Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

75
Kebijakan Australia Mengenai Para Pencari Suaka (Asylum Seekers) Berupa Pacific Solution dan Operation Sovereign Borders (OSB) Oleh : Adi P. Suwecawangsa Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana 2017

Transcript of Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Page 1: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Kebijakan Australia Mengenai Para Pencari Suaka (Asylum Seekers) Berupa

Pacific Solution dan Operation Sovereign Borders (OSB)

Oleh :

Adi P. Suwecawangsa

Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Udayana

2017

Page 2: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Bab I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Dalam dunia internasional, setiap individu yang mengalami ketakukatan maupun

penyiksaan yang disebabkan oleh konflik atau perang serta ketidakadilan di negara asalnya

berhak untuk mendapatkan perlindungan dan memperoleh suaka dari negara lain. Hak tersebut

dikenal dengan The Right to Asylum yang diakui Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan telah

menjadi hukum kebiasaan internasional. Oleh karena itu, banyak penduduk dari negara-negara

berkonflik atau negara-negara miskin memilih untuk meninggalkan negaranya dan mencari

suaka ke negara lain. Dan Australia merupakan salah satu negara yang banyak dipilih untuk

menjadi negara tujuan bagi para pencari suaka.

Seperti diketahui, status Australia sebagai negara maju dan negara anggota dari Konvensi

Jenewa tahun 1951 tentang status pengungsi serta Protokol New York 1967, yang mempunyai

kewajiban dalam memberikan perlindungan internasional untuk pengungsi, menjadikan Australia

bagaikan “surga” bagi para pencari suaka. Sebagai negara yang ikut meratifikasi Konvensi

Jenewa 1951, Australia seharusnya berkewajiban dalam memberikan suaka dan status pengungsi

bagi para pencari suaka yang masuk ke wilayah negaranya. Namun dalam aplikasinya,

pemerintah Australia justru membuat kebijakan yang bertentangan dengan komitmennya sebagai

negara penandatangan konvensi, dalam penerimaan para pencari suaka yang dinamakan

kebijakan Pacific Solution dan Operation Sovereign Border (OSB).

Kebijakan Operation Sovereign Borders (OSB) dibuat oleh Perdana Menteri (PM) Tony

Abbott berupa strategi operasi penjagaan keamanan perbatasan yang dipimpin oleh militer serta

didukung dan dibantu oleh berbagai lembaga pemerintah federal. Tujuan dari operasi ini sendiri

Page 3: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

adalah untuk menghentikan kedatangan para pencari suaka di pantai utara-barat wilayah

Australia. Dan implementasi kebijakan ini di antaranya adalah dengan mencegat dan

memulangkan kembali kapal-kapal yang membawa para pencari suaka ke negara embarkasi.1

Sebelumnya, kebijakan serupa sudah pernah diberlakukan pada masa pemerintahan John

Howard (Partai Liberal) pada tahun 2001. Howard membuat kebijakan yang disebut Pasific

Solution yaitu pemindahan pencari suaka ke pusat detensi yang tersebar di negara-negara

kepulauan di Samudra Pasifik. Salah satu strategi aplikasi kebijakan tersebut adalah Operasi

Relex yaitu strategi perlindungan perbatasan wilayah Australia di laut lepas dengan melakukan

pencegatan, penahanan, dan pencegahan kapal yang membawa orang-orang yang hendak masuk

ke Australia tanpa visa. Walaupun kebijakan tersebut pernah diberhentikan pada pergantian

kepemimpinan di masa pemerintahan Kevin Rudd (Partai Buruh) tahun 2007, namun pada

akhirnya kebijakan serupa di masa Howard kembali diterapkan pada masa pemerintahan Tony

Abbott dengan kerangka kebijakan Operation Sovereign Border (Rahmawaty 2014).

Jika dilihat dari penerapan kebijakan Pacific Solution dan Operation Sovereign Border

yang dimaksudkan untuk merespon dan membendung gelombang pencari suaka yang masuk ke

wilayah Australia, bisa dikatakan tidak berhasil dalam menanggulangi arus kedatangan para

pencari suaka. Kebijakan-kebijakan tersebut dilihat malah lebih cenderung berkontribusi secara

signifikan pada berbagai isu yang menjadi keprihatinan masyarakat internasional seperti

diskriminasi dan pelanggaran HAM. Dengan mengutamakan pendekatan sekuritisasi dalam

menangani isu para pencari suaka ini, pada beberapa tahun terakhir ditenggarai banyak

1 Negara embarkasi adalah negara terakhir yang dijadikan tempat transit untuk pemberangkatan perahu para pencarisuaka.

Page 4: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

menyebabkan kecelakaan perahu, manusia terbengkalai di lautan hingga korban jiwa yang

meninggal akibat penolakan keras dari pihak Australia (Soesilowati 2013).

B. Rumusan Masalah

Di sini penulis mengajukan pertanyaan penelitian : Mengapa pemerintah Australia

mengeluarkan kebijakan berupa Pacific Solution dan Operation Sovereign Border (OSB)

walaupun dikonotasikan gagal dalam menangani kasus para pencari suaka (Asylum Seekers)?

C. Tinjauan Pustaka

Banyak literatur yang mendiskusikan tentang kajian pencari suaka dan kebijakan

Australia mengenai Asylum seekers. Namun penjelasan yang diberikan dalam tulisan-tulisan

tersebut hanya bersifat umum dan tidak secara spesifik membahas tentang kebijakan dalam

negeri Australia tentang pengungsi atau pencari suaka pada masa John Howard dan Tony Abbott

berupa Pacific Solution dan Operation Sovereign Borders.

Tulisan pertama dari Atik Krustiyati dalam tulisan yang berjudul Kebijakan Penanganan

Pengungsi di Indonesia; Kajian dari Konvensi Pengungsi Tahun 1951 dan Protokol 1967.

Penulis di sini berusaha menjelaskan jika pada dasarnya masalah pengungsi tersebut merupakan

masalah humaniter dan seharusnya ditangani sesuai dengan prinsip-prinsip humaniter pula.

Adanya pengungsi sebagai akibat dari natural disaster, maka penanganannya dapat dikatakan

sederhana, karena kebutuhan utama mereka adalah tempat tinggal dan kebutuhan dasar di tempat

mereka pergi untuk menyelamatkan diri, sampai mereka dapat kembali lagi ke daerah asalnya

karena kondisinya sudah memungkinkan.

Dalam hal ini, pertolongan (relief) dan bantuan (assistance) yang diutamakan adalah

makanan, air, pakaian, sanitasi, kesehatan dan sebagainya. Sedangkan pengungsi akibat human

Page 5: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

made disaster terutama yang menjadi korban gangguan terus menerus terhadap pribadi atau

kebebasan fundamental mereka, atau persekusi (persecution), karena ras, warna kulit, etnis,

agama, golongan sosial, atau opini politik, dan mencari keamanan serta keselamatan di luar

negara asalnya, pada dasarnya juga tetap merupakan persoalan humaniter dan ditangani secara

humaniter pula (Krustiyati 2012).

Mengingat para pengungsi tersebut tidak memperoleh perlindungan nasional dari

pemerintah asal negara mereka, maka selain memerlukan pertolongan (relief) dan bantuan

(assistance) bagi kelangsungan hidup, para pencari suaka juga memerlukan kebutuhan vital yaitu

perlindungan internasional (international protection). Tetapi dengan posisi Indonesia yang tidak

ikut meratifikasi perjanjian UNHCR, maka pemerintah Indonesia juga tidak mempunyai

kewenangan untuk memberikan penentuan status pengungsi atau yang biasa disebut dengan

Refugee Status Determination (RSD). Dalam tulisan ini hanya berusaha mengaitkan antara

hukum internasional yang dapat dijadikan dasar untuk menggolongkan kriteria kepentingan

nasional Indonesia tanpa membahas lebih jauh efek dari isu pencari suaka ini terhadap hubungan

bilateral Indonesia-Australia.

Tulisan kedua adalah buku dari Chusnul Mar’iyah dengan judul Indonesia-Australia:

Tantangan dan Kesempatan dalam Hubungan Politik Bilateral yang diterbitkan tahun 2005.

Pembahasan yang utama pada buku ini antara lain membahas isu-isu yang mempengaruhi

keberadaan kebijakan luar negeri maupun kebijakan dalam negeri baik di Australia maupun

Indonesia. Isu-isu yang ditampilkan dalam buku ini seperti isu keamanan, politik strategis,

kepentingan domestik, peran dan perkembangan media dalam membentuk opini publik,

perwakilan politik perempuan dan perkembangan sistem pendidikan domestik sebagai sarana

sosialisasi nilai-nilai demokrasi (Mar’iyah 2005). Pembahasan tersebut sebagian besar hanya

Page 6: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

membahas isu-isu yang menjadi tantangan dalam hubungan bilateral Indonesia-Australia, namun

tidak ada pembahasan mendalam tentang isu para pencari suaka.

Tulisan yang ketiga dari Rebecca M.M. Wallace dalam buku yang berjudul International

Law yang diterjemahkan dan diterbitkan di Semarang tahun 1993, yang membahas kajian hukum

internasional. Dalam bukunya, menurut Wallace salah satu sumber hukum internasional adalah

perjanjian. Perjanjian (Treaty) bisa terjadi antara dua negara (bipartite) atau lebih dari dua negara

(multipartite), yang membuat peraturan-peraturan secara jelas diakui dan ditaati oleh negara-

negara yang terlibat. Sehingga suatu negara yang menandatangani suatu perjanjian internasional,

berkewajiban untuk membuat atau memodifikasi perundang-undangan domestiknya sesuai

dengan perjanjian internasional tersebut. Setiap negara mempunyai kewajiban untuk melaksanan

kewajiban-kewajiban secara jujur yang dideklarasikan dari sebuah perjanjian internasional

(Wallace 1993).

Dikaitkan dengan kasus Australia mengenai pelaksanaan hukum internasional, posisi

Australia yang telah menandatangani perjanjian dalam Konevensi Jenewa tahun 1951 dan

Protokol New York tahun 1967 merupakan suatu bentuk keterlibatan Australia dalam dunia

Internasional khususnya mengenai status pengungsi dan para pencari suaka. Namun dalam

penerapannya, Australia sebagai suatu negara yang seharusnya berkomitmen dalam Konvensi

Jenewa dan Protokol New York malah membuat suatu kebijakan yang bertentangan dengan

perjanjian tersebut berupa Operation Sovereign Border (OSB) di tahun 2012. Bahkan pada tahun

2001 di masa pemerintahan John Howard, Australia juga pernah mengeluarkan kebijakan yang

serupa dengan sebutan Pacific Solution. Dimana inti dari kedua kebijakan ini bertujuan untuk

mencegat dan memulangkan kembali kapal-kapal dengan penumpang para pencari suaka ke

negara embarkasi.

Page 7: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Dalam buku hukum internasional ini sebenarnya sudah sangat jelas disebutkan

bagaimana suatu negara melakukan sebuah perjanjian internasional, hukum dan kebiasaan

internasional sebagai sumber hukum internasional, kaitan hukum internasional dan hukum

nasional, sampai dengan penyelesaian masalah dengan hukum internasional. Tetapi untuk

menjelaskan “kecurangan” yang dilakukan negara Australia dalam mengeluarkan kebijakan

nasional yang melanggar perjanjian internasional dalam UNHCR tidak dijelaskan secara jelas

pada buku ini.

Selanjutnya tulisan dari Adrini Pujayanti yang berjudul Isu Pengungsi Global dan

Kebijakan Australia tahun 2015. Pada tulisannya, Adirini Pujayanti menjabarkan keadaan

pemerintah Australia dibawah PM Tonny Abbot yang kewalahan menghadapi serbuan para

pencari suaka. Keadaan tersebut yang menjadi alasan Australia dengan PM Tony Abbot

menerapkan strategi preventive dengan mengeluarkan kebijakan Operation Sovereign Borders

(OSB) guna mencegah masuknya para pencari suaka ke negaranya.

Dalam jurnal ini juga sedikit menjabarkan tentang dinamika politik yang terjadi di

Australia serta isu penyuapan yang melanda pemerintah Australia di bawah PM Tony Abbott.

Masalah para pencari suaka ini telah menjadi isu politik di Australia. Pemerintahan PM Tony

Abbott berada dibawah tekanan kuat parlemen karena dianggap menggunakan uang wajib pajak

yang justru dibutuhkan untuk hal-hal lain. Sejauh ini Perdana Menteri Tony Abbott secara

konsisten tidak mengomentari rincian operasional di lapangan karena hal itu terkait keamanan

operasional. Perdana menteri Tony Abbott pun berupaya menghentikan polemik di parlemen

dengan menyerahkan surat kepada Senat agar seluruh dokumen-dokumen terkait kasus ini segera

ditutup karena dapat mengganggu keamanan nasional, pertahanan dan hubungan internasional.

Page 8: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Analisa utama dari jurnal ini adalah kebijakan pragmatis yang dikeluarkan oleh

Pemerintahan Australia di bawah Perdana Menteri Tony Abbott berupa Operation Sovereign

Borders ini cenderung menimbulkan polemik di kalangan elit serta masyarakat Australia. Tetapi

pada tulisannya ini, masih belum begitu spesifik membahas kebijakan Australia di masa

pemerintahan Perdana Menteri John Howard dengan Pacific Solution (Pujayanti 2014).

Jadi sebagian besar literatur yang ada hanya bersifat umum dan lebih menekankan isu-isu

yang berkembang di antara perjalanan hubungan bilateral Indonesia-Australia dan lebih

menjabarkan hukum internasional sebagai kebiasaan internasional yang harus ditaati oleh negara

yang terlibat di dalamnya. Sebagai tambahan adanya penjelasan tentang pengertian pencari

suaka, status pengungsi dan hak-hak individu yang harus dihormati baik dalam tingkat nasional

maupun internasional.

D. Kerangka Teori

Untuk dapat menjawab pertanyaan dari rumusan masalah, digunakan teori rational

choice, agar dapat mengetahui kebijakan yang diambil oleh sebuah negara berdasarkan atas

kalkulasi untung rugi sehingga dapat memutuskan pilihan yang sesuai dengan alternatif dengan

resiko paling kecil.

Anthony Downs (1957) seorang yang bukan ilmuwan politik tetapi sangat berperan

penting untuk pendekatan konsep rational choice dalam ilmu politik. Dalam memaknai

rasionalitas ekonomi dan politik, Downs menyajikan teori rasionalitas di mana individu di arena

politik dan pemerintahan dipandu oleh kepentingan karena mereka mengejar pilihan dengan

tingkat kegunaan (utility) tertinggi. Konsep utility sangat bermanfaat untuk mengurangi biaya

dalam pembuatan keputusan dalam sebuah pemerintahan.

Page 9: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Kenneth Shepsle dan Mark Bonchek (1997) menulis teks standar dari konsep rational

choice dengan menambahkan catatan penting dari Downs yang memberikan contoh dalam

pemilu politik yang menunjukkan bagaimana pemilih yang rasional dalam menentukan

pilihannya sesuai dengan ideologinya. Begitu juga para kandidat dan partai politik berusaha

memaksimalkan dukungan dari pemilihnya dengan mengeluarkan program-program yang

menarik bagi kepentingan pemilihan. Menurut Downs (1957), pemerintahan dengan self-interest

yang tinggi tidak akan ideal untuk mewujudkan kesejahteran sosial atau kepentingan umum.

Pemerintah sebaiknya berorientasi untuk mengembangkan program-program yang berkaitan

dengan kaitan untuk menyenangkan para pemilihnya (Ishiyama & Breuning 2010).

Sedangkan masuknya teori rational choice dalam ilmu politik, bisa dikatakan diawali

dengan pendekatan teori koalisi politik yang digagas olah William Riker (1962). Riker

mengambil teori ekonomi dan matematika berbasis pada permainan yang tegas dan berlaku

untuk pengambilan keputusan politik, menyajikan alternatif untuk ilmu politik berfokus pada

konsep-konsep seperti kekuasaan dan otoritas. Riker melihat rasionalitas dalam hal individu yang

berusaha untuk menang dan bukan untuk kalah. Riker mencoba keluar dari konsep rational

choice tradisional yang berfokus pada permainan dan ekonomi, dan mencoba mengalihkan ke

dunia politik dan pemerintahan. Fokus teori rational choice adalah adanya hak-hak individu

untuk memutuskan sesuatu dengan informasi yang mereka terima, dari pengetahuan tentang

preferensi mereka sendiri atau melalui konsekuensi alternatif sendiri. Riker menjadi salah satu

tokoh yang paling kontroversial dalam ilmu politik modern, dengan alasan untuk ilmu politik

secara terbuka merangkul rational choice sebagai masa depannya.

Pendekatan Riker dalam mempelajari politik menggambarkan ciri-ciri yang menonjol

dari rational choice modern. Pertama, adanya penggunaan umum tentang asumsi rasionalitas

Page 10: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

untuk memandu analisi dan penelitian. Individu diasumsikan untuk bertindak sesuai dengan

prinsip-prinsip memaksimalkan keuntungan dan mengejar self-interest. Kedua, lebih fokus

dengan apa yang disebut elemen inti dari rational choice sebagai cara untuk menjelaskan realitas

dan politik dalam menghadapi perkembangannya. Untuk menggambarkannya, Riker

menyebutkan bahwa mempertimbangkan biaya individu dan manfaat merupakan tindakan dari

teori rational choice, atau kalkulasi untung rugi yang didasari dari keputusan untuk memilih atau

tidak memilih. Ketiga, menyebutkan jika rational choice adalah evolusi yang berkelanjutan

seperti yang diharapkan dari setiap pendekatan ilmiah. Rational choice dalam dekade terakhir ini

tidak sama dengan era 1960an dan 1970an. Riker dalam pendekatan ini terlihat menggunakan

herethestics, yaitu berfokus pada penggunaan strategi komunikasi (seperti kalimat dan bahasa)

oleh pemimpin politik atau elit dalam kaitannya seperti kontrol agenda dan pembentukan koalisi.

Ditambahkan Buchanan (1972), teori rational choice merupakan teori ekonomi yang

diaplikasikan pada sektor publik. Teori ini mencoba menjembatani antara mikro ekonomi dengan

politik dengan melihat tindakan-tindakan warga negara, politisi, dan pelayan publik sebagai

sebuah analogi terhadap kepentingan pribadi produsen dan konsumen. Ada beberapa nama untuk

konsep ini, seperti ekonomi politik atau welfare economics, namun yang paling sering dipakai

adalah istilah rational choice atau pilihan rasional (Frederickson & Smith 2003).

Menurut Axelrod dan Keohane, mengasumsikan rational choice pada rasionalitas yakni

pilihan yang diambil atas dasar kalkulasi untung rugi, sehingga dapat memutuskan pilihan sesuai

dengan alternatif yang paling menguntungkan. Teori ini meminjam istilah dari teori ekonomi

yang memaknai rasionalitas adalah cost and benefit atau Axelrod menyebutnya dengan istilah

Payoff. Jadi negara sebagai aktor harus dapat mendefenisikan kepentingan, mengkalkulasi cost

Page 11: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

and benefit atau disebut juga payoff, sehingga dapat berjalan menurut alternatif yang dia anggap

secara cost and benefit paling menguntungkan.

Axelrod dan Keohane menyebutkan ada tiga dimensi yang mempengaruhi kecenderungan

aktor dalam melakukan kerjasama, yang pada gilirannya akan mempengaruhi berhasil tidaknya

atau kuat tidaknya suatu kerjasama antara lain: kepentingan bersama (Mutuality of Interest),

bayangan terhadap masa depan (The shadow of the future), dan jumlah pemain (Number of

actors). Rational Choice juga digambarkan dalam bentuk-bentuk game theory seperti Prisioner

Dilemma, Payoff Structure, Stag Hunt,dan Chicken Game. Dalam teori permainan tersebut,

masing-masing menggambarkan tentang rasionalitas dalam mengkalkulasi tindakan yang

mengakibatkan keuntungan atau kerugian.

Teori Rational Choice merupakan teori yang berangkat dari asumsi neo realis. Dalam

asumsi ini, struktur internasional adalah anarki, dimana tidak ada satu kekuatan dominan yang

dapat mengatur negara-negara dalam sistem internasional. Ketiadaan kekuatan yang dominan

tersebut, berarti tidak ada juga jaminan bahwa terciptanya kepatuhan di antara negara-negara.

Kondisi ini menjadikan negara sebagai aktor utama yang rasional dalam hubungan dengan

negara lain untuk mencapai kepentingan-kepentingan nasionalnya semaksimal mungkin.

Dalam pandangan Morgenthau, kemampuan minimum negara-bangsa adalah melindungi

identitas fisik, politik dan kulturalnya dari gangguan bangsa-bangsa lain. Jadi pemimpin suatu

bangsa jika berangkat dari tujuan-tujuan umum itu bisa menurunkan kebijakan-kebijakan

spesifik terhadap negara lain, baik bersifat kerjasama atau konflik. Menurut asumsi neo realis,

pada struktur yang anarkis memungkinkan untuk terbentuknya kerjasama. Dan kerjasama akan

terjadi jika kebijakan yang ditempuh antara negara satu akan menguntungkan negara lainnya

Page 12: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

(adanya harmonisasi). Tapi, jika kerjasama tersebut tidak menemukan harmonisasi atau tidak

sesuai dengan satu sama lain maka akan terjadi sebuah konflik. Rasionalitas merupakan pilihan

yang dapat diambil menurut kalkulasi untung rugi, sehingga negara dapat mengambil keputusan

yang paling menguntungkan. Dalam perspektif neo realis yang mementingkan kepentingan

nasional di atas segalanya, kerugian harus dihindari untuk mencapai kepentingan nasional secara

maksimal.

Mengenai hubungan penerapan kebijakan Australia mengenai pencari suaka (Asylum

Seekers), Negara Australia menempatkan diri sebagai aktor yang rasional. Segala sesuatu yang

dilakukan dianggap sebagai akibat dari tindakan-tindakan aktor rasional, yang sengaja dilakukan

untuk mencapai suatu tujuan yaitu kepentingan nasionalnya. Pembuatan kebijakan suatu negara

digambarkan sebagai suatu proses intelektual, dengan demikian kebijakan yang dibuat harus

memusatkan perhatian pada kepentingan nasional. Alternatif-alternatif haluan kebijakan yang

bisa diambil oleh pemerintah suatu negara harus melalui perhitungan untung rugi. Dalam hal ini,

kebijakan Australia tentang Asylum Seekers diasumsikan sebagai aktor yang rasional dengan

keputusan yang rasional.

E. Hipotesis

Berdasarkan uraian teori Rational Choice di atas, dapat ditarik sebuah hipotesis mengenai

pengambilan kebijakan Australia tentang pencari suaka (Asylum Seekers) berupa Pacific Solution

di masa John Howard dan Operation Sovereign Border (OSB) di masa Tony Abbott merupakan

suatu tindakan yang rasional. Mengingat pada tahun 2001 diketahui 80% dari pencari suaka yang

telah dinaturalisasi menjadi warga negara Australia ternyata adalah migran ekonomi. Kurangnya

pilihan migrasi membuat banyak migran ilegal, bukan pengungsi, menipu dengan status sebagai

pencari suaka karena hal ini merupakan satu-satunya cara yang memungkinkan mereka untuk

Page 13: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

diterima di negara lain. Ratusan migran ekonomi masuk ke Australia dengan cara tersebut,

sehingga akhirnya Australia bersikap keras terhadap para pencari suaka melalui kebijakan

tersebut.

F. Metode Penelitian

Penelitian “Kebijakan Australia Mengenai Para Pencari Suaka (Asylum Seekers) Berupa

Pacific Solution dan Operation Soveriegn Borders” memakai metode riset yang mendeskripsikan

kebijakan tentang pencari suaka ke Australia berupa strategi kebijakan Pacific Solution di masa

Pemerintahan John Howard dan kebijakan Operation Sovereign Borders di masa Pemerintahan

Tony Abbott.

Adapun metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode penelitian

deduktif. Penulis menggunakan metode penelitian deduktif karena penelitian ini mempunyai

tujuan untuk memperoleh jawaban yang terkait berdasarkan kerangka teori yang ada.

Untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan, penulis menggunakan metode Library

Research yaitu teknik pengumpulan data melalui studi pustaka berupa buku, jurnal, serta sumber

lain yang relevan dengan penelitian ini.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini ini terbagi menjadi lima bab, dengan sistematika sebagi berikut.

Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Permasalahan, Rumusan

Masalah, Tinjauan Pustaka, Kerangka Teori, Hipotesis, Metode Penulisan, dan Sistematika

Penulisan.

Bab II berisi uraian tentang kehadiran para pencari suaka (asylum seekers) di Australia

dan munculnya konsep Irregular Maritime Arrivals (IMAs) di Australia.

Page 14: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Bab III membahas alasan pemerintah Australia dalam menerapkan kebijakan Pacific

Solution guna membendung arus kedatangan Irregular Maritime Arrivals (IMAs) ke Australia

pada tahun 2001.

Bab IV membahas penerapan kebijakan Pacific Solution dan Operation Sovereign

Borders (OSB) guna membendung arus kedatangan Irregular Maritime Arrivals (IMAs) ke

Australia.

Bab V berisi kesimpulan, kebijakan Australia mengenai Asylum Seekers berupa Pacific

Solution dan Operartion Sovereign Borders ini merupakan pilihan yang rasional, mengingat

banyaknya migran ekonomi yang datang ke Australia.

Page 15: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Bab II

Kehadiran Para Pencari Suaka (Asylum Seekers) dan Munculnya Konsep IrregularMaritime Arrivals (IMAs) di Australia

Perdebatan mengenai para pencari suaka (Asylum Seekers) khususnya ketika mengarah

kepada manusia perahu (boat people), selalu dikarakteristikkan sebagai permasalahan yang

penuh “kekeliruan” di Australia. Keberadaan asylum seekers yang datang dengan menggunakan

perahu dianggap sebagai sesuatu hal yang ilegal oleh pemerintah Australia. Para pencari suaka

dengan perahu ini dianggap ilegal dikarenakan para pencari suaka ini tidak dapat menunjukkan

surat-surat atau dokumen resmi yang menunjukkan tujuan kedatangannya ke Australia.

Hukum Australia kemudian mengklasifikasikan kedatangan para pencari suaka tersebut

dengan istilah “unlawful non-citizens”, sedangkan pemerintah Australia memberikan istilah

terhadap subjek tersebut dengan sebutan Irregular Maritime Arrivals (IMAs). Dalam bab ini

akan lebih jauh menjelaskan tentang sejarah kedatangan para pencari suaka ke Australia,

munculnya konsep IMAs oleh pemerintah Australia yang ditujukan kepada para pencari suaka,

pengertian dari pengungsi dan pencari suaka berdasarkan perjanjian-perjanjian internasional, dan

tanggapan masyarakat Australia terhadap isu para pencari suaka ini.

A. Sejarah Kemunculan Para Pencari Suaka (Asylum Seekers) di Australia

Sebagai salah satu negara yang ikut meratifikasi Konvensi Jenewa 1951 dan Protokol

New York 1967, Australia mempunyai kewajiban dalam memberikan perlindungan internasional

terhadap para pengungsi dan pencari suaka. Status Australia sebagai negara yang stabil secara

Page 16: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

ekonomi dan politik juga menjadikan Australia sebagai salah satu negara tujuan yang banyak

dipilih oleh para pencari suaka (Asylum Seekers) untuk mencari perlindungan.

Tetapi, jauh sebelum itu, jika berbicara tentang pencari suaka (asylum seekers) di

Australia merupakan sesuatu yang sudah ada sejak zaman pendudukan Inggris di negara tersebut.

Tepatnya tahun 1788, pertama kalinya pengiriman koloni dari Inggris ke Australia yang sebagian

besar terdiri dari para narapidana. Pada perkembangan selanjutnya sekitar tahun 1796, bukan

hanya narapidana yang memenuhi atau mendominasi kaum imigran yang datang, tetapi

bervariasi seperti peternak dan petani yang selanjutnya diketahui menjadi penduduk Australia

hingga saat ini (Rezel. 2012).

Pasca Perang Dunia II, adanya perubahan dalam evolusi imigrasi Australia yang secara

ambisius merencanakan rekonstruksi dan perluasan program pasca-perang. Australia

menunjukkan potensi besar untuk pertumbuhan peduduk dan dapat menawarkan masa depan

yang baik bagi orang-orang yang ingin melupakan perang. Sekitar lebih dari 700 ribu pengungsi

telah ditampung di Australia pasca Perang Dunia II. Tetapi, secara resmi pemerintah Australia

mulai mendata para pencari suaka yang masuk ke Australia pada tahun 1976.

Para pengungsi dan pencari suaka yang datang ke Australia kebanyakan berasal dari

negara-negara Asia dan Timur Tengah seperti Afganistan, Sri Lanka, Vietnam, Pakistan, Irak,

Iran dan Nigeria. Informasi dari kerabat yang telah berhasil mendapatkan suaka di Australia

menimbulkan anggapan di pikiran para pencari suaka bahwa Australia adalah tempat yang baik

dalam memberikan jaminan hidup kepada para pencari suaka dan semakin memotivasi para

pencari suaka untuk bisa mendapatkan suaka dari Australia.

Page 17: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Beberapa faktor pendorong yang menyebabkan meningkatnya kadatangan para pencari

suaka (asylum seekers) ke Australia adalah adanya perang, diskriminasi, serta bencana alam di

negara asal yang kemudian memaksa para pencari suaka untuk meninggalkan negaranya untuk

mendapatkan kehidupan yang lebih baik di negara lain termasuk di Australia. Selain itu, adanya

peran penyelundup dan peran jejaring sosial, yang mengacu pada keadaan para pencari suaka

(anggota keluarga, teman, warga sebangsa dan sesuku) di negara tujuan juga menjadi faktor

pendorang meningkatknya kedatangan para pencari suaka ke Australia.

Sedangkan faktor yang menarik para pencari suaka ini adalah status Australia sebagai

negara demokrasi yang aman dan adil serta dengan keadaan ekonomi stabil yang tak terpengaruh

oleh krisis ekonomi yang terjadi dan melanda sebagian besar negara di dunia. Selanjutnya yang

menjadi faktor penarik para pencari suaka untuk datang ke Australia adalah kualitas hidup yang

terjamin, sistem pendidikan, pendapatan dan karir di Australia. Gaya hidup di Australia juga

merupakan salah satu yang terbaik di dunia, serta ibukota Australia selalu masuk dalam

peringkat kota “layak huni” dengan biaya hidup yang tergolong rendah jika dibandingkan dengan

negara-negara lain di dunia. Hal-hal tersebut jelas menimbulkan keinginan dari para pencari

suaka untuk mendapatkan perlindungan dari Australia dan tidak sedikit dari para pencari suaka

berharap mendapat status sebagai warga negara Australia.

Keterbukaan Australia dalam menerima kedatangan para pencari tersebut menumbukan

peluang bagi para pencari suaka selanjutnya untuk dapat disambut ramah di negara Australia.

Sehingga pada tahun-tahun berikutnya, para pencari suaka semakin banyak yang datang menuju

Australia dan jumlah para pencari suaka ini seakan tak terbendung lagi. Berikut data jumlah

kedatangan para pencari suaka ke Australia dari tahun 1976-2013.

Page 18: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Grafik 2. 1. Kedatangan Pencari Suaka (Asylum Seekers) dengan Perahu dari Tahun 1979-2013

Sumber : Parliament Of Australian: Department of Parliamentary Services. StatiticalAppendix update 23 July 2013. Page 26. 2004-2010

Dari data di atas dapat dilihat bahwa telah terjadi lonjakan arus kedatangan para pencari

suaka ke Australia dari tahun ke tahun. Jumlah para pencari suaka yang awalnya masih berskala

ratusan orang, semakin tahun jumlahnya semakin banyak hingga mencapai puluhan ribu orang.

Sehingga, pemerintah Australia mulai merasa khawatir terhadap kedatangan para pencari suaka

yang dinilai telah melampaui batas tersebut.

Australia yang awalnya membuka pintu seluas-luasnya bagi para imigran dengan harapan

akan memberikan efek positif yaitu menjadi kekuatan untuk membangun Australia. Namun

dalam perkembangannya, bukan hanya para imigran resmi dengan berbagai kelengkapan

dokumen yang datang menuju Australia, tetapi para imigran yang tidak dilengkapi dengan

dokumen-dokumen resmi marak datang ke Australia dengan alasan mencari suaka.

Page 19: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

B. Munculnya Konsep Irregular Maritime Arrivals (IMAs) Kepada Para Pencari Suaka

di Australia

Perdebatan mengenai para pencari suaka (Asylum Seekers) khusunya ketika mengarah

kepada manusia perahu (boat people), selalu dikarakteristikkan sebagai permasalahan yang

penuh “kekeliruan” di Australia. Keberadaan asylum seekers yang datang dengan menggunakan

perahu dianggap sebagai sesuatu hal yang ilegal oleh pemerintah Australia. Para pencari suaka

dengan perahu ini dianggap ilegal dikarenakan para pencari suaka ini tidak dapat menunjukkan

surat-surat atau dokumen resmi yang menunjukkan tujuan kedatangannya ke Australia.Hukum

Australia kemudian mengklasifikasikan kedatangan para pencari suaka tersebut dengan istilah

“unlawful non-citizens”, sedangkan pemerintah Australia memberikan istilah terhadap subjek

tersebut dengan sebutan Irregular Maritime Arrivals (IMAs) (Goverment Australia. 2013).

Konsep Irregular Maritime Arrivals (IMAs) tersebut diperkuat dengan pernyataan Julia

Gillard dalam pidato pertamanya sebagai Perdana Menteri di bulan Juli 2010, Julia Gillard

menyatakan rencana untuk membangun pusat-pusat pemrosesan regional bagi para pencari suaka

yang datang ke Australia dengan perahu sebagai sarana untuk mengancam para pencari suaka

tersebut tidak memasuki wilayah Australia. Berikut adalah pernyataan Julia Gillard terkait isu

para pencari suaka yang datang dengan perahu : (www.theaustralian.com.au 2013)

“Building on the work already underway through the Bali Process, today Iannounce that we will begin a new initiative. In recent days I have discussed withPresident Ramos Horta of East Timor the possibility of establishing a regionalprocessing center for the purpose of receiving and processing of the irregularentrants to the region. The purpose would be to ensure that people smugglershave no product to sell. Arriving by boat would just be a ticket back to theregional processing center. It would be to ensure that everyone is subject to aconsistent, fair, assessment process. It would be to ensure that arriving by boatdoes not give anybody an advantage in the likelihood that they would end upsettling in Australia or other countries of the region.”

Page 20: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Dilihat dari pernyataan diatas, Pemerintah Australia di bawah PM Julia Gillard secara

implisit telah memberikan generalisasi bahwa semua orang yang datang dengan perahu dianggap

sebagai tindakan yang ilegal dan melanggar hukum, walaupun sebagian besar dari orang yang

datang tersebut adalah asylum seekers yang sebenarnya keberadaanya wajib diperhatikan

Australia sebagai negara yang ikut meratifikasi Konvensi Jenewa 1951. Bahkan dari pernyataan

Julia Gillard tersebut secara sangat jelas menganggap bahwa subjek dari Irregular Maritime

Arrivals (IMAs) ini merupakan bagian dari praktek kegiatan perdagangan manusia (people

smuggling) dan bukan sebagai pencari suaka (asylum seekers).

Selanjutnya, dalam menghadapi arus kedatangan para pencari suaka ilegal atau Irregular

Maritime Arrivals (IMAs), pemerintah Australia membuat berbagai kebijakan yang bertujuan

untuk menghalangi akses masuk para pencari suaka, diantaranya adalah dengan menerapkan

kebijakan Pacific Solution dan dilanjutkan dengan kebijakan Operation Sovereign Border (OSB)

pada masa pemerintahan Perdana Menteri Tony Abbott.

Namun berdasarkan hukum dan kebiasaan internasional, kebijakan Australia mengenai

Asylum Seekers yang tertuang dalam Pacific Solution dan Operation Sovereign Borders (OSB)

dapat dikatakan kurang tepat dan tidak sesuai dengan aturan yang semestinya. Pada dasarnya,

konsep Irregular Maritime Arrivals (IMAs) yakni istilah yang disematkan pemerintah Australia

kepada para pencari suaka dan pengungsi yang tidak memiliki status hanyalah interpretasi

Australia untuk membenarkan tindakannya. Konsep tersebut diberikan kepada pencari suaka

ataupun pengungsi yang menjadi korban pelanggaran HAM yang sedang dalam keadaan

persekusi, sehingga pemerintah Asutralia dapat dengan mudah menghalau kedatangan

rombongan para pencari suaka ke Australia.

Page 21: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Jika selama ini pemerintah Australia memilih untuk lebih selektif terhadap arus imigran

yang memasuki kawasan Australia, seharusnya sebagai negara yang menandatangani berbagai

kesepakatan internasional, Australia memberikan pengecualian terhadap para pencari suaka dan

pengungsi. Khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan dokumen pengungsi. Apabila

imigran normal harus memiliki kelengkapan dokumen agar bisa memasuki wilayah Australia,

seharusnya para pengungsi dan pencari suaka mendapat pengecualian untuk kemudian diproses

lebih lanjut.

C. Pengungsi dan Pencari Suaka (Asylum Seekers) Menurut Perjanjian Internasional

Kedatangan para pencari suaka dengan perahu yang dikategorikan sebagai sesuatu yang

ilegal oleh pemerintah Australia merupakan sebuah permasalahan yang penuh dengan mis-

interpretasi di Australia. Berangkat dari pengertian asylum seekers yaitu “someone who is

seeking international protection but whose claim for refugee status has not yet determined” dan

pengertian imigran ilegal yang menyatakan sebagai “people who enter a country without

meeting the legal requirements for entry (without a valid visa, for example)”, pemerintah

Australia menyatakan bahwa para pencari suaka yang datang dengan perahu merupakan hal yang

ilegal karena para pencari suaka yang datang tidak dapat menunjukkan dokumen-dokumen resmi

sebagai syarat kedatangannya ke Australia.

Tetapi penggunaan label ilegal dengan menyebut para pencari suaka sebagai Irregular

Maritime Arrivals (IMAs) oleh pemerintah Australia tidak sepenuhnya dibenarkan. United

Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) juga menekankan bahwa seseorang yang

datang dan diketahui mengalami ketakutan terhadap penyiksaan, penganiayaan, intimidasi justru

harus dilihat sebagai pengungsi bukan sebagai imigran ilegal., dan sebagai sifat alami terhadap

Page 22: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

keadaan tersebut maka subjek yang dimaksud memungkinkan dalam melakukan pelarian dari

negaranya dan masuk ke negara lain secara ilegal dan atau menggunakan dokumen-dokumen

yang tidak sesuai.

Landasan yang serupa juga diberikan dari Refugge Council of Australia yang

menekankan bahwa tindakan seperti terjadinya ketakutan terhadap penyiksaan, penganiayaan

sangat memungkinkan seseorang untuk diberikan hak sebagai pengungsi dikarenakan terlalu

sulitnya meminta visa atau dokumen-dokumen perjalanan lainnya dari pemerintah negara asal

ketika ancaman penganiayaan tersebut sebagian besar justru datang dari pemerintah negara itu

sendiri (Santoso.2004).

Berbagai landasan tersebut seolah diabaikan Pemerintah Australia dan tetap pada

keputusannya dalam mendefinisikan para pencari suaka ataupun pengungsi sebagai sesuatu yang

ilegal dan selanjutnya disebut dengan istilah Irregular Maritime Arrivals. Keputusan ini

ditetapkan melalui Department Immigration and Citizenship (DIAC). Jika dilihat dari

kesepakatan internasional yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1951 dan Protokol New York

1967 mengenai Status Pengungsi Internasional, keputusan Australia dalam penyematan konsep

IMAs ini bisa dikatakan keliru. Kekeliruan ini dapat dianalisa mengenai definisi pengungsi

berdasarkan kesepakatan internasional berikut.

Untuk lebih memahami perbedaan antara imigran normal, pencari suaka dan pengungsi

yang sesuai dengan kesepakatan internasional, selanjutnya akan dijabarkan definisi dari masing-

masing konsep untuk menyeragamkan persepsi, sehingga kemungkinan untuk salah

mendefinisikan konsep dapat diminimalisir.

C. 1. Pengertian Pengungsi Internasional

Page 23: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Instrumen-instrumen internasional sebagai wadah yang menampung kesepakatan

internasional memiliki definisi mengenai pengungsi internasional. Tidak hanya definisi, bahkan

hak dan kewajiban serta perlindungan pengungsi internasional diatur secara rinci dalam butir-

butir kesepakatan internasional tersebut. Berikut beberapa definisi pengungsi internasional

berdasarkan kesepakatan melalui instrumen-instrumen internasional.

C. 1. 1. Pengungsi Internasional dalam Konvensi Jenewa 1951

Definisi pengungsi internasional menurut Konvensi Jenewa 1951 pasal 1 adalah

sebagai berikut: “sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari

1951 dan yang disebabkan oleh kecemasan yang sungguh-sungguh berdasar akan

persekusi karena alasan-alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok

sosial tertentu atau opini politik, berada di luar negara kewarganegaraannya dan tidak

dapat atau, karena kecemasan tersebut, tidak mau memanfaatkan perlindungan negara

itu; atau seorang yang tidak mempunyai kewarganegaraan dan berada di luar negara

dimana sebelumnya biasanya bertempat tinggal, sebagai akibat peristiwa-peristiwa

termaksud, tidak dapat atau, karena kecemasan tersebut, tidak mau kembali ke negara

itu” (Konvensi jenewa 1951 tentang status pengungsi internasional Pasal 1).

C. 1. 2. Pengungsi dalam Statuta UNHCR

Dalam Statuta UNHCR terdapat pengertian tentang Pengungsi yang terdapat

dalam Pasal 6 A dan 6 B.

1) Pasal 6 A (i) Statuta UNHCR:

Page 24: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

“setiap orang yang sudah ditetapkan sebagai pengungsi di bawah

kesepakatan 12 Mei 1962 dan 30 Juni 1928 atau di bawah Konvensi 28

Oktober 1933 dan 10 February 1938, Protokol 14 September 1939 atau dari

Constitution of the international refugee organization”.(Statuta UNHCR pasal

6 A (i)

2) Pasal 6 A (ii) Statuta UNHCR:

“setiap orang, yang merupakan hasil dari peristiwa sebelum 1 Jaunari 1951

dan yang menyebabkan ketakukatan terhadap penganiayaan dengan alasan

ras, agama, kewarganegaraan atau opini politik, dan tidak dapat atau, karena

ketakutan atau untuk alasan lain selain kenyamanan pribadi seperti, tidak

mau memanfaatkan dirinya dari perlindungan negara itu, atau yang, tidak

memiliki kewarganegaraan dan berada di luar negara asal biasanya

bertempat tinggal, tidak mampu atau, karena kecemasan tersebut atau untuk

alasan lain selain kenyamanan pribadi tidak mau kembali ke negara

asal”.(Statuta UNHCR Pasal 6 A (ii)

3) Pasal 6 B Statuta UNHCR:

“Orang lain yang berada di luar negara kewarganegaraannya, atau jika ia

tidak memiliki kewarganegaraan, negara asal biasanya bertempat tinggal,

karena ia memiliki atau telah ditemukan ketakutan akan penganiayaan

dengan alasan ras, agama, kebangsaan atau pendapat politik dan mampu

atau karena takut, tidak mau memanfaatkan perlindungan dari pemerintah

negara kewarganegaraannya, atau jika ia tidak memiliki kewarganegaraan,

untuk kembali ke negara mantan biasanya bertempat tinggal”.(Statuta

UNHCR Pasal 6 B)

C. 1. 3. Pengertian Pengungsi dalam Protokol New York 1967

Pengungsi dalam Protokol New York 1967 tertuang dalam Pasal 1 ayat 2 adalah sebagai

berikut: “untuk maksud Protokol ini, istilah pengungsi, kecuali mengenai pelaksanaan ayat 3

pasal ini akan berarti tiap orang yang termasuk dalam definisi pasal 1 Konvensi yang dimaksud

Page 25: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

“sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951 dan” sebagai akibat

peristiwa-peristiwa termaksud”, dalam pasal 1 A (ii) ditiadakan”. (Protokol New York 1967

Pasal 1 ayat 2).

Dimaksudkan disini adalah definisi pengungsi yang terdapat dan tertuang dalam Pasal 1

konvensi Jenewa 1951 mendapat beberapa perubahan dimaksudkan agar definisi pengungsi

menjadi lebih luas. Perubahan tersebut adalah:

“orang yang karena ketakutan yang disebabkan menerima penganiayaan karena alasan

ras, agama, kebangsaan, keanggotaan di dalam kelompok sosial tertentu atau opini politik,

berada di luar negaranya dan tidak dapat, dikarenakan ketakutan tersebut, atau tidak ingin

untuk memperoleh perlindungan dari negara tersebut; atau seseorang yang tidak mempunyai

kewarganegaraan dan berada di luar negara tempatnya menetap sebagai akibat dari peristiwa

tertentu, tidak dapat, atau dikarenakan ketakutannya tersebut, dan tidak ingin kembali ke

negaranya”.

C. 1. 4. Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1967 Tentang Teritorial Suaka (UN.

Declaration on Territorial Asylum 1967)

Dalam UN. Declaration on Territorial Asylum 1967 ini menyatakan perluasan terhadap

efektifitas perlindungan internasional terhadap pengungsi. Perlindungan yang dimaksudkan

untuk mengembangkan instrumen hukum internasional untuk para pengungsi dan juga

memastikan bahwa para pengungsi dan juga untuk memastikan bahwa para pengungsi

diperlakukan sesuai dengan instrument-instrumen khususnya yang berkaitan dengan hak untuk

bekerja, jaminan sosial, serta akses terhadap dokumen perjalanan.

Page 26: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

UN. Declaration on Territorial Asylum 1967 ini terdiri dari 4 Pasal. Pada bagian

pembukaan UN. Declaration on Territorial Asylum 1967 merujuk kepada pasal 14 Universal

Declaration of Human Right yang menyatakan bahwa:

1. Everyone has the right to seek and to enjoy in other countries asylum from

persecution

2. This right may not be revoked in the case of persecutions genuinely arising

from non political crimes or from acts contraty to the purposes and prociples

of the United Nation.

Deklarasi ini juga merujuk kepada pasal 13 ayat 2 dari Universal Declaration of Human

Right yang menyatakan bahwa; everyone has the right to leave any country, including his own,

and to return to his country (Romsan 2014).

C. 2. Pengertian Umum Tentang Pencari Suaka (Asylum Seekers)

Untuk pengertian atau definisi dari pencari suaka dan pengungsi sebenarnya memiliki

perbedaan jika dilihat dari hukum internasional. Seseorang pengungsi adalah sekaligus pencari

suaka. Sebelum seseorang diakui statusnya sebagai pengungsi, pertama-tama mereka adalah

pencari suaka. Sebaliknya, seorang pencari suaka belum tentu merupakan seorang pengungsi

(Hamid 2002).

Sejarahnya, awal kata suaka berasal dari bahasa Yunani yaitu Asylon atau Asylum dalam

bahasa latin, yang diartikan sebagai tempat yang tidak dapat dilanggar di mana seseorang yang

dikejar-kejar mencari tempat berlindung (Hamid 2012). Dalam Hukum Internasional sebenarnya

Page 27: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

belum ditemui adanya ketentuan-ketentuan yang bersifat umum yang menentukan status para

pencari suaka. Namun sebagai pedoman tentang status pencari suaka dapat berpegang kepada

Pasal 1 paragraf 3 UN. Declaration on Territorial Asylum, yang berbunyi “penilaian alasan bagi

pemberian suaka adalah tanggung jawab negara yang memberi suaka”.

Di bawah ini adalah beberapa definisi pencari suaka dengan variabel yang berbeda-beda

menurut beberapa ahli:

1. Menurut Oppenheim Lauterpacht mendefiniskan bahwa suaka adalah hubungan

dengan wewenang suatu negara yang mempunyai kedaulatan di atas teritorialnya

untuk memperbolehkan seseorang asing memasuki dan tinggal dalam wilayahnya dan

atas perlindungannya.

2. Menurut Prof. DR. F. Sugeng Istanto, SH mendefinisikan bahwa asylum adalah

perlindungan individu di wilayah negara asing tempat mereka mencari perlindungan.

Asylum merupakan perlindungan negara asing di wilayah negara tersebut dikediaman

perutusan asing atau kapal asing. Dengan adanya perlindungan itu individu tersebut

tidak dapat diambil oleh penguasa negara lain (Hamid 2002).

D. Prejudice Masyarakat Australia Terhadap Irregular Maritime Arrivals (IMAs)

Isu pencari suaka yang tiba di Australia dengan menggunakan perahu telah menjadi

permasalahan nasional yang mendapat perhatian dari sebagian besar masyarakat Australia.

Namun saat ini pencari suaka dengan perahu tersebut justru dinilai membawa beberapa dampak

negatif bagi keamanan nasional Australia. Hal ini tidak lepas dari bagaimana pemerintah dan

media Australia menjustifikasi pencari suaka dengan perahu tersebut sebagai sesuatu yang

melanggar hukum dan telah melakukan tindakan yang tidak sepantasnya dengan memasuki

Page 28: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Australia tanpa membawa dokumen-dokumen resmi, sehingga kemudian muncul stereotype-

stereotype yang terbangun sebagai konsekuensi atas pelabelan terhadap pencari suaka yang

dilakukan pemerintah tersebut.

Grafik di bawah ini menunjukkan beberapa argumen yang berbeda mengenai pencari

suaka yang tiba di Australia dengan perahu;

Grafik 2. 2. Beberapa Pandangan Terhadap Pencari Suaka

Sumber: Fergus Hanson,”Aystralia and the World; Public Opinion and Foreign Policy”.

Dari grafik di atas dapat ditemukan beberapa penilaian yang terbangun di masyarakat

Australia mengenai label yang melekat pada pencari suaka. Dari data di atas dapat dilihat bahwa

sebanyak 86% pencari suaka yang tiba di Australia dianggap mempunyai potensi terhadap

resiko keamanan Australia. Selain itu sebanyak 92% responden juga mengatakan bahwa pencari

suaka yang ingin memasuki wilayah Australia dengan menggunakan perahu merupakan pilihan

yang buruk dan berisiko mengalami kecelakaan sampai dengan kematian. Hal ini telah

Page 29: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

menunjukkan adanya persepsi negatif yang terbangun dalam identitias pencari suaka yang tiba di

Australia khususnya yang datang dengan menggunakan perahu.

Bab III

Alasan Pemerintah Australia dalam Menerapkan Kebijakan Pacific Solution dan Operation

Sovereign Borders (OSB) Guna Membendung Kedatangan Para Pencari Suaka

Jumlah kedatangan para pencari suaka (asylum seekers) yang meningkat tiap tahunnya

sesuai dengan penjelasan sebelumnya, membuahkan polemik tersendiri bagi keamanan negara

Australia. Pemerintah Australia mulai merasa khawatir akan keamanan negara dan warganya

yang akan ditimbulkan oleh gelombang kedatangan para pencari suaka tersebut.

Kekhawatiran pemerintah Australia terhadap kedatangan pencari suaka tersebut didasari

atas persepsi negatif terhadap para pencari suaka (asylum seekers) yang berkembang di Australia

seperti anggapan bahwa para pencari suaka identik dengan tindak kriminalitas. Adanya para

pencari suaka berarti akan adanya penyelundupan manusia, dan yang terakhir adalah munculnya

Islamophobia yang dirasakan oleh masyarakat Australia.

Kekhawatiran-kekhawatiran tersebut yang menjadi alasan pemerintah Australia untuk

bersikap tegas terhadap para pencari suaka dengan mengeluarkan kebijakan berupa Pacific

Solution dan Operation Sovereign Borders (OSB). Selanjutnya, pada bab ini akan secara spesifik

membahas beberapa alasan lain yang melatar belakangi dibentuknya kebijakan Australia berupa

Pacific Solution dan Operation Sovereign Borders (OSB).

Page 30: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

A. Meminimalisir Tindakan Kriminal yang Identik dengan Kedatangan Para Pencari

Suaka

Australia yang merupakan sebuah negara dengan kondisi perekonomian yang bisa

dikatakan cukup baik di kawasan Asia Pasifik. Kondisi politik dan keamanan yang cenderung

cukup stabil jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik menjadikan

Australia sebagai salah satu negara tujuan utama bagi para pencari suaka yang sebagian besar

berasal dari Timur Tengah dan Asia Selatan. Terjebak dalam situasi konflik dan kondisi ekonomi

yang kurang menentu di negara asal membuat para pencari suaka berani melakukan perjalanan

yang beresiko menuju Australia dengan harapan menemukan jaminan hidup yang lebih baik.

Pemerintah Australia dalam memandang gelombang para pencari suaka yang datang ke

wilayahnya tidak lebih sebagai suatu tindakan yang ilegal dan identik dengan kriminalitas.

Pemerintah Australia dari awal sudah mengidentifikasi para pencari suaka yang datang ke

Australia dengan perahu adalah tindakan yang ilegal dan secara sengaja melanggar kedaulatan

wilayah Australia. Identifikasi juga diberikan kepada perahu yang membawa para pencari suaka

(asylum seekers) yang ingin masuk secara ilegal ke wilayah Australia dengan sebutan Suspected

Illegal Entry Vessel (SIEV) (Kevin 2004).

Kedatangan para pencari suaka dengan perahu menuju Australia juga mengindikasikan

beberapa aktivitas lain yang berhubungan erat dengan tindak kriminalitas. Letak geografis

Australia yang berdekatan dengan benua Asia membuka celah berbagai tindak kriminalitas yang

dilakukan oleh berbagai organisasi kejahatan, misalnya Chinese Organized Gang sebagai

organisasi kejahatan terbesar di Australia (Williard 1994).

Page 31: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Chinese Organised Gang di Australia tidak memiliki struktur hirarki yang jelas, siapa

pemimpinnya serta berapa banyak anggota dan pekerjaannya. Tetapi meskipun demikian,

organisasi kejahatan ini mampu mengatur perdagangan narkotika dari Asia Tenggara menuju

Australia secara canggih dan fleksibel (Rebecca 2001).

Penyelundupan manusia, perdagangan manusia, perdagangan obat-obatan terlarang

(narkoba) adalah beberapa kejahatan yang dilakukan oleh kelompok kriminal Cina tersebut.

Pengangkutan narkotika biasanya dikombinasikan dengan perdagangan manusia untuk menekan

biaya transportasi. Jalur laut adalah jalur utama yang dipilih karena mereka dapat menghindari

proses deteksi, sedangkan jalur udara harus melewati proses yang lebih rumit dan biaya yang

tinggi (Rebecca 2001).

Para pencari suaka yang kebanyakan merupakan orang dengan tingkat pendidikan yang

rendah dan tidak mempunyai keahlian khusus menjadikan sebagian besar dari para pencari suaka

ini memilih menjadi pekerja yang dapat dimanfaatkan oleh Chinese Organized Gang. Pilihan

para pencari suaka untuk menjadi kurir dalam mendistribusikan narkotika adalah untuk

membantu bertahan hidup di Australia kedepannya. Istilah satu kejahatan akan membawa pada

kejahatan berikutnya sangat tepat menggambarkan fenomena kejahatan yang terjadi di Australia.

Perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang yang sukses diperdagangkan di Australia,

membawa para sindikat kejahatan ini mengembangkan tindakan kriminalitas lain, pencucian

uang adalah salah satu kelanjutan dari perdaganagan narkotika yang mengalami kesuksesan di

Negara Australia.

Pencucian uang telah meningkat dalam hubungannya dengan kasus dan kegiatan

perdagangan narkotika dan perdagangan manusia ke Australia. Operasi pencucian uang semakin

dimudahkan dengan adanya sistem komunikasi yang cepat untuk mentransfer dana dari dan ke

Page 32: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

luar bank Australia. Selain menggunakan kecanggihan sistem perbankan, sindikat kejahatan juga

menggunakan kurir untuk membawa uang tunai dan memindahkan uang melalui rekening

internasional atas nama keluargnya. Kebanyakan kurir tersebut adalah para pencari suaka yang

tidak memiliki pekerjaan dan hal tersebut dilakukan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya

di Australia. Polisi Federal Australia memperkirakan bahwa ada sekitar 1,7 juta US dollar hingga

6,6 juta US dollar per tahun yang dicuci dari hasil keuntungan perdagangan narkoba ini (Owens

2002).

Tidak ada persentase atau data statistik yang menunjukkan jumlah tindakan kriminal atau

berapa banyak yang terkait dengan tindak kriminal tersebut. Kesulitan pemerintah Australia

dalam mengumpulkan jumlah kejahatan atau tindak kriminal oleh para pencari suaka ilegal

menyebabkan tidak adanya data statistik resmi yang dikeluarkan oleh Pemrintah Australia.

Tetapi dengan beberapa kasus yang dijelaskan di atas, mengantarkan Pemerintah Australia untuk

memformulasikan kebijakan berupa Pacific Solution dan Operation Sovereign Borders (OSB)

yang diharapkan dapat menjaga batas negara mereka dari segala kemungkinan tindak

kriminalitas oleh para pencari suaka.

Seperti yang disampaikan oleh Anak Agung Banyu Parwita dalam tulisannya yang

bejudul Isu Perbatasan dan Keamanan Nasional yang diterbitkan kompas pada tahun 2009.

“Karena batas negara tidak hanya berperan penting dalam menentukan kedaulatandan keamanan nasional suatu negara tetapi juga mempunyai peranan penting dalampelaksanaan politik luar negeri suatu negara. Keterbatasan kemampuan negaradalam mengelola dan mengawasi semua wilayah perbatasan dan teritorialnya akanberdampak secara signifikan baik secara internal maupun eksternal”

Pentingnya penjagaan batas negara Australia terhadap kedatangan para pencari suaka

(Asylum Seekers) akan sangat menentukan kedaulatan negara dan keamanan nasionalnya. Bisa

dikatakan jika dikeluarkan kebijakan Australia berupa Pacific Solution dan Operation Sovereign

Page 33: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Borders (OSB) adalah dalam rangka meminimalisir tindakan kriminal. Pemerintah Australia

percaya jika segala bentuk kegiatan kriminal yang identik dengan kedatangan para pencari suaka

tersebut akan dapat dicegah dan dihentikan dengan kebijakan berupa Pacific Solution dan

Operation Sovereign Borders (OSB).

B. Mencegah Peningkatan Penyelundupan Manusia atau People Smuggling

Sebagai negara demokrasi yang aman dan adil serta kondisi ekonomi yang tidak terpengaruh

oleh krisis ekonomi, serta jaminan sosial yang diberikan kepada penduduknya, maka menjadi

sangat wajar jika banyak dari para pencari suaka ingin datang ke Australia dan bisa menjadi

bagian dari negara tersebut. Namun, semakin banyak para pencari suaka yang datang secara

ilegal ke Australia mengindikasikan semakin banyaknya penyelundupan manusia yang akan

dilakukan oleh para penyelundup.

Kehadiran para pencari suaka atau Irregular Maritime Arrivals (IMAs) yang jumlahnya

terus meningkat dari tahun ke tahun menjadi beban tersendiri bagi pemerintah Australia dalam

menjaga kedaulatan serta keamanan negaranya. Dengan bertambahnya jumlah kedatangan para

pencari suaka ke Australia maka resiko munculnya kejahatan transnasional akan semakin besar.

Salah satu kejahatan transnasional yang sering terjadi adalah penyelundupan manusia dan

pemerintah Australia menganggap masalah penyelundupan manusia yang melewati wilayahnya

adalah suatu tindakan yang menyangkut kedaulatannya dan harus ditindak tegas.

Secara garis besar, arus kedatangan para pencari suaka ke Australia bisa dibedakan

menjadi dua, yang pertama adalah para pencari suaka yang datang melalui jalur udara, dan kedua

adalah para pencari suaka yang datang melalui jalur laut. Namun, para penyelundup manusia ke

Australia lebih banyak menggunakan jalur laut dalam menjalankan aksinya. Walaupun memiliki

Page 34: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

resiko yang lebih tinggi karena harus mempertaruhkan nyawa para pencari suaka di lautan,

namun jalur ini paling sering dipilih penyelundup karena perhitungan biaya yang bisa ditekan.

Jalur laut yang biasanya digunakan para penyelundup adalah melewati Laut Timor, Laut Cina

Selatan dan perairan Indonesia.

People Smuggling atau penyelundupan manusia pertama kali ditemukan di Australia pada

tahun 1981. Sebanyak 146 manusia yang mengaku berasal dari Vietnam, berada dalam sebuah

perahu yang menuju daratan Australia melalui perairan Indonesia. Deketahui bahwa orang-orang

yang ada dalam perahu tersebut merupakan para pencari suaka yang sengaja membayar sejumlah

uang kepada pemilik perahu agar diijinkan menumpang menuju Australia. Kasus penyelundupan

manusia di Australia yang pernah tercatat juga terjadi di pulau Queensland Australia dan New

South Wales, hal tersebut menunjukkan bagaimana para oknum penyelundupan manusia

mencoba dan berusaha mencapai pantai Australia langsung dari rute timur yang mana area

tersebut tidak mendapatkan pengawasan dari Coastwatch sampai tahun 1999 (Statistic Section

2012).

Kasus penyelundupan manusia ini terjadi di berbagai belahan dunia termasuk Australia,

dapat diibaratkan seperti fenomena gunung es, dimana kasus yang terdeteksi adalah bagian

gunung es yang berada di atas permukaan laut, sedangkan kasus yang jauh lebih besar dan tidak

terdeteksi berada di bawah permukaan laut. Penyelundupan yang terjadi di Australia lebih

banyak ditemukan pada jalur-jalur maritim, karena dianggap memakan biaya lebih murah

dibandingkan dengan menggunakan jalur udara yang akan memerlukan biaya yang lebih tinggi

dan akan mengurangi keuntungan yang diperoleh oknum penyelundupan manusia. Selain itu,

perbatasan laut Australia yang terbuka juga menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi

proses penyelundupan manusia tersebut.

Page 35: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Sebelum tahun 1997, kebanyakan dari kasus penyelundupan manusia ke Australia masih

menggunakan perahu-perahu kecil berbahan kayu yang hanya dapat menampung para pencari

suaka dalam jumlah kecil. Tetapi pada tanggal 13 Juni 1997, pertama kali ditemukan perahu

berbahan baja yang membawa para pencari suaka ilegal menuju Australia. Beberapa tahun

setelah itu, semakin banyak perahu yang datang ke Australia yang membawa pencari suaka

dengan ukuran yang lebih besar dan berat serta dilengkapi dengan navigasi dan teknologi

komunikasi yang lebih baik. Bukti bahwa perahu tersebut digunakan untuk menampung para

pencari suaka ilegal adalah dengan ditemukannya compartment tersembunyi pada perahu yang

bertujuan atau digunakan untuk menyembunyikan para pencari suaka ilegal tersebut (Tanzila

2015).

Pemerintah Australia menganggap penyelundupan manusia atau people smuggling yang

terjadi merupakan sebuah kejahatan. Dikatakan demikian karena menurut pemerintah Australia

menyelundupkan manusia dari suatu negara ke negara lain merupakan suatu pelanggaran

ketentuan-ketentuan resmi dari negara bersangkutan (Phillips & Miller 2000).

Penyelundupan manusia juga merupakan suatu tindakan yang membentuk sebuah

perbudakan kontemporer. Para pencari suaka yang akan diselundupkan akan diperlakukan

dengan tidak baik oleh para penyelundup, selain itu sangat sering kondisi perjalanan yang sangat

tidak manusiawi seperti berada dalam perahu yang penuh dan sesak serta ditumpuk dengan

barang-barang bawaan perahu, dan bahkan sering terjadi kecelakaan yang fatal. Sesampainya di

negara tujuan, status ilegal para pencari suaka menyebabkan mereka terpaksa menjadi budak

para penyelundup yang memaksa mereka berkerja di pasar tenaga kerja ilegal selama bertahun-

tahun. Para pencari suaka ini secara tidak langsung mengalami eksploitasi dari para penyelundup

demi keuntungan materiil (Phillips & Miller 2000).

Page 36: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Tabel 3. 1 Jumlah Pencari Suaka yang Datang dengan Perahu Secara Ilegal ke AustraliaSejak Tahun 1976-2012

Tahun Jumlah Perahu Jumlah Manusia

1975-76 1 Perahu 5 Orang

1976-77 7 Perahu 204 Orang

1977-78 43 Perahu 1.423 Orang

1978-79 6 Perahu 351 Orang

1979-80 2 Perahu 56 Orang

1980-81 1 Perahu 30 Orang

1981-82 to1988

_ _

Tahun Jumlah Perahu Jumlah Manusia (Excludes Crew)

1989 1 Perahu 26 Orang

1990 2 Perahu 198 Orang

1991 6 Perahu 214 Orang

1992 6 Perahu 216 Orang

1993 3 Perahu 81 Orang

1994 18 Perahu 953 Orang

1995 7 Perahu 237 Orang

1996 19 Perahu 660 Orang

1997 11 Perahu 339 Orang

1998 17 Perahu 200 Orang

1999 86 Perahu 3.721 Orang

2000 51 Perahu 2.939 Orang

2001 43 Perahu 5.516 Orang

2002 1 Perahu 1 Orang

2003 1 Perahu 55 Orang

Page 37: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

2004 1 Perahu 15 Orang

2005 4 Perahu 11 Orang

2006 6 Perahu 60 Orang

2007 5 Perahu 148 Orang

2008 7 Perahu 161 Orang

Tahun Jumlah Perahu Crew Jumlah Manusia (Excludes Crew)

2009 60 Perahu 141 Orang 2.726 Orang

2010 134 Perahu 345 Orang 6.555 Orang

2011 69 Perahu 168 Orang 4.565 Orang

2012 278 Perahu 392 Orang 17.202 Orang

Sumber: 1976-1988 : K. Betts, “Boat people and public opinion in Australia”, People and place vol. 9/ 2001,1989-2008: DIAC dengan data dari Parliamentary Library 2009., 2009-2012: Customs and Border Protectiondengan data dari Parliamentary Library.

Dari data di atas dapat diamati jika lonjakan tajam kedatangan para pencari suaka secara

ilegal ke Australia terjadi pada tiga tahun terakhir sebelum diberlakukannya kebijakan Pacific

Solution oleh Perdana Menteri John Howard tahun 2001 dengan total mencapai 12.176 orang.

Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yang jumlah pertahunnya masih dalam skala

ratusan, pemerintah Australia mulai merasa khawatir akan keamanan warga dan negaranya yang

akan ditimbulkan oleh gelombang para pencari suaka yang masuk secara ilegal tersebut.

Pemerintah Australia sangat memahami kondisi dari berbagai kasus people smuggling

yang telah terjadi di wilayah negaranya. Sehingga pada tahun 2001, pemerintah Australia di

bawah kepemimpinan John Howard mulai menerapkan kebijakan yang bersifat sekuritisasi untuk

memproteksi keamanan dan pertahanan negaranya dari para oknum penyelundup manusia

dengan strategi kebijakan Pacific Solution.

Beberapa alasan yang menggambarkan penyelundupan manusia sebagai ancaman utama

bagi masyarakat Australia, yaitu pertama adalah adanya persoalan serius terhadap keamanan dan

Page 38: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

keprihatinan ketika orang-orang yang datang ke Australia tetapi tidak memiliki identitas yang

jelas. Kedua, terdapat resiko karantina terhadap pemeriksaan kesehatan bagi para warga biasa

yang akan melewati proses imigrasi. Ketiga, pemprosesan terhadap imigran ilegal menimbulkan

masalah biaya dan logistik yang signifikan. Dan terakhir yang keempat, penyelundupan manusia

dapat melanggar kedaulatan Australia, sehingga menggangu kedaulatan negara dalam

mengontrol perbatasan negaranya (Australian Federal Police 2010).

Meningkatnya kedatangan Irregular Maritime Arrivals (IMAs) ke Australia memang

memerlukan perhatian yang serius dan memang sudah sepantasnya menjadi prioritas utama bagi

negara untuk mengatasinya. Pada masa pemerintahan Australia di bawah Perdana Menteri John

Howard, dikeluarkannya kebijakan mengenai Irregular Maritime Arrivals (IMAs) berupa Pacific

Solution bertujuan agar dapat mengendalikan peningkatan arus kedatangan para pencari suaka

secara ilegal (penyelundupan manusia) yang datang khususnya melalui jalur laut.

C. Mengatasi Munculnya Fenomena Islamophobia pada Masyarakat Australia

Islamophobia adalah bentuk kefanatikan dan kebencian yang ditargetkan kepada umat

islam, dan lebih umum kepada orang-orang yang dianggap sebagai ‘Arab’. Kata ‘Arab’ sendiri

dimaksudkan merujuk pada kondisi linguistik yaitu orang-orang yang menggunakan bahasa Arab

sebagai bahasa pengantar. Seperti diketahui bahwa ada sekitar 300 juta orang di 22 negara yang

menggunakan bahasa Arab di Timur Tengah dan Afrika Utara (Rowan 2008). Fenomena ini

yang mendasari munculnya pandangan atau asumsi bahwa orang Arab dan Islam merupakan

suatu kelompok ras tunggal.

Salah satu kekhawatiran berupa ancaman non traditional yang akan ditimbulkan dari

lonjakan kedatangan para pencari suaka atau Irregular Maritime Arrivals (IMAs) yang dirasakan

Page 39: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

oleh pemerintah Australia adalah kasus terorisme. Di mana tindakan teror di berbagai negara

selalu dan terus menerus dikaitkan dengan umat Islam, sehingga menjadi ancaman tersendiri bagi

pihak Australia dalam menerima para pencari suaka yang notabene sebagian besar berasal dari

‘Arab’. Berbagai kasus teror yang ada dan identik dengan umat muslim menimbulkan fenomena

Islamophobia dikalangan negara-negara barat tidak terkecuali Negara Australia.

Kenyataan yang tidak dapat terbantahkan tentang perkembangan fenomena Islamophobia

di kalangan masyarakat Australia adalah sejak berkembangnya informasi melalui media masa

terutama televisi. Peran media sangatlah penting di era masyarakat modern dalam membentuk

opini publik, seperti pada masyarakat Australia dalam memandang umat muslim. Mengingat

representasi identitas umat muslim yang dikembangkan oleh media terutama televisi begitu luas

(Fairclough 1995).

Media bertugas memberikan informasi dan membangkitkan kesadaran terhadap segala

kejadian yang terjadi di belahan dunia manapun, namun media juga berperan penting dalam

membangun dan membentuk pandangan masyarakat dunia terhadap suatu berita dan menyeleksi

serta memberikan penekanan terhadap suatu gejala dengan berbagai cara. Hal ini yang membuat

media berperan penting dalam menyatukan pandangan satu negara dengan negara lain dalam satu

kesatuan, bahkan informasi mengenai statistik migrasi dan pengaruh yang saling terkoneksi

membangun pandangan yang sama dan berakhir pada tindakan yang serupa dalam satu dunia

atau yang dikenal dengan istilah global village (Schultz 1998)

Awal tahun 1980-an menjadi titik balik stereotype pada umat Islam di Australia

sebagaimana yang terjadi di negara-negara barat lain. Pandangan mengenai umat Islam

berpindah dari yang awalnya hanya sebatas sejarah migrasi dengan menjadi migran, menjadi

Page 40: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

ancaman yang berbahaya dan meningkat seiring perkembangan di era modern. Peristiwa yang

terjadi di Iran dan kasus “Threat of the North” yang terjadi di Australia itu sendiri menjadi

bagian dari munculnya pandangan-pandangan negatif mengenai umat Islam.2

Ancaman-ancaman dari negara sebelah utara wilayah Australia seperti Indonesia dengan

konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM), konfrontasi Kristen-Islam di Ambon, penghancuran

terhadap gereja-gereja di Jakarta, kerusuhan Islam di Indonesia dan Malaysia, serta Filipina

dengan Moro National Leberation Front. Semua konflik yang terjadi yang disebutkan di atas

sangat berkaitan erat dengan Islam dan umat muslim. Bisa dilihat jika perkembangan kebijakan

pertahanan Australia memang sangat dipengaruhi oleh lingkungan strategis khususnya wilayah

Asia Pasifik (Marsudi 2006).

Puncak dari fenomena Islamophobia yang telah mengakar dari berbagai insiden-insiden

sebelumnya dapat dirasakan nyata ketika terjadinya serangan pada 11 Septermber 2001.

Serangan yang dilakukan oleh teroris yang dikonotasikan sebagai ‘umat islam’ pada tanggal 11

September tersebut dianggap sebagai bencana kemanusiaan yang mengerikan. Pada serangan

tersebut terdapat lima pesawat terbang yang digunakan sebagai senjata penyerangan di Amerika

Serikat dalam satu hari. Dua pesawat ditabrakkan ke gedung World Trade Centre (WTC), satu

pesawat ke gedung Pentagon, satu pesawat di gedung pertahanan Amerika Serikat, dan satu

pesawat lainnya dijatuhkan di dekat bandara Somerset Cuntry, tiga belas kilometer sebelah timur

dari Pennsylvania. Pada serangan 11 September yang mengerikan tersebut tercatat sebanyak 20

warga negara Australia menjadi korban (Warsono 2006).

Peran media masa yang begitu besar pengaruhnya dalam penyebaran informasi tentang

serangan 11 September tersebut yang dalam hitungan detik sudah sampai ke masyarakat dunia

2 “Threat of north” dimana Pemerintah Australia sendiri menganggap bahwa konflik yang terjadi di negara sebelahutara wilayahnya merupakan ancaman bagi negara Australia.

Page 41: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

termasuk masyarakat Australia. Terkait serangan yang memakan korban jiwa dari negaranya,

Perdana Menteri Australia pada saat itu, John Howard, memberikan beberapa tanggapan melalui

Sky News;

“This was a completely unprovoked, audacious, outrageously successful terroristattack. This was a greater violation of the American homeland than PearlHarbour. The terrorists had destroyed the World Trade Centre. They’d taken outthe Pentagon, and if those brave people on that other aircraft that crashed inPennsylvania had not been so brave, they probably would have taken out either theWhite House or the Capital building, so it was outrageous. It was audacious. Itwas successful and it was completely unprovoked. That doesn’t change theparadigm of the world in which we live. Nothing will‖ -John Howard

“Of course I feared, and a lot of us did, that we were going to have a chainreaction. Washington then New York then London then Paris then Tokyo, perhapsSydney, then Melbourne - who knows? You’ve got to remember that nobody wasprepared for this and naturally fear and imagination runs riot. And I made it veryclear Australians would stand should to shoulder with the Americans in the fightagainst terrorism.” – John Howard

Perdana Menteri Australia John Howard sangat mengecam tragedi yang terjadi pada 11

September tersebut dan dalam pernyataannya di atas sangat jelas mengindikasikan bahwa

pemerintah Australia cenderung concern terhadap segala fenomena yang terjadi di berbagai

negara. John Howard menganggap tragedi yang ikut menewaskan warga negaranya bukan hanya

menjadi tragedi nasional yang dialami Amerika Serikat, tetapi dianggap sebagai tragedi

internasional. Menempatkan posisi Australia juga harus mengambil inisiatif untuk merumuskan

kebijakan yang mampu menangkal berbagai kemungkinan konflik atau tragedi di Australia.

Kedatangan para pencari suaka di Australia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan

bahwa mayoritas dari para pencari suaka tersebut berasal dari Afghanistan, Iran, Iraq, dan Sri

Lanka seperti yang dijelaskan di atas sebagai bangsa Arab dan umat muslim. Keadaan

tersebutlah yang menjadi satu alasan utama bagi Perdana Menteri John Howard untuk segera

melaksanakan dan mengimplementasikan kebijkan sekuritisasi terhadap kedatangan para pencari

Page 42: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

suaka (asylum seekers). Pada tanggal 27 September 2001, pemerintah Australia secara resmi

menerapkan kebijakan sekuritisasi tersebut dan diberi nama Pacific Solution, tepat enam belas

hari setelah tragedi 11 September terjadi di Amerika Serikat (Australia Human Right

Commision, Migration Law 2001)

Bom Bali I dan Bom Bali II yang terjadi di Indonesia menguatkan kembali keputusan

pemerintah Australia untuk melanggengkan kebijakan sekuritisasi yang telah diimplementasikan

pada tanggal 27 September 2001 tersebut. Tragedi penyerangan pertama terjadi di pulau Bali

pada tanggal 12 Oktober 2002, yang menyebabkan kematian 202 orang dan dari semua korban

tersebut, 88 orang adalah warga negara Australia dan menjadi korban terbesar dalam ledakan

bom tersebut. Selanjutnya, pada tragedi Bom Bali II yakni pada bulan Oktober tahun 2005

kembali menewaskan sedikitnya empat orang warga negara Australia.

Dari serangkaian tragedi-tragedi yang terjadi di berbagai belahan dunia dan menjadikan

warga negara Australia sebagai korbannya menguatkan keinginan pemerintah Australia dalam

menjalankan dan menerapkan kebijakan berupa Pacific Solution dan Operation Sovereign

Borders (OSB). Hal tersebut juga terkait dengan isu terorisme dan islamophobia yang akan

timbul akibat kedatangan para pencari suaka ilegal yang dikenal dengan sebutan Irregular

Maritime Arrivals (IMAs) ini.

D. Munculnya Tuntutan Masyarakat Australia Kepada Pemerintah

Istilah Irregular Maritime Arrivals (IMAs) merupakan konsep yang disematkan kepada

para pencari suaka oleh pemerintahan Australia, merupakan sebuah usaha untuk mengutuk dan

mengkriminalisasi pencari suaka yang mencoba masuk ke wilayah negara Australia. Terminologi

tersebut kemudian digunakan media untuk membentuk opini publik. Demikian halnya yang

Page 43: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

terjadi dengan penyebutan manusia perahu (boat people) oleh beberapa media yang digunakan

untuk men-dehumanisasi pencari suaka (Bowen 2012).

Secara lebih mendalam, media kemudian membentuk diskursus mesyarakat mengenai

pengabaian terhadap hak-hak yang seharusnya diterima oleh para pencari suaka sesuai yang

tertuang dalam Universal Declaration of Human Right. Dengan demikian, media telah menjadi

alat yang digunakan oleh pemerintah untuk memanipulasi dan mengarahkan opini publik

terhadap para pencari suaka (Asylum Seekers). Opini publik tersebut akan sangat mempengaruhi

tuntutan masyarakat kepada pemerintah Australia dalam menangani permasalah para pencari

suaka (Asylum Seekers).

Dengan adanya berbagai pemberitaan yang menyudutkan pencari suaka dengan perahu

tersebut, maka muncul tuntutan publik pada pemerintah agar memberlakukan kebijakan-

kebijakan yang bersifat keras terhadap para manusia perahu. Tuntutan-tuntutan tersebut

tercermin dalam survei yang dilakukan oleh beberapa media Australia. Berikut ini merupakan

kumpulan survei yang menunjukkan keinginan publik dalam memperlakukan pencari suaka.

Page 44: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Tabel 3. 2. Tuntutan Perlakuan Pemerintah Terhadap Para Pecari Suaka (AsylumSeekers) pada Tahun 2009-2010

Question

Right ofAsylum

Seekers toapply forresidence

PMGillardgettingtough

onAsylumSeekers

Offshoreprocessing

forAsylumSeekers

Federalgovt.too

tough/soft

Suspensionof

processing

Right ofAsylumSeekersto apply

forresidence

Handlingof

Asylumissue

Policiesof theRuddgovt.

Average

Date July 2010July2010

June 2010April2010

April 2010March2010

November2009

May2009

Supporttougherpolicy

64% 63% 62% 65% 58% 64% 52% 55% 60%

Retaincurrentpolicy

26% 26% 33% 18% 26% 28% 26% 26%

Suportsofterpolicy

6% 9% 4% 6%

Do notknow/other

10% 11% 5% 11% 10% 11% 15% 10%

Sumber: Andrew Markus “Public Opinion Devided on Population,Immigran and Asylum”

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar masyarakat Australia

mendukung pemerintah untuk memberikan kebijakan yang lebih bersifat keras terhadap para

pencari suaka. Dalam survey yang dilakukan oleh Galaxy pada bulan Juli 2010 tersebut, terlihat

bahwa masyarakat Australia sebagian besar mendukung sikap Perdana Menteri Julia Gillard

untuk bertindak lebih keras kepada para pencari suaka dengan dukungan sebanyak 63% untuk

Page 45: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

pilihan “Support tougher policy”. Sementara yang memilih setuju dengan kebijakan yang sedang

diterapkan adalah sebesar 26% dan yang memilih dukungan kepada pemerintah agar

memberlakukan kebijakan yang lebih lunak kepada pencari suaka hanya mendapatkan perolehan

suara sebesar 6%. Hal ini menunjukkan gambaran bahwa publik Australia sebagian besar

menginginkan agar pemerintah bertindak lebih tegas dalam menangani permasalahan asylum

seeker.

E. Sebagai Langkah Politik Domestik di Australia dalam Menanggapi Isu Para Pencari

Suaka (Asylum Seekers)

Meningkatnya kedatangan Irregular Maritime Arrivals (IMAs) ke Australia memang

memerlukan perhatian yang serius dan sudah sepantasnya menjadi prioritas utama bagi negara

untuk mengatasinya. Pada masa pemerintahan Australia di bawah Perdana Menteri John Howard,

dikeluarkannya kebijakan mengenai Irregular Maritime Arrivals (IMAs) berupa Pacific Solution

dan Operation Sovereign Borders (OSB) di masa Tony Abbott bertujuan untuk dapat

membendung dan menghentikan arus kedatangan para pencari suaka ke negaranya dan dianggap

akan banyak merugikan pihak Australia.

Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan pemerintah Australia mengenai para pencari suaka

(Asylum Seekers) berupa Pacific Solution dan Operation Sovereign Borders (OSB) tidak bisa

dipungkiri sebagai sebuah produk kebijakan yang mendapat pengaruh dari proses politik.

Selanjutnya akan dijelaskan dinamika politik domestik Australia menanggapi kasus para pencari

suaka di Austalia pada masa John Howard dan Tony Abbott. Serta pertarungan partai politik

antara dua partai besar di Australia yaitu Partai Liberal dan Partai Buruh dalam menentukan

kebijakan yang diambil dalam menanggapi isu para pencari suaka.

Page 46: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

E. 1. Langkah Politik Domestik di Masa John Howard

Pada mada Pemerintahannya, PM John Howard dari Partai Liberal (Liberal Party)

menuduh kebijakan sebelumnya telah gagal dalam menangani kasus para pencari suaka yang

datang secara ilegal ke Australia. Seperti diketahui jika kebijakan pemerintah sebelumnya masih

menggunakan kebijakan pendatang berupa Australian White Policy.

Australian White Policy merupakan kebijakan imigrasi Australia yang telah ada dari

tahun 1949 yang merupakan kebijakan terhadap pendatang di Australia. Pada awalnya, kebijakan

ini bertujuan untuk tidak menerima pendatang yang berasal dari luar Eropa. Kemudian,

pemerintah Australia melonggarkan Australian White Policy sehingga warga non-Eropa diterima

di Australia dengan syarat hanya untuk melakukan bisnis dan menerima warga non-Eropa yang

telah tinggal di Australia selama lima belas tahun tanpa harus melakukan perpanjangan

perizinan.

Selanjutnya pada tahun 1972, pemerintah Australia berusaha untuk merombak Australian

White Policy. Kebijakan imigrasi yang sebelumnya berfokus pada penerimaan warga Eropa dan

non-Eropa berkembang lebih ke isu ekonomi,pekerjaan, perumahan dan dukungan layanan

sosial. Pada tahun 1972 juga semua imigran yang tinggal menjadi layak untuk mendapatkan

kewarganegaraan setelah tiga tahun tinggal di Australia. semenjak saat itulah terjadi peningkatan

kedatangan para pencari suaka ke Australia.

Perdana Menteri John Howard menganggap kebijakan Australian White Policy hanya

berfokus kepada pemrosesan para pencari suaka tetapi tidak bisa menangani masalah people

smuggling yang ada akibat arus kedatangan para pencari suaka. Sampai pada akhirnya pada

tahun 2001 Australia dibawah PM John Howard menawarkan kebijakan yang lebih tegas dalam

menangani kasus pencari suaka termasuk penyelundupan manusia berupa Pacific Solution.

Page 47: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

E. Langkah Politik Domestik di Masa Tony Abbott

Kebijakan Pacific Solution di bawah Perdana Menteri John Howard (2001)

menggambarkan adanya wujud nyata rivalitas di antara dua partai besar di Australia yaitu Partai

Liberal dan Partai Buruh. Hal-hal yang menjadi pemberitaan dalam media Australia mengenai

pencari suaka dinilai telah mengaburkan batasan-batasan antara kesesuaian di lapangan dengan

unsur pembentukan opini publik semata.

Dengan retorika politik dan pemberitaan media, permasalahan manusia perahu atau, yang

disebut pemerintah dengan Irregular Maritime Arrivals, kemudian menjadi perhatian utama bagi

masyarakat Australia pada pemilu federal tahun 2010. Tiga isu yang mendominasi pemilihan

federal di tahun 2010 salah satunya adalah isu para pencari suaka yang merujuk kepada manusia

perahu (boat people), bersama dua isu utama yang lain yaitu permasalahan perubahan iklim dan

kesehatan mental (Luzzi, 2011).

Dalam minggu pertama masa kampanye (17-23 Juli 2010) sampai pada masa-masa

terkahir (14-20 Agustus) isu populasi atau imigrasi tidak pernah keluar dari topik sepuluh besar

dari data yang dihimpun oleh Media Monitors Australia, yang mencakup penghitungan pada

seluruh media, yaitu pers, radio, televisi, dan internet (Goot & Watson, 2011). Hal tersebut telah

menunjukkan bagaimana fungsi media yang begitu besar dalam membentuk opini masyarakat

Australia dalam memandang permasalahan pencari suaka yang datang menggunakan perahu.

Dikaitkan dengan pertarungan pemilu tahun 2010, kedua partai politik berusaha saling

menawarkan “janji” kepada masyarakat dalam menanggulangi kedatangan para pencari suaka.

Menanggapi tuntutan masyarakat Australia dan berangkat dari kegagalan yang dilakukan

pemerintah sebelumnya, Tony Abbott sebagai calon Perdana Menteri dari Partai Liberal

menawarkan kebijakan yang lebih tegas dalam mengatur banyaknya pencari suaka yang

Page 48: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

berkeinginan untuk memasuki wilayah Australia, dan wacana tersebut mengantarkannya menjadi

pemenang pemilu dan menjadikannya sebagai Perdana Menteri Australia menggantikan Julia

Gillard.

Setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Julia Gillard, Tony Abbott segera

menepati janjinya dengan segera membentuk tim khusus dalam menentukan arah kebijakan

pemerintah untuk menangani para pencari suaka yang datang. Akhirnya, pada tahun 2013 secara

resmi kebijakan Operation Sovereign Borders (OSB) dilaksanakan guna membendung

kedatangan para pencari suaka terkait ancaman non traditional yang akan ditimbulkan akibat

kedatangan para pencari suaka tersebut.

Selain pertarungan politik tersebut, alasan lain dibentuknya kebijakan OSB pada masa

pemerintahan Perdana Menteri Tony Abbott juga bisa dilihat dari karakter Tony Abbott sendiri.

Dimana Perdana Menteri Tony Abbott memang dikenal dengan pribadi yang tegas, dalam

mewujudkan kepentingan nasionalnya dirasa sangat masuk akal jika Perdana Menteri Tony

Abbott menerapakan kebijakan Operation Sovereign Borders. Hal tersebut dapat dilihat dari

pernyataan Tony Abbott mengenai para pencari suaka melalui Strait Times :

"To do the right thing by our people and ultimately do the right thing by poor,

misguided people who for all sorts of reasons want a better life but very often end

up dead if they succumb to the lure of the people-smugglers. There is a lesson in

what's happened here in Australia for other countries. Quite obviously there is a

lesson here."

"The great thing about Operation Sovereign Borders is that, in stopping the

boats, we have stopped the deaths,"

"If you want to keep life safe, you've got to keep the boats stopped."

Page 49: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Dari pernyataan tersebut bisa disimpulkan bahwa menurut Tony Abbott jika setiap

pemerintah memang terkadang dituntut untuk terus bersikap manusiawi, tetapi untuk

menegaskan sebuah hal, sikap tegas harus diambil. Termasuk dengan menolak masuk para

pencari suaka, dan mendorong mereka kembali ke lautan merupakan salah satu keputusan yang

harus diambil.

F. Strategi Politik Luar Negeri Australia dalam Konvensi Jenewa 1951 Terkait Para

Pencari Suaka (Asylum Seekers)

Dihadapkan dengan situasi kedatangan para pencari suaka (asylum seekers) yang terus

meningkat dan menimbulkan kekhawatiran tersendiri, Australia merasa mempunyai alasan yang

kuat untuk menempatkan faktor keamanan sebagai prioritas utamanya dalam menjalankan

kebijakan luar negerinya.

Seperti diketahui jika Australia merupakan salah satu negara yang ikut meratifikasi

Konvensi Jenewa tahun 1951 tentang status pengungsi.3 Dalam konteks kebiasaan internasional,

berarti Australia harus patuh dan terikat terhadap prosedur atau ketentuan-ketentuan yang

tertuang di dalam Konvensi Jenewa tahun 1951 sebagai komitmen keterikatan dari proses

ratifikasi. Australia sebagai negara yang meratifikasi tentu memiliki konsekuensi yang harus

ditanggung berkaitan dengan perlindungan terhadap Pengungsi Internasional. Australia harus

mampu memenuhi segala hak-hak dasar pengungsi untuk mendapatkan perlindungan dan tidak

melakukan pengusiran terhadap para pengungsi yang masuk ke wilayahnya.

Asas non refoulement yang merupakan bagian terpenting dari penerapan hukum

internasional tentang pengungsi yang sangat berkaitan erat dengan prinsip perlindungan

3 Ratifikasi adalah perbuatan hukum suatu negara untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalambentuk ratifikasi, aksesi penerimaan, atau persetujuan.

Page 50: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

pengungsi serta HAM.4 Hal ini yang menjadi landasan pemerintah Australia dalam menerapkan

kebijakan Pacific Solution dan Operation Sovereign Borders. Pemerintah Australia menganggap

kedatangan pencari suaka yang menggunakan perahu untuk mencapai Australia memiliki resiko

yang sangat besar dan sangat berbahaya bagi para pencari suaka, karena notabene, para pencari

suaka yang datang ke Australia menggunakan perahu dengan sistem keamanan yang minim dan

membutuhkan waktu yang sangat lama di lautan. Atas dasar ini Australia mengklaim penerapan

kebijakan Pacific Solution dan Operation Sovereign Borders merupakan keputusan paling

bermoral dan tidak melanggar hukum internasional. Ini diperkuat dengan pernyataan yang

disampaikan oleh Tony Abbott pada harian Sidney Morning Herald 2015:

“Tindakan paling bermoral soal pengungsi adalah menghentikan perahumereka, karena selama ada perahu yang datang, para penjahatpenyelundupan manusia bisa melakukan bisnis yang mematikan ini.”

“Tadi kami sudah melakukan hal yang benar, kami sudah bertindak sesuaimoral, ini hal yang layak, hal yang penuh pengabdian. Kami sudahmenghentikan perahu-perahu itu, dengan menggunakan segala cara sesuaidengan hukum yang berlaku demi menghentikan kedatangan-kedatanganperahu tersebut.”

Pernyataan di atas ingin mempertegas bahwa pemerintah Australia peduli terhadap

kondisi pencari suaka yang menggunakan perahu dan terombang-ambing di lautan, serta

penerapan kebijakan Pacific Solution dan Operation Sovereign Borders merupakan bentuk

kepatuhan Australia terhadap Konvensi Jenewa 1951 yang merujuk kepada asas non

refoulement. Penerapan kebijakan ini disinyalir sebagai upaya pemerintah Australia untuk

meminimalisir pelanggaran HAM serta kecelakaan yang menyebabkan kematian para pencari

suaka yang membahayakan nyawanya di lautan.

4 Asas non refoulement merupakan prinsip utama dalam pencarian suaka. Prinsip ini merupakan refleksi darikomitmen masyarakat internasional untuk memastikan terpenuhinya HAM, termasuk hak untuk hidup; hak untukbebas dari siksaan atau perlakukuan-perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia;serta hak perorangan untuk bebas dan merasa aman.

Page 51: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Bab IV

Penerapan Kebijakan Australia Mengenai Para Pencari Suaka (Asylum Seekers) Berupa

Pacific Solution dan Operation Sovereign Borders (OSB)

Australia yang merupakan negara maju secara ekonomi dan politik menjadikannya

sebagai salah satu negara tujuan para pencari suaka. Selain faktor stabilitas ekonomi dan politik

tersebut, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi para pencari suaka untuk memasuki dan

mendapatkan status sebagai warga negara Australia. Antara lain adalah masyarakat Australia

yang dikenal heterogen, dan adanya anggapan bahwa masuk ke Australia lebih mudah

dibandingkan dengan negara lain.

Kedatangan para pencari suaka ini pun menjadi isu yang cukup sensitif di Australia, baik

bagi pemerintahnya maupun bagi masyarakat Australia sendiri. Hal tersebut disebabkan karena

pemerintah dan sebagian besar warga negara Australia menganggap masuknya para pencari

suaka ini dapat menjadi ancaman tersendiri bagi kepentingan dan keamanan nasional Negara

Australia. Sehingga berbagai cara pun telah ditempuh oleh pemerintah Australia untuk mengatasi

masalah pencari suaka ini, mulai dari masa pemerintahan Perdana Menteri John Howard di awal

tahun 2001 sampai dengan pemerintahan Perdana Menteri Tony Abbott. Pada bab ini akan lebih

jauh membahas terbentuknya kebijakan Pacific Solution di masa John Howard, terhentinya

Page 52: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

kebijakan pacific solution, pendanaan para pencari suaka oleh pemerintah Australia dan terakhir

akan dibahas tentang penerapan kebijakan Operation Sovereign Borders di masa Tony Abbott.

A. Penerapan Kebijakan Pacific Solution di Bawah Perdana Menteri John Howard

(2001)

Australia merupakan sebuah negara dengan kondisi perekonomian yang bisa dikatakan

cukup baik di kawasan Asia Pasifik. Kondisi politik dan keamanan yang cenderung cukup stabil

jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik menjadikan Australia

sebagai salah satu negara tujuan utama bagi para pencari suaka yang sebagian besar berasal dari

Timur Tengah dan Asia Selatan. Terjebak dalam situasi konflik dan kondisi ekonomi yang

kurang menentu di negara asal membuat para pencari suaka berani melakukan perjalanan yang

beresiko menuju Australia dengan harapan menemukan jaminan hidup yang lebih baik.

Namun, pada tahun 2001, pada saat terjadinya lonjakan para pencari suaka yang datang

ke Australia ditemukan sekitar 80% dari para pencari suaka merupakan para imigran ekonomi.

Berangkat dari penemuan tersebut pemerintah Australia merasa harus mengambil tindakan keras

terhadap kedatangan para pencari suaka atau Irregular Maritime Arrivals (IMAs) berupa

kebijakan Pacific Solution.

Pada masa pemerintahan Perdana Menteri John Howard, arah kebijakan Australia tentang

para pencari suaka dengan mengeluarkan Pacific Solution bisa dikatakan sangat pragmatis.

Kebijakan Pacific Solution tersebut merupakan bagian dari upaya Pemerintah Australia untuk

mencegah dan mengendalikan laju kedatangan para pencari suaka yang hendak masuk ke

wilayahnya. Kebijakan ini diterapkan oleh Menteri Imigrasi Australia, Philip Ruddock pada

tanggal 27 September 2001. Kebijakan Pacific Solution terdiri dari tiga strategi utama, yaitu :

Page 53: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

1. Penetapan dan Perubahan Zona Migrasi Australia

2. Operasi Relex yang dilakuakan oleh Australian Defense Force

3. Kerjasama dengan negara dunia ketiga di kawasan Pasifik Selatan

Dari penerapan tiga strategi utama di atas, diharapkan kebijakan Pacific Solution ini

dapat memberikan hasil sesuai dengan tujuannya yaitu untuk menghalau dan menghentikan

kedatangan para pencari suaka yang berkeinginan untuk masuk ke wilayah Australia.

A. 1. Zona Migrasi Australia

Melalui Department Immigration and Citizenship (DIAC), pemerintah Australia

memutuskan bahwa keberadaan pencari suaka yang datang dengan menggunakan perahu

dianggap sebagai imigran ilegal dengan sebutan Irregular Maritime Arrivals (IMAs). Dalam

upayanya untuk mencegah datangnya para IMAs tersebut, dalam kebijakan Pacific Solution,

salah satu strategi utama pemerintah Australia adalah dengan melakukan perubahan zona migrasi

Australia.

Zona migrasi sebagai pusat detensi di Australia sebenarnya memiliki sejarah yang

panjang. Sebelum tahun 1992, dalam undang-undangnya, Pemerintah Australia mengizinkan

penampungan para pencari suaka yang berada di wilayah Australia tidak diwajibkan untuk

memiliki visa. Kemudian tahun 1999, diperkenalkanlah undang-undang yang meningkatkan

hukuman terhadap pelanggaran penyelundupan manusia dan mencegah pengiriman informasi

mengenai hak bantuan hukum bagi para pencari suaka. Namun undang-undang tersebut dianggap

belum memberikan solusi yang signifikan dalam mencegah kedatangan para pencari suaka ke

Australia. Pada tahun 2001 melalui kebijakan Pacific Solution, pemerintah Australia kembali

Page 54: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

memperketat ruang gerak para pencari suaka dengan perubahan zona migrasi di wilayah teritori

Australia.

Gambar 4. 1. Peta Zona Migrasi

Australia

Dalam aturan baru tentang zona migrasi Australia, salah satu cara Australia untuk

memproteksi keamanan perbatasan dan kedaulatan negaranya adalah dengan menghilangkan

zona migrasi di wilayah Australia. Australia juga melakukan beberapa amandemen terhadap

Migration Act 1958, dengan mengurangi hak-hak pengungsi dan merubah zona migrasi yang

awalnya berada di pulau-pulau kecil Australia menjadi di luar teritorial Australia. Amandemen

tersebut dilakukan pada tanggal 26 September 2001, hasil amandemen tersebut adalah bahwa

pengungsi yang mendarat di pulau-pulau ini (Pulau, Christmast, Pulau Ashmore, Pulau Cartier,

dan Pulau Cocos) tidak diperbolehkan untuk mengajukan aplikasi visa, termasuk permintaan

suaka. Satu-satunya kesempatan untuk tetap bisa berada di wilayah Australia adalah dengan

mendapatkan izin khusus dari Menteri Imigrasi, yang keputusannya tidak bisa ditinjau ulang

(Wood 2001).

Page 55: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Implementasi lanjutan dari perubahan zona migrasi Australia ini adalah penghapusan

Pulau Melville dan sekitar 3.000 pulau di sekitarnya dari zona migrasi Australia. Ketentuan

tersebut menyebutkan bahwa para pencari suaka yang memasuki pulau-pulau yang telah dihapus

dari zona migrasi tidak berhak mendapatkan status pengungsi atau permohonan

kewarganegaraan dari Australia (Phillips 2012).

A. 2. Operasi Relex Oleh Australian Defense Force

Operasi Relex adalah salah satu dari tiga strategi utama dalam Pacifik Solution, yaitu

strategi perlindungan perbatasan wilayah Australia di laut lepas dengan cara melakukan

pencegatan, penahanan, dan pencegahan perahu yang membawa orang-orang yang hendak

masuk ke Australia tanpa visa. Pasukan Pertahanan Australia (Australian Defense Force)

memulai Operasi Relex dengan cara menghalau perahu-perahu yang membawa Irregular

Maritime Arrivals yang mencoba memasuki teritori Australia.

Operasi Relex dimulai pada September tahun 2001, dengan kasus pertama yaitu

digagalkannya 13 perahu yang membawa para pencari suaka oleh Australian Defense Force

yang hendak masuk ke Australia, diantaranya empat perahu dicegat dan dikembalikan ke

Indonesia sebagai negara embarkasi, lima perahu ditahan kemudian dikirim ke Nauru, dua

perahu dikirim ke pulau Christmast kemudian dialihkan juga ke Nauru dan dua perahu lagi

ditenggelamkan (Tanzila 2014).

Pengamanan kawasan maritim Australia membutuhkan berbagai kemampuan untuk

pengawasan, patroli dan respon terhadap perahu-perahu yang membawa para pencari suaka atau

Irregular Maritime Arrivals (IMAs), serta pengawasan terhadap pesawat terbang dan sistemnya.

Melihat pentingnya pengawasan terhadap wilayah maritimnya, Pemerintah Australia sampai

Page 56: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

menggunakan kapal perang dan pesawat tempur dalam melakuakan pengwasan dan patroli

terhadap wilayah maritimnya (Bergin & Bateman 2005).

A. 3. Kerjasama Australia dengan Negara di Pasifik Selatan

Kebijakan sekuritisasi Australia tentang para pencari suaka berupa Pacific Solution,

selain memaksimalkan peran militer dan penghapusan zona migrasi di wilayahnya guna

menekan jumlah Irregular Maritime Arrivals (IMAs) adalah dengan membentuk sebuah

kerjasama dengan negara lain di kawasan Pasifik Selatan. Inti dari kerjasama ini adalah dengan

membangun sebuah pusat detensi bagi para pencari suaka dalam prosesnya untuk mendapatkan

status sebagai pengungsi. Negara Australia dalam hal ini bekerjasama dengan Negara Nauru dan

Papua New Guinea (PNG) untuk membangun pusat detensi tersebut.

Dalam kerjasamanya dengan dua negara tersebut, Negara Nauru dan Papua New Guinea

(PNG) sepakat untuk melakukan pengolahan lepas pantai sebagai pusat detensi bagi para pencari

suaka. Pencari suaka yang datang tidak ditahan berdasarkan hukum Australia, ataupun hukum

Nauru atau Papua New Guenia, tujuan khusus negara-negara tersebut bukanlah memberikan visa

tetapi memfasilitasi pencari suaka untuk tinggal sementara sambil menunggu proses dan

transmigrasi atau kembali ke negaranya (Phillips 2012).

Inti dari Pacific Solution di bawah Pemerintahan Perdana Menteri John Howard ini

adalah kebijakan yang bertujuan untuk menghalangi akses masuk para pencari suaka yang

dianggap ilegal oleh pemerintah Australia. Pihak pemerintah Australia mengklaim jika kebijakan

Pacific Solution tersebut menjunjung tinggi prinsip “no advantage”. Di mana pemerintah

Australia ingin menyampaikan pesan bahwa perjalanan membahayakan yang ditempuh para

pencari suaka dengan mengarungi lautan dengan segala resikonya adalah merupakan suatu

Page 57: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

tindakan yang sia-sia dikarenakan pemerintah Australia tidak akan menyediakan hak-hak yang

seharusnya didapatkan oleh para pencari suaka dan pengungsi (Grattan 2014).

B. Terhentinya Kebijakan Pacific Solution

Terpilihnya Kevin Rudd dari partai buruh sebagai Perdana Menteri Australia ke 26 pada

tanggal 3 Desember 2007 menggantikan John Howard dalam pemilu federal, memberikan

beberapa perubahan signifikan terhadap kebijakan tentang pencari suaka (Asylum Seekers).

Pembentukan pemerintah Australia dari Partai Buruh (Australian Labor Party) melakukan

berbagai perubahan terhadap kebijakan penahanan para pencari suaka dan imigrasi sesuai dengan

komitmennya selama kampanye pemilu.

Tetapi pada perjalanannya, perubahan kebijakan yang dilakukan Kevin Rudd terhadap

para pencari suaka ini justru menurunkan popularitasnya di mata publik Australia. Dan akhirnya

partai buruh memutuskan untuk menggantikan posisi Kevin Rudd sebagai ketua partai dengan

Julia Gillard, yang secara langsung menggantikannya sebagai Perdana Menteri. Walaupun

berasal dari partai yang sama yaitu partai buruh, tetapi arah kebijakan tentang pencari suaka dari

kedua pemimpin ini bisa dikatakan sangat berbeda.

B. 1. Masa Pemerintahan Kevin Rudd

Pada tanggal 8 Februari 2008, Pemerintah Australia di bawah kepemimpinan Kevin Rudd

secara resmi menghentikan kebijakan Pacific Solution. Penghentian tersebut ditandai dengan

Page 58: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

proses penanganan terakhir terhadap 21 orang pencari suaka yang seharusnya dilakukan Offshore

Processing Centre (OPC) di Nauru dipindahkan ke Australia. Pemerintah Australia memastikan

bahwa pusat detensi yang ada di Negara Nauru dan Papua New Guenia (PNG) tidak digunakan

lagi untuk kedepannya. Kedatangan para pencari suaka yang tidak sah dengan perahu akan

diproses di Pulau Cristmast sebagai bagian dari zona migrasi Australia (Janet Phillips dan Harriet

Spinks 2013).

Tetapi akibat banyaknya kebijakan Kevin Rudd yang dianggap kontroversial, salah

satunya dengan menghentikan kebijakan Pacific Solution, menyebabkan terjadinya kemerosotan

terhadap popularitas partai buruh dan turunnya tingkat kepercayaan publik terhadap dirinya. Hal

tersebut yang mendasari mundurnya Kevin Rudd sebagai ketua partai buruh sekaligus posisinya

sebagai Perdana Menteri Australia, yang kemudian digantikan oleh Wakil PM Julia Gilard.

Penetapan Julia Gillard sebagai Perdana Menteri Australia dan pemimpin Partai Buruh Australia

(Australia Labor Party) secara resmi dikukuhkan pada tanggal 24 Juli 2010.

B. 2. Masa Pemerintahan Julia Gillard

Di bawah kepemimpinan Julia Gillard, arah kebijakan Australia terhadap para pencari

suaka atau Irregular Maritime Arrivals (IMAs) mengindikasikan tidak adanya keinginan untuk

menerapkan kebijakan yang dianggap terlalu keras (seperti pada masa John Howard) ataupun

terlalu lunak (pada masa Kevin Rudd). Dengan menjalankan fungsi kabinet bersama para

menteri yang berasal dari partai yang sama yaitu partai buruh, PM Jualia Gillard tidak terlalu

terpengaruh terhadap tekanan-tekanan yang diberikan oleh partai koalisi oposisi (Partai Liberal)

dalam tuntutan-tuntutan terkait pembuatan kebijakan yang ditujukan kepadanya. Julia Gillard

Page 59: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

cenderung bertindak atas kebijakan partainya sendiri dalam menentukan kebijakan-kebijakan

yang akan dibuat dalam menangani Irregular Maritime Arrivals (IMAs).

Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Australia di bawah Julia Gillard

antara lain adalah melanjutkan kembali kebijakan Pacific Solution yang sempat dihentikan pada

masa Kevin Rudd, menerapkan Mandatory Detention yaitu penahanan wajib bagi semua orang

yang memasuki wilayah Australia tanpa dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang sah,

pemberlakuan Bridging Visa untuk pengungsi dan pencari suaka yang masa berlaku visanya akan

habis dan sedang dalam proses untuk pembuatan visa, sampai dengan kebijakan Malaysian

Solution. Untuk kebijakan Malaysian Solution ini juga harus dihentikan di tengah jalan karena

anggaran yang dikeluarkan begitu besar tanpa memberikan solusi yang begitu berarti.

C. Pendanaan Para Pencari Suaka (Asylum Seekers) Oleh Pemerintah Australia

Kebijakan penanganan pencari suaka mulai mendapat perhatian yang serius ketika

terpilihnya Perdana Menteri John Howard. Demi mencegah masuknya perahu-perahu yang tidak

sah ke wilayah perairan Australia dan mencegah pencari suaka (serta penyelundup) yang

berupaya masuk ke Australia, pada tahun 2001, Howard membuat kebijakan yang disebut Pacific

Solution. Pacific Solution ini sendiri adalah strategi perlindungan perbatasan Australia di laut

lepas dengan melakukan pencegatan, penahanan, dan pencegahan kapal yang membawa orang-

orang yang hendak masuk ke Australia tanpa visa dan dokumen-dokumen pendukung lain.

Selanjutnya, pada periode kepeimpinan Perdana Menteri Kevin Rudd, kebijakan

penanganan pencari suaka berupa Pacific Solutioan dihentikan dan beralih pada tindak

pengamanan perbatasan yang dirancang untuk mengganggu kerja penyelundup manusia. Pada

periode ini, angka kedatangan pencari suaka terus naik seperti data yang telah dijelaskan

Page 60: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

sebelumnya. Akibat menangani pencari suaka ini, Australia menghabiskan dana yang cukup

besar. Antara tahun 2007-2008 dan 2013-2014, anggaran untuk mengelola kedatangan perahu

ilegal meledak hingga $10,3 miliar (Phillips & Spinks 2013).

Besarnya anggaran yang dikeluarkan untuk kebijakan penanganan pencari suaka telah

menyita perhatian para pemimpin dan calon pemimpin Australia. Di masa Perdana Menteri John

Howard, pemerintah Australia telah mengeluarkan kebijakan untuk mengirim pencari suaka yang

datang ke Australia melalui laut ke negara terdekat, dalam hal ini adalah Papua New Guinea

(PNG) dan Negara Kepulauan Nauru di Pasifik.

Kebijakan ini ditujukan untuk mengatasi jumlah rekor pencari suaka di Australia. Untuk

perannya dalam rencana suaka tersebut Papua New Guinea (PNG) dan Nauru akan menerima

bantuan dana dalam jumlah besar. Kesepakatan dengan kedua Negara tersebut pada intinya

mengatakan bahwa semua pencari suaka yang tiba dengan perahu kini akan dikirim ke Papua

New Guinea (PNG) serta Nauru, dan tidak akan dimukimkan kembali di Australia jika

permohonan suaka mereka tidak berhasil.

Menyikapi besarnya dana yang dikeluarkan untuk menangani pencari suaka pada masa

John Howard ini, Partai koalisi (Kevin Rudd dan koalisi) melihat hal ini sebagai sesuatu yang

serius. Karena dana tersebut akan lebih bermanfaat jika dialokasikan untuk pendidikan atau

infrastruktur dibandingkan dengan mengurusi pencari suaka.

Pada pemilihan Perdana Menteri baru Australia yang berlangsung tahun 2012, isu pencari

suaka menjadi topik hangat dan menjadi perdebatan di antara kedua kandidat; Julia Gillard dan

Tony Abbott. Setelah naiknya Tony Abbott sebagai Perdana Menteri Australia, Pemerintah

Australia akhirnya mengubah kebijakan pencari suaka yang dianggap terlalu “lunak” dimasa

kepemimpinan Kevin Rudd dan Julia Gillard dari Partai Buruh (Labor Party).

Page 61: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Pemerintah Australia di bawah Perdana Menteri Tony Abbott kembali menerapkan

kebijakan yang serupa dengan pendahulunya John Howad dari Partai Liberal, Pacific Solution,

yang diberi nama Operation Sovereign Borders (OSB). Serupa dengan pendahulunnya, artinya

kebijakan ini menetapkan jika pencari suaka yang tiba di daratan utama negara itu dengan perahu

merupakan tindakan yang ilegal dan dapat dikirim ke Negara Kepulauan Nauru di Pasifik atau

Papua New Guinea (PNG) untuk pemrosesan imigrasi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebijakan Australia mengenai para pencari

suaka (asylum seekers) ini sangat dipengaruhi oleh dinamika perpolitikan domestik di Australia.

Selain itu, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berkuasa juga sangat

dipengaruhi oleh respon dan opini masyarakat terhadap fenomena kedatangan para pencari suaka

ke Australia. Terbukti dengan diangkatnya isu pencari suaka ini oleh para kandidat calon

Perdana Menteri pada kampanye di setiap pemilihan umum federal untuk menarik dukungan

bagi meraka dan partai politiknya.

D. Penerapan Kebijakan Operation Sovereign Borders (OSB) di Masa Perdana Menteri

Tony Abbott (2013)

Kebijakan Operation Sovereign Borders (OSB) dalam upayanya untuk mencegah

masuknya para pencari suaka yang dianggap ilegal merupakan sebuah kebijakan yang paling

rasional yang diharapkan dapat menghentikan bertambahnya Irregular Maritime Arrivals

(IMAs) di Australia. Penerapan dari kebijakan Operation Sovereign Borders (OSB) ini

melibatkan Angkatan Laut Australia, yang bertugas melakukan patroli di perbatasan wilayah

Negara Australia. Mencegat perahu-perahu yang mengangkut para pencari suaka, menukar kapal

perahu yang membahayakan dengan sekoci yang lebih canggih, dan kemudian menghalau para

Page 62: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

pencari suaka ini kembali ke perairan negara terdekat seperti Indonesia dan Papua New Geunia

(PNG) adalah beberapa tindakan yang dilakukan oleh Angkatan Laut Australia.

Operation Sovereign Borders (OSB) dibuat karena pihak pemerintah Australia di bawah

Perdana Menteri Tony Abbott meyakini jika para pencari suaka (Asylum Seekers) yang datang ke

Australia tidak sepenuhnya merupakan korban dari ancaman keamanan di negara asalnya seperti

terjadinya perang maupun diskriminasi atau ancaman lain. Pihak Imigrasi Australia mencatat dan

mengklaim sebanyak 80 persen dari para pencari suaka yang datang tersebut merupakan imigran

ekonomi. Keadaan tersebutlah yang menjadi dasar dan alasan Australia untuk mengusir para

pencari suaka dari wilayah kedaulatannya. Selain itu, alasan dari dikeluarkannya kebijakan

Operation Sovereign Borders (OSB) ini adalah munculnya kekhawatiran terkait dengan kondisi

ekonomi Australia. Ratusan juta dolar yang harus dikeluarkan pemerintah Australia tiap

tahunnya untuk mengurusi kedatangan para pencari suaka sudah terlalu besar dan memberatkan.

Kedatangan para pencari suaka tersebut dianggap merugikan Australia secara ekonomi dan

keamanan serta kehidupan sosial Negara Australia.

Gelombang kedatangan para pencari suaka ke Australia bisa dibedakan menjadi dua yaitu

dengan menggunakan perahu melalui jalur laut dan dengan pesawat terbang melalui jalur udara.

Istilah manusia perahu atau boat people digunakan bagi para pencari suaka yang datang dengan

menggunakan perahu menuju Australia. Istilah boat people sebenarnya merujuk kepada para

pencari suaka (Asylum Seekers) yang datang ke Australia dengan menggunakan perahu yang

bertujuan untuk mendapatkan suaka dari Negara Australia dan menjadi subjek pemrosesan lepas

pantai oleh otoritas Australia di pulau-pulau yang berada di luar teritorial negara Australia

(Australian Government 2013).

Page 63: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Melalui departemen imigrasinya yaitu Department Immigration and Citizenship (DIAC),

pemerintah Australia memutuskan bahwa keberadaan pencari suaka yang datang menggunakan

perahu dianggap sebagai sesuatu yang ilegal. Tingginya arus kedatangan para pencari suaka yang

terus terjadi sangat meresahkan bagi Negara Australia, karena jumlahnya yang terus meningkat

dari tahun ke tahun khususnya manusia perahu atau boat people dan dikhawatirkan akan

mengganggu stabilitas nasionalya.

Gambar 4. 2. Labor’s record: Perahu Ilegal yang tiba sejak tahun 2007

Sumber:

The Coalition’s Operation Sovereign Borders Policy.

Dari data di atas bisa dilihat bahwa selama beberapa tahun terakhir tepatnya tahun 2007

ke atas, puluhan ribu para pencari suaka datang dengan perahu secara ilegal ke Australia melalui

jalur laut. Kebijakan Operation Sovereign Borders (OSB) yang merupakan operasi penjagaan

Page 64: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

keamanan perbatasan yang dipimpin oleh militer, serta didukung dan dibantu oleh berbagai

lembaga pemerintah federal diharapkan mampu menahan laju kedatangan para pencari suaka

tersebut.

Operation Sovereign Borders (OSB) diluncurkan secara resmi pada tanggal 18

September 2013 oleh pemerintah Australia dengan membentuk militer sebagai respon untuk

memerangi penyelundupan manusia dan melindungi perbatasan Australia dan mencegah orang-

orang yang membahayakan nyawa mereka di lautan dan menjaga integritas program imigrasi

Australia. Pemerintah koalisi di bawah Perdana Menteri Tony Abbott memperlakukan krisis

perlindungan perbatasan sebagai darurat nasional dan mengatasi permasalahan IMAs dengan

fokus bahwa persoalan tersebut dianggap sebagai tuntutan darurat (Australian Government

2013).

Dalam kebijakan Operation Sovereign Borders (OSB) ini telah dibentuk Gugus Tugas

Lembaga Bersama atau Joint Agency Task Force (JATF) untuk memastikan upaya seluruh

pemerintah untuk memerangi penyelundupan manusia dan melindungi perbatasan Australia.

Joint Agency Task Force (JATF) ini didukung oleh tiga kelompok besar tugas operasional

(Australian Government 2013).

1. Kelompok Tugas Gangguan dan Pencegahan yang dipimpin oleh Polisi Federal Australia.

2. Kelompok Tugas Deteksi, Interception dan Transfer yang dipimpin oleh Bea Cukai

Australia dan Layanan Perlindungan Perbatasan yang meliputi Komando Perlindungan

Perbatasan.

3. Kelompok Tugas Penahanan Lepas Pantai dan Pengembalian yang dipimpin oleh

Departemen Perlindungan Imigrasi dan Perbatasan.

Page 65: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Dengan adanya kebijakan Operation Sovereign Borders (OSB), para pencari suaka atau

Irregular Maritime Arrivals yang melakukan perjalanan ke Australia secara ilegal dengan perahu

akan dicegat dan dikeluarkan dari perairan Australia atau dikirim ke negara lain untuk diproses

di luar Australia. Orang-orang tersebut tidak akan pernah dapat memilih untuk diproses dan

dimukimkan kembali di Australia.

Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam kebijakan Operation Sovereign Borders (OSB)

ini berlaku untuk semua para pencari suaka tanpa pengecualian. Bagi orang-orang yang datang

dengan menggunakan perahu secara ilegal, baik dari manapun datangnya yang melewati laut

secara ilegal, maka orang-orang ini akan dikembalikan ke negara tempat mereka bertolak atau

akan dipindahkan ke pusat detensi yang berada di luar Australia yaitu negara Papua New Guenia

(PNG) atau di Negara Nauru untuk melewati proses yang akan dilakukan dalam waktu 48 jam

atau 2 (dua) hari.

Bagan 4. 1. Struktur Organisasi Operation Sovereign Borders Policy (OSB)

Komandan The OSB Joint Agency Task Force (JATF)

Letnan Jenderal Angus Campbell

Menteri Imigrasi dan Perlindungan Perbatasan

Scott Morrison

Page 66: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Sumber: Opertaion Sovereign Borders The First six months

Keterangan (Lembaga Pendukung) :

1. Angkatan Pertahanan Australia

2. Bea dan Cukai Australia

Lembaga Pendukung

Page 67: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

3. Layanan Perlindungan

4. Komando Perlindungan Perbatasan

5. Departemen Luar Negeri dan Perdagangan

6. Kantor Penilaian Nasional

7. Intelijen Rahasia Australia

8. Departemen Pertahanan

9. Kejaksaan Agung

10. Direktorat Komisi Kejahatan Australia

11. Otoritas Keselamatan Maritim Australia

12. Polisi Federal Australia

13. Australia Geospasial-Intelligence Organitation

14. Departemen Imigrasi dan Perlindungan Perbatasan

15. Australia Security Intelligence Organitation

16. Departemen Perdana Menteri dan Kabinet

Berdasarkan bagan di atas, The OSB Joint Agency Task Force atau JATF telah dibentuk

untuk memastikan seluruh upaya pemerintah untuk memerangi penyelundupan manusia dan

melindungi perbatasan Australia segera terlaksana. Dalam aplikasi Operation Sovereign Borders,

Perdana Menteri Tony Abbott menunjuk Menteri Imigrasi Australia Scott Morrison sebagai

penanggungjawab dan Letnan Jenderal Angus Campbell dari Angkatan Laut Australia sebagai

komandan pelaksana pengamanan perbatasan laut.

Letnan Jenderal Angus Campbell pada tanggal 19 September 2013 ditunjuk sebagai

komandan pelaksana yang bertugas memimpin dan mengawasi kebijakan Operation Sovereign

Borders bersama-sama dengan lembaga pendukung lainnya. Angus Campbell akan

mengkoordinasi enam belas departemen dan lembaga-lembaga federal yang ada di bawah

kebijakan Operation Sovereign Borders (OSB). Kebijakan ini sendiri adalah operasi penegakan

hukum sipil, tetapi dalam aplikasi kebijakan OSB untuk menghentikan perahu-perahu yang

Page 68: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

membawa para pencari suaka, kebijakan ini mengadopsi struktur militer. Kebijakan Operation

Sovereign Borders dibuat dengan beberapa alasan, di antaranya adalah penanggulangan

kejahatan lintas negara atau transnational crime, melindungi perbatasan serta untuk menghindari

penggunaan anggaran yang berlebihan dari pemerintah Australia dalam penanganan para pencari

suaka.

Kebijakan yang dikeluarkan dari inisiatif pemerintah di bawah Perdana Menteri Tony

Abbott ini, dalam mengamankan batas negaranya dipimpin langsung oleh militer. Militer di sini

bertugas untuk menghentikan perahu-perahu penyelundup, mencegah orang-orang yang

membahayakan nyawa mereka di lautan dan menjaga integritas program imigrasi Australia.

Salah satu bagian dari kebijakan Operation Sovereign Borders adalah dengan melibatkan negara

ke tiga untuk pengolahan lepas pantai yaitu dengan negara Nauru dan Papua New Guenia (PNG).

Semua pencari suaka yang datang menggunakan perahu menuju Australia harus menuju ke pulau

Nauru dan Papua New Guenia terlebih dahulu untuk menyelesaikan proses administrasi

keimigrasian (Sally 2014).

Pada masa pemerintahan Tony Abbott, selain menerapkan kebijakan Operation

Sovereign Borders, pemerintah Australia juga kembali memberlakukan Visa Perlindungan

Sementara atau Temporary Protection Visa (TPV). Visa tersebut mulai diberlakukan sejak 18

Oktober 2013 yang diperuntukkan untuk para pencari suaka yang sudah berada di Australia. Bagi

para pencari suaka yang menggunakan Temporary Protection Visa, diberikan hak untuk bebas

dari pusat penahanan yang ada di pusat detensi, akan tetapi para pencari suaka tersebut tidak

akan bisa mendapatakan status penduduk permanen atau Permanent Residency.

Page 69: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Bab V

Kesimpulan

Berdasarakan pembahasan dan analisa kasus kebijakan Australia terkait kedatangan para

pencari suaka (asylum seekers) ke Australia, maka dapat diambil kesimpulan bahwa dibuatnya

kebijakan Pacific Solution di masa pemerintahan Perdana Menteri John Howard pada tahun 2001

karena ditemukannya peningkatan tindak kejahatan berupa penyelundupan manusia atau people

smuggling. Selain itu, menurut Perdana Menteri John Howard, kebijakan Imigrasi Australia

sebelumnya berupa Australian White Policy dianggap belum mampu menangani arus kedatangan

Page 70: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

para pencari suaka ke Australia yang mulai meningkat dengan resiko adanya kegiatan people

smuggling yang juga akan terus meningkat.

Sejalan dengan pendahulunya dari Partai Liberal, John Howard, dibentuknya kebijakan

Operation Sovereign Borders (OSB) pada tahun 2013 oleh Tony Abbott menandakan adanya

konsistensi dari Partai Liberal yang sangat menentang masuknya para pencari suaka ke Australia.

Ditambah dengan pribadi Tony Abbott sebagai Perdana Menteri yang dikenal tegas dan selalu

menempatkan kepentingan nasionalnya sebagai hal yang utama, dalam hal ini keamanan dan

kedaulatan. Selanjutnya, adanya tudingan dari Tony Abbott kepada pemerintahan sebelumnya

(Julia Gillard dan Kevin Rudd) dalam penanganan para pencari suaka yang dianggap masih

terlalu “lunak” menjadi alasan terbentuknya Operation Sovereign Borders (OSB).

Selain faktor politik di atas, kebijakan Operation Sovereign Borders dibuat karena Tony

Abbott khawatir dengan adanya ancaman non traditional berupa aksi teror yang akan terjadi

akibat meningkatnya jumlah para pencari suaka yang datang ke Australia. Aksi teror yang terjadi

di berbagai belahan dunia yang selalu dikaitkan dengan umat muslim dan “Arab” menjadikan

Australia di bawah PM Tony Abbott harus bersikap keras dalam menangani arus kedatangan

para pencari suaka, seperti diketahui jika para pencari suaka yang datang ke Australia sebagian

besar berasal dari Timur Tengah dan Asia Selatan seperti Iran, Iraq, Pakistan, Afganistan, dan

Nigeria yang mayoritas beragama Islam.

Jika dikaitkan dengan Teori Rational Choice, kebijakan yang diambil Australia terkait

kedatangan para pencari suaka berupa Pacific Solution di masa John Howard dan Operation

Sovereign Borders (OSB) di masa Tony Abbott yang walaupun dikonotasikan gagal dalam

menanggulangi arus kedatangan para pencari suaka (Asylum Seekers) dan tidak sesuai dalam

Page 71: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

menjalankan dan menaati instrumen-instrumen internasional, namun kedua kebijakan tersebut

merupakan pilihan yang paling rasional dengan resiko yang paling sedikit.

Kesimpulan ini berangkat dari analisa untung dan rugi (cost and benefit) dari teori

Rational Choice, dimana negara dalam menentukan pilihannya harus mengutamakan

kepentingan nasional dan cenderung memilih pilihan dengan resiko kerugian paling kecil. Jika

dikaitkan dengan kasus kebijakan Australia terhadap para pencari suaka dalam tulisan ini,

menerapkan kebijakan Pacific Solution dan Operation Sovereign Borders (OSB) yang melanggar

instrumen-instrumen internasional seperti Konvensi Jenewa 1951 dan Protokol New York 1967,

dinilai lebih sedikit resikonya karena hanya akan menerima kecaman-kecaman. Dari pada harus

mengeluarkan dana yang begitu besar dalam menangani gelombang kedatangan Asylum Seekers

yang begitu tinggi dan harus dihadapkan dengan resiko terjadinya tindak kriminalitas seperti

terorisme, people smuggling, perdagangan narkotika, dan kejahatan-kejahatan transnasional

lainnya di wilayah kadaulatannya yang dapat mengancam keamanan Negara Australia.

Page 72: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Daftar Pustaka

Buku dan Jurnal

Bergin, Anthony and Sam Bateman. 2005. Future unknown: The terrorist threat to Australianmaritime security. Australian Strategic Policy Institute. Canberra.

Coplin, W. D. 1992. Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis. Bandung.Indonesia.

David, F. 2000. Human Smuggling and Trafficking: An Overview of The Responses at TheFederal Level, Research and Public Policy Series, No.24, Australian Institute andCriminology, Canberra.

Departemen Hubungan Internasional. Universitas Airlangga. Vol. 8/ No.1/ September 2014.

Frederickson H.G, Smith K.B. 2003. The Public Administration Theory Primer. Rational ChoiceTheory and Irrational Behavior. Westview Press. Pp 196-221.

Ishiyama T. John dan Breuning M. 2010. 21st Century Political Science; A Reference Handbook.Chapter 5; Rationality and Rational Choice. SAGE Publications.

Krustiyati A. 2012. Kebijakan Penanganan Pengungsi di Indonesia: Kajian Dari KonvensiPengungsi 1951 dan Protokol 1967. Law Review Volume XII No. 2 - November 2012.

Mar’iyah C. 2005. Indonesia-Australia: Tantangan dan Kesempatan dalam Hubungan PolitikBilateral, Granit, Jakarta.

Phillips, J. 2012. Parliament of Australia, Department of Parliamentary Service. The ‘PacificSolution’ Revisited: a Statistical Guide to The Asylum Seeker Caseloads on Nauru andManus Island.

Page 73: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Phillips, Janet and Harriet Spink. 2013 Boat arrivals in Australia since 1976. Parliament ofAustralia, Department of Parliamentary Service. Diakses dari<http;//www.aph.gov.au/AboutParliament/ParliamentaryDepartments/parliamentaryLibrary/pubs/BN/2011-2012/BoatArrivals> pada tanggal 2 Oktober 2015

Pujayanti A. 2014. Isu Pencari Suaka dalam Hubungan Bilateral Indonesia-Australia. KajianSingkat Terhadap Isu-Isu Terkini. Vol. VI, No. 04/II/P3DI/Februari/2014

Rahmawaty A. 2014. Pelanggaran Australia terhadap Perairan Indonesia: Apakah IndonesiaSudah Cukup Peduli?. Forum Kajian Pertahanan dan Maritim.

Soesilowati S. 2013. Sekuritisi ‘Manusia Perahu’: Efektifkah?. Departemen HubunganInternasional, Universitas Airlangga. Global & Strategies, Th. 8, No.1

Tanzalia E. 2014. Motivasi Australia Menerapkan Kebijakan Sekuritisasi terhadap IrregularMaritime Arrivals (IMAs) tahun 2001-2008. JOM FISIP Vol. 2 No. 2 Oktober 2014.

Tapiheru, J. 2009. Rational-Choice Theory. Rational-Choice: Sebuah Perspektif dan PerangkatAnalisis dalam Ilmu Politik. Jakarta.

Wallace M.M. Rebecca. 1993. Hukum Internasional. IKIP Semarang Press.

Warsono. 2006. Serangan World Trade Centre. Jurnal profesi, Vol. 10.

Watson, S. 2014. Perjuangan Lanjutan Australia dengan Pencari Suaka yang Tiba denganperahu – Bagaimana Konsistensi adalah Pendekatan Kebijakan Sekarang danInternasional Australia Hak Asasi Manusia dan Kewajiban Kemanusiaan?, JurnalKesejahteraan Sosial dan Hak Asasi Manusia, Vol. 2, No. 2

Wood J. A. 2001 The Pacific Solution: Refugees Unwelcome in Australia. Diakses dari<http://www.wcl.american.edu/hrbrief/09/3wood.pdf> pada tanggal 23 September 2015

Dokumen Resmi

Australian Government: Australia Customs and Border Protection Service, Operation SovereignBorders. Diakses dari <http://www.customs.gov.au/site/operation-sovereign-borders.asp>pada tanggal 10 Oktober 2015.

Australian Government, Department of Immigration and Border Protection. Statistic Section.Diakses dari <http://www.immi.gov.au/media/publications/statistics/federal/timeline2.pdf> pada tanggal 3 Oktober 2015.

Australian Government-Department of Forreign Affairs and Trade. Diakses dari<http://www.dfat.gov.au/aii/publications/lib/pdf/pengantar.pdf> pada tanggal 3 Oktober2015.

Australian Government-Department of Forreign Affairs and Trade. MoU on Asylum SeekerSigned With Nauru. Diakses dari <http://www.dfat.gov.au/media/releases/foreign/2001/fal7701.html> pada tanggal 10 Oktober 2015.

Page 74: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Australian Government, First 100 days Government. Diakses dari <http://www.pm.gov.au/sites/default/files/reports/first-100-days-of-goverment.pdf> pada tanggal 12September 2015.

Australian Human Right Commision. Migration Law. Diakses dari <http://humanrights.gov.au/human-right-law-bulletin-volume-2> pada tanggal 5 Oktober 2015.

Deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa tahun 1967 Tentang Teritorial Pesuaka (UN.Declarationon Territorial Asylum 1967)

Department Immigration and Citizenship. 2000. Refused Immigration Clearance Report,December 1999, Unauthorised Arrivals Section, Canbera. Diakses dari<http://www.immi.gov.au/About/Pages/ima/info.aspx> pada tanggal 25 September 2015.

Department Immigration and Citizenship. Annual Report 2001-2002. Offshore Asylum SeekersManagement. Diakses dari <http://www.immi.gov.au/about/ reports/annual/2001-02/report38.htm> pada tanggal 25 September 2015.

Department Immigration and Citizenship. Immigration detention statistics summary. Diaksesdari <http://www.immi.gov.au/managing-australianborders/detention/ facilities/about>pada tanggal 4 Oktober 2015.

Human Right and Aqual Opportunity Commision. 1998. Who’ve come Across the seas:Detention of Unauthorized Arrivals in Australia. Canbera: Australian GovernmentPublishing Service.

Lembar fakta operasi perbatasan berdaulat. Diakses dari <http://www.customs.gov.au/site/translations/.../Fact-Sheet-Indonesia.pdf> pada tanggal 11 September 2015.

Lembar Fakta Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia

Lembar Fakta Konvensi Jenewa 1951 mengenai Status Pengungsi

Lembar Fakta Protokol New York 1967 mengenai Status Pengungsi

Lembar Fakta Statuta UNHCR

Liberal Party. Operation Sovereign Borders. Diakses dari <http://www.liberal.org.au/ latest-news/2013/07/26/operation-sovereign-border> pada tanggal 11 Oktober 2015.

Parliament of Australia. 2013. Diakses dari <htttp://aph.gov.au/About-Parliament/Parliamentary-Department/Parliamentary-Library/pubs/rp/rp0001/01RP05> 10 Oktober2015.

Parliament of Australia: Department of Parliamentary Services, Statistical Appendix Updated 23July 2013, pages 24-26. Diakses dari <http://www.aph.gov. au/About-Parliament/Parliamentary-Departments/ParliamentaryLibrary/pubs/rp/rp1314/BoatArrivals> 15 Oktober 2015.

UNHCR-The UN Refugee Agency. Tentang UNHCR. Diakses dari <http://www.unhcr.or.id/id/tentang-unhcr> pada tanggal 15 Oktober 2015.

Page 75: Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...

Website

Amnesty Internasional, Document-Australia: This is breaking people processing centre onManus Island, Papua New Guenia. <http://www.amnesty.org/en/library/asset/ASA12/002/2013/en/e7e7cf37-f409-49fl-8de3-ecf89508d74e/asa120033013en.html> diakses pada tanggal 20 Oktober 2015.

Australian Federal Police (AFP). People Smuggling. <http://www.afp.gov.au/ policing/human-trafficking/people-smuggling.aspx> diakses pada tanggal 20 Oktober 2015.

BBC News, Australia:Why boat people risk it all, 4 September 2013.<http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-23933103> diakses pada tanggal 27 September2015

Grattan M. 2014. Bowen Policy to Deter Boats Laden with Risks. The Age.<http://www/theage.com.au/opinion.politics/bowen-policy-to-deter-boats-laden-with-risks-20121122-29stm.html> diakses tanggal 27 Sepetember 2015.

Kedutaan Besar Australia Indonesia. Australia Ambil Tindakan Tegas Terhadap PenyelundupanManusia dan Menghentikan Pemrosesan Klaim oleh Bebebrapa Pencari Suaka.<http://www.indonesia.embassy.gov.au/ jaktindonesian/SM10033.html> diakses padatanggal 27 September 2015

Pacific Media Centre. Australia’s Pacific Solution for Asylum Seekers-a Timeline.<http://www.pmc.aut.ac.nz/articles/australias-pacific-solution-asylum-seekers-timeline>diakses pada tanggal 28 September 2015

Republika, Australia Berlakukan Lagi Visa Sementara untuk Pengungsi dan PencariSuaka,<http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/14/12/05/40gh-australia-berlakukan-lagi-visa-sementara-untuk-pengungsi-dan-pencarisuaka> diakses padatanggal 21 Oktober 2015.

The Australian. Julia Gillard’s speech to the Lowy Institute on Labor’s new Asylum SeekersPolicy for Australia. 6 Juli 2010. <http://www.theaustralian.com.au/ polics/juliagillards-speech-to-the-lowy-institute-on-labors-new-asylum-seeker -policy-foraustralia/story-e6frgczf-1225888445622> diakses tanggal 28 September 2015

The Coaltion’s Operation Sovereign Borders Policy, <http://www.nationals.org.au/Portals/0/2013/policy/The%20Coalition%E2%80%99s%20Operation%20Sovereign%20Borders%20Policy.pdf> diakses pada tanggal 25 September 2015.

Wood, Alexander J. The Pacific Solution: Refugees Unwelcome in Australia.<http://www.wcl.american.edu/hrbrief/09/3wood.pdf> diakses tanggal 1 Oktober 2015