Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...
Transcript of Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu ...
Kebijakan Australia Mengenai Para Pencari Suaka (Asylum Seekers) Berupa
Pacific Solution dan Operation Sovereign Borders (OSB)
Oleh :
Adi P. Suwecawangsa
Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Udayana
2017
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Dalam dunia internasional, setiap individu yang mengalami ketakukatan maupun
penyiksaan yang disebabkan oleh konflik atau perang serta ketidakadilan di negara asalnya
berhak untuk mendapatkan perlindungan dan memperoleh suaka dari negara lain. Hak tersebut
dikenal dengan The Right to Asylum yang diakui Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan telah
menjadi hukum kebiasaan internasional. Oleh karena itu, banyak penduduk dari negara-negara
berkonflik atau negara-negara miskin memilih untuk meninggalkan negaranya dan mencari
suaka ke negara lain. Dan Australia merupakan salah satu negara yang banyak dipilih untuk
menjadi negara tujuan bagi para pencari suaka.
Seperti diketahui, status Australia sebagai negara maju dan negara anggota dari Konvensi
Jenewa tahun 1951 tentang status pengungsi serta Protokol New York 1967, yang mempunyai
kewajiban dalam memberikan perlindungan internasional untuk pengungsi, menjadikan Australia
bagaikan “surga” bagi para pencari suaka. Sebagai negara yang ikut meratifikasi Konvensi
Jenewa 1951, Australia seharusnya berkewajiban dalam memberikan suaka dan status pengungsi
bagi para pencari suaka yang masuk ke wilayah negaranya. Namun dalam aplikasinya,
pemerintah Australia justru membuat kebijakan yang bertentangan dengan komitmennya sebagai
negara penandatangan konvensi, dalam penerimaan para pencari suaka yang dinamakan
kebijakan Pacific Solution dan Operation Sovereign Border (OSB).
Kebijakan Operation Sovereign Borders (OSB) dibuat oleh Perdana Menteri (PM) Tony
Abbott berupa strategi operasi penjagaan keamanan perbatasan yang dipimpin oleh militer serta
didukung dan dibantu oleh berbagai lembaga pemerintah federal. Tujuan dari operasi ini sendiri
adalah untuk menghentikan kedatangan para pencari suaka di pantai utara-barat wilayah
Australia. Dan implementasi kebijakan ini di antaranya adalah dengan mencegat dan
memulangkan kembali kapal-kapal yang membawa para pencari suaka ke negara embarkasi.1
Sebelumnya, kebijakan serupa sudah pernah diberlakukan pada masa pemerintahan John
Howard (Partai Liberal) pada tahun 2001. Howard membuat kebijakan yang disebut Pasific
Solution yaitu pemindahan pencari suaka ke pusat detensi yang tersebar di negara-negara
kepulauan di Samudra Pasifik. Salah satu strategi aplikasi kebijakan tersebut adalah Operasi
Relex yaitu strategi perlindungan perbatasan wilayah Australia di laut lepas dengan melakukan
pencegatan, penahanan, dan pencegahan kapal yang membawa orang-orang yang hendak masuk
ke Australia tanpa visa. Walaupun kebijakan tersebut pernah diberhentikan pada pergantian
kepemimpinan di masa pemerintahan Kevin Rudd (Partai Buruh) tahun 2007, namun pada
akhirnya kebijakan serupa di masa Howard kembali diterapkan pada masa pemerintahan Tony
Abbott dengan kerangka kebijakan Operation Sovereign Border (Rahmawaty 2014).
Jika dilihat dari penerapan kebijakan Pacific Solution dan Operation Sovereign Border
yang dimaksudkan untuk merespon dan membendung gelombang pencari suaka yang masuk ke
wilayah Australia, bisa dikatakan tidak berhasil dalam menanggulangi arus kedatangan para
pencari suaka. Kebijakan-kebijakan tersebut dilihat malah lebih cenderung berkontribusi secara
signifikan pada berbagai isu yang menjadi keprihatinan masyarakat internasional seperti
diskriminasi dan pelanggaran HAM. Dengan mengutamakan pendekatan sekuritisasi dalam
menangani isu para pencari suaka ini, pada beberapa tahun terakhir ditenggarai banyak
1 Negara embarkasi adalah negara terakhir yang dijadikan tempat transit untuk pemberangkatan perahu para pencarisuaka.
menyebabkan kecelakaan perahu, manusia terbengkalai di lautan hingga korban jiwa yang
meninggal akibat penolakan keras dari pihak Australia (Soesilowati 2013).
B. Rumusan Masalah
Di sini penulis mengajukan pertanyaan penelitian : Mengapa pemerintah Australia
mengeluarkan kebijakan berupa Pacific Solution dan Operation Sovereign Border (OSB)
walaupun dikonotasikan gagal dalam menangani kasus para pencari suaka (Asylum Seekers)?
C. Tinjauan Pustaka
Banyak literatur yang mendiskusikan tentang kajian pencari suaka dan kebijakan
Australia mengenai Asylum seekers. Namun penjelasan yang diberikan dalam tulisan-tulisan
tersebut hanya bersifat umum dan tidak secara spesifik membahas tentang kebijakan dalam
negeri Australia tentang pengungsi atau pencari suaka pada masa John Howard dan Tony Abbott
berupa Pacific Solution dan Operation Sovereign Borders.
Tulisan pertama dari Atik Krustiyati dalam tulisan yang berjudul Kebijakan Penanganan
Pengungsi di Indonesia; Kajian dari Konvensi Pengungsi Tahun 1951 dan Protokol 1967.
Penulis di sini berusaha menjelaskan jika pada dasarnya masalah pengungsi tersebut merupakan
masalah humaniter dan seharusnya ditangani sesuai dengan prinsip-prinsip humaniter pula.
Adanya pengungsi sebagai akibat dari natural disaster, maka penanganannya dapat dikatakan
sederhana, karena kebutuhan utama mereka adalah tempat tinggal dan kebutuhan dasar di tempat
mereka pergi untuk menyelamatkan diri, sampai mereka dapat kembali lagi ke daerah asalnya
karena kondisinya sudah memungkinkan.
Dalam hal ini, pertolongan (relief) dan bantuan (assistance) yang diutamakan adalah
makanan, air, pakaian, sanitasi, kesehatan dan sebagainya. Sedangkan pengungsi akibat human
made disaster terutama yang menjadi korban gangguan terus menerus terhadap pribadi atau
kebebasan fundamental mereka, atau persekusi (persecution), karena ras, warna kulit, etnis,
agama, golongan sosial, atau opini politik, dan mencari keamanan serta keselamatan di luar
negara asalnya, pada dasarnya juga tetap merupakan persoalan humaniter dan ditangani secara
humaniter pula (Krustiyati 2012).
Mengingat para pengungsi tersebut tidak memperoleh perlindungan nasional dari
pemerintah asal negara mereka, maka selain memerlukan pertolongan (relief) dan bantuan
(assistance) bagi kelangsungan hidup, para pencari suaka juga memerlukan kebutuhan vital yaitu
perlindungan internasional (international protection). Tetapi dengan posisi Indonesia yang tidak
ikut meratifikasi perjanjian UNHCR, maka pemerintah Indonesia juga tidak mempunyai
kewenangan untuk memberikan penentuan status pengungsi atau yang biasa disebut dengan
Refugee Status Determination (RSD). Dalam tulisan ini hanya berusaha mengaitkan antara
hukum internasional yang dapat dijadikan dasar untuk menggolongkan kriteria kepentingan
nasional Indonesia tanpa membahas lebih jauh efek dari isu pencari suaka ini terhadap hubungan
bilateral Indonesia-Australia.
Tulisan kedua adalah buku dari Chusnul Mar’iyah dengan judul Indonesia-Australia:
Tantangan dan Kesempatan dalam Hubungan Politik Bilateral yang diterbitkan tahun 2005.
Pembahasan yang utama pada buku ini antara lain membahas isu-isu yang mempengaruhi
keberadaan kebijakan luar negeri maupun kebijakan dalam negeri baik di Australia maupun
Indonesia. Isu-isu yang ditampilkan dalam buku ini seperti isu keamanan, politik strategis,
kepentingan domestik, peran dan perkembangan media dalam membentuk opini publik,
perwakilan politik perempuan dan perkembangan sistem pendidikan domestik sebagai sarana
sosialisasi nilai-nilai demokrasi (Mar’iyah 2005). Pembahasan tersebut sebagian besar hanya
membahas isu-isu yang menjadi tantangan dalam hubungan bilateral Indonesia-Australia, namun
tidak ada pembahasan mendalam tentang isu para pencari suaka.
Tulisan yang ketiga dari Rebecca M.M. Wallace dalam buku yang berjudul International
Law yang diterjemahkan dan diterbitkan di Semarang tahun 1993, yang membahas kajian hukum
internasional. Dalam bukunya, menurut Wallace salah satu sumber hukum internasional adalah
perjanjian. Perjanjian (Treaty) bisa terjadi antara dua negara (bipartite) atau lebih dari dua negara
(multipartite), yang membuat peraturan-peraturan secara jelas diakui dan ditaati oleh negara-
negara yang terlibat. Sehingga suatu negara yang menandatangani suatu perjanjian internasional,
berkewajiban untuk membuat atau memodifikasi perundang-undangan domestiknya sesuai
dengan perjanjian internasional tersebut. Setiap negara mempunyai kewajiban untuk melaksanan
kewajiban-kewajiban secara jujur yang dideklarasikan dari sebuah perjanjian internasional
(Wallace 1993).
Dikaitkan dengan kasus Australia mengenai pelaksanaan hukum internasional, posisi
Australia yang telah menandatangani perjanjian dalam Konevensi Jenewa tahun 1951 dan
Protokol New York tahun 1967 merupakan suatu bentuk keterlibatan Australia dalam dunia
Internasional khususnya mengenai status pengungsi dan para pencari suaka. Namun dalam
penerapannya, Australia sebagai suatu negara yang seharusnya berkomitmen dalam Konvensi
Jenewa dan Protokol New York malah membuat suatu kebijakan yang bertentangan dengan
perjanjian tersebut berupa Operation Sovereign Border (OSB) di tahun 2012. Bahkan pada tahun
2001 di masa pemerintahan John Howard, Australia juga pernah mengeluarkan kebijakan yang
serupa dengan sebutan Pacific Solution. Dimana inti dari kedua kebijakan ini bertujuan untuk
mencegat dan memulangkan kembali kapal-kapal dengan penumpang para pencari suaka ke
negara embarkasi.
Dalam buku hukum internasional ini sebenarnya sudah sangat jelas disebutkan
bagaimana suatu negara melakukan sebuah perjanjian internasional, hukum dan kebiasaan
internasional sebagai sumber hukum internasional, kaitan hukum internasional dan hukum
nasional, sampai dengan penyelesaian masalah dengan hukum internasional. Tetapi untuk
menjelaskan “kecurangan” yang dilakukan negara Australia dalam mengeluarkan kebijakan
nasional yang melanggar perjanjian internasional dalam UNHCR tidak dijelaskan secara jelas
pada buku ini.
Selanjutnya tulisan dari Adrini Pujayanti yang berjudul Isu Pengungsi Global dan
Kebijakan Australia tahun 2015. Pada tulisannya, Adirini Pujayanti menjabarkan keadaan
pemerintah Australia dibawah PM Tonny Abbot yang kewalahan menghadapi serbuan para
pencari suaka. Keadaan tersebut yang menjadi alasan Australia dengan PM Tony Abbot
menerapkan strategi preventive dengan mengeluarkan kebijakan Operation Sovereign Borders
(OSB) guna mencegah masuknya para pencari suaka ke negaranya.
Dalam jurnal ini juga sedikit menjabarkan tentang dinamika politik yang terjadi di
Australia serta isu penyuapan yang melanda pemerintah Australia di bawah PM Tony Abbott.
Masalah para pencari suaka ini telah menjadi isu politik di Australia. Pemerintahan PM Tony
Abbott berada dibawah tekanan kuat parlemen karena dianggap menggunakan uang wajib pajak
yang justru dibutuhkan untuk hal-hal lain. Sejauh ini Perdana Menteri Tony Abbott secara
konsisten tidak mengomentari rincian operasional di lapangan karena hal itu terkait keamanan
operasional. Perdana menteri Tony Abbott pun berupaya menghentikan polemik di parlemen
dengan menyerahkan surat kepada Senat agar seluruh dokumen-dokumen terkait kasus ini segera
ditutup karena dapat mengganggu keamanan nasional, pertahanan dan hubungan internasional.
Analisa utama dari jurnal ini adalah kebijakan pragmatis yang dikeluarkan oleh
Pemerintahan Australia di bawah Perdana Menteri Tony Abbott berupa Operation Sovereign
Borders ini cenderung menimbulkan polemik di kalangan elit serta masyarakat Australia. Tetapi
pada tulisannya ini, masih belum begitu spesifik membahas kebijakan Australia di masa
pemerintahan Perdana Menteri John Howard dengan Pacific Solution (Pujayanti 2014).
Jadi sebagian besar literatur yang ada hanya bersifat umum dan lebih menekankan isu-isu
yang berkembang di antara perjalanan hubungan bilateral Indonesia-Australia dan lebih
menjabarkan hukum internasional sebagai kebiasaan internasional yang harus ditaati oleh negara
yang terlibat di dalamnya. Sebagai tambahan adanya penjelasan tentang pengertian pencari
suaka, status pengungsi dan hak-hak individu yang harus dihormati baik dalam tingkat nasional
maupun internasional.
D. Kerangka Teori
Untuk dapat menjawab pertanyaan dari rumusan masalah, digunakan teori rational
choice, agar dapat mengetahui kebijakan yang diambil oleh sebuah negara berdasarkan atas
kalkulasi untung rugi sehingga dapat memutuskan pilihan yang sesuai dengan alternatif dengan
resiko paling kecil.
Anthony Downs (1957) seorang yang bukan ilmuwan politik tetapi sangat berperan
penting untuk pendekatan konsep rational choice dalam ilmu politik. Dalam memaknai
rasionalitas ekonomi dan politik, Downs menyajikan teori rasionalitas di mana individu di arena
politik dan pemerintahan dipandu oleh kepentingan karena mereka mengejar pilihan dengan
tingkat kegunaan (utility) tertinggi. Konsep utility sangat bermanfaat untuk mengurangi biaya
dalam pembuatan keputusan dalam sebuah pemerintahan.
Kenneth Shepsle dan Mark Bonchek (1997) menulis teks standar dari konsep rational
choice dengan menambahkan catatan penting dari Downs yang memberikan contoh dalam
pemilu politik yang menunjukkan bagaimana pemilih yang rasional dalam menentukan
pilihannya sesuai dengan ideologinya. Begitu juga para kandidat dan partai politik berusaha
memaksimalkan dukungan dari pemilihnya dengan mengeluarkan program-program yang
menarik bagi kepentingan pemilihan. Menurut Downs (1957), pemerintahan dengan self-interest
yang tinggi tidak akan ideal untuk mewujudkan kesejahteran sosial atau kepentingan umum.
Pemerintah sebaiknya berorientasi untuk mengembangkan program-program yang berkaitan
dengan kaitan untuk menyenangkan para pemilihnya (Ishiyama & Breuning 2010).
Sedangkan masuknya teori rational choice dalam ilmu politik, bisa dikatakan diawali
dengan pendekatan teori koalisi politik yang digagas olah William Riker (1962). Riker
mengambil teori ekonomi dan matematika berbasis pada permainan yang tegas dan berlaku
untuk pengambilan keputusan politik, menyajikan alternatif untuk ilmu politik berfokus pada
konsep-konsep seperti kekuasaan dan otoritas. Riker melihat rasionalitas dalam hal individu yang
berusaha untuk menang dan bukan untuk kalah. Riker mencoba keluar dari konsep rational
choice tradisional yang berfokus pada permainan dan ekonomi, dan mencoba mengalihkan ke
dunia politik dan pemerintahan. Fokus teori rational choice adalah adanya hak-hak individu
untuk memutuskan sesuatu dengan informasi yang mereka terima, dari pengetahuan tentang
preferensi mereka sendiri atau melalui konsekuensi alternatif sendiri. Riker menjadi salah satu
tokoh yang paling kontroversial dalam ilmu politik modern, dengan alasan untuk ilmu politik
secara terbuka merangkul rational choice sebagai masa depannya.
Pendekatan Riker dalam mempelajari politik menggambarkan ciri-ciri yang menonjol
dari rational choice modern. Pertama, adanya penggunaan umum tentang asumsi rasionalitas
untuk memandu analisi dan penelitian. Individu diasumsikan untuk bertindak sesuai dengan
prinsip-prinsip memaksimalkan keuntungan dan mengejar self-interest. Kedua, lebih fokus
dengan apa yang disebut elemen inti dari rational choice sebagai cara untuk menjelaskan realitas
dan politik dalam menghadapi perkembangannya. Untuk menggambarkannya, Riker
menyebutkan bahwa mempertimbangkan biaya individu dan manfaat merupakan tindakan dari
teori rational choice, atau kalkulasi untung rugi yang didasari dari keputusan untuk memilih atau
tidak memilih. Ketiga, menyebutkan jika rational choice adalah evolusi yang berkelanjutan
seperti yang diharapkan dari setiap pendekatan ilmiah. Rational choice dalam dekade terakhir ini
tidak sama dengan era 1960an dan 1970an. Riker dalam pendekatan ini terlihat menggunakan
herethestics, yaitu berfokus pada penggunaan strategi komunikasi (seperti kalimat dan bahasa)
oleh pemimpin politik atau elit dalam kaitannya seperti kontrol agenda dan pembentukan koalisi.
Ditambahkan Buchanan (1972), teori rational choice merupakan teori ekonomi yang
diaplikasikan pada sektor publik. Teori ini mencoba menjembatani antara mikro ekonomi dengan
politik dengan melihat tindakan-tindakan warga negara, politisi, dan pelayan publik sebagai
sebuah analogi terhadap kepentingan pribadi produsen dan konsumen. Ada beberapa nama untuk
konsep ini, seperti ekonomi politik atau welfare economics, namun yang paling sering dipakai
adalah istilah rational choice atau pilihan rasional (Frederickson & Smith 2003).
Menurut Axelrod dan Keohane, mengasumsikan rational choice pada rasionalitas yakni
pilihan yang diambil atas dasar kalkulasi untung rugi, sehingga dapat memutuskan pilihan sesuai
dengan alternatif yang paling menguntungkan. Teori ini meminjam istilah dari teori ekonomi
yang memaknai rasionalitas adalah cost and benefit atau Axelrod menyebutnya dengan istilah
Payoff. Jadi negara sebagai aktor harus dapat mendefenisikan kepentingan, mengkalkulasi cost
and benefit atau disebut juga payoff, sehingga dapat berjalan menurut alternatif yang dia anggap
secara cost and benefit paling menguntungkan.
Axelrod dan Keohane menyebutkan ada tiga dimensi yang mempengaruhi kecenderungan
aktor dalam melakukan kerjasama, yang pada gilirannya akan mempengaruhi berhasil tidaknya
atau kuat tidaknya suatu kerjasama antara lain: kepentingan bersama (Mutuality of Interest),
bayangan terhadap masa depan (The shadow of the future), dan jumlah pemain (Number of
actors). Rational Choice juga digambarkan dalam bentuk-bentuk game theory seperti Prisioner
Dilemma, Payoff Structure, Stag Hunt,dan Chicken Game. Dalam teori permainan tersebut,
masing-masing menggambarkan tentang rasionalitas dalam mengkalkulasi tindakan yang
mengakibatkan keuntungan atau kerugian.
Teori Rational Choice merupakan teori yang berangkat dari asumsi neo realis. Dalam
asumsi ini, struktur internasional adalah anarki, dimana tidak ada satu kekuatan dominan yang
dapat mengatur negara-negara dalam sistem internasional. Ketiadaan kekuatan yang dominan
tersebut, berarti tidak ada juga jaminan bahwa terciptanya kepatuhan di antara negara-negara.
Kondisi ini menjadikan negara sebagai aktor utama yang rasional dalam hubungan dengan
negara lain untuk mencapai kepentingan-kepentingan nasionalnya semaksimal mungkin.
Dalam pandangan Morgenthau, kemampuan minimum negara-bangsa adalah melindungi
identitas fisik, politik dan kulturalnya dari gangguan bangsa-bangsa lain. Jadi pemimpin suatu
bangsa jika berangkat dari tujuan-tujuan umum itu bisa menurunkan kebijakan-kebijakan
spesifik terhadap negara lain, baik bersifat kerjasama atau konflik. Menurut asumsi neo realis,
pada struktur yang anarkis memungkinkan untuk terbentuknya kerjasama. Dan kerjasama akan
terjadi jika kebijakan yang ditempuh antara negara satu akan menguntungkan negara lainnya
(adanya harmonisasi). Tapi, jika kerjasama tersebut tidak menemukan harmonisasi atau tidak
sesuai dengan satu sama lain maka akan terjadi sebuah konflik. Rasionalitas merupakan pilihan
yang dapat diambil menurut kalkulasi untung rugi, sehingga negara dapat mengambil keputusan
yang paling menguntungkan. Dalam perspektif neo realis yang mementingkan kepentingan
nasional di atas segalanya, kerugian harus dihindari untuk mencapai kepentingan nasional secara
maksimal.
Mengenai hubungan penerapan kebijakan Australia mengenai pencari suaka (Asylum
Seekers), Negara Australia menempatkan diri sebagai aktor yang rasional. Segala sesuatu yang
dilakukan dianggap sebagai akibat dari tindakan-tindakan aktor rasional, yang sengaja dilakukan
untuk mencapai suatu tujuan yaitu kepentingan nasionalnya. Pembuatan kebijakan suatu negara
digambarkan sebagai suatu proses intelektual, dengan demikian kebijakan yang dibuat harus
memusatkan perhatian pada kepentingan nasional. Alternatif-alternatif haluan kebijakan yang
bisa diambil oleh pemerintah suatu negara harus melalui perhitungan untung rugi. Dalam hal ini,
kebijakan Australia tentang Asylum Seekers diasumsikan sebagai aktor yang rasional dengan
keputusan yang rasional.
E. Hipotesis
Berdasarkan uraian teori Rational Choice di atas, dapat ditarik sebuah hipotesis mengenai
pengambilan kebijakan Australia tentang pencari suaka (Asylum Seekers) berupa Pacific Solution
di masa John Howard dan Operation Sovereign Border (OSB) di masa Tony Abbott merupakan
suatu tindakan yang rasional. Mengingat pada tahun 2001 diketahui 80% dari pencari suaka yang
telah dinaturalisasi menjadi warga negara Australia ternyata adalah migran ekonomi. Kurangnya
pilihan migrasi membuat banyak migran ilegal, bukan pengungsi, menipu dengan status sebagai
pencari suaka karena hal ini merupakan satu-satunya cara yang memungkinkan mereka untuk
diterima di negara lain. Ratusan migran ekonomi masuk ke Australia dengan cara tersebut,
sehingga akhirnya Australia bersikap keras terhadap para pencari suaka melalui kebijakan
tersebut.
F. Metode Penelitian
Penelitian “Kebijakan Australia Mengenai Para Pencari Suaka (Asylum Seekers) Berupa
Pacific Solution dan Operation Soveriegn Borders” memakai metode riset yang mendeskripsikan
kebijakan tentang pencari suaka ke Australia berupa strategi kebijakan Pacific Solution di masa
Pemerintahan John Howard dan kebijakan Operation Sovereign Borders di masa Pemerintahan
Tony Abbott.
Adapun metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode penelitian
deduktif. Penulis menggunakan metode penelitian deduktif karena penelitian ini mempunyai
tujuan untuk memperoleh jawaban yang terkait berdasarkan kerangka teori yang ada.
Untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan, penulis menggunakan metode Library
Research yaitu teknik pengumpulan data melalui studi pustaka berupa buku, jurnal, serta sumber
lain yang relevan dengan penelitian ini.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini ini terbagi menjadi lima bab, dengan sistematika sebagi berikut.
Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Permasalahan, Rumusan
Masalah, Tinjauan Pustaka, Kerangka Teori, Hipotesis, Metode Penulisan, dan Sistematika
Penulisan.
Bab II berisi uraian tentang kehadiran para pencari suaka (asylum seekers) di Australia
dan munculnya konsep Irregular Maritime Arrivals (IMAs) di Australia.
Bab III membahas alasan pemerintah Australia dalam menerapkan kebijakan Pacific
Solution guna membendung arus kedatangan Irregular Maritime Arrivals (IMAs) ke Australia
pada tahun 2001.
Bab IV membahas penerapan kebijakan Pacific Solution dan Operation Sovereign
Borders (OSB) guna membendung arus kedatangan Irregular Maritime Arrivals (IMAs) ke
Australia.
Bab V berisi kesimpulan, kebijakan Australia mengenai Asylum Seekers berupa Pacific
Solution dan Operartion Sovereign Borders ini merupakan pilihan yang rasional, mengingat
banyaknya migran ekonomi yang datang ke Australia.
Bab II
Kehadiran Para Pencari Suaka (Asylum Seekers) dan Munculnya Konsep IrregularMaritime Arrivals (IMAs) di Australia
Perdebatan mengenai para pencari suaka (Asylum Seekers) khususnya ketika mengarah
kepada manusia perahu (boat people), selalu dikarakteristikkan sebagai permasalahan yang
penuh “kekeliruan” di Australia. Keberadaan asylum seekers yang datang dengan menggunakan
perahu dianggap sebagai sesuatu hal yang ilegal oleh pemerintah Australia. Para pencari suaka
dengan perahu ini dianggap ilegal dikarenakan para pencari suaka ini tidak dapat menunjukkan
surat-surat atau dokumen resmi yang menunjukkan tujuan kedatangannya ke Australia.
Hukum Australia kemudian mengklasifikasikan kedatangan para pencari suaka tersebut
dengan istilah “unlawful non-citizens”, sedangkan pemerintah Australia memberikan istilah
terhadap subjek tersebut dengan sebutan Irregular Maritime Arrivals (IMAs). Dalam bab ini
akan lebih jauh menjelaskan tentang sejarah kedatangan para pencari suaka ke Australia,
munculnya konsep IMAs oleh pemerintah Australia yang ditujukan kepada para pencari suaka,
pengertian dari pengungsi dan pencari suaka berdasarkan perjanjian-perjanjian internasional, dan
tanggapan masyarakat Australia terhadap isu para pencari suaka ini.
A. Sejarah Kemunculan Para Pencari Suaka (Asylum Seekers) di Australia
Sebagai salah satu negara yang ikut meratifikasi Konvensi Jenewa 1951 dan Protokol
New York 1967, Australia mempunyai kewajiban dalam memberikan perlindungan internasional
terhadap para pengungsi dan pencari suaka. Status Australia sebagai negara yang stabil secara
ekonomi dan politik juga menjadikan Australia sebagai salah satu negara tujuan yang banyak
dipilih oleh para pencari suaka (Asylum Seekers) untuk mencari perlindungan.
Tetapi, jauh sebelum itu, jika berbicara tentang pencari suaka (asylum seekers) di
Australia merupakan sesuatu yang sudah ada sejak zaman pendudukan Inggris di negara tersebut.
Tepatnya tahun 1788, pertama kalinya pengiriman koloni dari Inggris ke Australia yang sebagian
besar terdiri dari para narapidana. Pada perkembangan selanjutnya sekitar tahun 1796, bukan
hanya narapidana yang memenuhi atau mendominasi kaum imigran yang datang, tetapi
bervariasi seperti peternak dan petani yang selanjutnya diketahui menjadi penduduk Australia
hingga saat ini (Rezel. 2012).
Pasca Perang Dunia II, adanya perubahan dalam evolusi imigrasi Australia yang secara
ambisius merencanakan rekonstruksi dan perluasan program pasca-perang. Australia
menunjukkan potensi besar untuk pertumbuhan peduduk dan dapat menawarkan masa depan
yang baik bagi orang-orang yang ingin melupakan perang. Sekitar lebih dari 700 ribu pengungsi
telah ditampung di Australia pasca Perang Dunia II. Tetapi, secara resmi pemerintah Australia
mulai mendata para pencari suaka yang masuk ke Australia pada tahun 1976.
Para pengungsi dan pencari suaka yang datang ke Australia kebanyakan berasal dari
negara-negara Asia dan Timur Tengah seperti Afganistan, Sri Lanka, Vietnam, Pakistan, Irak,
Iran dan Nigeria. Informasi dari kerabat yang telah berhasil mendapatkan suaka di Australia
menimbulkan anggapan di pikiran para pencari suaka bahwa Australia adalah tempat yang baik
dalam memberikan jaminan hidup kepada para pencari suaka dan semakin memotivasi para
pencari suaka untuk bisa mendapatkan suaka dari Australia.
Beberapa faktor pendorong yang menyebabkan meningkatnya kadatangan para pencari
suaka (asylum seekers) ke Australia adalah adanya perang, diskriminasi, serta bencana alam di
negara asal yang kemudian memaksa para pencari suaka untuk meninggalkan negaranya untuk
mendapatkan kehidupan yang lebih baik di negara lain termasuk di Australia. Selain itu, adanya
peran penyelundup dan peran jejaring sosial, yang mengacu pada keadaan para pencari suaka
(anggota keluarga, teman, warga sebangsa dan sesuku) di negara tujuan juga menjadi faktor
pendorang meningkatknya kedatangan para pencari suaka ke Australia.
Sedangkan faktor yang menarik para pencari suaka ini adalah status Australia sebagai
negara demokrasi yang aman dan adil serta dengan keadaan ekonomi stabil yang tak terpengaruh
oleh krisis ekonomi yang terjadi dan melanda sebagian besar negara di dunia. Selanjutnya yang
menjadi faktor penarik para pencari suaka untuk datang ke Australia adalah kualitas hidup yang
terjamin, sistem pendidikan, pendapatan dan karir di Australia. Gaya hidup di Australia juga
merupakan salah satu yang terbaik di dunia, serta ibukota Australia selalu masuk dalam
peringkat kota “layak huni” dengan biaya hidup yang tergolong rendah jika dibandingkan dengan
negara-negara lain di dunia. Hal-hal tersebut jelas menimbulkan keinginan dari para pencari
suaka untuk mendapatkan perlindungan dari Australia dan tidak sedikit dari para pencari suaka
berharap mendapat status sebagai warga negara Australia.
Keterbukaan Australia dalam menerima kedatangan para pencari tersebut menumbukan
peluang bagi para pencari suaka selanjutnya untuk dapat disambut ramah di negara Australia.
Sehingga pada tahun-tahun berikutnya, para pencari suaka semakin banyak yang datang menuju
Australia dan jumlah para pencari suaka ini seakan tak terbendung lagi. Berikut data jumlah
kedatangan para pencari suaka ke Australia dari tahun 1976-2013.
Grafik 2. 1. Kedatangan Pencari Suaka (Asylum Seekers) dengan Perahu dari Tahun 1979-2013
Sumber : Parliament Of Australian: Department of Parliamentary Services. StatiticalAppendix update 23 July 2013. Page 26. 2004-2010
Dari data di atas dapat dilihat bahwa telah terjadi lonjakan arus kedatangan para pencari
suaka ke Australia dari tahun ke tahun. Jumlah para pencari suaka yang awalnya masih berskala
ratusan orang, semakin tahun jumlahnya semakin banyak hingga mencapai puluhan ribu orang.
Sehingga, pemerintah Australia mulai merasa khawatir terhadap kedatangan para pencari suaka
yang dinilai telah melampaui batas tersebut.
Australia yang awalnya membuka pintu seluas-luasnya bagi para imigran dengan harapan
akan memberikan efek positif yaitu menjadi kekuatan untuk membangun Australia. Namun
dalam perkembangannya, bukan hanya para imigran resmi dengan berbagai kelengkapan
dokumen yang datang menuju Australia, tetapi para imigran yang tidak dilengkapi dengan
dokumen-dokumen resmi marak datang ke Australia dengan alasan mencari suaka.
B. Munculnya Konsep Irregular Maritime Arrivals (IMAs) Kepada Para Pencari Suaka
di Australia
Perdebatan mengenai para pencari suaka (Asylum Seekers) khusunya ketika mengarah
kepada manusia perahu (boat people), selalu dikarakteristikkan sebagai permasalahan yang
penuh “kekeliruan” di Australia. Keberadaan asylum seekers yang datang dengan menggunakan
perahu dianggap sebagai sesuatu hal yang ilegal oleh pemerintah Australia. Para pencari suaka
dengan perahu ini dianggap ilegal dikarenakan para pencari suaka ini tidak dapat menunjukkan
surat-surat atau dokumen resmi yang menunjukkan tujuan kedatangannya ke Australia.Hukum
Australia kemudian mengklasifikasikan kedatangan para pencari suaka tersebut dengan istilah
“unlawful non-citizens”, sedangkan pemerintah Australia memberikan istilah terhadap subjek
tersebut dengan sebutan Irregular Maritime Arrivals (IMAs) (Goverment Australia. 2013).
Konsep Irregular Maritime Arrivals (IMAs) tersebut diperkuat dengan pernyataan Julia
Gillard dalam pidato pertamanya sebagai Perdana Menteri di bulan Juli 2010, Julia Gillard
menyatakan rencana untuk membangun pusat-pusat pemrosesan regional bagi para pencari suaka
yang datang ke Australia dengan perahu sebagai sarana untuk mengancam para pencari suaka
tersebut tidak memasuki wilayah Australia. Berikut adalah pernyataan Julia Gillard terkait isu
para pencari suaka yang datang dengan perahu : (www.theaustralian.com.au 2013)
“Building on the work already underway through the Bali Process, today Iannounce that we will begin a new initiative. In recent days I have discussed withPresident Ramos Horta of East Timor the possibility of establishing a regionalprocessing center for the purpose of receiving and processing of the irregularentrants to the region. The purpose would be to ensure that people smugglershave no product to sell. Arriving by boat would just be a ticket back to theregional processing center. It would be to ensure that everyone is subject to aconsistent, fair, assessment process. It would be to ensure that arriving by boatdoes not give anybody an advantage in the likelihood that they would end upsettling in Australia or other countries of the region.”
Dilihat dari pernyataan diatas, Pemerintah Australia di bawah PM Julia Gillard secara
implisit telah memberikan generalisasi bahwa semua orang yang datang dengan perahu dianggap
sebagai tindakan yang ilegal dan melanggar hukum, walaupun sebagian besar dari orang yang
datang tersebut adalah asylum seekers yang sebenarnya keberadaanya wajib diperhatikan
Australia sebagai negara yang ikut meratifikasi Konvensi Jenewa 1951. Bahkan dari pernyataan
Julia Gillard tersebut secara sangat jelas menganggap bahwa subjek dari Irregular Maritime
Arrivals (IMAs) ini merupakan bagian dari praktek kegiatan perdagangan manusia (people
smuggling) dan bukan sebagai pencari suaka (asylum seekers).
Selanjutnya, dalam menghadapi arus kedatangan para pencari suaka ilegal atau Irregular
Maritime Arrivals (IMAs), pemerintah Australia membuat berbagai kebijakan yang bertujuan
untuk menghalangi akses masuk para pencari suaka, diantaranya adalah dengan menerapkan
kebijakan Pacific Solution dan dilanjutkan dengan kebijakan Operation Sovereign Border (OSB)
pada masa pemerintahan Perdana Menteri Tony Abbott.
Namun berdasarkan hukum dan kebiasaan internasional, kebijakan Australia mengenai
Asylum Seekers yang tertuang dalam Pacific Solution dan Operation Sovereign Borders (OSB)
dapat dikatakan kurang tepat dan tidak sesuai dengan aturan yang semestinya. Pada dasarnya,
konsep Irregular Maritime Arrivals (IMAs) yakni istilah yang disematkan pemerintah Australia
kepada para pencari suaka dan pengungsi yang tidak memiliki status hanyalah interpretasi
Australia untuk membenarkan tindakannya. Konsep tersebut diberikan kepada pencari suaka
ataupun pengungsi yang menjadi korban pelanggaran HAM yang sedang dalam keadaan
persekusi, sehingga pemerintah Asutralia dapat dengan mudah menghalau kedatangan
rombongan para pencari suaka ke Australia.
Jika selama ini pemerintah Australia memilih untuk lebih selektif terhadap arus imigran
yang memasuki kawasan Australia, seharusnya sebagai negara yang menandatangani berbagai
kesepakatan internasional, Australia memberikan pengecualian terhadap para pencari suaka dan
pengungsi. Khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan dokumen pengungsi. Apabila
imigran normal harus memiliki kelengkapan dokumen agar bisa memasuki wilayah Australia,
seharusnya para pengungsi dan pencari suaka mendapat pengecualian untuk kemudian diproses
lebih lanjut.
C. Pengungsi dan Pencari Suaka (Asylum Seekers) Menurut Perjanjian Internasional
Kedatangan para pencari suaka dengan perahu yang dikategorikan sebagai sesuatu yang
ilegal oleh pemerintah Australia merupakan sebuah permasalahan yang penuh dengan mis-
interpretasi di Australia. Berangkat dari pengertian asylum seekers yaitu “someone who is
seeking international protection but whose claim for refugee status has not yet determined” dan
pengertian imigran ilegal yang menyatakan sebagai “people who enter a country without
meeting the legal requirements for entry (without a valid visa, for example)”, pemerintah
Australia menyatakan bahwa para pencari suaka yang datang dengan perahu merupakan hal yang
ilegal karena para pencari suaka yang datang tidak dapat menunjukkan dokumen-dokumen resmi
sebagai syarat kedatangannya ke Australia.
Tetapi penggunaan label ilegal dengan menyebut para pencari suaka sebagai Irregular
Maritime Arrivals (IMAs) oleh pemerintah Australia tidak sepenuhnya dibenarkan. United
Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) juga menekankan bahwa seseorang yang
datang dan diketahui mengalami ketakutan terhadap penyiksaan, penganiayaan, intimidasi justru
harus dilihat sebagai pengungsi bukan sebagai imigran ilegal., dan sebagai sifat alami terhadap
keadaan tersebut maka subjek yang dimaksud memungkinkan dalam melakukan pelarian dari
negaranya dan masuk ke negara lain secara ilegal dan atau menggunakan dokumen-dokumen
yang tidak sesuai.
Landasan yang serupa juga diberikan dari Refugge Council of Australia yang
menekankan bahwa tindakan seperti terjadinya ketakutan terhadap penyiksaan, penganiayaan
sangat memungkinkan seseorang untuk diberikan hak sebagai pengungsi dikarenakan terlalu
sulitnya meminta visa atau dokumen-dokumen perjalanan lainnya dari pemerintah negara asal
ketika ancaman penganiayaan tersebut sebagian besar justru datang dari pemerintah negara itu
sendiri (Santoso.2004).
Berbagai landasan tersebut seolah diabaikan Pemerintah Australia dan tetap pada
keputusannya dalam mendefinisikan para pencari suaka ataupun pengungsi sebagai sesuatu yang
ilegal dan selanjutnya disebut dengan istilah Irregular Maritime Arrivals. Keputusan ini
ditetapkan melalui Department Immigration and Citizenship (DIAC). Jika dilihat dari
kesepakatan internasional yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1951 dan Protokol New York
1967 mengenai Status Pengungsi Internasional, keputusan Australia dalam penyematan konsep
IMAs ini bisa dikatakan keliru. Kekeliruan ini dapat dianalisa mengenai definisi pengungsi
berdasarkan kesepakatan internasional berikut.
Untuk lebih memahami perbedaan antara imigran normal, pencari suaka dan pengungsi
yang sesuai dengan kesepakatan internasional, selanjutnya akan dijabarkan definisi dari masing-
masing konsep untuk menyeragamkan persepsi, sehingga kemungkinan untuk salah
mendefinisikan konsep dapat diminimalisir.
C. 1. Pengertian Pengungsi Internasional
Instrumen-instrumen internasional sebagai wadah yang menampung kesepakatan
internasional memiliki definisi mengenai pengungsi internasional. Tidak hanya definisi, bahkan
hak dan kewajiban serta perlindungan pengungsi internasional diatur secara rinci dalam butir-
butir kesepakatan internasional tersebut. Berikut beberapa definisi pengungsi internasional
berdasarkan kesepakatan melalui instrumen-instrumen internasional.
C. 1. 1. Pengungsi Internasional dalam Konvensi Jenewa 1951
Definisi pengungsi internasional menurut Konvensi Jenewa 1951 pasal 1 adalah
sebagai berikut: “sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari
1951 dan yang disebabkan oleh kecemasan yang sungguh-sungguh berdasar akan
persekusi karena alasan-alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok
sosial tertentu atau opini politik, berada di luar negara kewarganegaraannya dan tidak
dapat atau, karena kecemasan tersebut, tidak mau memanfaatkan perlindungan negara
itu; atau seorang yang tidak mempunyai kewarganegaraan dan berada di luar negara
dimana sebelumnya biasanya bertempat tinggal, sebagai akibat peristiwa-peristiwa
termaksud, tidak dapat atau, karena kecemasan tersebut, tidak mau kembali ke negara
itu” (Konvensi jenewa 1951 tentang status pengungsi internasional Pasal 1).
C. 1. 2. Pengungsi dalam Statuta UNHCR
Dalam Statuta UNHCR terdapat pengertian tentang Pengungsi yang terdapat
dalam Pasal 6 A dan 6 B.
1) Pasal 6 A (i) Statuta UNHCR:
“setiap orang yang sudah ditetapkan sebagai pengungsi di bawah
kesepakatan 12 Mei 1962 dan 30 Juni 1928 atau di bawah Konvensi 28
Oktober 1933 dan 10 February 1938, Protokol 14 September 1939 atau dari
Constitution of the international refugee organization”.(Statuta UNHCR pasal
6 A (i)
2) Pasal 6 A (ii) Statuta UNHCR:
“setiap orang, yang merupakan hasil dari peristiwa sebelum 1 Jaunari 1951
dan yang menyebabkan ketakukatan terhadap penganiayaan dengan alasan
ras, agama, kewarganegaraan atau opini politik, dan tidak dapat atau, karena
ketakutan atau untuk alasan lain selain kenyamanan pribadi seperti, tidak
mau memanfaatkan dirinya dari perlindungan negara itu, atau yang, tidak
memiliki kewarganegaraan dan berada di luar negara asal biasanya
bertempat tinggal, tidak mampu atau, karena kecemasan tersebut atau untuk
alasan lain selain kenyamanan pribadi tidak mau kembali ke negara
asal”.(Statuta UNHCR Pasal 6 A (ii)
3) Pasal 6 B Statuta UNHCR:
“Orang lain yang berada di luar negara kewarganegaraannya, atau jika ia
tidak memiliki kewarganegaraan, negara asal biasanya bertempat tinggal,
karena ia memiliki atau telah ditemukan ketakutan akan penganiayaan
dengan alasan ras, agama, kebangsaan atau pendapat politik dan mampu
atau karena takut, tidak mau memanfaatkan perlindungan dari pemerintah
negara kewarganegaraannya, atau jika ia tidak memiliki kewarganegaraan,
untuk kembali ke negara mantan biasanya bertempat tinggal”.(Statuta
UNHCR Pasal 6 B)
C. 1. 3. Pengertian Pengungsi dalam Protokol New York 1967
Pengungsi dalam Protokol New York 1967 tertuang dalam Pasal 1 ayat 2 adalah sebagai
berikut: “untuk maksud Protokol ini, istilah pengungsi, kecuali mengenai pelaksanaan ayat 3
pasal ini akan berarti tiap orang yang termasuk dalam definisi pasal 1 Konvensi yang dimaksud
“sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951 dan” sebagai akibat
peristiwa-peristiwa termaksud”, dalam pasal 1 A (ii) ditiadakan”. (Protokol New York 1967
Pasal 1 ayat 2).
Dimaksudkan disini adalah definisi pengungsi yang terdapat dan tertuang dalam Pasal 1
konvensi Jenewa 1951 mendapat beberapa perubahan dimaksudkan agar definisi pengungsi
menjadi lebih luas. Perubahan tersebut adalah:
“orang yang karena ketakutan yang disebabkan menerima penganiayaan karena alasan
ras, agama, kebangsaan, keanggotaan di dalam kelompok sosial tertentu atau opini politik,
berada di luar negaranya dan tidak dapat, dikarenakan ketakutan tersebut, atau tidak ingin
untuk memperoleh perlindungan dari negara tersebut; atau seseorang yang tidak mempunyai
kewarganegaraan dan berada di luar negara tempatnya menetap sebagai akibat dari peristiwa
tertentu, tidak dapat, atau dikarenakan ketakutannya tersebut, dan tidak ingin kembali ke
negaranya”.
C. 1. 4. Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1967 Tentang Teritorial Suaka (UN.
Declaration on Territorial Asylum 1967)
Dalam UN. Declaration on Territorial Asylum 1967 ini menyatakan perluasan terhadap
efektifitas perlindungan internasional terhadap pengungsi. Perlindungan yang dimaksudkan
untuk mengembangkan instrumen hukum internasional untuk para pengungsi dan juga
memastikan bahwa para pengungsi dan juga untuk memastikan bahwa para pengungsi
diperlakukan sesuai dengan instrument-instrumen khususnya yang berkaitan dengan hak untuk
bekerja, jaminan sosial, serta akses terhadap dokumen perjalanan.
UN. Declaration on Territorial Asylum 1967 ini terdiri dari 4 Pasal. Pada bagian
pembukaan UN. Declaration on Territorial Asylum 1967 merujuk kepada pasal 14 Universal
Declaration of Human Right yang menyatakan bahwa:
1. Everyone has the right to seek and to enjoy in other countries asylum from
persecution
2. This right may not be revoked in the case of persecutions genuinely arising
from non political crimes or from acts contraty to the purposes and prociples
of the United Nation.
Deklarasi ini juga merujuk kepada pasal 13 ayat 2 dari Universal Declaration of Human
Right yang menyatakan bahwa; everyone has the right to leave any country, including his own,
and to return to his country (Romsan 2014).
C. 2. Pengertian Umum Tentang Pencari Suaka (Asylum Seekers)
Untuk pengertian atau definisi dari pencari suaka dan pengungsi sebenarnya memiliki
perbedaan jika dilihat dari hukum internasional. Seseorang pengungsi adalah sekaligus pencari
suaka. Sebelum seseorang diakui statusnya sebagai pengungsi, pertama-tama mereka adalah
pencari suaka. Sebaliknya, seorang pencari suaka belum tentu merupakan seorang pengungsi
(Hamid 2002).
Sejarahnya, awal kata suaka berasal dari bahasa Yunani yaitu Asylon atau Asylum dalam
bahasa latin, yang diartikan sebagai tempat yang tidak dapat dilanggar di mana seseorang yang
dikejar-kejar mencari tempat berlindung (Hamid 2012). Dalam Hukum Internasional sebenarnya
belum ditemui adanya ketentuan-ketentuan yang bersifat umum yang menentukan status para
pencari suaka. Namun sebagai pedoman tentang status pencari suaka dapat berpegang kepada
Pasal 1 paragraf 3 UN. Declaration on Territorial Asylum, yang berbunyi “penilaian alasan bagi
pemberian suaka adalah tanggung jawab negara yang memberi suaka”.
Di bawah ini adalah beberapa definisi pencari suaka dengan variabel yang berbeda-beda
menurut beberapa ahli:
1. Menurut Oppenheim Lauterpacht mendefiniskan bahwa suaka adalah hubungan
dengan wewenang suatu negara yang mempunyai kedaulatan di atas teritorialnya
untuk memperbolehkan seseorang asing memasuki dan tinggal dalam wilayahnya dan
atas perlindungannya.
2. Menurut Prof. DR. F. Sugeng Istanto, SH mendefinisikan bahwa asylum adalah
perlindungan individu di wilayah negara asing tempat mereka mencari perlindungan.
Asylum merupakan perlindungan negara asing di wilayah negara tersebut dikediaman
perutusan asing atau kapal asing. Dengan adanya perlindungan itu individu tersebut
tidak dapat diambil oleh penguasa negara lain (Hamid 2002).
D. Prejudice Masyarakat Australia Terhadap Irregular Maritime Arrivals (IMAs)
Isu pencari suaka yang tiba di Australia dengan menggunakan perahu telah menjadi
permasalahan nasional yang mendapat perhatian dari sebagian besar masyarakat Australia.
Namun saat ini pencari suaka dengan perahu tersebut justru dinilai membawa beberapa dampak
negatif bagi keamanan nasional Australia. Hal ini tidak lepas dari bagaimana pemerintah dan
media Australia menjustifikasi pencari suaka dengan perahu tersebut sebagai sesuatu yang
melanggar hukum dan telah melakukan tindakan yang tidak sepantasnya dengan memasuki
Australia tanpa membawa dokumen-dokumen resmi, sehingga kemudian muncul stereotype-
stereotype yang terbangun sebagai konsekuensi atas pelabelan terhadap pencari suaka yang
dilakukan pemerintah tersebut.
Grafik di bawah ini menunjukkan beberapa argumen yang berbeda mengenai pencari
suaka yang tiba di Australia dengan perahu;
Grafik 2. 2. Beberapa Pandangan Terhadap Pencari Suaka
Sumber: Fergus Hanson,”Aystralia and the World; Public Opinion and Foreign Policy”.
Dari grafik di atas dapat ditemukan beberapa penilaian yang terbangun di masyarakat
Australia mengenai label yang melekat pada pencari suaka. Dari data di atas dapat dilihat bahwa
sebanyak 86% pencari suaka yang tiba di Australia dianggap mempunyai potensi terhadap
resiko keamanan Australia. Selain itu sebanyak 92% responden juga mengatakan bahwa pencari
suaka yang ingin memasuki wilayah Australia dengan menggunakan perahu merupakan pilihan
yang buruk dan berisiko mengalami kecelakaan sampai dengan kematian. Hal ini telah
menunjukkan adanya persepsi negatif yang terbangun dalam identitias pencari suaka yang tiba di
Australia khususnya yang datang dengan menggunakan perahu.
Bab III
Alasan Pemerintah Australia dalam Menerapkan Kebijakan Pacific Solution dan Operation
Sovereign Borders (OSB) Guna Membendung Kedatangan Para Pencari Suaka
Jumlah kedatangan para pencari suaka (asylum seekers) yang meningkat tiap tahunnya
sesuai dengan penjelasan sebelumnya, membuahkan polemik tersendiri bagi keamanan negara
Australia. Pemerintah Australia mulai merasa khawatir akan keamanan negara dan warganya
yang akan ditimbulkan oleh gelombang kedatangan para pencari suaka tersebut.
Kekhawatiran pemerintah Australia terhadap kedatangan pencari suaka tersebut didasari
atas persepsi negatif terhadap para pencari suaka (asylum seekers) yang berkembang di Australia
seperti anggapan bahwa para pencari suaka identik dengan tindak kriminalitas. Adanya para
pencari suaka berarti akan adanya penyelundupan manusia, dan yang terakhir adalah munculnya
Islamophobia yang dirasakan oleh masyarakat Australia.
Kekhawatiran-kekhawatiran tersebut yang menjadi alasan pemerintah Australia untuk
bersikap tegas terhadap para pencari suaka dengan mengeluarkan kebijakan berupa Pacific
Solution dan Operation Sovereign Borders (OSB). Selanjutnya, pada bab ini akan secara spesifik
membahas beberapa alasan lain yang melatar belakangi dibentuknya kebijakan Australia berupa
Pacific Solution dan Operation Sovereign Borders (OSB).
A. Meminimalisir Tindakan Kriminal yang Identik dengan Kedatangan Para Pencari
Suaka
Australia yang merupakan sebuah negara dengan kondisi perekonomian yang bisa
dikatakan cukup baik di kawasan Asia Pasifik. Kondisi politik dan keamanan yang cenderung
cukup stabil jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik menjadikan
Australia sebagai salah satu negara tujuan utama bagi para pencari suaka yang sebagian besar
berasal dari Timur Tengah dan Asia Selatan. Terjebak dalam situasi konflik dan kondisi ekonomi
yang kurang menentu di negara asal membuat para pencari suaka berani melakukan perjalanan
yang beresiko menuju Australia dengan harapan menemukan jaminan hidup yang lebih baik.
Pemerintah Australia dalam memandang gelombang para pencari suaka yang datang ke
wilayahnya tidak lebih sebagai suatu tindakan yang ilegal dan identik dengan kriminalitas.
Pemerintah Australia dari awal sudah mengidentifikasi para pencari suaka yang datang ke
Australia dengan perahu adalah tindakan yang ilegal dan secara sengaja melanggar kedaulatan
wilayah Australia. Identifikasi juga diberikan kepada perahu yang membawa para pencari suaka
(asylum seekers) yang ingin masuk secara ilegal ke wilayah Australia dengan sebutan Suspected
Illegal Entry Vessel (SIEV) (Kevin 2004).
Kedatangan para pencari suaka dengan perahu menuju Australia juga mengindikasikan
beberapa aktivitas lain yang berhubungan erat dengan tindak kriminalitas. Letak geografis
Australia yang berdekatan dengan benua Asia membuka celah berbagai tindak kriminalitas yang
dilakukan oleh berbagai organisasi kejahatan, misalnya Chinese Organized Gang sebagai
organisasi kejahatan terbesar di Australia (Williard 1994).
Chinese Organised Gang di Australia tidak memiliki struktur hirarki yang jelas, siapa
pemimpinnya serta berapa banyak anggota dan pekerjaannya. Tetapi meskipun demikian,
organisasi kejahatan ini mampu mengatur perdagangan narkotika dari Asia Tenggara menuju
Australia secara canggih dan fleksibel (Rebecca 2001).
Penyelundupan manusia, perdagangan manusia, perdagangan obat-obatan terlarang
(narkoba) adalah beberapa kejahatan yang dilakukan oleh kelompok kriminal Cina tersebut.
Pengangkutan narkotika biasanya dikombinasikan dengan perdagangan manusia untuk menekan
biaya transportasi. Jalur laut adalah jalur utama yang dipilih karena mereka dapat menghindari
proses deteksi, sedangkan jalur udara harus melewati proses yang lebih rumit dan biaya yang
tinggi (Rebecca 2001).
Para pencari suaka yang kebanyakan merupakan orang dengan tingkat pendidikan yang
rendah dan tidak mempunyai keahlian khusus menjadikan sebagian besar dari para pencari suaka
ini memilih menjadi pekerja yang dapat dimanfaatkan oleh Chinese Organized Gang. Pilihan
para pencari suaka untuk menjadi kurir dalam mendistribusikan narkotika adalah untuk
membantu bertahan hidup di Australia kedepannya. Istilah satu kejahatan akan membawa pada
kejahatan berikutnya sangat tepat menggambarkan fenomena kejahatan yang terjadi di Australia.
Perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang yang sukses diperdagangkan di Australia,
membawa para sindikat kejahatan ini mengembangkan tindakan kriminalitas lain, pencucian
uang adalah salah satu kelanjutan dari perdaganagan narkotika yang mengalami kesuksesan di
Negara Australia.
Pencucian uang telah meningkat dalam hubungannya dengan kasus dan kegiatan
perdagangan narkotika dan perdagangan manusia ke Australia. Operasi pencucian uang semakin
dimudahkan dengan adanya sistem komunikasi yang cepat untuk mentransfer dana dari dan ke
luar bank Australia. Selain menggunakan kecanggihan sistem perbankan, sindikat kejahatan juga
menggunakan kurir untuk membawa uang tunai dan memindahkan uang melalui rekening
internasional atas nama keluargnya. Kebanyakan kurir tersebut adalah para pencari suaka yang
tidak memiliki pekerjaan dan hal tersebut dilakukan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya
di Australia. Polisi Federal Australia memperkirakan bahwa ada sekitar 1,7 juta US dollar hingga
6,6 juta US dollar per tahun yang dicuci dari hasil keuntungan perdagangan narkoba ini (Owens
2002).
Tidak ada persentase atau data statistik yang menunjukkan jumlah tindakan kriminal atau
berapa banyak yang terkait dengan tindak kriminal tersebut. Kesulitan pemerintah Australia
dalam mengumpulkan jumlah kejahatan atau tindak kriminal oleh para pencari suaka ilegal
menyebabkan tidak adanya data statistik resmi yang dikeluarkan oleh Pemrintah Australia.
Tetapi dengan beberapa kasus yang dijelaskan di atas, mengantarkan Pemerintah Australia untuk
memformulasikan kebijakan berupa Pacific Solution dan Operation Sovereign Borders (OSB)
yang diharapkan dapat menjaga batas negara mereka dari segala kemungkinan tindak
kriminalitas oleh para pencari suaka.
Seperti yang disampaikan oleh Anak Agung Banyu Parwita dalam tulisannya yang
bejudul Isu Perbatasan dan Keamanan Nasional yang diterbitkan kompas pada tahun 2009.
“Karena batas negara tidak hanya berperan penting dalam menentukan kedaulatandan keamanan nasional suatu negara tetapi juga mempunyai peranan penting dalampelaksanaan politik luar negeri suatu negara. Keterbatasan kemampuan negaradalam mengelola dan mengawasi semua wilayah perbatasan dan teritorialnya akanberdampak secara signifikan baik secara internal maupun eksternal”
Pentingnya penjagaan batas negara Australia terhadap kedatangan para pencari suaka
(Asylum Seekers) akan sangat menentukan kedaulatan negara dan keamanan nasionalnya. Bisa
dikatakan jika dikeluarkan kebijakan Australia berupa Pacific Solution dan Operation Sovereign
Borders (OSB) adalah dalam rangka meminimalisir tindakan kriminal. Pemerintah Australia
percaya jika segala bentuk kegiatan kriminal yang identik dengan kedatangan para pencari suaka
tersebut akan dapat dicegah dan dihentikan dengan kebijakan berupa Pacific Solution dan
Operation Sovereign Borders (OSB).
B. Mencegah Peningkatan Penyelundupan Manusia atau People Smuggling
Sebagai negara demokrasi yang aman dan adil serta kondisi ekonomi yang tidak terpengaruh
oleh krisis ekonomi, serta jaminan sosial yang diberikan kepada penduduknya, maka menjadi
sangat wajar jika banyak dari para pencari suaka ingin datang ke Australia dan bisa menjadi
bagian dari negara tersebut. Namun, semakin banyak para pencari suaka yang datang secara
ilegal ke Australia mengindikasikan semakin banyaknya penyelundupan manusia yang akan
dilakukan oleh para penyelundup.
Kehadiran para pencari suaka atau Irregular Maritime Arrivals (IMAs) yang jumlahnya
terus meningkat dari tahun ke tahun menjadi beban tersendiri bagi pemerintah Australia dalam
menjaga kedaulatan serta keamanan negaranya. Dengan bertambahnya jumlah kedatangan para
pencari suaka ke Australia maka resiko munculnya kejahatan transnasional akan semakin besar.
Salah satu kejahatan transnasional yang sering terjadi adalah penyelundupan manusia dan
pemerintah Australia menganggap masalah penyelundupan manusia yang melewati wilayahnya
adalah suatu tindakan yang menyangkut kedaulatannya dan harus ditindak tegas.
Secara garis besar, arus kedatangan para pencari suaka ke Australia bisa dibedakan
menjadi dua, yang pertama adalah para pencari suaka yang datang melalui jalur udara, dan kedua
adalah para pencari suaka yang datang melalui jalur laut. Namun, para penyelundup manusia ke
Australia lebih banyak menggunakan jalur laut dalam menjalankan aksinya. Walaupun memiliki
resiko yang lebih tinggi karena harus mempertaruhkan nyawa para pencari suaka di lautan,
namun jalur ini paling sering dipilih penyelundup karena perhitungan biaya yang bisa ditekan.
Jalur laut yang biasanya digunakan para penyelundup adalah melewati Laut Timor, Laut Cina
Selatan dan perairan Indonesia.
People Smuggling atau penyelundupan manusia pertama kali ditemukan di Australia pada
tahun 1981. Sebanyak 146 manusia yang mengaku berasal dari Vietnam, berada dalam sebuah
perahu yang menuju daratan Australia melalui perairan Indonesia. Deketahui bahwa orang-orang
yang ada dalam perahu tersebut merupakan para pencari suaka yang sengaja membayar sejumlah
uang kepada pemilik perahu agar diijinkan menumpang menuju Australia. Kasus penyelundupan
manusia di Australia yang pernah tercatat juga terjadi di pulau Queensland Australia dan New
South Wales, hal tersebut menunjukkan bagaimana para oknum penyelundupan manusia
mencoba dan berusaha mencapai pantai Australia langsung dari rute timur yang mana area
tersebut tidak mendapatkan pengawasan dari Coastwatch sampai tahun 1999 (Statistic Section
2012).
Kasus penyelundupan manusia ini terjadi di berbagai belahan dunia termasuk Australia,
dapat diibaratkan seperti fenomena gunung es, dimana kasus yang terdeteksi adalah bagian
gunung es yang berada di atas permukaan laut, sedangkan kasus yang jauh lebih besar dan tidak
terdeteksi berada di bawah permukaan laut. Penyelundupan yang terjadi di Australia lebih
banyak ditemukan pada jalur-jalur maritim, karena dianggap memakan biaya lebih murah
dibandingkan dengan menggunakan jalur udara yang akan memerlukan biaya yang lebih tinggi
dan akan mengurangi keuntungan yang diperoleh oknum penyelundupan manusia. Selain itu,
perbatasan laut Australia yang terbuka juga menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi
proses penyelundupan manusia tersebut.
Sebelum tahun 1997, kebanyakan dari kasus penyelundupan manusia ke Australia masih
menggunakan perahu-perahu kecil berbahan kayu yang hanya dapat menampung para pencari
suaka dalam jumlah kecil. Tetapi pada tanggal 13 Juni 1997, pertama kali ditemukan perahu
berbahan baja yang membawa para pencari suaka ilegal menuju Australia. Beberapa tahun
setelah itu, semakin banyak perahu yang datang ke Australia yang membawa pencari suaka
dengan ukuran yang lebih besar dan berat serta dilengkapi dengan navigasi dan teknologi
komunikasi yang lebih baik. Bukti bahwa perahu tersebut digunakan untuk menampung para
pencari suaka ilegal adalah dengan ditemukannya compartment tersembunyi pada perahu yang
bertujuan atau digunakan untuk menyembunyikan para pencari suaka ilegal tersebut (Tanzila
2015).
Pemerintah Australia menganggap penyelundupan manusia atau people smuggling yang
terjadi merupakan sebuah kejahatan. Dikatakan demikian karena menurut pemerintah Australia
menyelundupkan manusia dari suatu negara ke negara lain merupakan suatu pelanggaran
ketentuan-ketentuan resmi dari negara bersangkutan (Phillips & Miller 2000).
Penyelundupan manusia juga merupakan suatu tindakan yang membentuk sebuah
perbudakan kontemporer. Para pencari suaka yang akan diselundupkan akan diperlakukan
dengan tidak baik oleh para penyelundup, selain itu sangat sering kondisi perjalanan yang sangat
tidak manusiawi seperti berada dalam perahu yang penuh dan sesak serta ditumpuk dengan
barang-barang bawaan perahu, dan bahkan sering terjadi kecelakaan yang fatal. Sesampainya di
negara tujuan, status ilegal para pencari suaka menyebabkan mereka terpaksa menjadi budak
para penyelundup yang memaksa mereka berkerja di pasar tenaga kerja ilegal selama bertahun-
tahun. Para pencari suaka ini secara tidak langsung mengalami eksploitasi dari para penyelundup
demi keuntungan materiil (Phillips & Miller 2000).
Tabel 3. 1 Jumlah Pencari Suaka yang Datang dengan Perahu Secara Ilegal ke AustraliaSejak Tahun 1976-2012
Tahun Jumlah Perahu Jumlah Manusia
1975-76 1 Perahu 5 Orang
1976-77 7 Perahu 204 Orang
1977-78 43 Perahu 1.423 Orang
1978-79 6 Perahu 351 Orang
1979-80 2 Perahu 56 Orang
1980-81 1 Perahu 30 Orang
1981-82 to1988
_ _
Tahun Jumlah Perahu Jumlah Manusia (Excludes Crew)
1989 1 Perahu 26 Orang
1990 2 Perahu 198 Orang
1991 6 Perahu 214 Orang
1992 6 Perahu 216 Orang
1993 3 Perahu 81 Orang
1994 18 Perahu 953 Orang
1995 7 Perahu 237 Orang
1996 19 Perahu 660 Orang
1997 11 Perahu 339 Orang
1998 17 Perahu 200 Orang
1999 86 Perahu 3.721 Orang
2000 51 Perahu 2.939 Orang
2001 43 Perahu 5.516 Orang
2002 1 Perahu 1 Orang
2003 1 Perahu 55 Orang
2004 1 Perahu 15 Orang
2005 4 Perahu 11 Orang
2006 6 Perahu 60 Orang
2007 5 Perahu 148 Orang
2008 7 Perahu 161 Orang
Tahun Jumlah Perahu Crew Jumlah Manusia (Excludes Crew)
2009 60 Perahu 141 Orang 2.726 Orang
2010 134 Perahu 345 Orang 6.555 Orang
2011 69 Perahu 168 Orang 4.565 Orang
2012 278 Perahu 392 Orang 17.202 Orang
Sumber: 1976-1988 : K. Betts, “Boat people and public opinion in Australia”, People and place vol. 9/ 2001,1989-2008: DIAC dengan data dari Parliamentary Library 2009., 2009-2012: Customs and Border Protectiondengan data dari Parliamentary Library.
Dari data di atas dapat diamati jika lonjakan tajam kedatangan para pencari suaka secara
ilegal ke Australia terjadi pada tiga tahun terakhir sebelum diberlakukannya kebijakan Pacific
Solution oleh Perdana Menteri John Howard tahun 2001 dengan total mencapai 12.176 orang.
Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yang jumlah pertahunnya masih dalam skala
ratusan, pemerintah Australia mulai merasa khawatir akan keamanan warga dan negaranya yang
akan ditimbulkan oleh gelombang para pencari suaka yang masuk secara ilegal tersebut.
Pemerintah Australia sangat memahami kondisi dari berbagai kasus people smuggling
yang telah terjadi di wilayah negaranya. Sehingga pada tahun 2001, pemerintah Australia di
bawah kepemimpinan John Howard mulai menerapkan kebijakan yang bersifat sekuritisasi untuk
memproteksi keamanan dan pertahanan negaranya dari para oknum penyelundup manusia
dengan strategi kebijakan Pacific Solution.
Beberapa alasan yang menggambarkan penyelundupan manusia sebagai ancaman utama
bagi masyarakat Australia, yaitu pertama adalah adanya persoalan serius terhadap keamanan dan
keprihatinan ketika orang-orang yang datang ke Australia tetapi tidak memiliki identitas yang
jelas. Kedua, terdapat resiko karantina terhadap pemeriksaan kesehatan bagi para warga biasa
yang akan melewati proses imigrasi. Ketiga, pemprosesan terhadap imigran ilegal menimbulkan
masalah biaya dan logistik yang signifikan. Dan terakhir yang keempat, penyelundupan manusia
dapat melanggar kedaulatan Australia, sehingga menggangu kedaulatan negara dalam
mengontrol perbatasan negaranya (Australian Federal Police 2010).
Meningkatnya kedatangan Irregular Maritime Arrivals (IMAs) ke Australia memang
memerlukan perhatian yang serius dan memang sudah sepantasnya menjadi prioritas utama bagi
negara untuk mengatasinya. Pada masa pemerintahan Australia di bawah Perdana Menteri John
Howard, dikeluarkannya kebijakan mengenai Irregular Maritime Arrivals (IMAs) berupa Pacific
Solution bertujuan agar dapat mengendalikan peningkatan arus kedatangan para pencari suaka
secara ilegal (penyelundupan manusia) yang datang khususnya melalui jalur laut.
C. Mengatasi Munculnya Fenomena Islamophobia pada Masyarakat Australia
Islamophobia adalah bentuk kefanatikan dan kebencian yang ditargetkan kepada umat
islam, dan lebih umum kepada orang-orang yang dianggap sebagai ‘Arab’. Kata ‘Arab’ sendiri
dimaksudkan merujuk pada kondisi linguistik yaitu orang-orang yang menggunakan bahasa Arab
sebagai bahasa pengantar. Seperti diketahui bahwa ada sekitar 300 juta orang di 22 negara yang
menggunakan bahasa Arab di Timur Tengah dan Afrika Utara (Rowan 2008). Fenomena ini
yang mendasari munculnya pandangan atau asumsi bahwa orang Arab dan Islam merupakan
suatu kelompok ras tunggal.
Salah satu kekhawatiran berupa ancaman non traditional yang akan ditimbulkan dari
lonjakan kedatangan para pencari suaka atau Irregular Maritime Arrivals (IMAs) yang dirasakan
oleh pemerintah Australia adalah kasus terorisme. Di mana tindakan teror di berbagai negara
selalu dan terus menerus dikaitkan dengan umat Islam, sehingga menjadi ancaman tersendiri bagi
pihak Australia dalam menerima para pencari suaka yang notabene sebagian besar berasal dari
‘Arab’. Berbagai kasus teror yang ada dan identik dengan umat muslim menimbulkan fenomena
Islamophobia dikalangan negara-negara barat tidak terkecuali Negara Australia.
Kenyataan yang tidak dapat terbantahkan tentang perkembangan fenomena Islamophobia
di kalangan masyarakat Australia adalah sejak berkembangnya informasi melalui media masa
terutama televisi. Peran media sangatlah penting di era masyarakat modern dalam membentuk
opini publik, seperti pada masyarakat Australia dalam memandang umat muslim. Mengingat
representasi identitas umat muslim yang dikembangkan oleh media terutama televisi begitu luas
(Fairclough 1995).
Media bertugas memberikan informasi dan membangkitkan kesadaran terhadap segala
kejadian yang terjadi di belahan dunia manapun, namun media juga berperan penting dalam
membangun dan membentuk pandangan masyarakat dunia terhadap suatu berita dan menyeleksi
serta memberikan penekanan terhadap suatu gejala dengan berbagai cara. Hal ini yang membuat
media berperan penting dalam menyatukan pandangan satu negara dengan negara lain dalam satu
kesatuan, bahkan informasi mengenai statistik migrasi dan pengaruh yang saling terkoneksi
membangun pandangan yang sama dan berakhir pada tindakan yang serupa dalam satu dunia
atau yang dikenal dengan istilah global village (Schultz 1998)
Awal tahun 1980-an menjadi titik balik stereotype pada umat Islam di Australia
sebagaimana yang terjadi di negara-negara barat lain. Pandangan mengenai umat Islam
berpindah dari yang awalnya hanya sebatas sejarah migrasi dengan menjadi migran, menjadi
ancaman yang berbahaya dan meningkat seiring perkembangan di era modern. Peristiwa yang
terjadi di Iran dan kasus “Threat of the North” yang terjadi di Australia itu sendiri menjadi
bagian dari munculnya pandangan-pandangan negatif mengenai umat Islam.2
Ancaman-ancaman dari negara sebelah utara wilayah Australia seperti Indonesia dengan
konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM), konfrontasi Kristen-Islam di Ambon, penghancuran
terhadap gereja-gereja di Jakarta, kerusuhan Islam di Indonesia dan Malaysia, serta Filipina
dengan Moro National Leberation Front. Semua konflik yang terjadi yang disebutkan di atas
sangat berkaitan erat dengan Islam dan umat muslim. Bisa dilihat jika perkembangan kebijakan
pertahanan Australia memang sangat dipengaruhi oleh lingkungan strategis khususnya wilayah
Asia Pasifik (Marsudi 2006).
Puncak dari fenomena Islamophobia yang telah mengakar dari berbagai insiden-insiden
sebelumnya dapat dirasakan nyata ketika terjadinya serangan pada 11 Septermber 2001.
Serangan yang dilakukan oleh teroris yang dikonotasikan sebagai ‘umat islam’ pada tanggal 11
September tersebut dianggap sebagai bencana kemanusiaan yang mengerikan. Pada serangan
tersebut terdapat lima pesawat terbang yang digunakan sebagai senjata penyerangan di Amerika
Serikat dalam satu hari. Dua pesawat ditabrakkan ke gedung World Trade Centre (WTC), satu
pesawat ke gedung Pentagon, satu pesawat di gedung pertahanan Amerika Serikat, dan satu
pesawat lainnya dijatuhkan di dekat bandara Somerset Cuntry, tiga belas kilometer sebelah timur
dari Pennsylvania. Pada serangan 11 September yang mengerikan tersebut tercatat sebanyak 20
warga negara Australia menjadi korban (Warsono 2006).
Peran media masa yang begitu besar pengaruhnya dalam penyebaran informasi tentang
serangan 11 September tersebut yang dalam hitungan detik sudah sampai ke masyarakat dunia
2 “Threat of north” dimana Pemerintah Australia sendiri menganggap bahwa konflik yang terjadi di negara sebelahutara wilayahnya merupakan ancaman bagi negara Australia.
termasuk masyarakat Australia. Terkait serangan yang memakan korban jiwa dari negaranya,
Perdana Menteri Australia pada saat itu, John Howard, memberikan beberapa tanggapan melalui
Sky News;
“This was a completely unprovoked, audacious, outrageously successful terroristattack. This was a greater violation of the American homeland than PearlHarbour. The terrorists had destroyed the World Trade Centre. They’d taken outthe Pentagon, and if those brave people on that other aircraft that crashed inPennsylvania had not been so brave, they probably would have taken out either theWhite House or the Capital building, so it was outrageous. It was audacious. Itwas successful and it was completely unprovoked. That doesn’t change theparadigm of the world in which we live. Nothing will‖ -John Howard
“Of course I feared, and a lot of us did, that we were going to have a chainreaction. Washington then New York then London then Paris then Tokyo, perhapsSydney, then Melbourne - who knows? You’ve got to remember that nobody wasprepared for this and naturally fear and imagination runs riot. And I made it veryclear Australians would stand should to shoulder with the Americans in the fightagainst terrorism.” – John Howard
Perdana Menteri Australia John Howard sangat mengecam tragedi yang terjadi pada 11
September tersebut dan dalam pernyataannya di atas sangat jelas mengindikasikan bahwa
pemerintah Australia cenderung concern terhadap segala fenomena yang terjadi di berbagai
negara. John Howard menganggap tragedi yang ikut menewaskan warga negaranya bukan hanya
menjadi tragedi nasional yang dialami Amerika Serikat, tetapi dianggap sebagai tragedi
internasional. Menempatkan posisi Australia juga harus mengambil inisiatif untuk merumuskan
kebijakan yang mampu menangkal berbagai kemungkinan konflik atau tragedi di Australia.
Kedatangan para pencari suaka di Australia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan
bahwa mayoritas dari para pencari suaka tersebut berasal dari Afghanistan, Iran, Iraq, dan Sri
Lanka seperti yang dijelaskan di atas sebagai bangsa Arab dan umat muslim. Keadaan
tersebutlah yang menjadi satu alasan utama bagi Perdana Menteri John Howard untuk segera
melaksanakan dan mengimplementasikan kebijkan sekuritisasi terhadap kedatangan para pencari
suaka (asylum seekers). Pada tanggal 27 September 2001, pemerintah Australia secara resmi
menerapkan kebijakan sekuritisasi tersebut dan diberi nama Pacific Solution, tepat enam belas
hari setelah tragedi 11 September terjadi di Amerika Serikat (Australia Human Right
Commision, Migration Law 2001)
Bom Bali I dan Bom Bali II yang terjadi di Indonesia menguatkan kembali keputusan
pemerintah Australia untuk melanggengkan kebijakan sekuritisasi yang telah diimplementasikan
pada tanggal 27 September 2001 tersebut. Tragedi penyerangan pertama terjadi di pulau Bali
pada tanggal 12 Oktober 2002, yang menyebabkan kematian 202 orang dan dari semua korban
tersebut, 88 orang adalah warga negara Australia dan menjadi korban terbesar dalam ledakan
bom tersebut. Selanjutnya, pada tragedi Bom Bali II yakni pada bulan Oktober tahun 2005
kembali menewaskan sedikitnya empat orang warga negara Australia.
Dari serangkaian tragedi-tragedi yang terjadi di berbagai belahan dunia dan menjadikan
warga negara Australia sebagai korbannya menguatkan keinginan pemerintah Australia dalam
menjalankan dan menerapkan kebijakan berupa Pacific Solution dan Operation Sovereign
Borders (OSB). Hal tersebut juga terkait dengan isu terorisme dan islamophobia yang akan
timbul akibat kedatangan para pencari suaka ilegal yang dikenal dengan sebutan Irregular
Maritime Arrivals (IMAs) ini.
D. Munculnya Tuntutan Masyarakat Australia Kepada Pemerintah
Istilah Irregular Maritime Arrivals (IMAs) merupakan konsep yang disematkan kepada
para pencari suaka oleh pemerintahan Australia, merupakan sebuah usaha untuk mengutuk dan
mengkriminalisasi pencari suaka yang mencoba masuk ke wilayah negara Australia. Terminologi
tersebut kemudian digunakan media untuk membentuk opini publik. Demikian halnya yang
terjadi dengan penyebutan manusia perahu (boat people) oleh beberapa media yang digunakan
untuk men-dehumanisasi pencari suaka (Bowen 2012).
Secara lebih mendalam, media kemudian membentuk diskursus mesyarakat mengenai
pengabaian terhadap hak-hak yang seharusnya diterima oleh para pencari suaka sesuai yang
tertuang dalam Universal Declaration of Human Right. Dengan demikian, media telah menjadi
alat yang digunakan oleh pemerintah untuk memanipulasi dan mengarahkan opini publik
terhadap para pencari suaka (Asylum Seekers). Opini publik tersebut akan sangat mempengaruhi
tuntutan masyarakat kepada pemerintah Australia dalam menangani permasalah para pencari
suaka (Asylum Seekers).
Dengan adanya berbagai pemberitaan yang menyudutkan pencari suaka dengan perahu
tersebut, maka muncul tuntutan publik pada pemerintah agar memberlakukan kebijakan-
kebijakan yang bersifat keras terhadap para manusia perahu. Tuntutan-tuntutan tersebut
tercermin dalam survei yang dilakukan oleh beberapa media Australia. Berikut ini merupakan
kumpulan survei yang menunjukkan keinginan publik dalam memperlakukan pencari suaka.
Tabel 3. 2. Tuntutan Perlakuan Pemerintah Terhadap Para Pecari Suaka (AsylumSeekers) pada Tahun 2009-2010
Question
Right ofAsylum
Seekers toapply forresidence
PMGillardgettingtough
onAsylumSeekers
Offshoreprocessing
forAsylumSeekers
Federalgovt.too
tough/soft
Suspensionof
processing
Right ofAsylumSeekersto apply
forresidence
Handlingof
Asylumissue
Policiesof theRuddgovt.
Average
Date July 2010July2010
June 2010April2010
April 2010March2010
November2009
May2009
Supporttougherpolicy
64% 63% 62% 65% 58% 64% 52% 55% 60%
Retaincurrentpolicy
26% 26% 33% 18% 26% 28% 26% 26%
Suportsofterpolicy
6% 9% 4% 6%
Do notknow/other
10% 11% 5% 11% 10% 11% 15% 10%
Sumber: Andrew Markus “Public Opinion Devided on Population,Immigran and Asylum”
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar masyarakat Australia
mendukung pemerintah untuk memberikan kebijakan yang lebih bersifat keras terhadap para
pencari suaka. Dalam survey yang dilakukan oleh Galaxy pada bulan Juli 2010 tersebut, terlihat
bahwa masyarakat Australia sebagian besar mendukung sikap Perdana Menteri Julia Gillard
untuk bertindak lebih keras kepada para pencari suaka dengan dukungan sebanyak 63% untuk
pilihan “Support tougher policy”. Sementara yang memilih setuju dengan kebijakan yang sedang
diterapkan adalah sebesar 26% dan yang memilih dukungan kepada pemerintah agar
memberlakukan kebijakan yang lebih lunak kepada pencari suaka hanya mendapatkan perolehan
suara sebesar 6%. Hal ini menunjukkan gambaran bahwa publik Australia sebagian besar
menginginkan agar pemerintah bertindak lebih tegas dalam menangani permasalahan asylum
seeker.
E. Sebagai Langkah Politik Domestik di Australia dalam Menanggapi Isu Para Pencari
Suaka (Asylum Seekers)
Meningkatnya kedatangan Irregular Maritime Arrivals (IMAs) ke Australia memang
memerlukan perhatian yang serius dan sudah sepantasnya menjadi prioritas utama bagi negara
untuk mengatasinya. Pada masa pemerintahan Australia di bawah Perdana Menteri John Howard,
dikeluarkannya kebijakan mengenai Irregular Maritime Arrivals (IMAs) berupa Pacific Solution
dan Operation Sovereign Borders (OSB) di masa Tony Abbott bertujuan untuk dapat
membendung dan menghentikan arus kedatangan para pencari suaka ke negaranya dan dianggap
akan banyak merugikan pihak Australia.
Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan pemerintah Australia mengenai para pencari suaka
(Asylum Seekers) berupa Pacific Solution dan Operation Sovereign Borders (OSB) tidak bisa
dipungkiri sebagai sebuah produk kebijakan yang mendapat pengaruh dari proses politik.
Selanjutnya akan dijelaskan dinamika politik domestik Australia menanggapi kasus para pencari
suaka di Austalia pada masa John Howard dan Tony Abbott. Serta pertarungan partai politik
antara dua partai besar di Australia yaitu Partai Liberal dan Partai Buruh dalam menentukan
kebijakan yang diambil dalam menanggapi isu para pencari suaka.
E. 1. Langkah Politik Domestik di Masa John Howard
Pada mada Pemerintahannya, PM John Howard dari Partai Liberal (Liberal Party)
menuduh kebijakan sebelumnya telah gagal dalam menangani kasus para pencari suaka yang
datang secara ilegal ke Australia. Seperti diketahui jika kebijakan pemerintah sebelumnya masih
menggunakan kebijakan pendatang berupa Australian White Policy.
Australian White Policy merupakan kebijakan imigrasi Australia yang telah ada dari
tahun 1949 yang merupakan kebijakan terhadap pendatang di Australia. Pada awalnya, kebijakan
ini bertujuan untuk tidak menerima pendatang yang berasal dari luar Eropa. Kemudian,
pemerintah Australia melonggarkan Australian White Policy sehingga warga non-Eropa diterima
di Australia dengan syarat hanya untuk melakukan bisnis dan menerima warga non-Eropa yang
telah tinggal di Australia selama lima belas tahun tanpa harus melakukan perpanjangan
perizinan.
Selanjutnya pada tahun 1972, pemerintah Australia berusaha untuk merombak Australian
White Policy. Kebijakan imigrasi yang sebelumnya berfokus pada penerimaan warga Eropa dan
non-Eropa berkembang lebih ke isu ekonomi,pekerjaan, perumahan dan dukungan layanan
sosial. Pada tahun 1972 juga semua imigran yang tinggal menjadi layak untuk mendapatkan
kewarganegaraan setelah tiga tahun tinggal di Australia. semenjak saat itulah terjadi peningkatan
kedatangan para pencari suaka ke Australia.
Perdana Menteri John Howard menganggap kebijakan Australian White Policy hanya
berfokus kepada pemrosesan para pencari suaka tetapi tidak bisa menangani masalah people
smuggling yang ada akibat arus kedatangan para pencari suaka. Sampai pada akhirnya pada
tahun 2001 Australia dibawah PM John Howard menawarkan kebijakan yang lebih tegas dalam
menangani kasus pencari suaka termasuk penyelundupan manusia berupa Pacific Solution.
E. Langkah Politik Domestik di Masa Tony Abbott
Kebijakan Pacific Solution di bawah Perdana Menteri John Howard (2001)
menggambarkan adanya wujud nyata rivalitas di antara dua partai besar di Australia yaitu Partai
Liberal dan Partai Buruh. Hal-hal yang menjadi pemberitaan dalam media Australia mengenai
pencari suaka dinilai telah mengaburkan batasan-batasan antara kesesuaian di lapangan dengan
unsur pembentukan opini publik semata.
Dengan retorika politik dan pemberitaan media, permasalahan manusia perahu atau, yang
disebut pemerintah dengan Irregular Maritime Arrivals, kemudian menjadi perhatian utama bagi
masyarakat Australia pada pemilu federal tahun 2010. Tiga isu yang mendominasi pemilihan
federal di tahun 2010 salah satunya adalah isu para pencari suaka yang merujuk kepada manusia
perahu (boat people), bersama dua isu utama yang lain yaitu permasalahan perubahan iklim dan
kesehatan mental (Luzzi, 2011).
Dalam minggu pertama masa kampanye (17-23 Juli 2010) sampai pada masa-masa
terkahir (14-20 Agustus) isu populasi atau imigrasi tidak pernah keluar dari topik sepuluh besar
dari data yang dihimpun oleh Media Monitors Australia, yang mencakup penghitungan pada
seluruh media, yaitu pers, radio, televisi, dan internet (Goot & Watson, 2011). Hal tersebut telah
menunjukkan bagaimana fungsi media yang begitu besar dalam membentuk opini masyarakat
Australia dalam memandang permasalahan pencari suaka yang datang menggunakan perahu.
Dikaitkan dengan pertarungan pemilu tahun 2010, kedua partai politik berusaha saling
menawarkan “janji” kepada masyarakat dalam menanggulangi kedatangan para pencari suaka.
Menanggapi tuntutan masyarakat Australia dan berangkat dari kegagalan yang dilakukan
pemerintah sebelumnya, Tony Abbott sebagai calon Perdana Menteri dari Partai Liberal
menawarkan kebijakan yang lebih tegas dalam mengatur banyaknya pencari suaka yang
berkeinginan untuk memasuki wilayah Australia, dan wacana tersebut mengantarkannya menjadi
pemenang pemilu dan menjadikannya sebagai Perdana Menteri Australia menggantikan Julia
Gillard.
Setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Julia Gillard, Tony Abbott segera
menepati janjinya dengan segera membentuk tim khusus dalam menentukan arah kebijakan
pemerintah untuk menangani para pencari suaka yang datang. Akhirnya, pada tahun 2013 secara
resmi kebijakan Operation Sovereign Borders (OSB) dilaksanakan guna membendung
kedatangan para pencari suaka terkait ancaman non traditional yang akan ditimbulkan akibat
kedatangan para pencari suaka tersebut.
Selain pertarungan politik tersebut, alasan lain dibentuknya kebijakan OSB pada masa
pemerintahan Perdana Menteri Tony Abbott juga bisa dilihat dari karakter Tony Abbott sendiri.
Dimana Perdana Menteri Tony Abbott memang dikenal dengan pribadi yang tegas, dalam
mewujudkan kepentingan nasionalnya dirasa sangat masuk akal jika Perdana Menteri Tony
Abbott menerapakan kebijakan Operation Sovereign Borders. Hal tersebut dapat dilihat dari
pernyataan Tony Abbott mengenai para pencari suaka melalui Strait Times :
"To do the right thing by our people and ultimately do the right thing by poor,
misguided people who for all sorts of reasons want a better life but very often end
up dead if they succumb to the lure of the people-smugglers. There is a lesson in
what's happened here in Australia for other countries. Quite obviously there is a
lesson here."
"The great thing about Operation Sovereign Borders is that, in stopping the
boats, we have stopped the deaths,"
"If you want to keep life safe, you've got to keep the boats stopped."
Dari pernyataan tersebut bisa disimpulkan bahwa menurut Tony Abbott jika setiap
pemerintah memang terkadang dituntut untuk terus bersikap manusiawi, tetapi untuk
menegaskan sebuah hal, sikap tegas harus diambil. Termasuk dengan menolak masuk para
pencari suaka, dan mendorong mereka kembali ke lautan merupakan salah satu keputusan yang
harus diambil.
F. Strategi Politik Luar Negeri Australia dalam Konvensi Jenewa 1951 Terkait Para
Pencari Suaka (Asylum Seekers)
Dihadapkan dengan situasi kedatangan para pencari suaka (asylum seekers) yang terus
meningkat dan menimbulkan kekhawatiran tersendiri, Australia merasa mempunyai alasan yang
kuat untuk menempatkan faktor keamanan sebagai prioritas utamanya dalam menjalankan
kebijakan luar negerinya.
Seperti diketahui jika Australia merupakan salah satu negara yang ikut meratifikasi
Konvensi Jenewa tahun 1951 tentang status pengungsi.3 Dalam konteks kebiasaan internasional,
berarti Australia harus patuh dan terikat terhadap prosedur atau ketentuan-ketentuan yang
tertuang di dalam Konvensi Jenewa tahun 1951 sebagai komitmen keterikatan dari proses
ratifikasi. Australia sebagai negara yang meratifikasi tentu memiliki konsekuensi yang harus
ditanggung berkaitan dengan perlindungan terhadap Pengungsi Internasional. Australia harus
mampu memenuhi segala hak-hak dasar pengungsi untuk mendapatkan perlindungan dan tidak
melakukan pengusiran terhadap para pengungsi yang masuk ke wilayahnya.
Asas non refoulement yang merupakan bagian terpenting dari penerapan hukum
internasional tentang pengungsi yang sangat berkaitan erat dengan prinsip perlindungan
3 Ratifikasi adalah perbuatan hukum suatu negara untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalambentuk ratifikasi, aksesi penerimaan, atau persetujuan.
pengungsi serta HAM.4 Hal ini yang menjadi landasan pemerintah Australia dalam menerapkan
kebijakan Pacific Solution dan Operation Sovereign Borders. Pemerintah Australia menganggap
kedatangan pencari suaka yang menggunakan perahu untuk mencapai Australia memiliki resiko
yang sangat besar dan sangat berbahaya bagi para pencari suaka, karena notabene, para pencari
suaka yang datang ke Australia menggunakan perahu dengan sistem keamanan yang minim dan
membutuhkan waktu yang sangat lama di lautan. Atas dasar ini Australia mengklaim penerapan
kebijakan Pacific Solution dan Operation Sovereign Borders merupakan keputusan paling
bermoral dan tidak melanggar hukum internasional. Ini diperkuat dengan pernyataan yang
disampaikan oleh Tony Abbott pada harian Sidney Morning Herald 2015:
“Tindakan paling bermoral soal pengungsi adalah menghentikan perahumereka, karena selama ada perahu yang datang, para penjahatpenyelundupan manusia bisa melakukan bisnis yang mematikan ini.”
“Tadi kami sudah melakukan hal yang benar, kami sudah bertindak sesuaimoral, ini hal yang layak, hal yang penuh pengabdian. Kami sudahmenghentikan perahu-perahu itu, dengan menggunakan segala cara sesuaidengan hukum yang berlaku demi menghentikan kedatangan-kedatanganperahu tersebut.”
Pernyataan di atas ingin mempertegas bahwa pemerintah Australia peduli terhadap
kondisi pencari suaka yang menggunakan perahu dan terombang-ambing di lautan, serta
penerapan kebijakan Pacific Solution dan Operation Sovereign Borders merupakan bentuk
kepatuhan Australia terhadap Konvensi Jenewa 1951 yang merujuk kepada asas non
refoulement. Penerapan kebijakan ini disinyalir sebagai upaya pemerintah Australia untuk
meminimalisir pelanggaran HAM serta kecelakaan yang menyebabkan kematian para pencari
suaka yang membahayakan nyawanya di lautan.
4 Asas non refoulement merupakan prinsip utama dalam pencarian suaka. Prinsip ini merupakan refleksi darikomitmen masyarakat internasional untuk memastikan terpenuhinya HAM, termasuk hak untuk hidup; hak untukbebas dari siksaan atau perlakukuan-perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia;serta hak perorangan untuk bebas dan merasa aman.
Bab IV
Penerapan Kebijakan Australia Mengenai Para Pencari Suaka (Asylum Seekers) Berupa
Pacific Solution dan Operation Sovereign Borders (OSB)
Australia yang merupakan negara maju secara ekonomi dan politik menjadikannya
sebagai salah satu negara tujuan para pencari suaka. Selain faktor stabilitas ekonomi dan politik
tersebut, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi para pencari suaka untuk memasuki dan
mendapatkan status sebagai warga negara Australia. Antara lain adalah masyarakat Australia
yang dikenal heterogen, dan adanya anggapan bahwa masuk ke Australia lebih mudah
dibandingkan dengan negara lain.
Kedatangan para pencari suaka ini pun menjadi isu yang cukup sensitif di Australia, baik
bagi pemerintahnya maupun bagi masyarakat Australia sendiri. Hal tersebut disebabkan karena
pemerintah dan sebagian besar warga negara Australia menganggap masuknya para pencari
suaka ini dapat menjadi ancaman tersendiri bagi kepentingan dan keamanan nasional Negara
Australia. Sehingga berbagai cara pun telah ditempuh oleh pemerintah Australia untuk mengatasi
masalah pencari suaka ini, mulai dari masa pemerintahan Perdana Menteri John Howard di awal
tahun 2001 sampai dengan pemerintahan Perdana Menteri Tony Abbott. Pada bab ini akan lebih
jauh membahas terbentuknya kebijakan Pacific Solution di masa John Howard, terhentinya
kebijakan pacific solution, pendanaan para pencari suaka oleh pemerintah Australia dan terakhir
akan dibahas tentang penerapan kebijakan Operation Sovereign Borders di masa Tony Abbott.
A. Penerapan Kebijakan Pacific Solution di Bawah Perdana Menteri John Howard
(2001)
Australia merupakan sebuah negara dengan kondisi perekonomian yang bisa dikatakan
cukup baik di kawasan Asia Pasifik. Kondisi politik dan keamanan yang cenderung cukup stabil
jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik menjadikan Australia
sebagai salah satu negara tujuan utama bagi para pencari suaka yang sebagian besar berasal dari
Timur Tengah dan Asia Selatan. Terjebak dalam situasi konflik dan kondisi ekonomi yang
kurang menentu di negara asal membuat para pencari suaka berani melakukan perjalanan yang
beresiko menuju Australia dengan harapan menemukan jaminan hidup yang lebih baik.
Namun, pada tahun 2001, pada saat terjadinya lonjakan para pencari suaka yang datang
ke Australia ditemukan sekitar 80% dari para pencari suaka merupakan para imigran ekonomi.
Berangkat dari penemuan tersebut pemerintah Australia merasa harus mengambil tindakan keras
terhadap kedatangan para pencari suaka atau Irregular Maritime Arrivals (IMAs) berupa
kebijakan Pacific Solution.
Pada masa pemerintahan Perdana Menteri John Howard, arah kebijakan Australia tentang
para pencari suaka dengan mengeluarkan Pacific Solution bisa dikatakan sangat pragmatis.
Kebijakan Pacific Solution tersebut merupakan bagian dari upaya Pemerintah Australia untuk
mencegah dan mengendalikan laju kedatangan para pencari suaka yang hendak masuk ke
wilayahnya. Kebijakan ini diterapkan oleh Menteri Imigrasi Australia, Philip Ruddock pada
tanggal 27 September 2001. Kebijakan Pacific Solution terdiri dari tiga strategi utama, yaitu :
1. Penetapan dan Perubahan Zona Migrasi Australia
2. Operasi Relex yang dilakuakan oleh Australian Defense Force
3. Kerjasama dengan negara dunia ketiga di kawasan Pasifik Selatan
Dari penerapan tiga strategi utama di atas, diharapkan kebijakan Pacific Solution ini
dapat memberikan hasil sesuai dengan tujuannya yaitu untuk menghalau dan menghentikan
kedatangan para pencari suaka yang berkeinginan untuk masuk ke wilayah Australia.
A. 1. Zona Migrasi Australia
Melalui Department Immigration and Citizenship (DIAC), pemerintah Australia
memutuskan bahwa keberadaan pencari suaka yang datang dengan menggunakan perahu
dianggap sebagai imigran ilegal dengan sebutan Irregular Maritime Arrivals (IMAs). Dalam
upayanya untuk mencegah datangnya para IMAs tersebut, dalam kebijakan Pacific Solution,
salah satu strategi utama pemerintah Australia adalah dengan melakukan perubahan zona migrasi
Australia.
Zona migrasi sebagai pusat detensi di Australia sebenarnya memiliki sejarah yang
panjang. Sebelum tahun 1992, dalam undang-undangnya, Pemerintah Australia mengizinkan
penampungan para pencari suaka yang berada di wilayah Australia tidak diwajibkan untuk
memiliki visa. Kemudian tahun 1999, diperkenalkanlah undang-undang yang meningkatkan
hukuman terhadap pelanggaran penyelundupan manusia dan mencegah pengiriman informasi
mengenai hak bantuan hukum bagi para pencari suaka. Namun undang-undang tersebut dianggap
belum memberikan solusi yang signifikan dalam mencegah kedatangan para pencari suaka ke
Australia. Pada tahun 2001 melalui kebijakan Pacific Solution, pemerintah Australia kembali
memperketat ruang gerak para pencari suaka dengan perubahan zona migrasi di wilayah teritori
Australia.
Gambar 4. 1. Peta Zona Migrasi
Australia
Dalam aturan baru tentang zona migrasi Australia, salah satu cara Australia untuk
memproteksi keamanan perbatasan dan kedaulatan negaranya adalah dengan menghilangkan
zona migrasi di wilayah Australia. Australia juga melakukan beberapa amandemen terhadap
Migration Act 1958, dengan mengurangi hak-hak pengungsi dan merubah zona migrasi yang
awalnya berada di pulau-pulau kecil Australia menjadi di luar teritorial Australia. Amandemen
tersebut dilakukan pada tanggal 26 September 2001, hasil amandemen tersebut adalah bahwa
pengungsi yang mendarat di pulau-pulau ini (Pulau, Christmast, Pulau Ashmore, Pulau Cartier,
dan Pulau Cocos) tidak diperbolehkan untuk mengajukan aplikasi visa, termasuk permintaan
suaka. Satu-satunya kesempatan untuk tetap bisa berada di wilayah Australia adalah dengan
mendapatkan izin khusus dari Menteri Imigrasi, yang keputusannya tidak bisa ditinjau ulang
(Wood 2001).
Implementasi lanjutan dari perubahan zona migrasi Australia ini adalah penghapusan
Pulau Melville dan sekitar 3.000 pulau di sekitarnya dari zona migrasi Australia. Ketentuan
tersebut menyebutkan bahwa para pencari suaka yang memasuki pulau-pulau yang telah dihapus
dari zona migrasi tidak berhak mendapatkan status pengungsi atau permohonan
kewarganegaraan dari Australia (Phillips 2012).
A. 2. Operasi Relex Oleh Australian Defense Force
Operasi Relex adalah salah satu dari tiga strategi utama dalam Pacifik Solution, yaitu
strategi perlindungan perbatasan wilayah Australia di laut lepas dengan cara melakukan
pencegatan, penahanan, dan pencegahan perahu yang membawa orang-orang yang hendak
masuk ke Australia tanpa visa. Pasukan Pertahanan Australia (Australian Defense Force)
memulai Operasi Relex dengan cara menghalau perahu-perahu yang membawa Irregular
Maritime Arrivals yang mencoba memasuki teritori Australia.
Operasi Relex dimulai pada September tahun 2001, dengan kasus pertama yaitu
digagalkannya 13 perahu yang membawa para pencari suaka oleh Australian Defense Force
yang hendak masuk ke Australia, diantaranya empat perahu dicegat dan dikembalikan ke
Indonesia sebagai negara embarkasi, lima perahu ditahan kemudian dikirim ke Nauru, dua
perahu dikirim ke pulau Christmast kemudian dialihkan juga ke Nauru dan dua perahu lagi
ditenggelamkan (Tanzila 2014).
Pengamanan kawasan maritim Australia membutuhkan berbagai kemampuan untuk
pengawasan, patroli dan respon terhadap perahu-perahu yang membawa para pencari suaka atau
Irregular Maritime Arrivals (IMAs), serta pengawasan terhadap pesawat terbang dan sistemnya.
Melihat pentingnya pengawasan terhadap wilayah maritimnya, Pemerintah Australia sampai
menggunakan kapal perang dan pesawat tempur dalam melakuakan pengwasan dan patroli
terhadap wilayah maritimnya (Bergin & Bateman 2005).
A. 3. Kerjasama Australia dengan Negara di Pasifik Selatan
Kebijakan sekuritisasi Australia tentang para pencari suaka berupa Pacific Solution,
selain memaksimalkan peran militer dan penghapusan zona migrasi di wilayahnya guna
menekan jumlah Irregular Maritime Arrivals (IMAs) adalah dengan membentuk sebuah
kerjasama dengan negara lain di kawasan Pasifik Selatan. Inti dari kerjasama ini adalah dengan
membangun sebuah pusat detensi bagi para pencari suaka dalam prosesnya untuk mendapatkan
status sebagai pengungsi. Negara Australia dalam hal ini bekerjasama dengan Negara Nauru dan
Papua New Guinea (PNG) untuk membangun pusat detensi tersebut.
Dalam kerjasamanya dengan dua negara tersebut, Negara Nauru dan Papua New Guinea
(PNG) sepakat untuk melakukan pengolahan lepas pantai sebagai pusat detensi bagi para pencari
suaka. Pencari suaka yang datang tidak ditahan berdasarkan hukum Australia, ataupun hukum
Nauru atau Papua New Guenia, tujuan khusus negara-negara tersebut bukanlah memberikan visa
tetapi memfasilitasi pencari suaka untuk tinggal sementara sambil menunggu proses dan
transmigrasi atau kembali ke negaranya (Phillips 2012).
Inti dari Pacific Solution di bawah Pemerintahan Perdana Menteri John Howard ini
adalah kebijakan yang bertujuan untuk menghalangi akses masuk para pencari suaka yang
dianggap ilegal oleh pemerintah Australia. Pihak pemerintah Australia mengklaim jika kebijakan
Pacific Solution tersebut menjunjung tinggi prinsip “no advantage”. Di mana pemerintah
Australia ingin menyampaikan pesan bahwa perjalanan membahayakan yang ditempuh para
pencari suaka dengan mengarungi lautan dengan segala resikonya adalah merupakan suatu
tindakan yang sia-sia dikarenakan pemerintah Australia tidak akan menyediakan hak-hak yang
seharusnya didapatkan oleh para pencari suaka dan pengungsi (Grattan 2014).
B. Terhentinya Kebijakan Pacific Solution
Terpilihnya Kevin Rudd dari partai buruh sebagai Perdana Menteri Australia ke 26 pada
tanggal 3 Desember 2007 menggantikan John Howard dalam pemilu federal, memberikan
beberapa perubahan signifikan terhadap kebijakan tentang pencari suaka (Asylum Seekers).
Pembentukan pemerintah Australia dari Partai Buruh (Australian Labor Party) melakukan
berbagai perubahan terhadap kebijakan penahanan para pencari suaka dan imigrasi sesuai dengan
komitmennya selama kampanye pemilu.
Tetapi pada perjalanannya, perubahan kebijakan yang dilakukan Kevin Rudd terhadap
para pencari suaka ini justru menurunkan popularitasnya di mata publik Australia. Dan akhirnya
partai buruh memutuskan untuk menggantikan posisi Kevin Rudd sebagai ketua partai dengan
Julia Gillard, yang secara langsung menggantikannya sebagai Perdana Menteri. Walaupun
berasal dari partai yang sama yaitu partai buruh, tetapi arah kebijakan tentang pencari suaka dari
kedua pemimpin ini bisa dikatakan sangat berbeda.
B. 1. Masa Pemerintahan Kevin Rudd
Pada tanggal 8 Februari 2008, Pemerintah Australia di bawah kepemimpinan Kevin Rudd
secara resmi menghentikan kebijakan Pacific Solution. Penghentian tersebut ditandai dengan
proses penanganan terakhir terhadap 21 orang pencari suaka yang seharusnya dilakukan Offshore
Processing Centre (OPC) di Nauru dipindahkan ke Australia. Pemerintah Australia memastikan
bahwa pusat detensi yang ada di Negara Nauru dan Papua New Guenia (PNG) tidak digunakan
lagi untuk kedepannya. Kedatangan para pencari suaka yang tidak sah dengan perahu akan
diproses di Pulau Cristmast sebagai bagian dari zona migrasi Australia (Janet Phillips dan Harriet
Spinks 2013).
Tetapi akibat banyaknya kebijakan Kevin Rudd yang dianggap kontroversial, salah
satunya dengan menghentikan kebijakan Pacific Solution, menyebabkan terjadinya kemerosotan
terhadap popularitas partai buruh dan turunnya tingkat kepercayaan publik terhadap dirinya. Hal
tersebut yang mendasari mundurnya Kevin Rudd sebagai ketua partai buruh sekaligus posisinya
sebagai Perdana Menteri Australia, yang kemudian digantikan oleh Wakil PM Julia Gilard.
Penetapan Julia Gillard sebagai Perdana Menteri Australia dan pemimpin Partai Buruh Australia
(Australia Labor Party) secara resmi dikukuhkan pada tanggal 24 Juli 2010.
B. 2. Masa Pemerintahan Julia Gillard
Di bawah kepemimpinan Julia Gillard, arah kebijakan Australia terhadap para pencari
suaka atau Irregular Maritime Arrivals (IMAs) mengindikasikan tidak adanya keinginan untuk
menerapkan kebijakan yang dianggap terlalu keras (seperti pada masa John Howard) ataupun
terlalu lunak (pada masa Kevin Rudd). Dengan menjalankan fungsi kabinet bersama para
menteri yang berasal dari partai yang sama yaitu partai buruh, PM Jualia Gillard tidak terlalu
terpengaruh terhadap tekanan-tekanan yang diberikan oleh partai koalisi oposisi (Partai Liberal)
dalam tuntutan-tuntutan terkait pembuatan kebijakan yang ditujukan kepadanya. Julia Gillard
cenderung bertindak atas kebijakan partainya sendiri dalam menentukan kebijakan-kebijakan
yang akan dibuat dalam menangani Irregular Maritime Arrivals (IMAs).
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Australia di bawah Julia Gillard
antara lain adalah melanjutkan kembali kebijakan Pacific Solution yang sempat dihentikan pada
masa Kevin Rudd, menerapkan Mandatory Detention yaitu penahanan wajib bagi semua orang
yang memasuki wilayah Australia tanpa dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang sah,
pemberlakuan Bridging Visa untuk pengungsi dan pencari suaka yang masa berlaku visanya akan
habis dan sedang dalam proses untuk pembuatan visa, sampai dengan kebijakan Malaysian
Solution. Untuk kebijakan Malaysian Solution ini juga harus dihentikan di tengah jalan karena
anggaran yang dikeluarkan begitu besar tanpa memberikan solusi yang begitu berarti.
C. Pendanaan Para Pencari Suaka (Asylum Seekers) Oleh Pemerintah Australia
Kebijakan penanganan pencari suaka mulai mendapat perhatian yang serius ketika
terpilihnya Perdana Menteri John Howard. Demi mencegah masuknya perahu-perahu yang tidak
sah ke wilayah perairan Australia dan mencegah pencari suaka (serta penyelundup) yang
berupaya masuk ke Australia, pada tahun 2001, Howard membuat kebijakan yang disebut Pacific
Solution. Pacific Solution ini sendiri adalah strategi perlindungan perbatasan Australia di laut
lepas dengan melakukan pencegatan, penahanan, dan pencegahan kapal yang membawa orang-
orang yang hendak masuk ke Australia tanpa visa dan dokumen-dokumen pendukung lain.
Selanjutnya, pada periode kepeimpinan Perdana Menteri Kevin Rudd, kebijakan
penanganan pencari suaka berupa Pacific Solutioan dihentikan dan beralih pada tindak
pengamanan perbatasan yang dirancang untuk mengganggu kerja penyelundup manusia. Pada
periode ini, angka kedatangan pencari suaka terus naik seperti data yang telah dijelaskan
sebelumnya. Akibat menangani pencari suaka ini, Australia menghabiskan dana yang cukup
besar. Antara tahun 2007-2008 dan 2013-2014, anggaran untuk mengelola kedatangan perahu
ilegal meledak hingga $10,3 miliar (Phillips & Spinks 2013).
Besarnya anggaran yang dikeluarkan untuk kebijakan penanganan pencari suaka telah
menyita perhatian para pemimpin dan calon pemimpin Australia. Di masa Perdana Menteri John
Howard, pemerintah Australia telah mengeluarkan kebijakan untuk mengirim pencari suaka yang
datang ke Australia melalui laut ke negara terdekat, dalam hal ini adalah Papua New Guinea
(PNG) dan Negara Kepulauan Nauru di Pasifik.
Kebijakan ini ditujukan untuk mengatasi jumlah rekor pencari suaka di Australia. Untuk
perannya dalam rencana suaka tersebut Papua New Guinea (PNG) dan Nauru akan menerima
bantuan dana dalam jumlah besar. Kesepakatan dengan kedua Negara tersebut pada intinya
mengatakan bahwa semua pencari suaka yang tiba dengan perahu kini akan dikirim ke Papua
New Guinea (PNG) serta Nauru, dan tidak akan dimukimkan kembali di Australia jika
permohonan suaka mereka tidak berhasil.
Menyikapi besarnya dana yang dikeluarkan untuk menangani pencari suaka pada masa
John Howard ini, Partai koalisi (Kevin Rudd dan koalisi) melihat hal ini sebagai sesuatu yang
serius. Karena dana tersebut akan lebih bermanfaat jika dialokasikan untuk pendidikan atau
infrastruktur dibandingkan dengan mengurusi pencari suaka.
Pada pemilihan Perdana Menteri baru Australia yang berlangsung tahun 2012, isu pencari
suaka menjadi topik hangat dan menjadi perdebatan di antara kedua kandidat; Julia Gillard dan
Tony Abbott. Setelah naiknya Tony Abbott sebagai Perdana Menteri Australia, Pemerintah
Australia akhirnya mengubah kebijakan pencari suaka yang dianggap terlalu “lunak” dimasa
kepemimpinan Kevin Rudd dan Julia Gillard dari Partai Buruh (Labor Party).
Pemerintah Australia di bawah Perdana Menteri Tony Abbott kembali menerapkan
kebijakan yang serupa dengan pendahulunya John Howad dari Partai Liberal, Pacific Solution,
yang diberi nama Operation Sovereign Borders (OSB). Serupa dengan pendahulunnya, artinya
kebijakan ini menetapkan jika pencari suaka yang tiba di daratan utama negara itu dengan perahu
merupakan tindakan yang ilegal dan dapat dikirim ke Negara Kepulauan Nauru di Pasifik atau
Papua New Guinea (PNG) untuk pemrosesan imigrasi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebijakan Australia mengenai para pencari
suaka (asylum seekers) ini sangat dipengaruhi oleh dinamika perpolitikan domestik di Australia.
Selain itu, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berkuasa juga sangat
dipengaruhi oleh respon dan opini masyarakat terhadap fenomena kedatangan para pencari suaka
ke Australia. Terbukti dengan diangkatnya isu pencari suaka ini oleh para kandidat calon
Perdana Menteri pada kampanye di setiap pemilihan umum federal untuk menarik dukungan
bagi meraka dan partai politiknya.
D. Penerapan Kebijakan Operation Sovereign Borders (OSB) di Masa Perdana Menteri
Tony Abbott (2013)
Kebijakan Operation Sovereign Borders (OSB) dalam upayanya untuk mencegah
masuknya para pencari suaka yang dianggap ilegal merupakan sebuah kebijakan yang paling
rasional yang diharapkan dapat menghentikan bertambahnya Irregular Maritime Arrivals
(IMAs) di Australia. Penerapan dari kebijakan Operation Sovereign Borders (OSB) ini
melibatkan Angkatan Laut Australia, yang bertugas melakukan patroli di perbatasan wilayah
Negara Australia. Mencegat perahu-perahu yang mengangkut para pencari suaka, menukar kapal
perahu yang membahayakan dengan sekoci yang lebih canggih, dan kemudian menghalau para
pencari suaka ini kembali ke perairan negara terdekat seperti Indonesia dan Papua New Geunia
(PNG) adalah beberapa tindakan yang dilakukan oleh Angkatan Laut Australia.
Operation Sovereign Borders (OSB) dibuat karena pihak pemerintah Australia di bawah
Perdana Menteri Tony Abbott meyakini jika para pencari suaka (Asylum Seekers) yang datang ke
Australia tidak sepenuhnya merupakan korban dari ancaman keamanan di negara asalnya seperti
terjadinya perang maupun diskriminasi atau ancaman lain. Pihak Imigrasi Australia mencatat dan
mengklaim sebanyak 80 persen dari para pencari suaka yang datang tersebut merupakan imigran
ekonomi. Keadaan tersebutlah yang menjadi dasar dan alasan Australia untuk mengusir para
pencari suaka dari wilayah kedaulatannya. Selain itu, alasan dari dikeluarkannya kebijakan
Operation Sovereign Borders (OSB) ini adalah munculnya kekhawatiran terkait dengan kondisi
ekonomi Australia. Ratusan juta dolar yang harus dikeluarkan pemerintah Australia tiap
tahunnya untuk mengurusi kedatangan para pencari suaka sudah terlalu besar dan memberatkan.
Kedatangan para pencari suaka tersebut dianggap merugikan Australia secara ekonomi dan
keamanan serta kehidupan sosial Negara Australia.
Gelombang kedatangan para pencari suaka ke Australia bisa dibedakan menjadi dua yaitu
dengan menggunakan perahu melalui jalur laut dan dengan pesawat terbang melalui jalur udara.
Istilah manusia perahu atau boat people digunakan bagi para pencari suaka yang datang dengan
menggunakan perahu menuju Australia. Istilah boat people sebenarnya merujuk kepada para
pencari suaka (Asylum Seekers) yang datang ke Australia dengan menggunakan perahu yang
bertujuan untuk mendapatkan suaka dari Negara Australia dan menjadi subjek pemrosesan lepas
pantai oleh otoritas Australia di pulau-pulau yang berada di luar teritorial negara Australia
(Australian Government 2013).
Melalui departemen imigrasinya yaitu Department Immigration and Citizenship (DIAC),
pemerintah Australia memutuskan bahwa keberadaan pencari suaka yang datang menggunakan
perahu dianggap sebagai sesuatu yang ilegal. Tingginya arus kedatangan para pencari suaka yang
terus terjadi sangat meresahkan bagi Negara Australia, karena jumlahnya yang terus meningkat
dari tahun ke tahun khususnya manusia perahu atau boat people dan dikhawatirkan akan
mengganggu stabilitas nasionalya.
Gambar 4. 2. Labor’s record: Perahu Ilegal yang tiba sejak tahun 2007
Sumber:
The Coalition’s Operation Sovereign Borders Policy.
Dari data di atas bisa dilihat bahwa selama beberapa tahun terakhir tepatnya tahun 2007
ke atas, puluhan ribu para pencari suaka datang dengan perahu secara ilegal ke Australia melalui
jalur laut. Kebijakan Operation Sovereign Borders (OSB) yang merupakan operasi penjagaan
keamanan perbatasan yang dipimpin oleh militer, serta didukung dan dibantu oleh berbagai
lembaga pemerintah federal diharapkan mampu menahan laju kedatangan para pencari suaka
tersebut.
Operation Sovereign Borders (OSB) diluncurkan secara resmi pada tanggal 18
September 2013 oleh pemerintah Australia dengan membentuk militer sebagai respon untuk
memerangi penyelundupan manusia dan melindungi perbatasan Australia dan mencegah orang-
orang yang membahayakan nyawa mereka di lautan dan menjaga integritas program imigrasi
Australia. Pemerintah koalisi di bawah Perdana Menteri Tony Abbott memperlakukan krisis
perlindungan perbatasan sebagai darurat nasional dan mengatasi permasalahan IMAs dengan
fokus bahwa persoalan tersebut dianggap sebagai tuntutan darurat (Australian Government
2013).
Dalam kebijakan Operation Sovereign Borders (OSB) ini telah dibentuk Gugus Tugas
Lembaga Bersama atau Joint Agency Task Force (JATF) untuk memastikan upaya seluruh
pemerintah untuk memerangi penyelundupan manusia dan melindungi perbatasan Australia.
Joint Agency Task Force (JATF) ini didukung oleh tiga kelompok besar tugas operasional
(Australian Government 2013).
1. Kelompok Tugas Gangguan dan Pencegahan yang dipimpin oleh Polisi Federal Australia.
2. Kelompok Tugas Deteksi, Interception dan Transfer yang dipimpin oleh Bea Cukai
Australia dan Layanan Perlindungan Perbatasan yang meliputi Komando Perlindungan
Perbatasan.
3. Kelompok Tugas Penahanan Lepas Pantai dan Pengembalian yang dipimpin oleh
Departemen Perlindungan Imigrasi dan Perbatasan.
Dengan adanya kebijakan Operation Sovereign Borders (OSB), para pencari suaka atau
Irregular Maritime Arrivals yang melakukan perjalanan ke Australia secara ilegal dengan perahu
akan dicegat dan dikeluarkan dari perairan Australia atau dikirim ke negara lain untuk diproses
di luar Australia. Orang-orang tersebut tidak akan pernah dapat memilih untuk diproses dan
dimukimkan kembali di Australia.
Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam kebijakan Operation Sovereign Borders (OSB)
ini berlaku untuk semua para pencari suaka tanpa pengecualian. Bagi orang-orang yang datang
dengan menggunakan perahu secara ilegal, baik dari manapun datangnya yang melewati laut
secara ilegal, maka orang-orang ini akan dikembalikan ke negara tempat mereka bertolak atau
akan dipindahkan ke pusat detensi yang berada di luar Australia yaitu negara Papua New Guenia
(PNG) atau di Negara Nauru untuk melewati proses yang akan dilakukan dalam waktu 48 jam
atau 2 (dua) hari.
Bagan 4. 1. Struktur Organisasi Operation Sovereign Borders Policy (OSB)
Komandan The OSB Joint Agency Task Force (JATF)
Letnan Jenderal Angus Campbell
Menteri Imigrasi dan Perlindungan Perbatasan
Scott Morrison
Sumber: Opertaion Sovereign Borders The First six months
Keterangan (Lembaga Pendukung) :
1. Angkatan Pertahanan Australia
2. Bea dan Cukai Australia
Lembaga Pendukung
3. Layanan Perlindungan
4. Komando Perlindungan Perbatasan
5. Departemen Luar Negeri dan Perdagangan
6. Kantor Penilaian Nasional
7. Intelijen Rahasia Australia
8. Departemen Pertahanan
9. Kejaksaan Agung
10. Direktorat Komisi Kejahatan Australia
11. Otoritas Keselamatan Maritim Australia
12. Polisi Federal Australia
13. Australia Geospasial-Intelligence Organitation
14. Departemen Imigrasi dan Perlindungan Perbatasan
15. Australia Security Intelligence Organitation
16. Departemen Perdana Menteri dan Kabinet
Berdasarkan bagan di atas, The OSB Joint Agency Task Force atau JATF telah dibentuk
untuk memastikan seluruh upaya pemerintah untuk memerangi penyelundupan manusia dan
melindungi perbatasan Australia segera terlaksana. Dalam aplikasi Operation Sovereign Borders,
Perdana Menteri Tony Abbott menunjuk Menteri Imigrasi Australia Scott Morrison sebagai
penanggungjawab dan Letnan Jenderal Angus Campbell dari Angkatan Laut Australia sebagai
komandan pelaksana pengamanan perbatasan laut.
Letnan Jenderal Angus Campbell pada tanggal 19 September 2013 ditunjuk sebagai
komandan pelaksana yang bertugas memimpin dan mengawasi kebijakan Operation Sovereign
Borders bersama-sama dengan lembaga pendukung lainnya. Angus Campbell akan
mengkoordinasi enam belas departemen dan lembaga-lembaga federal yang ada di bawah
kebijakan Operation Sovereign Borders (OSB). Kebijakan ini sendiri adalah operasi penegakan
hukum sipil, tetapi dalam aplikasi kebijakan OSB untuk menghentikan perahu-perahu yang
membawa para pencari suaka, kebijakan ini mengadopsi struktur militer. Kebijakan Operation
Sovereign Borders dibuat dengan beberapa alasan, di antaranya adalah penanggulangan
kejahatan lintas negara atau transnational crime, melindungi perbatasan serta untuk menghindari
penggunaan anggaran yang berlebihan dari pemerintah Australia dalam penanganan para pencari
suaka.
Kebijakan yang dikeluarkan dari inisiatif pemerintah di bawah Perdana Menteri Tony
Abbott ini, dalam mengamankan batas negaranya dipimpin langsung oleh militer. Militer di sini
bertugas untuk menghentikan perahu-perahu penyelundup, mencegah orang-orang yang
membahayakan nyawa mereka di lautan dan menjaga integritas program imigrasi Australia.
Salah satu bagian dari kebijakan Operation Sovereign Borders adalah dengan melibatkan negara
ke tiga untuk pengolahan lepas pantai yaitu dengan negara Nauru dan Papua New Guenia (PNG).
Semua pencari suaka yang datang menggunakan perahu menuju Australia harus menuju ke pulau
Nauru dan Papua New Guenia terlebih dahulu untuk menyelesaikan proses administrasi
keimigrasian (Sally 2014).
Pada masa pemerintahan Tony Abbott, selain menerapkan kebijakan Operation
Sovereign Borders, pemerintah Australia juga kembali memberlakukan Visa Perlindungan
Sementara atau Temporary Protection Visa (TPV). Visa tersebut mulai diberlakukan sejak 18
Oktober 2013 yang diperuntukkan untuk para pencari suaka yang sudah berada di Australia. Bagi
para pencari suaka yang menggunakan Temporary Protection Visa, diberikan hak untuk bebas
dari pusat penahanan yang ada di pusat detensi, akan tetapi para pencari suaka tersebut tidak
akan bisa mendapatakan status penduduk permanen atau Permanent Residency.
Bab V
Kesimpulan
Berdasarakan pembahasan dan analisa kasus kebijakan Australia terkait kedatangan para
pencari suaka (asylum seekers) ke Australia, maka dapat diambil kesimpulan bahwa dibuatnya
kebijakan Pacific Solution di masa pemerintahan Perdana Menteri John Howard pada tahun 2001
karena ditemukannya peningkatan tindak kejahatan berupa penyelundupan manusia atau people
smuggling. Selain itu, menurut Perdana Menteri John Howard, kebijakan Imigrasi Australia
sebelumnya berupa Australian White Policy dianggap belum mampu menangani arus kedatangan
para pencari suaka ke Australia yang mulai meningkat dengan resiko adanya kegiatan people
smuggling yang juga akan terus meningkat.
Sejalan dengan pendahulunya dari Partai Liberal, John Howard, dibentuknya kebijakan
Operation Sovereign Borders (OSB) pada tahun 2013 oleh Tony Abbott menandakan adanya
konsistensi dari Partai Liberal yang sangat menentang masuknya para pencari suaka ke Australia.
Ditambah dengan pribadi Tony Abbott sebagai Perdana Menteri yang dikenal tegas dan selalu
menempatkan kepentingan nasionalnya sebagai hal yang utama, dalam hal ini keamanan dan
kedaulatan. Selanjutnya, adanya tudingan dari Tony Abbott kepada pemerintahan sebelumnya
(Julia Gillard dan Kevin Rudd) dalam penanganan para pencari suaka yang dianggap masih
terlalu “lunak” menjadi alasan terbentuknya Operation Sovereign Borders (OSB).
Selain faktor politik di atas, kebijakan Operation Sovereign Borders dibuat karena Tony
Abbott khawatir dengan adanya ancaman non traditional berupa aksi teror yang akan terjadi
akibat meningkatnya jumlah para pencari suaka yang datang ke Australia. Aksi teror yang terjadi
di berbagai belahan dunia yang selalu dikaitkan dengan umat muslim dan “Arab” menjadikan
Australia di bawah PM Tony Abbott harus bersikap keras dalam menangani arus kedatangan
para pencari suaka, seperti diketahui jika para pencari suaka yang datang ke Australia sebagian
besar berasal dari Timur Tengah dan Asia Selatan seperti Iran, Iraq, Pakistan, Afganistan, dan
Nigeria yang mayoritas beragama Islam.
Jika dikaitkan dengan Teori Rational Choice, kebijakan yang diambil Australia terkait
kedatangan para pencari suaka berupa Pacific Solution di masa John Howard dan Operation
Sovereign Borders (OSB) di masa Tony Abbott yang walaupun dikonotasikan gagal dalam
menanggulangi arus kedatangan para pencari suaka (Asylum Seekers) dan tidak sesuai dalam
menjalankan dan menaati instrumen-instrumen internasional, namun kedua kebijakan tersebut
merupakan pilihan yang paling rasional dengan resiko yang paling sedikit.
Kesimpulan ini berangkat dari analisa untung dan rugi (cost and benefit) dari teori
Rational Choice, dimana negara dalam menentukan pilihannya harus mengutamakan
kepentingan nasional dan cenderung memilih pilihan dengan resiko kerugian paling kecil. Jika
dikaitkan dengan kasus kebijakan Australia terhadap para pencari suaka dalam tulisan ini,
menerapkan kebijakan Pacific Solution dan Operation Sovereign Borders (OSB) yang melanggar
instrumen-instrumen internasional seperti Konvensi Jenewa 1951 dan Protokol New York 1967,
dinilai lebih sedikit resikonya karena hanya akan menerima kecaman-kecaman. Dari pada harus
mengeluarkan dana yang begitu besar dalam menangani gelombang kedatangan Asylum Seekers
yang begitu tinggi dan harus dihadapkan dengan resiko terjadinya tindak kriminalitas seperti
terorisme, people smuggling, perdagangan narkotika, dan kejahatan-kejahatan transnasional
lainnya di wilayah kadaulatannya yang dapat mengancam keamanan Negara Australia.
Daftar Pustaka
Buku dan Jurnal
Bergin, Anthony and Sam Bateman. 2005. Future unknown: The terrorist threat to Australianmaritime security. Australian Strategic Policy Institute. Canberra.
Coplin, W. D. 1992. Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis. Bandung.Indonesia.
David, F. 2000. Human Smuggling and Trafficking: An Overview of The Responses at TheFederal Level, Research and Public Policy Series, No.24, Australian Institute andCriminology, Canberra.
Departemen Hubungan Internasional. Universitas Airlangga. Vol. 8/ No.1/ September 2014.
Frederickson H.G, Smith K.B. 2003. The Public Administration Theory Primer. Rational ChoiceTheory and Irrational Behavior. Westview Press. Pp 196-221.
Ishiyama T. John dan Breuning M. 2010. 21st Century Political Science; A Reference Handbook.Chapter 5; Rationality and Rational Choice. SAGE Publications.
Krustiyati A. 2012. Kebijakan Penanganan Pengungsi di Indonesia: Kajian Dari KonvensiPengungsi 1951 dan Protokol 1967. Law Review Volume XII No. 2 - November 2012.
Mar’iyah C. 2005. Indonesia-Australia: Tantangan dan Kesempatan dalam Hubungan PolitikBilateral, Granit, Jakarta.
Phillips, J. 2012. Parliament of Australia, Department of Parliamentary Service. The ‘PacificSolution’ Revisited: a Statistical Guide to The Asylum Seeker Caseloads on Nauru andManus Island.
Phillips, Janet and Harriet Spink. 2013 Boat arrivals in Australia since 1976. Parliament ofAustralia, Department of Parliamentary Service. Diakses dari<http;//www.aph.gov.au/AboutParliament/ParliamentaryDepartments/parliamentaryLibrary/pubs/BN/2011-2012/BoatArrivals> pada tanggal 2 Oktober 2015
Pujayanti A. 2014. Isu Pencari Suaka dalam Hubungan Bilateral Indonesia-Australia. KajianSingkat Terhadap Isu-Isu Terkini. Vol. VI, No. 04/II/P3DI/Februari/2014
Rahmawaty A. 2014. Pelanggaran Australia terhadap Perairan Indonesia: Apakah IndonesiaSudah Cukup Peduli?. Forum Kajian Pertahanan dan Maritim.
Soesilowati S. 2013. Sekuritisi ‘Manusia Perahu’: Efektifkah?. Departemen HubunganInternasional, Universitas Airlangga. Global & Strategies, Th. 8, No.1
Tanzalia E. 2014. Motivasi Australia Menerapkan Kebijakan Sekuritisasi terhadap IrregularMaritime Arrivals (IMAs) tahun 2001-2008. JOM FISIP Vol. 2 No. 2 Oktober 2014.
Tapiheru, J. 2009. Rational-Choice Theory. Rational-Choice: Sebuah Perspektif dan PerangkatAnalisis dalam Ilmu Politik. Jakarta.
Wallace M.M. Rebecca. 1993. Hukum Internasional. IKIP Semarang Press.
Warsono. 2006. Serangan World Trade Centre. Jurnal profesi, Vol. 10.
Watson, S. 2014. Perjuangan Lanjutan Australia dengan Pencari Suaka yang Tiba denganperahu – Bagaimana Konsistensi adalah Pendekatan Kebijakan Sekarang danInternasional Australia Hak Asasi Manusia dan Kewajiban Kemanusiaan?, JurnalKesejahteraan Sosial dan Hak Asasi Manusia, Vol. 2, No. 2
Wood J. A. 2001 The Pacific Solution: Refugees Unwelcome in Australia. Diakses dari<http://www.wcl.american.edu/hrbrief/09/3wood.pdf> pada tanggal 23 September 2015
Dokumen Resmi
Australian Government: Australia Customs and Border Protection Service, Operation SovereignBorders. Diakses dari <http://www.customs.gov.au/site/operation-sovereign-borders.asp>pada tanggal 10 Oktober 2015.
Australian Government, Department of Immigration and Border Protection. Statistic Section.Diakses dari <http://www.immi.gov.au/media/publications/statistics/federal/timeline2.pdf> pada tanggal 3 Oktober 2015.
Australian Government-Department of Forreign Affairs and Trade. Diakses dari<http://www.dfat.gov.au/aii/publications/lib/pdf/pengantar.pdf> pada tanggal 3 Oktober2015.
Australian Government-Department of Forreign Affairs and Trade. MoU on Asylum SeekerSigned With Nauru. Diakses dari <http://www.dfat.gov.au/media/releases/foreign/2001/fal7701.html> pada tanggal 10 Oktober 2015.
Australian Government, First 100 days Government. Diakses dari <http://www.pm.gov.au/sites/default/files/reports/first-100-days-of-goverment.pdf> pada tanggal 12September 2015.
Australian Human Right Commision. Migration Law. Diakses dari <http://humanrights.gov.au/human-right-law-bulletin-volume-2> pada tanggal 5 Oktober 2015.
Deklarasi Perserikatan Bangsa-bangsa tahun 1967 Tentang Teritorial Pesuaka (UN.Declarationon Territorial Asylum 1967)
Department Immigration and Citizenship. 2000. Refused Immigration Clearance Report,December 1999, Unauthorised Arrivals Section, Canbera. Diakses dari<http://www.immi.gov.au/About/Pages/ima/info.aspx> pada tanggal 25 September 2015.
Department Immigration and Citizenship. Annual Report 2001-2002. Offshore Asylum SeekersManagement. Diakses dari <http://www.immi.gov.au/about/ reports/annual/2001-02/report38.htm> pada tanggal 25 September 2015.
Department Immigration and Citizenship. Immigration detention statistics summary. Diaksesdari <http://www.immi.gov.au/managing-australianborders/detention/ facilities/about>pada tanggal 4 Oktober 2015.
Human Right and Aqual Opportunity Commision. 1998. Who’ve come Across the seas:Detention of Unauthorized Arrivals in Australia. Canbera: Australian GovernmentPublishing Service.
Lembar fakta operasi perbatasan berdaulat. Diakses dari <http://www.customs.gov.au/site/translations/.../Fact-Sheet-Indonesia.pdf> pada tanggal 11 September 2015.
Lembar Fakta Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia
Lembar Fakta Konvensi Jenewa 1951 mengenai Status Pengungsi
Lembar Fakta Protokol New York 1967 mengenai Status Pengungsi
Lembar Fakta Statuta UNHCR
Liberal Party. Operation Sovereign Borders. Diakses dari <http://www.liberal.org.au/ latest-news/2013/07/26/operation-sovereign-border> pada tanggal 11 Oktober 2015.
Parliament of Australia. 2013. Diakses dari <htttp://aph.gov.au/About-Parliament/Parliamentary-Department/Parliamentary-Library/pubs/rp/rp0001/01RP05> 10 Oktober2015.
Parliament of Australia: Department of Parliamentary Services, Statistical Appendix Updated 23July 2013, pages 24-26. Diakses dari <http://www.aph.gov. au/About-Parliament/Parliamentary-Departments/ParliamentaryLibrary/pubs/rp/rp1314/BoatArrivals> 15 Oktober 2015.
UNHCR-The UN Refugee Agency. Tentang UNHCR. Diakses dari <http://www.unhcr.or.id/id/tentang-unhcr> pada tanggal 15 Oktober 2015.
Website
Amnesty Internasional, Document-Australia: This is breaking people processing centre onManus Island, Papua New Guenia. <http://www.amnesty.org/en/library/asset/ASA12/002/2013/en/e7e7cf37-f409-49fl-8de3-ecf89508d74e/asa120033013en.html> diakses pada tanggal 20 Oktober 2015.
Australian Federal Police (AFP). People Smuggling. <http://www.afp.gov.au/ policing/human-trafficking/people-smuggling.aspx> diakses pada tanggal 20 Oktober 2015.
BBC News, Australia:Why boat people risk it all, 4 September 2013.<http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-23933103> diakses pada tanggal 27 September2015
Grattan M. 2014. Bowen Policy to Deter Boats Laden with Risks. The Age.<http://www/theage.com.au/opinion.politics/bowen-policy-to-deter-boats-laden-with-risks-20121122-29stm.html> diakses tanggal 27 Sepetember 2015.
Kedutaan Besar Australia Indonesia. Australia Ambil Tindakan Tegas Terhadap PenyelundupanManusia dan Menghentikan Pemrosesan Klaim oleh Bebebrapa Pencari Suaka.<http://www.indonesia.embassy.gov.au/ jaktindonesian/SM10033.html> diakses padatanggal 27 September 2015
Pacific Media Centre. Australia’s Pacific Solution for Asylum Seekers-a Timeline.<http://www.pmc.aut.ac.nz/articles/australias-pacific-solution-asylum-seekers-timeline>diakses pada tanggal 28 September 2015
Republika, Australia Berlakukan Lagi Visa Sementara untuk Pengungsi dan PencariSuaka,<http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/14/12/05/40gh-australia-berlakukan-lagi-visa-sementara-untuk-pengungsi-dan-pencarisuaka> diakses padatanggal 21 Oktober 2015.
The Australian. Julia Gillard’s speech to the Lowy Institute on Labor’s new Asylum SeekersPolicy for Australia. 6 Juli 2010. <http://www.theaustralian.com.au/ polics/juliagillards-speech-to-the-lowy-institute-on-labors-new-asylum-seeker -policy-foraustralia/story-e6frgczf-1225888445622> diakses tanggal 28 September 2015
The Coaltion’s Operation Sovereign Borders Policy, <http://www.nationals.org.au/Portals/0/2013/policy/The%20Coalition%E2%80%99s%20Operation%20Sovereign%20Borders%20Policy.pdf> diakses pada tanggal 25 September 2015.
Wood, Alexander J. The Pacific Solution: Refugees Unwelcome in Australia.<http://www.wcl.american.edu/hrbrief/09/3wood.pdf> diakses tanggal 1 Oktober 2015