Pansitopenia

15
PANSITOPENIA Pansitopenia adalah keadaan dimana jumlah trombosit, sel darah putih, dan sel darah merah di dalam dalam perifer semuanya berkurang. Pansitopenia adalah sindrom kegagalan sumsum tulang ditandai dengan produksi sel darah yang berkurang dan menyebabkan sedikitnya eritrosit, leukosit dan trombosit di darah tepi. Sehingga angka eritrosit, leukosit dan trombosit yang rendah di darah tepi. Hal ini terjadi ketika tubuh tidak mampu meproduksi sel darahan karena stem sel pada sumsum tulang yang membentuk darah tidak berfungsi secara normal. Pansitopenia muncul dengan gejla kegagalan sumsum tulang seperti adanya pallor, dypsnue, perdarahan, memar, dan peningkatan kecenderungan infeksi. Penyebab pansitopenia : A. Pengurangan kuantitatif jaringan hematopoetik (defisiensi sumsum tulang) 1. Anemia hiporoliferatif dan aplastik Anemia Fanconi Anemia idiopatik 2. Infeksi virus: virus hepatitis B. Virus Epstein-Barr. Sitomegalovirus, Parvovirus Bakteri (tuberkulosis) 3. Neoplasma a. Penyakit hematopoetik klonal

description

Pansitopenia

Transcript of Pansitopenia

PANSITOPENIA

Pansitopenia adalah keadaan dimana jumlah trombosit, sel darah putih, dan sel darah merah di dalam dalam perifer semuanya berkurang.

Pansitopenia adalah sindrom kegagalan sumsum tulang ditandai dengan produksi sel darah yang berkurang dan menyebabkan sedikitnya eritrosit, leukosit dan trombosit di darah tepi. Sehingga angka eritrosit, leukosit dan trombosit yang rendah di darah tepi. Hal ini terjadi ketika tubuh tidak mampu meproduksi sel darahan karena stem sel pada sumsum tulang yang membentuk darah tidak berfungsi secara normal. Pansitopenia muncul dengan gejla kegagalan sumsum tulang seperti adanya pallor, dypsnue, perdarahan, memar, dan peningkatan kecenderungan infeksi. Penyebab pansitopenia :

A. Pengurangan kuantitatif jaringan hematopoetik (defisiensi sumsum tulang)

1. Anemia hiporoliferatif dan aplastik

Anemia Fanconi

Anemia idiopatik2. Infeksi

virus: virus hepatitis B. Virus Epstein-Barr. Sitomegalovirus, Parvovirus

Bakteri (tuberkulosis)

3. Neoplasma

a. Penyakit hematopoetik klonal

b. Keganasan sekuder (metastatik) :karsinoma, limfoma

c. Sindrom mielodisplastik

4. Toksis

a. Obat: kloramfenikol, fenilbutazon, kemoterapi

b. Radiasi

5. Penyakit auto imun:

a. Syndroma Lupus Erimatosusb. Artritis rematoid

c. Pansitepenia auto imun

6. Penggantian sumsum tulang:

a. Mielofibrosis (penggantian sumsum tulang hematopoetikoleh elemn jaringan ikat fibrosa) : idiopatik, sekunder (keganasan etastatik, TB), limfoma, penyakit granulomatosaB. Hematopoesis yang tidak efektif

1. Anemia megaloblastik

2. Sindrom mielodisplastik

C. HemodilusiD. Hipersplenisme/splenomegaliE. Destruksi imun (penyakit autoimun)

Diambil dari : Tinjauan klinis hasil pemeriksaan laboratorium. By Ronald A. Sacher; Richard A. Mc.Pherson. Penerbit buku kedokteran EGC. Tahun terbit 2004

TRANSFUSI DARAH

Komponen darah

1. Darah lengkap (WBC)

Indikasi utama: anemia simtomatis dengan kehilangan volume darah yang banyak.

Kerja: pemeliharaan kapasitas pengangkutan oksigen, pmeliharaan volume darah.

Tidak diindikasikan: keadaan yang berespon terhadap komponen tertentu

Perhatian khusus: harus sesuai golongan ABO. Faktor koagulasi labil akan rusak dalam 24 jam setrlah pengambilan darah.

Bahaya: penyakit infeksi:septik/toksik, alergi, reaksi ferbis, kelebihan beban sirkulasi

Kecepatan pemberian: untuk kehilangan masif, secepat yang dapat ditoleransi pasien

2. Sel darah merahIndikasi

: anemia simtomatik

Kerja

: pemeliharaan kapasitas pengangkutan oksigen

Tidak diindikasikan: anemia yang dapat ditangani secara farmakologis

Perhatian khusus: harus sesuai dengan golongan ABO

Bahaya

: penyakit infeksi:septik/toksik, alergi, reaksi ferbis

Kecepatan pemberian: sesuai toleransi pasien namun tidak boleh lebih dari 4 jam

3. Sel darah merah, lekosit telah dihilangkan

Indikasi

: anemia simtomatik, reaksi febril akibat antibodi lekosit

Kerja

: pemeliharaan kapasitas pengangkutan oksigen

Tidak diindikasikan: defisiensi koagulasi, anemia yang dapat ditangani secara farmakologis

Perhatian khusus: harus sesuai dengan golongan ABO

Bahaya: penyakit infeksi:septik/toksik, alergi (kecuali plasma juga sudah dihilangkan, misal dengan pencucian)

Kapasitas pemberian: sesuai toleransi pasien namun tidak boleh lebih dari 4 jam4. Sel darah merah, dengan penambahan Adenin-SalinIndikasi

: anemia simtomatik dengan defisit volume

Kerja

: pemeliharaan kapasitas pengangkutan oksigen

Tidak diindikasikan: defisiensi koagulasi, anemia yang dapat ditangani secara farmakologis, defisiensi koagulasi

Perhatian khusus: harus sesuai dengan golongan ABO

Bahaya: penyakit infeksi:septik/toksik, alergi, febril, kelebihan beban sirkulasi

Kapasitas pemberian: sesuai toleransi pasien namun tidak boleh lebih dari 4 jam

5. Plasma segar beku (FFP)

Indikasi

: kekurangan faktor koagulasi plasma stabil dan labil dan TTP

Kerja

: sumber faktor plasma labil dan non labilTidak diindikasikan: kondisi yang berespon dengan penggantian volumePerhatian khusus: harus sesuai dengan golongan ABO

Bahaya: penyakit infeksi:septik/toksik, alergi, kelebihan beban sirkulasi

Kapasitas pemberian: kurang dari 4 jam

6. Cairan plasma dan plasmaIndikasi

: kekurangan faktor koagulasi plasma stabil

Kerja

: sumber faktor non labil

Tidak diindikasikan: kekurangan faktor koagulasi labil atau penggantian volume

Perhatian khusus: harus sesuai dengan golongan ABO

Bahaya: penyakit infeksi, alergi

Kapasitas pemberian: kurang dari 4 jam

7. AHF Kriopresipirat

Indikasi: Hemofilia A,penyakit non Willebrand, hipo fibrionogenemia, defisiensi faktor XIII

Kerja

: memberikan faktor VII, fibrinogen, VWF, faktor XIIITidak diindikasikan: keadaan tanpa kekurangan faktor yang terkandungPerhatian khusus: perlu pemberian dosis berulangBahaya

: penyakit infeksi, alergi

Kapasitas pemberian: kurang dari 4 jam

8. Trombosis: trombosis, pheresis

Indikasi: perdarahan akibat trombositopenia atau abnormalitas fungsi trombosit

Kerja

: memperbaiki hemostasis

Tidak diindikasikan: kekurangan koagulasi plasma dan beberapa keadaan dengan penghancuran trombosit segera (mis: ITP)

Perhatian khusus: tidak boleh memakai filter mikroagregrat tertentu (periksa dulu petunjuk pabrik)

Bahaya

: penyakit infeksi, alergi, reaksi septik/toksik, febril

Kapasitas pemberian: kurang dari 4 jam

9. Granulosit

Indikasi

: netrofenia dengan infeksi

Kerja

: berikangranulosit

Tidak diindikasikan: infeksi yang berespon terhadap antibiotik

Perhatian khusus: harus sesuai dengan ABO, tidak boleh memakai filter mikroagregratBahaya

: penyakit infeksi, alergi, febril

Kapasitas pemberian: satu unit pheresis periode 2 sampai 4 jam observasi ketat adanya reaksi REAKSI AKIBAT KESALAHAN PEMBERIAN TRANSFUSI

1. Reaksi hemolitik akut

Antibodi dalam plasma resipienakan segera bergabung dengan antigen pada eritrosit donor, dan sel tersebut segera mengalami hemolisis (dihancurkan) baik dalam sirkulasi maupun dalam sistem retikuloendotelial. Hemolisis yang paling cepat terjadi pada ketidaksesuaian darah ABO. Ketidaksesuaian Rh biasanya lebih ringan. Reaksi ini dapat terjadi setelah pemberian paling tidak 10 ml darah.Gejala: menggigil, nyeri pinggang bawah, sakit kepala, mual,atau merasa sesak nafas di dada,kemudian diikuti demam, hipotensi, dan kolaps vaskuler,dan dapat mengakibatkan kematian. Reaksi hebat biasanya dimulai dalam 15 menit setelah pemberian transfusi mulai. Hemoglobinuria terjadi pada saat penderita kencing. Umumnya proses hemolitik terjadi di dalam pembuluh darah (intravaskular), yaitu sebagai reaksi hipersensitivitas tipe II. Plasma donor yang mengandung eritrosit dapat merupakan antigen (major incompatability) yang berinteraksi dengan antibodi pada resipien yang berupa imunoglubulin M (IgM) anti-A, anti-B, atau terkadang antirhesus. Proses hemolitik dibantu oleh reaksi komplemen sampai terbentuknya C5b6789 (membrane attack complex). Pada beberapa kasus juga dapat terjadi interaksi plasma donor sebagai antibodi dan eritrosit resipien sebagai antigen (minor incompatability). Malah dapat terjadi interaksi plasma donor sebagai antibodi dengan eritrosit donor sendiri sebagai antigen (inter-donor incompatability) pada saat diberikan kepada resipien, tetapi kasus seperti ini jarang sekali. AHTR juga dapat melibatkan IgG dengan atau tanpa melibatkan komplemen, dan proses ini dapat terjadi secara ekstravaskular. Ikatan antigen-antibodi akan mengaktivasi reseptor Fc dari sel sitotoksik atau sel K (large lymphocytes) yang menghasilkan perforin (antibody dependent cellular cytotoxicity, ADCC) dan mengakibatkan lisis dari eritrosit. Awal manifestasi klinis umumnya tidak spesifik, dapat berupa demam menggigil, nyeri kepala, nyeri pada panggul, sesak napas, hipotensi, hiperkalemia, dan urin berwarna kemerahan atau keabuan (hemoglobinuria). Pada AHTR yang terjadi di intravaskular dapat timbul komplikasi yang berat berupa disseminated intravascular coagulation (DIC), gagal ginjal akut (GGA), dan syok. Pada pasien yang masih mendapat pengaruh obat-obat anestesi atau koma, DIC merupakan petunjuk yang sangat penting untuk terjadinya AHTRTata laksana

Jika terjadi AHTR, pemberian transfusi harus dihentikan segera dan harus dilakukan hidrasi dengan cairan salin normal (3000 ml/m2/hari). Terapi suportif yang harus tetap dilakukan adalah pemantauan tanda vital seperti jalan napas, tekanan darah, frekuensi jantung, dan jumlah urin. Antihistamin (difenhidramin) dan kortikosteroid (prednisolon) dapat diberikan untuk mengatasi gejala dan tanda klinis. Kejadian AHTR harus dicatat dalam laporan pasien dan darah yang tersisa harus dikembalikan ke unit transfusi darah (UTD) untuk dilakukan investigasi serologis. Selain dilakukan hidrasi, untuk mencegah terjadinya GGA dapat diberikan dopamin dosis rendah (1 sampai 5 mcg/ kg/menit) dan diuretik osmotik berupa manitol (100 ml/m2/ bolus dan selanjutnya 30 ml/m2/hari yang diberikan tiap 12 jam) atau furosemid (1 sampai 2 mg/kgBB). Jika dijumpai tanda DIC maka transfusi FFP, kriopresipitat, dan/atau trombosit dapat dipertimbangkan. Pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan adalah melakukan crossmatch ulang. Prinsip dari crossmatch ini adalah mencocokkan jenis darah antara resipien dan donor dengan melihat reaksi kompatabilitas yang ditimbulkannya. Pemeriksaan laboratorium yang lain adalah Direct Antiglobulin Test (DAT), investigasi serologis (Rhesus, Kidd, Kell, Duffy), hemoglobinemia pada plasma, dan hemoglobinuria pada analisis urin. Untuk mengetahui adanya komplikasi dari reaksi hemolitik akibat transfusi sangat perlu dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal dan status koagulasi (prothrombin time, partial thromboplastin time, dan fibrinogen). Konfirmasi laboratorium bahwa telah terjadi reaksi hemolitik akut akibat transfusi dapat dilakukan dengan pemeriksaan Lactate Dehidrogenase (LDH), bilirubin, dan haptoglobin. Pemeriksaan kultur darah dan urin penting dilakukan jika dicurigai sepsis.2. Reaksi Hemolitik Lambat Akibat Transfusi

Pada DHTR, reaksi hemolitik sering diketahui saat dilakukan evaluasi tentang respons antibodi (Rhesus,Kell, Duffy, Kidd, dan antibodi non-ABO lainnya) setelah terpapar dengan antigen berupa eritrosit donor. Antibodi tidak dikenali pada saat dilakukan crossmatch sebelum transfusi karena interaksi antigen-antibodi merupakan respons imun sekunder yang diketahui setelah 3 sampai 7 hari. Angka kejadiannya diperkirakan 1 : 6 000 sampai 33 000.2-4,11 DHTR diawali dengan reaksi antigen-antibodi yang terjadi di intravaskular, namun proses hemolitik terjadi secara ekstravaskular. Plasma donor yang mengandung eritrosit merupakan antigen (major incompatability) yang berinteraksi dengan IgG dan atau C3b pada resipien. Selanjutnya eritrosit yang telah diikat IgG dan C3b akan dihancurkan oleh makrofag di hati. Jika eritrosit donor diikat oleh antibodi (IgG1 atau IgG3) tanpa melibatkan komplemen, maka ikatan antigen- antibodi tersebut akan dibawa oleh sirkulasi darah dan dihancurkan di limpa. Gejala dan tanda klinis DHTR timbul 3 sampai 21 hari setelah transfusi berupa demam yang tidak begitu tinggi, penurunan hematokrit, peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, ikterus prehepatik, dan dijumpainya sferositosis pada apusan darah tepi. Beberapa kasus DHTR tidak memperlihatkan gejala klinis, tetapi setelah beberapa hari dapat dijumpai DAT yang positif. Haptoglobin yang menurun dan dijumpainya hemoglobinuria dapat terjadi, tetapi jarang terjadi GGA. Kematian sangat jarang terjadi, tetapi pada pasien yang mengalami penyakit kritis, DHTR akan memperburuk kondisi penyakit.4,7,8,10

Tata Laksana

Jika tidak dijumpai reaksi hemolitik yang berat, tidak ada pengobatan yang spesifik, dan dapat diberikan terapi suportif untuk mengatasi gejala klinis. Pemberian transfusi dapat dihentikan atau diganti dengan pengganti darah jenis lain. Konfirmasi pemeriksaan laboratorium pada prinsipnya hampir sama dengan reaksi hemolitik akut.

3. Reaksi Pseudohemolitik Akibat Transfusi

Reaksi pseudo-hemolitik akibat transfusi merupakan reaksi hemolitik lain yang terjadi pada darah donor selama atau setelah transfusi diberikan, yang bukan merupakan reaksi transfusi. Gejala dan tanda klinis hampir sama dengan reaksi hemolitik akibat reaksi transfusi. Reaksi pseudohemolitik dapat berhubungan dengan proses imun maupun non-imun. Pada reaksi pseudohemolitik akibat transfusi dijumpai reaksi yang compatible pada pemeriksaan crossmatch dan DAT yang negatif. Beberapa reaksi pseudohemolitik akibat transfusi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme sebagai berikut:

Mekanisme Reaksi Pseudohemolitik12

- Transfusion of aged cells

- Thermal hemolysis (overheating, freezing)

- Osmotic hemolysis (inadequate deglicerolitation, administration with hypotonic solutions or drugs)

- Mechanical hemolysis (improper infusion devices, catheters, or needles)

- Bacterial/parasitic contamination

- Hemolysis due to congenital (G6PD deficiency, sickle trait)4. Trauma Suhu

Trauma ini terjadi oleh karena darah yang diberikan terlalu panas atau masih terlalu dingin. Eritrosit tidak boleh terpapar dengan temperatur melebihi 40oC karena suhu tinggi dapat menyebabkan kerusakan membran eritrosit sehingga mengubah viskositas, ketidakstabilan, perubahan bentuk dan permeabilitas, serta gangguan osmotik. Eritrosit yang telah pecah akibat panas akan dibersihkan dari sirkulasi oleh limpa. Gejala dan tanda klinis mirip dengan AHTR. Standar darah yang dapat diberikan adalah darah yang hangat (sekitar 38oC). Metode yang dapat digunakan untuk menghangatkan darah adalah pemanasan dengan microwaves atau fototerapi, atau juga dapat digunakan air yang hangat. Paparan darah pada temperatur kurang dari 10oC per menit tanpa cryoprotective agent (seperti gliserol) dapat mengakibatkan trauma dehidrasi (dehydration injury) pada pasien. Namun, temperatur lebih dari 10oC per menit akan mengakibatkan kerusakan pada membran eritrosit oleh kristal es. Pada temperatur yang terlalu dingin, reaksi hemolitik dapat terjadi sebelum dilakukan transfusi, dan ini dapat dideteksi dari perubahan warna pada isi kantong darah.5. Trauma Osmotik

Eritrosit sangat sensitif terhadap perubahan tekanan osmotik yang dapat mengakibatkan proses hemolitik secara cepat. Degliserolisasi eritrosit (degliserolized red blood cell) yang tidak adekuat dapat mengakibatkan hemolitik karena tekanan osmotik yang lebih rendah (hypotonic solutions) di intravaskular pada saat transfusi. Gejala dan tanda klinis mirip dengan AHTR. Untuk mencegah hal ini, cairan harus tetap isotonis. Setiap kantong darah yang berisi eritrosit, harus mengandung cairan salin normal, ABO-compatible plasma, dan albumin 5%. Eritrosit tidak dapat dicampur dengan obat-obatan dan beberapa cairan hipotonis seperti dekstrosa 5%, dekstrosa 5% dalam salin normal 0,225%, dan dekstrosa 5% dalam salin normal 0,45%. Ringer laktat juga tidak dapat ditambahkan pada eritrosit sebab kalsium yang dijumpai pada cairan ini akan bereaksi dengan senyawa sitrat yang merupakan antikoagulan dan dapat mengakibatkan bekuan darah di dalam kantong darah. Oleh karena itu pemberian cairan sebelum dilakukan transfusi haruslah diperhatikan. Pemberian cairan hipotonis dapat mengakibatkan reaksi hemolitik intravaskular.

6. Trauma Mekanik

Eritrosit dari donor dapat mengalami kerusakan selama proses transfusi oleh karena trauma mekanik seperti saat darah melewati jarum yang terlalu kecil, selang infus yang terlipat, dan adanya penekanan mekanik. Reaksi hemolitik juga dapat disebabkan oleh trauma mekanik pada pembuatan katup jantung dalam operasi jantung, pada tindakan hemodialisis, dan pada plasmapheresis atau cytapheresis. Gejala dan tanda klinis reaksi hemolitik akibat trauma mekanik mirip dengan AHTR.Sumber:

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001).Buku Ajar Keperawatan Medikal BedahBrunner & Suddarth. Edisi 8.Jakarta:EGCMajalah Kedokteran Indonesia, Volum: 59, Nomor: 8, Agustus 2009JENIS ANTIBIOTIK YANG MENGAKIBATKAN MUAL

1. Amoxicillin

Mual dan muntah menjadi salah satu efek samping alergi amoksisilin yang umum. Rasa mual berkisar dari ringan hingga intens yang akan semakin berkurang saat konsumsi obat dihentikan2. Kuinolon dan flurokuinolonSiprofloksasin, Ofloksasin, Levofloksasin, Pefloksasin, Norfloksasin, Enoksasin, Levofloksasin, dan Flerofloksasin (flurokuinolon untuk kuman gram-negatif). Golongan flurokuinon baru : Moksifloksasin, Gatifloksasin, dan Gemifloksasin( untuk kuman gram-positif)3. Antibiotika Golongan Penisilin4. SefadroksilInteraksi : sefalosforin aktif terhadap kuman garm (+) dan (-) tetapi spectrum anti mikroba masing-masng derrivat bervariasi. efek samping : diare dan colitis yang disebabkan oleh antibiotic ( penggunaan dosis tinggi) mual dan mumtah rasa tidak enak pada saluran cerna sakit kepala,ll. Kontra indikasi : hipersensitivitas terahadap sefalosforin, porfiria

5. TetrasiklinIndikasi: eksaserbasi bronkitri kronis, bruselosis (lihat juga keterangan diatas) klamidia, mikoplasma, dan riketsia, efusi pleura karena keganasan atau sirosis, akne vulganis. Peringatan: gangguan fungsi hati (hindari pemberian secara i.v), gangguan fungsi ginjal, kadang-kadang menimbulkan fotosintesis. Efek samping: mual, muntah, diare, eritema.6. KloramfenikolKloramfenikol merupakan antibiotic dengan spectrum luas, namun bersifat toksik. Obat ini seyogyanya dicadangkan untuk infeksi berat akibat haemophilus influenzae, deman tifoid, meningitis dan abses otak, bakteremia dan infeksi berat lainnya. Karena toksisitasnya, obat ini tidak cocok untuk penggunaan sistemik. Kontraindikasi: wanita hamil, penyusui dan pasien porfiria. Efeks samping : kelainan darah yang reversible dan irevesibel seperti anemia anemia aplastik ( dapat berlanjut mejadi leukemia), neuritis perifer, neuritis optic, eritem multiforme, mual, muntah, diare, stomatitis, glositits, hemoglobinuria nocturnal.

Sumber: Farmakologi dan Terapi, edisi 5, Departemen Farmakologi Terapeutik, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, 2007.