PARADIGMA PENDIDIKAN KARAKTER SISWA DARI · PDF fileKATA PENGANTAR iii DAFTAR ISI iv ... siswa...

14
PARADIGMA PENDIDIKAN KARAKTER SISWA DARI BISA MENJADI MAU MELALUI KONSEP 3 M Disusun Oleh : ASERANI, S.Pd NIP. 196302031994031005 Guru SMK Negeri 1 Tanjung Diajukan dalam rangka mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah Kepala Sekolah dan Guru Se-Kabupaten Tabalong Tahun 2011

Transcript of PARADIGMA PENDIDIKAN KARAKTER SISWA DARI · PDF fileKATA PENGANTAR iii DAFTAR ISI iv ... siswa...

PARADIGMA PENDIDIKAN KARAKTER SISWA

DARI BISA MENJADI MAU MELALUI KONSEP 3 M

Disusun Oleh :

ASERANI, S.Pd NIP. 196302031994031005

Guru SMK Negeri 1 Tanjung

Diajukan dalam rangka mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah Kepala Sekolah dan Guru Se-Kabupaten Tabalong

Tahun 2011

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, atas izin Allah SWT. dapatlah kami menyusun karya tulis

ini, dalam rangka mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah Kepala Sekolah dan Guru

se-Kabupaten Tabalong tahun 2011.

Harapan kami, kiranya karya tulis ini layak menjadi peserta dalam lomba

tersebut.

Kepada semua pihak yang cukup banyak membantu kami dalam proses

penyusunan karya tulis ini, sebelum dan sesudahnya kami haturkan banyak terima-

kasih.

Kiranya karya tulis yang sederhana ini dapat memberikan manfaat dan

pencerahan, khususnya kami sendiri dan pihak praktisi pendidikan di Kabupaten

Tabalong, ke arah penerapan Pendidikan Karakter Siswa di tingkat sekolah.

Hanya kepada Allah-lah kita serahkan semua urusan. Semoga kita semua

selalu dalam naungan ridha-Nya. Amin.

Tanjung, 14 September 2011

Penyusun,

iii

DAFTAR ISI HAL :

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI iv

PARADIGMA PENDIDIKAN KARAKTER SISWA DARI BISA

MENJADI MAU MELALUI KONSEP 3 M 1

A. Latar Belakang dan Masalah 1

B. Pemecahan Masalah 3

1. Konsep 3 M Sebuah Alternatif 3

2. Apa Itu 3 M 4

3. Penerapan 3 M dalam Pendidikan Karakter Siswa 5

C. Kesimpulan 9

Daftar Pustaka 9

IDENTITAS PESERTA LOMBA KARYA TULIS ILMIAH

KEPALA SEKOLAH DAN GURU SE KABUPATEN TABALONG

TAHUN 2011

iv

PARADIGMA PENDIDIKAN KARAKTER SISWA

DARI BISA MENJADI MAU MELALUI KONSEP 3 M

A. Latar Belakang dan Masalah

Undang-undang Dasar 1945 (versi Amandemen), pasal 31, ayat 3 menye-

butkan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan

nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam

rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”

Kemudian, pada ayat 5 disebutkan, “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan

teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk

memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”

Penjabaran UUD 1945 pasal 31, ayat 3 dan 5 di atas, dapat dilihat pada

Undang-undang Nomor 20, tahun 2003 tentang Pendidikan, dinyatakan bahwa :

“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk

watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar

menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga nega-

ra yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Dari pernyataan di atas (UUD 1945 pasal 31 ayat 3 dan 5 dan UU no. 20

tahun 2003 tentang Pendidikan), jelaslah bahwa tujuan pendidikan nasional yang

hendak dicapai adalah untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang tidak

hanya memiliki kemampuan intelektual dan skill, tetapi juga menjadikan manusia

Indonesia yang bermartabat, berakhlak mulia dan berperadaban. Amanah dan ha-

rapan undang-undang inilah yang kemudian dikembangkan melalui konsep pendi-

dikan karakter siswa dengan mengedepankan pendidikan nilai, budi pekerti, akhlak

mulia, watak dan kepribadian sebagai landasan utama dan dasar garapannya, de-

ngan tujuan agar peserta didik mampu memilih dan memilah mana yang baik, mana

yang buruk, serta mengambil sikap dan keputusan yang lebih baik.

1

Memberikan layanan pendidikan di tingkat sekolah, dengan memadukan

konsep intelektual, skill dan sentuhan-sentuhan moralitas ke dalam sebuah sajian

pembelajaran yang menyatu, terpadu dan menyeluruh kepada peserta didik, bu-

kanlah sesuatu yang mudah atau gampang. Walaupun sudah begitu banyak konsep,

strategi dan upaya-upaya lainnya yang dilakukan oleh berbagai lembaga pendidik-

an, namun sejak dulu hingga hari ini, ada saja kendala yang menyebabkan kurang

berhasilnya upaya ini. Banyak faktor memang penyebabnya, antara lain munculnya

degradasi moral yang tidak saja menimpa kalangan pelajar dan mahasiswa, bahkan

nampaknya sudah mewabah dalam masyarakat sedemikian luas. Secara kasat mata

degradasi moral itu tampak pada perilaku keseharian masyarakat, seperti dianta-

ranya tergesernya nilai akhlak dan sopan santun. Berbagai kasus yang tidak sejalan

dengan tuntunan agama, etika, moralitas, sopan santun atau perilaku yang menun-

jukkan rendahnya karakter telah sedemikian marak dalam masyarakat. Lebih mem-

prihatinkan lagi, justeru perilaku itu banyak dilakukan oleh orang-orang yang ter-

didik. Ini membuktikan bahwa peran pendidikan selama ini nampaknya kurang ber-

hasil dalam mendidik watak (karakter) yang terpuji bagi peserta didiknya. Dalam

kondisi yang demikian, kiranya cukup beralasan jika seluruh warga masyarakat,

terlebih-lebih para praktisi pendidikan untuk turut ambil bagian dalam memikirkan

dan mencari berbagai alternatif solusi agar eksistensi dan keberlangsungan pendi-

dikan karakter siswa terus langgeng, meningkat dan membuahkan hasil yang sarat

akan makna bagi peningkatan intelektual, skill dan moralitas peserta didik. Untuk

itu, izinkanlah kami dalam kesempatan Lomba Karya Tulis Ilmiah Kepala Sekolah

dan Guru se-Kabupaten Tabalong kali ini, memberikan sumbangan pemikiran yang

kami kemas dalam simpulan judul “Paradigma Pendidikan Karakter Siswa Dari

Bisa Menjadi Mau Melalui Konsep 3 M”.

Judul di atas kami pilih karena pelaksanaan pendidikan di tingkat sekolah

selama ini, kami nilai masih berkotak atau lebih dominan pada “konsep bisa” saja.

Upaya-upaya sekolah dalam mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didiknya

lebih diarahkan agar mereka “bisa”, belum menyentuh atau masih belum diupaya-

kan secara maksimal bagaimana agar peserta didik “setelah mereka bisa, kemudian

mau untuk menerapkannya sendiri dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab”.

2

Contoh kasus sederhana dapat kita tunjukkan sebagai berikut : Coba kita amati

bersama bagaimana peserta didik kita mengamalkan dari apa yang sudah mereka

ketahui. Apakah kesadaran dan jiwanya benar-benar sudah bangkit dengan ilmunya

itu?. Misalnya, kalau kita ajukan pertanyaan kepada mereka, “Apa hukumnya sha-

lat lima waktu?, serempak pasti mereka menjawab, “wajib!”. “Lalu, apa pengerti-

an wajib itu?, mereka menjawab pula , “Kalau dikerjakan berpahala, ditinggalkan

berdosa”. “Apa ganjaran orang-orang yang banyak pahalanya?”, tanpa ragu-ragu

mereka jawab, “Masuk sorga”. “Lalu apa pula ganjaran bagi orang-orang yang

banyak dosanya?”, dengan tanpa ragu-ragu pula mereka menjawab, “masuk ne-

raka”. “Sekarang, kalian mau pilih yang mana? mau masuk sorga atau neraka?”,

dengan antusias mereka pasti pilih, “Masuk sorga!”. Beberapa saat setelah dialog

ini berlangsung, tiba-tiba terdengar kumandang adzan Dzuhur dari masjid atau

mushalla sekolah. Coba kita amati lagi, seberapa banyak peserta didik kita yang

bersegera masuk masjid atau mushalla untuk shalat dzuhur berjamaah, dengan

kesadaran sendiri. Tidak perlu dijawab, sebab kenyataannya sudah dapat kita tebak

sendiri.

B. Pemecahan Masalah

1. Konsep 3 M Sebuah Alternatif

Mungkin mengajarkan shalat kepada peserta didik, bukan sesuatu hal yang

sulit. Tinggal hafalkan bacaannya, lalu ajarkan bagaimana mempraktekkannya,

selesai. Yang sulit adalah bagaimana caranya agar setelah peserta didik bisa shalat,

lalu mau shalat sendiri, tanpa disuruh.

Demikian juga, mengajarkan peserta didik baca Al-Qur’an, juga bukan se-

suatu hal yang sulit, apalagi sekarang ini begitu banyak metode plus buku dan kaset

atau CDnya tentang bagaimana mengajarkan Al-Qur’an dengan mudah dan praktis,

mulai dari metode Iqra’, Al-Barqi, Al-Banjari, Tahsinul Qur’an, QRQ (Quantum

Reading Qur’an), Ummi dan masih banyak lagi metode lain yang tentunya semakin

3

mempermudah dalam mengajarkan atau mempelajari bacaan Al-Qur’an. Yang sulit

adalah, bagaimana mendidik peserta didik agar mau dan punya kesadaran untuk

belajar Al-Qur’an, tanpa setiap saat harus disuruh dan diingatkan. Atau setelah

peserta didik bisa membaca Al-Qur’an, lalu terbiasa membaca Al-Qur’an, tanpa

disuruh oleh siapapun.

Mengajarkan perbuatan baik pada peserta didik, juga bukan suatu hal yang

sulit. Yang sulit adalah bagaimana agar peserta didik terbiasa dan mencintai per-

buatan baik.

Merubah perilaku dari bisa menjadi mau merupakan sebuah paradigma yang

pelu kita pikirkan dan upayakan agar menjadi karakter yang mengkristal dalam diri

peserta didik kita, sehingga kita tidak perlu susah-susah lagi mengarahkan, menyu-

ruh bahkan memaksa mereka untuk melaksanakan apa yang sudah mereka ketahui,

karena dengan kesadaran sendiri mereka mau dan ikhlas melaksanakannya. Untuk

sampai dan mencapai kondisi ini tentu bukanlah hal yang mudah atau gampang. Ia

memerlukan sebuah konsep yang matang dan strategi pembelajaran yang tepat dan

akurat serta perlu rentang waktu yang tersedia dan relatif lama dalam memproses

perubahan ini.

Alternatif pilihan dalam merubah atau meningkatkan karakter siswa, dari

bisa menjadi mau, kami memakai sebuah konsep sederhana yang kami rancang

sendiri, yaitu “3 M”.

2. Apa Itu 3 M

3 M adalah singkatan dari Mata kepala, Mata hati dan Mata kaki, merupa-

kan tiga komponen yang ada dalam diri manusia dan dapat dijadikan acuan didalam

penerapan dan pengembangan pendidikan karakter siswa.

Sebagai ilustrasi, misalnya suatu waktu kita melihat dengan mata kepala,

seorang gadis kecil sedang meminta-minta di pinggir jalan. Meski berjilbab rapi,

namun bajunya nampak kumal, kotor dan beberapa tambalan. Ia tidak bisa berjalan,

karena kakinya buntung sampai lutut. Wajahnya yang memelas didukung dengan

airmata berlinang, membuat semua orang merasa iba dan prihatin. Sikap apa yang

4

kita tunjukkan ketika melihat kondisi tersebut. Dari mata kepala turun ke mata ha-

ti, lalu muncullah tanggapan atau komentar di hati kita, “duh, kasihan sekali”. Dari

rintihan hati yang kita rasakan ini, kemudian menjalar ke bawah, ke mata kaki kita,

hingga dengan serta merta kita segera merogoh kantong baju atau kantong celana

kita, untuk sedekar memberikan sedekah kepada pengemis gadis kecil tersebut.

Ilustrasi di atas hanyalah sebuah kisah yang mungkin sering kali kita temui,

namun sering pula tidak kita perhatikan dan tidak kita jadikan obyek pendidikan

yang berharga buat peserta didik kita dalam rangka penanaman dan pembiasaan

bersikap dan berbuat yang baik terhadap orang lain, terlebih-lebih terhadap mereka

yang lemah, papa tak berdaya. Saat-saat kondisi seperti inilah merupakan kesem-

patan berharga bagi kita untuk melatih kepekaan mata kepala, mata hati dan mata

kaki bagi peserta didik kita.

3. Penerapan 3 M dalam Pendidikan Karakter Siswa

Setiap kita dalam diri ini pasti mempunyai “3 mata”, yaitu “mata kepala,

mata hati dan mata kaki”. Ketiga mata tersebut memiliki tiga kecerdasan yang da-

pat kita kembangkan dalam pendidikan karakter siswa.

Melalui mata kepala, peserta didik diajak, dibimbing dan diarahkan untuk

banyak melihat kebaikan yang ada di lingkungan sekitar, dalam hal ini yang perlu

ditunjukkan sekolah adalah menciptakan kondisi lingkungan yang kondusif.

Perubahan tingkah laku peserta didik sering tergantung dari informasi atau

stimulus yang selama ini diperoleh dari lingkungannya, khususnya sekolah sebagai

lingkungan tempat mereka belajar. Kalau selama berada di sekolah peserta didik

melihat lingkungannya positif dan kondusif, dalam arti banyak kebaikan-kebaikan

atau hal-hal yang positif ia lihat dan saksikan, seperti kondisi lingkungan yang ra-

pi, bersih dan teratur, terjalinnya kerukunan dan kebersamaan seluruh warga seko-

lah, guru-gurunya selalu ramah dan bersahabat, para siswanya rukun, dan seba-

gainya, maka kondisi seperti ini sangat berpengaruh bagi pembentukan sikap dan

prilaku peserta didik hingga mereka dewasa kelak.

Menurut Cronbach dalam Rahayu (2010:36) menyatakan bahwa, “Belajar

5

yang sebaik-baiknya adalah dengan mengalami. Dan dalam mengalami ini peserta

didik menggunakan panca inderanya”. Apa yang dikemukakan Cronbach ini dapat

dipahami bahwa pengalaman yang dirasakan peserta didik dari apa yang mereka

lihat setiap hari di lingkungan sekolah, dapat di-sharing-kan untuk memperkuat

pengalaman belajarnya di kelas. Artinya, ketika Guru memberikan penjelasan ten-

tang pentingnya kebersamaan pada mata pelajaran PKn di kelas misalnya, maka

peserta didik akan dapat merasakan nilai kebersamaan itu, jika sikap kebersamaan

ini memang telah terjalin begitu erat dan terrealisasi dalam kondisi lingkungan di

sekolah. Lebih tegas lagi Megawangi (2003:56) mengatakan : “Anak-anak hanya

akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter, jika lingkungannya memang berka-

rakter”.

Disamping menciptakan kondisi lingkungan yang kondusif, memberikan

keteladanan yang baik kepada peserta didik juga sangat berpengaruh bagi keberha-

silan pendidikan karakter siswa.

Al-Qur’an telah memberi contoh bagaimana manusia belajar lewat meniru

(keteladanan). Kisah tentang Qabil yang dapat mengetahui bagaimana mengubur-

kan mayat saudaranya, Habil, yang telah dibunuhnya itu, terilhami dengan seekor

burung gagak yang sedang mengali-gali tanah guna menguburkan bangkai seekor

gagak yang lain (Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 31).

Kecenderungan manusia untuk meniru atau belajar lewat peniruan, menye-

babkan keteladanan menjadi sangat penting artinya dalam proses pembelajaran,

terlebih-lebih pembelajaran karakter siswa. Menurut Sunardi dalam makalahnya

Pendidikan Karakter di Sekolah yang Membebaskan dan Penuh Keteladanan (http:

//www.pendidikankarakter.org/) menyebutkan bahwa pendidikan karakter bukanlah

pendidikan yang penuh indoktrinasi melainkan penuh dengan keteladanan dan ke-

bebasan untuk memilih nilai-nilai yang baik. Menurut Edi Suardi dalam Fathur-

rohman (2007:140) menyebutkan bahwa keteladanan itu ada dua macam, yaitu : (1)

sengaja berbuat untuk secara sadar ditiru oleh anak didik; (2) berprilaku sesuai

dengan nilai dan norma yang akan kita tanamkan pada para anak didik sehingga

tanpa sengaja menjadi teladan bagi anak didik.

Guru di sekolah adalah sumber keteladanan bagi peserta didik. Sosok guru

6

tidak hanya tercermin dalam kesederhanaan berpakaian, bergaul dan bertutur kata,

tapi juga tercermin dalam perilaku sehari-hari, tidak saja di sekolah, di rumah

bahkan di pasar sekalipun. Oleh sebab itu, guru yang digugu dan ditiru haruslah

memberikan makna sebagai panutan atau teladan bagi peserta didiknya dan warga

sekolah lainnya. Peserta didik tidak hanya butuh kepada teori dan nasehat saja, tapi

pada dasarnya mereka lebih butuh kepada sosok yang sikap dan perilakunya dapat

diteladani. Sesungguhnya mereka lebih butuh kepada figur yang mampu memberi-

kan bimbingan moral, karena keteladanan guru merupakan faktor signifikan dalam

rangka membentuk peserta didik yang unggul dan berkarakter. Jully Cheung dalam

Fathurrohman (2007:7) menyatakan, “Mendidik bukan hanya dengan nasehat saja.

Sebab yang menjadi sukses adalah memberikan contoh dengan perbuatan yang

baik, sesuai dengan apa yang dikatakannya. Jangan lain dikata, lain di perbuatan”.

Dari mata kepala turun ke mata hati, seiring dengan ungkapan, “dari mata

turun ke hati”. Mata merupakan jendela hati yang dapat mengirimkan kesan secara

langsung ke otak, kemudian diteruskan ke hati dan ke seluruh tubuh. Nabi Musa a.s

dalam episode mencari Tuhan, ketika diperintahkan oleh Allah untuk melihat dan

memperhatikan sebuah gunung yang dijadikan-Nya obyek untuk menampakkan

diri, maka seketika gunung itu hancur lebur karena tidak sanggup melihat sosok

Allah, nabi Musa pun langsung pingsan tak sadarkan diri, karena tidak kuat me-

ngendalikan emosi seketika menyaksikan betapa kebesaran Allah SWT. Demikian

juga, ketika Nabiullah Muhammad SAW. melihat sosok malaikat Jibril di goa Hira’

dalam bentuknya yang asli pada saat wahyu pertama turun, sekujur tubuh beliau

menggigil seperti orang kedinginan, karena apa yang beliau lihat langsung menem-

bus hatinya dengan tikamannya yang begitu dahsyat dan begitu dalam, sehingga

membuat raga beliau seolah tak mampu menahannya.

Begitulah kesan yang ditimbulkan oleh pandangan mata dapat langsung

berreaksi ke hati, sehingga tidak menutup kemungkinan peserta didik akan tergu-

gah, termotovasi dan terdorong hasrat keinginannya untuk mau mengikuti dan

melaksanakan apa yang selalu mereka lihat dari orang-orang di sekitarnya telah

atau sedang melaksanakan, karena salah satu potensi karakter secara fitrah yang

pasti ada dalam diri manusia adalah, “suka meniru”. Dari hasrat dan keinginan

7

yang telah tertanam di dalam hati peserta didik inilah yang berpotensi melahirkan

sebuah aktivitas nyata, yakni melaksanakan dengan penuh kesadaran.

Dari mata hati turun lagi ke mata kaki. Kaki adalah salah satu organ tubuh

yang berfungsi sebagai penopang berat tubuh dan sebagai alat transportasi untuk

membawa ke mana pergi tubuh. Seluruh bobot tubuh seseorang ditumpukkan ke

kaki. Dengan demikian, kaki paling berat menerima dan melaksanakan tugas harian

yang diperintahkan oleh otak dan hati. Kaki, adalah lambang pekerja berat dan kaki

adalah simbol pelaksanaan atau pengamalan.

Kalau kita telusuri bagaimana proses kehidupan yang dialami setiap ma-

nusia sejak ia lahir hingga bisa berjalan, sungguh sesuatu yang cukup melelahkan

dan perlu proses waktu yang relatif panjang. Proses perkembangan fisik manusia

sampai mampu berjalan, diperlukan beberapa tangga dan tahapan. Awalnya ia

hanya mampu berbaring, lalu tiarap, tengkurap, duduk, merangkak, berdiri dan

akhirnya mampu berjalan. Berpindah dari tahap ke tahap ini, tidak jarang dihiasi

dengan jatuh bangun. Begitulah gambaran bagaimana susahnya perjuangan manu-

sia menjalani hidup ini, ia harus sabar, ia harus terus mencoba dan mencoba lagi,

tidak ada kata putus asa, walaupun harus melewati duka derita, terus dan terus,

akhirnya mampulah kaki berdiri dengan tegak dan mampu berjalan dengan lancar

hingga ia dewasa dan tua renta.

Kalau kemampuan kaki untuk bisa berjalan, diperlukan waktu dan sebuah

proses yang relatif panjang, maka demikian juga dengan pelaksanaan atau penga-

malan sebuah nilai karakter bagi peserta didik, diperlukan waktu dan sebuah proses

yang relatif lama, disamping adanya bimbingan dan pengarahan yang terus me-

nerus hingga sampai pada satu kondisi dimana peserta didik sudah terbiasa melaku-

kan atau mengamalkan hal-hal yang baik dan positif tersebut secara mandiri dan

penuh kesadaran. Nah pada kondisi terakhir inilah baru sebuah karakter tercipta,

artinya, kalau peserta didik masih disuruh-suruh bahkan dibentak-bendak, baru

mereka mau melakukan hal-hal yang baik dan positif, kondisi seperti ini masih

belum menunjukkan adanya karakter. Indra dalam Zuchdi (2007:27) menjelaskan

bahwa, “Pendidikan karakter merupakan investasi nilai kultural yang membangun

watak, moralitas dan kepribadian siswa yang dilakukan dalam waktu panjang,

8

kontinyu, intens, konstan dan konsisten. Dengan demikian pendidikan karakter

memberikan kepada siswa ilmu, pengetahuan, praktik-praktik budaya perilaku yang

berorientasi pada nilai-nilai ideal kehidupan, baik yang bersumber dari budaya

lokal (kearifan lokal) maupun budaya luar”.

“Ditinjau secara akademik, pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidik-

an nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang

tujuannya mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan

baik-buruk, memelihara apa yang baik itu, dan mewujudkan kebaikan dalam kehi-

dupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Karena itu muatan pendidikan karakter

secara psikologis mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral be-

haviour” (Lickona dalam Zucdi:2007:34). Dengan demikian, pendidikan karakter

dinilai berhasil apabila peserta didik menunjukkan kebiasaan berperilaku baik dan

berlangsung secara terus menerus. Perilaku baik ini akan muncul dan berkembang

secara terus menerus pada diri peserta didik apabila mereka memiliki sikap positif

terhadap konsep karakter yang baik tersebut dan mereka terbiasa melakukannya.

Menurut Mochtar Buchori dalam Salimin (2011:6), “Pendidikan karakter seharus-

nya membawa peserta didik pada pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan

nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata”. Oleh karena itu

pendidikan karakter perlu dikemas dalam wadah yang komprehensif dan sarat akan

makna. Pendidikan karakter perlu diformulasikan dan dioperasionalkan mela-

lui transformasi budaya dan kehidupan sekolah.

Melalui konsep 3 M yang kami rancang ini, pendidikan karakter siswa in-

syaAllah dapat dikembangkan melalui budaya melihat dalam arti mengamati lewat

mata kepala, merasakan dalan arti menghayati lewat mata hati, dan mengamalkan-

nya secara kontinue lewat pemaknaan mata kaki. Semoga tulisan ini cukup mem-

berikan makna dan pencerahan bagi kita semua didalam upaya meningkatkan

keberhasilan pendidikan karakter siswa di lingkungan sekolah di Kabupaten Taba-

long. InsyaAllah.

C. Kesimpulan

Dari uraian yang telah kami kemukakan di atas, dapatlah ditarik beberapa

9

kesimpulan sebagai berikut :

1. Pendidikan karakter siswa merupakan sebuah amanah undang-undang yang ha-

rus kita dukung dan sikapi dengan positif;

2. Penerapan pendidikan karakter siswa merupakan sebuah keharusan, apabila kita

ingin menjadikan negeri ini menjadi negeri yang berkarakter;

3. Dengan pendidikan karakter siswa, berarti kita berupaya mempersiapkan gene-

rasi penerus yang siap dalam arti yang seluas-luasnya, tidak saja siap ilmu pe-

ngetahuan, terampil, terlebih-lebih siap moral dan mental spiritual;

4. Merubah perilaku dari bisa menjadi mau merupakan sebuah paradigma yang

pelu dipikirkan dan diupayakan agar menjadi karakter yang mengkristal dalam

diri peserta didik;

5. Melalui konsep 3 M siswa diajak untuk banyak melihat berbagai kebaikan dan

hal-hal yang positif yang ada di lingkungannya, dengan harapan dapat menggu-

gah hatinya untuk bisa menerima dan ikut melaksanakan atau mengamalkannya

secara terus menerus, hingga menjadi sebuah kebiasaan yang mengkarakter pada

diri peserta didik.

Daftar Pustaka

Azis, Abdul, Hamka. 2011. Pendidikan Karakter Berpusat Pada Hati. Jakarta: Al-Mawardi.

Fathurrohman, Pupuh, dkk. 2007. Strategi Belajar Mengajar Melalui Penanaman

Konsep Umum dan Konsep Islam. Bandung: Refika Aditama. Megawangi, Ratna. 2003. Pendidikan Karakter untuk Membangun Masya-rakat

Madani. IPPK Indonesia Heritage Foundation. Rahayu, Sadbudhy, Endang, dkk. 2010. Pembelajaran Masa Kini. Jakarta: Sekar-

mita. Salimin, Sarini. 2011. Membentuk KarakterYang Cerdas. Tulungagung: Cahaya

Abadi. Tolkhah, Imam. 2008. Profil Ideal Guru Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Titian

Pena. Zuchdi, Darmiyati. (2009). Pendidikan Karakter Grand Design dan Nilai-nilai

Target. Yogyakarta: UNY Press. 10

IDENTITAS PESERTA LOMBA KARYA TULIS ILMIAH KEPALA SEKOLAH DAN GURU

SE KABUPATEN TABALONG TAHUN 20011

1. Nama Peserta : ASERANI, S.Pd 2. NIP : 196302031994031005 3. Tempat dan tanggal lahir : Barabai-HST. 03 Februari 1963 4. Jenis Kelamin : Laki-laki 5. A g a m a : Islam 6. Jabatan : PNS / Guru mata pelajaran 7. Nama Sekolah : SMK Negeri 1 Tanjung 8. Alamat Sekolah : Jalan Ir.P.H.M.Noor Tanjung Tabalong Telepon/Pax (0526) 21874

e.mail : SMKN Tjg @ Telkomnet.instan Kode Pos 71571. 9. Alamat Rumah : Jalan Ir. P. H. Noor Pembataan Tanjung

10. Telepon/HP : 081348840437

Mengetahui : Peserta Kepala SMK Negeri 1 Tanjung, Lomba Karya Tulis Ilmiah

Drs. BAMBANG WAHONO, MM ASERANI, S.Pd NIP. 195703131987101001 NIP. 196302031994031005