bersifat nasional baru dibentuk melalui

peraturan-peraturan setingkat Keputusan Menteri. Dalam tingkatan yang lebih

teknis, sebelum diterbitkannya Kepmenpan No. 63/2003, kondisi sistem

Page 48: pelayananumum

42

pengelolaan keluhan publik di dalam peraturan PerUUan di Indonesia25 dapat

diringkas sebagai berikut:

a. Beberapa peraturan perUUan yang dikaji 26, ternyata samasekali belum

dilengkapi dengan aturan-aturan yang bersifat teknis-prosedural

mengenai proses penyampaian dan penyelesaian keluhan-keluhan publik.

Hal ini dapat dimengerti karena ketentuan-ketentuan teknis ternyata diatur

lebih lanjut di dalam PP No. 71/2000.

Pasal 3 PP No. 71/2000 yang mengatur tentang identitas pelapor dan

persyaratan yang harus dipenuhi dalam pengajuan keluhan (khusus dalam

tindak pidana korupsi) sebenarnya sudah mencerminkan eksistensi dari

asas-asas kepastian hukum dan asas keterbukaan. Asas Keterbukaan ini

di dalam Pasal 92 UU No. 39/1999 mengalami pembatasan yang

seyogyanya juga diperhatikan dalam sebuah sistem pengelolaan keluhan

publik, yaitu asas kerahasiaan (Confidentiality). Harus diakui bahwa yang

masih perlu pengaturan lebih lanjut adalah masalah tentang kewajiban

untuk menjaga kerahasiaan dihadapkan pada kewajiban-kewajiban hukum

yang berkenaan dengan kewajiban untuk menyerahkan/tidak menahan

bukti-bukti (withholding evidence) yang merupakan kewajiban hukum dalam

bidang hukum acara.

b. Pasal 6 PP No. 71/2000, yang menetapkan kewajiban dalam pengelolaan

keluhan publik untuk menjaga kerahasiaan informasi dan perlindungan

hukum bagi pelapor sebenarnya juga merupakan perwujudan dari asas

kepastian hukum dan asas proporsionalitas (khususnya dalam

25 Lihat lebih lanjut: Hasil Penelitian :Prosedur Penyampaian Keluhan Publik, KHN-

UNPAR, tahun 2003. 26 Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan

bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (selanjutnya disebut UU No.28/1999), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU No. 39/1999), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2000, tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana korupsi (selanjutnya disebut PP No. 71/2000), Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional

Page 49: pelayananumum

43

pelaksanaan hak dan perlindungan hukum yang memang dibutuhkan dalam

suatu sistem pengelolaan keluhan publik.

c. Pasal 8 – 11 PP No. 71/2000, yang mengatur tentang “rewards” dan

“incentives” yang tersedia untuk mendukung pertumbuhan minat dan

keberanian anggota masyarakat untuk berpartisipasi melalui fungsi kontrol

sosialnya. Seandainya diletakkan di dalam konteks suatu sistem pengelolaan

keluhan publik, ketentuan-ketentuan semacam ini sebenarnya dapat

dipahami sebagai penjabaran dari asas Menjunjung Tinggi Norma

Kepatutan dan Norma Hukum seperti yang dimaksud di dalam Pasal 1

butir 6 UU No. 28/1999, dan Asas Keadilan seperti yang dimaksud di

dalam UU No. 39/1999.

d. Asas Non-Diskriminasi adalah asas penting yang perlu ditaati khususnya

pada tingkatan teknis-operasional pelayanan keluhan publik. Asas ini

ternyata belum diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang ada.

e. Beberapa pasal di dalam UU No. 39/1999 (Pasal 93 - 96) telah secara

khusus dimaksudkan sebagai ketentuan prosedural untuk penyampaian

pengaduan dan keluhan (walaupun hanya diperuntukkan bagi perkara HAM

saja) Pasal-pasal tersebut dapat menjadi referensi untuk melihat aspek-

aspek teknis prosedural apa sajakah yang perlu mendapat perhatian dalam

pembinaan sebuah sistem Pengelolaan Keluhan Publik pada umumnya.

f. Pasal 12 butir a. dari Rancangan Undang-undang tentang Ombudsman

Nasional yang sampai saat penelitian ini berlangsung, belum dikukhkan

menjadi UU, menetapkan bahwa sebelum pihak Pelapor dapat

menyampaikan keluhannya ia diwajibkan untuk “menggunakan semua

upaya hukum atau upaya administrasi yang tersedia, termasuk

menyampaikannya kepada terlapor, tetapi tidak mendapat penyelesaian

sebagaimana mestinya”.

Tim masih menganggap perlu untuk mempermasalahkan apakah

kewajiban untuk melakukan exhaustion of any available remedies ini baik untuk

diterapkan di dalam sebuah sistem pengelolaan keluhan publik, baik ditinjau dari

segi teknis (menghindari penumpukkan perkara versus adanya batas daluwarsa

pengajuan keluhan) maupun dari segi konsistensi asasi nya, khususnya dalam

Page 50: pelayananumum

44

kaitan dengan asas kepentingan umum dan/atau asas Tertib Penyelenggaraan

Negara;

Bagaimanakah perkembangan regulasi Indonesia mengenai

keluhan publik setelah diterbitkannya Kepmenpan No. 63/2003, dapat

diuraikan sebagai berikut:

a. Di dalam tingkatan peraturan perundang-undangan yang lebih konkrit,

khususnya Kepmenpan No. 63/2003, masalah Keluhan terhadap

penyelenggaraan pelayanan publik sudah ditetapkan secara lebih konkrit,

dan merupakan bagian dari Pengawasan terhadap kinerja instansi

penyelenggara pelayanan publik27. Sementara itu, sistem Pengelolaan

Keluhan Publik, secara umum telah diatur sebagai pedoman di dalam

Paragraf V Butir J tentang Penyelesaian Pengaduan dan Sengketa yang

sekurang-kurangnya meliputi:

• Prosedur /tata cara penyampaian dan penyelesaian pengaduan;

• Penentuan pejabat untuk menyelesaikan pengaduan;

• Prioritas penyelesaian pengaduan;

• Rekomendasi Penyelesaian pengaduan;

• Respons/tanggapan yang harus terjadi setelah pengaduan diterima

(yang tentunya harus diwujudkan berdasarkan prinsip-prinsip perilaku

administrasi yang baik) dan pemantauan serta evaluasi penyelesaian

pengaduan;

• Pelaporan proses dan hasil penyelesaian pengaduan kepada pimpinan;

• Penyampaian hasil penyelesaian pengaduan kepada pihak masyarakat

pengadu;

• Dokumentasi penyelesaian pengaduan;

• Prosedur penyelesaian sengketa, seandainya masalah yang menjadi

obyek pengaduan tidak terselesaikan dan menjadi sengketa. Dalam hal

ini Kepmen No. 63/2003 membuka kemungkinan untuk penyelesaian

sengketa melalui jalur hukum, namun Tim berpendapat bahwa untuk

jenis-jenis pelayanan publik tertentu, penyelesaian dapat dilakukan

27 Lihat Paragraf V, Butir I.3 tentang Pengawasan Masyarakat;

Page 51: pelayananumum

45

dengan metode alternatif penyelesaian sengketa (MAPS), dengan

mengacu pada UU No. 30 tahun 1999.

b. Bila ditinjau dari sifat Kepmenpan No. 63/2003 yang dimaksudkan sebagai

pedoman bagi instansi-instansi penyelenggara pelayanan publik di

Indonesia, maka pengembangan elemen-elemen di atas ke dalam aturan-

aturan atau petunjuk yang bersifat teknis sebenarnya diserahkan kepada

masing-masing instansi sesuai dengan kebutuhan dan kekhasan bidang

dan jenis pelayanan publiknya masing-masing. Namun demikian, suatu

petunjuk teknis yang masih dapat dianggap berada pada level ‘nasional’

dapat dijumpai pada Kepmenpan No. 26/2004, khususnya di dalam

Paragraf IV tentang Pengaduan Masyarakat.

(1) Kepmenpan No. 26/2004, yang mengkaitkan hak masyarakat untuk

mengajukan pengaduan atas pelayanan publik yang diterimanya,

sebagai bagian dari perwujudan asas transparansi dan akuntabilitas

itu, menetapkan bahwa setiap instansi penyelenggara pelayanan

publik harus/perlu:

1. Menyediakan akses bagi masyarakat untuk menyampaikan

aspirasi, keluhan, pengaduan, dsb melalui pembentukan kotak

pengaduan, kotak pos, atau satuan tugas penerima pengaduan;

2. Penyediaan surat atau formulir tanda bukti pengaduan yang

memuat identitas dari petugas yang berwenang menyelesaikan

masalah/pengaduan ybs, serta jangka waktu penyelesaiannya;

3. Menindaklanjuti setiap pengaduan, informasi, saran atau

pendapat masyarakat dengan langkah-langkah perbaikan

pelayanan pada unit yang dianggap relevan;

4. Mempertimbangkan pemberian kompensasi terhadap

masyarakat (yang mengajukan pengaduan);

5. Menegaskan bahwa pengaduan yang diajukan secara tertulis

(melalui surat atau media elektronik) harus disampaikan secara

jelas dan bertanggung jawab dengan menunjukkan identitas

pihak pengadu secara lengkap;

Page 52: pelayananumum

46

6. Memberikan sanksi sesuai perUUan yang berlaku kepada

petugas yang terbukti melakukan penyimpangan, yang

terungkap dari pengaduan yang diajukan masyarakat

B. Deskripsi Pengaturan Pelayanan Publik dan Pelayanan Keluhan Publik

secara Sektoral

Sebagai dasar hukum pelaksanaan pelayanan publik dan pelayanan

keluhan publik Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara telah

menerbitkan tiga keputusan yang merupakan satu kesatuan utuh sistem dan

pola penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu :

a. Keputusan Menteri Pendayagunaan Apartur Negara Nomor

63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan

Publik;

b. Keputusan Menteri Pendayagunaan Apartur Negara Nomor

KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks

Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah;

c. Keputusan Menteri Pendayagunaan Apartur Negara Nomor

KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan

Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

Ketiga Keputusan MENPAN tersebut berlaku sebagai dasar

penyelenggaraan pelayanan publik dan pelayanan keluhan publik untuk semua

jenis pelayanan publik baik pelayanan administratif, pelayanan barang, dan

pelayanan jasa. Berdasarkan sistematika ketiga Keputusan MENPAN tersebut

jelas sekali bahwa pelayanan keluhan atau pengaduan publik merupakan bagian

integral dari sistem pelayanan publik pada umumnya.

Maksud dan tujuan dikeluarkannya pedoman tersebut adalah sebagai

acuan bagi seluruh penyelenggaran pelayanan publik dalam pengaturan dan

pelaksnaan kegiatan pelayanan publik sesuai dengan kewenangan masing-

masing unit pelayanan publik, sehingga diharapkan dapat mendorong

terwujudnya penyelenggaraan pelayanan publik yang prima dalam arti

memenuhi harapan dan kebutuhan baik bagi pemberi maupun penerima

pelayanan. Salah satu upaya peningkatan kualitas pelayanan publik adalah

Page 53: pelayananumum

47

dengan menyusun indeks kepuasan masyarakat sebagai tolok ukur untuk menilai

tingkat kualitas pelayanan secara berkala untuk menetapkan kebijakan dalam

rangka peningkatan kualitas pelayanan publik selanjutnya. Kualitas suatu

pelayanan publik akan sangat dipengaruhi oleh transparansi dan akuntabilitas

dalam penyelenggaraannya. Prinsip transparansi dan akuntabilitas harus

dilaksnakan pada seluruh aspek manajemen pelayanan publik yang meliputi

kebijakan, perencanaan, pelaksnaaan, pengawasan, dan pelaporan hasil kinerja.

Ketiga Keputusan MENPAN di atas secara sadar disusun dalam paradigma

otonomi daerah dimana sebagaian besar urusan pemerintahan (termasuk

pelayanan publik) menjadi wewenang daerah, sehingga ketiga Keputusan

MENPAN tersebut dimaksudkan hanya menjadi pedoman bagi penyusunan lebih

lanjut sesuai dnegan kewenangan daerah. Dengan paradigma demikian maka

setiap unit pelayanan publik di daerah memiliki kewenangan untuk menyusun

sistem pelayanan publik sesuai dengan kondisi daerah dan masyarakatnya.

Demikian juga disadari bahwa jenis-jenis pelayanan yang diberikan oleh setiap

instansi atau pejabat pelayanan publik memiliki karakteristik yang berbeda

sehingga ada kebutuhan untuk mengatur secara berbeda pula. Oleh karena itu

ketiga Keputusan MENPAN tersebut secara sistematis harus dipandang sebagai

standard minimum rule pengaturan sistem pelayanan publik di daerah dan/atau

instansi penyelenggara pelayanan. Ini berarti bahwa pemerintah daerah

dan/atau instansi dapat menetapkan sistem dan pola pelayanan publiknya

masing-masing sesuai dengan keadaan dan kebutuhan akan tetapi dengan

mengacu pada ketiga Keputusan MENPAN tersebut sebagai standar kualitas

minimum. Jadi, ketiga Keputusan MENPAN tersebut tidak dapat difahami sebagai

standar pelayanan terbaik (atau ideal) yang dapat diberikan oleh sebuah institusi

pelayanan publik. Karena itu pula, apabila suatu instansi pemerintah daerah

dan/atau instansi pelayanan publik lain telah memberikan pelayanan publik

dengan kualitas yang lebih baik dibanding standar minimum rule tersebut, maka

yang masih menjadi kewajiban instansi-instansi tersebut adalah

mempertahankan dan/atau meningkatan kualitas pelayanannya.

Karena dimaksudkan untuk berlaku terhadap semua jenis pelayanan

maka Keputusan MENPAN tersebut berlaku juga terhadap instansi yang saat ini

Page 54: pelayananumum

48

telah menjadi perseroan terbatas, seperti PT Telekomunikasi Indonesia, PT Pos

Indonesia, dan PT PLN. Oleh karena itu terhadap terhadap instansi demikian

selain harus memperhatikan kepentingan dan prinsip-prinsip bisnis, juga harus

memperhatikan asas-asas penyelenggaraan pemerintah yang baik karena fungsi

public service obligation. Secara eksplisit dalam Keputusan MENPAN Nomor 63

Tahun 2003 yang menjadi induk dua keputusan lain di atas ditegaskan

berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.

Dengan latar belakang sebagaimana dijelaskan di atas maka setiap unit

pelayanan publik berupa pemerintah daerah dan atau instansi wajib menyusun

sistem pelayanan publik dengan mengacu pada ketiga Keputusan MENPAN

tersebut. Setiap sistem pelayanan publik yang berlaku di unit penyelenggara

pelayanan harus dapat diuji menggunakan prinsip, asas, dan standar yang telah

ditetapkan dalam ketiga Keputusan MENPAN tersebut.

a. Pelayanan Administratif Badan Pertanahan Nasional

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur

Negara Nomor 63/KEP/M.PAN.7/2003 tentang Pedoman Umum

Penyelenggaraan Pelayanan Publik pelayanan Badan Pertanahan Nasional

(selanjutnya disebut: BPN) khususnya pelayanan penerbitan sertifikat

sebagai tanda bukti hak atas tanah dikelompokkan sebagai pelayanan

administratif. Pelaksanaan pelayanan BPN merupakan operasionalisasi dari

UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

(UUPA). Sebagai dasar pelaksanaan UUPA tersebut diterbitkan beberapa

perundang-undangan yang berlaku secara secara nasional. Keseluruhan

peraturan yang berlaku secara nasisonal tersebut diterbitkan sebelum tahun

2003 sehingga belum mengacu pada Keputusan Menpan tersebut di atas.

Bahkan dalam FGD di beberapa kota diketahui bahwa beberapa Kantor

Wilayah Pertanahan sedang menyusun prosedur pelayanan di bidang

pertanahan.

Beberapa peraturan perundangan yang berlaku secara nasional di

bidang pelayanan pertanahan adalah:

Page 55: pelayananumum

49

1. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah.

Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur tentang tatacara, persyaratan,

prosedur pendaftaran tanah secara umum, yang kemudian

operasionalisasinya diatur dalam Peraturan Meneteri Agararia/Kepala

BPN Nomor 3 Tahun 1997 yang secara rinci mengatur tentang:

a. Jenis-jenis pelayanan pendaftaran tanah;

b. Persyaratan setiap jenis pelayanan pendaftaran tanah;

c. Prosedur setiap jenis pelayanan pendaftaran tanah;

d. Ruang lingkup wewenang pejabat yang memberikan pelayanan

setiap jenis pelayanan pendaftaran tanah.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan

Jabatan Pembuat Akta Tanah.

3. Instruksi Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 3 Tahun 1998 tentang Peningkatan Efisiensi dan Kualitas

Pelayanan Masyarakat di Bidang Pertanahan.

4. Instruksi Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 1 Tahun 1999 tentang Penyelesaian Tunggakan Pekerjaan

Permohonan Masyarakat di Bidang Pertanahan.

a. Menginstruksikan setiap pejabat untuk menyelesaikan dengan

segera semua tunggakan pekerjaan permohonan pelayanan

pertanahan selambambat-lambatnya 3 bulan sejak instruksi ini

dikeluarkan;

b. Mengatur prosedur dan tindakan-tindakan yang harus dilakukan

dalam rangka menyelesaikan tunggakan;

c. Kemungkinan untuk menambah petugas apabila volume pekerjaan

di suatu unit pelayanan dinilai memerlukannya.

5. Instruksi Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 2 Tahun 1999 tentang Percepatan Pelayanan Pendaftaran

Peralihan Hak atas Tanah.

Pertimbangan diterbitkannya peraturan ini adalah bahwa

pelayanan pendaftaran hak atas tanah melalui pemindahan hak dengan akta

Page 56: pelayananumum

50

PPAT dan lelang untuk tanah yang sudah bersertifikat merupakan pelayanan

sederhana sehingga peraturan ini dikeluarkan untuk memberikan kepastian

kepada pemohon khususnya mengenai waktu penyelesaian. Beberapa

substansi penting peraturan ini adalah:

a. Kepala Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kota seluruh Indonesia harus

menyelesaiakan setiap permohonan pendaftaran peralihan hak atas

tanah yang sudah bersertifikat yang sudah dilengkapi dokumen secara

lengkap dalam waktu 2 minggu setelah penerimaan permohonan.

b. Kepala Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kota seluruh Indonesia harus

menyelesaiakan tunggakan setiap permohonan pendaftaran peralihan

hak atas tanah yang sudah bersertifikat yang sudah dilengkapi

dokumen secara lengkap dalam waktu 3 bulan setelah terbitnya

instruksi.

c. Prosedur penerimaan permohonan, pemberitahuan kepada PPAT dan

pemohon apabila ada kekurangan dokumen yang menjadi persyaratan.

d. Larangan untuk membebankan persyaratan lain kecuali yang ditentukan

dalam peraturan perundangan yang berlaku.

e. Menetapkan larangan-larangan bagi petugas dan pejabat untuk

melakukan tindakan yang dapat memperlambat pelayanan seperti

melakukan perubahan data fisik, perubahan status, dan pengukuran

ulang.

b. Pelayanan Administratif Kantor Catatan Sipil

Pelayanan administratif yang dilaksanakan oleh Kantor Catatan

Sipil khususnya penerbitan akta kelahiran dan akta kematian secara nasional

diatur dalam Keputusan Menteri Dalam negeri Nomor 54 Tahun 1999

tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk. Secara

administrasi negara pelayanan kependudukan ini merupakan bidang layanan

yang menjadi otonomi pemerintah kabupaten dan kota, sehingga

pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah (PERDA)

Kabupaten dan Kota atau Keputusan Bupati dan Walikota, kecuali untuk

Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta diatur dalam PERDA Propinsi dan

Page 57: pelayananumum

51

Keputusan Gubernur. Penelitian terhadap peraturan perundangan daerah

tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar diterbitkan sebelum

Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003 tersebut sehingga substansinya

belum mengacu pada Keputusan Menpan tersebut.

Pemerintah kota yang telah memberlakukan peraturan

pelaksanaan yang mengacu pada Keputusan Menpan tersebut adalah

Pemerintah Kota Semarang dengan menerbitkan Keputusan Walikota

Semarang Nomor: 065/311 Tahun 2003 tentang Standar Pelayanan Minimal

Dinas Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil Kota Semarang. Dalam

Keputusan Walikota Semarang tersebut diatur secara rinci dan lengkap

tentang:

1. Jenis-jenis pelayanan administarsi yang diberikan, meliputi: Kartu

Keluarga, Kartu Tanda Penduduk, Surat Keterangan Kelahiran, Surat

Keterangan Kematian, Akta Kelahiran, Akta Perkawinan, Akta

Perceraian, Akta Kematian, Akta Pengangkatan Anak, Akta Pengakuan

dan Pengesahan Anak, Perubahan Akta, Pembuatan Kutipan dan

Salinan, Surat Keterangan.

2. Setiap jenis pelayanan administrasi tersebut dilengkapi dengan

pengaturan secara rinci tentang: dasar hukum, persyaratan, prosedur di

setiap tahap pelayanan (sampai ke tingkat kecamatan dan kelurahan),

alur sistem pelayanan, biaya, waktu penyelesaian, jam pelayanan,

alamat dan nomor telepon yang dapat digunakan masyarakat untuk

mengajukan pengaduan.

3. Disamping hal-hal tersebut di atas pada Keputusan Walikota tersebut

juga mengatur tentang prosedur pengaduan yang sangat rinci untuk

setiap jenis layanan administrasi yang diberikan.

c. Pelayanan Administrasi Kepolisian

Disamping berfungsi sebagai salah satu lembaga penegak hukum

dan penjaga keamanan masyarakat, kepolisian juga memiliki fungsi sebagai

instansi yang memberikan pelayanan administrasi kepada masyarakat.

Pelayanan publik (yang di lingkungan kepolisian dikenal dengan istilah

Page 58: pelayananumum

52

pelayanan masyarakat / YANMAS) sebenarnya merupakan esensi pekerjaan

polisi, dalam rangka mewujudkan filosofi POLRI “Rastra Sewakottama” yang

berarti abdi utama nusa dan bangsa (masyarakat). Abdi utama di sini

dimaksudkan sebagai pelayanan prima yang kemudian menjiwai kode etik

POLRI baru. Pelayanan publik bagi kepolisian tercantum dalam TRI BRATA

yang merupakan filosofi POLRI yang kemudian dijabarkan lebih lanjut

dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian khsusnya

Pasal 13 huruf c “memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan

kepada masyarakat” dan Pasal 14 huruf k “memberikan pelayanan kepada

masyarakat sesuai kepentingannya di dalam lingkup tugas kepolisian”.

Selanjutnya dalam Kode Etik POLRI berdasarkan Keputusan Kapolri

No.Pol.KEP/32/VII/2003 ditegaskan dalam Pasal 5 bahwa “memberikan

pelayanan terbaik, memberikan pelayanan kepada masyarakat secara ikhlas

dengan prosedur cepat, sederhana, serta tidak bermasa bodoh, apatis,

mendiamkan adanya harapan masyarakat”. Secara lebih rinci diatur

beberapa tindakan atau perilaku yang harus dan dilarang untuk dilakukan

dalam rangka pelayanan publik tersebut, yakni: [c] menguatamakan

kemudahan dan tidak mempersulit, [e] tidak membeda-bedakan

(diskriminasi cara pemberian pelayanan, [g] tidak meminta biaya kecuali

diatur oleh undang-undang, [i] tidak mengeluarkan kata-kata atau gerakan

tubuh yang mengisyaratkan minta imbalan atas jasa pelayanan yang

diberikan. 28

Pelaksanaan pelayanan publik oleh kepolisian berupa pelayanan

administartif antara lain adalah penerbitan ijin seperti Surat Ijin Mengemudi

(SIM) dan Ijin Keramaian. Pelayanan SIM dilakukan oleh Kepolisian Resor

atau Kepolisian Wilayah Kota Besar, sedang ijin keramaian diberikan oleh

seluruh tingkat kepolisian –dari Kepolisian Sektor sampai Mabes POLRI-

tergantung cakupan kegiatan atau keramaian yang dimintakan ijin.

28 Jendral Polisi (Purn) Drs. Chaeruddin Ismail, SH., “Kepolisian Negara Republik

Indonesia dan Pelayanan Publik”, Makalah pada Lokakarya Penelitian ini, Bandung, 30 Oktober 2004, halaman 9-10.

Page 59: pelayananumum

53

Pelaksanaan penelitian terhadap peraturan perundangan yang

menjadi dasar pelaksanaan pelayanan administrasi oleh kepolisian diperoleh

informasi sebagai berikut:

1. Melalui FGD dan wawancara responden pejabat kepolisian

menyampaikan bahwa prosedur dan hal-hal yang berkaitan dengan

pelayanan administrasi oleh kepolisian dilaksanakan berdasarkan

Keputusan Kapolri, antara lain Job List No. 02 Tahun 1998 untuk

pelayanan Samsat, dan beberapa Kuptusan Kapolri tentang Petunjuk

Pelaksanaan.

2. Akan tetapi Tim tidak berhasil memperoleh salinan atau copy dari

Keputusan Kapolri yang disebut oleh para responden dalam FGD dan

wawancara tersebut.

3. Beberapa substansi Keputusan Kapolri tersebut menurut responden

memuat tentang:

a. Pelayanan SIM meliputi: persyaratan, biaya, prosedur, jangka waktu

(one day service), dan alur pelayanan.

b. Pelayanan ijin keramaian meliputi: persyaratan, prosedur, ruang

lingkup kewenangan setiap tingkatan kepolisian, biaya. Untuk

pelayanan ijin keramaian ini diakui dalam praktiknya lebih banyak

tergantung pada kebiasaan.

d. Pelayanan Barang PT Telekomunikasi Indonesia

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur

Negara Nomor 63/KEP/M.PAN.7/2003 tentang Pedoman Umum

Penyelenggaraan Pelayanan Publik pelayanan oleh perusahaan

telekomunikasi seperti PT TELKOM dikelompokkan sebagai pelayanan

barang, meskipun pihak PT TELKOM dan masyarakat pada umumnya

mempersepsi pelayanan perusahaan telekomunikasi sebagai pelayanan jasa.

Dasar hukum pelayanan telekomunikasi di Indonesia adalah Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Peraturan Pemerintah

Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, dan

Page 60: pelayananumum

54

Keputusan Menteri Perhubungan RI Nomor KM. 29 Tahun 2004 tentang

Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi.

Secara teknis pelayanan PT TELKOM diatur dalam Instruksi

Direktur Operasi Nomor: IR.6/HK/220/OPE-00/1995 tentang tentang

Pengelolaan Pelayanan Penerangan Lokal, Penerangan Tagihan,

Penanganan Gangguan, dan Announcement; Instruksi Direktur Operasi dan

Pemasaran Nomor: IR.9/HK220/OPSAR-21/1995 tentang peningkatan

Pelayanan Gangguan; dan Keputusan Direksi Nomor: KD.36/TK.300/OPSAR-

23/2001 yang mengatur tentang pengelolaan keluhan.29

Penelitian melalui FGD di beberapa kota terhadap pelaksanaan

pelayanan yang dilaksanakan PT TELKOM memperoleh beberapa informasi

sebagai berikut:

1. PT TELKOM tidak mendasarkan pelaksanaan pelayanannya pada

Keputusan MENPAN akan tetapi berdasarkan standar opereasi ISO.

2. Standar pelayanan PT TELKOM diberlakukan secara nasional

berdasarkan Keputusan Direksi dan/atau Keputusan Direktur kecuali

untuk jenis dan prosedur yang bersifat percobaan, yang hanya akan

diberlakukan di wilayah tertentu.

3. PT TELKOM saat ini lebih mempersepsi pelayanannya sebagai

pelayanan bisnis yang harus dikelola dengan manajemen bisnis

daripada sebagai bagian dari aparatur pemerintah.

e. Pelayanan Barang Perusahaan Listrik (PT PLN)

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur

Negara Nomor 63/KEP/M.PAN.7/2003 tentang Pedoman Umum

Penyelenggaraan Pelayanan Publik pelayanan oleh perusahaan

telekomunikasi seperti PT TELKOM dikelompokkan sebagai pelayanan

barang. Dasar hukum pelayanan oleh PT PLN adalah Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, Peraturan Menteri

Perambangan dan Energi Nomor: 03 P/451/M.PE 1991 yang mengatur

29 Karena setelah Tim berkali-kali menghubungi PT TELKOM untuk melakukan penelitian

tidak mendapat tanggapan dari PT TELKOM maka informasi tentang peraturan teknis tersebut diambil dari laporan penelitian Kelompok Kerja B-3 KHN, Januari 2003.

Page 61: pelayananumum

55

tentang hak dan kewajiban pelanggan PT PLN, Keputusan Presiden Nomor

89 tentang Tarif Dasar Listrik. Sedangkan Indikator Mutu Pelayanan diatur

dalam Keputusan Dirjen LPE, ketentuan tentang Tata Usaha Langganan

diatur dalam Direksi PT PLN, dan ketentuan pelayanan lainnya diatur dalam

Keputusan General Manager. Dalam penelitian ini Tim tidak berhasil

memperoleh ketiga peraturan yang disebut terakhir.

Berdasarkan Keputusan Presiden tentang TDL di atas sebenarnya

PT PLN telah diwajibkan untuk menyusun standar pelayanan, yang

kemudian ditetapkan indikator mutu pelayanan (IMP) oleh Dirjen PLE.

Melalui FGD dan wawancara diperoleh informasi bahwa IMP tersebut

mencakup 13 item indikator diantaranya:

a. kualitas teknis pasokan tenaga listrik;

b. jangka waktu permohonan pemasangan baru;

c. penerangan hak dan kewajiban pelanggan;

d. akurasi dan kesalahan pencatatan meter;

e. waktu penanganan gangguan pelanggan;

f. pembuatan laporan triwulan penanganan gangguan;

g. kompensasi pelanggan bila IMP terlampaui; dan

h. penyelenggaraan unit pengaduan dan gangguan.

IMP tersebut diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia, akan

tetapi secara teknis beberapa daerah mengembangkan pelayanan sesuai

dengan kemampuan dan fasilitas yang tersedia di daerah, misalnya di

Semarang –karena kerjasama dengan PT TELKOM- tersedia layanan Hallo

123 berupa call center yang dapat digunanakan masyarakat untuk

mengajukan keluhan gangguan tentang pelayanan PT PLN.

f. Pelayanan Jasa Kesehatan

Dalam penelitian ini pelayanan kesehatan yang diteliti hanya

meliputi peraturan perundangan pelayanan kesehatan yang berlaku secara

institusional untuk lembaga kesehatan seperti rumah sakit dan pusat

kesehatan masyarakat (PUSKESMAS), sehingga tidak meliputi standar

pelayanan kesehatan yang dilakukan secara mandiri oleh para pengemban

Page 62: pelayananumum

56

profesi di bidang kesehatan seperti dokter dan perawat sebagaimana diatur

dalam kode etik. Dasar hukum pelayanan kesehatan oleh rumah sakit dan

puskesmas adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang

Kesehatan. Sebagai pelaksnaan UU Kesehatan tersebut Menteri Kesehatan

RI menerbitkan beberapa peraturan yang berlaku secara nasional, yakni:

1. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1747/MENKES

KESOS/SK/12/2000 dan Nomor 1457/MENKES/SK/X/2003 tentang

Standar Pelayanan Miminal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota, yang

pada pokoknya mengatur tentang:

a. Kewajiban menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai Standar

Pelayanan Minimal.

b. Standar Pelayanan Minimal tersebut mencakup jenis pelayanan

kesehatan ibu dan bayi, anak prasekolah dan usia sekolah, keluarga

berencana, imunisasi, pelayanan pengobatan dan perawatan,

kesehatan jiwa, pertumbuhan balita, gizi, obstetrik dan neo natal,

gawat darurat, penyelidikan epidemiologi dan penanganan kejadian

luar biasa, pencegahan dan pemberantasan penyakit polio,

pencegahan dan pemberantasan penyakit TB Paru, ISPA, HIV/AIDS,

DBD, Diare, pelayanan kesehatan lingkungan, pengendalian vektor,

hegiene dan sanitasi umum, penyuluhan perilaku sehat, penyuluhan

dan penanggulangan NAPZA, penyediaan obat dan perbekalan

kesehatan, penggunaan obat generik, penyelenggaraan pembiayaan

prabayar, pembiayaan keluarga miskin.

c. Setiap jenis pelayanan tersebut telah ditetapkan indikator kinerja

dan targetnya untuk tahun 2010 dalam prosentase yang terukur.

d. Ditetapkan pengorganisasian, prosedur pelaksanaan, pembinaan,

dan pengawasan utuk menjamin terlaksnanya Standar Pelayanan

Minimal tersebut.

2. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 228/MENKES/SK/III/2002

tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit

yang Wajib Dilaksanakan di Daerah, yang pada pokoknya mengatur

tentang:

Page 63: pelayananumum

57

a. Dasar hukum, pengertian, dan ruang lingkup Standar Pelayanan

Minimum di bidang kesehatan.

b. Falsafah, Misi, Visi, dan Tujuan ditetapkannya pedoman Standar

Pelayanan Minimal di bidang kesehatan.

c. Manfaat ditetapkannya Standar Pelayanan Minimal bagi masyarakat,

rumah sakit, pemerintah kabupaten/kota, pemerintah propinsi, dan

pemerintah pusat.

d. Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit yang mencakup indikator

kinerja manajemen dan pelayanan medik.

e. Peraturan internal rumah sakit (hospital by laws).

f. Monitoring dan Evaluasi.

3. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 128/MENKES/SK/II/2004

tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat, yang pada

pokoknya mengatur tentang:

a. Konsep Dasar: pengertian, visi, misi, tujuan, dan fungsi Pusat

Kesehatan Masyarakat.

b. Kedudukan, Organisasi, dan Tata Kerja Pusat Kesehatan

Masyarakat.

c. Upaya dan asas penyelenggaran Pusat Kesehatan Masyarakat, yang

mencakup asas pertanggungjawaban wilayah, asas pemberdayaan

masyarakat, asas keterpaduan, dan asas rujukan.

d. Manajemen Pusat Kesehatan Masyarakat yang mencakup

perencanaan, usulan kegiatan, dan survey mawas diri.

e. Pelaksnaan dan pengendalian yang mencakup pengendalian mutu

dan biaya dan prosedur penjaminannya.

f. Pembiayaan.

Sebagai konsekuensi berlakunya UU Otonomi Daerah kewenangan

pelayanan bidang kesehatan menjadi otonomi pemerintah kabupaten/kota,

sehingga pemerintah kabupaten/kota seharusnya mengatur secara lebih

rinci Standar Pelayanan Minimal di bidang kesehatan. Pemerintah Kota

Semarang merupakan pemerintah daerah yang telah menetapkan Standar

Pelayanan Minimal bidang kesehatan sebagaimana dirumuskan dalam

Page 64: pelayananumum

58

Keputusan Walikota Semarang Nomor 064/314 Tahun 2003. Keputusan

Walikota tersebut secara tegas dalam konsiderannya mengacu pada

Keputusan MENPAN Tahun 2003. Dalam Keputusan Walikota Semarang

tersebut diatur secara rinci dan lengkap tentang:

1. Jenis-jenis perijinan yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan,

seperti: ijin praktik tenaga kesehatan, ijin apotik dan toko obat, ijin

sarana kesehatan balai pengobatan/klinik dan rumah bersalin, ijin

rumah sakit, ijin laboratorium klinik, dan lain-lain.

2. Setiap jenis pelayanan administrasi perijinan tersebut dilengkapi dengan

pengaturan secara rinci tentang: dasar hukum, persyaratan, prosedur di

setiap tahap pelayanan (sampai ke tingkat kecamatan dan kelurahan),

alur sistem pelayanan, biaya, waktu penyelesaian, jam pelayanan,

alamat dan nomor telepon yang dapat digunakan masyarakat untuk

mengajukan pengaduan.

3. Penetapan Standar Pelayanan Minimal penanganan kematian ibu hamil

dan bersalin, penanggulangan gisi buruk, kejadian luar biasa, dan

demam berdarah.

4. Standar Pelayanan Minimal sebagaimana dalam butir 3 di atas meliputi:

pengertian dan ruang lingkup, dasar hukum, kompetensi petugas dan

persyaratan, prosedur pelayanan dan alur proses, target pencapaian,

biaya, dan mekanisme penanganan pengaduan.

5. Penetapan Standar Pelayanan Minimal pelayanan kesehatan oleh

PUSKESMAS yang meliputi: prosedur, alur dan mekanisme layanan,

lama layanan (indikator sampai ke menit), tarif biaya setiap jenis

layanan, dan penanganan pengaduan atau keluhan.

g. Pelayanan Jasa Pos (PT POS)

PT POS selain memberikan pelayanan jasa khususnya pengiriman

benda pos, saat ini juga memberikan pelayanan barang seperti pelayanan

filatelis. Penelitian ini hanya mencakup pelayanan jasa yang dilakukan oleh

PT POS. Berdasarkan hasil wawancara dengan pejabat Humas di Kantor

Pusat PT POS Bandung dipeoleh informasi sebagai berikut:

Page 65: pelayananumum

59

1. Pelayanan PT POS diatur oleh peraturan perundangan yang dikeluarkan

oleh pemerintah, khsususnya tentang tarif pelayanan jasa pos.

2. Operasionalisasi setiap jenis pelayanan yang dilakukan PT POS

mengikuti prosedur dan standar yang ditetapkan dalam Keputusan

Direksi.

3. PT POS melalui Keputusan Direksi telah menetapkan standar khususnya

jangka waktu pengiriman benda pos sesuai jenis pelayanan yang

digunakan pelanggan.

4. Pelayanan jasa oleh PT POS telah mengacu pada Keputusan MENPAN

Tahun 2003.

5. Pejabat Humas yang menjadi responden tidak dapat menunjukkan

Keputusan Direksi yang disebutkan, dan Tim tidak berhasil

memperolehnya meskipun telah berupaya melalui berbagai upaya.

C. Deskripsi Pengaturan Pelayanan Keluhan Publik secara Sektoral

a. Pelayanan Keluhan Publik di Badan Pertanahan Nasional

Di instansi Badan Pertanahan Nasional pelayanan keluhan

masyarakat dilaksanakan dengan beberapa cara sebagai berikut:

1. Berdasarkan Butir KEDUA huruf d Instruksi Menteri Negara Agraria /

Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 tentang

Percepatan Pelayanan Pendaftaran Peralihan Hak atas Tanah,

ditetapkan bahwa Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional

Propinsi bertugas menerima keluhan dari masyarakat mengenai

pelayanan pendaftaran peralihan hak dan mengambil tindakan yang

diperlukan. Akan tetapi dalam instruksi ini sama sekali tidak diatur

tentang prosedur dan standar pelayanan keluhan masyarakat tersebut.

2. Keputusan Menteri Negara Agararia Nomor 140-I-1999 tentang

Kelompok Kerja Penanganan Pengaduan Masyarakat menetapkan

beberapa hal sebagai berikut:

Page 66: pelayananumum

60

a. Membentuk kelompok kerja penanganan pengaduan masyarakat

yang bertanggungjawab kepada Menteri Negara Agraria / Kepala

Badan Pertanahan Nasional.

b. Penanganan pengaduan masyarakat dapat disampaikan melalui

Kotak Pos 4000, Faksimili nomor 021-7267633 dan 7254725, dan

pengaduan secara langsung.

Dalam keputusan tersebut tidak diatur secara rinci tentang prosedur

penanganan setelah keluhan diterima maupun standar penanganan

keluhan seperti jangka waktu, jaminan hukum, biaya dan sebagainya.

3. Melalui FGD dan wawancara diperoleh informasi bahwa penyampaian

keluhan masyarakat dalam praktik diterima dan ditangani langsung oleh

setiap bagian teknis yang berkaitan dengan pokok keluhan. Apabila

bagian teknis ini tidak dapat menyelesaikan keluhan secara memuaskan

maka keluhan dapat disampaikan kepada atasan langsungnya.

4. Apaila keluhan tersebut sudah meningkat menjadi sengketa hukum

maka akan ditangani oleh suatu bagian khusus yang menangani

sengketa-sengketa hukum yang melibatkan institusi.

b. Pelayanan Keluhan Publik di Kantor Catatan Sipil

Berdasarkan sistem administrasi negara di mana kewenangan

pengaturan administrasi kependudukan dan catatan sipil merupakan

kewenangan pemerintah kota/kabupaten, maka kewenangan pengaturan

keluhan publik pada bidang pelayanan administrasi dan kependudukan

semstinya juga diatur oleh paraturan perundangan di daerah. Tim peneliti

berhasil menemukan peraturan pelayanan keluhan publik yang diberlakukan

di kota Semarang berdasarkan Keputusan Walikota Nomor 065/311 Tahun

2003 yang sudah mengacu pada Keputusan MENPA No. 63 Tahun 2003.

Dalam Keputusan Walikota Semarang tersebut pelayanan

penanganan keluhan publik diatur sebagai berikut:

1. Pada setiap jenis pelayanan kependudukan dan catatan sipil ditetapkan

alamat dan nomor telepon yang dapat digunakan oleh masyarakat

untuk menyampaikan keluhan atau pengaduan.

Page 67: pelayananumum

61

2. Dirumuskan secara rinci tentang penanganan keluhan atau pengaduan

masyarakat, yang meliputi:

a. Prosedur meyampaikan keluhan atau pengaduan melalui telepon,

fax, surat, dan pengaduan langsung dan tata cara penanganannya.

b. Ditetapkan alur penyelesaian keluhan atau pengaduan dengan

menetapkan secara jelas pejabat yang bertanggungjawab.

c. Kemungkinan dibentuknya sebuah tim oleh walikota atau kepala

dinas untuk menangani suatu keluhan atau pengaduan.

d. Ditetapkan tatacara penyampaian hasil penanganan keluhan atau

pengaduan kepada masyarakat yang mengajukan keluhan.

e. Ditetapkan kewajiban untuk menyampaikan laporan hasil

penanganan keluhan kepada wali kota.

c. Pelayanan Keluhan Publik di Kepolisian

Pengaturan pelayanan administrasi di unit-unit pelayanan

kepolisian dilaksnakan berdasarkan Keputusan atau Instruksi Kapolri yang

keberlakuannya bersifat internal. Tim mengetahui tentang peraturan-

peraturan tersebut melalui FGD maupun wawancara akan tetapi, setelah

menempuh berbagai upaya, tidak berhasil memperoleh naskah beberapa

peraturan yang disebut oleh para narasumber dalam FGD atau wawancara

tersebut. Oleh karena itu Tim tidak dapat melakukan deskripsi terhadap

peraturan tersebut, akan tetapi keadaan demikian justru akan merupakan

bagian dari analisis pada Bab IV.

d. Pelayanan Keluhan Publik di PT Telekomunikasi Indonesia

PT. Telekomunikasi Indonesia adalah sebuah Badan Usaha Milik

Negara yang selama bertahun-tahun telah memiliki kedudukan monopoli

sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi.30 Walau saat ini kedudukan

30 Lihat UU No.3 tahun 1989 tentang Telekomunikasi; PP No. 8 tahun 1993 tentang

Penyelenggaraan Telekomunikasi dan Keputusan Menteri Pariwisata dan Telekomunikasi No. 39/KS.002/MPPT-1993 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Telekomunikasi Dasar. Di dalam peraturan-peraturan tersebut, PT. Telkom berkedudukan sebagai Badan Penyelenggara jasa telekomunikasi. Badan lain yang akan ikut terlibat dalam penyelenggaraan jasa telekomunikasi ini

Page 68: pelayananumum

62

monopoli tersebut di dalam perundang-undangan telah dihapuskan,31

namun dalam kenyataan saat ini PT. Telkomlah yang menjadi

penyelenggara jasa telekomunikasi terbesar.32 Dengan demikian, sudahlah

selayaknya bila keberhasilan PT. TELKOM dalam menyediakan pelayanan

yang terbaik kepada masyarakat menjadi concern dari seluruh masyarakat.

Sebagai pelanggan dari jasa telekomunikasi yang diselenggarakan

oleh PT. Telkom, masyarakat memiliki hak untuk dapat mengajukan

keluhannya, apabila penyediaan jasa dari PT. Telkom tersebut ternyata tidak

memenuhi standar yang seharusnya. Jenis keluhan pelayanan yang dapat

diajukan oleh pelanggan itu antara lain:

1. Keluhan terhadap sarana (misalnya: jaringan bocor, hubungan

terputus, dll.);

2. Keluhan terhadap buruknya pelayanan (misalnya keterlambatan

penghitungan besarnya tagihan, kelambatan memberikan bantuan

informasi (misalnya melalui 108, 109), buruknya pelayanan petugas

gangguan (misalnya melalui 147 atau 117), dll.).

Ketentuan tentang penyampaian keluhan pada TELKOM

diselenggarakan sebagai berikut33:

hanya dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan PT. Telkom dalam bentuk perjanjian Joint Venture, Kerja Sama Operasi, atau Kontrak Manajemen.

31 Hal ini ditegaskan dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang tidak

lagi menempatkan PT. Telkom sebagai Badan Penyelenggara jasa telekomunikasi. Dengan demikian, penyelenggaraan jasa telekomunikasi bukan lagi menjadi hak tunggal dari PT. Telkom. Sepanjang ada Badan Usaha yang memenuhi kriteria yang ditentukan di dalam UU tersebut, maka ia dapat berpartisipasi untuk menyelenggarakan jasa telekomunikasi.

32 Sebagai gambaran, saat ini penyelenggaraan jaringan fixed phone hanya disediakan

oleh PT. Telkom. 33 Mekanisme ini diringkas dari Instruksi Direktur Operasi dan Pemasaran Perusahaan

Perseroan (Persero) PT. Telekomunikasi Indonesia No. IR.6/HK/220/OPE-00/1995 tentang Pembenahan Pengelolaan Pelayanan Penerangan Lokal (108), Penerangan Tagihan Jastel (109), Penanganan Gangguan (117 atau 147) dan Announcement; Instruksi Direktur Operasi dan Pemasaran Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Telekomunikasi Indonesia No. IR.9/HK220/OPSAR-21/1995 tentang Peningkatan Pelayanan Penanganan Gangguan (117 atau 147); dan Keputusan Direksi Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Telekomunikasi Indonesia No. KD.36/TK.300/OPSAR-23/2001.

Page 69: pelayananumum

63

1. Cara mengajukan keluhan34:

- Lisan: diajukan melalui Loket Pengaduan di wilayah pelanggan;

- Pengajuan secara tertulis: diajukan menggunakan surat, faksimili,

telex, telegram, e-mail dan lain-lain). Masalahnya, apabila

pengirimannya akan dilakukan melalui media-media ini, saat ini

sebagian besar masyarakat tidak mengetahui alamat yang harus

dituju. Hal ini terjadi karena kurangnya sosialisasi di lingkungan kerja

Telkom. Kemungkinan lain juga karena Telkom ingin memusatkan

pelayanan penyampaian keluhan melalui telepon, yang prosedur

penyampaian keluhannya relatif lebih simpel dan seragam di seluruh

Indonesia.

- Melalui telepon: pengajuan keluhan dilakukan melalui pesawat No.

117 atau 147. Telkom telah memasang voice processing yang akan

berfungsi untuk menjawab keluhan masyarakat; dan menindaklanjuti

keluhan tersebut.

- Melalui media massa: misalnya pada media massa tertentu (seperti

radio atau televisi, ada yang memiliki acara yang menginformasikan

keluhan-keluhan masyarakat, misalnya telepon terganggu). Dengan

memberikannya kesempatan kepada pelanggan untuk mengajukan

keluhan melalui media massa, seharusnya Telkom juga menyediakan

petugas yang bertugas untuk memantau berbagai sarana

penyampaian keluhan yang ada di media massa (misalnya

memantau acara-acara (yang relevan) di radio atau televisi, atau

surat pembaca di majalah atau koran) agar penyampaian keluhan

dapat langsung terpantau oleh Telkom. Bila Telkom tidak

menyediakan petugas ini, maka penyampaian keluhan melalui media

massa tampaknya akan percuma dan tidak menyelesaikan masalah

dengan efektif.

34 Lihat juga butir 2.3.b. Lampiran Keputusan Direksi Perusahaan Perseroan (Persero) PT.

Telekomunikasi Indonesia No. KD.36/TK.300/OPSAR-23/2001.

Page 70: pelayananumum

64

2. Asas penanganan gangguan yang dijadikan pedoman:

- Prosedur penanganannya cepat, tepat dan sederhana, sesuai dengan

kondisi di lapangan.35 Yang menjadi masalah adalah: di dalam

peraturan operasionalnya tidak didefinisikan lebih lanjut kriteria apa

yang harus dipergunakan untuk menentukan apakah respons

terhadap keluhan pelanggan yang diajukan itu dapat dikatagorikan

sebagai respons yang cepat, tepat dan sederhana. Yang harus

ditegaskan kembali di sini, yang akan diukur kecepatannya adalah

respons/reaksi terhadap keluhan yang diajukan oleh masyarakat

tersebut; dan bukan penyelesaian masalah yang

dikeluhkannya. Kecepatan penyelesaian keluhan tidak dapat

distandarisasi, karena tingkat kompleksitas masalah yang diajukan

juga bisa berbeda satu dengan yang lain. Apabila keluhannya

berkaitan dengan kerusakan jaringan, penyelesaian masalahnya

tentulah membutuhkan waktu yang lebih lama daripada penyelesaian

masalah kebocoran suara atau dengungan pada pesawat telepon.

Dengan demikian, yang harus bisa terukur adalah jangka waktu

maksimal dari reaksi atau respons yang diberikan terhadap keluhan

publik yang diajukan.

- Namun demikian, penanganan gangguan yang dikeluhkan –apapun

masalahnya- harus diselesaikan dengan tepat dan melalui cara yang

paling sederhana, dari pelbagai alternatif penyelesaian masalah

yang dapat ditempuh.

3. Mekanisme pengelolaan keluhan36:

- Pelanggan (atau dalam hal tertentu tidak hanya pelanggan,

melainkan masyarakat pada umumnya. Misalnya bila seorang

pengguna jasa telepon umum selalu kehilangan koinnya tanpa

memperoleh sambungan, karena adanya pesawat telepon umum

35 Lihat Diktum Pertama butir 9 Instruksi Direktur Operasi dan Pemasaran Perusahaan

Perseroan (Persero) PT. Telekomunikasi Indonesia No. IR.9/HK220/OPSAR-21/1995. 36 Disusun dengan menyederhanakan prosedur teknis yang telah dimiliki oleh TELKOM di

dalam Lampiran Keputusan Direksi No. KD.36/TK.300/OPSAR-23/2001.

Page 71: pelayananumum

65

yang tidak berfungsi baik. Ia berhak untuk mengajukan keluhan,

paling tidak agar pesawat telepon umum tersebut segera diperbaiki.)

mengajukan keluhannya kepada Unit Call Center melalui cara yang

telah dijabarkan di atas;

- Unit Call Centre menanyakan dan meneliti masalah atau gangguan

yang dikeluhkan dan mendata identitas pengadu dan melakukan

registrasi pengaduan;

- Unit Call Centre melakukan pengukuran dan pengetesan untuk

mengetahui ada atau tidaknya kerusakan atau gangguan.

- Dari hasil pengukuran, apabila ternyata memang benar terdapat

kerusakan atau gangguan, maka dilakukan pendistribusian pekerjaan

(dispatching) kepada unit kerja yang sesuai dengan area kerjanya;

- Menjadwalkan perbaikan yang akan dilakukan;

- Melakukan analisa dan letak gangguan (di lokasi kerusakan di

tempat pengadu). Apabila ada kesulitan di lokasi (misalnya rumah

pengadu dalam keadaan kosong), petugas harus meninggalkan

pesan atau pemberitahuan;

- Apabila pemeriksaan dapat dilakukan, petugas harus

menginformasikan jenis kerusakan atau gangguan yang terjadi, dan

menginformasikan apakah terhadap gangguan atau perbaikan

tersebut akan dikenai biaya, seandainya perbaikan tersebut

dilakukan.

- Apabila perbaikan ingin dilakukan, biaya yang harus dibayarkan

ditagih dahulu kepada pengadu. Semua proses tersebut harus

dicatat di dalam Berita Acara yang sudah disediakan oleh

perusahaan.

- Petugas mengadakan perbaikan atau penggantian saluran yang

rusak.

- Setelah Petugas melakukan perbaikan, dilakukan test call kepada

telepon pengadu. Apabila masalah yang diadukan dapat diselesaikan,

maka dibuat berita acara penyelesaian dan melaporkannya kepada

unit clearance. Apabila masalah yang diadukan, maka petugas harus

Page 72: pelayananumum

66

melaporkan ke Unit Kerja Distribusi, agar dilakukan pendistribusian

pekerjaan kembali (redispatch).

e. Pelayanan Keluhan Publik di Perusahaan Listrik (PT PLN)

Undang-Undang No. 15 tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan

dalam pasal 15 ayat (1) menegaskan bahwa Pemegang Kuasa

Ketenagalistrikan (dalam hal ini PLN) berkewajiban untuk memberikan

pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat. Di lain pihak, hak dari

pelanggan PLN diatur di dalam pasal 3 Peraturan Menteri Pertambangan dan

Energi No. 03 P/451/M.PE 1991 tanggal 26 April 1991, yang intinya

menegaskan bahwa pelanggan berhak untuk mendapatkan tenaga listrik

secara berkesinambungan dengan keandalan yang baik. Hal yang dapat

mengecualikan PLN dari kewajibannya tersebut hanyalah apabila PLN

menghadapi force majeure, sehingga harus menghentikan sementara

kewajibannya untuk mensupply listrik terus menerus, tanpa dibebani

kewajiban untuk memberikan ganti rugi (contoh yang paling aktual adalah

ketika terjadi bencana banjir di Jakarta pada bulan Februari yang lalu. Untuk

menghindarkan tegangan pendek (kortsluit), maka PLN terpaksa mematikan

supply listrik di beberapa daerah, misalnya Kedoya, Pulo Mas, dll.).

Sebagai pelanggan dari jasa listrik yang diselenggarakan oleh

PLN, masyarakat memiliki hak untuk dapat mengajukan keluhannya, apabila

penyediaan jasa dari PLN tersebut ternyata tidak memenuhi standar yang

seharusnya. Jenis keluhan pelayanan yang dapat diajukan oleh pelanggan

itu antara lain:

Keluhan terhadap kerusakan sarana (misalnya: jaringan rusak, listrik padam,

dll.); keluhan terhadap buruknya pelayanan (misalnya pemadaman listrik

berkala tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, penyambungan yang

terlambat, pembacaan meteran yang tidak sesuai dengan pemakaian,

tegangan yang tidak stabil, kelambatan memberikan pelayanan gangguan

(misalnya setelah adanya laporan keluhan melalui pesawat telepon no. 123),

dll.).

Page 73: pelayananumum

67

Ketentuan tentang penyampaian keluhan pada PLN

diselenggarakan sebagai berikut37:

1. Cara mengajukan keluhan:

Tertulis: diajukan melalui Loket Pengaduan di kantor cabang atau

kantor rayon yang terdekat dengan lokasi dari pelanggan. Pelanggan

akan mengisi formulir pengaduan gangguan yang telah disediakan di

kantor tersebut. Menurut informasi yang dijelaskan pada website PLN,

kantor-kantor cabang dan rayon PLN yang khusus menangani masalah

gangguan ini selalu terbuka selama 24 jam perhari.

Lisan melalui telepon: pengajuan keluhan dilakukan melalui pesawat

No. 123. PLN memiliki sistem hubungan antar unit kerja menggunakan

radio panggil, sehingga masalah yang diadukan pelanggan akan relatif

cepat untuk didistribusikan kepada petugas yang tepat.

Melalui media massa: misalnya pada media massa tertentu (seperti

radio atau televisi, ada yang memiliki acara yang menginformasikan

keluhan-keluhan masyarakat, misalnya listrik padam, dll). Dengan

memberikannya kesempatan kepada pelanggan untuk mengajukan

keluhan melalui media massa, seharusnya PLN juga menyediakan

petugas yang bertugas untuk memantau berbagai sarana penyampaian

keluhan yang ada di media massa (misalnya memantau acara-acara

(yang relevan) di radio atau televisi, atau surat pembaca di majalah

atau koran) agar penyampaian keluhan dapat langsung terpantau oleh

PLN. Bila PLN tidak menyediakan tugas ini, maka penyampaian keluhan

melalui media massa tampaknya akan percuma dan tidak

menyelesaikan masalah dengan efektif.

2. Asas penanganan gangguan yang dijadikan pedoman:

Khusus berkaitan dengan penanganan gangguan, PLN tidak memiliki

asas khusus, namun hal ini dapat disimpulkan dari visi dan misi yang

37 Mekanisme ini diringkas dari homepage dari PLN: http://www.indo.net.id/pln/htdocs/

pelayanan.htm.

Page 74: pelayananumum

68

dimiliki oleh PLN. Sebagai contoh, visi dan misi dari PLN Jawa Barat –

Banten, landasan filosofinya adalah38:

‘Mempunyai komitmen yang tinggi terhadap kepentingan pelanggan

dengan menjadikan SDM sebagai sumber daya penting perusahaan’.

Dengan memperhatikan visi dan misi PLN Jawa Barat – Banten ini,

dapat disimpulkan bahwa di bidang penanganan gangguan/keluhan,

PLN harus semata-mata lebih memperhatikan kepentingan pelanggan.

Artinya, setiap penanganan masalah pelanggan harus dilakukan dengan

sebaik mungkin, untuk memberikan pelayanan yang memuaskan

pelanggannya. Meski filosofi ini telah memberikan landasan nilai-nilai

luhur yang harus dilaksanakan oleh petugas penyelesaian gangguan

atau keluhan pelanggan, namun landasan filosofi ini belum dielaborasi

ke dalam pedoman-pedoman yang lebih operasional. Perlu suatu

pedoman norma perilaku yang lebih terukur (di samping prosedur dan

mekanisme penanganan keluhan), untuk membuat kualitas penanganan

keluhan menjadi lebih terkontrol.

3. Mekanisme pengelolaan keluhan:

Pelanggan mengajukan keluhannya kepada Unit Call Center melalui

cara yang telah dijabarkan di atas (terutama melalui pesawat 123);

- Unit Call Centre menanyakan dan meneliti masalah atau gangguan

yang dikeluhkan dan mendata identitas pengadu dan melakukan

registrasi pengaduan;

- Unit Cal Centre (melalui radio panggil yang saling berhubungan

dengan unit-unit kerja yang berada pada wilayah kerja yang sama

dengan lokasi Unit Call Centre tersebut) akan menghubungi petugas

yang berwenang (misalnya apabila masalahnya berkaitan dengan

tidak stabilnya tegangan listrik, maka diajukan kepada Unit

Pelayanan Jaringan di wilayah pelanggan);

- Petugas melakukan analisa dan letak gangguan (di lokasi kerusakan

di tempat pengadu);

38 Hal ini dapat dilihat dari Tim Restrukturisasi PT. PLN (Persero) UBD Jabar – Banten,

Edisi 2.02. Bandung, 2 Oktober 2001: Restrukturisasi PT. PLN (Persero) Distribusi Jabar – Banten, hal. 5.

Page 75: pelayananumum

69

- Apabila pemeriksaan dapat dilakukan, petugas harus

menginformasikan jenis kerusakan atau gangguan yang terjadi, dan

menginformasikan apakah terhadap gangguan atau perbaikan

tersebut akan dikenai biaya, seandainya perbaikan tersebut

dilakukan.

- Petugas mengadakan perbaikan atau penggantian jaringan yang

rusak.

- Setelah Petugas melakukan perbaikan, maka dibuat berita acara

penyelesaian dan melaporkannya kepada Kepala Unit Pelayanan

Jaringan (untuk masalah-masalah teknis jaringan) atau Kepala Unit

Pelayanan Pelanggan (untuk masalah-masalah yang berkaitan

dengan ketidaktepatan pembacaan meteran dan masalah billing)39.

f. Pelayanan Keluhan Publik di Rumah Sakit dan Puskesmas

Dalam beberapa Keputusan Menteri Kesehatan RI tidak diatur

tentang prosedur penanganan keluhan masyarakat, akan tetapi diatur

tentang beberapa prosedur penjaminan mutu pelayanan melalui mekanisme

internal seperti mini lokakarya mini bulanan dan triwulanan. Prosedur

pelayanan keluhan publik yang dapat ditemukan selama penelitian adalah

yang berkaitan dengan penanganan keluhan adalah sebagaimana yang

diatur dalam Keputusan Walikota Semarang Nomor 065/314 Tahun 2003

tentang Standar Pelayanan Minimal Dinas Kesehatan Kota Semarang. Dalam

Keputusan tersebut pada pokoknya diatur tentang:

1. Prosedur penyampaian keluhan publik untuk setiap jenis layanan yang

dapat dilakukan secara langsung, per telepon/fax, langsung ke atasan,

dan langsung ke walikota.

2. Pejabat yang harus melakukan tindakan untuk menanggapi dan

menyelesaikan keluhan untuk setiap jenis keluhan.

3. Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh pejabat dalam rangka

menangani keluhan.

4. Jangka waktu, biaya penanganan keluhan.

39 Loc cit, hal 67.

Page 76: pelayananumum

70

g. Pelayanan Keluhan Jasa Pos di PT POS

Hasil wawancara tentang penanganan keluhan publik di PT POS

memperoleh informasi sebagai berikut:

1. PT POS memiliki prosedur dan standar yang berlaku secara nasional

dan dipahamai oleh semua pegawai pos sesuai wewenangnya tentang

penganganan keluhan atau pengaduan yang disampaikan. Prosedur

dan standar pelayanan pengaduan tersebut ditetapkan dalam

Keputusan Direksi.

2. PT POS melalui Keputusan Direksi telah menetapkan standar khususnya

penggantian kerugian maksimal apabila keluhan atau pengaduan tidak

dapat diselesaikan (khususnya pengaduan kehilangan benda pos dan

keterlambatan layanan khusus)

3. Pelayanan keluhan publik oleh PT POS telah mengacu pada Keputusan

MENPAN Tahun 2003.

4. Pejabat Humas yang menjadi responden tidak dapat menunjukkan

Keputusan Direksi yang disebutkan, dan Tim tidak berhasil

memperolehnya meskipun telah berupaya melalui berbagai upaya.

3. A. Analisis Normatif Sistem Penyelenggaraan Pelayanan Publik

1. Keputusan-keputusan Menteri Penertiban Aparatur Negara No 63/2003,

25/2004, dan 26/2004, dapat dikatakan telah menyediakan sebuah struktur

dasar atau pedoman untuk pembentukan sebuah Sistem Pelayanan Publik

Indonesia yang terpadu. Asas-asas yang digunakan sebagai asas

penyelenggaraan pelayanan publik, umumnya juga sudah sejalan dengan

asas-asas pemerintahan yang baik (Principles of Good Governance), dengan

catatan bahwa masih ada beberapa asas penting yang belum dimuat di

dalamnya (Asas Integritas dan asas Konsistensi) atau yang merupakan asas-

asas yang unik sifatnya (Asas Kondisional dan Asas Partisipatif)

2. Kepmenpan No. 63/2003 menggunakan UU Perlindungan Konsumen (UU

No. 8/1999) sebagai salah satu dasar hukum utama pemberlakuan

pedoman umum penyelenggaraan pelayanan publik, sehingga tampak

Page 77: pelayananumum

71

adanya asumsi bahwa pelayanan publik oleh instansi-instansi penyelenggara

kepada masyarakat merupakan manifestasi dari relasi pelaku

usaha/produsen dan konsumen seperti yang dimaksud di dalam UUPK.

Namun dalam kenyataan, penerapan UUPK dalam persoalan-persoalan

kualitas pelayanan publik yang dihadapi masyarakat masih menimbulkan

masalah-masalah tersendiri akibat adanya keengganan di beberapa pihak

instansi penyelenggara pelayanan publik untuk disetarakan dengan “pelaku

usaha” seperti yang dimaksud di dalam UUPK. Akibatnya, kewenangan

badan yang dibentuk untuk menyelesaikan sengketa-sengketa perlindungan

konsumen dianggap tidak berlaku atas instansi-instansi penyelenggara

pelayanan publik (khususnya yang berkaitan dengan pelayanan

administratif)

3. dalam pelaksanaannya di pelbagai instansi pelayanan publik (baik di tingkat

pusat maupun daerah, atau di bidang pelayanan administrasi, barang atau

jasa) belum sepenuhnya dijadikan sebagai acuan untuk pembinaan

dan pelaksanaan fungsi-fungsi pelayanan instansi-instansi tersebut. Hal ini

terbukti dari banyaknya instansi yang merumuskan prosedur dan tata-cara

pelayanan nya sendiri (untuk uraian lebih lanjut lihat butir 4 di bawah ini).

4. Beberapa instansi yang bergerak di bidang pelayanan penyediaan

barang dan atau jasa, atau yang dapat dikategorikan sebagai

penyelenggara pelayanan publik atas dasar perjanjian dengan masyarakat

sebagai konsumen (PT Telkom, PLN, PT Pos, dsb) umumnya telah memiliki

suatu sistem dan prosedur pelayanan publiknya sendiri. Umumnya sistem

dan prosedur semacam itu ditetapkan secara intern (dalam arti, tidak

mengacu pada Keputusan-keputusan Menpan melainkan mengacu pada UU

Sektoral yang berlaku atas instansinya atau dalam bentuk Keputusan-

keputusan Direksi) namun diupayakan untuk diberlakukan secara nasional

dengan memperhatikan kemampuan dan kendala-kendala di daerah.

Sebagai badan usaha, yang sangat berkepentingan dengan peningkatan

daya saing dan mungkin arus globalisasi, badan-badan usaha tersebut pada

umumnya dituntut untuk mengelola sistem pelayanan publik dengan

standar yang lebih tinggi dari hal-hal yang ditetapkan di dalam Keputusan-

Page 78: pelayananumum

72

keputusan Menteri Penertiban Aparatur Negara. Namun demikian, bila

dinilai dari segi substansi, maka sistem dan prosedur pelayanan publik ini

untuk sebagian besar sudah sejalan dengan prinsip-prinsip dan standar

pelayanan minimum yang ditetapkan di dalam Kepmenpan No. 63/2003;

5. Instansi-instansi lain (di luar apa yang disebut pada butir 4 di atas) seperti

misalnya Badan Pertanahan Nasional, Dinas kependudukan (Catatan Sipil),

atau Dinas Pelayanan Kesehatan lebih banyak bekerja atas dasar regulasi

yang ditetapkan oleh jalur kekuasaan sektoralnya sendiri (misalnya Menteri,

Kapolri, atau Otoritas Pemerintah di daerah). Seyogyanya, baik departemen

maupun otoritas pemerintah di daerah tetap mengacu pada keputusan-

keputusan Menpan yang ada, namun demikian, hanya sebagian kecil dari

instansi-instansi pelayanan publik yang ada telah secara eksplisit

menegaskan bahwa regulasi lokal (Pemkot Semarang dalam bidang

pelayanan administratif) mengenai prosedur dan tata cara pelayanan publik

memang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Kepmenpan No. 63/2003.

Pengertian yang perlu dirumuskan dengan lebih tegas di dalam Kepmenpan

No. 63/2003 (atau di dalam Undang-undang tentang Pelayanan Publik, bila

kelak menjadi hukum positif) adalah tentang kedudukan keputusan menteri

ini yang hanya dimaksudkan sebagai standar dan kelengkapan minimum

dari suatu sistem pelayanan publik yang harus ada di instansi apapun yang

menyelenggarakan aktivitas pelayanan publik.

6. Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari kenyataan-kenyataan di atas,

dapat diringkaskan menjadi sebagai berikut:

(a) Dengan beberapa penyempurnaan di sana-sini, keseluruhan

Keputusan-keputusan Menteri Penertiban Aparatur Negara (063/2003,

025/2004,dan 026/2004) sudah berhasil menetapkan struktur dasar

(basic structure) dari suatu sistem pelayanan publik, yang bermanfaat

sebagai standar minimum kelengkapan suatu sistem

penyelenggaraan pelayanan publik;

(b) Namun demikian, pembedaan jenis pelayanan publik antara pelayanan

administratif dengan pelayanan barang/jasa (atau dapat disebut

pelayanan bisnis) tetaplah relevan, terutama dalam menetapkan

Page 79: pelayananumum

73

sejauh mana standar itu harus dipenuhi sebagai persyaratan minimum

(minimum requirements) atau sekedar menjadi titik orientasi saja

dalam pembinaan sebuah sistem pelayanan publik yang umumnya

sudah mengacu pada norma-norma ukur (benchmarks) yang lebih

tinggi (ISO, dsb);40

7. Sampai dengan laporan penelitian ini dirumuskan, data yang diperoleh Tim

belum menunjukkan adanya instansi penyelenggara pelayanan publik yang

sudah melaksanakan (atau bahkan menyadari adanya) Kepmenpan No.

25/2004 yang memberikan pedoman umum penyusunan Indeks Kepuasan

Masyarakat. Hal ini dapat dijelaskan karena Kepmen yang relatif baru ini

(Februari 2004) belum sepenuhnya berhasil disosialisasikan pada instansi-

instansi penyelenggara pelayanan publik di Indonesia. Namun demikian,

terlepas dari kenyataan itu, substansi dari Kepmen No. 25/2004 dapat

berfungsi positif dalam upaya menyediakan data yang dibutuhkan untuk 41:

• Mengidentifikasi kelemahan dan atau kekurangan yang dirasakan

dalam pelaksanaan fungsi setiap unsur penyedia layanan publik ;

• Menilai kembali kinerja penyelenggaraan pelayanan yang telah

berjalan;

• Menjadi bahan masukan dalam penetapan kebijakan dan upaya untuk

peningkatan mutu pelayanan;

• Menyusun indeks kepuasan masyarakat secara menyeluruh, baik atas

kualitas pelayanan instansi-instansi publik di pusat maupun di daerah;

• Memacu persaingan positif antara unit-unit penyelenggara pelayanan

publik di lingkungan pemerintah pusat dan daerah;

• Memberikan gambaran pada konsumen mengenai ‘rating’ kinerja setiap

instansi penyelenggara pelayanan publik.

8. Ditinjau dari aspek pelayanan terhadap keluhan publik, maka di dalam

Kepmenpan No. 25/2004 ini perlu ditambahkan beberapa unsur indeks

kepuasan masyarakat, khususnya yang menyangkut pelayanan pada

40 Hal ini juga tersirat di dalam Kepmenpan No. 63/2003, Paragraf V butir C 41 Bandingkan: Paragraf E tentang Manfaat, butir 1 – 6 dari Kepmen No. 25/2004

Page 80: pelayananumum

74

masyarakat dalam proses penyampaian keluhan dan/atau penyelesaian

sengketa; Dengan demikian, indeks kepuasan masyarakat dapat diukur

terhadap keseluruhan sistem pelayanan publik sebuah instansi.

9. Salah satu aspek dari penyelenggaraan pelayanan publik Indonesia yang

terpenting namun tampaknya belum memperoleh perhatian secukupnya

adalah Code of Conduct yang lebih banyak dimaksudkan untuk

mengendalikan perilaku individu-individu pelaksana pelayanan publik. Code

of conduct semacam ini seharusnya lebih banyak diturunkan dari nilai-nilai

etika-profesional para pengemban fungsi pelayanan publik pada umumnya,

dan dapat berlaku atas semua jenis pelayanan publik. Elemen Code of

Conduct perlu menjadi salah satu elemen pendukung sistem

penyelenggaraan pelayanan publik Indonesia, karena tanpa kehadirannya,

suatu sistem yang sudah baik dari segi regulasi, pengorganisasian,

penetapan flow of activities, proses pelaksanaan, pembiayaan, dan

pelayanan terhadap keluhan-keluhan, namun tidak didukung oleh kontrol

atas perilaku individual setiap pejabat pelaksananya, akan menjadi sia-sia.

Dari studi perbandingan terhadap pelbagai code of conducts yang dirumuskan

untuk pelayanan publik di pelbagai sistem hukum asing, dapat disimpulkan bahwa

suatu Code of Conduct untuk petugas pelayanan publik akan meliputi nilai-nilai

yang pada dasarnya merupakan nilai-nilai derivatif dari Asas-asas Keterbukaan,

Integritas dan Akuntabilitas. Petugas pelayanan publik harus:

a. senantiasa melindungi kepentingan umum dalam melaksanakan tugas dan

fungsinya;

b. melaksanakan tugas-tugas atas dasar itikad baik dan kerja-keras, dilandasi

keterampilan profesional, pengetahuan dan pengalaman;

c. senantiasa bertingkah laku sesuai dengan hukum;

d. senantiasa bebas dari pengaruh-pengaruh politik, ekonomi atau pengaruh-

pengaruh lain yang dapat berdampak terhadap kinerjanya;

e. senantiasa menghindarkan diri dari perbenturan kepentingan (conflict of

interests) antara kewajiban-kewajiban resminya dengan kepentingan-

kepentingan pribadinya serta kepentingan pihak-pihak ketiga;

Page 81: pelayananumum

75

f. tidak menggunakan posisi atau jabatannya untuk kepentingan politik,

ekonomi, atau kepentingan pribadi orang lain;

g. senantiasa berupaya sebaik-baiknya untuk meningkatkan kepercayaan

masyarakat atas pelayanan publik;

Ditinjau dari sudut pandang masyarakat penerima pelayanan publik, Petugas

pelayanan publik harus:

a. secara proporsional senantiasa menjaga keseimbangan antara upaya

menegakkan kepentingan umum dan upaya menjamin perlindungan atas hak-

hak asasi dan kebebasan warga masyarakat, tanpa pembatasan-pembatasan

yang tidak wajar dan/atau melawan hukum;

b. memenuhi hak warga negara atas akses informasi publik yang secara

langsung atau tidak langsung relevan dengan pelayanan yang sedang

dimintakan oleh warga masyarakat;

c. menunjukkan sikap yang profesional, didukung oleh keramahan dan

kesopanan dalam bertindak-tanduk;

B. Analisis Normatif Pengaturan Pelayanan Keluhan Publik

Penyelesaian pengaduan atau keluhan atas pelayanan publik yang tidak

memenuhi standar pelayanan minimal merupakan satu kesatuan yang melekat

dan tidak dapat dipisahkan dari penyelenggaraan pelayanan publik yang prima.

Dalam praktik tidak akan bisa dihindarkan terjadinya pengaduan atau keluhan

dari masyarakat penerima pelayanan karena terjadinya pelayanan yang tidak

sesuai dengan standar pelayanan minimal maupun pelayanan yang tidak

memuaskan masyarakat yang menerima pelayanan. Dalam Angka V Huruf J

Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003 ditegaskan bahwa:

“Penyelenggaraan pelayanan publik perlu memperhatikan dan menerapkan penyelesaian pengaduan atau keluhan. Setiap pimpinan unit penyelenggara pelayanan publik wajib menyelesaikan setiap laporan atau pengaduan masyarakat mengenai ketidakpuasan dalam pemberian pelayanan sesuai kewenangannya.”

Page 82: pelayananumum

76

Selain penyelesaian pengaduan atau keluhan yang belum atau tidak

menjadi sengketa hukum, setiap unit pelayanan publik juga harus melakukan

antisipasi apabila menghadapi kenyataan intensitas ketidakpuasan masyarakat

meningkat menjadi sengketa hukum. Dalam Keputusan MENPAN tersebut

ditegaskan bahwa penyelesaian sengketa (hukum) yang yang muncul dari

penyelenggaraan pelayanan publik dapat diselesaiakan melalui jalur hukum.

Berdasarkan Butir VI Keputusan MENPAN tersebut ditegaskan bahwa

perlu dibuat petunjuk pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan publik yang

digunakan sebagai landasan penyusunan standar pelayanan oleh masing-masing

pimpinan unit penyelenggara pelayanan. Salah satu komponen pelayanan yang

harus dimuat dalam stnadar pelayanan tersebut adalah tentang penanganan

pengaduan atau keluhan. Untuk menjamin agar pengaturan tentang penanganan

pengaduan atau keluhan tersebut memenuhi prinsip transparansi dan

akuntabilitas maka dalam pedoman tersebut setidak-tidaknya dimuat tentang:

a. Prioritas penyelesaian pengaduan;

b. Penentuan pejabat yang menyelesaikan pengaduan;

c. Prosedur penyelesaian pengaduan;

d. Rekomendasi penyelesaian pengaduan;

e. Pemantauan dan evaluasi penyelesaian pengaduan;

f. Pelaporan proses dan hasil penyelesaian pengaduan kepada pimpinan;

g. Penyampaian hasil penyelesaian pengaduan kepada yang mengadukan;

h. Dokumentasi penyelesaian pengaduan.

Secara lebih operasional Keputusan MENPAN Nomor 26 Tahun 2004 pada

Butir IV menetapkan secara rinci prosedur penyampaian, penanganan,

penyelesaian dan tindak lanjut, konsekuensi, dan sanksi dalam proses pelayanan

keluhan publik tersebut.

Penelitian normatif terhadap peraturan-peraturan tentang pelayanan

publik atau standar pelayanan minimum di instansi yang menjadi obyek penelitian

ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Page 83: pelayananumum

77

a. Badan Pertanahan Nasional

1. Pelaksanaan pelayanan publik pada unit-unit pelayanan Badan

Pertanahan Nasional dilakukan berdasarkan peraturan-peraturan yang

berlaku secara nasional. Peraturan-peraturan yang berlaku secara

nasional pada umumnya masih bersifat sangat umum dan berisi hukum

materiil tentang pertanahan. Seiring dengan paradigma otonomi daerah

dan kenyataan bahwa permasalahan yang dihadapi daerah berbeda, saat

ini beberapa Kantor Wilayah Pertanahan sedang berusaha untuk

menyusun regulasi yang bersifat khas dengan memperhatikan kebutuhan

daerah. Regulasi yang sedang disusun ini terbatas hanya mengatur

tentang prosedur pelayanan dengan tetap mengacu pada peraturan

perundangan nasional, dan sama sekali tidak akan mengatur tentang

hukum materiil di bidang pertanahan.

2. Peraturan-peraturan yang ada pada umumnya dirumuskan dan

diberlakukan sebelum berlakunya Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun

2003 sehingga substansiya belum mengacu pada Keputusan Menpan

tersebut. Dari peraturan yang diteliti tidak ditemukan adanya bagian yang

secara khusus mengatur tentang pelayanan keluhan publik atas layanan

yang diberikan oleh unit-unit pelayanan di lingkungan Badan Pertanahan

Nasional. Diterbitkannya Keputusan Menteri Negara / Kepala BPN Nomor

140-I-1999 yang membentuk Kelompok Kerja penanganan pengaduan

masyarakat merupakan kebijakan yang sentralistik karena kelompok kerja

tersebut hanya dibentuk di tingkat pusat, dan tidak bersifat operasional

karena sama sekali tidak diatur tentang prosedur, mekanisme, dan

standar penanganan keluhan yang disampaikan.

3. Unit-unit pelayanan di lingkungan Badan Pertanahan Nasional tidak

memiliki bagian khusus pelayanan keluhan, karena keluhan diterima dan

ditangani oleh setiap bagian yang memberikan pelayanan. Akan tetapi

apabila keluhan atau pengaduan tidak berhasil diselesaikan dan kemudian

meningkat menjadi sengketa hukum maka sengketa hukum tersebut akan

ditangani oleh suatu bagian khusus yaitu Sekretariat Sengketa

Pertanahan.

Page 84: pelayananumum

78

4. Di Badan Pertanahan Nasional terjadi praktik yang mencerminkan

kebijakan reaktif di bidang penanganan keluhan dengan cara

mengeluarkan instruksi untuk menyelesaikan tunggakan permohonan

pelayanan sebagaimana dalam Instruksi Menteri Negara Agraria / Kepala

BPN Nomor 1 Tahun 1999. Kebijakan reaktif ini mengindikasikan

tingginya potensi keluhan dan sengketa sebagai akibat tidak dipenuhinya

standar pelayanan prima terutama dari segi kecepatan pelayanan. Secara

yuridis bentuk hukum instruksi juga hanya memiliki kekuatan mengikat

internal dan tidak memenuhi asas transparansi.

b. Dinas Kependudukan dan Kantor Catatan Sipil

Pelayanan administratif kependudukan dan catatan sipil merupakan

kewenangan otonomi daerah sehingga peraturan perundangan tentang

Standar Pelayanan Minimal termasuk pelayanan keluhan semestinya diatur

dalam peraturan-peraturan daerah. Penelitian terhadap peraturan-peraturan

daerah di wilayah penelitian meunjukkan bahwa baru Pemerintah Kota

Semarang yang menerbitkan peraturan tentang Standar Pelayanan Minimal

termasuk pelayanan keluhan di bidang kependudukan dan catatan sipil yang

telah mengacu pada Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003.

Dalam Keputusan Walikota Semarang Nomor 065/311 Tahun 2003

tentang Standar Pelayanan Minimal di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil

telah diatur secara rinci dan lengkap tentang penanganan keluhan sebagai

berikut:

1. Penyampaian keluhan oleh masyarakat dapat dilakukan melalui surat

atau faksimili di alamat atau nomor yang telah ditentukan dengan jelas,

melalui telepon, dan langsung kepada Walikota.

2. Telah diatur secara rinci proses dan prosedur dari setiap cara

penyampaian keluhan yang berbeda tersebut:

a. Keluhan yang disampaikan melalui surat atau faksimili diterima oleh

Kepala Tata Usaha dan setelah diagenda harus disampaikan kepada

Kepala Dinas. Kepala Dinas setelah mempelajari isi keluhan kemudian

mendisposisi kepada tim yang dibentuk untuk menangani keluhan

Page 85: pelayananumum

79

yang kemudian akan melakukan pengkajian. Tim membuat jawaban

tertulis dan kemudian melalui Kepala Tata Usaha disampaikan

kepada masyarakat yang mengajukan keluhan.

b. Keluhan yang disampaikan melalui telepon akan langsung

disampaikan kepada pejabat yang menangani keluhan untuk

ditangani atau diserahkan kepada tim untuk dilakukan pengkajian,

yang hasilnya disampaikan melalui telepon atau surat.

c. Keluhan yang disampaikan melalui walikota akan didisposisi kepada

Kepala Tata Usaha untuk disampaikan kepada Kepala Dinas. Kepala

Dinas mendisposisi kepada Tim yang akan melakukan pengkajian.

Hasil pengkajian yang harus disampaikan kepada mesyarakat yang

mengajukan keluhan dengan tembusan kepada walikota.

3. Pengaturan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang ini secara

keseluruhan telah memenuhi ketentuan dalam Keputusan MENPAN

Nomor 63 Tahun 2003, dan dapat menjadi model untuk pengaturan di

daerah-daerah lain. Pemerintah Semarang telah berhasil menyusun

Standar Pelayanan Minimal termasuk pelayanan keluhan dengan

mengacu pada Keputusan MENPAN untuk sebagian besar dinas yang

memberikan pelayanan kepada masyarakat.

c. Kepolisian

1. Pelayanan administrasi oleh kepolisian berupa perijinan seperti surat ijin

mengemudi (SIM) dan ijin keramaian tampaknya dilakukan berdasarkan

kebiasaan yang muncul dalam pratik dan kebijakan setiap kepala unit

pelayanan di kepolisian. Apabila benar ada Surat atau Instruksi Kapolri

tentang penyelenggaraan pelayanan administrasi tersebut maka hal

tersebut bersifat internal. Untuk pelayanan SIM memang prosedur dan

persyaratannya jelas disosialisasikan melalui bagan atau alur pelayanan di

unit-unit pelayanan, akan tetapi ternyata dalam bagan atau alur

pelayanan tersebut tidak dimuat tentang pelayanan keluhan.

2. Hasil wawancara kepada responden pimpinan kepolisian yang secara

tegas tidak mengetahui tentang adanya Keputusan MENPAN Nomor 63

Page 86: pelayananumum

80

Tahun 2003 juga menunjukkan bahwa pelayanan keluhan di unit-unit

kepolisian belum mengacu kepada Keputusan Menpan tersebut.

d. PT Telekomunikasi Indonesia

1. Pada dasarnya pengelolaan keluhan yang telah dilakukan oleh TELKOM

relatif memiliki prosedur dan mekanisme yang cukup jelas, dalam kaitan

dengan:

- Telah jelas bagaimana pengaduan harus dilakukan;

- Telah jelas petugas-petugas yang berkewajiban untuk mengatasi

masalah yang dikeluhkan;

- Telah jelas mekanisme kerja para petugas dalam menanggapi

keluhan pelanggan;

- Telah jelas kriteria perbaikan atau penggantian perangkat yang

menjadi tanggung jawab TELKOM dan yang harus atas biaya

pengadu;

- Adanya kewajiban untuk memberikan informasi kepada pengadu,

apabila ada masalah dalam perbaikan.

2. Pada dasarnya pengelolaan keluhan yang telah dilakukan oleh TELKOM

masih dapat ditingkatkan menjadi lebih baik apabila prosedur dan

mekanisme pengelolaan keluhannya dilengkapi dengan hal-hal berikut:

- Di dalam prosedur penyampaian keluhan pelanggan tersebut belum

ditentukan jangka waktu maksimal (selambat-lambatnya) respons

dari petugas terhadap keluhan tersebut harus dilakukan. Dengan

demikian, belum ada jaminan bahwa petugas yang akan

menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh pelanggan tersebut pasti

akan dengan cepat datang untuk memeriksa keluhan yang dimiliki

oleh pelanggan.

- Di dalam prosedur penyampaian keluhan pelanggan tersebut tidak

ditentukan jangka waktu maksimal (selama-lamanya) perbaikan oleh

petugas tersebut dapat dilakukan, dengan mengklasifikasikan

masalah yang dihadapi oleh pelanggan (misalnya: bila masalahnya

Page 87: pelayananumum

81

tidak memerlukan penggantian alat/perangkat, bila kerusakannya

mengharuskan terjadinya penggantian alat/perangkat, dst.).

- Di dalam prosedur penyampaian keluhan pelanggan tersebut tidak

disebutkan dengan tegas tentang hak pelanggan untuk mendapat

laporan sampai di mana penyelesaian masalahnya telah dilakukan,

apabila masalah yang dikeluhkan tersebut tidak bisa diselesaikan

seketika pada saat pengaduan itu diajukan. Misalnya: apabila

seorang pelanggan mengeluhkan tentang jumlah tagihan yang

melebihi pemakaian telepon dari pelanggan. Apabila pada saat

keluhan itu diajukan, ternyata untuk menjawab masalah pelanggan

tersebut masih harus dilakukan proses lebih lanjut, maka tidak ada

jaminan bahwa pelanggan akan diberitahu tentang pejabat siapa

yang sedang menangani masalah tersebut sudah sampai di tahap

apa penyelesaian tersebut dilakukan, dan tahap penyelesaian apa

lagi yang masih harus dilalui.

3. Hal penting yang juga perlu dilakukan oleh TELKOM untuk membuat

masyarakat bisa mengetahui hak dan kewajibannya dalam mengajukan

keluhan publik adalah dengan mensosialisasikan prosedur dan

mekanisme keluhan publik kepada pelanggannya. Hal yang paling efektif

untuk sosialisasi ini adalah dengan mencantumkan mekanisme

mengajukan pengaduan melalui buku Daftar Pelanggan TELKOM yang

dibagikan kepada semua pelanggannya. Dengan demikian, pelanggan

dapat mengetahui secara lebih transparan prosedur dan mekanisme

keluhan pelanggan harus diajukan.

e. Perusahaan Listrik PT PLN

1. Pada dasarnya pengelolaan keluhan yang telah dilakukan oleh PLN relatif

memiliki prosedur dan mekanisme yang cukup jelas, dalam kaitan

dengan:

- Telah jelas bagaimana pengaduan harus dilakukan;

Page 88: pelayananumum

82

- Telah jelas petugas-petugas yang berkewajiban untuk mengatasi

masalah yang dikeluhkan.

2. Namun demikian, pada dasarnya pengelolaan keluhan yang telah

dilakukan oleh PLN masih dapat ditingkatkan menjadi lebih baik apabila

prosedur dan mekanisme pengelolaan keluhannya dilengkapi dengan hal-

hal berikut:

- Di dalam prosedur penyampaian keluhan pelanggan tersebut belum

ditentukan jangka waktu maksimal (selambat-lambatnya) respons dari

petugas terhadap keluhan tersebut harus dilakukan. Dengan

demikian, belum ada jaminan bahwa petugas yang akan

menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh pelanggan tersebut pasti

akan dengan cepat datang untuk memeriksa keluhan yang dimiliki

oleh pelanggan.

- Di dalam prosedur penyampaian keluhan pelanggan tersebut tidak

ditentukan jangka waktu maksimal (selama-lamanya) perbaikan oleh

petugas tersebut dapat dilakukan, dengan mengklasifikasikan

masalah yang dihadapi oleh pelanggan (misalnya: bila masalahnya

tidak memerlukan penggantian alat/perangkat, bila kerusakannya

mengharuskan terjadinya penggantian alat/perangkat, dst.).

- Di dalam prosedur penyampaian keluhan pelanggan tersebut tidak

disebutkan dengan tegas tentang hak pelanggan untuk mendapat

laporan sampai di mana penyelesaian masalahnya telah dilakukan,

apabila masalah yang dikeluhkan tersebut tidak bisa diselesaikan

seketika pada saat pengaduan itu diajukan. Misalnya: apabila seorang

pelanggan mengeluhkan tentang jumlah tagihan yang melebihi

pemakaian listrik dari pelanggan. Apabila pada saat keluhan itu

diajukan, ternyata untuk menjawab masalah pelanggan tersebut

masih harus dilakukan proses lebih lanjut, maka tidak ada jaminan

bahwa pelanggan akan diberitahu tentang pejabat siapa yang sedang

menangani masalah tersebut sudah sampai di tahap apa penyelesaian

tersebut dilakukan, dan tahap penyelesaian apa lagi yang masih harus

dilalui.

Page 89: pelayananumum

83

- Dalam pelaksanaan tugas di lapangan, telah jelas mekanisme kerja

para petugas dalam menanggapi keluhan pelanggan. Namun

demikian, mekanisme kerja tersebut belum dirumuskan ke dalam

ketentuan yang menjadi pedoman kerja dan menunjukkan hak dan

kewajiban dari PLN dan pelanggannya;

- Tidak ada kewajiban bagi petugas PLN untuk memberikan informasi

kepada pengadu, apabila ada masalah dalam perbaikan dari hal yang

diadukan.

3. Hal penting yang juga perlu dilakukan oleh PLN untuk membuat

masyarakat bisa mengetahui hak dan kewajibannya dalam mengajukan

keluhan publik adalah dengan mensosialisasikan prosedur dan

mekanisme keluhan publik kepada pelanggannya. Hal yang paling efektif

untuk sosialisasi ini adalah dengan mencantumkan mekanisme

mengajukan pengaduan melalui formulir pembayaran tagihan listrik.

Dengan demikian, pelanggan dapat mengetahui secara lebih transparan

prosedur dan mekanisme keluhan pelanggan harus diajukan.

f. Rumah Sakit dan Puskesmas

1. Departemen Kesehatan RI merupakan departemen yang sangat responsif

terhadap tuntutan pelayanan prima. Melalui beberapa Keputusan Menteri

Kesehatan sudah dirumuskan ketentuan-ketentuan umum sebagai

pedoman pelayanan bidang kesehatan yang harus diikuti oleh unit-unit

pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas. Pedoman yang

berlaku nasional ini sudah secara rinci mengatur tentang standar

pelayanan minumum, akan tetapi ternyata belum mengatur tentang

kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan keluhan. Setelah

berlakunya UU Otonomi Daerah kewenangan pengaturan bidang

kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas menjadi kewenangan

pemerintah daerah, akan tetapi Menteri Kesehatan masih tetap

mengeluarkan keputusan untuk dipergunakan sebagai pedoman

pengaturan lebih lanjut di setiap daerah.

Page 90: pelayananumum

84

2. Pemerintah daerah yang secara responsif menyesuaikan pedoman

pelayanan kesehatan berdasarkan UU Otonomi Daerah dan Keputusan

MENPAN Nomor 63 Tahun 2003 adalah Pemerintah Kota Semarang.

Dengan Keputusan Walikota Semarang Nomor 065/314 Tahun 2003

ditetapkan Standar Pelayanan Minimal untuk pelayanan kesehatan yang

di dalamnya secara rinci telah mengatur pula pelayanan keluhan.

3. Pelayanan keluhan dalam Keputusan Walikota Semarang tersebut

mencakup pelayanan keluhan untuk setiap jenis layanan yang berbeda

satu terhadap yang lain karena karakteristik jenis layanan yang berbeda

maupun pelayanan keluhan yang dirumuskan secara umum. Peraturan ini

mewajibkan setiap unit layanan kesehatan untuk menyelenggarakan

pelayanan keluhan meskipun tidak secara rinci mengatur prosedur

penanganan keluhan. Akan tetapi penanganan keluhan atas pelayanan

yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan maupun unit-unit pelayanan

kesehatan yang disampaikan kepada Dinas Kesehatan telah diatur secara

lengkap.

4. Keputusan Walikota Semarang ini secara keseluruhan telah mengacu

kepada substansu Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003 dan dapat

menjadi acuan pengaturan di daerah-daerah lain.

g. PT POS

1. Pelayanan keluhan yang dilakukukan oleh PT POS didasarkan pada

kebiasaan yang muncul dari praktik dan keputusan-keputusan Direksi

yang berlaku secara internal.

2. Sifat internal ini tidak dapat menjamin transparansi penanganan keluhan

yang diajukan oleh masyarakat, sehingga masyarakat tidak bisa

mengetahui hak-hak dan kewajibannya dalam proses penanganan

keluhan.

Dari analisis normatif peraturan pelayanan publik khususnya

pelayanan keluhan publik di instansi-instansi penyelenggara pelayanan publik

yang menjadi obyek penelitian di atas di bandingkan dengan ketentuan

Page 91: pelayananumum

85

dalam ketiga Keputusan MENPAN yang merupakan standard minimum rule,

dapat dilakukan klasifikasi sebagai berikut:

1. Beberapa instansi penyelenggara pelayanan publik telah secara responsif

menyesuaikan sistem pelayanan publiknya (termasuk pelayanan keluhan)

dengan Keputusan MENPAN. Instansi pelayanan publik yang segera

menyesuaikan sistem pelayananya ditingkat pusat misalnya Departemen

Kesehatan RI, dan di tingkat daerah misalnya Pemerintah Kota

Semarang.

2. Beberapa instansi penyelenggara pelayanan publik belum melakukan

penyesuaian sistem pelayanannya dengan mengacu pada Keputusan

MENPAN, misalnya Pemerintah Kota Bandung.

3. Beberapa instansi penyelenggara pelayanan publik menyatakan tidak

dapat menyesuaikan sistem pelayanannya dengan Keputusan MENPAN

karena kekhasan jenis pelayanan yang diberikan menjadikan Keputusan

MENPAN tidak cocok diterapkan di instansinya, misalnya Badan

Pertanahan Nasional (BPN) dan Kepolisian.

4. Instansi-instansi yang saat ini telah berbentuk hukum sebagai perseroan

terbatas seperti PT TELKOM, PT POS, dan PT PLN cenderung menyusun

sistem pelayanannya dengan mengacu pada pertimbangan-pertimbangan

pengembangan bisnisnya. PT TELKOM dan PT POS memilih

menggunakan standar pelayanan berdasarkan ISO sedangkan PT PLN

menyusun standar pelayanan sendiri sesuai keadaan riil dan kebutuhan

teknis.

Keanegaragaman pola pengaturan sistem pelayanan puiblik dan

pelayanan keluhan publik pada beberapa instansi yang diteliti tersebut, selain

karena kekhasan jenis pelayanan yang diselenggarakan setiap instansi secara

yuridis disebabkan oleh hirarkhi bentuk peraturan yang menjadi standard

minimum rule yakni keputusan menteri. Kementerian PAN adalah adalah

kementerian nondepartemen sehingga secara hirarkhis berkedudukan setara

dengan Menteri Departemen Teknis. Karena itu, daya memaksa dari

Keputusan MENPAN tersebut dapat dianggap kurang kuat, karena Menteri

Page 92: pelayananumum

86

Departemen memiliki kewenangan untuk mengatur instansi-instansi di

bawahnya dengan cara yang menyimpang. Demikian juga terhadap instansi-

instansi pelayanan publik di daerah secara yuridis daya mengikat Keputusan

MENPAN dirasakan kurang kuat karena berdasarkan Undang-Undang Nomor

22 Tahun 1999 dan Undang-undasng No. 32/2004 tentang Pemerintahan

Daerah, pemerintah daerah memiliki kewenangan secara penuh untuk

mengatur sendiri urusan-urusan yang menjadi wewenang otonomnya.

Saat ini oleh Kementerian PAN sedang dipersiapkan penyusunan

Undang-undang Pelayanan Publik yang sebenarnya merupakan peningkatan

hirarkhi substansi yang telah diatur dalam Keputusan MENPAN Nomor 63

Tahun 2003 ke tingkat undang-undang.

Page 93: pelayananumum

87

BAB III

PELAKSANAAN PELAYANAN PUBLIK DAN

PELAYANAN KELUHAN PUBLIK

Penelitian ini membutuhkan informasi yang berasal dari data sekunder

dan data primer. Data sekunder yang dibutuhkan adalah ketentuan perundang-

undangan mengenai pelayanan publik dan pelayanan keluhan publik dan hasil-hasil

penelitian yang pernah dilakukan oleh pihak lain. Adapun data primer yang dibutuhkan

berupa keterangan dari instansi pemberi pelayanan publik mengenai kualitas pelayanan

yang diberikan dan pendapat masyarakat mengenai kualitas pelayanan publik tersebut.

Untuk mendapatkan data primer tersebut telah dilakukan Focus Group Discussion (FGD)

dan dihadiri oleh para stakeholders yang berkaitan dengan lingkup penelitian, yaitu

wakil dari instansi pelayanan publik yang termasuk ke dalam kelompok pelayanan

administratif, kelompok pelayanan barang, dan kelompok pelayanan jasa. FGD juga

dihadiri para wakil masyarakat yang pernah meneliti kualitas pelayanan publik dan

memiliki banyak pengalaman dalam menerima pelayanan publik. Mengingat

keterbatasan biaya dan waktu, maka FGD dilakukan hanya di beberapa kota sebagai

sampel, yaitu Kota Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Bandung.

Berikut ini terdapat pemaparan hasil kajian empirik dari informasi-

informasi yang berhasil dikumpulkan oleh tim peneliti mengenai pelaksanaan pelayanan

publik dan pelayanan keluhan publik yang pada pokoknya meliputi tata cara pelayanan

yang diberikan hingga prosdur penanganan keluhan. Selain itu dipaparkan juga persepsi

masyarakat akan pelayanan publik yang diberikan oleh instansi terkait.

1. Pelaksanaan Pelayanan Publik dan Pelayanan Keluhan Publik

Pemaparan mengenai pelaksanaan pelayanan publik dan pelayanan

keluhan publik disampaikan berdasarkan kelompok pelayanan publik, hal ini

dilakukan karena secara umum terdapat keseragaman karakteristik pelayanan

publik.

Page 94: pelayananumum

88

Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

No.63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan

Publik, kelompok pelayanan administratif adalah pelayanan yang menghasilkan

berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status

kewarganegaraan, sertifikat kompetensi, kepemilikan atau penguasaan terhadap

suatu barang dan sebagainya. Dokumen-dokumen ini antara lain Kartu Tanda

Penduduk (KTP), Akte Pernikahan, Akte Kelahiran, Akte Kematian, Buku Pemilik

Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Ijin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor

Kendaraan Bermotor (STNK), Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), Paspor, Sertifikat

Kepemilikan/Penguasaan Tanah dan sebagainya.

Berdasarkan Keputusan Menteri PAN tersebut, maka dalam penelitian ini

diambil beberapa sampel instansi untuk mewakili kelompok pelayanan administratif,

yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN), Catatan Sipil/Dinas Kependudukan, dan

Kepolisian.

A. Badan Pertanahan Nasional

BPN merupakan instansi pelayanan publik yang memiliki 36 jenis

pelayanan administratif diantaranya adalah pemberian ijin lokasi, penyelesaian

sengketa garapan, ganti rugi kelebihan tanah maksimal dan absentee, ganti

rugi dan santunan, penetapan lokasi dan konsolidasi tanah, penataan dan

peruntukan tanah, penyelesaianan tanah kosong, dsb. Output dari keseluruhan

pelayanan dapat berupa surat keterangan, informasi, atau sertifikat tanah.

Pelayanan dengan konsep dekonsentrasi mendasarkan pada satu bentuk

peraturan sehingga memudahkan dalam hal sosialisasi. Selain bersifat

pelayanan, BPN juga dapat membantu melakukan penyelesaian sengketa-

sengketa agraria berdasarkan asas-asas pemerintahan yang bersih dan untuk

menyelesaikan sengketa itu dibentuk sekretriat sengketa pertanahan. Apabila

tidak dapat diselesaikan maka sengketa tersebut dilajutkan ke pengadilan.

BPN mengalami kesulitan dalam hal teknis operasional pelayanan

seperti peraturan hak atas tanah yang besinggungan antara hukum jaman dulu

(zaman belanda dan tahun 60-an) dengan hukum saat ini dan minimnya

Page 95: pelayananumum

89

penggunaan teknologi informasi digital yang dapat mempermudah pekerjaan.

BPN yang sudah menggunakan sistem komputerisasi untuk mempermudah

pelayanan saat ini baru terdapat di Jakarta Pusat dan Jakarta Barat.

Prosedur untuk pelayanan publik secara baku ditentukan oleh peraturan

menteri yang selanjutnya disesuaikan dengan 36 jenis pelayanan yang ada.

Selain itu terdapat juga Instruksi Menteri Negara/Kepala BPN No.3/98 tanggal

20 Juli 1998 yang berisi mengenai pemberlakuan sistem loket untuk

meningkatkan kualitas pelayanan di bidang pertanahan. Penggunaan sistem

loket ini diikuti dengan manajemen yang jelas mengenai jenis pelayanan yang

diberikan, kemudian disertai dengan penyediaan petugas-petugas khusus di

back office. Prosedur dan persyaratan yang ada disosialisasikan kepada

masyarakat dengan cara pembuatan flow chart alur kerja pelayanan-pelayanan

utama, sedangkan informasi pelayanan lainnya biasanya didapat masyarakat

melalui PPAT yang ditunjuk oleh masyarakat.

Kepmenpan No. 63/2003 masih kurang tersosialisasi dengan baik,

khususnya di daerah-daerah, mengingat BPN memiliki prosedur operasional

pelayanan yang didesain sendiri dan dirasa lebih lengkap khususnya bila

dikaitkan dengan keberagaman pelayanan yang dilakukan oleh BPN.

Desain prosedur operasional pelayanan disusun di daerah-daerah sesuai

dengan karakteristik pelayanan masing-masing daerah lalu dipadukan untuk

dijadikan suatu prosedur operasional yang baku bagi suatu wilayah. Desain

prosedur operasional di daerah-daerah tersebut berasal dari keputusan kepala

kantor.

Kurang tersosialisasinya Kepmenpan tersebut juga dikarenakan

karakteristik pelayanan yang diinginkan oleh Kepmenpan adalah pelayanan

satu atap sehingga tidak dapat diterapkan di BPN. Berdasarkan karakteristik

yang berbeda tersebut, BPN tidak merasa perlu akan adanya suatu peraturan

perundangan mengenai prosedur atau standar minimum pelayanan publik dan

prosedur penanganan keluhan karena BPN sudah memiliki dan memberlakukan

standar pelayanan yang dibuat oleh instansi tersebut. Standar pelayanan

tersebut dirasa cukup fleksibel, lengkap, dan dianggap dapat memenuhi

kebutuhan konsumen.

Page 96: pelayananumum

90

Tidak diperoleh informasi tentang adanya Peraturan yang berlaku

dilingkungan Badan Pertanahan Nasional yang mengatur tentang prosedur

penyampaian keluhan publik. Sekalipun demikian tidak berarti tidak ada

prosedur atau tata cara yang biasa dilakukan dalam operasional sehari-hari

kegiatan di BPN, khususnya mengenai penyampaian keluhan yang dilakukan

oleh masyarakat (konsumen).

Media untuk penyampaian keluhan masyarakat biasanya melalui kotak-

kotak saran, menghubungi bagian yang bersangkutan dengan keluhan,

melalui situs instansi atau langsung menghubungi Kepala BPN. BPN tidak

menyediakan bagian khsusus yang menangani keluhan masyarakat kecuali BPN

Propinsi DKI Jakarta yang memiliki Sekretariat Penanganan Sengketa. Keluhan

yang masuk akan ditangani oleh Sekretariat Penanganan Sengketa dan

selanjutnya akan didisposisikan kepada masing-masing pihak sesuai dengan

kewenangannya. Keluhan yang datang biasanya berupa jangka waktu

pelayanan, padahal untuk pelayanan pertanahan memang membutuhkan

waktu yang cukup lama. Untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan

hukum, BPN memiliki Biro Hukum yang bertugas untuk mendampingi BPN

ketika BPN terlibat perkara yang harus dilanjutkan ke pengadilan. Biro Hukum

ini juga terlibat secara aktif dalam proses penanganan keluhan, khususnya

dalam hal keluhan masyarakat tersebut telah berubah menjadi sebuah

sengketa.

Tingkat kepuasan konsumen/masyarakat terhadap pelayanan yang

diberikan BPN tidak pernah diteliti karena BPN tidak pernah mengadakan survei

untuk itu. Terdapat penelitian yang dilakukan oleh Komisi Ombudsman

Nasional dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengenai mal administrasi

pertanahan. Penelitian tersebut mengkaji 85 kasus, dan kesimpulan dari

penelitian tersebut adalah terbukti 46% dari kasus-kasus tersebut melanggar

ketentuan. Kesimpulan lainnya adalah tarif yang diberlakukan tidak sesuai

dengan peraturan. Persoalan lain yaitu menyangkut standar operasional

prosedur (SOP) bidang pelayanan, dimana peraturan pemerintah pusat

mengenai SOP, ternyata kurang operasional dilingkungan BPN, sehingga

memungkinkan adanya ketidaktahuan instansi di wilayah akan adanya

Page 97: pelayananumum

91

peraturan pemerintah itu. Ketidak jelasan dalam penerapan SOP, juga

menyebabkan adanya interpretasi yang berbeda-beda diantara para aparat

pelaksana.

B. Catatan Sipil/Dinas Kependudukan

Secara umum, jenis pelayanan yang diberikan oleh Dinas

Kependudukan adalah jenis pelayanan administrasi. Dinas Kependudukan

memberikan pelayanan publik antara lain pencatatan yang mengasilkan akta

kelahiran, akta perkawinan dan perceraian, akta kematian, akta pengakuan

anak dan pengesahan. Dinas Kependudukan juga mengeluarkan Surat Ijin

Menetap (SIM), Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi orang asing, Surat

Pendaftaran Bagi Orang Asing (SPBOA).

Dinas kependudukan dan Kantor catatan Sipil, semula merupakan dua

institusi yang terpisah. Untuk wilayah DKI Jakarta, kedua institusi tersebut

bergabung menjadi Dinas Kependudukan dan catatan Sipil sejak tahun 2001.

Jenis pelayanan yang diberikan bergantung pada kebutuhan

masyarakat di tiap daerah, tetapi secara garis besar jenis pelayanan yang

diberikan oleh Dinas Kependudukan/Catatan Sipil adalah:

a. Pembuatan Kartu Tanda Penduduk

b. Pembuatan Kartu Keluarga

c. Pembuatan Kartu Identitas Pendatang

d. Pencatatan Kelahiran

e. Pencatatan Kematian

f. Pencatatan Perkawinan

g. Pencatatan Perceraian

h. Pencatatan Pengakuan Anak

i. Pengesahan Anak

j. Pencatatan Pengangkatan Anak

k. Mutasi Data

l. Perbaikan/Perubahan Data

m. Pembatalan Akta

n. Kutipan/Duplikat Akta

Page 98: pelayananumum

92

o. Salinan Lengkap Akta

p. Pelaporan Akta Luar Negeri

q. Perjanjian Perkawinan

r. Surat Keterangan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil

Standar pelayanan yang digunakan oleh Dinas Kependudukan/Catatan

Sipil adalah MenPan No. 63/2003 dan teknis pelayanan diatur dalam SK

Walikota/Bupati atau peraturan perundangan lainnya. Hal serupa juga

dilakukan oleh Pemkot Semarang dengan mengelaurkan Surat Keputusan

Walikota Semarang yang mengatur tentang standar pelayanan minimal. Surat

Keputusan semacam ini sesungguhnya merupakan turunan dari Surat

Keputusan MenPan No. 63/2003. Dalam SK tersebut dimuat tentang

persyaratan, tarif, serta jangka waktu pelayanan. Ketentuan di atas pada

dasarnya diikuti dan dilaksanakan oleh Dinas Kependudukan sehingga tidak

menemui banyak kesulitan dalam memberikan pelayanan kepada publik,

bahkan Dinas Kependudukan Kota Bandung menerima Piala Pelayanan Prima

tingkat Madya. Beberapa kesulitan yang dihadapi adalah dalam mengeluarkan

akta bagi orang asing, terdapat beberapa peraturan yang bertabrakan dengan

instansi imigrasi.

Persyaratan dan teknis pelayanan yang diberikan, dipandang sudah

sangat transparan, sehingga setiap aparat mengetahui dan menguasai seluruh

pelayanan yang diberikan. Untuk itu, pada beberapa waktu setiap aparat

secara bergiliran akan melakukan tugas pelayanan yang berbeda-beda,

sehingga setiap aparat akan menguasai peraturan, proptap, dan teknis

pelayanan yang diberikan oleh Dinas Kependudukan.

Di Wilayah DKI, seluruh pelayanan dilaksanakan dengan sistem satu

pintu melalui loket pelayanan. Pelayanan tersebut dapat melalui:

a. Pelayanan di tingkat Dinas, dilaksanakan oleh Subdis Bina Pencatatan dan

Subdis Bina Pendaftaran;

b. Pada tingkat Sudin (Suku Dinas), dilaksanakan oleh Seksi Pendaftaran dan

Pencatatan Kelahiran dan Kematian, Seksi Pencatatan Perkawinan,

Page 99: pelayananumum

93

Perceraian, Pengangkatan dan Pengesahan Anak, serta Seksi-seksi

Pengelolaan Identitas dan Mutasi Penduduk;

c. Pada tingkat Kecamatan, dilaksanakan oleh Seksi Kependudukan dan

Catatan Sipil Kecamatan;

d. Pada tingkat Kelurahan, dilaksanakan oleh Subsie Kependudukan dan

Catatan Sipil Kelurahan

Dinas Kependudukan melakukan sosialisasi prosedur pelayanan

(seluruh kegiatan pelayanan), produk pelayanan, serta fungsi/tugas dinas

kependudukan. Materi sosialisasi di Kota Semarang memuat juga tarif dan

prosedur penyampaian keluhan.

Sosialisasi ini dilakukan oleh Sub Din Pengendalian bagian Yusitisi

melalui penyuluhan langsung (tatap muka) dan tidak langsung (melalui media

elektronik dan cetak) serta penyebaran brosur/leaflet, booklet dan

pemasangan papan prosedur/persyaratan di ruang pelayanan. Kerjasama juga

dilakukan untuk mendukung kegiatan pelayanan dimana Dinas Kependudukan

bekerja sama dengan media cetak, wartawan, RT/RW, bidan, dan rumah sakit.

Untuk meningkatkan mutu pelayanan juga dilakukan sosialisasi KepMenPan No.

63/2003 kepada para pihak pelaksana sampai tingkat kelurahan sehingga

diharapkan seluruh pihak pelaksana mengerti prosedur pelayanan yang harus

diberikan.

Pelayanan terhadap keluhan masyarakat dilakukan dengan pengadaan

kotak surat, tetapi kotak surat tersebut kurang digunakan sebagai media

penyampaian keluhan. Keluhan lebih banyak disampaikan melalui telepon atau

kunjungan langsung ke instansi. Keluhan-keluhan tersebut selalu dikelola dan

disosialisasikan sampai ke tingkat kelurahan dan dijadikan bahan evaluasi

pelayanan setiap tiga bulan. Keluhan yang muncul biasanya berkaitan dengan

keinginan konsumen untuk mendapatkan akta dengan cepat dan tidak

mengikuti persyaratan serta cenderung untuk memuaskan dan memenuhi

kebutuhan konsumen saja. Keluhan yang datang dapat langsung ditujukan ke

SubDin masing-masing sesuai dengan keluhan atau melalui Bagian Tata Usaha

yang selanjutnya juga akan diarahkan ke SubDin yang terkait. Di Kota

Page 100: pelayananumum

94

Semarang, pengelolaan keluhan dilakukan oleh subbid pengendalian.

Pengelolaan keluhan ini didasarkan pada Surat Keputusan Kepala Dinas. Selain

langsung melalui dinas terkait, dibeberapa kota, penyampaian keluhan juga

dapat dilakukan melalui suatu dinas khusus, yaitu dinas infokom, yang

bertugas untuk melayani keluhan yang berkaitan dengan keseluruhan

pelayanan yang dilakukan oleh Pemkot.

Di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta,

penanganan keluhan masyarakat diatur dalam Keputusan Kepala Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta No. 3 Tahun 2004

tentang Pembentukan Tim Advokasi Penanganan atau Penyelesaian Kasus atau

Permasalahan Pelayanan Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil pada

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Propinsi DKI Jakarta. Tugas Tim

meneliti dan mengusut setiap permasalahan yang timbul di Kantor

Kependudukan Dan Catatan Sipil, membuat pertimbangan dan saran hukum,

politis, sosiologis, dan psikologis, guna mendapat tindak lanjut dari Kepala

Dinas terhadap masalah yang timbul terkait dengan pelayanan administrasi.

Tim ini juga bertindak sebagai Biro Hukum. Terdapat juga Keputusan Kepala

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta No. 4 Tahun 2004

tentang Pedoman Pelaksanaan Penanganan atau Penyelesaian Kasus atau

Permasalahan Pelayanan administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil pada

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Propinsi DKI Jakarta. Adapun

prosedur kerja tim untuk mengatasi permasalahan yang terjadi adalah:

- Para Kasubdis atau Kepala Suku Dinas atau masyarakat atau instansi lain

yang menyampaikan permasalahan yang ditemukan diajukan kepada

Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

- Kepala Dinas menerima dan memberikan disposisi kepada tim yang

kemudian diproses dan dibahas lebih lanjut.

- Tim menerima dan memproses. Untuk permasalahan yang ditemukan oleh

subdinas dan suku dinas, Tim akan melakukan penelitian, pengkajian,

observasi, dan investigasi lapangan. Lalu, hasil tersebut dilaporkan kepada

kepala dinas.

Page 101: pelayananumum

95

- Untuk permasalahan yang ditemukan instansi lain atau gugatan

masyarakat, Tim melakukan pengecekan keabsahan dokumen yang

selanjutnya atas perintah Kepala Dinas, Tim akan memberikan penjelasan

baik lisan ataupun tertulis kepada instansi yang memerlukan. Atas perintah

Kepala Dinas, melakukan konsultasi, memberikan kesaksian, ataupun

informasi dan data kepada lembaga penegak hukum (kepolisian, kejaksaan,

ataupun pengadilan).

- Mewakili Kepala Dinas di sidang-sidang pengadilan sebagai saksi ahli.

- Melaporkan hasil-hasil tersebut kepada Kepala Dinas.

- Kepala Dinas menerima pertimbangan, usul, dan saran dari tim sebagai

bahan pengambilan keputusan.

- Kepala Dinas mengambil keputusan, dan/atau tindak lanjut

penyelesaiannya, memberikan pertimbangan sanksi pembinaan,

melaksanakan penetapan atau keputusan pengadilan, atau penyelesaian

secara administrasi.

- Surat tugas secara khusus kepada tim akan diberikan Kepala Dinas terkait

dengan kegiatan memberikan informasi kepada lembaga penegak hukum,

dan menjadi saksi ahli di pengadilan.

Seluruh tahapan dan peraturan di atas telah disosialisasikan sampai

tingkat suku dinas dan kelurahan. Terdapat peraturan lain yang terkait

mendasari prosedur baku ini, yaitu Perda Khusus Ibukota Jakarta No. 1/1996

tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dalam Kerangka Sistem

Informasi Manajemen Kependudukan dalam Wilayah Khusus Ibukota Jakarta;

Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No. 15 Tahun 1999 tentang Prosedur

Pelayanan Masyarakat Pada Kantor Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta;

Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No. 135 Tahun 2001 tentang Organisasi dan

Tata Kerja Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta.

Dinas Kependudukan/Catatan Sipil tidak memiliki suatu bagian yang

bertindak sebagai biro hukum untuk menangani masalah hukum yang dihadapi

instansi. Sehingga untuk menyelesaikan permasalahan hukum, instansi

tepatnya bagian yustisi akan bekerjasama dengan pihak lain. Survei secara

langsung untuk mengetahui kepuasan konsumen tidak pernah dilakukan

Page 102: pelayananumum

96

kecuali menanggapi pendapat masyarakat melalui penyuluhan-penyuluhan

yang sering dilakukan.

Untuk mengetahui kualitas pelayanan yang diberikan Kantor Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta kepada masyarakat,

pernah dilakukan survei pada tahun 2002 yang isinya mengenai tingkat

kepuasan masyarakat terhadap pelayanan administrasi kependudukan dan

catatan sipil di DKI Jakarta dan rekomendasi untuk perbaikan pelayanan.

Adapun faktor-faktor yang dipakai sebagai dasar evaluasi adalah faktor

tuntutan masyarakat akan peningkatan kualitas pelayanan, faktor antisipasi

terhadap perkembangan dinamika masyarakat, mengikuti perkembangan

teknologi, dan perubahan kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah. Monitoring

tentang kualitas pelayanan juga dilakukan dengan cara lain, seperti yang

dilakukan oleh Pemkot Semarang, dimana mereka melakukan evaluasi setiap 3

(tiga) bulan melalui monitoring di kecamatan-kecamatan.

Untuk memberikan payung dan pedoman bagi pelayanan publik yang

dilakukan oleh instansi pemerintah, KepMenPan No. 63/2003 sudah cukup

memberi batasan dan aturan tetapi dirasakan masih perlunya peraturan

dengan hirarki yang lebih tinggi sehingga bisa lebih mengikat para pemberi

pelayanan publik. Peraturan tersebut dapat berupa Surat Keputusan Bersama

(SKB) yang dikeluarkan oleh seluruh instansi pemberi layanan publik yang

selanjutnya disepakati sebagai aturan payung dalam memberikan pelayanan

kepada publik.

C. Kepolisian

Berdasarkan UU No. 2 tahun 2002 tentqng Kepolisian Negara Republik

Indonesia, tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia meliputi:

- memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

- menegakan hukum;

- memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat.

Memperhatikan hal diatas, maka lembaga Kepolisian memliki perbedaan

dengan lembaga lainnya, karena tugas pelayanan kepada masyarakat hanyalah

Page 103: pelayananumum

97

ITWASDA (Inspektorat Pengawasan Daerah)

Untuk menyatukan kepolisian

asyarakat mengenai pelayanan dan tingkah laku

petugas kepolisian

g selanjutnya

disalurkan ke PROPAM dan ITWASDA.

merupakan salah satu dari tugasnya, selain bertugas sebagai penegak hukum,

yang tampak lebih dominan.

Kepolisian memberikan pelayanan berupa administrasi dan operasional/

lapangan dimana setiap pelayanan dilaksanakan oleh suatu bagian khusus atau

petugas khusus yang memahami masing-masing fungsi dan prosedur

pelayanan. Prosedur dan standar pelayanan kepolisian diatur melalui undang-

undang, peraturan pemerintah, dan juklak dari Kapolri. Kepolisian tampaknya

tidak menggunakan KepMenPan No. 63/2003 sebagai standar pelayanannya.

Hal ini didasarkan pada temuan bahwa pihak kepolisian tidak mengetahui

keberadaan KepMen tersebut. Hal ini tidak berarti bahwa lembaga Kepolisian

republik Indonesia tidak memiliki standar pelayanan, hanya sasja didasarkan

pada ketentuan internal kepolisian. Prosedur pelayanan ini disosialisasikan

melalui media langsung dan media tidak langsung (cetak dan elektronika).

Kepolisian memiliki standar baku dalam menangani keluhan

masyarakat, yaitu surat arahan/Petunjuk KAPOLRI. Bagian yang bertugas

untuk melayani keluhan publik adalah :

PROPAM (Profesi dan Pengamanan)

Berwenang atas izin sekolah, jabatan, kenaikan pangkat seseorang.

BINKUM (Pembinaan Hukum)

Menampung keluhan yang berkaitan dengan konflik hukum internal,

eksternal yang ada kaitannya dengan kelembagaan.

Provost

Melayani keluhan m

HUMAS (Hubungan Masyarakat)

Bertugas untuk menampung informasi dari masyarakat yan

Page 104: pelayananumum

98

dul Halo Polisi. Acara itu membahas mengenai pelayanan

yang d

Seringkali standar dan persyaratan teknis yang telah

ditetap

karena

sudah ada Undang-undang/ Peraturan Pemerintah/ Peraturan Daerah dan

kebijakan pimpinan yang telah mengatur prosedur pelayanan tersebut.

Kepolisian memiliki Biro Hukum yang berfungsi untuk menangani

masalah aplikasi dari proses hukum/ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Keluhan masyarakat dapat disampaikan ke masing-masing pos sesuai dengan

jenis keluhan atau dikirim ke kotak saran yang telah disediakan lalu keluhan

tersebut akan disalurkan ke bagian tertentu seusai dengan jenis keluhan.

Sosialisasi penerimaan keluhan masyarakat dilakukan melalui media radio dan

televis, contohnya adalah dibuatnya suatu acara talkshow di salah satu televisi

swasta yang berju

iberikan kepolisian dan terdapat pembahasan keluhan yang disampaikan

oleh masyarakat.

Dalam lokakarya yang diselenggarakan tanggal 30 Oktober 2003

Chaeruddin Ismail42 mengemukakan bahwa dalam pelaksanaan pelayanan

publik kepada masyarakat kepolisian sering terbentur pada dilemma antara

pendekatan sebagai stronghand of law and society dan pendekatan softhand of

law and society yang dapat berdampak pada penyelenggaraan pelayanan

publiknya. Proses pemberian SIM yang dimaksudkan untuk menjamin

keselamatan pengendara dan pemakai jalan lainnya seringkali harus tidak

mempertimbangkan maksud utama pemberian SIM tersebut karena besarnya

jumlah masyarakat (terutama di kota besar) yang memerlukan pelayanan

pemberian SIM.

kan sangat tinggi untuk memperoleh Sim harus dilonggarkan dalam

pelaksanaannya.

Sampai saat ini sarana dan prasarana untuk melakukan pelayanan dan

pelayanan keluhan publik sudah cukup memadai. Peraturan perundangan yang

mengatur prosedur pelayanan keluhan publik juga tidak dibutuhkan

42 Chaerudiin Ismail, op. cit, halaman 8.

Page 105: pelayananumum

99

D. PT TEL

, pelayanan PT Telkom di Jawa

Barat dan Banten sangat tidak baik, yang merupakan akibat tidak langsung

dari kri

l dari MenPan, MeNeg BUMN, dan Menteri Perhubungan. Oleh

KOM

Pada tahun 1995 PT Telkom telah go public sehingga menjadi

perusahaan terbuka. PT Telkom menggunakan paradigma baru dalam

bisnisnya dengan menggunakan sistem Kerja Sama Operasi (KSO). Terdapat

dua wilayah yang tidak menggunakan sistem KSO, yaitu wilayah DKI Jakarta

dan Jawa Timur. Pada suatu masa tertentu

sis moneter pada tahun 1997-1998.

Kondisi ini sangat mempengaruhi pelayanan yang diberikan PT Telkom

sehingga para konsumen yang menerima efeknya. Kualitas menurun,

pemasangan jaringan telepon baru tidak memungkinkan kecuali apabila ada

saluran yang tidak terpakai yang dijual kembali. Muncul perbedaan-perbedaan

pelayanan yang diberikan oleh PT Telkom kepada konsumen korporasi dan

konsumen residensial rumah. Konsumen korporasi sangat mudah untuk

mendapatkan jaringan telepon baru dibandingkan dengan konsumen

residensial rumah. Telkom telah memiliki acuan standar pelayanan dengan

apa yang disebut Telkom telah memiliki prosedur dalam meberikan pelayanan

dengan standar secara nasional berupa ISO dan diperkuat oleh SK Direksi,

sehingga dari KAnwil sampai cabang memiliki standar prosedur pelayanan yang

sama. Selain itu juga terdapat service level guarantee atau SLG. SLG ini

merupakan penjabaran dari UU 8/99 tentang Perlindungan Konsumen pasal 7

huruf (d), bahwa kewajiban pelaku usaha untuk menjamin mutu barang atau

jasa yang berlaku dan juga perintah UU yang berikutnya, yaitu no 8. Terdapat

juga perintah UU no 36 tentang Telekomunikasi, yaitu berdasarkan pasal 15

ayat (2) dimana penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan fasilitas

telekomunikasi dan menjamin kualitas pelayanan jasa telekomunikasi. Akan

tetapi pelaksanaan standar pelayanan tersebut sulit dilakukan, hal ini terjadi

karena PT Telkom terletak pada posisi yang sulit. Di satu sisi PT Telkom

merupakan perusahaan negara/BUMN sedangkan di sisi lain Telkom

merupakan PT sehingga terdapat banyak peraturan yang mengatur PT Telkom

yang berasa

Page 106: pelayananumum

100

sebab

ram riset tingkat

kepuas

yang dikeluhkan oleh konsumen. Keluhan yang timbul dari

masyarakat merupakan salah satu riset untuk pengembangan pelayanan

.

E. PLN

andar Tingkat Mutu Pelayanan (TMP). TMP ini juga dipengaruhi

oleh S

kantor-kantor PLN, tempat pembayaran, dan KUD.

Prosedu

itu, PT Telkom menetapkan standar pelayanan yang berorientasi kepada

konsumen.

Untuk mengukur tingkat kepuasan konsumen, PT Telkom bersama

dengan lembaga penelitian layanan mendisain dan melakukan program riset

dengan metoda satisfaction index dan customer loyalty index. Hasil dari

program riset tersebut dipublikasikan kepada masyarakat melalui media massa.

Selain melalui program riset tingkat kepuasan konsumen, munculnya pesaing

bisnis dari pihak swasta membuat Telkom belajar secara cepat untuk

mengatasi kekurangan-kekurangan pelayanan yang diberikan oleh Telkom.

Telkom sering melakukan crosscheck mengenai hasil prog

an konsumen dengan pihak swasta dan ternyata pelayanan pihak

swasta terhadap konsumen tidak lebih baik dari PT Telkom.

PT Telkom dalam memberikan pelayanan keluhan melakukan dua

metode, yaitu konsumen datang langsung ke service point atau dapat

menghubungi 117. Penanganan keluhan ini telah ada standarnya, yaitu paling

lama 3 hari PT Telkom sudah datang ke lapangan untuk menyelesaikan

persoalan

Telkom

Sesuai dengan Keppres 89 tentang Tarif Dasar Listrik bahwa PLN wajib

membuat standar pelayanan. Berdasarkan keppres tersebut maka PLN

membuat st

K Direksi yang juga merupakan acuan dalam membuat standar

pelayanan.

Sosialisasi pelayanan yang dapat diberikan oleh PLN dilakukan melalui

penyebaran leaflet di

r sosialisasi ini merupakan prosedur nasional yang dijabarkan di setiap

daerah pelayanan PLN.

Page 107: pelayananumum

101

nan.

Kepuasan pelanggan akan layanan PLN didapat melalui survei dan

penyebar

lik. Keluhan publik tersebut dikelola lalu dijadikan bahan evaluasi

ngan menyiapkan dua

r

t dihubungi 24 jam yang berfungsi

untuk menangani gangguan aliran listrik pelanggan.

Asmen Pelayanan Pelanggan yang terdapat di setiap kantor terkecil dengan

wak

F.

erai, akta, tabungan, retail, dll. Selain itu, PT POS

juga m

Standar pelayanan yang dilaksanakan di PLN tidak menggunakan Kep

Men No. 63/2003. PLN menetapkan suatu standar tersendiri yang berlaku

secara internal melalui apa yang disebut dengan Tingkat Mutu Pelaya

an angket pada saat ada pameran pembangunan, selain itu juga

sering diadakan temu pelanggan besar 1 semester untuk berdialog.

PLN bekerjasama dengan YLKI dan LP2k untuk memberikan pelayanan

keluhan pub

untuk perbaikan ke depan.

Pelayanan keluhan publik ditangani oleh PLN de

ca a, yaitu:

Call center/Dinas Gangguan yang dapa

tu operasional adalah waktu kerja.

PT POS

PT POS memiliki bermacam pelayanan yang ditujukan langsung kepada

masyarakat, yaitu pelayanan komunikasi atau surat, pelayanan barang/

logistik, pelayanan keuangan, dan pelayananan keagenan. Pelayanan

pengiriman terdiri dari pelayanan standar dan pelayanan prioritas. Pelayanan

standar adalah pelayanan untuk surat biasa dan pelayanan prioritas adalah

pelayanan untuk kilat khusus dan express. Pelayanan komunikasi atau surat

terdiri dari surat biasa, surat kilat, surat kilat khusus, express, surat tercatat,

dan surat ems untu ke ke luar negeri. Pelayanan barang terdiri dari paket

biasa, paket reguler, paket kilat, paket kilat khusus, dan paket optima.

Pelayanan keuangan melayani wesel, wesel union, dan wesel pos instan.

Pelayanan keagenan berkaitan dengan pihak ke-3 yang bekerja sama dengan

PT POS untuk penjualan mat

emberikan pelayanan untuk pembayaran telpon dan pembayaran kartu

kredit. Apabila melihat jenis pelayanan di atas maka PT POS memberikan

pelayanan barang dan jasa.

Page 108: pelayananumum

102

kebutuhan dan tidak semua pegawai mengetahui atau mendapat

peneje

engiriman ke loket-loket

yang t

elesaikan permasalahan

yang ti

utup kemungkinan munculnya aturan lokal untuk

penyesuaian dengan kebutuhan setiap instansi pelayanan karena pelayanan

Prosedur dan aturan pelayanan yang diberikan PT POS secara rigid

diatur oleh Skep Direksi, sedangkan standar pelayanan yang diberikan merujuk

ke KepMen No. 63. Dalam KepMen No.63 tersebut tidak dijelaskan secara rinci

apa saya peraturan pelayanan, sehingga beberapa peraturan dibuat sendiri

sesuai

lasan yang rinci mengenai KepMen No. 63 tersebut. SOP yang harus

dilakukan oleh PT POS diatur dalam PP No. 37/85 dan UU No. 6/84 tentang

POS.

PT POS tidak menginformasikan mengenai pelayanan yang diberikan

karena kebanyakan konsumen telah mengetahui macam pelayanan yang

diberikan oleh PT POS, tetapi untuk jenis pelayanan yang baru dikeluarkan

selalu disosialisasikan melalui radio atau media cetak. Untuk teknis pelayanan,

konsumen dapat menanyakan tarif dan lama waktu p

ersedia karena di setiap loket sudah terdapat SDM yang menguasai

informasi mengenai pelayanan yang diberikan atau konsumen dapat membaca

aturan yang terdapat di resi/bon yang mereka terima.

PT POS memberikan pelayanan terhadap keluhan konsumen yang

dapat diadukan ke humas yang bertindak sebagai customer service. Untuk

mendukung kegiatan pelayanan keluhan publik maka telah diterbitkan instruksi

kantor dimana supervisor harus selalu bersedia untuk menangani keluhan yang

diajukan publik. Keluhan yang muncul biasanya adalah surat, uang atau paket

yang tidak sampai dan keluhan terhadap pelayanan langsung. Keluhan tersebut

akan ditindaklanjuti ke bagian-bagian tertentu sesuai keluhan. PT POS juga

memiliki biro khusus yang berkaitan dengan hukum, yaitu Bantuan Hukum Pos

Indonesia. Salah satu tugas biro ini adalah untuk meny

dak dapat diselesaikan oleh bagian humas mengenai keluhan konsumen.

Untuk mengetahui tingkat kepuasan konsumen, bagian LitBangPos melakukan

survei setiap tahunnya berupa penyebaran kuesioner.

Secara umum, pelayanan publik harus diatur oleh suatu aturan yang

baku, tetapi tidak men

Page 109: pelayananumum

103

yang d

G.

sakit masih diberikan oleh pusat terutama yang

bekerja

Prosedur yang dilakukan

melibat

dan

merasa

iberikan selalu berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan

masyarakat/konsumen.

KESEHATAN

Pelayanan yang diberikan oleh Departemen Kesehatan adalah

pelayanan jasa dengan menyediakan Puskesmas untuk kepentingan

masyarakat termasuk di dalamnya alat, obat dan perlengkapan lain. Dengan

adanya UU tentang Pemerintahan Daerah, fasilitas pemberian pelayanan jasa

tersebut dialihkan ke masing-masing pemerintah kota/kabupaten. Pemberian

ijin pendirian rumah

sama dengan pihak asing. Depkes memberikan rekomendasi mengenai

tenaga asing dan/atau pengobatan tradisional sesuai dengan permintaan

masyarakat. Jumlah pelayanan Puskesmas disesuaikan dengan kebutuhan

masing-masing daerah.

Prosedur pelayanan secara baku diatur dalam KepMenKes No.

1457/MENKES/SK/X/2003 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang

Kesehatan di Kabupaten/Kota. Peraturan tersebut merupakan penyesuaian dari

keputusan yang sebelumnya, yaitu Keputusan Menteri Kesehatan dan

Kesejahteraan Sosial RI No. 1747/Menkes Kesos/SK/12/2000 tentang Pedoman

Penetapan Standar Pelayanan Minimal dalam Bidang Kesehatan di

Kabupaten/Kota. Selanjutnya standar pelayanan minimal di masing-masing

wilayah harus menyesuaikan dengan aturan ini.

kan berbagai pihak dan sumber pembiayaannya dibebankan kepada

APBD. Output dari proses pelayanan tersebut adalah pemberian pelayanan

kesehatan melalui puskesmas. Prosedur pelayanan disosialisasikan melalui

penempelan pamflet atau brosur di tiap puskesmas.

Dinas Kesehatan menyadari keberadaan KepMenPan No. 63/2003

bahwa peraturan itu menjelaskan mengenai keharusan bagi setiap

instansi sebagai aparatur pemerintahan untuk melakukan pelayanan yang

maksimal ke masyarakat. Peraturan tersebut sudah disosialisasikan dan

dilaksanakan tetapi kelanjutannya masih harus ditanyakan ke Biro Hukum.

Page 110: pelayananumum

104

rsebut tidak dapat diselesaikan, maka keluhan tersebut akan

diserah

ai

keluhan

kan survei yang berisikan

informa

melakukan survei adalah Surkesnas,

sebagai bagian dari Litbang Departemen Kesehatan.

Keberadaan KepMenPan No. 63/2003 sudah cukup membantu dalam

prosedur pelayanan publik yang minimal mengatur

2. Per

Pub

A.

Keluhan masyarakat dapat di salurkan langsung ke Dinas Kesehatan,

koran Media Indonesia, dan kotak saran yang terdapat di setiap Puskesmas.

Apabila keluhan te

kan ke Dinas Kesehatan Kota, selanjutnya keluhan tersebut akan

ditangani oleh Biro Umum dan bila diperlukan akan bekerja sama dengan Biro

Hukum. Setiap tiga bulan Puskesmas akan melakukan evaluasi mengen

yang telah disampaikan yang selanjutnya akan disampaikan ke tingkat

pemerintah kota.

Keluhan yang diterima umumnya adalah keluhan atas penempatan dari

dokter-dokter baru di daerah. Adapun Biro Hukum bertugas untuk mengoleksi

berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan aturan di bidang kesehatan.

Secara umum sarana prasarana untuk menunjang pelayanan publik

sudah cukup terpenuhi tetapi untuk di setiap puskesmas tergantung kebutuhan

puskesmas tersebut. Departemen Kesehatan melaku

si mengenai kesehatan, tidak pernah secara spesifik menanyakan

mengenai kepuasan pelayanan kesehatan di Puskesmas, tetapi pertanyaan

kepuasan pelayanan ditanyakan kepada mereka yang menjalani rawat inap dan

rawat jalan pada survei 2001. Bagian yang

memberikan standar pelayanan publik, tetapi diharapkan ada KepPres

mengenai standar/

mengenai prosedur penanganan keluhan.

sepsi Masyarakat terhadap Pelayanan Publik dan Pelayanan Keluhan

lik

Persepsi Masyarakat terhadap Pelayanan Publik

Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.

63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik,

dinyatakan bahwa “Hakekat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan

prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur

Page 111: pelayananumum

105

buktinya masih banyak terdapat penyelewengan-

ajiban memberikan pelayanan kepada

ma r

atau m

Bebera lam memperoleh pelayanan

dar e

1.

- keramaian

ijin

- ganda yang dimiliki masyarakat.

belum memiliki sertifikat sehingga muncul

- layanan yang diberikan BPN.

2. Bid

- PT Telkom di setiap nomor pelanggan tanpa

ersebut setiap bulannya.

pemerintah sebagai abdi masyarakat”. Pernyataan tersebut menguatkan

peranan pemerintah sebagai instansi yang berkewajiban pemberi pelayanan

yang prima kepada masyarakat karena pada dasarnya, konsumen/ masyarakat

adalah warga negara yang harus dipenuhi hak-haknya tidak terkecuali

sehingga pemerintah sebagai instansi yang memberikan pelayanan publik

harus dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya sesuai dengan

peraturan-perundangan yang berlaku. Berdasarkan kondisi nyata, terdapatnya

pedoman pelayanan publik tersebut belum dapat menjamin bahwa hak-hak

masyarakat terpenuhi,

penyelewengan dalam pelaksanaan kew

sya akat sehingga masyarakat tidak mendapatkan pelayanan yang prima

asyarakat menemui hambatan dalam mendapatkan pelayanan tersebut.

pa kasus yang dialami oleh masyarakat da

i p merintah adalah:

Bidang Pelayanan Administratif

Tidak terdapatnya standar prosedur dan biaya perijinan

sehingga prosedur dan biaya yang dikeluarkan oleh peminta

berbeda-beda di setiap wilayah kepolisian.

Terdapatnya sertifikat

- Banyak tanah yang masih

klaim dari berbagai pihak atas kepemilikan tanah tersebut.

Mahalnya tarif dan lamanya waktu pe

- Tidak transparannya prosedur dan tarif pelayanan yang diberikan oleh

instansi pemerintah.

ang Pelayanan Barang

- Biaya yang tinggi dan sulitnya pemasangan saluran telepon baru

terutama di Jawa Barat dan Banten.

Pemasangan produk baru

sepengetahuan pelanggan sehingga pelanggan akan terkena tagihan

untuk penggunaan produk t

Page 112: pelayananumum

106

k memiliki sdm yang menguasai permasalahan

seh au

n pencatatan meteran listrik yang mengakibatkan tingginya

ong

elayanan yang diberikan oleh

instansi pemerintah.

3. d

adalah

atau hilang

ole

-

bukan

layanan publik

layanan yang diberikan berbeda-

- emberikan pelayanan

-

-

ngatasi sengketa

ant

- Call Center Telkom tida

ingga keluhan yang diajukan masyarakat harus ditunda at

dialihkan ke bagian lain.

- Kesalaha

kos penggunaan listrik

- Tidak transparannya prosedur dan tarif p

Bi ang Pelayanan Jasa

Keluhan utama di bidang pelayanan jasa khususnya oleh PT POS

bahwa barang atau benda pos yang dikirim melalui pos tidak sampai

Menurut masyarakat, kasus-kasus yang dialami di atas disebabkan

h karakter pemerintah yang diantaranya:

Budaya aparat instansi penyedia jasa layanan publik seperti jaman

kolonial yang masih melekat dimana aparat adalah penguasa

pelayan masyarakat. Penguasa akan mendapatkan keuntungan yang

sebesar-besarnnya sehingga banyak kepentingan-kepentingan individu

yang terlibat dalam proses pemberian pe

- Terdapat banyaknya kesalahan dalam mengintepretasikan peraturan

perundangan yang ada sehingga pe

beda di setiap wilayah dan terkadang menyimpang dari tujuan

pelayanan seperti yang tertulis di dalam peraturan perundangan.

Tidak transparannya instansi pemerintah dalam m

seperti informasi mengenai waktu pelayanan, tarif, serta informasi

mengenai proses pelayanan itu sendiri.

Kemampuan SDM yang kurang memadai dalam memberikan pelayanan

dan menangani keluhan masayrakat.

Kurangnya sosialisasi mengenai badan atau instansi yang bertugas

memberikan pendampingan masyarakat untuk me

ara masyarakat dan instansi pelayanan publik.

- Masyarakat dalam mengajukan keluhan terhadap instansi pelayanan

publik harus mengikuti prosedur yang tersedia, jika dapat diselesaikan

Page 113: pelayananumum

107

ksi (tugas pokok dan fungsi) tersebut berupa konsep

awal y

ng

berkait

secara baik-baik maka sebaiknya tidak perlu melibatkan pengadilan.

Masyarakat dapat mengajukan keluhan ke instansi terkait dan

memberikan tenggang waktu, apabila tidak ada tanggapan maka

masyarakat dapat mengadukan keluhannya ke BPSK.

Beberapa peserta FGD yang dianggap sebagai wakil masyarakat

banyak memberikan pendapat dan saran. Salah satu pendapat dan saran

yang diberikan adalah bahwa sifat pelayanan masyarakat merupakan hal

yang wajib diberikan serta merupakan fitrah dan tanggung jawab yang

harus dilaksanakan oleh pelayan masyarakat, yaitu aparat pemerintah.

Seyogyanya aparat pemerintah harus memiliki suatu standar pelayanan

atau tupoksi mengenai pelayanan yang harus diberikan. Penentuan standar

pelayanan dan tupo

ang harus didasarkan suatu pertimbangan dan polling. Konsep

tersebut disimulasikan dan disebarkan kepada publik yang diharapkan akan

ada masukan dari publik terhadap konsep yang telah dibuat. Masukan

tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk pematangan dan

penyempurnaan konsep awal menjadi suatu konsep yang akan mendasari

standar pelayanan yang harus diberikan dan tupoksi dari instansi/aparat

pemerintah terkait.

Pelayanan publik secara langsung seperti di loket-loket pelayanan

tidak boleh dianggap hanya sebagai pelaksanaan tugas saja tetapi

merupakan sebuah interaksi antara konsumen dengan produsen/penyedia

jasa layanan, sehingga penyedia jasa layanan harus memberikan pelayanan

dengan baik, cepat, tepat dan ramah. Selain itu segala kegiatan ya

an dengan pelayanan harus disosialisasikan dan sering diadakan

forum interaktif antara konsumen dan penyedia jasa layanan karena akan

percuma apabila terdapat peraturan dan undang-undang yang mengatur

pelayanan publik tetapi hanya diketahui oleh pihak penyedia jasa layanan

saja. Situasi ini akan menimbulkan munculnuya keluhan-keluhan konsumen

yang dikarenakan ketidaktahuan bukan karena kesalahan atau

ketidakmampuan penyedia jasa layanan dalam memberikan pelayanan.

Page 114: pelayananumum

108

putusan dan peraturan-

yang telah

ditanamkan pada masa penjajahan juga masih terus dipelihara seperti

rak

B.

ewajiban aparatur pemerintah adalah penyelenggaraan pelayanan

publik

uk melakukan pelayanan keluhan publik, tetapi

bebera

luhan publik? Dapatkah media yang melayani keluhan publik

Pendapat lain menyatakan bahwa hukum harus ditegakkan yang

berdasar pada sumbernya yaitu Undang-undang. Selama ini kegiatan

pemerintahan kebanyakan hanya berdasar pada ke

peraturan yang posisinya lemah. Selain itu kebudayaan

yat harus memberi upeti pada pemimpin wilayah/aparat sehingga aparat

pemerintah yang seharusnya sebagai pelayan masyarakat selalu

mengharapkan imbalan dari masyarakat. Hal ini menyebabkan pelayanan

yang diberikan oleh aparat pemerintah tidak pernah berkualitas dan selalu

timbul korupsi karena dianggap sudah sepantasnya pemerintah

mendapatkan uang dari pelayanan yang diberikan.

Persepsi Masyarakat terhadap Pelayanan Keluhan Publik

Salah satu fungsi utama dalam penyelenggaraan pemerintahan yang

menjadi k

yang berupa pelayanan administratif, pelayanan barang, dan pelayanan

jasa. Penyelenggaraan pelayanan publik pada saat ini mengalami penurunan

kualitas serta terdapat ketidakjelasan standar dan prosedur pelayanan publik,

juga prosedur penyampaian keluhan jasa pelayanan publik. Kondisi ini

mengakibatkan munculnya keluhan masyarakat mengenai pelayanan publik

yang terkadang juga tidak ditanggapi dengan baik oleh pihak pemerintah

sehingga pelayanan keluhan publik juga menimbulkan berbagai macam

keluhan.

Beberapa instansi bidang pelayanan publik telah memiliki suatu badan

khusus yang bertugas unt

pa instansi lainnya tidak memiliki suatu badan yang bertugas untuk

melakukan pelayanan keluhan publik. Hal ini memunculkan suatu fenomena

berupa media alternatif untuk menampung dan menyalurkan keluhan publik

menuju suatu instansi tertentu. Terdapat pertanyaan terhadap fenomena

tersebut, yaitu mengapa masyarakat merasa butuh akan media alternatif

penyalur ke

Page 115: pelayananumum

109

tersebu

t merasa bahwa media tersebut (radio dan

yayasa

ungkan masyarakat. Radio memiliki kontrol sosial secara langsung

sehingg

t dimasukkan ke dalam struktur pemerintahan dengan Biro Hukum yang

mengambil tugas tersebut?

Biro Hukum tidak dapat direkomendasikan sebagai media yang

melayani keluhan publik karena akan menimbulkan bias terhadap tugas dan

fungsi utama dari Biro Hukum tersebut. Dalam tradisinya, Biro Hukum bertugas

melayani Gubernur dan jajarannya untuk membuat surat keputusan, peraturan

daerah, dsb. Biro Hukum tidak terbiasa sebagai suatu badan yang bertugas

memonitor.

Munculnya fenomena media alternatif yang melayani keluhan publik

disebabkan karena masyaraka

n lembaga konsumen) sangat efektif dalam melayani atau setidaknya

menyalurkan keluhan-keluhan masyarakat akan pelayanan publik yang

diberikan oleh instansi pemerintah. Selain itu, keluhan yang disalurkan melalui

media aternatif tersebut tidak melalui suatu proses birokrasi yang

membing

a instansi yang dikeluhkan terdorong untuk langsung menjawab

keluhan tersebut tanpa masayarakat harus mencari informasi bagaimana

menyalurkan keluhan mereka.

Ada pula yang beranggapan bahwa munculnya radio sebagai media

alternatif yang melayani keluhan publik dikarenakan tumpang tindihnya

peraturan dan regulasi sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda

bagi tiap-tiap instansi sehingga regulasi tersebut tidak dapat dijalankan secara

optimal.

BPN beranggapan bahwa media radio tidak efektif bagi penyelesaian

keluhan masyarakat yang berkaitan dengan pelayanan yang diberikan oleh

BPN. Media yang tepat adalah media cetak seperti koran. Hal ini disebabkan

kondisi data yang terdapat di BPN masih berupa data manual, belum mencapai

tahap digital sehingga apabila terdapat keluhan mengenai pelayanan yang

berkaitan dengan data yang ada, maka BPN membutuhkan beberapa waktu

untuk mencari data dan menganalisis keluhan tersebut kemudian

disosialisasikan alasan munculnya keluhan dan solusinya.

Page 116: pelayananumum

110

nsosialisasikan

prosedur-prosedur dan hambatan-hambatan yang dimiliki oleh instansi-instansi

tersebut kepada masyarakat. Dengan adanya sosialisasi ini, masyarakat dapat

lebih terbuka wawasannya terhadap persoalan yang sedang dihadapi bersama

dengan instansi terkait. Terdapat hal yang perlu ditekankan dalam fenomena

ini, yaitu media akternatif ini tidak boleh sebagai tempat peradilan baik bagi

instansi terkait ataupun masyarakat. Media ini hanya berfungsi sebagai

moderator bagi masyarakat dan instansi pelayanan publik untuk membahas

persoalan yang dihadapi oleh kedua belah pihak dan solusinya.

Secara umum, munculnya media alternatif yang melayani keluhan

publik sangat didukung oleh setiap instansi pelayanan publik karena

memberikan pembelajaran bagi kedua belah pihak baik pihak yang dikeluhkan

dan pihak yang mengajukan keluhan. Pembelajaran tersebut dapat

meningkatkan kinerja instansi pelayanan publik dan dapat me

Page 117: pelayananumum

111

BAB IV

STANDAR KUALITAS DAN MEKANISME

PELAYANAN PUBLIK & PELAYANAN KELUHAN PUBLIK

Melalui tinjauan yang telah disajikan di dalam Bab II Tim telah mencoba

merumuskan secara teoretik asas-asas umum untuk sebuah sistem penyelenggaraan

pelayanan publik, termasuk sub-sistem pelayanan keluhan-keluhan masyarakat terhadap

kinerja instansi pelayanan publik itu. Dari uraian pada Bab III telah dapat diperoleh

gambaran tentang bagaimana persepsi yang hidup di dalam masyarakat mengenai

kenyataan-kenyataan yang ada serta harapan-harapan masyarakat mengenai kualitas

pelayanan publik di Indonesia. Masyarakat yang dimaksud di sini tentunya adalah pihak-

pihak yang berkedudukan dan bertugas sebagai pejabat instansi-instansi yang

menjalankan kegiatan pelayanan publik (penyelenggara pelayanan publik) dan warga

masyarakat atau lembaga-lembaga yang merepresentasikan warga masyarakat sebagai

penerima pelayanan publik.

Pada Bab IV ini, Tim melakukan analisis terhadap dan menarik beberapa

kesimpulan berdasarkan hal-hal yang diungkapkan pada bab II, khususnya mengenai

prospek dari pengembangan suatu Sistem Penyelenggaraan Pelayanan Publik Nasional,

termasuk sistem pengelolaan keluhan-keluhan publiknya, dan berdasarkan data dan

informasi yang diperoleh dari para stakeholders pelayanan publik di Indonesia (bab III).

Analisis pada Bab ini akan dibagi ke dalam dua bagian, yaitu analisis terhadap persoalan

standar kualitas dan mekanisme pelayanan publik yang seyogyanya ada di Indonesia,

dan terhadap sistem pengelolaan keluhan-keluhan publik (penerima pelayanan publik)

yang seharusnya menjadi sebuah sub-sistem yang tidak terpisahkan dari sebuah sistem

pelayanan publik.

1. Standar Kualitas Pelayanan Publik yang Ideal dan Realistik

Kinerja pelayanan publik yang ideal pada dasarnya harus mampu memberikan

pelayanan yang cepat, murah, mudah, berkeadilan, berkepastian hukum, terbuka,

dan dapat dipertanggungjawabkan, sesuai dengan perkembangan dinamika

Page 118: pelayananumum

112

masyarakat 43. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat masih

menghadapi kinerja dan pengelolaan pelayanan publik yang masih jauh dari optimal,

yang antara lain disebabkan oleh sistem manajemen instansi pemerintahan yang

belum efisien, praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, ketiadaan standar

kualitas yang jelas untuk menjadi pedoman bagi instansi-instansi penyelenggara

pelayanan publik, dsb sehingga pelayanan publik di Indonesia pada umumnya lebih

banyak menjadi sasaran kritik dan ketidakpuasan masyarakat penerima pelayanan

yang sampai batas-batas tertentu menempatkan diri sebagai “konsumen” dari

pelayanan publik itu. Ketidakpuasan itu seperti dikemukakan para peserta FGD di

beberapa wilayah, antara lain, terbukti dari:

Banyaknya pengaduan-pengaduan atau keluhan-keluhan yang disampaikan

melalui media massa atau langsung pada unit pelayanan yang bersangkutan

yang menggambarkan ketidakpuasan warga masyarakat terhadap kualitas

pelayanan dari pelbagai instansi penyelenggara pelayanan publik;

Keluhan-keluhan tentang prosedur birokratif yang masih berbelit-belit dan

berbiaya tinggi;

Pengambilan keputusan yang tidak transparan dan inkonsisten sehingga

masyarakat penerima pelayanan tidak memiliki kepastian mengenai hak-haknya;

Kurangnya akses publik terhadap informasi mengenai hak dan kewajiban, baik

pihak penyelenggara pelayanan maupun penerima pelayanan, sehingga warga

masyarakat tidak memiliki kepastian mengenai kedudukan hukumnya di dalam

sistem pelayanan publik itu;

Kualitas pelayanan yang masih rendah, baik dari segi tata-cara pelayanan,

kualitas produk yang dihasilkan, waktu penyelesaian pelayanan serta penetapan

dan pengenaan biaya pelayanan;

Adanya kesan bahwa baik-buruknya kualitas pelayanan publik sangat tergantung

pada kualitas individual dari pejabat-pejabat yang kebetulan bertanggung jawab

atas suatu jenis pelayanan tertentu;

43 Lihat :Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Konsepsi Pengaturan RUU

tentang Pelayanan Publik, Naskah Akademik dalam rangka Permohonan Persetujuan Prakarsa Penyusunan RUU tentang Pelayanan Umum, 2004, hal. 1.

Page 119: pelayananumum

113

Tidak adanya kepastian hukum yang menjamin hak-hak masyarakat sebagai

‘konsumen’ penerima pelayanan publik, dan kesulitan untuk menuntut kualitas

pelayanan atau produk yang setara dengan apa yang diatur di dalam Undang-

undang Perlindungan Konsumen karena aplikabilitas UUPK terhadap pelayanan

publik yang masih merupakan wacana;

Tidak adanya sanksi yang jelas terhadap praktek-praktek “maladministrasi” yang

menimbulkan kerugian pada warga masyarakat;

Tidak ada atau tidak jelasnya sistem dan mekanisme pengajuan keluhan-keluhan

publik (public complaints, grievances) yang dapat menjadi pegangan bagi para

penerima pelayanan publik.

Tidak adanya transparansi dan sosialisasi prosedur atau tata cara pelayanan

yang baku kepada masyarakat, atau bila prosedur atau tata cara itu ada dan

dipublikasikan, pelaksanaannya pelayanan dilaksanakan dengan cara yang

menyimpang dari prosedur yang ada;.Tetapi karena adanya kecenderungan

bahwa masyarakat didorong untuk menggunakan atau menempatkan diri di

dalam proses atau tata-cara yang menyimpang itu, maka masyarakat menjadi

kehilangan ruang untuk menilai ada-tidaknya penyimpangan dan pelanggaran

hukum dalam perolehan “produk” pelayanan publik itu.

Belum tumbuhnya mentalitas para petugas atau pejabat penyelenggara

pelayanan publik sebagai ‘public servant”, dan sebaliknya, masih kuatnya

mentalitas para petugas/pejabat sebagai pihak yang justru harus dilayani

menimbulkan kecenderungan bahwa baik-buruknya pelayanan yang diberikan

banyak tergantung pada keputusan diskresioner para pejabat itu;

Di lain pihak, data yang diperoleh Tim dari instansi-instansi

penyelenggara pelayanan publik atau dari pihak-pihak yang secara langsung

menjalankan fungsi pelayanan publik itu, diperoleh gambaran yang agak berbeda

dan beragam, yaitu:

1. Beberapa instansi di beberapa wilayah penelitian menyadari sepenuhnya

mengenai berlakunya Pedoman di dalam Kepmenpan No 63/2003 sebagai acuan

utama, dan berdasarkan itu menerbitkan peraturan-peraturan lokal (pemerintah

daerah) atau intern (Keputusan Direksi) untuk menata sistem pelayanan

publiknya sejalan dengan pedoman Menpan tersebut; Beberapa di antara

Page 120: pelayananumum

114

instansi-instansi yang masuk dalam kategori ini bahkan memberikan respond

yang cukup cepat untuk menyesuaikan mekanisme dan kualitas pelayanannya

terhadap pedoman-pedoman Menpan itu.

2. Beberapa instansi lain menyadari adanya Pedoman Menpan tersebut, tetapi tidak

melakukan penyesuaian terhadap sistem pelayanan publiknya karena mereka

bekerja atas dasar peraturan-peraturan sektoral dan/atau internal mereka

sendiri; Beberapa di antaranya memang telah memiliki standar kualitas

pelayanan yang memenuhi standar yang ditetapkan di dalam Pedoman Menpan,

namun sebagai instansi pelayanan publik yang menyelenggarakan pelayanan

juga sebagai institusi bisnis, maka instansi-instansi ini mengacu pada standar lain

yang dikenal secara internasional, seperti ISO, dsb.

3. Beberapa instansi mengklaim bahwa Pedoman Menpan itu dalam beberapa

aspek menjadi tidak feasible untuk dilaksanakan di lingkungan kerja mereka,

karena sifat pelayanan yang khas. Peserta FGD dari Kepolisian mengatakan

bahwa Pedoman Menpan tidak dapat dilaksanakan dalam pelayanan kepolisian

karena ruang lingkup dan kekhasan pelayanan kepolisian, akan tetapi pendapat

tersebut secara tegas dibantah oleh narasumber Chaeruddin Ismail dalam

lokakarya. Peserta FGD dari BPN menyatakan Pedoman Menpan tidak cocok

diterapkan dalam pelayanan oleh BPN karena BPN selalu harus melakukan due

dilligence berdasarkan berkas-berkas dan bukti-bukti yang sah secara yuridis.

4. Beberapa instansi tidak mengetahui adanya Pedoman Menpan atas sistem

pelayanan publik yang mereka selenggarakan, walaupun tetap mengklaim bahwa

regulasi internal mereka telah mencakup elemen-elemen dari suatu sistem

penyelenggaraan pelayanan publik (ketentuan tentang persyaratan, biaya, tata-

cara dan alur, jangka waktu pelayanan);

Secara ideal, gejala-gejala di atas seharusnya dapat diatasi apabila

semua komponen dari sebuah Sistem Penyelenggaraan Pelayanan Publik bekerja

dengan baik dan bersinergi secara positif satu sama lain. Di bab II telah disinggung

komponen-komponen utama dari sistem semacam itu, yang meliputi:

Page 121: pelayananumum

115

Komponen regulasi tentang pelayanan publik yang secara efektif dapat

memberi kekuatan hukum berkerjanya semua komponen pelayanan publik

lainnya secara terintegratif dan utuh;

Komponen Asas-asas Penyelenggaraan Pelayanan Publik yang

seharusnya menjadi acuan dalam pengelolaan sebuah instansi pelayanan

publik. Asas-asas ini harus merupakan asas-asas umum (general principles)

yang dapat menyentuh semua wilayah pelayanan publik, terlepas dari kekhasan

dan kekhususan bidang atau wilayah tugasnya.

Komponen Standar Minimum Pelayanan atau standar kualitas

pelayanan yang sekurang-kurangnya harus dipenuhi oleh setiap institusi

penyelenggara pelayanan publik dengan kualitas hasil kerja yang diukur dari

tingkat kepuasan minimum yang dapat diterima masyarakat pengguna

pelayanan publik.

Komponen Norma Perilaku Petugas Pelayanan Publik yang lebih banyak

merupakan norma-norma etika yang berfungsi mengendalikan perilaku

individual petugas-petugas administrasi;

Dari tinjauan terhadap hal-hal yang sejauh ini sudah diatur di dalam

Keputusan-keputusan Menpan di atas, serta memperhatikan kebutuhan untuk

memberikan fleksibilitas dalam realisasinya di dalam masing-masing instansi yang

memiliki kekhasan tugas dan fungsi, maka apa yang diatur di dalam Kepmenpan No.

63/2003 dan No. 26/2004, dengan tetap mempertimbangkan ekemen-elemen dari

suatu sistem pengelolaan keluhan publik yang sudah ada sebelumnya di pelbagai

peraturan perUUan di Indonesia, dapat dianggap sudah cukup memadai sebagai

struktur dasar pengelolaan keluhan atas pelayanan publik di Indonesia.

Para narasumber dalam lokakarya secara tegas mengemukakan bahwa

pengaturan sistem pelayanan publik dalam ketiga Kepmenpan sudah mencukupi

sebagai dasar untuk menyususn sistem pelayanan publik di setiap instansi

penyelenggara pelayanan publik. Prof. Dr. Ateng Syafrudin menegaskan bahwa

dilihat secara regulatif keberadaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 yang

mengatur tentang asas-asas umum penyelenggaraan negara yang bebas dari KKN

yang kemudian ditindaklanjuti oleh ketiga Kepmenpan tersebut sudah sangat

mencukupi. Selanjutnya ditegaskan bahwa apabila semua perundang-undangan

Page 122: pelayananumum

116

yang ada tersebut ditegakkan maka diyakini akan terjadi perbaikan kualitas

pelayanan publik. Menurut narasumber Soewito MD unsur-unsur yang menjadi

kriteria dalam ketiga Kepmenpan tersebut sudah sangat mencukupi sebagai unsur

minimal yang harus ada. Narasumber Anton Sujata, Ketua Komisi Ombudsman

Nasional, menyatakan bahwa secara substansial ketiga Kepmenpan tersebut sudah

mencukupi, dengan masukan perlu ditekankannya kewajiban untuk membentuk

lembaga internal complaint yang terpisah dari unit-unit pelayanan itu sendiri dan

ditegaskannya kewajiban complaint officer yang bertindak mewakili masyarakat yang

menyampaikan keluhan. Pada bagian lain Anton Sujata mengemukakan bahwa

secara substansial unsur-unsur dalam ketiga Kepmenpan tersebut juga digunakan

oleh Komisi Ombudsman Nasional untuk menilai kinerja pemerintah yang oleh

masyarakat diadukan ke Komisi Ombudsman Nasional. Narasumber Chaeruddin

Ismail bahkan secara tegas menolak pendapat para peserta FGD dari kalangan

kepolisian yang menyatakan ketiga Kepmenpan tersebut tidak cocok untuk

diterapkan di lingkungan pelayanan publik oleh kepolisian. Selanjutnya ditegaskan

bahwa kepolisian harusnya dapat menggunakan ketiga Kepmenpan tersebut sebagai

dasar untuk menyusun sistem pelayanan publiknya.

Beberapa hal yang memiliki tingkat urgensi yang cukup tinggi untuk

ditinjau lebih lanjut adalah:

• kekuatan hukum dari Keputusan-keputusan Menpan itu untuk dapat dijadikan

dasar hukum pembinaan dan pengembangan sistem pengelolaan keluhan publik

di setiap instansi publik, yang keberadaanya umumnya didasarkan pada Undang-

undang. Dalam kaitan ini harapan yang besar dapat diletakkan pada lahirnya

Undang-undang tentang Pelayanan Publik Indonesia yang di dalamnya

juga memuat sistem pengelolaan keluhan publik yang berlaku secara nasional

dan befungsi sebagai Standar Minimum pelayanan publik di Indonesia;

• Tentang hirarkhi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang sistem

pelayanan publik yang berlaku secara nasional untuk semua jenis pelayanan

publik ini para narasumber sepakat bahwa perlunya meningkatkan hirarkhi dari

keputusan menteri ke hirarkhi yang lebih tinggi. Ada dua alternatif yang

berkembang tentang hirarkhi perundang-undangan yang seharusnya mengatur

pelayanan publik, yaitu:

Page 123: pelayananumum

117

- Alternatif I : Undang-Undang, dengan argumen bahwa sifat mengikat

undang-undang terhadap semua instansi penyelenggara pelayanan publik

akan lebih kuat. Hal ini dapat menghindari egoisme sektoral dan

fragmentasi pengaturan di setiap instansi.

- Alternatif II : Peraturan Pemerintah, dengan argumentasi bahwa dasar-

dasar tentang pelayanan publik sudah cukup diatur dalam UU Nomor 28

Tahun 1999 sehingga apabila kita hendak mengatur aspek pelaksnaan dan

operasional dari UU tersebut cukup dalam PP. Pengaturan tentang sistem

pelayanan publik yang dikehendaki harus sampai relatif rinci dan lengkap

sehingga pengaturan pada tingkat undang-undang (yang pada umumnya

hanya mengatur hal-hal umum) dikhawatirkan tidak akan operasional.

- Alternatif III : Pengaturan prinsip-prinsip sebagai standar pelayanan

minimum sebagaimana diatur dalam Kepmenpan 63/2003 diatur dalam

undang-undang, sedang pelaksanaannya secara rinci, teknis, dan lengkap

yang saat ini diatur dalam Kepmenpan 25/2004 dan 26/2004 diatur dalam

Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden.

• Dalam lokakarya, Prof. Dr. JE Sahetapy,SH mengusulkan agar asas-asas dan

prinsip-prinsip perlindungan pelapor atas suatu perilaku maladministrasi

sebagaimana terdapat dalam whistle blower act yang berlaku di Amerika dapat

sepenuhnya diberlakukan. Hal ini memberikan jaminan hukum kepada

masyarakat umum yang mengadu, dan untuk efektivitasnya perlindungan

terutama harus diberikan juga kepada bawahan yang melaporkan tindakan

maladministrasi yang dilakukan oleh atasannya.

• Bila diperhatikan substansi dari pedoman-pedoman yang ditetapkan oleh Menpan

yang relevan dengan pelayanan publik. Khususnya Kepmenpan No. 63/2003, No.

25/2004, dan No. 26/2004, maka pedoman-pedoman tersebut seyogyanya

difahami sebagai pedoman atau standar minimum struktur dan sistem

penyelenggaraan pelayanan publik, yang, di satu pihak dapat dikatakan bersifat

memaksa (compulsary) dalam arti bahwa setiap instansi penyelenggara

pelayanan publik wajib memperhatikan standar minimum itu sebagai benchmark

dalam pembinaan dan pengembangan sistem pelayanan publiknya, namun di lain

pihak bersifat supplementary, karena setiap instansi penyelenggara pelayanan

Page 124: pelayananumum

118

publik dapat, dan bahkan dianjurkan untuk membina sistem dan standar

pelayanan umum yang lebih baik, lebih lengkap, dan atau lebih tinggi standar

kualitasnya.

• Perlu ada penyempurnaan terhadap Kepmenpan No. 25/2004, tentang Indeks

Kepuasan Masyarakat, khususnya dengan menambahkan Unsur Indeks

Kepuasan Masyarakat (Paragraf I Butir G) dengan hal-hal yang menyangkut

fasilitas, kecepatan, kualitas, serta biaya pelayanan terhadap

pengaduan/complaint yang diajukan oleh masyarakat terhadap instansi yang

bersangkutan.

• Unsur terpenting dari sebuah sistem pelayanan publik yang belum diatur secara

lebih jelas dan tegas di dalam sistem pelayanan publik di Indonesia dewasa ini

adalah Kode Perilaku Petugas Pelaksana Pelayanan Publik (Code of

Conduct for Public Servants). Hal ini menjadi salah satu faktor penentu

keberhasilan sistem pelayanan publik, terutama bila disadari bahwa sebagian

besar dari permasalahan dan keluhan mengenai pelayanan publik di Indonesia

dapat dikembalikan pada unsur manusia pengemban fungsi pelayanan publiknya

(ekses-ekses KKN, conflict of interest, dsb). Kehadiran sebuah Code of Conduct

yang selengkapnya mungkin akan lebih mengkokohkan struktur dasar dari

Sistem Pelayanan Publik Indonesia.

2. Standar Minimum Kualitas Pelayanan Keluhan Publik

Keluhan atau pengaduan adalah upaya berdasarkan hukum yang dapat

dilakukan oleh masyarakat apabila menerima pelayanan tidak prima dari

penyelenggara pelayanan publik. Suatu pelayanan dapat diklasifikasi sebagai tidak

prima apabila kualitas pelayanan tersebut tidak sesuai dengan harapan dari

masyarakat penerima pelayanan (subyektif) dan/atau tidak memenuhi standar

pelayanan minimal yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan

(obyektif). Dengan demikian pelayanan keluhan publik sebenarnya merupakan

konsekuensi atau akibat dari kualitas pelayanan publik yang tidak memenuhi

harapan dan/atau tidak memenuhi standar. Oleh karena itu sistem pelayanan

keluhan publik mestinya menjadi bagian tidak terpisahkan dari sistem pelayanan

publik. Bertitik tolak dari asumsi bahwa aktivitas pelayanan terhadap keluhan publik

Page 125: pelayananumum

119

atas kinerja intansi dan/atau pejabat publik adalah bagian yang tidak terpisahkan

dari keseluruhan fungsi pelayanan publik, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

asas-asas penuntun serta pengakuan atas hak dan tanggung jawab masyarakat

yang dimaksud di atas tentunya akan berlaku pula atas sistem pelayanan keluhan

publik yang menjadi pusat perhatian penelitian ini.

Ditinjau dari aspek perwujudan asas-asas pemerintahan yang baik yang

diasumsikan berlaku juga atas suatu sistem dan mekanisme pelayanan keluhan

publik, maka dapat disimpulkan bahwa:

a. Asas Keterbukaan dan asas Akuntabilitas sudah agak eksplisit tercermin di

dalam aturan-aturan hukum yang berkenaan dengan pengelolaan keluhan

publik; Eksistensi kedua asas ini di dalam perundang-undangan secara eksplisit

menegaskan dasar legitimasi dari keberadaan suatu sistem dan mekanisme

pengelolaan keluhan publik di dalam sistem hukum Indonesia, baik dalam

lingkup nasional maupun sektoral.

b. Asas Kepastian Hukum dalam suatu sistem pengelolaan Keluhan Publik, pada

dasarnya juga sudah dipenuhi di dalam peraturan perUUan yang disebut pada

butir 1) di atas, khususnya yang menyangkut:

1. hak-hak masyarakat untuk melaksanakan kontrol sosial terhadap

berjalannya fungsi pelayanan publik;

2. hak masyarakat untuk memperoleh pelayanan yang sama dalam

penyelenggaraan negara;

3. hak untuk memperoleh informasi dan menyampaikan saran dan pendapat;

4. hak untuk memperoleh perlindungan hukum.

Asas Kepastian Hukum ini belum tercermin dengan tegas dalam kaitan

dengan jaminan adanya tindak-lanjut (follow up) terhadap keluhan/ pengaduan

yang sudah dimulai prosesnya sejak keluhan diajukan oleh masyarakat.

c. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara yang dimaksud di dalam UU No.

28/1999 tampaknya belum secara tegas diwujudkan di dalam peraturan PerUUan

yang dikaji, khususnya dalam konteks pelayanan atas keluhan

warganegara/masyarakat. Pengertian dan lingkup dari konsep “maladministrasi”

tampaknya perlu diberlakukan juga dalam sistem pengelolaan keluhan publik,

Page 126: pelayananumum

120

dan merepresentasikan berlakunya Asas Tertib Penyelenggaraan Negara di

dalam pelayanan keluhan publik di Indonesia;

d. Asas Kepentingan Umum yang mendahulukan kepentingan umum dengan

cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif belum diatur secara tegas di dalam

ketentuan-ketentuan mengenai pelayanan terhadap keluhan publik. Terdapat

perbedaan lingkup makna antara asas ini menurut UU No. 28/1999 dengan

makna “proportionality” (seperti yang misalnya dimaksud di dalam Code of Good

Administrative Behaviour yang dikenal di dalam sistem hukum asing), yang

mencakup juga makna bahwa: keputusan-keputusan dan tindakan publik harus

selalu memperhatikan proporsionalitas antara besarnya dampak dari

keputusan/tindakan publik dengan tujuan yang hendak dicapai dari pelaksanaan

tindakan/pembuatan keputusan itu. Seandainya diterapkan pada suatu sistem

pengelolaan keluhan publik, asas proportionality dalam arti yang kedua ini

tampaknya perlu diperhatikan pula untuk menjamin adanya proporsionalitas

antara pelaksanaan hak yang diberikan kepada masyarakat untuk mengajukan

keluhan dengan dampak yang mungkin timbul terhadap berfungsinya suatu

sistem pelayanan publik yang sudah ada.

e. Asas Proporsionalitas di dalam UU No. 28/1999 diartikan sebagai

“keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara”. Belum ada

ketentuan yang secara eksplisit mengatur hal ini dalam konteks pelayanan

keluhan publik.

f. Asas Profesionalitas, diartikan sebagai “pengutamaan pada keahlian yang

berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku”. Belum ada ketentuan dari peraturan perUUan yang dikaji yang sudah

secara tersurat meletakkan asas ini sebagai salah satu asas dalam pemrosesan

keluhan publik. Hal ini juga belum tampak jelas di dalam Draft Rancangan UU

Ombudsman Nasional. Seandainya hukum positif Indonesia telah memiliki suatu

Standar Minimum Perilaku Administratif yang Baik (semacam Code of Good

Administrative Behaviour yang berlaku di Masyarakat Eropa), maka tampaknya

standar semacam itulah yang dapat dianggap sebagai standar minimum

“keakhlian” dan “kaidah etik” dari pengelolaan keluhan publik. Artinya tingkat

profesionalitas dari pelayanan keluhan publik pada dasarnya dapat diukur dari

Page 127: pelayananumum

121

dipenuhinya ukuran-ukuran perilaku administrasi tertentu pada saat suatu

instansi melayani dan menyelesaikan suatu persoalan yang diajukan melalui

keluhan publik.

Thesis akademis atas berlakunya asas-asas pemerintahan yang baik

tersebut dalam pelayanan keluhan publik sejalan akan tetapi tidak sama persis

dengan asas-asas penyelenggaraan pelayanan keluhan sebagaimana disebutkan

dalam Keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2003, yakni:

a. Asas Transparansi, yang berati bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses

oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta

mudah dimengarti;

b. Asas Akuntabilitas, yang berarti dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

c. Asas Kondisional, yang berarti sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi

dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan

efektifitas.

d. Asas Partsisipasif, yang berarti mendorong peranserta masyarakat dalam

penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan,

dan harapan masyarakat.

e. Asas Kesamaan Hak, yang berarti tidak diskriminatif dengan tidak

membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi.

f. Asas Keseimbangan Hak dan Kewajiban, yang berarti bahwa pemberi dan

penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing

pihak.

Dari sudut pandang hukum dan kebijakan untuk berjalannya mekanisme

pelayanan keluhan publik yang baik dibutuhkan:

a. seperangkat asas/aturan yang menetapkan standar minimum kualitas pelayanan

publik yang dijabarkan dari asas-asas pemerintahan yang baik, dan dirumuskan

untuk diberlakukan sebagai dasar berfungsinya sistem pelayanan publik dan

yang pada gilirannya berlaku pula dalam aktivitas pengelolaan keluhan publik;

b. sistem dan prosedur pengelolaan keluhan publik yang komprehensif dan

mencakup elemen-elemen kewajiban dan hak masyarakat, kewajiban dan hak

Page 128: pelayananumum

122

pejabat administrasi negara, prosedur pengajuan dan penyelesaian keluhan

publik, perlindungan hukum, serta penghargaan/pemberian insentif.

Keluhan publik dalam sistem hukum dan administrasi negara Indonesia

dapat dilakukan dengan dua saluran kelembagaan, yaitu:

a. Keluhan publik diajukan kepada instansi atau pejabat (atau atasannya) yang

menyelenggarakan keluhan, oleh karena proses penanganan keluhan dilakukan

secara internal;

b. Keluhan publik diajukan tidak kepada instansi atau pejabat yang

menyelenggarakan keluhan akan tetapi kepada lembaga-lembaga yang secara

khusus dibentuk untuk mengelola keluhan publik. Penanganan keluhan yang

dilakukan oleh lembaga eksternal ini biasanya dilakukan setelah secara internal

keluhan tidak dapat diselesaikan secara memuaskan. Pelaporan tentang tindak

pidana korupsi yang dilakukan pejabat publik berdasarkan Undang-Undang

Antikorupsi, pengaduan pelanggaran HAM kepada KOMNAS HAM, atau

pengaduan ke Komisi Ombudsman Nasional (KON) merupakan bentuk pelayanan

keluhan yang bersifat eksternal.

Penelitian ini membatasi hanya pada penanganan keluhan atau

pengaduan yang bersifat internal saja, yang melekat pada instansi atau pejabat

penyelenggara pelayanan publik. Selain asas-asas umum pemerintahan yang baik

(good governance), beberapa perundang-undangan organik yang saat berlaku

sebagai hukum positif dan menjadi dasar penyelenggaraan pelayanan publik dan

pelayanan keluhan publik adalah:

a. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan Mutu Pelayanan

Aparatur Pemerintahan kepada Masyarakat jo Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun

1999 tentang Akuntabilitas Instansi Pemerintahan. Kedua INPRES tersebut

merupakan landasan politis dan kebijakan untuk perkembangan perundang-

undangan tentang pelayanan publik dan keluhan publik di Indonesia.

b. Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999

tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan

Nepotisme yang menyebutkan asas-asas yang menjadi landasan

penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu asas kepastian hukum, asas tertib

Page 129: pelayananumum

123

penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas

proporsional, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.

c. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor

63/Kep/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan

Publik jo Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor

Kep/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Penyusunan Indeks Kepuasan

Masyarakat jo Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara

Nomor Kep/26/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan

Akuntabilitas dalam Penyelengaraan Pelayanan Publik. Ketiga keputusan ini

sebagai satu kesatuan sistematis mengatur secara relatif utuh sistem pelayanan

publik dan sistem pelayanan keluhan publik.

Hasil pengkajian normatif terhadap sejumlah peraturan hukum di atas

menunjukkan bahwa dasar-dasar hukum berfungsinya fungsi pelayanan publik dan

pelayanan keluhan publik pada instansi dan/atau pejabat peyelenggara keluhan

publik sudah cukup memadai untuk:

a. menjadi prinsip-prinsip penuntun (guiding principles) tidak saja bagi lembaga-

lembaga khusus itu, tetapi juga untuk setiap dan semua lembaga dan fungsi

pelayanan publik di Indonesia dalam melaksanakan fungsi pelayanan publiknya;

c. membuktikan adanya pengakuan di dalam hukum positif Indonesia terhadap hak

asasi warganegara serta masyarakat untuk memperoleh pelayanan administrasi

yang baik.;

d. membuktikan pengakuan dalam hukum positif Indonesia bahwa peran-serta

masyarakat dalam penyelenggaraan negara yang bersih melalui fungsi kontrol-

sosial sebenarnya tidak saja merupakan hak tetapi juga tanggung jawab

masyarakat.

Dengan perkataan lain, di dalam hukum positif Indonesia sudah tersedia

peraturan perundang-undangan yang memadai untuk menjadi dasar hukum dari

keberadaan suatu sistem pengelolaan keluhan publik yang bersifat umum. Dalam

kaitan itu, beberapa hasil analisis umum yang dapat dibuat dari pengkajian normatif

dan empirik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Hukum positif Indonesia pada dasarnya sudah meletakkan kewajiban-kewajiban

utama pada setiap fungsi pelayanan publik di Indonesia untuk bekerja atas

Page 130: pelayananumum

124

dasar prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (pasal 3 UU No.28/1999). Melalui

penafsiran sistematis dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip good governance

tersebut berlaku pula terhadap apabila fungsi-fungsi pelayanan publik itu harus

menerima, memproses dan menyelesaikan masalah-masalah yang terbit dari

keluhan-keluhan masyarakat.

Namun demikian kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa

sebagian besar responden aparat yang bekerja dalam satu atau lebih lembaga

penyedia layanan publik (khususnya di bidang pelayanan umum) berpendapat

bahwa hambatan-hambatan yang terjadi dalam melayani public complaints itu

banyak diakibatkan oleh tidak adanya prosedur baku (standard procedure)

untuk melayani dan memproses keluhan-keluhan publik itu. Di lain pihak,

sebagian besar responden yang mewakili masyarakat juga berpendapat bahwa

“kelengkapan substansi dan prosedur baku” untuk memperoleh pelayanan yang

wajar terhadap keluhan-keluhan mereka juga menjadi hal yang sangat penting

bagi masyarakat sebelum mereka terdorong untuk mengajukan keluhan-

keluhannya langsung pada badan-badan publik yang dianggap melakukan

maladministrasi.

b. Berdasarkan hal itu, dan didukung oleh hasil perbandingan dengan norma-

norma “perilaku administrasi yang baik” (good administrative behaviour) yang

dikenal di dalam sistem hukum asing, dapat disimpulkan bahwa penjabaran

lebih lanjut dari prinsip-prinsip pemerintahan yang baik harus dapat diwujudkan

dalam suatu Standar Minimum Kualitas Pelayanan Keluhan Publik, yang

merupakan penjabaran dari asas-asas pemerintahan yang baik, dilengkapi

dengan beberapa asas perilaku administrasi yang baik dan diwujudkan dalam

aturan-aturan perilaku yang khusus diperuntukkan bagi suatu Sistem

Pengelolaan Keluhan Publik.

c. Hukum positif Indonesia sudah mengakui bahwa peran-serta masyarakat dalam

penyelenggaraan negara yang bersih melalui fungsi kontrol-sosial sebenarnya

tidak saja merupakan hak tetapi juga tanggung jawab masyarakat.

Namun demikian, ketentuan yang ada masih bersifat umum sehingga

penelitian lapangan menunjukkan seringkali tidak cocok sepenuhnya dengan

kebutuhan dan karakteristik pelayanan suatu instansi penyelenggara pelayanan

Page 131: pelayananumum

125

publik. Instansi-instansi yang pelayanan publik yang telah menjadi badan usaha

seperti PT TELKOM, PT PLN, dan PT POS INDONESIA karena kebutuhan

pengembangan bisnisnya tidak cukup lagi sekedar mengacu pada standar

pelayanan menurut beberapa peraturan perundang-undangan di atas. Karena

tuntutan kerjasama internasional dan konsekuensi sebagai perseroan terbuka

maka instansi-instansi tersebut ada kecenderungan untuk menggunakan

standar pelayanan yang bersertifikat nasional dan/atau internasional. Oleh

karena itu standar pelayanan publik, standar pelayanan keluhan publik,

prosedur, dan mekanismenya yang diatur dalam perundang-undangan tersebut

harus dinilai sebagai standar minimal, artinya instansi-instansi penyelenggara

pelayanan publik dapat mengadopsi sistem lain akan tetapi tidak boleh lebih

buruk dari standar yang ditentukan dalam berbagai perundang-undangan di

atas.

Secara umum sistem pelayanan publik dan pelayanan keluhan publik

yang ditetapkan dalam beberapa Keputusan Menpan baru dapat diwujudkan

dengan baik dan utuh apabila setiap instansi penyelenggara pelayanan publik

menjabarkan dan melengakapi mekanisme dan prosedur pengelolaan keluhan

publik yang lebih konkrit, sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik pelayanan

yang diselenggarakan. Hasil penelitian lapangan menunjukkan indikasi bahwa

hampir di semua sektor pelayanan umum (tidak termasuk pelayanan publik

pada instansi yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas / PT) ketiadaan

mekanisme dan prosedur yang jelas untuk mengelola keluhan-keluhan

masyarakat terhadap kinerja suatu badan penyedia layanan umum diakui (oleh

responden aparat) sebagai adalah salah satu kendala terbesar bagi badan/dinas

tersebut untuk dapat menangani keluhan-keluhan masyarakat dengan baik.

Senada dengan itu, cukup besar persepsi masyarakat yang cenderung apatis

pada kinerja pelayanan keluhan publik disebabkan oleh ketiadaan mekanisme

dan prosedur yang baku dan dapat mereka gunakan untuk menyampaikan dan

memperoleh penyelesaian yang baik terhadap keluhan-keluhannya.

d. Pengertian pelayanan tidak prima yang hakikatnya merupakan maladministrasi

seyogyanya menjadi salah satu elemen yang dapat menjadi kriteria obyektif

dan memicu bekerjanya suatu mekanisme penyampaian keluhan publik,

Page 132: pelayananumum

126

ternyata tidak selalu dapat ditentukannya ukuran obyektifnya untuk setiap

jenis layanan dan di setiap instansi penyelenggara pelayanan publik, karena

penelitian lapangan menunjukkan sebagian besar instansi penyelenggara

keluhan publik belum menetapkan secara yuridis standar pelayanan minimal

yang berlaku.

Penelitian lapangan terhadap responden yang mewakili masyarakat

menunjukkan bahwa sumber-sumber timbulnya kekecewaan masyarakat

terhadap pelayanan publik adalah:44

a. kualitas produk layanan yang rendah, sehingga masyarakat merasa

dirugikan hak dan kepentingannya. Kenyataan ini menunjukkan adanya

lack of quality control yang sebenarnya bersumber pada kelemahan dalam

pelaksanaan fungsi pengawasan;

b. diskriminasi dalam pemberian pelayanan, yang lebih banyak dirasakan di

wilayah perkotaan, mungkin disebabkan tidak adanya standar pelayanan

minimum yang dapat menjadi ukuran baik bagi aparat penyedia layanan

maupun bagi masyarakat;

c. kerumitan birokratik yang menyebabkan masyarakat enggan untuk

menyelesaikan urusan dan kepentingannya sesuai prosedur yang ada (atau

yang mungkin tidak ada); Kerumitan birokratis dalam memproses keluhan-

keluhan masyarakat jelas akan mendorong masyarakat untuk

menggunakan jalur-jalur alternatif untuk menyampaikan keluhannya;

d. Adanya biaya-biaya tambahan yang harus dikeluarkan masyarakat untuk

memperoleh pelayanan yang “lebih baik”. Di samping mencerminkan

lemahnya kontrol, gejala ini juga menunjukkan perilaku administratif yang

buruk dan bertentangan dengan asas kepastian hukum dan keadilan;

e. Rendahnya kualitas dan kurangnya jumlah sumber daya manusia yang

memberikan pelayanan atau yang menangani keluhan-keluhan, yang dapat

menjadi sumber dari rendahnya kualitas pelayanan umum dan tidak

berfungsinya mekanisme pelayanan terhadap keluhan-keluhan masyarakat.

Informasi yang agak inkonsisten diperoleh dari jawaban-jawaban aparat

44 Lihat: Laporan Penelitian Kelompok Kerja B-3 Komisi Hukum Nasional, Januari 2003,

halamam 155.

Page 133: pelayananumum

127

pengelola dinas publik yang menyatakan bahwa instansi mereka sudah

memiliki petugas khusus untuk melayani keluhan-keluhan publik,

sementara responden masyarakat umumnya beranggapan bahwa

rendahnya kualitas pelayanan keluhan antara lain disebabkan oleh

kurangnya sumber daya manusia. Untuk mengatasi persoalan tersebut,

suatu standar minimum kualitas pelayanan (termasuk pelayanan keluhan

masyarakat) harus juga menyinggung masalah kualifikasi minimum

pengelola dan kewajiban bagi instansi penyedia layanan umum untuk

menyediakan bagian khusus yang menangani keluhan-keluhan masyarakat.

Prinsip-prinsip “perilaku administratif yang baik” tentunya harus digunakan

untuk menjaga standar kualitas kerja dari para pengelolanya.

Kenyataan di atas sejalan dengan surat Menteri Negara Pendayagunaan

Aparatur Negara Nomor 80/M.PAN.3/2002 yang mengidentifikasi 7 faktor yang

menghambat atau mengurangi efektivitas pengawasan masyarakat, yaitu:

a. Luas dan kompleksnya cakupan kegiatan birokrasi pemerintah yang tersebar di

seluruh pelosok tanah air, sehingga tidak mungkin ditangani secara sentralistik.

b. Proses penanganan pengaduan masyarakat sangat lambat dan berbelit-belit,

sehingga sering mendorong masyarakat cenderung menempuh jalan pintas,

menyelesaiakan sendiri masalah yang dianggap merugikannya dan melanggar

rasa keadilan masyarakat. Hal ini perlu diantisipasi agar tidak terjadi gejolak

sosial yang anarkhis.

c. Adanya kecenderungan pimpinan instansi pemerintah melindungi aparat di

jajaran instansinya agar kelihatan bersih, sehingga laporannya tidak lugas dan

kurang obyektif.

d. Kerangnya kesadaran dan pemahaman terhadap arti, makna, urgensi serta

manfaat pengawasan masyarakat dari sebagian besar aparatur pemerintah,

sehingga kurang peduli dan tidak peka terhadap aspirasi serta keluhan

masyarakat.

e. Kurangnya konsistensi dan transparansi dalam penegakan hukum yang sering

tidak tuntas, sehingga mengurangi kepercayaan masyarakat.

Page 134: pelayananumum

128

f. Kurangnya perlindungan hukum bagi pelapor dan saksi dari ancaman dari

pejabat terlapor dan atau kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang

aparat pemeriksa terhadap pejabat terlapor dan atau pelapor.

g. Cara berfikir dan bertindak yang formalistik dan rutin, disertai arogansi

kekuasaan sehingga cenderung sering mempersonifikasikan dirinya sebagai

penguasa dengan pertimbangan-pertimbangan subyektif dan berlindung pada

wewenang administratif yang tidak terukur.

3. Masalah-masalah dalam proses penyampaian keluhan pada bidang

pelayanan umum

Dari hasil sementara pengkajian secara normatif terhadap peraturan

perundang-undangan di bidang pelayanan publik serta didukung oleh fakta dan data

yang diperoleh dari penelitian lapangan, dapat disimpulkan bahwa sistem

penyampaian keluhan publik di Indonesia menghadapi dua masalah utama yaitu:

a. Tidak adanya standar minimum kualitas pelayanan (minimum quality standard on

public service) yang pada akhirnya harus diberlakukan dalam pengelolaan

keluhan-keluhan publik;

b. Tidak adanya sistem, baik institusional maupun prosedural, yang komprehensif

dan integral tentang pengelolaan keluhan publik.

Dari hasil pengakajian normatif terhadap peraturan perundang-undangan

dan penelitian empiris terhadap pelaksanaan pelayanan jasa publik di bidang

pelayanan umum ternyata tidak dapat ditemukan adanya standar minimum kualitas

pelayanan yang berlaku umum terhadap semua jenis fungsi dan dinas-dinas publik

yang dapat menjadi pegangan, baik bagi setiap fungsionaris aparatur pemerintahan

atau administrasi negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya, maupun

masyarakat sebagai konsumen atau pengguna penerima layanan.

Umumnya peraturan perundang-undangan yang telah berhasil ditemukan

dan dikaji ternyata hanya mengatur tentang susunan organisasi suatu instansi yang

bertugas dan berfungsi melakukan suatu pelayanan umum dan uraian tugas dan

fungsi setiap bagian secara sangat umum. Dalam kaitan dengan sistem dan

prosedur penyampaian keluhan publik, kenyataan ini sebenarnya membawa

Kelompok Kerja pada dua alternatif kesimpulan, yaitu, atau (i) standar kualitas

Page 135: pelayananumum

129

pelayanan keluhan publik sudah dianggap inherent pada tugas dan wewenang publik

berdasarkan asas-asas pemerintaan yang baik, atau (ii) pengaturan tentang standar

kualitas pelayanan public grievances/public complaints memang belum disadari

sebagai hal penting yang merepresentasikan fungsi kontrol sosial masyarakat

terhadap jalannya penyelenggaraan administrasi publik.

Secara ideal dalam peraturan perundang-undangan organik yang

mengatur suatu instansi harus dirumuskan dengan memperhatikan standar minimum

kualitas pelayanan umum namun disesuaikan dengan bidang dan fungsi masing-

masing instansi. Penjabaran sampai tingkat tehnis prosedural dari prinsip-prinsip

good governance dan good administration behavior merupakan salah satu sarana

penting untuk mengukur kinerja instansi tersebut. Segala program yang disusun dan

dilaksnakan oleh instansi publik tersebut kemudian harus diuji dengan standar yang

ditetapkan sebelumnya. Di sisi lain secara yuridis penjabaran standar demikian dapat

menjadi pintu masuk bagi masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kinerja

suatu instansi publik dan untuk mengajukan keluhan-keluhan terhadap pelanggaran-

pelanggarannya (maladministrative behavior).

Terlepas dari kebutuhan di atas, dari analisis silang terhadap data dan

informasi yang diperoleh dari responden aparat di satu pihak dan responden

masyarakat, Kelompok Kerja cenderung untuk menyimpulkan adanya beberapa

gejala umum sebagai berikut:45

a. Aparat dari dinas-dinas penyedia pelayanan publik menyatakan bahwa

keluhan-keluhan yang datang dari masyarakat cenderung disampaikan

dengan cara penyampaian langsung ke instansi ybs baik secara lisan atau

secara tertulis, atau secara tidak langsung dengan memanfaatkan media

massa (cetak atau elektronik). Sementara itu di lain pihak, kebanyakan

responden masyarakat yang pernah mengajukan keluhannya pada suatu

dinas publik juga beranggapan bahwa keluhan-keluhan paling banyak

diajukan secara langsung dan secara lisan (tatap-muka atau melalui telepon)

ke dinas yang terkait, atau melalui surat resmi dan media massa. Yang

menarik dari persepsi masyarakat ini adalah bahwa:

45 Op. Cit. halaman 161.

Page 136: pelayananumum

130

- sebagian besar responden masyarakat belum pernah mengajukan

keluhannya melalui suatu sistem penyampaian keluhan publik tertentu,

karena tidak mengetahui prosedur yang harus dijalani;

- sejumlah tertentu responden masyarakat (dalam jumlah yang cukup

signifikan) merasa pengajuan resmi semacam itu tidak ada manfaatnya

karena tidak akan ada tanggapan serius dari dinas atau aparat yang

bersangkutan;

- sejumlah tertentu responden masyarakat merasa yakin bahwa pengajuan

keluhan semacam itu akan membawa mereka ke dalam kerumitan

birokrasi, dan karena itu enggan untuk menjalaninya.

Fakta-fakta di atas tampaknya mendukung dugaan sementara dalam

penelitian normatif yang menunjukkan bahwa ketiadaan sistem dan prosedur

penyampaian keluhan publik yang jelas dan sederhana, akan mengakibatkan

semakin besarnya keengganan masyarakat untuk menyampaikan keluhan-

keluhannya ke instansi yang bersangkutan. Anggapan tentang rendahnya

kualitas dan responsivitas dari instansi terlapor serta kekhawatiran akan

adanya kerumitan birokrasi juga mungkin berkaitan dengan tidak adanya

standar minimum pelayanan publik yang dapat dijadikan pegangan baik oleh

instansi/dinas terlapor maupun oleh masyarakat.

b. Secara teoretis dengan bertitik tolak dari anggapan dasar bahwa suatu

standar minimum kualitas pelayanan publik dibutuhkan untuk menjamin

bahwa penyelenggaraan administrasi negara, termasuk urusan-urusan

pelayanan umum dapat berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip Good

governance dan Good Administrative Behaviour. Standar minimum kualitas

pelayanan publik semacam itu juga akan menjadi pedoman perumusan serta

pelaksanaan suatu sistem penyampaian keluhan publik. Namun demikian,

penelitian normatif terhadap pelbagai jenis pelayanan publik yang

Page 137: pelayananumum

131

dilaksanakan dalam penelitian ini (kecuali di Kota Semarang) menunjukkan

bahwa Standar Minimum Kualitas Pelayanan semacam itu memang belum

ada dalam arti belum ditetapkan secara hukum. Di lain pihak, penelitian

empiris terhadap responden aparat dan responden wakil masyarakat,

ternyata bahwa yang menjadi kausa dari pelbagai keluhan-keluhan

masyarakat terhadap pelayanan publik terutama menyangkut:46

Inkonsistensi antara tindakan,kebijaksanaan atau keputusan instansi-

instansi penyedia jasa publik yang umumnya dianggap tidak sejalan

dengan, atau menyimpang dari standar kualitas yang

ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku;

Inkonsistensi termaksud di atas terutama (tercermin dari sebagian besar

jawaban responden) menyangkut kelambatan waktu pelaksanaan

pelayanan jasa. Ada pelbagai faktor yang dapat menjadi penyebab

inefisiensi semacam itu, seperti misalnya, kekurangan sumber daya

manusia, tidak adanya prosedur dan petunjuk teknis yang jelas untuk

penyediaan layanan, dsb;

Inkonsistensi juga tampak dari aspirasi sebagian responden yang

mengeluhkan rendahnya kualitas produk layanan dibandingkan

dengan kualitas yang seharusnya diberikan. Keluhan semacam ini

tampak agak lebih besar di wilayah perkotaan, dibandingkan dengan

wilayah non-perkotaan, dan hal ini mungkin disebabkan oleh adanya

“demand for quality” yang lebih tinggi di wilayah perkotaan;

Inkonsistensi atau penyimpangan lain yang menjadi sumber keluhan

masyarakat dalam pelayanan umum (walaupun dalam persentase yang

relatif kecil) adalah dalam hal pengenaan biaya tidak resmi. Gejala

ini tampak lebih dirasakan di wilayah non-perkotaan dibandingkan

46 Lihat: Laporan Akhir Penelitian “Prosedur Penyampaian Keluhan Publik”, Kelompok

Kerja B-3 Fakultas Hukum Unpar – KHN, 2003, halaman 167 – 184.

Page 138: pelayananumum

132

wilayah perkotaan, dan hal ini mungkin berkaitan dengan akses yang

lebih baik bagi anggota masyarakat untuk memperoleh informasi

mengenai tarif-tarif dan biaya resmi serta lebih tingginya kesadaran

masyarakat mengenai hak-haknya, sehingga memperkecil kemungkinan

bagi aparat pemberi layanan untuk mengenakan biaya-biaya tidak resmi.

Jadi, secara umum dapatlah dikatakan bahwa faktor pengawasan

internal dan pengawasan eksternal (termasuk social control)

menjadi faktor yang cukup penting dalam penetapan standar minimum

kualitas pelayanan, termasuk juga standar minimum pelayanan atas

keluhan-keluhan masyarakat;

Inkonsistensi-inkonsistensi lain, walaupun dalam persentase yang relatif

lebih kecil, seperti hambatan-hambatan birokrasi (di dalam proses

penyediaan pelayanan publik yang seharusnya cepat, aman dan murah),

rendahnya kualitas produk layanan yang diberikan, rendahnya kualitas

SDM yang harus menangani urusan pelayanan publik tertentu, atau

adanya diskriminasi dalam pemberian pelayanan, yang pada dasarnya

mengarah pada tidak adanya prosedur baku yang menjadi pedoman dan

pegangan baik bagi aparat maupun masyarakat.

Berdasarkan kajian normatif terhadap peraturan-peraturan perundang-

undangan yang berlaku atas pelbagai dinas/institusi pelayanan umum (dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah), Kelompok Kerja pada dasarnya berkesimpulan bahwa

hukum positif Indonesia belum memiliki sebuah sistem yang utuh dan yang dapat

digunakan sebagai pedoman umum bagi setiap institusi penyedia pelayanan umum

(dan juga BUMN dan fungsi-fungsi pemerintahan lainnya) tentang pengelolaan dan

penyampaian keluhan publik. Pendek kata, sistem pengelolaan dan penyampaian

keluhan publik adalah peraturan organik yang membuka kemungkinan bagi

masyarakat untuk melaksanakan hak-haknya memperoleh perilaku administrasi yang

baik sesuai dengan Standar Minimum Kualitas Pelayanan Publik yang seharusnya

ditetapkan terlebih dahulu. Sistem semacam itu harus:

Page 139: pelayananumum

133

a. mencakup aspek institusional, dalam arti menetapkan prinsip-prinsip umum

tentang kualifikasi sumber daya, tentang struktur dan kedudukan organisatoris

dari suatu unit pengelola keluhan publik di dalam sebuah institusi administrasi

negara, kewenangan-kewenangan dalam penanganan masalah, dsb. Termasuk

di sini garis kewenangan dan tanggung jawab dalam penanganan masalah-

masalah inter departemental atau antar-institusi; Rekomendasi ini sejalan

dengan aspirasi yang diperoleh dari penelitian empirik, di mana salah satu

hambatan dan kesulitan bagi dinas atau institusi publik dalam penanganan

keluhan-keluhan masyarakat terletak pada ketidakjelasan organisasi dan

wewenang untuk memproses dan menyelesaikan masalah yang menjadi obyek

keluhan;

b. mencakup aspek prosedural, dalam arti menetapkan basic process dari

penyampaikan keluhan-keluhan masyarakat terhadap kinerja atau

kebijaksanaan/keputusan institusi administrasi. Aspek prosedural akan

mencakup prinsip-prinsip dasar penanganan keluhan publik, persyaratan

pelapor, persyaratan pengajuan keluhan, langkah-langkah-langkah yang harus

dijalani pihak pelapor, prosedur follow up proses penyelesaian masalah, sistem

pemantauan dan pelaporan, akibat-akibat hukum bagi pihak pelapor dan/atau

terlapor, dsb. Hal ini relevan bila dikaitkan dilihat dari kenyataan bahwa tidak-

adanya prosedur yang jelas yang harus dijalani oleh masyarakat menjadi

kendala dalam menyampaikan keluhan-keluhannya;

c. bersifat integratif, maksudnya adalah bahwa sistem pengelolaan dan

penyampaian keluhan publik yang dimaksud di sini harus bersifat umum dan

dapat diterapkan (applicable) pada fungsi dan tugas pelbagai dinas pelayanan

umum, tanpa mengabaikan kekhasan dan keunikan bidang tugas dan sifat

pelayanannya. Dengan berpedoman pada sistem yang integratif ini, setiap

institusi pelayanan umum dapat membangun aturan-aturan pada tingkat

petunjuk-pelaksanaan atau petunjuk-teknis yang sudah memperhatikan

kekhasan bidang tugasnya masing-masing.

Dikaitkan dengan persoalan yang dihadapi dalam praktek (dari

penelitian empirik serta in-depth interview dengan beberapa pihak), banyak

hambatan dalam penyelesaian keluhan-keluhan publik yang terbentur oleh

Page 140: pelayananumum

134

persoalan-persoalan antar-dinas atau antar-institusi yang masing-masing

bekerja dalam lingkup-kewenangan yang berbeda. Bila semua institusi

pelayanan umum dapat berpegang pada satu sistem pengelolaan dan

penyampaian keluhan publik yang sifatnya integratif, maka diharapkan bahwa

persoalan-persoalan hukum antar-wewenang dapatlah dihindarkan;

d. bersifat komprehensif, maksudnya adalah bahwa sistem ini harus lengkap

dan utuh, dalam arti mencakup kaidah-kaidah yang memuat asas-asas utama

dalam pengelolaan keluhan publik (yang tentunya merupakan hasil elaborasi

dari prinsip-prinsip good governance dan good administrative behaviour) dan

aturan-aturan pelaksanaan yang bersifat konkrit dan dapat langsung

dilaksanakan atau diterapkan pada institusi/dinas pelayanan umum apapun.

Perumusan Standar dan Prosedur Pengelolaan Keluhan Publik

Pada dasarnya, masyarakat penerima pelayanan dari penyelenggara

pelayanan publik, berhak untuk memperoleh pelayanan pengelolaan keluhan dengan

kualitas yang sama. Disadari bahwa pelayanan yang dilakukan oleh satu instansi dan

atau pejabat tertentu tentulah sangat berbeda dengan instansi dan atau pejabat

yang lain. Namun demikian, perlu diatur tentang standar pengelolaan keluhan

publik, yang berlaku umum sehingga menjadi payung (umbrella act) bagi setiap

instansi dan atau pejabat penyelenggara pelayanan publik, yang menjadi pedoman

umum untuk mengelola keluhan masyarakat. Makna dari standar minimum

pengelolaan keluhan publik ini adalah hal terendah yang masih dianggap baik

dalam mengelola keluhan publik. Sepanjang masing-masing instansi telah memenuhi

standar minimal tersebut, selanjutnya mereka diperkenankan untuk

mengembangkan pola pengelolaan keluhannya, yang lebih baik daripada standar

minimum tersebut dan sesuai dengan bidang kerja masing-masing.

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan sebelumnya, maka secara teoretis

dapat disimpulkan bahwa beberapa hal harus dimuat di dalam prosedur penanganan

keluhan publik, antara lain:

Page 141: pelayananumum

135

a. Asas yang mendasari prosedur penyampaian keluhan publik:

Pengelolaan keluhan publik harus didasari oleh asas-asas yang termuat di

dalam good governance, secara lebih khusus terfokus pada asas transparansi

dan akuntabilitas. Ketentuan tersebut harus memuat tentang kewajiban

lembaga-lembaga teknis untuk melakukan pengelolaan keluhan publik dan

menjamin hak-hak masyarakat untuk mengajukan keluhan. Karena kedudukan

lembaga yang mengelola keluhan tersebut bersifat dominan terhadap

masyarakat, maka prinsip transparansi - dalam arti masyarakat dapat

mengakses proses pengelolaan keluhan - menjadi hal yang sangat penting untuk

diatur.

Di samping itu, asas akuntabilitas harus diartikan bahwa setiap

pengelolaan keluhan publik harus dapat dipertanggungjawabkan kepada

masyarakat atau pelanggan, baik dari segi prosedur dan mekanisme pengelolaan

keluhan tersebut dan substansi penyelesaian masalahnya yang sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, perlu juga

diadopsi asas-asas kepastian hukum, proporsionalitas, profesionalitas,

non diskriminatif, keadilan dan pengutamaan kepentingan umum.

b. Jenis keluhan yang dapat dikatagorikan sebagai keluhan publik:

Jenis keluhan yang dapat dikategorikan sebagai keluhan publik antara

instansi yang satu dengan yang lain dapat berbeda-beda, karena jenis pelayanan

atau usaha yang dilakukan oleh masing-masing instansi juga dapat berbeda-

beda. Oleh karena itu, masing-masing instansi harus mendeskripsikan di dalam

prosedur penyampaian keluhan publiknya tentang hal apa saja yang dapat

dikategorikan sebagai keluhan publik tersebut. Misalnya: instasi tersebut

membatasi makna keluhan publik hanya mencakup keluhan yang berkaitan

dengan mal-administration dari aparat, sehingga apabila keluhan yang

diajukan ternyata berkaitan dengan keluhan pelanggan yang mengharapkan

digantinya teknologi yang dipergunakan oleh perusahaan (tidak ada mal-

administration, hanya semata-mata menghendaki peningkatan pelayanan), maka

keluhan itu dapat ditolak (dengan menyebutkan secara tegas alasan

penolakannya).

Page 142: pelayananumum

136

c. Cara mengajukan keluhan publik:

Karena masing-masing instansi juga memiliki struktur organisasi dan cara

kerja yang khas dan spesifik, maka masing-masing instansi dapat menentukan

tentang cara mengajukan keluhan, yang penting di dalam cara pengajuan

keluhan tersebut harus memuat tentang:

1. Syarat-syarat pelengkap yang harus dipenuhi oleh pengaju keluhan (misalnya

membawa dokumen-dokumen pelengkap tertentu, memiliki bukti diri, dll.);

2. Bentuk pengajuan keluhan (misalnya harus mengisi formulir tertentu,

dapatkah mengajukan keluhan melalui alat komunikasi tertentu misalnya

dengan telepon, e-mail atau facsimile);

3. Penentuan pejabat / instansi yang bertugas menerima keluhan. Dengan

memperhatikan hasil penelitian lapangan terhadap responden aparat maupun

masyarakat – yang pada umumnya menyatakan perlunya dibentuk bagian

khusus yang melayani keluhan publik pada masing-masing lembaga – maka

perlu dipertimbangkan tentang hal tersebut dalam pengaturannya.

d. Penentuan pejabat yang berwenang untuk melakukan pengelolaan keluhan,

termasuk penentuan tata cara pengalihan keluhan dari penerima keluhan kepada

pejabat teknis yang berwenang (dikenal dengan metode dispatching);

e. Harus ditentukan jangka waktu untuk merespons keluhan publik. Jangka waktu

ini harus dirumuskan dengan kata-kata yang terukur, misalnya dalam waktu 2

hari; dan tidak menggunakan kata-kata yang tidak terukur, misalnya secepat

mungkin, segera setelah, dll.

f. Harus ditentukan juga jangka waktu menyelesaikan masalah yang dikeluhkan.

Penentuan jangka waktu ini bisa dirinci dengan membedakan beberapa

kelompok misalnya:

1. Berdasarkan kompleks atau tidaknya masalah yang dihadapi (dengan

menyebutkan juga apa kriteria kekompleksan dari masalah tersebut);

2. Berdasarkan penyelesaian yang bersifat intern instansi itu sendiri atau

masalahnya lintas sektoral;

3. Berdasarkan perlu atau tidaknya mengadakan penggantian

perangkat/sarana/prasarana;

Page 143: pelayananumum

137

4. Berdasarkan kriteria-kriteria lain yang sesuai dengan kondisi instansi

tersebut.

g. Prosedur pengajuan keluhannya harus tidak dikenai biaya;

h. Apabila dalam penyelesaian masalah ternyata terdapat perbaikan yang

membutuhkan biaya, harus diberlakukan asas transparansi dalam penarikan

biaya (misalnya dengan perincian perbaikan apa saja yang harus dilakukan,

perangkat apa saja yang harus diganti, siapa yang harus menanggung biaya dari

perangkat tersebut, dll). Bahkan seharusnya setiap instansi memiliki daftar

rincian perangkat/alat yang harus menjadi tanggungan instansi dan yang harus

menjadi tanggungan yang mengajukan keluhan;

i. Prosedur penyampaian keluhan publik ini harus memuat juga jaminan dari

instansi tersebut untuk memberikan legal protection bagi yang mengajukan

keluhan;

j. Prosedur penyampaian keluhan publik ini juga harus memuat legal protection

bagi otoritas yang menerima keluhan publik yang tidak sah (prosedural dan

substansial);

k. Prosedur penyampaian keluhan publik ini memuat juga tata cara rehabilitasi bagi

pihak yang dirugikan, misalnya dengan memberikan pemulihan, memberikan

ganti rugi, dll;

l. Tatacara penginformasian hasil penanganan keluhan kepada pihak yang

mengajukan keluhan.

m. Kewajiban bagi setiap instansi untuk melakukan sosialisasi prosedur baku

penyampaian keluhan publik yang berlaku di instansinya.

Secara teknis operasional Keputusan MENPAN Nomor 26 Tahun 2004

memberikan beberapa pedoman pelaksanaan pelayanan keluhan atau pengaduan

masyarakat, beberapa diantaranya adalah:

a. Masyarakat harus diberi beberapa alternatif tatacara menyampaikan keluhan,

mulai dari kotak pengaduan, kotak pos, satuan tugas khusus dan cara lain yang

dapat digunakan masyarakat. Masyarakat yang melakukan pengaduan harus

memberikan identitas yang jelas, tidak boleh anonim atau surat kaleng.

Page 144: pelayananumum

138

b. Masyarakat yang melakukan pengaduan harus diberi formulir tanda bukti

pengaduan. Pada formulir tersebut harus disebutkan nama dan jabatan petugas

yang berwenang menyelesaikan pengaduan dan jangka waktu penyelesaiannya.

c. Apabila dalam penanganan pengaduan ternyata terjadi penyimpangan oleh

petugas pelayanan maka perlu diberikan sanksi kepada petugas yang

bersangkutan.

4. Mengkaji kemungkinan untuk melibatkan biro hukum dalam pelayanan

publik

Pelayanan keluhan publik merupakan bagian integral dan tidak

terpisahkan dari sistem pelayanan publik pada umumnya, ini berarti bahwa dalam

suatu sistem pelayanan publik yang diselenggarakan oleh suatu instansi di dalamnya

harus tersedia subsistem pelayanan keluhan. Dalam sistem hukum administrasi

Indonesia hak atas pelayanan publik yang prima merupakan hak normatif yang

dijamin oleh undang-undang, sebaliknya penyelenggara pelayanan publik memiliki

kewajiban hukum untuk menyelenggarakan pelayanan prima. Dilihat dari sisi

masyarakat atau konsumen penerima pelayanan, sistem pelayanan keluhan

merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menjamin dan melindungi

hak-haknya atas pelayanan publik yang prima. Sedangkan dari sisi penyelenggara

pelayanan, sistem pelayanan keluhan merupakan salah satu cara untuk memperoleh

umpan balik dari penyelenggaraan pelayanan publik yang bermanfaat dalam rangka

evaluasi untuk peningkatan kualitas pelayanan.

Disamping unsur-unsur sistem pelayanan publik pada umumnya, sistem

pelayanan keluhan yang ideal mensyaratkan beberapa unsur yang harus dipenuhi

sebagaimana telah diuraikan dalam butir 4 bab ini. Beberapa unsur dari seluruh

unsur tersebut adalah menyangkut aspek kelembagaan dan/atau aspek personil dari

sistem pelayanan keluhan di istansi penyelenggara pelayanan, yaitu:

1. Bahwa harus ditetapkan bagian dan/atau pejabat yang bertugas dan memiliki

kewajiban untuk menerima dan menangani keluhan;

2. Bahwa pejabat dan/atau pegawai yang ditugaskan menerima keluhan harus

memiliki kompetensi untuk menangani keluhan sesuai prosedur pelayanan

keluhan yang berlaku di instansi tersebut.

Page 145: pelayananumum

139

Untuk menjamin hak yuridis masyarakat penerima layanan untuk

mengajukan keluhan dan agar keluhan tersebut mendapat penanganan secara

maksimal maka menurut Anton Sujata47, Ketua Komisi Ombudsman Nasional,

secara ideal setiap instansi harus menyediakan bagian dan/atau pejabat khusus

(complaint officers) yang menerima dan menangani keluhan (internal complaint).

Pelayanan keluhan harus dilakukan oleh bagian yang terpisah dengan bagian yang

memberikan pelayanan pokok.

Tersedianya bagian khsuus sebagai internal complaint dilihat dari

kepentingan masyarakat akan lebih menjamin keluhan tersebut ditangani secara

cepat dan tepat oleh pejabat dan/atau pegawai yang kompeten untuk itu, dan

mempermudah masyarakat melakukan pematauan atas proses penanganan keluhan

karena cukup berhubungan dengan satu bagian saja untuk semua jenis keluhan.

Sedangkan dari sudut instansi penyelenggara pelayanan keberadaan bagian khusus

tersebut akan mempermudah pengelolaan keluhan dan tidak mengganggu

pelaksanaan pelayanan pokok karena petugas pelayanan pokok tidak akan

berhubungan langsung dengan masyarakat yang mengajukan keluhan. Sentralisasi

penanganan keluhan ini juga memudahkan pemantauan keluhan yang disampaikan

dan proses penyelesaiannya, yang pada akhirnya akan mempermudah evaluasi atas

sistem pelayanan yang diselenggarakan.

Complaint officers harus memiliki kompetensi khusus membangun

hubungan dengan masyarakat dan/atau konsumen yang mengajukan keluhan,

kompetensi complaint officers harus lebih pada aspek human relation daripada aspek

teknis pelayanan pokok. Meskipin complaint officers merupakan bagian dari

organisasi suatu instansi penyelenggara pelayanan akan tetapi karena fungsinya

mereka memiliki kedudukan yang khas, yaitu membangun hubungan dengan

masyarakat dan/atau konsumen untuk kepentingan instansi. Complaint officers ini

tidak bertugas untuk menutupi kekurangan atau melakukan pembelaan atas

kualiatas pelayanan yang belum prima atau atas suatu tindakan maladministrasi,

akan tetapi menampung dan menyampaikan keluhan kepada bagian teknis

pelayanan pokok dari sudut pandang masyarakat dan/atau konsumen, kemudian

47 Anton Sujata, dalam lokakarya tanggal 30 Oktober 2004

Page 146: pelayananumum

140

menyampaikan penjelasan secara jujur dan obyektif atas masalah yang dikeluhkan

kepada masyarakat dan/atau konsumen berdasarkan hasil investigasi bagian teknis

pelayanan pokok. Menurut Anton Sujata pada umumnya di Indonesia tugas public

service officers dan complaint officers sering dicampuraduk sehingga fungsi

complaint officers malah lebih sering mewakili pejabat pemberi layanan daripada

masyarakat yang menyampaikan keluhan.

Penelitian lapangan melalui wawancara dan focused group disscusion

(FGD) memperoleh informasi bahwa semua instansi telah melakukan pelayanan

keluhan publik, akan tetapi setiap instansi memiliki sistem pelayanan keluhan yang

berbeda. Dari berbagai sistem yang diberlakukan, dapat diidentifikasi tiga pola

sebagai berikut:

1. Tidak ada bagian khusus pelayanan keluhan, sehingga keluhan diterima dan

ditangani oleh bagian yang juga memberikan pelayanan pokok. Dengan pola ini

masyarakat dan/atau konsumen yang akan mengajukan keluhan harus

berhubungan dengan bagian dimana pelayanan tersebut dianggap tidak

memuaskan. Apabila pelayanan memerlukan penyelesaian secara berjenjang

maka hal ini menyulitkan masyarakat dan/atau konsumen yang akan

mengajukan keluhan karena untuk keluhan pada setiap tahap pelayanan ia

harus berhubungan dengan bagian yang berbeda. Instansi yang menerapkan

pola ini adalah Badan Pertanahan Nasional, Kepolisian, dan Dinas Kependudukan

/ Catatan Sipil.

2. Tidak ada bagian khusus pelayanan keluhan, keluhan diterima dan ditangani

langsung oleh pimpinan instansi. Pola ini memiliki kelebihan karena penyelesaian

keluhan dapat langsung dilakukan oleh pimpinan suatu instansi, akan tetapi

dalam praktiknya justru merugikan masyarakat dan atau konsumen yang

mengajukan keluhan karena akses untuk berhubungan langsung dengan

pimpinan instansi untuk menyampaikan keluhan maupun memantau proses

penyelesaian keluhan tersebut sangat kecil. Instansi yang menerapkan pola ini

adalah Puskesmas dimana keluhan atas pelayanan kesehatan yang diberikan

oleh puskesmas dapat diajukan kepada Kepala Puskesmas dan/atau Kepala

Dinas Kesehatan.

Page 147: pelayananumum

141

3. Bagian Humas diberi tugas untuk menerima keluhan dari masyarakat dan/atau

konsumen untuk disampaikan kepada supervisor dan penyelesaian keluhan

dilakukan oleh bagian teknis pelayanan pokok sesuai keluhan yang disampaikan.

Pola ini mirip dengan pola ideal yang diuraikan di atas, akan tetapi patut

dicermati kemungkinan terjadinya conflict of interest karena tugas dan fungsi

bagian humas berbeda dengan tugas dan fungsi complaint officers. Bagian

Humas dari suatu instansi adalah membangun image instansinya, sehingga pada

saat berhubungan dengan masyarakat yang mengajukan keluhan akan

cenderung tidak obyektif. Instansi yang menerapkan pola ini adalah PT. POS

INDONESIA.

4. Ada bagian khusus yang menerima keluhan. Bagian khusus ini setelah menerima

keluhan kemudian dengan prosedur dan mekanisme yang berlaku melakukan

distribusi ke masing-masing bagian teknis pelayanan pokok sesuai keluhan yang

diterima (dikenal dengan istilah dispatching). Penanganan keluhan dilakukan

oleh masing-masing bagian teknis, hasil investigasi permasalahan dan/atau

penyelesaian keluhan tersebut disampaikan kepada complaint officer untuk

selanjutnya disampaikan kepada masyarakat dan/atau masyarakat yang

mengajukan keluhan. Pola ini sesuai dengan pola ideal yang diuraikan di atas.

Instansi yang telah menerapkan pola ini adalah PT. TELKOM dan PT. PLN.

5. Kantor pusat dari instansi penyelenggara pelayanan publik membuka pusat

pelayanan keluhan melalui kotak pos, faksimili, atau telepon hot line. Pola ini

sangat mudah diakses oleh masyarakat akan tetapi proses penanganan keluhan

biasanya bersifat tertutup dan tidak dapat diakses oleh masyarakat dalam rangka

melakukan pemantauan atas penanganan keluhan tersebut. Instansi yang

menerapkan pola ini adalah Badan Pertanahan Nasional.

Beberapa instansi menerapkan secara bersama-sama lebih dari satu pola

pelayanan keluhan tersebut di atas. Badan Pertanahan Nasional menerapkan pola

pertama dan kelima, kepolisian menerapkan pola pertama dan kedua.

Temuan penelitian lapangan menunjukkan bahwa tidak ada satu instansi

pun yang melibatkan atau mengikutsertakan bagian hukum atau biro hukum untuk

melakukan penanganan atas keluhan masayarakat dan atau konsumen. Padahal

penelitian ini juga memperoleh informasi bahwa semua instansi yang diteliti, kecuali

Page 148: pelayananumum

142

puskesmas / dinas kesehatan, memiliki bagian hukum. Pada umumnya fungsi dan

tugas bagian hukum dari suatu instansi adalah:48

1. Menyiapkan rancangan peraturan perundang-undangan, surat keputusan

(beschiking), atau bentuk dokumen hukum lain yang menjadi kewenangan

instansi yang bersangkutan yang memerlukan pengkajian dan pengujian dari

aspek hukum sebelum ditetapkan lebih lanjut;

2. Meneliti, mengkaji, menguji, dan memberikan rekomendasi dari aspek hukum

terhadap rancangan dari luar (dalam rangka koordinasi) sebelum ditetapkan

lebih lanjut oleh yang berwenang;

3. Melakukan pengkajian dan memberikan rekomendasi atas suatu sengketa

hukum yang melibatkan instansi yang bersangkutan.

4. Bertindak sebagai kuasa atau wakil dari instansi dalam penyelesaian sengketa

hukum di dalam maupun di luar pengadilan.

Di luar tugas menyiapkan regulasi atau beschiking, secara umum Bagian

Hukum dari suatu instansi akan dilibatkan dalam suatu penanganan keluhan apabila

keluhan tersebut telah berkembang sedemikian rupa menjadi sengketa hukum.

Menurut Anton Sujata, Bagian Hukum lebih tepat menjadi penasihat hukum instansi

pemerintah. Di kepolisian, Bagian Hukum bertugas sebagai pembantu dan

pelaksana pimpinan POLRI yag menanagani permasalahan hukum seperti mewakili

di muka pengadilan, di DPR, dan perumus kebijakan yang menyangkut hukum.49

Berdasarkan hal di atas para nara sumber sepakat bahwa Biro Hukum

tidak cocok dan tidak tepat dilibatkan dalam proses pelayanan keluhan

masyarakat/konsumen, kecuali telah menjadi sengketa hukum. Dalam hal terjadi

sengketa, bagian hukum akan bertindak sebagai wakil yang memperjuangkan

kepentingan instansi. Tim menyimpulkan yang dimaksud sengketa hukum oleh para

narasumber adalah bahwa keluhan (baca: sengketa) tersebut sudah menjadi

gugatan dan/atau laporan, atau setidak-tidaknya potensial menjadi demikian,

melalui sistem peradilan perdata, pidana, atau tata usaha negara. Menurut Soewito

MD pelibatan Biro Hukum dalam penanganan setiap keluhan justru akan “memaksa”

48 Soewito MD, dalam lokakarya tanggal 30 Oktober 2004. 49 Chaeruddin Ismail, dalam lokakarya tanggal 30 Oktober 2004.

Page 149: pelayananumum

143

setiap keluhan harus diselesaikan melalui jalur hukum, padahal seringkali

masalahnya hanya masalah teknis atau administrasi. Secara tegas Anton Sujata

mengemukakan bahwa Bagian Hukum tidak tepat dikembangkan menjadi bagian

yang menangani keluhan publik.

Pendapat para narasumber yang disampaikan dalam lokakarya tersebut

ternyata sejalan dengan pandangan para peserta FGD. Salah seorang peserta FGD di

Surabaya yang mewakili masyarakat secara tegas menyatakan bahwa Bagian

Hukum tidak cocok diikutsertakan dalam pelayanan keluhan, karena kultur yang

telah terbentuk pada para personil Bagian Hukum ini adalah sebagai pembantu atau

staff pelaksana suatu instansi sehingga hanya akan berorientasi pada kepentingan

instansinya. Yang bersangkutan juga mengkhawatirkan setiap keluhan akan dibawa

ke ranah hukum (dalam arti pengadilan, Tim) sehingga justru akan merugikan

masyarakat karena pengetahuan hukum yang rendah dari masyarakat dan buruknya

sistem peradilan. Salah seorang peserta FGD di Jakarta yang berpengalaman

memimpin Bagian Hukum suatu departemen selama lebih dari 20 tahun juga

menyatakan bahwa Bagian Hukum tidak cocok diikutsertakan dalam pelayanan

keluhan, karena pada umumnya para personilnya tidak cukup memiliki kompetensi

sebagai complaint officers.

Page 150: pelayananumum

144

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Dengan segala keterbatasan waktu, sarana serta biaya yang dihadapi

oleh Tim sebagai kendala, Penelitian ini pada dasarnya berfungsi sebagai suatu studi

eksploratif dan analisis kritikal terhadap kondisi masa-kini (current state-of-affairs)

dari sistem dan regulasi Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Indonesia, dengan

tujuan untuk dapat menyimpulkan serta merekomendasikan pelbagai hal yang

berkaitan dengan Prospek Pembentukan dan Pengembangan Prosedur Pelayanan

Publik di dalam Hukum Positif Indonesia. Dalam kerangka itulah Tim telah

melaksanakan:

Pengkajian terhadap aspek sinkronitas dan konsistensi peraturan perundang-

undangan yang dimaksudkan sebagai peletak dasar sebuah sistem

penyelenggaraan pelayanan publik secara umum dan nasional, dengan peraturan

perundang-undangan dan prosedur pelayanan publik yang telah dibuat untuk

penyelenggaraan pelayanan publik pada masing-masing sektor pelayanan atau

wilayah pelayanan;

Pengkajian terhadap pandangan instansi-instansi penyelenggara pelayanan publik

dan masyarakat penerima pelayanan mengenai kondisi aktual pelayanan publik,

dan selanjutnya untuk mengukur apakah pelayanan publik tersebut telah

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku (baik umum maupun sektoral).

Analisis serta perumusan mengenai suatu Sistem Penyelenggaraan Pelayanan

Publik yang dapat diterapkan dan diberlakukan secara nasional, tanpa harus

mengabaikan kekhasan jenis dan bidang pelayanan yang dapat dijumpai di dalam

setiap sektor dan/atau wilayah pelayanan;

Analisis serta perumusan rekomendasi mengenai standar kualitas dan mekanisme

pelayanan keluhan publik yang perlu dikembangkan sebagai bagian integral dari

suatu sistem pelayanan publik yang utuh, bersifat umum dan nasional, dan

berorientasi pada kebutuhan dan kesejahteraan rakyat.

Page 151: pelayananumum

145

Sebagai sasaran akhir yang Tim berusaha merekomendasikan suatu gambaran ideal

dari suatu sistem penyelenggaraan pelayanan publik (termasuk sub-sistem dan

mekanisme penyampaian keluhan publik), dengan harapan bahwa:

a. Aparatur pemerintah memiliki kinerja yang lebih baik karena adanya panduan

operasional yang dapat menjadi standar minimum dalam menyelenggarakan

pelayanan publik;

b. Masyarakat menjadi lebih tahu dan memahami hak-hak mereka dalam

memperoleh pelayanan publik yang baik;

c. Terciptanya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang utuh dan

secara inherent mencakup juga elemen pelayanan keluhan, sehingga

dapat diwujudkan fungsi pelayanan yang benar-benar berorientasi pada

kepuasan masyarakat pengguna jasa.

Bab ini akan menyajikan beberapa kesimpulan serta rekomendasi yang telah

dihasilkan oleh Tim, dengan harapan bahwa proses reformasi di bidang hukum

administrasi negara di Indonesia di masa depan, khususnya dalam peningkatan

kualitas pelayanan publik dapat memiliki landasan yang lebih solid dan dapat

dipertanggung jawabkan.

KESIMPULAN & REKOMENDASI

A. SISTEM PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK YANG IDEAL

a. Komponen Regulasi

Suatu sistem penyelenggaraan pelayanan publik harus bertumpu pada

seperangkat peraturan perundang-undangan yang memberikan dasar hukum

serta kekuatan mengikat dari sistem itu pada instansi instansi yang diaturnya,

dalam arti:

- mengintegrasikan sistem dan prosedur penyelenggaraan pelayanan publik

secara nasional termasuk penetapan standar minimum kualitas

pelayanan publik yang baik.

Page 152: pelayananumum

146

- keberadaan hukum (legal existence) institusi-institusi administrasi negara

penyelenggara pelayanan publik;

- menjamin legalitas dan bekerjanya struktur organisasi, pengisian jabatan-

jabatan dan fungsi-fungsi penyelenggara pelayanan publik dengan pejabat-

pejabat dengan kualifikasi dan kompetensi tertentu;

- memberikan dasar hukum yang jelas mengenai tugas, tanggung jawab,

kewenangan dan hak-hak penyelenggara pelayanan publik;

- memberikan dasar hukum yang kuat atas pengakuan kedudukan penegakan

hak dan kewajiban, serta tanggung jawab warga masyarakat pengguna

pelayanan jasa publik;

- memberikan dasar hukum yang kuat atas penetapan berlakunya

proses/prosedur operasional penyelenggaraan pelayanan jasa publik serta

keberlakuan standar minimum pelayanan termasuk indeks kepuasan

masyarakat dan proses/prosedur pengajuan dan pelayanan keluhan publik

(public complaint /public grievance);

- dasar hukum yang kuat dan efektif atas berlakunya standar perilaku

(standard of conduct) para penjabat penyelenggara pelayanan publik;

b. Komponen Asas-asas Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Asas-asas utama yang mendasari bekerjanya suatu sistem pelayanan publik,

pada dasarnya tidak banyak berbeda dari asas-asas tentang Good

Administration, Good Governance, Beginselen van Behoorlijk Bestuur 50. Tim

berkesimpulan bahwa asas-asas penyelenggaraan pelayanan publik mencakup:

(1) Asas Keterbukaan (openness/transparansi)

(2) Asas Integritas

(3) Asas Akuntabilitas

50 Lihat Ateng Syafrudin, Butir-butir Komentar tentang Pelayanan Publik, makalah

pembahasan dalam Workshop Penelitian ini, Bandung, 2004, tidak dipublikasi.

Page 153: pelayananumum

147

(4) Asas Legalitas

(5) Asas Non-Diskriminasi dan Perlakuan Yang Sama

(6) Asas Proporsionalitas

(7) Asas Konsistensi

(8) Asas Legitimasi dan Akseptabilitas51

c. Komponen Standar Minimum Pelayanan

Standar Minimum Pelayanan adalah standar kualitas pelayanan yang

sekurang-kurangnya harus dipenuhi oleh setiap institusi penyelenggara

pelayanan publik dengan kualitas hasil kerja yang diukur dari tingkat kepuasan

minimum yang dapat diterima masyarakat pengguna pelayanan publik.

Dalam konteks sebuah “sistem pelayanan publik nasional” standar minimum

semacam ini hanya dapat dirumuskan sebagai norma-norma umum yang dapat

dijadikan acuan oleh instansi-instansi sektoral untuk mengembangkan standar

minimum pelayanan di sektor pelayanan yang dibinanya. Jadi di dalam sistem

nasional, standar kualitas hanya menetapkan elemen-elemen pokok yang harus

ditetapkan, baik secara sektoral ataupun secara regional, demi terjaminnya

kualitas pelayanan minimum yang menjadi hak masyarakat.

d. Komponen Kode Etik Perilaku Petugas Pelayanan Publik

Faktor utama yang menjadi penentu keberhasilan kinerja sebuah sistem

penyelenggaraan pelayanan publik, baik pada tingkat nasional maupun sektoral

atau regional, adalah faktor manusia yang berada di belakang sistem itu.

Manusia di sini menunjuk ke arah petugas dan/atau pejabat yang menyediakan

pelayanan publik bagi masyarakat. Walaupun di dukung oleh tata peraturan yang

lengkap serta dikendalikan oleh standar kualitas yang memadai, namun tanpa

51 Asas ini merupakan asas tambahan yang diperoleh Tim sebagai masukan dari Prof.

Ateng Syafrudin selaku narasumber dalam penelitian ini. Lihat: Ateng Syafrudin, Butir-butir Komentar tentang Pelayanan Publik, supra note 1.

Page 154: pelayananumum

148

didukung oleh integritas, kompetensi serta profesionalitas dari para

petugas/pejabatnya, maka seluruh sistem pelayanan publik itu akan kehilangan

daya-gunanya samasekali. Karena itu tindak-tanduk public official atau orang

yang dipekerjakan pada sebuah otoritas administrasi publik, dalam menjalankan

fungsinya itu perlu dibatasi oleh seperangkat norma-norma yang dituangkan di

dalam semacam Code of Conduct for Public Officials, yang antara lain

mencakup norma-norma perilaku tentang:

• kewajiban untuk bekerja sesuai dengan aturan-aturan hukum dan standar

etik yang relevan dengan fungsinya;

• kewajiban untuk menempatkan diri secara netral dari atau bebas dari

pengaruh kepentingan politis atau ekonomis tertentu;

• kewajiban untuk bersikap dan bekerja dengan jujur, imparsial, dan efisien;

• kewajiban untuk senantiasa bekerja dengan sopan santun, baik terhadap

warga masyarakat yang dilayaninya, maupun terhadap atasan, kolega

maupun bawahannya;

• kewajiban untuk menghindarkan diri dari pertentangan antara kepentingan

pribadi dengan posisi publiknya;

• kewajiban untuk tidak mengambil keuntungan yang tidak wajar dari posisi

atau kedudukannya demi kepentingan pribadi;

• kewajiban untuk senantiasa berperilaku sedemikian rupa demi

mempertahankan dan meningkatkan kepercayaan dan keyakinan publik

terhadap integritas, imparsialitas serta efektivitas pelayanan publik yang

diselenggarakannya;

• kewajiban untuk melaksanakan tugas dan fungsinya atas dasar itikad baik,

ketekunan berdasarkan keakhlian profesional, pengetahuan dan pengalaman

yang memadai;

• kewajiban untuk senantiasa menjaga keseimbangan antara penghormatan

terhadap hak-hak asasi dan kebebasan warga masyarakat dengan kewajiban

untuk mendahulukan kepentingan umum, dan tidak menetapkan

pembatasan-pembatasan yang tidak wajar (unreasonable restrictions);

Page 155: pelayananumum

149

• kewajiban untuk menghormati hak warga masyarakat atas informasi publik;

• sanksi-sanksi hukum yang tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran terhadap

Code of conduct ini;

e. Komponen Pengelolaan Keluhan Publik

Tim beranggapan bahwa pelayanan atas dan pengelolaan keluhan atau

pengaduan masyarakat merupakan salah satu komponen yang tidak

terpisahkan dari sebuah sistem pelayanan publik. Bertitik tolak dari asumsi

tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa asas-asas penuntun serta

pengakuan atas hak dan tanggung jawab masyarakat yang dimaksud di atas

tentunya akan berlaku pula atas sistem dan penyelenggaraan pelayanan keluhan

publik.

Ditinjau dari aspek perwujudan asas-asas pemerintahan yang baik maka

dapat diasumsikan bahwa asas-asas tersebut dengan sendirinya berlaku juga

atas komponen pelayanan keluhan publik. Namun demikian, beberapa asas yang

secara khusus menjiwai sebuah sistem pelayanan keluhan publik, adalah:

a. Asas Keterbukaan dan asas Akuntabilitas

b. Asas Kepastian Hukum khususnya yang menyangkut kepastian hukum

tentang:

hak-hak masyarakat untuk melaksanakan kontrol sosial terhadap

berjalannya fungsi pelayanan publik;

hak masyarakat untuk memperoleh pelayanan yang sama dalam

penyelenggaraan negara;

hak untuk memperoleh informasi dan menyampaikan sarandan

pendapat;

hak untuk memperoleh perlindungan hukum.

c. Asas Kepentingan Umum yang mendahulukan kepentingan umum dengan

cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif di dalam pelayanan terhadap

Page 156: pelayananumum

150

keluhan publik. Dalam konteks keluhan publik, tampaknya asas ini harus

difahami senafas dengan asas proporsionalitas.

d. Asas Profesionalitas, yang diartikan sebagai “pelayanan keluhan yang

diberikan berdasarkan pelaksanaan keahlian yang berlandaskan kode etik

profesi dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B. SISTEM PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK INDONESIA DEWASA

INI DAN DI MASA DEPAN

a. Komponen Regulasi

Sumber-sumber hukum primer yang dapat diklasifikasi sebagai peraturan

perundang-undangan khusus dan secara teknis mengatur tentang

penyelenggaraan pelayanan publik secara nasional masih terbatas pada regulasi

setingkat Surat Keputusan Menteri, khususnya dalam bentuk Keputusan Menteri

Penertiban Aparatur Negara (Kepmenpan). Namun demikian, harus diakui pula

bahwa peraturan-peraturan ini dapat dianggap sebagai aturan pelaksanaan dari

pelbagai peraturan perundang-undangan setingkat Undang-undang sampai

dengan Instruksi Presiden yang secara umum mengatur Kewenangan

pemerintahan pada tingkat pusat dan daerah, serta upaya untuk menciptakan

pemerintahan yang bersih dari unsur-unsur korupsi, kolusi dan nepotisme.

Peraturan perUUan yang ada sebelum tahun 2003 telah memberikan dasar

hukum yang cukup kuat untuk keberadaaan sebuah sistem

penyelenggaraan pelayanan publik secara nasional. Namun demikian,

peraturan-peraturan perUUan di atas baru meletakkan dasar legalitas dan

cerminan kemauan politik” pemerintah untuk menciptakan sistem

penyelenggaraan negara yang bersih dan terpercaya, termasuk penyelenggaraan

pelayanan publiknya.

Aturan-aturan hukum positif yang secara eksplisit memberikan dasar hukum

untuk pembentukan sistem, struktur dan pengelolaan pelayanan publik baru

muncul di dalam:

Page 157: pelayananumum

151

Kepmenpan No. 63/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan

Pelayanan Publik;

Kepmenpan No. 25/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks

Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah, dan

Kepmenpan No. 26/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan

Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik;

Dari hasil analisis dan pengkajian Tim terhadap ketiga Kepmenpan tersebut,

dapat disimpulkan beberapa butir penting di bawah ini:

Kepmenpan No. 63/2003 membedakan Kelompok Pelayanan Publik ke dalam

tiga kelompok, yaitu: Kelompok Pelayanan Administratif, Kelompok Pelayanan

Barang, dan Kelompok Pelayanan Jasa. Kategorisasi tersebut dapat dianggap

kurang realistik karena kenyataan di dalam masyarakat menunjukkan adanya

ketidak-cocokan atau tumpang-tindih antara pengelompokan itu dengan sifat

pelayanan yang diselenggarakan oleh instansi-instansi pelayanan publik

tertentu.

Tim berkesimpulan bahwa untuk menghilangkan keragu-raguan mengenai

bidang pelayanan, dan karena itu juga membawa dampak terhadap

efektivitas berlakunya Kepmenpan No. 63/2003, maka setiap instansi

penyelenggara pelayanan publik seharusnya membangun dan

melaksanakan standar pelayanannya sendiri yang selain merupakan

standar yang dibakukan, dipublikasikan, dan yang wajib ditaati oleh baik

pemberi maupun penerima pelayanan, juga akan bersifat khas mengingat

kekhasan dari ‘produk’ pelayanan yang diberikannya.

Sebuah sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang bersifat nasional,

paling jauh hanya menyediakan standar minimum pelayanan publik,

yang berfungsi sebagai acuan atau pedoman mengenai struktur atau

kerangka dasar (basic structure/framework) dari suatu sistem pelayanan

publik;

Sebagai Pedoman Umum, Kepmenpan No. 63/2003 menetapkan orientasi

pelayanan publik ke arah pemenuhan kebutuhan dan kepuasan penerima

Page 158: pelayananumum

152

pelayanan, sehingga dapat meningkatkan daya saing dalam pemberian

pelayanan barang dan jasa; Sejalan dengan semakin besarnya

kecenderungan untuk melihat masalah penyelenggaraan pemerintahan di

dalam konteks otonomi daerah, maka Kepmenpan No. 63/2003 merupakan

peletak dasar untuk 52:

o penyelenggaraan pelayanan dengan jalur birokrasi yang lebih ringkas;

o memberi peluang bagi pemerintah daerah untuk melakukan terobosan-

terobosan di dalam sistem penyelenggaraan pelayanan publik sehingga

dapat mendukung upaya peningkatan kualitas pelayanan;

o membuka kemungkinan pemanfaatan kemajuan teknologi sebagai solusi

dalam memenuhi aspek transparansi, akuntabilitas dan partisipasi

masyarakat, serta lebih menjamin tersedianya data dan informasi pada

instansi pemerintah yang dapat dianalisis dan dimanfaatkan secara cepat,

akuran, dan aman;

KepMenpan No. 63/2003 ini telah memahami idea masyarakat penerima

pelayanan publik sebagai “konsumen akhir” seperti yang dimaksudkan di

dalam Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(UUPK)53. Walaupun secara ideal kebijakan ini tampak sangat baik dan

52 Lihat: UU No. 32 /2004 tentang Pemerintah Daerah, khususnya pasal 16 ayat

(1) dan (2) yang pada dasarnya memberikan dasar pembenaran formal dari pemberlakuan Pedoman-pedoman Pelayanan Publik yang ditetapkan oleh Menpan pada instansi-instansi pelayanan publik di daerah, sekurang-kurangnya sebelum diberlakukannya sebuah Undang-undang tentang Pelayanan Umum. Pasal 16 berbunyi:

(1) Hubungan dalam bidang pemerintahan umum antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi: a. Kewenangan, tanggung jawab, dan penentuan standar pelayanan minimal; b. Pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah, dan c. Fasilitasi pelaksanaan kerjasama antarpemerintah daerah dalam penyelenggaraan

pelayanan umum; (2) Hubungan dalam bidang Pelayanan umum antarpemerintah daerah sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi: a. pelaksanaan bidang pelayanan umum antarpemerintah daerah; b. kerjasama antarpemerintah daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum, dan c. pengelolaan perizinan bersama bidang pelayanan umum

53 Lihat Konsiderans “Mengingat” butir 1.

Page 159: pelayananumum

153

berani, namun beberapa masalah diduga dapat timbul dari perwujudan

kebijakan ini dalam kenyataan, seperti misalnya:

o kesulitan untuk sepenuhnya menganggap relasi antara penyelenggara

pelayanan publik dan penerima pelayanan publik sebagai relasi antara

pelaku bisnis dan konsumen akhir sesuai kriteria lingkup berlaku

UUPK.

o Kesulitan di atas akan membawa dampak terhadap akurasi dari

pemahaman instansi penyelenggara pelayanan publik sebagai pelaku

bisnis, dan pada gilirannya, menimbulkan “deadlock” untuk dapat

menuntut tanggung jawab instansi publik itu berdasarkan UUPK 54.

o Kesulitan untuk memahami sepenuhnya pengertian “warga masyarakat

penerima pelayanan publik” sebagai konsumen akhir seperti yang

dimaksudkan di dalam UUPK, mengingat kenyataan tidak sepenuhnya

penerima pelayanan publik dapat dikategorikan sebagai end consumer

dari suatu produk;

Inkonsistensi-inkonsistensi di atas secara langsung juga berdampak pada

prospek dan efektivitas penyelesaian sengketa-sengketa yang menyangkut

pelayanan publik melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen55.

“Maksud dan Tujuan” pembuatan Kepmenpan No. 63/2003, adalah untuk

menjadi acuan bagi seluruh penyelenggara pelayanan publik di Indonesia

untuk mendorong terwujudnya pelayanan publik yang prima, Dari segi ini

maka daya berlaku Kepmenpan No. 63/2003 terhadap seluruh instansi

penyelenggara pelayanan publik inipun patut dipertanyakan. Kedudukan

hirarkis perUUan dari sebuah Pedoman Umum (yang dituangkan dalam

bentuk Keputusan Menteri) seringkali lebih rendah dari aturan-aturan hukum

yang menjadi dasar eksistensi serta landasan kerja instansi-instansi

54 Penjelasan Pasal 1 Angka 3 UUPK: “Pelaku Usaha yang termasuk dalam pengertian ini

adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.” 55 Walaupun ada pandangan di kalangan BPSK yang justru menekankan pada kata “dan

lain-lain” dari pengertian “Pelaku Usaha” yang dimaksud di dalam UUPK untuk “menjaring” instansi-instansi pelayanan publik ke dalam lingkup berlaku UUPK.

Page 160: pelayananumum

154

penyelenggara pelayanan publik yang hendak diaturnya. Situasi ini

menyebabkan efektivitas berlakunya Kepmenpan 63/2003 patut

dipertanyakan. Hasil penelitian di lapangan akan menggambarkan persoalan

ini dalam kenyataan.

Secara substansial sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang diatur di

dalam Kepmenpan No. 63/2003 dan didukung oleh Kepmenpan No. 25 dan

26 tahun 2004 sudah dapat dianggap cukup sebagai peletak

kerangka/struktur dasar suatu Sistem Pelayanan Publik Nasional. Namun

mengingat fungsinya yang harus dapat memayungi sistem

penyelenggaraan pelayanan publik di seluruh Indonesia (baik sektoral

maupun regional), maka Tim berkesimpulan bahwa secara formal sistem ini

tidak cukup dituangkan dalam bentuk Kepmenpan saja. Pelbagai pendapat

menyarankan agar sistem ini diatur dalam bentuk Undang-undang atau

sekurang-kurangnya Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden,

sehingga memiliki daya ikat sebagai “Umbrella Act” untuk mengikat

instansi-instansi pelayanan publik yang ada 56.

Paragraf V, butir G Kepmenpan 63/2003 membuka kemungkinan

penyelenggaraan pelayanan publik melalui Biro Jasa Pelayanan.

Kemungkinan semacam ini akan mengurangi sifat “pelayanan publik” dalam

arti sebenarnya, dan memasukkan aspek “komersial” ke dalam

penyelenggaraan pelayanan publik. Secara praktikal, hal ini mungkin

bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan bagi masyarakat, namun

Tim berpendapat bahwa secara potensial kemungkinan ini dapat

menimbulkan masalah-masalah penyulit (complications) yang perlu

diantisipasi.

56 Lihat: Soewito, MD, SH, Bahan Pertemuan Workshop Komisi Hukum Nasional,

Bandung¸30 Oktober 2004, tidak dipublikasi.

Page 161: pelayananumum

155

b. Komponen Asas-asas Penyelenggaraan Pelayanan Publik

a. Paragraf III Kepmenpan 63/2003 menetapkan sejumlah asas Pelayanan

Publik. Sebagian besar dari asas-asas yang umumnya diakui sebagai asas-

asas pokok pelayanan publik telah dicakup oleh bagian ini, walaupun

umumnya lebih diarahkan pada asas-asas bekerjanya sistem dan proses

pelayanan publik, dan kurang diarahkan pada kualitas etik para pengemban

fungsi pelayanan publiknya, serta standar kualitas produk atau keluaran dari

pelayanan yang diberikan. Kepmenpan No. 26/2004 sudah menjabarkan dua

asas utama pelayanan publik ke dalam petunjuk teknis yang lebih terinci

(lihat penjelasan di bawah ini)

b. Beberapa asas pokok pelayanan publik yang sudah dicakup oleh

Kepmenpan No. 63/2003 dan atau Kepmenpan No. 26/2004, walaupun

beberapa mungkin dengan pemaknaan yang agak berbeda adalah:

• Asas Keterbukaan (dis. Asas Transparansi)

• Asas Akuntabilitas

• Asas Non-Diskriminatif (dis.Asas Kesamaan Hak)

• Asas Keseimbangan Hak dan Kewajiban

c. Asas-asas yang secara teoretis melekat pada esensi pelayanan publik, namun

belum diatur secara eksplisit di dalam Kepmenpan No. 63/2003 adalah:

Asas Integritas, yang sebenarnya mengkaitkan sistem

penyelenggaraan pelayanan publik sebagai suatu sistem manajemen

dengan nilai-nilai etika-profesional yang mengarah pada manusia-

manusia pendukung sistem itu.

Asas Legalitas, yang memberikan dasar keabsahan yuridik pada setiap

tindakan, pengambilan keputusan ataupun pelaksanaan fungsi pelayanan

publik;

Asas Konsistensi, yang sebenarnya sangat penting untuk memberi

jaminan kepada para penerima pelayanan jasa publik bahwa proses

Page 162: pelayananumum

156

pelayanan pada dasarnya harus dijalankan berdasarkan prosedur

normal, dan bahwa pengecualian (atau dispensasi) hanya diberikan bila

didukung oleh justifikasi yang valid berdasarkan hukum;

Asas Legitimasi dan Akseptabilitas, yang mengkaitkan sistem

pelayanan publik dengan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kualitas

pelayanan dan kualitas ‚produk’ pelayanan yang senantiasa harus

dipertahankan pada suatu standar tertentu.

d. Asas-asas pelayanan publik yang dimuat secara khas di dalam Kepmenpan

No. 63/2003, dan mungkin akan membentuk kekhasan sistem

penyelenggaraan pelayanan publik Indonesia, adalah:

o Asas Kondisional, yang membenarkan penyelenggaraan pelayanan

publik dengan mengacu pada kondisi dan kemampuan pemberi dan

penerima pelayanan. Asas ini mungkin akan menjadi counter productive

terhadap upaya penyeragaman (standardisasi) mutu pelayanan publik

secara nasional, dan pada titik tertentu dapat bersinggungan dengan

asas non-diskriminasi, karena asas ini menjadi alasan pembenar untuk

memberikan perlakuan dan pelayanan yang berbeda pada warga

masyarakat yang pada dasarnya memiliki hak-hak dan berada dalam

situasi yang sama;

o Asas Partisipatif, yang bermakna bahwa pelayanan publik harus

mendorong peran-serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan

publik, dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan

masyarakat.

c. Komponen Standar Minimum Pelayanan

Paragraf V butir B dari Kepmenpan No. 63/2003 menetapkan beberapa prinsip

pelayanan publik, yang pada dasarnya sudah menjabarkan asas-asas pelayanan

Page 163: pelayananumum

157

publik yang disebut di atas. Dalam pelaksanaannya, prinsip-prinsip ini harus

menjiwai setiap elemen pelayanan sesuai relevansinya, yang meliputi57:

Prosedur Pelayanan

Jangka Waktu Pelayanan

Biaya Pelayanan

Produk Pelayanan

Sarana dan Prasarana Pelayanan

Kompetensi petugas pemberi pelayanan

Tim beranggapan bahwa setiap elemen tersebut dapat menjadi subyek penilaian

masyarakat. Artinya, bila dikaitkan dengan Kepmenpan No. 25/2004 tentang

Indeks Kepuasan Masyarakat, maka keenam elemen pelayanan tersebut telah

dijabarkan lebih lanjut menjadi 14 unsur minimal yang harus ada sebagai dasar

pengukuran indeks kepuasan masyarakat. Bila dilakukan pengelompokan lebih

lanjut, maka Tim dapat menyimpulkan bahwa:

a) Unsur Prosedur Pelayanan mencakup beberapa sub-unsur yang

digunakan untuk menilai kinerja instansi pelayanan publik adalah: (i)

kesederhanaan prosedur pelayanan, (ii) persyaratan pelayanan dan (iii)

keadilan mendapatkan pelayanan;

b) Unsur Jangka Waktu Pelayanan mencakup sub-unsur (iv) kecepatan

pelayanan dan (v) kepastian jadwal pelayanan;

c) Unsur Biaya Pelayanan mencakup sub-sub unsur: (vi) kewajaran biaya

pelayanan dan (vii) kepastian biaya pelayanan;

d) Unsur Produk Pelayanan tampaknya tidak dikelompokkan lebih jauh,

mengingat kekhasan produk dari setiap instansi pelayanan publik, yang

sejalan dengan Paragraf V Butir B Kepmenpan No. 63/2003, diwajibkan

memiliki standar pelayanan yang dipublikasikan sebagai jaminan adanya

kepastian bagi penerima pelayanan.

57 Sesuai dengan Keputusan Menpan No. 63/2003, Pedoman Umum, Bagian V, butir B

tentang Standar Pelayanan Publik.

Page 164: pelayananumum

158

e) Unsur Sarana dan Prasarana Pelayanan dijabarkan lebih lanjut

menjadi sub-sub unsur: (viii) Kenyamanan Lingkungan dan (ix) Keamanan

Pelayanan.

f) Unsur Kompetensi Petugas Pemberi Pelayanan, tampaknya menjadi unsur

yang memperoleh perhatian sangat besar dalam penilaian kinerja sebuah

instansi pelayanan publik. Unsur ini telah dijabarkan lebih lanjut ke dalam

sub-sub unsur: (x) Kejelasan Petugas Pelayanan, (xi) Kedisiplinan Petugas

Pelayanan, (xii) Tanggung Jawab petugas Pelayanan, (xiii) Kemampuan

Petugas Pelayanan, dan (xiv) Kesopanan dan Keramahan Petugas;

g) Di samping unsur-unsur yang telah dimuat di dalam Kepmenpan No.

25/2004 tersebut di atas, Tim merekomendasikan bahwa indeks kepuasan

masyarakat dinilai juga dalam kualitas pelayanan atas keluhan, pengaduan

masyarakat serta proses penyelesaian sengketa antara masyarakat dengan

instansi publik ybs.

d. Komponen Kode Etik Perilaku Petugas Pelayanan Publik

Pengamatan dan analisis Tim terhadap pelaksanaan pelayanan publik di

lapangan, didukung oleh masukan-masukan dalam diskusi menunjukkan bahwa

ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas pelayanan publik pada akhirnya

terfokus pada kualitas perilaku petugas/pejabat penyedia layanan. Kenyataan ini

terbukti dari:

Keluhan-keluhan tentang prosedur birokratif yang masih berbelit-belit dan

berbiaya tinggi karena adanya pungutan-pungutan tidak resmi yang harus

ditanggung warga masyarakat untuk memperoleh pelayanan yang

seharusnya menjadi hak masyarakat;

Pengambilan keputusan oleh petugas secara tidak transparan dan

inkonsisten sehingga masyarakat penerima pelayanan tidak memiliki

kepastian mengenai hak-haknya;

Tata-cara pelayanan, kualitas produk yang dihasilkan, waktu penyelesaian

pelayanan serta penetapan dan pengenaan biaya pelayanan yang berlapis

Page 165: pelayananumum

159

yang dapat dikaitkan pada mentalitas para petugas yang tidak memiliki

semangat pelayanan yang tinggi dan tidak adanya kode etik perilaku yang

menetapkan batas-batas kewenangan serta perilaku para petugas/pejabat

pelayanan;

Adanya kesan bahwa baik-buruknya kualitas pelayanan publik sangat

tergantung pada kualitas individual dari pejabat-pejabat yang kebetulan

bertanggung jawab atas suatu jenis pelayanan tertentu;

Tidak adanya sanksi yang jelas dan secara transparan dapat diketahui oleh

warga masyarakat terhadap praktek-praktek “maladministrasi” yang

menimbulkan kerugian pada warga masyarakat. Maladministrasi yang

bersumber pada perilaku dan pengambilan keputusan petugas/pejabat

pelayanan publik, berdasarkan kesimpulan yang dibuat oleh Komisi

Ombudsman Nasional, meliputi:

o Penundaan pelayanan yang berlarut;

o Persekongkolan;

o Pemalsuan

o Pelaksanaan tindakan di luar kompetensi dan penyalahgunaan

wewenang

o Inkompetensi

o Permintaan imbalan tidak resmi/korupsi;

o Kolusi dan nepotisme dalam pelayanan publik;

o Pelaksanaan tindakan-tindakan yang dianggap tidak layak/tidak patut;

o Pelaksanaan tindakan-tindakan dan pengambilan keputusan yang

tidak adil;

Belum tumbuhnya mentalitas para petugas atau pejabat penyelenggara

pelayanan publik sebagai ‘public servant”, dan sebaliknya, masih kuatnya

mentalitas para petugas/pejabat sebagai pihak yang justru harus dilayani

menimbulkan kecenderungan bahwa baik-buruknya pelayanan yang

diberikan banyak tergantung pada keputusan diskresioner para pejabat itu;

Page 166: pelayananumum

160

Hal-hal di atas selain menunjukkan belum bekerjanya sistem pelayanan publik

pada umumnya, juga menunjukkan bahwa pada titik terakhir ketidakpuasan

masyarakat atas kualitas pelayanan publik dapat diarahkan pada perilaku para

petugas dan/atau pejabat pengambil keputusan dalam pelayanan publik

itu.

Dengan perkataan lain, unsur terpenting dari sebuah sistem pelayanan publik

yang belum diatur secara lebih jelas dan tegas di dalam sistem pelayanan

publik di Indonesia dewasa ini adalah Kode Perilaku Petugas Pelaksana

Pelayanan Publik (Code of Conduct for Public Servants) yang dapat

mengendalikan perilaku mereka dalam melaksanakan fungsi pelayanannya

sehari-hari.

e. Komponen Pengelolaan Keluhan Publik

Dari peraturan-peraturan hukum yang ada sebelum tahun 2003 orang masih

dapat mempermasalahkan rentang sasaran (target span) dari suatu sistem

pengelolaan pelayanan publik dan keluhan publik di Indonesia, yang tampaknya

cukup diarahkan pada fungsi-fungsi yang ada di bawah kekuasaan eksekutif

(d.h.i. Pemerintah dalam arti sempit) saja. Walaupun tidak disebut dengan tegas

di dalam peraturan perUUan yang ada (c/q UU No. 28/1999), masalah sistem

pengelolaan keluhan publik juga menjadi persoalan bagi badan-badan usaha

milik negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD, dan Badan Hukum Milik

Negara (BHMN yang di samping bertugas memberikan pelayanan publik, juga

berfungsi sebagai lembaga bisnis yang harus menjadi profit-making entities.

Di samping itu, unit-unit kesekretariatan dari lembaga tertinggi dan lembaga-

lembaga tinggi negara (non eksekutif) juga masuk dalam kategori penyelenggara

pelayanan publik. Bila ditinjau secara agak simplistik, sebenarnya apapun

kategori instansi publik, beroperasinya instansi-instansi semacam itu selalu

menghadapi kemungkinan adanya gugatan Maladministrasi, dan karena itu di

dalam sebuah sistem pelayanan publik (termasuk sub-sistem pengelolaan

keluhan publiknya) perlu diatur struktur dasarnya secara nasional.

Page 167: pelayananumum

161

Elemen-elemen dari suatu Sistem Pengelolaan Keluhan Publik

a. Di dalam tingkatan peraturan perundang-undangan yang lebih konkrit,

khususnya Kepmenpan No. 63/2003, masalah Keluhan terhadap

penyelenggaraan pelayanan publik sudah ditetapkan secara lebih konkrit, dan

merupakan bagian dari Pengawasan terhadap kinerja instansi penyelenggara

pelayanan publik58.

b. Sistem Pengelolaan Keluhan Publik, secara umum telah diatur sebagai

pedoman di dalam Paragraf V Butir J tentang Penyelesaian Pengaduan dan

Sengketa yang sekurang-kurangnya meliputi:

o Prosedur /tata cara penyampaian dan penyelesaian pengaduan;

o Penentuan pejabat untuk menyelesaikan pengaduan;

o Prioritas penyelesaian pengaduan;

o Rekomendasi Penyelesaian pengaduan;

o Respons/tanggapan yang harus terjadi setelah pengaduan diterima (yang

tentunya harus diwujudkan berdasarkan prinsip-prinsip perilaku

administrasi yang baik) dan pemantauan serta evaluasi penyelesaian

pengaduan;

o Pelaporan proses dan hasil penyelesaian pengaduan kepada pimpinan;

o Penyampaian hasil penyelesaian pengaduan kepada pihak masyarakat

pengadu;

o Dokumentasi penyelesaian pengaduan;

o Aturan-aturan pokok yang menyangkut perlindungan terhadap fihak

pengadu/pelapor (baik internal maupun eksternal instansi);

o Prosedur penyelesaian sengketa, seandainya masalah yang menjadi

obyek pengaduan tidak terselesaikan dan menjadi sengketa hukum. Tim

berpendapat bahwa untuk jenis-jenis pelayanan publik tertentu,

58 Lihat Paragraf V, Butir I.3 tentang Pengawasan Masyarakat;

Page 168: pelayananumum

162

penyelesaian dapat dilakukan dengan metode alternatif penyelesaian

sengketa (MAPS), dengan mengacu pada UU No. 30 tahun 1999.

c. Bila ditinjau dari sifat Kepmenpan No. 63/2003 yang dimaksudkan sebagai

pedoman bagi instansi-instansi penyelenggara pelayanan publik di Indonesia,

maka pengembangan elemen-elemen di atas ke dalam aturan-aturan atau

petunjuk yang bersifat teknis sebenarnya diserahkan kepada masing-masing

instansi sesuai dengan kebutuhan dan kekhasan bidang dan jenis pelayanan

publiknya masing-masing. Namun demikian, suatu petunjuk teknis yang

masih dapat dianggap berada pada level ‘nasional’ dapat dijumpai pada

Kepmenpan No. 26/2004, khususnya di dalam Paragraf IV tentang

Pengaduan Masyarakat.

d. Umumnya pandangan yang berhasil diperoleh Tim menunjukkan bahwa

Biro-biro Hukum pada instansi-instansi pelayanan publik sebaiknya tidak

difungsikan sebagai bagian yang menangani keluhan-keluhan masyarakat

mengenai pelayanan instansi yang bersangkutan. Penolakan ini juga berlaku

atas Unit-unit Hubungan Kemasyarakatan (humas) yang ada pada

instansi-instansi publik. Alasan utama dari penolakan ini adalah karena kedua

unit ini umumnya lebih cenderung menempatkan diri sebagai unit yang

berfihak pada instansi induknya, dan kurang dapat bersikap obyektif dalam

mengelola keluhan-keluhan yang diajukan oleh masyarakat. Unit-unit humas

mungkin dapat difungsikan sebagai unit yang akan menampung dan

menseleksi keluhan-keluhan yang masuk, dan secara sistematis menyalurkan

keluhan-keluhan itu kepada unit-unit pelaksana yang secara langsung

berkaitan dengan substansi keluhan untuk ditangani lebih lanjut. Sementara

proses penanganan itu berlangsung, melalui proses monitoring yang baik unit

Humas dapat selalu memiliki informasi mutakhir mengenai perkembangan

proses penanganan keluhan serta keputusan yang dapat diperoleh oleh

masyarakat pengaju-keluhan.

Page 169: pelayananumum

163

DAFTAR PUSTAKA

Bintoro Tjokroaminoto, Prof. H, Manajemen Pembangunan, Masagung, Jakarta,

1987.

Corruption Research Centre dan UNDP di Negara Georgia digunakan istilah Public

Servant. Draft disusun oleh Khidashelli, Vazha, Gegidze, Thea, Corruption

Research Centre, Tbilisi, Georgia, 2001, http://crc.gateway.ge/

Development Administration Circular No. 1/1992, Guide Guide On Total Quality

Management In The Public Service, Malaysia, 1992

Dimock, Marshall E, Dimock, Gladys Ogden, Fox, Douglas M., Administrasi

Negara, Terjemahan, Edisi ke 5, Erlangga, 1986.

Frida Rustiani, Perizinan Usaha Kecil di Indonesia, Policy Paper, Partnership for

Economic Growth, Ministry of Industry and Trade, Jakarta, 2001.

Ibrahim, R, BUMN dan Kepentingan Umum, Citra Aditya Bakti – Bandung: 1997

Ilyas Saad, DR., Implementasi Otonomi Daerah Sudah Mengarah Pada Penciptaan

Distorsi dan High Cost Economy, Makalah, Seminar PEG-USAID tentang

“Decentralization, Regulatory Reform and the Business Climate”, Jakarta, 2003.

International Federation of Accountants, Corporate Governance in The Public

Sector: A Governing Body Perspective, Juli 2000.

International Monetary Fund, Good Governance, The IMF’s Role, washington D.C.,

1997, Sumber : http://www.imf.org/external/pubs/ft/exrp/govern/

Komisi Hukum Nasional & Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan,

Prosedur Penyampaian Keluhan Publik, Laporan Akhir Penelitian, 2001-2002;

Page 170: pelayananumum

164

Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Sistem Administrasi Negara

Republik Indonesia, edisi 3, Gunung Agung, Jakarta, 1997.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Konsepsi Pengaturan RUU tentang

Pelayanan Publik, Naskah Akademik dalam rangka Permohonan Persetujuan

Prakarsa Penyusunan RUU tentang Pelayanan Umum, 2004.

Ministry of Justice of the Kingdom of the Netherlands, General Administrative

Law Act.

Nazir, Mohammad, Ph.D., Metode Penelitian, Ghalia Indonesia

Official Journal of the European Communities, Code of Good Administrative

Behaviour: Relatons ewith the Public General Principles of Good Administration,

European Commission, 2000, OJL 267,20.20.2000.

Organization for Economic Cooperation and Development, OECD Principles of

Good Governance, OECD Council, 1998, Sumber:

http://www1.oecd.org/daf/governance/principles.htm

Rodrik, Dani, Four Simple Principles for Democratic Governance of Globalization,

Harvard University, May 2001, Sumber: http://www.demglb.de/rodrikpaper.html

Shergold, Peter, Ethics and the Changing Nature of Public Service, makalah pada The

Fifth International Conference on Public Sector Ethics – Between Past and

Future, Australia, 1996 http://www.apsc.gov.au/media/shergold050896.htm

Söderman, Jacob, The European Code of Good Administrative Behaviour, The

European Ombudsman, 2001

Page 171: pelayananumum

165

Tim Peneliti FIKB PPs PSIA-FISIP UI, Studi Awal tentang Kinerja Pemerintah

Daerah Kota Dilihat dari Kualitas Pelayanan Kesehatan, Pasar dan IMB, Executive

Summary, Sumber: Http://www.forum-inovasi.or.id

Tim Restrukturisasi PT. PLN (Persero) UBD Jabar – Banten, Restrukturisasi PT.

PLN (Persero) Distribusi Jabar, Banten Edisi 2.02. Bandung, 2 Oktober 2001;

United States Department of State, Accountability – Good Governance Is Good for

Businesses and Governments, Bureau for International Narcotics and Law

Enforcement Affairs, May, 2001, Sumber:

http://www.state.gov/g/inl/rls/rpt/fgcrpt/2001

DAFTAR PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-undang Republik Indonesia No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen

Undang-undang Republik Indonesia No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan

Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat;

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia No.

63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan

Publik;

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Imdonesia, No.

25/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan

Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah;

Page 172: pelayananumum

166

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia, No.

26/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas

Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik.