Paranoiddddd

51
BAB I PENDAHULUAN 1. Sejarah Besarnya masalah klinis skizofrenia secara terus-menerus telah menarik perhatian tokoh-tokoh utama psikiatri dan neurologi sepanjang sejarah gangguan ini. Dua tokoh tersebut adalah Emil Kraepelin (1856-1926) dan Eugen Bleuler (1857-1939). Sebelumnya, Benedict Morel (1809-1873), seorang psikiater perancis, menggunakan istilah demence precoce untuk pasien dengan penyakit yang dimulai pada masa remaja yang mengalami perburukan; Karl Ludwig Kahlbaum (1828-1899) menggambarkan gejala katatonia; Ewold Hacker (1843-1909) menulis mengenai perilaku aneh pada pasien dengan hebefrenia. 1 Kraepelin menerjemahkan istilah demence precoce dari Morel menjadi Demensia prekoks, suatu istilah yang menekankan proses kognitif (demensia) dan awitan dini (prekoks) yang nyata dari gangguan ini. Pasien dengan demensia prekoks digambarkan memiliki perjalanan penyakit yang memburuk dalam jangka waktu lama dan gejala klinis umum berupa halusinasi dan waham. Kraepelin membedakan pasien ini dengan mereka yang di klasifikasikan menderita psikosis-depresif yang mengalami 1

description

lkdhfldfhlsdhffldhildhlshgslhgslghsglshlvsv

Transcript of Paranoiddddd

BAB I

PENDAHULUAN1. Sejarah

Besarnya masalah klinis skizofrenia secara terus-menerus telah menarik perhatian tokoh-tokoh utama psikiatri dan neurologi sepanjang sejarah gangguan ini. Dua tokoh tersebut adalah Emil Kraepelin (1856-1926) dan Eugen Bleuler (1857-1939). Sebelumnya, Benedict Morel (1809-1873), seorang psikiater perancis, menggunakan istilah demence precoce untuk pasien dengan penyakit yang dimulai pada masa remaja yang mengalami perburukan; Karl Ludwig Kahlbaum (1828-1899) menggambarkan gejala katatonia; Ewold Hacker (1843-1909) menulis mengenai perilaku aneh pada pasien dengan hebefrenia.1

Kraepelin menerjemahkan istilah demence precoce dari Morel menjadi Demensia prekoks, suatu istilah yang menekankan proses kognitif (demensia) dan awitan dini (prekoks) yang nyata dari gangguan ini. Pasien dengan demensia prekoks digambarkan memiliki perjalanan penyakit yang memburuk dalam jangka waktu lama dan gejala klinis umum berupa halusinasi dan waham. Kraepelin membedakan pasien ini dengan mereka yang di klasifikasikan menderita psikosis-depresif yang mengalami episode nyata penyakit yang berselang-seling dengan periode berfungsi normal. Gejala utama pasien dengan paranoia adalah waham kejar persisten dan pasien tersebut digambarkan tidak begitu mengalami perjalanan penyakit demensia prekoks yang memburuk serta gejala intermiten psikosis manik-depresif. Meski Kraepelin telah mengakui bahwa sekitar 4% pasiennya sembuh sempurna dan 13% mengalami revisi yang signifikan, para peneliti dikemudian hari sering kali salah menyatakan bahwa Kraepelin menganggap demensia prekoks memiliki perjalanan penyakit dengan perburukan yang tak terhindarkan.1,2

Bleuler mencetuskan istilah skizofrenia, yang menggantikan demensia prekoks dalam literatur. Ia memilih istilah tersebut untuk menunjukan adanya skisme (perpecahan, pen.) antara pikiran, emosi, dan perilaku pada pasien dengan gangguan ini. Bleuler menekankan bahwa, tak seperti konsep Kraepelin tentang demensia prekoks, skizofrenia tak harus memiliki perjalanan penyakit yang memburuk. Sebelum dipublikasikannya edisi ketiga diagnostic and statistical manual of mental disoder (DSM III), insidensi skizifrenia di Amerika Serikat (dengan para psikiater mengikuti prinsip Bleuler) meningkat hingga mungkin mencapai dua kali insidensi di Eropa ( dengan para psikiater mengikuti prinsip Kraepelin). Setelah DSM III diterbitkan, diagnosis skizofrenia di Amerika Serikat beralih ke konsep Kraepelin. Namun, istilah skizofrenia dari Bleuler menjadi label yang diterima secara internasional untuk gangguan ini. Istilah ini sering disalah artikan, terutama oleh orang awam, sebagai kepribadian ganda. Kepribadian ganda, kini disebut gangguan identitas disosiatif, dikategorikan dalam DSM IV-TR sebagai gangguan disosiatif dan oleh sebab itu sepenuhnya berbeda dengan skizofrenia.1

Bleuler mengindentifikasikan gejala fundamental (atau primer) skizofrenia yang spesifik untuk membangun teori mengenai perpecahan mental interna pada pasien. Gejala tersebut meliputi gangguan asosiasi, khususnya kelonggaran; gangguan afektif, autisme, dan ambivalensi, yang dirangkumkan menjadi empat A: asosiasi, afek, autisme, dan ambivalensi. Bleuler juga mengidentifikasi gejala asesoris (sekunder), yang banyak menambah pemahaman mengenai skizofrenia.22. Prevalensi dan Epidemiologi

Di Amerika Serikat, prevalensi seumur hidup skizofrenia sekitar 1 %, yang berarti bahwa kurang lebih 1 dari 100 orang akan mengalami skizofrenia selama masa hidupnya. Studi epidemiologi Catchman Area (ECA) yang disponsori National Institute of Mental Health (NIMH) melaporkan prevalensi seumur hidup sebesar 0,6-1,9 %. Menurut DSM-IV-TR, insidensi tahunan skizofrenia berkisar antara 0,5-5,0 per 10 000 dengan beberapa variasi geografik ( contoh, insidens lebih tinggi pada orang yang lahir di daerah perkotaan di negara maju). Skizofrenia ditemukan pada semua masyarakat dan area geografis dan angka insidens serta prevalensinya secara kasar merata di seluruh dunia. Di A.S kurang lebih 0,05 % populasi total menjalani pengobatan untuk skizofrenia setiap tahun dan hanya sekitar setengah dari semua pasien skizofrenia mendapatkan pengobatan, meskipun penyakit ini termasuk penyakit berat.3Prevalensi (kemungkinan terjadi) gangguan skizofrenia dapat dilihat pada daftar di bawah ini:2,31. Populasi umum

1%

2. Saudara Kandung

8%-10%

3. Anak dengan salah satu orang tua skizofrenia12%-15%

4. Kembar 2 telur (dizigot)

12%-15%

5. Anak dengan kedua orang tua skizofrenia35%-40%

6. Kembar monozigot

47%-50%

DiIndonesiadiperkirakan satu sampai dua persen penduduk atau sekitar dua sampai empat juta jiwa akan terkena penyakit ini. Bahkan sekitar sepertiga dari sekitar satu sampai dua juta yang terjangkit penyakitskizofreniaini atau sekitar 700 ribu hingga 1,4 juta jiwa kini sedang mengidapskizofrenia. Perkiraan angka ini disampaikan Dr LS Chandra, SpKJ dari Sanatorium Dharmawangsa Jakarta Selatan. Tiga per empat dari jumlah pasienskizofreniaumumnya dimulai pada usia 16 sampai 25 tahun pada laki-laki. Pada kaum perempuan,skizofreniabiasanya mulai diidap pada usia 25 hingga 30 tahun. Penyakit yang satu ini cenderung menyebardiantara anggota keluarga sedarah.3BAB IIISI

2.1 Etiologi

Menurut model diatesis-stress terhadap integrasi faktor biologis, psikososial, dan lingkungan, seseorang mungkin memiliki kerentanan spesifik (diastesis) yang, bila diaktifkan oleh pengaruh yang penuh tekanan, memungkinkan timbul gejala skizofrenia. Pada model diatesis-stress yang paling umum, diastesis atau stress dapat berupa stress biologis, lingkungan, atau keduanya. Komponen lingkungan dapat bersifat biologis (contohnya, infeksi) atau psikologis (contohnya, situasi keluarga yang penuh tekanan atau kematia kerabat dekat). Dasar biologis diatesis dapat terbentuk lebih lanjut oleh pengaruh epigenetik, seperti penyalahgunaan zat, stress psikososial, dan trauma.41. Teori Neurotransmitter

Di dalam otak manusia terdapat berbagai macam neurotransmitter, yaitu substansi atau zat kimia yang bertugas menghantarkan impuls-impuls saraf. Ada beberapa neurotransmitter yang diduga berpengaruh terhadap timbulnya skizofrenia. Dua di antaranya yang paling jelas adalah neurotransmitter dopamine dan serotonin. Berdasarkan penelitian, pada pasien-pasien dengan skizofrenia ditemukan peningkatan kadar dopamine dan serotonin di otak secara relatif.4Gangguan neurokognisi adalah fitur utama pada episode pertama penderita skizofrenia. Gangguan tersebut membuat sistem kognisi tidak dapat bekerja seperti kondisi normal.42. Teori Genetik

Diduga faktor genetik juga berpengaruh terhadap timbulnya skizofrenia. Walaupun demikian, terbukti dari penelitian bahwa skizofrenia tidak diturunkan secara hukum Mendeell (jika orang tua skizofrenia, belum tentu anaknya skizofrenia juga). Dari penelitian didapatkan prevalensi sebagai berikut:4 Populasi umum

1%

Saudara Kandung

8%-10%

Anak dengan salah satu orang tua skizofrenia12%-15%

Kembar 2 telur (dizigot)

12%-15%

Anak dengan kedua orang tua skizofrenia

35%-40%

Kembar monozigot

47%-50%

Sampai saat ini, belum ada hal yang pasti mengenai penyebab skizopfrenia. Namun demikian peneliti-peneliti meyakini bahwa interaksi antara genetika dan lingkungan yang menyebabkan skizofrenia. Menurut Imransyah, bahwa hanya 10% dari genetika yang dapat menyebabkan skizofrenia, sedangkan Hawari (Arif, 2006) mengakui bahwa skizofrenia dapat dipicu dari faktor genetik. Namun jika lingkungan sosial mendukung seseorang menjadi pribadi yang terbuka maka sebenarnya faktor genetika ini bisa diabaikan. Namun jika kondisi lingkungan mendukung seseorang bersikap asosial maka penyakit skizofrenia menemukan lahan suburnya.4

Penelitian lain dari Clarke et al yang berjudul Evidence for an Interaction Between Familial Liability and Prenatal Exposure to Infection in the Causation of Schizophrenia (2009), menyebutkan bahwa Komplikasi kelahiran dan keluarga yang memiliki resiko psikotik terbukti menyebabkan skizofrenia dengan persentase resiko 38% - 46%.43. Predisposisi Genetika

Meskipun genetika merupakan faktor resiko yang signifikan, belum ada penanda genetika tunggal yang diidentifikasi. Kemungkinan melibatkan berbagai gen. Penelitian telah berfokus pada kromosom 6, 13, 18, dan 22. Resiko terjangkit skizofrenia bila gangguan ini ada dalam keluarga, yaitu satu orang tua yang terkena 12%-15%, kedua orang tua terkena penyakit ini resiko 35%-40%, saudara sekandung terjangkit resiko 8%-10%, kembar dizigotik yang terkena resiko 12%-15%, bila kembar monozigotik yang terkena resiko 47%- 50%.4Para ilmuwan sudah lama mengetahui bahwa skizofrenia diturunkan, 1% dari populasi umum tetapi 10% pada masyarakat yang mempunyai hubungan derajat pertama seperti orang tua, kakak laki laki ataupun perempuan dengan skizofrenia. Masyarakat yang mempunyai hubungan derajat ke dua seperti paman, bibi, kakek / nenek dan sepupu dikatakan lebih sering dibandingkan populasi umum. Kembar identik 40% sampai 65% berpeluang menderita skizofrenia sedangkan kembar dizigotik 12%. Anak dan kedua orang tua yang skizofrenia berpeluang 40%, satu orang tua 12 % (Makalah pembahas).4Lenzenweger, Mark et al. dalam jurnal Resolving The Latent Structure of Schizophrenia Endophenotypes Using Expectation-Maximization-Based Finite Mixture Modelling (2007) melakukan penelitian mengenai struktur laten fenotip pada beberapa subjek yang diindikasikan skizofrenia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek tersebut memiliki kecenderungan kepribadian skizotipal yang sangat berpotensi untuk mengarah pada gangguan psikotik.44. Abnormalitas Perkembangan Syaraf

Penelitian menunjukkan bahwa malformasi janin minor yang terjadi pada awal gestasi berperan dalam manifestasi akhir dari skizofrenia. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan saraf dan diidentifikasi sebagai resiko yang terus bertambah, meliputi individu yang ibunya terserang influenza pada trimester kedua, individu yang mengalami trauma atau cedera pada waktu dilahirkan, dan penganiayaan atau trauma di masa bayi atau masa anak-anak.45. Abnormalitas Struktur dan aktivitas Otak

Pada beberapa subkelompok penderita skizofrenia, teknik pencitraan otak (CT, MRI, dan PET) telah menujukkan adanya abnormalitas pada struktur otak yang meliputi pembesaran ventrikel, penurunan aliran darah ventrikel, terutama di korteks prefrontal penurunan aktivitas metaolik di bagian-bagian otak tertentu atrofi serebri. Ahli neurologis juga menemukan pemicu dari munculnya gejala skizofrenia. Pada para penderita skizofrenia diketahui bahwa sel-sel dalam otak yang berfungsi sebagai penukar informasi mengenai lingkungan dan bentuk impresi mental jauh lebih tidak aktif dibanding orang normal. Temuan ini bisa menjabarkan dan membantu pengobatan munculnya halunisasi dan gangguan pemikiran pasien skizofrenia, demikian menurut tim dari Harvard Medical School. Pada saat yang sama para ilmuwan memonitor gelombang otak partisipan dengan menggunakan alat electroencephalogram (EEG) yang bisa memberi informasi aktivitas elektrik otak. Kedua kelompok memberi respon terhadap gambar-gambar tersebut selama satu detik saja. Namun mereka yang menderita skizofrenia membuat lebih banyak kesalahan dan membutuhkan waktu lebih banya 200 milidetik dibanding yang sehat. 4Ketika para ilmuwan mengamati pola gelombang otak, mereka menemukan bahwa pasien skizofrenia memperlihatkan tidak adanya aktivitas pasti dalam gelombang otakknya ketika menekan tombol-tombol jawaban. Sementara partisipan yang sehat memiliki aktivitas gelombang gama yang bisa menjadi identifikasi bahwa otak mereka memproses informasi visual sebagai petunjuk responnya. Ada perbedaan yang sangat dramatis. Para penderita skizofrenia tidak memperlihatkan respons gama sama sekali, komentar Dr. Robert McCarley, pemimpin studi. Jika komunikasi yang paling efisien terjadi pada gelombang 40 hertz, maka penderita skizofrenia menggunakan frekuensi yang jauh lebih rendah. Ini sama saja artinya dengan mereka tidak mempunyai proses komunikasi yang efektif pada sel penukar informasi dan bagian otaknya.46. Ketidakseimbangan Neurokimia (neurotransmitter)

Skizofrenia memiliki basis biologis, seperti halnya penyakit kanker dan diabetes. Penyakit ini muncul karena ketidakseimbangan yang terjadi pada dopamine, yakni salah satu sel kimia dalam otak (neurotransmitter). Otak sendiri terbentuk dari sel saraf yang disebut neuron dan kimia yang disebut neurotransmitter. Penelitian terbaru bahkan menunjukkan serotonin, norepinefrin, glutamate, dan GABA juga berperan dalam menimbulkan gejala-gejala skizofrenia. Majorie Wallace, pimpinan eksekutif yayasan Skizofrenia SANE, London, berkomentar bahwa, di dalam otak terdapat miliaran sambungan sel. Setiap sambungan sel menjadi tempat untuk meneruskan maupun menerima pesan dari sambungan sel lainnya. Sambungan sel tersebut melepaskan zat kimia yang disebut neurotransmitter yang menbawa pesan dari ujung sambungan sel yang satu ke ujung sambungan sel yang lain. Di dalam otak penderita skizofrenia, terdapat kesalahan atau kerusakan pada sistem komunikasi tersebut. Biasanya mereka mengalami halusinasi.4Halusinasi selalu terjadi saat rangsangan terlalu kuat dan otak tidak mampu menginterpretasikan dan merespons pesan atau rangsangan yang datang. Penderita skizofrenia mungkin mendengar suara-suara atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada, atau mengalami suatu sensasi yang tidak biasa pada tubuhnya. Auditory hallucinations, gejala yang biasanya timbul, yaitu penderita merasakan ada suara dari dalam dirinya. Kadang suara itu dirasakan menyejukkan hati, memberi kedamaian, tapi kadang suara itu menyuruhnya melakukan sesuatu yang sangat berbahaya, seperti bunuh diri. Gejala lain adalah menyesatkan pikiran atau delusi, yakni kepercayaan yang kuat dalam menginterpretasikan sesuatu yang kadang berlawanan dengan kenyataan. Misalnya, pada penderita skizofrenia, lampu lalu lintas di jalan raya yang berwarna merah kuning hijau, dianggap sebagai suatu isyarat dari luar angkasa.47. Proses Psikososial dan Lingkungan

Proses psikososial dan lingkungan juga sangat berpengaruh untuk menyebabkan skizofrenia. Setiap orang pada umumnya memiliki kecenderungan untuk skizofrenia 1%. Pada individu yang memiliki hubungan dekat dengan seseorang yang terjangkit skizofrenia, kecenderungannya sekitar 10%. Jika seseorang hidup dalam lingkungan yang mendukung asosial, kemungkinan seseorang untuk mengidap skizofrenia tinggi. Namun bila sedeorang hidup dalam lingkungan yang terbuka, walaupun secara genetik dia memiliki kecenderungan skizofrenia, hal itu bisa diminimalisisr bahkan dihilangkan.4

Skizofrenia didiskusikan seoalah-olah suatu penyakit tunggal namun kategori diagnostiknya mencakup sekumpulan gangguan, mungkin dengan kausa yang heterogen tapi dengan gejala perilaku yang sedikit banyak serupa. Pasien skizofrenia menunjukkan presentasi klinis, respons terhadap terapi, dan perjalanan penyakit yang berbeda-beda.42.2 PatofisiologiNeurobiologi

Dalam satu dekade kebelakangan, terdapat peningkatan jumlah penelitian yang mengindikasikan adanya peran patofisiologis area otak tertentu, termasuk sistem limbik, korteks frontal, serebelum, dan ganglia basalis. Keempat area ini saling terhubung sehingga disfungsi satu area dapat melibatkan proses patologi primer di tempat lain.5 a. Hipotesis dopamin

Rumusan paling sederhana hipotesis dopamin tentang skizofrenia menyatakan bahwa skizofrenia timbul akibat aktivitas dopaminergik yang berlebihan. Teori ini berkembang berdasarkan dua pengamatan. Pertama, kemanjuran serta potensi sebagian besar obat antipsikotik, (yaitu, antagonis reseptor dopamin) berkorelasi dengan kemampuannya bertindak sebagai antagonis reseptor dopamin D2. Kedua, obat yang meningkatkan aktivitas dopaminergik, yang terkenal adalah amfetamin, bersifat psikotomimetik. Teori dasar ini tidak menguraikan apakah hiperaktivitas dopaminergik disebabkan pelepasan dopamin yang berlebihan, reseptor dopamin yang terlalu banyak, hipersensitivitas reseptor dopamin terhadap dopamin, atau kombinasi mekanisme tersebut. Jalur dopamin di otak yang terlibat juga tidak dirinci dalam teori ini, meski jalur mesokortikal dan mesolimbik paling sering disebut. Neuron dopaminegik di jalur tersebut menjulur dari badan sel di mesensefalon ke neuron dopaminoseptif di sistem limbik dan korteks serebri.5 Peran signifikan dopamin dalam patofisiologis skizofrenia sejalan dengan studi yang mengukur konsentrasi plasma metabolik utama dopamin, asam homovanilat. Sejumlah studi pendahuluan mengindikasikan bahwa pada kondisi eksperimental yang terkontrol secara saksama, konsentrasi asam homovanilat plasma dapat menggambarkan konsentrasi homovanilat di sistem saraf pusat. Studi tersebut melaporkan adanya korelasi positif antara konsentrasi asam homovanilat pra pengobatan yang tinggi dan dua faktor: keparahan gejala psikotik dan respons pengobatan terhadap obat antipsikotik. Studi mengenai asam homovanilat juga melaporkan bahwa setelah peningkatan sesaat, konsentrasi asam homovanilat plasma akan terus menurun. Penurunan ini berkolerasi dengan perbaikan gejala pada setidaknya beberapa pasien. Hipotesis dopamin tentang skizofrenia terus diperbaharui dan diperluas, dan reseptor dopamin baru terus diidentifikasi.5,6b. Neurotransmitter lain

Meski neurotransmitter dopamin telah menjadi pusat perhatian sebahagian besar penelitian skizofrenia, terdapat peningkatan perhatian yang ditujukan kepada neurotransmitter lain, setidaknya atas dua alasan. Pertama, karena skizofrenia cenderung merupakan gangguan yang heterogen, terdpaat kemungkinan bahwa abnormalitas padaneurotransmitter yang berbeda dapat menimbulkan sindrom perilaku yang sama. Sebagai contoh, zat halusinogen yang mempengaruhi serotonin, seperti asam lisergat dietilamid, dan zat yang mempengaruhi dopamin dalam dosis tinggi seperti amfetamin, dapat menyebabkan gejala psikotik yang sulit dibedakan dari skizofrenia. Kedua, penelitian neurosains menunjukkan bahwa suatu neuron tunggal dapat mengandung lebih dari satu neurotransmitter dan mungkin mempunyai reseptor neurotransmitter untuk setengah lusin neurotransmitter lainnya. Dengan demikian, berbagai neurotransmitter diotak terlibat dalam hubungan interaksional yang kompleks, dan fungsi yang abnormal dapat timbul akibat perubahan pada satu neurotransmitter yang manapun.6Serotonin telah menerima banyak perhatin dalam penelitian skizofrenia sejak dilakukannya pengamatan yang menyatakn bahwa obat antagonis serotonin-dopamin (SDA) contohnya, klozapin, risperidon, sertindol memiliki aktivitas terkait serotonin yang poten. Secara spesifik, antagonisme pada reseptor 5-HT2 serotonin ditekankan sebagai sesuatu yang penting dalam mengurangi gejala psikotik dan meredakan timbulnya gangguan pergerakkan terkait antagonisme-D2. Pemeriksaan profil afinitas reseptor untuk masing-masing antagonis serotonin-dopamin menunjukkan tidak adanya pola atau rasio aktivitas yang seragam selain afinitasnya terhadap reseptor 5-HT2 serotonin yang lebih tinggi dibanding terhadap reseptor D2. Klozapin memiliki afinitas tertinggi untuk reseptor histamin, sementara kuetiapin paling erat berikatan dengan reseptor adrenergik-alfa, dan ziprasidon merupakan satu-satunya anggota kelompok tersebut yang berinteraksi kuat dengan reseptor 5-HT1. Afinitas terhadap 5-HT2 dan D2 bervariasi dengan kisaran lebih dari 100 kali lipat dalam kelas obat ini. Meski demikian, masing-masing merupakan agen anti psikotik yang lebih efektif daripada ratusan senyawa terkait yang hanya berbeda sedikit afinitasnya. Oleh sebab itu, tampaknya berbagai sistem neurotransmitter berinteraksi dalam suatu keseimbangna tertentu untuk mengatur tanda dan gejala skizofrenia dan lebih lanjut, bahwa obat antipsikotik dapat memodulasi sirkuit ini dengan mengacaukan secara sama salah satu dari beberapa sistem neurotransmitter tersebut. Seperti yang diisyaratkan pada penelitian mengenai gangguan mood, aktivitas serotonin dianggap terlibat dalam perilaku impulsif dan bunuh duru yang juga dapat tampak pada pasien skizofrenik.6Sejumlah peneliti melaporkan bahwa pemberian obat antipsikotik jangka panjang menurunkan aktifitas neuron noradrenergik di lokus seruleus dan bahwa efek terapeutik beberapa obat anti psikotik mungkin melibatkan aktifitasnya pada reseptor adrenergik alfa dan adrenergik alfa-2. Meski hubungan antara aktifitas dopaminergik dan nonadrenergik masih belum jelas, terdapat peningkatan jumlah data yang menyatakan bahwa sistem nonadrenergik memodulasi sistem dopaminergik dalam suatu cara sehingga abnormalitas sistem nonadrenergik mempredisposisikan pasien untuk mengalami relaps yang sering.6,7Neurotransmitter asam amino inhibitorik, asam gama-amino butirat (GABA) juga dianggap terlibat dalam patofisiologi skizofrenia. Data yang tersedia sejalan dengan hipotesis bahwa sejumlah pasien skizofrenia mengalami kehilangan neuro GABA nergik di hipokampus. Hilangnya neuron GABA nergik inhibitorik secara teoritis dapat mengakibatkan hiperaktivitas neuron dopaminergik dan noradrenergik. Hipotesis yang tujukan tentang glutamat mencakup hiperaktivitas, hipoaktivitas, dan neurotoksisitas terinduksi gluatamat. Glutamat dilibatkan karena ingesti akut fensiklidin, suatu antagonis glutamat menimbulkkan sindrom yang meneyruapi skizofrenia.6,72.3 Gejala

Ada banyak gejala-gejala skizofrenia. Gejala-gejala ini dirumuskan oleh berbagai sumber. Menurut Diagnostic and Statistical Manual Of Mental Disorder IV-TR, gejala khas skizofrenia berupa adanya:71. Waham atau Delusi (keyakinan yang salah dan tidak bisa dikoreksi yang tidak sesuai dengan kenyataan, maupun kepercayaan, agama, dan budaya pasien atau masyarakat umum)

2. Halusinasi (persepsi panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar)

3. Pembicaraan kacau

4. Perilaku kacau

5. Gejala negatif (misalnya berkurangnya kemampuan mengekspresikan emosi, kehilangan minat, penarikan diri dari pergaulan sosial)

Selain itu untuk menegakkan diagnosa skizofrenia menurut DSM IV-TR (2008) adalah munculnya disfungsi sosial, durasi gejala khas paling sedikit 6 bulan, tidak termasuk gangguan perasaan (mood), tidak termasuk gangguan karena zat atau karena kondisi medis, dan bila ada riwayat Autistic Disorder atau gangguan perkembangan pervasive lainnya, diagnosis skizofrenia dapat ditegakkan bila ditemui halusinasi dan delusi yang menonjol selama paling tidak 1 bulan.5,7 Menurut Bleuler, ada 2 kelompok gejala-gejala skizofrenia, yaitu:7,81. Gejala Primer, yang meliputi:

a. Gangguan proses pikiran (bentuk, langkah dan isi pikiran). Pada skizofrenia inti, gangguan memang terdapat pada proses pikiran.

b. Gangguan afek dan emosi. Gangguan ini pada skizofren berupa:

1) Parathimi, yaitu apa yang seharusnya menimbulkan rasa senang dan gembira, pada penderita malah menimbulkan rasa sedih atau marah.

2) Paramimi, yaitu penderita merasa senang tetapi menangis

c. Gangguan kemauan, yaitu gangguan di mana banyak penderita skizofrenia memiliki kelemahan kemauan. Mereka tidak dapat mengambil keputusan dan tidak dapat bertindak dalam sebuah situasi menekan. Gangguan kemauan yang timbul antara lain:

1) Negativisme, yaitu sikap atau perbuatan yang negatif atau berlawanan terhadap suatu permintaan.

2) Ambivalensi, yaitu sikap yang menghendaki seseuatu yang berlawanan pada waktu yang bersamaan.

3) Otomatisme, yaitu penderita merasa kemauannya dipengaruhi oleh orang lain atau oleh tenaga dari luar, sehingga dia melakukannya secara otomatis.

d. Gejala psikomotor, disebut juga dengan gejala-gejala katatonik. Sebetulnya gejala katatonik sering mencerminkan gangguan kemauan. Bila gangguan hanya ringan saja, maka dapat dilihat gerakan-gerakan yang kurang luwes atau agak kaku.

2. Gejala Sekunder, yang meliputi:

a. Waham.

Pada penderita skizofrenia waham sering tidak logis sama sekali dan sangat bizar. Tetapi penderita tidak menginsafi hal ini dan untuk dia wahamnya merupakan fakta dan tidak dapat diubah oleh siapapun.

b. Halusinasi.

Pada penderita skizfrenia, halusinasi timbul tanpa penurunan kesadaran dan hal ini merupakan suatu gejala yang hampir tidak dijumpai pada keadaan lain.

Menurut Bleuler, seseorang didioagnosa menderita skizofrenia apabila terdapat gangguan-gangguan primer dan disharmoni pada unsur-unsur kepribadian yang diperkuat dengan adanya gejala-gejala sekunder.

Menurut Kut Schneider, terdapat 11 gejala skizofrenia yang terdiri dari 2 kelompok, yaitu sebagai berikut:81. Kelompok A, halusinasi pendengaran, yaitu:

a. Pikirannya dapat didengar sendiri

b. Suara-suara yang sedang bertengkar

c. Suara-suara yang mengomentari perilaku penderita

2. Kelompok B, gangguan batas ego, yang meliputi:

a. Tubuh dan gerakan penderita dipengaruhi oleh kekuatan dari luar

b. Pikirannya diambil keluar

c. Pikirannya dipengaruhi oleh orang lain

d. Pikirannya diketahui oleh orang lain

e. Perasaannya dibuat oleh orang lain

f. Kemauannya dipengaruhi orang lain

g. Dorongannya dikuasai orang lain

h. Persepsi yang dipengaruhi oleh waham

Menurut Kut Schneider, seseorang bisa didiagnosa penderita skizofrenia bila ada gejala dari kelompok A dan Kelompok B, dengan syarat kesadaran penderita tidak menurun.9,10Gejala lain yang diungkap adalah: 9,101. Gejala-Gejala Positif, yaitu penambahan fungsi dari batas normal, meliputi:a. Delusi.

Delusi adalah keyakinan yang oleh kebanyakan orang dianggap misinterpretasi terhadap realitas. Delusi memiliki bermacam-macam bentuk, yaitu delusion of grandeur (waham kebesaran) yaitu keyakinan irasional mengenai nilai dirinya, delusion of persecution yaitu yakin dirinya atau orang lain yang dekat dengannya diperlakukan dengan buruk oleh orang lain dengan cara tertentu, delusion of erotomanic yaitu keyakinan irasional bahwa penderita dicintai oleh seseorang yang lebih tinggi statusnya, delusion of jealous yaitu yakin pasangan seksualnya tidak setia, dan delusion of somatic yaitu merasa menderita cacat fisik atau kondisi medis tertentu.

b. Halusinasi

Gejala-gejala psikotik dari gangguan perseptual dimana berbagai hal dilihat didengar, atau diindera meskipun hal-hal itu tidak real (benar-benar ada).

2. Gejala-Gejala Negatif, yaitu pengurangan fungsi dari batas normal, meliputi:

a. Avolisi

Yaitu apati atau ketidakmampuan untuk memulai atau mempertahankan kegiatan-kegiatan penting.

b. Alogia

Yaitu pengurangan dalam jumlah atau isi pembicaraan.

c. Anhedonia

Yaitu ketidakmampuan untuk mengalami kesenangan yang terkaitu dengan beberapa gangguan suasana perasaan dan gangguan skizofrenik.

d. Afek Datar

Yaitu tingkah laku yang tampak tanpa emosi.

3. Gejala Disorganisasi, yaitu ketidakharmonisan fungsi, meliputi:

a. Disorganisasi dalam pembicaraan (Disorganized Speech)Gaya bicara yang sering terlihat pada penderita skizofrenia termasuk inkoherensi dan ketiadaan pola logika yang wajar.

a. Afek yang tidak pas (inappropriate Affect) dan perilaku yang disorganisasi. Afek yang tidak pas merupakan ekspresi emosi yang tidak sesuai dengan aslinya. Perilaku yang disorganisasi adalah perilaku yang tidak lazim.Untuk mendiagnosa seseorang skizofrenia, seseorang harus menunjukkan 2 atau lebih gejala positif, negatif, atau disorganisasi dengan porsi yang besar selama paling sedikit 1 bulan. 9,102.4 Diagnosis

Skizofrenia ditandai adanya distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar dan khas, dan adanya afek yang tidak wajar atau tumpul. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi ketiga (PPDGJ III) membagi simtom skizofrenia dalam kelompok-kelompok penting, dan yang sering terdapat secara bersama-sama untuk diagnosis. Cara diagnosis pasien skizofrenia menurut PPGDJ III antara lain harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas): 9,10a) Thought echo: isi pikiran diri sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda; atau

Thought insertion or withdrawal: isi pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal)

Thought broadcasting: isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya.

b) Waham dikendalikan (delusion of control). waham dipengaruhi (delusion of influence), atau "passivity", yang jelas merujuk pada pergerakan tubuh atau pergerakan anggota gerak, atau pikiran, perbuatan atau perasaan (sensations) khusus; persepsi delusional;

c) Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terha-dap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri. atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian rubuh;

d) Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap tidak wajar serta sama sekaJi mustahil, seperti misal-nya mengenai identitas keagamaan atau pulitik, atau kekuatan dan kemampuan "manusia super" (misalnya mampu mengen-dalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain);

Atau paling sedikit gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas dalam kurun waktu satu bulan atau lebih;7,8e) Halusinasi yang menetap dalam setiap modal itas. apabila disenai baik oleh waham yang mengambang/melayang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun oleh ide-ide berlebihan (over valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbu-lan-bulan terus-menerus;

f) Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolasi) yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), sikap tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas serea, negativisme, mutisme dan stupor;

h) Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat masa bodo (apatis), pembicaraan yang terhenti, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;i) Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tak bertujuan, sikap malas, sikap berdiam diri (self-absorbed attitude) dan penarikan diri secara sosial.

Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih. Kondisi-kondisi yang memenuhi persyaratan gejala tersebut tetapi yang lamanya kurang dari satu bulan (baik diobati atau tidak) harus didiagnosis pertama kali sebagai gangguan psikosis fungsional.9,10Skizofrenia paranoidIni adalah skizofrenia yang paling sering dijumpai. Gambaran klinis didominasi oleh waham yang relatif stabil, sering bersifat paranoid, disertai oleh halusinasi (terutama halusinasi pendengaran), dan gangguan persepsi. Gangguan afektif, kehendak, dan pembicaraan, serta gejala katatonik tidak menonjol. 8,9,10Pedoman diagnostik :

1) Memenuhi kriteria diagnostikskizofrenia2) Gejala tambahan :

Halusinasi dan atau waham harus menonjol :

a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberiperintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit, mendengung, atau bunyi tawa.

b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain perasaan tubuh halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.

c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau Passivity (delusion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling khas.

d) Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik secara relatif tidak nyata / menonjol.BAB IIITATALAKSANA

3.1. Terapi MedikamentosaObat-obatan yang digunakan untuk mengobati Skizofrenia disebut antipsikotik. Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan pola fikir yang terjadi pada Skizofrenia. Pasien mungkin dapat mencoba beberapa jenis antipsikotik sebelum mendapatkan obat atau kombinasi obat antipsikotik yang benar-benar cocok bagi pasien. Antipsikotik pertama diperkenalkan 50 tahun yang lalu dan merupakan terapi obat-obatan pertama yang efektif untuk mengobati Skizofrenia. Terdapat 2 kategori obat antipsikotik yang dikenal saat ini, yaitu antipsikotik konvensional dan newer atypical antipsycotics.9a. Antipsikotik Konvensional----

Obat antipsikotik yang paling lama penggunannya disebut antipsikotik konvensional. Walaupun sangat efektif, antipsikotik konvensional sering menimbulkan efek samping yang serius. Contoh obat antipsikotik konvensional antara lain :11,12,131. Haldol (haloperidol) 2. Mellaril (thioridazine)

3. Navane (thiothixene) 4. Prolixin (fluphenazine)

5. Stelazine (trifluoperazine)

6. Thorazine (chlorpromazine)

7. Trilafon (perphenazine)

Akibat berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan oleh antipsikotik konvensional, banyak ahli lebih merekomendasikan penggunaan newer atypical antipsycotic. Ada 2 pengecualian (harus dengan antipsikotik konvensional). Pertama, pada pasien yang sudah mengalami perbaikan (kemajuan) yang pesat menggunakan antipsikotik konvensional tanpa efek samping yang berarti. Biasanya para ahli merekomendasikan untuk meneruskan pemakaian antipskotik konvensional. Kedua, bila pasien mengalami kesulitan minum pil secara reguler. Prolixin dan Haldol dapat diberikan dalam jangka waktu yang lama (long acting) dengan interval 2-4 minggu (disebut juga depot formulations). Dengan depot formulation, obat dapat disimpan terlebih dahulu di dalam tubuh lalu dilepaskan secara perlahan-lahan. Sistem depot formulation ini tidak dapat digunakan pada newer atypic antipsycotic.9b. Newer Atypcal Antipsycotic

Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal karena prinsip kerjanya berbeda, serta sedikit menimbulkan efek samping bila dibandingkan dengan antipsikotik konvensional. Beberapa contoh newer atypical antipsycotic yang tersedia, antara lain :9,11,12 Risperdal (risperidone) Seroquel (quetiapine) Zyprexa (olanzopine)Pemilihan Obat untuk Episode (Serangan) Pertama

Newer atypical antipsycotic merupakan terapi pilihan untuk penderita Skizofrenia episode pertama karena efek samping yang ditimbulkan minimal dan resiko untuk terkena tardivedyskinesia lebih rendah. Biasanya obat antipsikotik membutuhkan waktu beberapa saat untuk mulai bekerja. Sebelum diputuskan pemberian salah satu obat gagal dan diganti dengan obat lain, para ahli biasanya akan mencoba memberikan obat selama 6 minggu (2 kali lebih lama pada Clozaril).9Pemilihan Obat untuk keadaan relaps (kambuh)

Biasanya timbul bila pendrita berhenti minum obat, untuk itu, sangat penting untuk mengetahui alasan mengapa penderita berhenti minum obat. Terkadang penderita berhenti minum obat karena efek samping yang ditimbulkan oleh obat tersebut. Apabila hal ini terjadi, dokter dapat menurunkan dosis menambah obat untuk efek sampingnya, atau mengganti dengan obat lain yang efek sampingnya lebih rendah. Apabila penderita berhenti minum obat karena alasan lain, dokter dapat mengganti obat oral dengan injeksi yang bersifat long acting, diberikan tiap 2- 4 minggu. Pemberian obat dengan injeksi lebih simpel dalam penerapannya. Terkadang pasien dapat kambuh walaupun sudah mengkonsumsi obat sesuai anjuran. Hal ini merupakan alasan yang tepat untuk menggantinya dengan obat obatan yang lain, misalnya antipsikotik konvensonal dapat diganti dengan newer atipycal antipsycotic atau newer atipycal antipsycotic diganti dengan antipsikotik atipikal lainnya. Clozapine dapat menjadi cadangan yang dapat bekerja bila terapi dengan obat-obatan diatas gagal.9Pengobatan Selama fase Penyembuhan

Sangat penting bagi pasien untuk tetap mendapat pengobatan walaupun setelah sembuh. Penelitian terbaru menunjukkan 4 dari 5 pasien yang behenti minum obat setelah episode petama Skizofrenia dapat kambuh. Para ahli merekomendasikan pasien-pasien Skizofrenia episode pertama tetap mendapat obat antipskotik selama 12-24 bulan sebelum mencoba menurunkan dosisnya. Pasien yang mendertia Skizofrenia lebih dari satu episode, atau balum sembuh total pada episode pertama membutuhkan pengobatan yang lebih lama. Perlu diingat, bahwapenghentian pengobatan merupakan penyebab tersering kekambuhan dan makin beratnya penyakit.10Efek Samping Obat-obat Antipsikotik

Karena penderita Skizofrenia memakan obat dalam jangka waktu yang lama, sangat penting untuk menghindari dan mengatur efek samping yang timbul. Mungkin masalah terbesar dan tersering bagi penderita yang menggunakan antipsikotik konvensional gangguan (kekakuan) pergerakan otot-otot yang disebut juga Efek samping Ekstra Piramidal (EEP). Dalam hal ini pergerakan menjadi lebih lambat dan kaku, sehingga agar tidak kaku penderita harus bergerak (berjalan) setiap waktu, dan akhirnya mereka tidak dapat beristirahat. Efek samping lain yang dapat timbul adalah tremor pada tangan dan kaki. Kadang-kadang dokter dapat memberikan obat antikolinergik (biasanya benztropine) bersamaan dengan obat antipsikotik untuk mencegah atau mengobati efek samping ini.10

Efek samping lain yang dapat timbul adalah tardive dyskinesia dimana terjadi pergerakan mulut yang tidak dapat dikontrol, protruding tongue, dan facial grimace. Kemungkinan terjadinya efek samping ini dapat dikurangi dengan menggunakan dosis efektif terendah dari obat antipsikotik. Apabila penderita yang menggunakan antipsikotik konvensional mengalami tardive dyskinesia, dokter biasanya akan mengganti antipsikotik konvensional dengan antipsikotik atipikal. Obat-obat untuk Skizofrenia juga dapat menyebabkan gangguan fungsi seksual, sehingga banyak penderita yang menghentikan sendiri pemakaian obat-obatan tersebut. Untuk mengatasinya biasanya dokter akan menggunakan dosis efektif terendah atau mengganti dengan newer atypical antipsycotic yang efek sampingnya lebih sedikit.10

Peningkatan berat badan juga sering terjadi pada penderita Sikzofrenia yang memakan obat. Hal ini sering terjadi pada penderita yang menggunakan antipsikotik atipikal. Diet dan olah raga dapat membantu mengatasi masalah ini. Efek samping lain yang jarang terjadi adalah neuroleptic malignant syndrome, dimana timbul derajat kaku dan termor yang sangat berat yang juga dapat menimbulkan komplikasi berupa demam penyakit-penyakit lain. Gejala-gejala ini membutuhkan penanganan yang segera.103.2 Psikoterapi

Elemen penting dalam psikoterapi adalah menegakkan hubungan saling percaya. Terapi individu lebih efektif dari pada terapi kelompok. Terapis tidak boleh mendukung ataupun menentang waham, dan tidak boleh terus-menerus membicarakan tentang wahamnya. Terapis harus tepat waktu, jujur dan membuat perjanjian seteratur mungkin. Tujuan yang dikembangkan adalah hubungan yang kuat dan saling percaya dengan klien. Kepuasan yang berlebihan dapat meningkatkan kecurigaan dan permusuhan klien, karena disadari bahwa tidak semua kebutuhan dapat dipenuhi. Terapis perlu menyatakan pada klien bahwa keasyikan dengan wahamnya akan menegangkan diri mereka sendiri dan mengganggu kehidupan konstruktif. Bila klien mulai ragu-ragu dengan wahamnya, terapis dapat meningkatkan tes realitas.11,12,13

Sehingga terapis perlu bersikap empati terhadap pengalaman internal klien, dan harus mampu menampung semua ungkapan perasaan klien, misalnya dengan berkata : "Anda pasti merasa sangat lelah, mengingat apa yang anda lalui, "tanpa menyetujui setiap mis persepsi wahamnya, sehingga menghilangnya ketegangan klien. Dalam hal ini tujuannya adalah membantu klien memiliki keraguan terhadap persepsinya. Saat klien menjadi kurang kaku, perasaan kelemahan dan inferioritasnya yang menyertai depresi, dapat timbul. Pada saat klien membiarkan perasaan kelemahan memasuki terapi, suatu hubungan terapeutik positif telah ditegakkan dan aktifitas terpeutik dapat dilakukan.113.3 Perawatan di Rumah Sakit (Hospitalization)

Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik, menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh, prilaku yang sangat kacau termasuk ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar. Tujuan utama perawatan dirumah sakit yang harus ditegakkan adalah ikatan efektif antara pasien dan sistem pendukung masyarakat. Rehabilitasi dan penyesuaian yang dilakukan pada perawatan rumah sakit harus direncanakan. Dokter harus juga mengajarkan pasien dan pengasuh serta keluarga pasien tentang skizofrenia. Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan membantu mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan rumah sakit tergantung dari keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan. Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke arah masalah kehidupan, perawatan diri, kualitas hidup, pekerjaan, dan hubungan sosial. Perawatan di rumah sakit harus diarahkan untuk mengikat pasien dengan fasilitas perawatan termasuk keluarga pasien. Pusat perawatan dan kunjungan keluarga pasien kadang membantu pasien dalam memperbaiki kualitas hidup.113.4 ECT

Selain anti psikosis, terapi psikososial ada juga terapi lainnya yang dilakukan di rumah sakit yaitu Elektro Konvulsif Terapi (ECT). Terapi ini diperkenalkan oleh Ugo Cerleti (1887-1963). Mekanisme penyembuhan penderita dengan terapi ini belum diketahui secara pasti. Alat yang digunakan adalah alat yang mengeluarkan aliran listrik sinusoid sehingga penderita menerima aliran listrik yang terputus putus. Tegangan yang digunakan 100-150 Volt dan waktu yang digunakan 2-3 detik. Indikasi pemberian terapi ini adalah pasien skizofrenia katatonik dan bagi pasien karena alasan tertentu karena tidak dapat menggunakan antipsikotik atau tidak adanya perbaikan setelah pemberian antipsikotik. Kontra indikasi Elektro konvulsiv terapi adalah dekompensasio kordis, aneurisma aorta, penyakit tulang dengan bahaya fraktur tetapi dengan pemberian obat pelemas otot pada pasien dengan keadaan diatas boleh dilakukan. Kontra indikasi mutlak adalah tumor otak. Sebagai komplikasi terapi ini dapat terjadi luksasio pada rahang, fraktur pada vertebra, robekan otot-otot, dapat juga terjadi apnea, amnesia dan terjadi degenerasi sel-sel otak.113.5 Prognosis

Sekarang dengan pengobatan modern ternyata, bahwa bila penderita itu datang berobat dalam tahun pertama seteiah serangan pertama, maka kira-kira sepertiga dari mereka akan sembuh sama sekali ("full remission atau recovery''). Sepertiga yang lain dapat dikembalikan ke masyarakat walaupun masih didapati cacat sedikit dan mereka masih harus sering diperiksa dan diobati selanjutnya ("social recovery"). Yang sisanya biasanya mempunyai prognosa yang jelek, mereka tidak dapat berfungsi di dalam masyarakat dan menuju kekemunduran mental, sehingga mungkin menjadi penghuni tetap di rumah sakit jiwa.11Untuk menetapkan prognosa kita harus mempertimbangkan semua faktor di bawah ini ; 111. Kepribadian prepsikotik : bila skizoid dan hubungan antar-manusia memang kurang memuaskan, maka prognosa lebih jelek.2. Bila skizofrenia timbul secara akut, maka prognosa lebih baik daripada bila penyakit itu mulai secara pelan-pelan.

3. Jenis : Prognosa jenis katatonik yang paling baik dari semua jenis. Sering penderita-penderita dengan katatonia sembuh dan kembali ke kepribadian prepsikoti. Kemudian menyusul jenis paranoid. Banyak dari penderita ini dapat dikembalikan ke masyarakat. Hebefrenia dan skizofrenia simplex mempunyai prognosa yang sama jelek. Biasanya penderita dengan jenis skizofrenia ini menuju ke arah kemunduran mental.

4. Umur : Makin muda umur permulaannya, makin jelek prognosa.

5. Pengobatan : Makin lekas diberi pengobatan, makin baik prognosanya. Dikatakan bahwa bila terdapat faktor pencetus, seperti penyakit badaniah atau stres psikologik, maka prognosa lebih baik.

6. Faktor keturunan : prognosa menjadi lebih berat bila di dalam keluarga terdapat seorang atau lebih yang juga menderita skizofrenia.BAB IVPENUTUP

4.1 Kesimpulan

Skizofreniaadalahsuatu deskripsi dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya.

Daftar Pustaka

1. Shishkov R, Georgieva M, Nikolova L. Life Events With Stressful Effect On Patients With Schzophrenia According to The Sex and Age. Journal of IMAB - Annual Proceeding (Scientific Papers) 2012;18: 280-284.2. Birawati S. Skizofrenia Katatonik Dengan Riwayat Genetik Keluarga Pada Ibu Rumah Tangga Dewasa Yang Tidak Bekerja (Suami : Menggantungkan Hidup Kepada Anak-Anak Mereka). Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, Lampung 2013;1(3):77-81.3. Putri PK dan Ambarini TK. Makna Hidup Penderita Skizofrenia Pasca Rawat Inap. Jurnal Psikologi klinis dan Kesehatan Mental, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya 2012;1:145-150.4. World Health Organization. Living With Schizophrenia. World Mental Health Day 2014 Geneva, Switzerland 2014;1:3-13.5. Maskowitz A. Schizophrenia, Trauma, Dissociation, and Scientific Revolutions. Journal of Trauma & Dissociation. France. 2011;12: 347-357.6. Juruena MF, Sena EP, Oliveira IR. Sertindole in the Management of Schizophrenia. Journal of Central Nervous System Disease 2011;3:75-85.7. Nasrallah HA. Schizophrenia Research Abstract of the 4th Biennial Schizophrenia International Research Conference. Elsevier. Florence, Italy 2014; 153: 160-178.8. Frese FJ, knight EL, Sacks E. Recovery From Schizophrenia: With Views of Psychiatrists, Psychologists, and Others Diagnosed With This Disorder. Schizophrenia Bulletin. Oxford University, USA 2009;35: 370-380.9. Prakash J and Mitra AK. Management of Negative Symptoms in Schizophrenia: Looking Positively. Delhi Psychiatry Journal. India 2008;11:32-40.10. Poublon NA and Haagh M. The Efficacy of ECT in The Treatment of Schizophrenia A Systematic Review. Department of Psychiatry, Erasmus MC University Medical Center Rotterdam, the Netherlands 2011;2:16-21.11. Dixon L. Providing Services to Families of Persons With Schizophrenia: Present and Future. The Journal of Mental Health Policy and Economics J. Mental Health Policy Eco 2012; 2: 38.12. Triharim KS. Terapi Suportif dan Psikoedukasi Untuk Meningkatkan Pemahaman Diri Pada Penderita Skizofrenia Paranoid. Procedia Studi Kasus dan Intervensi Psikologi, Jakarta 2013; 1: 46-51.13. Tando R, Gaebel W, Barch D, et al Definition and Description of Schizophrenia in the DSM-5. Elseviere Schizophrenia Research USA 2013;3:2-8.34