paper model ekonomi 3

42
DAMPAK PEMBATASAN KONSUMSI BBM TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA DI INDONESIA Analisa Sistem Neraca Sosial Ekonomi Tahun 2005 A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi menuntut ketersediaan energi yang mencukupi. Tanpa adanya sumber energi yang mencukupi untuk kelangsungan kegiatan ekonomi, maka perekonomian akan terganggu. Demikian pula halnya dengan pendapatan masyarakat. Keberlanjutan kehidupan masyarakat tergantung pada keberlangsungan perekonomian, sehingga ketika terjadi kemandegan dalam perekonomian maka pendapatan masyarakat juga akan mandeg, dan ini akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Namun pertumbuhan ekonomi saja belum dapat menjamin tercapainya kesejahteraan dalam masyarakat. Teori ekonomi pembangunan menjelaskan bahwa disamping pertumbuhan ekonomi yang tinggi diperlukan pemerataan pendapatan masyarakat. Kemudian, wacana yang berkembang dari ekonomi lingkungan menjelaskan bahwa disamping pertumbuhan ekonomi, diperlukan pula perhatian terhadap keseimbangan dan ketahanan lingkungan. Karena, pertumbuhan ekonomi tanpa perhatian terhadap lingkungan hanya akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang pada akhirnya nanti akan menimbulkan kerugian terhadap masyarakat itu sendiri. Demi tercapainya ketahanan energi dan keseimbangan lingkungan dalam pencapaian pertumbuhan dan pemerataan 1

Transcript of paper model ekonomi 3

Page 1: paper model ekonomi 3

DAMPAK PEMBATASAN KONSUMSI BBM TERHADAP

PENDAPATAN RUMAH TANGGA DI INDONESIA

Analisa Sistem Neraca Sosial Ekonomi Tahun 2005

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi menuntut ketersediaan energi yang

mencukupi. Tanpa adanya sumber energi yang mencukupi untuk kelangsungan kegiatan

ekonomi, maka perekonomian akan terganggu. Demikian pula halnya dengan pendapatan

masyarakat. Keberlanjutan kehidupan masyarakat tergantung pada keberlangsungan

perekonomian, sehingga ketika terjadi kemandegan dalam perekonomian maka pendapatan

masyarakat juga akan mandeg, dan ini akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat.

Namun pertumbuhan ekonomi saja belum dapat menjamin tercapainya kesejahteraan

dalam masyarakat. Teori ekonomi pembangunan menjelaskan bahwa disamping pertumbuhan

ekonomi yang tinggi diperlukan pemerataan pendapatan masyarakat. Kemudian, wacana

yang berkembang dari ekonomi lingkungan menjelaskan bahwa disamping pertumbuhan

ekonomi, diperlukan pula perhatian terhadap keseimbangan dan ketahanan lingkungan.

Karena, pertumbuhan ekonomi tanpa perhatian terhadap lingkungan hanya akan

menimbulkan kerusakan lingkungan yang pada akhirnya nanti akan menimbulkan kerugian

terhadap masyarakat itu sendiri.

Demi tercapainya ketahanan energi dan keseimbangan lingkungan dalam pencapaian

pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, maka diperlukan adanya penggunaan energi secara

efisien. Namun yang masih berlangsung di Indonesia sekarang ini ternyata bahwa kita masih

boros dalam penggunaan energi.

Seperti yang dikaji oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT),

konsumsi energi Indonesia masih terlalu boros dibandingkan dengan angka pertumbuhan

ekonomi nasionalnya, dengan nilai elastisitas di angka 2,02. Sedangkan negara – negara

seperti Jerman dan Jepang, elastisitasnya minus satu, yang artinya sangat efisien dalam

mengkonsumsi energi. Menurut Kepala Balai Besar Teknologi Energi BPPT Dr. Soni Solistia

Wirawan, Indonesia pada 2008 memiliki nilai intensitas energi 382 TOE (tonne of oil

equivalent) per juta dollar AS. Itu berarti untuk menghasilkan sejuta dolar AS GDP (gross

domestic product), Indonesia harus mengonsumsi 382 TOE, suatu angka yang sangat tinggi.

(Kompas, 10 Desember 2010, Konsumsi Energi RI Terlalu Boros).

1

Page 2: paper model ekonomi 3

Nilai intensitas energi adalah perbandingan antara total penggunaan energi dengan

produk domestik bruto (PDB). Tabel 1 berikut ini menyebutkan berapa intensitas energi dari

beberapa negara maju:

Tabel 1. Intensitas Energi di Negara Negara Maju

Negara Intensitas Energi (TOE)1. Inggris 1102. Jerman 1273. Amerika Serikat 1994. Jepang 1155. Singapura 240

Sumber: Kompas, 10 Desember 2010, Konsumsi Energi RI Terlalu Boros.

Indonesia menargetkan untuk mencapai nilai elastisitas energi di bawah satu pada

tahun 2025, meskipun saat ini baik masyarakat maupun industri di Indonesia dinilai masih

boros dalam penggunaan energi. Di sektor industri pemborosan energi bisa terjadi akibat dari

adanya peralatan yang tidak terawat, kebocoran peralatan maupun pemanfaatan energi yang

tidak efisien.

Konsumsi energi di Indonesia sekarang ini masih didominasi oleh konsumsi energi

fosil (fossil fuel) terutama Bahan Bakar Minyak (BBM). Hal ini dapat dilihat dalam data dari

Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bahwa secara umum, total konsumsi

energi final yang didominasi oleh energi fosil, di Indonesia terus meningkat dari tahun ke

tahun.

Tabel 2. Konsumsi Energi Final Berdasarkan Tipe Energi (Ribu BOE)

Tahun Biomassa BatubaraGas

AlamFuel

Briket Batubara

LPG Listrik Total

2000 269,042 36,060 87,214 315,272 85 8,261 48,555 777,9252001 268,953 37,021 82,235 328,203 78 8,280 51,841 802,3252002 270,207 38,698 80,885 325,202 83 8,744 53,418 799,9262003 271,974 32,077 79,575 321,384 77 8,766 55,473 792,8592004 271,765 32,077 85,459 354,317 80 9,187 61,393 851,9942005 271,094 65,744 86,634 338,375 94 8,453 65,644 865,6522006 276,271 89,043 83,221 311,904 94 9,414 69,071 879,9402007 274,369 121,800 80,178 314,240 131 10,925 74,376 915,893

Sumber: Handbook of energy and economic statistics of Indonesia 2009, http://www.esdm.go.id

Demikian pula untuk konsumsi minyak bumi, jumlahnya terus meningkat meskipun

jumlah produksinya justru semakin menurun. Bahkan setelah tahun 2005, konsumsi minyak

di Indonesia telah melebihi produksinya sehingga Indonesia harus mengimpor minyak dari

2

Page 3: paper model ekonomi 3

luar negeri untuk memenuhi kebutuhannya akan minyak bumi. Seperti yang digambarkan

dalam gambar berikut ini:

Gambar 1. Produksi dan Konsumsi Minyak Indonesia, 1992-2005

Sumber: EIA; http://www.eoearth.org/article/Energy_profile_of_Indonesia

Jika dilihat menurut sektornya, maka sektor yang paling banyak mengkonsumsi

energi final di Indonesia adalah sektor industri, kemudian sektor transportasi dan disusul oleh

sektor rumah tangga, seperti yang tergambar dalam tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Share Konsumsi Energi Final Menurut Sektor (%)

Tahun

Industri

Rumah Tangga

Komersial

Transportasi

Lainnya

2000 41,18 18,78 4,10 29,71 6,24

2001 40,63 18,36 4,13 30,58 6,31

2002 40,07 17,99 4,22 31,48 6,23

2003 37,72 18,76 4,44 33,06 6,02

2004 37,29 17,51 4,63 34,44 6,12

2005 40,50 16,49 4,59 33,03 5,39

2006 43,33 15,69 4,60 31,57 4,81

2007 44,82 15,21 4,59 31,06 4,32

Catatan: untuk komersial energi tidak termasuk biomassa.Sumber: Handbook of energy and economic statistics of Indonesia 2009, http://www.esdm.go.id

Besarnya permintaan energi di Indonesia menuntut ketersediaan energi dan

ketahanan energi. Selama ini masyarakat telah menikmati subsidi khususnya untuk bahan

bakar minyak (BBM). Akibat dari adanya subsidi ini, antara lain, masyarakat menganggap

bahwa energi itu murah sehingga tidak terbersit keinginan untuk menghemat energi. Untuk

3

Page 4: paper model ekonomi 3

harga BBM, di tingkat retail, Indonesia termasuk yang termurah di dunia. Murahnya harga

BBM, menurut para pemerhati lingkungan, akan memacu pertumbuhan kendaraan pribadi

dan selanjutnya berdampak pada tingginya polusi udara dan emisi gas CO2.

Di samping itu, pemerintah merasa masih banyak golongan yang mampu dalam

masyarakat yang justru menikmati subsidi BBM ini sehingga kebijakan subsidi dirasa kurang

tepat sasaran. Kepala BPH Migas Tubagus Ismail mengungkapkan, realisasi BBM bersubsidi

sepanjang tahun 2010, 90 persen didominasi oleh transportasi darat. Dari jumlah tersebut,

sebagian besar dikonsumsi oleh mobil pribadi. 53 persen konsumsi premium dikonsumsi oleh

kendaraan pribadi pelat hitam, sisanya 40 persen terdistribusi ke sepeda motor, 4 persen

angkutan barang, dan 3 persen angkutan umum. Tiga wilayah yang paling banyak

mengkonsumsi premium adalah Jawa dan Bali tanpa Jabodetabek sebesar 41 persen,

Jabodetabek sebesar 18 persen, dan Sumatera (tidak termasuk kota besar) sebesar 18 persen.

(Kompas, 6 Desember, Pembatasan BBM Bersubsidi).

Padahal di sisi lain, subsidi BBM semakin lama semakin dirasa berat untuk anggaran

pemerintah seperti yang tertera dalam tabel berikut ini:

Tabel 4. Perkembangan Data Subsidi BBM di Indonesia dibandingkan dengan PDB

TahunSubsidi BBM

(Triliun Rupiah)PDB

(Triliun Rupiah)

%terhadap

PDB

APBN(Triliun Rupiah)

% terhadap

APBN2002 31,8 1.821,8 1,7 322,2 9,82003 31,1 2.013,7 1,5 376,5 8,02004 76,8 2.295,8 3,3 427,2 18,02005 104,8 2.774,3 3,8 509,6 20,62006 59,5 3.339,5 1,9 667,1 9,62007 76,3 3.957,5 2,1 757,2 11,12008 103,9 4.484,4 2,8 989,5 12,8

Sumber: Departemen Keuangan dan BPS dalam Lisnawati, 2008.

Sedangkan untuk APBN 2011, DPR sudah menyetujui pengajuan anggaran subsidi

BBM sebesar Rp 97,26 triliun (atau Rp. 92.8 T), dan di dalamnya juga termasuk premium

plus bio premium sebesar 23,19 kiloliter atau sebesar Rp 41,189 triliun. (Kompas, 6

Desember 2010, DPR:Pembatasan BBM Bikin Kisruh di SPBU).

Oleh karena permintaan akan BBM ini terus meningkat sedangkan ketersediaannya

semakin menipis, maka pemerintah memutuskan untuk membatasi konsumsi energi

masyarakat melalui pencabutan subsidi BBM. Pemerintah mempunyai dua opsi seputar

pembatasan BBM bersubsidi. Opsi pertama adalah pembatasan konsumsi BBM subsidi bagi

4

Page 5: paper model ekonomi 3

semua kendaraan pribadi berpelat hitam. Opsi kedua adalah pembatasan bagi kendaraan pelat

hitam untuk keluaran tahun 2005 ke atas. Jenis kendaraan yang menjadi sasaran pembatasan

jenis BBM bensin dan premium adalah kendaraan pribadi roda empat (pelat hitam),

kendaraan instansi pemerintah roda empat (pelat merah), dan kendaraan TNI-Polri. Hanya

kendaraan dengan pelat kuning, seperti angkutan umum dan angkutan barang, kendaraan roda

dua dan roda tiga yang berhak memperoleh bensin premium. (Kompas, 6 Desember,

Pembatasan BBM Bersubsidi).

DPR juga telah menyetujui rencana pembatasan BBM bersubsidi mulai akhir Maret

2011 untuk Jabodetabek. Rencana tersebut dilanjutkan pada 1 Juli 2011 untuk Jawa dan Bali,

2012 untuk Sumatera dan Kalimantan, dan seluruh Indonesia pada tahun 2013 mendatang.

Kementrian Keuangan memperkirakan kebijakan baru itu akan mengurangi subsidi BBM

hingga Rp 10,5 triliun di tahun 2011. Dan jika diterapkan untuk seluruh wilayah Indonesia

pada tahun 2013 maka diprediksi penghematan subsidi BBM bisa mencapai Rp 34,3 triliun.

(Detik Finance, 17 Desember 2010).

Dengan adanya pembatasan ini, diharapkan masyarakat akan lebih hati – hati dan

efisien dalam menggunakan energi, khususnya BBM. Di sisi lain, kebijakan ini menuai

banyak kontroversi baik di kalangan DPR, ekonom maupun masyarakat. Ketika subsidi BBM

dicabut maka harga BBM akan menjadi mahal, disini bisa terjadi kemungkinan masyarakat

mengurangi konsumsinya akan BBM. Namun sampai sekarang ini belum ada alternatif

sumber energi yang dapat menggantikan peranan BBM secara penuh, dalam peranannya

sebagai sumber energi untuk melakukan berbagai aktivitas oleh masyarakat. Maka mahalnya

harga BBM akan menimbulkan masalah dalam kegiatan ekonomi, seperti masalah inflasi,

kenaikan suku bunga, dan bahkan turunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.

Disamping itu, rencana pemerintah untuk mulai melakukan pembatasan subsidi belum

didukung oleh infrastruktur yang memadai. Wakil Direktur ReforMiner Institute Komaidi

mengatakan, dari 600 SPBU yang terdata di DKI Jakarta, baru sekitar 400 SPBU yang dinilai

siap menyalurkan pertamax saat ini. BPH Migas mencatat butuh waktu 6 bulan sampai 1

tahun untuk bisa menyiapkan 200 SPBU yang lain untuk mampu menjual pertamax.

Sementara itu, dari seluruh SPBU di Jawa dan Bali, baru 35 persen SPBU yang siap.

Pengamat ekonomi LIPI, Latif Adam, juga menegaskan bahwa pemerintah belum siap. Jika

kebijakan ini ditujukan untuk tujuan pro-growth, pun jelas tak cocok. Selain infrastruktur,

pemerintah juga belum siap dalam antisipasi masa peralihan. Kalau kebijakan ini

diberlakukan, pengguna kendaraan pribadi akan beralih ke transportasi umum. Padahal belum

ada setting pengguna kendaraan pribadi ke umum. Selain itu juga, kalau tidak dipersiapkan,

5

Page 6: paper model ekonomi 3

ada blackmarket untuk BBM bersubsidi ini. Pemerintah juga harus memikirkan cara

memenuhi permintaan pertamax yang tinggi dari masyarakat nantinya, karena diperkirakan

setidaknya ada kebutuhan sekitar 4 juta kiloliter setelah kebijakan diterapkan. (Kompas, 11

Desember 2010, Pembatasan BBM Terkendala Infrastruktur).

Terlebih lagi, pembatasan konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi dinilai akan

meningkatkan laju inflasi tahun depan. Badan Pusat Statistik memperkirakan kebijakan yang

berlaku mulai tahun depan itu akan menaikkan inflasi hingga 8 persen. Kepala Badan Pusat

Statistik (BPS) Rusman Heriawan mengatakan, pembatasan BBM subsidi memberikan

pengaruh yang besar pada kenaikan harga barang. Berdasarkan perhitungan BPS, bobot

pengaruh penggunaan angkutan terhadap inflasi sebesar 4,3 persen. (Kompas, 29 November

2010, Pembatasan Subsidi BBM Dorong Inflasi).

2. Pertanyaan Penelitian

Dari latar belakang yang telah dijelaskan dimuka, maka kami sampai pada pertanyaan

penelitian, yaitu :

a. Apa yang terjadi pada distribusi pendapatan rumah tangga perkotaan dan pedesaan

ketika konsumsi BBM dibatasi?

b. Sektor apa saja yang akan terkena dampak paling besar dari adanya kebijakan

pembatasan konsumsi BBM? (kalo nggak salah dah diganti sesuai di slide)

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk:

a. Melihat perubahan pada distribusi pendapatan rumah tangga sebelum dan sesudah

diterapkannya kebijakan pembatasan konsumsi BBM.

b. Melihat sektor mana yang akan terkena dampak paling besar dari adanya kebijakan

pembatasan konsumsi BBM.

B. TINJAUAN PUSTAKA

1. Tinjauan Teori

Kegiatan produksi, distribusi dan alokasi barang dan jasa dalam perekonomian dapat

digambarkan dalam sebuah circular flow diagram. Interaksi diantara diagram ini sering

disebut dengan model keseimbangan umum atau general equilibrium model. Dalam model ini

diasumsikan semua pengeluaran akan seimbang dengan pendapatan.

6

Page 7: paper model ekonomi 3

Gambar 2. Circular Flow Diagram

Sumber: http://legacy.lclark.edu/~bekar/Mankiw/ch22/image/mod22nf1.gif

Keseimbangan dalam perekonomian dapat berubah ketika terjadi shock dalam

perekonomian. Shock yang merubah aggregate demand dinamakan demand shock, dan shock

yang merubah aggregate supply dinamakan supply shock. Shock ini bisa terjadi ketika ada

perubahan dalam variabel eksogen, seperti adanya kebijakan pemerintah.

Ketika perekonomian berada dalam keseimbangan, maka diasumsikan actual

expenditure akan sama dengan planned expenditure. Hal ini dapat digambarkan dengan

Keynesian Cross.

Gambar 3. Keynesian Cross

Sumber: http://www.fgn.unisg.ch/eurmacro/tutor/graphs/KEYNCROS.GIF

7

Page 8: paper model ekonomi 3

Income, Output, Y

Expenditure, E

450

MPC x ΔT

B

A

Actual Expenditure

Planned Expenditure

Ketika pemerintah menerapkan kebijakan fiskal, misalnya penurunan pajak, maka

kebijakan ini akan menjadi shock dalam perekonomian. Perubahan dalam perekonomian

akibat dari turunnya pajak atau penambahan subsidi dapat dijelaskan dalam Keynesian Cross.

Misalnya ada penurunan pajak sebesar ΔT, maka disposable income Y - T (pendapatan) akan

meningkat sebesar ΔT, dan konsumsi akan meningkat sebesar Marginal Propensity to

Consume (MPC) x ΔT. Ekuilibrium dalam perekonomian akan berpindah dari A ke B, dan

kurva pengeluaran akan bergeser ke atas.

Gambar 4. Keynesian Cross Setelah Adanya Kebijakan Penurunan Pajak

Sumber: Mankiw, 2000, hal:265.

Kebijakan fiskal berupa penurunan pajak atau pemberian subsidi memiliki dampak

multiplier (pengganda), sehingga dampaknya terhadap perekonomian menjadi:

ΔY/ΔT = -MPC/(1-MPC)

Persamaan di atas merupakan tax multiplier atau multiplier pajak, yang artinya perubahan

sebesar Rp 1 dalam besarnya pajak akan mengakibatkan perubahan pendapatan sebesar

multiplier pajak.

Contohnya, jika MPC sebesar 0,6 maka multiplier pajaknya adalah ΔY/ΔT = -0,6/(1-

0,6) = -1,5. Maka, penurunan pajak sebesar Rp 1 atau pemberian subsidi sebesar Rp1 akan

meningkatkan pendapatan sebesar Rp 1,5. (Mankiw, 2000).

8

Page 9: paper model ekonomi 3

2. Tinjauan Empiris

Berbagai penelitian dengan menggunakan Sistem Neraca Sosial Ekonomi telah

dilakukan. Berikut ini adalah beberapa hasil penelitian terdahulu dengan menggunakan

analisa Sistem Neraca Sosial Ekonomi.

a. Dewi Ratna Sjari Manaf, Pengaruh Subsidi Harga Pupuk Terhadap Pendapatan Petani:

Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi, Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor,

2000. http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/4822/4/2000drs.pdf

Pemerintah menerapkan kebijakan subsidi pupuk untuk meningkatkan output dan

mempertahankan swasembada pangan. Namun biaya yang semakin besar mulai dirasa

memberatkan bagi pemerintah. Disamping itu, subsidi pupuk juga disinyalir tidak tepat

sasaran pada petani kecil. Pada tahun 1998, pemerintah memutuskan untuk menghapus

subsidi pupuk.

Penelitian ini menggunakan data SNSE Indonesia tahun 1995. Tujuan dari penelitian

ini adalah ingin:

1. Menganalisis apakah kebijakan subsidi harga pupuk dalam jangka panjang dapat

mendorong kontinuitas peningkatan produksi secara umum.

2. Menganalisis dampak diberikannya subsidi harga pupuk terhadap distribusi

pendapatan, khususnya di sektor pertanian.

3. Menganalisis alur kebijakan yang paling efektif dalam upaya meningkatkan

pendapatan dan kesejahteraan petani melalui subsidi harga pupuk.

Hasil penelitian menunjukkan, penghapusan subsidi harga pupuk secara langsung

akan meningkatkan biaya produksi bagi petani kecil sehingga mereka enggan untuk membeli

pupuk. Tindakan ini akan menurunkan tingkat produksi secara umum. Pengaruh yang

terbesar dari pemberian subsidi pupuk diterima oleh sektor perkebunan, diikuti oleh sektor

jasa dan kapital. Analisis alur struktural menunjukkan pengaruh paling kecil justru diterima

oleh rumah tangga petani yang memiliki lahan 0,5 sampai 1 hektar itupun setelah melalui

faktor produksi modal.

Sedangkan pengaruhnya terhadap rumah tangga petani gurem dan buruh tani tidak

dapat terdeteksi melalui SPA. Hal ini sesuai dengan hipotesis kedua bahwa subsidi harga

pupuk memiliki pengaruh yang bias kepada pengusaha menengah besar dibandingkan pada

pendapatan petani dan pengusaha pertanian kecil. Sebagian besar peningkatan pendapatan

yang diharapkan, ternyata lebih banyak dinikmati oleh sektor jasa, sehingga tidak banyak

meningkatkan kesejahteraan petani secara umum.

9

Page 10: paper model ekonomi 3

Sesuai dengan hipotesis ketiga, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan

subsidi pupuk yang selektif akan dapat mengurangi kesenjangan pendapatan antara rumah

tangga petani dan bukan petani. Namun perhitungan cost/benefit menunjukkan bahwa biaya

yang dikeluarkan pemerintah tidak sebanding dengan peningkatan pendapatan yang akan

diterima oleh kelompok target yang dituju.

b. Sri Hery Susilowati, Bonar, M. Sinaga, Wilson, H. Limbong, dan Erwidodo, Dampak

Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Kemiskinan dan Distribusi

Pendapatan Rumah Tangga di Indonesia: Analisis Simulasi dengan Sistem Neraca Sosial

Ekonomi, Jurnal Agro Ekonomi, Volume 25 No.1, Mei 2007 : 11 – 36.

http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/JAE%2025-1b.pdf

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan ekonomi di sektor

agroindustri terhadap kemiskinan dan distribusi pendapatan rumah tangga. Analisis

menggunakan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) yang didisagregasi ke dalam

agroindustri makanan dan nonmakanan. Analisis kemiskinan dan distribusi pendapatan

rumah tangga menggunakan data SUSENAS.

Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan peningkatan ekspor, investasi, dan

insentif pajak di sektor agroindustri berdampak menurunkan tingkat kemiskinan dan

memperbaiki distribusi pendapatan rumah tangga, sedangkan kebijakan peningkatan

pengeluaran pembangunan pemerintah di sektor agroindustri kurang memberikan dampak

positif. Kebijakan ekonomi di sektor agroindustri nonmakanan berdampak lebih besar dalam

menurunkan tingkat kemiskinan. Sedangkan kebijakan ekonomi di sektor agroindustri

makanan berdampak lebih besar memperbaiki distribusi pendapatan rumah tangga. Kebijakan

ekonomi di sektor agroindustri prioritas (industri karet, industri kayu lapis, bambu dan rotan,

industri rokok, industri minuman, dan industri makanan sektor perikanan) merupakan

kebijakan yang paling efektif menurunkan tingkat kemiskinan dan memperbaiki distribusi

pendapatan rumah tangga.

c. Made Antara, Linkages Between Tourism and Agricultural in Bali-Indonesia: A Social

Accounting Matrix Approach, Department of Socio-Economic of Agriculture, Faculty of

Agriculture, University of Udayana, Denpasar-Bali, Indonesia,1999.

http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/%282%29%20soca-antara-agricultural%20and%20tourism

%281%29.pdf

Dengan menggunakan analisis pengganda Social Accounting Matrix (SAM) Bali

1996 (ukuran 55x55), dapat diperoleh efek pengganda pengeluaran wisatawan terhadap

neraca-neraca regional Bali. Dari analisis ditemukan bahwa dari 28 sektor pada neraca

10

Page 11: paper model ekonomi 3

produksi, sebanyak 27 sektor mendapatkan efek, dengan kisaran pengganda dari 0,001

sampai 0,507. Ini mengindikasikan telah terjadi keterkaitan antara sektor pariwisata dengan

sektor-sektor ekonomi produksi, khususnya dengan sektor pertanian, yang telah menjadi

salah satu sektor prioritas dalam pembangunan perekonomian Bali. Dengan demikian, posisi

sektor pertanian dalam arena kepariwisataan adalah relatif penting, karena pertanian dengan

produk-produk yang dihasilkan oleh kebanyakan petani di pedesaan, diperlukan oleh

wisatawan maupun sektor-sektor ekonomi yang terkait dengan pariwisata.

d. Djoni Hartono dan Budi Resosudarmo, The Economy – wide Impact of Controlling

Energy Consumption in Indonesia: An Analysis Using a Social Accounting Matrix

Framework, Center for Economics and Development Studies, Department of Economics,

Padjadjaran University, Working Paper in Economics and Development Studies, No. 200702,

January, 2007.

Kenaikan harga minyak dan kebutuhan untuk mengontrol emisi karbon memberikan

sinyal kepada Indonesia untuk mengurangi penggunaan energi dan menggunakan energi

dengan lebih efisien. Untuk menciptakan insentif bagi masyarakat supaya lebih efisien dalam

menggunakan energi, pemerintah perlu untuk mengurangi subsidi terhadap energi yang di sisi

lain juga cukup membebani anggaran pemerintah.

Tulisan ini bertujuan untuk menganalisa dampak dari kebijakan energi yang bertujuan

untuk mengurangi penggunaan energi dan meningkatkan efisiensi dari penggunaan energi,

terutama pada distribusi pendapatan di beberapa kelompok rumah tangga.

Analisa dalam tulisan ini akan diawali dengan konstruksi sebuah SAM untuk

Indonesia secara detail untuk sektor energi. Kemudian akan dilanjutkan dengan

menggunakan berbagai analisa multiplier untuk menemukan bagaimana dampak dari

kebijakan energi ini. Data yang digunakan adalah data SAM Indonesia tahun 2000.

Keterbatasan dalam tulisan ini adalah:

1). Metode ini relatif simple dan tidak melihat masalah harga, sedangkan harga adalah

sebuah variabel yang penting dalam masalah energi di Indonesia, terutama masalah

BBM.

2). General equilibrium dalam model SAM disini adalah statik, oleh karena itu tidak

dapat dipergunakan untuk meramalkan trend dalam long run.

3). SAM mengasumsikan Leontief Technology yang fixed, yang mengimplikasikan

bahwa teknologi adalah konstan pada tahun dasar dari model sampai periode tertentu

(biasanya lima tahun).

11

Page 12: paper model ekonomi 3

Oleh karena itu, dengan membawa semua kelemahan dari model ini, beberapa dari

kesimpulan yang dapat diambil dari studi ini adalah:

1). Metode penghitungan efisiensi dari penggunaan energi dan SAM Energi Indonesia adalah

sangat penting, karena dua hal ini membuat kita dapat melihat dampak dari peningkatan

efisiensi penggunaan energi terhadap pendapatan rumah tangga. Penting juga untuk diketahui

bahwa baru sedikit ahli dan peneliti yang telah menggunakan Tabel Energi SAM untuk

membahas masalah energi di Indonesia.

2). Secara umum, dampak dari peningkatan efisiensi dalam penggunaan energi lebih baik

daripada dampak pembatasan penggunaan energi. Dalam hal ini, peningkatan efisiensi dalam

penggunaan energi akan meningkatkan pendapatan dari sebagian besar kelompok rumah

tangga, sedangkan pembatasan energi akan menurunkan pendapatan mereka.

3). Dalam situasi dimana efisiensi dicapai tanpa memotong subsidi pemerintah, pendapatan

rumah tangga akan meningkat terutama ketika semua sektor industri dan semua rumah tangga

menggunakan listrik secara efisien.

4). Dalam situasi dimana efisiensi tercapai dengan pemotongan subsidi, pendapatan rumah

tangga akan meningkat terutama ketika semua sektor industri menggunakan solar secara

efisien dan semua rumah tangga menggunakan gas secara efisien.

5). Peningkatan dalam efisiensi seharusnya lebih ditekankan pada sektor industri daripada

sektor rumah tangga, karena sektor industri akan meningkatkan pendapatan rumah tangga

lebih besar daripada peningkatan pendapatan yang dihasilkan dari peningkatan efisiensi oleh

rumah tangga. Lebih daripada itu, peningkatan efisiensi pada sektor industri seharusnya fokus

pada energi solar industri, dan akan lebih baik lagi jika pemerintah memotong subsidi di

sektor ini.

6). Berdasarkan dari data SAM yang digunakan dalam tulisan ini, sektor industri yang

diharapkan untuk mencoba melakukan efisiensi dalam penggunaan energi agar menghasilkan

efek positif pada pendapatan rumah tangga adalah: (i) Industri kertas dan Pulp, Konstruksi

dan Transportasi Darat untuk solar; (ii) Perdagangan, Industri Kertas dan Pulp, dan Industri

Tekstil untuk energi listrik. Kelompok rumah tangga yang disarankan untuk mencoba

melakukan efisiensi pada konsumsi energi mereka agar ada dampak positif terhadap

pendapatan rumah tangga adalah: (i) Kelompok atas di perkotaan dan pedesaan dan

kelompok bawah di perkotaan untuk bahan bakar otomotif; (ii) Kelompok atas di perkotaan

dan pedesaan dan kelompok bawah di perkotaan untuk gas dan listrik.

12

Page 13: paper model ekonomi 3

C. METODE PENELITIAN

1. Sistem Neraca Sosial Ekonomi (Social Accounting Matrix)

Social Accounting Matrix (SAM) merupakan sebuah model keseimbangan umum

yang pertama kali diperkenalkan oleh Richard Stone dari Cambridge University of England.

(Haryanto dan Hafizrianda, 2010).

Social Accounting Matrix, dalam terminologi Indonesia disebut Sistem Neraca Sosial

Ekonomi (SNSE), adalah suatu sistem data yang memuat data – data sosial dan ekonomi

dalam sebuah perekonomian (Thorbecke, 1988 dalam Haryanto dan Hafizrianda, 2010).

Menurut Pyatt dan Round (1988) SAM merupakan suatu kerangka data yang bersifat

keseimbangan umum (general equilibrium) yang dapat menggambarkan perekonomian

secara menyeluruh dan dapat menghubungkan berbagai aspek sosial dan ekonomi dalam

negara yang bersangkutan. Sumber – sumber data untuk membuat SAM adalah dari Tabel

I-O, statistik pendapatan nasional, serta statistik pendapatan dan pengeluaran rumah tangga.

Oleh karena itu, SAM kelihatan lebih lengkap dibandingkan tabel input output dan statistik

pendapatan nasional, dengan menunjukkan berbagai jenis transaksi dalam suatu

perekonomian. Tabel input output hanya merekam transaksi ekonomi tanpa menunjukkan

latar belakang sosial dari pelaku transaksi tersebut. Sementara SAM berupaya melakukan

klasifikasi berbagai institusi berdasarkan latar belakang sosial-ekonomi pada suatu

perekonomian atau aktivitas fungsional (Chowdhurry, 1990 dalam Haryanto dan

Hafizrianda, 2010).

Dalam model SAM dapat dimasukkan beberapa variabel makroekonomi, seperti pajak

dan subsidi, modal dan sebagainya, sehingga model SAM dapat menggambarkan seluruh

transaksi makroekonomi, sektoral, dan institusi secara utuh dalam sebuah neraca.

Keunggulan lain dari model SAM dibanding model I-O adalah bahwa model SAM mampu

menggambarkan arus distribusi pendapatan dalam perekonomian. (Haryanto dan

Hafizrianda, 2010).

Terdapat 4 neraca utama dalam kerangka dasar SAM Indonesia, yaitu:

1. Neraca faktor produksi, termasuk di dalamnya adalah tenaga kerja dan modal

2. Neraca institusi, termasuk di dalamnya, rumah tangga dan perusahaan

3. Neraca sektor produksi, seperti pertanian, industri dan jasa

4. Neraca eksogen yang terdiri dari neraca modal dan rest of the world (ROW).

(Daryanto, 2001b dalam Haryanto dan Hafizrianda, 2010).

Dalam tabel Sistem Neraca Sosial Ekonomi, selalu terdapat keseimbangan dari

masing – masing neraca, sehingga jumlah pengeluaran dan penerimaan pada masing –

13

Page 14: paper model ekonomi 3

masing neraca haruslah sama. Perpotongan antara suatu neraca dengan neraca yang lainnya

memberikan arti tersendiri, seperti dalam tabel berikut ini:

Tabel 5. Kerangka Dasar SNSE

Penerimaan PengeluaranFaktor Produksi Institusi Sektor Produksi Neraca Lainnya Total

(1) (2) (3) (4) (5) (6)Faktor Produksi

0 0 T1.3 T1.4 T1

Institusi T2.1 T2.2 0 T2.4 T2

Sektor Produksi

0 T3.2 T3.3 T3.4 T3

Neraca Lainnya T4.1 T4.2 T4.3 T4.4 T4

Total T’1 T’2 T’3 T’4

Sumber: Sistem Neraca Sosial Ekonomi, http://daps.bps.go.id/file_artikel/71/SISTEM%20NERACA%20SOSIAL%20EKONOMI.pdf

Tabel 6. Arti Hubungan Antar Neraca Dalam Kerangka SNSE

Penerimaan PengeluaranFaktor

ProduksiInstitusi Sektor Produksi Neraca Lainnya Total

(1) (2) (3) (4) (5) (6)Faktor Produksi

0 0Alokasi NilaiTambah Ke

Faktor Produksi

PendapatanFaktor

Produksidari LuarNegeri

DistribusiPendapatanFaktorial

Institusi AlokasiPendapatan

FaktorProduksi ke

Institusi

TransferAntar

Institusi0

Transfer DariLuar Negeri

DistribusiPendapatanInstitusional

Sektor Produksi

0 Permintaan Akhir Permintaan AntaraEkspor danInvestasi

Total Output

Neraca Lainnya AlokasiPendapatan

FaktorProduksi KeLuar Negeri

TabunganImpor, Pajak

Tidak LangsungTransfer dan

Neraca Lainnya

TotalPenerimaan

Lainnya

Total DistribusiPengeluaran

FaktorProduksi

DistribusiPengeluaran

InstitusiTotal Input

TotalPengeluaran

Lainnya

Sumber: Sistem Neraca Sosial Ekonomi, http://daps.bps.go.id/file_artikel/71/SISTEM%20NERACA%20SOSIAL%20EKONOMI.pdf

SNSE atau SAM dapat digunakan dalam beberapa metode analisis, antara lain:

1.1. Analisis Multiplier

14

Page 15: paper model ekonomi 3

Multiplier yang dihasilkan dalam analisis SAM dapat dibagi menjadi dua bagian,

yaitu multiplier I-O dan multiplier SAM. Multiplier I-O merupakan multiplier yang

menjelaskan neraca aktivitas, dihitung dengan menggunakan matriks invers Leontief yaitu

ML = (I-A)-1 dimana A merupakan matriks koefisien teknologi seperti pada model Input

Output. Sedangkan multiplier SAM, atau biasa juga disebut Accounting Multiplier,

menjelaskan seluruh neraca endogen dalam SAM, yaitu neraca faktor produksi, neraca

institusi, dan neraca aktivitas produksi. Multiplier SAM dihitung dengan rumus

MS = (I – Am), dimana Am merupakan matriks direct propensities yang dihitung dari model

SAM.

Am=( 0 0 A13

A21 A22 00 A32 A33

)(Haryanto dan Hafizrianda, 2010).

1.2. Structural Path Analysis (SPA)

Menurut Defourny dan Thorbecke (1988) metode dekomposisi yang konvensional

tidak mampu untuk menguraikan multiplier ke dalam transaksi komponennya atau untuk

mengidentifikasi transaksi dengan menyertakan suatu keterkaitan yang berurutan.

Dekomposisi multiplier yang konvensional hanya mampu menguraikan pengaruh – pengaruh

dalam dan antara neraca endogen saja. Dengan Structural Path Analysis (SPA), kita bisa

melacak interaksi dalam suatu perekonomian yang dimulai dari suatu sektor tertentu dan

berakhir pada sektor tertentu lainnya. Metode SPA mampu menunjukkan bagaimana

pengaruh transmisi dari satu sektor ke sektor lainnya secara bersambungan dalam suatu

gambar. Jadi, pada dasarnya SPA itu adalah sebuah metode yang dilakukan untuk

mengidentifikasi seluruh jaringan yang berisi jalur yang menghubungkan pengaruh suatu

sektor pada sektor lainnya dalam suatu sistem ekonomi. Pengaruh dari suatu sektor ke sektor

lainnya tersebut dapat melalui jalur dasar (elementary path) atau sirkuit (circuit). (Haryanto

dan Hafizrianda, 2010).

Gambar 5. Jalur Dasar

15

Page 16: paper model ekonomi 3

Disebut jalur dasar apabila jalur tersebut melalui sebuah sektor tidak lebih dari satu

kali. Misalkan, sektor i mempengaruhi sektor j. Pengaruh dari i ke j dapat terjadi secara

langsung, dapat juga terjadi melalui sektor-sektor lain, misalnya x dan y. Apabila dalam jalur

i ke j tersebut i, x, y dan j hanya dilalui satu kali, maka disebut jalur dasar. Seperti yang dapat

dilihat pada Gambar 2. (Haryanto dan Hafizrianda, 2010).

Gambar 6. Sirkuit dalam Analisis Jalur

Ada kalanya suatu sektor, setelah mempengaruhi sektor lain, pada akhirnya akan

kembali lagi mempengaruhi sektor itu sendiri. Dari contoh Gambar 3 di atas, misalnya,

pengaruh sektor i ke j masih dilanjutkan, j mempengaruhi sektor z, dan z mempengaruhi i.

Maka jalur i ke x ke y ke j ke z dan kembali ke i disebut sirkuit. Dalam jalur ini, setiap sektor

hanya dilalui satu kali kecuali i. Sektor i dilalui dua kali, pada awal dan akhir jalur.

(Haryanto dan Hafizrianda, 2010).

Di dalam metodologi SPA, ada tiga elemen yaitu:

1. Pengaruh langsung (direct influence/direct effect)

Pengaruh langsung dari i ke j adalah perubahan pendapatan (produksi) sektor j yang

disebabkan oleh perubahan 1 unit pada sektor i, dengan asumsi bahwa pendapatan

(produksi) pada titik yang lain, kecuali pada jalur dasar yang dilalui dari i ke j tidak

mengalami perubahan. Nilai pengaruh langsung diperoleh dari matriks kecenderungan

pengeluaran rata – rata (Aij),

ID(ij) = Aij.

2. Pengaruh total (total influence/total effect)

Pengaruh total dari i ke j adalah perubahan yang dibawa dari i ke j baik melalui jalur

dasar maupun sirkuit yang menghubungkannya. Pengaruh total (IT) merupakan

perkalian antara pengaruh langsung (ID) dan pengganda jalur atau path multiplier

(Mp).

16

Page 17: paper model ekonomi 3

SNSE Indonesia 2005107x107

SNSE Indonesia 2005Agregasi 38x38

MATSMs Excell 2007

Matrik SAMMatrik Koefisien (Aij)Matrik Accounting Multiplier (Ma)Structural Path Analysis (SPA)

Simulasi KebijakanAsumsi Skenario

HASIL

IT (ij) = ID (ij).Mp

= AxiAyxAjy[1-Ayx(Axy+AzyAxz)-1

Dimana Mp=[1-Ayx(Axy+AzyAxz)-1

3. Pengaruh global (global influence/global effect)

Pengaruh global dari i ke j mengukur keseluruhan pengaruh pada pendapatan atau

produksi j yang disebabkan oleh satu unit perubahan i. Nilai pengaruh global

diperoleh dari matriks pengganda neraca (Ma). Pengaruh global (IG) sama dengan

jumlah dari pengaruh total (IT) sepanjang jalur dasar yang saling berhubungan pada

titik I dan j.

IG( i→ j )=M aji=∑p=1

n

¿(i → j )=→∑ ID (i → j ) Mp

(Haryanto dan Hafizrianda, 2010).

Berikut adalah cara kerja model SNSE dalam penelitian ini:

Gambar 7. Cara Kerja Model SNSE dalam Penelitian ini

17

Page 18: paper model ekonomi 3

Secara umum, penelitian ini akan menggunakan metode:

1. Analisa Accounting Multiplier

2. Analisa Jalur Struktural atau Structural Path Analysis (SPA), yang meliputi:

Direct Effec

Total Effect

Global Effect

3. Analisa Kebijakan dengan memasukkan shock ke dalam variabel eksogen.

Kemudian perhitungannya akan dilakukan dengan menggunakan software MATS dan

Microsoft Excell 2007 untuk mengolah data SNSE 2005.

2. DATA

Tulisan ini menggunakan data SAM Indonesia (Sistem Neraca Sosial Ekonomi

Indonesia) 107 x 107, tahun 2005. Dalam tulisan ini, kami sengaja merubah disagregasi data

menjadi 38 x 38 agar lebih sesuai dengan tujuan penelitian kami.

Tabel 7. Modifikasi format SNSE 107 x 107 menjadi 38 x 38

SNSE 107x107 SNSE 38x38

Neraca Endogen Neraca EndogenFaktor Produksi (17 sektor) Faktor Produksi (9 sektor)Institusi (12 sektor) Institusi (9 sektor) Sektor Produksi (24 sektor) Sektor Produksi (14 sektor)Komoditas domestik dan impor (masing-masing 24 sektor)

Neraca Eksogen Neraca Eksogen

Margin Perdagangan dan pengangkutan Pemerintah

Neraca Kapital Margin Perdagangan dan pengangkutanPajak Tidak Langsung Netto Neraca KapitalSubsidi Pajak Tidak Langsung

SubsidiNeraca Luar Negeri

D. HASIL DAN ANALISIS

1. Accounting Multiplier

Accounting multiplier dapat menjelasakan perubahan neraca endogen kerena adanya

perubahan pada neraca eksogen. Mengingat focus dari penulisan paper ini adalah dampak

18

Page 19: paper model ekonomi 3

pembatasan BBM terhadap pendapatan rumah tangga, maka nilai accounting multiplier

sebagaimana yang tertera dalam Tabel 8, hanya menunjukan nilai multiplier antara dari

ekpenditure sektor angkutan darat (kolom 26) yang merupakan sektor yang mendapatkan

subsidi BBM terhadap pendapatan rumah tangga (baris 10 s/d 17).

Nilai accounting multiplier kolom pengeluaran sektor angkutan darat terhadap

pendapatan rumah tangga pertanian untuk buruh adalah sebesar 0.0403, secara ekonomi ini

mempunyai arti bahwa apabila terdapat injeksi dari neraca eksogen (missal: subsidi) sebesar

Rp. 1,- melalui sektor angkutan darat maka akan meningkatkan pendapatan rumah tangga

pertanian buruh sebesar Rp. 0.0403,-. Demikian juga makna dari nilai accounting multiplier

lainnya sebagaimana tersebut dalam table 8.

Tabel 8. Hasil Analisa Accounting Multiplier

Sektor Angkutan Darat(26)

Pertanian Buruh 10 0.0403

Pengusaha Pertanian 11 0.1608

Bukan Pertanian

Pedesaan

Pengusaha bebas golongan rendah, tenaga TU, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, buruh kasar

12 0.1305

Bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas 13 0.0394

Pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas

14 0.1105

Perkotaan

Pengusaha bebas golongan rendah, tenaga TU, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, buruh kasar

15 0.1699

Bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas 16 0.0606

Pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas

17 0.2086

Peningkatan pendapatan terbesar dari adanya subsidi BBM melalui sektor angkutan darat

akan dirasakan oleh kelompok rumah tangga perkotaan pengusaha golongan atas dengan nilai

accounting multiplier sebesar 0.2086. Hasil ini sejalan dengan pernyataan Menkoperekonomian Hatta

Raja sebagaimana dikutif detik.com bahwa subsidi BBM dinikmati oleh rumah tangga berpendapatan

tinggi (yang merupakan 25% dari total rumah tangga Indonesia) yaitu sebesar 77 %. Sedangkan

rumah tangga yang mendapatkan manfaat terkecil dari adanya subsidi BBM adalah kelompok rumah

tangga non pertanian-pedesaan-bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas dengan nilai multiplier

sebesar 0.0394. Dari perhitungan accouting multiplier menunjukan bahwa pemberian subsidi BBM

sebagaimana yang diberlakukan saat ini tidak memberikan rasa ketidakadilan karena kelompok

masyarakat yang seharusnya berhak mendapat subsidi seperti rumah tangga pada baris (10, 12, 13,

ternyata15) ternyata mendapatkan manfaat jauh lebih kecil disbanding kelompok masyarakat

sebagaimana baris 17.

2. Structural Path Analysis (SPA)

19

Page 20: paper model ekonomi 3

Strutural path analysis atau analisa jalur struktural dapat mendekomposisi nilai

multiplier accounting dan melihat jalur-jalur yang dilalui antara sektor asal ke sektor tujuan.

Hal tersebut bermaka bahwa dengan SPA kita dapat melihat perubahan-perubahan sektor

secara terstruktur yang terjadi apabila ada injeksi dari suatu sektor asal yang kemudian akan

mengalir melalui sektor-sektor lainnya sebelum akhirnya sampai pada sektor tujuan.

Pengaruh yang terdapat dalam SPA meliputi: pengaruh langsung (direct effect), pengaruh

total (total effect) dan pengaruh global (global effect). Dengan menggunakan program MATS

maka diperoleh SPA sebagai berikut:

Tabel 9. Analisis Jalur Struktural

Dec 16, 19;0 15:55:09 Defourny-Thorbecke Structural Pa Page 93 Global Direct Path Total % of CumPath Effect Effect Mult Effect Global %

26, 6, 10 0.040 0.003 2.462 0.007 18.0 18.0

26, 5, 11 0.161 0.002 2.433 0.006 3.5 3.526, 6, 11 0.009 2.627 0.024 14.8 18.326, 7, 11 0.005 2.381 0.012 7.6 25.926, 8, 11 0.002 2.401 0.005 2.9 28.926, 9, 11 0.002 2.562 0.006 3.6 32.526, 32, 6, 11 0.001 5.226 0.007 4.4 36.9

26, 5, 12 0.130 0.015 2.255 0.034 26.3 26.326, 7, 12 0.013 2.239 0.030 23.0 49.426, 9, 12 0.002 2.443 0.004 3.1 52.5

26, 5, 13 0.039 0.003 2.211 0.006 14.7 14.726, 7, 13 0.004 2.163 0.009 21.9 36.6

26, 5, 14 0.110 0.009 2.270 0.020 17.9 17.926, 7, 14 0.010 2.230 0.022 19.5 37.426, 9, 14 0.002 2.417 0.006 5.2 42.6

26, 6, 15 0.170 0.019 2.472 0.048 28.0 28.026, 8, 15 0.013 2.304 0.030 17.5 45.526, 9, 15 0.002 2.484 0.005 3.1 48.626, 21, 6, 15 0.002 5.969 0.009 5.5 54.126, 32, 6, 15 0.003 4.920 0.014 8.3 62.4

26, 6, 16 0.061 0.007 2.427 0.017 27.3 27.326, 8, 16 0.004 2.187 0.008 13.7 41.026, 32, 6, 16 0.001 4.841 0.005 8.1 49.1

26, 6, 17 0.209 0.018 2.505 0.044 21.2 21.226, 8, 17 0.024 2.299 0.056 26.9 48.126, 9, 17 0.003 2.477 0.008 3.7 51.726, 21, 6, 17 0.001 6.007 0.009 4.2 55.926, 32, 6, 17 0.003 4.978 0.013 6.3 62.226, 32, 8, 17 0.001 4.608 0.005 2.4 64.5

Nilai global effect pada dasarnya adalah sama dengan nilai multiplier, sebagaimana

tersebut pada tabel diatas diketahui bahwa nilai global effect untuk SPA antara sektor

angkutan darat (26) dengan rumah tangga bukan pertanian-perkotaan-pengusaha besar…(17)

adalah sebesar 0.209 yang mana nilai ini sama dengan nilai accounting multipliernya yang

maknanya juga sama dengan makna accounting multiplier sebagai dijelaskan sub bab

sebelumnya. Untuk hubungan antara sektor 26 ke 17, ini mempunyai 6 jalur yaitu: (26,6,17),

20

Page 21: paper model ekonomi 3

(26,8,17), (26,9,17), (26,21,6,17), (26,32,6,17) dan (26,32,6,17). Untuk penjelasan dari

makna jalur tersebut adalah sebagai berikut: untuk jalur (26, 6, 17) mengandung makna

bahwa pengeluaran dari sektor angkutan darat (26) yang merupakan sektor awal akan

mempengaruhi sektor rumah tangga non pertanian-perkotaan-pengusaha besar (17/ sektor

tujuan) setelah melalui sektor factor produksi tenaga kerja-non pertanian-penerima upah dan

gaji-kota (6). Nilai pengaruh langsung dari sektor 26 ke 17 yang melalui jalur 16 tersebut

adalah sebesar 0.018 yang mengandung makan bahwa pengaruh langsung dari adanya

perubahan Rp. 1,- sektor 26 akan merubah pendapatan sektor 17 sebesar Rp. 0.018 selama

pendapatan atau produksi pada jalur lain tidak mengalami perubahan. Sedangkan untuk nilai

pengaruh totalnya adalah sebesar 0.044 yang mengandung makna bahwa perubahan Rp. 1,-

sektor 26 akan merubah pendapatan sektor 17 sebesar Rp. 0.044 baik melalui jalur dasar/

pengaruh langsung maupun melalui jalur sirkuit yang nilainya dari representasikan oleh nilai

path multiplie, secara matematik nilai pengaruh total 0.004 adalah perkalian antara nilai

penaruh langsung 0.018 dengan nilai path multipliernya 2.505. Besarnya pengaruh salah satu

jalur terhadap keseluruhan jalur dari sektor 26 ke sektor 17 dapat dilihat dari persentese

globalnya, untuk contoh kasus tersebut diatas besarnya pengaruh jalur (26, 6, 17) terhadap

jalur-jalur lain dari sektor 26 ke 17 adalah sebesar 21.2 %. Makna sebagaimana dijelaskan

diatas juga dapat digunakan sebagai penjelasan dari angka-angka yang tertera di dalam tabel

9.

Dari tabel 9 diketahui bahwa nilai global effect tertinggi berada pada kaitan sektor 26

ke sektor 17 yaitu sebesar 0.209, sedangkan nilai global effect terendah adalah berada kaitan

sektor 26 ke 13 atau antara sektor angkutan darat ke kelompok rumah tangga non pertanian-

pedesaan-bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas yaitu sebesar 0.039.

3. Variable shock

Analisa variable shock dalam penelitian ini dilakukan dengan membuat asumsi dan

skenario terlebih dahulu, sebagai berikut:

Asumsi:

Struktur perekonomian yang dibahas compatible atau selaras dengan data SNSE tahun

2005.

Skenario:

1. BBM subsidi diberikan di sektor angkutan darat senilai Rp 92,8 triliun.

21

Page 22: paper model ekonomi 3

2. Pembatasan subsidi yang dilakukan kepada angkutan pribadi di seluruh wilayah

Indonesia dapat menghemat Rp 34,3 triliun.

3. Penghematan dialokasikan ke sektor pemerintahan, pendidikan dan kesehatan.

4. Penghematan dialokasikan ke sektor konstruksi untuk pembangunan infrastruktur.

Tabel 10. Hasil Simulasi Kebijakan

(dalam Milyar rupiah)

Rumah Tangga Output Dasar

Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4

Perubahan Perubahan Perubahan Perubahan

Output % Output % Output % Output %

Pertanian 571,848.38 18,657.82 3.26% 11,761.67 2.06% 20,520.65 3.59% 17,651.51 3.09%

Non Pertanian Perdesaan 647,685.44 26,015.16 4.02% 16,399.65 2.53% 26,701.81 4.12% 24,095.95 3.72%

Non Pertanian Perkotaan 971,774.91 29,680.11 3.05% 18,709.98 1.93% 31,796.96 3.27% 27,285.89 2.81%

Total 2,191,308.73 74,353.10 3.44% 46,871.30 2.17% 79,019.42 3.66% 69,033.34 3.20%

Berdasarkan hasil simulasi dengan mengikuti ke-4 skenerio tersebut diatas, maka

diketahui dampak dari subsisidi terhadap pendapatan rumah tangga sebagaimana tertera pada

tabel 10 adalah sebagai berikut:

a. Pemberian subsidi BBM sebesar Rp. 92,8 T (skenario 1) meningkatkan

pendapatan rumah tangga rata-rata sebesar 3,44 % atau Rp. 74,35 T, rumah tangga

non pertanian perdesaan mendapatkan persentase kenaikan pendapatan tertinggi

yaitu sebesar 4.02 %;

b. Pemberian subsidi BBM kecuali untuk kendaraan angkutan pribadi (pemberian

subsidi sebesar Rp. 92,8 – Rp. 34,3 T = Rp. 58. T) yang merupakan scenario 2

telah meningkatkan pendapatan rumah tangga rata-rata sebesar 2.17 % atau senilai

Rp. 46.8 T, rumah tangga non pertanian perdesaan mendapatkan persentase

kenaikan pendapatan tertinggi yaitu sebesar 2.53 %. Peningkatan ini lebih kecil

lebih kecil jika disbanding dengan scenario 1;

c. Pemberian subsidi BBM kecuali untuk kendaraan angkutan pribadi (pemberian

subsidi sebesar Rp. 92,8 – Rp. 34,3 T = Rp. 58. T) dan selanjutnya hasil dari

effisiensi dari penarikan subsisidi untuk kendaraan peribadi sebesar Rp. 34.4 T

direalokasikan ke sektor pendidikan dan kesehatan (scenario 3) telah

meningkatkan pendapatan rumah tangga rata-rata sebesar 3.66 % atau senilai Rp.

22

Page 23: paper model ekonomi 3

79 T. Rumah tangga non pertanian perdesaan mendapatkan persentase kenaikan

pendapatan tertinggi yaitu sebesar 4.12 %. Dengan nilai total subsidi yang sama

dengan scenario 1 namun berbeda dalam komposisi pengalokasian, dampak yang

diberikan terhadap peningkatan rumah tangga lebih besar diberikan oleh scenario

3;

d. Seperti halnya scenario 3 namun penrealokasiannya ditujukan ke sektor kontruksi

(bukan ke pendidikan dan kesehatan), memberikan kenaikan pendapatan kepada

rumah tangga rata-rata sebesar 3.20 % atau senilai Rp. 69 T. Peningkatan

pendapatan untuk rumah tangga dari scenario 4 ini lebih kecil jika dibandingkan

dengan scenario 1 dan 3.

e. Dari ke-4 skenario tersebut di atas, scenario 3 atau adanya pembatasan pemberian

BBM yaitu dengan tidak memberikan subsidi ke kendaraan pribadi dan efesiensi

dari kebijakan tersebut direalokasikan ke sektor pendidikan memberikan dampak

peningkatan pendapatan yang paling besar yaitu sebesar 3.66 % atau senilai Rp.

79 T.

f. Dari ke-4 skenario tersebut, rumah tangga non pertanian perdesaan mendapatkan

peningkatan kenaikan yang pendapatan yang lebih besar.

E. KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Pemberian subsidi sebesar Rp 92,8 trilyun akan meningkatkan pendapatan rumah

tangga sebesar 3.39 %. Kemudian dampak pembatasan subsidi dengan tidak memberikan

subsidi kepada kendaraan pribadi (pengurangan subsidi BBM dari sebesar Rp 92,8 trilyun –

Rp 34,3 trilyun menjadi hanya Rp 58,5trilyun) hanya meningkatkan pendapatan rumah

tangga sebesar 2,14 %. Apabila hasil efisiensi kebijakan tersebut (Rp 34,3 trilyun)

direalokasikan ke sektor pendidikan dan kesehatan maka akan meningkatkan pendapatan

rumah tangga sebesar 3,61 % dan jika direalokasikan ke sektor infrastruktur akan

meningkatkan pendapatan sebesar 3.15 %.

Subsidi BBM lebih dirasakan manfaatnya oleh sektor non pertanian perdesaan sebesar

4.02% . Terlebih lagi, sektor rumah tangga di pedesaan ini memperoleh dampak positif yang

paling besar dari adanya subsidi dalam semua skenario, dan yang terbesar adalah subsidi

dalam bentuk subsidi pendidikan dan kesehatan.

SARAN

23

Page 24: paper model ekonomi 3

1. Untuk menaikkan pendapatan rumah tangga non pertanian di pedesaan, lebih baik subsidi

diberikan dalam sektor pendidikan dan kesehatan.

2. Jika kebijakan pembatasan subsidi BBM benar - benar dilaksanakan, maka realokasi dari

dana penghematan tersebut lebih baik dialokasikan ke sektor pendidikan dan kesehatan.

3. Kebijakan pembatasan subsidi BBM harus diikuti dengan tersedianya infrastruktur yang

mendukung, serta kestabilan ekonomi untuk mengantisipasi adanya dampak inflasi dan

kenaikan suku bunga SBI.

4. Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk mengupdate data SNSE 2005 dengan yang

terbaru agar lebih sesuai dengan kondisi perekonomian yang paling aktual.

24

Page 25: paper model ekonomi 3

DAFTAR PUSTAKA

Arief Daryanto dan Yundy Hafizrianda, Analisis Input Output dan Social Accounting Matrix untuk Pembangunan Ekonomi Daerah, IPBPress, 2010.

Caroline Damanik, Pembatasan BBM Terkendala Infrastruktur, Kompas.com, Sabtu, 11 Desember 2010, 11:03 WIB, http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/12/11/11032718/Pembatasan.BBM.Terkendala.Infrastruktur

Dewi Ratna Sjari Manaf, Pengaruh Subsidi Harga Pupuk Terhadap Pendapatan Petani: Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi, Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, 2000. http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/4822/4/2000drs.pdf

Djoni Hartono dan Budi Resosudarmo, The Economy – wide Impact of Controlling Energy Consumption in Indonesia: An Analysis Using a Social Accounting Matrix Framework, Center for Economics and Development Studies, Department of Economics, Padjadjaran University, Working Paper in Economics and Development Studies, No. 200702, January, 2007.

DPR: Pembatasan BBM Bikin Kisruh di SPBU, Kompas.com, Senin, 6 Desember 2010, 17:13 WIB,http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/12/06/17134240/DPR:.Pembatasan.BBM.Bikin.Kisruh.di.SPBU

EIA; http://www.eoearth.org/article/Energy_profile_of_Indonesia, diakses 7 Oktober 2009.

http://www.esdm.go.id, diakses 7 Oktober 2009.

Konsumsi Energi RI Terlalu Boros, Kompas.com, Jumat, 10 Desember 2010, 20:46 WIB,http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/12/10/20465518/Konsumsi.Energi.RI.Terlalu.Boros

Lisnawati, Dampak Subsidi Bahan Bakar Minyak Terhadap Perekonomian dan Distribusi Pendapatan Rumah Tangga di Indonesia, Tesis Program Pasca Sarjana Ekonomi, Universitas Indonesia, 2008.

Made Antara, Linkages Between Tourism and Agricultural in Bali-Indonesia: A Social Accounting Matrix Approach, Department of Socio-Economic of Agriculture, Faculty of Agriculture, University of Udayana, Denpasar-Bali, Indonesia,1999.http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/%282%29%20soca-antara-agricultural%20and%20tourism%281%29.pdf

N. Gregory Mankiw, Macroeconomics, fourth edition, Harvard University, Worth Publisher, 2000.

25

Page 26: paper model ekonomi 3

Nurul Qomariyah, Pembatasan BBM Subsidi Bisa Picu Kenaikan Suku Bunga, detikFinance, Jumat, 17 Desember 2010, 08:23 WIB,http://www.detikfinance.com/read/2010/12/17/082313/1526981/5/pembatasan-bbm-subsidi-bisa-picu-kenaikan-suku-bungaPembatasan BBM Bersubsidi, Pelat Hitam Paling Rakus Minum Premium, Kompas.com, Senin, 6 Desember 2010, 19:35 WIB,http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/12/06/19350466/Pelat.Hitam.Paling.Rakus.Minum.Premium

Pembatasan BBM Subsidi Dorong Inflasi, Kompas.com, Senin, 29 November 2010, 10.30 WIB,http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/11/29/10305584/Pembatasan.BBM.Subsidi.Dorong.Inflasi

Sistem Neraca Sosial Ekonomi,http://daps.bps.go.id/file_artikel/71/SISTEM%20NERACA%20SOSIAL%20EKONOMI.pdf

Sri Hery Susilowati, Bonar, M. Sinaga, Wilson, H. Limbong, dan Erwidodo, Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan Rumah Tangga di Indonesia: Analisis Simulasi dengan Sistem Neraca Sosial Ekonomi, Jurnal Agro Ekonomi, Volume 25 No.1, Mei 2007 : 11 – 36.http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/JAE%2025-1b.pdf

26

Page 27: paper model ekonomi 3

Fakt

or P

rodu

ksi

Tenaga kerja

Pertanian

Penerima Upah dan GajiDesa 1Kota 2

Bukan Penerima Upah dan GajiDesa 3Kota 4

Bukan Pertania

n

Penerima Upah dan GajiDesa 5Kota 6

Bukan Penerima Upah dan GajiDesa 7Kota 8

Bukan tenaga kerja

9

Inst

itusi

Rumah tangga Pertanian Buruh

10 Pengusaha Pertanian 11

Bukan

Pertanian

Pedesaan

Pengusaha bebas golongan rendah, tenaga TU, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, buruh kasar

 

12

   Bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas 13

   

Pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas

 

14

  Perkotaan

Pengusaha bebas golongan rendah, tenaga TU, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, buruh kasar

 

15

   Bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas 16

   

Pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas

 

17 Perusahaan 18

27

Page 28: paper model ekonomi 3

Sektor Produksi

Pertanian, peternakan, perburuan, kehutanan, perikanan 19Pertambangan 20Industri 21Listrik, Gas Dan Air Minum 22Konstruksi 23Perdagangan 24Restoran dan perhotelan 25Angkutan Darat 26Angkutan Udara, Air dan Komunikasi 27Jasa Penunjang Angkutan, dan Pergudangan 28Bank dan Asuransi 29Real Estate dan Jasa Perusahaan 30Pemerintahan dan Pertahanan, Pendidikan, Kesehatan, Film dan Jasa Sosial Lainnya 31Jasa Perseorangan, Rumah tangga dan Jasa Lainnya 32

Pemerintahan 33Margin perdagangan dan pengangkutan

34Neraca Kapital 35Pajak Tidak Langsung 36Subsidi 37Luar Negeri 38

28