PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA OLEH DENSUS 88...
Transcript of PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA OLEH DENSUS 88...
PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA OLEH DENSUS 88 DALAM KASUS
TERDUGA TERORISME SIYONO
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Ika Fadila
NIM: 11140450000064
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M/1439 H
iv
ABSTRAK
Ika Fadila, NIM 11140450000064, PELANGGARAN HAK ASASI
MANUSIA OLEH DENSUS 88 DALAM KASUS TERDUGA TERORISME
SIYONO, Program Studi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarih Hidayatullah Jakarta.
Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah Dugaan Pelanggaran
Hak Asasi Manusia Oleh Densus 88 dalam Kasus Terduga Terorisme Siyono. dari
masalah tersebut maka dilakukan penelitian ini dengan tujuan meneliti lebih dalam
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Densus 88 terhadap meninggalnya
tersangka terorisme Siyono yang masih dalam penanganan Densus 88.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif normatif. Adapun
sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sumber data primer dan
sumber data sekunder. Dalam pengumpulan data menggunakan teknik
pengumpulan data secara Library Research (studi kepustakaan), dengan melakukan
pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku dan yang berkaitan
dengan judul skripsi ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya pelanggaran yang
dilakukan Densus 88 dalam penangkapan tersangka terorisme, seperti tidak adanya
surat perintah penangkapan dan surat perintah penggeledahan, serta adanya upaya
penyiksaan terhadap tersangka yang menyebabkan kematian. Dalam hal ini Densus
88 melanggar Hak Asasi Manusia, seperti hak hidup dan hak untuk tidak disiksa.
Kata kunci: Terorisme, Densus 88, Siyono, Pelanggaran HAM
Pembimbing: Dr. H. M. Nurul Irfan, MA
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkann kehadirat Allah SWT atas segala
nikmat dan karunia-Nya yang telah memberikan kekuatan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Serta shalawat dan salam selalu tercurah kepada
junjungan Nabi besar Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat dan para
pengikutnya. Tiada cipta karya melainkan atas petunjuk dari-Nya, dengan rahmat
dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan judul
“PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA OLEH DENSUS 88 DALAM
KASUS TERDUGA TERORISME SIYONO”.
Dalam penyusunan skripsi ini berbagai hambatan dan keterbatasan penulis
hadapi mulai dari tahap persiapan sampai dengan penyelesaian tulisan namun
berkat bantuan, bimbingan dan kerja sama berbagai pihak, hambatan dan kesulitan
tersebut dapat teratasi. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan Fakultas Syriah dan
hukum.
2. Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, MA selaku ketua Program Studi Hukum Pidana
Islam.
3. Bapak Nur Rohim Yunus, LLM selaku Sekretaris Program Studi Hukum
Pidana Islam.
4. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA, pembimbing
akademik.
5. Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, MA selaku Dosen pembimbing yang telah
memberikan dukungan. kritik dan saran untuk penelitian ini, membimbing
penulis hingga skripsi ini selesai.
6. Bapak direktur Idensus, AKBP. H. Djoni Djuhana, bapak Arif Nur Fikri selaku
anggota Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras),
Bapak Agus Guntoro, Selaku Peneliti Komnas HAM, dan Bapak Jamil Burhan,
SH, selaku Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, yang telah,
memberikan informasi-informasi mengenai penelitian ini, dan juga
vi
memberikan kesempatan untuk bersedia menjadi narasumber pada saat
wawancara pribadi terkait penelitian ini.
7. Kedua orang tua penulis Bapak As’ad dan Ibuk Hamida, yang dengan ikhlas
dan sabar untuk terus medoakan anaknya. Kepada kakek Ghozali dan Alm.
Nenek Sutimah tercinta, serta Abah H. Dani, yang senantiasa memberikan doa,
nasihat dan dukungan untuk penulis.
8. Kepada adik-adik penulis Anisa Firdaus dan Lutfiah Syahrani, yang telah
memberikan dukungan semangat menghibur kepada penulis. Tante tercinta
Rofiatul Dewiyah, yang telah memberikan perhatian, nasehat dan dukungan
semangat untuk penulis cepat menyelesaikan skripsi ini. Saudara-saudara
penulis, Fara Dila, Barirotus Silvia, Lubna, Imamatul Silfia, yang telah
memberikan doa dan dukungan kepada penulis.
9. Kepada paman Imam dan tante Mufarroha, yang telah menjaga dan mendidik
penulis selama kuliah sampai selesai.
10. Segenap rekan Hukum Pidana Islam 2014, Alliyya, Elah, Irna, Zahrati, Dewi,
Khumaeroh, dan semua pihak yang belum tersebut. Segenap grup KEJORA
Khudaefah, Rita Sartika, Qurratul Aini, Siti Kholilah Perinduri, dan Anyzah
Oktaviyani. Segenap rekan-rekan di KKN Bercahaya Elva, Cika, dan Natasha.
Rekan SMK Nurul Amanah, Nur Qomaria dan Faizah. Rekan Mts Luthfiyah,
yang telah memberi dukungan, motivasi dan konstribusi lainnya dalam
penyusunan skripsi ini.
11. Segenap keluarga organisasi DMB (Dermaga Mahasiswa Bangkalan), Lilis,
Nadia, Wardah, Taqwim, Ilham, Masyur, yang memberikan perhatian dan
dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Demikian ucapan terima kasih penulis, semoga Allah SWT memberikan
pahala dan balasan setimpal atas semua jasa-jasa mereka. Penulis berharap semoga
skripsi bermanfaat untuk orang banyak.
Jakarta, 25 Juli 2018
Ika Fadila
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ......................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................... iii
ABSTRAK .............................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................ v
DAFTAR ISI .......................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ....................................... 5
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ................................................ 6
D. Tinjauan Kajian Terdahulu ....................................................... 7
E. Kerangka Teori dan Konseptual ............................................... 9
F. Metode Penulisan ..................................................................... 10
G. Sistematika Penulisan............................................................... 11
BAB II HAK ASASI MANUSIA
A. Asas Persamaan di Hadapan Hukum ........................................ 12
B. Asas Praduga Tidak Bersalah ................................................... 19
C. Pengertian Hak Asasi Manusia ................................................. 26
BAB III PENANGANAN KASUS TERDUGA TERORISME
SIYONO
A. Tindak Pidana Terorisme ......................................................... 38
B. Detasemen Khusus 88 .............................................................. 63
C. Kronologi Penanganan Kasus Terduga Terorisme Siyono ........ 68
D. Faktor Adanya Pelanggaran HAM oleh Densus 88 dalam kasus
Terduga Terorisme Siyono ....................................................... 72
ix
BAB IV ANALISIS TINDAK PIDANA PELANGGARAN HAM
DALAM PENANGANAN KASUS TERORISME SIYONO
A. Analisis Pelanggaran HAM dalam Penanganan Kasus Terduga
Terorisme Siyono ..................................................................... 74
B. Pertanggungjawaban Hukum Atas Dugaan Pelanggaran HAM
dalam Kasus Terduga Terorisme Siyono .................................. 79
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 84
B. Saran ........................................................................................ 85
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 86
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aksi-aksi teror yang marak akhir-akhir ini membuat keprihatinan
banyak pihak, baik masyarakat nasional maupun internasional. Aksi-aksi teror
yang menyebabkan hilangnya rasa aman ditengah-tengah masyarakat, selain
juga menurunkan wibawa pemerintah -sebagai badan yang seharusnya
memberikan perlindungan dan rasa aman- di tengah-tengah masyarakat.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ancaman besar,
terutama dengan maraknya aksi teror bom di sejumlah tempat.1
Terorisme akan terus muncul sebagai aksi atas fenomena yang muncul
didalam percaturan global. Sebagaimana yang dikatakan Roberk K Merton,
yang menyatakan bahwa terorisme merupakan kelompok tertindas yang akan
terus melakukan perlawanan yang berkepanjangan sepanjang kelompok itu
tidak mencapai tujuan. Hal ini terjadi karena terorisme sebagai bagian dari
gerakan sosial (social movement) dimana ciri-ciri dari kegiatan sosial ini adalah
gerakan oleh kelompok tertentu yang terorganisasi secara rapi, memiliki
kesamaan ideologi dan tujuan, menggunakan cara-cara kepemimpinan dan
komando yang bisa melegitimasi otoritas kekuasaan yang dilakukannya.
Terorisme sebagai kejahatan yang tergolong ke dalam kejahatan Extra
Ordinari Crime (kejahatan luar biasa), yaitu kejahatan yang dapat
mengakibatkan korban jiwa yang sangat signifikan. Oleh karena sifat terorisme
yang tergolong sebagai kejahatan Extra Ordinary, hampir setiap negara
menggunakan undang-undang khusus dalam menanggulangi tindak pidana
terorisme.2
1 Sukawarsini Djelantik, Terorisme Tinjauan Psiko-Politisi, Peran Media Kemiskinan, dan
Keamana Nasional, (Jakarta: Yayasan Obar Indonesia, 2010), h.1 2 Martimus Amin, MK, Konstitusi dan Demokrasi dalam buku Terorisme, Perang Global
dan Masa Depan Demokrasi, (Depok: Matapena, 2004), h.12
2
Terorisme bukan persoalan pelaku. Terorisme lebih terkait pada
keyakinan teologis. Artinya, pelakunya bisa ditangkap, bahkan dibunuh, tetapi
keyakinannya tidak mudah untuk dilakukan. Sejarah membuktikan, usia
keyakinan tersebut seumur usia agama itu sendiri.3
Salah satu bentuk tegas pemerintah dalam memerangi terorisme adalah
dengan mengeluarkan Peraturan Perundang-Undangan Nomor 1 tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian ditetapkan
menjadi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, kemudian melalui Inpres Nomor 14 tahun 2002, Presiden
menginstruksikan agar dibentuknya tim pemberantasan tindak pidana
terorisme. Hal ini adalah cikal bakal terbentuknya Detasemen Khusus 88
(Densus 88), yang bergerak dalam bidang pemberantasan jaringan terorisme di
wilayah Indonesia. Densus 88 AT Polri didirikan sebagai bagian dari respon
makin berkembangnya ancaman teror dari organisasi yang merupakan bagian
dari jaringan Al-Qaeda, yaitu Jama’ah Islamiyah (JI).4
Detasemen 88 dirancang sebagai unit antiterorisme yang memiliki
kemampuan mengatasi gangguan teroris mulai dari ancaman bom hingga
penyanderaan. Densus 88 di pusat (Mabes Polri) berkekuatan diperkirakan 400
personel ini terdiri dari ahli investigasi, ahli bahan peledak (penjinak bom), dan
unit pemukul yang di dalamnya terdapat ahli penembak jitu. Selain itu masing-
masing kepolisian daerah juga memiliki unit antiteror yang disebut Densus 88,
beranggotakan 45-75 orang, namun dengan fasilitas dan kemampuan yang
lebih terbatas. Fungsi Densus 88 Polda adalah memeriksa laporan aktivitas
teror di daerah. Melakukan penangkapan kepada personel atau seseorang atau
sekelompok orang yang dipastikan merupakan anggota jaringan teroris yang
dapat membahayakan keutuhan dan keamanan negara Republik Indonesia.5
3 A.M . Hendropiyono, Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, (Jakarta:
Kompas, 2009), h.vii 4 Muradi, Penentian Panjang Reformasi Polri, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009) h.192 5 Detasemen Khusus 88, wikipedia.org/wiki/Detasemen_Khusus_88_(Anti_Teror)
3
Banyak hal yang sudah dilakukan oleh Densus 88 dalam menangani
aksi kekerasan terorisme, seperti penangkapan gembong pelaksanaan
peledakan bom Bali I dan bom Bali II, menumpas teroris yang ada di Solo,
Temanggung, Poso dan lain-lain. Akan tetapi, oleh kesuksesan yang dilakukan
oleh Densus 88 dalam penanganan terorisme, banyak dari kalangan
masyarakat, politikus, para ulama, bahkan meneteri hukum dan HAM pun ikut
mengeluhkan sistem kerja Densus 88. Banyak warga sipil yang menjadi korban
dari aksi brutal yang dilakukan oleh Densus 88 dengan menembak mati orang
yang belum tentu terbukti sebagai tersangka kelomok terorisme. Di dalam
HAM itu sudah melanggar kode etik tentang peraturan HAM, yang mana
sesama orang ataupun sesema pemeluk agama yang berbeda tidak boleh
menyakiti satu sama lain, apalagi sampai ada hilangnya korban jiwa, itu sangat
melanggar peraturan kementrian Hukum dan HAM. Pada Undang-Undang
Nomor 39 tahun 1999 tertulis pasal 9 yang berbunyi; “Setiap orang berhak
untuk Hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.”
Dan juga terdapat pada pasal 18 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 yang
berbunyi; “setiap orang yang ditangkap, ditangkap, ditahan dan dituntut
karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak tidak dianggap tidak
bersalah, sampai dibuktikannya kesalahannya secara sah dalam suatu sidang
pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk
pembelaannya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Perlindungan HAM tidak saja bermakna sebagai jaminan negara pro-
aktif memproteksi hak asasi manusia dalam berbagai kebijakan (Regulasi),
tetapi juga reaktif bereaksi cepat melakukan tindakan hukum apabila terjadi
pelanggaran hak asasi manusia karena hal tersebut merupakan indikator negara
hukum. Jika dalam suatu negara hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar
dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara
adil, negara tersebut tidak dapat disebut sebagai negara hukum dan demokrasi
dalam arti sesungguhnya.6
6 Suparman Marzuki, Politik Hukum Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Erlangga, 2014) h.4
4
Indonesia sebagai negara yang berlandaskan atas hukum dalam setiap
tindakan yang dilakukan oleh masyarakat maupun oleh aparat penegak hukum,
harus sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku di Indonesia. Hal ini bertujuan
untuk menghindari adanya pelanggaran hukum hak asasi manusia terhadap
setiap orang. Aparat penegak hukum dalam hal ini Densus 88 AT sebagai
bagian dari aparatur penegak hukum yang berfungsi untuk melindungi,
mengayomi dan melayani masyarakat.7
Berdasarkan kerangka perlindungan hak asasi manusia, pada
hakikatnya, perlindungan terhadap orang yang diduga melakukan tindak
pidana terorisme merupakan salah satu perwujudan hak untuk hidup, hak untuk
mendapatkan keadilan, dan hak untuk tidak di siksa. Hak asasi itu bersifat
langgeng dan universal, artinya berlaku untuk setiap orang tanpa membeda-
bedakan asal-usul, jenis kelamin, agama, serta usia, sehingga setiap negara
berkewajiban untuk menegakkannya tanpa terkecuali.
Merujuk pada kasus kematian yang dialami oleh Siyono masih banyak
kejanggalan-kejanggalan yang terjadi. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban
Kekerasan (Kontras) menyatakan pemberantasan terorisme oleh Detasemen
Khusus 88 tidak diiringi akuntabilitas. Hal ini terlihat dari kasus tewasnya
Siyono, 33 tahun, terduga teroris asal Klaten. Kontras beranggapan banyak
pelanggaran yang dilakukan polisi. Pernyataan Markas Besar Polri Siyono
tewas karena melawan seorang petugas yang mengawalnya. Menurut Staf
Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik Kontras, hal tersebut janggal karena
standarnya minimal ada dua orang mengawal tersangka. “Apalagi ini kasus
terorisme Kontras mempertanyakan keterangan polisi yang menjelaskan
bahwa Siyono adalah panglima salah satu teroris. Menurutnya, fakta tersebut
kabur dan berasal dari sumber yang tidak jelas.
Menurut Satrio pernyataan polisi hanya memperkuat kesan bahwa
kematian Siyono karena ia berbahaya dan karena beliau sudah tewas, jadi tidak
7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia
5
bisa mengkonfirmasi ini. Satrio menambahkan bahwa polisi harus
menunjukkan berita acara pemeriksaan (BAP) bila mereka menganggap
Siyono seorang penglima berasal dari pengakuannya. Dan kalau itu
pengakuannya polisi seharusnya menunjukan berita acara pemeriksaan.
Kejanggalan lainnya terdapat pada jenazah Siyono. Menurut Satrio,
tidak masuk akal bila Siyono tewas karena berkelahi dengan satu orang. Selain
itu, kondisi jenazah tidak sesuai dengan keterangan tewas akibat kepala Siyono
dibenturkan ke badan mobil. Luka yang ditemukan yaitu ada memar dipipi,
mata lebam, hidung patah, kaki dari paha hingga betis bengkak dan memar,
kuku kaki hampir patah, dan keluar darah dari belakang kepala. Kontras
menduga ada penyiksaan yang terjadi terhadap Siyono dan meminta polisi
menyelidiki kembali dan menindak pelakunya. Polisi seharusnya tidak
kekurangan bukti untuk menindak anggotanya karena jenazah Siyono sudah
divisum. Selain kejanggalan tersebut, Kontras juga mencatat beberapa
pelanggaran yang dilakukan oleh Densus 88, antara lain pelanggaran
administrasi. Petugas tidak menunjukkan surat perintah mulai dari
penangkapan hingga pengeledahan rumah Siyono.8
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penyusun tertarik untuk
membuat karya ilmiah (Skripsi), dengan tema “Dugaan Pelanggaran Hak
Asasi Manusia Oleh Densus 88 Dalam Kasus Tersangka Terorisme
Siyono” Tema ini menjadi bahan yang menarik untuk diteliti, karena dalam
kasus yang terjadi ada beberpa keganjalan yang perlu dibuka dihadapan publik
dan untuk mencari kebenaran subtantif.
B. Pembatasan dan Rumusun Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, dapat diidentifikasi
beberapa masalah dalam penelitian ini, yaitu
a. Detasemen Khusus 88
8 kejanggalan dalam kematian Siyono, nasional.tempo.co/ read/757075/apa-saja-
kejanggalan-dalam-kematian-siyono-terduga-teroris diakses pada 3 Desember 2017
6
b. Prosedur penangkapan terorisme
c. Hak Asasi Manusia
d. Pelanggaran hak asasi manusia
2. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini, penulis memberikan batasan masalah hanya
pada Pelanggaran HAM yang dilakukan Aparat Penegak Hukum
terhadap Tersangka Terorisme. Pembatasan ini dilakukan untuk lebih
fokus atau mempermudah penulis dan juga untuk menghindari perluasan
pembahasan yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah yang akan
diteliti.
3. Rumusan Masalah
Beberapa masalah yang dirumuskan dengan pertanyaan
penelitian (research question) yaitu;
a. Bagaimana bentuk pelanggaran HAM oleh Densus 88 dapat terjadi
dalam kasus Siyono?
b. Bagaimana bentuk pertanggung jawaban hukum bagi Densus 88
dalam kasus Siyono?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan diatas, dapat
diketahui bahwa tujuan umum dari penulisan ini adalah:
a. Untuk mengetahui pandangan HAM tentang kekerasan atau anarkisme
yang dilakukan oleh Densus 88.
b. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban hukum Densus 88.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi, kontribusi
pemikiran dalam menambah wawasan pengetahuan dalam lingkup
pertanggung jawaban hukum pelanggaran HAM. Sehingga skripsi ini
7
menjadi bahan literatur dalam kajian ilmiah bagi para mahasiswa hukum
maupun praktisi hukum di Indonesia.
b. Manfaat Praktis
Dapat menjadi bahan pengetahuan yang dapat berguna untuk
pendidikan. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi wadah pengetahuan
baru yang berguna untuk mahasiswa, praktisi hukum, mauapun
masyarakat secara luas.
c. Manfaat Akademis
Penelitian ini merupakan syarat untuk meraih gelar sarjana hukum
dalam Program Studi Hukum Pidana Islam di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Tinjauan Kajian Terdahulu
Tinjauan pustaka (atau sering juga disebut literatur riview) merupakan
sebuah proses mencari berbagai literatur, hasil kajian atau studi yang
berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan.9 Adapun yang dapat
dijadikan sumber rujukan telaah pustaka tersebut adalah berupa buku teks,
disertasi, tesis, jurnal, skripsi dan lain sebagainya yang dapat dijadikan telaah
pustaka atau tinjauan pustaka. Dalam hal ini penulis mengambil beberapa
telaah pustaka yang dapat dijadikan bahan perundingan;
No. Identitas
Penulis Judul Substansi Pembeda
1. Basri
Musutofa
Mahasiswa
Universitas
Islam Negeri
Sunan Kalijaga
Penanganan
Terorisme oleh
Densus 88
Perspektif
Hukum Pidana
Islam dan HAM
Penulis
menjabarkan
mengenai
penanganan
terorisme yang
dilakukan
Penulis hanya
menjabarkan
penanganan
tersangka
terorisme
9 Nanang Martono, Metode Penelitian Kuantitatif, Analisis Isi dan Analisis Sekunder,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h.42
8
Densus 88
secara Hukum
Islam dan
HAM
secara hukum
positif
2. Khoirul Imam
Mahasiswa
Universitas
Islam Negeri
Sunan Kalijaga
Prosedur
penangkapan
tersangka oleh
Densus 88
(analisis kasus
Siyono di
Klaten)
Penulis
menjabarkan
tentang
kesesuaian
prosedur
penindakan
tersangka
terorisme oleh
Densus 88
Penulis
menjabarkan
mengenai
pelanggaran
dalam
prosedur
penangkapan
tersangka
terorisme oleh
Densus 88.
3. Tirta Mulya
Wira Pradana
dan Khoiril
Huda jurnal
Universitas
Negeri
Semarang
Penanganan
Pelaku Tindak
Pidana
Terorisme
dalam
Perlindungan
Hak Asasi
Manusia
Penulis
menjabarkan
perlindungan
hak asasi
manusia dalam
penanganan
tindak pidana
terorisme
Penulis
menjabarkan
pelanggaran
hak asasi
manusia yang
dilakukan
Densus 88
dalam
penanganan
tindak pidana
terorisme.
9
E. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
a. Teori Tindak Pidana
Pidana berasal dari bahasa belanda yaitu Straf, yang kadang-kadang
disebut dengan istilah hukuman. Walaupun istilah pidana lebih tepat dari
istilah hukuman, karena hukuman sudah lazim merupakan terjemahan
dari recht.10 Pidana dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan yang
sengaja dijatuhkan atau diberikan oleh negara kepada seseorang atau
beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatan
yang telah melanggar larangan hukum pidana
b. Teori Perlindungan Hukum
Menurut Fitzgerald dalam buku Sajipto Rahardjo, menjelaskan teori
perlindungan hukum bertujuan mengintegrasikan dan
mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena
dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan
tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai
kepentingan di lain pihak.11
2. Kerangka Konseptual
Konseptual dalam penelitian ini adalah hak asasi manusia. Konsep
ini lebih menitik beratkan pada hak setiap orang untuk diperlakukan sama
terutama di mata hukum.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam penanganan terorisme
dengan konsep hak asasi manusia ini diharapkan agar Densus 88 lebih
mangutamakan Hak-hak setiap orang, menerapkan asas persamaan di
hadapan hukum serta asas praduga tidak bersalah, tidak sewenang-wenang
dalam bertindak, dan memberikan perlindungan terhadap martabat manusia.
10 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: Grafindo Persadam 2008)
h.24 11 Sajipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000) h.53
10
F. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah satu teknik pemikiran yang dipergunakan
dalam penelitian tertentu untuk menggali dan mengembangkan pengetahuan
dari sumber-sumber primer maupun sekunder.12 Metode penelitian ini adalah
metode kepustakaan (Library Reseacrh), yaitu penelitian yang dilakukan
dengan cara menghimpun atau mengumpulkan data dari berbagai literatur baik
data yang ada di perpustakaan atau media informasi lainnya. Agar tecapai
maksud dan tujuan pembahasan pokok-pokok masalah diatas maka penulis
menggunakan metode penelitian kepustakaan sebagai berikut:
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif. Penelitian ini menggambarkan pelanggaran
yang dilakukan oleh Densus 88 dalam penanganan tindak pidana terorisme
dan Hak Asasi Manusia.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang penulis gunakan adalah pendekatan kasus dan
pendekatan Undang-Undnag. Pendekatan kasus adalah menelaah kasus
yang ditangani dengan mencari informasi dari media online dan melakukan
wawancara terhadap beberapa pihak terkait. Pendekatan Undang-Undang
adalah pendekatan menggunakan Undang-Undang yang sedang ditangani.
3. Bahan Hukum Penelitian
a. Bahan Hukum Primer
Dalam penulisan Skripsi ini penulis mengambil data primer dari
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
pIdana Terorisme, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, Peraturan Kepolisian Negara Republik Indoneisa nomor
23 tahun 2011 tentang penindakan tersangka tindak pidana terorisme,
Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor 14 tahun 2011
12 Hadari Nawawi, metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada
Univercity Press, 20017) h.27
11
tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Republik Indonesia, dan peraturan
Perundang-Undangan yang berkaitan dengan penelitian ini.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu semua yang merupakan informasi atau
hasil kajian yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia,
seperti karya ilmiah, artikel, surat kabar, internet dan seterusnya.
4. Teknik pengolahan Bahan Hukum
Teknik pengolahan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan
metode kualitatif, yakni dengan cara mengumpulkan bahan hukum untuk
mendeskripsikan permasalahan yang akan dibahas dengan mengambil
materi-materi dari sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum
sekunder. Kemudian sumber bahan hukum tersebut diklasifikasikan untuk
memudahkan dalam menganalisis.
5. Analisis Bahan Hukum
Adapun metode analisis bahan hukum dalam penelitian ini adalah analisis
deskriptif analistik, yaitu menjelaskan aspek-aspek masalah yang telah
diteliti kemudian diolah dan dianalisis untuk diambil kesimpulannya.
G. Sistematika Penulisan
Untuk menjelaskan pemasalahan tersebut dalam bagian yang lebih
lengkap, agar lebih memperjelas rangkaian penelitian ini, maka penulis
memberikan sistematika penulisan dalam suatu kaidah garis-garis besar
penulisan melalui beberapa bab, serta disertai sub-sub dalam menjelaskan
pelbagai hal yang lebih terperinci dan membutuhkan kajian pengatahuan yang
lebih mendalam. Adapun deskripsi dari sistematika penulisan ini dijabarkan
dalam 5 bab sebagai berikut:
Pada Bab I Penulis menguraikan dari latar belakang masalah, pembatasan
dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metode penelitian,
tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
12
Pada Bab II Penulis menguraikan tentang Hak Asasi Manusia meliputi
Persamaan Hak Dihadapan Hukum, Asas Praduga Tak bersalah, dan pengertian
Hak Asasi Manusia.
Pada Bab III Penulis menguraikan tentang penanganan kasus Terorisme
oleh Densus 88 dan Kronologi Kasus Penangkapan Terduga Terorisme Siyono,
meliputi pengertian tindak pidana terorisme, pembentukan Detasement 88,
Kronologi Kasus serta faktor adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Pada Bab IV penulis menguraikan tentang Bentuk Pelanggaran Hak
Asasi Manusia oleh Densus 88 dan Pertanggung Jawaban Hukum.
Pada Bab V penulis menguraikan tentang penutup yang merupakan hasil.
Penutup ini melipti, kesimpulan dari pembahasan serta beberapa saran-saran
berdasarkan hasil analisis dari penelitian ini yang diharapkan dapat dijadikan
bahan masukan dari pihak-pihak yang terkait.
13
BAB II
HAK ASASI MANUSIA
A. Asas Persamaan di Hadapan Hukum
Asas atau prinsip hukum bukanlah berarti bukan peraturan hukum
konkrit, termasuk merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau
merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan
di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-
undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat
diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit
tersebut. Prinsip persamaan perlakuan di depan hukum menghendaki adanya
keadilan dalam arti setiap orang adalah sama di depan hukum (Equality Before
The Law), setiap orang harus diberlakukan sama.13
Istilah Equality Before The Law ini merupakan istilah yang lazim
digunakan dalam hukum tata negara. Sebab hampir setiap negara
mencantumkan masalah ini dalam konstitusinya. Alasan mencantumkan
equality before the law dalam suatu konstitusi adalah karena hal ini merupakan
norma hukum yang melindungi hak-hak asasi warga negara. Bahwa semua
warga negara sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Equality before the
law, berarti persamaan di hadapan hukum. Jika dalam konstitusi hal ini
dicantumkan, maka konsekuensi logisnya penguasa dan penegak hukum
haruslah melaksanakan dan merealisasikan asas ini dalam kehidupan
bernegara, sebab jika asas ini tidak dilaksanakan berarti terjadi penyelewengan
dari konstitusi meskipun tampaknya bukan merupakan pelanggaran yang
terang-terangan, namun sangat dirasakan oleh rakyat betapa ketimpangan
hukum merupakan siksa batin yang berkepanjangan.14
13 Sudikno Mertokusumo, Mengenal hukum, suatu pengantar, Edisi Ketiga, (Yogyakarta:
Liberty, 2002) Cet. Ketiga, h.34 & 37 14 Ramly Hutabarat, Persamaan Di Hadapan Hukum (Equality Before The Law) Di
Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985) Cet. Pertama, h.39
14
Bekerjanya hukum di hadapan hukum diharapkan dengan tidak
membeda-bedakan orang tanpa kecuali, tanpa membedakan ras, agama, jenis
kelamin, dan status. Kesamaan kedudukan dimuka hukum tanpa diskriminasi
merupakan asas perlindungan hukum terhadap tindakan melawan hukum yang
diperbuat terhadap korban. Hal ini diarahkan untuk melindungi korban dari
perbuatan diskriminasi aparat penegak hukum.15
Asas ini didasari atas firman Allah dan Sabda Nabi. Dalam hukum
pidana Islam tidak ada perbedaan antara pejabat dan rakyat, antara orang kaya
dan orang miskin, serta antara kelompok satu dan kelompok yang lain. Adapun
yang membedakan adalah ketakwaan seseorang di hadapan Tuhan.16 Dalam
Firman Allah swt;
لأقنأكم م ن ذأكأر وأأن ثأى وأجأعألنأكم شعأوبا وأق أبأآ ئلأ لت أعأارأفوا إن أأ ا الناس إن خأ أ يأأ ي هأ ن الل كرأمأكم بي أليم خأ (31: 94\. )احلجراتأأت قأكم إن اللأ
Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling bertakwa. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”
(Qs. Al-Hujurat/49: 13)
Sudah banyak terjadi kasus-kasus hukum yang mengesampingkan asas
ini, seperti yang terjadi pada nenek Asyani yang dihukum penjara atas tuduhan
melakukan illegal loging, meskipun kayu jati yang dibawanya tidak seberapa
apabila dibandingkan dengan kasus-kasus besar yang terjadi pada kalangan
atas. Fenomena ini jauh berbeda dengan asas kesamaan di hadapan hukum.
Dalam sebuah hadits dikemukakan tentang seorang wanita pencuri dari suku
Makhzumaiyah.17
15 C. Maya Indah S, perlindungan korban suatu perspektif viktimologi dan kriminologi,
(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2016) h.147 16 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2016) h.22 17 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h.23
15
شأأنأ المأرأأة األمأخزومية األأت سأرأقأت ف أقأال أن غروأةأ أائشأةأ أأن ق رأيشأا اأهأهم أ هأا :واأن ل م في مأن يكأل رأسولأ هللا ص ألأيه وأسأ ألأيه إال اسأامأة مأ لى الل رأسول هللا ؟ ف أقأالوا مأن يأتأئ ص لى الل
ل ه اسأامأة ,مأ ألأيه وأسأ لمأ ألأيه وأسأ ص ف أقأالأ رأسول هللا ,فأكأ ود هللا؟ تأ أأ ,مأ ل لى الل من أ شفأع ف ان وا اذأا سأرأقأ ف م كأ لأكم اأن ا الناس انأا هألأكأ أألذينأ ق أب ت أرأكو ث قأامأ فأاختأطأ أ ف أقأالأ اأي هأ يهم الشأري
ألأيه اأقأاموا ة بن وأاذأا سأرأقأ فيهم الضأعي وأاأي هللا لأوأأن فأاطمأ هأااحلأ سأرأقأت لأقأطأعت يأأ أم ت Artinya: “Dari Urwah, dari Aisyah, bahwa sesungguhnya dikalangan
masyarakat suku Quraisy pernah terjadu sutu kasus yang membuat mereka
kebingungan akibat ada seorang wanita suku Makhzumiyah yang terbukti
mencuri. Mereka betanya-tanya, “kira-kira siapa yang bisa melakukan
negosiasi kepada Rasulullah saw?” mereka berpendapat, “siapa lagi yang layak
jika bukan Usamah bin Zaid, cucu tercinta Rasulullah saw?” Usamah pun
menyampaikan hal tersebut kepada beliau. Rasulullah saw bersabda, “apakah
kamu akan memberi keringanan salam perkara hudud?” pada saat itu
Rasulullah berdiri seraya berkata “sungguh umat terdahulu itu binasa (akibat
sikap diskriminatif mereka). Pada saat ada orang yang mulia dan tinngi status
sosialnya mencuri, mereka membiarkan tanpa dihukum;akan tetapi ketika yang
mecuri itu dari kaum lemah, mereka menghukumnya tanpa ragu. Demi Allah,
seandainya Fatimah –anak perempuan Muhammad- mencuri, pasti saya akan
memotong tangannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Demikianlah hukum pidana Islam yang memiliki asas kesamaan di
hadapan hukum serta tidak mengenal kasta dan sikap diskriminatif. Sebaliknya,
hukum pidana Islam menerapkan prinsip mulia Equality before the law, yaitu
semua orang sama, sepadan, dan sejajar di depan hukum.18
1. Konsep Asas Persamaan di Hadapan Hukum
Asas persamaan di hadapan hukum membawa sebuah konsekuensi
di tegaknya hukum dalam setiap bidang hukum termasuk hukum pidana
formil yaitu acara pidana. Berkaitan dengan asas ini di dalam bidang hukum
acara pidana yang merupakan sub sistem peradilan Asas Persamaan
Kedudukan di Hadapan Hukum menjadi pilar penegakan prosedur
beracara.19
18 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h.24 19 Jimly Ashiddiqie, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010) Edisi kedua, Cet. Pertama, h.128
16
Asas yang fundamental ini bersumber dan berakar dari HAM yang
bersifat Universal serta mendapat pengaturan yang dikodifikasi di dalam
perundang-undangan nasional maupun dokumen internasional. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa pengaturan suatu asas, sesuai dengan
prinsip negara hukum yang demokratis, mutlak diperlukan. Hal ini sejalan
dengan ketentuan pasal 281 ayat (5) peruabhan (amandemen) kedua UUD
1945 yang menyatakan. “untuk menegakkan dan melindungi hak asasi
manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka
pelaksanaan hak asasi dijamin, diatur dan diluangkan dalam peraturan
perundang-undangan”20
Dalam negara hukum, pemerintah tidak boleh mengistimewakan
orang atau kelompok orang tertentu, atau mendiskriminasikan orang atau
kelompok orang tertentu. Dengan adanya persamaan kedudukan setiap
orang dalam hukum dan pemerintahan, segala sikap dan tindakan
diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap
dan tindakan yang dilarang tidak terkecuali tindakan-tindakan yang bersifat
khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirematif actions’ guna
mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok
warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai
tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat
kebanyakan yang sudah jauh lebih maju.21
Subtansi yang mengemuka dalam International Encyclopedia of the
Social Science ini bahwa manusia itu adalah sama, hanya berdasarkan
karakteristiknya manusia memiliki perbedaan. Teori Equality, jika dibedah,
paling tidak dapat dibagi dalam empat bagian,22 yaitu:
a. Natural Equality (Persamaan Alamiah)
20 Jimly Ashiddiqie, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, h.128 21 Jimly Ashiddiqie, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, h.128 22 Eka N.A.M. Sihombing, “Mendorong Pembentukan Peraturan Daerah tentang Bantuan
Hukum di Provinsi Sumatera Utara”, RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, II, 1,
(April 2013), h.,85
17
Natural Equality adalah persamaan yang dibawa dari yang dimiliki
oleh manusia. Manusia adalah sama karena semua manusia sebagai
ciptaan Tuhan sama-sama memiliki rasio yang membedakannya dari
binatang.
b. Civil Equality (Persamaan Hak Sipil)
Civil Equality adlah hak sipil yang sama bagi setiap warga negara.
Umpamanya setiap orang memiliki hak yang sama dihadapan hukum
tanpa diskriminasi.
c. Political Equality (Persamaan Politik)
Political Equality adalah hak yang sama dalam politik. Artinya
setiap orang memiliki kesempatan yang sama dalam memberikan suara
dalam pemilihan umum, memilki hak yang sama memasuki partai
politik dan sebagainya.
d. Economic Equality (Persamaan Ekonomi)
Economic Equality adalah persamaan kesempatan dalam
meningkatkan taraf ekonomi. Hak-hak ekonomi warga negara adalah
sam dan dilindungi oleh konstitusi yang berlaku.
Teori Equality Before the Law berdasarkan empat klasifikasi itu
dimasukkan ke dalam teori Civil Equality yaitu hak-hak sipil. Hak seperti
ini dijamin dan dilindungi oleh konstitusi sehingga di hadapan hukum
semua orang wajib diperlakukan sama. Tidak dikenal adanya tebang pilih
atau berat sebelah atau menempatkan orang-orang tertentu sebagai warga
negara kelas satu. David L. Sill sebagai “Imartially” artinya tidak berat
sebelah. Itulah sebabnya teori Equality Before the Law merupakan antitesis
terhadap diskriminasi hukum.23
2. Prinsip asas persamaan di hadapan hukum
Prinsip persamaan dimuka hukum (Equality before the law) atau
setiap warga masyarakat diperlakukan sama dimuka hukum, memiliki
23 Eka N.A.M. Sihombing, “Mendorong Pembentukan Peraturan Daerah tentang Bantuan
Hukum di Provinsi Sumatera Utara”, h.85
18
makna setiap warga masyarakat, baik warga biasa maupun pejabat akan
mendapat perlakuan yang sama secara substansi hukum pidana maupun
secara prosedural (hukum acaranya). Perlakuan yang sama secara substansi
hukum pidana adalah setiap orang mentaati dan menghormati, aturan-aturan
hukum pidana, yang dilarang maupun yang diwajibkan, yang telah diatur
dalam Undang-Undang sebagai perbuatan yang di larang. Aturan hukum
pidana merupakan ketentuan yang berisi perintah dan larangan, yang apabila
dilanggar akan dikenai sanksi. Sedangkan perbuatan pidana adalah kelakuan
yang diancam pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan
dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung
jawab.24
Prinsip kesamaan substansi hukum pidana diuraikan dengan pasal 1
ayat (1) KUHP berlaku sama untuk semua orang, baik warga masyarakat
biasa maupun pejabat negara, termasuk DPR. Artinya perbuatan pidana
yang dilakukan oleh anggota DPR, hanya dapat diadili menurut aturan
hukum yang berlaku pada waktu perbuatan dilakukan (Lex temporis
delictie).25 Penerapan prinsip kesamaan hukum acara pidana bagi setiap
warga masyarakat mengacu pada ketentuan KUHAP. Artinya untuk
laporan, informasi, pengaduan atau tertangkap tangan yang memenuhi unsur
tindak pidana harus melandasi pada sumber hukum pada pasal 1 ayat (1)
KUHP, yang memiliki makna antara lain;
a. Nullu delictum, nulla poena sine praevia lege poenali, artinya tiada
delik, tiada pidana, tanpa peraturan yang mengancam pidana terlebih
dahulu;
b. Undang-undang hukum pidana tidak mempunyai kekuatan berlaku
surut;
c. Lex temporis delicti, artinya undang-undang berlaku terhadap delik
yang terjadi pada saat itu.
24 Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta, PT Yarsif Watampone, 2005) h.97 25 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 1993) h.31
19
Prinsip kesamaan hukum acara pidana yang diberlakukan pada setiap
warga masyarakat yang menjalani proses penyelidikan, penyidikan,
pemeriksaan baik sebagai saksi, status tersangka atau ahli diperlakukan
sama sesuai ketentuan yang ada dalam KUHAP.26
B. Asas Praduga Tak Bersalah
Asas praduga tak bersalah pada dasarnya merupakan manifestasi dari
fungsi peradilan pidana (modern) yang melakukan pengambilalihan kekerasan
atau sikap balas dendam oleh suatu institusi yang ditunjuk oleh negara. Dengan
demikian, semua pelanggaran hak yang dilakukan oleh seseorang harus
diselesaikan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Asas ini menyatakan bahwa,
“setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan
di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan
pengadilam, yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum
yang tetap.”27
Ahmad Ali menguraikan ada dua hal penting dari pengertian asas
praduga tak bersalah. Pertama, asas praduga tidak bersalah hanya berlaku
dalam tindak pidana. Kedua, asas praduga tidak bersalah hakikatnya adalah
pada persoalan beban pembuktian (the burden of proof) dimana bukan
terdakwa yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah, melainkan bahwa
di muka persidangan pengadilan, negara diwakili oleh jaksa penuntut umum
yang harus membuktikan bahwa terdakwa benar bersalah, dengan
membuktikan semua elemen tindak pidana yang didakwakan.28
Menurut Oemar Senoadji, praduga tidak bersalah umumnya
menampakkan diri pada masalah burden of proof, beban pembuktian. Menjadi
kewajiban penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa, kecuali
26 I Komang Suka’arsana & Maria Silvya E. Wangga, “Pengesampingan Prinsip
Persamaan di Muka Hukum” Masalah-masalah Hukum. XLV. 1. (Januari 2016). h.,13 27 Amelda Yunita, “Penerapan asas praduga tidak bersalah dalam proses peradilan perkara
tindak pidana terorisme” (Jakarta: tesis Universitas Indonesia, 2011) h., 63 t.d 28 Ahmad Ali, Meluruskan Jalan Reformasi Hukum, (Jakarta: Agatama Press, 2004) h.54
20
pembuktian insanity yang dibebankan kepada terdakwa ataupun undang-
undang membenarkan ketentuan yang tegas pembuktian terbalik. Asas
pembuktian terbalik mempunyai konsekuensi dimana beban pembuktian
terletak pada pihak terdakwa. Artinya, terdakwalah yang berkewajiban
membuktikan dirinya tidak bersalah.
Sebagai konsekuensi dianutnya asas praduga tidak bersalah adalah
seorang tersangka atau terdakwa yang dituduh melakukan suatu tindak pidana,
tetap tidak boleh diperlakukan sebagai orang yang bersalah meskipun
kepadanya dapat dikenakan penangkapan/penahanan menurut Undnag-
Undang yang berlaku. Jadi, semua pihak termasuk penegak hukum harus tetap
menjunjung tinggi hak asasi tersangka/terdakwa.29
Dalam ketentuan ketentuan perundang-undangan Indonesia, asas
praduga tidak bersalah diatur dalam penjelasan umum angka 3 huruf c
KUHAP, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam
hukum pidana Internasional asas ini diatur dalam ketenutan Pasal 66 ayat (1)
Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (Rome state of the
International Criminal Court), pasal 11 ayat (1) Deklarasi Universal HAM
(Universal Declaration of Human Right), pasal 40 ayat (2b) butir i Konvensi
tentang Hak-hak Anak (Convertion on the Rights of the child).30
Dalam hukum pidana Islam asas praduga tidak bersalah memiliki arti
bahwa seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap
tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan dan tidak
terdapat unsur keraguan sedikitpun menyatakan dengan tegas kesalahannya itu.
Asas praduga tak bersalah ini sejalan dengan kaidah ushul fiqh, yaitu al-ashl
bara’ah al-dzimmah (pada dasarnya setiap orang terbebas dari pelbagai
tuntutan hukum). Dengan kata lain, pada dasarnya seseorang bebas dari
29 Amelda Yunita, “Penerapan asas praduga tidak bersalah...”, h.,65 30 Bachtiar Baital, “asas praduga tidak bersalah dalam dimensi pembuktian”, salam: Jurnal
sosial dan budaya syar’i, II, 2, (Februari 2015) h.8
21
berbagai tuntutan. Dikalangan ulama ahli ushul fiqh, kaidah ini cukup populer
bahwa seseorang pada dasarnya terbebas dari segala tuntutan kewajiban syara’,
kecuaki ia dinyatakan sebagai pihak yang memiliki ahliyyah al-wujub atau
kecakapan untuk dibebani kewajiban karena telah masuk ke dalam kategori
mukalaf (orang yang telah baligh dan berakal sehat yang layak dibebani
kewajiban hukum).31
Meskipun demikian, dalam hukum pidana Islam asas praduga tak
bersalah ini lebih tepatnya berupa asas yang menyatakan bahwa seseorang
harus tetap dianggap tidak bersalah sebelum diputuskan oleh majelis hakim
dalam sidang pengadilan bahwa yang bersangkutan telah nyata bersalah tanpa
ada unsurkeraguan. Dalam hal ini, tampaknya asas praduga tak bersalah ini
lebih dekat dengan satu aturan dalam Islam bahwa seseorang tidak dibenarkan
meneliti kesalahan orang lain kecuali ia ditugaskan untuk melakukannya
seperti polisi, jaksa, atau hakim yang bertugas menegakkan keadilan. Di luar
dari ketiganya, apalagi jika hanya secara personal, seorang muslim tidak
dibenarkan mencari-cari kesalahan pihak lain. Sebagaimana Al-qur’an surat al
Hujurat, Allah SWT berfirman;
ا الذينأ آمأنوا اجتأنبوا كأثياا منأ الظن إن ب أعضأ الظن إث وأالأ تأأسسوا وأالأ ي أ يأ غتأ ب أعضكم أأي هأتاا فأكأرهتمو وأات قوا اللأ إن اللأ مأ أأخيه مأي كم أأن يأكلأ حلأ أ يم. ت أ ب أعضاا أأي أأ رأ وا
(31: 94\)احلجراتArtinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari
kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing
sebagian yang lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepdanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Hujurat/49: 12)
31 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h.17
22
Selain tidak diperbolehkan berburuk sangka kepada pihak lain –
menurut sebuah hadits- siapa pun yang menutup aib orang lain, kelak pada hari
kiamat ia akan ditutup aibnya oleh Allah.
أن أأب هرأي رأةأ : قأالأ رأسول األل –رضي هللا نه –وأ أن –ه وسلم صلى هللا لي – قأالأ مأن ن أفسأ ي أوم األقيأامأة وأمأن يأسرأ أنه كربأةا من كرأ ن يأا, ن أفسأ األل األ ألأى معسر, يأسرأ مؤمن كربأةا من كرأ
ن يأا وأالخرأة, وأمأن سأتأأ مس ألأيه ف األ ف األاألل مأا لماا, سأتأأ األل أون األعأب ف ن يأا وأالخرأة, وأاألل أون أأخيه ف ه مسلم – كأانأ األعأب )روا مسلم( .أأخرأجأ
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata, “Dari Nabi saw bahwa beliau
bersabda, ‘Barangsiapa membebaskan penderitaan seorang mukmin dari
sekian banyak penderitaan dunia, Allah pasti akan membebaskan
penderitaannya dari sekian banyak penderitaan pada hari kiamat. Barangsiapa
yang membantu seseorang yang sedang kesulitan, Allah akan membantu
kesulitannya di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutup aib seorang
muslim, Allah pasti akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan
selalu menolong seorang hamba selama ia sanggup menolong saudaranya’”
(HR. Muslim)32
1. Konsep Asas Praduga Tidak Bersalah
Asas praduga tidak bersalah merupakan suatu cita-cita atau harapan
agar setiap orang yang di sangka, di tangkap, di tahan, di tuntut, atau
dihadapkan di depan pengadilan di anggap tidak bersalah, sebelum ada
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, namun dalam kenyataannya, asas hukum itu tidak
selelu dapat di terapkan. Pada umumnya asas hukum itubersifat abstrak,
oleh karena itu tidak selalu di tuangkan dalam peraturan hukum konkret,
contoh asas in dubio pro reo yang berarti dalam hal keragu-raguan, hakim
harus memutuskan sedemikian rupa sebuah pilihan yang paling
menguntungkan terdakwa, atau asas unus testits nullus tertis yaitu asas yang
menentukan bahwa satu saksi bukanlahsaksi.33
32 Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h.,18 33 Muhammad Schinggyt Tryan, dkk, “Tinjauan Yuridis terhadap pelaksanaan asas praduga
tak bersalah dalam proses peradilan pidana”, Diponerogo Law Journal, V, 4, (Appril 2016), h.,4
23
Sifat abstrak dari asas hukum tersebut, membuat asas hukum tidak
dapat di terapkan terhadap peristiwa konkret. Asas hukum merupakan
peraturan dasar yang terdapat di balik peraturan konkrit. Dengan demikiann
asas praduga tidak bersalah secara kontekstual terdapat dalam Kitab
Undang-Undang Acara Pidana maupun Perdata.34
Asas Praduga Tidak Bersalah sebagai asas hukum umum acara,
berlaku di setiap proses berperkara di pengadilan, yaitu dengan adanya kata
“di hadapkan di depan pengadilan”, asas praduga tidak bersalah ini dapat
diterapkan dalam semua bentuk peradilan yang ada. Namun karena asas
praduga tidak bersalah dituangkan kembali dalam Penjelasan Umum Butir
3c Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sebagai hukum beracara
pidana di pengadilan, maka asas praduga tidak bersalah lebih di kenal dalam
perkara pidana.35
2. Penerapan Asas Praduga Tidak Bersalah dalam Hukum Pidana
Dalam rangka mewujudkan proses hukum yang adil, maka
penegakan hukum seyogyanya tidak dipandang secara sempit, namun secara
holistik. Dengan demkian, penegak hukum tidak hanya selalu dipahami
sebagai penegakan norma-norma hukum yang berkaitan dengan
pelanggaran seorang tersangka/terdakwa, melainkan juga penegakan hukum
terhadap norma-norma yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak
tersangka/terdakwa oleh aparat penegak hukum selama proses pemeriksaan
berlangsung.36
Menurut Mardjono Resdiputro asas praduga tidak bersalah ini
adalah asas utama proses hukum yang adil (Due process of law), yang
mencakup sekurang-kurangnya; a) perlindungan terhadap tindakan
34 Muhammad Schinggyt Tryan, dkk, “Tinjauan Yuridis terhadap pelaksanaan asas praduga
tak bersalah dalam proses peradilan pidana”, h.5 35 Muhammad Schinggyt Tryan, dkk, “Tinjauan Yuridis terhadap pelaksanaan asas praduga
tak bersalah dalam proses peradilan pidana”, h.5 36 Oemar Seno Adji, Hukum acara pidana dalam perspektif, (Jakarta: Airlangga, 1981),
h.251
24
sewenang-wenang dari pejabat negara; b) bahwa pengadilanlah yang berhak
menentukan salah tidaknya terdakwa; c) bahwa tersangka/terdakwa harus
diberi jaminan-jaminan untuk dapat membela diri sepenuhnya.37
Problematik penerapan asas praduga tidak bersalah dalam perkara
pidana berkaitan dengan kedudukan yang tidak seimbang anatara
tersangka/terdawa dengan aparat penegak hukum yang berkepentingan
sehingga dikhawatirkan terjadi tindak kesewenang-wenang dari aparat
penegak hukum. Hukum pidana sebagai hukum publik, mengatur
kepentingan umum sehingga berhubungan dengan negara dalam melindungi
kepentingan umum. Kedudukan tidak seimbang dalam perkara pidana
memungkinkan terjadinya perlakuan sewenang-wenang dari aparat hukum
terhadap tersangka/terdakwa yang dianggap telah melanggar kepentingan
umum dalam proses pemidanaan sebagai orang yang bertanggung jawab
atas ketidak seimbangan dalam tatanan dalam masyarakat akibat adanya
pelanggaran hukum.38
Asas praduga tak bersalah dalam sistem Peradilan Pidana pada
hakikatnya menetapkan keseluruhan dari proses pelaksanaan hukum acara
pidana untuk dilaksanakan secara berimbang. Sejalan dengan pendapat
Kaligis bahwa walaupun tujuan penegakan hukum adalah untuk
mempertahankan dan melindungi kepentingan masyarakat, penegakan
hukum tidak boleh mengorbankan hak dan martabat tersangka/terdakwa.
Sebaliknya, perlindungan harkat dan martabat tersangka/ terdakwa tidak
boleh mengorbankan kepentingan masyarakat. Aparat penegak hukum
harus mampu meletakkan asas keseimbangan yang telah digariskan
KUHAP sehingga tidak mengorbankan kedua kepentingan yang dilindungi
hukum.39
37 Mardjono Resdiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta;
Lembaga Kriminologi U.I 1994), h.36 38 E. Nurhaini Batarbutar, “asas praduga tidak bersalah”, Dinamika Hukum”, XI, 3,
(September, 2011), h.472 39 Bachtiar Baital, Asas Praduga tidak bersalah dalam dimensi pembuktian., h.9
25
Pengaturan asas praduga tidak bersalah dalam KUHAP, merupakan
salah satu upaya untuk melindungi hak-hak tersangka dari tindakan
sewenang-wenang dari aparat hukum. Namun menurut Rohmini,
pengaturan asa praduga tidak bersalah dalam penjelasan umum butir 3c
KUHAP, dapat menjadi kendala dalam pelaksanaannya, karena ketentuan
tersebut tidak di atur dalam batang tubuh tetapi hanya dalam penjelasan.
Kendala dalam penerapan asas praduga tidak bersalah dalam perkara pidana
bukan karena pengaturannya tidak secara tegas dalam batang tubuh
KUHAP, tetapi lebih kepada kesadaran hukum dari aparat hukumnya, yang
kurang memperhatikan hak-hak tersangka yang juga mempunyai
kepentingan untuk belaan hukum. Sebagaimana dikemukakan oleh
Soekanto, bahwa penegakan hukum yang baik tidak hanya didasari faktor
hukum (Undang-Undang) yang baik dan lengkap melainkan juga
dipengaruhi oleh aprat penegak hukum, fasilitas, dan budaya hukum
masyarakat.40
Penerapan asas presumption of innocence dalam perkara pidana
merupakan akibat proses pemidanaan oleh para penegak hukum, seperti
penyidik dan penuntut umum berhadapan dengan tersangka/terdakwa sering
dihadapkan dengan hak asasi manusia, sehingga asas ini kemudian
dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia. Meskipun sebenarnya hak asasi yang merupakan hak
kodrati yang melekat pada manusia tidak membutuhkan legitimasi yuridis
untuk memberlakukannya, namun sifat negara yang sekuler dan positivistik
mengakibatkan memerlukan landasan yuridis dalam mengatur kehidupan
bersama-sama dengan manusisa yang lain.41
40 Mien Rukmini, Pelindungan HAM melalui asas praduga tidak bersalah dan asas
persamaan kedudukan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia,(Bandung: Alumni, 2003). h.,67 41 St. Harum Pudjiarto, “Hubungan antara Pengadilan Pidana Internasional (ICC) dengan
Pengadilan HAM Nasional terhadap pelamggaran HAM yang berat di Indonesia”, Justitia et pax,
XXIV, 1, (Juni 2004), h.,43
26
Salah satu tindak pidana yang sangat membutuhkan penerapan asas
praduga tidak bersalah dalam proses peradilannya adalah tindak pidana
terorisme. Tersangka/terdakwa tindak pidana terorisme merupakan pihak
yang sangat rentan mengalami tindakan-tindakan yang melanggar asas
praduga tidak bersalah dalam proses peradilannya. Apalagi tindak pidana
terorisme merupakan extra ordinary crime yang membutuhkan penanganan
khusus dibandingkan dengan tindak pidana lain, sehingga dikhawatirkan
terjadinya tindakan-tindakan yang melampaui batas kewenangan penegak
hukum.42
C. Pengertian Hak Asasi Manusia
Pengertian HAM sebenarnya mencakup spektrum yang cukup luas yang
bergulat secara dinamis dari HAM individual ke HAM komunal, bahkan
terakhir muncul HAM kolektif. Pertentangan dalam penerapan HAM biasanya
disebabkan oleh perbedaan pandangan tentang HAM yang diinginkan.
Kalangan diluar terjemahan dari istilah pemerintahan menuntut pada penekanan
HAM individual, sedangkan pihak pemerntah, atas nama pembangunan dan
kesatuan, memilih penegakan HAM yang komunal yang cenderung otoritarian.
Mengenai ruang lingkup atau batasannya, beberapa teoritis HAM menyatakan
bahwa HAM seharusnya dibatasi hanya pada hak-hak politik (political rights),
dan sipil (civil rights) saja. Sementara yang lain berpendapat bahwa HAM juga
harus mencakup hak ekonomi.43
Hak asasi manusia sebagai hak kodrati yang melekat bagi setiap orang,
baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat harus dihormati dan
dihargai sesuai dengan martabat manusia, dan menolak apabila diperlakukan
42 Amelda Yunita, “penerapan asas praduga tidak bersalah dalam proses peradilan perkara
tindak pidana terorisme”, h.,69 43 Soeharto, Perlindungan hak tersangka, terdakwa dan korban tindak pidana terorisme.,
h.47
27
dengan sewenang-wenang.44 Definisi klasik dan menggejala dalam pemaknaan
Hak Asasi Manusia yang sering dipakai dan dikutip adalah;
“A human right by definition is a universal moral right, something which all
men, everywhere, at all times ought to have, something of which no one may
deprived without a agrave affront to justice, something which is owing to every
human being simply because he (she) is human. (Craston, 1973: 36).
Hak Asasi Manusia adalah hak manusia yang paling mendasar dan
melekat padanya dimanapun ia berada. Tanpa adanya hak ini berarti
berkuranglah harkatnya sebagai manusia yang wajar. Hak asasi manusia adalah
suatu tuntutan yang secara yang secara moral dapat dipertanggung jawabkan,
suatu hal sudah sewajarnya mendapat perlindungan hukum.45 Konsep awal
secara umum hak asasi manusia diketengahkan oleh Jan Martenson dari komisis
hak asasi manusia PBB yang mengatakan bahwa:
“Human rights cold be generally difined as those rights which are inherent I
our nature and without which we cannot live as human being” (hak asasi
manusia ialah hak-hak yang melekat pada sifat manusia, yang tenpanya manusia
mustahil dapat hidup sebagai manusia).
Hak-hak yang dimiliki oleh setiap manusia itu menjamin setiap orang
untuk menentukan isi jiwanya sendiri, untuk melahirkan isi jiwanya itu melalui
suara atau aktivitas lain dan mengembangkan aktivitas itu secara perorangan
maupun berorganisasi dengan orang lain menurut kehendaknya, tanpa
gangguan atau paksaan dari orang lain. Hardjowirogo (1981: 7) menyatakan:
“hak-hak manusia ialah hak-hak yang memungkinkan kita tanpa diganggu
gugat menjalani kehidupan bermasyarakat dan bernegara sebagai warga negara
dari suatu kehidupan”.
John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang
diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati.
Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun disunia yang dapat mencabutnya.
44 Muntaha, Penerapan Asas Oportunitas Dalam Hukum Pidana di Indonesia,
(Yogyakarta: Genta Publishing, 2014) h.123 45 Dalizar Putra, Hak Asasi Manusia menurut Al-Qur’an, (Jakarta: PT Al Husna Zikra,
1995) h.31
28
Hak ini sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan
manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak bisa terlepas dari dan dalam
kehidupan manusia.46
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia pasal 1 disebutkan bahwa:
“Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan kebenaran manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat martabat manusia”.
Berdasarkan beberapa rumusan pengertian HAM tersebut, diperoleh
suatu kesimpulan bahwa HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia
yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Tuhan yang harus
dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyrakat atau negara.
Dengan demikian hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM ialah
menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi kesimbangan
yaitu keseimbnagan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara
kepentingan perseorangan dan kepentingan umum.47
1. Hak Asasi Manusia dalam Al-qur’an
Dalam Islam HAM tidak secara khusus memiliki piagam, akan tetapi
al-qur’an dan Sunnah memusatkan perhatian pada hak-hak yang diabaikan
pada bangsa lain. Nash-nash ini sangat banyak antara lain:
a. Dalam Alqur’an terdapat sekitar 40 ayat yang membicarakan mengenai
paksaan dan kebencian. Lebih dari 10 ayat bicara larangan memaksa,
untuk menjamin kebebasan berpikir, berkeyakinan dan mengutarakan
aspirasi.
46 Masyhur Effendi, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional
dan Internasional, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994) h.3 47 Masyhur effendi, Dimensi dan dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan
Internasional,. h.201
29
b. Alqur’an telah mengetengahkan sikap menentang kezhaliman dan
orang-orang yang berbuat zhalim dalam Al-Qur’an sekitar 320 ayat dan
memerintahkan berbuat adil 54 ayat yang diungkapkan dengan kata-
kata ‘adl dan qisht.
c. Alqur’an menganjurkan sekitar 80 ayat tentang hidup, pemeliharaan
hidup dan penyediaan sarana hidup.
d. Alqur’an menjelaskan sekitar 150 ayat tentang ciptaan dan makhluk
serta persamaan penciptaan.48
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa manusia dalam perspektif
Islam, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial,
mempunyai hak asasi pokok, semata-mata di istimewakan memang karena
dirinya sebagai hamba Allah SWT diantara hak-hak asasi tersebut adalah:
a. Hak hidup, kemerdekaan dan keamanan pribadi
Salah satu aspek kemanisaan yang sangat mendasar ialah hak
hidup dan hak untuk melangsungkan kehidupannya itu. Setiap orang
berhak untuk mempertahankan/membela diri terhadap setiap ancaman
atau serangan yang tertuju pada keselamatan jiwanya. Karena hak hidup
merupakan hak asasi manusia, maka perampasan nyawa oleh orang lain
(berupa pembunuhan) atau oleh negara (berupa penjatuhan pidana mati)
pada hakikatnya merupakan pelanggaran HAM apabila dilakukan
sewenang-wenang atau tanpa dasar pembenaran yangsah menurut hukum
yang berlaku.49
Hak hidup adalah salah satu dari hak-hak alami Institusional yang
tidak memerlukan persetujuan sosial atau semacamnya. Dia adalah
karunia yang dikarunikan oleh Allah Yang Maha Tinggi kepada setiap
manusia. Seseorang tidak kuasa menghidupkan seseorang dan
48 Jahada, “Hak Asasi Manusia menurut al-Qur’an”, al-‘Adl, VI, 1, (Januari 2013), h.43 49 Barda Nawai Arief, Kebijakan Hukum Pidana perkembangan, penyusunan konsep baru
KUHP, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2011) h.68
30
melenyapkan hidupnya tanpa kehendak Allah SWT. sebagaimana Allah
berfirman dalam Alqur’an yang berbunyi:
(11: 31\احلجروأإن لأنأحن ني وأنيت وأنأن الوأارث ونأ. )
Artinya: “Dan sesungguhnya benar-benar kami yang menghidupkan dan
mematikan, kami (pulalah) yang mewarisi” (QS. Al-Hijr/15 : 23)
Kekuasaan menghidupkan dan mematikan hanyalah ada pada
Alah SWT (QS. Qaaf: 43). Oleh sebab itu setiap manusia mempunyai
hak sama untuk hidup dan meneruskan kehidupannya serta
mempertahankan kehisupannya itu dengan bebas dan wajar. Jiwa
manusia adalah suci dan tidak boleh disakiti dan segala usaha harus
dilakukan untuk melindunginya, terutama tidak seorangpun
diperbolehkan menyakiti seseorang kecuali berdasarkan hukum, seperti
hukum qishash pada tindak pidana pembunuhan.50
Menurut Syeikh Syaukat Husain, Islam memerintahkan umatnya
untuk menghormati hak hidup ini, walaupun terhadap bayi yang masih di
dalam rahim ibunya. Lebih dari itu, Islam tidak hanya memperhatikan
kemuliaan dan martabat manusia ketika ia masih hidup, martabatnya
tetap dimuliakan, sampai dengan wafatnya, dengan diurus jenazahnya,
dimandikan, dikafankan, dishalatkan dan dimakamkan dengan baik dan
penuh ketulusan.51
Hidup tidak ada artinya tanpa kemerdekaan dan keamanan
pribadi. Hidup tanpa kemerdekaan dan keamanan sama artinya dengan
pembunuhan secara perlahan-lahan, disebabkan tidak dapatnya
mengembangkan kehidupannya. Kemerdekaan adalah tiap-tiap manusia
merdeka berbuat menurut apa yang dikehendakinya, asal tidak
melanggar kemerdekaan orang lain. Setiap orang atau setiap individu
50 Dalizar Putra, Hak Asasi Manusia menurut Al-Qur’an,. h.44 51 Syeikh Syaukat Husain, Human Right in Islam, Terjemahan: Abdul Rochim C.N.
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 60.
31
mempunyai hak yang tak dapat dipungkiri untuk merdeka dalam segala
bentuknya, fisik, kebudayaan, ekonomi dan politik serta harus diberi
kesempatan untuk memperjuangkan dan dengan segala sarana yang ada
menentang setiap pengekangan, penindasan dan penghapusan terhadap
haknya.
Dalam konsep yuridis kemerdekaan didasari bukan atas dasar
moral menusia, akan tetapi didasari oleh dekrit positif dari Allah SWT.
oleh sebab itu menurut al-Qur’an manusia tidak boleh diperbudak
(diperhamba) oleh manuisa lain, tetapi hanya menjadi budak (hamba)
dari Allah Yang Maha Kuasa. Allah berfirman;
كأ ن أعب كأ نأستأعي )الفتحةإي (1: 3\وأإيArtinya: “Kepada-Mu (wahai Allah) kami beribadah dan kepada-Mu
kamu memohon pertolongan” (QS. Al-Fatihah /1: 4).52
Hak akan kemerdekaan dan kebebasan seseorang mencakup
makna dan aspek atau ruang lingkup yang sangat luas. Seseorang tidak
hanya bebas dan merdeka terhadap keberadaannya (eksistensinya)
sebagai manusia, tetapi juga di dalam menentukan, malangsungkan dan
mempertahankan eksistensinya sebagai manusia dalam kehidupan
pribadi maupun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kemerdekaan dan kebebasan yang ingin dicapai adalah suasana tertib
(tatanan) hukum yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan dan keadilan
sosial serta perlindungan seluruh bangsa Indonesia. Dengan demikian,
walaupun setiap orang mempunyai kebebasan, tetapi pada dasarnya
mempunyai kewajiban untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak
asasi orang lain. Segala bentuk pelecehan, perampasan, pengekangan dan
penguasaan paksa secara sewenang-wenang atas hak kemerdekaan dan
kebebasan orang lain pada hakikatnya merupakan pelanggaran terhadap
HAM. Namun dalam tertib hukum, seseorang dinyatakan telah
52 Dalizar Putra, Hak Asasi Manusia menurut Al-Qur’an,. h.49
32
melakukan pelanggaran HAM atau dilihat dari sudut hukum pidana telah
melakukan tindak pidana, harus didasarkan pada hukum dan undang-
undang yang berlaku.53
b. Hak berpendapat
Islam menganugerahkan hak untuk berfikir dan hak untuk
mengungkapkan pendapat kepada seluruh umat manusia. Kebebasan
berekspresi ini tidak hanya diberikan kepada warga negara ketika
melawan tirani, namun juga setiap individu untuk bebas mengeluarkan
pendapat dan sekaligus mengekspresikannya berkait dengan berbagai
masalah.54 Setiap orang mempunyai hak untuk berpendapat dan
menyatakan pendapatnya selama dia tetap dalam batas-batas yang
ditentukan oleh hukum dan norma-norma lainnya. Artinya tidak
seorangpun diperbolehkan fitnah, hasut dan berita-berita yang
mengganggu ketertiban umum dan mecemarkan nama baik orang lain.
Pendapat yang dikehendaki adalah pendapat yang bersifat konstruktif,
tidak bersifat destruktif dan tidak pula bersifat anarkis. Bagi seorang
muslim selalu dianjurkan mengemukakan ide atau gagasan yntuk
menciptakan kebaikan dan mencegah kemungkaran.55 Allah
dalam firman-Nya yang berbunyi:
أن المنكأر هأونأ عرف وأي أن أيأ مرونأ بمل ونأ إلأ اخلأي وأ لأئكأ هم أو وأ وألتأكن م نكم أمة ي
(309: 1\نمراالمفلحونأ. )ال Artinya: “Dan adalah di antara kamu segolongan umat yang menyuruh
kepada kebaikan dan mencegah kepada yang mungkar. Merekalah orang-
orang yang beruntung”. (QS. Ali Imran/3: 104)
Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin umat selalu meminta
buah pikiran dan pendapat dari umatnya dalam hal yang berhubungan
53 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan, Penyususnan konsep
baru KUHP, h.71 54 Ahmad Mukri Aji, Hak dan Kewajiban Asasi Manusia dalam Perspektif Islam, h.7 55 Dalizar Putra, Hak Asasi Manusia menurut Al-Qur’an,. h.52
33
dengan masalah dunia. Hal ini terlihat jelas dalam tindakan beliau
membagi urusan dunia dan urusan akhirat. Yang mana mengenai urusan
agama yaitu ibadah, syari’at dan hukum dasar itu adalah dari Allah.
Muhammad SAW memimpin dan semua wajib tunduk. Tetapi urusan
yang berkenaan dengan dunia, misalnya perang dan damai, menjalankan
ekonomi, ternak, bertani dan hubungan biasa antara manusia (human
raltion) hendaknya dimusyarahkan berdasarkan pertimbangan maslahat
(apa yang baik untuk umum) dan mudharat (apa yang membahayakan).
Demikian pentingnya menyatakan pendapat dalam Islam demi untuk
kemaslahatan umum. Landasan dalam al-Qur’an adalah sumpah dan
amanat Allah kepada kalam yang berfungsi sebagai alat untuk
menyebarluaskan pendapat atau ilmu pengetahuan. Dijelaskan dalam al-
Qur’an sebagai berikut;
(3: 86\وأالقألأم وأمأا يأسطرونأ. )القلم˜ نArtinya: “Nun, Demi kalam dan apa yang mereka tulis”. (QS. Al-
Qalam/68:1)
Dengan goresan pena orang dapat menyatakan pendapatnya,
mengetahui pendapat orang lain, mendalami ilmu pengetahuan,
memperjuangkan hak-haknya dan sebagainya. Goresan pena dalam
mengemukakan pendapat ini tentu selalu memperhatikan etika pergaulan
dan juga jangan sampai merugikan orang lain sesuai dengan prinsip amal
ma’ruf nahi mungkar.56
c. Hak Berserikat dan Berkumpul
Islam telah memebrikan hak kepada rakyat untuk bebas
berpolitik, berserikat dan membentuk organisasi-organisasi. Namun, hak
berserikat ini dilakukan dengan motivasi untuk menyebarkan dan
merealisir kemaslahatan dan kebaikan baik bagi individu, masyarakat
dan bangsa, bukan untuk menyebarkanluaskan kejahatan dan kekacauan.
56 Dalizar Putra, Hak Asasi Manusia menurut Al-Qur’an., h.55
34
Sehingga dapat dikatakan bahwa hak kebebasan berserikat tidak berlaku
secara mutlak tanpa batas. Akan tetapi, ia dilakukan dengan dilandasi
oleh semangat untuk menyebarluaskan amal-amal kebajikan dan
kesalehan, serta menumpas kejahatan dan kemunkaran.57 Hak untuk
kebebasan berserikat secara umum terkandung pada Alquran surat Ali
Imran ayat 110;
أن المنكأر وأت ؤمنونأ بلل مرونأ بلمأعروف وأت أن هأونأ تم خأيأ أمة أخرجأت للناس تأ لأو آمأنأ أأهل وأ كن م من هم المؤمنونأ وأأأكث أرهم الفأاسقونأ )ال لأكأانأ خأياا لأ (330: 1\نامر الكتأا
Artinya: “kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih
baik dari mereka; diantara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik” (QS. Ali Imran/3: 110)
Oleh sebab itu setiap orang berhak untuk turut serta bersama
dalam kehidupan keagamaan, sosial budaya dan politik dan
masyarakatnya dan mendirikan lembaga-lembaga dimana berdasarkan
ini dimungkinkan ia menikmati hak-haknya dan mengembangkan diri
sepenuhnya.58
d. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup atau hak ekonomi
Berbicara tentang hak ekonomi, Islam telah mengajarkan kepada
setiap individu untuk dapat memenuhi kebutuhan pribadinya dan
keluarganya sesuai dengan prestasi hidup skill yang dimiliki. Namun, di
balik harta yang dimilikinya itu, di dalamnya terkandung hak orang lain,
khususnya dhua’fa dari golongan fakir miskin, yang dikelurakan melalui
zakat, infak, dan sedekah (ZIS). Hal tersebut sesuai dengan firman Allah
SWT QS. adz-Dzariyat 51 : 19;
ائل وأالمأحروم. )الذاريت أق للس (34: 13\وأف أأموأالم
57 Syeikh Syaukat Husain, Human Right in Islam, Terjemahan: Abdul Rochim C.N., h.84-
85 58 Dalizar Putra, Hak Asasi Manusia menurut al-Qur’an., h.57
35
Artinya: “Dan pada harta-harta meeka ada hak-hak orang miskin yang
mendapat bahagian” (QS. Adz-Dzariyat/51: 19)
Pesan ayat tersebut menyatakan dan menegaskan bahwa siapapun
yang minta pertolongan dan siapapun yang menderita kesulitan
mempunyai hak atas begian harta benda dan kekayaan seorang muslim,
tanpa melihat apakah ia berasal dari bangsa ini, atau itu, dari negara
manapun dan dari ras manapun ia berasal.59
Selain itu, Islam memberikan jaminan perlindungan dan
keamanan terhadap eksistensi harta kekayaan masing-masing individu,
khususnya terhadap harta benda yang diperoleh secara legal dan sah
menurut hukum. Termasuk di dalamnya hak-hak untuk dapat menikmati
dan mengkonsumsi harta, hak untuk investasi dalam berbagai usaha, hak
untuk mentransfer, serta hak perlindungan individu lain tingga di atas
tanah miliknya.60
e. Hak mendapatkan pendidikan
Manusia menurut Alquuran, memliki potensi untuk meraih ilmu
dan mengembangkannya seizin Allah. Karena itu, beberapa ayat yang
memerintahkan manusia menempuh berbagai cara untuk mewujudkan
hal tersebut. Manurut pandangan Alquran seperti diisyaratkan wahyu
pertama ilmu terdiri dari dua macam, pertama; ilmu yang diperoleh tanpa
upaya manusia, dinamakan ilmu laduni seperti firman Allah dalam QS.
Al-Kahfi/18 : 65. Kedua; ilmu yang diperoleh karena usaha manusia,
dinamakan ilmu kasbi.61 Terdapat banyak ayat yang berbicara mengenai
pendidikan salah satunya adalah QS. Al-‘Alaq/96
لأقأ ي خأ م رأب كأ الذ س رأأ ب )( 3)اق لأق أ ن انأ م سأ ن لأقأ ال رأأ وأرأبكأ 1خأ ( اق ( رأم )1الأك لأم قأ ل لمأ ب أ )9( الذي لأم ا لأ ي أع انأ مأ سأ ن لمأ ال أ ن 1( ل إ ( كأ
59 Syeikh Syaukat Husain, Human Right in Islam, Terjemahan: Abdul Rochim C.N., h.15 60 Syeikh Syaukat Husain, Human Right in Islam, Terjemahan: Abdul Rochim C.N., h.62 61 Jahada, Hak Asasi Manusia menurut Al-Qur’an., h.49
36
( غأى انأ لأيأط سأ ن )8ال نأ غ ت أ )7( أأن رأآ اس عأى رأب كأ الرج لأ ن إ تأ 6( إ ( أأرأأأي)ال ى هأ )4ذي ي أن لى ذأا صأ ا إ ا ب أ (1-3: 48\العلق) (30(
Artinya: “Bacalah dengan nama Tuhan-mu yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dengan nama
Tuhan-mu yang paling pemurah. Dia mengajarkan kepada manusia apa-
apa yang Dia tidak ketahui”. (QS. Al- ‘Alaq/96: 1-5).
Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan, pendidikan sebagai
kewajiban bagi semua orang islam, laki-laki dan perempuan tanpa
batasan waktu dengan merenungkan segala yang terjadi di langit dan
bumi. Penegasan ini adalah gagasan Islam mengenai pendidikan yang
lengkap yang merupakan keharusan bagi perkembangan pribadi
manusia. Pendidikan ini pulalah yang memebuka akal pikiran manusia
terhadap kenyataan hidup dalam alam semesta ini dan terhadap hubungan
manusia dengan Tuhan-nya dan hubungan manusia sesama manusia.
Nabi Muhammad SAW bersabda sebagai berikut:
ثي بن شنظي ث أنأا كأ أ فصص بن سلأيمأانأ أ ث أنأا أ ار أم ام بن ث أنأا هشأ بن أ أم , أن أأنأس بن مأالك قأالأ ل قأ سيينأ ألأيه وأسأ طألأ العلم قأريضأة مأ لأ رأسل الل صألى الل
اخلأنأازير الأوهأرأ وأال ألأى كل مسلم أ غأي أأهله كأمقأل ن . )روا لؤلؤأ وأالذهأ أ وأوأاضع العلم البخارى وابن بالرب(
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Ammar berkata,
telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Sulaiman berkata, telah
menceritakan kepada kami Katsir bin Syinzhir dari Muhammad bin Sirin
dari Anas Bin Malik ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Dan
orang yang meletakkan ilmu bukan pada ahlinya, seperti seorang yang
mengalungkan mutiara, intan dan emas ke leher babi,”” (HR. Ibnu Majah
dan Ibnu Abdul Bar). 62
62 Dalizar Putra, Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qu’an, h.,75
38
BAB III
PENANGANAN KASUS TERDUGA TERORISME SIYONO
A. Tindak Pidana Terorisme
Hingga saat ini, definisi terorisme masih menjadi perdebatan meskipun
sudah ada ahli yang meneruskan, dan dirumuskan di dalam peraturan
perundang-undangan. Amerika Serikat sendiri yang pertama kali
mendeklarasikan “perang melawan Teroris” belum memberikan definisi yang
gamblang dan jelassehingga semua orang bisa makna sesungguhnya tanpa
dilanda keraguan, tidak merasa didiskriminasikan. Kejelasan definisi ini
diperlukan agar tidak terjadi salah tangkap, dan berakibat merugikan
kepentingan banyak pihak, disamping demi kepentingan atau target
meresponsi hak asasi manusia (HAM) yang seharusnya wajib dihormati oleh
semua orang beradab.63
Istilah kata Terorisme dalam bahasa inggris disebut Terorism yang
berasala dari kata “Terror” dan pelakunya disebut “Terrorist”. Berdasarkan
Oxford paperback Dictionary, terror secara bahasa diartikan sebagai “Extreme
fear” (kekuatan yang luar biasa), “Terrifying person on thing” (seseorang atau
sesuatu yang mengeikan), sedangkan “Terrorism” berarti “use of violence and
intimidatiom, especially for political purpose” yang senada dengan pengertian
di atas, Black’s Law mendefinisikan terorisme sebagai “the us of threat of
violence to intimidate or cause panic, eps as a means of offecting political
conduct”.64
Menurut Hafid Abbas, terorisme adalah pemakaian kekuatan atau
kekerasan tidak sah melawan orang atau properti untuk mengintimidasi atau
menekan suatu pemerintahan, masyarakat sipil, atau bagian-bagiannya, untuk
63 Abdul Wahid, Sumardi, dan Muhammad Sidik, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama,
Hukum, HAM, (Bandung: PT Refrika Aditama, 2004), h.21
64 Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), cet. 1, h.,61
39
memaksakan tujuan sosial atau politik.65 Dalam Black’s Laws Dictonary
seperti yang dikutip oleh Muladi, dikatakan bahwa tindak pidana terorisme
adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek
bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana, dan jelas
dimaksudkan untuk mengintimidasi penduduk sipil; mempengaruhi kebijakan
pemerintah; mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan
dan pembunuhan.66
Terorisme mengacu pada penggunaan kekersan atau ancaman
kekerasan secara tak terduga dan direncanakan. Frassminggi Kamasa dalam
bukunya mendefinisikan teorisme sebagai, “serangan bersenjata atau bentuk-
bentuk lain dari serangan terhadap warga sipil. Pelakunya harus dianggap
sebagai teroris dan grup atau pemerintah yang mendukung serangan terhadap
warga sipil harus dianggap teroris, terlepas dari pembenaran serangan yang
dilakukan dan dari keluhuran perjuangan yang dilakukan”.67
Sedangkan tindak pidana terorisme merupakan tindak pidana murni
(mala perse) yang dibedakan dengan administrative criminal law (mala
probihita) dimana kriminalisasi terhadap tindakan tersebut dapat dilakukan
melalui beberapa cara, seperti amandemen terhadap pasal-pasal KUHP,
membuat peraturan khusus tentang tindak pidana terorisme yang memilki
kekhususan atas hukum acaranya, dan/atau melalui sistem kompromi dengan
memasukkan bab barau dalam KUHP tentang “kejahatan terorisme”.68
Banyak pihak yang menyatakan bahwa tindak pidana terorisme adalah
extraordinary crime, namun karakteristik dari extraordinary crime masih
kabur. Pelanggran HAM berat merupakan salah satu dari extraordinary crime
65 Hermawan Sulistyo, dkk, Beyond Terorisme, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002) cet.
1, h.,3 66 Hery Firmansyah, “Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia”,
Mimbar Hukum, XXIII, 2, (Juni 2011), h.,378 67 Frassminggi Kamasa, Terorisme; Kebijakan Kontra Terorisme Indonesia, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2015), cet. 1, h.,10 68 Muladi, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:
Habibie Center, 2002), h.,24
40
berdasarkan Statuta Roma dengan dua alasan, pertama, pola tindakan bersifat
sistematis dan biasanya dilakukan oleh pihak pemegang kekuasaan sehingga
baru dapat diadili setelah kekuasaan itu berakhir, kedua, kejahatan tersebut
sangat bertentangan dan menciderai rasa kemanusiaan yang mendalam,
dilakukan dengan cara-cara yang mengurangi atau menghialangkan derajat
kemanusiaan. Menuerut Indriyanto Seno Adji, terorisme merupakan bagian
dari extraordinary crimes yang berbeda dengan kejahatan kekerasan lainnya
karena kejahatan itu mengorbankan manusia atau orang-orang yang tidak
berdosa serta dapat merusak sistem perekonomian, integritas negara, penduduk
sipil yang tidak berdosa serta fasilitas umum lain dalam konteks melawan
hukum.69
Dalam bahasa Arab, terorisme dikenal dengan istilah Al-Irhab. Dari
sini, bisa dipahami bahwa kata Al-Irhab (teror) berarti (menimbulkan) rasa
takut. Irhabi (teroris) artinya orang yang membuat orang lain ketakutan, orang
yang menakut-nakuti orang lain.70 Sedangkan dalam kamus besar bahasa
Indonesia, teorisme adalah puncak aki kekerasan, terrorism is the opex of
violence. Selain itu, terorisme adalah Penggunaan kekerasan untuk
menimbulkan ketakutan, dalam usaha mencapai suatu tujuan (terutama tujuan
politik). Sedangkan teroris adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk
manimbulkan rasa takut (biasanya untuk tujuan politik), dan teror adalah
perbuatan sewenang-wenang, kejam, bengis, dalam usaha menciptakan
ketakutan, kengerian oleh seseorang atau golongan.71
Terorisme dalam hukum islam bervariasi antara lain al-irhab
(irhabiyah), al-hirabah (perampokan), al-bagyu (pemberontakan), qati’u al-
tariq atau qutta’u al-tariq (pembegal) dan al-unf (lawan dari kelemah
lembutan). Menurut Abd al-Hayya al-Farmawi term term yang semakna
69 Abdul Wahid, Sumardi, dan Muhammad Sidik, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama,
Hukum, HAM,h.,39 70 Abdul Zulfidar Akaha, Terorisme Konspirasi Anti Islam, (Jakarta: Pustaka al-Kautsae,
2005), h.28 71 Ahmad Zainut Tauhid, “Hukuman Mati terhadap pelaku tindak pidana terorisme
perspektif Fikih Jinayah”, jurnal Agama dan Hak Asasi Manusia, I, 2, (Mei 2012), h.354
41
dengan terorisme disebutkan sebanyak 80 kali, antara lain: al-bagyu, al-
tughyan (kesewenang-wenangan atau melampaui batas) (Q.S al Hud :112) al
zylm (kezaliman), (Q.S al-furqan: 19) al-itida melampaui batas, (Q.S al-
Baqarah: 190) (al-Maidah: 87) al-qatl (pembunuhan) (Q.S al-Maidah: 32)
alharb (peperangan) (Q.S al-Maidah: 33-34).
Dalam hal ini penulis hanya menjelaskan tiga istilah seperti yang
banyak disebutkan dalam kitab-kitab fiqih baik yang klasik maupun
kontemporer. Perlu ditegaskan bahwa hirabah adalah (perampokan), al-bagyu
(pemberontakan), qatiu al-tariq atau qatau al tariq (pembegal) dikategorikan
sebagai terorisme jika memnuhi kriteria atau terorisme misalnya dilakukan
dengan aksi kekerasan, menimbulkan kepanikan masyarakat, menimbulkan
kerugian jiwa dan materi lainnya dan memiliki tujuan politik.72
a. Al-Irhab (Irhabiyah)
Secara etimologi istilah al-irhab terambil dari kata arhaba yuharibu
yang berakar kata rahiba, berarti intimidasi atau ancaman. Dapat juga
bermakna akhafa (menciptakan kelakuan) atau faza’a (membuat kerugian
atau kegetaran). Pengertian terminologi dari al-irhab yaitu rasa takut yang
ditimbulkan akibat aksi-aksi kekerasan, orang yang menempuh jalan teror
dan kekerasan. Adapun al-hukm al-irhabi berarti bentuk pemerintahan yang
memerintah rakyat dengan sewenang-wenang, kekerasan dalam rangka
mengatasi berbagai perselisihan yang terjadi dalam masyarakat dan juga
bertujuan memberantas gerakan-gerakan separatis.73
b. Al-Hirabah (Perampokan)
Secara etimologis perampokan (Hirabah) berarti memerangi atau
dalam kalimat haraballah berarti seseroang bermaksiat kepada Allah.
Adapun secara terminologis perampokan (hirabah) yang juga disebut
72 Kasjim Salenda, Terorisme dan Jihad dalam perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Badan
Litbang dan diklat Departemen Agama RI, 2009), h.241 73 Kasjim Salenda, Terorisme dan Jihad dalam perspektif Hukum Islam,... h.241
42
dengan quththa’u al-tariq (para pemutus jalan/pembegal) adalah
penyerangan dengan senjata lalu merampas harta korban secara terang-
terangan.74
Menurut al-Syafi’i dalam al-Umm mendefinisikan pelaku
perampokan qutta’u al-tariq ialah mereka yang melakukan penyerangan
dengan membawa senjata kepada sebuah komunitas orang, sehingga para
pelaku perampasan harta orang kekayaan mereka di tempat-tempat terbuka
secara terang-terangan. Masing-masing pelaku dalam hirabah ini diberikan
sanksi hukum sesuai dengan perbuatannya. Seseorang yang harus dihukum
mati atau salib maka dibunuh terlebih dahulu, sebelum disalib karena
perbuatan pelaku tersebut harus dihukum sebagai tindakan yang dibenci.75
Sedangkan menurut Abdul Qadir Audah, Hirabah ialah perampokan
atau pencurian besar, cakupan pencurian yang meliputi perampokan itu
ditinjau dari segi arti majas bukan arti hakikat, sebab pencurian itu
mangambil (harta) secara sembunyi-sembunyi sedangkan pada perampokan
pengambilan harta dilakukan dengan cara terang-terangan. Akan tetapi,
dalam perampokan juga terdapat unsur sembunyi-sembunyi, yaitu pada
sikap palku yang bersembunyi dari seorang kepala negara dan dari ketaatan
untuk menjaga ketertiban dan keamanan. Perbedaan perampokan dengan
pencurian adalah cara yang dilakukan,. Pencurian dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, sedangkan perampokan dilakukan secara terang-
terangan dan disertai kekerasan.76
Berdasarkan definisi di atas mengindikasikan bahwa penjabaran
tindak pidana al-hirabah (perampokan) mencakup empat kriteria: (1) keluar
dengan motif untuk memperoleh harta dengan cara kekerasan dan
melakukan intimidasi, baik pelkunya tidak mengambil harta atau tidak
membunuh, (2) keluar dengan motif untuk memperoleh harta dengan cara
74 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam,.. h,. 88 75 M. Nurul Irfan & Masyrofah, Fiqh Jinayah, h,.123 76 M. Nurul Irfan & Masyrofah, Fiqh Jinayah, h.,127
43
kekerasan dan melakukan intimidasi, pelakunya hanya mengambil harta,
tetapi tidak membunuh, (3) keluar dengan motif untuk memeproleh harta
dengan cara kekerasn dan melakukan intimidasi, pelakunya tidak
mengambil harta, tetapi membunuh, (4) kaluar dengan motif untuk
memperoleh harta dengan cara kekerasan dan melakukan intimidasi,
pelakunya mengambil harta dan membunuh.
Di samping kriteria di atas, tindak pidana perampokan setidaknya
memenuhi beberapa persyaratan yang berkaitan dengan “pelaku” dan
wilayah operasionalnya”. Pelaku perampokan disyaratkan memiliki
kemampuan, baik kemampuan kepemilikan senjata atau peralatan (fasilitas)
yang digunakan untuk melakukan perampokan atau strategi dan teknik
perampokan.77
c. Al-Baghyu (Pemberontakan)
Perlu ditegaskan bahwa al-Baghyu (pemberontakan) dikategorikan
sebagai terorisme jika dilakukan dengan kekerasan, menimmbulkan
kepanikan dan kerusakan tatanan kehidupan masyarakat. Jadi tidak semua
aksi pemberontakan dapat dikelompokkan sebagai terorisme. Sekalipun
tidak dapat terdapat kesepakatan tentang memasukan al-Baghyu
(pemberontakan) sebagai bagian dari terminologi terorisme dalam
Islam,tetapi badar nashir justru berpendapat bahwa al-Baghyu merupakan
terorisme.
Jarimah pemberontakan memiliki kesamaan dengan Jarimah
perampokan, sehingga sejumlah penulis menggabungkan pembahasan
antara kedua jarimah tersebut dalam satu bab, meskipun uraiannya tetap
terpisah. Diantara kesamaan antara perampokan dan pemberontakan adalah
keduanya menimbulkan gangguan stabilitas keamanan, sedangkan
perbedaannya terletak pada tujuannya. Tujuan perampokan pada intinya
77 Kasjim Salenda, “Terorisme dalam perspektif hukum Islam”, Ulumuna jurnal Studi
Keislaman, XIII, 1, (Juni 2009), h.90
44
adalah perampokan harta orang lain dengan tindakan kekerasan, sedangkan
tujuan pemberontakan ialah pengambil alihan kekuasaan dari pemerintahan
yang sah melalui kudeta. Dengan demikian munculnya pemberontakan
umumnya dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi, sedangkan tindak pidana
pemberontakan lebih didorong faktor politik.78
Menurut ulama malikiyah, Pemberontakan ialah sikap menolak untuk
taat terhadap seseorang yang dianggap sah kepemimpinannya bukan
lantaran kemaksiatan dengancara melakukan perlawanan. Kalangan Syafi’i
dan Hambali mendefinisikan bughat; pemberontakan adalah
pembangkangan suatu kelompok yang memiliki kekuatan dan pemimpin
yang diataati, terhadap kepala negara dengan menggunakan alasan yang
tidak benar. Jika diteliti secara seksama definisi yang dikemukakan oleh
para ulama di atas, menunjukkan bahwa pada prinsipnya perbedaan tersebut
tidak prinsipil, karena hanya perbedaan redaksi yang harus terpenuhi dalam
jarimah pemberontakan.79
1. Karakteristik Terorisme
Menurut Hendropiyono (2009) terorisme mempunyai berbagai
karakter yang dapat didimpulkan anatara lain sebagai berikut:
a. Terorisme itu membutuhkan suatu perencanaan yang matang dan terinci.
Segala kebiasaan dan gerakan sutau sasaran (objek teror) harus diamati
dengan cermat. Teknik operasional persenjataan bom harus dikuasai penuh
oleh pelaku. Transportasi harus siap dan safe house (rumah aman) harus
tersedia. Karakter yang paling menonjol dari tindakan terorisme adalah
digunakan kode bahasa tertentu dalam disiplin berbicara atau
menyampaikan sesuatu. Terutama dalam suatu operasi rahasia, teroris
tidak akan menggunakan bahasa yang lazim digunakan dalam percakapan
awam, melainkan telah disepakati suatu kode bahasa tertentu antar anggota
78 Kasjim Salenda, Teroris dan Jihad dalam Pespektif Hukum Islam, h,.261 79 M. Nurul Irfan & Masyrofah, Fiqh Jinayah, h.,60
45
mereka. Hal ini untuk menjaga kerahasiaan operasi mereka, selain untuk
menjaga kerahasiaan operasi mereka, selain untuk menjaga agar jika salah
satu simpul organisasi terbongkar, simpul lainnya tidak ikut campur.80
b. Terorisme manggunakan bahasa rahasia di antara anggota mereka.
Penggunaan bahasarahasia di anatara para pelaku teroris ini dnegan
sendirinya akan menjadi terbuka jika operasi mereka telah asuk pda tahap
akhir dari aksi mereka.
c. Terorisme biasa mempunyai suatu pusat pengendali atau pos komando
yang terkadang berada jauh diluar negeri. Hal itu akan memungkinkan
para pemimpin teroris untuk melakukan berbagai aksinya secara lebih
bebas, jauh dari ancaman tangkapan atau penyergapan dari aparat
keamanan. Namun demikian, adanya jarak antara sang pemimpin dengan
para pelaku teroris di lapangan memungkinkan terjadi distorsi dalam
hubungan komunikasi di anatara mereka.
d. Terorisme biasanya menggunakan sistem sentralisasi dalam
kepemimpinan. Hal ini harus mereka lakukan mengingat adanya sistem
perencanaan yang matang dan terinci dalam aksi mereka. Ironisnya
tindakan di lapangan justru membutuhkan suatu inprovisasi yang luar
biasa di luar perencanaan yang matang dan terinci itu, hal inilah yang kerap
kali menunjukkan operasi terorisme mengalami kegagalan.81
e. Idealnya terorisme dijalankan oleh suatu unit yang ramping (kecil), karena
semakin besar unit yang menjalankan operasi, maka terorisme semakin
mudah dipatahkan. Unit-unit kecil teroris itu akan bergerak lebih aman dan
kompak, namun memiliki keterbatasan dalam hala sumber daya dan
pengetahuan untuk mewujudkan suatu operasi besar.82
80 Firman Arifin, “Tindak Pidana Terorisme dalam Hukum Pidana Islam (analisis Fatwa
MUI Nomor 3 Tahun 2004 tentang Terorisme)”, (Bandung: Skripsi Hukum Pidana Islam Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati), h.22, t.d 81 Firman Arifin, “Tindak Pidana Terorisme dalam Hukum Pidana Islam (analisis Fatwa
MUI Nomor 3 Tahun 2004 tentang Terorisme)”, h.23 82 Firman Arifin, “Tindak Pidana Terorisme dalam Hukum Pidana Islam (analisis Fatwa
MUI Nomor 3 Tahun 2004 tentang Terorisme)”, h.23
46
f. terorime dewasa ini membutuhkan dana yang besar untuk menjalankan
operasi mereka. Hal ini tentu berbeda dengan para teroris abad ke-19 (masa
prang dingin) yang secara relatif dapat berjalan tanpa uang. Beberapa
kelompok terorisme menapatkan dana operasi mereka dari para donatur
kaya dalam dan luar negeri yang mendukung aksi mereka, merampok
bank, memalsukan uang, penculikan dan pemerasan, atau bantuan
pemerintah asing yang mendukung teroris dalam memusnahkan musuh
bersama.
g. Idealnya para anggota kelompok terorisme berbadan kuru, lapar, dan tidak
dimanjakan oleh godaan-godaan kehidupan mewah. Mereka hidup dalam
kesedrhanaan dan tampak bersahaja. Hal ini akan memudahkan mereka
untuk hidup di tengah masyarakat sambil terus melancarkan hasutan dan
ancaman.
h. Terorisme menggunakan bom sebagai bahan pemusnah. Sarana bom ini
telah digunakan oleh para pelaku teror sejak era Napoleon dengan tujuan
memperluas kerusakan yang melebihi sarana yang telah ditentukan. Pada
perkembangan selanjutnya, mereka telah menggunakan berbagai temuan
mutahir bahan peledak dan berbagai senjata lainnya untuk melancarkan
aksi terorisme.83
i. Selain menggunakan bom, teroris juga melancarkan aksinya dengan cara
membajak pesawat terbang. Kasi pemabajakan pertama yang pertama
diketahui di dunia dilakukan di peru pada tahun 1930-an. Indonesia sendiri
pernah mengalami aksi semacam ini pada dekade awal 80-an, yaitu
pembajakan pesawat terbang Garuda DC-9 Wyla.
j. Beberapa kelompok teroris juga menggunakan teror yang mengancam
kehidupan ekonomi musuh-musuhnya.
Biasanya mereka melakukan kempanye teror secara langsung terhadap
berbagai objek wisata yang ada di suatu wilayah. Teror semacam ini pernah
83 Firman Arifin, “Tindak Pidana Terorisme dalam Hukum Pidana Islam (analisis Fatwa
MUI Nomor 3 Tahun 2004 tentang Terorisme)”, h.24
47
berlangsung di Spanyol, Israel, Inggris, dan Mesir. Di Indonesia, pasca
kejadian bom malam natal tahun 2000 juga merebak ancaman teror terhadap
beberapa objek wisata di Jakarta.84
2. Bentuk-bentuk Terorisme
Menurut Abdul Wahid, Sunardi, dan Muhammad Imam Sidik ada dua
bentuk terorisme. Bentuk yang pertama adalah teror kriminal yang
menggunakan cara pemerasan dan intimidasi. Mereka menggunakan kata-
kata yang dapat menimbulkan ketakutan atau teror psikis, teror kriminal
biasanya hanya untuk kepentingan pribadi atau memperkaya diri sendiri.
Bentuuk kedua adalah teror politik. Teror politik tidak memilih-milih korban.
Teroris politik selalu siap melakukan pembunuhan terhadap orang-orang sipil
baik laki-laki maupun perempuan, dewasa atau anak-anak tanpa
mempertimbangkan penilaian politik dan moral.85
Sedangkan menurut Frassminggi Kamasa, terdapat delapan jenis
terorisme yang dapat saling dibedakan. Pertama, terorisme negara yaitu
terorisme yang terjadi ketika satu negara menyerang negra lain untuk
kepentingannya sendiri tanpa ada justifikasi yang sah yang membenarkan
penyerangan itu atau bisa juga dalam bentuk kebijakan represif negara
terhadap warganya.86
Kedua, terorisme separatis etno-nasionalis adalah teroris yang
berusaha untuk mencapai identitas nasional. Tujuan utama merka adalah
untuk memobilisasi komunitas grup dengan menawarkan latar belakang
nasionalistik bagi grup etnik tertentu.
Ketiga, terorisme kaum sosial revolusioner kiri yang berdasarkan pada
ideologi komunisme revolusioner. Terorisme kiri bertujuan untuk
84 Firman Arifin, “Tindak Pidana Terorisme dalam Hukum Pidana Islam (analisis Fatwa
MUI Nomor 3 Tahun 2004 tentang Terorisme)”, h.25 85 Abdul Wahid Sunardi dan Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme Perspektif
Agama, Hukum, HAM, h.,40 86 Frassminggi Kamasa, Terorisme; Kebijakan Kontra Terorisme Indonesia, h.9
48
mengrbankan revolusi komunisme dan merebut kekuasaan dari negara untuk
mendirikan negara komunis.
Keempat, terorisme agama yakni terorisme berdasarkan ideologi
agama dengan menggunakan kekersan untuk memaksakan kehendak atau
cara pikir golongan tertentu. Atau terorisme ‘agama’ sekularisme,
materialisme, dan liberanisme yang merusak cara hidup beragama.87
Kelima, terorisme ekonomi dalam bentuk kejahatan nasional dan
transnasional kerah putih yakni kejahatan terorganisir yang melakukan
ekonomi riba. Hal ini tidak hanya berupa pinjaman uang secara berbunga
yang menyebabkan kreditur hidup dari keringat debitur, tetapi juga transaksi
yang berdasarkan penipuan yang menghasilkan laba atau keuntungan yang
diperoleh secara tidak adil. Bisa juga berarti kejahatan terorganisir yang
dilakukan organisasi transnasional secara langsung atau secara perwakilan
(by proxy) yang mengancam ketahanan nasional dan menyebar benih
perpecahan atau disintegrasi.88
Keenam, terorisme yang melibatkan bahan kimia, biologi, radiologi,
dan nuklir (CBRN). Ancaman ini, banyak terdapat dalam dunia kesehatan,
mempunyai konsekuensi yang tinggi. Di antara bahan-bahan tersebut, senjata
nuklir dan bioogi (bioterorisme) mempunyai potensi untuk menyebabkan
kehancuran massal.
Ketujuh, terorisme dalam bidang pertanian. Terorisme jenis ini terjadi
ketika rekayasa genetik diterapkan dalam benih-benih makanan pokok yang
mengharuskan negara-negara berkembang harus membeli dari negara-negara
maju atau injeksi hormon ke binatang ternak sehingga menyebabkan
pertumbuhan yang tidak alami dan gangguan metabolisme tubuh bagi yang
memekannya.89
87 Frassminggi Kamasa, Terorisme; Kebijakan Kontra Terorisme Indonesia, h.9 88 Frassminggi Kamasa, Terorisme; Kebijakan Kontra Terorisme Indonesia, h.10 89 Frassminggi Kamasa, Terorisme; Kebijakan Kontra Terorisme Indonesia, h.10
49
Kedelapan, terorisme elektronik. Yakni kejahatan dunia maya dengan
mencuri, menyadap, mengacaukan, dan menghialangkan data orang lain
hingga mampu manghancurkan komputer itu sendiri sebagai hardware. Bisa
juga kerusakan melalui alat elektronik yang menyebabkan turunnya jumlah
bayi laki-laki dibandingkan dengan bayi perempuan.90
Selain bentuk teror yang menjadi fokus bagi para teroris ada beberapa
model/bentuk aksi teror dengan berbagai macam gerakan yang biasa
dilakukan. Hal ini tersebut dimaksudkan oleh para teroris para teroris sebagai
taktik, agar maksud dan tujuannya bisa diarahi. Sekurang-kurangnya ada
sembilan bentuk aksi teror yang populer atau sering digunakan untuk para
teroris dalam melancarkan aksi terornya, diantaranya yaitu;
a. Peledakan bom/pengeboman
Pengeboman adalah taktik yang paling umum digunakan oleh
kelompok teroris dan merupakan aksi teror yang paling populer dilakukan
karena selain mempunyai nilai mengagetkan (shock value), aksi ini lebih
cepat mendapat respon karena korbannya relatif lebih banyak. Selain itu
pengeboman juga sebagai salah satu yang paling sering digunakan dan
paling disukai karena biayanya murah, bahannya mudah didapat, mudah
dirakit dan mudah digunakan serta akibatnya bisa dirasakan langsung dan
dapat menarik perhatian publik dan media massa.91
b. Pembunuhan
Pembunuhan adalah bentuk aksi teroris yang tertua dan masih
digunakan hingga saat ini. Dengan model pembunuhan yang sering
digunakan yaitu pembunuhan terpilih/selektif, yaitu tindakan serangan
terhadap target atau sasaran yang dipilih atau pembunuhan terhadap figur
yang dikenal mesyarakat (public figure) dengan sasaran pejabat
90 Frassminggi Kamasa, Terorisme; Kebijakan Kontra Terorisme Indonesia, h.,11 91 Aulia Rosa Nasution, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dalam
Perspektif Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2012),
h.108
50
pemerintah, pengusaha, politisi dan aparat keamanan. Semakin tinggi
tingkatan target dan semakin memperoleh pengamanan yang baik, akan
membawa efek yang cukup besar dalam kehidupan masyarakat.92
c. Pembajakan
Pembajakan adalah perebutan kekuasaan dengan paksaan terhadap
kendaraan dipermukaan, penumpang-penumpangnya, dan/atau barang-
barangnya. Dengan kata lain, pembajakan adalah kegiatan merampas
barang atau hak orang lain. Pembajakan yang sering dilakukan oleh para
teroris adalah pembajakan terhadap sebuah pesawat udara, karena dapat
menciptakan situasi yang menghalangi sandera bergerak dari satu tempat
ke tempat yang lain, yang melibatkan sandera-sandera dari berbagai
bangsa dengan tujuan agar menimbulkan perhatian media atau publik.93
d. Penghadangan
Aksi terorisme juga sering menggunakan taktik penghadangan.
Dimana penghadangan tersebut biasanya telah dipersiapkan terlebih
dahulu secara matang oleh para teroris dengan melakukan berbagai
latihan-latihan terlebih dahulu, serta perencanaan medan dan waktu. Oleh
karena itu taktik ini disinyalir jarang sekali mengalami kejanggalan.
e. Penculikan dan penyanderaan
Penculikan adalah salah satu tindakan terorisme yang paling sulit
dilaksanakan, tetapi bila penculikan tersebut berhasil, maka mereka akan
mendapatkan uang untuk pendanaan teroris atau melepaskan teman-teman
seperjuangan yang dipenjara serta mendapatkan publisitas untuk jangka
panjang. Sementara itu, perbedaan antara penculikan dan penyanderaan
dalam dunia terorisme sangatlah tipis. Berbeda dengan penculikan,
penyanderaan menyebabkan konfrontasi atau perlawanan dengan
penguasa setempat. Misi penyanderaan sifatnya kompleks dari segi
penyediaan logistik dan beresiko tinggi, termasuk aksi penculikan,
membuat barikade dan penyanderaan (mangambil alih sebuah gedung dan
92 Adjie S, Terorisme, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h.11 93 Aulia Rosa Nasution, Terorisme sebagai Kejahatan terhadap Kemanusiaan, h.111
51
aksi dan mengamankan sandera). Misalnya penyanderaan pesawat,
mengambil alih transportasi darat, menuntut uang tebusan untuk
penyanderaan, telah dipaki oleh kelompok-kelompok teroris sebagai cara
mengumpulkan data untuk membiayai operasional mereka.94
f. Perampokan
Taktik perampokan dilakukan para teroris untuk mencari dana dalam
membiayai operasionalnya, teroris melakukan perampokan bank, toko
perhiasan atau tempat lainnya. Karena kegiatan terorisme sesungguhnya
memiliki biaya yang sangat mahal. Perampokan juga dapat digunakan
sebagai bahan ujian bagi program latihan personil baru.
g. Pembakaran dan penyerangan dengan Perluru Kendali (Firebombing)
Pembakaran dan penyerangan dengan pelurukendali lebih mudah
dilakukan oleh kelompok teroris yang biasanya tidak terorganisir.
Pembakaran dan penembakan dengan peluru kendali diarahkan kepada
hotel, bangunan pemerintah, atau pusat industri untuk menunjukkan citra
bahwa pemerintahan yang sedang berkuasa tidak mampu menjaga
keamanan objek vital tersebut.95
h. Serangan bersenjata
Serangan bersenjata oleh teroris talah meningkat menjadi suatu aksi
yang mematikan dalam beberapa tahun belakangan ini. Teroris Sikh di
India dalam sejumlah kejadian melakukan penghentian bus yang bersisi
penumpang, kemudian menembak sekaligus membunuh seluruh
penumpang yang beragama hindu yang berada di bus tersebut dengan
menggunakan senapan mesin yang menewaskan sejumlah korban, yaitu
anak-anak, wanita dan orang tua seluruhnya.
i. Penggunaan Senjata Permusuhan Massal (Senjata Kimia)
Perkembangan teknologi tidak hanya berkembang dari dampak
positifnya untuk membantu kehidupan umat manusia, akan tetapi juga
membunuh umat manusia itu sendiri dengan kejam. Melalui penggunaan
94 Aulia Rosa Nasution, Terorisme sebagai kejahatan Terhadap kemanusiaan, h.113 95 Aulia Rosa Nasution, Terorisme sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan... h.114
52
senjata-senjata pembunuh massal yang sekarang mulai digunakan oleh
para terorisme dalam menjalankan tujuan dan sebagai salah satu bentuk
teror yang baru dikalangan masyarakat.96
3. Dasar Hukum Tindak Pidana Terorisme
Ketentuan tindak pidana terorisme diatur dalam Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang
merupakan ketentuan khusus dan spesifik karena memuat ketentuan-
ketentuan baru yang tidak terdapat dalam peraturan perundnag-undangan
yang ada, dan menyimpang dari ketentuan umum sebagaimana dimuat dalam
KUHP dan KUHAP.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 mengatur tentang penetapan
Peraturan Perundang-Undangan Nomor 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-undang yang
disahkan oleh Presiden Republik Indonesia dengan persetujuan bersama
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), pada tanggal 4
April tahun 2003, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 hanya berisi dua
pasal, yang terdiri dari 2 pasal.
Sementara itu, Peraturan Perundang-Undangan Nomor 1 Tahun 2002
yang ditetapkan menjadi Undang-Undang dibagi menjadi 4 bagian menurut
isinya, antara lain:
a. Bagian yang mengatur tentang yuridiksi berlakunya Undang-Undang
tersebut;
b. Bagian yang mengatur perbuatan-perbuatan apa saja yang dikualifikasikan
sebagai Tindak Pidana Teorisme dan tindak pidana lainnya yang berkaitan
dengan terorisme;
c. Mengenai proses beracara atau hukum formalnya;
96 Aulia Rosa Nasution, Terorisme sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan... h.114-
115
53
d. Bagian yang berkenaan dengan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
4. Penanganan Tindak Pidana Terorisme
Penanggulangan terorisme di Indonesia telah ditetapkan dalam
berbagai kebijakan dan melalui berbagai perundang-undangan yang
diharapakan dapat dijadikan sarana dalam rangka mengantisipasi tumbuh dan
berkembangknya terorisme itu. Kebijakan-kebijakan yang ditetapkan
pemerintah dalam rangka mengantisipasi dan menanggulangi tindak
kejahatan atau aksi terorisme, berdasarkan permasalahan yang dihadapi
selama ini dalam penerapan sistem keamanan untuk mengantisipasi dan
menanggulangi kejahatan terorisme, maka kebijakan yang ditetapkan adalah:
“Terbangunnya sistem keamanan yang mampu mengantisipasi dan
menanggulangi ancaman kejahatan terorisme, baik saat ini maupun masa
yang akan datang, yang dilaksanakan dengan semangat kebersamaan oleh
seluruh komponen bangsa secara konsekuensi dan konsisten.” Dengan
demikian bukan hanya aparat penegak hukum yang berperan tetapi juga
seluruh elemen masyarakat harus turut terlibat. Kembali pada pendapat
Lawrence Friedman, maka substansi hukum, struktur hukum dan budaya
hukum harus bersinergy dalam pemberantasan terorisme di Indonesia.97
a. Penyelidikan
Penyelidikan dalam kasus penanganan terorisme tidak jauh berbeda
dengan penanganan kasus tindak pidana lainnya, teknik-teknik yang
digunakan yakni: interview, obsevasi, suveillance, dan undercover.
Namun taknik-teknik ini lebih ketat dilakukan dalam proses penyelidikan
terorisme dan menggunakan pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam
hal ini dilakukan oleh Densus 88 Anti-teror.98
97 Novian Takasili, “Fungsi dan Kedudukan Densus 88 dalam Penanggulangan Tindak
Pidana Terorisme menurut Hukum Positif Indonesia”, Lex Crime, IV, 8, (Oktober 2015), h.,39 98 Lena Agustina, “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Salah Tangkap (studi kasus
penangkapan teroris oleh Densus 88)”, JOM Fakultas Hukum, I, 1, (oktober 2014), h.,11
54
b. Penyidikan
Pada tahapan penyidikan ini dimana dimulai dilakukan tindakan-
tindakan hukum yang langsung bersinggungan dengan hak-hak asasi
manusia yaitu berupa pembatasan bahkan mungkin “pelanggaran”
terhadap hak-hak asasi manusia. Tahap ini dilakukan setelah penyidik
yakin bahwa telah terjadi suatu tindak pidana terorisme dan untuk
memperjelas segala sesuatu tentang tindak pidana teroisme tersebut
diperlukan tindakan-tindakan tertentu yang berupa pembatasan
“pelanggaran” hak-hak asasi manusia seseorang yang bertanggung jawab
atas terjadinya tindak pidana terorisme tersebut.99
c. Penangkapan
Bahwa penangkapan 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam
berlainan dengan pasal 19 ayat (1) KUHAP, penangkapan hanya dapat
dilakukan untuk waktu paling lama 1 (satu) hari dan tidak ada ketentuan
dapat diperpanjang. Menurut Koesno Adi, “lamanya masa penangkapan
itu karena pelaku terorisme memiliki jaringan yang luas dan tertutup,
sehingga pelaku tindak pidana terorisme masih ada jaringan yang lebih
luas dibelakangnnya. Oleh karena itu untuk memperoleh dan mendapatkan
informasi yang jauh dan lebih akurat diperlukan penambahan waktu masa
penangkapan”.100
d. Penggeledahan
Pada dasarnya penggeledahan tidak boleh memasuki dan menginjak
pekarangan orang lain atau mencari sesuatu yang tersembunyi dipakaian
99 Lena Agustina, “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Salah Tangkap (studi kasus
penangkapan teroris oleh Densus 88)”, h.11 100 Lena Agustina, “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Salah Tangkap (studi kasus
penangkapan teroris oleh Densus 88)”, h.11
55
atau dibadan orang tanpa izin dai yang bersangkutan, karena hal itu
bertentangan dengan HAM.101
e. Penahanan
Manurut pasal 20 ayat (1) KUHAP untuk kepentingan penyidikan,
penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana
dimaksud dalam pasal 11 berwenang melakukan penahanan, sedangkan
ayat (2) untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang
melakukan penahanan atau penahanan lanjutan. Ketentuan pasal 20 ayat
(1), ayat (2) KUHAP berlainan dengan penahanan tersangka dalam tindak
pidana terorisme yaitu memuat pasal 25 ayat (2) untuk kepentingan
penyidik dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk melakukan
penahanan tersangka paling lama 6 (enam) bulan yang dimaksud dalam
ketentuan ini terdiri dari 4 (empat) bulan untuk kepentingan penyidikan
dan 2 (dua) bulanuntuk kepentingan penuntutan.102
5. Perlindungan Hukum Terorisme
Menurut Fitzgerald menjelaskan teori perlindungan hukum Salmood
bahawa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai
kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan,
perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan
cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.
Perlindungan hukum mencerminkan kewajiban dan tanggung jawab
yang diberikan dan dijamin oleh negara untuk menghormati, melindungi,
menegakkan dan memajukan hak-hak asasi manusia berdasarkan undang-
undang dan peraturan hukum, yang sangat penting untuk dijadikan agenda
utama bagi negara adalah bagaimana kebijakan pengaturan tindak pidana
terorisme tersebut harus berada dalam dua titik keseimbangan yaitu antara
101 Lena Agustina, “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Salah Tangkap (studi kasus
penangkapan teroris oleh Densus 88)”, h.11 102 Lena Agustina, “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Salah Tangkap (studi kasus
penangkapan teroris oleh Densus 88)”, h.12
56
prinsip “kebebasan” dan prinsip “keamanan”. Akan menjadi kontradiktif jika
negara tidak bisa menjaga keseimbangan antara prinsip “liberty” (kebebasan)
dan “security” (keamanan) tersebut.103
a. Perlindungan Hukum Tersangka Terorisme
Penanganan kasus kejahatan terorisme secara cepat, tepat dan benar
merupakan harapan segenap rakyat Indonesia, pemerintah, serta
khususnya aparat penegak hukum. Mengingat dikhawatirkan tersangka
yang diduga selaku pelaku terorisme nantinya justru menjadi korban
pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh aprat penegak hukum (penyidik)
mungkin karena pengaruh tekanan asing sudah menjatuhkan sigma kalau
tersangka itu otomatis sebagai pelakunya. Seperti, penyidik melakukan
tindakan berbentuk “teror” terhadap tersangka kasus terorisme agar
bersedia memberikan keterangan dan mengakui perbuatannya. Apabila hal
itu terjai, maka apa yang dilakukan oleh penyidik sama dengan
pembangkangan dan pelecehan terhadap tugasnya sebagai pelindung dan
penegak HAM.104
Hukum Acara Pidana meletakkan keseimbangan anatara hak-hak
Tersangka, terdakwa serta hak-hak dan kewajiban aparat penegak
hukumnya, hal ini perlu demi kepentingan umum dimana individu sebagai
anggota dari masyarakat tersebut.105 Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah merumuskan sejumlah hak bagi
tersangka yang melindunginya dari berbagai kemungkinanan pelanggaran
HAM, walaupun secara normatif, perlindungan hak-hak tersangka telah
diatur dalam KUHAP secara jelas, namun dalam kasus tindak pidana
terorisme, aturan-aturan normatif tersbut seringkali dengan mudah
diabaikan oleh aparat penegakan hukum dan perlindungan hak-hak
103 Satijipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2000) h.,53 104 Enrille C. A. Dehoop, “perlindungan Hak Tersangka/Terdakwa Terorisme dalam sistem
peradilan pidana Indonesia”,Jurnal Universitas Sam Raulingi, I, 1, (April 2013), h.35 105 Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban tindak pidana
terorisme,... h.133
57
tersangka sebagaimana dikemukakan di atas dibutuhkan pemahaman
kebijakan formulasi hukum pidana berkenaan dengan hak-hak tersangka
terorisme yang telah dijamin oleh KUHAP yang tertera dalam pasal 50
sampai 68.106
Khusus tentang tersangka/terdakwa kasus terorisme, harus ada
jaminan pemerlakuan asa praduga tak bersalah sampai mereka diputus
pengadilan sebagai terpidana dengan kekuatan hukum pasti. Sebagai latar
belakang falsafah pengaturan asas persamaan kedudukan dalam hukum
dan asas praduga tak bersalah, dinyatakan dengan hak-haknya, karena itu,
hak-hak tersebut melekat kepada jati diri manusia sebagai hak yang sangat
mendasar atau asasi.107
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 disamping menggunakan
hukum acara umum yaitu KUHAP juga menggunakan hukum acara
khusus yang mengandung teori “Crime control model” terhadap
tersangka/terdakwa dengan pmebatasan-pembatasan HAM yaitu hal-hal
yang disebutkan dalam pasal-pasal 28, pasal 25 ayat (2), pasal 31 ayat (1)
yaitu perihal penangkapan oleh penyidik dapat melakukan penangkapan
paling lama 7x24 (tujuh kali dua puluh empat) jam. Penahanan terhadap
tersangka untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan penyidik diberi
wewenang melakukan penahanan tersangka paling lama enam bulan,
tentang penyadapan pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi
lain. Terhadap hak korban diatur dalam pasal 36 yang menyebutkan
masalah kompensasi, restitusi dan rehabilitasi (due proccess model)
seharusnya ada keseimbangan anatara crime control model dengan due
proccess model antara hak tersangka/terdakwa dan korban.108
106 Danur Vilano, “Perlindungan hak-hak Tersangka Terorisme sebagai perwujudan asas
praduga tida bersalah dalam sistem peradilan pidana”, e Jurnal Katalogis, V, 3 (Maret 2017), h. 184 107 Mardenis, Pemberantasan Terorisme: Politik Internasional dan Politik Hukum
Nasional Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011) h.125 108 Soeharto, Perlindungan hak tersangka, terdakwa dan korban tindak pidana terorisme,
h.130-131
58
Apabila dicermati pasal-pasal yang mengatur tentang hak
tersangka/terdakwa dalam Undang-undang tersebut hanya dalam pasal 19
yang menetukan bahwa “hak tersangka yang umurnya di bawah 18
(delapanbelas) tahun untuk tidak dijatuhi hukuman mati dan seumur
hidup”, pasal 24 yang menyebutkan “hak tersangka yang umurnya 18
tahun untuk tidak dijatuhi pidana minimum”. Kemudian waktu penahanan
oleh penyidik selama 6 bulan (pasal 20, 21, 22, dan pasal 25 ayat (2), yang
terdiri dari 4 bulan untuk kepentingan penyidikan dan 2 bulan untuk
kepentingan penuntutan.109
Berdasarkan hal tersebut, apabila kita konsisten bahwa kewenangan
penyidik dan penuntut itu berbeda dimana kewenangan penyidikan ialah
kewenangan kepolisian, dengan penyidikan dimaksudkan sebagai
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan
guna menentukan tersangkanya (pasal 1 angka 2 KUHAP).110
Kemudian hak tersangka untuk memberikan keterangan secara
bebas dan hak tersangka mendapat bantuan hukum sesuai pilihannya serta
hak tersangka untuk berhubungan ataupun berbicara dengan penasihat
hukumnya setiap saat, meskipun KUHAP diperlakukan untuk melindungi
dan menjamin hak-hak tersangka, akan tetapi sering kali ketentuan ini
masih sering dilanggar ketentuan yang tidak jelas.111
Ketentuan pasal 54 KUHAP enyebutkan bahwa guna kepentingan
pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari
seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap
109 Soeharto, Perlindungan hak tersangka, terdakwa dan korban tindak pidana terorisme,
h.134 110 Soeharto, Perlindungan hak tersangka, terdakwa dan korban tindak pidana terorisme,
h.135 111 Soeharto, Perlindungan hak tersangka, terdakwa dan korban tindak pidana terorisme,
h.135
59
tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-
undang ini. Selanjutnya pasal 55 KUHAP menentukan bahwa untuk
mendapatkan penasihat hukum seperti yang tersebut dalam pasal 54,
tersangka/terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya dan
penasihat hukum diperkenankan mengunjungi dan berbicara dengan
tersangka.112
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, sepertinya pembuat undang-
undang ingin menjamin bahwa tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan
akan dilindungi dari ancaman fisik maupun psikis, tetapi dalam ketentuan
pasal-pasal yang terdapat dalam KUHAP tidakmemberikan penjelasan,
pada saat kapan tersangka/terdakwa ini akan diperiksa, sebab tidak
mungkin selama 24 jam tersebut penasihat hukum tersangka/terdakwa
akan mendampinginya, bagaimana bila nacaman fisik dan psikis tersebut
dilakukan pada malam hari di saat penasihat hukumnya tidak
mendampinginya, walaupun hal itu dapat dilaporkan kepada penasihat
hukumnya tetapi hal itu tetap memiliki ganjalan psikologis karena bila
laporan disampaikan melalui surat, ada kemungkinan penyidik dapat
membuka surat tersebut (pasal 62 ayat (2) KUHAP). Dan apabila laporan
disampaikan secara lisan, penyidik berhak pula mendengarkan (pasal 71
ayat (2) mengawasi pembicaraan tersebut).113
Kemudian proses pengajuan rehabilitasi dialakukan kepada Menteri
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Ketentuan tersebut membingungkan
karena bukankah dalam pasal 37 ayat (2) Undang-Undang 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah ditentukan
rehabilitasi diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan
pengadilan, mengapa korban harus mengajukan rehabilitasi kepada
Menteri Kehakiman dan Hak Aasasi Manusia. Apabila hal tersebut
112 Soeharto, Perlindungan hak tersangka, terdakwa dan korban tindak pidana terorisme,
h.135 113 Soeharto, Perlindungan Hak tersangka, terdakwa, dan korban tindak pidana
terorisme,... h.136
60
dimaksudkan terhadap tuntutan hak-hak yang berkaitan dengan
penyembuhan dan pemulihan fisik atau psikis atau harta benda, sepertinya
hal ini juga kurang tepat, karena hak-hak ini berkaitan dengan pembiayaan
atau fiannsial, maka lebih tepat diurus/ditangani oleh Meneteri Keuangan
sebagaimana halnya korban (pasal 38 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2003).
Berdasarkan ketentuan mengenai rehabilitasi dalam Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, mencampuradukan mengenai rehabilitasi dan hak-hak lain
termasuk pemulihan fisik, psikis serta perbaikan harta benda yang menjadi
hak terdakwa, akibatnya pengaturan mengenai hal-hal tersebut
memerlukan penjelasan lebih lanjut, tetapi ternyata Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
tidak memberi penjelasan mengenai kemungkinan diaturnya peraturan
pelaksanaan atas hal tersebut di atas.114
b. Perlindungan Hukum Korban Salah Tangkap
Korban (Victims) pada dasarnya adalah orang-orang baik secara
individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian
fisik atau mental, emosional, ekonomi atau gangguan substansial terhadap
hak-haknya yang fundamental, malalui perbuatan atau omisi yang
melanggar hukum pidana di masing-masing negara termasuk penyalah
gunaan kekuasaan.115
Adapun perlindungan hukum merupakan sesuatu yang dianggap
perlu dan diinginkan atau diharapkan (desiderata) oleh korban tindak
pidana sebagai konsekuensi logis atas pendritaan dan kerugian yang
dialaminya. Salah satu bentuk perlindungan hukum bagi masyarakat
adalah dengan diwujudkannya aturan serta kebijakan yang sesuai dengan
114 Soeharto, Perlindungan hak tersangka, terdakwa dan korban tindak pidana terorisme,...
h.139 115 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan, (Bandung: Raja Grafindo, 2006) h.,47
61
kebutuhan, didasarkan pada hak dasar yang diamanatkan Undang-Undang
Dasar 1945. Perlindungan hukum dalam hukum positif merupakan
perlindungan abstrak atau perlindungan tdak langsung, dikatakan
demikian karena tindak pidana menurut hukum positif tidak lihat sebagai
perbuatan menyerangatau melanggar kepentingan hukum seseorang
(korban) secara pribadi dan konkrit, tetapi hanya sebagai pelanggaran
norma atau tertib hukum in abstracto. Akibatnya perlindungan korban pun
tidak secara langsung dan in concreto.116
Menurut Yahya Harahap bahwa kekliruan dalam penangkapan
mengenai orangnya diistilahkan disqualification in person yang berarti
orang yang ditangkap atau ditahan terdapat kekeliruan, sedangkan orang
yang ditangkap tersebut telah menjelaskna bhawa bukan dirinya yang
dimaksud hendak ditahan atau ditangkap.117 Sementara itu Sugeng
mendefinisikan bahwa korban salah tangkap adalah seseorang atau
sekelompok orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan atau
kerugian ekonomi yang diakibatkan kesalahan aparat negara dalam hal ini
kepolisian dalam menangkap pelaku sebenarnya dengan kesewenang-
wenang atau tidak berdasarkan undang-undang.118
Ganti kerugian merupakan suatu upaya untuk mengembalikan hak
hak korban, yang karena kelalain aparat penegak hukum telah salah dalam
menentukan seseorang untuk dijadikan sebagai tersangka/terdakwa dalam
suatu tindak pidana (error in persona). Menurut pasal 1 ayat 22 KUHAP,
yaitu: “Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapatkan
pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena
ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan
116 Rani Hendriana, “Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Terorisme: antara
Desiderata dan Realita”, Jurnal Kosmik Hukum, XVI, 1, (Januari 2016), h.,33 117 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan
Penuntutan, (Jakarta: Sinar Gafika, 2009) h.,45 118 Rani Hendriana, “Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Terorisme: antara
Desiderata dan Realita” h.34
62
undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum
yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.119
Perlindungan terhadap korban salah tangkap termuat dalam pasal 95,
96 dan 97 KUHAP. Dari pasal-pasal tersebut secara garis besar dapat
disimpulkan bahwa Undang-undang mengatur hak yang dimiliki oleh
sesorang dalam proses penyidikan dan pengadilan, disamping memilki
hak-haknya sebagai tersangka maka ketika seorang tersebut mendapatkan
putusan pengadilan bahwa dia menjadi korban dalam proses penyidikan
maka seorang tersebut berhak memperoleh ganti kerugian dan rehabilitasi
atas apa yang dialaminya.
Tujuan rehabilitasi adalah sebagai sarana dan upaya untuk
memulihkan kembali nama baik, kedudukan dan martabat seseorang yang
telah sempat menjalani tindakan penegakan hukum baik berupa
penangkapan, penahanan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang
pengadilan.120
Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
pemberantasan Terorisme terdapat hak untuk mendapatkan rehabilitasi,
yaitu hak seseorang yang mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan
kedudukan dan harkat martabatnya yang diberikan pada tingkat
penyidikan, penuntutan atau persidangan karena ditangkap, dutahan,
dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan Undang-undang atau karena
alasan kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
Berbeda dengan KUHAP, rehabilitasi pada pasal 37 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme diartikan sebagai berikut, “setiap orang berhak memperoleh
rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari
segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan
119 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 1 ayat 22 120 Lena Agustina, “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Salah Tangkap (studi kasus
penangkapan teroris oleh Densus 88)”, h.8
63
hukum tetap. Selanjutnya dalam penjelasannya disebutkan, rehabilitasi
dalam pasal ini adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya
kehormatan, nama baik, jabatan atau hak-hak lain termasuk
pengembangan dan pemulihan fisik atau psikis serta perbaikan harta
benda.”121
B. Detasemen Khusus 88
1. Dasar Hukum Pembentukan Detasemen Khusus 88
Secara historis, cikal bakal Detasemen Khusus 88 anti Teror Mabes
Polri atau yang dikenal dengan Densus 88, lahir dari Intruksi Presiden
(Inpres) Nomor 4 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme. Instruksi ini
dipicu oleh maraknya teror bon di Indonesia sejak tahun 2001. Aturan ini
kemudian dipertegas dengan diterbitkannya paket Kebijakan Nasional
terhadap pemberantasan terorisme dalam bentuk Peraturan Perundang-
Undangan Nomor 1 dan 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Densus 88 dirancang sebagai unit antiteror dengan kompetensi
khusus mengatasi berbagai jenis dan bentuk terorisme. Bermarkas di Mabes
Polri, kesatuan elit ini diperkirakan memiliki kekuatan 400 personel yang
terdiri dari ahli investigasi, ahli bahan peledak, dan unit pemukul yang di
dalamnya terdapat ahli penembak jitu. Demikian juga di Kepolisian Daerah,
Densus 88 juga menempatkan personelnya pada unit antiteror dengan jumlah
45-75 orang. Peran unit antiteror di Polda terbatas pada peran investigasi dan
pelaporan. Sedangkan peran penindakan tetap dilakukan oleh Mabes Polri.122
Dalam perjalanannya, intitusi-institusi antiteror tersebut melebur
menjadi SatuanTugas (satgas) Antiteror di bawah koordinasi Departemen
Pertahanan. Namun, inisiatif Matori Abdul Djalil, Menteri Pertahanan saat
itu, berantakan. Masing-masing kesatuan antiteror lebih nyaman berinduk
kepada organisasi yang membawanya. Satgas Antirerorpun tidak berjalan
121 Lena Agustina, “Perlindungan Hukum terhadap Korban Salah Tangkap (studi kasus
penangkapan teroris oleh Densus 88), JOM Fakultas Hukum, I, 2, (Oktober 2014), h,.9 122 Zainal Muhtar, “Eksitensi Densus 88: Analisis Evaluasi dan Solusi Terkait Wacana
Pembubaran Densus 88”, Supremasi Hukum, III, 1, (Juni 2014), h.,128
64
efektif, masing-masing kesatuan antiteror berjalan sendiri-sendiri. Akan
tetapi ekalasi teror tetap meningkat. Polri terpaksa membentuk Satgas Bom
Polri. Tugas pertama Satgas Bom adlah mengusut kasus Bom Natal pada
2001 dan dilanjutkan dengan tugas-tugas terkait ancaman bom lainnya.123
Satgas Bom Polri menjadi begitu dikenal publik saat menangani
beberapa kasus peledakan bom yang melibatkan korban warga negara asing.
Seperti Bom Bali I, Bom Bali II, Bom Marriot, dan Bom Kedubes Australia.
Satgas ini berada di bawah Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes
Polri, dan dipimpin oleh Perwira polisi bintang satu. Namun, di samping ada
satuan antiteror Gegana Brimob Polri dan Satgas Bom Polri, kepolisian
memiliki organisasi sejenis dengan nama Direktorat VI Antiteror di bwah
Bareskrim Mabes Polri. Keberasaan Direktorat VI Antiteror ini tumpang
tindih dan memiliki fungsi dan tugas yang sebagaimana diemban oleh Satgas
Bom Polri.124
Mabes Polri Akhirnya mereorganisasi Direktorat Vi Antiteror dengan
menerbitkan SK Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003 untuk
melaksanakan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Perundang-Undangan Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemeberantasan Tindak Pidana Terorisme, sesuai ketentuan pasal 26 dan
pasal 28 bahwa Densus 88 melakukan penangkapan dengan bukti awal yang
dapat berasal dari laporan intelijen manapun selama 7 x 24 jam. Sejak itulah
Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri yang disingkat Densus 88 Antiteror
terbentuk.125
123 Harris. Y. P. Sibuea, “Keberadaan Detasemen Khusus (Densus) 88 Dalam
Pemberantasan Tidak Pidana Terorisme”, h.2 124 Harris. Y. P. Sibuea, “Keberadaan Detasemen Khusus (Densus) 88 Dalam
Pemberantasan Tidak Pidana Terorisme”, h.2 125 Harris. Y. P. Sibuea, “Keberadaan Detasemen Khusus (Densus) 88 Dalam
Pemberantasan Tidak Pidana Terorisme”, h.2
65
2. Tugas dan Wewenang Densus 88
Dalam rangka pemberantasan terorisme di Indonesia Densus 88
memiliki tugas dan wewenang yang sama dengan anggota kepolisian lainnya
hal ini karena Densus 88 merupakan satuan khusus Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang masih di bawah naungan Kepolisian Negara
Republik Indonesia hanya saja Densus 88 satuan unit khusus yang bergerak
dibidang pemberantasan tindak pidana terorisme.
Dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 pasal 15 ayat (1) secara
umum menyebutkan Densus 88 dari struktur dan organisasinya memiliki
empat pilar pendukung operasional setingkat sub-detasemen dan setiap sub-
den terdapat unit-unit yang menjadi pondasi pendukung bagi operasional
Densus 88, dimana setiap sub-detasemen dan unit-unit tersebut memiliki
wewenang dan tugasnya masing-masing.126
Kewenanngan Densus 88 di bidang proses pidana termuat dalam pasal
16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 berbunyi. Densus 88
sebagai satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia yang khusus
bergerak di bidang pemberantasan tindak pidana terorisme memiliki
wewenang yang sama dengan anggota kepolisian lainnya seperti pada pasal
16 ayat (1) di atas.
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang kepolisian juga memberikan
kekuasaan atau kewenangan kepada pejabat kepolian untuk melakukan
sesuatu yang tidak diatur dalam undang-undang seperti yang terdapat dalam
pasal 16 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Pasal 18 ayat
(1) berbunyi:
126 Mahrus Ali, Hukum Pidana Terorisme Teori dan Praktek, (Jakarta: Gramata Publishing
2012) h.69
66
“Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
dan melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut
penilainnya sendiri.”127
Dari pasal ini dapat dibandingkan subtansi pengaturan dalam pasal 16
ayat (1) huruf i dan pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 16 ayat (1) huruf i
mengatur tentang “tindakan lain” yang dapat dilakukan oleh pejabat
Indonesia dalam proses penyelidikan dan penyidikan,sedangkan dalam pasal
18 ayat (1) mengatur tentang “dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk kepentingan umum.
Dengan ini jelas bahwa pasal 18 ayat (1) memberikan kekuasaan atau
wewenang yang lebih luas dibandingkan dengan pasal 16 ayat (1) huruf i.
Pasal inilah yang menjadi dasar dari diskresi Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Ketentuan ini ada karena seorang pejabat negara dalam
melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan kepentingan umum tidak boleh
hanya bergantung atau berdasarkan ada atau tidaknya suatu aturan.128
Kewenangan dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme jangka waktu penangkapan diatur
dalam pasal 28, yang menyebutkan:
“penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga
keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang
cukup sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 aayat (2) untuk paling lama 7
x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam.129
Pasal ini memberikan wewenang kepada penyidik (Densus 88) dalam
hal jangka waktu penangkapan yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana pasal 19
ayat (1) mengatur tentang jangka waktu penangkapan dilakukan paling lama
127 Lihat pasal 18 ayat (1) Undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia 128 Marshaal Semuel Bawole, “Kewenangan Tim Densus 88 dalam Penanggulangan
Terorisme di Indonesia”, Lex et Societatis, II, 1, (Januari 2014) h.117 129 Lihat pasal 28 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pmerintah Pengganti Undang-undang Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undnag.
67
satu hari (1 x 24) di perpanjang menjadi satu minggu atau (7 x 24 jam).
Tujuannya dilakukannya penangkapan tentu saja adalah demi kepentingan
penyelidikan dan penyidikan.
Penahanan diatur dalam pasal 25 ayat (2) Undang-undang nomor 15
Tahun 2003 tentang Pemebrantasan Tindak Pidana Terorisme, menyebutkan;
“Untuk kepentingan penyidikan dam penuntutan, penyidik diberi wewenang
untuk melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama 6 (enam)
bulan”130
Jangka waktu penahanan dalam proses penyidikan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana adalah 20 (dua puluh) hari dan dapat diperpanjang oleh
penuntut umum sampai 40 (empat puluh) hari, maka jangka waktu penahanan
selama proses penyidikan adalah 60 (enam puluh) hari dan pnahanan selama
proses penuntutan dalam KUHAP adalah 20 (dua puluh) hari dan dapat
siperpanjang oleh ketua pengadilan Negeri hingga 30 (tiga puluh) hari, jadi
jumlah penahanan selama proses penuntutan adala 50 (lima puluh) hari
sehingga total jangka waktu penahanan selama proses penyidikan dan
penuntutan adalah 110 (seratus sepuluh) hari. Dalam undang-undang nomor
15 tahun 2003 jangka waktu penahanan adalah 6 (enam) bulan yang artinya
180 (seratus delapan puluh) hari.
Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemebrantasan Tindak Pidana Terorisme pasal 26 ayat (1) di atas menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan laporan intelejen adalah laporan yang berkaitan
dan berhubungan dengan masalah-masalah keamanan nasional. Laporan
intelejen dapat diperoleh dari Depertemen Kehakiman dan HAM, Departemen
Keuangan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Intelejen Negara,
atau Instansi lainnya yang terkait. Jadi pasal ini memberikan kewenangan
130 Lihat pasal 25 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pmerintah Pengganti Undang-undang Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undnag
68
khusus kepada penyidik dalam hal ini Densus 88 untuk menggunakan setiap
laporan intelejen sebagai bukti permulaan yang cukup.
Perluasan alat bukti daitur dalam pasal 27 Undang-undang Nomor 15
Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Teorisme. Ketentuan ini
memberikan wewenang yang lebih luas kepada penyidik yang adalah densus 88
dalam hal alat bukti. Pasal 184 KUHAP yang dimaksud dengan alat bukti
hanyalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan
terdakwa, namun dalam Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 alat bukti
diperluas dengan bukti elektronik bahkan gambar, peta, suara, foto, atau
sejenisnya.131
C. Kronologi Penanganan Kasus Terduga Terorisme Siyono
Kasus meninggalnya terduga teroris Siyono manjadi sorotan media
karena Siyono yang merupakan terduga teroris meninggal dalam pengawasan
Densus 88 yang melakukan tugas pengawalan dalam perjalanan ke tempat
penyimpanan barang bukti yang diketahui oleh Siyono. Namun, dalam
perjalanan terjadi insiden yang mengakibatkan Siyono meninggal dunia.
Peristiwa itu dalam media diinformasikan dalam dua sudut pandang yang
berbeda anata pihak Kepolisian dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM). Kronologi kasus meninggalnya terduga teroris Siyono oleh
Densus 88 dari sudut pandang Kepolisian adalah:
Menurut Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Anton Charliyan
menjelaskan tewasnya seorang terduga teroris Siyono (33 tahun) setelah
ditangkap oleh Densus 88 Antiteror. Menurutnya Siyono adalah anggota JI
yang berperan sebeagai perakit senjata api.
Anton menjelaskan, pada saat kejadian, Siyono menuruti semua
perintah dari anggota di lapangan.n namun, saat tiba di satu tempat di
Prambanan, Klaten, Siyono meminta dilepaskan penutup wajah dan borgolnya.
131 Marshaal Semuel Bawole, “Kewenangan Tim Densus 88 dalam Penanggulangan
Terorisme di Indonesia”,.. h.,118
69
Dia duduk di sebelah kanan dengan mata tertutup, sedangkan anggota berada
di sebelah kiri. Tiba-tiba Siyono berontak, ia melakukan perlawanan dan
memukul anggota Densus 88 dan terjadilah aksi saling memukul. Kemudian,
akibat saling pukul di dalam mobil mengakibatkan kepala pelaku terbentur besi
dan pingsan. Pelaku sempat dibawa ke rumah sakit, tapi akhirnya ,eninggal
dunia dalam perjalanan.132
Kapolri Jenderal Badrotin Haiti menjelaskan secara rinci bagaimana
kronologi tewasnya Siyono di tangan Densus 88. Kapolri mengakui adanya
kesalahan Prosedur penangkapan.
Menurut Badrotin, awalnya pada hari selasa 8 Maret 2016 sekitar pukul
18.00 WIB di Dusun Brengkungan, Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Klaten,
dilakukan penangkapan terhadap tersangka Siyono. Siyono dibawa ke daerah
terminal Besa, Kecamatam Selogiri, Kabupaten Wonogiri, saat itu Siyono
dalam keadaan tidak terborgol. Kemudian pada saat melintas di jalan antara
Kota Klaten dan Prambanan, tersangka Siyono melakukan penyerangan
terhadap petugas.
Perkelahian tidak dapat dihindari, tersangka terus melakukan
penyerangan dengan menyikut, menendang bahkan mencoba merampas
senjata apinya, bahkan tendangan sempat mengenai kepala bagian kiri
belakangan pengemudi kendaraan sehingga membuat kendaraan oleng ke
kanan dan sempat menabrak pembatas jalan. Tutur Badrotin. Namun,
pengemudi berhasil mempertahankan kendaraan dalam keadaan stabil dan
tetap melanjutkan perjalanannya. Mengingat situasi sekeliling tidak
memungkinkan untuk menepi, akhirnya petugas pengawal berhasil
melumpuhkan tersangka dan menguasai situasi kondisi tersangka sudah dalam
keadaan terduduk lemas. Ungkap Badrotin.
Siyono dilarikan ke Rumah Sakit Bhayangkara Polda Daerah Istimewa
Yogyakarta. Berdasarkan hasil pemeriksaan IGD dokter Dewi, tersangka
132 http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/03/14/o40vrx361-kronologi-
kematian-siyono-di-tangan-densus-88-menurut-polri diakses pada 01 April 2018 19:17
70
dinyatakan meninggal. Dia mengungkapkan, pemeriksaan di luar jenazah yang
dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik Densus 88 tertanggal
11 maret 2016, ditemukan adanya luka memar pada kepala sisi kanan belakang
Siyono dan pendarahan dibawah selaput otak bagian belakang kanan.
Kemudian juga ditemukan keretakan tulang iga kelima kanan dan keseluruhan
diakibatkan oleh kekerasan benda tumpul.133
Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menjelaskan
kronologi penangkapan Siyono yang diduga tewas akibat kekerasan yang
dilakukan Densus 88 terkait dengan dugaannya dalam terorisme. Komisioner
Komnas HAM Siane Indriani mengatakan komisi itu telah mencatat sejumlah
kejanggalan pada kasus kematian Siyono yang ditangkap pada 8 April. Dia
menegaskan penyebab kematian Siyono adalah pukulan benda tumpul dibagian
dada.
Berikut kronologi berdasarkan laporan yang diterima Komnas HAM:
1. Pada selasa, 8 Maret 2016 sekitar pukul 18.30 WIB, telah terjadi
penangkapan terhadap saudara Siyono, setelah menjadi imam jamaah
sholat Maghrib di Masjid Muniroh, Desa Brengkungan, Pogung, Klaten.
Pelaku berjumla tiga orang berpakaian sipil tanpa surat penangkapan.
Ketiga orang tersebut membawa Siyono dalam keadaan sehat dan segar.
2. Dari hari selasa, 8 Maret 2016 hingga hari Kamis 10 Maret 2016,
keluarga tidak mengetahui keberadaan saudara Siyono. Sampai terjadi
peristiwa penggeledahan di rumah Siyono oleh Densus 88 Polri
Antiteror. Proses penggeledahan juga dilakukan di TK Amanah Ummah
disertai aksi menodongkan senjata laras panjang oleh Densus 88 kepada
anak-anak yang sedang melakukan kegiatan belajar mengajar dan
akhirnya ditunda sampai pukul 10.00 WIB setelah murid TK pulang.
133 https://www.merdeka.com/peristiwa/kapolri-beberkan-kronologi-penangkapan-yang-
menewaskan-siyono.html di akses pada 1 April 2018 21.55WIB
71
Dalam proses penggeladahan Istri korban tidak diberikan dan/atau
menerima Surat Keterangan Penggeledahan. Dalam penggeledahan
yang dilakukan tidak ditemukan bahan peledak yang dicari oleh Densus
88. Akibatnya hanya disita satu unit sepeda motor merk Supra X 125
plat B dan bebebrapa lembar kertas (buku sekolah). Demikian halnya,
dalam proses penyitaan, keluarga menyatakan tidak menandatangani
Berita Acara Penyitaan, saat ini sepeda motor yang sebelumnya disita
dikembalikan kepada keluarga Siyono.
3. Pada jum’at 11 Maret 2016, sekitar pukul 15.00 WIB, istri korban dan
kakak korban beserta satu perangkat Desa Pogung dan Anggota Polri
berangkat ke jakarta dengan menggunakan kendaraan 2 (dua) buah
mobil. Pada 12 Maret 2016 pukul 10.00 WIB diberitahukan resmi
bahwa Siyono wafat dan diberikan uang dalam 2 (dua) amplop besar,
pukul 11.00 WIB, keluarga dibawa untuk melihat jenazah korban di RS
Bhayangkara TK.I. R.Said Sukanto, akan tetapi dalam praktiknya selalu
dihalang-halangi untuk melihat kondisi korban. Sore harinya, jenazah
Siyono dipulangkan ke Klaten dan dalam prosesnya diikuti oleh Nurlan
(Tim Pembela Muslim) yang ditunjuk Polri. Sesampai di Klaten,
diminta langsung dimakamkan dan keluarga dilarang untuk mengganti
kain kafan. Meskipun pada akhirnya diperbolehkan penggantian kain
kafan dan mengetahui berbagai luka-luka pada tubuh korban.
4. Atas berbagai permasalahan tersebut, keluarga korban pada 12 dan 14
Maret 2016 menunjuk kuasa hukum Sri Kalono, SH dan penasihat
hukum dari Pusat Hak Asasi Manusia Indonesia (PUSHAMI).
Meskipun tellah mendapatkan pendampingan dari kuasa hukum,
keluarga besar Siyono diduga mendapatkan intimidasi dari anggota
Kepolisian RI- bahkan sempat masuk rumah korban. Melihat dinamika
dan besarnya tekanan kepada keluarga korban, istri korban juga
meminta pendampngan hukum DPP Muhammadiyah. Pada 23 Maret
2016 istri korban menandatangani Surat Pernyataan kepada Komnas
72
HAM meminta agar dilakukan otopsi atas mayat Siyono untuk
mendapatkan bukti mengenai kekerasan yang dialami korban.134
D. Faktor Terjadinya Pelanggaran HAM oleh Densus 88 dalam Kasus
terduga Terorisme Siyono
Dari beberapa pihak menemukan adanya indikasi pelanggaran yang
dilakukan oleh Densus 88 dalam kasus penangkapan Siyono. Komisi Untuk
Orang Hilang (Kontras) mengungkapkan bahwa Densus 88 melakukan
pelanggaran administrasi dalam penangkapan terduga teroris Siyono. Densus
88 melanggar hukum acara pidana karena tidak adanya surat penangkapan
yang sah pada saat dilakukannya upaya penangkapan. Selain itu, saat
melakukan penggeledahan di kediaman Siyono, Densus 88 juga tidak
menunjukkan surat izin penggeledahan. Dan juga, intimidasi terhadap orangtua
Siyono untuk menandatangani surat yang berisi pernyataan bahwa keluarga
tidak akan menuntut dan melakukan upaya hukum.135
Selain pelanggaran yang sudah tersebut di atas, terdapat juga beberapa
kejanggalan selama proses penangkapan. Dari beberapa pihakpun menemukan
fakta terkait kematian terduga teroris Siyono. Komnas HAM menemukan fakta
seperti:
a. Jenazah Siyono baru di autopsi pertama kali oleh tim dai PP
Muhammadiyah yang didampingi Komnas HAM. Fakta tersebut
bertentangan dengan pernyataan pihak Kepolisian sebelumnya yang
menyatakan bahwa jenazah Siyono sudah pernah diautopsi dan penyebab
kematiannya adalah terbenturnya kepala bagian belakang saat berkelahi.
b. Komnas HAM menemukan tanda-tanda kekerasan berupa patah tulang
rusuk di dada Siyono. Komnas HAM menyimpulkan bahwa penyebab
kematian Siyono adalah rasa sakit akibat patah tulang rusuk yang menembus
134 kronologi kasus Siyono, kabar24.bisnis.com/read/20160414/ini-kronologi-
penangkapan-terduga-teroris-siyono-di-klaten, diakses pada 2 April 2018 Pukul 01.29 WIB 135nasional.kompas.com/read/2016/03/26/Kontras.Densus.88.Langgar.Hukum.dalam.Kas
us.Siyono, diakses pada 2 April 2018 Pukul 07.00 WIB
73
jantung. Fakta tersebut bertentangan dengan pernyataan dari kepolisian
tentang penyebab kematian Siyono.
c. Komnas HAM juga tidak menemukan tanda-tanda perlawanan yang
dilakukan, ditandai dengan tidak adanya bekas luka di tangan Siyono. dan
fakta tersebut juga berbeda dengan keterangan polisi bahwa Siyono
melakukan perlawanan.136
136 nasional.tempo.co/read/757075/apa-saja-kejanggalan-dalam-kematian-siyono-terduga-
teroris, diakses pada 3 April 2018 Pukul 08.00 WIB
74
BAB IV
ANALISIS DUGAAN PELANGGARAN HAM DALAM PENANGANAN
TERORISME
A. Indikasi Pelanggaran HAM dalam Kasus Terduga Teroris Siyono
Pelanggaran HAM adalah segala tindakan yang dilakukan, baik sengaja
ataupun tidak, yang menghalangi, membatasi, atau mencabut HAM orang lain
sehingga mengganggu ketentraman dan kenyamanan hidup orang tersebut.
Secara konsep, ada 2 jenis pelanggaran HAM yaitu pelanggaran HAM ringan
dan pelanggaran HAM berat, pelanggaran HAM ringan adalah pelanggaran
yang tidak mengancam jiwa seseorang namun merugikan orang tersebut
sedangkan pelanggaran HAM berat ialah pelanggaran yang mengancam jiwa
seseorang.
Dalam penanganan terorisme, sering terjadi adanya pelanggaran HAM
yang dilakukan oleh anggota Densus 88. Dalam hal ini, penulis menganalisis
adanya pelanggaran HAM yang dilakukan anggota Densus 88 dalam
penanganan terduga teroris Siyono.
1. Wawancara terhadap pihak Detasemen Khusus 88 (Densus 88)
Menurut Densus 88 Siyono merupakan bagian dari kelompok Jamaah
Islamiyah (JI) yang menyimpan berbagai senjata api. Siyono meninggal
setelah terjadi perkelahian dengan petugas, karena pada saat itu kondisi
Siyono tidak dalam keadaan diborgol. Ditemukannya kesalahan dalam
menangani terduga Siyono yaitu ketika Densus 88 tidak memenuhi Standar
Operasional Prosedur dalam hal mengawal, dan membawa tahanan tidak
dalam keadaan diborgol. Terjadinya pelanggaran prosedur yang dilakukan
aparat penegak hukum (Densus 88) dikarenakan kurangnya pemahaman
Peraturan Prosedur Tetap (Protap).
Terkait Hak Asasi Manusia, ketika seseorang itu ditangkap dengan
begitu hak asasinya berkurang seperti hak kebebasan. Pelanggaran HAM
terjadi apabila tidak adanya dasar hukum. Dalam kasus Siyono sudah jelas
75
bahwa Siyono merupakan tersangka terorisme setelah dilakukan interogasi
terlebih dahulu. Adanya upaya paksa yang dilakukan Densus 88 hanya
untuk mendapatkan informasi dan keterangan lebih lanjut dari tersangka.
Meninggalnya Siyono bukanlah suatu kebanggaan bagi pihak
kepolisian akan tetapi menjadi suatu kerugian, karena dengan meninggalnya
tersangka teroris proses penegakan hukum tidak mampu mengungkap
jaringan terorisme. Atas meninggalnya Siyono, pihak kepolisian
memberikan santunan kepada keluarga Siyono (uang duka) untuk
membantu proses pemakaman dan untuk membantu hal-hal lain yang
dibutuhkan pihak keluarga.
Pelanggaran yang dilakukan oleh Densus 88, menyebabkan beberapa
pihak menuntut untuk menyelidiki kembali cara kerja Densus 88 dalam
menangani terduga teroris Siyono.137
2. Wawancara terhadap pihak Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan (Kontras)
Dalam peristiwa penanganan teroris Siyono, telah terjadi pelanggaran
administrasi dan adanya upaya paksa yang dilakukan oleh Densus 88.
Diantaranya ada tiga jenis upaya paksa, yakni penangkapan, penggeledahan,
dan penyitaan. Terkait upaya paksa tersebut, KUHAP telah mengatur
syarat-syarat administrasinya, yakni;
“Pasal 18 KUHAP, ayat (1) Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh
petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat
tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan serta
uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkutkan serta tempat ia
diperiksa. Ayat (2) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah
penangkapan dilakukan.”
Terkait operasi penangkapan Siyono, Densus 88 tidak menunjukkan
surat penangkapan terhadap keluarga Siyono. Ini membuktikan bahwa
Densus 88 tidak mematuhi aturan di atas. Selain itu, upaya paksa
selanjutnya yaitu penggeledahan rumah Siyono. Dalam proses
137 AKBP. H. Djoni Djuhana, Direktur Idensus 88, interview pribadi, Jakarta, 27 April 2018
76
penggeledahan Densus 88 tidak memberikan surat Berita Acara
Penggeledahan kepada keluarga Siyono. dengan begitu, benda-benda yang
disita oleh Densus 88 dalam penggeledahan tersebut tidak ada catatat berita
acaranya yang dimiliki keluarga korban. Dalam hal ini Densus 88 telah
melanggar aturan terkait penggeledahan yaitu:
Pasal 33 ayat (5) KUHAP “dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau
menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya
disampaikan kepada pemilik rumah yang bersangkutan”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Densus 88 tidak
memenuhi persyaratan administrasi yang diperlukan dalam melakukan
upaya paksa. Maka Densus 88 telah melakukan maladministrasi dalam
upaya paksa yang dilakukan terhadap penanganan terduga teroris Siyono
dan terjadi pelanggaran HAM lantaran penangkapan yang dilakukan Densus
88 tidak sesuai dengan prosedur yang ada.
Atas meninggalnya terduga teroris Siyono dalam penanganan
Densus 88, di duga adanya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Densus
88, pelanggaran hak untuk tiidak disiksa oleh siapapun dan dalam keadaan
apapun, dan hak hidup yang merupakan hak yang tidak bisa dikurangi atau
dicabut dalam kondisi apapun sebagaimana dijamin dalam pasal 28A
Undang-undang Dasar 1945, pasal 4 dan pasal 9 Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Mengenai intimidasi terhadap keluarga Siyono, polisi meminta
keluarga Siyono menandatangani surat pernyataan untuk tidak
memperkarakan kasus tersebut secara hukum. Upaya tersebut juga dapat
dianggap sebagai pelanggaran HAM bagi hak korban untuk mengajukan
upaya hukum sebagaimana diatur dalam pasal 17 Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia:
“setiap orang tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan
dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam
perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses
peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang
77
menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk
memperoleh putusan yang adil dan benar”
Terkait pelanggaran di atas, disimpulkan bahwa upaya Densus 88
meminta kelurga menandatangani surat pernyataan tidak akan mengajukan
tuntutan hukum merupakan suatu pelanggaran HAM.138
3. Wawancara terhadap Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Dalam kasus ini Komnas HAM mendapat laporan dari istri Siyono
terkait dugaan pelanggaran HAM terhadap meninggalnya tersangka Siyono,
atas laporan tersebut kemudian Komnas HAM melakukan Klarifikasi
dengan meminta penjelasan terkait peristiwa yang terjadi terhadap Siyono,
dimulai dengan menanyakan kepada Istri Siyono, Kepala Desa Setempat,
dan juga pihak kepolisian. Pada saat itu polisi tidak banyak memberikan
penjelasan terkait peristiwa tersebut, sampai terjadinya perang opini antara
Komnas HAM dengan pihak Kepolisian. Hingga kemudian Komnas HAM
melakukan autopsi ulang terhadap jenazah Siyono dengan mengundang
sembilan dokter forensik di antaranya yaitu dokter dari Rs. Bhayangkara
Jawa Tengah, dan juga dokter-dokter di daerah setempat. Setelah dilakukan
autopsi terhadap jenazah Siyono, ditemukanlah penyebab meninggalnya
Siyono, bahwa terjadi luka dalam seperti rusuk yang patah, dan juga tidak
ada perlawanan yang dilakukan Siyono.
Dari rangkaian peristiwa tersebut, akhirnya Komnas HAM mengirim
surat secara resmi kepada Kapolri untuk memproses atas tindakan yang
menimpa Siyono. Dalam hal ini Komnas HAM mengungkap bahwa Densus
88 telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yaitu Hak untuk
hidup, dan Hak untuk tidak disiksa. Komnas HAM juga meminta Polisi
untuk segera di proses secara kode etik.139
138 Arif Nur Fikri, anggota Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan,
interview pribadi, Jakarta, 19 April 2018 139 Agus Guntoro, Peneliti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, interview pribadi,
Jakarta, 06 Juli 2018
78
4. Wawancara terhadap pihak Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Berkaitan dengan kasus Siyono, PP Muhammadiyah yang
mendampingi istri Siyono untuk menyelidiki kesalahan yang Densus 88
lakukan dalam penanganan tersangka Siyono. dalam hal ini PP
Muhammadiyah membagi menjadi tiga isu perkara, yang pertama terkait
pelanggaran SOP dan pelanggaran HAM yang terjadi terhadap Siyono,
yakni pada saat penangkapan Siyono, Densus 88 tidak menunjukkan surat
penangkapan dan juga surat penggeledahan, kemudian terkait pelanggaran
HAM, Siyono meninggal dalam proses penanganan oleh Densus 88 dan
adanya hasil autopsi yang dilakukan bersama dengan tim dari Komnas
HAM menunjukkan bahwa Siyono tidak melakukan perlawanan. Yang
kedua, terkait dengan pemberian uang terhadap kaluarga Siyono yang tidak
jelas maksud dan tujuannya. Karena hal itu, kemudian uang tersebut
diserahkan ke KPK untuk di proses, akan tetapi KPK menolak uang tersebut.
Dan yang ketiga terkait dengan Kode Etik Profesi, PP Muhammadiyah telah
melaporkan kasus tersebut kepada Propam untuk diproses.140
Dalam hal pelanggaran SOP, Densus 88 telah melanggar pasal 19
Perkap No. 23 Tahun 2011 tentang Prosedur Penindakan Tersangka Tindak
Pidana Terorisme. Kemudian dalam hal pelanggaran HAM, Densus 88
melanggar pasal 4 dan pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, yakni hak untuk hidup dan hak untuk tidak
disiksa.
Dan juga mengenai Kode Etik Profesi, yang mana sudah tertera dalam
pasal 7 ayat (2) huruf c Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
140 Jamal Burhan, SH, Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Jakarta, interview
pribadi, jakarta, 13 Juli 2018
79
Dari uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam kasus
terduga terorisme Siyono, ada beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh
Densus 88 dalam proses penanganan tersangka terorisme Siyono. seperti
halnya tidak adanya surat penangkapan serta surat penggeledahan, dan juga
pelanggaran HAM yang menyebabkan meninggalnya seseorang.
Densus 88 pada saat penangkapan Siyono tidak menunjukkan adanya
surat perintah penangkapan terhadap yang bersangkutan terkait kasus
terorisme. Tidak hanya itu, Densus 88 juga melakukan hal yang sama pada
saat penggeledahan rumah terhadap keluarga Siyono. Dalam hal ini
Undang-Undang telah mengatur untuk menunjukkan surat perintah
penangkapan serta surat perintah penggeledahan seperti tertera dalam pasal
18 dan pasal 33 KUHP serta pasal 19 Peraturan Kepolisian nomor 23 tahun
2011 tentang prosedur penindakan tersangka tindak pidana terorisme.
Siyono meninggal dalam pengawasan Densus 88 pada tahap
penyidikan. Dari beberapa pihak terkait yang melakukan autopsi ulang
tehadap jenazah Siyono ditemukannya adanya upaya penyiksaan yang
dilakukan Densus 88 terhadap Siyono. Densus 88 dalam hal ini telah
melanggar hak asasi manusia yakni, hak hidup dan hak untuk tidak disiksa
sebagaimana dalam pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 serta pasal 4
dan pasal 9 Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi
manusia.
B. Pertanggungjawaban Hukum atas Dugaan Pelanggaran HAM dalam
Kasus Terduga Teroris Siyono
Tanggung jawab menurut kamus bahasa Indonesia adalah, keadaan wajib
menanggung segala sesuatunya. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai
perwujudan kesadaran akan kewajiban. Tanggung jawab itu bersifat kodrati,
artinya sudah menjadi bagian hidup manusia, bahwa setiap manusia di bebani
80
dengan tanggung jawab, apabila di kaji tanggung jawab itu adalah kewajiban
yang harus dipikul sebagai akibat dari perbuatan pihak yang berbuat.141
1. Pertanggungjawaban Hukum menurut Hukum Positif
Sidang kode etik dilakukan ketika salah satu anggota kepolisian
melakukan pelanggaran. Densus 88 yang merupakan bagian kepolisian
harus menjalani sidang etik atas pelanggaran yang dilakukan pada proses
penanganan terduga teroris Siyono. Sanksi etik bagi Densus 88 yang telah
melakukan pelanggaran diatur dalam pasal 21 ayat (1) Peraturan Kepolisian
Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik
Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam hal adanya dugaan penyiksaan yang menyebabkan terduga
meninggal dunia yakni kondisi jenazah Siyono yang penuh luka di sekujur
tubuhnya. Terkait larangan akan perbuatan penyiksaan, peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia memiliki pasal terkait yaitu, pasal 351
dan 422 KUHP, dan pasal 11 Peraturan Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar
Hak Asasi Manusia.
Peraturan di atas menunjukkan aturan pidana dan etika internal
institusi yang dilanggar anggota Polri yang terbukti melakukan penyiksaan.
Dalam kasus tewasnya Siyono ini tentu perlu dilakukan penyidikan, baik
dalam lingkup pidana maupun etik, untuk membuktikan dugaan perbuatan
penyiksaan oleh anggota Polisi terhadap Siyono.
2. Pertanggungjawaban hukum menurut Hukum Pidana Islam
Dalam hukum pidana terdapat beberapa asas mendasar yaitu, asas
legalitas, asas praduga tak bersalah, dan asas tidak berlaku surut. Selain asas
tersebut, dalam konsep hukum pidana islam terdapat satu asas yang relatif
tidak dikenal dalam hukum pidana positif, yaitu asas dihapuskannya sanksi
141 Febiyanti Iskandar, Wewenang dan tanggung jawab, (online),
http://febiyantiiskandar.blogspot.co.id, di akses pada 2 Juni 2018 pukul 05.34 WIB
81
pidana jika terdapat unsur syubhat. Unsur syubhat ialah unsur kesamaran
dan ketidakjelasan antara benar dan salah, baik menyangkut subjek hukum,
objek hukum, maupun cara hakim menetapkan status hukum.
Syubhat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah keragu-raguan
atau kekurangjelasan tentang sesuatu (apakah halah atau haram dan
sebagainya) karena kurang jelas status hukumnya. Sementara itu, dalam
Ensiklopedi Hukum Islam, syubhat didefinisikan sebagai kemiripan,
keserupaan, persamaan, dan ketidakjelasan sesuatu yang ketentuan
hukumnya tidak diketahui secara pasti apakah dihalalkan atau
diharamkan.142
Unsur syubhat menjadi salah satu penyebab batalnya sanksi pidana
karena sangat berkaitan dengan hukuman keras yang akan diterapkan bagi
pelaku, baik hukuman cambuk maupun hukuman mati. Hal ini akan
merugikan apabila seseorang telah dihukum mati akan tetapi putusan
tersebut salah, sehingga seorang hakim lebih baik salah dalam memberikan
maaf daripada salah dalam menetapkan sanksi hukum. Berikut hadits yang
menjelaskan tentang hal tersebut.143
ألأيه وأسألأمأ ةأ قأالأت: قأالأ رأسول الل صأل الل أائشأ أن )ان ودأ سلميأ مأا استأطأعتم فأإن ادرأؤا احلامل
لأه فأإن كأانأ لأه مأ بي لوا سأ ي المأامأ أأن رأج فأخأ (يأطأئأ ف العقوبأة من أأن يأطأئأ ف العأفو خأArtinya: “Dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘hindarilah
hukuman hudud dari kaum muslimin sesuai dengan kemampuan kalian. Jika
sekiranya ada jalan keluar, bebaskanlah karena sesungguhnya seorang
peguasa/hakim jika salah dalam memberikan maaf akan jauh lebih baik
daripada salah dalam menjatuhkan hukuman.” (HR. Al-Tirmidzi)
Dengan demikian, asas pembatalan sanksi pidana karena terdapat
unsur syubhat menjadi sesuatu yang harus diperhatikan sebab hukum pidana
menyangkut harga diri, bahkan jiwa manusia. Adanya asas penghapusan
tuntutan pidana karena unsur syubhat bertujuan untuk membela hak asasi
142 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h.111 143 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h.113
82
pelaku tindak pidana dan dalam rangka menegakkan keadilan di tengah
masyarakat sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan dalam
pemberlakuan hukum pidana islam.144
Syubhat terbagi menjadi tiga macam, yaitu syubhat pada objek, syubhat
pada subjek, dan syubhat pada cara-cara ulama memahami dalil. Syubhat
pada objek ialah yang berkaitan dengan objek suatu tindakan. Syubhat pada
subjek ialah yang berkaitan dengan kondisi subjek atau pelaku tindak
pidana. Dan, syubhat pada cara ulama memahami dalil ialah syubhat yang
disebabkan adanya perbedaan pandangan ulama.145
Seperti halnya pernyataan Wahbah al-Zuhaili yang menyatakan sebagai
berikut.
ب ة ف الفعلأ, أأم شأ هأ انأت شب ة ف الأريأة, سأوأاءا أأكأ أ ي ا العأ هأ هأةأ بأن وأا ل, إن الشب هأة ف الفأا ود وأتأسقطهأا؛ لقأوله صأل رأأ احل أحأل , تأ
ة ف امل هأ لمأ: ى الل أ أأم شب ألأيه وأسأ ود اد ) رأأوا احللأه, فأإن ألإلمأامأ أأن لب بي سلميأ مأرأجأا فأخألوا سأ
أن امل هأات, ادف أعوا القأتلأ يأطأئأ ف العأفو شب
(خأي من أأن يأطأئأ العقوبأة Artinya: “sesungguhnya, dalam hukum pidana syubhat dengan berbagai
jenis dan macam-macamnya, baik syubhat pada perbuatan, syubhat pada
subjek, maupun syubhat pada objek; tetap berpengaruh pada keharusan
dibatalkannya sanksi pidana pada diri pelaku. Alasannya adalah beberapa
hadits Nabi: 1) “Hindarilah hukuman hudud dengan sebab adanya unsur
syubhat, hindarkan hukuman mati dikalangan orang islam”; dan 2)
“Hindarkanlah hukuman pidana dari segenap kaum muslimin sebatas
kemampuan kalian; jika hukuman dari orang-orang Islam bisa dihindarkan,
bebaskanlah, sebab seorang penguasa akan lebih baik salah dalam
memaafkan daripada salah dalam memberikan hukuman.”146
144 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h.113 145 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h.117 146 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h.119
83
Menurut penulis, dalam kasus ini menyimpulkan adanya unsur
syubhat, yaitu unsur kesamaran dan ketidakjelasan hukum menyangkut hak
manusia dalam penangkapan Siyono. Adanya unsur penyiksaan yang
menyebabkan meninggalnya tersangka sebelu di putus benar atau salahnya
tersangka Siyono.
84
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisa kasus penanganan tersangka
terorisme Sisyono di atas, maka dapat disimpulkan bahwa telah terjadi
pelanggaran yang dilakukan oleh Densus 88 dalam penanganan tersangka
Siyono di Klaten.
1. Densus 88 melanggar pasal 18 ayat 1 dan 2, serta pasal 33 ayat 5 KUHAP,
dan pasal 19 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23
tahun 2011 dengan tidak adanya surat-surat administrasi penyidikan antara
lain, surat perintah penangkapan, dan surat perintah penggeledahan.
Densus 88 juga telah melanggar hak asasi tersangka dan Hak Asasi
Manusia atas meninggalnya Siyono, yakni hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa dan hak tidak di perlakukan sewenang-wenang selama proses
penyidikan. Seperti yang tertera dalam pasal 28A Undang-Undang Dasar
1945, serta pasal 4 dan 9 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia.
2. Densus 88 yang melakukan pelanggaran harus menjalankan sidang etik
profesi, sebagaimana telah diatur dalam pasal 21 ayat 1 Peraturan
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2011 tentang
Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dan pasal 11
Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2009
tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusi. Dalam
hukum pidana Islam terdapat suatu asas dihapuskannya sanksi pidana
apabila terdapat unsur syubhat, yaitu unsur kesamaran dan ketidakjelasan
antara benar dan salah, baik menyangkut subjek hukum, objek hukum,
maupun cara hakim menetapkan status hukum. Seorang hakim lebih baik
salah dalam memberikan maaf daripada salah dalam menetapkan sanksi
85
hukum. Sebab, akan sangat merugikan apabila seseorang telah dihukum
mati padahal putusan tersebut salah.
B. Saran
Untuk mengambil manfaat dari skripsi ini, maka beberapa saran yang
dapat penyusun berikan khususnya bagi pemerintah dan masyarakat pada
umumnya dalam penanganan terorisme yang dilakukan oleh Densus 88, adalah
sebagai berikut:
1. Meskipun negara telah memberikan perlindungan terhadap hak-hak
tersangka tindak pidana terorisme melalui peraturan perundang-undangan
yang ada, namun dalam implementasinya belum optimal, sehingga
diharapkan kedepan perlu reformulasi norma berkenan dengan bukti cukup
untuk menduga seseorang telah melakukan tindakan terorisme.
2. Pemerintah melalui lembaga legislatif, agar dapat melakukan pengawasan
terhadap kinerja Densus 88 AT dari tindakan-tindakan yang menyimpang
dan penyalahgunaan wewenang yang dapat menciderai harkat, martabat
manusia, seperti halnya dalam penanganan terorisme Densus 88 harus
menggunakan cara yang lebih profesional, bukan dengan cara kekerasan.
3. Diharapkan dalam penanganan terorisme, sikap menjunjung tinggi
tegaknya HAM tetp menjadi prioritas utama, agar masyarakat sipil tidak
terkena dampak dari penyerangan terorisme.
4. Negara, Polri, dan khususnya Densus 88 tidak akan bisa bekerja sendiri dan
berhasil dalam menangani masalah terorisme tanah air ini, jika tidak ada
peran serta dukungan dan bantuan masyarakat dalam rangka penanganan
tindak pidana terorisme.
86
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Djelantik, Sukawarsini, Terorisme Tinjauan Psiko-Politisi, Peran Media
Kemiskinan, dan Keamanan Nasional. Jakarta: Yayasan Obar Indonesia.
2010
Amin, Martimus MK, Konstitusi dan Demokrasi dalam buku Terorisme, Perang
Global dan Masa Depan Demokrasi. Depok: Matapena. 2004
Hendropiyono, AM, Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. Jakarta:
Kompas. 2009
Muradi, Penantian Panjang Reformasi Polri. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2009
Marzuki, Suparman, Politik Hukum Hak Asasi Manusia. Jakarta: Erlangga. 2014
Martono, Nanang. Metode Penelitian Kualitatif, Analisis Isi daan Analisis
Sekunder. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2010.
Moleong, Lexy j. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Offset. 2013.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Edisi Ketiga. Cet.
Ketiga. Yogyakarta: Liberty. 2002
Hutabarat, Ramly. Persmaan Di Hadapan Hukum (Equality Before The Law) di
Indonesia. Cet. Pertama. Jakarta: Ghalia Indoensia. 1985.
Indah S, Maya C. Perlindungan Korban suatu perspektif viktimologi dan
kriminologi. Jakarta: Kencana Prenadamedia. 2016.
Irfan, M Nurul. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Amzah. 2016.
Irfan, M Nurul dan Musyrofah. Fiqh Jinayah. Cetakan Ketiga. Jakarta: Amzah.
2015
87
Ashiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Edisi kedua. Cet.
Pertama. Jakarta: Sinar Grafika. 2010.
Hamzah, Andi. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Yarsif Watampono. 2005.
Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1993.
Ali, Ahmad. Meluruskan Jalan Reformasi Hukum. Jakarta: Agatama Press. 2004.
Adji, Oemar Seno. Hukum Acara Pidana dalam Perspektif. Jakarta: Airlangga.
1981.
Resdjiputro, Mardjono. Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana.
Jakarta: Lembaga Kriminologi UI. 1944.
Rukmini, Mien. Perlindungan HAM Melalui Asas Paduga Tidak Bersalah dan Asas
Persamaan Kedudukan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
Bandung: Alumni. 2003.
Soeharto. Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban Tindak Pidana
Terorisme. Bandung: PT Refrika Aditama. 2007.
Muntaha. Penerapan Asas Oportunitas dalam Hukum Pidana di Indonesia.
Yogyakarta: Genta Publishing. 2014.
Putra, Dalizar. Hak Asasi Manusia Menurut al-Qur’an. Jakarta: PT Al-Husna
Zikra. 1995.
Effendi, Masyhur. Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum
Nasional dan Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1994.
Arief, Nawawi Barda. Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan, Penyusunan
Konsep Baru KUHP. Jakarta: Prenada Media Grup. 2011.
Wahid, Abdul. Sumardi & Muhammad Sidik. Kejahatan Terorisme Perspektif
Agama, Hukum, HAM. Bandung: PT Refrika Aditama. 2004.
Wibowo, Ari. Hukum Pidana Terorisme. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012
88
Sulistyo, Hermawan. Dkk. Beyond Terorisme. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
2002.
Kamasa, Frassminggi. Terorisme: Kebijakan Kontra Terorisme Indonesia.
Yogyakarta: Graha Ilmu. 2015.
Nasuition, Aulia Rosa. Terorisme Sebagai Kebijakan Terhadap Kemanusiaan
dalam Perspektif Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia. Jakarta:
Prenada Media Group. 2012.
S. Adjie. Terorisme. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2006.
Muladi. Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Redormasi Hukum di Indonesia.
Jakarta: Habibie Center. 2002.
Salenda, Kasjim. Terorisme dan Jihad dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta:
Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI. 2009.
Raharjo, Sajipto. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2000.
Mardenis. Pemberantasan Terorisme: Politik Internasional dan Politik Hukum
Nasional Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2011.
Mansur, Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom. Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan. Bandung: Raja Grafindo. 2006.
Harahap, Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penetapan KUHAP Penyidikan
dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. 2009
Ali, Mahrus. Hukum Pidana Terorisme: Teori dan Praktik. Jakarta: Gramata
Publishing. 2012.
Jurnal:
Sihombing, Eka N.A.M. “Mendorong Pembentukan Peraturan Daerah Tentang
Bantuan Hukum di Provinsi Sumatera Utara”. Jurnal RechtsVinding Media
Pembinaan Hukum Nasional, No. 1 Vol 2. 2013.
89
Baital, Bachtiar. “Asas Praduga tidak Bersalah dalam Dimrnsi Pembuktian”. Jurnal
Sosial dan Budaya Syar’i, No. 2 Vol 2. 2015.
Tryan, Muhammad Schinggyt. Dkk. “Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Asas
Praduga Tak Bersalah dalam Proses Pengadilan Pidana”. Jurnal Diponegoro
Law Journal, No. 4, Vol 5. 2016.
Pudjiarto, ST. Harum. “Hubungan antara Pengadilan Pidana Internasional (ICC)
dengan Perlindungan HAM Nasional Terhadap Pelanggaran HAM yang
Berat di Indonesia” jurnal Justitia et Pax. No. 1 Vol 24. 2004.
Jahada. “Hak Asasi Manusia Menurut al-Qur’an”. Jurna al-‘Adl, No.1 Vol 6. 2013.
Tauhid, Ahmad Zainut. “Hukuman Mati terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme
Perspektif Fikih Jinayah”. Jurnal Agama dan Hak Asasi Manusia, No, 2 Vol
1. 2012.
Salenda, Kasjim. “Terorisme dalam Perspektif Hukum Islam”. Jurnal Ulumuna
Studi Keislaman. No. 1 Vol 13. 2009.
Takasili, Novian. “Fungsi dan Kedudukan Densus 88 dalam Penanggulangan
Tindak Pidana Terorisme menurut Hukum Positif Indonesia”. Jurnal Lex
Creime. No.8 Vol 4. 2015.
Agustina, Lena. “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Salah Tangkap (Studi
Kasus Penangkapan Teroris oleh Densus 88)”. Jurnal JOM Fakultas
Hukum, No. 1 Vol 1. 2014.
Dehoop, Enrille C. A. “Perlindungan Hak Tersangka/Terdakwa Terorisme dalam
Sistem Peradilan Pidana Indonesia”. Jurnal Hukum Universitas Sam
Ratulangi. 2013.
Vilano, Danur. “Perlindungan Hak-hak Tersangka Terorisme sebagai Perwujudan
Asas Praduga Tidak Bersalah dalam Sistem Peradilan Pidana”. Jurnal e
Journal Katalogis, No. 3 Vol 5. 2017.
90
Hendriana, Rani. “Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Terorisme antara
Desiserata dan Realita”. Jurnal Kosmik Hukum, No. 1 Vol 16. 2016.
Muhtar, Zainal. “Eksistensi Densus 88: Analisis Evaluasi dan Solusi Terkait
Wacana Pembubaran Densus 88”. Jurnal Supremasi Hukum, No. 1 Vol 3.
2014.
Sibuea, Harris Y.P. “Keberadaan Detasemen Khusus (Densus) 88 dalam
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”. Jurnal Info Singkat Hukum, No.
10 Vol 5. 2013.
Bawole, Marshaal Samuel. “Kewenangan Tim Densus 88 dalam Penanggulangan
Terorisme di Indonesia”. Jurnal Lex et Societatis, No. 1 Vol 2. 2014.
Suka’arsana, I Komang dan Maria Silvya E Wangga. “Pengesampingan Prinsip
Persamaan di Muka Hukum”. Jurnal Masalah-masalah Hukum, No.1 Vol
45. 2016
Internet:
Wikipedia.org, “Detasemen Khusus 88 (Anti Teror)”. Artikel diakses pada 3
Desember 2017 dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Detasemen_Khusus_88_(Anti_Teror).
Nasional.tempo.com, “Kejanggalan dalam kematian Siyono terduga teroris”.
Artikel diakses pada 3 Desember 2017 dari
https://nasional.tempo.com/read/757075/apa-saja-kejanggalan-dalam-
kematian -Siyono-terduga-teroris.
republika.co.id, “Kronologi kematian Siyono Menurut Polri”. Artikel diakses pada
01 April 2018 dari
http://www.republika.co.id/berita/nasional//hukum/16/03/14/640vrx361-
kronologi-kematian-siyono.di-tangan-densus-88-menurut-polri.
Merdeka.com, “kronologi penangkapan yang menewaskan Siyono”. Artikel
diakses pada 01 April 2018 dari
91
https://www.merdeka.com/peristiwa/kapolri-beberkan-kronologi-
penangkapan-yang-menewaskan-Siyono.html
Nasional.kompas.com, “Densus 88 langgar Hukum dalam Kasus Siyono”. Artikel
diakses pada 2 April 2018 dari
nasional.kompas.com/read/2016/03/26/Kontras.densus.88.langgar.hukum.
dalam.kasus.siyono.html
Kabar24.bisnis.com, “Kronologi penangkapan Terduga Teroris Siyono di Klaten”.
Artikel diakses pada 2 April 2018 dari
kabar24.bisnis.com/read/20160414/ini-kronologi-penangkapan-terduga-
teroris-siyono-di-klaten.html
Skripsi/Tesis:
Arifin, Firman. “Tindak Pidana Teorisme dalam Hukum Pidana Islam (analisi
Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2004 tentang Terorisme)”. Bandung: Skripsi
Hukum Pidana Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung
Djati. 2014.
Yunita, Amelda. “Penerapan Asas Praduga Tidak Bersalah dalam Proses Peradilan
Perkara Tindak Pidana Terorisme”. Jakarta. Tesis Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Indonesia. 2011.
Wawancara:
Interview Pribadi dengan AKBP. H. Djoni Djuhana, Direktur Idensus 88, Jakarta,
27 April 2018.
Interview Pribadi dengan Arif Nur Fikri, Anggota Komisi Untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Jakarta, 19 April 2018.
Interview Pribadi dengan Agus Guntoro, Peneliti Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, Jakarta, 06 Juli 2018.
Interview Pribadi dengan Jamal Burhan, Anggota Majelis Hukum dan HAM
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jakarta, 13 Juli 2018.