Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

188
Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI XVII. Johan Wahyudhi NIM: 2112022100007 Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Transcript of Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

Page 1: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor

Abad XVI – XVII.

Johan Wahyudhi

NIM: 2112022100007

Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta

Page 2: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor

Abad XVI – XVII.

Johan Wahyudhi

NIM: 2112022100007

Diajukan Kepada Program Pascasarjana

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Magister Humaniora (M.Hum)

Didalam Bidang Sejarah Kebudayaan Islam

Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta

2015

Page 3: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

i

Kata Pengantar

Alhamdulillah, segala puja dan puji saya haturkan kepada Allah SWT, Tuhan

sekalian alam, yang telah memberikan kuasa-Nya untuk menggerakkan jiwa, raga

dan pikiran penulis agar senantiasa tidak melalaikan kewajiban agama, maupun

kewajiban sosial, serta kewajiban akademik. Shawalat serta salam, saya lantunkan

kepada penghulu para nabi dan rasul, Muhammad SAW, seorang yang gigih

menyebarkan agama cinta kasih, Islam, hingga sampai ke tanah Nusantara.

Tidak terasa, hampir berbilang tahun tugas akhir (tesis) ini selesai dirampungkan.

Berbagai macam pengalaman senang dan sedih, mudah dan susah sudah saya alami

dalam menyusun tesis ini. menelisik kebesaran sejarah Kesultanan Aceh

Darussalam serta Kesultanan Johor memang amat mengasyikkan, hingga lupa diri,

bahwa masa studi ada batasnya. Inilah yang kemudian, “memaksa” saya untuk

segera memalingkan diri dari pekerjaan yang lain, mengkhususkan waktu agar

kewajiban intelektual ini bisa dipenuhi.

Saran serta kritik selalu saya nantikan, untuk menyempurkan kerja saya. Tidak bisa

dielakkan, dalam menyusun suatu bacaan yang bermutu akan selalu dihinggapi

oleh kesalahan ketikan, analisa serta pengambilan sumber yang kurang tepat. Oleh

sebab itu, setiap masukan yang membangun, akan menjadi bahan pertimbangan

saya, untuk selalu berhati-hati dalam menyajikan tulisan sejarah yang kronologis,

analitis dan representatif.

Dalam lembar ini, saya ingin mengucapkan terima kasih beberapa pihak, antara

lain:

1. Ucapan terimakasih saya tujukan kepada Dekan Fakultas Adab dan

Humaniora, Prof. Dr. Sukron Kamil M.Ag, yang telah memberikan nasehat-

nasehat serta kiat-kiat bagaimana bisa menyelesaikan studi magister dengan

baik dan terukur. Beliau adalah pribadi yang begitu mengesankan. Sosok

yang begitu saya hormati. Beliau bisa menempatkan posisi di mana mesti

menjadi penunjuk arah dan kapan saatnya menjadi kawan diskusi yang

baik.

2. Ungkapan terima kasih saya sampaikan pula kepada jajaran pengurus

Program Magister Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab, terutama

kepada Dr. Abdullah M.Ag sebagai Direktur Program, serta Dr. M. Adib

Misbahul Islam M.Hum serta jajaran dosen-dosen Program Magister SKI

yang telah banyak membantu, membesarkan hati, serta menyemangati saya

untuk segera menyelesaikan tugas akhir.

Page 4: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

ii

3. Ucapan terima kasih, saya sampaikan kepada ayahanda Prof. DR. M. Dien

Madjid dan keluarga, seorang yang berjasa besar dalam hidup saya dalam

membuka mata mengenal Nusantara, serta mengasihi dan menyayangi saya.

Beliau adalah sosok pemandu jalan saya tatkala berada dalam kegelapan

hati dan pikiran, serta sahabat yang berimbang dalam membahas pelbagai

persoalan sejarah.

4. Kalimat terima kasih saya layangkan pula pada sahabat-sahabat

seperjuangan di Magister SKI, utamanya angkatan 2012. Kalian adalah

teman berbagi yang terbaik, tempat segala keluh kesah ketika saya susah,

dan rekan dialog yang membesarkan.

5. Terimakasih kepada istri tercinta, Lesi Maryani M.Hum, mahasiswi yang

kemudian menjadi pendamping hidup saya. Terima kasih atas seduhan kopi

hangat dan sungging senyum berlesung pipitnya, yang selalu memberikan

keteduhan, ketentraman serta semangat untuk menyelesaikan tugas akhir

ini.

6. Terimakasih pula kepada ibunda tercinta, Harnani, seorang besar dalam

kesederhanaan. Muara segala kebajikan serta mata air kasih sayang. Tidak

ada yang balasan pantas menandingi jiwa besarmu, dari anak nakal ini,

selain derai air mata suka cita yang bisa terlihat.

7. Terakhir, terima kasih saya sampaikan pula bagi sejawat, kawan, serta

pihak-pihak lain yang membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir

ini.

Tidak ada yang bisa membalas kebaikan serta kabajikan kalian semua, selain kuasa

dan anugerah dari Allah SWT. Semoga kalian semua mendapat kesenangan,

kemudahan dan kelapangan rezeki dalam setiap kesempatan dalam hidup ini.

Harapan saya, semoga tesis ini bisa menjadi bacaan yang baik, menjadi inspirasi

bagi kajian sejarah Islam Nusantara di masa depan.

Wasalam

Depok, 17 Desember 2015

Johan Wahyudhi S. Hum

Page 5: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...
Page 6: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...
Page 7: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

v

Abstrak

Kesultanan Aceh dan Johor merupakan dua dari kekuatan berpengaruh di perairan Malaka

dan dunia Melayu pada pertengahan abad XVI hingga abad XVII. Kedua kerajaan ini

terlibat dalam pasang surut hubungan diplomatik yang menarik untuk dikaji. Terlebih,

ketika ikut membincangkan Portugis sebagai kekuatan Malaka, maka akan didapatkan

suatu keterhubungan yang saling mempengaruhi di antara keduanya. Munculnya Portugis

sebagai penguasa Malaka sejak 1511, ikut meramaikan kancah politik internasional dunia

Melayu.

Sejak 1511, Aceh sudah memiliki visi untuk menekuk Portugis di Malaka. Sebagai

langkah satrategis, dibangunlah hubungan yang rekat dengan kerajaan-kerajaan lain di

sekitar Selat Malaka dan Semenanjung Melayu. Di sisi lain, Portugis juga disibukkan

dengan pengamanan pelabuhan serta jalur niaganya, sehingga mereka dituntut memiliki

kekuatan militer yang tangguh untuk menghalau ancaman Aceh. Di tengah konfrontasi

serta perebutan pengaruh Aceh dan Portugis inilah Johor, sebagai kelanjutan dari Malaka,

mulai membangun kekuatannya. Ia pun dilirik oleh kedua kekuatan sebelumnya sebagai

sekutu yang paling menjanjikan, mengingat raja-raja Johor adalah keturunan Sultan

terakhir Malaka, yang kedudukannya masihlah dihargai oleh keluarga kerajaan Melayu

lainnya.

Dua pertanyaan dirumuskan dari pelbagai temuan masalah dalam tesis ini, yakni; 1)

bagaimana kondisi diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor menghadapi dominasi Portugis

di perairan Selat Malaka, dan; 2) upaya apa yang dilakukan kedua kerajaan dalam merawat

hubungan diplomatik mereka. Fokus dari kajian tesis ini adalah membicarakan hubungan

diplomatik antara Kesultanan Aceh dan Johor sejak abad XVI hingga XVII. Pernikahan

menjadi salah satu bentuk diplomasi klasik yang kerap digunakan untuk menjalin

kepentingan regional bersama, khususnya sebagai komitmen mengusir Portugis dari dunia

Melayu. Namun, kerjasama bilateral ini bukanlah tanpa ancaman. Johor memandang Aceh

memiliki maksud terselubung, yakni untuk menegakkan supremasinya di dunia Melayu.

Sesuatu yang kemudian melatarbelakanginya untuk bersekutu dengan Portugis, sebagai

jalan untuk lepas dari pengaruh Aceh. Di sisi lain, Aceh membutuhkan Johor untuk

menambah kekuatan untuk mengatasi gangguan Portugis.

Pendekatan yang digunakan dalam tesis ini adalah hubungan internasional, dengan

mengambil teori diplomasi sebagai analisanya. Dalam menelaah kasus diplomasi kerajaan

Aceh serta Johor, maka dibutuhkan suatu analisa berlandaskan teori diplomasi,

sebagaimana yang diketengahkan Harold Nicholson yang negoisasi adalah jalan untuk

memperoleh dominasi serta kekuasaan dan menolaknya berarti kekalahan. Apa yang

terjadi di antara Aceh dan Johor adalah upaya kedua kerajaan untuk bernegoisasi dengan

alasan tertentu, yang terkadang bisa dimaknai secara luas. Dalam kasus dua kerajaan ini,

negoisasi dipandang Aceh sebagai penguat kekuatan membatasi dominasi Portugis,

sedangkan bagi Johor negoisasi dengan kerajaan Aceh berarti ketundukkan Johor atas

Melayu. Perbedaan pemahaman inilah yang kemudian mempengaruhi naik dan turunnya

harmonisasi dua kesultanan.

Page 8: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

vi

Pedoman Transliterasi

Huruf Arab Huruf Latin

tidak dilambangkan ا

b ة

t ت

ث

j ج

ح

Kh خ

d د

ذ

r ر

z ز

s س

sy ش

ص

ض

ط ظ

„ ع

g غ

f ف

q ق

k ك

l ل

m م

n ن

w و

h ه

ء

y ي

Page 9: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

vii

Vokal Pendek

_____ = a كتت kataba

_____ = i سئل su ila

_____ = u يذهت ya

Vokal Panjang

q قبل = ... ا

qila قيل i = اي

yaq lu = يقول

Diftong

ي ا = kaifa كيف

و ا = aula حول

Sumber : Keputusan Bersama Mentri Agama dan Mentri P dan K Nomor 158 tahun 1987-

Nomor: 0543 b/u/1987.

Page 10: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................

KATA PENGANTAR..................................................................................

HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI.....................................

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING DAN PENGUJI................

ABSTRAKSI.................................................................................................

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN..........................................

DAFTAR ISI.................................................................................................

i

iii

iv

v

vi

viii

BAB I

BAB II

BAB III

BAB IV

PENDAHULUAN......................................................................

A. Latar Belakang.......................................................................

B. Identifikasi Masalah..............................................................

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah....................................

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian...........................................

E. Penelitian Terdahulu..............................................................

F. Landasan Teoritis..................................................................

G. Metode Penelitian..................................................................

H. Sistematika Penulisan............................................................

PORTUGIS DI MALAKA.........................................................

A. Revolusi Maritim Eropa.......................................................

B. Menguasai Malaka.................................................................

C. Hubungan Portugis dengan Kerajaan Tetangganya..............

KERAJAAN ACEH DARUSSALAM.......................................

A. Kerajaan Aceh: Pertumbuhan dan Perkembangnya..............

B. Aceh Melawan Portugis........................................................

C. Hubungan Aceh dengan Johor...............................................

KERAJAAN JOHOR.................................................................

A. Lahirnya Pewaris Malaka......................................................

1

1

13

13

14

14

18

21

23

24

24

43

49

54

54

67

78

91

91

Page 11: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

ix

BAB V

BAB VI

B. Pembangunan dan Perkembangan Kerajaan Johor................

C. Johor Menyikapi Posisi Aceh dan Portugis...........................

POLITIK DUA WAJAH DI BALIK HUBUNGAN ACEH –

JOHOR........................................................................................

A. Keharmonisan Hubungan Aceh dan Johor............................

B. Kampanye Militer Atas Negeri Melayu................................

C. Posisi Portugis di Mata Kerajaan Aceh dan Melayu ............

PENUTUP..................................................................................

A. Kesimpulan............................................................................

102

118

128

128

145

151

160

160

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................

BIODATA PENULIS...................................................................................

Page 12: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam perjalanan sejarah bangsa, masing-masing daerah

memiliki gunungan kisah masa lampau yang menunjukkan suatu

identitas daerah itu sendiri. Pada tataran tersebut, ranah sejarah

menjadi wilayah penting yang kerap dijadikan cetak biru mengulas

jati diri suatu puak secara mendalam. Aceh menampati satu lokus

penting dalam gerak langkah sejarah negeri ini. Pelbagai dinamika

yang ditemukan dalam jalin jemalin ceritanya merupakan salah

satu episode penting dalam jajaran kelampauan negeri ini.

Letak geografis Aceh menempati pada spot penting dalam

pergaulan antarbenua. Sebagaimana diketahui, wilayah ini diapit

oleh dua perairan, samudra Hindia dan selat Malaka, yang selama

berabad-abad yang lalu sudah dikenal sebagai jalur pelayaran dan

perdagangan vital dunia. Banyaknya kapal-kapal asing yang

melintasi dua perairan itu perlahan mulai mengundang berbagai

pengaruh baru dalam peradaban Aceh. Islamisasi contohnya,

merupakan “produk baru” yang berhasil didaratkan lantas

dikembangkan di seantero Nusantara lewat Aceh sebagai titik awal

berangkatnya.1

Kemajuan peradaban Aceh tidak dapat dilepaskan dari

eksistensi kerajaan-kerajaan yang memiliki tradisi kuat sebagai

pandu peradaban. Pada abad 11, Perlak muncul sebagai kerajaan

Islam yang mengkhususkan visi pembangunannya pada

kemaritiman. Kegemilangan Perlak kemudian dilanjutkan oleh

Lingge di daerah pedalaman. Munculnya kerajaan Lingge tidak

1 A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia

(Medan: Al-Maarif, 1981) hlm. 10-14.

Page 13: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

2

bisa dilepaskan dari peristiwa serangan Majapahit ke wilayah

Perlak. Serbuan ini tidak lantas membuat peradaban Islam hancur,

malah dapat diibaratkan sebagai blessing in disguise (rahmat

terselubung) oleh karena akibat peristiwa ini kekerabatan raja-raja

Perlak dapat meluas ke wilayah pedalaman, yakni dengan

berdirinya kerajaan Lingge. Belakangan keturunan Raja Lingge,

Meurah Silu mendirikan kerajaan baru bernama Samudra Pasai

yang melanjutkan estafet peradaban Aceh. Keturunan Raja Lingge

yang lain, Meurah Johan berhasil membawa Islam dikawasan Aceh

Besar dengan mendirikan kerajaan Aceh di bekas Bandar Lamuri,

yang sebelumnya masih dalam wilayah taklukan Indrapurba.2

Begitu naik tahta, ia bergelar Sultan Johan Syah yang memerintah

tahun 1205 hingga 1235.

Cikal bakal kebesaran kerajaan Aceh dimulai ketika Sultan

Syamsu Syah bertahta (1497-1514). Di masanya, Aceh disibukkan

oleh serangkaian perang menghadapi Portugis yang setelah

berhasil menguasai Malaka pada 1511. Bangsa Kulit Putih ini

mulai mengancam kedaulatan raja Aceh. Begitu mengetahui Raja

Pidie, Sultan Ma‟ruf Syah, berserikat dengan Portugis, Raja Aceh

menitahkan armada perangnya di bawah komando Laksamana

Raja Ibrahim ke Pidie. Di sana, terjadi pertempuran sengit di mana

pasukan Aceh berhasil menunjukkan kebolehannya dalam seni

berperang sehingga dapat memukul Portugis keluar dari

bentengnya lalu merampas senjata yang tertinggal. Tanpa memberi

kesempatan bergerak leluasa, pasukan Aceh mengejar Portugis

hingga ke bibir pantai dan kembali mengalahkannya dalam

pertempuran di sana. Rampasan senjata juga terjadi tatkala

pasukan Aceh berhasil menduduki kapal Portugis. Dengan tanpa

mengenal lelah, pasukan Aceh ini juga berhasil menundukkan

Pasai yang juga diketahui berhubungan dengan Portugis. Akibat

2Wan Hussein Azmi, “Islam di Aceh Masuk dan Berkembangnya

hingga abad XVI” dalam A Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam

..., hlm. 174-220; AR. Latief, Pelangi Kehidupan Gayo dan Alas (Bandung:

Kurnia Bupa, tanpa tahun) hlm. 42-43.

Page 14: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

3

keberhasilannya menghalau pengaruh Portugis inilah, pada masa

ini pula mulai dikenal istilah kerajaan Aceh Raya.3

Posisi satrategis Aceh, belakangan mendapat saingan

utama, terhitung sejak berdirinya Malaka pada 1413. Parameswara

mendapuk diri menjadi pendiri sekaligus raja pertama di Malaka

bergelar Sultan Iskandarsyah. Keahlianya dalam bidang tata kelola

pelabuhan segera ditunjukkan dengan mengatur potensi-potensi

pesisir Malaka sehingga dapat disulap menjadi bandar-bandar

penting. Kejeliannya muancul tatkala mendapati posisi Malaka

yang terletak di antara dua arus pelayaran dunia, Barat dan Timur.

Didahului oleh serangkaian restorasi dan pembangunan, Malaka

muncul menjadi kekuatan dagang penting di Asia Tenggara.4

Sosok Parameswara amat lekat kaitannya dalam tumbuh

kembang peradaban selat Malaka. Liku-liku perjalanan hidupnya,

menjadi keunikan tersendiri untuk diketahui. Parameswara

merupakan Pangeran Palembang yang menikah dengan adik

perempuan Raja Majapahit, Wikramawardhana. Pada penghujung

abad 14, Parameswara mengadakan tindakan makar di Palembang,

yang kala itu sudah berada di bawah pemerintahan Majapahit.

Akibatnya, pada tahun 1397, Wikramawardhana mengirimkan

pasukan Majapahit untuk menghukum adik iparnya itu.

Mengetahui hal itu, sebelum pasukan Majapahit mendekati

Palembang, ia sudah meninggalkan kediamannya lalu menuju

Tumasik. Tidak lama berselang, Paremeswara lalu beralih nama

menjadi Iskandarsyah dan mendirikan kerajaan Malaka.5

Iklim perdagangan yang sangat tinggi di Malaka,

sebenarnya tidak terlepas dari keberadaan wilayah-wilayah lain di

Nusantara. Kondisi tanah Malaka, tidak cukup baik untuk ditanami

aneka ragam hasil bumi, sehingga untuk menjaga stok komoditas

unggulan seperi lada, pala dan rempah-rempah lain, bandar ini

ditopang oleh pasokan dari daerah lain. Beras Jawa dan lada

3 H.M. Zainuddin, Tarikh Atjeh dan Nusantara (Medan: Pustaka

Iskandar Muda, 1961) hlm. 393-394. 4 Lihat Slamet Muljana, Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi

(Jakarta: Yayasan Idayu, 1981) hlm. 325-328. 5 Slemet Muljana, Kuntala ... , hlm. 311-314.

Page 15: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

4

Banten menemui pasaran yang tinggi di Malaka. Begitu juga

dengan aneka ragam hasil bumi Sumatra Timur, pula laku keras di

Malaka. Dengan kata lain, maraknya barang dagangan di Malaka

amat bergantung dengan distribusi barang-barang dari daerah

lainnya.6

Sanusi Pane menerangkan bahwa munculnya Malaka

sebagai bandar dagang besar tidak bisa dilepaskan dengan

menurunnya perniagaan di Samudra Pasai. Secara bertahap,

pembangunan Malaka pun mulai diinisiasi sejak masa

Iskandarsyah yang memerintah hingga tahun 1414. Karyanya

tersebut dilajutkan oleh anaknya, Raja Besar Muda, yang setelah

naik tahta bergelar Raja Ahmadsyah yang memerintah sampai

tahun 1424. Kedudukannya digantikan oleh Muhammadsyah yang

setelah beralih agama menjadi seorang Muslim, kemudian

mempersunting putri Raja Pasai. Kedua raja sebelumnya,

walaupun sudah memakai nama Arab-Persia, ternyata belum

berislam.7

Memasuki abad 16, pelayaran dunia mulai diramaikan oleh

kedatangan para pelaut dan saudagar Eropa. Secara berbondong-

bondong mereka menuju dunia Timur guna mendapatkan pelbagai

khazanah terpendam di sana. Satu yang menjadi alasan kuat

mereka mengunjungi dunia belahan Timur, khususnya Nusantara

adalah guna mendapatkan rempah-rempah langsung dari sumber

dimana komoditas unggulan ini tumbuh berkembang. Spanyol dan

Portugis menjadi dua bangsa Eropa yang paling gigih untuk saling

berlomba mendapatkan dan menguasai daerah-daerah yang

disinyalir menjadi pusat perkebunan produk tersebut.

Setelah menguasai Goa (India) pada 15098, Alfonso

d‟Albuquerque mulai melirik Malaka sebagai daerah taklukan

selanjutnya. Berbekal kapal-kapal perang model galley, sang vice

roy Portugis ini memerintahkan armadanya menyambangi Malaka

6 Slamet Muljana, Kuntala ..., hlm. 322-328

7 Sanusi Pane, Sedjarah Indonesia I (Djakarta: Balai Pustaka, 1965)

hlm. 164-165. 8 M. Adnan Amal, Portugis dan Spanyol di Maluku (Depok: Komunitas

Bambu, 2010) hlm. 10

Page 16: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

5

dan meletupkan serangan yang mematikan. Perwira dan prajurit

Malaka bukan tanpa perlawanan. Dengan menggunakan lila, keris,

tombak dan pedang mereka menghambur ke pesisir pantai Malaka

dan menahan laju gerak pasukan Portugis. Perang terbuka tidak

bisa dihindarkan lagi, kebatan pedang, letusan senapan, samar-

samar terdengar dentum meriam menjadi pemandangan yang

terjadi saat itu. Perlahan, pasukan Portugis berhasil mengalahkan

pasukan Malaka dan segera dilakukan penguasaan atas tempat-

tempat strategis di sana. Tidak lama berselang, bandar dagang ini

berhasil dikuasai Portugis pada 1511.

Masa kejatuhan Malaka dan daerah-daerah taklukan

Portugis lainnya diistilahkan secara dramatis oleh K.N. Chauduri

sebagai “tahun aktivitas heroik” di mana para raja Asia menjaga

garis pantainya secara radikal dari serbuan Portugis, walaupun

pada akhirnya, bangsa Kulit Putih itu mampu mengambil alih

emporium-emporium yang semula dikuasai oleh para raja pribumi

tersebut. Lanjutnya, Beberapa bandar perdagangan sibuk seperti

pelabuhan Afrika Timur, Malabar, Konkan, Teluk Persia, dan

terakhir Selat Malaka, berhasil ditundukkan Portugis.9

Di tengah haru biru penghancuran dan pembakaran yang

dilakukan Portugis, Sultan Mahmudsyah, Raja Malaka kala itu,

setelah mengetahui keadaan yang kian berbahaya itu segera

meninggalkan istana yang sejak lama didiami raja-raja Malaka

sebelumnya. Ia pun bergegas menaiki kapal dan bertolak menuju

wilayah Bintan, tepatnya di wilayah Kopak (Riau sekarang).

Setelah beberapa waktu tinggal di Kopak, pihak kerajaan

mulai kerasan dan akrab bergaul dengan penduduk di sana.

Dengan tanpa ragu, orang-orang Kopak menjamin keselamatan

Raja Malaka dan rombongan. Suasana ketentraman yang dirasakan

pihak Malaka di sana tidak berjalan lama. Pada tahun 1526,

pasukan Portugis Dibawah pimpinan Viceroy Maascarenhaas

menyerang dan menghancurkan Kopak. Sultan dan kerabatnya pun

harus berpindah lagi ke Bengkalis lalu ke Kampar.

9 K.N. Chauduri, Trade And Civilisation In The Indian Ocean

(Cambridge: Cambridge University Press, 1989) hlm. 66.

Page 17: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

6

Kampar kala itu merupakaan wilayah yang masih

dipengaruhi tradisi Minangkabau, namun secara kepemerintahan

termasuk dalam daerah bawahan Malaka. Sebelum kedatangan

rombongan pelarian dari Malaka, Kampar telah terlebih dahulu

diserbu Portugis. Raja Kampar, Abdullah, ditawan oleh Portugis

dan dibawa ke Goa. Dengan persetujuan para datuk, pemuka adat

serta masyarakat setempat, pada tahun 1529 Sultan Mahmudsyah

diangkat menjadi Raja Kampar hingga mangkatnya. Tahtanya

kemudian diberikan pada putranya, Raja Ali yang bergelar Sultan

Alauddin Riayatsyah II (Sultan Alauddin Riayatsyah I merupakan

Raja Malaka sebelumnya).

Kampar ternyata bukan tempat yang selamanya aman. Rasa

khawatir terhadap kedatangan Portugis kerap menghantui para

mantan bangsawan Malaka itu. Mereka membayangkan, jika suatu

ketika Portugis berhasil mengetahui keberadaan meraka di

Kampar, pilihan tujuan pelarian di sebelah pedalaman hanya

berupa hutan lebat. Bagi orang yang terbiasa hidup di lokasi

berpantai, tinggal di daerah yang jauh dari pesisir tentu menjadi

masalah tersendiri. Laut lepas, menurut mereka, lebih dapat

menjanjikan jalan keluar yang logis. Raja Kampar saat itu tidak

dapat menutupi kegusarannya, oleh karena wilayah mereka

bersebelahan dengan Minangkabau, yang notabene bukan

termasuk wilayah atau daerah pendukung Malaka.

Setelah melalui pergulatan pemikiran yang rumit, munculah

ide untuk melanjutkan tata pemerintahan dan membangun kembali

peradaban Melayu di sekitar selat Malaka, sehingga

memungkinkan menyambung kembali hubungan diplomatik yang

lebih luas, seperti dengan Aceh maupun Demak. Setelah berkemas,

berangkatlah Raja Kampar itu menuju tanah Semenanjung dan

memilih Johor sebagai lokasi pembangunan kerajaan. Sebelumnya,

Sultan Alaiddin Riayat Syah II menyempatkan diri berkunjung ke

Pahang. Di sana ia menikah dengan putri Sultan Mansursyah, raja

Pahang kala itu, yang masih berkerabat dengannya. Penamaan

Page 18: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

7

negeri dengan sebutan “Johor” tidak terlepas dari keberadaan

sungai Johor, yang terletak berdekatan dengan kerajaan.10

Berdirinya kerajaan Johor boleh dikatakan sebagai pelanjut

kerajaan Malaka sebelumnya, oleh karena yang menjadi raja-

rajanya masih terhitung keturunan Raja Malaka. Untuk sementara

waktu, Johor dapat membangun kerajaannya tanpa mendapat

ancaman yang berarti dari Portugis di Malaka, oleh sebab Aceh

saat itu sedang giat-giatnya melakukan pelbagai langkah serius

menghentikan dominasi Portugis di sekitar daerah kekuasaannya.

Masuknya Portugis ke perairan Malaka membawa dampak

negatif bagi pelayaran Nusantara dan eksistensi penduduknya.

Secara bertahap, mereka mulai melakukan serangkaian aksi

penguasaan di kawasan regional ini, tak terkecuali di Aceh, selain

juga di Malaka. Pada tahun 1509, Dalam pelayarannya menuju

Malaka, Diogo Lopez de Sequeira berhasil meyakinkan Raja Pidie

menjadi mitra Portugis. Dari Pidie, iring-iringan armada Portugis

ini juga berhasil meyakinkan Raja Pasai.

Naiknya Sultan Ali Mughayyatsyah (memerintah 1511-

1530) ke tampuk kekuasaan Aceh, menggantikan Sultan Syamsu

Syah, semakin menandaskan kerajaan ini mengemban misi

terdepan dalam menamatkan eksistensi Portugis di Malaka.

Bersamaan dengan waktu penasbihannya, Malaka berada dalam

cengkeraman Portugis. Perang panjang menghadapi bangsa Kulit

Putih kembali didengungkan. Salah satu episode yang memukau

adalah terjadi pada tahun 1520, yakni dibebaskannya Daya oleh

pasukan Aceh di bawah Ibrahim, kerabat sultan Aceh, dari

dekapan lawan.11

Berkat tangan dingin Sultan Aceh ini, reputasi

Aceh sebagai negeri kuat di kawasan selat Malaka dan sekitarnya

menjadi terangkat. Di masanyalah kerajaan Aceh dikenal sebagai

kerajaan Aceh Darussalam. Tidak salah jika Denys Lombard

10

Hamka, Sejarah Umat Islam, jilid 4 ( Bukittinggi: N.V. Nusantara,

1961) hlm. 140-143. 11

Amirul Hadi, Aceh; Sejarah, Budaya dan Tradisi (Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia, 2010) hlm. 37-39.

Page 19: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

8

mengatakan bahwa Ali Mughayat Syah merupakan Raja Aceh

yang sesungguhnya.12

Sepenuhnya disadari oleh Aceh, untuk menghancurkan

Portugis bukanlah suatu hal yang bisa dilakukan sendiri. Untuk itu,

upaya menjalin kerjasama dengan membuat pakta pertahanan

dengan kerajaan-kerajaan Islam lain mulai direntangkan. Namun

demikian, upaya Aceh ini bukanlah tanpa rintangan. Kenyataan di

lapangan mengatakan bahwa kerjasama antarkerajaan yang

dibangun Aceh relatif rapuh dan tidak bertahan dalam waktu yang

lama. Aceh hanya sekali mendapat dukungan politik dari Japara,

yakni ketika bersama-sama melancarkan serangan atas Malaka

pada tahun 1537. Relasi diplomatik yang harmonis Aceh dengan

negeri-negeri di sekitar Semenanjung Melayu, salah satunya

dengan Johor dan Bintan, mulai diwujudkan pada tahun 1574,

setelah sebelumnya Aceh terlibat perang sengit menghantam

Malaka.

Aliansi ini nyatanya tidak bertahan lama dan berakhir pada

tahun 1582. Di tahun tersebut, Sultan Alaiddin Riayatsyah Syah

memberangkatkan armada bersenjatanya menghukum Johor.13

Serangan ini ditengarai terjadi karena pada tahun 1568, Johor

kedapatan mengirim pasukan membantu Portugis yang kala itu

sedang bertahan mati-matian dari serangan Aceh di Malaka.

Mengetahui ada penguasa lokal yang berpihak pada Portugis, Raja

Aceh marah, dan segera setelah berhasil ditahan oleh Potugis,

dalam perjalanan pulangnya, pasukan Aceh membakari beberapa

perkampungan di Johor.

Sebenarnya terdapat beberapa kerajaan lain di sekitar selat

Malaka yang memiliki kedaulatan penuh dalam memilih mitranya.

Di antara dua kekuatan yang berseteru, Aceh dan Portugis di

Malaka, beberapa kerajaan ini mulai membangun suatu kawat

diplomatik yang intens yang didasari oleh pertimbangan-

12

Denys Lombard, Kerajaan Aceh; Jaman Sultan Iskandar

Muda(1607-1636), Terj. oleh Winarsih Arifin (Jakarta: Balai Pustaka, 1986)

hlm. 49 13

Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 31; Denys Lombard, Kerajaan Aceh ...,

hlm. 51.

Page 20: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

9

pertimbangan strategis, salah satunya adalah mencegah dominasi

Aceh atas perairan Malaka. Selain Johor, masih pula terdapat

Perlis, Aru, Pahang, Perak, Siak dan lain-lain. Lima kerajaan itu

terlibat aktif membantu Portugis guna berlindung dari upaya

penaklukan Aceh yang mulai digiatkan Aceh sepanjang abad 16

itu.

Khusus dengan Johor, sesungguhnya ketegangan yang

terjadi dengan kerajaan ini merupakan kelanjutan dari perebutan

dominasi selat antar Samudra Pasai dengan Malaka. Sebagaimana

diketahui, dua kerajaan ini menitikberatkan kemakmurannya pada

perdagangan dan pelayaran terlebih dengan jalur mancanegara.

Ketika kedua kerajaan ini menemui masa senjanya, Aceh dan

Johor muncul sebagai “pewaris” kejayaan dan kegemilangan yang

ditorehkan oleh para pendahulunya. Nilai lebih Johor ketimbang

beberapa kerajaan di sekitaran Melayu lainnya, adalah karena

kerajaan ini didirikan oleh para pelarian Malaka yang sebelumnya

berdiam di Kampar. Di antara pelarian ini terdapat sultan

Mahmudsyah, Raja Malaka yang sempat ditahbiskan sebagai Raja

Kampar. Dengan begitu terbentuknya Johor menandaskan

kontinuitas dari kuasa raja-raja Malaka. Sedangkan raja-raja di

belahan semenajung lainnya, termasuk pula di sekitaran Aceh,

hanya diikat oleh tali kekerabatan dan kedaulatannya belum bisa

menyamai dua kerajaan yang sedang menunjukkan eksistensinya

di era ini.

Baik Aceh maupun Johor sepertinya saling memandang

bahwa diri mereka memiliki kedaulatan yang sama. Kendati Johor

belumlah sebesar Aceh, namun kenangan darah Malaka yang

mengalir dalam tubuh raja-raja Johor menjadi bukti betapa posisi

mereka memiliki pengaruh yang besar di belahan semenanjung

Melayu. Mereka tentu tidak merelakan Aceh, dibalik upayanya

mengusir Portugis, menyimpan maksud tersembunyi untuk

menjadi kekuatan paling superior di perairan Malaka dan

sekitarnya.

Kekhawatiran para Raja Johor ini terbukti ketika di masa

kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (memerintah 1607-1636),

Aceh semakin rajin meningkatkan intensitas pengaruhnya dengan

Page 21: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

10

menguasai kerajaan-kerajaan yang memiliki kedekatan visi dengan

Portugis.

Di masa Iskandar Muda, kampanye penaklukan atas negeri-

negeri Melayu menjadi babak seru dalam sejarah. Lewat

serangkaian serangan spartan, pasukan Aceh semakin memperlebar

daerah pengaruhnya. Bahkan, kemampuan militer Aceh mencapai

puncaknya pada masa ini. Denys Lombard mengemukakan bahwa

amunisi militer kepunyaan Iskandar Muda tersusun atas angkatan

laut, angkatan darat, kavaleri, pasukan gajah dan divisi meriam.14

Dengan jajaran perang tersebut ia menundukkan kerajaan jiran

seperti Aru (1613), Pahang (1617) dan Johor (1619). Sang Sultan

juga sempat mengarahkan bala tentaranya menekuk Portugis di

Malaka, walaupun tidak dapat memperoleh hasil yang maksimal.15

Pasca penaklukkan tersebut, Iskandar Muda segera mengadakan

rekonsiliasi untuk membenahi tata ruang dunia Melayu yang kala

itu telah porak poranda.

Khusus untuk Johor, Aceh mengadakan pengepungan

selama 29 hari, sebelum berhasil menguasai ibukota Johor, Batu

Sawar. Setelah dinyatakan kalah, pasukan Aceh segera

mengamankan keluarga istana Johor dan membawanya ke Aceh.

Di antara mereka terdapat Sultan Alauddin Riayat Syah III, Raja

Johor kala itu, Raja Abdullah, Bendahara Tun Sri Lanang dan Raja

Siak yang kebetulan sedang melawat ke Johor sebelumnya.

Di Aceh mereka semua ditempatkan di lokasi yang layak

diberikan untuk tamu raja. Lebih dari itu kekerabatan pun terjadi

antara kedua kerajaan. Raja Abdullah, yang tak lain adik sultan

Johor, menikah dengan putri Ratna Jauhari, putri Iskandar Muda.

Tidak lama berselang, Raja Abdullah kembali ke Johor disertai

sekitar 2000 pasukan Aceh yang diperbantukan membangun Batu

Sawar, ibukota Johor yang hancur akibat perang. Pada tahun 1614,

Sultan Alaiddin membuat perjanjian bahwa Johor akan membantu

Aceh mengalahkan Portugis. Tenaga ahli tanam Aceh juga

dilaporkan dikirim ke negeri-negeri taklukan lain seperti Kedah,

14

Denys Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 110-122. 15

Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 152.

Page 22: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

11

Pahang dan Perak guna memajukan pertanian di sana.16

Untuk

beberapa saat kedepan hubungan diplomatik yang harmonis

kembali terbentuk.17

Infiltrasi Belanda di dunia Melayu semakin membuat

daerah ini sesak oleh kepentingan bangsa Eropa. Belanda yang

mulai merentangkan eksistensiya di dunia Melayu berseberangan

dengan kepentingan Portugis di Malaka. Sepenuhnya ia sadar,

sebagai pendatang baru, ia harus mampu menawan hati penguasa

lokal guna mendapatkan tempat berpijak. Mangkatnya Iskandar

Muda pada 1636, membuat Aceh Darussalam bak kehilangan sinar

terangnya. Hal ini berbanding terbalik di negeri-negeri taklukan

Aceh. Kematian Iskandar Muda dianggap sebagai titik balik

keleluasaan berpolitik mereka.

Johor yang kala itu dipimpin oleh Sultan Abdul Jalil Syah

III sedang menapaki masa kemakmurannya. Menyadari peta

politik Aceh yang kian berubah ketika ditinggal raja agungnya,

pada tahun 1641, ia menjalin kemitraan dengan Belanda untuk

bersama mengalahkan Portugis di Malaka. Dengan serangan yang

bertubi-tubi serta dilancarkan oleh prajurit gabungan yang kuat,

Portugis berhasil ditaklukkan di tahun yang sama.18

Mulai saat itu,

Aceh dan Portugis bukan lagi dianggap sebagai ancaman yang

nyata. Hubungan diplomatik harmonis dengan Aceh dimana

menitikberatkan Aceh sebagai “penguasa” tidak langsung atas

Johor perlahan memudar. Johor pun melangkah sebagai kerajaan

independen yang terkemuka di dunia Melayu dan mengalahkan

pamor Aceh.

Studi ini menitikberatkan pada relasi diplomatik antara

Aceh Darussalam dan Johor. Di antara kerajaan-kerajaan lainya,

hubungan Aceh dengan Johor, meskipun hubungannya digagas

16

H.M. Zainuddin, Singa Atjeh (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1957)

hlm.140. 17

Pocut Haslinda Azwar, Tun Sri Lanang dalam Sejarah Dua Bangsa

Indonesia-Malaysia (Jakarta: Yayasan Tun Sri Lanang, 2011) hlm. 25-27. 18

Ellya Roza, Riwayat Hidup Raja Kecik; Pendiri Kerajaan Siak (Siak:

Yayasan Pusaka Riau bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Siak

Dinas Pariwisata Seni Budaya Pemuda dan Olahraga, 2012) hlm. 15.

Page 23: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

12

berdasarkan kesamaan visi mengusir Portugis Malaka, namun

kerapkali diselubungi oleh pelbagai kecurigaan. Ketika mengetahui

Johor ikut serta membantu Portugis, petinggi Aceh telah mafhum,

Johor telah terperdaya pengaruh Portugis. Di sisi lain, Johor pun

tidak serta merta mendukung secara penuh ajakan menyerang

Portugis, karena kerajaan ini beranggapan Aceh menyimpan motif

tertentu, yakni dengan membungkus rapat kemungkinan menjadi

penguasa tunggal di kawasan perairan Malaka dan sekitarnya atas

dalih mengalahkan Portugis.

Sebenarnya, tidaklah betul jika disebutkan hubungan

kenegerian kedua negara didominasi oleh faktor militer. Beberapa

bentuk kerjasama juga disebutkan dalam sejarah kedua negara,

salah satunya adalah meubisan atau pernikahan. Pernikahan dalam

terminologi pergaulan lintas kerajaan, dimaknai sebagai diplomasi

halus (soft diplomacy) yang merekatkan dua keluarga kerajaan.

Pendapat ini memang masih amat dini dikemukakan, namun upaya

ini dapat dimaknai bukan hanya bersatunya dua manusia yang

saling mencintai, tapi juga mengakrabkan dua kerajaan. Selain itu,

kehadiran Tun Sri Lanang, seorang bangsawan Johor di

lingkungan kerajaan Aceh, merupakan bentuk lain dari manfaat

hubungan dua kerajaan. Wawasannya yang mendalam mengenai

dunia kemelayuan dan pemerintahan, membuatnya menjadi salah

satu penasehat Sultan Aceh.

Pasang surut koneksi diplomatik Aceh-Johor rupanya

masih dipandang sebagai sub-bahasan dalam pelbagai bentuk

tulisan sejarah terkait. Padahal, jika dikaji dalam konteks kekinian,

tema ini tentu amatlah menarik dalam memahami anatomi sejarah

panjang hubungan Indonesia dan Malaysia. Kajian ini memiliki

dampak strategis dalam memetakan kembali hubungan dua negara

tersebut yang kerap terlibat dalam silang sengkarut urusan yang

seyogyanya masih bisa dipecahkan dengan kepala dingin, malah

berubah menjadi nuansa yang penuh kebencian.

Selain sebagai bentuk dinamika pengkajian sejarah para

raja di Asia Tenggara, studi ini juga memiliki tujuan memperoleh

suatu cara pandang terbarukan dalam memantapkan hubungan dua

negara tempat kerajaan tersebut berdiri melalui kacamata sejarah.

Page 24: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

13

Fenomena hubungan dua kerajaan agaknya menarik dikaji secara

seksama guna mendapatkan pengetahuan akan gejala-gejala

sejarahnya yang lebih komprehensif.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat

diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana posisi Portugis dalam konstelasi perpolitikan

Semenanjung Melayu ?

2. Bagaimana tanggapan Aceh Darussalam terhadap

kedudukan Johor ?

3. Bagaimana pandangan Johor terhadap eksistensi Aceh

Darussalam ?

4. Upaya apa yang dilakukan Aceh Darussalam dan Johor

dalam merawat hubungan diplomatiknya ?

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Melihat pada permasalahan yang diangkat amat luas, maka

perlu kiranya mengadakan pembatasan ruang lingkup

permasalahannya, yakni hanya berkisar pada hubungan diplomatik

Aceh dan Johor pada Abad XVI – XVII. Dari temuan yang didapat

diketahui bahwa Aceh mulai menjalin hubungan dengan Johor

adalah pada 1574. Kurun waktu akan dibatasi hanya sampai tahun

1641. Pembatasan tersebut dipilih karena pada tahun itu Portugis

berhasil dikalahkan, sehingga katalisator yang dalam tesis ini

dianggap mempengaruhi hubungan Aceh dan Johor pada kurun

tersebut sudah tidak berperan lagi.19

Dari pembatasan tersebut, maka masalah pokok yang

menjadi telaah tesis ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

19

Leonard Y. Andaya, “The Kingdom of Johor, 1641-1728: A Study of

Economic and Political Developments in The Straits of Malacca”, Tesis, Cornell

University, 1971, hlm.24.

Page 25: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

14

1. Bagaimana kondisi diplomatik Aceh dan Johor

menghadapi dominasi Portugis di perairan Selat Malaka ?

2. Upaya apa yang dilakukan kedua kerajaan dalam merawat

hubungan diplomatik mereka ?

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penulisan tesis ini bertujuan untuk:

Mengetahui bagaimana kedua kerajaan membina hubungan

harmonisnya.

Memahami reaksi kedua kerajaan dalam rangka menahan

meluasnya pengaruh Portugis di perairan Malaka.

Mengetahui fluktuasi hubungan diplomatik kerajaan Aceh

dan Johor.

Sedangkan, kegunaan dari penulisan tesis ini adalah:

Memperkaya khazanah pengetahuan terkait jalinan

komunikasi kerajaan di Asia Tenggara, khususnya kerajaan

Aceh dan Johor

Menjadi inspirasi untuk studi-studi lanjutan di Fakultas

Adab dan Humaniora dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

serta lembaga-lembaga pendidikan tinggi lainnya

Menjadi landasan pengambilan kebijakan kenegaraan

terkait di intitusi negara seperti Departemen Agama,

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan lainnya.

E. Penelitian Terdahulu

Episode komunikasi lintas negeri antara Aceh dan Johor

memang belum banyak dikupas secara menyeluruh dalam

beberapa tulisan terdahulu. Jikapun ada, maka hanya dituliskan

beberapa kalimat saja tanpa ada eksplorasi lebih lanjut mengenai

hal apa saja yang melingkupinya. Bisa dikatakan, pembahasan

tersebut sifatnya hanya sepintas lalu dan belum mendapat

perhatian yang lebih, ketimbang tema lain yang lebih populer

Page 26: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

15

seperti kemajuan militer di era Aceh Darussalam atau mengenai

perdagangan dan pelayarannya.

Tinjauan mendalam seputar kerajaan Johor di ranah

ekonomi dan politik disuguhkan Leonard Yuzon Andaya pada

1971. Dalam tesis yang berjudul “The Kingdom of Johor, 1641-

1794: A Study of Economic and Political Developments in The

Straits of Malacca” menerangkan perihal eksistensi Johor sebagai

kekuatan penting dalam pembangunan politik dan ekonomi di

kawasan selat Malaka dan sekitarnya. Andaya menyebut tahun

1641-1699, sebagai masa keemasan Johor. Pembatasan tahun yang

ditetapkan Andaya amat berbeda dengan deret tahun dalam tesis

ini. Fokus diplomatik dengan Aceh hanya disinggung sedikit,

yakni sebatas aktivitas Aceh dalam perang Batu Sawar pada

1613.20

Namun begitu, informasi mengenai kerajaan ini seputar

tahun 1641 cukup menambah informasi yang dibutuhkan,

utamanya terkait pergaulannya dengan Aceh dan reaksi terhadap

masa akhir kekuasaan Portugis.

Tesis Amirul Hadi mengetengahkan pergulatan politik

Aceh melawan Portugis yang diterbitkan tahun 1992, belum

banyak mengungkap informasi yang dibutuhkan penulis. Tesis

yang diberi judul “Aceh and the Portuguese: A Study of Struggle

of Islam in Southeast Asia, 1500-1579” ini, lebih menitikberatkan

pada relasi Aceh atas Portugis berikut dampak hubungan ini dalam

spektrum kegemilangan Aceh.21

Tesis ini memiliki distingsi yang

cukup mencolok dengan judul yang dipilih penulis. Memang,

peran Johor dalam skema diplomatik dengan Aceh turut

disinggung, namun hanya sebagian kecil. Sedangkan, Johor dalam

tesis ini menempati tema sentral dan Telaah Portugis adalah

bahasan penunjang bagi kelengkapan analisa hubungan Aceh dan

Johor.

20

Leonard Y. Andaya, “The Kingdom of Johor, 1641-1728: A Study of

Economic and Political Developments in The Straits of Malacca”, Tesis, Cornell

University, 1971, hlm. 11 dan 20-21. 21

Amirul Hadi, “Aceh and The Portuguese: A Study of The Struggle of

Islam in Southeast Asia, 1500-1579,” Tesis, McGill University Canada, 1992,

hlm. 2.

Page 27: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

16

Salah satu tulisan lain mengenai hubungan Aceh-Johor dan

menampilkannya secara kronologis sampai masa Iskandar Muda,

terdapat dalam karya Amirul Hadi berjudul Aceh; Sejarah, Budaya

dan Tradisi. Buku ini merupakan kumpulan tulisan ilmiah

mencakup aspek-aspek sentral dalam sejarah Aceh seperti perihal

tradisi intelektual, eksistensi Portugis di sekitar Malaka serta

orientalisme dan kolonialisme yang mengambil kasus Snouck

Hurgronje. Terlihat pada bahasan terdepan, “Pendudukan Portugis

atas Melaka dan Kebangkitan Aceh Abad ke-16”, merupakan

perasan atas tesis terdahulu. Hampir sebagian besar telaah dalam

tulisan ini, dapat dijumpai dalam tesis Amirul Hadi sebelumnya.

Johor masih menempati pembahasan pelengkap, dan bukan

menjadi tinjauan utama sebagaimana yang dimaksud. Namun

begitu, tulisan ini turut mengilhami pemetaan pembatasan waktu,

yakni tercatat pada 1574, menjadi waktu dimulainya relasi

kenegaraan antara Aceh-Johor.22

Tidak bisa dipungkiri, ketika membincang sejarah, aspek

seseorang paling berpengaruh menjadi suatu perbincangan sentral

yang tidak bisa terlepaskan. Pun ketika membincang sejarah Aceh

Darussalam dan Johor, maka tidak terlepas dari peran para raja

selaku pemegang legitimasi dalam memutuskan suatu kebijakan,

termasuk dalam keputusan kerajaan terkait hubungan luar negeri.

Jamak diketahui, masa keemasan Aceh Darussalam terjadi ketika

kerajaan ini diperintah oleh Iskandar Muda. Penaklukan negeri-

negeri Melayu yang ditengarai bermain mata dengan Portugis,

merupakan salah satu bukti tak terbantahkan keberanian sang

Sultan melanggar otorita raja-raja lain guna membentuk kawasan

perairan Malaka yang terbebas dari pengaruh bangsa Asing.

Dalam karya Denys Lombard yang diterjemahkan oleh

Winarsih Arifin berjudul Kerajaan Aceh Jaman Iskandar Muda

(1607-1636), penjelasan mengenai kondisi rancang bangun

hubungan Aceh-Johor, dibahas dalam sub-bab mengenai operasi

militer Aceh ke negeri Melayu. Dikatakan di sini bahwa Johor dan

Pahang menempati posisi strategis sebagai jalur dagang yang

seyogyanya tidak perlu dihancurkan Iskandar Muda, melainkan

22

Amirul Hadi, Aceh ..., hlm. 31

Page 28: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

17

hanya butuh pengawasan. Disebutkan pula di masa-masa akhir

pemerintahan Raja Aceh ini, Pahang sempat melancarkan dua kali

pemberontakan pada 1630 dan 1631. Di tahun yang pertama, Johor

membantu Pahang dan disebut Lombard sebagai pemegang

peranan penting dalam peristiwa itu.23

Uraian dalam buku ini lebih

mengedepankan sosok Iskandar Muda dalam membangun

kekuatan lokal maupun regional kawasan dunia Melayu. Episode

pemerintahan Aceh ini tidak menyentuh aspek hubungan

kenegerian yang tuntas dengan negeri-negeri Melayu, termasuk

Johor. Jikapun ada maka yang ditampilkan adalah aspek

militeristik semata.

Selanjutnya, terdapat suatu penelitian arkeologis yang

mencoba mengungkap keberadaan batu nisan Aceh yang ditengarai

merupakan produk impor dari Johor. Lewat karyanya yang

berujudul Batu Aceh Warisan Sejarah Johor, Daniel Perret dan

Kamaruddin AB. Razak berupaya melakukan suatu riset arkeologis

guna mengungkap sejarah Johor melalui tipologi batu nisan.

Walaupun buku ini memfokuskan pada studi nisan batu Aceh yang

dipengaruhi oleh gaya Johor, penggal-penggal informasi mengenai

peristiwa yang menghubungkan Aceh dan Johor turut pula

disinggung. Muatan historis banyak diungkapkan di bab 4 buku

ini. Salah satu informasi yang menarik adalah mengenai pemetaan

lokasi-lokasi penting yang disinggahi para Sultan Johor ketika

masa-masa penyerangan Aceh dan Portugis.24

Telaah buku ini

belum mampu memenuhi ekspektasi bahasan segi diplomatik

Aceh-Johor. Informasi historis yang ditampilkan juga belum utuh,

mengingat sudut pandang yang ditekankan adalah aspek

erkeologis.

Beberapa penelitian yang dikemas dalam buku di atas,

agaknya belum banyak mengupas atau menyinggung lebih jauh

mengenai pembahasan yang dipilih penulis. Walaupun begitu,

karya-karya tersebut dapat dijadikan referensi guna memandu dan

23

Denys Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 122-126. 24

Daniel Perret dan Kamaruddin AB. Razak, Batu Aceh Warisan Johor

(Johor Bahru: Ecole Francaise D‟Extreme-Orient dan Yayasan Warisan Johor,

1999) hlm. 155-159.

Page 29: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

18

menuntun untuk merekonstruksi bangunan sejarah dari tema

terkait.

F. Landasan Teoritis

Sebagaimana diketahui, riset sejarah memiliki dimensi

yang luas. Masa lalu menjadi teks yang terbuka guna ditelaah dari

pelbagai sisi dan pendekatan. Perpolitikan lintas negara menjadi

tema utama dalam studi ini. Hal ini terkait dengan kebijakan

kerajaan dalam menetapkan suatu garis politik luar negerinya. Baik

Aceh maupun Johor, tentunya memiliki kapasitas setara, yakni

sebagai kerajaan yang memiliki kedaulatan yang sama, baik dalam

negeri maupun luar negeri.

Oleh sebab latar belakang studi yang diangkat banyak

didominasi oleh peran raja yang dibantu aparatur kerajaan masing-

masing, pendekatan hubungan internasional menjadi pilihan yang

dapat digunakan guna menelisik kembali penggal-penggal relasi

Aceh-Johor. Untuk itu, tesis ini akan menyorot permasalahan

diplomatik kedua kerajaan pada abad 16 hingga 17. Hubungan

baik dan buruk kedua kerajaan menjadi sesuatu bahan telaah yang

menarik untuk di angkat.

Hubungan diplomasi menandaskan pertemuan para

perwakilan masing-masing negara. Di samping itu, diplomasi juga

dimaknai sebagai seni menyelesaikan masalah yang menyangkut

dua atau banyak negara dengan jalan damai. Diplomasi amat

bertalian dengan mekanisme representasi, komunikasi serta

negosiasi. Para perwakilan negara atau lembaga internasional

terlibat dalam iklim pembicaraan yang konstruktif dalam rangka

membangun lingkungan internasional yang tenteram dan dami.25

Ini merupakan pengertian diplomasi yang umum dipahami,

terlebih dalam konteks pergaulan antarnegara modern.

25

Jan Melissen, “The New Public Diplomacy Between Theory and

Practice” dalam Jan Melissen, ed, The New Public Diplomacy; Soft

International Relations (Great Britain: Palgrave Macmillan, 2005) hlm. 5.

Page 30: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

19

Dalam pandangan kaum Tradisional, Stuart Murray

menyebutkan bahwa terdapat lima asumsi umum mengenai

diplomasi, antara lain: 1) diplomasi adalah fungsi eksklusif suatu

negara. Mereka beranggapan bahwa diplomasi hanya bisa

dilakukan oleh duta dari Kementeriaan Luar Negeri atau orang

asing yang ditunjuk untuk mewakili kepentingan negara di kancah

internasional; 2) studi diplomasi berkisar pada pengkajian wilayah

serta batas kekuasaan suatu negara, menyangkut pula mengenai

potensi anarkisme serta upaya membangun relasi yang baik dengan

negara-negara berdaulat berdasarkan pada sejarah hubungan

diplomasi para pendahulunya; 3) diplomasi kebanyakan

dihubungkan pada agenda politik dan militer yang berimplikasi

pada keseimbangan kekuatan militer, penggalangan aliansi,

penggunaan tentara sebagai bagian dari negosiasi dan lain-lain; 4)

studi diplomasi tidak bisa mengabaikan kenangan masa lalu yang

pernah mewarnainya, dengan kata lain, fungsi sejarah sangat

penting untuk menentukan suatu kebijakan diplomasi; 5) para

pengamat tradisional memiliki beberapa buku pegangan utama

sebagai tuntunan mempraktekkan diplomasi, antara lain Satow’s

guide to diplomacy (1957), Berridge’s Diplomacy; Theory and

Practice (2002) dan Rana’s 21st

Century Ambassador (2004).26

Dari beberapa pengertian diplomasi di atas, maka didapat

suatu pemahaman bahwa diplomasi mengandalkan adanya

komunikasi dua atau banyak negara dalam suatu pencapaian

bersama. Dalam konteks hubungan diplomasi Aceh dan Johor,

maka pelibatan agenda politik dan militer, sebagaimana yang

disebutkan Stuart Murray, senantiasa dikedepankan. Penggunaan

pasukan sebagai bagian dari negosiasi adalah bagian untuk

mencegah pengaruh Portugis meluas di dunia Melayu serta

memerangi kerajaan-kerajaan Melayu yang kedapatan bersekutu

dengan Portugis. Bagi Johor, mengejar ketertinggalan dengan

Aceh dan Portugis adalah dengan memodernisir alat-alat perang

serta metode berperang pasukannya. Maka wajar jika pada 1602,

26

Stuart Murray, “Towards and Enchanced Understanding of

Diplomacy as the Buisness of Peace”, hlm. 3. Artikel diunduh dari

//http//www.inter-disciplinary.net, pada pukul 10.50 Kamis tanggal 27 Agustus

2005.

Page 31: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

20

seorang perwakilan kongsi dagang Belanda, Jacob van

Heemskerck, menawarkan bantuan militer kepada Sultan Alauddin

Riayatsyah III, Raja Johor, dapat segera disetujui.27

Diplomasi di tataran pergaulan dunia Melayu abad 16 dan

17 menitikberatkan pada perluasan dominasi serta kekuasaan.

Maka tidak heran jika kemenangan saat berperang menjadi sesuatu

yang amat berharga. Hal ini ditegaskan oleh Harold Nicolson yang

mengungkapkan bahwa konsepsi fundamental diplomasi yang

menekankan pada alasan bernegoisasi adalah kemenangan, dan

penolakan atas upaya tersebut bermakna kekalahan. Diplomasi

selalu tertuju pada ketidakkurangan wibawa atas tahta tertinggi

bagi suatu kekuasaan.28

Meskipun begitu, dalam dinamika hubungan Aceh dan

Johor ternyata tidak selalu dihubungkan dengan kekuasaan, militer

maupun perang. Terdapat beberapa bentuk diplomasi lain, yang

juga memiliki efek besar bagi kelangsungan komunikasi dua

kerajaan itu. Tugas diplomasi nyatanya bukan dilakukan oleh

sosok yang resmi ditunjuk oleh negara ataupun kerajaan secara

eksklusif, melainkan bisa dilakukan oleh orang lain yang

mempunyai pengaruh. Keberadaan Putri Pahang dan Tun Sri

Lanang dalam istana Aceh, yang awalnya datang sebagai tawanan

dari Johor, misalnya, disinyalir ikut mewarnai kebijakan politik

Sultan Iskandar Muda terhadap Johor. Meskipun keduanya bukan

merupakan duta resmi kerajaan Johor, namun karena posisi

mereka yang penting di istana Johor, terlebih Putri Pahang adalah

istri Sultan Iskandar Muda, membuat suara mereka

dipertimbangkan oleh raja dan perangkat kerajaan Aceh.

Di samping itu, pernikahan putra dan putri kedua kerajaan,

juga bisa dimaknai sebagai bentuk lain dari keharmonisan menjalin

relasi kenegerian antara keduanya. Dalam pergaulan antara

kerajaan kekuasaan berbasis pada kesatuan darah amat

berpengaruh untuk menciptakan rangkaian kekuasaan dalam

jangka waktu yang lama. Nusansa persaudaraan (cosmopolitan

27

Leonard Y. Andaya, Kingdom of Johore ..., hlm. 22-23. 28

Harold Nicolson, Diplomacy (Great Britain: Oxford University

Press, 1942) hlm. 52-53.

Page 32: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

21

fraternity) bisa menciptakan kesatuan visi di antara para

bangsawan internasional.29

G. Metode Penelitian

Tujuan akhir dari studi ini adalah penulisan sejarah. Guna

sampai pada tahapan itu, terlebih dahulu diharuskan melewati

upaya rekonstruksi masa lalu melalui metode sejarah. Langkah

awal yang dilakukan adalah mengumpulkan sumber-sumber

terkait. Sebagian besar sumber yang dikumpulkan adalah berupa

dokumen tertulis. Sumber ini dikategorikan dalam dua jenis, yakni

sumber primer dan sumber sekunder. Guna mengetahui

kesalinghubungan Aceh-Johor, pilihan menggunakan naskah

klasik sebagai sumber primer menjadi urgen yang tidak bisa

diabaikan. Sulalatussalatin atau Sejarah Melayu yang ditulis oleh

Tun Sri Lanang memiliki kandungan informasi yang kaya dalam

menelisik ulang komunikasi Raja-Raja Melayu. Uraian mengenai

serangan Aceh atas Johor disinggung di halaman-halaman terakhir

naskah ini.30

Diamping itu, Bustanussalatin karya Nuruddin ar-Raniri

juga menyimpan pelbagai pembahasan tentang sejarah Aceh

hubungannya dengan kerajaan-kerajaan Melayu, termasuk Johor.

Uraian yang sifatnya historis dalam naskah ini, hanya terdapat

dalam bait 12 dan 13.31

Bab 12 berisi tentang raja-raja Melayu

keturunan Iskandar Dzulkarnain yang berkedudukan di negeri-

negeri Melayu, sedangkan bab 13, menceritakan hal ihwal keadaan

Aceh Darussalam masa pemerintahan sultan Ali Mughayyatsyah

hingga Sultanah Tajul Alam Safiatuddin. Sedangkan sumber

sekunder, merujuk pada data-data yang bukan berasal dari masa

29

Christer Jönsson dan Martin Hall, Essence of Diplomacy (New York:

Palgrave Macmillan, 2005) hlm. 41. 30

Naskah yang digunakan adalah edisi populer yang disunting oleh

Pocut Haslinda MD Azwar, Sulalatus Salatin Versi Populer (Jakarta: Yayasan

Tun Sri Lanang, 2011). 31

Versi Bustanussalatin yang digunakan adalah bentuk print-out dari

microfilm Bustanussalatin bait 12 dan 13 Perpustakaan Nasional dengan nomor

panggil ML 422.

Page 33: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

22

seputar kajian historis yang diangkat. Sumber-sumber ini amat

membantu dalam merekonstruksi kebangunan peristiwa yang

diteliliti.

Sumber-sumber yang telah terkumpul kemudian diuji

keaslian dan kesahihan informasnya melalui kritik ekstern dan

intern. Kritiks ektern berhubungan dengan penetapan otentisitas

atau keaslian data melalui pengamatan tampilan luarnya. Termasuk

dalam cakupan perhatian kritik eksternal, adalah menelisik

keaslian jenis kertasnya, materai, tintanya, gaya penulisannya

bahasanya dan seluruh aspek yang mencakup bentuk fisiknya.

Kritik internal berguna untuk mengungkap kebenaran informasi

atau kredibilitas isi dari data tersebut.32

Selanjutnya, fakta-fakta yang dihimpun kemudian

disintesiskan melalui eksplanasi sejarah. Tahapan ini,

memungkinkan sejarawan atau peneliti sejarah melakukan

interpretasi atas masalah yang diangkat, sehingga memungkinkan

munculnya dinamika baru terhadap suatu penggambaran ulang

atau lanjutan akan suatu peristiwa. Analisa atas masalah

berdasarkan sumber yang didapat termasuk dalam fase ini,

sehingga diharapkan dapat menelurkan gagasan baru dalam suatu

kajian historis.33

Historiografi sebagai terminal akhir dari perjalanan

penelitian ini, diupayakan dengan selalu mengedepankan aspek

kronologis, sedangkan penyajiannya didasarkan pada tampilan

tema-tema penting dari setiap perkembangan tema terkait.34

32

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 1995)

hlm. 99-100; lihat juga Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho

Notosusanto (Jakarta: UI Press, 2006) hlm. 98-99 dan 112. 33

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu ..., hlm. 100. 34

Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Tangerang:

Logos Wacana Ilmu, 1999) hlm. 91-93.

Page 34: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

23

H. Sistematika Penulisan

Penyajian penelitian yang dikemas dalam bentuk tesis ini

berisikan tiga bagian: Pengantar, Hasil Penelitian dan Kesimpulan.

Bagian pertama ditempati bab pendahuluan, sebagaimana yang

diuraikan sebelumnya. Didalamnya menjelaskan beberapa hal

pokok mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

dan kegunaan penelitian, pembatasan masalah, penelitian

terdahulu, landasan teoritis, metodologi penelitian dan terakhir,

sistematika penelitian.

Hasil penelitian kemudian disajikan dalam empat bab

berikutnya. Uraian bab per bab disajikan sebagai satu kesatuan

yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Bab dua

mengetengahkan mengenai eksistensi Portugis di perairan Malaka.

Pada bagian ini diketengahkan seputar kedatangan Portugis di

kawasan selat Malaka, termasuk pula seputar penguasaannya atas

bandar Malaka. Selain itu diketengahkan pula mengenai

hubungannya dengan kerajaan-kerajaan sekitar, utamanya dengan

Aceh dan Johor. Dalam bagian ini juga dipaparkan masa akhir

kekuasaannya di Malaka akibat diserang oleh Belanda yang

dibantu Johor.

Kemudian, bab tiga mengetengahkan pokok tinjauan terkait

dengan tumbuh dan berkembangnya Aceh Darussalam.

Permasalahan yang dibahas dalam bab ini terkait uraian geografis

Aceh, pemetaan wilayah kekuasaan kerajaan, modalitas sumber

daya alam, serta responnya menghadapi eksistensi Portugis di

sekitar perairan Malaka. Dipaparkan pula mengenai komunikasi

diplomatik Aceh dengan kerajaan-kerajaan lain, khususnya di

tataran regional Asia Tenggara.

Selanjutnya, pembahasan pada bab empat, berkaitan

dengan sejarah berdiri dan berkembangnya kerajaan Johor. Sedikit

mundur ke belakang, pembahasan dimulai dengan seputar

dikuasainya Malaka oleh Portugis yang ditengarai menjadi

penyebab bermunculannya beberapa kerajaan baru di kawasan

Semenanjung Melayu, tidak terkecuali Johor. Selain itu,

dipaparkan pula mengenai kehidupan keluarga kerajaan Melayu di

Page 35: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

24

tempat-tempat pelariannya, hingga sampai pada keputusan

mendirikan kerajaan baru di tepian sungai Johor. Hal lain yang

turut dijelaskan, adalah mengenai pemetaan wilayah pengaruh

kerajaan Johor dan juga hubungannya dengan kerajaan-kerajaan

tetangganya, termasuk Aceh Darussalam. Tidak ketinggalan,

dipaparkan pula mengenai hubungannya dengan Portugis, yang

belakangan menyulut ketegangan dengan Aceh.

Pada bab kelima, pembahasan menukik lebih tajam dengan

membedah seputar hubungan diplomatik Aceh-Johor. Pemaparan

diketengahkan seputar aktivitas raja-raja Aceh dan Johor dalam

menentukan kebijakan politiknya, utamanya di ranah luar negeri.

Diketengahkan pula mengenai bentuk-bentuk kerjasama yang

merekatkan kedua belah pihak. Selain itu, dijelaskan pula

mengenai sebab-sebab yang memperkeruh relasi kenegaraan dua

negara. Turut pula diketengahkan terkait fluktuasi diplomatik

keduanya.

Bagian akhir merupakan kesimpulan atas seluruh paparan

tesis ini. harapannya, di bagian ini dapat menarik benang merah

dari paparan pada bab-bab sebelumnya menjadi suatu rumusan

yang dipahami. Bab ini sekaligus menjadi bab penutup.

Page 36: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

25

BAB II

PORTUGIS DI MALAKA

A. Revolusi Maritim Eropa

Membincang peradaban Eropa, maka akan menemukan

pelbagai bentuk karya agung umat manusia yang memiliki dampak

strategis dalam perkembangan sejarah manusia. Tanpa bermaksud

membuat dikotomi dunia Timur dan Barat, dalam hal ini Eropa

memiliki kekhasannya sendiri dalam membentuk tipologi berpikir

dan bertindaknya. Salah satu babakan penting yang menjadi

tonggak kemajuan Eropa adalah abad penjelajahan atas dunia di

luar Eropa atau yang dikenal dengan Abad Penjelajahan (The Ages

of Discovery).

Memasuki abad 15, geliat kehidupan pesisir Eropa semakin

menemukan bentuk terbarunya. Para pembesar mulai memikirkan

bagaimana cara terbaik untuk mendongkrak ekonomi kerajaan

melalui jalur perdagangan yang tentu saja dapat meraup

keuntungan penuh dengan tanpa pengeluaran besar yang

berpotensi memangkas keuntungan itu sendiri. Perdagangan

menjadi elemen vital yang tidak bisa diabaikan ketika menelaah

keadaan ekonomi di era tersebut. Siapa yang mampu menguasai

pasar, maka dengan sendirinya kemakmuran akan diraihnya. Salah

satu komoditas unggulan yang laris dan termasuk dalam kategori

primer di pasaran Eropa adalah rempah-rempah.

Rempah-rempah menjadi amat penting di Eropa karena

dipandang sebagai pelezat masakan. Oleh sebab komoditas ini

hanya dapat ditemukan di dunia Timur, maka harga barang ini

amatlah mahal. Jack Turner menyebutkan bahwa semuatan kecil

cengkeh saja dapat membiayai sekali perjalanan mengelilingi

Page 37: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

26

bumi.35

Tingginya harga rempah ini belakangan dikeluhkan pula

oleh para pedagang dan pembesar Eropa. Alasan ini pula yang

mendorong mereka mengadakan ekspedisi kelautan untuk

mendapatkan rempah dari sumber aslinya, yakni di dunia Timur.

Menurut penjelasan Manuel de Faria Y Souza, sebelum

ditemukannya rute ke India dan Tanjung Harapan Baik (Cape of

Good Hope), barang-barang dari dunia Timur berharga tinggi.

Termasuk dalam komoditas jenis ini adalah cengkeh dari Timor,

kapur barus dari Borneo, emas dan perak dari Luzon, barang antik

Cina, berikut pula rempah-rempah, getah, parfum dan barang-

barang lainnya. Disebutkan pula bahwa salah satu emporium yang

menjadi tempat transaksi barang-barang itu adalah Malaka.

Pedagang-pedagang Arab, India dan Persia-lah yang mengemas

barang-barang itu dan memasoknya ke pasar-pasar Eropa seperti

ke Venezia, Genoa dan Catalonia.36

Persepsi masyarakat Eropa mengenai dunia Timur kala itu

amatlah terbatas bahkan cenderung gelap. Tidak jarang banyak

pihak yang mengasosiasikan dunia Timur dengan serangkum

gagasan yang sifatnya mistis dan mitologis. Rempah-rempah

sendiri dianggap menyimpan aura magis yang tidak terjamah

bangsa Eropa. Sebagian dari mereka menganggap tempat

tumbuhnya komoditas ini adalah surga dan dianggap sebagai

tumbuhan yang datang dari dunia lain. Kemisteriusan rempah-

rempah merupakan satu puncak dari lembah gelap pengetahuan

akan dunia Timur.37

Temaramnya panorama akan sisi yang

dipandang gelap ini, sedikit banyak telah menjadi pemicu hasrat

orang Eropa untuk sampai dan membuktikan sendiri dengan

mendatangi langsung ke kebun-kebunnya.

Dua diantara bangsa Eropa yang memiliki jejak rekam

terbanyak diantara pelayaran abad 15 dunia adalah Spanyol dan

35

Jack Turner, Sejarah Rempah; Dari Erotisme ke Imperialisme, Terj.

Julia Absari (Depok: Komunitas Bambu, 2011) hlm. 39. 36

Manuel de Faria Y Souza, “Portuguese History of Malacca”, dalam

Journal of The Straits Branch of The Royal Asiatic Society (JSBRAS), No. 17

(1887) hlm. 119. 37

Jack Turner, Sejarah Rempah ..., hlm. 43.

Page 38: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

27

Portugis. Spanyol dikenal sebagai kerajaan Kristen yang

melakukan inkuisisi Muslim besar-besaran dari semenanjung

Iberia pada penghujung abad 15. Pengusiran ini menjadi peletup

akan semangat mereka dalam mengembangkan paradigma

kelautannya. Sedangkan bagi penyerangan suatu armadanya atas

kantong-kantong kekuatan Islam di Afrika Utara, tepatnya di Ceuta

dan Tangiers, menjadi titik pijak kesadaran mereka akan urgensi

menata kembali kekuatan maritimnya.38

Di masa-masa setelahnya,

dua negeri ini saling berlomba menjadi yang terdepan dalam

teknologi pelayaran dan upayanya menemukan „dunia baru‟ di luar

daratan Eropa.

Bangsa Portugis mulai menapaki keseriusannya dalam

pengelolaan kemaritiman di bawah kepemimpinan Pangeran

Henry, yang dikenal sebagai Henry sang Navigator. Gelarnya itu

merujuk pada perhatiannya yang besar dalam mengembangkan

dunia pelayaran di negerinya. Ia memiliki kegemaran yang tinggi

dalam kajian mengenai laut, kapal dan dunia Timur. Hobinya ini

kemudian disebarkan kepada masyarakat Portugal dengan

mendirikan lembaga studi terpadu di Salgres yang mengkhususkan

diri menelaah hal ihwal nautika sehingga mengantarkan pada suatu

pemahaman mengenai penjelajahan dan penemuan „dunia baru‟ di

seberang Eropa.

Sang pangeran sendiri memiliki tiga alasan pribadi

mengenai latar belakang mengapa dunia maritim negerinya harus

maju, yakni:39

1. Untuk memperluas pengetahuan tentang dunia baru dan

ilmu alam.

2. Untuk mengalahkan negeri-negeri Islam serta menemukan

suatu negeri di timur Afrika yang menurut mitos

38

Hendrik Willem van Loon, The History of Mankind (USA: Boni &

Liveraight Inc., 1922) hlm. 218. 39

Abdul Aziz bin Zakaria, Sejarah Kenaikan dan Kejatohan

Kekuasaan Portugis di Melaka ( London: Macmillan & Co, 1953) hlm. 13 dan

17.

Page 39: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

28

merupakan kekuasaan raja Kristen legendaris bernama

Prester John.

3. Menjadikan Portugal sebagai pusat perkulakan komoditas

dagang dari Timur sekaligus pula meningkatkan

pendapatan ekonomi rakyat Portugal.

Pada tahun 1415, Henry menyeponsori debut pertamanya

dalam bidang pelayaran sistematik ke wilayah barat laut Afrika. Ia

dan para nakhodanya berhasil menemukan kepulauan Canary.

Pelayaran perdananya juga mencapai muara sungai Senegal di

pesisir Afrika barat dan pada pertengaha abad 15, ia berhasil

menemukan Tanjung Verde (Tanjung Hijau) berikut kepulauan

dengan nama sama, yang berjarak setengah perjalanan ke Brazil.

Selain itu, ia juga mendanai sejumlah ekspedisi ke pedalaman

Sahara dan pesisir pantai Guinea.40

Salah satu upaya keras yang ingin dicapai Henry dalam

pelayarannya adalah menemukan kerajaan Prester John yang

menurut mitos berada di belahan Timur. Mitos ini sendiri telah

berkembang di seluruh Eropa sejak abad 12 dan menimbulkan

ledakkan animo untuk mencari dan menemuka lokasinya. Henry

menjadi salah satu sosok yang paling gigih mencari tempat raja

legendaris itu. tiga puluh tahun setelah kematian sang Pangeran,

barulah ada seorang nakhoda yang mewujudkan cita-cita itu.

Pada 1486, adalah Bartholomew Diaz yang mencoba

peruntungannya menemukan tanah Prester John. Ia memimpin

armadanya menyusuri perairan dan sampai di ujung selatan Afrika.

Tempat berpijaknya itu, kemudian dikenal sebagai Tanjung

Harapan Baik.41

Pencapaian ini amat dikenang sebagai salah satu

yang terbaik dalam bentangan sejarah maritim Portugis.

Rintisan pengembangan nautika yang dibangun oleh Henry

perlahan berbuah manis di kemudian hari. Apa yang telah

dikerjakan pangeran Portugis ini mencuri perhatian para investor

yang berasal dari kalangan bangsawan feodal negerinya untuk ikut

serta membiayai dan mengembangkan proyek besar tersebut.

40

Willem van Loon, The History of Mankind ..., hlm. 218-219. 41

Willem van Loon, The History of Mankind ..., hlm. 219.

Page 40: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

29

Semakin banyak orang yang terlibat dalam proses pembentukan

ekspedisi pelayaran, semakin besar jaminan hadirnya prestasi-

prestasi lain yang tidak kalah prestisius dari pencapaian Diaz.

Kemudian, pada 1498, suatu armada lain pimpinan Vasco

Da Gama, seorang pelaut Portugis lainnya, berhasil mencapai

Malabar. Da Gama kemudian segera beraudiensi dengan penguasa

lokal setempat di Kalikut dan setelah melalui birokrasi yang rumit

dan penuh kecurigaan ia dipersilahkan untuk berniaga. Tiga tahun

kemudian, Pedro Alvarez Cabral dengan 13 kapal dan ribuan awak

kapalnya datang ke Kalikut dengan misi menaklukkan kota itu.

Tanpa menunggu waktu lama, pertempuran seru terjadi. Lewat

serangkaian serangan sistematis pasukan Cabral berhasil

mengalahkan tentara pribumi dan berhasil menancapkan

dominasinya di pesisir India. Drama tragis itu berakhir dengan

dikeluarkannya peraturan kemaritiman bahwa kapal manapun yang

melewati perairan Hindia dikenakan pajak atau yang menolak akan

ditenggelamkan. Suatu aturan yang seolah menunjukkan kuasa

Portugis atas jalan laut itu.42

Catatan mengenai gambaran pesisir India tersebut dapat

ditemukan, salah satunya ketika menyimak Rihla Ibnu Batutta.

Rihla sendiri bukan merujuk pada artian sebenarnya, melainkan

merupakan judul dari catatan perjalanan yang ditulis oleh Ibnu

Batutta sepanjang pengembaraannya ke beberapa belahan dunia di

Afrika maupun Asia. Merujuk pada keterangannya, daerah yang

merupakan destinasi kapal barang-barang jarak jauh yang

menyeberangi laut Arab atau Teluk Benggala ialah terhampar di

India bagian barat daya. Kota-kota pantai yang paling besar dan

terkenal kaya terdapat di Malabar.

Malabar dikenal sebagai peyangga daerah-daerah agraris,

dan kotanya memiliki daya tampung dalam jumlah besar bagi

panenan hasil alam, salah satunya adalah lada. Di samping itu,

daerah pesisir ini juga memiliki koneksi luas dengan kawasan-

kawasan pedalaman India Selatan yang memiliki banyak

penduduk. Kota-kota yang terbentang di Malabar dikenal pula

42

Jack Turner, Sejarah Rempah ..., hlm. 17-23.

Page 41: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

30

sebagai emporium yang dermaganya dipenuhi oleh kapal-kapal

niaga yang bergerak di seputar bagian barat dan timur Samudra

Hindia. Wilayah ini menjadi persinggahan bagi armada dagang

Arab maupun Cina. Kapal-kapal Arab membawa barang dari

bandar-bandar di sana, lantas dipasarkan di seluruh negeri sekitar

laut Arab. Dapat pula disebutkan, Malabar ibarat engsel tempat

berputarnya perdagangan maritim antar regional dari seantero

permukaan bumi bagian timur.43

Tempat lain yang dikenal sebagai sentra berkumpulnya

pemborong lintas negeri, adalah Gujarat dengan bandarnya yang

terkenal, Cambay. Kota Cambay sendiri berdiri di wilayah pantai

utara muara sungai Mahi. Ibnu Batutta mengisahkan bahwa kota

ini dipenuhi dengan bazaar-bazaar dan rumah-rumah besar yang

terbuat dari bahan batu yang biasa ditemukan di pelabuhan.

Nuansa pergaulan di kota ini, dirasa Ibnu Batutta, amat lekat

dengan tradisi Arab khas pesisir laut Arabia. Jiwa kota di sini lebih

mencitrakan keakraban model Muskat, Aden dan Mogadishu

ketimbang daerah tetangganya seperti Daulatabad dan Delhi. Kota

ini merupakan salah satu emporium terbesar di bibir samudra

Hindia. Cambay, dalam ingatan Ibnu Batutta, merupakan kota

yang indah dari segi arsitekturnya yang amat artistik, menghiasi

rumah-rumah dan bangunan masjidnya. Salah satu alasan mengapa

bangunan disana amat elok, demikian Ibnu Batutta, adalah karena

sebagian besar pemiliknya merupakan para saudagar asing yang

tidak segan menyisihkan hartanya membangun rumah-rumah dan

masjid yang indah dan megah.

Banyak dari para saudagar asing itu merupakan tamu-tamu,

atau hanya sekedar singgah. Diantara mereka ada juga orang-orang

dari pelabuhan Arab dan Teluk Persia, yang bermigrasi masuk dan

keluar Cambay menunggu musim angin yang tepat datang.

Komposisi penduduk lainnya, adalah para penyandang nama bapak

mereka yang berasal dari Arab dan Persia. kakek buyut mereka

telah bermukim selama berabad-abad yang lampau di sana. Tak

43

Rose E. Dunn, Petualangan Ibnu Batutta, Seorang Musafir Muslim

Abad 14 Terj. Amir Sutaarga (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia) Cet. 2, hlm.

246-247.

Page 42: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

31

jarang, mereka melakukan kawin campur dengan orang-orang

Gujarat serta mengadopsi beberapa produk tradisi dari daerah

penyangga Hindu. Sama seperti bandar dagang umumnya, Cambay

juga dipenuhi oleh kapal-kapal asing.44

Di India inilah Portugis mulai menapaki keuntungan awal

dalam perdagangan yang signifikan dengan dunia Timur ketika

Raja Manuel Agung (memerintah 1495-1521), raja Portugis, yang

menyeponsori pelayaran Da Gama dan Cabral, berhasil

mengumpulkan keuntungan berkat perniagaannya dengan India

bahkan belakangan dengan Ethiopia, Arab dan Persia. Bukan

hanya itu, oleh sebab kelihaiannya dalam perniagaan lintas benua

itu, ia dijuluki oleh Francois I, raja Perancis, sebagai „Raja

Grosir‟.45

Da Gama tidak berhenti dalam merentangkan kekuasaan

Portugis di India. Ia mengupayakan pelebaran sayap dominasi

Portugis atas spot serta perairan strategis di sepanjang jalur dagang

ke Timur, salah satunya dengan menghentikan aktivitas para

saudagar Muslim di Mesopotamia dan India. Setelah melalui

beberapa pertempuran laut hebat dengan angkatan laut Muslim, Da

Gama berhasil mengontrol jalur perdagangan laut dari Barat

hingga Timur yang melalui samudera Hindia. Tugas besarnya ini

kemudian diwariskan kepada penggantinya, Alfonso

d‟Albuquerque.46

Guna memperkuat kedudukannya, setelah menaklukkan

Cochin, Portugis kemudian menguasai Goa, suatu pulau strategis

yang kemudian diperkokoh dengan bangunan perbentengan yang

selain dijadikan pusat pemerintahan sekaligus merangkap lokus

pengintaian startegis terhadap lalu lalang orang di pasar-pasar

rempah-rempah di pesisir Malabar dan selatan India pada

umumnya. Perbentengan pulau memiliki fungsi srategis tersendiri

bagi Portugis. Daerah pijak yang dikelilingi perairan memberikan

44

Rose E. Dunn, Petualangan Ibnu Batutta ..., hlm. 244-245. 45

Philip D. Curtin, Cross-Cultural Trade in World History (Cambridge

UK: Cambridge University Press, 1998) cet. 5, hlm. 139. 46

Bernard H. M. Vlekke, Nusantara, Terj. Samsudin Berlian (Jakarta:

KPG dan Freedom Institute, 2008). Cet. 3, hlm. 97

Page 43: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

32

rasa aman dari ancaman para musuhnya. Hal yang sama terjadi

ketika beberapa waktu sebelumnya Portugis mengadakan

penguatan dominasi atas pesisir Afrika, tepatnya di Luanda yang

terletak di Angola dan Elmina di Ghana yang terletak hanya

dipisahkan oleh laguna (danau pinggir laut atau juga yang

dibangun di tanjung Verde di teluk Guinea.47

Penaklukkan pertama

ini, secara keseluruhan, belumlah mendapat hasil yang

memuaskan. Daerah-daerah yang semula ditaklukkan rajin

mengirim sabotase yang tidak jarang justru mengancam kedudukan

wakil Portugis di sana.

Sebagaimana disinggung sebelumnya, kemunculan Portugis

di samudera dunia memiliki misi menghentikan aktivitas pelayaran

yang banyak didominasi oleh para pelaut Muslim. Di India sendiri,

hampir sebagian besar pelabuhan penting di sana dikuasai oleh

para saudagar dan pelaut Islam, bahkan telah merambah hampir ke

seluruh spot perdagangan laut Asia. Bukan hanya sebatas itu, kapal

dagang-kapal dagang Muslim banyak hilir mudik pula di perairan

Mediterrania dan menjalin hubungan niaga yang baik dengan

pedagang Yahudi, Siria, maupun Bizantium hingga ke pesisir

Afrika utara.

Seorang saudagar Muslim yang berdagang keluar dari

daerahnya mengemban misi dakwah ke daerah tempatnya

berdagang. Dalam jiwa seorang pedagang Islam terdapat semangat

jiwa knight of the spirit yang ikut pula membentuk pribadinya

sebagai penyebar Islam. Seiring dengan semakin menguatnya

kekuatan Islam di Timur Dekat maka saat itu pula ideologi

penyebaran Islam ke luar regional tersebut dipancangkan.48

Dengan begitu daerah peredaran para pedagang Muslim sebisa

mungkin dapat dijadikan pula sebagai lapangan dakwah untuk

menumbuh kembangkan masyarakat Islam di sana.

Dalam catatan yang lebih kuno, yang direkam oleh Ibnu

Batutta, menyebutkan bahwa hampir semua perdagangan lintas

47

Philip D. Curtin, Cross-Cultural Trade ..., hlm. 139. 48

J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society; Essays in Asian Social

and Economic History (Dordrecht, Nederlands: Foris Publications Holland,

1983) hlm. 68 - 72

Page 44: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

33

benua yang berada di pantai barat- termasuk pula Sri Lanka dan

pantai Tenggara India yang disebut Koromandel – berada di tangan

orang-orang Muslim. Namun begitu, penguasa sesungguhnya dari

semua negara maritim adalah orang-orang Hindu Malayalam atau

para pengguna bahasa Tamil. Penduduk daerah penyangga di

kawasan tersebut juga banyak yang beragama Hindu dan dalam hal

Sri Lanka, penduduknya adalah pemeluk ajaran Budha.

Para pedagang Arab dan Persia telah bermukim di pesisir

daerah itu sejak waktu yang lama, yakni sejak masa Abbasiyah.

Terdapat perbedaan mengenai komposisi penduduk Muslim di

bagian paling barat. Terhitung sejak abad pertengahan, kebanyakan

penduduknya adalah Muslim India, dan gaya hidupnya cenderung

dihubungkan dengan mereka yang hidup di pusat-pusat kosmopolit

di Arab dan Persia.

Di samping itu, Ibnu Batutta juga menyatakan

kekagumannya bahwa kebudayaan yang terbentuk di kawasan

pesisir tersebut, seperti juga dapat disaksikan di pantai Afrika

Timur, merupakan produk jenius yang tercipta dari perkawinan

unsur-unsur pribumi dan asing. Dengan kata lain, corak tradisi

yang terlihat telah mengadakan akomodasi terhadap hukum agama

yang seterusnya terlibat dialog intensif dengan adat istiadat, gaya,

pakaian dan makanan dari kebiasaan penganut Hindu setempat.

Raja-raja Hindu yang bertahta di sepanjang bibir pantai itu

membebaskan orang Muslimnya beribadah sesuai dengan apa yang

diinginkan. Mereka justru mendorong upaya tersebut, dan

sepertinya ibarat reaksi balasan dari mereka atas kemakmuran

yang diperoleh berkat perniagaan Muslim. Boleh dikatakan,

sumber pemasukan terbesar kerajaan lokal amat berhubungan

dengan aktivitas perdagangan orang-orang Muslim di sana, baik

berasal dari pendapatan cukai dan dari keuntungan pribadi dalam

perdagangan bahari. Telah terjadi kemitraan yang sedemikian apik

terbangun antara para raja dan pedagangan Muslim.49

Perlahan, kedudukan para saudagar di tengah masyarakat

lokal India, naik hingga menjadi kalangan elite. Mereka pun tidak

49

Rose E. Dunn, Petualangan Ibnu Batutta ..., hlm. 247.

Page 45: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

34

lupa dengan lingkungan tempat mereka tinggal. Agenda pertemuan

dengan penguasa lokal serta tokoh masyarakat sudah tentu menjadi

keharusan untuk memperlancar aktivitas perniagaan mereka.

Hubungan yang harmonis inilah, yang membuat timbulnya

kerjasama peradaban di antara kaum pendatang, dalam hal ini

saudagar Arab dengan elite lokal, sehingga kawasan pesisir India

mencapai taraf emporium modern di masanya. Keadaan ini pula

yang dianggap Portugis sebagai ancaman nyata bagi hasrat

berkuasanya. Orang Arab dan Persia dianggap musuh yang harus

ditumpas.

Jack Turner menambahkan bahwa eksistensi para pedagang

Timur seperti Arab, Gujarat, Yahudi dan Armenia dianggap

Portugis sebagai kafir yang disamakan sebagai musuh. Portugis,

walaupun bukan yang pertama, dikenal sebagai bangsa yang

menumpahkan unsur-unsur kekerasan dalam kehidupan samudera

dengan amat cakap oleh sebab disokong oleh instalasi persenjataan

yang kuat di masanya. Mereka adalah bangsa pertama yang

mengklaim kepemilikan perairan-perairan dunia Timur dengan

mengatasnamakan Kristus. Hal ini tergambar pula dalam salah satu

bait syair Camões, pujangga Portugis, yang menyebut Jupiter

sebagai dzat pemberi restu kepada para konkuistador (penakluk)

Portugis: “Dari kekayaan Semenanjung Malaya yang telah

dikuasai, hingga Cina yang jauh dan pulau terjauh di bagian

Timur, seluruh permukaan samudera adalah milik mereka.”

Maksud kata Jupiter adalah sama dengan Tuhan (Kristus). Pendek

kata, pekerjaan Portugis adalah pekerjaan Tuhan.50

Berbeda dengan Jack Turner, M. Adnan Amal memiliki

catatan tersendiri terkait mengapa Portugis begitu gigih memerangi

umat Islam. Portugis melihat bahwa Perang Salib masihlah terus

berkobar, kendati tidak memperebutkan Jerussalem dalam artian

sebenarnya. Raja Portugis memegang jabatan sebagai gubernur

militer Order of Christ, yang dalam setiap ekspedisinya memiliki

maksud untuk menyelidiki keberadaan kekuatan Islam. Pada 1421,

ia mengirim suatu ekspedisi ke Teluk Afrika dan 35 tahun

berselang, Paus di Roma mengakui sebagai suatu kebenaran bahwa

50

Jack Turner, Sejarah Rempah ..., hlm. 21.

Page 46: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

35

Orde of Christ memegang yurisdiksi atau kewenangan hukum

spiritual. Hal ini merupakan indikasi bagi Portugis untuk bebas

melakukan tindakan ofensif mulai dari Afrika Utara (Maroko) dan

Afrika Barat. Sebelum menaklukkan kekuatan Islam di Goa India,

Portugis sempat menamatkan peradaban Islam di Afrika yakni di

Mozambiq (Afrika Utara), Mombasa kemudian Milindi.

Bara dendam Perang Salib dibawa oleh para pelaut Portugis

hingga ke Asia Tenggara. Kedudukan Orang-orang Moor –

sebutan untuk umat Muslim – di sana, merupakan ancaman yang

harus disingkirkan untuk menegakkan salib Yesus di bumi dan

perairan khatulistiwa. Agenda konversi agama Kristen menjadi

tugas utama yang harus dilakukan di wilayah tersebut. Hal ini bisa

ditilik melalui keberadaan Misi Jesuit dengan tokoh utamanya

Franciscus Xavier di Maluku.51

Alex D‟Orsey mengungkapkan bahwa kebulatan tekad

Portugis untuk mendirikan suatu pemerintahan dan administrasi

yang permanen di dunia Timur terencana secara sistematis setelah

Raja Immanuel (Dom Manuel) naik tahta pada 1504. Kemudian, ia

menunjuk Francisco d‟Almeyda sebagai Raja Muda (vice roy)

pertama India. Setelah menaklukkan pesisir timur Afrika pada

1505, d‟Almeyda melanjutkan pelayarannya ke Cochin. Di

perjalanan, ia sempat bentrok dengan angkatan laut Muslim Mesir

yang kala itu memang mendapat tugas khusus menumpas segala

bentuk aktivitas bajak laut Eropa.

Menginjak tahun 1505, sebuah ekspedisi berisi 40 kapal

berangkat dari Lisboa di bawah Tristam Dacunha dan Alfonso

d‟Albuquerque. Sama dengan pendahulunya, mereka mendapat

perintah untuk menyisir pesisir samudera Hindia menjadi bawahan

Portugis. Lokasi pertama yang dituju adalah pantai-pantai Arabia,

termasuk pula menundukkan Muskat dan kota-kota penting lainnya

lantas membuat para pemimpin pribuminya bersedia menjalin

aliansi dengan Raja Manuel. Kedatangan d‟Albuquerque ke India

untuk menggantikan posisi raja muda sebelumnya, sebenarnya

amat tidak diinginkan oleh d‟Almeyda. Sang gubernur India itu

51

M. Adnan Amal, Portugis dan Spanyol di Maluku (Depok:

Komunitas Bambu, 2010) hlm. 4.

Page 47: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

36

tidak habis pikir mengapa rajanya tega menurunkannya, padahal ia

telah melakukan sesuatu yang sesuai prosedur. Ia dan anaknya

telah melakukan banyak peperangan melawan pelaut-pelaut Mesir

yang mengganggu otoritas Portugal di sekitar India. Akhir masa

jabatannya ditandai dengan pembunuhan atas para tawanannya,

sebagai bukti kesetiaan pada rajanya.

D‟Albuquerque dengan segera menjadi bintangnya para

penakluk Portugal, dengan melancarkan skema serangan terhadap

negeri-negeri yang semula sulit ditaklukkan. Salah satu tugas

utama pertamanya, adalah mengupayakan berkibarnya bendera

Portugal di Kalikut, salah satu sekutu dekat Malabar. Januari 1505,

petaka mengampiri salah satu kota terpenting India itu.

Pembakaran dan pengrusakan berhasil dilakukan Potugis atas

bangunan-bangunan penting di sana. Penguasa Kalikut berhasil

menyelamatkan diri masuk ke dalam istana dan dari sana

memerintahkan serangkaian pukulan balasan melalui barisan

serangnya. Reaksi berbuah manis, pasukan d‟Albuquerque yang

mabuk kemenangan sejenak seketika menjadi tunggang langgang

diterpa sapuan serangan lawannya, hingga mereka terjepit di

pesisir pantai. Setelah melalui perlawanan kecil, d‟Albuquerque

dan sisa pasukannya berhasil menyelamatkan diri. Ekspedisi

penaklukan ini pun belum bisa dikatakan berhasil.

Kegagalan itu tidak membuat d‟Albuquerque patah arang.

Sebagai pelampiasannya, ia tetap melakukan penaklukan di spot-

spot pantai India yang tidak memiliki pertahanan yang baik. Di

tempat-tempat itu, Portugis segera membangun instalasi

pertahanan dan mendatangkan banyak agamawan untuk

menyebarkan Kristen, sampai ketika ia mendengar terdapat suatu

pulau strategis bernama Goa, yang menjadi lokus terpenting dalam

aktivitas pelayaran India.52

Keberhasilan Cabral menguasai Kalikut, ternyata belumlah

membuktikan tegaknya kuasa Portugis atas India. Goa menjadi

pusat kontrol perairan sekitar India Barat, yang sama sekali belum

terjamah tangan-tangan perusak Portugis. Dalam riwayatnya,

52

Alex D‟Orsey, Portuguese Discoveries Dependencies and Missions

in Asia and Africa (London: W.H. Allen & Co Limited, 1893) hlm. 34-36.

Page 48: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

37

setelah dikuasai oleh umat Islam (Musalman) pada 1415, Goa

dijadikan pelabuhan laut utama guna meninjau kawasan laut India

barat. Goa berdiri di atas pulau Tisvadi yang satu diantara ketiga

daerah (triangular territory) yang berada di antara dua sungai;

sungai Juari di sebelah selatan dan sungai Mandavi di sebelah

utara. Dua sungai ini dihubungkan dengan jalur air sempit dan

berakhir di laut Arab. Pada 1510, kedua sungai ini dijadikan marka

batas pertahaan di mana jalur air sempit di atas dipenuhi dengan

buaya yang di masa kekuasaan raja-raja Hindu kerap menjadikan

para kriminal dan pendakwah Islam sebagai santapan para penjaga

air itu.

Memasuki tahun 1510, Alfonso d‟Albuquerque berlayar

dari Cochin memimpin armada perang Portugis beranggotakan 20

kapal dan beberapa kapal kecil menuju Goa. Di pihak lain, Adil

Shah, penguasa Goa sedang berada di luar daerah dan

mempercayakan pertahaan Goa pada 200 orang Turki. Begitu

pasukan laut Portugis datang, pertempuran segera pecah. Penduduk

Hindu yang ada di Goa memilih untuk pasif ketimbang membantu

pasukan Turki menghalau musuhnya. Perlahan, Portugis berhasil

mendeteksi kelemahan lawan dan segera melancarkan serangan

berupa hujan panah api. Pasukan Turki kalah dan Goa jatuh ke

tangan d‟Albuquerque.

Rupanya, hal ini tidak bertahan lama. Pada bulan Mei di

tahun yang sama, beberapa waktu kemudian Adil Shah datang ke

Goa beserta pasukan tempur yang kuat. Dari sini terjadi

serangkaian pertempuran yang sengit. Masing-masing pihak

mengeluarkan beragam kebolehannya dalam seni berperang.

Dalam babakan perang ini, Timoja, seorang pemimpin Hindu, turut

pula memperkuat pasukan Portugis dengan cadangan pasukan pada

bulan Oktober 1510.

Duka menyelimuti pihak Muslim ketika Adil Shah yang

belum menuntaskan misinya berpulang. Komando pasukan

kemudian berada di tangan anaknya, Ismail Adil Shah. Sang

komandan pengganti nyatanya harus menelan pil pahit setelah

pasukanya yang terdiri dari orang Persia dan Turki berjumlah 8000

orang dipukul mundur oleh gabungan Portugis dan Hindu. Tanpa

Page 49: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

38

menunggu waktu lama, tepatnya November, Goa mengalami masa

kelamnya, di mana banyak wanita dan anak-anak dibunuh. Mulai

saat itu Goa telah sepenuhnya jatuh di tangan Portugis.53

Sang raja muda Portugis kemudian segera membangun Goa

agar lebih kuat dari serbuan musuh. Hampir di sekililing pulau

dibangun benteng yang kokoh. Administrasi lokal turut pula

dibenahi. Pernikahan dengan penduduk lokal sebagai bentuk

membangun hubungan relasional yang dimaksudkan pula guna

menciptakan generasi kristiani yang mengakar.

Pasca penaklukkan Goa, Portugal menjadi kerajaan besar

paling terkemuka di Eropa. Sebagai bukti keberhasilannya

menjelajahi dunia timur, Raja Manuel mengirimkan duta untuk

bertemu Paus Leo X di Vatikan dengan membawa gajah India. Hal

ini juga dimaksudkan sebagai bukti pengabdian Portugal kepada

Gereja Roma yang juga menjadi penguasa atas seluruh tanah

jelajah belahan Timur.54

Terhubungnya India dengan Portugis, ditilik dari segi

perdagangan, menurut Shihan de Silva Jayasuriya merupakan titik

berangkat penting selanjutnya dari historisitas pertalian Timur dan

Barat. Jalur laut yang terentang diantara dua negeri tersebut,

seakan ikut pula menyatukan kedua benuanya, Asia dan Eropa.

Bisa dikatakan pula, kemunculan rute dagang kedua tempat itu

merupakan salah satu peristiwa penting dalam penguatan

perdagangan global. Dimulai sejak masuknya Da Gama, Portugis

seakan mendapat horizon baru mengenai benua yang semula

belum terjamah.

Sebagaimana diketahui, keberhasilan Portugis mencapai

India dan menguasainya, tidak lepas dari teknologi navigasi

mutakhir yang digunakannya saat itu. Jayasuriya mengatakan

bahwa salah satu faktor elementer yang menjadi perhatian pelaut

Portugis adalah menggunakan jasa navigator Arab. Kala itu,

petunjuk arah yang berasal dari Arab dipercaya memiliki teknologi

53

J.S. Jayne, Vasco Da Gama and His Successors (London: Methuen &

Co. Ltd, 1910) hlm. 81-85. 54

Alex D‟Orsey, Portuguese Discoveries ..., hlm.37-38.

Page 50: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

39

terbaru dalam rangka memetakan ruang gerak kapal ke tujuan yang

mereka kehendaki. Dalam praktiknya, sang navigator

menggunakan instrumen navigasi yang menemani perjalanannya

yang disebut kamal. Alat ini merupakan bentuk racikan teknologi

yang telah teruji mengarungi perairan Hindia. Cara kerja alat ini

adalah dengan memetakan posisi bintang kemudian

menerapkannya guna mengukur jarak yang akan ditempuh menuju

suatu bandar. Kamal telah teruji menentukan arah jelajah kapal,

ketimbang sistem navigasi sebelumnya, yakni menggunakan

astrolabe yang dalam beberapa kasus terjadi kesalahan arah jika

digunakan ketika kapal dalam keadaan bergerak.55

Kiranya terdapat perbedaan peran, di antara masyarakat

Arab sendiri. Fenomena tersebut semakin menandaskan bahwa

pandangan Portugis terhadap Arab bukanlah terbatas pada persepsi

hitam-putih. Jika mereka menganggap terdapat sesuatu yang dapat

dimanfaatkan dari bangsa Arab, mereka tidak ragu untuk

memanfaatkannya. Sebagaimana disinggung sebelumnya,

teknologi bahari umat Islam pun telah mencapai ke tingkatan yang

mengagumkan. Ramainya gegap gempita pelayaran Eropa tidak

terlepas dari peran umat Islam. Terlebih jika ditarik ke masa agak

lampau, Eropa, dalam hal ini Andalusia, pernah menjadi penguasa

atas wilayah itu sejak abad 8.

Selama berkuasa di Spanyol, Islam telah menelurkan

bentangan peradaban yang belakangan turut pula menyokong

kemajuan para penguasa Kristen di sana. Ramainya kota-kota

Andalusia amat dipengaruhi oleh iklim intelektual yang amat

dihargai serta dipelihara di beberapa pusat keilmuan yang berdiri.

Jatuhnya kejayaan Muslim di Semenanjung Iberia pada abad 15,

tidak lantas membuat gairah intelektual Islam terhenti, bahkan

risalah-risalah pengetahuan berbahasa Arab membanjiri biara-biara

dan balai-balai pendidikan Eropa. Palermo di Italia, menjadi salah

55

Shihan de Silva Jayasuriya, The Portuguese in The East; A Cultural

History of A Maritime Trading Empire (London: Tauris Co & Ltd, 2008) hlm. 1.

Page 51: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

40

satu tempat yang banyak memproduksi risalah latin terjemahaan

bahasa Arab.56

Spanyol merupakan pintu gerbang kemeriahan ilmu

pengetahuan terbarukan menyebar ke seantero Eropa. Dari sini,

perbendaharaan Yunani dan Persia dibawa oleh cendikiawan

Muslim lantas dikembangkan. Pelbagai produk ilmu pengetahuan,

filsafat dan seni Islam dipekenalkan ke Eropa Latin. Materi-materi

tersebut sampai dan mengalami pengembangan di Eropa melalui

dua saluran; a) lewat para mahasiswa dan cendikiawan dari Eropa

Barat yang belajar di sekolah-sekolah tinggi dan universitas-

universitas Spanyol (b) melalui karya-karya terjemah para

intelektual Muslim yang berasal dari sumber-sumber berbahasa

Arab.57

Beberapa cabang ilmu yang berkaitan dengan ilmu nautika

adalah geografi, matematika dan astronomi. Ketiga cabang ilmu

tersebut menjadi primadona di sekolah-sekolah Spanyol. Mehdi

Nakosteen menjelaskan bahwa sebagian besar tabel astronomi ada

pula yang tergabung dalam pengantar teori trigonometri yang

secara implisit (tidak langsung) masuk dalam skematika

perhintungan-perhitungan yang digunakan kala itu. Sebagai

catatan, untuk menentukan koordinat arah dalam melacak tujuan,

skema-skema perhitungan seperti di atas sudah tentu digunakan.

Seorang Hispano-Muslim bernama az-Zarqali menciptakan

karya astronomi terkenal yang disebut Toledan Tables. Risalah ini

kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard de

Cremona. Yang lain, Astronomical Tables buah tangan al-

Khawarizmi, telah direvisi oleh Maslama bin Ahmad dari Madrid

pada abad kesepuluh. Kemudian, risalah tersebut diterjemahkan

oleh Adelard dari Bath dan diulang oleh Herman. Sebuah edisi

revisinya turut pula ditulis oleh Robert dari Chester. Ia juga

membuat sebuah adaptasi dari Tables karya al-Battani, pada tahun

56

Lebih lanjut baca Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia

Intelektual Barat; Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, Terj. Joko S. Kahar

dan Supriyanto Abdullah (Surabaya: Risalah Gusti, 2003) Cet.2, hlm. 11-14 57

Nakosteen, Kontrubusi Islam ..., hlm. 271.

Page 52: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

41

1149, serta masih banyak karya lain yang diterjemahkan dari

bahasa Arab ke Latin.58

Melihat uraian di atas, rasanya bukan tidak mungkin,

kurikulum yang dipakai serta buku-buku ajar yang digunakan di

sekolah pendidikan kelautan buatan Henry Sang Navigator asal

Portugal yang disebut-sebut menjadi motor penggerak kapal-kapal

Portugis merupakan buah pemikiran para cendikiawan Muslim.

Risalah-risalah Latin yang berasal dari ilmuwan Muslim telah

membuka mata Eropa yang sebelumnya tertutup.

Sejarah telah sedemikian berputar bagai roda. Portugis

yang semula duduk tenang membaca, kemudian telah berhasil

mengaplikasikan apa yang mereka renungkan ke ranah aksiologis,

salah satunya adalah proyek kemaritimannya. Jatuhnya India

merupakan akumulasi dari upaya panjangnya mencari dan

menemukan dunia yang sebelumnya tak terjamah. Perairan India

yang sebelumnya diselimuti kedamaian penuh sungging senyum

dari para saudagar perlahan terasa berhawa lain, yakni dipenuhi

oleh ketegangan. Patroli laut Portugis yag dikomandoi oleh Goa

menjadi momok menakutkan di perairan sekitar.

Di Eropa sendiri, nama Portugis menjadi semakin dikenal

sebagai salah satu pendatang baru potensial sebagai pusat

perkulakan rempah Eropa. Upayanya merentangkan kuasa hingga

ke India dan bahkan sampai Nusantara, dibarengi dengan

penguatan internal seputar perdagangan laut Eropa, khususnya

Eropa Selatan. Laut Mediterrania bagaimanapun harus ditaklukan,

demikian hemat penguasa Portugis. Cita-cita tersebut bukanlah

tanpa pijakan. Kawasan perairan Mediterrania telah menjadi nadi

perdagangan yang mempertemukan dunia Timur dan Barat.

Bandar Eropa yang menjadi tempat persinggahan rempah-

rempah Timur, diantaranya adalah Antwerp dan Bruges. Sebelum

sampai kesana, barang dagang penting itu merapat di Venezia

yang mengadakan kontak dagang rempah dengan bandar-bandar

Mameluk di Mesir. Venezia menjadi bandar rempah pertama

58

Lebih lanjut lihat Nakosteen, Kontribusi Islam ..., hlm. 272-273.

Page 53: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

42

Eropa yang kemudian mendistribusikan dagangan itu ke seantero

pasar Eropa baik di pesisir maupun pedalaman.

Upaya menguasai Venezia, berarti pula mendapatkan

dominasi perdagangan rempah di seluruh Eropa. Untuk itu,

sekelompok armada diberangkatkan untuk menguasai pusat niaga

itu. kejadian tersebut, membuat pedagang lokal Venezia menderita

dan menurunkan pendapatan mereka. Menginjak awal abad 16,

semakin memperkuat kedudukannya sebagai pelabuhan rempah

terdepan di Eropa.59

Munculnya Portugis di kancah maritim dunia,

menimbulkan efek tersendiri, khususnya bagi perdagangan lintas

benua. Motif tindakan Portugis yang terkesan tidak pandang bulu

dan menghalalkan segala cara dalam menundukkan musuhnya,

merupakan ciri khas mereka dalam upaya merengkuh gelar

penguasa lautan. Serangan dan penguasaan atas bandar-bandar

besar dunia, seperti Ormuz dan Goa, merupakan dua langkah

penting guna mengokohkan posisi mereka di jalur dagang Timur.

Ditambah lagi dengan direbutnya Venezia, semakin memperluas

kendali Portugis atas rute pelayaran dunia.

Berbekal fanatisme kekristenan dan restu dari Paus sebagai

pemegang otoritas tertinggi umat Kristen Katolik dunia, Potugis

melenggang menundukkan negeri-negeri yang semula berdaulat.

Agama menjadi landasan penting bagi perilaku mereka. Teknologi

pelayaran yang telah sedemikian baik terbangun dimanfaatkan

sebagi alat untuk menyebarkan ajaran Kristen ke seluruh penjuru

dunia. Motivasi ini kiranya yang memompa semangat mereka agar

tidak mudah patah arang dalam mencapai tujuan. Mereka begitu

yakin, penguasaan ditambah kristenisasi atas suatu wilayah

menjadi kegiatan yang direstui Tuhan.

Kegigihan mereka dalam menaklukkan suatu wilayah yang

dicatat sejarah, seperti disebutkan sebelumnya, menandakan bahwa

Portugis memang telah jauh hari berkeinginan merebut dominasi

pelayaran dan perdagangan global. Niat ini kerap terbentur dengan

penguasa-penguasa daerah lain, seperti juga penguasa Muslim,

59

Shihan de Silva, The Portuguese in The East ..., hlm. 1-2.

Page 54: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

43

yang memiliki agenda politik, ekonomi, sosial dan agama

tersendiri. Maka itu, ketika dua kepentingan berbeda ini berjumpa,

maka yang terhampar adalah peperangan berebut kuasa, dan tentu

saja yang memiliki persiapan kuat dan sikap pantang menyerah

menjadi pemenangnya.

Portugis, untuk sementara berhasil menunjukkan tajinya

sebagai salah satu bangsa calon penguasa lautan. Posisinya

kemudian menjadi lebih kuat, ketika kapal-kapal Portugis telah

lalu lalang di perairan Asia Tenggara. Di sana Portugis mencatat

sejarah dengan menundukkan salah satu pusat dagang penting

dunia, yang sekaligus menjadi pintu masuk memperbincangkan

sejarah mereka di kepulauan Nusantara, tepatnya di wilayah sekitar

Selat Malaka, Sumatra bagian utara dan timur serta Semenanjung

Malaya.

B. Menguasai Malaka

Hadirnya Portugis di perairan Hindia menerbitkan

kekhawatiran di kalangan para saudagar Muslim. Mereka mulai

melakukan pelbagai tindakan yang merugikan perekonomian

pedagang pribumi India maupun kapal saudagar Muslim lain yang

kebetulan melewati perairan India. Kapal-kapal mereka tak segan

melakukan intimidasi dan kekerasan guna menundukkan suatu

armada dagang. Perlahan, iklim harmonis yang terjalin di pesisir

India dan wilayah akuatik sekitarnya luruh berganti dengan

ketegangan.

Tidak hanya berhenti sampai di lokasi tersebut, armada

Portugis juga rajin menyambangi wilayah bibir-bibir pantai Hindia

Timur. Belakangan, aktivitas mereka bukan hanya terbatas pada

jual-beli dengan penduduk lokal, melainkan juga memperkuat diri

dengan membangun kantor dagang di selatan Asia hingga

menyentuh Asia Tenggara, yakni di Bengal, Myanmar, Siam,

Malaka hingga Maluku. Ekspansi laut Portugis kemudian

Page 55: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

44

menyebar lebih jauh sampai Macau (China) dan Nagasaki

(Jepang).60

Mampirnya Portugis di Malaka merupakan kejadian yang

besar dalam bentangan sejarah Nusantara. Jatuhnya Malaka

menandakan kemunduran yang signifikan dalam aktivitas

perdagangan regional. Malaka sendiri merupakan bandar dagang

yang utama di kawasan Asia Tenggara. Keberadaannya ibarat

pasar grosir dunia Timur yang menjadi tujuan kapal-kapal dagang

dunia. Pelbagai komoditas unggulan diperjualkan di pasar-

pasarnya.

Salah satu catatan sejarah yang dapat ditelisik mengenai

berdirinya emporium ini adalah termaktub dalam Sulalatus Salatin

atau Sejarah Melayu tulisan Tun Sri Lanang.61

Diceritakan,

Malaka didirikan oleh Parameswara atau Iskandar Syah yang

merupakan bangsawan Palembang yang keluar dari istana akibat

konflik kerajaan. Ketika sampai di wilayah sungai Bertam,

Iskandar Syah dan pengikutnya sempat berteduh di bawah pohon

rindang. Dalam suatu percakapan kecil ia memuji keindahan

pemandangan sekitar dan memerintahkan untuk membangun

kenegerian di tempat itu. Di sela-sela pengerjaan pembangunan, ia

bertanya pada seorang bawahannya akan jenis kayu yang banyak

digunakan sebagai bahan baku pembangunan yang lantas dijawab

bawahannya bahwa kayu tersebut adalah kayu Malaka. Di saat itu

60

Shihan de Silva, The Portuguese in The East ..., hlm. 2-3. 61

Tun Sri Lanang merupakan salah satu bangsawan Johor yang

berpindah ke Aceh ketika pasukan Aceh menyerbu Johor pada pertempuran

Batu Sawar pada 1613. Ia merupakan bagian dari rombongan Raja Johor yang

dibawa Iskandar Muda ke Aceh. Selama di Aceh, ia didapuk sebagai pejabat

tinggi kerajaan dan diberi gelar sebagai uleebalang pertama Samalanga. Selain

dikenal sebagai sastrawan besar Melayu dengan masterpiece-nya

Sulalatussalatin, yang menjadi kitab babon guna mengetahui tumbuh kembang

kerajaan-kerajaan di Semenanjung Melayu dan sekitarnya, ia juga merupakan

ahli tata negara serta pertanian. Lebih lanjut lihat Pocut Haslinda MD Azwar,

Tun Sri Lanang dalam Sejarah Dua Bangsa Indonesia-Malaysia (Jakarta:

Yayasan Tun Sri Lanang, 2011) hlm. 38-29 dan 67-86.

Page 56: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

45

pula, Iskandar Syah mengatakan bahwa negeri yang dibangunnya

itu bernama Malaka.62

Lazimnya yang ditemukan dalam manuskrip kuno

Nusantara, tidak ada informasi yang tepat, kapan negeri ini

dibangun. Hal ini tentu saja menimbulkan kesulitan tersendiri guna

mengetahui secara persis kapan peristiwa itu terjadi.

Adalah Slamet Muljana yang mencoba memetakan waktu

Parameswara mendirikan Malaka. Ia menggunakan laporan China

yang memberitakan pertalian diplomatik China dan Malaka yang

terjadi ketika utusan China bernama Yin Ching datang ke Malaka

pada 1404. Kala itu, menurut kesaksiannya, Malaka sudah menjadi

suatu pelabuhan dagang. Berdasarkan sumber tersebut,

diperkirakan Malaka dibangun oleh Parameswara sekitar tahun

1400.63

Selama masa-masa mendatang hingga ketika Portugis

menaklukannya Malaka menjadi bandar internasional utama di

Nusantara. Era keemasan Malaka terjadi pada masa pemerintahan

Sultan Muhammadsyah dan di masa ini pula barulah Malaka

dipimpin oleh raja Islam. Merujuk pada keterangan Tun Sri

Lanang, di era pemerintahan Muhammadsyah, Malaka menjadi

negeri yang makmur dan mashur serta memiliki reputasi baik di

pergaulan luar negeri. Di wilayah ini banyak dijumpai pasar yang

sambung menyambung mulai dari Air Lilih hingga ke Muara

Muar, dari Kampung Keling hingga Kuala Penayuh. Banyaknya

pasar, membuat daerah itu disesaki oleh pedagang dari berbagai

bangsa. Di sana-sini ditemukan pula banyak perumahan yang

membentang hingga ke Batu Pahat. 64

Tome Pires, seorang pengembara Portugis sempat

menyambangi Malaka. Dalam Suma Oriental – yang ditulisnya di

Malaka dan India pada 1512-1515 - ia menceritakan bahwa

62

Pocut Haslinda MD Azwar, Sulalatus-Salatin; Sejarah Melayu Versi

Populer ( Jakarta: Yayasan Tun Sri Lanang, 2011) hlm. 55. 63

Slamet Muljana, Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi (Jakarta:

Yayasan Idayu, 1981) hlm. 316 64

Pocut Haslinda, Sulalatus-Salatin ..., hlm. 56-57 dan 104.

Page 57: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

46

Malaka adalah daerah yang dipenuhi oleh para Muslim dari

penjuru dunia. Saudagar Muslim tersebut berasal dari Kairo,

Mekkah, Aden, Abissinia, Kilwa, Malindi, Ormuz, Persia, Rum,

Turki, Turkoman, Armenia Kristen, Gujarat, Chaul, Dabhol, Goa

kerajaan Dekkan, Malabar, Keling, Orissa, Bengal dan Sri Lanka.

Disamping itu, pedagang regional dari Arakan, Pegu, Siam, Kedah,

Melayu, Pahang, Patani, Kamboja, Champa, Cochin China, China,

Lequeos, Brunei, Lucoes, Tamjompura (Tanjungpura), Laue,

Banka (Bangka), Linga, Molukas (Maluku), Banda, Bima, Timor,

Madura, Jawa, Sunda, Palembang, Jambi, Tongkal, Indragiri,

Kappatta (Kampar?), Menangkabau (Minangkabau), Siak, Arqua

(Arcat?), Aru, Bata, daerah Tomjano Pase, Pedir dan Maladewa.

Di pelabuhan Malaka, dapat ditemui percakapan dengan 48 bahasa

yang berbeda.

Diceritakan pula, bahwa hampir setiap bangsa yang datang

ke Malaka membawa barang dagangan dari wilayahnya. Orang

Mesir misalnya, membawa gelas-gelas Venezia, adapula pedagang

Malabar yang membawa pelbagai jenis kain. Orang yang ingin

membangun rumah haruslah mendapat izin dari pemerintah terkait.

Kerajaan ini juga sudah memiliki mata uang sendiri.65

Kabar hiruk pikuk pasar serta kencangnya pemutaran uang

di Malaka, perlahan-lahan sampai ke telinga pelaut Portugis yang

tengah merentangkan kuasa di perairan Hindia. Awalnya,

kedatangan mereka sekedar berniaga dan menemui pemuka daerah

lokal bernama Bendahara Seri Maharaja. Hubungan yang baik

segera terjalin antarkeduanya, bahkan Seri Maharaja sempat

memberikan cendera mata indah berupa kalung permata.

Sepulangnya dari Malaka, pelaut Portugis itu menceritakan kepada

pembesar Portugis, Alfonso Zalberkaki66

di Goa akan kebesaran

dan kemajuan Malaka. Timbullah hasrat Zalberkaki untuk

menguasai bandar dagang itu.

Zalberkaki pun segera menyiapkan armada perang.

Komposisi pasukan terdiri dari tujuh kapal, sepuluh kapal jenis

65

Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires, Vol. II (New

Delhi: Asian Educational Services, 2005) hlm. 268-275. 66

Sebutan Alfonso d‟Albuquerque dalam Sulalatussatin.

Page 58: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

47

kapal panjang, dan tiga belas kapal jenis fusta. Setelah persiapan

matang armada Portugis ini pun berangkat di bawah pimpinan

Gonsalo Pereira. Terjadi pertempuran yang seru antara pasukan

Malaka pimpinan Tun Hassan Tumenggung dengan armada

Portugis. Setelah babak demi babak dilalui, pasukan Portugis pun

terlihat melemah. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Malaka untuk

mengadakan serangan lebih gencar sehingga patahlah gempuran

Portugis. Sisa-sisa pasukan lawan kembali ke kapal dan mundur

secara bertahap.

Kekalahan ini amat menyakitkan hati Zalberkaki. Ia pun

menghadap langsung Raja Portugal dan meminta bantuan armada

yang lebih besar dan tangguh. Seakan mafhum dengan tugas berat

yang diemban jendralnya, sang raja memberi bantuan tiga kapal

besar. Kemudian, setelah persiapan dirasa cukup, Portugis pun

datang untuk yang kedua kalinya ke Malaka yang langsung

dipimpin oleh Alfonso Zalberkaki. Begitu sampai di pantai

Malaka, meriam Portugis langsung menyerang dengan membabi

buta, suaranya bagaikan halilintar. Saat itu, Malaka dipimpin oleh

Raja Ahmad menaiki gajah bernama Jinakji, dengan didampingi

Seri Awadani di bagian kepala gajah dan Tun Hati di bagian

ekornya. Di sekitar sang raja, hulubalang serta pasukan telah

berdiri siap menghambur serangan.

Perang pecah dengan amat hebat. Kedua pasukan seakan

berlomba berebut kemenangan. Singkat cerita, setelah mengarungi

medan peperagan yang amat berat, Portugis semakin merangsek ke

pedalaman Malaka. Sampai disini telah terlihat kekalahan Malaka,

terlebih ketika pasukan musuh telah sampai di Ujung Balai dan

pada akhirnya berakhir merebut istana. Korban yang jatuh amatlah

banyak. Raja Ahmad yang semakin terdesak kemudian melarikan

diri ke Hulu Muar. Bandar dagang terkemuka itu akhirnya berhasil

dikuasai Portugis.67

Tome Pires menyebutkan bahwa barisan tempur Malaka,

sejatinya bukanlah diisi oleh prajurit pribumi semata, melainkan

turut pula dibantu para pedagang Gujarat. Mereka mendermakan

67

Pocut Haslinda, Sulalatus-Salatin ..., hlm. 175-180 dan 193-198.

Page 59: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

48

kapal-kapal dagang mereka yang dimodifikasi menjadi kapal

tempur guna menyambut kedatangan Portugis. Hal ini terjadi

karena salah satu pemimpin perang Malaka berkebangsaan

Gujarat. Dalam versi Pires diceritakan bahwa Raja Malaka

menolak pernyataan tunduk yang dilayangkan oleh d‟Albuquerque.

Setelah perang terjadi dan Malaka berhasil dikuasai, Portugis

mendirikan perbentengan yang kuat.68

Sama dengan Ormuz dan Goa, Malaka menjadi korban

berikutnya dari usaha perluasan supremasi di jalur dagang dunia.

Malaka merupakan emporium yang menjadi pusat grosir hasil

bumi maupun rempah dari seantero Nusantara. Pengambilalihan

bandar ini dari tangan penguasa Melayu Malaka, demikian hemat

Portugis, merupakan satu-satunya cara agar tongkat kuasa mereka

dapat ditanamkan di suatu destinasi dagang dunia yang menjadi

pusat perkulakan saudagar antar bangsa.

Aspek lain yang perlu dikemukakan adalah terbitnya

penguasa baru di lingkungan kerajaan-kerajaan Melayu dan

sekitarnya. Tidak bisa dipungkiri, baik Aceh dan Malaka

merupakan the old regimes atau dua kerajaan yang paling

terpandang karena rentang waktu berdirinya yang lama dibanding

kerajaan lain, dialiri darah para raja-raja hebat terdahulu serta

pencapaiannya di kawasan perairan selat Malaka dan sekitarnya.

Keduanya saling bahu membahu membangun iklim filantropis

yang melingkupi rute dagang dunia yang melewati daerah

kekuasannya. Kendati kedua kerajaan terlibat jalinan kekerabatan

yang erat, persaingan menjadi spot perniagaan paling terkemuka

sudah pasti terjadi. Hanya yang dikedepankan keduanya adalah

persaingan yang sehat dan jauh dari upaya saling menjatuhkan.

Dikuasainya Malaka, menjadi fajar baru yang ikut mengubah

nuansa keakraban di sekitar perairan Malaka seperti sebelumnya.

Penguatan supremasi Portugis, sudah tentu diwarnai dengan

tindakan-tindakan aktif merebut perhatian publik selat Malaka agar

mau bekerjasama dengan mereka. Jika hal ini tidak dilakukan,

maka sama saja dengan bunuh diri dalam waktu singkat,

68

Armando Cortesao, The Suma Oriental ..., hlm. 278-281.

Page 60: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

49

mengingat sebesar apapun kekuatan pasukan Portugis asli tentu

akan menemui kesulitan dalam menghadapi gabungan pasukan

kerajaan-kerajaan yang daerah kekuasaannya bersinggungan

dengan zona kuasa Portugis. Intrik dan silat lidah menjadi senjata

berikutnya untuk merebut secara perlahan hati para penguasa lokal.

C. Hubungan Portugis dengan Kerajaan Tetangganya

Jatuhnya Malaka membuat keadaan politik dan ekonomi

yang sebelumnya stabil menjadi goyah dan penuh kemelut.

Bercokolnya kekuasaan Kristen di kawasan Semenanjung ini

membawa perubahan sistemik yang mempengaruhi iklim

berpolitik regional Nusantara. Kerajaan-kerajaan sekitar

menanggapainya sebagai ancaman nyata yang cepat atau lambat

dapat ikut pula menyapu kewenangan serta kedudukan raja-raja

mereka. Pelbagai kemungkinan yang sebelumnya tidak dipikirkan,

di kemudian hari terjadi sehingga ikut pula membentuk ulang

rangka peradaban yang sebelumnya kokoh berdiri.

Munculnya Portugis merupakan bukti dari superioritas

Eropa di negeri-negeri Timur. Didahului dengan direbutnya Ormuz

dan Goa, Portugis merentangkan sayap ekspansinya hingga ke

Timur Jauh hingga ke Nagasaki Jepang, sehingga

memungkinkannya menancapkan pengaruhnya di beberapa titik

yang penting, terlebih ditinjau dari sisi politik dan ekonomi.

Malaka, merupakan satu spot kekuatan maritim penting yang di

kemudian waktu berhasil mereka kuasai. Tindakan menanamkan

pengaruh menjadi agenda selanjutnya yang digalakkan oleh para

penguasa Portugis.

Membincang Portugis maka tidak akan lengkap jika tidak

menyinggung strategi monopolinya. Monopoli negeri Iberia ini

sesungguhnya tidaklah membutuhkan modal besar sebagai

penyokongnya, namun harus menguasai serangkum intrik-intrik

politik dan taktik militer. Dua hal ini merupakan kunci penting

dalam metode Portugis mengupayakan suatu dominasi. Rekayasa

politik yang kerap dilakukan Portugis kerapkali tidak harus

Page 61: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

50

menimbang kesantunan, cara-cara kotor dan kasar pun bisa

ditempuh untuk meluluskan suatu tujuan.

Corak berpolitik Portugis amatlah berbeda dengan dua

negeri Eropa lainnya, yang juga dikenal sebagai superpower

kelautan, Inggris dan Belanda. Kedua kerajaan tersebut tidak lantas

hanya melakukan monopoli, tapi juga melakukan pertumbuhan

ekonomi serta memiliki industri yang belakangan bisa memberikan

kemakmuran bagi rakyatnya. Kondisi masyarakatnya yang miskin,

membuat Portugis harus pandai-pandai menjalankan skema

politiknya, salah satunya dengan membodohi para pemuka pribumi

di daerah-daerah yang dikuasainya.

Setelah memancangkan monopoli di suatu lokus yang

dikuasainya, Portugis pun dengan leluasa dapat mengatur arus

ekonomi setempat. Bentuk yang paling banyak ditemuai adalah

seperti membeli komoditas tertentu dengan harga murah, bahkan

tidak jarang dirampas dan sama sekali tidak dibayar. Hal macam

ini pernah terjadi di Maluku, yakni ketika rempah-rempah kualitas

super dibayar dengan harga rendah, lalu pajak yang tinggi juga

diberlakukan pada para petani dan pedagang lokal. ketidakakuratan

timbangan adalah juga bentuk penindasan yang menyengsarakan

ekonomi setempat. Hal seperti itulah yang menyebabkan

keuntungan Portugis dari perdagangan rempah-rempah Maluku,

merica dari Banten dan Sumatera, serta gula dari Madura dapat

menggemuk hingga ratusan persen.

Sepanjang abad 16, Portugis belum mendapat saingan yang

berarti. Baru pada awal abad 17, VOC dan EIC tumbuh sebagai

kongsi yang baru berdiri, itupun belumlah kuat. Supremasi

perniagaan bumbu dapur Nusantara dengan komoditas unggulah

lada Banten dan rempah Maluku di pasaran Eropa masih dikuasai

oleh Lisboa. Dominasi ini berlangsung hingga menyentuh akhir

abad 16.69

Beberapa waktu sebelum mengadakan serangan ke Malaka,

Portugis sempat membuat keruh hubungan antar keluarga istana

Pasai. Kala itu, Alfonso d‟Albuquerque meminta kepada Zainal

69

M. Adnan Amal, Portugis dan Spanyol ..., hlm. 2-3

Page 62: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

51

Abidin agar Pasai mau bermitra dengan Portugis, sekaligus sebagai

basis militer tempat mendaratnya pasukan prapenyerangan Malaka.

Mengetahui hal tersebut Malaka mengutus duta ke Pasai untuk

menolak ajakan tersebut. Di pihak lain Zainuddin, kerabat kerajaan

Pasai, bersikeras agar Pasai membuka diri dengan kehadiran

Portugis. Belakangan, pada tahun 1524, Portugis berhasil

menguasai Pasai, sebelum direbut kembali oleh Ali

Mughayyatsyah, Raja Aceh Darussalam.70

Sebagaimana diketahui, Malaka menempati posisi yang

vital ditinjau dari segi geopolitik. Raja Malaka boleh dikatakan

sebagai salah satu kerajaan tertua di Semenanjung Melayu. Ketika,

kerajaan ini dipunahkan Portugis, Raja Ahmadsyah yang sempat

melarikan diri, belakangan diketahui menyusun kekuatan di

Kampar. Penduduk Kampar kala itu, memiliki ikatan batin yang

kuat dengan raja-raja Melayu. Kampar dan beberapa wilayah

pesisir Sumatra Timur sebelumnya merupakan daerah-daerah

agraris, yang komoditas alamnya banyak dijajakan di pasar-pasar

Malaka. Relasi ekonomi ang erat membawa pula pada sebaran

pengaruh politik yang luas. Raja-raja Malaka terdahulu merupakan

sosok yang gigih dan kuat sehingga mampu menyebarkan

pengaruh politiknya hingga ke kawasan semenanjung dan pesisir

timur Sumatra.

Slamet Muljana menjelaskan, hadirnya Malaka di peta

Nusantara turut pula membentuk ulang tata ekonomi dan politik di

kawasan selat Malaka. Visi ekonomi yang sedemikian maju

diterapkan oleh Iskandar Syah dengan memebangun instalasi

pelabuhan yang baik dan tata letak kota yang efektif dalam sekama

bandar dagang. Keahliannya ini memancing kerajaan besar seperti

China untuk membuka hubungan diplomatik dengannya pada

1405. Sesuatu yang tentu saja amat bagus mengingat China

merupakan salah satu kerajaan yang ekonominya menyandarkan

pada perdagangan lintas benua. Kemajuan pelabuhan Malaka,

perlahan dapat menyaingi pelabuhan-pelabuhan pantai timur

Sumatra seperti Jambi, Siak, Rokan dan Pasai.

70

Amirul Hadi, Aceh and The Portuguese: A Study of The Struggle of

Islam in East Asia 1500-1579, Tesis, belum dipublikasikan, hlm. 18.

Page 63: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

52

Kesadaran ekonomi yang kuat, tentu dibarengi pula dengan

wawasan politik dalam dan luar negeri yang luas. Ketika suhu

kerajaan telah mulai stabil disokong oleh kemakmuran rakyat,

Iskandar Syah pun tidak buta akan kepentingan menanamkan

pengaruh politiknya. Namun, ide besar ini baru terlaksana pada

pertengahan abad kelima belas oleh cucu Iskandar Syah yang

bernama Sultan Muzaffar Syah yang berhasil menguasai Dinding

dan Selangor, Kampar, Indragiri dan Rokan. Berkat penanaman

kuasa atas Dinding dan Selangor hasil tambang timah di wilayah

itu diangkut ke pasar Malaka. Begitupula yang terjadi di si daerah-

daerah pantai timur Sumatra, hasil tambang emas di daerah

Sumatra Barat serta hasil bumi berupa lada serta hasil hutan

macam kayu dan rotan mengalir pula ke Malaka.71

Portugis tidaklah menjalankan skema politik halus seperti

yang telah ditradisikan para Raja Malaka. Ia tidak segan

memaklumatkan perang kepada para pemimpin tetangganya. Salah

satu kompetitornya yang boleh dikatakan sepadan kala itu adalah

Aceh Darussalam. Begitu mengetahui bandar dagang Malaka

jatuh, Sultan Ali Mughayyat Syah segera menyerukan persiapan

perang raya menghadapi bala pasukan Portugis yang sewaktu-

waktu dapat menghampiri daerah kekuasaan Aceh. Kekhawatiran

ini kemudian menjadi kenyataan. Wilayah Aru dan Daya yang

semula memiliki hubungan harmonis dengan Aceh, berpaling dan

memihak Portugis. Sejak masa Mughayyatsyah hingga Iskandar

Muda, Aceh memiliki garis politik yang tegas menolak kekuatan

Portugis berkembang di wilayah bawahannya.

Di pihak lain, bangkitnya kekuasaan Aceh terhitung sejak

bertahtanya Mughayyat Syah dalam peta perpolitikan regional,

menerbitkan kekhawatiran dibenak para Raja Melayu. Johor

memiliki hubungan yang baik dengan Pahang begitupula dengan

beberapa kerajaan di pesisir Timur Sumatra seperti Siak,

sepenuhnya mereka sadar, Aceh bukanlah lawan yang sepadan

bagi mereka keberhasilannya dalam menekan pengaruh Portugis

serta di masa yang sama semakin rajin menanamkan pengaruh di

hampir seluruh pulau Sumatra merupakan beberapa bukti kerajaan

71

Slamet Muljana, Kuntala ..., hlm. 327-328.

Page 64: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

53

ini amat matang dalam berpolitik serta tentu saja memiliki armada

perang yang tangguh.

Untuk itu, guna menjaga eksistensi mereka, menjalin

hubungan dengan Portugis dipandang menjadi salah satu opsi yang

paling memungkinkan. Disamping memiliki armada perang yang

tidak kalah tangguh dengan Aceh, Portugis juga merupakan sekutu

yang dipercaya membawa angin baru bagi perkembangan

kerajaan-kerajaan Melayu. Johor, Pahang dan Patani merupakan

tiga diantara kekuatan besar Melayu yang menjadi mitra Portugis.

Hal ini agaknya yang melatarbelakangi kampanye penaklukan

Aceh di masa Iskandar Muda kelak berkuasa.72

72

Mengenai ketegangan serta pertempuran yang terjadi antara Aceh

dengan Portugis lihat H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Djilid I

(Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961) hlm. 394-494; dan Denys Lombard,

Kerajaan Aceh; Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Terj. Winarsih

Arifin (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) hlm. 122-127.

Page 65: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

54

BAB III

KERAJAAN ACEH DARUSSALAM

Kemunculan Portugis di awal abad 16, menimbulkan

ketegangan di sekitar Selat Malaka. Tersuruknya bandar dagang

yang sejak lama menjadi primadona perniagaan dunia itu,

membawa situasi yang sedemikian genting, baik di bidang politik

maupun perdagangan. Hampir setiap bentuk kekuasaan lokal dan

regional memasang pandangan sinis kepada Portugis. Hal ini dapat

dimaklumi mengingat bangsa ini tidak segan mengobarkan

peperangan kepada mereka yang bersilang sengketa dengannya.

Salah satu kekuatan maritim yang gigih memerangi

Portugis di Malaka adalah Aceh Darussalam. Hampir di setiap

pertemuan baik sengaja maupun tidak sengaja, kedua pihak

langsung terlibat adu perang. Sama dengan Malaka, aktivitas

perekonomian Aceh juga disokong dari sektor kelautan dan

perdagangan antarbangsa. Dominasi yang coba dibangun Portugis

merupakan bentuk dominasi yang bertentangan dengan visi

kebangsaan Aceh. Dalam beberapa uraian selanjutnya akan

dibahas mengenai pendirian kerajaan ini, serta pelbagai peristiwa

menarik yang mencitrakan kebesaran kerajaan ini.

A. Kerajaan Aceh: Pertumbuhan dan Perkembangnya

Wilayah yang menjadi ibukota kerajaan Aceh yang

sekarang, yang terletak di Banda Aceh, sebetulnya merupakan

tanah ibukota kerajaan-kerajaan terdahulu. Jauh sebelum kerajaan

ini berdiri, nama Banda Aceh belumlah ada dan daerahnya kala itu

dikenal bernama Lamuri. Nama Lamuri sempat disebutkan dalam

catatan Marco Polo, seorang pelaut Italia, yang sempat melawat ke

daerah tersebut pada tahun 1292. Dalam catatannya ia menulis :

Page 66: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

55

LAMBRI, in like manner, has its own king and its

peculiar language. The country produces camphor,

with a variety of other drugs. They sow brazil and

when it springs up and begins to throw out shoots,

they transplant it to another spot, where it is

suffered to remain for three years. It is then taken up

by the roots, and used as a dye-stuff. Marco Polo

brought some of the seeds of this plant with him to

Venice, and sowed them there; but the climate not

being sufficiently warm, none of them came up. In

this kingdom are found men with tails, a span in

length, like those of the dog, but not covered with

hair. The greater number of them are formed in this

manner, but they dwell in the mountains, and do not

inhabit towns. The rhinoceros is a common

inhabitant of the woods, and there is abundance of

all sorts of game, both beasts and birds.

Lambri, sebagaimana lazimnya kerajaan lainnya,

memiliki raja dan bahasa yang khas. Negeri ini

memproduksi camphor (kamper), dengan berbagai

macam pengolahannya dalam bentuk obat-obatan.

Para petaninya menebarkan biji-bijiannya dan

ketika telah tumbuh mereka memindahkannya ke

tempat lain, di mana di tempat itu tanaman ini

dibiarkan tumbuh selama tiga tahun. Kemudian,

akar-akarnya mulai dipanen dan diolah menjadi

bahan-bahan penyeduhan. Marco Polo membawa

beberapa biji-bijian ini ke Venezia dan menanamnya

di sana. Namun, karena iklimya tidak hangat,

tumbuhan ini gagal berkembang. Di kerajaan ini

juga ditemukan manusia berekor panjang seperti

anjing, namun tidak berbulu. Sebagian besar dari

mereka memiliki perangai yang sama dan tinggal di

kawasan pegunungan dan tidak mendiami

perkotaan. Badak menjadi penghuni di hutan-

Page 67: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

56

hutannya. Di sana juga diramaikan dengan tingkah

polah burung-burung dan banyak binatang buas.73

Manuel Komroff yang mengedit kisah A Travel of Marco

Polo ini menyebutkan bahwa dari masa ke masa, telah berkembang

cerita mengenai sosok manusia berekor seperti digambarkan di

atas, baik di Afrika, Borneo, kepulauan India dan Cina. Namun,

pada kenyataannya hingga sekarang, tidak pernah terbukti

kebenarannya mengenai penangkapannya. Eropa abad Pertengahan

juga pernah tersiar informasi bahwa terdapat orang-orang Inggris

(Englishmen) yang memiliki ekor pendek.74

Walapun pandangan

dari Marco Polo tersebut bisa dikatakan masih harus diteliti lagi

kebenarannya, paling tidak, uraiannya itu bisa dijadikan bukti lain

bahwa telah ada kerajaan yang bernama Lamuri di Aceh.

Ketika terjadi peperangan antara Kerajaan Indra Purba

melawan Kerajaan Sendu yang berlangsung pada tahun 1059

hingga 1069, terdapat nama seorang pemuda gagah bernama

Meurah Johan yang turut membantu bala tentara Indra Purba.

Kerajaan Sendu sejatinya merupakan kerajaan lokal yang telah

dikuasai oleh seorang putri Cina bernama Nian Nio yang langsung

menahbiskan diri sebagai Ratu Sendu. Penyeranganya ke kerajaan

Indra Purba dilatarbelakangi oleh kepentingan perluasan wilayah.

Dalam perang yang semakin dahsyat itu, datang utusan

kerajaan yang meminta Meurah Johan untuk membantu penguatan

pasukan. Kala itu Meurah Johan sedang melakukan kegiatan

dakwah bersama rombongan Syiah Hudan dari Dayah Cot Kala tak

jauh dari tempat itu. Permintaan itu pun disanggupi. Setelah

memperoleh restu gurunya, Meurah Johan maju ke medan laga dan

tak lama kemudian mampu mengusir dan mengalahkan bala

tentara Sendu.

73

Manuel Komroff, ed, The Travel of Marco Polo The Venetian (New

York: W.W. Norton, 1930), hlm. 157. 74

Manuel Komroff, The Travel of Marco Polo ..., hlm. 157.

Page 68: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

57

Atas keberhasilannya itu, Raja Indra Purba beserta seluruh

rakyatnya menyatakan keislamannya. Kemudian, Meurah Johan

mendirikan Kerajaan Lamuri pada tahun 1225 dan ia pun naik

tahta menjadi raja utamanya bergelar Sultan Johansyah.75

Sumber

lain mengatakan sebenarnya Lamuri (Lam Urik) bukanlah nama

kerajaan, melainkan hanya merupakan bandar dagang ramai yang

berada di bawah kekuasaan kerajaan Indra Purba.76

Dengan kata

lain, daerah Lamuri merupakan pemberian Raja Indra Purba

kepada Meurah Johan.

Keberadaan Lamuri nyatanya menimbulkan perdebatan tak

berkesudahan di kalangan sejarawan. Arun Kumar Dasgupta

merujuk pada catatan Chao Ju-Kua tahun 1225 mengatakan bahwa

Lamuri adalah suatu kekuatan yang independen dan netral dari

dominasi Sriwijaya yang memegang peranan sentral dalam

perpolitikan abad 13 di Sumatra. Senada dengan hal tersebut,

Coedes juga meyakini bahwa Lan-wu-Li (sebutan Lamuri

berdasarkan dokumen Cina) merupakan kekuatan independen di

masa itu.77

Namun pendapat yang kuat dan banyak dijadikan rujukan

adalah bahwa Lamuri, sesuai dengan yang diberitakan Ceng Ho,

Marco Polo, dan Ibnu Batutta, merupakan nama kerajaan. Di atas

kerajaan inilah kemudian dibangun kerajaan Aceh.78

Dengan kata

lain, sebenarnya kerajaan Lamuri merupakan cikal bakal kerajaan

Aceh Darussalam. Sultan Johansyah dicatat sebagai raja pertama

kerajaan Aceh.79

75

Ar. Latief, Pelangi Kehidupan Gayo dan Alas (Bandung: Kurnia

Bupa, tanpa tahun), hlm. 67-68. 76

Wan Hussein Azmi, “Islam di Aceh Masuk dan Berkembangnya

hingga Abad XVI ,” dalam. A. Hasjmy, ed, Sejarah Masuk dan Berkembangnya

Islam di Indonesia (ttp: al-Maarif, 1981) hlm. 190. 77

Arun Kumar Dasgupta, Acheh in Indonesian Trade and Politics:

1600-1641 (England: University of Microfilm, 1962) hlm. 7. 78

Anas Machmud, “Turun Naiknya Peranan Kerajaan Aceh

Darussalam di Pesisir Timur Pulau Sumatera,” dalam A. Hasjmy, Sejarah

Masuk Islam ..., hlm. 286. 79

H. M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, jilid I (Medan:

Pustaka Iskandar Muda, 1961) hlm. 592.

Page 69: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

58

Kenyataan yang signifikan untuk diungkapkan, adalah

bahwa Lamuri memainkan peran penting sebagai avenue of

commerce atau kutub perdagangan dunia Timur dan Barat. Lamuri

telah menjalin kerjasama niaga dengan Cina. Kerajaan ini juga

memiliki andil besar dalam lancarnya perdagangan global di Selat

Malaka.80

Dari sini, diyakini bahwa kapal dagang asing telah

banyak yang berlayar ke sana di masa itu.

Kerajaan Aceh yang lebih dikenal kemudian hari, semakin

berkembang sebagai kerajaan dengan nuansa kemaritiman yang

pekat. Sultan Johansyah dan para penggantinya saling bahu

membahu melanjutkan estafet modernisasi. Sejarah mencatat,

salah satu pembangunan fisik yang sibuk dilakukan oleh Raja

Aceh, adalah terjadi ketika kerajaan ini dipimpin oleh Sultan

Alaiddin Inayat Syah Johan Syah (1408-1465), raja ke enam Aceh.

Sang sultan menyeponsori pendirian istana di Darul Kamal (Daroy

Kamomeu) dan memindahkan pusat pemerintahan dari Ramni

(Lamuri) yang terletak di Kampung Pandee ke Darul Kamal. Istana

tersebut juga dipercantik dengan kolam dan taman yang indah bagi

permaisurinya.

Sebelum turun tahta, Alaiddin Inayatsyah membagi

kerajaan Aceh menjadi dua yang diperuntukkan bagi kedua

anaknya. Pusat pemerintahan di Darul Kamal diperintah oleh

Muzaffarsyah, ia didapuk menjadi pewaris ayahnya menjadi raja

ke 7 Aceh. Anaknya yang lain, Munawarsyah menempati pusat

pemerintahan di Mekuta Alam yang terletak di seberang sungai

Aceh (Krueng Cedaih). Dualisme kerajaan ini kembali melebur

ketika Sultan Syamsu Syah bertahta (1497-1514), raja ke 8 Aceh.

Ia merupakan anak dari Munawarsyah. Penyatuan ini terjadi ketika

ia meminang putri pamannya, Muzaffarsyah, yang kemudian

setelah melalui beberapa usaha politik internal yang rapi,

penyatuan kerajaan dapat terjadi. A.K. Dasgupta juga mendukung

pendapat yang mengatakan bahwa sosok yang menjadi pemersatu

Aceh adalah Syamsu Syah.81

80

A. K. Dasgupta, Acheh in Indonesian ..., hlm. 7. 81

Dasgupta, Acheh in Indonesian ..., hlm. 36.

Page 70: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

59

Terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa pendiri

kerajaan Aceh Darussalam. Segolongan ada yang meyakini Aceh

Darussalam merupakan kelanjutan atau merupakan pengembangan

lebih lanjut dari kerajaan Aceh yang didirikan oleh Meurah Johan.

Yang lain percaya bahwa Aceh Darussalam baru timbul ketika Ali

Mughayyatsyah bertahta. Pendapat demikian diyakini oleh

Anthony Reid.82

Lebih lanjut menurutnya, kesultanan Aceh adalah buah dari

penaklukkan Ali Mughayyat Syah atas seluruh pantai utara yang

diselesaikannya hanya dalam waktu 4 tahun (1520-24). Hal ini

dilakukannya karena menimbang kebenciannya pada Portugis yang

di saat yang sama sedang giat-giatnya melakukan intervensi di

sekitar Aceh. Bahkan, dari beberapa catatan sejarah menyebutkan

bahwa pengangkatan Ali Mughayyat Syah dikaitkan dengan

wahyu Ilahi yang datang padanya oleh sebab darah kedinastian

para pendahulunya. Catatan pertama dalam Bustanus Salatin

mengungkapkan bahwa raja pertama Aceh adalah Ali Mughayyat

Syah.83

Jika mencermati uraian ini, maka persepsi yang terbentuk

adalah bahwa Aceh Darussalam merupakan kerajaan yang baru

dibangun masa Ali Mughayyat Syah.

Pendapat berbeda diungkapkan oleh H.M. Zainuddin yang

mengungkapkan bahwa Ali Mughayyat Syah merupakan raja Aceh

yang mempersatukan Aceh dengan daerah-daerah sekitarnya

sehingga membentuk Aceh Raya. Ia merupakan putra dari raja ke 8

Aceh, Sultan Syamsu Syah. Ayah Ali Mughayyat Syah inilah yang

memiliki inisiatif untuk menyatukan Aceh serta membentuk

kerajaan Aceh Raya yang baru terjadi ketika anaknya Ali

Mughayyat Syah bertahta. Peristiwa ini terjadi pasca keberhasilan

Aceh memukul mundur pasukan Portugis dari Pidie (Pedir).84

Jatuhnya Malaka benar-benar membawa angin segar bagi

geliat perniagaan maritim Aceh. Setelah memantapkan posisinya

secara politis, Portugis mulai memberlakukan kebijakan-kebijakan

82

Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra, Terj. Masri Maris (Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 2011) hlm. 93. 83

Anthony Reid, Menuju Sejarah ..., hlm. 93. 84

H.M. Zainuddian, Tarich Atjeh ..., hlm. 392-394.

Page 71: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

60

anti-Islam yang berujung pada eksodus besar-besaran para

pedagang Muslim lintas negeri dari sana. Banyak dari pedagang itu

memilih pelabuhan-pelabuhan Aceh sebagai kelangsungan

perekonomian mereka. Portugis juga memberlakukan blokade bagi

armada-armada dagang Muslim untuk tidak melewati rute

tradisional yakni melalui selat Malaka dan mengalihkan mereka

via pesisir barat Sumatra kemudian masuk laut Jawa dengan

melalui selat Sunda.

Kenyataan tersebut membawa keuntungan sendiri bagi

perdagangan internasional Aceh dan hal yang sama terjadi pada

Banten (Bantam). Diaspora pedagang Muslim banyak yang

tertambat di pelabuhan Aceh dan Banten. Dijelaskan pula oleh

Dasgupta, sebenarnya yang menuai keuntungan besar bukanlah

pelabuhan di Aceh Besar, melainkan Pasai. Pada permulaan abad

16, Pasai dan Pedir merupakan pusat perdagangan di kawasan selat

Malaka. Sedangkan kawasan selain dua negeri itu, termasuk

pelabuhan Aceh Besar, merupakan pilihan alternatif bagi para

pedagang Muslim.85

Baik Pasai maupun Pedir akhirnya mampu

dikuasai Aceh, masing-masing pada 1524 dan 1521.86

Di

kemudian hari dua pelabuhan ini menjadi spot pertarungan yang

mempertajam pertikaian Aceh dan Portugis.

Selain dikenal sebagai sentra perdagangan dunia, Aceh

Darussalam juga merupakan kerajaan Islam yang memiliki

pengaruh kuat di sebagian besar Sumatra dan Semenanjung

Malaya. Teuku Iskandar menyebutkan bahwa daerah kekuasaan

Aceh, merujuk pada surat yang dikirimkan Raja James I dari

Inggris dikatakan bahwa pada pantai bagian timur (Sumatra)

mencakup Lubuk, Pidir (Pedir), Samarlanga, Pesangan, Pasai,

Perlak, Besitang, Tamiang, Deli, Asahan, Tanjung, Panai, Batu

Sawar, Perak, Pahang dan Inderagiri, sedangkan di pantai barat

meliputi Calang, Daya, Barus, Pasaman, Tiku, Pariaman, Salida,

Inderapura, Selebar, Palembang dan Jambi. Dengan pengecualian

85

Dasgupta, Acheh in Indonesian ..., hlm. 34-35. 86

Amirul Hadi, Aceh; Sejarah, Budaya dan Tradisi (Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia, 2010) hlm. 40.

Page 72: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

61

Palembang dan Jambi, dalam masa yang pendek atau panjang,

seluruh kerajaan itu termasuk dalam wilayah teritorial Aceh.87

Terlihat dari uraian di atas, Aceh ingin agar wilayah

Sumatera dan Semenanjung Malaya, hendaklah berada di bawah

pengaruhnya. Ini tentu berhubungan dengan kekhawatiran pejabat

istana Aceh terkait aktivitas bangsa Eropa yang semakin gigih

melakukan diplomasi dengan penguasa lokal. Selain Portugis,

VOC pun kerap melakukan manuver politik agar maksudnya untuk

menjalin kerjasama perdagangan dapat tercapai.

Palembang dan Jambi merupakan pengecualian, oleh sebab

dua kerajaan itu juga memiliki pengaruh politik yang cukup kuat di

sekitar pantai Timur Sumatra bagian tengah. Hal ini bisa

dibuktikan pada kebijakan luar negeri dua kerajaan itu, yang dalam

penetapannya tidaklah perlu diketahui atau bahkan diintervensi

oleh Aceh. Misalnya saja, pada 1616, Palembang menjalin

kerjasama dengan VOC dalam bidang perdagangan. Andreas

Soury, wakil VOC di Jambi mengirim hadiah ke Raja Palembang,

Pangeran Madi Ing Angkoso (memerintah 1594-1627). Bersamaan

dengan itu, diutarakanlah keinginan VOC untuk menjalin

kerjasama dengan Palembang. Menginjak 1619, telah berdiri

kantor perwakilan dagang VOC di Palembang.88

Aktivitas VOC di

kerajaan ini tetap terjaga hingga munculnya ketegangan, antara

Palembang dan VOC, yang terjadi akibat perjanjian 20 Oktober

1642.89

Jika Andreas Soury berada Jambi, maka bisa dipastikan

bahwa di wilayah itu, yang menurut informasi di atas Jambi masuk

wilayah Aceh, telah terdapat aktivitas VOC.

Seiring dengan majunya perdagangan, maka berdampak

positif pula pada perkembangan ilmu pengetahuan di tengah

87

Teuku Iskandar, “Aceh ad a Muslim-Malay Cultural Centre (14th –

19 th Century”, makalah dipresentasikan pada First International Conference

Aceh and Indian Ocean Studies, pada 24 – 27 di Banda Aceh, hlm. 17-18. 88

Husni Rahim, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam; Studi tentang

Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial Belanda (Ciputat: Logos

Institut, 1998) hlm. 70-71. 89

Perjanjian ini memungkinkan pihak VOC untuk mempengaruhi

kebijakan dalam dan luar negeri Palembang. Lihat Husni Rahim, Sistem dan

Otoritas ..., hlm. 72.

Page 73: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

62

masyarakatnya. Sejak masa yang lama, bahkan sebelum Aceh

Darussalam berdiri, Aceh telah dikenal sebagai pusat ilmu

pengetahuan di kawasan Asia Tenggara. Ketika Kerajaan Pasai

berada pada masa keemasannya, wilayah Aceh sudah dikenal

memiliki reputasi sebagai kiblat keilmuan di mata kerajaan-

kerajaan tetangga.

Untuk mendukung pernyataan ini, terdapat beberapa cerita

masa lalu yang dapat memperkuat anggapan demikian. Suatu

ketika, Sultan Mansur Syah (wafat 1477) Raja Malaka menerima

hadiah dari Maulana Abu Bakar, seorang ulama yang mengunjungi

Malaka, yakni sebuah kitab berjudul Darul Mazlum, karya

Maulana Abu Ishaq. Maulana Abu Bakar sendiri tak lain adalah

murid dari sang penulis kitab. Setelah menerima kitab tersebut,

Mansur Syah meminta sorang ulama Pasai, bernama Makhdum

Patakan untuk menerjemahkannya. Di waktu yang bersamaan,

penguasa Malaka ini juga menanyakan beberapa persoalan

keagamaan. Bahkan pada masa Sultan Mahmud Syah (wafat

1530), pernah mengirim delegasi di bawah pimpinan Tun

Muhammad untuk menanyakan beberapa persoalan teologi ke

Pasai.

Ketika Aceh Darussalam mulai naik menjadi pusat

peradaban, perlahan namun pasti, posisi Pasai sebagai kota ilmu

diambil alih oleh Banda Aceh, ibukota Aceh Darussalam. Tradisi

kedatangan para ulama dari mancanegara terus berlanjut. Terdapat

renovasi fungsi ulama di Aceh pada abad 17. Keberadaan ulama

bukan lagi hanya terbatas mengurusi masalah keagamaan namun

juga merambah pada dimensi kenegaraan dan politik. Peran

barunya ini membuat kalangan agamawan dapat meramaikan

tradisi intelektual di lingkungan istana. Kedudukan mereka bukan

dianggap sebagai politikus murni, melainkan tetap dipandang

sebagai tokoh agama dan ilmuwan.90

Oleh karena banyaknya bangsa asing yang berkunjung ke

Banda Aceh, membuat kota ini menjadi kota kosmopolit yang

bercirikan pada kemajemukan dan keterbukaan. Realitas tersebut

90

Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 156-158.

Page 74: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

63

turut pula merevolusi pandangan budaya masyarakat kota, dari

sebelumnya terlokalisir menjadi heterogen baik suku bangsa

maupun budayanya. Salah satu bentuk kasus yang menarik adalah

diberlakukannya bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kerajaan,

bukan bahasa Aceh. Dalam pada itu, Leonard Y. Andaya

menyebut kota Aceh ini sebagai “model masyarakat Melayu Aceh

abad 17”.91

Hal posistif yang didapat dalam fenomena ini adalah

bahwa Aceh Darussalam telah berhasil membangun standar

komunikasi Melayu-Islam yang lebih baik ketimbang apa yang

dilakukan oleh Malaka. Walaupun dapat dikatakan bahwa Aceh

abad 17 belum sepenuhnya merupakan pewaris kebudayaan

Melayu kerajaan Malaka, namun kerajaan ini telah berhasil

memodifikasinya dengan citra islami yang lebih kuat.92

Potensi kemanusiaan dan ekonomi yang melimpah

membuat Aceh menginjak abad 16 hingga pertengahan abad 17

menjadi kerajaan terkemuka di Asia Tenggara. Stabilitas politik

dan sosial yang terjaga, merupakan modal penting dalam

mengagendakan kebijakan-kebijakan politik jangka panjang.

Sebagaimana telah diutarakan, keinginan pihak kerajaan Aceh

menjungkalkan Portugis merupakan agenda politik luar negeri

yang belum terselesaikan.

Dalam upayanya membendung pengaruh Portugis, para

penasehat perang dan jendral Aceh berdiskusi panjang mengenai

kemungkinan memodernisir alutsista serta ketentaraan Aceh.

Ketika hasilnya disodorkan kepada Sultan Aceh, ia pun

menanggapi dengan positif. Momen penting dalam sejarah

kemiliteran kerajaan ini adalah ketika membuka hubungan dengan

Turki Usmani, kerajaan Islam yang dipandang sebagai pemimpin

dunia Islam.

Bantuan Turki yang cukup besar bagi Aceh pertama kali

dicatat berangka tahun 1537 atau 1538; tidak lama sebelum atau

setelah armada Turki di bawah pimpinan Suleiman Pasha,

91

Leonard Y. Andaya, “The Seventeenth Century Acehnese Model of

Malay Society”, makalah dipresentasikan pada pertemuan tahunan AAAS

(American Association of Asian Studies) di Boston, 11-14 Maret 1999. 92

Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 167.

Page 75: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

64

gubernur Mesir, menghancurkan suatu armada Portugis. Pada

1537, Turki mengajak negeri-negeri Islam lewat pengiriman

utusan ke Gujarat dan pelabuhan-pelabuhan Arab guna meminta

dukungan bagi serangan atas Portugis. Reid menduga para

penguasa Turki sudah mengenal duta-duta dagang Aceh yang

memasok kebutuhan lada ke Turki.93

Besar kemungkinan bantuan

ini kemudian digunakan Aceh untuk mengadakan gempuran

pertama atas Malaka pada September 1537. Bantuan itu diterima

Aceh ketika kerajaan ini berada di bawah tampuk Sultan Alaiddin

Riayat Syah al-Kahar (1537-1568).

Nuruddin ar-Raniri sempat mengabadikan usaha Sultan al-

Kahar membangun hubungan diplomatinya dengan Turki, yang

tercatat dalam karyanya, Bustanussalatin, berikut ini:94

... Ialah yang mengadatkan segala istiadat

kerajaan Aceh Darussalam. Dan menyuruh utusan

kepada Sultan Rum ke Negeri Istambul.karena

menikahkan agama Islam. Maka dikirim Sultan

Rum daripada jenis utus dan pandai yang tahu

menuang bedil. Pada zaman Sultan itulah dituang

orang mariam-meriam yang besar-besar.

Bantuan berupa Pasukan serta persenjataan yang

didatangkan dari Turki tersebut digunakan pula untuk

memperlebar pengaruh Aceh dengan mengadakan serangkaian

penundukkan. Orang-orang Batak dan kerajaan Aru –

kekuasaannya pernah meliputi timur laut Sumatra – merupakan

sebagian lawan Aceh yang merasakan serangan sporadis tentara

bantuan Turki.

Kendati hubungan diplomatik Aceh dengan Turki hampir

seluruhnya berada pada masa stagnansi menginjak tahun 1580,

tidak berimplikasi pada pengaruh yang ditularkannya dalam tradisi

kemiliteran Aceh. Taktik militer, teknik menggunakan senjata

maupun artileri telah mendarah daging di kalangan prajurit Aceh

93

Anthony Reid, Menuju Sejarah ..., hlm. 70. 94

Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin bait 12 dan 13, Perpustakaan

Nasional Republik Indonesia dengan nomor panggil ML 422, hlm. 13.

Page 76: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

65

berkat ajaran para guru-guru militer Turki yang kemudian

meninggalkan Aceh. Salah satu kegemilangan yang ditunjukkan

pasukan Aceh yang dipengaruhi oleh langgam militer Turki,

adalah terjadi ketika penaklukkan Deli pada 1612. Kala itu

sepasukan Aceh membangun parit-parit guna melontarkan

serangan ke dalam kota yang dipertahankan dengan baik oleh

Portugis.95

Besar kemungkinan metode bertahan-menyerang

macam ini berasal dari Turki.

Baikuni Hasbi menyitir kesaksian Ferdinand Mendez Pinto,

seorang pelaut Portugis, yang berada di Aceh pada tahun 1539,

tentang kebenaran orang Turki di Aceh. Saat itu, ia melihat 300

orang prajurit Turki yang ikut serta dalam perang melawan Suku

Batak yang terjadi pada tahun 1540. Ia juga menerangakn bahwa

saat itu para pasukan Turki membawa senjata-senjata canggih yang

membantu kemenangan Aceh atas lawannya. Keberadaan bantuan

Turki ini, sebenarnya telah lama ditunggu-tunggu oleh Sultan

Aceh. Penyebutan “ditunggu-tunggu” dalam catatan Pinto ini,

menurut Baikuni mengesankan bahwa sebenarnya hubungan

Sultan Aceh dengan Turki terjalin lebih awal, dibandingkan

dengan bukti-bukti tertulis yang ada. Dalam sumber lain dikatakan

bahwa hubungan antara Aceh dan Turki baru terjalin pada 1560,

20 tahun lebih lambat dari yang dipaparkan Pinto.96

Oman Fathurrahman mengakui, studi mengenai hubungan

Turki dengan Aceh, termasuk koneksi intelektual, memang masih

jarang. Meskipun begitu, bukan berarti tidak ada sama sekali

pengaruh Turki di Asia Tenggara, termasuk Aceh. Misalnya saja

kitab Barzanji, yang ditulis oleh Ja‟far bin Hasan bin Abd al-

Karim al-Barzanji (1690-1766), adalah anggota dari keluarga

ulama dan Syekh tarekat yang berpengaruh di Kurdistan Selatan,

yang memasukkan pengaruh Kurdi di Asia Tenggara. Martin van

Bruinessen mengakui bahwa Kitab Barzanji merupakan teks

keagamaan yang populer di Nusantara. Dalam contoh lain, Baba

Dawud al-Jawi bin Ismail bin Agha Mustafa bin Agha Ali al-

95

Lebih lanjut mengenai hubungan Aceh dengan Turki, lihat Anthony

Reid, Menuju Sejarah ..., hlm. 68-87. 96

Baiquni Hasbi, Relasi Kerajaan Aceh Darussalam dan Kerajaan

Ustmani (LSAMA: Banda Aceh, 2011) hlm. 53.

Page 77: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

66

Rumi, membantu Syekh Abdurrauf Singkel menyelesaikan salah

satu karyanya yang berjudul Tarjuman al-Mustafid, suatu tafsir al-

Qur‟an berbahasa Melayu, sebagaimana yang tertulis dalam

kolofon di teks aslinya.97

Perkembangan keilmuan dan peradaban semakin meninggi,

manakala Aceh berada di bawah kekuasaan Iskandar Muda yang

naik tahta pada tahun 1607. Jika sebelumnya perkembangan Aceh

banyak diutarakan seputar perkembangan politik dan militer, maka

sektor agama, perdagangan, sosial, arsitektural dan tata kota

mengalami perkembangan pesat di era kepemimpinan raja ini.

Denys Lombard menyebutkan bahwa di era Iskandar

Muda, Aceh Darussalam berupaya meningkatkan devisa kerajaan

melalui monopoli perdagangan. Lada menjadi salah satu

komoditas yang kerap dipergunakan untuk mendapatkan

keuntungan berlebih dari sektor ini. Orang-orang asing yang ingin

berniaga di bandar-bandar kekuasaan Aceh diwajibkan

memperoleh surat pas sesuai dengan aturan kerajaan. Bea cukai

menjadi sektor pendapatan organisasi pelabuhan yang juga

menjanjikan bagi pertambahan kas kerajaan. Augustin de Beaulieu,

yang mengunjungi Aceh pada 1620-1, menerangkan bahwa bea

cukai Aceh semakin bertambah melimpah setiap tahunnya.98

Lewat perdagangan ini, Aceh berusaha untuk menjadi yang

paling terkemuka dalam sektor perdagangan. Jatuhnya Malaka

pada 1511, benar-benar menimbulkan berkah tersendiri bagi

perkembangan niaga Aceh, terutama dari penjualan lada. Lada

dimanfaatkan pihak kerajaan untuk mendapatkan untung yang

berlimpah dari berbagai kapal mancanegara yang dinggah di Aceh,

antara lain berasal dari Inggris, Prancis, Spanyol, Portugis, Keling,

Pegu dan bangsa lainnya.99

97

Oman Fathurrahman, “New Textual Evidence for Intellectual and

Religious Connections between the Ottomans and Aceh” dalam A.C.S. Peacock

and Annabel Teh Gallop, ed, From Anatolia to Aceh; Ottoman, Turks and

Southeast Asia (Oxford: Oxford University Press, 2015) hlm. 293-294. 98

Denys Lombard, Kerajaan Aceh; Jaman Sultan Iskandar Muda

(1607-1636), Terj. Winarsih Arifin (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) hlm. 137-138. 99

Denys Lombard, Kerajaan Aceh ..., hlm. 136.

Page 78: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

67

Melalui keuntungan perniagaan Aceh pun membangun

faslitas keagamaan yang lebih baik. Di masa ini, masjid

Baiturrahman dibangun. Merujuk pada penjelasan Ar-Raniri, di

masa ini, sang raja banyak membangun masjid-masjid di tempat

lainnya.100

Dari masjid-masjid inilah yang kemudian menginisiasi

pendirian lembaga pemerintaha tingkat desa yang disebut

mukim.101

Dengan begitu dapat dikatakan bahwa dimensi

keagamaan Aceh yang tercermin melalui banyaknya pendirian

masjid, telah ikut memodernisir tata pemerintahan pedesaan agar

lebih teratur dan senantiasa terhubung dengan pemerintah pusat.

Kerajaan juga memikirkan tentang kelangsungan hidup warga

miskinnya dengan rutinitas pemberian santunan pada setiap hari

Jumat.102

Masjid di abad 16 dan 17, kerap difungsikan juga sebagai

tempat pendidikan. Banyak ulama dari India, Turki, Arab dan

Persia yang didatangkan untuk memberikan kuliah mengenai

pelbagai disiplin ilmu keagamaan. Di samping itu, untuk

menunjang kepakaran para sarjana, kerajaan juga membangun

sarana tempat diskusi yang secara berkala mengadakan pertemuan

keilmiahan. Di antara bangunan itu adalah Balai Setia Hukama,

Balai Setia Ulama dan Balai Jamaah Himpunan Ulama.103

Infrastruktur keagamaan yang telah banyak terbangun

membawa dampak positif bagi perkembangan Aceh selaku sentra

keilmuan. Banyak ulama-ulama terkenal yang bukan hanya dikenal

melalui kebesaran namanya semata, melainkan juga karya yang

yang telah mereka buat. Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-

Sumatrai104

merupakan dua ulama yang amat dikenal pada periode

100

Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin bait 12 dan 13, Perpustakaan

Nasional Republik Indonesia dengan nomor panggil ML 422, hlm. 16. 101

Ridwan Azwad, peny, Lembaga-lembaga Tradisional di Aceh

(Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2003) hlm. 2. 102

Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin ..., hlm. 16. 103

M. Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh (Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia, 2014) hlm. 118. 104

Dua nama ulama ini kerap disebutkan pernah bertemu bahkan ada

yang menganggapnya memiliki hubungan guru-murid. Hasil temuan Ludvik

Kalus dan Claude Guillot menunjukkan bahwa Hamzah Fansuri sama sekali

tidak pernah berdekatan dengan pergaulan istana Aceh era Sultan Alauddin,

Page 79: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

68

ini. Nama yang pertama dikenal sebagai seorang mistikus sufi

yang banyak menulis syair tasawuf seperti Syair Perahu, Syair Si

Burung Pangai, Syair Dagang dan lain-lain.105

Syamsuddin as-

Sumatrai diketahui merupakan ulama pendamping pemerintahan

Iskandar Muda. Ar-Raniri menyebut as-Sumatrai sebagai ulama

pakar tasawuf yang mengarang beberapa kitab.106

Sejumlah tulisan

as-Sumatrai antara lain adalah Mir’at al-Mu’min, Mir’at al-

Muhakkikin, Syarh Rubba’i Hamzah Fansuri dan lain-lain.107

Era kekuasaan Sultan Iskandar Thani merupakan era di

mana peradaban Aceh mulai dipenuhi dengan pelbagai

perkembangan arsitektur yang artistik. Di masa inilah dibangun

kebun luas yang indah bernama Taman Gairah. Taman ini

dipenuhi dengan tumbuhan aneka jenis dan di tengahnya dialiri

sungai. danau juga dibangun di tengah taman. Pintu Khop dan

Gunungan, salah satu bangunan indah di Banda Aceh kini,

dibangun pada masa Iskandar Thani.108

apalagi era Sultan Iskandar Muda. Ia dikatakan sudah meninggal di Mekkah

pada tahun 1527, saat kerajaan Aceh baru saja lahir. Di salah satu batu nisan di

pekuburan Bab al-Ma‟la di Mekkah bertuliskan nama Syaikh Hamzah bin

Abdullah al-Fansuri yang meninggal pada 9 Rajab 933 H atau 11 April 1527.

Jika melihat pada rentang waktunya, besar kemungkinan antara Hamzah Fansuri

dan Syamsuddin as-Sumatrai tidak pernah berjumpa. Lihat Ludvik Kalus dan

Claude Guillot, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia (Jakarta: Kepustakaan

Populer Gramedia, 2008) hlm. 71 – 72. Temuan Kalus dan Guillot ini mendapat

sanggahan dari V.I. Braginsky yang mempertanyakan otentisitas dokumen yang

dijadikan sumber utama. menurutnya, sumber inskripsi itu perlu dipertanyakan,

mengingat yang didapat oleh Kalus dan Guillot adalah kopian dan bukan batu

nisan aslinya. Sepertinya dokumen tersebut sudah tidak mungkin lagi

dicocokkan kembali, diperiksa ulang dan dihadapkan dengan dokumen aslinya.

Lihat V.I. Braginsky, “On the Copy of Hamzah Fansuri‟s Ephitat Published by

C. Guillot & L. Kalus”, Archipel 62, 2001, hlm. 21-23. 105

Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Jilid 1 (Medan: P.T.

Percetakan dan Penerbitan Waspada Medan, 1981) hlm. 248. 106

Nuruddin Ar-Raniri, Bustanussalatin ..., hlm. 15. 107

M. Dien Madjid, Catatan Pinggir ..., hlm. 126. 108

Nuruddin Ar-Raniri, Bustanussalatin ..., hlm. 25-27.

Page 80: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

69

B. Aceh Melawan Portugis

Kedatangan Portugis di belahan barat Nusantara membawa

akibat besar dalam bidang politik dan ekonomi. Pada tahun 1511,

terdapat 19 kapal Portugis yang dipimpin Alfonso d‟Albuquerque

menuju pulau Sumatera. Motif kedatangan Portugis didasari oleh

semangat menemukan dunia baru dengan maksud untuk

mendapatkan hasil bumi berupa rempah-rempah yang dibutuhkan

Eropa dengan harga yang lebih murah. Seperti bangsa Eropa

lainnya, Portugis melakukan pelbagai upaya guna mendapatkan

laba besar dari hasil dagangnya.

Kantor dagangnya dibangun berbarengan dengan

mengkonstruksi tata kelola bidang pertahanan. Portugis tak segan

untuk menggunakan jalur politik, dengan mengambil hati para raja

lokal, Bahkan jika terdapat raja yang berseberangan dengan

kepentingan mereka, ultimatum peperangan pun kerapkali mereka

lakukan untuk membuat raja itu gentar. Pelan namun pasti,

Portugis bukan saja mengalami penguatan dalam segi ekonomi

tetapi juga pengaruh politik di utara Sumatera yang diupayakannya

sebagai sarana memperkokoh diri sebagai penguasa .109

Menurut Abdul Aziz bin Zakaria, munculnya Portugis

dalam dunia pelayaran dan perniagaan mempunyai tujuan konkret

yakni untuk menggunting jalur relasi orang-orang Arab dengan

dunia Timur. Pada mulanya, penaklukan Aden yang merupakan

salah satu dermaga dagang teramai di Asia selain Jeddah dan

Malaka, oleh Portugis dianggap cukup sebagai pelajaran bagi para

saudagar Muslim. Namun, yang terjadi justru sebaliknya,

rombongan dagang Arab masih saja bebas lalu lalang. Dengan

mengusai Malaka, agaknya niat mereka-walaupun tidak semuanya

tercapai-boleh dikatakan terpenuhi. Malah, dalam beberapa

pertimbangan ekonomis dipandang lebih menguntungkan. Malaka

yang sejatinya merupakan pelabuhan ramai di kawasan selat selain

109

H. Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Jilid I (Medan: PT

Percetakan dan Penerbitan Waspada, 1981), hlm. 161.

Page 81: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

70

aktif dikunjungi orang Arab, juga dipenuhi pula oleh orang Cina

dan Jepang.110

Pada tahun 1521, setelah sebelumnya terlibat dalam perang

saudara kerajaan Pasai, Portugis mampu menyisihkan Sultan

Zainal Abidin Raja Pasai sebelumnya, dan mendirikan benteng

yang kuat di kerajaan itu. Pun dengan yang terjadi di Pedir,

Portugis berhasil melemahkan Raja Pedir yang dilanjutkan dengan

pembangunan basis militer yang kuat. Jatuhnya dua kerajaan ini

semakin menyemburatkan rona merah di langit-langit Aceh.

Peristiwa ini ditafsirkan sebagai sebuah seruan untuk memanggul

senjata dan mengusir bangsa Portugis dari tanah Aceh.

Sebenarnya, friksi tajam yang membelah Aceh dan

Portugis tidak saja terpantik ketika telah menyinggung Malaka.

Nun jauh di perairan internasional, yakni di Samudera Hindia, para

pelaut Aceh sudah kenyang dianiaya oleh para perompak Portugis.

Pada tahun 1534, Diogo de Silveira dengan kapal-kapal perang

Portugis di bawah komandonya, menjarah kapal dagang saudagar

Gujarat dan Aceh di kawasan pintu masuk perairan laut Merah.

Hal seperti ini rajin dilakukan Portugis untuk memadamkan gelora

eksistensi Laut Merah yang kala itu sedang bergeliat sebagai kiblat

perdagangan dunia pada abad ke 16.

Sumber-sumber Portugis melansir pada bulan Juni 1564

sekitar 23 kapal yang memuat 1800 kuintal lada dan 1300 kuintal

rempah-rempah yang lain, dibawa dari Aceh, Baticola, dan

Malabar memasuki Jeddah. Aktivitas perdagangan ini lantas

mendongkrak surplus Jeddah yang berakibat pada surutnya harga

rempah dan lada di tempat lain. Keadaan ini cukup menggusarkan

Portugis yang sejak lama bercita-cita menjadi kampiun distributor

utama rempah yang sebelumnya dipegang oleh Mesir dan Italia.

Untuk meluluskan keinginannya itu, serangkain serangan

laut disiapkan untuk memukul para pelaut dan saudagar dari negeri

lain, tak terkecuali Aceh. Pada tahun 1554/1555, dua rombongan

kapal perang disiagakan di pintu masuk laut Merah mengemban

110

Abdul Aziz bin Zakaria, Sejarah Kenaikan dan Kejatohan

Kekuasaan Portugis di Melaka ( London: Macmillan & Co, 1953) hlm. 37.

Page 82: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

71

perintah mencegat misi dagang Gujarat dan Aceh. Ekspedisi

serupa juga dikirim ke Suwaihili. Selanjutnya pada tahun 1559,

dua kapal besar dan 18 perahu dayung yang dipersenjatai, diutus

ke laut Merah dengan misi yang sama. alih-alih memetik buah

yang manis, ekepedisi-ekpedisi yang konon menelan biaya super

mahal di zamannya ini gagal total menjalankan tugasnya.111

Adalah Sultan Ali Mughayat Syah (memerintah pada 1514-

1530), Sultan Aceh yang dikenang sebagai pahlawan besar yang

mengusir Portugis dari bumi Rencong. Di tengah persiapan Aceh

menyambut badai Portugis itu, tiba-tiba ketentraman ruang publik

Aceh digetarkan oleh hadirnya suatu percobaan sepasukan armada

Portugis di bawah pimpinan Gaspar de Costa di Kuala Aceh pada

tahun 1519. Pihak Aceh pun kemudian memberangkatkan

pasukannya untuk menghadang laju lawannya. Oleh karena

pengetahuan medan yang mumpuni, pasukan Aceh bisa memukul

mundur Portugis secara telak. Beberapa awak kapal Portugis

terbunuh dalam insiden tersebut, sementara yang lain, termasuk de

Costa sendiri berhasil ditawan. De Costa akhirnya dibebaskan oleh

Nina Cunapam, Syahbandar Malaka, yang membayar tebusan

kepada Raja Aceh. Sang Syahbandar membawa de Costa kembali

ke Malaka. Tidak lama berselang, sebuah kapal dagang Portugis di

bawah pimpinan Joao de Lima diserang di dekat pelabuhan Aceh.

Dalam penyerbuan ini, semua orang Portugis mati terbunuh.

Kejadian ini membuat marah d‟Albuquerque . Pada tahun

1521, dibentuklah armada perang yang lebih besar dan kuat yang

kali ini dipimpin oleh panglima Jorge de Brito dengan diperkuat

200 tentara. Mereka berangkat dari pangkalan perangnya di

sebelah barat India. Dengan lantang dan penuh rasa dendam

mereka menuju perairan Aceh. Tak lama kemudian, selaksa kapal

tempur Aceh menghampiri mereka dengan pekik takbir yang

membahana. Segera, terjadi perang tanding di antara keduanya.

Sumber lain memberitakan bahwa kekuatan tempur Aceh saat itu

terdiri dari 8000 pasukan dan 8 gajah. Untuk kali kedua, serangan

Portugis dapat dipatahkan. De Brito sendiri tewas dalam

pertempuran. Sisa-sisa armada Portugis lari tunggang langgang

111

Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 57-58.

Page 83: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

72

menuju Pedir, yang saat itu sudah menjadi sekutunya. Di pihak

lain, bukannya kembali, pasukan Aceh memutuskan untuk

mengejar mereka ke manapun mereka lari.

Setibanya di Pedir, sisa-sisa Portugis yang dibantu pasukan

koalisi Pedir mampu dilumpuhkan. Sisa-sisa pasukan tersebut

kembali pulang ke Pasai yang diikuti pula oleh Sultan Ahmad,

Raja Pedir. Seperti halnya yang terjadi di Pasai, perang yang

digelar pasukan Aceh tak dapat dielakkan. Tanpa mengenal kata

lelah, mereka membobol pertahan koalisi pasukan musuh dan

memengankan pertempuran tersebut. Selain itu, pasukan Aceh

mendapatkan beragam persenjataan Portugis yang berserakan di

medan perang. Selain senjata, pasukan Aceh juga mendapatkan

sebuah lonceng besar yang disebut “Cakra Donya”. Lonceng ini

masih dapat dilihat di pelataran Museum Aceh di Banda Aceh.112

Dalam kampanye perang ini, pasukan Aceh dikomandoi oleh

Ibrahim yang tak lain adalah adik Sultan Ali Mughayyat Syah.113

Dengan keberhasilan mengusir Portugis dari Daya (1520), Pedir

(1521), dan Pasai (1524), Ali Mughayyat Syah berhasil

merentangkan pengaruh Aceh yang kuat di atas supremasi tiga

kerajaan itu.

Adanya pengaruh Portugis di kerajaan lokal seperti Pasai

dan Pedir, merupakan bukti betapa Portugis ingin mengancam

kedaulatan Aceh. Dua wilayah ini terletak di ujung daratan atas

Sumatra. Jika wilayah ini tidak segera dikuasai Aceh, demikian

hemat para ahli strategi Aceh, maka bukan tidak mungkin

kedudukan ibukota Aceh Darussalam akan terancam. Terlebih jika

musuh telah membangun kota berbenteng, seperti yang ditemui di

kota Malaka, maka penundukan dua kerajaan ini tentu sulit

dilakukan.

Pasca penaklukan tiga kerajaan yang kedapatan bersekutu

dengan Portugis di atas dan sesudah meninggalnya Ali Mughayyat

112

Terdapat distingsi informasi mengenai keberadaan lonceng Cakra

Donya. Beberapa orang menganggap Lonceng ini merupakan peninggalan

laksamana Cheng Ho yang pernah mengujungi Raja Pasai pada awal abad ke 15.

Mohammad Said, Aceh Sepanjang ..., hlm. 168. 113

Mohammad Said, Aceh Sepanjang ..., hlm. 165-168.

Page 84: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

73

Syah pada tahun 1350, tidak ada ekspedisi militer yang besar

digelar antara kedua kekuatan yang saling berebut pengaruh itu.

Sejarah mencatat, hanya ada dua insiden kecil yang terjadi akibat

ekses dari friksi antara satu dengan yang lainnya. Insiden pertama

terjadi pada tahun 1528, saat Simao de Sousa, dalam perjalanannya

ke Maluku dari Cochin, terpaksa bersauh di pelabuhan Aceh

karena kapalnya diterjang badai. Mengetahui kejadian itu, orang-

orang Aceh beramai-ramai mendatangi kapal itu dan seketika

terlibat pertarungan seru antar kedua belah pihak. Pada akhirnya de

Sousa dan mayoritas bawahannya mati. Kejadian tragis itu tidak

hanya menimpa Portugis tetapi juga dialamatkan ke pihak Aceh.

Adalah Fransisco de Mello yang ditugaskan oleh atasannya untuk

memimpin sebuah kapal dalam perjalanan pulang dari Mekkah,

mengangkut para penumpang yang selesai melaksanakan ibadah

haji. Semua penumpang dan warga sipil itu dibunuh, terdiri dari

300 orang Aceh dan 40 orang Arab. Peristiwa sadis ini terjadi pada

tahun 1527 di lepas pantai Aceh.

Beberapa penggal wira carita Aceh melawan Portugis di

atas, menunjukkan komitmen Aceh untuk menamatkan kiprah

Portugis di seluruh perairan Sumatera dan sekitarnya. Beberapa

waktu kemudian, kebulatan tekad ini ditumpahkan dengan

menggelar persiapan perang raya untuk menggulung Portugis di

Malaka pada bulan September 1537. Baris-baris pasukan perang

ini dipimpin langsung oleh Sultan Alaiddin Riayat Syah al-Qahhar

(memerintah 1537-1568), putra Ali Mughayyat Syah. Serangan

dilakukan menggunakan manuver kejut yang didukung oleh sekitar

3000 tentara. Di malam pertama penyerangan, pasukan Aceh

berhasil mendarat di Malaka. Namun dua malam berikutnya,

mereka dipukul balik sehingga mereka dipaksa keluar ke perairan

kembali dengan menderita banyak kerugian.

Setahun setelah penyerangan pertama, Aceh menjulurkan

serbuan kedua pada tahun 1547, angkatan perang Aceh diperkuat

dengan 60 kapal dan 5000 pasukan. Pada babakan perang ini,

legiun Aceh berhasil menepi ke Malaka pada malam hari,

menduduki Upeh, membakar kapal-kapal Portugis yang diparkir di

pelabuhan dan menawan tujuh pelaut Portugis. Rangkaian

keberhasilan Aceh itu membuat nyali bertempur Portugis seketika

Page 85: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

74

ciut dan mengurungkan diri untuk berperang. Namun, keadaan

suram ini tidak berlangsung lama. Adalah Francis Xavier, tokoh

agama Portugis yang menyerukan seluruh perangkat militer untuk

berdiri tegap dan menyongsong setiap serangan dari lawan. Pada

kesempatan itu, Xavier menekankan bahwa kehadiran Portugis di

dunia Timur adalah mengemban amanah suci yang telah diberikan

inspirasi oleh Tuhan.114

Kendati berhasil mengepung Malaka, pasukan Aceh tak

kunjung berhamburan menyerbu Portugis, terlebih ketika datang

informasi yang menyatakan pihak lawan mengurungkan niat untuk

mengadakan perang terbuka. Untuk memperketat pengepungan

Malaka, pasukan Aceh segera melakukan blokade atas daerah itu.

Langkah ini dimulai dengan mendirikan sebuah benteng di Perlis

sebagai pangkalan untuk menghancurkan semua kapal yang datang

dari Goa, Bengal, Siam atau Pegu yang membawa pasokan

makanan dan bala bantuan bagi Portugis yang sedang terkepung.

Dengan jalan ini, para panglima Aceh berharap mampu menutup

semua gerbang masuk bagian utara selat Malaka atas semua kapal-

kapal Portugis dan dengan ini pula semua pasukan Portugis akan

semakin menderita dan mati kelaparan.

Apa yang diduga pihak Aceh sebelumnya, pada

kenyataannya jauh meleset. Tensi serangan yang setiap harinya

semakin menurun, dimanfaatkan pasukan Potugis untuk

membangun kembali taktik dan serangan mereka.115

Setelah

persiapan selesai, mereka segera menyerbu pasukan Aceh di

sungai Perlis dengan kekuatan 230 orang yang didukung oleh 10

kapal. Pada waktu yang sama, pasukan gabungan Johor, Perak, dan

114

Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 45. 115

Ahmad Jelani Halimi menjelaskan bahwa ketika Portugis menguasai

Malaka, sektor pertahanan maritim menjadi salah satu prioritas Portugis dalam

menjaga jalur-jalur perdagangan di sekitar Malaka. Beberapa pedagang selain

pedagang Asia, yang kedapatan kapalnya dilengkapi senjata, baik ringan

maupun berat, maka akan dipaksa untuk ikut memperkuat armada laut Portugis.

Inilah kemudian satu hal yang melatarbelakangi mengapa benteng Malaka

begitu kuat, sehingga Aceh amat kesulitan untuk menundukkannya. Lebih lanjut

lihat Ahmad Jelani Halimi, Perdagangan dan Perkapalan Melayu di Selat

Malaka Abad ke 15 Hingga Abad ke 18 (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan

Pustaka, 2006) hlm. 37-38.

Page 86: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

75

Pahang –yang bermusuhan dengan Aceh-disokong dengan 300

kapal perang dan 8000 prajurit berlayar menuju pelabuhan Malaka.

Rombongan bantuan militer beberapa kerajaan Melayu ini

ditengarai sebagai bentuk dukungan mereka terhadap Portugis,

sekaligus untuk menghancurkan lingkaran blokade yang dibangun

Aceh. Mereka menganggap Aceh sudah sedemikian jauh bertindak

sehingga mengganggu kepentingan ketiga kerajaan itu. Di pihak

lain, setelah melakukan pencarian pusat komando militer Aceh

selama dua bulan, akhirnya ditemukan bahwa lokasi itu berada di

sungai Perlis. Pasukan musuh langsung dialirkan ke tempat itu dan

begitu kedua kekuatan berjumpa, tanpa menunggu waktu lama,

pertempuran sengit pun terjadi, namun sayang, kali ini pihak

Portugis berhasil mengalahkan pasukan Aceh.116

Keikutsertaan beberapa kerajaan Melayu dalam perang

Aceh-Portugis merupakan salah satu indikasi betapa kentalnya

aroma perebutan pengaruh di perairan Malaka. Kerajaan-kerajaan

Melayu tersebut menyadari, mereka harus memihak salah satu di

antara dua kekuatan besar itu dan mereka memilih Portugis sebagai

pelindungnya. Memang, konsekuensi logisnya mereka akan tunduk

pada Portugis, tapi paling tidak hal itu yang mereka bisa lakukan.

Terlebih ketika menimbang jalannya peperangan, persenjataan

Portugis serta pengalaman mereka menundukkan negeri-negeri

India menjadi cukup bukti betapa Portugis memiliki peluang

kemenangan yang lebih besar, demikian hemat para raja Melayu

tersebut.

Portugis dianggap sanggup untuk menangkal sebaran

pengaruh Aceh yang massif. Pengalaman dalam beberapa

pertempuran terakhir menjadi bukti bahwa bangsa ini seimbang

dalam hal peperangan. Kelihatannya, raja-raja Melayu itu sudah

tidak lagi memandang perbedaan agama dan ras dari Portugis dan

yang ada dalam pikiran mereka adalah bagaimana memunculkan

lawan sepadan dengan Aceh, paling tidak untuk menghambat agar

mereka dapat menetukan arah kebijkan politik internasional dalam

beberapa waktu berikutnya.

116

Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 42.

Page 87: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

76

Setelah pertempuran besar dan melelahkan itu, kawasan

perairan selat Malaka kembali tenang. Tidak dijumpai lagi

kesibukan luar biasa di dua kutub kekuatan di sekitar perairan itu.

Meskipun demikian, pasukan Aceh tidak mengendurkan semangat

dan masih ingin mengalahkan pasukan Portugis. Dengan kata lain,

gesekan kuat masih melingkupi kedua belah pihak. Menginjak

tahun 1564, sekitar 15 tahun pasca kekalahan Aceh di sungai

Perlis, muncul kabar bahwa angkatan militer laut Aceh masih rajin

melakukan serangan kecil dan sabotase di perairan Malaka.

Keadaan perairan Malaka yang sempat tenang, kembali

diramaikan dengan keberadaan perang lanjutan. Peristiwa ini

terjadi pada tanggal 20 Januari 1568. Untuk kesekian kalinya,

Aceh bangkit lalu tampil berbekal pasukan bugar dan persiapan

lengkap berbaris menuju dermaga lantas berlayar ke Malaka.

Demikian pentingnya serbuan ini, sehingga Sultan Alaiddin Riayat

Syah, Raja Aceh kala itu, bertindak sebagai panglima tertinggi.

Sebagai bentuk kesungguhan menumpas musuh, istri dan tiga anak

lelakinya ikut pula ke medan perang. Amunisi perang Aceh terdiri

dari 300 kapal perang yang berkelompok-kelopok membelah selat

Malaka.117

Selain didukung 15.000 personel yang berasal dari

kekuatan Aceh dan negeri-negeri bawahannya, ekpedisi militer ini

diramaikan dengan kehadiran pasukan elit dari Turki sebanyak 400

orang berikut 200 meriamnya. Kehadiran pasukan Turki ini

merupakan dampak dari terjalin baiknya hubungan Aceh-Turki.

Persediaan kekuatan yang besar ini dianggap cukup untuk

menghancurkan Malaka, di mana saat itu Portugis tengah

merayakan hari ulang tahun Raja Sebastian. Saat itu, pertahanan

Malaka hanya dijaga oleh 1.500 orang, yang terdiri dari 200 orang

Portugis dan selebihnya adalah laskar militer yang direkrut dari

penduduk pribumi.

Pasukan penjaga di bagian tertinggi benteng Portugis yang

semula terlihat tenang mengawasi laut sekitar, seketika terbelalak

117

Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 43.

Page 88: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

77

melihat kekuatan musuh yang datang.118

Informasi segera dialirkan

ke pusat komando yang langsung diteruskan menjadi perintah siap

siaga penuh. Acara ulang tahun yang semula meriah kini berubah

menjadi wahana penuh kekalutan dan mencekam. Para warga

Malaka kemudian diungsikan. Lantunan musik seketika berganti

dengan instruksi komandan yang sibuk menempatkan pasukan.

Dom Lionis Pereira, panglima tertinggi Portugis di Malaka

terkejut mendengar informasi perkiraan kekuatan tempur Aceh. Ia

pun memerintahkan kurir mendatangi Johor dan Kedah untuk

menambah pasokan pasukan. Informasi ini datang terlambat,

sehingga bantuan baru datang ketika pasukan Portugis sedang

sibuk menahan gempuran pasukan Aceh. Semula pertempuran

terlihat seimbang, kedua pihak saling berebut menyerang dan

mendorong. Pertempuran ini masih belum bisa mengusir Portugis

dari Malaka. Merujuk sumber-sumber Portugis, sekitar 4.000

pasukan Aceh menjadi korban dalam pertempuran ini, termasuk

Abdullah, putra Raja Aceh yang menjadi Raja Aru. Dalam

perjalanan pulang, pasukan Aceh membakari beberapa desa

Johor.119

Kegagalan dalam penyerbuan ke Malaka di atas, ternyata

tidak juga menyurutkan niat Aceh mengeliminasi Portugis dari

konstelasi politik selat Malaka. Perang silih berganti masih sering

terjadi saat itu. Menginjak 1570, 14 kapal perang Potugis terlibat

peperangan seru dengan 60 kapal perang Aceh di pantai dekat

suatu pelabuhan Aceh. Manuver tajam disertai serangan yang

terpola menjadi pemandangan yang terhampar saat itu. Pada suatu

kesempatan, laksamana Portugis bernama Luiz de Mello berhasil

mematahkan gempuran Aceh. Dengan sigap ia juga

118

Benteng Portugis di Malaka, dibangun pada letak geografis yang

strategis. Benteng ini berbatasan dengan laut di satu sisi, dan sisi lainnya

berbatasan dengan sungai. Pada mulanya memang hanya berbahan kayu dan

batu, namun di kemudian hari diganti menggunakan bahan material yang lebih

kokoh. Dinding-dindingnya amat tebal dan dijaga dengan ketat oleh pasukan

bersenjata. Lihat Armando Coertesao, ed, The Suma Oriental of Tome Pires

(New Delhi: Asian Educational Service, 2005) hlm. 280-281; dan, Tom Pires,

“Tentang Malaka” dalam Sartono Kartodirdjo, ed, Masayarakat Kuno dan

Kelompok-Kelompok Sosial (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1977) hlm. 60. 119

Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 43.

Page 89: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

78

menghancurkan beberapa kapal Aceh, menangkap enam perahu

kecil dan menenggelamkan yang lainnya.120

Perang laut di atas menjadi kesempatan terakhir bagi Sultan

Alaiddin Riayatsyah dalam jalan panjangnya mengusir Portugis

dari Malaka. Atas kegigihannya itulah di belakang namanya, ia

digelari al-Qahhar, Yang Perkasa. Ia berpulang pada 8 Jumadil

Awal 979 atau 28 September 1571. Estafet pemerintahan dan

semangat tinggi melawan Portugis diturunkannya kepada anak

lelakinya sendiri yang bernama Husain. Husain naik tahta

menggantikan ayahnya. Setelah ditahbiskan ia bergelar Sultan

Husain Ali Riayat Syah (memerintah 1568-1575). Sebagaimana

yang diwasiatkan ayahnya, ia pun segera mengagendakan serangan

atas Malaka. Di masa inilah fajar baru hubungan diplomatik Aceh

dengan kerajaan-kerajaan Melayu mulai terbentuk. Pada 1574 ia

menjalin hubungan dengan Johor. Bukan hanya sampai di situ, ia

juga mengajak Raja Johor bersama-sama dengan Aceh dan Jepara

bergabung mengalahkan Portugis. Selama masa pemerintahan Raja

Aceh ini, serangan atas Portugis terus dilakukan. Sama seperti

yang dilakukan ayahnya, serangan Aceh pada masa Sultan Husain

belum menimbulkan kekalahan yang signifikan bagi Portugis.121

Setelah masa pemerintahan Sultan Husain, intensitas pertempuran

dengan Portugis mengendur. Keadaan ini bukan berarti Aceh

menyerah untuk tidak lagi menyerang Malaka, namun lebih pada

pencarian format baru mengalahkan musuhnya itu.

Terompet perang melawan Portugis kembali bertiup

manakala Aceh berada di bawah kekuasaan Sultan Iskandar Muda

(memerintah 1607-1636). Para sejarawan menilai, di bawah

Iskandar Muda Aceh berada pada masa keemasannya. Tetapi, nun

jauh di seberang perairan Aceh, Portugis telah berhasil

membangun aliansi dengan beberapa kesultanan yang berada di

Semenanjung Malaya seperti Johor dan Patani. Keadaan ini cukup

membingungkan. Para raja Melayu memandang Aceh sebagai

ancaman nyata, oleh sebab itu mereka memilih Portugis sebagai

pelindung mereka. Memang aneh kiranya ketika mengetahui

120

Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 43-44. 121

Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 45.

Page 90: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

79

beberapa kerajaan Melayu seperti Johor, Perak dan Pahang

membantu Portugis melawan Aceh. Padahal Portugis jelas-jelas

telah menorehkan luka yang pedih dalam bentangan sejarah

Melayu yakni dengan merebut Malaka, yang rajanya merupakan

leluhur raja-raja Melayu.

Menghadapi persekutuan itu, pihak Aceh mulai melakukan

manuver-manuver politik untuk memecah kekuatan gabungan ini.

Iskandar Muda menggelar kampanye penaklukan kesultanan di

wilayah Semenanjung sebelum menyerang Malaka, meliputi:

Pahang 122

, Kedah, Pattani123

. Pada tahun 1629, Sultan Iskandar

Muda juga sempat menyerang Malaka kendati belum menemui

hasil yang memuaskan.124

Apa yang dilakukan Aceh ini

merupakan satu-satunya alternatif guna mengusahakan kembali

wilayah-wilayah Melayu terbebas dari pengaruh Portugis. Kiranya

sudah habis kesabaran Aceh dengan diplomasi seremonial yang

ujungnya ternyata justru mencederai hubungan bilateral itu sendiri.

Dengan Johor contohnya, hubungan Aceh mengalami pasang surut

di mana Portugis selalu menjadi pihak ketiga yang berupaya

memecah persatuan dunia Melayu. Di pihak lain, raja-raja Melayu,

termasuk Johor, amat khawatir terhadap perkembangan Aceh yang

seolah-olah dianggap ingin menjadi penguasa tunggal atas

Sumatra, Semenanjung Malaya dan sekitarnya.

Aceh dan Johor sendiri dalam sejarahnya terlibat dalam

hubungan yang labil. Di saat raja-rajanya meyakini akan

terciptanya hubungan yang baik utamanya dalam menumpas

Portugis yang ditetapkan sejak 1574, maka secara bersamaan,

mulai terbit ketakutan di kalangan petinggi kerajaan akan

superioritas Aceh yang dianggap bisa menguasai Johor. Untuk itu,

pemberlakuan siasat dua wajah dianggap Johor sebagai jalan

tengahnya. Keadaan inilah yang belakangan merisaukan Aceh

untuk kemudian melakukan kebijakan represif terhadap Johor,

122

W. Linehan, “History of Pahang”, Journal of the Malayan Branch of

the Royal Asiatic Society (Selanjutnya JMBRAS), Singapore,1936 hlm. 35. 123

T. Muhammad Hasan, “Perkembangan Swapraja Di Aceh Sampai

Perang Dunia II” diambil dari Ismail Suny (Ed), Bunga Rampai Tentang Aceh

(Jakarta: Bharatara Karya Aksara, 1980) hlm. 159-160. 124

Mohammad Said, Aceh Sepanjang ..., hlm. 293-302.

Page 91: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

80

yakni dengan adanya beberapa serangan ke ibukota Johor ketika

Sultan Iskandar Muda bertahta.

C. Hubungan Aceh dengan Johor

Setelah menyimak sepak terjang ketegangan Aceh dengan

Portugis, maka akan ditemukan pula sematan atau catatan pinggir

keterlibatan kerajaan-kerajaan Melayu yang kendati memiliki

tradisi berpolitik serupa dengan Aceh, bahkan dalam bentangan

sejarahnya memiliki ikatan kekeraban yang kuat, namun pada

wilayah kebijakan politiknya ada yang mengikuti atau bermitra

dengan Portugis. Menilik lebih jauh ke belakang, sebenarnya

antara Aceh dan Malaka memiliki pertalian yang bagus. Sebelum

adanya kerajaan Aceh, yakni ketika Samudra Pasai masih berjaya,

Parameswara atau Iskadarsyah pendiri Malaka merupakan

menantu Raja Pasai ke 6 bernama Sultan Mahdum Alaiddin

Muhammad Amin Syah bin Malik Abdul Kadir (1243-1267).

Putrinya, Ratna Kemala dipersunting oleh Iskandar Syah. Lewat

perkawinan inilah perkembangan Islam di Malaka kian pesat.

Tidak berhenti sampai di situ, hubungan kekeluargaan tersebut

membawa dampak positif pula bagi perluasan syiar Islam di

kawasan pesisir Timur Sumatra. Sebagaimana telah disampaikan,

kawasan ini memiliki hubungan yang amat erat dengan Malaka.

Salah satu keuntungan strategis bagi mereka akan jalinan

diplomatik dengan Malaka, adalah keuntungan ekonomi dan

perlindungan politik yang diberikan oleh Malaka. Jika wilayah

pesisir Timur Sumatra mendapatkan keuntungan dari segi ekonomi

politik, maka dari Aceh mereka mendapatkan pencerahan secara

rohani oleh sebab banyaknya ulama dari Aceh yang menyebarkan

Islam di kawasan itu.125

Selama beberapa periode hingga

munculnya Aceh Darussalam tidak ada suatu sengketa yang

merusak hubungan persaudaraan mereka. Baik Aceh maupun

Malaka bergeliat dan mengembangkan diri masing-masing.

Terbenamnya Malaka menjadi babak baru komunikasi

Aceh dengan kerajaan-kerajaan Semenanjung Malaya. Munculnya

125

Zainuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 95-96.

Page 92: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

81

Johor sebagai salah satu kekuatan maritim potensial turut merubah

persepsi historis kalangan istananya hingga yang pertimbangan

realistis bahkan cenderung oportunis. Seperti Aceh, Johor

memandang Portugis sebagai musuh yang harus dienyahkan.

Dalam beberapa kesempatan, bersama Aceh, kerajaan ini sempat

terlibat dalam pertempuran menghadapi Portugis.

Sepanjang sejarahnya, hubungan Aceh dengan Johor

mengalami pasang surut. Kedua kerajaan ini memiliki kenangan

yang indah, namun juga kenangan yang buruk. Superioritas yang

ditunjukkan Aceh sepanjang abad 16 hingga pertengahan abad 17,

dianggap oleh Johor sebagai upaya penguasaan Aceh atas negeri-

negeri Melayu. Hal inilah yang memancing Johor untuk menjalin

hubungan rahasia dengan Portugis sebagai upaya menghindari

dominasi Aceh atas daerah kekuasaannya.

Senada dengan hal di atas, Ellya Roza mengatakan bahwa

dalam perjalanan historisnya, Johor merupakan objek rebutan dari

kuasa-kuasa asing, baik kekuatan Barat atau Timur. Letak kerajaan

ini terhampar di pesisir selat Malaka, yang merupakan titik

startegis yang merupakan jalan air raksasa yang dilalui oleh kapal-

kapal dagang asing. Posisi Johor itu dianggap amat menggiurkan

bagi kekuatan besar yang kala itu sedang saling berebut pengaruh,

yakni Aceh dan Portugis. Tidak salah kiranya jika Johor disebut-

sebut sebagai pewaris mahkota Malaka sebagai calon pusat niaga

baru di Asia Tenggara. Kerajaan ini mengalami serangan Portugis

tidak kurang sebanyak sepuluh kali dan dari Aceh sebanyak enam

kali.126

Kendati kedua kerajaan sering terlibat perseteruan, namun

dalam beberapa kasus, tidak lantas memperkeruh komunikasi di

sektor kehidupan lainnya, wilayah kepemerintahan. Dalam

makalahnya, Teuku Iskandar mengungkapkan bahwa Sultan

Alaiddin Riayat Syah al-Kahar banyak mengambil inspirasi dari

undang-undang Johor guna mereorganisasi sistem kepemerintahan

Aceh. Hal ini merupakan satu bentuk pengaruh kebudayaan

126

Ellya Roza, Riwayat Hidup Raja Kecik Pendiri Kerajaan Siak (Riau:

Yayasan Pusaka Riau bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Seni dan Olahraga

Pemerintah Daerah Kabupaten Siak, 2012) Cet.2, hlm. 7 – 8.

Page 93: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

82

Melayu yang dapat ditemukan dalam sistem pemerintahan Aceh.

Dengan kata lain, rapuhnya hubungan politik di antara dua

kerajaan, tidak melulu memasung koneksi budaya antar

keduanya.127

Sepenuhnya disadari, hadirnya Portugis merupakan

tantangan laten (constant challenge) bagi kerajaan Muslim di

kawasan Indonesia Barat.128

Namun dalam kenyataannya, masing-

masing kerajaan nyatanya memiliki cara pandang tersendiri akan

hadirnya kekuatan Eropa itu. Di satu sisi dianggap perusak, namun

belakangan disadari sebagai mitra untuk melindungi otoritas

kepemimpinan lokal. Alasan tersebut kiranya yang menjadi

lendasan berpikir elit Johor untuk membuka kemungkinan

kerjasama dengan Portugis.

Salah satu episode penting yang mempertemukan Aceh

dengan Johor dalam posisi berseberangan terjadi ketika Aceh

berencana melebarkan sayap kekuasaannya ke Aru pada 1539.

Ketika itu, Aru merupakan salah satu vassal Portugis di Sumatra.

Letak geografis Aru yang berseberangan langsung dengan Malaka,

merupakan alasan lain mengapa daerah ini harus diselamatkan

Aceh. Jika Aru dapat dikuasai, demikian hemat para ahli taktik

Aceh, maka Aceh dapat dengan mudah melakukan blokade

terhadap selat Singapura dan Sabang. Blokade ini menyebabkan

Portugis tidak mampu berlayar menuju Laut Cina, Sunda, Banda

dan bahkan Maluku. Dengan jumlah pasukan besar yang terdiri

dari 17.000 pasukan dan 160 kapal, Aceh menyerbu Aru. Dalam

serbuan itu, Raja Aru terbunuh dan istrinya melarikan diri ke

Malaka. Di sana istri raja Aru meminta bantuan Portugis namun

jawaban yang didapat belum memuaskan. Portugis sepertinya tidak

memperhatikan Aru sebagai daerah vitalnya dan lebih memilih

menyuplai bantuan kepada musuh-musuh Aceh lainnya. Merasa

harapannya hilang, permaisuri raja Aru itu kemudian mengungsi

ke Johor dan menikah dengan Raja Johor kala itu. Di pihak lain

Aceh telah berhasil menguasai Aru.

127

Teuku Iskandar, “ Aceh as a Muslim-Malay; Cultural Centre 14th –

19 th Century)”, makalah ini disampaikan dalam First Conference of Aceh and

Indian Ocean Studies di Banda Aceh pada tanggal 24-27 Februari 2007. hlm.12 128

Dasgupta, Acheh in Indonesian ..., hlm. 35.

Page 94: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

83

Di tempat barunya, janda raja Aru itu tidaklah tinggal diam

melihat kerajaannya dalam kuasa Aceh. Ia mampu meminta Raja

Johor untuk mengonsolidasikan kekuatan bersama Perak, Pahang

dan Siak membentuk tentara pembebas Aru. Menginjak 1540,

aliansi pasukan Melayu ini menyerbu Aru dan segera terlibat

pertempuran sengit dengan Aceh. Diberitakan, kali ini Aceh

mengalami kekalahan yang besar. 14 tahun berselang, pasukan

Aceh berhasil merebut kembali Aru.129

Menurut Fernao Mendez

Pinto, tanpa menunggu waktu lama, Sultan Johor berhasil ditawan

dan mati dieksekusi di Aceh.130

Amirul Hadi mencatat, terdapat dua tahun penting, 1547

dan 1568, di mana Johor menunjukkan oposisinya terhadap Aceh.

Di dua tahun itu bersama dengan aliansi Melayunya, Johor

membantu Portugis yang mulai kelelahan menghadapi gempuran

pasukan Aceh di Malaka131

, sebagaimana telah dipaparkan

sebelumnya. Betapa kecewanya Aceh ketika menyaksikan

kemenangan yang sebentar lagi mereka raih, perlahan menjauh

tatkala beberapa kerajaan Melayu kedapatan membantu Portugis.

Jika melihat pada tahun terbentuknya Johor, yakni antara

tahun 1526 hingga 1528 132

, maka besar kemungkinan bahwa

Johor ingin terlebih dahulu memperkuat perekonomian serta

instalasi pertahanannya. Untuk itu, kerajaan ini sebenarnya berada

dalam posisi yang diuntungkan, yakni mempunyai peluang lebih

besar dalam membangun terlebih dahulu kerajaannya sebelum ikut

dalam konstelasi politik regional perairan Malaka.

129

Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 48 dan 49. 130

Fernao Mendes Pinto, The Travels Mendez Pinto, ed and trans. By

Rebecca C. Catz (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1989)

hlm. 57; lihat juga Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ...., hlm. 49. 131

Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 51. 132

Belum ada literatur yang tegas menyebutkan tahun berdirinya Johor.

Jika menimbang dari tulisan D.G.E. Hall yang menyatakan bahwa pada tahun

1526, Sultan Mahmudsyah berpindah dari pulau Bintang (Bintan) ke Johor

akibat serangan Portugis, kemudian pada 1528, Sultan Mahmudsyah yang

sebelumnya telah ditahbiskan menjadi Raja Johor pertama itu berpulang, maka

tahun berdirinya Johor adalah terjadi antara tahun 1526 hingga 1528. Lihat

D.G.E. Hall, Sejarah Asia Tenggara, Terj. I. P. Soewarsha (Jakarta: Usaha

Nasional, 1988) hlm. 309-310.

Page 95: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

84

Namun begitu, untuk melakukan hal itu tidaklah mudah,

karena pembangunan kerajaan ini berbarengan dengan masa

perebutan supremasi Aceh dan Portugis. Sebagai kerajaan yang

baru terbentuk, perangkat istana Johor dituntut lebih arif dalam

memilih mitra politiknya. Johor melihat, baik Aceh maupun

Portugis memiliki tujuan yang sama yakni menjadi penguasa

tunggal di Sumatra, perairan Malaka dan Semenanjung Malaya.

Sikap mendua yang ditunjukkan Johor semata-mata adalah agar

dirinya dapat leluasa dalam menempa kemajuannya dan fleksibel.

Pakta kerjasama bagi mereka bukanlah barang baku, melainkan

disesuaikan dengan kebutuhan kerajaan. Siapa yang menjemput

kemenangan, maka dengannyalah Johor akan bersekutu.

Sikap ini membawa Johor lebih jauh terlibat dalam

perpolitikan regional. Kondisi kemakmuran yang masih rapuh

membuat kerajaan ini menjadi bulan-bulanan Aceh juga Portugis.

Menginjak masa pemerintahan Iskandar Muda contohnya, akibat

ulah dua wajah yang diperankannya, kerajaan ini mendapat

serangan besar-besaran langsung ke ibukotanya yakni Seluyut pada

1613.133

Bahkan serangan ini menjadi yang terparah sepanjang

berdirinya kerajaan Johor.

Tahun 1574, terjadi perubahan arah kebijakan Aceh

terhadap Johor. Sultan Husain yang menjadi raja kala itu memilih

untuk mengadakan rekonsiliasi dengan Johor. Tahun ini boleh

dianggap sebagai awal terbukanya hubungan diplomatik Aceh dan

Johor. Kendati kedua kerajaan telah bersahabat, arah kebijakan

mengenai eksistensi Portugis tetaplah dikedepankan. Portugis tetap

dianggap sebagai musuh yang mengganggu hubungan mesra

dengan tetangganya itu. Perlahan Aceh mulai mengajak Johor

untuk berpikir ulang dan menghitung segala kemungkinan yang

terjadi jika Portugis masih terus melebarkan ruang geraknya. Johor

pun akhirnya menyadari, kawan Eropanya itu merupakan musuh

dalam selimut yang harus disingkirkan. Kesamaan visi politik

menghadapi Johor ini kemudian dipererat dengan pernikahan putri

Sultan Aceh dengan Pangeran Johor. Mengetahui telah baiknya

133

Pocut Haslinda MD Azwar, Tun Sri Lanang dalam Sejarah Dua

Bangsa Indonesia Malaysia (Jakarta: Yayasan Tun Sri Lanang, 2011) hlm. 28.

Page 96: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

85

hubungan Aceh dan Johor, Portugis menunjukkan kekecewaannya

terhadap Johor dengan menyerang kerajaan ini pada 1576 dan

1578.

Walaupun telah berdamai dengan Johor, tidak lantas

membuat Aceh menghentikan penanaman pengaruh di

Semenanjung Malaya. Perak, yang merupakan sahabat Johor,

ditundukkan Aceh menjelang tahun 1579. Segenap perangkat

kerajaannya diungsikan ke Aceh. Putra mahkota Perak dinikahkan

dengan putri Sultan Aceh dan tanpa berselang lama ia ditunjuk

sebagai Sultan Aceh bergelar Sultan Alaiddin Mansyur Syah dan

memerintah selama 1579 – 1585.134

Sultan Alaiddin merupakan sosok yang tidak kenal lelah

melancarkan serangan ke kubu Portugis. Tercatat, beberapa kali ia

melancarkan serangan ke Malaka dan mengawasi Johor yang

dianggapnya rentan disusupi kepentingan Portugis. Untuk

memperkuat militernya, ia memperteguh kembali hubungan

diplomatik Aceh dengan Turki. Untuk memperkuat persaudaraan

dengan kerajaan Melayu, ia menikahkan Sultan Johor kala itu,

Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II (memerintah 1571 – 1597)

dengan anaknya Putri Hijau.135

Kelihatan sekali, Aceh ingin

menjadikan Johor sebagai sekutu dekatnya. Saat itu. pernikahan

antar kerajaan boleh dikatakan sebagai langkah untuk mempererat

hubungan diplomatik.

Di masa Sultan Alauddin Riayat Syah Saidil Mukammil

(memerintah 1584-1604), keharmonisan Aceh dan Johor

mengalami keretakan. Kala itu Aceh berkeinginan untuk merebut

Aru yang semula menjadi bawahan Portugis. Pada kesempatan itu,

Johor merasa terusik pula dengan kebijakan Aceh sehingga kedua

kerajaan terlibat ketegangan. Agar tidak mudah dikalahkan, elit

Johor membuat perjanjian diam-diam dengan Portugis untuk

membantunya saat perang pecah. Ketika perang terjadi, pasukan

Johor mendapat bantuan dari Portugis. Pasukan gabungan itu

berhasil mengalahkan bala tentara Aceh. Aru pun jatuh dalam

134

Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 52. 135

HM. Zainuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 400.

Page 97: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

86

kekuasaan Johor dan Portugis.136

Peperangan ini menjadi penyebab

rusaknya hubungan Aceh-Johor.

Naik tahtanya Perkasa Alam dengan gelar Sultan Iskandar

Muda (memerintah 1607 – 1636) sebagai raja baru Aceh

menerbitkan semangat baru di tengah pergaulan istana Aceh.

Sultan ini dikenal sebagi sosok yang membawa Aceh di puncak

kejayaannya. Segenap aspek kehidupan masyarakat mengalami

kenaikan signifikan, mulai dari ekonomi, sosial, agama, budaya

dan lain sebagainya, tidak terkecuali ranah politik internal dan

eksternal. Tak lama setelah sultan ini naik tahta, perlawanan

mengusir Portugis kembali dikumandangkan disamping penertiban

bagi kerajaan-kerajaan lokal yang dinilai berkawan dengan bangsa

Kulit Putih itu.

Kekalahan Aceh di Aru menginspirasi Iskandar Muda

untuk melakukan serangan balasan. Johor yang semula sudah

diyakini Aceh sejalan dengan visinya mengalahkan Portugis,

dianggap telah melakukan kesalahan besar. Diagendakanlah suatu

armada tempur untuk menghukum Johor langsung di ibukotanya

sendiri. Secara sistematis, pasukan Aceh berhasil menjebol

pertahanan laut dan darat Johor yang kala itu tidak diperkuat

dengan bantuan Portugis. Tanpa membuang waktu, pasukan Aceh

masuk lebih dalam hingga menyentuh ibukota Johor. Raja Johor

saat itu, Sultan Alaiddin Riayat Syah dan keluarga kerajaan

mengungsi ke daerah perbukitan di Seluyut. Pada November 1913,

segenap pembesar Aceh telah mengusai ibukota Johor.

Pasca penundukan ibukota Johor, Iskandar Muda

menitahkan untuk membawa raja beserta pejabat istana Johor ke

Aceh. Raja Johor dan adiknya, Raja Abdullah beserta kerabat

kerajaan lainnya kemudian dilayarkan ke Aceh. Termasuk dalam

rombongan ini adalah Tun Muhammad yang dikenal pula sebagai

Tun Sri Lanang, penulis kitab Sulalatus Salatin atau Sejarah

136

HM. Zainudddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 402-403.

Page 98: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

87

Melayu. Sosok negarawan Johor yang menjadi penting yang kelak

membantu pemerintahan Sultan Iskandar Muda.137

Sesampainya di Aceh, rombongan Johor ini diperlakukan

dengan istimewa sebagaimana menjamu tamu agung. Beberapa

waku berselang, Iskandar Muda meminang Putri Pahang, salah

satu keluarga raja Johor untuk dijadikan istrinya. Raja Johor pun

pada kesempatan yang hampir bersamaan dinikahkan dengan salah

seorang putri kerabat Sultan Aceh. Pernikahan ini menjadi indikasi

bahwa Aceh ingin menjadikan Johor sebagai mitra bersaudara dan

tentu memiliki dampak signifikan bagi masa depan dua kerajaan.

Perkawinan serupa juga diberlakukan kepada warga Aceh untuk

menikah dengan tawanan yang berasal dari Johor. Hal ini

dilakukan untuk menjalin hubungan yang kian rekat dari tataran

elit hingga bawah. Raja Johor berjanji bahwa Johor tidak akan

berbuat gegabah lagi dengan menjadikan Portugis sebagai kawan.

Tidak lama berselang, rombongan keluarga Johor dipersilahkan

pulang guna memimpin kembali kerajaannya.

Dalam suatu serangan ke Malaka, tidak jelas angka

tahunnya, pasukan Aceh di bawah pimpinan Orang Kaya Lila

Wangsa diperintahkan menyerbu Portugis. Misi ini belum

menemui kesuksesan di karenakan Portugis, yang saat terjadi

pertempuran berada dalam posisi terjepit, berhasil membebaskan

diri berkat datangnya bantuan dari Goa dan dari jalur lain. Dalam

episode ini, satu hal yang menggusarkan Orang Kaya Lila Wangsa

adalah kehadiran bala tentara Johor yang terlihat ikut membantu

Portugis. Oleh sebab raja Johor saat itu masih terhitung keluarga

Iskandar Muda, Orang Kaya Lila Wangsa ragu-ragu untuk

melakukan serangan atas Johor. Ia harus terlebih dahulu

melaporkan kejadian ini kepada rajanya. Namun, belum

berkembang layar sisa-sisa bala tentara Aceh, mereka telah

137

M. Dien Madjid, “Tun Sri Lanang dalam Lintasan Sejarah dan

Hubungannya dengan Perkembangan Islam di Aceh”, makalah disampaikan

dalam “Seminar Ketokohan Tun Sri Lanang” di Bireuen, Aceh pada 28

Desember 2011, hlm. 5.

Page 99: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

88

dikepung oleh armada Johor dan Portugis yang berakhir pada

kekalahan menyakitkan.138

Baru pada sekitar tahun 1615 dan 1616, ketika Sultan

Iskandar Muda berada di Asahan, upaya menertibkan kembali

kerajaan-kerajaan Melayu dicanangkan kembali. Melalui Sri Orang

Kaya Laksamana, Raja Aceh menitahkan untuk melakukan

pengepungan Johor, Pahang dan Malaka. Pasukan spesialis perang

laut segera disiapkan beserta kapal-kapalnya.

Kapal-kapal Aceh yang berlalu lalang di Serdang dan Aru

diperintahkan menuju Semenanjung Malaya dengan melewati

Pulau Langkawi segera menyisir beberapa sungai antara Kuala

Perlis, Kuala Keudah, Kuala Muda, Kuala Meurbok, Teluk Pulau

Pinang, Pulau Jerjak lantas menuju Kuala Peru. Dari situ, iring-

iringan pasukan mengamankan sungai-sungai besar seperti Kuala

Tengah, Kuala Kurau, Kuala Kelumpang, Teluk Tanjung Burong,

Pulau Pangkur, Kuala Perak, Kuala Bernam, Kuala Selanggur

sampai ke Teluk Anson.

Kapal-kapal yang merapat di Teluk Tanjung Balai juga

mulai digerakkan menuju Malaka. Kawanan kapal ini mengambil

rute melalui Pulau Kelang, Tanjung Tuan, Kuala Tinggi, Tanjung

Kling lalu menjaga Kuala Melaka dan Kuala Muar. Di tempat lain,

sepasukan kapal tempur juga diberangkatkan ke beberapa sungai

yakni: Sarang Buaya, Batu Pahat, Kuala Peniti, Kuala Kutub,

Tanjung Prai dan masuk ke Sungai Johor dan diakhiri dengan

menutup Kuala Johor Baru dan bersauh di Tumasik (Singapura).

Satu pasukan lain disiapkan menuju Pulau Karimun, Lingga Pulau

Bantam menyusuri pulau-pulau di Laut Banang, Pulau Riau, Pulau

Bintang, Pulau Tekong, Tanjung Setapak lalu masuk ke Kuala

Laban terus hingga menutup jalur Sungai Johor Lama. Pasukan

patroli lain diberangkatkan menyisir Tanjung Setajan ke Pulau

Mawar, Tanjung Penyambung sampai ke Kuala Pahang, Kuala

Kelantan, Tanjung Puliga terus hingga ke Kuala Petani. Aliran-

aliran patroli pasukan ini merupakan rute mengepung Johor,

Pahang dan Malaka.

138

H.M. Zainuddin, Singa Atjeh (Biographi Seri Sultan Iskandar

Muda) (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1957) hlm. 133-135.

Page 100: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

89

Pasukan infanteri juga diturunkan yang disiapkan untuk

mengadakan penyerbuan dan penyergapan di darat. Detasemen ini

dipimpin oleh Panglima Pidie dan Malem Dagang. Pasukan darat

dikerahkan menuju Riau, Lingga Johor Lama, Johor Baru, Melaka,

Selanggur, Perak, Kedah dan Pahang.

Target pertama dari kerajaan Melayu yang dilumpuhkan

adalah Johor. Agaknya, Raja Johor telah mengendus rencana Aceh

sehingga ia dan keluarga kerajaan dapat melarikan diri lebih dini

dan membuat ibukota baru di Pulau Lingga. Oleh sebab spionase

Aceh yang telah disebar didukung oleh gerakan pasukan yang

merata hampir di setiap lekuk strategis wilayah air maupun darat

sekitar Semenanjung Malaya, kedudukan Raja Johor dapat

diketahui sehingga tanpa menunggu waktu lama ia dapat diringkus.

Ibukota Lingga kemudian dibumihanguskan menyusul dua ibukota

Johor sebelumnya Johor Lama (Batu Sawar) dan Seluyut yang

terlebih dahulu diluluhlantakkan.

Hampir bersamaan dengan kekalahan Johor, Pahang pun

berhasil ditundukkan kembali karena terbukti membantu Portugis.

Adapun Kedah dan Perak hanya ditingkatkan kontrol agar tidak

lagi jatuh dalam pengaruh musuh. Setelah memantapkan kuasa di

ketiga negeri tersebut, Aceh kemudian bertolak menuju Malaka.

Setelah kota-kota lawan ditundukkan, Aceh segera

membangun kembali tata kota yang sebelumnya porak poranda.

Penduduk yang semula mengungsi, sedikit demi sedikit mulai

memasuki kota. Di Johor, Aceh mendirikan masjid-masjid sebagai

sarana aktivitas keagaman. Panti-panti anak yatim juga banyak

didirikan yang diasuh oleh para ulama dan lebai (ahli agama)

setempat. Perbaikan juga dilakukan di sektor pertanian warga

yakni dengan membangun irigasi bagi areal persawahan. Untuk

menggantikan Raja Johor yang meninggal dalam tawanan, maka

diangkatlah anaknya menduduki tahta kerajaan.139

Untuk

sementara waktu, sebagian besar wilayah Semenanjung Malaya

berada dalam kontrol Aceh.

139

H.M. Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 154 – 158.

Page 101: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

90

Kehadiran Portugis sebagai penangkal serangan Aceh

sekaligus mitra bagi raja-raja Melayu seperti Johor, sebenarnya

dapat dilihat dari dua segi. Sebagaimana telah diuraikan di atas,

Portugis mencari aliansi penguasa lokal untuk menyokong

kepentingan bisnisnya di kawasan perairan Malaka. Untuk itu,

mereka bersedia membantu penyediaan pasukan untuk menumpas

musuh-musuh yang mengancam eksistensi para penguasa kerajaan

Melayu. Namun, di segi yang lain, intrik politik yang dimainkan

penguasa Johor, yang dalam beberapa kesempatan berpaling ke

Aceh, seperti langkah mempermainkan Portugis. Apalagi kasus

serupa kerap terjadi di masa-masa berikutnya. Tidak ada semacam

pakta integritas yang merawat hubungan tersebut. Berbeda dengan

Aceh yang ketika menaklukkan Johor, segera mengadakan

kesungguhan untuk merangkul Johor, salah satunya dengan jalan

pernikahan antara putra putri dua kerajaan.

Entah ini merupakan kesalahan Portugis, karena tidak

belajar dari masa lalu, atau sekedar upaya untuk terus melakukan

infiltrasi agar tetap dapat menangguk keuntungan di balik

kerjasama yang sebenarnya rapuh itu. Sikap oportunis para

penguasa Johor, tidak lagi dipandang secara kritis, manakala

mengetahui telah beberapa kali bantuan Portugis rupanya hanya

dimanfaatkan tatkala dibutuhkan. Pihak Portugis serasa berada

dalam lingkaran setan, seperti hanya menjalankan rutinitas yang

semu, membantu Johor kemudian dicederai kembali tatkala Johor

berada dalam kuasa Aceh. Seharusnya, jika Portugis ingin agar

otoritasnya dapat berdiri tegak, secara bergiliran ia harus

menumpas Johor lalu Aceh. Sikap yang ditunjukkan Portugis ini

mengantarkan pada masa-masa senja dari aktivitasnya di perairan

Malaka, terlebih ketika kawasan tersebut telah dimasuki bangsa

Eropa lain. Satu yang kemudian menjadi kompetitor mereka adalah

Belanda.

Menginjak tahun 1635, Johor kembali melihat peluang

untuk membebaskan diri. Kehadiran Belanda di pergaulan antar

elit istana Malaya, menjadi mitra baru Johor untuk membangun

kembali kekuatannya. Ketentraman regional pecah ketika Pahang

yang dibantu Johor memberontak terhadap Aceh. Tindakan makar

Page 102: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

91

ini segera dapat diredam dengan dikirimnya pasukan menertibkan

Pahang.

Belanda yang merupakan pemain baru di Selat Malaka

tampil untuk membuka peluang melebarkan sayap kekuasaannya.

Mereka tahu baik Portugis maupun Aceh merupakan musuh klasik

yang amat sulit dikalahkan. Keengganan Iskandar Muda bermitra

dengan Belanda membuat mereka mencari kawan baru. Ketika

bertemu dengan pemuka Johor, Belanda setuju untuk membantu

Johor mengembangkan potensi kerajaannya hingga kuat ketika

nanti berperang dengan Aceh.

Mangkatnya Sultan Iskandar Muda pada 1636 seketika

menghadirkan kesedihan dan ratap tangis keluarga kerajaan serta

rakyat. Meskipun demikian, penasehat istana tidak terus larut

dalam kesenduan yang panjang. Sultan Iskandar Thani dinobatkan

menjadi Raja Aceh berikutnya yang memerintah sejak 1636 hingga

1641. Ia merupakan menantu Iskandar Muda yang berasal dari

keluarga kerajaan Pahang. Istrinya, Putri Sri Alam, adalah putri

Iskandar Muda.

Sultan Iskandar Thani dikenal sebagai sosok relijius yang

enggan meneruskan politik perluasan wilayah sebagaimana yang

dilakukan Iskandar Muda. Di eranya, Belanda diterima sebagai

mitra dalam rangka menaklukkan Portugis di Malaka. Awalnya,

Belanda memutuskan untuk menyerang Malaka sendiri namun

menemui kegagalan. Baru ketika Aceh membantu Belanda dan

Johor ikut pula membantu walaupun sedikit, Portugis berhasil

dikalahkan pada 14 Januari 1641. Sejak peristiwa itu baik Aceh

dan Johor tidak lagi terlibat dalam kontak kenegaraan yang

intensif. Di pihak Aceh, kerajaan sedang berada pada masa-masa

penurunan sedangkan Johor disibukkan dengan pembangunan

negerinya dan kerjasamanya dengan Belanda.

Tahun 1641 inilah menjadi titik penting dari terbenamnya

hubungan diplomatik Aceh-Johor. Munculnya Belanda ditengarai

menjadi alasan penting mengapa suasana penuh perlawanan antar

kerajaan yang semula intens perlahan mengendur. Baik Johor dan

Aceh disibukkan dengan masalahnya sendiri-sendiri. Pihak

Page 103: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

92

kerajaan Aceh pasca pemerintahan Iskandar Thani disibukkan

dengan kontroversi pengangkatan ratu sebagai pengganti Iskandar

Thani. Hingga hampir satu abad kedepan, Aceh sempat tenggelam

dalam konflik internal. Masa pemerintahan ratu inilah yang disebut

H.M. Zainuddin sebagai masa-masa kemunduran Aceh dalam

bidang politik regional.140

140 H.M. Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 174-175.

Page 104: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

93

BAB IV

KERAJAAN JOHOR

A. Lahirnya Pewaris Malaka

Jatuhnya Malaka oleh Portugis membawa dampak

signifikan dalam peta perpolitikan kawasan Semenanjung Malaya.

Emporium yang tersohor sebagai tujuan utama dagang dunia ini

menjadi saksi bisu bergantinya sang penguasa atasnya. Kekacauan

segera merambat ke ruang publik di mana pembunuhan dan

pengejaran menjadi pandangan yang terlihat di sana - sini. Di sela-

sela asap meriam dan teriakan penduduk serta saudagar Malaka,

iring-iringan pasukan Portugis merayap mendekati pusat kota.

Kekalahan ini dirasa amat menyakitkan khususnya bagi

keluarga kerajaan Malaka. Di antara mereka ada yang luka-luka,

tidak sedikit pula perangkat kerajaan yang menjadi korban.

Keadaan menyedihkan tersebut semakin mencekam tatkala

mengetahui bahwa tampuk tahta yang selama ini diwariskan dari

para leluhur berpindah tangan ke genggaman Portugis, bangsa

Eropa yang memang sudah dikenal sebagai pelaut yang tidak ragu-

ragu menghalalkan pembunuhan demi cita-cita mereka.

Penaklukkan Goa, bandar dagang ramai di India, menjadi bukti

betapa mereka gigih melancarkan serangan Spartan hingga mampu

menanamkan pengaruh di rute dagang ke barat sekaligus menjadi

pangkalan perang mereka menaklukkan Malaka di kemudian

hari.141

141

Penyerbuan ke Malaka, menurut M. Dien Madjid sempat dilakukan

dua kali, hanya saja yang perdana, serangan Portugis dapat dipatahkan pasukan

Malaka. Baru pada 6 Juli 1511, Portugis mampu menundukkan Malaka. Lihat

M. Dien Madjid, Catatan Pinggir sejarah Aceh; Perdagangan, Diplomasi dan

Perjuangan Rakyat (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014) hlm. 27-29; Lihat

Page 105: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

94

Suasana yang demikian mencekam tersebut, memaksa

Sultan Mahmud Syah, Raja Malaka kala itu, dan keluarga istana

lainnya mengungsikan diri keluar dari istana Malaka. ia menempuh

jalan yang tidak diketahui oleh pasukan Portugis yang terlihat ke

sana kemari membunuh pasukan kerajaan sembari mencari harta

rampasan di sekitar istana. Dengan hati-hati mereka keluar dan

melewati jalan-jalan yang jauh dari jangkauan pandang pasukan

musuh. Dari suatu bibir pantai, rombongan pelarian ini bertolak

menggunakan kapal ke Pulau Bintan.

Di tempat persinggahannya ini, raja dan keluarganya itu

disambut dengan suka cita oleh penduduk Bintan. Wilayah Bintan

yang kala itu disinggahi bernama Kopak. Suasana yang penuh

dengan kehangatan ini tidak serta merta terjadi begitu saja. Bintan

yang masih termasuk dalam kawasan Riau merupakan gugusan

pulau yang berada dalam kekuasaan Malaka. Bergabungnya

kawasan kepulauan Riau ini di bawah Malaka terjadi tatkala

kerajaan ini berada di bawah pemerintahan Sultan Muzaffar Syah.

Tome Pires, seorang pelaut Portugis yang sempat menyinggahi

beberapa kawasan di sekitar Semenanjung Melayu, membenarkan

bahwa Muzaffar Syah yang disebutnya Modafarxa telah menguasai

Bintan segera setelah ia mengambilalih penguasaan selat

Singapura.142

Oleh sebab masih merasa sebagai daerah yang dahulunya

dipimpin Malaka, penduduk Kopak menganggap Sultan Mahmud

Syah beserta rombongan sebagai junjungan yang harus dilindungi.

Mereka menjamin keselamatan raja beserta rombongan di tempat

mereka. Keberadaan Sultan Mahmud Syah di Bintan ternyata tidak

bertahan lama. Kapal-kapal Portugis yang rajin berpatroli di sekitar

pulau-pulau tetangga Bintan menyebabkan keberadaannya

terancam. Menginjak tahun 1526, pasukan Portugis di bawah

pimpinan Viceroy Maascarenhaas menyerbu Kopak. Sultan

berserta rombongan mengungsi ke Bengkalis lalu berpindah ke

Kampar.

juga Abdul Aziz bin Zakaria, Sejarah Kenaikan dan Kejatohan Portugis Malaka

(London: Macmillan & Co, 1953) hlm. 13. 142

Armando Cortesao, ed, The Suma Oriental of Tome Pires, Vol. II

(New Delhi: Asian Educational Services, 2005) hlm. 244.

Page 106: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

95

Wilayah Kampar saat itu adalah suatu daerah yang

memiliki kesamaan tradisi dengan Minangkabau, hanya saja

pemuka beserta rakyatnya memilih tunduk pada Malaka. Sebelum

kedatangan pengungsi Malaka, daerah ini telah terlebih dulu

merasakan serangan Portugis. Raja Kampar, Abdullah, ditangkap

Portugis dan dibawa ke Goa. Sultan pun kembali mendapatkan

tempat bernaung yang aman, oleh sebab Kampar, menurut

penuturan Tome Pires, kerajaan ini di masa Muzaffarsyah telah

dikuasai Malaka. Bahkan putri dari saudara Muzaffar Syah, Raja

Pute, menjadi istri dari Raja Kampar.143

Pada tahun 1529, setelah menimbang suasana yang kian

genting, penduduk Kampar menyadari bahwa daerahnya harus

dipimpin oleh sosok yang mengerti dengan arah kebijakan strategis

kerajaan ini di masa depan. Setelah mengadakan rapat internal,

akhirnya para datuk, pemuka adat serta masyarakat setempat

sepakat untuk mendaulat Sultan Mahmud Syah menjadi Raja

Kampar. Sebelum Mahmud Syah mangkat, ia menyerahkan tahta

Kampar kepada putranya, Raja Ali yang setelah naik tahta bergelar

Sultan Alauddin Riayatsyah II (Sultan Alauddin Riayatsyah I

merupakan Raja Malaka sebelumnya).

Setelah beberapa waktu berselang, Kampar ternyata bukan

tempat yang menjanjikan keamanan jangka panjang. Kekhawatiran

akan datangnya serangan Portugis selalu menghantui para mantan

bangsawan Malaka di sana. Mereka telah terbiasa hidup di bibir

pantai di mana ketika terjadi suatu serangan musuh, laut senantiasa

menjadi pelarian yang menjanjikan kebebasan. Di Kampar mereka

tidak menemui hal itu, mengingat pengetahuan mereka akan

daerah sekitar Kampar amatlah minim. Bayangan serangan atas

Bintan selalu terngiang di pikiran mereka. Kegusaran itu diam-

diam juga menggelisahkan Raja Kampar. Sang raja memiliki

alasan lain mengapa dirinya belakangan tidak kerasan di

singgasananya. Daerah tetangga Kampar, Minangkabau,

dianggapnya sebagai ancaman nyata lainnya, oleh sebab sejak

dahulu, Minangkabau bukanlah bawahan Malaka. Di samping itu,

Portugis bisa saja mengadakan sebuan lanjutan ke Kampar.

143

Armando Cortesao, Suma Oriental ..., hlm. 245.

Page 107: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

96

Setelah merenung selama beberapa saat, terbetiklah

gagasan untuk meneruskan kejayaan Malaka dan pembangunan

peradaban Melayu di sekitar selat Malaka, sehingga penerus raja-

raja Melayu dapat tampil kembali di pergaulan internasional.

Setelah mengadakan beberapa pertemuan dengan sesepuh,

penasehat dan tokoh masyarakat Kampar, Sultan Alauddin

Riayatsyah II akhirnya direstui meninggalkan singgasananya.

Setelah berkemas, Raja dan beberapa perangkat istananya

berangkat menuju wilayah Semenanjung Melayu tepatnya di

wilayah tepi sungai Johor. Dalam perjalanannya, Sultan Alauddin

Riayatsyah II menyempatkan diri mengunjungi saudaranya, Sultan

Mansur Syah, Raja Pahang kala itu. Di kerajaan ini, ia menikah

dengan putri sang raja.144

Merujuk pada keterangan Sulalatus Salatin, selain menikah

dengan putri Pahang bernama Raja Kesuma Dewi, di Pahang pula

inilah Sultan Alauddin Riayatsyah memperoleh tambahan pengikut

dan perbekalan yang nantinya dipekerjakan membangun istana

Johor. Dari Pahang rombongan Sultan Alauddin Riayatsyah

berangkat dipimpin oleh Laksamana Hang Nadim. Sesampainya

di Kuala Johor, para pekerja mulai bergerak menebas alang-alang

dan pepohonan. Bendahara dan Seri Bija Diraja, dua orang

bagsawan Pahang yang menyertai, Sultan Alauddin, bertindak

memimpin proyek pembangunannya. Tun Sri Lanang

menceritakan keadaan kota Johor masa awal ini sebagai berikut:

Syahadan akan negeri pun sudahlah dengan

kotanya dan paritnya, yang dari hilir Sungai

Kerting, yang dari hulu Sungai Johor; Maka

Bendahara dan Seri Nara Diraja menyegerakan

orang membuat istana dan masjid, belairung

kedua dan penanggahan, balai gendang, kolam

telaga sekaliannya. Setelah mustaidlah dengan

sepertinya, maka Sultan Ala’uddin pun pindahlah

ke istana dengan isteri baginda, diiringkan biti

dayang-dayang, perwara, mandara baginda; maka

144

Hamka, Sejarah Umat Islam, jilid 4 ( Bukittinggi: N.V. Nusantara,

1961) hlm. 140-143.

Page 108: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

97

Bendahara dan Seri Nara Diraja dianugerahi

persalin seperti adat. maka segala menteri,

hulubalang, Orang Kaya-Kaya, sida-sida, bentara

sekaliannya pindahlah ke rumahnya masing-

masing arah tempatnya, dan lebuh pekan pesara

pun penuh dengan pepak kedai orang; pada masa

itu kampung orang arah ke hilir datang ke

Beladung, yang ke hulu sampai ke Bukit Piatu, di

hulu Kuala Johor.145

Uraian yang sedikit berbeda diutarakan Nuruddin ar-Raniri

mengenai terbentuknya Johor. Menurutnya, Johor sudah didirikan

sejak lama oleh Sultan Mahmudsyah, Raja Malaka terakhir. Raja

inilah yang mengundurkan diri ke Ujung Tanah untuk

menyelamatkan diri dari kejaran Portugis. di Ujung Tanah inilah ia

membangun negeri Johor.146

Informasi yang berbeda diterangkan oleh D.G.E. Hall

mengenai liku-liku aktivitas Sultan Mahmud Syah mulai dari

kekalahannya mempertahankan Malaka hingga pendirian Johor.

Setelah mengetahui bahwa kemenangan merupakan sesuatu yang

jauh dari genggamannya, ia melarikan diri menuju Pahang. Di

kerajaan ini, Mahmud Syah meminta bantuan Kaisar Ming di Cina

untuk mengirimkan pasukan melawan Portugis. Balasan yang

didapat nyatanya tidak sesuai harapan, Kaisar Ming belum

meluluskan permintaan Mahmud Syah, mengingat kala itu

kekaisaran Cina disibukkan dengan serangan bangsa Tartar.

Mengetahui jawaban Kaisar Cina itu, Mahmud Syah

semakin dibuat bingung. Bagaimanapun ia harus segera mencari

lokasi baru untuk membangun ibukotanya kembali. Alasan kuat

mengapa ia berkeinginan membentuk kekuatan baru adalah guna

menamatkan kekuatan Portugis yang kala itu belum betul-betul

kuat berpijak di Malaka. Ia dan rombongan kemudian bergegas

145

A. Samad Ahmad, Sulalatus Salatin; Sejarah Melayu (Malaysia:

Dewan Bahasa dan Pustaka, 2008) hlm. 290-292 146

Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin , bait 12 dan 13, teks

didapatkan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan nomor panggil

ML 422, hlm. 8.

Page 109: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

98

menuju Sayong Pinang dan menetap selama beberapa waktu di

sana. Sayong Pinang yang merupakan daerah yang jauh dari

pesisir, dirasa tidak cocok dijadikan ibukota kerajaan. Pada tahun

1521, ia da pengikutnya berpindah ke pulau Bintang, sebelah

tenggara Singapura. Di tempat barunya ini, para pelarian dari

Malaka mendapat beberapa serangan dari Portugis. Oleh sebab

belajar dari pengalaman, dalam beberapa kesempatan serbuan,

yakni tahun 1523 dan 1524, Mahmud Syah dan pengikutnya

berhasil memukul mundur pasukan Portugis hingga menderita

kekalahan telak. Mahmud Syah bahkan sempat mengirim pasukan

menyerang balik Malaka, kendati belum mencapai berhasilan

besar.

Para petinggi Portugis di Malaka tidak tinggal diam

mendapati serangan sisa-sisa kekuatan Malaka. Menginjak tahun

1526, selaksa pasukan Portugis memombardir pulau Bintang dan

menghancurkan ibukotanya lantas menyerahkan pulau itu pada

Raja Lingga. Mahmud Syah dan rombongan yang berhasil keluar

dari ketatnya serbuan, melarikan diri ke Kampar. Dari sini ia

memiliki cita-cita untuk mendirikan ibukotanya di pinggir sungai

Johor. Setelah persiapan siap, rombongan ini menuju lokasi

tersebut. Di tengah pengerjaan membangun ibukota, Mahmud

Syah menghembuskan nafas terakhirnya pada 1528.

Proyek besar tersebut dilanjutkan oleh anaknya, Alauddin.

Di sana, Raja Johor ini memimpin serangan-serangan melawan

Portugis. Bisa dikatakan Johor kala itu menjadi duri dalam daging

bagi kuasa Portugis. Pertentangan dengan Portugis kemudian

mengalami gencatan senjata pada akhir tahun 1536, dikarenakan

Portugis telah berhasil mendaratkan pasukannya di Muar. Kala itu

panglima Portugis, Dom Estavao da Gama berhasil memaksa Johor

berdamai dengan Portugis. Sementara itu, Muzaffar Syah, kakak

Alauddin, di kala ketegangan dengan portugis, pergi ke Perak dan

mengunjungi istana rajanya. Bersama dengan Perak dan Pahang,

Johor untuk sementara puas dengan persahabatan bersyarat mereka

dengan Portugis.147

147

D. G. E. Hall, Sejarah Asia Tenggara, Terj. I. P. Soewarsha

(Jakarta: Usaha Nasional, 1988) hlm. 309-310.

Page 110: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

99

Tentu akan menimbulkan tanya tersendiri, mengapa bekas

kerajaan yang sebelumnya tunduk kepada Malaka, tetap setia

kepada raja terakhirnya dan memberikan bantuan serta jaminan

perlindungan pasca direbutnya Malaka oleh Portugis. Kerajaan-

kerajaan itu sepenuhnya sadar ketika mereka tunduk di bawah

suatu kekuatan yang lebih besar, maka pada titik itu mereka

menyerahkan sebagian otoritasnya kepada kekuatan itu. Mereka

tentu tidak sebebas sebelum menyatakan kesetian kepada kerajaan

yang lebih besar dalam menentukan kebijakan politiknya. Jatuhnya

Malaka, membuat kerajaan bawahannya seperti Kampar, Aru dan

lain-lain tidak melepas ikatan politik mereka terhadap kerajaan

junjungannya itu. Malah, sebagian dari raja bawahan, seperti

Kampar mau membantu pelarian kerajaan itu.

Selain didasari oleh alasan manusiawi seperti membantu

orang yang kesulitan, yang lain adalah mereka masih ingin

menjaga pertalian politik dengan Malaka. Kendati kerajaan serta

kedaulatan Raja Malaka saat itu telah lenyap, kedudukannya

sebagai raja yang membawahi sekian kerajaan lain tetap diakui

oleh bawahannya. Ini merupakan ciri khas ketaatan khas orang

Melayu.

Lebih lanjut, A. C. Milner menjelaskan bahwa hubungan

rakyat dan raja adalah hubungan yang juga menyertakan aspek

ketuhanan di dalamnya. Ketundukan mereka pada rajanya mirip

dengan yang terjadi dalam tata kelola pemerintahan Arab,

khususnya Abbasiyah yang amat kental dengan nuansa

kepemerintahan ala Persia pra Islam. Kedudukan raja atau sultan

kerapkali diasosiasikan dipancari cahaya ketuhanan. Maka dari itu,

dalam tradisi kerajaan Melayu, raja mendapat gelar “bayang-

bayang Allah di muka bumi.” Menjunjung tinggi martabat raja

adalah juga mengagungkan Tuhan.148

Orang-orang Melayu menganggap diri mereka adalah

hamba (patik) bagi raja. Raja adalah sosok penguasa semua tanah

yang didiami mereka. Hukum juga dikatakan “milik” sang raja.

148

A. C, Milner, “Islam dan Martabat Raja Melayu” dalam Ahmad

Ibrahim dkk, peny, Islam di Asia Tenggara Perspektif Sejarah (Jakarta: LP3ES,

1989) hlm. 54-56.

Page 111: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

100

Sebagai contoh, Undang-Undang Malaka menggambarkan sultan

sebagai pemilik undang-undang. Hukum kerajaan yang berasal

dari perpaduan hukum agama dan adat belum sempurna jika tidak

mendapat persetujuan raja. Undang-undang baru dikatakan sah

diberlakukan jika sudah mendapat persetujuan dari raja dan para

pembesarnya. Dalam kata pendahuluannya, undang-undang ini

menjelaskan bahwa adat ini turun ke kita sejak masa Iskandar

Agung dan Sultan Muhammad Syah, Raja Malaka pertama yang

juga keturunannya telah “menetapkannya.” Adat dan undang-

undang ini senantiasa diwariskan pada raja-raja keturunannya dan

menjadi milik mereka. Para wakil raja (termasuk juga raja

bawahan) diharapkan menyelenggarakan pemerintahan merujuk

pada adat dan undang-undang tersebut.149

Menurut penjelasan Ellya Roza, jika diperhatikan lebih

lanjut, raja-raja yang memerintah Johor adalah terdiri dari tiga

keluarga, yakni:150

1. Keluarga Kesultanan Malaka

2. Keluarga Bendahara

3. Keluarga Temenggung

Tambahan lagi, keluarga Malaka yang memerintah Johor

terdiri juga dari dua keluarga, yakni:

1. Keluarga yang langsung datang ke Johor dari Malaka

2. Keluarga Malaka yang tinggal di Pahang sebelum datang

ke Johor

Adapun Sultan Alauddin Riayatsyah II adalah keluarga Malaka

yang datang dari Malaka.

Sultan Alauddin meninggal pada tahun 1564,

kedudukannya diganti oleh anaknya yang bergelar Muzaffar Syah

yang memerintah sejak 1564 hingga 1570. Di masa

149

A. C, Milner, “Islam dan Martabat Raja Melayu” .., hlm. 49-50. 150

Ellya Roza, Riwayat Hidup Raja Kecik Sultan Abdul Jalil Rahmat

Syah; Pendiri Kerajaan Siak (Siak: Yayasan Pusaka Riau dan Pemerintah

daerah Kabupaten Siak Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Pemuda dan

Olahraga, 2012) hlm. 10-11.

Page 112: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

101

pemerintahannya, sang Sultan menjadikan Bukit Seluyut sebagai

persemayamannya sekaligus tempat pemerintahan Johor. Pada

masanya pula, hubungan Aceh dan Johor mengalami ketegangan

mengingat kala itu Aceh sedang giat melakukan perluasan

dominasi kuasa. Upaya Aceh menjalar hingga mengancam

eksistensi Johor.151

Munculnya Johor sebagai kerajaan baru bisa dikatakan

sebagai pelanjut kerajaan Malaka. Penyebutan demikian

dilatarbelakangi oleh karena raja-raja Johor terhitung masih

keturunan raja-raja Malaka. Pamor Johor perlahan mulai naik,

mengingat administrasi kerajaannya yang semakin membaik,

ditambah pemasukan yang kian melimpah dari sektor perniagaan

maritim. Letak Johor di tepi sungai Johor, merupakan spot strategis

pedagangan di kawasan selat Malaka. Hubungan yang dinamis

dengan kerajaan-kerajaan tetagga seperti Perak dan Pahang,

membuat kerajaan ini semakin tumbuh besar, jauh dari

ketegangan. Pertalian politik dengan Portugis, di kemudian hari,

menjadi faktor penunjang lain, yang membuat mereka mampu

membangun kerajaan tanpa khawatir mendapat gangguan dari

tetangganya itu.

Oleh sebab iklim perpolitikan yang harmonis tersebut,

Johor perlahan mampu mengembangkan warisan potensi

maritimnya. Bandar Johor mulai difungsikan sebagai tempat

bersandar dan berniaga kapal-kapal asing. Pasarnya pun mulai

bergeliat dan kedai-kedainya telah ramai dikunjungi pelaut dan

saudagar lintas negeri yang singgah. Meskipun begitu, potensinya

ini masih belum sanggup menandingi Malaka dan pelabuhan-

pelabuhan Aceh.

Sejauh sumber yang didapat, belum ada literatur yang

menjelaskan kemajuan Johor dalam di berbagai aspek kehidupan

masyarakatnya. Merupakan suatu kesulitan tersendiri dalam

memetakan perkembangan kerajaan secara rinci. Misalnya saja

aspek sosial, ekonomi, politik, budaya secara terpisah. Diakui oleh

Leonard Y. Andaya bahwa sumber mengenai Johor abad 16 dan 17

151

Mustafa Ali Mohamet, Johor Darul Takzim (Selangor: Pelanduk

Publications, 1987) hlm. 3.

Page 113: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

102

masih amat sedikit, apalagi yang ditulis langsung oleh orang Johor

sendiri. Lebih lengkapnya ia mengatakan:152

The kaledioscopic treatment accorded to history

of Johor in this period (16 and 17 centuries),

because of the personal involvement of the

authors in one or another group, has made it

difficult to see the whole sweep of Johor history

and the slow metamorphosis in the traditional

elements of the power structure. For all the

“Malay” histories available, there is very little

written from the Johorese point of view which

would have perhaps alluded to the attitudes of the

Malays to the changes which were occuring and

the manner in which they adapted or succumbed

to these changes.

Salah satu penyebab mengapa kerajaan ini tidak lantas

segera menjadi kekuatan berpengaruh di Semenanjung Malaya,

hingga menyaingi popularitas Portugis dan Aceh, yang merupakan

dua kekuatan saling berseteru, di masa awal perkembangannya,

adalah karena kerajaan ini kerap mendapat serangan dari dua

kekuatan yang berebut pengaruh tersebut. Leonard Y. Andaya

mencatat, wilayah Johor merupakan lahan empuk yang sering

menjadi tempat berebut pengaruh baik Aceh maupun Johor.

Keadaan tersebut membuat kerajaan ini kerap mengalami periode

sulit berupa serangan dari kedua belah pihak. Portugis

melancarkan invasi ke Johor pada tahun 1518, 1520, 1521, 1523,

1524, 1526, 1535 dan 1587, sedangkan Aceh pernah menyerbu

Johor pada tahun 1564 (atau 1565), 1570, 1582, 1613, 1618 dan

1623.153

Namun yang dapat disebutkan, Johor memiliki ruang untuk

berkembang menjadi kerajaan besar yang baru dicapainya

menjelang 1641. Yakni ketika Aceh berangsur-angsur sudah mulai

152

Leonard Y. Andaya, “The Kingdom of Johor, 1641-1728: A Study

of Economic and Political Developments in The Straits of Malacca”, Tesis,

Cornell University, 1971, hlm. 8. 153

Leonard Y. Andaya, The Kingdom of Johor ..., hlm. 18-19.

Page 114: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

103

menyurutkan upayanya menjadi kekuatan utama di perairan

Malaka dan sekitarnya. Di tahun tersebut pula Johor bekerjasama

dengan Belanda mengalahkan Portugis sekaligus mengusirnya dari

Malaka. tahun ini mnjadi babak baru bagi perkembangan kerajaan

Johor hingga ke masa-masa setelahnya.

Ellya Roza menyebutkan bahwa Johor mulai menguasai

selat Malaka, sebagai salah satu bandar niaga yang ternyata masih

memiliki reputasi di mata saudagar dunia, menginjak masa

pemerintahan Sultan Abdul Jalil syah III (1623-1677), tepatnya

pada tahun 1641. Di tahun ini, Johor berusaha membangkitkan lagi

kejayaan moyangnya, Malaka. Perluasan pengaruh juga mulai

dibentangkan hingga dapat menguasai Selangor, Negeri Sembilan,

Pahang dan Trengganu. Di samping itu, kerajaan-kerajaan pantai

timur Sumatra yang sebelumnya tunduk pada Malaka, seperti Siak,

Rokan, Aru dan Indragiri menyatakan kesetiaannya pada Johor.

Menginjak tahun tersebut, sebenarnya daerah Johor

mengalami kemerosotan wibawa, terlebih dalam pergaulannya

dengan penguasa asing Belanda. Sepertinya Johor lebih memilih

jalan kooperatif dengan hadirnya bangsa Kulit Putih tersebut,

dengan tidak menindak keras mereka terlebih dengan melancarkan

pelbagai aktivitas yang berujung pada kontak fisik. Wilayah Johor

hanya terdiri dari Sungai Kelang, Sungai Penagie (Kuala Tinggi),

Sungai Siak, Sungai Kampar, Bengkalis, Ungaran, kepulauan

Karimun, p. Bintan, Lingga dan pulau-pulau di sekelilingnya,

Singapura, Rio-Formosa, Sungai Batu Pahat dan Muar.154

Selanjutnya, darah Malaka yang mengalir dalam raja-raja

Johor merupakan penyebab diagungkannya wibawa serta

keturunan mereka yang ikut pula menaikkan reputasi mereka di

kancah regional. Malaka merupakan induk bagi lahirnya kerajaan-

kerajaan Islam di kawasan semenanjung dan pantai timur Sumatra.

Identitas dan tradisi kemelayuan yang berkembang sampai dewasa

ini, merupakan buah dari kerja keras para pendahulu raja bangsa

Melayu yang dihubungkan pula dengan raja-raja Malaka.

Bayangkan saja di masa kejayaannya, raja Malaka terakhir,

154

Ellya Roza, Raja Kecik ..., 9-10.

Page 115: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

104

Mahmud Syah pernah menyerukan untuk menghentikan

keberangkatan haji ke Mekkah bagi rakyatnya. Ia justru

berkeinginan untuk menjadikan Malaka menggantikan Makkah.155

Dikenal dalam sejarah, Malaka menjadikan ulama-ulama

Aceh sebagai rujukan dalam masalah keagamaan. Namun,

perasaan ketertinggalan dalam ranah agama tidak lantas membuat

raja serta perangkat pemerintahannya menata penyelenggaraan

kerajaan. Pernyataan Raja Malaka tersebut, merupakan simbolisasi

bahwa Malaka berkeinginan menjadi salah satu pusat

berkumpulnya orang-orang Muslim lintas negeri, yang saudah

dibuktikan melalui keramaian bandar dagangnya.

Memori-memori kejayaan seperti demikian agaknya yang

selalu dijaga oleh generasi keturunan Malaka yang kemudian

tampil dengan wajah baru, yakni kesultanan Johor. Raja-raja Johor

senantiasa menganggap pendahulu mereka ini sebagai inspirasi

dalam mengembangkan kembali kedaulatan bangsa Melayu.

Harapannya, dengan membawa bendera kebesaran Melayu lama,

reputasi Johor akan meningkat pesat dan menjadi salah satu

kekuatan baru yang berpengaruh di selat Malaka.

B. Pembangunan dan Perkembangan Kerajaan Johor

Berdirinya kerajaan Johor boleh dikatakan sebagai pelanjut

kerajaan Malaka sebelumnya, oleh karena yang menjadi raja-

rajanya masih terhitung keturunan Raja Malaka. Untuk sementara

waktu, Johor dapat membangun kerajaannya tanpa mendapat

ancaman yang berarti dari Portugis di Malaka, oleh sebab Aceh

saat itu sedang giat-giatnya melakukan pelbagai langkah serius

menghentikan dominasi Portugis di sekitar daerah kekuasaannya.

Begitupula halnya dengan Portugis yang sungguh-sungguh ingin

menegakkan daulatnya di seluruh perairan selat Malaka dan

sekitarnya. Keuntungan bagi Johor tidak lantas diterjemahkan

sebagai sikap apatis terhadap perkembangan politik regional di

sekitarnya. Justru, keuntungan ini jika tidak dimanfaatkan secara

155

A. C. Milner, “Islam dan Martabat ...”, hlm. 66.

Page 116: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

105

tepat serta sesuai dengan kebutuhan kerajaan dapat berubah

menjadi roda besar yang melindas dan menjadikan Johor sebagai

ajang perebutan kekuasaan tanpa bisa menyuarakan kebijakan

politiknya. Rasa khawatir sudah tentu bersemayam di benak para

penguasa Johor melihat karut marutnya rancang bangun politik di

kawasan selat Malaka. Untuk itu, adalah pilihan tepat jika para

pelarian Malaka tidak lantas tampil ke pentas pergaulan antar

kerajaan, dan lebih memilih memperkuat jejaring bawahan Malaka

yang terdesentralisasi pasca jatuhnya Malaka.

Pelarian panjang para pelarian Malaka ke negeri-negeri

yang disinggahinya sebenarnya merupakan investasi berharga bagi

berdirinya Johor di kemudian hari. Logika yang bergulir adalah,

apabila kerajaan pusat yang menjadi naungan para kerajaan kecil

telah punah, maka kerajaan bawahan akan terlibat dalam kompetisi

hebat memperebutkan tampuk kuasa bekas raja atasannya. Hal ini

agaknya tidak langsung terjadi di lingkungan kerajaan-kerajaan

Melayu, namun bukan berarti tidak mungkin terjadi. Nafsu

berkuasa yang mengendap dalam diri seorang raja, akan memaksa

dirinya untuk menggerakkan pasukan memperluas wilayahnya.

Oleh karena itu, langkah Mahmud Syah mengikat kembali

wilayah-wilayah bawahan Malaka, meskipun dengan dalih mencari

perlindungan atas Portugis, dapat dimaknai sebagai momen awal

dalam menganyam kembali jalin jemalin kejayaan Malaka, yang

kemudian tampil dalam bentuk kerajaan Johor. Dalam bentangan

sejarah Islam peristiwa ini mirip dengan pendirian Bani Umayyah

II di Andalusia pada abad 8. Kala itu, sebagai sisa keluarga

keluarga Muawwiyah yang selamat, Abdurrahman ad-Dakhil susah

payah mencari tempat bersembunyi dan meminta suaka dari

kejaran pasukan Abbasiyah, yang kala itu sedang merentangkan

kekuasaaannya atas Dunia Arab dan sekitarnya. Pelariannya

mencapai batas yang sebelumnya tidak dipikirkan, hingga sampai

ke Spanyol. Di sana, oleh sebab kecakapannya, ia meniti karir

politik dari tingkat bawah hingga akhirnya dapat menjadi pemuka

Page 117: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

106

orang Islam dan membangun Dinasti Umayyah II bahkan

kebesarannya menandingi Abbasiyah di kemudian hari.156

Walaupun Mahmud Syah berada dalam keadaan yang serba

terbatas untuk dapat melakukan perlindungan diri, namun tidak

lantas membuatnya menyerah pada Portugis. Kesabarannya

menjalin komunikasi dengan raja-raja Melayu lainnya seperti Siak,

Kampar, Bintan, Indragiri berbuah manis dengan keberhasilannya

mendirikan Johor sebagai gerbong baru pewaris kebesaran Malaka.

Segera pasca pendiriannya, Johor telah memiliki beberapa negeri

yang beraja atasnya, yakni beberapa kerajaan yang tadi disebutkan

ditambah dengan Pahang yang rajanya masih terhitung kerabat

keluarga Malaka. Sebuah keuntungan tersendiri yang langka

dijumpai bagi cepatnya proses perkembangan kerajaan yang baru

didirikan, terlebih mengingat saat itu kemelut perebutan kuasa

Aceh-Portugis sedang memanas.

Oleh karena aparatur Johor generasi awal banyak yang

diangkat dari mantan pejabat kerajaan Malaka, maka bisa

dipastikan, untuk sementara waktu mereka tidak lantas sepaham

dengan aktivitas Portugis. Sama seperti Aceh, salah satu agenda

terdekat mereka adalah bagaimana merebut kembali Malaka dan

mengalahkan bangsa Eropa itu. Untuk itu, pembangunan kota

segera dibarengi dengan penguatan sistem keamanan dan

pembentukan pasukan darat dan air. Hasilnya positif, pasukan ini

menuai banyak keberhasilan dalam serangan penyergapan di

perairan. Kapal-kapal Portugis yang berlayar di sekitar Johor

banyak yang diserang. Pelaut Portugis yang mencoba melarikan

diri ke Pahang ditangkap dan diberi dua pilihan, memeluk Islam

atau mati.157

Mahmud Syah agaknya berhasil menciptakan kubah

pengaruh yang melingkupi negeri-negeri bekas bawahan Malaka.

Kesuksesan pasukannya menekan jumlah lalu lalang armada

156

Lebih lanjut mengenai perumpamaan historis ini baca Philip K.

Hitti, History of The Arabs, Terj. R. Cecep LH dkk (Jakarta: Serambi, 2008)

hlm. 642-648. 157

Richard Winstedt, Malaya and Its History (Great Britain: The

Anchor Press, 1933) hlm. 43.

Page 118: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

107

Portugis di sekitar selat Malaka dan pesisir Sumatra Timur

merupakan bentuk kerjasama yang dibangun antar pemuka

kerajaan. Richard Winstedt menambahkan, baik dengan pasukan

maupun dengan pengaruhnya di lingkungan para penguasa

Sumatra (utamanya Sumatra Timur), Mahmud Syah banyak pula

mendatangkan pasokan komoditas makanan bagi negeri

barunya.158

Zona pengaruh Johor tanpa harus menunggu waktu

lama cepat terbentuk dan ini yang kemudian mendorong Johor

keluar sebagai kekuatan baru dalam perhelatan politik antar

kerajaan.

Tindakan defensif yang dikedepankan Johor ternyata

tidaklah bertahan lama. Portugis segera mengetahui munculnya

kekuasaan baru yang mengancam ambisinya. Sebagaimana telah

disebutkan sebelumnya, Sultan Alaiddin Riayat Syah II mengalami

kesulitan menghadapi kepungan pasukan Portugis sehingga

memaksanya berdamai dengan Portugis pada 1536. Tunduknya

Johor dibarengi pula dengan penguatan kuasa Portugis atas

kerajaan-kerajaan Melayu sehingga hampir secara berbarengan

Perak dan Pahang jatuh dalam pengaruh Portugis.159

Meskipun pamor Johor atas beberapa kerajaan Melayu

masih terasa, namun bukan berarti kerajaan-kerajaan tersebut akan

memberikan bantuan sebagaimana yang diharapkan Johor,

umpamanya membantu pengiriman pasukan atau logistik yang

memadai. Sebagai keturunan raja-raja Malaka, harusnya Johor juga

mampu mempengaruhi negeri-negeri Melayu lain agar mendukung

gerakan mereka merebut kembali Malaka, namun yang terjadi

justru sebaliknya. Persatuan antara kerajaan Melayu tercerai berai

dan tidak diketemukan dalam catatan sejarah mengenai konsolidasi

raya dunia Melayu yang dulunya merupakan bawahan Malaka,

untuk menghancurkan kedudukan Portugis. Keberhasilan Portugis

menguasai Johor dan beberapa kerajaan Melayu di atas menjadi

bukti atas ketiadaan persatuan tersebut.

Menyadari kerajaan berada pada keadaan sulit berkembang,

menyebabkan para petinggi istana Johor dipaksa untuk mencari

158

Richard Winstedt, Malaya and ..., hlm. 43. 159

D.G.E. Hall, Sejarah Asia Tenggara ..., hlm. 310.

Page 119: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

108

jalan alternatif untuk mengupayakan agar kerajaan dapat terus

bergeliat. Satu alternatif yang paling memungkinkan adalah tetap

konsisten menjalani masa gencatan senjata dengan Portugis

sembari memperkuat persaudaraan kerajaan-kerajaan Melayu dan

negeri bawahan lainnya. Paling tidak, demikian hemat para

penasehat kerajaan, Johor tetap dianggap sebagai kerajaan yang

memiliki pengaruh kuat di selat Malaka dan suatu saat bisa

menjadi daya tawar terhadap setiap kebijakan Portugis atas

kerajaan ini.

Bersamaan dengan semakin turunnya pamor Malaka, Aceh

berkembang menjadi kerajaan dagang yang kuat. Sejak masa Ali

Mughayyat Syah, Aceh telah rajin melakukan peperangan dengan

Portugis. Di antara perang itu, tidak jarang Aceh memperoleh

kemenangan. Menyaksikan munculnya kompetitor baru lawan

Portugis tersebut, pejabat istana Johor mulai tersadarkan, Aceh

menjadi ancaman berikutnya selain Portugis yang diramalkan akan

mengupayakan perluasan pengaruh, tak terkecuali hingga

menyentuh wilayah Johor dan bawahannya.

Virginia Matheson Hooker mengungkapkan bahwa latar

belakang Johor mulai bersinggungan dengan Aceh dan Portugis

adalah karena dua kekuatan ini berpotensi mengganggu jalur

dagang internasional yang menjadi andalan pendapatan mereka.

Untuk itu, maka ketika pasukan Aceh akan menguasai Aru, Johor

terlebih dahulu telah membuat aliansi dengan kerajaan Aru untuk

bersama menghentikan laju Aceh.160

Ini merupakan perjumpaan

awal antara Johor dengan Aceh. Sebagaimana telah diungkapkan,

pada pertempuran ini Aceh mengalami kekalahan akibat serangan

gabungan Johor dan Portugis.

Di samping itu, kesempatan membantu Aru ini pula

menjadi awal mula kemitraan Johor dengan Portugis. Setelah

sebelumnya kedua kekuatan ini terlibat dalam gencatan senjata,

momen menyelamatkan Aru dari cengkeraman Aceh menjadi

ingatan indah di kalangan pemuka Johor bahwa ternyata Portugis

merupakan rekan yang bisa diandalkan. Perlahan persepsi hitam

160

Virginia Matheson Hooker, A Short History of Malaysia (Australia:

Allen and Unwin, 2003) hlm. 80.

Page 120: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

109

yang dialamatkan Johor pada Portugis luntur sedikit demi sedikit.

Begitu pula dengan Portugis, Aru yang merupakan bawahan

Portugis ternyata dipandang sebagai rekan penting pula oleh Johor.

Agaknya budaya kemelayuan menjadi faktor integratif keduanya.

Pada titik ini, Portugis mulai menyadari bahwa kekerabatan

sesama raja Melayu dapat diandalkan sebagai bagian bagi misi

mereka mengalahkan Aceh.

Agaknya para penguasa Johor menyadari pergerakan

zaman yang berubah, membawa implikasi pada perubahan peta

politik. Sebagai kerajaan yang baru berdiri, mereka tentu tidak

dapat langsung menjadi lawan kuat penantang Aceh dan Portugis

yang kala itu sedang bertikai. Serangan Aceh atas Aru merupakan

peristiwa yang cepat membuka mata Johor untuk segera memilih

mitra, dan karena yang diserang adalah Aru yang dahulunya

merupakan bawahan Malaka,didorong oleh rasa kekerabatan

sesama raja Melayu, maka Johor lebih menjatuhkan pilihan kepada

Portugis ketimbang Aceh. Meskipun kekuasaan Malaka telah

pudar, namun ikut sertanya Johor membela Aru, menjadi pertanda

betapa ikatan persaudaraan Melayu masih kuat.

Sejak itu, baik Johor dan Portugis terlibat dalam hubungan

yang aneh. Johor tidak lagi menganggap Portugis sebagai musuh

utama yang harus dienyahkan, melainkan bisa dimanfaatkan

sebagai relasi bisnis yang menguntungkan mereka. Anggapan

mengenai Portugis sebagai penakluk Malaka seakan diabaikan,

yang terpenting, demikian kiranya hemat elit politik Johor,

kesempatan mereka menjadi salah satu kekuatan besar Melayu

tetap terjaga, meskipun harus berkomplot dengan musuh masa

lalunya itu. Di sisi lain Portugis memandang Johor sebagai sosok

utama paling berpengaruh dalam lingkungan para pembesar

Melayu. Sematan pewaris kerajaan Malaka yang dimilikinya masih

relevan dibuktikan dengan beberapa daerah Sumatra Timur yang

tunduk di bawah Johor.

Belum lagi menimbang kekuatan kerajaan Melayu lainnya

seperti Perak dan Pahang yang juga memiliki garis kebijakan luar

negeri sama dengan Johor. Jika kesatuan wilayah bawahan Johor

ini berada di bawah komando Portugis, maka tentu jalan

Page 121: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

110

menguasai Semenanjung Melayu dan sebagian besar Sumatra

terbuka lebar. Oleh sebab itulah Portugis mulai memandang

penting Johor, bukan lagi menempatkannya sebagai negeri

bawahan namun lebih tepat disebut mitra yang saling

menguntungkan.

Usaha Johor dalam mengembalikan kedigdayaan Malaka

bersamaan dengan masa ketika Aceh memaklumatkan perang

terhadap Portugis. Dikuasainya Malaka membuat berang para

penguasa Aceh yang kala itu sedang giat melakukan perluasan

pengaruh. Bukan hanya dengan Portugis, Aceh juga tidak segan

menyerang negeri-negeri Melayu dan sekitarnya yang diketahui

memiliki hubungan dengan Portugis, Johor menjadi salah satunya.

Sejak diketahui Johor membantu Portugis dalam penyerangan

terhadap Aru pada 1540. Kesan Aceh terhadap perjumpaannya

dengan Johor sudah pasti menganggap kerajaan itu merupakan

sekutu Portugis. Sejak itu, maka Aceh sadar bahwa tugas mereka

bertambah, selain mengalahkan Portugis, mereka juga

berkewajiban menundukkan negeri-negeri Melayu sekutu

musuhnya itu.

Merujuk pada keterangan Leonard Y. Andaya, momen

ketika Johor berhasil menahan kekuatan Aceh di muara sungai

Panai pada 1540, menjadi memori kegemilangan yang

mendongkrak wibawa Johor. Betapa jumawanya mereka karena

saat itu mereka berhasil memukul balik pasukan Aceh yang sudah

dikenal kuat dan pantang menyerah. Hampir bersamaan dengan

masa itu, Aceh berhasil menjadi bandar dagang paling berpengaruh

yang menghubungkan perdagangan muslim India dan Asia Barat.

Kemakmuran yang dimiliki Aceh membuatnya berani menantang

dominasi Johor atas negeri-negeri Melayu. Sultan Alaiddin Riayat

Syah al-Kahar merupakan sultan Aceh pertama yang mengadakan

penyerangan pertama ke Johor pada 1564/1665.161

Serangan ini

menjadi pelajaran berharga pihak Johor untuk tidak meremehkan

Aceh, bahkan ketika mereka merasa memiliki mitra setangguh

Portugis.

161

Leonard Y. Andaya, The Kingdom of Johor ..., hlm. 18.

Page 122: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

111

Serangan ini cukup membuat pihak istana Johor dirundung

kekhawatiran hebat. Sultan Muzaffar Syah naik tahta pada 1564,

mendapat pekerjaan baru untuk menenangkan aparat pemerintah

Johor beserta masyarakatnya. Ia memutuskan untuk memindahkan

ibukota dari yang sebelumnya di tepi sungai Johor pindah ke bukit

Seluyut. Ia sendiri amat mengutuk serangan Aceh atas negerinya

dan tidak rela jika Johor sampai berada di bawah kendali Aceh.

Berbeda dengan tradisi kerajaan yang menahbiskan putra mahkota

sebagai suksesor seorang raja, Muzaffar Syah justru mengangkat

keponakannya, Raja Abdul Jalil menjadi Raja Johor keempat

bergelar Sultan Abdul Jalil Syah pada 1570. Muzaffarsyah sendiri

di kemudian hari meninggal di Seluyut pada 1570.162

Perpindahan pusat pemerintahan dari tepi sungai Johor ke

wilayah pedalaman, yakni di Bukit Seluyut, memiliki implikasi

yang berganda. Secara pertahanan, perpindahan ini dapat dilihat

sebagai suatu langkah penting guna menghindari serangan musuh

yang datang dari arah perairan. Pilihan daerah yag lebih tinggi,

memungkinkan pasukan Johor untuk mematangkan persiapan jika

serangan datang dari arah sungai, sehingga ancaman serangan

musuh dapat diminimalisir. Di pihak yang lain, pemindahan ini

berpotensi memperlemah proyek pembangunan perdagangan

maritim Johor. Tidak bisa dipungkiri, kawasan perairan Malaka,

merupakan ajang perebutan pengaruh antara Aceh dan Portugis.

Pemindahan ini, membuat Johor tertinggal langkah dalam

membangun sistem pelabuhan yang baik dan modern di masanya.

Terlebih Portugis masih gencar melakukan patroli di beberapa

wilayah Semenanjung Malaya maupun pesisir Sumatra Timur,

sehingga mempersulit ruang gerak Johor di wilayah pesisir.

Raja Abdul Jalil yang masih kecil, yakni berumur sekitar 9

tahun dianggap masih terlalu dini memimpin kerajaan yang baru

mengalami perubahan ibu kota dengan tumpukan pekerjaan rumah

yang belum selesai itu. Maka disepakati pengurusan pemerintah

diserahkan sementara kepada Bendahara Seri Maharaja.

Pengangkatan raja baru ini ternyata tidaklah disukai oleh sebagian

pembesar istana. Mereka sepakat untuk menyingkirkan raja kecil

162

Mustafa Ali Mohamed, Johor ..., hlm. 3-4.

Page 123: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

112

ini dengan cara diracun. Tidak sampai setahun bertahta, akibat

skenario para pembesar, ia mangkat secara tiba-tiba, dan

penyebabnya adalah karena diracun.

Sultan Muzaffar Syah memiliki saudara perempuan

bernama Raja Fatimah. Saudarinya ini menikah dengan Raja

Umar, putra Raja Pahang. Ketika Sultan Abdul Jalil Syah kecil

mangkat, pembesar Johor terlibat dalam kesibukan mencari

pengganti Raja Johor berikutnya. Pilihan sebenarnya jatuh pada

Raja Abdullah, putra mendiang Sultan Muzaffar Syah, namun

keputusan ini mendapat tentangan dari Raja Fatimah. Menurutnya,

Raja Abdullah belumlah pantas memimpin negeri karena masih

kecil. Ia menyarankan suaminya menjadi Raja Johor berikutnya.

Tanpa menunggu waktu lama, sidang kerajaan akhirnya

memutuskan Raja Omar diangkat menjadi Raja Johor ke 5 bergelar

Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II.163

Dalam Tuhfatunnafis, suatu naskah sastra sejarah Melayu

yang ditulis oleh Raja Ali Haji bin Ahmad, pujangga Melayu abad

19, menyebutkan bahwa di masa Sultan Abdul Jalil Syah, Johor

pernah melancarkan serangan melawan Portugis di Seluyut. Saat

itu, pasukan Johor berhasil mengalahkan sekaligus memukul

mundur musuhnya itu. Di masa Raja Johor ke 4 ini, dibangun pula

pemukiman di hulu sungai Damar yang merupakan anak sungai

Batu Sawar. Ia juga membangun pemukiman di Makam Tauhid,

tempat yang kemudian menjadi peristirahatan terakhirnya. Selain

itu, Sultan Abdul Jalil juga memperkuat kekerabatan dengan

kerajaan Melayu lainnya. Bukan dengan perkawinan, melainkan

dengan langsung mendudukkan putra-putranya sebagai raja di

beberapa kerajaan Melayu. Dengan istri keduanya, Sultan Abdul

Jalil memiliki tiga putra; Raja Hasan diangkat menjadi Raja Siak,

Raja Husein diangkat menjadi Raja Kelantan dan Raja Mahmud

ditahbiskan menjadi Raja Kampar.164

163

Mustafa Ali Mohamed, Johor ..., hlm. 4-6. 164

Raja Ali Haji bin Ahmad, The Precious Gift (Tuhfat al-Nafis),

Transl. Virginia Matheson and Barbara Watson Andaya (Kuala Lumpur: Oxford

University Press, 1982) hlm. 12

Page 124: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

113

Terlihat, adanya kerancuan pemahaman dalam

mengungkap Sultan Abdul Jalil dalam Tuhfatunnafis jika

membandingkannya dengan informasi mengenai Sultan Abdul Jalil

yang ternyata meninggal ketika masih kecil seperti dipaparkan

sebelumnya. Tidaklah mungkin sultan yang baru berumur 9 tahun

kemudian memiliki 3 anak yang dijadikan raja.

Terkait hal itu, Virginia Matheson dan Barbara W. Andaya

memberikan catatan di bagian akhir karya Raja Ali Haji ini bahwa

Sultan Abdul Jalil yang tertulis di Tuhfatunnafis merujuk pada dua

orang yang berbeda yang memerintah Johor dalam tahun yang

sama, sekitar 1570 atau 1571.165

Dua sultan itu tidak lain adalah

Sultan Abdul Jalil Syah yang masih anak-anak dan Sultan Ali Jalla

Abdul Jalil Syah. Besar kemungkinan dua sultan ini kemudian

digabungkan dalam satu nama dalam Tuhfatunnafis. Sehingga,

sosok yang dikatakan mendudukkan anaknya sebagai raja negeri

Siak, Kelantan dan Kampar adalah Sultan Ali Jalla Abdul Jalil

Syah.

Menginjak 1574, menjadi titik balik bagi hubungan Aceh

dengan Johor dari hubungan saling menjatuhkan berubah menjadi

rekonsiliasi yang menenangkan dan berazaskan manfaat,

sebagaimana yang telah disinggung di bab sebelumnya. Hubungan

baik ini dipererat dengan dinikahkannya putri Sultan Husain, Raja

Aceh kala itu dengan pangeran Johor. Begitu mengetahui Johor

telah berbaikan dengan Aceh, Portugis menunjukkan

kekecewaannya dengan menyerang Johor pada 1576 dan 1578.166

Di masa Sultan Alauddin Riayat Syah Saidil Mukammil

yang memerintah Aceh pada 1584-1604, hubungan baik Aceh dan

Johor mengalami kerusakan. Konflik antara keduanya terjadi

tatkala Aceh menyerang Aru yang menjadi salah satu lokasi

potensial Portugis di Sumatra yang dianggap Aceh menjadi

ancaman kekuasaannya jika tidak segera dikuasai. Mengetahui hal

ini, Johor merasa tersinggung dan berpaling membela Aru. Raja

Johor saat itu segera mengarahkan pasukannya untuk melindungi

165

Raja Ali haji, The Precious Gift ..., hlm. 310. 166

Amirul Hadi, Aceh; Sejarah, Budaya dan Tradisi (Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia, 2010) hlm. 52.

Page 125: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

114

Aru. Untuk memperkuat pasukan, pemuka Johor meminta bantuan

Portugis. Ketika perang pecah, pasukan Aceh mendapati benteng

pertahanan yang kokoh yang digalang pasukan gabungan ini.

Akhirnya, perang ini dimenangkan oleh pasukan Johor-Portugis.

Hubungan Johor dan Portugis pada tahun 1590-an, ternyata

tidak sepenuhnya berjalan baik. Mustafa Ali Mohammad

menyebutkan bahwa ketika Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II

bertahta menjadi Sultan Johor ke 5, Johor terlibat dalam

persengketaan dengan Portugis. Menginjak tahun 1586, pasukan

Johor memblokade kapal-kapal pemasok makanan ke Malaka,

yang menyebabkan kota Malaka terancam kelaparan. Sang sultan

memerintahkan pasukan laut Johor menutup jalur selat Singapura.

Cara menyekat yang unik diperagakan pasukan Johor yakni

dengan cara membariskan kapal-kapal tongkang yang diisi dengan

batu-batu besar.

Portugis yang semakin terjepit berhasil mengirimkan

utusan ke Goa India untuk meminta bantuan. Pada tahun 1587,

Portugis dengan bantuan Goa berhasil keluar dari tekanan dan

menyerang negeri Johor. Kala itu pasukan Johor berperang dengan

senjata tradisional dan harus berjibaku melawan serangan meriam

Portugis. Pada 23 Juli di tahun yang sama, pasukan Johor berhasil

memukul mundur Portugis dari negeri mereka. Kekalahan ini

membuat Portugis tidak puas dan kembali menyerang Johor pada

bulan Agustus. Pada serangan kedua ini, Portugis menggerakkan

pasukan yang lebih kuat dan banyak. Akibatnya, Johor tidak dapat

lagi menahan hempasan serangan Portugis dan akhirnya

pertahanannya jebol. Sultan Ali Jalla memutuskan mundur ke Batu

Sawar dan mangkat di sana. Kedudukannya diganti ankanya, Raja

Mansur, yang setelah naik tahta bergelar Sultan Alauddin Riayat

Syah III.

Pada tahun 1597, Sultan Alauddin tidak berminat untuk

memimpin Johor lebih lanjut. Ia menyerahkan tahtanya kepada

adiknya, Raja Abdullah dan Bendahara Tun Sri Lanang. Sultan

Alauddin dikenal sebagai sosok yang lalai dalam memimpin

negeri. Keseharianya hanya dipenuhi dengan gaya hidup

hedonistik, di mana dayang-dayang, gundik-gundik serta pegawai

Page 126: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

115

istana yang sehobi dengannya menemaninya hampir setiap waktu.

Namun begitu, ia tetaplah menduduki tahta sebagai sultan, hanya

saja dalam penyelenggaraan kerajaan ia menyerahkan tanggung

jawab pada dua orang di atas.167

Sultan Alauddin memutuskan perkara penting dengan

memindahkan ibukota ke Batu Sawar. Batu Sawar sendiri

sebenarnya adalah suatu pekan (pasar), terletak sekitar 10 Km dari

bibir sungai Johor. Ibukota baru ini dikelilingi oleh pagar kayu

besar, rapat dan tinggi yang tingginya 3, 6 meter.168

Di samping

itu, Tuhfatunnafis menyebutkan bahwa di masa ini pula dibangun

pemukiman di tepi sungai Rawun dan Pasir Raja.169

Pada 1602, terjadi babak baru dalam episode hubungan

internasional Johor. Datangnya duta Belanda ke Batu Sawar

disambut baik oleh segenap punggawa kerajaan. Adalah Admiral

Jacob van Heemskerck, seorang staf angkatan laut Belanda, yang

mengemban tugas mengajak Johor untuk menjalin kerjasama

kenegerian. Tidak tanggung-tanggung, Belanda siap membantu

perjuangan Johor dalam menghadapi seteru-seterunya seperti

Portugis, Aceh dan di masa depan Patani. Tawaran menggiuarkan

ini segera diterima oleh Sultan Alauddin Riayatsyah III. Sebagai

tanda keseriusannya, sang sultan mengirimkan duta untuk bertemu

Pangeran Maurits, pemuka pemerintahan Belanda yang

keberangkatannya bersamaan dengan pulangnya Jacob van

Heemskreck. Kerjasama ini merupakan pintu gerbang awal

masuknya Belanda ke kepuluan Melayu-Indonesia atau Nusantara.

Melalui kerjasama dengan Johor, kedepannya, Belanda berhasil

menanamkan pengaruh ke seantero Semenanjung Malaya.170

Menginjak 6 Juni 1613, hubungan yang memburuk dengan

Aceh yang terjadi pada akhir abad ke 16 berbuah menjadi petaka

bagi Johor. Batu Sawar mengalami masa kesuramannya, yakni

dengan datangnya serbuan pasukan Aceh. Serbuan ke Johor ini

merupakan satu episode dari rangkaian penaklukan regional yang

167

Mustafa Ali Mohamed, Johor ..., hlm. 7. 168

Mustafa Ali Mohamed, Johor ..., hlm. 7-8. 169

Raja Ali Haji, The Precious Gift ..., hlm. 12. 170

Leonard Y. Andaya, Kingdom of Johore ..., hlm. 22-23.

Page 127: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

116

ditetapkan oleh pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Raja Aceh

yang sedang berambisi menjadi raja diraja Sumatra dan dunia

Malaya. Dalam pertempuran in Raja Johor berhasil ditangkap dan

dirinya beserta pejabat kerajaan lainnya termasuk saudara sang raja

bernama Raja Abdullah (Raja Seberang), Bendahara Tun Sri

Lanang, Putri Kamaliah (Putri Pahang), Raja Siak yang kebetulan

melawat ke Johor, serta pejabat dan sebagian dari rakyat Johor di

bawa ke Aceh. Ibukota Johor kala itu sedang menatap bayangan

kematiannya, di mana kehancuran menjadi pemandangan yang

terhampar.

Di Aceh, para tawanan Johor mendapat perlakuan yang

istimewa dari Sultan Aceh. Segera, diadakan pertemuan bilateral

antara Johor dan Aceh guna membahas perspektif politik

internasional Johor. Pada kesempatan itu Johor menyatakan akan

mengikuti agenda politik Aceh untuk jangan menjalin hubungan

dengan Portugis. Raja Johor dikabarkan mangkat di Aceh. Raja

Abdullah kemudian dinikahkan dengan Putri Ratna Jauhari, adik

Sultan Aceh. Iskandar Muda juga mempersunting Putri Pahang

sebagai istrinya. Setelah kesepahaman dua kerajaan tercapai, Raja

Abdullah kemudian kembali ke Johor disertai sekitar dua ribu

pasukan Aceh di bawah pimpinan Raja Lela Wangsa. yang

ditugaskan khusus membangun kembali Batu Sawar.171

Untuk

kesekian kalinya pernikahan antar bangsawan dua kerajaan

diharapkan menjadi perekat persahabatan.

Setelah mangkatnya Sultan Alaiddin Riayat Syah III, pada

1615, kepemimpinan Johor dilanjutkan oleh Raja Abdullah yang

bergelar Sultan Hammat Syah.172

Segera setelah pengangkatannya,

ia membuka komunikasi rahasia dengan VOC (Vereenigde Oost-

Indische Compagnie) kongsi dagang Belanda, dengan menawarkan

sebidang tanah untuk pembangunan benteng VOC, yang di masa

mendatang bersama-sama Johor dapat menaklukkan Aceh. Setelah

menimbang beberapa lama, Raja Johor menilai VOC tidak

komitmen dengan kesepakatan awal, lantas sang raja membuka

171

Leonard Y. Andaya, Kingdom of Johore ..., hlm. 20 dan Pocut

Haslinda, Tun Sri Lanang ..., hlm. 28-29 dan 56. 172

Dalam sumber lain bergelar Sultan Abdullah Ma‟ayat Syah. Lihat

Mustafa Ali Mohamed, Johor ..., hlm. 9.

Page 128: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

117

kembali perjanjian bilateral dengan Portugis. Salah satu kerjasama

yang disepakati adalah pengangkutan komoditas pangan berupa

beras dan kebutuhan lainnya dengan perahu kecil dari Riau-

Lingga, yang menjadi salah satu bandar dagang tempat

berniaganya junk-junk dari Siam, Patani, Jawa Makassar dan dari

daerah lainnya.

Sultan Hammat Syah menolak cara lama sistem pertahaan

militer dengan hanya bertahan di muara sungai Johor, yang

biasanya dijadikan jalan keluar ketika Johor mendapat serangan

lawan. Ia memilih pulau Bintan sebagai benteng pertahanan Johor.

Perpindahan ini juga dimaksudkan agar mudah mendapatkan

bantuan dari sekutunya, Orang Laut173

yang berdiam di kepulauan

Riau-Lingga. Dalam upayanya memugar kekuatan militer guna

persiapan menghadapi Aceh, Raja Johor ini juga menjalin

kerjasama multilateral dengan kerajaan Palembang, Jambi,

Indragiri, Kampar dan Siak 174

Setelah mempertimbangkan masak-

masak, Batu Sawar tidak lagi dianggap sebagai tempat yang aman

sebagai ibukota, oleh sebab itu pusat pemerintahan kembali

dipindahkan dan kali ini ditempatkan di pulau Lingga.

Alangkah marahnya Iskandar Muda mengetahui Johor

kembali menjalin hubungan dengan musuh Aceh. Pada 1623,

genderang perang kembali ditabuh, armada Aceh kembali

disiapkan dan diberangkatkan langsung menerjang pulau Lingga.

Lewat serangan terpola yang spartan dan sistematis, pulau ini

segera dapat dikuasai. Mengetahui posisinya tidak aman, Raja

Johor melarikan diri ke Tambelan, yang menjadi salah satu daerah

173

Merujuk pada penjelasan A. B. Lapian, Orang Laut adalah salah satu

suku bangsa yang hidup di perairan Sumatra Timur dan selat Malaka yang

kehidupannya amat dekat dengan tradisi kemaritiman. Dalam hubungannya

dengan kerajaan Johor dan kerajaan Riau, Orang Laut termasuk dalam kategori

rakyat kerajaan. Mereka memiliki klebihan di banding suku bangsa lainnya,

yakni bebas dari pajak perorangan. Meskipun begitu, mereka diwajibkan

memberi jasa denga dipekerjakan sebagai pengayuh perahu kerajaan, penyedia

perahu bagi kerajaan dan sebagainya. Lebih lanjut lihat A. B. Lapian, Orang

Laut Bajak Laut Raja Laut; Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX (Depok:

Komunitas Bambu, 2009) hlm. 109-110. 174

Leonard Y. Andaya, Kingdom of Johore ..., hlm. 21.

Page 129: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

118

pertahanan kuat Johor. Beberapa bulan kemudian, Raja Johor ini

dikabarkan mangkat di pulau tersebut.175

Sepeninggal Sultan Hammat Syah, Raja Bujang didaulat

sebagai Sultan Johor berikutnya. Ia lebih dikenal dengan gelarnya,

Sultan Abdul Jalil Syah III, dan naik tahta segera setelah

mangkatnya raja pendahulu di pulau Tambelan. Ketika dilantik, ia

dikenakan satu syarat, yakni saat ia berpulang nanti, maka pewaris

tahtanya adalah anak dari Sultan Hammat Syah atau Sultan

Abdullah Ma‟ayat Syah yang bernama Raja Bajau. Dengan istilah

lain ia segera mengangkat Raja Bajau sebagai Raja Muda Johor.

Suratan takdir ternyata berjalan lain, Raja Bajau mangkat lebih

awal ketimbang Raja Bujang yakni pada 1676. Ia meninggalkan

seorang putra bernama Raja Ibrahim.

Setahun berselang, Raja Abdul Jalil Syah III meninggal dan

segera digantikan oleh Raja Ibrahim yang menjadi Sultan Johor ke

9 dan naik ke tampuk kerajaan dengan gelar Sultan Ibrahim Syah.

Ia memindahkan pusat pemerintahan Johor ke Riau dan mangkat di

sana pada 1685.176

Andaya menambahkan bahwa setelah

kemenangan Portugis atas Aceh, yang merugikan Aceh dengan

kerugian berupa kehilangan sekitar 19.000 pasukan dan hancurnya

semua kapal Aceh, membawa angin segar bagi Johor untuk

merekonstruksi kekuatannya di dunia Melayu. Dengan adanya

kebebasan sementara dari gangguan Aceh, Johor berkesempatan

memperluas kekuasaan serta membangun relasi dagang dengan

mancanegara. Di tahun 1623, Johor mengirim duta ke Jambi dan

Palembang untuk mengupayakan repatriasi (pemulangan kembali)

orang-orang Johor yang menyelamatkan diri ke dua daerah

tersebut. Pemulihan kawat diplomatik juga dilakukan ke Patani.

Perbaikan demi perbaikan segera dicanangkan kembali guna

memugar prestis Johor sebagai kekuatan besar di dunia Melayu.

Pada 1637, suatu laporan Belanda menginformasikan armada

Johor yang berlayar di kepulauan Karimun tidak hanya berhasil

memukul kapal-kapal Portugis tapi juga mematahkan skuadron

laut Aceh yang menuju ke Pahang. Persekutuan dengan Belanda

175

Leonard Y. Andaya, Kingdom of Johore ..., hlm. 22. 176

Mustafa Ali Mohamed, Johor ..., hlm. 10.

Page 130: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

119

membuat Johor semakin mudah membangun kembali

kebesarannya.177

Tatkala kebimbangan menyelimuti Sultan Iskandar Thani,

Raja Aceh pengganti Iskandar Muda, dalam rangka

memberangkatkan pasukannya membantu Belanda melawan

Portugis, tanpa membuang waktu, Johor menyelinap mengambil

momen tersebut. Didorong oleh ingatan buruk pada 1511, ketika

Portugis menguasai Malaka, membuat pihak Johor sedemikian

yakin langkahnya adalah keputusan penting yang sepatutnya

diambil. Suatu hari di tahun 1639, datanglah seorang laksamana

Johor ke kantor perwakilan Belanda dan mengaku dirinya telah

diberi otoritas penuh dari Raja Johor untuk membantu Belanda

mengalahkan Portugis. Ia menemui Philips Lucas, seorang

pegawai VOC di Patani untuk menandatangani kontrak tersebut.

Sekembalinya dari penandatanganan tersebut, Belanda setuju

untuk membantu pembangunan benteng-benteng di Batu Sawar

dan tempat lainnnya yakni dengan menyumbang meriam dan

mesiu, sekaligus memberi garansi keamanan untuk Johor dari

segala “tindakan perilaku di luar hukum baik yang dilakukan

Portugis maupun Aceh.”178

Ketika tiba masanya pengepungan Malaka, yang dimulai

pada 2 Agustus 1640 dan berakhir pada penaklukkannya pada 14

Januari 1641, Johor memasok beragam bantuan. Para pasukan

Johor menyumbangkan tenaga mereka secara penuh dalam

transportasi material, membangun barikade pertahanan dan parit

hingga menghalau musuh yang melarikan diri ke kebun atau hutan.

Atas bantuan ini, Belanda memberikan apresiasi tertinggi yang

konon merupakan bentuk penghargaan paling tinggi terhitung

sejak keterlibatannya secara tidak langsung dalam beragam

pertempuran sejenisnya. Di akhir November 1640, Belanda

mencatat sebanyak 1.707 pasukan mati dan 470 luka-luka. Mereka

mendapat bantuan penguatan pasukan Johor sebanyak 600 orang

yang datang di kemudian hari membantu 1000 atau 1200 pasukan

Johor yang diberangkatkan lebih awal yakni pada 29 Juli 1941 di

177

Leonard Y. Andaya, Kingdom of Johore ..., hlm. 22-23 178

Leonard Y. Andaya, Kingdom of Johore ..., hlm. 23.

Page 131: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

120

bawah pimpinan Sri Bija di Raja, putra tertua Laksamana. Atas

bantuan ini, Gubernur Jendral Belanda saat itu, Antonio van

Diemen menulis surat pada Heeren XVII di Belanda tertanggal 23

Desember 1643 menyebutkan: “dalam rangka penaklukkan

Malaka, tanpa bantuan mereka (Johor) kami tidak akan bisa

menguasai tempat kuat tersebut.”179

Belanda amat berterimakasih dengan keterlibatan Johor

dalam penguasaan Malaka dengan balasan memberikan penjagaan

atas kebebasan mereka. Johor didapuk menjadi sekutu terdekat

bangsa Eropa itu di kawasan dunia Melayu dan hal itu diramalkan

akan membawa kebaikan di masa depan. Menginjak 15 Februari

1641, Sultan Iskandar Thani mangkat dan digantikan masa

pemerintahan ratu-ratu Aceh yang membawa kerajaan Aceh ke

masa kemunduran. Sebaliknya, tahun tersebut menjadi titik balik

kebebasan Johor merangkai kembali kejayaannya. Dua musuh

klasiknya, Aceh dan Portugis, telah tumbang. Kini saatnya mereka

membuka lembaran emas dengan kawan Eropanya, Belanda, yang

di saat yang sama juga sedang melebarkan pengaruhnya di selat

Malaka.180

Kehadiran Aceh dan Portugis dalam dinamika perpolitikan

Johor menyimpan pelbagai intrik yang menarik untuk diikuti.

Apapun alasannya, Johor menjadi kerajaan yang tinggal landas

mencapai kemapanan hingga dewasa ini setelah sebelumnya

terlibat dalam dialektika dengan dua kekuatan tersebut.

C. Johor Menyikapi Posisi Aceh dan Portugis

Berdirinya Johor dalam bayang-bayang pertikaian Aceh

dan Portugis, tentu saja membawa pengaruh baru dalam konstelasi

perpolitikan perairan Malaka dan sekitarnya. Sebagai negeri yang

didirikan oleh raja terakhir Malaka, Johor memiliki kepercayaan

diri yang tinggi untuk kembali mengulang kejayaan Malaka.

Jaringan kerajaan bekas bawahan Malaka, sebagaimana yang

179

Leonard Y. Andaya, Kingdom of Johore ..., hlm. 24. 180

Leonard Y. Andaya, Kingdom of Johore ..., hlm. 23-24.

Page 132: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

121

dijelaskan di atas, menjadi salah satu modal yang bisa diandalkan

dalam memperjuangan cita-cita tersebut.

Terhadap keadaan regional yang diramaikan dengan

kontestasi Aceh dan Johor, agaknya Johor memiliki perhitungan

tersendiri. Kerajaan ini tidak hanya cukup hanya dengan

melakukan kebijakan politik tertutup, melainkan membuka

peluang untuk menjajaki hubungan dengan kedua belah pihak.

Dalam praktiknya, Johor menemui beberapa tantangan bahkan

seringkali berujung dengan kerugian yang diderita akibat salah

satu dari kekuatan tersebut menyerang Johor, manakala

mengetahui Johor memilih satu di antara dua sekutu itu.

Hubungan antara Johor dengan Aceh atau Johor dengan

Portugis boleh dikatakan merupakan salah satu bentuk diplomasi.

Meskipun tidak selalu antara kedua kerajaan berkiriman duta

besar, seperti yang terjadi di masa kini, komunikasi yang

terbangun dari dua lembaga pemerintahan (tingkat kerajaan atau

negara) yang berbeda demi kepentingan bersama merupakan satu

wujud hububangan bilateral.

Dalam terminologi ilmu hubungan internasional modern,

kerajaan Johor pada awal kemunculannya dapat dikategorikan

sebagai small state atau negara kecil. Godfrey Baldacchino

memberikan tiga pengertian dari negera kecil. Pertama, negara

kecil adalah negara persemakmuran (commonwealth)181

, yang

dalam tata kelola negaranya masih dibantu oleh Kerajaan Inggris.

Sebagai contoh, secara berkala Inggris selaku commonwealth

secretariat mengadakan program-program sosial seperti

pendidikan dan pelatihan pengembangan sumber daya manusia.

Termasuk dalam tugas commonwealth secretariat, adalah

mengadakan pemantauan dan solusi terkait indeks kerentanan

(vulnerability index) dari negara-negara kecil bawahannya.

181

Commonwealth of nations atau the Commonwealth (negara-negara

persekutuan), merupakan sekumpulan negara yang merupakan bagian dari

Kerajaan Inggris. Lihat Oxford Learner’s Pocket Dictionary, 3rd

edition (Oxford:

Oxford University Press, 2003) hlm. 81.

Page 133: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

122

Kedua, negara kecil merujuk pada pengertian suatu negara

yang memiliki kedaulatan hukum yang minim. Termasuk dalam

kategori negara jenis ini adalah negara pulau atau kepulauan yang

tidak mampu mengolah sumber daya alamnya secara mandiri,

sehingga membutuhkan negara lain untuk menanganinya. Sebagai

contoh adalah negara-negra di kawasan regional Oseania semacam

Tuvalu, Vanuatu, Nauru dan lain-lain. Ketiga, termasuk dalam

negara kecil adalah negara yang selain kecil secara geografis dan

rentan pertahanannya, juga memanfaatkan lobi internasional dalam

meningkatkan produktivitas ekonomi yang rendah.182

Makna kedua dan ketiga dari small state sebenarnya agak

mirip, hanya saja mungkin Baldacchino hanya memberikan

penekanan bahwa negara jenis kedua hanya berkisar pada negara

yang tidak memiliki sumber daya manusia yang terlatih dalam

mengelola sumber daya alamnya. Sedangkan yang ketiga

menitikberatkan pada dukungan internasional untuk meningkatkan

kemakmuran rakyat serta keamanan negaranya. Pendeknya, jenis

kedua hanya berkisar pada kebutuhan ekonomi, sedangkankan

yang ketiga, bantuan dibutuhkan dalam wilayah yang lebih

kompleks. Terlepas dari itu, antara pengetian kedua dan ketiga

sesugguhnya bisa dileburkan.

Posisi Johor pada masa awal berdirinya masihlah bisa

dikatakan sebagai negara kecil, sebagaimana yang digambarkan

oleh Baldacchino di atas. Kerajaan ini membutuhkan mitra yang

tepat, yang sanggup membawa Johor pada perkembangan

kedaulatan serta kemakmuran yang kuat, sehingga mampu tampil

sebagai kekuatan baru di kancah regional kawasan Melayu. Untuk

itu Johor mulai melakukan serangkaian aksi diplomatik atau lobi

internasional pada negeri-negeri tetangganya.

Istilah diplomasi memang belumlah dikenal secara umum

di lingkungan kerajaan-kerajaan Nusantara, hanya saja tindakan-

tindakan kedua negara dalam menjalin kerjasama strategis sudah

182

Godfrey Baldacchino, “Thucydides or Kissinger ? A Critical Review

of Small State Diplomacy” dalam Andrew F. Cooper and Timothy M. Shaw, ed,

the Diplomacies of Small States; Between Vulnerabulity and Resilience (New

York: Palgrave Macmillan, 2009) hlm. 24-25.

Page 134: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

123

ditemukan, yang juga merupakan elemen penting dari diplomasi.

Dalam konteks Asia Tenggara kala itu, yang masih didominasi

oleh pemerintahan sistem kerajaan, diplomasi antarkerajaan

tersebut bisa dikatakan sebagai bentuk dari diplomasi klasik.

Harold Nicholson menyebutkan dalam salah satu bentuk

klasiknya, yakni di era Yunani, diplomasi dipahami sebagai seni

bernegoisasi (art of negotiation). Kelihaian bernegoisasi dapat

menghubungkan kota-kota Yunani yang terpencar secara geografis

menjadi lebih dekat. Profesi negoisator biasanya diemban oleh

anggota keluarga petinggi kota. Persyaratan utama bagi negosiator

adalah seorang yang memiliki ingatan kuat dan suara yang lantang.

Pemahaman yang memadai tentang perniagaan dan relasi politik

antarkota menjadi standarisasi atau rudimentari (faktor elementer)

bagi layanan diplomatik saat itu.183

Pemaknaan diplomasi sebagai negosiasi ini amat lekat

ketika membincang hubungan kenegrian Johor dengan Aceh dan

Portugis. Pasang surut arus diplomasi dengan kedua tetangganya

tersebut hampir selalu berimplikasi baik dan buruk bagi perjalanan

Johor di kemudian hari. Hubungan ketiganya ibarat bara dalam

sekam, kelihatannya sering akrab namun tidak berselang lama

berubah menjadi pertikaian yang kebanyakan dari kekeruhan

hubungan ini berdampak buruk bagi perkembangan Johor.

Tingginya intensitas serbuan Aceh dan Portugis atas kerajaan ini,

sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya, menjadi pembuktian

yang tidak terbantahkan.

Makna negoisasi pada tataran kerajaan-kerajaan Nusantara

memang menemui pemahaman regional yang khas. Seperti telah

disampaikan sebelumnya, menginjak awal abad 17, bahkan jauh

dari tahun-tahun sebelumnya, Aceh dan Portugis sedang giat

melapangkan dominasinya atas negeri-negeri Melayu. Di pihak

lain, para petinggi istana Johor, sejak waktu-waktu sebelumnya,

memainkan peran ganda yakni menjalin hubungan temporal

dengan keduanya. Sesuatu yang tidak disukai dengan dua kekuatan

politik yang disebut belakangan.

183

Harold Nicolson, Diplomacy (London: Oxford University Press,

1942) hlm. 20.

Page 135: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

124

Terlihat benar, betapa azas oportunistik menjadi landasan

Johor dalam menjalankan kebijakan politik luar negerinya.

Negoisasi, sebagaimana yang disebutkan Nicolson, lebih efektif

dijalankan oleh keluarga kerajaan terealisasikan dengan

pernikahan putra-putri Johor dengan Aceh. Jalinan kekeluargaan

ini tentu saja tidak dilandaskan dengan cinta dua insan

sepenuhnya, melainkan juga didasari oleh mengunduh manfaat

bagi keduanya. Johor memanfaatkan kedudukan istimewanya

tatkala menjadi bagian keluarga Aceh untuk membangun

kerajaannya dan berlindung dari bayang-bayang ancaman Portugis.

Bagi Aceh berkerabat dengan keluarga istana Johor merupakan

jalan halus agar garis kebijakan regional kerajaan ini dapat sejalan

dengan skema politik lintaskepulauan Aceh.

Terkait Portugis, Johor juga menerapkan ketetapan

berpolitik yang disesuaikan dengan azas manfaat. Mereka

menyadari, sama dengan Aceh, Portugis merupakan bangsa yang

kuat dan telah dalam beberapa kesempatan mengalahkan Johor.

Untuk itu, mereka memandang perlu dalam momen tertentu,

apalagi ketika berselisih dengan Aceh, untuk menjalin tali

diplomatik dengan Portugis. bangsa Eropa ini pun pada akhirnya

masuk dalam skema oportunis yang direncanakan Johor, lantas

menerima penyerahan diri kerajaan tersebut. Bagi Johor, tidaklah

mengapa mereka menyatakan ketundukkan pada bangsa kafir

sekalipun, asalkan kemaslahatan kerajaan dapat diutamakan.

Yang justru menjadi pertanyaan, Portugis akan selalu ada

membantu Johor tatkala kerajaan ini membutuhkan bantuannya.

Ketika sekitar tahun 1790 ataun 1900-an, Portugis bersedia

membantu Johor melawan Aceh yang sedang berupaya

menaklukkan Aru.184

Sepertinya, Portugis dan Johor sudah amat

terbiasa dengan pola politik yang dicanangkan Aceh yang sedang

bergeliat menjadi penguasa Sumatra. Hubungan berbasis

kepentingan sesaat mewarnai hubungan Johor dengan Portugis.

Hubungan antara bangsa Melayu dengan Portugis boleh

dikatakan kerap berada pada posisi pasang surut. Namun, yang

184

Mustafa Ali Mohamed, Johor ..., hlm. 7.

Page 136: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

125

dapat diketahui, kadar kebencian orang Melayu Johor jika

dibandingkan dengan Aceh terhadap kehadiran Portugis tentulah

berbeda. Dalam beberapa kesempatan, Johor dan Portugis sering

terlibat kerjasama dalam menahan pengaruh Aceh, seperti terlihat

dalam kasus Aru. Agaknya Portugis memiliki penilaian tersendiri

mengenai keluwesan dan keterbukaan pergaulan orang Melayu

Johor terhadap mereka, yang dianggap lebih bisa diajak

berkompromi ketimbang harus berhubungan dengan Aceh.

Jehosaphat Aspin185

, seorang geografer penjelajah, yang

sempat mengunjungi beberapa wilayah di belahan Nusantara,

memberikan catatan yang unik ketika ia menilai pribadi orang

Melayu. Beberapa penjelajah Eropa, menurut Aspin, yang pernah

melakukan tinjauan langsung ke pemukiman orang Melayu

memperoleh kesan bahwa mereka adalah seorang informan yang

baik, sangat liberal dan para pengikut ajaran Muhammad (Muslim)

merupakan sosok yang jujur dan berwibawa daripada orang-orang

India asli. Apa yang dikatakan oleh orang Eropa mengenai orang

Melayu sebagai kegiatan pembajakan, bagi orang Melayu adalah

suatu penjelajahan yang jantan dan apabila mereka menyerang

daerah lain dengan tiba-tiba, membunuh pasukannya, orang

Melayu menganggapnya sebagai pencapaian heroik dalam

mengalahkan musuhnya.186

Pendapat Aspin tersebut, tentu saja tidak mewakili

anggapan orang Eropa secara keseluruhan terkait bangsa Melayu.

Namun, dari pemulihan hubungan yang tidak memakan waktu

lama, antara Johor dan Portugis dalam wilayah politik, bisa

menjadi tolok ukur, betapa orang Melayu mempunyai sikap yang

185

Jehosaphat Aspin (1800-1850), seorang penulis, geografer dan

sejarawan seni, tidak diketahui dari negara mana berasal. Informasi yang

diketahui darinya masihlah minim. Namanya dianggap sebagai nama pena

bukan nama sebenarnya (nom de plume). Bahkan ia dinilai sebagai seorang

penulis wanita misterius abad 19, yang menggemari tema penulisan seputar

kegiatan yang biasa dilakukan oleh laki-laki. Ia dikenal sebagai penulis beberapa

karya sejarah, cerita anak, pembuat peta dan teks-teks gambar astrologi. Lihat

http://www.geographicus.com/P/AntiqueMap/aspin, diakses pada Senin 13

Oktober 2014, pukul 18.09. 186

J. Aspin, Cosmorama: The Manners, Customs and Costumes of All

Nations of the World (London: St. Paul Church-Yard, 1834) hlm. 120.

Page 137: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

126

supel dalam bergaul dengan orang asing, apalagi kerjasama

keduanya dilatarbelakangi oleh kepentingan yang sama. Kesan

informan dan liberal yang diungkapkan Aspin menunjuk pada

sikap inklusif dan mudah akrab dengan bangsa lain, seperti bangsa

Eropa.

Johor seperti juga Malaka, ingin agar kerajaannya memiliki

koneksi yang luas dengan masyarakat antarbangsa. Sebagaimana

telah disampaikan, Malaka dikenal sebagai pelabuhan dagang

dunia. Tidak mengherankan, jika salah satu cita-cita Johor adalah

menjadi emporium berpengaruh di selat Malaka seperti para

leluhurnya. Kerajaan Malaka sudah terbiasa dengan keberadaan

saudagar-saudagar asing yang berniaga di sana. Bahkan, merujuk

pada penjelasan Ludovico di Verthema, penjelajah asal Bologna,

yang mengunjungi bandar Malaka sekitar abad 16, mengatakan

bahwa Raja Malaka menyerahkan orang asing dalam administrasi

dan manajemen pelabuhannya.187

Agaknya, para penguasa Johor

mewarisi wawasan multikultural sebagaimana yang dimiliki oleh

raja-raja Malaka, sehingga mereka tidak harus menjadi kerajaan

yang fanatik, menolak bangsa lain yang berbeda adat serta agama

dengan meraka.

Berbeda dengan Aceh, yang memiliki agenda politik

regional yang jelas, yakni menghalau pengaruh Portugis, Johor

tidaklah memiliki agenda serupa. Inilah yang membuat kerajaan ini

sedemikian lentur bergaul dengan bangsa lain, yang sekiranya

dapat memenuhi ekspektasi berupa jaminan keamanan dalam

menata negeri serta meningkatkan pendapatan ekonomi Johor.

Portugis, boleh dikatakan merupakan satu-satunya pilihan sekutu

yang paling bisa diandalkan untuk menangkis dominasi Aceh yang

kala itu sedang giat menancapkan pengaruhnya di Sumatra dan

Semenanjung Melayu.

Aceh senantiasa mengajak Johor untuk bersama

mengalahkan Portugis. Namun pada praktiknya, ajakan ini

ditanggapi dengan persepsi yang beragam. Satu hal yang dapat

diketahui, Johor, betapapun ia belumlah sebesar Aceh, tetap tidak

187

George Percy Badger, ed, The Travels of Ludovico di Varthema

(London: Hakluyt Society, 1863) hlm. 226.

Page 138: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

127

mau berada sebagai bawahan Aceh. Di pihak lain, Johor juga

membutuhkan rekan untuk mengawal pembangunan kerajaannya.

Elit kerajaan Johor melihat bahwa Aceh sebenarnya sedang

mengusahakan pelebaran pengaruh ke Semenanjung Melayu.

Berkawan dengan Portugis, demikian hemat Johor, menjadi pilihan

tepat untuk membendung okupasi Aceh atas Johor. Penguasaan di

sini bukan hanya menyangkut kerajaan dan tanah jajahan kerajaan

secara fisik, namun dimaknai pula sebagai penyeragaman

kebijakan antara kerajaan yang menguasai dan dikuasai. Agaknya

Johor tidak mau terjebak dalam skenario tersebut.

Kebijakan diplomasi yang ditunjukkan Johor termasuk

dalam apa yang yang disebut Paul Sharp sebagai model diplomasi

revolusioner.188

Ciri dari diplomasi ini adalah mengerti konteks

dan peta politik regional serta mampu tetap memelihara cita-cita

negerinya, dari segenap godaan yang ditawarkan oleh negeri yang

bermitra dengannya. Termasuk dalam kategori ini, adalah dengan

mengakomodasi dan berkompromi dengan pilihan apa yang

ditawarkan kerajaan yang lebih besar,sehubungan dengan hal apa

yang dilakukan oleh kedua belah pihak.189

Umpamanya, jika

kerajaan yang lebih besar lebih menitikbertkan pada hal kedaulatan

politik regional, maka kerajaan kecil diharuskan mengikuti apa

yang disarankan. Yang terpenting, supaya terbentuk dahulu

komunikasi dua arah yang pada intinya mendulang manfaat

bersama, meskipun bisa saja, kerajaan besar lebih banyak

mendapatkan keuntungan lebih banyak.

Jika dilihat, Johor, memposisikan diri sebagai pihak yang

mengerti dengan mitra-mitranya. Tatkala Johor sedang membina

hubungan dengan Aceh, kerajaan ini ikut serta dalam upaya Aceh

mengenyahkan pengaruh Portugis. Salah satunya terjadi ketika

penguasa Johor dan Bintan membantu Aceh menyerang Malaka

pada tahun 1575.190

Johor, dengan pembacaan politik regionalnya,

memilih berbalik mendukung Aceh melawan sekutu lamanya itu.

Sekitar akhir abad 16, Pertalian dengan Portugis kembali dirajut

188

Paul Sharp, Diplomatic Theory of Internationals Relations

(Cambridge: Cambridge University Press, 2009) hlm. 22. 189

Paul Sharp, Diplomatic Theory ..., hlm. 4. 190

Amirul Hadi, Aceh; Sejarah ..., hlm. 52.

Page 139: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

128

Johor ketika Aceh memutuskan menyerang Aru, kerajaan sekutu

Johor. Johor dengan segera malakukan komunikasi intensif dan

mengajak Portugis membantunya melawan Aceh.191

Dengan tanpa

memandang lagi musuh mitranya, Johor terkesan tanpa beban

untuk menjalin kerjasama kembali dengan Portugis, yang beberapa

waktu diperanginya.

Partisipasi Johor dalam pernikahan dengan Aceh,

merupakan bentuk lain bahwa Johor mengikuti anjuran dari

kerajaan yang lebih besar darinya. Tren pernikahan antara dua

kerajaan merupakan upaya keduanya merawat kerjasamanya.

Pernikahan, selain membawa dampak yang bagi kelanjutan

persahabatan dua kerajaan sesungguhnya memiliki wajah lain

berupa godaan yang dihembuskan pihak kerajaan besar kepada

kerajaan yang lebih kecil.

Johor sudah mafhum akan hal itu. Baginya pernikahan

merupakan salah satu cara tepat merekatkan diri pada negeri yang

telah tinggal landas darinya, namun di pihak lain, cara ini sama

dengan membuka peluang hadirnya mata-mata Aceh dalam

suasana pergaulan istana Johor. Bukan tidak mungkin pangeran

atau putri Aceh yang menikah dengan Johor nantinya menjadi

corong informasi bagi kerajaan asal. Bagi Aceh, kekhawatiran

macam itu juga telah diperhitungkan, hanya saja posisi Aceh boleh

dikatakan berada di atas Johor. Dengan begitu, segala bentuk intrik

Johor di Aceh tidak sampai menimbulkan mala petaka besar yang

menyebabkan jatuhnya Aceh dalam genggaman Johor. Melihat

kemungkinan demikian, maka tidak mengherankan jika kerjasama

dengan Aceh tidak dilakukan secara permanen, mengingat

kekhawatiran pengantin Aceh yang menjadi keluarga kerajaan

Johor, semakin leluasa membocorkan keadaan internal Johor.

Belakangan diketahui, pernikahan ternyata bukan satu-

satunya jalan untuk memperkuat relasi kenegaraan. Mungkin, hal

tersebut dianggap Aceh sebagai strategi untuk bisa mengikat

kalangan pejabat Johor, namun pada kenyataannya hal itu terlepas

dari harapan. Suasana suka cita pernikahan, dianggap Johor tidak

191

Mustafa Ali Mohamed, Johor ..., hlm. 7.

Page 140: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

129

ubahnya satu fase agar kerajaan ini mendapat perlindungan atas

ancaman Portugis. kekerabatan dengan Aceh tidak diartikan Johor

sebagai jalan diplomasi yang dapat memberikan garansi bagi

kemajuan peradabannya. Memang, kemajuan tetap bisa diperoleh

namun yang mereka sayangkan adalah kemajuan itu tetaplah di

bawah dominasi Aceh, tentu amat berseberangan dengan cita-cita

mereka yang ingin menegakkan kembali supremasi Malaka yang

namanya telah harum di mata dunia sebagai kerajaan besar.

Tidak salah kiranya jika menyebut bahwa langgam

berpolitik Johor amat lihai dan fleksibel, dibuktikan dengan

ketahanannya berdiri melewati pelbagai dinamika internal maupun

eksternal. Kendati harus memainkan dua wajah dalam menghadapi

lawan politiknya, yang terpenting adalah bagaimana kerajaan

mereka tetap eksis secara perlahan-lahan menjemput kejayaannya.

Pihak kerajaan telah sadar, Johor belumlah sepadan dengan Aceh

maupun Portugis. Untuk itu, menjalin hubungan antarnegeri sudah

selayaknya mereka lakukan semata-mata untuk kelanjutan

penyelenggaraan kerajaan.

Page 141: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

130

BAB V

POLITIK DUA WAJAH DI BALIK HUBUNGAN ACEH –

JOHOR

A. Keharmonisan Hubungan Aceh dan Johor

Mencermati uraian mengenai keadaan dialog kenegerian

Aceh dan Johor dalam bab-bab sebelumnya, memang harus

didudukkan dalam porsi yang tepat, dengan cara membincangkan

independensi politik luar negeri kedua kerajaan. Sebagai kerajaan

yang berdaulat, sudah seyogyanya masing-masing dari mereka

memiliki maksud luhur agar kerajaan beserta rakyat yang

dipimpinnya berkembang secara mandiri. Sumber daya alamnya

setempat dikerjakan sendiri dan hasilnya dinikmati sendiri. Baru

kemudian, setelah kemakmuran internal kerajaan telah dipenuhi,

visi untuk menjelajahi daerah lain sebagai bentuk ekspansi

supremasi menjadi hal yang mungkin diupayakan.

Dua kerajaan tersebut memiliki visi politik yang berbeda.

Aceh sebagai salah satu kekuatan penting di pulau Sumatra,

berbekal kemajuan ekonomi maritim serta stabilitas militer yang

modern di masanya, berpeluang untuk menjalankan peran

pentingnya di kancah regional. Keadaan negeri yang telah stabil

menjadi modal penting untuk mengikat koneksi-koneksi strategis

di luar negeri. Sebagaimana telah disebutkan, setelah jatuhnya

Malaka tahun 1511, bandar dagang Aceh menjelma menjadi salah

satu tujuan penting dari para saudagar Muslim. Pendapatan negeri

kemudian dibelanjakan untuk pembangunan fasilitas umum serta

memperkuat pertahanan kerajaan untuk mencegah dominasi

kekuatan Eropa di dekatnya.

Di pihak lain, Johor yang boleh dikatakan sebagai kerajaan

baru dalam konstelasi perpolitikan Semenjung Melayu dan

Sumatera juga memiliki komitmen tinggi untuk mewarnai

Page 142: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

131

pagelaran politik regional. Sebenarnya, kerajaan ini tidak lantas

pasrah tunduk di bawah wibawa Aceh dalam regulasi politik

internasionalnya. Namun, keadaan negeri yang masih labil, serta

kemakmuran terbatas, bahkan belum bisa dikatakan cukup, terlihat

dari pertahaan negerinya yang sering takluk dihantam dua

kekuatan yang berebut pengaruh itu, membuat mereka mawas diri,

untuk cermat berdialog dengan Aceh.

Para pejabat istana Johor sebetulnya sadar, kedudukan

mereka adalah ibarat permata yang diperebutkan dua kekuatan itu.

Dilihat dari sisi sumber daya kerajaan, memang Johor bukanlah

kerajaan yang memiliki potensi maritim dan agraris yang kuat,

sehingga dengan cepat dapat menghasilkan devisa kerajaan yang

nantinya digunakan untuk memugar wibawa dan kebesarannya di

mata internasional. Intensitas serangan yang tinggi dari lawan-

lawannya, sedikit banyak menghambat langkah Johor untuk

menjadi negeri yang sentosa dan berjaya. Implikasinya, mereka

harus pandai menerka arah dan kondisi politik regional, sehingga

kebijakan yang nantinya diambil tidak berdampak buruk bagi

tumbuh kerajaan di masa depan atau minimal membawa kebaikan

ketimbang masa yang sebelumnya.

Pernikahan merupakan jalinan suci yang harapannya bisa

menjadi sesuatu yang mengikat kepentingan kerajaan. Boleh

dikatakan ini merupakan salah satu bentuk klasik dari suatu

hubungan diplomatik. Tradisi ini, meskipun tidak diketahui benar,

apakah mempelai dari dua kerajaan menikah sesuai dengan pilihan

hati ataukah diperjodohkan, sepertinya menjadi strategi halus

untuk membentuk suatu ikatan yang lebih intim ketimbang

pelbagai bentuk simbolisme diplomatik yang hanya berkisar pada

kegiatan yang bersifat seremonial. Tukar menukar duta misalnya,

atau melalui hubungan perdagangan merupakan dua bentuk

kegiatan diplomatik yang sejatinya adalah seremonial.

Sepertinya pernikahan putra putri kerajaan antarkerajaan

telah menjadi pola umum hubungan diplomatik sejak masa yang

lama. Samuel A. Meir mengatakan bahwa pernikahan antar

kerajaan merupakan sutu langkah untuk pemersatuan bukan untuk

pemisahan. Pengertian tersebut telah bertahan sejak masa akhir

Page 143: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

132

zaman Perunggu tepatnya di masa Timur Dekat Kuno (Ancient

Near East). Sejak masa itu, pernikahan tidak dipandang sebagai

kegiatan sakral yang berkisar pada fungsi wanita dalam istana,

hukum waris dan suksesi kerajaan semata, melainkan adalah suatu

hal yang sering ditemui (membudaya), bahkan telah menjadi

karakteristik historis dari pergumulan politik dan budaya.192

Jika melihat teks naskah Melayu klasik yakni

Sulalatussalatin dan Bustanussalatin, yang berkisar tentang

aktivitas elite kerajaan seperti berperang dan prestasi suatu raja,

maka satu hal yang tidak luput adalah uraian tentang tradisi

perkawinan yang amat kental yang digunakan untuk menjaga

hubungan satu negeri dengan negeri lainnya. Meskipun terlihat

amat manusiawi, perkawinan ini ketika dibincangkan dalam

spektrum hubungan internasional, maka akan sampai pada

kesimpulan bahwa seremoni ini amat menjanjikan suatu

kelapangan serta kelenturan dalam dialog antarkerajaan. Sekat dan

batas yang semula terbangun di antara kerajaan, perlahan luntur

dan yang muncul adalah suasana suka cita yang membanggakan

karena keduanya saling berbesanan.

Yang paling penting adalah bahwa pernikahan meleburkan

paradigma penguasa dengan yang dikuasai. Dalam kasus Aceh dan

Johor, Saat Sultan Iskandar Muda menikahkan putrinya, Putri

Ratna Jauhari dengan Sultan Johor, Sultan Abdullah Ma‟ayat Syah

sebenarnya yang dapat diketahui adalah bagaimana pihak Aceh

ingin memandang Johor bukan lagi sebagai negara bawahan yang

bebas digerakkan seperti boneka. Ikatan keluarga yang kemudian

terbentuk inilah yang diharapkan mampu menciptakan

keharmonisan bukan hanya pada wilayah silaturahmi keluarga

semata, melainkan berimbas pada kesamaan visi dalam agenda

politik internasional, salah satunya adalah tekad kuat untuk

mengusir Portugis dari Malaka.

Pada abad ke 17 dan 18 hingga memasuki abad 19,

diplomasi dianggap sebagai wahana mencapai tujuan aristokratik.

192

Samuel A. Meir, “ Marriage and Diplomacy” dalam Raymond

Cohen dan Raymond Westbrook, Amarna Diplomacy (Maryland: John Hopkins

University Press, 2002) hlm. 165.

Page 144: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

133

Para bangsawan Eropa saling terikat dengan keturunan sedarah,

pernikahan, persahabatan yang kesemuanya diikat dengan kesatuan

pandangan dan pendidikan. Nuansa persaudaraan kosmopolit

(cosmopilitan fraternity) tercipta di lingkungan para dipomat saat

bertemu dalam suatu momen. Mereka juga merasa sebagai

bangsawan internasional.193

Kondisi tersebut juga melingkupi

pergaulan dan kekerabatan antarpenguasa di Aceh dan Melayu, di

mana kerjasama serta pandangan politik luar negeri banyak

dipengaruhi oleh kesamaan darah termasuk pernikahan.

Keberadaan mempelai dari kerajaan lain, dianggap sebagai

seseorang yang dimulyakan karena kehadirannya juga merupakan

representasi dari kerajaan asalnya.

Paul Sharp menambahkan bahwa dalam catatan antropologi

perkembangan manusia, ketika seseorang bersinggungan dengan

kelompok lainnya, maka yang dikedepankan adalah harmoni

kekeluargaan. Penekanan dua entitas itu, yakni antara seorang

dengan kelompok adalah “kita” sebagai suatu kesatuan,

penghormatan terhadap yang tua dan kasih sayang kepada yang

muda serta perasaan kuat bahwa mereka layaknya saudara

kandung. Nuansa ini perlahan meleburkan identitas pribadi suku,

golongan atau kelompok yang menjadi penyekat hubungan

keduanya.194

Ini menjadi dasar pemikiran mengapa penghormatan

terhadap keberadaan orang-orang dari negeri lain, terlebih yang

memiliki kedudukan tinggi, dianggap sebagai prioritas.

Sebenarnya, kontak antarelite Johor dan Aceh terjadi jauh

sebelum tahun 1574 atau di kala hubungan diplomatik dua

kerajaan baru disepakati. Zainuddin menceritakan suatu kisah lain

mengenai pernikahan dua mempelai Aceh dan Johor yang penuh

dengan nuansa kekeluargaan dan suka cita.195

Suatu ketika ketika

Aceh diperintah oleh Sultan Salahuddin (1530 – 1537), istana

Aceh kedatangan tamu bernama Laksamana Nadin yang berasal

193

Christer Jönsson dan Martin Hall, Essence of Diplomacy (New

York: Palgrave Macmillan, 2005) hlm. 41. 194

Paul Sharp, Diplomatic Theory of Interational Relations

(Cambridge: Cambridge International Press, 2009) hlm. 18 195

H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, jilid 1 (Medan:

Pustaka Iskandar Muda, 1961) hlm. 396 -397.

Page 145: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

134

dari Ujung Tanah (Johor) untuk meminta bantuan perang sekaligus

meminang putri Aceh menjadi istri Raja Ali, putra Sultan Mahmud

Syah mantan Sultan Malaka terakhir sekaligus raja Johor pertama.

Kala itu, Raja Johor pertama belum lama mangkat ketika masih di

Kampar. Pinangan Laksamana Nadin diterima oleh Sultan

Salahuddin dan Raja Ali pun kemudian menjadi menantunya.

Setelah menyerahkan tanda kawin atau mas kawin (ranubkong

haba), Laksamana Nadin pamit undur diri.

Beberapa waktu berselang, datanglah rombongan orang-

orang besar dari Ujung Tanah mengantar mempelai laki-laki untuk

kemudian dinikahkan dengan putri Aceh. Setelah pesta pernikahan

yang meriah selesai, segenap orang besar Ujung Tanah pun terlibat

pembicaraan serius dengan para pejabat Aceh. Dalam kesempatan

itu, Laksamana Nadin, mewakili pihak Ujung Tanah, sepakat

dengan Aceh untuk bersama mengusir Portugis dari Malaka. Tidak

lama kemudian, rombongan itu pun pamit. Raja Ali yang ketika

menikah sudah bergelar Sultan Alaiddin Rayat Syah II, Raja Johor

ke 2, pun membawa istrinya bertolak ke suatu pulau dekat Ujung

Tanah. Untuk mengantar rombongan kerajaan besannya itu, pihak

Aceh memerintahkan sepasukan Aceh di bawah pimpinan

Panglima Bukit yng berasal dari negeri Lingga Gayo (Aceh

Tengah) untuk mengawal perjalanan mereka.

Ketika sampai di pulau yang dituju, maka berhentilah

rombongan penganten di satu sudut di tempat itu. Setelah melepas

lelah dan memulihkan tenaga, rombongan itu kemudian membagi

tugas untuk membangun suatu kota yang sedianya digunakan

untuk peristirahatan Sultan Johor beserta rombongannya. Kota itu

kemudian dinamakan Kota Lingga, nama yang diambil dari negeri

Panglima Bukit dan pulaunya kemudian dikenal dengan nama

Pulau Lingga.

Cerita di atas semakin memperkuat persepsi bahwa

pernikahan merupakan sarana tepat untuk mendekatkan dua

kerajaan yang berbeda. Momen setelah perhelatan penganten

senantiasa digunakan untuk beramah tamah dengan penuh rasa

kebersamaan. Dalam suasana meriah tersebut, maka tidak salah

jika kemudian dua pihak kerajaan menyelipkan pembicaraan

Page 146: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

135

terkait agenda politik bilateral yang saling menguntungkan.

Negoisasi yang menjadi unsur paling menonjol dalam dialog

diplomatik masa itu dapat dipastikan akan disinggung kedua belah

pihak. Saat di mana keceriaan terbit di dua kubu kerajaan

dipandang tepat untuk mempererat tali kerja sama.

Walaupun kedua kerajaan kerap terlibat dalam silang

sengketa di kemudian hari, namun bukan berarti keduanya tidak

memiliki momentum harmonis yang tidak hanya di berkisar di

ranah politik antarnegeri, namun juga di wilayah lain sosial dan

budaya misalnya. Pertalian kerajaan ini selain amat terasa di ranah

pemerintahan, ternyata banyak pula memancar di hubungan

antarbudaya serta perilaku masyarakatnya. Akan amat berkesan

tentunya, jika perbincangan bukan melulu seputar perebutan kuasa,

yang terkesan monoton dan tidak mencerminkan suatu kekayaan

dari tinggalan hisoris. Sebaliknya, pembicaraan seputar realita-

realita yang lebih kaya, cenderung di luar belairung istana, yang

mencerminkan persentuhan populis dan estetik dua kerajaan

membawa suatu panorama baru yang menjanjikan sudut pandang

yang berwarna dan tidak kalah berharga ketimbang perbincangan

mengenai antarelit kerajaan.

Hampir semua bentuk yang menjadi instrumen penghubung

pertemuan dua kerajaan dapat dikatakan sebagai ajang diplomatik.

Harold Nicolson menyebutkan bahwa selain diplomasi heroisme

militer dan perdagangan, terdapat pelbagai bentuk diplomasi yang

sering dijumpai di masa lalu. Terkadang dinamika diplomasi itu

terhubung dengan menunjukkan perbedaan di antara imaji dan

alasan, di antara romantika dan kebijaksanaan, di antara militer dan

perdagangan serta pada pandangan umum mengenai standarisasi

nilai-nilai moral. Dalam setiap dua kecenderungan tersebut terselip

gagasan dan realitas. yang satu membutuhkan gerakan untuk

mengekspresikannya sedangkan yang lain membutuhkan

ketenangan.196

Berkaca pada paradigma di atas, diketahui bahwa diplomasi

model kuno senantiasa menghadirkan wajah lain yang terkadang

196

Harold Nicolson, Diplomacy (London: Oxford University Press,

1942) hlm. 55.

Page 147: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

136

hidup di balik perjumpaan militer, politik maupun perdagangan.

Bentuk-bentuk persentuhan tersebut, dikatakan Nicolson, sebagai

keberadaan (diplomasi) yang terhubung dengan idealisme dan

realisme. Sesuatu yang terbentuk dari suatu pertemuan, lantas

berujung pada kesepahaman dalam membina hubungan yang lebih

akrab dan intim. Dimulai dari titik tersebut maka akan muncul

kemungkinan-kemungkinan yang senantiasa menjadi penghubung

dua entitas kekuasaan tersebut. Hal tersebut dapat menginisiasi

suatu jalan baru yang berdimensi luas, tidak lagi terpaku pada

iklim politik melainkan telah tertanam pula di wilayah sosial,

budaya, pendidikan, hukum dan sektor kehidupan lainnya.

Teuku Iskandar memperkuat pendapat bahwa baru pada

Sultan Alaiddin Riayatsyah Syah al-Kahar-lah Aceh

bersinggungan dengan Johor, ketika ia menyerang Johor dan

membawa Raja Johor, Sultan Muzaffarsyah, ke Aceh. Sebagai

bentuk kesungguhan menjalin persahabatan putri Raja Johor

kemudian dipinang oleh Raja Aceh itu. Pemerintahan satelit Aceh

yang berada di Pasai dan kegemaranya akan kajian dunia Melayu

membawanya pada sistem pemerintahan yang berlaku di Pasai dan

Johor. Undang-Undang Johor sendiri dibuat merujuk pada

Undang-Undang Malaka yang telah ditetapkan sejak masa Sultan

Muzaffar Syah yang memerintah Malaka, yang meninggal pada

1459. Besar kemungkinan, Sultan al-Kahar mengacu pada

Undang-Undang Johor untuk mereorganisasi sietem pemerintahan

Aceh kala itu.197

Warisan lintaspulau di atas, bahkan terfosilkan dalam suatu

istilah “beraja ke Aceh, bertuan ke Siak.” Pepatah ini merupakan

wujud perpaduan tradisi pemerintahan kedua kerajaan yang

terinspirasi dari kebesaran Aceh dan Siak. Sebelumnya diketahui,

Aceh mengadopsi regulasi pemerintahan dari Kesultanan Malaka,

sedangkan Kesultanan Siak merupakan kelanjutan Kesultanan

Malaka Raya. Istilah di atas lazim ditemukan dalam prosesi

penobatan raja di istana Serdang khususnya, serta di kesultanan-

197

Teuku Iskandar, “Aceh as a Muslim-Malay Cultural Centre (14th-

19th Century)” makalah yang disampaikan pada Konferensi Internasional Kajian

Aceh dan Samudera Hindia Pertama (First International Conference of Aceh

and Indian Ocean Studies) di Banda Aceh pada 24 – 27 Februari 2007, hlm. 12.

Page 148: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

137

kesultanan yang berada di sepanjang Sumatra Timur.198

Ini

menjadi salah satu bukti keterhubungan budaya Melayu

(Semenanjung) dengan Aceh yang tampak dalam hal tradisi

kepemerintahan.

Kemudian, dari Aceh, pengaruh feminisme serta gender

pun ikut pula menabalkan kesamaan hak dan kewajiban antara pria

dan wanita dalam adat istiadat Melayu. Sebagaimana diketahui,

pandangan akan gender dalam tradisi Melayu mendapat pengaruh

dari Minangkabau yang menitikberatkan pada matrilineal (adat

Perpatih) dan dari tradisi Melayu (adat Temenggung) yang

didominasi oleh ketentuan parental. Menginjak abad 18, pengaruh

Aceh memperkaya pengetahuan tradisi Melayu, sehingga yang

terjadi adalah pandangan kesetaraan antara pria dan wanita.199

Bukan tidak mungkin pengaruh ini dilatarbelakangi oleh

keberadaan Aceh yang menuai banyak hasil positif ketika

diperintah oleh 4 ratu.

Tun Sri Lanang, seorang bendahara kerajaan Johor yang

ikut dalam pengungsian ke Aceh pasca diserangnya ibukota Johor

di Batu Sawar pada 1613200

, merupakan sosok yang menampilkan

keterlibatan diplomasi halus antara Aceh dan Johor. Meskipun

kedatangannya ke Aceh awalnya dimotori oleh peristiwa politik,

namun aktivitasnya di Aceh ternyata kompleks, tidak selalu

berkutat pada kepentingan istana, melainkan menyatu pula dalam

bidang-bidang lain. Ia menjadi duta Johor, secara tidak langsung,

yang perlahan memugar persepsi sekaligus meninggikan kembali

citra Johor yang di Aceh telah sedemikian buruk sebagai kerajaan

yang gemar menjalin hubungan dengan Portugis.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, ketika aparat

kerajaan Johor beserta rombongannya dibawa ke Aceh, mereka

tidak diperlakukan seperti tawanan perang, melainkan dijamu

seperti halnya tamu agung kerajaan. Mereka ditempatkan serta

198

Tengku Luckman Sinar, Sari Sejarah Serdang 2 (Jakarta:

Departemen P dan K, 1986) hlm. 178. 199

Tengku Luckman, Sari Sejarah ..., hlm. 100. 200

Pocut Haslinda, Tun Sri Lanang Dalam Sejarah Dua Bangsa

Indonesia Malaysia (Jakarta: Yayasan Tun Sri Lanang, 2011) hlm. 28-29.

Page 149: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

138

dilayani sesuai dengan standar pelayanan tamu atau duta kerajan

pada umumnya. Ini dilakukan agar mereka dapat hidup nyaman

dan jauh dari tekanan serta anggapan bahwa hidup di negeri musuh

adalah suatu kesengsaraan. Perasaan takut dan khawatir sudah

tentu menghinggapi psikologi mereka. Dari sini saja, pola-pola

umum akan penyambutan suatu misi diplomatik diberlakukan oleh

Aceh, karena hal ini penting agar mereka merasa nyaman sehingga

apabila nuansa tersebut telah mereka rasakan, maka harapannya

pembicaraan-pembicaraan bilateral di hari-hari berikutnya dapat

berjalan dengan lancar, akrab serta jauh dari pemaksaan dan

ketakutan.

Tun Sri Lanang sendiri sebenarnya bukanlah orang asli

Melayu melainkan dalam dirinya mengalir darah bangsawan

kerajaan India. Ia merupakan keturunan ke empat dari Nizamul

Muluk Akbar Syah yang memerintah daerah Pahili (Gujarat) pada

tahun 1335- 1388 M. Nizamul Muluk merupakan gelar yang

diberikan oleh raja pada penguasa lokal setingkat gubernur atau

menteri. Akbar Syah memiliki putra sebanyak dua orang dan putri

satu orang, mereka bernama; Amir Badaruddin Khan

(Manipurindam), Raja Akbar Muluk dan Damia Seri Wandi.

Setelah Akbar Syah berpulang, jabatan ayahnya diteruskan

oleh anak keduanya, sedangkan Manipurindam meluluskan

hasratnya untuk mengembara ke Pasai dan Malaka. Di tengah

perjalanan, kapalnya dihempaskan gelombang laut dan ia beserta

rombongannya terombang-ambing di laut lepas hingga akhirnya

terdampar di Jambu Air. Singkat kisah ia mampu beragaul secara

adaptif dan hingga dikenal oleh penguasa Pasai ke-6, Sultan

Muhammad Said Malikuzzahir, sebagai anak seorang bangsawan.

Kemudian, ia dinikahkan dengan putri Raja Pasai itu yang

bernama Canden Dewi. Keturunan mereka banyak yang menjadi

raja di Deli dan Serdang.

Diketahui pula, Manipurindam juga sempat mengunjungi

Malaka. di sana ia menikah dengan Tun Ratna Sandari, anak

seorang bangsawan Malaka bernama Tun Perpatih Besar.

Perkawinan ini dikaruniai dua anak yakni Tun Ratnawati (kelak

menjadi istri Sultan Malaka ke -3 bernama Mahmud Syah dan Tun

Page 150: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

139

Ali Seri Nara Diraja. Tun Ali kemudian menduduki jabatan

bendahara di istana Malaka dan Johor. Tun Ali kemudian menikah

dengan Tun Kudu dan memiliki dua anak bernama Tun Tahir dan

Tun Mutahir. Tun Tahir memiliki putra bernama Tun Mahmud

dan putranya ini adalah ayah dari Tun Sri Lanang.201

Semasa di Johor, Tun Sri Lanang melanjutkan tugas

leluhurnya, yakni sebagai bendahara. Jabatan strutural ini adalah

suatu keunikan dalam tradisi penyelenggaraan pemerintahan

Melayu. Institusi ini terdapat dalam kerajaan-kerajaan Melayu

turunan Malaka, yakni Johor, Pahang dan Perak. Bisa dikatakan

tugas seorang bendahara adalah multifungsi. Bendahara

bertanggung jawab atas pertahanan dan keamanan raja. Ia juga

banyak berkecimpung dalam urusan perumusan regulasi kerajaan

meskipun nantinya pengesahan tetaplah di tangan raja. Peran

bendahara amat mirip dengan patih atau mangkubumi

(amangkubumi) dalam tradisi kepemerintahan di Jawa. Selain

bertugas sebagai pengatur tata negara dan pemerintahan, patih juga

dalam beberapa kesempatan terlibat dalam penyusunan siasat

perang.202

Tatkala sultan berhalangan memimpin kerajaan, seperti

ketika dalam lawatan ke luar negeri, tampuk pimpinan kerajaan

dipegang sementara oleh bendahara. Biasanya, dalam jabatan

sebagai raja ad interim ia dibantu oleh dua bangsawan. Ketika

kerajaan terlibat perang, bendahara juga memiliki peran strategis

yakni sebagai panglima perang yang membawahi hulubalang dan

laksamana.203

Oleh sebab itu, ketika terjadi serbuan bala tentara

Aceh ke Batu Sawar, Tun Sri Lanang ikut pula memimpin pasukan

menahan laju pukulan pasukan musuh.

Tun Sri Lanang bukan saja dikenal sebagai negawaran

Melayu yang cakap, melainkan juga seorang pujangga Melayu

kenamaan. Karyanya, Sulalatussalatin, merupakan korpus sejarah

Melayu yang menjadi rujukan utama dalam mengetahui sejarah

201

Pocut Haslinda, Tun Sri Lanang ..., hlm. 35 – 37. 202

Slamet Muljana, Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan

Majapahit) (Yogyakarta: LKiS, 2011) hlm. 73-74. 203

Pocut Haslinda, Tun Sri Lanang ..., hlm. 39.

Page 151: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

140

panjang Melayu dan negeri-negeri di sekitarnya. Bustanussalatin

pun sesungguhnya banyak pula mengutip dari kitab ini. Hal ini

diakui sendiri oleh Nuruddin ar-Raniri dengan mengatakan:

... fasal yang kedua belas pada menyatakan segala

raja raja yang kerajaan di negri Malaka dan

Pahang kata Bendahara Paduka Raja yang

mengarang Sulalatus Salatin. ia mendengar

daripada bapanya, ia menengar daripada nininya

dan datunya tatkala pada hijrah Nabi SAW seribu

dua puluh atas pada bulan rabi’ul awwal pada hari

ahad. Ia mengarang hikayat pada menyatakan

segala raja-raja yang kerajaan di negeri Malaka

dan Johor dan Pahang ...204

Mohd. Muhidin Abd. Rahman menjelaskan bahwa ketika

berada di Aceh, Tun Sri Lanang sempat berjumpa dengan

Nuruddin ar-Raniri. Mereka teribat dalam perbincangan yang

serius hingga menyentuh pembahsan mengenai keilmuan.

Disebutkan pula bahwa bendahara Johor ini bahkan sempat

berguru ilmu agama kepada ar-Raniri.205

Hal ini menunjukkan

bahwa Tun Sri Lanang diberikan kebebasan beraktivitas di

lingkungan istana Aceh. Kendati ia berasal dari Johor, tidak serta

merta ia terkungkung dalam pengawasan pasukan yang ketat.

Berguru pada ar-Raniri tentu saja bertalian dengan alokasi waktu

belajar yang kontinyu, bahkan besar kemungkinan kedua tokoh

ini berjumpa lebih dari satu kali.

M. Dien Madjid menambahkan bahwa bukan hanya Tun

Sri Lanang saja yang belajar pada ar-Raniri, melainkan keduanya

terlibat pada suasana saling belajar. Meskipun dikenal pandai

dalam dunia penulisan, ar-Raniri ternyata memiliki kelemahan

ketika harus menulis menggunakan bahasa Melayu. Kegelisahan

204

Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin , bait 12 dan 13, teks

didapatkan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan nomor panggil

ML 422, hlm. 1. 205

Mohd. Muhiden Abd. Rahman, “Syeikh Nuruddin Al-Raniri dan

Sumbangannya Kepada Pengajian Hadith”, dalam Al-Bayan, Vol. 4, Mei

2006/Rabi‟ulawwal 1427, hlm. 51.

Page 152: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

141

ini kemudian terobati manakala ia mengetahui bahwa Tun Sri

Lanang selain dikenal sebagai negarawan juga tersohor berkat

kemampuannya dalam sastra Melayu. Untuk itulah ia

menyempatkan diri berdiskusi masalah keabahasaan berikut

langgam bersastra Melayu yang menjadi keahlian Tun Sri

Lanang.206

Lebih lanjut diterangkan pula, ketika Tun Sri Lanang

datang ke Aceh, ia tidak lantas suka diperlakukan seperti

bangsawan pada umumnya. Bahkan, pihak Aceh awalnya tidak

mengetahui bahwa ternyata ia merupakan salah satu petinggi

istana Johor. Ia dikenal sebagai pribadi santun yang justru gemar

berkerumun dengan masyakat kebanyakan yakni dengan

menghabiskan harinya bercocok tanam, membuat perahu dan

sebagian waktunya disisihkan mengajar agama dan bahasa Arab.

Perhatiannya yang mendalam terhadap kehidupan orang kecil ini

kemudian yang menyita perhatian pejabat istana Aceh, sehingga

dirinya kemudian dinobatkan sebagai Uleebalang Samalanga,

suatu daerah di Bireuen di kemudian hari, dimulai sejak 1615

hingga 1659.207

Dengan begitu ia tidak ikut kembali lagi ke Johor

sewaktu raja baru Johor, Abdullah, telah dinobatkan menduduki

tahta Johor berikutnya.

Samalanga menjadi satu di antara daerah lain, yang di

dalamnya ajaran Islam belumlah tersiar dengan luas. Di sana Tun

Sri Lanang mendirikan masjid sebagai sentra kegiatan keagamaan

masyarakat setempat.208

Salah satu agenda Sultan Iskandar Muda

adalah melapangkan ajaran Islam ke segenap persada Aceh dan

sekitarnya. Ia menyerukan untuk banyak membangun masjid dan

pesantren.209

Anthony Reid memberikan catatan tersendiri

206

M. Dien Madjid, “Tun Sri Lanang dalam Lintasan Sejarah dan

Hubungannya dengan Perkembangan Islam di Aceh”, makalah dipresentasikan

pada Seminar Sejarah Tun Sri Lanang di Bireuen, Aceh, pada 11 Desember

2011 , hlm. 9. 207

M. Dien Madjid, “Tun Sri Lanang dalam Lintasan Sejarah ...”, hlm.

3. 208

M. Dien Madjid, “Tun Sri Lanang dalam Lintasan Sejarah ...”, hlm.

7. 209

Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Jilid 1 (Medan: P.T.

Percetakan dan Penerbitan Waspada, 1981) Cet. 2, hlm. 345.

Page 153: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

142

mengenai penggarapan tanah dalam suatu kerajaan. Biasanya, raja

akan mengirimkan keturunan atau keluarganya ke tanah yang

belum digarap secara produktif, seperti hutan misalnya, yang

sekaligus menahbiskan mereka sebagai penduduk setempat.

Dengan begitu, pembukaan tanah-tanah di luar ibukota kerajaan

tidak lantas menjanjikan terciptanya masyarakat yang egaliter, di

mana setiap kepala keluarga memiliki secara pribadi tanah yang

menjadi tempat tinggal atau lahan garapanya. Di antara mereka

termasuk dalam kategori orang tanggungan (dependant) atau juga

hamba (bondsman).210

Sepeninggal Iskandar Muda, bersama

dengan Nuruddin ar-Raniri Tun Sri Lanang didaulat menjadi

penasehat Sultan Iskandar Thani. Jabatannya ini diembannya

hingga masa pemerintahan berikutnya, ketika Aceh berada di

bawah pemerintahan Sultanah Tajul Alam Safiatuddin.211

Ketika terjadi pertikaian antarulama Wujudiyah212

yang

cenderung ke arah pengajaran esoterik dengan kelompok ulama

mengedepankan ajaran syariat Islam (eksoterik) dengan Nuruddin

ar-Raniri sebagai salah satu tokohnya, membuat hati Tun Sri

Lanang menjadi bimbang dan sedih. Kesedihan ini berlanjut

ketika mengetahui bahwa Nuruddin ar-Raniri ternyata

memutuskan untuk kembali ke Gujarat. Setelah menimbang

beberapa waktu, pada tahun 1645, bulatlah tekad Tun Sri Lanang

untuk kembali ke Johor. Keputusannya ini kemudian

diurungkannya setelah sang Ratu Aceh memintanya untuk tetap

menjadi penasehatnya. Sarakata (surat pengangkatan sebagai

210

Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680; Jilid

I Tanah di Bawah Angin, Terj. Mochtar Pabottinggi (Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2011) hlm. 30 – 31. 211

M. Dien Madjid, “Tun Sri Lanang dalam Lintasan Sejarah ...”, hlm.

10. 212

Paham Wujudiyyah berpandangan bahwa dzat makhluk yang

diciptakan Tuhan hanyalah fatamorgana bukan suatu realitas. Segala yang

terhampar di dunia adalah pengejawantahan dari Allah SWT. Yang realitas

hanyalah Tuhan sedangkan ciptaannya dianggap bukan realitas sebenarnya.

Pada perkembangannya, di Aceh paham ini dikenal dengan Martabat Tujuh

yang menitikberatkan pada emanasi atau pancaran dzat Khalik (Tuhan) atas

makhluknya. Paham tersebut dekat dengan ajaran Ibnu Arabi. Lihat M. Dien

Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh; Perdagangan, Diplomasi dan

Pejuangan Rakyat (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014) hlm. 124.

Page 154: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

143

pejabat administratif) Tun Sri Lanang yang sebelumnya

dikeluarkan semasa Sultan Iskandar Muda pada 1613 kemudian

diperbaharui kembali. Tun Sri Lanang mangkat di Samalanga dan

dimakamkan di Kuta Blang, Samalanga.213

Dato Sri Wan Abdul Wahid bi Wan Hassan lebih lanjut

memaparkan bahwa Tun Sri Lanang kerapkali mendermakan

harta bendanya untuk membangun Samalanga. Dengan begitu, ia

tidak saja bergantung pada dana kerajaan untuk membiayai

pengembangan infrastruktur di sana. Tanah-tanah milik

pribadinya yang terletak di Kuta Blang banyak yang masih

terpelihara hingga saat ini. Beberapa di antara tanahnya inilah

yang kemudian diberdayakan untuk kemudian dibangun pondok-

pondok pengajian atau pesantren.

Sebenarnya, Samalanga juga merupakan tempat tinggal

para pengikut Tun Sri Lanang yang berasal dari Johor. Di sana

mereka kemudian menyatu dengan penduduk setempat, sehingga

iklim harmonis dapat terbentuk tanpa mengalami suatu kendala

yang berarti ketika berhadapan dengan penduduk lokal. Selain di

situ, banyak pula pengikut Sultan Alaiddin Riayat Syah III, Raja

Johor yang diungsikan ke Aceh, yang mendiami kawasan Tanoh

abe.214

Dengan begitu rekonsiliasi antar pejabat kerajaan ternyata

membawa berkah tersendiri dengan adanya para penduk Johor

yang kemudian bermukim di Aceh.

Bagi Aceh, pengangkutan penduduk Johor dan

menempatkannya di beberapa di sana, bukanlah tanpa sebab.

Politik ekspansif pemerintahan Iskandar Muda dan beberapa raja

sebelumnya yang gemar melakukan perluasan wilayah melalui

jalur peperangan membawa akibat yang buruk bagi teras

kehidupan masyarakat Aceh. Salah satu yang paling mengemuka

adalah berkurangnya penduduk yang salah satu akibatnya adalah

banyak di antaranya yang direkrut sebagai pasukan kerajaan.

213

Pocut Haslinda, Tun Sri Lanang ..., hlm. 39. 214

Dato Sri Wan Abdul Wahid bin Wan Hassan “Salasilah

Kekerabatan Kesultanan Melayu Nusantara”, makalah disampaikan dalam

Seminar Sejarah Tun Sri Lanang yang diselenggarakan pada 17 Desember 2005

di Kuantan, Pahang Darul Makmur, hlm. 10.

Page 155: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

144

Kelangkaan manusia yang dialami Aceh, Semenanjung Malaya

dan Asia Tenggara pada umumnya ditanggapi Anthony Reid

dengan kritis. Manurutnya, kondisi ini bukan hanya terjadi abad

16 melainkan terus berlanjut hingga abad ke 17 dan 18. Berbagai

faktor menjadi pendorong mengapa bencana kemanusiaan ini bisa

terjadi adalah mulai dari turunnya tingkat kesejahteraan, konversi

agama yang menyebabkan perubahan nilai serta pandangan

tentang kelahiran serta intensitas perang-perang kecil yang tidak

berkeputusan.

Zainuddin menyebutkan bahwa untuk menanggulangi

turunnya jumlah penduduk Aceh, Iskandar Muda menerbitkan

kebijakan kawin campuran. Para warga pendatang asal Johor

dibolehkan bermukim dan menikah dengan orang Aceh, asalkan

status anak-anak yang lahir dari mereka adalah warga Aceh.

Kebijakan ini berlaku bukan hanya untuk kalangan bangsawan

melainkan sampai juga pada masyarakat bawah.215

Untuk yang terakhir, Reid memberikan keterangan yang

agak luas. Sebenarnya, peperangan di wilayah Nusantara tidaklah

menimbulkan korban yang amat besar. Namun, sudah menjadi

tujuan utama perang untuk memperbanyak jumlah simpatisan

yakni dengan cara merebut rakyat lawannya untuk kemudian

dijadikan budak atau tawanan yang disertai dengan penghancuran

tempat-tempat penting di kerajaan musuhnya, sehingga

penduduknya mengungsi ke negeri penghancur tempat tinggalnya.

Dengan begitu, tidak banyak nyawa yang melayang sia-sia dalam

pertempuran. Kekacauan serta ketidakpastian yang ditimbulkan

akibat peperangan merupakan faktor demografis yang kritis.

Telah menjadi pola umum bahwa negara-negara yang

besar merekrut tenaga segar dari penduduk laki-lakinya untuk

kemudian dijadikan pasukan yang tidak terorganisir dengan baik.

Mereka tidaklah diberi kebutuhan bekal yang cukup baik untuk

diri mereka sendiri maupun bagi keluarga yang ditinggalkan.

Ribuan tawanan perang Aceh yang diangkut menggunakan kapal

banyak yang mati diperjalanan, seperti yang terjadi pula pada

215

H.M. Zainuddin, Singa Atjeh (Medan: Pustaka Iskandar Muda,

1959) hlm. 130.

Page 156: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

145

tawanan kerajaan Birma, Siam dan Makassar. Ketika mengetahui

akan datang bencana peperangan, sebelumnya, mereka yang

waspada segera memilih selamat dengan mengungsikan diri ke

wilayah yang aman, paling tidak sampai anak-anak yang masih

dalam kandungan dari kaum mereka telah lahir.216

Aceh menunjukkan simpati terhadap kerajaan Johor yang

semula dihancurkannya. Sebanyak 2000 pasukan kemudian

dikirim ke Johor untuk merekonstruksi tata kota Batu Sawar.217

Meskipun di tahun 1616 Johor ternyata masih berhubungan

dengan Portugis, sesuatu yang menyebabkan serangan lanjutan

atas ibukota tersebut untuk kali kedua, tidak lantas membuat

sultan Aceh abai untuk memperhatikan kelangsungan hidup

masyarakatnya. Pihak Aceh menyadari bahwa serangan kedua ini

akan berakibat buruk bagi ketentraman penduduk Johor dan sudah

selayaknya pihak yang menang memperhatikan kelangsungan

hidup rakyat musuhnya.

Zainuddin menyebutkan bahwa di samping melakukan

renovasi, Iskandar Muda juga banyak membangun masjid serta

pondok yatim di sana. Ulama dan Lebai-lebai didatangkan pula

untuk memandu ritual keagamaan masyarakat Johor.218

Perhatian

juga ditunjukkan dengan pembenahan intensif persawahan warga

sekaligus membangun irigasi yang harapannya dapat

meningkatkan produktivitas pangan warga. Sebagaimana telah

216

Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga ..., hlm. 20-21. 217

Pocut Haslinda, Tun Sri Lanang ..., hlm. 29. 218

Bantuan pengadaan pengajaran Islam juga dilakukan Aceh terhadap

Kedah. Sekitar tahun 1640, Sultan Aceh, Iskandar Thani, mengirimkan dua buah

kitab karya Nuruddin ar-Raniri yaitu Shiratal Mustaqim dan Bab an-Nikah

untuk dikaji dan dipelajari di sana. Kitab-kitab itu banyak membahasa masalah

ritual (puasa, shalat, zakat dan lain-lain), pengetahuan tentang halal-haram

dalam makanan, serta undang-undang mengenai perkawinan dan cerai.

Pengiriman karya ini menunjukkan Aceh ingin menjalin kerjasama yang

membangun dengan negeri-negeri Melayu, termasuk dengan Johor. Lihat Nor

Azizah Sham Bt Rambely, “Pendatang yang Diterima; Migrasi Aceh ke Kedah”,

makalah ini dipresentasikan pada Seminar Sejarah Lisan Rumpun Melayu,

bertempat di Pekanbaru, pada 27 – 30 Maret 2014, yang diselenggarakan oleh

Masyarakat Sejarah Indonesia Cabang Riau dan Konsulat Malaysia Pekanbaru,

hlm. 7.

Page 157: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

146

disampaikan, pada serangan 1616, Raja Johor kala itu, Sultan

Abdullah Ma‟ayat Syah melarikan diri ke Tembilahan

(Tambelan). Sesuatu yang kemudian menyebabkan rakyatnya

resah akan kelangsungan kemakmuran mereka. Untuk

menanggulangi hal itu, Aceh segera mendaratkan bantuan-

bantuan untuk mencegah memanjangnya efek buruk dari suatu

pertikaian politik.219

Rangkaian aksi simpatik yang dilakukan Aceh terhadap

Johor, boleh dikatakan sebagai wujud penghargaan akan

keterlibatan orang-orang dari beberapa negeri taklukkan yang ikut

membangun Aceh. Disinyalir, Tun Sri Lanang dan Putri Pahang

(istri Iskandar Muda) ikut berperan di balik kebaikan hati Aceh

membangun kembali ibukota Johor. Sebagai anak negeri Johor,

baik Tun Sri Lanang maupun Putri Pahang, akan terenyuh melihat

istana serta kota yang menjadi tanah airnya luluh diinvasi Aceh.

Untuk itu, mereka menggunakan posisinya sebagai sarana

mengadakan komunikasi-komunikasi strategis agar Aceh mau

memikirkan kelanjutan hidup pemerintaan serta warga Johor.

Pandangan tersebut diperkuat dengan pendapat Zainuddin

yang menyebutkan bahwa karena kebaikan Putri Pahang lah,

Sultan Alauddin Riayat Syah III, terbebas dari hukuman mati.220

Hal ini menjadi pertanda bahwa sejak kedatangannya, Putri

Pahang telah menempati posisi istimewa, sehingga

permohonannya tidak saja menjadi pertimbangan namun juga

dikabulkan Iskandar Muda. Hukuman berat memang sudah

selayaknya diberikan pada Raja Johor karena keberaniannya

melanggar perjanjian dengan Aceh untuk tidak bersekutu dengan

Portugis. Ampunan ini tentu saja amat menggembirakan hati raja

serta pejabat istana Johor dan dapat diibaratkan sebagai

pemberian kesempatan kedua.

Sikap itu amat kentara dalam diri Putri Pahang. Tatkala ia

diboyong ke istana Aceh lantas dijadikan istri oleh Iskandar

Muda, hatinya tetap saja dirundung kesedihan dan kesunyian

disebabkan rasa rindu yang sangat akan tanah airnya yang

219

Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 158. 220

Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 129.

Page 158: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

147

dikelilingi oleh perbukitan. Iskandar Muda yang merasakan

kesedihan istrinya lantas memerintahkan seniman, ahli

pertamanan dan ahli bangunan untuk membangun pintu Khoop

dan Gunongan yang dikelilingi taman indah.221

Keberadaan dua mantan orang penting dalam istana Johor

di atas tentu membawa aura baru dalam pergaulan kehidupan

istana. Bisa dikatakan, mereka merupakan kepanjangan tangan

langsung dari Johor atau paling tidak dapat menyuarakan

kepentingan Johor di lingkungan istana Aceh. Meskipun tidak

diketahui secara persis bagaimana peran mereka dalam

kepemerintahan Aceh, namun bukan berarti mereka diam

mematung begitu saja saat mengetahui kerajaan yang dahulu

membesarkan serta tanah air mereka diserang sedemikian rupa

oleh bala tentara Aceh. Hal Ini sekaligus memperkuat pendapat

Nicolson sebelumnya, terkait anggota keluarga kerajaan memiliki

potensi menjadi diplomat. Mereka tentu memiliki kesempatan

yang terbuka lebar dalam mengutarakan gagasannya. Terlebih

ketika mengetahui Putri Pahang belakangan ikut pula

berkecimpung dalam pemerintahan Aceh Darussalam membantu

suaminya.

Putri Pahang berkontribusi dalam memformulasikan

undang-undang (qanun) kerajaan Aceh. Selain itu, ia juga

mengusulkan kepada suaminya untuk membentuk Balai Majelis

Mahkamah Rakyat, yang merupakan unsur ketiga dari satuan

hukum kerajaan yang disebut Hadih Maja.222

Hal ini

menandaskan bahwa Putri Pahang memiliki ruang gerak yang

luas dalam wilayah birokrasi dan regulasi kerajaan Aceh.

221

Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah (Jakarta: Penerbit Beuna,

1983) hlm. 166. 222

Pocut Haslinda MD Azwar, Perempuan Bercahaya dalam Lintasan

Sejarah Aceh (Jakarta: Yayasan Tun Sri Lanang, 2011) hlm. 149-152

Page 159: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

148

B. Kampanye Militer Atas Negeri Melayu

Ketika diperintah oleh Sultan Syamsu Syah (1497 – 1514),

Aceh mulai aktif terlibat kontak dengan Portugis. Di masa

pemerintahannya, Portugis mulai melancarakan penanaman

pengaruh di ujung Sumatra, tepatnya di Pidie, Pasai dan Aru.

Ketiga wilayah ini menjadi medan tempur pasukan Aceh

melawan Portugis yang dibantu pasukan lokal setempat. Pada

episode ini, Aceh berhasil mengalahkan mereka semua. Zainuddin

menyebutkan bahwa kemenangan ini menjadi awal dari kebesaran

Aceh sehingga menyandang gelar sebagai Aceh Raya.

Penguatan pengaruh di wilayah tetangga dekat Aceh,

kembali dilakukan oleh Sultan Ali Mughayyat Syah yang bekerja

keras menjaga ketiga wilayah di atas ditambah Kerajaan Daya

dari upaya hegemoni Portugis. Sampai dengan masa awal

pemerintahan Sultan Alaiddin al-Kahar, Aceh masih disibukkan

dengan agenda politik internal ujung Sumatra. Sultan Shalahuddin

Syah menggantikan Sultan Alaiddin al-Kahar yang mengkat

ketika Aceh berperang melawan Aru. Sultan inilah yang

menyempurnakan wilayah Aceh yang meliputi pula Pidie, Pasai,

Daya dan Aru.223

Iskandar Muda merupakan sosok raja yang membawa

Aceh pada puncak kejayaannya. Selain berhasil mengembangkan

perdagangan serta menciptakan stabilitas negeri, sistem

pertahanan dan militer juga tidak luput untuk dimodernkan. Untuk

hal yagng terakhir disebutkan, ternyata menjadi salah satu bahan

pembicaraan penting ketika membahas kemajuan kerajaan Aceh,

terutama di sektor konstelasi politik regional. Kewibawaan serta

kebesaran Aceh sebenarnya amat bergantung dengan sebaran

pengaruh dominasi yang direntangkan melalui jalan perluasan

wilayah.

Portugis benar-benar menjadi musuh tangguh yang amat

diwaspadai Aceh. Berbekal pengalaman-pengalaman para

pendahulunya yang cukup direpotkan dengan keberadaan bangsa

Eropa ini, menuntut Iskandar Muda berserta fungsionaris istana

223

Zaiuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 393-397.

Page 160: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

149

Aceh untuk melanjutkan semangat pantang menyerah mengusir

mereka. Serangkaian episode perang menjadi pembuktian bahwa

Aceh begitu meradang dengan aktivitas Portugis di sekitar

wilayah otoritas mereka.

Portugis pun, sebagai bangsa penguasa Malaka, juga

memiliki kepentingan untuk mempererat posisinya di bentangan

Selat Malaka. Oleh sebab itu, mereka tidak segan melakukan

intrik-intrik politik yakni dengan membujuk penguasa lokal agar

berpihak dengannya. Aru, Johor, Pahang serta beberapa negeri

lain di sekiatar Selat Malaka berhasil mereka perdaya. Keberanian

Portugis melakukan manuver politiknya sebenarnya disokong

pula dengan sistem persenjataan kuat sehingga dapat

memaksimalisasikan program politik regional mereka.

Oleh sebab Portugis kian gencar menancapkan otoritasnya

di beberapa negeri Melayu tersebut, membuat Aceh

membulatkan tekad untuk segera mengambil sikap. Segera pasca

mengetahui Johor yang sebelumnya diharapkan menjadi sekutu

potensial Aceh, ternyata di penghujung abad 16 kembali berpihak

pada musuh, melatarbelakangi derasnya semangat Aceh menahan

pengaruh Portugis menerobos kian dalam di lingkungan istana-

istana Melayu. Iskandar Muda mencanangkan politik ekspansif

untuk menyelamatkan negeri-negeri Melayu dan sekitarnya dari

kuasa Portugis. Para laksamana dan pemimpin perang lainnya pun

dipersiapkan untuk melakukan patroli sekaligus penertiban.

Begitu perintah dijatuhkan maka tergelarlah masa-masa sibuk

Aceh melakukan lawatan-lawatan yang dipandang kurang

menyenangkan oleh sebagian negeri-negeri yang akan dituju.

Menginjak tahun 1612, Iskandar Muda menjadikan Deli

sebagai awal dari rangkaian politik ekspansinya. Bustanussalatin

merekam rangkaian penaklukkan Iskandar Muda sebagai berikut:

... dan beberapa negeri ditaklukkan. Pertama negeri

Deli pada tatkala hijrah (tahun hijriyah) seribu dua

puluh tahun. kemudian dari itu maka oleh Johor

pada tatkala hijrah seribu dua puluh dua tahun.

kemudian dari itu berangkat ke Bintan pada tatkala

Page 161: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

150

hijrah seribu dua puluh tiga tahun ... kemudian dari

itu maka menaklukkan negeri Pahang pada tatkala

hijrah seribu dua puluh enam tahun ... kemudian

dari itu maka negeri Kidah (Kedah) pada tatkala

hijrah seribu dua puluh sembilan tahun. kemudian

dari itu. oleh negeri Nias pada tatkala seribu tiga

puluh empat tahun kemudian dari itu maka

dititahkan orang kaya-kaya Maharaja Seri

Maharaja dan orang kaya-kaya Laksamana

menyerang Malaka pada tatkala hijrah seribu tiga

puluh delapan tahun.224

Uraian di atas menjelaskan tentang meledaknya daya

ofensif Aceh demi mengupayakan pembebasan dunia Melayu.

Iskandar Muda seakan memiliki cadangan sumber daya manusia

dan logistik yang lebih dari cukup, bahkan bisa dikatakan

melimpah, karena jarak antara satu penaklukkan dengan

penaklukkan lainnya tidaklah terlampau lama. Dengan kata lain,

waktu untuk memugar kembali kekuatan bisa ditempuh secara

cepat untuk kemudian membentuk satuan pasukan yang segar

untuk menyelesaikan misi selanjutnya.

Zainuddin mencatat bahwa Iskandar Muda memiliki

rahasia tersendiri mengapa Aceh bisa berubah menjadi kekuatan

pantang menyerah dan spartan saat berperang. Motivasi tinggi

mengalahkan musuh tercipta ketika pasukan bisa

mengenyampingkan kebutuhan ekonominya, paling tidak sampai

dengan perang atau suatu misi selesai. Oleh sebab itu, maka

lokasi awal yang harus segera dikuasai adalah kawasan pesisir

timur dan barat Sumatra. Di pelabuhan-pelabuhan stategis yang

tersebar di kawasan pantai tersebut segera ditempatkan panglima

atau Uleebalang yang menjadi kepanjangtanganan otoritas

pemerintahan Aceh di sana. Selain menjadi pemimpin lokal,

mereka juga bertugas mengumpulkan bea dan cukai. Di samping

itu, perkebunan lada dan produksi ikan kering juga ditingkatkan

sebagai dua item barang dagangan ikonik Aceh yang memiliki

daya jual mahal. Langkah-langkah kebijakan ekonomi tersebut

224

Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin ..., hlm. 15.

Page 162: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

151

berdampak positif bagi kemakmuran rakyat Aceh sehingga

mereka yang ditugaskan di medan perang tidak khawatir

mengenai kesejahteraannya.

Daerah pesisir juga bisa dimanfaatkan dari sisi yang

lainnya. Oleh sebab posisi geografisnya yang tidak jauh dari jalur

air, beberapa wilayah seperti Deli, Batubara, Asahan dan Pulau

Kampai (Arus), bisa digunakan sebagai pangkalan pertahanan

militer pasukan Aceh. Di samping itu masyarakat pesisir negeri

bawahan Aceh pun banyak yang antusias menjadi pasukan

bantuan yang tentu saja akan memperbanyak sekaligus

memperkuat pasukan Aceh profesional. Dikatakan pula bahwa

banyak di antara pasukan Aceh yang merupakan suku Batak dan

Karo, dua etnis yang mendiami kawasan pedalaman Sumatra.225

Hampir seluruh medan pertempuran berhasil dimenangkan

Aceh, meskipun terkadang harus meningkatkan intensitas berlebih

untuk menundukkan suatu bangsa. Ar-Raniri mengonfirmasi

bahwa saat akan menguasai Kedah, tentara Aceh terlibat dalam

baku hantam serius dengan pasukan Portugis pulau Benang.

dikabarkan banyak di antara orang Portugis yang tertawan dan

terbunuh dalam pertepuran tersebut.226

Peristiwa peperangan yang menguras emosi dan

mengharukan adalah ketika dalam suatu waktu pasukan Aceh

berhadapan dengan pasukan Johor yang baru kali itu diketahui

membelot untuk kesekian kalinya ke pihak Portugis. Dalam suatu

kesempatan ketika akan menyerang Malaka, armada Aceh dicegat

oleh pasukan Raja Johor, yang masih terhitung saudara ipar

Iskandar Muda. Keberadaan Johor tentu saja amat mengagetkan,

mengingat belum lama berselang, Johor telah berkomitmen

dengan Aceh untuk tidak membantu Portugis. Pada peperangan

ini, tentara Aceh mengalami kekalahan. Penyebab utama

kekalahan ini adalah munculnya keragu-raguan dalam benak

panglima Aceh, apakah akan terus menyerang saudara Sultan

225

Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 129. 226

Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin ..., hlm. 5.

Page 163: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

152

Aceh atau tetap pada serangan. Karena kebimbangan inilah, Johor

dibantu Portugis dapat mengalahkan Aceh.227

Wilayah kekuasaan Aceh sangatlah luas, namun memiliki

kedudukan administratifnya memiliki perbedaan, ada yang

sifatnya hanya pengakuan biasa atau merupakan suatu ketundukan

yang ditunjukkan dengan pemberian upeti tahunan. Teuku

Iskandar menerangkan bahwa dalam surat Iskandar Muda yang

dikirimkan kepada Raja James I Raja Inggris kala itu, mengatakan

bahwa dirinya merupakan penguasa banyak daerah dan raja yang

diberkati Tuhan. Termasuk dalam kekuasaan Aceh masa itu

adalah di sebelah timur meliputi Lubuk, Pidir, Samarlanga,

Pesangan, Pasai, Perlak, Besitang, Tamiang, Deli, Asahan,

Tanjung, Panai, Batu Sawar, Perak, Pahang dan Inderagiri.

Sedangkan di sebelah barat mencakup daerah Calang, Daya,

Barus, Pasaman, Tiku, Pariaman, Salida, Inderapura, Selebar,

Palembang dan Jambi menyatakan kesetiannya. Dengan

pengecualian Palembang dan Jambi, seluruh daerah yang telah

disebutkan dalam masa yang pendek atau panjang berada dalam

kekuasaan Aceh. Tujuan utama dari politik regional Aceh ini

bukan hanya sebatas menguasai, namun ingin menciptakan Pan-

Melayu (Pan-Malaynism).228

Apa yang dilakukan Aceh dan Portugis terhadap negeri-

negeri Melayu memang menimbulkan dua anggapan. Bagi Aceh,

cara ini amat berguna untuk menghentikan langkah Portugis

menguasai negeri-negeri Melayu. Pan-Melayu sebagaimana

diinginkan Aceh, mensyaratkan persekutuan yang terbebas dari

anasir Eropa, dan tentu saja mengedepankan pertalian kuat

kekerabatan raja-raja Melayu dengan Aceh sebagai inisiatornya.

Meskipun sepintas persekutuan ini berkedudukan saling

memperkuat pertahanan kerajaan dan membuka peluang untuk

mengatur kehidupan ekonomi, sosial, politik dan budaya di antara

mereka, namun tentu saja Aceh bertindak sebagai nakhoda dari

Pan-Melayu tersebut.

227

Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 135. 228

Teuku Iskandar, “Aceh as a Muslim-Malay ...” , hlm. 17-18

Page 164: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

153

Di sisi lain, Portugis pun memiliki hak serupa untuk

menjalin persekutuan dengan para raja Melayu. Keberpihakan

beberapa kerajaan Melayu seperti Pahang, Aru, Johor belakangan,

mengindikasikan bahwa kedudukan Portugis adalah sepadan

dengan Aceh, sama-sama ingin mengusahakan pakta integritas

yang disepakati negeri-negeri yang saling bersahabat. Akan tetapi,

dua upaya integritas tersebut tidaklah bisa berjalan beriringan,

mengingat sebagai kekuatan yang merasa paling dominan, Aceh

dan Portugis harus terlebih dahulu saling menjatuhkan dan

mengalahkan untuk menegakkan cita-cita politiknya masing-

masing.

Di sebagian kerajaan Melayu, seperti Aru, Pahang dan

Johor kebijakan Aceh ini dianggap sama saja dengan apa yang

dilakukan Portugis, yaitu sama-sama menjadikan wilayah mereka

sebagai kekuasaan mereka. Oleh sebab demikian, raja-raja

Melayu tersebut merasa berhak untuk memilih satu dari dua

kekuatan yang saling berseteru itu, sebagai kawan. Kenyataan

demikian menimbulkan pertanyaan lain mengenai posisi Portugis

sendiri, yakni apakah keberadaannya dianggap sebagai

pengganggu atau penolong di lingkungan raja-raja Melayu dari

politik regional Aceh.

C. Pola-Pola Hubungan Diplomatik Aceh dan Johor

Kedua kerajaan memiliki historisitas yang panjang dalam

membina hubungan diplomatik. Meskipun dalam praktiknya,

hubungan ini kerap diwarnai oleh intrik, perang, pernikahan dan

saling tukar-menukar pernak-pernik kebudayaan maupun

peradaban, terdapat beberapa bentuk pola kerjasama bilateral,

yang bisa diketahui, antara lain:

Diplomasi Politik

Kerjasama politik kedua kesultanan, lebih dititikberatkan

pada kerjasama internasional. Kedua kerajaan sebenarnya

memiliki niat luhur untuk membangun kekerabatan yang rekat,

oleh sebab ditilik dari keduanya, memiliki leluhur yang sama.

Page 165: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

154

Yakni sama-sama mengalir darah Raja Perlak ke 6 bernama

Sultan Mahdum Alaiddin Muhammad Amin Syah bin Malik

Abdul Kadir (1243-1267). Putrinya, Ratna Kemala dipersunting

oleh Iskandar Syah atau Parameswara, pendiri kerajaan Malaka.

Putri Ganggang Sari, putrinya yang lain, dipersunting oleh Sultan

Malikussaleh, Sultan pertama Samudera Pasai.229

Ingatan historis ini menjadi landasan kuat, betapa

kebersamaan raja-raja Melayu menjadi sesuatu yang terus

dilanggengkan. Pernikahan, dalam terminologi diplomasi kuno

(ancient diplomacy) adalah bagian dari upaya merajut relasi

antara dua kekuatan politik.230

Johor merupakan pewaris

Kesultanan Malaka, mentradisikan warisan leluhur, dalam hal ini

membina hubungan yang baik dengan kerajaan jiran seperti Aceh,

sebetulnya merupakan tindakan yang sepatutnya dilakukan oleh

generasi penerusnya.231

Beberapa pernikahan penting dua kesultanan ini adalah; 1)

pernikahan Raja Ali, putra Sultan Mahmud Syah, Raja Terakhir

Malaka atau Raja Pertaman Johor, dengan seorang putri Aceh

terjadi ketika Sultan Salahuddin berkuasa (1530-1537)232

; 2)

Pernikahan Sultan Iskandar Muda dengan Putri Pahang setelah

penyerbuan ke ibukota Johor pada 1613; 3) Pernikahan Raja

Abdullah (kelak menjadi Sultan Johor bergelar Sultan Abdullah

229

H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara (Medan: Iskandar

Muda, 1961) hlm. 95-96. 230

Samuel A. Meir, “ Marriage and Diplomacy” dalam Raymond

Cohen dan Raymond Westbrook, Amarna Diplomacy (Maryland: John Hopkins

University Press, 2002) hlm. 165. 231

Dalam terminologi diplomasi kuno, seperti yang ditemukan di

zaman Yunani Kuno, diplomasi yang terjalin kerapkali didasari oleh kesamaan

leluhur yang di masanya adalah seorang yang berkedudukan istimewa (specific

persons), baik berasal dari kalangan dewa maupun pahlawan, yang namanya

dicatat dalam epos sejarah. Lihat Christopher P. Jones, Kinship Diplomacy in

The Ancient World (USA: Harvard University Press, 1999) hlm. 1-2. 232

Zainuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 396-397.

Page 166: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

155

Ma;ayatsyah atau Sultan Hammat Syah di tahun-tahun yang

berdekatan dengan pernikahan Sultan Iskandar Muda.233

Ketiga pernikahan tersebut terjadi bukanlah tanpa tujuan.

Pernikahan pertama ditengarai terjadi manakala Portugis sudah

mulai menguatkan pengaruhnya di Malaka. Johor yang saat itu

masih trauma dengan serangan-serangan Portugis, dan berupaya

membangun kerajaannya, membutuhkan rekan kerja yang lebih

besar dan mempunyai alat-alat kelengkapan sebagai salah satu

kekuatan yang disegani di Asia Tenggara, pilihan ini jatuh ke

Aceh, karena pada abad 16 dan 17, Aceh menyandang sebagai

sentra politik berpengaruh di Nusantara, utamanya di perairan

Selat Malaka.

Serbuan Aceh ke Batu Sawar pada 1613, membawa

kebaikan tersendiri bagi kedua kerajaan, meskipun bagi Johor ini

adalah bentuk nyata arogansi Aceh atas keputusannya menjalin

hubungan dengan Portugis, untuk mengeliminir pengaruh Aceh.

Keberadaan Putri Pahang dan Tun Sri Lanang, sebagai tawanan

perang, lantas di kemudian hari dipulihkan privilis-nya, bahkan

diangkat sebagai salah satu permaisuri raja dan uleebalang

pertama Samalanga, agaknya turut merubah persepsi Iskandar

Muda kepada Johor.

Sangat mungkin sekali kedua tokoh ini berkontribusi

memugar relasi dua kerajaan terkait. Anthoni Reid

mengungkapkan bahwa sudah menjadi semacam kewajaran dalam

babakan perang Asia Tenggara bahwa rakyat kerajaan yang kalah

mengungsi ke wilayah-wilayah kerajaan yang menang. Hal ini

untukmemenuhi kuota kaum laki-laki yang banyak gugur di

medan perang sebagai pasukan suatu kerajaan. Mengambil

penduduk kerajaan-kerajaan yang kalah adalah salah satu tujuan

233

Lihat Leonard Y. Andaya, “The Kingdom of Johor, 1641-1728: A

Study of Economic and Political Developments in The Straits of Malacca”,

Tesis, Cornell University, 1971,., hlm. 20; Pocut Haslinda Azwar, Tun Sri

Lanang dalam Sejarah Dua Bangsa Indonesia-Malaysia (Jakarta: Yayasan Tun

Sri Lanang, 2011), hlm. 28-29 dan 56.

Page 167: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

156

perang. Ini merupakan salah satu problem demografis yang

kritis.234

Perpindahan penduduk Johor ke beberapa tempat

sebagaimana disebutkan di atas, adalah buah dari diplomasi Tun

Sri Lanang, sebagai salah satu chief kecil yang bertanggung jawa

atas daerah Samalanga. Kawin mawin antara para pendatang

Johor dan Aceh juga banyak terjadi, dengan catatan anak-anaknya

tetap harus menjadi pribumi Aceh.235

Kemudian, posisi Tun Sri Lanang dan Putri Pahang

agaknya ikut mempengaruhi pandangan Sultan Iskandar Muda

akan nasib Johor, sebagai kerajaan yang kalah perang. Beberapa

tawanan yang dibebaskan dari hukuman mati, seperti Sultan Johor

yang kala itu ikut diungsikan ke Aceh, dibebaskan, adalah berkat

nasehat Putri Pahang.236

Dalam salah satu cerita, dikisahkan

bahwa ketika Iskandar Muda sedang giat melakukan perluasan,

Putri Pahang pernah mengingatkan untuk tidak membunyikan

meriam tatkala melewati wilayah Asahan, karena bisa ditafsirkan

sebagai ajakan berperang oleh Raja Asahan. Asahan sendiri kala

itu memiliki armada tempur yang kuat, sehingga bisa saja

menyusahkan Aceh.237

Pendirian masjid, lembaga pendidikan,

rumah yatim serta pengiriman para ahli agama, merupakan

sebagain upaya Sultan Iskandar Muda membayar dampak buruk

dari peperangan yang ia inginkan. Tanggung jawab ini ditengarai

bisa terealisasikan berkat adanya kedua orang tersebut dalam

istana Aceh.

Keberadaan Iskandar Tsani, sebagai putra kerajaan

Pahang, yang dalam perkembangannya tidak menginginkan

model hubungan internasional yang melegalkan ekspansi di

dalamnya, juga adalah akibat dirinya masih memandang Johor

234

Anthoni Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga, Jilid 1: Tanah di

Bawah Angin, Terj. Mochtar Pabottinggi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

2011) hlm. 20-21. 235

H.M. Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 129. 236

H.M. Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 129. 237

Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Jilid 1 (Medan: Waspada,

1981) hlm. 274.

Page 168: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

157

serta kerajaan Melayu lainnya adalah bagian dari kampung

halamannya. Telah disbeutkan bahwa dalam pergaulan istana-

istana Melayu, kekerabatan merupakan suatu hal yang dijunjung

tinggi, terlepas dari keberadaan intrik serta perbedaan pandangan

akan politik. Pahang dan Johor merupakan dua kerajaan yang

memiliki pertalian darah yang kuat.

Pernikahan, restorasi ruang publik serta diplomasi

ketokohan, merupakan pola-pola yang bisa diketahui, saat melihat

relasi bilateral Aceh dan Johor, paling tidak sampai abad ke 17.

Diplomasi Intelektual

Sokoguru kuatnya peradaban Melayu-Nusantara tidak bisa

dilepaskan dari keberadaan kerajaan-kerajaan didalamnya. Jika

membicarakan seputar kurun abad 16 dan 17, maka kerajaan yang

bisa dikatakan sebagai poros peradaban Melayu tidak bisa

dilepaskan dari Aceh dan Johor.

Pada perkembangannya, harus diakui, Aceh lebih besar

ketimbang Johor, dilihat dari kapasitas intelektual sarjananya,

hingga kualitas lembaga-lembaga ilmu pengetahuan di dalamnya.

Terhitung sejak abad 16, Penerjemahan kitab-kitab berbahasa

Arab ke Melayu juga dilakukan oleh Aceh, semata-mata untuk

mengakarkan diri sebagai kiblat intelektual Asia Tenggara kala

itu.238

Meskipun begitu, posisi Johor juga bukan saja sebagai

kerajaan yang bukan melulu terbelakang jika dibandingkan

dengan Aceh. Bahkan dalam beberapa kasus, kebesaran Aceh

sebagai kiblat keulamaan, salah satunya berhutang pada Johor.

Salah satu kitab yang menjadi rujukan penting dalam sistem

pemerintahan kerajaan Melayu, termasuk Aceh, adalah Taj as-

Salatin, yang ditulis oleh Bukhari al-Jauhari. Teuku Iskandar

memiliki keyakinan bahwa gelar al-Jauhari di belakang nama

238

Engku Ibrahim Ismail, Syekh Daud Al Fatani Satu Analisis Peranan

dan Sumbangannya Terhadap Khazanah Islam di Nusantara (Kuala Lumpur:

Universiti Kebangsaan Malaysia, 1992) hlm. 2.

Page 169: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

158

Bukhari, merujuk sebagai Johor, tempat tinggalnya. Pendapat ini

masih bisa diperdebatkan mengingat beberapa sarjana, seperti R.

O. Winstedt dan Liaw Yock Fang meyakini bahwa Bukhari

melainkan Persia.239

Kitab ini berperan penting dalam khazanah

kesusasteraan Melayu, termasuk di Aceh.240

Dari segi intelektual, keberadaan Iskandar Muda, amatlah

penting bagi tumbuhnya geliat intelektualitas di Aceh. Kasus

pertentangan paham Nuruddin ar-Raniri dengan ulama dan

pengikut paham Wujudiyyah yang terjadi di era kepemimpinan

Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah. Merupakan ekses dari

kemajuan intelektual, meskipun dilihat dari segi yang lain,

merupakan suatu bentuk keprihatinan yang mendalam karena

melibatkan penghilangan nyawa, pembakaran kitab, serta

persinggungan lainnya, yang membahayakan geliat intelektualitas

di Aceh.241

Diplomasi keilmuan juga terlihat dalam relasi antara Tun

Sri Lanang dan Nuruddin ar-Raniri. Diperkirakan kedua tokoh ini

telah saling mengenal dan bertukar pengetahuan. Dalam menulis

karyanya mengenai leluhur raja-raja Melayu, Nuruddin ar-Raniri

pun menyampaikan bahwa ia memperoleh keterangan

mengenainya dari kitab Tun Muhammad (Tun Sri Lanang) yang

239

Saleh Partaonan Daulay, Taj Al-Salatin Karya Bukhari Al-Jauhari

(Sebuah Kajian Filologi dan Refleksi Filosofis) (Jakarta: Putlitbang Lektur dan

Khazanah Keagamaan, Badang Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI,

2011) hlm. 26; lebih lanjut lihat R.O. Windstedt, A History of Malay Classical

Literature (Petaling Jaya: Eagle Trading Sdn. Bhd, 1991) hlm. 95-97; Liaw

Yock Fang, Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik 2 (Jakarta: Air Langga, 1993)

hlm. 70. 240

C. Hooykaas dan T. Iskandar meyakini bahwa Taj as-Salatin adalah

sebuah karya Melayu yang ditulis di Aceh. Lihat Amirul Hadi, Aceh, Sejarah,

Budaya dan Tradisi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010) hlm. 9; lebih

lanjut lihat C. Hooykaas, Over Malaise Litaratuur (Leiden: E.J. Brill, 1947)

hlm. 171-173; T. Iskandar, “Bokhari al-Jauhari and Taj us-Salatin, “Dewan

Bahasa 3, (1965), hlm. 9. 241

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan

Nusantara Abad XVII dan XVIII (Jakarta: Prenada Media Group, 2007) hlm.

212-213.

Page 170: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

159

berjudul Sulalatussalatin.242

Bahkan, dalam beberapa penulisan

hikayat, seperti Hikayat Radja Badar (Perang Badar) dan Hikayat

Hanafiah, Nuruddin ar-Raniri dibantu oleh Tun Sri Lanang dan

Tun Atjeh.243

Geliat perkembangan intelektual Aceh, tidak bisa

dilepaskan begitu saja dengan keberadaan dinamika intelektual di

masa sebelumnya. Jajat Burhanuddin mengungkapkan bahwa

kemampuan ulama dalam merekonstruksi, memformulasi dan

memodisikasi tradisi, adalah suatu akumulasi dari proses historis

yang panjang dalam sejarah.244

Latar intelektualitas di Aceh sama

sekali tidak mengalami kemandegan tatkala banyak pengaruh luar

berdatangan, termasuk merespon keberadaan Tun Sri Lanang.

Dalam kapasistasnya sebagai penulis Sulalatussalatin, Aceh

sebenarnya diuntungkan secara hostoris, karena keberadan tokoh

ini yang berkiprah dalam pemerintahan Aceh, adalah salah satu

pemberi corak yang signifikan dalam kanvas besar pergumulan

intelektual Aceh sebagai salah satu pusat keilmuan Asia

Tenggara. Maka tidak salah kiranya, jika memasukkan Tun Sri

Lanang dalam bagian penting kesusasteraan kuno Melayu-

Nusantara. Oleh karena dirinya pernah pula beraktivitas (bahkan

dimakamkan) di Aceh.

Di bidang perundang-undangan, undang-undang Johor

sempat dijadikan inspirasi dalam mengamandemen undang-

undang kerajaan Aceh. Adalah Sultan Alaiddin Riayat Syah al-

Kahar, yang menggunakan Undang-Undang Johor sebagai acuan

dalam menyelenggarakan peninjauan kembali undang-undang

Aceh. Teuku Iskandar meyakini bahwa peristiwa ini

menunjukkan adanya pengaruh Melayu dalam sistem

pemerintahan Aceh.245

Peran ini juga dilakukan di masa Sultan

242

Nuruddin ar-Raniri, Bustanussalatin bait 12 dan 13, Perpustakaan

Nasional Republik Indonesia dengan nomor panggil ML 422, hlm. 1. 243

Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 126. 244

Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan; Pergumulan Elite

Muslim dalam Sejarah Indonesia (Bandung: Mizan, 2012) hlm. 7. 245

Teuku Iskandar, “ Aceh as a Muslim-Malay; Cultural Centre 14th –

19 th Century)”, makalah ini disampaikan dalam First Conference of Aceh and

Indian Ocean Studies di Banda Aceh pada tanggal 24-27 Februari 2007. hlm.12

Page 171: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

160

Iskandar Muda, di mana Putri Pahang dilibatkan dalam

merumuskan pembaruan hukum AMA (Adat Meukuta Alam),

dalam bidang kanun, yakni mengurusi masalah penyelenggaraan

majelis, sopan santun dan pernikahan.246

D. Posisi Portugis di Mata Kerajaan Aceh dan Melayu

Kemunculan Portugis menimbukan dinamika baru dalam

pergaulan kepulauan Nusantara. Hal ini bukan hanya disebabkan

oleh perbedaan agama yang dianutnya, melainkan juga dari segi

aktivitas serta pergaulannya dengan penguasa lokal. Melalui

persinggungan ekonomi, mereka juga berupaya untuk bermukim

lebih lama di kawasan bandar dagang yang menyokong aktivitas

strategis lainnya, seperti politik misalnya. Hal ini diketahui dari

catatan Portugis yang mengabadikan rencana Alfonso de

Albuquerque bahwa Pasai, memiliki prospek perdagangan yang

baik tatkala Portugis menguasai Malaka kelak.

Rencana tersebut diungkapkan de Albuquerque sebelum

menguasai Malaka. Ia menyempatkan diri bersekutu dengan

kerajaan Pasai namun masih belum ditanggapi secara hangat.

Melalui suatu pertempuran laut dengan Portugis yang berakhir

dengan kekalahan Pasai, penguasa Pasai segera menemuinya dan

menyatakan ketundukkannya yang ditunjukkan pada pembayaran

upeti secara berkala. Segera setelah itu Pasai pun menjadi vassal

Portugis.247

Setelah menguasai Malaka, mereka semakin gencar

melakukan perluasan dominasi ke segenap wilayah sekitar

Malaka. Beberapa kerajaan Nusantara ada yang menunjukkan

ketidaksukaannya terhadap Portugis, terbukti dengan beberapa

percobaan serangan baik perang terbuka seperti yang dilakukan

Pasai seperti di atas, atau juga pengepungan langsung ke benteng

Malaka sebagaimana yang banyak dilakukan Aceh dan beberapa

246

Zainuddin, Singa Atjeh ..., hlm. 89. 247

Walter De Gray Birch, The Commentaries of the Great Afonso

Dalboquerque, Vol III (London: Hakluyt Society, 1880) hlm. 64.

Page 172: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

161

kali Johor. Yang lain ada pula yang menjadi sekutu Portugis

kendati harus didahului dengan peperangan. Johor, Pahang dan

Aru misalnya menjadi beberapa kerajaan yang diketahui memiliki

koneksi dengan bangsa Kulit Putih ini, setelah sebelumnya

mereka dikalahkan.

Salah satu kerajaan yang menerapkan kebijakan keras dan

cenderung antipati adalah Aceh Darussalam. Kerajaan ini

menunjukkan kesungguhannya menghalau pengaruh Portugis

dengan menguasai kembali Pidie, Pasai, Daya dan Aru.248

Langkah preventif seperti ini dalam setiap periodenya mengalami

fluktuasi namun menemukan momentum penuhnya tatkala

kerajaan ini dipimpin oleh Iskandar Muda. Raja ini dikenal

sungguh-sungguh dalam memperluas wilayah kekuasaan Aceh

sembari menggelar panji peperangan melawan Portugis yang di

saat yang sama sedang melakukan kebijakan serupa dengan Aceh

yakni memperlebar ruang jelajah politik dengan cara membangun

persekutuan dengan kerajaan-kerajaan Melayu.

Manuel De Faria Y Souza menyebutkan bahwa ketika

Portugis datang ke Sumatra, Raja Pedir dan Pisang (Pecem, Pasai)

mengirimkan duta menyatakan perdamaian dengan de

Albuquerue. Setelah menguasai Malaka, Portugis melalui

dutanya, Duarte Coello melawat ke kerajaan Ayutia (Siam) untuk

menjalin kerjasama persahabatan dan perdamaian. Pihak Siam

pun menerima kerjasama itu dikarenakan Portugis satu visi

dengan mereka, yakni membenci orang Islam (moors). Duta

Portugis yang lain, Antonio Correa juga menyetujui perjanjian

persahabatan dan perniagaan dengan Pegu pada 1519. Bintang

(Bantan) dan Kampar pun tidak luput dari upaya penguasaan

Portugis. Kekaisaran China sempat menasehati Portugis agar

mengangkat tokoh pribumi sebagai penguasa Malaka, namun

Portugis tidak mengindahkannya bahkan membunuh duta besar

Cina dan mengumumkan Cina sebagai musuh Portugis. Dalam

aksinya, Portugis tidak jarang memaklumatkan perang seperti

248

Zaiuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 393-397.

Page 173: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

162

yang dilakukannya terhadap kerajaan Bintang, Genial (Jenal ?)

dan Aru.249

Semangat Ekspansif Portugis seperti di atas, mengalami

perubahan di masa-masa mendatang. Paling tidak, sudah ada

pemikiran mereka untuk membuka peluang agar kerajaan-

kerajaan Melayu lainnya tidak memusuhi mereka secara

serempak. Jika itu terjadi, sudah tentu kedudukan mereka di

Malaka tidaklah bisa bertahan lama menghadapi serbuan pasukan

Melayu Raya. Untuk itu, Portugis mulai mengubah perangainya

lebih komunikatif dengan menjalin jejaring persahabatan dengan

kerajaan-kerajaan Melayu lainnya, seperti dengan Johor, Pahang

dan lain-lain. Johor menjadi kerajaan Melayu yang cukup sering

bekerjasama dengan Portugis, utamanya dalam agenda

mengeliminir pengaruh Aceh dari dunia Melayu.

Sepertinya hanya dengan Aceh-lah Portugis

memaklumatkan perang abadi. Karena selain pandangan dari

pihak Aceh yang tidak bisa menerima keberadaan mereka di

perairan Melayu dan diwariskan secara turun temurun, dari zaman

Ali Mughayyatsyah hingga Iskandar Thani, juga yang tidak kalah

penting, hanya Acehlah yang merupakan lawan ideal Portugis

dalam ajang saling menancapkan hegemoni di Semenanjung

Malaya dan Sumatra. Kerajaan-kerajaan Melayu, yang dianggap

sebagai ancaman, namun peringkatnya tidaklah setinggi Aceh.

Hal ini ditengarai karena kekuatan dari masing-masing kerajaan

Melayu tidaklah sebanding dengan Portugis. Sebagai contoh,

ketika Johor menghadang serangan Portugis pada tahun 1536,

tidaklah mampu melawan bangsa Eropa itu dan berakhir dengan

kekalahan. Yang unik, kekalahan ini terjadi hampir bersamaan

dengan keberhasilan Portugis menguasai Perak dan Pahang.250

249

E. Koek “History of Malacca from Portuguese Sources” dalam

Journal of The Straits Branch of The Royal Asiatic Society, No. 17, Edisi Juni

1886, dalam Journal of The Straits Branch of The Royal Asiatic Society, No. 17,

Edisi Juni 1886, hlm. 123 – 142. 250

D.G.E. Hall, Sejarah Asia Tenggara, Terj. Habib Mustopo

(Surabaya: Usaha Nasional, 1988) hlm. 310.

Page 174: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

163

Sebagai orang baru yang datang ke Portugis, sudah

selaiknya mereka menampilkan diri sebagai bangsa terbuka dalam

pergaulan dengan pribumi. Hal ini dilakukan selain untuk

menciptakan keakraban dengan raja-raja lokal, juga dipandang

baik untuk kemajuan perpolitikan serta perekonomian Portugis

berikutnya. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, aktivitas

perniagaan Malaka ketika berada di bawah Portugis awalnya

mengalami penyusutan. Keadaan ini tentu tidak bisa dibiarkan

berlarut-larut. Maka mulailah mereka menawarkan keuntungan

dua belah pihak untuk memantapkan posisi mereka di pergaualan

antarkerajaan Melayu.

Di Malaka, Portugis juga melakukan pendekatan dengan

warga Melayu setempat. Di antara mereka ada yang menikah

dengan orang Melayu yang keturunannya di Malaka disebut

Papia Kristang. Papia Kristang merupakan keturunan Malaka-

Portugis (Malacca Creole Portuguese) yang berbicara dengan

bahasa Portugis dialek Melayu. Dialek bahasa mereka juga

tersebar di Singapura, yakni di cabang dari komunitas Malaka.

Peristiwa serupa juga terjadi ketika Portugis menguasai Makau.

Di sana terjadi pernikahan bikultural dan menghasilkan keturunan

Makau-Portugis. Keturunan ini juga banyak tersebar di Hong

Kong.251

Dalam beberapa kasus, Portugis juga terlibat membantu

raja lokal membebaskan diri dari kekuasaan yang lebih besar.

Portugis pernah membantu Raja Cochin membebaskan diri dari

kekuasaan Raja Zamorin. Tidak berhenti sampai di situ, Portugis

bahkan ikut adil dalam peristiwa pengangkatan Raja Cochin252

yang independen, tidak lagi berada di bawah Zamorin253

, pada

251

Shihan de Silva Jayasuriya, Portuguese in The East; A Cultural

History of a Maritime Trading Empire (Lodon: Tauris Academic Studies, 2008)

hlm. 4. 252

Cochin atau Kochi merupakan pelabuhan utama di Malabar, India,

yang langsung menghadap ke laut Arab. Lihat

http://www.britannica.com/search?query=Cochin, diakses pada Rabu, 15

Oktober 2014, pukul 15.39. 253

Zamorin termasuk dalam daerah Kalikut, India, Lihat

http://www.britannica.com/EBchecked/topic/655668/Zamorin, diakses pada

Rabu, 15 Oktober 2014, pukul 15. 39.

Page 175: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

164

1505, kedua kerajaan terletak di wilayah India.254

Peristiwa ini

menunjukkan, meskipun tetaplah Portugis menghitung

keuntungan apa yang akan didapatnya kelak, fleksibel dalam

menghadapi keadaan suatu wilayah. Antara satu daerah yang

dipijaknya, dengan wilayah lain memiliki karakteristik iklim

politik yang saling berbeda.

Terhadap Johor, Portugis seperti melakukan hal yang sama

dengan yang dilakukannya terhadap Cochin India, yakni ingin

membantu kerajaan ini menjadi negeri yang mampu sampai ke

taraf kedewasaan dalam berperadaban, dan yang terpenting jauh

dari gangguan Aceh. Tentu saja, kedermawaan Portugis ini

tidaklah tanpa pamrih, dalam bantuannya tentu saja Portugis

menginginkan penanaman pengaruh yang lebih kuat di kerajaan

yang dibantunya. Sepertinya, Portugis memandang penting

bersekutu dengan Johor, sehingga mereka masih saja membuka

pintu kemitraan meskipun nantinya, Johor bisa kembali menjadi

sekutu Aceh dan bukan tidak mungkin keduanya akan bertemu

kembali sebagai musuh yang saling menghancurkan.

Zainuddin memaparkan bahwa keterlibatan Portugis dalam

perpolitikan dunia Melayu, tujuan utamanya adalah menyebarkan

citra buruk Aceh di hadapan raja-raja Melayu. Pemberitaan

miring yang dilakukan Portugis ini, adalah salah satu upaya

menghasut raja-raja Melayu yang beraliansi dengan Aceh,

perlahan melepaskan komitmennya itu, lantas berbalik dan

berkongsi dengan Portugis. Lebih lanjut, sebenarnya bukan hanya

Portugis yang telah melakukan upaya tersebut, melainkan juga

bangsa Eropa yang lain, seperti Inggris dan Belanda. Namun

kedua bangsa belakangan, sepanjang abad 16, aktivitasnya

belumlah sanggup menggeser dominasi Portugis di perairan

Malaka.

Keterlibatan awal Belanda dan Inggris di perairan Aceh

dan sekitarnya, adalah untuk mendapat kedudukan dalam

perniagaan di bandar dagang Aceh. Kaitannya dengan

permusuhan Aceh dengan Portugis, kedua bangsa Eropa itu ibarat

254

Shihan Da Silva, Portuguese ..., hlm. 6.

Page 176: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

165

memancing di air keruh. Mereka menjual senjata sebanyak-

banyaknya kepada Raja Aceh yang nantinya digunakan dalam

peperangan melawan Portugis. Di sisi lain, keduanya juga

melakukan hasutan untuk memperlemah posisi Aceh di

lingkungan kerajaan-kerajaan Melayu. Pertempuran yang pecah di

antara mereka amat diharapkan oleh Belanda dan Inggris agar

senjata-sejata buatan mereka dapat laris terjual.255

Dalam beberapa kesempatan, ketika Johor bertikai dengan

Aceh, kerap ditemukan keterlibatan kerajaan Melayu lain seperti

Pahang, Aru dan beberapa yang lainnya. Ini juga merupakan

fenomena yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Bagi Portugis,

bersahabat dengan Johor sama halnya dengan mengambil hati

raja-raja Melayu yang berkerabat atau berada di bawah pengaruh

Johor. Kerajaan ini menjadi kerajaan Melayu yang disegani oleh

kerajaan lainnya, apalagi darah Malaka mengalir dalam tubuh

raja-rajanya. Ketaatan raja-raja Melayu lainnya terhadap Johor,

menjadi keuntungan tersendiri yang dapat dimanfaatkan Portugis,

sehingga kesempatan untuk memperluas kemitraan dengan

negeri-negeri Melayu dapat terjamin di bawah pengaruh Johor,

umpamanya dengan Pahang, Aru, Kampar, Bintang dan lain-lain.

Sebenarnya, menjadi dilema bagi kerajaan-kerajaan kecil

bawahan Johor, tatkala Raja Johor memutuskan bersahabat

dengan Portugis. Beberapa dari kerajaan Melayu bawahan Johor

memiliki memori kelam terhadap kemunculan Portugis di

lingkungannya, khususnya yang berhubungan dengan penyerbuan

dan serangan yang menghancurkan ibukota dan rakyat mereka.

Bagi Kampar dan Bintang misalnya, kedua kerajaan ini sempat

merasakan serbuan Portugis di masa-masa awal berkuasanya

Portugis di Malaka. Bahkan Raja Abdullah, Raja Kampar, pernah

ditangkap dan dibawa ke Malaka pada Juli 1543.256

Keadaan ini

bisa berarti dua makna, kerajaan Melayu yang bermitra dengan

Johor setia dengan apapun kebijakan yang diambil Johor atau

ketidakmampuan mereka keluar dan menghalau Portugis, baik

255

Zainuddin, Singa Aceh ..., hlm. 159-160. 256

E. Koek, “Portuguese History of Malacca”, dalam JSBRAS 17, 6,

1886, hlm. 132 dan 142

Page 177: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

166

menyerang secara mandiri maupun membangun aliansi baru

dengan negeri yang bervisi seragam.

Di Masa ketika perebutan hegemoni politik menguat,

tepatnya saat masa kejayaan kerajaan Nusantara dan

kolonialisme, pengendalian pertahanan serta ekspansi politik luar

negeri amat bergantung dengan sejauh mana persediaan militer

tersedia. Gabriel A. Almond mengatakan bahwa suatu negara,

termasuk kerajaan, yang menerapkan politik internasional yang

agresif, diharuskan memperluas komponen-komponen militer dari

organisasinya, sehingga ia memiliki angkatan bersenjata yang

lebih besar dan suatu birokrasi sipil yang lebih besar pula untuk

mendukung dan mengendalikan organisasi bersenjata itu. Ia harus

menarik pajak lebih besar dari rakyatnya, dan mungkin ia harus

mengatur, mengendalikan bahkan menindas oposisi kebijakan

agresifnya.257

Baik Aceh, Portugis maupun Johor, jika mereka

menginginkan keluar dari koloseum pertandingan lintas kekuatan,

maka diharuskan memiliki persediaan militer yang lebih dari

cukup. Pengadaan alutsista serta pelatihan militer mutakhir,

sempat dilakukan Aceh dengan menjalin kerjasama di bidang

pertahanan serta bidang lainnya dengan Turki. Saat itu, yakni

sekitar abad 16 hingga menyentuh abad 20, Kerajaan Ottoman

(Rum) dalam aggapan raja-raja Nusantara dianggap sebagai raja-

raja besar dunia. Sultan Alauddin Riayatsyah al-Kahar

merupakan pemrakarsa awal hubungan Aceh dengan Turki.258

Hal

ini dilakukan untuk memperkuat pasuka serta pertahanan negeri

dari ancaman musuh.

Keberadaan Portugis bisa dipahami sebagai balancer of

power atau kekuatan penyeimbang atas Aceh. Bagi Johor,

keberadaan Portugis tentu saja dianggap menguntungkan dalam

skema politik regional oportunisnya. Ketika mereka diahadapkan

257

Gabriel A. Almond, “Studi Perbandingan Sistim Politik” dalam

Mochtar Mas‟oed dan Colin MacAndrews, ed, Perbandingan Sistem Politik

(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982) hlm. 25. 258

Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra, Terj. Masri Maris (Jakarta,

Yayasan Obor Indonesia, 2011) hlm. 68-69.

Page 178: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

167

pada kebijakan Aceh yang dianggap menyalahi hubungan Johor

dengan negeri lainnya, seperti Aru, maka bersekutu dengan

Portugis merupakan suatu tindakan yang bisa dimaksimalkan.

Kesanggupan Portugis membantu Johor dalam beberapa

kesempatan mengindikasikan kerjasama yang cukup lekat di

antara keduanya. Rekonstruksi dialogis yang tidak rumit di antara

keduanya, mengindikasikan telah terbangun suatu pemahaman

bahwa politik luar negeri, sebagaimana yang dipahami keduanya,

amatlah sarat intrik, sehingga berpaling dari satu pihak ke pihak

lain merupakan hal yang biasa terjadi.

Kesungguhan Aceh membangun kerjasama militer dengan

Turki merupakan bentuk petinggi kerajaan ini untuk selalu

mengadakan akselerasi mengimbangi gabungan pasukan Melayu-

Portugis. Sebagaimana diketahui, kemenangan dalam peperangan

bukan hanya ditentukan lewat faktor keberuntungan semata,

melainkan harus didasari pada taktik dan strategi yang tepat.

Untuk itu, dengan latar belakang keberhasilan kekuatan maritim

Turki Usmani menjadi momok menakutkan bagi Portugis di

sekitar samudera Hindia, menjadi cukup bukti bagi Aceh untuk

membangun sistem angkatan perang maritim model Turki yang

harapannya sanggup menuntaskan gabungan pasukan Melayu-

Portugis di kemudian hari.

Portugis dan Johor kelihatannya terlibat dalam hubungan

yang saling bergantung. Hanya Aceh lah yang menjadi

pengganggu serius bagi pertalian dua kekuatan itu. Berdekatan

dengan Portugis, dianggap Johor, menjadi cara ampuh agar

kerajaan ini mampu berkembang tanpa gangguan pihak Aceh yang

amat berhasrat menanamkan pengaruh kuat di lingkungan

penguasa Melayu.

Belakangan, ketika VOC sudah mulai masuk dalam kancah

istana Johor pada awal abad 17, mulai terjadi sedikit demi sedikit

perubahan peta politik di kawasan dunia Melayu dan sekitarnya.

Di satu sisi, Aceh menganggap keberadaannya juga tidak kalah

berbahaya dengan Portugis, namun Johor justru menganggapnya

sebagai sekutu lain, yang bisa dimanfaatkan bantuannya untuk

mengamankan kepentingan kerajaannya. Diakui oleh Dennis de

Page 179: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

168

Witt, hubungan yang terbangun antara Johor dan VOC adalah

dilandasi oleh persahabatan dan aliansi yang membawa manfaat

bersama (mutual benefit). Salah satu kesamaan agenda regional

mereka adalah mengusir Portugis dari Malaka. Keluasan akses

pada perniagaan lokal, menjadi salah satu tujuan utama VOC di

Malaya.259

Memang, terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara

Portugis dan Belanda terkait bagaimana ia memandang kerjasama

dengan penguasa lokal Aceh, Johor dan Melayu pada umumnya.

Pandangan Portugis didominasi oleh suatu cita-cita kosmik ingin

menegakkan kekuasaan Kristiani di mana mereka berpijak.

Termasuk dalam hal ini adalah mendapuk Kristen sebagai agama

resmi dan melakukan konversi agama penduduk setempat. Di sisi

lain, VOC lebih mengutamakan masalah perdagangan, ketimbang

mengurusi keyakinan dan kepercayaan masyarakat setempat. Yang

terpenting bagi mereka adalah agar memperoleh untung sebesar

mungkin dari perniagaan dengan penduduk pribumi.

259

Dennis de Witt, History of The Dutch in Malaysia (Selangor:

Nutmeg Publishing, 2007) hlm. 3 – 4.

Page 180: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

169

BAB VI

PENUTUP

Tesis ini disimpulkan dalam dua poin, yaitu;

Pertama, hubungan diplomatik Aceh dan Johor

sesungguhnya amatlah labil. Keadaan ini diperkuat dengan garis

kebijakan politik Johor yang lentur dan menganggap baik Aceh

dan Portugis, merupakan dua kekuatan besar yang bisa menjadi

rekannya dalam upaya membangun Johor. Aceh sendiri memiliki

agenda membangun kerjasama strategis dengan Johor untuk

membendung pengaruh Portugis. Namun, upaya ini menemui

kendala tatkala di kesempatan lain, Johor pun berhubungan

dengan Portugis untuk mencegah infiltrasi Aceh yang dianggap

mengancam kedaulatan Johor.

Portugis tampil sebagai kekuatan yang mengancam

eksistensi dua kerajaan. Hal ini berdampak pula pada keadaan

diplomatik dua kerajaan di atas. Perbedaan visi politik

internasional antara Aceh dan Johor, dimanfaatkan Portugis untuk

memecah belah persatuan Melayu yang digalang Aceh. Tindakan

Portugis tersebut, dalam beberapa kesempatan, digunakan Johor

sebagai sarana agar intervensi Aceh dalam tata pemerintahannya

tidak sampai mengancam kedaulatannya. Hal yang kemudian

menjadi latar belakang Aceh memusuhi Johor.

Kedua, Dalam merawat hubungan diplomatik antara

keduanya, maka aspek yang paling menonjol yang dikedepankan

di antaranya adalah perkawinan antara putra putri dua kerajaan.

Pernikahan merupakan salah satu cara diplomatik yang biasa

ditemukan di masa klasik. Pernikahan bukan hanya menghasilkan

sambungan tali persaudaraan, melainkan pula kepaduan dalam

bertindak. Hubungan keduanya bukan lagi antarinstusi kerajaan

yang sarat dengan seremonial, melainkan telah membaur, seakan

Page 181: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

170

sudah tidak ada lagi perbedaan prinsipil yang menyekat hubungan

mereka. Jika keadaan sudah demikian, maka harapannya,

pembicaraan-pembicaraan bilateral menyangkut kepentingan dua

kerajaan dapat terakomidir dengan baik tanpa menimbulkan friksi

yang tajam.

Selain pernikahan, di antara dua kerajaan juga terbangun

aneka diplomasi lain yang amat khas dalam lingkungan kerajaan

Nusantara, satu diantaranya adalah diplomasi ketokohan.

diplomasi model ini terjadi karena adanya tokoh-tokoh dari suatu

negeri yang kemudian hidup dan berkarya di negeri lain. Mereka

tidak harus tinggal secara berkala, melainkan juga diberikan hak

khusus untuk ikut serta membangun negeri yang ia tinggali.

Berbagai bentuk tradisi serta budaya juga tumbuh dari hasil

interaksi kedua kerajaan. Adanya aktivitas saling mempengaruhi

antara Aceh dan kerajaan-kerajaan Melayu, sebelum dan sesudah

Johor, menandarkan bahwa hubungan antara dua kerajaan ini

ibarat jembatan lalu lalangnya produk kemanusiaan dan peradaban.

Beberapa bentuk percampuran budaya, seperti dalam penyusunan

undang-undang dan pandangan akan gender, menjadi beberapa hal

yang cukup mewakili aktivitas kultural keduanya.

Page 182: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

171

Daftar Pustaka

A. Buku

Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Tangerang:

Logos Wacana Ilmu, 1999.

Ahmad, A. Samad, Sulalatus Salatin; Sejarah Melayu, Malaysia:

Dewan Bahasa dan Pustaka, 2008.

Ahmad, Raja Ali Haji bin. The Precious Gift (Tuhfat al-Nafis),

Transl. Virginia Matheson and Barbara Watson Andaya,

Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1982.

Amal, M. Adnan. Portugis dan Spanyol di Maluku. Depok:

Komunitas Bambu, 2010.

Andaya, Leonard Y. “The Seventeenth Century Acehnese Model

of Malay Society”, makalah dipresentasikan pada

pertemuan tahunan AAAS (American Association of

Asian Studies) di Boston, 11-14 Maret 1999.

Ar-Raniri, Nuruddin. Bustanussalatin bait 12 dan 13, Perpustakaan

Nasional Republik Indonesia dengan nomor panggil ML

422.

Aspin, J. Cosmorama: The Manners, Customs and Costumes of All

Nations of the World, London: St. Paul Church-Yard,

1834.

Azwad, Ridwan, peny. Lembaga-lembaga Tradisional di Aceh,

Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh,

2003.

Azwar, Pocut Haslinda. Tun Sri Lanang dalam Sejarah Dua

Bangsa Indonesia-Malaysia. Jakarta: Yayasan Tun Sri

Lanang, 2011.

____________________. Sulalatus Salatin Versi Populer. Jakarta:

Yayasan Tun Sri Lanang, 2011.

____________________. Perempuan Bercahaya dalam Lintasan

Sejarah Aceh, Jakarta: Yayasan Tun Sri Lanang, 2011

Badger, George Percy, ed. The Travels of Ludovico di Varthema,

London: Hakluyt Society, 1863.

Page 183: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

172

Birch, Walter De Gray. The Commentaries of the Great Afonso

Dalboquerque, Vol III, London: Hakluyt Society, 1880.

Burhanuddin, Jajat. Ulama dan Kekuasaan; Pergumulan Elite

Muslim dalam Sejarah Indonesia, Bandung: Mizan,

2012.

Chauduri, K. N. Trade And Civilisation In The Indian Ocean.

Cambridge: Cambridge University Press, 1989.

Christer Jönsson dkk. Essence of Diplomacy, New York: Palgrave

Macmillan, 2005.

Cohen, Raymond dkk. Amarna Diplomacy, Maryland: John

Hopkins University Press, 2002.

Cooper, Andrew F. dkk,, ed. the Diplomacies of Small States;

Between Vulnerabulity and Resilience, New York:

Palgrave Macmillan, 2009.

Cortesao, Armando. The Suma Oriental of Tome Pires, Vol. II,

New Delhi: Asian Educational Services, 2005.

Curtin, Philip D. Cross-Cultural Trade in World History,

Cambridge UK: Cambridge University Press, 1998.

Daulay, Saleh Partaonan. Taj Al-Salatin Karya Bukhari Al-Jauhari

(Sebuah Kajian Filologi dan Refleksi Filosofis), Jakarta:

Putlitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Badang

Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, 2011.

D‟Orsey, Alex. Portuguese Discoveries Dependencies and

Missions in Asia and Africa, London: W.H. Allen & Co

Limited, 1893.

de Witt, Dennis. History of The Dutch in Malaysia, Selangor:

Nutmeg Publishing, 2007.

Dunn, Rose E. Petualangan Ibnu Batutta, Seorang Musafir Muslim

Abad 14 Terj. Amir Sutaarga, Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.

Fang, Liaw Yock. Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik 2,

Jakarta: Air Langga, 1993.

Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto.

Jakarta: UI Press, 2006.

Hadi, Amirul. Aceh; Sejarah, Budaya dan Tradisi. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 2010.

Hall, D.G.E. Sejarah Asia Tenggara, Terj. I. P. Soewarsha,

Jakarta: Usaha Nasional, 1988.

Page 184: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

173

Halimi, Ahmad Jelani. Perdagangan dan Perkapalan Melayu di

Selat Malaka Abad ke 15 Hingga Abad ke 18, Kuala

Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006.

Hamka. Sejarah Umat Islam, jilid 4. Bukittinggi: N.V. Nusantara,

1961.

Hasbi, Baiquni. Relasi Kerajaan Aceh Darussalam dan Kerajaan

Ustmani, LSAMA: Banda Aceh, 2011.

Hasjmy, A. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di

Indonesia. Medan: Al-Maarif, 1981.

Hassan, Dato Sri Wan Abdul Wahid bin Wan. “Salasilah

Kekerabatan Kesultanan Melayu Nusantara”, makalah

disampaikan dalam Seminar Sejarah Tun Sri Lanang

yang diselenggarakan pada 17 Desember 2005 di

Kuantan, Pahang Darul Makmur.

Hitti, Philip K. History of The Arabs, Terj. R. Cecep LH dkk,

Jakarta: Serambi, 2008.

Hooker, Virginia Matheson. A Short History of Malaysia,

Australia: Allen and Unwin, 2003.

Hooykaas, C. Over Malaise Litaratuur, Leiden: E.J. Brill, 1947.

Ibrahim, Ahmad dkk, peny. Islam di Asia Tenggara Perspektif

Sejarah, Jakarta: LP3ES, 1989.

Iskandar, Teuku. “Aceh ad a Muslim-Malay Cultural Centre (14th

– 19 th Century”, makalah dipresentasikan pada First

International Conference Aceh and Indian Ocean Studies,

pada 24 – 27 di Banda Aceh.

Ismail, Engku Ibrahim. Syekh Daud Al Fatani Satu Analisis

Peranan dan Sumbangannya Terhadap Khazanah Islam

di Nusantara, Kuala Lumpur: Universiti Kebangsaan

Malaysia, 1992.

Jayasuriya, Shihan de Silva. The Portuguese in The East; A

Cultural History of A Maritime Trading Empire, London:

Tauris Co & Ltd, 2008.

Jayne, J.S. Vasco Da Gama and His Successors, London: Methuen

& Co. Ltd, 1910.

Jones, Christopher P. Kinship Diplomacy in The Ancient World,

USA: Harvard University Press, 1999.

Kalus, Ludvik dkk, Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, Jakarta:

Kepustakaan Populer Gramedia, 2008.

Page 185: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

174

Kartodirdjo, Sartono, ed. Masayarakat Kuno dan Kelompok-

Kelompok Sosial, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1977.

Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang,

1995.

Komroff, Manuel, ed. The Travel of Marco Polo The Venetian,

New York: W.W. Norton, 1930.

Lapian, A. B. Orang Laut Bajak Laut Raja Laut; Sejarah Kawasan

Laut Sulawesi Abad XIX, Depok: Komunitas Bambu,

2009.

Latief, AR. Pelangi Kehidupan Gayo dan Alas. Bandung: Kurnia

Bupa, tanpa tahun.

Lombard, Denys. Kerajaan Aceh; Jaman Sultan Iskandar Muda

(1607-1636), Terj.Winarsih Arifin. Jakarta: Balai

Pustaka, 1986.

Madjid, M. Dien. “Tun Sri Lanang dalam Lintasan Sejarah dan

Hubungannya dengan Perkembangan Islam di Aceh”,

makalah disampaikan dalam “Seminar Ketokohan Tun

Sri Lanang” di Bireuen, Aceh pada 28 Desember 2011.

_______________. Catatan Pinggir Sejarah Aceh, Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 2014.

Mas‟oed, Mochtar dkk, ed. Perbandingan Sistem Politik,

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982.

Melissen, Jan, ed. The New Public Diplomacy; Soft International

Relations, Great Britain: Palgrave Macmillan, 2005.

Mohamet, Mustafa Ali. Johor Darul Takzim, Selangor: Pelanduk

Publications, 1987.

Muljana, Slamet. Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi. Jakarta:

Yayasan Idayu, 1981.

_____________. Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan

Majapahit), Yogyakarta: LKiS, 2011.

Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat;

Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, Terj. Joko S.

Kahar dan Supriyanto Abdullah, Surabaya: Risalah Gusti,

2003.

Nicolson, Harold. Diplomacy. Great Britain: Oxford University

Press, 1942.

Oxford Learner’s Pocket Dictionary, 3rd

edition, Oxford: Oxford

University Press, 2003.

Page 186: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

175

Pane, Sanusi. Sedjarah Indonesia I. Djakarta: Balai Pustaka, 1965.

Peacock, A.C.S. dkk, ed. From Anatolia to Aceh; Ottoman, Turks

and Southeast Asia, Oxford: Oxford University Press,

2015.

Perret, Daniel, dkk. Batu Aceh Warisan Johor. Johor Bahru: Ecole

Francaise D‟Extreme-Orient dan Yayasan Warisan Johor,

1999.

Pinto, Fernao Mendes. The Travels Mendez Pinto, ed and trans. By

Rebecca C. Catz , Chicago and London: The University

of Chicago Press, 1989.

Rahim, Husni. Sistem Otoritas dan Administrasi Islam; Studi

tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial

Belanda, Ciputat: Logos Institut, 1998.

Rambely, Nor Azizah Sham Bt. “Pendatang yang Diterima;

Migrasi Aceh ke Kedah”, makalah ini dipresentasikan

pada Seminar Sejarah Lisan Rumpun Melayu, bertempat

di Pekanbaru, pada 27 – 30 Maret 2014, yang

diselenggarakan oleh Masyarakat Sejarah Indonesia

Cabang Riau dan Konsulat Malaysia Pekanbaru.

Reid, Anthony. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680;

Jilid I Tanah di Bawah Angin, Terj. Mochtar Pabottinggi,

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011.

____________. Menuju Sejarah Sumatra, Terj. Masri Maris,

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011.

Roza, Ellya. Riwayat Hidup Raja Kecik; Pendiri Kerajaan Siak.

Siak: Yayasan Pusaka Riau bekerjasama dengan

Pemerintah Daerah Kabupaten Siak Dinas Pariwisata

Seni Budaya Pemuda dan Olahraga, 2012.

Said, Mohammad. Aceh Sepanjang Abad, Jilid 1, Medan: P.T.

Percetakan dan Penerbitan Waspada Medan, 1981.

Sharp, Paul. Diplomatic Theory of Internationals Relations,

Cambridge: Cambridge University Press, 2009.

Sinar, Tengku Luckman, Sari Sejarah Serdang 2, Jakarta:

Departemen P dan K, 1986.

Suny, Ismail, ed. Bunga Rampai Tentang Aceh, Jakarta: Bharatara

Karya Aksara, 1980.

Turner, Jack. Sejarah Rempah; Dari Erotisme ke Imperialisme,

Terj. Julia Absari, Depok: Komunitas Bambu, 2011.

Page 187: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

176

Van Leur, J.C. Indonesian Trade and Society; Essays in Asian

Social and Economic History, Dordrecht, Nederlands:

Foris Publications Holland, 1983.

Van Loon, Hendrik Willem. The History of Mankind, USA: Boni

& Liveraight Inc., 1922.

Vlekke, Bernard H. M. Nusantara, Terj. Samsudin Berlian,

Jakarta: KPG dan Freedom Institute, 2008.

Winstedt, Richard. Malaya and Its History, Great Britain: The

Anchor Press, 1933.

_______________. A History of Malay Classical Literature,

Petaling Jaya: Eagle Trading Sdn. Bhd, 1991.

Zainuddin, H.M. Singa Atjeh. Medan: Pustaka Iskandar Muda,

1957.

_____________. Tarikh Atjeh dan Nusantara. Medan: Pustaka

Iskandar Muda, 1961.

Zakaria, Abdul Aziz bin. Sejarah Kenaikan dan Kejatohan

Kekuasaan Portugis di Melaka, London: Macmillan &

Co, 1953.

B. Jurnal, Tesis dan Disertasi

Andaya, Leonard Y. “The Kingdom of Johor, 1641-1728: A Study

of Economic and Political Developments in The Straits of

Malacca”, Tesis, Cornell University, 1971.

Braginsky, V.I. , “On the Copy of Hamzah Fansuri‟s Ephitat

Published by C. Guillot & L. Kalus”, Archipel 62, 2001.

Dasgupta, Arun Kumar. Acheh in Indonesian Trade and Politics:

1600-1641, England: University of Microfilm, 1962.

Hadi, Amirul. “Aceh and The Portuguese: A Study of The Struggle

of Islam in Southeast Asia, 1500-1579,” (Tesis), McGill

University Canada, 1992, tidak dipublikasikan.

Iskandar, T. “Bokhari al-Jauhari and Taj us-Salatin, “Dewan

Bahasa 3, 1965.

Koek, E. “History of Malacca from Portuguese Sources” dalam

Journal of The Straits Branch of The Royal Asiatic

Society, No. 17, Edisi Juni 1886.

Linehan, W. “History of Pahang”, dalam JSBRAS, Singapore,

1936.

Page 188: Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI ...

177

Rahman, Mohd. Muhiden Abd. “Syeikh Nuruddin Al-Raniri dan

Sumbangannya Kepada Pengajian Hadith”, dalam Al-

Bayan, Vol. 4, Mei 2006/Rabi‟ulawwal 1427.

Souza, Manuel de Faria Y. “Portuguese History of Malacca”,

dalam JSBRAS, No. 17, 1887.

C. Internet

http://www.inter-diciplinary.net artikel Stuart Murray berjudul

“Towards and Enchanced Understanding of Diplomacy as the

Buisness of Peace”,

http://www.geographicus.com/P/AntiqueMap/aspin,

http://www.britannica.com/search?query=Cochin,

http://www.britannica.com/EBchecked/topic/655668/Zamorin,