BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DESAIN …erepo.unud.ac.id/18033/3/1203005172-3-BAB II.pdfkarena hanya...
-
Upload
truongkien -
Category
Documents
-
view
217 -
download
2
Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DESAIN …erepo.unud.ac.id/18033/3/1203005172-3-BAB II.pdfkarena hanya...
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG DESAIN INDUSTRI dan
DIREKTORAT JENDERAL HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
2.1 Tinjauan Umum Tentang Hak Desain Industri
2.1.1 Pengertian Desain Industri dan Hak Desain Industri
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) terdiri dari beberapa bidang, dan
antara bidang satu dengan yang lainnya meski memiliki fokusnya masing-
masing tetap memiliki hubungan dan kemiripan, kemiripan inilah terkadang
yang membuat masyarakat awam kurang memahami adanya perbedaan arti
serta fungsi dari masing-masing bidang HKI tersebut.
Seperti halnya Hak Cipta yang lebih dikenal oleh masyarakat
memiliki kemiripan dengan Desain Industri bahkan tekadang dianggap
sama antara keduanya, hal ini membuat masyarakat kurang memahami dan
menimbulkan kesalahpahaman dalam mengetahui bahwa Hak Cipta dengan
Desain Industri tersebut dua bidang yang berbeda dan memiliki lingkup atau
fokus yang beda.
Perbandingan antara Hak Cipta dengan Desain Industri, sebagaimana
disampaikan oleh NK Supasti D dalam makalah seminar HKI, Denpasar
(2003), ialah dimana Hak Cipta obyek perlindungannya lebih kepada suatu
karya yang bersifat seni, sedangkan Desain Industri obyeknya karya tentang
bentuk, bentuk tersebut memiliki nilai estetika yang kemudian dibuat untuk
menghasilkan komoditas industri ( mass product ).1
Selain itu keduanya memiliki perbedaan dimana Desain Industri
mendapatkan perlindungan dengan pihak pendesain mengajukan
permohonan pendaftaran disertai dengan proses pemeriksaannya di
Direktorat Jenderal HKI, sedangkan Hak Cipta pendaftarannya tidak
disertai dengan proses pemeriksaan.
Agar lebih memahami mengenai pengertian Desain Industri dalam
Pasal 1 ayat (1) UU Desain Industri tahun 2000” Desain industri ialah suatu
kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau
garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi
atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan
dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk
menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan
tangan”.
Hak Desain Industri dalam Pasal 1 ayat (5) UU Desain Industri tahun
2000, yakni “hak eksklusif yang diberikan oleh negara Republik Indonesia
kepada Pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu
melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain
untuk melaksanakan hak tersebut”. Secara sederhana dalam pasal ini
menyatakan bahwa hak desain industri dikatakan sebagai hak eksklusif
1 NK Supasti D, dkk, Bahan Ajar Hak Kekayaan Intelektual, Bagian Keperdataan
Fakultas Hukum Universitas Udayana, h.83
karena hanya pendesain saja yang boleh mendapatkan hak tersebut dari
Negara.
2.1.2 Pengertian Pendesain dan Pemegang Hak Desain Industri
Menurut Pasal 1 ayat (2) UU Desain Industri tahun 2000, yang
disebut dengan Pendesaian adalah seorang atau beberapa orang yang
menghasilkan desain industri.
Selain yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) diatas, Pendesain dapat
diartikan bahwa dialah yang membuat kreasi yang berupa desain baru
(bukan jiplakan) sehingga memiliki nilai estetis yang kemudian dapat
diproduksi dan dipergunakan.
Dalam Pasal 6 ayat (1) UU Desain Industri tahun 2000 disebutkan
bahwa ”Yang berhak memperoleh Hak Desain Industri adalah Pendesain
atau yang menerima hak tersebut dari Pendesain”.
Dan dalam Pasal 12 UU Desain Industri tahun 2000 menyebutkan
bahwa “pihak yang untuk pertama kali mengajukan Permohonan dianggap
sebagai pemegang hak Desain Industri, kecuali jika tebukti sebaliknya”.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa definisi Pendesain ialah seseorang atau beberapa orang yang
menghasilkan desain industri yang baru dan memiliki nilai estetis yang
kemudian dapat diproduksi menjadi sesuatu. Sedangkan Pemegang Hak
Desain Industri ialah seorang atau beberapa orang yang merupakan
pendesain (kecuali diperjanjikan lain antara pendesain dengan pihak lain)
atas suatu desain indutri yang mengajukan permohonan pendaftaran desain
industri pertama kali kemudian diberikan hak kepemilikan atas desain
indutri tersebut secara sah dengan dikeluarkannya Sertifikat Desain Industri.
2.1.3 Permohonan Pendaftaran Desain Industri
Sistem pendaftaran HKI pada umumnya sebagaimana digunakan
dalam bidang Merek terdiri dari dua sistem, yakni Sistem Deklaratif dan
Sistem Konstitutif. Sistem pendaftaran deklaratif adalah suatu sistem
dimana yang memperoleh perlindungan hukum adalah pemakai pertama
dari merek yang bersangkutan, tetapi menimbulkan ketidakpastian hukum,
sebab pendaftaran suatu merek sewaktu-waktu dapat dibatalkan apabila ada
pihak lain yang dapat membuktikan sebagai pemilik pertama dari merek
yang telah didaftarkan. Sedangkan sistem konstitutif menekankan bahwa
pendaftaran merupakan keharusan agar dapat memperoleh hak atas merek,
sehingga adanya kepastian hukum untuk mengkondisikan siapa sebenarnya
pemilik merek yang paling utama untuk dilindungi, dan juga adanya
kepastian hukum pembuktian, karena didasarkan pada fakta pendaftaran
sebagai alat bukti utama.
Menurut Yahya Harahappenegakan pendaftaran mengandung
konsepsi sistem dualisme, satu segi ditegakkan doktrin pendaftaran
pertamaatau first to file principle, siapa pendaftar pertama dianggap
mempunyai hak yang lebih unggul dan lebih utama dari pemilik merek
lainnya, tetapi berbarengan dengan itu ditegakkan pula doktrin pemakai
pertamaatau prior user (first to use system), apabila dapat membuktikan
bahwa dia pemakai pertama yang sesungguhnya dianggappemilik paling
unggul haknya jika seseorang dapatmembuktikan sebagai pemakai pertama
sesungguhnya. Penjelasan Umum tersebut memberikan kedudukan yang
utama pada asas prior user has a better right atau pemakai pertama
mempunyai hak yang lebih baik dari pendaftar pertama.2
Desain Industri dalam proses permohonan pendaftaran disertai
dengan serangkaian proses pemeriksaan. Pada dasarnya dalam Undang-
Undang Desain Industri dikemukakan bahwa dalam pemeriksaan
permohonan hak atas desain industri menganut Asas Kebaruan dan
Pengajuan Pendaftaran Pertama. Dengan dianutnya Prinsip Pengajuan
Pendaftaran Pertama (first to file), maka sistem permohonan pendaftaran
Desain Industri termasuk sistem Konstitutif, sebagaimana diatur dalam
Pasal 12 UU Desain Industri tahun 2000. Permohonan pendaftaran desain
industri merupakan langkah untuk memperoleh hak atas desain industri
tersebut yang berupa Sertifikat Desain Industri. Sehinga tidak menimbulkan
kontroversi antara pendaftar pertama dan pemakai pertama Desain Industri
tersebut.
Mengenai proses ataupun persyaratan permohonan pendaftaran
diatur dalam Pasal 11 ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6) UU Desain Industri
tahun 2000, yang disebutkan sebagai berikut :
2 M. Yahya Harahap, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek Di Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang Merek Nomor 19 tahun 1992, 1996, Citra Adityabakti, Bandung,
h. 335-336
(1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia ke
Direktorat Jenderal dengan membayar biaya sebagaimana diatur dalam
Undang-undang ini.
(2)Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh
Pemohon atau Kuasanya.
(3) Permohonan harus memuat:
a.tanggal, bulan, dan tahun surat Permohonan;
b.nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Pendesain;
c.nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Pemohon;
d.nama dan alamat lengkap Kuasa apabila Permohonan diajukan melalui
Kuasa; dan
e.nama negara dan tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali,
dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas.
(4)Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilampiri dengan:
a.contoh fisik atau gambar atau foto dan uraian dari Desain Industri yang
dimohonkan pendaftarannya;
b.surat kuasa khusus, dalam hal Permohonan diajukan melalui Kuasa;
c.surat pernyataan bahwa Desain Industri yang dimohonkan pendaftarannya
adalah milik Pemohon atau milik Pendesain.
(5)Dalam hal Permohonan diajukan secara bersama-sama oleh lebih dari
satu Pemohon, Permohonan tersebut ditandatangani oleh salah satu
Pemohon dengan melampirkan persetujuan tertulis dari para Pemohon lain.
(6)Dalam hal Permohonan diajukan oleh bukan Pendesain, Permohonan
harus disertai pernyataan yang dilengkapi dengan bukti yang cukup bahwa
Pemohon berhak atas Desain Industri yang bersangkutan.
Permohonan juga dapat dilakukan dengan Hak Prioritas yang diatur
dalam Pasal 16 dan Pasal 17 UU Desain Industri tahun 2000. Hak Prioritas
merupakan salah satu prinsip dalam Konvensi Paris. Hak Prioritas adalah
hak Pemohon untuk mengajukan Permohonan Prioritas yang berasal dari
negara yang tergabung dalam Konvensi Paris untuk memperoleh pengakuan
dari negara tujuan (yang juga anggota Konvensi Paris) seolah-olah
pengajuan dilakukan pada tanggal pengajuan yang pertama kali.3
Permohonan dengan Hak Prioritas ini wajib dilengkapi dengan
dokumen prioritas yang disahkan oleh kantor yang menyelenggarakan
pendaftaran Desain Industri beserta terjemahannyadalam bahasa Indonesia
dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung setelah berakhirnya jangka
waktu pengajuan permohonan dengan hak prioritas.4 Bila terdapat
kekurangan dalam pemenuhan syarat-syarat dan kelengkapan permohonan,
Direktorat Jenderal HKI memberitahukan kepada pemohon atau kuasanya
3 Sudargo Gautama, 2000, Hak Atas Kekayaan Intelektual Peraturan Baru Desain
Industri, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.267
4 H. OK. Saidin, Op.cit, h.475
agar kekurangan tersebut dipenuhi dalam waktu 3 bulan terhitung sejak
tanggal pengiriman surat pemberitahuan kekurangan tersebut.
2.1.4 Lingkup Hak atas Desain Industri
Lingkup hak dalam setiap bidang HKI berbeda-beda sebagaimana
diatur dalam Undang-Undangnya masing-masing. Desain Industri
lingkuphak yang dimaksud sesuai dengan Pasal 9 UU Desain Industri tahun
2000, yakni :
Pasal 9 ayat (1) “Pemegang Hak Desain Industri memiliki hak eksklusif
untuk melaksanakan Hak Desain Industri yang dimilikinya dan untuk
melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memakai,
menjual, mengimpor, mengekspor, dan/atau mengedarkan barang yang
diberi Hak Desain Industri”. Maksud dari pasal 9 ayat (1) ini ialah
pemegang Hak Desain Industri berhak untuk melakukan apapun atas produk
yang diberikan hak, baik membuat, memakai, menjual, atau mengimpornya,
ataupun ingin memberikan hak pada pihak ketiga untuk melakukannya.
Dan Pasal 9 ayat (2) “Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah pemakaian Desain Industri untuk
kepentingan penelitian dan pendidikan sepanjang tidak merugikan
kepentingan yang wajar dari pemegang hak Desain Industri”.
Beberapa perkecualian yang tidak dapat dilindungi Desain Industri. Produk
cetakan seperti, buku, kalender, sertifikat, dan lain-lain bukan merupakan
domain perlindungan desain industri karena meski diproduksi atau dibuat
secara masal, sudah memperoleh perlindungan dibawah hak cipta. Warna
semata tidak dapat dilindungi oleh desain industri, akan tetapi kombinasi
warna yang diterapkan pada produk dapat dilindungi Desain Industri.5
Dengan dijelaskannya lingkup hak atas desain industri ini
memberikan kepastian apa saja yang termasuk hak serta perlindungan yang
didapat oleh Pendesain dan/atau Pemegang Hak Desain Industri atas desain
industrinya.
2.1.5 Sistem Perlindungan dan Jangka Waktu Perlindungan Hak
Desain Industri
Konsep dasar perlindungan HKI didasari oleh beberapa prinsip,
yakni sebagai berikut :6
Prinsip keadilan ( The Principle of natural justice )
Pencipta sebuah karya, yang membuahkan hasil dari kemampuan
intelektualnya, wajar untuk mendapatkan imbalan. Imbalan tersebut
dapat berupa materi maupun bukan materi seperti adanya rasa aman
karena dilindungi dan diakui hasil karyanya.
Prinsip ekonomi ( The Economic Principle )
Hak milik intelektual merupakan satu bentuk kekayaan bagi
pemiliknya. Dari pemilikan tersebut seseorang akan mendapatkan
keuntungan.
Prinsip kebudayaan ( The Cultural Argument )
5 Rahmi Jened Parinduri Nasution, 2013, Interface Hukum Kekayaan Intelektual dan
Hukum Persaingan (Penyalahgunaan HKI), Rajawali Pers, h.258
6 Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, 1982, Cetakan pertama,
Bina Cipta, Bandung, h.24
Pengakuan atas karya, karsa, cipta manusia sebagai perwujudan
suasana yang mampu membangkitkan semangat dan minat untuk
mendorong ciptaan atau penemuan baru yang berguna bagi peningkatan
taraf kehidupan, peradaban dan martabat manusia.
Prinsip sosial ( The Social Argument )
Hak apapun yang diberikan oleh hukum kepada seseorang atau
persekutuan atau kesatuan lainnya juga untuk kepentingan seluruh
masyarakat terpenuhi.
Sistem perlindungan HKI disegala bidang pada dasarnya diberikan
setelah pihak melakukan pendaftaran kepemilikan artinya perlindungan
hukum terhadap karya intelektual mensyaratkan adanya kewajiban
melakukan pendaftaran. Akibat hukum, apabila tidak melakukan
pendaftaran penghasil karya intelektual tidak dapat menuntut pihak lain
yang menggunakan karya intelektual tersebut tanpa seijinnya.
Sama seperti sistem perlindungan HKI bidang Desain Industri,
perlindungan atas desain industri dapat dijalankan atau diberikan apabila si
pendesain atau pihak lain (yang diberikan ijin oleh pendesain untuk
mendapatkan hak desain industri) telah mendaftarkan dan permohonan
pendaftaran tersebut diterima oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual dengan dikeluarkannya Sertifikat Desain Industri.
Dalam Pasal 26 paragraf 2 TRIPs Agreement yang mengatur soal
perlindungan, menyatakan bahwa para peserta dapat mengadakan
pengecualian terhadap perlindungan dari desain industri. Akan tetapi
pengecualian ini tidak dapat secara kurang wajar (not unreasonably)
bertentangan dengan eksploitasi secara normal dari Desain Industri yang
dilindungi itu.7
Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU Desain
Industri, perlindungan terhadap Hak Desain Industri diberikan untuk jangka
waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak Tanggal Penerimaan. Dan yang
dimaksud tanggal mulai berlakunya jangka waktu perlindungan tersebut
yakni setelah dicatat dalam Daftar Umum Desain Industri dan telah
diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri.
Perlindungan Desain Industri setelah 10 tahun tidak dapat
diperpanjang, kemudian desain industri tersebut akan menjadi milik umum
atau masyarakat (Public Domain). Yang dimana setelah waktu perlindungan
tersebut habis, masyarakat secara umum dapat membuat, menjual atau
menggunakan desain tersebut tanpa perlu meminta izin si pendesain atau
membayar kepada pendesain.
Ketentuan jangka waktu perlindungan 10 tahun dan tidak dapat
diperpanjang dalam UU Desain Industri tahun 2000 sama dengan ketentuan
yang diatur dalam Pasal 26 ayat (3) TRIPs Agreement.
2.1.6 Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Desain
Industri
7 Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, 2004, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
Peraturan Baru Desain Industri, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.21
Suatu tindakan pelanggaran atau penyalahgunaan HKI secara hukum
perdata termasuk penyalahgunaan hak ( abuse of right ) yang dikategorikan
sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365
KUH Perdata yang menyebutkan,” Tiap perbuatan yang melanggar hukum
dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian
tersebut”. Tindakan pelanggaran atau penyalahgunaan HKI yang
melampaui aturan hukum pembatasan dapat mengakibatkan HKInya batal
demi hukum atau dapat dibatalkan.
Tindakan yang dapat dikatakan sebagaipelanggaran atas Desain
Industri, apabila melanggar ketentuan dalam pasal 9 ayat (1) UU Desain
Industri tahun 2000, “Seseorang atau beberapa orang yang tanpa
persetujuan Pendesain dan/atau Pemegang Hak Desain Industri membuat,
memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, dan/atau mengedarkan barang
yang diberi Hak Desain Industri tersebut”.
Sengketa dalam Desain Industri bukan hanya dalam hal pelanggaran
yang dilakukan oleh pihak yang tanpa seijin Pendesain dan/atau pemegang
hak desain industri saja, akan tetapi bisa karena ada pihak yang merasa
dirinya yang terlebih dahulu membuat suatu desain akan tetapi ada pihak
lain yang mendaftarkan desain tersebut kepada Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual, dan ada beberapa jenis sengketa lainnya.
Apabila terjadi hal-hal seperti diatas maka sengketa tersebut harus
diselesaikan, baik secara Litigasi atau Non Litigasi. Secara Litigasi masing-
masing negara memiliki aturan sesuai dengan hukum nasionalnya dalam
menentukan diselesaikan pada Pengadilan Perdata atau Pengadilan Pidana
tergantung dari hasil jurisdiksi (choice of forum) dan pilihan hukumnya
(choice of law). Dalam penyelesaian di Pengadilan harus dilakukan secara
adil, layak, murah, tidak sulit dan dalam jangka waktu yang layak. Para
pihak memiliki hak untuk didampingi oleh penasihat hukum yang
independen.
Part III Article 42 sampai Article 61 TRIPs mengatur mengenai
penegakkan hukum di bidang HKI.8 Masing-masing pasal tersebut
memberikan penjelasan yang pada dasarnya untuk memberikan penegakan
hukum agar tidak terjadi pelanggaran di bidang HKI dan hal ini sesuai
dengan tujuan utama dari penyelesaian Litigasi, yakni untuk menghentikan
pelanggaran di bidang HKI. Mengenai penyelesaian sengketa tentang
Desain Industri dapat dilakukan secara Litigasi dan Non-Litigasi. Secara
Litigasi, proses penyelesaian dilakukan secara Pidana di Pengadilan Negeri
atau Perdata di Pengadilan Niaga.
Penyelesaian melalui proses hukum pidana dimulai dari adanya
aduan dari pihak yang merasa dirugikan, kemudian dilakukan penyidikan
oleh pihak penyidikan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 53 ayat
(1) UU Desain Industri tahun 2000, yang menyatakan bahwa, ”Selain
Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Penyidik Pejabat
Pegawai Negeri Sipil di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan
8Rahmi Jened Parinduri Nasution, Op.cit, h.333
tanggung jawabnya meliputi Hak Kekayaan Intelektual diberi wewenang
khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang Desain Industri”.
Kewenangan penyidik dalam penyidikan kasus Desain Industri diatur
dalam Pasal 53 ayat (2), yakni :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran pengaduan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang Desain Industri;
b. melakukan pemeriksaan terhadap pihak yang diduga telah melakukan
tindak pidana di bidang Desain Industri;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari para pihak sehubungan
dengan peristiwa tindak pidana di bidang Desain Industri;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain
berkenaan dengan tindak pidana di bidang Desain Industri;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang
bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain;
f. melakukan penyitaan terhadap bahan dan/atau barang hasil pelanggaran
yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang
Desain Industri; dan/atau
g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana di bidang Desain Industri.
Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tetap berkoordinasi dengan
Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia karena tetap harus
memberitahukan saat dimulainya penyidikan dan melaporkan hasil
penyidikannya kepada Penyidik POLRI, sebagaimana diatur dalam Pasal 53
ayat (3) UU Desain Industri. Pelanggaran pidana terhadap hak desain
industri yang diklasifikasikan sebagai delik aduan memiliki ancaman
hukuman maksimum empat tahun, serta hukuman yang diatur dalam Pasal
54 ayat (1) UU Desain Industri tahun 2000.9
Akan tetapi, sengketa tentang Desain Industri yang diselesaikan
secara Litigasi cenderung melalui Pengadilan Niaga, dan sengketa yang
sering terjadi diawali dengan adanya gugatan dari satu pihak kepada pihak
lain yang dianggap melakukan pelanggaran. Gugatan tersebut biasanya
bertujuan untuk menuntut hak atau untuk membatalkan pendaftaran.
Mengenai pembatalan dengan cara gugatan disebutkan dalam Pasal 38 UU
Desain Industri tahun 2000, yakni:
(1) Gugatan pembatalan pendaftaran Desain Industri dapat diajukan oleh pihak
yang berkepentingan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
atau Pasal 4 kepada Pengadilan Niaga.
(2) Putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tentang
pembatalan pendaftaran Hak Desain Industri disampaikan kepada
Direktorat Jenderal paling lama 14 (empat belas) hari setelah tanggal
putusan diucapkan.
9 Ranti Fauza Mayana, 2004, Perlindungan Desain Industri di Indonesia Dalam Era
Perdagangan Bebas, PT. Grasindo, Jakarta, h.185
Adapun tata cara mengajukan gugatan diatur dalam Pasal 39, yakni :
(1) Gugatan pembatalan pendaftaran Desain Industri diajukan kepada Ketua
Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat tinggal atau domisili
tergugat.
(2) Dalam hal tergugat bertempat tinggal di luar wilayah Indonesia, gugatan
tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
(3) Panitera mendaftarkan gugatan pembatalan pada tanggal gugatan yang
bersangkutan diajukan dan kepada penggugat diberikan tanda terima tertulis
yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal
pendaftaran gugatan.
(4) Panitera menyampaikan gugatan pembatalan kepada Ketua Pengadilan Niaga
dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak gugatan
didaftarkan.
(5) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal gugatan
pembatalan didaftarkan, Pengadilan Niaga mempelajari gugatan dan
menetapkan hari sidang.
(6) Sidang pemeriksaan atas gugatan pembatalan diselenggarakan dalam jangka
waktu paling lama 60 (enam puluh) hari setelah gugatan didaftarkan.
(7)Pemanggilan para pihak dilakukan oleh juru sita paling lama 7 (tujuh) hari
setelah gugatan pembatalan didaftarkan.
(8) Putusan atas gugatan pembatalan harus diucapkan paling lama 90 (sembilan
puluh) hari setelah gugatan didaftarkan dan dapat diperpanjang paling lama
30 (tiga puluh) hari atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
(9) Putusan atas gugatan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) yang
memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan
tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat
dijalankan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan
suatu upaya hukum.
(10)Salinan putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (9)
wajib disampaikan oleh juru sita kepada para pihak paling lama 14 (empat
belas) hari setelah putusan atas gugatan pembatalan diucapkan.
Apabila para pihak merasa tidak puas dengan putusan pada tingkat
pengadilan Niaga, maka pihak yang merasa belum puas atau merasa
keberatan dapat memohon Kasasi agar diberikan putusan seadil-adilnya
oleh Mahkamah Agung, sebagaimana diatur dalam Pasal 40 dan Pasal 41
UU Desain Industri tahun 2000.
Upaya hukum yang dilakukan dalam sengketa Desain Industri hanya
dapat dimohonkan kasasi, ialah karena jangka waktu upaya hukum yang
memakan waktu cukup lama sehingga hal ini dapat menyebabkan proses
upaya hukum akan menghabiskan waktu lebih lama dari waktu
perlindungan desain industri yang disengketa kan, maka sederhananya dapat
dikatakan menghabiskan waktu dengan sia-sia.
Sedangkan penyelesaian dengan Non-Litigasi dilakukan diluar
peradilan, penyelesaian ini dipilih apabila para pihak ingin mendapatkan
solusi dan penyelesaian tanpa memperbesar permasalahan atau sengketa
serta menghindari permasalahan hukum yang dapat timbul. Penyelesaian
Non-Litigasi terdiri dari tiga bentuk, yakni :
a. Negosiasi : Dalam Negosiasi para pihak yang bersengketa melakukan
kompromi atau tawar menawar demi didapatkannya kesepakatan yang adil
bagi para pihak;
b. Mediasi : Pada prinsipnya sama dengan Negosiasi, akan tetapi dalam
penyelesaian Mediasi terdapat pihak ketiga diantara kedua pihak yang
bersengketa, pihak ketiga tersebut sebagai penengah (mediator) yang
bersifat netral dan memiliki fungsi untuk memberikan saran-saran yang
objektif, akan tetapi perlu diketahui bahwa bukan pihak ketiga yang
menentukannya keputusan dari mediasi tersebut.
c. Arbitrase : Bentuk peradilan yang diselenggarakan oleh dan
berdasarkan kehendak serta itikad baik dari pihak-pihak yang berselisih agar
perselisihan mereka diselesaikan oleh hakim (arbiter) yang mereka tunjuk
dan keputusan yang diambil oleh hakim (arbiter) merupakan putusan yang
bersifat final dan mengikat kedua pihak.10 Dalam penyelesaian arbitrase,
yang dikatakan hakim dan berwenang untuk memeriksa perkara ialah
10 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, 2000, Hukum Arbitrase, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h.16
Arbiter. Dan untuk masuk dalam proses penyelesaian arbitrase pihak yang
bersengketa harus membuat klausula arbitrase.
Apapun pilihan penyelesaian yang dilakukan oleh para pihak yang
bersengketa harus tetap mengikuti aturan hukum dari masing-masing
bidang HKI dan hukum negara yang berlaku. Demi mengurangi dan
mencegah sengketa dibidang HKI.
2.1.7 Pengaturan Nasional dan Internasional tentang Desain Industri
Awal mula atau tonggak sejarah pengaturan di bidang HKI dengan
diadakannya Konfrensi Diplomatik tahun 1883 di Paris yang menghasilkan
perjanjian internasional mengenai Perlindungan Hak Milik Perindustrian
(Paris Convention for The Protection on Industrial Property-Paris
Convention). Yang disusul oleh beberapa perundingan-perundingan terkait
HKI yang menghasilkan perlindungan bagi HKI.
Dalam bidang Desain Industri sama dengan bidang Hak Kekayaan
Intelektual lainnya yang dilindungi dan diatur dalam peraturan dalam
negeri dan internasional. Adapun peraturan yang mengatur tentang Desain
industri secara Internasional , yakni :
a. The Paris Convention for the Protection of Industrial Property of
1883:Konvensi Paris merupakan konvensi yang mengatur perlindungan
terhadap hak milik perindustrian ( Paten, Merek, Desain Industri).
Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 20 Mret 1883, namun
mengalami beberapa kali revisi dan akhirnya diamandemen tanggal 2
Oktober 1979.
b. The Haque Agreement Concerning the International Deposit of
Industrial Designs of 1925 : Konvensi ini berlaku secara terbuka untuk
seluruh negara-negara anggota Konvensi Paris, dan konvensi ini telah
ada sejak 6 November 1925.
c. The Locarno Agreement Establishing an International Classification
for Industrial Designs of 1968 : merupakan konvensi bidang desain
yang berlaku sejak 27 April 1971.
d. TRIPs Agreement under the World Trade Organization Agreement11 :
merupakan perjanjian multilateral yang utama berkaitan tentang hak
kekayaan intelektual, dan mulai berlaku pada 1 Januari 1995.
Pada akhir tahun 2000, disahkan tiga Undang-Undang baru di
bidang Kekayaan Intelektual yakni ialah yaitu UU No. 30 tahun 2000
tentang Rahasia Dagang, UU No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri
(UU Desain Industri tahun 2000) dan UU No 32 Tahun 2000 tentang Desain
Tata Letak Sirkuit Terpadu. Undang-Undang No.31 Tahun 2000 inilah yang
menjadi peraturan Nasional mengenai Desain Industri di Indonesia. Selain
itu juga terdapat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 tahun
2005 tentang Pelaksanaan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 2000 tentang Desain Industri
11H. OK. Saidin, Op. Cit., h.470
2.2 Tinjauan Umum Tentang DIREKTORAT JENDERAL HAK
KEKAYAAN INTELEKTUAL (DIRJEN HKI)
Tahun 1986 dapat disebut sebagai awal era modern sistem HKI di tanah air.
Pada tanggal 23 Juli 1986 Presiden RI membentuk sebuah tim khusus di bidang
HKI melalui Keputusan No. 34/1986 (Tim ini lebih dikenal dengan sebutan Tim
Keppres 34). Setelah melakukan beberapa perubahan-perubahan dalam bidang
HKI, akhirnya pada tahun 1988 berdasarkan Keputusan Presiden No. 32 di tetapkan
pembentukan Direktorat Jendral Hak Cipta, Paten dan Merek (DJ HCPM) untuk
mengambil alih fungsi dan tugas Direktorat Paten dan Hak Cipta yang merupakan
salah satu unit eselon II di lingkungan Direktorat Jendral Hukum dan Perundang-
undangan, Departemen Kehakiman.12
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual merupakan sebuah unsur
pelaksana Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia yang mempunyai
tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kekayaan
intelektual sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.13
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (7) UU Desain Industri, DitJen
HKI merupakan Direktorat Jenderal yang dipimpin oleh Menteri. Dalam UU
Desain Industri disampaikan bahwa permohonan pendaftaran diajukan kepada
DitJen HKI, segala proses hingga dikeluarkannya Sertifikat Desain Industri
dilakukan oleh DitJen HKI. DitJen HKI memiliki kewenangan untuk proses
pendaftaran kepemilikan Hak Desain Industri serta nantinya bertanggung jawab
12www.dgip.go.id, diakses pada Februari 2016
13id.m.wikipedia.org , diakses pada Februari 2016
atas Pendesain dan/atau Pemegang Hak Desain Industri beserta Desain Industri
yang telah terdaftar serta memiliki Sertifikat Desain Industri.
Berikut bagian-bagian dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual
yang disebutkan oleh bagan dibawah ini :
Berdasarkan hasil wawancara dengan I Nyoman Darmadha, SH.,MH pada
tanggal 1 Maret 2016, pada prinsipnya menyampaikan apabila pemohon yang
mengajukan permohonan hak kekayaan intelektual berdomisili atau bertempat
tinggal jauh diluar wilayah Jakarta (kedudukan dari Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM RI) dapat mengajukan
permohonanya kepada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM yang
berkedudukan di ibukota provinsi.
Pernyataan tersebut sesuai dengan Keputusan Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual Nomor : H-01.PR.07.06 Tahun 2004 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Penerimaan Permohonan Hak Kekayaan Intelektual Melalui Kantor
Wilayah Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia,
dalam al 1 menyatakan bahwa “ Permohonan Hak Kekayaan Intelektual melalui
Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dengan Petunjuk Pelaksanaan Penerimaan Permohonan Hak Kekayaan Intelektual
sebagaimana terlampir dalam keputusan ini”. Kemudan diperjelas dalam Pasal 2
yang menyatakan bahwa ,” Petunjuk pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 adalah sebagai pedoman untuk memudahkan pelaksanaan penerimaaan
permohonan hak kekayaan intelektual pada Kantor Wilayah Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Putusan dari DitJen HKI
tersebut telah resmi dilaksanakan sejak tanggal 23 April 2004.