Paper Demografi Kemiskinan2

27
KONDISI KEMISKINAN DI INDONESIA DAN PENYEBABNYA I. Pengertian Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah global yang sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah "negara berkembang" biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang "miskin". Kemiskinan menurut World Bank Institute merupakan suatu ketidakcukupan/ kekurangan akan aset-aset penting dan peluang- peluang di mana setiap manusia berhak memperolehnya. Sedangkan menurut Bank Dunia, “Poverty is pronounced deprivation in well being” di mana kesejahteraan dapat diukur oleh kekayaan yang dimiliki seseorang, kesehatan, gizi , pendidikan, aset, perumahan dan hak-hak tertentu dalam masyarakat seperti kebebasan berbicara. Kemiskinan merupakan masalah multidimensi yang memerlukan kebijakan dan program intervensi multidimensi pula agar kesejahteraan individu meningkat sehingga membuatnya terbebas dari kemiskinan.

Transcript of Paper Demografi Kemiskinan2

Page 1: Paper Demografi Kemiskinan2

KONDISI KEMISKINAN DI INDONESIA

DAN PENYEBABNYA

I. Pengertian Kemiskinan

Kemiskinan merupakan masalah global yang sering dihubungkan dengan kebutuhan,

kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup. Sebagian orang memahami istilah ini

secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan

evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah

"negara berkembang" biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang

"miskin".

Kemiskinan menurut World Bank Institute merupakan suatu ketidakcukupan/

kekurangan akan aset-aset penting dan peluang-peluang di mana setiap manusia berhak

memperolehnya. Sedangkan menurut Bank Dunia, “Poverty is pronounced deprivation in

well being” di mana kesejahteraan dapat diukur oleh kekayaan yang dimiliki seseorang,

kesehatan, gizi , pendidikan, aset, perumahan dan hak-hak tertentu dalam masyarakat seperti

kebebasan berbicara. Kemiskinan merupakan masalah multidimensi yang memerlukan

kebijakan dan program intervensi multidimensi pula agar kesejahteraan individu meningkat

sehingga membuatnya terbebas dari kemiskinan.

Sedangkan kemiskinan menurut Azhari (1992) dalam Zarmawis (1999) menjelaskan

bahwa kemiskinan pada dasarnya ada 3 macam, yaitu:

1. Kemiskinan alamiah

Kemiskinan model ini timbul akibat sumber daya yang langka jumlahnya atau karena

tingkat perkembangan teknologi yang rendah. Termasuk di dalamnya kemiskinan akibat

jumlah penduduk melaju dengan cepat ditengah-tengah Sumber Daya Alam yang tetap.

2. Kemiskinan struktural

Kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena strukrtur sosial

sedemikian rupa, sehingga masyarakat tidak dapat menggunakan sumber-sumber

pendapatanyya yang sebenarnya tersedia bagi mereka.

Page 2: Paper Demografi Kemiskinan2

3. Kemiskinan kultural

Kemiskinan yang muncul karena tuntutan tradisi/adat yang membebani ekonomi

masyarakat, seperti upacara perkawinan, dll. Termasuk juga sikap mental penduduk yang

malas, konsumtif, dan kurang berorientasi ke depan.

Kemiskinan di Indonesia merupakan fenomena tersendiri bagi kehidupan rakyat

Indonesia sehari-hari. Diantara himpitan kesulitan kehidupan yang lain, kemiskinan

merupakan problema utama yang harus dan setidaknya segera menjadi agenda utama yang

menjadi skala prioritas bagi pemerintah Indonesia. Tak dipungkiri bahwa sinergi diantara

kedua pihak antara rakyat dan pemerintah harus berjalan dengan harmonis dan feed back

( timbal balik) yang sempurna juga dalam proses pengentasan permasalahannya.

Secara harafiah, kemiskinan berasal dari kata dasar miskin diberi arti “tidak berharta-

benda” (Poerwadarminta, 1976). Dalam pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat

dikonotasikan sebagai suatu kondisi ketidak-mampuan baik secara individu, keluarga

maupun kelompok, sehingga kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang

lain.

II. Standar Kemiskinan

Pemerintah Khusus DKI Jakarta mencirikan rumah tangga miskin setelah

mengadakan Sensus Kemiskinan pada tahun 2000 sebagai rumah tangga yang memiliki

setidaknya 3 ciri/variabel kemiskinan sebagai berikut :

1. Luas lantai hunian kurang dari 8 m2 per anggota rumah tangga

2. Jenis lantai hunian sebagian besar tanah atau lainnya

3. Fasilitas jamban/WC : tidak ada dan atau WC umum

4. Fasilitas air bersih : tidak ada

5. Kepemilikan asset (kursi tamu) : tidak ada

6. Konsumsi lauk-pauk dalam seminggu : tidak bervariasi

7. Kemampuan membeli pakaian minimal 1 (satu) stel dalam setahun untuk setiap

anggota rumah tangga : tidak ada

(BPS, Data dan Informasi Kemiskinan 2002)

III.Keadaan Kemiskinan di Indonesia

Sejak krisis ekonomi 1997/1998, kondisi perekonomian Indonesia belum dapat

dikatakan pulih. Laju perekonomian negeri ini terus diiringi dengan meroketnya angka

Page 3: Paper Demografi Kemiskinan2

pengangguran terbesar sepanjang sejarah. Masalah pengangguran akan terus menjadi batu

sandungan perkembangan sosial-ekonomi negeri ini di masa-masa yang akan datang.

Jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 1996-2005 berfluktuasi dari

tahun ke tahun meskipun terlihat adanya kecenderungan menurun pada periode 2000-2005

(Tabel 1).

Tabel 1.

Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia

Menurut Daerah, 1996-2005

Tahun Jumlah Penduduk Miskin Persentase Penduduk Miskin

Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa

1996 9.42 24.59 34.01 13.39 19.78 17.47

1998 17.60 31.90 49.50 21.92 25.72 24.23

1999 15.64 32.33 47.97 19.41 26.03 23.43

2000 12.30 26.40 38.70 14.60 22.38 19.14

2001 8.60 29.30 37.90 9.76 24.84 18.41

2002 13.30 25.10 38.40 14.46 21.10 18.20

2003 12.20 25.10 37.30 13.57 20.23 17.42

2004 11.40 24.80 36.10 12.13 20.11 16.66

2005 12.40 22.70 35.10 11.37 19.51 15.97

Sumber: Diolah dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)

Berita Resmi Statistik No. 47 / IX / 1 September 2006.

Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta

karena krisis ekonomi, yaitu dari 34,01 juta pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta pada tahun

1999. Persentase penduduk miskin meningkat dari 17,47 persen menjadi 23,43 persen pada

periode yang sama. Pada periode 1999-2002 terjadi penurunan jumlah penduduk miskin

sebesar 9,57 juta, yaitu dari 47,97 juta pada tahun 1999 menjadi 38,40 juta pada tahun 2002.

Secara relatif juga terjadi penurunan persentase penduduk miskin dari 23,43 persen pada

tahun 1999 menjadi 18,20 persen pada tahun 2002. Penurunan jumlah penduduk miskin juga

terjadi pada periode 2002-2005 sebesar 3,3 juta, yaitu dari 38,40 juta pada tahun 2002

menjadi 35,10 juta pada tahun 2005. Persentase penduduk miskin turun dari 18,20 persen

pada tahun 2002 menjadi 15,97 persen pada tahun 2005.

Page 4: Paper Demografi Kemiskinan2

3.1 Perkembangan Tingkat Kemiskinan Februari 2005-Maret 2006

Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta

(17,75 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang

berjumlah 35,10 juta (15,97 persen), berarti jumlah penduduk miskin meningkat sebesar

3,95 juta. Pertambahan penduduk miskin di daerah perdesaan sedikit lebih tinggi dari

pada daerah perkotaan. Selama periode Februari 2005-Maret 2006, penduduk miskin di

daerah perdesaan bertambah 2,06 juta, sementara di daerah perkotaan bertambah 1,89

juta orang (Tabel 2).

Tabel 2.

Garis Kemiskinan, Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin

Menurut Daerah, Februari 2005 – Maret 2006

Daerah/Tahun

Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bulan) Jumlah Penduduk Persentase

MakananBukan

MakananTotal Miskin (juta)

Penduduk

Miskin

Perkotaan          

Februari 2005 103992 46807 150799 12.4 11.37

Maret 2006 126527 48797 175324 14.29 13.36

Pedesaan          

Februari 2005 84014 33245 117259 22.7 19.51

Maret 2006 103180 28076 131256 24.76 21.9

Kota+Desa          

Februari 2005 91072 38036 129108 35.1 15.97

Maret 2006 114619 38228 152847 39.05 17.75

Sumber: Diolah dari data Susenas Panel Februari 2005 dan Maret 2006

Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak

berubah. Pada bulan Februari 2005, sebagian besar (64,67 persen) penduduk miskin

berada di daerah perdesaan, sementara pada bulan Maret 2006 persentase ini turun sedikit

menjadi 63,41 persen.

3.2 Perubahan Garis Kemiskinan Februari 2005-Maret 2006

Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan,

karena penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita

Page 5: Paper Demografi Kemiskinan2

per bulan dibawah Garis Kemiskinan. Semakin tinggi Garis Kemiskinan, semakin banyak

penduduk yang tergolong sebagai penduduk miskin. Selama Februari 2005-Maret 2006,

Garis Kemiskinan naik sebesar 18,39 persen, yaitu dari Rp.129.108,- per kapita per bulan

pada Februari 2005 menjadi Rp.152.847,- per kapita per bulan pada Maret 2006. Dengan

memperhatikan komponen Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari Garis Kemiskinan

Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM), terlihat bahwa

peranan komoditi makanan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan

makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada bulan Februari 2005,

sumbangan GKM terhadap GK sebesar 70,54 persen, tetapi pada bulan Maret 2006,

peranannya meningkat sampai 74,99 persen. Meningkatnya peranan GKM terhadap GK

ini sebagian besar akibat naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok yang juga

digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,95 persen selama periode Februari 2005-

Maret 2006.

Komoditi yang paling penting bagi penduduk miskin adalah beras. Pada bulan Maret

2006, persentase pengeluaran beras terhadap total pengeluaran sebulan untuk penduduk

miskin sebesar 23,10 persen, bahkan di daerah perdesaan persentase ini mencapai 26,08

persen. Sumbangan pengeluaran beras terhadap Garis Kemiskinan mencapai 34,91 persen

di perdesaan dan 25,98 persen di perkotaan. Dengan demikian kenaikan harga beras akan

berpengaruh besar kepada penduduk miskin. Selain beras, barang-barang kebutuhan

pokok lain yang berpengaruh besar terhadap Garis Kemiskinan adalah gula pasir (4,66

persen di perdesaan, 3,88 persen di perkotaan), minyak kelapa (2,47 persen di perdesaan,

1,98 persen di perkotaan), telur (1,81 persen di perdesaan, 2,70 persen di perkotaan), dan

mie instant (2,01 persen di pedesaan, 2,14 persen di perkotaan). Untuk komoditi bukan

makanan, biaya perumahan mempunyai peranan yang besar, yaitu 6,27 persen di

perdesaan dan 6,54 persen di perkotaan. Biaya untuk listrik, angkutan dan minyak tanah

mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk daerah perkotaan, yaitu masing-masing

sebesar 3,60 persen, 3,20 persen dan 2,46 persen, sementara untuk daerah perdesaan

pengaruhnya relatif kecil (kurang dari 2 persen).

Kemiskinan di Indonesia menurun pesat sampai dasawarsa 1990an, dan kembali

berkurang sesudah krisis

Page 6: Paper Demografi Kemiskinan2

3.3 Pergeseran Penduduk Miskin Februari 2005-Maret 2006

Terjadi pergeseran posisi penduduk miskin dan hampir miskin selama periode

Februari 2005-Maret 2006 (Tabel 3).

Tabel 3.

Pergeseran Penduduk Miskin, Februari 2005-Maret 2006 (persen)

Kondisi Feb 2005

Kondisi Maret 2006

MiskinHampir

Miskin

Hampir

Tidak Tidak

MiskinTOTAL

Miskin

Miskin 56.51 19.37 17.66 6.45 100

Hampir Miskin 30.29 26.37 30.76 12.58 100

Hampir Tidak Miskin 11.82 16.22 41 30.96 100

Tidak Miskin 2.29 3.6 21.77 72.34 100

TOTAL 17.75 13.02 27.84 41.39 100

Sekitar 56,51 persen penduduk miskin pada bulan Februari 2005 tetap tergolong

sebagai penduduk miskin pada Maret 2006, tetapi sisanya berpindah posisi menjadi

Page 7: Paper Demografi Kemiskinan2

hampir miskin (19,37 persen), hampir tidak miskin (17,66 persen) dan tidak miskin (6,45

persen).

Hal ini bisa terjadi karena secara umum penduduk miskin dapat dibedakan menjadi

dua yaitu miskin kronis (chronic poor) dan miskin sementara (transient poor). Miskin

kronis adalah penduduk miskin yang berpenghasilan jauh di bawah garis kemiskinan dan

biasanya tidak memiliki akses yang cukup terhadap sumber daya ekonomi, sedangkan

miskin sementara adalah penduduk miskin yang berada dekat garis kemiskinan. Jika

terjadi sedikit saja perbaikan dalam ekonomi, kondisi penduduk yang termasuk kategori

miskin sementara ini bisa meningkat dan statusnya berubah menjadi penduduk tidak

miskin.

Pergeseran posisi penduduk miskin pada periode Februari 2005-Maret 2006 ini dapat

dicermati dari distribusi pengeluaran penduduk pada kelompok 40 persen terendah. Rata-

rata pengeluaran per kapita per bulan dari kelompok penduduk 40 persen terendah (desil

1- desil 4) menunjukkan peningkatan selama Februari 2005-Maret 2006. Pada desil 1,

rata-rata pengeluaran per kapita per bulan naik 44,43 persen (Rp.45.970,-), pada desil 2

naik 30,87 persen (Rp. 42.115,-), pada desil 3 meningkat 27,45 persen (Rp. 44.206,-), dan

pada desil 4 naik 25,21 persen (Rp. 46.146,-). Adanya peningkatan pengeluaran yang

cukup besar ini menyebabkan status mereka berubah dari miskin menjadi menjadi tidak

miskin. Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan kepada rumah tangga

miskin dan hampir miskin sebesar Rp. 100.000,- per bulan (sekitar Rp.

25.000,-/orang/bulan), diduga merupakan salah satu sumber pendapatan yang diperoleh

rumah tangga miskin untuk menutupi peningkatan pengeluaran akibat kenaikan harga-

harga kebutuhan pokok.

Perubahan besar terjadi pada penduduk hampir miskin dan hampir tidak miskin.

Sekitar 30,29 persen penduduk hampir miskin di bulan Februari 2005 jatuh menjadi

miskin pada bulan Maret 2006. Pada saat yang sama, 11,82 persen penduduk hampir

tidak miskin di bulan Februari 2005 juga jatuh menjadi miskin pada bulan Maret 2006.

Bahkan 2,29 persen penduduk tidak miskin juga terjatuh menjadi miskin di bulan Maret

2006. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2006 yang sebesar

39,1 juta berasal dari penduduk miskin lama (19,8 juta), penduduk hampir miskin (9,9

juta), penduduk hampir tidak miskin (7,3 juta) dan penduduk tidak miskin (2,1 juta) yang

Page 8: Paper Demografi Kemiskinan2

terjatuh menjadi miskin pada bulan Maret 2006. Dengan memperhatikan pergeseran

posisi ini, dapat disimpulkan bahwa penambahan jumlah penduduk miskin selama

periode Februari 2005-Maret 2006 terjadi karena adanya pergeseran penduduk yang

penghasilannya berada tidak jauh dari garis kemiskinan. Diharapkan ini hanya bersifat

sementara.

III.4 Kondisi Kemiskinan Tahun 2006-2007

Badan Pusat Statistik mengumumkan jumlah penduduk miskin berkurang, dari 39,30

juta tahun 2006 menjadi 37,17 juta tahun 2007. Artinya, terjadi pengurangan 2,13 juta

penduduk miskin atau 1 persen dari total penduduk Indonesia selama satu tahun.

Barangkali, angka 1 persen cukup kecil. Namun, jika dilihat secara absolut,

penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 2,13 juta orang dalam satu tahun adalah

angka besar, bahkan fantastik. Angka ini adalah dua kali lipat jumlah pengurangan

penduduk miskin 2003-2005, yang rata-rata 1,1 juta orang (BPS, 2007). Angka itu juga

jauh lebih tinggi dari jumlah pengurangan penduduk miskin rata-rata 833.000 per tahun

selama periode liberalisasi ekonomi Orde Baru 1987-1996.

Sejauh ini keberhasilan itu bisa dikatakan keberhasilan dalam angka, bukan dalam

fakta. Sebab, terlepas dari indahnya angka penurunan kemiskinan yang disampaikan,

belum satu pun argumen yang memuaskan rasional ekonomi bisa menjelaskan mengapa

angka kemiskinan bisa turun drastis. Tidak heran bila banyak pihak menyangsikan,

bahkan pemerintah dan BPS dituding memanipulasi data.

Tudingan itu bukan tidak berdasar. Selama ini, angka penduduk miskin cenderung

dipengaruhi harga bahan-bahan pokok, terutama makanan. Kenaikan jumlah penduduk

miskin dari 35,10 juta (2005) menjadi 39,30 juta (2006), terutama disebabkan kenaikan

harga beras 33 persen (Bank Dunia, 2006).

Kondisi ini tidak banyak berubah pada kurun waktu Maret 2006 hingga Maret 2007,

saat pencacahan data dilakukan. Dari catatan resmi BPS, harga makanan tercatat

meningkat sekitar 14 persen (Maret 2006-Februari 2007). Sementara pada saat sama, laju

inflasi umum sebesar 7,87 persen. Maka, dengan logika yang sama dengan tahun

sebelumnya, angka kemiskinan penduduk seharusnya juga meningkat atau setidaknya

tetap, pada kurun 2006-2007.

Page 9: Paper Demografi Kemiskinan2

Begitu juga, pertumbuhan ekonomi sekitar 6 persen (Maret 2006-Maret 2007) tidak

cukup dijadikan alasan berkurangnya jumlah penduduk miskin secara drastis. Bahkan

seperti telah disinggung di atas, pada masa liberalisasi ekonomi Orde Baru (1987-1996),

saat ekonomi tumbuh lebih dari 7 persen per tahun, penduduk miskin hanya bisa

dikurangi 833.000 per tahun.

Begitu pula, kenaikan indeks nilai tukar petani (NTP) 9 persen, yang dijadikan alasan

BPS sebagai penyebab berkurangnya kemiskinan, adalah tidak tepat. Sebab, angka ini

lebih menggambarkan pendapatan petani besar dan distributor produk pertanian, bukan

buruh tani.

Sementara itu, mayoritas penduduk miskin di Indonesia adalah mereka yang

mengandalkan upah sebagai tenaga kerja kasar atau buruh tani. Hingga kini tidak ada

indikator yang menunjukkan ada kenaikan dramatis upah tenaga kerja kasar atau buruh

tani. Indikator yang ada, seperti meningkatnya jumlah pengangguran, belum bergeliatnya

sektor riil, dan kian bertambahnya masa tunggu sebelum bekerja, menunjukkan kondisi

sebaliknya: semakin berkurangnya harapan penduduk miskin untuk mendapatkan

penghasilan tetap.

III.5 Kondisi Kemiskinan Tahun 2007-2008

Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di

Indonesia pada bulan Maret 2008 sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen). Dibandingkan

dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2007 yang berjumlah 37,17 juta orang (16,58

persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,21 juta orang.

Selama periode Maret 2007-Maret 2008, penduduk miskin di daerah perdesaan

berkurang 1,42 juta orang, sementara di daerah perkotaan berkurang 0,79 juta orang

Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak

berubah. Pada bulan Maret 2008, sebagian besar (63,47 persen) penduduk miskin berada

di daerah perdesaan.

Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan

peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan).

Pada bulan Maret 2008, sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis

Kemiskinan sebesar 74,07 persen.

Page 10: Paper Demografi Kemiskinan2

Komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan adalah

beras, gula pasir, mie instan, telur, tempe dan tahu. Untuk komoditi bukan makanan

adalah biaya perumahan. Khusus untuk daerah perkotaan, biaya listrik, angkutan dan

minyak tanah mempunyai pengaruh yang cukup besar, sementara untuk daerah perdesaan

pengaruhnya relatif kecil (kurang dari 2 persen).

Pada periode Maret 2007-Maret 2008, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan

Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) menunjukkan kecenderungan menurun. Ini

mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin

mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga

semakin menyempit.

3.6 Kondisi Kemiskinan Tiap Propinsi di Indonesia Tahun 2004

Keragaman antar daerah merupakan ciri khas Indonesia, di antaranya tercerminkan

dengan adanya perbedaan antara daerah pedesaan dan perkotaan. Di pedesaan, terdapat

sekitar 57 persen dari orang miskin di Indonesia yang juga seringkali tidak memiliki

akses terhadap pelayanan infrastruktur dasar: hanya sekitar 50 persen masyarakat miskin

di pedesaan mempunyai akses terhadap sumber air bersih, dibandingkan dengan 80

persen bagi masyarakat miskin di perkotaan. Tetapi yang penting, dengan melintasi

kepulauan Indonesia yang sangat luas, akan ditemui perbedaan dalam kantong-kantong

kemiskinan di dalam daerah itu sendiri. Misalnya, angka kemiskinan di Jawa/Bali adalah

15,7 persen, sedangkan di Papua adalah 38,7 persen. Pelayanan dasar juga tidak merata

antar daerah, karena kurangnya sarana di daerah-daerah terpencil. Di Jawa, ratarata jarak

rumah tangga ke puskesmas terdekat adalah empat kilometer, sedangkan di Papua 32

kilometer. Sementara itu, 66 persen kuintil termiskin di Jawa/Bali mempunyai akses

terhadap air bersih, sedangkan untuk Kalimantan hanya 35 persen dan untuk Papua hanya

sembilan persen. Tantangan yang dihadapi oleh pemerintah, yakni walaupun tingkat

kemiskinan jauh lebih tinggi di Indonesia Bagian Timur dan di daerah-daerah terpencil,

tetapi kebanyakan dari rakyat miskin hidup di Indonesia Bagian Barat yang berpenduduk

padat. Contohnya, walaupun angka kemiskinan di Jawa/Bali relatif rendah, pulau-pulau

tersebut dihuni oleh 57 persen dari jumlah total rakyat miskin Indonesia, dibandingkan

dengan Papua, yang hanya memiliki tiga persen dari jumlah total rakyat miskin.

Page 11: Paper Demografi Kemiskinan2

Angka dan jumlah kemiskinan sangat bervariasi antar daerah di Indonesia

3.7 Kondisi Nyata Kemiskinan Indonesia

Kondisi kemiskinan di Indonesia dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari

diantaranya :

1. Seorang ibu bernama Besse yang tengah hamil tujuh bulan bersama Bahir (lima

tahun), anaknya, Sabtu (1/3), meninggal setelah menderita kelaparan akibat tiga hari

tidak makan. Ironisnya peristiwa ini terjadi di kampung halaman Wakil Presiden

Jusuf Kalla . (www.liputan6.com/11 Juli 2008)

Page 12: Paper Demografi Kemiskinan2

2. Sejumlah warga di Desa Prapag Kidul, Kecamatan Losari, Kabupaten Brebes, mulai

mengalami kesulitan pangan akibat kenaikan harga beras yang terus terjadi. Saat ini,

sebagian dari mereka mengaku sudah tidak dapat makan cukup. Apabila harga beras

terus naik, warga terancam mengalami kelaparan. Fenomena serupa dijumpai di

beberapawilayahdi Pandeglang Banten. Agar tetap bisa bertahan hidup, mereka lebih

memilih makan nasi aking. Dengan hanya mengeluarkan uang Rp 1.000 hingga Rp

1.500, mereka mendapat 1 kilogram nasi aking, bahkan tak sedikit yang

diperolehnyasecaragratis.

(http://www.sinarharapan.co.id/berita/0801/17/opi01.html)

3. Latar belakang kasus gizi buruk maupun busung lapar di Nusa Tenggara Barat

semakin terkuak, setelah terungkap bahwa penyebab gejala yang umumnya menimpa

bayi di bawah lima tahun itu sebagai akibat kemiskinan atau daya beli penduduk yang

rendah. Balita busung lapar adalah akibat kurang gizi. Ini diperkuat apabila orangtua

penderita mempunyai 4-6 anak, pekerjaan orangtua sebagai buruh tani atau tukang

ojek dengan penghasilan rata-rata Rp 5.000-Rp 10.000 per hari.

(http://www2.kompas.com/kompascetak/0505/31/daerah/1788832.htm)

Page 13: Paper Demografi Kemiskinan2

4. Kemiskinan menyebabkan anak- anak berhenti sekolah dan terpaksa membantu

orangtua mencari penghasilan tambahan. Bersekolah boleh jadi dianggap mengurangi

pengeluaran ekonomi keluarga yang kurang mampu. Meski sudah ada kemudahan

bagi anak-anak dari keluarga yang tidak mampu untuk tidak membayar SPP,

misalnya, urusan biaya untuk bersekolah bukan saja menyangkut hal itu. Masih ada

biaya yang dikeluarkan orangtua yang tidak mampu untuk keperluan seperti membeli

seragam sekolah, buku pelajaran, atau biaya transportasi anak ke sekolah. Belum lagi

biaya lain yang kadang membuat anak dari kalangan tidak mampu menjadi

tersisihkan dari interaksi sosialnya di sekolah. Dampaknya, anak-anak dari keluarga

miskin sering kali malas datang ke sekolah dan akhirnya putus sekolah menjadi tak

terelakkan. (http://64.203.71.11/kompas-cetak/0504/04/Didaktika/1658563.htm)

IV.Penyebab Kemiskinan di Indonesia

Salah satu permasalahan yang mendasar adalah orientasi pembangunan ekonomi yang

kurang berpihak pada golongan berpenghasilan rendah ekonomi (grass root). Kondisi ini

tercermin dari konsentrasi industrialisasi berskala menengah ke atas, sehingga sektor

ekonomi yang dijalankan oleh sebagian besar masyarakat kurang diperhitungkan. Lalu

Page 14: Paper Demografi Kemiskinan2

kenapa kemiskinan tetap melanda pada sebuah negara yang memiliki tingkat kesuburan yang

tinggi. Penyebab utama dari timbulnya kemiskinan ini adalah :

1) terbatasnya kecukupan, mutu pangan dan bahan kebutuhan dasar,

2) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan,

3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan,

4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha,

5) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah,

6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi,

7) terbatasnya akses terhadap air bersih,

8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah,

9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya

akses masyarakat terhadap sumber daya alam,

10) lemahnya jaminan rasa aman,

11) lemahnya partisipasi,

12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga,

13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas

dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap

masyarakat.

14) ketidakmerataan investasi di sektor pertanian,

15) alokasi anggaran kredit yang terbatas,

16) kebijakan pembangunan perkotaan (mendorong orang desa ke kota),

17) pengelolaan ekonomi yang masih menggunakan cara tradisional,

18) rendahnya produktivitas dan pembentukan modal,

19) tata pemerintahan yang buruk (bad governance) yang umumnya masih berkembang

di daerah pedesaan.

V.Upaya Penanggulangan Kemiskinan

a.Membuat Pertumbuhan Ekonomi Bermanfaat bagi Rakyat Miskin. Pertumbuhan ekonomi

telah dan akan tetap menjadi landasan bagi pengentasan kemiskinan. Pertama, langkah

Page 15: Paper Demografi Kemiskinan2

«membuat pertumbuhan bermanfaat bagi rakyat miskin» merupakan kunci bagi upaya

untuk mengkaitkan masyarakat miskin dengan proses pertumbuhan-baik dalam konteks

pedesaan-perkotaan ataupun dalam berbagai pengelompokan berdasarkan daerah dan

pulau. Hal ini sangat mendasar dalam menangani aspek perbedaan antar daerah. Kedua,

dalam menangani ciri kerentanan kemiskinan yang berkaitan dengan padatnya konsentrasi

distribusi pendapatan di Indonesia, apapun yang dapat meningkatkan pendapatan

masyarakat akan dapat dengan cepat mengurangi angka kemiskinan serta kerentanan

kemiskinan.

b.Membuat Layanan Sosial Bermanfaat bagi Rakyat Miskin.

Penyediaan layanan sosial bagi rakyat miskinbaik oleh sektor pemerintah ataupun sektor

swasta-adalah mutlak dalam penanganan kemiskinan di Indonesia. Pertama, hal itu

merupakan kunci dalam menyikapi dimensi non-pendapatan kemiskinan di Indonesia.

Indikator pembangunan manusia yang kurang baik, misalnya Angka Kematian Ibu yang

tinggi, harus diatasi dengan memperbaiki kualitas layanan yang tersedia untuk masyarakat

miskin. Hal ini lebih dari sekedar persoalan yang bekaitan dengan pengeluaran pemerintah,

karena berkaitan dengan perbaikan sistem pertanggungjawaban, mekanisme penyediaan

layanan, dan bahkan proses kepemerintahan. Kedua, ciri keragaman antar daerah

kebanyakan dicerminkan oleh perbedaan dalam akses terhadap layanan, yang pada

akhirnya mengakibatkan adanya perbedaan dalam pencapaian indikator pembangunan

manusia di berbagai daerah. Dengan demikian, membuat layanan masyarakat bermanfaat

bagi rakyat miskin merupakan kunci dalam menangani masalah kemiskinan dalam konteks

keragaman antar daerah.

c. Membuat Pengeluaran Pemerintah Bermanfaat bagi Rakyat Miskin.

Di samping pertumbuhan ekonomi dan layanan sosial, dengan menentukan sasaran

pengeluaran untuk rakyat miskin, pemerintah dapat membantu mereka dalam menghadapi

kemiskinan (baik dari segi pendapatan maupun non-pendapatan). Pertama, pengeluaran

pemerintah dapat digunakan untuk membantu mereka yang rentan terhadap kemiskinan

dari segi pendapatan melalui suatu sistem perlindungan sosial modern yang meningkatkan

kemampuan mereka sendiri untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi. Kedua,

Page 16: Paper Demografi Kemiskinan2

pengeluaran pemerintah dapat digunakan untuk memperbaiki indikator-indikator

pembangunan manusia, sehingga dapat mengatasi kemiskinan dari aspek non-pendapatan.

Membuat pengeluaran bermanfaat bagi masyarakat miskin sangat menentukan saat ini,

terutama mengingat adanya peluang dari sisi fiscal yang ada di Indonesia saat kini.

5.1 Langkah Nyata Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia

Data kemiskinan hasil Susenas yang menghasilkan angka penduduk miskin sebesar

39,05 juta pada bulan Maret 2006, merupakan data kemiskinan yang bersifat makro. Data

ini hanya menunjukkan jumlah agregat dan persentase penduduk miskin, tetapi tidak dapat

menunjukkan siapa si miskin dan dimana alamat mereka, sehingga kurang operasional di

lapangan. Meskipun demikian, karena pendataan kemiskinan Susenas dilakukan setiap

tahun, maka selama ini secara konsisten (apple to apple) digunakan untuk mengevaluasi

pertambahan/pengurangan jumlah penduduk miskin.

Untuk menyalurkan BLT (Bantuan Langsung Tunai) dalam rangka kompensasi BBM,

diperlukan data mikro rumah tangga ”miskin” yang memuat informasi nama kepala rumah

tangga yang berhak menerima BLT dan lokasi tempat tinggalnya (rinci menurut nama dan

alamat). Upaya penyediaan data mikro ini dilakukan BPS dengan melaksanakan

Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk (PSE). Karena program BLT menghendaki manfaat

yang lebih luas bagi rumah tangga yang terkena dampak kenaikan harga BBM, maka

sasarannya tidak saja pada rumah tangga sangat miskin dan miskin, tetapi juga pada rumah

tangga yang mendekati miskin. Jumlah rumah tangga yang berhak menerima BLT adalah

19,2 juta rumah tangga.

Berbeda dengan metode Susenas yang mengukur kemiskinan dengan menggunakan

pendekatan kebutuhan dasar makanan (setara 2100 kalori per kapita per hari) dan bukan

makanan (variabel kuantitatif), penentuan rumah tangga penerima BLT didasarkan pada

pendekatan karakteristik rumah tangga dengan menggunakan 14 variabel kualitatif

penjelas kemiskinan. Ke 14 variabel yang digunakan adalah luas lantai per kapita, jenis

lantai, jenis dinding, fasilitas tempat buang air besar, sumber air minum, sumber

penerangan, bahan bakar, membeli daging/ayam/susu, frekuensi makan, membeli pakaian

baru, kemampuan berobat, lapangan usaha kepala rumah tangga, pendidikan kepala rumah

tangga, dan aset yang dimiliki rumah tangga. Karena tujuan dan metode pengumpulan data

Page 17: Paper Demografi Kemiskinan2

yang digunakan berbeda, maka data kemiskinan Susenas tidak dapat dibandingkan secara

langsung dengan data PSE.

Page 18: Paper Demografi Kemiskinan2

Daftar Pustaka

http://winsolu.wordpress.com/2008/05/15/penurunan-jumlah-kemiskinan-di-indonesia/

http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2004/04/28/brk,20040428-09,id.html

http://nalarekonomi.blogspot.com/2006/09/dinamika-kemiskinan-di-indonesia.html

http://www.ekofeum.or.id/artikel.php?cid=21&display=28&entry=4

http://lazdai.wordpress.com/2008/01/17/kemiskinan/

www.bps.go.id/releases/files/kemiskinan-01sep06.pdf

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0801/17/opi01.html)

http://www2.kompas.com/kompascetak/0505/31/daerah/1788832.htm

http://64.203.71.11/kompas-cetak/0504/04/Didaktika/1658563.htm