Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

164
Kajian Praktik Baik dan Inovasi dari Mitra Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 (tahun 2015-2016) di Lima Provinsi pada Sektor Pelayanan Publik Pelayanan Publik Bagi Disabilitas

Transcript of Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Page 1: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Kajian Praktik Baik dan Inovasi dari Mitra Program Peduli Pilar Disabilitas

Fase 1 (tahun 2015-2016) di Lima Provinsi pada Sektor Pelayanan Publik

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas

Page 2: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO
Page 3: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Kajian Praktik Baik dan Inovasi dari Mitra Program Peduli Pilar Disabilitas

Fase 1 (tahun 2015-2016) di Lima Provinsi pada Sektor Pelayanan Publik

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas

Page 4: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

ii

Inovasi Pelayanan Publik Bagi DisabilitasKajian Praktik Baik dan Inovasi dari Mitra Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 (tahun 2015-2016) di Lima Provinsi

Tim PenulisNovita AnggraeniSad Dian Utomo

EditorMaya Rostanty

Kontributor1. Bejo Untung2. Diah Mardhotillah3. Henny Warsilah4. Nurjanah5. Rohidin Sudarno6. Sumyati7. Wawanudin

Pengulas1. Ade Siti Barokah2. Rani Hapsari

Layout:Agus Wiyono

Penerbit:PATTIROPusat Telaah dan Informasi RegionalJl. Mawar Komplek Kejaksaan Agung Blok G35Pasar Minggu Jakarta SelatanTelp: 021-780 1314 | Fax: 021 782 3800Email: [email protected]: www.pattiro.org

“Publikasi ini diterbitkan oleh PATTIRO melalui Program Peduli dengan dukungan dari The Asia Foundation dan Kedutaan Besar Australia di Indonesia.”

Page 5: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas iii

Kata Pengantar

ThE Asia Foundation

Saat bertanya pada pimpinan masyarakat, tidak jarang kita dengar bahwa di lingkungan mereka tidak ada anggota masyarakat penyandang disabilitas. Hal itu dialami mitra The Asia Foundation beberapa tahun lalu, saat mereka

mengumpulkan data awal tentang masyarakat penyandang disabilitas. Pemimpin masyarakat itu mungkin menyatakan yang sebenarnya – karena dia memang tak memiliki data. Banyak penyebab mengapa data tak tersedia, namun di antara yang paling menyedihkan adalah bahwa keluarga tidak melaporkan; mereka malu, takut distigma dan lain sebagainya. Mereka juga kerap merasa tidak perlu malaporkan. Lingkaran masalahpun menjadi langgeng: tanpa data, tidak ada layanan; tanpa layanan, masyarakat tak merasa perlu melaporkan. Data dan layanan publik adalah dua hal yang saling terkait. Maka, di sinilah langkah kita mulai. Dari pendataan.

Hingga saat ini data yang tersedia belum terintegrasi sehingga tidak mudah bagi penyedia layanan untuk menjadikannya sebagai rujukan untuk penjangkauan dan pelayanan. Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS, 2015) menunjukkan 8,56 persen penduduk Indonesia memiliki disabilitas; Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas 2015) menyebut 12.15%, atau setara dengan 30 juta jiwa; dan World Health Organization (WHO) menyebut 15%.

Lepas dari angka. penyandang disabilitas pada umumnya adalah korban dari miskonsepsi, stereotype, label dan prasangka yang berakibat pada diskriminasi, eksklusi, treatment yang keliru, serta perampasan terhadap hak untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan dan layanan yang setara (Azra, 2017). Stigma negatif yang menganggap penyandang disabilitas tidak produktif juga menyebabkan hak-hak dasarnya sebagai warga negara belum diprioritaskan pemenuhannya. Stigma lain ditimpakan pada orang tua: anak terlahir dengan disabilitas karena kesalahan orang tua. Lahirnya UU no 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas ternyata belum menjamin terpenuhinya hak-hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan, informasi, prasarana yang aksesibel dan hak-hak lainnya. Studi kolaborasi Pemerintah Australia dengan Indonesia menunjukkan bahwa orang dengan disabilitas di Indonesia memiliki tingkat pendidikan yang lebih rendah, akses kesehatan yang lebih buruk, akses permodalan/ekonomi yang

Page 6: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

iv

sangat kurang dan keterjangkauan terhadap layanan publik yang lebih terbatas dibandingkan dengan orang tanpa disabilitas (AIPEG, 2017).

Namun demikian, gerakan persamaan hak untuk menuntut akses yang lebih baik, fisik maupun non fisik, untuk penyandang disabilitas mulai bermunculan. Pattiro adalah bagian dari gerakan itu, dan The Asia Foundation bangga mendukung kerja-kerja penting ini. The Asia Foundation juga mendukung pemerintah mengembangkan model pembangunan inklusif mulai dari advokasi kebijakan hingga fasilitasi layanan dasar untuk penyandang disabilitas. Program Peduli melalui upaya kolaboratif multipihak mendorong peningkatan pelayanan dasar, penerimaan sosial dan perbaikan kebijakan di lokasi program.

Buku “Praktek Baik Pendataan Disabilitas” dan “Praktek Baik Pelayanan Publik bagi Disabilitas” yang diterbitkan oleh Pattiro ini adalah hasil dokumentasi berbagai upaya perbaikan dan praktek-praktek baik yang selama beberapa tahun ini dilakukan mellaui Program Peduli. Kami berharap dokumentasi ini dapat menjadi inspirasi dan sumbangan berharga bagi perbaikan pendataan dan pelayanan publik bagi disabilitas di Indonesia.

DR. Sandra HamidCountry Representative, The Asia Foundation

Page 7: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas v

Kata Pengantar

Yakkum

Sejak berdiri tahun 1982, Pusat Rehabilitasi YAKKUM bermitra dengan berbagai pihak, baik badan pemerintah maupun non pemerintah di tingkat global sampai lokal untuk mewujudkan visi YAKKUM yaitu orang dengan disabilitas

yang mandiri terpenuhi hak dasarnya dalam masyarakat yang inklusif. Berbagai upaya mulai rehabilitasi fisik, edukasi dan kampanye publik, penguatan organisasi DPO sampai advokasi kebijakan public dilakukan dengan memanfaatkan berbagai peluang yang ada. Lebih dari 15,000 penyandang disabilitas dan keluarganya dari berbagai wilayah di Indonesia telah difasilitasi dalam upaya mereka meraih kemandirian dalam berbagai bentuk dan tingkatan. Salah satu peluang yang sangat bermakna bagi perjuangan pemenuhan hak disabilitas adalah dikeluarkannya UU Disabilitas Nomor 8 tahun 2016 yang menjadi kerangka kerja legal untuk memastikan komitmen negara dalam hal perlindungan dan pemenuhan hak dasar disabilitas tersebut.

Tetapi legal framework saja tidak cukup, apalagi jika kita semua mengharapkan lebih luas wilayah dan lebih banyak kelompok masyarakat yang terjangkau dan memperoleh perlindungan dan pemenuhan hak dalam wujud layanan publik yang lebih inklusif, yang di dalamnya termaktub prinsip-prinsip peningkatan kesadaran (awareness), aksesibilitas, yang menyeluruh, partisipasi dan pendekatan khusus dan umum (twin track approach). Dalam Program Peduli dimana 78 organisasi masyarakat sipil (baik yang berperan sebagai organisasi mitra payung maupun mitra pelaksana) di 75 kota/kabupaten dalam 21 provinsi, YAKKUM melakukan pelatihan pengarusutamaan pembangunan yang inklusif disabilitas kepada mereka (khususnya yang tidak specialized dalam isu disabilitas) agar semakin banyak pihak yang mempunyai kesadaran terhadap isu disabilitas dan sepakat mewujudkan inklusi sosial dalam berbagai aspek pembangunan. Selain itu dirasakan urgensi penyusunan kajian dan pendokumentasian praktik baik dalam hal layanan disabilitas agar tersedia referensi yang dapat diandalkan dan dapat menginspirasi pihak-pihak lain dalam mengupayakan perlindungan dan pemenuhan hak dasar disabilitas dalam bentuk layanan publik dan mereplikasikannya ke wilayah-wilayah lain.

Page 8: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

vi

Sebagai organisasi masyarakat sipil yang berpengalaman dalam kajian kebijakan dan penelitian secara luas, Pattiro dipercaya memfasilitasi urgensi kebutuhan tersebut. Buku Pelayanan Publik Bagi Disabilitas Kajian Praktik Baik dan Inovasi dari Mitra Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 (tahun 2015-2016) di Lima Provinsi pada Sektor Pelayanan Publik yang disusun oleh Tim Pattiro dengan konsultasi luas dengan berbagai stakeholder termasuk organisasi penyandang disabilitas (difable people organization) dan Pemerintah diharapkan mampu menginspirasi sekaligus “memprovokasi” agar semakin banyak pihak-pihak terdorong mewujudkan layanan publik yang berkualitas bagi pemenuhan dan perlindungan hak disabilitas. YAKKUM dan kita semua percaya pelayanan publik yang berkualitas adalah salah satu batu pijakan dalam titian jalan mewujudkan pembangunan Indonesia yang semakin inklusif.

Terima kasih untuk kerja keras Ibu Maya Rostanty dan Ibu Novita Anggraeni beserta seluruh tim Pattiro, hasil tidak akan mencederai proses !

Salam inklusi Arshinta

Page 9: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas vii

Kata Pengantar

Direktur PATTIRO

Terpenuhinya pelayanan publik dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan mendapat dokumen kependudukan merupakan salah satu indikator keadilan negara terhadap warga negaranya. Hak dasar ini mestinya diterima

secara adil dan merata untuk semua golongan masyarakat dengan berbagai situasi dan latar belakang baik ekonomi, wilayah, dan fisik maupun mental. Hal ini perlu ditekankan mengingat berbagai kelompok rentan masih mendapat hambatan dalam upaya mengakses pelayanan publik dasar. Salah satunya karena mekanisme pemberian layanan belum mengakomodasi kebutuhan khusus kelompok rentan, contohnya penyandang disabilitas.

Pelayanan publik yang adil dan non-diskriminatif ini sebenarnya sudah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Ruang lingkup pelayanan publik meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor lain yang terkait. UU Pelayanan Publik ini dapat dilihat sebagai upaya untuk mewujudkan pelayanan yang inklusif melalui asas-asas pelayanan yang telah ditetapkan, antara lain kesamaan hak, partisipatif, persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, dan fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan. Hal ini juga diperkuat dengan terbitnya UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Namun demikian, dalam praktiknya, penyandang disabilitas masih banyak mengalami hambatan dalam mengakses pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan serta kependudukan. Dengan kata lain masih terjadi eksklusi dalam pelayanan publik terhadap disabilitas. Sebagai contoh, pada pelayanan kesehatan, disabilitas rungu dan wicara tidak bisa leluasa menyampaikan keluhannya (yang dianggap hal-hal sensitif atau pribadi) saat memeriksakan kesehatannya, karena tidak ada petugas yang memahami cara berkomunikasi dengan penyandang disabilitas.

Page 10: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

viii

Dalam rangka memastikan kebutuhan pelayanan penyandang disabilitas terpenuhi, pada Program Peduli Pilar Disabilitas Fase Pertama, Mitra Program Peduli yang terdiri dari YASMIB, PATTIRO, BAHTERA, SAPDA, SIGAB, dan KARINAKAS telah melakukan advokasi serta mendorong inovasi dan praktik baik terkait pelayanan publik ramah disabilitas di beberapa daerah. Inovasi dan praktik baik ini beragam dari sisi wilayah dan levelnya, mulai dari level desa, kecamatan, dan kabupaten yang berada pada beberapa daerah, yaitu Sumba, Bone, Sukoharjo, Kulon Progo, Banjarmasin, dan Lombok Barat. Oleh karena itu menjadi penting untuk mendokumentasikan inovasi dan praktik baik yang sudah dilakukan.

PATTIRO sebagai salah satu Mitra Program Peduli telah melakukan kajian hasil-hasil praktik baik yang sudah dilakukan dan mendokumentasikannya ke dalam sebuah buku sehingga dapat dijadikan sebagai panduan dan pengalaman yang bisa direplikasi oleh Pemerintah Pusat/Daerah di tempat lain dalam mewujudkan pembangunan inklusi. Selain itu, pengalaman berharga ini dapat menjadi bingkai berharga bahwa disabilitas mampu berkarya dan berpartisipasi dalam kegiatan pemerintah dan sosial kemasyarakatan.

Kami berharap, buku ini menjadi bacaan yang menarik dan dapat dinikmati oleh para pembaca yang budiman, dapat menginspirasi, dan memberikan manfaat. Pada akhirnya, kebutuhan terhadap hak-hak disabilitas dapat tersosialisasi kepada seluruh masyarakat.

PATTIRO mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan berkontribusi terhadap penerbitan buku ini. Terutama kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Natalia Warat dan Ibu Ade Siti Barokah dari The Asia Foundation. Ibu Arshinta dan Ibu Ranie Hapsari dari YAKKUM, serta mitra-mitra Peduli Pilar Disabilitas.

Selamat membaca dan semoga bermanfaat.

Jakarta, April 2018

Direktur PATTIROMaya Rostanty

Page 11: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas ix

Daftar Isi

Daftar Singkatan dan Istilah ....................................................................................................... v

Daftar Bagan, Gambar, Grafik, dan Tabel ............................................................................... ix

BAB I Konteks ........................................................................................................................ 1

A. Eksklusi Sosial dan Aksesibilitas Penyandang Disabilitas .......................... 1

B. Metodologi Kajian .................................................................................................... 7

C. Kerangka Konseptual .............................................................................................. 10

C.1 Inovasi ............................................................................................................... 10

C.2 Pelayanan Publik / Inovasi Pelayanan Publik ...................................... 11

C.3 Partisipasi Disabilitas ................................................................................... 12

D. Profil Program dan Mitra Program ...................................................................... 20

D.1 Program Peduli Pilar Disabilitas ............................................................... 20

D.2 Profil Lembaga Mitra Program Peduli Pilar Disabilitas .................... 22

D 2.1 SAPDA di Kota Banjarmasin .......................................................... 22

D.2.2 SIGAB di Kulon Progo ...................................................................... 22

D.2.3 KARINAKAS di Sukoharjo ............................................................... 23

D.2.4 YASMIB di Bone .................................................................................. 24

D.2.5 BAHTERA di Sumba Barat ............................................................... 25

D.2.6 PATTIRO ................................................................................................ 26

E. Batasan Kajian ............................................................................................................ 27

BAB II Inovasi dan Praktik Baik Pelayanan Publik Bagi Disabilitas .............. 31

A.Inovasi dan Praktik Baik Pelayanan Publik di Sektor Kesehatan ..................... 32

A.1. PATTIRO: Rintisan Puskesmas Ramah Disabilitas (RPRD) .................. 32

A.1.1. Jenis Inovasi dan Praktik Baik, Layanan, Proses dan Aktor .. 32

A.1.2. Hasil dan Dampak .............................................................................. 39

A.1.3. Faktor Pendukung ............................................................................. 39

Page 12: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

x

A.1.4. Tantangan ............................................................................................. 40

A.1.5. Partisipasi Disabilitas ........................................................................ 40

A.1.6. Penerimaan, Replikasi dan Rencana Pengembangan .......... 41

A.2. SIGAB : Puskesmas Ramah Disabilitas dan Pelayanan Khusus dan Kolaboratif bagi ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) .............. 43

A.2.1. Jenis Inovasi dan Praktik Baik, Layanan, Proses dan Peran Aktor ...................................................................................................... 43

A.2.2. Hasil dan Dampak .............................................................................. 50

A.2.3. Faktor pendukung ............................................................................. 51

A.2.4. Tantangan ............................................................................................. 52

A.2.5. Partisipasi Disabilitas ........................................................................ 52

A.2.6. Penerimaan, Replikasi dan Rencana Pengembangan .......... 53

A.3. KARINAKAS : Kartu DISABILITAS dan Pelayanan Kesehatan Disabilitas Terintegrasi dan Berkelanjutan .......................................... 55

A.3.1. Jenis Inovasi dan Praktik Baik, Layanan, Proses dan Peran Aktor ...................................................................................................... 55

A.3.2. Hasil dan Dampak .............................................................................. 67

A.3.3. Faktor pendukung ............................................................................. 67

A.3.4. Tantangan ............................................................................................. 68

A.3.5. Partisipasi Disabilitas ........................................................................ 68

A.3.6. Penerimaan, Replikasi dan Rencana Pengembangan .......... 70

B. Inovasi dan Praktik Baik Pelayanan Publik di Sektor Pendidikan .................. 73

B.1. SAPDA: Sekolah Dasar Inklusi .................................................................... 73

B.1.1. Jenis Inovasi dan Praktik Baik, Layanan, Proses dan Peran Aktor ...................................................................................................... 73

B.1.2. Hasil dan Dampak .............................................................................. 77

B.1.3. Faktor pendukung.............................................................................. 77

B.1.4. Tantangan ............................................................................................. 77

B.1.5. Partisipasi Disabilitas ......................................................................... 78

B.1.6. Penerimaan, Replikasi dan Rencana Pengembangan ........... 79

C. Inovasi dan Praktik Baik Pelayanan Publik melalui Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Disabilitas ...................................................... 81

Page 13: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas xi

C.1. YASMIB : Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Responsif Disabilitas ........................................................................................................ 81

C.1.1. Jenis Inovasi dan Praktik Baik, Layanan, Proses dan Peran Aktor ...................................................................................................... 81

C.1.2. Hasil dan Dampak .............................................................................. 85

C.1.3. Faktor Pendukung .............................................................................. 88

C.1.4. Tantangan ............................................................................................. 88

C.1.5. Partisipasi Disabilitas ........................................................................ 88

C.1.6. Penerimaan, Replikasi dan Rencana Pengembangan .......... 89

C.2. BAHTERA: Perencanaan dan Penganggaran yang Pro Disabilitas 90

C.2.1. Jenis Inovasi dan Praktik Baik, Layanan, Proses dan Peran Aktor ...................................................................................................... 90

C.2.2. Hasil dan Dampak .............................................................................. 96

C.2.3. Faktor Pendukung .............................................................................. 98

C.2.4. Tantangan ............................................................................................. 98

C.2.5. Partisipasi Disabilitas ........................................................................ 98

C.2.6. Penerimaan, Replikasi dan Rencana Pengembangan .......... 100

BAB III Analisis dan Model Inovasi ................................................................................ 105

A. Analisis Proses Perubahan dan Pembagian Peran .............................................. 105

B. Partisipasi Disabilitas ..................................................................................................... 110

B.1 Dinamika Partisipasi ........................................................................................ 110

B.2 Level Partisipasi Disabilitas ........................................................................... 113

C. Strategi Penerimaan dan Pengembangan ............................................................ 116

D. Tantangan .......................................................................................................................... 116

E. Analisis Gender ................................................................................................................ 117

BAB IV Kesimpulan dan Rekomendasi......................................................................... 125

A. Kesimpulan ....................................................................................................................... 125

B. Rekomendasi .................................................................................................................... 125

B.1. Rekomendasi Umum ..................................................................................... 126

Page 14: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

xii

a. Bagi Pemerintah Pusat ............................................................................. 126

b. Pemerintah Daerah ................................................................................... 127

c. Pemerintah Desa ........................................................................................ 128

B.2. Rekomendasi per Sektor .............................................................................. 128

a. Pendidikan ................................................................................................... 128

b. Kesehatan ..................................................................................................... 129

c. Perencanaan dan Penganggaran ......................................................... 131

B.3. Rekomendasi bagi CSO dan NGO ............................................................. 132

B.4. Rekomendasi bagi Organisasi/Kelompok Disabilitas (DPO) ............ 132

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 134

Page 15: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas xiii

Daftar Singkatan dan Istilah

Aksesibilitas : Derajat kemudahan dicapai oleh orang, terhadap suatu objek, pelayanan ataupun lingkungan. Kemudahan akses tersebut diimplementasikan pada bangunan gedung, lingkungan dan fasilitas umum lainnya.

Akuntabilitas : Pertanggungjawaban

ABK : Anak Berkebutuhan Khusus

Adminduk : Administrasi dan Kependudukan

APBDes : Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa

BAHTERA : Yayasan Bina Sejahtera

Bappeda : Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah

BLUD : Badan Layanan Umum Daerah

BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Braille : Sejenis sistem tulisan sentuh yang digunakan oleh penyandang tuna netra

CSO : Civil Society Organization

CSR : Corporate Social Responsibility

Dinsos : Dinas Sosial

DPO : Disabled/Disability People’s Organization

Eksklusi sosial : Proses yang memperlihatkan partisipasi dan solidaritas masyarakat menurun.

FGD : Focus Group Discussion

FKPI : Forum Komunikasi Pendidikan Inklusi

FPD : Forum Peduli Disabilitas

GERKATIN : Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia

GPK : Guru Pendamping Khusus

HAM : Hak Asasi Manusia

Handrail : Pegangan rambat untuk kursi roda

Page 16: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

xiv

HWDI : Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia

IDDC : International Disability and Development Consortium

ILO : International Labour Organization

Inklusi : Sebuah pendekatan untuk membangun dan mengembangkan sebuah lingkungan yang semakin terbuka, mengajak masuk dan mengikutsertakan semua orang dengan berbagai latar belakang, karakteristik, kemampuan, status, kondisi, etnik, dan budaya.

Inovasi : Proses kreatif penciptaan pengetahuan dalam melakukan penemuan baru yang berbeda dan/atau modifikasi dari yang sudah ada.

Jamkesda : Jaminan Kesehatan Daerah

Jamkesmas : Jaminan Kesehatan Masyarakat

Jamkesus : Jaminan Kesehatan Khusus

JKN : Jaminan Kesehatan Nasional

KARINAKAS : Karitas Indonesia Keuskupan Agung Semarang

KDD : Kelompok Disabilitas Desa

KDLB : Kelompok Disabilitas Lingsar Bergerak

Kemenko PMK : Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan

Kemensos : Kementerian Sosial

KIS : Kartu Indonesia Sehat

KK : Kartu Keluarga

KTP : Kartu Tanda Penduduk

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia

LPP Bone : Lembaga Pemberdayaan Perempuan Bone

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

Mainstreaming : Pengarusutamaan

MDGs : Millenium Development Goals

Musrenbang : Musyawarah Perencanaan Pembangunan

Page 17: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas xv

Musrenbangdes : Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa

NGO : Non Government Organization

NPC : National Paralympic Committee

NTT : Nusa Tenggara Timur

NTB : Nusa Tenggara Barat

ODGJ : Orang Dengan Gangguan Jiwa

P3D : Pusat Pengembangan Potensi Disabilitas

PATTIRO : Pusat Telaah dan Informasi Regional

Pemda : Pemerintah Daerah

Pemdes : Pemerintah Desa

Penyandang Disabilitas : Setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Perda : Peraturan Daerah

PERMEN PU : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum

PKDTB : Pelayanan Kesehatan Disabilitas Terintegrasi dan Berkelanjutan

Pertuni : Persatuan Tuna Netra Indonesia

Posyandu : Pos Pelayanan Terpadu

PPDI : Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia

PRB : Pengurangan Risiko Bencana

PSLD : Pusat Studi dan Layanan Disabilitas

Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat

Ramp : Jalur sirkulasi yang memiliki bidang dengan kemiringan tertentu sebagai alternatif bagi orang yang tidak dapat menggunakan tangga/penyandang disabilitas.

RBM : Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat

Renstra : Rencana Strategis

Page 18: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

xvi

Replikasi : Proses, cara meniru, menduplikatkan

RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah

RPJMDes : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa

RPRD : Rintisan Puskesmas Ramah Disabilitas

RT : Rukun Tetangga

SAPDA : Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak

Scale Up : Dikembangkan ke tingkat yang lebih tinggi

SDGs : Sustainable Development Goals

SDM : Sumber Daya Manusia

SHG : Self Help Group

SIGAB : Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel

SK : Surat Keputusan

SKPD/OPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah/Organisasi Perangkat Daerah

SLB : Sekolah Luar Biasa

TAF : The Asia Foundation

UKP : Upaya Kesehatan Perseorangan

UNCRPD : United Nations Convention on the Right of Persons with Disabilities

UU : Undang-Undang

UUD : Undang - Undang Dasar

WEF : World Economic Forum

YAKKUM Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum

YASMIB : Yayasan Swadaya Mitra Bangsa

Page 19: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas xvii

Daftar Bagan, Gambar, Grafik, dan Tabel

Bagan 2.1.1 Tahapan RPRD Puskesmas Lingsar ................................................................ 35

Bagan 2.2.1 Partisipasi Disabilitas dalam Inovasi dan Praktik Baik di Kabupaten Lombok .............................................................................................................................. 41

Bagan 2.3.1 Keterlibatan Disabilitas (KDD) dalam Proses Inovasi dan Praktik Baik ...................................................................................................................................... 53

Bagan 2.4 .1 Siklus Kesehatan bagi Disabilitas dalam Pelayanan Disabilitas Terintegrasi dan Berkelanjutan ................................................................................. 61

Bagan 2.5.1 Partisipasi Disabilitas SHG dan RBM dalam Inovasi dan Praktik Baik 69

Bagan 2.6.1 Tahapan Proses Inovasi dan Praktik Baik SD Inklusi ................................ 75

Bagan 2.7.1 Keterlibatan Disabilitas dalam Inovasi dan Praktik Baik SD Inklusi ... 79

Bagan 2.8.1 Proses Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Disabilitas .......................................................................................................................... 85

Bagan 2.9.1 Partisipasi Disabilitas dalam Proses Inovasi dan Praktik Baik di Desa Mallari ................................................................................................................................. 89

Bagan 2.10. 1 Tahapan Keterlibatan Disabilitas dalam Mendorong Usulan Pembangunan ................................................................................................................. 92

Bagan 2.11. 1 Partisipasi Disabilitas dalam Proses Inovasi dan Praktik Baik di Kabupaten Sumba ......................................................................................................... 99

Bagan 3.1. 1 Alur Perubahan dalam Inovasi dan Praktik Baik pada Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 di Lima Provinsi ..................................................... 105

Bagan 3.2.1 Pembagian Peran dalam Inovasi dan Praktik Baik ................................... 107

Bagan 3.3. 1 Tahapan Perencanaan, Pelaksanaan, dan Tindak Lanjut ...................... 111

Bagan 3.1. 1 Prosentase Aktor Kunci Inovasi dan Praktik Baik .................................... 118

Bagan 3.5. 1 Identifikasi Aspek Penting dalam Tiga Tahapan Utama Munculnya Sebuah Praktik Baik ....................................................................................................... 120

Bagan 3.4. 1 Analisis Inovasi dan Praktik Baik Pelayanan Publik Ramah Disabilitas 122-

Gambar 1.1.1 Model Kerangka Kerja Koalisi Advokasi pada Perubahan Kebijakan ........................................................................................................................... 8

Gambar 1.2.1 Model Komunikasi Implementasi Kebijakan di atau ke dalam Pemerintah ....................................................................................................................... 8

Page 20: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

xviii

Gambar 1.3.1 Peta Cakupan Wilayah Kajian PATTIRO .................................................... 9

Gambar 1.4.1 Tingkat Partisipasi Masyarakat .................................................................... 20

Gambar 2.1.1 Aksesibilitas Puskesmas Lingsar ................................................................. 38

Gambar 2.2.1 Pelatihan membuat kue bagi ODGJ yang sudah sembuh dan keluarga ............................................................................................................................. 47

Gambar 2.3.1 Kartu Disabilitas ............................................................................................... 56

Gambar 2.4.1 Sosialisasi Deteksi Dini Disabilitas ............................................................. 59

Gambar 2.5.1 Kegiatan di Sanggar Anak Bangsa, Desa Ngreco, Kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo. .................................................................................................. 72

Gambar 2.6.1 Proses Belajar dan Mengajar di SD Inklusi .............................................. 80

Gambar 2.7. 1 Posyandu Ramah Disabilitas Didanai APBDes Mallari ....................... 82

Gambar 2.8.1 Posyandu sekaligus pusat pemeriksaan rutin disabilitas di Desa Mallari. ................................................................................................................................ 102

Gambar 2.9. 1 Kegiatan Musrenbangdes di Kabupaten Sumba Barat .....................

Grafik 3.1. 1 Prosentase Aktor Kunci Inovasi dan Praktik Baik .....................................

Tabel 2.1.1 Inovasi dan Praktik Baik ...................................................................................... 32

Tabel 2.2.1 Aktor Peran Inovasi dan Praktik Baik RPRD Puskesmas Lingsar ........... 36

Tabel 2.3.1 Peran Stakeholder dalam Penanganan ODGJ di Kabupaten Kulon Progo .................................................................................................................................. 49

Tabel 2.4.1 Peran Aktor dalam Inovasi dan Praktik Baik Kartu DISABILITAS dan PKDTB ................................................................................................................................. 62

Tabel 2.5.1 Peran Aktor dalam Proses dan Praktik Baik SD Inklusi ............................. 75

Tabel 2.6.1 Peran Aktor dalam Inovasi dan Praktik Baik di Bone ................................ 83

Tabel 2.7.1 Alokasi Anggaran yang Reponsif Disabilitas pada APBDes ................... 87

Tabel 2.8.1 Peran Aktor dalam Proses Inovasi dan Praktik Baik di Kabupaten Sumba ................................................................................................................................ 93

Tabel 2.9.1 Contoh Kegiatan yang Sudah Diakomodasi dalam Dokumen RKP Desa Elu Loda, Kecamatan Tana Righu Kabupaten Sumba Barat tahun 2016 ..................................................................................................................................... 97

Tabel 2.10. 1 Forum-Forum Peduli Disabilitas di Tingkat Desa yang Berpartisipasi dalam Inovasi dan Praktik Baik Perencanaan dan Penganggaran yang Pro disabilitas .......................................................................................................................... 100

Page 21: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

BAB I

Konteks

Page 22: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO
Page 23: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 1

BAB I

Konteks

A. Eksklusi Sosial dan Aksesibilitas Penyandang DisabilitasKonsep eksklusi sosial menonjol dalam wacana kebijakan di Perancis pada

pertengahan 1970-an. Konsep ini kemudian diadopsi oleh Uni Eropa pada akhir 1980-an sebagai konsep kunci dalam kebijakan sosial dan dalam banyak kasus menggantikan konsep kemiskinan. Eksklusi sosial adalah proses yang memperlihatkan partisipasi dan solidaritas masyarakat menurun. Kondisi demikian mencerminkan kurang memadainya kohesi sosial atau integrasi sosial. Pada tingkat individual, mengacu pada ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan membangun makna-hubungan sosial.1 Konsep eksklusi sosial kemudian menyebar ke negara-negara berkembang, dengan cara melakukan redefinisi konsep pembangunan ekonomi yang juga harus bertumpu kepada pendekatan sosial. Konsep pembangunan sosial akan melihat banyak hal yang harus diperjuangkan, yakni mulai dari pendidikan yang lebih baik, peningkatan kesehatan dan standar gizi, pemberantasan kemiskinan, perbaikan kondisi lingkungan, pemerataan kesempatan, pemerataan kebebasan individual, dan penyegaran kehidupan budaya.

Bila eksklusi sosial berarti memarjinalkan masyarakat dari suatu proses pembangunan, atau proses peminggiran masyarakat, maka inklusi sosial berkonotasi sebaliknya. Pengertian inklusi digunakan sebagai sebuah pendekatan untuk membangun dan mengembangkan sebuah lingkungan yang semakin terbuka, mengajak masuk dan mengikutsertakan semua orang dengan berbagai latar belakang, karakteristik, kemampuan, status, kondisi, etnik, dan budaya. Terbuka dalam konsep lingkungan inklusi, berarti semua orang yang tinggal, berada dan beraktivitas dalam lingkungan keluarga, sekolah ataupun masyarakat merasa aman dan nyaman mendapatkan hak dan melaksanakan kewajibannya. Jadi, lingkungan inklusi adalah lingkungan sosial masyarakat yang terbuka, ramah, meniadakan hambatan dan menyenangkan, karena setiap warga masyarakat tanpa terkecuali saling menghargai dan merangkul setiap perbedaan (Lenoir, 1974).

1 Gordon D et.al (2000).Poverty and Social Exclusion in Britain. Joseph Rowntree Foundation.York.

Page 24: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

2

Bila dikaitkan dengan paradigma pembangunan, maka inklusi sosial ini diwujudkan dalam bentuk paradigma pembangunan inklusif. Pembangunan inklusif merupakan suatu pendekatan pembangunan sosial yang secara luas menganalisa suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat, atau suatu sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi dengan cara mendukung keberlanjutan umat manusia dan ekologis. Inklusi sosial merupakan salah satu pendekatan pembangunan manusia yang mengembangkan sebuah lingkungan yang semakin terbuka, dengan cara mengikutsertakan semua orang, tanpa melihat perbedaan latar belakang sosial ekonomi, karakteristik, kemampuan, status, kondisi fisik, etnik, budaya dan lingkungannya.

Penjabaran konsep pembangunan inklusif menurut International Disability and Development Consortium (IDDC)2 adalah merupakan sebuah proses untuk memastikan bahwa semua kelompok yang terpinggirkan bisa terlibat dalam proses pembangunan. Konsep tersebut mengupayakan pemberian hak bagi kelompok atau kaum yang terpinggirkan di dalam proses pembangunan. Dengan kata lain, pembangunan inklusif berusaha memberikan akses kepada kaum yang terpinggirkan, termasuk di antaranya penyandang disabilitas, untuk terlibat dalam proses pembangunan dan memiliki akses untuk menikmati hasil-hasil pembangunan dimaksud.

Kemunculan paradigma pembangunan inklusif dilatarbelakangi oleh orientasi pembangunan sejak era tahun 80-an yang terlalu bertumpu kepada pembangunan ekonomi dengan output berupa pertumbuhan ekonomi. Model pembangunan demikian menghasilkan suatu kondisi deprivasi sosial. Deprivasi sosial menurut Townsed (1979) adalah suatu kondisi dimana individu, keluarga dan kelompok dalam populasi dapat dikatakan berada dalam kemiskinan ketika mereka kekurangan sumber daya untuk mendapatkan pangan, berpartisipasi dalam kegiatan, dan memiliki kondisi hidup dan fasilitas kurang. Sumber daya mereka berada di bawah yang seharusnya diterima oleh rata-rata individu atau keluarga mereka.3

Dibanding beberapa negara tetangga, pembangunan inklusif di Indonesia masih jauh dari kondisi ideal. Menurut World Economic Forum (WEF) dalam Laporan Pembangunan dan Pertumbuhan Inklusif 2017 (The Inclusive Growth

2 Diunduh dari www. make-development-inclusive.org

3 Henny Warsilah, Dede Wardiat dkk, Pembangunan Inklusif Kota Solo, Jateng, Obor, 2017.

Page 25: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 3

and Development Index 2017), Indonesia berada pada peringkat 22 dari 79 negara berkembang. Peringkat ini berada di bawah Thailand (12), Tiongkok (15), dan Malaysia (16). Menurut WEF, Indonesia memiliki masalah ketimpangan yang serius, yang ditunjukkan dengan rendahnya nilai indikator inklusi (inclusion) yaitu 3,57 (dari skala 1 terendah dan 7 tertinggi), meliputi ketimpangan dalam pendapatan bersih (net income inequality), ketimpangan kemakmuran (wealth inequality) dan tingkat kemiskinan (poverty rate).

Dengan kata lain, pembangunan di Indonesia masih jauh untuk dikatakan sebagai pembangunan yang inklusif. Pembangunan nasional sendiri bertujuan mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, yaitu pertumbuhan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang, terdistribusi di berbagai wilayah, dan dapat mengurangi ketidaksetaraan pendapatan.

Konsep pembangunan inklusif ini dipandang tepat bagi Indonesia, karena sejalan dengan konsep keadilan sosial yang tercakup dalam Sila Kelima Pancasila yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dan alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sebagai negara yang berkeadilan sosial, maka negara berkewajiban melindungi hak-hak asasi warganya termasuk hak-hak penyandang disabilitas, yang dapat dikatakan sebagai “kelompok yang tidak diuntungkan” karena keterbatasan yang dimilikinya, dan memastikan pembangunan yang dijalankan dapat dinikmati hasilnya oleh seluruh masyarakat, termasuk penyandang disabilitas.

Selain pembangunan inklusif, perhatian pada kelompok rentan, salah satunya penyandang disabilitas, juga diperlihatkan melalui paradigma pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan ini mencakup tiga dimensi, yaitu dimensi sosial, yang mencakup keadilan sosial, kesetaraan gender atau pemenuhan kebutuhan dasar bagi semua, termasuk di dalamnya penyandang disabilitas; dimensi ekonomi, yang dapat diartikan sebagai pertumbuhan ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan dasar atau ekonomi kesejahteraan; dan dimensi lingkungan, yang mencakup keseimbangan lingkungan dan lingkungan untuk generasi sekarang dan yang akan datang (Gondokusumo dalam Budhy, 2005). Implementasi pembangunan berkelanjutan ini dicanangkan secara global melalui deklarasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yang akan dilaksanakan hingga tahun 2030. SDGs merupakan kelanjutan

Page 26: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

4

dari Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDGs) yang telah dilaksanakan selama 15 tahun (2000-2015).

Berbeda dengan MDGs yang tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai penyandang disabilitas, maka SDGs justru memberi perhatian yang relatif besar kepada penyandang disabilitas. Hal ini terlihat dari 17 tujuan (goals) dalam SDGs, di antaranya terkait erat dengan penyandang disabilitas, yaitu: a) Goal 3 yaitu “Menjamin Kehidupan yang Sehat dan Meningkatkan Kesejahteraan Seluruh Penduduk Semua Usia”; b) Goal 4 yaitu “Menjamin Kualitas Pendidikan yang Inklusif dan Merata Serta Meningkatkan Kesempatan Belajar Sepanjang Hayat Untuk Semua”; c) Goal 5 yaitu “Mencapai Kesetaraan Gender dan Memberdayakan Kaum Perempuan”; d) Goal 8 yaitu “Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan, Kesempatan Kerja yang Produktif dan Menyeluruh, serta Pekerjaan yang Layak untuk Semua”; e) Goal 9 yaitu “Membangun Infrastruktur yang Tangguh, Meningkatkan industri Inklusif dan Berkelanjutan, serta Mendorong Inovasi”; f ) Goal 10 yaitu “Mengurangi Kesenjangan Di dalam Negara dan Antarnegara”; g) Goal 11 yaitu “Menjadikan Kota dan Permukiman Inklusif, Aman, Tangguh, dan Berkelanjutan”; h) Goal 16 yaitu “Menguatkan Masyarakat yang Inklusif dan Damai untuk Pembangunan Berkelanjutan, Menyediakan Akses Keadilan untuk Semua, dan Membangun Kelembagaan yang Efektif, Akuntabel, dan Inklusif di semua Tingkatan”.

Dalam rangka mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas ini, salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah Indonesia adalah memperbaiki regulasi melalui penerbitan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Penyandang Disabilitas) yang menggantikan UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, yang sudah tidak sesuai lagi dengan paradigma kebutuhan penyandang disabilitas.

Meskipun undang-undang sudah diterbitkan, belum berarti penyandang disabilitas telah terpenuhi hak-hak dasarnya, mengingat implementasi UU Penyandang Disabilitas itu membutuhkan upaya dan dukungan dari berbagai pihak. Terpenuhinya hak-hak penyandang disabilitas terutama pada pelayanan publik dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan memperoleh dokumen kependudukan merupakan salah satu indikator keadilan negara terhadap warga negaranya. Hak dasar ini mestinya diterima secara adil dan merata untuk semua golongan masyarakat dengan berbagai kondisi dan latar belakang baik ekonomi, wilayah, fisik, maupun mental.

Hal ini perlu ditekankan mengingat kelompok rentan, salah satunya penyandang disabilitas, masih mendapat hambatan dalam upaya mengakses pelayanan publik

Page 27: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 5

dasar. Hal tersebut disebabkan oleh mekanisme pemberian layanan belum mengakomodasi kebutuhan khusus penyandang disabilitas, padahal pelayanan publik yang adil dan non-diskriminatif ini sebenarnya sudah dijamin dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan Publik). Ruang lingkup pelayanan publik meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor lain yang terkait. Undang-Undang Pelayanan Publik ini dapat dilihat sebagai upaya untuk mewujudkan pelayanan yang inklusif melalui asas-asas pelayanan yang telah ditetapkan, antara lain kesamaan hak, partisipatif, persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, dan fasilitas serta perlakuan khusus bagi kelompok rentan. Hal ini juga diperkuat dengan terbitnya UU nomor 8 tahun 2016 seperti Penyandang Disabilitas.

Namun, dalam praktiknya, penyandang disabilitas masih banyak mengalami hambatan dalam mengakses pelayanan dasar, seperti kesehatan, pendidikan, dan kependudukan. Dengan kata lain, masih terjadi eksklusi dalam pelayanan publik terhadap disabilitas. Sebagai contoh, pada pelayanan kesehatan, penyandang disabilitas rungu dan wicara tidak bisa leluasa menyampaikan keluhannya (terkait hal-hal yang dianggap sensitif atau pribadi) saat memeriksakan kesehatannya, karena tidak ada petugas yang memahami cara berkomunikasi dengan penyandang disabilitas. Selain itu, penyandang disabilitas juga mengalami kesulitan untuk mengakses langsung pelayanan di gedung unit pelayanan, karena tidak ada pintu masuk atau lobi yang aksesibel bagi pengguna kursi roda. Hal ini terjadi karena adanya prasangka (asumsi negatif ) dari pemberi pelayanan dan pembuat kebijakan bahwa tidak perlu membuat pintu masuk atau lobi dimaksud disebabkan jarang ada pasien penyandang disabilitas yang datang.

Dengan memperhatikan pemaparan di atas, maka pembangunan inklusif dan berkelanjutan merupakan pendekatan yang tepat bagi Indonesia dalam rangka memastikan proses dan hasil pembangunan dapat dirasakan oleh semua, termasuk penyandang disabilitas, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Perhatian kepada penyandang disabilitas ini menjadi sangat penting, karena jumlahnya relatif besar dan menghadapi sejumlah tantangan.

Berikut fakta tentang penyandang disabilitas (ILO, tanpa tahun) “Secara global, penyandang disabilitas berjumlah sekitar 15 persen dari jumlah penduduk di dunia atau lebih dari satu miliar orang. Delapan puluh dua persen dari penyandang disabilitas tersebut hidup di negara-negara berkembang dan berada di bawah garis kemiskinan dan kerapkali menghadapi keterbatasan akses atas kesehatan,

Page 28: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

6

pendidikan, pelatihan dan pekerjaan yang layak. Sementara di Indonesia diperkirakan 10% dari jumlah penduduknya adalah penyandang disabilitas atau lebih dari 24 juta orang. Para penyandang disabilitas ini merupakan masyarakat yang termarjinalkan dan rentan. Penyandang disabilitas juga kerapkali terisolir secara sosial dan menghadapi diskriminasi dalam akses atas kesehatan dan pelayanan lainnya, pendidikan dan pekerjaan”.

Dalam konteks besar pembangunan inklusif dan berkelanjutan, terutama dalam proses dan hasil pembangunan, khususnya bagi penyandang disabilitas, maka buku ini berupaya memotret upaya-upaya inovasi yang telah dilakukan untuk memastikan masalah-masalah yang dihadapi penyandang disabilitas dapat diatasi. Upaya inovasi dan praktik baik dimaksud difokuskan pada pelayanan publik bagi penyandang disabilitas. Mengapa inovasi dalam pelayanan publik yang menjadi perhatian? Karena permasalahan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas selama ini relatif kurang mendapat perhatian yang memadai, terutama terkait akses pelayanan. Pelayanan yang diberikan sebagian besar penyelenggara pelayanan publik belum ramah disabilitas, dalam arti tidak memperhatikan hambatan yang dimiliki penyandang disabilitas dalam berinteraksi dengan penyedia pelayanan. Misalnya, tidak tersedia petugas pelayanan yang memahami bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan penyandang disabilitas rungu dan wicara. Akibatnya, penyandang disabilitas mengalami kesulitan untuk mengakses atau mendapatkan pelayanan publik yang ramah disabilitas.

Buku yang ada di hadapan pembaca ini berusaha memotret upaya-upaya inovasi dan praktik baik terkait pelayanan publik yang ramah disabilitas, sekaligus menganalisis berbagai praktik baik tersebut dan kemungkinan untuk direplikasi dan dikembangkan lebih lanjut (scale up). Berbagai inovasi dan praktik baik yang dipaparkan di dalamnya merupakan hasil dari pelaksanaan Program Peduli Fase 1 (2015-2016).

Inovasi dan praktik baik pelayanan publik yang dikupas dalam buku ini relevan dengan pembangunan inklusif dan berkelanjutan, karena di dalamnya memaparkan permasalahan yang dihadapi penyandang disabilitas; upaya-upaya inovasi yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut, meliputi proses inovasi yang melibatkan penyandang disabilitas sendiri dan para pemangku kepentingan; hasil dari proses inovasi dimaksud, termasuk dampaknya bagi penyandang disabilitas; serta peluang atau kemungkinan inovasi tersebut untuk direplikasi atau ditingkatkan (scale-up) ke tingkat yang lebih luas.

Penyusunan Kajian Inovasi dan Praktik Baik Pelayanan Publik bagi Disabilitas ini merupakan bagian dari pengelolaan pengetahuan (knowledge management) yang

Page 29: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 7

diharapkan memberikan manfaat yang lebih banyak bagi penyandang disabilitas di tanah air. Hasil kajian ini diharapkan menjadi bahan advokasi di tingkat nasional dalam upaya perbaikan kebijakan terkait pelayanan publik yang ramah disabilitas, sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dan signifikan bagi penyandang disabilitas di seluruh tanah air.

B. Metodologi KajianKajian ini menggunakan metode deskriptif analitis. Kajian ini berupaya

mengumpulkan, meneliti dan mendeskripsikan berbagai inovasi dan praktik baik yang telah dikembangkan oleh Mitra Peduli Fase 1 yang bersinergi dengan pemerintah daerah dalam rangka pemenuhan hak penyandang disabilitas, dan menganalisis faktor pendukung dan penghambat dalam rangka mengembangkan inovasi dan praktik baik pelayanan publik bagi disabilitas, serta analisis terhadap peluang dari praktik baik dimaksud untuk dikembangkan (scale up) ke tingkat nasional dan menjadi masukan untuk penyusunan kebijakan pelayanan publik yang ramah disabilitas.

Secara umum, dapat dikatakan paradigma yang memayungi kajian ini adalah post positivism. Paradigma post-positivism memiliki karakteristik utama yaitu pencarian makna di balik data (Denzin dan Lincoln: 1994). Dalam kajian ini, pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, mengingat secara tradisional, paradigma post-positivism berbasis pendekatan kualitatif (Ricucci, 2010). Oleh karena itu, dalam rangka memotret tahapan, berbagai indikator dalam proses inovasi dan praktik baik pelayanan publik yang ramah disabilitas ditujukan untuk memastikan bahwa data yang dihasilkan akan dikonfirmasi langsung kepada Mitra Peduli, penyandang disabilitas atau organisasi penyandang disabilitas. Kajian ini ini akan menghasilkan strategi model mikro (lokal), dan model regional (antar provinsi) yang nantinya dapat diadvokasikan pada tingkat nasional, seperti terlihat pada gambar berikut ini.

Page 30: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

8

Gambar 1.2.1 Model Komunikasi Implementasi Kebijakan di atau ke dalam Pemerintah

Sumber : Grindle’s dalam Najam A (1995)

Gambar 1.1.1 Model Kerangka Kerja Koalisi Advokasi pada Perubahan Kebijakan

Sumber : Grindle’s dalam Najam A (1995)

Tujuan Kebijakan

Mengukur Keberhasilan

Tujuan yang

dicapai?

Program aksi dan Proyek individu yang didesain dan

didanai

Program yang dilaksanakan sudahkah sesuai dengan

rencana?

Implementasi Kebijakan yang dipengaruhi oleh:a. Isi Kebijakan

1. Kepentingan Kelompok Sasaran2. Tipe manfaat3. Derajat perubahan yang dituju4. Letak pengambilan keputusan5. Pelaksanaan program6. Sumber daya yang terlibat

b. Konteks Implementasi1. Kekuasaan, kepentingan, dan

strategi aktor yang terlibat

Luaran:a. Dampak pada

masyarakat, individu dan kelompok.

b. Perubahan dan penerimaan masyarakat

Page 31: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 9

Ruang lingkup isi kajian inovasi dan praktik baik pelayanan publik ramah disabilitas ini mencakup latar belakang inovasi yang dilakukan oleh Mitra Peduli; proses dan pembagian peran dalam proses inovasinya; persepsi para pemangku kepentingan (NGO pendamping, DPO, penyandang disabilitas, dan pemerintah daerah yang didampingi); faktor pendukung dan penghambat inovasi; penerimaan (buy-in) inovasi oleh pemerintah daerah dalam bentuk kebijakan, anggaran dan lainnya; serta peluang inovasi atau praktik baik untuk direplikasi dan atau dikembangkan ke tingkat yang lebih tinggi (scale up).

Kajian dilakukan di sebagian wilayah kerja Mitra Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1, yaitu di Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Bone, Kabupaten Lombok Barat, Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Sumba Barat. Kajian dilakukan selama enam bulan, dari bulan September 2017 hingga Januari 2018. Berikut peta cakupan wilayah kajian yang dilakukan oleh PATTIRO:

Gambar 1.3.1 Peta Cakupan Wilayah Kajian PATTIRO

Keterangan: Warna titik merah adalah peta cakupan wilayah kajian PATTIRO

Sumber: https://www.sejarah-negara.com/2015/02/peta-indonesia-terbaru-2015-peta-buta-dan-peta-lengkap.html

Data dikumpulkan melalui data sekunder melalui studi pustaka, dan data primer melalui wawancara mendalam dan observasi. Data sekunder dikumpulkan dari Mitra Peduli, terutama terkait dengan laporan pelaksanaan inovasi dan dampak inovasinya. Hasilnya dianalisis dan dituangkan dalam bentuk laporan desk study. Hasil desk study ini didalami melalui wawancara mendalam dan observasi secara langsung ke wilayah kerja Mitra Peduli.

Page 32: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

10

Untuk memastikan data dan informasi yang diperoleh akurat, dilakukan triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data dimaksud (Moleong, 2009). Menurut Lather dalam Creswell (2007), triangulasi, yang merupakan salah satu jenis validasi data, meliputi beberapa sumber data, metode dan teori. Dalam penelitian ini, triangulasi dilakukan terhadap sumber data, yaitu kepada para pemangku kepentingan pelayanan publik dan penyandang disabilitas, termasuk organisasi penyandang disabilitas, untuk mengkonfirmasi kebenaran data atau informasi. Hasil wawancara mendalam dan observasi ini dipandang penting untuk dilakukan triangulasi untuk memastikan kecukupan dan kesahihan data yang melibatkan staf atau petugas dari Mitra Peduli yang terlibat secara langsung dalam inovasi pelayanan publik yang ramah disabilitas.

Hasil dari seluruh proses pengumpulan data ini kemudian dianalisis dan dituangkan dalam buku ini.

C. Kerangka Konseptual C.1 Inovasi

Menurut Suryani (2008:304), inovasi dapat berupa ide, cara-cara ataupun obyek yang dipersepsikan oleh seseorang sebagai sesuatu yang baru. Inovasi juga sering digunakan untuk merujuk pada perubahan yang dirasakan sebagai hal yang baru oleh masyarakat yang mengalami. Kata inovasi dapat diartikan sebagai “proses” atau“hasil” pengembangan dan atau pemanfaatan atau mobilisasi pengetahuan, keterampilan (termasuk keterampilan teknologi) dan pengalaman untuk menciptakan atau memperbaiki produk, proses yang dapat memberikan nilai yang lebih berarti. Menurut Rosenfeld dalam Sutarno (2012:132), inovasi adalah transformasi pengetahuan kepada produk, proses dan jasa baru, atau tindakan menggunakan sesuatu yang baru.

Rogers (1983) inovasi adalah sebuah ide, praktek, atau objek yang dipahami sebagai sesuatu yang baru oleh masing-masing atau unit pengguna lainnya. Rogers juga menyatakan bahwa inovasi mempunyai atribut tertentu, yaitu 1) Keuntungan Relatif. Sebuah inovasi harus mempunyai keunggulan dan nilai lebih dibandingkan dengan inovasi sebelumnya. Selalu ada sebuah nilai kebaruan yang melekat dalam inovasi yang menjadi ciri yang membedakannya dengan yang lain; 2) Kesesuaian. Inovasi juga sebaiknya mempunyai sifat kompatibel atau kesesuaian dengan inovasi yang digantinya. Hal ini dimaksudkan agar inovasi yang lama tidak dibuang begitu saja, selain karena alasan faktor biaya yang tidak sedikit, juga karena inovasi

Page 33: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 11

yang lama menjadi bagian dari proses transisi ke inovasi yang baru. Selain itu juga dapat memudahkan proses adaptasi dan proses pembelajaran terhadap inovasi itu secara lebih cepat; 3) Kerumitan. Dengan sifatnya yang baru, maka inovasi mempunyai tingkat kerumitan yang boleh jadi lebih tinggi dibandingkan dengan inovasi sebelumnya. Namun demikian, karena sebuah inovasi menawarkan cara yang lebih baru dan lebih baik, maka tingkat kerumitan ini pada umumnya tidak menjadi masalah penting; 4) Kemungkinan Dicoba. Inovasi hanya bisa diterima apabila telah teruji dan terbukti mempunyai keuntungan atau nilai dibandingkan dengan inovasi yang lama. Sehingga sebuah produk inovasi harus melewati fase “uji publik”, dimana setiap orang atau pihak mempunyai kesempatan untuk menguji kualitas dari sebuah inovasi; dan 5) Kemudahan diamati. Sebuah inovasi harus juga dapat diamati, dari segi bagaimana sebuah inovasi bekerja dan menghasilkan sesuatu yang lebih baik.

Agar inovasi ini bermanfaat bagi lebih banyak orang atau pihak, maka perlu disebarluaskan. Diharapkan melalui penyebarluasan inovasi ini, inovasi dapat ditiru atau direplikasi pihak lain. Dalam konteks penyebarluasan ini, Rogers (1983) mengemukakan konsep difusi inovasi. Menurutnya, difusi adalah proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu di antara para anggota suatu sistem sosial. Di samping itu, difusi juga dapat dianggap sebagai suatu jenis perubahan sosial yaitu suatu proses perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Jadi difusi inovasi menurut Rogers (1983) adalah suatu proses penyebar serapan ide-ide atau hal-hal yang baru dalam upaya untuk mengubah suatu masyarakat yang terjadi secara terus menerus dari suatu tempat ke tempat yang lain, dari suatu kurun waktu ke kurun waktu yang berikut, dari suatu bidang tertentu ke bidang yang lainnya kepada sekelompok anggota dari sistem sosial. Tujuan utama dari difusi inovasi adalah diadopsinya suatu inovasi (ilmu pengetahuan, tekhnologi, dan bidang pengembangan masyarakat) oleh anggota sistem sosial tertentu. Sistem sosial dapat berupa individu, kelompok informal, organisasi sampai kepada masyarakat.

C.2 Pelayanan Publik / Inovasi Pelayanan PublikMenurut UU Nomor 25 Tahun 2009, pelayanan publik adalah kegiatan atau

rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dalam proses pelaksanaan pelayanan tersebut, pemerintah terus mendorong adanya peningkatan kualitas layanan sesuai dengan

Page 34: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

12

standar dan peraturan yang telah disusun oleh pemerintah. Dengan adanya era desentralisasi, pemberi layanan di level daerah menjadi ujung tombak dari berbagai upaya perbaikan dan kualitas layanan yang ada, termasuk bagaimana pelayanan yang ada bisa menjangkau semua kelompok masyarakat dari berbagai kondisi dan di semua lokasi. Salah satu kelompok rentan yang selama ini banyak mendapat hambatan dalam mengakses pelayanan publik adalah kelompok disabilitas.

Dalam upaya peningkatan layanan tersebut, pemerintah dalam hal ini Kemenpan RB mendorong adanya inovasi-inovasi yang dilakukan oleh pemberi layanan dalam pemberian layanan publik bagi masyarakat. Inovasi adalah proses kreatif penciptaan pengetahuan dalam melakukan penemuan baru yang berbeda dan/atau modifikasi dari yang sudah ada. Inovasi Pelayanan Publik adalah terobosan jenis pelayanan baik yang merupakan gagasan/ide kreatif orisinal dan/atau adaptasi/modifikasi yang memberikan manfaat bagi masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan kata lain, inovasi pelayanan publik sendiri tidak mengharuskan suatu penemuan baru, tetapi dapat merupakan suatu pendekatan baru yang bersifat kontekstual dalam arti inovasi tidak terbatas dari tidak ada kemudian muncul gagasan dan prakti. Praktik inovasi sendiri dapat berupa inovasi hasil dari perluasan maupun peningkatan kualitas pada inovasi yang ada. Definisi dan pengertian mengenai inovasi dan pelayanan publik ini tercantum dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 30 tahun 2014 tentang Pedoman Inovasi Pelayanan Publik.

C.3 Partisipasi DisabilitasPemahaman mengenai partisipasi dapat dilihat dari dari setidaknya dua aspek,

yaitu apa makna dari partisipasi dan siapa yang berpartisipasi. Makna partisipasi sendiri dikemukakan oleh berbagai pakar berdasarkan sudut pandangnya masing-masing. Paul (1987:14) menyatakan partisipasi masyarakat sebagai suatu proses aktif, dimana masyarakat dapat mempengaruhi arah serta pelaksanaan dari pembangunan dengan maksud untuk meningkatkan kesejahteraannya dalam arti penghasilan, perkembangan pribadi, kemandirian, serta berbagai nilai yang diyakini. Bank Dunia yang aktif memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam pembangunan menyatakan bahwa partisipasi adalah suatu proses dimana berbagai pelaku (stakeholders) dapat mempengaruhi serta membagi wewenang dalam menentukan inisiatif-inisiatif pembangunan dan keputusan serta pengalokasian berbagai sumber (Bank Dunia, 1994).

Partisipasi dalam pembangunan ini memang banyak mendapat perhatian. Menurut Tjokrowinoto (1995: 44-45) perspektif partisipasi masyarakat telah

Page 35: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 13

cukup lama jadi acuan pembangunan masyarakat, tetapi makna partisipasi itu sendiri seringkali samar-samar atau kabur. Partisipasi sering dipersepsikan sebagai bentuk mobilisasi dengan pendekatan cetak biru (blue print) atau pendekatan yang datangnya dari atas, walaupun dalam perjalanannya terdapat beberapa pandangan yang menganggap lebih dari sekadar pergerakan atau mobilisasi masyarakat tetapi juga sebagai hak dari setiap warga.

Hal senada diungkap oleh Soetrisno (1995) yang menyatakan, partisipasi sebelumnya dipahami sebagai kemauan rakyat untuk mendukung secara mutlak program-program pemerintah yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah, padahal makna partisipasi adalah kerja sama antara rakyat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan, dan mengembangkan hasil pembangunannya. Mikkelsen (2001:64) bahkan mengumpulkan berbagai tafsiran mengenai partisipasi. Pertama, partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan. Kedua, partisipasi adalah ”pemekaan” (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan. Ketiga, parsitipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasan untuk melakukan hal itu. Keempat, partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek agar memperoleh informasi mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak sosial. Kelima, partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri. Keenam, partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungannya.

Berbagai pendapat mengenai pengertian partisipasi itu lebih ditujukan pada keterlibatan masyarakat dalam proyek-proyek pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasannya. Sementara itu, Schneider (1995: 11) berpendapat bahwa:

“Although the need for more popular participation in the development process generally acknowledged, the concept of participation has been given different meanings in different situations. Increasingly, however, it is accepted that genuine participation should embody some form of empowerment of the population especially a participation in decision making. Genuine participation means that people should be involved throughout project or programme cycle, from the design stage through monitoring evaluation.”

Page 36: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

14

(Walaupun kebutuhan untuk lebih memperkenalkan partisipasi dalam proses pembangunan sudah diakui secara umum, namun konsep partisipasi memiliki arti yang berbeda dalam situasi yang berbeda. Namun demikian, hal yang diterima sebagai partisipasi asli adalah merupakan perwujudan dari pemberdayaan masyarakat terutama partisipasi dalam pengambilan keputusan. Partisipasi yang asli berarti bahwa semua orang harus dilibatkan dalam proyek atau program, dari mulai perencanaan, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi).

Dari definisi Schneider itu dapat disimpulkan bahwa konsep partisipasi tidak dapat diartikan secara baku. Makna partisipasi seringkali kabur. Namun, ia mengemukakan konsep mengenai partisipasi yang genuine atau asli adalah partisipasi yang merupakan perwujudan dari pemberdayaan masyarakat, terutama dalam proses pengambilan keputusan. Hal itu tentu saja mengandung konotasi politik, karena jelas partisipasi memiliki hubungan atau terkait dengan demokrasi. Hal ini sejalan dengan pandangan Adi (2001:84):

“Partisipasi masyarakat sebagai salah satu pilar dari demokrasi dan value based social development merupakan hal yang penting dalam diskursus komunitas. Karena melalui partisipasi masyarakat ini diharapkan akan tercapai pengambilan keputusan yang demokratis. Proses pengambilan keputusan secara demokratis itu sendiri pada dasarnya dilakukan berdasarkan sistem egaliter, dimana masing-masing pihak berusaha saling melengkapi tanpa merasa menjadi yang super power.”

Partisipasi sebagai salah satu indikator penting dari demokrasi juga diungkapkan oleh Ida (2002: 97) yang menyatakan dalam kajian demokrasi, partisipasi menjadi sangat penting karena secara umum pola hubungan antara masyarakat dan pemerintah diyakini akan terbangun dengan baik jika terjadi secara sinergik dan dinamis. Artinya, posisi masyarakat dan pemerintah berada pada kondisi saling berhubungan, baik dalam proses pembuatan keputusan, pelaksanaan keputusan, maupun dalam mengawasi pelaksanaan keputusan tersebut. Ida juga menambahkan bahwa partisipasi itu sendiri sejalan dengan ide desentralisasi. Pada pendekatan desentralisasi peluang partisipasi dimungkinkan dengan semakin dekatnya jarak antara masyarakat dan pemerintah, maka semakin terbuka kesempatan untuk berpartisipasi.

Arnstein (1969: 216-224) menyatakan bahwa partisipasi berkaitan erat dengan pembagian kekuasaan yang memungkinkan masyarakat untuk ikut serta dalam

Page 37: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 15

proses politik dan ekonomi untuk terlibat dalam penentuan masa depan dan konsep pemberdayaan masyarakat sebagai upaya peningkatan kemampuan dalam pengambilan keputusan dan mengontrol masa depan masyarakat sendiri. Sementara itu, In Young Wang (dalam Makmur, 2003: 57) menyatakan partisipasi merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh seseorang/individu atau kelompok orang dalam merumuskan/menyatakan kepentingan mereka dalam memberikan/menyumbangkan tenaga dan sumberdaya lainnya kepada suatu lembaga/institusi dan kepada sistem yang mengatur kehidupan mereka.

Dari beberapa definisi tersebut, tampak bahwa partisipasi memang merupakan sebuah konsep yang problematis dan memiliki banyak makna dan dimensi, tergantung situasinya, atau dari sudut mana memandangnya. Meski demikian, partisipasi masyarakat dapat diinterpretasikan sebagai hak yang dimiliki masyarakat untuk dapat terlibat secara demokratis dalam ikut menentukan berbagai hal yang menyangkut kehidupannya. Ringkasnya, partisipasi dimaknai sebagai adanya keterlibatan warga masyarakat dalam melakukan pengambilan keputusan yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan, pemecahan masalah, dalam kerangka peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraannya, termasuk menyangkut pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah.

Tjokroamidjojo (1995:207) mengemukakan tiga bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu partisipasi dalam perencanaan pembangunan, partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan, dan partisipasi dalam memanfaatkan hasil-hasil pembangunan. Keith Davis dalam Sastropoetro (1988:16) menyatakan bentuk-bentuk partisipasi adalah:

a. Sumbangan individu atau instansi yang berada di luar lingkungan tertentu (dermawan, pihak ketiga)

b. Mendirikan proyek yang sifatnya mandiri dan dibiayai seluruhnya oleh komunitas (biasanya diputuskan dalam rapat desa)

c. Aksi massad. Mengadakan pembangunan di kalangan desa sendirie. Membangun proyek komunitas yang bersifat otonomiKeith juga menyatakan jenis-jenis partisipasi yaitu pikiran (psychological

participation); tenaga (physical participation); pikiran dan tenaga (psychological and physical participation); barang (material participation); dan uang (money participation).

Thoha sebagaimana dikutip oleh Tim Peneliti FIKB (2002: 6) lebih melihat partisipasi dari sifatnya. Ia membagi partisipasi dalam dua jenis, yaitu partisipasi otonom/mandiri dan partisipasi mobilisasi. Partisipasi otonom/mandiri yaitu suatu

Page 38: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

16

bentuk partisipasi yang lahir dari kesadaran masyarakat untuk mempengaruhi kebijakan publik. Partisipasi mobilisasi, termasuk di dalamnya partisipasi seremonial yaitu suatu bentuk partisipasi yang digerakkan oleh orang atau kelompok tertentu, umumnya bagi negara berkembang dilakukan oleh kelompok elit tertentu, bukannya berangkat dari kesadaran masyarakat. Partisipasi seremonial merupakan bentuk seperti partisipasi dalam pemilu.

Sementara itu, pakar lain, seperti Okley (1991:1-10) menyatakan bahwa dalam melaksanakan partisipasi, masyarakat dapat melakukannya melalui beberapa bentuk, yaitu sumbangan pikiran (ide atau gagasan), sumbangan materi (dana, barang, alat), sumbangan tenaga (bekerja atau memberi kerja), dan memanfaatkan/melaksanakan pelayanan pembangunan.

Dari penjelasan mengenai makna dari partisipasi itu ternyata partisipasi dalam arti luas mencakup pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan hingga kontrol masyarakat. Partisipasi dapat terjadi dalam iklim demokrasi. Dalam perkembangannya, ada perubahan pandangan mengenai partisipasi. Masyarakat tidak lagi memandang partisipasi sebagai hadiah atas kebaikan hati pemerintah, tetapi partisipasi dianggap sebagai bagian dari pelayanan dasar dan upaya untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Partisipasi juga berarti berbagai cara atau bentuk yang dilakukan masyarakat untuk mempengaruhi kualitas kebijakan atau pelayanan dari pemerintah agar sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan warga masyarakat sendiri.

Pentingnya partisipasi masyarakat juga diungkapkan oleh Ramlan Surbakti yang dikutip oleh Tim Peneliti FIKB (2002:101) yaitu masyarakat, bukan pemerintah, yang paling mengerti tentang apa yang terbaik buat dirinya, dan masyarakat berhak ikut serta dalam perumusan setiap kebijakan publik yang pasti akan mempengaruhi kehidupan mereka.

Pada pelaksanaannya, partisipasi tidaklah sama di satu tempat dengan tempat lainnya. Praktik partisipasi berbeda-beda satu sama lain. Pada artikel Topic Pack on Participatory Planning-Section One (IDS, 2002:4), digambarkan bahwa partisipasi dapat dilakukan melalui konsultasi, kehadiran dan keterwakilan masyarakat dan pengaruh dari masyarakat. Sutrisno (2000:21) menyatakan partisipasi masyarakat dapat dilakukan melalui andil informasi, konsultasi, pengambilan keputusan dan inisiatif tindakan.

Sementara itu, Wilcox (dalam Dwiyanto, 2005:192) membagi partisipasi dalam lima tingkatan, yaitu pemberian informasi; konsultasi; pembuatan keputusan bersama; melakukan tindakan bersama; dan mendukung aktivitas yang muncul atas swakarsa masyarakat. Menurut Wilcox, pada level mana partisipasi masyarakat

Page 39: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 17

akan dilakukan sangat tergantung pada kepentingan apa yang hendak dicapai. Untuk pengambilan kebijakan strategis yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak, tentu masyarakat harus dilibatkan secara penuh. Akan tetapi, dalam pengambilan keputusan yang lebih bersifat teknis mungkin pemberian informasi kepada masyarakat sudah memadai.

Berbagai pendapat itu sebenarnya memperlihatkan adanya tingkatan dalam partisipasi. Contohnya, pemberian informasi lebih rendah tingkatannya dari pembuatan keputusan bersama. Namun, pendapat-pendapat tersebut belum menunjukkan secara jelas tingkatan partisipasi dan bagaimana tingkatan itu mempengaruhi pemerintah daerah atau penyelenggara pelayanan. Sherry R. Arnstein (dalam Cahn, 1971:69-91) yang membagi secara jelas tingkatan partisipasi masyarakat itu. Melalui teori the ladder of citizen participation, Arnstein membagi partisipasi dalam beberapa tingkatan dengan mengumpamakan sebagai anak-anak tangga dalam tangga partisipasi masyarakat. Berbagai anak tangga itu bila dibandingkan satu dengan yang lainnya akan membentuk satu garis yang terentang mulai dari non-partisipasi masyarakat hingga mencapai kontrol warga masyarakat secara penuh. Anak tangga terendah dimulai dari partisipasi sebagai kegiatan untuk memanipulasi sampai pada tingkat dimana masyarakat dapat mengontrol pelaksanaan pemerintahan termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat.

1. Manipulasi (manipulation). Partisipasi dimaksudkan untuk membangun dukungan dengan memberi kesan bahwa pengambil kebijakan sudah partisipatif, padahal keputusan tidak diambil berdasarkan masukan dari proses partisipasi.

2. Terapi (therapy). Partisipasi tidak ditujukan untuk membuat masyarakat dapat terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan program pelayanan publik, tetapi lebih pada keinginan pemegang kekuasaan untuk “mengajari” atau “mengobati” warga masyarakat dalam hal partisipasi. Terapi ini sifatnya tidak jujur dan arogan. Contoh, bila ada kesalahan dari pejabat publik tertentu, maka warga negara yang terkena dampaknya dianjurkan untuk menemui pihak yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan pengaduan dan seolah-olah pengaduan tersebut ditindak lanjuti.

3. Pemberian informasi (informing). Partisipasi dimaknai sebagai penyebarluasan informasi mengenai hak, tanggungjawab, dan pilihan masyarakat. Namun, partisipasi dalam tingkat ini difungsikan sebagai komunikasi satu arah dan tidak terbuka kesempatan untuk bernegosiasi dan menyatakan pendapat. Pola ini biasanya digunakan dalam bentuk

Page 40: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

18

memberikan informasi yang tidak “dalam”, seperti pengumuman, penyebaran leaflet, dan laporan tahunan.

4. Konsultasi (consultation), yaitu partisipasi yang memungkinkan adanya komunikasi dua arah dan berbagai pelaku dapat mengekpresikan pendapat dan pandangannya, tetapi tidak ada jaminan bahwa masukan-masukannya akan digunakan. Pendekatan yang sering digunakan dalam konsultasi adalah dengan melalui pertemuan-pertemuan dimana berbagai pelaku tidak berkontribusi dalam menyusun agenda, dengar pendapat (public hearing), dan survey. Hal yang diperoleh masyarakat adalah “telah berpartisipasi dalam proses partisipasi” dan yang diperoleh pengambil kebijakan adalah “telah memenuhi kewajibannya untuk mengikutsertakan masyarakat dalam pengambilan keputusan.”

5. Penenteraman (placation). Pada anak tangga ini, masyarakat sudah punya pengaruh terhadap kebijakan, tetapi tingkat keberhasilannya masih dipertanyakan. Keberhasilan partisipasi masih ditentukan oleh besar dan solidnya kekuatan masyarakat untuk menyampaikan kepentingannya. Pada tahap ini, warga masyarakat sudah terlibat dan menjadi bagian dari suatu dewan atau badan publik, tetapi jumlahnya tidak signifikan sehingga bila voting kalah dengan mudah, atau warga masyarakat hanya jadi penasehat, sedangkan pengambilan keputusan tetap berada di pihak pemegang kekuasaan.

6. Kemitraan (partnership). Anak tangga keenam ini memperlihatkan terjadinya suatu hubungan sinergi antara warga masyarakat dan pembuat kebijakan untuk mewujudkan tujuan yang disepakati bersama. Ada kesepakatan untuk melakukan pembagian tanggung jawab serta risiko dari konsensus yang mereka hasilkan. Kekuatan dalam tahap ini sebetulnya sudah terbagi secara relatif seimbang antara masyarakat dan pemegang kekuasaan dan sudah ada komitmen antara kedua belah pihak untuk membicarakan perencanaan dan pengambilan keputusan bersama-sama. Misalnya, melalui Komisi Perencanaan Kota. Sayangnya, inisiatif dan komitmen baru timbul setelah adanya desakan masyarakat yang kuat untuk menjalankan proses yang partisipatif. Pada tahap ini, yang perlu dilakukan adalah keterwakilan dan akuntabilitas wakil dari kelompok masyarakat, dan kemampuan masyarakat untuk membekali kelompoknya dengan keahlian yang dibutuhkan seperti penasihat hukum, ahli perencanaan, teknolog dan lain-lain.

7. Kekuasaan yang didelegasikan (delegated power). Dalam tahap ini,

Page 41: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 19

masyarakat sudah memiliki kekuasaan yang lebih besar dibanding penyelenggara negara. Contoh, jumlah keanggotaan masyarakat yang lebih besar di dalam Dewan Kota atau adanya hak veto bagi masyarakat dalam Dewan Transportasi Kota. Tantangannya adalah mewujudkan akuntabilitas dan menyediakan sumber daya yang memadai bagi kelompok dimaksud. Pada tingkatan ini, warga masyarakat memegang peranan kunci untuk menjamin terjadinya akuntabilitas program-program yang dijalankan.

8. Kontrol warga (citizen control) adalah anak tangga tertinggi dari partisipasi masyarakat. Pada anak tangga ini, warga masyarakat dapat mengendalikan atau mengatur suatu program atau institusi dengan kendali penuh dalam aspek kebijakan dan manajerial. Kontrol warga merupakan puncak partisipasi, sehingga muncul kekhawatiran bahwa pada tingkat partisipasi seperti ini akan timbul semangat separatisme, kekacauan dalam pelayanan publik, dan kekhawatiran mengenai ketidakefisienan dan pemborosan. Namun, sebenarnya kontrol yang dimaksud bukanlah kekuasaan tanpa batas (absolute power).

Kemudian, Arnstein mengelompokkan anak-anak tangga ini dalam tiga tingkat partisipasi, yaitu nonpartisipasi (non-participation) meliputi dua anak tangga yakni manipulasi (manipulation) dan terapi (therapy). Pada tingkat ini, sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai distorsi partisipasi, karena tujuannya bukan untuk mendukung rakyat berpartisipasi tetapi untuk memberi kemungkinan pemegang kekuasaan sekadar mendidik atau menyenangkan masyarakat yang berpartisipasi.

Tingkatan kedua menunjukkan pertanda adanya partisipasi (degree of tokenism). Pertanda adanya partisipasi ini meliputi tiga anak tangga yaitu pemberian informasi (informing), konsultasi (consultation) dan penenteraman (placation). Tingkatan kedua ini lebih tinggi dari yang sebelumnya, karena pada tingkat ini telah terjadi dialog antara masyarakat dengan pemerintah yang berarti warga memiliki hak untuk didengar pendapatnya, walaupun tidak terlibat langsung dalam pengambilan keputusan.

Tingkat tertinggi adalah adanya kekuasaan warga masyarakat berupa kontrol (degree of citizen power) yang meliputi tiga anak tangga yaitu, kemitraan (partnership), kekuasaan yang didelegasikan (delegated power) dan kontrol warga (citizen control). Pada tingkat ini warga telah mengambil bagian secara langsung dalam pengambilan keputusan maupun pelayanan publik. Tingkat partisipasi ini memperlihatkan adanya pelimpahan kekuasaan dari pemerintah kepada masyarakat.

Page 42: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

20

Gambar 1.4.1 Tingkat Partisipasi Masyarakat

Sumber: Sherry R. Amstein, Eight Rungs on the Ladder of Citizen Participation dalam Cahn (1971:70)

Dalam kajian ini, partisipasi yang dilihat adalah partisipasi masyarakat, khususnya penyandang disabilitas, dalam proses inovasi pelayanan publik. Partisipasi penyandang disabilitas ini akan dilihat dari tingkat partisipasinya, dengan menggunakan konsep tangga partisipasi sebagaimana dikemukakan Arnstein di atas.

D. Profil Program dan Mitra Program D.1 Program Peduli Pilar Disabilitas

Program Peduli Pilar Disabilitas adalah salah satu pilar dari Program Peduli. Adapun Program Peduli adalah program prakarsa Pemerintah Indonesia yang dirancang untuk meningkatkan inklusi sosial bagi enam kelompok yang paling terpinggirkan di Indonesia, yang kurang mendapat layanan pemerintah dan program perlindungan sosial. Enam kelompok sasaran Program Peduli adalah: (1) Anak dan remaja rentan; (2) Masyarakat adat dan lokal terpencil yang tergantung pada sumber daya alam; (3) Korban diskriminasi, intoleransi, dan kekerasan

Kontrol Warga(Citizen Control)

Kekuasaan yang didelegasikan(Delegated Power)

Kemitraan(Partnership)

Penenteraman(Placation)

Konsultasi(Consultation)

Pemberian Informasi(Informing)

Terapi(Therapy)

Manipulasi(Manipulation)

Tingkat Kekuasaan Warga(Degrees of citizen power)

Tingkat Pertanda Partisipasi(Degrees of tokenism)

Non-Partisipasi(Non-participation)

Page 43: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 21

berbasis agama; (4) Orang dengan disabilitas, (5) Hak Asasi Manusia dan Restorasi Sosial, dan (6) Waria.

Pada Maret 2014, The Asia Foundation ditetapkan sebagai  managing partner  dalam Program Peduli, dengan dana dari Pemerintah Australia melalui Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia.  

Program Peduli Pilar Disabilitas sebagai salah satu pilar Program Peduli fokus pada upaya transformasi menuju inklusi sosial bagi disabilitas melalui pemenuhan hak dasar. Bersama the Asia Foundation, Yayasan Kristen Untuk Kesehatan Umum (Yakkum) berperan sebagai Mitra Payung pada Program Peduli Fase 2, sedangkan PATTIRO sebagai salah satu mitra pelaksana program. Program Peduli Pilar Difabel Fase 1 dan 2 yang berada di bawah koordinasi Kemenko PMK bersama The Asia Foundation memiliki tiga outcome yang ingin dicapai, yaitu:

1. Peningkatan akses pelayanan publik dan bantuan sosial; 2. Peningkatan penerimaan dan pemberdayaan sosial; dan3. Perbaikan kebijakan inklusi sosial. Sasaran dari program ini adalah kelompok

disabilitas dan pemerintah.

Secara keseluruhan, Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 dilaksanakan di 11 kabupaten yang tersebar di tujuh provinsi, dan dilaksanakan oleh enam lembaga mitra pelaksana, yaitu PATTIRO, SIGAB, KARINAKAS, BAHTERA, SAPDA dan YASMIB. Program telah berhasil mengembangkan inovasi/praktik baik pelayanan publik bagi disabilitas. Pelayanan publik dimaksud meliputi berbagai sektor mulai dari kesehatan, pendidikan, serta administrasi kependudukan dan catatan sipil mulai dari tingkat desa hingga kabupaten. Inovasi-inovasi yang dikaji dalam buku ini dilaksanakan selama Program Peduli Pilar Disabilitas pada pertengahan 2015 hingga 2016.

Program ini kemudian dikembangkan lebih lanjut pada Fase 2 dengan YAKKUM sebagai mitra payungnya dan bekerja sama dengan lebih banyak mitra pelaksana yaitu PATTIRO, BAHTERA, KARINAKAS, SIGAB, SAPDA, YASMIB, PPDI Situbondo, Sehati, dan PSLD Brawijaya. Pada Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 2 ini, PATTIRO fokus dalam penyusunan kajian dan rekomendasi kebijakan berdasarkan capaian dan inovasi yang lahir selama Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1. Penyusunan kajian ini yang menjadi bahan utama penulisan buku yang sedang ada di hadapan pembaca sekalian. Melalui kajian dan rekomendasi kebijakan dimaksud, diharapkan dapat berkontribusi pada perbaikan pelayanan publik bagi disabilitas melalui penyusunan kebijakan di tingkat nasional.

Page 44: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

22

D.2 Profil Lembaga Mitra Program Peduli Pilar DisabilitasD 2.1 SAPDA di Kota Banjarmasin

Lembaga Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak yang disingkat SAPDA berdiri pada bulan Juli 2005 dan menjadi badan hukum dengan pengesahan pada 2 Desember 2005 dengan Akta Notaris: Anhar Rusli, SH. Nomor: 51 tahun 2005. Tujuan didirikannya SAPDA adalah agar tercipta suatu inklusivitas dalam aspek kehidupan sosial yang menjadi hak dasar perempuan, disabilitas dan anak di bidang pendidikan, kesehatan dan pekerjaan atas dasar persamaan Hak Asasi Manusia (HAM).

SAPDA bergerak dalam advokasi kebijakan di tingkat daerah, pendampingan dan pemberdayaan terhadap perempuan, disabilitas dan anak, khususnya di sektor kesehatan dan pendidikan. Saat ini, SAPDA masih fokus pada beberapa aktivitas, yaitu penguatan dan pemberdayaan perempuan disabilitas, pendampingan disabilitas dan penguatan organisasi di tingkat lokal, kajian keilmuan dan riset, advokasi kebijakan kesehatan disabilitas, dan pendampingan kesehatan kepada disabilitas di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Tujuan atau visi SAPDA adalah terciptanya suatu inklusivitas dalam aspek kehidupan sosial yang menjadi hak dasar perempuan, difabel dan anak di bidang pendidikan, kesehatan dan pekerjaan atas dasar persamaan HAM. Misi SAPDA, di antaranya: a) Melakukan kajian keilmuan dan penelitian ilmiah; b) Memperjuangkan terwujudnya kebijakan publik yang menjamin pemenuhan hak-hak dasar perempuan, disabilitas dan anak di bidang pendidikan, kesehatan dan pekerjaan; c) Melakukan pemberdayaan, pendidikan dan advokasi tentang isu-isu perempuan, difabel dan anak di kalangan masyarakat luas; d) Menjalin kerja sama dengan stakeholder berkaitan dengan penanganan persoalan perempuan, difabel dan anak; e) Membangun SAPDA sebagai crisis center bagi perempuan, difabel dan anak.

Salah satu program yang dilaksanakan SAPDA adalah Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1. Pada program tersebut, SAPDA memfasilitasi pengembangan inovasi dan praktik baik Sekolah Dasar Inklusi di Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan.

D.2.2 SIGAB di Kulon ProgoSasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) adalah organisasi non

pemerintah yang bersifat independen, nirlaba, dan nonpartisan. SIGAB didirikan di Yogyakarta pada tanggal 5 Mei 2003. Organisasi yang mempunyai motto “Bersama Menuju Masyarakat Inklusi” ini mempunyai cita-cita besar untuk membela dan

Page 45: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 23

memperjuangkan hak-hak disabilitas di seluruh Indonesia hingga terwujud kehidupan yang setara dan inklusif.

SIGAB didirikan karena sampai saat ini kehidupan warga disabilitas masih dimarginalkan, baik secara struktural maupun kultural. Hak-hak warga disabilitas, seperti hak pendidikan, pekerjaan, kesehatan, jaminan sosial, perlindungan hukum, akses terhadap informasi dan komunikasi sampai pada penggunaan fasilitas publik tidak pernah diterima secara layak. Dengan kata lain, telah terjadi diskriminasi terhadap warga disabilitas.

SIGAB berpandangan bahwa pada hakikatnya manusia merupakan makhluk yang diciptakan Tuhan dengan derajat kesempurnaan tertinggi dan mempunyai hak yang sama dalam mengembangkan potensi diri untuk mencapai kesejahteraan hidup. Oleh karena itu, tidak sepantasnya jika dalam kehidupan ini terdapat sekelompok orang yang tersisihkan dari lingkungan sosialnya hanya karena keadaan yang berbeda. Program SIGAB dengan jaringannya berusaha menciptakan kehidupan yang menempatkan semua manusia dalam kesejajaran sehingga tidak ada lagi yang tersisihkan.

Salah satu program yang dilaksanakan SIGAB adalah Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1. Pada program tersebut, SIGAB memfasilitasi pengembangan inovasi Puskesmas yang ramah disabilitas dan pelayanan kesehatan khusus dan kolaboratif bagi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

D.2.3 KARINAKAS di SukoharjoKaritas Indonesia Keuskupan Agung Semarang (KARINAKAS) berdiri pada 12 Juni

2006, dua minggu sesudah gempa 5,9 skala Richter menghantam DI Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah. Pada perjalanannya, KARINAKAS melewati fase emergency, post-emergency, dan rehabilitasi. Hingga awal 2008, aktivitas KARINAKAS masih berada dalam lingkup proses pemulihan pasca gempa. Rekonstruksi bangunan (rumah dan bangunan pendidikan), asistensi sosial, dan pemberdayaan kehidupan sosial menjadi pusat perhatian.

Pada 2009, KARINAKAS beranjak dari tema gempa Yogya 2006. Secara partisipatif, dirumuskan rencana strategis KARINAKAS 2009-2013. Program yang menjadi fokus adalah: 1) Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM); 2) Pengurangan Risiko Bencana (PRB); dan 3) Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PMM). KARINAKAS merupakan anggota keluarga besar Caritas Internationalis yang berpusat di Roma.

Dalam koordinasi dengan Karina KWI, KARINAKAS bersama dengan ratusan anggota Caritas dari berbagai negara di seluruh dunia bersama-sama mewujudkan

Page 46: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

24

tata dunia yang lebih adil bagi semua orang, terutama mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan disabilitas. Iman Gereja pada Allah yang digali dari tradisi dan kitab suci menjadi sumber inspirasi dan semangat dalam melaksanakan mandat KARINAKAS.

Sejak tanggal 9 Agustus 2017, KARINAKAS telah berubah menjadi Yayasan yang berbadan hukum dan memiliki NPWP sendiri. Akta pendirian Yayasan KARINAKAS bernomor 28 tertanggal 9 Agustus 2017. Arah dan gerak Yayasan KARINAKAS tetap mengacu pada arah dan gerak Keuskupan Agung Semarang, khususnya bergerak dalam bidang sosial dan kemanusiaan.

Visi KARINAKAS adalah “Hadirnya Roh Kepedulian Demi Martabat Manusia”, sedangkan misinya yaitu: a) Membangun gerakan dan semangat belarasa yang mampu menegakkan keadilan, kedamaian, dan keutuhan ciptaan; b) Mengembangkan pelayanan yang terpadu untuk menumbuhkan kemandirian masyarakat; c) Membangun jejaring dengan karya-karya paroki, kategorial, keuskupan dan lembaga terkait, di tingkat nasional dan internasional; d) Menggalang sumber daya demi pelayanan kepada sesama.

Salah satu program yang dilaksanakan KARINAKAS adalah Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1. Pada program tersebut, KARINAKAS memfasilitasi pengembangan inovasi Kartu Disabilitas dan pelayanan kesehatan bagi disabilitas terintegrasi dan berkelanjutan (pelayanan khusus bagi anak berkebutuhan khusus/ABK) di Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah.

D.2.4 Yayasan Swadaya Mitra Bangsa di BoneYayasan Swadaya Mitra Bangsa (YASMIB) Sulawesi didirikan sejak tahun

1999. Pendirian YASMIB ini dilatarbelakangi oleh realitas bangsa Indonesia yang mengalami kondisi yang memprihatinkan. Berawal dari krisis ekonomi yang berkepanjangan hingga berujung pada krisis multidimensional.

Berdasarkan realitas dan fakta di atas, YASMIB Sulawesi sebagai organisasi non pemerintahan (NGO) berupaya menggunakan hak politiknya untuk mendorong lahirnya transformasi sosial, dan berpartisipasi aktif melahirkan solusi nyata untuk penyelesaian persoalan masyarakat, termasuk di dalamnya penyandang disabilitas. Terwujudnya kehidupan masyarakat yang mandiri dalam berbangsa dan bernegara berdasarkan prinsip-prinsip yang demokratis menjadi visi dari YASMIB.

Misi YASMIB di antaranya: a) Mengembangkan potensi sumber daya manusia (SDM) secara swadaya terhadap penguatan pengembangan ekonomi, sosial budaya dan politik yang berperspektif gender; b) Mendorong terwujudnya sistem politik, hukum, ekonomi dan birokrasi yang bersih; c) Mendorong untuk memperkuat

Page 47: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 25

partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan dan pengawasan kebijakan publik yang responsif gender dan pro-rakyat; d) Mewujudkan upaya advokasi untuk melahirkan kebijakan yang memihak bagi kelompok perempuan, rakyat miskin serta kelompok marjinal lainnya yang adil gender dan berkearifan lokal.

Beberapa kegiatan dalam rangka mewujudkan visi dan misinya tersebut, di antaranya melakukan riset, kajian, dan pengembangan sumber daya yang berbasis potensi sumberdaya lokal, melakukan analisis dan advokasi anggaran dan kebijakan publik, serta memfasilitasi peningkatan dan penguatan kapasitas bagi kelompok basis.

Salah satu program yang dilaksanakan YASMIB adalah Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1. Pada program tersebut, YASMIB dibantu oleh Lembaga Pemberdayaan Perempuan (LPP) Bone, yaitu mitra YASMIB dalam melakukan advokasi kebijakan dan anggaran di Kabupaten Bone terutama menyangkut masalah perempuan, anak, dan kelompok rentan termasuk penyandang disabilitas. Inovasi yang difasilitasi pengembangannya oleh YASMIB adalah perencanaan dan penganggaran desa yang responsif disabilitas di Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan.

D.2.5 6 BAHTERA di Sumba BaratYayasan Bina Sejahtera Indonesia (BAHTERA) didirikan pada tanggal 8 April

2002 di Katiku Loku, Kecamatan Katiku Tana, Kabupaten Sumba Barat, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pembentukan lembaga ini dilandasi oleh kegelisahan akan situasi kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami oleh rakyat di daerah ini.

Keprihatinan utama berkaitan dengan belum terpenuhi kebutuhan dasar masyarakat khususnya dalam hal pangan, pendidikan dan kesehatan. Dalam penilaian penggagas lembaga ini, berbagai persoalan yang membelit masyarakat Sumba disebabkan oleh lemahnya pelayanan pemerintah kepada rakyat, khususnya dalam hal menyediakan pelayanan pendidikan yang memadai. ”Terwujudnya Kehidupan Masyarakat Miskin Dan Perempuan Yang Sejahtera Dalam Iklim Dan Tatanan Sosial Yang Adil, Demokratis Dan Menjunjung Tinggi Hak Asasi Manusia ” merupakan visi dari BAHTERA.

Dalam kerangka pemberdayaan masyarakat, maka BAHTERA mendorong berlangsungnya proses peningkatan kapasitas masyarakat dan pembelajaran berkelanjutan di luar institusi formal (sekolah), yang pada akhirnya diharapkan menunjang daya kritis, kesadaran, dan kemampuan masyarakat untuk mendorong perubahan, khususnya dalam menuntut pelayanan publik yang lebih memadai dan

Page 48: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

26

berkualitas. Upaya mendorong kebijakan publik yang mengakomodir kepentingan dan hak-hak dasar serta memberikan kesempatan yang adil bagi kaum miskin dan perempuan merupakan salah satu misi BAHTERA.

Salah satu program yang dijalankan BAHTERA adalah Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1. Pada program tersebut, BAHTERA memfasilitasi pengembangan inovasi perencanaan dan penganggaran yang pro disabilitas di Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

D.2.6 PATTIRO PATTIRO (Pusat Telaah dan Informasi Regional) adalah sebuah organisasi riset

dan advokasi yang resmi berdiri pada 17 April 1999 dan telah bekerja di lebih dari 17 provinsi dan 70 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Selama ini, PATTIRO memusatkan perhatiannya pada isu tata kelola pemerintahan daerah, terutama isu desentralisasi. Melalui program kerjanya, PATTIRO aktif mendorong terciptanya tata kelola pemerintah daerah yang baik, transparan, dan adil demi mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Kegiatan yang dilakukan PATTIRO selain penelitian, juga pendampingan teknis kepada pemerintah, dan membantu masyarakat dalam melakukan advokasi dengan pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk mereformasi kebijakan, memperbaiki pelayanan publik dan pengelolaan anggaran publik. PATTIRO mempunyai visi “Menjadi pusat keunggulan untuk tata kelola pemerintah daerah yang lebih baik”.

Dalam rangka mencapai visinya, PATTIRO menjalankan misi yakni: 1) Mendorong terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat secara adil dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan alokasi anggaran publik; 2) Memperkuat kapasitas masyarakat, warga, dan aparatur pemerintah dalam pembuatan keputusan publik yang partisipatif dan berkualitas; dan 3) Mengembangkan model tata pemerintahan lokal (local governance) yang baik untuk terwujudnya keadilan sosial.

Saat ini PATTIRO bekerja dalam 3 fokus area, yaitu : 1) Akuntabilitas Pelayanan Publik , 2) Reformasi Pengelolaan Keuangan Publik, dan 3) Transparansi. Dari sekian banyak program yang mendukung pencapaian misi, di antaranya adalah Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1. Pada program tersebut, PATTIRO memfasilitasi pengembangan inovasi dan praktik baik Rintisan Puskesmas Ramah Disabilitas (RPRD) di Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Kabupaten Sorong, Provinsi Papua.

Page 49: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 27

E. Batasan Kajian1. Batasan Lokasi. Kajian ini berlokasi di enam wilayah kerja Program Peduli

Fase 1, meski sejatinya wilayah kerja Program Peduli Fase 1 sendiri lebih dari enam lokasi tersebut. Lokasi dan jenis inovasi yang dipilih dalam kajian ini mempertimbangkan beberapa hal, yaitu sejauh mana inovasi dan praktik baik itu telah berjalan dan diadopsi pemerintah, kolaborasi dan partisipasi disabilitas dalam inovasi, dan representasi jenis inovasi dan sektor layanan publik.

2. Batasan Cakupan Analisis. Setiap inovasi dan praktik baik pelayanan publik bagi disabilitas ini memiliki karakter yang berbeda. Namun, ada beberapa aspek umum yang dianalisis untuk memenuhi tujuan awal kajian ini disusun, yaitu memberi potret dan pembelajaran terkait proses dan aktor, pembagian peran, hambatan dan faktor pendukung, partisipasi disabilitas, dan strategi agar praktik baik ini bisa direplikasi atau dikembangkan (scale up) pada level yang lebih tinggi.

3. Batasan Waktu. Saat kajian ini disusun, proses pengembangan dan perbaikan inovasi di beberapa wilayah masih berlangsung. Pembahasan dalam kajian ini dibatasi hingga berakhirnya Program Peduli Fase 1 (akhir tahun 2016), sehingga hasil dan temuan yang dianalisis dalam kajian itu kini bisa jadi sudah berkembang.

4. Kajian pelayanan publik ini menggunakan metode stocktaking dan wawancara mendalam dengan waktu pengambilan data yang terbatas, sehingga data yang dihasilkan belum tentu bisa menggambarkan keseluruhan aspek pelayanan publik yang dilakukan oleh mitra peduli.

5. Metodologi kajian. Kajian ini mengedepankan hal-hal kebaruan yang dilakukan oleh mitra peduli sebagai inovasi, sehingga pengertian dan aspek-aspek inovasi yang ada, bisa dimaknai berbeda oleh para pihak.

Page 50: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

28

Page 51: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 29

BAB II

Inovasi dan Praktik Baik Pelayanan Publik

Bagi Disabilitas

Page 52: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

30

Page 53: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 31

BAB II

Inovasi dan Praktik Baik Pelayanan Publik Bagi Disabilitas

Sejak awal, tujuan advokasi yang diupayakan setiap CSO yang menjadi mitra Program Peduli Fase 1 adalah fokus pada upaya mengikis eksklusi bagi penyandang disabilitas dalam berbagai aspek. Dalam rangka mewujudkan

tujuan ini, maka perbaikan pelayanan publik menjadi salah satu langkah awalnya. Akses yang mudah dalam pemenuhan hak dasar akan menjadi tahapan awal bagi disabilitas untuk memiliki akses yang layak dalam meningkatkan kualitas hidupnya. Setiap inovasi yang dikembangkan di masing-masing wilayah memiliki keunikan masing-masing. Hal ini berkembang sesuai dengan situasi di wilayah masing-masing. Selain itu, pemilihan inovasi yang akan dibahas dalam kajian ini mewakili berbagai sektor yang berbeda dengan model pendekatan yang berbeda pula.

Wilayah dan cakupan inovasi ini dipilih dari beberapa wilayah dan capaian Program Peduli Fase 1, mewakili berbagai wilayah di Indonesia hingga Indonesia Timur. Meskipun beberapa mitra melaksanakan program di lebih dari satu wilayah, tetapi hanya dipilih satu saja. Inovasi yang dipilih mewakili sektor yang berpengaruh cukup besar pada pemenuhan hak dasar disabilitas, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, dan integrasi kebutuhan disabilitas dalam perencanaan dan penganggaran. Berikut nama inovasi dan praktik baik yang dibahas:

Page 54: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

32

Tabel 2.1.1 Inovasi dan Praktik Baik

No Inovasi Wilayah/Cakupan Lembaga

A Sektor Kesehatan

1 Rintisan Puskesmas Ramah Disabilitas (RPRD)

Kabupaten Lombok Barat, Kecamatan Lingsar dan Labuapi

PATTIRO

2 Pelayanan Kesehatan Khusus dan Kolaboratif bagi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)

Kabupaten Kulon Progo, Kecamatan Lendah

SIGAB

Puskesmas Ramah Disabilitas Kabupaten Kulon Progo

3 Kartu DISABILITAS Kabupaten Sukoharjo KARINAKAS

Pelayanan Kesehatan Disabilitas yang Terintegrasi dan Berkelanjutan (Pelayanan Khusus ABK)

Kabupaten Sukoharjo

B Sektor Pendidikan

4 Sekolah Dasar Inklusi Kota Banjarmasin SAPDA

C Perencanaan dan Penganggaran Responsif Disabilitas

5 Perencanaan dan Penganggaran yang Pro Disabilitas di tingkat Desa

Kabupaten Sumba, tersebar di 11 desa.

BAHTERA

6 Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Responsif Disabilitas

Kabupaten Bone YASMIB

Page 55: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 33

A. Inovasi dan Praktik Baik Pelayanan Publik

di Sektor Kesehatan

Page 56: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

34

A.1. PATTIRO: Rintisan Puskesmas Ramah Disabilitas (RPRD)A.1.1. Jenis Inovasi dan Praktik Baik, Layanan, Proses dan Aktor

Sektor : Pelayanan di bidang kesehatanStakeholder Kunci : Puskesmas Lingsar dan Dinas KesehatanBentuk Inovasi : Rintisan Puskesmas Ramah Disabilitas (RPRD)Lokasi : Kabupaten Lombok Barat

Pelayanan di sektor kesehatan menjadi salah satu capaian pada Program Peduli Fase 1. Capaian itu berupa inovasi lahirnya Rintisan Puskesmas Ramah Disabilitas (RPRD) di Puskesmas Lingsar, Kabupaten Lombok Barat.

Lahirnya inovasi ini diawali dengan temuan dan hasil komunikasi dengan puskesmas Lingsar dan Labuapi tentang ketiadaan layanan khusus yang responsif kebutuhan disabilitas. Puskemas selama ini tidak memiliki data atau informasi yang terbaru terkait jumlah dan situasi serta jenis disabilitas yang ada di wilayah layanannya. Selain ketiadaan data, minimnya pemahaman tentang disabilitas dan perpektif tentang pentingnya pelayanan kesehatan dan kebutuhan spesifik bagi disabilitas yang belum terbangun di sisi pemberi layanan juga menjadi salah satu hal yang menjadi hal yang menjadi perhatian pada awal intervensi program.

Pemahaman dan perpektif tersebut baru terbangun secara utuh selama proses diskusi dan dialog antara puskesmas, kelompok disabilitas dan stakeholder lainnya. Salah satu pemahaman kongkret yang dianggap sebagai tahapan penting munculnya komitmen untuk mewujudkan rintisan puskesmas ramah disabilitas didapat saat dilakukan pelatihan bahasa isyarat dan simulasi pemberian layanan bagi berbagai disabilitas. Pada sesi tersebut, petugas dan penyedia layanan melakukan simulasi untuk memahami hambatan-hambatan yang dialami disabilitas, misalnya disabilitas netra dan daksa dalam usahanya mengakses layanan.

Diawali dengan tumbuhnya kesadaran tentang mendesaknya pelayanan bagi disabilitas dan berdasarkan data yang diterima dari PATTIRO, Puskesmas Lingsar mulai bisa melihat berbagai kondisi penyandang disabilitas, baik jumlah, jenis kebutuhan, maupun lokasi tempat tinggalnya sebagai bekal yang cukup untuk meningkatkan pelayanan bagi disabilitas. Kesadaran Kepala Puskesmas tersebut kemudian berlanjut menjadi sebuah komitmen khusus untuk menjadikan Puskesmas Lingsar sebagai puskesmas yang menyediakan pelayanan yang mengakomodir kebutuhan penyandang disabilitas dengan menjadi Rintisan

Page 57: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 35

Puskesmas Ramah Disabilitas (RPRD). Disebut rintisan, karena selain saat itu di Kabupaten Lombok Barat belum ada puskesmas ramah disabilitas, harapannya apa yang dilakukan Puskesmas Lingsar ini bisa menjadi standar pelayanan puskesmas yang bisa direplikasi di puskesmas lain di Kabupaten Lombok Barat. Selain itu, penggunaan kata rintisan juga karena proses penyediaan pelayanannya dilakukan secara bertahap.

Upaya penyediaan layanan itu di mulai dengan perbaikan infrastruktur dan menyiapkan layanan yang dilakukan secara bertahap serta terus melibatkan kelompok disabilitas selama prosesnya. Inovasi RPRD sendiri terkait erat dengan visi Puskesmas Lingsar, yaitu mengoptimalkan masyarakat baik disabilitas dan nondisabilitas ataupun yang mampu dan tidak mampu untuk hidup sehat. Selain memberi layanan, puskesmas RPRD juga menjalankan fungsinya dalam turut mensosialisasikan pemahaman tentang hak-hak disabilitas ke masyarakat dan kepada semua pihak.

Puskesmas Ramah Disabilitas adalah puskesmas yang diharapkan mampu memberikan rasa nyaman dan aman serta pelayanan yang setara bagi disabilitas. Inovasi yang dimaksud diwujudkan dalam infrastruktur dan pelayanan di Puskesmas Lingsar yang diterapkan sesuai dengan indikator RPRD yang telah disepakati dalam forum dialog multi stakeholder yang terdiri perwakilan keluarga penyandang disabilitas, kelompok disabilitas (Komunitas Lingsar Bergerak), Unit Layanan (Puskesmas Lingsar) dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait yaitu Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Barat. Integrasi RPRD dalam program Puskesmas berupa program layanan khusus, infrastruktur, petugas dan pemberian informasi sesuai dengan indikator RPRD. Secara lebih rinci, perubahan yang dilakukan adalah:

a. Penyediaan ramp khusus untuk kursi roda, yang sebelumnya hanya menggunakan tangga;

b. Tulisan berjalan (running text) untuk memudahkan disabilitas rungu ketika menunggu antrian;

c. Pegangan rambat (handrail);

“Bagi petugas pelayanan, dampak dari inovasi RPRD adalah petugas sekarang lebih

mengutamakan sikap yaitu senyum, sapa, salam. Senyum, sapa, dan salam menjadi sikap kita sehari-sehari sebagai petugas

layanan.”

Kepala Puskesmas Lingsar, H. Billia Malkan, S.ST.

Page 58: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

36

d. Loket antrean yang adaptif untuk kursi roda;e. Program jemput bola di delapan desa;f. Petugas khusus untuk melayani penyandang disabilitas;g. Penyediaan fasilitas kursi roda di puskesmas.

Seluruh perubahan tersebut sudah terintegrasi dan menjadi agenda Puskesmas Lingsar yang perlahan-lahan disesuaikan dengan program RPRD. Proses perubahan dimulai setelah RPRD diresmikan pada bulan November 2015 dan masih terus dikembangkan sampai sekarang. Oleh karena itu, proses perubahan itu tidak hanya untuk penyandang disabilitas, tetapi juga menyasar pasien lanjut usia.

Puskesmas Lingsar juga mengembangkan program Posyandu Terpadu, yaitu menggabungkan pelayanan posyandu untuk remaja, lansia, dan penyandang disabilitas. Ada petugas khusus untuk melayani penyandang disabilitas. Di setiap desa, ditetapkan satu dusun yang menjadi percontohan Posyandu Terpadu. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan keterbatasan jumlah tenaga kesehatan yang dapat disediakan oleh puskesmas.

Posyandu Terpadu ini menerapkan metode jemput bola. Bila penyandang disabilitas tidak mampu datang ke puskesmas, maka petugas yang akan mengunjungi penyandang disabilitas atau melaksanakan kegiatan posyandu di tempat yang dapat dijangkau penyandang disabilitas. Puskesmas Lingsar mengupayakan agar Upaya Kesehatan Perseorangan (UKP) tingkat pertama seluruhnya dapat terakomodasi dengan baik dan nyaman bagi semua pihak, terutama penyandang disabilitas. UKP tingkat pertama sendiri merupakan program wajib puskesmas selain usaha kesehatan masyarakat tingkat pertama. Puskesmas Lingsar sendiri mencantumkan RPRD, yang merupakan bagian dari UKP tingkat pertama, sebagai program unggulan dalam akreditasi puskesmas.

Page 59: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 37

Bagan 2.1. 1 Tahapan RPRD Puskesmas Lingsar

Terlaksananya RPRD ini adalah bukti nyata keterlibatan seluruh komponen masyarakat, Dinas Kesehatan, SKPD, Puskesmas dan kelompok disabilitas. Hal ini juga tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan PATTIRO dalam Program Peduli. Kelompok disabilitas (DPO) yang difasilitasi pembentukannya oleh PATTIRO yaitu Komunitas Lingsar Bergerak sampai saat ini masih memberikan dukungan kepada Puskesmas, terutama membantu dalam memberikan informasi kepada Puskesmas terkait kebutuhan dan keberadaan disabilitas yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Salah satunya, membantu dan memfasilitasi sesama disabilitas untuk pembuatan kartu jaminan kesehatan, dan membantu penyandang disabilitas yang ingin berobat ke puskesmas.

Aktor dan peran yang dimainkan masing-masing pihak dalam inovasi RPRD di Kabupaten Lombok Barat dapat dilihat pada tabel berikut.

Tahapan RPRD

Peluncuran (launching)

dan Pelaksanaan

RPRD

Pelatihan bahasa isyarat dan cara

interaksi dengan disabilitas bagi komunitas dan

pemberi layanan

Membangun Kesepahaman

dan kesepakatan dalam dialog forum multi stakeholder

Komitmen Kepala

Puskesmas Lingsar

Koordinasi dan komunikasi

dengan Puskesmas

FGD bersama Puskesmas dan

SKPD (Dinas Kesehatan)

Diskusi serial Uji akses “Cek Puskesmas”

Page 60: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

38

Tabel 2.2.1 Aktor Peran Inovasi dan Praktik Baik RPRD Puskesmas Lingsar

Aktor Nama Institusi/Organisasi/Nama Peran

Pemerintah Dinas Kesehatan Memberikan Kartu Indonesia Sehat (KIS) bagi penyandang disabilitas

Puskesmas Labuapi Mendukung proses pembentukan puskesmas ramah disabilitas :• Terbuka dan bersedia menjadi puskesmas

percontohan pertama mulai saat diskusi inisiasi sampai pengembangan dan implementasi RPRD

• Aktif berpartisipasi dalam diskusi standar layanan bagi disabilitas

• Mengalokasikan dana untuk RPRD

Puskesmas (Lingsar, Labuapi, Sigerongan, Parempuan)

Mendukung proses pembentukan puskesmas ramah disabilitas :• Aktif berpartisipasi dalam diskusi standar

layanan bagi disabilitas

Dinas PU dan Bappeda

Menyusun perencanaan dan penganggaran untuk penyediaan infrastruktur yang ramah disabilitas dalam APBD Kabupaten.

Dinas Sosial Aktif dalam forum diskusi yang difasilitasi PATTIRO

Masyarakat Kader Posyandu • Aktif berdiskusi dalam perumusan standar pelayanan RPRD

• Mensosialisasikan inovasi RPRD ke masyarakat

Tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan masyarakat pada umumnya

Menerima keberadaan penyandang disabilitas, dan berpartisipasi dalam kegiatan peringatan Hari Disabilitas Internasional (HDI)

Organisasi Penyandang Disabilitas

Komunitas Lingsar Bergerak

Melakukan advokasi, uji akses, koordinasi dengan pemerintah, dan melakukan sosialisasi serta mengorganisir pelatihan cara berinteraksi dengan penyandang disabilitas.

Pusat Pengembangan Potensi Disabilitas (P3D) Kecamatan Labuapi

Melakukan advokasi, uji akses, koordinasi dengan pemerintah, dan melakukan sosialisasi serta mengorganisir pelatihan cara berinteraksi dengan penyandang disabilitas.

Page 61: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 39

Fasilitator/Pendamping PATTIRO

Menyelenggarakan pertemuan untuk para stakeholder, dan memfasilitasi peningkatan kapasitas dalam rangka mendorong terwujudnya RPRD.

Keluarga penyandang disabilitas

FKKADK Kabupaten Lombok Barat

Memberikan motivasi kepada penyandang disabilitas.

Pada saat Puskesmas Lingsar melaksanakan proses akreditasi yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, Puskesmas mengundang kelompok disabilitas dan perwakilan PATTIRO serta menunjukkan jika RPRD adalah hasil kolaborasi bersama yang difasilitasi CSO dan melibatkan peran aktif kelompok disabilitas. Hal itu menjadi penilaian positif dan mendapat apresiasi dari pemerintah pusat yang menyatakan bahwa inovasi tersebut sangat bagus karena melibatkan semua unsur.

Inovasi RPRD ini bermula dari upaya pendataan penyandang disabilitas yang dilakukan PATTIRO di Kecamatan Lingsar dan Labuapi. Hasil pendataan ini kemudian diserahkan kepada Puskesmas Lingsar, yang sebelumnya tidak memiliki data tentang penyandang disabilitas dan kebutuhannya. Ketiadaan data disabilitas ini mengakibatkan Puskesmas kesulitan untuk memetakan kebutuhan dan menyusun program bagi penyandang disabilitas. Berdasarkan data yang diterima dari PATTIRO tersebut, Puskesmas Lingsar mulai mengetahui kondisi penyandang disabilitas, baik jenis kebutuhan maupun lokasi tempat tinggalnya. Puskesmas kemudian mulai menyediakan infrastruktur untuk kebutuhan penyandang disabilitas secara bertahap.

Inovasi RPRD sendiri terkait erat dengan visi Puskesmas Lingsar yaitu mengoptimalkan masyarakat baik disabilitas dan nondisabilitas ataupun yang mampu dan tidak mampu untuk hidup sehat. Inovasi ini memperoleh dukungan baik dari pihak Puskesmas sendiri berupa program, infrastruktur, petugas dan informasi sesuai dengan indikator RPRD, maupun dari masyarakat. Pada awalnya

“Dahulu, Puskesmas belum aksesibel terhadap disabilitas. Kemudian, PATTIRO melaksanakan

uji coba aksesibilitas dan membimbing para petugas layanan kesehatan. Akhirnya, sekarang Puskesmas sudah nyaman dan peduli terhadap

disabilitas, bahkan sekarang sudah ada BPJS-nya”.

Sri Sukarni, Ketua HWDI Provinsi NTB dan Penerima Manfaat.

Page 62: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

40

masyarakat bertanya tentang apa yang dimaksud disabilitas. Setelah itu, masyarakat antusias untuk mengetahui lebih lanjut mengenai disabilitas dan terlibat dalam kegiatan yang menyangkut penyandang disabilitas. Pihak puskesmas merespon hal ini dengan menjadikan Puskesmas yang bukan hanya ramah disabilitas namun juga sebagai media sosialisasi mengenai hak-hak penyandang disabilitas kepada semua pihak termasuk masyarakat.

Implementasi RPRD sendiri dimulai sejak bulan Februari 2016 dan masih terus dilakukan hingga kini. Mengingat RPRD ini merupakan inovasi unggulan Puskesmas Lingsar dan digunakan sebagai tema akreditasi, maka pihak Puskesmas Lingsar makin terpacu untuk meningkatkan semua fasilitas agar memenuhi standar yang dapat digunakan oleh penyandang disabilitas. Selain RPRD yang merupakan bagian dari UKP tingkat pertama, Puskesmas Lingsar juga menyelenggarakan usaha kesehatan masyarakat tingkat pertama yang wajib dilaksanakan yang meliputi pelayanan gizi, promosi kesehatan, kesehatan lingkungan, kesehatan ibu, anak dan keluarga berencana, serta pencegahan dan pengendalian penyakit.

A.1.2. Dampak Inovasi dan Praktik BaikDampak langsung dari inovasi dan praktik baik RPRD ini bagi penyandang

disabilitas adalah: a. Pelayanan yang dapat dijangkau (aksesibel) oleh penyandang disabilitas,

termasuk kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan bagi penyandang disabilitas yang memiliki hambatan untuk datang ke puskesmas karena kondisi fisik dan mentalnya.

b. Pelayanan dan pemeriksaan kesehatan rutin bagi penyandang disabilitas menjadi mudah dilakukan melalui posyandu terintegrasi di tingkat dusun (mendekatkan layanan).

Gambar 2.1.1 Aksesibilitas

Puskesmas Lingsar

Page 63: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 41

c. Penyandang disabilitas merasa lebih diperhatikan dan memiliki kepercayaan diri karena berkesempatan untuk berpartisipasi dalam inovasi RPRD ini.

Dampak bagi petugas puskesmas, petugas kesehatan, dan pembuat keputusan di puskesmas, selama proses dan implementasinya adalah menambah pengetahuan, pemahaman terkait hak dasar penyandang disabilitas, pengetahuan khusus mengenai standar pelayanan inklusif, dan pemberian pelayanan yang tepat bagi kondisi disabilitas yang berbeda-beda.

A.1.3. Faktor PendukungFaktor yang mendukung pencapaian inovasi dan praktik baik RPRD ini adalah

tokoh pembaharu (champion) di puskemas dan Dinas Kesehatan, yang sejak mendapat paparan tentang hak-hak penyandang disabilitas langsung merespon secara terbuka. Keterbukaan dan komitmen untuk memfasilitasi dan berupaya memenuhi hak penyandang disabilitas ini ditunjukkan dengan melakukan perubahan dan perbaikan baik dari segi infrastruktur maupun pemberian pelayanan. Selain itu, komitmen juga diimplementasikan melalui realokasi anggaran sebagai respon cepat dan rencana pengalokasian anggaran untuk penyandang disabilitas di tahun berikutnya.

A.1.4. TantanganTantangan yang dihadapi pada inovasi dan praktik baik RPRD ini di antaranya

adalah: a. Belum mampu mempengaruhi Rumah Sakit yang tidak mau melayani

penyandang disabilitas yang tidak memiliki kartu BPJS Kesehatan atau jaminan kesehatan lainnya, padahal beberapa penyandang disabilitas belum terdata di administrasi kependudukan, sehingga belum mendapatkan hak jaminan kesehatan dari Pemerintah;

b. Belum ada kebijakan daerah terkait penyandang disabilitas, sehingga menyulitkan SKPD terkait untuk menganggarkan kebutuhan bagi penyandang disabilitas;

“Jadi sekarang ini, kalau puskesmas ada apa-apa yang ingin dikembangkan terkait

RPRD atau saat akreditasi puskesmas, disabilitas selalu dilibatkan. Diundang

dan diajak berdiskusi bahkan pada saat persiapan akreditasi”

Sri Sukarni, disabilitas daksa dan asisten koordinator lapangan PATTIRO

Page 64: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

42

c. Aktor kunci di pemerintah daerah (puskesmas dan SKPD) selalu berganti-ganti, sehingga menghambat komunikasi yang sebelumnya sudah terbangun;

d. Sebagian penyandang disabilitas masih mengharapkan imbalan uang dari setiap kegiatan, sehingga tidak bersedia ikut jika tidak ada uang transport atau imbalan sejenis lainnya.

A.1.5. Partisipasi DisabilitasKeterlibatan disabilitas dalam inovasi RPRD ini awalnya adalah terlibat secara

individu. Kemudian, PATTIRO memfasilitasi pembentukan komunitas penyandang disabilitas yaitu Pusat Pengembangan Potensi Disabilitas (P3D) dan Kelompok Disabilitas Lingsar Bergerak (KDLB). Melalui pembentukan komunitas ini, PATTIRO berupaya mendorong partisipasi warga penyandang disabilitas untuk aktif memperjuangkan pemenuhan hak penyandang disabilitas untuk hidup layak.

Penyandang disabilitas berpartisipasi pada hampir seluruh proses inovasi, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga tindak lanjut dan advokasi. Termasuk di dalamnya melakukan koordinasi dengan Dinas Sosial, Dinas Kesehatan dan Puskesmas dalam rangka melaksanakan pelatihan cara komunikasi dan berinteraksi dengan penyandang disabilitas. Partisipasi disabilitas dalam inovasi ini dapat dilihat pada bagan berikut.

Gambar 2.1.2 Puskesmas Lingsar, loket sudah direnovasi

Page 65: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 43

Bagan 2.2.1 Partisipasi Disabilitas dalam Inovasi dan Praktik Baik di Kabupaten Lombok

Partisipasi disabilitas dalam program inovasi ini, selain atas dasar tanggung-jawab sebagai tim program, juga atas dasar kemauan dan inisiatif penyandang disabilitas sendiri. Oleh karena itu, relatif mudah bagi PATTIRO untuk mengajak disabilitas berpartisipasi, karena inisiatif dan kemauan penyandang disabilitas cukup tinggi. Sejak awal proses inisiatif dan forum diskusi, penyandang disabilitas aktif dalam menyampaikan kebutuhan mengenai akses layanan, sehingga penyandang disabilitas, PATTIRO, dan penyedia layanan dapat berjalan seirama dalam melaksanakan program inovasi RPRD dimaksud.

A.1.6. Penerimaan, Replikasi dan Rencana PengembanganInovasi ini berkaitan erat dengan visi puskesmas yaitu mengoptimalkan

masyarakat untuk hidup sehat, mengingat sehat merupakan hak semua orang, baik yang mampu maupun tidak mampu, termasuk penyandang disabilitas dari beragam latar belakang. Oleh karena itu, pihak Puskesmas relatif mudah menerima gagasan RPRD.

Selain Puskesmas, Dinas Kesehatan juga telah menerima dengan baik inovasi RPRD ini, karena dalam beberapa kali pertemuan dengan Dinas Kesehatan,

Diskusi dengan tim secara informal

Menyusun beberapa pertemuan dan

menyebar undangan pertemuan.

Aktif di forum diskusi

Berkomunikasi dengan jejaring

Mengusulkan program/kegiatan

Koordinasi dengan unit

layanan puskesmas

Advokasi ke pemerintah

daerah

Menyiapkan launching RPRD

Membantu mensosialisasikan

ke komunitas

Perencanaan Pelaksanaan Tindak Lanjut Monev

Membantu mengawasi

pelaksanaan pelayanan

dengan agenda uji akses

Melakukan penelitian User based survey/

survei pengguna pelayanan.

Page 66: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

44

PATTIRO berusaha menyampaikan gagasan inovasi dan meyakinkan pentingnya inovasi pelayanan kesehatan yang ramah disabilitas. Dari beberapa pertemuan tersebut, tampak dukungan dan komitmen yang serius dari Dinas Kesehatan.

Melalui dukungan Dinas Kesehatan, dilakukan intervensi untuk merintis puskesmas yang ramah disabilitas di dua puskesmas, yaitu Puskesmas Lingsar dan Puskesmas Labuapi. Setelah keduanya sukses mengimplementasikan RPRD, maka dilakukan replikasi kepada dua puskesmas lainnya, yaitu Puskesmas Sigerongan dan Puskesmas Perampuan. Selanjutnya adalah Puskesmas Gunung Sari dan Puskesmas Kediri. Secara bertahap, RPRD ini akan direplikasi ke seluruh puskesmas di Kabupaten Lombok Barat. Inovasi ini juga dapat dikembangkan ke unit pelayanan publik lainnya, seperti kantor kecamatan. Dengan mengikuti standar yang sudah diterapkan di Puskesmas, maka kantor kecamatan menjadi mudah diakses dan ramah disabilitas. Replikasi ini memerlukan dukungan kebijakan dari pemerintah daerah.

Meskipun sudah diterima dengan baik dan direplikasi, tetapi inovasi RPRD ini belum dapat dikembangkan ke tingkat yang lebih tinggi (scale up). Hal itu disebabkan belum adanya dukungan kebijakan dalam bentuk peraturan daerah atau peraturan bupati, sehingga belum dapat dialokasikan anggaran khusus untuk pelayanan kesehatan bagi penyandang disabilitas. Selama ini, anggaran yang diperuntukan untuk RPRD berasal dari dana Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yang dimiliki masing-masing puskesmas, termasuk penyediaan sarana dan prasarana untuk RPRD yang seluruhnya disiapkan oleh puskesmas. Masing-

masing puskesmas memiliki jumlah anggaran yang berbeda, sehingga penyediaan fasilitas untuk masing-masing puskesmas juga berbeda, tak dapat dibuat sama/seragam.

Inovasi RPRD juga telah dikembangkan melalui pelayanan kunjungan ke rumah bagi penyandang disabilitas (home visit) dan sudah dijalankan hingga pelayanan ke tingkat desa. Sementara itu, peluang

untuk direplikasi ke seluruh kantor pemerintah daerah juga relatif besar dengan mengikuti proses dan standar yang telah diterapkan pada RPRD. Pelibatan semua unsur dan komitmen untuk implementasi pelayanan yang ramah disabilitas, saat ini telah dan sedang dilakukan di Kabupaten Lombok Barat. Dimulai dengan

“Dengan adanya inovasi RPRD, kami mulai berbenah untuk

mengimplementasikan puskesmas yang layanannya ramah disabilitas.”

Kepala Puskesmas Lingsar, H. Billia Malkan, S.ST.

Page 67: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 45

penyediaan infrastruktur standar yang ramah disabilitas. Sebagian besar Kantor Pemerintah Kabupaten Lombok Barat sudah menyediakan akses bagi penyandang disabilitas, sementara gedung puskesmas yang baru dan kantor pemerintah yang baru ditekankan untuk mengikuti standar bangunan yang ramah disabilitas.

Dalam rangka replikasi ini, dukungan regulasi, penyediaan SDM dan komitmen semua pihak sangat menentukan. Dialog antara pemerintah daerah dan kelompok penyandang disabilitas juga sangat penting, agar aspirasi disabilitas dapat tersampaikan dan pemerintah dapat mengakomodasinya. Hal lain yang diperlukan untuk pengembangan inovasi RPRD ini adalah adanya kelompok yang dapat memfasilitasi dan menjembatani komunikasi antara unit pelayanan publik yang belum ramah disabilitas dengan penyandang disabilitas, sehingga diharapkan unit pelayanan publik tersebut menjadi ramah disabilitas. Untuk dikembangkan ke tingkat yang lebih tinggi, replikasi ini belum dapat dilakukan karena Pemerintah Provinsi NTB belum terpapar informasi mengenai inovasi RPRD ini.

A.2. SIGAB : Puskesmas Ramah Disabilitas dan Pelayanan Khusus dan Kolaboratif bagi ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa)

A.2.1. Jenis Inovasi dan Praktik Baik, Layanan, Proses dan Peran Aktor

Sektor : Pelayanan di bidang kesehatanStakeholder Kunci : Puskesmas Lendah 1, Pemerintah desa, Dinas

Kesehatan Kulon ProgoBentuk Inovasi : Puskesmas Ramah Disabilitas dan Pelayanan Khusus

dan Kolaboratif bagi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)

Pelayanan publik inklusif yang digagas oleh SIGAB pada Program Peduli Fase 1 adalah mengembangkan pelayanan kesehatan inklusif bagi disabilitas. Di bidang kesehatan, SIGAB mengupayakan agar disabilitas yang belum memiliki jaminan kesehatan dapat memilikinya. Seperti Jamkesus, Jamkesda, dan KIS. Tujuannya, agar disabilitas dapat memperoleh bantuan layanan kesehatan. Selain itu, SIGAB juga mendorong dua inovasi dalam pelayanan publik, yaitu puskesmas yang menyediakan akses layanan publik yang ramah disabilitas dan pelayanan khusus dan kolaboratif bagi ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa)

Page 68: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

46

a. Puskesmas Ramah DisabilitasSalah satu puskesmas yang sudah ramah penyandang disabilitas di Kabupaten

Kulon Progo adalah Puskesmas Lendah 1. Melalui penggunaan anggaran perawatan, Kepala Puskesmas Lendah 1, Drg. R.A Hannie Permata Sari memutuskan untuk merenovasi beberapa bagian dari bangunan puskesmas agar lebih mudah diakses penyandang disabilitas. Contohnya, loket pendaftaran dan loket obat yang tadinya tertutup dan relatif tinggi dibongkar dan disesuaikan, termasuk tanjakan di pintu masuk diubah menjadi landai serta pintu-pintu yang tadinya sempit diperlebar, sehingga mudah dimasuki oleh pemakai kursi roda. Kamar mandi juga sudah diberi ramp, agar bisa digunakan oleh penyandang disabilitas.

Perubahan ini dimulai pada saat SIGAB menyelenggarakan pelatihan mengenai aksesibilitas kepada para pemangku kepentingan di Desa Wahyuharjo dan Desa Bumirejo. Salah satu materinya adalah meninjau unit pelayanan publik (puskesmas) untuk melihat sejauh mana pelayanan publik di puskesmas dapat diakses oleh penyandang disabilitas. Pada kunjungan tersebut, petugas dan kepala puskesmas menerima masukan terkait kondisi dan fasilitas puskesmas yang belum ramah disabilitas yang disampaikan langsung oleh penyandang disabilitas. Menindaklanjuti masukan yang dimaksud, Puskesmas Lendah 1 kemudian melakukan perbaikan untuk mewujudkan puskesmas yang mudah diakses penyandang disabilitas. Perbaikan itu menyangkut infrastruktur gedung dan peningkatan kapasitas

bagi petugas puskesmas agar memahami cara memberikan pelayanan khusus bagi pe-nyandang disabilitas. Misalnya, mendahulukan saat ada antrian atau responsif jika penyandang disabilitas membutuhkan ban-tuan khusus saat melakukan pemeriksaan.

Sumber dana untuk inovasi puskesmas yang ramah disa-bilitas ini sepenuhnya dari APBD. Demikian pula untuk

peningkatan kapasitas berupa pelatihan juga dananya berasal dari APBD, tetapi SIGAB ikut berkontribusi sekitar 30% untuk transport peserta, konsumsi dan meeting kit. Sementara itu, pemerintah desa berkontribusi dengan menyediakan tempat dan sarana pelatihan, sedangkan

“Meski belum sampai keahlian khusus untuk berkomunikasi dengan disabilitas. Namun, ada

upaya dari kami yaitu memperbaiki komunikasi. Misalnya, dokter gigi yang biasanya memakai

masker, saat berkomunikasi dengan tuna rungu, maskernya dilepas dan memberi penjelasan pelan-pelan. Hal ini sudah ada SK nya, untuk memprioritaskan pelayanan bagi disabilitas

bersama dengan lansia dan anak-anak.

Kepala Puskesmas Lendah 1,Kulon Progo

Page 69: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 47

narasumber berasal dari SKPD (Dinas). Sumber daya manusia yang menjalankan inovasi ini berasal dari fasilitator desa, kader kesehatan, petugas puskesmas, dan kelompok disabilitas. SIGAB berperan mengembangkan panduan yang digunakan penyedia pelayanan seperti panduan pembangunan unit pelayanan yang mudah diakses dan ramah disabilitas. Panduan itu dikembangkan berdasarkan Peraturan Menteri PU No. 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan.

Manfaat inovasi ini adalah mempermudah penyandang disabilitas dalam mengakses layanan kesehatan di puskesmas. Bila sebelumnya penyandang disabilitas merasa kesulitan untuk mengakses puskesmas, sehingga enggan berobat, kini tidak ada lagi hambatan untuk berobat. Bila sebelumnya, penyandang disabilitas harus antre cukup lama baik saat menunggu pemeriksaan atau mengambil obat, sekarang pemeriksaan bagi penyandang disabilitas lebih cepat dan diprioritaskan. Selain itu, ketika datang berobat ke puskesmas tidak perlu didampingi banyak orang, karena sudah ada petugas puskesmas yang siap membantu.

Dana renovasi fasilitas pelayanan agar mudah diakses disabilitas di puskesmas ini menggunakan dana puskesmas, karena sejak awal pengusulan perubahan oleh SIGAB dan kelompok disabilitas untuk perbaikan sarana yang akses Puskesmas menggunakan alokasi anggaran sendiri. Berbeda dengan renovasi balai desa untuk aksesibilitas penyandang disabilitas yang juga menjadi pusat dan tempat pertemuan kelompok disabilitas desa yang merupakan bantuan dan bentuk dukungan langsung dari SIGAB.

b. Pelayanan Khusus dan Kolaboratif bagi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)

Kecamatan Lendah adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Kulon Progo dengan jumlah ODGJ tertinggi, khususnya di Desa Bumirejo dan Desa Ngentakrejo (Sebagai contoh, di salah satu dusun di Desa Bumirejo jumlah ODGJ-nya mencapai 26 orang, bahkan di desa itu, terdapat keluarga yang hampir semua anggota keluarganya mengalami ODGJ kecuali satu orang). Masalah ODGJ ini juga relatif rumit bila tidak ditangani serius, karena dapat menyebabkan masalah lainnya. Contohnya, kasus seorang ODGJ dewasa mengamuk dan menendang ayahnya hingga lumpuh dan menjadi disabilitas, padahal ayahnya adalah satu-satunya anggota keluarganya yang masih hidup. Pihak keluarga kemudian memasung ODGJ tetapi dilarang oleh pemerintah daerah.

Pada awal pelaksanaan Program Peduli Fase 1, SIGAB melakukan penilaian

Page 70: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

48

(assesment) awal untuk melihat potensi desa dalam rangka mengetahui dukungan masyarakat terhadap program yang dijalankan. Penilaian ini dilakukan ke beberapa stakeholder dan pelaku pembangunan di desa. Namun, penilaian awal itu masih dilakukan secara umum yang menyangkut disabilitas, belum khusus menyangkut disabilitas jiwa. Sebagian besar beranggapan bahwa ODGJ bukan bagian dari disabilitas, sehingga tidak dimasukkan dalam kategori penyandang disabilitas. Akan tetapi, dalam perkembangannya selain sebagai hasil diskusi dan proses advokasi, Kepala Puskesmas Lendah 1 memang memandang ODGJ ini sebagai isu penting yang harus ditangani sebab tingginya kasus ODGJ di wilayah kerja Puskesmas Lendah 1. Selain tinggi, kasus ODGJ juga terjadi secara merata dimana terdapat minimal 2 ODGJ di setiap dusun. Karena itulah puskesmas berencana mengembangkan upaya-upaya inovasi terkait ODGJ sebagai prioritas. Melalui diskusi intensif antara SIGAB, Puskesmas dan pemerintah desa, akhirnya bersepakat untuk bekerja sama dalam menangani ODGJ.

Proses inovasi dan praktik baik pelayanan khusus dan kolaboratif bagi ODGJ ini diawali dengan inisiatif Puskesmas untuk menangani tingginya jumlah ODGJ di Desa Bumirejo. Akan tetapi, terbentur dengan terbatasnya anggaran yang

dialokasikan hanya untuk 20 ODGJ, padahal Puskesmas ingin agar seluruh ODGJ mendapatkan manfaat dari anggaran tersebut.

Setelah mendiskusikan hal tersebut dengan SIGAB, kemudian Puskesmas Lendah 1 bekerja sama dengan SIGAB menyelenggarakan pelatihan bagi Kader sehat jiwa, agar penanganan ODGJ ini tidak hanya dilakukan puskesmas, tetapi juga melibatkan semua

stakeholder di desa yaitu pemerintah desa, warga dan tokoh masyarakat. Peserta Pelatihan Kader Sehat Jiwa ini adalah kepala dukuh, perwakilan RT dan RW, keluarga disabilitas, kelompok disabilitas, kader posyandu, dan tokoh masyarakat, sedangkan narasumbernya berasal dari Rumah Sakit Jiwa Grhasia yang selama ini menangani ODGJ. Pelatihan ini memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada peserta tentang cara pengobatan ODGJ, cara merespon saat ODGJ kambuh,

“Kami, sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) telah menganggarkan alokasi dana.

Untuk pemenuhan sarana dan prasarana, kami menggunakan dana operasional Puskesmas.

Kalau untuk kunjungan ke rumah ODGJ, kami menggunakan bantuan operasional kesehatan.

Sedangkan untuk pertemuan-pertemuan dengan keluarga ODGJ dananya kontribusi dari desa. ”

Kepala Puskesmas Lendah 1, Drg. R.A Hannie Permata Sari

Page 71: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 49

dan menghapuskan stigma negatif yang menghambat penyembuhan ODGJ. Pelatihan ini ditindak lanjuti dengan pembentukan Forum Penanggulangan

ODGJ tingkat desa yang melibatkan aparatur pemerintah dan masyarakat. Kepala Desa Bumirejo, Edi Winarna menjadi penggerak utama Forum bersama Kepala Puskesmas Lendah 1. Forum kemudian menyusun program untuk memberikan pelayanan bagi ODGJ yang terdiri dari layanan kesehatan dan layanan pemberdayaan dan penguatan psikis serta penguatan dukungan sistem (keluarga) bagi kesembuhan dan menekan angka kekambuhan ODGJ. Kegiatan yang dilakukan dalam program dimaksud adalah:

1. Pemeriksaan rutin sebagai tindakan preventif sekaligus deteksi dini kekambuhan ODGJ;

2. Alokasi anggaran untuk rujukan; Pelatihan bagi petugas puskesmas dalam memberikan respon cepat dan pelayanan bagi ODGJ;

3. Forum Penanggulangan ODGJ.Forum Penanggulangan ODGJ Tingkat Desa ini dilaksanakan di Desa Bumirejo dan Desa Lenta, yaitu dua desa ini yang berkomitmen menjadi desa siaga jiwa, karena jumlah ODGJ-nya yang relatif sangat tinggi.

4. Kampanye di tingkat desa yang berupa Forum multi stakeholder di tingkat desa ini mengkampanyekan dan berupaya menghapus stigma negatif terhadap ODGJ dan keluarga ODGJ. Kampanye ini sangat penting, karena salah satu indikasi tingginya jumlah ODGJ yang kambuh setelah sembuh diindikasikan karena perlakuan dan stigma negatif dari masyarakat, seperti mengolok-olok, menjauhi dan mengucilkan ODGJ dan keluarganya. Keluarga ODGJ sudah memikul beban berat, dalam menangani dan menghadapi anggota keluarganya dan ODGJ, sehingga tanpa dukungan

Gambar 2.2.1 Pelatihan membuat kue bagi ODGJ yang sudah sembuh dan keluarga

Page 72: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

50

dari pemerintah dan masyarakat sekitar akan berpotensi ikut tertekan dan mendapat beban psikologis.

5. Pelatihan kerja dan penyertaan modal kerja atau alat produksi bagi ODGJ yang sudah sembuh dan keluarga ODGJ untuk memperkuat kondisi ekonominya;

6. Penyediaan Jaminan Kesehatan Khusus bagi ODGJ (saat ini terintegrasi dengan JKN);

7. Forum Support Keluarga ODGJ.

Dukungan kepada keluarga ODGJ dilakukan melalui pertemuan rutin keluarga penyandang ODGJ yang difasilitasi oleh pemerintah desa dan puskesmas yang berperan sebagai narasumber dan memandu diskusi. Pada pertemuan ini dilakukan sesi sharing pengalaman yang memberikan kesempatan kepada keluarga ODGJ agar saling menceritakan pengalaman dalam merawat ODGJ, hambatan atau masalah yang dihadapi dan berbagi tips terkait cara perawatan ODGJ. Forum ini juga merupakan ajang saling menguatkan serta memberi motivasi bagi keluarga ODGJ.

Forum Penanggulangan ODGJ Tingkat Desa ini dilaksanakan di Desa Bumirejo dan Desa Lenta, yaitu dua desa ini yang berkomitmen menjadi desa siaga jiwa, karena jumlah ODGJ-nya yang relatif sangat tinggi.

Inovasi dan praktik baik pelayanan kesehatan ini disebut pelayanan kolaboratif karena dalam pelaksanaannya terdapat kolaborasi dengan pembagian peran yang cukup besar antara SIGAB, Puskesmas dan Pemerintah Desa. Inovasi ini dapat dikatakan salah satu contoh ideal penanganan kesehatan disabilitas yang sesuai dengan konteks dan permasalahan khusus disabilitas.

Manfaat dari inovasi ini yang telah dijalankan sejak tahun 2015 ini adalah ODGJ memperoleh Jaminan Kesehatan Khusus (disabilitas), Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS). Inovasi ini juga telah mengubah persepsi masyarakat dan keluarga ODGJ bahwa keberadaan ODGJ bukan merupakan beban masyarakat, melainkan perlu ditangani dengan cara yang tepat. Sejak inovasi ini dijalankan, menurut pemerintah desa, secara berangsur-angsur jumlah ODGJ yang kambuh terus menurun.

Pembagian peran stakeholder dalam penanganan ODGJ di Kabupaten Kulon Progo dapat dilihat pada tabel berikut.

Page 73: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 51

Tabel 2.3.1 Peran Stakeholder dalam Penanganan ODGJ di Kabupaten Kulon Progo

Aktor Nama

Institusi/ Organisasi

Peran

Pemerintah Pemerintah Desa

• Memfasilitasi pertemuan untuk dukungan kepada keluarga ODGJ;

• Mengalokasikan Dana Desa untuk penanganan ODGJ (misalnya dalam program pelatihan khusus, support group dan berbagai kegiatan yang bekerja sama dengan puskesmas, dan anggaran untuk penanganan darurat seperti transportasi saat ada rujukan darurat dan sebagainya);

• Melakukan sosialisasi program penanganan ODGJ.

Puskesmas • Mengalokasikan anggaran untuk penanganan ODGJ (dalam bentuk berbagai kegiatan baik yang dilakukan dalam program puskesmas atau program yang berbagi dengan desa, pembiayaan transportasi seperti ganti bensin dan makan sukarelawan yang mengantar pasien ODGJ saat ada kasus mendadak yang butuh rujukan cepat, dsb);

• Melaksanakan pelatihan kader sehat jiwa;• Bersama pemerintah desa melaksanakan forum

penanganan ODGJ yang melibatkan kepada dusun/dukuh dan kader.

Dinas Kesehatan

Mengalokasikan anggaran untuk penanganan ODGJ (khususnya penyediaan obat).

Dinas Sosial • Melaksanakan pelatihan wirausaha bagi ODGJ yang sudah sembuh.

• Menyediakan informasi bursa kerja bagi ODGJ yang sudah sembuh.

Kelompok/ organisasi disabilitas

Kelompok Disabilitas Desa (KDD)

Melakukan sosialisasi terkait pengobatan bagi ODGJ (dilakukan oleh ODGJ yang sudah sembuh dan aktif di KDD, dan keluarga ODGJ)Disabilitas mental berbeda dengan disabilitas fisik, sehingga sebagian besar keterlibatan diwakili keluarganya.

Page 74: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

52

Masyarakat Tokoh agama dan tokoh masyarakat

Memberikan dukungan dan terlibat menyosialisasikan program penanggulangan ODGJ.

NGO/LSM YAKKUM, SIGAB

Menyelenggarakan program sehat jiwa di 11 Kecamatan

Penyandang disabilitas

ODGJ ODGJ yang masih sering kambuh, relatif kurang terlibat dalam kegiatan, namun sebagian di antaranya menjadi penerima manfaat dengan mengikuti pelatihan keterampilan.

Keluarga Penyandang Disabilitas

Forum Support Keluarga ODGJ

• Menyampaikan kebutuhan ODGJ;• Saling memberikan dukungan antar ODGJ dan

keluarga ODGJ;• Menyosialisasikan program;• Berpartisipasi dalam program penanggulangan

bersama pemerintah desa dan puskesmas.

Fasilitator/ pendamping

Fasilitator Desa

• Mengkoordinir kader desa dalam pelaksanaan program;

• Menjadi penghubung antara puskesmas, kecamatan dan desa, termasuk memfasilitasi forum-forum di tingkat desa;

• Berpartisipasi dalam Forum Support Keluarga ODGJ.

Kader Desa • Memobilisasi masyarakat untuk mendukung program;

• Menyosialisasikan program ke masyarakat melalui forum pertemuan di tingkat dusun dan RT.

A.2.2. Dampak Inovasi dan Praktik BaikInovasi dan praktik baik Puskesmas Ramah Disabilitas dan Pelayanan Khusus dan

Kolaboratif bagi ODGJ ini memberikan dampak positif langsung bagi penyandang disabilitas, keluarga disabilitas, masyarakat, dan petugas puskesmas, di antaranya:

a. Mengubah perspektif masyarakat dan keluarga disabilitas bahwa keberadaan ODGJ bukan mengganggu, melainkan perlu ditangani dengan cara yang tepat;

b. Perubahan perilaku masyarakat dan keluarga terhadap ODGJ dianggap berpengaruh besar pada menurunnya angka kekambuhan ODGJ sejak program kolaboratif ini intensif berjalan. Bahkan di salah satu desa (Desa Bumirejo), angka kekambuhan sampai 0.

c. Kelompok Disabilitas Desa (KDD) yang aktif kemudian dilibatkan dalam

Page 75: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 53

Forum Penanggulangan ODGJ dari Desa Bumirejo;d. ODGJ mendapat Jamkesus dan KIS;e. Keluarga disabilitas meningkat motivasi dan pengetahuannya tentang

penanganan anggota keluarganya yang ODGJ; f. Mempermudah disabilitas dalam mengakses layanan kesehatan di

puskesmas;g. Penyandang disabilitas, ketika berobat, tidak perlu didampingi banyak

orang, karena sudah ada petugas puskesmas yang siap membantu;h. Petugas puskesmas menjadi lebih ramah dan lebih peka terhadap

penyandang disabilitas; i. Penyandang disabilitas tidak perlu mengantri panjang, sehingga proses

pengobatan dan pemeriksaan kesehatan disabilitas menjadi lebih cepat.j. Tenaga kesehatan memiliki kepekaan dan peningkatan pemahanan

tentang bagaimana memberi pelayanan bagi ragam disabilitas.

A.2.3. Faktor pendukungKebijakan daerah terkait larangan memasung ODGJ merupakan faktor

pendukung paling kuat dalam penanganan masalah ODGJ di Kabupaten Kulon Progo. Adanya larangan pasung tersebut perlahan-lahan mengubah pandangan masyarakat tentang bagaimana memberikan pertolongan kepada ODGJ. Faktor lainnya adalah adanya aktor kunci (champion) di unit layanan, yaitu Kepala Puskesmas Lendah 1, yang dari awal sudah memberikan respon positif terkait pemenuhan hak disabilitas, termasuk inisiatif awal tentang upaya-upaya penanganan khusus bagi penyandang disabilitas psikososial (ODGJ).

“Yang dulunya dibiarkan, sekarang kalau mau kambuh langsung dicarikan obat. Jadi, keluarga sudah bisa mengenali gejala dan menangani kekambuhan

(ODGJ)-nya dengan benar. ODGJ juga berubah, yang biasanya tidak mau mandi, sekarang mandi. Yang biasanya dibentak-bentak sekarang sudah tidak.

Sebagian ODGJ juga lebih terbuka dan sudah ada perubahan perilaku dalam mengikuti pengobatannya, karena tidak lagi dikucilkan dan dipasung, jadi

mereka lebih percaya diri untuk mengobati dirinya. Disini ada sekitar 40 ODGJ “.

Edi Winarna, Kepala Desa Bumirejo. Kecamatan Lendah. Kabupaten Kulon Progo.

Page 76: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

54

A.2.4. TantanganBeberapa tantangan yang ditemui dalam inovasi dan praktik baik ini adalah:a. Masih ada perangkat desa menganggap inovasi hanya menghambur-

hamburkan biaya, karena jumlah disabilitas relatif sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah warga yang tanpa hambatan;

b. Ada kepala dusun yang tidak partisipatif, yang menganggap bahwa bantuan yang diperlukan disabilitas hanya sebatas santunan sembako;

c. Relatif sedikit peserta yang mengikuti pelatihan penerjemahan bahasa isyarat bagi disabilitas rungu, karena jumlah disabilitas rungu sedikit, sehingga dianggap bukan prioritas;

d. Biasanya ODGJ tidak merasa bahwa dirinya sakit, sehingga tidak bersedia untuk diobati;

e. Obat tertentu untuk penyembuhan ODGJ dengan dosis tertentu tidak tersedia di Puskesmas, dan hanya dapat diperoleh di Rumah Sakit Jiwa;

f. Sebagian kader kesehatan masih menganggap bahwa ODGJ bukan termasuk disabilitas.

A.2.5. Partisipasi DisabilitasKeterlibatan disabilitas dalam inovasi ini diwakili oleh Kelompok Disabilitas

Desa (KDD). Organisasi ini dibentuk dan diinisiasi oleh SIGAB. Dahulu, sebelum terbentuknya KDD, disabilitas bergerak secara individu, sehingga relatif aspirasinya kurang diperhatikan oleh penyedia layanan, karena dianggap tidak mewakili aspirasi disabilitas secara keseluruhan. Oleh karena itu, setelah KDD terbentuk dan bekerja, KDD relatif sangat berpengaruh terhadap pembuat kebijakan. Keterlibatan disabilitas dalam proses inovasi dapat dilihat dari bagan berikut:

Page 77: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 55

Bagan 2.3.1 Keterlibatan Disabilitas (KDD) dalam Proses Inovasi dan Praktik Baik

Disabilitas terlibat mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, tindak lanjut, serta monitoring dan evaluasi. Pada tahap perencanaan, dalam forum pertemuan antar stakeholder, disabilitas mengusulkan perubahan pelayanan di Puskesmas dan balai desa agar ramah disabilitas. Pada tahap pelaksanaan, disabilitas mengikuti pelatihan-pelatihan, mengikuti forum penanggulangan ODGJ, ikut serta melakukan audit sosial layanan publik, serta mensosialisasikan program. Pada tahap tindak lanjut, disabilitas berpartisipasi langsung untuk mengadvokasi haknya ke Puskesmas dan balai desa. Penyandang disabilitas juga secara kontinyu melaksanakan pemantauan dan mengawasi pelaksanaan perbaikan akses layanan publik agar ramah disabilitas di Puskesmas dan balai desa. Dalam penanganan ODGJ, disabilitas ikut serta dalam mengawasi penanganan ODGJ, yaitu dengan mengingatkan waktu minum obat atau mengantar ODGJ ke Rumah Sakit Jiwa Grhasia.

A.2.6. Penerimaan, Replikasi dan Rencana PengembanganSecara umum, penerimaan Puskesmas terhadap inovasi dan praktik baik

Puskesmas Ramah Disabilitas sangat baik. Penerimaan Puskesmas tersebut terlihat

Mengusulkan perubahan akses di Puskesmas dan

Balai Desa agar ramah disabilitas

Mengikuti pelatihan

Berpartisipasi dalam Forum

Penanggulangan ODGJ

Audit sosial ke lokasi layanan

publik

Sosialisasi program

Perencanaan Pelaksanaan Tindak Lanjut Monev

Membantu mengawasi

pelaksanaan perbaikan akses

di Puskesmas dan Balai Desa

Advokasi ke pemerintah desa

Membantu pengawasan penanganan

ODGJ

Advokasi ke Puskesmas

Page 78: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

56

ketika SIGAB menyusun daftar periksa (check list) pelayanan puskesmas yang belum ramah disabilitas, seperti akses ke toilet, pintu masuk yang relatif sempit bagi disabilitas, belum tersedia ramp, dan loket pendaftaran serta loket pengambilan obat yang tinggi hingga menyulitkan disabilitas. Daftar periksa ini kemudian disampaikan pada saat pelatihan bahwa unit pelayanan kesehatan harus ramah bagi disabilitas. Tidak lama kemudian, Puskesmas melakukan renovasi cukup signifikan agar mudah diakses oleh penyandang disabilitas. Advokasi mengenai inovasi dan praktik baik ini memang baru dilakukan sebatas kepada Puskesmas, sedangkan Dinas Kesehatan belum dijangkau.

SIGAB bersama kelompok disabilitas juga sudah menyampaikan ke Bupati Kulon Progo tentang pentingnya penyediaan akses layanan bagi disabilitas. Namun, karena belum ada panduan mengenai standar akses layanan kesehatan yang ramah disabilitas, maka belum dapat ditindak lanjuti oleh Bupati. Bila sudah ada panduannya, Bupati bersedia menerbitkan surat edaran ke instansi pemerintah daerah (Organisasi Perangkat Daerah/OPD) mengenai pedoman pembangunan sarana dan prasarana baru yang ramah disabilitas.

Sementara itu, untuk inovasi Pelayanan Khusus dan Kolaboratif bagi ODGJ, penerimaan pemerintah

desa terhadap inovasi ini sangat baik. Hal ini dibuktikan dengan adanya alokasi Dana Desa untuk program khusus pember-dayaan ODGJ dan ke-luarganya, memfasilitasi tempat dan sarana-prasarana untuk perte-muan Forum Keluarga ODGJ, dan mengalokasikan anggaran untuk mengan-tar ODGJ ke Rumah Sakit Jiwa. Demikian pula de-

ngan Puskesmas yang telah mengalokasikan anggaran untuk pelatihan kader sehat jiwa. Sementara itu, Dinas Kesehatan mengalokasikan anggaran untuk penanganan ODGJ berupa subsidi obat khusus melalui puskesmas.

Inovasi untuk penanganan ODGJ direncanakan akan dikembangkan lebih lanjut berupa deteksi dini disabilitas, kemudian pelatihan untuk petugas, serta  jejaring

“Yang dulunya dibiarkan, sekarang kalau mau kambuh langsung dicarikan obat. Jadi, keluarga sudah bisa

mengenali gejala dan menangani kekambuhan (ODGJ)-nya dengan benar. ODGJ juga berubah, yang biasanya

tidak mau mandi, sekarang mandi. Yang biasanya dibentak-bentak sekarang sudah tidak. Sebagian ODGJ juga lebih terbuka dan sudah ada perubahan perilaku

dalam mengikuti pengobatannya, karena tidak lagi dikucilkan dan dipasung, jadi mereka lebih percaya diri untuk mengobati dirinya. Disini ada sekitar 40 ODGJ “.

Edi Winarna, Kepala Desa Bumirejo. Kecamatan Lendah. Kabupaten Kulon Progo.

Page 79: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 57

mitra penyedia layanan kesehatan untuk memudahkan rujukan pelayanan kesehatan. Upaya yang telah dilakukan Puskesmas adalah peningkatan kapasitas SDM agar lebih terbuka dalam menerima masukan, adanya komunikasi intensif antara puskesmas dengan desa setempat, dan adanya perawatan di rumah (home care) untuk penyandang disabilitas.

Inovasi penanganan ODGJ ini menarik untuk direplikasi ke seluruh Puskesmas dan desa di Kabupaten Kulonprogro, terutama ke desa-desa yang jumlah ODGJ-nya tinggi. Pada saat yang sama, organisasi nirlaba, YAKKUM juga sedang menjalankan program penanganan kesehatan jiwa di 11 kecamatan di Kulon Progo, sehingga dapat disinergikan.

Selain itu, inovasi ini juga dapat dikembangkan ke tingkat yang lebih tinggi baik ke tingkat kabupaten maupun provinsi. Hal ini dapat dilakukan melalui kerja sama seluruh stakeholder yang telah terlibat dalam program dengan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo. Dalam rangka scaling up tersebut, perlu dilakukan penyusunan panduan penanganan ODGJ dengan tahapan yang jelas dan rinci, dan penyediaan data berupa angka penurunan ODGJ pasca pelaksanaan program yang membuktikan bahwa program ini berhasil dan layak untuk direplikasi dan dikembangkan ke tingkat yang lebih tinggi.

A.3. KARINAKAS : Kartu DISABILITAS dan Pelayanan Kesehatan Disabilitas Terintegrasi dan Berkelanjutan

A.3.1. Jenis Inovasi dan Praktik Baik, Layanan, Proses dan Peran AktorKARINAKAS mengembangkan dua inovasi dan praktik baik pelayanan publik di

sektor kesehatan, yaitu Kartu DISABILITAS dan Pelayanan Kesehatan Terintegrasi dan Berkelanjutan. Inovasi dan praktik baik ini dimulai dari tempat pelayanan kesehatan yang ramah disabilitas kemudian dilanjutkan dengan upaya-upaya untuk memastkan disabilitas sebagai kelompok rentan dapat memperoleh mendapat pelayanan kesehatan.

Page 80: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

58

a. Kartu DISABILITAS

Sektor : Pelayanan di bidang kesehatanStakeholder Kunci : Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan Kabupaten

Sukoharjo, Provinsi Jawa TengahBentuk Inovasi : Kartu DISABILITAS untuk menjamin disabilitas bisa

mengakses layanan kesehatan gratis.

KARINAKAS bekerja sama dengan stakeholder terkait khususnya Pemerintah Daerah Sukoharjo untuk memastikan akses pelayanan kesehatan bagi semua disabilitas tanpa terkecuali. Dinas Kesehatan mengakomodir dan memastikan kebutuhan pelayanan kesehatan bagi semua disabilitas terpenuhi dengan memasukkan penyandang disabilitas ke dalam data jaminan kesehatan daerah. Untuk menjamin pelayanan kesehatan penyandang disabilitas dan memudahkan proses aksesnya, maka Dinas Sosial menerbitkan Kartu DISABILITAS yang ditandatangani langsung oleh Bupati. Penerbitan Kartu DISABILITAS ini dilatarbelakangi temuan data hasil survei yang dilakukan oleh KARINAKAS yang

menunjukan banyak penyandang disabilitas belum memperoleh pelayanan kesehatan gratis dari pemerintah. Mekanisme rujukan untuk mendapat pelayanan kesehatan gratis selama ini menjadi salah satu hambatan. Pada mekanisme awal, jika ada disabilitas yang ingin mendapatkan kartu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau mendaftar untuk memperoleh pelayanan gratis harus mendapatkan rekomendasi dari

Gambar 2.3.1 Kartu Disabilitas

Page 81: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 59

pemerintah desa, kecamatan dan Dinas Sosial. Setelah itu, baru permohonannya dapat diajukan ke Dinas Kesehatan.

Di Kabupaten Sukoharjo sebagaimana juga di semua daerah, tidak semua warga miskin bisa diakomodasi sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN karena adanya keterbatasan kuota, termasuk bagi disabilitas. Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Sukoharjo melalui Dinas Kesehatan memiliki program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), yang menjamin semua penyandang disabilitas, baik yang kategori mampu maupun tidak mampu, menjadi penerima manfaat Jamkesda. Namun, dalam praktiknya, tidak mudah bagi disabilitas untuk mendaftarkan diri sebagai penerima manfaat Jamkesda, karena harus mendapatkan rekomendasi dari pemerintah desa, kecamatan dan Dinas Sosial. Bagi penyandang disabilitas, tantangan itu terjadi karena adanya keterbatasan gerak, tenaga dan waktu, jarak serta serta biaya transportasi bagi keluarga pendamping disabilitas untuk mengurus rekomendasi dan pendaftaran tersebut.

Melalui diskusi intensif antara Dinas Kesehatan, Dinas Sosial dan KARINAKAS, akhirnya disepakati solusi untuk mengatasi hambatan bagi disabilitas ini melalui penerbitan Kartu DISABILITAS, yang bertujuan untuk memudahkan penyandang disabilitas mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa melalui proses rekomendasi yang dianggap menyulitkan penyandang disabilitas. Pada awalnya, dinas kesehatan, KARINAKAS dan Dinas Sosial berdiskusi solusi pemecahannya dan muncul solusi penyerderhanaan, kemudian disepakati dengan cara membuat kartu disabilitas. Tujuan utama awalnya untuk mempermudah rujukan dan mempermudah disabilitas mendapat layanan kesehatan tanpa proses rekomendasi yang panjang.

“Masih banyak warga disabilitas yang belum mendapatkan kartu JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Mereka mengalami kesulitan saat mengurusnya, karena

harus ada surat keterangan dari Dinas Sosial. Selain itu, ada juga kendala yang dirasakan oleh warga disabilitas dan keluarganya, yaitu harus melampirkan surat dampingan dari Dinas Sosial, karena data disabilitas belum terkelola

dengan baik. Oleh karena itu, KARINAKAS memfasilitasi, sehingga Pemerintah Kabupaten Sukoharjo kemudian menerbitkan regulasi mengenai disabilitas

dan Kartu DISABILITAS tahun 2015. Tahun 2015 kita membuat regulasi untuk disabilitas sampai cetak kartu. Pencetakannya melalui Dinas Sosial tapi

difasilitasi oleh KarinaKas.”

Yuni, Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo

Page 82: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

60

Data penyandang disabilitas yang digunakan oleh Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial untuk menerbitkan Kartu DISABILITAS adalah hasil pendataan penyandang disabilitas yang dilakukan KARINAKAS bersama organisasi penyandang disabilitas (DPO) dan Tim Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (Tim RBM) yang dibentuk KARINAKAS di dua kecamatan di Kabupaten Sukoharjo pada saat pelaksanaan Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1. Pada tahap program fase I ini, KARINAKAS melakukan pendataan di 4 desa dampingan, yaitu Ngreco, Grogol, Krajan, dan Tegal Sari. Data ini kemudian dikembangkan untuk seluruh kecamatan di Kabupaten Sukoharjo.

Dalam inovasi ini, Dinas Sosial bertanggung jawab untuk menerbitkan Kartu DISABILITAS, sementara Dinas Kesehatan bertanggung jawab menyiapkan infrastruktur pelayanan kesehatan, termasuk memastikan unit layanan kesehatan mengetahui mekanisme kerja Kartu DISABILITAS ini, sehingga penyandang disabilitas tidak mengalami hambatan saat menggunakaannya.

b. Pelayanan Kesehatan Disabilitas Terintegrasi dan Berkelanjutan (PKDTB) bagi Anak Berkebutuhan Khusus

Sektor : Pelayanan di bidang kesehatanStakeholder Kunci : Dinas Kesehatan, Pemerintah Desa, Bidan Desa,

Kader Posyandu, dan Self Help Group (Organisasi Penyandang Disabilitas di desa)

Inovasi Pelayanan Kesehatan Disabilitas Terintegrasi dan Berkelanjutan (PKDTB) bagi anak berkebutuhan khusus ini adalah inovasi pelayanan kesehatan untuk disabilitas khususnya Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dalam bentuk sinergi antara bidan desa, puskesmas, kader posyandu, anggota SHG (DPO /organisasi penyandang disabilitas di desa (yang disebut dengan Self Help Group), pemerintah desa dan Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo.

Inovasi dan praktik baik ini lahir setelah adanya temuan KARINAKAS pada saat penilaian awal pelaksanaan Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 yang menemukan banyak anak Cerebral Palsy (CP)4. Anak-anak CP yang ditemukan Tim KARINAKAS ini

4 Cerebral Palsy CP) adalah gangguan gerakan, otot, atau postur yang disebabkan oleh cedera atau perkembangan abnormal di otak, yang mengakibatkan gangguan gerakan yang terkait dengan refleks berlebihan atau kekakuan, postur tubuh yang abnormal, gerakan tak terkendali, kegoyangan saat berjalan, atau beberapa kombinasi dari gangguan tersebut.Tanda dan gejala muncul selama masa

Page 83: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 61

tidak diketahui keberadaannya dan tidak terdata dimanapun baik di pemerintah desa maupun puskesmas setempat, sehingga tidak mendapatkan penanganan yang semestinya. Keluarga yang memiliki anak CP juga tidak memasukkannya ke dalam Kartu Keluarga dan tidak berusaha mencari pertolongan medis bagi anak-anak CP tersebut.

Temuan ini kemudian ditindak lanjuti oleh KARINAKAS dengan melaksanakan sosialisasi dan pelatihan kepada Tim RBM, petugas puskesmas, bidan desa, dan kader posyandu mengenai aksesibilitas dan deteksi dini kedisabilitasan pada anak. Deteksi sederhana ini menggunakan matriks perkembangan anak bayi hingga usia lima tahun yang dapat digunakan oleh kader posyandu. Melalui kegiatan ini, semua pihak diharapkan memiliki kesadaran akan kebutuhan khusus disabilitas baik dewasa maupun anak-anak (Anak Berkebutuhan Khusus) dan bentuk dukungan yang dibutuhkan.

Selanjutnya kader posyandu bersama bidan desa melakukan deteksi dini tumbuh kembang dan kedisabilitasan saat melaksanakan pemeriksaan di posyandu. Bila menemukan ada gejala atau ketidaksesuaian dengan matriks tumbuh kembang, maka akan dirujuk ke puskesmas untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Pada beberapa kasus, jika kader memperoleh informasi tentang keberadaan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang tidak diperiksakan ke puskesmas, maka

bayi atau prasekolah. Orang dengan CP sering memiliki kondisi lain yang berkaitan dengan kelainan perkembangan otak, seperti cacat intelektual, masalah penglihatan dan pendengaran, atau kejang (lihat www.mayoclinic.org).

Gambar 2.4.1 Sosialisasi Deteksi Dini

Disabilitas

Page 84: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

62

perwakilan dari Self Help Group bersama kader atau bidan desa akan melakukan kunjungan ke rumah ABK tersebut. Selain untuk melakukan deteksi dini, kunjungan ini juga digunakan sebagai pendekatan pada keluarga ABK agar lebih terbuka dan mau memberikan perawatan tindak lanjut pada ABK dimaksud.

Selain itu, KARINAKAS juga mendampingi pendirian sanggar untuk ABK. Sanggar ini menjadi tempat terapi alternatif bagi ABK dan wadah orangtua ABK untuk memperoleh pembelajaran melakukan perawatan dan terapi di rumah. Sanggar ini dikelola oleh organisasi penyandang disabilitas yang disebut Self Help Group (SHG)5

dari desa Ngreco yang anggotanya adalah penyandang disabilitas dan keluarga penyandang disabilitas. Self Help Group adalah kelompok disabilitas dan keluarga disabilitas yang awalnya lebih fokus pada kegiatan pemberdayaan ekonomi bagi disabilitas dan keluarganya. Namun, dalam perkembangannya SHG bekerja sama dengan bidan desa dan kader posyandu dalam melakukan upaya perbaikan pelayanan kesehatan bagi disabilitas khususnya bagi anak berkebutuhan khusus, serta berperan serta menjadi bagian penting dalam proses pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Disabilitas Berkelanjutan dan Terintegrasi (PKDBT).

Pendirian sanggar ini didukung melalui Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1, tempatnya difasilitasi oleh Pemerintah Desa, sedangkan terapis dan dana operasional berasal dari iuran orang tua ABK. Saat ini, Pemerintah Kabupaten Sukoharjo melalui Dinas Kesehatan telah memberikan dukungan berupa dua tenaga terapis yang dibiayai dari APBD, sehingga saat ini sanggar ini memiliki 4 tenaga terapis. Berikut adalah siklus pelayanan kesehatan bagi disabilitas dalam Pelayanan Kesehatan Disabilitas Terintegrasi dan Berkelanjutan (PKDTB).

5 Self Help Group (SHG) adalah kelompok yang beranggotakan penyandang disabilitas dan keluarganya. Pada awalnya SHG lebih fokus pada kegiatan pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas dan keluarga disabilitas. Namun dalam perkembangannya, SHG bekerja sama dengan bidan desa dan kader posyandu dalam melakukan upaya perbaikan pelayanan kesehatan bagi disabilitas khususnya ABK, serta berperan penting dalam proses pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Disabilitas Berkelanjutan dan Terintegrasi (PKDBT).

Page 85: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 63

Bagan 2.4 .1 Siklus Kesehatan bagi Disabilitas dalam Pelayanan Disabilitas Terintegrasi dan Berkelanjutan

Beberapa kegiatan rutin dari PKDBT adalah:1. Deteksi dini tumbuh kembang oleh kader posyandu dan bidan desa saat

melaksanakan posyandu;2. Kunjungan ke rumah (home visit) pada penyandang disabilitas yang

dilakukan juru pemantau jentik (jumantik) bersama anggota SHG, untuk mengidentifikasi keberadaan ABK yang tidak dibawa ke posyandu oleh keluarganya, dan mengadvokasi keluarga ABK dan ABK sendiri agar bersedia menerima pengobatan;

3. Terapi ABK di Sanggar oleh terapis dan kader posyandu yang terlatih (untuk terapi rutin yang ringan sesuai arahan terapis);

4. Pemeriksaan dan penangan ABK di rumah (home care); 5. Pemeriksaan kesehatan penyandang disabilitas di Sanggar;6. Penyediaan Puskesmas yang ramah disabilitas, dari sisi infrastruktur dan

petugas Puskesmas;7. Mempermudah proses rujukan bagi disabilitas dengan menggunakan

Kartu DISABILITAS.

Saat ini, telah terbentuk empat sanggar di empat desa di Kabupaten Sukoharjo.

Deteksi Dini

Dilakukan oleh Kader dan Bidan Desa

Rujukan pemeriksaan ke puskesmas

Difasilitasi Kader dan Bidan desa

Pemeriksaan kondisi anak di

puskesmas

Difasilitasi Kader dan Bidan desa

Dirujuk ke RSUD

Difasilitasi oleh puskesmas

Pemeriksaan kesehatan ABK

di Sanggar(1x per bulan)

Sanggar dikelola SHG

dan didukung keluarga

disabilitas dan Dinas Kesehatan

Terapi sederhana di sanggar

Page 86: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

64

Dinas Kesehatan juga telah menganggarkan pengadaan empat tenaga terapis untuk sanggar pada tahun anggaran 2017. Tahun sebelumnya hanya 2 orang

terapis. Selain itu, Dinas Kesehatan juga menyediakan bantuan kursi roda, yang pengukuran kursi rodanya dilakukan oleh fisioterapis di sanggar dan puskesmas. Awalnya, Sanggar yang difasilitasi oleh KARINAKAS ini mulai dijalankan sejak tahun 2016 dengan melibatkan Dinas Kesehatan. Seiring berjalannya waktu, perlahan difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten Sukoharjo melalui penyiapan regulasi termasuk perencanaan

dan penganggarannya oleh Bappeda. Saat ini, Dinas Kesehatan merencanakan dukungan konsultan psikologi dan dokter spesialis anak untuk sanggar.

Berikut adalah aktor-aktor yang terlibat dalam inovasi dan praktik baik Kartu DISABILITAS dan PKDTB serta perannya masing-masing.

Tabel 2.4.1 Peran Aktor dalam inovasi dan praktik baik Kartu DISABILITAS dan PKDTB

AktorNama

Institusi/Organisasi

Peran

Pemerintah Dinas Kesehatan

• Menyediakan tenaga fisioterapis di puskesmas dan sanggar;

• Mengalokasikan anggaran Jaminan Kesehatan bagi pemegang Kartu DISABILITAS, untuk mempermudah sistem rujukan dan pelayanan kesehatan bagi penyandang disabilitas;

• Memasukan kegiatan pengarusutamaan kebutuhan disabilitas ke dalam program-program pelayanan kesehatan di Dinas Kesehatan;

“Kami ingin agar penyandang disabilitas aktif, melakukannya sendiri dan untuk kepentingannya

sendiri. Jadi, dari, oleh, dan untuk disabilitas. Contohnya, penyandang disabilitas yang mengantar

rekan disabilitas untuk berobat. Disabilitas juga yang melakukan sosialisasi RBM dan melakukan

advokasi. Kita berharap mereka mandiri, lepas dari ketergantungan, sehingga setara dengan yang lain.

Amanat di UUD 1945 juga demikian”.

Yuni, Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo

Page 87: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 65

• Melakukan perencanaan dan penganggaran untuk pelayanan di unit pelayanan kesehatan, memberikan penanganan medis bagi disabilitas dengan kondisi tertentu seperti katarak, melakukan inventarisasi kursi roda dan alat bantu medis lain bagi disabilitas, memfasilitasi home visit, penjemputan disabilitas di rumah, pengadaan alat bantu dan jaminan kesehatan bagi disabilitas (Bidang Pelayanan Kesehatan);

• Bidang Yankes (Pelayanan Kesehatan): Melakukan perencanaan, perencanaan dan anggaran untuk layanan ada di bagian Yankes. Lebih fokus ke medis, penanganan kondisi disabilitas medis tertentu (misalnya katarak), serta bagaimana menginventarisasi kursi roda atau alat bantu medis lain, home visit, penjemputan ke rumah. Alat bantu disabilitas, penjaringan bantuan untuk gangguan pendengaran, penglihatan, dan pelayanan alat bantu serta jaminan kesehatan

• Pembinaan masyarakat dan posyandu, termasuk pembinaan sanggar, pembinaan kesehatan ibu dan anak, deteksi dini dan tumbuh kembang serta layanan balita, penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat termasuk pemberdayaan kader dan pengelola sanggar;

• Melakukan deteksi dini balita, imunisasi dan penanggulangan balita, termasuk anak balita disabilitas;

• Fasilitasi perizinan dan sertifikasi kesehatan bagi usaha yang dilakukan penyandang disabilitas;

• Menerbitkan aturan dan panduan tentang puskesmas yang ramah disabilitas.

• Bidang Kesehatan Masyarakat membawahi program posyandu dan pembinaan masyarakat. Sanggar ini ada di bawah Bidang Kesehatan Masyarakat, termasuk kesehatan ibu anak, deteksi dini dan tumbuh kembang serta layanan balita Penyuluhan Masyarakat, yaitu bentuknya penyuluhan dan peningkatan. Pemberdayaan masyarakat, seperti pemberdayaan kader termasuk terkait sanggar

Page 88: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

66

• Bidang P2 / Surveilance dan imunisasi, yaitu untuk deteksi dini dan bagi balita, dan penanggulangan.

• Bidang SDKS/ Sumber daya Kesehatan, memfasilitasi perizinan dan sertifikasi kesehatan bagi usaha disabilitas.

• Bagian Umum, menerbitkan aturan dan panduan tentang puskesmas akses disabilitas (yang diadopsi dari KARINAKAS)

RSUD • Menyediakan tenaga kesehatan klinis untuk pemeriksaan disabilitas (dokter spesialis anak atau psikolog anak sebagai tindak lanjut dari permintaan Dinas Kesehatan);

• Menyediakan pelayanan yang ramah disabilitas (memprioritaskan dan berupaya memfasilitasi kebutuhan disabilitas di Rumah Sakit).

Dinas Sosial • Mencetak dan menerbitkan Kartu DISABILITAS;• Melaksanakan pelatihan usaha ekonomi produktif bagi

disabilitas;• Melaksanakan pengadaan alat bantu bagi disabilitas;• Menyediakan jaminan kesehatan bagi disabilitas;• Menyediakan jaminan hidup bagi disabilitas berat;• Menyediakan akses program ke tingkat propinsi sampai

pemerintah pusat.

Pemerintah Desa

• Menyediakan lokasi/tempat bagi sanggar;• Memberi dukungan perizinan usaha dan bantuan bagi

disabilitas dan keluarga disabilitas;• Mengkampanyekan kepada masyarakat mengenai hak-

hak dan kesamaan posisi disabilitas dengan anggota masyarakat lainnya ;

• Menjadi pengurus dan penanggung jawab utama serta pembina RBM tingkat Desa, dengan menjadi Ketua dan Sekretaris RBM;

• Mengalokasikan anggaran untuk program RBM dan bagi kelompok disabilitas;

• Menerbitkan SK pengurus RBM dan SHG;• Memfasilitasi pengadaan infrastruktur yang ramah

disabilitas di balai desa atau bangunan lain milik desa

Page 89: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 67

• Memfasilitasi perwakilan penyandang disabilitas dan keluarganya untuk berpartisipasi dalam Musrenbang Desa;

• Mengintegrasikan kebutuhan disabilitas dalam dokumen perencanaan dan penganggaran desa.

Bidan Desa • Mengkoordinasikan kader dan SHG dalam deteksi dini di posyandu;

• Mengintegrasikan formulir deteksi dini kedisabilitasan dalam standar pemeriksaan tumbuh kembang anak pada saat melaksanakan kegiatan posyandu;

• Melakukan sosialisasi tentang hak kesehatan anak disabilitas pada keluarga dan masyarakat;

• Melakukan home care dan kunjungan pada anak disabilitas;

• Memberi rujukan ke puskesmas jika ada temuan terkait kondisi anak yang diindikasikan memiliki perkembangan berbeda.

Masyarakat Masyarakat • Menjadi TKSK dan sukarelawan membantu disabilitas dan pendataan

• Menjadi kader Posyandu;• Memberi dorongan positif bagi keluarga penyandang

disabilitas.

NGO/LSM KARINAKAS • Memfasilitasi peningkatan kapasitas bagi SHG, termasuk cara mengelola sanggar bagi ABK;

• Melakukan pendampingan ke Dinas Kesehatan dan klinik tentang tata cara pemberian pelayanan kesehatan yang inklusif;

• Menghubungkan pemberi layanan seperti puskesmas dengan kelompok disabilitas;

• Memfasilitasi pendirian awal sanggar (melalui Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1);

• Melaksanakan sosialisasi dan pelatihan tentang kedisabilitasan dan pelayanan terhadap disabilitas kepada petugas puskesmas, bidan desa dan kader posyandu, termasuk cara melakukan deteksi dini;

• Melakukan pendampingan pada kelompok disabilitas;• Melakukan advokasi pada pemerintah desa hingga

pemerintah kabupaten.

Page 90: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

68

Kelompok/ organisasi disabilitas

Self Help Group (SHG)

• Mensosialisasikan program deteksi dini;• Mengkampanyekan kepada stakeholder mengenai hak

anak disabilitas dan disabilitas dewasa termasuk hak pada akses kesehatan;

• Melakukan advokasi dan pendekatan pada keluarga penyandang disabilitas;

• Melakukan kunjungan dari rumah ke rumah (home visit);

• Melakukan sosialisasi dan peer learning kepada sesama disabilitas;

• Mengelola Sanggar;• Melakukan advokasi pada pemerintah desa hingga

pemerintah kabupaten (agar tergabung dalam RBM);• Mengantar anak ABK ke sanggar;• Membentuk kelompok orangtua/keluarga disabilitas

untuk saling dukung (khususnya orang tua ABK);• Menyosialisasikan adanya PKDTB kepada orang tua/

keluarga ABK;

• Mengusulkan perbaikan pelayanan atau kebutuhan bagi disabilitas khususnya ABK, seperti program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) di Sanggar ABK, dan mengusulkan tambahan kunjungan dokter spesialis anak pada saat pemeriksaan kesehatan rutin di sanggar;

• Mengusulkan pemeriksaan dokter spesialis psikologi bagi anak saat pemeriksaan kesehatan rutin di sanggar.

Swasta Sektor swasta

Memberikan dana tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibity) untuk mendukung kegiatan SHG.

Sumber dana untuk penerbitan Kartu DISABILITAS diperoleh dari APBD, dicetak oleh Dinas Sosial, sedangkan anggaran untuk pelayanan kesehatannya dialokasikan oleh Dinas Kesehatan.

Implementasi dari PKDTB adalah kolaborasi dari berbagai pemangku kepentingan, yaitu:

1. Tempat sanggar disediakan oleh pemerintah desa; 2. Dana operasional awal merupakan bantuan KARINAKAS. Selanjutnya,

didanai dari iuran orang tua dan donatur (masyarakat);3. Alat terapi diperoleh dari bantuan donatur dan program lain, sementara

KARINAKAS yang memfasilitasi pengajuan bantuan dimaksud;

Page 91: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 69

4. Honor terapis, sebagian dialokasikan dari anggaran Dinas Kesehatan, sebagian lagi dari iuran orang tua;

5. Kunjungan ke rumah (home visit) dilakukan oleh bidan desa dan kader posyandu;

6. Biaya penjemputan pasien saat terjadi kondisi darurat, dapat diklaim ke Dinas Kesehatan.

A.3.2. Dampak Inovasi dan Praktik BaikDampak dari inovasi dan praktik baik yang dirasakan oleh petugas pemberi

layanan seperti bidan desa dan Puskesmas serta Dinas Kesehatan antara lain:a. Jangkauan pelayanan kesehatan terhadap disabilitas lebih luas. Sebelumnya

relatif terbatas, karena kurangnya data tentang disabilitas; b. Terjalinnya kerja sama lintas bagian di Dinas Kesehatan dalam rangka

memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan bagi penyandang disabilitas;c. Deteksi dini menjadi lebih cepat, sehingga penanganan bagi ABK juga

lebih cepat;d. Puskesmas dan Dinas Kesehatan mampu menyusun strategi tindakan

preventif yang tepat bagi penyandang disabilitas; e. Bidan desa memiliki rujukan terkait deteksi dini tumbuh kembang

penyandang disabilitas.

Dampak yang dirasakan penyandang disabilitas antara lain:a. Keluhan dapat segera teratasi;b. Penyandang disabilitas tidak lagi tereksklusi, karena pendekatan yang

diterapkan adalah inklusifitas;c. Penyandang disabilitas meningkat kepercayaan dirinya.

A.3.3. Faktor pendukungBeberapa faktor yang mendukung terwujudnya inovasi Kartu DISABILITAS dan

PKDTB adalah:1. Adanya kebijakan berupa Peraturan Daerah Sukoharjo Nomor 7 Tahun

2009 tentang Hak Kesehatan Bagi Disabilitas. Kebijakan ini ditindak lanjuti dengan deklarasi Bupati mengenai gerakan menuju kabupaten inklusi. Hal ini terjadi karena dukungan dari instansi kunci, yaitu Dinas kesehatan dan Dinas Sosial yang merespon secara terbuka ide inovasi dan memahami pentingnya pemenuhan hak penyandang disabilitas;

2. Petugas unit pelayanan merespon dengan baik dan bersedia bekerja sama

Page 92: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

70

untuk mewujudkan pelayanan yang inklusif; 3. Relasi yang sudah terjalin baik dan cukup lama antara KARINAKAS dengan

Pemerintah Kabupaten sebelum dilaksanakannya Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1.

4. Telah terbentuk dan solidnya forum multistakeholder yaitu Tim RBM yang terdiri dari unsur pemerintah daerah dari level desa hingga kabupaten serta tokoh masyarakat dan kelompok disabilitas. Forum yang disebut Forum Peduli RBM ini dipimpin oleh aparatur pemerintah kabupaten dan berperan aktif sebagai wahana pengembangan program;

5. Sebagian orang tua penyandang disabilitas bersedia melakukan upaya-upaya meyakinkan orang tua penyandang disabilitas yang masih tertutup dan apatis;

6. Sebagian besar warga masyarakat memberi dukungan berupa respon positif serta bersedia mengubah persepsi negatif terhadap penyandang disabilitas dan keluarganya;

7. Dukungan dana tanggung jawab sosial (CSR) dari pengusaha lokal tingkat desa untuk membiayai kegiatan sanggar.

A.3.4. TantanganBeberapa tantangan yang dihadapi dalam inovasi dan praktik baik ini adalah: a. Sebagian keluarga penyandang disabilitas yang ditemui cenderung

tertutup dan enggan memberikan informasi ketika diwawancarai;b. Masih ada sebagian masyarakat yang memiliki stigma negatif terhadap

disabilitas;c. Keterbatasan ekonomi penyandang disabilitas dan atau keluarganya

menjadi penghambat untuk hadir dan berpartisipasi dalam pertemuan-pertemuan.

A.3.5. Partisipasi DisabilitasDalam inovasi dan praktik baik ini, penyandang disabilitas yang terlibat aktif

adalah anggota dari Self Help Group (SHG), yaitu organisasi penyandang disabilitas (DPO) di tingkat desa yang juga merupakan Tim RBM Desa. Partisipasi disabilitas dalam inovasi dan praktik baik ini dapat dilihat pada bagan berikut.

Page 93: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 71

Bagan 2.5.1 Partisipasi Disabilitas SHG dan RBM dalam Inovasi dan Praktik Baik

Pada inovasi dan praktik baik ini, SHG berpartisipasi dalam tahap pelaksanaan dan tindak lanjut. Pada tahap pelaksanaan, ikut serta dalam deteksi dini, bahkan ada anggota SHG yang tergabung menjadi kader posyandu, selalu ikut proses deteksi dini dan kunjungan ke rumah disabilitas (home visit) bersama bidan desa. Selain itu, SHG juga terlibat dalam sosialisasi program ke masyarakat, peer learning kepada sesama disabilitas, serta aktif mengelola sanggar. Pada tahap tindak lanjut, disabilitas terlibat dalam proses advokasi hak penyandang disabilitas kepada pemerintah desa hingga pemerintah kabupaten. Misalnya, hadir dan menjadi peserta aktif dalam menyampaikan usulan pada pertemuan RBM serta musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes). Keterlibatan penyandang disabilitas yang tergabung dalam SHG ini dimulai sejak memperoleh peningkatan kapasitas dan pendampingan dari KARINAKAS selama pelaksanaan Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1. Sementara itu, pada tahap perencanaan dan tahap monitoring dan evaluasi, penyandang disabilitas belum terlibat di dalamnya.

Tidak Terlibat

Deteksi dini

Kunjungan ke rumah (home visit)

Mengelola sanggar

Sosialisasi program

Peer learning ke sesama disabilitas

Perencanaan Pelaksanaan Tindak Lanjut Monev

Tidak Terlibat

Advokasi ke pemerintah

desa

Advokasi ke pemerintah kecamatan

Advokasi ke pemerintah kabupaten

Page 94: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

72

A.3.6. Penerimaan, Replikasi dan Rencana PengembanganSejatinya, program-program terkait kesehatan masyarakat sebelumnya sudah

disusun dan dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan, namun tidak secara rinci dan spesifik ditujukan bagi penyandang disabilitas. Setelah Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 dilaksanakan, penyandang disabilitas disebutkan secara spesifik sebagai salah satu sasaran pelayanan dan program dari Dinas Kesehatan. Bahkan Dinas Kesehatan juga sedang mengupayakan agar semua penyandang disabilitas terakomodasi (total coverage).

Upaya pemenuhan hak kesehatan bagi penyandang disabilitas ini dilakukan secara menyeluruh oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo. Hampir semua bagian dari Dinas Kesehatan terlibat dalam upaya pengarusutamaan (mainstreaming) program kesehatan yang ramah disabilitas. Bidang Pelayanan Kesehatan yang memiliki inisiatif dan mengusulkan PKDTB, tetapi rekening dan atau programnya dititipkan di Bidang Kesehatan Ibu dan Anak, sesuai tugas pokok dan fungsi masing-masing. Biaya untuk kunjungan dokter spesialis anak dan psikolog kepada penyandang disabilitas, anggarannya berasal dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), karena Dinas Kesehatan tidak dapat mengalokasikan anggaran untuk penyediaan tenaga kesehatan klinis sehingga perlu bekerja sama dengan RSUD. Bila ada kebutuhan lain dari penyandang disabilitas, aktor kunci di Dinas Kesehatan akan mengidentifikasi dan mengusulkan ke bidang atau program yang relevan di Dinas Kesehatan.

Sedari awal, inovasi dan praktik baik PKDTB yang dilaksanakan mulai tahun 2016, merupakan kerja sama KARINAKAS, Puskesmas dan pemerintah desa, sehingga penerimaan pemerintah daerah relatif baik, karena menjadi bagian dari program puskesmas. Selain Puskesmas, penerimaan dari Dinas Kesehatan juga relatif baik, terbukti dengan dialokasikannya anggaran untuk honor terapis bagi sanggar sebagai bagian dari program Dinas Kesehatan.

Inovasi dan praktik baik pelayanan kesehatan bagi disabilitas ini juga telah disampaikan pada Forum Belajar Peduli di tingkat kabupaten. Forum ini terdiri dari berbagai SKPD-SKPD di Kabupaten Sukoharjo yang bertujuan agar inovasi ini bisa dikembangkan ke tingkat yang lebih tinggi (scale up). Sejauh ini, bentuk adopsi inovasi dan praktik baik yang dilakukan pemerintah adalah mengarusutamakan (mainstreaming) isu dan kebutuhan disabilitas pada program kesehatan yang ada serta alokasi anggaran khusus untuk mendukung inovasi dalam bentuk penyediaan tenaga kesehatan dan pemberian pelayanan kesehatan yang terjangkau dan memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas. Salah satu bentuknya adalah bantuan Dinas Kesehatan berupa alat bantu bagi sanggar dan dukungan tenaga

Page 95: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 73

terapis yang berstatus pegawai harian lepas (PHL).

Upaya lain yang dilakukan untuk mendorong penerimaan pemerintah dan upaya replikasi adalah fasilitasi forum SKPD (sekarang disebut Organisasi Perangkat Daerah/OPD) oleh KARINAKAS, sebagai bagian dari proses perencanaan pemerintah daerah, dalam rangka mengintegrasikan kebutuhan disabilitas pada perencanaan yang disusun oleh setiap OPD. Hal ini kemudian ditindak lanjuti dengan seminar dan lokakarya pada masing-masing OPD untuk menyusun perencanaan program dengan memasukkan kebutuhan disabilitas di dalamnya.

Inovasi dan praktik baik Kartu DISABILITAS dan PKDTB ini memungkinkan untuk diterapkan di kabupaten/kota lain di Provinsi Jawa Tengah atau dikembangkan ke tingkat yang lebih tinggi (scale up) yaitu ke tingkat provinsi. Oleh karena itu, diperlukan pembelajaran berjenjang (dari desa hingga kabupaten) agar inovasi dan praktik baik tersebut dapat direplikasi secara optimal. Komitmen Pemerintah Provinsi Jawa Tengah juga sangat diperlukan, termasuk pentingnya Pemerintah Provinsi memiliki pemahaman yang baik mengenai pemenuhan hak kesehatan penyandang disabilitas. Bila pemahaman ini sudah dimiliki secara memadai, maka Pemerintah Provinsi dapat menerbitkan kebijakan yang mendorong replikasi inovasi dan praktik baik serta mekanismenya bagi kabupaten/kota lain.

KARINAKAS sendiri berusaha terus mendorong pengembangan inovasi dan praktik baik ini dalam rangka mengarusutamakan pembangunan inklusif ke sektor lain di luar kesehatan melalui pendampingan dalam menyusun perencanaan dan

Gambar 2.4.2 Pemeriksaan disabilitas

pada saat Posyandu setiap bulan sekali di

Desa Weru

Page 96: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

74

penganggaran yang inklusif kepada OPD-OPD lain, selain Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial Kabupaten Sukoharjo.

Dalam rangka mendukung pembangunan inklusif, maka dilakukan pula upaya revisi Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo Nomor 7 Tahun 2009 tentang Hak Kesehatan Bagi Disabilitas, agar sesuai dengan kebijakan nasional terutama dengan disahkannya UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan mengakomodasi temuan dan dinamika situasi disabilitas selama pelaksanaan Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1.

Upaya untuk mengembangkan inovasi dan praktik baik ini juga dilakukan melalui sejumlah rencana yaitu pelibatan lebih banyak instansi pemerintah dan petugas, seperti aparat desa, pegawai puskesmas, bidan desa dan kader untuk mendukung keberlanjutan inovasi dan praktik baik kemudian mengintegrasikannya ke dalam program-program pemerintah yang sudah ada. Hal lain adalah mendorong pengarusutamaan disabilitas pada saat penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Puskesmas dengan mengintegrasikan kebutuhan disabilitas dalam program puskesmas yang sudah ada atau program-program Puskesmas yang ramah disabilitas dapat dipastikan keberlanjutannya. Berikutnya adalah mendorong pembentukan koalisi atau forum multistakehoder yang beranggotakan pemerintah dan masyarakat di semua tingkatan pemerintahan. KARINAKAS sendiri telah memfasilitasi pembentukan forum multistakeholder sebagai pelaksana strategi dalam bentuk pengurus Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM). RBM sendiri merupakan metode pemberdayaan disabilitas berbasis Hak penyandang disabilitas yang diturunkan dari United Nations Convention on the Right of Person with Disabilities (UNCRPD).

Gambar 2.5.1 Kegiatan di Sanggar Anak Bangsa, Desa Ngreco, Kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo.

Page 97: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 75

Pendirian RBM dimulai dengan membentuk pengurus/Tim RBM di level desa yang terdiri dari berbagai stakeholder di desa. Contohnya, perwakilan perangkat desa, masyarakat, keluarga disabilitas, penyandang disabilitas, tokoh masyarakat dan tokoh agama serta bidan desa. RBM ini merupakan strategi pemenuhan hak disabilitas dalam berbagai aspek berbasis hak dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan penyandang disabilitas atau keluarganya, aspek ekonomi, kesehatan, dan penerimaan sosial. Di dalam RBM sendiri terdapat pokja-pokja yang fokus pada isu masing-masing, salah satunya adalah seksi kesehatan.

Anggota dari disabilitas sendiri dan keluarganya terbentuk dalam kelompok yang disebut Self Help Group (SHG). Selain fokus pada pemberdayaan ekonomi, kelompok ini juga berperan penting pada pengembangan inovasi pelayanan kesehatan bagi anak dan penyandang disabilitas.

Page 98: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

76

B. Inovasi dan Praktik Baik Pelayanan Publik di Sektor Pendidikan

Page 99: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 77

B.1. SAPDA: Sekolah Dasar InklusiB.1.1. Jenis Inovasi dan Praktik Baik, Layanan, Proses dan Peran Aktor

Sektor : Pelayanan di bidang pendidikanStakeholder Kunci : Dinas Pendidikan, sekolah dan BappedaBentuk Inovasi : Sekolah Dasar InklusiLokasi : Banjarmasin

Selama pelaksanaan Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1, selain bidang kesehatan, inovasi dan praktik baik lain yang dikembangkan adalah di bidang pendidikan. Salah satunya yaitu Sekolah Dasar Inklusi. Sekolah Dasar (SD) Inklusi adalah SD reguler (biasa) yang menerima anak berkebutuhan khusus (ABK) dan menyediakan sistem layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan anak tanpa kebutuhan khusus (ATBK) dan ABK melalui adaptasi pembelajaran, tenaga pengajar dan penilaian siswanya. Pada sekolah yang telah ditetapkan sebagai SD Inklusi, ABK mendapat pelayanan pendidikan dari guru pembimbing khusus dan sarana prasarana sesuai dengan kebutuhan ABK. Inovasi SD Inklusi ini belum menyasar pada penyediaan infrastruktur fisik sekolah bagi ABK, karena memprioritaskan penerimaan ABK di SD reguler dan penyusunan sistem belajarnya terlebih dahulu.

Inovasi SD Inklusi ini dilatari oleh banyaknya ABK yang tidak sekolah, karena relatif jauhnya jarak Sekolah Luar Biasa (SLB), sekolah reguler (biasa) enggan menerima ABK sebagai siswa di sekolah yang bersangkutan, dan meningkatnya biaya sekolah ABK, karena honor Guru Pendamping Khusus (GPK) dibebankan kepada orangtua ABK.

Masalah yang dihadapi ABK itu memicu keluarga yang memiliki ABK untuk mencari solusi. Forum Warga adalah kegiatan yang diinisiasi oleh Program Peduli SAPDA. Kemudian, Forum warga tersebut memunculkan Forum Keluarga yang merupakan dampak tindak langsung dari kegiatan ini. Forum Keluarga tersebut melibatkan Lurah, Camat, keluarga disabilitas, DPO, Dinas Kesehatan, dan Dinas Pendidikan. Selain itu, ada pula Forum Komunikasi Pendidikan Inklusi (FKPI) yang merupakan forum khusus di bidang pendidikan yang dibentuk Dinas Pendidikan dan Forum Peduli Disabilitas (FPD) yang anggotanya adalah semua OPD Kota Banjarmasin dan SAPDA. Kesemua forum itu merupakan forum belajar untuk memahami lebih baik kondisi dan kebutuhan penyandang disabilitas dan mendorong terwujudnya pendidikan inklusif. Hasil dari forum belajar tersebut

Page 100: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

78

adalah munculnya usulan sekolah inklusi, terutama di tingkat sekolah dasar. SAPDA kemudian memfasilitasi upaya-upaya agar SD Inklusi terealisasi lengkap

dengan GPK-nya. Pada awalnya, honor untuk GPK masih dibebankan kepada orang tua ABK. Honor untuk GPK yang dibebankan kepada orang tua ABK tersebut dirasakan memberatkan bagi orang tua ABK, maka SAPDA kemudian melakukan advokasi kepada Dinas Pendidikan Kota Banjarmasin agar dapat membantu penyediaan GPK beserta alokasi anggaran untuk honor GPK dimaksud. Advokasi ini menghasilkan dukungan anggaran dari Dinas Pendidikan untuk honor GPK dan setelah melalui beberapa pertemuan yang difasilitasi SAPDA, terbitlah Surat Keputusan Walikota Banjarmasin tentang Sekolah Dasar Inklusi. Berikut adalah tahapan proses inovasi dan praktik baik SD Inklusi.

Bagan 2.6.1 Tahapan Proses Inovasi dan Praktik Baik SD Inklusi

Pada prosesnya, terdapat pembagian peran dan kontribusi dari berbagai elemen yang bisa dilihat dari matriks di bawah ini:

Usulan sekolah inklusi

Advokasi ke Dinas Pendidikan

Advokasi ke Walikota

Forum Belajar Baseline Survey Penemuan masalah

Terbit SK tentang SD

Inklusi

Alokasi anggaran untuk

honor GPK

Page 101: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 79

Tabel 2.5.1 Peran Aktor dalam Proses dan Praktik Baik SD Inklusi

Aktor Nama Institusi/Organisasi/Nama

Peran

Pemerintah Walikota Menerbitkan SK tentang Sekolah Dasar Inklusi

Dinas Pendidikan Mengalokasikan anggaran untuk honor GPK

Bappeda Mengkoordinir OPD-OPD untuk menerima usulan advokasi tentang SD Inklusi beserta anggarannya

Dinas Sosial Mendukung penyusunan basis data tentang disabilitas (ABK)

Kelompok/ organisasi disabilitas

HWDI, PPDITerlibat dalam perencanaan, proses implementasi dan mensosialisasikan SD Inklusi ke masyarakat

Masyarakat Tokoh agama dan masyarakat

Mendukung ide SD Inklusi dan mensosialisasikannya kepada warga masyarakat

NGO/LSM SAPDA Melakukan pendataan ABK; melakukan komunikasi dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, disabilitas dan keluarga disabilitas mengenai gagasan SD Inklusi; memfasilitasi pertemuan-pertemuan untuk mendorong lahirnya SD Inklusi; melakukan pendekatan kepada Pemerintah Kota, termasuk OPD-OPD, dan pemerintah kecamatan.

Keluarga Penyandang Disabilitas

Forum Belajar Menyampaikan kebutuhan disabilitas, dan mengkampanyekan pentingnya SD Inklusi bagi ABK.

Perguruan tinggi

Universitas Lambung Mangkurat (Program Studi Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan)

Menyediakan GPK dan memberikan masukan mengenai pengembangan sekolah inklusi.

Forum Pendidikan Inklusi (FPI) merupakan forum khusus di bidang pendidikan. Keberadaan FPI sebagai sebuah forum pendidikan inklusi dikukuhkan oleh

Page 102: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

80

Walikota melalui SK Walikota Banjarmasin Nomor 193 Tahun 2017 tentang Forum Pendidikan Inklusi. Selain itu, SK Walikota Banjarmasin Nomor 195 Tahun 2017 tentang Daftar Pembimbing Khusus pada Sekolah Inklusi Kota Banjarmasin, sebagai penerima honorarium/insentif daerah tahun anggaran 2017-2019. Selain terdapat wadah forum di tingkat pendidikan, ada juga Forum Peduli Disabilitas (FPD) yang anggotanya semua OPD/SKPD di Kota Banjarmasin termasuk SAPDA.

Pada inovasi dan praktik baik pelayanan publik ini belum ada tools berupa SOP khusus dan lain-lain. Hanya ada SK Sekolah Inklusi yang telah dideklarasikan. Dana untuk memfasilitasi pertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh SAPDA didapatkan melalui dukungan dari Program Peduli. Kesadaran sekolah dalam hal ini sangat baik, untuk menjadi sekolah inklusi bukan karena ditunjuk oleh Dinas Pendidikan, melainkan sekolah tersebut yang mengajukan diri untuk menjadi sekolah inklusi. Kesadaran tersebut merupakan ouput dari Forum Belajar yang pihak sekolah juga hadir di dalamnya.

B.1.2. Dampak Inovasi dan Praktik BaikDampak langsung yang dirasakan dari inovasi dan praktik baik SD Inklusi ini

adalah 30 anak disabilitas usia Sekolah Dasar dapat menikmati pendidikan SD. Pada awalnya hanya dua SD Inklusi, sekarang sudah ada enam SD Inklusi.

Bagi keluarga yang memiliki ABK, dampak dari inovasi dan praktik baik ini adalah terjadinya perubahan cara berpikir (mindset) dan respon positif terkait pendidikan bagi anaknya. Bila sebelumnya, keluarga tidak mau menyekolahkan anak ABK-nya, kini antusias untuk menyekolahkan anaknya di SD Inklusi.

B.1.3. Faktor pendukungBerfungsinya Forum Komunikasi Pendidikan Inklusi (FKPI) merupakan faktor

pendukung penting dalam mewujudkan inovasi SD Inklusi, karena melalui forum ini gagasan dan perencanaan sekolah inklusi dibahas. Dukungan lain datang dari Dinas Pendidikan, Bappeda dan Walikota Banjarmasin yang memberikan respon positif dan berkomitmen untuk mewujudkan pendidikan inklusif di Kota Banjarmasin.

Ketersediaan GPK dari Program Studi Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat dan masukan-masukan yang diberikan dalam kerangka pengembangan sekolah inklusi juga merupakan faktor pendukung dalam mewujudkan inovasi SD Inklusi ini.

Kesadaran pengelola SD untuk menjadi SD Inklusi juga menjadi faktor pendukung yang signifikan. Kesadaran ini merupakan hasil dari Forum Belajar yang melibatkan

Page 103: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 81

pengelola SD di dalamnya. Sekolah yang menjadi SD Inklusi adalah inisiatif dari sekolah itu sendiri untuk mengajukan diri, bukan ditunjuk oleh Dinas Pendidikan. Setelah diidentifikasi kelengkapannya, kemudian ditetapkan sebagai SD Inklusi. Dukungan dari masyarakat juga sangat penting untuk mengkampanyekan dan ikut mendorong agar keluarga ABK menyekolahkan anaknya di SD Inklusi.

B.1.4. Tantangan Beberapa tantangan yang dihadapi dalam merealisasikan inovasi dan praktik

baik SD Inklusi ini adalah sebagai berikut:a. Masih ada persepsi negatif (stigma) di masyarakat dan pemerintah bahwa

penyandang disabilitas adalah pihak yang akan meminta sumbangan atau bantuan dari yang non disabilitas.

b. Sosialisasi mengenai kebijakan dan program pendidikan bagi penyandang disabilitas masih terbatas, sehingga penyandang disabilitas di kawasan miskin (slum area) belum mendapatkan pelayanan pendidikan yang seharusnya diperoleh.

c. Sarana dan prasarana yang ramah disabilitas juga masih terbatas. Hal ini terlihat dari belum tersedianya fasilitas bagi penyandang disabilitas seperti ramp, pegangan rambat (handrail) kursi roda, dan buku berhuruf braille di SD Inklusi dan di sarana publik seperti jalan menuju sekolah.

d. Partisipasi dari organisasi penyandang disabilitas (DPO) juga terbatas. Dari lima DPO yang ada di Kota Banjarmasin, hanya dua yang aktif dalam upaya mewujudkan SD Inklusi, bahkan itu hanya pada momen tertentu. Organisasi penyandang disabilitas belum bergerak aktif di Kota Banjarmasin terutama pada isu pendidikan. Pelayanan Publik Ramah Disabilitas ini harapannya memberi ruang bagi penyandang disabilitas dalam mendapatkan pendidikan dan kelak bisa mendorong meningkatnya partisipasi mereka meskipun saat ini baru pada tahap pendidikan dasar.

B.1.5. Partisipasi DisabilitasAktor utama dalam inovasi dan praktik baik SD Inklusi ini adalah Dinas Pendidikan

dan kepala sekolah serta guru di sekolah yang menjadi SD Inklusi, karena terlibat aktif dalam forum belajar. Sekolah-sekolah tersebut juga mengajukan diri menjadi SD Inklusi. Namun, keterlibatan disabilitas juga memainkan peranan penting dalam mensukseskan terwujudnya inovasi dan praktik baik tersebut.

Keterlibatan disabilitas dalam inovasi dan praktik baik ini dilakukan melalui Organisasi Penyandang Disabilitas (DPO). SAPDA memfasilitasi partisipasi

Page 104: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

82

disabilitas melalui pelibatan dan pemberdayaan DPO yang ada di Kota Banjarmasin, yaitu Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin), National Paralimpic Committe (NPC) dan Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni). Pelibatan dan pemberdayaan itu dilakukan SAPDA, karena DPO yang ada relatif tidak aktif (mati suri). Melalui keterlibatan dalam kegiatan program, maka DPO dapat berfungsi kembali. Dalam perkembangannya, hanya dua DPO yang berpartisipasi aktif yaitu HWDI dan PPDI.

Partisipasi disabilitas dalam inovasi dan praktik baik ini dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan tindak lanjut tetapi tidak terlibat pada proses monitoring dan evaluasi. Pada tahap perencanaan, disabilitas terlibat aktif dalam forum belajar yang di dalamnya ikut merumuskan rencana sekolah inklusi. Pada tahap pelaksanaan, disabilitas berpartisipasi melalui sosialisasi dan kampanye mengenai sekolah inklusi serta melakukan advokasi kepada orangtua penyandang disabilitas agar menyekolahkan anaknya di SD Inklusi. Sementara pada tahap tindak lanjut, penyandang disabilitas berpartisipasi aktif dalam proses advokasi ke Dinas Pendidikan untuk mengalokasikan anggaran bagi SD Inklusi, terutama honor bagi GBK. Bentuk partisipasi lain dari kelompok disabilitas adalah ikut merumuskan perencanaan dalam Forum Belajar, mengkampanyekan di car free day, dan mengadvokasi ke orang tua disabilitas. Berikut gambaran keterlibatan disabilitas dalam inovasi dan praktik baik SD Inklusi.

Bagan 2.7.1 Keterlibatan Disabilitas dalam Inovasi dan Praktik Baik SD Inklusi

Forum Belajar

Sosialisasi dan Kampanye

Program

Mengadvokasi ke Orang Tua

Perencanaan Pelaksanaan Tindak Lanjut Monev

Tidak TerlibatAdvokasi ke Dinas

Pendidikan

Page 105: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 83

B.1.6. Penerimaan, Replikasi dan Rencana PengembanganSecara umum, penerimaan sekolah atas inovasi dan praktik baik SD Inklusi ini

sangat baik, karena pihak sekolah sendiri yang mengajukan diri menjadi SD Inklusi, bukan ditunjuk oleh Dinas Pendidikan. Pihak sekolah sangat mendukung inovasi ini meski pada awalnya belum memiliki GPK.

Penerimaan dari Dinas Pendidikan juga relatif sangat baik, karena SD Inklusi kemudian menjadi program dari Dinas Pendidikan. Kini, setelah banyak sekolah berencana mereplikasi dan mengajukan diri menjadi sekolah inklusi, Dinas Pendidikan mulai lebih ketat dalam menyeleksi sekolah tersebut, terutama dilihat dari ketersediaan GPK di sekolah yang bersangkutan. Hal ini menunjukkan bahwa Dinas Pendidikan peduli untuk menjaga dan meningkatkan kualitas SD Inklusi. Sementara itu, rencana yang telah disusun untuk mereplikasi dan mengembangkan inovasi SD Inklusi ini adalah menyelenggarakan pelatihan bagi semua guru, bukan hanya GPK, mengenai hak dan kebutuhan disabilitas, sehingga diharapkan para guru memahami cara menangani disabilitas. Rencana pengembangan lainnya adalah penyediaan sarana dan prasarana pendukung SD Inklusi, baik gedung maupun media belajar, serta sinergi dengan pihak lain termasuk pihak swasta untuk mendukung pembiayaan SD Inklusi ini.

“Inovasi dan praktik baik SD Inklusi ini memberi manfaat besar bagi anak-anak

penyandang disabilitas (ABK), karena sebelumnya SLB relatif jarang dan jauh

lokasinya serta mengurangi beban orangtua ABK untuk biaya sekolah anaknya”.

Umi, Koordinator Program SAPDA.

Gambar 2.6.1 Proses Belajar dan Mengajar di SD Inklusi

Page 106: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

84

Sekolah Inklusif sebagai bagian dari Pelayanan Publik Ramah Disabilitas telah dilaksanakan oleh pemerintah daerah (khususnya Dinas Pendidikan) Kota Banjarmasin, sehingga otomatis proses penerimaan murid disabilitas baru pada tahun 2017 meningkat.

Sementara itu, pengembangan inovasi ini ke tingkat yang lebih tinggi (scale up) mendapatkan momentumnya pada akhir tahun 2016, ketika Kepala Bappeda Kota Banjarmasin, yang aktif mendorong sekolah inklusi, diangkat menjadi Kepala Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan. Proses yang dilakukan dalam rangka mengadopsi inovasi sekolah inklusi ini adalah memfasilitasi pembentukan Forum OPD di tingkat provinsi dalam membahas kebijakan pelaksanaan dari Perda Provinsi tentang Disabilitas berupa rancangan Peraturan Gubernur mengenai pendidikan bagi penyandang disabilitas. Direncanakan pembiayaan inovasi pendidikan inklusi ini akan diperoleh dari lembaga atau proyek lain, bukan SAPDA. Direncanakan akan dibentuk Forum OPD Peduli Disabilitas, Komite Disabilitas yang terdiri dari kalangan independen, DPO, NGO dan masyarakat, serta upaya advokasi untuk mendorong disahkannya Peraturan Gubernur tersebut.

Rencana pengembangan inovasi sekolah inklusi yang akan dikoordinasikan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan ini bertujuan agar inovasi dan praktik baik dimaksud dapat direplikasi di kabupaten/kota lain di Provinsi Kalimantan Selatan. Oleh karena itu, diperlukan komitmen dari kepala daerah untuk menerbitkan kebijakan yang relevan, dan kesediaan Dinas Pendidikan sebagai penanggung jawab pelaksanaan sekolah inklusi dan mengalokasikan anggaran untuk inovasi sekolah inklusi ini. Agar inovasi ini dapat berjalan secara berkelanjutan, maka partisipasi penyandang disabilitas juga harus ditingkatkan, termasuk mengajak masyarakat untuk ikut mengawasai agar sekolah inklusi dapat terselenggara secara efektif.

Page 107: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 85

C. Inovasi dan Praktik Baik Pelayanan Publik melalui

Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Disabilitas

Page 108: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

86

C.1. YASMIB : Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Responsif Disabilitas

C.1.1. Jenis Inovasi dan Praktik Baik, Layanan, Proses dan Peran Aktor

Bentuk Inovasi : Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Responsif Disabilitas

Stakeholder Kunci : Pemerintah Desa, BappedaLokasi Intervensi : Desa Mallari, Kabupaten Bone

Inovasi dan praktik baik yang difasilitasi YASMIB ini merupakan upaya untuk mendorong perbaikan pelayanan publik yang ramah disabilitas melalui perencanaan dan penganggaran yang responsif disabilitas di tingkat desa. Inovasi yang dilakukan di Desa Mallari, Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan ini adalah pengembangan dari upaya pengarusutamaan disabilitas dengan melibatkan secara aktif penyandang disabilitas pada proses perencanaan dan penganggaran.

Inovasi dan praktik baik ini bertujuan untuk mendorong penerimaan sosial masyarakat terhadap penyandang disabilitas di desa dan menyediakan ruang interaksi langsung antara penyandang disabilitas dengan pemerintah, mulai dari pemerintah desa hingga kabupaten. Proses pembentukan inovasi ini diawali melalui interaksi yang intensif antara YASMIB, yang bekerja sama dengan mitra lokal yakni LPP Bone, dengan pemerintah desa di lokasi Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1, yaitu Desa Mallari dan Carigading. Pembahasan inovasi dan praktik baik ini selanjutnya akan difokuskan pada pelaksanaan di Desa Mallari. Inovasi dan praktik baik ini dilakukan untuk mendorong penerimaan

Gambar 2.7. 1 Posyandu Ramah Disabilitas Didanai

APBDes Mallari

Page 109: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 87

sosial masyarakat terhadap penyandang disabilitas di desa, serta mendorong penyandang disabilitas memilikiruang interaksi langsung dengan Pemerintah Desa, Pemerintah Kabupaten, serta OPD-OPD terkait.

Melalui interaksi dan koordinasi yang intensif, YASMIB dan LPP Bone menyampaikan gagasan untuk mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas terhadap pelayanan publik. Salah satunya melalui pelibatan disabilitas dalam proses perencanaan dan penganggaran di desa. Gagasan ini direspon positif oleh Pemerintah Desa. Selain koordinasi, interaksi YASMIB dengan pemerintah desa juga digunakan untuk meningkatkan kapasitas aparatur pemerintah desa dalam proses perencanaan dan penganggaran inklusif melalui pelatihan dan pendampingan secara intensif. Peningkatan kapasitas ini untuk memastikan agar proses perencanaan dan penganggaran yang responsif disabilitas dapat diimplementasikan dengan baik oleh pemerintah desa.

Selain dengan pemerintah desa, YASMIB dan LPP Bone juga membangun interaksi yang intensif dengan warga masyarakat desa setempat. Hal ini dilakukan untuk membangun kesadaran warga masyarakat mengenai pentingnya partisipasi aktif penyandang disabilitas dalam perencanaan pembangunan di desa. Upaya ini dilakukan melalui penyelenggaraan diskusi kampung. Diskusi ini dihadiri oleh penyandang disabilitas, keluarga disabilitas, tokoh masyarakat, Ketua RT/RW, Kepala Dusun dan Kepala Desa dan diselenggarakan dua kali setiap bulannya. Pada diskusi tersebut, peserta menyampaikan aspirasi dan kebutuhan bagi penyandang disabilitas dan membahas upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan disabilitas di desa, terutama melalui program-program pembangunan desa. Selain itu, Tim LPP Bone juga melakukan diskusi-diskusi informal dengan penyandang disabilitas dan pemerintah desa. YASMIB juga melakukan peningkatan kapasitas melalui pelatihan kepada fasilitator Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1, relawan disabilitas dan CSO lokal yang bekerja di desa. Pelatihan dimaksud adalah perencanaan dan penganggaran desa, dan pelatihan advokasi untuk menguatkan pemahaman aparat desa tentang isu disabilitas.

Page 110: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

88

Tabel 2.6.1 Peran Aktor dalam Inovasi dan Praktik Baik di Bone

Aktor Nama Institusi/

Organisasi/Nama

Peran

Pemerintah Pemerintah Desa

• Melibatkan para penyandang disabilitas dalam proses perencanaan dan penganggaran desa.

• Mengalokasikan anggaran dalam APBDes untuk pemenuhan kebutuhan hak penyandang disabilitas baik yang diberikan secara langsung maupun dalam bentuk fasilitas seperti pelayanan khusus pelayanan disabilitas.

• Menyediakan kader posyandu untuk mendampingi petugas dari puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan bagi penyandang disabilitas di desa.

Masyarakat Kader posyandu

Secara proaktif mendatangi para penyandang disabilitas untuk melakukan pemeriksaan rutin di posyandu.

Organisasi Penyandang Disabilitas

PPDI Bone Menjadi pemateri terkait isu kedisabilitasan dalam diskusi kampung dan diskusi dengan pemerintah desa, serta OPD.

Fasilitator/Pendamping

LPP Bone dan Yasmib

• Melaksanakan diskusi kampung di tingkat dusun untuk membangun kesadaran masyarakat mengenai pentingnya partisipasi aktif penyandang disabilitas.

• Melakukan advokasi dan monitoring ke pemerintah desa untuk mendorong atau mengakomodir kebutuhan penyandang disabilitas.

• Mengadvokasi dan monitoring pemerintah agar melibatkan penyandang disabilitas di dalam proses perencanaan desa.

• Menghubungkan pemerintah desa dengan Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten untuk mendorong agar ada alokasi dana kepada para penyandang disabilitas yang belum dapat diakomodir oleh desa. Misalnya, menghubungkan dengan dinas peternakan untuk mengalokasikan bantuan ternak bagi para penyandang disabilitas.

• Membantu mengidentifikasi kebutuhan para penyandang disabilitas.

Page 111: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 89

Dalam rangka memastikan disabilitas dapat berperan aktif dan memahami dengan baik usulan-usulan yang akan disampaikan dalam musyarawarah perencanaan pembangunan di tingkat dusun dan desa, maka sebelum mengikuti musyawarah tersebut, YASMIB memfasilitasi kelompok disabilitas untuk melakukan identifikasi masalah dan kebutuhan (sesuai dengan ragam disabilitasnya) yang akan disampaikan pada musyawarah tersebut. Peningkatan kapasitas tersebut selain mengenai isu disabilitas, juga tentang gender dan inklusi sosial. Dalam proses peningkatan kapasitas, YASMIB menggunakan modul pelatihan perencanaan dan penganggaran desa yang telah dikembangkan sebelumnya, sedangkan fasilitator dan pelatih berasal dari YASMIB sendiri.

Disabilitas mulai terlibat dalam proses perencanaan di tingkat dusun berupa Musyawarah Dusun (Musdus). Pada Musdus ini, penyandang disabilitas hadir untuk menyampaikan kebutuhan-kebutuhannya. Hasil Musdus kemudian dibawa oleh Kepala Dusun ke forum Musyawarah Desa (Musdes). Pada Musdes inilah, ditentukan skala prioritas dari usulan dan kebutuhan penyandang disabilitas tersebut.

Proses perencanaan dan penganggaran yang responsif disabilitas dapat dilihat pada bagan berikut.

Bagan 2.8.1 Proses Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Disabilitas

Sementara itu, tahapan yang dilakukan dalam proses inovasi dan praktik baik ini adalah:

1. Diskusi kampung. Melalui diskusi ini dilakukan penyadaran terhadap warga tentang pentingnya warga terlibat dalam perencanaan dan penganggaran di desa, termasuk warga penyandang disabilitas.

2. Peningkatan kapasitas pemerintah desa dan daerah dalam perencanaan pembangunan, di antaranya:

Koordinasi dengan Pemdes

Peningkatan Kapasitas

Pemdes dalam Perencanaan dan

Penganggaran Desa

Peningkatan Kapasitas Relawan,

Fasilitator Desa, dan CSO lokal

Diskusi Kampung

Perencanaan dan

Penganggaran Desa Responsif

Disabilitas

Page 112: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

90

a. Peningkatan kapasitas relawan, fasilitator desa dan mitra CSO yang bergerak di desa.

b. Pelatihan mengenai advokasi kebijakan. Hasil dari diskusi kampung, dan peningkatan kapasitas ini kemudian ditindak

lanjuti dengan proses advokasi. Hasilnya secara langsung terlihat dalam Revisi RPJMDes yang mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas dan tersedianya pelayanan publik yang ramah disabilitas bagi warga Desa Mallari. Revisi RPJMDes ini kemudian menjadi dasar bagi penyusunan RKPDes dan APBDes pada tahun tahun 2016 dan 2017.

C.1.2. Dampak Inovasi dan Praktik Baik Dampak dari inovasi dan praktik baik perencanaan dan penganggaran yang

responsif disabilitas meliputi:1. Meningkatnya motivasi dan rasa percaya diri penyandang disabilitas, karena

merasa diakui eksistensinya. Salah satu contohnya adalah Sumarniati, penyandang disabilitas netra. Sebelum Pemerintah Desa Mallari terlibat dalam proses inovasi, Sumarniati bahkan tidak berani keluar rumah, karena tidak percaya diri. Namun, selama pelaksanaan Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1, Sumarniati diajak untuk mengikuti Diskusi Kampung. Melalui Diskusi Kampung ini, ia percaya diri untuk menyampaikan aspirasinya. Rasa percaya diri Sumarniati semakin meningkat setelah berpartisipasi aktif dalam musyawarah-musyawarah perencanaan di tingkat dusun hingga ke desa. Kepercayaan diri yang tinggi dan keaktifannya menarik perhatian pihak Puskesmas untuk merekrut dirinya sebagai kader kesehatan. Sebagai kader, ia selalu dilibatkan terutama dalam penyuluhan kesehatan di desanya. Sumarniati juga kemudian ditunjuk sebagai Ketua PPDI untuk Desa Mallari. Selain Sumarniati, penyandang disabilitas lainnya juga sudah mulai terlibat dalam kegiatan Posyandu, terutama dalam proses penimbangan dan pencatatan. Lain halnya dengan Diana (disabilitas Daksa), telah menjadi narasumber pada kegiatan di kampus, yang sebelumnya malu ketemu dengan orang lain.

2. Kelompok disabilitas yang tadinya relatif tidak ada kegiatan (vakum), kembali aktif karena dilibatkan dalam proses inovasi di tingkat desa. Kelompok disabilitas ini juga sangat aktif dan kritis dalam pertemuan/kegiatan di desa, bahkan kelompok disabilitas menjadi delegasi pada Musrenbang desa, Musrenbang Kecamatan, Forum SKPD dan Musrenbang Kabupaten.

Page 113: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 91

3. Bagi warga bukan penyandang disabilitas, awalnya tidak memiliki empati pada penyandang disabilitas dan bertindak diskriminatif misalnya dengan menyebut seorang penyandang bukan dengan namanya, tetapi berdasarkan ragam disabilitasnya (Si Buta, Si Bisu, dan sebagainya). Setelah proses inovasi dilaksanakan, maka warga masyarakat mulai memahami bahwa pada dasar-nya semua warga, baik disabilitas maupun bukan penyandang disabilitas perlu mendapatkan perhatian dalam program pembangunan di desa.

4. Desa Mallari ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bone menjadi lokasi Penyelenggaraan Kabupaten Sehat yaitu GEMAR LIDI (Gerakan Masyarakat Peduli Disabilitas).

5. Dampak langsung yang dirasakan penyandang disabilitas adalah dialokasikannya anggaran bagi penyandang disabilitas dalam APBDes berupa:a. Alokasi anggaran untuk membiayai transportasi bagi penyandang

disabilitas ke sekolah. Dana transportasi ini dialokasikan, karena sebagian penyandang disabilitas tidak dapat melanjutkan sekolah disebabkan adanya kendala transportasi;

b. Bantuan ternak dan bedah rumah;c. Pembangunan dua pos pelayanan kesehatan khusus untuk penyandang

disabilitas. Pos pelayanan kesehatan ini membuka pelayanan khusus bagi disabilitas pada tanggal 14 setiap bulannya.

Tabel 2.7.1 Alokasi Anggaran yang Reponsif Disabilitas pada APBDes

Kegiatan Jumlah Anggaran

Sumber Anggaran

Sasaran

Bantuan ternak (ayam)

Rp 250. 000 x 40 APBDes Perubahan 2015

40 Disabilitas

Bedah Rumah Rp. 10.000.000 APBDes Perubahan 2015

1 rumah disabilitas (disabilitas ganda: netra dan mini)

Rp. 10.000.000 APBDes 2017 1 rumah disabilitas (disabilitas daksa)

Biaya Transportasi Siswa Miskin Disabilitas

Rp. 8.590.000 APBDes 2016 5 orang (SD: 2 orang dan SMA: 3 orang)

Rp. 8.590.000 APBDes 2017 5 orang (SD: 2 orang dan SMA: 3 orang)

Page 114: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

92

Posyandu PAUD yang ramah disabilitas

Rp. 100.000.000 APBDes 2016 1 Posyandu PAUD di Dusun Nipa

Posyandu Ramah Disabilitas

Rp. 70.000.000 APBDes 2016 Dusun Awangnipa

Alat Bantu Dengar Rp. 1.500.0000 APBDes 2017 1 orang

Bantuan ternak sapi (Bibit sapi betina)

Rp. 150.000.000 untuk 15 ekor

APBD Tahun 2017 Kelompok Disabilitas Desa Mallari

Bedah Rumah - APBN 2016 melalui Dinas Tarkim

6 rumah disabilitas di Desa Mallari

Bantuan Tongkat - APBD Kab. Bone melalui Dinas Kesehatan

3 orang disabilitas di Desa Mallari

C.1.3. Faktor PendukungFaktor pendukung penting dalam mewujudkan inovasi dan praktik baik ini

adalah: 1. Komitmen Pemerintah Desa yang kuat untuk merealisasikan perencanaan

dan penganggaran yang responsif terhadap kebutuhan penyandang disabilitas.

2. Dukungan dan keterlibatan aktif organisasi penyandang disabilitas. 3. Warga masyarakat bukan penyandang disabilitas juga menyambut baik

upaya dan program-program khusus bagi disabilitas dan berlega hati dengan adanya perhatian khusus dari pemerintah desa kepada penyandang disabilitas.

C.1.4. TantanganBeberapa tantangan yang ditemui dalam proses inovasi dan praktik baik ini

adalah: 1. Masih ada perasaan rendah diri dari beberapa penyandang disabilitas dan

keluarganya. 2. Sebagian keluarga penyandang disabilitas masih enggan mengizinkan

disabilitas terlibat dalam kegiatan seperti hadir dalam Musdus dan Musdes.

Page 115: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 93

C.1.5. Partisipasi DisabilitasPartisipasi disabilitas dalam inovasi dan praktik baik ini relatif terbatas, yaitu

hanya pada tahap pelaksanaan berupa hadir dalam Musdes yang membahas perencanaan dan penganggaran desa serta aktif menyampaikan aspirasi kebutuhan disabilitas. Sementara pada tahap perencanaan, tindak lanjut serta monitoring dan evaluasi tidak terlibat. Hal ini terjadi, karena pada awal pelaksanaan Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 atau tahap perencanaan inovasi penyandang disabilitas di Desa Mallari belum terorganisir dalam sebuah kelompok, sehingga disabilitas terlibat secara individu dalam kegiatan atau pertemuan seperti Musdus dan Musdes. Keterlibatan penyandang disabilitas itu juga berasal dari dorongan Pemerintah Desa, YASMIB dan LPP Bone melalui diskusi-diskusi kampung.

Bagan 2.9.1 Partisipasi Disabilitas dalam Proses Inovasi dan Praktik Baik di Desa Mallari

C.1.6. Penerimaan, Replikasi dan Rencana PengembanganInovasi dan praktik baik ini baru diimplementasikan di tingkat desa oleh

Pemerintah Desa Mallari dan belum diterapkan di unit pelayanan atau OPD di tingkat kabupaten. Namun, Bappeda Kabupaten Bone sudah menerima dan menyambut baik inovasi perencanaan dan penganggaran desa yang inklusif ini dan berencana untuk mendorong agar inovasi ini dapat direplikasi oleh desa-desa di Kabupaten Bone secara massif. Bappeda bahkan mendorong pelaksanaan Musrenbang Anak yang mengakomodasi penyandang disabilitas.

Bappeda Kabupaten Bone juga mulai menyosialisasikan desa inklusi pada

Tidak Terlibat

Ikut serta dalam Musdes

Perencanaan dan Penganggaran

Desa

Menyampaikan Aspirasi

Kebutuhan Disabilitas

Perencanaan Pelaksanaan Tindak Lanjut Monev

Tidak TerlibatTidak Terlibat

Page 116: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

94

tahun 2016 dan menjadikan Mallari sebagai percontohan desa inklusi, termasuk menyampaikan kepada pemerintah pusat mengenai keberhasilan Desa Mallari sebagai desa yang responsif disabilitas (inklusi) serta menjadikan Desa Mallari sebagai lokasi penilaian dalam rangka verifikasi lapangan saat Kabupaten Bone menjadi peserta lomba penganggaran inklusif di tingkat nasional. Bappeda juga sedang mengupayakan agar inovasi desa inklusi ini dapat diterapkan di seluruh desa di Kabupaten Bone dan diproyeksikan untuk mendukung program menjadikan Bone sebagai Kabupaten Inklusi. Inovasi dan praktik baik yang difasilitasi YASMIB ini memungkinkan untuk dikembangkan ke tingkat yang lebih tinggi (scaling up) dengan cara mengimplementasikan Perda Disabilitas, menyusun Peraturan Bupati sebagai peraturan pelaksanaan dari Perda Disablitas, dan mengupayakan agar inovasi perencanaan dan penganggaran yang responsif disabilitas menjadi arus utama dalam penyusunan program oleh OPD-OPD Kabupaten Bone dan memastikan partisipasi aktif kelompok disabilitas. Mengarusutamakan isu disabilitas dalam penyusunan program pada OPD-OPD ini sudah mulai dilakukan oleh Bappeda Kabupaten Bone. Contohnya, dalam program Gerakan Kembali Bersekolah, Bappeda mengupayakan dibukanya kesempatan bagi bagi penyandang disabilitas yang putus sekolah. Selain itu, pada Musrenbang Anak, Bappeda juga melibatkan anak-anak penyandang disabilitas.

Dalam kerangka pengembangan inovasi ini, Bupati Bone, yang setiap tahun menerbitkan Surat Edaran (SE) tentang prioritas penggunaaan Dana Desa, pada SE tahun 2018 memasukkan arahan agar Pemerintah Desa melakukan proses perencanaan dan penganggaran yang inklusif dalam menggunakan Dana Desa tersebut. Selain itu, Bappeda juga telah merencanakan pelatihan Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (PPRG) untuk semua OPD, yang di dalamnya dimasukkan materi tentang inklusi, terutama perencanaan dan penganggaran yang responsif disabilitas.

Page 117: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 95

C.2. BAHTERA: Perencanaan dan Penganggaran yang Pro DisabilitasC.2.1. Jenis Inovasi dan Praktik Baik, Layanan, Proses dan Peran Aktor

Sektor : Perencanaan dan PenganggaranStakeholder Kunci : Pemerintah DesaBentuk Inovasi : Perencanaan dan Penganggaran yang Pro DisabilitasLokasi Inovasi : 11 desa di Kabupaten Sumba

Hampir sama dengan inovasi yang difasilitasi YASMIB, pada inovasi Perencanaan

dan Penganggaran yang Pro Disabilitas yang difasilitasi Yayasan BAHTERA ini juga dilakukan di tingkat desa. BAHTERA melibatkan masyarakat diawali dengan mendorong kelompok perempuan di level desa. Berikutnya adalah bagaimana agar penyandang disabilitas dapat terlibat yang dimulai pada tahun 2015, melalui Program Peduli dengan inovasi Perencanaan dan Penganggaran yang Pro Disabilitas dengan cara membangun kapasitas bagi disabilitas dan mendorong serta memfasilitasi keterlibatan mereka. Kemudian, dimulailah pendataan secara riil untuk mengetahui jumlah disabilitas yang ada di desa tersebut. Proses pendataan yang mengawali inovasi ini dilakukan dengan cara mendatangi setiap rumah tangga untuk mendata jumlah anggota keluarga yang disabilitas. Kegiatan yang dilakukan di 11 desa di Kabupaten Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur ini adalah langkah awal untuk mengetahui kebutuhan disabililitas dengan berpijak pada data yang riil.

Setelah diketahui jumlah dan karakteristik disabilitas, tahap selanjutnya adalah mulai membangun interaksi antara sesama penyandang disabilitas dan antara penyandang disabilitas dengan warga masyarakat pada umumnya. Hal ini dilakukan dengan cara melibatkan penyandang disabilitas pada berbagai kegiatan, seperti forum-forum diskusi. Forum diskusi yang antara lain membahas perencanaan dan penganggaran, nilai partisipasi, keterbukaan, transparansi, dan

“Beberapa keluarga penyandang disabilitas mengatakan bahwa setelah adanya program

pendampingan terjadi perubahan positif pada disabilitas. Contohnya, yang sebelumnya putus

sekolah, sekarang sudah kembali bersekolah. Bahkan, ada orang tua yang terharu, karena

anaknya yang disabilitas dapat mengikuti salah satu acara yang dilaksanakan di

Yogyakarta, padahal sebelumnya tidak pernah pergi jauh”

Naomi, Pegiat BAHTERA

Page 118: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

96

pertanggungjawaban (akuntabilitas) ini dilaksanakan mulai dari tingkat desa, kecamatan hingga kabupaten. Namun, proses pelibatan disabilitas dalam inovasi dan praktik baik ini lebih difokuskan pada lingkup desa, yaitu perencanaan dan penganggaran desa yang pro terhadap disabilitas.

Keterlibatan disabilitas dalam diskusi tematik sangat penting, karena menjadi bekal untuk memahami tentang perencanaan dan penganggaran, sehingga pada saat hadir di forum Musrenbang tidak lagi merasa kesulitan dalam menyampaikan usulan kebutuhannya, seperti kebutuhan pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatan, peningkatan infrastruktur dan ekonomi. Pada forum Musrenbang ini, penyandang disabilitas tidak sekadar hadir, tetapi juga aktif memperjuangkan agar aspirasi dan kebutuhannya dapat diakomodir.

Kegiatan diskusi tematik, hadir dalam Musrenbang dan ditindak lanjuti dengan proses advokasi kepada unit pelayanan atau OPD ini dilakukan untuk menyampaikan aspirasi dan kebutuhan penyandang disabilitas itu sendiri. Hasilnya adalah program-program pembangunan yang diusulkan diakomodasi dalam APBDes, seperti bantuan sosial bagi disabilitas dan pengadaan rumah layak huni bagi disabilitas.

Proses inovasi dan praktik baik dapat dilihat dari langkah mendasar untuk mengetahui kebutuhan disabilitas yaitu berpijak pada data riil tentang jumlah dan kebutuhan disabilitas. Setelah data, proses selanjutnya adalah mendorong patisipasi dan pelibatan disabilitas. Pelibatan disabilitas tidak hanya di musrembang tetapi juga pada forum-forum diskusi dengan berbagai tema tematik dan mendorong proses-proses advokasi kepada Unit Layanan/SKPD. Kelompok disabilitas juga ikut berpartisipasi dan dipertimbangkan usulan serta kebutuhannya dalam proses perencanaan dan penganggaran.

Forum diskusi tersebut membicarakan tentang perencanaan dan penganggaran pembangunan, nilai partisipasi, nilai keterbukaan, nilai transparansi, dan pertanggungjawaban (akuntabilitas). Keterlibatan disabilitas dalam porses diskusi tematik sangat penting, karena menjadi bekal untuk anggota disabilitas memahami tentang perencanaan dan penganggaran, sehingga pada saat kegiatan-kegiatan di Musrembang tidak lagi merasa kesulitan untuk melibatkan mereka baik di level desa, kecamatan dan kabupaten.

Bagan 2.10. 1 Tahapan Keterlibatan Disabilitas dalam Mendorong Usulan Pembangunan

Page 119: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 97

Inovasi juga dapat dilihat pada bentuk program/ kegiatan yang diusulkan oleh forum disabilitas di Musrenbang pada level Desa, Kecamatan dan Kabupaten

Sumba Barat. Pada proses Musrenbang tersebut, keberadaan disabilitas bukan hanya hadir untuk terlibat dalam proses Musrembang tetapi juga mengusulkan secara langsung kebutuhan mereka, baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, peternakan dan pertanian, administrasi kependudukan dan lain sebagainya. Aktor-aktor yang berperan dalam proses inovasi dan praktik baik ini adalah sebagai berikut:

Tabel 2.8.1 Peran Aktor dalam Proses Inovasi dan Praktik Baik di Kabupaten Sumba

Aktor Nama Institusi/ Organisai

Peran

Pemerintah Bupati Sumba Barat

Mendukung inovasi dengan memproyeksikan Kabupaten Sumba menjadi kabupaten responsif disabilitas. Hal ini disampaikan secara langsung pada forum-forum multistakeholder bahwa responsif disabilitas adalah bagian dari capaian pembangunan daerah.

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil

• Melaksanakan sosialisasi tentang KTP, KK dan Akta Kelahiran dengan memberikan perhatian pada penyandang disabilitas yang telah mencukupi persyaratan untuk memperoleh dokumen kependudukan.

• Mengadopsi usulan dari desa antara lain menjadikan penyandang disabilitas sebagai sasaran dari program dan kegiatan Dinas.

Mendata (Disabilitas)

Diskusi Tematik

Terlibat Musrenbang

Advokasi Ke Unit/SKPD

Page 120: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

98

Bappeda • Mendorong penetapan regulasi yang memperkuat implementasi pembangunan yang ramah disabilitas.

• Sedang menyusun indikator pembangunan (program dan kegiatan) menjadi Indikator Kinerja Utama (IKU) yang berkontribusi terhadap pencapaian keberhasilan pembangunan yang ramah terhadap disabilitas (RPJMD).

• Mendorong penyebarluasan keberhasilan inovasi khususnya kepada SKPD teknis, kecamatan dan desa lainnya.

• Mengadopsi usulan pembangunan yang ramah disabilitas dari berbagai sektor, sesuai dengan arah perencanaan pembangunan dengan memperhatikan kapasitas anggaran yang tersedia.

Dinas sosial • Mengadopsi usulan kegiatan dari desa, antara lain menjadikan penyandang disabilitas sebagai sasaran dari program dan kegiatan Dinas.

• Melakukan promosi kepada para pihak (termasuk swasta) untuk memberikan bantuan kepada penyandang disabilitas baik secara individu maupun kelompok.

• Mendorong Bupati untuk menerbitkan peraturan yang melindungi penyandang disabilitas.

Dinas Kesehatan

• Mengadopsi usulan kegiatan dari desa, antara lain menjadikan penyandang disabilitas sebagai sasaran dari program dan kegiatan Dinas.

• Meningkatkan pelayanan bagi disabilitas di puskesmas.

Dinas Pendidikan

• Mengadopsi usulan kegiatan dari desa, antara lain menjadikan penyandang disabilitas sebagai sasaran dari program dan kegiatan Dinas.

• Meningkatkan pelayanan di sekolah agar ramah disabilitas

• Mempromosikan pentingnya kesadaran dan pemahaman guru kepada siswa penyandang disabilitas dengan memberikan motivasi untuk semangat bersekolah dan berprestasi sesuai dengan kemampuan dan bakatnya.

Page 121: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 99

Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD)

• Mendorong implementasi inovasi dan praktik baik, perencanaan dan penganggaran yang pro disabilitas di 11 desa.

• Menyiapkan Surat Edaran untuk seluruh desa di Sumba Barat (63 Desa) agar menerapkan inovasi dan praktik baik perencanaan dan penganggaran yang pro disabilitas.

Pemerintahan Desa

• Menyelenggarakan proses musrenbang desa yang pro disabilitas

• Mendukung kerja-kerja forum warga dan kelompok disabilitas di tingkat desa, dan menerima usulan program serta kegiatan yang pro disabilitas

• Menyosialisasikan program kemasyarakat, menetapkan kegiatan dan mengalokasikan anggaran untuk penyandang disabililitas yang bersifat afirmatif dan mainstreaming.

• Mengakomodasi aspirasi dan kebutuhan disabilitas dalam dokumen perencanaan dan penganggaran desa (RPJMDes, RKPDes, dan APBDes), serta menyiapkan Peraturan Desa tentang Perlindungan Disabilitas.

• Mempromosikan inovasi dan praktik baik tentang perencanaan dan penganggaran yang pro disabilitas ke desa lainnya, ke pemerintah kecamatan dan kabupaten.

Kelompok/ organisasi disabilitas

Forum Disabilitas di tingkat Desa

• Menggerakkan dan memotivasi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi aktif dalam proses perencanaan dan penganggaran desa.

• Menyampaikan aspirasi dan kebutuhan warga penyandang disabilitas kepada pemerintahan desa.

• Melaksanakan monitoring terhadap implementasi program pembangunan yang responsif disabilitas yang telah ditetapkan oleh pemerintah desa.

• Melakukan advokasi kepada pemerintahan desa, kecamatan dan OPD terkait usulan perbaikan pelayanan yang ramah disabilitas.

Masyarakat Tokoh masyarakat, Tokoh agama, Pemuda dll.

• Mendukung inovasi dan praktik baik dengan cara mempersilahkan hadir dan memberikan kesempatan kepada disabilitas untuk menyampaikan aspirasi dan kebutuhannya pada forum-forum diskusi.

• Menerima keberadaan disabilitas dan memahami bahwa penyandang disabilitas juga berhak menikmati program pembangunan baik dari desa maupun dari kabupaten.

Page 122: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

100

NGO (Save the Children)

• Mendukung inovasi dan praktik baik dengan terlibat aktif pada forum-forum diskusi dan kegiatan yang dilaksanakan oleh BAHTERA dan forum disabilitas.

Keluarga Penyandang Disabilitas

• Memberikan kesempatan dan mendukung penuh penyandang disabilitas untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan diskusi, Musrenbang dan menjadi anggota Forum Disabilitas di tingkat desa.

• Memberikan ide dan usulan kegiatan yang dibutuhkan oleh penyandang disabilitas.

C.2.2. Dampak Inovasi dan Praktik BaikDampak yang langsung dirasakan penyandang disabilitas dari inovasi dan

praktik baik tentang perencanaan dan penganggaran desa yang pro disabilitas ini adalah:

a. Tersedianya ruang interaksi dan sosialisasi untuk belajar dan meningkatkan kapasitas penyandang disabilitas, sehingga mampu berkontribusi terhadap pembangunan di desanya.

b. Tumbuhnya kepercayaan diri penyandang disabilitas serta meningkatnya dukungan dan kepercayaan dari keluarga serta masyarakat. Perlahan tapi pasti, disabilitas mampu menunjukan kemampuannya, bahkan beberapa penyandang disabilitas sudah dipercaya menjadi pengurus RT, RW, dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM).

c. Disabilitas memiliki jaminan kepastian untuk berpartisipasi dalam pembangunan desa, melalui terbitnya Peraturan Desa tentang perencanaan dan penganggaran yang pro disabilitas.

d. Adanya program dan kegiatan yang bersifat langsung yang dapat dirasakan oleh disabilitas, baik yang diperoleh dari pemerintah desa, kecamatan, kabupaten, maupun sektor swasta.

Page 123: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 101

Tabel 2.9.1 Contoh Kegiatan yang Sudah Diakomodasi dalam Dokumen RKP Desa Elu Loda, Kecamatan Tana Righu Kabupaten Sumba Barat tahun 2016.

Nama Kegiatan

Lokasi Sasaran Tahun Anggaran (Rp)

Sumber Dana

Rencana Pelaksanaan

Bantuan Sosial Bagi Disabilitas

Dusun I,II,III,IV

17 Orang 2016 40.000.000 Dana Desa Jan s/d Des 2016

Pengadaan Rumah Layak Huni bagi disabilitas dan masyarakat miskin

Dusun I,II,III,IV

75 Unit 2016 150.000.000 Dana Desa Jan s/d Des 2016

Sumber: RKP Desa Elu Loda Kecamatan Tana Righu, 2016

Dampak inovasi dan praktik baik yang dirasakan oleh pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten adalah:

a. Meningkatnya kesadaran dan pengakuan dari aparatur pemerintah mengenai kebutuhan dan aspirasi disabilitas. Sebelumnya, ada pandangan skeptis mengenai apa yang dapat dikontribusikan oleh disabilitas. Namun, setelah terlibat dalam Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1, disabilitas dapat menunjukkan kapasitasnya melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan di tingkat desa hingga kabupaten, seperti menjadi peserta aktif, narasumber, membuat testimoni mengenai apa yang sudah dan dapat dilakukan disabilitas. Akhirnya, sedikit demi sedikit pandangan negatif itu berubah menjadi pengakuan atas kemampuan disabilitas.

b. Pemerintahan desa dapat memastikan program dan kegiatan yang pro disabilitas dapat berkelanjutan, karena sudah menjadi bagian dari program pembangunan di desa.

c. Meningkatnya kualitas dan lebih partisipatifnya perencanaan dan penganggaran, sehingga lebih jelas sasarannya, dan lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat, termasuk penyandang disabiltas, baik di tingkat desa maupun di kabupaten (OPD).

d. Pemerintah Kabupaten Sumba Barat termotivasi untuk mengembangkan lebih jauh bentuk-bentuk inisiatif berupa program, kegiatan, dan regulasi yang mengarah kepada kabupaten inklusi.

Page 124: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

102

C.2.3. Faktor PendukungFaktor pendukung yang sangat penting adalah komitmen dari Bupati

Sumba Barat yang mampu menggerakkan OPD-OPD untuk terlibat aktif dalam mendukung inovasi dan praktik baik tentang perencanaan dan penganggaran yang pro disabilitas.

Faktor pendukung lainnya adalah kesediaan dan antusiasme pemerintah desa (di 11 desa wilayah kerja Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1) untuk menerima dan melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam rangka perencanaan dan penganggaran yang pro disabilitas. Fasilitator Program yang merupakan penduduk setempat juga menjadikan upaya-upaya advokasi hak dan kebutuhan disabilitas di tingkat desa menjadi lebih lancar.

C.2.4. TantanganSecara umum, tidak ada tantangan yang berarti dalam pengembangan

inovasi dan praktik baik ini, kecuali pada awal pelaksanaan Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 para penyandang disabilitas kurang percaya diri, karena relatif baru dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan perencanaan dan penganggaran di desa. Namun, sekarang tantangan itu sudah teratasi.

C.2.5. Partisipasi Disabilitas

Keterlibatan disabilitas dalam inovasi dan praktik baik ini dilakukan melalui forum penyandang disabilitas yang dibentuk di 11 desa, serta Forum Disabilitas di tingkat kabupaten yang bernama “Mareda Ate” (atau hati yang lapang). Forum ini dibentuk dari pelaksanaan Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1. Penyandang disabilitas berpartisipasi di semua tahapan inovasi mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, tindak lanjut hingga monitoring dan evaluasi.

Page 125: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 103

Bagan 2.11. 1 Partisipasi Disabilitas dalam Proses Inovasi dan Praktik Baik di Kabupaten Sumba

Keterlibatan penyandang disabilitas diawali dengan adanya pendampingan dari Yayasan BAHTERA. Pada tahap perencanaan, melalui proses pendampingan, disabilitas menyambut positif Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 dan berinisiatif membentuk forum peduli disabilitas di desa sebagai media pembelajaran bersama antarpenyandang disabilitas.

Pada tahap pelaksanaan, penyandang disabilitas terlibat aktif menghidupkan forum pembelajaran disabilitas. Melalui forum ini, disabilitas mulai mampu merumuskan usulan kegiatan dan melakukan pengawalan usulan pada forum-forum Musrenbang baik di tingkat Dusun, Desa, Kecamatan hingga kabupaten.

Pada tahap tindak lanjut, disabilitas melakukan proses-proses advokasi kepada pemerintah kabupaten mengenai aspirasi, kebutuhan dan usulan kegiatan dalam rangka pemenuhan hak penyandang disabilitas. Salah satunya mengundang Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk membantu warga yang tidak memiliki kartu identitas kependudukan.

Pada tahap monitoring dan evaluasi, usulan-usulan kegiatan yang sudah diakomodasi di musrenbang, kemudian dikawal implementasinya di tingkat desa. Hal ini dilakukan dengan cara menanyakan langsung perkembangan implementasi kegiatan di desa kepada pelaksana kegiatan dan pemerintah desa.

Terlibat aktif dalam forum

pembelajaran disabilitas.

Membentuk forum

pembelajaran disabilitas

Terlibat aktif dalam

Musrenbang

Merumuskan usulan kegiatan

Perencanaan Pelaksanaan Tindak Lanjut Monev

Aktif mengawal perkembangan implementasi

kegiatan di desa

Advokasi ke Pemerintah

Daerah

Page 126: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

104

Tabel 2.10. 1 Forum-Forum Peduli Disabilitas di Tingkat Desa yang Berpartisipasi dalam Inovasi dan Praktik Baik Perencanaan dan Penganggaran yang Pro Disabilitas

No Nama Desa Kecamatan Nama Forum DPO

1 Desa Taramanu Wanukaka “Oha Awa” (Inilah aku, apa adanya)

2 Desa Weihura Wanukaka “Kunyuru Dewa” (Anugrah yang diperoleh)

3 Desa Laboya Bawa Lamboya “Hilu Wolu” (Melakukan yang terbaik)

4 Desa Watukarere Lamboya “Wolo Koko” (Perhatian yang lebih bagi difabel)

5 Desa Harona kalla Laboya Barat “Ayi Ate” (Satu kata)

6 Desa Bali Ledo Loli “Dulla Kagenga” (Dukung kami dari belakang)

7 Desa Tanarara Loli “Arru Dewa” (Nasib yang baik)

8 Desa Tebara Kota Waikabubak

“Maida Ole” (Mari kawan)

9 Desa Kodaka Kota Waikabubak

“Palolo Wekida” (Saling mengingatkan)

10 Desa Elu loda Tanarighu “Ma Beingge Ndua” (Kami suka yang baik)

11 Desa Kareka Nduku Utara

Tanarighu “Ole Ndengo” (Teman)

Sumber: Yayasan BAHTERA, 2017

C.2.6. Penerimaan, Replikasi dan Rencana PengembanganPemerintah desa di 11 desa sangat antusias dalam menerima ide inovasi dan

praktik baik perencanaan dan penganggaran yang pro disabilitas. Hal ini dibuktikan dengan keterlibatan aparatur pemerintah desa pada serangkaian diskusi dan pertemuan serta melakukan pengawalan dalam proses pengajuan usulan kegaitan di Forum Musrenbang Desa. Hasilnya adalah diakomodasikannya kegiatan dengan sasaran khusus penyandang disabilitas dalam dokumen RPJMDes, RKPDes dan APBDes, bahkan pemerintah desa berkomitmen untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan lainnya bagi penyandang disabilitas pada tahun berikutnya.

Pada tingkat OPD Kabupaten, usulan kegiatan dengan sasaran khusus

Page 127: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 105

penyandang disabilitas telah diakomodasi sebagai bagian dari kegiatan OPD seperti Dinas Sosial, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Dinas Pendidikan inas PEMDES, Dinas Pendidikan, dan Dinas Pertanian. Hal ini dilakukan sebagai respon atas advokasi yang dilakukan oleh penyandang disabilitas yang didukung oleh BAHTERA. Misalnya, saat ditemukan adanya disabilitas yang tidak memiliki identitas kependudukan, maka Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil langsung melaksanakan perekaman KTP dengan mendatangi penyandang disabilitas dimaksud. Namun, hal ini belum diadopsi menjadi program khusus yang rutin dilakukan dan berkelanjutan.

Pemerintah Kabupaten, khususnya Bappeda juga telah menjadikan isu disabilitas sebagai arus utama dalam perencanaan program pembangunan. Hal ini ditandai dengan adanya dorongan kepada OPD-OPD lain untuk mengakomodasi usulan kegiatan bagi penyandang disabilitas yang berasal dari desa yang menjadi bagian dari program atau kegiatan OPD masing-masing. Setidaknya, hal ini terlihat pada indikator sasaran program/kegiatan yang sudah mempertimbangkan kebutuhan penyandang disabilitas. Data yang valid tentang jumlah dan kondisi penyandang disabilitas yang sudah terintegrasi dalam Sistem Administrasi dan Informasi Desa dan Kelurahan (SAID/SAIK) sangat menentukan bagi OPD untuk mengakomodasi aspirasi dan kebutuhan disabilitas.

Upaya replikasi inovasi dan praktik baik ini kepada desa-desa lain di Kabupaten Sumba Barat sedang dibahas lebih lanjut oleh Pemerintah Kabupaten Sumba Barat. Replikasi ini diharapkan dapat didukung melalui perluasan sasaran Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 dan dukungan dari ABPD Kabupaten. Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa juga berencana untuk menerbitkan Surat Edaran (SE) tentang penyelengaraan pendataan dan proses perencanaan dan pengganggaran di desa yang pro disabilitas.

Inovasi dan praktik baik ini realistis untuk dikembangkan ke tingkat yang lebih tinggi (scale up) melalui dukungan kebijakan dari Pemerintah Kabupaten berupa Peraturan Bupati yang mengakomodasi proses perencanaan dan penganggaran yang pro disabilitas, inovasi dan praktik baik ini dapat direplikasi ke desa-desa lain, tetapi dapat diaplikasikan juga oleh kecamatan dan seluruh OPD melalui proses perencanaan dan penganggaran yang pro disabilitas. Kebijakan ini sangat penting, karena kendala bagi dinas teknis untuk merumuskan kegiatan dengan sasaran khusus penyandang disabilitas disebabkan tidak ada acuan kebijakan khusus mengenai hal tersebut. Kebijakan ini perlu dukungan dari DPRD dalam kerangka perlunya alokasi anggaran khusus bagi penyandang disabilitas yang diakomodasi dalam APBD Kabupaten. Sementara itu, pengembangan ke tingkat provinsi dan

Page 128: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

106

nasional belum dilakukan, meskipun inovasi dan praktik baik ini mempunyai peluang untuk dikembangkan ke tingkat yang lebih tinggi. Penyusunan rekomendasi kebijakan di tingkat nasional, penyelenggaraan forum-forum diskusi dan seminar serta dukungan media, baik media cetak maupun media elektronik dengan lingkup kegiatan tentang penyandang disabilitas dapat menjadi sarana untuk mensosialisasikan perencanaan dan penganggaran yang pro disabilitas di tingkat nasional.

Gambar 2.9. 1 Kegiatan Musrenbangdes di Kabupaten Sumba Barat

Page 129: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 107

BAB III

Analisis dan Model Inovasi

Page 130: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

108

Page 131: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 109

BAB III

Analisis dan Model Inovasi

A. Analisis Proses Perubahan dan Pembagian PeranPada setiap inovasi dan praktik baik yang dideskripsikan di buku ini, tujuan

utama yang ingin dicapai adalah terjadinya perubahan dari kondisi sebelumnya berupa terpenuhinya hak penyandang disabilitas dan meningkatnya kualitas pelayanan publik yang dapat dinikmati oleh penyandang disabilitas. Meskipun dalam pelaksanaannya setiap lembaga yang memfasilitasi inovasi dan praktik baik memiliki pendekatan dan strategi yang berbeda, tetapi dapat dilihat benang merah yang menghubungkan inovasi dan praktik baik tersebut dan proses perubahan di dalamnya. Beberapa faktor yang mempengaruhi strategi, perkembangan dan jenis inovasi dan praktik baik yang dikembangkan dapat dilihat pada bagan berikut.

Bagan 3.1. 1 Alur Perubahan dalam Inovasi dan Praktik Baik pada Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 di Lima Provinsi

Outcome Strategi Sektor

Pelayanan publik dasar bagi disabilitas

Inovasi per sektor

Kesehatan

Program khusus bagi disabilitas

Memasukkan disabilitas dalam

program yang adaPendidikan

Inovasi melalui perencanaan dan

penganggaran

Pengarusutamaan (mainstreaming) ke

berbagai sektor

Memasukkan disabilitas sebagai penerima manfaat program yang ada

(existing)

Realokasi anggaran

Merencanakan dan menganggarkan

program baru bagi disabilitas

Page 132: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

110

Inovasi-inovasi tersebut dilakukan di beberapa sektor dan tingkatan yang berbeda. Berbagai inovasi dan praktik baik dilakukan melalui dua strategi. Strategi pertama, menyasar langsung ke sektor tertentu yang merupakan pelayanan dasar yaitu pendidikan dan kesehatan. Inovasi dan praktik baik pada sektor tertentu ini memosisikan pemerintah daerah dan OPD atau unit pelayanan sebagai aktor kunci. Pada sektor kesehatan, aktor kunci inovasi dan praktik baik adalah Dinas Kesehatan, Puskesmas dan rumah sakit. Sementara di sektor pendidikan, aktor kuncinya Dinas Pendidikan dan sekolah. Aktor-aktor kunci tersebut harus dilibatkan agar inovasi dan praktik baik yang digagas dapat diimplementasikan, masuk ke dalam sistem pelayanan serta berlanjut menjadi bagian dari program sektor pendidikan dan kesehatan. Sebagai contoh, Dinas Kesehatan sudah memasukkan isu disabilitas dalam program-program yang ada dan memberikan dukungan kepada puskesmas untuk memberikan pelayanan khusus bagi disabilitas melalui penyediaan terapis ABK maupun dukungan alokasi anggaran untuk penanganan disabilitas jiwa (ODGJ).

Unit pelayanan yaitu puskesmas menyediakan pelayanan kesehatan dengan mengintegrasikan pemenuhan kebutuhan disabilitas ke dalam standar operasional prosedur (SOP) pelayanannya, peningkatan kapasitas bagi petugas dan memperbaiki bangunan fisik agar sesuai standar bangunan yang ramah disabilitas. Strategi kedua adalah upaya perbaikan layanan dengan mengidentifikasi kebutuhan disabilitas dan menyisir potensi pemenuhan kebutuhan disabilitas dalam proses perencanaan dan penganggaran. Keterlibatan disabilitas menjadi salah satu prasyarat untuk memastikan usulan pemenuhan hak disabilitas diakomodasi dalam proses perencanaan dan penganggaran di tingkat desa dan kabupaten.

Kedua strategi tersebut berhasil mewujudkan perubahan konkret dalam pelayanan publik bagi disabilitas berupa adanya program khusus untuk pemenuhan kebutuhan disabilitas, pengarusutamaan (mainstreaming) disabilitas dalam program dan kegiatan yang sudah ada, pelayanan khusus bagi penyandang disabilitas, dan memasukkan disabilitas dalam program-program afirmatif bagi kelompok rentan lainnya.

Keberhasilan inovasi dan praktik baik serta keterlibatan para aktor dalam berbagai inovasi ini menjadi bukti nyata terjadinya pembagian peran secara proporsional antara pemerintah, unit layanan, penyandang disabilitas, kelompok disabilitas (DPO) dan masyarakat secara umum, serta organisasi masyarakat sipil (CSO) dan lembaga lainnya, termasuk donor dan perusahaan swasta.

Pembagian peran yang proporsional tersebut dapat dilihat pada diagram

Page 133: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 111

berikut.

Bagan 3.2.1 Pembagian Peran dalam Inovasi dan Praktik Baik

Secara garis besar, pembagian peran antara pemerintah sebagai penyedia (supply side) dan masyarakat sebagai penerima (demand side) terbagi dalam empat kuadran, yaitu:1. Pemerintah

Pemerintah dalam inovasi dan praktik baik ini adalah kepala daerah dan organisasi perangkat daerah (OPD) kabupaten/kota seperti Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Bappeda, kecamatan dan pemerintahan desa. Peran yang dimainkan pemerintah ini antara lain :

a. Menyusun, menerbitkan dan melaksanakan kebijakan tentang pemenuhan hak disabilitas. Sebagai contoh, Pemerintah Kabupaten Sukoharjo yang menerbitkan Perda tentang disabilitas, Pemerintah Kota Banjarmasin menerbitkan SK Walikota Banjarmasin Nomor 193 Tahun 2017 tentang Forum Pendidikan Inklusi dan SK Walikota Banjarmasin Nomor 195 Tahun 2017 tentang Daftar Pembimbing Khusus Pada Sekolah Inklusi Kota Banjarmasin sebagai penerima honorarium Tahun Anggaran 2017-2019.

b. Melakukan pengarusutamaan (mainstreaming) dan menerjemahkan kebutuhan disabilitas ke dalam program sektor. Contohnya, Dinas Kesehatan

• Memfasilitasi koordinasi antar stakeholder

• Peningkatan kapasitas• Kampanye dan

sosialisasi

• Menyusun kebijakan bagi pemenuhan hak disabilitas

• Mainstreaming dan menerjemahkan kebutuhan

disabilitas ke dalam program masing-masing

sektor

• Menyosialisasikan hak-hak dasar disabilitas

• Menyampaikan kebutuhan dan aspirasi disabilitas

• Melakukan konsolidasi dan advokasi

• Menyediakan pelayanan yang inklusif

• Menyusun standar pelayanan bagi disabilitas

4. CSO dan lembaga lainnya

1. Pemerintah

2. Unit Penyedia Layanan

3. Disabiltas, DPO, keluarga disabilitas dan

masyarakat

Page 134: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

112

Kabupaten Sukoharjo melakukan pengarusutamaan (mainstreaming) disabilitas, termasuk ABK pada semua program pelayanan kesehatan, dan menyebutkan kelompok disabilitas secara eksplisit sebagai bagian dari target atau penerima manfaat program pemerintah yang sudah ada sebelumnya.

2. Penyedia layanan (unit pelayanan)Penyedia layanan yang dimaksud adalah unit pelayanan yang berada

di bawah tanggung jawab pemerintah daerah, seperti puskesmas (RPRD di Kabupaten Lombok Barat dan pelayanan ODGJ di Kabupaten Kulon Progo), dan sekolah negeri (Sekolah Dasar Inklusi di Kota Banjarmasin). Tugas utama unit penyedia layanan ini adalah:

a. Memastikan jika layanan yang diberikan ramah disabilitas dan dapat memenuhi kebutuhan khusus disabilitas. Contohnya, pada inovasi dan praktik baik SD Inklusi, memastikan tersedianya guru pendamping khusus (GPK) bagi ABK, dan mengembangkan kurikulum yang sesuai kebutuhan ABK.

b. Memberikan layanan yang inklusif, baik dari sisi bangunan fisik maupun petugas pelayanan. Contohnya, puskesmas yang berusaha memenuhi aspek aksesibilitas berupa ramp, kamar mandi yang dapat diakses disabilitas, loket dan tempat pengambilan obat yang dapat dijangkau disabilitas, tulisan berjalan (running text) dan pemanggilan antrian dengan menggunakan pengeras suara, pelayanan khusus bagi disabilitas dengan menyediakan petugas dan penanganan khusus bagi disabilitas jiwa (ODGJ), atau petugas kesehatan yang memahami cara melakukan deteksi dini bagi anak disabilitas, dan kegiatan afirmatif seperti nomor antrian yang berbeda bagi disabilitas atau memprioritaskan disabilitas dalam pemeriksaan.

c. Mengembangkan standar pelayanan bagi disabilitas. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kapasitas bagi petugas front desk, petugas keamanan dan semua staf mengenai pemahaman dasar dan keahlian dalam memberikan pelayanan bagi disabilitas. Melakukan pengarusutamaan (mainstreaming) disabilitas dalam pemberian pelayanan. Misalnya, menyertakan penyandang disabilitas dalam program pelayanan yang ada, dan memastikan kebutuhan disabilitas terakomodasi dalam kegiatan yang dilakukan.

Page 135: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 113

3. Disabilitas dan kelompok disabilitas (DPO), keluarga disabilitas serta masyarakat

Aktor utama dari inovasi dan praktik baik yang dikembangkan adalah penyandang disabilitas sendiri, baik secara individu maupun organisasi/kelompok disabilitas (DPO). Peran disabilitas ini sangat menentukan dalam proses inovasi dan praktik baik sebagai prasyarat penting untuk memastikan perspektif dan kebutuhan disabilitas terakomodasi sesuai dengan kondisi nyata disabilitas yang beragam.

Keluarga, terutama orang tua penyandang disabilitas, menjadi bagian pendukung yang krusial dalam proses inovasi dan praktik baik, baik sebagai pendamping disabilitas untuk disabilitas daksa atau netra, maupun mewakili disabilitas itu sendiri, seperti disabilitas jiwa (ODGJ). Contohnya, orang tua atau keluarga penyandang disabilitas jiwa berperan menyampaikan langsung kebutuhan disabilitas yang tak dapat disampaikan oleh penyandang disabilitas itu sendiri.

Respon positif dan dorongan masyarakat secara umum juga terbukti berkontribusi besar pada pengembangan inovasi dan praktik baik tersebut. Contohnya, pada inovasi penanganan bagi disabilitas jiwa dan ABK, perspektif positif dari masyarakat (menggantikan stigma negatif ) ternyata turut mendorong disabilitas untuk menghadapi tantangan atau resistensi yang ada. Dukungan masyarakat kepada keluarga ataupun kepada disabilitas menjadi pendorong disabilitas untuk lebih terbuka dan berupaya mencari pengobatan pada kasus disabilitas jiwa dan ABK.

Secara garis besar, peran yang dimainkan dalam inovasi dan praktik baik adalah:

a. Menyosialisasikan hak dasar disabilitas kepada para pemangku kepentingan (stakeholders).

b. Menyampaikan kebutuhan disabilitas dan berbagi pengetahuan mengenai kondisi dan penanganan disabilitas kepada pihak-pihak lain, seperti pemerintah, penyedia layanan dan masyarakat umum.

c. Melakukan konsolidasi dalam rangka saling menguatkan disabilitas dan keluarga disabilitas.

d. Melakukan advokasi kepada pemerintah daerah dalam rangka pemenuhan kebutuhan disabilitas.

4. Organisasi masyarakat sipil (CSO) dan lembaga lainnyaSumber daya dan kapasitas yang dimiliki CSO dan lembaga lainnya,

Page 136: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

114

termasuk lembaga donor dan perusahaan swasta berkontribusi penting dalam pembentukan gagasan dan pengembangan inovasi yang ramah disabilitas. Hal ini terjadi melalui upaya peningkatan kapasitas, dan advokasi. Secara ringkas, peran yang dimainkan adalah:

a. Memfasilitasi dan membangun jaringan koordinasi antar stakeholder (khususnya antara masyarakat, kelompok disabilitas, dan pemerintah);

b. Memfasilitasi pengembangan inovasi dan praktik baik melalui pelaksanaan Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1;

c. Melakukan peningkatan kapasitas kepada disabilitas, kelompok disabilitas, masyarakat dan pemerintah, termasuk penyedia layanan mengenai pelayanan publik, hak dan kebutuhan disabilitas dan keahlian melakukan komunikasi dan advokasi;

d. Melakukan sosialisasi dan kampanye kepada para pemangku kepentingan (stakeholders).

B. Partisipasi DisabilitasB.1 Dinamika Partisipasi

Salah satu aspek penting bagi terwujudnya inovasi dan praktik baik pelayanan publik yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan disabilitas adalah adanya partisipasi dari penyandang disabilitas. Bila mengacu pada proses inovasi yang telah dikembangkan, maka partisipasi disabilitas terjadi karena adanya perubahan persepsi dari pemerintah, penyedia layanan dan masyarakat umum mengenai disabilitas bukan sekadar obyek tetapi juga subyek yang berperan dalam pemenuhan hak-haknya. Partisipasi disabilitas ini dapat dilihat sebagai bagian dari warga masyarakat yang berhak menjadi penerima manfaat pembangunan.

Sejatinya partisipasi disabilitas sudah dijamin dalam kebijakan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu:

1. Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diperbarui dengan UU No. 9 Tahun 2015;

2. Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pelaksanaan dari UU No. 23 Tahun 2014 yaitu PP No. 45 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat;

3. UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; 4. Peraturan Menteri sebagai pelaksanaan dari UU No. 25 Tahun 2009 yaitu

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 24 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Secara Nasional;

5. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional,

Page 137: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 115

yang menyatakan bahwa dalam pelaksanaan Musrenbang melibatkan masyarakat;

6. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang di dalamnya menyatakan peran atau partisipasi masyarakat;

7. UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang mengamanatkan bahwa adanya unit layanan disabilitas dan pelaksanaan pemenuhan hak penyandang disabilitas.

Partisipasi disabilitas pada beberapa inovasi dan praktik baik yang dibahas dalam buku ini berada pada tahapan dan kedalaman partisipasi yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari empat tahapan, yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan, tindak lanjut serta monitoring dan evaluasi, sebagaimana dapat dilihat pada bagan berikut ini.

Bagan 3.3. 1 Tahapan Perencanaan, Pelaksanaan, dan Tindak Lanjut

Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi disabilitas ini adalah:1. Kapasitas disabilitas

Kapasitas yang dimaksud meliputi kemampuan berbicara di depan publik, kemampuan mengidentifikasi kebutuhan dan haknya dan menyampaikannya

1. Perencanaan

2. Pelaksanaan

3. Tindak Lanjut

4. Monitoring dan Evaluasi

• Membentuk forum pembelajaran disabilitas.• Merumuskan usulan kegiatan.

• Sosialisasi dan kampanye Program Peduli.• Penyadaran kepada keluarga disabilitas, terutama orang tua.• Terlibat aktif dalam Musrenbang.• Terlibat aktif dalam forum pembelajaran disabilitas.

• Advokasi ke pemerintah desa dan kabupaten/kota (OPD terkait).• Menerima aduan dari sesama disabilitas yang belum menerima

manfaat atau memiliki hambatan dalam mengakses pelayanan dan menyampaikannya ke pihak yang berwenang untuk ditindak lanjuti.

• Melihat dan mengawal implementasi usulan kegiatan yang diakomodasi dalam program pemerintah daerah.

• Aktif mengawal perkembangan implementasi kegiatan di desa.

Page 138: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

116

kepada pihak lain, kemampuan mengorganisir kelompoknya, serta kemampuan melakukan advokasi kepada para pemangku kepentingan lainnya, seperti pada keluarga disabilitas dan pemerintah.

2. Eksistensi kelompok disabilitas Keberadaan kelompok penyandang disabilitas yang mampu bergerak

bersama memberi pengaruh signifikan pada kepercayaan diri dan daya tawar disabilitas terhadap unit penyedia layanan dan pemerintah, terutama pada saat menyampaikan usulan perbaikan dan inovasi yang ramah disabilitas. Kelompok ini dapat berbentuk organisasi atau forum komunikasi. Selain menaikkan daya tawar dalam advokasi, keberadaan kelompok disabilitas juga menjadi sarana untuk saling berbagi dan menguatkan secara mental, serta memastikan beberlanjutan inovasi dan praktik baik.

3. Dukungan keluarga disabilitasPada hampir semua tahap awal pelaksanaan Program Peduli Pilar Disabilitas

Fase 1, penyandang disabilitas relatif tidak pernah berinteraksi atau belum terbiasa berinteraksi dengan pihak luar selain keluarganya sendiri. Berbagai alasan seperti stigma negatif atau keluarga yang terlalu melindungi (over protective) menjadi sebab minimnya partisipasi disabilitas. Karena itu, keluarga disabilitas yang sudah memiliki kesadaran mengenai hak dan kebutuhan nyata disabilitas menjadi faktor penting dalam mendukung keterlibatan disabilitas pada berbagai kegiatan.

Dukungan ini mewujud dalam dua bentuk, yaitu: pertama, memberi dukungan pada penyandang disabilitas mulai dari memberi motivasi dan kepercayaan, serta memfasilitasi disabilitas agar dapat beraktifitas di luar rumah, bergabung dalam organisasi/kelompok disabilitas, mengikuti kegiatan peningkatan kapasitas atau menjalankan peran tertentu di masyarakat, seperti pengurus RT atau kader posyandu.

Kedua, mengambil peran mewakili anak atau penyandang disabiilitas serta bergabung dengan kelompok disabilitas yang ada dalam menyampaikan serta melakukan advokasi kebutuhan disabilitas termasuk upaya mendorong perwujudan pelayanan publik bagi disabilitas. Hal ini terutama dilakukan oleh keluarga penyandang disabilitas jiwa dan ABK. Sebagai contoh, para orang tua yang memiliki ABK, yang tergabung dalam Self Help Group (SHG) bahu membahu dalam mendukung keberlanjutan sanggar dan bekerja sama melakukan advokasi kepada pemerintah desa untuk memberi bantuan dan mengalokasikan anggaran bagi operasionalisasi sanggar. Keluarga disabilitas jiwa (ODGJ) saling menguatkan mental dan berbagi solusi dalam merawat

Page 139: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 117

ODGJ.4. Kesempatan yang diberikan oleh pemerintah dan penyedia Layanan

Pemerintah yang terbuka merupakan faktor kunci terwujud dan efektifnya inovasi yang ramah disabilitas, karena pemerintah, termasuk penyedia layanan menyediakan kesempatan bagi disabilitas untuk berpartisipasi dan terbuka menerima gagasan dalam rangka memperbaiki kualitas pelayanan publik agar dapat memenuhi kebutuhan disabilitas. Bentuk kesempatan yang diberikan antara lain pelibatan langsung disabilitas dan penerbitan kebijakan yang menjamin pemenuhan hak dan kebutuhan disabilitas. Seperti yang dilakukan oleh pemerintah desa dengan mengakomodasi kelompok disabilitas sebagai peserta pada Musrenbang Desa hingga Musrenbang Kabupaten atau yang dilakukan oleh puskesmas dalam inovasi dan praktik baik RPRD dengan mengajak disabilitas dalam merencanakan perbaikan bangunan fisik agar mudah diakses oleh disabilitas.

B.2 Level Partisipasi DisabilitasMemperhatikan keterlibatan penyandang disabilitas pada tahapan inovasi dan

praktik baik di atas, dapat dikatakan disabilitas berpartisipasi pada hampir seluruh tahapan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, tindak lanjut hingga monitoring dan evaluasi. Keterlibatan disabilitas ini sebagian karena ajakan atau dorongan dari lembaga lain, terutama Mitra Program Peduli. Namun, sebagian lagi dapat dikatakan lahir dari kesadaran penyandang disabilitas itu sendiri, yang diwakili oleh organisasi atau forum penyandang disabilitas, untuk mempengaruhi kebijakan atau sistem pelayanan. Bila mengacu pada pendapat Thoha sebagai dikutip oleh Tim Peneliti FIKB UI (2002), maka partisipasi yang disebut terakhir ini dapat dikategorikan sebagai partisipasi otonom atau mandiri. Sebagai contoh, orang tua atau keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK) membentuk forum dan berupaya mempengaruhi penyedia pelayanan untuk menyediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK) agar anaknya dapat menikmati pendidikan yang sesuai dengan kondisi disabilitasnya. Keluarga penyandang disabilitas lebih lanjut berupaya agar honor GPK itu ditanggung oleh pemerintah, karena merasa berat untuk membiayainya.

Sementara itu, dengan memperhatikan dinamika pembentukan dan pelaksanaan inovasi dan praktik baik pelayanan publik yang telah terjadi, maka peran disabilitas yang ada di semua inovasi dan praktik baik adalah sebagai penerima manfaat utama dan memberikan masukan mengenai kebutuhan disabilitas untuk mendapatkan pelayanan publik yang ramah disabilitas. Disabilitas

Page 140: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

118

juga sudah terlibat dalam pengusulan pelayanan yang ramah disabilitas. Berdasarkan tangga partisipasi Arnstein (the ladder of citizen participation),

maka posisi penyandang disabilitas ini dapat ditempatkan dalam tangga partisipasi keempat yaitu konsultasi (consultation). Penempatan pada tangga ini karena penyandang disabilitas sudah terlibat dalam komunikasi dua arah dengan pemerintah dan penyedia layanan untuk mengekspresikan pendapat dan pandangannya melalui forum-forum pertemuan, dengar pendapat dan survey. Penempatan disabilitas pada tangga partisipasi konsultasi ini terlihat dari upaya-upaya yang sudah dilakukan antara lain berupa hadir dan memberikan usulan pada musyawarah dusun, musyawarah desa dan musyawarah perencanaan pembangunan di tingkat kabupaten/kota; berpartisipasi dalam forum multistakeholder dan mengusulkan perubahan pelayanan di puskemas, sekolah dan balai desa agar ramah disabilitas; dan melakukan survey pengguna pelayanan (user based survey). Hasil-hasil dari proses konsultasi ini, sebagian ditindak lanjuti oleh pemerintah dan penyedia layanan, sebagian lagi masih diproses lebih lanjut.

Namun, pada inovasi-inovasi dan praktik baik tertentu, sebagian disabilitas juga sudah terlibat lebih jauh dengan membantu mengawasi pelaksanaan pelayanan melalui uji akses, mengawasi pelaksanaan perbaikan pelayanan di puskesmas dan balai desa agar ramah disabilitas, serta melakukan advokasi kebijakan dan anggaran kepada pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten. Dengan mempertimbangkan adanya peran seperti ini, serta dengan mendasarkan pada pendapat Arnstein, maka partisipasi penyandang disabilitas dapat ditempatkan setingkat lebih tinggi yaitu pada anak tangga kelima yaitu placation (penenteraman). Penempatan pada tangga ini karena penyandang disabilitas sudah relatif memiliki pengaruh terhadap kebijakan, tetapi tingkat keberhasilannya masih dipertanyakan. Hal ini terlihat dari upaya advokasi yang dilakukan penyandang disabilitas, forum atau organisasi penyandang disabilitas dan keluarga penyandang disabilitas untuk mempengaruhi sistem pelayanan, kebijakan dan anggaran yang sudah dilakukan dan diterima oleh pemerintah dan penyedia layanan.

Partisipasi disabilitas memang sudah sampai pada tahap penenteraman (placation) yang merupakan anak tangga tertinggi pada kelompok tingkat pertanda partisipasi (degrees of tokenism) yang berarti bahwa proses inovasi dan praktik baik yang difasilitasi oleh Mitra Program Peduli sudah memberi ruang dan memperlihatkan adanya partisipasi dari penyandang disabilitas.

Meski demikian, partisipasi penyandang disabilitas itu belum mengakibatkan adanya kendali atau hak kepada disabilitas untuk mengambil keputusan terkait sistem pelayanan, kebijakan dan anggaran pemerintah. Dengan kata lain,

Page 141: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 119

penyandang disabilitas belum cukup memiliki kekuasaan dalam posisinya sebagai warga masyarakat, yang ditunjukkan oleh anak tangga kemitraan (partnership), karena belum ada hubungan sinergi antara penyandang disabilitas dengan pembuat kebijakan dan penyedia pelayanan untuk mewujudkan tujuan yang disepakati bersama. Pada tahap kemitraan ini harus dicerminkan melalui kekuatan yang sudah terbagi secara relatif seimbang antara masyarakat dan pemegang kekuasaan serta komitmen antara kedua belah pihak untuk membicarakan perencanaan dan pengambilan keputusan bersama-sama.

Dalam konteks masyarakat secara umum, sebetulnya tangga partnership (kemitraan) sudah tercapai. Namun, bukan oleh penyandang disabilitas, tetapi oleh organisasi Mitra Program Peduli, seperti yang ditunjukkan oleh PATTIRO pada inovasi dan praktik baik Rintisan Puskesmas Ramah Disabilitas (RPRD) di Kabupaten Lombok Barat; SIGAB pada inovasi Puskesmas Ramah Disabilitas dan Pelayanan Khusus dan Kolaboratif bagi ODGJ di Kabupaten Kulon Progo; KARINAKAS pada Pelayanan Kesehatan Disabilitas Terintegrasi dan Berkelanjutan (PKDTB) untuk ABK di Kabupaten Sukoharjo; SAPDA pada inovasi Sekolah Dasar Inklusi di Kota Banjarmasin, serta BAHTERA pada inovasi Perencanaan dan Penganggaran yang Pro Disabilitas di Kabupaten Sumba Barat. Khusus untuk SIGAB dan SAPDA yang merupakan organisasi penyandang disabilitas (DPO) sebenarnya dapat dikatakan merepresentasikan penyandang disabilitas, tetapi dalam konteks Program Peduli, keduanya bukan merupakan penerima manfaat.

Berdasarkan analisis mengenai partisipasi warga, maka menurut Arnstein, partisipasi disabilitas berada pada tingkatan partisipasi warga (citizen participation). Pada tingkatan partisipasi warga ini (di atas “non/tidak ada partisipasi” dan di bawah “tingkat kekuasaan warga”) berarti penyandang disabilitas sudah dapat mempengaruhi hasil penyelenggaraan pelayanan publik yang disediakan oleh penyedia pelayanan, tetapi disabilitas belum dapat mempengaruhi kebijakan pokok mengenai pelayanan publik itu agar sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan penyandang disabilitas. Upaya mempengaruhi kebijakan pokok termasuk ang-garan di dalamnya lebih tampak dilakukan oleh organisasi Mitra Program Peduli.

Adanya partisipasi disabilitas, yang bahkan mencapai anak tangga tertinggi pada kelompok tangga tingkatan pertanda adanya partisipasi, sejatinya mencerminkan adanya perubahan paradigma mengenai disabilitas. Penyandang disabilitas tidak lagi dipandang sebagai pihak yang pasif, menjadi beban, dan hanya bisa menerima bantuan, tetapi sudah memperlihatkan bahwa disabilitas mampu memperjuangkan kepentingannya sendiri dan berkontribusi dalam rangka mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas, dan nondiskriminatif.

Page 142: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

120

C. Strategi Penerimaan dan PengembanganMenyadari bahwa penyelenggaraan pelayanan publik merupakan tugas utama

pemerintah, maka organisasi masyarakat sipil yang memfasilitasi pengembangan inovasi dan praktik baik yang ramah disabilitas ini menggunakan strategi pelibatan secara intensif (engagement) pejabat pemerintah daerah, termasuk pengelola unit pelayanan. Hal ini dilakukan agar pemerintah daerah dapat menerima ide inovasi dan mengimplementasikan inovasi dan praktik baik yang dikembangkan. Strategi itu berupa komunikasi yang intensif dengan pejabat pemerintah terkait, seperti Dinas Kesehatan untuk inovasi RPRD dan Dinas Pendidikan untuk inovasi SD Inklusi, memulai perubahan dengan membangun forum multistakeholder di berbagai tingkatan mulai dari desa hingga kabupaten/kota, serta membentuk atau memperkuat organisasi/kelompok/forum disabilitas di level desa dan kecamatan.

Agar inovasi dan praktik baik dapat dikembangkan, maka strategi advokasi dilakukan dengan tujuan agar inovasi dapat dilakukan secara sistemik dan memiliki dasar hukum yang memastikan keberlanjutannya. Upaya advokasi ini difokuskan pada penerbitan kebijakan berupa peraturan daerah, peraturan bupati/walikota dan peraturan pelaksanaan lainnya. Advokasi kebijakan ini juga dilakukan agar inovasi yang dikembangkan mendapatkan dukungan berupa alokasi anggaran dari pemerintah, baik pemerintah desa yang dituangkan dalam APBDes maupun dari pemerintah kabupaten/kota dalam APBD.

D. TantanganTantangan yang dihadapi dalam inovasi-inovasi dan praktik baik yang dibahas

pada buku ini dapat dibagi dari dua kategori, yaitu tantangan yang berasal dari pemerintah dan penyedia layanan (supply side) serta tantangan dari masyarakat dan disabilitas sendiri (demand side).

Tantangan yang berasal dari pemerintah daerah dan penyedia layanan adalah:1. Adanya persepsi bahwa pembangunan yang ramah disabilitas kurang

ekonomis, karena penyandang disabilitas yang mengakses pelayanan dan pembangunan itu jumlahnya terbatas, sedangkan untuk anggaran relatif besar.

2. Sebagian besar disabilitas yang mengakses pelayanan publik jarang melakukannya sendiri karena selalu ada pendamping dari keluarga disabilitas, sehingga tidak perlu disediakan fasilitas khusus bagi disabilitas.

3. Pemahaman tentang kebutuhan disabilitas yang kurang tepat, terutama menganggap bahwa disabilitas hanya memerlukan program bantuan

Page 143: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 121

langsung seperti bantuan materi atau uang tunai (charity based program) daripada program yang berupaya memfasilitasi kemandirian disabilitas.

4. Rotasi dan perubahan pejabat yang berwenang yang seringkali mengakibatkan proses inovasi yang tengah berjalan harus terhenti atau dimulai lagi dari awal, karena kurangnya pemahaman pejabat baru atas inovasi dan praktik baik yang sedang dikembangkan.

Tantangan yang berasal dari disabilitas dan masyarakat adalah:1. Persepsi masyarakat bahwa disabilitas tidak membutuhkan pelayanan

khusus, karena semua kebutuhannya telah dipenuhi keluarga disabilitas. 2. Relatif sedikitnya jumlah disabilitas dari total warga masyarakat, menjadikan

sebagian warga masyarakat beranggapan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan pelayanan khusus disabilitas tidak sebanding dengan jumlah pemakainya dan frekuensi penggunaannya.

3. Keluarga disabilitas tidak mengizinkan disabilitas keluar rumah untuk beraktivitas, karena khawatir atau terlalu melindungi (over protective) atau menganggap bahwa memiliki anggota keluarga disabilitas adalah aib.

4. Adanya stigma negatif tentang disabilitas, yang terkait dengan kepercayaan sebagian warga masyarakat bahwa memiliki anggota keluarga disabilitas itu disebabkan oleh dosa masa lalu atau kutukan.

Berbagai hambatan ini secara perlahan berhasil diatasi melalui komunikasi intensif yang dibangun oleh para pihak. Selain itu, pada setiap forum diskusi dan pelatihan, dilakukan transfer pengetahuan mengenai hak dan kebutuhan nyata disabilitas serta penyadaran agar perspektif yang tepat tentang disabilitas terbangun.

E. Analisis Gender Secara umum, pada proses inovasi dan praktik baik yang dikembangkan,

keterlibatan laki-laki dan perempuan terlihat cukup berimbang. Hal ini terlihat sejak proses awal inovasi dan praktik baik di 6 lokasi ini, bahkan pada inovasi dan praktik baik terkait ABK dan ODGJ, peran perempuan, yaitu ibu dari ABK dan ODGJ relatif dominan dalam mewakili dan menyuarakan kebutuhan serta mendorong pemenuhan hak disabilitas. Hal ini terjadi, karena para ibu itulah yang setiap hari merawat dan menemani penyandang disabilitas ini.

Sementara itu, keterlibatan laki-laki terlihat dari prosentase aktor kunci dalam inovasi dan praktik baik yang seringkali berperan sebagai narasumber pada berbagai kegiatan dalam proses inovasi.

Page 144: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

122

Grafik 3.1. 1 Prosentase Aktor Kunci Inovasi dan Praktik Baik

Prosentase di atas dapat dimaknai bahwa sejak proses awal inovasi dan praktik baik sudah terjadi pembagian peran yang relatif setara antara laki-laki dan perempuan. Beberapa inovasi dan praktik baik, sedari awal telah menempatkan perempuan sebagai aktor kunci, seperti kader posyandu, kader PKK, dan bidan desa. Analisis keterlibatan dan penerimaan manfaat perempuan ini dapat dilihat dari empat aspek, yaitu sebagai berikut.

1. AksesDimulai dengan memberikan akses informasi terkait hak disabilitas

baik perempuan, laki-laki dan anak-anak atau disabilitas lanjut usia. Akses informasi ini ditindak lanjuti dengan pemberian akses atau kesempatan untuk turut terlibat dan berkontribusi dalam proses inovasi, mulai dari sosialisasi, pelaksanaan dan advokasi. Setelah itu, penyandang disabilitas perempuan dapat memutuskan bagaimana bentuk partisipasi yang diinginkan. Sebagian disabilitas perempuan kemudian aktif berpartisipasi dan menjadi motor penggerak di komunitas. Hal ini terjadi melalui serangkaian kegiatan peningkatan kapasitas, keterlibatan di forum-forum dan kerja berjejaring. Sebagian lagi memilih sekadar cukup mengetahui dan menyampaikan tentang hak disabilitas kepada keluarganya dan di sekitarnya.

2. Partisipasi Partisipasi perempuan dalam proses mendorong inovasi dan praktik baik

ini relatif merata dari berbagai stakeholder, seperti dari kelompok disabilitas, keluarga disabilitas, penyedia layanan, dan OPD Kabupaten/Kota seperti

Perempuan 42%

Laki-laki 58%

Page 145: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 123

Dinas Kesehatan. Sebagian disabilitas perempuan kemudian menjadi ketua forum multistakeholder seperti Tim RBM di Kabupaten Sukoharjo, yang secara kebetulan posisi ini melekat pada Ketua PKK.

Bentuk partisipasi perempuan juga relatif beragam, mulai dari hanya aktif hadir di setiap pertemuan, atau sampai pada mengawasi jalannya inovasi dan praktik baik serta bentuk inovasi itu sendiri.

Partisipasi perempuan dan laki-laki secara seimbang sudah dipertimbangkan sedari awal oleh masing-masing organisasi mitra Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1, dan diwujudkan dalam bentuk penilaian (assesment) kebutuhan dan tim yang dilibatkan.

3. KontrolDisabilitas perempuan atau keluarga disabilitas perempuan dapat

menyampaikan kebutuhan sesuai dengan prioritasnya dalam inovasi serta memiliki kontrol untuk menentukan jenis program atau kegiatan sesuai dengan kebutuhan nyata disabilitas perempuan.

4. ManfaatSelain berpartisipasi dalam setiap proses dan memiliki kontrol terkait inovasi

dan praktik baik yang dikembangkan, juga setiap inovasi yang dilakukan mempertimbangkan pemerataan penerima manfaat antara perempuan, anak-anak dan disabilitas dalam berbagai rentang usia.

F. Indikator dan Model Pelayanan Publik yang Inklusif Tidak ada satu model khusus yang bisa mewakili penggambaran berbagai

praktik baik dan inovasi dalam buku ini, karena antara yang satu dan yang lain memiliki berbagai alur proses dan tahapan yang sedikit berbeda-beda. Misalnya, terdapat satu inovasi yang diinisiasi dan didorong oleh kelompok masyarakat sipil, ada juga yang inisiasi justru datang dari kepala unit layanan. Begitupun pembagian peran dan strateginya, beberapa praktik baik bisa berjalan karena diawali dari kebijakan lokal. Namun, di sisi lain ada juga inovasi yang bisa berjalan dengan baik hanya dengan komitmen kuat dari pimpinan unit layanan dan dorongan kelompok disabilitas meskipun hingga akhir intervensi program belum ada kebijakan khusus di daerahnya.

Namun, meski tidak ada model tunggal, teridentifikasi beberapa hal yang menjadi unsur penting dalam setiap tahap inovasi dan pelayanan ini. Dari sekian inovasi yang sudah berjalan ini, ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk bisa mewujudkan setiap inovasi pelayanan publik bagi disabilitas ini.

1. Komitmen pemimpin institusi penyedia layanan.

Page 146: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

124

2. Kelompok disabilitas yang aktif.3. Sumber daya (manusia dan sumber daya lain).4. Forum multi stakeholder yang aktif (Kolaborasi berbagai stakeholder,

institusi dari berbagai sektor dari pemerintah, perwakilan masyarakat dan pemerintah desa, serta kelompok disabilitas).

5. Satu stakeholder kunci utama dari pemerintah (misalnya Dinas Kesehatan, atau pemerintah desa, BAPPEDA, dsb) yang melaksanakan koordinasi dalam pelaksanaan inovasi.

6. Regulasi.Secara keseluruhan, terdapat aspek-aspek spesifik yang harus ada pada muncul

tiga tahapan besarnya, yaitu proses inisiasi, kemudian implementasi, dan yang terakhir pada proses keberlanjutan dan replikasi. Berikut identifikasi setiap aspek penting dalam tiga tahapan utama munculnya sebuah praktik baik:

Bagan 3.5. 1 Identifikasi Aspek Penting dalam Tiga Tahapan Utama Munculnya Sebuah Praktik Baik

Inovasi yang dikembangkan ini telah melalui berbagai tahapan mulai dari perencanaan atau inisiasi awal, pelaksanaan, tindak lanjut serta monitoring dan evaluasi. Dari semua tahapan tersebut, terdapat beberapa aspek yang menjadi

Kebijakan daerah

Komitmen kepada dinas

Komitmen kepala daerah

OMS dan DPO yang kuat

Forum Multi stake holder

Komitmen pemimpin Institusi

Sumber daya (SDM dan lainnya)

Pelaksanaan bertahap

Kolaborasi dengan stakeholder lain

1. Data2. Usulan dan

Dorongan dari CSO dan DPO

3.Pemahaman pemimpin instansi pada isu disabilitas

3. Keberlanjutan dan replikasi

2. Implementasi

1. Inisiasi

Page 147: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 125

perhatian dari kesukesan setiap inovasi ini.Pertama, dari sisi proses, bila ditinjau dari sisi proses maka proses yang paling

krusial adalah pada peningkatan kapasitas dan pemberian kesempatan bagi disabilitas untuk berperan dalam proses inovasi. Hal ini menjadi proses penting bagi meningkatnya kepercayaan diri dan kemampuan disabilitas, sehingga mampu memainkan peran tertentu seperti menjadi kader posyandu dan melakukan advokasi kepada pemangku kepentingan lain serta mewakili penyandang disabilitas lainnya dalam proses inovasi.

Kedua, Pembagian peran, dalam konteks pembagian peran, maka agar disabilitas dapat berperan aktif, perlu adanya kesepahaman dari para pemangku kepentingan mengenai apa yang dimaksud disabilitas, hak dan kebutuhan disabilitas, serta peran yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan, rentang usia, dan jenis kedisabilitasannya masing-masing. Untuk itu, perlu adanya wahana berupa forum atau organisasi yang dapat menjadi sarana para pemangku kepentingan dalam berbagi informasi, pengetahuan dan pengalaman terkait pelayanan publik yang ramah disabilitas.

Dari proses inovasi yang dilakukan, terbukti bahwa disabilitas dapat berpartisipasi sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan ragam disabilitasnya. Partisipasi disabilitas memberikan kontribusi signifikan untuk memastikan bahwa inovasi pelayanan publik yang digagas dan dikembangkan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan penyandang disabilitas itu sendiri. Partisipasi disabilitas ini juga diharapkan dapat mengubah paradigma yang selama ini terbangun, bahwa ternyata penyandang disabilitas dapat menjadi aset dan bukan beban.

Ketiga, dari strategi penerimaan, yaitu dengan pengarusutamaan isu disabilitas pada aspek kebijakan dan prakarsa khusus melalui program afirmasi. Paradigma pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan harus menjadi arus utama (mainstream) dalam penyelenggaraan pembangunan di Indonesia, sehingga aspirasi dan kebutuhan disabilitas dapat terpenuhi. Hal ini dapat dilakukan melalui dua jalur, melalui kebijakan dan melalui aparatur pemerintah. Pertama yaitu melalui kebijakan, bentuknya adalah kebijakan tentang pemenuhan hak disabilitas hingga peraturan pelaksanaan mengenai teknis pelayanan publik yang ramah disabilitas. Kedua, melalui aparaturnya, yaitu dengan mengarusutamakan (mainstreaming) pemahaman tentang disabilitas kepada pembuat kebijakan, aparat pemerintah dan penyedia pelayanan. Pemahaman itu diharapkan menjadikan kebijakan ataupun standar pelayanan yang ramah disabilitas menjadi standar dasar tanpa harus melalui pendekatan khusus lagi. Pengarusutamaan ini dapat dilakukan melalui pemberian materi tentang kedisabilitasan dan pembangunan

Page 148: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

126

inklusi sejak sebelum masa menjadi calon pegawai (masa pra jabatan). Keahlian untuk melayani disabilitas dapat diberikan kepada petugas penyedia layanan seperti petugas puskesmas, staf rumah sakit, dokter dan guru.

Bila dianalisis lebih lanjut, berbagai inovasi dan praktik baik pelayanan publik yang ramah disabilitas tersebut sudah memenuhi empat variabel penerapan paradigma pembangunan inklusif dan berkelanjutan berdasarkan Teori Pembangunan Inklusif yang dikemukakan oleh Rene Lenoir (1980) yaitu:

1. Partisipasi (keterlibatan pemerintah dan masyarakat);2. Terbukanya akses (aksesibilitas);3. Memunculkan jati diri dan kebebasan disabilitas; dan 4. Modal sosial, kohesi sosial, kepercayaan (trust), jejaring dan kelembagaan.Hal ini dapat dilihat pada gambar berikut.

Bagan 3.4. 1 Analisis Inovasi dan Praktik Baik Pelayanan Publik Ramah Disabilitas

Pembangunan Inklusif dan Berkelanjutan

Partisipasi

Aksesibilitas

Jati diri dan kebebasan disabilitas

Modal sosial, kohesi sosial,

trust, jejaring dan kelembagaan

Pelayanan Publik Disabilitas

Kebijakan

Anggaran

Menjadi bagian dari kelompok

Fasilitas publik

Fasilitas medis

Kohesi sosial

Jejaring

Page 149: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 127

BAB IV

Kesimpulan dan Rekomendasi

Page 150: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

128

Page 151: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 129

BAB IV

Kesimpulan dan Rekomendasi

A. Kesimpulan Model sosial dari inovasi dan praktik baik yang dikembangkan bertujuan

menghilangkan berbagai hambatan agar para penyandang disabilitas memiliki kesempatan yang sama untuk menentukan gaya hidupnya sendiri (jati diri, atau mengekspresikan diri melalui gaya hidupnya sendiri). Model sosial ini mensyaratkan terjadinya perubahan-perubahan berupa:

1. Sikap, contohnya sikap yang lebih positif terhadap karakteristik mental atau perilaku tertentu, atau tidak meremehkan potensi kualitas hidup mereka yang berpotensi mengalami disabilitas.

2. Dukungan sosial, misalnya bantuan untuk mengatasi hambatan yang muncul dari kondisi kedisabilitasan, penyediaan sumberdaya yang dibutuhkan, penyediaan alat bantu atau melakukan “diskriminasi positif” untuk mengatasi hambatan disabilitas tersebut.

3. Informasi, misalnya menggunakan format yang cocok (huruf braille bagi disabilitas netra, atau bahasa isyarat bagi disabilitas rungu) atau bahasa yang lebih sederhana bagi disabilitas jiwa.

4. Struktur fisik, misalnya bangunan dengan jalan masuk yang landai atau lift untuk pengguna kursi roda.

Keempat syarat di atas telah dipenuhi melalui inovasi dan praktik baik pelayanan publik yang ramah disabilitas yang dikembangkan dalam pelaksanan Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa inovasi dan praktik baik yang dikembangkan tersebut memberikan kontribusi terhadap pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

B. Rekomendasi Dalam rangka memastikan keberlanjutan dan pengembangan dari inovasi dan

praktik baik yang ramah disabilitas ini, beberapa rekomendasi yang perlu ditindak lanjuti adalah sebagai berikut.

Page 152: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

130

B.1. Rekomendasi Umuma. Bagi Pemerintah Pusat

1. Pemerintah (Presiden) perlu segera menuntaskan seluruh peraturan teknis yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas berupa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden, sebagai pedoman pelaksanaan Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Desa untuk merumuskan kebijakan inklusi di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota dan desa.

2. Pemerintah (Presiden) perlu segera melaksanakan pembinaan, monitoring dan pengawasan terhadap implementasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas di Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.

3. Pemerintah (Presiden) perlu mensinergikan kebijakan teknis pembangunan inklusi melalui lintas Kementerian/Lembaga khususnya kementerian terkait pelayanan publik dasar (pendidikan, kesehatan dan infrastruktur), termasuk Bappenas dan Kementerian Keuangan sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.

4. Pemerintah perlu menjadikan inovasi dan praktik baik pelayanan publik yang ramah disabilitas yang telah dikembangkan di beberapa daerah sebagai bagian dari rujukan dalam penyusunan kebijakan dan strategi implementasi praktis dalam pembangunan inklusif dan berkelanjutan bagi pemerintah provinsi, kabupaten/kota dan desa di Indonesia.

5. Pemerintah perlu memastikan pelibatan disabilitas dalam proses penyusunan kebijakan mulai tingkat desa dalam rangka meningkatkan kualitas kebijakan, baik itu kebijakan umum dan kebijakan teknis.

6. Pemerintah (c.q KemenPAN RB) perlu memastikan semua ASN, terutama petugas yang bertanggung jawab dalam pelayanan publik memiliki pemahaman yang memadai dan perspektif yang tepat tentang disabilitas. Hal ini dapat dilakukan dengan memasukkan materi tentang kedisabilitasan sebagai materi diklat atau pelatihan kompetensi ASN.

7. Pemerintah (c.q. Bappenas) perlu memfasilitasi koordinasi antar kementerian/lembaga terkait implementasi UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sesuai tugas dan fungsi masing-masing Kementerian/Lembaga, memfasilitasi penyamaan persepsi mengenai isu disabilitas pada lintas sektor, dan melakukan pengarusutamaan (mainstreaming) isu disabilitas ke dalam perencanaan Kementerian/Lembaga.

Page 153: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 131

8. Pemerintah (c.q. Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi) perlu menetapkan pedoman mengenai tenaga pendamping desa yang secara khusus bertugas mendampingi peningkatan kapasitas bagi kelompok/organisasi disabilitas (DPO) di tingkat desa dan warga desa penyandang disabilitas.

b. Pemerintah Daerah1. Memastikan isu disabilitas menjadi isu prioritas pada Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). 2. Menyusun dan menetapkan Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala

Daerah tentang Penyandang Disabilitas atau Peraturan Kepala Daerah tentang kabupaten / kota Inklusi, disertai peraturan teknis pelaksanaannya.

3. Memastikan indikator pembangunan inklusi secara jelas dapat diterjemahkan menjadi program prioritas oleh OPD-OPD yang relevan dan masuk dalam dokumen Renstra OPD, terutama OPD terkait pelayanan dasar yaitu Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan dan Dinas Pekerjaan Umum (PU).

4. Memastikan usulan program/kegiatan berbasis kinerja yang bersifat pengarusutamaan (mainstreaming) dan afirmatif bagi penyandang disabilitas dan responsif gender dapat diakomodasi dalam APBD dengan alokasi anggaran yang memadai.

5. Menjalankan pembinaan, monitoring dan pengawasan terhadap implementasi peraturan perundang-undangan dan program yang responsif terhadap penyandang disabilitas di seluruh OPD dan Pemerintah Desa.

6. Mengimplementasikan pembangunan sarana-parasana fisik khususnya pada gedung atau kantor pelayanan publik seperti rumah sakit, puskesmas, dan sekolah, dengan menyediakan sarana yang memudahkan akses bagi penyandang disabilitas.

7. Mengintegrasikan perencanaan pembangunan inklusi ke dalam sistem informasi daerah yang dapat diakses dengan mudah oleh publik.

8. Menyediakan berbagai bentuk media edukasi bagi masyarakat yang dapat menumbuhkan kepedulian dan pemahaman yang menyeluruh tentang disabilitas.

9. Memfasilitasi terbentuk dan berfungsinya forum disabilitas di tingkat daerah dan forum disabilitas di lingkup sektoral, misalnya Forum Pendidikan Inklusi.

10. Membuka ruang dan kesempatan lebih luas bagi masyarakat dan DPO untuk terlibat dalam proses perumusan program atau menyusun program yang melibatkan kelompok disabilitas sebagai subyek pembangunan.

Page 154: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

132

c. Pemerintah Desa1. Menyediakan fasilitas umum yang ramah disabilitas.2. Menyebutkan secara eksplisit penyandang disabilitas sebagai penerima

manfaat program-program pemberdayaan di tingkat desa. 3. Memfasilitasi peningkatan kapasitas disabilitas. 4. Memfasilitasi forum multi stakeholder bagi keluarga atau disabilitas di

tingkat desa.5. Mengalokasi anggaran untuk memenuhi kebutuhan penyandang

disabilitas

Unit Pelayanan Dasar di tingkat desa 1. Bekerja sama dengan DPO atau CSO dalam upaya meningkatkan

pemahaman aparat desa terkait hak dan perspektif pelayanan publik yang ramah disabilitas.

2. Memastikan disabilitas menerima manfaat dari perencanaan pembangunan desa, seperti mengalokasikan anggaran untuk program afirmatif khusus ataupun mainstreaming disabilitas ke dalam program pemberdayaan masyarakat desa.

B.2. Rekomendasi per Sektora. Pendidikan

1. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu menyusun kurikulum dan sistem pendidikan inklusi yang dapat diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan, serta menetapkan standar bangunan sekolah dengan merujuk standar bangunan gedung sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14/PRT/M/2017 tentang Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung.

2. Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi perlu memasukkan formasi Guru Pendamping Khusus (GPK) sebagai bagian dari ASN.

3. Pemerintah Daerah (Provinsi, dan Kabupaten/Kota) perlu melakukan: • Alokasi anggaran bagi penyediaan sarana dan prasarana sekolah

inklusi. • Mendukung pengadaan Guru Pendamping Khusus (GPK).• Edukasi pada sekolah-sekolah dan tenaga pendidik tentang

kedisabilitasan.• Mendirikan unit khusus atau menambahkan pada struktur yang

ada tugas/fungsi yang fokus pada pelayanan pendidikan bagi anak disabilitas.

Page 155: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 133

• Memfasilitasi pembentukan forum multistakehoder yang melibatkan dinas terkait, keluarga/orangtua anak disabilitas dan organisasi/kelompok disabilitas.

• Memfasilitasi pengembangan sistem pengajaran dan kurikulum kelas khusus yang inklusif.

• Mensosialisasikan perspektif kedisabilitasan pada semua aparatur pemda, terutama pada Dinas Pendidikan.

4. Unit Pelayanan (sekolah) perlu melakukan:• Fasilitasi pengembangan sistem pengajaran dan kurikulum yang

inklusif.• Edukasi kepada masyarakat dan keluarga disabilitas mengenai

pentingnya pendidikan bagi penyandang isabilitas.• Melakukan upaya perbaikan bangunan fisik serta sarana dan prasarana

sekolah yang ramah disabilitas sesuai dengan peraturan yang berlaku. (Permen PU Nomor 14 Tahun 2017 tentang Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung)

b. Kesehatan1. Kementerian/Lembaga perlu melakukan upaya:

• Pengarusutamaan (mainstreaming) disabilitas kepada seluruh pejabat dan aparatur Kementerian Kesehatan.

• Menjadikan aspek aksesibilitas dan pelayanan bagi disabilitas sebagai salah satu aspek pengukuran kualitas dasar fasilitas kesehatan (standar akreditasi).

• Memfasilitasi Pengarusutamaan (mainstreaming) dan sosialisasi tentang isu kebutuhan disabilitas pada petugas kesehatan (dokter,

bidan, dan perawat).2. Pemerintah Daerah (Provinsi, dan Kabupaten/Kota) perlu melakukan

upaya:• Menyusun program kesehatan penjangkauan khusus (home care) bagi

disabilitas berat.• Mengalokasikan anggaran bagi dukungan sarana dan prasarana ramah

disabilitas di perkantoran dan unit layanan kesehatan. • Mendukung pengadaan tenaga fisioterapis di seluruh puskesmas di

wilayahnya.• Melakukan edukasi pada sekolah-sekolah dan tenaga pendidik tentang

pengetahuan kedisabilitasan.

Page 156: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

134

• Memfasilitasi pembentukan forum multistakehoder antara dinas terkait, keluarga/orang tua penyandang disabilitas dan organisasi/kelompok disabilitas.

• Memfasilitasi pengembangan sistem pelayanan/standar pelayanan di puskesmas atau rumah sakit yang ramah disabilitas.

• Menyosialisasikan perspektif kedisabilitasan pada seluruh aparatur pemda, khususnya Dinas Kesehatan.

• Merumuskan program kesehatan berbasis komunitas khususnya untuk komunitas disabilitas.

3. Unit Pelayanan (Puskesmas dan Rumah Sakit) perlu melakukan upaya:• Menyediakan bangunan gedung dan sarana prasarana yang ramah

disabilitas.Hal ini harus lebih ditekankan karena rumah sakit atau fasilitas

kesehatan lebih banyak diakses oleh masyarakat yang memiliki ham-batan, baik itu disabilitas permanen, jangka panjang atau disabilitas sementara karena sakit atau lainnya. Keberadaan fasilitas ramah disabilitas perlu diupayakan, antara lain seperti pintu, ramp, dan toilet khusus disabilitas dan akses ke toilet yang dapat dijangkau disabilitas sesuai dengan standar bangunan gedung yang telah ditetapkan dan prosesnya melibatkan kelompok disabilitas sebagai penerima manfaat langsung agar fasilitas yang dibangun sesuai dan bisa digunakan sebagaimana mestinya.

• Mainstreaming program dengan mengintegrasikan kebutuhan disabilitas yang spesifik dan beragam ke dalam program layanan yang sudah ada.

• Memastikan semua aparat, baik pembuat kebijakan ataupun petugas pemberi layanan langsung seperti semua pegawai puskesmas dan rumah sakit serta petugas kesehatan memiliki pemahaman tentang kedisabilitasan, termasuk kebutuhan dan pelayanan khusus bagi berbagai disabilitas yang beragam.

4. Pemerintah Desa perlu melakukan upaya:• Memfasilitasi program atau forum bagi keluarga disabilitas, yang

berfungsi untuk peningkatan kapasitas dan sarana berbagi dan saling menguatkan, karena keluarga adalah pendukung utama bagi penyandang disabilitas khususnya disabilitas anak dan disabilitas jiwa.

Page 157: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 135

• Perlu mendorong tumbuhnya motivasi dan keterlibatan penyandang disabilitas untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan di desa.

c. Perencanaan dan Penganggaran1. Pemerintah (c.q. Kementerian Dalam Negeri) perlu menetapkan

pedoman perencanaan dan penganggaran daerah yang berbasis data, termasuk data disabilitas, dan mendorong perencanaan dan penganggaran yang responsif disabilitas di daerah.

2. Pemerintah (c.q. Bappenas) perlu melakukan pengarusutamaan (mainstreaming) pembangunan inklusif dengan memfasilitasi koordinasi antar kementerian/lembaga dalam mengimplementasikan perencanaan program bagi pemenuhan hak disabilitas. Misalnya, antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait pemaknaan fungsi pelayanan pendidikan bagi disabilitas.

3. Pemerintah (c.q. Bappenas dan Kementerian Keuangan) perlu melakukan pengarusutamaan (mainstreaming) penganggaran yang responsif disabilitas pada tingkat Kementerian/Lembaga.

4. Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) perlu melakukan upaya:• Menjadikan isu disabilitas sebagai isu prioritas dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).

• Menyusun Peraturan daerah mengenai Provinsi atau Kabupaten/Kota Inklusi atau berkomitmen dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas.

• Mengintegrasikan program pembangunan inklusi dalam sistem perencanaan pembangunan daerah (Musrenbangda), menyerap aspirasi dan kebutuhan program pembangunan bagi penyandang disabilitas, menganggarkan serta mengevaluasi hasil capaiannya, khususnya program kegiatan yang bersifat pemenuhan hak dasar sipil yang bersifat administratif, dan rehabilitasi bagi penyandang disabilitas.

• Membangun basis data disabilitas yang valid sebagai data rujukan untuk program bagi disabilitas pada semua sektor.

5. Pemerintah Desa perlu melakukan upaya:• Menjadikan isu disabilitas menjadi isu prioritas dalam dokumen Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana Kerja

Page 158: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

136

Pemerintah Desa (RKPDes) yang harus diimplementasikan secara serius.

• Menyusun Peraturan Desa tentang Desa Inklusi atau Perlindungan Bagi Penyandang Disabilitas.

• Mengintegrasikan program pembangunan inklusi dalam sistem perencanaan pembangunan desa (Musrenbangdes), menyerap aspirasi dan kebutuhan program pembangunan bagi penyandang disabilitas, dan menganggarkan serta mengevaluasi hasil capaiannya.

• Memastikan pelibatan kelompok disabilitas dalam proses perencanaan dan penganggaran di desa.

• Melakukan sinergi dan dukungan sumberdaya dan alokasi anggaran desa terhadap program/kegiatan bagi lembaga/unit/organisasi layanan publik di tingkat desa terutama yang memberikan pelayanan kepada penyandang disabilitas, misalnya; Pustu, Posyandu, Puskesmas, Sekolah, dan lembaga sosial lainnya.

• Memenuhi kebutuhan kelengkapan sarana dan prasarana fisik dan non fisik yang menunjang pelayanan publik bagi penyandang disabilitas di kantor desa.

• Mendorong tumbuhnya motivasi dan keterlibatan penyandang disabilitas untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan di desa.

• Mengalokasikan Dana Desa untuk program afirmatif yang menunjang produktifitas dan menghilangkan hambatan disabilitas.

B.3. Rekomendasi bagi CSO dan NGO1. Masyarakat sipil (CSO dan NGO) perlu memperkuat jejaring baik dalam

rangka advokasi maupun berbagi pembelajaran dan kapasitas spesifik yang dimiliki dalam rangka mendukung pelayanan publik yang ramah disabilitas.

2. Masyarakat sipil (CSO dan NGO) perlu terus meningkatkan upaya peningkatan kapasitas dan advokasi dalam rangka memberdayakan dan memandirikan disabilitas.

B.4. Rekomendasi bagi Organisasi/Kelompok Disabilitas (DPO)1. Perlu bersinergi dengan kelompok masyarakat sipil untuk saling berbagi

pengetahuan dan memperkuat jaringan.2. Bekerja sama untuk meningkatkan kapasitas dan melakukan pengkaderan.

Page 159: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 137

3. Berperan aktif dalam setiap tahap pembangunan inklusif.4. Berkolaborasi untuk meningkatkan kapasitas kelompok disabilitas

khususnya terkait hak dan mekanisme partisipasi dalam proses pembangunan.

5. Melakukan sosialisasi untuk menghapus hambatan yang berasal dari stigma negatif terhadap disabilitas baik itu dari sisi masyarakat, keluarga, penyedia layanan maupun pembuat kebijakan.

Page 160: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

138

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2016. Potret Awal Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) di Indonesia. Kajian Indikator Lintas Sektor. Jakarta.

Haryanto. tanpa tahun. “Analisis Pertumbuhan Inklusif”. Makalah.

International Labour Organization. Tanpa tahun. Inklusi Penyandang Disabilitas di Indonesia. Jakarta.

Klasen, Stephen. 2010. Measuring and Monitoring Inclusive Growth: Multiple Definitions, Open Questions, and Some Constructive Proposals. ADB Sustainable Development Working Paper Series.

Kurniasari, Tri Widya, dkk. 2011. Implementasi Hak Asasi Manusia di Indonesia: Hak Pendidikan dan Kesehatan bagi Anak-anak Penyandang Cacat (Difabel). Jakarta: PT Gading Inti Prima.

Kurniasari, Tri Widya, dkk. 2012. Implementasi Hak Asasi Manusia di Indonesia: Hak Penyandang Disabilitas di Wilayah Bencana Alam. Jakarta: PT Gading Inti Prima.

Kementrian Koordinator Bidang Pembangunan Manusaia dan Kebudayaan Republik Indonesia, Australian Goverment, The Asia Foundation. Program Peduli: Program Snapshot April 2016.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 14/PRT/M/2017 tentang Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2017 tentang Inovasi Daerah

Klasen, Stephen. 2010. “Measuring and Monitoring Inclusive Growth: Multiple Definitions, Open Questions, and Some Constructive Proposals”. ADB Sustainable Development Working Paper Series.

Page 161: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Pelayanan Publik Bagi Disabilitas 139

Propiona, Jane Kartika, dkk. 2013. Implementasi HAM di Indonesia: Hak Kesehatan dan Jaminan Sosial bagi Penyandang Disabilitas di Kabupaten Daerah Tertinggal di Indonesia. Jakarta: PT Gading Inti Prima.

Propiona, Jane Kartika, dkk. 2014. Implementasi Hak Penyandang Disabilitas di Indonesia: Analilis Pemenuhan Hak Warga Negara Penyandang Disabilitas di Indonesia. Jakarta: PT Gading Inti Prima.

Re ne lenar. 1974. Les Exius: Un Francais Sur Dix. Paris: Seuil Publication.

Salim, Ishak, M. Syafi’ie, dan Nunung Elkisabeth. 2015. Indonesia Dalam Desa Inklusi: Pembelajaran dari Temu Inklusi 2014. Yogyakarta: SIGAB.

Salim, Ishak, dkk. 2015. Difabel Merebut Bilik Suara: Kontribusi Gerakan Disabilitas Dalam Pemilu Indonesia. Yogyakarta: SIGAB.

Sawinggih, Raden, ddk. 2016. Dari Bayan Untuk Indonesia Inklusif. Nusa Tenggara Barat: Solidaritas Masyarakat Untuk Transparansi (SOMASI).

Suryanarayana, M.H. 2008. “Inclusive Growth: What is so exclusive about it?”. Indira Gandhi Institute of Development Research, Mumbai.

Syafi’ie, M, dkk. 2015. Kumpulan Jurnal Difabel Volume 2 No.2 2015. “Analekta Difabilitas: Sumbangsih untuk Pengayaan Rancangan Undang-undang Difabilitas”. Yogyakarta: SIGAB.

Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Warsilah, Henny. 2017. Pembangunan Inklusif dan Kebijakan Sosial di Kota Solo, Jawa Tengah. Jakarta: Yayasan Pusataka Obor Indonesia.

Wirutomo, Paulus. 2013. “Mencari Makna Pembangunan Sosial: Studi Kasus Sektor Informal di Kota Solo”. Jurnal Ssosiologi Masyarakat Vol. 18, No.1 Januari 2013.

World Economic Forum. 2017. The Inclusive Growth and Development Report 2017.

Page 162: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO
Page 163: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO
Page 164: Pelayanan Publik Bagi Disabilitas - PATTIRO

Jl. Mawar Komplek Kejaksaan Agung Blok G35, Pasar Minggu Jakarta SelatanTelp: 021-780 1314 | Fax: 021 782 3800

Email: [email protected] | Website: www.pattiro.org

Pusat Telaah dan Informasi RegionalCentre for Regional Information and Studies