paper sk3

download paper sk3

of 13

Transcript of paper sk3

SKENARIO 3 GIGIKU KENAPA YA?

Kelompok 1

Rheisa Maulida Selviana R. Pramitha Insan Akbar N. Erika Norfitriah Sulaima Athalmi S. Noor Aina M. Arifin Noor M. Zulkhaidir Z. M. Iqbal Baihaqi Endityastuti

Tutor: drg. I Wayan Arya

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARBARU MEI, 2011

Gigiku Kenapa ya? Seorang laki-laki berusia 45 tahun datang ke klinik dokter gigi dengan keluhan gigi depan atas sakit dan bengkak. Hasil pemeriksaan intraoral pada gigi 12 terdapat abses pada gingival labial. Hasil radiografi menggambarkan seperti terdapat gigi di dalam gigi, ada radiolusen pada apeks gigi dan mobilitas gigi derajat 2.

Identifikasi dan Klarifikasi Istilah Abses : Pengumpulan nanah secara lokal pada suatu kavitas yang terjadi karena hancurnya jaringan akibat kuman-kuman pyogenik. Radiolusen : Lolosnya sebagian sinar X sehingga gambar terlihat lebih gelap dari bayangan radiopak. Gigi di dalam gigi : Bentuk malformasi pertumbuhan gigi yang menunjukkan adanya lipatan email dan dentin bagian dalam yang masuk dan meluas hingga ke dalam rongga pulpa dan kadang-kadang meluas hingga ujung akar.

Mobilitas gigi derajat 2 : Peningkatan kegoyangan gigi lebih dari 1 mm (bucolingual/ mesiodistal).

Identifikasi Masalah 1. Diagnosis untuk kasus pada skenario. 2. Etiologi yang dapat menyebabkan kelainan dari kasus skenario. 3. Patogenesis terjadinya abses. 4. Mekanisme terjadinya gigi di dalam gigi. 5. Gambaran radiografi dari kelainan yang terjadi. 6. Epidemiologi Dens in Dente.

7. Mekanisme terjadinya mobilitas gigi. 8. Pemeriksaan klinis dan penunjang Dens in Dente. 9. Klasifikasi dens in dente 10. Manifestasi klinis Dens in Dente 11. Penyakit lain yang menyertai dens in dente 12. Hubungan dens in dente dengan abses periapikal. 13. DD dari kelainan pada kasus. 14. Pengaruh dens in dente terhadap oklusi pasien. 15. Terapi 16. Prognosis dens in dente 17. Komplikasi yang terjadi jika kelainan tidak ditangani.

Analisis Masalah

1. Diagnosis Abses periapikal pada gigi 12 dens in dente.

2. Etiologi Etiologi dens in dente belum jelas tapi ada beberapa hipotesis yang dibuat mengenai penyebab kelainan ini antara lain tekanan pertumbuhan lengkung gigi, invaginasi abnormal sebagai manifestasi neoplasma benigna dari pertumbuhan terbatas, distorsi organ enamel pada masa perkembangan, fusi dua benih gigi, infeksi, trauma akut/kronis pada benih gigi, hambatan pertumbuhan proksimal tulang maksila, hipoplasia tulang premaksiler, inflamasi lokal, faktor sistemik, dan faktor genetik. [1,2]

3. Patogenesis Terjadinya Abses

Dens invaginatus pada gigi merupakan faktor predisposisi terjadinya karies karena merupakan akses bebas bagi bakteri untuk berakumulasi di dalam pit yang terbentuk dari kelainan morfologi tersebut. Karies mula-mula terbentuk pada bagian permukaan lapisan enamel yang tipis kemudian berkembang menjadi karies intermedia hingga menjadi karies profunda dimana bakteri mendapat akses masuk ke ruang pulpa. [3] Akibat adanya infeksi bakteri terjadi reaksi inflamasi di ruang pulpa menyebabkan terjadinya pulpitis baik diawali oleh pulpitis reversible atau secara progresif menjadi pulpitis irreversible. Keadaan tersebut pada akhirnya akan berkembang menjadi nekrosis pulpa akibat invasi bakteri ke pulpa dari karies yang terjadi. [3] Proses inflamasi periapikal sendiri diawali dengan periodontitis apikalis, suatu proses inflamasi yang secara histologis merujuk pada abses periapikal ataupun granuloma periapikal. Metabolit toksik dari pulpa yang nekrotik keluar melalui apeks dan menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi pada ligamen periodontal dan tulang sekitar. Reaksi tersebut ditandai dengan adanya infiltrasi komponen inflamasi seperni limfosit bercampur dengan neutrofil polimorfonuklear. [3]

Tergantung dengan keparahan respon inflamasinya, neutrofil dapat terkumpul di dalam pus menyebabkan terjadinya abses periapikal. [3]

4. Mekanisme Terjadinya Gigi Di Dalam Gigi

Pada penelitian yang dilakukan sehubungan dengan hilangnya lokus kromosom 7q32 mengindikasikan hilangnya materi genetik didalamnya yang berperan dalam kontrol morfogenesis gigi yang terletak dalam lokus tersebut. Kelainan yang ditemukan antara lain hipodonsia, enamel yang tipis, displasia akar, dentikel, morfologi pulpa yang abnormal dan morfologi mahkota abnormal. [4] Shh terdapat pada kromosom 7 manusia, jika ada kelainan pada transkripsi kromosom tersebut maka dapat disimpulkan proses organogenesis pada manusia akan terganggu. [5]

Selama perkembangan, gigi dari berbagai macam tipe dan posisi yang berbeda berasal dari lapisan tunggal ektoderm mulut dan ektomesenkim yang melapisi dibawahnya. Mekanisme molekular menyediakan kode posisional dari morfogenesis gigi berdasarkan kode gen homeobox yang diekspresikan pada sel-sel ektomesenkim yang merujuk pada kode homeobox odontogenik. [6] Pada tahap inisiasi, adanya Shh akan menyebabkan terjadinya proliferasi sel dan formasi invaginasi pada tooth bud. Pemblokiran Shh dengan menggunakan antibodi penetralisir mengindikasikan bahwa Shh diperlukan pada formasi benih gigi dan untuk morfogenesis gigi. Jika aktivitas Shh tidak ada dari epitel rongga mulut, morfogenesis gigi akan terganggu. [6] Pada pertumbuhan selanjutnya dari epitelium mengarah pada formasi mahkota gigi pada fase lonceng (bell stage). Morfogenesis gigi yang diikuti dengan diferensiasi dari odontoblas dari sel mesenkim dan ameloblas dari sel epitel. Selama fase cap dan bell stage akan terdapat signalling centre yaitu enamel knot yang terbentuk pada ujung benih gigi yang mengatur morfogenesis cusp. Pada enamel knot terdapat sejumlah gen yang berfungsi untuk memberikan sinyal sleama ekspresi enamel knot yang meliputi BMP2, BMP4, BMP7, FGF9, Wnt10b dan Shh yang meregulasi proliferasi sel dan apoptosis. [6] Selama tahap akhir dari bell stage, epitel ameloblas dan mesenkimal odontoblas berdiferensiasi membentuk matrik organik, enamel dan dentin. [6] Terdapat gen homeobox lain yaitu Dlx1 yang berfungsi dalam meregulasi sinyal transkripsi dari TGF-beta family dimana gen ini terdapat pada kromosom 2 manusia. Jika mengalami kelainan maka akan mempengaruhi sinyal-sinyal BMP yang berperan dalam morfogenesis gigi. [7] BMP merupakan anggota dari TGF-beta, dan produksi serta reseptorreseptornya telah dideteksi terdapat di sel-sel epitel dan mesenkim selama masa perkembangan gigi. Penelitian sebelumnya telah menggunakan sistem kultur organ dan model genetik tikus yang menunjukkan peran penting dari BMP pada tahap perkembangan dan morfogenesis gigi. Bersamaan dengan aktivitas BMP, terdapat dua antagonis BMP berupa follistatin dan ektodin yang belakangan ini dilaporkan ikut berperan dalam morfogenesis gigi dengan menyelaraskan sinyal BMP. Follistatin pada tikus secara ektopik memproduksi enamel pada daerah lingual. Ektodin telah menunjukkan perannya dalam mengontrol aktivitas enamel knot yang merupakan sinyal center pada benih gigi. Sehingga apabila ada perubahan sinyal dari antagonis

tersebut maka dapat menyebabkan perubahan pembentukan pola cusp. Sebagai tambahan, BMP2 telah dinyatakan sebagai penginduksi potensial dari diferensiasi ameloblast (amelogenesis) pada kombinasinya dengan sistem in vitro yang lain. Hal ini mengindikasikan bahwa BMP berperan penting dalam tahap perkembangan gigi. [8] Belum ada penelitian yang secara langsung membahas mengenai mekanisme molekuler terjadinya dens invaginatus akan tetapi melalui penelitian sebelumnya dapat diperkirakan kelainan morfologi gigi tersebut dipengaruhi oleh regulasi Shh, BMP dan antagonisnya serta gen sinyal lainnya yang telah disebutkan diatas yang mungkin mengalami overekspresi sehingga berperan dalam invaginasi abnormal pada daerah lingual gigi insisiv lateral maksila berupa formasi foramen caecum yang dalam

5. Gambaran Radiografi Terdapat tampilan radiopak pada ruang pulpa yang menunjukkan adanya gigi di dalam gigi. Daerah radiolusen diffuse dengan diameter sekitar 1 cm dimana ligamen periodontal pada daerah apeks gigi mengalami pelebaran dan lamina dura pada apeks gigi terputus. Alveolar crest dalam batas normal. [1,2,3]

6. Epidemiologi Dens In Dente Kelainan ini paling sering terjadi pada gigi insisiv lateral maksila diikuti dengan I1, C, P, M berdasarkan urutan seringnya daerah terjadinya dens in dente. Kelainan dens in dente ini jarang pada rahang bawah dan 43% kasus terjadi bilateral. [1]

7. Mekanisme Terjadinya Mobilitas Gigi Mobilitas gigi mempunyai derajat dimana kegoyangan dari gigi tersebut masih dalam batas normal. Ketika kegoyangannya semakin buruk, maka dapat disebut sebagai mobilitas patologis. [9] Ada banyak faktor yang meningkatkan mobilitas gigi, antara lain kehilangan tulang penyangga, inflamasi pada ligamen periodontal pada daerah periodontal maupun periapikal dan beberapa faktor sistemik. Dukungan dari jaringan periodontal

yang inadekuat dan tekanan kunyah yang berlebihan dapat menyebabkan mobilitas adaptif. [9] Selain itu, pada umumnya hipermobilitas yang terjadi pada gigi disebabkan salah satunya oleh penyakit periapikal dimana abses disertai resorpsi tulang menyebabkan kerusakan pada jaringan penyangga gigi pada daerah periapikal sehingga menyebabkan kegoyangan pada gigi. [9]

8. Pemeriksaan Klinis Dan Penunjang Dens In Dente Pemeriksaan klinis yang dilakukan antara lain tes perkusi, tes palpasi, tes vitalitas, tes mobilitas gigi, dan tes druk. Sedangkan pemeriksaan penunjang dapat berupa pemeriksaan radiografi. [3]

9. Klasifikasi Dens In Dente

Klasifikasi yang paling umum digunakan adalah kalsifikasi menurut Oehlers: Tipe 1: Cekungan dilapisi email yang terbentuk pada bagian cekung mahkota dan tidak meluas sampai amelocemental junction. Invagiansi hanya sebatas mahkota gigi. Tipe 2: Bentukan yang dilapisi enamel yang meluas hingga ke akar tetapi tetap cekung seperti kantung, tetapi tidak sampai pada jaringan periodontal atau apikal. Bentuk tersebut dapat terhubung dan tidak terhubung dengan pulpa gigi.

Tipe 3: Suatu bentuk yang berpenetrasi melalui perforasi akar pada area apikal menunjukkan 'foramen apikal kedua' di bagian apikal atau di area periodontal. Invaginasi mulai dari mahkota sampai apeks, tetapi tidak terdapat penghubung langsung dengan pulpa. Invaginasi dilapisi email secara menyeluruh, tetapi sering dijumpai adanya sementum yang melapisi invaginasi. [10]

10. Manifestasi Klinis Pada abses periapikal, manifestasi klinis yang sering kali ditemui antara lain: o Terjadi nyeri saat diperkusi o Pembengkakan kelenjar getah bening o Giginya terasa goyang o Pembengkakan jaringan lunak berfluktuasi Sedangkan manifestasi klinis yang sering ditemui pada kelainan dens in dente adalah insisiv lateral berbentuk peg shape, adanya gemination, taurodontism, hipodonsia, hiperdonsia, dan foramen caecum yang dalam pada daerah lingual gigi. [1,2,11]

11. Penyakit Lain Yang Menyertai Dens In Dente Kelainan dens in dente sering disertai keadaan seperti insisiv lateral berbentuk peg shape, macrodontia, oligodonsia, adanya germination dan fusion, taurodontism, hipodonsia, hiperdonsia atau gigi supernumeri, amelogenesis imperfecta, agenesis mahkota, Williams syndrome dan foramen caecum yang dalam pada daerah lingual gigi. [1]

12. Hubungan Dens In Dente Dengan Abses Dens in dente berhubungan erat dengan terjadinya abses periapikal pada gigi 12 yaitu dimana kelainan morfologi ini berperan sebagai faktor predisposisi. Groove yang terbentuk di dalam ruang pulpa terbentuk dari lapisan dentin dan permukaannya dilapisi enamel yang tipis sehingga anomali ini paling rentan terhadap terjadinya

karies. Karies tersebut yang nantinya akan berperan dalam riwayat perjalanan abses periapikal. [12]

13. Pengaruh Dens In Dente Terhadap Oklusi Pasien Perlu diketahui bahwa keadaan oklusi seseorang dikatakan dalam suatu kondisi maloklusi apabila terdapat kondisi-kondisi sebagai berikut: 1. Ketika ada kebutuhan bagi subjek untuk melakukan posisi postural adaptif dari mandibula. 2. Jika ada gerak menutup translokasi dari mandibula, dari posisi istirahat atau dari posisi postural adaptif ke posisi interkuspal. 3. Jika posisi gigi adalah sedemikian rupa sehingga terbentuk mekanisme reflex yang merugikan selama fungsi pengunyahan dari mandibula. 4. Jika gigi-gigi menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak mulut. 5. Jika ada gigi berjejal atau tidak teratur, yang bisa merupakan pemicu bagi terjadinya penyakit periodontal dan gigi. 6. Jika ada penampilan pribadi yang kurang baik akibat posisi gigi. 7. Jika ada posisi gigi yang menghalangi bicara yang normal. Pada kasus skenario, dapat dikatakan mempengaruhi oklusi pasien apabila terdapat kelainan lain yang menyertainya yaitu berupa gigi supernumary/ hiperdonsia dimana akan menghasilkan gigi yang berjejal dan penampilan yang kurang baik akibat posisi gigi. [13]

14. Terapi Terapi yang dilakukan untuk pasien antara lain adalah penatalaksanaan

kegawatdaruratan berupa drainage yang dilakukan pada vestibular sulcus dimana terdapat fluktuasi akibat akumulasi pus di daerah periapikal. Kemudian pemberian medikamentosa seperti obat antibiotik (amoxicillin 500mg per 8 jam selama 7 hari) dan analgesik antiinflamasi (ibuprofen 400mg per 8 jam selama 4 hari). [14]

Pada gigi yang mengalami mobilitas derajat 2 diberikan perawatan berupa splinting sementara untuk menghilangkan kegoyangan pada gigi 12. [15] Kemudian pada kunjungan kedua dimana edema pada pasien sudah sembuh, maka dilakukan prosedur perawatan saluran akar. Diawali dengan pemberian anestesi lokal dengan menggunakan lidocaine 2% ditambah epinefrin 1:80000) kemudian dibuat akses ke kavitas dengan bur diamond bulat, pembuangan area invaginasi dengan menggunakan K-File, sterilisasi, obturasi dengan menggunakan kalsium hidroksida/ MTA, pemberian restorasi sementara kemudian pada kunjungan berikutnya diberikan restorasi permanen pada gigi 12. [14] Pada gambaran radiografi mahkota gigi 12 pasien mengalami kelainan bentuk berupa mahkota peg-shape sehingga untuk perawatan peg-shape yang perlu

direkomendasikan dapat berupa prosedur direct composite bonding, indirect composite bonding, mahkota selubung,ekstraksi kemudian pemberian implant atau kombinasi dari perawatan pilihan tersebut. [16]

15. Prognosis Baik bila ditangani segera. Prognosis akan menjadi lebih baik bila dilakukan splinting pada gigi 12 yang mengalami mobilitis derajat 2. Gejala abses akan hilang setelah 48 jam dilakukannya drainage. Antibiotik akan sangat baik bila diberikan pada pasien yang mengalami gejala demam dan pembengkakan. Setelah prosedur endodontik, lesi tulang yang terlibat karena abses akan sembuh.[15]

16. Komplikasi

Komplikasi yang terjadi bila abses periapikal tidak segera ditangani antara lain granuloma apikalis yang lama kelamaan dapat berkembang menjadi kistadikular, tekanan dari akumulasi pus di daerah periapikal dapat menyebabkan drifting gigi, dan apabila lebih lama dibiarkan akan menyebabkan osteomyelitis pada tulang alveolar rahang atas. [3] Dari proses terjadinya inflamasi akut berupa abses periapikal, dimana terjadi proses penyembuhan dari periodontitis apikalis, tubuh akan menstimulasi formasi jaringan granulasi yang bercampur dengan komponen inflamasi kronis yanag terdiri dari limfosit, sel plasma dan histiosit yang menyebabkan terjadinya granuloma periapikal. Epitelium yang terjebak (sisa-sisa epitelium Malassez) dapat berproliferasi membentuk kista radikular atau mengarah pada lesi kronis eksaserbasi akut. [3] Pada tulang disekitarnya yang terlibat, reaksi inflamasi dari kuman-kuman pyogenik yang menyebabkan terjadinya abses periapikal dapat berubah menjadi osteomyelitis. Mempertimbangkan bahwa lesi inflamasi periapikal biasanya melibatkan tulang disekitar apeks gigi sedangkan pada osteomyelitis meliputi area yang lebih besar sehingga apabila kerusakan tulang dari abses periapikal melibatkan daerah kerusakan tulang yang lebih besar maka diagnosis yang ditegakkan adalah osteomyelitis. [3]

DAFTAR PUSTAKA

1. Hulsmann, M. Dens invaginatus: aetiology, classification, prevalence, diagnosis, and treatment consideraton. International Endodontic Journal 30. 1997; pg 79-90. 2. Alani A, Bishop K. Dens Invaginatus. Part 1: classification, prevalence and aetilogy. International Endodontic Journal [41], 2008; pg 1123-1136. 3. White SC, Pharoah MJ. Oral Radiology Principles and Interpretation. Missouri: Mosby Inc. 2004. 4. Pokala P, George Acs. A constellation of dental anomalies in a chromosomal deletion syndrome (7q32): case report. Pediatric Dentistry Vol 16 [4]. 1994; pg. 308. 5. UCSC Genome Browser on Human March 2006 (NCBI36/hg18) Assembly 6. Schwabe GC, et al. Molecular Mechanism of Tooth Development and Malformations. Oral Biosci Med 2. 2004; pg 77-91. 7. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?Db=gene&Cmd=ShowDetailView&TermT oSearch=1745 8. Miyoshi K, et al. BMP2-induced gene profiling in dental epithelial cell line. The Journal of Medical Investigation vol 55. 2008; pg. 216-217. 9. Newman MG, Takei HH, Carranza FA. Carranza's Clinical Periodontology. Philadelphia: WB Saunders, 2002. 10. Albertus K, Retnowati E, Santosa P. Perawatan Endodontik Pada Kasus Dens Invaginatus. Maj Ked Gigi 15(1), 2008; pg 65-70. 11. Neville, et al. Oral and Maxillofacial Pathology 2nd Edition. USA: V.B Sanders Company. 2002 12. Slootweg, PJ. Dental Pathology: A Practical Introduction. New York: Spriger-Verlag Berlin Heidelberg. 2007. 13. Foster, TD. Buku Ajar Ortodonsi Edisi III. Jakarta: EGC. 1993. 14. Jaramillo A, et al. Endodontic treatment of dens invaginatus: A 5-year follow-up. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod [101], 2006; pg 15-21. 15. Strassler, HE. Tooth Stabilization Improves Periodontal Prognosis: Case Report. Dentistry Today [117], 2011. 16. Greenwall, Linda. Treatment Options for Peg-shaped Laterals Using Direct Composite Bonding. International Dentistry SA [12] No.1. 2008.