PatfisNND

70
BAB I PENDAHULUAN Neuropati diabetika (ND) merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita diabetes melitus (DM) tipe I ( insulin dependent diabetes melitus- IDDM), maupun tipe II ( non insulin dependent diabetes melitus- NIDDM), dimana kelainan ini mempengaruhi saraf perifer. Neuropati diabetika merupakan komplikasi kronis yang termasuk dalam komplikasi mikrovaskular. Kejadian neuropati ini meningkat sejalan dengan lamanya penyakit dan tingginya hiperglikemia. 1,2,3 Prevalensi neuropati diabetika dalam berbagai literatur sangat bervariasi. Penelitian di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa 10-20% pasien saat ditegakkan DM telah mengalami neuropati, dan prevalensi tersebut meningkat menjadi 50% pada pasien yang telah menderita DM > 25 tahun. 4 Kebanyakan studi umumnya menyatakan prevalensinya berkisar 30 % pada pasien diabetes. Kemungkinan terjadi neuropati pada kedua jenis kelamin sama. 2 Nyeri neuropati diabetika merupakan penyebab utama nyeri neuropatik. Definisi neuropati diabetika menurut International Consesus Meeting for Outpatient Superfision of Neuropathy adalah adanya gejala dan / atau tanda dari disfungsi saraf pada penderita diabetes tanpa ditemukan penyebab lain. 4,5 Definisi tersebut menunjukkan bahwa diagnosa nyeri neuropati diabetika harus dilakukan dengan 1

description

Neurologi

Transcript of PatfisNND

Page 1: PatfisNND

BAB I

PENDAHULUAN

Neuropati diabetika (ND) merupakan komplikasi yang sering terjadi pada

penderita diabetes melitus (DM) tipe I ( insulin dependent diabetes melitus- IDDM),

maupun tipe II ( non insulin dependent diabetes melitus- NIDDM), dimana kelainan ini

mempengaruhi saraf perifer. Neuropati diabetika merupakan komplikasi kronis yang

termasuk dalam komplikasi mikrovaskular. Kejadian neuropati ini meningkat sejalan

dengan lamanya penyakit dan tingginya hiperglikemia. 1,2,3

Prevalensi neuropati diabetika dalam berbagai literatur sangat bervariasi.

Penelitian di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa 10-20% pasien saat ditegakkan DM

telah mengalami neuropati, dan prevalensi tersebut meningkat menjadi 50% pada pasien

yang telah menderita DM > 25 tahun. 4 Kebanyakan studi umumnya menyatakan

prevalensinya berkisar 30 % pada pasien diabetes. Kemungkinan terjadi neuropati pada

kedua jenis kelamin sama. 2

Nyeri neuropati diabetika merupakan penyebab utama nyeri neuropatik. Definisi

neuropati diabetika menurut International Consesus Meeting for Outpatient Superfision

of Neuropathy adalah adanya gejala dan / atau tanda dari disfungsi saraf pada penderita

diabetes tanpa ditemukan penyebab lain. 4,5 Definisi tersebut menunjukkan bahwa

diagnosa nyeri neuropati diabetika harus dilakukan dengan menyingkirkan berbagai

kemungkinan penyebab neuropati lainnya. 4

Nyeri neuropati diabetika merupakan salah satu komplikasi tersering diabetes

pada saraf tepi. Pada pasien yang menderita diabetes lebih dari 25 tahun dilaporkan 50 %

mengalami neuropati diabetika dan 5% nya menderita nyeri neuropati diabetika.5 Dari

salah satu studi prospektif dikemukakan bahwa 13,3% pasien diabetes mengeluh nyeri

atau parastesi atau keduanya pada saat dini. Peneliti sebelumnya menemukan 45%

mengeluh nyeri, parestesi dan hilangnya sensibilitas, sedangkan kelemahan motorik

hanya 5-10% pasien diabetes.2 Manifestasi klinik nyeri neuropati diabetika dapat berupa

rasa terbakar (burning), rasa ditikam, kesetrum, disobek, diikat, hiperalgesia dan alodinia. 4,5

1

Page 2: PatfisNND

Nyeri neuropatik dapat disebabkan kerusakan, penyakit atau disfungsi susunan

saraf. Patofisiologi nyeri neuropati diabetika sangat komplek dan belum sepenuhnya

diketahui. Pada percobaan binatang diduga melalui mekanisme perifer dan sentral.

Mekanisme perifer meliputi aktifitas ektopik, sensitisasi nosiseptor, interaksi serabut

saraf dan sensitifitas terhadap katekolamin, sedangkan mekanisme sentral meliputi

sensitisasi sentral, disinhibisi dan reorganisasi sentral. 5

Pada tinjauan kepustakaan ini akan diuraikan tentang "Patofisiologi Nyeri

Neuropati Diabetika", dengan harapan dapat lebih mengenal tanda dan gejalanya lebih

dini dan dasar pertimbangan pemberian terapi pada kasus nyeri neuropati diabetika.

2

Page 3: PatfisNND

BAB II

ANATOMI NYERI NEUROPATIK

Bagian dari saraf diseluruh jaringan tubuh yang menerima stimulus atau impuls

disebut reseptor. Kepadatan reseptor dijaringan tubuh berbeda beda. Jenis reseptorpun

cukup banyak. Ada yang peka terhadap peregangan , suhu , zat kimia, ada pula yang peka

terhadap berbagai stimuli disebut reseptor polimodal. Reseptor inilah yang paling banyak

berperan dalam proses terjadinya nyeri, lebih sering disebut nosiseptor. Kepekaan

nosiseptor sering berubah, oleh sebab itu sering disebut sleeping nosiseptor. Disamping

sebagai penerima stimulus , nosiseptor dapat juga berperan sebagai neuroefektor yang

mampu melepaskan neuropeptid: substansi P dan Calsitonin Gene Related Peptide

(CRGP) pasca trauma dan inflamasi , yang mempunyai efek mencegah atau mengurangi

efek yang merugikan dari trauma dan memepercepat penyembuhan, namun dalam

keadaan patologik menyebabkan nyeri yang patologik.6,28

1. Sistem Saraf Tepi

Susunan saraf tepi terdiri dari : 1) saraf kranial 2) saraf spinal 3) susunan visceral

aferen dan susunan visceral otonom. 7 Suatu saraf terdiri dari satu atau lebih berkas

serabut saraf (akson). Sebuah saraf berukuran sedang , dapat mengandung beribu-ribu

serat saraf, beberapa tak bermielin, dan yang lainnya dikelilingi oleh selubung mielin

dengan berbagai ketebalan. 8

Satu sel saraf (neuron) mempunyai satu akson akan tetapi dapat mempunyai satu

atau lebih bahkan sering banyak dendrit. Diameter akson menunjukkan variasi yang

cukup luas dengan ukuran dari kurang 1 mikron sampai 30 mikron. Semua akson baik

didalam susunan saraf pusat maupun perifer kecuali akson yang paling halus (diameter

3

Page 4: PatfisNND

kurang dari 1 mikron) dibungkus oleh selubung mielin. 7 Selubung mielin ini dibentuk

oleh sel-sel Schwann dengan membentuk lapisan-lapisan konsentrik sekitar akson. 8,9

Gambar 1. Serat saraf bermielin

Dikutip dari Peter Duus

Selubung Schwann dan selubung mielin yang dikandungnya, dikelilingi setiap 1-2

mm oleh konstriksi berbentuk cincin yang disebut nodus Ranvier. Nodus ini memainkan

peranan penting dalam perkembangan efek rangsangan dari reseptor ke medula spinalis

atau sebaliknya dengan mengadakan konduksi cepat dari impuls melalui konduksi

meloncat (saltatory conduction). Makin tebal selubung mielin, makin cepat konduksi

serat saraf. 8

Serabut saraf aferen dapat dikelompokkan menurut ukuran, selubung mielin dan

kecepatan hantar sarafnya. Serabut saraf sensorik berukuran besar dan kecil mempunyai

fungsi yang berbeda. Serabut saraf sensorik berukuran besar mempunyai selubung mielin

dan menghantarkan stimulus getar dan propioseptif (A). Serabut berukuran kecil

menghantarkan sensasi nyeri suhu dan nyeri tajam ke medula spinalis, yaitu serabut

A(bermielin) dan serabut C (tidak bermielin). Serabut A dan C sering disebut

nosiseptor. 6,28

4

Page 5: PatfisNND

Tabel 1 . Karakteristik Serabut Saraf Sensorik

Nama

Serabut

Reseptor Stimulus Sensasi Mielin Diameter

m

KHST

m/dtk

A Rufini,Merkl,

Meissner, Paccini

Posisi,

gerak,

getar

Tekan,

getar

+ 6-12 30-70

A Mekanik, dingin,

Nyeri mekanik,

nyeri suhu

(polimodal),

reseptor rambut,

reseptor viscera

Dingin,

gerak,

nyeri

mekanik,

nyeri suhu

Dingin,

nyeri

tajam

+ 1-6 5-30

C Panas, dingin,

polimodal, nyeri

mekanik, nyeri

suhu

Panas,

dingin,

mekanik,

nyeri

suhu,

nyeri

kimiawi,

nyeri

mekanik

Panas,

dingin,

nyeri

terbakar

- <15 0,5-20

Di Kutip : Patofisiologi Nyeri Neuropatik

5

Page 6: PatfisNND

Gambar 2 : Jenis serabut aferen primer

Di Kutip : Conduction Velocity

Bila serabut saraf mengalami lesi , akan terjadi impuls ektopik yang persisten

pada sisi yang mengalami lesi sampai ke ganglion radik dorsalis. Hal ini menunjukkan

adanya aktivasi kanal natrium. Sehingga lebih peka terhadap beberapa zat neurokimiawi.

Bila zat-zat tersebut berada pada daerah lesi akan meningkatkan aktifitas ektopik, inilah

yang disebut sensitisasi perifer yang dapat memberikan manifestasi klinik sebagai

hiperalgesia (primer). . 6,,28

2. Kornu Dorsalis Medula Spinalis

Bror Rexed pada tahun 1952 membagi substansia grasia medula spinalis menjadi

10 lamina berdasarkan struktur neuron. Lamina I-VI terletak di kornu dorsalis yang

banyak berperan dalam proses nyeri, sebab dilamina tersebut kebanyakan berakhir

serabut A, A dan C. Serabut A umumnya berakhir dilamina I-V. Serabut A

kebanyakan berakhir di lamina I, lamina II bagian luar dan sebagian ke lamina V dan X.

6

Page 7: PatfisNND

Serabut C kebanyakan berakhir dilamina I dan II bagian luar dan sebagian khususnya

aferen visceral berakhir dilamina V. 6,28

Gambar 3. Skema akhiran saraf pada lamina kornu dorsalis

Di Kutip : Patofisiologi Nyeri Neuropatik

Semua aferen nosiseptif berhubungan dengan langsung maupun tidak langsung

dengan 3 jenis neuron di kornu dorsalis yaitu : . 6,28

1. Neuron proyeksi yang meneruskan informasi sensorik ke pusat diotak.

2. Interneuron eksitasi lokal yang meneruskan impuls sensorik ke neuron

proyeksi.

3. Interneuron inhibisi yang mengatur aliran informasi nosiseptif ke otak.

Perjalanan impuls nosiseptif dari kornu dorsalis medula spinalis ke otak melalui

neuron proyeksi. Ada 5 jalur utama yaitu :

a. Traktus spinotalamikus

b. Traktus spinoretikularis

c. Traktus spinomensesephalik

d. Traktus spinoservikalis

e. Traktus kuneatus dan nukleus gracilis.

Dari ke lima jalur tersebut yang terpenting dan terbanyak dipelajari adalah traktus

spinotalamikus. Dalam perjalanannya ke talamus mempercabangkan menjadi traktus

7

Page 8: PatfisNND

spinotalamikus lateral dan traktus spinotalamikus medial/ventral. Traktus spinotalamikus

ventral terutama berasal dari serabut C dan diteruskan nukleus intralaminaris talami dan

kemudian didistribusikan ke kortek bilateral dan luas dan tidak mempunyai organisasi

somatotropik. Traktus spinotalamikus lateral menuju area somatosensorik primer maupun

sekunder di kortek serebri. . 6,28

Medula spinalis juga mengalami perubahan dalam merespon adanya impuls

ektopik yang diterima dari lesi/kerusakan saraf perifer. 6

3. Otak

Dari medula spinalis, impuls nosiseptif diteruskan ke talamus melalui traktus

spinotalamikus, yang kemudian diteruskan ke beberapa daerah otak. Hal ini menjadi

bukti bahwa impuls nyeri berhubungan dengan daerah batang otak seperti reticular

activating system. Tanpa otak tidak akan terjadi persepsi mengenai nyeri Melalui otak

sensasi nyeri dan emosi dapat dirasakan. Beberapa bagian otak akan berperan dalam

berbagai tugas yang berbeda.Oleh karenanya dikatakan pengontrolan impuls nyeri terjadi

dari otak ke medula spinalis , hal ini disebut sebagai mekanisme sentral yang antara lain

melalui jalur serabut-serabut descenden medula oblongata ke kornu dorsalis yang bersifat

inhibisi dan juga berperan opioid endogen (enkapalin,beta-endomorphin,dynorphin)

yang banyak diregio perikuaduktal dan medula oblongata. . 6,28

Gambar 4 : Lintasan asenderen

Di Kutip : Patofisiologi Nyeri Neuropatik

8

Page 9: PatfisNND

BAB III

PATOF ISIOLOGI NYERI NEUROPATI DIABETIKA

3.1 Definisi Nyeri Neuropati Diabetika

Definisi nyeri menurut “The International Association for Study of Pain” (IASP)

pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan

baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut .

Dari definisi tersebut, nyeri terdiri atas dua komponen utama, yaitu komponen

sensorik(fisik) dan emosional (psikis). 6,11

Kerusakan jaringan dapat berupa rangkaian peristiwa yang terjadi di nosiseptor

disebut nyeri nosisepsif atau nyeri inflamasi atau terjadi dijaringan saraf , baik serabut

saraf pusat maupun perifer yang disebut nyeri neuropatik. 11

Nyeri neuropatik menurut IASP didefinisikan sebagai nyeri yang disebabkan oleh

lesi atau disfungsi primer susunan saraf tepi atau pusat.6 Nyeri neuropati diabetika adalah

nyeri yang disebabkan lesi pada jaringan saraf tepi, sebagai komplikasi dari diabetes

melitus. 11 Deskripsi nyeri neuropati diabetika ditandai dengan rasa terbakar terbakar

(burning), rasa ditikam, kesetrum, disobek, diikat, hiperalgesia dan alodinia. 4 Tidak

semua penderita diabetes melitus mengalami nyeri. Hal ini diduga karena adanya proses

patofisiologi lain yang belum jelas diketahui. 12

3.2. Kelainan Patologik pada Neuropati Diabetika.

Neuropati diabetika disebabkan adanya lesi kronik pada saraf tepi. Neuropati

perifer terdapat pada pada penderita diabetes melitus tipe I dan tipe II, sehingga

mekanisme penyebabnya berdasarkan adanya hiperglikemia kronis. Peranan

hiperglikemia dalam neuropati perifer tidak diragukan lagi berdasarkan data yang kuat

dari Diabetes Control and Complication Trial (DCCT). Neuropati ditandai dengan adanya

kerusakan yang progresif dan hal itu dapat dinilai dengan test fungsi saraf, yaitu

elektrofisiologi, test fungsi sensorik, dan test fungsi otonom.10 Gejalanya sangat

tergantung dari jenis serabut saraf yang mengalami lesi. Seperti diketahui lesi serabut

saraf dapat terjadi di bagian proksimal atau distal, fokal atau difus, mengenai serabut

kecil atau besar, mengenai serabut saraf motorik, sensorik atau otonom. 4

Secara morfologik kelainan sel saraf pada neuropati diabetika ini terdapat pada

sel-sel schwann selain mielin dan akson. Kelainan yang terjadi terutama tergantung pada

9

Page 10: PatfisNND

derajat dan lamanya menginap DM. Perubahan patologis dasar dalam hubungannya

dengan patofisiologi neuropati diabetik meliputi demielinisasi segmental, degenerasi

aksonal, dan degenerasi wallerian. 14,15,16

3.2.1. Demielinisasi segmental

Segmen-segmen internodal saraf perifer mengalami demielinisasi, sedang akson

masih dalam keadaan utuh. Meskipun demielinisasi telah terjadi secara luas , namun

sering kali aksonnya tidak mengalami perubahan degenerasi. 17

Serabut saraf setelah mengalami demielinisasi seringkali menunjukkan adanya

proses regenerasi berupa remielinisasi, jumlah sel schwan akan bertambah banyak. Jika

proses patologis tersebut berlangsung secara kronis dengan proses dimielinisasi dan

remielinisasi yang berulang-ulang, akan terjadi proliferasi yang konsentrik dari sel

schwann, sehingga sau struktur seperti lapisan bawang merah yang disebut “onion bulp”,

yang dengan palpasi akan teraba benjolan-benjolan pada saraf. 15,18

3.2.2. Degenerasi aksonal

Penyebab degenerasi aksonal berupa gangguan nutrisi, metabolik atau toksik

sehinga mengakibatkan gangguan metabolisme badan sel, transpor aksonal serta fungsi –

fungsi lainnya.Bagian ujung distal akson yang pertama mengalami degenerasi dan

apabila proses berlanjut degenerasi akan berjalan ke arah proksimal. Proses ini

menimbulkan suatu keadaan yang dikenal sebagai “dying back neuropathy”. 15,16,18

3.2.3. Degenerasi Wallerian

Suatu trauma mekanik, khemis, termis ataupun iskemik lokal yang menyebabkan

terputusnya satu serabut saraf secara mendadak, akan diikuti oleh suatu proses degenerasi

aksonal disebelah distal tempat terjadinya perlukaan, yang kemudian diikuti terputusnya

mielin secara sekunder. Proses tersebut terkenal dengan degenerasi walerian. Kelainan ini

mulai timbul antara 12-36 jam setelah setelah terjadi perlukaan saraf . Perubahan awal

didapatkan pada akson yang terletak di dalam atau disekitar nodus Renvier sepanjang

saraf disebelah distal dari tempat perlukaan. Perubahan yang sama juga terjadi pada

akson disekeliling nodus Renvier tepat disebelah proksimal dari tempat perlukaan. 14,15,18

Sel Schwann pada bagian ini akan mengalami proliferasi hebat. Makrofag

endoneuron akan membantu sel Schwann dalam menghancurkan mielin yang rusak.

Selubung mielin akan mulai pecah dan berbentuk oval (ellipsoid). Ukuran mielin yang

10

Page 11: PatfisNND

mengalami kerusakan dapat berguna untuk melihat lamanya lesi (dengan biopsi saraf).

Lamina basalis sen schwann pada bagian distal dari lesi yang rusak, sehingga

permukaannya dilapisi langsung galaktoserebrosida. Jumlah protein mielin dari sel

schwann menurun drastis. Akson sebelah distal dari lesi hancur, aksoplasma dan

aksolema berubah menjadi butir butir debris dalam 24-48 jam setelah terjadinya lesi dan

butiran tersebut dikelilingi mielin yang pecah, selanjutnya akan dihancurkan oleh

makrofag. 15,19

Perubahan degenerasi yang mengikuti robekan aksonal biasanya membaik dengan

rangkaian respon perbaikan. Dalam menyelubungi akson yang tumbuh, sel schwann

akan memperbaiki lamina basalis dan mengaktifkan reseptor pertumbuhan saraf sehingga

terjadi adhesi molekul-molekul sel fibroblas pada daerah lesi akan memperbesar produksi

kolagen intersisial dan membentuk kerangka kolagen yang dibutuhkan untuk

menyelubungi akson dan sel schwann.19

Gambar 5. Gambar skematis representasi dari saraf, axon dan selubung mielin

Di kutip dari : Kimura J.

Dari aspek patologi, neuropati diabetika dapat dibedakan menjadi neuropati yang

lebih menonjol mengenai serabut saraf besar (predominantly large fiber desease) dan

neuropati yang lebih menonjol mengenai serabu saraf kecil (predominantly small fiber

desease). 12

11

Page 12: PatfisNND

Pada gangguan serabut saraf besar lebih nyata terjadinya demielinisasi segmental

dan remielinisasi dari pada degnerasi aksonal. Sebaliknya tipe gangguan serabut saraf

kecil lebih jelas terlihat adanya degenerasi aksonal, dan demielinisasi biasanya terjadi

sekunder. 12

Kerusakan serabut saraf pada umumnya dimulai dari distal sampai proksimal ,

sedangkan proses perbaikan dimulai dari proksimal ke distal. Oleh karena itu pada

umumnya lesi distal paling banyak ditemukan, seperti pada distal symmetric

polyneuropathy dan saraf terpanjang seperti yang terlihat pada pasien dengan lesi pada

ibu jari kaki yang kemudian menjalar ke bagian proksimal. Dibandingkan dengan serabut

saraf dengan diameter besar, terlihat bahwa pada awalnya lesi adalah serabut saraf kecil. 4

Penderita neuropati diabetika dengan keluhan nyeri yang berat (terutama pada

kaki) umumnya menunjukkan kelainan neurologik yang ringan berupa gangguan sensorik

bagian distal kaki sedangkan refleks tendo masih dalam batas normal. Pasien neuropati

diabetika tanpa nyeri sering menunjukkan gejala neurologik seperti refleks tendo yang

negatif. 4

Apakah hal tersebut sesuai dengan dinamika proses degenerasi, masih menjadi

pertanyaan. Fungsi serabut saraf adalah sebagai penghantar impuls. Adanya gangguan

fungsi penghantar impuls memacu atau mengaktivasi program survival atau kematian.

Dengan demikian dapat dimengerti , bila lesi yang diderita pasien cukup berat maka yang

aktif adalah program kematian neuron. Kematian neuron menyebabkan timbulnya gejala

negatif dari sistem saraf seperti gangguan sensorik dengan manifestasi berupa anestesi ,

analgesi, gangguan motorik berupa kelumpuhan atau gangguan otonom berupa

impotensi. Akan tetapi bila lesi ringan yang biasa terjadi pada pasien neuropati atau

berupa demielinasi segmental dapat timbul degenerasi akson . Respon ini menyebabkan

terjadinya perubahan fenotip untuk mempersiapkan proses regenerasi. 4

Proses regenerasi menimbulkan distorsi dari signal, seperti munculnya reseptor,

saluran ion baru, sprouting ujung saraf dengan neuromanya, yang kesemuanya dapat

menimbulkan nyeri. Proses tersebut pada pemeriksaan biopsi saraf pada penderita

neuropati diabetika dengan nyeri berat, di mana tampak adanya degenerasi serabut saraf

afferen yang dengan atau tanpa mielin dengan tunas-tunas barunya. 4

12

Page 13: PatfisNND

3.3. Patofisiologi Neuropati diabetika

Banyak teori yang dikemukan oleh para ahli tentang patofisiologi terjadinya

neuropati diabetika, namun semuanya sampai sekarang diketahui sepenuhnya. Faktor-

faktor etiologik daripada diabetes neuropati diduga adalah vaskular, berkenaan dengan

metabolisme, neurotrofik dan imunologik. Studi terbaru cenderung suatu multifaktorial

patogenesis yang terjadi pada neuropati diabetik. Beberapa teori yang diterima adalah :

3.3.1. Teori vaskular (iskemia-hipoksia)

Pada pasien neuropati diabetika dapat terjadi penurunan darah ke endoneurium

yang disebabkan oleh adanya resistensi pembuluh darah akibat hiperglikemia. Diabetes

secara selektif merusak sel seperti endotelial sel dan mesangeal sel, dimana kecepatan

pengangkutan glukosa tidak merosot dengan cepat seperti halnya peningkatan kadar

gula , hal ini mendorong kearah penumpukan glukosa tinggi di dalam sel. Biopsi nervus

suralis pada pasien neuropati diabetika ditemukan adanya penebalan pembuluh darah,

agregasi platelet, hiperplasi sel endotelial dan pembuluh darah, yang kesemuanya dapat

menyebabkan iskemia. Iskemia juga dapat menyebabkan terganggunya transport

aksonal, aktifitas NA+/K+ ATPase yan akhirnya menimbulkan degenerasi akson. 4,20

Pada iskemia lokal ditunjukkan dengan adanya gangguan vaskularisasi saraf

secara lokal. Ganguan tersebut meliputi penebalan membrana basalis, proliferasi sel

endotel, dan oklusi pembuluh darah. Terdapat juga bukti tentang penurunan tekanan

oksigen endoneural pada sural nerve penderita DM dengan polineuropati lanjut. Iskemia

sendiri mempunyai konsekuensi metabolik yang dapat dieksaserbasi oleh defisiensi

insulin atau hiperglikemia. Iskemia juga dapat menimbulkan stres oksidatif pada saraf,

peningkatan spesies oksigen reaktif, dan menyebabkan jejas pada saraf. 1,21,22

3.3.2. Teori Metabolik

3.3.2.a. The polyol pathway ( jalur aldose reduktase – AR )

Teori the polyol pathway berperan dalam beberapa perubahan dengan

metabolisme ini. Di dalam status yang normoglikemik, kebanyakan glukosa intraseluler

di phosphorilated ke glukosa -6- phosphate oleh hexokinase. Hanya sebagian kecil dari

glukosa masuk jalur polyol . Dibawah kondisi- kondisi hiperglikemia , hexokinase

disaturasi, maka akan terjadi influks glukosa ke dalam jalur polyol. Aldose reduktase

yang secara normal mempunyai fungsi mengurangi aldehid beracun di dalam sel ke

13

Page 14: PatfisNND

dalam alkohol non aktif , tetapi ketika konsentrasi glukosa di dalam sel menjadi terlalu

tinggi, aldose reduktase juga mengurangi glukosa ke dalam sorbitol , yang mana

kemudian dioksidasi menjadi fruktosa. 20,27 Sedang dalam proses mengurangi glukosa

intraseluler tinggi ke sorbitol , aldose reduktase mengkonsumsi co-faktor NADPH

(nicotinamide adenine dinucleotide phosphat hydrolase). NADPH adalah co-faktor yang

penting untuk memperbaharui suatu intracelluler critical anti oxidant, dan pegurangan

glutathione. Dengan mengurangi jumlah glutathione, polyol pathway meningkatkan

kepekaan ke intracelluler oxidative stress. Oxidative stress berperan utama di dalam

patogenesis diabetik peripheral neuropati. 20,21,23,24 Ada bukti peningkatan oksigen radikal

bebas dan peningkatan beberapa penanda oxidative stress seperti malondialdehide dan

lipid hydroksiperoksida pada penderita neuropati diabetika.20

Indikator kuat untuk membuktikan bagaimana peran oxydative stress dalam

neuropati diabetika, dibuktikan oleh beberapa penelitian mengenai penggunaan

antioksidan baik pada binatang percobaan maupun pada pasien. 24

Gambar 6. Jalur Polyol

Dikutip dari : Indian Academy of Clinical Medicine, 2001

Serabut saraf dikelilingi oleh sel , seperti halnya suatu kawat elektris dibalut oleh

isolasi. Sel yang melingkupi suatu saraf di sebut sel Schwann. Suatu teori menyatakan

bahwa gula berlebihan didalam sirkulasi darah di tubuh berinteraksi dengan suatu enzim

di dalam sel Schwan, yang disebut aldose reduktase. Aldose reduktase mengubah bentuk

gula ke dalam sorbitol, yang pada gilirannya menarik air ke dalam sel Schwan,

14

Page 15: PatfisNND

menyebabkan sel Schwan menjadi bengkak. Hal ini akan menyebabkan serabut saraf

terjepit dan menyebabkan kerusakan serabut saraf dan menimbulkan nyeri. Pada

akhirnya sel Schwan dan serabut saraf tersebut terjadi nekrosis. 20,21

Sorbitol sesudah itu dikurangi oleh sorbitol dehydrogenase ke fruktose, setelah

itu sorbitol mengalami degradasi secara perlahan dan tidak cukup menebus ke membran

sel . Akumulasi sorbitol intraseluler mengakibatkan perubahan osmotik yang berpotensi

ke arah kerusakan sel. Adanya peningkatan osmolalitas intraseluler, dalam kaitan aliran

glukosa kedalam jalur polyol dan akumulasi sorbitol, sebagai akibatnya akan terjadi

kompensasi pengurangan endoneural osmolit taurine dan myoinositol dalam rangka

memelihara keseimbangan osmotik. Metabolit intraseluler , seperti myoinositol menjadi

akan berkurang dan mendorong ke arah kerusakan sel saraf. 20,21 Pada percobaan binatang

penurunan myoinositol berkaitan dengan penurunan aktivitas Na+/ K+-ATP ase dan

memperlambat velositas konduksi saraf. 1,17

3.3.2.b. Teori Advanced Glycation End Product (AGEs)

Peningkatan glukosa intraseluler menyebabkan pembentukan advanced

glycosilation products (AGEs) melalui glikosilasi nonenzymatik pada protein seluler.

Glikosilasi dan protein jaringan menyebabkan pembentukan AGEs. Glikosilasi non

enzimatik ini merupakan hasil interaksi glukosa dengan kelompok amino pada protein.

Pada hiperglikemia kronis beberapa kelebihan glukosa berkombinasi dengan asam amino

pada sirkulasi atau protein jaringan. Proses ini pada awalnya membentuk produk

glikosilasi awal yang reversibel dan selanjutnya membentuk AGEs yang ireversibel.

Konsentrasi AGEs meningkat pada penderita DM. 1 Pada endotel mikrovaskular

manusia , AGEs menghambat produksi prostasiklin dan menginduksi PAI-1(Plasminogen

Activator Inhibitor-1) dan akibatnya terjadi agregasi trombosit dan stabilisasi fibrin,

memudahkan trombosis. Mirotrombus yang dirangsang oleh AGEs berakibat hipoksia

lokal dan meningkatkan angiogenesis dan akhirnya mikroangiopati. 27 Secara spesifik

AGEs juga mempercepat aterosklerosis, menyebabkan disfugsi glomerulus, menurunkan

sintesis nitrit oksida, menginduksi disfungsi endotel, dan mengganggu komposisi dan

struktur matriks ekstrasel. 1

3.3.2.c. Activation Protein Kinase C pathway

Aktivasi Protein Kinase C (PKC) juga berperan dalam patogenesis neuropati

15

Page 16: PatfisNND

perifer diabetika. Hiperglikemia didalam sel meningkatkan sintesis atau pembentukan

diacylglyserol (DAG) yaitu suatu critical activating cofaktor untuk isoform protein

kinase–C,-β,-δ dan–α.Protein kinase C juga diaktifkan oleh oxidative stres dan advanced

glycationendproduct(AGE) 14,23,25,26

Gambar 7. Proses Hipperglikemi dalam Induksi PKC

Dikutip dari : Diabetes 2005, American Diabetes Inc

Aktivasi protein kinase C menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular,

gangguan sintesis nitric oxyde (NOS) dan perubahan aliran darah. Ketika PKC diaktifkan

oleh hiperglikemia intraseluler, mempunyai efek pada beberapa ekspresi genetik.

Vasodilator yang memproduksi endothelial nitric oxyde synthase (eNOS) berkurang,

sedangkan vasokonstriktor endothelin-1 (ET-1) akan meningkat. Transformasi Growth

Factor β (TGF- β) dan plasminogen inhibitor -1 (PAI-1) juga meningkat. Di dalam

endothelial sel, PKC juga mengaktifkan nuclear factor kB (NFkB), suatu faktor

transkripsi yang dirinya sendiri mengaktifkan banyak proinflamatory gen di dalam

vasculature. 20,25

Meningkatnya aksi PKC pada pembuluh darah retina , ginjal dan saraf

menyebabkan kerusakan vaskular: (a) permeabilitas meningkat (b) ada disregulasi NO (c)

terjadi adhesi lekosit (d) gangguan aliran darah (e) induksi growth factors (Vascular

16

Page 17: PatfisNND

endotelium Growth Factor(VEGF), TGF- β), angiogenesis dan sinyal (VEGF,ET-1),

kontraktiltas, kontraksi dan koagulasi meningkat sehingga kemungkinan re-stenosis pun

naik, (f) penebalan membran basal. 26,27

3.3.2.d. The hexosamine pathway

Bilamana glukosa tinggi di dalam suatu sel, kebanyakan dari glukosa

dimetabolisme melaluin glycolisis, menjadi glucose-6 phosphate, kemudian menjadi

fructosa -6 phosphate, dan seterusnya menjadi akhir dari glycolitic pathway.

Bagaimanapun , sebagian dari fructosa -6 phosphat dialihkan ke dalam suatu signyaling

pathway dimana suatu enzim glutamine fructosa -6 phosphate amidotransferase

(GFAT) mengkonversi fructosa -6 phosphate ke glucosamine-6 phosphate dan akhirnya

ke uridine diphosphate (UDP) N-asetyl glucosamine, setelah itu N-asetyl glucosamine

ditaruh ke serine dan theorine residu dari transkripsi faktor, seperti halnya proses

phosphorylation yang umum telah dikenal, dan overmodification oleh glucosamine ini

sering mengakibatkan perubahan patologik di dalam gen expresion. Modifikasi transkrisi

faktor Sp1 mengakibatkan peningkatan expression transformation growth factor β1(TGF-

β1)dan plasminogen actifator inhibitor 1(PAI-1) dimana kedua-duanya tidak baik untuk

pembuluh darah diabetes. Didalam plague arteri carotis penderita DM tipe 2 tampak

adanya pertambahan modifkasi endothelial protein sel oleh jalur hexaosamine secara

signifikan. 20,25

Gambar 8. Kondisi Hiperglikemi pada Jalur Hexosamine

Dikutip dari : Diabetes 2005, American Diabetes Inc

3.3.3. Altered neurotrophic support theory

Faktor neurotrophic adalah penting untuk pemeliharaan, pengembangan, dan

17

Page 18: PatfisNND

regenerasi unsur-unsur yang responsif dari saraf. Neurotrophic factor (NF) sangat

penting untuk saraf dalam mempertahankan perkembangan dan respon regenerasi. Nerve

Growth Factor (NGF) misalnya berupa protein yang memberi dukungan besar terhadap

kehidupan serabut saraf dan neuron simpatis. 1,4,13,14 Telah banyak dilakukan penelitian

mengenai adanya faktor pertumbuhan saraf, yaitu suatu protein yang berperan pada

ketahanan hidup neuron sensorik serabut kecil dan neuron simpatik sistem saraf perifer .

Beberapa penelitian pada binatang menunjukkan adanya defisiensi neurotropik sehingga

menurunkan proses regenerasi saraf dan mengganggu pemeliharaan saraf. Dalam banyak

kasus, defisit yang paling awal, melibatkan serabut saraf yang kecil. Kelainan

morfologik yang telah dihubungkan dengan nyeri neuropatik meliputi axonal sprouting,

degenerasi axonal akut, degenerasi aktif serabut bermielin, dan tidak sebandingnya

pengurangan kaliber serabut saraf besar. 1,4,20

Pada pasien dengan DM terjadi penurunan NGF sehingga transport aksonal yang

retrograde ( dari organ target menuju badan sel) terganggu. Penurunan kadar NGF pada

kulit pasien DM berkorelasi positif dengan adanya gejala awal small fibers sensory

neuropathy. 4

3.3.4. Teori Autoimun

Faktor autoimun diduga berperanan dalam sebagian kejadian neuropati diabetika

terutama neuropati otonom. Berbagai autoantibodi terhadap komponen sel telah

dideteksi pada pasien DM. Bukti yang menyokong peran antibodi dalam mekanisme

patogenik neuropati diabetika adalah adanya antineural antibodies pada serum sebagian

penyandang DM. Autoantibodi yang beredar ini secara langsung dapat merusak struktur

saraf motorik dan sensorik. Peneliti-peneliti berpendapat bahwa pada neuropati diabetika

sistem imun memiliki target suatu antigen spesifik terhadap saraf perifer, dan

kemungkinan juga pankreas. Mekanisme humoral juga bisa berperan melalui aktivasi

komplemen yang menyebabkan jejas mikrovaskularisasi saraf. Adanya infiltrasi limfosit

pada saraf beberapa penderita DM dengan neuropati membuktikan patogenesis

imunogenik. Selain itu pada sebagian pasien dengan sindrom neuropati klinis proksimal

ditemukan autoantibodi yang tertuju langsung pada struktur saraf motorik dan sensorik. 1

Peran faktor imunologi juga ditujukan antibodi antifosfolipid pada 88% populasi

neuropati diabetika dibanding 32% populasi tanpa komplikasi neurologis dan 2%

18

Page 19: PatfisNND

populasi normal. Terdapat bukti bahwa antibodi antifosfosfolipid dapat menyebabkan

jejas terhadap jaringan saraf. Karena antibodi antifosfosfolipid berkaitan dengan

kecenderungan trombosis vaskular, keberadaan antibodi ini dapat menggambarkan

hubungan antara teori autoimun dengan teori vaskular pada patogenesis neuropati

diabetika. 1

3.4. Patofisiologi Nyeri Neuropati Diabetika

Patofisiologi nyeri neuropati diabetika sangat komplek dan belum sepenuhnya

diketahui. Nyeri neuropati dibagi atas nyeri neuropati perifer dan nyeri neuropati sentral.

Disebut perifer bilamana kelainan primernya terjadi di saraf perifer, yaitu sensorik

perifer, radiks dan ganglion dorsalis; dan disebut sentral bilamana lokasi kelainannya

disusunan saraf sentral, yaitu di medula spinalis, batang otak, talamus sampai kortek

serebri . Keduanya mempunyai mekanisme yang berbeda. Pada percobaan pada binatang

diduga melalui 2 mekanisme, yaitu: 5,28,29

1. Mekanisme perifer :

- Aktivitas ektopik

- Sensitisasi nosiseptor

- Interaksi abnormal antar serabut saraf

- Sensitifitas terhadap katekolamin

2. Mekanisme sentral :

- Sensitisasitisasi sentral

- Reorganisasi sentral

- Hilangnya kontrol inhibisi

3.4.1. Mekanisme Perifer

Aktifitas Ektopik

Diabetes melitus akan menyebabkan disfungsi atau gangguan pada serabut saraf

tepi dan menyebabkan remodeling dan hipereksitabilitas membran. Kerusakan akson

akan menyebabkan akumulasi saluran natrium pada tempat cedera dan sepanjang akson.

Pada bagian proksimal lesi akan tumuh tunas-tunas baru (sprouting) yang sebagian

diantaranya mampu mencapai organ target, dan sebagian lagi akan berakhir sebagai

tonjolan yang disebut neuroma. Pada neuroma akan berakumulasi ion channel (terutama

Na+ channel). Akumulasi saluran natrium ini akan memunculkan aktivitas listrik ektopik

19

Page 20: PatfisNND

dan hipereksitabilitas.4,5,28 Pada rekaman elektrofisiologik tunas baru tersebut

menunjukkan aktivitas listrik yang berkepanjangan, kepekaan abnormal terutama pada

serabut saraf C. 5

Lesi saraf akan menyebabkan pula molekul-molekul reseptor dan tranduser baru.

Munculnya ion-ion channel , molekul-molekul reseptor, dan tranduser akan menjadi

penyebab munculnya impuls ektopik yang spontan dan dibangkitkan (evoked) seperti

hiperalgesia. 4,5

Sensitisasi nosiseptor

Nyeri inflamasi dapat juga terjadi pada penderita neuropati diabetika. Lesi serabut

saraf aferen akan menyebabkan munculnya mediator inflamasi seperti proastatglandin E2

(PGE2), bradikinin, histamin dan sebagainya. Mediator inflamasi tersebut dapat secara

langsung mengaktivasi nosiseptor atau sensitisasi nosiseptor, sehingga timbul nyeri

spontan atau hiperalgesia primer. Hal inilah yang bertanggungjawab terhadap timbulnya

nyeri muskuloskeletal dan nyeri arthropati pada pasien dengan DM. 4,5

Interaksi abnormal antar serabut saraf . 5,28

Aliran impuls-impuls di serabut saraf pada umumnya berjalan sendiri-sendiri

tidak saling mempengaruhi. Hilangnya isolasi glia akibat lesi dapat menyebabkan :

- Ephatic cross talk, short sirkuit antar serabut saraf. Serabut saraf yang lesi

mengaktivasi serabut saraf sehat disekitarnya. Bila serabut saraf A β mengalami

lesi dan mengaktivasi serabut saraf C atau A δ akan timbul alodinia.

- Cross after discharge (CAD), Pada CAD medianya adalah zat kimiawi dan

terjadi segera setelah lesi. Impuls tunggal CAD tidak berarti impuls berulang

yang bersamaan dengan adanya hipereksabilitas neuron memungkinkan

terjadinya hiperalgesia. CAD pada umumnya menyebabkan gejala nyeri

seperti kesetrum (ectopic shock-like pain) yang paroksismal.

Sensitivitas terhadap katekolamin 5,28

Pada keadaan normal nosiseptor tidak sensitif terhadap katekolamin yang

menyebar secara sistemik, akan tetapi bila terjadi lesi di sistem saraf terutama yang

parsial maka akan muncul α 2 adrenergik yang peka terhadap katekolamin yang

dilepaskan oleh saraf simpatis. Reseptor ini akan memacu munculnya ectopic discharge

pada keadaan stres. Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa akson disekitar tempat

20

Page 21: PatfisNND

lesi juga akan memunculkan aktivitas listrik spontan.4,5

3.4.2. Mekanisme Sentral

Sensitisasi sentral

Aktivitas listrik spontan dan yang dibangkitkan akan membanjiri neuron sensoris

di kornu dorsalis terutama pada neuron Wide Dynamic Range (WDR), sehingga neuron

menjadi lebih sensitif. Sensitisasi sentral dapat berlangsung beberapa detik (wind up)

sampai beberapa jam atau beberapa hari (long term potentiation). Fenomena wind-up

adalah peningkatan secara progresif potensial aksi neuron di kornu dorsalis akibat

banjirnya stimulasi dari serabut C sehingga terjadi sensitisasi sentral . Sensitisasi neuron

WDR akan menyebabkan daerah penerimaan impuls noksious meluas dan jumlah

potensial aksi sebagai respon terhadap impuls yang masuk meningkat secara progresif. 4,5,12,28 Stimulasi saraf yang persisten akan mengakibatkan lepasnya glutamat dari pre

sinaps dan mengaktifkan mengaktifkan N-Methyl D Aspartate (NMDA) yang terletak

pada membran post sinaptik medula spinalis. Pacuan glutamat berulang akan

memperpanjang depolarisasi dengan masuknya kalsium dan natrium. Hal ini

menyebabkan potensial post sinaptik yang lebih besar (potensiasi sinaptik). Paparan

potensiasi sinaptik yang terus menerus akan menyebabkan fenomena wind-up. Sensitisasi

sentral atau wind up mampu menimbulkan hiperalgesia, sebab impuls yang dihantarkan

oleh serabut C akan direspon secara berlebihan. 4,5

Reorganisasi sentral

Serabut saraf c biasanya berakhir dengan sinap di lamina I dan II dari medula

spinalis. Lesi serabut saraf akibat neuropati diabetika akan menyebabkan kematian

serabut saraf C. Hilangnya serabut saraf C di lamina I dan II akan memacu sprouting

serabut A β untuk mengirimkan cabang-cabangnya ke lamina tersebut untuk mengisi

kekosongan sinapsis . Hal ini berakibat impuls sentuhan ringan yang dihantarkan oleh

serabut saraf A β untuk lamina I dan II akan diterjemahkan sebagai nyeri, sebab impuls

yang berasal dari lamina I dan II adalah impuls nyeri. Peristiwa ini dikenal dengan

neuronal plasticity. 4,5 Fenomena plastisitas tersebut menjelaskan terjadinya allodinia

taktil pada penderita nyeri neuropati diabetika. Proses sprouting terjadi 1 minggu setelah

jejas saraf dan dapat berlangsung sampai 6 bulan setelah jejas. 4,5

Pada lesi serabut saraf dapat pula terjadi perubahan fenotip serabut saraf A

21

Page 22: PatfisNND

sehingga mampu mengeluarkan substansi P di kornu dorsalis ( yang pada keadaan normal

hanya dilepaskan oleh serabut saraf C ), sehingga terjadi alodinia taktil, dimana stimuli

intensitas rendah ( rabaan, sentuhan) yang dibawa serabut A diterjemahkan (oleh

substansi P) sebagai nyeri. 4,5

Hilangnya kontrol inhibisi

Nyeri terjadi oleh karena adanya gangguan keseimbangan antara eksitasi dan

inhibisi yang terdapat pada kerusakan jaringan (inflamasi) atau sistem saraf (neuropati).

Eksitasi meningkat pada kedua jenis nyeri tersebut. Impuls yang datang dari perifer

biasanya bersifat eksitator. Impuls tersebut sebelum disampaikan ke otak dimodulasi

dulu oleh neuron intersegmental atau neuron yang turun dari otak (descenden inhibition).

Neurotransmiter inhibisi biasanya GABA atau glisin. Pada neuropati diabetika seringkali

terjadi apoptosis sel-sel inhibisi di ganglion radik dorsalis. Disinhibisi dapat disebabkan

oleh karena penurunan GABA / glisin akibat kematian neuron-neuron penghasil kedua

zat tersebut. Disinhibisi dapat menimbulkan gejala allodinia.4,11,27 Hiperglikemia juga

dapat menurunkan nilai ambang nyeri pada pasien neuropati diabetika, dan pengurangan

efek opioid sebagai efek analgetik. Hal ini disebakan pengaruh glukosa pada reseptor

opioid. 4,12

BAB IV

KLASIFIKASI DAN MANIFESTASI KLINIS NEUROPATI DIABETIKA

22

Page 23: PatfisNND

4.1. Klasifikasi Neuropati Diabetika

Neuropati diabetika mempunyai manifestasi klinis yang sangat luas, sehingga

banyak lasifikasi yang diajukan para ahli. Beberapa klasifikasi antara lain :

Klasifikasi neuropati diabetika : 2

A. Neuropati Simetris Distal

1. Predominal serabut ukuran kecil (nyeri atau anestesi)

2. Predominan serabut ukuran besar

3. Neuropati otonom

B. Neuropati asimetris

1. Neuropati kranial

2. Pleksopati

3. Mononeuropati atau radikulopati

4. Parese akibat kerentanan terhadap tekanan.

Klasifikasi yang diusulkan Thomas 1997

Classifikation of Diabetic Neuropathy : 4,15

.A. Diffuse Neuropathy

1. Distal Symetric sensorimotor polineuropathy

2. Autonomic polyneuropathy

a. Sudomotor neuropathy

b. Cardiovascular otonomic neuropathy

c. Gastrointestinal neuropathy

d. Genitourine neuropathy

3. Psymetric proximal lower limb motor neuropathy (Amiotrophy)

B. Focal neuropathy

1. Cranial neuropathy

2. Radiculopathy/plexopathy

3. Entrapment neuropathy

Klasifikasi tersebut berdasarkan anatomi dari serabut saraf perifer atau sistem

saraf perifer (SSP).SSP secara kasar dapat dibagi 3 sistem, yaitu sistem motorik, sistem

sensorik dan sistem otonom. Neuron motorik berasal dari kornu anterior medulla spinalis,

23

Page 24: PatfisNND

dimana terletak badan selnya. Serabut saraf motorik keluar dari radik ventralis dan

menginervasi organ target melalui saraf perifer. 4

Pada pasien dengan DM , dapat terjadi lesi dari neuron sampai ke akhiran organ

target. Salah satu sindroma yang mengenai sistem saraf motorik pada DM ialah diabetic

amyotrophy yang pada umumnya terjadi pada laki-laki dengan DM, usia diatas 50 tahun,

dengan pengontrolan gula yang jelek. 4

Sistem saraf sensorik dimulai dengan badan sel di ganglion radiks dorsalis yang

mengirimkan serabut aferen ke perifer menuju organ terget bersama serabut motorik dan

otonom, dan juga mengirim serabt ke sentral melalui radiks dorsalis yang berakhir pada

sinaps di kornu dorsalis medula spinalis. Sepanjang serabut saraf sensorik dapat terjadi

lesi oleh DM dengan berbagai gejala, baik gejala positif berupa nyeri atau gejala negatif

hipestesi dan sebagainya. Sistem saraf otonom terdiri dari sistem saraf simpatis dan

parasimpatis. Pada DM lesi sering terjadi juga pada saraf otonom. 4

4.2. Manifestasi Klinis Neuropati Diabetika

Pada stadium dini neuropati diabetika dapat asimtomatis dan baru diketahui pada

pemeriksaan fisik. Polineuropati sensorik distal paling sering ditemukan terutama pada

pria dekade keenam dengan IDDM atau NIDDM.

Beberapa gambaran klinis neuropati diabetika :

Polineuropati Simetris Distal

Polineuropati distal yang terbanyak adalah polineuropati sensoris simetris distal.

Merupakan 75% dari neuropati diabetika. Gangguan sensorik selalu lebih nyata

dibanding kelainan motorik dan sudah terlihat pada awal penyakit. Ditandai dengan

hilangnya akson dan serabut saraf terpanjang terkena terlebih dulu. Umumnya gejala

nyeri, parastesi dan hilang rasa timbul ketika malam hari. Khas diawali dari jari kaki

berjalan ke proksimal tungkai. Dengan memberatnya penyakit jari tangan dan lengan

terkena sehingga memberi gambaran “sarung tangan dan kaos kaki”. Dapat mengenai

saraf sensori, motor dan fungsi otonomik dengan bermacam-macam derajat tingkat,

dengan predominan terutama disfungsi sensoris. Kelemahan otot-otot tunkai dan

penurunan reflek lutut dan tumit terjadi lebih lambat. Adanya nyeri dan menurunnya rasa

terhadap temperatur melibatkan serabut sarabut saraf keci(small fiber neuropathy)l dan

merupakan predisposisi terjadinya ulkus kaki. Gangguan propioseptif, rasa getar dan gaya

24

Page 25: PatfisNND

berjalan (sensory ataxia gait) menunjukkan keterlibatan dari serabut saraf ukuran besar

(large fiber neuropathy). Disfungsi otonom yang timbul adalah adanya anhidrosis, atonia

kandung kencing dan pupil reaksi lambat. Awitan gejala perlahan sebagai gejala negatif

dan atau positif. Serabut saraf berukuran besar dan kecil terkena walaupun manifestasi

dini yang muncul mungkin dari serabut kecil.2,20,31

Neuropati serabut kecil (small-fiber neuropathy)

Bila serabut berukuran kecil(serabut A delta dan C) terkena timbul gejala positif

berupa nyeri neuropatik spontan atau dibangkitkan. Nyeri spontan berupa rasa terbakar

dan pedih konstan, nyeri seperti ditusuk, ditekan, kesetrum, disobek, parastesi, disestesi.

Nyeri dibangkitkan dengan stimulus berupa hiperalgesia dan alodinia. Hilangnya sensasi

nyeri dan sensasi temperatur, maka kaki akan dingin, mempunyai resiko terjadinya foot

ulcer. Umumnya gejala positif berupa nyeri ringan sampai sedang. Awitan subakut atau

perlahan kemudian progresif, menetap atau mereda walaupun dapat akut dan kemudian

remisi. Gejala intermiten terasa malam hari atau saat istirahat. 2,20,31

Neuropati serabut besar (large-fiber neuropathy)

Terkenanya serabut ukuran besar menimbulkan gejala negatif berupa baal yang

progresif. Pasien rentan cedera, ulkus atau luka bakar. Pada stadium lanjut

mengakibatkan gangguan propioseptif. Presepsi getar melemah, hilangnya sensasi posisi,

kehilangan keseimbangan, hilangnya atau menurunnya reflek tendon . Keseimbangan

terganggu terutama malam hari atau saat mata tertutup. Manifestasi klinis lain, deformitas

claw toe, neuroarthropati, disertai nyeri relatif ringan. 2,20,31

Gangguan motorik pada stadium lanjut. Dimulai parese dorsofleksi jari kaki dan

otot intrinsik tangan . Secara bertahap akan mengenai tunkai bawah. Jarang parese bagian

proksimal lutut dan siku. Atrofi ditemukan pada otot intriksik tangan dan kaki. Bila

gangguan motorik lebih berat perlu dipikirkan cronic inflammatory demyelinating

polineuropathy. 2,31

Neuropati otonom

Neuropati otonom ditemukan pada 40% pasien diabetes lebih dari 10 thn. Ada

yang berpendapat gangguan otonom selalu dijumpai pada IDDM dengan polineuropati

25

Page 26: PatfisNND

sensoris distal. Kelainan saraf parasimpatis lebih dini dan berat dibanding saraf simpatis.

Gangguan otonom berupa abnormalitas pupil, gangguan fungsi sudomotor, sistem

kardiavaskular, sistem genitourinaria dan fungsi seksual yang menurun serta gangguan

pada traktus gastrointestinal. 2,31

Nyeri Neuropati Diabetika Akut

Acute painful neuropathy (nyeri neuropati perifer akut) adalah variasi dari

polineuropati simetris distal. Gejala berupa nyeri hebat dan akut seperti terbakar,pedih,

tersetrum atau alodinia yang tiada henti pada tungkai dan memburuk pada malam hari.

Pasien bisa menjadi depresi, anoreksia dan penurunan berat badan. Pada pemeriksaan

hanya ditemukan gangguan minimal rasa suhu, sedangkan reflek tendon tetap baik,tidak

dijumpai baal dan parese . 2,31

Keadaan ini dijumpai pada diabetes tidak terkendali atau tidak terdiagnosis atau

timbul saat penanganan diabetes dengan pengendalian kadar glukosa secara ketat. Diduga

gangguan metabolisme sebagai faktor pencetus. Nyeri mereda dalam beberapa bulan

dengan pengendalian kadar glukosa secara lebih perlahan kearah normoglikemia dan

sejalan dengan regenerasi aksonal. Diduga gangguan metabolisme merupakan faktor

pencetus. 2,31

Pleksopati, Amiotropi Diabetika

Nama lainnya adalah neuropati motorik proksimal, neuropati femoral. Khas pada

usia pertengahan atau orang tua dengan NIDDM. Awitan alam beberapa hari atau

minggu, timbul nyeri tajam, menusuk didaerah lumbosakral serta paha yang simetris.

Diikuti parese dan atrofi otot proksimal quadriceps femoris, ileopsoas, dan otot abductor

paha disertai reflek patela menurun. Pada pemeriksaan dapat ditemukan hipestesi yang

minimal pada persarafan nervus femoralis.Perbaikan yang terjadi 12 bulan, mungkin

dengan gejala sisa. 2,31,33

Neuropati Kranial

Sering pada pasien NIDDM dengan pengendalian glukosa yang buruk. Saraf yang

mungkin terkena nervus III, nervus IV, nervus VI ,dan nervus VII. Paling sering terjadi

opthalmoplegi nervus III akut tanpa kontriksi pupil dan lebih 50% disertai nyeri

periorbital serta dahi. Umumnya diatas 50 thn. Patogenesisnya adalah iskemia dibagian

sentral fasikulus saraf sehingga serabut parasimpatis yang terletak lebih perifer selamat.

26

Page 27: PatfisNND

Remisi dapat terjadi dalam 3 - 6 bulan. 17,20,31

Mononeuropati Kompresi

Sering dijumpai pada pasien diabetes wanita usia lebih dari 40 tahun. Sindroma

terowongan karpal yang mengenai nervus medianus paling sering diumpai(5,8%). Saraf

lain yang mungkin terkena nervus ulnaris(2,1%), n.radialis (0,6%) dan nervus peroneus

komunis. 20,31 Ada dua jenis kerusakan , yaitu pertama adalah saraf yang terjepit pada

tempat dimana mereka harus melewati terowongan atau diatas tonjolan tulang. Sistem

saraf penderita diabetes lebih cenderung terkena kompresi. Fokal neuropaties di

ektremitas disebabkan oleh entrapment maupun kompresi saraf. Sedangkan jenis yang

kedua adalah kerusakan muncul karena adanya penyakit pembuluh darah yang

disebabkan oleh diabetes sehingga timbul iskemi atau infark pembuluh darah. Neuropati

yang disebabkan oleh infark saraf menunjukkan gejala nyeri fokal sehubungan dengan

kelemahan dan berkurangnya sensoris yang bervariasi di distribusi saraf yang

bersangkutan..31

Radikulopati / Poliradikulopati Dabetika

Jarang dijumpai pada pasien usia dibawah 40 tahun dan setengahnya disertai

penurunan berat badan. Monoradikulopati paling sering didaerah torakal dan lumbal atas

unilateral. Gejala utama berupa nyeri terbakar, hiperalgesia atau nyeri dalam akut, atau

subakut. Gejala sensorik negatif minimal atau tidak ada dan umumnya tanpa

kelumpuhan.Sebagian kecil pasien alami rekurensi pada radiks berbeda berbeda setelah

beberapa bulan atau tahun. Beberapa radiks saraf dapat terkena sekaligus

(poliradikulopati). 20,31 Melibatkan saraf tunggal atau lebih, biasanya multiple spinal

roots. Meliputi 2 sindrom yaitu thorakoabdominal neuropati dan lumbosakral

radikuloplexopati. 20

Neuropati torakoabdominal.

Jarang dijumpai. Terutama pada orang tua yang lama menderita DM dan mungkin

disertai penurunan berat badan nyata. Timbul rasa nyeri akut di dada atau abdomen.Nyeri

dirasakan seperti terbakar, menikam seperti dibor, mengikat atau nyeri dalam yang parah

pada malam hari. Serangan nyeri umumnya unilateral kemudian dapat menjadi bilateral.

Hipersensitif terhadap sentuhan, kontak dengan pakaian terasa nyeri atau tidak enak.

Defisit sensoris berupa hipestesi sesuai distribusi dermatomal, terutama distribusi

27

Page 28: PatfisNND

interkostal. Sering dijumpai bersamaan dengan polineuropati simetris distal. Pada

pemeriksaan elektrodiagnostik diduga kelainan pada radiks saraf. 20,31

Lumbosakral radikuloplexopati

Sering terjadi pada pasien usia tua > 50 tahun dengan diabetes yang tidak

terkontrol. 50% penderita berat badannya berkurang. Gejala mulai secara unilateral

kemudian menyebar ke arah kontralateral.Dimulai dari nyeri unilateral pinggul bawah

belakang, atau punggung bawah dan menyebar ke paha bagian depan. Bisa terjadi

kelemahan yang progresif pada pinggul dan otot paha, dapat terjadi atrofi otot proksimal

otot tungkai bawah. Reflek lutut umumnya menghilang, sedangkan ankle reflek.

BAB V

DIAGNOSIS , TERAPI DAN PROGNOSIS

28

Page 29: PatfisNND

Prosedur diagnosis nyeri neuropati diabetika mencakup anamnesis, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang.

5.1. Anamnesis

Diagnosis nyeri neuropatik diabetika terutama didasarkan pada anamnesis yang

typikal. Pemeriksaan neurologis dan penunjang hanya sedikit membantu dalam

diagnosis, tetapi diperlukan untuk menyingkirkan penyebab penyebab nyeri yang lain. 5

Gejala nyeri neuropatik diabetika biasanya mulainya pelan-pelan, yang khas

berawal dari jari-jari kaki kemudian menjalar ke proksimal sampai tunkai bawah.

Tangan jarang terkena dan biasanya tidak begitu berat dan terjadinya lebih akhir dari

kaki. Tidak ada hubungan antara beratnya neuropati dengan intensitas nyeri. Sifat nyeri

pada nyeri neuropatik diabetika sangat bervariasi dan berbeda-beda antara pasien yang

satu dengan pasien yang lain dan dapat berubah-ubah dari waktu ke waktu pada pasien

yang sama. Nyeri dapat muncul spontan atau dibangkitkan oleh rangsang tertentu. Nyeri

spontan dapat berlangsung terus menerus, meskipun intensitas bervariasi, seperti

terbakar, berdenyut, atau intermitent/paroksismal yang biasanya berlangsung singkat

seperti kesetrum, ditusuk atau ditembak. 5

Penderita dapat mengalami alodinia dengan keluhan sprei tempat tidurnya

mengiritasi kaki sehingga mengganggu tidurnya, tidak jarang penderita tidur dengan kaki

menggantung diluar tempat tidurnya. 5

Pasien sering sulit menggambarkan dengan jelas keadaan nyerinya, oleh karena

itu sebaiknya melakukukan penilaian nyeri dibantu dengan pertanyaan-pertanyaan

sebagai berikut . 5,30

- Kapan dan dimana mulai nyerinya (lokasi nyeri, penjalaran)

- Berapa lama sudah menderita nyeri?

- Bagaimana sifat nyerinya ? menusuk, panas, hiperalgesia, alodinia dll

- Faktor-faktor apa yang memperingan dan memperberat nyerinya?

- Apakah nyerinya mengganggu aktivitas sehari-hari?

- Apakah nyerinya mengganggu tidur?

- Bagaimana intensitas nyerinya?

- Riwayat pengobatan yang sedang atau yang sudah dilakukan untuk

mengurangi nyerinya?

29

Page 30: PatfisNND

- Riwayat penyakit sebelumnya.

5.2.Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pasien dengan nyeri neuropati diabetika dilakukan pada semua

tubuh, ini berkaitan dengan komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita DM.

Pemeriksaan neurologis rutin ditambah dengan perabaan denyut arteri perifer.

Berbeda dengan pemeriksaan rutin, disini yang lebih diutamakan mencari gejala positif

seperti alodinia dan hiperalgesia. 5

Pemeriksaan rasa getar rutin denga garputala 128 Hz, rasa getar ini dihantarkan

oleh serat saraf perifer besar bermielin. Gangguan pada fungsi ini sering mendahului

reflek tendon, rasa raba ringan, dan rasa posisi. Sekarang digunakan alat presepsi getar

yang canggih seperti biothesiometer dan vibrameter. Biothesiometer menggunakan

elektromagnet untuk mengaktifkan stimulator menggunakan pir menurut skala 0-50 volt.

Resiko ulserasi kaki bertambah 3-4 kali bila ambang presepsi getar >25 volt. Vibrameter

berdasarkan atas prinsip biothesiometer akan tetapi menggunakan skala milimeter. 5,31

Pemeriksaan adanya hiperalgesia dan alodinia (stimulus evoked pain) dengan

rangsang tusuk, suhu maupun raba. Pemeriksaan rasa suhu (rasa dingin dan panas)

memakai tabung air dingin (200C) dan air panas (400C), dianjurkan menggunakan

microprosessor- controlled thermode memakai termo lektrik unit. Dengan cara ini diukur

ambang rasa dingin dan panas untuk menilai fungsi aferen serat saraf mielin penampang

kecil dan tak bermielin. Rasa panas dan dingin harus ditest tersendiri. Rasa panas

disalurkan melalui serat saraf C tak bermielin sedangkan rasa dingin melalui serat saraf

Aό kecil bermielin. 5

Pemeriksaan rasa raba ringan dihantarkan oleh serat bermielin besar Aα dan Aβ.

Monofilamen Semmes-Weinstein yang digunakan untuk rasa raba ringan dan tekan

dalam mempunyai bermacam-macam ukuran diameter. Bila tidak dapat merasakan

filamen ukuran 10 g menunjukkan penderita cenderung mendapat ulserasi kaki. 5,

Penilaian fungsional motorik meliputi kemampuan berdiri dan berjalan. Dinilai

kekuatan dan tonus otot, adanya atropi dan fasikulasi. Hilangnya refleks tendon dapat

sebagai patokan lokasi lesi dan menandakan kelainan serabut sensorik ukuran besar. 31

Penilaian fungsi otonom dengan evaluasi hipotensi ortostatik antara lain dengan

pemeriksaan tekanan darah posisi terbaring, duduk dan berdiri setelah satu menit, secara

30

Page 31: PatfisNND

bersamaan dilakukan penilaian nadi dan denyut jantung , demikian pula saat tes Valsava.

Abnormal bila tekanan darah sistolik turun lebih dari 20% atau lebih dari 30 mmHg.

Penurunan tekanan darah akan disertai dengan refleks takikardia bila saraf simpatis

normal. Bila frekwensi nadi tidak meningkat, dicurigai kelainan saraf simpatis.

Takikardia yang tidak berkurang saat tes Valsava mengarah kelainan saraf parasimpatis

nervus vagus pada jantung. Evaluasi fungsi saraf otonom termasuk penilaian regulasi

suhu , vasokontriksi perifer , berkeringat atau kulit yang kering, perubahan trofik pada

kulit.31

Tabel 2. Anamnesis Gejala pada Pasien Diabetes Melitus 31

Sistem Keluhan pada

Sensorik

Gejala Negatif

Gejala Positif

Baal , geli , seperti pakai sarung tangan , hilang

keseimbangan (mata tertutup ) , kurang tangkas, sulit

menemukan atau mengenal barang di dalam kantong / tas

, cedera tanpa nyeri , borok.

Rasa terbakar , ditusuk , ditikam , kesetrum , disobek ,

tegang , diikat, kulit menjadi sensitif bila terusap.

Motorik

Kelumpuhan Distal

Kelumpuhan Proksimal

Gerakan halus tangan terganggu , sulit putar kunci / buka

stoples , jari tertekuk, tersandung, kedua kaki

bertabrakan.

Sulit naik tangga , sulit bangkit dari kursi atau lantai,

terjatuh, sulit bekerja dengan atau mengangkat lengan

atas diatas bahu.

Otonom

Sudomotor

Kardiovascular

Tidak berkeringat, keringat banyak setempat, berkeringat

saat makan, kulit kering.

Melayang pada posisi tegak, pingsan, sinkop saat b.a.k /

batuk/ kegiatan fisik.

31

Page 32: PatfisNND

Seksual

b.a.b/b.a.k.

pupil

Impoten, sulit ejakulasi, ejakulasi retrograd, sulit

orgasme.

Sulit menahan B.a.B / b.a.k., ngompol, anyang-

anyangan, muntah (terutama bila makan tertahan), diare

malam hari, sulit b.a.b (konstipasi).

Sulit adaptasi gelap / terang

Di Kutip : Nyeri Neuropati Diabetika

5.3.Pemeriksaan Penunjang

5.3.1. Pemeriksaan Elektrofisiologik

Pemeriksaan hantar saraf dan elektromiografi akan menambah informasi dalam

evaluasi klinis atau diperlukan dalam penelitian. Tetapi secara umum untuk dapat

mendiagnosis neuropati diabetika tidak harus diperlukan pemeriksaa elektrofisiologis

kecuali pada pasien dengan gejala tanda otonom murni atau hanya nyeri seperti pada

radikulopati dan nyeri neropatik simetris distal anggota gerak. 2,25 Walaupun pemeriksaan

elektrofisiologis standar sebenarnya tidak dapat mendeteksi serabut saraf berukuran kecil,

tetapi pada neuropati diabetika hampir tidak ada yang selektif mengenai serabut ukuran

kecil. 2,5,31

Alat elektrodiagnostik yang sangat berguna untuk menegakkan diagnosis penyakit

sistem saraf perifer adalah Elektroneuromiografi (ENMG) . Pemeriksaan ini merupakan

kombinasi antara pemeriksaan elektroneurografi (ENG) dan elektromiografi (EMG).

ENG disebut sebagai pemeriksaan konduksi saraf yang mencakup pemeriksaan kecepatan

hantar saraf (KHS) motorik, sensorik dan respon lambat. Sedangkan EMG adalah alat

yang digunakan untuk pemeriksaan aktifitas listrik otot. 7,31 Pemeriksaan KHS dikerjakan

dengan cara menstimulasi saraf perifer untuk membangkitkan respon motorik maupun

sensorik yang direkam dengan menggunakan elektrode permukaan (surface elektrode).

Saraf yang diperiksa pada KHS adalah n.medianus, n.ulnaris, n.perineus, n. tibialis dan n.

suralis.Abnormalitas dari KHS dan cetus potensial (evoked potensial) dapat

mengungkapkan patofisiologi yang mendasari gangguan saraf tepi. Pemeriksaan EMG

jarum berguna untuk menilai aktifitas listrik dari elektroda yang ditusukkan ke dalam otot

yang diperiksa. Dengan pemeriksaan EMG dapat diketahui adanya degenerasi aksonal,

32

Page 33: PatfisNND

adanya reinervasi maupun kelainan primer pada otot. 32

Pada polineuropati diabetika pemeriksaan KHS menunjukkan bahwa hantaran

sensorik yang terganggu berupa :penurunan kecepatan hantaran saraf sensorik, penurunan

amplitudo dan pemanjangan potensial aksi. 32

Tidak ada pemeriksaan neurofisiologis yang khas patognomonik untuk neuropati

diabetika. Walaupun demikian hasil pemeriksaan dapat menggambarkan neuropati

diabetika. Kelainan neurofisiologis yang dapat ditemui pada neuropati diabetika adalah

penurunan hantar saraf sensoris dan motoris, perubahan gelombang F, perubahan

potensial aksi otot, peningkatan latensi distal. 2,31

5.3.2. Quantitative Sensory Testing

Quantitative Sensory Testing (QST) berguna untuk menentukan beratnya penyakit

dan efek terapi pada serabut saraf ukuran kecil pada clinical trial. Dipakai pula untuk

diagnosis neuropati diabetika apabila gejala dan tanda serta pemeriksaan elektrofisiologis

minimal. 2,31

Untuk mendeteksi neuropati serabut berukuran kecil/small fiber diabetic

neuropathy (SFDN) , QST memiliki keuntungan jika dibanding dengan konduksi saraf.

Pertama, QST mendeteksi saraf sensorik kecil; kedua, ia juga mengevaluasi fungsi

sensoriknya; ketiga, ia mengevaluasi keseluruhan axis sensorik dan terakhir, ia lebih

mudah dan sederhana untuk dilakukan dan tidak menimbulkan rasa sakit. 3

5.3.3. Biopsi

Biopsi kulit dikerjakan pada neuropati serabut berukuran kecil termasuk neuropati

diabetika. Pada biopsi saraf antara lain ditemukan antara lain hilangnya akson, degenerasi

walerian, dan penebalan membrana basalis endoneural.Dengan neuropeptida serabut saraf

intraepidermal diwarnai untuk melihat gambaran ujung akhiran saraf. 2,31

5.4. TERAPI NYERI NEUROPATI DIABETIKA

Satu-satunya pengobatan yang ditujukan pada penyebab nyeri yang mendasari

nyeri neuropati diabetika adalah meningkatkan kontrol gula darah, meskipun harus

33

Page 34: PatfisNND

diingat bahwa hal tersebut sebenarnya diarahkan pada penyebab neuropati , bukan pada

penyebab nyeri. Sebagai pengobatan simtomatik terhadap nyeri dapat digunakan terapi

farmakologik dan non farmakologik. Terapi farmakologik yang sering dipakai untuk

mengatasi nyeri adalah antidepresan trisiklik, antikonvulsan, analgetik narkotik dan anti

aritmia. Selain terapi farkaologik terapi non farmakologik seperti edukasi terhadap pasien

juga penting. 12

5.4.1. PENGENDALIAN OPTIMAL KADAR GLUKOSA

Penaganan berdasarkan patomekanisme yang mendasari timbulnya neuropati

diabetika terutama dengan mengendalikan kadar glukosa secara optimal.Kadar HbA1c

dipertahankan sekitar 7%. Dengan cara ini dapat mencegah komplikasi mikrovaskular

termasuk neuropati atau memperambat awitan dan progresifitas neuropati.30,33,34,37

Penelitian dari The Diabetes Control dan Complication Control Trial (DCCT) dan United

Kindom Prospective Diabetic Study (UKPDS) menunjukan bahwa kendali gula darah

tidak hanya menurunkan resiko perkembangan neuropati namun juga memperlambat

progresivitasnya. Pada DCCT dilaporkan bahwa terapi intensif yang mengendalikan gula

darah sedekat mungkin dengan rentang normal selama 5 tahun menurunkan prevalensi

neuropati diabetika sebesar 60%.1

Hiperglikemia dan atau fluktuasi cepat kadar glukosa akan mengurangi toleransi

nyeri. Pengendalian kadar glukosa secara ketat dilaporkan akan meredakan nyeri hebat

pada neuropati diabetika kronik.Hasil terapi baik bila nyeri timbul saat diagnosis diabetes

baru ditegakkan dan pada nyeri akut diabetika dengan normalnya kadar glukosa darah.

Nyeri akan mereda setelah beberapa minggu setelah kadar gula darah terkendali dengan

baik.. 2,25 Hati-hati saat menurunkan kadar glukosa secara cepat dengan insulin karena

dapat menimbulkan rasa nyeri (painful insulin neuritis). Pengendalian glisemia yang

stabil dapat memodifikasi penyakit dengan meningkatkan fungsi saraf dan memperbaiki

gejala. 2,31,34,35

5.4.2. TERAPI FARMAKOLOGIK

Sebelum memberi terapi farmaka untuk nyeri yang kebanyakan berupa

simtomatis, diagnosis penyebab sebaiknya ditegakkan terlebih dahulu dan diretapi. Nyeri

oleh karena neuropati termasuk neuropati diabetika dapat sangat menyakitkan dan lebih

menyebabkan diasabilitas dari penyakit primernya. Sangat dianjurkan untuk memahami

34

Page 35: PatfisNND

mekanisme yang mendasari simtom nyeri, apakah parastesi, hiperalgesia mekanik,

alodinia dan lain sebagainya, untuk memberi terapi farmaka yang rasional. 4

Obat yang sering digunakan pada nyeri neuropatik mempunyai mekanisme kerja

sentral atau perifer. 12 Obat obat yang sering digunakan antikonvulsan, antidepresan

trisiklik dan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI), analgetik narkotik ,

antiaritmia, maupun obat topikal. 12

Antikonvulsan

Antikonvulsan berperan penting pada pengobatan periperal diabetik neuropati .

Telah dilakukan studi dalam penggunaan antikonvulsan dari beberapa klas untuk nyeri

neuropati diabetika. Ada 2 jenis antikonvulsan gabapentin dan pregabalin yang

tampaknya menunjukkan hasil yang signifikan dalam mengurangi nyeri dibandingkan

dengan antikonvulsan lainnya.

Gabapentin

Struktur gabapentin mirip gamma-aminobutiricacid (GABA),suatu

neurotransmiter diotak. 4,12Gabapentin mampu dengan mudah melewati sawar darah otak. 4

Gabapentin mempunyai onset kerja yang cepat , merperbaiki kualitas hidup,dan

ditoleransi dengan baik. 11 Dosis Gabapentin 900 -1200 mg/hr dalam dosis terbagi. 31

Gabapentin mampu menurunkan skor nyeri pada berbagai kasus neuropati.

Kemampuan tersebut sesuai dengan kemampuan gabapentin menghambat saluran

calsium a2d.4,34,36 Gabapentin dapat merubah aktivitas glutamic acid decarboxylase,

sehingga mampu meningkatkan GABA (inhibisi). 4

Backonja et al. (1998) meneliti penderita dengan 1-5 tahun dengan riwayat nyeri

yang berhubungan dengan neuropati diabetika. Didapati adanya perbakan dalam hal daily

pain severity, kualitas hidup, kesehatan menal serta vitalitas pada kelompok dengan

gabantin dibandingkan placebo. Perbaikan dalam hal tidur dalam minggu pertama

sedangkan perbaikan dalam nyeri terjadi dalam minggu kedua pengobatan. 12

Pregabalin

Pregabalin juga telah menunjukkan efektifitas di dalam hal mengurangi nyeri

yang berhubungan dengan neuropati diabetik. Pregabalin efektif dengan dosis dua kali

sehari. Mekanisme pregabalin belum diketahui dengan benar. Mekanisme kerja

pregabalin dihubungkan dengan neurotransmiter GABA, walaupun tidak ada bukti bahwa

35

Page 36: PatfisNND

mereka mengikat secara langsung ke GABA reseptor ataupun mereka terlibat

pengambilan atau pecahnya uraian GABA.20 Kemungkinan teori berdasarkan pada

pengamatan bahwa agen ini mengikat alpha 2 delta subunit dari voltage dependent Ca2+

channel, maka ,mungkin mereka mengatur neurotranmission di presynaps dorsal horn

neurons.20,36 Efek samping yang sering timbul adalah mengantuk, pening, kelelahan. Jika

kasus nyeri amat parah maka dianjurkan kombinasi antidepresan, antikonvulsan dan

topikal.20

Carbamazepine

Carmazepine merupakan obat antiepilepsi yang digunakan sebagai terapi adjuvan.

Carbamasepin memiliki mekanisme aksi:(1)blokade saluran Na yang menyebabkan

stabilisasi, menghambat cetusan listrik berulang, dan menghambat perjalanan impuls,

(2)memodulasi saluran calsium, (3) menghambat aksi glutamat post sinaps. 4,12, 36

Karbamasepin merupakan pilihan untuk trigeminal neuralgia dan dipakai pula pada nyeri

neuropati diabetika. Diberikan titrasi sampai dosis 200-1000 mg/hari. 31,37 Tentang

pemakaian karbamasepin pada nyeri neuropati diabetika, ada uji klinik buta dengan 30

penderita. Dengan dosis 600 mg/hr ternyata 63% penderita dengan obat menunjukkan

perbaikan sedang atau sepurna, sementara kelompok kontrol hanya 20%, ini

menunjukkan perbedaan yang bermakna. . 11 Efek samping karbamasepin adalah dizzines,

mual, ruam kulit , depresi sumsum tulang dan Sindrom Stevens-Jonson . 12,36

Okskarbamasepin

Okskarbamasepin merupakan suatu ketoanalog dengan karbamasepin. Disamping

bekerja diperifer dengan memblok kanal Na, disebutkan pula bahwa Okskarbamasepin

juga bekerja disentral dengan memblok influs Ca, dan juga menurunkan tranmisi

glutaminergik. 4,12,36

Beydoun, 2002 pada penelitiannya mendapatkan adanya perbaikan yang

bermakna pada skor VAS, skor nyeri Mc Gill total dan juga perbaikan kulaitas hidup

pada penderita yang mendapatkan okskarbamasepin. 11 Efek samping yang sering muncul

adalah mengantuk dan pusing.36

Fenitoin

Fenitoin bekerja dengan mengurangi letupan spontan serabut saraf berukuran

kecil dengan menghambat saluran ion Na dan penekanan aktifitas glutamat. 12,36 Fenitoin

36

Page 37: PatfisNND

jarang digunakan sebagai first line untuk neuropati diabetika. 12,24 Fenitoin menunjukkan

manfaat dibanding placebo pada dosis 300-600 mg/hr pada 60 penderita dengan

neuropati diabetika. Perbaikan nyeri dapat dilihat dalam 2 – 4 hari setelah terapi. Apabila

dalam periode tersebut penderita tidak merasakan efeknya, terapi yang diteruskan tidak

akan mengurangi gejala. Karena sebaikknya fenitoin dihentikan apabila dalam 5 hari

setelah terapi dimulai tidak tampak efek yang menguntungkan. 12

Tramadol

Tramadol merupakan analgetik sentral yang bekerja sebagai agonis reseptor

opioid dan menghambat ambilan kembali serotonin dan norepineprin. Penelitian

eksperimental memperlihatkan bahwa tamadol mampu memacu pelepasan 5-HT kedalam

celah sinaps. 4,20

Efek tramadol pada sistem monoaminergik merupakan dasar penggunaan

tramadol untuk nyeri neuropati. Uji klinik pada 45 pasien dengan nyeri neuropati

memperlihatkan bahwa pemberian sdiaan tramadol secara bermakna memperbaiki nyeri,

parastesi, dan alodinia dibanding placebo. Mekanisme tramadol untuk nyeri neuropati

diperkirakan melalui 2 cara:(1) hiperpolarisasi neuron post sinaps akibat perangsangan

reseptor opiat post sinaps, dan (2)memperkuat sistem inhibisi dengan menghambat

ambilan kembali serotonin dan norepineprin. Tramadol memiliki efek yang signifikan

untuk mengurangi parastesi dan alodinia. 4 Efek samping dari pengobatan ini meliputi

pening, mual, konstipasi, dan keadaan mengantuk.4 Dosis yang digunakan untuk nyeri

neuropatik dengan dosis awal 50 mg dititrasi sampai 400 mg/hari. 31

Antidepresan Trisiklik

Antidepresan trisiklik pernah merupakan obat utama untuk neuropati diabetika

simtomatis. Perannya dalam menghilangkan nyeri dilakukan dengan menghambat

reuptake dari serotonin dan noradrenalin dan mungkin juga dengan peningkatan endorfin. 12,24 Kerja dari neuroransmiter tersebut adalah menghambat jalur nosiseptif. Jadi pada

dasarnya trisiklik meningkatkan inhibisi dari batang otak ke medula spinalis. 12

Kegunaan obat antidepresan trisiklik seperti amitriptilin dan imipramin telah

dikonfirmasi dari beberapa studi randomised controlled trials. Walaupun manjur dan

murah untuk managemen nyeri neuropatik, efek samping, terutama sekali antikolinergik

(mulut kering, dizzines, konsipasi, retensio urine dan juga hipotensi postural yang

37

Page 38: PatfisNND

utamanya pada usia lanjut) dapat menyusahkan dan membatasi penggunaan obat tersebut

pada pasien. 12,20

Antidepresan trisiklik dibagi menjadi 2 kelompok : amin tertier seperti

amitriptilin dan imipramin serta amin sekunder seperti nortriptilin dan desipramin.13 Jenis

amin tersier seperti amitriptilin adalah terbaik untuk agen ini, telah ditunjukkan banyak

blind placebo controlled trials dengan hasil yang signifikan untuk nyeri neuropatik.

Agen ini meningkatkan norepineprin presinaptik dan serotonin, dan mereka juga

menghalangi Na voltage-gate+ channels . Efek samping agen ini meliputi keadaan

mengantuk, konstipasi, mulut kering, berat badab bertambah dan hipotensi ortostatik.

Jenis amine yang sekunder, nortriptilin dan desipramin, mempunyai lebih sedikit efek

samping. Oleh karena adanya laporan efek kardiotoksisitas, pemberian antidepresan

trisiklik harus hati-hati digunakan pada pasien dengan penyakit jantung. Suatu meta-

analysis studi penggunaan antidepresan randomized placebo controlled trials

mengungkapkan bahwa agen trisiklik menyajikan sedikitnya 50% pengurangan intensitas

rasa nyeri pada 30% pasien dengan nyeri neuropatik. 20

Pemberian antidepresan trisiklik sebaiknya , sebelum tidur dan dimulai dengan

dosis yang rendah. Misalnya pemberian amitiptilin dimulai dengan dosis 10 mg dan dapat

di titrasi sampai 25 mg untuk meminimalkan efek samping obat tersebut. Despiramin

dan nortriptilin memberikan efek samping sedasi dan kolinergik yang lebih kecil. 12

Selective Serotonine Reuptake Inhibitors (SSRI´s)

Selective Serotonine Reuptake Inhibitors seperi venlafaxine dan duloxetine, telah

membuktikan bermanfaat untuk manajemen pasien dengan nyeri periperal diabetik

neuropati. Agen ini menghalangi pengambilan kembali serotonin dan noreprineprin

tanpa efek samping yang muskarinik , histaminik adrenergik yang biasa terdapat pada

penggunaan trisiklik. Efek samping yang sering timbul meliputi hipertensi, gejala

gastrointestinal. 20

Beberapa SSRI´s juga pernah diteliti pada nyeri neuropati diabetika. Paroksetin

dan sitaprolam terbukti memperbaiki gejala neuropatik. Sindrup et al (1990) dalam

penelitiannya membandingkan paroksetin, imipramin dan plasebo. Dalam penelitian ini

dapat disimpulkan bahwa paroksetin 40 mg/hari adalah efektif untuk pengobatan

neuropati diabetika. 12

38

Page 39: PatfisNND

Meksiletin

Meksiletin adalah obat antiaritmia klas 1b, juga menunjukkan gejala nyeri pada

neuropati diabetika. Satu dari kemungkinan nyeri neuropati diabetika adalah regenerasi

spontan dari serabut nosiseptif primeryang memerlukan influk natrium kedalam sel saraf.

Sementara mekanisme meksiletin belum jelas diketahui, diduga efek inhibisi terhadap

kanal natrium berperan pada pembebasan nyeri. 12

Obat Topikal

Beberapa keuntungan penggunaan obat topikal untuk nyeri neuropati diabetik

adalah efek samping sistemik yang minimal , tidak ada interaksi antar obat, dan pada

umumnya tidak usah memakai titrasi obat. Juga efek farmakoterapeutik diterapkan

secara langsung kepada lokasi sakit. 13Capsaicin yang merupakan bahan aktif dari

capsicum adalah ekstrak dari red chilli peppers. Capsaicin membebaskan nyeri pada

nyeri neuropati diabetik dengan meniadakan atau mengurangi substansi P, suatu

neurotransmiter untuk nyeri dari neuron sensorik perifer (serabut saraf aferen nosiseptif

tak bermielin tipe C) 12,13,26. Neuron tipe C adalah mediator untuk sensasi nyeri kutaneus.

Efek samping dari pengobatan ini adalah rasa terbakar pada kulit, batuk atau bersin dan

eritema. 1,20

Penelitian dilakukan oleh The capsaicin Study Group yang dilakukan terhadap

277 penderita diabetes melitus stabil dan neuropati perifer atau radikulopati untuk

menentukan kasiat kim 0,075% capsaicin dalam menghilangkan nyeri. Didapatkan bahwa

ada pembebasan nyeri dan perbaikan intensitas nyeri pada analisis akhir pada kelompok

terapi capsaicin dibanding dengan placebo. Perbedaan bermakna setelah 2-4 minggu

pengobatan. 12 Namun hasil trial pengobatan menggunakan capsaicin ini masih

kontroversial. 20

5.4.3. TERAPI NON FARMAKOLOGIK

Pengobatan nyeri neuropati diabetik boleh disebut berhasil jika penderita

merasakan penurunan nyeri. Hilangnya nyeri secara total adalah jarang. Karenanya

edukasi kepada pasien merupakan bagian yang penting dari penanganan nyeri.12,31

Fisioterapi dengan dengan transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS), sangat

membantu pasien dengan nyeri neuropati diabetik. Selain itu akupunktur dilaporkan

dapat mengurangi nyeri dan memperbaiki tidur. 31

39

Page 40: PatfisNND

5.5. PROGNOSIS

Nyeri neuropati diabetika jarang dapat hilang secara total. Sebaiknya dokter

menjelaskan sejak awal sehingga pasien dapat mempunyai harapan yang realistis.12 Nyeri

neuropati diabetika akan memberikan hasil terapi yang baik bila saat diagnosis diabetes

baru ditegakkan dan pada neuropati nyeri akut diabetika dengan normalnya kadar gula

darah. Nyeri akan mereda setelah beberapa minggu kadar gula darah terkendali dengan

baik.31

BAB VI

RINGKASAN

Nyeri neuropati diabetika merupakan salah satu komplikasi tersering diabetes

pada saraf tepi. Gejala yang sering muncul yaitu rasa terbakar (burning), rasa ditikam,

kesetrum, disobek, diikat, hiperalgesia dan alodinia.

Mekanisme nyeri neuropati diabetika sangat komplek dan belum sepenuhnya

diketahui. Mekanisme nyeri ini diduga melalui mekanisme perifer dan sentral.

Mekanisme perifer meliputi aktifitas ektopik, sensitisasi nosiseptor, interaksi serabut

saraf dan sensitifitas terhadap katekolamin, sedangkan mekanisme sentral meliputi

sensitisasi sentral, disinhibisi dan reorganisasi sentral.

Diagnosis nyeri neuropati diabetika didasarkan anamnesis yang khas,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan elektrodiagnostik sangat

berguna untuk membantu menegakkan diagnosis pada sistem saraf perifer termasuk

neuropati diabetika.

Penanganan nyeri neuropati diabetika didasarkan pada mekanisme terjadinya

nyeri. Penanganan nyeri neuropati diabetika meliputi pengendalian kadar glukosa dan

obat-obatan meliputi anti konvulsan, antidepresan, antiaritmia maupun obat topikal.

40

Page 41: PatfisNND

Usaha non farmakologik seperti edukasi , fisioterapi dan akupunktur membantu dalam

penanganan nyeri neuropati diabetika.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wiyono P. Etiopatogenesis Neuropati Diabetika. Dalam : Meliala L (ed), Terapi

Nyeri secara Rasional dalam Kumpulan Makalah pertemuan Ilmiah I Indonesia

Pain Sociey. Yogyakarta, 2003 : 105- 09.

2. Sadeli HA. Nyeri Neuropati Diabetika. Dalam Meliala L (ed), Nyeri Neuropatik

Patofisiologi dan Penatalaksanaan. Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI, 2001 : 67-

79.

3. Park ST, Baek SH, Park HJ. Advanced Diagnostic methods of small fiber diabetic

peripheral neuropathy. Diabetes Research and Clinical Practice2007 :191- 3..

Available from : www.elsevier.com/locate/diabres.

4. Meliala L. Penatalaksanaan Nyeri Neuropati Diabetika.Kumpulan Makalah

Toward Mechanism-Based Pain Treatment The Recent Trent and Current

Evidences. Yogyakarta, 2004 : 121- 8.

5. Thomas E. Mekanisme dan Diagnosis Nyeri Neuropati Diabetika.Naskah

Lengkap Pertemuan Ilmiah Nasional I Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI.

Manado, 2005 : 171- 80.

6. Dani R. Patofisiologi Nyeri Neuropatik. Berkala Neuro Sains Vol.5 No.2 Februari

2004: 93 – 100.

41

Page 42: PatfisNND

7. Sukardi. Neuroanatomia Medika. Penerbit Universitas Indonesia, 1984 :6-14.

8. Duus P. Diagnosis Topik Neurologi: Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala. Penerbit

Buku Kedokteran EGC, 1994 : 1-29.

9. Snell R. Neuroanatomi Klinik . Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1996 :

97- 130.

10. Soliman E. Diabetic Neuropathy. URL:http://www.author.eMedicine

journal.com/neuro/topic.88.htm

11. Meliala L. Terapi Rasional Nyeri : Tinjauan Khusus Nyeri Neuropatik.

Yogyakarta :Aditya Media, 2004: 1-11

12. Suroto. Penanganan Nyeri Neuropati Diabetika. Meliala L (ed), Terapi Nyeri

secara Rasional dalam Kumpulan Makalah pertemuan Ilmiah I Indonesia Pain

Sociey. Yogyakarta, 2003 : 91-9.

13. Melancon.CH, 2000. Tip For Dialing With Neuropathy. Http: wwwovarian-

news.org

14. Adam RD, Victor M. Disease of the Periperal Nerve. In : Priciples of Neurology,

8th ed . United State of America: McGraw Hill,2005 :1110- 77

15. Thomas PK. The Patology of Diabetic Neuropathy. In : International Text Book

of Diabetic Melitus. Second Edition. London: John Wiley and Sons Ltd, 1997.

16. Kimura J. Anatomy and Physiology of the Peripheral Nerve and Muscle Principle

and Practise, 2 nd . Philadelphia: F A Davis Company, 1989:chap.4:55-77.

17. Gominak S, Parry G.J. Neuropathies and Diabetes.In Cross D (ed) Peripheral

Neuropathies, A Pratical Approach to Diagnosis and Management, Philadelpia:

Lippincot,2001: 141-56.

18. Vasculitis Neuropathy, http://www acron children.org/neuropathology.

19. Kimura J. Polyneuropathies in Electrodiagnosis in Desease of Nerve and Muscle

Principle and Practise, 2nd. Philadelphia: F A Davis Company, 1989:chap.22:463-

5.

20. Sjahrir H. Diabetic Neuropathy : The Pathoneubiology & Treantment Update.

USU Press, 2006.

21. Bhadada SK, Sahay RK, Jyotsna VP, Agrawal JK. Diabetic Neuropathy: Current

42

Page 43: PatfisNND

Concepts . Journal, Indian Academy of Clinical Medicine, Vol. 2, No. 4 ,October-

December 2001.

22. Sridar GR. Painful Diabetic Neuropathy. Int. J. Diab. Dev. Countries VOL. 19,

1999.

23. Hsueh A, Moore L, Bryer M. Hyperglycemia and Tissue Damage.Conteporary

Diagnosis and Management of Type 2 Diabetes, Second Edition. Handbooks in

Health Care Co. Newton< Pennsylvania, USA, 2004 :32-46.

24. Vincent AM, Russell JW, Low P, Feldman EL. Oxidative Stress in the

Pathogenesis osf Diabetic Neuropathy. Endocrine Review 25 (4) 2004: 612-28.

25. Brownlee M. The Pathology of Diabetic Complications: A Unifying Mechanism.

American Diabetes Association, Volume 54, June 2005 : 1615-25.

26. Clarke M. PKC Inhibition and Diabetic Microvasclar Complications. Best

Practice & Research Clinical Endokrinology & Metabolism, Vol. 21 No. 4, 2007 .

27. Djokomoeljanto R. Neuropati Diabetik. Dalam Darmono,Suhartono, Tjokorda

GD, Soemanto F (ed), Naskah Lengkap : Diabetes Melitus Ditinjau dari Berbagai

Aspek Penyakit Dalam. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007 : 1-14.

28. Meliala L. Patofisiologi Nyeri. Dalam Meliala L (ed), Nyeri Neuropatik

Patofisiologi dan Penatalaksanaan. Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI, 2001 : 1-

22.

29. Andradi S. Penatalaksanaan Praktis Nyeri Neuropatik. Dalam Meliala L

(ed),Kumpulan Makalah Toward Mechanism-Based Pain Treatment The Recent

Trent and Current Evidences. Yogyakarta, 2004 : 59-64.

30. Meliala L, Yudiyanta. Asessment Nyeri Neuropatik. Dalam : Meliala L (ed),

Nyeri Neuropatik. Yogyakarta : Medigama Press, 2008 : 51-62.

31. Sadeli HA.Nyeri Neuropatin Diabetika. Dalam : Meliala L (ed), Nyeri

Neuropatik. Yogyakarta : Medigama Press, 2008 : 77-90.

32. Kimura J. Priciples of Nerve Conduction Studies in Electrodiagnosis in Desease

of Nerve and Muscle Principle and Practise, 2nd. Philadelphia: F A Davis

Company, 1989:chap.5:78-93.

33. Gilroy J. Basic Neurology. New York : Pergamon Press Inc, 1990 : 523 -525

34. Veves A, Backonja M, Malik R. Painful Diabetic Neuropathy : Epidemiology,

43

Page 44: PatfisNND

Natural History, Early Diagnosis, and Treatment Options. American Academy of

Pain Medicine, 2007 : 1-15.

35. Jensen T, Backonja M, Hernandez S, Tesfaye S, Valensi P, Ziegler. New

Perspectives on The Management of Diabetic Peripheral Neuropatic Pain.

Diabetes and Vascular Desease Research, 2006 : 108-119.

36. Widjaja D. Mechanistic Aproach to the Treatment of Neuropatic Pain. Naskah

Lengkap Pertemuan Ilmiah Nasional I Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI.

Manado, 2005 : 96-116.

37. Mendell J, Sahenk Z. Painful Sensory Neuropathy. New England Jounal of

Medicine, March 2007: 1243- 55. Available from: www.nejm.org.

38. Kirby M. Painful Diabetic Neuropathy – Current Understanding and Management

for Primary Care Team. The British Journal of Diabetes and Vascular Desease,

Vol.3 Issue 2, 2003 : 138-44.

44

Page 45: PatfisNND

45