PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA OLEH DENSUS 88...

99
PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA OLEH DENSUS 88 DALAM KASUS TERDUGA TERORISME SIYONO SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh : Ika Fadila NIM: 11140450000064 PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 M/1439 H

Transcript of PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA OLEH DENSUS 88...

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA OLEH DENSUS 88 DALAM KASUS

TERDUGA TERORISME SIYONO

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi

Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

Ika Fadila

NIM: 11140450000064

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2018 M/1439 H

iv

ABSTRAK

Ika Fadila, NIM 11140450000064, PELANGGARAN HAK ASASI

MANUSIA OLEH DENSUS 88 DALAM KASUS TERDUGA TERORISME

SIYONO, Program Studi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum,

Universitas Islam Negeri Syarih Hidayatullah Jakarta.

Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah Dugaan Pelanggaran

Hak Asasi Manusia Oleh Densus 88 dalam Kasus Terduga Terorisme Siyono. dari

masalah tersebut maka dilakukan penelitian ini dengan tujuan meneliti lebih dalam

pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Densus 88 terhadap meninggalnya

tersangka terorisme Siyono yang masih dalam penanganan Densus 88.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif normatif. Adapun

sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sumber data primer dan

sumber data sekunder. Dalam pengumpulan data menggunakan teknik

pengumpulan data secara Library Research (studi kepustakaan), dengan melakukan

pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku dan yang berkaitan

dengan judul skripsi ini.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya pelanggaran yang

dilakukan Densus 88 dalam penangkapan tersangka terorisme, seperti tidak adanya

surat perintah penangkapan dan surat perintah penggeledahan, serta adanya upaya

penyiksaan terhadap tersangka yang menyebabkan kematian. Dalam hal ini Densus

88 melanggar Hak Asasi Manusia, seperti hak hidup dan hak untuk tidak disiksa.

Kata kunci: Terorisme, Densus 88, Siyono, Pelanggaran HAM

Pembimbing: Dr. H. M. Nurul Irfan, MA

v

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkann kehadirat Allah SWT atas segala

nikmat dan karunia-Nya yang telah memberikan kekuatan kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini. Serta shalawat dan salam selalu tercurah kepada

junjungan Nabi besar Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat dan para

pengikutnya. Tiada cipta karya melainkan atas petunjuk dari-Nya, dengan rahmat

dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan judul

“PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA OLEH DENSUS 88 DALAM

KASUS TERDUGA TERORISME SIYONO”.

Dalam penyusunan skripsi ini berbagai hambatan dan keterbatasan penulis

hadapi mulai dari tahap persiapan sampai dengan penyelesaian tulisan namun

berkat bantuan, bimbingan dan kerja sama berbagai pihak, hambatan dan kesulitan

tersebut dapat teratasi. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih

kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan Fakultas Syriah dan

hukum.

2. Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, MA selaku ketua Program Studi Hukum Pidana

Islam.

3. Bapak Nur Rohim Yunus, LLM selaku Sekretaris Program Studi Hukum

Pidana Islam.

4. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA, pembimbing

akademik.

5. Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, MA selaku Dosen pembimbing yang telah

memberikan dukungan. kritik dan saran untuk penelitian ini, membimbing

penulis hingga skripsi ini selesai.

6. Bapak direktur Idensus, AKBP. H. Djoni Djuhana, bapak Arif Nur Fikri selaku

anggota Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras),

Bapak Agus Guntoro, Selaku Peneliti Komnas HAM, dan Bapak Jamil Burhan,

SH, selaku Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, yang telah,

memberikan informasi-informasi mengenai penelitian ini, dan juga

vi

memberikan kesempatan untuk bersedia menjadi narasumber pada saat

wawancara pribadi terkait penelitian ini.

7. Kedua orang tua penulis Bapak As’ad dan Ibuk Hamida, yang dengan ikhlas

dan sabar untuk terus medoakan anaknya. Kepada kakek Ghozali dan Alm.

Nenek Sutimah tercinta, serta Abah H. Dani, yang senantiasa memberikan doa,

nasihat dan dukungan untuk penulis.

8. Kepada adik-adik penulis Anisa Firdaus dan Lutfiah Syahrani, yang telah

memberikan dukungan semangat menghibur kepada penulis. Tante tercinta

Rofiatul Dewiyah, yang telah memberikan perhatian, nasehat dan dukungan

semangat untuk penulis cepat menyelesaikan skripsi ini. Saudara-saudara

penulis, Fara Dila, Barirotus Silvia, Lubna, Imamatul Silfia, yang telah

memberikan doa dan dukungan kepada penulis.

9. Kepada paman Imam dan tante Mufarroha, yang telah menjaga dan mendidik

penulis selama kuliah sampai selesai.

10. Segenap rekan Hukum Pidana Islam 2014, Alliyya, Elah, Irna, Zahrati, Dewi,

Khumaeroh, dan semua pihak yang belum tersebut. Segenap grup KEJORA

Khudaefah, Rita Sartika, Qurratul Aini, Siti Kholilah Perinduri, dan Anyzah

Oktaviyani. Segenap rekan-rekan di KKN Bercahaya Elva, Cika, dan Natasha.

Rekan SMK Nurul Amanah, Nur Qomaria dan Faizah. Rekan Mts Luthfiyah,

yang telah memberi dukungan, motivasi dan konstribusi lainnya dalam

penyusunan skripsi ini.

11. Segenap keluarga organisasi DMB (Dermaga Mahasiswa Bangkalan), Lilis,

Nadia, Wardah, Taqwim, Ilham, Masyur, yang memberikan perhatian dan

dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Demikian ucapan terima kasih penulis, semoga Allah SWT memberikan

pahala dan balasan setimpal atas semua jasa-jasa mereka. Penulis berharap semoga

skripsi bermanfaat untuk orang banyak.

Jakarta, 25 Juli 2018

Ika Fadila

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ......................................... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .................................................. ii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................... iii

ABSTRAK .............................................................................................. iv

KATA PENGANTAR ............................................................................ v

DAFTAR ISI .......................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ......................................................................... 1

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ....................................... 5

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ................................................ 6

D. Tinjauan Kajian Terdahulu ....................................................... 7

E. Kerangka Teori dan Konseptual ............................................... 9

F. Metode Penulisan ..................................................................... 10

G. Sistematika Penulisan............................................................... 11

BAB II HAK ASASI MANUSIA

A. Asas Persamaan di Hadapan Hukum ........................................ 12

B. Asas Praduga Tidak Bersalah ................................................... 19

C. Pengertian Hak Asasi Manusia ................................................. 26

BAB III PENANGANAN KASUS TERDUGA TERORISME

SIYONO

A. Tindak Pidana Terorisme ......................................................... 38

B. Detasemen Khusus 88 .............................................................. 63

C. Kronologi Penanganan Kasus Terduga Terorisme Siyono ........ 68

D. Faktor Adanya Pelanggaran HAM oleh Densus 88 dalam kasus

Terduga Terorisme Siyono ....................................................... 72

ix

BAB IV ANALISIS TINDAK PIDANA PELANGGARAN HAM

DALAM PENANGANAN KASUS TERORISME SIYONO

A. Analisis Pelanggaran HAM dalam Penanganan Kasus Terduga

Terorisme Siyono ..................................................................... 74

B. Pertanggungjawaban Hukum Atas Dugaan Pelanggaran HAM

dalam Kasus Terduga Terorisme Siyono .................................. 79

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................. 84

B. Saran ........................................................................................ 85

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 86

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aksi-aksi teror yang marak akhir-akhir ini membuat keprihatinan

banyak pihak, baik masyarakat nasional maupun internasional. Aksi-aksi teror

yang menyebabkan hilangnya rasa aman ditengah-tengah masyarakat, selain

juga menurunkan wibawa pemerintah -sebagai badan yang seharusnya

memberikan perlindungan dan rasa aman- di tengah-tengah masyarakat.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ancaman besar,

terutama dengan maraknya aksi teror bom di sejumlah tempat.1

Terorisme akan terus muncul sebagai aksi atas fenomena yang muncul

didalam percaturan global. Sebagaimana yang dikatakan Roberk K Merton,

yang menyatakan bahwa terorisme merupakan kelompok tertindas yang akan

terus melakukan perlawanan yang berkepanjangan sepanjang kelompok itu

tidak mencapai tujuan. Hal ini terjadi karena terorisme sebagai bagian dari

gerakan sosial (social movement) dimana ciri-ciri dari kegiatan sosial ini adalah

gerakan oleh kelompok tertentu yang terorganisasi secara rapi, memiliki

kesamaan ideologi dan tujuan, menggunakan cara-cara kepemimpinan dan

komando yang bisa melegitimasi otoritas kekuasaan yang dilakukannya.

Terorisme sebagai kejahatan yang tergolong ke dalam kejahatan Extra

Ordinari Crime (kejahatan luar biasa), yaitu kejahatan yang dapat

mengakibatkan korban jiwa yang sangat signifikan. Oleh karena sifat terorisme

yang tergolong sebagai kejahatan Extra Ordinary, hampir setiap negara

menggunakan undang-undang khusus dalam menanggulangi tindak pidana

terorisme.2

1 Sukawarsini Djelantik, Terorisme Tinjauan Psiko-Politisi, Peran Media Kemiskinan, dan

Keamana Nasional, (Jakarta: Yayasan Obar Indonesia, 2010), h.1 2 Martimus Amin, MK, Konstitusi dan Demokrasi dalam buku Terorisme, Perang Global

dan Masa Depan Demokrasi, (Depok: Matapena, 2004), h.12

2

Terorisme bukan persoalan pelaku. Terorisme lebih terkait pada

keyakinan teologis. Artinya, pelakunya bisa ditangkap, bahkan dibunuh, tetapi

keyakinannya tidak mudah untuk dilakukan. Sejarah membuktikan, usia

keyakinan tersebut seumur usia agama itu sendiri.3

Salah satu bentuk tegas pemerintah dalam memerangi terorisme adalah

dengan mengeluarkan Peraturan Perundang-Undangan Nomor 1 tahun 2002

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian ditetapkan

menjadi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme, kemudian melalui Inpres Nomor 14 tahun 2002, Presiden

menginstruksikan agar dibentuknya tim pemberantasan tindak pidana

terorisme. Hal ini adalah cikal bakal terbentuknya Detasemen Khusus 88

(Densus 88), yang bergerak dalam bidang pemberantasan jaringan terorisme di

wilayah Indonesia. Densus 88 AT Polri didirikan sebagai bagian dari respon

makin berkembangnya ancaman teror dari organisasi yang merupakan bagian

dari jaringan Al-Qaeda, yaitu Jama’ah Islamiyah (JI).4

Detasemen 88 dirancang sebagai unit antiterorisme yang memiliki

kemampuan mengatasi gangguan teroris mulai dari ancaman bom hingga

penyanderaan. Densus 88 di pusat (Mabes Polri) berkekuatan diperkirakan 400

personel ini terdiri dari ahli investigasi, ahli bahan peledak (penjinak bom), dan

unit pemukul yang di dalamnya terdapat ahli penembak jitu. Selain itu masing-

masing kepolisian daerah juga memiliki unit antiteror yang disebut Densus 88,

beranggotakan 45-75 orang, namun dengan fasilitas dan kemampuan yang

lebih terbatas. Fungsi Densus 88 Polda adalah memeriksa laporan aktivitas

teror di daerah. Melakukan penangkapan kepada personel atau seseorang atau

sekelompok orang yang dipastikan merupakan anggota jaringan teroris yang

dapat membahayakan keutuhan dan keamanan negara Republik Indonesia.5

3 A.M . Hendropiyono, Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, (Jakarta:

Kompas, 2009), h.vii 4 Muradi, Penentian Panjang Reformasi Polri, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009) h.192 5 Detasemen Khusus 88, wikipedia.org/wiki/Detasemen_Khusus_88_(Anti_Teror)

3

Banyak hal yang sudah dilakukan oleh Densus 88 dalam menangani

aksi kekerasan terorisme, seperti penangkapan gembong pelaksanaan

peledakan bom Bali I dan bom Bali II, menumpas teroris yang ada di Solo,

Temanggung, Poso dan lain-lain. Akan tetapi, oleh kesuksesan yang dilakukan

oleh Densus 88 dalam penanganan terorisme, banyak dari kalangan

masyarakat, politikus, para ulama, bahkan meneteri hukum dan HAM pun ikut

mengeluhkan sistem kerja Densus 88. Banyak warga sipil yang menjadi korban

dari aksi brutal yang dilakukan oleh Densus 88 dengan menembak mati orang

yang belum tentu terbukti sebagai tersangka kelomok terorisme. Di dalam

HAM itu sudah melanggar kode etik tentang peraturan HAM, yang mana

sesama orang ataupun sesema pemeluk agama yang berbeda tidak boleh

menyakiti satu sama lain, apalagi sampai ada hilangnya korban jiwa, itu sangat

melanggar peraturan kementrian Hukum dan HAM. Pada Undang-Undang

Nomor 39 tahun 1999 tertulis pasal 9 yang berbunyi; “Setiap orang berhak

untuk Hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.”

Dan juga terdapat pada pasal 18 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 yang

berbunyi; “setiap orang yang ditangkap, ditangkap, ditahan dan dituntut

karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak tidak dianggap tidak

bersalah, sampai dibuktikannya kesalahannya secara sah dalam suatu sidang

pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk

pembelaannya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Perlindungan HAM tidak saja bermakna sebagai jaminan negara pro-

aktif memproteksi hak asasi manusia dalam berbagai kebijakan (Regulasi),

tetapi juga reaktif bereaksi cepat melakukan tindakan hukum apabila terjadi

pelanggaran hak asasi manusia karena hal tersebut merupakan indikator negara

hukum. Jika dalam suatu negara hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar

dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara

adil, negara tersebut tidak dapat disebut sebagai negara hukum dan demokrasi

dalam arti sesungguhnya.6

6 Suparman Marzuki, Politik Hukum Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Erlangga, 2014) h.4

4

Indonesia sebagai negara yang berlandaskan atas hukum dalam setiap

tindakan yang dilakukan oleh masyarakat maupun oleh aparat penegak hukum,

harus sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku di Indonesia. Hal ini bertujuan

untuk menghindari adanya pelanggaran hukum hak asasi manusia terhadap

setiap orang. Aparat penegak hukum dalam hal ini Densus 88 AT sebagai

bagian dari aparatur penegak hukum yang berfungsi untuk melindungi,

mengayomi dan melayani masyarakat.7

Berdasarkan kerangka perlindungan hak asasi manusia, pada

hakikatnya, perlindungan terhadap orang yang diduga melakukan tindak

pidana terorisme merupakan salah satu perwujudan hak untuk hidup, hak untuk

mendapatkan keadilan, dan hak untuk tidak di siksa. Hak asasi itu bersifat

langgeng dan universal, artinya berlaku untuk setiap orang tanpa membeda-

bedakan asal-usul, jenis kelamin, agama, serta usia, sehingga setiap negara

berkewajiban untuk menegakkannya tanpa terkecuali.

Merujuk pada kasus kematian yang dialami oleh Siyono masih banyak

kejanggalan-kejanggalan yang terjadi. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban

Kekerasan (Kontras) menyatakan pemberantasan terorisme oleh Detasemen

Khusus 88 tidak diiringi akuntabilitas. Hal ini terlihat dari kasus tewasnya

Siyono, 33 tahun, terduga teroris asal Klaten. Kontras beranggapan banyak

pelanggaran yang dilakukan polisi. Pernyataan Markas Besar Polri Siyono

tewas karena melawan seorang petugas yang mengawalnya. Menurut Staf

Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik Kontras, hal tersebut janggal karena

standarnya minimal ada dua orang mengawal tersangka. “Apalagi ini kasus

terorisme Kontras mempertanyakan keterangan polisi yang menjelaskan

bahwa Siyono adalah panglima salah satu teroris. Menurutnya, fakta tersebut

kabur dan berasal dari sumber yang tidak jelas.

Menurut Satrio pernyataan polisi hanya memperkuat kesan bahwa

kematian Siyono karena ia berbahaya dan karena beliau sudah tewas, jadi tidak

7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia

5

bisa mengkonfirmasi ini. Satrio menambahkan bahwa polisi harus

menunjukkan berita acara pemeriksaan (BAP) bila mereka menganggap

Siyono seorang penglima berasal dari pengakuannya. Dan kalau itu

pengakuannya polisi seharusnya menunjukan berita acara pemeriksaan.

Kejanggalan lainnya terdapat pada jenazah Siyono. Menurut Satrio,

tidak masuk akal bila Siyono tewas karena berkelahi dengan satu orang. Selain

itu, kondisi jenazah tidak sesuai dengan keterangan tewas akibat kepala Siyono

dibenturkan ke badan mobil. Luka yang ditemukan yaitu ada memar dipipi,

mata lebam, hidung patah, kaki dari paha hingga betis bengkak dan memar,

kuku kaki hampir patah, dan keluar darah dari belakang kepala. Kontras

menduga ada penyiksaan yang terjadi terhadap Siyono dan meminta polisi

menyelidiki kembali dan menindak pelakunya. Polisi seharusnya tidak

kekurangan bukti untuk menindak anggotanya karena jenazah Siyono sudah

divisum. Selain kejanggalan tersebut, Kontras juga mencatat beberapa

pelanggaran yang dilakukan oleh Densus 88, antara lain pelanggaran

administrasi. Petugas tidak menunjukkan surat perintah mulai dari

penangkapan hingga pengeledahan rumah Siyono.8

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penyusun tertarik untuk

membuat karya ilmiah (Skripsi), dengan tema “Dugaan Pelanggaran Hak

Asasi Manusia Oleh Densus 88 Dalam Kasus Tersangka Terorisme

Siyono” Tema ini menjadi bahan yang menarik untuk diteliti, karena dalam

kasus yang terjadi ada beberpa keganjalan yang perlu dibuka dihadapan publik

dan untuk mencari kebenaran subtantif.

B. Pembatasan dan Rumusun Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, dapat diidentifikasi

beberapa masalah dalam penelitian ini, yaitu

a. Detasemen Khusus 88

8 kejanggalan dalam kematian Siyono, nasional.tempo.co/ read/757075/apa-saja-

kejanggalan-dalam-kematian-siyono-terduga-teroris diakses pada 3 Desember 2017

6

b. Prosedur penangkapan terorisme

c. Hak Asasi Manusia

d. Pelanggaran hak asasi manusia

2. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini, penulis memberikan batasan masalah hanya

pada Pelanggaran HAM yang dilakukan Aparat Penegak Hukum

terhadap Tersangka Terorisme. Pembatasan ini dilakukan untuk lebih

fokus atau mempermudah penulis dan juga untuk menghindari perluasan

pembahasan yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah yang akan

diteliti.

3. Rumusan Masalah

Beberapa masalah yang dirumuskan dengan pertanyaan

penelitian (research question) yaitu;

a. Bagaimana bentuk pelanggaran HAM oleh Densus 88 dapat terjadi

dalam kasus Siyono?

b. Bagaimana bentuk pertanggung jawaban hukum bagi Densus 88

dalam kasus Siyono?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan diatas, dapat

diketahui bahwa tujuan umum dari penulisan ini adalah:

a. Untuk mengetahui pandangan HAM tentang kekerasan atau anarkisme

yang dilakukan oleh Densus 88.

b. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban hukum Densus 88.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademis

Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi, kontribusi

pemikiran dalam menambah wawasan pengetahuan dalam lingkup

pertanggung jawaban hukum pelanggaran HAM. Sehingga skripsi ini

7

menjadi bahan literatur dalam kajian ilmiah bagi para mahasiswa hukum

maupun praktisi hukum di Indonesia.

b. Manfaat Praktis

Dapat menjadi bahan pengetahuan yang dapat berguna untuk

pendidikan. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi wadah pengetahuan

baru yang berguna untuk mahasiswa, praktisi hukum, mauapun

masyarakat secara luas.

c. Manfaat Akademis

Penelitian ini merupakan syarat untuk meraih gelar sarjana hukum

dalam Program Studi Hukum Pidana Islam di Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Tinjauan Kajian Terdahulu

Tinjauan pustaka (atau sering juga disebut literatur riview) merupakan

sebuah proses mencari berbagai literatur, hasil kajian atau studi yang

berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan.9 Adapun yang dapat

dijadikan sumber rujukan telaah pustaka tersebut adalah berupa buku teks,

disertasi, tesis, jurnal, skripsi dan lain sebagainya yang dapat dijadikan telaah

pustaka atau tinjauan pustaka. Dalam hal ini penulis mengambil beberapa

telaah pustaka yang dapat dijadikan bahan perundingan;

No. Identitas

Penulis Judul Substansi Pembeda

1. Basri

Musutofa

Mahasiswa

Universitas

Islam Negeri

Sunan Kalijaga

Penanganan

Terorisme oleh

Densus 88

Perspektif

Hukum Pidana

Islam dan HAM

Penulis

menjabarkan

mengenai

penanganan

terorisme yang

dilakukan

Penulis hanya

menjabarkan

penanganan

tersangka

terorisme

9 Nanang Martono, Metode Penelitian Kuantitatif, Analisis Isi dan Analisis Sekunder,

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h.42

8

Densus 88

secara Hukum

Islam dan

HAM

secara hukum

positif

2. Khoirul Imam

Mahasiswa

Universitas

Islam Negeri

Sunan Kalijaga

Prosedur

penangkapan

tersangka oleh

Densus 88

(analisis kasus

Siyono di

Klaten)

Penulis

menjabarkan

tentang

kesesuaian

prosedur

penindakan

tersangka

terorisme oleh

Densus 88

Penulis

menjabarkan

mengenai

pelanggaran

dalam

prosedur

penangkapan

tersangka

terorisme oleh

Densus 88.

3. Tirta Mulya

Wira Pradana

dan Khoiril

Huda jurnal

Universitas

Negeri

Semarang

Penanganan

Pelaku Tindak

Pidana

Terorisme

dalam

Perlindungan

Hak Asasi

Manusia

Penulis

menjabarkan

perlindungan

hak asasi

manusia dalam

penanganan

tindak pidana

terorisme

Penulis

menjabarkan

pelanggaran

hak asasi

manusia yang

dilakukan

Densus 88

dalam

penanganan

tindak pidana

terorisme.

9

E. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

a. Teori Tindak Pidana

Pidana berasal dari bahasa belanda yaitu Straf, yang kadang-kadang

disebut dengan istilah hukuman. Walaupun istilah pidana lebih tepat dari

istilah hukuman, karena hukuman sudah lazim merupakan terjemahan

dari recht.10 Pidana dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan yang

sengaja dijatuhkan atau diberikan oleh negara kepada seseorang atau

beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatan

yang telah melanggar larangan hukum pidana

b. Teori Perlindungan Hukum

Menurut Fitzgerald dalam buku Sajipto Rahardjo, menjelaskan teori

perlindungan hukum bertujuan mengintegrasikan dan

mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena

dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan

tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai

kepentingan di lain pihak.11

2. Kerangka Konseptual

Konseptual dalam penelitian ini adalah hak asasi manusia. Konsep

ini lebih menitik beratkan pada hak setiap orang untuk diperlakukan sama

terutama di mata hukum.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam penanganan terorisme

dengan konsep hak asasi manusia ini diharapkan agar Densus 88 lebih

mangutamakan Hak-hak setiap orang, menerapkan asas persamaan di

hadapan hukum serta asas praduga tidak bersalah, tidak sewenang-wenang

dalam bertindak, dan memberikan perlindungan terhadap martabat manusia.

10 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: Grafindo Persadam 2008)

h.24 11 Sajipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000) h.53

10

F. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah satu teknik pemikiran yang dipergunakan

dalam penelitian tertentu untuk menggali dan mengembangkan pengetahuan

dari sumber-sumber primer maupun sekunder.12 Metode penelitian ini adalah

metode kepustakaan (Library Reseacrh), yaitu penelitian yang dilakukan

dengan cara menghimpun atau mengumpulkan data dari berbagai literatur baik

data yang ada di perpustakaan atau media informasi lainnya. Agar tecapai

maksud dan tujuan pembahasan pokok-pokok masalah diatas maka penulis

menggunakan metode penelitian kepustakaan sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian hukum normatif. Penelitian ini menggambarkan pelanggaran

yang dilakukan oleh Densus 88 dalam penanganan tindak pidana terorisme

dan Hak Asasi Manusia.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang penulis gunakan adalah pendekatan kasus dan

pendekatan Undang-Undnag. Pendekatan kasus adalah menelaah kasus

yang ditangani dengan mencari informasi dari media online dan melakukan

wawancara terhadap beberapa pihak terkait. Pendekatan Undang-Undang

adalah pendekatan menggunakan Undang-Undang yang sedang ditangani.

3. Bahan Hukum Penelitian

a. Bahan Hukum Primer

Dalam penulisan Skripsi ini penulis mengambil data primer dari

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak

pIdana Terorisme, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia, Peraturan Kepolisian Negara Republik Indoneisa nomor

23 tahun 2011 tentang penindakan tersangka tindak pidana terorisme,

Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor 14 tahun 2011

12 Hadari Nawawi, metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada

Univercity Press, 20017) h.27

11

tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Republik Indonesia, dan peraturan

Perundang-Undangan yang berkaitan dengan penelitian ini.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu semua yang merupakan informasi atau

hasil kajian yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia,

seperti karya ilmiah, artikel, surat kabar, internet dan seterusnya.

4. Teknik pengolahan Bahan Hukum

Teknik pengolahan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan

metode kualitatif, yakni dengan cara mengumpulkan bahan hukum untuk

mendeskripsikan permasalahan yang akan dibahas dengan mengambil

materi-materi dari sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum

sekunder. Kemudian sumber bahan hukum tersebut diklasifikasikan untuk

memudahkan dalam menganalisis.

5. Analisis Bahan Hukum

Adapun metode analisis bahan hukum dalam penelitian ini adalah analisis

deskriptif analistik, yaitu menjelaskan aspek-aspek masalah yang telah

diteliti kemudian diolah dan dianalisis untuk diambil kesimpulannya.

G. Sistematika Penulisan

Untuk menjelaskan pemasalahan tersebut dalam bagian yang lebih

lengkap, agar lebih memperjelas rangkaian penelitian ini, maka penulis

memberikan sistematika penulisan dalam suatu kaidah garis-garis besar

penulisan melalui beberapa bab, serta disertai sub-sub dalam menjelaskan

pelbagai hal yang lebih terperinci dan membutuhkan kajian pengatahuan yang

lebih mendalam. Adapun deskripsi dari sistematika penulisan ini dijabarkan

dalam 5 bab sebagai berikut:

Pada Bab I Penulis menguraikan dari latar belakang masalah, pembatasan

dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metode penelitian,

tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.

12

Pada Bab II Penulis menguraikan tentang Hak Asasi Manusia meliputi

Persamaan Hak Dihadapan Hukum, Asas Praduga Tak bersalah, dan pengertian

Hak Asasi Manusia.

Pada Bab III Penulis menguraikan tentang penanganan kasus Terorisme

oleh Densus 88 dan Kronologi Kasus Penangkapan Terduga Terorisme Siyono,

meliputi pengertian tindak pidana terorisme, pembentukan Detasement 88,

Kronologi Kasus serta faktor adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Pada Bab IV penulis menguraikan tentang Bentuk Pelanggaran Hak

Asasi Manusia oleh Densus 88 dan Pertanggung Jawaban Hukum.

Pada Bab V penulis menguraikan tentang penutup yang merupakan hasil.

Penutup ini melipti, kesimpulan dari pembahasan serta beberapa saran-saran

berdasarkan hasil analisis dari penelitian ini yang diharapkan dapat dijadikan

bahan masukan dari pihak-pihak yang terkait.

13

BAB II

HAK ASASI MANUSIA

A. Asas Persamaan di Hadapan Hukum

Asas atau prinsip hukum bukanlah berarti bukan peraturan hukum

konkrit, termasuk merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau

merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan

di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-

undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat

diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit

tersebut. Prinsip persamaan perlakuan di depan hukum menghendaki adanya

keadilan dalam arti setiap orang adalah sama di depan hukum (Equality Before

The Law), setiap orang harus diberlakukan sama.13

Istilah Equality Before The Law ini merupakan istilah yang lazim

digunakan dalam hukum tata negara. Sebab hampir setiap negara

mencantumkan masalah ini dalam konstitusinya. Alasan mencantumkan

equality before the law dalam suatu konstitusi adalah karena hal ini merupakan

norma hukum yang melindungi hak-hak asasi warga negara. Bahwa semua

warga negara sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Equality before the

law, berarti persamaan di hadapan hukum. Jika dalam konstitusi hal ini

dicantumkan, maka konsekuensi logisnya penguasa dan penegak hukum

haruslah melaksanakan dan merealisasikan asas ini dalam kehidupan

bernegara, sebab jika asas ini tidak dilaksanakan berarti terjadi penyelewengan

dari konstitusi meskipun tampaknya bukan merupakan pelanggaran yang

terang-terangan, namun sangat dirasakan oleh rakyat betapa ketimpangan

hukum merupakan siksa batin yang berkepanjangan.14

13 Sudikno Mertokusumo, Mengenal hukum, suatu pengantar, Edisi Ketiga, (Yogyakarta:

Liberty, 2002) Cet. Ketiga, h.34 & 37 14 Ramly Hutabarat, Persamaan Di Hadapan Hukum (Equality Before The Law) Di

Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985) Cet. Pertama, h.39

14

Bekerjanya hukum di hadapan hukum diharapkan dengan tidak

membeda-bedakan orang tanpa kecuali, tanpa membedakan ras, agama, jenis

kelamin, dan status. Kesamaan kedudukan dimuka hukum tanpa diskriminasi

merupakan asas perlindungan hukum terhadap tindakan melawan hukum yang

diperbuat terhadap korban. Hal ini diarahkan untuk melindungi korban dari

perbuatan diskriminasi aparat penegak hukum.15

Asas ini didasari atas firman Allah dan Sabda Nabi. Dalam hukum

pidana Islam tidak ada perbedaan antara pejabat dan rakyat, antara orang kaya

dan orang miskin, serta antara kelompok satu dan kelompok yang lain. Adapun

yang membedakan adalah ketakwaan seseorang di hadapan Tuhan.16 Dalam

Firman Allah swt;

لأقنأكم م ن ذأكأر وأأن ثأى وأجأعألنأكم شعأوبا وأق أبأآ ئلأ لت أعأارأفوا إن أأ ا الناس إن خأ أ يأأ ي هأ ن الل كرأمأكم بي أليم خأ (31: 94\. )احلجراتأأت قأكم إن اللأ

Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari

seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu

berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.

Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang

paling bertakwa. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”

(Qs. Al-Hujurat/49: 13)

Sudah banyak terjadi kasus-kasus hukum yang mengesampingkan asas

ini, seperti yang terjadi pada nenek Asyani yang dihukum penjara atas tuduhan

melakukan illegal loging, meskipun kayu jati yang dibawanya tidak seberapa

apabila dibandingkan dengan kasus-kasus besar yang terjadi pada kalangan

atas. Fenomena ini jauh berbeda dengan asas kesamaan di hadapan hukum.

Dalam sebuah hadits dikemukakan tentang seorang wanita pencuri dari suku

Makhzumaiyah.17

15 C. Maya Indah S, perlindungan korban suatu perspektif viktimologi dan kriminologi,

(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2016) h.147 16 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2016) h.22 17 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h.23

15

شأأنأ المأرأأة األمأخزومية األأت سأرأقأت ف أقأال أن غروأةأ أائشأةأ أأن ق رأيشأا اأهأهم أ هأا :واأن ل م في مأن يكأل رأسولأ هللا ص ألأيه وأسأ ألأيه إال اسأامأة مأ لى الل رأسول هللا ؟ ف أقأالوا مأن يأتأئ ص لى الل

ل ه اسأامأة ,مأ ألأيه وأسأ لمأ ألأيه وأسأ ص ف أقأالأ رأسول هللا ,فأكأ ود هللا؟ تأ أأ ,مأ ل لى الل من أ شفأع ف ان وا اذأا سأرأقأ ف م كأ لأكم اأن ا الناس انأا هألأكأ أألذينأ ق أب ت أرأكو ث قأامأ فأاختأطأ أ ف أقأالأ اأي هأ يهم الشأري

ألأيه اأقأاموا ة بن وأاذأا سأرأقأ فيهم الضأعي وأاأي هللا لأوأأن فأاطمأ هأااحلأ سأرأقأت لأقأطأعت يأأ أم ت Artinya: “Dari Urwah, dari Aisyah, bahwa sesungguhnya dikalangan

masyarakat suku Quraisy pernah terjadu sutu kasus yang membuat mereka

kebingungan akibat ada seorang wanita suku Makhzumiyah yang terbukti

mencuri. Mereka betanya-tanya, “kira-kira siapa yang bisa melakukan

negosiasi kepada Rasulullah saw?” mereka berpendapat, “siapa lagi yang layak

jika bukan Usamah bin Zaid, cucu tercinta Rasulullah saw?” Usamah pun

menyampaikan hal tersebut kepada beliau. Rasulullah saw bersabda, “apakah

kamu akan memberi keringanan salam perkara hudud?” pada saat itu

Rasulullah berdiri seraya berkata “sungguh umat terdahulu itu binasa (akibat

sikap diskriminatif mereka). Pada saat ada orang yang mulia dan tinngi status

sosialnya mencuri, mereka membiarkan tanpa dihukum;akan tetapi ketika yang

mecuri itu dari kaum lemah, mereka menghukumnya tanpa ragu. Demi Allah,

seandainya Fatimah –anak perempuan Muhammad- mencuri, pasti saya akan

memotong tangannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Demikianlah hukum pidana Islam yang memiliki asas kesamaan di

hadapan hukum serta tidak mengenal kasta dan sikap diskriminatif. Sebaliknya,

hukum pidana Islam menerapkan prinsip mulia Equality before the law, yaitu

semua orang sama, sepadan, dan sejajar di depan hukum.18

1. Konsep Asas Persamaan di Hadapan Hukum

Asas persamaan di hadapan hukum membawa sebuah konsekuensi

di tegaknya hukum dalam setiap bidang hukum termasuk hukum pidana

formil yaitu acara pidana. Berkaitan dengan asas ini di dalam bidang hukum

acara pidana yang merupakan sub sistem peradilan Asas Persamaan

Kedudukan di Hadapan Hukum menjadi pilar penegakan prosedur

beracara.19

18 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h.24 19 Jimly Ashiddiqie, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,

2010) Edisi kedua, Cet. Pertama, h.128

16

Asas yang fundamental ini bersumber dan berakar dari HAM yang

bersifat Universal serta mendapat pengaturan yang dikodifikasi di dalam

perundang-undangan nasional maupun dokumen internasional. Dengan

demikian, dapat disimpulkan bahwa pengaturan suatu asas, sesuai dengan

prinsip negara hukum yang demokratis, mutlak diperlukan. Hal ini sejalan

dengan ketentuan pasal 281 ayat (5) peruabhan (amandemen) kedua UUD

1945 yang menyatakan. “untuk menegakkan dan melindungi hak asasi

manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka

pelaksanaan hak asasi dijamin, diatur dan diluangkan dalam peraturan

perundang-undangan”20

Dalam negara hukum, pemerintah tidak boleh mengistimewakan

orang atau kelompok orang tertentu, atau mendiskriminasikan orang atau

kelompok orang tertentu. Dengan adanya persamaan kedudukan setiap

orang dalam hukum dan pemerintahan, segala sikap dan tindakan

diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap

dan tindakan yang dilarang tidak terkecuali tindakan-tindakan yang bersifat

khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirematif actions’ guna

mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok

warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai

tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat

kebanyakan yang sudah jauh lebih maju.21

Subtansi yang mengemuka dalam International Encyclopedia of the

Social Science ini bahwa manusia itu adalah sama, hanya berdasarkan

karakteristiknya manusia memiliki perbedaan. Teori Equality, jika dibedah,

paling tidak dapat dibagi dalam empat bagian,22 yaitu:

a. Natural Equality (Persamaan Alamiah)

20 Jimly Ashiddiqie, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, h.128 21 Jimly Ashiddiqie, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, h.128 22 Eka N.A.M. Sihombing, “Mendorong Pembentukan Peraturan Daerah tentang Bantuan

Hukum di Provinsi Sumatera Utara”, RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, II, 1,

(April 2013), h.,85

17

Natural Equality adalah persamaan yang dibawa dari yang dimiliki

oleh manusia. Manusia adalah sama karena semua manusia sebagai

ciptaan Tuhan sama-sama memiliki rasio yang membedakannya dari

binatang.

b. Civil Equality (Persamaan Hak Sipil)

Civil Equality adlah hak sipil yang sama bagi setiap warga negara.

Umpamanya setiap orang memiliki hak yang sama dihadapan hukum

tanpa diskriminasi.

c. Political Equality (Persamaan Politik)

Political Equality adalah hak yang sama dalam politik. Artinya

setiap orang memiliki kesempatan yang sama dalam memberikan suara

dalam pemilihan umum, memilki hak yang sama memasuki partai

politik dan sebagainya.

d. Economic Equality (Persamaan Ekonomi)

Economic Equality adalah persamaan kesempatan dalam

meningkatkan taraf ekonomi. Hak-hak ekonomi warga negara adalah

sam dan dilindungi oleh konstitusi yang berlaku.

Teori Equality Before the Law berdasarkan empat klasifikasi itu

dimasukkan ke dalam teori Civil Equality yaitu hak-hak sipil. Hak seperti

ini dijamin dan dilindungi oleh konstitusi sehingga di hadapan hukum

semua orang wajib diperlakukan sama. Tidak dikenal adanya tebang pilih

atau berat sebelah atau menempatkan orang-orang tertentu sebagai warga

negara kelas satu. David L. Sill sebagai “Imartially” artinya tidak berat

sebelah. Itulah sebabnya teori Equality Before the Law merupakan antitesis

terhadap diskriminasi hukum.23

2. Prinsip asas persamaan di hadapan hukum

Prinsip persamaan dimuka hukum (Equality before the law) atau

setiap warga masyarakat diperlakukan sama dimuka hukum, memiliki

23 Eka N.A.M. Sihombing, “Mendorong Pembentukan Peraturan Daerah tentang Bantuan

Hukum di Provinsi Sumatera Utara”, h.85

18

makna setiap warga masyarakat, baik warga biasa maupun pejabat akan

mendapat perlakuan yang sama secara substansi hukum pidana maupun

secara prosedural (hukum acaranya). Perlakuan yang sama secara substansi

hukum pidana adalah setiap orang mentaati dan menghormati, aturan-aturan

hukum pidana, yang dilarang maupun yang diwajibkan, yang telah diatur

dalam Undang-Undang sebagai perbuatan yang di larang. Aturan hukum

pidana merupakan ketentuan yang berisi perintah dan larangan, yang apabila

dilanggar akan dikenai sanksi. Sedangkan perbuatan pidana adalah kelakuan

yang diancam pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan

dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung

jawab.24

Prinsip kesamaan substansi hukum pidana diuraikan dengan pasal 1

ayat (1) KUHP berlaku sama untuk semua orang, baik warga masyarakat

biasa maupun pejabat negara, termasuk DPR. Artinya perbuatan pidana

yang dilakukan oleh anggota DPR, hanya dapat diadili menurut aturan

hukum yang berlaku pada waktu perbuatan dilakukan (Lex temporis

delictie).25 Penerapan prinsip kesamaan hukum acara pidana bagi setiap

warga masyarakat mengacu pada ketentuan KUHAP. Artinya untuk

laporan, informasi, pengaduan atau tertangkap tangan yang memenuhi unsur

tindak pidana harus melandasi pada sumber hukum pada pasal 1 ayat (1)

KUHP, yang memiliki makna antara lain;

a. Nullu delictum, nulla poena sine praevia lege poenali, artinya tiada

delik, tiada pidana, tanpa peraturan yang mengancam pidana terlebih

dahulu;

b. Undang-undang hukum pidana tidak mempunyai kekuatan berlaku

surut;

c. Lex temporis delicti, artinya undang-undang berlaku terhadap delik

yang terjadi pada saat itu.

24 Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta, PT Yarsif Watampone, 2005) h.97 25 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 1993) h.31

19

Prinsip kesamaan hukum acara pidana yang diberlakukan pada setiap

warga masyarakat yang menjalani proses penyelidikan, penyidikan,

pemeriksaan baik sebagai saksi, status tersangka atau ahli diperlakukan

sama sesuai ketentuan yang ada dalam KUHAP.26

B. Asas Praduga Tak Bersalah

Asas praduga tak bersalah pada dasarnya merupakan manifestasi dari

fungsi peradilan pidana (modern) yang melakukan pengambilalihan kekerasan

atau sikap balas dendam oleh suatu institusi yang ditunjuk oleh negara. Dengan

demikian, semua pelanggaran hak yang dilakukan oleh seseorang harus

diselesaikan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Asas ini menyatakan bahwa,

“setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan

di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan

pengadilam, yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum

yang tetap.”27

Ahmad Ali menguraikan ada dua hal penting dari pengertian asas

praduga tak bersalah. Pertama, asas praduga tidak bersalah hanya berlaku

dalam tindak pidana. Kedua, asas praduga tidak bersalah hakikatnya adalah

pada persoalan beban pembuktian (the burden of proof) dimana bukan

terdakwa yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah, melainkan bahwa

di muka persidangan pengadilan, negara diwakili oleh jaksa penuntut umum

yang harus membuktikan bahwa terdakwa benar bersalah, dengan

membuktikan semua elemen tindak pidana yang didakwakan.28

Menurut Oemar Senoadji, praduga tidak bersalah umumnya

menampakkan diri pada masalah burden of proof, beban pembuktian. Menjadi

kewajiban penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa, kecuali

26 I Komang Suka’arsana & Maria Silvya E. Wangga, “Pengesampingan Prinsip

Persamaan di Muka Hukum” Masalah-masalah Hukum. XLV. 1. (Januari 2016). h.,13 27 Amelda Yunita, “Penerapan asas praduga tidak bersalah dalam proses peradilan perkara

tindak pidana terorisme” (Jakarta: tesis Universitas Indonesia, 2011) h., 63 t.d 28 Ahmad Ali, Meluruskan Jalan Reformasi Hukum, (Jakarta: Agatama Press, 2004) h.54

20

pembuktian insanity yang dibebankan kepada terdakwa ataupun undang-

undang membenarkan ketentuan yang tegas pembuktian terbalik. Asas

pembuktian terbalik mempunyai konsekuensi dimana beban pembuktian

terletak pada pihak terdakwa. Artinya, terdakwalah yang berkewajiban

membuktikan dirinya tidak bersalah.

Sebagai konsekuensi dianutnya asas praduga tidak bersalah adalah

seorang tersangka atau terdakwa yang dituduh melakukan suatu tindak pidana,

tetap tidak boleh diperlakukan sebagai orang yang bersalah meskipun

kepadanya dapat dikenakan penangkapan/penahanan menurut Undnag-

Undang yang berlaku. Jadi, semua pihak termasuk penegak hukum harus tetap

menjunjung tinggi hak asasi tersangka/terdakwa.29

Dalam ketentuan ketentuan perundang-undangan Indonesia, asas

praduga tidak bersalah diatur dalam penjelasan umum angka 3 huruf c

KUHAP, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam

hukum pidana Internasional asas ini diatur dalam ketenutan Pasal 66 ayat (1)

Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (Rome state of the

International Criminal Court), pasal 11 ayat (1) Deklarasi Universal HAM

(Universal Declaration of Human Right), pasal 40 ayat (2b) butir i Konvensi

tentang Hak-hak Anak (Convertion on the Rights of the child).30

Dalam hukum pidana Islam asas praduga tidak bersalah memiliki arti

bahwa seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap

tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan dan tidak

terdapat unsur keraguan sedikitpun menyatakan dengan tegas kesalahannya itu.

Asas praduga tak bersalah ini sejalan dengan kaidah ushul fiqh, yaitu al-ashl

bara’ah al-dzimmah (pada dasarnya setiap orang terbebas dari pelbagai

tuntutan hukum). Dengan kata lain, pada dasarnya seseorang bebas dari

29 Amelda Yunita, “Penerapan asas praduga tidak bersalah...”, h.,65 30 Bachtiar Baital, “asas praduga tidak bersalah dalam dimensi pembuktian”, salam: Jurnal

sosial dan budaya syar’i, II, 2, (Februari 2015) h.8

21

berbagai tuntutan. Dikalangan ulama ahli ushul fiqh, kaidah ini cukup populer

bahwa seseorang pada dasarnya terbebas dari segala tuntutan kewajiban syara’,

kecuaki ia dinyatakan sebagai pihak yang memiliki ahliyyah al-wujub atau

kecakapan untuk dibebani kewajiban karena telah masuk ke dalam kategori

mukalaf (orang yang telah baligh dan berakal sehat yang layak dibebani

kewajiban hukum).31

Meskipun demikian, dalam hukum pidana Islam asas praduga tak

bersalah ini lebih tepatnya berupa asas yang menyatakan bahwa seseorang

harus tetap dianggap tidak bersalah sebelum diputuskan oleh majelis hakim

dalam sidang pengadilan bahwa yang bersangkutan telah nyata bersalah tanpa

ada unsurkeraguan. Dalam hal ini, tampaknya asas praduga tak bersalah ini

lebih dekat dengan satu aturan dalam Islam bahwa seseorang tidak dibenarkan

meneliti kesalahan orang lain kecuali ia ditugaskan untuk melakukannya

seperti polisi, jaksa, atau hakim yang bertugas menegakkan keadilan. Di luar

dari ketiganya, apalagi jika hanya secara personal, seorang muslim tidak

dibenarkan mencari-cari kesalahan pihak lain. Sebagaimana Al-qur’an surat al

Hujurat, Allah SWT berfirman;

ا الذينأ آمأنوا اجتأنبوا كأثياا منأ الظن إن ب أعضأ الظن إث وأالأ تأأسسوا وأالأ ي أ يأ غتأ ب أعضكم أأي هأتاا فأكأرهتمو وأات قوا اللأ إن اللأ مأ أأخيه مأي كم أأن يأكلأ حلأ أ يم. ت أ ب أعضاا أأي أأ رأ وا

(31: 94\)احلجراتArtinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka,

sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari

kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing

sebagian yang lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan

daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik

kepdanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha

Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Hujurat/49: 12)

31 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h.17

22

Selain tidak diperbolehkan berburuk sangka kepada pihak lain –

menurut sebuah hadits- siapa pun yang menutup aib orang lain, kelak pada hari

kiamat ia akan ditutup aibnya oleh Allah.

أن أأب هرأي رأةأ : قأالأ رأسول األل –رضي هللا نه –وأ أن –ه وسلم صلى هللا لي – قأالأ مأن ن أفسأ ي أوم األقيأامأة وأمأن يأسرأ أنه كربأةا من كرأ ن يأا, ن أفسأ األل األ ألأى معسر, يأسرأ مؤمن كربأةا من كرأ

ن يأا وأالخرأة, وأمأن سأتأأ مس ألأيه ف األ ف األاألل مأا لماا, سأتأأ األل أون األعأب ف ن يأا وأالخرأة, وأاألل أون أأخيه ف ه مسلم – كأانأ األعأب )روا مسلم( .أأخرأجأ

Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata, “Dari Nabi saw bahwa beliau

bersabda, ‘Barangsiapa membebaskan penderitaan seorang mukmin dari

sekian banyak penderitaan dunia, Allah pasti akan membebaskan

penderitaannya dari sekian banyak penderitaan pada hari kiamat. Barangsiapa

yang membantu seseorang yang sedang kesulitan, Allah akan membantu

kesulitannya di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutup aib seorang

muslim, Allah pasti akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan

selalu menolong seorang hamba selama ia sanggup menolong saudaranya’”

(HR. Muslim)32

1. Konsep Asas Praduga Tidak Bersalah

Asas praduga tidak bersalah merupakan suatu cita-cita atau harapan

agar setiap orang yang di sangka, di tangkap, di tahan, di tuntut, atau

dihadapkan di depan pengadilan di anggap tidak bersalah, sebelum ada

putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh

kekuatan hukum tetap, namun dalam kenyataannya, asas hukum itu tidak

selelu dapat di terapkan. Pada umumnya asas hukum itubersifat abstrak,

oleh karena itu tidak selalu di tuangkan dalam peraturan hukum konkret,

contoh asas in dubio pro reo yang berarti dalam hal keragu-raguan, hakim

harus memutuskan sedemikian rupa sebuah pilihan yang paling

menguntungkan terdakwa, atau asas unus testits nullus tertis yaitu asas yang

menentukan bahwa satu saksi bukanlahsaksi.33

32 Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h.,18 33 Muhammad Schinggyt Tryan, dkk, “Tinjauan Yuridis terhadap pelaksanaan asas praduga

tak bersalah dalam proses peradilan pidana”, Diponerogo Law Journal, V, 4, (Appril 2016), h.,4

23

Sifat abstrak dari asas hukum tersebut, membuat asas hukum tidak

dapat di terapkan terhadap peristiwa konkret. Asas hukum merupakan

peraturan dasar yang terdapat di balik peraturan konkrit. Dengan demikiann

asas praduga tidak bersalah secara kontekstual terdapat dalam Kitab

Undang-Undang Acara Pidana maupun Perdata.34

Asas Praduga Tidak Bersalah sebagai asas hukum umum acara,

berlaku di setiap proses berperkara di pengadilan, yaitu dengan adanya kata

“di hadapkan di depan pengadilan”, asas praduga tidak bersalah ini dapat

diterapkan dalam semua bentuk peradilan yang ada. Namun karena asas

praduga tidak bersalah dituangkan kembali dalam Penjelasan Umum Butir

3c Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sebagai hukum beracara

pidana di pengadilan, maka asas praduga tidak bersalah lebih di kenal dalam

perkara pidana.35

2. Penerapan Asas Praduga Tidak Bersalah dalam Hukum Pidana

Dalam rangka mewujudkan proses hukum yang adil, maka

penegakan hukum seyogyanya tidak dipandang secara sempit, namun secara

holistik. Dengan demkian, penegak hukum tidak hanya selalu dipahami

sebagai penegakan norma-norma hukum yang berkaitan dengan

pelanggaran seorang tersangka/terdakwa, melainkan juga penegakan hukum

terhadap norma-norma yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak

tersangka/terdakwa oleh aparat penegak hukum selama proses pemeriksaan

berlangsung.36

Menurut Mardjono Resdiputro asas praduga tidak bersalah ini

adalah asas utama proses hukum yang adil (Due process of law), yang

mencakup sekurang-kurangnya; a) perlindungan terhadap tindakan

34 Muhammad Schinggyt Tryan, dkk, “Tinjauan Yuridis terhadap pelaksanaan asas praduga

tak bersalah dalam proses peradilan pidana”, h.5 35 Muhammad Schinggyt Tryan, dkk, “Tinjauan Yuridis terhadap pelaksanaan asas praduga

tak bersalah dalam proses peradilan pidana”, h.5 36 Oemar Seno Adji, Hukum acara pidana dalam perspektif, (Jakarta: Airlangga, 1981),

h.251

24

sewenang-wenang dari pejabat negara; b) bahwa pengadilanlah yang berhak

menentukan salah tidaknya terdakwa; c) bahwa tersangka/terdakwa harus

diberi jaminan-jaminan untuk dapat membela diri sepenuhnya.37

Problematik penerapan asas praduga tidak bersalah dalam perkara

pidana berkaitan dengan kedudukan yang tidak seimbang anatara

tersangka/terdawa dengan aparat penegak hukum yang berkepentingan

sehingga dikhawatirkan terjadi tindak kesewenang-wenang dari aparat

penegak hukum. Hukum pidana sebagai hukum publik, mengatur

kepentingan umum sehingga berhubungan dengan negara dalam melindungi

kepentingan umum. Kedudukan tidak seimbang dalam perkara pidana

memungkinkan terjadinya perlakuan sewenang-wenang dari aparat hukum

terhadap tersangka/terdakwa yang dianggap telah melanggar kepentingan

umum dalam proses pemidanaan sebagai orang yang bertanggung jawab

atas ketidak seimbangan dalam tatanan dalam masyarakat akibat adanya

pelanggaran hukum.38

Asas praduga tak bersalah dalam sistem Peradilan Pidana pada

hakikatnya menetapkan keseluruhan dari proses pelaksanaan hukum acara

pidana untuk dilaksanakan secara berimbang. Sejalan dengan pendapat

Kaligis bahwa walaupun tujuan penegakan hukum adalah untuk

mempertahankan dan melindungi kepentingan masyarakat, penegakan

hukum tidak boleh mengorbankan hak dan martabat tersangka/terdakwa.

Sebaliknya, perlindungan harkat dan martabat tersangka/ terdakwa tidak

boleh mengorbankan kepentingan masyarakat. Aparat penegak hukum

harus mampu meletakkan asas keseimbangan yang telah digariskan

KUHAP sehingga tidak mengorbankan kedua kepentingan yang dilindungi

hukum.39

37 Mardjono Resdiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta;

Lembaga Kriminologi U.I 1994), h.36 38 E. Nurhaini Batarbutar, “asas praduga tidak bersalah”, Dinamika Hukum”, XI, 3,

(September, 2011), h.472 39 Bachtiar Baital, Asas Praduga tidak bersalah dalam dimensi pembuktian., h.9

25

Pengaturan asas praduga tidak bersalah dalam KUHAP, merupakan

salah satu upaya untuk melindungi hak-hak tersangka dari tindakan

sewenang-wenang dari aparat hukum. Namun menurut Rohmini,

pengaturan asa praduga tidak bersalah dalam penjelasan umum butir 3c

KUHAP, dapat menjadi kendala dalam pelaksanaannya, karena ketentuan

tersebut tidak di atur dalam batang tubuh tetapi hanya dalam penjelasan.

Kendala dalam penerapan asas praduga tidak bersalah dalam perkara pidana

bukan karena pengaturannya tidak secara tegas dalam batang tubuh

KUHAP, tetapi lebih kepada kesadaran hukum dari aparat hukumnya, yang

kurang memperhatikan hak-hak tersangka yang juga mempunyai

kepentingan untuk belaan hukum. Sebagaimana dikemukakan oleh

Soekanto, bahwa penegakan hukum yang baik tidak hanya didasari faktor

hukum (Undang-Undang) yang baik dan lengkap melainkan juga

dipengaruhi oleh aprat penegak hukum, fasilitas, dan budaya hukum

masyarakat.40

Penerapan asas presumption of innocence dalam perkara pidana

merupakan akibat proses pemidanaan oleh para penegak hukum, seperti

penyidik dan penuntut umum berhadapan dengan tersangka/terdakwa sering

dihadapkan dengan hak asasi manusia, sehingga asas ini kemudian

dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia. Meskipun sebenarnya hak asasi yang merupakan hak

kodrati yang melekat pada manusia tidak membutuhkan legitimasi yuridis

untuk memberlakukannya, namun sifat negara yang sekuler dan positivistik

mengakibatkan memerlukan landasan yuridis dalam mengatur kehidupan

bersama-sama dengan manusisa yang lain.41

40 Mien Rukmini, Pelindungan HAM melalui asas praduga tidak bersalah dan asas

persamaan kedudukan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia,(Bandung: Alumni, 2003). h.,67 41 St. Harum Pudjiarto, “Hubungan antara Pengadilan Pidana Internasional (ICC) dengan

Pengadilan HAM Nasional terhadap pelamggaran HAM yang berat di Indonesia”, Justitia et pax,

XXIV, 1, (Juni 2004), h.,43

26

Salah satu tindak pidana yang sangat membutuhkan penerapan asas

praduga tidak bersalah dalam proses peradilannya adalah tindak pidana

terorisme. Tersangka/terdakwa tindak pidana terorisme merupakan pihak

yang sangat rentan mengalami tindakan-tindakan yang melanggar asas

praduga tidak bersalah dalam proses peradilannya. Apalagi tindak pidana

terorisme merupakan extra ordinary crime yang membutuhkan penanganan

khusus dibandingkan dengan tindak pidana lain, sehingga dikhawatirkan

terjadinya tindakan-tindakan yang melampaui batas kewenangan penegak

hukum.42

C. Pengertian Hak Asasi Manusia

Pengertian HAM sebenarnya mencakup spektrum yang cukup luas yang

bergulat secara dinamis dari HAM individual ke HAM komunal, bahkan

terakhir muncul HAM kolektif. Pertentangan dalam penerapan HAM biasanya

disebabkan oleh perbedaan pandangan tentang HAM yang diinginkan.

Kalangan diluar terjemahan dari istilah pemerintahan menuntut pada penekanan

HAM individual, sedangkan pihak pemerntah, atas nama pembangunan dan

kesatuan, memilih penegakan HAM yang komunal yang cenderung otoritarian.

Mengenai ruang lingkup atau batasannya, beberapa teoritis HAM menyatakan

bahwa HAM seharusnya dibatasi hanya pada hak-hak politik (political rights),

dan sipil (civil rights) saja. Sementara yang lain berpendapat bahwa HAM juga

harus mencakup hak ekonomi.43

Hak asasi manusia sebagai hak kodrati yang melekat bagi setiap orang,

baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat harus dihormati dan

dihargai sesuai dengan martabat manusia, dan menolak apabila diperlakukan

42 Amelda Yunita, “penerapan asas praduga tidak bersalah dalam proses peradilan perkara

tindak pidana terorisme”, h.,69 43 Soeharto, Perlindungan hak tersangka, terdakwa dan korban tindak pidana terorisme.,

h.47

27

dengan sewenang-wenang.44 Definisi klasik dan menggejala dalam pemaknaan

Hak Asasi Manusia yang sering dipakai dan dikutip adalah;

“A human right by definition is a universal moral right, something which all

men, everywhere, at all times ought to have, something of which no one may

deprived without a agrave affront to justice, something which is owing to every

human being simply because he (she) is human. (Craston, 1973: 36).

Hak Asasi Manusia adalah hak manusia yang paling mendasar dan

melekat padanya dimanapun ia berada. Tanpa adanya hak ini berarti

berkuranglah harkatnya sebagai manusia yang wajar. Hak asasi manusia adalah

suatu tuntutan yang secara yang secara moral dapat dipertanggung jawabkan,

suatu hal sudah sewajarnya mendapat perlindungan hukum.45 Konsep awal

secara umum hak asasi manusia diketengahkan oleh Jan Martenson dari komisis

hak asasi manusia PBB yang mengatakan bahwa:

“Human rights cold be generally difined as those rights which are inherent I

our nature and without which we cannot live as human being” (hak asasi

manusia ialah hak-hak yang melekat pada sifat manusia, yang tenpanya manusia

mustahil dapat hidup sebagai manusia).

Hak-hak yang dimiliki oleh setiap manusia itu menjamin setiap orang

untuk menentukan isi jiwanya sendiri, untuk melahirkan isi jiwanya itu melalui

suara atau aktivitas lain dan mengembangkan aktivitas itu secara perorangan

maupun berorganisasi dengan orang lain menurut kehendaknya, tanpa

gangguan atau paksaan dari orang lain. Hardjowirogo (1981: 7) menyatakan:

“hak-hak manusia ialah hak-hak yang memungkinkan kita tanpa diganggu

gugat menjalani kehidupan bermasyarakat dan bernegara sebagai warga negara

dari suatu kehidupan”.

John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang

diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati.

Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun disunia yang dapat mencabutnya.

44 Muntaha, Penerapan Asas Oportunitas Dalam Hukum Pidana di Indonesia,

(Yogyakarta: Genta Publishing, 2014) h.123 45 Dalizar Putra, Hak Asasi Manusia menurut Al-Qur’an, (Jakarta: PT Al Husna Zikra,

1995) h.31

28

Hak ini sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan

manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak bisa terlepas dari dan dalam

kehidupan manusia.46

Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia pasal 1 disebutkan bahwa:

“Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat

dan kebenaran manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan

merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi

oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta

perlindungan harkat martabat manusia”.

Berdasarkan beberapa rumusan pengertian HAM tersebut, diperoleh

suatu kesimpulan bahwa HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia

yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Tuhan yang harus

dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyrakat atau negara.

Dengan demikian hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM ialah

menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi kesimbangan

yaitu keseimbnagan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara

kepentingan perseorangan dan kepentingan umum.47

1. Hak Asasi Manusia dalam Al-qur’an

Dalam Islam HAM tidak secara khusus memiliki piagam, akan tetapi

al-qur’an dan Sunnah memusatkan perhatian pada hak-hak yang diabaikan

pada bangsa lain. Nash-nash ini sangat banyak antara lain:

a. Dalam Alqur’an terdapat sekitar 40 ayat yang membicarakan mengenai

paksaan dan kebencian. Lebih dari 10 ayat bicara larangan memaksa,

untuk menjamin kebebasan berpikir, berkeyakinan dan mengutarakan

aspirasi.

46 Masyhur Effendi, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional

dan Internasional, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994) h.3 47 Masyhur effendi, Dimensi dan dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan

Internasional,. h.201

29

b. Alqur’an telah mengetengahkan sikap menentang kezhaliman dan

orang-orang yang berbuat zhalim dalam Al-Qur’an sekitar 320 ayat dan

memerintahkan berbuat adil 54 ayat yang diungkapkan dengan kata-

kata ‘adl dan qisht.

c. Alqur’an menganjurkan sekitar 80 ayat tentang hidup, pemeliharaan

hidup dan penyediaan sarana hidup.

d. Alqur’an menjelaskan sekitar 150 ayat tentang ciptaan dan makhluk

serta persamaan penciptaan.48

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa manusia dalam perspektif

Islam, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial,

mempunyai hak asasi pokok, semata-mata di istimewakan memang karena

dirinya sebagai hamba Allah SWT diantara hak-hak asasi tersebut adalah:

a. Hak hidup, kemerdekaan dan keamanan pribadi

Salah satu aspek kemanisaan yang sangat mendasar ialah hak

hidup dan hak untuk melangsungkan kehidupannya itu. Setiap orang

berhak untuk mempertahankan/membela diri terhadap setiap ancaman

atau serangan yang tertuju pada keselamatan jiwanya. Karena hak hidup

merupakan hak asasi manusia, maka perampasan nyawa oleh orang lain

(berupa pembunuhan) atau oleh negara (berupa penjatuhan pidana mati)

pada hakikatnya merupakan pelanggaran HAM apabila dilakukan

sewenang-wenang atau tanpa dasar pembenaran yangsah menurut hukum

yang berlaku.49

Hak hidup adalah salah satu dari hak-hak alami Institusional yang

tidak memerlukan persetujuan sosial atau semacamnya. Dia adalah

karunia yang dikarunikan oleh Allah Yang Maha Tinggi kepada setiap

manusia. Seseorang tidak kuasa menghidupkan seseorang dan

48 Jahada, “Hak Asasi Manusia menurut al-Qur’an”, al-‘Adl, VI, 1, (Januari 2013), h.43 49 Barda Nawai Arief, Kebijakan Hukum Pidana perkembangan, penyusunan konsep baru

KUHP, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2011) h.68

30

melenyapkan hidupnya tanpa kehendak Allah SWT. sebagaimana Allah

berfirman dalam Alqur’an yang berbunyi:

(11: 31\احلجروأإن لأنأحن ني وأنيت وأنأن الوأارث ونأ. )

Artinya: “Dan sesungguhnya benar-benar kami yang menghidupkan dan

mematikan, kami (pulalah) yang mewarisi” (QS. Al-Hijr/15 : 23)

Kekuasaan menghidupkan dan mematikan hanyalah ada pada

Alah SWT (QS. Qaaf: 43). Oleh sebab itu setiap manusia mempunyai

hak sama untuk hidup dan meneruskan kehidupannya serta

mempertahankan kehisupannya itu dengan bebas dan wajar. Jiwa

manusia adalah suci dan tidak boleh disakiti dan segala usaha harus

dilakukan untuk melindunginya, terutama tidak seorangpun

diperbolehkan menyakiti seseorang kecuali berdasarkan hukum, seperti

hukum qishash pada tindak pidana pembunuhan.50

Menurut Syeikh Syaukat Husain, Islam memerintahkan umatnya

untuk menghormati hak hidup ini, walaupun terhadap bayi yang masih di

dalam rahim ibunya. Lebih dari itu, Islam tidak hanya memperhatikan

kemuliaan dan martabat manusia ketika ia masih hidup, martabatnya

tetap dimuliakan, sampai dengan wafatnya, dengan diurus jenazahnya,

dimandikan, dikafankan, dishalatkan dan dimakamkan dengan baik dan

penuh ketulusan.51

Hidup tidak ada artinya tanpa kemerdekaan dan keamanan

pribadi. Hidup tanpa kemerdekaan dan keamanan sama artinya dengan

pembunuhan secara perlahan-lahan, disebabkan tidak dapatnya

mengembangkan kehidupannya. Kemerdekaan adalah tiap-tiap manusia

merdeka berbuat menurut apa yang dikehendakinya, asal tidak

melanggar kemerdekaan orang lain. Setiap orang atau setiap individu

50 Dalizar Putra, Hak Asasi Manusia menurut Al-Qur’an,. h.44 51 Syeikh Syaukat Husain, Human Right in Islam, Terjemahan: Abdul Rochim C.N.

(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 60.

31

mempunyai hak yang tak dapat dipungkiri untuk merdeka dalam segala

bentuknya, fisik, kebudayaan, ekonomi dan politik serta harus diberi

kesempatan untuk memperjuangkan dan dengan segala sarana yang ada

menentang setiap pengekangan, penindasan dan penghapusan terhadap

haknya.

Dalam konsep yuridis kemerdekaan didasari bukan atas dasar

moral menusia, akan tetapi didasari oleh dekrit positif dari Allah SWT.

oleh sebab itu menurut al-Qur’an manusia tidak boleh diperbudak

(diperhamba) oleh manuisa lain, tetapi hanya menjadi budak (hamba)

dari Allah Yang Maha Kuasa. Allah berfirman;

كأ ن أعب كأ نأستأعي )الفتحةإي (1: 3\وأإيArtinya: “Kepada-Mu (wahai Allah) kami beribadah dan kepada-Mu

kamu memohon pertolongan” (QS. Al-Fatihah /1: 4).52

Hak akan kemerdekaan dan kebebasan seseorang mencakup

makna dan aspek atau ruang lingkup yang sangat luas. Seseorang tidak

hanya bebas dan merdeka terhadap keberadaannya (eksistensinya)

sebagai manusia, tetapi juga di dalam menentukan, malangsungkan dan

mempertahankan eksistensinya sebagai manusia dalam kehidupan

pribadi maupun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Kemerdekaan dan kebebasan yang ingin dicapai adalah suasana tertib

(tatanan) hukum yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan dan keadilan

sosial serta perlindungan seluruh bangsa Indonesia. Dengan demikian,

walaupun setiap orang mempunyai kebebasan, tetapi pada dasarnya

mempunyai kewajiban untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak

asasi orang lain. Segala bentuk pelecehan, perampasan, pengekangan dan

penguasaan paksa secara sewenang-wenang atas hak kemerdekaan dan

kebebasan orang lain pada hakikatnya merupakan pelanggaran terhadap

HAM. Namun dalam tertib hukum, seseorang dinyatakan telah

52 Dalizar Putra, Hak Asasi Manusia menurut Al-Qur’an,. h.49

32

melakukan pelanggaran HAM atau dilihat dari sudut hukum pidana telah

melakukan tindak pidana, harus didasarkan pada hukum dan undang-

undang yang berlaku.53

b. Hak berpendapat

Islam menganugerahkan hak untuk berfikir dan hak untuk

mengungkapkan pendapat kepada seluruh umat manusia. Kebebasan

berekspresi ini tidak hanya diberikan kepada warga negara ketika

melawan tirani, namun juga setiap individu untuk bebas mengeluarkan

pendapat dan sekaligus mengekspresikannya berkait dengan berbagai

masalah.54 Setiap orang mempunyai hak untuk berpendapat dan

menyatakan pendapatnya selama dia tetap dalam batas-batas yang

ditentukan oleh hukum dan norma-norma lainnya. Artinya tidak

seorangpun diperbolehkan fitnah, hasut dan berita-berita yang

mengganggu ketertiban umum dan mecemarkan nama baik orang lain.

Pendapat yang dikehendaki adalah pendapat yang bersifat konstruktif,

tidak bersifat destruktif dan tidak pula bersifat anarkis. Bagi seorang

muslim selalu dianjurkan mengemukakan ide atau gagasan yntuk

menciptakan kebaikan dan mencegah kemungkaran.55 Allah

dalam firman-Nya yang berbunyi:

أن المنكأر هأونأ عرف وأي أن أيأ مرونأ بمل ونأ إلأ اخلأي وأ لأئكأ هم أو وأ وألتأكن م نكم أمة ي

(309: 1\نمراالمفلحونأ. )ال Artinya: “Dan adalah di antara kamu segolongan umat yang menyuruh

kepada kebaikan dan mencegah kepada yang mungkar. Merekalah orang-

orang yang beruntung”. (QS. Ali Imran/3: 104)

Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin umat selalu meminta

buah pikiran dan pendapat dari umatnya dalam hal yang berhubungan

53 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan, Penyususnan konsep

baru KUHP, h.71 54 Ahmad Mukri Aji, Hak dan Kewajiban Asasi Manusia dalam Perspektif Islam, h.7 55 Dalizar Putra, Hak Asasi Manusia menurut Al-Qur’an,. h.52

33

dengan masalah dunia. Hal ini terlihat jelas dalam tindakan beliau

membagi urusan dunia dan urusan akhirat. Yang mana mengenai urusan

agama yaitu ibadah, syari’at dan hukum dasar itu adalah dari Allah.

Muhammad SAW memimpin dan semua wajib tunduk. Tetapi urusan

yang berkenaan dengan dunia, misalnya perang dan damai, menjalankan

ekonomi, ternak, bertani dan hubungan biasa antara manusia (human

raltion) hendaknya dimusyarahkan berdasarkan pertimbangan maslahat

(apa yang baik untuk umum) dan mudharat (apa yang membahayakan).

Demikian pentingnya menyatakan pendapat dalam Islam demi untuk

kemaslahatan umum. Landasan dalam al-Qur’an adalah sumpah dan

amanat Allah kepada kalam yang berfungsi sebagai alat untuk

menyebarluaskan pendapat atau ilmu pengetahuan. Dijelaskan dalam al-

Qur’an sebagai berikut;

(3: 86\وأالقألأم وأمأا يأسطرونأ. )القلم˜ نArtinya: “Nun, Demi kalam dan apa yang mereka tulis”. (QS. Al-

Qalam/68:1)

Dengan goresan pena orang dapat menyatakan pendapatnya,

mengetahui pendapat orang lain, mendalami ilmu pengetahuan,

memperjuangkan hak-haknya dan sebagainya. Goresan pena dalam

mengemukakan pendapat ini tentu selalu memperhatikan etika pergaulan

dan juga jangan sampai merugikan orang lain sesuai dengan prinsip amal

ma’ruf nahi mungkar.56

c. Hak Berserikat dan Berkumpul

Islam telah memebrikan hak kepada rakyat untuk bebas

berpolitik, berserikat dan membentuk organisasi-organisasi. Namun, hak

berserikat ini dilakukan dengan motivasi untuk menyebarkan dan

merealisir kemaslahatan dan kebaikan baik bagi individu, masyarakat

dan bangsa, bukan untuk menyebarkanluaskan kejahatan dan kekacauan.

56 Dalizar Putra, Hak Asasi Manusia menurut Al-Qur’an., h.55

34

Sehingga dapat dikatakan bahwa hak kebebasan berserikat tidak berlaku

secara mutlak tanpa batas. Akan tetapi, ia dilakukan dengan dilandasi

oleh semangat untuk menyebarluaskan amal-amal kebajikan dan

kesalehan, serta menumpas kejahatan dan kemunkaran.57 Hak untuk

kebebasan berserikat secara umum terkandung pada Alquran surat Ali

Imran ayat 110;

أن المنكأر وأت ؤمنونأ بلل مرونأ بلمأعروف وأت أن هأونأ تم خأيأ أمة أخرجأت للناس تأ لأو آمأنأ أأهل وأ كن م من هم المؤمنونأ وأأأكث أرهم الفأاسقونأ )ال لأكأانأ خأياا لأ (330: 1\نامر الكتأا

Artinya: “kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,

menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan

beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih

baik dari mereka; diantara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan

mereka adalah orang-orang yang fasik” (QS. Ali Imran/3: 110)

Oleh sebab itu setiap orang berhak untuk turut serta bersama

dalam kehidupan keagamaan, sosial budaya dan politik dan

masyarakatnya dan mendirikan lembaga-lembaga dimana berdasarkan

ini dimungkinkan ia menikmati hak-haknya dan mengembangkan diri

sepenuhnya.58

d. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup atau hak ekonomi

Berbicara tentang hak ekonomi, Islam telah mengajarkan kepada

setiap individu untuk dapat memenuhi kebutuhan pribadinya dan

keluarganya sesuai dengan prestasi hidup skill yang dimiliki. Namun, di

balik harta yang dimilikinya itu, di dalamnya terkandung hak orang lain,

khususnya dhua’fa dari golongan fakir miskin, yang dikelurakan melalui

zakat, infak, dan sedekah (ZIS). Hal tersebut sesuai dengan firman Allah

SWT QS. adz-Dzariyat 51 : 19;

ائل وأالمأحروم. )الذاريت أق للس (34: 13\وأف أأموأالم

57 Syeikh Syaukat Husain, Human Right in Islam, Terjemahan: Abdul Rochim C.N., h.84-

85 58 Dalizar Putra, Hak Asasi Manusia menurut al-Qur’an., h.57

35

Artinya: “Dan pada harta-harta meeka ada hak-hak orang miskin yang

mendapat bahagian” (QS. Adz-Dzariyat/51: 19)

Pesan ayat tersebut menyatakan dan menegaskan bahwa siapapun

yang minta pertolongan dan siapapun yang menderita kesulitan

mempunyai hak atas begian harta benda dan kekayaan seorang muslim,

tanpa melihat apakah ia berasal dari bangsa ini, atau itu, dari negara

manapun dan dari ras manapun ia berasal.59

Selain itu, Islam memberikan jaminan perlindungan dan

keamanan terhadap eksistensi harta kekayaan masing-masing individu,

khususnya terhadap harta benda yang diperoleh secara legal dan sah

menurut hukum. Termasuk di dalamnya hak-hak untuk dapat menikmati

dan mengkonsumsi harta, hak untuk investasi dalam berbagai usaha, hak

untuk mentransfer, serta hak perlindungan individu lain tingga di atas

tanah miliknya.60

e. Hak mendapatkan pendidikan

Manusia menurut Alquuran, memliki potensi untuk meraih ilmu

dan mengembangkannya seizin Allah. Karena itu, beberapa ayat yang

memerintahkan manusia menempuh berbagai cara untuk mewujudkan

hal tersebut. Manurut pandangan Alquran seperti diisyaratkan wahyu

pertama ilmu terdiri dari dua macam, pertama; ilmu yang diperoleh tanpa

upaya manusia, dinamakan ilmu laduni seperti firman Allah dalam QS.

Al-Kahfi/18 : 65. Kedua; ilmu yang diperoleh karena usaha manusia,

dinamakan ilmu kasbi.61 Terdapat banyak ayat yang berbicara mengenai

pendidikan salah satunya adalah QS. Al-‘Alaq/96

لأقأ ي خأ م رأب كأ الذ س رأأ ب )( 3)اق لأق أ ن انأ م سأ ن لأقأ ال رأأ وأرأبكأ 1خأ ( اق ( رأم )1الأك لأم قأ ل لمأ ب أ )9( الذي لأم ا لأ ي أع انأ مأ سأ ن لمأ ال أ ن 1( ل إ ( كأ

59 Syeikh Syaukat Husain, Human Right in Islam, Terjemahan: Abdul Rochim C.N., h.15 60 Syeikh Syaukat Husain, Human Right in Islam, Terjemahan: Abdul Rochim C.N., h.62 61 Jahada, Hak Asasi Manusia menurut Al-Qur’an., h.49

36

( غأى انأ لأيأط سأ ن )8ال نأ غ ت أ )7( أأن رأآ اس عأى رأب كأ الرج لأ ن إ تأ 6( إ ( أأرأأأي)ال ى هأ )4ذي ي أن لى ذأا صأ ا إ ا ب أ (1-3: 48\العلق) (30(

Artinya: “Bacalah dengan nama Tuhan-mu yang menciptakan. Dia telah

menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dengan nama

Tuhan-mu yang paling pemurah. Dia mengajarkan kepada manusia apa-

apa yang Dia tidak ketahui”. (QS. Al- ‘Alaq/96: 1-5).

Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan, pendidikan sebagai

kewajiban bagi semua orang islam, laki-laki dan perempuan tanpa

batasan waktu dengan merenungkan segala yang terjadi di langit dan

bumi. Penegasan ini adalah gagasan Islam mengenai pendidikan yang

lengkap yang merupakan keharusan bagi perkembangan pribadi

manusia. Pendidikan ini pulalah yang memebuka akal pikiran manusia

terhadap kenyataan hidup dalam alam semesta ini dan terhadap hubungan

manusia dengan Tuhan-nya dan hubungan manusia sesama manusia.

Nabi Muhammad SAW bersabda sebagai berikut:

ثي بن شنظي ث أنأا كأ أ فصص بن سلأيمأانأ أ ث أنأا أ ار أم ام بن ث أنأا هشأ بن أ أم , أن أأنأس بن مأالك قأالأ ل قأ سيينأ ألأيه وأسأ طألأ العلم قأريضأة مأ لأ رأسل الل صألى الل

اخلأنأازير الأوهأرأ وأال ألأى كل مسلم أ غأي أأهله كأمقأل ن . )روا لؤلؤأ وأالذهأ أ وأوأاضع العلم البخارى وابن بالرب(

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Ammar berkata,

telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Sulaiman berkata, telah

menceritakan kepada kami Katsir bin Syinzhir dari Muhammad bin Sirin

dari Anas Bin Malik ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

bersabda: “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Dan

orang yang meletakkan ilmu bukan pada ahlinya, seperti seorang yang

mengalungkan mutiara, intan dan emas ke leher babi,”” (HR. Ibnu Majah

dan Ibnu Abdul Bar). 62

62 Dalizar Putra, Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qu’an, h.,75

38

BAB III

PENANGANAN KASUS TERDUGA TERORISME SIYONO

A. Tindak Pidana Terorisme

Hingga saat ini, definisi terorisme masih menjadi perdebatan meskipun

sudah ada ahli yang meneruskan, dan dirumuskan di dalam peraturan

perundang-undangan. Amerika Serikat sendiri yang pertama kali

mendeklarasikan “perang melawan Teroris” belum memberikan definisi yang

gamblang dan jelassehingga semua orang bisa makna sesungguhnya tanpa

dilanda keraguan, tidak merasa didiskriminasikan. Kejelasan definisi ini

diperlukan agar tidak terjadi salah tangkap, dan berakibat merugikan

kepentingan banyak pihak, disamping demi kepentingan atau target

meresponsi hak asasi manusia (HAM) yang seharusnya wajib dihormati oleh

semua orang beradab.63

Istilah kata Terorisme dalam bahasa inggris disebut Terorism yang

berasala dari kata “Terror” dan pelakunya disebut “Terrorist”. Berdasarkan

Oxford paperback Dictionary, terror secara bahasa diartikan sebagai “Extreme

fear” (kekuatan yang luar biasa), “Terrifying person on thing” (seseorang atau

sesuatu yang mengeikan), sedangkan “Terrorism” berarti “use of violence and

intimidatiom, especially for political purpose” yang senada dengan pengertian

di atas, Black’s Law mendefinisikan terorisme sebagai “the us of threat of

violence to intimidate or cause panic, eps as a means of offecting political

conduct”.64

Menurut Hafid Abbas, terorisme adalah pemakaian kekuatan atau

kekerasan tidak sah melawan orang atau properti untuk mengintimidasi atau

menekan suatu pemerintahan, masyarakat sipil, atau bagian-bagiannya, untuk

63 Abdul Wahid, Sumardi, dan Muhammad Sidik, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama,

Hukum, HAM, (Bandung: PT Refrika Aditama, 2004), h.21

64 Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), cet. 1, h.,61

39

memaksakan tujuan sosial atau politik.65 Dalam Black’s Laws Dictonary

seperti yang dikutip oleh Muladi, dikatakan bahwa tindak pidana terorisme

adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek

bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana, dan jelas

dimaksudkan untuk mengintimidasi penduduk sipil; mempengaruhi kebijakan

pemerintah; mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan

dan pembunuhan.66

Terorisme mengacu pada penggunaan kekersan atau ancaman

kekerasan secara tak terduga dan direncanakan. Frassminggi Kamasa dalam

bukunya mendefinisikan teorisme sebagai, “serangan bersenjata atau bentuk-

bentuk lain dari serangan terhadap warga sipil. Pelakunya harus dianggap

sebagai teroris dan grup atau pemerintah yang mendukung serangan terhadap

warga sipil harus dianggap teroris, terlepas dari pembenaran serangan yang

dilakukan dan dari keluhuran perjuangan yang dilakukan”.67

Sedangkan tindak pidana terorisme merupakan tindak pidana murni

(mala perse) yang dibedakan dengan administrative criminal law (mala

probihita) dimana kriminalisasi terhadap tindakan tersebut dapat dilakukan

melalui beberapa cara, seperti amandemen terhadap pasal-pasal KUHP,

membuat peraturan khusus tentang tindak pidana terorisme yang memilki

kekhususan atas hukum acaranya, dan/atau melalui sistem kompromi dengan

memasukkan bab barau dalam KUHP tentang “kejahatan terorisme”.68

Banyak pihak yang menyatakan bahwa tindak pidana terorisme adalah

extraordinary crime, namun karakteristik dari extraordinary crime masih

kabur. Pelanggran HAM berat merupakan salah satu dari extraordinary crime

65 Hermawan Sulistyo, dkk, Beyond Terorisme, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002) cet.

1, h.,3 66 Hery Firmansyah, “Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia”,

Mimbar Hukum, XXIII, 2, (Juni 2011), h.,378 67 Frassminggi Kamasa, Terorisme; Kebijakan Kontra Terorisme Indonesia, (Yogyakarta:

Graha Ilmu, 2015), cet. 1, h.,10 68 Muladi, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:

Habibie Center, 2002), h.,24

40

berdasarkan Statuta Roma dengan dua alasan, pertama, pola tindakan bersifat

sistematis dan biasanya dilakukan oleh pihak pemegang kekuasaan sehingga

baru dapat diadili setelah kekuasaan itu berakhir, kedua, kejahatan tersebut

sangat bertentangan dan menciderai rasa kemanusiaan yang mendalam,

dilakukan dengan cara-cara yang mengurangi atau menghialangkan derajat

kemanusiaan. Menuerut Indriyanto Seno Adji, terorisme merupakan bagian

dari extraordinary crimes yang berbeda dengan kejahatan kekerasan lainnya

karena kejahatan itu mengorbankan manusia atau orang-orang yang tidak

berdosa serta dapat merusak sistem perekonomian, integritas negara, penduduk

sipil yang tidak berdosa serta fasilitas umum lain dalam konteks melawan

hukum.69

Dalam bahasa Arab, terorisme dikenal dengan istilah Al-Irhab. Dari

sini, bisa dipahami bahwa kata Al-Irhab (teror) berarti (menimbulkan) rasa

takut. Irhabi (teroris) artinya orang yang membuat orang lain ketakutan, orang

yang menakut-nakuti orang lain.70 Sedangkan dalam kamus besar bahasa

Indonesia, teorisme adalah puncak aki kekerasan, terrorism is the opex of

violence. Selain itu, terorisme adalah Penggunaan kekerasan untuk

menimbulkan ketakutan, dalam usaha mencapai suatu tujuan (terutama tujuan

politik). Sedangkan teroris adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk

manimbulkan rasa takut (biasanya untuk tujuan politik), dan teror adalah

perbuatan sewenang-wenang, kejam, bengis, dalam usaha menciptakan

ketakutan, kengerian oleh seseorang atau golongan.71

Terorisme dalam hukum islam bervariasi antara lain al-irhab

(irhabiyah), al-hirabah (perampokan), al-bagyu (pemberontakan), qati’u al-

tariq atau qutta’u al-tariq (pembegal) dan al-unf (lawan dari kelemah

lembutan). Menurut Abd al-Hayya al-Farmawi term term yang semakna

69 Abdul Wahid, Sumardi, dan Muhammad Sidik, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama,

Hukum, HAM,h.,39 70 Abdul Zulfidar Akaha, Terorisme Konspirasi Anti Islam, (Jakarta: Pustaka al-Kautsae,

2005), h.28 71 Ahmad Zainut Tauhid, “Hukuman Mati terhadap pelaku tindak pidana terorisme

perspektif Fikih Jinayah”, jurnal Agama dan Hak Asasi Manusia, I, 2, (Mei 2012), h.354

41

dengan terorisme disebutkan sebanyak 80 kali, antara lain: al-bagyu, al-

tughyan (kesewenang-wenangan atau melampaui batas) (Q.S al Hud :112) al

zylm (kezaliman), (Q.S al-furqan: 19) al-itida melampaui batas, (Q.S al-

Baqarah: 190) (al-Maidah: 87) al-qatl (pembunuhan) (Q.S al-Maidah: 32)

alharb (peperangan) (Q.S al-Maidah: 33-34).

Dalam hal ini penulis hanya menjelaskan tiga istilah seperti yang

banyak disebutkan dalam kitab-kitab fiqih baik yang klasik maupun

kontemporer. Perlu ditegaskan bahwa hirabah adalah (perampokan), al-bagyu

(pemberontakan), qatiu al-tariq atau qatau al tariq (pembegal) dikategorikan

sebagai terorisme jika memnuhi kriteria atau terorisme misalnya dilakukan

dengan aksi kekerasan, menimbulkan kepanikan masyarakat, menimbulkan

kerugian jiwa dan materi lainnya dan memiliki tujuan politik.72

a. Al-Irhab (Irhabiyah)

Secara etimologi istilah al-irhab terambil dari kata arhaba yuharibu

yang berakar kata rahiba, berarti intimidasi atau ancaman. Dapat juga

bermakna akhafa (menciptakan kelakuan) atau faza’a (membuat kerugian

atau kegetaran). Pengertian terminologi dari al-irhab yaitu rasa takut yang

ditimbulkan akibat aksi-aksi kekerasan, orang yang menempuh jalan teror

dan kekerasan. Adapun al-hukm al-irhabi berarti bentuk pemerintahan yang

memerintah rakyat dengan sewenang-wenang, kekerasan dalam rangka

mengatasi berbagai perselisihan yang terjadi dalam masyarakat dan juga

bertujuan memberantas gerakan-gerakan separatis.73

b. Al-Hirabah (Perampokan)

Secara etimologis perampokan (Hirabah) berarti memerangi atau

dalam kalimat haraballah berarti seseroang bermaksiat kepada Allah.

Adapun secara terminologis perampokan (hirabah) yang juga disebut

72 Kasjim Salenda, Terorisme dan Jihad dalam perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Badan

Litbang dan diklat Departemen Agama RI, 2009), h.241 73 Kasjim Salenda, Terorisme dan Jihad dalam perspektif Hukum Islam,... h.241

42

dengan quththa’u al-tariq (para pemutus jalan/pembegal) adalah

penyerangan dengan senjata lalu merampas harta korban secara terang-

terangan.74

Menurut al-Syafi’i dalam al-Umm mendefinisikan pelaku

perampokan qutta’u al-tariq ialah mereka yang melakukan penyerangan

dengan membawa senjata kepada sebuah komunitas orang, sehingga para

pelaku perampasan harta orang kekayaan mereka di tempat-tempat terbuka

secara terang-terangan. Masing-masing pelaku dalam hirabah ini diberikan

sanksi hukum sesuai dengan perbuatannya. Seseorang yang harus dihukum

mati atau salib maka dibunuh terlebih dahulu, sebelum disalib karena

perbuatan pelaku tersebut harus dihukum sebagai tindakan yang dibenci.75

Sedangkan menurut Abdul Qadir Audah, Hirabah ialah perampokan

atau pencurian besar, cakupan pencurian yang meliputi perampokan itu

ditinjau dari segi arti majas bukan arti hakikat, sebab pencurian itu

mangambil (harta) secara sembunyi-sembunyi sedangkan pada perampokan

pengambilan harta dilakukan dengan cara terang-terangan. Akan tetapi,

dalam perampokan juga terdapat unsur sembunyi-sembunyi, yaitu pada

sikap palku yang bersembunyi dari seorang kepala negara dan dari ketaatan

untuk menjaga ketertiban dan keamanan. Perbedaan perampokan dengan

pencurian adalah cara yang dilakukan,. Pencurian dilakukan secara

sembunyi-sembunyi, sedangkan perampokan dilakukan secara terang-

terangan dan disertai kekerasan.76

Berdasarkan definisi di atas mengindikasikan bahwa penjabaran

tindak pidana al-hirabah (perampokan) mencakup empat kriteria: (1) keluar

dengan motif untuk memperoleh harta dengan cara kekerasan dan

melakukan intimidasi, baik pelkunya tidak mengambil harta atau tidak

membunuh, (2) keluar dengan motif untuk memperoleh harta dengan cara

74 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam,.. h,. 88 75 M. Nurul Irfan & Masyrofah, Fiqh Jinayah, h,.123 76 M. Nurul Irfan & Masyrofah, Fiqh Jinayah, h.,127

43

kekerasan dan melakukan intimidasi, pelakunya hanya mengambil harta,

tetapi tidak membunuh, (3) keluar dengan motif untuk memeproleh harta

dengan cara kekerasn dan melakukan intimidasi, pelakunya tidak

mengambil harta, tetapi membunuh, (4) kaluar dengan motif untuk

memperoleh harta dengan cara kekerasan dan melakukan intimidasi,

pelakunya mengambil harta dan membunuh.

Di samping kriteria di atas, tindak pidana perampokan setidaknya

memenuhi beberapa persyaratan yang berkaitan dengan “pelaku” dan

wilayah operasionalnya”. Pelaku perampokan disyaratkan memiliki

kemampuan, baik kemampuan kepemilikan senjata atau peralatan (fasilitas)

yang digunakan untuk melakukan perampokan atau strategi dan teknik

perampokan.77

c. Al-Baghyu (Pemberontakan)

Perlu ditegaskan bahwa al-Baghyu (pemberontakan) dikategorikan

sebagai terorisme jika dilakukan dengan kekerasan, menimmbulkan

kepanikan dan kerusakan tatanan kehidupan masyarakat. Jadi tidak semua

aksi pemberontakan dapat dikelompokkan sebagai terorisme. Sekalipun

tidak dapat terdapat kesepakatan tentang memasukan al-Baghyu

(pemberontakan) sebagai bagian dari terminologi terorisme dalam

Islam,tetapi badar nashir justru berpendapat bahwa al-Baghyu merupakan

terorisme.

Jarimah pemberontakan memiliki kesamaan dengan Jarimah

perampokan, sehingga sejumlah penulis menggabungkan pembahasan

antara kedua jarimah tersebut dalam satu bab, meskipun uraiannya tetap

terpisah. Diantara kesamaan antara perampokan dan pemberontakan adalah

keduanya menimbulkan gangguan stabilitas keamanan, sedangkan

perbedaannya terletak pada tujuannya. Tujuan perampokan pada intinya

77 Kasjim Salenda, “Terorisme dalam perspektif hukum Islam”, Ulumuna jurnal Studi

Keislaman, XIII, 1, (Juni 2009), h.90

44

adalah perampokan harta orang lain dengan tindakan kekerasan, sedangkan

tujuan pemberontakan ialah pengambil alihan kekuasaan dari pemerintahan

yang sah melalui kudeta. Dengan demikian munculnya pemberontakan

umumnya dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi, sedangkan tindak pidana

pemberontakan lebih didorong faktor politik.78

Menurut ulama malikiyah, Pemberontakan ialah sikap menolak untuk

taat terhadap seseorang yang dianggap sah kepemimpinannya bukan

lantaran kemaksiatan dengancara melakukan perlawanan. Kalangan Syafi’i

dan Hambali mendefinisikan bughat; pemberontakan adalah

pembangkangan suatu kelompok yang memiliki kekuatan dan pemimpin

yang diataati, terhadap kepala negara dengan menggunakan alasan yang

tidak benar. Jika diteliti secara seksama definisi yang dikemukakan oleh

para ulama di atas, menunjukkan bahwa pada prinsipnya perbedaan tersebut

tidak prinsipil, karena hanya perbedaan redaksi yang harus terpenuhi dalam

jarimah pemberontakan.79

1. Karakteristik Terorisme

Menurut Hendropiyono (2009) terorisme mempunyai berbagai

karakter yang dapat didimpulkan anatara lain sebagai berikut:

a. Terorisme itu membutuhkan suatu perencanaan yang matang dan terinci.

Segala kebiasaan dan gerakan sutau sasaran (objek teror) harus diamati

dengan cermat. Teknik operasional persenjataan bom harus dikuasai penuh

oleh pelaku. Transportasi harus siap dan safe house (rumah aman) harus

tersedia. Karakter yang paling menonjol dari tindakan terorisme adalah

digunakan kode bahasa tertentu dalam disiplin berbicara atau

menyampaikan sesuatu. Terutama dalam suatu operasi rahasia, teroris

tidak akan menggunakan bahasa yang lazim digunakan dalam percakapan

awam, melainkan telah disepakati suatu kode bahasa tertentu antar anggota

78 Kasjim Salenda, Teroris dan Jihad dalam Pespektif Hukum Islam, h,.261 79 M. Nurul Irfan & Masyrofah, Fiqh Jinayah, h.,60

45

mereka. Hal ini untuk menjaga kerahasiaan operasi mereka, selain untuk

menjaga kerahasiaan operasi mereka, selain untuk menjaga agar jika salah

satu simpul organisasi terbongkar, simpul lainnya tidak ikut campur.80

b. Terorisme manggunakan bahasa rahasia di antara anggota mereka.

Penggunaan bahasarahasia di anatara para pelaku teroris ini dnegan

sendirinya akan menjadi terbuka jika operasi mereka telah asuk pda tahap

akhir dari aksi mereka.

c. Terorisme biasa mempunyai suatu pusat pengendali atau pos komando

yang terkadang berada jauh diluar negeri. Hal itu akan memungkinkan

para pemimpin teroris untuk melakukan berbagai aksinya secara lebih

bebas, jauh dari ancaman tangkapan atau penyergapan dari aparat

keamanan. Namun demikian, adanya jarak antara sang pemimpin dengan

para pelaku teroris di lapangan memungkinkan terjadi distorsi dalam

hubungan komunikasi di anatara mereka.

d. Terorisme biasanya menggunakan sistem sentralisasi dalam

kepemimpinan. Hal ini harus mereka lakukan mengingat adanya sistem

perencanaan yang matang dan terinci dalam aksi mereka. Ironisnya

tindakan di lapangan justru membutuhkan suatu inprovisasi yang luar

biasa di luar perencanaan yang matang dan terinci itu, hal inilah yang kerap

kali menunjukkan operasi terorisme mengalami kegagalan.81

e. Idealnya terorisme dijalankan oleh suatu unit yang ramping (kecil), karena

semakin besar unit yang menjalankan operasi, maka terorisme semakin

mudah dipatahkan. Unit-unit kecil teroris itu akan bergerak lebih aman dan

kompak, namun memiliki keterbatasan dalam hala sumber daya dan

pengetahuan untuk mewujudkan suatu operasi besar.82

80 Firman Arifin, “Tindak Pidana Terorisme dalam Hukum Pidana Islam (analisis Fatwa

MUI Nomor 3 Tahun 2004 tentang Terorisme)”, (Bandung: Skripsi Hukum Pidana Islam Fakultas

Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati), h.22, t.d 81 Firman Arifin, “Tindak Pidana Terorisme dalam Hukum Pidana Islam (analisis Fatwa

MUI Nomor 3 Tahun 2004 tentang Terorisme)”, h.23 82 Firman Arifin, “Tindak Pidana Terorisme dalam Hukum Pidana Islam (analisis Fatwa

MUI Nomor 3 Tahun 2004 tentang Terorisme)”, h.23

46

f. terorime dewasa ini membutuhkan dana yang besar untuk menjalankan

operasi mereka. Hal ini tentu berbeda dengan para teroris abad ke-19 (masa

prang dingin) yang secara relatif dapat berjalan tanpa uang. Beberapa

kelompok terorisme menapatkan dana operasi mereka dari para donatur

kaya dalam dan luar negeri yang mendukung aksi mereka, merampok

bank, memalsukan uang, penculikan dan pemerasan, atau bantuan

pemerintah asing yang mendukung teroris dalam memusnahkan musuh

bersama.

g. Idealnya para anggota kelompok terorisme berbadan kuru, lapar, dan tidak

dimanjakan oleh godaan-godaan kehidupan mewah. Mereka hidup dalam

kesedrhanaan dan tampak bersahaja. Hal ini akan memudahkan mereka

untuk hidup di tengah masyarakat sambil terus melancarkan hasutan dan

ancaman.

h. Terorisme menggunakan bom sebagai bahan pemusnah. Sarana bom ini

telah digunakan oleh para pelaku teror sejak era Napoleon dengan tujuan

memperluas kerusakan yang melebihi sarana yang telah ditentukan. Pada

perkembangan selanjutnya, mereka telah menggunakan berbagai temuan

mutahir bahan peledak dan berbagai senjata lainnya untuk melancarkan

aksi terorisme.83

i. Selain menggunakan bom, teroris juga melancarkan aksinya dengan cara

membajak pesawat terbang. Kasi pemabajakan pertama yang pertama

diketahui di dunia dilakukan di peru pada tahun 1930-an. Indonesia sendiri

pernah mengalami aksi semacam ini pada dekade awal 80-an, yaitu

pembajakan pesawat terbang Garuda DC-9 Wyla.

j. Beberapa kelompok teroris juga menggunakan teror yang mengancam

kehidupan ekonomi musuh-musuhnya.

Biasanya mereka melakukan kempanye teror secara langsung terhadap

berbagai objek wisata yang ada di suatu wilayah. Teror semacam ini pernah

83 Firman Arifin, “Tindak Pidana Terorisme dalam Hukum Pidana Islam (analisis Fatwa

MUI Nomor 3 Tahun 2004 tentang Terorisme)”, h.24

47

berlangsung di Spanyol, Israel, Inggris, dan Mesir. Di Indonesia, pasca

kejadian bom malam natal tahun 2000 juga merebak ancaman teror terhadap

beberapa objek wisata di Jakarta.84

2. Bentuk-bentuk Terorisme

Menurut Abdul Wahid, Sunardi, dan Muhammad Imam Sidik ada dua

bentuk terorisme. Bentuk yang pertama adalah teror kriminal yang

menggunakan cara pemerasan dan intimidasi. Mereka menggunakan kata-

kata yang dapat menimbulkan ketakutan atau teror psikis, teror kriminal

biasanya hanya untuk kepentingan pribadi atau memperkaya diri sendiri.

Bentuuk kedua adalah teror politik. Teror politik tidak memilih-milih korban.

Teroris politik selalu siap melakukan pembunuhan terhadap orang-orang sipil

baik laki-laki maupun perempuan, dewasa atau anak-anak tanpa

mempertimbangkan penilaian politik dan moral.85

Sedangkan menurut Frassminggi Kamasa, terdapat delapan jenis

terorisme yang dapat saling dibedakan. Pertama, terorisme negara yaitu

terorisme yang terjadi ketika satu negara menyerang negra lain untuk

kepentingannya sendiri tanpa ada justifikasi yang sah yang membenarkan

penyerangan itu atau bisa juga dalam bentuk kebijakan represif negara

terhadap warganya.86

Kedua, terorisme separatis etno-nasionalis adalah teroris yang

berusaha untuk mencapai identitas nasional. Tujuan utama merka adalah

untuk memobilisasi komunitas grup dengan menawarkan latar belakang

nasionalistik bagi grup etnik tertentu.

Ketiga, terorisme kaum sosial revolusioner kiri yang berdasarkan pada

ideologi komunisme revolusioner. Terorisme kiri bertujuan untuk

84 Firman Arifin, “Tindak Pidana Terorisme dalam Hukum Pidana Islam (analisis Fatwa

MUI Nomor 3 Tahun 2004 tentang Terorisme)”, h.25 85 Abdul Wahid Sunardi dan Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme Perspektif

Agama, Hukum, HAM, h.,40 86 Frassminggi Kamasa, Terorisme; Kebijakan Kontra Terorisme Indonesia, h.9

48

mengrbankan revolusi komunisme dan merebut kekuasaan dari negara untuk

mendirikan negara komunis.

Keempat, terorisme agama yakni terorisme berdasarkan ideologi

agama dengan menggunakan kekersan untuk memaksakan kehendak atau

cara pikir golongan tertentu. Atau terorisme ‘agama’ sekularisme,

materialisme, dan liberanisme yang merusak cara hidup beragama.87

Kelima, terorisme ekonomi dalam bentuk kejahatan nasional dan

transnasional kerah putih yakni kejahatan terorganisir yang melakukan

ekonomi riba. Hal ini tidak hanya berupa pinjaman uang secara berbunga

yang menyebabkan kreditur hidup dari keringat debitur, tetapi juga transaksi

yang berdasarkan penipuan yang menghasilkan laba atau keuntungan yang

diperoleh secara tidak adil. Bisa juga berarti kejahatan terorganisir yang

dilakukan organisasi transnasional secara langsung atau secara perwakilan

(by proxy) yang mengancam ketahanan nasional dan menyebar benih

perpecahan atau disintegrasi.88

Keenam, terorisme yang melibatkan bahan kimia, biologi, radiologi,

dan nuklir (CBRN). Ancaman ini, banyak terdapat dalam dunia kesehatan,

mempunyai konsekuensi yang tinggi. Di antara bahan-bahan tersebut, senjata

nuklir dan bioogi (bioterorisme) mempunyai potensi untuk menyebabkan

kehancuran massal.

Ketujuh, terorisme dalam bidang pertanian. Terorisme jenis ini terjadi

ketika rekayasa genetik diterapkan dalam benih-benih makanan pokok yang

mengharuskan negara-negara berkembang harus membeli dari negara-negara

maju atau injeksi hormon ke binatang ternak sehingga menyebabkan

pertumbuhan yang tidak alami dan gangguan metabolisme tubuh bagi yang

memekannya.89

87 Frassminggi Kamasa, Terorisme; Kebijakan Kontra Terorisme Indonesia, h.9 88 Frassminggi Kamasa, Terorisme; Kebijakan Kontra Terorisme Indonesia, h.10 89 Frassminggi Kamasa, Terorisme; Kebijakan Kontra Terorisme Indonesia, h.10

49

Kedelapan, terorisme elektronik. Yakni kejahatan dunia maya dengan

mencuri, menyadap, mengacaukan, dan menghialangkan data orang lain

hingga mampu manghancurkan komputer itu sendiri sebagai hardware. Bisa

juga kerusakan melalui alat elektronik yang menyebabkan turunnya jumlah

bayi laki-laki dibandingkan dengan bayi perempuan.90

Selain bentuk teror yang menjadi fokus bagi para teroris ada beberapa

model/bentuk aksi teror dengan berbagai macam gerakan yang biasa

dilakukan. Hal ini tersebut dimaksudkan oleh para teroris para teroris sebagai

taktik, agar maksud dan tujuannya bisa diarahi. Sekurang-kurangnya ada

sembilan bentuk aksi teror yang populer atau sering digunakan untuk para

teroris dalam melancarkan aksi terornya, diantaranya yaitu;

a. Peledakan bom/pengeboman

Pengeboman adalah taktik yang paling umum digunakan oleh

kelompok teroris dan merupakan aksi teror yang paling populer dilakukan

karena selain mempunyai nilai mengagetkan (shock value), aksi ini lebih

cepat mendapat respon karena korbannya relatif lebih banyak. Selain itu

pengeboman juga sebagai salah satu yang paling sering digunakan dan

paling disukai karena biayanya murah, bahannya mudah didapat, mudah

dirakit dan mudah digunakan serta akibatnya bisa dirasakan langsung dan

dapat menarik perhatian publik dan media massa.91

b. Pembunuhan

Pembunuhan adalah bentuk aksi teroris yang tertua dan masih

digunakan hingga saat ini. Dengan model pembunuhan yang sering

digunakan yaitu pembunuhan terpilih/selektif, yaitu tindakan serangan

terhadap target atau sasaran yang dipilih atau pembunuhan terhadap figur

yang dikenal mesyarakat (public figure) dengan sasaran pejabat

90 Frassminggi Kamasa, Terorisme; Kebijakan Kontra Terorisme Indonesia, h.,11 91 Aulia Rosa Nasution, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dalam

Perspektif Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2012),

h.108

50

pemerintah, pengusaha, politisi dan aparat keamanan. Semakin tinggi

tingkatan target dan semakin memperoleh pengamanan yang baik, akan

membawa efek yang cukup besar dalam kehidupan masyarakat.92

c. Pembajakan

Pembajakan adalah perebutan kekuasaan dengan paksaan terhadap

kendaraan dipermukaan, penumpang-penumpangnya, dan/atau barang-

barangnya. Dengan kata lain, pembajakan adalah kegiatan merampas

barang atau hak orang lain. Pembajakan yang sering dilakukan oleh para

teroris adalah pembajakan terhadap sebuah pesawat udara, karena dapat

menciptakan situasi yang menghalangi sandera bergerak dari satu tempat

ke tempat yang lain, yang melibatkan sandera-sandera dari berbagai

bangsa dengan tujuan agar menimbulkan perhatian media atau publik.93

d. Penghadangan

Aksi terorisme juga sering menggunakan taktik penghadangan.

Dimana penghadangan tersebut biasanya telah dipersiapkan terlebih

dahulu secara matang oleh para teroris dengan melakukan berbagai

latihan-latihan terlebih dahulu, serta perencanaan medan dan waktu. Oleh

karena itu taktik ini disinyalir jarang sekali mengalami kejanggalan.

e. Penculikan dan penyanderaan

Penculikan adalah salah satu tindakan terorisme yang paling sulit

dilaksanakan, tetapi bila penculikan tersebut berhasil, maka mereka akan

mendapatkan uang untuk pendanaan teroris atau melepaskan teman-teman

seperjuangan yang dipenjara serta mendapatkan publisitas untuk jangka

panjang. Sementara itu, perbedaan antara penculikan dan penyanderaan

dalam dunia terorisme sangatlah tipis. Berbeda dengan penculikan,

penyanderaan menyebabkan konfrontasi atau perlawanan dengan

penguasa setempat. Misi penyanderaan sifatnya kompleks dari segi

penyediaan logistik dan beresiko tinggi, termasuk aksi penculikan,

membuat barikade dan penyanderaan (mangambil alih sebuah gedung dan

92 Adjie S, Terorisme, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h.11 93 Aulia Rosa Nasution, Terorisme sebagai Kejahatan terhadap Kemanusiaan, h.111

51

aksi dan mengamankan sandera). Misalnya penyanderaan pesawat,

mengambil alih transportasi darat, menuntut uang tebusan untuk

penyanderaan, telah dipaki oleh kelompok-kelompok teroris sebagai cara

mengumpulkan data untuk membiayai operasional mereka.94

f. Perampokan

Taktik perampokan dilakukan para teroris untuk mencari dana dalam

membiayai operasionalnya, teroris melakukan perampokan bank, toko

perhiasan atau tempat lainnya. Karena kegiatan terorisme sesungguhnya

memiliki biaya yang sangat mahal. Perampokan juga dapat digunakan

sebagai bahan ujian bagi program latihan personil baru.

g. Pembakaran dan penyerangan dengan Perluru Kendali (Firebombing)

Pembakaran dan penyerangan dengan pelurukendali lebih mudah

dilakukan oleh kelompok teroris yang biasanya tidak terorganisir.

Pembakaran dan penembakan dengan peluru kendali diarahkan kepada

hotel, bangunan pemerintah, atau pusat industri untuk menunjukkan citra

bahwa pemerintahan yang sedang berkuasa tidak mampu menjaga

keamanan objek vital tersebut.95

h. Serangan bersenjata

Serangan bersenjata oleh teroris talah meningkat menjadi suatu aksi

yang mematikan dalam beberapa tahun belakangan ini. Teroris Sikh di

India dalam sejumlah kejadian melakukan penghentian bus yang bersisi

penumpang, kemudian menembak sekaligus membunuh seluruh

penumpang yang beragama hindu yang berada di bus tersebut dengan

menggunakan senapan mesin yang menewaskan sejumlah korban, yaitu

anak-anak, wanita dan orang tua seluruhnya.

i. Penggunaan Senjata Permusuhan Massal (Senjata Kimia)

Perkembangan teknologi tidak hanya berkembang dari dampak

positifnya untuk membantu kehidupan umat manusia, akan tetapi juga

membunuh umat manusia itu sendiri dengan kejam. Melalui penggunaan

94 Aulia Rosa Nasution, Terorisme sebagai kejahatan Terhadap kemanusiaan, h.113 95 Aulia Rosa Nasution, Terorisme sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan... h.114

52

senjata-senjata pembunuh massal yang sekarang mulai digunakan oleh

para terorisme dalam menjalankan tujuan dan sebagai salah satu bentuk

teror yang baru dikalangan masyarakat.96

3. Dasar Hukum Tindak Pidana Terorisme

Ketentuan tindak pidana terorisme diatur dalam Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang

merupakan ketentuan khusus dan spesifik karena memuat ketentuan-

ketentuan baru yang tidak terdapat dalam peraturan perundnag-undangan

yang ada, dan menyimpang dari ketentuan umum sebagaimana dimuat dalam

KUHP dan KUHAP.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 mengatur tentang penetapan

Peraturan Perundang-Undangan Nomor 1 Tahun 2002 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-undang yang

disahkan oleh Presiden Republik Indonesia dengan persetujuan bersama

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), pada tanggal 4

April tahun 2003, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 hanya berisi dua

pasal, yang terdiri dari 2 pasal.

Sementara itu, Peraturan Perundang-Undangan Nomor 1 Tahun 2002

yang ditetapkan menjadi Undang-Undang dibagi menjadi 4 bagian menurut

isinya, antara lain:

a. Bagian yang mengatur tentang yuridiksi berlakunya Undang-Undang

tersebut;

b. Bagian yang mengatur perbuatan-perbuatan apa saja yang dikualifikasikan

sebagai Tindak Pidana Teorisme dan tindak pidana lainnya yang berkaitan

dengan terorisme;

c. Mengenai proses beracara atau hukum formalnya;

96 Aulia Rosa Nasution, Terorisme sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan... h.114-

115

53

d. Bagian yang berkenaan dengan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.

4. Penanganan Tindak Pidana Terorisme

Penanggulangan terorisme di Indonesia telah ditetapkan dalam

berbagai kebijakan dan melalui berbagai perundang-undangan yang

diharapakan dapat dijadikan sarana dalam rangka mengantisipasi tumbuh dan

berkembangknya terorisme itu. Kebijakan-kebijakan yang ditetapkan

pemerintah dalam rangka mengantisipasi dan menanggulangi tindak

kejahatan atau aksi terorisme, berdasarkan permasalahan yang dihadapi

selama ini dalam penerapan sistem keamanan untuk mengantisipasi dan

menanggulangi kejahatan terorisme, maka kebijakan yang ditetapkan adalah:

“Terbangunnya sistem keamanan yang mampu mengantisipasi dan

menanggulangi ancaman kejahatan terorisme, baik saat ini maupun masa

yang akan datang, yang dilaksanakan dengan semangat kebersamaan oleh

seluruh komponen bangsa secara konsekuensi dan konsisten.” Dengan

demikian bukan hanya aparat penegak hukum yang berperan tetapi juga

seluruh elemen masyarakat harus turut terlibat. Kembali pada pendapat

Lawrence Friedman, maka substansi hukum, struktur hukum dan budaya

hukum harus bersinergy dalam pemberantasan terorisme di Indonesia.97

a. Penyelidikan

Penyelidikan dalam kasus penanganan terorisme tidak jauh berbeda

dengan penanganan kasus tindak pidana lainnya, teknik-teknik yang

digunakan yakni: interview, obsevasi, suveillance, dan undercover.

Namun taknik-teknik ini lebih ketat dilakukan dalam proses penyelidikan

terorisme dan menggunakan pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam

hal ini dilakukan oleh Densus 88 Anti-teror.98

97 Novian Takasili, “Fungsi dan Kedudukan Densus 88 dalam Penanggulangan Tindak

Pidana Terorisme menurut Hukum Positif Indonesia”, Lex Crime, IV, 8, (Oktober 2015), h.,39 98 Lena Agustina, “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Salah Tangkap (studi kasus

penangkapan teroris oleh Densus 88)”, JOM Fakultas Hukum, I, 1, (oktober 2014), h.,11

54

b. Penyidikan

Pada tahapan penyidikan ini dimana dimulai dilakukan tindakan-

tindakan hukum yang langsung bersinggungan dengan hak-hak asasi

manusia yaitu berupa pembatasan bahkan mungkin “pelanggaran”

terhadap hak-hak asasi manusia. Tahap ini dilakukan setelah penyidik

yakin bahwa telah terjadi suatu tindak pidana terorisme dan untuk

memperjelas segala sesuatu tentang tindak pidana teroisme tersebut

diperlukan tindakan-tindakan tertentu yang berupa pembatasan

“pelanggaran” hak-hak asasi manusia seseorang yang bertanggung jawab

atas terjadinya tindak pidana terorisme tersebut.99

c. Penangkapan

Bahwa penangkapan 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam

berlainan dengan pasal 19 ayat (1) KUHAP, penangkapan hanya dapat

dilakukan untuk waktu paling lama 1 (satu) hari dan tidak ada ketentuan

dapat diperpanjang. Menurut Koesno Adi, “lamanya masa penangkapan

itu karena pelaku terorisme memiliki jaringan yang luas dan tertutup,

sehingga pelaku tindak pidana terorisme masih ada jaringan yang lebih

luas dibelakangnnya. Oleh karena itu untuk memperoleh dan mendapatkan

informasi yang jauh dan lebih akurat diperlukan penambahan waktu masa

penangkapan”.100

d. Penggeledahan

Pada dasarnya penggeledahan tidak boleh memasuki dan menginjak

pekarangan orang lain atau mencari sesuatu yang tersembunyi dipakaian

99 Lena Agustina, “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Salah Tangkap (studi kasus

penangkapan teroris oleh Densus 88)”, h.11 100 Lena Agustina, “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Salah Tangkap (studi kasus

penangkapan teroris oleh Densus 88)”, h.11

55

atau dibadan orang tanpa izin dai yang bersangkutan, karena hal itu

bertentangan dengan HAM.101

e. Penahanan

Manurut pasal 20 ayat (1) KUHAP untuk kepentingan penyidikan,

penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana

dimaksud dalam pasal 11 berwenang melakukan penahanan, sedangkan

ayat (2) untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang

melakukan penahanan atau penahanan lanjutan. Ketentuan pasal 20 ayat

(1), ayat (2) KUHAP berlainan dengan penahanan tersangka dalam tindak

pidana terorisme yaitu memuat pasal 25 ayat (2) untuk kepentingan

penyidik dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk melakukan

penahanan tersangka paling lama 6 (enam) bulan yang dimaksud dalam

ketentuan ini terdiri dari 4 (empat) bulan untuk kepentingan penyidikan

dan 2 (dua) bulanuntuk kepentingan penuntutan.102

5. Perlindungan Hukum Terorisme

Menurut Fitzgerald menjelaskan teori perlindungan hukum Salmood

bahawa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai

kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan,

perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan

cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.

Perlindungan hukum mencerminkan kewajiban dan tanggung jawab

yang diberikan dan dijamin oleh negara untuk menghormati, melindungi,

menegakkan dan memajukan hak-hak asasi manusia berdasarkan undang-

undang dan peraturan hukum, yang sangat penting untuk dijadikan agenda

utama bagi negara adalah bagaimana kebijakan pengaturan tindak pidana

terorisme tersebut harus berada dalam dua titik keseimbangan yaitu antara

101 Lena Agustina, “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Salah Tangkap (studi kasus

penangkapan teroris oleh Densus 88)”, h.11 102 Lena Agustina, “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Salah Tangkap (studi kasus

penangkapan teroris oleh Densus 88)”, h.12

56

prinsip “kebebasan” dan prinsip “keamanan”. Akan menjadi kontradiktif jika

negara tidak bisa menjaga keseimbangan antara prinsip “liberty” (kebebasan)

dan “security” (keamanan) tersebut.103

a. Perlindungan Hukum Tersangka Terorisme

Penanganan kasus kejahatan terorisme secara cepat, tepat dan benar

merupakan harapan segenap rakyat Indonesia, pemerintah, serta

khususnya aparat penegak hukum. Mengingat dikhawatirkan tersangka

yang diduga selaku pelaku terorisme nantinya justru menjadi korban

pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh aprat penegak hukum (penyidik)

mungkin karena pengaruh tekanan asing sudah menjatuhkan sigma kalau

tersangka itu otomatis sebagai pelakunya. Seperti, penyidik melakukan

tindakan berbentuk “teror” terhadap tersangka kasus terorisme agar

bersedia memberikan keterangan dan mengakui perbuatannya. Apabila hal

itu terjai, maka apa yang dilakukan oleh penyidik sama dengan

pembangkangan dan pelecehan terhadap tugasnya sebagai pelindung dan

penegak HAM.104

Hukum Acara Pidana meletakkan keseimbangan anatara hak-hak

Tersangka, terdakwa serta hak-hak dan kewajiban aparat penegak

hukumnya, hal ini perlu demi kepentingan umum dimana individu sebagai

anggota dari masyarakat tersebut.105 Dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah merumuskan sejumlah hak bagi

tersangka yang melindunginya dari berbagai kemungkinanan pelanggaran

HAM, walaupun secara normatif, perlindungan hak-hak tersangka telah

diatur dalam KUHAP secara jelas, namun dalam kasus tindak pidana

terorisme, aturan-aturan normatif tersbut seringkali dengan mudah

diabaikan oleh aparat penegakan hukum dan perlindungan hak-hak

103 Satijipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2000) h.,53 104 Enrille C. A. Dehoop, “perlindungan Hak Tersangka/Terdakwa Terorisme dalam sistem

peradilan pidana Indonesia”,Jurnal Universitas Sam Raulingi, I, 1, (April 2013), h.35 105 Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban tindak pidana

terorisme,... h.133

57

tersangka sebagaimana dikemukakan di atas dibutuhkan pemahaman

kebijakan formulasi hukum pidana berkenaan dengan hak-hak tersangka

terorisme yang telah dijamin oleh KUHAP yang tertera dalam pasal 50

sampai 68.106

Khusus tentang tersangka/terdakwa kasus terorisme, harus ada

jaminan pemerlakuan asa praduga tak bersalah sampai mereka diputus

pengadilan sebagai terpidana dengan kekuatan hukum pasti. Sebagai latar

belakang falsafah pengaturan asas persamaan kedudukan dalam hukum

dan asas praduga tak bersalah, dinyatakan dengan hak-haknya, karena itu,

hak-hak tersebut melekat kepada jati diri manusia sebagai hak yang sangat

mendasar atau asasi.107

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 disamping menggunakan

hukum acara umum yaitu KUHAP juga menggunakan hukum acara

khusus yang mengandung teori “Crime control model” terhadap

tersangka/terdakwa dengan pmebatasan-pembatasan HAM yaitu hal-hal

yang disebutkan dalam pasal-pasal 28, pasal 25 ayat (2), pasal 31 ayat (1)

yaitu perihal penangkapan oleh penyidik dapat melakukan penangkapan

paling lama 7x24 (tujuh kali dua puluh empat) jam. Penahanan terhadap

tersangka untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan penyidik diberi

wewenang melakukan penahanan tersangka paling lama enam bulan,

tentang penyadapan pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi

lain. Terhadap hak korban diatur dalam pasal 36 yang menyebutkan

masalah kompensasi, restitusi dan rehabilitasi (due proccess model)

seharusnya ada keseimbangan anatara crime control model dengan due

proccess model antara hak tersangka/terdakwa dan korban.108

106 Danur Vilano, “Perlindungan hak-hak Tersangka Terorisme sebagai perwujudan asas

praduga tida bersalah dalam sistem peradilan pidana”, e Jurnal Katalogis, V, 3 (Maret 2017), h. 184 107 Mardenis, Pemberantasan Terorisme: Politik Internasional dan Politik Hukum

Nasional Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011) h.125 108 Soeharto, Perlindungan hak tersangka, terdakwa dan korban tindak pidana terorisme,

h.130-131

58

Apabila dicermati pasal-pasal yang mengatur tentang hak

tersangka/terdakwa dalam Undang-undang tersebut hanya dalam pasal 19

yang menetukan bahwa “hak tersangka yang umurnya di bawah 18

(delapanbelas) tahun untuk tidak dijatuhi hukuman mati dan seumur

hidup”, pasal 24 yang menyebutkan “hak tersangka yang umurnya 18

tahun untuk tidak dijatuhi pidana minimum”. Kemudian waktu penahanan

oleh penyidik selama 6 bulan (pasal 20, 21, 22, dan pasal 25 ayat (2), yang

terdiri dari 4 bulan untuk kepentingan penyidikan dan 2 bulan untuk

kepentingan penuntutan.109

Berdasarkan hal tersebut, apabila kita konsisten bahwa kewenangan

penyidik dan penuntut itu berbeda dimana kewenangan penyidikan ialah

kewenangan kepolisian, dengan penyidikan dimaksudkan sebagai

serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur

dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang

dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan

guna menentukan tersangkanya (pasal 1 angka 2 KUHAP).110

Kemudian hak tersangka untuk memberikan keterangan secara

bebas dan hak tersangka mendapat bantuan hukum sesuai pilihannya serta

hak tersangka untuk berhubungan ataupun berbicara dengan penasihat

hukumnya setiap saat, meskipun KUHAP diperlakukan untuk melindungi

dan menjamin hak-hak tersangka, akan tetapi sering kali ketentuan ini

masih sering dilanggar ketentuan yang tidak jelas.111

Ketentuan pasal 54 KUHAP enyebutkan bahwa guna kepentingan

pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari

seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap

109 Soeharto, Perlindungan hak tersangka, terdakwa dan korban tindak pidana terorisme,

h.134 110 Soeharto, Perlindungan hak tersangka, terdakwa dan korban tindak pidana terorisme,

h.135 111 Soeharto, Perlindungan hak tersangka, terdakwa dan korban tindak pidana terorisme,

h.135

59

tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-

undang ini. Selanjutnya pasal 55 KUHAP menentukan bahwa untuk

mendapatkan penasihat hukum seperti yang tersebut dalam pasal 54,

tersangka/terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya dan

penasihat hukum diperkenankan mengunjungi dan berbicara dengan

tersangka.112

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, sepertinya pembuat undang-

undang ingin menjamin bahwa tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan

akan dilindungi dari ancaman fisik maupun psikis, tetapi dalam ketentuan

pasal-pasal yang terdapat dalam KUHAP tidakmemberikan penjelasan,

pada saat kapan tersangka/terdakwa ini akan diperiksa, sebab tidak

mungkin selama 24 jam tersebut penasihat hukum tersangka/terdakwa

akan mendampinginya, bagaimana bila nacaman fisik dan psikis tersebut

dilakukan pada malam hari di saat penasihat hukumnya tidak

mendampinginya, walaupun hal itu dapat dilaporkan kepada penasihat

hukumnya tetapi hal itu tetap memiliki ganjalan psikologis karena bila

laporan disampaikan melalui surat, ada kemungkinan penyidik dapat

membuka surat tersebut (pasal 62 ayat (2) KUHAP). Dan apabila laporan

disampaikan secara lisan, penyidik berhak pula mendengarkan (pasal 71

ayat (2) mengawasi pembicaraan tersebut).113

Kemudian proses pengajuan rehabilitasi dialakukan kepada Menteri

Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Ketentuan tersebut membingungkan

karena bukankah dalam pasal 37 ayat (2) Undang-Undang 15 Tahun 2003

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah ditentukan

rehabilitasi diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan

pengadilan, mengapa korban harus mengajukan rehabilitasi kepada

Menteri Kehakiman dan Hak Aasasi Manusia. Apabila hal tersebut

112 Soeharto, Perlindungan hak tersangka, terdakwa dan korban tindak pidana terorisme,

h.135 113 Soeharto, Perlindungan Hak tersangka, terdakwa, dan korban tindak pidana

terorisme,... h.136

60

dimaksudkan terhadap tuntutan hak-hak yang berkaitan dengan

penyembuhan dan pemulihan fisik atau psikis atau harta benda, sepertinya

hal ini juga kurang tepat, karena hak-hak ini berkaitan dengan pembiayaan

atau fiannsial, maka lebih tepat diurus/ditangani oleh Meneteri Keuangan

sebagaimana halnya korban (pasal 38 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2003).

Berdasarkan ketentuan mengenai rehabilitasi dalam Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme, mencampuradukan mengenai rehabilitasi dan hak-hak lain

termasuk pemulihan fisik, psikis serta perbaikan harta benda yang menjadi

hak terdakwa, akibatnya pengaturan mengenai hal-hal tersebut

memerlukan penjelasan lebih lanjut, tetapi ternyata Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

tidak memberi penjelasan mengenai kemungkinan diaturnya peraturan

pelaksanaan atas hal tersebut di atas.114

b. Perlindungan Hukum Korban Salah Tangkap

Korban (Victims) pada dasarnya adalah orang-orang baik secara

individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian

fisik atau mental, emosional, ekonomi atau gangguan substansial terhadap

hak-haknya yang fundamental, malalui perbuatan atau omisi yang

melanggar hukum pidana di masing-masing negara termasuk penyalah

gunaan kekuasaan.115

Adapun perlindungan hukum merupakan sesuatu yang dianggap

perlu dan diinginkan atau diharapkan (desiderata) oleh korban tindak

pidana sebagai konsekuensi logis atas pendritaan dan kerugian yang

dialaminya. Salah satu bentuk perlindungan hukum bagi masyarakat

adalah dengan diwujudkannya aturan serta kebijakan yang sesuai dengan

114 Soeharto, Perlindungan hak tersangka, terdakwa dan korban tindak pidana terorisme,...

h.139 115 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban

Kejahatan, (Bandung: Raja Grafindo, 2006) h.,47

61

kebutuhan, didasarkan pada hak dasar yang diamanatkan Undang-Undang

Dasar 1945. Perlindungan hukum dalam hukum positif merupakan

perlindungan abstrak atau perlindungan tdak langsung, dikatakan

demikian karena tindak pidana menurut hukum positif tidak lihat sebagai

perbuatan menyerangatau melanggar kepentingan hukum seseorang

(korban) secara pribadi dan konkrit, tetapi hanya sebagai pelanggaran

norma atau tertib hukum in abstracto. Akibatnya perlindungan korban pun

tidak secara langsung dan in concreto.116

Menurut Yahya Harahap bahwa kekliruan dalam penangkapan

mengenai orangnya diistilahkan disqualification in person yang berarti

orang yang ditangkap atau ditahan terdapat kekeliruan, sedangkan orang

yang ditangkap tersebut telah menjelaskna bhawa bukan dirinya yang

dimaksud hendak ditahan atau ditangkap.117 Sementara itu Sugeng

mendefinisikan bahwa korban salah tangkap adalah seseorang atau

sekelompok orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan atau

kerugian ekonomi yang diakibatkan kesalahan aparat negara dalam hal ini

kepolisian dalam menangkap pelaku sebenarnya dengan kesewenang-

wenang atau tidak berdasarkan undang-undang.118

Ganti kerugian merupakan suatu upaya untuk mengembalikan hak

hak korban, yang karena kelalain aparat penegak hukum telah salah dalam

menentukan seseorang untuk dijadikan sebagai tersangka/terdakwa dalam

suatu tindak pidana (error in persona). Menurut pasal 1 ayat 22 KUHAP,

yaitu: “Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapatkan

pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena

ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan

116 Rani Hendriana, “Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Terorisme: antara

Desiderata dan Realita”, Jurnal Kosmik Hukum, XVI, 1, (Januari 2016), h.,33 117 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan

Penuntutan, (Jakarta: Sinar Gafika, 2009) h.,45 118 Rani Hendriana, “Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Terorisme: antara

Desiderata dan Realita” h.34

62

undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum

yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.119

Perlindungan terhadap korban salah tangkap termuat dalam pasal 95,

96 dan 97 KUHAP. Dari pasal-pasal tersebut secara garis besar dapat

disimpulkan bahwa Undang-undang mengatur hak yang dimiliki oleh

sesorang dalam proses penyidikan dan pengadilan, disamping memilki

hak-haknya sebagai tersangka maka ketika seorang tersebut mendapatkan

putusan pengadilan bahwa dia menjadi korban dalam proses penyidikan

maka seorang tersebut berhak memperoleh ganti kerugian dan rehabilitasi

atas apa yang dialaminya.

Tujuan rehabilitasi adalah sebagai sarana dan upaya untuk

memulihkan kembali nama baik, kedudukan dan martabat seseorang yang

telah sempat menjalani tindakan penegakan hukum baik berupa

penangkapan, penahanan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang

pengadilan.120

Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

pemberantasan Terorisme terdapat hak untuk mendapatkan rehabilitasi,

yaitu hak seseorang yang mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan

kedudukan dan harkat martabatnya yang diberikan pada tingkat

penyidikan, penuntutan atau persidangan karena ditangkap, dutahan,

dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan Undang-undang atau karena

alasan kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

Berbeda dengan KUHAP, rehabilitasi pada pasal 37 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme diartikan sebagai berikut, “setiap orang berhak memperoleh

rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari

segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan

119 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 1 ayat 22 120 Lena Agustina, “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Salah Tangkap (studi kasus

penangkapan teroris oleh Densus 88)”, h.8

63

hukum tetap. Selanjutnya dalam penjelasannya disebutkan, rehabilitasi

dalam pasal ini adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya

kehormatan, nama baik, jabatan atau hak-hak lain termasuk

pengembangan dan pemulihan fisik atau psikis serta perbaikan harta

benda.”121

B. Detasemen Khusus 88

1. Dasar Hukum Pembentukan Detasemen Khusus 88

Secara historis, cikal bakal Detasemen Khusus 88 anti Teror Mabes

Polri atau yang dikenal dengan Densus 88, lahir dari Intruksi Presiden

(Inpres) Nomor 4 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme. Instruksi ini

dipicu oleh maraknya teror bon di Indonesia sejak tahun 2001. Aturan ini

kemudian dipertegas dengan diterbitkannya paket Kebijakan Nasional

terhadap pemberantasan terorisme dalam bentuk Peraturan Perundang-

Undangan Nomor 1 dan 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme. Densus 88 dirancang sebagai unit antiteror dengan kompetensi

khusus mengatasi berbagai jenis dan bentuk terorisme. Bermarkas di Mabes

Polri, kesatuan elit ini diperkirakan memiliki kekuatan 400 personel yang

terdiri dari ahli investigasi, ahli bahan peledak, dan unit pemukul yang di

dalamnya terdapat ahli penembak jitu. Demikian juga di Kepolisian Daerah,

Densus 88 juga menempatkan personelnya pada unit antiteror dengan jumlah

45-75 orang. Peran unit antiteror di Polda terbatas pada peran investigasi dan

pelaporan. Sedangkan peran penindakan tetap dilakukan oleh Mabes Polri.122

Dalam perjalanannya, intitusi-institusi antiteror tersebut melebur

menjadi SatuanTugas (satgas) Antiteror di bawah koordinasi Departemen

Pertahanan. Namun, inisiatif Matori Abdul Djalil, Menteri Pertahanan saat

itu, berantakan. Masing-masing kesatuan antiteror lebih nyaman berinduk

kepada organisasi yang membawanya. Satgas Antirerorpun tidak berjalan

121 Lena Agustina, “Perlindungan Hukum terhadap Korban Salah Tangkap (studi kasus

penangkapan teroris oleh Densus 88), JOM Fakultas Hukum, I, 2, (Oktober 2014), h,.9 122 Zainal Muhtar, “Eksitensi Densus 88: Analisis Evaluasi dan Solusi Terkait Wacana

Pembubaran Densus 88”, Supremasi Hukum, III, 1, (Juni 2014), h.,128

64

efektif, masing-masing kesatuan antiteror berjalan sendiri-sendiri. Akan

tetapi ekalasi teror tetap meningkat. Polri terpaksa membentuk Satgas Bom

Polri. Tugas pertama Satgas Bom adlah mengusut kasus Bom Natal pada

2001 dan dilanjutkan dengan tugas-tugas terkait ancaman bom lainnya.123

Satgas Bom Polri menjadi begitu dikenal publik saat menangani

beberapa kasus peledakan bom yang melibatkan korban warga negara asing.

Seperti Bom Bali I, Bom Bali II, Bom Marriot, dan Bom Kedubes Australia.

Satgas ini berada di bawah Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes

Polri, dan dipimpin oleh Perwira polisi bintang satu. Namun, di samping ada

satuan antiteror Gegana Brimob Polri dan Satgas Bom Polri, kepolisian

memiliki organisasi sejenis dengan nama Direktorat VI Antiteror di bwah

Bareskrim Mabes Polri. Keberasaan Direktorat VI Antiteror ini tumpang

tindih dan memiliki fungsi dan tugas yang sebagaimana diemban oleh Satgas

Bom Polri.124

Mabes Polri Akhirnya mereorganisasi Direktorat Vi Antiteror dengan

menerbitkan SK Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003 untuk

melaksanakan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan

Peraturan Perundang-Undangan Nomor 1 Tahun 2002 tentang

Pemeberantasan Tindak Pidana Terorisme, sesuai ketentuan pasal 26 dan

pasal 28 bahwa Densus 88 melakukan penangkapan dengan bukti awal yang

dapat berasal dari laporan intelijen manapun selama 7 x 24 jam. Sejak itulah

Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri yang disingkat Densus 88 Antiteror

terbentuk.125

123 Harris. Y. P. Sibuea, “Keberadaan Detasemen Khusus (Densus) 88 Dalam

Pemberantasan Tidak Pidana Terorisme”, h.2 124 Harris. Y. P. Sibuea, “Keberadaan Detasemen Khusus (Densus) 88 Dalam

Pemberantasan Tidak Pidana Terorisme”, h.2 125 Harris. Y. P. Sibuea, “Keberadaan Detasemen Khusus (Densus) 88 Dalam

Pemberantasan Tidak Pidana Terorisme”, h.2

65

2. Tugas dan Wewenang Densus 88

Dalam rangka pemberantasan terorisme di Indonesia Densus 88

memiliki tugas dan wewenang yang sama dengan anggota kepolisian lainnya

hal ini karena Densus 88 merupakan satuan khusus Kepolisian Negara

Republik Indonesia yang masih di bawah naungan Kepolisian Negara

Republik Indonesia hanya saja Densus 88 satuan unit khusus yang bergerak

dibidang pemberantasan tindak pidana terorisme.

Dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 pasal 15 ayat (1) secara

umum menyebutkan Densus 88 dari struktur dan organisasinya memiliki

empat pilar pendukung operasional setingkat sub-detasemen dan setiap sub-

den terdapat unit-unit yang menjadi pondasi pendukung bagi operasional

Densus 88, dimana setiap sub-detasemen dan unit-unit tersebut memiliki

wewenang dan tugasnya masing-masing.126

Kewenanngan Densus 88 di bidang proses pidana termuat dalam pasal

16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 berbunyi. Densus 88

sebagai satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia yang khusus

bergerak di bidang pemberantasan tindak pidana terorisme memiliki

wewenang yang sama dengan anggota kepolisian lainnya seperti pada pasal

16 ayat (1) di atas.

Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang kepolisian juga memberikan

kekuasaan atau kewenangan kepada pejabat kepolian untuk melakukan

sesuatu yang tidak diatur dalam undang-undang seperti yang terdapat dalam

pasal 16 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Pasal 18 ayat

(1) berbunyi:

126 Mahrus Ali, Hukum Pidana Terorisme Teori dan Praktek, (Jakarta: Gramata Publishing

2012) h.69

66

“Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia

dan melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut

penilainnya sendiri.”127

Dari pasal ini dapat dibandingkan subtansi pengaturan dalam pasal 16

ayat (1) huruf i dan pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 16 ayat (1) huruf i

mengatur tentang “tindakan lain” yang dapat dilakukan oleh pejabat

Indonesia dalam proses penyelidikan dan penyidikan,sedangkan dalam pasal

18 ayat (1) mengatur tentang “dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”

dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk kepentingan umum.

Dengan ini jelas bahwa pasal 18 ayat (1) memberikan kekuasaan atau

wewenang yang lebih luas dibandingkan dengan pasal 16 ayat (1) huruf i.

Pasal inilah yang menjadi dasar dari diskresi Kepolisian Negara Republik

Indonesia. Ketentuan ini ada karena seorang pejabat negara dalam

melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan kepentingan umum tidak boleh

hanya bergantung atau berdasarkan ada atau tidaknya suatu aturan.128

Kewenangan dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme jangka waktu penangkapan diatur

dalam pasal 28, yang menyebutkan:

“penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga

keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang

cukup sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 aayat (2) untuk paling lama 7

x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam.129

Pasal ini memberikan wewenang kepada penyidik (Densus 88) dalam

hal jangka waktu penangkapan yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana pasal 19

ayat (1) mengatur tentang jangka waktu penangkapan dilakukan paling lama

127 Lihat pasal 18 ayat (1) Undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia 128 Marshaal Semuel Bawole, “Kewenangan Tim Densus 88 dalam Penanggulangan

Terorisme di Indonesia”, Lex et Societatis, II, 1, (Januari 2014) h.117 129 Lihat pasal 28 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan

Pmerintah Pengganti Undang-undang Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undnag.

67

satu hari (1 x 24) di perpanjang menjadi satu minggu atau (7 x 24 jam).

Tujuannya dilakukannya penangkapan tentu saja adalah demi kepentingan

penyelidikan dan penyidikan.

Penahanan diatur dalam pasal 25 ayat (2) Undang-undang nomor 15

Tahun 2003 tentang Pemebrantasan Tindak Pidana Terorisme, menyebutkan;

“Untuk kepentingan penyidikan dam penuntutan, penyidik diberi wewenang

untuk melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama 6 (enam)

bulan”130

Jangka waktu penahanan dalam proses penyidikan berdasarkan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana adalah 20 (dua puluh) hari dan dapat diperpanjang oleh

penuntut umum sampai 40 (empat puluh) hari, maka jangka waktu penahanan

selama proses penyidikan adalah 60 (enam puluh) hari dan pnahanan selama

proses penuntutan dalam KUHAP adalah 20 (dua puluh) hari dan dapat

siperpanjang oleh ketua pengadilan Negeri hingga 30 (tiga puluh) hari, jadi

jumlah penahanan selama proses penuntutan adala 50 (lima puluh) hari

sehingga total jangka waktu penahanan selama proses penyidikan dan

penuntutan adalah 110 (seratus sepuluh) hari. Dalam undang-undang nomor

15 tahun 2003 jangka waktu penahanan adalah 6 (enam) bulan yang artinya

180 (seratus delapan puluh) hari.

Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

Pemebrantasan Tindak Pidana Terorisme pasal 26 ayat (1) di atas menyebutkan

bahwa yang dimaksud dengan laporan intelejen adalah laporan yang berkaitan

dan berhubungan dengan masalah-masalah keamanan nasional. Laporan

intelejen dapat diperoleh dari Depertemen Kehakiman dan HAM, Departemen

Keuangan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Intelejen Negara,

atau Instansi lainnya yang terkait. Jadi pasal ini memberikan kewenangan

130 Lihat pasal 25 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan

Pmerintah Pengganti Undang-undang Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undnag

68

khusus kepada penyidik dalam hal ini Densus 88 untuk menggunakan setiap

laporan intelejen sebagai bukti permulaan yang cukup.

Perluasan alat bukti daitur dalam pasal 27 Undang-undang Nomor 15

Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Teorisme. Ketentuan ini

memberikan wewenang yang lebih luas kepada penyidik yang adalah densus 88

dalam hal alat bukti. Pasal 184 KUHAP yang dimaksud dengan alat bukti

hanyalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan

terdakwa, namun dalam Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 alat bukti

diperluas dengan bukti elektronik bahkan gambar, peta, suara, foto, atau

sejenisnya.131

C. Kronologi Penanganan Kasus Terduga Terorisme Siyono

Kasus meninggalnya terduga teroris Siyono manjadi sorotan media

karena Siyono yang merupakan terduga teroris meninggal dalam pengawasan

Densus 88 yang melakukan tugas pengawalan dalam perjalanan ke tempat

penyimpanan barang bukti yang diketahui oleh Siyono. Namun, dalam

perjalanan terjadi insiden yang mengakibatkan Siyono meninggal dunia.

Peristiwa itu dalam media diinformasikan dalam dua sudut pandang yang

berbeda anata pihak Kepolisian dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

(Komnas HAM). Kronologi kasus meninggalnya terduga teroris Siyono oleh

Densus 88 dari sudut pandang Kepolisian adalah:

Menurut Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Anton Charliyan

menjelaskan tewasnya seorang terduga teroris Siyono (33 tahun) setelah

ditangkap oleh Densus 88 Antiteror. Menurutnya Siyono adalah anggota JI

yang berperan sebeagai perakit senjata api.

Anton menjelaskan, pada saat kejadian, Siyono menuruti semua

perintah dari anggota di lapangan.n namun, saat tiba di satu tempat di

Prambanan, Klaten, Siyono meminta dilepaskan penutup wajah dan borgolnya.

131 Marshaal Semuel Bawole, “Kewenangan Tim Densus 88 dalam Penanggulangan

Terorisme di Indonesia”,.. h.,118

69

Dia duduk di sebelah kanan dengan mata tertutup, sedangkan anggota berada

di sebelah kiri. Tiba-tiba Siyono berontak, ia melakukan perlawanan dan

memukul anggota Densus 88 dan terjadilah aksi saling memukul. Kemudian,

akibat saling pukul di dalam mobil mengakibatkan kepala pelaku terbentur besi

dan pingsan. Pelaku sempat dibawa ke rumah sakit, tapi akhirnya ,eninggal

dunia dalam perjalanan.132

Kapolri Jenderal Badrotin Haiti menjelaskan secara rinci bagaimana

kronologi tewasnya Siyono di tangan Densus 88. Kapolri mengakui adanya

kesalahan Prosedur penangkapan.

Menurut Badrotin, awalnya pada hari selasa 8 Maret 2016 sekitar pukul

18.00 WIB di Dusun Brengkungan, Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Klaten,

dilakukan penangkapan terhadap tersangka Siyono. Siyono dibawa ke daerah

terminal Besa, Kecamatam Selogiri, Kabupaten Wonogiri, saat itu Siyono

dalam keadaan tidak terborgol. Kemudian pada saat melintas di jalan antara

Kota Klaten dan Prambanan, tersangka Siyono melakukan penyerangan

terhadap petugas.

Perkelahian tidak dapat dihindari, tersangka terus melakukan

penyerangan dengan menyikut, menendang bahkan mencoba merampas

senjata apinya, bahkan tendangan sempat mengenai kepala bagian kiri

belakangan pengemudi kendaraan sehingga membuat kendaraan oleng ke

kanan dan sempat menabrak pembatas jalan. Tutur Badrotin. Namun,

pengemudi berhasil mempertahankan kendaraan dalam keadaan stabil dan

tetap melanjutkan perjalanannya. Mengingat situasi sekeliling tidak

memungkinkan untuk menepi, akhirnya petugas pengawal berhasil

melumpuhkan tersangka dan menguasai situasi kondisi tersangka sudah dalam

keadaan terduduk lemas. Ungkap Badrotin.

Siyono dilarikan ke Rumah Sakit Bhayangkara Polda Daerah Istimewa

Yogyakarta. Berdasarkan hasil pemeriksaan IGD dokter Dewi, tersangka

132 http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/03/14/o40vrx361-kronologi-

kematian-siyono-di-tangan-densus-88-menurut-polri diakses pada 01 April 2018 19:17

70

dinyatakan meninggal. Dia mengungkapkan, pemeriksaan di luar jenazah yang

dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik Densus 88 tertanggal

11 maret 2016, ditemukan adanya luka memar pada kepala sisi kanan belakang

Siyono dan pendarahan dibawah selaput otak bagian belakang kanan.

Kemudian juga ditemukan keretakan tulang iga kelima kanan dan keseluruhan

diakibatkan oleh kekerasan benda tumpul.133

Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menjelaskan

kronologi penangkapan Siyono yang diduga tewas akibat kekerasan yang

dilakukan Densus 88 terkait dengan dugaannya dalam terorisme. Komisioner

Komnas HAM Siane Indriani mengatakan komisi itu telah mencatat sejumlah

kejanggalan pada kasus kematian Siyono yang ditangkap pada 8 April. Dia

menegaskan penyebab kematian Siyono adalah pukulan benda tumpul dibagian

dada.

Berikut kronologi berdasarkan laporan yang diterima Komnas HAM:

1. Pada selasa, 8 Maret 2016 sekitar pukul 18.30 WIB, telah terjadi

penangkapan terhadap saudara Siyono, setelah menjadi imam jamaah

sholat Maghrib di Masjid Muniroh, Desa Brengkungan, Pogung, Klaten.

Pelaku berjumla tiga orang berpakaian sipil tanpa surat penangkapan.

Ketiga orang tersebut membawa Siyono dalam keadaan sehat dan segar.

2. Dari hari selasa, 8 Maret 2016 hingga hari Kamis 10 Maret 2016,

keluarga tidak mengetahui keberadaan saudara Siyono. Sampai terjadi

peristiwa penggeledahan di rumah Siyono oleh Densus 88 Polri

Antiteror. Proses penggeledahan juga dilakukan di TK Amanah Ummah

disertai aksi menodongkan senjata laras panjang oleh Densus 88 kepada

anak-anak yang sedang melakukan kegiatan belajar mengajar dan

akhirnya ditunda sampai pukul 10.00 WIB setelah murid TK pulang.

133 https://www.merdeka.com/peristiwa/kapolri-beberkan-kronologi-penangkapan-yang-

menewaskan-siyono.html di akses pada 1 April 2018 21.55WIB

71

Dalam proses penggeladahan Istri korban tidak diberikan dan/atau

menerima Surat Keterangan Penggeledahan. Dalam penggeledahan

yang dilakukan tidak ditemukan bahan peledak yang dicari oleh Densus

88. Akibatnya hanya disita satu unit sepeda motor merk Supra X 125

plat B dan bebebrapa lembar kertas (buku sekolah). Demikian halnya,

dalam proses penyitaan, keluarga menyatakan tidak menandatangani

Berita Acara Penyitaan, saat ini sepeda motor yang sebelumnya disita

dikembalikan kepada keluarga Siyono.

3. Pada jum’at 11 Maret 2016, sekitar pukul 15.00 WIB, istri korban dan

kakak korban beserta satu perangkat Desa Pogung dan Anggota Polri

berangkat ke jakarta dengan menggunakan kendaraan 2 (dua) buah

mobil. Pada 12 Maret 2016 pukul 10.00 WIB diberitahukan resmi

bahwa Siyono wafat dan diberikan uang dalam 2 (dua) amplop besar,

pukul 11.00 WIB, keluarga dibawa untuk melihat jenazah korban di RS

Bhayangkara TK.I. R.Said Sukanto, akan tetapi dalam praktiknya selalu

dihalang-halangi untuk melihat kondisi korban. Sore harinya, jenazah

Siyono dipulangkan ke Klaten dan dalam prosesnya diikuti oleh Nurlan

(Tim Pembela Muslim) yang ditunjuk Polri. Sesampai di Klaten,

diminta langsung dimakamkan dan keluarga dilarang untuk mengganti

kain kafan. Meskipun pada akhirnya diperbolehkan penggantian kain

kafan dan mengetahui berbagai luka-luka pada tubuh korban.

4. Atas berbagai permasalahan tersebut, keluarga korban pada 12 dan 14

Maret 2016 menunjuk kuasa hukum Sri Kalono, SH dan penasihat

hukum dari Pusat Hak Asasi Manusia Indonesia (PUSHAMI).

Meskipun tellah mendapatkan pendampingan dari kuasa hukum,

keluarga besar Siyono diduga mendapatkan intimidasi dari anggota

Kepolisian RI- bahkan sempat masuk rumah korban. Melihat dinamika

dan besarnya tekanan kepada keluarga korban, istri korban juga

meminta pendampngan hukum DPP Muhammadiyah. Pada 23 Maret

2016 istri korban menandatangani Surat Pernyataan kepada Komnas

72

HAM meminta agar dilakukan otopsi atas mayat Siyono untuk

mendapatkan bukti mengenai kekerasan yang dialami korban.134

D. Faktor Terjadinya Pelanggaran HAM oleh Densus 88 dalam Kasus

terduga Terorisme Siyono

Dari beberapa pihak menemukan adanya indikasi pelanggaran yang

dilakukan oleh Densus 88 dalam kasus penangkapan Siyono. Komisi Untuk

Orang Hilang (Kontras) mengungkapkan bahwa Densus 88 melakukan

pelanggaran administrasi dalam penangkapan terduga teroris Siyono. Densus

88 melanggar hukum acara pidana karena tidak adanya surat penangkapan

yang sah pada saat dilakukannya upaya penangkapan. Selain itu, saat

melakukan penggeledahan di kediaman Siyono, Densus 88 juga tidak

menunjukkan surat izin penggeledahan. Dan juga, intimidasi terhadap orangtua

Siyono untuk menandatangani surat yang berisi pernyataan bahwa keluarga

tidak akan menuntut dan melakukan upaya hukum.135

Selain pelanggaran yang sudah tersebut di atas, terdapat juga beberapa

kejanggalan selama proses penangkapan. Dari beberapa pihakpun menemukan

fakta terkait kematian terduga teroris Siyono. Komnas HAM menemukan fakta

seperti:

a. Jenazah Siyono baru di autopsi pertama kali oleh tim dai PP

Muhammadiyah yang didampingi Komnas HAM. Fakta tersebut

bertentangan dengan pernyataan pihak Kepolisian sebelumnya yang

menyatakan bahwa jenazah Siyono sudah pernah diautopsi dan penyebab

kematiannya adalah terbenturnya kepala bagian belakang saat berkelahi.

b. Komnas HAM menemukan tanda-tanda kekerasan berupa patah tulang

rusuk di dada Siyono. Komnas HAM menyimpulkan bahwa penyebab

kematian Siyono adalah rasa sakit akibat patah tulang rusuk yang menembus

134 kronologi kasus Siyono, kabar24.bisnis.com/read/20160414/ini-kronologi-

penangkapan-terduga-teroris-siyono-di-klaten, diakses pada 2 April 2018 Pukul 01.29 WIB 135nasional.kompas.com/read/2016/03/26/Kontras.Densus.88.Langgar.Hukum.dalam.Kas

us.Siyono, diakses pada 2 April 2018 Pukul 07.00 WIB

73

jantung. Fakta tersebut bertentangan dengan pernyataan dari kepolisian

tentang penyebab kematian Siyono.

c. Komnas HAM juga tidak menemukan tanda-tanda perlawanan yang

dilakukan, ditandai dengan tidak adanya bekas luka di tangan Siyono. dan

fakta tersebut juga berbeda dengan keterangan polisi bahwa Siyono

melakukan perlawanan.136

136 nasional.tempo.co/read/757075/apa-saja-kejanggalan-dalam-kematian-siyono-terduga-

teroris, diakses pada 3 April 2018 Pukul 08.00 WIB

74

BAB IV

ANALISIS DUGAAN PELANGGARAN HAM DALAM PENANGANAN

TERORISME

A. Indikasi Pelanggaran HAM dalam Kasus Terduga Teroris Siyono

Pelanggaran HAM adalah segala tindakan yang dilakukan, baik sengaja

ataupun tidak, yang menghalangi, membatasi, atau mencabut HAM orang lain

sehingga mengganggu ketentraman dan kenyamanan hidup orang tersebut.

Secara konsep, ada 2 jenis pelanggaran HAM yaitu pelanggaran HAM ringan

dan pelanggaran HAM berat, pelanggaran HAM ringan adalah pelanggaran

yang tidak mengancam jiwa seseorang namun merugikan orang tersebut

sedangkan pelanggaran HAM berat ialah pelanggaran yang mengancam jiwa

seseorang.

Dalam penanganan terorisme, sering terjadi adanya pelanggaran HAM

yang dilakukan oleh anggota Densus 88. Dalam hal ini, penulis menganalisis

adanya pelanggaran HAM yang dilakukan anggota Densus 88 dalam

penanganan terduga teroris Siyono.

1. Wawancara terhadap pihak Detasemen Khusus 88 (Densus 88)

Menurut Densus 88 Siyono merupakan bagian dari kelompok Jamaah

Islamiyah (JI) yang menyimpan berbagai senjata api. Siyono meninggal

setelah terjadi perkelahian dengan petugas, karena pada saat itu kondisi

Siyono tidak dalam keadaan diborgol. Ditemukannya kesalahan dalam

menangani terduga Siyono yaitu ketika Densus 88 tidak memenuhi Standar

Operasional Prosedur dalam hal mengawal, dan membawa tahanan tidak

dalam keadaan diborgol. Terjadinya pelanggaran prosedur yang dilakukan

aparat penegak hukum (Densus 88) dikarenakan kurangnya pemahaman

Peraturan Prosedur Tetap (Protap).

Terkait Hak Asasi Manusia, ketika seseorang itu ditangkap dengan

begitu hak asasinya berkurang seperti hak kebebasan. Pelanggaran HAM

terjadi apabila tidak adanya dasar hukum. Dalam kasus Siyono sudah jelas

75

bahwa Siyono merupakan tersangka terorisme setelah dilakukan interogasi

terlebih dahulu. Adanya upaya paksa yang dilakukan Densus 88 hanya

untuk mendapatkan informasi dan keterangan lebih lanjut dari tersangka.

Meninggalnya Siyono bukanlah suatu kebanggaan bagi pihak

kepolisian akan tetapi menjadi suatu kerugian, karena dengan meninggalnya

tersangka teroris proses penegakan hukum tidak mampu mengungkap

jaringan terorisme. Atas meninggalnya Siyono, pihak kepolisian

memberikan santunan kepada keluarga Siyono (uang duka) untuk

membantu proses pemakaman dan untuk membantu hal-hal lain yang

dibutuhkan pihak keluarga.

Pelanggaran yang dilakukan oleh Densus 88, menyebabkan beberapa

pihak menuntut untuk menyelidiki kembali cara kerja Densus 88 dalam

menangani terduga teroris Siyono.137

2. Wawancara terhadap pihak Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban

Tindak Kekerasan (Kontras)

Dalam peristiwa penanganan teroris Siyono, telah terjadi pelanggaran

administrasi dan adanya upaya paksa yang dilakukan oleh Densus 88.

Diantaranya ada tiga jenis upaya paksa, yakni penangkapan, penggeledahan,

dan penyitaan. Terkait upaya paksa tersebut, KUHAP telah mengatur

syarat-syarat administrasinya, yakni;

“Pasal 18 KUHAP, ayat (1) Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh

petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat

tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan serta

uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkutkan serta tempat ia

diperiksa. Ayat (2) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah

penangkapan dilakukan.”

Terkait operasi penangkapan Siyono, Densus 88 tidak menunjukkan

surat penangkapan terhadap keluarga Siyono. Ini membuktikan bahwa

Densus 88 tidak mematuhi aturan di atas. Selain itu, upaya paksa

selanjutnya yaitu penggeledahan rumah Siyono. Dalam proses

137 AKBP. H. Djoni Djuhana, Direktur Idensus 88, interview pribadi, Jakarta, 27 April 2018

76

penggeledahan Densus 88 tidak memberikan surat Berita Acara

Penggeledahan kepada keluarga Siyono. dengan begitu, benda-benda yang

disita oleh Densus 88 dalam penggeledahan tersebut tidak ada catatat berita

acaranya yang dimiliki keluarga korban. Dalam hal ini Densus 88 telah

melanggar aturan terkait penggeledahan yaitu:

Pasal 33 ayat (5) KUHAP “dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau

menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya

disampaikan kepada pemilik rumah yang bersangkutan”

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Densus 88 tidak

memenuhi persyaratan administrasi yang diperlukan dalam melakukan

upaya paksa. Maka Densus 88 telah melakukan maladministrasi dalam

upaya paksa yang dilakukan terhadap penanganan terduga teroris Siyono

dan terjadi pelanggaran HAM lantaran penangkapan yang dilakukan Densus

88 tidak sesuai dengan prosedur yang ada.

Atas meninggalnya terduga teroris Siyono dalam penanganan

Densus 88, di duga adanya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Densus

88, pelanggaran hak untuk tiidak disiksa oleh siapapun dan dalam keadaan

apapun, dan hak hidup yang merupakan hak yang tidak bisa dikurangi atau

dicabut dalam kondisi apapun sebagaimana dijamin dalam pasal 28A

Undang-undang Dasar 1945, pasal 4 dan pasal 9 Undang-Undang Nomor

39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Mengenai intimidasi terhadap keluarga Siyono, polisi meminta

keluarga Siyono menandatangani surat pernyataan untuk tidak

memperkarakan kasus tersebut secara hukum. Upaya tersebut juga dapat

dianggap sebagai pelanggaran HAM bagi hak korban untuk mengajukan

upaya hukum sebagaimana diatur dalam pasal 17 Undang-Undang Nomor

39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia:

“setiap orang tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan

dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam

perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses

peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang

77

menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk

memperoleh putusan yang adil dan benar”

Terkait pelanggaran di atas, disimpulkan bahwa upaya Densus 88

meminta kelurga menandatangani surat pernyataan tidak akan mengajukan

tuntutan hukum merupakan suatu pelanggaran HAM.138

3. Wawancara terhadap Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Dalam kasus ini Komnas HAM mendapat laporan dari istri Siyono

terkait dugaan pelanggaran HAM terhadap meninggalnya tersangka Siyono,

atas laporan tersebut kemudian Komnas HAM melakukan Klarifikasi

dengan meminta penjelasan terkait peristiwa yang terjadi terhadap Siyono,

dimulai dengan menanyakan kepada Istri Siyono, Kepala Desa Setempat,

dan juga pihak kepolisian. Pada saat itu polisi tidak banyak memberikan

penjelasan terkait peristiwa tersebut, sampai terjadinya perang opini antara

Komnas HAM dengan pihak Kepolisian. Hingga kemudian Komnas HAM

melakukan autopsi ulang terhadap jenazah Siyono dengan mengundang

sembilan dokter forensik di antaranya yaitu dokter dari Rs. Bhayangkara

Jawa Tengah, dan juga dokter-dokter di daerah setempat. Setelah dilakukan

autopsi terhadap jenazah Siyono, ditemukanlah penyebab meninggalnya

Siyono, bahwa terjadi luka dalam seperti rusuk yang patah, dan juga tidak

ada perlawanan yang dilakukan Siyono.

Dari rangkaian peristiwa tersebut, akhirnya Komnas HAM mengirim

surat secara resmi kepada Kapolri untuk memproses atas tindakan yang

menimpa Siyono. Dalam hal ini Komnas HAM mengungkap bahwa Densus

88 telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yaitu Hak untuk

hidup, dan Hak untuk tidak disiksa. Komnas HAM juga meminta Polisi

untuk segera di proses secara kode etik.139

138 Arif Nur Fikri, anggota Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan,

interview pribadi, Jakarta, 19 April 2018 139 Agus Guntoro, Peneliti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, interview pribadi,

Jakarta, 06 Juli 2018

78

4. Wawancara terhadap pihak Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Berkaitan dengan kasus Siyono, PP Muhammadiyah yang

mendampingi istri Siyono untuk menyelidiki kesalahan yang Densus 88

lakukan dalam penanganan tersangka Siyono. dalam hal ini PP

Muhammadiyah membagi menjadi tiga isu perkara, yang pertama terkait

pelanggaran SOP dan pelanggaran HAM yang terjadi terhadap Siyono,

yakni pada saat penangkapan Siyono, Densus 88 tidak menunjukkan surat

penangkapan dan juga surat penggeledahan, kemudian terkait pelanggaran

HAM, Siyono meninggal dalam proses penanganan oleh Densus 88 dan

adanya hasil autopsi yang dilakukan bersama dengan tim dari Komnas

HAM menunjukkan bahwa Siyono tidak melakukan perlawanan. Yang

kedua, terkait dengan pemberian uang terhadap kaluarga Siyono yang tidak

jelas maksud dan tujuannya. Karena hal itu, kemudian uang tersebut

diserahkan ke KPK untuk di proses, akan tetapi KPK menolak uang tersebut.

Dan yang ketiga terkait dengan Kode Etik Profesi, PP Muhammadiyah telah

melaporkan kasus tersebut kepada Propam untuk diproses.140

Dalam hal pelanggaran SOP, Densus 88 telah melanggar pasal 19

Perkap No. 23 Tahun 2011 tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak

Pidana Terorisme. Kemudian dalam hal pelanggaran HAM, Densus 88

melanggar pasal 4 dan pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia, yakni hak untuk hidup dan hak untuk tidak

disiksa.

Dan juga mengenai Kode Etik Profesi, yang mana sudah tertera dalam

pasal 7 ayat (2) huruf c Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia

Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara

Republik Indonesia.

140 Jamal Burhan, SH, Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Jakarta, interview

pribadi, jakarta, 13 Juli 2018

79

Dari uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam kasus

terduga terorisme Siyono, ada beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh

Densus 88 dalam proses penanganan tersangka terorisme Siyono. seperti

halnya tidak adanya surat penangkapan serta surat penggeledahan, dan juga

pelanggaran HAM yang menyebabkan meninggalnya seseorang.

Densus 88 pada saat penangkapan Siyono tidak menunjukkan adanya

surat perintah penangkapan terhadap yang bersangkutan terkait kasus

terorisme. Tidak hanya itu, Densus 88 juga melakukan hal yang sama pada

saat penggeledahan rumah terhadap keluarga Siyono. Dalam hal ini

Undang-Undang telah mengatur untuk menunjukkan surat perintah

penangkapan serta surat perintah penggeledahan seperti tertera dalam pasal

18 dan pasal 33 KUHP serta pasal 19 Peraturan Kepolisian nomor 23 tahun

2011 tentang prosedur penindakan tersangka tindak pidana terorisme.

Siyono meninggal dalam pengawasan Densus 88 pada tahap

penyidikan. Dari beberapa pihak terkait yang melakukan autopsi ulang

tehadap jenazah Siyono ditemukannya adanya upaya penyiksaan yang

dilakukan Densus 88 terhadap Siyono. Densus 88 dalam hal ini telah

melanggar hak asasi manusia yakni, hak hidup dan hak untuk tidak disiksa

sebagaimana dalam pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 serta pasal 4

dan pasal 9 Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi

manusia.

B. Pertanggungjawaban Hukum atas Dugaan Pelanggaran HAM dalam

Kasus Terduga Teroris Siyono

Tanggung jawab menurut kamus bahasa Indonesia adalah, keadaan wajib

menanggung segala sesuatunya. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai

perwujudan kesadaran akan kewajiban. Tanggung jawab itu bersifat kodrati,

artinya sudah menjadi bagian hidup manusia, bahwa setiap manusia di bebani

80

dengan tanggung jawab, apabila di kaji tanggung jawab itu adalah kewajiban

yang harus dipikul sebagai akibat dari perbuatan pihak yang berbuat.141

1. Pertanggungjawaban Hukum menurut Hukum Positif

Sidang kode etik dilakukan ketika salah satu anggota kepolisian

melakukan pelanggaran. Densus 88 yang merupakan bagian kepolisian

harus menjalani sidang etik atas pelanggaran yang dilakukan pada proses

penanganan terduga teroris Siyono. Sanksi etik bagi Densus 88 yang telah

melakukan pelanggaran diatur dalam pasal 21 ayat (1) Peraturan Kepolisian

Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik

Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dalam hal adanya dugaan penyiksaan yang menyebabkan terduga

meninggal dunia yakni kondisi jenazah Siyono yang penuh luka di sekujur

tubuhnya. Terkait larangan akan perbuatan penyiksaan, peraturan

Perundang-Undangan di Indonesia memiliki pasal terkait yaitu, pasal 351

dan 422 KUHP, dan pasal 11 Peraturan Kepolisian Negara Republik

Indonesia Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar

Hak Asasi Manusia.

Peraturan di atas menunjukkan aturan pidana dan etika internal

institusi yang dilanggar anggota Polri yang terbukti melakukan penyiksaan.

Dalam kasus tewasnya Siyono ini tentu perlu dilakukan penyidikan, baik

dalam lingkup pidana maupun etik, untuk membuktikan dugaan perbuatan

penyiksaan oleh anggota Polisi terhadap Siyono.

2. Pertanggungjawaban hukum menurut Hukum Pidana Islam

Dalam hukum pidana terdapat beberapa asas mendasar yaitu, asas

legalitas, asas praduga tak bersalah, dan asas tidak berlaku surut. Selain asas

tersebut, dalam konsep hukum pidana islam terdapat satu asas yang relatif

tidak dikenal dalam hukum pidana positif, yaitu asas dihapuskannya sanksi

141 Febiyanti Iskandar, Wewenang dan tanggung jawab, (online),

http://febiyantiiskandar.blogspot.co.id, di akses pada 2 Juni 2018 pukul 05.34 WIB

81

pidana jika terdapat unsur syubhat. Unsur syubhat ialah unsur kesamaran

dan ketidakjelasan antara benar dan salah, baik menyangkut subjek hukum,

objek hukum, maupun cara hakim menetapkan status hukum.

Syubhat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah keragu-raguan

atau kekurangjelasan tentang sesuatu (apakah halah atau haram dan

sebagainya) karena kurang jelas status hukumnya. Sementara itu, dalam

Ensiklopedi Hukum Islam, syubhat didefinisikan sebagai kemiripan,

keserupaan, persamaan, dan ketidakjelasan sesuatu yang ketentuan

hukumnya tidak diketahui secara pasti apakah dihalalkan atau

diharamkan.142

Unsur syubhat menjadi salah satu penyebab batalnya sanksi pidana

karena sangat berkaitan dengan hukuman keras yang akan diterapkan bagi

pelaku, baik hukuman cambuk maupun hukuman mati. Hal ini akan

merugikan apabila seseorang telah dihukum mati akan tetapi putusan

tersebut salah, sehingga seorang hakim lebih baik salah dalam memberikan

maaf daripada salah dalam menetapkan sanksi hukum. Berikut hadits yang

menjelaskan tentang hal tersebut.143

ألأيه وأسألأمأ ةأ قأالأت: قأالأ رأسول الل صأل الل أائشأ أن )ان ودأ سلميأ مأا استأطأعتم فأإن ادرأؤا احلامل

لأه فأإن كأانأ لأه مأ بي لوا سأ ي المأامأ أأن رأج فأخأ (يأطأئأ ف العقوبأة من أأن يأطأئأ ف العأفو خأArtinya: “Dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘hindarilah

hukuman hudud dari kaum muslimin sesuai dengan kemampuan kalian. Jika

sekiranya ada jalan keluar, bebaskanlah karena sesungguhnya seorang

peguasa/hakim jika salah dalam memberikan maaf akan jauh lebih baik

daripada salah dalam menjatuhkan hukuman.” (HR. Al-Tirmidzi)

Dengan demikian, asas pembatalan sanksi pidana karena terdapat

unsur syubhat menjadi sesuatu yang harus diperhatikan sebab hukum pidana

menyangkut harga diri, bahkan jiwa manusia. Adanya asas penghapusan

tuntutan pidana karena unsur syubhat bertujuan untuk membela hak asasi

142 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h.111 143 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h.113

82

pelaku tindak pidana dan dalam rangka menegakkan keadilan di tengah

masyarakat sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan dalam

pemberlakuan hukum pidana islam.144

Syubhat terbagi menjadi tiga macam, yaitu syubhat pada objek, syubhat

pada subjek, dan syubhat pada cara-cara ulama memahami dalil. Syubhat

pada objek ialah yang berkaitan dengan objek suatu tindakan. Syubhat pada

subjek ialah yang berkaitan dengan kondisi subjek atau pelaku tindak

pidana. Dan, syubhat pada cara ulama memahami dalil ialah syubhat yang

disebabkan adanya perbedaan pandangan ulama.145

Seperti halnya pernyataan Wahbah al-Zuhaili yang menyatakan sebagai

berikut.

ب ة ف الفعلأ, أأم شأ هأ انأت شب ة ف الأريأة, سأوأاءا أأكأ أ ي ا العأ هأ هأةأ بأن وأا ل, إن الشب هأة ف الفأا ود وأتأسقطهأا؛ لقأوله صأل رأأ احل أحأل , تأ

ة ف امل هأ لمأ: ى الل أ أأم شب ألأيه وأسأ ود اد ) رأأوا احللأه, فأإن ألإلمأامأ أأن لب بي سلميأ مأرأجأا فأخألوا سأ

أن امل هأات, ادف أعوا القأتلأ يأطأئأ ف العأفو شب

(خأي من أأن يأطأئأ العقوبأة Artinya: “sesungguhnya, dalam hukum pidana syubhat dengan berbagai

jenis dan macam-macamnya, baik syubhat pada perbuatan, syubhat pada

subjek, maupun syubhat pada objek; tetap berpengaruh pada keharusan

dibatalkannya sanksi pidana pada diri pelaku. Alasannya adalah beberapa

hadits Nabi: 1) “Hindarilah hukuman hudud dengan sebab adanya unsur

syubhat, hindarkan hukuman mati dikalangan orang islam”; dan 2)

“Hindarkanlah hukuman pidana dari segenap kaum muslimin sebatas

kemampuan kalian; jika hukuman dari orang-orang Islam bisa dihindarkan,

bebaskanlah, sebab seorang penguasa akan lebih baik salah dalam

memaafkan daripada salah dalam memberikan hukuman.”146

144 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h.113 145 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h.117 146 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h.119

83

Menurut penulis, dalam kasus ini menyimpulkan adanya unsur

syubhat, yaitu unsur kesamaran dan ketidakjelasan hukum menyangkut hak

manusia dalam penangkapan Siyono. Adanya unsur penyiksaan yang

menyebabkan meninggalnya tersangka sebelu di putus benar atau salahnya

tersangka Siyono.

84

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisa kasus penanganan tersangka

terorisme Sisyono di atas, maka dapat disimpulkan bahwa telah terjadi

pelanggaran yang dilakukan oleh Densus 88 dalam penanganan tersangka

Siyono di Klaten.

1. Densus 88 melanggar pasal 18 ayat 1 dan 2, serta pasal 33 ayat 5 KUHAP,

dan pasal 19 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23

tahun 2011 dengan tidak adanya surat-surat administrasi penyidikan antara

lain, surat perintah penangkapan, dan surat perintah penggeledahan.

Densus 88 juga telah melanggar hak asasi tersangka dan Hak Asasi

Manusia atas meninggalnya Siyono, yakni hak untuk hidup, hak untuk

tidak disiksa dan hak tidak di perlakukan sewenang-wenang selama proses

penyidikan. Seperti yang tertera dalam pasal 28A Undang-Undang Dasar

1945, serta pasal 4 dan 9 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia.

2. Densus 88 yang melakukan pelanggaran harus menjalankan sidang etik

profesi, sebagaimana telah diatur dalam pasal 21 ayat 1 Peraturan

Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2011 tentang

Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dan pasal 11

Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2009

tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusi. Dalam

hukum pidana Islam terdapat suatu asas dihapuskannya sanksi pidana

apabila terdapat unsur syubhat, yaitu unsur kesamaran dan ketidakjelasan

antara benar dan salah, baik menyangkut subjek hukum, objek hukum,

maupun cara hakim menetapkan status hukum. Seorang hakim lebih baik

salah dalam memberikan maaf daripada salah dalam menetapkan sanksi

85

hukum. Sebab, akan sangat merugikan apabila seseorang telah dihukum

mati padahal putusan tersebut salah.

B. Saran

Untuk mengambil manfaat dari skripsi ini, maka beberapa saran yang

dapat penyusun berikan khususnya bagi pemerintah dan masyarakat pada

umumnya dalam penanganan terorisme yang dilakukan oleh Densus 88, adalah

sebagai berikut:

1. Meskipun negara telah memberikan perlindungan terhadap hak-hak

tersangka tindak pidana terorisme melalui peraturan perundang-undangan

yang ada, namun dalam implementasinya belum optimal, sehingga

diharapkan kedepan perlu reformulasi norma berkenan dengan bukti cukup

untuk menduga seseorang telah melakukan tindakan terorisme.

2. Pemerintah melalui lembaga legislatif, agar dapat melakukan pengawasan

terhadap kinerja Densus 88 AT dari tindakan-tindakan yang menyimpang

dan penyalahgunaan wewenang yang dapat menciderai harkat, martabat

manusia, seperti halnya dalam penanganan terorisme Densus 88 harus

menggunakan cara yang lebih profesional, bukan dengan cara kekerasan.

3. Diharapkan dalam penanganan terorisme, sikap menjunjung tinggi

tegaknya HAM tetp menjadi prioritas utama, agar masyarakat sipil tidak

terkena dampak dari penyerangan terorisme.

4. Negara, Polri, dan khususnya Densus 88 tidak akan bisa bekerja sendiri dan

berhasil dalam menangani masalah terorisme tanah air ini, jika tidak ada

peran serta dukungan dan bantuan masyarakat dalam rangka penanganan

tindak pidana terorisme.

86

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Djelantik, Sukawarsini, Terorisme Tinjauan Psiko-Politisi, Peran Media

Kemiskinan, dan Keamanan Nasional. Jakarta: Yayasan Obar Indonesia.

2010

Amin, Martimus MK, Konstitusi dan Demokrasi dalam buku Terorisme, Perang

Global dan Masa Depan Demokrasi. Depok: Matapena. 2004

Hendropiyono, AM, Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. Jakarta:

Kompas. 2009

Muradi, Penantian Panjang Reformasi Polri. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2009

Marzuki, Suparman, Politik Hukum Hak Asasi Manusia. Jakarta: Erlangga. 2014

Martono, Nanang. Metode Penelitian Kualitatif, Analisis Isi daan Analisis

Sekunder. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2010.

Moleong, Lexy j. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Offset. 2013.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Edisi Ketiga. Cet.

Ketiga. Yogyakarta: Liberty. 2002

Hutabarat, Ramly. Persmaan Di Hadapan Hukum (Equality Before The Law) di

Indonesia. Cet. Pertama. Jakarta: Ghalia Indoensia. 1985.

Indah S, Maya C. Perlindungan Korban suatu perspektif viktimologi dan

kriminologi. Jakarta: Kencana Prenadamedia. 2016.

Irfan, M Nurul. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Amzah. 2016.

Irfan, M Nurul dan Musyrofah. Fiqh Jinayah. Cetakan Ketiga. Jakarta: Amzah.

2015

87

Ashiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Edisi kedua. Cet.

Pertama. Jakarta: Sinar Grafika. 2010.

Hamzah, Andi. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Yarsif Watampono. 2005.

Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1993.

Ali, Ahmad. Meluruskan Jalan Reformasi Hukum. Jakarta: Agatama Press. 2004.

Adji, Oemar Seno. Hukum Acara Pidana dalam Perspektif. Jakarta: Airlangga.

1981.

Resdjiputro, Mardjono. Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana.

Jakarta: Lembaga Kriminologi UI. 1944.

Rukmini, Mien. Perlindungan HAM Melalui Asas Paduga Tidak Bersalah dan Asas

Persamaan Kedudukan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.

Bandung: Alumni. 2003.

Soeharto. Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban Tindak Pidana

Terorisme. Bandung: PT Refrika Aditama. 2007.

Muntaha. Penerapan Asas Oportunitas dalam Hukum Pidana di Indonesia.

Yogyakarta: Genta Publishing. 2014.

Putra, Dalizar. Hak Asasi Manusia Menurut al-Qur’an. Jakarta: PT Al-Husna

Zikra. 1995.

Effendi, Masyhur. Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum

Nasional dan Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1994.

Arief, Nawawi Barda. Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan, Penyusunan

Konsep Baru KUHP. Jakarta: Prenada Media Grup. 2011.

Wahid, Abdul. Sumardi & Muhammad Sidik. Kejahatan Terorisme Perspektif

Agama, Hukum, HAM. Bandung: PT Refrika Aditama. 2004.

Wibowo, Ari. Hukum Pidana Terorisme. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012

88

Sulistyo, Hermawan. Dkk. Beyond Terorisme. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

2002.

Kamasa, Frassminggi. Terorisme: Kebijakan Kontra Terorisme Indonesia.

Yogyakarta: Graha Ilmu. 2015.

Nasuition, Aulia Rosa. Terorisme Sebagai Kebijakan Terhadap Kemanusiaan

dalam Perspektif Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia. Jakarta:

Prenada Media Group. 2012.

S. Adjie. Terorisme. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2006.

Muladi. Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Redormasi Hukum di Indonesia.

Jakarta: Habibie Center. 2002.

Salenda, Kasjim. Terorisme dan Jihad dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta:

Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI. 2009.

Raharjo, Sajipto. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2000.

Mardenis. Pemberantasan Terorisme: Politik Internasional dan Politik Hukum

Nasional Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2011.

Mansur, Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom. Urgensi Perlindungan Korban

Kejahatan. Bandung: Raja Grafindo. 2006.

Harahap, Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penetapan KUHAP Penyidikan

dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. 2009

Ali, Mahrus. Hukum Pidana Terorisme: Teori dan Praktik. Jakarta: Gramata

Publishing. 2012.

Jurnal:

Sihombing, Eka N.A.M. “Mendorong Pembentukan Peraturan Daerah Tentang

Bantuan Hukum di Provinsi Sumatera Utara”. Jurnal RechtsVinding Media

Pembinaan Hukum Nasional, No. 1 Vol 2. 2013.

89

Baital, Bachtiar. “Asas Praduga tidak Bersalah dalam Dimrnsi Pembuktian”. Jurnal

Sosial dan Budaya Syar’i, No. 2 Vol 2. 2015.

Tryan, Muhammad Schinggyt. Dkk. “Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Asas

Praduga Tak Bersalah dalam Proses Pengadilan Pidana”. Jurnal Diponegoro

Law Journal, No. 4, Vol 5. 2016.

Pudjiarto, ST. Harum. “Hubungan antara Pengadilan Pidana Internasional (ICC)

dengan Perlindungan HAM Nasional Terhadap Pelanggaran HAM yang

Berat di Indonesia” jurnal Justitia et Pax. No. 1 Vol 24. 2004.

Jahada. “Hak Asasi Manusia Menurut al-Qur’an”. Jurna al-‘Adl, No.1 Vol 6. 2013.

Tauhid, Ahmad Zainut. “Hukuman Mati terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme

Perspektif Fikih Jinayah”. Jurnal Agama dan Hak Asasi Manusia, No, 2 Vol

1. 2012.

Salenda, Kasjim. “Terorisme dalam Perspektif Hukum Islam”. Jurnal Ulumuna

Studi Keislaman. No. 1 Vol 13. 2009.

Takasili, Novian. “Fungsi dan Kedudukan Densus 88 dalam Penanggulangan

Tindak Pidana Terorisme menurut Hukum Positif Indonesia”. Jurnal Lex

Creime. No.8 Vol 4. 2015.

Agustina, Lena. “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Salah Tangkap (Studi

Kasus Penangkapan Teroris oleh Densus 88)”. Jurnal JOM Fakultas

Hukum, No. 1 Vol 1. 2014.

Dehoop, Enrille C. A. “Perlindungan Hak Tersangka/Terdakwa Terorisme dalam

Sistem Peradilan Pidana Indonesia”. Jurnal Hukum Universitas Sam

Ratulangi. 2013.

Vilano, Danur. “Perlindungan Hak-hak Tersangka Terorisme sebagai Perwujudan

Asas Praduga Tidak Bersalah dalam Sistem Peradilan Pidana”. Jurnal e

Journal Katalogis, No. 3 Vol 5. 2017.

90

Hendriana, Rani. “Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Terorisme antara

Desiserata dan Realita”. Jurnal Kosmik Hukum, No. 1 Vol 16. 2016.

Muhtar, Zainal. “Eksistensi Densus 88: Analisis Evaluasi dan Solusi Terkait

Wacana Pembubaran Densus 88”. Jurnal Supremasi Hukum, No. 1 Vol 3.

2014.

Sibuea, Harris Y.P. “Keberadaan Detasemen Khusus (Densus) 88 dalam

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”. Jurnal Info Singkat Hukum, No.

10 Vol 5. 2013.

Bawole, Marshaal Samuel. “Kewenangan Tim Densus 88 dalam Penanggulangan

Terorisme di Indonesia”. Jurnal Lex et Societatis, No. 1 Vol 2. 2014.

Suka’arsana, I Komang dan Maria Silvya E Wangga. “Pengesampingan Prinsip

Persamaan di Muka Hukum”. Jurnal Masalah-masalah Hukum, No.1 Vol

45. 2016

Internet:

Wikipedia.org, “Detasemen Khusus 88 (Anti Teror)”. Artikel diakses pada 3

Desember 2017 dari

https://id.wikipedia.org/wiki/Detasemen_Khusus_88_(Anti_Teror).

Nasional.tempo.com, “Kejanggalan dalam kematian Siyono terduga teroris”.

Artikel diakses pada 3 Desember 2017 dari

https://nasional.tempo.com/read/757075/apa-saja-kejanggalan-dalam-

kematian -Siyono-terduga-teroris.

republika.co.id, “Kronologi kematian Siyono Menurut Polri”. Artikel diakses pada

01 April 2018 dari

http://www.republika.co.id/berita/nasional//hukum/16/03/14/640vrx361-

kronologi-kematian-siyono.di-tangan-densus-88-menurut-polri.

Merdeka.com, “kronologi penangkapan yang menewaskan Siyono”. Artikel

diakses pada 01 April 2018 dari

91

https://www.merdeka.com/peristiwa/kapolri-beberkan-kronologi-

penangkapan-yang-menewaskan-Siyono.html

Nasional.kompas.com, “Densus 88 langgar Hukum dalam Kasus Siyono”. Artikel

diakses pada 2 April 2018 dari

nasional.kompas.com/read/2016/03/26/Kontras.densus.88.langgar.hukum.

dalam.kasus.siyono.html

Kabar24.bisnis.com, “Kronologi penangkapan Terduga Teroris Siyono di Klaten”.

Artikel diakses pada 2 April 2018 dari

kabar24.bisnis.com/read/20160414/ini-kronologi-penangkapan-terduga-

teroris-siyono-di-klaten.html

Skripsi/Tesis:

Arifin, Firman. “Tindak Pidana Teorisme dalam Hukum Pidana Islam (analisi

Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2004 tentang Terorisme)”. Bandung: Skripsi

Hukum Pidana Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung

Djati. 2014.

Yunita, Amelda. “Penerapan Asas Praduga Tidak Bersalah dalam Proses Peradilan

Perkara Tindak Pidana Terorisme”. Jakarta. Tesis Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Indonesia. 2011.

Wawancara:

Interview Pribadi dengan AKBP. H. Djoni Djuhana, Direktur Idensus 88, Jakarta,

27 April 2018.

Interview Pribadi dengan Arif Nur Fikri, Anggota Komisi Untuk Orang Hilang dan

Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Jakarta, 19 April 2018.

Interview Pribadi dengan Agus Guntoro, Peneliti Komisi Nasional Hak Asasi

Manusia, Jakarta, 06 Juli 2018.

Interview Pribadi dengan Jamal Burhan, Anggota Majelis Hukum dan HAM

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jakarta, 13 Juli 2018.