pdf

7
Artikel Penelitian J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 7, Juli 2011 Prevalensi dan Gejala Klinis Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Pasien Asma Puji Astuti, Faisal Yunus, Budhi Antariksa, Ratnawati Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Abstrak: Penelitian observasional pada penyakit respirasi menunjukkan penurunan qualitas tidur pasien asma yang mungkin disebabkan oleh gejala malam asma. Diperkirakan bahwa OSA berkaitan dengan hipereaktivitas bronkus sehingga berhubungan dengan asma. Pada penelitian observasional ini semua pasien asma yang datang ke poliklinik asma RS Persahabatan antara Mei 2009 sampai Febuari 2010 dan bersedia mengikuti penelitian dilakukan pemeriksaan spirometri dan uji provokasi bronkus (larutan NaCl 4,5%). Evaluasi OSA dilakukan dengan kuesioner Berlin dan polisomnografi. Pemeriksaan laringoskopi dilakukan untuk mengevaluasi kelainan anatomis sebagai faktor risiko/komorbid OSA. Diagnosis OSA didapatkan pada 20 dari 101 subjek (19,8%) dengan kuesioner Berlin dan 9,8% dengan polisomnografi. Gejala OSA yang terbanyak ditemukan adalah mendengkur diikuti kelelahan saat bangun tidur dan mengantuk di siang hari. Dibandingkan non-OSA, pasien OSA memiliki IMT yang lebih tinggi (28,54kg/m 2 vs 21,48kg/m 2 ; p<0,05), lingkar leher lebih (37,90 cm vs 33,6 cm; p=0,01 OR=2,8 IK= 1,28-6,01), penurunan VEP 1 (56,70%pred vs 59,51%pred). Pada pasien asma dengan komorbid OSA terdapat 18 subjek (90%) yang memiliki kelainan anatomis seperti deviasi septum, sinusitis, adenoid, hipertrofi konka, dan uvula panjang. Disimpulkan bahwa prevalensi OSA pada pasien asma lebih tinggi daripada populasi umum. Risiko OSA berhubungan dengan indeks massa tubuh dan lingkar leher. Gejala utama OSA adalah mendengkur. J Indon Med Assoc. 2011;61:273-9. Kata kunci: Asma, obstructive sleep apnea, kuesioner Berlin, polisomnografi. 273

description

study kasus

Transcript of pdf

  • Artikel Penelitian

    J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 7, Juli 2011

    Prevalensi dan Gejala KlinisObstructive Sleep Apnea (OSA) pada

    Pasien Asma

    Puji Astuti, Faisal Yunus, Budhi Antariksa, RatnawatiDepartemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi

    Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

    Abstrak: Penelitian observasional pada penyakit respirasi menunjukkan penurunan qualitastidur pasien asma yang mungkin disebabkan oleh gejala malam asma. Diperkirakan bahwaOSA berkaitan dengan hipereaktivitas bronkus sehingga berhubungan dengan asma. Padapenelitian observasional ini semua pasien asma yang datang ke poliklinik asma RS Persahabatanantara Mei 2009 sampai Febuari 2010 dan bersedia mengikuti penelitian dilakukan pemeriksaanspirometri dan uji provokasi bronkus (larutan NaCl 4,5%). Evaluasi OSA dilakukan dengankuesioner Berlin dan polisomnografi. Pemeriksaan laringoskopi dilakukan untuk mengevaluasikelainan anatomis sebagai faktor risiko/komorbid OSA. Diagnosis OSA didapatkan pada 20dari 101 subjek (19,8%) dengan kuesioner Berlin dan 9,8% dengan polisomnografi. GejalaOSA yang terbanyak ditemukan adalah mendengkur diikuti kelelahan saat bangun tidur danmengantuk di siang hari. Dibandingkan non-OSA, pasien OSA memiliki IMT yang lebih tinggi(28,54kg/m2 vs 21,48kg/m2; p

  • J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 7, Juli 2011274

    Prevalence and Clinical Appearance ofObstructive Sleep Apnea (OSA) Among Asthma Patients

    Puji Astuti, Faisal Yunus, Budhi Antariksa, RatnawatiDepartment of Pulmonology and Respiratory Medicine,

    Faculty of Medicine Universitas Indonesia, Jakarta

    Abstract: Studies on respiratory disorders show decreased sleep quality in asthma patients pos-sibly due to nocturnal asthma symptoms. Recent studies show that OSA is related to bronchialhyperresponsiveness and may be related to asthma. In this observational study, asthma patientswho visited Persahabatan Hospital asthma clinic from May 2009 to February 2010 was recruitedconsecutively. Spirometry and bronchial provocation test (4.5% hyper saline) was performed.OSA was evaluated using Berlin Questionnaire and polysomnography. Anatomical evaluationrelated to OSA/asthma risk factor or comorbid were performed by one ENT specialist. Diagnosisof OSA was discovered in 20 out of 101 subjects (19.8%) using Berlin questionnaire and 9.8%using polysomnography. The main OSA symptoms found were snoring, fatigue after sleeping, anddaytime sleepiness. OSA patient shave higher BMI (28.54kg/m2 vs 21.48kg/m2; p

  • Prevalensi dan Gejala Klinis Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Pasien Asma

    J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 7, Juli 2011 275

    bertujuan untuk mengetahui prevalensi OSA pada pasienasma intermiten sampai persisten berat yang datangberkunjung ke RS Persahabatan dengan menggunakankuesioner Berlin yang dilanjutkan dengan pemeriksaanpolisomnografi, mengetahui gejala OSA pada pasien asmaberdasarkan kuesioner Berlin, mendapatkan gambaran gejalaklinis OSA dengan kuesioner Berlin, mengetahui faktor risikoOSA dengan kuesioner Berlin, dan mengetahui apakah adahubungan nilai VEP1 dan derajat inflamasi dibandingkandengan derajat OSA.Metode

    Desain penelitian adalah cross sectional. Penelitiandilakukan di Rumah Sakit Persahabatan dan LaboratoriumGangguan Tidur Rumah Sakit Persahabatan bulan Mei 2009-September 2010. Kriteria penerimaan adalah laki-laki atauperempuan berusia lebih dari 17 tahun, memiliki asmaintermiten sampai persisten berat, setuju mengikuti penelitian,menjalani uji provokasi bronkus, pemeriksaan laringoskopidan pemeriksaan polisomnografi bila kuesioner Berlin positif.Kriteria penolakan adalah apabila pasien mengalami sesakakibat penyakit lain selain asma (PPOK, SOPT), memilikipenyakit paru lain atau pernah menjalani torakotomi, atausedang hamil. Rekrutmen subjek penelitian dilakukan secarakonsekutif sampai jumlah subjek terpenuhi.

    Derajat kepercayaan yang diinginkan pada penelitianini sebesar 95% (1,96) dengan presisi 10%. Berdasarkanperhitungan didapatkan jumlah n minimal sebesar 92.Perkiraan drop out adalah 10% atau 9 subjek sehingga besarsampel yang diperlukan 101 subjek.

    Data numerik setiap variabel dihitung nilai rata-rata danstandar deviasi (simpang baku).Analisis data bivariat diujidengan chi-square namun bila tidak memenuhi syaratdilakukan uji Fisher sedangkan data numerik diuji denganMann-Whitney.

    Seluruh subjek menjalani anamnesis, pemeriksaan fisik,foto rontgen toraks, dan pemeriksaan faal paru (spirometri)dengan MIR-SPIROLAB II. Pasien yang memenuhi kriteriadiberi penjelasan tujuan penelitian serta rencana penelitiansecara keseluruhan. Bila pasien bersedia menjadi subjekpenelitian, melakukan uji provokasi bronkus, dan pemeriksaanpolisomnografi, serta mempunyai risiko OSA (berdasarkankuesioner Berlin), maka diminta pernyataan secara tertulis.Selanjutnya subjek dikonsulkan ke bagian THT untuk melihatkelainan anatomi sebagai komorbid asma dan faktor risikoOSA. Pada subjek juga dilakukan uji provokasi bronkusdengan larutan garam hipertonik 4,5%, dan pemeriksaanpolisomnografi menggunakan folismnografi Weinnman diLaboratorium Tidur RS Persahabatan selama minimal 6 jam.HasilKarakteristik Umum Pasien

    Karakteristik dasar subjek penelitian dapat dilihat padatabel 1 sedangkan hasil pemeriksaan pada tabel 2. Sebanyak

    21 subjek (20,8%) memiliki rinitis alergi dan empat subjek(3,9%) memiliki GERD sebagai komorbid asma. Berdasarkananamnesis dan wawancara dengan pasien serta pasangannyadidapatkan dua pasien (1,98%) dengan keluhan gangguanseksual. Penelitian ini juga mendapatkan keluhan mendengkurpada 28 pasien (27,7%) pasien asma.

    Tabel 1. Data Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin, Derajat Asma, Indeks Massa Tubuh, Risiko OSA

    n %

    Jenis kelamin Laki-laki 25 24,8Perempuan 76 75,2

    Derajat asma Intermiten 7 7,2Persisten ringan 33 32,7Persisten sedang 38 37,6Persisten berat 23 22,8

    Risiko OSA Ada risiko 20 19,8Tidak ada risiko 81 80,2

    Indeks massa tubuh (IMT) Kurang (underweight) 10 9,9Normal (normoweight) 60 59,4Lebih (overweight) 25 24,8Obesitas (obese) 6 5,9

    Tabel 2. Data Hasil Pemeriksaan

    minimal maksimal rerata median

    Usia (tahun) 18 79 49 48Berat Badan (Kg) 31 131 59 56Lingkar leher (cm) 31 45 34 34Tekanan darah (mmHg)

    sistolik 100 160diastolik 70 90

    VEP1/prediksi 39.00% 75.00%

    VEP1 = volume ekspirasi paksa detik pertama

    Pada 101 pasien asma yang diberikan kuesioner Berlin,20 pasien (19,8%) mempunyai risiko OSA. Berdasarkanpolisomnografi pasien asma yang mempunyai OSA nilai AHI5 atau lebih berjumlah 10 pasien (9,9%). Berdasarkankuesioner Berlin maka derajat asma pada pasien yangmempunyai risiko OSA paling banyak asma persisten sedangyaitu 12 pasien (60,0%) sedangkan pada pasien yang tidakmempunyai risiko OSA paling banyak juga asma persistensedang 44 pasien (54,3%). Perbandingan nilai rerata beratbadan, indeks massa tubuh, VEP1, lingkar leher dan tekanandarah pasien yang memiliki risiko OSA dengan yang tidakmemiliki risiko OSA dapat dilihat pada tabel 3.

    Gejala OSA Berdasarkan Kuesioner BerlinPasien yang mempunyai risiko OSA, berdasarkan

    Kuesioner Berlin sebanyak 20 pasien dengan gejalamendengkur (100%), 16 pasien dengan kelelahan saat banguntidur atau kelelahan pada siang hari (80%), empat pasienmengantuk atau tertidur di kendaraan (20%) dan satu pasien

  • Prevalensi dan Gejala Klinis Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Pasien Asma

    J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 7, Juli 2011276

    terlihat berhenti bernapas saat tidur (5%). Pasien asma yangmendengur tetapi tidak mempunyai risiko OSA sebanyakdelapan dari 81 pasien. Pada penelitian ini didapatkan bahwagejala paling banyak yaitu keluhan mendengkur diikutikelelahan saat bangun tidur atau siang hari, mengantuk atautertidur di kendaraan dan seseorang melihat bahwa pasienberhenti bernapas saat tidur.

    Tabel 4. Gejala OSA Berdasarkan Kuesioner Berlin padaPasien Asma

    Gejala OSA Ya n (%) Tidak n (%)

    Mendengkur 20 (100%) 0 (0%)Mengantuk atau tertidur di kendaraan 4 (20%) 16 (80%)Kelelahan saat bangun tidur atau 16 (80%) 4 (20%)

    siang hariSeseorang melihat berhenti napas 1 (5%) 19 (95%)

    saat tidur

    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Risiko OSABerdasarkan IMT, pasien yang mempunyai faktor risiko

    OSA paling banyak adalah kelompok berat badan lebih (over-weight) sebanyak senbilan pasien (45,0%). Pasien yangtidak mempunyai faktor risiko OSA paling banyak padakelompok berat badan normal (normoweight) yaitu 54 pasien(66,7%). Faktor risiko lain yang mempengaruhi OSA yaituVEP1. Pasien yang mempunyai risiko OSA memiliki rerata57,2% prediksi sedangkan pada penelitian yang tidakmempunyai OSA nilainya lebih tinggi yaitu 59,5% rerta.Lingkar leher pada pasien yang mempunyai risiko OSA adalah37,9 cm sedangkan pada pasien yang tidak mempunyai OSA33,6 cm. Penderita hipertensi berjumlah tiga (15,8%) padapasien yang mempunyai risiko OSA sedangkan yang tidakmempunyai risiko OSA 14 (17,3%) pasien.

    Pada faktor risiko yang bermakna secara statistik, di-lakukan uji lebih lanjut untuk melihat kemaknaan. Diantaraberat badan, IMT, lingkar leher dan rinitis sebagai faktorkomorbid maka lingkar leher (OR 2,8 CI 1,28-6,01) dan rinitis(OR 74,73 CI 8,72-642,5) yang secara signifikan dan konstansebagai faktor risiko OSA.

    Tabel 3. Perbandingan Nilai Rerata Berat Badan, Indeks MassaTubuh, VEP1, Lingkar Leher dan Tekanan Darah Pasiendengan dan Tanpa OSA

    Nilai rerata Ada OSA Tidak ada OSA

    Berat badan 67 kg 53 kgIndeks massa tubuh (IMT) 29,89 22,38VEP1/prediksi 57% 59%Lingkar leher 37,9 33,6Tekanan darah sistolik 124,25 118,52

    diastolik 77,25 75,80

    VEP1 = volume ekspirasi paksa detik pertama

    Tabel 5. Faktor-faktor Risiko OSA Dinilai Secara Statistik

    Faktor-faktor Ada risiko OSA Tidak ada pRisiko OSA risiko OSA

    Berat badan 67 (43-131) 53 (31-85)

  • J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 7, Juli 2011

    Prevalensi dan Gejala Klinis Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Pasien Asma

    277

    sitivitas 0,86; spesifisitas 0,77; positive predictive value 0,89dan likelihood ratio 3,79.6 Kuesioner ini terdiri dari 3 bagian.Bagian pertama terdapat pertanyaan apakah mereka men-dengkur, seberapa keras, seberapa sering dan apakah sampaimengganggu orang lain. Pada bagian kedua ditanyakantentang kelelahan setelah tidur, seberapa sering merasa lelahdan pernahkah tertidur di kendaraan. Bagian ketiga di-tanyakan tentang riwayat hipertensi, berat badan, tinggibadan, umur dan jenis kelamin yang dikalkulasikan menjadiIMT. Dikatakan positif yaitu mempunyai risiko OSA bilamempunyai nilai 2 atau lebih.

    Prevalensi OSAPada penelitian ini didapatkan prevalensi OSA ber-

    dasarkan Kuesioner Berlin sebesar 19,8% sedangkanberdasarkan polisomnografi yang merupakan standar emaspemeriksaan OSA (nilai AHI >5) adalah 9,9%. Berdasarkankuesioner Berlin ditemukan prevalensi pasien asmaperempuan yang mempunyai OSA 8,9% sedangkan ber-dasarkan polisomnonografi 4,0%. Prevalensi pasien asmalaki-laki yang mempunyai OSA berdasarkan kuesioner Berlin10,9% dan 5,9% berdasarkan polisomnografi. Prevalensi inilebih tinggi dari populasi umum yang mempunyai prevalensiperempuan 2% dan laki-laki 4%.5 Pada penelitian ini jumlahsubjek perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki tetapiternyata laki-laki mempunyai prevalensi lebih tinggi di-band-ing perempuan. Penelitian yang dilakukan Aucley et al.6 diklinik asma MetroHealth Medical Center di Clevelandmenemukan prevalensi asma berdasarkan kuesioner Berlinyaitu 39,5%, lebih tinggi dibanding populasi umum.6 Penelitianyang dilakukan oleh Lucy et al dikutip dari Teodoreslu M etal.21 pada 516 anak laki-laki dan 458 anak perempuan yangterdiri dari pasien asma maupun bukan asma. Pada penelitianini menndapatkan prevalensi mendengkur yang merupakangejala OSA sebanyak 10,5% dan didapatkan hubungan yangsignifikan antara mendengkur, batuk pada malam hari yangmeningkat pada pasien asma dibanding bukan asma.Penelitian Mary et al.22,23 yang melibatkan Tucson Epide-miologic Study of Obstructive Airway Disease mendapatkan41,4% gangguan tidur (mengantuk pada siang hari) dan gejalaini berhubungan serta merupakan bagian dari bronkitis kronikdan asma. Prevalensi ini bervariasi pada tiap penelitian dannegara karena tidak tersedia dan mahalnya biaya poli-somnografi. Berbagai parameter seperti Kuesioner Berlin,Epsworth Sleepiness Scale (ESS) dipakai sebagai parameterdiagnosis.24-28

    Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukanoleh Young et al.29 yang melibatkan Wisconsin Cohort Studydimana prevalensi OSA (index AHI >5) pada laki-laki 24%sedangkan pada perempuan lebih rendah yaitu 9%. Penelitianini juga sesuai dengan kepustakaan bahwa laki-laki mem-punyai kecenderungan mendengkur (yang merupakan gejalaOSA) lebih tinggi dibanding perempuan karena faktor hor-monal.30-32 Penelitian lain di Pennsylvania yang melibatkan

    1745 subjek dengan melakukan pemeriksaan polisomnografididapatkan prevalensi OSA pada laki-laki lebih tinggi yaitu17% sedangkan pada perempuan hanya 7%.6 Penelitiankohort dengan pemeriksaan polisomnografi oleh Duran etal. dalam Pack AI.24 di Spanyol pada 400 orang dengan AHI

  • Prevalensi dan Gejala Klinis Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Pasien Asma

    J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 7, Juli 2011278

    mempunyai risiko OSA tidak diperiksa laringoskop dan diag-nosis rinitis hanya berdasarkan rekam medis sehinggapenelitian ini mempunyai OR yang tinggi untuk rinitis.Berdasarkan kepustakaan, berat badan yang berlebih akanberakibat pada proses bernapas melalui perubahan secarageometri pada struktur saluran napas atas, penurunan fungsi(meningkatkan risiko kolaps), gangguan hubungan respira-tory drive dan load compensation dan obesitas akan relatifmenurunkan residual kapasitas dan meningkatkan kebutuhanoksigen tubuh.35-37 Penelitian oleh Smith et al. yang dikutipdari Flamol KM et al.37 pada pasien obesitas selama 5 bulan,didapatkan penurunan berat badan 9% akan menurunkanperiode apnea sebesar 47% (dari 55 menjadi 29 kejadian/jam).Penelitian secara cross sectional dari Wisconsin Sleep Co-hort Study pada 690 pasien laki-laki dan perempuan selama 4tahun yang dianalisis secara regresi logistik mendapatkanbahwa pada pasien yang awalnya mempunyai AHI 15 berkorelasipositif dengan hipertensi (OR 2,9 CI 95% 1,46-5,64). Padapenelitian ini hanya terdapat 2 pasien yang mempunyai nilaiAHI di atas 15 sehingga tidak terdapat hubungan antaraOSA dengan hipertensi.33-35

    Pada penelitian ini juga dilakukan pemeriksaan lari-ngoskop untuk melihat kelainan anatomi pada pasien yangmempunyai risiko OSA. Kelainan anatomi paling banyak yaitudeviasi septum diikuti sinusitis, adenoid, hipertrofi konkadan uvula yang panjang. Hal tersebut sesuai kepustakaanbahwa kelainan anatomi saluran napas atas seperti nasalcongestion, polip hidung, deviasi septum, adenoid, hipertrofikonka dan hipertofi tonsil.38-40

    KesimpulanPasien asma mempunyai prevalensi OSA lebih tinggi

    dibanding populasi umum, baik dengan kuesioner Berlinmaupun polisomnografi. Pasien asma laki-laki mempunyaiprevalensi OSA lebih tinggi dibanding perempuan. Faktorrisiko yang mempengaruhi OSA adalah berat badan, IMT,

    dan lingkar leher sedangkan rinitis me-rupakan komorbid.Nilai VEP1 bukan faktor risiko OSA pada asma. Gejala OSAyang didapat berdasarkan kuesioner Berlin paling tinggi yaitukeluhan mendengkur, diikuti kelelahan pada saat bangun tiduratau siang hari, mengantuk atau tertidur di kendaraan danseseorang melihat tidak bernapas saat tidur. Kelainan THTpada pasien yang mempunyai risiko OSA adalah rinitis, si-nusitis, deviasi septum, adenoid, hipertrofi konka dan uvulayang panjang.

    Daftar Pustaka1. DeMeo DL, Weiss ST. Epidemiology. In: Baenes PJ, Drazen JM,

    Rennard S, Thomson NC, editors. Asthma and COPD basic mecha-nisms and clinical management. 1st ed. Amsterdam: AcademicPress; 2002. p. 7-18.

    2. Mangunnegoro H, Widjaja A, Dianiati KS, Yunus F, Pradjna-paramita, Suryanto E. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaanasma di Indonesia. In: Mangunnegoro H, Widjaja A, Dianiati KS,Yunus F, Pradjnaparamita, Suryanto E, editors. Jakarta: BalaiPenerbit FKUI; 2004. p. 1-10.

    3. National Institute of Health. National Heart, Lung, and BloodInstitute. Definition. In: Global Initiative for Asthma. Bethesda:National Institutes of Health. National Heart, Lung, and BloodInstitute; 2002. p. 1-9.

    4. Janson C, De Backer W, Gislason T, Plaschke P, Bjornsson E,Hetta J, et al. Increased prevalence of sleep disturbances anddaytime sleepiness in subjects with bronchial asthma. Eur RespirJ. 1996;9:2132-8.

    5. Hiestand DM, Britz P, Goldman M, Phillips B. Prevalence ofsleep apnea in the US population. Chest. 2006;130:780-6.

    6. Auckley D, Moallem M, Shaman Z, Mustafa M. Finding of aBerlin questionnaire survey: comparison between patients seenin asthma clinic versus internal medicine clinic. Sleep Med.2007;30:1-6.

    7. Ekici A, Ekici M, Kurtipek E, Keles H, Kara T, Tunckol E, et al.Association of asthma-related symptoms with snoring and apneaand effect on health-related quality of life. Chest. 2005;128:3358-63.

    8. Bender BG, Leung DYM. Sleep disorder in patients with asthma,atopic dermatitis, and allergic rhinitis. J Allergy Clin Immunol.2005;116:1200-1.

    9. Lu LR, Peat JK, Sullivan CE. Snoring in preschool children,prevalence and association with nocturnal cough and asthma.Chest. 2003;124:587-93.

    10. Sutherland ER. Nocturnal asthma. J Allergy Clin Immunol.2005;116:1179-85.

    11. Klink M, Quan SF. Prevalence of reported sleep disturbances in ageneral adult population and their relationship to obstructiveairways diseases. Chest. 1987;91:540-6.

    12. White DP. Pathogenesis of obstructive and central sleep apnea.Am J Respir Crit Care Med. 2005;172:1363-70.

    13. Lafond C, Series F, Lemiere C. Impact of CPAP on asthmaticpatients with obstructive sleep apnea. Eur Respir J. 2007;29:307-11.

    14. Omidvari K. Sleep disorder. In: Juzar A, Warren S, Michael L,editors. Pulmonary pathophysiology. New York: McGraw-Hill;2000. p. 283-90.

    15. Schwab RJ, Pasirstein M, Pierson R, Mackley A, HachadoorianR, Arens R, et al. Identification of upper airway anatomic riskfactors for obstructive sleep apnea with volumetric magneticresonance imaging. Am J Respir Cri Care Med. 2003;168:522-30.

    16. Young T, Finn L, Austin D, Peterson A. Menopausal status andsleep disordered breathing in Wisconsin sleep cohort study. Am J

  • J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 7, Juli 2011 279

    Respir Cri Care Med. 2003;167:1181-5.17. Tobin MJ. Sleep disordered breathing, control of breathing, res-

    piratory muscles, pulmonary function testing in AJRCCM 2003.Am J Respir Crit Care Med. 2004;169:254-7.

    18. Benbadis SR, Mascha E, Perry MC, Wolgamuth BR, Smolley LA,Dinner DS. Association between the Epworth sleepiness scaleand the multiple sleep latency test in clinical population. AnnIntern Med. 1999;130:289-92.

    19. Meer GD, Mark GD, Jongste JC, Brunekreef B. Airway respon-siveness to hypertonic saline: dose - response slope or PD15?Eur Respir J. 2005;25(1):153-8.

    20. Qureshi A, Ballard RD. Obstructive sleep apnea. J Allergy ClinImmunol. 2003;10:643-51.

    21. Teodorescu M, Consens F, Bria WF, Coffey MJ, McMorris MS,Weatherwax KJ, et al. Correlates of daytime sleepiness in pa-tients with asthma. Sleep Medicine. 2006;7:607-13.

    22. Hoffstein V. Snoring and nocturnal oxygenation: is there a rela-tionship? Chest. 2000;108:370-4.

    23. Kasasbeh A, Kasasbeh E, Krishnaswamy G. Potential mecha-nisms connecting asthma, esophageal reflux, and obesity/sleepapnea complex: a hypothetical review. Sleep Med. 2007;11:47-58.

    24. Pack AI. Advances in sleep-disordered breathing. Am J RespirCrit Care Med. 2006;173:7-15.

    25. Lettieri CJ. An update on nocturnal asthma and the associationwith sleep disordered breathing. Chest. 2001;99:40-8.

    26. Fletcer EC, Stich J, Yang KL. Unattended home diagnosis andtreatment of obstructive sleep apnea without polysomnography.Arch Fam Med. 2000;9:168-74.

    27. Ciftci TU, Ciftci B, Guven SF, Kokturk O, Turktas H. Effect ofnasal continous positive airway pressure in uncontrolled noctur-nal asthmatic patients with obstructive sleep apnea syndrome.Respir Med. 2005;99:529-34.

    28. Magliocca KR, Helman JI. Obstructive sleep apnea. JADA.2005;136:1121-9.

    29. Young T, Peppard PE, Gottlieb D. Epidemiology of obstructivesleep apnea: a population health perspective. Am J Respir CritCare Med. 2002;165:1217-39.

    30. Strohl K, Redline S. Recognition of obstructive sleep apnea. AmJ Respir Crit Care Med. 1996;154:274-89.

    31. Lindberg E, Gislason T. Epidemiology of sleep-related obstruc-tive breathing. Sleep Med Rev. 2000; 4:411-33.

    32. Wright J, Sheldon T. Sleep apnoea and its impact on publichealth. Thorax. 2000;53:410-3.

    33. Leung RST, Bradley TD. Sleep apnea and cardiovascular disease.Sleep apnea and cardiovascular disease. Am J Respir Crit CareMed. 2001;164:2147-65.

    34. McArdle N, Hillman D, Beilin L, Watts G. Metabolic risk factorsfor vascular disease in obstructive sleep apnea. Am J Respir CritCare Med. 2007;175:190-5.

    35. Urschiltz M, Guenther A, Eitner S, Puprat PMU, Schlaud M,Ipsiroglu OS, et al. Risk factors and natural history of habitualsnoring. Chest. 2004;126:790-800.

    36. Namen AM, Dunagen DP, Fleischer A. Increased physician-re-ported sleep apnea. Chest. 2002;121:1741-7.

    37. Flegal KM, Carroll MD, Ogden CL. Prevalence and trends inobesity among US adults. JAMA. 2002;288:1723-7.

    38. Yigla M, Tov N, Solomonov A. Difficult-to-control asthma andobstructive sleep apnea. J Asthma. 2003;40:865-71.

    39. Hatipoglu U. Inflamation and obstructive sleep apnea syndrome.Chest. 2004;126:1-2.

    40. Bonekat HW, Hardin KA. Severe upper airway obstruction dur-ing sleep. Clin Rev Allergy Immunol. 2003;25:191-210.

    IAKM

    Prevalensi dan Gejala Klinis Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada Pasien Asma