PDF Bab II Hendy

62
BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Anatomi Fisiologi Otak 2.1.1 Struktur Tulang Otak Otak merupakan organ yang terletak tertutup oleh cranium, tulang-tulang penyusun cranium disebut tengkorak yang berfungsi melindungi organ-organ vital otak. Ada Sembilan tulang yang membentuk cranium yaitu: tulang frontal, oksifitalis, sphenoid, etmoid, temporal 2 buah, parietal 2 buah.Tulang-tulang tengkorak di hubungkan oleh sutura (Tarwoto, et al., 2009: 111). Otak dilindungi dari cedera kepala oleh rambut, kulit dan tulang kemudian meninges juga cairan serebrospinalis fungsi dari CSF untuk mempertahankan fungsi normal saraf seperti untuk nutrisi dan pengaturan lingkungan kimia susunan saraf pusat. Tanpa pelindungan ini otak akan sangat mudah mengalami iritasi, goncangan dan cedera pada kepala. Sekali neuron rusak, maka tidak dapat di perbaiki lagi,fungsi neuron sebagai penerus stimulus atau respon. (Syaifuddin, 2009)

Transcript of PDF Bab II Hendy

BAB 2TINJAUAN TEORITIS2.1 Anatomi Fisiologi Otak

2.1.1 Struktur Tulang Otak

Otak merupakan organ yang terletak tertutup oleh cranium, tulang-tulang penyusun cranium disebut tengkorak yang berfungsi melindungi organ-organ vital otak. Ada Sembilan tulang yang membentuk cranium yaitu: tulang frontal, oksifitalis, sphenoid, etmoid, temporal 2 buah, parietal 2 buah.Tulang-tulang tengkorak di hubungkan oleh sutura (Tarwoto, et al., 2009: 111). Otak dilindungi dari cedera kepala oleh rambut, kulit dan tulang kemudian meninges juga cairan serebrospinalis fungsi dari CSF untuk mempertahankan fungsi normal saraf seperti untuk nutrisi dan pengaturan lingkungan kimia susunan saraf pusat. Tanpa pelindungan ini otak akan sangat mudah mengalami iritasi, goncangan dan cedera pada kepala. Sekali neuron rusak, maka tidak dapat di perbaiki lagi,fungsi neuron sebagai penerus stimulus atau respon. (Syaifuddin, 2009)

Gambar 2.1 :Tulang-tulang tengkorak(Sumber:http://workhate.co.uk, diakses

pada 12 Mey 2015)

6

7

2.1.1.1 Tengkorak tersusun atas tulang kranial dan tulang wajah. Tulang kranial tersebut meliputi:

a. Tulang frontal

Tulang frontal merupakan tulang kranial yang berada di sisi anterior, berbatasan dengan tulang parietal melalui sutura koronalis. Pada tulang frontal ini terdapat suatu sinus (rongga) yang disebut sinus frontalis yang terhubung dengan rongga hidung.

b. Tulang temporal

Terdapat dua tulang temporal di setiap sisi lateral tengkorak. Antara tulang temporal dan tulang parietal dibatasi oleh sutura skuamosa. Persambungan antara tulang temporal dan tulang zigomatikum disebut sebagai prosesus zigomatikum. Selain itu terdapat prosesus mastoid (suatu penonjolan di belakang saluran telinga) dan meatus akustikus eksternus (liang telinga).

c. Tulang parietal

Terdapat dua tulang parietal, yang dipisahkan satu sama lain melalui sutura sagitalis. Sedangkan sutura skuamosa memisahkan tulang parietal dan tulang temporal.

d. Tulang oksipital

Tulang oksipital merupakan tulang yang terletak di sisi belakang tengkorak. Antara tulang oksipital dan tulang parietal dipisahkan oleh sutura lambdoid.

e. Tulang sphenoid

Tulang sphenoid merupakan tulang yang membentang dari sisi fronto-parieto-temporal yang satu ke sisi yang lain.

f. Tulang ethmoid

Tulang ethmoid merupakan tulang yang berada di belakang tulang nasal dan lakrimal. Beberapa bagian dari tulang

8

ethmoid adalah crista galli (proyeksi superior untuk perlekatan meninges

2.1.1.2 Sedangkan tulang wajah meliputi: a. Tulang mandibula

Mandibula merupakan tulang rahang bawah, yang berartikulasi dengan tulang temporal melalui prosesus kondilar.

b. Tulang maksila

Tulang maksila merupakan tulang rahang atas. Maksila meliputi antara lain prosesus palatin yang membentuk bagian anterior palatum dan prosesus alveolar yang memegang gigi bagian atas.

c.Tulang nasal

Tulang nasal merupakan tulang yang membentuk jembatan pada hidung dan berbatasan dengan tulang maksila.

d. Tulang lakrimal

Tulang lakrimal merupakan tulang yang berbatasan dengan tulang ethmoid dan tulang maksila, berhubungan duktus nasolakrimal sebagai saluran air mata.

e. Tulang zigomatikum

Tulang zigomatikum merupakan tulang pipi, yang berartikulasi dengan tulang frontal,temporal dan maksila. (Syaifuddin, 2009)9

2.1.2 Meningen

Meningen adalah merupakan jaringan membrane penghubung yang melapisi otak dan medulla spinalis ada 3 lapisan meningen yaitu: Durameter, arachnoid, dan pia meter. Durameter adalah laisan yang liat, kasar dan mempunyai dua lapisan membrane. Arachnoid adalah membrane bagian tengah, tipis dan berbentuk seperti laba-laba. Sedangkan piameter adalah lapisan paling dalam, tipis, merupakan membrane vaskuler yang membungkus seluruh permukaan otak. Antara lapisan satu dengan lapisan lainya terdapat ruang meningeal yaitu ruang epidural merupaka ruang antara tengkorak dan lapisan luar durameter, ruang subdural yaitu ruang antara lapisan durameter dengan membrane arachnoid, ruang subarachnoid yaitu ruang antra arachnoid dengan piameter pada ruang subarachnoid ini terdapat cairan serebrospinalis (CSF). (Tarwoto et al., 2013)

Gambar 2.2 Meningen pada otak

(Sumber:http://www cedera+kepala&gbv=2&oq=img.htm diakses pada 18 Maret 2012)

10

2.1.3 Organ Otak

Secara umum, otak terbagi menjadi cerebrum (Frontal lobe, parietal lobe, occipital lobe, temporal lobe), serebllum dan batang otak (medulla oblongata mesencephalon dan pons). Frotal lobe berfungsi sebagai aktifitas motorik, fungsi intelektual, emosi dan fungsi fisik. lobus parietal terdapat sensori primer dari korteks, berfungsi sebagai proses infut sensori, sensasi posisi, sensasi raba, tekan dan perubahan suhu ringan. Lobus temporal mengandung area auditorius, tempat tujuan sensari yang dating dari telinga dan berfungsi sebagai infut perasa, pendengaran,pengecap, penciuman serta proses memori. Cerebellum berfungsi untuk koordinasi aktivitas muscular,kontrol tonos otot , mempertahankan postur dan keseimbangan. Batang otak berfungsi sebagai pengaturan reflex untuk fungsi vital tubuh.

Gambar 2.3 bagian pada otak(sumber:http://www.hil4ry.wordpress.com

diakses pada 2 Mei 2015)

11

2.1.3.1 Talamus

Talamus memproses rangsang dan meneruskan rangsang menuju kotek serebral. juga bertanggung jawab akan kesadaran nyeri.

2.1.3.2 Epitalamus

Epitalamus berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan juga mengatur reflek-reflek primitif yang menginformasikan untuk mendapat makanan.

2.1.3.3 Hipotalamus

Berfungsi mengontrol tempratur, metabolisme air, mengontrol lapar, mengatur aktivitas visceral dan ekpresi fisik dan emosi. Hipotalamus juga mengatur sekresi kelenjar pituitary dan bertanggung jawab terhadap bagian dari siklus kewaspadaan tidur.

2.1.3.4 Serebellum

Fungsinya mengkoordinasikan keseimbangan pergerakan aktivitas kelompok otot, juga mengontrol pergerakan halus.

2.1.3.5 Pons

Terletak antara otak tengah dengan medulla oblongata dimana mengandung inti saraf cranial V (saraf tregiminal saraf ini menerima sensasi nyeri, tempratur dan sentuhan dari muka nasal dan rongga mulut. Saraf ini juga mengotrol otot mengunyah dan reflek kornea) dan VII (saraf fasial mempengaarusi otot ekpresi muka. juga tanggap terhadap ekpresi rasa (pengecap) pada 2/3 lidah bagian anterior).

2.1.3.6Medulla oblongata

Medulla oblongata lanjutan dari medulla spinalis berhubungan dengan pons dan serebellum dimana terdapa inti saraf cranial VIII ( saraf akustik mempunyai dua cabang yaitu cabang koklear responsive untuk pendengaran dan cabang vestibuler untuk keseimbangan) dan XII (saraf hipoglosal mengatur

12

pergerakan lidah yang di perlukan untuk berbicara dan menelan.

2.2 Tinjauan teoritis2.2.1 Pengertian cidera KepalaMenurut Tarwoto et al., (2013: 180),cedera kepala adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang di sertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otakSedangkan menurut Wahyu Widagdo et al., (2008: 103), cedera kepala adalah trauma yang mengenai otak disebabkan oleh kekuatan eksternal yang menimbulkan tingkat perubahan kesadaran dan perubahan kemampuan kognitif, fungsi fisik, fungsi tingkah laku dan emosional.

Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstill dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak(Arif Muttaqin., 2008 : 270-271).

Head injury is a broad classification that includes injury to the scalp, scull or brain. Traumatic brain injury is the most serious from head injury.

Cedera kepala adalah sebagian besar kepala, tengkorak atau otak. Luka berat pada otak adalah bentuk yang

paling serius dari cedera kepala.(Vikram Patel, 2010 : 182).13

A head injury is any trauma that leads to injury of the scalp, skull, or brain. The injuries can range from a minor bump on the skull to serious brain injury.)

Cedera kepala adalah setiap trauma yang mengarah ke cedera dari, tengkorak otak kulit kepala, atau. Cedera dapat berkisar dari benjolan kecil pada tengkorak dengan cedera otak serius. (Dewit Kumagai, 2009 : 500-501).

Berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa cedera kepala adalah trauma yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak, dan otak sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Dapat berupa trauma primer dan trauma skunder yang menimbulkan perubahan fungsi normal otak (penurunan kesadaran), kecacatan permanen dan bahaya kematian pada manusia.

2.2.2 Etiologi

Menurut Tarwoto et al., (2013: 180),Kecelakaan jatuh,kecelakaan kendaraan bermotor, atau sepeda, dan mobil. Kecelakaan pada saat olah raga, cedera akibat kekerasan atau pukulan benda. Mekanisma cedera kepala disebabkan karena adanya daya atau kekuatan yang mendadak dikepala.ada tiga mekanisme yang berpengaruh dalam trauma kepala yaitu akselerasi, deselerasi, dan deformitas. Akselerasi yaitu jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada orang yang diam kemudian dipukul atau dilempar batu. 14

Deselerasi yaitu jika kepala bergerak membentur benda yang diam,misalnya pada saat kepala terbentur.

Deformitas yaitu perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat trauma, misalnya adanya fraktur kepala, ketegangan atau pemotongan pada jaringan otak.

2.2.2.1 Klasifikasi Cedera Kepala

Menurut Tarwoto et al., (2013: 183) Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan menggunakan Glasgow Coma Scale, yaitu suatu skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi. Ada tiga aspek yang dinilai, yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal respons), dan reaksi gerakan lengan serta tungkai (motor respons).

a. Cedera kepala ringan

bila GCS 13 15 dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia kurang dari 30 menit.Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.

b. Cedera kepala sedang

bila GCS 9 12 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.Dapat mengalami fraktur tengkorak

c. Cedera kepala berat

bila GCS 3 8 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

15

2.2.2.2 Klasifikasi berdasarkan kerusakan jaringan otak menurut Tarwoto et al., (2013: 183):

a. Komosio serebri (gegar otak) adalah Gangguan fungsi neurologic ringan tanpa adanya kerusakan struktur otak, tetrjadi hilangnya kesadaran kurang dari 10 menit atau tanpa disertai amnesia, mual, muntah, nyeri kepala.

b. Kontusio serebri (memar) adalah Gangguan fungsi neurologic disertai kerusakan jaringan otak tetapi kontuinitas otak masi utuh, hilangnya kesadaran lebih dari 10 menit.

c. laserasio serebri adalah Gangguan fungsi neurologic disertai kerusakan otak yang berat dengan fraktur tengkorak terbuka masa otak terkelupas keluar dari rongga intracranial.

2.2.2.3 Tipe cidera kepala menurut Wahyu Widagdo et al., (2008: 104). a.Fraktur Tengkorak (trauma kepala terbuka)

Fraktur kepala dapat melukai jaringan pembuluh darah dan saraf-saraf dari otak, dan apa juga merobek durameter yang mengakibatkan perembesan cairan sebrospinal, dimana dapat membuka suatu jalan untuk terjadinya infeksi intracranial. Adapun macam-macam dari fraktur tengkorak adalah:

1) Linear fraktur adalah retak biasa pada hubungan tulang dan tidak berubah hubungan dari kedua fragmen. 2) Comminuted fraktur adalah patah tulang dengan multiple fragmen dengan fraktue yang multi linear 3) Defresed fraktur adalah frakmen tulang melekuk kedalam.

4) Coumpoun fraktur adalah fraktur tengkorak yang meliputi laserasi dari kulit kepala, membrane mokusa, sinus pranasal, mata, telinga, membrane timpani. 5) Fraktur dasar tengkorak adalah fraktur yang terjadi pada dasar tengkorak, khususnya pada fossa anterior dan tengah

16

b.Cedera Serebral (trauma kepala tertutup)

1) Komosio serebri Adalah suatu kerusakan sementara fungsi neourologi yang disebabkan oleh benturan pada kepala. Biasanya tidak merusak struktur tetapi menyebabkan hilangnya ingatan sebelum dan sesudah cidera, lesu, mual, dan muntah. Biasanya dapat kembali pada fungsi yang normal. Setelah komosio akan timbul sindroma berupa sakit kepala, pusing, ketidak mampuan untuk konsentrasi beberapa minggu setelah kejadian

2) Kontosio serebri adalah Benturan dapat menyebabkan perubahan dari struktur dari permukaan otak yang mengakibatkan perdarahan dan kematian jaringan dengan atau tanpa edema. Gejala tergantung pada luasnya kerusakan.

3) Hematoma efidural Adalah perdarahan menuju keruang antar tengkorak dan durameter. Gambaran klinik klasik yang terlihat berupa: hilangnya kesadaran tingkat kesadaran dengan cepat menurun sampai dengan koma jika tidak ditangani akan menyebabkan kematiaan.

4) Hematoma sudural Adalah perdarahan arteri atau vena durameter dan araknuid.Hematuma subdural dapat akut dapat timbul dalam waktu 48 jam,dengan gejala sakit kepala mengantuk, bingung dan dilatasi dan fiksasi pupil ipsilateral.

5) Hematoma intracerebral Adalah perdarahan menuju kejaringan serebral biasanya terjadi akibat cidera langsung dan sering di dapat pada lobus frontal dan temporal. Gejala-gejala meliputi:sakit kepala, menurunya kesadaran, pupil ipsilateral.

6) Hematoma subarachnoid adalah Hematoma yang terjadi akibat trauma, meskipun pembentukan hematoma jarang.

17

Tanda gejala meliputi: kaku kuduk, sakit kepala, menurunya tingkat kesadaran, hemiparesis, dan ipsilateral dilatasi pupil.

Gambar 2.4 cedera kepala

(http://www cedera+kepala&gbv=2&oq=img.htm diakses pada 12 Mey 2015)

18

2.2.3 Patofisiologi

Menurut Wahyu Widagdo et al., (2008: 103), Trauma kranioserebral menyebabkan cidera pada kulit kepala, tengkorak dan jarngan otak. Ini bisa sendiri atau secara bersama-sama. Beberapa keadaan yang mempengaruhi luasnya cidera pada kepala yaitu: (a) lokasi dari tempat benturan langsung, (b) kecepatan dan energi yang dipindahkan, (c) daerah permukaan energi yang dipindahkan, (d) keadaan kepala pada saat benturan. Bentuk cidera sangat bervariasi dari luka pada kulit kepala yang kecil hingga kontusio dan fraktur terbuka dengan kerusakan berat pada otak.

Menurut Tarwoto et al., (2013: 182), Adanya cedera kepala dapat mengakibatkan ganguan atau kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, edema dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosine tripospat dalam mitokondria, serta perubahan permiabilitas vaskuler. Patofisiologi cedera kepala dapat digolongkan menjadi 2 proses yaitu cedera kepala otak primer dan cedera kepala otak sekunder. cedera kepala otak primer merupakan suatu proses biomekanik yang dapat terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan memberi dampak cedera jaringan otak. Pada cedera kepala sekunder terjadi akibat cedar primer misalnya adanya hipoksia iskemia, perdarahan. Kematian pada cedera kepala banyak disebabkan karena hipotensi karena gangguan autoregulasi. Ketika terjadi ganguaan autoregulasi akan menimbulkan hipoperfusi jaringan serebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak, karena otak sangat sensitive terhadap oksigen dan glukosa. Otak dapat berfungsi dengan baik apa bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang di hasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah dan oksigen ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi otak.

Mekanisme cedera kepala (Nurul liga, 2011 : 15).

19

Cedera Kepala

Cedera Otak (Primer)

4.gangguan pefusiKontusioLaserasio

sembuh

1.Tekanan intrakranialResponBiologiCederaOtak (sekunder)Kerusakan sel otakStress lokalisSekresi asam lambung

edema HematomaHipoksemia3.gangguan pola nafasGg.MetabolicO22.Gangguan perpusiJaringan serebralIreversibel (cacat)Mual muntahMati5.Intake nutrisi tidak adekuat/volume cairan kurang dari kebutuhan20

Kerusakan sekunder ini akan diperparah jika terdapat cedera lain seperti obstruksi jalan nafas, cedera thoraks dan juga terjadinya spasme arteri. Menjaga neuron yang belum rusak berat dapat pulih kembali, mencegah komplikasi serta kematian merupakan fokus utama perawatan

2.2.4 Tanda dan Gejala

2.2.4.1 Gejala trauma kepala menurut Wahyu Widagdo et al., (2008: 107)

a. Komosio serebri : muntah tanpa nausea, nyeri pada lokasi cidera, mudah marah hilang energy, pusing dan mata berkunang-kunang, ingatan sementara hilang.

b. Kontosio serebri :perubahan tinkat kesadaran, lemah dan paralisis tungkai, kesulitan berbicara, leher kaku, sakit kepala, demam diatas 37, perubahan pupil (tidak berespon terhadap cahaya, kontriksi, hemiparesis.

c. Hematoma epidural : luka benturan, hilangnya kesadaran dalam waktu singkat sampai beberapa jam, lemah, gangguan kesadaran leher kaku menunjukan adanya hematom epidural, perasaan mengantuk, pernafasan menurun dengan pola yang tidak teraturtekanan darah meningkat, denyut nadi menurun dengan aritmia.

d. Hematoma subdural : berubah-ubah hilang kesadaran, sakit kepala, otot wajah melemah, melemahnya tungkai pada salah satu sisi tubuh, ganguan mental.

2.2.4.2 Manifestasi klinis dari trauma otak (Nurul liga, 2011 : 17).

a. Jika pasien sadar akan mengeluh sakit kepala berat

b. Muntah bersifat proyektif

c. Kesadaran makin menurun

d. Perubahan tipe pernafasan

e. Anisokor

21

f. Tekanan darah menurun, bradikardia

g. Suhu tubuh yang sulit di kendalikan

2.2.5 Prognosis

Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada klien penderita cedera kepala berat. Skor GCS waktu masuk RS memiliki nilai prognostik yang besar. Skor klien dengan GCS 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85%, sedangkan pada klien dengan GCS 12 kemungkinan meninggal hanya 5-10%. Sindrom pasca konskusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang berkembang banyak pada klien setelah terjadi cedera kepala (Arief Mansjoer. et al., 2000 : 8). 2.2.6 Komplikasi

2.2.6.1 Menurut Tarwoto et al., (2013: 186), komplikasi yang dapat terjadi pada pasien klien cedera kepala adalah:

a. Deficit neorologi fokal

b. Kejang

c. Pneumonia

d. Kerusakan kontrol repirasi

e. Inkontensia bladder dan bowel

f. Kebocoran cairan serebrospinal

2.2.6.1 Perdarahan intra cranial

a. Epidural

b. Subdural

22

c. Sub arachnoid

d. Intraventrikuler

e. Malformasi faskuler

f. Fistula cairan cerebrospinal

g. Parese saraf cranial

h. Meningitis atau abses otak

i. Sinrom pasca trauma Tindakan :

1) Infeksi

2) Perdarahan ulang

3) Edema cerebri

4) Pembengkakan otak

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang

2.2.7.1 Pemeriksaan diagnostik menurut Arif muttaqin., (2008 : 133) : a. CT scan (dengan/tanpa kontras)

Mengidentifikasiluasnya lesi, perdarahan, determinan,sentrikuler, dan perubahan jaringan otak.

b. MRI

Sama dengan skan CT dengan/tanpa menggunakan kontras radioaktif.

c. Serebral Angiografi

Menunjukan anumali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan sekunder menjadi edem,perdarahan dan trauma.

d. Serial EEG

Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.

e. Sinar X

Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang.

23

f. BAER (Brain Auditory Evoked Respons)

Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil

g. PET (Positron Emission Tomography)

Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme pada otak.

h. CSS

Fungsi lumbal dapat digunakan jika diduga terjadi perdarahan subarakniod

i. Kadar Elektrolit

Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan intra cranial.

j. screen toxicologyUntuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran.

k. Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)

Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara/cairan pleural L.Analisa Gas Darah (AGD/Astrup) adalah salah satu tes

diagnostik untuk menenrukan status respirasi, status respirasi yang dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi dan asam basa.

2.2.8 Penatalaksanaan Medis

Arief Muttaqin.,(2008,hal. 284-285) mengemukakan bahwa

penatalaksanaan medispadaklien cedera kepala adalah saat awal trauma

pada cederakepalaselain faktor mempertahankan fungsi ABC (airway,

breathing,circulation)danmenilai statusneurologis(disability,

exposure),makafaktoryang harus diperhitungkan pula adalah

mengurangiiskemia serebriyang terjadi serta denganmemberikan

pemberian oksigen dan glukosa.

24

Selain itu perlu dikontrol kemungkinan tekanan intracranial yang meninggi disebabkan oleh edema serebri. dan jarang memerlukan tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intracranial ini dapat dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan menambah metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini yakni dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Intubasi dilakukan sedini mungkin kepada klien-klien yang koma untuk mencegah terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan intracranial.

2.2.8.1 Penatalaksanaan konservatif meliputi : a.Bedrest total

b.Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran) c.Pemberian obat-obatan :

1) Dexamethason/kalmenthason sebagai pengobatan an-edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.

2) Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.

3) Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%, atau glukosa 40%, atau gliserol 10%.

d. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberi apa-apa, hanya cairan infus dextrose 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian di berikan makanan lunak.

e. Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat klien mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama, ringer dextrose 8 jam kedua, dan dextrosa 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah maka makanan diberikan melalui nasogatric tube (2500-3000 TKTP). Pemberian protein tergantung dari nilai urenitrogennya.

25

2.2.8.2 Penatalaksanaan menurut Tarwoto, et al., (2013: 186-188) pada klien dengan cedera kepala adalah:

a. penatalaksanaan umum:

1) Monitor respirasi: Bebas jalankan nafas, monitor keadaan ventilasi, periksa AGD, berikan oksigen jika perlu.

2) Monitor tekanan intra cranial(TIK).

3) Atasi syok bila ada.

4) Kontrol tanda vital.

5) Keseimbangan cairan dan elektrolit

b. Operasi

Dilakukan untuk mengeluarakan darah pada intraserebral, debridement

luka, kranioplasti, prosedur sunting pada hidrosepalus, kraniotomi.

c. Pengobatan

1) Diuretik: untuk mengurangi edem serebral misalnya manitol 20%furosemid (lasik).

2) Anti kunvulsan : untuk menghentikan kejang misalnya dengan dilantin, tegretol, valium.

3) Kortokosteroid : untuk menghambat pembentukan edem misalnya dengan dexsametason.

4) Antagonis histamine : mencegah terjadinya iritasi lambung karena hipersekresi akibat efek trauma kepala misalnya dengan cemitidin, ranitidine.

5) Antibiotik jika terjadi luka yang besar.

26

2.2.9 Tinjauan Teoritis Keperawatan Cedera Kepala2.2.9.1 PengkajianPengkajian klien dengan cedera kepala menurut Arief Muttaqin (2008 : 126-132) meliputi :

a. Aktivitas atau Istirahat

Gejala : Klien mudah lelah, kelemahan , dan kehilangan sensori/paralisis

Tanda:Perubahan kesadaran, masalah dalam keseimbangan, rendahnya kadar hemoglobin atau syok, pucat, sianosis, adanya penurunan darah portal akibat penggunaan PRC dalam jangka lama.

b. Sirkulasi

Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi),

perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia aritmia).

c. Integritas Ego

Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (perubahan status mental)

Tanda : Prilaku lambat dan sangat hati-hati, kesulitan dalam pemahaman, mudah lupa, afasia dan mudah frustasi

d. Eliminasi

Gejala : Inkontinensia urine atau mengalami gangguan fungsi.

e. Makanan/Cairan

Gejala : Mual, muntah, dan, penurunan nafsu makan.

Tanda:Peningkatan asam lambung , kesulitan menelan.

f. Neurosensori

Gejala: Kehilangan kesadaran sementara, kehilangan pendengaran, perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, kehilangan sensori seperti kesulitan dalam menginterprestasikan stimuli visual.

Tanda : Perubahan kesadaran biasa sampai koma, perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,

27

pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori), perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti, kehilangan penginderaan, hemiparese, kehilangan sensasi sebagian tubuh.

g. Nyeri/Kenyamanan

Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.

Tanda : Wajah menyeringai, respons menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa istirahat, merintih.

h. Pernafasan

Tanda : Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh

hiperventilasi), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronkhi.

i. Keamanan

Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.

Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, laserasi pada kulit, gangguan rentang gerak, gangguan dalam regulasi suhu tubuh

j. Interaksi Sosial

Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang.

k. Penyuluhan/Pembelajaran

Gejala : Pengguna alkohol/obat lain.

2.2.9.2 Diagnosis Keperawatan, Perencanaan, dan Evaluasi

a. Diagnosa yang muncul Menurut Nanda., (2009-2011), Arief Muttaqin., (2008 : 162-164) diagnosis keperawatan yang muncul pada klien dengan cedera kepala dan intervesi. (Nurul liga, 2011 : 25-

33) adalah :

1) Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan trauma kepalaNanda., (2011, hal. 168)

28

2) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan disfungsi neuromuscular Nanda., (2011, hal. 161)

3) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera (misalnya biologis, zat kimia, fisik, psikologis)Nanda., (2011, hal. 401)

4) Tidak efektif bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan adanya jalaan nafas buatan pada trakea, peningkatan sekresi secret, dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan kelelahanArief Muttaqin., (2008, hal. 286).

5) Resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang berhubungan dengan penggunaan alat bantu nafas (respirator) Arif Muttaqin., (2008, hal. 287).

6) Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan perubahan kemampuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan metabolisme Arif Muttaqin, (2008, hal. 288)

7) Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematomaArif Muttaqin., (2008, hal. 285).

2.2.9.3 Intervensi Keperawatan

a. Resiko ketidak efektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan trauma kepala

Intervensi :

1) Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau yang menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK

Rasional : Menentukan pilihan intervensi

2) Pantau/catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar.

29

Rasional : Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensi peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.

3) Kaji respon motorik terhadap perintah yang sederhana

Rasional : Petunjuk untuk mengetahui kesadaran pasien yang matanya tertutup sebagai akibat dari trauma atau pasien yang afasia.

4) Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketajaman, kesamaan antara kiri dan kanan, dan reaksinya terhadap cahaya.

Rasional : Reaksi pupil di atur oleh saraf cranial okulomotor (III) dan berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik.

5) Kolaborasi pembatasan pemberian cairan sesuai indikasi, Berikan cairan melalui IV dengan alat control.

Rasional : Pembatasan cairan mungkin diperlukan untuk menurunkan edema serebral, meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler, tekanan darah (TD) dan TIK.

6) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi (diuretik, steroid, antikonvulsan, analgetik)

Rasional : Diuretik dapat digunakan pada fase akut untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK. Steroid menurunkan inflamasi. Antikonvulsan adalah obat pilihan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya kejang. Analgetik dapat di indikasikan untuk menghilangkan nyeri

b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan disfungsi neuromuscular

Intervensi :

1) Pantau frekuensi, irama, kedalaaman pernafasan

Rasional : Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal.

30

2) Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikas

Rasional : Untuk memudahkan eksvansi paaru/ventilasi paru dan menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh kebelakang yang menyumbat jalan nafas

3) Anjurkan klien untuk melakukan nafas dalam yang efektif jika pasien sadar

Rasional : Mencegah/menurunkan atelektasis.

4) Pantau penggunaan dari obat-obat depresan pernafasan, seperti sedative.

Rasional : Dapat meningkatkan gangguan/komplikasi pernafasan.

5) Kolaborasi pemnberian tindakan nebulizer ultrasonic atau oksigen sesuai program institusi

Rasional : Memaksimalkan oksigen pada daerah arteri dan tanda-tanda komplikasi yang berkembang.

c. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera (misalnya biologis, zat kimia, fisik, psikologis)

Intervensi :

1) Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmaklogi dan non-invasif.

Rasional : Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.

2) Ajarkan relaksasi : Teknik untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga meningkatkan relaksasi massase.

Rasional : Akan melancarkan peredaan darah sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi dan akan mengurangi nyerinya.

31

3) Berikan kesempatan waktu istirahat bila rasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman misalnya ketika tidur, belakangnya di pasang bantal kecil.

Rasional : Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamanan.

4) Observasi tingkat nyeri dan respons klien, 30 menit setelah pemberian obat analgesik untuk mengkaji efektivitasnya serta setiap 1-2 jam setelah tindakan keperawatan selama 1-2 hari Rasional : Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang objektif untuk mencegah keemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.

5) Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgetik

Rasional : Analgesik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang

d. Tidak efektif bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan adanya jalaan nafas buatan pada trakea, peningkatan sekresi secret, dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan kelelahan.

Intervensi :

1) Kaji dalam nafas

Rasional : Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi secret, sisa cairan mucus, perdarahan, bronkhospasme, dan/atau posisi dari endotracheal/tracheostomy tube yang berubah.

2) Lakaukan penghisapan lendir jika diperlakukan, batasi durasi pengisapan dengan 15 detik atau lebih

Rasional : Pengisapan lendir tidak selamanya di lakukan terus-menerus, dan durasinya pun dapat di kurangi untuk mencegah bahaya hipoksia.

3) Atur/ubah posisi klien secara teratur (tiap 2 jam)

32

Rasional : Mengatur pengeluaran secret dan ventilasi segmen paru-paru, mengurangi resiko ateletaksis.

4) Berikan minum hangat jika keadaan memungkinkan

Rasional :Membantu mengencerkan secret, mempermudah pengeluaran secret

5) Kolaborasi dengan dokter pemberian ekspektoran, antibiotic, fisioterapi dada dan konsul foto thoraks.

Rasional : Ekspektoran untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

e. Resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang berhubungan dengan penggunaan alat bantu nafas (respirator). Intervensi :

1) Pertahankan secara ketat intake dan output Rasional : Untuk mencegah dan mengidentifikasi secara dini terjadi kelebihan cairan. 2) Timbang berat badan setiap hari Rasional: Peningkatan berat badan meruapakan indikasi berkembangnya atau bertambahnya edema sebagai manifestasi dari kelebihan cairan. 3) Kaji dan observasi suara nafas, vokal fremitus, hasil foto thoraks. Rasional : Adanya ronkhi basah, vokal fremitus menandakan adanya edema paru-paru 4) Hitunglah jumlah cairan yang masuk dan keluar. Rasional : Memberikan informasi tentang keadaan cairan tubuh secara umum untuk mempertahankannya tetap seimbang. 5) Kolaborasi pemberian cairan melalui infuse jika di indikasikan Rasional : Mempertahankan volume sirkulasi dan tekanan osmotik 33

f. Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan perubahan kemampuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan metabolisme.

Intervensi :

1) Evaluasi kemampuan makan klien

Rasional : Klien dengan tracheostomy tube mungkin sulit untuk makan, tetapi klien dengan endotracheal tube dapat menggunakan mag slang atau memberi makanan parental. 2) Monitor keadaan otot yang menurun dan kehilangan lemak subkutan.

Rasional : Menunjukkan indikasi kekurangan energi otot dan mengurangi fungsi otot-otot pernafasan.

3) Berikan makanan kecil dan lunak

Rasional : Mencegah terjadinya kelelahan, memudahkan masuknya maknan, dan mencegah gangguan pada lambung.

4) Kajilah fungsi system gastrointestinal yang meliputi suara bising usus, catat terjadi perubahan pergerakan usus misalnya diare, konstipasi.

Rasional : Fungsi system gastrointestinal sangat penting untuk memasukkan makanan. Ventilator dapat menyebabkan kembung dan perdarahan lambung.

5) Anjurkan pemberian cairan 2500 cc/hari selama tidak terjadi gangguan jantung

Rasional : Mencegah terjadinya dehidrasi akibat penggunaan ventilator selama tidak sadar dan mencegah terjadinya konstipasi.

g. Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma

Intervensi :

34

1) Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu/penyebab koma/peenurunan perfusi jaringan daan kemungkinan penyebab peningkatan TIK.

Rasional: Deteksi dini untuk memperioritaskan intervensi, mengkaji status neurologis/ tanda-tanda kegagalan untuk menentukan perawatan kegawatan atau tindakan pembedahan.

2) Monitor TTV tiap 4 jam

Rasional : Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral terpelihara dengan baik atau fluktuasi di taandai dengan tekanan darah sistemik, penurunan dari autoregulator kebanyakan meruapakan tanda penurunan difusi local vaskularisasi darah serebral.

3) Evaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman, dan reaksi terhadap cahaya.

Rasional : Reaksi pupil dan pergerakan bola mata merupakan tanda dari gangguan saraf jika batang otak terkoyak.

4) Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dengan sedikit bantal. Hindari penggunaan bantal yang tinggi padaa kepala. Rasional : Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan menghambat aliran darah otak untuk itu dapat meningkatkan tekanan intracranial

5) Kolaborasi pemberian obat osmosis diuretik, streoid, analgesik dan antipiretik.

Rasional: Diuretik dapat di gunakan pada fase akut untuk menurunkan air inflamasi. Antikonvulsan adalah obat pilihan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya kejang. Analgetik dapat di indikasikan untuk menghilangkan nyeri.

2.2.9.4 Evaluasi

a. Kriteria Evaluasi :

1) Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi motorik/sensori

35

2) Mendemontrasikan tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK

b. Kriteria Evaluasi :

1) Menunjukkan pola nafas efektif

2) Status pernafasan : ventilasi tidak terganggu

3) Tidak ada penggunaan otot bantu

4) Tidak ada bunyi nafas tambahan

c. Kriteria Evaluasi :

1) Menunjukkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk mencapai kenyamanan.

2) Mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan untuk mencegah nyeri

d. Kriteria Evaluasi :

1) Bunyi nafas terdengar bersih

2) Ronkhi tidak terdengar

3) Tracheal tube bebas sumbatan 4) Menunjukkan batuk yang efektif

5) Tidak ada lagi secret di saluran pernafasan

e. Kriteria Evaluasi :

1) Klien menunjukkan tekanan darah, berat badan, nadi dalam batas normal

2) Intanke dan output dalam batas normal f. Kriteria Evaluasi :

1) Mengerti tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh

2) Memperlihatkan kenaikan berat badan sesuai dengaan hasil pemeriksaan laboratorium.

g. Kriteria Evaluasi :

1) Klien tidak gelisah

36

2) Klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual, muntah

3) GCS : 4, 5, 6

4) Tidak terjadi papil edema

5) TTV dalam batas normal