Paper Bahasa Indonesia
-
Upload
ika-permata-hati -
Category
Documents
-
view
168 -
download
1
Transcript of Paper Bahasa Indonesia
-
PrismaMajalah Pemikiran Sosial Ekonomi
2Vol. 29, April 2010
Perubahan Iklim &Tantangan Peradaban
-
Pendiri: Ismid Hadad, Nono Anwar Makarim Pemimpin Umum: Suhardi Suryadi Wakil Pemimpin Umum: Sudar DwiAtmanto Pemimpin Redaksi: Daniel Dhakidae Redaktur Pelaksana: MA Satyasuryawan Dewan Redaksi: A TonyPrasetiantono, Azyumardi Azra, Jaleswari Pramodhawardani, Kamala Chandrakirana, Sumit Mandal (Jerman), Taufik Abdullah,Vedi R Hadiz (Singapura) Redaksi: Daniel Dhakidae, E Dwi Arya Wisesa, MA Satyasuryawan, Nezar Patria, Rahadi T WiratamaSekretaris Redaksi: Eriko Sustia Produksi: Awan Dewangga Bisnis dan Pemasaran: Anis Ilahi Wahdati, Panji Anggoro
Alamat: Jalan Letjen S Parman 81, Jakarta 11420, Indonesia. Tlp.: (6221) 567 4211, Faks.: 568 3785Email: [email protected]; [email protected]; Website: www.lp3es.or.id
Bank: MANDIRI, KCP RSKD, Jakarta. Nomor Rekening: 116-000-526-169-9 a/n LP3ES
Gambar oleh GM Sudarta
Prisma diterbitkan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES)
dan dimaksudkan sebagai media informasi dan forum pembahasan masalah pembangunan ekonomi,
perkembangan sosial dan perubahan kultural di Indonesia dan sekitarnya. Berisi tulisan ilmiah populer,
ringkasan hasil penelitian, survei, hipotesis atau gagasan orisinal yang kritis dan segar. Redaksi meng-
undang para ahli, sarjana, praktisi dan pemuda Indonesia yang berbakat untuk berdiskusi dan menulis
secara bebas dan kreatif sambil berkomunikasi dengan masyarakat luas. Tulisan dalam Prisma tidak
selalu segaris atau mencerminkan pendapat LP3ES. Redaksi dapat menyingkat dan memperbaiki tu-
lisan yang dimuat tanpa mengubah maksud dan isinya.
Dilarang mengutip, menerjemahkan, dan memperbanyak, kecuali dengan izin tertulis dari Redaksi.
Hak cipta dilindungi Undang-undang.
Vol. 29, No. 2, April 2010
Perubahan Iklim &Tantangan Peradaban
T O P I K K I T A
2 Bumi Manusia
3 Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan:
Sebuah Pengantar
23 Perubahan Iklim: Dari Obrolan Warung Kopi ke
Meja Perundingan
38 Ekonomi Perubahan Iklim: Dari Kegagalan Pasar
Menuju Ekonomi Rendah Karbon
53 Energi Rendah Emisi:
Masalah Teknologi, Ekonomi, atau Politik?
61 Hutan Indonesia: Penyerap atau Penyumbang
Emisi Dunia?
81 Membangun Sistem Pertanian Pangan
Tahan Perubahan Iklim
93 Pasar Karbon dan Potensinya di Indonesia
Daniel Dhakidae
Ismid Hadad
Daniel Murdiyarso
Mubariq Ahmad
Asclepias RS Indriyanto
Nur Masripatin
Rizaldi Boer
Agus Sari
E S A I
34 Iklim, Ilmu, dan Kekuasaan
D I A L O G
71 Hadapi Perubahan Iklim seperti BerperangEmil Salim
B U K U
100 Perubahan Paradigma Lingkungan HidupIGG Maha Adi
Daniel Dhakidae
105 KRITIK & KOMENTAR
106 PARA PENULIS
Prisma Vol. 29, No. 3: Otonomi Daerah
Prisma Vol. 29, No. 4: Islam dan Dunia
Terbit setiap tiga bulan (Januari, April, Juli, Oktober)
Redaktur Tamu: Ismid Hadad
-
Bumi Manusia
kitkan seperti discovery, menemukan Amerika,Australia, dan Singapura.
Namun, penguasaan dunia sesungguhnyabaru berlangsung ketika industri dan indus-trialisasi bertenaga mesin uap dengan sumberenergi batu bara, dan kelak minyak bumi dannuklir. Sejak itu yang disebut menaklukkan danmenguasai bumi dilanjutkan dengan derap-langkah sebegitu rupa sehingga yang terjadi lebihdari penguasaan, dan menjadi pemerkosaan.
Industrialisasi memang sampai ke tingkattertentu memerkosa alam dan manusia sekaligus.Alam diperkosa dengan polusi dan penghancuranlingkungan; manusia diperkosa dengan lexploitat-ion de lhomme par lhomme oleh suatu sistem sosialyang bukan saja dimungkinkan, akan tetapi diha-ruskan, oleh proses industrialisasi itu.
Dengan begitu ibu bumi dan bapak bumi di-perkosa dalam dua arti sekaligus, oleh kaum lela-ki dan perempuan. Pemerkosaan membuat bumimenjadi semakin tua dan renta. Namun, di sanajuga letak paradoks karena bumi yang renta bu-kan bumi yang diam, akan tetapi bumi yangmengamuk dalam cara paling primitif sepertipada awal bumi diciptakan, yaitu melalui air, api,dan udaraair yang meluap, api yang menga-muk, dan udara yang membusuk untuk meng-hancurkan tanah yang runtuh tak terkendali.
Kalau bumi mengamuk bukan bumi yanghancur, akan tetapi makhluk hidup dan terutamaspesies homo sapiens akan punah. Pertanyaan lainakan muncul: kalau manusia hancur, apakah ma-sih ada yang disebut bumi? Karena, hanya manu-sia, bukan malaikat, yang sadar bahwa itu bumi,dan karena itu bumi ada, dan hanya satu bumi.
Pada masa Perang Dingin kehancuran di-mungkinkan oleh armageddon nuklir. Pascape-rang Dingin kiasan perang di har Megiddon, bukitMegiddon, tidak pernah dipakai lagikecualiAmerika yang memelesetkannya menjadi snow-geddon di Washington, yang, masya Allah, menjadibahan tertawaan orang Moskow, karena yangdisebut snowgeddon hanya sekulit luar dari penga-laman Rusia tiap tahun.
Salah satu penjelasannya, mungkin karenamanusia tidak berperang melawan musuh lainkecuali perilaku dan dirinya sendiri.
Belum pernah dalam sejarah manusia menga-takan bahwa mereka mencintai bumi sepertisekarang. Untuk itu diciptakan hari bumi, namayang aneh dan umurnya pun, dalam takaranglobal, belum panjang, baru dua puluh tahunmeskipun hari itu sudah meledak di Amerika ta-hun 1970. Meski aneh, tujuannya tidak aneh: me-nyelamatkan bumi dari keanehan lain, yaitu peri-laku penghuninya yang menganggap bau busukpembuangan industri sebagai aroma kemewahan.
Bergenerasi kita dengar orang mencintai ta-nah air, bukan cinta bumi sebagai planet, karenaitu tanah selalu diidentikkan dengan orang ter-dekat, yang membawanya ke bumi, yaitu ibu danbapak. Tanah selalu menjadi ibuibu pertiwiIndonesia, Rossiya-Matushka Rusia, atau bapakVaterland Jerman dan vaderland Belanda.
Bila diperhatikan mendekatnya orang ketanah, seperti terungkap dalam hari bumi, adalahreaksi balik dari gerak lain. Manusia tidak lagimelanglang buana akan tetapi melanglangsemesta. NASA mengumumkan bahwa teleskopraksasanya menemukan sekurang-kurangnyaseribu lima ratus tata surya dengan tingkatkepastian tinggi.
Kalau ada seribu lima ratus tata surya, mung-kinkah ada seribu lima ratus bumi? Kalau ada se-ribu lima ratus bumi mungkinkah ada kehidupanmanusia di ribuan tempat itu? Soal lain juga mun-cul. Kalaupun teknologi mampu mengidentifi-kasikan kehidupan di sana, jarak begitu absolutjauhnya sehingga menembusi jarak itu demiberkontak ragawi menjadi kemustahilan yang takkurang absolut. Kerepotan mencari bumi lainmungkin dipercepat oleh kekhawatiran bumisendiri akan hancur.
Mengapa keanehan perilaku di atas? Gerakberikut ini mungkin bisa menjelaskannya. Ketikabumi diciptakan serta manusia di dalamnya, salahsatu pesan pertama kepada manusia adalah sub-iicite terram, taklukkan dan kuasailah bumi.
Namun, yang disebut sebagai taklukkan dankuasailah bumi pada dasarnya berlangsung ber-tahap. Penemuan teleskop untuk mengintip langitdan memelototi bumi jadi awal penaklukan bumisecara global oleh Barat dalam bentuk kolonialis-me yang semakin meningkatkan penguasaanbumi dan penghuni yang ada di dalamnya. Se-muanya diungkapkan dalam nama yang menya- Daniel Dhakidae
Prisma T O P I K K I T A
-
Perubahan iklim merupakan tantangan
multidimensi paling serius, kompleks
dan dilematis yang dihadapi umat ma-
nusia pada awal abad ke-21, bahkan mungkin
hingga abad ke-22. Tak ada satu negara atau
kelompok masyarakat di dunia ini mampu
menghindar, apalagi mencegah terjadinya an-
caman terhadap peradaban bangsa tersebut.
Seberapa besar dan sekuat apa pun kemam-
puan suatu bangsa, tak akan ada yang sanggup
mengatasi sendiri tantangan perubahan iklim
dan pemanasan global yang terjalin erat dengan
perilaku dan gaya hidup manusia, keputusan
politik, pola pembangunan, pilihan teknologi,
kondisi sosial ekonomi, kesepakatan inter-
nasional. Dampak negatifnya cepat meluas dari
tingkat global hingga ke tingkat lokal yang
terpencil sekalipun.
Perubahan Iklim danPembangunan BerkelanjutanSebuah Pengantar
Ismid Hadad
Ketika suhu bumi semakin panas, pola
curah hujan berubah drastis, iklim dan cuaca
menjadi lebih ekstrem, seringnya timbul
bencana kekeringan, badai, dan banjir, maka
gelombang hawa panas (heat waves) dan
kebakaran hutan makin banyak dan meluas.
Pada suhu bumi yang mencapai titik panas ter-
tentu, bongkahan es di kutub dan salju di puncak
gunung dapat mencair dan menimbulkan gejala
pemekaran air laut; permukaan laut naik dengan
kemampuan menenggelamkan dataran rendah,
pesisir pantai dan pulau-pulau kecil padat peng-
huni di negara-negara sedang berkembang.
Puluhan juta rakyat miskin yang rentan di
negara-negara kekurangan air bersih itu makin
terancam oleh gagalnya panen hasil pertanian,
merosotnya produktivitas dan hasil usaha tani,
kebun dan perikanan, serta meningkatnya
Hasil kajian ilmiah membuktikan aktivitas manusia menyebabkan
perubahan iklim. Sayangnya, isu ini dianggap masalah teknis lingkungan
belaka, yang tidak berkaitan dengan soal pembangunan. Sumber energi
seperti batu bara, minyak dan gas bumi masih menjadi andalan. Kegiatan
konversi hutan dan lahan gambut masih terus berlangsung. Merekalah
penyumbang emisi karbon terbesar yang menimbulkan pemanasan global.
Tulisan ini merupakan pengantar untuk memahami tantangan perubahan
iklim dan dampak pemanasan global, serta bagaimana langkah yang perlu
dilakukan di tingkat nasional maupun global untuk mengatasi kedua
fenomena tersebut.
-
T O P I K
4 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
gangguan kesehatan, kurang gizi, bencana
kelaparan, dan wabah penyakit.
Sebenarnya, cuaca dan iklim di bumi ini
sering berubah secara musiman, tahunan, dan
sepuluh tahunan, yang berlangsung secara
alamiah. Akan tetapi, cuaca ekstrem itu makin
sering terjadi dibanding sebelumnya, dan di-
perkirakan akan terus terjadi dalam jangka pan-
jang. Dari hasil kajian para ilmuwan yang terga-
bung dalam Inter-governmental Panel on Cli-
mate Change (IPCC), disimpulkan bahwa ber-
ubahnya iklim yang semakin sering terjadi
dalam 150 tahun terakhir ternyata bukan hanya
karena proses alamiah saja, melainkan karena
pengaruh kegiatan atau intervensi manusia.
Ulah manusia (anthropogenic intervention)
itulah yang memicu terjadinya pemanasan glo-
bal dan perubahan iklim menjadi lebih ekstrem,
terutama aktivitas yang terkait dengan peman-
faatan sumber daya energi dari bahan bakar fosil
(minyak bumi, gas bumi, dan batu bara) dan juga
kegiatan pembabatan hutan dan alih guna lahan
yang mengakibatkan pelepasan emisi gas ru-
mah kaca ke udara, dan menumpuk di lapisan
atmosfer yang membuat bumi semakin panas.
Karena itu, perubahan iklim diartikan se-
bagai berubahnya iklim di bumi yang, langsung
ataupun tidak langsung, diakibatkan oleh akti-
vitas manusia. Kegiatan tersebut menyebabkan
perubahan komposisi atmosfer secara global,
selain juga terjadi variabilitas iklim alamiah yang
teramati dalam kurun waktu (panjang).
Pemanasan Global: Dampakdan Konsekuensinya
Kegiatan manusia di bidang industri dan
transportasi modern yang berlangsung sejak
Revolusi Industri di Eropa Barat itu mengha-
silkan emisi gas buangan industri dan kenda-
raan bermotor yang menumpuk di udara selama
bertahun-tahun. Akumulasi bahan pencemar di
atmosfer berupa gas-gas rumah kaca (GRK)
kemudian mengakibatkan terjadinya fenomena
pemanasan global. Di antara gas-gas rumah
kaca yang terpenting adalah karbon dioksida
(CO2), metana (CH4), nitrat oksida (N2O), dan
klorofluorokarbon (CFC). Semua menyumbang
pada proses radiasi sinar matahari yang
dipancarkan/dipantulkan bumi, sehingga suhu
atmosfer permukaan bumi makin hangat dan
memanasbiasa disebut proses pemanasan
global serta menyebabkan iklim berubah
secara ekstrem. Pemanasan global memang
terjadi berangsur-angsur melalui proses selama
ratusan bahkan ribuan tahun, tetapi dampaknya
sudah kita rasakan di sini dan sekarang.
Selama hampir satu juta tahun sebelum
zaman industri, konsentrasi gas CO2 di atmosfer
berkisar hanya sekitar 170 sampai 250 ppm
(ppm= parts per million by volume of CO2equivalent). Ketika Revolusi Industri dimulai di
Inggris sekitar tahun 1850, konsentrasi CO2 di
atmosfer baru sebesar 280 ppm, dan rata-rata
temperatur bumi naik sekitar 0,74 derajat
Celcius dibandingkan dengan zaman praindus-
tri. Namun, 160 tahun kemudian, menurut para
ilmuwan IPCC, akumulasi CO2 di atmosfer
diperkirakan sudah mencapai sekitar 390 ppm,
terutama karena pembakaran bahan bakar fosil
dan sebagian karena emisi pertanian dan alih
guna lahan hutan. Jika pola produksi, konsumsi,
gaya hidup, dan pertumbuhan penduduk bumi
dibiarkan tak terkendali seperti sekarang, ma-
ka 100 tahun ke depan konsentrasi CO2 diper-
kirakan akan naik menjadi 580 ppm atau lebih
dua kali lipat dari zaman praindustri.
Akibatnya, dalam kurun waktu 50-100 tahun
ke depan, jika manusia tidak mengambil tin-
dakan apa pun untuk menstabilisasi GRK di
atmosfer, suhu rata-rata bumi akan naik sebes-
ar 1,1 hingga 5 derajat Celcius. Panas yang
dahsyat akan membawa dampak luar biasa
terhadap berbagai sektor kehidupan manusia,
flora dan fauna, serta makhluk bumi lainnya.
Ancaman kekeringan, kebakaran hutan,
terganggunya ekosistem, ketersediaan air,
punahnya aneka ragam sumber daya hayati,
merosotnya produksi pangan, penyebaran ha-
ma dan penyakit (tanaman dan manusia), ba-
haya paceklik dan kelaparan, konflik sosial,
adalah beberapa contoh dampak sosial ekonomi
-
T O P I K
5Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan
dan lingkungan yang ditimbulkan oleh pe-
ningkatan suhu bumi sepanas itu.
Karena itu, sesuai dengan hasil kajian IPCC,
perjuangan masyarakat internasional melalui
Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-
Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Na-
tions Framework Convention on Climate
Change/UNFCCC) dan Protokol Kyoto yang
berlangsung sejak 17 tahun lalu adalah meng-
usahakan supaya kenaikan suhu panas bumi
jangan sampai melebihi ambang batas 2 derajat
Celcius. Jika kenaikan temperatur bumi dibata-
si tidak lebih dari 2 derajat Celcius di atas level
zaman praindustri, konsentrasi gas CO2 di
atmosfer harus bisa ditekan dan dibatasi pada
tingkat maksimum 450 ppm, dengan puncak
pencapaian tak lebih dari tahun 2020. Artinya,
masyarakat penghuni bumi ini harus sanggup
menghentikan atau bahkan menurunkan emisi
karbon hingga 80 persen pada tahun 2020 dari
level emisi tahun 1990.
Bahkan, negara-negara kepulauan kecil di
Samudera Pasifik yang tergabung dalam
Alliance of Small Island Developing States
(AOSIS) mencanangkan target kenaikan suhu
maksimum 1,5 derajat Celcius dan konsentrasi
CO2 di atmosfer tidak lebih dari 350 ppm harus
tercapai pada tahun 2015. Itu berarti semua
negara harus bisa menurunkan emisi karbon
sebesar 100 persen pada 2015. Jika suhu bumi
dibiarkan naik sampai 2 derajat Celcius pada
2020, diperkirakan hampir separuh dari 40
negara kepulauan kecil itu akan tenggelam,
sirna ditelan samudera dan hilang dari peta bumi.
Sesungguhnya, tenggelam dan sirnanya ne-
gara-negara kepulauan hanya sebagian kecil saja
dari wujud ancaman perubahan iklim terhadap
peradaban bangsa di dunia modern abad ke-21
ini. Sedemikian jauh, dalam, dan luasnya tan-
tangan perubahan iklim itu mengancam seluruh
aspek dan unsur kehidupan manusia dan makh-
luk hidup di muka bumi ini. Namun demikian,
karena faktor penyebab terbesarnya sudah
diketahui, yaitu kegiatan manusia yang men-
cemari alam, maka proses dan dampak pema-
nasan global itu seharusnya bisa dikurangi,
ditunda, atau dihentikan sama sekali. Artinya,
manusia yang hidup di bumi ini seharusnya bisa
dan segera bertindak melakukan upaya pe-
nyelamatan bumi dari pemanasan global dan
mencegah terjadinya pemusnahan peradaban
bangsa di dunia.
Dari Mana Sumber EmisiKarbon Itu?
Seperti telah disebutkan, konsentrasi gas
CO2 naik drastis sejak Revolusi Industri, dan
meningkat lagi dalam periode 50 tahun ter-
akhir. Setelah abad ke-20, konsentrasi GRK
khususnya CO2 naik dari 280 ppm menjadi
387 ppm atau mengalami peningkatan ham-
pir 40% terutama karena kegiatan manusia
yang menggunakan energi dengan bahan
bakar fosil berbasis karbon, dan sebagian kecil
karena kegiatan manusia membabat hutan dan
mengonversi lahan hutan yang berakibat pele-
pasan emisi CO2 ke udara. Pembakaran bahan
energi dari minyak, gas, dan batu bara, dewasa
ini menyumbang sekitar 80 persen dari emisi
karbon (CO2) yang dilepaskan ke udara setiap
tahun, sementara kegiatan alih guna lahan
hutan dan pertanian menyumbang sekitar 20
persen.
Besarnya emisi karbon dari bahan bakar
energi ditentukan oleh jumlah konsumsi energi
dan intensitas penggunaan energi tersebut.
Pada umumnya, jumlah konsumsi energi naik
sebanding dengan peningkatan jumlah dan
pendapatan penduduk, serta tergantung
struktur ekonomi, iklim, dan kebijakan ekono-
mi energi masing-masing negara. Demikian pula
setiap negara memiliki intensitas penggunaan
bahan energi yang berbeda, tergantung besar
kecilnya sumber daya energi dan kebijakan
untuk memanfaatkan sumber daya energi.
Menurut laporan Bank Dunia, sejak 1970 jum-
lah konsumsi energi dunia naik dua kali lipat.
Jika digabung dengan intensitas penggunaan
energi yang tetap tinggi, kombinasi keduanya
kian melipatgandakan jumlah emisi karbon ke
atmosfer dalam tempo 30 tahun belakangan.
-
T O P I K
6 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
Siapa saja penyumbang emisi karbon ter-
besar penyebab pemanasan global? Menurut
Bank Dunia, dua pertiga dari akumulasi gas CO2di atmosfer terkait dengan penggunaan bahan
bakar fosil berasal dari dan dihasilkan oleh
negara-negara industri maju. Kenyataan tak
dapat dimungkiri, negara-negara industri maju
itulah penyumbang emisi karbon terbesar dan
karenanya paling bertanggung jawab sebagai
pemicu pemanasan global dan perubahan iklim
yang mengancam umat manusia dewasa ini.
Di lain pihak, negara-negara berkembang
hanya menyumbang sepertiga dari emisi CO2yang berasal dari bahan energi, namun kecen-
derungan dan laju peningkatan konsumsi dan
intensitas penggunaan energi berbasis bahan
bakar fosil di negara berkembang ternyata juga
meningkat cukup pesat. Diperkirakan dalam 20
tahun mendatang hampir 90 persen dari ke-
naikan konsumsi energi global dengan meng-
gunakan bahan bakar minyak bumi, gas bumi,
dan batu bara, akan berasal dari negara-negara
berkembang. Jika dihitung penggunaan energi
per kapita mereka sebenarnya masih relatif
rendah, namun jumlah penduduk negara ber-
kembang jauh lebih besar dibanding penduduk
negara maju.
Dalam hal pemanfaatan energi berbahan
bakar fosil secara global, sektor pembangkit
tenaga listrik adalah penyumbang emisi GRK
terbesar (26%), disusul sektor industri (19%)
dan transportasi (13%), serta bangunan gedung-
gedung (8%). Sisanya adalah emisi berasal dari
alih guna lahan hutan, pertanian, dan limbah
sampah. Jika dilihat dari pengelompokan
negara berdasarkan pendapatan, emisi GRK di
negara-negara industri maju terkonsentrasi pada
sektor pembangkit listrik dan transportasi;
untuk negara-negara berpenghasilan rendah
emisi terbesar berasal dari sektor pertanian dan
alih guna lahan; negara-negara berpenghasilan
menengah terutama berasal dari pembangkit
listrik, industri, dan alih guna lahan. Khusus
untuk emisi yang berasal dari alih guna lahan
hutan, sebagian besar terpusat pada tiga sam-
pai empat negara berkembang, di antaranya
Brasil dan Indonesia yang menyumbang se-
paruh dari total emisi GRK yang berasal dari
kegiatan alih guna lahan hutan.
Bagaimana MenanggulangiPerubahan Iklim?
Perubahan iklim adalah fenomena global,
baik dari sisi penyebab, konsekuensi maupun
dampaknya, yang sangat terkait dengan aktivi-
tas manusia di tingkat nasional dan lokal. Begitu
pula sebaliknya. Penyebab pemanasan global
yang memicu perubahan iklim adalah karena
adanya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
Akumulasinya kini telah mencapai tingkat yang
membahayakan sistem iklim Bumi. Akibat atau
dampak pemanasan global menyebar ke se-
luruh dunia. Gangguan terhadap sistem ekologi
bumi yang ditimbulkan juga membawa per-
ubahan pada cuaca, iklim, curah hujan, gelom-
bang panas, dan berbagai gangguan alam lain
yang bisa terjadi, dirasakan, dan diderita semua
negara dan makhluk di bumi ini.
Ada dua cara atau kunci utama untuk me-
nanggulangi perubahan iklim, yaitu mitigasi
dan adaptasi. Pertama, mitigasi untuk men-
cegah, menghentikan, menurunkan atau se-
tidaknya membatasi pelepasan emisi gas
buangan, gas pencemar udara, yang kini lazim
disebut gas-gas rumah kaca di atmosfer.
Upaya mitigasi yang bertujuan membatasi dan
menurunkan emisi GRK dapat dilakukan de-
ngan cara mengurangi penggunaan sumber
daya energi yang banyak menghasilkan emisi
CO2 (disebut source) yang dihasilkan oleh
pembakaran minyak bumi, batu bara dan gas
bumi untuk kegiatan produksi, industri,
transportasi, pembangkitan tenaga listrik,
penerangan gedung, bangunan, pusat-pusat
belanja, jalan raya serta aktivitas pembangunan
lainnya.
Upaya mitigasi bisa juga dilakukan dengan
cara menambah, memperkuat atau memperluas
sistem bumi yang berfungsi sebagai penyerap
dan penyimpan karbon secara alami (disebut
sink), yaitu hutan dan lautan, agar emisi CO2 dan
-
T O P I K
7Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan
GRK yang terlepas di udara dapat ditangkap, di-
serap, dan disimpan kembali di dalam pepo-
honan, hutan, lahan gambut, dan, dalam kondi-
si tertentu, laut. Sebaliknya, apabila pohon di-
tebang, hutan dibabat, lahan gambut dike-
ringkan, serta mangrove (bakau), terumbu
karang, dan padang lamun di pesisir dan laut
dirusak, maka semua karbon yang tersimpan di
perut bumi dan laut akan dilepaskan kembali
sebagai emisi gas buang yang akan mencemari
udara dan kembali menumpuk di atmosfer.
Tujuan utama dari upaya mitigasi adalah
untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah ka-
ca di atmosfer pada tingkat sedemikian rupa
sehingga tidak mengganggu dan membaha-
yakan sistem iklim bumi. Karena itu, upaya
mitigasi melalui penurunan emisi GRK harus
dilakukan di tingkat nasional dan internasional
dalam skala besar agar dapat membawa dampak
atau hasil efektif secara global. Karena sumber
historis penyebab konsentrasi GRK dan pe-
nyumbang GRK terbesar selama ini adalah
negara industri maju, maka upaya mitigasi un-
tuk menurunkan emisi GRK pada dasarnya
merupakan kewajiban dan tanggung jawab ne-
gara-negara industri maju dalam lampiran do-
kumen UNFCCC disebut negara-negara Annex
I. Selain itu, hanya negara-negara kaya yang
tercantum dalam daftar Annex I hingga kini
memiliki kemampuan teknologi dan sumber
daya ekonomi untuk menerapkan sistem in-
dustri, transportasi, dan pola pembangunan
rendah karbon, sehingga penggunaan energi
minyak, batu bara dan gas bumi bisa dikurangi
secara signifikan dan diganti atau diimbangi
dengan sumber-sumber energi terbarukan
seperti geotermal, energi surya (photovoltaic),
energi angin, tenaga mikro-hidro, biomassa, dan
sebagainya.
Kunci kedua untuk menanggulangi per-
ubahan iklim adalah adaptasi. Artinya upaya
untuk menyesuaikan diri, melakukan adaptasi
terhadap dampak perubahan yang terjadi.
Bagaimanapun juga, dampak perubahan iklim
tak mungkin lagi bisa dihindari, apalagi dicegah.
Perubahan iklim dan pemanasan global adalah
fenomena yang niscaya akan terjadi. Upaya
adaptasi yang bisa dilakukan adalah dengan
langkah-langkah antisipasi kapan dan di mana
akan terjadi, kemudian memperkirakan apa,
bagaimana, dan seberapa besar dampaknya,
serta bagaimana mengurangi risiko dan me-
nanggulangi dampak itu secara dini dan efektif
sehingga tidak mengakibatkan bencana atau
risiko kerugian lebih besar. Karena itu, langkah
pertama adaptasi adalah dengan mengetahui di
-
T O P I K
8 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
mana lokasi dan siapa kelompok masyarakat
yang tinggal dan hidup di kawasan atau daerah
tertentu yang sangat rentan (vulnerable) ter-
hadap gangguan alam dan perubahan iklim.
Penanggulangan perubahan iklim melalui
upaya adaptasi merupakan agenda prioritas
utama bagi hampir semua negara sedang ber-
kembang, termasuk Indonesia. Sebagaimana
diketahui, lokasi geografis maupun kondisi
sosial ekonomi penduduk beberapa negara
berkembang sangat rentan terhadap gangguan
alam dan cuaca seperti badai, banjir, keke-
ringan, tanah longsor, tsunami, dan kebakaran
hutan. Sumber daya dan kemampuan mereka
untuk merespons gangguan alam dan dampak
perubahan iklim juga amat terbatas. Karena itu,
bagi negara berkembang, program adaptasi
untuk menanggulangi perubahan iklim harus
terintegrasi dalam program untuk meningkat-
kan ketahanan (resilience) ekonomi, sosial dan
lingkungan nasional dengan menanggulangi
kemiskinan, kekurangan gizi dan pangan, pe-
ningkatan pendidikan dan kesehatan masya-
rakat, dan sebagainya. Pada hakikatnya, pro-
gram adaptasi harus sejalan dengan upaya me-
wujudkan pembangunan berkelanjutan (sustain-
able development). Pendek kata, kenaikan per-
tumbuhan ekonomi, perbaikan kesejahteraan
dan keadilan sosial, serta perlindungan ekologi
dan pelestarian fungsi lingkungan, perlu dila-
kukan serentak dan seimbang dengan mem-
perhitungkan dampak perubahan iklim dalam
strategi pencapaiannya.
Kerangka program adaptasi efektif umum-
nya memiliki empat unsur penting, yaitu (1)
perkiraan dan peta kerawanan/kerentanan so-
sial dan lingkungan (vulnerability assessment
and mapping) untuk mengetahui kondisi dan
memperkirakan risiko dampak, di mana da-
erah/kawasan rawan, dan siapa saja kelompok
masyarakat yang rentan terhadap potensi ben-
cana alam dan lingkungan yang akan terjadi; (2)
upaya peningkatan kesadaran masyarakat dan
kapasitas sumber daya manusia dan kelem-
bagaan (public awareness and capacity build-
ing), khususnya di daerah dan sektor rawan
bencana, agar mampu mengantisipasi, meren-
canakan program dan menanggulangi dampak
perubahan iklim yang akan terjadi; (3) pe-
nyusunan atau reformasi kebijakan publik serta
penguatan lembaga-lembaga publik yang mem-
punyai pengetahuan dan kemampuan menge-
lola sumber daya alam dan lingkungan secara
lestari, serta mampu menanggulangi masalah
perubahan iklim secara efektif; dan (4) mem-
bangun sistem ekonomi dan strategi pem-
bangunan rendah karbon yang memberi insen-
tif bagi investasi prasarana dan program efi-
siensi energi, pengelolaan hutan lestari, dan
pengembangan sumber-sumber energi ter-
barukan.
Perubahan Iklim danPembangunan Berkelanjutan
Dari uraian di atas tampak jelas bahwa
perubahan iklim sangat erat terkait dengan
kegiatan manusia yang menggunakan sumber-
sumber energi tidak terbarukan minyak bumi,
gas bumi, dan batu bara serta pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam seperti tanah,
hutan, dan air, tanpa memedulikan daya dukung
lingkungan dan kelestarian ekosistem.
Kendati disebabkan oleh dan berdampak
pada kondisi sosial ekonomi, namun perubahan
iklim selama ini hanya dianggap sebagai ma-
salah geofisika dan teknis lingkungan belaka;
tidak ada kaitannya dengan urusan pemba-
ngunan ataupun kebijakan publik. Masalah
perubahan iklim seolah-olah hanya menjadi
perhatian dan urusan ilmuwan fisika, ahli cuaca,
dan pakar lingkungan saja. Di sisi lain, upaya
pengurangan emisi GRK oleh negara maju dan
negara berkembang masih lebih banyak me-
ngandalkan pendekatan teknologi dan ilmu
pengetahuan alam. Mereka belum menyertakan
kebijakan pembangunan sosial ekonomi serta
pendekatan politik dan kultural yang diperlukan
untuk mengatasi masalah kompleks tersebut
secara komprehensif.
Terlalu sedikit yang menyadari bahwa pola
pembangunan yang hanya mengikuti pola kon-
-
T O P I K
9Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan
sumsi dan produksi tanpa memedulikan daya
dukung lingkungan dan kelestarian ekosistem
alamiah (unsustainable pattern of development)
itulah yang terutama merupakan faktor pe-
nyebab pemanasan global dewasa ini. Karena
itu, bagaimana aktor-aktor pembangunan akan
mengatur dan menerapkan pola dan sistem
pembangunan di tingkat internasional, nasional,
dan lokal, akan sangat menentukan seberapa
besar tingkat ketahanan sistem sosial terhadap
perubahan iklim di masa depan. Perubahan
iklim pasti akan berdampak langsung, terutama
pada kegiatan-kegiatan pembangunan yang
sensitif terhadap perubahan cuaca seperti
pertanian, perikanan, dan kesehatan, serta
membawa akibat tidak langsung pada masalah
kemiskinan, pendidikan, kesejahteraan sosial,
dan sebagainya.
Pertanyaannya, apakah kita akan terus
membangun dan meningkatkan kesejahteraan
rakyat dengan memakai cara dan model pem-
bangunan konvensional, yaitu tetap meng-
gunakan sumber-sumber energi padat karbon
yang mencemari udara dan mengeksploitasi
sumber daya alam tanpa batas sehingga me-
rusak kelestarian bumi dan keseimbangan alam
semesta?
Perlu pula diingat bahwa perubahan iklim
besar kemungkinan akan memperlebar kesen-
jangan sosial dan ketidakadilan internasional,
terutama karena tidak meratanya bencana dan
dampak kerusakan lingkungan fisik yang di-
akibatkannya. Gejala pemanasan global dan
perubahan iklim melanda semua negara tanpa
kecuali, namun negara-negara berkembang dan
kelompok masyarakat miskin dan rentan di
Asia, Afrika, dan kepulauan di Samudera Pasifik
akan paling banyak terkena dampak dan
menjadi korban. Bahkan, diperkirakan 75 sam-
pai 80 persen biaya kerusakan akibat perubahan
iklim harus dipikul oleh negara-negara ber-
kembang. Perekonomian negara-negara ber-
kembang yang sangat tergantung pada penge-
lolaan sumber daya alam dan jasa-jasa ling-
kungan tentu saja peka terhadap perubahan
iklim. Bagian terbesar penduduk negara ber-
kembang juga hidup di daerah pesisir pantai dan
kawasan rawan secara fisik. Kondisi sosial
ekonomi mereka sangat rentan, sementara ke-
mampuan finansial dan kelembagaan negara
berkembang sangat terbatas. Bagaimanapun
juga, penggunaan anggaran dan sumber daya
negara berkembang yang serba pas-pasan itu
harus diprioritaskan untuk memenuhi ke-
butuhan pokok rakyat, yaitu mengentaskan
masyarakat dari kemiskinan, meningkatkan
pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial.
Apabila sumber daya amat terbatas itu tiba-tiba
harus dialihkan untuk menanggulangi dampak
perubahan iklim, dengan sendirinya nasib
rakyat di negara-negara relatif miskin itu akan
lebih sengsara lagi.
Karena itu, perlu ada pola dan sistem pem-
bangunan alternatif yang mampu membangun
atau setidaknya meningkatkan kapasitas masya-
rakat dan negara-bangsa untuk melakukan
adaptasi terhadap perubahan iklim dan juga
menentukan seberapa besar emisi GRK yang
boleh dan bisa ditoleransi oleh masing-masing
negara, sehingga upaya pengurangan emisi
karbon secara kumulatif dapat memberi dampak
signifikan terhadap penurunan suhu panas
global dalam 10 -15 tahun mendatang.
Hal lain tidak kalah pelik adalah upaya
untuk menanggulangi ancaman perubahan iklim
baik mencegah dan mengurangi emisi GRK
(mitigasi) maupun upaya mengendalikan dan
menanggulangi dampaknya (adaptasi) mem-
butuhkan biaya ekonomi dan sumber daya luar
biasa besar dan mahal. Tidak semua negara
industri maju siap mengatasi masalah itu, kare-
na upaya mitigasi untuk menurunkan emisi
GRK membutuhkan biaya sangat besar, bahkan
untuk ukuran negara kaya seperti AS, Inggris,
Jerman, Perancis, dan Jepang sekalipun. Apalagi
untuk negara berkembang. Mereka pasti tidak
mampu menanggung beban biaya ekstra yang
besarnya bisa menelan pendapatan nasional ne-
gara bersangkutan, yang berarti harus mengor-
bankan upaya penanggulangan kemiskinan
yang menjadi kewajiban utama negara berkem-
bang. Padahal, penyebab awal munculnya emisi
-
T O P I K
10 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
GRK dan pemanasan global bukan karena ulah
negara berkembang, melainkan negara-negara
industri maju yang sejak zaman Revolusi Industri
telah melakukan dan menikmati hasil-hasil
pembangunan ekonomi dengan proses indus-
trialisasi yang menghasilkan akumulasi gas
buangan di atmosfer. Ruang atmosfer tak cukup
nyaman lagi untuk dinikmati negara berkem-
bang yang baru belakangan memulai kegiatan
pembangunan.
Masalah di atas menghadapkan banyak
negara berkembang, termasuk Indonesia, pada
pilihan dilematis dalam memutuskan kebijakan
pembangunan dan menentukan keputusan
politik dalam dan luar negeri. Di sisi lain, me-
nurut hasil kajian Lord Stern dan beberapa
studi ekonomi, negara-negara maju dan ber-
kembang harus segera melakukan upaya mi-
tigasi perubahan iklim. Bila langkah dan tindak
mengurangi emisi GRK ditunda-tunda, maka
biaya-biaya ekonomi dan sosial yang harus
dikeluarkan setiap negara akan berlipat se-
puluh kali lebih besar, jika aksi pengurangan
emisi itu baru dilakukan lima tahun akan da-
tang. Jadi, kebijakan dan praktik pembangunan
nasional tak bisa lain dan tak mungkin meng-
hindar dari keharusan untuk merumuskan
kebijakan publik; langkah-langkah aksi penang-
gulangan perubahan iklim harus dilaksanakan
secara komprehensif dan efektif mulai dari
sekarang, tidak perlu menunggu.
Masalahnya, perubahan iklim adalah gejala
dan isu global yang mustahil diatasi di tingkat
nasional, apalagi oleh satu atau dua kelompok
negara saja. Diperlukan kesepakatan dan aturan
yang mengikat secara internasional, baik untuk
penurunan tingkat emisi maupun peningkatan
upaya adaptasi.
Konvensi PBB dan ProtokolPerubahan Iklim
Untuk itulah Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) menyusun Konvensi Perubahan Iklim
yang disahkan KTT Bumi di Rio de Janeiro,
Brasil, pada 1992. Tujuan Konvensi atau per-
janjian multilateral itu adalah menstabilkan
konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer
pada tingkat tertentu dari kegiatan manusia
yang membahayakan sistem iklim. Tingkat
konsentrasi emisi yang hendak distabilkan
harus dicapai dalam suatu kerangka waktu
yang memungkinkan ekosistem beradaptasi
secara alamiah dengan perubahan iklim, yang
memberi kepastian bahwa produksi pangan
tidak terganggu, dan yang memungkinkan
pembangunan ekonomi berlangsung secara
berkelanjutan. Konvensi PBB itu memegang
dan menerapkan prinsip bahwa semua negara
memiliki tanggung jawab bersama mencegah
perubahan iklim sesuai dengan kapasitas ma-
sing-masing dan prinsip keadilan (common but
differentiated responsibilities and respected
capabilities).
Atas dasar prinsip itu, Konvensi Perubahan
Iklim telah menyepakati bahwa negara-negara
industri maju harus membuat komitmen, me-
mimpin, dan mengambil langkah lebih dahulu
dalam hal pengurangan emisi GRK. Negara
industri maju Eropa, negara-negara bekas Uni
Soviet, Amerika Serikat, Kanada, Jepang,
Australia, dan Selandia Baru, adalah negara-
negara yang masuk dalam daftar Annex I
Konvensi Perubahan Iklim. Mereka berke-
wajiban mengurangi emisi karbon masing-
masing pada akhir milenium (tahun 2000),
sehingga emisi kolektif mereka berada di
bawah tingkat emisi tahun 1990.
Untuk mewujudkan tujuan konvensi dalam
kerangka waktu dan sasaran penurunan emisi
yang disepakati bersama, Konvensi Perubahan
Iklim kemudian dilengkapi dengan suatu pe-
rangkat atau aturan tata cara pelaksanaan
konvensi (disebut Protokol Kyoto) yang lebih
spesifik dan mengikat secara hukum. Sesuai
dengan prinsip common but differentiated
responsibilities, Protokol Kyoto memuat per-
nyataan komitmen negara-negara industri maju
(Annex I) untuk mengurangi emisi GRK kolek-
tif mereka paling sedikit 5 persen dari tingkat
emisi tahun 1990 yang harus dicapai pada
periode 2008-2012. Negara-negara berkem-
-
T O P I K
11Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan
bang tidak memiliki kewajiban atau komitmen
menurunkan emisi pada periode tersebut,
namun perlu menerapkan pola pembangunan
berkelanjutan untuk mencegah terjadinya ke-
naikan emisi GRK di negara masing-masing.
Untuk mengatur target kuantitatif penu-
runan emisi dan target waktu penurunan emisi
negara maju, Protokol Kyoto menyediakan tiga
macam instrumen bersifat fleksibel, yaitu (1)
Joint Implementation (JI); (2) Clean Develop-
ment Mechanism (CDM); dan (3) Emission
Trading Scheme (ETS). Semua skema penu-
runan emisi GRK itu berlaku sampai dengan
2012, yaitu tahun berakhirnya Protokol Kyoto.
Sebagaimana diketahui, protokol pelaksanaan
perjanjian tentang perubahan iklim ditanda-
tangani di Kyoto, Jepang, pada 1997 dan berlaku
sejak 2005 setelah diratifikasi lebih dari 130
negara. Namun, Protokol itu tidak diratifikasi
Pemerintah Amerika Serikat (dan Australia),
sehingga sampai kini AS tidak terikat dengan
ketentuan Protokol Kyoto.
Kendati demikian, tiga instrumen Protokol
Kyoto telah banyak digunakan dan berhasil
menurunkan emisi karbon negara-negara yang
telah ataupun belum meratifikasinya. Instru-
men Joint Implementation memungkinkan
negara-negara Annex I melaksanakan kewa-
jiban, selain dari upaya sendiri untuk menu-
runkan emisi di dalam negeri, juga bisa men-
jalin kerja sama dengan sesama negara maju
dalam pelaksanaan proyek bersama untuk
menurunkan emisi GRK mereka. Emission
Trading Scheme merupakan mekanisme per-
tukaran atau perdagangan karbon yang bisa
digunakan negara maju untuk mengurangi
emisi karbon di negara sendiri dengan cara
membeli jatah emisi GRK negara maju lain
yang belum terpakai. Sedangkan Clean De-
velopment Mechanism merupakan satu-satunya
instrumen yang memungkinkan negara ber-
kembang bisa ikut serta dalam kegiatan pe-
nurunan emisi GRK melalui proyek bantuan
kerja sama negara maju dengan negara ber-
kembang di bidang efisiensi energi atau
pengembangan energi terbarukan, misalnya.
Hasilnya bisa digunakan negara maju untuk
memperoleh sertifikat (kredit) penurunan
emisi karbon negara sendiri.
Ketiga mekanisme Protokol Kyoto itu,
khususnya instrumen emission/carbon trading
dan CDM, banyak mendorong berkembangnya
berbagai jenis program dan proyek penurunan
emisi GRK, baik di negara maju maupun di
negara berkembang. Selain itu, instrumen
tersebut juga menciptakan pasar dan bisnis baru
yang disebut pasar perdagangan karbon (car-
bon markets) dan pembiayaan karbon (carbon
finance) dengan volume transaksi bisnis global
mencapai triliunan dolar AS. Adanya pasar
karbon memberi peluang besar bagi kalangan
bisnis swasta untuk ikut serta dalam transaksi
perdagangan emisi GRK secara lokal ataupun
global, sekaligus menghasilkan pendapatan
(revenue) bagi korporasi maupun negara.
Dewasa ini pasar karbon berkembang menjadi
sumber pendanaan penting untuk membiayai
berbagai upaya penurunan emisi GRK; lebih
meringankan beban anggaran pemerintah ne-
gara-negara industri maju dalam memenuhi ko-
mitmen dan kewajibannya.
Mengapa Emisi KarbonTetap Tinggi?
Sekalipun telah ada Konvensi PBB dan
Protokol Kyoto, namun emisi CO2 di atmosfer
saat ini masih belum menunjukkan tanda pe-
nurunan, bahkan diperkirakan 30 persen lebih
tinggi ketimbang saat Konvensi Perubahan Ik-
lim itu ditandatangani belasan tahun silam.
Menurut perhitungan terakhir, konsentrasi
CO2 dan gas rumah kaca lain di atmosfer tahun
2009 telah mendekati angka 430 ppmv. Bila
dibiarkan berlanjut tanpa upaya mitigasi yang
memadai, laju kenaikannya bisa menjadi tiga
kali lipat pada akhir abad ke-21. Ini berarti
mendekati 50 persen risiko kenaikan suhu
global pada 5 derajat Celcius. Dengan kondisi
suhu global sepanas itu pasti akan cepat me-
lelehkan lapisan es di puncak gunung atau
kutub bumi, menaikkan semua permukaan air
-
T O P I K
12 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
laut, membawa bencana kekeringan, banjir,
paceklik pangan, dan sederet bencana lain.
Ada empat penyebab utama mengapa emisi
karbon global tetap tinggi, sekalipun telah ada
perjanjian internasional. Pertama, karena negara
penghasil/pelepas emisi karbon terbesar dunia,
yaitu Amerika Serikat, sampai sekarang enggan
meratifikasi perjanjian Protokol Kyoto. Australia
yang juga tercatat sebagai negara penghasil
emisi per kapita terbesar baru dua tahun ter-
akhir menerima dan bersedia mengesahkan
Protokol Kyoto.
Kedua, ada beberapa negara Annex I sudah
menandatangani dan meratifikasi Protokol
Kyoto, namun gagal memenuhi kewajiban atau
tidak berhasil menurunkan emisi GRK-nya
sesuai dengan target yang ditentukan. Emisi
karbon negeri Kanada, misalnya, hingga tahun
2007 masih 29 persen di atas level emisi tahun
1990. Begitu pula Spanyol yang masih 57 per-
sen di atas level emisi tahun 1990. Beberapa
negara bekas Uni Soviet dan negara-negara
sosialis Eropa Timur yang semula masuk dalam
kelompok negara pencemar/pelepas emisi
tinggi, sebagian besar industri berat mereka
yang menggunakan teknologi kuno dan kotor
bangkrut setelah runtuhnya Tembok Berlin.
Namun, penurunan emisi karbon akibat ron-
toknya kegiatan industri di negara-negara itu
tidak serta merta mengurangi emisi karbon di
Benua Eropa. Banyak negara maju Eropa Ba-
rat anggota Uni Eropa yang belum berhasil
mencapai target penurunan emisi kemudian
berlomba-lomba memborong pembelian jatah
emisi GRK negara-negara bekas Uni Soviet
yang tak terpakai itu (Russian hot air) melalui
sistem offset dalam perdagangan karbon, ter-
utama menjelang berakhirnya Protokol Kyoto
2012.
Ketiga, negara-negara kaya di Eropa dan
Amerika banyak yang memindahkan lokasi atau
mengekspor sebagian pabrik dan industrinya
yang kotor ke negara-negara sedang berkem-
bang. Industri baja, semen, mobil, motor, kulkas,
komputer, dan lain-lain perangkat kehidupan
modern yang proses produksinya menye-
babkan polusi/pencemaran lingkungan di ne-
gara-negara berkembang ternyata sekarang
merupakan hasil produksi China, India, Brasil
atau negara berkembang lainnya. Emisi GRK
mereka tidak dibatasi, karena menurut ke-
tentuan Konvensi, negara-negara sedang ber-
kembang tersebut memang tidak berkewajiban
menurunkan emisi karbon.
Keempat, negara-negara sedang berkem-
bang yang lebih maju seperti China, India,
Brasil, Korea Selatan, Meksiko, Afrika Selatan,
bahkan Indonesia, dalam tempo lima sampai
sepuluh tahun setelah berlakunya Protokol
Kyoto (1998), ternyata mengalami pertum-
buhan ekonomi sangat pesat. Karena sebagian
besar ditopang oleh penggunaan energi ber-
bahan bakar fosil, laju pertumbuhan emisi GRK
negara-negara tersebut juga naik dengan cepat.
Namun, karena mereka tidak termasuk Annex
I dalam Konvensi Perubahan Iklim, tidak ada
pembatasan besarnya emisi GRK yang bisa
dilepaskan ke atmosfer, sehingga emisi karbon
global bukannya berkurang tapi malah semakin
meningkat.
Hal terakhir itulah yang banyak diper-
soalkan negara-negara maju, terutama Amerika
Serikat, Uni Eropa, dan Jepang, dalam forum
konvensi dan perundingan internasional tentang
perubahan iklim yang cenderung menolak
memperpanjang atau memperbarui Protokol
Kyoto, serta menginginkan dihapuskannya
pembedaan antara negara-negara Annex dan
non-Annex dalam konvensi internasional.
-
T O P I K
13Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan
Bali Roadmap dan BaliAction Plan
Pada akhir 2007, sekitar 189 perwakilan
pemerintah negara seluruh dunia berkumpul
dalam Conference of the Parties (COP-13)
UNFCCC di Nusa Dua, Bali, untuk membahas
kesepakatan baru menjelang berakhirnya Pro-
tokol Kyoto pada 2012, supaya peningkatan
suhu panas bumi bisa segera dikendalikan.
Pada awalnya, sebelum konferensi di Bali,
muncul dua pendapat berbeda, bahkan
bertentangan, di antara negara maju (Annex I)
dengan negara-negara (sedang) berkembang
(non-Annex). Negara-negara berkembang yang
tergabung dalam Kelompok 77 dan China ber-
pendapat bahwa negara-negara maju harus
segera memenuhi komitmen dan kewajiban
menurunkan emisi GRK sesuai target kuantita-
tif dan target waktu yang ditetapkan dalam
Protokol Kyoto, supaya suhu panas bumi tidak
bertambah 2 derajat Celcius pada 2010. Seba-
liknya, negara-negara maju, termasuk AS yang
tidak terikat Protokol Kyoto, berpendapat
bahwa upaya penurunan emisi sebaiknya me-
nunggu sampai ada bukti-bukti keilmuan yang
cukup tentang penyebab pemanasan global, dan
juga sampai adanya teknologi yang lebih murah
agar tidak menambah beban ekonomi dunia
yang sedang dilanda krisis. Dengan kata lain,
negara-negara Annex I cenderung hendak
mengganti Protokol Kyoto dengan rezim per-
janjian internasional baru yang dianggap lebih
adil.
Konferensi COP ke-13 di Bali akhirnya
menyepakati jalan tengah yang bisa menjem-
batani dua kubu pandangan yang sangat berto-
lak belakang di antara negara-negara Utara
dengan Selatan. Fokus pertemuan di Bali lebih
ditujukan untuk memecahkan berbagai isu
jangka panjang, yaitu bagaimana mewujudkan
rezim perjanjian iklim baru setelah berakhirnya
Protokol Kyoto. Namun demikian, ada beberapa
isu mendesak yang belum terselesaikan selama
periode Protokol 2008-2012, yaitu belum ter-
penuhinya komitmen dan target penurunan
emisi negara-negara Annex I serta kejelasan
arah dan pedoman penyelesaiannya. Hasil
negosiasi COP-13 di Bali akhirnya mengadopsi
dua kesepakatan penting, yaitu (1) Bali Road-
map dan (2) Bali Action Plan.
Bali Roadmap adalah kesepakatan Para
Pihak mengenai proses selama dua tahun (2008-
2009) tentang bagaimana mengatasi perbedaan
dalam cara pendekatan dan wadah perundingan
di antara negara berkembang dengan negara
maju. Di dalam negara maju ada negara penting
seperti Amerika Serikat yang anggota Konvensi,
tetapi berada di luar perjanjian Protokol Kyoto.
Untuk itu disepakati pembentukan dua jalur
(track) negosiasi. Jalur pertama berada di bawah
Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim untuk
pembahasan dan negosiasi isu-isu jangka pan-
jang pasca-2012, yang dilakukan melalui wadah
kelompok kerja sama jangka panjang atau Ad
Hoc Working Group on Long-term Cooperative
Action (AWG-LCA). Sementara jalur kedua
berada di bawah perjanjian Protokol Kyoto yang
membahas dan menegosiasi penyelesaian ko-
mitmen selanjutnya bagi negara maju yang
masuk dalam Annex I sesuai dengan ketentuan
perjanjian Protokol Kyoto. Wadahnya adalah
kelompok kerja komitmen Annex I atau Ad Hoc
Working Group on Further Commitments for
Annex I Parties (AWG-KP). Kedua jalur perun-
dingan akan berjalan paralel selama dua tahun
dan diharapkan dapat menyimpulkan hasil
negosiasi pada Konferensi COP-15 dan Per-
temuan Protokol Kyoto ke-5 (CMP-5) di Ko-
penhagen, Denmark, Desember 2009.
Kalau Bali Roadmap menentukan proses
dan jalur perundingan, maka Bali Action Plan
merupakan hasil kesepakatan Para Pihak me-
ngenai substansi dan arah masa depan pe-
rundingan perubahan iklim yang diputuskan
COP-13 di Bali. Bali Action Plan (BAP) memuat
rencana tindak (action plan) untuk membentuk
kelompok kerja sama jangka panjang (AWG-
LCA) dengan mandat menanggulangi peru-
bahan iklim tidak hanya dengan mitigasi dan
adaptasi saja, tetapi juga melalui empat elemen
atau pilar utama kerja sama global berjangka
-
T O P I K
14 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
panjang guna mengurangi pemanasan global
yang disepakati Konvensi. Keempat elemen
mitigasi, adaptasi, pendanaan, dan alih teknologi
(termasuk pengembangan kapasitas) meru-
pakan satu paket aksi bersama di masa depan.
Untuk itu BAP menyepakati pentingnya upaya
mewujudkan visi bersama mengenai aksi
kerja sama berjangka panjang (a shared vision
for a long-term cooperative action), termasuk
bagaimana mencapai tujuan akhir Konvensi
dalam menurunkan secara signifikan emisi GRK
dan suhu panas bumi pada 2050. Visi bersama
itulah yang diharapkan dapat dituangkan dalam
suatu agreed outcome (hasil akhir yang disepa-
kati bersama) yang seharusnya ditetapkan oleh
semua Pihak pada COP-15 di Kopenhagen.
Ditambahkannya dua elemen baru, yaitu
pendanaan dan alih teknologi (termasuk
pengembangan kapasitas) sebagai satu paket
upaya penanggulangan perubahan iklim dalam
satu visi bersama negara-negara maju dan
berkembang itu adalah langkah kemajuan yang
diperoleh negara berkembang dalam perun-
dingan di Bali. Hal ini sangat penting, karena
tanpa adanya alih teknologi dari negara maju
dan tambahan pendanaan yang memadai, ne-
gara-negara berkembang pasti tidak akan
sanggup melakukan kegiatan mitigasi maupun
adaptasi dengan sumber daya sendiri.
Ada beberapa keputusan lain dalam BAP
yang menjadi tonggak penting bagi negara
berkembang dalam perjalanan Konvensi Pe-
rubahan Iklim menuju rezim perjanjian inter-
nasional baru. Di antaranya mengenai dite-
rimanya upaya mencegah deforestasi sektor
kehutanan, khususnya REDD-plus (Reducing
Emissions from Deforestation and Forest
Degradation), sebagai mekanisme/instrumen
yang diadopsi Konvensi dalam upaya mitigasi
menurunkan emisi GRK negara-negara berkem-
bang. Selain itu, masalah bagaimana mengukur
keberhasilan Negara Pihak dalam melaksa-
nakan komitmen, atau dikenal dengan kriteria
MRV (Measurable, Reportable and Verify-
able), juga menjadi isu dan perdebatan hangat.
Kriteria MRV akhirnya disepakati untuk dima-
sukkan dalam ketentuan pelaksanan komitmen
dan kewajiban mitigasi negara maju, serta
kegiatan mitigasi sukarela negara-negara se-
dang berkembang. Berkaitan dengan yang
disebut terakhir muncul istilah dan konsep
NAMAs (Nationally Appropriate Mitigation
Actions), yakni kegiatan mitigasi tingkat nasio-
nal yang patut dilakukan negara berkembang
dalam rangka pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan. Negara maju bisa membantu
negara berkembang dalam bentuk pendanaan,
teknologi, dan pengembangan kapasitas, apabila
pelaksanaannya bisa diukur, dilaporkan, dan
diverifikasi (MRV) dengan benar.
Perubahan Iklim dan EmisiGRK di Indonesia
Sebagai negara sedang berkembang yang
sangat bergantung pada sumber daya alam dan
sektor pertanian, Indonesia amat rentan ter-
hadap dampak perubahan iklim. Karena itu,
ketika suhu bumi kian memanas, curah hujan
dan iklim berubah secara ekstrem, Indonesia
termasuk negara yang diperkirakan menjadi
korban dari perubahan iklim. Namun demi-
kian, masih sulit diperkirakan seberapa besar
dampaknya terhadap ekonomi dan lingkungan
Indonesia. Di sisi lain, sebagai negara yang
memiliki tutupan hutan dan lahan gambut ter-
luas di Asia, Indonesia juga termasuk negara
penyerap dan penyimpan karbon (carbon sink)
terbesar dunia. Sayangnya, karena besarnya
luas kerusakan hutan serta pesatnya laju kon-
versi hutan dan degradasi lahan hutan selama
ini, Indonesia dikhawatirkan masuk dalam ja-
jaran negara pelepas dan penyumbang karbon
(carbon emitter) terbesar dunia.
Pendek kata, perubahan iklim dan pema-
nasan global membuat Indonesia mempunyai
potensi besar sebagai korban yang terkena
banyak dampak negatif, sebagai penyumbang
emisi gas GRK yang mencemari dunia, atau
sebagai penyerap dan penyimpan karbon
sering disebut paru-paru dunia, bila tutupan
hutannya tetap terjaga dan terhindar dari an-
-
T O P I K
15Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan
caman kebakaran, deforestasi, dan degradasi
hutan. Mana yang akan terjadi tergantung pada
kebijakan atau tindakan mitigasi dan adaptasi
apa yang akan ditempuh, serta mulai kapan dan
seberapa jauh akan dilaksanakan oleh peme-
rintah dan masyarakat. Semakin dini dan cepat
tindakan mengurangi emisi dan mengadaptasi
perubahan iklim, semakin kecil potensi dampak
dan korban yang terkena, dan semakin besar
potensi hutan Indonesia berfungsi sebagai
carbon sink, penyerap dan penyimpan karbon.
Meski belum ada kepastian mengenai be-
saran emisi GRK Indonesia, perkiraan saat ini
menunjukkan bahwa sektor kehutanan dan alih
guna lahan menyumbang emisi dengan jumlah
lebih besar dibanding emisi dari sektor energi
dan sektor lain. Besarnya emisi dari deforestasi,
kebakaran hutan, konversi lahan hutan, dan la-
han gambut, menempatkan Indonesia sebagai
negara berkembang dengan tingkat emisi kar-
bon cukup tinggi; Indonesia masuk dalam kate-
gori negara yang perlu melakukan upaya miti-
gasi guna mencegah percepatan perubahan
iklim.
Profil emisi karbon Indonesia memang
masih didominasi emisi dari sektor kehutanan,
lahan gambut, limbah dan pertanian, namun
seiring dengan meningkatnya laju pertumbuh-
an ekonomi, emisi yang berasal dari sektor
energi, industri, dan transportasi menunjukkan
tren kenaikan cukup tinggi. Meningkatnya
kebutuhan akan tenaga listrik, baik untuk
industri, pusat-pusat belanja maupun rumah
tangga, membuat emisi GRK dari pembakaran
bahan bakar fosil akan bertambah dan semakin
meningkat. Pertumbuhan sektor energi In-
donesia masih tergantung pada pemakaian batu
bara yang melepas emisi gas karbon dua kali
lebih banyak dibanding emisi minyak dan gas
bumi. Tingkat emisi karbon dari sektor energi
dan listrik yang menggunakan BBM dan batu
bara diperkirakan akan naik tiga kali lipat pada
2030 bila tidak ada upaya untuk mengurangi
atau mengganti bahan bakar tersebut dengan
sumber energi yang jauh lebih bersih dan
ramah lingkungan.
Sesungguhnya, Indonesia sangat kaya akan
sumber-sumber energi terbarukan, terutama
panas bumi (geotermal), tenaga air, energi
surya, dan biomassa. Namun, sumber-sumber
energi bersih yang berlimpah itu hingga kini
belum banyak dimanfaatkan, apalagi dikem-
bangkan dalam skala komersial. Indonesia
sangat tergantung pada pemanfaatan minyak
bumi (BBM) yang hingga kini masih disubsidi
pemerintah. Selain merugikan perekonomian
nasional karena menimbulkan distorsi harga,
defisit fiskal, dan beban biaya anggaran tak
terduga, ketergantungan sangat tinggi pada
penggunaan BBM justru mendorong peng-
gunaan energi dan listrik secara tidak efisien dan
berlebihan.
Subsidi BBM juga menghambat pengem-
bangan sumber-sumber energi terbarukan.
Potensi sumber-sumber energi terbarukan
boleh dikatakan sangat besar, namun selama ini
belum memperoleh banyak perhatian dan
insentif dari pemerintah. Perkembangan renew-
able energy di Indonesia selalu dibiarkan ter-
kendala oleh tingginya biaya investasi awal
untuk teknologi, ketidakpastian peraturan, dan
keterbatasan kapasitas kelembagaan. Padahal,
di sanalah peluang terbesar Indonesia dalam
menerapkan pola pembangunan rendah karbon.
Kebijakan dan PembangunanRendah Karbon di Indonesia
Dalam beberapa belas tahun terakhir,
tanda-tanda dampak pemanasan global sudah
mulai terlihat di Indonesia. Kita telah mengalami
beberapa kali musim kemarau sangat panjang
pada 1982-1983, 1987, 1991, 1997-98, dan 2002-
2003. Selain menyebabkan gagal panen, musim
kemarau amat panjang itu juga membuat pu-
luhan ribu hektar sawah harus dipusokan,
produksi gabah turun ratusan juta ton, dan
merugikan petani Indonesia. Pemerintah yang
pada 1984 telah mencapai swasembada beras
kembali harus mengimpor beras dalam jumlah
besar dari berbagai negara di Asia. Musim
kemarau kering dan amat panjang itu juga se-
-
T O P I K
16 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
ring menimbulkan kebakaran hutan, di an-
taranya yang terbesar pada 1991 dan 1997-
1998, yang mengakibatkan kerugian besar
bukan hanya di sektor kehutanan saja, tetapi
juga di sektor transportasi, perdagangan, dan
pariwisata di Indonesia dan beberapa negara
tetangga akibat tebalnya asap yang ditimbulkan
oleh kebakaran hutan di Sumatera dan
Kalimantan.
Selain itu, Indonesia juga kian sering
menyaksikan dan mengalami bencana alam dan
bencana lingkungan yang terus meningkat
seperti banjir besar, gempa bumi, tanah longsor,
badai, angin topan dan gelombang tsunami di
berbagai daerah. Musim kemarau panjang dan
mulai sering terjadi, menurut beberapa pakar,
disebabkan oleh fenomena El Nino, yaitu na-
iknya suhu di Samudera Pasifik sampai 31
derajat Celcius yang membawa gelombang
panas dan kekeringan di Indonesia. Selain itu,
juga terjadi curah hujan tinggi yang disebabkan
oleh fenomena La Nina, kebalikan El Nino,
yakni gejala menurunnya suhu permukaan
Samudera Pasifik yang membawa angin ken-
cang dan awan hujan ke Australia dan Asia
bagian selatan, termasuk Indonesia.
Apakah kemarau panjang dan curah hujan
tinggi di atas normal yang semakin sering terjadi
merupakan kejadian alam biasa atau dampak
dari pemanasan global? Hal ini belum bisa
dijelaskan secara pasti. Namun, jika pemanasan
global itu sungguh terjadi, maka yang akan kita
alami adalah kemarau panjang dan curah hujan
di atas normal dalam skala lebih besar dan lebih
luas. Kerugian sosial ekonomi dan lingkungan
yang dtimbulkan pasti jauh lebih besar.
Perubahan iklim dan pemanasan global
jelas membawa dampak ke semua sektor dan
memengaruhi hampir semua aspek kehidupan
serta keberlangsungan ekosistem tempat ma-
nusia, tumbuhan, hewan dan makhluk lain
hidup di dalamnya. Pemerintah Indonesia ke-
mudian mengambil sikap bahwa perubahan
iklim adalah isu pembangunan, bukan isu ling-
kungan hidup semata. Karena itu, dalam penge-
lolaan dan pengendaliannya, semua pihak dan
pemangku kepentingan harus ikut terlibat, tidak
bisa hanya pemerintah sendiri, dan tidak mung-
kin ditangani di tingkat lokal dan nasional saja,
karena akar permasalahan berada di tataran
global.
Walaupun Indonesia telah meratifikasi
Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Per-
ubahan Iklim (UNFCCC) dan Protokol Kyoto
masing-masing dengan UU No. 6/1994 dan UU
No. 17/2004, kesadaran mengenai pentingnya
upaya penanganan isu perubahan iklim dan
kaitannya dengan keberhasilan pembangunan
ekonomi belum mendalam dan meluas ke
semua jajaran, baik pemerintah maupun ma-
syarakat umum. Indonesia mulai bergerak lebih
aktif di forum-forum internasional, khususnya
sejak 2002 ketika ikut serta dalam persiapan dan
menjadi pimpinan Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT) Pembangunan Berkelanjutan di
Johannesburg, Afrika Selatan, dan terutama
menjelang persiapan COP-13 di Bali, Desember
2007.
Di Bali tahun 2007 itulah peran Indonesia
makin menonjol dalam diplomasi serta per-
caturan politik dan ekonomi internasional ten-
tang perubahan iklim. Selain menjadi tuan
rumah dan berhasil memfasilitasi pengorga-
nisasian konferensi yang dihadiri lebih dari
10.000 orang peserta dari 189 negara dengan
lancar, peran Indonesia sebagai Ketua COP-13
Menteri Negara Lingkungan Hidup
Rachmat Witoelar juga dinilai sebagai fasili-
tator yang baik dalam mendekatkan perbe-
daan-perbedaan tajam yang muncul di antara
negara berkembang dengan negara maju dan
berhasil menelorkan Bali Action Plan yang
sekarang menjadi salah satu tonggak historis
acuan perundingan menuju rezim perjanjian
iklim baru pasca-2012.
Di samping itu, apabila selama 10 tahun
lebih pertemuan Konvensi Perubahan Iklim
hanya diurus dan dihadiri oleh para pejabat dan
menteri lingkungan hidup, di Bali itu pula In-
donesia memprakarsai dua forum pertemuan
informal tingkat menteri di luar bidang ling-
kungan, yaitu keuangan dan perdagangan. Per-
-
T O P I K
17Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan
temuan para menteri keuangan negara-negara
maju dan berkembang yang juga dihadiri para
petinggi Dana Moneter Internasionl (IMF),
Bank Dunia (WB) dan Bank-bank Pemba-
ngunan Multilateral (MDB) itu dipimpin Menteri
Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Itu merupakan
terobosan baru, karena memasukkan agenda
pendanaan dalam isu perubahan iklim. Begitu
pula pertemuan para menteri perdagangan. Per-
temuan yang juga dihadiri pimpinan Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) dan UNCTAD itu
dipimpin Menteri Perdagangan Mari Elka
Pangestu, dan mendapat sambutan cukup baik
karena memulai dialog substantif tentang kaitan
isu kebijakan perdagangan dengan isu ling-
kungan hidup yang selama ini berjalan sendiri-
sendiri.
Indonesia selaku Ketua COP-13 terus me-
lanjutkan peranan sebagai bagian dari Troika
(tiga serangkai). Bersama Polandia selaku Ke-
tua COP-14 dan Denmark selaku Ketua COP-
15, Indonesia diberi tugas oleh Sekretaris
Jenderal PBB untuk mengawal Bali Action
Plan agar berhasil merintis a new and legally
binding agreement pada COP-15 di Kopen-
hagen, Desember 2009. Sayangnya, harapan
begitu tinggi di Bali ternyata harus kandas di
Kopenhagen. Bagaimanapun juga, peristiwa di
Bali akhir 2007 itu merupakan tonggak per-
jalanan Indonesia yang tak kalah penting bagi
terciptanya momentum baru di dalam negeri.
Sejak itu kesadaran, gerakan masyarakat, dan
liputan media massa terhadap isu lingkungan
dan perubahan iklim makin gencar dan me-
luas, selain melahirkan serangkaian terobosan
kebijakan, program, dan lembaga-lembaga baru
yang menunjukkan peningkatan perhatian
pemerintah dan alokasi sumber daya negara
pada upaya penanggulangan perubahan iklim
di Indonesia. Terbitnya dokumen Rencana Aksi
Nasional untuk Mitigasi dan Adaptasi Per-
ubahan Iklim (RAN-MAPI) kemudian diikuti
pembentukan Dewan Nasional Perubahan
Iklim (DNPI) yang dipimpin langsung Presiden
Republik Indonesia pada Juni 2008 menandai
langkah awal perubahan kebijakan pemerintah
yang menganggap perubahan iklim bukan ha-
nya isu lingkungan semata, tetapi juga me-
nyangkut masalah pembangunan.
Dengan bekal arah kebijakan baru itu,
DNPI mulai melakukan kajian dan dialog lintas
sektor agar kebijakan dan program pemba-
ngunan yang akan memasukkan upaya mitigasi
dan adaptasi perubahan iklim tidak lagi dila-
kukan dengan pola konvensional atau business
as usual, akan tetapi harus ada perubahan pen-
dekatan yang menjamin terlaksananya pola
pembangunan berkelanjutan (sustainable de-
velopment) di Indonesia. Untuk itu, selain me-
lihat kinerja pertumbuhan ekonomi yang diukur
dengan kenaikan Produk Domistik Bruto
(PDB, Gross Domestic Product), hasil pemba-
ngunan juga harus dilihat dari turunnya tingkat
emisi karbon (CO2) dalam mencapai tingkat
PDB tersebut. Ukuran rendahnya kadar karbon
(emisi GRK) merupakan salah satu syarat
penting terlaksananya pembangunan berkelan-
jutan di masa depan. Karena itu, diperkenalkan
pengertian pembangunan rendah karbon (low
carbon development) sebagai alternatif pola
pembangunan konvensional yang selama ini
dilakukan dengan mengandalkan bahan bakar
energi sarat emisi karbon.
Langkah tersebut diteruskan oleh Kemen-
terian Keuangan dan Badan Perencanaan Pem-
bangunan Nasional (Bappenas) yang pada
tahun 2009-2010 mengeluarkan beberapa
dokumen kebijakan. Dokumen-dokumen ter-
sebut menunjukkan bahwa isu perubahan
iklim dan lingkungan hidup mulai masuk ke
arus utama (mainstream) kebijakan pemba-
ngunan nasional. Akhir Oktober 2009, misal-
nya, Menteri Keuangan menerbitkan dokumen
setebal 163 halaman bertajuk Green Paper on
Economic and Fiscal Policy and Strategies for
Climate Change in Indonesia, yang mengurai-
kan konsep dan kerangka kebijakan fiskal,
anggaran dan keuangan negara dalam menun-
jang tercapainya tujuan mitigasi perubahan
iklim yang digariskan Pemerintah Indonesia.
Bappenas juga menerbitkan Yellow Book dan
Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap
-
T O P I K
18 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
sebagai kebijakan baru dan peta jalan bagi
sembilan sektor pembangunan yang terkait
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, se-
kaligus digunakan sebagai masukan untuk
penyusunan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) 2010-2014, Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) 2010, dan juga sebagai
bahan untuk menyusun Rencana Aksi Nasional
Penurunan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK)
2010-2020.
Dokumen RAN-GRK 2010-2020 harus se-
gera diproses secara lintas sektor oleh Bap-
penas dan DNPI bersama semua sektor dan
lembaga terkait untuk menerjemahkan dan
menjabarkan komitmen Presiden Susilo Bam-
bang Yudhoyono yang telah mencanangkan
tekad Indonesia untuk menurunkan emisi GRK
sebesar 26 persen pada 2010 dari tingkat emisi
tahun 2005. Penurunan emisi itu bisa lebih be-
sar menjadi 41 persen, jika negara-negara in-
dustri maju bersedia membantu Indonesia
untuk mengantisipasi bantuan dan kerja sama
internasional bagi program-program terkait
perubahan iklim, Bappenas dan Kementerian
Keuangan menyiapkan wadah atau mekanisme
pendanaan baru, Indonesia Climate Change
Trust Fund (ICCTF).
Beberapa terobosan untuk membawa isu
perubahan iklim ke arus tengah kebijakan pe-
merintah mulai menguak jendela kebijakan
pembangunan ekonomi. Namun, tantangan ter-
besar Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan
pembangunan rendah karbon adalah bagaimana
menembus tembok benteng kementerian dan
lembaga-lembaga sektoral seperti Kementerian
Kehutanan, Pertanian, Energi dan Sumber Daya
Mineral, Pekerjaan Umum, dan pemerintah
daerah. Sekalipun mulai membuka pintu untuk
bisa ikut menikmati kue dana bantuan peru-
bahan iklim bagi sektor atau daerah masing-
masing, pada dasarnya mereka masih meng-
gunakan sasaran dan pola kerja business as
usual, tanpa melakukan perubahan kebijakan
dan langkah berarti untuk benar-benar mengu-
rangi jejak karbon (carbon footprint) yang
masih dalam dan lebar.
Kopenhagen: Gagal atauKeberhasilan yang Tertunda?
Konferensi Para Pihak ke-15 negara-nega-
ra yang tergabung dalam UNFCCC di Kopen-
hagen, Denmark, pada 7-19 Desember 2009
yang dirancang dua tahun sebelumnya di Bali
sebagai puncak perundingan dunia yang diha-
rapkan akan melahirkan perjanjian baru atau
pembaruan atas Protokol Kyoto yang akan
berakhir tahun 2012 ternyata membuyarkan
harapan dunia dan berbagai skenario yang per-
nah dibuat. Di tengah kecemasan masyarakat
internasional akan hasil kajian ilmiah yang
memprediksi kenaikan suhu bumi melebihi 3
derajat Celcius dari tingkat pra-Revolusi In-
dustri, konferensi Kopenhagen yang diharap-
kan bisa mengeluarkan resep penurunan
suhu bumi di bawah 2 derajat Celcius ternyata
tak berhasil membuat kesepakatan apa pun
yang mengikat semua negara peserta.
Apa yang sebenarnya terjadi di Kopenha-
gen? Pada awalnya, penyelenggaraan COP-15
berlangsung sesuai dengan Bali Roadmap,
yakni dalam dua jalur perundingan (two tracks)
dan wadah persidangan. (1) Jalur AWG-KP,
untuk merumuskan komitmen selanjutnya dari
negara-negara Annex I dalam memenuhi ke-
tentuan Protokol Kyoto pada periode pasca-
2012; dan (2) jalur AWG-LCA untuk meru-
muskan langkah-langkah kerja sama jangka
panjang (2020-2050) yang perlu disepakati se-
mua pihak penanda tangan Konvensi di masa
depan. Proses perundingan melalui dua jalur
itu lazimnya dilakukan tim perunding teknis
(negotiators) profesional mewakili masing-
masing Para Pihak yang sudah menangani
seluk-beluk prosedur dan substansi isu pe-
rundingan sejak COP-13 Bali (2007), COP-14
Poznan (Polandia, 2008), dan serangkaian
perundingan persiapan COP-15 mulai dari
Bonn (tiga kali), Bangkok, Barcelona, sampai
Kopenhagen awal Desember 2009. Dalam
seluruh proses perundingan melalui dua jalur
selama dua tahun itu, Para Pihak yang ber-
jumlah 189 negara maju dan berkembang
-
T O P I K
19Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan
terwakili dan ikut serta secara aktif dalam
perundingan di bawah bendera UNFCCC.
Sampai dengan hari kesepuluh, proses
perundingan di tingkat tim perunding teknis
COP-15 Kopenhagen berjalan lamban dan
sangat alot, mengingat masih banyaknya per-
bedaan pendapat soal isu-isu substansial di
antara negara industri maju dengan negara
berkembang yang tergabung dalam Kelompok
77 dan China. Akan tetapi, bukan berarti tidak
ada kemajuan yang dicapai tim perunding tek-
nis. Sehari menjelang diselenggarakannya
perundingan tingkat menteri (ministerial/high
level segment of negotiation), ketua-ketua AWG-
KP dan AWG-LCA menyerahkan draf dokumen
hasil perundingan tingkat tim negosiator teknis
yang mengandung lebih banyak kesepakatan
dibanding perbedaan antara negara maju dan
negara berkembang.
Namun, ketika proses perundingan beralih
dari perundingan teknis ke tingkat lebih tinggi
(high level segment), perbedaan pendapat bu-
kannya berkurang, tetapi semakin tajam dan
memuncak dalam ketegangan posisi dan sikap
negara-negara maju menghadapi Kelompok 77
dan China. Bila selama ini perundingan high-
level segment hanya dihadiri oleh para menteri
lingkungan hidup dan/atau duta besar masing-
masing Pihak, pada COP-15 Kopenhagen hadir
lebih dari 110 kepala negara/pemerintahan,
yang kemudian mengambil alih peran para
negosiator dan pejabat tinggi yang memahami
isu perubahan iklim. Itu merupakan peristiwa
baru yang belum pernah terjadi sebelumnya
dalam tujuh belas tahun sejarah perundingan
global tentang perubahan iklim. Hal lain yang
juga tidak lazim adalah Perdana Menteri Den-
mark selaku kepala pemerintahan bertindak
sebagai Ketua COP-15 yang memimpin jalannya
sidang Konvensi hingga selesai, bukan menteri
lingkungan atau menteri teknis yang menangani
perubahan iklim.
Hal paling mengecewakan, Kopenhagen
akhirnya hanya menghasilkan sebuah dokumen
politis yang disebut Copenhagen Accord
(Kesepakatan Kopenhagen). Dokumen ini me-
rupakan catatan hasil perundingan tingkat
tinggi/kepala negara yang difasilitasi Perdana
Menteri Denmark selaku Ketua COP-15 yang
hanya melibatkan 29 negara dari 189 negara
peserta Konvensi. Statusnya sekadar catatan
COP-15 yang sama sekali tidak mengikat seca-
ra hukum. Dua belas butir kesepakatan yang
tertuang dalam Copenhagen Accord dihasilkan
setelah proses perundingan yang alot dan pa-
nas, terutama antara Amerika Serikat, China
Sumber: IPCC, DNPI: Pathways to a Low-Carbon Economy, (2009)
-
T O P I K
20 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
dan negara-negara kelompok ALBA dari Ame-
rika Latin dalam sidang tertutup pada menit-
menit terakhir menjelang sidang penutupan
Konvensi. Semua hal di luar kebiasaan yang
terjadi di Kopenhagen menunjukkan bahwa
peran politisi dan pertimbangan politik sangat
mendominasi hasil perundingan dan keputusan
Konvensi.
Berikut beberapa butir isi kesepakatan
Copenhagen Accord:
Tentang target stabilisasi GRK di atmosfer:
menetapkan tujuan pembatasan pening-
katan suhu global pada tahun 2050 adalah
2 derajat Celcius di bawah tingkat zaman
praindustri. Target itu akan dikaji ulang pada
2015, termasuk kemungkinan mengubah
stabilisasi emisi GRK menjadi 1,5 derajat
Celcius sesuai permintaan negara-negara
kepulauan kecil (AOSIS).
Tentang kewajiban negara Annex I: menye-
tujui bahwa pada 31 Januari 2010 negara-
negara maju (Annex I) harus menentukan
target penurunan emisi secara kuantitatif
(economy wide) untuk tahun 2020 sesuai
dengan kesanggupan masing-masing. Me-
nyetujui sistem pemantauan dan pelaporan
atas capaian target pengurangan emisi
GRK negara-negara maju serta penyediaan
dana dan teknologi negara industri maju
dalam Annex I, termasuk Amerika Serikat,
untuk negara berkembang.
Tentang kewajiban negara non-Annex:
menetapkan pengurangan emisi GRK ne-
gara-negara sedang berkembang (Non-
Annex) perlu diukur, dilaporkan, dan di-
verifikasi (MRV) oleh masing-masing ne-
gara serta dikomunikasikan ke Sekretariat
UNFCCC setiap dua tahun melalui laporan
National Communication. Mengenai bentuk
dan cara aksi penurunan emisi merupakan
hak sepenuhnya negara bersangkutan.
Menetapkan bahwa upaya pengurangan
emisi oleh negara berkembang (Nationally
Appropriate Mitigation Actions/NAMAs)
akan dibantu pendanaan dan alih teknologi
dari negara maju melalui pengukuran, pe-
laporan, dan verifikasi (MRV) oleh satu
Badan Registrasi (Registry) sesuai panduan
internasional yang dibuat UNFCCC.
Tentang Pendanaan: menyepakati komit-
men negara maju untuk menyediakan pen-
danaan sebesar 30 miliar dolar AS dalam
periode 2010-2012 bagi kegiatan adaptasi
dan mitigasi negara sedang berkembang di
bawah supervisi COP-UNFCCC melalui
mekanisme Copenhagen Green Climate
Fund yang akan segera dibentuk. Selain
pendanaan jalur cepat (interim fast track
funding) menjelang 2012, negara-negara
maju juga berkomitmen memobilisasi dana
sebesar 100 miliar dolar AS per tahun mulai
tahun 2020 untuk membiayai, antara lain,
kegiatan mitigasi di sektor kehutanan
(REDD), peningkatan kapasitas dan pem-
bentukan mekanisme teknologi.
Bagaimanapun juga, keputusan resmi COP-
15 yang hanya berupa takes note, sekadar
mencatat adanya Copenhagen Accord (CA), itu
menunjukkan bahwa CA tidak diterima oleh
semua Pihak, dan hanya mengikat secara politis
Para Pihak yang menyatakan menerima do-
kumen CA. Ini berarti COP-15 Kopenhagen
gagal menghasilkan agreed outcome dalam
bentuk perjanjian internasional yang mengikat
(legally binding agreement) dan menyeluruh
sebagaimana diamanatkan COP-13 Bali. Dari
segi proses perundingan, COP-15 merupakan
preseden buruk; proses UNFCCC bisa dibe-
lokkan oleh kepala negara/pemerintahan yang
melakukan negosiasi naskah akhir. Dalam hal
ini, Perdana Menteri Denmark dianggap telah
melanggar prinsip multilateralisme dalam
perundingan internasional yang seharusnya
bersifat terbuka, transparan, dan inklusif.
Selain dari sisi proses yang memiliki ba-
nyak kecacatan, substansi Copenhagen Accord
juga dianggap langkah mundur, karena tidak
mencantumkan target penurunan emisi global
jangka menengah pada 2020 ataupun tujuan
mencapai 50 persen reduksi emisi global pada
2050, yang sebenarnya telah disepakati pada
-
T O P I K
21Ismid Hadad, Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan
pertemuan negara-negara maju G-8 tahun
2009. Selain itu, ketentuan tentang komitmen
penurunan target emisi negara Annex I tidak
diikuti dengan ketentuan tahun dasar (base
year) yang sama. Hal lain yang juga sangat
disesalkan, posisi negara berkembang dise-
tarakan dengan negara maju dalam hal pela-
poran aksi mitigasi dengan format berbeda.
Ketentuan tentang NAMAs, misalnya, akan
membuat negara berkembang seperti Indo-
nesia harus bekerja ekstra keras untuk mem-
persiapkan sistem registrasi nasional, mening-
katkan kemampuan sumber daya manusia
secepatnya, mengumpulkan dan menyusun
data sektoral dan regional secara lebih akurat,
serta mengalokasi anggaran yang memadai.
Walaupun demikian, tidak semua ketentuan
Copenhagen Accord bersifat negatif. Sebe-
narnya ada beberapa unsur positif yang meru-
pakan langkah maju dibandingkan dengan Bali
Action Plan. Dalam penentuan target stabilisasi
GRK di atmosfer, misalnya, kesepakatan untuk
secara eksplisit membatasi kenaikan suhu
global 2 derajat Celcius merupakan kemajuan
yang tidak berhasil dicapai dalam COP-13 di
Bali, di samping adanya kesediaan untuk me-
review kemungkinan penurunan target sta-
bilisasi menjadi 1,5 derajat Celcius pada 2015.
Begitu pula dengan ketentuan agar negara
Annex I memasukkan angka target baru pe-
nurunan emisi secara kuantitatif (QUELROs)
sebelum 31 Januari 2010 adalah ketentuan yang
tidak ada dalam Bali Action Plan. Bagi negara
berkembang seperti Indonesia, masuknya ke-
tentuan tentang skema Penurunan Emisi dari
Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD)
sebagai instrumen untuk mitigasi perubahan
iklim juga merupakan sebuah kemajuan besar.
Hal paling positif dari Copenhagen Accord
adalah dokumen formal pertama yang memuat
komitmen konkret tentang angka dan jumlah
pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi dari
negara maju ke negara berkembang, dan juga
dokumen formal pertama yang memuat ke-
tentuan tentang rencana aksi dan target penu-
runan emisi GRK negara-negara berkembang.
Sejauh ini sudah tercatat 32 negara berkem-
bang yang secara sukarela menyampaikan
target nasional penurunan emisi GRK, ter-
masuk Indonesia. Perkembangan posisi ne-
gara-negara berkembang ini dapat dijadikan
modal dalam proses negosiasi lanjutan guna
mendesak negara-negara maju agar mening-
katkan komitmen penurunan emisi secara
lebih siginifikan.
Tantangan Menuju Cancun
Walaupun Copenhagen Accord bukan me-
rupakan kesepakatan yang mengikat, Para Pi-
hak diminta menyatakan dan menyampaikan
asosiasi-nya pada Copenhagen Accord dan
mendaftarkan rencana aksi (target) penu-
runan emisi masing-masing kepada Sekretariat
UNFCCC di Bonn, Jerman. Hingga 30 Maret
2010, tercatat 114 negara, 58 di antaranya ne-
gara berkembang, yang telah menyampaikan
pernyataan untuk berasosiasi dengan kese-
pakatan Copenhagen Accord. Selain itu, tercatat
42 negara maju dan 32 negara berkembang
yang telah menyampaikan target penurunan
emisi nasional masing-masing untuk didaftarkan
dalam Appendix I dan Appendix II Copenhagen
Accord.
Fakta tiga bulan sesudah pertemuan Ko-
penhagen berakhir lebih dari separuh 189 ne-
gara penandatangan Konvensi bersedia meng-
asosiasikan diri pada Copenhagen Accord
menunjukkan bahwa ada elemen tertentu dari
kesepakatan tersebut yang dianggap positif dan
bisa diterima oleh negara yang pada awalnya
menolak. Diterimanya kesepakatan Kopen-
hagen tentu tidak datang begitu saja, tetapi
melalui lobi dan proses perundingan cukup alot
dalam rangka membangun kembali kadar
kepercayaan dan memasukkan elemen-elemen
positif Copenhagen Accord ke dalam proses
perundingan resmi UNFCCC.
Situasi pasca-Kopenhagen ditandai oleh
trauma negara-negara berkembang yang me-
mandang proses perundingan berjalan tidak fair
dan tidak berguna, karena didominasi kepen-
-
T O P I K
22 Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010
tingan negara-negara maju. Di sisi lain, negara-
negara maju yang tergabung dalam Annex I
nyaris frustrasi. Mereka ingin secepatnya me-
ngoperasikan Copenhagen Accord dan meng-
anggap proses negosiasi berjalan terlalu lamban
dan bertele-tele. Karena ketidakjelasan status
hukum Copenhagen Accord, maka yang bisa
dilakukan hanya memperhatikan dan mem-
bahas elemen-elemen substansi kesepakatan
tersebut. Itulah yang dicoba dilakukan Meksiko.
Tuan rumah penyelenggara pertemuan COP-16
itu berusaha keras membangun kembali ke-
percayaan (trust building) Para Pihak melalui
dialog dan konsultasi yang transparan, inklusif,
serta memfokuskan diri pada elemen-elemen
penting Copenhagen Accord untuk dibawa ke
meja perundingan di Cancun akhir 2010.
Tantangan yang dihadapi Meksiko adalah
bagaimana mengembalikan proses negosiasi
pada kerangka kerja konvensi PBB yang ber-
sifat multilateral dan terbuka dengan meng-
integrasikan Copenhagen Accord ke dalam dua
jalur kelompok kerja (AWG-KP dan AWG-LCA)
serta tidak menjadikannya sebagai satu-satunya
jalur atau jalur ketiga dalam proses negosiasi di
Cancun. Dari sisi substansi, masalah pokok
yang harus diselesaikan masih tetap sama,
yaitu (1) target angka dan target waktu pe-
nurunan emisi GRK negara-negara Annex I
dengan dasar tahun yang sama (1990), serta (2)
memperoleh komitmen negara-negara ber-
kembang yang besar, seperti China dan India,
untuk menurunkan emisi GRK mereka dengan
rencana yang jelas.
Ada dua isu pokok yang merupakan tan-
tangan besar dan perlu dituntaskan di Cancun,
yaitu (1) pendanaan, termasuk peran pasar
karbon dan alih teknologi untuk menyelesaikan
masalah mitigasi dan adaptasi di negara-negara
berkembang, dan (2) pengukuran pelaksanaan
komitmen (MRV), baik untuk mengukur ke-
berhasilan negara maju dalam mencapai target
emisi dan kewajiban menyediakan dana serta
alih teknologi kepada negara berkembang
maupun mengukur keberhasilan negara-negara
berkembang dalam melaksanakan NAMAs
sesuai panduan UNFCCC.
Namun, sekali lagi, itu semua tergantung
pada sikap Amerika Serikat; seberapa jauh
negara adidaya dan produsen emisi karbon
terbesar di dunia ini bersedia menetapkan target
penurunan emisinya secara signifikan men-
jelang atau pada akhir perundingan di Cancun.
Sebagaimana diketahui, hingga hari ini Amerika
Serikat belum meratifikasi Protokol Kyoto.
Bahkan, sejak perundingan di Poznan, Bonn,
sampai Kopenhagen, AS bersama Kanada,
Jepang, dan Uni Eropa berusaha mematikan
Protokol Kyoto. Itu menunjukkan bahwa hasil
perundingan Konvensi maupun keberhasilan
penurunan emisi GRK tidak bisa dilepaskan dari
kemauan dan kekuatan politik ekonomi negara-
negara adikuasa.
Pertanyaannya, apakah semua bangsa dan
umat manusia akan membiarkan begitu saja
negara-negara adikuasa menjerumuskan bumi
ini menjadi neraka pemanasan global dalam
kurun waktu tidak lama lagi?
-
Everybody talks about the weather, but nobody
does anything about it
(Mark Twain)
Kalau kita sedang berada di sebuah
kawasan dengan cuaca kerap ber-
ubah, orang sering memberi apre-
siasi jika cuaca saat itu bersahabat. Paling tidak
itulah kalimat kedua di warung kopi yang diucap-
kan setelah bertegur sapa dan menanyakan
kabar lawan bicara. How are you., ..nice
weather, isnt it. Tak heran bila penulis seka-
liber Mark Twain mengatakan: semua orang
berbicara tentang cuaca, tetapi tidak seorang
pun melakukan sesuatu terhadap cuaca.
Meskipun punya pengertian berbeda, iklim
dan cuaca sangat berkaitan. Iklim merupakan
kondisi rata-rata cuaca dalam jangka relatif
panjang, dan mencakup kawasan luas. Daerah
di sekitar khatulistiwa, misalnya, memiliki iklim
tropis, sementara daerah yang terletak di lin-
tang tinggi punya iklim sedang, daerah padang
pasir beriklim kering, dan sebagainya.
Perubahan Iklim: Dari ObrolanWarung Kopi