Paper Demografi Kemiskinan2
-
Upload
riani-indrawati -
Category
Documents
-
view
271 -
download
0
Transcript of Paper Demografi Kemiskinan2
KONDISI KEMISKINAN DI INDONESIA
DAN PENYEBABNYA
I. Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah global yang sering dihubungkan dengan kebutuhan,
kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup. Sebagian orang memahami istilah ini
secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan
evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah
"negara berkembang" biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang
"miskin".
Kemiskinan menurut World Bank Institute merupakan suatu ketidakcukupan/
kekurangan akan aset-aset penting dan peluang-peluang di mana setiap manusia berhak
memperolehnya. Sedangkan menurut Bank Dunia, “Poverty is pronounced deprivation in
well being” di mana kesejahteraan dapat diukur oleh kekayaan yang dimiliki seseorang,
kesehatan, gizi , pendidikan, aset, perumahan dan hak-hak tertentu dalam masyarakat seperti
kebebasan berbicara. Kemiskinan merupakan masalah multidimensi yang memerlukan
kebijakan dan program intervensi multidimensi pula agar kesejahteraan individu meningkat
sehingga membuatnya terbebas dari kemiskinan.
Sedangkan kemiskinan menurut Azhari (1992) dalam Zarmawis (1999) menjelaskan
bahwa kemiskinan pada dasarnya ada 3 macam, yaitu:
1. Kemiskinan alamiah
Kemiskinan model ini timbul akibat sumber daya yang langka jumlahnya atau karena
tingkat perkembangan teknologi yang rendah. Termasuk di dalamnya kemiskinan akibat
jumlah penduduk melaju dengan cepat ditengah-tengah Sumber Daya Alam yang tetap.
2. Kemiskinan struktural
Kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena strukrtur sosial
sedemikian rupa, sehingga masyarakat tidak dapat menggunakan sumber-sumber
pendapatanyya yang sebenarnya tersedia bagi mereka.
3. Kemiskinan kultural
Kemiskinan yang muncul karena tuntutan tradisi/adat yang membebani ekonomi
masyarakat, seperti upacara perkawinan, dll. Termasuk juga sikap mental penduduk yang
malas, konsumtif, dan kurang berorientasi ke depan.
Kemiskinan di Indonesia merupakan fenomena tersendiri bagi kehidupan rakyat
Indonesia sehari-hari. Diantara himpitan kesulitan kehidupan yang lain, kemiskinan
merupakan problema utama yang harus dan setidaknya segera menjadi agenda utama yang
menjadi skala prioritas bagi pemerintah Indonesia. Tak dipungkiri bahwa sinergi diantara
kedua pihak antara rakyat dan pemerintah harus berjalan dengan harmonis dan feed back
( timbal balik) yang sempurna juga dalam proses pengentasan permasalahannya.
Secara harafiah, kemiskinan berasal dari kata dasar miskin diberi arti “tidak berharta-
benda” (Poerwadarminta, 1976). Dalam pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat
dikonotasikan sebagai suatu kondisi ketidak-mampuan baik secara individu, keluarga
maupun kelompok, sehingga kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang
lain.
II. Standar Kemiskinan
Pemerintah Khusus DKI Jakarta mencirikan rumah tangga miskin setelah
mengadakan Sensus Kemiskinan pada tahun 2000 sebagai rumah tangga yang memiliki
setidaknya 3 ciri/variabel kemiskinan sebagai berikut :
1. Luas lantai hunian kurang dari 8 m2 per anggota rumah tangga
2. Jenis lantai hunian sebagian besar tanah atau lainnya
3. Fasilitas jamban/WC : tidak ada dan atau WC umum
4. Fasilitas air bersih : tidak ada
5. Kepemilikan asset (kursi tamu) : tidak ada
6. Konsumsi lauk-pauk dalam seminggu : tidak bervariasi
7. Kemampuan membeli pakaian minimal 1 (satu) stel dalam setahun untuk setiap
anggota rumah tangga : tidak ada
(BPS, Data dan Informasi Kemiskinan 2002)
III.Keadaan Kemiskinan di Indonesia
Sejak krisis ekonomi 1997/1998, kondisi perekonomian Indonesia belum dapat
dikatakan pulih. Laju perekonomian negeri ini terus diiringi dengan meroketnya angka
pengangguran terbesar sepanjang sejarah. Masalah pengangguran akan terus menjadi batu
sandungan perkembangan sosial-ekonomi negeri ini di masa-masa yang akan datang.
Jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 1996-2005 berfluktuasi dari
tahun ke tahun meskipun terlihat adanya kecenderungan menurun pada periode 2000-2005
(Tabel 1).
Tabel 1.
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia
Menurut Daerah, 1996-2005
Tahun Jumlah Penduduk Miskin Persentase Penduduk Miskin
Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa
1996 9.42 24.59 34.01 13.39 19.78 17.47
1998 17.60 31.90 49.50 21.92 25.72 24.23
1999 15.64 32.33 47.97 19.41 26.03 23.43
2000 12.30 26.40 38.70 14.60 22.38 19.14
2001 8.60 29.30 37.90 9.76 24.84 18.41
2002 13.30 25.10 38.40 14.46 21.10 18.20
2003 12.20 25.10 37.30 13.57 20.23 17.42
2004 11.40 24.80 36.10 12.13 20.11 16.66
2005 12.40 22.70 35.10 11.37 19.51 15.97
Sumber: Diolah dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)
Berita Resmi Statistik No. 47 / IX / 1 September 2006.
Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta
karena krisis ekonomi, yaitu dari 34,01 juta pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta pada tahun
1999. Persentase penduduk miskin meningkat dari 17,47 persen menjadi 23,43 persen pada
periode yang sama. Pada periode 1999-2002 terjadi penurunan jumlah penduduk miskin
sebesar 9,57 juta, yaitu dari 47,97 juta pada tahun 1999 menjadi 38,40 juta pada tahun 2002.
Secara relatif juga terjadi penurunan persentase penduduk miskin dari 23,43 persen pada
tahun 1999 menjadi 18,20 persen pada tahun 2002. Penurunan jumlah penduduk miskin juga
terjadi pada periode 2002-2005 sebesar 3,3 juta, yaitu dari 38,40 juta pada tahun 2002
menjadi 35,10 juta pada tahun 2005. Persentase penduduk miskin turun dari 18,20 persen
pada tahun 2002 menjadi 15,97 persen pada tahun 2005.
3.1 Perkembangan Tingkat Kemiskinan Februari 2005-Maret 2006
Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta
(17,75 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang
berjumlah 35,10 juta (15,97 persen), berarti jumlah penduduk miskin meningkat sebesar
3,95 juta. Pertambahan penduduk miskin di daerah perdesaan sedikit lebih tinggi dari
pada daerah perkotaan. Selama periode Februari 2005-Maret 2006, penduduk miskin di
daerah perdesaan bertambah 2,06 juta, sementara di daerah perkotaan bertambah 1,89
juta orang (Tabel 2).
Tabel 2.
Garis Kemiskinan, Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin
Menurut Daerah, Februari 2005 – Maret 2006
Daerah/Tahun
Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bulan) Jumlah Penduduk Persentase
MakananBukan
MakananTotal Miskin (juta)
Penduduk
Miskin
Perkotaan
Februari 2005 103992 46807 150799 12.4 11.37
Maret 2006 126527 48797 175324 14.29 13.36
Pedesaan
Februari 2005 84014 33245 117259 22.7 19.51
Maret 2006 103180 28076 131256 24.76 21.9
Kota+Desa
Februari 2005 91072 38036 129108 35.1 15.97
Maret 2006 114619 38228 152847 39.05 17.75
Sumber: Diolah dari data Susenas Panel Februari 2005 dan Maret 2006
Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak
berubah. Pada bulan Februari 2005, sebagian besar (64,67 persen) penduduk miskin
berada di daerah perdesaan, sementara pada bulan Maret 2006 persentase ini turun sedikit
menjadi 63,41 persen.
3.2 Perubahan Garis Kemiskinan Februari 2005-Maret 2006
Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan,
karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita
per bulan dibawah Garis Kemiskinan. Semakin tinggi Garis Kemiskinan, semakin banyak
penduduk yang tergolong sebagai penduduk miskin. Selama Februari 2005-Maret 2006,
Garis Kemiskinan naik sebesar 18,39 persen, yaitu dari Rp.129.108,- per kapita per bulan
pada Februari 2005 menjadi Rp.152.847,- per kapita per bulan pada Maret 2006. Dengan
memperhatikan komponen Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari Garis Kemiskinan
Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM), terlihat bahwa
peranan komoditi makanan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan
makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada bulan Februari 2005,
sumbangan GKM terhadap GK sebesar 70,54 persen, tetapi pada bulan Maret 2006,
peranannya meningkat sampai 74,99 persen. Meningkatnya peranan GKM terhadap GK
ini sebagian besar akibat naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok yang juga
digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,95 persen selama periode Februari 2005-
Maret 2006.
Komoditi yang paling penting bagi penduduk miskin adalah beras. Pada bulan Maret
2006, persentase pengeluaran beras terhadap total pengeluaran sebulan untuk penduduk
miskin sebesar 23,10 persen, bahkan di daerah perdesaan persentase ini mencapai 26,08
persen. Sumbangan pengeluaran beras terhadap Garis Kemiskinan mencapai 34,91 persen
di perdesaan dan 25,98 persen di perkotaan. Dengan demikian kenaikan harga beras akan
berpengaruh besar kepada penduduk miskin. Selain beras, barang-barang kebutuhan
pokok lain yang berpengaruh besar terhadap Garis Kemiskinan adalah gula pasir (4,66
persen di perdesaan, 3,88 persen di perkotaan), minyak kelapa (2,47 persen di perdesaan,
1,98 persen di perkotaan), telur (1,81 persen di perdesaan, 2,70 persen di perkotaan), dan
mie instant (2,01 persen di pedesaan, 2,14 persen di perkotaan). Untuk komoditi bukan
makanan, biaya perumahan mempunyai peranan yang besar, yaitu 6,27 persen di
perdesaan dan 6,54 persen di perkotaan. Biaya untuk listrik, angkutan dan minyak tanah
mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk daerah perkotaan, yaitu masing-masing
sebesar 3,60 persen, 3,20 persen dan 2,46 persen, sementara untuk daerah perdesaan
pengaruhnya relatif kecil (kurang dari 2 persen).
Kemiskinan di Indonesia menurun pesat sampai dasawarsa 1990an, dan kembali
berkurang sesudah krisis
3.3 Pergeseran Penduduk Miskin Februari 2005-Maret 2006
Terjadi pergeseran posisi penduduk miskin dan hampir miskin selama periode
Februari 2005-Maret 2006 (Tabel 3).
Tabel 3.
Pergeseran Penduduk Miskin, Februari 2005-Maret 2006 (persen)
Kondisi Feb 2005
Kondisi Maret 2006
MiskinHampir
Miskin
Hampir
Tidak Tidak
MiskinTOTAL
Miskin
Miskin 56.51 19.37 17.66 6.45 100
Hampir Miskin 30.29 26.37 30.76 12.58 100
Hampir Tidak Miskin 11.82 16.22 41 30.96 100
Tidak Miskin 2.29 3.6 21.77 72.34 100
TOTAL 17.75 13.02 27.84 41.39 100
Sekitar 56,51 persen penduduk miskin pada bulan Februari 2005 tetap tergolong
sebagai penduduk miskin pada Maret 2006, tetapi sisanya berpindah posisi menjadi
hampir miskin (19,37 persen), hampir tidak miskin (17,66 persen) dan tidak miskin (6,45
persen).
Hal ini bisa terjadi karena secara umum penduduk miskin dapat dibedakan menjadi
dua yaitu miskin kronis (chronic poor) dan miskin sementara (transient poor). Miskin
kronis adalah penduduk miskin yang berpenghasilan jauh di bawah garis kemiskinan dan
biasanya tidak memiliki akses yang cukup terhadap sumber daya ekonomi, sedangkan
miskin sementara adalah penduduk miskin yang berada dekat garis kemiskinan. Jika
terjadi sedikit saja perbaikan dalam ekonomi, kondisi penduduk yang termasuk kategori
miskin sementara ini bisa meningkat dan statusnya berubah menjadi penduduk tidak
miskin.
Pergeseran posisi penduduk miskin pada periode Februari 2005-Maret 2006 ini dapat
dicermati dari distribusi pengeluaran penduduk pada kelompok 40 persen terendah. Rata-
rata pengeluaran per kapita per bulan dari kelompok penduduk 40 persen terendah (desil
1- desil 4) menunjukkan peningkatan selama Februari 2005-Maret 2006. Pada desil 1,
rata-rata pengeluaran per kapita per bulan naik 44,43 persen (Rp.45.970,-), pada desil 2
naik 30,87 persen (Rp. 42.115,-), pada desil 3 meningkat 27,45 persen (Rp. 44.206,-), dan
pada desil 4 naik 25,21 persen (Rp. 46.146,-). Adanya peningkatan pengeluaran yang
cukup besar ini menyebabkan status mereka berubah dari miskin menjadi menjadi tidak
miskin. Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan kepada rumah tangga
miskin dan hampir miskin sebesar Rp. 100.000,- per bulan (sekitar Rp.
25.000,-/orang/bulan), diduga merupakan salah satu sumber pendapatan yang diperoleh
rumah tangga miskin untuk menutupi peningkatan pengeluaran akibat kenaikan harga-
harga kebutuhan pokok.
Perubahan besar terjadi pada penduduk hampir miskin dan hampir tidak miskin.
Sekitar 30,29 persen penduduk hampir miskin di bulan Februari 2005 jatuh menjadi
miskin pada bulan Maret 2006. Pada saat yang sama, 11,82 persen penduduk hampir
tidak miskin di bulan Februari 2005 juga jatuh menjadi miskin pada bulan Maret 2006.
Bahkan 2,29 persen penduduk tidak miskin juga terjatuh menjadi miskin di bulan Maret
2006. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2006 yang sebesar
39,1 juta berasal dari penduduk miskin lama (19,8 juta), penduduk hampir miskin (9,9
juta), penduduk hampir tidak miskin (7,3 juta) dan penduduk tidak miskin (2,1 juta) yang
terjatuh menjadi miskin pada bulan Maret 2006. Dengan memperhatikan pergeseran
posisi ini, dapat disimpulkan bahwa penambahan jumlah penduduk miskin selama
periode Februari 2005-Maret 2006 terjadi karena adanya pergeseran penduduk yang
penghasilannya berada tidak jauh dari garis kemiskinan. Diharapkan ini hanya bersifat
sementara.
III.4 Kondisi Kemiskinan Tahun 2006-2007
Badan Pusat Statistik mengumumkan jumlah penduduk miskin berkurang, dari 39,30
juta tahun 2006 menjadi 37,17 juta tahun 2007. Artinya, terjadi pengurangan 2,13 juta
penduduk miskin atau 1 persen dari total penduduk Indonesia selama satu tahun.
Barangkali, angka 1 persen cukup kecil. Namun, jika dilihat secara absolut,
penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 2,13 juta orang dalam satu tahun adalah
angka besar, bahkan fantastik. Angka ini adalah dua kali lipat jumlah pengurangan
penduduk miskin 2003-2005, yang rata-rata 1,1 juta orang (BPS, 2007). Angka itu juga
jauh lebih tinggi dari jumlah pengurangan penduduk miskin rata-rata 833.000 per tahun
selama periode liberalisasi ekonomi Orde Baru 1987-1996.
Sejauh ini keberhasilan itu bisa dikatakan keberhasilan dalam angka, bukan dalam
fakta. Sebab, terlepas dari indahnya angka penurunan kemiskinan yang disampaikan,
belum satu pun argumen yang memuaskan rasional ekonomi bisa menjelaskan mengapa
angka kemiskinan bisa turun drastis. Tidak heran bila banyak pihak menyangsikan,
bahkan pemerintah dan BPS dituding memanipulasi data.
Tudingan itu bukan tidak berdasar. Selama ini, angka penduduk miskin cenderung
dipengaruhi harga bahan-bahan pokok, terutama makanan. Kenaikan jumlah penduduk
miskin dari 35,10 juta (2005) menjadi 39,30 juta (2006), terutama disebabkan kenaikan
harga beras 33 persen (Bank Dunia, 2006).
Kondisi ini tidak banyak berubah pada kurun waktu Maret 2006 hingga Maret 2007,
saat pencacahan data dilakukan. Dari catatan resmi BPS, harga makanan tercatat
meningkat sekitar 14 persen (Maret 2006-Februari 2007). Sementara pada saat sama, laju
inflasi umum sebesar 7,87 persen. Maka, dengan logika yang sama dengan tahun
sebelumnya, angka kemiskinan penduduk seharusnya juga meningkat atau setidaknya
tetap, pada kurun 2006-2007.
Begitu juga, pertumbuhan ekonomi sekitar 6 persen (Maret 2006-Maret 2007) tidak
cukup dijadikan alasan berkurangnya jumlah penduduk miskin secara drastis. Bahkan
seperti telah disinggung di atas, pada masa liberalisasi ekonomi Orde Baru (1987-1996),
saat ekonomi tumbuh lebih dari 7 persen per tahun, penduduk miskin hanya bisa
dikurangi 833.000 per tahun.
Begitu pula, kenaikan indeks nilai tukar petani (NTP) 9 persen, yang dijadikan alasan
BPS sebagai penyebab berkurangnya kemiskinan, adalah tidak tepat. Sebab, angka ini
lebih menggambarkan pendapatan petani besar dan distributor produk pertanian, bukan
buruh tani.
Sementara itu, mayoritas penduduk miskin di Indonesia adalah mereka yang
mengandalkan upah sebagai tenaga kerja kasar atau buruh tani. Hingga kini tidak ada
indikator yang menunjukkan ada kenaikan dramatis upah tenaga kerja kasar atau buruh
tani. Indikator yang ada, seperti meningkatnya jumlah pengangguran, belum bergeliatnya
sektor riil, dan kian bertambahnya masa tunggu sebelum bekerja, menunjukkan kondisi
sebaliknya: semakin berkurangnya harapan penduduk miskin untuk mendapatkan
penghasilan tetap.
III.5 Kondisi Kemiskinan Tahun 2007-2008
Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di
Indonesia pada bulan Maret 2008 sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen). Dibandingkan
dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2007 yang berjumlah 37,17 juta orang (16,58
persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,21 juta orang.
Selama periode Maret 2007-Maret 2008, penduduk miskin di daerah perdesaan
berkurang 1,42 juta orang, sementara di daerah perkotaan berkurang 0,79 juta orang
Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak
berubah. Pada bulan Maret 2008, sebagian besar (63,47 persen) penduduk miskin berada
di daerah perdesaan.
Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan
peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan).
Pada bulan Maret 2008, sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis
Kemiskinan sebesar 74,07 persen.
Komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan adalah
beras, gula pasir, mie instan, telur, tempe dan tahu. Untuk komoditi bukan makanan
adalah biaya perumahan. Khusus untuk daerah perkotaan, biaya listrik, angkutan dan
minyak tanah mempunyai pengaruh yang cukup besar, sementara untuk daerah perdesaan
pengaruhnya relatif kecil (kurang dari 2 persen).
Pada periode Maret 2007-Maret 2008, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan kecenderungan menurun. Ini
mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin
mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga
semakin menyempit.
3.6 Kondisi Kemiskinan Tiap Propinsi di Indonesia Tahun 2004
Keragaman antar daerah merupakan ciri khas Indonesia, di antaranya tercerminkan
dengan adanya perbedaan antara daerah pedesaan dan perkotaan. Di pedesaan, terdapat
sekitar 57 persen dari orang miskin di Indonesia yang juga seringkali tidak memiliki
akses terhadap pelayanan infrastruktur dasar: hanya sekitar 50 persen masyarakat miskin
di pedesaan mempunyai akses terhadap sumber air bersih, dibandingkan dengan 80
persen bagi masyarakat miskin di perkotaan. Tetapi yang penting, dengan melintasi
kepulauan Indonesia yang sangat luas, akan ditemui perbedaan dalam kantong-kantong
kemiskinan di dalam daerah itu sendiri. Misalnya, angka kemiskinan di Jawa/Bali adalah
15,7 persen, sedangkan di Papua adalah 38,7 persen. Pelayanan dasar juga tidak merata
antar daerah, karena kurangnya sarana di daerah-daerah terpencil. Di Jawa, ratarata jarak
rumah tangga ke puskesmas terdekat adalah empat kilometer, sedangkan di Papua 32
kilometer. Sementara itu, 66 persen kuintil termiskin di Jawa/Bali mempunyai akses
terhadap air bersih, sedangkan untuk Kalimantan hanya 35 persen dan untuk Papua hanya
sembilan persen. Tantangan yang dihadapi oleh pemerintah, yakni walaupun tingkat
kemiskinan jauh lebih tinggi di Indonesia Bagian Timur dan di daerah-daerah terpencil,
tetapi kebanyakan dari rakyat miskin hidup di Indonesia Bagian Barat yang berpenduduk
padat. Contohnya, walaupun angka kemiskinan di Jawa/Bali relatif rendah, pulau-pulau
tersebut dihuni oleh 57 persen dari jumlah total rakyat miskin Indonesia, dibandingkan
dengan Papua, yang hanya memiliki tiga persen dari jumlah total rakyat miskin.
Angka dan jumlah kemiskinan sangat bervariasi antar daerah di Indonesia
3.7 Kondisi Nyata Kemiskinan Indonesia
Kondisi kemiskinan di Indonesia dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari
diantaranya :
1. Seorang ibu bernama Besse yang tengah hamil tujuh bulan bersama Bahir (lima
tahun), anaknya, Sabtu (1/3), meninggal setelah menderita kelaparan akibat tiga hari
tidak makan. Ironisnya peristiwa ini terjadi di kampung halaman Wakil Presiden
Jusuf Kalla . (www.liputan6.com/11 Juli 2008)
2. Sejumlah warga di Desa Prapag Kidul, Kecamatan Losari, Kabupaten Brebes, mulai
mengalami kesulitan pangan akibat kenaikan harga beras yang terus terjadi. Saat ini,
sebagian dari mereka mengaku sudah tidak dapat makan cukup. Apabila harga beras
terus naik, warga terancam mengalami kelaparan. Fenomena serupa dijumpai di
beberapawilayahdi Pandeglang Banten. Agar tetap bisa bertahan hidup, mereka lebih
memilih makan nasi aking. Dengan hanya mengeluarkan uang Rp 1.000 hingga Rp
1.500, mereka mendapat 1 kilogram nasi aking, bahkan tak sedikit yang
diperolehnyasecaragratis.
(http://www.sinarharapan.co.id/berita/0801/17/opi01.html)
3. Latar belakang kasus gizi buruk maupun busung lapar di Nusa Tenggara Barat
semakin terkuak, setelah terungkap bahwa penyebab gejala yang umumnya menimpa
bayi di bawah lima tahun itu sebagai akibat kemiskinan atau daya beli penduduk yang
rendah. Balita busung lapar adalah akibat kurang gizi. Ini diperkuat apabila orangtua
penderita mempunyai 4-6 anak, pekerjaan orangtua sebagai buruh tani atau tukang
ojek dengan penghasilan rata-rata Rp 5.000-Rp 10.000 per hari.
(http://www2.kompas.com/kompascetak/0505/31/daerah/1788832.htm)
4. Kemiskinan menyebabkan anak- anak berhenti sekolah dan terpaksa membantu
orangtua mencari penghasilan tambahan. Bersekolah boleh jadi dianggap mengurangi
pengeluaran ekonomi keluarga yang kurang mampu. Meski sudah ada kemudahan
bagi anak-anak dari keluarga yang tidak mampu untuk tidak membayar SPP,
misalnya, urusan biaya untuk bersekolah bukan saja menyangkut hal itu. Masih ada
biaya yang dikeluarkan orangtua yang tidak mampu untuk keperluan seperti membeli
seragam sekolah, buku pelajaran, atau biaya transportasi anak ke sekolah. Belum lagi
biaya lain yang kadang membuat anak dari kalangan tidak mampu menjadi
tersisihkan dari interaksi sosialnya di sekolah. Dampaknya, anak-anak dari keluarga
miskin sering kali malas datang ke sekolah dan akhirnya putus sekolah menjadi tak
terelakkan. (http://64.203.71.11/kompas-cetak/0504/04/Didaktika/1658563.htm)
IV.Penyebab Kemiskinan di Indonesia
Salah satu permasalahan yang mendasar adalah orientasi pembangunan ekonomi yang
kurang berpihak pada golongan berpenghasilan rendah ekonomi (grass root). Kondisi ini
tercermin dari konsentrasi industrialisasi berskala menengah ke atas, sehingga sektor
ekonomi yang dijalankan oleh sebagian besar masyarakat kurang diperhitungkan. Lalu
kenapa kemiskinan tetap melanda pada sebuah negara yang memiliki tingkat kesuburan yang
tinggi. Penyebab utama dari timbulnya kemiskinan ini adalah :
1) terbatasnya kecukupan, mutu pangan dan bahan kebutuhan dasar,
2) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan,
3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan,
4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha,
5) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah,
6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi,
7) terbatasnya akses terhadap air bersih,
8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah,
9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya
akses masyarakat terhadap sumber daya alam,
10) lemahnya jaminan rasa aman,
11) lemahnya partisipasi,
12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga,
13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas
dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap
masyarakat.
14) ketidakmerataan investasi di sektor pertanian,
15) alokasi anggaran kredit yang terbatas,
16) kebijakan pembangunan perkotaan (mendorong orang desa ke kota),
17) pengelolaan ekonomi yang masih menggunakan cara tradisional,
18) rendahnya produktivitas dan pembentukan modal,
19) tata pemerintahan yang buruk (bad governance) yang umumnya masih berkembang
di daerah pedesaan.
V.Upaya Penanggulangan Kemiskinan
a.Membuat Pertumbuhan Ekonomi Bermanfaat bagi Rakyat Miskin. Pertumbuhan ekonomi
telah dan akan tetap menjadi landasan bagi pengentasan kemiskinan. Pertama, langkah
«membuat pertumbuhan bermanfaat bagi rakyat miskin» merupakan kunci bagi upaya
untuk mengkaitkan masyarakat miskin dengan proses pertumbuhan-baik dalam konteks
pedesaan-perkotaan ataupun dalam berbagai pengelompokan berdasarkan daerah dan
pulau. Hal ini sangat mendasar dalam menangani aspek perbedaan antar daerah. Kedua,
dalam menangani ciri kerentanan kemiskinan yang berkaitan dengan padatnya konsentrasi
distribusi pendapatan di Indonesia, apapun yang dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat akan dapat dengan cepat mengurangi angka kemiskinan serta kerentanan
kemiskinan.
b.Membuat Layanan Sosial Bermanfaat bagi Rakyat Miskin.
Penyediaan layanan sosial bagi rakyat miskinbaik oleh sektor pemerintah ataupun sektor
swasta-adalah mutlak dalam penanganan kemiskinan di Indonesia. Pertama, hal itu
merupakan kunci dalam menyikapi dimensi non-pendapatan kemiskinan di Indonesia.
Indikator pembangunan manusia yang kurang baik, misalnya Angka Kematian Ibu yang
tinggi, harus diatasi dengan memperbaiki kualitas layanan yang tersedia untuk masyarakat
miskin. Hal ini lebih dari sekedar persoalan yang bekaitan dengan pengeluaran pemerintah,
karena berkaitan dengan perbaikan sistem pertanggungjawaban, mekanisme penyediaan
layanan, dan bahkan proses kepemerintahan. Kedua, ciri keragaman antar daerah
kebanyakan dicerminkan oleh perbedaan dalam akses terhadap layanan, yang pada
akhirnya mengakibatkan adanya perbedaan dalam pencapaian indikator pembangunan
manusia di berbagai daerah. Dengan demikian, membuat layanan masyarakat bermanfaat
bagi rakyat miskin merupakan kunci dalam menangani masalah kemiskinan dalam konteks
keragaman antar daerah.
c. Membuat Pengeluaran Pemerintah Bermanfaat bagi Rakyat Miskin.
Di samping pertumbuhan ekonomi dan layanan sosial, dengan menentukan sasaran
pengeluaran untuk rakyat miskin, pemerintah dapat membantu mereka dalam menghadapi
kemiskinan (baik dari segi pendapatan maupun non-pendapatan). Pertama, pengeluaran
pemerintah dapat digunakan untuk membantu mereka yang rentan terhadap kemiskinan
dari segi pendapatan melalui suatu sistem perlindungan sosial modern yang meningkatkan
kemampuan mereka sendiri untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi. Kedua,
pengeluaran pemerintah dapat digunakan untuk memperbaiki indikator-indikator
pembangunan manusia, sehingga dapat mengatasi kemiskinan dari aspek non-pendapatan.
Membuat pengeluaran bermanfaat bagi masyarakat miskin sangat menentukan saat ini,
terutama mengingat adanya peluang dari sisi fiscal yang ada di Indonesia saat kini.
5.1 Langkah Nyata Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia
Data kemiskinan hasil Susenas yang menghasilkan angka penduduk miskin sebesar
39,05 juta pada bulan Maret 2006, merupakan data kemiskinan yang bersifat makro. Data
ini hanya menunjukkan jumlah agregat dan persentase penduduk miskin, tetapi tidak dapat
menunjukkan siapa si miskin dan dimana alamat mereka, sehingga kurang operasional di
lapangan. Meskipun demikian, karena pendataan kemiskinan Susenas dilakukan setiap
tahun, maka selama ini secara konsisten (apple to apple) digunakan untuk mengevaluasi
pertambahan/pengurangan jumlah penduduk miskin.
Untuk menyalurkan BLT (Bantuan Langsung Tunai) dalam rangka kompensasi BBM,
diperlukan data mikro rumah tangga ”miskin” yang memuat informasi nama kepala rumah
tangga yang berhak menerima BLT dan lokasi tempat tinggalnya (rinci menurut nama dan
alamat). Upaya penyediaan data mikro ini dilakukan BPS dengan melaksanakan
Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk (PSE). Karena program BLT menghendaki manfaat
yang lebih luas bagi rumah tangga yang terkena dampak kenaikan harga BBM, maka
sasarannya tidak saja pada rumah tangga sangat miskin dan miskin, tetapi juga pada rumah
tangga yang mendekati miskin. Jumlah rumah tangga yang berhak menerima BLT adalah
19,2 juta rumah tangga.
Berbeda dengan metode Susenas yang mengukur kemiskinan dengan menggunakan
pendekatan kebutuhan dasar makanan (setara 2100 kalori per kapita per hari) dan bukan
makanan (variabel kuantitatif), penentuan rumah tangga penerima BLT didasarkan pada
pendekatan karakteristik rumah tangga dengan menggunakan 14 variabel kualitatif
penjelas kemiskinan. Ke 14 variabel yang digunakan adalah luas lantai per kapita, jenis
lantai, jenis dinding, fasilitas tempat buang air besar, sumber air minum, sumber
penerangan, bahan bakar, membeli daging/ayam/susu, frekuensi makan, membeli pakaian
baru, kemampuan berobat, lapangan usaha kepala rumah tangga, pendidikan kepala rumah
tangga, dan aset yang dimiliki rumah tangga. Karena tujuan dan metode pengumpulan data
yang digunakan berbeda, maka data kemiskinan Susenas tidak dapat dibandingkan secara
langsung dengan data PSE.
Daftar Pustaka
http://winsolu.wordpress.com/2008/05/15/penurunan-jumlah-kemiskinan-di-indonesia/
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2004/04/28/brk,20040428-09,id.html
http://nalarekonomi.blogspot.com/2006/09/dinamika-kemiskinan-di-indonesia.html
http://www.ekofeum.or.id/artikel.php?cid=21&display=28&entry=4
http://lazdai.wordpress.com/2008/01/17/kemiskinan/
www.bps.go.id/releases/files/kemiskinan-01sep06.pdf
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0801/17/opi01.html)
http://www2.kompas.com/kompascetak/0505/31/daerah/1788832.htm
http://64.203.71.11/kompas-cetak/0504/04/Didaktika/1658563.htm