PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI

16
KONSEP POLICY PAPER PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI Tim Pelaksana Program LP3ES - TELAPAK 1 A. Sumberdaya Air Banjir dan kekeringan yang melanda di berbagai wilayah Indonesia belakangan ini, nampaknya akan menjadi peristiwa rutin di masa datang. Keduanya terjadi tidak lain sebagai konsekwensi logis dari modernisasi, privatisasi dan komersialisasi dalam kehidupan masyarakat dari aspek sosial- ekonomi. Dewasa ini posisi sumberdaya air telah mengalami pergeseran nilai dan kegunaan. Kalau semula penggunaan air dominan untuk kepentingan pertanian dan air minum, sekarang berubah untuk berbagai kepentingan (industri, tenaga listrik, perikanan). Sehingga fungsi air yang bersifat sosial dan milik umum (common property) akhirnya berubah menjadi komoditi ekonomi dan dikuasai pemilik modal (private property). Implikasinya, kompetisi penggunaan air diantara berbagai kepentingan menjadi semakin meningkat baik di tingkat masyarakat pemakai air sendiri maupun dengan pihak perusahaan. Terutama ketika ketersediaan air tidak cukup memadai dari sisi kuantitas. Neraca sumberdaya air Indonesia mencatat bahwa pada 1 Program Penguatan Kapasitas CSO (Civil Society Organization) dalam Pengelolaan Wilayah Sungai di Bengkulu, Jogyakarta dan Sulawesi Selatan, kerjasama LP3ES, TELAPAK dan Bank Dunia. 1

Transcript of PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI

Page 1: PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI

KONSEP POLICY PAPER

PARTISIPASI MASYARAKAT SIPILDALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI

Tim Pelaksana Program LP3ES - TELAPAK1

A. Sumberdaya Air

Banjir dan kekeringan yang melanda di berbagai wilayah Indonesia belakangan ini,

nampaknya akan menjadi peristiwa rutin di masa datang. Keduanya terjadi tidak lain

sebagai konsekwensi logis dari modernisasi, privatisasi dan komersialisasi dalam

kehidupan masyarakat dari aspek sosial-ekonomi. Dewasa ini posisi sumberdaya

air telah mengalami pergeseran nilai dan kegunaan. Kalau semula penggunaan air

dominan untuk kepentingan pertanian dan air minum, sekarang berubah untuk

berbagai kepentingan (industri, tenaga listrik, perikanan). Sehingga fungsi air yang

bersifat sosial dan milik umum (common property) akhirnya berubah menjadi

komoditi ekonomi dan dikuasai pemilik modal (private property).

Implikasinya, kompetisi penggunaan air diantara berbagai kepentingan menjadi

semakin meningkat baik di tingkat masyarakat pemakai air sendiri maupun dengan

pihak perusahaan. Terutama ketika ketersediaan air tidak cukup memadai dari sisi

kuantitas. Neraca sumberdaya air Indonesia mencatat bahwa pada tahun 2000

defisit air sekitar 52.809 juta meter kubik dan diperkirakan mencapai 134.102 juta

meter kubik pada tahun 2015. Situasi krisis air (kekeringan), banjir dan longsor yang

berlangsung selama ini merupakan cerminan dari in-effektivitas dari pengelolaan

DAS. Data Dirjen Sumberdaya Air, Kimpraswil menyebutkan bahwa saat ini ada

sekitar 65 Daerah Aliran Sungai atau 13,8 % dari jumlah DAS di Indonesia dalam

keadaan sangat kritis dengan tingkat sedimentasi yang tinggi.

Kegagalan pemerintah khususnya dalam memberi solusi yang komprehensif atas

kelangsungan fungsi DAS akan menciptakan hilangnya potensi sumberdaya air

1 Program Penguatan Kapasitas CSO (Civil Society Organization) dalam Pengelolaan Wilayah Sungai di Bengkulu, Jogyakarta dan Sulawesi Selatan, kerjasama LP3ES, TELAPAK dan Bank Dunia.

1

Page 2: PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI

sebagai asset negara (publik) yang dapat menjamin kegiatan pembangunan untuk

peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Secara umum keberhasilan pengelolaan

DAS bisa dilihat dari aspek-aspek: (1) Kemampuan mendukung produktivitas

optimum bagi kepentingan kehidupan (indikator ekonomi). (2) Pengelolaan yang

mampu memberikan manfaat secara merata bagi kepentingan kehidupan (indikator

sosial). (3) Pengelolaan yang mampu mempertahankan kondisi lingkungan untuk

tidak tergradasi (indikator lingkungan). (4) Pengelolaan dengan menggunakan

teknologi yang mampu dilaksanakan oleh kondisi penghidupan setempat, sehingga

menstimulir tumbuhnya sistem intitusi yang mendukung (indikator teknologi).

Berangkat dari permasalahan diatas dan keterbatasan sumberdaya pemerintah

untuk menyelesaikan, partisipasi semua pihak dalam pengelolaan sumberdaya air

tidak mungkin dihindari. Hal ini akan mendorong effektivitas dan sinergitas

pengelolaan mulai dari perencanaan hingga penentuan kebijakan atau aturan

tentang sumberdaya air. Persoalannya adalah belum sepenuhnya pemerintah

memandang peran kelompok masyarakat sangat diperlukan dalam seluruh proses

pembangunan sumberdaya air. Pemerintah melihat bahwa kewenangan dalam

penentuan kebijakan merupakan domain pemerintah. Masyarakat pengguna air dan

organisasi masyarakat sipil lainnya masih diposisikan terlibat dalam aktivitas

pengelolaan sumberdaya air yang hanya dalam bersifat fisik. Padahal tanpa

keterlibatan semua pihak, dikuatirkan proses pengambilan keputusan yang terkait

dengan kebijakan dan program akan jauh dari realitas.

B. Dasar Hukum Partisipasi Warga 2006 – 2009

Bersamaan dengan reformasi politik, maka langkah-langkah nyata untuk

meningkatkan keterlibatan warga, pemerintah pusat telah mengeluarkan beberapa

peraturan untuk memperluas peran warga dalam semua konteks pembangunan.

Beberapa landasan hukum yang secara tegas menyebutkan pentingnya peran dan

keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan adalah :

1. UU 32/2004 tentang Otonomi Daerah, dimana pemerintah memasukan bab

Partisipasi Masyarakat yang mencakup hak warga untuk mendapatkan

informasi tentang pelaksanaan pemerintahan daerah dan dilibatkan dalam

2

Page 3: PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI

proses-proses pemerintahan daerah (misalnya dalam perencanaan dan

penganggaran).

2. UU 7/2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air, dimana pemerintah secara

jelas mengakomodasi peran masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya air

mulai dari aspek perencanaan hingga penentuan kebijakan. Bahkan dalam

UU ini juga mendorong keikutsertaan masyarakat yang dicerminkan melalui

wakil CSO sebagai unsur dalam kelembagaan wilayah sungai.

3. Pada tingkat yang lebih mikro, Peraturan Presiden tentang PNPM Mandiri

akan menghubungkan perencanaan di tingkat komunitas dengan

perencanaan di pemerintahan daerah melalui mekanisme Musrenbang. Hal

ini akan mengubah karakter program yang tersentralisasi menjadi lebih

partispatif.

4. Sejumlah peraturan – perundangan lainnya baik di tingkat sector maupun

daerah berkenaan dengan perlunya keterlibatan masyarakat, LSM dan

oragnisasi masyarakat dalam proses pembangunan nasional dan daerah.

Melihat instrumen hukum dan kebijakan yang digunakan untuk mendorong

partisipasi, menunjukan bahwa polanya telah mengakomodasi prinsip-prinsip

partisipasi kedalam system hukum yang memiliki kekuatan di tingkat yang lebih

tinggi (Undang-undang). Namun yang menjadi masalah adalah prinsip partisipasi

cenderung diperlemah atau mengalami distorsi pada sisi eksekutif ketika

mengoperasionalkan kedalam instrumen yang tingkatnya lebih rendah (PP, SK).

Sehingga esensi partisipasi yang semula bersifat ideology yaitu masyarakat memiliki

hak (subjeck) atas pembangunan berubah menjadi masyarakat bagian dari proses

pembangunan (objeck). Dimana keterlibatannya pada aspek tehnis ketika

diperlukan. Karena itu, pertanyaan penting dalam pengembangan partisipasi

adalah bagaimana bekerjasama secara lebih dekat dengan pemerintah (pusat dan

daerah( untuk mengeksplorasi berbagai pengalaman yang baik serta kemungkinan

pelembagaan keberhasilan yang sudah terdapat. Ruang kebijakan yang ada dalam

kerangka hukum penting untuk didayagunakan dalam memperkuat partisipasi

dengan mendasarkan pada pengalaman nyata di tingkat lokal.

3

Page 4: PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI

C. PERAN ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL

Situasi Era Reformasi

Studi Stock Taking tahun 2006 yang dilakukan DRSP – USAID mencatat bahwa

iklim berpartisipasi bagi warga pada tahun-tahun belakangan ini menjadi lebih

kondusif dengan munculnya berbagai perubahan dalam sistem legal yang terkait

dengan tata pemerintahan daerah. Berbagai bentuk Organisasi Masyarakat Madani

(Civil Society Organization) yang meliputi ; organisasi massa, yayasan, perkumpulan

telah memanfaatkan keterbukaan ini di tingkat nasional maupun dalam skala yang

lebih kecil di tingkat lokal.

Namun tantangan pokok yang umumnya dihadapi kalangan CSO dalam

menjalankan perannya untuk memperkuat partisipasi masyarakat adalah kapasitas

sumberdaya yang terbatas. Upaya membangun jaringan diantara CSO dalam

mengkomunikasikan tuntutan kepada negara (pemerintah) terkait dengan isu publik

tidak selamanya berjalan sukses. Kalaupun berjalan sukses maka lebih dikarenakan

dukungan dan bahkan ketergantungan pada dukungan sumberdaya lembaga donor.

Ini terlihat dari pengalaman CSO yang tergabung dalam JKII untuk advokasi

sumberdaya air, FKKM dalam kasus advokasi UU Kehutanan dan lainnya. Problem

lain yang dihadapi kalangan CSO adalah kesulitan menyebarluaskan keberhasilan

yang telah diraih dari inisiatif-inisiatif di tingkat lokal ke wilayah lain sehingga dapat

menghasilkan dampak yang lebih luas.

Menyadari keterbatasan-keterbatasa tersebut, maka kalangan CSO mencoba

melakukan perubahan pendekatan advokasi dan diseminasi yaitu dengan focus

mempengaruhi para pembuat kebijakan di tingkat lokal. Hal ini seiring dengan

pergeseran kebijakan politik pembangunan yang lebih member ruang bagi

pemerintah daerah (desentralisasi). Hal ini Nampak terlihat dari inisiatif sejumlah

CSO melakukan advokasi penyusunan perda partisipatif dalam bidang kehutanan.

Misalnya penyusunan Perda Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat yang

dilakukan oleh di Kabupaten Wonosobo. Namun upaya ini gagal karena ditolak

oleh pemerintah daerah. Sementara upaya yang dilakukan oleh LP3ES di

Kabupaten Sumbawa dalam mendorong hak inisiatif DRPD dalam penyusunan

4

Page 5: PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI

Perda PSDHBM meski berhasil diwujudkan, namun implementasi programnya

sangat lambat dalam arti sedikit sekali hutan yang diserahkan masyarakat untuk

pengelolaannya.

Pada sisi lain, meski dari sisi advokasi kebijakan kurang cukup berhasil, banyak

ditemukan bukti-bukti bahwa CSOs telah melakukan upaya penguatan kelompok-

kelompok/organisasi-organisasi lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam.

Termasuk untuk bidang sumberdaya air. .Dimana dalam prosesnya, CSO ini juga

melakukan kerjasama secara intensif dengan pemerintah daerah. Upaya ini ternyata

banyak yang berjalan sukses terutama dalam mendorong akses dan partisipasi

masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sebagai contoh; kerjasama

sejumlah CSO dengan Dinas Kehutanan Termasuk keberhasilan Yayasan Damar

dalam mendorong dukungan pemerintah daerah Kulonprogo untuk memberikan

akses dan hak kelola lahan hutan kepada masyarakat untuk konservasi sumberdaya

air. Kerjasama Yayasan Rekonservasi Bhumi dengan Badan Pengelola Lingkungan

Hidup Propinsi Banten dalam memfasilitasi mekanisme pembayaran aur oleh

perusahaan kepada masyarakat dalam bentuk kegiatan konservasi.

Selain itu, juga telah berkembang inisiatif dari kelompok dan forum masyarakat

sendiri di beberapa daerah dalam pelaksanaan program hutan kemasyarakatan dan

konservasi sumberdaya air. Sebagai contoh; WPL (Warga Peduli Lingkungan) di

Kabupaten Bandung yang melakukan kegiatan pengolahan limbah rumah tangga

dan sanitasi di wilayah sungai Citarum. Hal yang sama dilakukan oleh Komunitas

Kali Code Jogyakarta yang mengorganisir masyarakat di bantaran sungai code

untuk penanganan limbah. Meskipun demikian, praktek-praktek positif baik yang

berasal dari CSO maupun kelompok masyarakat belum memperoleh respon yang

optimal dari pemerintah daerah untuk diterapkan di lokasi lain maupun pemerintah

daerah sekitarnya. Keberhasilan Yayasan Damar hanya terhenti di Kabupaten

Kulonprogo dan demikian pula untuk WPL yang belum diterapkan untuk wilayah di

sekitar sungai Citarum. Keberhasilan inisiasi ternyata tidak cukup berkembang dan

terpelihara dengan baik sehingga terkadang menimbulkan rasa ketidakyakinan

kalangan CSO terhadap kesungguhan pemerintah dalam membangun partisipasi

masyarakat.

5

Page 6: PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI

Perkembangan Sekarang

Masa tiga tahun terakhir ini masih diwarnai oleh berlanjutnya proses pengambilan

keputusan yang tertutup dan didominasi oleh elit, dengan terbatasnya akses

masyarakat terhadap informasi menyangkut proses dan keputusan pemerintah,

lemahnya akuntabilitas, tidak efisiennya pelayanan publik, serta masih maraknya

praktek korupsi. Realita tersebut telah membentuk agenda gerakan masyarakat sipil

yang bertujuan mendorong adanya transparansi dan akuntabilitas, serta mendesak

diterapkannya pendekatan kebijakan publik yang lebih melibatkan partisipasi aktif

warga, khususnya bagi perempuan, kelompok marjinal, dan penduduk di pedesaan.

Komitmen masyarakat sipil tersebut di atas sudah berlangsung beberapa waktu,

namun kembali memperoleh momentum untuk berkembang di berbagai daerah,

dengan perspektif yang lebih lebar yang memasukkan konsep ‘critical engagement’

dan ‘partnership’. Artinya, masyarakat madani belajar untuk memilih bentuk

keterlibatannya, menghindari sikap beroposisi ketika ada peluang untuk membangun

rasa saling percaya dan kerjasama untuk mencapai tujuan bersama, sambil tetap

berusaha memegang prinsip-prinsip independensi dalam relasinya dengan

pemerintah.

Sekalipun untuk isu sumberdaya air masih terbatas dibandingkan dengan untuk

konservasi (kehutanan), maka jika dikategorikan fokus dari keterlibatan berbagai

CSO dalam pengelolaan sumberdaya alam (air) terlihat lebih terspesialisasi sesuai

dengan kapasitas dan kompetensinya, sekalipun dari sisi arah tetap sama yaitu

mendorong pemerintah untuk lebih memperluas partisipasi masyarakat dalam

pembangunan baik dari sisi sector, proses dan iwlayahnya. Setidaknya ada 3

kategori peran dan bentuk keterlibatan CSO dalam konteks pengelolaan

sumberdaya alam (air) yaitu : Pertama, melakukan advokasi kebijakan melalui

kampanye, dialog dan asistensi pemerintah dan bahkan legislative untuk

mendorong perubahan aturan perundangan tentang sumberdaya alam (air) yang

lebih kondusif bagi masyarakat local. Kedua, memfasilitasi kegiatan

pengorganisasian dan pemberdayaan masyarakat untuk mengambil iisiatif yang

lebih kongrkit dan lebih aktif dalam pengelolaan sumberdaya alam (air). Sekaligus

6

Page 7: PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI

melakukan konsultatif dengan instasnai pemerintah terutama untuk mendapatkan

dukungan dalam bentuk aturan dan alokasi anggaran.

Diluar isu sumberdaya alam (air), kalangan CSO juga bergerak membentuk dan

memperkuat jaringan CSOs (termasuk Universitas) untuk menggali isu-isu

pembangunan lain bagi pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan penelitian dan

pemikiran sebagai input bagi para pengambil kebijakan di tingkat nasional. Upaya ini

dapat dilihat pada advokasi revisi Undang-Undang No. 32 tentang Pemerintahan

Daerah, perumusan Undang-Undang baru tentang Pemerintahan Desa, Undang-

Undang tentang Kebebasan Informasi (dengan melibatkan pemerintah daerah) dan

Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh. Jaringan CSO di tingkat provinsi juga

berkembang, seperti terlihat di Sulawesi Selatan dan Jawa Barat. Kegiatan yang

dilakukan oleh jaringan di tingkat provinsi ini adalah antara lain untuk memperkuat

kapasitas CSO maupun warga serta menyediakan masukan bagi kebijakan di tingkat

provinsi.

Fakta-fakta keberhasilan di atas ternyata belum sepenuhnya berkembang meluas di

semua daerah dan diterapkan pada sector pembangunan lainnya. Mengingat harus

disadari bahwa dalam kenyataannya masih ada sebagian dari aktor-aktor di

pemerintahan yang enggan untuk bekerja bersama dengan organisasi masyarakat

sipil. Disamping itu, juga tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada kelemahan internal

yang dilingkungan CSO sendiri. Menurut Dr Hetifah S, keberlanjutan peran dan

kerja CSO dalam mendorong proses perubahan pembangunan dengan partisipasi

masyarakat yang lebih meluas membutuhkan beberapa hal berikut:

Kejelasan mandat/peran dari berbagai aktor

Dukungan sumber daya yang lebih fleksibel dengan cara-cara pemberian

dukungan yang berkelanjutan

Internalisasi tentang hak dan pendekatan partisipasi, sehingga lepas dari

pendekatan proyek semata

Media massa yang lebih efektif, yang menuntut adanya jurnalis yang lebih

terinformasi dan mampu mengikuti isu-isu tata pemerintahan

Produksi dan disseminasi pengetahuan secara lebih sistematis

7

Page 8: PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI

Dalam menghadapi situasi yang cenderung lambat terhadap pengakuan partisipasi

masyarakat dan isu kerakyatan dalam proses pembangunan oleh birokrasi

pemerintah, sejumlah kalangan CSO telah melakukan langkah yang bersifat politik.

Setidaknya ada 3 (tiga) bentuk strategi yang telah dilakukan oleh berbagai CSO

dalam upaya meningkatkan peran dan pengaruh politiknya dalam 5 tahun terakhir

ini, yaitu :

Melakukan tawar menawar langsung dengan para politisi; Hal ini terlihat dari

kasus-kasus pilkada dan juga pemilihan legilatif 2009, dimana antara calon

anggota DPR/DPRD dan Bupati/Walikota dengan kalangan CSO dan warga

masyarakat melakukan kontrak politik berkenaan dengan pemihakan atas

masalah pemberdayaan atau pemihakan kepada rakyat seperti ; masalah

pendidikan, kesehatan, usaha kecil dan lingkungan.

Melakukan pencalonan diri untuk menjadi calon anggota legislatif atau calon

kepala daerah. Langkah ini dimaksudkan agar pembangunan yang

berorientasi kepada rakyat dan mengakomodasi partisipasi masyarakat

dapat dengan mudah diwujudkan. Sekalipun setelah berada di kekuasaan

namun kenyataannya agenda dan proses pembangunan pro kerakyatan tidak

banyak perubahan.

Membangun partai politik sebagai alat perjuangan politik organisasi

masyarakat madani. Pilihan pada dasarnya jauh lebih sulit mengingat

diantara organisasi masyarakat sipil terdapat perdaan yang sangat tajam

terkait dengan misi,visi dan pilihan politik. Karenanya strategi pembentukan

partai politik oleh kalangan CSO sering menemui jalan buntu.

D. KERANGKA KEBIJAKAN PELIBATAN CSO

Tingkat dan Bentuk Pelibatan CSO

Mendasarkan pada sejarah dan perkembangan peran dan partisipasi CSO dalam

pembangunan, terutama di bidang SDA telah menunjukan spectrum yang luas dan

dinamis dari sisi tingkat dan bentuknya. Dalam peran dan keterlibatannya, CSO

tidak lagi hanya sebagai pelaksana dalam mengorganisir partisipasi masyarakat dari

suatu program pemerintah melainkan juga ikut berperan dalam memfasilitasi proses

8

Page 9: PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI

penyusunan kebijakan (peraturan-perundangan) dan advokasi perubahan kebijakan,

Aktivitas keterlibatan CSO tidak terbatas di tingkat lapangan (lokasi.desa,kabupaten)

namun juga bergerak ke tingkat pusat pemerintahan (Jakarta). Dinamika peran ini

kemudian berimplikasi terhadap relasi, sasaran dan jaringan kerjanya. Kalau

semula kerja CSO hanya bertumpu pada masyarakat di tingkat desa dan pemerintah

kabupaten, maka dewasa ini hubungan semakin luas dengan legislative, media

massa, universitas dan bahkan perusahaan di pusat dan daerah.

Pada sisi lain, peranan organisasi di tingkat komunitas (kelompok-kelompok

masyarakat) juga telah mengalami perubahan yang signifikan. Kelompok ini pada

sebagian kasus kelompok masyarakat (KSM) tidak hanya menjadi organisasi yang

bersifat paguyuban dengan kegiatan pertemuan semata, simpan pinjam maupun

aktivitas tehnis administrative melainkan berubah dan berkembang sebagai lembaga

formal yang mampu memfasilitasi proses pemberdayaan dan pengorganisir

masyarakat dalam skala luas. Kelompok ini terutama para pengelolanya juga telah

mengalami peningkatan kapasitas, dimana dalam kerjanya juga mampu mendorong

proses fasilitasi perumusan aturan di tingkat desa, seperti ; peraturan desa.

Kesadaran masyarakat dalam melihat problematika pengelolaan sumberdaya air

telah mendorong kelompok fungsional untuk melakukan penggabungan atau

jaringan kerja dengan kelompok lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat

peran dan posisi sekaligus berfungsi sebagai wahana komunikasi dan kerjasama

untuk effektivitas pengelolaan.

Dengan demikian, kebijakan pelibatan CSO dalam pengelolaan sumberdaya air

seharusnya bersifat komprehensif. Hal ini dikarenakan ragam peran CSO yang tidak

hanya di bidang tehnis namun juga pada dimensi perubahan kebijakan baik melalui

advokasi maupun perumusan aturan perundangan. Sebagai salah satu actor yang

memiliki kapasitas di bidang pendekatan kemasyarakatan, maka peran CSO sangat

penting dalam mendukung proses pembangunan yang effektif. Karenanya

perannya tidak mungkin didistorsi hanya pada bidang pengorganisasian masyarakat

semata, diserahkan ke satu lembaga tertentu dan terbatas pada sector. Kebijakan

pelibatan CSO dalam pengelolaan sumberdaya air dalam lingkup berikut :

Bentuk dan Tingkat Peran CSO dalam Pengelolaan SDA

9

Page 10: PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI

Bentuk Keterlibatan Tingkatan PeranWilayah Sungai Propinsi Nasional

Bentuk Partisipasi a. Perbaikan fisik sungai dan konservasi

b. Kebijakan alokasi airc. Penyelesaian

sengketad. Penetapan aturan di

tingkat desa

a. Penentuan arah pengelolaan Sungai

b. Penentuan aturan kebijakan daerah

c. Perumusan strategi dan program pengelolaan sungai

a. Perumusan arah pengelolaan SDA

b. Perumusan aturan perundangan

c. Penentuan strategi dan program nasional pengelolaa sungai

Organisasi Pemeran a. Kelompok Tani (P3A) dan Gabungan

b. Forum2 Wargac. Komunitas

Adat/Agama

a. LSM Kabupaten/Propinsi

b. Media Massac. Organisasi adat

dan keagamaan

a. LSM Nasionalb. Lembaga Risetc. Asosiasi Profesid. Media massa

Fungsi/Peran a. Mendorong partisipasi warga

b. Memperkuat kapasitas warga

c. Memonitor kondisi persoalan sungai

d. Memberi input kebijakan kepada pemerintah dan dewan

a. Memperkuat peran dan kapasitas CSO dalam pengelolaan sungai

b. Melakukan kajian social ekonomi dalam pengelolaan sungai

c. Memberi input kebijakan kepada pemerintah propinsi/kabupaten

a. Menyusun kebijakan nasional tentang sumberdaya air

b. Melakukan monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan kebijakan

Mekanisme kelembagaan

TKPSA Dewan SDA Propinsi Dewan Nasional

Mekanisme Pelibatan dalam Dewan

Kriteria Pemilihan Lembaga

Mengingat jumlah CSO cukup banyak baik dari sisi ragam kegiatan, bentuk

organisasi maupun sebarannya, maka dipandang penting untuk menetapkan

kriteria lembaga yang dapat dilibatkan. Secara umum, criteria yang dapat

digunakan dalam pelibatan dalam Dewan adalah sebagai berikut :

a. Kejelasan/kepastian legalitas organisasi

b. Pengalaman dan kompeten dalam pengelolaan sumberdaya air

c. Kejelasan tata kelola organisasi

d. Jaringan kerja organisasi

e. Kejelasan kapasitas sumberdaya organisasi

Proses seleksi

10

Page 11: PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI

Sebagai bagian dari asas transparansi dan akuntabilitas, pemilihan lembaga tidak didasarkan pada proses dan mekanisme tertutup. Sehingga tidak menimbulkan sengketa dan penetapan lembaga yang tidak relevant. Proses pemilihan lembaga yang dapat dilibatkan dalam dewan dilakukan melalui proses sebagai berikut :

a. Penetapan Tim Seleksi. Tim harus bersifat independen dan berasal dari unsure yang relevant dan tidak memiliki konflik kepentingan.

b. Rekruitmen melalui penyebarluasan informasi ke public baik melalui iklan media massa, email dan lainnya

c. Seleksi yang meliputi ; administrsi, pengetahuan dan kompetensid. Penetapan kandidat lembaga dan penyebarluasan ke publice. Menghimpun masukan dan complain dari publik terkait calon/kandidat f. Penetapan lembaga definitive.

11