Para Pencinta Yang Setia
-
Upload
syifa-amirah -
Category
Documents
-
view
38 -
download
11
description
Transcript of Para Pencinta Yang Setia
Para Pencinta yang Setia
Sinopsis:
Drama ini menceritakan kisah keimanan dua orang wanita yang hidup pada zaman Fir’aun dan Nabi Musa as. Yang pertama, adalah Asiah, istri Fir’aun. Yang kedua
adalah Siti Masyitoh, seorang pelayan yang bertugas menyisiri rambut putri Fir’aun.
Kisah ini dimulai ketika Fir’aun memutuskan untuk memanggil Asiah ke istananya agar dapat dijadikan sebagai pendampingnya. Ketika Asiah menolak lamaran Fir’aun,
Fir’aun memanfaatkan kasih sayang Asiah terhadap kedua orang tuanya. Ia menyiksa orang tua Asiah hingga Asiah setuju untuk menjadi pendampingnya.
Dalam perjalanan hidupnya sebagai pendamping Fir’aun, Asiah tidak pernah lupa untuk menjaga keimanan dan kehormatannya sebagai seorang wanita yang taat
pada Allah SWT. Karena itulah, ia dipertemukan oleh Allah dengan Siti Masyitoh, istri dari seorang pegawai Fir’aun bernama Hazaqil yang dibunuh karena terbukti sebagai pengikut Nabi Musa as. Setelah mengetahui kebenaran mengenai ketaatan masing-
masing, mereka menjadi saudara seiman tanpa sepengetahuan Fir’aun.
Tetapi kemudian, karena Siti Masyitoh tanpa sengaja mengecam Fir’aun dengan menyebut nama Allah di depan putri Fir’aun, keimanan Siti Masyitoh kepada Allah
SWT dan Nabi Musa as pun terungkap. Kemudian, ia beserta seluruh putra-putrinya ditangkap oleh Fir’aun dan dihukum mati. Saat itu, mengetahui hal tersebut, Asiah
menyatakan keimanannya kepada Allah SWT dan Nabi Musa di depan Fir’aun. Akibatnya, beliau pun dihukum mati.
Karakter:
Asiah
Siti Masyitoh Fir’aun
Hamman Ayah Asiah Ibu Asiah
Putri Fir’aun Anak Siti Masyitoh Bayi Siti Masyitoh
Prajurit 1 Prajurit 2 Dayang 1 Dayang 2
ACT I
Panggung ditutupi tirai. Kemudian, terdengar lantunan musik padang pasir yang perlahan-lahan semakin sayup-sayup hingga Narator memulai monolognya.
Narator
Wahai saudari-saudariku yang kucintai karena Allah SWT... Dengar dan saksikanlah sebuah kisah indah.
Tidak! Indah kisah ini bukan karena lika-liku romantika cinta antara seorang putri dan seorang pangeran.
Ini adalah kisah cinta antara Allah dan hambanya. Ini adalah kisah mengenai pengorbanan karena cinta.
Ini adalah kisah yang senantiasa dikenang dan disimpan kenangannya dalam lembar-lembar kitab yang mulia.
Inilah kisah mengenai Asiah, istri Fir’aun. Inilah kisah mengenai Siti Masyitoh, istri Hazaqil, seorang pelayan Fir’aun yang
beriman pada Allah SWT. Inilah kisah mengenai cinta mereka berdua kepada Allah SWT,
Sebuah cinta yang tak meminta balas budi dan penuh pengabdian. Cinta para hamba Allah kepada Sang Pencipta dan Penguasa Hati.
Tirai perlahan-lahan ditarik. Panggung didekorasi sebagai ruangan singgasana Fir’aun. Sebuah kursi tinggi mewah diletakkan di bagian dalam panggung. Di
samping kursi tersebut terdapat meja yang diatasnya terdapat secangkir gelas berisi anggur. Fir’aun duduk di kursi tersebut. Di kiri kanannya adalah dayang-dayang
yang terus-menerus dengan monoton mengipas-ngipasi Fir’aun menggunakan kipas besar (kalau bisa yang menyerupai bulu). Di sisi kiri panggung, menghadap ke penonton, berdiri Asiah dengan kedua orang tuanya. Di sisi kanan panggung,
menghadap ke penonton, berdiri Hamman dan dua orang prajurit Fir’aun.
Fir’aun berdiri perlahan-lahan. Sebelah tangannya dikacakkan di pinggangnya.
Fir’aun Wahai Asiah!
Asiah menoleh ke arah Fir’aun. Telah kuputuskan untuk menganugerahkan kehormatan bagi keluargamu! Jadilah
pendampingku. Maka kebahagiaan dan kemakmuran akan menjadi milikmu.
Asiah Kebahagiaan macam apa yang sanggup kau tawarkan kepadaku? Kemakmuran macam apa yang mampu kau berikan kepadaku?
Memangnya, apa yang kau miliki sehingga kehormatan menjadi milikku dengan menjadi pendampingmu?
Asiah kembali menatap ke arah penontong, membelakangi Fir’aun dengan
pandangan kosong.
Fir’aun Asiah, Asiah...
Fir’aun menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa terkekeh. Lupakah kau?
Perlahan-lahan, ia merentangkan tangannya, lalu dengan sombong mengibaskannya ke arah apa-apa yang ada di hadapannya.
Aku adalah raja, Asiah! Dan raja dari tanah Mesir yang kaya raya ini! Aku punya segalanya!
Segalanya! Apapun yang kau minta, Asiah, aku akan memberikannya kepadamu.
Jadilah pendampingku, dan kau pun akan memiliki segalanya.
Asiah berputar tiba-tiba. Tubuhnya tegang karena marah.
Asiah Semurah itukah aku bagimu, Fir’aun?
Harta, kekayaan! Hah! Tidak pernahkah terpikir olehmu bahwa aku tidak membutuhkan semua itu?
Kebahagiaan yang kau tawarkan padaku, Fir’aun, adalah fana! Kemakmuran yang kau tawarkan padaku, Fir’aun, adalah bohong belaka!
Kekayaan yang kau tawarkan kepadaku bukanlah kekayaanmu melainkan kekayaan rakyatmu yang kau rampas dari darah dan keringat mereka.
Aku tidak sudi menjadi pendampingmu! Tahukah kau kenapa?
Karena aku adalah wanita terhormat! Dan kehormatanku tidak diukur dari siapa suamiku, seberapa banyak kekayaan yang dimilikinya, dan setinggi apa jabatannya
dalam kerajaanmu yang palsu ini. Kehormatanku diukur dari ketaatanku kepada Tuhan Yang Maha Esa! Allah!
Bagaimana aku sudi menikahimu? Sementara kau adalah seorang raja yang ingkar kepada Allah SWT!
Fir’aun mencengkeram gelas berisi anggur dan melemparkannya ke lantai.
Fir’aun
Lancang sekali kau Asiah! Berani... sungguh pemberani!
Tetapi keberanian itu, tidak ada artinya di hadapanku. Hamman!
Hamman cepat-cepat berlutut.
Hamman
Ya, Tuanku Fir’aun.
Fir’aun Sungguh! Tidak pernah ada seorangpun dalam kerajaanku ini yang berani
menentang perkataanku sebagaimana perempuan ini. Wahai, Hamman! Apa yang harus kulakukan pada perempuan ini?
Hamman
Yang Mulia Tuanku, Hukum dalam kerajaan ini adalah bahwa tidak seorang pun boleh dibiarkan untuk
menentang perkataan Tuanku. Tuanku, perintahkanlah kepada kami untuk menjatuhkan hukuman pada perempuan
ini sehingga ia bersedia mematuhi perkataan Tuanku.
Sesungguhnya, apabila ada seorang pun di kerajaan ini yang menentang perkataan Tuanku, dan orang tersebut dibiarkan begitu saja, maka hal tersebut akan membuat
kerajaan ini tampak lemah di mata kerajaan-kerajaan lain.
Fir’aun Hamman! Perkataan tersebut benar adanya! Jatuhkanlah hukuman sebagaimana baiknya,
Namun ingat, bahwa aku tidak mengharapkan cacat maupun kerusakan bagi perempuan yang akan kujadikan istriku!
Hamman
Tuanku Fir’aun, Tuanku tidak perlu khawatir. Untuk bisa membuat seorang perempuan seperti perempuan ini patuh kepada
Tuanku, yang perlu Tuanku lakukan adalah memperlihatkan padanya betapa besar kekuasaan yang Tuanku miliki. Dalam hal ini, kekuasaan Tuanku untuk menjadikan
kedua orang tuanya menderita. PRAJURIT!
Hamman menghentakkan tangannya ke arah kedua orang tua Asiah. Perlihatkan pada orang-orang tua tersebut, akibatnya bila mereka membesarkan
seorang anak yang membangkang terhadap Rajanya! Kedua prajurit Hamman seketika menarik kedua orang tua Asiah dan mendudukkan
keduanya di lantai. Mereka mengambil cambuk mereka dan mulai menyiksa keduanya. Asiah hanya bisa berpegangan pada ujung baju kedua orang tuanya. Ia
terduduk di lututnya, menatap kedua orang tuanya dengan tidak berdaya.
Asiah Dengan suara parau
Hentikan... hentikan... Suara Asiah makin lama semakin keras hingga ia berteriak
HENTIKAN!
Seketika, semua kegiatan berhenti. Suasana hening di panggung, hingga tinggal suara nafas Asiah yang terengah yang terdengar.
Fir’aun turun satu langkah sehingga satu kakinya di lantai dan yang lain di podium. Ia berkacak pinggang. Kepalanya terangkat angkuh dengan senyum mengejek di
wajahnya. Hamman pun perlahan-lahan berdiri. Kedua orang tua Asiah menatapnya terkejut. Kedua prajurit berdiri tegak dan diam. Kedua dayang terus mengipas-
ngipas, seakan-akan tidak peduli dengan apa yang terjadi.
Fir’aun HAHAHAHAHA!
Bagaimana, Asiah? Kata-kata apalagi yang akan keluar dari mulutmu yang pandai bicara itu?
Sudahkah kau berpikir matang-matang? Masihkah kau menolak tawaranku yang murah hati tersebut?
Atau... apakah kau ingin terus menyaksikan kedua orang tuamu disiksa seperti ini?
Asiah perlahan-lahan bangkit dari duduknya dengan kedua tangan terkepal.
Asiah Wahai, Fir’aun!
Baiklah, aku akan menjadi pendampingmu. Aku bersedia... aku bersedia menjadi pendampingmu. Menjadi... menjadi istrimu...
Tetapi, biarkan orang tuaku hidup dalam kebebasan. Kau harus menjamin kesejahteraan mereka berdua.
Bangunkanlah bagi mereka rumah yang indah lengkap dengan isinya. Hargailah mereka seakan-akan mereka orang tuamu sendiri.
Kau boleh memintaku mendampingi dalam acara-acara kerajaanmu. Tetapi ingat, kehormatanku tidak akan pernah menjadi milikmu!
Aku tidak akan tidur denganmu. Sekarang, adalah terserah keputusanmu.
Sekiranya kau menolak permintaan-permintaanku itu, lebih baik, ambil saja pedangmu dan bunuhlah aku bersama kedua orang tuaku.
Sesaat, semua terdiam. Fir’aun menatap Asiah tidak percaya, sebelum kemudian ia
tertawa terbahak-bahak.
Fir’aun Berhenti tertawa terbahak-bahak.
Baiklah Asiah... baiklah... Bukan suatu masalah besar bagiku untuk memenuhi permintaanmu itu.
Tenang saja, kau tidak akan kubunuh, tidak pula kedua orang tuamu. Aku sudah menjanjikan kepadamu kemakmuran dan kekayaan, serta kehormatan yang hanya bisa kau dapatkan dengan menjadi pendampingku dan mematuhiku.
Permintaan-permintaan kecil seperti itu... bukan apa-apa bagiku. Tetapi ingat, Asiah. Dan ingatlah baik-baik.
Aku sangat tidak menyukai orang-orang yang membangkang kepadaku. Bagimu, kali ini, akan kumaafkan. Tetapi kali lain...
Fir’aun menurunkan satu kaki lagi sehingga kedua kakinya sekarang berada di atas
lantai. Ia mengangkat tangannya ke lehernya kemudian membuat gerakkan menebas leher. Lalu ia berbalik angkuh dan berjalan ke luar panggung diikuti
Hamman dan kedua prajuritnya.
Asiah Oh, ya Allah! Oh, ya Allah!
Asiah menelungkupkan kepalanya dan menyembunyikan wajahnya dibalik kedua
tangannya. Lalu seakan tersadar, ia berlari kepada Ayah dan Ibunya yang tersungkur di lantai.
Asiah
Oh, Ayahku… Oh, Ibuku… bagaimana keadaanmu? Oh… karenaku… karenaku… dan kebodohanku… dan kekurangajaranku…
Oh.. bagaimana hal seperti ini terjadi?
Ibu Asiah Meraih Asiah dan merangkulnya penuh kasih sayang.
Tidak, tidak putriku. Janganlah kau menyesali apa-apa yang telah terjadi. Kami tidak menyalahkanmu. Tidak apa-apa... putriku.. anakku tersayang... tidak
apa-apa. Kau... telah tumbuh seperti yang kami harapkan...
Ayah Asiah Menggenggam lengan atas Asiah
Kami bangga padamu, Asiah... Bangga terhadap kehormatanmu dan keyakinanmu. Bangga terhadap kebijaksanaanmu dan ketabahanmu dalam menghadapi Fir’aun dan perilakunya. Teruslah seperti itu, anakku. Teruslah berdoa kepada Allah. Kami yakin,
bahwa semua ini adalah bagian dari rencana besar Allah.
Ibu Asiah Anakku tersayang... tetaplah beriman kepada Allah. Sesungguhnya, kami benar-
benar yakin, bahwa Allah memiliki rencana tertentu dengan terpilihnya dirimu menjadi bagian dari istana Fir’aun. Karena itu, janganlah engkau berputus asa,
putriku... Jangan sekali-sekali.
Asiah Semoga... semoga... benar adanya yang kau katakan padaku...
Ya, Allah... berikanlah pertolongan-Mu padaku... Ya, Allah... berikanlah kekuatan padaku…
Ya, Allah... teguhkanlah hatiku untuk tetap di jalanmu.... Ya, Allah
Perlahan-lahan, terdengar sayup-sayup lagu padang pasir yang bersuasana sedih.
Perlahan-lahan juga, tirai diturunkan.
ACT 2
Suara musik dari ACT 1 masih terus dimainkan tetapi perlahan-lahan diperkecil hingga hanya terdengar sayup-sayupnya saja.
Narator
Saudari-saudariku yang budiman... Sungguh, harta dan kekayaan serta kekuasaan tidak akan sekalipun dapat
digunakan untuk menguasai hati manusia. Hanya Allah-lah yang mampu menata hati dan Ia-lah yang akan membolak-
balikkannya. Harta dan kekayaan Fir’aun tidak dapat membawa hati Asiah menjauhi nikmat iman
dan ketakwaan pada Allah SWT. Kekuasaan tidak dapat membuat Fir’aun mampu memiliki hati Siti Masyitoh untuk
setia kepadanya. Kelaliman Fir’aun dan keingkarannya telah membawanya pada kefanaan dan
kekosongan. Dan baginya pengikut-pengikut yang tidak setia, atau setia hanya karena iming-iming harta, kekayaan, dan kekuasaan.
Dibalik itu semua, adalah dua orang wanita, yang senantiasa saling tolong-menolong dan menghibur, dalam kesedihan mereka serta keimanan mereka.
Tirai perlahan-lahan diangkat, memperlihatkan suatu taman. Di taman tersebut, Siti Masyitoh berjalan bolak-balik menimang-nimang bayinya sementara anaknya
mengikutinya di belakang.
Anak Siti Masyitoh Wahai Ibu...
Apa yang kita lakukan di sini? Aku lelah. Aku ingin istirahat. Aku ingin pulang ke rumah.
Kenapa kita tidak pulang ke rumah saja? Ibu.. Ibu... aku ingin bertemu Ayah.
Dimana Ayah?
Siti Masyitoh berhenti mondar-mandir, kemudian berbalik menghadapi anaknya dan menariknya dalam rangkulan satu tangan.
Siti Masyitoh
Sshhhh... Sabarlah sedikit nak.
Aku mohon! Janganlah engkau membuat keributan.
Anak Siti Masyitoh Tapi Ibu... aku... aku...
Siti Masyitoh
Kita memang akan pulang ke rumah. Tetapi setelah terdengar kabar berita dari ayahmu. Ayahmu meminta kita untuk menunggunya di tempat ini.
Anak Siti Masyitoh
Tapi... tapi... aku sudah lelah menunggu.
Dari tadi kita terus-terusan menunggu! Mungkinkah... mungkinkah terjadi sesuatu pada Ayah?
Siti Masyitoh
Aduh! Jangan berkata seperti itu! Sudahlah, mari kita menunggu ayahmu di tempat teduh itu.
Menggenggam satu tangan anaknya, Masyitoh berjalan ke suatu tempat teduh. Dan berdiri di situ dengan perasaan waswas dan tak karuan. Tiba-tiba, beberapa orang prajurit masuk ke dalam panggung. Mereka berjalan sambil bercakap-cakap dan
tampaknya, mereka tidak melihat Siti Masyitoh dan anak-anaknya.
Prajurit 1 Sobatku! Sudahkah kau dengar kabar mengenai Tuan Hazaqil?
Prajurit 2
Tentu saja sudah! Siapa yang belum mendengar tentang Tuan Hazaqil? Baru kemarin ia menentang Yang Mulia Tuan Kita Fir’aun perihal para tukang sihir-
tukang sihir istana yang hendak ikut dengan rombongan Musa. Katakan kepadaku!
Ada kabar burung mengenai hukuman mati yang dijatuhkah Tuan Kita Fir’aun padanya! Benarkah kabar burung itu?
Prajurit 1
Wahai sobat! Sungguh sakit bagiku untuk mengatakan ini. Tetapi itu benar!
Prajurit 2 Bagaimana itu bisa terjadi!? Tuan Hazaqil adalah salah satu dari sedikit orang yang sangat dipercayai oleh Fir’aun! Boleh dibilang, ia adalah pria yang paling jujur dalam
kerajaan ini!
Prajurit 1 Stt!! Jangan keras-keras! Perkataanmu itu, bisa membuatmu menemui akhir yang
sama dengan Tuan Hazaqil! Sungguh! Tuan Kita Fir’aun... tentunya memiliki alasannya sendiri.
Prajurit 1 dan prajurit 2 terdiam beberapa saat. Aah! Bukan tempat kita untuk memikirkan hal yang rumit-rumit seperti itu.
Kalau aku adalah Tuan Hazaqil, aku tidak akan membahayakan diriku seperti itu. Lebih baik, aku turuti saja perintah para petinggi dengan patuh dan taat.
Prajurit 2
Benar. Benar. Aku tidak mau berakhir seperti Tuan Hazaqil.
Sampai detik ini, mayatnya masih dibiarkan terkapar di tengah padang pasir, menunggu kedatangan burung bangkai untuk terurai.
Prajurit 1 dan prajurit 2 tampak ngeri, lalu menghela nafas bersama-sama. Mereka keluar panggung dari sisi lain, kemudian mereka lalu. Setelah prajurit 1 dan prajurit
2 meninggalkan panggung, Siti Masyitoh langsung berlari ke tengah panggung, diikuti anaknya, menatap ke arah dimana para prajurit pergi seakan-akan berharap
bahwa percakapan yang ia dengar adalah bohong belaka.
Tiba-tiba, masuk Asiah, memanggil-manggil Masyitoh.
Asiah Masyitoh....
Asiah berjalan mendekati Masyitoh perlahan dan penuh keprihatinan.
Asiah
Masyitoh...
Ketika Asiah sudah dekat dengan Masyitoh, tiba-tiba Masyitoh berbalik hingga berdiri berhadap-hadapan dengannya.
Siti Masyitoh
Oh, Ratu... benar-benar tidak pantas kau mendetangiku. Sementara kau menyapaku bagaikan aku sahabatmu semenjak kecil.
Sementara suamimu... suamimu.. telah merampas seorang suami dari istrinya! Merampas seorang ayah dari anak-anaknya!
Oh... Fir’aun... ia benar-benar bukan manusia... tetapi setan! Setan berkulit manusia!
Ia berkata pada para pengikutnya, bahwa dirinyalah Tuhan yang paling pantas bagi mereka. Tetapi ia sendiri tidak sadar, bahwa ia telah mempertuhankan hartanya,
kekayaannya, dan kekuasannya! Sungguh, Ratu... aku tidak yakin kau pantas berbuat seperti ini.
Kau adalah istri Fir’aun.
Asiah Masyitoh! Tidak pernah terlintas di benakku untuk berhenti menyapamu, berhenti
menjadi sahabatmu karena aku adalah istri Fir’aun! Dengarkan Masyitoh, bahwa sesungguhnya aku di sini untuk menyatakan duka
citaku atas kepergian Hazaqil.
Masyitoh Oh, Hazaqil... Hazaqil... mengapa kau sampai berakhir seperti itu!!??
Masyitoh jatuh tersungkur di tanah, memeluk bayinya erat-erat. Asiah turut duduk di tanah, dengan penuh perhatian mengelus-ngelus punggung Masyitoh. Anak Masyitoh
juga ikut duduk di tanah, memeluk ibunya sambil menangis terisak-isak.
Asiah Karena Hazaqil lebih memilih jalan kebenaran daripada jalan kemaksiatan.
Masyitoh berhenti menangis lalu duduk tegak sambil memeluk bayinya dan
merangkul anaknya dengan penuh kasih sayang.
Masyitoh Tahukah kau, Asiah, bahwa yang membuat Hazaqil berakhir seperti ini adalah karena
ia seorang yang beriman dan taat pada Penciptanya yang Tunggal! Kesalahan Hazaqil, adalah, karena ia menolak untuk mempertuhankan Fir’aun! Karena
sungguh, Tuhan macam apa Fir’aun... bila ia membiarkan hambanya hidup dalam kesengsaraan? Tuhan macam apa Fir’aun... yang mencari kesejahtaraan hanya untuk dirinya sendiri dan membiarkan hambanya bersimbah darah dan keringat
mengumpulkan emas dan batu-batu berharga, yang semuanya pada akhirnya, akan jatuh ke tangan Fir’aun, dan dimanfaatkan bagi kemakmurannya sendiri?
Dan apabila yang dilakukan Hazaqil itu adalah kesalahan, maka kesalahan tersebut sama bagiku... Aku juga seorang yang bersalah, karena aku memilih untuk beriman pada Musa dan Tuhan-nya, Allah Yang Maha Esa! Aku juga seorang yang bersalah,
Asiah, tetapi aku bersalah hanya di mata Fir’aun yang buta terhadap kebenaran dan haus untuk melihat kebathilan!
Asiah
Oh, Masyitoh! Sungguh! Bila segalanya dilihat dari mata penuh kebohongan yang ada di kepala Fir’aun yang penuh kesombongan itu, maka aku juga adalah seorang
yang bersalah. Karena aku pun mengimani Musa sebagai utusan Allah dan mengimani Allah sebagai Pencipta-ku dan Penguasa-ku!
Masyitoh
Oh, Asiah! Sungguh tidak pernah terbayang olehku bahwa kita bersaudara! Bersaudara dalam keimanan kita!
Asiah
Ya, saudariku... aku juga tidak pernah menyangka...
Masyitoh Tetapi... apa yang harus kulakukan sekarang? Suamiku.. telah dibunuh dengan keji oleh Fir’aun. Aku tidak sanggup... tidak sanggup melihat bajingan itu lagi. Aku tidak
sanggup untuk terus tinggal di tempat ini lagi! Tetapi bagaimana dengan kedua anakku? Aku tidak bisa membawa mereka pergi denganku. Terlalu berbahaya! Tetapi
aku juga tidak bisa meninggalkan mereka di sini! Siapa yang dapat menjamin keamanan dan kemurnian mereka dari Fir’aun dan kesesatannya serta pengikut-
pengikutnya?
Asiah Wahai saudariku... kalau begitu bersabarlah! Ketika kau bertemu dengan Fir’aun,
jangan melihat wajahnya. Ketika kau mendengar suaranya, pergilah dari hadapannya agar kau tidak jadi mendengar suaranya. Mohonkanlah kepada Allah
kesabaran bagimu. Sesungguhnya, aku meyakini kedatangan pertolongan Allah dan karena itulah aku sanggup bertahan menghadapi Fir’aun.
Allah telah mengutus Musa di negeri ini. Aku yakin, pertolongan Allah akan datang melalui Musa. Meskipun sungguh. Aku tidak mengetahui bagaimana wujud
pertolongan itu dan kapan ia akan datang. Tetapi saudariku, bersabarlah! Karena Allah bersama orang-orang yang sabar..
Masyitoh
Perkataanmu benar, Asiah. Kita harus bersabar. Ketika datang pertolongan Allah nanti, marilah kita bersama-sama menyambutnya! Namun sekarang ini, mari kita
bersama-sama menunggunya dengan sabar!
Asiah menggenggam tangan Masyitoh lalu menundukkan kepalanya.
Asiah Ya, Allah.. berikanlah kesabaran bagi kami dan orang-orang mu’min yang dekat
dengan kami... Ya, Allah... berikanlah kami kesabaran...
Ya, Allah... kami sungguh akan menunggu kedatangan pertolonganmu, dan menyambutnya dengan tangan terbuka! Apapun bentuk pertolonganmu itu, ya,
Allah...
Ya, Allah, sabarkanlah hati kami...
Suara musik. Tirai diturunkan kembali.
ACT 3
Suara musik dari ACT 2 masih terus berlanjut. Kemudian diperdengarkan sayup-sayup ketika narator mulai bicara.
Narator
Saudari-saudariku yang dirahmati Allah... Sebenarnya, pertolongan Allah itu datang di waktu-waktu yang tidak dapat kita
perkirakan dan dalam bentuk-bentuk yang tidak kita sangka-sangka. Sesungguhnya, ketika terdengar kisah-kisah mengenai para mu’minin dan mu’minah
serta muslimin dan muslimah yang dihukum mati oleh pihak yang ingkar dan murtadh, saya yakin, bahwa itulah pertolongan Allah bagi mereka.
Demikian juga, untuk kedua wanita dalam kisah ini: Asiah dan Masyitoh.
Tirai diangkat, suara musik berhenti.
Dekorasi panggung kembali ke bentuk singgasana Fir’aun. Kali ini, Fir’aun berdiri di podium singgasananya. Tepat di lantai agak ke samping kanan di depan singgasana
Fir’aun, berdiri Putri Fir’aun, dengan satu tangan berkacak di pinggangnya. Di sisi kiri panggung, berdiri tegak Siti Masyitoh menggendong seorang anaknya yang masih bayi dengan sebelah tangan sementara tangannya yang satu lagi digenggam erat oleh anaknya yang lain. Di seberang Siti Masyitoh, adalah Hamman dan prajurit-
prajuritnya.
Putri Fir’aun Wahai Ayah! Ketahuilah! Wanita itu sesungguhnya telah berkata:
Dengan nama Allah, binasalah Fir’aun Di hadapanku ketika ia sedang menyisiri rambutku!
Aku telah memperingatkannya dan memintanya untuk memohon ampunanmu karena telah menghinamu. Tetapi, ia menolak!
Ayah, wanita itu harus dihukum! Engkau tidak bisa membiarkan seseorang yang mengingkarimu dan
membangkangmu tetap tinggal di kerajaan ini!
Fir’aun mengelus-elus dagunya. Hamman mengangguk-angguk membenarkan kata-kata sang putri. Sementara Masyitoh dan keluarga berdiri tegak tak bergeming.
Fir’aun
Wahai Masyitoh! Aku bermurah hati untuk memberikanmu satu kesempatan lagi untuk menarik ucapanmu!
Benarkah kau telah mengucapkan kata-kata penghinaan terhadapku sebagaimana yang dituturkan anakku itu? Dan siapa Tuhan yang kau sembah-sembah itu? Karena
sesungguhnya, akulah Tuhan yang paling pantas bagimu!
Siti Masyitoh Benar, Baginda Raja yang lalim. Aku telah menghinamu dengan nama Allah.
Dan Allah adalah Tuhan-ku. Tiada Tuhan selain Allah yang sesungguhnya menguasai alam dan segala isinya.
Fir’aun menghentakkan kakinya penuh kemarahan di lantai.
Fir’aun
Kurang ajar! Kau terlaknat, Masyitoh! Hamman! Siapkan kuali panas mendidih!
Hamman
Baik, Tuanku! Hamba akan melakukannya sekarang juga!
Sambil tetap membungkuk penuh penghambaan pada Fir’aun, Hamman meninggalkan panggung.
Sementara itu, senyum sombong terlukis di wajah Putri Fir’aun, sementara Masyitoh
berdiri terdiam. Putri Fir’aun perlahan-lahan dan penuh kesombongan mendekati Masyitoh.
Putri Fir’aun
Lihatlah Siti Masyitoh! Inilah hukumannya bagi siapa yang membangkang pada keluarga Fir’aun!
Matamu buta oleh angan-angan dan takhayul yang disiarkan Musa. Inilah kenyataan Siti Masyitoh, kau bisa hidup enak. Kau dan suamimu. Tetapi kau
malah menghabiskan waktumu untuk mencari-cari kebenaran. Lihatlah akibatnya!
Pertama, suamimu yang berakhir menyedihkan. Sekarang, kau dan anak-anakmu yang akan mengikutinya. Tidakkah kau menemukan komedi di dalam kisah hidupmu?
Fir’aun
Masyitoh! Aku masih akan memberikanmu satu kesempatan lagi! Tinggalkan agama Musa dan kembalilah menyembahku!
Tidakkah kau sayang pada anak-anakmu? Mereka masih memiliki kesempatan dan masa depan untuk hidup makmur dan
tenteram! Apakah kau akan membunuh dirimu bersama dengan anak-anakmu itu?
Mungkin kau memang tidak peduli dengan nasibmu. Tetapi pikirkanlah nasib anak-anakmu. Benarkah kau mau membiarkan mereka berakhir di kuali panas itu?
Masyitoh menatap Fir’aun dengan tubuh membeku. Lalu ia menundukkan kepala,
pertama untuk menatap anaknya yang besar, lalu yang kecil. Kemudian ia mengangkat tangannya untuk membelai rambut anaknya yang kecil. Ia tidak
bergerak dari tempatnya berdiri. Sementara kedua anaknya terus menatapnya.
Bayi Siti Masyitoh Janganlah takut ataupun bimbang, wahai Ibuku! Pintu surga telah membuka menyambut kedatangan kita. Tidakkan engkau ingin melihat apa yang ada di dalamnya? Sesungguhnya, kematian ini akan menjadi pembebasan bagi kita.
Sambutlah dengan penuh kebahagiaan, Ibuku.
Anak Siti Masyitoh Benar perkataan Adinda, Ibu... Tidak ada alasan untuk ragu. Apalah artinya surga dunia dan jaminan seorang seperti Fir’aun dibandingkan surga Allah dan jaminan-
Nya di akhirat nanti?
Orang-orang terkejut. Masyitoh mendekap bayinya lebih erat, lalu ia menatap pada anaknya yang besar yang menggenggam tangannya erat-erat. Anak Siti Masyitoh
mengangguk penuh keyakinan pada ibunya.
Masyitoh Tidak, Fir’aun. Kau dengar dan lihat sendiri jawaban anak-anakku. Dimana kuali itu?
Kami telah siap memasuki pintu surga!
Fir’aun CIH! Pergilah kau! Kalian keluarga gila!
Tirai perlahan-lahan menutup, sementara Masyitoh berjalan dengan penuh
kebanggaan membawa kedua orang anaknya meninggalkan panggung. Musik dinyalakan.
ACT 4
Musik masih terus dimainkan sementara tirai diangkat memperlihatkan dekorasi panggung yang seakan-akan merupakan suatu kamar dihiasi kain-kain indah tempat berbaring. Kamar ini adalah kamar Asiah. Sementara Asiah berjalan mondar-mandir di kamarnya penuh kekhawatiran. Dua orang dayangnya duduk berlutut di sisi kanan
kamar.
Dayang 1 Aduh, Ratu... tenanglah!
Asiah
Katakan! Bagaimana aku bisa tenang! Sementara di sisi lain istana terlaknat ini, seorang perempuan yang berhati intan sedang berada di ujung tanduk. Nyawanya dan nyawa keluarganya terancam! Tidak lain dan tidak bukan, karena Fir’aun tidak
mengenal arti kemanusiaan!
Dayang 2 Wahai Ratu! Kami mohon, jangan berkata seperti itu di depan Tuanku Fir’aun!
Sungguh, posisi Anda sudah sangat berbahaya karena bukanlah suatu rahasia bahwa Anda adalah sahabat dekat Siti Masyitoh!
Dayang 1
Benar, Ratu... Di istana ini, dinding pun mempunyai telinga. Bila sampai-sampai perkataan Ratu terdengar oleh Tuanku Fir’aun, atau paling tidak Tuan Putri, maka
nyawa Ratu bisa terancam!
Asiah Tetapi aku khawatir!
Hukuman yang dijatuhkan Fir’aun pada Masyitoh...
Dayang 1 Wahai Ratu, Tuanku Fir’aun telah berencana untuk mengunjungi Anda malam ini.
Tentunya, Anda dapat memastikan sendiri pada Tuanku.
Dayang 2 Benar, Ratu... Tentu Tuanku bersedia memberi keterangan pada Ratu... Ratu adalah
kesayangan Tuanku!
Tiba-tiba, tanpa peringatan apa-apa, Fir’aun masuk ke dalam kamar Asiah. Ia melirik pada kedua dayang, yang langsung menunduk penuh pengabdian dan berangsur-
angsur menyeret tubuh mereka keluar dari panggung tanpa membelakanginya. Lalu ia menatap Asiah, seakan-akan menunggu Asiah berbicara.
Asiah berjalan ke satu sisi kamar, dengan menyengaja membuat jarak antara dirinya
dan Fir’aun. Ia berdiri membelakangi Fir’aun.
Fir’aun Tahukah kau, Asiah.
Hari ini, Siti Masyitoh dan anak-anaknya telah melompat ke dalam kuali besar mendidih.
Asiah berbalik seketika, tampak begitu terkejut. Dan kemudian ia menghentakkan tangannya pada Fir’aun. Ia menunjuk Fir’aun penuh tuduhan dan kebencian.
Asiah
Engkau benar-benar manusia terlaknat! Tempatmu hanyalah di neraka Jahannam! Tuhanmu adalah harta dan kekayaanmu!
Temanmu hanyalah setan! Sungguh, kau adalah manusia paling biadab yang pernah ada di muka bumi ini!
Begitu juga putrimu, Tuan Putri dari Baginda Raja yang lalim! Dan pengikutmu, Hamman si penjilat!
Sampai di sini saja hubungan kita sebagai suami istri. Aku sudah tidak sudi lagi menjadi pendamping dari pria macam kau.
Asiah membalik badannya lagi membelakangi Fir’aun. Kedua tangannya menutupi
wajahnya. Fir’aun terperangah mendengar perkataan Asiah, seakan-akan Asiah sudah gila.
Fir’aun
Asiah! Perkataan macam apa yang keluar dari mulutmu itu! Jangan bilang kau juga mencari mati seperti perempuan itu!
Asiah berbalik menghadapi Fir’aun. Kemarahan tampak pada raut mukanya.
Asiah
Ya, benar! Aku mencari kematian! Kematian itu bagiku lebih baik daripada meneruskan kehidupan di dalam kerajaanmu
yang bathil ini!
Fir’aun Kau perempuan gila! ASIAH! Menyesalah kau dengan kegilaanmu itu!
Asiah
Puh! Seakan-akan meludah di kaki Fir’aun. Aku tidak akan pernah menyesal, Fir’aun. Karena aku telah memilih jalan yang benar untuk meninggalkanmu berenang-renang
dalam kesesatanmu! Allah akan memberikan pertolongannya padaku sebagaimana ia telah memberikan
pertolongannya pada sahabatku, Siti Masyitoh, yang kau bunuh bersama keluarganya itu!
Fir’aun sesaat terdiam, seakan bimbang. Tetapi kemudian ia membalik badannya,
seakan-akan ia sudah tidak peduli lagi pada Asiah. Lalu ia berbicara.
Fir’aun Mulai hari ini, tidak akan ada makanan yang dikirimkan ke kamarmu.
Kau juga kuharamkan untuk memasuki ruang makan istana. Tiada seorang pun boleh memberikanmu makan.
Setiap hari, dua orang prajurit akan datang untuk membawamu ke penjara bawah tanah. Kau akan menghadapi siksaan harianmu di sana.
Mari kita lihat, sampai kapan kau bisa bertahan dengan kekeraskepalaanmu itu.
Fir’aun meninggalkan Asiah yang tetap berdiri tegak penuh kebanggaan dan keyakinan.
Suara musik diperdengarkan, bersamaan dengan tirai yang perlahan-lahan
diturunkan.
Tirai turun, panggung ditutup. Suara musik berhenti.
ACT 5
Tirai dibuka perlahan-lahan. Terdengar suara musik sendu sayup-sayup.
Terlihat panggung yang kosong melompong, hanya ada Asiah di panggung.
Asiah duduk berlutut di tengah panggung. Pakaiannya lusuh, kulitnya pucat, wajahnya tertunduk. Ia kemudian mengangkat kepalanya, di wajahnya tampak
senyuman bahagia. Ia menatap langit-langit, lalu menengadahkan kedua tangannya tinggi-tinggi.
Asiah
Ya Tuhanku, bangunlah untukk sebuah rumah di sisi-Mu di surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.
Seketika, kedua tangan Asiah terjatuh terkulai di sisinya. Lalu perlahan-lahan, ia mulai roboh dan kemudian terbaring di lantai dengan mata terpejam, dan bibir
membentuk senyum simpul.
Narator Demikianlah kisah para pencinta yang setia dan yakin dengan cintanya pada Allah. Hingga kemudian, doa mereka dijadikan sebagai bagian dari kitab Allah yang Mulia,
Al-Qur’anul Karim, surah At-Tahrim ayat 11. Hingga kemudian, keberadaan mereka dijadikan contoh oleh Allah SWT bagi para
wanita-wanita mu’min. Sampai di sinilah akhir kisah kita.
Semoga Allah membukakan hati-hati kita untuk mengambil pelajaran berharga yang ada dalam kisah ini.
Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam.
Suara musik yang sendu terus dimainkan sementara tirai diturunkan lagi perlahan-lahan. Ketika panggung telah sepenuhnya ditutup, terlihat tulisan TAMAT di tirai.
Sementara itu, para pemeran satu persatu keluar panggung dan berbaris di depan
tirai, memberikan salam penghormatan pada penonton, lalu meninggalkan panggung.
Musik diberhentikan.
Sutradara Syifa Amirah Penulis Naskah Syifa Amirah Tata Busana Syifa Amirah Tata Suara Syifa Amirah Dekorasi Panggung Syifa Amirah Para Aktor Asiah Istiqomatunnisa Siti Masyitoh Chairunnisa SH
Fir’aun Misyka Naziratul Haq Hamman Mufida Amalia Azzahra Ayah Asiah Arisya Hanifah Ibu Asiah Hunainah Putri Fir’aun Nimas Amalia R Anak Siti Masyitoh Niken Tyagitha H Bayi Siti Masyitoh Ashma F Prajurit 1 Maryam M Prajurit 2
Marsha Hanifawati Dayang 1 Andam Dewi P Dayang 2
Rizky Nurul A Narator Syifa Amirah