paper pemiskinan peruu.docx
-
Upload
therisya-karmila -
Category
Documents
-
view
14 -
download
1
Transcript of paper pemiskinan peruu.docx
HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN
OPTIMALISASI PENJATUHAN HUKUMAN PIDANA PEMISKINAN
BAGI TERPIDANA KORUPSI MELALUI UNDANG-UNDANG TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG
Nama Kelompok:
- THERISYA KARMILA NIM. 1103005101
- I GEDE WIDNYANA NIM. 1103005100
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Korupsi dan kemiskinan merupakan permasalahan bangsa yang sangat mengancam
dalam mencapai tujuan negara. Korupsi yang sudah dipandang sebagai extraordinary
crime menjadi ancaman utama dalam menciptakan kesejahteraan umum dan kemakmuran
bagi seluruh rakyat Indonesia. Korupsi mempunyai pengaruh yang paling menghancurkan
di negara-negara yang sedang mengalami transisi seperti Indonesia, apabila tidak
dihentikan, korupsi dapat menggerogoti dukungan terhadap demokrasi dan sebuah
ekonomi pasar.1
Sementara itu kemiskinan yang semakin meluas belum juga dapat diatasi dengan
berbagai kebijakan pemerintah sehingga bisa dikatakan bahwa kesejahteraan umum baru
menjadi norma abstrak yang tidak bisa diterjemahkan dalam kenyataan.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang terus ditingkatkan dalam upaya
pengentasan kemiskinan tentu harusnya berjalan lurus dengan hasil yang diharapkan.
Namun harapan itu tidak secara signifikan berhasil diwujudkan. Artinya ada sebuah
permasalahan besar yang menyebabkan hal tersebut dan apabila ditarik hubungan kausal
antara korupsi dan kemiskinan maka ada benang merah yang bisa dicermati.
Modus kejahatan yang sejak beberapa waktu lalu mulai dikenal dengan istilah
kejahatan “kerah putih” atau White Collar Crime memiliki karakteristik menurut Hazel
Croall (terjemahan) yaitu: 2
1. Tidak kasat mata (low visibility). 1 Kimberly Ann Elliott, Korupsi dan Ekonomi Dunia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 1-2.2 Hazzel Croal (1992), White Collar Crime, dikutip oleh Harkristuti Harkrisnowo, Kriminalisasi Pemutihan Uang (Money Laundering) sebagai bagian dari White Collar Crime, (Makalah disampaikan pada seminar Money Laundering (Pencucian Uang) Ditinjau dari Perspektif Hukum dan Ekonomi, Jakarta, 23 Agustus 2001), hal. 4.
2. Sangat kompleks (complexity)
3. Ketidakjelasan pertanggung-jawaban pidana (diffusion of responsibility)
4. Ketidakjelasan korban (diffusion of victims).
5. Aturan hukum yang samar atau tidak jelas (ambiguous criminal law)
6. Sulit dideteksi dan dituntut (weak detection and prosecution).
Pemiskinan koruptor bisa menjadi alternatif dalam upaya pemberantas korupsi karena
ancaman sanksi pidana mati yang ada dalam salah satu pasal di Nomor 31 Tahun 1991
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, tidak memberikan efek takut yang baik. Belum berhasilnya
pemberantasan korupsi bisa dilihat dari masih maraknya kasus korupsi.
Dapat dipastikan bahwa pada setiap kejahatan yang dilakukan, si pelaku sedapat
mungkin berusaha untuk menghilangkan segala bukti yang dapat menyeretnya ke “meja
hijau”. Kegiatan untuk menyembunyikan asal usul uang hasil kejahatan mereka lakukan
dengan melakukan “pencucian” terhadap uang tersebut. Hal yang seringkali dilakukan
oleh para pelaku kejahatan ini ternyata sulit untuk dibuktikan, dan dikenal dengan istilah
money laundering (pencucian uang). Dimana, saat ini kegiatan pencucian uang telah
melewati batas jurisdiksi yang menawarkan tingkat kerahasiaan yang tinggi atau
menggunakan bermacam mekanisme keuangan dimana uang dapat “bergerak” melalui
bank, money transmitters, kegiatan usaha bahkan dapat dikirim ke luar negeri sehingga
menjadi clean-laundered money.3
Pemikiran mengenai penerapan pidana pemiskinan koruptor memiliki potensi yang
besar untuk meminimalisir dan mematikan embrio korupsi di Indonesia. Secara
manusiawi tidak ada orang yang mau miskin. Tentu koruptor yang biasa hidup
berkecukupan bahkan cenderung mewah akan takut miskin. Dengan begitu mereka akan
3 Yunus Hussein, Bunga Rampai Anti Pencucian Uang, (Bandung: Books Terrace & Library, 2007), hal. 3.
berpikir ribuan kali untuk melakukan tindak pidana korupsi, karena jika melakukan tindak
pidana korupsi mereka akan dimiskinkan. Akan tetapi pemiskinan koruptor harus
dikukuhkan dalam sebuah aturan yang jelas dan harus ditegakkan secara tegas. Hal inilah
yang melatarbelakangi kami untuk menyelesaikan makalah yang berjudul “Optimalisasi
Penjatuhan Hukuman Pidana Pemiskinan Bagi Terpidana Korupsi melalui Undang-
Undang Tindak Pencucian Uang”.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Terkait mengenai latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang muncul adalah,
bagaimana efektivitas azas praduga bersalah dan pembuktian terbalik pada pelaku pidana
korupsi dalam pidana pemiskinan ?
a.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Efektivitas Azas Praduga Bersalah dan Pembuktian Terbalik Pada Pelaku
Pencucian Uang Dalam Pidana Pemiskinan
Ketika pidana penjara sudah dirasakan tidak efektif dan tidak menjerakan koruptor,
perlu terobosan baru dan tindakan konkret. Situasi yang dirasakan tidak adil berganti
menjadi rasa keadilan dan perlindungan masyarakat luas. Apalagi, meskipun berstatus
narapidana, banyak terdakwa kasus korupsi masih dapat menikmati banyak fasilitas.
Pemiskinan merupakan langkah baru dalam memberantas korupsi. Berkaca dari proses
pemidanaan Australia, dirasa bahwa pidana pemiskinan sangat berdampak pada keuangan
para terpidana koruptor, dimana isi kantong koruptor yang menjadi terdakwa seakan
dikuras rata.
Pada putusan hukuman dari hakim dalam pemidanaan di Australia, selain
mengandung efek jera, juga berdampak keuangan yang berat. Bagi koruptor, selain
mendapat hukuman kurungan badan, dia wajib membayar denda atau ganti rugi lima kali
lipat dari hasil korupsi yang dilakukan terdakwa. Jika melihat dari sisi efek jera, jelas
terlihat bahwa putusan yang menetapkan indeks ganti rugi sebanyak lima kali dari dana
yang dikorupsi tentu memberatkan terdakwa.
Dalam praktik pemiskinan di Indonesia, setidaknya, terdapat tiga pandangan terkait
yang memerlukan perhatian dengan harapan semoga implementasi yang bernuansa
pemiskinan koruptor tidak berjalan alot.
Pengertian pemiskinan korupsi di Indonesia belum sama dari aparat penegak hukum
dan pegiat Tipikor. Pemiskinan merupakan proses orang menjadi miskin, entah hal
tersebut dikarenakan oleh korupsi, bangkrut, ataupun pendidikan yang rendah.4 Jaksa
4 http://tyasnita.blogspot.com/ 5 January 2014
Agung Muda Pengawasan, Marwan Effendi, mengatakan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
(TPPU) diharapkan dapat menjadi alat yang lebih efektif dalam memerangi tindak pidana
korupsi (TPK).5 Praktik pencucian uang (money laundring) hanya salah satu cara
menyamarkan atau menyembunyikan hasil korupsi.
Pencucian Uang merupakan salah satu kejahatan yang terorganisasi dan bersifat
lintas batas teritorial (transnasional), disamping korupsi, perdagangan manusia,
penyelundupan migrant dan penyelundupan senjata api. Demikian bunyi ketentuan dalam
Konvensi Kejahatan Transnasional Terorganisasi. Konvensi tahun 2000 ini sudah
ditandatangani namun belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, sedangkan Konvensi
Anti Korupsi tahun 2003 telah diratifikasi dengan Undang-undang nomor 7 tahun 2006.6
Pada Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, pembuktian terbalik diatur dalam Pasal 77 dan 78 yang
berbunyi:
Pasal 77
“Untuk Kepentingan pemeriksaan di sidang Pengadilan terdakwa wajib membuktikan
bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.”
Pasal 78
1. Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77,
hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait
dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1).
5 Abraham Fangidae, Pemiskinan Koruptor Dimulai, Koran Jakarta: http://koran-jakarta.com/?pg=berita_detail&berita_id=356&menu_id=37, 5 January 20146 Romli Atmasasmita, “Pembuktian Terbalik”, Seputar Indonesia: http://www.hukumnews.com/opini/39-opini/144-pembuktian-terbalik.html. 5 January 2014
2. Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan
berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup.
Pembuktian terbalik beban pembuktian ada pada terdakwa. Pada tindak pidana
pencucian uang yang harus dibuktikan adalah asal-usul harta kekayaan yang bukan
berasal dari tindak pidana, misalnya bukan berasal dari korupsi, kejahatan narkotika serta
perbuatan haram lainnya. Pasal 77 dan 78 tersebut berisi ketentuan bahwa terdakwa
diberi kesempatan untuk membuktikan harta kekayaannya bukan berasal dari tindak
pidana. Ketentuan ini dikenal sebagai asas pembuktian terbalik. Dimana sifatnya sangat
terbatas, yaitu hanya berlaku pada sidang di pengadilan, tidak pada tahap penyidikan.
Selain itu tidak pada semua tindak pidana, hanya pada serious crime atau tindak pidana
berat seperti korupsi, penyelundupan, narkotika, psikotropika atau tindak pidana
perbankan. Dengan sistem ini, justru terdakwa yang harus membuktikan, bahwa harta
yang didapatnya bukan hasil tindak pidana. Yang harus dilakukan adalah mengetahui apa
saja bentuk aset korupsi, dimana disimpan dan atas nama siapa.7
Pasal-pasal lain yang mendukung pembuktian terbalik ini diantaranya yaitu pada
Pasal 79 ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang mengenai sita terhadap harta kekayaan hasil dari suatu tindak pidana yang
menyatakan bahwa: “Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan
dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak
pidana Pencucian
Uang, hakim atas tuntutan penuntu umum memutuskan perampasan Harta Kekayaan yang
telah disita.”
7 Sutan Remy Sjahdeini, “Memburu Aset Koruptor Dengan Menebar Jerat Pencucian Uang,” Hukum Online: http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol12317/memburu-aset-koruptor-dengan-menebar-jerat-pencucian-uang, 5 Januari 2014
Ketentuan Pasal 79 ayat (4) dalam penjelasannya dimaksudkan untuk mencegah agar
ahli waris dari terdakwa menguasai atau memiliki Harta Kekayaan yang berasal dari
tindak pidana. Di samping itu sebagai usaha untuk mengembalikan kekayaan negara
dalam hal tindak pidana tersebut telah merugikan keuangan negara.
Pemeriksaan tindak pidana pencucian uang terhadap harta kekayaan yang diduga
merupakan hasil dari tindak pidana tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana
asalnya. Pencucian uang merupakan independent crime, artinya kejahatan yang berdiri
sendiri. Walaupun merupakan kejahatan yang lahir dari kejahatan asalnya, misalnya
korupsi, namun rezim anti pencucian uang di hampir seluruh negara menempatkan
pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang tidak bergantung pada kejahatan asalnya
dalam hal akan dilakukannya proses penyidikan pencucian uang.8 Di sidang pengadilan,
terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaanya bukan merupakan hasil dari suatu
tindak pidana (asas pembuktian terbalik). Dan untuk kelancaran pemeriksaan di
pengadilan, dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang
pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya
terdakwa sesuai dengan ketentuan pada Pasal 79 ayat (1).
Tujuan awal UU TPPU adalah menghentikan kehidupan organisasi kejahatan dengan
merampas harta kekayaan yang berasal atau dinikmati dari kejahatan dengan praduga
bahwa setiap harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana adalah tidak
seharusnya dikuasai atau dinikmati oleh orang yang bersangkutan.
Berdasarkan tujuan tersebut, strategi pencegahan dan pemberantasan pencucian uang
bersandar pada praduga bersalah (presumption of guilt) sehingga pemilik harta kekayaan
yang diduga berasal dari tindak pidana diwajibkan membuktikan bahwa harta
kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana. Strategi ini berbeda dengan strategi umum
yang berlaku dalam tindak pidana lain seperti korupsi di mana tujuan penghukuman
8 Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008), hal. 288.
adalah tujuan utama membuktikan kesalahan terdakwa dengan bersandar pada praduga
tak bersalah (presumption of innocence).
Secara teoretis pembuktian terbalik untuk asal usul harta kekayaan dilandaskan pada
balanced probability principle. Pendekatan ini membedakan sekaligus menyeimbangkan
prinsip praduga tak bersalah terhadap perbuatan seseorang yang diduga melakukan tindak
pidana dan prinsip praduga bersalah terhadap harta kekayaan seseorang yang diduga
berasal dari tindak pidana.
Kedua prinsip hukum tersebut tidak boleh digabungkan karena jika langkah hukum
tersebut dilakukan melanggar prinsip ne bis in idem dan prinsip non-self incrimination;
dan jika prosedur pembuktian tersebut dilaksanakan, langkah hukum tersebut cacat
hukum dan dapat dibatalkan.
Jika penyidik mengubah strategi pembuktian semula hendak membuktikan kesalahan
seseorang yang diduga melakukan tindak pidana kemudian menggunakan strategi
pembuktian atas harta kekayaan pelaku yang diduga diperoleh dari tindak pidana,
menurut teori di atas pembuktian harta kekayaan tidak dapat digunakan sebagai
pembuktian pada perkara tindak pidana asal (predicate crime).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Indonesia harus berkaca dari segi pemidanaan pada Australia, dimana penerapan
pemiskinan dirasa cukup berat untuk dihadapi bagi para koruptor, namun sebelum penerapan
ini terlasana perlu diperjelas mengenai pengertian tentang pemiskinan itu sendiri dan
bagaimana tata cara penerapannya. Dalam pemutusan hukuman dari hakim diperlukan
penggunaan asas-asas yang tepat. Dalam proses penjatuhan hukuman terlihat adanya
transparansi dari bentuk pidana Money Laundry yang dilakukan. Penerapan asas pembuktian
terbalik juga membantu dimana kewenangan untuk melakukan pembuktian dapat dilakukan
oleh para pelaku jika harta yang dijadikan bukti bukanlah hasil money laundry. Selain itu,
asas praduga bersalah juga diterapkan, hal ini berhubungan mengenai barang bukti yang
diperoleh penyidik, dimana jika pelaku tidak dapat membuktikan kebenarannya, maka sudah
barang tentu, pelaku telah melakukan perbuatan yang tidak terpuji tersebut.
3.2 Saran
Negara telah menyediakan Undang-Undang Pencucian Uang untuk menyelamatkan bangsa
dari keganasan korupsi. Namun, ibarat ungkapan the man behind the gun, efektivitasnya
bergantung pada siapa yang menggunakan. Indonesia juga dapat meminta kerja sama
internasional untuk penegakan hukum, kerja sama antar aparat penegak hukum, investigasi
bersama, pengembangan teknik investigasi khusus, serta bantuan teknis terkait dengan
perburuan harta koruptor. Namun, perlu digarisbawahi, semua itu akan berjalan ideal jika
integritas penegak hukum dibenahi dengan radikal, karena mereka yang akan menjalankan
semua regulasi pemberantasan korupsi. Sepanjang penegak hukum masih dapat disuap, atau
menggunakan jabatan untuk memeras, sulit rasanya berharap koruptor miskin.
DAFTAR PUSTAKA
Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008),
hal. 288.
Kimberly Ann Elliott, Korupsi dan Ekonomi Dunia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1999.
Hazzel Croal (1992), White Collar Crime,
Yunus Hussein, Bunga Rampai Anti Pencucian Uang, (Bandung: Books Terrace &
Library, 2007), hal. 3.
Literatur Lainnya
http://tyasnita.blogspot.com/ 5 January 2014
Abraham Fangidae, Pemiskinan Koruptor Dimulai, Koran Jakarta: http://koran-
jakarta.com/?pg=berita_detail&berita_id=356&menu_id=37, 5 January 2014
Romli Atmasasmita, “Pembuktian Terbalik”, Seputar Indonesia:
http://www.hukumnews.com/opini/39-opini/144-pembuktian-terbalik.html. 5
January 2014
Sutan Remy Sjahdeini, “Memburu Aset Koruptor Dengan Menebar Jerat Pencucian
Uang,” Hukum Online:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol12317/memburu-aset-koruptor-
dengan-menebar-jerat-pencucian-uang, 5 Januari 2014