Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI...

386

Transcript of Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI...

Page 1: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas
Page 2: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Panitia Seminar Nasional Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia

Malang, 18 Oktober 2017 Pengarah : Prof. Utami Widiati, M.A., Ph.D

Pengarah Bidang Akademik : Dr. Primardiana H W, M.Pd

Pengarah Bidang Fasilitas dan Keuangan : Dr. Roekhan, M.Pd

Penanggung Jawab : Prof. Dr. Heri Suwignyo, M.Pd

Penasehat : Dr. Martutik, M.Pd

Ketua Pelaksana : Dr. Taufik Dermawan, M.Hum.

Wakil Ketua Pelaksana : Dr. Azizatuz Zahro’, M.Pd

Sekretaris : Ariva Luciandika, M.Pd

Bendahara 1 : Dewi Ariani, S.S., S.Pd., M.Pd

Bendahara 2 : Rini

Koordinator Penyusun Prosiding : Prof. Dr. Imam Suyitno, M.Pd

Sie Penyusunan Prosiding : Taufiq Kurniawan, SIP, M.IP

Koordinator Sie Acara dan Persidangan : Teguh Tri Wahyudi, S.S, M.A.

Sie Acara dan Persidangan : Peni Diah Anggari, M.Pd

Koordinator Sie Kesekretariatan : Novi Eka Susilowati, S.Pd, M.Pd

Sie Kesekretariatan 1 : Zeni Istiqomah, SIP, M.A

Koordinator Sie Publikasi, Dekorasi dan

Dokumentasi

: Muhammad Zainy, M.Pd

Sie Publikasi, Dekorasi dan Dokumentasi : Ir. Eko Wahanto S

Iwan Susanto

Koordinator Sie Perlengkapan dan LO

Ruang Seminar

: Ary Fawzi, M.Pd

Sie Perlengkapan dan LO Ruang Seminar : Mashuri, S.Pd

Koordinator Sie Konsumsi : Dra. Ida Lestari, M.Si

Sie Konsumsi : Amalia Nurma Dewi, M.Hum

Transportasi dan Akomodasi : Didin WIdyartono, S.S, S.Pd, M.Pd

Alamat: Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang Jalan Semarang 5 Gedung E.7, Kota Malang, Jawa Timur 65145, Telp. (0341) 551-312 Psw.238, Telp.Langsung/fax. (0341)567-475 | web: http://jsi.sastra.um.ac.id | E-mail: [email protected]

Page 3: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

DAFTAR ISI HALAMAN COVER REDAKSIONAL DAFTAR ISI

ARTIKEL PEMAKALAH UTAMA SASTRA LISAN BERBASIS INDUSTRI KREATIF: Ruang Penyimpanan, Pengembangan, dan Identitas Novi Anoegrajekti FIB Universitas Jember REVITALIASI SASTRA LISAN DALAM MASYARAKAT KOSMOPOLITAN Maryaeni Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang KONSERVASI DAN PERANAN TRADISI LISAN DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA Pudentia MP Ketua Asosiasi Tradisi Lisan, Dosen FIPB Universitas Indonesia

1 Adolina Velomena

Lefaan. FKIP Universitas Cenderawsih

SASTRA LISAN KEMBARAN PAPUA BARAT PENGUAT GERAKAN LITERASI

2 Alamsyah Pascasarjana Universitas Negeri Malang

WUJUD NILAI BUDAYA SIRINA PACCEDALAM CERITA RAKYAT ANAK SULAWESI SELATAN

3 Ana Niastutr & Susi Darihastining STKIP PGRI Jombang

PEMAKNAAN BAHASA TUBUH TERHADAP PEMENTASANTEATRIKALISASI PUISI JULA JULI ZAMAN EDAN

4 Asri Wijayanti Universitas Tidar

GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER

5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas Negeri Malang

MITOS BARU KLINTING DI RANU GRATI DALAM PERSPEKTIF EKOKRITIK

6 Citra Nur Faidah Universitas Negeri Malang

ANALISIS NILAI KARAKTER DALAM SYIIR TANPA WATON

7 Dewi Syafrina Pascasarjana Universitas Negeri Malang

KATEGORI UNGKAPAN TRADISIONAL PERIBAHASA MASYARAKAT MINANGKABAU

8 Dina Ramadhanti Dosen STKIP PGRI Sumatera Barat

PEMBENTUKAN KARAKTER MELALUI UNGKAPAN KEPERCAYAAN RAKYAT DALAM MASYARAKAT MINANGKABAU

9 Dwi Sulistyorini KOHESI SOSIAL DAN INDUSTRI KREATIF

Page 4: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Universitas Negeri Malang

DALAM UPACARA BERSIH DESA DI DESA KRISIK WLINGI BLITAR

10 Eggy Fajar Andalas Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang

PEROFORMANCE-CENTERED-APPROACH: KONSEP DAN SIGNIFIKANSINYA BAGI STUDI SASTRA LISAN

11 Eka Haryanti Universitas Teknologi Sumbawa, Universitas Negeri Malang

BENTUK LEKSIKON LAWAS SAMAWA DALAM PROSESI PERKAWINAN TRADISIONAL ETNIK SAMAWA

12 Endang Sumarti IKIP Budi Utomo Malang

PENDIDIKAN KARAKTER ANAK AUTIS MELALUI DONGENG

13 Endang Waryanti & Ananta Susila Admaja FKIP Universitas Nusantara PGRI Kediri

TINDAKAN SIMBOLIS DALAM TRADISI LAKON WAYANG KULIT KARNA TANDING OLEH KI ENTHUS SUSMONO

14 Galih Kusumo Mahasiswa Pascasarjana (S3) Universitas Negeri Malang

PEMANFAATAN SASTRA LISAN DALAM PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS PARADIGMA PEDAGOGI REFLEKTIF (PPR)

15 Givari Jokowali, Beta Tri Wicaksono, Imam Rosyadi Universitas Negeri Malang

PEWARISAN IKRAR KAJAT DI DESA JATIKERTO KROMEGAN

16 Harry Andheska (Universitas Maritim Raja Ali Haji)

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT MINANGKABAU DALAM UNGKAPAN KEPERCAYAAN RAKYATDI DESA KAMPUNG LUAR SALIDO KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSISUMATERA BARAT

17 Iswadi Bahardur, Suryo Ediyono Program Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Pascasarjana UNS

UNSUR-UNSUR EKOLOGI DALAM SASTRA LISAN MANTRA PENGOBATAN SAKIT GIGI MASYARAKAT KELURAHAN KURANJI

18 M. Bayu Firmansyah,S.S.,M.Pd. & Tristan Rokhmawan,S.S.,M.Pd STKIP PGRI Pasuruan

BUDAYA LISAN SEBAGAI “PEMBAWA NILAI NORMATIF” MASYARAKAT SANTRI : ANALISIS KONTEN DIDAKTIK DAN PENYUSUNAN CERGAM LEGENDA PARA ULAMA

19 M. Nurzin r. Kasau dan Nurcaya

KEARIFAN LOKAL SUKU BUGIS

20 M. Ridwan Dosen PGSD STKIP PGRI Sumenep

PERSPEKTIF KEARIFAN LOKAL DALAM SASTRA LISAN NYANYIAN TRADISIONAL ANAK MADURA DI SUMENEP

21 Malinda Fatmawati UNSUR KEBAHASAAN DAN UNSUR

Page 5: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Pascasarjana Universitas Negeri Malang

KEBUDAYAAN DALAM PUJIAN “NYUWUN PANGAPURA MARANG GUSTI ALLAH”

22 Mira Nuryanti & Kholik Universitas Negeri Malang

PANDANGAN DUNIA MASYARAKAT SUNDA TERHADAP NYI ITEUNG DALAM DONGENG-DONGENG SI KABAYAN

23 Moh. Ahsan Shohifur Rizal Universitas Negeri Malang

KEARIFAN LOKAL DALAM SASTRA LISAN SEBAGAI TUTORIAL PEMBELAJARAN KARAKTER DI SMA TERBUKA JARAK JAUH (SISTEM DOMON)

24 Moh. Badrih Universitas Islam Malang

EKSPRESI SIMBOL MONOTEIS SASTRA LISAN KÈJHUNG MADURA (Telaah Semiotika Hjemslev)

25 Nontje J. Pangemanan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Manado

SAPAAN BAHASA MELAYU MANADO DI KALANGAN ANAK MUDA

26 Nurbaya Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Kie Raha Ternate

MAKNA TOLERANSI DALAM SASTRA LISAN TERNATE

27 Rayi Oktafiani Utomo & Taufik Dermawan Pascasarjana Universitas Negeri Malang

EKOKRITIK SASTRA: SEBUAH PARADIGMA BARU PENGKAJIAN SASTRA LISAN

28 Reni Maisatus Sagita Pascasarjana Universitas Negeri Malang

CERITA MAKAM GANTUNG PATIH DJOJODIGDO DAN AJI PANCASONANYA DI BLITAR

29 Ririeh Yusmarani Universitas Negeri Malang

PARADIGMA PSIKOLOGI SOSIAL DALAM SASTRA LISAN

30 Sidik D. Siokona & Masayu Gay STKIP Kie Raha Ternate, Maluku Utara

ANALISIS STRUKTUR DAN NILAI BUDAYA CERITA RAKYAT FAT FINA KOWA KABUPATEN SULA, MALUKU UTARA

31 Siti Nur Afifatul Hikmah Universitas Negeri Malang

SASTRA LISAN SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN KARAKTER DI ERA DIGITAL

32 Soedjijono & Suryantoro Universitas Kanjuruhan Malang

KOMPLEKS MITOS KANJENG RATU KIDUL (Kajian Dengan Pendekatan Kearifan Lokal)

33 Sri Maryani & Erwin FKIP Universitas Muhammadiyah Mataram

EKSISTENSI MPAMA PEHE DALAM INTERAKSI SOSIAL MASYARAKAT ETNIK DONGGGO DI KABUPATEN BIMA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

34 Sri Sunarmi Universitas Negeri

TINJAUAN KOREOGRAFIS DAN KEBERADAAN TARI KABELA DI BOLAANG MONGONDOW

Page 6: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Malang 35 Trisna Kumala Satya

Dewi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga

TRADISI PANJI DALAM SENI PERTUNJUKAN JARANAN JOR DAN WAYANG TIMPLONG DI JAWA TIMUR

36 Wing Setiawan Pusat Studi Peradaban Universitas Brawijaya

POLA REVITALISASI KESENIAN TRADISI LISAN: STUDI KASUS DI SANGGAR SENI GEDHANG GODOG TULUNGAGUNG

Page 7: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

1 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

SASTRA LISAN BERBASIS INDUSTRI KREATIF: Ruang Penyimpanan, Pengembangan, dan Identitas 1

Novi Anoegrajekti

FIB Universitas Jember Email: [email protected]

A. Pendahuluan

Sastra lisan merupakan ruang penyimpanan berbagai fenomena budaya yang dihidupi oleh masyarakat pendukungnya. Proses pewarisan secara oral dan auditif berpotensi pengalami perubahan berupa penambahan, pengurangan, dan perubahan. Fenomena tersebut menjadikan sastra lisan cenderung berkembang dalam berbagai versi. Sastra lisan berkaitan dengan lingkungan alam dan budaya masyarakat yang ada di sekitarnya. Kisah Roro Anteng dan Joko Seger sebagai mite masyarakat Tengger memunculkan ritual Kasada yang dihidupi oleh masyarakat Tengger. Mite tersebut oleh masyarakat Tengger dimunculkan dalam bentuk sendratari, buku cerita rakyat, dan kaset. Dalam drama radio tersebut, mite tersebut sekaligus menjadi legenda asal mula Gunung Bathok dan Segara Wedhi di pegunungan Tengger.

Legenda Sri Tanjung dan Sidopekso yang menjadi asal mula nama Banyuwangi oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi diangkat menjadi tema Banyuwangi Ethno Carnival (BEC) pada tahun 2016. Tokoh Sri Tanjung selain menjadi legenda nama Banyuwangi juga memunculkan mite sumur Sri Tanjung yang terletak di Dusun Kawitan. Nama kawitan yang berarti ‘asal mula’ bahwa setiap perhelatan besar perlu dimulai dengan melakukan ziarah ke sumur tersebut. Sumur tersebut hingga saat ini dipercaya memiliki kekuatan dan tuah. Selain itu, nama Sri Tanjung juga menjadi nama panggung terbuka untuk menggelar pertunjukan seni dari yang tradisional hingga yang modern. Kisah tersebut juga menjadi lakon dalam drama tradisional Janger.

Tulisan ini memfokuskan kajian mengenai sastra lisan yang dikaitkan dengan identitas dan sebagai basis pengembangan industri kreatif. Pada masyarakat yang telah memiliki aksara atau mengenal tradisi tulis, ada kemungkinan sastra yang lazim disampaikan secara lisan juga terdokumentasi secara tertulis. Akan tetapi, masyarakat bahasa di Indonesia lebih banyak yang memiliki aksara. Hal tersebut menjadi ruang bagi para peneliti, peminat, dan praktisi untuk melakukan rekonstruksi sastra lisan yang ada dan dikembangkan menjadi produk industri kreatif, seperti buku cerita rakyat, film, drama radio, seni pertunjukan, atau motif produk industri tertentu.

Identitas kultural selalu dikaitkan dengan hibriditas. Menurut Hall (1993; Melani, 2005:38) identitas bukanlah esensi, melainkan sejumlah atribut identifikasi yang memperlihatkan bagaimana kita diposisikan dan memposisikan diri dalam masyarakat, karena aspek budaya dan kesejarahan merupakan keniscayaan. Hall

1Makalah ini dipaparkan dalam Seminar Nasional Sastra Lisan dan Festival Sastra Lisan “Potensi Sastra Lisan di Era Global” yang diselenggarakan oleh Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, 18 Oktober 2017. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Drs. Sudartomo Macaryus, M.Hum. atas kerja sama lapangan Ritual Petik Laut Payangan-Jember, 13 Oktober 2017.

Page 8: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

2 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

menekankan bahwa identitas sebagai suatu produksi yang tidak pernah tuntas, selalu dalam proses dan selalu dibangun dalam representasi. Identitas tidak bersifat statis, selalu dikonstruksikan dalam ruang dan waktu, serta bersifat kompleks dan majemuk. Dengan istilah lain, Eriksen (1993:117) mengatakan bahwa “identitas itu sifatnya situasional dan bisa berubah.” B. Industri Kreatif dan Lokalitas

Saat ini industri kreatif merupakan salah satu tema atau konsep yang paling banyak diperbincangkan di kalangan akademisi maupun pembuat kebijakan. Ketika peningkatan industri dan ekonomi berbasis sumberdaya alam semakin mendapat tantangan karena keterbatasan bahan, industri kreatif berbasis pengetahuan dan talenta kreatif menjadi pilihan paling masuk akal untuk menggerakkan ekonomi. Ketika industri budaya bermodal raksasa dianggap kurang bisa memeratakan keuntungan finansial bagi masyarakat, industri kreatif dipandang sebagai bentuk aktivitas yang bisa mendorong pemerataan ekonomi bagi setiap individu atau komunitas yang memiliki kreativitas. Tujuan utama dari kebijakan industri kreatif adalah terciptanya “ekonomi kreatif” (creative economy) atau “ekonomi-berbasis-pengetahuan” (knowledge-based-economy) berlandaskan pada pengetahuan, kemampuan, dan talenta kreatif warga negara yang bisa mensejahterakan serta menciptakan peluang-peluang baru pekerjaan (Flew, 2002; Galloway& Dunlop, 2006).

Tomic-Koludrovic & Petric (2005) menjelaskan bahwa era kontemporer menunjukkan kecenderungan lahirnya beberapa istilah terkait kreativitas, yakni “kota kreatif”, “kelompok kreatif”, “ekonomi kreatif”, “kelas kreatif”, “pekerja pengetahuan”,maupun “kelas berpengetahuan”yang semua itu lebih sesuai dibicarakan dalam dua terma utama: industri kreatif dan ekonomi kreatif. Artinya, berdasarkan pengalaman negara-negara Eropa Tenggara, industri kreatif yang bisa mengembangkan dan memberdayakan kreativitas individual maupun kelompok masyarakat, pada dasarnya, bisa mendorong dan mengembangkan ekonomi kreatif; sebuah sistem dan praktik ekonomi yang lebih mendasarkan kepada kreativitas dan pengetahuan. Khusus di Banyuwangi sejak tahun 80-an sudah berkembang industri budaya, tetapi yang lebih menonjol adalah industri rekaman musik Banyuwangen dan kondisi itu berlanjut hingga saat ini. Kalaupun ada usaha para produser untuk merekam dan mengedarkan seni pertunjukan berbasis tari dan drama, seperti gandrung dan janger, formula yang dipakai tetap mengikuti formula musik yang serba ringkas. Akibatnya, kekayaan seni pertunjukan Banyuwangi beserta makna-makna kultural di dalamnya menjadi kurang menonjol. Selain itu, para pelaku seni tradisi cenderung menjadi pihak yang lemah ketika berhadapan dengan pemodal. Mereka melakukan rekaman seperti tanggapan. Oleh karena itu, ketika jumlah rekaman mengalami booming mereka tidak mendapatkan kompensasi secara proporsional dalam bentuk royalti.

C. Sastra Lisan Using: Representasi Identitas

Representasi identitas pada sastra Banyuwangi tampak dalam aneka bentuk

karya sastra mulai dari mitos yang menggejala dalam sistem religi masyarakat Banyuwangi dalam bentuk aneka ritual. Gejala lain tampak pada aneka karya sastra novel, puisi, dan drama yang juga dipentaskan dalam bentuk seni pertunjukan

Page 9: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

3 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

seperti syair dalam seni pertunjukan Damarwulan, Barong, Kuntulan, Gandrung, Rodat Syiir, Kendang Kempul, dan Campursari. Puisi karya penyair Using sebagian dipublikasi melalui media massa, seperti karya Aji Darmaji yang dipublikasi melalui Surabaya Post.

Isun Lare Using Aji Darmaji

Garis-garis abang ring dadanisun Ambi sunare hang duwe pucuke suket semebyar sing ana hang ngelangkahi Ring lemah Blambangan iki Sunaliraken getihisun Suntublekaken nyawanisun Sunbungaraken tatanan juru angin Sun kelir awang-uwung hang kening Isun lare hang duwe sekabehe ndaru lan banyu-banyu telaga biru mili sing ana kang ngganggu ... Banyuwangi, 1992 Surabaya Post, Minggu, Juni 1992

Saya Orang Using Aji Darmaji

Garis garis merah yang ada di dada saya Dengan tali yang dimiliki pucuknya rumput bertaburan dan tidak ada yang melangkahi Di tanah Blambangan ini Saya alirkan darah saya Saya berikan nyawa saya Saya dengarkan tempat segala penjuru angin Saya warnai awan-awan di kening Saya adalah orang yang tak memiliki apa apa dengan air-air telaga biru mengalir di manapun dan tak ada yang mengganggu … Banyuwangi, 1992 Surabaya Post, Minggu, Juni 1992

Garis-garis merah menunjukkan warna khas Blambangan yang diambil dari

pakaian Menakjinggo2. Lirik puisi tersebut menunjukkan kecintaan dan bakti kepada tanah Blambangan, dengan mengalirkan darah dan memberikan nyawa. Sebagai orang Blambangan yang tak punya apa-apa ia menyamakan dirinya dengan air telaga yang mengaliri tanah Blambangan tanpa ada yang terganggu.

Puisi juga merupakan lirik lagu Banyuwangen, seperti lagu ciptaan Catur Arum berjudul “Jaran Goyang” berikut.

Jaran Goyang Ketemu, mung sepisan Sing ono ati paran-paran, Benginé gok isun kepikiran, Sing biso turu, gelibegan Sing ngiro, sun sing ngiro Gok dadi bingung sing karuan, Rasané, isun koyo wong édan Yo lali ambi nong panggonan Reff :

Kuda Goyang Bertemu hanya sekali Tidak ada rasa apa-apa Malam hari saya memikirkan Tidak dapat tidur, tidak tenang Tidak mengira, saya tidak mengira Menjadi bingung tidak karuan Rasanya, saya seperti orang gila Ya lupa pada tempat tinggal

2 Wawancara dengan Bapak Haji Tejo

Page 10: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

4 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Opo iki, tah kang aran kédadéan Isun yoro kenèng jaran goyang, Ati kangen, yo katon-katonen Kudu-kudu ketemu baèn..

Apa ini, yang dinama tergila-gila Saya kira kena kuda goyang Hati rindu, ya rasanya ingin melihat Harus segera bertemu saja

Syair lagu di atas mengisahkan seorang perempuan yang terkena mantra

“Jaran Goyang”. “Jaran Goyang” merupakan salah satu mantra pengasihan. Oleh karena itu, senantiasa dirudung rasa rindu dan seperti melihat orang yang menggunakan mantra tersebut. Mantra “Jaran Goyang” juga merupakan salah satu bentuk puisi klasik yang memiliki daya sugesti dan menyebabkan orang yang kena pengaruh mengalami rasa rindu dan ingin bertemu orang yang menggunakan mantra tersebut.

Salah satu versi mantra “Jaran Goyang” berbunyi sebagai berikut. Bismillahirrahmanir rahim Niat isun matek aji Jaran Goyang Sun goyang ring tengah latar Sun sabetake gunung gugur Sun sabetake lemah bangka Sun sabetake segara asatsun sabetake ombak sirep Sun sabetake atine jebeng bayine... Kadhung edan sing edan Kadhung gendheng sing gendheng Kadhung bunyeng sing bunyeng Aja mari-mari Kadhung sing isun hang nambani Sih-asih kersane Gusti Allah La ilaha illallah Muhammadur rasulullah

Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang Niat saya menggunakan kesaktian Jaran Goyang Saya goyang di tengah halaman Saya cambukkan gunung hancur Saya cambukkan tanah tandus Saya cambukkan laut kering Saya cambukkan ombak tenang Saya sambukkan hati jabang bayinya ... Kalau gila tidak gila Kalau sinting tidak sinting Kalau teler tidak teler Jangan sembuh-sembuh Kalau bukan saya yang menyembuhkan Sih-kasih kehendak Gusti Allah Tiada Tuhan selain Allah Muhammad utusan Allah

Mantra “Jaran Goyang” tersebut masih hidup di kalangan masyarakat Using

Banyuwangi. Mantra yang masuk dalam tradisi lisan termasuk karya sastra klasik. Mantra tersebut merupakan ragam puisi lisan Using yang berbentuk puisi bebas dan berpotensi memiliki kekuatan gaib atau semacam doa kesukuan yang memanfaatkan bahasa lokal dengan didasari oleh keyakinan yang telah diwariskan oleh para leluhur. Agar kekuatan gaibnya dapat dimanfaatkan, mantra tidak cukup untuk sekadar dihafalkan, tetapi harus disertai dengan laku mistik. Mantra dapat mengandung tantangan atau kutukan terhadap suatu kekuatan gaib dan dapat pula berisi bujukan agar kekuatan gaib tersebut tidak berbuat yang merugikan (Saputra, 2007:xxv). Mantra tersebut juga direpresentasikan dalam bentuk tari, seperti yang diragakan pada saat berlangsung Barong Ider Bumi di Kemiren 26 Juni 2017 yang lalu.

Dalam novel Niti Negari Bala Abangan (2015) karya Hasnan Singodimayan, tokoh perempuan Sri Tanjung yang ditempatkan sebagai legenda yang menunjukkan

Page 11: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

5 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

asal nama Banyuwangi pun berpeluang untuk direinterpretasi. Ada kecurigaan bahwa legenda tersebut diciptakan oleh Belanda untuk menandingi pengaruh Bali, Mataram, dan Demak. Penempatan Sri Tanjung sebagai lambang kejujuran, kesucian, dan kesetiaan mengedukasi masyarakat agar mereka mengikuti jejak karakter Sri Tanjung dan menentang penguasa-penguasa yang lalim dan gegabah.

“Suatu mitos yang Sri Tanjung dipercaya Suku Using, jika aroma harum itu berasal dari petilasan Sri Tanjung yang terletak di seberang jalan menghadap sebuah rumah Jujizi Zaidan hanya sekitar 500 m ke Timur. Legenda Sri Tanjung merupakan mitos tersendiri yang diciptakan oleh para bupati di zaman penjajahan Belanda, sebagai penunjang pencitraan dirinya supaya diakui sebagai penguasa” (NNBA: 4) Selain konstruksi perempuan Using sebagai liyan dalam legenda Sri Tanjung,

penciptaan citra juga terdapat dalam cerita rakyat Menakjinggo-Damarwulan. Sebuah peristiwa lokal yang menggambarkan bagaimana perempuan dikonstruksi dalam beragam konteks politik (Anoegrajekti, 2011; 2016 b). Kisah-kisah klasik berupa legenda dan cerita rakyat, seperti dilakukan Hutomo dan Yonohudiyono (1996) yang menulis buku Cerita Rakyat dari Banyuwangi yang diterbitkan oleh Grasindo.3 D. Ritual, Kelisanan, dan Identitas Bertumpu pada pandangan bahwa sastra merupakan dunia kata, ritual sebagai ruang ekspresi budaya juga memanfaatkan aspek verbal berupa satuan-satuan lingual yang tertata secara sistematis. Ritual pada umumnya berkaitan dengan lingkungan alam yang dihidupi. Pada masyarakat rural agraris, ritual berkaitan dengan siklus pertanian. Pada masyarakat pesisir dengan budaya bahari, ritual berkaitan dengan siklus masa tangkap ikan. Di beberapa tempat, ritual bersih desa yang bertumpu pada budaya rural agraris lazimnya juga berkaitan dengan mite atau legenda yang dihidupi oleh masyarakat pendukungnya, seperti seblang, kebo-keboan, barong ider bumi, dan merti dusun. Ritual dalam budaya bahari sebagai ungkapan syukur atas hasil tangkapan dan keselamatan juga berkaitan dengan mite dan legenda tertentu. Memunculkan ritual seperti petik laut, larung sesaji, dan labuhan, masing-masing memiliki latar belakang cerita masing-masing. Selain itu, kelisanan juga tampak pada pengorganisasian dan kegiatan yang dilaksanakan oleh keluarga masyarakat nelayan yang tinggal di rumah. 1. Ritual Rural Agraris Seblang Bakungan dan Olehsari merupakan dua ritual berbasis budaya agraris. Hal itu tampak pada benda-benda yang digunakan sebagai hiasan, sesaji, serta syair tembang yang digunakan dalam pentas. Hiasan dalam arena seblang menggunakan hasil bumi setempat, seperti pisang, singkong, ubi, padi, mangga, durian, salak, dan kelapa. Syair tembang dan aktivitas yang diragakan penari seblang

3Cerita Rakyat dari Banyuwangi berisi sepuluh cerita rakyat Using, yaitu: Asal-Usul Banyuwangi; Lembu Setata dan Lembu Sakti; Agung Sulung dan Sulung Agung; Legenda Sedah Merah; Dongeng JokoWulur; Dongeng Mas Ayu Melok; Kerajaan Macan Putih; Legenda Ki Ubret; Dewi Sekardadu; dan Kebo Marcuet.

Page 12: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

6 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

juga menunjukkan tradisi agraris, seperti nama-nama kembang dan aktivitas membajak sawah, sabung ayam, dan bermain baling-baling.

Kembang Dirmo Kembang Dirmo wiyayate mbok widhodari Kembang dirmo diwisuda para bidadari Yo kurmo tunda pitu Yang pahalanya bertingkat tujuh Ganjarane wong perang Upahnya bagi orang yang berjuang Wong perang yo sumpingi yo kalak ijo Kami beri tanda dengan kekuatan hijau Yo pinunjang surat pati Yang menghadang kematian Luntrik luntrik tibo ndodok Jatuhnya ikut berbaring

Kutipan tembang di atas menunjukkan cara menghargai orang yang

berjuang dengan memberikan setangkai bunga. Bunga yang harum menunjukkan keharuman jiwa orang yang telah berjuang. Dengan demikian setelah meninggal pun keharumannya akan terus tersebar. Tembang "Kembang Dirmo" dilantunkan sambil penari seblang membagikan bunga kepada para penonton. Para penonton mengganti dengan harga tertentu. Fenomena tersebut oleh masyarakat dimaknai sebagai peringatan agar masyarakat mempertahankan lahan pertanian mereka. Ritual seblang menjadi bermakna ketika masyarakat masih memiliki lahan pertanian dan bekerja mengolah tanah. Seblang sebagai ungkapan syukur atas hasil panen, keselamatan, yang telah diperoleh sebelumnya dan sebagai permohonan agar pada waktu yang akan datang juga mendapatkan kelimpahan hasil bumi dan keselamatan bagi seluruh warga desa. Tembang menemukan maknanya pada saat dilantunkan untuk mengiringi tari seblang. Latar belakang cerita dan harapan tersebut menjadi pengetahuan bersama masyarakat. Di Bakungan siang hari menjelang pentas seblang semua mempersiapkan kenduri pecel pitik dan kelengkapan lainnya. Sedangkan panitia penyelenggara mempersiapkan arena seblang dan melakukan prosesi ziarah ke makam Buyut Witri dan ke sumber air penawar Watu Ulo. Buyut Witri adalah penari seblang yang menjadi moyong para penari seblang sesudahnya hingga Ibu Supani yang menunaikan sebagai penari seblang sejak 2015. Sumber air Watu Ulo adalah sumber air yang murni dan masyarakat menggunakannya untuk minum, memasak, dan pertanian. Pada musim kemarau pun sumber air tersebut mengalir jernih dan cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Di Olehsari, seblang berlangsung 7 hari dan penari seblang adalah gadis remaja. Tahun 2015 bahkan yang diminta adalah anak yang masih berusia 10 tahun. Karena penari masih kecil saat itu diputuskan pada hari terakhir saat berlangsung ider bumi, penari seblang ditandu. Hal itu disampaikan oleh ketua adat sebagai perkecualian karena seblangnya masih kecil dan dipandang terlalu berat bila harus berjalan keliling Dusun Ulian, Desa Olehsari. Kegiatan diawali dengan penunjukan oleh roh leluhur yang merasuki media, yaitu warga masyarakat yang menjadi sesepuh Dusun Olehsari. Akan tetapi dimungkinkan juga yang menjadi media adalah penari seblang yang dikehendaki oleh roh leluhur. Kahadiran roh leluhur tersebut kemudian direspons oleh ketua adat untuk menentukan hari pelaksanaan dan persyaratan yang diminta. Sesudah itu diselenggarakan selametan dan penempatan sesaji di tujuh lokasi, yaitu pertatasan dusun dan satu di sumber air Sukmo Ilang. Latar belakang cerita tersebut menjadi milik masyarakat Olehsari.

Page 13: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

7 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Seperti halnya seblang Bakungan, seblang Olehsari juga menampakkan budaya agraris. Hal itu tampak dari fasilitas dan hiasan panggungnya, seperti janur, kelapa muda, padi, singkong, pisang, dan beraneka buah yang merupakan hasil bumi masyarakat setempat. Syair tembang yang dilantunkan pun menunjukkan latar belakang pekerjaan masyarakat setempat sebagai petani. Perhatikan kutipan tembang berjudul "Celeng Mogok" 'babi hutan berhenti' berikut.

Celeng Mogok Babi berhenti Celeng mogok keser keseran Babi hutan berhenti ditarik-tarik Sente jurang lemah duwur pangajaran Talas jurang tanah atas pengajaran

Babi hutan atau celeng lazimnya hidup di wilayah hutan yang jauh dari keramaian. Demikian juga tanaman sente 'talas yang getahnya gatal' yang hanya tumbuh di lereng-lereng bukit. Itu semua menunjukkan lingkungan alam agraris yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat Olehsari. Penari seblang haruslah keturunan langsung dari seblang sebelumnya. Masyarakat setempat menggunakan istilah berasal dari pohon dan bukan dari ranting atau daun. Kecuali bila keturunan langsung yang dari batang tidak ada, dimungkinkan mengambil dari ranting. Hal itu perlu mendapat kesepakatan dengan roh leluhur yang hadir melalui media yang mengalami kejiman 'trans'. Cerita dan syair tembang menjadi bermakna ketika dilantunkan untuk mengiringi seblang. Di Olehsari waktu 7 hari dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menyosialisasikan dan memasarkan berbagai produk UMKM masyarakat setempat. Di Bakungan yang hanya berlangsung satu hari agar memberi ruang untuk memasarkan karya masyarakat, sejak tahun 2016 ada waktu dua hari sebelum hari H berupa ekspo untuk mesnyosialisasikan dan memasarkan produk UMKM masyarakat setempat dan produk UMKM Banyuwangi pada umumnya. Selain itu, waktu dua hari juga dimanfaatkan untuk menunjukkan prestasi dalam hal pembinaan seni oleh sanggar dan lembaga pendidikan yang ada di Kelurahan Bakungan. Pengembangan kegiatan berupa eksposisi ini memberi ruang kepada masyarakat agar penyelenggaraan ritual seblang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, ritual berbasis budaya agraris diberi nama kebo-keboan 'kerbau-kerbauan'. Sesuai dengan namanya kebo-keboan dilakukan oleh warga masyarakt dengan mengenakan kostum kerbau, yaitu celana hitam, tubuh diberi warna hitam, mengenakan topi bertanduk seperti kerbau, dan mengenakan gentha yang lazim di kenakan pada leher kerbau. Ritual dimulai dengan selametan desa pada sore hari sebelum hari H. Pada hari H, berlangsung prosesi ider bumi yang diikuti oleh peraga kerbau mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Ikut dalam prosesi tersebut adalah dewa naga dan Dewi Sri. Kerbau adalah sahabat para petani dalam mengolah sawah. Dewi Sri adalah ibu para petani yang menjaga tanaman padi selama masih berada di persawahan. Pada saat panen, masyarakat Alasmalang mengirimkan makanan berupa nasi dan kelengkapannya kepada sanak saudara yang ada di desa lain. Pada saat itu Dewi Sri meninggalkan Desa Alasmalang. Oleh karena itu, di tempat lain diselenggarakan pertunjukan wayang dengan lakon wajib "Mboyong Dewi Sri" 'Membawa pulang Dewi Sri'. Selametan, ider bumi, dan lakon wayang menjadi rangkaian ritual yang berlangsung setiap tahun, pada bulan Sura. Masyarakat Alasmalang mengetahui

Page 14: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

8 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

cerita tersebut. Untuk menumbuhkan ingatan publik, di jalan masuk menuju Desa Alasmalang dipasang patung kebo-keboan. Hal itu sekaligus sebagai sosialisasi kepada masyarakat yang melalui jalur lalu lintas tersebut. Kebo-keboan menjadi ikon Desa Alasmalang. Penyelenggaraan yang hanya satu hari dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menyosialisasikan dan memasarkan berbagai produk masyarakat seperti kuliner, tekstil (batik), dan aneka cenderamata lainnya. Hal tersebut sebagai upaya agar penyelenggaraan ritual sebagai peristiwa budaya berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat pendukungnya. 2. Ritual Bahari Sebagian besar wilayah Nusantara adalah lautan. Budaya bahari menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. Etnis Madura, Mandar, dan Bugis dikenal sebagai pelaut-pelaut andal yang memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Husni, nelayan Pantai Payangan, Kabupaten Jember menyampaikan pengalamannya sebagai nelayan. Ia menyampaikan bahwa bukan ia yang mencari ikan, akan tetapi sebaliknya, ikanlah yang datang kepadanya. Ia tinggal mengambil sesuai dengan kebutuhan dan kekuatannya. Sebagai pemilik kapal kecil, setiap kali melaut ia maksimal cukup membawa pulang maksimal 1 ton. Nelayan Payangan, Puger, dan lainnya memiliki daerah operasi tertentu. Mereka sepakat tidak saling mengintervensi ke batas wilayah nelayan yang lain. Konvensi tersebut menjadi pengetahuan, dihidupi, dan dipatuhi bersama. Husni menganalogikan ikan di laut seperti helai-helai daun yang berjatuhan dari pohon. Setiap hari ada yang berjatuhan dan tidak pernah habis. Ia tinggal menyapu dan mengumpulkannya kemudian membawanya pulang dan menjadikannya sebagai sumber kehidupan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Atas kemurahan yang telah diterima tersebut masyarakat menyelenggarakan syukuran yang oleh masyarakat disebut Petik Laut atau Larung Sesaji. Hal itu sebagai sebagai ungkapan syukur atas hasil tangkapan yang melimpah dan atas keselamatan yang dialami oleh masyarakat nelayan. Selanjutnya mereka juga memohon agar pada waktu yang akan datang mereka juga mendapatkan hasil tangkapan yang bagus, melimpah, dan keselamatan.4 Satu hari sebelumnya juga dilangsungkan kerja bakti mempersiapkan panggung dan miniatur kapal untuk menampung sesaji yang akan dilarung ke laut. Tujuh hasil bumi yang mengantung di udara dan yang tertanam di tanah menjadi persyaratan sesaji. Dua kepala kambing, ayam, siwalan, seperangkat pakaian perempuan dan laki-laki, berbagai makanan, dan minuman kopi dan teh semua menjadi kelengkapan sesaji. Pada hari H penyelenggaraan larung sesaji diawali dengan pertunjukan wayang kulit dengan lakon "Murwakala". Lakon ini populer untuk ruwatan, yaitu 4 Petik laut sebagai syukuran masyarakat nelayan Payangan mendapat dukungan seluruh masyarakat nelayan. Semua berpartisipasi dengan memberikan iuran yang ditentukan oleh panitia penyelenggara. Kapal kecil ditarik Rp100.000,00 dan kapal besar Rp250.000,00. Semuanya menerima kewajiban dengan ikhlas. Rangkaian kegiatan dimulai pada hari sebelumnya dengan menyelenggarakan tirakatan dan melantunkan macapat yang membawakan kisah Marsodo. Ia adalah moyang para nelayan yang membuka perkampungan nelayan Payangan. Pada saat berlangsung macapat dikatakan oleh Husni sering terjadi ombak besar. Hal tersebut oleh masyarakat dihayati sebagai waktu hadirnya Marsodo. Ia hadir dalam rupa ikan besar sehingga menimbulkan ombak yang besar.

Page 15: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

9 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

membebaskan dari sukerta. Kisah koma yang salah, yaitu sperma Bethara Guru yang jatuh ke laut kemudian berkembang menjadi raksasa. Raksasa itu kemudian menghadap kepada para dewa. Setelah diberi nama Bethara Kala dan dipertemukan dengan ibunya, Bethari Durga kemudian turun ke dunia untuk mencari mangsa. Mangsa yang pertama mereka makan adalah orang yang sedang mengambil nira. Akan tetapi Kala tidak tahu bahwa ia adalah manusia. Narada memandang kehadiran Kala ke dunia akan menjadi ancaman bagi umat manusia. Oleh karena itu, hanya manusia yang sukerta dan belum diruwat yang boleh dimakan. Dalam pertunjukan wayang yang diselenggarakan 13 Oktober 2017 di Payangan, sukerta yang dimaksudkan adalah anak yang lahir laki-laki dan perempuan atau disebut kedhana-kedhini dan anak tunggal atau ontang-anting. Selanjutnya para sukerta yang lain adalah orang-orang yang membiarkan kulit bambu berserkan dan menghalangi perjalan Kala saat mengejar Wulandrema dan Wulandremi sebagai anak yang lahir kedhana-kedhini. Sukerta selanjutnya adalah orang yang menggunakan linggis untuk mengupas buah kelapa dan membiarkannya tetap menancap ditanah dan tidak mencabutnya, orang yang membiarkan dandang berdiri ditungku dan tidak menurunkannya, dan orang yang membangun rumah tidak memasang dinding pada sudut atap yang kemudian menjadi lubang untuk melarikan diri Wulandrema dan Wulandremi.

Wulandrema-Wulandremi akhirnya bertemu dengan Joko Jatus seorang pemuda yang gagah perkasa tetapi juga sebagai sukerta karena sebagai anak tunggal. Dengan keperkasaannya ia bermaksud melindungi Wulandrema-Wulandremi dan berperang melawan Kala. Joko Jatus tidak dapat dikalahkan oleh Kala tetapi ia adalah sukerta karena anak tunggal atau ontang-ating. Joko Jatus dan Wulandrema-Wulandremi diberi kesempatan untuk menyelenggarakan ruwatanagar terhindar dari ancaman Bethara Kala yang akan memangsanya. Ruwatan masal ini diakhiri dengan pengguntingan rambut yang dilakukan oleh dhalang. Salah satu anggota panitia Petik Laut sebagai representasi masyarakat nelayan yang diruwat pun menghadap dhalang untuk upacara pengguntingan rambut ini. Lakon "Murwakala" menemukan maknanya secara utuh pada saat dijabarkan dalam bentuk seni pertunjukan wayang kulit yang dibawakan secara verbal lisan. Selesai pertunjukan wayang dilanjutkan dengan upacara protokoler yang diawali dengan pembacaan Qalam Ilahi, sambutan ketua panitia, sambutan Tripika oleh Kapolsek Ambulu, doa, dan pemotongan pita miniatur kapal sesaji. Selesai pemotongan pita, diiringi doa dilakukan prosesi miniatur kapal sesaji menuju pantai untuk melarung sesaji. Sekelompok regu Tim SAR Pantai Payangan binaan Polsek Ambulu bersiap mengangkat miniatur kapal sesaji. Satu andong bermuatan anak-anak perempuan seusia Sekolah Dasar berada pada baris terdepan. Diikuti oleh Tripika Ambulu, Kepala Desa Watu Ulo, dan Panitia Petik Laut, diikuti, miniatur kapal sesaji, dua andong berisi anak-anak perempuan seusia Sekolah Dasar, dan pada barisan terakhir adalah grup drum band dari SMK Maritim Ambulu. Di Pantai Payangan lebih dari 10 ribu warga masyarakat menanti kehadiran prosesi yang mengarak miniatur kapal sesaji. Mereka menyaksikan pasukan pembawa miniatur kapal sesaji yang menurunkannya ke laut dan mendorongnya hingga tenggelam oleh ombak di perairan laut di Pantai Payangan. Semua berlangsung aman, semua bergerak dengan tertib, dan dapat dikendalikan sehingga tidak terjadi insiden apapun. Kisah Marsodo, ikan yang tinggal mengambil dari laut,

Page 16: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

10 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

miniatur kapal sesaji, lakon wayang Murwakala, prosesi miniatur kapal sesaji, melepaskan miniatur kapal sesaji, semuanya menjadi cerita yang diketahui, dihidupi, dan dihayati oleh masyarakat nelayan Payangan. Sementara itu di kiri-kanan jalan utama menuju Pantai Payangan terpapar berbagai produk industri masyarakat setempat, mulai dari permainan, cenderamata, dan kuliner yang disiapkan untuk melayanikebutuhan para tamu yang hadir. Ikan kerapu yang lezat, ikan putih, udang, dan berbagai jenis ikan lainnya disiapkan oleh warung dan rumah makan yang menyediakan berbagai jenis makanan ikan laut. E. Banyuwangi Ethno Carnival: Sastra Lisan dan Politik Ruang Global-Lokal

Ihwal politik ruang dapat berwujud lokasi dan dapat berwujud kegiatan. BEC oleh Azwar Anas ditempatkan sebagai ruang hibriditas yang menjembatani global dengan lokal. Seni budaya tradisi yang dikemas dalam bentuk fesyen memaksa yang tradisional beradaptasi dan menyesuaikan dengan tuntutan penampilan modern, mulai dari kostum, make up, gerak, dan penggunaan teknologi informasi dalam menyebarkan informasi secara global. Pembicaraan kebijakan kebudayaan masa pemerintahan Bupati Abdullah Azwar Anas berkaitan dengan kebijakan para bupati sebelumnya. Hal tersebut telah disampaikan oleh Anoegrajekti (2016a :12-24) yang membahas kebijakan dalam bidang seni dan budaya sejak zaman pemerintahan Bupati Djoko Supaat Slamet, T. Purnomo Sidik, Samsul Hadi, Ratna Ani Lestari, dan Abdullah Azwar Anas. Ia memandang bahwa kebijakan yang diambil oleh Azwar Anas merupakan akumulasi dari kebijakan-kebijakan sebelumnya. Hal itu sejalan dengan pandangan yang disampaikan oleh beberapa tokoh masyarakat dan budayawan Banyuwangi. Kesanggupan Azwar Anas menciptakan sistem menjadikan pengembangan seni budaya mendapatkan kepastian dan dukungan secara formal dari Pemerintah Kabupaten beserta SKPD yang terkait. BEC pertama kali diselenggarakan tahun 2011, pada masa pemerintahan Bupati Abdullah Azwar Anas. Melalui perdebatan dan diskusi yang ramai, BEC akhirnya disepakati sebagai ajang promosi seni budaya dan pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Kekhawatiran para budayawan dan pelaku seni bahwa seni tradisi dan ritual yang tidak menjadi tema BEC akan tersingkir dijawab dengan penyelenggaraan berbagai festival yang tertampung dalam CBF. BEC hanyalah salah satu dari puluhan mata acara yang dipublikasikan dalam CBF. Festival gandrung sewu dan kuwung menjadi bukti keseriusan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dalam menghidupi seni tradisi. Demikian juga pendirian panggung pertunjukan Taman Blambangan dan yang dibangun di beberapa kecamatan termasuk Amphiteater yang terletak di Pantai Boom menjadi ruang ekspresi dan ajang penampilan kreasi masyarakat.

Page 17: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

11 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Gambar 1: Calender Banyuwangi Festival tahun 2013 dan 2017

Selain itu, kebijakan juga dirancang bersifat sistemik. Sebagian agenda budaya yang menjadi milik dan dihidupi oleh masyarakat pendukungnya tetap diselenggarakan di tempat asal kegiatan budaya tersebut, seperti Seblang Olehsari, Seblang Bakungan, Barong Ider Bumi, Kebo-keboan, Tumpeng Sewu, dan Endog-endogan, sedangkan sebagian lainnya diselenggarakan di pusat kota, seperti Gandrung Sewu dan BEC. Hal tersebut memberikan peluang bagi komunitas masyarakat pendukung masing-masing kegiatan budaya untuk tetap aktif dalam mendukung dan mengembangkan budaya mereka. Kalangan birokrat Kabupaten Banyuwangi pada penyelenggaraan BEC menyadari bahwa seni budaya yang ada di wilayahnya dihadapkan pada persinggunggan secara lintas batas. Hibriditas dalam bidang seni budaya yang diangkat menjadi tema BEC, berlangsung sebagai relasi antara yang tradisional dengan yang modern dan atara yang lokal dengan yang global. Dalam penyelenggaraan BEC, seni tradisi dan ritual mengalami modifikasi, yaitu menyesuaikan dengan tuntutan kreator kostum, ruang (arena atau panggung), make up, durasi waktu, dan koreografi. Hal itu menampakkan relasi kuasa pasar dunia yang menuntut performasi maksimal yang harus memenuhi kualitas standar fesyen internasional, seperti yang berlangsung di Jember, Pasadena, dan Rio de Janeiro.

Page 18: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

12 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Gambar 2: BEC I Tahun 2011 dan BEC VI Tahun 2016

Sebagai agenda tahunan yang dalam setiap penyelenggaraan selalu berganti tema, hibriditas tersebut tidak mengkhawatirkan akan menghilangkan identitas dan karakteristik ketradisionalnya. BEC sebagai inovasi dan ajang promosi memperkenalkan seni budaya lokal agar dikenal dan menyugesti wisatawan untuk mengunjungi masing-masing kegiatan budaya yang masih dihidupi oleh masyarakat pendukungnya dan hadir di tempat asal budaya tersebut masing-masing. Secara kronologis sejak tahun 2011, BEC mengangkat tema yang bervariasi seperti tampak pada diagram berikut.

Diagram Penyelenggaraan BEC I‒VI

No Tahun Tema Deskripsi

1 2011 Gandrung, Damarwulan, dan Kundaran

1. Gandrung tari perjuangan menjadi tari pergaulan dan hiburan, gandrung hingga hingga saat ini masih dihidupi oleh masyarakan pendukungnya.

2. Sejak tahun 2002 Gandrung ditetapkan sebagai maskot pariwisata Banyuwangi.

3. Tanggapan gandrung perhelatan, ritual, mengawali musim panen kopi.

4. Damarwulan dirancang untuk hiburan masyarakat. Pertunjukan terdiri atas dua bagian, yaitu pracerita dan cerita.

5. Lakon telah mengalami perkembangan dari latar belakang sejarah Majapahit, Legenda Banyuwangi, dan latar sejarah nasional.

6. Tanggapan perhelatan keluarga, peringatan haribesar nasional, hari besar keagamaan, bersih desa.

7. Kundaran pada mulanya sebagai media dakwah dan dimainkan oleh laki-laki. Saat ini mengalami modifikasi menjadi hiburan.

8. Tanggapan untuk perhelatan, arak-arakan, dan

Page 19: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

13 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

No Tahun Tema Deskripsi

upacara hari besar nasional.

2 2012 Barong Using 1. Pada mulanya merupakan ritual yang mempertemukan Barong Tuwa dengan Buyut Cili.

2. Tanggapan untuk keperluan ritual Barong Iderbumi yang diselenggarakan setiap hari lebaran Syawal hari ke-2.

3. Barong juga dikembangkan untuk seni pertunjukan dan arak-arakan.

4. Lakon sudah dikembangkan menjadi lebih beragam, seperti (1) Geger Cilacap, (2) Pendekar Alas Purwo, (3) Sarjulo Kamandoko,(4) Puspolonggo Edan, (5) Alap-Alap Bojonegoro, (6) Satrio Alas Sambulungan, dan (7) Lahirnya Maheso Anggoro

3 2013 Kebo-Keboan

1. Ritual bersih desa di Desa Alasmalang dan Aliyan. 2. Ritual dimulai dengan menyelenggarakan selamatan

dilanjutkan dengan keliling desa. Pelaku ritual berpakaian serba hitam dan tubuh diberi pewarna hitam, seperti kerbau.

3. Ider bumi berakhir di arena persawahan yang digunakan untuk meragakan para kerbau yang menjaga benih padi yang disebarkan oleh Dewi Sri.

4. Pertunjukan wajib lainnya adalah wayang dengan lakon "Sri Mulih".

4 2014 Seblang 1. Seblang merupakan ritual bersih desa. Seblang Olehrasi berlangsung selama 6 hari pada lebaran Syawal. Penari gadis remaja. Seblang Bakungan berlangsung pada lebaran Haji berlangsung semalam. Penari perempuan yang sudah menopouse.

2. Calender Banyuwangi Festival, selama tiga tahun terakhir mampu meningkatkan jumlah penonton secara signifikan.

3. Seblang Olehsari yang berlangsung selama 6 hari sekaligus sebagai ajang promosi, sosialisasi, dan pemasaran aneka produk industri kreatif Banyuwangi. Seblang Bakungan yang berlangsung satu malam, sejak tahun 2016 diawali pameran untuk memamerkan, menyosialisasikan, dan memasarkan aneka produk industri kreatif Banyuwangi.

5 2015 Pengantin Using

1. Pengantin Using memiliki keunikan karena sebelum duduk bersanding dilakukan kirab keliling desa. Diringi oleh teman dan sahabat dekat, keluarga, sanak saudara, dan diiringi musik tradisional.

2. Perarakan diikuti oleh petugas yang membawa perlengkapan rumah tangga, seperti alat untuk memasak, alat pemotong, dan perlengkapan tidur.

Page 20: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

14 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

No Tahun Tema Deskripsi

3. Pengantin Using memiliki pakaian adat yang khas dan pada saat kirab pengantin mengendarai tandu atau jolang yang dipikul oleh warga masyarakat secara bergantian.

6 2016 Sri Tanjung- Sidopekso

1. Sri Tanjung-Sidopekso adalah legenda yang menjadi asal usul nama Banyuwangi.

2. Sidopekso adalah seorang patih yang setia kepada rajanya. Akan tetapi raja terpesona dengan kecantikan Sri Tanjung, istri Sidopekso. Oleh karena itu, Sidopekso diutus pergi mencari syarat yang dapat menyelamatkan kerajaan.

3. Pada saat Sidopekso pergi raja mendatangi Sri Tanjung dan berniat untuk menikahinya. Kehendak raja itu ditolak oleh Sri Tanjung.

4. Pada saat Sidopekso pulang dan menghadap raja, raja menceritakan bahwa Sri Tanjung mendatangi istana dan menghendaki agar ia diperistri oleh raja. Hal tersebut menimbulkan amarah Sidopekso. Oleh karena itu, Sidopekso berniat untuk membunuhnya.

5. Menerima tuduhan tersebut Sri Tanjung bersumpah dia mau dibunuh. Bila darah yang keluar dari tubuh kalau darahnya anyir berarti benar ia telah berlaku serong dengan raja. Akan tetapi bila darahnya wangi berarti ia tetap suci dan tidak serong dengan raja.

6. Ketika dibunuh darah yang keluar dari tubuhnya berbau wangi. Sidopekso pun menyesali tindakannya, akan tetapi semua sudah terlambat dan tidak dapat dikembalikan lagi.

7 2017 Majestic Ijen 1. Ijen adalah nama gunung yang terletak di perbatasan Kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso. Keistimewaan Gunung Ijen adalah memancarkan api biru (blue fire) yang di dunia hanya terdapat di dua tempat, yaitu Gunung Ijen dan Islandia.

2. Pancaran api biru tersebut tampak indah mulai sekitar pukul 02 dini hari hingga fajar sebelum matahari terbit. Banyak wisatawan asing utamanya Perancis dan Cina yang memanikmati indahnya pancaran api biru ini.

3. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah menggunakan lokasi dan nama Gunung Ijen sebagai tajuk pertunjukan musik Jaz dan olah raga tour de Ijen.

4. Untuk pertama kalinyaBanyuwangi mengambil tema lokasi alam sebagai tema BEC. Sebelumnya menggunakan tema seni, ritual, tradisi, dan legenda

Page 21: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

15 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

No Tahun Tema Deskripsi

Banyuwangi.

F. Simpulan Kisah Sri Tanjung-Sidopekso merupakan legenda asal mula nama Banyuwangi dilisankan menjadi lakon Janger. Cerita Janger pun berkembang dari kisah berbasis sejarah Majapahit dan Blambangan kemudian merambah ke legenda, sejarah Mataram, dan akhirnya sampai ke latar belakang sejarah nasional, seperti munculnya lakon “Bedahé Irian” ‘perebutan Irian Jaya’ yang sekarang bernama Papua. Kelisanan tersebut terus dimodifikasi dan dimasukkan sebagai tema Banyuwangi Ethno Carnival pada tahun 2016 yang merupakan salah satu produk industri kreatif, fesyen berbasis budaya etnik Using. Sementara itu, “Jaran Goyang” yang pada mulanya merupakan mantra pengasihan bertransformasi menjadi lagu Banyuwangi dengan syair bahasa Using dan menjadi tari. Semua itu menunjukkan kreasi dan inovasi yang menjadi produk industri kreatif, hiburan dan seni pertunjukan. Ritual bersih desa yang berbasis budaya agraris sebagai ekspresi syukur atas hasil panen dan keselamatan serta harapan agar pada masa yang akan datang juga mendapatkan hasil panen yang melimpah dan terhindar dari segala macam bahaya. Sedangkan ritual bersih desa berbasis budaya bahari sebagai ekspresi syukur atas hasil tangkapan ikan dan keselamatan yang telah diperoleh dan harapan agar di masa yang akan detang juga mendapatken hasil tangkapan ikan yang melimbah dan terhindar dari segala macam bencana. Latar belakang penyelenggaraan dan kisah-kisah herois yang melatar belakangi dan berkaitan dengan ritual menjadi pengetahuan yang terus dihidupi oleh masyarakat pendukungnya. Semuanya menjadi bermakna pada saat disampaikan secara verbal lisan dalam ruang ekspresi budaya masyarakat pendukungnya. Marsodo, Murwakala, dan miniatur kapal sesaji semuanya menjadi bermakna saat menjadi tindakan, pengetahuan, pengalaman, dan penghayatan oleh masyarakat pendukungnya. Hadirnya orang banyak dalam setiap ruang ritual menjadi kesempatan menyosialisasikan dan memasarkan berbagai produk masyarakat. Hal tersebut berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat pendukungnya. Budaya bukan hanya sebagai asesori dan dekorasi tetapi harus meningkatkan kesejahteraan masyarakat pendukungnya. DAFTAR PUSTAKA Anoegrajekti, Novi. 2011. “Membaca Identitas Melalui Seni Pertunjukan:

Komodifikasi dan Politik Kebudayaan” dalam Bahasa, Sastra, dan Budaya Indonesia dalam jebakan Kapitalisme. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Anoegrajekti, Novi. 2016. Optimalisasi Seni Pertunjukan: Kontestasi Negara, Pasar, dan Agama. Orasi Ilmiah Pengukuhan Profesor Ilmu Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember. Jember: Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Universitas Jember.

Anoegrajekti, Novi. 2016. "Perubahan Sosial Berbasis Lintas Budaya: Identitas dan Ruang Negosiasi Global-Lokal." Dalam Jejak Langkah Perubahan: dari Using sampai Indonesia. Jember: Pusat Penelitian Budaya Etnik dan Komunitas dan HISKI Komisariat Jember bekerja sama dengan Penerbit Ombak.

Page 22: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

16 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Eriksen, Thomas Hylland. 1993. Etnicity & Nationalism: Anthropological Perspeectives. London and Boulder, Colorado: Pluto Press.

Flew, Terry. 2002. “Beyond ad Hocery: Defining Creative Industries”. Paper dipresentasikan dalam The Second International Conference on Cultural Policy Research: Cultural Sites, Cultural Theory, Cultural Policy, Te Papa, Wellington, New Zealand, 23-26 Januari 2002. Versi on-line diunduh dari: http://www.library.auckland.

Galloway, Susan & Stewart Dunlop. 2006. “Deconstructing the Concept of Creative Industries”. Dalam Christiane Eisenberg, Rita Gerlach & Christian Handke (eds). Cultural Industries: The British Experience in International Perspective. Online. Humboldt University Berlin, Edoc-Server. Bisa diunduh di: http://edoc.hu-berlin.de.

Hall, Stuart. 1997. “The Work of Representation” dalam Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. London: Sage Publication.

Budianta, Melani. 2005. “Aspek Lintas Budaya dalam Wacana Multikultural,” dalam Kajian Wacana: dalam Konteks Multikultural dan Multidisiplin. Jakarta: FIB UI.

Saputra, Heru, S.P. 2007. Memuja Mantra. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara. Singodimayan, Hasnan. 2015. Niti Negari Bala Abangan. Banyuwangi: Sengker

Kuwung Blambangan. Tomic-Koludrovic & Petric. 2005.“Creative Industries in Transition:

Toward a Creative Economy”, dalam Nada Svob-Dokic (ed). The Emerging of Creative Industries in Southeastern Europe. Zagreb: Institute for International Relations.

Page 23: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

17 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

REVITALIASI SASTRA LISAN DALAM MASYARAKAT KOSMOPOLITAN

Maryaeni

Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang Email: [email protected]

Abstrak

Bukankah kita penduduk dan penghuni dunia. Kita adalah saudara dan kita sepemilikan terhadap dunia. I am the citizen of the world. Bagaimana peran dan fungsi sastra lisan dalam masyarakat kosmopolitan? Nilai yang terkandung dalam sastra lisan bukan sekedar nilai yang tidak bermakna, melainkan sangat berarti bagi kehidupan bermasyarakat dan berkebudayaan di tengah era global yang makin tidak terukur. Sastra lisan Indonesia merupakan ekspresi kesusateraan warga dunia. Kata kunci: sastra lisan, cosmopolitan, warga dunia

Pengantar Kosmopolitan merupakan salah satu perspektif dalam hubungan

internasional yang diperkenalkan oleh Immauel Kant. Secara etimologis kata kosmopolitan terdiri atas cosmos dan polities, sementara cosmos yang berarti dunia dan polities yang berarti masyarakat. Perspektif kosmopolitan yang dicetuskan Immanuel Kant bukan hanya berkeinginan melainkan berkomitmen untuk menciptakan masyarakat dunia yang teguh terhadap norma-norma yang berlaku dan dunia baru yang terlembagakan. Gagasan kosmopolitan pada hakikatnya berawal dari keinginan menyelesaikan problem dunia yang tersekat-sekat yang diakibatkan oleh kesenjangan pada semua aspek kehidupan. Pemikiran tentang kepemilikan bersama atas permukaan bumi berdasarkan prinsip-prinsip universal merupakan sesuatu yang diidealkan. Gelombang globalisasi mampu memberi batas yang jelas terhadap potensi yang dimikili masing-masing negara bangsa dan hal ini bisa menyebabkan ego wilayah, ego area, ego lingkungan, dan ego negara. Dalam perspektif yang lebih luas paham kesatuan dalam kosmopolitan perlu diciptakan agar terjalin kebersamaan universal yang tentu saja tetap berpegang pada norma dan aturan yang berlaku pada masing-masing wilayah dunia.

Dalam aspek apa sehingga sebuah karya sastra mampu dianggap sebagai warga sastra dunia? Tentu saja sebuah karya sastra yang memuat tidak hanya satu atau dua bidang ilmu. Sastra yang harus bisa memberi manfaat secara universal, tidak peduli dunia yang mana dan masyarakat yang mana pula. Kita sadari bahwa banyak karya sastra yang sudah mendunia bukan hanya dilihat aspek linguistis melainkan keseluruhan aspek kehidupan. Genre sastra yang ada tidak perlu disikapi sebagai sekat-sekat yang berdiri sendiri. Jika menginginkan sebuah karya sastra mendunia, maka muatan berbagai aspek maanfat selayaknya termuat dalam karya itu. Hal ini jga berlaku terhadap sastra lisan, yang mungkin dianggap sebagai karya lokalitas, lebih-lebih budaya lisan yang terdapat di daerah terpencil, terpelosok, dan terpinggirkan.

Page 24: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

18 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Sastra Lisan Berbicara tentang ”barang lama” tidak ubahnya mencari-cari jarum dalam

gundukan jerami di kandang sapi. Sesuatu yang langka, unik, dan tidak banyak orang suka dengan berbagai alasan masing-masing. Jika ditelusuri lebih lanjut barang lama yang dinamakan sastra lisan itu memiliki kadungan nilai dan manfaat yang luar biasa, baik secara internal maupun eksternal. Nilai yang dikandungnya bukan sekedar nilai yang tidak bermakna, melainkan sangat berarti bagi kehidupan bermasyarakat dan berkebudayaan di tengah era global yang makin ”menggila” saat ini. Sastra lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga (Hutomo, 1991:1). Sastra lisan memiliki nilai-nilai luhur sebagaimana kebudayaan yang ada dalam masyarakat. Dalam Ensiklopedi Sastra Indonesia, sastra lisan adalah hasil sastra lama yang disampaikan secara lisan umumnya disampaikan dengan dendang, baik dengan iringan musik (rebab, kecapi, dan lain-lain) maupun tanpa iringan apa pun, sesuai dengan istilah sastra lisan. Mengapa tidak digunakan tradisi lisan dalam makalah ini semata-mata dengan harapan agar topik lebih fokus dan khusus.

Sastra lisan dilahirkan dalam masyarakat yang tidak mengetahui tulisan. Oleh karena itu, sastra lisan disebut juga sastra rakyat. Sastra lisan merupakan perwujudan sastra yang khas. Ciri khusus sastra lisan adalah kehadiran sastrawan, pengarang, dan atau artist yang melekat pada prformansinya. Berbeda halnya dengan sastra tulis yang bisa dikatakan sebagai sastra “yatim piatu” dan sang pengarang dianggap tidak ada atau meninggal dunia (the death of the author) (Barthes, 1987). Secara historis pembahasan dan pengkajian sastra lisan tidak lepas dari sosok Finnegan (1970;1977) yang telah menulis sastra lisan di Afrika, baik puisi, drama, musik, retorik, maupun ungkapan/peribahasa. Begitu pula kehadiran Ong (1982) yang berbicara tentang kelisanan dan keberaksaraan yang dikuatkan oleh Teew di Indonesia (1984). Demikian pula hasil kajian Surian Sadi Hutomo tentang sastra lisan Kentrung di Pesisir Utara Jawa, tepatnya di Tuban, Ayu Sutarto yang sangat peduli dengan sastra lisan Banyuwangi, Baihaqi yang meneliti Syiir Pesisir dan Jam’an tentang Syiir Madura Selain genre yang ditulis oleh Finnegan tersebut, sastra lisan umumnya berbicara tentang cerita rakyat, puisi rakyat, lagu rakyat, mitos, ungkapant, teka-teki, dan peribahasa rakyat. Mencermati kategorisasi tersebut sastra lisan berkecenderungan sebagai sastra yang disampaikan, diceritakan, dan diperdengarkan dari dan untuk masyarakat dari mulut ke mulut dan dilakukam oleh pemilik sastra lisan (Bartlett, 1965).

Sastra lisan bercorak pertuturan yang terdapat dalam suatu bangsa. Sastra lisan dapat disampaikan dalam bentuk puisi seperti: jampi, mantera, pantun, peribhasa, bahasa berirama, dan teka-teki. Hutomo (1991) menyatakan bahwa sastra lisan memiliki ciri, antara lain. 1) penyebaranya memalui mulut, maksudnya ekspresi budaya yang disebarkan baik dari segi waktu maupun ruang memalui mulut. 2) lahir dari masyarakat yang masih bercorak desa, masyarakat di luar kota, atau masyarakat yang belum mengenal huruf. 3) menggambarkan ciri-ciri budaya satu masyarakat. Sebab sastra lisan adalah warisan budaya yang menggambarkan masa lampau, tetapi menyebut pula hal-hal baru ( sesuai dengan persoalan sosial), karena itu sastra lisan disebut juga fosil hidup. 4) bercorak puitis, 5) terdiri berbagai versi, 6) tidak mementingkan fakta atau kebenaran, lebih menekankan pada aspek khayalan, fantasi yang tidak diterima oleh masyarakat modern, tetapi memumyai fungsi di

Page 25: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

19 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

masyarakat, dan 7) menggunakan bahasa lisan setiap hari. Berdasarkan bentuk, sastra lisan lebih cenderung berbentuk prosa, dongeng-dongeng, di samping prosa liris seperti sastra kaba (Minangkabau), sastra pantun (Sunda), sastra kentrung dan jemblung (Jawa) dan lain-lain (Hutomo, 1991). Apabila dicermati lebih lanjut berdasarkan ciri khas dan bentuk dan performansinyanya, sastra lisan mengandung empat unsur utama, yaitu artist; story; performance; dan audience. Kosmopolitan

Manusia bukan hanya warga negara satu negara tertentu melainkan bagian dari warga negara di dunia. Martha Nussbaum (1999) menyatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki identitas yang berbeda-beda berdasarkan ras, suku, agama, budaya, kewarganegaraan dan aspek lain-lain. Paham atau pemikiran kosmopolitanisme bukan berarti bahwa manusia dalam satu negara harus meninggalkan ciri kenegaraan atau identitas untuk mecapai persatuan dan kesatuan melainkan lebih berpikir tentang betapa penting terciptanya toleransi. Terciptanya toleransi tersebut tidak berarti manusia harus bersatu dalam keragaman berbedaan identitas. Sekumpulan manusia lebih cenderung mengadakan hal baru yang bisa dianggap bertolak belakang dan atau bertentangan dengan konsep pada umumnya. Karena itu, manusia diciptakan dengan beragam perbedaan dan antara satu dengan yang lain harus siap menerima perbedaan tersebut minimal untuk mengurangi terjadinya konflik.

Menyentuh istilah cosmopolitan tidak bisa lepas dari globalisasi. Dua unsur ini sangat berkaitan terutama pemikiran dan gaya hidup. Memasuki abad ke-21, pergaulan antar bangsa telah berkembang menjadi dunia tanpa batas (borderless world), sehingga baik batas geografis, politis, ekonomis maupun batas sosial budaya semakin kabur. Tidak satu pun negara, baik dibelahan utara yang lebih maju, maupun di belahan selatan yang tertinggal tanpa saling berhubungan. Namun itu bersifat timbal balik satu sama lain (reciprocal relationship). Saat ini pendidikan di Indonesia, sebagaimana sebagian besar negara di dunia sedang dalam proses menuju globalisasi baik dalam aspek teknologi, ekonomi, sosial, politik, kultural dan pembelajaran (Yin Cheong Cheng, 2001). Dunia bergerak amat cepat menjadi desa global, dalam situasi itu berbagai bagian dunia menjadi bagian dari jejaring (networked) dan mendunia (globalized) secara cepat melalui internet dan berbagai jenis teknologi informasi, komunikasi dan transportasi (Naisbitt dan Aburdence, 1991).

Dalam kaitan dengan era global, sesuai dengan apa yang dilansir oleh Fukuyama bahwa akan terjadi kondisi negara yang tanpa batas (borderless state) maka agaknya mulai abad XXI ini , tidak bisa dielakkan lagi akan diwarnai oleh serbuan seluruh aspek kehidupan dari negara lain. Minimal, ada dua ciri penting terkait dengan lingkungan eksternal yang patut diantisipasi. Pertama, perubahan dunia termasuk di dalamnya perubahan ipteks serta perubahan sosio kultural, akibat interaksi transisional yang makin intensif akan makin cepat laju akselerasinya, hal ini seiring dengan kemajuan pesat dalam ICT (Information, Communication, and Technology). Kedua, tantangan negara bangsa ke depan akan semakin berat, sementara jumlah penduduk makin bertambah, sumber daya alam makin berkurang, persaingan antar bangsa juga makin ketat dan terbuka.

Kepesatan ICT berdampak pula pada karya sastra berbasis internet yang lebih akrab disebut sastra cyber, sastra berbasis dunia maya. Gerakan cyber sastra muncul pada tahun 90-an, sempat vakum sesaat, muncul kembali tahun 2001

Page 26: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

20 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

dengan terbitnya buku Graffiti Gratitude Mei 2001, buku kumpulan puisi cyber yang dipelopori oleh Sutan Iwan dan kawan-kawan yang tergabung dalam Yayasan Multimedia Sastra (YMS). Sebagai genre baru (baca media internet) tentu saja menuai polemik pro dan kontra. Dua penulis besar Indonesia sangat kencang menentang munculnya sastra cyber. Sebut saja Saut Situmorang dan Sutardji Coulzum Bachri yang sangat keras menentang hadirnya sastra cyber dari berbagai sisi, baik isi maupun wujudnya. Namun kepesatan bidang apa pun tidak bisa terbendung, begitu pula dengan makin marak dan kembangnya sastra berbasis internet sampai dengan saat ini.

Satu hal yang menggelitik saya, jika masih menuai pro dan kontra, dan satu hal yang menarik untuk dicermati adalah keiikutsertaan, kerterlibatan, dan keberadaan sastra lisan yang juga eksis dengn media baru ini. Maraknya cuplikan, rekaman performing art, unggahan segala perwujudan sastra lisan, merupakan bukti bahwa sastra berbasis internet sangat membantu eksistensi sastra lisan, kearifan lokal, dan budaya lokal secara umum. Dengan demikian, dampak kepesatan teknologi terhadap budaya lokal, local wisdom, dan oral leterary sangatlah berarti dan bisa menyuguhkan warna baru dalam khasanah sastra Indonesia (jika tidak boleh disebut Nusantara).

Dalam medan sosial seni, seni adalah produk masyarakat, yaitu bagaimana karya seni tercipta sebagai hasil interaksi seniman dengan masyarakatnya, dan bagaimana karya seni memiliki pengaruh terhadap masyarakatnya (Hauser, 1982:89). Hauser pun menekankan fungsi seni pada masyarakat, bagaimana objek seni memiliki potensi, baik kritik maupun nilai estetik (Hauser, 1982:94 dan 308). Istilah art world selanjutnya dipergunakan oleh Dickie untuk mengembangkan teori institusi seni (the institusional theories of art). Istilah medan sosial seni memiliki dua pengertian, yaitu secara filosofis dan secara umum. Secara filosofis, dipergunakan sebagai perangkat untuk menganalisis seni dan estetika. Di pihak lain, medan seni adalah kelompok yang berinteraksi mempengaruhi penilaian terhadap karya seni (Ichsan, 2002:19). Dalam teori institusi seni, sastrawan adalah pemroduksi karya sastra, yang memiliki posisi strategis dalam medan sosial seni. Kedudukan sastrawan berperan sebagai penghasil karya sastra, yang berkaitan dengan pemerhati, penerbit, dan pembaca sehingga roda interaksi berjalan sebagaimana mestinya (Indarti, 2015)

Eksistensi dan Revitalisasi Sastra Lisan dalam Masyarakat Dunia

Nilai-nilai dalam karya sastra lazimnya mencerminkan nilai-nilai masyarakat pemilik budaya dalam hal ini sastra. Karya sastra mengandung tradisi intelektual, kearifan, ingatan kolektif. adat istiadat, relijiusitas, interaksi budaya, etika dan estetika masyarakat yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra. Perubahan dalam arti perkembangan gaya hidup dan pola pikir suatu masyarakat berpengaruh signifikan terhadap karya sastra pada zamannya. Kebudayaan, sebagaimana juga halnya alam, tidak dapat dibiarkan berkembang dengan sendirinya. Andaikata kebudayaan dibiarkan berkembang dengan sendirinya, maka mereka yang kuat dan kaya akan menjadi makin kuat dan kaya, sedangkan mereka yang lemah dan miskin akan semakin lemah dan melarat. Kekuatan dan kelemahan, serta kekayaan dan kemelaratan dalam hal ini bukan hanya menyangkut kehidupan jasmani belaka, namum juga, menyangkut kehidupan rohani.

Karena kebudayaan tidak bisa dibiarkan berkembang dengan sendirinya, maka, sebagaimana pula halnya dengan perkembangan alam, manusia juga

Page 27: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

21 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

mempunyai kewajiban moral untuk merekayasa perkembangan kebudayaan. Perkembangan kebudayaan disiasati sedemikian rupa, sehingga perkembangan kebudayaan menjadi bermanfaat bagi kemaslahatan seluruh anggota masyarakat. Karena manusia mau tidak mau harus merekayasa perkembangan kebudayaan sedemikian rupa untuk kemaslahatan seluruh anggota masyarakat, maka muncullah apa yang dinamakan strategi kebudayaan. Kebudayaan, sementara itu, bukan sekadar masalah kemaslahatan, namun juga masalah jatidiri. Masalah jatidiri, sementara itu, tidak lain adalah masalah nilai-nilai. Karena itu, sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Edi Sedyawati bahwa bangsa, atau biasa juga disebut nation, adalah himpunan manusia yang disatukan oleh nilai-nilai yang sama. Kebudayaan, dengan demikian, mencakup dua masalah pokok, yaitu masalah kemaslahatan dan masalah jati diri. Kemaslahatan menyangkut aspek jasmani dan rohani, sementara jatidiri menyangkut nilai-nilai. Strategi kebudayaan, dengan demikian, ditujukan untuk mencapai dua titik pokok, yaitu kemaslahatan dan jatidiri. Makna kebudayaan, dengan sendirinya, amat luas. Semua aspek kehidupan, sebagaimana misalnya tradisi, pola berpikir, perilaku, estetika, agama, dan sekian banyak aspek kehidupan lain, pada hakikatnya adalah kebudayaan. Karena makna kebudayaan amat luas, sebenarnya kebudayaan tidak bisa dipersempit menjadi kesenian.

Apabila dalam praktek makna kebudayaan menyempit, sebagaimana yang sering kita saksikan, praktek penyempitan ini sebenarnya keliru. Kebudayaan kemudian menyempit menjadi hasil usaha manusia di masa lampau untuk mendirikan monumen yang kemudian menjadi artefak, kesenian, dan pariwisata. Ruang lngkup kesenian sendiri, sementara itu, juga menyempit menjadi sekedar kesenian dan atau pertunjukan.

Dalam kaitanya dengan identitas masyarakat, jati diri, dan jati diri bangsa, Danandjaja (1984) megatakan bahwa folklore memiliki cara tersendiri dalam rangka mengatasi krisis identitas karean folklore, apa pun, mengandung gaya hidup, pola piker, norma yang berlaku, dan semua persoalan yang dihadapi masyarakat pemilik folklore. Beberapa folklore yang dapat difungsikan untuk mengatasi permasalahan kehidupan akan disinggung di bawah ini. Begitu pula dengan kemungkinan-kemungkinan folklore dan atau sastra lisan yang mampu berperan dalam era global dan masyarakat cosmopolitan saat ini dan yang akan datang.

Pertama, Pujangga Ranggawarsita adalah penyusun Macapat. Macapat merupakan salah satu seni sastra Jawa yang memiliki sejarah panjang melewati abad satu ke abad lain. Rangawarsita dikenal sebagai pujangga akhir dari Kraton Surakarta yang menciptakan karya-karyanya pada tahun 1800-an (abad X1X), masyarakat pendukungnya dari waktu ke waktu masih melakukan apresiasi bahkan hingga saat (Subardi, 2014). Hal ini dapat diasumsikan bahwa seni macapat masih memiliki nilai-nilai yang relevan bagi kehidupan masa kini, selain aspek estetika yang kasat mata bisa dinikmati oleh pendukung dan penikmat macapat di Jawa.

Macapat merupakan salah satu genre puisi Jawa yang lazimnya dilisankan dengan irama lagu tertentu. Dalam bentuk komunikasi lisan, masih ada komunitas-komunitas yang melakukan apresiasi macapat dengan cara ditembangkan (kegiatannya sering disebut macapatan) ada juga kegiatan diskusi tentang macapat. Nembang macapat dilakukan pada saat tertentu terutama

Page 28: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

22 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

untuk kepentingan upacara ritual, baik di pedesaan maupun di perkotaan dalam siaran radio maupun komunitas-komunitas yang masih meyakini manfaat macapat dalam era global ini. Di sisi lain, tembang-tembang macapat yang sarat dengan makna simbolis kehidupan masih mampu diangkat menjadi warisan tak benda milik dunia dengan bebagai pertimbangan dan ilustrasi pada saat pertunjukannya.

Kedua, Pertunjukan ludruk memiliki dua unsur, yaitu verbalisasi kata-kata dan visualisasi gerak. Hal ini berarti pertunjukan ludruk memiliki unsur tarian (rema) serta nyanyian (kidung), lawak, dan cerita yang terjalin melalui dialog. Visualisasi gerak dapat berupa tarian yang dilakukan pemain pada saat mengidung (istilah Zoetmulder) dan lakuan yang terjalin dalam cerita ludruk secara keseluruhan. Berdasarkan pengertian tersebut, pertunjukan ludruk memiliki performansi yang khas. Kekhasan tersebut dipaparkan berikut ini, (1) ludruk dipentaskan melalui nyanyian, tarian, lawak, dan cerita. (2), nyanyian dalam ludruk disebut jula-juli. Suwarni (1985: 424) menyatakan bahwa ciri khusus yang paling menonjol sebelum dimulai pertunjukan ludruk adalah selalu dipera¬gakan tari rema dan digunakan nyanyian/parikan jula-juli. Jula-juli berisi kritik sosial, penerangan, dan pendidikan.yang dilakukan oleh para penari wanita (teledhek) dan penari pria yang berdandan wanita (transvestite dan clown song). (3), pada umumnya, dalam pertunjukan ludruk, lawak memiliki alur cerita. (4) cerita ludruk bersumber pada legenda, dongeng, mite, dan babad, serta cerita keseharian. (5), bahasa yang digunakan dalam ludruk adalah bahasa Jawa dialek Jawa Timur.

Pada akhirnya, setiap pertunjukkan ludruk merupakan kebulatan dari: ngrema (tari kepahlawanan), dhagelan (lawak), dan cerita (Peacock, 1968:29--32). Di samping itu, ludruk termasuk salah satu bentuk teater rakyat yang membawakan suatu cerita dan cerita tersebut berakar pada folklor dan folktale (Danandjaja, 1983). Namun demikian, sebagai suatu kenyataan ludruk kiranya dapat dipakai sebagai ciri khas kebudayaan etnis tertentu, khususnya Jawa Timur.

Ketiga, Kentrung. Salah contoh sastra tutur adalah kentrung. Kentrung adalah suatu jenis sastra lisan berupa penceritaan lisan yang dilakukan oleh dalang kentrung kadang-kadang dibantu oleh panjak atau pengiring dalang. Di dalam menyampaikan cerita, dalang kentrung sering mengiringinya dengan tabuhan rebana dan kendang. Kentrung ini memiliki penyebaran di Jawa Tengah dan Jawa Timur, terutama di wilayah pesisir. Di dalam menyampaikan cerita, dalang kentrung tidak menggunakan peraga. Kentrung biasanya menyampaikan cerita-cerita tradisionil yang diselingi dengan puisi-puisi Jawa (pantun). Pantun tersebut mengandung pesan yang bermacam-macam dan sering tidak ada kaitannya dengan jalan cerita. Isi pantun dapat berupa sindiran, nasihat, ratapan, dan sebagainya.

Keempat, Mamaca Madura. Tentu kita masih ingat sastra lisan khas Madura, Mamaca, yang sudah banyak dibicarakan dan diteliti pemerhati sastra dan pakar sastra lisan Madura. Mengingat Mamaca merupakan sastra lisan khas Madura, tidak berlebihan bila pada kesempatan ini diingat dan diungkap lagi meskipun di permukaannnya.

Menarik dan sangat bisa dipakai sebagai rujukan adalah penelitian yang dilakukan oleh AM Hermien Kusmayati dan Suminto A Sayuti tahun 2010. Tiga kesimpulan penelitian tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, meskipun secara umum seni tradisi mengalami kemunduran, masih dijumpai pendukung seni tradisi yang tegar dan mampu bergerak leluasa, seperti halnya seni tradisi lisan Mamaca di

Page 29: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

23 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Kabupaten Pamekasan Madura. Kedua, perkembangan tradisi lisan Mamaca di Kabupaten Pamekasan dipelopori oleh Haji Sastra dan Bapak Suparno yang meneruskan tradisi ini dari orang tua.Upaya pelsetarian tradisi lisan Mamaca dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) pentas secara rutin dan (2) melayani permintaan atau undangan dari masyarakat untuk acara-acara tertentu. Ketiga, sastra lisan Mamaca berfungsi mendorong masyarakat menuju tataran yang lebih baik melalui pesan-pesan yang disampaikan. Penonton akan memperoleh inspirasi terkait dengan semangat hidup, optimisme, pencerahan, dan kebahagiaan. Nilai yang bersifat filosofis-transendental dapat dipetik masyarakat penonton yang menghendaki melalui pergelaran Mamaca. Pergelaran tradisi lisan ini menyajikan pembacaan teks-teks tertentu yang isinya bersifat didaktis dan moralistis. Teks-teks yang dibawakan pada gelar Mamaca disesuaikan dengan kepentingan yang punya hajat.

Kelima, Syiir/Singir Pesisiran. Secara historis dan pandangan-pandangan umum tentang istilah syiir atau singir sudah terorientas pada subkultur tertentu, yaitu subkultur pesantren, pondok, dan daerah pesisir utara Pulau Jawa yang berpola-kehidupan santri. Pada masa itu, para santri dan kiai sudah menghasilkan sastra yang sampai saat ini masih bisa dinikmati dalam suatu performansi yang khas. Karya para sastri dan kiai tersebut dinamakan nadoman, dan lebih dikenal dengan nama syi’ir. Suatu bentuk sastra yang unik jika dipentaskan, betapa tidak karena syi’ir biasanya dibawakan secara berkelompok dan dinyanyikan dengan alat music yang khas mengiringinya, yaitu terbang/rebana.

Salah satu sastra pesantren adalah sastra keagamaan yang berisi doa-doa. Doa-doa yang sering dibaca di lingkungan pesantren itu adalah karya sastra yang termasuk kategori wirid, hizb, dan wifik. Doa-doa itu biasanya berupa doa ma’tsurat, yaitu doa-doa yang diajarkan Nabi SAW lewat berbagai hadis sahih. Sebagaimana wiritan atau dzikiran para santri yang dibacakan baik menjelang adzan mapun sesudah adzan dikumandangkan dimusholla-musholla atau di surau, sebagai berikut;

Mojhi kaulâ dâ’ ka Allah Rabbul Alamèn Sabab kaula edhâddhiyaghi orèng mu’mèn Nyo’on-nyo’on sopajâ tètèp amal kaulâ Sopajâ saè amal kaulâ awâl bân ahèr Terjemahan Saya memohohon kepada Allah Rabbul Alamen Sebab saya dijadikan orang mukmin Selalu memohon agar amal ditetapkan

Supaya amal saya baik awal dan akhir

(Direkam dari santri mosholla Nurul Hidayah) Di antara karya sastra pesantren yang berupa karya sastra tulis dan lisan

adalah naskah Manakib Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, Naskah Al-Barzanji, Nadlaman, Nashar, Qasidah Burdah, Syi’ir, wirid, hizb, wifik dan rajah. Teks-teks sastra semacam itu adakalanya dibaca pada acara-acara ritual keagamaan, seperti upacara kelahiran, khitanan, dan hajatan lainnya.

Sastra pesantren berupa syi’ir yang berisi ajaran moral, tuntunan ibadah, nasihat-nasihat untuk berumah tangga, dan kabar tentang hari akhirat berfungsi sebagai sarana ibadah dan ikhtiar mempertahankan diri dalam masyarakat agar tetap

Page 30: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

24 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

hidup (survive) dan menjaga, melestarikan eksistensinya menghadapi berbagai tantangan zaman. Sastra pesantren merupakan bagian dari sastra arab yang dibawa penyebar-penyebar Islam dan masuk ke masyarakat pesantren di Nusantara bersamaan dengan masuknya Islam ke Kepulauan Melayu Indonesia, khususnya di Madura (Jam’an, 2017) Kesimpulan

Tidak ubahnya seni tradisi yang lain sastra lisan juga mengalami “nasib” yang sama, yaitu menurun dan pelahan menghilang karena pelaku seni tradisi sangat sulit menciptakan regenerasi. Pertunjukan rutin hampir tidak ada. Pentas ludruk, misalnya, hanya bisa dinikmati pada saat-saat tertentu, misalnya acara agustusan (perayaan Hari Kemerdekaan RI), pembukaan waktu giling di pabrik gula, hajatan, dan kesempatan-kesempatan sejenis.

Sastra lisan yang diwariskan turun-temurun bahkan menjadi sastra milik dunia dan milik bersama masyarakat dunia cepat atau lambat akan mengalami masa-masa sulit dan pada akhirnya tenggelam. Namun, satu hal yang perlu dicatat bahwa kehadiran sastra lisan di tengah masyarakat cosmopolitan bukan berarti tidak memberi sumbangsih dalam rangka mengusung kebersamaan, gotong royong, dan kerukunan umat. Sastra lisan memiliki andil besar dalam rangka mengembalikan “dunia” pada aspek keluhuran budi pekerti dan karakter yang baik. Karena nilai luhur yang terkandung dalam sastra lisan masih digunakan oleh masyarakat dunia sebagai pedoman hidup, kompas, dan barometer untuk menciptkan dunia yang aman dan damai.

Berdasarkan hal-hal positif dalam sastra lisan, keuletan dan kegigihan seniman sastra lisan, bentuk sastra lisan yang beragam, dan nilai luhur yang dikandungnya, tidak dapat disangkal bahwa banyak hal yang dapat dilakukan oleh pemiliki tradisi untuk merevitalisasi sastra lisan pada masa yang akan datang. Misi utama revitalisasi sastra lisan, selain konservasi adalah modernisasi. Bagaimana upaya masyarakat melestarikan budaya khas, sastra lisan daerahnya, dalam wujud yang bisa diterima dan dinikmati oleh masyarakat dunia? Daftar Rujukan Barthes, Roland. 1977. “The Death of the Author”. New York: Hill and Wang. Djanandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta:

Grafiti Press Finnegan.Ruth.1977. Oral Tradition and the Verbal Art. A Guide to Research Practice.

UK: Blackwell Hauser, Arnold. 1982. The Sociology of Art. London: University of Chicago. Hutomo, Saripan Sadi.1991.Mutiara Yang Terlupakan: Pengantar Studi Lisan. Jatim:

Hiski. Ichsan, Nurdian. 2002. Seni Rupa Indonesia Masa 1990-an. Bandung: Institut

Teknologi Bandung. Indarti, 2015. Gerakan Sastra Perempuan Buruh Migran Indonesia Di Hongkong. Disertasi.

Malang: Universitas Negeri Malang Jam’an, 2017. Bentuk, Fungsi, Estetika Dan Nilai Syi’ir Pesantren Madura. Disertasi.

Malang: Universitas Negeri Malang

Page 31: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

25 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Kant, R.F John Immanuel. 1998. Idea for a Universal History from a Cosmopolitan Point of View dalam in Classical readings in Culture and Civilization. New York: Routledge

Kusmayati, AM Hermien dan Sayuti, Suminto A.2010. Eksistensi Sastra Lisan Mamaca Di Kabupaten Pamekasan, Madura.Yogyakarta.

Ong, Walter J.1982. Orality and Literacy: the technologizing of the word. London and New York: Methuen.

Peacock,J.L. 1968. Rites of Modernization. Chicago: University of Chicago Press. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Page 32: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

26 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

KONSERVASI DAN PERANAN TRADISI LISAN DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA5

Pudentia MP

Ketua Asosiasi Tradisi Lisan Dosen FIPB Universitas Indonesia

Kita sama-sama telah mengetahui bahwa ketetapan mengenai keberadaan suatu komunitas atau etnis sebagai kategori sosial bersifat relatif sesuai dengan konteks perbincangannya. Mohon maaf kalau saya memberi contoh Melayu, sesuai dengan bidang kajian yang saya tekuni sampai saat ini . Dalam konteks tertentu yang menyangkut bahasa, misalnyaMelayu dapat dikategorikan sebagai etnis yang tersebar di wilayah pesisir timur Sumatera, Riau, Sambas, sampai ke wilayah timur Indonesia. Akan tetapi, dalam konteks lain yang menyangkut konsep agama dan budaya, kategori Melayu dapat saja tidak memasukkan wilayah timur Indonesia dalam kajiannya tersebut.6 Saatnya sangat tepat kalau sekarang ini kita memberi perhatian kembali pada dinamika sosial masyarakat mewujudkan kebudayaannya. Sering tidak disadari oleh yang bersangkutan dalam mewujudkannya, tetapi tidak jarang terjadi reka cipta budaya seperti apa yang diinginkannya atau dikehendaki pihak tertentu. Masyarakat Indonesia dari masa ke masa telah memperlihatkan kekhasan masing-masing dalam memberi tanggapan terhadap lingkungan alam dan kehidupannya yang berbeda-beda yang tersebar di seluruh wilayah kepulauan Nusantara. Mereka juga telah memberi respon terhadap segala perubahan dan segala gejolak sosial politik yang harus dihadapi. Menjadi Indonesia , seperti yang telah kita sadari bersama, bukan sekedar menautkan puncak-puncak kebudayaan daerah, tetapi juga berinteraksi dengan kebudayaan dunia. Kita juga harus mengakui bahwa “cultural heritage is not belong to one country but it belongs to civilization (whole word).”Warisan budaya , baik yang tangible maupun yang intangible bukan menjadi hanya milik Indonesia saja, tetapi juga milik bersama warga dunia. Dengan mengabaikan asal-usul Melayu, dari catatan sejarah Eropa abad ke-16, kita dapat mengetahui adanya masyarakat di sekitar Laut Cina Selatan dan Selat Malaka yang memiliki identitas yang sama dengan bahasa yang sama melakukan interaksi sosial politik bersama. Sebagai wilayah pesisir, sejak dulu Melayu sangat terbuka dengan berbagai pengaruh luar yang masuk dari India, Cina, Arab, Persia, dan Eropa. Sejak kedatangan Eropa, tidak ada lagi satu kekuatan politik yang menyatukan dunia Melayu di wilayah tersebut di atas. Secara berangsur-angsur wilayah kesultanan Melayu terbagi atas wilayah kekuasaan Belanda dan Inggris khususnya ketika Traktat London ditandatangani

5 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Sastra Lisan di Universitas Negeri Malang, 18 Oktober 2017. 6 Pokok pikiran berikut ini sudah pernah saya utarakan dalam diskusi Kemelayuan di Tanjungpinang. Tahunnya lupa maaf.

Page 33: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

27 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

pada tahun 2814. Terjadi perkembangan ke-Melayu-an yang berbeda-beda juga di wilayah-wilayah tersebut. Contoh kasus Melayu seperti yang diperlihatkan di atas kiranya dapat dijadikan bahan perbandingan dalam pembentukan karakter bangsa. Sebagai satu kasus peristiwa sosial budaya yang telah mempengaruhi keberadaan tradisi - tradisi yang hidup dalam komunitas masyarakat bersangkutan dalam skala yang lebih luas telah mempengaruhi pula para pelaku budaya yang terlibat di dalamnya. Tradisi –tradisi tersebut dapat dimunculkan atau hidup kembali dalam bentuk yang telah disesuaikan dengan masa zamannya. Pada situasi lain , tradisi diciptakan kembali sebagai gabungan dari berbagai tradisi yang ada atau dikreasi berdasar dari satu sumber tradisi tertentu dan pada akhirnya tradisi dapat dihidupkan kembali padahal tradisi tersebut sudah “mati” sebelumnya7. Tradisi selalu mengalami transformasi sejalan dengan dinamika sosial masyarakat itu sendiri, baik transformasi isi, bentuk, maupun keduanya dan berganti dengan tradisi yang baru yang dirasakan lebih sesuai dengan situasi, kondisi, dan minat yang berlaku. Sebagai bagian dari tradisi lisan, sastra lisan sering dianggap sebagai korpus saja yang pendekatan maupun pengkajiannya disamakan begitu saja dengan sastra tulis yang tercetak padahal proses penciptaannya berbeda. Seperti yang pernah saya utarakan beberapa kali dalam berbagai tulisan dan paparan, bahwa tradisi lisan selain merupakan warisan budaya tak benda seturut Konvensi UNESCO 2003, juga adalah suatu peristiwa sosial budaya komunitas pemilik tradisi. Kata kunci ini yang sering diabaikan dalam berbagai pendekatan , kajian, dan pengelolaannya. Peristiwa sosial budaya yang dialami para pelaku, pemilik, pengelola, dan komunitas bersangkutan yang berada dalam satu wilayah geobudaya tertentu akan membedakan tradisi yang satu dengan lainnya. Para penutur/pelaku tradisi yang merupakan sumber utama kajian mempersembahkan tradisinya dalam situasi arus deras globalisasi. Kemampuan melakukan penyesuaian dan atau penguatan keberadaan tradisinya akan mempengaruhi kebertahanan tradisi dengan peran dan fungsinya masing-masing dan pewarisannya kepada generasi penerus akan menghidupi tradisi sebagai sumber pembentukan peradaban suatu bangsa, termasuk pembentukan karakternya. Untuk membuat tradisi menjadi “living tradition” dan bukan hanya “memory tradition” diperlukan pewarisan dan pengembangan kajian tradisi sesuai dengan hakekat tradisi lisan yang dibatasi paling tidak dari pemahaman 2 ranah tersebut di atas, sebagai peristiwa sosial budaya dan sebagai bagian dari warisan budaya bangsa sesuai dengan isi Konvensi UNESCO 2003, Konvensi UNESCO 2005 , dan UU Pemajuan Kebudayaan no 5, tahun 2017. Peranan tradisi lisan (juga sastra lisan) sebagai informasi , ingatan, dan pengetahuan masyarakat pemiliknya yang telah melewati beberapa generasi tidak sama dengan sejarah lisan (yang merekam ingatan-ingatan seseorang atau sekelompok orang yang pernah mengalami atau yang masih mengingat peristiwa tertentu dalam sejarah) dan juga bukan merupakan dokumen umum semacam testimoni. Tradisi lisan juga berbeda dengan kelisanan yang dibatasi sebagai 7 Lihat lebih lanjut lihat Hobsbawn, The Invention of Tradition, 1976.

Page 34: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

28 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

tuturan / ungkapan verbal dalam sebuah masyarakat yang tidak/kurang mengenal atau yang tidak berkaitan dengan teknologi tulis dan cetak. Sebagai sebuah kajian akademis, Tradisi lisan merujuk ke seperangkat kajian maupun ke metode pendekatan tradisi yang sedang dipelajari. Penyelamatannya dapat dilakukan dengan membuat Program Preservasi (menjaga keberadaannya karena sudah terancam punah atau bahkan sudah hilang), Konservasi (merawat, melindungi, menjaga agar tetap ada), Rekonstruksi (dari yang sudah tidak ada), Revitalisasasi, dan Pengkajian ilmu. Universitas Negeri Malang,18 Oktober 2017

Page 35: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

29 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

SASTRA LISAN KEMBARAN PAPUA BARAT PENGUAT GERAKAN LITERASI

Transformasi teks Cerita Rakyat ke Audiovisual Adolina Velomena Lefaan.

FKIP Universitas Cenderawsih Email; [email protected]

ABSTRAK: Tuntutan pembangunan sumber daya manusia di era teknologi informasi, seluruh masyarakat Indonesia wajib menguasai berbagai keterampilan. Keterampilan yang sangat diperlukan adalah literasi dasar, kompetensi, dan kualitas karakter. Penulisan ini dilatarbelakangi oleh konsep implementasi literasi. Literasi menjadi hal pokok sebab, merupakan jembatan bagi interaksi ilmu pengetahuan dalam menghadapi kehidupan nyata. Tulisan ini tidak saja bertujuan untuk mengembangkan kemampuan membaca dan menulis tetapi, mencakup pembelajaran dalam mengakses, menyeleksi, mengelola, dan mengkomunikasikan informasi serta pengetahuan sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup. Ini merupakan jenis penelitian lapangan berbasis antropologi sastra; dengan menggunakan pendekatan moral; konsep Abrams.Pembahasan ini terfokuspada“Sastra Lisan Etnis Kembaran penguat Gerakan Literasi”; transformasi teks Cerita rakyat ke Audiovisual.Penelitian ini merupakan gebrakan literasi dalam penguatan pendidikan karakter di wilayah Papua Barat. Sastra Lisan kembaran yang dikemas dalam Audiovisual inimerupakan karya sastra kreatif-inovatif, sangat menyentuh psikologis. Oleh sebab, pengisahannya memberikan ajaran mengenai nilai-nilai; moral, pendidikan, dan sosial secara menyeluruh, baik di lingkugan keluarga, sekolah, maupun masyarakat pada umunya. Sastra lisan Etnis kembaran merupakan representasi produk kearifan lokal budaya Papua Barat yang menyimpan berbagai infomasi kehidupan nyata.

Kata Kunci:Sastra Lisan, Gerakan Literasi, Transformasi teks cerita rakyat

Kembaran, dan Audiovisual. Etnis Kembaran dan Fenomena Literasi di Indonesia

Kembaran merupakan nama salah satu etnis di Tanah Papua yang menempati wilayah administrasi di kabupaten Teluk Bintuni Provinsi Papua Barat. Kembaran memiliki sastra lisan yang berasal dari tradisi lisan. Sastra Lisan Kembaran merupakan cermin dan kontrol siosial bagi kehidupan Kembaran dalam melakoni keseharian hidup. Tradisi lisan Kembaran merupakan kebiasaan-kebiasan yang sudah diturun-temurunkan oleh leluhur sebagai warisan budaya kepada generasi Kembaran.

Kita ketahui bahwa pada dasarnya masyarakat hanya mengenal budaya bersastra lisan, yakni penuturan (cerita) yang diwarisi oleh leluhur dari mulut ke mulut, memiliki ajaran-ajaran moral, dan budaya sesuai dengan pola kehidupan yang dianut sejak mereka memulai peradaban di atas bumi. Sebenarnya sastra lisan itu tidak statis, apabila dilestarikan secara tepat, sebab yang melestarikan sastra lisan tersebut adalah pemiliknya. Begitu pula dengan sastra lisan Kembaran. Tidaklah semudah membalik telapak tangan dalam hal melakukan kajian mendalam untuk menggali dan melestarikan sastra lisan di wikayah Papua

Page 36: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

30 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Barat. Hal itu terjadi karena faktor-faktor; (1) belum adanya kepedulian besar dari pihak peneliti untuk memulai melakukan penelitian sastra lisan di wilayah tersebut; (2) masyarakat cukup sensitif dengan kehadiran orang lain diluar sukunya sendiri, dalam hal menggali nilai-nilai budaya setempat yang masih dianggap tabu dan mistis; (3) ada satu prinsip mendasar bahwa apabila menuturkan amanah leluhur sama seperti menjual harga diri leluhur mereka; (4) saking mistisnya menuturkan sastra lisan itu, sehingga para penutur kuatir untuk menuturkan cerita leluhurnya. Rasa itu muncul karena anggapan bahwa jika cerita yang dituturkan itu tidak sesuai akan terkena musibah hingga merambat ke anak-cucu; (5) para penutur asli atau yang diwarisi sebagai penutur,semakin berkurang (telah meninggal dunia). (6) faktor lanjut usia, memengaruhi daya ingat dalam penguasan cerita asli. (7) perlu penyesuaian dan keberanian ekstra bagi para peneliti dalam menjangkau wilayah adat dengan kondisi alam (ombak dan badai) di daerah tersebu; (8) membutuhkan besarnya finacial bagi para peneliti.

Kondisi tersebut menjadi pertimbangan besar bagi para peneliti. Dampak dari faktor-faktor tadi,memengaruhi kondisi pengembangan dan kemajuan pendidikan di wilayah itu. Tentu saja berkaitan dengan pengajaran membaca dan menulis. Walaupun terdapat pembangunan sekolah, tetapi masih sangat kekurangan tenaga pendidik, juga sumber belajar berupa buku paket dan buku penunjang.Hal ini sangat memengaruhi perkembangan pola pikir bahkan tindakan dan perilaku manusianya; seperti selalu mencurigai orang lain yang akan memasuki wilayahnya, mencurigai orang baru yang memasuki wilayahnya, dan sulit bersosialisasi dengan orang lain.

Fenomena itu sangat memengaruhi kemampuan setiap orang terhadap penguasaan keterampilan membaca dan menulis. Sejujurnya, fakta itu tidak saja terjadi di kalangan generasi muda yang berada di bangku sekolah, melainkan banyak pula masyarakat yang tidak bisa membaca dan menulis. Padahal dengan membaca, masyarakat dapat membuka cakrawala keseluruh pelosok dunia. Selain itu, kegiatan membaca dapat menambah pengetahuan sekaligus cakrawala keilmuan guna mengembangkan potensi diri. Sebab itulah, keterampilan membaca harus dikuasai oleh seluruh masyarakat Indonesia mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Keseriusan dunia dalam meningkatkan minat baca masyarakat yang dimulai dari masa pendidikan tentu harus diimbangi dengan semangat masyarakat yang dimulai dari masa pendidikan tertentu harus diimbanggi dengan semangat mayarakat untuk terus menguasai pengetahuannya melalui beragam buku bacaan.

Fenomena tersebut merupakan salah satu fakta minimnya minat membaca dan menulis dalam kalangan masyarakat Indonesia di daerah pelosok. Terkait itu, ada fakta yang menunjukan rendahnya minat baca di Indonesia. Pada tahun 2012, hasil dari PIRLS 2011 menunjukan bahwa Indonesia berada pada peringkat ke-45 dari 48 negara peserta dengan skor 428, sedangkan rata-rata adalah skor 500. Untuk uji literasi membaca dalam PISA 2009 menunjukan bahwa peserta didik Indonesia berada dalam peringkat ke-57 dengan skor 396 dan rata-rata skor OECD 493. Dalam PISA 2012, peserta didik Indonesia berada di peringkat ke-64 dengan skor 396 dan rata-rata skor 496. Dari hasil data menunjukan, minat baca pesertadidik di Indonesiatergolong rendah, sehingga hal

Page 37: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

31 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

ini tentu memiliki kesamaan dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Kondisi ini membuktikan bahwa proses pendidikan di Indonesia perlu mengadakan gerakan literasi secara massive baik ditingkat pusat maupun di daerah-daerah.

Etnis kembaran di Papua barat juga mengalami kendala yang persis dalam fakta minat membaca siswa dan masyarakat tidak memadai. Kondisi yang terjadi pada wilayah kembaran benar-benar membutuhkan sentuhan pemerintah maupun swasta yang berada disekitar wilayah tersebut. Fakta lainnya, wilayah kehidupan Kembaran sangat jauh dari jangkauan pusat ibu kota kabupaten. Sarana pembangunan sekolah ada, akan tetapi tenaga pendidik serta sumber belajar belum terjangkau secara optimal. Selain itu, perihal minat membaca tidak tergerak dari dalam keluarga sehingga satu-satunya hanya melalui jalur sekolah barulah anak mendapatkan kesempatan belajar membaca dan menulis, sera belajar pengetahuan lainnya seperti yang digagaskan dalam konsep berliterasi. Ini berarti, minat membaca wajib mendapat perhatian serius dari berbagai pihak terutama diawali dari dalam lingkungan keluarga.

Agar harapan adanyaperubahan dan peningkatan, maka perlu berbagai strategis untuk menepis ketertinggalan dan mengantisipasi keterpurukan dalam kompetensi membaca dan kompetensi menulis. Terkait itu, salah satu strategis yang dilaksanakan dalam kegiatan ini adalah metarnsformasikan teks Sastra Lisan (cerita rakyat) Kembaranke audiovisual. Ini merupakan salah satu alternatif untuk merangsang semangat berliterasi bagi masyarakat dan generasi muda yang tidak monoton. Audio-visual ini dipilih dengan pertimbangan, selain sebagai informasi pengetahuan tentang historis etnis tersebut, sekaligus memberi hiburan kepada generasi sekolah. Sebab, dalam kemasan audio tersebut ada penuturan langsung dari narasumber pemilik budaya yang dikreasikandengan gambar-gambar bervariasi sebagai pendukung ide penuturan cerita.

Disinilah yang motivasi kreatif memanfaatkan sastra lisan Kembaran di Papua Barat sebagai salah satu bentuk pendukung “Gerakan Literasi Nasional (GLN)”. Melalui tranformasi Sastra Lisan Kembaran ke Audiovisual, hati nurani masyarakat kembaran tergugah dan menjadi refleksi memahami makna amanah dibalik penuturan itu. Faktanya, dari audiovisual itu kini sudah menjadi bahan pembelajaran muatan lokal, bacaan bergambar yang sudah beredar di masyarakat Papua barat. Tidak saja sebagai konsumsi bacaan pada lingkungan sekolah-sekolah namun, telah beredar luas ke kalangan perkantoran dan masyarakat umum. Selain itu, audo-visual tersebut telah menjadi menu pengetahuan bagi pengembangan pariwisata di Papua barat. Para tamu yang berkunjung ke wilayah tersebut dapat memehami karakteristik dan jati diri Kembaran melalui tontonan audio-visual tersebut. KAJIAN LITERATUR Sastra Lisan dan Antropologi Sastra dalam penelitian Sastra Lisan

Dalam menunjang gagasan berpikir terkait konsep sastra lisan, Endraswara (2013:45) mengutip pikiran Dundes (1968:117), bahwa sastralisan merupakan “part of the more inclutive term foklore”. Folklor adalah tradisi rakyat. Istilah tradisi ini yang sering meliputi sastra lisan. Sastra lisan adalah sastra rakyat,

Page 38: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

32 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

yang memiliki tradisi turun temurun. Sastra lisan itu meliputi;teka-teki (ridlles), peribahasa (provebs), kutukan (curses)mantra guna-guna (charms), kata yang sulit diucapkan seperti raja (tonguetwisters), permainan kata-kata (puns), dan lain-lain, mungkin juga akan terjadi di wilayah kota.Sastra lisan itu sebenarnya sangat luas, bahkan cair. Sastra lisan, tidak lepas dari bahasa dan budaya. Sebab itu, Endraswara menegaskan bahwa untuk memahami sejumlah sastra lisan yang rumit diperkotaan pun memerlukan penguasaan kode bahasa, budaya, religi, dan sebaginya. Sastra lisan dapat dipahami sebagai sebuah tradisi sastra perkotaan yang dilakukan secara turun-temurun. Sastra lisan itu, tidak jelas siapa penciptanya, meskipun demikian tidak sedikit pula sastra lisan yang dilombakan dalam berbagai arena, (Endarswara, 2013:235.

Selain itu, Kutha ratna (2011:104), memberikan pemahaman mengenai dua konsep istilah, yaitu tradisi dan sastra lisan. Menurutnya, secara definitif tradisi lisan adalah berbagai kebiasaan dalam masyarakat yang hidup secara lisan, sedangkan sastra lisan (oral literature) adalah berbagai bentuk sastra yang dikemukakan secara lisan. Jadi, tradiri lisan membicarakan tradisinya, sedangkan sastra lisan membicarakan masalah sastranya. Meskipun demikian, dalam masyarakat lama sangat sulit untuk mebedakan ciri-ciri diantara keduanya. Oleh karena itulah, UNESCO (united Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) memasukan sastra lisan sebagai tardisi lisan. Menurut UNESCO, tradisi lisan meliputi, antara lain: (a) sastra lisan; (b) teknologi tradisional; (c) pengetahuan masyarakat di luar istana dan kota mertopolitan; (d) unsur religi dan kepercayaan masyarakat di luar batas formal agama-agama besar; (e) kesenian masyarakat, dan (f) berbagai bentuk peraturan, norma, dan hukum yang berfungsi untuk mengikat tradisi tersebut. Dalam sumber informasi antropologi sastra, jelas berkaitan dengan tardisi lisan maupun sastra lisan. Artinya, dalam proses kratif kedua objek, baik secara langsnug maupun tidak langsung dapat menyumbangkan berbagai masalah dalam rangka penyusunan suatu karya sastra, sehingga karya dimaksud dapat disebutkan sebagai memiliki ciri-ciri antropologis.

Karya-karya yang memuat lokalitas telah lama menggoda ahli-ahli sastra. Ada yang menyebut warna lokal, lalu ditinjau dan dibaca, dan diberi kritik secara sosiologi. Namun, tampaknya kritik sosilogi itu hampir kehilangan makna yang sesungguhnya. Oleh karena simbol-simbol budaya sering tidak selalu sama dengan simbol-simbol sosial, karya-karya yang memuat kearifan lokal sebenarnya lebih cocok dikaji dari sisi antropologi sastra. Sebab, karya yang memuat warna lokal itu sebenarnya tidak jauh, berbeda dari sebuah etnografi. Ciri tulisan etnografi dengan karya pengarang tidak jauh berbeda, yaitu (1) memuat seluk beluk perilaku manusia, (2)bermuatan hal-hal humanistis. Kedua hal itu membutuhkan tafsiran yang jitu, (Endraswara,2013:24). Ada dua paradigma dalam penelitian sastra lisan, yaitu (1) sastra lisan sebagai seni, dan (2) sastra lisan sebagai produk budaya. Kedua paradigma itu memiliki penekanan yang berbeda. Penelitian sastra kiranya juga terkait dengan dua hal berikut. Maksudnya, sastra jugabermuara pada (a) sastra sebagai ekspresi estetis, dan (b) sastra sebagai produk sosial budaya pendukungnya. Sebagai produk seni, sastra merupakan karya yang sering dibahas dalam konteks estetika, Endraswara (2013:49).Konsep pemikiran Endarswara sangat terkait dengan jenis penelitian

Page 39: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

33 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

ini sebab, penelitian ini terarah kepada praktik antropologi sastra. Konsep tersebut sejalan juga dengan pemikiran Bernard (1994:118 -120) yang dikutip oleh Endraswara (2013:60), bahwa penlitian antorpologo sastra, lebih bersumber pada tiga hal, yaitu (a) manusia /orang, (b) artikel tentang sastra, dan (3) bibliografi. Ketiga data ini sering dijadikan pijakan seorang peneliti sastra untuk mengungkap makna dibalik karya sastra. Ketiga sumber data tersebut dipandang sebagai documentation resources.

Sastra lisan yang merupakan bagian dalam etnografi etnis Kembaran ini, merupakan produk budaya yang mencerminkan jati diri kembaran. Sastra lisan ini memegang peran sangat besar dalam kehidupan adat-istiadat Kembaran. Kedatipun ada kekurangan dalam sisi kehidupan lain dikalangan Kembaran, seperti dalam bidang pendidikan dan komunikasi lebih luas. Namun, melalui sastra lisan (penuturan cerita rakyat) orang lain akan memahami siapa orang kembaran.

Untuk memahami sastra lisan Kembaran dalam kaitannnya dengan gerakan literasi, sangat diperlukan pendekatan yang tepat, sehingga implementasi itu benar-benar memberi faedah dan perubahan yang memadai. Penelitian ini berbasis budaya, sehingga implementasinya terfokus kepada kajian etnografi, yakni konsep antropologi sastra dengan pendekatan moral. Pendekatan moral adalah pendekatan yang bertolak dari dasar pemikiran bahwa karya sastra dapat menjadi media yang paling efektif untuk membina moral dan kepribadian suatu kelompok masyarakat. Berkaitan dengan konsep pendekatan moral yang dipergunakan di dalam penelitian ini. Seperti yang digagaskan oleh Wiyatmi (2006:109), pendekatan moral adalah pendekatan yang bertolak dari dasar pemikiran bahwa karya sastra dapat mejadi media yang paling efektif untuk membina moral dan kepribadian suatu kelompok masyarakat. Memang pada awalnya, karena proses pembacaan karya sastra dilakukan secara sendiri-sendiri, pembinaan moral itu berlangsung pada individu-individu. Namun, kita harus menyadari bahwa masyarakat terbagun dari individu-individu. Jadi, pembinaan moral itu berproses setahap demi tahap dari individu-individu ke masyarakat.

Pendekatan ini sebenarnya termasuk tipe pendektan pragmatik karena membahas hubungan antara karya sastra dan pembacanya, yaitu pesan moral apa yang disampaikan oleh karya sastra kepada pembaca. Adapun yang dimaksud dengan moral di sini adalah suatu norma, etika, suatu konsep tentang kehidupan yang dijunjung tinggi oleh sebagain besar masyarakat, dalam hal ini masyaraat Kembaran di Papua Barat. Moral terutama berkaitan dengan pengertian baik dan buruk. Apa yang baik dianggap sebagai bermoral, sedangkan yang buruk dianggap sebagai tidak bermoral atau amoral.

Wiyatmi mengutip gagasan Darma (1984) yang beranggapan bahwa apa saja yang disampaikan dalam sastra identik dengan moral tentu saja bukanya tanpa alasan. Karena, seperti filsafat dengan agama, sastra juga mempelajari masalah manusia. Moral dalam sastra Kembaran tampak pada amanat. Lewat amanat itulah segala pesan, termasuk moral disampaikan. Amanat mengacu pada nasehat yang diberikan oleh karya sastra kepada pembacanya. Ajaran moral yang terdapat dalam karya sastra lisan Kemabaran ini tidak secara langsung disampaikan, tetapi melalui hal-hal yang bersifat amoral, (perhatikan dengan saksama tentang penuturan kisah Mairete dalam audio-visual Kembaran). Hal ini

Page 40: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

34 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

sesuai dengan apa yang dikenal dengan karatsis pada pembaca karya sastra, (Wiyatmi 2006;110). Katarsis (catharsis) adalah pencucian jiwa yang dialami pembaca atau penonton sebuah pertunjukan. Meskipun belum mengalami katarsis pembaca atau penonton dipersilahkan untuk menikmati dan menyaksikan peristiwa-peristiwa yang sebetulnya tidak dibenarkan secara moral (perhatikan kisah sastra lisan dalam audio-visual Kembaran), adegan semacam pembuhunah ataupun penuturan yang beraah kepada sex secara lantang (saja) padahal dulunya tabu diucapkan. Pendekatan moral berusaha mengkaji dan membahas karya sastra dalam hubungannya dengan norma-norma moral atau etika yang berlaku dalam masyarakat. MOTODE

Berdasarkan jenis penelitian berbasis etnografi dengan pendekatan moral (pragmatis), maka metode yang dilakukan adalah, observasi, wawancara, focus group discusion (FGD), perekaman yang meliputi; shooting dan teknik setting dan penyuntingan hingga pembuatan audio-visual. Observasi dilakukan untuk mencatata berbagai hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian yang mencakup kondisi geografis (alam) tindakan, perilaku, karakteristik masyarakat, demografis atau hal-hal yang berkaitan dengan masalah prinsip dan jati diri Kembaran. Wawancara berkaitan dengan teknik pengumpulan data dan inforasi dilakukan melalui wawancara mendalam (depth interview) dengan narasumber dan responden terpilih secara purposive. Untuk itu dipersiapkan pedoman wawancara berstruktur, artinya pertanyaan diarahkan agar diperoleh data dan informasi sesuai dengan tujuan penelitian. Focus Group Disccusion (FGD), melakukan pertemuan dan diskusi dengan narasumber dalam jumlah terbatas dan dipandang mengetahui berbagai hal terkait tuturan sastra lisan Kembaran atau fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tahap terakhir adalah mengelolah, mengkategorikan, menganalisis data untuk disajikan dalam bentuk teks cerita rakyat dan disajikan sebagai naskah penelitian, serta melakukan shooting untuk mengahsilkan film dokumenter atau audio-visual berbasis transformasi satra lisan Kembaran dalam penguatan gerakan literasi.

PEMBAHASAN

Sebelum menyelami bahasan ini perlu kita mengetahui konsep infografis Gerakan Literasi dari pertanyaan ini. Apa itu Literasi dan gerakan literasi, serta mengapa perlu? Mengapa transformasi sastra lisan Kembaran ke audio-visual.Jawaban tersebut akan menjadi bagian pembahasan berikut! Pentingnya Literasi

Literasi berasal dari kata ‘aksara’, memiliki arti kemampuan membaca dan menulis. Literasi tidak sebatas keberaksaraan, namun mencakup pembelajaran dalam mengakses, menyeleksi, mengelola, mengkomunikasikan informasi, dan pengetahuan sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup.Mengapa kita perlu litersi. Kita berangkat dari fakta; (1) berdasarkan hasil survei internasional, kompetensi peserta didik Indonesia rendah.; (2) pada Progress in Internasional Reading Literacy Study (PIRLS) yang dilakukan setiap lima tahun dimulai sejak 2011. Indonesia ada diperingkat 45 dari 48 negara

Page 41: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

35 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

peserta. (3) uji literasi membaca dalam Programme for Internasional Student Assesmen/organisasi untuk kerja sama dan pembangunan Ekonomi (PISA) 2012. Indonesia berada pada peringkat 64 dari 65 negara peserta. (4) studi literasi intenasional, the world’s Most Literate Nations, yang meninjau perilaku literat suatu bangsa beserta sarana-sarana pendukungnya, menempatkan Indonesia di peringkat ke-60 dari total 61 negara yang disurvei, (5) mewujudkan masyarakat gemar membaca dengan meningkatkan ketersediaan bahan bacaan dan sarana perpustakaan atau taman bacaan masyarakat di daerah-daerah. (6) keberhasilan pemerintah dan masyarakat memberantas buta aksasra dan meningkatkan jumlah prosuk di Indonesia yang mampu membaca, menulis, dan berhitung perlu terus dibina dan ditingkatkan. (7) menumbuhkan budaya baca sejak dini dari lingkungan keluarga sebagai wadah gerakan bersama bagi pengiat literasi di Indonesia.

Dari hasil data itu menunjukan, minat baca peserta didik di Indonesia tergolong rendah, sehingga hal itu tentu memiliki kesamaan dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Kondisi ini membuktikan bahwa proses pendidikan Indonesia perlu mengadakan gerakan literasi secara massive baik ditingkat pusat maupun di daerah-daerah. Hal itu pun terjadi di wilayah etnis kembaran Papua barat. Kondisi wilayah yang sangat jauh dari jangkauan perkotaan serta kurangnya tenaga pendidik dan pendampingan terhadap masyarakat dalam bidang pendidikan dan sosial, mengakibatkan masyarakat tidak melek huruf.

Untuk menghadapi persaingan global di era teknologi informasi, masyarakat Indonesia harus mampu menguasai berbagai keterampilan abad 21. Keterampilan yang dimaksudkan adalah literasi dasar, kompetensi, dan kualitas karakter. Literasi menjadi hal pokok karena ia menjadi jembatan bagi interaksi antara ilmu pengetahuan dan kehidupan nayata yang dihadapi manusia. Upaya pembangunan sumber daya manusia melalui gerakan literasi harus dilakukan melalui semua sektor kehidupan. Sebagaimana tujuan pelaksanaan program literasi yaitu menumbuhkambangkan budaya literasi pada ekosiste pendidikan mulai dari keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam rangka upaya peningkatan kualitas hidup.

Implementasi gerakan litersi tidak terlepas dari tema pembangunan pendidikan pada periode 2015-2019 yakni peningkatan daya saing regional. Agar mampu bertahan di era 21, masyarakat harus menguasai 6 literasi dasar; yaitu literasi baca tulis, literasi sains, literasi teknologi informasi dan komunikasi, literasi keuangan serta literasi budaya dan kewarganegaraan. Untuk mampu bersaing masyarakat harus berpikir kritis/memecahkan masalah, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi.Untuk memenangkan persaingan kita harus memiliki karakter yang kuat, meliputi; iman dan taqwa, rasa ingin tahu, inisiatf, gigih, kemampuan beradaptasi, kepemimpinan, dan kesadaran sosial dan budaya. Sebenarnya literasi itu tidak saja diartikan sebagai kegiatan baca tulis, akan tetapi memilki makna yang lebih luas, mencakup pemahaman yang lebih baik terhadap berbagai aspek kehidupan.

Secara pragmatis UNESCO mengartikan literasi atau keaksaran sebagai rangkaian kesatuan dari kemampuan menggunakan kecakapan membaca, menulis, dan berhitung sesuai konteks yang diperoleh dan dikembangkan melalui proses pembelajaran dan penerapan di sekolah, keluarga, masyarakat,

Page 42: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

36 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

dan situasi lainnya yang relevan untuk remaja dan orang dewasa. UNESCO mengidentifikasi bahwa setidaknya dalam tiga dekade terakhir, pemahaman akan pengertian literasi telah berkembang, yakni meliputi; (a) literasi sebagai suatu rangkaian kecakapan membaca, menulis, dan berbicara; kecakapan berhitung; dan kecakapan dalam mengakses dan menggunakan informasi; (b) literasi sebagai praktik sosial yang penerapannya dipengaruhi oleh konteks; (c) literasi sebagai proses pembelajaran di mana kegiatan membaca dan menulis menjadi medium untuk merenungkan, menyelidiki, menanyakan, dan mengkritisi ilmu dan gagasan yang dipelajari; (d) literasi sebagai teks yang bervariasi menurut subyek, gender, dan tingkat kompleksitas bahasa.

Literasi tidak dipahami sebagai transformasi individu semata, melainkan transformasi sosial. Literasi memperkuat kemampuan individu, keluarga, dan masyarakat untuk mengakses kesehatan, pedidikan, serta peluang ekonomi dan politik. Olson dan Torrance juga menolak menganrtikan literasi hanya dengan tingkat melek huruf yang tinggi. Masyarakat litered adalah masyarakat yang memungkinkan terjadinya pertukaran informasi berbasis teks secara bebas dan memberikan kesempatan untuk belajar sepanjang hayat, Kemendikbud. 2017:4).

Dalam konteks kekinian, literasi memiliki definisi dan makna yang sangat luas tidak sekedar kemampuan baca, tulis, dan berhitung. Literasi bisa berarti melek ilmu pengetahuan dan teknologi, keuangan, budaya, dan kewarganegaraan, berpikir kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Dengan begitu, literasi yang dibutuhkan saat ini adalah literasi yang dapat dijadikan bekal untuk menjalani kehidupan yang berkualitas. Modal kedua untuk menjadi genarasi pemenang adalah harus menguasai kompetensi yang dibutuhkan di masa depan, yaitu kemampuan untuk berpikir kritis, kemampuan untuk kreatif, kemampuan untuk berkomunikasi, dan kemampuan untuk bekeja sama, dan modal ketiga adalah memiliki karakter mulia.

Sastra Lisan Kembaran dalam transformasi Audio-Visual Penguat Gerakan Literasi

Sastra lisan adalah kreasi estetik dari imaginasi manusia (Whellwright, 1965). Para penutur sastra lisan itu tak ubahnya dengan novelis-novelis atau penyair-penyair yang menyusun cerita panjang dengan imajinasi dan sensitivitas khusus yang kompleks, yang muncul dari rangsangan yang hebat antara permainan kekuatan alam dan manusia’. Sastra lisan itu memiliki makna-makna semantis yang diaforik, phora, ‘gerak’, dia ‘melalui’, yaitu elemen-elemen sastra lisan itu memiliki petunjuk yang tinggi dan memiliki kecocokan emotif dengan adat suku-suku yang terumuskan dalam tradisi suku-suku tersebut. Pengalaman estetis itu merupakan sesuatu yang khas manusiawi, sehingga penelitin mengenai pengalaman itu dapat berguna untuk mengenal manusia dan komunitasnya secara lebih baik dan mendalam.

Pentingnya memahami sastra lisan, terutama dalam masyarakat niksara, disebabkan karena jenis sastra ini berfungsi sebagai wadah hikmat tradisional yang mendukung konvensi, nilai sistem, adat-istiadat dan berbagai norma yang berlaku dalam masyarakat itu. Seperti yang diungkapkan Vansina (1965), sastra lisan ibarat kata-kata mutiara yang menjadi kunci memahami filosofi kerja,

Page 43: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

37 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

cinta, dan penderitaan berbagai tuturan di masa lampau. Sastra lisan (oral literature) adalah bagian dari tradisi lisan (oral tradision) atau yang biasanya dikembangkan dalam kebudayaan lisan (oral culture) berupa pesa-pesan, cerita-cerita, atau kesaksian-kesaksian ataupun yang diwariskan secara lisan dari satu generasi ke genarasi lainnya (Vanisa, 1985:27-28). Pesan, cerita, atau kesaksian-kesaksian tersebut disampaikan melalui tuturan atau nyanyian, dalam bentuk-bentuk seperti dongeng, peribahasa, balada, atau puisi. Melalui cara ini, masyarakat dapat mewariskan sejarah lisan, sastra lisan, hukum lisan, dan pengetahuan-pengetahuan lisan lainnya tanpa sistem tulisan. Seperti dikatakan Vansina,

“... tidak dapat disangkal bahwa tradisi lisan menghidupkan kembali masa lampau, karena tradisi lisan ibarat kata-kata mutiara yang menjadi kunci memahami filosofi kerja, cinta, da penderitaan para leluhur di masa lampau. Tad dapat disangkal bahwa tradisi lisan merupakan sebuah sumber pengetahuan akan masa lampau”, (Jan Vansuina, 1965:x).

Satra lisan merupakan salah satu fakta jiwa jiwa mentifact (fakta kejiwaan, yakni fakta yang terjadi dalam jiwa, pikiran, atau kesadaranmanusia, yang dituturkan dan diwariskan melalui bahasa lisan (Bdk.Kartodirdjo, 1992:176). Melalui bahasa lisan itu manusia membangun kesadaran akan dirinya dan akan seluruh tingkah lakunya dan menciptakan ruang gerak yang amat luas bagi dirinya, (Yapi Taum, 2011;8-9).

Sastra lisan dapat dimanfaatkan dalam berbagai kreasi untuk menghidupkan kembali budaya tradisi leluhur. Misalnya dengan membaca cerita-cerita rakyat seseorang akan mendapatkan informasi di dalamnya. Karena dibalik pengisahan cerita tersebut ada kontrol sosial, dan pengharapan bagi orang yang memahami kehidupan tradisi dalam suatu etnis. Selain itu, di dalam sastra lisan itu kita memahami karakteristik dari suatu etnis. Ini berarti, konsep pembentukan karakter terpatri didalam sastra lisan. Sastra lisan dapat dipergunakan sebagai media pembelajaran inretaktif-inovatif yang dikemas dalam bentuk audiovisual. Melalui kreasi tersebut mendorong seseorang menemukan makna dibalik penuturan cerita. Agar mendapatkan makna, maka seseorang akan melakukan kegiatan membaca, guna mendapatkaninformasi yang jelas. Dengan begitu, sastra lisan dapat mendukung literasi sebagaimana diprogramkan oleh pemerintah melalui kemendikbud.Nomor 23 tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti dalam mendukung gerakan literasi.

Selanjutnya, untuk meningkatkan angka literasi masyarakat Indonesia, Kementrian Pendidikan Nasional mengembangkan Gerakan Literasi Nasional (GLN). Keberadaan GLN ini diharapkan dapat mengupayakan seluruh elemen masyarakat secara luas, tanpa terkecuali. Termasuk aparat pemerintah hingga masyarakat sipil.

Ibaratnya seekor raksasa lelap tertidur dalam mimpi panjang, kini terbangun dalam sebuah langkah kreatif-inovatif untuk memperkenalkan Sastra Lisan kembaran dalam mewujudkan gerakan literasi berbasis lokal wisdom. Berangkat dari kesadaran bahwa pada dasarnya masyarakat kita adalah masyarakat niraksara, yaitu masyarakat yang belum mengenal tulisan,

Page 44: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

38 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

menggubah karya-karya sastra melalui eksplorasi bahasa yang mereka miliki, maka untuk memasuki dunia membaca dan menulis kita mesti mampu berkreasi untuk memasuki dunia modern.

Sastra Lisan kembaran merupakan tuturan cerita rakyat yang diwarisi oleh leluhur kembaran kepada generasi Kembaran di Papua barat. Sastra lisan tersebut sengaja dipilih menjadi salah media dan cara lain, untuk memotivasi masyarakat dalam mengencarkan gerakan literasi. Di dalam cerita rakyat tersebut terdapat petuah, prinsip-prinsp hidup secara tradisi yang mendasari keyakinan adat suku tersebut. Melalui substansi cerita tersebut kita mengetahui latar belakang kehidupan orangKembaran sebagai pemilik budaya bahkan mengetahui karakteristik Mereka.Konsep itu sejalan dengan tujuan dan harapan pelaksanaan gerakan literasi sekolah yang semakin gencar di laksanakan di seluruh Indonesia termasuk di seluruh Tanah Papua.

Untuk mendukung program pemerintah pusat, maka sebagai kepanjangan tangan dibutlah kreasi baru untuk dapat merangsang semangat masyarakat umum dan masyarakat sekolah sebagai strategis untuk mendukung program pemerintah. Hal tersebut seiring dengan “Permendikbud. Nomor 23 Tahun 2015 tentang “Penumbuhan Budi Pekerti melalui gerakan literasi sekolah”. Permendikbud. Menegaskan bahwa penguatan pendidikan karakter itu dapat terlaksana secara baik apabila melibatkan seluruh masyarakat secara baik. Sebenarnya penegasan permendikbud tersebut tidak saja diberlakukan kepada pihak sekolah, akan tetapi berlaku kepada semua manusia Indonesia, sehingga melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Itu berarti, tidak terbatas kepada para guru dan siswa di sekolah, tetapi membaca penting bagi seluruh manusia yang menempati kehidupan di atas bumi. Dengan melaksanakan gerakan literasi berarti menepis buta aksara. Implementasi kegiatan ini dilaksanakan melalui audiovisual dalam transformasi sastra lisan kembaran untuk mendukung gerakan literasi Indonesia.

Audio-visual Kembaran Representasi Karya Sastra Lisan di Papua Barat

Berbicara mengenai audiovisual, sama seperti kita membicarakan sebuah film yang kita sendiri lakoni dalam keseharian hidup kita. Mulai dari bangun tidur hingga tidur malam. Audio-visual adalah media yang merupakan seperangkat alat yang dapat memproyeksikan gambar bergerak dan bersuara. Panduan antara gambara dan suara membentuk karakter sama dengan objek aslinya, (ujair samaki, 2013:119). Media yang dipergunakan dalam perekaman sastra lisanKembaran ini adalah VCD.VCD ini dipergunakan untuk merekam sastra Lisan kembaran yang substansi ceritanya dituturkan langsung oleh para pewaris cerita.

Page 45: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

39 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Audio-Visual Identitas Kembaran dalam sastra Lisan Kembaran Papua barat.

Pemilihan media serta penuturan cerita oleh penutur, dengan maksud untuk merefleksikan kehidupan etnis Kembaran terkait sastra lisannya yang sebenarnya hampir punah. Mengapa punah? Setelah menyelami melalui penelitian mendalam ternyata jumlah narasumber asli pemilik cerita berdasarkan kriteria penelitian naturalis terhitung 15 orang saja. Dengan usia 45-70 tahuun selain itu daya ingat sebagaian sudah mulai menurun oleh faktor usia. Melalui perekaman audio visual itu, dapat merekam secara baik mengenai tuturan yang dilakukan oleh penutur asli.

Secara akademisi hasil perekaman ini merupakan tindak lanjut dari penelitian tesis yang kemudian memengaruhi perkembangan kehidupan masyarakat adat bersangkutan. Oleh sebab, implementasi seperti ini baru terjadi di wikayah adat etnis kembaran Tanah Papua. Artinya, baru pertama kali dilakukan penelitian sastra lisan dan pembuatan audio visual berbasic etnografi Tanah Papua. Memang ada beberapa film yang berkaitan dengan kehidupan orang di tanah Papua seperti, judul film “senandung di atas awan”, yang disutradarai oleh Ari Sihasale, filmdengan judul” tanjung kelapa dari Kabupaten Merauke”, “Cinta dari Wamena”, dan lain-lain, akan tetapi substansi pengisahan ini sangat berbeda. Audio-visual kembaran ini benar-benar terfokus kepada kajian tradisi dan sastra lisan (Mitos) yang mengagaskan pemertahanan jati diri arang asli Papua di Teluk Bintuni Papua Barat.

Audio-visual ini merupakan transformasi cerita rakyat asli etnis Kembaran yang merepresentasikan seluruh cerita di Tanah Papua. Ini merupakan salah satu strategis dalam konsep pembelajaran berbasis lokal wisdom di tanah Papua (untuk Papua dan Papua Barat). Sebuah catatan baru, bagai seekor raksasa yang terbagun dari tidurnya. Ternyata audio visual ini sangat memengaruhi masyarakat adat dan generasi di tanah Papua Barat, sehingga tergugah mendengar penuturan asli para narasumber. Tidak saja itu, bahkan audio tersebut menjadi bahan pengetahuan dan refleksi tentang tatanan kehidupan etnis di tanah Papua serta menjadi kontrol sosial dalam pembentukan karakter manusianya.

Sastra Lisan kembaran persis dengan sastra lisan di Tanah Papua lainnya yang menyimpan berbagai warisan budaya dengan mistisme yang sangat mengental. Kemasan cerita dalam tarnsformasi itu telah mampu menjadi sumber

Page 46: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

40 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

pembelajaran lokal di wilayah Papua barat. Perlu diketahui bahwa, isi peeenuturan cerita dalam kemasan audio visual itu telah dibedah secara akademisi melalui kegiatan pelantikan HISKI Papua pada tanggal 28 April 2016 di Grand Hotel Abe Jayapura oleh Prof. Suwardi Endraswara. Selain itu, audio-viasual tersebut telah dipergunakan dalam pelantihan/bimbingan teknik penturan cerita rakyat sebagai pelaksanaan program Kemendikbud terutama terhadap implementasi “permendibud. nomor 23 tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti dan gerakan Literasi”, di Tanah Papua. Kegiatan tersebut dilakukan melalui Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Papua Barat (LPMP Papua Barat) dan isi cerita dalam audio tersebut telah menjadi lomba penuturan cerita rakyat bagi para guru dan siswa di wilayah Papua Barat pada tahun 2017. Ini berarti audio visual yang merupakan transformasi sastra lisan kembaran mampu melaksanakan program kerja sama dengan pemerintah maupun swasta yang bermitra dalam menyukseskan pendidikan terutama gerakan literasi di Tanah Papua.

Kondisi sosio-kultural Indonesia menunjukkan bahwa negeri ini senyatanya kaya akan produk-produk kebudayaan, terutama karya sastra lisan yang bernuasna etnik. Tanah Papua sendiri memilki lebih dari 275 bahasa dan budaya termasuk (sastra lisan). Ini berarti negara kita ini tidak saja memiliki multietnik, multilingual, tetapi juga multimental.

PENUTUP

Untuk menghadapi persaingan global di era teknologi informasi, masyarakat

Indonesia harus mampu menguasai berbagai keterampilan abad 21. Keterampilan yang dimaksudkan adalah literasi dasar, kopetensi, dan kualitas karakter. Literasi menjadi hal pokok karena ia menjadi jembatan bagi interaksi antara ilmu pengetahuan dan kehidupan nayata yang dihadapi manusia. Upaya pembangunan sumber daya manusia melalui gerakan literasi harus dilakukan melalui semua sektor kehidupan.sebagaimana tujuan pelaksanaan program literasi yaitu menumbuhkambangkan budaya literasi pada ekosiste pendidikan mulai dari keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam rangka upaya peningkatan kualitas hidup.

Sastra Lisan kembaran merupakan tuturan cerita rakyat yang diwarisi oleh leluhur kembaran kepada generasi Kembaran di Papua barat. Sastra lisan tersebut sengaja dipilih menjadi salah media untuk memotivasi masyarakat dalam mengencarkan gerakan literasi. Di dalam cerita rakyat tersebut terdapat petuah, prinsip-prinsp hidup secara tradisi yang mendasari keyakinan adat suku tersebut. Melalui substansi cerita tersebut kita mengetahui latar belakang kehidupan orang Kembaran sebagai pemilik budaya bahkan mengetahui karakteristik Mereka. Konsep itu sejalan dengan tujuan dan harapan pelaksanaan gerakan literasi sekolah yang semakin gencar di laksanakan di seluruh Indonesia termasuk di seluruh Tanah Papua.

Untuk mendukung program pemerintah pusat, maka sebagai kepanjangan tangan dibutlah kreasi baru untuk dapat merangsang semangat masyarakat umum dan masyarakat sekolah sebagai strategis untuk mendukung program pemerintah. Hal tersebut seiring dengan “Permendikbud. Nomor 23 Tahun 2015

Page 47: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

41 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

tentang “Penumbuhan Budi Pekerti melalui gerakan literasi sekolah”. Permendikbud. Menegaskan bahwa penguatan pendidikan karakter itu dapat terlaksana secara baik apabila melibatkan seluruh masyarakat secara baik. Sebenarnya penegasan permendikbud tersebut tidak saja diberlakukan kepada pihak sekolah, akan tetapi berlaku kepada semua manusia Indonesia, sehingga melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Itu berarti, tidak terbatas kepada para guru dan siswa di sekolah, tetapi membaca penting bagi seluruh manusia yang menempati kehidupan di atas bumi. Dengan melaksanakan gerakan literasi berarti menepis buta aksara. Implementasi kegiatan ini dilaksanakan melalui audiovisual dalam transformasi sastra lisan kembaran untuk mendukung gerakan literasi di Indonesia.

Daftar Rujukan Abram, M.H.1976. The Miror and the Lamp. London: Oxford University Press. Budiman, Kris.1994. Wacana Sastra dan Ideologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Endraswara, Suwardi. 2013.Metode penelitian Antropologi

Sastra.Yogyakarta:Ombak. Endraswara, Suwardi. 2009. Metode Penelitian Folklor;Konsep, Teori, dan

aplikasi. Yogyakarta: PT BUKU KITA. James, Danandjaja.2002. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustakan Utama Grafiti. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Diretorat Jenderal Anak usia Dini

dan Pendidikan Masyarakat. Jakarta: Laporan Literasi Nasional tahun 2017.

Kementerian Pendidikan dan kebudayaan. 2017. Peta Jalan Gerakan Literasi Nasional tahun 2017-2020

Kutha, ratna. 2011. Antropologi Sastra. Yoyakarta:Pustaka pelajar. Kutha, ratna. 2014. Peranan karya sastra, Seni, dan Budaya dalam Pendidikan

Karakter.Yoyakarta: Pustaka pelajar. Luxemburg, Jan Van, dkk.1989. Pengantar Ilmu Sastra. Terjemahan Dick

Hartoko. Jakarta: Gramedia. Pudentia. 2015. Metodologi kajian tradisi Lisan.Yayasan Obor Indonesia. Pusat Majalah Sastra. 2010. Sastra, Etnisistas, Politik, Kosmopolotanitas.

Jakarta. Sanaky, Hujair. 2013. Media pembelajaran Interaktif-Inovatif.

Kaukabadipantara: Yoyakarta. Taum, Yapi. 2011. Studi Sastra Lisan. Lamera. Yogyakarta. Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian sastra. Pustaka: Yigyakarta.

Page 48: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

42 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

WUJUD NILAI BUDAYA SIRINA PACCEDALAM CERITA RAKYAT

ANAK SULAWESI SELATAN

Alamsyah

Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana Universitas Negeri Malang E-mail : [email protected]

Abstrak

Latar belakang dari penelitian ini sehingga meneliti wujud nilai-nilai

budaya Siri Na Pacce yang terdapat dalam cerita rakyat anak Sulawesi Selatan, karena dalam Siri Na Paccemengandung nilai bagaimana mempertahankan ataumembela harga diri sendiri dan orang lain utnuk meningkatkan harkat dan martabat sebagai manusia. Cerita rakyat anak Sulawesi Selatan sebagai sumber kajian, karena dalam cerita rakyat anak tersebut terdapat nilai moral, pendidikan terutama nilai budaya Sulawesi Selatan yang disebut dengan budaya Siri Na Pacce. Penelitian ini akan mendeskripsikan wujud nilai budaya Siri Na Pacce yang tergambarkandalam cerita rakyat anak Sulawesi Selatan

Pendekatan dalam penelitian ini pendekatan sosiologissastra yang mengangkat cerita rakyat anak asal Sulawesi Selatan, karenakualitatif secara keseluruhan memanfaatkan cara-cara penafsiran dan menyajikan dalam bentuk deskripsi. Motode kualitatif penelitian ini digunakan untuk mengkaji wujud nilai Siri Na Pacce dalam cerita rakyat anak Sulawesi Selatanberupa tindakan -tindakan, kata, kalimat maupun wacana. Sumber data penelitian ini berupa dokumen naskah cerita rakyat anak Sulawesi Selatandiambil dari web sebanyak sembilan naskah cerita rakyat anak. Data penelitian ini berupa satuan cerita,narasi maupun dialog para tokoh yang menunjukkan aplikasi nilai budaya Siri Na Pacce dalam sembilan naskah cerita rakyat anak Sulawesi Selatan.

Hasil penelitian ini disimpulkan bahwawujud nilai budaya Siri Na Pacce dalam cerita rakyat anak Sulawesi Selatanmenyangkut nilai Siri’eri Allah Ta’alah (menjaga harga diri terhadap Allah SWT) terdapatlima nilai. Nilai Siri’eriwatakkaleta (menjaga harga diri sendiri) terdapat sembilan belas nilai. Nilai Siri’eripadattarupatau (menjaga harga diri terhadap orang lain) terdapat tiga puluh tiga nilai. Kata Kunci: nilai budaya, siri na pacce, cerita rakyat anak.

Bangsa Indonesia kaya keragaman budaya. Keragaman budaya yang dimiliki

masyarakat Indonesia dapat dilihat dari kekayaan sastra yang dimilikinya, termasuk cerita rakyat. Cerita rakyat di Indonesia yang berjumlah sangat banyak di setiap daerah di pelosok nusantara mempunyai cerita rakyat. Masyarakat Indonesia terdiri atas berbagai etnik dan hal tersebut memberikan suatu gambaran yang nyata tentang keberagaman budaya Indonesia yang mengandung berbagai sastra daerah.

Page 49: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

43 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Sastra daerah merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan sastra daerah itu dapat dikatakan masih berkisar pada sastra lisan. Sastra lisan atau sastra tradisional (traditional literature) merupakan suatu bentuk ekspresi masyarakat pada masa lalu yang umumnya disampaikan secara lisan. Sastra lisan tetap hidup dalam segala perubahan zaman. Sastra lisan sebagian besar masih tersimpan di dalam ingatan orang tua atau orang yang bercerita yang jumlahnya semakin berkurang.

Sebagai kekayaan sastra, cerita rakyat yang merupakan bagian dari sastra lisan perlu dikembangkan karena mengandung nilai-nilai budaya, norma-norma, dan nilai-nilai etika serta nilai moral yang bermanfaat bagi masyarkat. Melalui cerita rakyat dapat diketahui gambaran mengenai berbagai aspek kehidupan masyarakat pendukungnya dan dapat pula membina pergaulan serta pengertian bersama sebagai suatu bangsa yang memiliki aneka ragam kebudayaan.

Cerita rakyat masa sekarang terus mengalami perkembangan. Cerita rakyat pada masa lalu bersifat sastra lisan dan sekarang mulai dibukukan, bahkan ada juga yang sudah dipublikasikan dalam web. Salah satu dari sekian banyak warisan budaya di Indonesia adalah cerita rakyat anak. Cerita rakyat anak merupakan satu jenis cerita yang hidup dan berkembang sampai saat ini. Cerita rakyat anak juga memainkan peranan penting dalam usaha pembinaan dan pengembangan kebudayaan Nasional, terutama dalam pembangunan rohani anak bangsa Indonesia secara umum dan masyarakat Sulawesi Selatan pada khususnya, serta cerita rakyat anak juga banyak memberikan pesan nilai budaya, moral, dan nilai karakter maupun pengajaran yang penting untuk anak.

Cerita rakyat anak Sulawesi Selatan selain bersifat hiburan juga dapat menjadi alat untuk memelihara dan menurunkan buah pikiran suatu suku atau bangsa pemilik sastra tersebut pada generasi penerus. Sesungguhnya orang yang bercerita pada dasaranya ingin menyampaikan pesan atau amanat yang dapat bermanfaat bagi watak dan kepribadian para pendengarnya khusunya pada anak. Isi dari cerita rakyat anak itu sendiri tidak pernah lepas dari nilai budaya di suatu tempat tersebut, karena budaya mengandung arti kebiasaan, kepercayaan, seni, moral dan adat istiadat yang dianut oleh masyarakat itu (Taylor dalam Sulaeman, 1998:10).

Cerita rakyat anak Sulawesi Selatan juga selalu berhubungan dengan kepercayaan dan merupakan peradaban yang erat pula hubungannya dengan kehidupan. Untuk itu cerita rakyat anak Sulawesi Selatan merupakan bahan analisis yang tepat untuk memahami tingkah laku, pikiran dan falsafah kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan pada masa lalu untuk ditanamkan dalam masayarakat terutama bagi anak masa kini.

Cerita rakyat anak Sulawesi Selatan lahir karena kebiasaan masyarakat dalam berinteraksi sosial, jadi nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat anak tersebut mengandung nilai moral, pendidikan terutama nilai budaya Sulawesi Selatan yang disebut dengan budaya Siri Na Pacce. Budaya Siri Na Pacce merupakan salah satu nilai budaya yang menyuruh kita untuk saling menghargai antar sesama manusia. Mannahao (2010:5) mengatakan Siri Na Pacce berarti bagaimana mempertahankan atau membela diri sendiri maupun orang lain untuk meningkatkan harkat dan martabat sebagai manusia.

Page 50: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

44 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Nilai yang terdapat dalam Siri Na Pacce sudah mencakup konsep hidup untuk membentuk karakter diri terutama membentuk karakter anak. Siri Na Pacce mengajarkan untuk menanamkan ke dalam diri untuk memelihara hubungan baik secara vertikal maupun secara horizontal. Hubungan vertikal yang dimaksud disini yaitu hubungan kita terhadap Sang Pencipta Allah SWT, sedangkan hubungan horizontal yang dimaksud disini adalah diri sendiri maupun sesama manusia.

Penelitian ini merupakan salah satu usaha untuk memperkenalkan dan mengangkat kembali sebagian kecil dari cerita rakyat yang ada di Sulawesi Selatan. Penelitian ini juga sebagai usaha untuk memperkenalkan budaya Siri Na Pacce yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan memiliki kebudayaan atau kesenian tersendiri, sebagai mana daerah lainnya yang ada di Indonesia khusus mengenai nilai-nilai didaktis yang terkandung pada cerita rakyat anak Sulawesi Selatan. Tingkatan nilai Siri Na Pacceyang harus dipahami sebagai acuan dalam bertindak dan berucap terbagi menjadi tiga tingkatan Siri’ yaituSiri’e ri Allah Ta’alah (menjaga harga diri terhadap Allah SWT), Siri’e riwatakkaleta (menjaga harga diri sendiri), dan Siri’e ripadatta rupatau (Mannahao (2010:27). Nilai dalam Siri’ Na Pacce mengajarkan kita mempertahankan dan membela diri maupun orang lain untuk meningkatkan harkat dan martabat kita sebagai manusia, seperti yang terdapat pada gambar dibawa ini.

\ Untuk mencapai keberhasilan, maka dari tingkatan Siri Na Pacce ini,

diperlukan kombinasi kemampuan memimpin dan mengelola atau biasa disebut leader manager yang mampu menetapkan visi untuk dicapai sekaligus mampu memetakan bagaimana mencapainya. Proses pengenalan terhadap ketiga jenis Siri Na Pacce (menjaga harga diri) yang ada sebagaimana gambar berikut.

Siri’ ri Allah Ta’ala

Siri’e riwatakkaleta

Siri’e ripadatta rupa tau

Gambar. 1. Timpa’ Laja dari Siri’ Na Pacce (Mannahao, 2010:28)

Siri’ ri Allah

Ta’ala

Siri’e

riwatakkaleta

Refleksi diri

Kelola diri

Leadership

Page 51: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

45 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Refleksi diri dapat berupa pengenalan terhadap kekuatan dan kelemahan,

pengenalan potensi dan Tuhan itu sendiri. Kelola diri dapat berupa proses belajar, latihan dan ibadah. Sementara aktualisasi diri dapat berupa pembuatan produk, mengajar dan interaksi sosial. Ketiga nilai Siri Na Paccetersebut sangat penting dipahami dan ditanamkan dalam diri oleh anak sejak dinisebagai sarana pembentukan karakter mereka.Prinsip nilai Siri Na Pacce menyangkut tiga nilai tersebut yang telah disebutkan di atas yaitu Siri’ (harga diri) yaitu Siri’e ri Allah Ta’alah (menjaga harga diri terhadap Allah SWT), Siri’e riwatakkaleta (menjaga harga diri sendiri), dan Siri’e ripadatta rupatau (menjaga harga diri terhadap orang lain), dibagi menjadi beberapa indikator yaitu. 1) Siri’e ri Allah Ta’ala (menjaga harga diri terhadap Allah SWT)

Siri’e ri Allah Ta’ala ataumenjaga harga diri terhadap Allah SWTyang dimaksud disini adalah menjaga harga diri kita dihadapan Sang Pencipta dengan cara menanamkan sifat berupa ketakwaan diri kepada Allah. Adapun aspek nilai dan indikator Siri’e ri Allah Ta’ala sebagai berikut.

No Nilai Siri’e ri Allah Ta’ala (malu terhadap Allah)

Indikator

1 Doa (pray) Meminta kepada Allah segala sesuatu apapun itu, baik doa seseorang terhadap Allah maupun permintaan kepada Allah oleh orang yang terdekat (orang tua ke anak/anak ke orang tua)

2 Sikap saleh (devout) mencurahkan perhatian untuk bertindak berdasarkan ketaatan kepada ajaran agama atau pemenuhan terhadap kewajiban-kewajiban agama, tulus, dan ikhlas.

3 Syukur (grateful) Mewujudkan rasa terima kasih kepada Tuhan dengan perilaku yang semakin meningklatkan iman dan takwa atas segala kenikmatan yang diberikan oleh Tuhan.

4 Komitmen (commitment) Secara emosional, fisik, dan secara intelektual merasa terikat kepada suatu kewajiban da nada panggilan jiwa yang kuat untuk melaksanakannya..

5 Menhormati Sang Pencipta (respect for creator)

Menghargai Sang Maha Pencipta dengan ditunjukkan melalui perilaku iman dan takwa serta rasa syukur atas segala nikmatNya.

Gambar. 2. Siri’ Na Pacce Sebagai Model Manajemen (Mannahao, 2010:29)

Tabel 1 Indikator Siri’e ri Allah Ta’ala (menjaga harga diri terhadap Allah SWT) (Samani & Hariyanto, 2012:116-133)

Malu terhadap Orang lain Aktualisasi

diri

Management

Page 52: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

46 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

6 Kesediaan (availability) Selalu siap melayani dan menganggap rencana dan prioritas pribadi yang sekunder.

7 Iman/Takwa (faith) Kepercayaan yang tinggi terhadap adanya Tuhan Sang Maha Pencipta dengan berbuat sesuai perintah dan tuntutan-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya.

8 Amanah, dapat dipercaya (trusworhthiness)

Jujur, dapat dipegang janjinya tidak pernah berbohong, berkomitmen tinggi untuk menjalankan kebenaran.

2) Siri’e ri watakkaleta (menjaga harga diri sendiri)

Siri’e ri watakkaleta ataumenjaga harga diri sendiriyang dimaksud disini adalah merupakan sifat yang harus ditanamkan dan dikembangkan dalam diri kita. Menjaga harga diri sendiri (Siri’e ri watakkaleta)menjadi sangat penting bagi kita untuk senantiasa memupuk dan menumbuhkan supaya kita tidak menurunkan harkat dan martabat diri kita sendiri. Sehingga kita bisa berkembang dalam mencapai pendewasaan diri. Adapun aspek nilai dan indikator Siri’e ri watakkaleta ataumenjaga harga diri sendiri sebagai berikut.

No Nilai Siri’e ri watakkaleta (malu terhadap diri sendiri)

Indikator

1 Kehati-hatian (cautiousness)

Tahu pentingnya waktu yang tepat dalam menyelesaikan hal-hal yang benar, bersifat cermat dan teliti sebelum bertindak.

2 Ketabahan (endurance) Kekuatan hati untuk menahan besarnya cobaan dan rintangan sehingga melakukan hal yang terbaik.

3 Keingintahuan, dan kepenasaranan (couriosity)

Keinginan untuk menyelidiki dan mencari pemahaman terhadap rahasia atau sesuatu yang terjadi.

4 Kerajinan (diligence) Mempertaruhkan seluruh tenaga dan pikiran untuk menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan.

5 Keharuan, rasa iba (compassion)

Memiliki rasa iba yang diwujudkan dengan melaksanakan apapun yang diperlukan untuk menyembuhkan sakit (baik fisik maupun hati) orang lain.

6 Akal sehat (common sense)

Menggunakan pertimbangan-pertimbangan yang baik dan matang sebelum bertindak.

7 Keberanian (boldness) Memiliki keyakinan untuk berkata atau berbuat apa yang dianggap benar, betul dan adil..

8 Terampil dan cekatan (dexterous)

Terampil menggunakan tangan, memiliki keterampilan mental, cekatan dan tangkas.

9 Daya tahan, keuletan (perseverance)

Tetap tahan dalam bertindak, dalam mempertahankan tujuan atau suatu keadaan terutama dalam hal banyaknya rintangan, kendala tantangan atau hal-hal yang mengecewakan.

10 Kewaspadaan (alertness) Menyadari apa yang sedang terjadi di sekeliling dan meresponnya secara tepat dan benar.

Tabel 2Indikator Siri’e riwatakkaleta (menjaga harga diri sendiri) (Samani & Hariyanto, 2012:116-133)

Page 53: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

47 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

11 Kecerdasan (discernment) Memahami semua alasan di balik apa saja yang terjadi.

12 Kecerdikan (cleverness) Kemampuan untuk berfikir cemerlang, cepat, dan orisinil.

13 Keantusiasa, kegairahan (enthusiasm)

Menyatakan semangat dan kegairahan dalam menjalankan semua tugas sehingga memberikan upaya yang terbaik.

14 Keyakinan (faith) Meyakini bahwa tindakan-tindakan yang melandasi karakter yang baik akan memanen hasil yang baik, walaupun tidak tahu berupa apa hasil itu.

15 Sifat mengormat/menghargai kehormatan (respect)

Menghargai diri sendiri, orang lain. Memperlakukan orang lain seperti keinginan untuk dihargai, beradab dan sopan, tidak melecehkan dan menghina orang lain.

16 Kecerdasan/panjang akal (resorce fullness)

Melakukan sesuatu dengan bijak hal-hal yang oleh orang lain mungkin tidak pernah dipirkan olehdia .

17 Analitis (analytic) Sikap dan perilaku yang gemar menalar dan bertindak berdasarkan presepsi bagian-bagian atau interrelasi sebuah subjek.

18 Antisipatif (anticipative) Suatu karakter yang ditandai oleh keberanian, keteguhan untuk melakukan antisipasi.

19 Kreativitas (creativity) Melaksanakan pemenuhan kebutuhan, penyelesaian tugas, atau perwujudan gagasan dengan perspektif baru.

20 Bersifat yakin (desicivenss)

Kecakapan untuk mengetahui factor-faktor kunci yang diyakini diperlukan untuk meraih keberhasilan sehingga mampu membuat keputusan final yang sulit.

21 Ketetapan hati/keteguhan hati (determination)

Bertujuan merampungkan tujuan yang benar pada waktu yang tepat, tanpa takut adanya penentang, dan tanpa takut adanya berbagai rintangan.

22 Dinamis (dynamic) Menggunakan kekuatan sosial, kekuatan moral, dan kekuatan intelektual untuk menghasilkan aktivitas dan perubahan dan keluar dari situasi rutin tertentu.

23 Disiplin (discipline) Sikap dan perilaku yang muncul sebagai akibat dari pelatihan atau kebiasaan menaati aturan, hukum atau perintah.

24 Daya upaya usaha (effort) Bertindak dan berusaha sebaik-baiknya dengan penuh perhitungan dan hati-hati sehingga siap untuk memberikan yang terbaik (giving the best)

25 Keluwesan (flexibility) Keberanian untuk mengubah rencana atau gagasan tanpa harus menyesalinya.

26 Kesahajaan, ugahari (frugality)

Memanfaatkan sumber daya secara efektif dan hemat.

27 Kebahagiaan (heppiness) Suatu kualitas di mana hadir kesenangan, ketentraman dan kepuasan terhadap apa-apa yang telah tercapai.

28 Inovatif (innovative) Menggunakan atau menghasilkan metode atau gagsan yang baru atau produk yang baru.

29 Integritas (integrity) Selalu mencoba melakukan yang benar, mewujudkan apa yang pernah diomongkan atau dijanjikan, hidup

Page 54: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

48 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

berlandaskan etika, mau belajar dari kekalahan dan kegagalan.

30 Keriangan (joyfulness) Tetap mempertahankan sikap yang baik walaupun dalam kondisi yang tidak menyenangkan.

31 Kecermatan (meticulousness)

Benar-benar teliti dan hati-hati membuat perhitungan dengan akurat baik dalam bertindak maupun bersikap.

32 Kerapian (orderliness) Menjaga diri dan lingkungan kerja sekeliling agar mencapai efisiensi yang terbesar.

33 Kebanggaan (pride) Merasa puas karena telah berbuat sesutau yang paling baik.

34 Suka memecahkan masalah (problem solving)

Menciptakan dan merancang pemecahan masalah dari sesuatu situasi yang sulit maupun masalah yang dijumpai sehari-hari.

35 Produktivitas/produktif (productivity)

Selalu meningkatkan kinerja diri dan kontribusi terhadap masyarakat.

36 Reflektif (reflektife) Gemar melakukan perenungan (kontemplasi) mampu menghasilkan suatu refleksi tentang apa saja hikmah pembelajaran yang diterima.

37 Menghargai kesehatan (resfect for health)

Menghargai dan menjaga kesehatan diri pribadi, kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan.

38 Pengambilan resiko (risk taking)

Cenderung untuk terikat pada suatu perilaku yang berpotensi mengandung bahaya tetapi juga memberikan kesempatan untuk meraih hasil yang amat positif dalam suatu iklim entrepreneur.

39 Kepercayaan diri (self-confidence)

Percaya pada diri sendiri, pada kecakapan diri sendiri, sikap mental yang percaya sepenuhnya dan bergantung pada kemampuan sendiri.

40 Kontrol diri (self-control) Menolak keinginan yang jahat dan burukdan mengerjakan yang baik-baik saja.

41 Disiplin diri (self-discipline)

Mengontrol tindakan, perilaku, dan kebiasaan diri sendiri.

42 Mandiri (self-supporting) Mampu memenuhi kebutuhan diri sendiri dengan dengan upaya sendiri dan tidak bergantung kepada orang lain.

43 Rasa humor (sense of humor)

Bersiap tertawa dan bermain-main tanpa mengganggu orang lain.

44 Kesederhanaan (simplicity) Suatu kualitas atau keadaan tentang bagaimana berlaku sederhana itu, tidak suka pamer dan bermewah-mewah, tidak berpikiran melit dan rumit.

45 Ketulusan hati (sincerity) Secara teguh melaksanakan apa yang benar dengan motif yang transparan, tanpa mengharapkan adanya pujian atau balasan dari orang lain.

46 Sikap berhemat (thriftiness)

Menjadikan diri atau orang lain hanya berbelanja untuk sesuatu yang benar-benar diperlukan.

47 Kebajikan (virtue) Moral yang unggul terjadi dalam kehidupan diri karena secara konsisten mengerjakan yang baik dan benar.

Page 55: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

49 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

48 Visi (vision) Memiliki kemampuan untuk membangun fajar baru, bekerja dengan imajinasi tentang apa yang dapat terjadi di masa depan, imajinasi tersebut bukan sekedar khayalan tetapi dilandasi berbagai wawasan, penuh perhitungan dan keberanian.

49 Etos kerja (work ethic) Keyakinan akan adanya manfaat moral serta kecakapan melekat yang diperoleh dari bekerja sehingga dapat memperkuat karakter.

3) Siri’e ripadatta rupa tau (menjaga harga diri terhadap orang lain) Siri’e ripadatta rupa tau atau menjaga harga diri terhadap orang lainyang

dimaksud disini adalah sifat yang harus ditanamkan dan dikembangkan dalam diri karena menyangkut dengan orang lain sebagai mahkluk sosial, sehingga kita bisa hidup bersama dalam suatu masyarakat dengan damai. Adapun aspek nilai dan indikator Siri’e ripadatta rupa tau atau menjaga harga diri terhadap orang lainsebagai berikut.

No Nilai Siri’e ripadatta

rupa tau (malu terhadap orang lain)

Indikator

1 Kebijaksanaan (discretion)

Mengenal dan menjauhi kata-kata, tindakan, dan sikap yang dapat menimbulkan akibat-akibat yang tidak diinginkan, atau dapat menyakiti hati orang lain.

2 Keramah tamahan (hospitality)

Riang dan tulus berbagi, perlindungan, dan persahabatan dengan orang lain.

3 Keadaban (Civility) Memiliki sifat santun dan beradab, beretika, selalu menghormati orang lain.

4 Cinta, suka (love) Suatu perasaan yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku yang mencerminkan kasih sayang yang dalam yang penuh kelembutan terhadap orang lain, sehingga timbul perasaan memilki satu sama lain.

5 Penuh kasih sayang (affectionate)

Memiliki dan menunjukkan perasaan penuh kasih sayang, mencintai dan bersikap penuh kelembutan.

6 Kesantunan (courtesy) Berperilaku sopan santun, berbudi bahasa yang halus sebagai perwujudan rasa hormatnya kepada orang lain.

7 Sikap berempati (empathetic)

Bertindak, berpartisipasi dan terlibat sesuatu berlandaskan empati, ikut merasakan penderitaan dan kesedihan yang menimpa orang lain.

8 Rasa hormat (deference) Secara sadar membatasi keleluasaan diri sehingga tidak menyakiti hati dan perasaan orang lain yang dihormatinya.

9 Sifat adil, jujur dan sportif (fairness)

Mengatakan yang sebenarnya, bermain seperti aturan main, tidak menyalahkan orang lain karena kesalahan sendiri, tidak mengambil keuntungan dari orang lain, dan tidak bertindak sewenang-wenang.

Tabel 3 Indikator Siri’e ri padattarupatau (menjaga harga diri terhadap orang lain) (Samani & Hariyanto, 2012:116-133)

Page 56: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

50 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

10 Persahabatan (friendship) Menjalin dan memelihara persahabatan melalui saling percaya dan saling peduli.

11 Sifat suka kerja sama, gotong royong (cooperativeness)

Tindakan dan sikap mau bekerja sama dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama dan keuntungan bersama.

12 Kearifan, kebijakan (wisdom)

Melaksanakan penerapan praktis kebenaran dalam hidup sehari-hari.

13 Kepedulian (careness) Memperlakukan orang lain dengan penuh kebaikan dan kedermawanan, peka terhadap perasaan orang lain, siap membantu orang yang membutuhkan pertolongan, tidak pernah berbuat kasar dan menyakiti hati orang lain.

14 Kemanusiaan (humanity) Suatu kualitas yang menunjukkan bagaimana bersikap sebagai manusia dengan selalu bersikap dan berperilaku penuh kebajikan.

15 Ketepatan waktu (puncturality)

Menunjukkan kehormatan diri kepada orang lain dengan melakukan sesuatu yang benar pada saat yang tepat.

16 Pandai berterima kasih (gratefulness)

Melalui ucapan, sikap, atau tindakan diri pribadi, atau melakukan sesuatu yang terbaik bagi orang yang lain sebagai balasan karena mereka pernah memberikan jasa terbaiknya.

17 Perhatian (attentiveness) Menunjukkan perhatian pada seseorang atau kepada tugas sepenuhnya.

18 Kebajikan (bemevolence) Mementingkan kebutuhan dasar orang lain tanpa memilki motif untuk mendapatkan pujian/hadiah secara personal.

19 Kepekaan(sensitivity) Menggunakan seluruh kepekaan pancaindra untuk menilai sikap atau emosi orang lain.

20 Kejujuran (truthfulness) Menyampaikan/mengatakan secara benar dan akurat fakta-fakta yang terjadi dimasa lalu.

21 Pemberi maaf (forgiveness)

Menghapus semua catatan kesalahan dari seseorang yang pernah berbuat salah.

22 Keberanian (courage) Tetap teguh memegang kebenaran, tidak peduli dengan tekanan negatif, tidak takut gagal, tidak takut meyuarakan suara hati, berani berbuat karena merasa benar.

23 Ketegasan dan percaya diri (assertiveness)

Kualitas yang menunjukkan ketegasan, kemampuan mengekpresikan emosi dan kebutuhan pribadi dengan percaya diri, berani, terutama terkait dengan mempertahankan hak-hak pribadi dan mendudukkan hak-hak orang lain tanpa bertindak agresif.

24 Kedamian (peace) Sikap dan perilaku yang menyukai adanya harmoni dan bebas konflik dan gangguan, suka dan ketenangan.

25 Sifat suka berkompetisi (competitiveness)

Cenderung untuk suka terlibat atau berpartisipasi dalam kompetisi.

26 Inisiatif (initiative) Mengenali dan melaksanakan sesuatu yang memang diperlukan untuk dikerjakan.

Page 57: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

51 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

27 Suka membantu (helpfulness)

Sikap dan sifat untuk siap membantu orang lain yang memerlukan pertolongan.

28 Kesediaan (availability) Selalu siap melayani dan menganggap rencana dan prioritas pribadi hal yang sekunder.

29 Keriangan, keceriaan (cheerfulness)

Memiliki sifat humor yang direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari, kehadirannya membawa suasana cerah disekelilingnya.

30 Kewarganegaraan (citizenship)

Bertindak sebagai warga Negara yang baik.

31 Komitmen (commitment) Secara emosional, secara fisk, dan secara intelektual merasa terikat kepada suatu kewajiban da nada panggilan jiwa yang kuat untuk melaksanakannya

32 Keharuan, rasa iba (compassion)

Memiliki rasa iba yang diwujudkan dengan melaksanakan apapun yang diperlukan untuk menyembuhkan sakit (baik fisik maupun hati) orang lain

33 Kritis (critical) Gemar melakukan analisis, mengklasifikasikan, menafsirkan atau menilai suatu karya atau produk.

34 Demokratis (democratic) Menghargai pendapat orang lain, toleran, terbuka, berprinsip musyawarah untuk mufakat.

35 Dapat diandalkan (dependability)

Menyelesaikan apa yang pernah dijanjikan untuk dikerjakan, walaupun hal tersebut ternyata harus mengorbankan sesuatu yang tidak pernah diduga.

36 Daya upaya, usaha Bertindak dan berusaha sebaik-baiknya dengan penuh perhitungan dan hati-hati sehingga siap memberikan yang terbaik.

37 Kesamaan (equality) Menyadai adanya hak dan kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi seseorang sebagai umat manusia

38 Kedermawanan (generousity)

Mengelola sumber daya yang dimilki secara hemat dan cermat sehingga secara bebas dapat memberikannya terhadap seseorang yang amat membutuhkan.

39 Kelemah lembutan (gentleness)

Menunjukkan ktenggangan dan perhatian pribadi terhadap orang lain.

40 Kebahagiaan (happiness) Suatu kualitas di mana hadir kesenangan, ketentraman dan kepuasan terhadap apa-apa yang telah dicapai.

41 Kerendahan hati (humility)

Mengakui adanya peranan dan jasa orang lain dan tidak menonjolkan diri.

42 Integritas (integrity) Selalu mencoba melakukan yang benar, mewujudkan apa yang pernah diomongkan atau dijanjikan, hidup berlandaskan etika mau belajar dari kegagalan dan kekalahan.

43 Keadilan (justice) Bertanggung jawab secara pribadi untuk mempertahankan apa yang murni, benar, dan betul.

Page 58: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

52 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Mendudukkan segala sesuatu secara proporsional.

44 Kebaikan (kindness) Baik budi, suka menolong, penuh perhatian.

45 Kesetiaan (loyality) Memanfaatkan suatu setuasi sulit dengan berupaya sepenuh hati untuk menujukkan komitmen kepada mereka yang dilayani.

46 Kelembutan hati (meekness)

Menomorduakan hak-hak personal dan harapan-harapan pribadi dibandingkan keinginan untuk melayani.

47 Moderasi, menyukai hal yang sedang-sedang (moderation)

Tidak menyukai perilaku yang ektrem atau berlebih-lebihan, tindakannya sangat rasional.

48 Kepatuhan (obedience) Secara cepat dan penuh semangat melaksanakan arahan atau perintah dari mereka yang bertanggung jawab/berkuasa terhadap diri.

49 Keterbukaan (openness) Kemauan dan kesediaan untuk menerima kritik, saran-saran dan gagasan yang berbeda dengan gagasan sendiri.

50 Kerapian (orderliness) Menjaga diri dan lindungan kerja sekeliling agar mencapai efisiensi yang tersebar.

51 Organisasi (organization) Merencanakan, menyusun, dan melaksanakan sesuatu pekerjaan dengan cara runtut, teratur, menjaga agar segala sesuatu tersimpan rapid an siap untuk dipergunakan.

52 Kesabaran, ketabahan (patience)

Menerima suatu situasi sulit tanpa memberikan batas akhir atau mencoba untuk menghindarinya tidak tergesa-gesa dan tidak bertindak ceroboh.

53 Kepercayaan (persuasiveness)

Menaruh kepercayaan bahwa orang lain yang berkarakter baik akan dapat memandu ke jalan yang utama

54 Produktivitas/produktif (productivity)

Selalu meningkatkan kinerja diri dan kontribusi terhadap masyarakat.

55 Sifat mengormat/menghargai kehormatan (respect)

Menghargai diri sendiri, orang lain. Memperlakukan orang lain seperti keinginan untuk dihargai, beradab dan sopan, tidak melecehkan dan menghina orang lain.

56 Menghargai kesehatan (resfect for health)

Menghargai dan menjaga kesehatan diri pribadi, kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan.

57 Menghormati penyandang kekuasaan (respect for authority)

Keinginan dan maksud untuk menghargai penyandang kekuasaan/pemerintah termasuk kepatuhan terhadap hokum dalam situasi tertentu yang sah.

58 Pertanggung jawaban (responsibility)

Mengetahui dan melaksanakan apa yang harus dilakukan sebagaimana diharapkan oelh orang lain.

59 Kesederhanaan (simplicity)

Suatu kualitas atau keadaan tentang bagaimana berlaku sederhana itu, tidak suka pamer dan bermewah-mewah,

Page 59: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

53 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

tidak berpikiran melit dan rumit.

60 Sportif (sportsmanship) Menghargai dan menaati aturan main, dapat menerima kemenangan dan kekalahan apa adanya secara terbuka.

61 Ketangguhan (tenacity) Sukar dikalahkan dan tidak mudah menyerah dalam mewujudkan cita-cita atau suatu tujuan.

62 Ketelitian (thoroughness) Mengetahui faktor apa saja yang dapat menghapus keefektivan pekerjaan atau kebermaknaan kata-kata, jika faktor-faktor tersebut diabaikan.

63 Sikap berhemat (thriftiness)

Menjadikan diri atau orang lain hanya berbelanja untuk sesuatu yang benar-benar diperlukan.

64 Kebersamaan (togetherness)

Perasaan kedekatan dan saling mengasihi dalam kesatuan dengan orang lain dan mampu melakukan harmonisasi sumber daya yang dimliki masing-masing sehingga dapat melakukan kerja dengan efektivitas yang maksimal.

65 Toleransi (tolerance) Menerima secara terbuka orang lain yang tingkat kematangannya dan latar belakangnya berbeda.

66 Amanah, dapat dipercaya (trusworhthiness)

Jujur, dapat dipegang janjinya tidak pernah berbohong, berkomitmen tinggi untuk menjalankan kebenaran.

67 Kejujuran (virtue) Moral yang unggul terjadi dalam kehidupan diri karena secara konsisten mengerjakan yang baik dan benar.

68 Bersemangat, tekun dan rajin (zealous)

Bekerja dengan penuh kegairahan, semangat yang meluap-luap, rajin dan tekun.

Nilai-nilai Siri Na Pacce pada dasarnya telah ada pada mereka yang ditubuhnya masih mengalir darah Sulawesi Selatan sehingga potensi untuk terus mengasahnya menjadi lebih dalam dan selalu ada. Semakin kita asah maka akan semakin dalam guna untuk melewati semua halangan dan rintangan yang berupaya menghadang. Nilai-nilai luhur dalam Siri Na Pacce. Akan menghalangi sikap berupa kemalasan, kebodohan, keangkuhan, pesimisme, anarkisme dan lain-lain dapat kita atasi kalau kita memahami betul-betul nilai-nilai Siri Na Pacce dan kita tanamkan pada diri kita terutama pada anak sebagai sarana pembentukan karakter mereka. Nilai Siri Na Pacce akan membuat kita lebih bermanfaat untuk diri sendiri maupun orang lain kalau kita benar-benar realisasikan dalam hidup kita untuk meningkatkan harkat dan martabat sebagai manusia.

Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, dicantumkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ali, (2012) mahasiswa STKIP Andi Matappa Pangkep dengan judul “Kelong dalam Perspektif Hermeneutika”. Penelitian tersebut membahas tentang nilai-nilai budaya Siri Na Pacce untuk menganalisis Kelong (lagu rakyat masyarakat Makassar).

Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu terletak pada objek penelitian. Jika penelitian terdahulu yang dilakukan

Page 60: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

54 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

oleh Ali berfokus pada kelong (lagu rakyat Bugis-Makassar) sebagai sumber kajian dan lebih pada makna-makna tersiratnya atau simbol-simbol dalam lagu (hermeneutika) dengan menggunakan nilai yang terkandung dalam Siri Na Pacce. Adapun hasil penelitianya adalah menemukan struktur kelong(lagu) yang meliputi struktur mikro, struktur makro, dan super struktur. Fungsi kelong yang meliputi fungsi informasional, fungsi emotif, fungsi direktif, fungsi poetik, dan fungsi estetis. Nilai kelong yang meliputi nilai religius siri na pacce, nilai filosofis siri na pacce, nili etis siri na pacce, dan nilai estetis siri na poacce. Penelitian yang akan diteliti oleh peneliti sekarang yaitu memfokuskan objek penelitian pada nilai Siri Na Pacce dalam cerita rakyat anak masyarakat Sulawesi Selatan baik nilai secara tersirat maupun secara tersurat untuk meningkatkanharkat dan martabat sebagai manusia, khususnya sebagai sarana membentuk karakater anak sejak dini.

Selain Ali, Ikhsan, (2013) juga meneliti tentang nilai budaya Siri Na Paccedengan judul “Korupsi, Siri Na Pacce dan Beban “Teologi” Islam” adapun hasil penelitian yang dilakukan oleh Ikhsan (2013) yaitu bahwa Siri sedikitnya memiliki dua makna fundamental: “malu” (haya’) dan “harga diri” (ghirah). Sementara pace bermakna “solidaritas sosial yang tinggi.” Eloknya, sifat-sifat tersebut tidak saja sangat dijunjung tinggi dalam tradisi Islam tapi malah diyakini sebagai bagian terpenting dari struktur keimanan seorang Muslim. Berdasarkan paparan di atas maka ditegaskan bahwa budaya Siri Na Pacce dalam tradisi Sulawesi Selatan adalah sumber inspirasi dan inti dari bangunan kebudayaan yang bersifat islami.

Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu terletak pada objek penelitian. Jika penelitian terdahulu yang dilakukan Ikhsan, berfokus pada permasalahan korupsi dan Beban teologi Islam dengan menghubungkan dengan nilai Siri Na Pacce. Peneliti sekarang memfokuskan objek penelitian pada nilai Siri Na Pacce dalam cerita rakyat anak masyarakat Sulawesi Selatan, baik nilai secara tersirat maupun secara tersurat untuk meningkatkan harkat dan martabat sebagai manusia khususnya sebagai sarana membentuk karakater anak sejak dini.

Nilai Siri’ Na Pacce inilah yang akan dikaji dalam cerita rakyat anak Sulawesi Selatan yang lahir dan ada di tengah-tengah masyarakat Sulawesi Selatan. Cerita rakyat anak Sulawesi Selatan berangkat dari nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat itu sendiri pada masa lalu baik sebagai bentuk hiburan, pelestarian nilai budaya maupun sebagai media penanaman karakter kepada anak. Oleh karena itu peneliti mengangkat sebuah judul “Wujud Nilai Budaya Siri Na Pacce dalam Cerita Rakyat Anak Sulawesi Selatan.”

METODE PENELITIAN

Menyediakan data, peneliti harus menggunakan cara yang dalam metodologi penelitian disebut metode atau teknik penelitian. Metode dan teknik merupakan cara dalam upaya menganalisis objek penelitian. Metode adalah menyangkut cara yang operasional dalam penelitian, sedangkan teknik adalah proses pengambilan data dan analisis penelitian (Endraswara, 2013:7). A. PendekatanPenelitian

Page 61: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

55 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Pendekatan yang diangkat dalam penelitian ini yaitu pendekatan sosiologis. Ratna (2013:59) menyatakan bahwa pendekatan sosiologis, khususnya untuk sastra Indonesia, baik lama maupun modern menjanjikan lahan penelitian yang tidak akan pernah kering. Setiap hasil karya satra, baik dalan skala angkatan maupun individual, memiliki aspek-aspek sosial tertentu yang dapat dibicarakan melalui model-model sosial. Ilmu pengetahuan lain seperti sosiologi, sejarah, antropologi, dan ilmu sosial justru menunggu hasil-hasil analisis melalui pendekatan sosiologis yang akan digunakan untuk membantu memahami gender, feminis, status peranan, wacana sosial, dan sebagainya.

Pendekan sosiologis yang peneliti gunakan yaitu mengacu pada wacana sosial berupa sosiologi sastra yang mengangkat tentang cerita rakyat anak asal Sulawesi Selatan sebagai objek penelitian. Peneliti menggunakan pendekatan sosiologis karena dianggap cocok untuk mengkaji wujud nilai-nilai budaya Siri Na Pacce yang terkandung dalam cerita rakyat anak Sulawesi Selatan.

B. Metode Penelitian Pengertian lebih luas, metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk

memahami realitas, langkah-langkah yang sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya. Sebagai alat sama dengan teori, metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami (Ratna, 2004:34). Menurut peneliti metode yang cocok untuk digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan metode kualitatif

Metode kualitatif dianggap cocok diguanakan karena metode kualitatif secara keseluruhan memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikannya dalam bentuk deskripsi. Objek penelitian metode kualitatif bukan gejala sosial sebagai bentuk substantif, melainkan makna-makna yang terkandung di balik tindakan, yang justru mendorong timbulnya gejala sosial tersebut, Weber, dkk (dalam Ratna: 2004:47). Sesuai dengan paparan di atas, maka motode kualitatif dalam penelitian ini digunakan untuk mengkaji wujud nilai-nilai Siri Na Pacce dalam cerita rakyat anak Sulawesi Selatan berupa tindakan-tindakan, kata, kalimat maupun wacana.

Cerita rakyat anak Sulawesi Selatan terbentuk tidak akan lepas dari realitas sosial dan budaya masyarakat Sulawesi Selatan, karena cerita rakyat merupakan hasil gambaran atau ekspresi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sulawesi Selatan. Hegel dan Taine (dalam Wellek dan Austin Warren, 2014:100) mengatakan bahwa karya sastra merupakan dokumen karena merupakan monumen, sifat mewakili zaman dan kebenaran sosial. Artinya sifat masyarakat Sulawesi Selatan dalam cerita rakyat anak Sulawesi Selatan merupakan fakta sosial dan budaya daerah Sulawesi Selatan. Lebih lanjut Taine (dalam Endraswara, 2011:55) membagi rumusan sosiologi sastra menjadi dua yaitu: (1) sastra lahir dari kehidupan sosial, (2) sastra adalah ekspresi dari masyarakat. Oleh karena itu penelitian ini berpacu pada teori Hippolyte Taine, karena semua rumusan yang digambarkan oleh Taine sesuai dengan kajian dalam penelitian ini, yang mengkaji wujud nilai-nilai budaya Siri Na Pacce dalam cerita rakyat anak Sulawesi Selatan. Cerita rakyat anak Sulawesi Selatan digunakan sebagai objek untuk mengkaji wujud nilai budaya Sulawesi Selatan yaitu budaya Siri Na Pacce karena cerita rakyat terbentuk dari ekpresi sosial masyarakat Sulawesi Selatan.

44

Page 62: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

56 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Berdasarkan dua rumusan yang disampaikan oleh Taine tersebut bahwa sastra lahir dari kehidupan sosial dan sastra merupakan hasil ekspresi dari masyarakat. Untuk mengkaji fokus studi sosiologi dalam hal ini sosiologi sastra terutama memahami bentuk, akar, proses dan implikasi berbagai tindakan sosial dalam karya sastra yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Untuk memahami hal tersebut Usman (2012:86) membagi melalui tiga kegiatan sebagai berikut.

1) Deskripsi Deskripsi merupakan bentuk uraian yang menguraikan makna teks pada sebuah data.

2) Formulasi (observasi) Formulasi (observasi) merupakan bentuk uraian mengenai tendensi-tendensi yang terjadi dari paparan deskripsi.

3) Interpretasi Interpretasi merupakan sesuatu yang berangkat dari asumsi-asumsi yang dikembangkan oleh tradisi pikir fungsionalisme.

C. Sumber Data dan Data Penelitian Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumentasi dan lain-lain. Sumber data dalam kajian sosiologi sastra menggarap berbagai hal tergantung arahnya, sumber data biasanya berupa teks tertulis (sastra tulis) dan lisan (sastra lisan) (Endraswara, 2011:82).

1. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa dokumen

naskah cerita rakyat anak Sulawesi Selatan (naskah cerita rakyat berupa terjemahan dari bahasa Indonesia) yang diambil dari web (http://ceritarakyatnusantara.com/) sebanyak sembilan naskah cerita rakyat anak.

2. Data Penelitian Data dalam penelitian ini berupa satuan cerita, baik berupa narasi

maupun dialog para tokoh yang menunjukkan aplikasi nilai-nilai budaya Siri Na Pacce yang terdapat dalam kesembilan naskah cerita rakyat anak sSulawesi Selatan yang naskahnya sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

No Judul Cerita

1 Putri Tandampalik

2 Ambo Upe dan Burung Beo

3 Lamadukelleng

4 Sawerigading

5 La Upe

Tabel C.1 Data Cerita Rakyat dalam web (http://ceritarakyatnusantara.com/).

Page 63: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

57 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

6 Nenek Pekande

7 Sepak Bola Binatang

8 I Laurang

9 Si Penakluk Rajawali D. Tahap-tahap Penelitian

Tahap-tahap penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan yaitu. 1) Persiapan Pada tahap persiapan langkah yang dilakukan sebagai berikut.

a) Pemilihan dan penetapan judul. b) Penyusunan rancangan penelitian. c) Mengkaji kepustakaan yang relevan yaitu tetntang budaya Siri Na Pacce

asal Sulawesi Selatan. d) Membaca kesembilan naskah cerita rakyat anak Sulawesi Selatan. e) Pembuatan instrument untuk menjaraing data.

2) Pelaksanaan Pada tahap ini langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut.

a) Mengumpulkan data dari naskah cerita rakyat anak Sulawesi Selatan. b) Data yang dikumpulkan yaitu permasalahan-permasalahan yang

berkaitan nilai budaya Siri Na Pacce dalam cerita rakyat anak Sulawesi Selatan

c) Menyeleksi data yang diperoleh. d) Menganalisis data berdasarkan teori yang relevan (budaya Siri Na Pacce) e) Mengintrepetasi data yang diperoleh.

3) Penyelesaian Setelah peneliti menyelesaikan tahap pelaksanaan mnaka untuk menyelesaikannya peneliti melakukan langkah-langkah sebagai berikut.

a) Pembuatan kesimpulan. b) Penyusunan laporan penelitian. c) Mengadakan revisi lapoparan penelitian.

E. Teknik Penelitian Teknik penelitian merupakan cara yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data penelitian. Maryaeni (2005:16) mengatakan bahwa ketika menggambarkan teknik pengambilan data, peneliti terlbih dahulu mempertegas (a) data apa yang akan dikumpulkan, (b) bagaimana relevansi data yang dikumpulkan dengan masalah yang akan dipecahkan ataupun pemahaman yang akan diperoleh dan (c) apa saja kemungkinan problem yang akan dihadapi serta bagaimana cara pemecahannya. 1. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik dokumentasi berupa sembilan dokumen cerita rakyat anak Sulawesi Selatan. Langkah-langkah yang digunakan yaitu dengan cara sebagai berikut.

Page 64: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

58 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

1) Mengunduh secara online cerita rakyat anak khusus asal Sulawesi Selatan pada tanggal 05 Februari 2014 di web (http://ceritarakyatnusantara.com/).

2) Mengubah kesembilan cerita rakyat yang ada dalam web menjadi word atau pdf .

3) Membaca berulang-ulang kesembilan naskah cerita rakyat anak suku Sulawesi Selatan untuk memahami jalan cerita.

4) Menandai satuan cerita yang termasuk aplikasi nilai budaya Siri Na Pacce dalam cerita rakyat anak Sulawesi Selatan.

5) Memasukkan satuan cerita yang termasuk nilai budaya Siri Na Pacce dalam cerita rakyat anak Sulawesi Selatan di bagian pembahasan.

Pengumpulan data ini bertujuan untuk mempermudah proses analisa data sehingga dapat diperoleh pemahaman dan pengertian yang sesuai dengan fokus penelitian yaitu nilai budaya Siri Na Pacce dalam cerita rakyat anak suku Sulawesi Selatan. 2. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan, memeriksa, menyelidiki suatu masalah, atau mengumpulkan, mengolah, menganalisa dan menyajikan data. Instrumen penelitian ini digunakan untuk mempermudah peneliti dalam menganalisis data dengan menggunakan tabel analisis (korpus data). Data diklasifikasikan berdasarkan rumusan masalah. Penelitian ini terfokus pada nilai budaya Siri Na Pacce dalam cerita rakyat anak Sulawesi Selatan.

No Data Kode Data

Konteks

Makna Teks

Makna Konteks

Interpretasi Aspek Nilai Siri Na Pacce

Wujud Nilai

1 2

3

Keterangan:

Aspek nilai Siri Na Pacce ada tiga aspek yaitu; (1) Sirie ri Allah Taalah, (2) Sirie riwatakkaleta, dan (3) Sirie ripadatta rupatau. F. Teknik Pengolahan Data

Langkah-langkah yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Pengecekan data

Data-data yang telah diperoleh melalui pembacaan secara cermat dan teliti kemudian di cek ulang untuk menghindari kesalahan. Data tentang deskripsi, formulasidan interpretasi wujud nilai budaya Siri Na Pacce dalam cerita rakyat anak Sulawesi Selatan.

Tabel 3.2 Korpus Data Nilai Budaya Siri Na Pacce dalam Cerita Rakyat Anak

Sulawesi Selatan

Page 65: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

59 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

2) Kategorisasi Data-data yang telah di cek tersebut kemudian dikelompokkan berdasarkan judul cerita rakyat anak Sulawesi Selatan

3) Penyajian data Setelah data dikelompokkan berdasarkan judul cerita rakyat anak Sulawesi Selatan, kemudian data di analisis dengan cara memahami wujud nilai Siri Na Pacce dalam cerita rakyat anak Sulawesi Selatan. Penyajian data dalam penelitian ini dimasudkan agar lebih mempermudah bagi peneliti untuk dapat melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari data penelitian. Analisis deskripsi: data yang telah diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan bentuk strategi deskripsi yaitu merupakan tingkatan yang berhubungan dengan sifat formal teks. Analisis formulasi: data yang telah diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan bentuk strategi iformulasi yaitu merupakan bentuk uraian mengenai tendensi-tendensi yang terjadi dari paparan deskripsi Analisis interpretasi: data yang telah diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan bentuk strategi interpretasi yaitu Interpretasi berkaitan dengan hubungan antara teks dan interaksi yang melihat teks sebagai suatu produk proses produksi, dan sebagai sumber dalam proses interpretasi.

4) Korpus Data dan Kodifikasi Data-data yang telah dianalisis dan dikelompokkan menurut judul cerita rakyat anak Sulawesi Selatan, kemudian dimasukkan ke dalam tabel disertai dengan penggunaan angka untuk memperjelas deskripsi yang ada. Kodifikasi atau pengkodean yaitu data-data yang telah terkumpul dan diklasifikasikan kemudian diberi kode agar lebih mudah membedakan antara aspek nilai yang satu dengan yang lain.

5) Kesimpulan Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya.

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Penelitian ini membahas tentang wujud nilai budaya Siri Na Pacce dalam

cerita rakyat anak Sulawesi Selatan sesuai dengan rumusan masalah dan hasil penelitian dalam penelitian ini. A. Wujud Nilai Budaya Siri Na Pacceyang Tergambarkan dalam Cerita Rakyat Anak Sulawesi Selatan

Secara garis besar prinsip nilai Siri Na Pacce menyangkut tiga nilai dasar yaitu Siri’e ri Allah Ta’alah (menjaga harga diri terhadap Allah SWT), Siri’e riwatakkaleta (menjaga harga diri sendiri), dan Siri’e ripadatta rupatau (menjaga harga diri terhadap orang lain). Wujud nilai budaya Siri Na Pacce menitikberatkan padasebuah perilaku atau dalam bentuk aksi yang mampu menjaga harga diri dan martabat sebagai manusia dan menjaga harkat dan martabat orang lain sesama manusia. Sesuai dengan hasil penelitian wujud nilai budaya Siri Na Pacce dalam penelitian ini yaitu.

Page 66: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

60 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

1. Wujud Nilai Budaya Siri Na Pacce “Siri’eri Allah Ta’alah” yang Tergambarkan dalam Cerita Rakyat Anak Sulawesi Selatan

Wujud nilai budaya Siri Na Pacce yang terepresentasi dalam cerita rakyat anak Sulawesi Selatan yang tercakup dalam nilai Siri’eri Allah Ta’alah (menjaga harga diri terhadap Allah SWT) sesuai dengan hasil penelitian yaitu; (1) doa (pray) terdapat tiga nilai, (2) sikap saleh (devout), (3) syukur (grateful), (4) komitmen (commitment), (5) menghormati Sang Pencipta (respect for creator).

Wujud nilai Siri’eri Allah Ta’alah (menjaga harga diri terhadap Allah SWT) yang tergambarkan dalam cerita rakyat anak Sulawesi Selatan yaitu doa, sikap saleh, syukur, komitmen, dan menghormati Sang Pencipta merupakan yang nilai bagaimana menjaga harga diri kita dihadapan Sang Pencipta dengan cara menanamkan sifat berupa ketakwaan diri kepada Allah. Siri’eri Allah Ta’ala (menjaga harga diri terhadap Allah SWT) merupakan nilai yang paling utama dari nilai Siri Na Pacce sebab ukurannya adalah hati baik dilihat oleh orang lain maupun tidak kita harus tetap menjaga Sirieri Allah Ta’ala (Mannahao, 2010:27).

Wujud nilai Siri’eri Allah Ta’alah (menjaga harga diri terhadap Allah SWT) yang tergambarkan dalam cerita rakyat anak Sulawesi Selatan dalam penelitian ini selaras dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Muh. Ikhsan, S.Ag., M.Ag dengan judul “Korupsi, Siri Na Pacce dan Beban “Teologi” Islam” yang mengatakan bahwa Siri sedikitnya memiliki dua makna fundamental: “malu” (haya’) dan “harga diri” (ghirah). Sementara pace bermakna “solidaritas sosial yang tinggi.” Eloknya, sifat-sifat tersebut tidak saja sangat dijunjung tinggi dalam tradisi Islam tapi malah diyakini sebagai bagian terpenting dari struktur keimanan seorang Muslim, karena itu dapat ditegaskan bahwa budaya Siri Na Pacce dalam tradisi Sulawesi Selatan adalah sumber inspirasi dan inti dari bangunan kebudayaan yang bersifat islami. 2. Wujud Nilai Budaya Siri Na Pacce “Siri’e riwatakkaleta” yang Tergambarkan dalam Cerita Rakyat Anak Sulawesi Selatan

Nilai Siri’eriwatakkaleta (menjaga harga diri sendiri) terdapat nilai yaitu; (1) kehati-hatian (Cautiousness), (2) ketabahan (endurance) terdapat dua nilai, (3) keingintahuan, dan kepenasaranan (couriosity), (4) kerajinan (diligence), (5) keharuan, rasa iba (compassion) terdapat dua nilai, (6) akal sehat (common sense), (7) keberanian (boldness) terdapat dua nilai, (8) terampil dan cekatan (dexterous), (9) daya tahan, keuletan (perseverance), (10) kewaspadaan (alertness) terdapat dua nilai, (11) kecerdasan (discernment), (12) kecerdikan (cleverness), (13) keantusiasan, kegairahan (enthusiasm), (14) keyakinan (faith), (15) sifat mengormat/menghargai kehormatan (respect), dan (16) kecerdasan/panjangakal (resorce fullness).

Wujud nilai Siri’e riwatakkaleta (menjaga harga diri sendiri) di atas, merupakan sifat yang harus ditanamkan dan dikembangkan dalam diri kita. Menjaga harga diri sendiri (Siri’e ri watakkaleta) menjadi sangat penting bagi kita untuk senantiasa memupuk dan menumbuhkan supaya kita tidak menurunkan harkat dan martabat diri kita sendiri. Sehingga kita bisa berkembang dalam mencapai pendewasaan diri. Darmapoetra (2014:109)

Page 67: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

61 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

mengatakan bahwa Siri adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi harkat dan martabat (harga diri) manusia.

Wujud nilai Siri’e riwatakkaleta (menjaga harga diri sendiri) yang tergambarkan dalam cerita rakyat anak Sulawesi Selatan dalam penelitian ini, berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Muhammad Ali dengan judul “Kelong dalam Perspektif Hermeneutika” yang menemukan nilai Siri Na pace dalam Kelong (lagu) Makassar yaitu; (a) reaktif, (b), militan, (c) optimis, (d) konsisten (e) loyal, dan (f) pemberani. Penelitian ini masih relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Ali karena sama-sama menggunakan nilai Siri Na Pacce meskipun objeknya berbeda. Penelitian ini menggunakan objek penelitian cerita rakyat anak Sulawesi Selatan sedangkan penelitian Muhammad Ali menggunakan objek Kelong (lagu) daerah Makassar. 3. Wujud Nilai Budaya Siri Na Pacce “Siri’e ripadatta rupatau” yang Tergambarkan dalam Cerita Rakyat Anak Sulawesi Selatan

Wujud nilai Siri’eripadattarupatau (menjaga harga diri terhadap orang lain) yang terdapat dalam ceita rakyat anak Sulawesi Selatan adalah; (1) sifat adil, jujur dan sportif (fairness), (2) keramah tamahan (hospitality), (3) keadaban (Civility), (4) cinta, suka (love), (5) penuh kasih sayang (affectionate) terdapat tiga nilai, (6) kesantunan (courtesy), (7) pertanggung jawaban (responsibility), (8) sikap berempati (empathetic) terdapat dua nilai, (9) rasa hormat (deference), (10) kebijaksanaan (discretion) terdapat tiga nilai, (11) persahabatan (friendship), (12) sifat suka kerjasama, gotong royong (cooperativeness) terdapat dua nilai, (13) kearifan, kebijakan (wisdom), (14) kepedulian (careness), (15) kemanusiaan (humanity), (16) ketepatan waktu (puncturality), (17) pandai berterima kasih (gratefulness) terdapat dua nilai, (18) perhatian (attentiveness), (19) kebajikan (bemevolence), (20) kepekaan (sensitivity), (21) kejujuran (truthfulness), (22) pemberi maaf (forgiveness) terdapat dua nilai, (23) keberanian (courage), (24) kejujuran (virtue), (25) ketegasan dan percaya diri (assertiveness), (26) kedamian (peace), (27) sifat suka berkompetisi (competitiveness), (28) inisiatif (initiative), dan (29) suka membantu (helpfulness).

Wujud nilai Siri’eripadattarupatau (menjaga harga diri terhadap orang lain) di atas, merupakansifat yang harus ditanamkan dan dikembangkan dalam diri karena bukan hanya menyangkut diri sendiri tapi juga menyangkut dengan orang lain sebagai mahkluk sosial, sehingga kita bisa hidup bersama dalam suatu masyarakat dengan damai. Syam & Zaenuddin Tika (2007:58) mengatakan Siri merupakan suatu sistem nilai sosio kultural dan kepribadian yang merupakan pranata pertahananharga diri dan martabat sebagai manusia individu dan anggota masyarakat.

Wujud nilai Siri’eripadattarupatau (menjaga harga diri terhadap orang lain) yang tergambarkan dalam cerita rakyat anak Sulawesi Selatan dalam penelitian ini, berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan lagi Muhammad Ali dengan judul “Kelong dalam Perspektif Hermeneutika” yang menemukan nilai Siri Na pace dalam Kelong (lagu) Makassar yaitu; (1) teguh pendirian, (2) setia, (3) tahu diri, (4) berkata jujur (5) bijak, (6) merendah, (7) ungkapan sopan untuk sang gadis, (8) cinta kepada Ibu, dan (9) empati. Sebagai mana yang disampaikan sebelumnya, penelitian ini masih relevan dengan

Page 68: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

62 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Ali karena sama-sama menggunakan nilai Siri Na Pacce meskipun objeknya berbeda. Penelitian ini menggunakan objek penelitian cerita rakyat anak Sulawesi Selatan sedangkan penelitian Muhammad Ali menggunakan objek Kelong (lagu) daerah Makassar. KESIMPULAN

Merajuk kembali pada rumusan penelitian, maka berikut ini disajikan beberapa kesimpulan penelitian.Berdasarkan analisis dalam kesimpulan, maka penafsiran atau temuan hasil penelitian berupa wujud nilai budaya Siri Na Paccedalam cerita rakyat anak Sulawesi Selatan yaitu.

WujudnilaibudayaSiri Na Pacceyang terepresentasidalam ke sembilan ceritarakyatanakSulawesi Selatan yangtercakupdalamnilaiSiri’eri Allah Ta’alah (menjagahargadiriterhadap Allah SWT) yaitu;(1) doa (pray) terdapat tiga nilai, (2) sikap saleh (devout), (3) syukur (grateful), (4), komitmen (commitment), (5) menghormati Sang Pencipta (respect for creator).

Nilai Siri’eriwatakkaleta (menjagahargadirisendiri) terdapat nilai yaitu ; (1) kehati-hatian (Cautiousness), (2) ketabahan (endurance) terdapat dua nilai, (3) keingintahuan, dan kepenasaranan (couriosity), (4) kerajinan (diligence), (5) keharuan, rasa iba (compassion) terdapat dua nilai, (6) akal sehat (common sense), (7) keberanian (boldness) terdapat dua nilai, (8) terampil dan cekatan (dexterous), (9) daya tahan, keuletan (perseverance), (10) kewaspadaan (alertness) terdapat dua nilai, (11) kecerdasan (discernment), (12) kecerdikan (cleverness), (13) keantusiasan, kegairahan (enthusiasm), (14) keyakinan (faith), (15) sifat mengormat/menghargai kehormatan (respect), (16) kecerdasan/panjangakal (resorce fullness), (17)

Nilai Siri’eripadattarupatau (menjagahargadiriterhadap orang lain) yang terdapat dalam ceita rakyat anak Sulawesi Selatan adalah (1) sifat adil, jujur dan sportif (fairness), (2) keramah tamahan (hospitality), (3) keadaban (Civility), (4) cinta, suka (love), (5) penuh kasih sayang (affectionate) terdapat tiga nilai, (6) kesantunan (courtesy), (7) pertanggung jawaban (responsibility), (8) sikap berempati (empathetic) terdapat dua nilai, (9) rasa hormat (deference), (10) kebijaksanaan (discretion) terdapat tiga nilai, (11) persahabatan (friendship), (12) sifat suka kerjasama, gotong royong (cooperativeness) terdapat dua nilai, (13) kearifan, kebijakan (wisdom), (14) kepedulian (careness), (15) kemanusiaan (humanity), (16) ketepatan waktu (puncturality), (17) pandai berterima kasih (gratefulness) terdapat dua nilai, (18) perhatian (attentiveness), (19) kebajikan (bemevolence), (20) kepekaan (sensitivity), (21) kejujuran (truthfulness), (22) pemberi maaf (forgiveness) terdapat dua nilai, (23) keberanian (courage), (24) kejujuran (virtue), (25) ketegasan dan percaya diri (assertiveness), (26) kedamian (peace), (27) sifat suka berkompetisi (competitiveness), (28) inisiatif (initiative), dan (29) suka membantu (helpfulness).

DAFTAR RUJUKAN Ali, Muhammad. 2012. 07 Januari 2012. “Kelong dalam Perspektif

Hermeneutika”(Online)http://www.http://sastra.um.ac.id/wpcontent/uploads/2012/01/7.-Muhammad-Ali.docx.pdf). (Diakses pada tanggal 17 Juni 2014).

Page 69: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

63 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Balai Kajian dan Pengembangan Melayu. 2009. Cerita Rakyat Nusantara.Yogyakarta.(Online)http://www.ceritarakyatnusantara.com/#. Diakses pada tanggal 17 Juni 2014).

Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesiai Ilmu Gosip Dongeng dan Lainlain. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. Darmapoetra, Juma. 2014. Suku Bugis. Makassar: Arus Timur. Daryanto. 1997. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya: Aplollo. Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sosiologi Sastra.

Yogyakarta: PT. Buku Seru. Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT.

Buku Seru. Faruk. 2013. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Giddens, Anthony. 2010. Metodologi Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ikhsan, Muhammad. 2013. “Korupsi, Siri Na Pacce dan Beban “Teologi”

Islam” (Online), http://eprints.uinsby.ac.id/303/1/Buku%204%20Fix_6.pdf). (Diakses pada tanggal 17 Juni 2014).

Katu, Mas Alim. 2007. Korupsi Malu Ah!. Makassar: Pustaka Refleksi Mannahao, Mustari Idris. 2010. The Secret Of Siri’ Na Pesse’. Makassar:

Pustaka Refleksi. Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: PT Bumi Aksara. Mihardja, Ratih. 2012. Sastra Indonesia. Jakarta: PT Niaga Swadaya. Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press. Ratna, Nyoman kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rokhman, M Arif, (Ed.). 2003. Sastra Interdisipliner. Yogyakarta: CV Qalam. Samani.& Hariyanto. 2012. Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja

Rosdaarya. Santosa, Wijaya Heru & Sri Wahyuningtyas. 2010. Pengantar Apresiasi Prosa.

Surakarta: Yuma Pustaka. Sulaeman, Munandar. 1998. Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar. Bandung: PT

Presco Bandung. Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Syam, Ridwan & Zaenuddin Tika. 2007. Silariang dan Kisah-kisah Siri.

Makassar: Pustaka Refleksi. Usman, Suntoyo. 2012. Sosiologi Sejarah, Teori dan Metodologi. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar. Wellek & Austin Warren. 2014. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama. Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.

Page 70: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

64 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

PEMAKNAAN BAHASA TUBUH TERHADAP PEMENTASANTEATRIKALISASI PUISI JULA JULI

ZAMAN EDAN

Ana Niastutr & Susi Darihastining

STKIP PGRI Jombang. Education Program Indonesian language and Letters. Jl. Patimura III/20 Jombang Street. Housing : Jl. Imam Bonjol No. 58 A, Denanyar Jombang. E-mail: [email protected]/ 081357946975

Pementasan merupakan Suatu kegiatan apresiasi,karya sastra yang

bertujuan sebagai hiburan atau bentuk apresiasi yang dilakukan oleh manusia

atau penikmat karya sastra dan seni. Pementasan tradisional selalu berhubungan

dengan muatan lokal . hal ini menunjukkan bahwasanya seringkali kearifan lokal

dalam dunia kesastraan Indonesia menjadi isu yang tidak pernah basi. Dalam

konteks yang beragam Sastra berkembang dari sebuah hasil pikir manusia.

Kearifan lokal umumnya dikaitkan dengan kehidupan atau masyarakat

tradisional.Meski kearifan dapat muncul pada masyarakat modern, acap kali

kearifan lokal modern memiliki konteks dan motivasi yang berbeda dengan

kearifan lokal tradisional (Sudikan, 2013:21).

Teatrikalisasi Puisi Jula Juli Zaman Edanmerupakan salah satu bentuk

ekspresionisme emotif bahasa sastra. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

makna tanda- tanda nonverbal yang terdapat pada aspek visual pementasan

teatrikalisasi puisi Jula Jula Zaman Edan serta mengetahui persepsi audiens

terhadap pementasan tersebut. Penelitian ini menggunakan teori semiotika

nonverbal dan semiotika Roland Barthes untuk membedah makna dibalik

pementasan teatrikalisasi puisi Jula Jula Zaman Edan tersebut serta

menggunakan teori persepsi untuk mengetahui persepsi audiens terhadap

pementasan tersebut. Metode dan teknik pengumpulan data pada penelitian ini

meliputi penggunaan metode deskriptif kualitatif, studi literatur. Hasil penelitian

ini, yaitu: (1) makna tanda-tanda nonverbal yang terdapat pada pementasan

teatrikalisasi puisi Jula Jula Zaman Edan menggambarkan perwujudan sifat

perpecahan, keterpurukan, krisis sosial, ketidakadilan , penghianatan, intimidasi,

dan pelayanan yang rendah dalam melayani. (2) audiens dapat memahami pesan

pementasan teatrikalisasi puisi Jula Jula Zaman Edan. Dari kajian atau analisa

pementasan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang makna yang

tersirat yang ingin disampaikan dalam suatu pementasan sehingga audiens dapat

lebih mudah memaknai tanda-tanda nonverbal dalam suatu pementasan karya

seni dan mencerna pesan yang ingin disampaikan oleh penulis dan para peran

apresiator

Page 71: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

65 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Kata kunci:,Pementasan,Teatrikalisasi Jula Juli Zaman Edan, semiotika Roland

Barthes.

1.1 INTRODUCTION (PROBLEM)

Kearifan lokal dalam dunia kesastraan Indonesia menjadi isu yang tidak

pernah basi. Dalam konteks yang beragam Sastra berkembang dari sebuah hasil

pikir manusia. Timbulah jiwa kecintaan pada budaya- budaya lokal yang seiring

waktu bergerak kurang dinamis dengan tuntutan gaya hidup manusia.

Pementasan karya seni sastra ataupun budaya merupakan salah satu ruang gerak

untuk mempertahankan manivestasi budaya sastra pertunjukan serta nilai-nilai

yang ingin di sebarluaskan kepada masyarakat luas. Nilai kritik sosial, moral,

atau ajang hiburan semata. Lokalitas budaya selalu menjadi perbincangan.

Karena kearifan lokal secara umum dapat dikaitkan dengan pola kehidupan

masyarakat atau komunitas setempat dalam menjalin hubungan antara individu

dengan dirinya sendiri, individu dengan orang lain sebagai makhluk sosial,

individu dengan alam, serta individu dengan Sang Pencipta. Kearifan lokal

umumnya dikaitkan dengan kehidupan atau masyarakat tradisional.Meski

kearifan dapat muncul pada masyarakat modern, acap kali kearifan lokal modern

memiliki konteks dan motivasi yang berbeda dengan kearifan lokal tradisional

(Sudikan, 2013:21).

Perkembangan sastrapun saling keterkaitannya dengan sejarah, baik

dalam segi politik, ekonomi, sosial dan budaya. Sastra dalam perkembangnnya,

juga berkaitan dengan kemunculan karya sastra yang diciptakan oleh para

sastrawan dengan jalan mengapresiasi dan menawarkan berbagai macam ide

baru dalam nilai sastra.Hal ini ditegaskan dalam (A.Teuw 2013:56) semenjak

abad ke lima sastra dibedakan dua artes (ars adalah kepandaian, teknis

ilmiah,system aturan baru kemudian dalam bahasa perancis art berkembang

maknanya menjadi seni)yang masing-masing diberi nama grammatical dan

rhetorica.

Kajian ini adalah pementasan teatrikalisasi puisi Jula Juli Zaman Edan

yang diadaptasi oleh mahasiswa PBSI STKIP PGRI Jombang, bertajuk Urip-

Urup.Sepanjang sejarahnya pementasan teatrikalisasi puisi itu sendiri selalu

berevolusi sesuai dengan selera dan konsep estetik yang berubah ubah.

Meskipun demikian,dikemukakan Riffatere dalam Pradopo(1987:13) bahwa

puisi itu menyatakan sesuatu secara tidak langsung ,yaitu menyatakan sesuatu

hal dan berarti hal yang lain. Puisi sebagai karya seni itu puitis dan kepuitisan itu

dapat dicapai dengan berbagai macam cara misalnya dengan bentuk visual:

tipografi susunan bait, kiasan bunyi,lambang rasa dan orkhestrasi dengan

Page 72: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

66 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

pemilihan kata (diksi),bahasa kiasan sarana retorika, unsur-unsur

ketatabahasaan, gaya bahasa, dan sebagainya.

Sastra pentas merupakan perwujudan dari beberapa unsure performance

yang mewujudkan sebuah estetika baik melalui verbal ataupun non verbal. Pada

dasarnya sastra pentas merupakan bagian dari tradisi lisan. Karena tradisi lisan

tidak bisa dipisahkan dari unsur kesusastraan dan estetika

penyampainya.Sehingga hal ini menjadi alasan bahwa banyak tradisi lisan yang

dapat ditelaah dari dua unsur yakni unsur sastra dan unsur pementasannya.

DikemukakanShirane dalam Darihastining (2016:34) mengemukakan dalam

jurnal of oral tradision menyatakan bahwa ia lebih menggunakan istilah

performance untuk menyatakan tentang sebuah tindakan yang dilakukan

seseorang dalam menyampaikanestetika,sastra, dan kode-kode sosial. Hal di atas

bisa disimpulkan bahwa estetika,sastra dan kode-kode social mampu

diimplementasikan pada sebuah pementasan.

Menyinggung masalah kode-kode social hal tersebut terdapat dalam

hasanah semiotika yakni ilmu yang mempelajari tanda (sign), fungsinya tanda,

dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu

yang lain (Tinarbuko, 2009:25). Semiotika Komunikasi Visual.. Roland Barthes

menggunakan tiga hal yang menjadi inti dalam analisisnya, yakni makna

denotatif, konotatif dan mitos. Sistem pemaknaan tataran tingkat pertama oleh

Barthes disebut dengan denotatif, sedangkan pemaknaan tataran tingkat kedua ia

sebut konotatif. Denotatif mengungkap makna yang terpampang secara nyata

dan kasat mata. Sedangkan konotasi mengungkap makna yang tersembunyi

dibalik tanda-tanda dalam. Semiotika nonverbal merupakan pembahasan

mengenai tanda dan kode tubuh yang mengatur perilaku nonverbal dihasilkan

oleh persepsi atas tubuh sebagai sesuatu yang lebih dari sekedar zat fisik,

kedipan mata, isyarat tangan, ekspresi wajah, postur, dan tindakan badaniah

lainnya mengkomunikasikan sesuatu yang relevan dengan budaya dalam situasi-

situasi sosial tertentu. Dalam (Berger :31).

Bahasa tubuh dalam beberapa adegan di atas panggung terdapat seni tari yang

merupakan bagian dari bentuk seni, dan kesenian merupakan bagian dari

kebudayaan manusia. Seni tari merupakan ungkapan perasaan manusia yang

dinyatakan dengan gerakan-gerakan tubuh manusia. Gerakan merupakan bentuk

refleksi spontan dari gerak batin manusia atau dapat dikatakan sebagai media

yang paling tua untuk berkomunikasi, mengungkapkan perasaan bahagia, sedih,

gembira, marah, dan lain sebagainya.dalam (Danesi, Marce:65)

2.1 DESAIN (PROSEDUR)

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu membuat

gambaran atau lukisan secara sistematis mengenai suatu data yang diteliti tanpa

Page 73: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

67 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

menggunakan perhitungan dan angka-angka. Menurut Arikunto (2010:172) yang

dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data

dapat diperoleh. Apabila peneliti menggunakan kuesioner atau wawancara dalam

pengumpulan datanya, maka sumber data disebut responden, yaitu orang yang

merespon atau menjawab pertanyaan peneliti, baik pertanyaan tertulis maupun

lisan. Dalam penelitian ini sumber data terletak pada rekaman pertunjukkan

pementasan teatrikalisasi puisi Jula Juli Zaman Edan oleh mahasiswa PBSI

STKIP PGRI Jombang.

Penelitian ini akan menggunakan dua jenis sumber data, yakni sumber

data Primer dan Sekunder. Sumber data primer diperoleh dari rekaman

pementasan teatrikalisasi puisi Jula Juli Zaman Edan oleh mahasiswa PBSI

STKIP PGRI Jombang.

Kemudian sumber data sekunder bersumber pada beberapa literature,

catatan-catatan, dokumentasi, laporan, makalah, dan lain-lain terkait pementasan

teatrikalisasi puisi Jula Juli Zaman Edan. Yang mana data sekunder tersebut

digunakan untuk mengindentifikasi data lapangan dan memverifikasi data yang

diperoleh.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu instrumen

utama dan instrumen pendukung.Instrumen utama merupakan peneliti sendiri

yang bertugas sebagai pencari data, mulai dari tahap sebagai perencana,

pelaksana pengumpulan data, analis, penafsir data dan pelapor hasil penelitian.

Instrumen pendukung dalam penelitian ini berupa tabel yang digunakan peneliti

untuk mempermudah mengklasifikasikan data yang ada, yaitu proses semiotik

pada makna denotatif, konotatif dan mitos pada pementasan teatrikalisasipuisi

Jula Juli Zaman Edan sebagai kearifan budaya. Berikut merupakan format tabel

identifikasi dan klasifikasi data yang digunakan dalam penelitian.Teknik

pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan teknik observasi,

wawancara, dan dokumentasiData yang telah diklasifikasikan tersebut akan

dianalisis melalui analisis model semiotik Roland Bather.

3.1 ANALISIS

3.1.1 Proses Semiotik Denotatif dan Konotatif Pementasan Teatrikalisasi

Puisi Jula Juli Zaman Edan.

Arthur Asa Berger menyatakan bahwa konotasi melibatkan simbol-simbol,

historis, dan hal-hal yang berhubungan dengan emosional. Makna konotatif

bersifat subjektif dalam pengertian bahwa terdapat pergeseran dari makna umum

(denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu dalam Sobur

(2009; 263). Analisa pementasan Jula –Juli Zaman Edan ini menggunakan

pendekatan secara emosional (soft-sell) serta menggunakan jenis eksekusi

pementasan dramatisasi yang dapat diamati oleh alur cerita dan gerak tubuh yang

Page 74: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

68 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

ditampilkan hingga masuk kepada pesan apa yang ingin disampaikan dalam

pementasan ini.

Makna denotatif merupakan makna asli, makna asal, makna sebenarnya

atau makna kognitif. Makna denotatif merupakan penjelasan yang sesuai dengan

observasi menurut penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan dan lainnya.

Menurut Lyons (dalam Sobur, 2009: 263), denotasi adalah hubungan yang

digunakan dalam tingkat pertama pada kata secara bebas memegang peranan

penting di dalam ujaran. Denotasi dimaknai secara nyata. Nyata diartikam

sebagai makna harfiah, makna yang sesungguhnya atau terkadang dirancukan

dengan referensi atau acuan.

Tabel kumpulan gambar adegan teatrikalisasi Jula Juli Zaman Edan

Bagian 1 Bagian 2 Bagian 3 Bagian 4

Bagian 5 Bagian 6 Bagian 7 Bagian 8

Gambar 1 Cuplikan adegan pementasan Teatrikalisasi Puisi Jula Juli Zaman Edan “

Pementesan Teatrikalisasi puisi merupakan pementasan yang berdurasi

kurang lebih 25 menit. Dipentaskan oleh mahasiswa Bahasa Indonesia STKIP

PGRI Jombang, tepatnya pada tanggal 30 Desember 2016 lalu. Pementasan ini

mengambil dari salah satu kumpulan puisi Shindhunata dalam bukunya Air Kata –

Page 75: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

69 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Kata. Pementasan yang bertajuk Urip Urup ini mengangkat nilai moral, social

budaya dalam setiap maknanya terkandung di dalam hazanah puisi Shindunata.

3.1.1.1 Deskripsi Pemaknaan Denotatif dan Konotatif

Bagian 1 Denotatif (Pembuka)

Kutipan :Musik (masuk panggung ) sambil menyanyi

“Bocah, duduhe rawon. Ati podo ribet bocah. Jula juli mawon .Jula juli nentremno ati. Sopo seng krungu masalahe lali 2x”

Para lakon muncul di atas panggung dengan melakukantarian dan nyanyian.

Musik yang mengiringi bercorak Jawa dengan perpaduan gamelan, modern dan

beberapa music akustik. Semua actor menggunakan baju batik kuno yang biasa

digunakan oleh masyarakat kelas menengah kebawah pada zaman itu. Dilengkapi

dengan sewek batik yang dijadikan sebagai bawahan. Warna kostum yang

digunakan berfariasi menandakan bahwa Indonesia kaya akan nilai nilai kreatifitas

dan budaya, tata makeup tidak beraturan menunjukkan suasana zaman edan yang

sedang diangkat dalam pementasan. Lalu gerakan dilanjutkan dengan gerakan

kedua tangan di rentangkan sambil bergerak mengikuti irama musik yang

mengiringi. Menyanyikan lagu pembuka untuk menyambut penonton. Ada gerakan

memutar panggung, berlarian, dengan dikombinasikan gerakan tangan.

Memperlihatkan suasana bahagia para lakon dalam membuka teatrikalisasi puisi

Jula Juli Zaman Edan.

Konotasi

Pementasan Jula –Juli Zaman Edan, pementasan ini diiringi oleh musik

latar yang unik perpaduan music tradisional yang terdiri dari gamelan, akustik dan

modern. Sehingga efek yang ditimbulkan dan settingan suasana panggung

menggambarksn kembali romansa Jawa pedesaan. Yakni merujuk kepada

kekayaan “budaya kultur Jawa”. penokohan lakon pada teatrikalisasi puisi Jula

Juli Zaman Edan sesuai dengan mimic visualisasi olah tubuh dalam

menggambarkan pesan yang ingin disampaikan.

Tarian dan nyanyian dalam pementasan dengan kostum adat jawa

sederhana. Merujuk kepada “Wong Cilik”atau bukan kalangan priyayi

menunjukkan teatrikalisasi puisi Jula Juli Zaman Edan yang dibawakan

mengandung budaya kultural masyarakat kelas menengah ke bawah .Musik latar

yang terdapat pada pementasan ini merupakan faktor pendukung untuk

memperkuat unsur visual yang ditampilkan dalam pementasan teatrikalisasi puisi.

Pementasan teatrikalisasi ini memilih menggunakan background bewarna hitam

serta pengaturan pencahayaan dibuat gelap hal ini menunjukkan suasana yang

“dramatis dan misterius”.

Page 76: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

70 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Bagian 2

Kutipan :“Jula Juli Zaman Edan Karya Sindhunata” (KNP.01)

Muncul beberapa wanita dengan beberapa peran sedikit menggoda menuju

ke tengah-tengah panggung untuk menata bloking. Memasuki panggung dengan

berjalan berlahan dan berlenggak lenggok dengan wajah menggoda. Hal ini merujuk

kepada wanita penghibur. Dikombinasi dengan dandanan super menor dan

menggoda, menatap penonton dan disertai dengan kedipan mata. Setelah itu muncul

beberapa lakon pria yang memakai kaos putih dan memakai sarung bermotif kotak .

Memasuki panggung dengan gerakan mengibas-ibaskan sarung kepada setiap

wanita yang ada dihadapannya. Selanjutnya semua lakon yang sudahdiatas

panggung menata bloking dan baru menyebutkan judul puisi yang dipentaskan.

Konotasi

Muncul beberapa wanita dengan beberapa peran sedikit menggoda menuju

ke tengah-tengah panggung untuk menata bloking. Memasuki panggung dengan

berjalan berlahan dan berlenggak lenggok dengan wajah menggoda dikombinasi

dengan dandanan super menor dan seksi menatap penonton dan disertai dengan

kedipan mata Hal ini merujuk kepada “wanita penghibur,”. Setelah itu muncul

beberapa lakon pria yang memakai kaos putih dan memakai sarung bermotif kotak .

Memasuki panggung dengan gerakan mengibas-ibaskan sarung kepada setiap

wanita yang ada dihadapannya. Hal ini menunjukkan “ Hasrat

Menjamah”Selanjutnya semua lakon yang sudah diatas panggung menata bloking

dan baru menyebutkan judul puisi yang dipentaskan. Bisa disimpulkan

jugamenggambarkan latar suasa krisis moral, dalam masyarakat

Bagian 3

Kutipan :La.. la..la..la..la...la..la..la..la..la.. La.. la..la..la..la...la..la..la..la..la..2x Haaaaa…. La la la(KNP.02)

Bagian ini adalah bagian dimana ketika lakon laki laki mengejar setiap

wanita sambil menaikkan sarung yang dipakai, dan para wanita melakukan gerakan

gerakan menggoda para lelakidan muncul suara nyanyian seksi. Selanjutnnya Lakon

laki laki berjalan menuju para wanita penghibur dan mengelilingi salah satu dari

mereka yang terlihat paling menonjol. dengan gerakan tangan ,mereka menari

meliukkan badan dengan mesra dan seolah ingin meraba tubuh

wanita.Ditutup adegan ketika salah satu wanita wanita itu melakukan adegan

cium jauh, seketika lakon laki laki yang mengelilingi pingsan sambil memegang

arah alat vitalnya.

Page 77: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

71 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Konotasi

Pada bagian 3 menunjukkan sikap “krisis moral dan social” yang terjadi di

masyarakat yang ingin di tunjukkan oleh pengarang. Hal demikian menunjukkan

norma norma yang ada dalam masyarakat luntur. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana

cara sudut pandang masyarakat.

Bagian 4

Kutipan :Ha ha ha ha ha. Zamane zaman edan. Munggah mbulan numpake dokar. Politik saiki dadi dhangdhutan Rakyate kere enthek digoyang.Sing penting sing ora kurang mangan.Mangan tempe iwak tahuUteke membe morale kleru.Zamane zaman edan.Tuku manuk oleh kurungan (di nyanyikan)Politike kenthekan program. Bokonge inul d idol gram-graman. Inal-Inul bokong-bokongan.. Politike mungkret dadi sakbokong (latar)Elite ngedobhos mung omong kosong.(KNP.03)

Bagian ini adalah bagian ketika sang penguasa datang dengan tertawa lepas

melihat para lelaki pingsan dengan memegang alat vital, kepalanya menoleh

sekeliling melihat kondisi sekitar dimana ada gerumunan kelompok masyarakat

menengah ke bawah. Sang penguasa dengan lantang dan tertawa lepas

mengucapkan Zamane Zaman Edan. Munggah mbulan numpakke dokar. Politik

saiki dadi ndangdutan. Rakyate kere entek digoyang. Seng penting ora kurang

mangan. Mangan tempe iwakke tahu utekke memble morale kleru. Setelahnya

berjalan menuju para lakon laki laki yang mulanya pingsan, ditendangi dan disusul

oleh lagu. Terlihat bahwasanya dari plot ini suatu keadaan cerita yang berantakan.

Konotasi “Zamane zaman edan” Zamannya Zaman Gila kalimat tersebut menunjukkan

“rusaknya Zaman” dalam

Munggah mbulan Numpakke Dokar merujuk kepada sebuah hal atau angan angan yang

tidak mungkin terjadi. Karena jika dianalogikan naik rembulan menaiki pesawat saja

membutuhkan banyak hal yang perlu dipertimbangkan apalagi naik Dokar. Hal ini juga

bisa ditafsirkan sesuai kondisi masyarakat yang dijadikan objek pada puisi ini.

Bagian 5

Kutipan :“Zamane zaman edan.Wedang kopi gulane tebu.Rakyat gak eruh sapa sing digugu. Elite kabeh gak kenek ditiru.Kabeh nurut udhele dhewe.Nguyuh mbengi nyirami latarElite muntah rakyate lapar.Zamane zaman edan.Sega kucing regane sewu. Rakyate luwih gak iso nguyu. Rejeki seret gak metu-metu. Iku ngunu wis nasibe.Karuptor watuk hukume beresKudune dibui malah dadi capres.(Nyanyi ) zamane zamane zaman edan rakyate mlarat soyo sekarat. Hoo... ho... hoo...hoo..ho... Zamane zaman edan.Tuku jemblem nang wak Tulkiyem.Wong cilik meneng ketoke tentrem. Atine panas getam-getem.Wong

Page 78: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

72 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

cilik orak bakal gumuyu.. Dhengdheng goreng dioseng-oseng. Celeng dhegleng koq nyalon presiden.(PNP .07)”

Bagian ini adalah bagian dimana para lakon memerankan menjadi rakyat

miskin yang kurang makan dan memohon belas kasihan sang penguasa. Sang

penguasa hanya mengiming-iming masyarakat saja. Mengiming-iming uang terlihat

dari gerak tubuh sang penguasa yang mendatangi masyarakat dan memperlihatkan

uangnya kepada mereka sehingga ada beberapa masyarakat yang mengikuti

langkahnya kemanapun sang penguasa pergi, kemudian sang penguasa megibaskan

tangannya agar yang mengikutinya pergi. Tidak satupun dari mereka terbantu. janji

kosong.

Konotasi

Padabagian ini menggambarkan suasana rakyat kelaparan dengan aksi penguasa

yang angkuh memamerkan janjinya kepada masyarakat untuk memberikannya uang.

Hanya saja itu adalah janji kosong yang diberikan kepada masyarakat. Semua rakyat

“wong cilik” merintih dan memegang perutnya hal ini menunjukkan bahwasnya wong

cilik atau masyarakat kelas bawah sedang kelaparan. Sedang di sisi lain sang penguasa

ke sana kemari dengan mengiming –iming uang hal ini menunjukkan bahwasanya sang

penguasa ini “Angkuh daan bersifat sombong” terhadap orang lain.

Bagian 6

Kutipan :

“Zamane zaman edan 2x. Pitik loro dipangan macan. Politik saiki mek cakar-cakaranRakyat mlarat kurang mangan.Kapan rampunge krisis social.Numpak becak ketabrak cagak.Sing mlarat masak sing ndhuwur ngeciak.

Maksud dari bagian ini sang penguasa melihat rakyat miskin menggeliat.

Didepannya seseorang membacakan tuntutan kepadanya. Semua lakon

melakukan gerakan tangan yang mana ingin menjangkau sang penguasa.

Konotasi

Bahasa tubuh pada alur ini menunjukkan bagaimana puncak kesedihan,

kemaraham dan kesengsaraan wong cilik yang merasa tidak diadili oleh sang

penguasa. Ditunjukkan pada sikap rakyat yang berusaha menjangkau sang penguasa

tapi tidak bisa. Dan yang membacakan puisi sebagai pesan moralnya dilakukan

dengan mimik melotot dengan suara lantang. Hal ini menggambarkan bagaimana

hubungan antara sang penguasa dengan rakyatnya tidak satu tujuan hidup dengan

hidup masing masing.

Bagian 7

Kutipan “Edan ...!.Zamane zaman edan. Sega liwet kok wedange anget. Politik umeb rakyate mumet. Kerja gremat-gremet rejekine mampet.Urip kaya mek ngenteni tumpes.Sepur kluthuk kecemplung kali. Negarane ambruk elite

Page 79: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

73 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

lali. Zamane zaman edan. Ngombe susu kecekel satpam. Arepe mlayu malah turu. Rakyate kuru pimpinane lemu”(PNP.09)

Bagian pada plot ini semua lakon rakyat menengah ke bawah berjalan setengah badan membungkuk dengan lemas tak berdaya. Sedang sang penguasa berdiri dengan gagah sambal tertawa. Ditambah dengan pencahayaan lampu yang gelap sehingga terkesan menyedihkan.

Konotasi

Pada bagian ini edan berkonatiskan bukan sebagai orang gila sesungguhnya. Melainkan sikap yang dilakukan dan terbentuk sudah diluar akal maka eadaan tersebut sudah disebut dengan tidak normal atau edan

Bagian 8

Kutipan: “Ya Allah Allahuma. Gulali dhandanggula. Paringana eling lan waspada. Zamane zaman edan. Melu edan ora tahan. Gajah meta asale Surabaya Jula-juli kulo sampun paripurna.Ya Allah paringono pangapura”(PNP.10)

Bagian ini merupakan bentuk doa sebuah emotif Bahasa tubuh yang

ditunjukkan oleh lakon yang menyinden dengan lembut, dan para lakon yang

memerankan menjadi masyarakat. Adegan ini dilakukan dibagian akhir setelah

melakukan adegan zaman gonjang ganjing. Semua lakon berwajah sedih

memberikan penghayatan pada puisi yang dibacakan. Tentang rasa belas kasih

mengharapkan pada Tuhan.

Konotasi

Bagian ini adalah bagian dimana menggambarkan para “wong cilik “ berserah diri

pada Tuhan hal ini terlihat pada kata “Ya Allah Allahuma”adalah kalimat yang

dibacakan oleh salah satu lakon dan seluruh lakon yang ada di atas panggung duduk

dengan merunduk hal ini menunjukkan bahwasanya wujud nilai religious yang tersirat

badan menunuduk menggambarkan rasa hormat dan penyesalan yang dalam, biasanya

bersamaan dengan perenungan diri dan permohonan terhadap ilahi.

4.1 PENUTUP 4.1.1 Simpulan

Adapun simpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Analisis semiotik tentang proses pemaknaanbahasa tubuh pada

sebuah pementasan.membuka kode kode kritik sosial, kultur budaya, dan unsur pendidikan yang ada di masyarakat.Mengingatkan masyarakat terhadap hal-hal yang

Page 80: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

74 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

terhadap kultur budaya dalam mememlihara kesenian untuk menjadi penyeimbang,hidup bersama orang lain

2) Makna semiotik yang terdapat pada pementasan teatrikalisasi puisi Jula Juli Zaman Edan peristiwa dan ingatan terdiri dari sistem kekerabatan dan organisasi sosial, sistem religi, pengetahuan, bahasa, kesenian

4.1.2 Saran

Beberapa saran ditujukan kepada (1) pejabat bidang pendidika

dan kebudayaan yamg kebanyakan para pengambil kebijakan di

bidang pendidikan dan kebudayaan, terutama di Kabupaten Jombang,

selayaknya membuat kebijakan-kebijakan yang menggairahkan

pertunjukan kegiatan kesenian dan budaya Jombang sehingga dapat

memperkuat kembali eksistensi identitas lokal masyarakat Jombang.

Kebijakan sosialisasi bisa ditempuh, misalnya, sosialisasi

melaluipendidikan formal atau nonformal. Jika dilakukan, hal itu

dapat memperkuat sejak dini karakter generasi muda; (2) peneliti

selanjutnya,sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan yang mengkaji

tentang puisi Sindhunata yang lain. Karena banyak kandungan

Bahasa yang menarik untuk digali dari sudut pandang yang berbeda

dengan harapan dapat menjadi wacana masyarakat untuk

melestarikan pementasan tradisional. Untuk penelitian-penelitian

selanjutnya diharapkan naskah kesenian gambus misri dapat dikaji

dengan menggunakan pendekatan dan metode yang berbeda.

DAFTAR RUJUKAN

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Tinarbuko, Sumbo. 2009. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra. Berger, Arthur Asa. 2015. Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer.

Yogyakarta: Tiara Wacana. Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Besar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra. Supardjan, N dan I Gusti Ngurah Supartha, 1982. Pengantar Seni Tari. Jakarta: Depdikbud. Darihastining,2016, Etnopuitika Sastra Pentas Jidor Sentulan, Malang:Aditya Media Pradopo, 2014,Pengkajian Puisi,Yogyakarta:Gadjah Mada university pers Shobur ,Alek. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya. Sudikan, 2014,Metode Penelitian Sastra Lisan ,Lamongan: Pustaka Ilalang A.Teuw,2008,Sasatra dan Ilmu Sastra,Jakarta,Pustaka Djaya

Page 81: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

75 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER

Asri Wijayanti

Universitas Tidar [email protected]

Masyarakat Jawa memiliki tradisi lisan berupa larangan-larangan atau

anjuran untuk berbuat sesuatu. Alasan-alasan dari larangan tersebut terkadang tidak masuk akal. Akan tetapi, beberapa orang menggunakannya sebagai dalil untuk menakut-nakuti. Hal tersebut lazim digunakan oleh masyarakat zaman dahulu untuk menasihati anak mereka.

Tradisi lisan untuk mempengaruhi masyarakat tersebut dinamakan gugon tuhon. Gugon tuhon muncul karena masyarakat Jawa lebih menyukai hal-hal mistis daripada realistis. Oleh karena itu, alasan-alasan suatu larangan pada gugon tuhon terkadang tidak berhubungan bahkan tidak masuk akal.

Gugon tuhon juga memuat pendidikan karakter. Artinya, nasihat atau anjuran yang ada di sana memuat nilai-nilai moral dan pembentukan karakter. Prinsip pendidikan karakter diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo melalui nawacita. Hal tersebut juga dikukuhkan pada Perpres Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental. Beberapa karakter yang dijabarkan di sana adalah religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab.

Dalam makalah ini akan dijelaskan pendidikan karakter yang tercermin melalui gugon tuhon. Permasalahan yang akan dibahas adalah jenis-jenis karakter yang diajarkan dari gugon tuhon. Karakter-karakter tersebut menunjukkan gugon tuhon sebagai kekhasan budaya yang masih bisa diberikan kepada generasi muda. Akan tetapi, hal tersebut harus didukung dengan alasan-alasan yang logis.

Penelitian ini berjenis kualitatif. Objek penelitian ini adalah klausa gugon tuhon, sedangkan data penelitian ini adalah kalimat yang berklausa gugon tuhon yang memuat pendidikan karakter. Sumber data penelitian ini adalah Serat Gugon Tuhon Prawira Winarsa.

Metode pengumpulan data menggunakan Metode Simak (Kesuma, 2007:41), dengan teknik yaitu Teknik Simak Bebas Libat Cakap (Kesuma, 2007:44). Dengan teknik ini, peneliti tidak dilibatkan langsung untuk ikut menentukan pembentukan dan pemunculan calon data. Analisis data dengan metode intropeksi, yaitu mengajukan pertanyaan pada diri sendiri secara intensif mengenai objek yang diteliti sampai diperoleh jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan (Wierzbicka dalam Suhandano 2004:24). Selanjutnya, data tersebut dicek kepada penutur asli orang Jawa yang lain untuk memperoleh verifikasi.

Page 82: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

76 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

I. Definisi Gugon Tuhon Menurut Subalidinata (1968:16) jenis gugon tuhon itu ada tiga macam

yaitu: gugon tuhon salugu, gugon tuhon kang isi pitutur sinandi, dan gugon tuhon kan kalebu pepali utawa wewaler

Gugon tuhon salugu itu mirip dengan cerita atau dongeng kuno, yaitu anak (bocah dalam bahasa Jawa) yang termasuk golongan anak sukreta ‘tidak baik/kotor’ dan orang termasuk golongan panganjam-anjam ‘terancam’ itu akan menjadi mangsa atau makanannya Bethara Kala. Supaya anak-anak dan orang-orang terhindar dari atau sebagai mangsa Bethara Kala, harus diruwat ‘disucikan’ dan sebagai sarana dipentaskan pula wayang kulit dengan lakon “Amurwakala”.

Gugon tuhon kang isi pitutur sinandi ‘gugon tuhon yang berisi nasehat yang tersembunyi/baik’, sebenarnya gugon tuhon tersebut memuat ajaran. Namun, ajaran itu tidak jelas, cuma disamarkan. Pada umumnya orang, kalau sudah dikatakan tidak baik atau ora ilok,kemudian takut melanggar. Sebenarnya larangan itu bertujuan untuk ajaran (kawruh), supaya tidak menjalankan melanggar yang disebutkan dalam larangan itu.

Gugon tuhon kang kalebu pepali utawa wewaler ‘gugon tuhon yang termasuk larangan’gugon tuhon yang berisi nasehat larangan, sebenarnya gugon tuhon tersebut memuat ajaran. Ajaran itu jelas dengan adanya sangsi ketika dilanggar. Misalnya: wong-wong kang manggon ing Desa Klepu (kulon Yogyakarta) ora kena nanggap wayang kulit, sebab jaman dulu tiap orang itu nanggap‘mengadakan tontonan’ wayang kulit, setelah selesai pertunjukkan akan meninggal. Kemudian juga pernah terjadi, rumah yang digunakan untuk pertunjukkan wayang kulit tersebut dilempari batu, namun tidak ada yang tahu siapa yang melempari. Sehingga sampai sekarang orang-orang yang yang ada di Desa Klepu merasa takut mengadakan tontonan/pertunjukkan yaitu wayang kulit.

Makalah ini akan membahas gugon tuhon kang isi pitutur sinandhi dan gugon tuhon kang kalebu pepali utawa wewelar dengan cara mengaitkannya dengan pendidikan karakter. Kedua jenis gugon tuhon tersebut paling tepat berisi muatan pendidikan karakter. Hanya saja, gugon tuhon tersebut berisi nasihat dengan menakut-nakuti. Akan tetapi, di balik itu sebenarnya ada muatan pendidikan karakter yang sedang diajarkan kepada anak.

II. Jenis-jenis Karakter yang Diajarkan melalui Gugon Tuhon Setelah dilakukan pengamatan terhadap gugon tuhon masyarakat Jawa. Berikut ini adalah jenis-jenis karakter yang tercermin pada gugon tuhon tersebut. 1. Religius

Sikap religius dapat diwujudkan dengan tindakan tidak berlebih-lebihan. Data di bawah ini menunjukkan gugon tuhon sopan santun makan yang tidak berlebih-lebihan.

Data 1 Aja sok madhang ajang cêthing, mundhak ngêntèk-ngêntèkake kamuktèn. ‘jangan makan di cething (tempat nasi), akan menghilangkan kemuliaan’

Page 83: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

77 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Data tersebut menunjukkan larangan untuk berlebih-lebihan. Sebetulnya, makan di tempat makan langsung tidak diperbolehkan karena hal tersebut memicu tindakan makan berlebih-lebihan.

2. Toleran

Salah satu sikap toleransi adalah menghormati orang yang lebih tua. Data 2 berikut ini menunjukkan larangan untuk membantah orang yang lebih tua. Artinya, gugon tuhon tersebut memiliki nasihat untuk menghormati orang yang lebih tua.

Data 1 Aja sok mundhak wong tuwa, mundhak marahi lalèn. ‘Jangan membantah orang tua, nanti akan menjadi pelupa’

3. Disiplin Salah satu indikator disiplin adalah menjaga kebersihan. Orang yang

menjaga kebersihan berarti disiplin untuk mengatur segala hal. Disiplin bermakna tertib pada peraturan.

Data 2 Aja sok lungguh ing bantal, mundhak lara wudunên. ‘Jangan duduk di bantal, akan sakit bisul’ Data 3 Aja sok jagjagan ana ngambèn utawa paturon, mundhak ora ilok. ‘Jangan berdiri di atas tempat tidur, tidak baik’ Data 4 Yèn mapan turu aja nganti gupak upa, mundhak ngimpi ditampêl lintah. ‘Ketika tidur jangan ada nasi yang menempel, nanti akan ditempeli lintah’ Data 5 Aja sok mangan ana paturon, mundhak lara gudhigên. ‘Jangan makan di tempat tidur, nanti akan sakit kulit’ Data 6 Yèn nyapu ora rêsik, besuk bojone mundhak ala. ‘Ketika menyapu tidak bersih, nanti pasangannya akan jelek’ Data 7 Aja sok ngingu kuku nganti dawa, mundhak diênggoni setan. ‘Jangan memanjangkan kuku, nanti akan ditempati setan’

Data 2 – 7 menunjukkan gugon tuhon tersebut sebagai ajaran untuk bersikap disiplin dengan menjaga kebersihan. Data-data tersebut menunjukkan gugon tuhon dengan alasan yang bersifat menakut-nakuti. Akan tetapi, alasan yang sebenarnya adalah untuk menjaga kebersihan. Misalnya, kebersihan di tempat tidur (Data 2 – 5), kebersihan saat menyapu (Data 6), dan kebersihan diri (Data 7).

Indikator lainnya yang menunjukkan kedisplinan adalah menjaga kesehatan. Data di bawah ini menunjukkan sikap disiplin agar kesehatan terjaga

Data 8 Aja sok nêkuk bantal, mundhak ora ilok. ‘Jangan melipat bantal (untuk tidur), tidak baik’ Data 9 Aja mêmangan karo taturon, mundhak adoh malaekate. ‘Jangan makan sambil tidur, nanti akan jauh malaikatnya’ Data 10 Aja sok nginang utawa udud, besuk yèn pasah mundhak murub. ‘Jangan memakan sirih atau merokok, nanti ketika meninggal akan menyala’ Data 11 Aja mangan iwak ati, mundhak sêbêl ing samubarang. ‘Jangan makan hati, nanti akan mudah marah sama hal lainnya’

Page 84: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

78 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Data 12 Sore-sore aja ngrujak pêdhês, mundhak mati pacangane. ‘Dilarang memakan rujak yang pedas di sore hari, nanti pasanganmu akan meninggal’ Data 13 Yèn angop kudu ditutupi cangkême, mundhak dilêboni setan. ‘Ketika menguap harus ditutup mulutnya, nanti akan dimasuki setan’

Data 8 – 13 menunjukkan disiplin dalam hal menjaga kesehatan. Misalnya, tidur dalam keadaan bantal tidak terlipat agar peredaran darah lancar, makan sambil tidur juga menyebabkan tersedak, merokok juga dapat menganggu kesehatan, memakan hati ayam atau lainnya juga akan mengganggu kesehatan, memakan rujak di sore hari juga menyebabkan sakit perut, dan menguap yang lebar akan menyebabkan kotoran masuk. Hal tersebut merupakan salah satu contoh disiplin untuk menjaga kesehatan. Displin dapat diartikan juga tertib soal makanan untuk menjaga kesehatan.

4. Bekerja Keras

Karakter kerja keras ditunjukkan dari data-data gugon tuhon berikut ini. Data 14 Aja sok tangi kêdhisikan pitik, mundhak sêbêl ing samubarang. ‘Jangan bangun tidur kesiangan, nanti akan marah terhadap semua hal’ Data 15 Aja sok turu ing wayah asar utawa surup, mundhak owah adate. ‘Jangan tidur saat sore hari, nanti akan berubah kebiasaan’ Data 16 Aja sok mangan brutu, mundhak akale kêtêmu buri. Luwih bêcik mangana êndhas utawa cakar bae. Karêbèn bisa cucuk-cucuk utawa cacèkèr. ‘Jangan makan brutu ayam, nanti akalnya akan terbelakang. Lebih baik makan kepala atau ceker ayam saja. Nanti akan giat bersungguh-sungguh.

Gugon tuhon pada Data 14 – 16 menunjukkan anjuran untuk bekerja keras, terutama bagi anak muda. Misalnya, bangun di pagi hari, tidak tidur di sore hari, dan mendahulukan orang tua untuk memakan daging, serta menganjurkan orang yang lebih muda untuk makan yang sedikit dagingnya. Hal tersebut menunjukkan anjuran untuk bekerja keras. Contohnya dengan mengajarkan kepada para pemuda untuk bekerja keras.

5. Cinta Damai

Salah satu sikap cinta damai adalah menghormati orang lain. Data 17 Aja sok malerok, besuk ana kanane, matane mundhak dicukil malaekat, andolèh (molèr) têkan ing githok. ‘Jangan melirik ke arah orang lain, nanti matanya akan diambil malaikat, dan diulur sampai belakang kepala’ Data 18 Aja sok mèncêp, besuk ana kanane lambene mundhak digunting malaekat ‘Jangan cemberut kepada orang lain, nanti mulutnya akan digunting malaikat’ Data 19 Aja sok dhêmên mamisuh, besuk ana kanane lambene mundhak digunting malaikat.

Page 85: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

79 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

‘Jangan sering mengumpat, nanti mulut sebelah kanan akan digunting malaikat’

Data 17 – 19 menunjukkan pendidikan karakter untuk cinta damai dengan menghargai orang lain. rasa cinta damai diajarkan melalui gugon tuhon untuk memberikan tatapan santun dan tidak mengumpat orang lain.

6. Peduli Sosial

Peduli sosial dapat pula diartikan peduli terhadap orang lain. artinya, menghargai dan mendahulukan kepentingan orang lain. Simaklah data 20 berikut ini.

Data 20 Aja sok turu malang-megung, mundhak ora ilok. ‘Jangan tidur memenuhi tempat, tidak baik’

Data tersebut menunjukkan sikap peduli terhadap orang lain. dengan tidak memenuhi tempat tidur berarti diajarkan untuk memberikan tempat bagi orang lain.

Orang Jawa terkadang lebih taat saat harus ditakut-takuti. Apalagi dengan hal yang berbau mistis, mereka akan lebih taat. Akan tetapi, sebetulnya terdapat alasan logis di balik hal tersebut. Gugon tuhon sebetulnya memiliki alasan-alasan logis, benar, dan memberikan pendidikan karakter. III. Simpulan

Setelah penulis menjelaskan data, dapat disimpulkan gugon tuhon merupakan contoh sastra lisan di masyarakat Jawa yang mengandung pendidikan karakter. Berdasarkan data gugon tuhon yang dihimpun dari Gugon Tuhon Prawira Winarsa ditemukan beberapa karakter yang diajarkan, yaitu religius, toleran, disiplin, bekerja keras, cinta damai, dan peduli sosial. DAFTAR RUJUKAN Endraswara, Suwardi. 2010. Etika Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Narasi. Kesuma, Tri Mastoyo Jati. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa.

Yogyakarta: Carasvatibooks. Mulders, Niels. 2001. Mistisme Jawa: Ideologi di Indonesia. Yogyakarta: LKiS. Muljono, Iwan. 2012. Perilaku dan Pitutur Ala Jawa.

iwanmuljono.blogspot.com/2012/11/gugon-tuhon-tidak-sekedar-ora-ilok-6.html?m=1. Diunduh pada tanggal 24 April 2014, pukul 21.41 WIB.

Subalidinata R.S. 1968. Sarining Kasusastran Djawa. Yogyakarta: P.T Jaker. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta

Wacana University Press. Winarsa, Prawiwa. 2011. Serat Gugontuhon. www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/62-adat-dan-tradisi/242-gugon-tuhon-prawira-winarsa-1911-1222. diunduh pada tanggal 1 Oktober 2014, pukul 21.46 WIB.

Page 86: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

80 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

MITOS BARU KLINTING DI RANU GRATI DALAM

PERSPEKTIF EKOKRITIK

Asyifa Alifia E-mail: [email protected]

Fatima Tuzzaroh E-mail: [email protected]

Universitas Negeri Malang

ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan eksistensi Baru Klinting dalam masyarakat Ranu Grati sebagai titik awal penamaan desa-desa di sekitar Ranu Grati, dan kearifan lingkungan berwujud prinsip moral yang dilakukan masyarakat sekitar Ranu Grati, dan kondisi solidaritas kosmik atas sikap masyarakat sekitar terhadap kejadian di Ranu Grati. Penelitian menggunakan rancangan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Teori yang digunakan adalah ekologi sastra dengan perspektif ekokritik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa eksistensi Baru Klinting berpengaruh pada penamaan desa, prinsip moral, dan kondisi solidaritas kosmis masyarakat sekitar Ranu Grati. mitos Baru Klinting memberi pengaruh terhadap pola hidup masyarakat Ranu Grati dalam menjalin hubungan dengan alam.

Kata Kunci: ekokritik, mitos Baru Klinting, kearifan lingkungan

Baru Klinting merupakan salah satu tokoh yang dianggap penting atau dikeramatkan oleh masyarakat Kabupaten Pasuruan, khususnya yang bermukim di sekitar Ranu Grati. Baru Klinting memiliki pertalian erat dengan keberadan desa-desa di kecamatan winongan, kabupaten pasuruan. Dalam perkembangannya, mitos Baru Klinting bukan hanya terdapat di kabupaten Pasuruan, tetapi juga dibeberapa daerah di provinsi jawa timur dan jawa tengah. Nama Baru Klinting sebagai tokoh utama umumnya berkaitan dengan munculnya mata air atau danau, misalnya asal-usul Telaga Ngebel di Ponorogo dan asal-usul Rawa Pening di Jawa Tengah. Deskripsi tokoh Baru Klinting tersebut berbeda-beda di tiap daerah. Masyarakat Ranu Grati mendeskripsikan baru klinting sebagai pemuda yang terlahir dalam rupa ular. Masyarakat yang bermukim di sekitar Rawa Pening mendeskripsikan Baru Klinting sebagai bocah laki-laki yang berbau amis dan kemudian dikutuk menjadi ular. Stereotip Baru Klinting dalam perspektif Rawa Pening tersebut sama dengan Telaga Ngebel, hanya saja terdapat perbedaan nama tokoh dan alur cerita. Pentingnya mitos Baru Klinting dikaji, didasarkan pada tiga alasan. Pertama, keberadaan Baru Klinting dipercaya masih ada oleh masyarakat sekitar Ranu Grati sebagai sosok yang berkuasa atas berbagai hal yang terjadi di ranu. Nilai-nilai yang terkandung dalam kisah Baru Klinting masih dianggap penting oleh masyarakat karena mengandung tatacara berhubungan dengan alam. Kedua, adanya realitas upacara yang dilaksanakan setiap bulan Ruwah dalam sistem penanggalan Jawa. Konsep dasar dari pelaksanaan upacara tersebut adalah "memberi makan" kepada Baru Klinting sebagai wujud simbolis perantara masyarakat sekitar Ranu Grati dengan Tuhan Yang Maha Esa atas keberkahan yang dihasilkan ranu. Ketiga, adanya variasi kisah Baru Klinting sebagai tokoh utama dalam asal usul tiga telaga,

Page 87: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

81 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

yakni Ranu Grati, Telaga Ngebel, dan Rawa Pening. Secara teoretis, variasi kisah tersebut menarik untuk dikaji melelalui pendekatan kearifan lingkungan, sebagaimana mencakup kehidupan moral masyarakat atas pemberian alam bagi kesejahteraan manusia. Perlu diketahui pula, dalam pendekatan kearifan lingkungan mencakup tindakan yang seyogyanya dimiliki oleh manusia dalam berperilaku terhadap alam sebagai wujud timbal balik atas yang telah diberikan alam terhadap manusia. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori ekologi sastra dengan sudut pandang ekokritik. Ekologi sastra adalah sastra yang ditulis dengan tujuan mengungkapkan hubungan manusia dengan alam. Dewi (2015), menyebutkan pentingnya posisi sastra dan bahasa sebagai suatu komponen yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia yang langsung bersinggungan dengan alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta sebagai tokoh utama yang memiliki campur tangan secara langsung dengan keadaan alam. Buell (1995), mengemukakan bahwa teks (sastra) yang berorientasi lingkungan memiliki salah satu atau keseluruhan dari empat kriteria, yaitu (i) alam tidak hanya hadir sebagai bingkai tetapi sebagai sebuah kehadiran yang menunjukkan bahwa sejarah manusia terlibat dalam sejarah alam; (ii) kepentingan manusia tidak dipahami sebagai satu-satunya kepentingan yang sah; (iii) pertanggungjawaban manusia terhadap lingkungan merupakan bagian dari orientasi etis teks; dan (iv) lingkungan sebagai suatu proses, bukan sebagai sesuatu yang konstan atau yang diberikan. Dalam perkembangannya, ekologi sastra merujuk pada ekokritik sebagai kritik atas perubahan ekologi.

Ekokritik sastra merupakan salah satu paham sastra yang lahir dari transdisiplin ilmu antara sastra dengan ekologi sebagai ilmu pendukung. Glothfelty (1994) mengungkapkan secara sederhana bahwa ekokritisme adalah studi hubungan antara sastra dan fisik. Ekokritisme mengambil pendekatan yang berpusat pada bumi untuk studi sastra. Sukmawan (2016), menyebutkan kodrat multidisipliner ekokritik mewajibkan kehadiran, kebersamaan, dan kesatupaduan berbagai teori yang relevan dan fokus terhadap masalah kajian sastra dan lingkungan, yaitu teori kritik, kritik sastra, teori kebudayaan, dan teori etika lingkungan. Garrard (2004), menyebutkan bahwa ekokritik memiliki keunikan yang meramu sastra kontemporer dan budaya yang berkaitan erat dengan ilmu ekologi. Lebih jauh, Garrard menyebutkan bahwa ekokritik dapat membantu menentukan, mengeksplorasi, dan bahkan menyelesaikan masalah ekologi dalam penelitian yang lebih luas. Dalam fungsinya sebagai media representasi sikap, pandangan, dan tanggapan masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya, sastra berpotensi mengungkapkan gagasan tentang lingkungan, termasuk nilai-nilai kearifan lingkungan.

Ekokritik dapat dikaji melalui tiga model kajian (pendekatan). Pertama, pastoral yang berkonsentrasi pada kehidupan masyarakat pedesaan. Gifford (1999) menyebutkan pastoral adalah sastra apa saja yang mendeskripsikan desa dengan mengkontraskannya secara implisit dan eksplisit dengan kota. Kedua, apokaliptik yang berkaitan dengan unsur magis seperti wahyu (apokalips). Garrard (2004), menyebutkan bahwa apokaliptik merupakan komponen penting dari wacana lingkungan. Apokaliptik yang masih berhubungan dengan sisi kepercayaan kuno masyarakat digunakan sebagai alat pengendalian yang

Page 88: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

82 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

digunakan oleh para aktivis untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah terkait lingkungan (Carter, 2010) . Ketiga, kajian etis (kearifan lingkungan) yang mengungkapkan prinsip nilai dan moral sebagai pedoman berperilaku terhadap semua makhluk. Sukmawan (2016) mengungkapkan kearifan lingkungan sebagai perangkat pengetahuan dan praktik hasil refleksi intensif manusia terhadap alam dan pengalaman lampaunya sehingga memunculkan etika, tata nilai, dan prinsip-prinsip yang bermanfaat praktis untuk menyelesaikan permasalahan hidup serta berimplikasi positif terhadap pemeliharaan dan pelestarian lingkungan.

Terdapat beberapa penelitian yang mengusung kisah Baru Klinting sebagai tokoh utama. Setyaningsih (2015) dalam skripsi Cerita Rakyat Rawa Pening Kajian Pascakolonial mengaji tentang ceritera rakyat Baru Klinting yang berkembang di masyarakat sekitar Rawa Pening melalui perspektif pascakolonial. Senada dengan Setyaningsih yang mengaji mitos Baru Klinting dan pertaliannya dengan Rawa Pening, Purwoko (2016) dalam skripsi Pelaksanaan Upacara Tradisi Merti Dusun dan Nilai-Nilai yang Terkandung di dalamnya membahas tentang pelaksanaan upacara tradisional Merti oleh masyarakat di sekitar Rawa Pening dan nilai-nilai dalam upacara adat tersebut. Berbeda dengan dua penelitian sebelumnya, Prinka (2015) dalam skripsi Cerita Rakyat Bantul Ki Ageng Mangir Wonoboyo I menjadi Inspirasi Penciptaan Naskah Drama Mahogra hanya menyebutkan Baru Klinting sebagai salah satu tokoh yang terlibat dalam kisah kepahlawanan Ki Ageng Mangir Wonoboyo I dalam naskah drama Mahogra dan lebih menitikberatkan pada perspektif perpolitikan di masa kini. Dalam konteks spasial yang berbeda, Tirtawidjaya et al. (1979) dalam buku Sastra Lisan Jawa menitikberatkan kisah Baru Klinting melalui perspektif masyarakat sekitar Telaga Ngebel, Ponorogo, yang mengisahkan perubahan Baru Klinting dari bocah yang terkena penyakit kusta menjadi seekor ular akibat suatu kejadian.

Arifin (2014) dalam laporan penelitian Upacara Adat Distrikan Danau Ranu Grati Desa Ranuklindungan Kecamatan Grati Kabupaten Pasuruan mengaji tentang ritual tahunan Distrikan yang mengandung makna simbolis kearifan lingkungan masyarakat Ranuklindungan dengan Ranu Grati sebagai pendukung sumber mata pencaharian utama. Ramadhina (2016) dalam skripsi Nilai Moral dalam Cerita Rakyat Ranu Grati dan Pemanfaatannya sebagai Bahan Pembelajaran Apresiasi Teks Cerita Moral/Fabel pada Siswa SMP Kelas VIII mengaji mengenai amanat kisah Baru Klinting dan manfaat praktisnya terhadap apresesiasi sastra. Kasnowihardjo (2016) dalam penelitian arkeologi Sistem Permukiman Kawasan Danau di Jawa Timur mengulas sedikit kisah mengenai Baru Klinting dan Ranu Grati dalam kaitannya dengan keberadaan desa-desa yang berada di sekitar ranu dan artefak-artefak yang diyakini sebagai peninggalan yang mendukung kebenaran cerita Baru Klinting.

Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini berfokus pada mitos Baru Klinting terhadap kehidupan masyarakat di sekitar Ranu Grati melalui konsep ekokritik sastra, khususnya kearifan lingkungan. Secara khsusus, penelitian ini merumuskan tiga hal pokok yang akan dibahas. Pertama, eksistensi Baru Klinting dalam masyarakat Ranu Grati sebagai titik awal penamaan (keberadaan) desa-desa di sekitar ranu. Kedua, kearifan lingkungan berwujud

Page 89: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

83 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

prinsip moral yang dilakukan masyarakat sekitar Ranu, seperti sikap hormat terhadap alam, sikap tanggung jawab terhadap alam, prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam, dan prinsip hidup sederhana selaras dengan alam. Ketiga, kondisi solidaritas kosmik atas sikap masyarakat sekitar terhadap kejadian di Ranu Grati.

METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam artikel ini adalah pendekatan kualitatif, yaitu pendekatan yang menitikberatkan pada obyek dengan sifat natural. Natural yang dimaksud adalah objek di sini berkembang apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti dan kehadiran peneliti tidak memengaruhi obyek (Ratna, 2010). Obyek penelitian dikaji dan diulas secara terperinci guna memperoleh suatu deskripsi yang jelas mengenai eksistensi Baru Klinting dalam masyarakat Ranu Grati sebagai titik awal penamaan desa-desa di sekitar Ranu Grati, dan kearifan lingkungan berwujud prinsip moral yang dilakukan masyarakat sekitar Ranu Grati, dan kondisi solidaritas kosmik atas sikap masyarakat sekitar terhadap kejadian di Ranu Grati. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif karena data yang dihasilkan dari peneliti bukanlah angka-angka, tetapi berupa kata-kata atau gambaran sesuatu (Djajasudarma, 1993). Data penelitian ini diperoleh dengan teknik wawancara terstruktur dengan hasil yang berupa rekaman. Wawancara dilakukan terhadap Robi’atul Adawiyah, Anik Masruroh, Baitul Rohman, dan Shodiq yang merupakan warga sekitar, data juga diperoleh dari juru kunci ranu grati yakni Mbah Sodin. Data rekaman kemudian diolah ke dalam bentuk teks yang lebih terperinci. Paparan-paparan yang telah diolah tersebut nantinya akan digunakan sebagai bukti dalam menganalisis eksistensi Baru Klinting dalam masyarakat Ranu Grati sebagai titik awal penamaan desa-desa di sekitar Ranu dan mengetahui kearifan lingkungan berwujud prinsip moral yang dilakukan masyarakat sekitar Ranu. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa daftar pertanyaan kepada narasumber dan alat perekam suara. Daftar pertanyaan berkaitan dengan topik pembahasan penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian. Data tersebut terlebih dahulu dicatat menggunakan alat perekam suara untuk mendapatkan hasil yang lebih rinci. Hasil rekaman nantinya diolah ke dalam bentuk teks sebelum akhirnya dianalisis lebih lanjut menggunakan teori ekokritik. Analisis data dalam penelitian ini mencakup lima tahapan yang meliputi (1) pengumpulan data, yakni data dalam sumber data yang akan diteliti terlebih dahulu dikumpulkan; (2) pengelompokan data, yakni data yang terkumpul sebelumnya dipisahkan sesuai dengan kelas-kelas yang akan dijabarkan dalam penelitian; (3) pereduksian data, yakni data-data yang telah dikelompokkan dirangkum untuk memberikan gambaran yang lebih jelas; (4) penyajian data, yakni data disajikan dalam bentuk yang telah disesuaikan dengan rumusan masalah penelitian; dan (5) penarikan simpulan, yakni menyimpulkan hasil yang diperoleh dalam penelitian. HASIL PENELITIAN

Page 90: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

84 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Pada bagian ini dipaparkan data dan hasil temuan penelitian mencakup (1) data eksistensi Baru Klinting dalam masyarakat Ranu Grati sebagai titik awal penamaan (keberadaan) desa-desa di sekitar ranu, (2) data kearifan lingkungan berwujud prinsip moral yang dilakukan masyarakat sekitar Ranu Grati, dan (3) data kondisi solidaritas kosmik atas sikap masyarakat sekitar terhadap kejadian di Ranu Grati. Eksistensi Baru Klinting dalam Masyarakat Ranu Grati sebagai Titik Awal Penamaan Desa-Desa di Sekitar Ranu Grati

Berdasarkan analisis data, ditemukan perebdaan-perbedaan cerita mengenai eksistensi Baru Klinting yang cukup signifikan melalui beberapa tokoh yang dijadikan sampel. Masyarakat Kecamatan Winongan, Kabupaten Pasuruan percaya bahwa Baru Klinting merupakan ular jejadian yang bagian tubuhnya terpotong menjadi tiga bagian. Bagian kepala di sungai Umbulan, bagian badan di sungai Banyu Biru, dan bagian ekor di danau Ranu Grati. Cerita tersebut dituturkan oleh tiga masyarakat sekitar ranu, yakni Robi’atul Adawiyah, Anik Masruroh, dan Baitul Rohman yang sampelnya diambil secara acak.

Berbeda dengan keterangan tiga sampel tersebut, Pakde Shodiq, salah satu masyarakat sepuh di sekitar sungai Umbulan menuturkan bahwa sungai Umbulan muncul sebagai jawaban tuhan atas semedi Mbah Sholeh Semendi untuk mengatasi permasalahan kekeringan yang menyerang Winongan saat itu. Sungai Banyu Biru merupakan aliran dari sungai Umbulan. Keterangan Shodiq tersebut diperkuat oleh keterangan juru kunci danau Ranu Grati yakni Mbah Sodin. Beliau menyangkal bahwa sungai Umbulan, sungai Banyu Biru, dan danau Ranu Grati merupakan satu aliran air. Berdasarkan penuturan juru kunci danau Ranu Grati dapat diperoleh fakta bahwa mitos Baru Klinting berkaitan erat dengan penamaan tempat di sekitar wilayah Ranu Grati. Terdapat beberapa desa yang dipercaya ada karena eksistensi Baru Klinting yang dahulu pernah menghuni wilayah tersebut. Adapun desa-desa yang dimaksud adalah Desa Brongkol, Gati Tunon, dan Desa Jatisari. Kearifan Lingkungan Berwujud Prinsip Moral yang Dilakukan Masyarakat Sekitar Ranu Grati Kearifan lingkungan erat kaitannya dengan perilaku yang seyogyanya dimiliki oleh setiap manusia ketika berkomunikasi atau berhubungan terhadap alam. Kearifan lingkungan digunakan sebagai dasar ungkapan terima kasih manusia atas pemberian alam yang berguna bagi kelangsungan hidup. Kearifan lingkungan tersebut diwujudkan dalam prinsip-prinsip moral yang mengatur tatacara manusia dalam hubungannya dengan alam. Prinsip-prinsip moral tersebut berupa sikap hormat terhadap alam, sikap tanggung jawab terhadap alam, solidaritas kosmis, prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam, prinsip tidak merugikan alam, prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam. Pertama prinsip moral sikap hormat terhadap alam, prinsip ini beranggapan bahwa manusia memiliki kewajiban untuk menghargai alam. Kedua prinsip moral sikap tanggung jawab terhadap alam, prinsip ini tak lepas dari prinsip yang pertama. Ketika manusia memiliki rasa hormat terhadap lingkungannya, hal ini tentu harus diikuti dengan tanggung jawab. Tanggung jawab sendiri perwujudan nyata atas sikap hormat yang telah terbentuk. Ketiga prinsip solidaritas kosmis, yakni tanggung jawab karena panggilan kosmis untuk

Page 91: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

85 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

menjaga alam itu sendiri, untuk menjaga keseimbangan dan keutuhan ekosistem. Terakhir, prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam, prinsip ini terbentuk atas kesadaran kosmis yang ada sebagai sesama anggota komunitas ekologis, semua memiliki hak untuk dilindungi dan dipelihara. Masing-masing prinsip tersebut ditemukan dalam upaya pelestarian Ranu Grati sebagai sumber utama mata pencaharian masyarakat sekitar seperti tidak menangkap ikan menggunakan bom dan mengadakan ritual tiap bulan Ruwah sebagai wujud penghormatan terhadap Baru Klinting sebagai penguasa Ranu Grati. Kondisi Solidaritas Kosmis atas Sikap Masyarakat Sekitar terhadap Kejadian di Ranu Grati

Solidaritas kosmis bukan hanya berwujud pada alam yang langsung bersinggungan dengan manusia di dunia nyata. Namun, kosmis disebut sebagai hal yang dapat dijangkau oleh manusia maupun tak dapat dijangkau oleh manusia yang keberadaannya ada dan turut mempengaruhi keberlangsungan hidup manusia. Kondisi kosmik cenderung bersifat magis meskipun kenyataannya lebih menitikberatkan pada kesadaran manusia terhadap yang telah dilakukannya terhadap alam (timbale balik yang diberikan alam terhadap manusia).

Beberapa hal yang ditemukan pada kejadian di Ranu Grati menyiratkan solidaritas kosmis yang dibangun oleh masyarakat sekitar dengan Baru Klinting yang dipercaya sebagai tokoh penguasa ranu. Peristiwa habisnya ikan di ranu, misalnya, sebagai akibat dari ulah masyarakat sekitar yang menangkap ikan menggunakan pengebom. Hal tersebut dapat dijelaskan secara ilmiah karena mematikan bibit-bibit ikan yang masih kecil. Namun, dalam sudut pandang kosmik, terdapat campur tangan Baru Klinting terhadap kejadian tersebut.

PEMBAHASAN

Pada bagian ini dipaparkan (1) eksistensi Baru Klinting dalam masyarakat Ranu Grati sebagai titik awal penamaan (keberadaan) desa-desa di sekitar ranu, (2) kearifan lingkungan berwujud prinsip moral yang dilakukan masyarakat sekitar Ranu Grati, dan (3) kondisi solidaritas kosmik atas sikap masyarakat sekitar terhadap kejadian di Ranu Grati. Eksistensi Baru Klinting dalam Masyarakat Ranu Grati sebagai Titik Awal Penamaan Desa-Desa di Sekitar Ranu Grati

Terdapat tiga tempat yang penamaannya berdasarkan mitos Baru Klinting, yakni Dusun Jati Sari, Dusun Brongkol, dan Dusun Grati Tunon. Nama Jati Sari bermula ketika Endang Sukarni, ibu Baru Klinting, diceraikan dan diusir dari kerajaannya. Seperti yang telah dituturkan juru kunci berikut ini.

Kisah Baru Klinting bermula dari sang ibu yang bernama Endang Sukarni. Endang Sukarni merupakan istri seorang Demang di daerah wetan. Tanpa sepengetahuan sang Demang dan Endang Sukarni, sebenarnya mereka merupakan Saudara kandung. Hubungan mereka tersebut menyebatkan rakyat di sekitar kerajaan tersebut tertimpa wabah penyakit. Sang Demang memutuskan untuk bertapa mencari petunjuk dari yang Maha Kuasa. Setelah lama bertapa, Demang peroleh pencerahan untuk selamatkan rakyatnya. Dia harus memilih

Page 92: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

86 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

antara istrinya, Endang Sukarni atau rakyatnya. Dia harus menceraikan sang istri dan mengusirnya dari kerajaan agar rakyat selamat. Demang memilih untuk menyelamatkan rakyatnya. Ending Sukarni menerima keputusan tersebut dan meninggalkan kerajaan. Sepanjang perjalanan tanpa arah, Endang Sukarni mencoba sabar. Ia tiba di hutan yang penuh pohon jati. Endang menamahi tempat itu sebagai Jati Sari. Ia berharap tempat tersebut akan diberi kesuburan. Endang Sukarni yang cantik itu terus melanjutkan perjalanan tanpa arah. Lama-kelamaan ia menjadi marah dan sakit hati. Wanita itu merasa perceraiannya tidak adil. Ia bahkan tidak pernah bertengkar dengan sang Demang.

Di tempat Endang Sukarni sakit hati tersebut dinamakan sebagai Dusun Brongkol. Brongkol dalam bahasa Indonesia berarti sakit hati, sementara nama Dusun Grati Tunon diambil usai kematian Baru Klinting. Seperti yang telah dituturkan juru kunci berikut ini.

Saat itu, Baru Klinting sedang bersemedi untuk mendapat wujud manusia sepenuhnya. Kebetulan di daerah tempat Baru Klinting bertapa sedang ada perayaan desa. Empat puluh desa akan bersama-sama mengadakan syukuran, untuk memenuhi kebutuhan pangan saat syukuran, Demang meminta rakyatnya untuk buron alas yakni berburu hewan-hewan. Para hewan pada dasarnya memiliki seorang pemimpin. Para pemimpin tersebut meminta para hewan untuk bersembunyi selama Buron Alas. Rakyat terus mencari hewan buruan, namun hasilnya nihil. Salah seorang pemburu adalah wanita tua yang buta bernama Ki Kerti. Kala mencari buruan, Ki Kerti terjatuh ke sungai, ia menemukan akar pohon yang besar untuk dinaiki. Akar tersebut sangat licin dan membuatnya terjatuh berkali-kali. Ternyata akar pohon tersebut adalah punggung Baru Klinting. Baru Klinting berkata bahwa dia bukan akar pohon. Baru Klinting juga member tawaran kepada Ki Kerti, “Jika Ki Kerti mau, lukai tubuhku, ambil getah yang keluar dan usapkan ke mata. Ki Kerti akan dapat melihat. Syaratnya, jangan beri tahu masyarakat kala aku di sini.” Ki Kerti setuju dengan tawaran tersebut. Ia melukai tubuh Baru Klinting dan mengusapkan darah yang keluar daru tubuh itu ke matanya. Betapa bahagia Ki Kerti saat ia bisa melihat dunia. Ki Kerti segara pulang ke desa dengan gembira. Warga yang melihat kesembuhan Ki Kerti merasa heran dan bertanya. Namun, Ki Kerti tak mau bercerita. Warga yang geram memukuli Ki Kerti dan memaksanya bercerita. Tubuh Ki Kerti menjadi babak belur, karena tak tahan dengan siksaan ia akhirnya bercerita perihal Baru Klinting di sungai. Segera warga menuju tempat Baru Klinting. Mereka seret tubuh Baru

Page 93: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

87 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

ke Alun-alun, membunuhnya dan memotong tubuhnya menjadi empat puluh bagian, tiap desa dapat satu bagian. Di tempat itu berama-ramai membakar daging Baru Klinting. Tunu dalam Bahasa Jawa berarti memasak makanan dengan cara dibakar biasa. Oleh sebab itu, tempat memasak Baru Klinting disebut sebagai Dusun Tunon yang saat ini lebih dikenal dengan Dusun Grati Tunon.

Terlihat dengan jelas pada paparan di atas bahwa mitos Baru Klinting telah memberikan sumbangsi besar pada penamaan beberapa desa di sekitar Ranu Grati. Selain itu, dapat diketahui bahwa penamaan tempat tersebut diambil berdasarkan sesuatu yang ada di sana dan peristiwa yang terjadi dalam mitos. Contohnya nama Dusun Jati Sari yang diambil karena tempat tersebut memiliki banyak pohon Jati dalam Mitos Baru Klinting. Sementara Dusun Brongkol dan Gati Tunon diambil karena peristiwa yang terjadi dalam mitos Baru Klinting, yakni saat Endang Sukarni sakit hati dan saat daging Baru Klinting dimasak. Kearifan Lingkungan Berwujud Prinsip Moral yang Dilakukan Masyarakat Sekitar Ranu Grati

Telah dijelaskan pada bagian pendahuluan bahwa Ekokritik dapat dikaji melalui tiga model kajian (pendekatan). Pertama, pastoral yang berkonsentrasi pada kehidupan masyarakat pedesaan. Kedua, apokaliptik yang berkaitan dengan unsur realisme-magis seperti wahyu (apokalips). Ketiga, kajian etis (kearifan lingkungan) yang mengungkapkan prinsip nilai dan moral sebagai pedoman berperilaku terhadap semua makhluk. Pada pembahasan ini akan digunakan kajian etis untuk mengetahui hubungan danau Ranu Grati dengan masyarakat di sekitarnya.

Sukmawan (2016) menyatakan bahwa kearifan lokal atau kearifan lingkungan erat kaitannya hubungan manusia dengan atau alamnya. Sehingga dapat dipahami secara nyata bahwa permasalahan lingkungan berawal dari adanya ketidakberesan hubungan antara manusia dengan lingkungannya dan hal ini berakar dari perilaku manusia yang tidak menjadikan kearifan lokal sebagai landasan etis perilakunya. Penjelasan Sukmawan tersebut telah memberikan suatu pandangan bahwa kearifan lokal mampu mewujudkan sikap moral masyarakat lingkungannya. Sukmawan menyebut sikap moral ini sebagai prinsip moral. Prinsip-prinsip moral tersebut berupa sikap hormat terhadap alam, sikap tanggung jawab terhadap alam, solidaritas kosmis, prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam, prinsip tidak merugikan alam, prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam.

Pertama prinsip moral sikap hormat terhadap alam, prinsip ini beranggapan bahwa manusia memiliki kewajiban untuk menghargai alam. Sukmawan (2016) menerangkan bahwa alam mempunyai hak untuk dihormati , tidak saja karena kehidupan manusia bergantung kepada alam, tetapi karena kenyataan ontologis bahwa manusia adalah bagian integral dari alam. Fakta yang telah diungkapkan Sonny tersebut tentunya memperkuat alasan bahwa manusia harus memiliki sikap hormat terhadap alam. Dalam mitos Baru Klinting, diceritakan sikap hormat Joko Baru kepada orang tuanya, terutama ayahnya, Kyai Nyampo. Meski telah mendapati fakta dari Nyi Roro Kidul bahwa Kyai Nyampo malu memiliki anak sepertinya. Joko Baru tetap menghormati Kyai

Page 94: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

88 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Nyampo dan melaksanakan segala permintaan ayahnya itu. Sikap hormat Joko Baru ini diterapkan oleh masyarakat sekitar Ranu Grati kala berkunjung ke Danau tersebut. Bukan hanya masyarakat sekitar, pengunjung dari luar daerah juga diharuskan menghormati lingkungan di sekitar Ranu Grati saat berkunjung. Berikut kutipan dari juru kunci mengenai sikap Baru Klinting.

Pada suatu hari, pondok tersebut hendak mengadakan pengajian rutin yang dihadiri banyak orang. Kyai Nyampo khawatir jemaatnya akan ketakutan saat melihat Joko Baru. Atas izin Endang Sukarni, Joko Baru diperintah mencari air untuk suguhan para tamu. Kyai Nyampo memberikan keranjang kepada Joko Baru sebagai tempat menampung air. Setiba di mata air, Joko Baru bertemu dengan Nyi Roro Kidul. Ia ceritakan tujuannya datang ke tempat itu. Nyi Roro Kidul menertawakan kepolosan Joko Baru yang telah ditipu ayahnya. Ia tidak mungkin bisa menampung air dengan keranjang yang dibawa itu.

Kedua prinsip moral sikap tanggung jawab terhadap alam, prinsip ini tak lepas dari prinsip yang pertama. Ketika manusia memiliki rasa hormat terhadap lingkungannya, hal ini tentu harus diikuti dengan tanggung jawab. Tanggung jawab sendiri perwujudan nyata atas sikap hormat yang telah terbentuk. Sukmawan (2016) menerangkan bahwa tanggung jawabterwujud dalam bentuk mengingatkan, melarang, dan menghukum siapa saja yang secara sengaja atau tidak merusak dan membahayakan eksistensi alam. Dalam hal ini, wujud tanggung jawab yang terlihat di sekitar danau Ranu Grati adalah rambu-rambu peringatan untuk setiap pengunjung yang datang. Selain itu, penjaga Ranu Grati juga memberikan peringatan secara langsung jika terjadi pelanggaran yang membahayakan lingkungan danau.

Ketiga prinsip solidaritas kosmis. Sukmawan (2016) mengungkapkan bahwa tanggung jawab moral itu bersifat kosmis, yakni suatu tanggung jawab karena panggilan kosmis untuk menjaga alam itu sendiri, untuk menjaga keseimbangan dan keutuhan ekosistem. Tanggung jawab yang mampu menimbulkan perasaan bersalah pada diri masyarakat ketika terjadi suatu bencana alam ataupun ekosistem yang tidak seimbang. Keraf (dalam Sukmawan, 2016) menerangkan bahwa manusia melakukan tindakan kosmis untuk mengungkapkan rasa bersalahnya dan secara kosmis ingin menyeimbangkan kembali kekacauan kosmis itu.

Dapat dikatakan bila prinsip moral tanggung jawab terhadap alam lebih berfokus pada tindakan pencegahan dari kekacauan, sementara prinsip solidaritas kosmis merupakan bentuk tanggung jawab ketika kekacauan sudah terjadi dan bertujuan untuk mengembalikan alam pada kondisi awalnya. Dalam hal ini, solidaritas kosmis antara masyarakat di sekitar danau Ranu Grati dengan Baru Klinting sebagai penguasa danau terjadi saat danau Ranu Grati mengalami gangguan ekosistem. Gangguan ini terjadi karena ulah beberapa nelayan yang melakukan pengeboman untuk mencari ikan. Tindakan ini menyebabkan populasi ikan di Ranu Grati berkurang drastis waktu itu. Masyarakat yang merasa bersalah melakukan syukuran di danau Ranu Grati sebagai ungkapan maaf. Selain itu, penggunaan bom untuk menangkap ikan juga dilarang keras di

Page 95: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

89 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

danau Ranu Grati. Syukuran sebagai wujud rasa bersalah ini dilakukan masyarakat setiap tahunnya pada bulan Ruwah menurut penanggalan Jawa.

Terakhir prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam, prinsip ini terbentuk atas kesadaran kosmis yang ada sebagai sesama anggota komunitas ekologis, semua memiliki hak untuk dilindungi dan dipelihara. Manusia yang mampu menjalankan prinsip ini tanpa mengharapkan imbalan akan mampu berkembang menjadi sosok yang matang dan memiliki kepribadian kuat. Sukmawan (2016) menjelaskan bahwa ketenangan dan keselarasan kosmis terwujud melalui sikap rukun, tidak saling mengganggu anrelemen kosmis. Berdasarkan penjelasan tersebut telah diketahui bahwa menjaga kerukunan antarelemen merupakan wujud kasih sayang dan kepedulian terhadap alam. Dalam kaitannya dengan mitos Baru Klinting, para pengunjung danau Ranu Grati biasanya diminta untuk menjaga sikap. Mereka harus sabar dan menjaga kerukunan selama berda di sekitar wilayah Ranu Grati. Menurut Juru Kunci, sikap para pengunjung ini untuk menghormati kesedihan dan kesabaran Endang Sukarni kala anaknya dibunuh dan dimakan oleh rakyat dalam sebuah acara perayaan tahunan. Ranu Grati muncul sebagai bentuk kesedihan Endang Sukarni atas kematian anaknya. Tentu tidak etis bila para pengunjung tidak mampu menjaga kerukunan di tempat Endang Sukarni merasakan kesedihan yang mendalam atas kematian anaknya. Berikut kutipan dari juru kunci mengenai kesabaran sosok Endang Sukarni.

Endang Sukarni yang mendengar kabar kematian anaknya menjadi sangat sedih. Ia terus mengaduh kepada Kyai Nyampo. Meski berwujud ular, Baru Klinting tetaplah seorang manusia dan dia tidak bersalah. Beliau meminta Endang Sukarni untuk bersabar. Kyai akhirnya melaksanakan sholat malam untuk mencari petunjuk. Esoknya, Endang Sukarni diperintah untuk menjadi pengemis dan meminta makanan di perayaan tersebut. Pergilah Endang Sukarni ke tempat perayaan. Tak seorang pun warga yang berbelas kasih padanya, jangankan daging Baru Klinting, Tulang, dan pincuk nasi pun tak boleh diberikan padanya. Endang Sukarni pulang dengan sangat sedih. Ia kembali mengaduh kepada Kyai Nyampo. Beliau kemudian member Endang Sukarni sebuah Sodo Lanang yakni lidi. Endang Sukarni diminta untuk kembali ke perayaan sebagai pengemis dan menancapkan lidi tersebut di tengah alun-alun. Endang Sukarni menjalankan segala perintah Kyai Nyampo tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa prinsip-prinsip moral tersebut saling berkaitan satu sama lain, bahkan pengertiannya seolah tak bisa dilepaskan menjadi satu bagian saja. Prinsip moral hormat terhadap alam nantinya akan menimbulkan prinsip tanggung jawab terhadap alam. Prinsip tanggung jawab terhadap alam sendiri berkaitan dengan tindakan pencegahan yang dilakukan manusia untuk menghormati alam. Kemudian prinsip solidaritas kosmis juga masih berkaitan erat dengan prinsip tanggung jawab. Pada prinsip solidaritas kosmis, manusia menunjukkan rasa tanggung jawab mereka melalui tindakan nyata setelah alam mengalami suatu bencana. Dapat dikatakan prinsip

Page 96: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

90 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

tanggung jawab dilaksanakan sebelum bencana terjadi, sementara prinsip solidaritas kosmis dilaksanakan setelah bencana terjadi sebagai bentuk pertanggungjawaban. Prinsip-prinsip ini nantinya akan menghasilkan prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam. Selain itu, dapat diketahui juga bahwa kesadaran kosmis merupakan sikap yang terbesar, berkaitan dengan kesadaran manusia mengenai adanya suatu hubungan antara dirinya dan jagad raya yang dalam hal ini adalah lingkungan. Kesadaran kosmis telah mewujudkan prinsip-prinsip moral manusia terhadap lingkungannya. Kondisi Solidaritas Kosmis atas Sikap Masyarakat Sekitar terhadap Kejadian di Ranu Grati

Kesadaran kosmis merupakan faktor tersebar berkaitan dengan sikap manusia terhadap lingkungannya. Tanpa adanya kesadaran kosmis, manusia bisa terus bertindak sesuka hatinya. Sayangnya, kesadaran kosmis ini seolah tidak dapat diperoleh begitu saja. Setiap manusia memilikinya, hanya takarannya yang berbeda. Tidak semua orang mampu dengan tulus menerapkan prinsip-prinsip moral kepada lingkungannya. Dapat dikatakan bagi sebagian orang kesadaran kosmis ini serupa dengan epifani, yakni sebuah pencerahan. Epifani secara khusus merupakan peristiwa penampakan tuhan atau suatu sosok yang diagungkan muncul dihadapan orang tertentu dan mampu memberikan sebuah pencerahan, misalnya kutipan Armstrong dalam buku Sejarah Tuhan sebagai berikut.

Nama tuhan tertinggi Kanaan terekam dalam nama-nama berbahasa Ibrani, seperti Isra-El atau Ishma-El. Mereka mengalaminya melalui cara-cara yang tidak lazim bagi kaum Pagan Timur Tengah. Akan kita saksikan bahwa beberapa abad kemudian orang Israel menemukan mana atau “kesucian” Yahwe sebagai pengalaman yang menggentarkan. Di Gunung Sinai, misalnya, dia menampakkan diri kepada Musa di tengah letusan gunung api yang menginspirasikan kekaguman. Sebagai perbandingan, El bagi Abraham adalah tuhan yang sangat lembut. Dia menampakkan diri kepada Abrahan sebagai seorang teman dan kadang dengan rupa manusia. Jenis penampakan ini disebut sebagai epifani (Armstrong, 2001). Telah kita pahami dengan pasti bahwa epifani tidak dapat muncul setiap

waktu. Epifani muncul pada saat-saat tertentu, terutama di saat genting yang memberikan suatu ancaman tersendiri. Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan mengenai solidaritas kosmis yang dilakukan masyarakat Ranu Grati atas hancurnya ekosistem di sekitar danau. Pelarangan penggunaan bom ikan dan syukuran setiap bulan Ruwah menurut penanggalan Jawa merupakan bentuk solidaritas kosmis yang mereka miliki. Solidaritas kosmis yang mereka lakukan ini merupakan wujud dari kesadaran kosmis. Sementara kesadaran kosmis ini sendiri muncul sebagai bentuk ancaman. Menurut cerita yang telah dipaparkan juru kunci sebagai penghubung masyarakat dengan sosok Endang Sukarni, perilaku pengeboman yang dilakukan masyarakat telah merusak habitat ikan-ikan di dalamnya. Padahal ikan merupakan makanan utama Baru Klinting yang menghuni danau. Endang Sukarni memberikan ancaman bahwa Baru Klinting akan menelan korban jika kondisi Ranu Grati tak segera membaik. Endang

Page 97: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

91 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Sukarni merupakan sosok yang diagungkan atau pun dihormati oleh masyarakat di sekitar danau Ranu Grati. Penuturan juru kunci memperlihatkan bahwa beliau adalah sosok khusus yang memeroleh epifani pertama kali, yakni melalui penampakan Endang Sukarni. Kemudian beliau menyampaikan penampakan tersebut kepada masyarat di sekitar Danau Ranu Grati sebagai sebuah epifani.

Kesaksian juru kunci tersebut jelas menunjukkan bahwa kesadaran kosmis muncul sebagai epifani yang hanya hadir di saat-saat genting. Masyarakat takut akan adanya korban jiwa, sehingga mereka peroleh kesadaran kosmis tersebut. Pengeboman dilarang, syukuran dilakukan untuk menenangkan Baru Klinting. Hanya saja, kesadaran kosmis ini seolah tak berlaku lama. Perilaku masyarakat sekitar danau Ranu Grati tak sepenuhnya mampu menerapkan prinsip-prinsip moral, terutama prinsip solidaritas kosmis. Melihat kondisi Danau Ranu yang dipenuhi sampah warga maupun wisatawan, tentu akan memberikan dampak terhadap ekosistem di danau tersebut. Keadaan ini membuktikan bahwa kesadaran kosmis mampu membentuk prinsip-prinsip moral terutama prinsip moral solidaritas kosmis, dan kesadaran kosmis hanya muncul sebagai epifani pada saat-saat yang genting terutama memberi ancaman bagi masyarakat. Simpulan

Mitos merupakan cerita yang tersebar dikalangan masyarakat dan biasanya berkaitang dengan asal-usul terjadinya suatu tempat. Mitos Baru Klinting sendiri terdapat di beberapa tempat di Indonesia dan berkaitan dengan munculnya sumber mata air seperti danau. Salah satunya adalah mitos Baru Klinting di daerah pasuruan sebagai asal-usul danau Ranu Grati. Mitos ini tidak hanya berkaitan dengan munculnya danau Ranu Grati, tetapi juga berkaitan dengan penamaan beberapa desa di sekitar. Desa-desa tersebut antara lain dusun Jati Sari, dusun Brongkol, dan dusun Grati Tunon.

Mitos ini juga memberikan pengaruh besar terhadap pola hidup masyarakat di sekitar Ranu Grati. Hal ini berkaitan dengan prinsip-prinsip moral yang telah diterapkan oleh masyarakatnya. Pertama prinsip moral sikap hormat terhadap alam sebagai bentuk penghargaan terhadap sikap Baru Klinting yang menghormati orang tuanya. Kedua prinsip moral sikap tanggung jawab terhadap alam, prinsip ini tak lepas dari prinsip yang pertama. Masyarakat sekitar danau Ranu Grati menerapkan prinsip ini dalam bentuk rambu-rambu larangan yang tersebar di sekitar danau. Ketiga prinsip solidaritas kosmis berkaitan dengan bentuk tanggung jawab ketika kekacauan sudah terjadi dan bertujuan untuk mengembalikan alam pada kondisi awalnya. Prinsip ini dilakukan ketika danau Ranu Grati mengalami kekacauan ekosistem, masyarakat melarang penggunaan bom ikan dan melaksanakan syukuran setiap tahun pada bulan Ruwah menurut penanggalan jawa. Terakhir kasih sayang dan kepedulian terhadap alam terwujud melalui kegiatan menjaga kerukunan antarelemen. Masyarakat percaya bahwa mereka harus bersikap sabar ketika mengunjungi danau. Tidak boleh ada bentuk pertikaian apapun di sekitar lingkungan danau Ranu Grati. Hal ini sebagai wujud penghormatan terhadap kesedihan Endang Sukarni, mengingat danau Ranu Grati muncul atas kematian anaknya Baru Klinting.

Page 98: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

92 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Prinsip-prinsip moral tersebut berdasarkan suatu fenomena kesadaran kosmis. Sehingga dapat dikatakan solidaritas kosmis menjadi prinsip moral yang utama. Kesadaran kosmis dimiliki setiap manusia sebagai bagian dari alam, namun takarannya berbeda pada tiap individu. Hal ini yang menyebabkan kesadaran kosmis seolah menjadi epifani atau sebuah pencerahan yang hanya muncul pada saat genting saja. Solidaritas kosmis hadir sebagai bentuk permintaan maaf atas kesalahan manusia terhadap lingkungannya. Fakta bahwa masyarakat Ranu Grati melarang penggunaan bom ikan dan mengadakan syukuran setiap tahun di bulan Ruwah menurut penanggalan jawa merupakan bentuk permintaan maaf mereka atas ekosistem danau yang rusak. Selain itu, masyarakat juga memeroleh ancaman dari Baru Klinting yang disampaikan melalui sosok juru kunci danau Ranu Grati. Fakta tersebut membuktikan bahwa kesadaran kosmis masyarakat Ranu Grati muncul sebagai sebuah epifani yang hadir di saat genting saja. Kesadaran kosmis sebagai epifani ini sendiri tidak berlangsung lama, jika melihat kondisi Danau saat ini yang penuh dengan sampah dari masyarakat sekitar dan wisatawan.

Saran Berdasarkan simpulan yang telah diperoleh, terdapat beberapa saran yang diberikan. Saran-saran tersebut dipaparkan dalam dua poin. Pertama, kepada masyarakat sekitar Ranu Grati Pasuruan, sebagai pengelola utama yang wajib menjaga lingkungan sekitar danau. Mengingat jasa Ranu Grati dalam memenuhi kebutuhan perekonomian masyarakat, baik dari sektor pariwisata maupun perikanan. Menghentikan penggunaan bom ikan dan menyelenggarakan syukuran tiap tahun tidak cukup untuk menjaga lingkungan Ranu Grati. Saat ini usaha yang paling tepat untuk menjaga lingkungan danau adalah membersihkan sampah-sampah di danau dan tidak membuang sampah lagi di sana. Kedua, kepada peneliti selanjutnya, disarankan untuk memperluas sumber data melalui wawancara terhadap lebih banyak narasumber yang tersebar di beberapa desa yang penamaannya memiliki kaitan dengan mitos Baru Klinting. Selain itu, kajian ekokritik perlu dikembangkan dalam mengaji karya sastra Indonesia mengingat hanya terdapat sedikit penelitian yang menggunakan model kajian tersebut.

DAFTAR RUJUKAN Arifin, Ahmad. 2014. Laporan Observasi Seting Lokal Upacara Adat Distrikan

Danau Ranu Grati Desa Ranuklindungan Kecamatan Grati Kabupaten Pasuruan. Laporan tidak diterbitkan Malang: FIS UM.

Armstrong, K. 2001. Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan Oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama 4000 Tahun. Bandung: Penerbit Mizan.

Buell, Lawrence. 1995. The Environmental Imagination. The Belknap Press of Harvard University Press.

Carter, John W. 2010. An Introduction to the Interpretation of Apocalyptic Literature. The Journal of Ecocritism. 2 (2). (Online),

Page 99: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

93 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

(http://ojs.unbc.ca/index.php/joe/article/view/129) diakses 22 September 2017.

Djajasudarma, F. 1993. Metode Linguistik: Rancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Penerbit PT Eresco.

Dewi, Novita. 2015. Manusia dan Lingkungan dalam Cerpen Indonesia Kontemporer: Analisis Ekokritik Cerpen Pilihan KOMPAS. Jurnal Litera 14 (2), 376ˉˉ391.

Garrard, Greg. 2004. Ecocriticism. Oxfordshire: Routledge. Gifford, Terry. 1999. Pastoral. London: Routledge. Glothfelty, C. dan Froom. H. (eds.). 1996. The Ecocriticsm Reader: Landmarks

in Literary Ecology. London: University of Georgia Press. Kasnowihardjo, Gunadi. 2016. Situs Permukiman Kawasan Danau di Jawa

Timur, (Online) (www.id.scribd.com) diakses 23 September 2017. Purwoko, G. D. 2016. Pelaksanaan Upacara Tradisi Merti Dusun dan Nilai-

Nilai yang Terkandung di Dalamnya. (Online) (repository.uksw.edu>bitstream> T1_172011003_BAB IV.pdf) diunduh 22 September 2017.

Prinka, Vivin Lusian. 2015. Cerita Rakyat Bantul Ki Ageng Mangir Wonoboyo I menjadi Inspirasi Penciptaan Naskah Drama Mahogra. (Online), (digilib.isi.ac.id/933/6/BAB I.pdf) diunduh 22 September 2017.

Ramadhina, Regita Leily. 2016. Nilai Moral dalam Cerita Rakyat Ranu Grati dan Pemanfaatannya sebagai Bahan Pembelajaran Apresiasi Teks Cerita Moral/Fabel pada Siswa SMP Kelas VIII. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: FS UM.

Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Setyaningsih, Lilis. 2015. Cerita Rakyat Rawa Pening Kajian Pascakolonial. (Online) (eprints.uns.ac.id/24967/1/C0211023_pendahuluan.pdf) diunduh 22 September 2017.

Sukmawan, Sony. 2016. Ekokritik Sastra :Menanggap Sasmita Arcadia. Malang: UB Press.

Tirtawidjaya, Yoharni Harjono Totong [et al.]. 1979. Sastra Lisan Jawa. Jakarta: Depdikbud

Page 100: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

94 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

ANALISIS NILAI KARAKTER DALAM SYIIR TANPA WATON

CITRA NUR FAIDAH

Universitas Negeri Malang

email: [email protected]

Abstrak :Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan tentang nilai karakter

apa saja yang terdapat dalam syiir tanpa waton. Dalam penelitian ini terdapat 5

nilai karakter dalam syiir tanpa waton. Nilai tersebut yaitu syukur, toleransi,

rukun, sabar dan tawaqal. Nilai karakter dalam syiir tanpa dikaji secara sengaja

karena sebagai bekal untuk menjadi lebih baik, kajian peenlitian ini juga dapat

melestarikan tradisi syiiran dalam kalangan satri.

Kata kunci : karakter, syiir, tanpa waton

Perkembangan globalisasi telah melanda berbagai dimensi kehidupan manusia dan dampaknya sangat signifikan terhadap kehidupan secara umum. Pengaruh tersebut terdapat dampak positif dan dampak negatif. Dampak postif orang bisa lebih mudah mengakses informasi dari berbagai belahan dunia melalui berbagai teknologi. Namun di era globalisasi juga lebih banyak menimbulkan dampak negatif. Seperti masuknya kebudayaan dan gaya hidup yang tidak sesuai dengan bangsa sendiri. Jika dampak negatif dari era globalisasi lebih banyak melanda bangsa indonesia maka sudah dapat dipastikan kedepanya karakter bangsa akan menjadi luntur. Selain itu juga dampak dari globalisasi juga akan mempengaruhi kelestarian budaya dari bangsa indonesia itu sendiri.Perlu adanya suatu solusi terhadap permasalahan yang terjadi. Mengkaji salah satu syiir yang berjudul “Syiir Tanpa Waton” yang sudah sangat populer dikalangan masyarakat Jawa dirasa sangat efektif, karena dalam syiir tersebut mengandung banyak nilai-nilai karakter yang dapat menjadi pedoman kita.Syiir tanpa waton merupakan salah satu karya sastra lisan yang berkembang khususnya di daerah pesantren..

Syiir pada awalnya berasal dari tradisi di pesantren yang fungsinya sebagai media pembelajaran, nasihat dan hiburan. Tradisi syiiran mulai dikenal di masyarkat luas khususnya masyrakat Jawa karena kelebihannya tersebut. Didalam syiir sendiri terdapat nilai nilai karakter didalamnya, misalnya dalam syiir tanpa waton yang diciptakan oleh presiden RI 4 terdapat nilai nilai karakter yang dapat dijadikan pedoman untuk membentuk karakter bangsa.

Kata syiir berasal menurut etimologi berasal dari bahasa arab sya`ara dan sya`ura yang berarti mengetahui dan merasakan. Namun secara termologi ada beberapa pendapat yang menjelaskan tentang pengertian syiir. Badri (1984:4), mengemukakan bahwa syiir adalah suatu kalimat yang disusun dengan menggunakan irama atau wazab arab. Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa syiir adalah suatu kalimat berirama yang bersajak yang melukiskna tentang kejadian kejadian yang ada (Al- Zaiyat, 1968:28)

Page 101: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

95 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Selain dari bahasa Arab, ada juga beberapa pendapat yang menjelaskan syiir kedalam bahasa Jawa. Dalam Kamus Pepak Bahasa Jawa syiir lebih sering disebut singir yang berarti kidung pujian saempar dzikir (kidung atau nyanyian yang puji-pujian sambil berdzikir. Catur (2013:6), menyebutkan bahwa syiir adalah puisi yang menggunakan bahasa Jawa yang dilagukan atau dinyanyikan oleh penyairnya. Syiir biasanya bercerita tentang filsafat agama, ajaran-ajaran agama dan nilai-nilai agama. Syiir dapat dikatakan sebagai salah satu karya sastra lisan karena syiir mempunyai ciri sebagai berikut (1) diucapkan secara lisan, (2) memiliki keseimbangan ketukan dalam setiap bait, (3) memiliki kesamaan bunyi huruf diakhir masing-masing bait, (4), memiliki imaginatif, (5) memuat pesan didalamnya.dari beberapa pendapat diatas dapat dismpulkan bahwa Syiir adalah suatu karya sastra yang lisan dengan diucapkan dengan cara dilagukan yang mengandung nilai-nilai karakter. Menurut Muzakka (2002:16), fungsi syiir terbagi menjadi 3 yaitu (1) fungsi hiburan, (2) fungsi pendidikan, (3) fungi spritual.

Nilai merupakan suatu sifat. Nilai sendiri biasanya bersifat abstrak perlu mengkaji lebih dalam lagi mengeni nilai. Menurut Jalaludin (1997:65), nilai adalah hasil kreativitas manusia dalam rangka melakukan kegiatan sosial yang berupa cinta, simpati, dengan kata lain masyarakat sebagai wadah dari nilai. Nilai dan karakter sangatlah berhubungan satu sama lain. Menurut Andayani (2011:11), karakter dapat diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Menurut Harianto, (2011:42) Karakter adalah perilaku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari baik dalam bersikap maupun dalam bertindak. Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang terdapat dalam diri yang telah menyatu, dan teroganisir menjadi sebuah sistem yang nampak dalam perilaku sehari-hari. Nilai karakter itu sendiri yang bersumbver dari agama, pancasila, budaya, dan tujuan nasional ada 18 nilai karakter. Namun ada juga nilai utama yang harus dimiliki manusia yang berhubungan dengan tuhan, manusia dan sesama manusia yaitu nilai (1)Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6)Keratif, (7)Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa ingin tahu, (10) Semangat kebangsaan atau nasionalisme (11)Cinta tanah air (12) Menghargai prestasi, (13) Komunikatif, (14)Cinta damai, (15) Gemar membaca, (16) Peduli lingkungan, (17)Peduli sosial, (18) Tanggung jawab.

Penelitian yang pernah ada yang berjudul kajian “Nilai keislaman dalam Dalam Syiir Tanpa Waton”penelitian ini dirasa belum maksimal karena pada penelitian ini tersebut hanya berfokus pada kajian –kajian nilai keislaman saja.Dari kurang maksimalnya penelitian yang pernah ada, maka peneliti melakukan sebuah penelitian terbaru yang berjudul “Nilai-Nilai Karakter Dalam Syiir Tanpa Waton yang bertujuan untuk mengkaji nilai –nilai karakter yang ada dalam syiir tanpa waton.

METODE PENELITIAN

Sugiyono (2016:45), menjelaskan untuk melakukan penelitian peneliti menggunakan jenis penelitian studi pustaka yaitu peneliti mengumpulkan data-

Page 102: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

96 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

data dengan cara menghimpun data-data dari berbagai literatur. Literatur yang ada tidak terbatas hanya pada buku saja namun bisa juga dari berbagai macam sumber seperti terks, buletin, artikel, surat kabar, dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini. penekanan dalam penelitian studi pustaka lebih menekankan untuk menemukan teori, dalil, prinsip,gagasan-gagasan baru yang dapat dianalisis dan dapat memecahkan masalah yang diteliti. Dalam penelitian ini peneliti akan mengkaji apakah tradisi syiiran dapat membentuk nilai karakter dan dapat melestarikan budaya. Peneliti juga mengkaji apakah syiir syiir yang diucapkan secara lisan mengandung nilai karakter.

Pendekatan penelitian adalah cara-cara yang dilakukan untuk menghampiri atau mendekati objek (Ratna, 2008:58). Adapun pendekatan yang diguakan dalam penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif naturalistik. Naturalistik sendiri mengambil segala sesuatu secara apa adanya, tidak dibuat-buat. Sugioyono (2008:8), mengemukakanbahwa metode penelitian kualitatif sering disebut dengan metode pendekatan naturistik, karena pada penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah. Selain itu juga dapat disebut metode etnographi karena pada metode ini sering digunakan untuk kajian budaya. Bogdan dan Biklen (1995:30) menjelaskan bahwa beberapa karakter penelitian kualitatif-naturistik yaitu (1) penelitian kualitatif memiliki setting/ latar ilmiah sebagai sumber data langsung dan merupakan instrumen kunci (2) penelitian kualitatif bersifat deskriptif, (3) yang lebih ditekankan adalah proses daripada hasil, (4)penelitian kualitatif cenderung menganalisi datanya secara induktif, (5) makna merupakan perhatian utama bagi pendekatan kualitatif.

Sumber data yang diperoleh pada penelitian kualitatif terbagi menjadi 2 yairu sumber data primer dan skunder. Azwal (2004:91), mengemukakan bahwa data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari subjek penelitian dengan menggunakan data langsung pada subjek penelitian yang dicari. Sedangkan data sekunder menurut surakhmad (1998:133), data sekunder merupakan data yang diperoleh dari pihak lain secara tidak langsung dari subjek penelitiannya. Namun masih tetap mendukung atau berkaitan dengan tema yang diangkat. Sumber data yang paling utama dalam penelitian ini diperoleh dari teks teks syiir yang bejudul “Syiir Tanpa Waton “ kemudian data tambahan yang berupa dokumentasi dari beberapa video santri yang sedang melakukan tradisi syiiran.

Dalam penelitian kualitatif yang menjadi istrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri. Instrumen penelitian yang ada dalam penelitian ini menggunakan human instrumen dimana peneliti memilih informan sebagai sumber data.

Sugiyono (2016:201) mengemukakan bahwa teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dapat dilakukan dengan berbagai macam seperti observasi, wawancara, dokumentasi, triagulasi atau gabunngan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan studi dokumentasi. Peneliti mengumpulkan data yang berupa tulisan syiir-syiir khususnya Syiir tanpa waton kemudian peneliti mengkaji nilai karakter apa saja yang terdapat dalam kajian syiir tersebut. Selain itu juga peneliti juga bisa mengambil dokumentasi yang berbentuk audio visual yang diambil pada saat

Page 103: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

97 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

peneliti mendokumentasikan tradisi syiiran yang dilakukan oleh santri di daerah tertentu. .

Untuk memaparkan data yang didapat secara akurat, jelas, tepat dan sistematik dibutuhkan salah satu metode atau teknik analisis yang sesuai. Objek penelitian ini berupa konsep-konsep, teori-teori yang berkaitan dengan nilai karakter maka peneliti memutuskan untuk menggunakan metode deskriptif analisis. Surakhmad (1998:36), Deskriptif analisis merupakan metode yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data terlebih dahulu kemudian dilakukan penyusunan data, kemudian dilakukan anaisis data interpretasi atau biasa disebut dengan penafsiran terhadap data tersebut. Pada penelitian ini peneliti mencoba mengumpulkan data terlebih dahulu yang berupa kumpulan teks syiir tanpa waton, kemudian peniliti mencoba menyususn data-data dan dianalisis. Setelah dilakukan analisis kemudian data tersebut diinterpretasi sesuai dengan penafsiran dari peneliti.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahuai apa saja nilai karakter yang terdapat dalam syiir tanpa waton karya Presiden ke 4. Selain untuk mengatahui nilai karakter apa saja yang ada dalam syiir tanpa waton. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melestarikan budaya syiiran yang ada di Indonesia sekaligus juga dapat menjadi pedoman untuk kita kedepan setelah mengetahui nilai karakter apa saja yang ada dalam syiir tersebut.

HASIL PAPARAN

Pada bab ini akan dijelaskan paparan data dari Syiir Tanpa Wathonn pada setiap baitnya. Penafsiran ini berdasarkan kacamata peneliti. Bait ke-1

Ngawiti ingsun nglaras syi'iran Kelawan muji maring pengeran

Kang paring rohmat lan kenikmatan Rino wengine tanpo pitungan Rino wengine tanpo pitungan.

Segala sesuatu yang penting harus diawali dengan pujian maka akan terputus rahmad Allah. Setiap melakukan sesuatu harus diawali pujian untuk mendapatkan rahmad dari Allah. Bait ke 2

Duh bolo konco...prio wanito Ojo mung ngaji syare'at bloko

Gur pinter dongeng nulis lan moco. Tembe mburine...bakal sangsoro

Dengan potongan syair di atas menjelaskan Wahai para teman pria dan

wanitaJangan hanya belajar syari’at saja hanya pandai bicara, menulis dan membaca esok hari bakal sengsara. Dari bait diatas pesan yang disampaikan penyair prihatin terhadap realita kehidupan modern dalam masyarakat. Masyarakat cenderung belajar membaca tanpa memahami isi dari apa yang dia baca.

Page 104: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

98 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Bait ke 3 Akeh kang apal Qur’an Haditse

Seneng ngafirke marang liyane

Kafire dewe dak digatekke

Yen isih kotor ati akale

Dengan potongan syairmenjelaskan banyak yang hafal Qur’an dan haditsnya. Senang mengkafirkan kepada orang lain, kafirnya sendiri tak dihiraukan. Jika masih kotor hati dan akalnya. Potongan syair di atas menjelaskan banyaknya orang yang hafal Al-Qur”an dan hadist tapi belum bisa menganbil intisari dari hadist dan AL-Qur”an itu sendiri. Bait ke 4

Gampang kabujuk nafsu angkoro Ing pepaese gebyare ndunyo

Iri lan meri sugihe tonggo Mulo atine peteng lan nisto

Pada bab ini dijelaskan bahwa kita sebagai manusia jangan sampai mudah tepengaruh oleh duniawi, jangan sampai kita iri dengan kekayaan tetangga karena itu akan membuat hati menjadi kotor dan bersih. Bait ke 5

Ayo sedulur jo nglaleake Wajibe ngaji sak pranatane

Nggo ngandelake iman tauhide Baguse sangu mulyo matine

Pada bait ini dijelaskan bahwa ayo saudara jangan melupakan wajibnya mengkaji lengkap dengan aturannya untuk mempertebal iman tauhidnya bagusnya bekal mulia matinya. Bait ke 6

Kang aran sholeh bagus atine Kerono mapan seri ngelmune Laku thoriqot lan ma’rifate Ugo haqiqot manjing rasane

Pada bait ini dijelaskan disebut sholeh adalah bagus hatinya)Karena

mapan lengkap ilmunya)Menjalankan tarekat dan ma’rifatnya)Juga hakikat meresap rasanya.

Bait ke 7 Al Qur’an qodim wahyu minulyo

Tanpo tinulis biso diwoco Iku wejangan guru waskito

Den tancepake ing jero dodo

Pada bait ini dijelaskan Al Qur’an qodim wahyu mulia ,tanpa ditulis bisa dibaca itulah petuah guru mumpuni tancapkan di dalam dada

Bait ke 8

Kumantil ati lan pikiran

Page 105: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

99 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Mrasuk ing badan kabeh jeroan Mu’jizat Rosul dadi pedoman

Minongko dalan manjinge Pada bait ini dijelaskan menempel di hati dan pikiran merasuk dalam badan dan seluruh hati mukjizat Rosul(Al-Qur’an) jadi pedoman sebagai sarana jalan masuknya iman. Bait ke 9

Kelawan Alloh Kang Moho Suci Kudu rangkulan rino lan wengi

Ditirakati diriyadohi Dzikir lan suluk jo nganti lali

Pada bait ini dijelaskann harus mendekatkan diri siang dan malam diusahakan dengan sungguh-sungguh secara ihlas dzikir dan suluk jangan sampai lupa.

Bait ke 10

Uripe ayem rumongso aman Dununge roso tondo yen iman Sabar narimo najan pas-pasan

Kabeh tinakdir saking Pengeran Pada bait ini dijelaskan bahwa hidupnya akan terasa tentram dan merasa amanmantabnya rasa tandanya berimansabar menerima meski hidupnya pas-pasansemua itu adalah takdir dari tuhan.

Bait ke 11

Kelawan konco dulur lan tonggo Kang podho rukun ojo dursilo Iku sunahe Rosul kang mulyo Nabi Muhammad panutan kito

Pada bait ini dijelaskan terhadap teman, saudara dan tetanggaYang rukunlah jangan bertengkarItu sunnahnya Rosul yang muliaNabi Muhammad tauladan kita.

Bait ke 12

Ayo nglakoni sakabehane Alloh kang bakal ngangkat drajate

Senajan asor toto dhohire Ananging mulyo maqom drajate

Pada bait ini dijelaskan bahwa kita semua harus menjalani ayo jalani semuanyaallah yang akan mengangkat derajatnyawalaupun rendah tampilan dhohirnya namun mulia maqam derajatnya di sisi Allah.

Bait ke 13

Lamun palastro ing pungkasane Ora kesasar roh lan sukmane

Page 106: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

100 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Den gadang Alloh swargo manggone Utuh mayite ugo ulese

Pada bait ini menjelaskan bahwa ketika ajal telah datang di akhir hayatnyatidak tersesat roh dan sukmanya dirindukan allah surga tempatnya utuh jasadnya juga kain kafannya.

PEMBAHASAN Nilai-Nilai Karakter Dalam Syiir Tanpa Waton

Nilai karakter yang terdapat dalam syiir tanpa waton yang pertama adalah syukur, menjelaskan tentang rasa sukur terhadap Allah SWT. Pada bait pertama menjelaskan bahwa setiap apapun yang kita lakukan seharusnya kita mengucapkan syukur atas kehadiran Allah SWT.

Nilai karakter yang kedua yaitu semangat belajar. Pada bait yang kedua menjelsakn bahwa kita harusnya belajar bukan hanya syreat saja namun kita harus belajar lebih mendalam seperti belajar tasawuf tariwat dan hakikat.

Nilai karakter yang ketiga yaitu rasa toleransi, dalam bait ini dijelaskan bahwa kita sebagai manusia harus mempunyai rasa toleransi terhadap orang lain. Banyak orang yang sering mengatakan bahwa orang lain itu tergolong kafir, sering menggunjing orang lain, namun kita sendiri lupa akan kekafiran kuta terhadap tuhan dan kesalahan kesalah kita yang telah kita lakukan terhadap tuhan.

Nilai karakter yang keempat adalah sabar dan tawaqal. Dalam kajian syyir tanpa waton pada bait ke 4 dijelaskan bahwa setiap orang itu harus sabar dan tawaqal terhadap ujian yang diberikan oleh Allah. Kita harus menerima segala takdir dari allah dengan sabar dan selalu tawaqal terhadap Allah meski hidup serba pas-pasan.

Nilai karakter yang lima adalah rukun. Setiap manusia diciptakan dengan berbeda –beda. Kita hidup bersaudara dan bertetangga seharusnya tidak boleh menghina satu sama lain. Sebagai umat Allah kita harus hidup rukun dan saling tolong menolong. DAFTAR RUJUKAN Ali, Badri.1984.Muhadaratun fi I`ilmai Al-Aruudl Wal-Qofiyah. Cairo: Al-azhar

Al-Zaiyat, Ahmad.1968. Trikatul adabi araby. Bairut: darul maasyiq. Sudaryanto. 2001. Kamus Pepak Bahasa Jawa.Yogyakarta: Badan Kongres Bahasa. Tuwuh, Catur. 2013. Metode Penelitian bahasa Arab. Surabaya: ilmu lentera. Muzakka, Dkk. 2002. Kedudkan Fungsi Singir pada Masyarakat Jawa.Yogyakarta:lentera ilmu. Jalaludin, Abbdullah. 1997. Filsafat Ilmu Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama Andayani, Dian. 2011. Pendidikan Karakter Sesuai Dengan Prespektif Islam. Bandung: PT Media Rosdakarya Harianto, Muklas. 2011. Konsep pendidikan Karakter. Bandung: PT Rosdakarya. Sugiyono.2016. Prosedur Penelitian kualitatif. Jakarta: Gramedia Indonesia.

Page 107: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

101 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

KATEGORI UNGKAPAN TRADISIONAL PERIBAHASA MASYARAKAT MINANGKABAU

Dewi Syafrina [email protected] Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia

Universitas Negeri Malang

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsiakan kategori ungkapan tradisional peribahasa masyarakat Minangkabau. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk mengungkap fenomena mengenai ungkapan tradisional peribahasa yang akan dikaji. Melalui penetlian ini diperoleh lima kategori dalam ungkapan tradisional peribahasa masyarakat Minangkabau, yaitu (a) kategori flora/tumbuhan, (b) kategori fauna/hewan, (c) kategori manusia, (d) kategori anggota kerabat, dan (e) kategori fungsi tubuh manusia. Kelima kategori tersebut menggambarkan hubungan masyarakat Minangkabau dengan alam sangat dekat sehingga dapat dijadikan perumpamaan dan pelajaran.

Kata kunci: folklor, ungkapan tradisional, peribahasa, Minangkabau

Masyarakat Minangkabau merupakan salah satu etnik di Indonesia yang memiliki identitas yang kuat. Identitas masyarakat Minangkabau tersebut tampak pada bahasa, kesenian, pakaian, dan aspek tradisi lainnya. Hasanuddin (2016:132) menyebutkan masyarakat yang kukuh dan dapat memberikan sumbangan kebudayaannya adalah masyarakat yang kuat, kompak, dan bangga pada identitasnya. Masyarakat semacam ini tumbuh karena memiliki “perekat.” Perekat itu tentulah berupa nilai-nilai mendasar yang dapat mengintegrasikan masyarakat Minangkabau pada suatu kesatuan pola hidup (pandangan dan nilai-nilai kehidupan, dan falsafah hidup sebagai suatu kearifan lokal di dalam menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan). Satu di antara perekat yang dipergunakan itu dapat dikatakan bersumber dari nilai-nilai tradisi yang dapat ditemukan pada tradisi lisan ungkapan tradisional masyarakat Minangkabau berupa peribahasa.

Masyarakat Minangkabau memegang erat ajaran dari alam. Navis (1984:59) menyebutkan bahwa orang Minangkabau menamakan tanah airnya Alam Minangkabau. Alam bagi masyarakat Minangkabau adalah segala-galanya. Alam bukan hanya sebagai tempat lahir dan tempat mati, tempat hidup dan berkembang, melainkan juga sebagai sesuatu yang memiliki makna filosofis, seperti yang diungkapkan dalam mamangannya: Alam takambang jadi guru (alam yang terbentang dijadikan guru). Tidak hanya tampak pada falsafah hidup, apapun yang ada di alam juga digunakan dalam ungkapan tradisional berupa peribahasa.

. Ungkapan tradisional merupakan salah satu jenis sastra lisan Indonesia. Menurut Brunvand (dalam Danandjaja, 1986:28), terdapat tiga sifat hakiki

Page 108: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

102 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

ungkapan tradisional, yaitu (1) peribahasa harus berupa satu kalimat ungkapan, tidak cukup hanya berupa satu kata tradisional saja, (2) peribahasa ada dalam bentuk yang sudah standar, dan (3) suatu peribahasa harus mempunyai vitalitas (daya hidup) tradisi lisan yang dapat dibedakan dari bentuk-bentuk klise tulisan yang berbentuk syair, iklan, reportase, dan sebagainya.

Navis (1984:258) menyebutkan bahwa peribahasa berasal dari pepatah. Kalimat pepatah dan petitih sangat elastis. Pepatah dan petitih dapat diolah ek berbagai bentuk kalimat dengan cara menyisipi beberapa kata atau merombaknya. Kalimat yang telah diolah itulah yang disebut peribahasa dengan susunan kalimat sebagaimana bentuk dan gaya kesusastraan. Misalnya, pepatah kareh ditakiak, lunak disadu (keras ditaik, lunak disudu) dapat diolah menjadi peribahasa: kok kareh ditakiak, kok lunak disudu (kalau keras ditakik, kalau lunak disudu) atau bisa pula menjadi nan kareh indah ditakiaknyo, nan lunak inda disudunyo (yang keras tidak ditakiknya, yang lunak tidak disudunya).

Ungkapan tradisional peribahasa digunakan oleh masyarakat untuk menyampaikan pesan secara tersirat. Hasanuddin (2016:139) menyebutkan bahwa ungkapan tradisional peribahasa Minangkabau mengandung nasihat-nasihat mulia atau nilai-nilai kebijaksanaan atau kearifan berbentuk tunjuk ajar. Nasihat-nasihat tersebut tidak disampaikan secara langsung. Bakar, dkk (1981:6) menjelaskan bahwa kemampuan seseorang dalam menyampaikan sesuatu dalam bentuk kiasan adalah ciri kebijaksanaan. Demikian pula bagi orang yang menerima. Kemampuan memahami makna kiasan dianggap pula sebagai ciri kearifan.

Artikel ini memaparkan kategori ungkapan tradisional peribahasa masyarakat Minangkabau. Dengan mengetahui kategori tersebut, masyarakat luar dapat melihat bahwa peribahasa Minangkabau merupakan cerminan dari alam sehingga mencerminkan falsafah hidup masyarakat Minangkabau, alam takambang jadi guru. METODE

Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif untuk mendeskripsikan data berupa kategori ungkapan tradisional peribahasa masyarakat Minangkabau. Penelitian yang dilakukan dengan tidak menggunakan angka-angka dan pengolahan data secara statistik, tetapi lebih mengutamakan penghayatan peneliti terhadap interaksi antarkonsep yang sedang dikaji secara empiris.

Subjek penelitian ini adalah informan yang diwawancarai untuk mengumpulkan ungkapan tradisional peribahasa yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau. Dalam pengumpulan dan analisis data, instrumen yang digunakan adalah pedoman wawancara dan tabel kategorisasi ungkapan tradisional peribahasa masyarakat Minangkabau.

Data penelitian ini adalah kategori ungkapan tradisional peribahasa masyarakat Minangkabau yang diperoleh dari informan yang diwawancarai oleh peneliti. Tahap pengumpulan data berupa kategori ungkapan tradisional peribahasa masyakarat Minangkabau terdiri atas dua tahap.

Tahap pertama, tahap inventarisasi melalui studi kepustakaan dan perekaman tradisi lisan ungkapan tradisional peribahasa masyarakat

Page 109: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

103 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Minangkabau. Jika data dituturkan langsung oleh informan maka tuturan informan direkam dengan menggunakan alat perekam. Hasil rekaman ditranskripsi ke dalam bentuk tulisan. Hasil transkripsi selanjutnya diterjemahan dari bahasa daerah Minangkabau ke dalam bahasa Indonesia.

Tahap kedua, pengumpulan data tentang lingkungan penuturan/ penceritaan (pandangan dan falsafah hidup, serta nilai-nilai kehidupan masyarakat penutur yang berhubungan dengan tradisi lisan ungkapan tradisional peribahasa Minangkabau. Data tentang lingkungan penuturan/penceritaan ini dikumpulkan melalui teknik pencatatan, pengamatan, dan wawancara.

TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Temuan Penelitian

Data ungkapan tradisional peribahasa masyarakat Minangkabau diidentifikasi dan dikelompokkan menjadi lima kategori. Lima kategori ungkapan tradisional peribahasa masyarakat Minangkabau tersebut beserta maknanya diuraikan sebagai berikut.

Pertama, kategori flora/tumbuhan, antara lain (1) Alah limau dek mindalu, hilang pusako dek pancarian (Sudah (rusak) jeruk karena benalu, hilang pusaka karena pencaharian); (2) Mancari dama ka bawah rumah, mamapeh dalam balango (Mencari kemiri ke bawah rumah); (3) Pakai ilmu padi, samakin barisi, samakin marunduak (Pakai ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk); (4) Bak kacang diabuih ciek (Seperti kacang yang direbus satu); (5) Bak mandapek durian runtuah, bak mandapek kijang patah.

Kedua, kategori fauna/hewan, antara lain (1) Pusek jalo kumpulan ikan (Pusat jala kumpulan ikan); (2) Bak cando caciang kapanasan, umpamo lipeh tapanggang (Seperti cacing kepanasan, seperti lipas terpanggang); (3) Bak ayam lapeh malam, bak kambiang di parancahan (Seperti ayam lepas di malam hari, seperti kambing di air/lumpur); (4) Bak cando mamandian kudo (Seperti memandikan kuda); (5) Malakak kuciang di dapua, manahan jarek di pintu (Memukul kucing di dapur, menahan jerat di pintu); (6) Mati samuik karano manisan, jatuah kabau dek lalang mudo (Mati semut karena manisan, jatuh kerbau karena ilalang muda).

Ketiga, kategori manusia, antara lain: (1) Nan mudo pambimbiang dunia, nan capek kaki ringan tangan acang-acang dalam nagari (Yang muda pembimbing dunia, yang cepat kaki ringan tangan, orang kepercayaan dalam nagari); (2) Rang kayo suko dimakan, rang lai suko baragieh (Orang kaya suka dimakan, orang berada suka memberi); (3) Urang pambangih gadang hutang, urang pandareh lakeh kanai, urang pancameh mati jauah, urang pandingin mati hanyuik (Orang pemarah besar hutang, orang yang lancang cepat kena (hal buruk), orang pencemas mati jauh, orang pendingin mati hanyut); (4) Kito nan bukan cadiak pandai, ulemu di Tuhan tasimpannyo. Kok senteang batolong bilai, tandonyo kito samo sabangso (Kita yang bukan cerdik pandai, ilmu tersimpan oleh Tuhan. Jika senjang sambung, pertanda kita sama sebangsa); (5) Nan buto pahambuih lasuang, nan pakak pamasang badia, nan lumpuah pa unyi rumah, nan patah pangayuik ayam, nan cadiak bao baiyo, nan kayo bakeh batingga (Yang buta peniup lesung, yang tulis pemasang bedil, yang lumpuh

Page 110: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

104 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

penunggu rumah, yang patah pengejut ayam, yang cerdik untuk diskusi, yang kaya untuk bertinggal).

Keempat, kategori anggota kerabat, antara lain (1) Anak dipangku kamanakan dibimbiang (Anak dipangku, kemenakan dibimbing); (2) Kamanakan bapisau tajam, mamak badagiang taba (Kemenakan berpisau tajam, mamak berdaging tebal); (3) Sayang di anak dilacuti, sayang di nagari ditinggakan (Sayang kepada anak dilecuti, sayang kepada negeri ditinggalkan); (4) Anak dipangku bacampakkan, baruak di rimbo basusukan (Anak di pangkuan dicampakkan, beruk di rimba disusukan).

Kelima, kategori fungsi anggota tubuh, antara lain (1) Tibo di paruik bakampihan, tibo di mato bapiciangkan (Tiba di perut dikempeskan, tiba di mata dipicingkan); (2) Baguno lidah tak batulang, kato gadang timbangan kurang (Berguna lidah tak bertulang, perkataan besar timbangan urang); (3) Capek kaki ringan tangan, capek kaki indak panaruang, ringan tangan bukan pamacah (Cepat kaki ringan tangan, cepat kaki tidak menjadi penyandung, ringan tangan bukan pemecah); (4) Mancaliak jo suduik mato, bajalan di rusuak labuah (Melihat dengan sudut mata, berjalan di rusuk jalan); (5) Muluik manik talempong kato, baso baiek gulo di bibia (Mulut manis telempong kata); (6) Muluik manih kucindan murah (Mulut manis, gurauan murah); (7) Lunak gigi pado lidah (Lunak gigik daripada lidah). Pembahasan

Berdasarkan temuan penelitian, terdapat lima kategori ungkapan tradisional peribahasa masyarakat Minangkabau. Kategori ungkapan tradisional tersebut menunjukkan kedekatan masyarakat Minangkabau dengan alam dalam menciptakan bahasa kiasan berupa peribahasa. Menurut Fasya (2011) manusia memiliki rekaman sejarah yang berasal dari kebiasaan mereka yang selalu telaten mengamati segala peristiwa yang terjadi secara teratur di lingkungan sekitar.

Dalam peribahasa dengan kategori flora terdapat penggunaan kata, seperti limau (jeruk), dama (kemiri), padi, kacang, durian. Penggunaan tumbuhan dalam ungkapan tradisional Minangkabau menunjukkan bahwa masyarakat Minangkabau melibatkan sesuatu yang tumbuh dari alam menjadi alat penyampai pesan. Misalnya, pada peribahasa Pakai ilmu padi, samakin barisi, samakin marunduak (pakai ilmu padi, semakin berisi, semakin merunduk). Tumbuhan dijadikan perumpamaan sesuai dengan sifat tumbuhan tersebut. Seperti yang dijelaskan oleh Ilham (2015:2) masyarakat Minangkabau memandang alam secara detail, misalnya mempelajari bagaimana sifat-sifat yang melekat pada sebatang pohon besar yang dapat memetaforakan sifat-sifat positif yang harus dimiliki seseorang. Peribahasa Minangkabau rupanya memiliki kesamaan dalam peribahasa Jawa yang diteliti oleh Afini (2015:148). Dalam peribahasa Jawa juga terdapat penggunaan leksikon tumbuhan dalam menyusun peribahasa. Lleksikon tumbuhan yang digunakan juga merupakan seluruh bagian yang ada pada tumbuahn tersebut daun, batang, ranting, dan buah.

Dalam peribahasa dengan kategori fauna terdapat penggunaan kata, seperti ikan, caciang (cacing), ayam, kudo (kuda), kuciang (kucing), samuik (semut). Penggunaan perumpamaan tertentu dalam peribahasa, misalnya menggunakan kategori fauna, menambah pengetahuan pembaca mengenai

Page 111: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

105 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

kehidupan hewan. Pada peribahasa Bak ayam lapeh malam, bak kambiang di parancahan (Seperti ayam lepas malam, seperti kambing di kubangan air). Peribahasa tersebut akan membuat pembaca berpikir mengenai sifat ayam yang lepas di malam hari. Ayam yang penglihatannya kabur di malam hari tentu tidak bisa menentukan arah. Sama seperti kambing yang masuk ke dalam air; pontang-panting tidak tentu arah. Sama halnya manusia yang tidak memiliki pedoman hidup. Menurut Hasanuddin (2016:216), dengan membaca ungkapan tradisional Minangkabau secara tekun, pembaca akan memperoleh pengetahuan kogntif tentang hal-hal yang dijadikan referensi oleh perumus ungkapan tradisional tersebut.

Dalam peribahasa dengan kategori manusia terdapat penggunaan kata, seperti nan mudo (yang muda), rang kayo (orang kaya), urang pambangih (orang pemarah), kito (kita), nan buto (yang buta). Kategori manusia dalam ungkapan tradisional peribahasa masyarakat Minangkabau berkaitan dengan sifat manusia dan perannya di masyarkat. Misalnya, pada peribahasa Urang pambangih gadang hutang, urang pandareh lakeh kanai (Orang pemarah besar hutang, orang yang lancang cepat kena). Secara tersurat disebutkan dalam peribahasa tersebut bahwa orang yang pemarah akan memiliki hutang (budi) yang besar dan orang yang lancang akan cepat kena hal-hal buruk. Di sini perumpamaan terhadap sifat manusia dan akibat yang ditimbulkannya.

Dalam peribahasa dengan kategori anggota kerabat terdapat penggunaan kata, seperti anak, kamanakan (kemenakan), mamak. Peribahasa yang tergolong dalam kategori anggota kerabat biasanya menunjukkan peran dan hubungan antaranggota kerabat. Misalnya, pada peribahasa Anak dipangku, kamanakan dibimbiang (Anak dipangku, kemenakan dibimbing). Dari peribahasa tersebut, pembaca mengetahui bahwa kamanakan dan mamak memiliki hubungan dalam kekerabatan. Peribahasa ini juga akan memunculkan pertanyaan, mengapa yang disandingkan peribahasa tersebut bukan perumpamaan antara ayah dan anak? Itu karena peran mamak terhadap kemenakannya sangat kuat. Menurut Ilham (2015:4), pemakaian metafora berfungsi untuk memperbandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dengan melihat kesamaan komponen makna yang melekat kepada kedua benda yang diperbandingkan. Kata-kata yang digunakan dalam peribahasa tersebut tidak hanya mengacu pada objek dan peristiwa, tetapi juga segala sesuatu yang bersifat simbolik dan metaforik.

Dalam peribahasa dengan kategori fungsi anggota tubuh terdapat penggunaan kata, seperti paruik (perut), lidah, kaki, mato, muluik (mulut), gigi. Penggunaan kata-ata tersebut berdasarkan peran dan sifatnya dalam kehidupan seperti pada peribahasa kategori hewan ataupun tumbuhan. Misalnya, pada peribahasa Mancaliak jo suduik mato, bajalan di rusuak labuah (Melihat dengan sudut mata, berjalan di rusuk jalan). Melalui peribahasa kategori fungsi tubuh manusia ini, pembaca dapat mengetahui bahwa manusia tetap dapat melihat jika melihat dari sudut mata. Pembaca juga mengetahui bahwa agar aman berjalanlah di rusuk jalan atau yang disebut dengan trotoar. Seperti yang dijelaskan oleh Hasanuddin (2016:216) bahwadengan membaca ungkapan tradisional Minangkabau secara tekun, pembaca akan memperoleh pengetahuan kogntif tentang hal-hal yang dijadikan referensi oleh perumus ungkapan tradisional tersebut.

Page 112: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

106 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Lima kategori dalam ungkapan tradisional Minangkabau ini sejalan dengan hasil penelitian Hasanuddin (2016:213) yang terdiri atas enam kategori, yaitu (1) peribahasa, pepatah, mamangan, pameo, dan ungkapan kategori binatang/fauna; (2) peribahasa, pepatah, mamangan, pameo, dan ungkapan kategori tumbuhan/flora; (3) peribahasa, pepatah, mamangan, pameo, dan ungkapan kategori manusia; (4) peribahasa, pepatah, mamangan, pameo, dan ungkapan kategori anggota kerabat; (5) peribahasa, pepatah, mamangan, pameo, dan ungkapan kategori fungsi anggota tubuh; dan (6) peribahasa, pepatah, mamangan, pameo, dan ungkapan kategori alam dan semesta.

Selain enam kategori menurut Hasanuddin, Lindawati (2006:101) juga menjelaskan persepsi mengenai alam oleh masyarakat Minangkabau terdiri atas empat bentuk. Pertama, identitas manusia. Identitas manusia mencakup bentuk fisik dan non fisik. Kedua, identitas binatang. Identitas binatang bisa dinyatakan melalui fisik dan sifat. Ketiga, tumbuhan. Hal ini menyangkut dengan seluruh jenis-jenis tumbuhan. Keempat, identitas benda alam. Identifikasi benda alam yang dimaksud di sini adalah benda-benda yang dekat dengan manusia dan sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bendabenda tersebut dapat berbentuk benda cair (air), benda padat (batu), dan benda gas (asap). SIMPULAN

Ungkapan tradisional masyarakat Minangkabau dikategorikan menjadi lima kategori, yaitu (1) peribahasa kategori flora/tumbuhan, (2) peribahasa kategori fauna/hewan, (3) peribahasa kategori manusia, (4) peribahasa kategori anggota kerabat, dan (5) peribahasa kategori fungsi anggota tubuh. Melalui kategori tersebut, dapat dilihat bahwa masyarakat Minangkabau melibatkan sesuatu yang tumbuh dari alam menjadi alat penyampai pesan. Hal ini sesuai dengan falsafah hidup masyarakat Minangkabau, Alam takambang jadi guru.

Temuan pengkategorian peribahasa masyarakat Minangkabau ini dapat menjadi lanjutan penelitian mengenai ungkapan tradisional. Penelitian lanjutan tersebut mengkaji makna ataupun fungsi sosialnya di masyarakat. Hal ini juga penting, selain mengetahui kategori ungkapan tradisional, pembaca juga perlu mengetahui makna dan fungsi sosial ungkapan tradisional tersebut di masyarakat. REFERENSI Afini, F.N. 2015. Leksikon Tumbuhan dalam Peribahasa Jawa (Kajian

Etnolinguistik). Semarang: Fakultas Bahasa dan Seni UNNES. Bakar, J., dkk. 1981. Sastra Lisan Minangkabau. Jakarta: Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa. Danandjaja, J. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain.

Jakarta: Grafiti Pers. Fasya, M. 2011. Leksikon Waktu Harian dalam Masyarakat Sunda: Kajian

Linguistik Antropologis. Jakarta: Pusat Kajian Bahasa & Budaya Unika Atma Jaya.

Navis, A.A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru:Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pustaka Gratifipers.

Page 113: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

107 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Hasanuddin WS. 2016. Warisan Budaya Takbenda Ungkapan Tradisional Minangkabau: Kearifan Lokal Masyarakat tentang Tunjuk Ajar dan Nasihat-Nasihat Mulia. Humanus. XV(2):131-141.

Ilham, K. 2015. Metafora Kepemimpinan dalam Peribahasa Minangkabau dan Peribahasa Indonesia: Kajian Etnolinguistik. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM.

Lindawati. 2006. Alam dalam Persepsi Masyarakat Minangkabau. Padang: University Press.

Page 114: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

108 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

PEMBENTUKAN KARAKTER MELALUI UNGKAPAN KEPERCAYAAN RAKYAT DALAM MASYARAKAT MINANGKABAU

Dina Ramadhanti1)2) 1)Dosen STKIP PGRI Sumatera Barat

[email protected] 2)Mahasiswa Program Doktor Universitas Negeri Malang

[email protected]

ABSTRAK Ungkapan kepercayaan rakyat menjadi salah satu bagian dari budaya masyarakat Minangkabau. Ungkapan kepercayaan rakyat merupakan salah satu bentuk sastra lisan yang berkembang dalam masyarakat khususnya masyarakat Kenagarian Salimpat Kecamatan Lembah Gumanti Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat. Ungkapan kepercayaan rakyat disampaikan secara turun temurun dan mengandung fungsi hiburan dan edukasi. Ungkapan kepercayaan rakyat digunakan sebagai sarana pendidikan karena mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang berguna untuk pembentukan karakter. Pilihan kata yang digunakan dalam puisi menggunakan kosakata Minangkabau dan menyiratkan nilai-nilai kearifan lokal. Oleh karena itu, makalah ini ditulis untuk mendeskripsikan pembentukan nilai karakter melalui ungkapan kepercayaan rakyat dalam masyarakat Minangkabau. Metode yang digunakan adalah deskriptif untuk menjelaskan makna dan nilai-nilai karakter yang terdapat dalam ungkapan kepercayaan rakyat sebagai salah satu bentuk sastra lisan. Pilihan kata yang sarat dengan alam Minangkabau menjadi ciri khas ungkapan kepercayaan rakyat Minangkabau. Masyarakat dahulunya bahkan memberikan petuah dan nasihat kepada anaknya melalui ungkapan kepercayaan rakyat. Saat ini ungkapan kepercayaan rakyat yang menggunakan bahasa Minangkabau tidak lagi dikenal oleh generasi muda, bahkan beberapa kosakata yang digunakan tidak lagi dikenal. Oleh karena itu, perlu adanya pemertahanan keberadaan ungkapan kepercayaan rakyat ini sebagai bagian dari budaya masyakat Minangkabau dan sebagai upaya pembentukan karakter para generasi penerus. Kata Kunci: Karakter, Ungkapan Kepercayaan, Minangkabau

Minangkabau dikenal sebagai suku bangsa yang mempunyai ciri khas tertentu. Minangkabau mempunyai berbagai bentuk tradisi yang disajikan secara lisan dari generasi ke generasi. Generasi penerus dapat mengetahui berbagai bentuk tradisi ini karena terus disampaikan dan dijadikan pegangan dalam menyikapi hidup. Apalagi Minangkabau terkenal dengan falsafahnya Alam Takambang Jadi Guru. Segala hal yang terjadi di alam dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan. Begitupula dalam tradisi masyarakat Minangkabau semua berasal dari alam sekitar. Misalnya dalam mengajarkan nilai-nilai kehidupan selalu menggunakan alam sebagai sumber penciptaan. Hal inilah yang menjadikan Minangkabau khas dengan kearifan lokalnya yang menjadikan alam sebagai sumber kehidupan.

Alam dijadikan sebagai sumber penciptaan karya yang terus membudaya dalam kalangan masyarakat Minangkabau. Semua hasil karya itu awalnya

Page 115: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

109 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

disajikan dalam bentuk lisan dan disampaikan dari mulut ke telinga secara turun temurun dari generasi ke generasi. Hal ini juga disampaikan oleh Soetarno (2008:6) bahwa sastra lisan adalah kesastraan yang hanya dituturkan dari mulut ke mulut dan disebarkan secara lisan. Sastra lisan menjadi bagian dari tradisi masyarakat yang menggunakan bahasa sebagai medium utamanya. Dalam kehidupan sehari-hari sastra lisan dituturkan oleh ibu kepada anaknya, seorang tukang cerita kepada para pendengarnya, guru kepada muridnya, ataupun antar sesama anggota masyarakat. Hal ini memperlihatkan bahwa sastra lisan sangat dekat dengan kehidupan masyarakat karena mengandung gagasan, pikiran, ajaran, dan harapan masyarakat. Suasana kebersamaan yang dihasilkan dari sastra lisan berdampak pada menguatnya ikatan batin di antara anggota masyarakat.

Ungkapan kepercayaan rakyat merupakan bagian dari sastra sebagian lisan. Dikatakan sebagian lisan karena dalam ungkapan rakyat terkandung unsur lisan dan unsur bukan lisan. Unsur lisan berupa ungkapannya, sedangkan unsur bukan lisan adalah sesuatu yang gaib yang terkandung dalam ungkapan itu. Ungkapan ini mengandung sesuatu yang magis sehingga mau tidak mau masyarakat harus mengikuti hal yang dituturkan sebagai aturan hidup. Menurut Danandjaya (1991), fungsi utama ungkapan kepercayaan rakyat bagi masyarakat adalah untuk menyampaikan isi hati, perasaan, keinginan si penutur dengan bahasa kiasan yang bersifat tidak kasar, tidak menyinggung, tetap saling menyegani, dan menghormati.

Ungkapan kepercayaan rakyat atau oleh masyarakat modern dikatakan takhyul karena tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Pengaruh globalisasi dan ilmu pengetahuan menjadikan kepercayaan rakyat/takhyul ini kurang dipercayai oleh anak-anak muda karena mereka telah melihat semua fenomena yang terjadi dan dihubungkan dengan ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Akan tetapi, sebagian masyarakat masih menggunakan ungkapan kepercayaan/takhyul ini untuk mendidik anak-anaknya agar selalu memegang norma-norma sebagai kaidah yang mengatur kehidupan.

Keyakinan terhadap nilai kebenaran yang terkandung dalam ungkapan kepercayaan rakyat ini, sudah melekat pada jiwa setiap generasi bahkan sejak para nenek moyang masih menganut ajaran animisme dan dinamisme. Nilai budaya yang terkandung dalam kepercayaan rakyat ini adalah adanya keyakinan masyarakat terhadap sesuatu yang sifatnya mistik atau gaib. Kepercayaan ini hingga sekarang masih dianggap benar oleh sebagian orang yang mempercayainya. Takhyul dapat menjadi sebuah peringatan atau tanda agar dapat mawas diri bagi orang-orang yang meyakini hal tersebut. Akan tetapi, karena adanya hal-hal yang dianggap tabu tersebut, maka sebagian orang atau keseluruhan orang juga merasa takut untuk melanggar hal yang dianggapnya mistis.

Ungkapan kepercayaan rakyat /takhyul dapat dijadikan sebagai upaya pembentukan karakter para generasi. Karakter yang pada dasarnya sudah ada ketika lahir akan semakin terbentuk dengan baik dengan adanya rangsangan-rangsangan yang baik dari lingkungan sekitar. Salah satunya dengan adanya ungkapan kepercayaan rakyat sebagai salah satu bentuk aturan atau kepercayaan dalam kehidupan sehari-hari. Ungkapan kepercayaan rakyat dapat dijadikan

Page 116: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

110 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

stimulus dalam membentuk karakter yang lebih baik. Stephen Covey, seorang ahli psikologi mengatakan bahwa pembentukan karakter didasari oleh hukum aksi dan reaksi atau hukum stimulus dan respons, atau disebut sebagai hukum rangsangan dan respon. Stimulus dan responlah membentuk jati diri seseorang. Ungkapan kepercayaan rakyat sebagai bentuk stimulus dalam pembentukan karakter akan menjadikan generasi tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter, paham akan norma dan budaya yang berlaku dalam masyarakat, dan tidak mudah terpengaruh oleh arus globalisasi.

Menurut Megawangi (2003:7) kualitas karakter meliputi sembilan pilar. Kesembilan pilar kualitas karakter tersebut, yaitu: (1) cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; (2) tanggung jawaab, disiplin dan mandiri; (3) jujur/amanah dan arif; (4) hormat dan santun; (5) dermawan, suka menolong dan gotong royong; (6) percaya diri, kreatif, dan pekerja keras; (7) kepemimpinan dan adil; (8) baik dan rendah hati; (9) toleran, cinta damai dan kesantunan. Seseorang dikatakan memiliki karakter yang baik apabila kesembilan kualitas karakter tersebut ada pada dirinya.

Kualitas karakter baik yang harus dimiliki seseorang tidak serta merta langsung dimilikinya. Karakter baik yang dimiliki seseorang sangat dipengaruhi oleh karakter bawaan dan pengaruh lingkungannya. Pada dasarnya semua manusia itu pada mulanya memiliki karakter yang baik Dalam bahasa agama Islam, semua manusia itu pada awalnya dilahirkan fitrah, putih bersih tidak bernoda atau berdosa. Perkembangan dirinyalah yang boleh jadi diakibatkan salah pergaulan yang dapat membuat dirinya berdosa (Yulianto, n.d.)

Berdasarkan hal-hal di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimanakah pembentukan nilai karakter yang terkandung dalam ungkapan kepercayaan rakyat? Dengan demikian, maka makalah ini bertujuan untuk menjelaskan pembentukan karakter melalui ungkapan kepercayaan rakyat dalam masyarakat Minangkabau khususnya di Kanagarian Salimpat Kecamatan Lembah Gumanti Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Bogdan & Biklen (1998) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian berupa persepsi, motivasi, tindakan, dan sebagainya. Pendekatan kualitatif digunakan atas dasar permasalahan yang dikaji, yaitu mendeskripsikan pembentukan karakter melalui ungkapan kepercayaan rakyat dalam masyarakat Minangkabau khususnya di Kanagarian Salimpat Kecamatan Lembah Gumanti Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat. Informasi-informasi yang berkaitan dengan ungkapan kepercayaan rakyat dalam masyarakat Minangkabau didapatkan berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan, nyata, dan tanpa adanya pengaruh luar. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Menurut Ratna (2012:53), metode deskriptif adalah metode yang digunakan untuk mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis.

Data penelitian ini adalah kata-kata atau informasi yang terkait dengan ungkapan kepercayaan rakyat yang diperoleh melalui informan berdasarkan

Page 117: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

111 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

teknik purposive sampling. Instrumen yang digunakan adalah alat perekam, lembar pencatatan, dan pedoman wawancara. Data penelitian dianalisis melalui empat tahap, yaitu identifikasi, klasifikasi, interpretasi, dan pelaporan. Pengabsahan data dilakukan dengan teknik triangulasi. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan nilai-nilai yang terkandung dalam ungkapan kepercayaan rakyat sebagai upaya pembentukan karakter. Nilai-nilai karakter yang dilihat sesuai dengan pendapat Muchson (2013:80), yaitu karakter yang merupakan pengejawantahan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan. 1. Pembentukan karakter melalui ungkapan kepercayaan rakyat yang

berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa Ungkapan kepercayaan rakyat yang berhubungan dengan Tuhan Yang

Maha Esa adalah keinginan yang kuat untuk menjaga dan mencintai segenap ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Karakter yang dituntut adalah menghargai ciptaan Tuhan dengan tidak menyakiti ciptaan Tuhan, seperti tampak pada ungkapan kepercayaan rakyat berikut ini.

Ibu hamil idak bulieh mambunuah ula, bako anak e basisiek sarupo ula. (Ibu hamil tidak boleh membunuh ular, nanti dikhawatirkan anaknya yang lahir memiliki sisik seperti ular )

Ungkapan kepercayaan rakyat ini tergolong takhyul di sekitar lingkungan hidup manusia. Ungkapan ini dalam masyarakat Minangkabau masih dipercayai hingga kini. Ular adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang juga mempunyai hak untuk hidup. Ibu yang sedang mengandung/hamil harus menjaga tingkah lakunya selama proses kehamilan agar anak yang dikandung tumbuh dengan baik dan jauh dari perilaku yang tidak baik.

Ungkapan kepercayaan rakyat juga mengajarkan untuk seorang ibu dapat menjaga bayi yang baru dilahirkan sebagai bentuk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, misalnya dengan menjaga kebersihan pakaian bayi, seperti tercermin dalam ungkapan kepercayaan rakyat berikut ini.

Jan manjamua baduang anak di muko rumah bako kanai palasik. (Jangan menjemur popok/pakaian bayi di depan rumah nanti kena palasik).

Ungkapan kepercayaan ini dalam masyarakat Minangkabau mengajarkan supaya seorang ibu dapat berhati-hati dalam menjaga bayinya. Menjemur pakaian bayi di sembarangan tempat dapat merusak pemandangan apalagi aroma bayi sangat khas. Kepercayaan ilmu hitam bagi masyarakat tertentu akan memudahkan mereka meniupkan roh jahat melalui pakaian bayi itu. Hingga kini ungkapan ini masih menjadi aturan hidup orang Minangkabau karena rasa khawatirnya terhadap kesehatan bayinya. Hal lain sebenarnya yang tersirat dari ungkapan ini adalah jika seandainya pakaian bayi dijemur sembarangan tentu akan dihinggapi ulat dan tentu saja hal ini akan mengganggu kenyamanan si bayi.

Page 118: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

112 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Ungkapan kepercayaan rakyat mengajarkan masyarakat untuk senantiasa mengingat Tuhan dan melaksanakan ibadah tepat waktu dan tidak melakukan kegiatan lain di waktu sholat. Misalnya tidak berjalan-jalan ketika waktu maghrib datang, seperti dalam ungkapan berikut ini.

Anak gadih, anak bujang, tuo, mudo, idak bulieh bajalan di ari sanjo, bako sakik, setan banyak bakaliaran. (anak gadis, anak laki-laki, tua, muda, tidak boleh berjalan diwaktu senja, nanti bisa sakit, setan banyak yang berkeliaran)

Ungkapan kepercayaan ini bagi masyarakat Minangkabau menyiratkan agar anak gadis, anak laki-laki, tua, muda tidak diperbolehkan berjalan di waktu senja karena sudah waktunya sholat maghrib. Orang-orang harus mempersiapkan diri untuk beribadah. Kegiatan lain yang dilakukan hanya akan mengganggu kenyamanan orang lain untuk beribadah. Ungkapan kepercayaan rakyat lainnya yang sejalan dengan aturan beribadah ini terlihat pada ungkapan berikut ini.

Kok sadang magarik idak bulieh main pisau, bako talaluan. (Kalau sadang maghrib tidak boleh main pisau, nanti luka)

Ketika waktu maghrib telah masuk, dilarang melakukan pekerjaan lain selain mempersiapkan diri untuk beribadah. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kewajiban sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat juga dituntut untuk menghargai tanaman sebagai bentuk ciptaan Tuhan. Ketika proses bertani berlangsung harus dikerjakan dengan sungguh sebagai bentuk syukur kepada sang pencipta. Misalnya terdapat pada ungkapan berikut ini.

Kok mananam jaguang idak bulieh galak, bako jarang isi e. (Kalau menanam jagung, tidak boleh sambil tertawa, nanti buah/isinya jarang)

Ungkapan ini mengajarkan agar teliti dan tidak boleh melakukan hal-hal lain ketika melakukan pekerjaan. Ungkapan ini juga menyiratkan agar dapat memilih bibit yang baik untuk pertanian. Apapun yang ditanam asalkan menggunakan bibit yang unggul dan perawatan yang baik akan membuahkan hasil yang baik pula. Menjaga tanaman agar tumbuh dengan baik merupakan bentuk ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Masyarakat Minangkabau juga harus menerima takdir dari Tuhan Yang Maha Esa termasuk kematian. Sehubungan dengan itu, ada aturan yang mesti diikuti untuk dapat menerima setiap kelahiran dan kematian yang digariskan oleh Tuhan Yang Maha Esa, seperti pada ungkapan berikut ini.

Kok pai bajalan basobok jo urang nan dulu, idak bulieh manaruih an pai, bako udi di jalan. (Kalau pergi berjalan bertemu dengan orang yang meninggal, tidak boleh meneruskan perjalanan, nanti sial di jalan).

Masyarakat Minangkabau dituntut untuk dapat menghormati orang yang telah meninggal dan peringatan agar senantiasa mengingat kematian. Apabila bertemu dengan saudara atau tetangga yang meninggal agar dapat meninggalkan rutinitas

Page 119: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

113 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

yang dilakukan. Setelah proses pemakaman selesai diperbolehkan melakukan pekerjaan lain. Bagi masyarakat Minangkabau, apabila dalam perjalanan bertemu dengan sekelompok orang yang akan menuju ke pemakaman, maka kendaraannya harus berhenti dan melanjutkan perjalanan setelah sekelompok orang itu pergi. Hal ini dilakukan sebagai bentuk toleran dan penghormatan terhadap orang yang telah meninggal.

Aturan lain yang berhubungan dengan bentuk penghormatan terhadap orang yang telah meninggal juga tampak pada ungkapan berikut ini.

Urang maningga idak bulieh kanai aie mato, bako sakik dek e. (Orang yang meninggal tidak boleh terkena air mata, nanti orang yang meninggal itu kesakitan).

Ungkapan ini menyiratkan agar tidak berlebihan menangisi orang yang sudah meninggal karena semua itu sudah menjadi kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Ungkapan ini muncul karena orang Minangkabau meyakini bahwa sampai 100 hari, arwah orang yang sudah meninggal masih ada di dunia, setelah pelepasan 100 hari arwah tersebut akan benar-benar pergi meninggalkan dunia. Jika orang yang masih hidup meratapi kepergian orang yang sudah meninggal maka arwah yang sudah meninggal tidak akan tenang. Hal lain dari ungkapan ini adalah untuk menghibur orang yang ditinggalkan supaya sabar menerima cobaan dari Tuhan Yang Maha Esa. 2. Pembentukan karakter melalui ungkapan kepercayaan rakyat yang

berhubungan dengan diri sendiri Ungkapan kepercayaan rakyat yang berhubungan dengan diri sendiri

dalam upaya pembentukan karakter adalah agar dapat menghargai diri sendiri, menjunjung tinggi sopan santun, bersikap wajar dan tidak berlebihan. Hal ini berlaku bagi semua masyarakat Minangkabau. Seperti ungkapan untuk anak laki-laki Minangkabau berikut ini.

Anak bujang idak bulieh makan kapalo nasi bako dak bisa punyo anak. (anak laki-laki tidak boleh memakan kepala nasi/bagian atas nasi yang baru dimasak nanti tidak bisa memperoleh keturunan).

Ungkapan ini mengajarkan bahwa untuk selalu menghargai saudara laki-laki dalam keluarga di Minangkabau. Orang Minangkabau mengganggap bahwa kepala nasi itu tidak baik dimakan oleh anak laki-laki karena masih lembek dan masih mengandung uap air. Ungkapan ini muncul karena menurut ilmu kesehatan kepala nasi mengandung butir-butir nasi yang tidak baik bagi perkembangan anak laki-laki sehingga diyakini sulit memperoleh keturunan. Ungkapan ini masih dipercayai bagi sebagian masyarakat dan tidak diperbolehkan laki-laki di Rumah Gadang memakan kepala nasi. Hal ini sebenarnya menyiratkan agar menghargai saudara laki-laki dan selalu memberikan sesuatu yang baik kepadanya termasuk makanan. Ungkapan ini bersifat konvensi yang mengajarkan agar memperlakukan anak laki-laki secara baik karena bagi masyarakat setempat laki-laki sangat dihargai sebagai mamak di rumahnya dan urang sumando di rumah istrinya.

Page 120: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

114 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Ungkapan kepercayaan lain bagi perempuan Minang yang berhubungan dengan diri sendiri tampak pada ungkapan berikut ini.

Idak bulieh mangarek kuku malam ari, bako pamburuak dagiang. (Tidak boleh memotong kuku malam hari, nanti jelek kulit/kulitnya belang).

Ungkapan ini mengajarkan agar gadis Minang dapat melakukan sesuatu itu sesuai waktunya. Memotong kuku malam hari bisa menyebabkan luka karena pencahayaan yang kurang bagus. Ungkapan ini tidak terlalu dipercayai lagi oleh masyarakat karena masih ada yang memotong kuku di malam hari. Hal ini tentu harus menjadi perhatian agar dapat melakukan sesuatu sesuai waktunya dan tidak sembarang tempat. Ungkapan lain yang berhubungan dengan kesehatan diri sendiri terdapat pada ungkapan berikut ini.

Pakih nan tumbuah madok ka batang aie idak bulieh di buek samba, bako paniang awak dek e. (Pakis yang tumbuh menghadap ke sungai tidak boleh dibuat makanan, nanti sakit kepala).

Ungkapan ini mengajarkan agar selektif dalam memilih bahan yang akan dimasak karena akan berpengaruh pada kesehatan tubuh kita. Sebelum memasak makanan harus dilihat apakah bahan yang digunakan sudah memperhatikan syarat kebersihan atau belum. Ungkapan ini muncul karena tanaman yang tumbuh di sembarang tempat tidak semuanya bisa dikonsumsi oleh masyarakat.

Ungkapan lain yang berhubungan dengan sopan santun seorang perempuan Minang juga tampak pada ungkapan berikut ini.

Anak gadih dak bulieh makan jo saok panci, tatutuik pangana. (Anak gadis tidak boleh makan dengan tutup panci, nanti susah berpikir).

Ungkapan ini mengajarkan supaya perempuan Minang tumbuh menjadi pribadi yang menghargai dirinya sendiri dengan menjaga sopan santun, termasuk ketika makan. Makan dengan menggunakan tutup panci dianggap tidak sopan, sebaiknya makan dengan piring. Ungkapan ini menyiratkan agar anak perempuan menjaga norma kesopanan, karena makan di panci tidak bagus di lihat orang. Tata cara makan yang menjadi aturan seorang perempuan Minang tampak pada ungkapan berikut ini.

Kok makan dak bulieh sampai kariang pinggan, bako bansek iduik. (Kalau makan tidak boleh kering/harus disiram, nanti serba kekurangan hidup).

Masyarakat Minangkabau dalam hidup diajarkan untuk mengingat saat susah dan tidak berlebihan saat ada. Untuk aturan makan saja diajarkan agar menyiram piring setelah makan, selain memudahkan mencuci juga mengajarkan etika. Makan sewajarnya menunjukkan bahwa orang Minang bukanlah orang yang rakus atau tamak. Aturan untuk tidak berlebih-lebihan tampak pada ungkapan berikut ini.

Idak bulieh galak gadang-gadang, bako manangih dek e lai.

Page 121: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

115 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

(Tidak boleh tertawa lebar-lebar, nanti menangis). Perempuan Minang harus dapat hidup dengan memperhatikan tata karma, baik dalam bersikap dan bertingkah laku. Segala gerak-gerik perempuan Minang harus sesuai dengan norma kesopanan untuk menjaga martabat dan harga diri. Tertawa lebar-lebar itu tidak baik dan dianggap menyalahi norma. Ungkapan ini bertujuan agar perempuan Minang senantiasa menjaga kesopanan, tidak boleh bersikap berlebihan, apalagi yang menyalahi norma-norma kesopanan.

Ungkapan lain yang berhubungan dengan aturan untuk perempuan Minangkabau terlihat pada tuturan berikut ini.

Idak bulieh datang ka tampek nan langang tangah hari bako tasapo. (dilarang mendatangi tempat yang sunyi di tengah hari nanti tertegur roh halus).

Ungkapan ini menyiratkan bahwa perempuan Minang tidak boleh bepergian ke suatu tempat yang sunyi di tengah hari, karena adanya anggapan akan disapa oleh roh nenek moyang dan bisa menyebabkan sakit. Ungkapan ini bertujuan agar perempuan Minang selalu memperhatikan tempat yang akan didatangi, jelas untuk tujuan apa mendatangi tempat itu dan diketahui oleh keluarga terdekat. Selain itu juga ada ungkapan berikut ini.

Idak bulieh mandi di tangah hari pakak, bako tasapo. (Tidak boleh mandi di siang hari yang terik, nanti ditegur oleh makhluk halus).

Ungkapan ini menyiratkan bahwa perempuan Minang harus melakukan sesuatu sesuai waktunya tidak boleh sembarangan. Tidak boleh mandi jika matahari sedang terik, karena menyebabkan sakit kepala. Ungkapan ini mengajarkan agar tidak mandi jika matahari sedang terik. Mandi di saat matahari sedang tinggi atau terik mengakibatkan sakit. 3. Pembentukan karakter melalui ungkapan kepercayaan rakyat yang

berhubungan dengan sesama manusia Ungkapan kepercayaan rakyat yang berhubungan dengan hubungan

sesama manusia sebagai upaya pembentukan karakter tampak dari sikap hidup sehari-hari. Ada sejumlah aturan norma yang mesti diikuti dalam pergaulan hidup sehari-hari, seperti saling menghargai, saling menghormati, toleransi, tolong menolong, gotong royong, dermawan, dan sebagainya. Misalnya terlihat pada ungkapan berikut ini.

Idak bulieh mangikih batu lado jo sendok basi, bako sakik rajo singo anak laki-laki awak. (Tidak boleh mengikis batu ulakan cabe dengan sendok yang terbuat dari besi atau stanlesstil, nanti anak laki-laki kita terkena penyakit raja singa).

Penyakit raja singa merupakan penyakit yang sangat berbahaya. Masyarakat berusaha menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan penyakit itu. Agar tidak terkena penyakit berbahaya seperti itu, muncul ungkapan tersebut agar

Page 122: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

116 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

masyarakat berhati-hati dalam berbuat. Akan tetapi, ungkapan tersebut menyiratkan agar melakukan sesuatu sesuai dengan aturan. Mengambil cabe dari ulakan cabe yang terbuat dari batu menggunakan sendok dari besi menimbulkan suara-suara yang dapat mengganggu kenyamanan orang lain dan itu dipandang tidak sopan. Agar masyarakat tidak melakukan hal itu, maka ditakut-takuti dengan munculnya penyakit berbahaya seperti raja singa. Apalagi raja singa merupakan penyakit yang mesti dihindari oleh anak laki-laki yang menghuni rumah tersebut. Hal ini masih dipercayai oleh sebagian masyarakat karena rasa sayangnya terhadap anak laki-laki mereka.

Ungkapan lain yang berhubungan dengan perilaku terhadap sesama tampak pada ungkapan berikut ini.

Idak bulieh manggareteh sambarangan, bako nan dak utang nan tabayie. (Tidak boleh manggareteh atau memukul-mukul dinding/lantai dengan jari tengah nanti membayar hutang).

Dalam masyarakat Minangkabau segala aturan hidup menjadi rambu-rambu dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya di Rumah Gadang aturan makan, aturan berbicara, dan aturan duduk diatur demi menghormati mamak rumah dan bundo kanduang. Ketika duduk dilarang melakukan perbuatan yang mengganggu kenyamanan seperti memukul-mukul dengan jari karena dianggap tidak sopan. Ungkapan ini bertujuan agar selalu memperhatikan norma kesopanan, bunyi-bunyi yang ditimbulkan akan mengganggu kenyamanan orang lain.

Selain aturan duduk, aturan bergaul dengan lawan jenis pun diatur demi menjaga kenyamanan hidup bersama, seperti pada ungkapan berikut ini.

Idak bulieh mancacek anak gadih/anak bujang urang beko manuruik. (tidak boleh menghina/mencaci anak gadis/anak laki-laki orang nanti berubah jadi suka).

Tata aturan pergaulan antara laki-laki dan perempuan sangat dijaga. Tidak boleh menghina orang lain karena orang yang menghina belum tentu lebih baik dari yang dihina dan boleh jadi akan menyukai orang tersebut jika terlalu menyakiti hati orang lain. Ungkapan ini muncul karena dahulunya orang gampang memberikan ilmu hitam atau pakasiah kepada orang yang telah menghinanya. Sampai kini ini menjadi aturan yang masih ditaati untuk menjaga kesopanan berbicara perempuan terhadap laki-laki. Dengan kata lain, ungkapan ini bertujuan agar perempuan Minang senantiasa menjaga setiap ucapan dan tidak menyinggung perasaan orang lain. Ungkapan lain yang sejenis dengan ini tampak pada tuturan berikut ini.

Anak gadih idak bulieh mampacaruik-an laki-laki nan dak disuko, bako dak dapek jodoh. (Anak gadis tidak boleh berkata kotor kepada laki-laki yang tidak disukainya, nanti tidak dapat jodoh).

Ungkapan ini juga mengajarkan agar perempuan Minang senantiasa menjaga ucapan dan tingkah lakunya. Perempuan minang harus tumbuh menjadi pribadi yang menjaga martabat dan harga diri, salah satunya dengan menjaga ucapan.

Page 123: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

117 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Ucapan yang baik saja yang boleh diungkapkan. Itulah ciri khas perempuan Minang.

Selain aturan bersikap dan bertingkah laku, juga terdapat aturan tidur di Rumah Gadang agar sesuai dengan norma, seperti tampak pada ungkapan berikut ini.

Idak bulieh lalok di tangah-tangah rumah bako dilangkahi setan. (tidak boleh tidur di ruang tengah rumah nanti dilangkahi setan).

Kamar tidur di Rumah Gadang juag diatur sedemikian rupa demi kenyamanan penghuni rumah. Agar aturan itu tetap terlaksana maka muncul ungkapan ini untuk mengajarkan agar tidur di tempat yang seharusnya. Tidur sebaiknya di kamar, jangan di ruang tengah karena ruangan itu digunakan untuk berkumpul anggota keluarga. Selain itu, tidur di tengah-tengah ruangan akan mengganggu kenyamanan orang yang ada di dalam rumah. 4. Pembentukan karakter melalui ungkapan kepercayaan rakyat yang

berhubungan lingkungan dan kebangsaan Ungkapan kepercayaan rakyat yang berhubungan dengan lingkungan dan

kebangsaan dalam upaya pembentukan karakter tampak dari aturan-aturan yang harus dipatuhi ketika berhadapan dengan alam, seperti tampak pada ungkapan berikut ini.

Idak bulieh mamijak pasupadan tanah awak, bako rabun mato. (Tidak boleh menginjak batas tanah kita, nanti mata buta).

Ungkapan ini menjadi aturan yang masih dipercayai oleh masyarakat Minang agar dapat berperilaku sesuai dengan aturan dan tidak seenaknya saja. Apapun yang dilakukan dan kemanapun pergi harus berhati-hati dan selalu berupaya menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Ungkapan ini bertujuan agar kita mengetahui mana yang milik kita dan mana yang milik orang lain. Jangan sampai kita mengambil hak orang lain. Ungkapan ini sebagian besar masih dipercayai oleh sebagian besar mayarakat agar dapat menghargai diri sendiri dan orang lain. Ungkapan lain yang sejenis dengan ini tampak pada tuturan berikut ini.

Idak bulieh managak-an paga di ateh tunggue lapuak, bako sakik garaman. (Tidak boleh membuat pagar di atas tunggul pohon yang lapuk, nanti sakit gigi).

Untuk mendirikan Rumah Gadang ada sejumlah aturan dan syarat yang harus dipenuhi oleh masyarakat. Bahkan pembangunan Rumah Gadang dilakukan secara adat dan dilakukan secara bersama-sama. Sebelum mendirikan pagar, harusnya bersihkan dulu tempatnya agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan dan untuk menjaga kebersihan dan kerapian. Ungkapan kepercayaan ini muncul dengan tujuan agar masyarakat dalam mendirikan bangunan memperhatikan situasi dan kondisi. Hal ini untuk menjaga agar bangunan tersebut bisa bertahan lama.

Page 124: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

118 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Ungkapan kepercayaan rakyat lainnya yang berhubungan dengan aturan mendirikan bangunan tampak pada tuturan berikut ini.

Idak bulieh mambuek rumah di ateh tunggue, bako pakak pauni rumah. (Tidak boleh mendirikan rumah/bangunan di atas tunggul pohon, nanti penghuni rumah tidak bisa mendengar/tuli).

Ungkapan ini menyiratkan agar mencari tempat yang layak untuk mendirikan rumah dan tidak boleh sembarangan tempat. Mendirikan bangunan yang tidak sesuai dengan aturan akan berakibat pada penghuni rumah. Ungkapan ini masih dipercayai masyarakat dalam tata aturan mendirikan bangunan rumah, seperti tidak boleh membelakangi matahari, dan sebagainya. Ungkapan lain yang sejenis tampak pada tuturan berikut ini.

Idak bulieh mambuek rumah dijajak rumah tabaka, bako tabaka rumah baliek. (Tidak boleh membangun perumahan di tanah bekas rumah terbakar, nanti rumah yang dibangun terbakar kembali).

Ungkapan ini menyiratkan bahwa untuk mendirikan sebuah bangunan harus diperhatikan tempat dan kondisinya. Rumah untuk tempat tinggal harus dibangun di atas tanah yang jelas dan sesuai dengan kebutuhan. PENUTUP

Ungkapan kepercayaan rakyat dapat dijadikan sebagai rambu-rambu atau pedoman dalam menyikapi hidup. Jika masyarakat Minang hidup dengan mematuhi aturan-aturan dan norma yang berlaku, maka ia akan terbiasa menjadi orang yang baik dan dengan sendirinya akan berkembanglah karakter yang baik. Seperti yang telah dijelaskan, bahwa karakter seseorang bersifat bawaan dan akan tumbuh dengan baik sesuai dengan stimulus yang diberikan. Ini seperti hubungan stimulus dan respon. Jika stimulus yang diberikan baik, maka respon yang muncul pun akan baik. Ungkapan kepercayaan rakyat dalam hal ini dijadikan sebagai stimulus yang diharapkan akan memunculkan respon berupa karakter yang baik. Stimulus yang diberikan berupa tuturan yang sifatnya melarang dengan kata-kata penuh nasehat dan mengandung ajaran hidup. Respon yang diharapkan berupa perubahan bentuk tingkah laku yang yang tidak baik menjadi baik, yang baik menjadi lebih baik. Dengan adanya ungkapan kepercayaan rakyat sebagai stimulus akan terbentuklah respon berupa karakter yang baik, karakter yang baik sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, karakter yang baik terhadap diri sendiri, sesama manusia, dan lingkungan sehari-hari.

DAFTAR RUJUKAN Bogdan, Robert C. dan Biklen, Knopp S. 1998. Qualitative Research in

Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Danandjaja, James. 1991. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain cetakan III. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Page 125: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

119 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Megawangi, Ratna.2003. Pembentukan Karakter untuk Membangun Masyarakat Madani. Indonesia Heritage Foundation.

Muchson, Ali. 2013. Sastra Sebagai Media Pembentukan Karakter (dalam prosiding Sastra dan Pembangunan Karakter Manusia). Manado: Balai Bahasa Sulawesi Utara.

Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postmodernisme Perspektif Wacana naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Soetarno. 2008. Peristiwa Sastra Melayu Klasik. Surakarta: Widya Duta Grafika.

Transkrip Wawancara Ungkapan Kepercayaan Rakyat dari Informan. Yulianto, A. (n.d.). Pantun Banjar sebagai Media Pendidikan Karakter, 102–112.

Page 126: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

120 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

KOHESI SOSIAL DAN INDUSTRI KREATIF DALAM UPACARA BERSIH DESA DI DESA KRISIK WLINGI BLITAR

Oleh

Dwi Sulistyorini Sastra Indonesia Fakultas Sastra

Universitas Negeri Malang Abstrak: Upacara bersih desa merupakan pusaka budaya warisan leluhur yang perlu dilestarikan. Peletarian budaya tersebut tentunya perlu kekuatan kultur para pewaris aktif maupun apresiasi pewaris pasif serta dukungan dari pemerintah setempat. Pemerintahan desa Krisik kecamatan Wlingi Kabupaten Blitar mendukung tradisi upacara bersih desa yang dilaksanakan hari Jumat Legi pada Bulan Selo (kalender Jawa). Untuk mendeskripsikan upacara bersih desa di desa Krisik digunakan metode dengan pendekatan etnografi. Penelitian ini menguraikan kohesi sosial dan industri kreatif masyarakat desa Krisik. Kata kunci: kohesi sosial, industri kreatif, bersih desa Pendahuluan

Upacara bersih desa merupakan tradisi budaya peninggalan warisan leluhur yang perlu dilestarikan. Pelestarian budaya sangat penting karena merupakan kekayaan kebudayaan suatu bangsa sebagai pusaka budaya. Kebudayaan suatu bangsa perlu dilestarikan, karena kebudayaan merupakan warisan leluhur yang bernilai tinggi. Kebudayaan merupakan hasil dari tindakan kognitif manusia yang menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan. Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, 1983:149). Desa Krisik berada di Kecamatan Gandusari Kabupaten Blitar Provinsi Jawa Timur. Jarak Desa Krisik dengan ibu kota kecamatan sekitar 12 km, sedangkan jarak dengan ibu kota kabupaten sekitar 39 km. Secara geografis, wilayah Desa Krisik termasuk daerah perbukitan karena dengan banyaknya sawah yang berkonsep terasiring, perkebunan kopi dan cengkeh.

Masyarakat desa Krisik berprofesi sebagai petani sehingga sistem kekerabatan di desa masih sangat kental. Dalam kegiatan masyarakat desa, khususnya yang berkaitan dengan keagamaan, masyarakat masih sering mengadakan acara tahlilan, nyadran, slametan, maupun ritual bersih desa. Hal ini menunjukkan terjadi akulturasi antara kebudayaan Jawa dengan ajaran agama Islam. Namun, kerukunan umat beragama masih dipertahankan. Acara yang melibatkan seluruh masyarakat, misalnya bersih desa, tidak dikhususkan pada satu agama tertentu saja, melainkan semua penganut ajaran agama. Mereka ikut serta membersihkan lingkungan desa secara gotong-royong, selamatan, dan mengikuti prosesi upacara hingga selesai.

Page 127: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

121 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Tradisi lisan tidak akan hilang karena pengaruh globalisasi, apabila pewaris tradisi lisan, baik pewaris aktif dan pewaris pasif memberikan apresiasi. Upacara bersih desa di Desa Krisik Kecamatan Wlingi masih eksis sampai sekarang. Ritual upacara bersih desa selalu dilaksanakan hari Jumat Legi pada Bulan Selo (kalender Jawa). Keberlangsuangan upacara bersih desa di Desa Krisik tersebut tidak lepas dari para pewaris tradisi lisan yang mendukungnya. Adanya kekuatan dan semangat untuk mempertahankan tradisi budaya peninggalan nenek moyang oleh para pewaris aktif, apresiasi masyarakat pendukung maupun para pewaris pasif, serta dukungan dari pemerintah daerah setempat. Hal itu juga didukung adanya komitmen kultural para pewaris aktif yang ingin menunjukkan ritual upacara bersih desa di Desa Krisik sebagai identitas lokal masyarakat setempat. Selain itu, juga mengenalkan wisata budaya dan telaga Rambut Monte sebagai peninggalan kerajaan Majapahit yang ada di Desa Krisik.

Wisata budaya yang berupa ritual bersih desa tidak terlepas dari kekuatan dan keasepakatan para pewarisnya untuk menjaga tradisi lisan dan melestarikannya sebagai pusaka budaya. Dalam ritual upacara bersih desa tersebut juga membangun adanya kohesi sosial dan kreativitas masyarakat sebagai industri kreatif yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Masyarakat pun dapat berkumpul bersama, bergotong royong untuk mewujudkan upacara bersih desa tersebut. Mereka juga dapat mengekspresikan dirinya dalam bentuk karnaval atau jolen ketika mengarak sesaji keliling desa. Ketika karnaval bisa berpakaian khas yang dapat untuk berekspresi. Mereka pun ada yang joged dengan diiringi musik.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif karena bermaksud memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik dengan cara deksripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada konteks yang alamiah (Moleong,2014:5). Metode penelitian dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya (Ratna,2010:84). Pendekatan etnografi mememberikan informasi adanya teori-teori ikatan budaya dan memahami perilaku manusia sebagai perilaku yang bermakna (Spradley, 1997:12-20). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kohesi sosial dan industri kreatif upacara bersih desa di Desa Krisik Kecamatan Wlingi Kabupaten Blitar. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan etnografi.

Penelitian ini dilakukan di Desa Krisik Kecamatan Wlingi Kabupaten Blitar. Lokasi tersebut dipilih sebagai lokasi penelitian dengan alasan, (1) lokasi upacara bersih desa dilakukan di desa Krisik Kecamatan Wlingi Kabupaten Malang, dan (2) masyarakat Desa Krisik merupakan masyarakat lokal dan pemerintah desa setempat yang ikut berperan dalam pengembangan dan pelestarian upacara bersih desa sebagai pusaka budaya.

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer penelitian ini, yaitu hasil wawancara dengan informan-informan penelitian terkait dengan kohesi sosial dan industri kreatif upacara

Page 128: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

122 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

bersih desa. Data sekunder penelitian ini, yaitu hasil pengamatan peneliti terhadap peristiwa yang terjadi selama upacara bersih desa berlangsung serta tulisan yang berkaitan dengan masalah penelitian yang berasal dari buku, jurnal, dan media massa. Sumber data penelitian ini adalah 1) informan, 2) peristiwa, dan 3) dokumen. Pemilihan informan atau narasumber penelitian dilakukan dengan metode snowball, yaitu dengan menetapkan informan-informan kunci untuk mengantarkan peneliti pada anggota kelompok yang lebih spesifik. Berdasarkan pertimbangan tersebut informan kunci dalam penelitian ini, yaitu (1) kepala desa Krisik, (2) masyarakat lokal yang ikut dalam upacara bersih desa, (3) sesepuh desa, (4) juru kunci telaga rambut monte, (5) masyarakat pendukung upacara bersih desa.

Untuk mengumpulkan data, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data penelitian kualitatif yang dikemukakan oleh Cresswell (2014: 268-273). Oleh karenanya, untuk mengumpulkan data-data terkait dengan tujuan masalah dalam penelitian ini dilakukan dengan (1) wawancara, (2) obervasi, dan (3) dokumentasi. Pada penelitian ini, analisis data dilakukan dengan sejumlah tahapan, yaitu (1) mengolah dan mempersiapkan data yang berasal dari transkripsi wawancara, catatan lapangan, dan dokumen. Berbagai data yang telah dikumpulkan diklasifikasikan dan disusun berdasarkan kategorinya sesuai dengan sumbernya, (2) membaca seluruh informasi yang telah didapatkan dan merefleksikan makna secara keseluruhan. Data yang diperoleh dianalisis sesuai dengan maslah yang dipaparkan.

Pembahasan

Pada umumnya upacara bersih desa dilaksanakan untuk menghormati para leluhur atau sesepuh dalam masyarakat Jawa. Keyakinan orang Jawa menganggap bahwa arwah orang-orang tua sebagai nenek moyang yang telah meninggal dunia berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya, atau sebagai arwah leluhur menetap di makam (pesareyan). Hal itu menyebabkan munculnya upacara bersih desa, termasuk membersihkan makam-makam disertai dengan kenduren maupun sesaji, dengan maksud agar sang dhanyang akan selalu memberikan perlindungan (Amin,2000:128). Ketika suatu desa melaksanakan upacara bersih desa tentunya melakukan prosesi upacara bersih desa yang sudah disepakati oleh folknya atau pewaris budayanya. Dalam acara tersebut menimbulkan adanya kohesi sosial maupun industri kreatif yang diciptakan. a. Upacara Bersih Desa di Desa Krisik

Bersih desa didefinisikan dalam bahasa Jawa “karamean sing dibarengi slametan lan dedongan ing padesan saben taun kang lumrahe gegayutan karohmatan ing desa utawa mbeneri dina adeging desa”. Bersih desa juga bisa dimaknai sebagai wujud dari rasa hormat seluruh perangkat desa dan jajaran yang ada di bawahnya serta seluruh masyarakat Desa Krisik pada umumnya, khususnya masyarakat terhadap cikal bakal atau akal bakal Desa Krisik. Cikal bakal atau akal bakal adalah seseorang yang telah berfikir dan bertindak untuk mengawali kehidupan di Desa Krisik, melalui proses babad desa atau pembukaan pemukiman baru. Bersih desa Krisik merupakan sebuah tradisi tahunan masyarakat desa Krisik sebagai bentuk dari instrospeksi diri sekaligus

Page 129: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

123 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

bersih-bersih desanya dan membersihkan petilasan cikal bakal, akal bakal serta “pepunden” desa.

Dalam upacara bersih desa juga melakukan kenduri atau selamatan disertai lantunan doa-doa yang dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk memohon keselamatan lahir batin dan semua yang baik-baik untuk diri sendiri, keluarga dan Desa Krisik. Tujuan diadakan upacara bersih desa adalah sebagai perwujudan dari rasa syukur pemerintah desa Krisik beserta jajarannya serta seluruh masyarakat desa Krisik kepada Tuhan Yang Maha Esa atas semua rahmat, keselamatan, dan rezeki yang telah dilimpahkan. Selain itu, sebagai wujud penghormatan terhadap cikal bakal dan akal bakal, para pinisepuh, aji sepuh pendahulu desa, yang telah berjasa dalam babad desa hingga desa Krisik dapat dihuni dan dapat dijadikan lahan pertanian yang subur. Wujud penghormatan dan rasa syukur ini dilakukan dengan memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar diampuni semua dosa-dosa cikal bakal dan akal bakal, para pinisepuh, aji sepuh pendahulu desa, yang telah berjasa dalam babad desa dan diberikan pahala sesuai dengan amal dan baktinya terhadap desa Krisik.

Masyarakat memulai rangkaian tradisi bersih desa dengan bergotong-royong membersihkan lingkungan desa dan lingkungan sekitar Punden Rambut Monte. Sebelum upacara bersih desa dilakukan kenduri dan ada tayuban serta menjamu tamu yang datang hingga larut malam. Sebagaimana penyelenggaraan hajatan, kenduri ini juga harus menyiapkan semua peralatan dan perlengkapan lengkap dan memasang sesaji di setiap sudut area sebagai simbol “pagar”. Kenduri sebelum acara ini disebut ngule metri. Di dalamnya juga tredapat ritual doa yang dipimpin oleh masing-masing pemimpin agama.

Pada hari Jumat Legi, iringan kirab jolen mulai berangkat ke lokasi situs. Di lokasi situs candi atau pundhen ini, masyarakat menggelar selamatan bersama memohon keberkahan Tuhan Yang Maha Esa agar senantiasa diberikan keselamatan dan keberkahan. Semua jolen dari seluruh dusun bertemu dan bersatu di lokasi situs Rambut Monte. Setiba di lokasi situs candi rombongan kepala desa dan jajaran pejabatnya melanjutkan prosesi larung. Adapun bagian wedhus kendhit yang dilarung berupa kulit, kepala utuh, semua tulang, dan kaki ditambah dengan beras yang dimasak setengah matang (kekel). sesaji-sesaji itu mulai dilemparkan ke tengah telaga Rambut Monte oleh sesepuh desa dan akan segera dimakan oleh ikan-ikan sengkaring yang dianggap warga sebagai ikan keramat. Setelah semua perangkat desa yang perempuan larung saji, ritual dilakukan dengan mengelilingi telaga. Kemudian, selamatan atau kenduri diselenggarakan di situs candi atau pundhen, yaitu papan panggonan kang dipundi-pundi (dihormati) yang menjadi punjer (pusat) cikal bakal atau akal bakal. Pundhen ini juga bisa disebut sebagai sadranan dan kegiatan kendurinya disebut nyadran. Kegiatan kenduri atau nyadran ini sebenarnya merupakan kegiatan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar arwah nenek moyang dan para leluhur diampuni dosanya.

Setelah kenduri selesai, maka makanan dan sesaji wedhus kendhit yang telah dimasak dibagikan kepada seluruh warga masyarakat yang hadir. Siapapun yang hadir di sana wajib mendapatkan berkat (makanan kenduri) dan memakannya agar juga mendapat berkahnya. Kemudian, ritual dilanjutkan

Page 130: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

124 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

dengan tayuban di punden. Tabuhan musik gamelan mengiringi sinden dan gedruk tayub ini. Ada nada tertentu yang memulai tayub untuk melakukan langen beksan.

Rangkaian acara dilanjutkan dengan karnaval budaya. Karnaval budaya ini diisi oleh berbagai pertunjukan kesenian tradisional. Misalnya, tarian, pagelaran tabuh, bantengan, macanan, jaranan, parade kostum bunga, dan lainnya. Namun, acara wajib yang harus ada, yaitu tayub, wayang kulit, dan jaranan atau bantengan.

Malam harinya, ritual upacara dilanjutkan dengan pertunjukan wayang sebagai tradisi ruwatan desa. Kegiatan bersih desa selalu ditandai dengan Ruwatan Murwakala, “luwar saka ing panênung karuwêtan bêbadan lan saka paukuman kang ala” merupakan merupakan pelestarian nilai-nilai budaya warisan leluhur yang adiluhung, penuh dengan simbol makna dan hikmah kebaikan dengan tata cara seperti yang telah diajarkan oleh para sesepuh dan aji sepuh pendahulu desa Krisik. Penutup rangkaian acara, pada hari Sabtu dilangsungkan acara pengajian. Pelaksanaan rangkaian upacara bersih desa tersebut didukung oleh para pewaris tradisi budaya aktif maupun pewaris tradisi budaya pasif.

b. Kohesi Sosial dalam Upacara Bersih Desa

Secara etimologi kohesi merupakan kemampuan suatu kelompok untuk menyatu dan hasil hubungan individu dengan lembaga. Kohesi sosial sebagai perekatan yang dibangun oleh komunitas berdasarkan ikatan keluarga yang dibingkai dalam etnik. Hal ini juga tercermin dalam penyelenggaraan upacara bersih desa di Desa Krisik yang dilandasi kesepakatan bersama, dana ditanggung bersama sehingga terbentuk suatu ikatan keluarga. Acara ini banyak menghabiskan dana, tetapi masyarakat dengan senang hati turut berpartisipasi dalam penggalangan dana dan turut serta dalam rangkaian prosesi acara tersebut. Dana berasal dari swadana masyarakat desa Krisik sendiri, tanpa ada paksaaan. Ketika acara berlangsung semua warga meninggalkan semua aktivitasnya hari itu untuk menyaksikan dan mengikuti rangkaian acaranya. Dengan adanya kebersamaan itu membentuk rasa saling memiliki antara satu dengan yang lain sehingga dalam pelestarian budaya pun ditanggung bersama.

Bagi masyarakat desa Krisik, prosesi upacara ini merupakan perayaan besar karena melibatkan seluruh warga masyarakat dan dihadiri pula oleh semua warga. Para perangkat desa dan jajarannya pun hadir mengenakan pakaian tradisional Jawa beserta para sindennya. Semua peserta memakai busana adat Jawa. Upacara dan selamatan doa ini dipimpin oleh kamitua (sesepuh) desa. Slametan menjadi sebuah permohonan simbolik berupa upacara bersih desa. Masyarakat desa biasa menyebut dengan “Bersih Desa”.

Upacara bersih desa merupakan upaya manusia untuk mencari keselamatan, kepercayaan, dan menjaga kelestarian kosmos. Manusia dinggap sebagai replika dari makrokosmos. Makrokosmos terdiri dari komponen yang bersifat materi (alam kasad mata) dan nonmateri (alam ora kasad mata). Komponen bersifat materi terdiri dari lingkungan sosial dan lingkungan fisik (tanah, gunung, laut, sungai). Komponen nonmateri terdiri dari alam kelanggengan (lingkungan gaib positif), yaitu Tuhan, roh-roh halus yang baik,

Page 131: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

125 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

dan alam lelembut ( lingkungan gaib negatif). Manusia berada di tengah dan harus menjaga dua komponen tersebut (Moertjipto, 1987 dalam Sulistyorini, 2006:201). Kedua komponen tersebut harus dijaga agar ada keseimbangan lingkungan gaib positif dan lingkungan gaib negatif. Dalam menjaga keseimbangan tersebut, masyarakat desa Krisik pun harus kompak, bersatu, dan saling mendukung.

Bersih desa sebagai kegiatan spiritual yang dilaksanakan secara turun-temurun tidak menolak adanya usur kejawen. Dalam upacara bersih desa ini terlihat pada simbol-simbol yang terdapat di dalam upacara tersebut. Menurut Hadiwijoyo dalam Endraswara (2004:63), pada masyarakat Jawa telah terjadi sinkretisme antara agama Siwa, Budha, Hindu, dan Islam yang diramu menjadi bentuk kebatinan Jawa atau disebut Kejawen. Hal ini juga tercermin dalam kegiatan masyarakat desa Krisik, khususnya yang berkaitan dengan keagamaan, masyarakat masih sering mengadakan acara tahlilan, nyadran, slametan, dan lain sebagainya. Fenomena ini sebagai bukti terjadinya akulturasi antara kebudayaan Jawa dengan ajaran agama Islam. Namun, kerukunan umat beragama sangat terlihat di sana. Acara yang melibatkan seluruh masyarakat, misalnya bersih desa, tidak dikhususkan pada satu agama tertentu saja, melainkan semua penganut ajaran agama. Mereka pun ikut serta membersihkan lingkungan desa secara gotong-royong, selamatan, dan mengikuti prosesi upacara hingga selesai. Saat ada perayaan hari besar agama tertentu, masyarakat masih sering saling berkunjung sebagai bentuk kekerabatan desa. Adanya pertemuan sosial tersebut menghasilkan interaksi. Interaksi sosial merupakan hubungan timbal balik antara dua kelompok atau sekelompok orang yang akan memainkan perannya. Dengan adanya kebersamaan dan kerukunan antar warga tanpa melihat agama yang diyakininya, maka kohesi sosial pun terbentuk dan tanpa menimbulkan konflik. Kohesi sosial dapat terbentuk dengan pertemuan sosial yang dibentuk sehingga mereka saling membutuhkan. Masyarakat pun saling memelihara tata cara dan tata sosial yang berlaku sehingga menjadi interaksi sosial.

c. Industri Kreatif dalam Upacara Bersih Desa

Salah satu prosesi upacara bersih desa di desa Krisik dengan mengarak sesaji. Sesaji ini berupa tumpeng. Sesaji merupakan makanan yang disajikan untuk makhluk halus (roh) dengan beragam maksud. Umumnya, sesaji berasal dari hasil bumi dan olahannya. Misalnya, padi, sayur-mayur, bunga-bungaan, dan hewan ternak. Ada yang disajikan mentah seperti sayuran dan nasi atau dimasak menjadi olahan menu. Sesaji dibentuk sedemikian rupa dalam sebuah wadah berupa tampah menyerupai gunungan dan dihias agar terlihat indah. Dalam hal ini kreativitas masyarakat tampak.

Kreativitas warga pun juga terelihat pada bahan hiasannya yang menggunakan janur (daun kelapa muda). Bahkan, adakalanya sesaji ditempatkan pada jolen, yaitu tempat untuk membawa makanan dan perlengkapannya yang berbentuk seperti rumah Jawa Timuran dan cara membawanya dipikul oleh 2 atau 4 orang. Analogi bentuk dan isi tumpeng ini berasal dari kontur dan topografi alam yang menyerupai gunung, hutan, dan sungai. Topografi ini

Page 132: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

126 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

menjadi daya tarik masyarakat untuk berperan dalam kegiatan upacara tersebut. Sesaji yang diusung tersebut dibawa ke telaga Rambut Monte.

Sesaji yang disiapkan merupakan permintaan dari Mbah Rambut Monte sendiri yang disampaikan secara gaib kepada sesepuh desa. Sesaji wajib yang harus ada adalah wedhus kendhit atau kambing yang memiliki 3 warna bulu berbeda. Wedhus kendhit ini biasanya disembelih dan dimasak untuk bahan membuat tumpeng, kepalanya digunakan untuk prosesi larung di telaga. Menurut Endrawsara (2004:10) slametan adalah sebuah manifestasi kultur Jawa asli. Di dalamnya lengkap dengan simbol-simbol sesaji, serta menggunakan mantra-mantra tertentu. Melalui slametan, diharapkan mendapatkan jalan lurus menuju sasaran, yaitu Tuhan YME. Adanya slametan di punden Rambut Monte bertujuan agar masyarakat desa Krisik aman dan nyaman dari malapetaka dan marabahaya. Selain kreativitas dalam bentuk sesaji juga adanya jolen dalam upacara bersih desa. Jolen-jolen dan produk unggulan pertanian yang disiapkan masing-masing RT dilombakan dan pemenangnya mendapat hadiah dari Lurah Krisik. Rangkaian kegiatan upacara bersih desa ini mengundang para wisatawan maupun masyarakat di luar desa Krisik ingin menonton.

Animo masyarakat yang mendukung upacara bersih desa di desa Krisik tentunya dapat mendatangkan peningkatan ekonomi masyarakat. Masyarakat sekitar banyak yang berjualan dan toko-toko sekitar yang menjual perlengkapan upacara pun penghasilannya meningkat. Industri kreatif yang diciptakan oleh masyarakat desa Krisik juga dapat bermanfaat bagi masyarakatnya. Hal itu tentunya didukung oleh kebijakan pemerintah setempat. Penutup

Bersih desa merupakan warisan budaya leluhur yang dilestarikan. Masyarakat desa Krisik melaksanakan tradisi tahunan sebagai bentuk dari instrospeksi diri sekaligus bersih-bersih desanya dan membersihkan petilasan cikal bakal, akal bakal serta “pepunden” desa. Tujuan diadakan upacara bersih desa adalah sebagai perwujudan dari rasa syukur pemerintah desa Krisik beserta jajarannya serta seluruh masyarakat desa Krisik kepada Tuhan Yang Maha Esa atas semua rahmat, keselamatan, dan rezeki yang telah dilimpahkan. Dalam upacara bersih desa tercermin adanya kohesi sosial dan industri kreatif.

Kohesi sosial yang ada dalam upacara bersih desa dapat dilihat adanya musyawarah bersama sebelum pelaksanaan upacara bersih desa, kebersamaan dalam mendukung dan melestarikan tradisi budaya, kekerabatan dan kerukunan antar umat beragama dalam menjalankan rangkaian tradisi upacara bersih desa tersebut. Demikian pula industri kreatif dapat dilihat dari bentuk sesajen yang akan dibawa ke telaga Rambut Monte, hiasan pada jolen, serta memberi kesempatan kepada masyarakat pendukung untuk meningkatkan ekonomi dengan berjualan pada acara tersebut.

Daftar Pustaka Amin, Darori. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media. Cresswell, J. W. 2014. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan

Mixed (4th ed.). (A. Fawaid, Trans.) Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Page 133: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

127 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Endraswara, Suwardi. 2004. Mistik Kejawen; sinkritisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta: Narasi.

Koentjaraningrat. 1983. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Moleong, L. J. 2014. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya. Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Teori, metode dan Teknik Penelitian Sastra; Dari

Strukturalisme Hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana. Sulistyorini, Dwi. 2006. Upacara Nadar dalam Upacara Pembuatan Garam di Sumenep (Fungsi, Simbol dan Pemaknaannya). Bahasa dan Seni, 34 (2): 190-205.

Page 134: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

128 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

PEROFORMANCE-CENTERED-APPROACH: KONSEP DAN SIGNIFIKANSINYA BAGI STUDI SASTRA LISAN

Eggy Fajar Andalas

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Universitas Muhammadiyah Malang e-mail: [email protected]

Abstrak: Pada masa-masa awal studi sastra lisan, para peneliti lebih banyak menaruh perhatian terhadap “teks” atau item sastra lisan semata. Akan tetapi, sekitar tahun 1969, sekelompok peneliti terkemuka dalam bidang ini menyadari pentingnya melihat produk sastra lisan dalam konteks sosio-budayanya. Para peneliti tidak lagi memandang sastra lisan sebagai sebuah produk, tetapi sebagai komunikasi artistik. Performance-centered-approach menuntun peneliti sastra lisan untuk memahami sastra lisan dalam konteks alaminya dengan mempertimbangkan tiga elemen yang terdapat dalam komunikasi artistik sastra lisan, yaitu teks, konteks, dan tekstur.

Kata-kata kunci:sastra lisan, performance-centered-approach, komunikasi artistik.

Pada masa-masa awal studi sastra lisan, budaya lisan secara umum, para peneliti lebih banyak menaruh perhatian terhadap “teks” atau item sastra lisan semata. Para peneliti banyak mengumpulkan cerita lisan, lagu-lagu, peribahasa, maupun puisi-puisi lisan yang hidup di masyarakat. Para peneliti turun langsung ke lapangan untuk mengumpulkan berbagai bentuk sastra lisan yang hidup di masyarakat dengan merekam, mentranskrip, dan menggunakannya sebagai bahan studi yang mereka lakukan.

Kecenderungan atau cara pandang yang digunakan oleh para ahli pada masa-masa awal ini lebih banyak mengarahkan perhatiannya terhadap usaha pendokumentasian berbagai bentuk sastra lisan yang hidup di masyarakat8. Melalui berbagai item sastra lisan yang mereka kumpulkan, para peneliti melakukan kajian tekstual terhadap item sastra lisan yang telah mereka transkrip ke dalam berbagai bentuk, seperti melihat motif-motif dasar yang ada dalam suatu cerita untuk kemudian melacak persebarannya di dunia9, memahami sistem kognitif masyarakat pemilik cerita berdasarkan pada struktur cerita lisan yang dimilikinya10, melihat keterkaitan sastra lisan suatu masyarakat dengan struktur maupun fungsi sosial dalam suatu masyarakat.

8 Cara pandang terhadap item budaya lisan sebagai produk yang sekarat (dying out) dan sangat penting untuk segera diselamatkan agar tidak punah seiring perkembangan arus modernisasi merupakan cara pandang yang sangat menggejala pada masa itu. Pandangan ini banyak terpengaruh oleh perkembangan paradigma evolusionisme yang berkembang sangat pesat. Oleh karenanya, usaha-usaha awal yang banyakdilakukan dalam studi sastra lisan lebih diarahkan pada usaha untuk menyelematkan berbagai item sastra lisan yang hidup di masyarakat dengan mendokumentasikannya dengan segera. 9 Bentuk kajian seperti ini banyak dilakukan oleh para Finnish School. Lihat di antaranya hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Brother Grimm maupun Stith Thompson. 10 Di antaranya hasil-hasil penelitian Claude Levi-Strauss yang banyak memanfaatkan pendekatan psikologi dalam kajian yang dilakukannya.

Page 135: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

129 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Pada kurun waktu tahun 1965-1979 terjadi pergeseran orientasi yang digunakan oleh para peneliti sastra lisan, budaya lisan secara umum, dalam melihat dan memperlakukan obyek material yang dihadapinya. Para ahli, seperti Ben-Amos, Roger Abrahams, Dell Hymes, Richard Bauman, Barbara Kirshenblatt-Gimblett, Bruce A. Rosenberg, Robert Georges, Barre Toelken, dan Alan Dundes mempermasalahkan mengenai orientasi yang digunakan oleh para peneliti awal yang hanya memusatkan perhatiannya kepada “teks” sastra lisan semata dan mengabaikan keberadaan konteks yang mendasari keberadaan sastra lisan. Perdebatan di antara para ahli dalam pergeseran oritentasi dalam studi sastra lisan, budaya lisan secara umum, dikenal dengan perdebatan teks/konteks.

Pada dasarnya, para peneliti tersebut mempermasalahkan mengenai cara pandang yang digunakan oleh para peneliti awal yang memperlakukan “item” sastra lisan sebagai hal yang terpisah dari konteks yang membangunnya. Para peneliti cenderung mengumpulkan berbagai teks sastra lisan yang hidup di masyarakat kemudian melakukan analisis terhadapnya tanpa mempertimbangkan berbagai konteks yang mendasari kelahiran teks lisan tersebut, seperti siapa yang menceritakan? Apa kedudukan penceritanya dalam masyarakat? Di mana diceritakannya? Dalam situasi apa penceritaan dilakukan? Siapa pendengarnya? Apakah terdapat peran pendengar dalam mengonstruksi teks cerita yang diceritakannya? Apa terdapat alat bantu yang digunakan dalam proses bercerita? Apakah setiap cerita yang dituturkan oleh seorang pencerita yang sama memiliki struktur dan isi yang sama persis?

Berbagai perhatian terhadap aspek konteks penceritaan sastra lisan merupakan faktor utama yang menjadi perhatian para ahli dalam melihat keberadaan sastra lisan saat ini. Kritik-kritik yang bermunculan pada pertengahan awal abad XX terhadap penelitian yang berfokus pada permasalahan teks semata mempersoalkan mengenai sangat minimnya atau diabaikannya konteks sosial-budaya yang menjadi dasar produk budaya lisan tersebut muncul (Georges, 1980: 34). Sebagai akibatnya, banyak hasil penelitian yang cenderung mengabaikan berbagai konteks lokal, konvensi-konvensi budaya lokal, dan cenderung menggunakan perspektik etik11 sebagai dasar interpretasi analisis yang dilakukan. Perubahan pandangan para ahli dalam melihat sastra lisan, item-oriented menuju contextual-studies, menjadi trend baru dan menjadi pergeseran pandangan para peneliti saat ini untuk memalingkan pandangannya dari persoalan teks semata untuk menuju pada permasalahan konteks yang melingkupi kehadiran teks sastra lisan.

Pada tahun 1969, sekelompok peneliti terkemuka dalam bidang budaya lisan, seperti Richard Bauman, Dell Hymes, Bruce A. Rosenberg, dan Barbara Krishenblatt-Gimblett, dalam seminar yang diselenggarakan oleh American Folklore Society dengan tema Folklore and Communication, menegaskan mengenai pentingnya melihat foklor, termasuk di dalamnya item sastra lisan, dalam konteks sosio-budayanya (Ben-Amos & Goldsetin, 1975: 1-7). Pandangan tersebut didasarkan asumsi bahwa teks sastra lisan akan selalu terkait dengan berbagai konteks yang melingkupi munculnya teks sastra lisan, seperti

11 Perspektif etik merupakan cara pandang terhadap suatu penelitian yang didasarkan pada sudut pandang peneliti. Perspektik ini merupakan lawan dari perspektik emik, yaitu sudut pandang penelitian yang didasarkan pada cara pandang pemilik kebudayaan.

Page 136: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

130 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

penampilnya, situasi, tujuan, penonton, framing pertunjukan, konvensi-konvensi budaya lokal, dan lain-lain.

Pada tahun-tahun berikutnya, tampak bahwa perkembangan dalam epsitemologi peneliti sastra lisan, budaya lisan secara umum, terus berkembang. Pada bagian pendahuluan buku yang dieditorinya, Folklore and Folklife: an Introduction (1972)12, Richard Dorson mengemukakan adanya sebuah trend perkembangan baru yang digunakan oleh para peneliti dalam melihat materi budaya lisan yang ada di masyarakat dengan mengedepankan contextual approach13. Dengan menjabarkan berbagai trend teori yang berkembang dan digunakan oleh para folkloris di Amerika hingga kurun waktu pertengahan awal abad XX, ia kemudian menjabarkan pendekatan kontesktual yang digagas oleh para folkloris muda14 terhadap item budaya lisan.

Para generasi baru dalam bidang budaya lisan ini tidak lagi menggunakan pendekatan monolitik dalam memperlakukan item budaya lisan. Hal yang membedakannya dengan para pendahulunya, yaitu mereka mengaplikasikan konsep folklor, termasuk sastra lisan, bukan terhadap teks semata, tetapi juga pada waktu peristiwa sebuah sastra lisan ditampilkan atau dikomunikasikan (Dorson, 1972: 45). Oleh karenanya, seorang peneliti sastra lisan haruslah merekam seluruh pertunjukan atau peristiwa komunikasi yang terjadi. Peneliti tidak dapat lagi hanya merekam atau sekadar mentranskripsi sebuah teks sastra lisannya saja. Teks sastra lisan hanyalah salah satu bagian dari peristiwa keseluruhan.

Munculnya perdebatan teks/konteks dalam penelitian sastra lisan, budaya lisan secara umum, memunculkan sejumlah pemahaman baru terhadap cara pandang peneliti dalam melihat obyek materialnya. Melalui perkembangan epsitemologi dalam bidang sastra lisan, tulisan ini mendiskusikan mengenai pendekatan pertunjukan (performance-centered-approach) serta signifikansinya bagi studi sastra lisan. MEMAHAMI SASTRA LISAN DALAM KONTEKS ALAMINYA

Dalam artikelnya yang berjudul Toward a Definition of Folklore in Context (1971), Ben-Amos memaparkan mengenai perkembangan pendefinisian yang digunakan oleh para ahli dalam memahami obyek material yang dihadapinya, yaitu folklor, termasuk di dalamnya sastra lisan. Melalui usaha pelacakan yang dilakukannya, ia menemukan bahwa berbagai definisi yang 12 Tulisan bab Pendahuluan pada kumpulan tulisan yang dieditorinya ini merupakan pengembangan dari artikel yang pernah ditulis sebelumnya dengan judul Current Folklore Theories (1968). 13 Dalam tulisannya, Dorson memperlihatkan berbagai perkembangan teori dalam penelitian budaya lisan, sastra lisan di dalamnya, mulai awal perkembangan studi ini hingga awal pertengahan abad XX. Ia memperlihatkan bahwa sejak awal abad ke XIX studi yang serius terhadap sastra lisan muncul di Jerman hingga awal pertengahan abad XX, para peneliti cenderung hanya berfokus pada permasalahan “teks” semata. Berbagai konteks yang melingkupi kehadiran teks sastra lisan cenderung diabaikan dengan hanya memusatkan perhatiannya pada studi tekstual semata. Berbagai perkembangan tersebut ia rangkum dengan menunjukkan sejumlah trend perkembangan penggunaan teori-teori dalam penelitian ini, seperti para peneliti perbandingan, nasionalis, antropolois, dan psikologis. 14 Para folkloris ini adalah Roger D Abrahams, Rober A. Georges, Alan Dundes, dan Dan Ben-Amos.

Page 137: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

131 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

digunakan oleh para ahli dalam memahami item budaya lisan selalu merujuk pada asumsi berbagai produk budaya lisan merupakan artefak budaya yang berisikan mengenai, seperti 1) pengetahuan, 2) cara berfikir, 3) dan seni suatu masyarakat (Ben-Amos, 1971: 1-5)15.

Ketiga hal tersebut, pengetahuan, cara berfikir, dan seni, merupakan suatu kategori budaya yang sangat luas. Oleh karenanya, para folkloris menggunakan karakteristik khusus untuk membedakannya dengan berbagai kategori yang lain. Hal tersebut didasarkan pada tiga hal, yaitu konteks sosial, kedalaman waktu, dan medium transmisinya. Tabel 2.1 Pandangan ahli terhadap materi sastra lisan (luas: budaya lisan) dari masa ke masa (Ben-Amos, 1971: 5).

Social Context Time Depth

Medium of Transmission

Knowledge16 Communal possesion

Antiquity Verbal or imitative

Thought17 Collective representation

Survival Verbal

Art18 Communal creation or re-creation

Antiquity Verbal or imitative

Berbagai kriteria keunikan yang disematkan dalam berbagai item budaya

lisan merupakan landasan dasar yang digunakan oleh para peneliti dalam melihat keunikan yang ada pada obyek materialnya19. Akan tetapi, dengan sejumlah pendifinisian yang dilakukan terhadap materi budaya lisan sebagai bentuk kumpulan dari berbagai hal (collection of things), justru memisahkannya dari konteks alaminya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai hasil kajian dan analisis yang memusatkan perhatiannya hanya pada teks-teks sastra lisan yang dikumpulkannya (item-oriented).

15 Usaha pengelompokan yang dilakukannya tidaklah bersifat eksklusif. Terdapat beberapa situasi yang menjadikan perbedaan di antaranya hanya didasarkan pada penekanan terhadap salah satu aspek saja, bukan pada esensinya. 16 Pandangan ini banyak ditemukan dalam karya-karya James G. Frazer. 17 Cara pandang ini dirintis oleh para penganut pandangan Evolusionisme Inggris dan Antropologi Sosial Perancis. Mereka memandang bahwa folklor (sastra lisan di dalamnya) merupakan representasi dari cara berfikir suatu kolektif. 18 Ketika konsepsi mengenai kolektivitas atau komunalistas diterapkan dalam memandang item budaya lisan sebagai produk seni, maka hal ini digunakan oleh para folkloris untuk merujuk pada penciptaan sastra rakyat (folk literature) (Ben-Amos: 1971: 7). Pandangan ini tentu saja dipengaruhi latar belakang disiplin keilmuan para folkloris. Para folkloris yang berasal dari disiplin ilmu sastra memandang bahwa folklor lisan sebagai sebuah produk budaya. Berbeda dengan pandangan para folkloris sastra, para folkloris antropolog melihatnya sebagai produk sastra (Ben-Amos: 1971: 2). 19 Telah banyak usaha-usaha yang dilakukan oleh para ahli untuk menjadikan folklor sebagai sebuah disiplin ilmu yang mandiri yang berbeda dengan disiplin-disiplin ilmu yang lain. Mereka berusaha untuk memberikankeunikan terhadap obyek material yang mereka hadapi. Hal ini mengingat bahwa sejak awalkemunculannya, bidang telaah dalam budaya lisan berkembang dari berbagai bidang keilmuan. Banyak peneliti dari bidang sastra yang meneliti obyek material ini dan menyebut dirinya sebagai folkloris sastra. Begitupun para peneliti dari bidang antropologi yang meneliti bidang telaah ini menyebut dirinya folkloris antropolog.

Page 138: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

132 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Pada masa-masa penelitian awal perkembangan studi sastra lisan20, budaya lisan secara umum, orientasi yang digunakan oleh para peneliti lebih tertuju hanya pada “teks” (produk dari budaya lisan) tanpa memperhatikan proses di balik munculnya suatu teks21. Dalam sudut pandang ini, dipahami bahwa para peneliti menganggap terdapat suatu teks final mengenai suatu jenis sastra lisan yang ada di masyarakat. Sebagai contoh, hanyalah terdapat satu versi yang dianggap paling benar (asli) mengenai Legenda Eyang Djoego yang ada di masyarakat Kabupaten Malang. Berbagai cerita yang berkembang dan memiliki plot, tokoh, ataupun perbedaan (sedikit atau banyak) dianggap sebagai varian dari teks aslinya. Para peneliti ini berasumsi bahwa teks budaya lisan merupakan sebuah produk final yang tidak mengalami perubahan.

Cara pandang tersebut muncul karena para peneliti sastra lisan pada masa-masa awal hanya memusatkan perhatiannya terhadap teks sastra lisan, dalam kasus tersebut pada legenda Eyang Djoego saja, tanpa memperhatikan proses terciptanya teks tersebut. Sebagai contoh, jika memang benar terdapat teks yang dianggap paling benar dari yang lainnya, siapakah yang memiliki kewenangan untuk menciptakan versi asli tersebut? Jika berbagai cerita mengenai Eyang Djoego yang berkembang di masyarakat hanya dianggap sebagai sebuah varian dari teks yang dianggap asli tersebut, bukankah seorang pencerita memiliki kreativitas estetis dalam mengolah ulang dan menginterpretaskan suatu cerita menjadi cerita milikinya? Bagaimana dengan cerita Gajah Mada yang ditulis oleh Aan Merdeka dan Langit Krisna Hariadi? Bukankah cerita Gajah Mada mulanya berkembang secara lisan dan keduanya sama-sama mengolah cerita Gajah Mada dengan kreativitas ulang dan berdasarkan interpretasinya? Apakah sebuah sastra lisan yang diolah oleh seorang pengarang sastra lisan harus ditulis terlebih dahulu dan memperoleh legitimasi dan “cap nama” dari sebuah penerbit untuk dapat diakui sebagai miliknya? Bukankah sebuah teks merupakan suatu mozaik kutipan yang selalu berelasi dengan teks-teks pendahulunya? Dalam konteks tersebut, proses kreasi, dan penciptaan ulang yang dilakukan oleh seorang penampil atau pencerita lisan sama sekali tidak memiliki tempat.

Singkatnya, dalam pendekatan yang hanya menekankan dan memusatkan pandanganya terhadap “teks” sastra lisan semata akan cenderung mengabaikan persoalan “proses”, yaitu konteks, yang mendasari munculnya sebuah produk sastra lisan. Sebuah penelitian yang mendasarkan pandangannya yang hanya disandarkan pada persoalan teks hanya melihat “produk” sastra lisan semata dan mengabaikan berbagai persoalan yang sejatinya menjadi sebuah kesatuan dalam proses kehadiran produk sastra lisan. Oleh karena itu, berbagai pandangan awal yang hanya mendasarkan sudut pandangannya terhadap teks sematalah yang banyak mendapat kritik oleh para ahli budaya lisan kontemporer. Ben-Amos (1971: 9), berpendapat bahwa usaha-usaha yang dilakukan dengan hanya berdasarkan pada item budaya lisan semata membutuhkan sebuah abstraksi metodologis terhadap suatu obyek dari konteks aktualnya. Abstraksi yang dilakukan hanyalah merupakan sebuah metode yang digunakan oleh para

20 Meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa hingga kini penelitian yang hanya berpusat terhadap teks saja masih banyak digunakan oleh para peneliti. 21Text-centered-approach.

Page 139: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

133 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

peneliti dan tidak dapat menggantikan sifat sejati dari suatu entitas. Setiap sudut pandang terhadap material yang didasarkan pada abstraksi tersebut sangat memungkinkan untuk salah. Oleh karenanya, sangat penting untuk menyelidiki suatu fenomena sebagaimana adanya. Dalam konteks budayanya, folklor, termasuk sastra lisan, bukanlah sebuah kumpulan dari berbagai hal (produk), tetapi sebuah proses, yaitu proses komunikasi (1971: 9).

Kritik yang dilontarkan oleh Ben-Amos tersebut bukanlah sebuah “penyalahan” terhadap perspektif yang berpusat pada teks, tetapi konteks merupakan hal fundamental yang harus mendapat perhatian juga dalam penelitian sastra lisan. Pada dasarnya, sastra lisan merupakan sebuah fenomena yang lahir dan hidup dalam kehidupan manusia. Sebagai sebuah fenomena budaya masayarakat, sangatlah “naif” jika seorang peneliti hanya merekam, mentraskrip, dan membawa pulang sebuah cerita lisan yang sedang ditelitinya ke rumah untuk kemudian dilakukan analisis terhadap cerita tersebut dengan mengabaikan sejumlah konteks yang turut menyertai kelahiran cerita lisan tersebut.

Oleh karenanya, untuk memperoleh pemahaman secara utuh terhadap suatu fenomena sastra lisan, seorang peneliti haruslah mengamati seluruh peristiwa yang terjadi dalam situasi terjadinya penceritaan sastra lisan. Peneliti tidak dapat hanya merekam, mentraskrip, dan menganalisis “teks” sastra lisannya saja. Jika hal ini dilakukan, peneliti telah memutilasi bangun utuh peristiwa penceritaan yang dilakukan pada saat itu.

Pendekatan pertunjukan22 secara mendasar mengajak kembali seorang peneliti sastra lisan untuk mengembalikan fenomena yang sejatinya berasal dari proses kehidupan sosio-budaya masyarakat kembali ke masyarakat tempat ia lahir, tumbuh, dan hidup di masyarakat. Seorang peneliti sastra lisan selain mengumpulkan teks sastra lisan juga menyoroti berbagai konteks yang mengiringi kehadiran sastra lisan yang sedang ditelitinya. KONSEP PENDEKATAN PERTUNJUKAN DAN SIGNIFIKANSINYA BAGI STUDI SASTRA LISAN

Terdapat berbagai penggunaan istilah “performance” sebagai cara pandang para ahli dalam memahami suatu fenomena. Dalam bidang telaah sastra lisan23, pendekatan pertunjukan (performance-centered-approach) diperkenalkan oleh Richard Bauman dalam tulisannya berjudul Verbal Art as Performance (1975). Berbeda dengan pendekatan text-centered-approach yang menganggap item sastra lisan sebagai sebuah “material”, Bauman memandang sastra lisan sebagai sebuah “komunikasi” yang mencirikan para partisipannya. Untuk lebih memahami hal ini perhatian ilustrasi berikut.

22 Pendekatan ini sering disebut juga pendekatan kontekstual karena menuntut peneliti untuk mengamati berbagai konteks yang menyertai kehadiran sebuah teks sastra lisan. 23 Para ahli dari berbagai disiplin keilmuan yang menyebut dirinya sebagai seorang folkloris sering menyebut sastra lisan sebagai verbal arts, yaitu untuk menyebut obyek material folklor lisan.

Page 140: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

134 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Ilustrasi tersebut menggambarkan sebuah peristiwa pertunjukan atau tontonan yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Dalam kultur masyarakat Jawa, terdapat berbagai jenis pertunjukan serupa, seperti ketoprak, ludruk, wayang kulit, wayang wwang, campur sari, dan lain-lain. Pada persitiwa tersebut orang-orang datang ke suatu pertunjukan untuk menikmati tontonan yang disajikan. Anda (sebagai bagian dari penonton) dan penampil menciptakan suatu bentuk peristiwa bersama dan semua partisipan menjadi bagian dari suatu pengalaman khusus (pertunjukan).

Pada beberapa situasi, suatu pertunjukan dapat dikenali dengan baik. Seperti pada ilustrasi mengenai pertunjukan wayang topeng sebelumnya. Dalam pertunjukan tersebut, seting dan struktur pertunjukan sangat mudah untuk dikenali. Terdapat sebuah panggung, pakaian khusus, berbagai alat musik, seorang dalang, dan para anak wayang yang menduduki posisi di atas panggung sebagai penampil dan para penonton berada di bawah panggung sebagai penikmat pertunjukan. Begitupun dalam sebuah ritual. Sebuah pertunjukan ritual sangat mudah untuk dikenali karena terdapat situasi khusus yang membedakannya dengan situasi pada umumnya. Terdapat suatu rangkaian acara tetap yang berlaku berdasarkan konvensi budaya lokal yang berlaku di masyarakat. Biasanya upacara ritual dipimpin oleh seorang dukun, atau seseorang yang dituakan di masyarakat, dan diikuti oleh masyarakat setempat.

Meskipun demikian, sebenarnya pertunjukan tidaklah hanya mengacu pada bentuk “tontonan” yang lazim disebut sebagai pertunjukan saja, seperti halnya pertunjukan ludruk atau ketoprak. Sebuah pertunjukan merupakan suatu aktivitas yang sering terjadi secara alami dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, satu keluarga muda yang baru menikah sering terlibat pertengkaran. Pada suatu

PERTUNJUKAN

Dalam suatu waktu, tetangga Anda sedang mengandung calon bayi berusia tujuh bulan.

Pada kesempatan tersebut, calon orang tua bayi mengadakan pertunjukan Wayang Topeng

Malang di lapangan desa tempat Anda tinggal. Pada malam harinya, Anda bersama-sama

dengan warga lain beramai-ramai datang untuk menyaksikan pertunjukan tersebut.

Sesampainya di lapangan terlihat riuh ramai para pengunjung dan penjual memadati sekitar

lapangan. Di tengah lapangan berdiri sebuah panggung lengkap dengan dekorasi, alat

musik, sorot lampu, dan beberapa tempat duduk. Di bagian depan panggung tampak berdiri

sejumlah orang yang menghadap ke panggung. Beberapa di antaranya ada yang berdiri,

duduk sambil menggelar tikar, makan-makanan sembari menunggu pertunjukan dimulai.

Tibalah saat-saat yang dinanti. Pertunjukan Wayang Topeng Malang dimulai. Diawali

dengan suluk dalang dan tabuhan gending giro mulai menyemarakkan suasana malam itu.

Narasi lantang sang dalang diikuti oleh sejumlah gerak laku dan tari para anak wayang.

Tidak jarang rasa kagum dan gelak tawa penonton mewarnai suasana sepanjang

pertunjukan berlangsung. Hingga akhirnya sang dalang menutup narasi cerita dan

pertunjukan Wayang Topeng selesai dipentaskan. Para penonton mulai bubar satu persatu

meninggalkan area pertunjukan menunju ke rumahnya masing-masing.

Page 141: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

135 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

malam sang suami menunggu istrinya yang hingga larut malam tidak kunjung pulang. Sekitar pukul sembilan sang istri tampak pulang menenteng sejumlah tas belanjaan. Sang suami menghampirinya.

Suami: “Wah, habis mborong satu mall, bu? Istri : Sambil tersenyum, “Tidak Pak, hanya membeli kebutuhan ibu

sehari-hari saja”. Suami : “Janganlah besar pasak daripada tiang, bu”. Gaji Bapak

tidaklah banyak. Hanya cukup untuk membeli lauk-pauk saja. Kita juga tidak memiliki tabungan yang banyak”.

Istri : Mengangguk dan berkata, “Iya Pak, ini juga hanya membeli keperluan Ibu saja”.

Percakapan tersebut merupakan peristiwa sehari-hari. Percakapan tersebut merupakan sebuah bentuk “pertunjukan” peribahasa. Keduanya terlibat dalam suatu komunikasi khusus yang melibatkan pertunjukan peribahasa sebagai bentuk komunikasi artistik di antara keduanya. Lantas, apakah semua peristiwa merupakan suatu pertunjukan? Ternyata tidak semua peristiwa yang terjadi merupakan suatu pertunjukan. Terdapat setidaknya tiga hal yang menjadikan suatu hal sebagai pertunjukan, 1) suatu aktivitas disebut sebagai pertunjukan apabila dilakukan dengan kesengajaan maksud untuk dilihat atau didengar oleh orang lain, 2) adanya unsur ketidakbiasaan (extraordinary) sebagai daya tarik tontonan, dan 3) adanya peristiwa yang mempertemukan maksud penyaji untuk mempertontonkan dengan harapan penonton untuk mengalami sesuatu yang tidak biasa (Simatupang, 2013: 10-11). Secara mendasar, dipahami bahwa pertunjukan merupakan “expressive activity that requires participation, heightens our enjoyment of an experience, and invites response” (Sims & Stephens, 2011: 131). Agar dapat berjalan dengan baik, sebuah pertunjukan memerlukan bekerjanya sebuah bingkai yang dikenali oleh penampil maupun penontonnya sebagai penanda bahwa hal yang terdapat di dalam bingkai tersebut merupakan suatu pertunjukan (Simatupang, 2013: 31). Artinya, dalam pertunjukan, kesadaran penampil dan pendengar atau penonton terhadap frame (bingkai) yang mengikat keberadaan mereka merupakan hal mendasar yang membentuk suatu pertunjukan.

Bauman menyatakan bahwa performance atau pertunjukan merupakan sebuah mode of speaking(2003: 32). Berbeda dengan ujaran sehari-hari, sebuah pertunjukan sastra lisan merupakan sebuah peristiwa komunikasi yang tidak biasa, yaitu sebuah peristiwa komunikasi artistik. Meneliti sastra lisan dengan pendekatan pertunjukan berarti melihat sastra lisan dalam konteks penggunaan yang sebenarnya. Analisis pertunjukan menyoroti dimensi sosial, kultural, dan estetis dari proses komunikasi sastra lisan yang terjadi (Bauman, 1992: 41).

Sebagai sebuah pendekatan, istilah pertunjukan memiliki dwi makna, yaitu sebagai suatu tindakan artistik (penceritaan atau pembacaan sastra lisan24) dan peristiwa artistik (konteks yang melatarbelakanginya, seperti situasi

24 Penampilan teks sastra lisan dilakukan dengan penceritaan atau pembacaan. Pada penceritaan dilakukan bentuk-bentuk sastra lisan berupa prosa lisan, seperti legenda, mite, dongeng, fabel, dll. Pada bentuk pembacaan dilakukan pada sastra lisan berbentuk puisi lisan, seperti pembacaan mantra pada suatu upacara-upacara.

Page 142: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

136 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

DIMENSI PERTUNJUKAN SASTRA LISAN

pertunjukan, adanya penampil, kehadiran teks, penonton, dan seting (Bauman, 2003: 33). Seperti dalam contoh mengenai percakapan suami-istri sebelumnya. Dalam melihat peristiwa tersebut, pendekatan pertunjukan melihat keseluruhan fenomena sebagai gejala yang kompleks. Dalam komunikasi artistik yang terjadi, terdapat suatu tindakan artistik yang dilakukan oleh sang suami kepada istrinya, yaitu penggunaan peribahasa. Akan tetapi, di sisi lain, terdapat peristiwa artistik yang membingkai keseluruhan komunikasi artistik yang terjadi, yaitu peristiwa konteks yang melatarbelakanginya. Melalui gagasannya dapat dipahami bahwa Bauman menolak pandangan lama yang cenderung memperlakukan sastra lisan sebagai suatu benda superorganik tanpa tubuh25. Ia melihat sastra lisan sebagai suatu gejala utuh yang perlu dilihat secara kontekstual dan etnografis dengan tujuan untuk menemukan faktor individual, sosial dan kultural yang memberikannya bentuk dan makna dalam kaitannya dengan kehidupan sosial masyarakat (1986: 2). Eksistensi sastra lisan sangat bergantung pada tindakan yang dilakukan oleh penampilnya. Dengan kata lain, sastra lisan ada ketika dia dipertunjukkan. Tanpa adanya suatu tindakan untuk menampilkan, sastra lisan merupakan benda mati yang tak berwujud. Keberadaanya tidak ada.

Eksistensi sastra lisan berada pada tindakan yang dilakukan oleh seseorang. Tindakan yang dilakukannya berakar pada kehidupan sosial dan budayanya sebagai anggota suatu kelompok sosial dan budaya. Oleh karenanya, keberadaan teks sastra lisan dan konteks fisik maupun sosial yang melingkupinya merupakan suatu dialektika yang saling mempengaruhi satu dengan yang lain dan tidak dapat dipisahkan dengan hanya memotong teks sastra lisan sebagai piranti pemahaman saja.

Para folkloris, dan juga peneliti sastra lisan, memberikan perhatian terhadap tindakan ekspresif yang ditampilkan, komunikasi artistik, seperti kapan, di mana, siapa partisipannya, bagaimana, dan mengapa mereka berkomunikasi. Untuk melihat sastra lisan sebagai suatu fenomena komunkasi artistik yang utuh, para peneliti memecah satu-satuan unit yang terdapat di dalam pertunjukan sastra lisan, yaitu konteks, teks, dan tekstur (Dundes, 1964: 251-265).

25 Dalam pandangan lama, peneliti sastra lisan cenderung hanya berpaku pada permasalahan teks semata. Seolah teks sastra lisan sebagai sebuah abstraksi yang tidak terikat dengan konteks yang mengiringi kehadirannya.

Page 143: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

137 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Konteks merujuk pada segala hal yang melingkupi teks dan pertunjukan.

Untuk meneliti suatu pertunjukan sastra lisan secara komprehensif, seorang peneliti haruslah menempatkan teks sastra lisan dalam konteks yang luas, yaitu sebagai sistem budaya (Sims & Stephens, 2011: 140). Seorang peneliti haruslah memahami konteks fisik maupun sosial yang melingkupi kemunculan teks sastra lisan yang sedang ditelitinya.

Teks merupakan bentuk sastra lisan yang diteliti. Misalnya, prosa lisan berupa legenda. Cerita mengenai suatu legenda tersebut merupakan hal yang dimaksud dengan teks. Teks sastra lisan merupakan hal yang banyak menjadi perhatianpara peneliti pada masa awal. Mereka mengandaikan bahwa teks sastra lisan inilah yang menjadi pusat kajian yang dilakukan tanpa memperhatikan berbagai elemen lain yang melatarbelakangi keberadaan teks sastra lisan yang ditelitinya.

Tekstur mencakup fitur kesastraan, linguistik, dan karakter fisik dari item sastra lisan, begitupun juga fitur-fitur penyajian atau gaya yang digunakan dalam penyajian teks sastra lisan yang menggugah reaksi penonton terhadapnya (Sims & Stephens, 2011: 138). Wujud nyata tekstur, seperti aliterasi, metafora, rima, matra, efoni dan lain-lain. Pada bidang sastra dikenal sebagai unsur-unsur intrinsik suatu teks. Tekstur tidak hanya berupa unsur kebahasaan. Sebagai sebuah peristiwa lisan, penyajian teks sastra lisan biasanya diiringi dengan penggunaan gestur, peniruan suara-suara binatang, tokoh, dan lain-lain, begitupun juga ekspresi wajah penampil sastra lisan. Kesemua hal tersebut merupakan aspek yang menjadi bagian dari tekstur suatu teks sastra lisan. PENUTUP

Sastra lisan merupakan sebuah gejala yang kompleks. Dalam wujud alaminya, sebuah sastra lisan baru akan eksis ketika dipertunjukkan. Jika tidak dipertunjukkan, sastra lisan tidak berwujud. Oleh karenanya, untuk memahami sebuah sastra lisan dengan baik diperlukan pemahaman terhadap segala kompleksitas yang terjadi dalam proses aktualisasi sastra lisan. Performance-centered-approach sebagai sebuah pengandaian yang mendasari peneliti dalam melihat persoalan sastra lisan memberikan kerangka pendekatan baru terhadap cara peneliti dalam memahami sastra lisan dalam konteks alaminya, yaitu dengan melibatkan pemahaman terhadap elemen teks, tekstur, dan konteks sastra lisan. Pendekatan ini juga sekaligus merubahan pandangan peneliti yang semula melihat sastra lisan sebagai sebuah produk menjadi sebuah proses komunikasi artistik yang sifatnya “cair”. DAFTAR RUJUKAN Bauman, R., 1986. Story, Performance, and Event: Contextual Studies of Oral

Literature. Cambridge: Cambridge University Press. Bauman, R., penyunt., 1992. Folklore, Cultural Performances, and Popular

Entertainments. Oxford: Oxford University Press. Bauman, R., 2003. Verbal Art as Performance. Dalam: P. Auslander, penyunt.

Performance: Critical Concepts in Literary and Cultural Studies. London: Routledge, pp. 32-60.

Ben-Amos, D., 1971. Toward Definition of Folklore. The Journal of American Folklore, January-Maret.pp. 3-15.

Page 144: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

138 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Ben-Amos, D. & Goldstein, K. S., 1975. Introduction. Dalam: D. Ben-Amos & K. S. Goldsetin, penyunt. Folklore: Performance and Communication. Paris: The Hague.

Dorson, R. M., 1972. Introduction: Concepts of Folklore and Folklife Studies. Dalam: Folklore and Folklife: An Introduction. Chicago: University of Chicago Press, pp. 1-50.

Dundes, A., 1964. Texture, Text, and Context. Southern Folklore Quarterly, Issue 20, pp. 251-265.

Georges, R. A., 1980. Toward a Resolution of the Text/Context Controversy. Western States Folklore Society, Januari, 39(1), pp. 34-40.

Simatupang, L., 2013. Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya. Yogyakarta: Jala Sutra.

Sims, M. C. & Stephens, M., 2011. Living Folklore: An Introduction to the Study of People and Their Traditions. Utah: Utah State University Press.

Page 145: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

139 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

BENTUK LEKSIKON LAWAS SAMAWA DALAM PROSESI PERKAWINAN TRADISIONAL ETNIK SAMAWA

Eka Haryanti

Universitas Teknologi Sumbawa, Universitas Negeri Malang [email protected]

ABSTRAK: Makalah ini bertujuan untuk (1) memberikan wawasan dalam bidang ilmu budaya, dan bahasa khususnya budaya Sumbawa, (2) upaya pelestarian budaya dalam tahapan perkawinan Samawa dan mengungkap budaya yang terkandung di dalamnya agar dapat menjadi pedoman tingkah laku masyarakat, khususnya masyarakat Sumbawa sehingga sesuai dengan ajaran kearifan dari leluhur dan sesuai dengan tingkah laku yang didasarkan pada adat-istiadat, Al-Quran serta Hadist. Makalah ini menunjukkan bahwa adanya bentuk leksikon dalam lawas Samawa yang mencerminkan dinamika komunikasi dan sosial masyarakatnya. Kata kunci:bentuk leksikon, lawas Samawa, prosesi perkawinan tradisional, etnik Samawa.

Kebudayaan daerah merupakan salah satu dari kebudayaan nasional yang menjadi khazanah dari bangsa Indonesia yang tidak ternilai harganya. Khazanah budaya Indonesia beragam bentuknya, antara lain folklor lisan, folklor sebagian lisan, dan folklor bukan lisan. Salah satu khazanah budaya Indonesia yang perlu di lestarikan adalah folklor lisan. Danandjaja (2002:21-22) menyatakan bahwa folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk folklor lisan yang masih hidup di masyarakat Indonesia adalah puisi rakyat. Puisi rakyat merupakan salah satu sastra lisan yang patut dibina dan dikembangkan agar tidak punah oleh perkembangan zaman. Puisi rakyat mempunyai peranan penting bagi masyarakat pendukungnya. Bagi masyarakat, puisi rakyat merupakan media untuk mengemban nilai-nilai dan norma-norma yang dianut masyarakat tersebut.

Puisi rakyat dimiliki oleh semua daerah di Indonesia dengan kekhasannya masing-masing. Etnik Samawa merupakan salah satu etnik yang ada di Indonesia yang memiliki budaya dan adat istiadat yang telah diwariskan oleh para leluhur secara turun temurun yang diyakini memiliki ideologi budaya tertentu. Di antara budaya dan adat istiadat itu ada yang belum diketahui, belum dipahami, belum diaplikasikan, dan belum didokumentasikan oleh masyarakatnya tetapi sudah ada yang punah, ada yang menampakkan gejala kepunahan, dan ada yang sudah mulai termajinalkan. Namun demikian, masih ada budaya dan adat istiadat yang masih tetap hidup, berkembang luas, dan merakyat, meskipun beberapa aspek ada yang sudah terkontaminasi, terdistorsi, dan termajinal. Hal ini terjadi seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat di era globalisasi.

Salah satu puisi rakyat yang masih tetap hidup sampai dengan saat ini di masyarakat Sumbawa adalah lawas. Lawas Samawa sangat dekat dengan kehidupan masyarakat serta merupakan cerminan masyarakatnya. Hal ini sesuai dengan watak etnik Sumbawa adalah kompromis dan penuh rasa toleran.

Page 146: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

140 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Lawas adalah jenis puisi tradisional khas Sumbawa yang berfungsi sebagai ungkapan perasaan yang umumnya tersusun dalam tiga baris per-bait, setiap baris terdiri dari delapan suku kata. Lawas merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat Sumbawa. Lawas sebagai media komunikasi dan hiburan selalu digunakan dalam upacara-upacara adat tau Samawa. Salah satunya dalam prosesi perkawinanetnik Sumbawa, terdapat lawas dibeberapa tahapan mulai dari bajajak sampai dengan tokalbasai. Namun, menurut pengamatan yang terjadi dilapangan, pada kenyataannya lawas di dalam tahapan-tahapan itu sudah mulai ada pengapuran, hal ini terlihat pada prosesi perkawinan di Sumbawa dewasa ini.

Seiring dengan adanya akulturasi budaya dan fakta yang ada dilapangan, penerapan lawas makin terkikis ditengah masyarakat Sumbawa. Hal ini terlihat pada masa kini bajajak tidak dilakukan lagi, sudah digantikan dengan istilah ramanjeng (pacaran). Secara tidak langsung lawas yang dipergunakan pada saat prosesi tersebut sudah tidak dipergunakan, begitu juga pada prosesi nyorong yang keberadaannya pada saat ini mulai dikaburkan, di beberapa tempat upacara nyorong sudah berubah nama dengan sebutan sorong serah. Sedangkan sorong serah merupakan kebudayaan dari etnik sasak (Lombok). Kelengkapan upacara juga ikut berganti, hal tersebut bisa terlihat dari ratib rabana ode yang selalu dominan pada setiap upacara nyorong, sudah jarang ditemui. Ratib sudah berganti dengan kecimolsebuah kesenian sasak. dalam ratib rebana ode terdapat syair-syair lawas yang memiliki makna yang sangat kental bagi masyarakat Sumbawa.Untuk itu perlu upaya pelestarian dalam lawas pada prosesi perkawinan di masyarakat Sumbawa.

Makalah ini bersumber dari sastra lisan berupa puisi rakyat tradisional

masyarakat Sumbawa yakni lawas dalam prosesi perkawinan, data berupa lawas yang ada dalam tahapan-tahapan prosesi perkawinan tradisional etnik Samawa yang diperoleh dari tuturan langsung dari penutur asli yang jasanya selalu di pergunakan pada prosesi perkawinan masyarakat Sumbawa.

PEMBAHASAN Bentuk Leksikon Lawas Samawa dalam Prosesi Perkawinan Tradisional

Keberagaman kosakata dalam syair-syair pada lawas prosesi perkawinan etnik Samawa menunjukkan kedinamisan kosakata daerah Sumbawa sebagai bahasa yang hidup dan berkembang. Keberagaman kosakata dalam syair-syair pada lawas perkawinan etnik Samawa memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat daerah Sumbawa dalam komunikasi sosial budaya yang lebih luas. Wahab (1991:39) menjelaskan bahwa budaya suatu bangsa tercermin dalam bahasanya, cerminan budaya tidak hanya terbatas pada tingkatan kosakata namun pada tingkatan yang lebih luas. Dalam keterbatasan tersebut, bahasa suatu masyarakat tidak dapat dibandingkan dengan bahasa dari masyarakat lainnya. Dalam penelitian ini, penyerapan kosakata bahasa Indonesia ke dalam syair-syair pada lawas Samawa digunakan untuk mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan, misalnya kosakata ‘doa’ yang bermakna ‘permohonan kepada Tuhan’, selanjutnya yang berkaitan dengan benda atau mahkluk hidup, misalnya ayam yang bermakna ‘unggas yang pada umumnya

Page 147: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

141 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

tidak dapat terbang, dapat dijinakkan dan dapat dipelihara. Kemudian hal yang berkaitan dengan benda mati, misalnya kosakata ‘lawang’ yang mengacu pada ‘pintu’, kata ‘lawang’ merupakan kata bahasa Indonesia serapan dari bahasa Jawa yang kemudian diserap ke dalam bahasa Sumbawa dan digunakan dalam lawas Sumbawa’. Kosakata yang berkaitan dengan sosial masyarakat, misalnya ‘desa’ yang bermakna ‘kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga dan dikepalai oleh seorang kepala desa’, dan selanjutnya berkaitan dengan bilangan, misalnya kata ‘dua’ yang mengacu pada bilangan yang dilambangkan dengan angka 2 (Arab). Kata-kata serapan seperti di uraikan diatas belum ditemukan padanannya dalam bahasa Sumbawa, jika kemungkinan ada kata padanannya, kata-kata tersebut belum dapat mengungkapkan makna yang sama seperti yang dimaksudkan oleh tau balawas dalam lawas pada prosesi perkawinan. Hal ini menandakan bahwa bahasa Sumbawa belum mampu secara keseluruhan menjadi bahasa yang dapat mengungkapkan perihal yang berkaitan dengan keyakinan, benda atau makhluk hidup, benda mati, masalah sosial masyarakat, dan berkaitan dengan bilangan. Oleh karena itu, untuk melengkapi lawas tersebut, bahasa Sumbawa menyerap kosakata dari bahasa Indonesia tanpa mengalami perubahan bentuk tulisan dan pelafalannya.

Kemudian terdapat pula penyerapan yang mengalami perubahan dari segi penulisan dan pelafalannya. Penyerapan yang dimaksud adalah pada kosakata, sebagai contoh kata kemang mengalami perubahan bentuk tulisan dan pelafalan, yaitu pada huruf [b] kata ‘kembang’ dalam bahasa Indonesia menjadi kemang dalam bahasa Sumbawa dengan menghilangkan huruf [b], tanpa mengubah makna.

Dari kosakata serapan dari bahasa Indonesia, terdapat juga kosakata serapan dari bahasa Jawa yang digunakan dalam lawas prosesi perkawinan. Kosakata tersebut menggambarkan bahwa daerah Sumbawa, tepatnya Sumbawa bagian barat dahulunya merupakan bekas kekuasaan dari kerajaan majapahit. Banyak pengaruh dari bahasa dan kebudayaan Jawa yang melekat di daerah Sumbawa, salah satunya adalah kata pitu yang mengacu pada ‘bilangan tujuh’. Jika dicermati dari kata-kata yang diserap pada lawas prosesi perkawinan, berupa kata serapan bahasa Indonesia, dan kata serapan dari bahasa jawa. Dapat di gambarkan bahwa masyarakat daerah Sumbawa adalah masyarakat yang multikulturalisme.

Koentjaraningrat (2009:180) mengatakan bahwa sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi tingkah laku dan tindakan manusia. Sejalan dengan pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa syair dalam lawas prosesi perkawinan tradisional etnik Sumbawa terdapat kosakata bahasa Sumbawa yang khas. Kosakata tersebut digunakan untuk menunjukkan kekhasan budaya daerah Sumbawa dalam mengungkapkan nilai-nilai kebaikan yang perlu ditaati oleh masyarakat daerah Sumbawa. Ragam kosakata dalam syair lawas pada prosesi perkawinan etnik Sumbawa juga berkaitan dengan persepsi masyarakat daerah Sumbawa dalam berinteraksi dengan lingkungan ekologi dan lingkungan sosial budayanya. Kosakata tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam sembilan kategori yang meliputi kosakata tentang manusia, binatang, tumbuhan, objek, terestrial, substandi, energi, kosmos, dan ke-ada-an. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Wahab (1991:76) bahwa keadaan sistem ekologi suatu

Page 148: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

142 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

masyarakat akan tercermin dalam penggunaan hierarki yang diciptakan oleh masyarakat.

Kategori manusia dalam lawas pada prosesi perkawinan etnik Sumbawa dapat diklasifikasikan atas empat, yaitu (a) yang menyebutkan sapaan kekerabatan, (b) yang menyebutkan kata ganti orang, (c) yang menyebutkan pekerjaan atau mata pencarian, dan (d) yang menyebutkan tradisi dan kepercayaan. Penggunaan penyebutan sapaan kekerabatan yang ditemukan dalam kosakata dalam syair lawas prosesi perkawinan etnik Sumbawa merupakan contoh dari budaya masyarakat daerah Sumbawa dalam menyebutkan lawan bicaranya dalam hubungan kekerabatan. Sapaan tersebut seperti sempu ‘sepupu’, nyonde ‘anak’, sanak ‘keluarga’, penggunaan sapaan kekerabatan yang dipaparkan dalam lawas Samawa pada prosesi perkawinan dapat dibedakan menjadi tiga, yakni (1) sapaan kekerabatan yang menggambarkan sikap menghargai saudara sepupu atau anak dari paman dan bibi, (2) sapaan kekerabatan yang menggambarkan sikap menghargai dan rasa sayang orang tua kepada anaknya, dan (3) sapaan kekerabatan yang menggambarkan sikap menghormati sesama manusia.

Penggunaan kata ganti dalam bahasa Sumbawa yang digunakan oleh masyarakat Sumbawa dalam komunikasi dapat ditemukan dalam lawas pada prosesi perkawinan etnik Sumbawa. Kata ganti yang dimaksud adalah kosakata ku pada lawas prosesi perkawinan tersebut bermakna ‘aku’, kosakata sia bermakna ‘anda atau kamu’, dan kosakata tu bermakna ‘kita atau kami’. Bagi masyarakat Sumbawa, kosakata ku mengacu pada kata ganti orang pertama tunggal, sedangkan kosakata sia mengacu pada kata ganti orang kedua tunggal, dan kosakata tu mengacu pada kata ganti orang pertama jamak. Syair lawas Samawa juga menyebutkan pekerjaan atau matapencaharian masyarakat daerah Sumbawa. Matapencaharian yang paling banyak di singgung dalam syair lawas Samawa adalah petani, peternak, dan nelayan. Temuan ini sejalan dengan kondisi dan letak geografis daerah Sumbawa. Kedekatan manusia dengan alam. Kedekatan masyarakat daerah Sumbawa dengan alam menunjukkan adanya hubungan masyarakat dengan lingkungan yang digambarkan dalam kondisi kehidupan masyarakat daerah Sumbawa yang mengenal berbagai jenis tanaman, binatang, dan hamparan. Hubungan antara manusia dengan alam tidak hanya merupakan gabungan saling ketergantungan, melainkan hubungan yang saling memengaruhi (Wahab, 1991:78). Dengan kata lain, masyarakat daerah Sumbawa tidak hanya memanfaatkan alam, melainkan mengolah lingkungannya dengan berbagai kreativitas yang diciptakan dari lingkungan untuk dimanfaatkan masyarakat, contohnya menciptakan objek seperti sarana melaut dan berhias diri.

Dalam syair lawas prosesi perkawinan etnik Sumbawa terdapat pula kosakata yang berkategorikan binatang, substansi, energi, dan kosmos. Kategori tersebut merupakan lingkungan alam yang memiliki pengaruh dalam pembentukan sistem pengetahuan masyarakat daerah Sumbawa akan lingkungannya, agar terbentuknya interaksi masyarakat dengan lingkungannya. Sehingga muncullah kepercayaan terhadap upacara adat masyarakat daerah Sumbawa, misalnya pada prosesi perkawinan masyarakat Sumbawa.

Page 149: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

143 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

SIMPULAN Berdasarkan dari temuandan pembahasan, dapat disimpulkan sebagai

berikut: Bentuk leksikon lawas Samawa dalam prosesi perkawinan tradisional masyarakat Samawa, dapat disimpulkan bahwa kosakata yang digunakan dalam lawas Samawa menunjukkan bahwa etnik Sumbawa merupakan masyarakat yang beradaptasi dengan lingkungan alam dan lingkungan sosial budayanya. Bentuk leksikon lawas Samawa dalam prosesi perkawinan tradisional etnik Samawa terwujud dalam beragam kosakata yang mengandung beragam muatan budaya. Dikarenakan masyarakat daerah Sumbawa adalah masyarakat yang multikulturalisme yang banyak dipengaruhi oleh bahasa dan budaya yang datang dari luar pulau Sumbawa. Kosakata yang digunakan dalam lawas Samawa menandakan bahwa bahasa Sumbawa belum mampu secara keseluruhan menjadi bahasa yang dapat mengungkapkan perihal yang berkaitan dengan lingkungan sosial, alam dan budayanya. DAFTAR RUJUKAN Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Koentjaraningrat, 2009. Pengantar Ilmu Antropologi edisi revisi. Jakarta: PT

Rineka Cipta. Wahab, Abdul. 1991. Isu Linguistik Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: Airlangga University Press.

Page 150: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

144 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

PENDIDIKAN KARAKTER ANAK AUTIS MELALUI DONGENG

Endang Sumarti IKIP Budi Utomo Malang

Abstrak: Pendidikan karakter merupakan bentuk kegiatan manusia yang di dalamnya terdapat suatu tindakan yang mendidik diperuntukkan bagi generasi selanjutnya. Pendidikan karakter dibutuhkan anak autis sebagai bekal dalam hidupnya sehingga siap menghadapi segala tantangan di dunia yang penuh persaingan dengan penuh percaya diri. Salah satu cara penanaman nilai pendidikan karakter anak autis dilakukan melalui dongeng. Dongeng merupakan media efektif untuk menanamkan nilai pendidikan karakter kepada anak autis. Kata Kunci: pendidikan karakter, anak autis, dongeng

Pendidikan karakter merupakan bentuk kegiatan manusia yang di dalamnya terdapat suatu tindakan yang mendidik diperuntukkan bagi generasi selanjutnya. Pendidikan karakter, pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti dapat dikatakan sebagai proses untuk penyempurnaan diri manusia, merupakan usaha manusia untuk menjadikan dirinya sebagai manusia yang berakhlak mulia, manusia yang berkeutamaan (Koesoema, 2007). Pendidikan karakter pada prinsipnya adalah upaya untuk menumbuhkan kepekaan dan tanggung jawab sosial, membangun kecerdasan emosional dan mewujudkan siswa yang memiliki etika tinggi (Barnawi, 2012).

Amanat Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Pasal 3 secara tegas menyatakan bahwa“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,berilmu, cakap, kreatif, mandiri, danmenjadi warga negara yangdemokratis serta bertanggungjawab”.

Pendidikan karakter sebagai sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya (Kesuma, 2011). Pendidikan karakter tidak hanya untuk anak normal saja. Anak berkebutuhan khususpun perlu pendidikan karakter. Anak autis tergolong anak berkebutuhan khusus juga membutuhkan pendidikan karakter. Pendidikan karakter dibutuhkan anak autis sebagai bekal dalam hidupnya sehingga siap menghadapi segala tantangan di dunia yang penuh persaingan dengan penuh percaya diri.

Autis merupakan suatu gangguan yang kompleks yang mana anak tersebut umumnya mengalami tiga bidang kesulitan yang utama yaitu komunikasi, imajinasi, dan sosialisasi (Baihaqi, 2006). Ditinjau dari segi perilaku, anak autis cenderung melukai dirinya sendiri, tidak percaya diri, bersikap agresif, menanggapi secara kurang atau berlebihan terhadap suatu stimuli eksternal, dan menggerak-gerakkan anggota tubuhnya secara tidak wajar

Page 151: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

145 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

(Maulana, 2007). Anak autis memiliki sejumlah gangguan kualitatif dalam berkomunikasi salah satunya adalah kemampuan untuk memulai atau melanjutkan pembicaraan dengan orang lain meskipun dalam percakapan yang sederhana (Peeters: 2009).

Jumlah anak Indonesia yang menyandang autis terus bertambah meskipun penyebabnya masih misterius. Sampai saat kalangan medis di Indonesia belum punya standar penanganan bakunya. Meningkatnya jumlah anak autis merupakan persoalan yang menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya tanggung jawab medis atau psikolog saja. Pendidikan turut memainkan peran untuk mengarahkan mereka menjadi manusia-manusia yang mandiri dan bermanfaat sesuai dengan kemampuannya agar tidak menjadi beban sebaliknya merupakan anugerah yang diberikan Allah SWT.

Penanaman pendidikan karakter anak autis bisa dilakukan melalui dongeng. Dongeng merupakan media efektif untuk menanamkan nilai pendidikan karakter kepada anak autis. Dengan dongeng guru, orang tua dan masyarakat dapat melakukan transformasi nilai melalui perilaku dan karakter tokoh dalam cerita.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menulis tentang Pendidikan Karakter Anak Autis melalui Dongeng.

A. Pembahasan 1. Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter merupakan berbagai usaha yang dilakukan oleh para personil sekolah, bahkan yang dilakukan bersama-sama dengan orang tua dan anggota masyarakat, untuk membantu anak-anak dan remaja menjadi atau memiliki sifat peduli, berpendirian, dan bertanggung jawab. Pendidikan karakter adalah sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu (Majid, 2011). Secara sederhana, pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai segala usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa.

Lickona menyatakan bahwa pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan dan melakukan nilai-nilai etika ini. Menurut Lickona, karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knonwing), sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan. http://belajarpsikologi.com/pengertian-pendidikan-karakter/\

Pendidikan karakter sebagai sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya (Kesuma, 2011). Pendidikan karakter pada prinsipnya adalah upaya untuk menumbuhkan kepekaan dan tanggung jawab sosial, membangun kecerdasan emosional dan mewujudkan siswa yang memiliki etika tinggi (Barnawi, 2012). Pendidikan karakter memerlukan metode khusus yang tepat agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Di antara metode pembelajaran

Page 152: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

146 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

yang sesuai adalah metode keteladanan, metode pembiasaan, dan metode pujian dan hukuman.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik buruk, memelihara apa yang baik, mewujudkan , dan menebar kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari.

2. Pengertian anak autis

Autis berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang autis seakan hidup di dunianya sendiri. Istilah autisme, diperkenalkan sejak 1943 oleh Kanner untuk menghormati penemunya, autisme disebut juga sindroma Kanner, yakni sindroma dengan gejala tidak mampu bersosialisasi, mengalami kesulitan menggunakan bahasa, berperilaku berulang-ulang, serta bereaksi tidak biasa terhadap rangsangan disekitarnya (Handojo, 2004; Yatim, 2003). Dalam Diagnostic and Statistical manual Fourth Edition (DSM IV), autisme ditempatkan di bawah kategori “gangguan perkembangan pervasif” antara “retardasi mental” dan “gangguan perkembangan spesifik”. Autisme adalah gangguan perkembangan yang mengganggu perkembangan interaksi sosial, perilaku, dan bahasa penyandangan. Autisme bukan gangguan mental dan tidak disebabkan oleh trauma. Autisme merupakan ganguan neurobiologi kompleks. (Peeters, 2004; Puspita, 2004).

Autisme merupakan gangguan perkembangan khusunya terjadi pada masa anak-anak yang membuat seseorang tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Autisme merupakan salah satu kelompok dari gangguan pada anak yang ditandai munculnya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, komunikasi, ketertarikan pada interaksi sosial, dan perilaku. Dalam bahasa Yunani kata autis, “auto” berarti sendiri ditujukan kepada seseorang ketika dia menunjukkan gejala “hidup dalam dunianya sendiri atau mempunyai dunia sendiri”. Autis memang merupakan kelainan perilaku yang penderitanya hanya tertarik pada aktivitas mentalnya sendiri (Prasetyono, 2008; Veskarisyanti, 2008).

Gejalanya autisme sudah tampak sebelum anak mencapai usia tiga tahun. Autis merupakan gangguan perkembangan yang berat pada anak. Perkembangan mereka menjadi terganggu terutama dalam komunikasi, interaksi, dan perilaku. Autisme adalah suatu gangguan neurobilogis yang terjadi pada anak di bawah tiga tahun. Gangguan yang tampak adalah gangguan dalam bidang perkembangan, perkembangan interaksi dua arah, perkembangan timbal balik, dan perkembangan perilaku. Gangguan perilaku pada anak autisme bercirikan kurang dalam bersosialisasi resiprokal, kekacauan dalam berkomunikasi verbal dan nonverbal, serta perilaku repetitif. (Maulana, 2007).

Anak-anak dengan gangguan autistik biasanya kurang dapat merasakan kontak sosial. Mereka cenderung menyendiri dan menghindari kontak dengan orang. Orang dianggap sebagai objek (benda) bukan sebagai subjek yang dapat berinteraksi dan berkomunikasi. Autistik merupakan gangguan perkembangan yang mempengaruhi beberapa aspek bagaimana anak melihat dunia dan

Page 153: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

147 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

bagaimana belajar melalui pengalamannya. Autis adalah salah satu dari lima tipe gangguan perkembangan pervasif atau pervasif developmen disorder (PDD), yang ditandai tampilnya abnormalitas pada domain interaksi sodial dan komunikasi (Yuwono, 2009; Priyatna, 2010).

Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa autisme adalah sindroma dengan gejala penyimpangan komunikasi, sosialisasi, dan kognisi, yang dialami seseorang dalam perkembangannya. Anak autis adalah individu dengan suatu kondisi ketidakmampuan untuk menampilkan keselarasan antara emosi atau perilaku dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan yang dapat diterima secara umum sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. 3. Karakteristik anak autis

Karakteristik anak autis yang lain, yakni (1) tidak peduli dengan lingkungan sosialnya, (2) tidak bisa bereaksi normal dalam pergaulan sosialnya, (3) perkembangan bicara dan bahasa tidak normal, dan (4) reaksi atau pengamatan terhadap lingkungan terbatas atau berulang-ulang. Selain itu anak autis (1) cenderung menghindari kontak mata dengan orang lain, termasuk dengan sang ibu, (2) senang melihat mainan berputar dan digantung di atas tempat tidur, (3) terlambat bicara dan bahasanya tidak dimengerti orang lain, (4) tidak mau bila dipanggil namanya, (5) cenderung tidak mempunyai rasa empati, dan (6) merasa tidak nyaman bila memakai pakaian dengan bahan kasar. Anak autis memiliki ciri khusus antara lain adalah suara yang bergaung, rasa takut untuk disentuh, berjalan di atas ujung kaki, memutar-mutar tubuh seperti gasing, melompat-lompat, dan meniru kata-kata. Beberapa anak autistik tidak mampu berbicara, tidak mampu mengekspresikan diri, baik melalui bahasa verbal maupun nonverbal, terlihat sangat asyik dengan dirinya sendiri, minatnya terbatas, dan sama sekali tidak tertarik dengan lingkungannya. Kekebalan tubuh tidak berkembang sebagaimana seharusnya, berinteraksi jika membutuhkan sesuatu, berkomunikasi dengan tertawa dan menangis, sangat hiperaktif, tidak mau digandeng di tempat umum, menolak diarahkan, bahkan menolak disentuh, dan dipegang (Yatim, 2003; Puspita, 2004) .

Menurut Handojo, (2004); Peeters, (2004); Peeters, (2009); Prasetyono (2008) kriteria gangguan autistik dalam DSM-IV dipaparkan berikut ini. A. Harus ada sedikitnya enam gejala dari (1), (2), dan (3) dengan minimal

dua dari gejala (1) dan masing-masing satu dari gejala (2) dan (3). (1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Mnimal

harus ada dua gelaja dari gejala-gejala di bawah ini. a. Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai: kontak

mata sangat kurang, eksprsi muka kurang hidup, gerak-gerik yang kurang tertuju.

b. Tak bisa bermain dengan teman sebaya. c. Tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain. d. Kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.

(2) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi seperti ditujukkan oleh minimal satu dari gejala-gejala di bawah ini:

Page 154: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

148 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

a. Bicara terlambat atau bahkan sama sekali tidak berkembang (dan tidak ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain tanpa bicara).

b. Bila bisa bicara, tidak dipakai untuk berkomunikasi. c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang. d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang bisa

meniru. (3) Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dari perilaku, minat,

dan kegiatan. Sedikitnya harus ada satu dari gejala di bawah ini. a. Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas

dan berlebih-lebihan. b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak

ada gunanya. c. Ada gerakan-gerakan yang aneh yang khas dan diulang-ulang. d. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda.

B. Sebelum umur tiga tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang:

a. Interaksi sosial. b. Berbicara dan berbahasa. c. Cara bermain yang kurang variatif.

C. Bukan disebabkan oleh sindrom Rett atau gangguan disintegratif masa kanak-kanak

Selain itu karakteristik anak autis antara lain tidak tampak tanda-tanda perkembangan bahasa, kadang-kadang mengeluarkan suara tanpa arti. Gangguan interaksi sosial yaitu anak mengalami kegagalan untuk bertatap mata, ketidakmampuan untuk secara spontan mencari teman untuk berbagi kesenangan, dan ketidakmampuan anak untuk berempati. Aktivitas, perilaku, dan ketertarikan anak terlihat sangat terbatas. Sangat sensitif terhadap sentuhan, tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut. Menyenangi benda-benda yang berputar, tidak suka bermain seperti anak-anak pada umumnya, dan dengan anak sebayanya. Sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa, menangis tanpa alasan, temper tantrum, kadangkadang suka menyerang dan merusak, berperilaku yang menyakiti dirinya sendiri, serta tidak mempunyai empati yang tidak mengerti perasaan orang lain. (Maulana, 2007; Veskarisyanti, 2008; Prasetyono, 2008).

Berbagai karakteristik autisme yang telah dijabarkan di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik autisme dapat dikelompokkan berdasarkan (1) isu berbicara, meliputi tidak mampu berbicara, tidak mampu bersuara, membeo; (2) isu interaksi, meliputi kurang berinteraksi dalam kelompok, kurang kontak mata, tampak tidak bekesadaran terhadap kehadiran orang lain; (3) isu perilaku, meliputi tidak tertarik sentuhan/berdekatan, asyik dengan gerakan tangan; berputar-putar, diulang-ulang; menyakiti diri sendiri, berperilaku rutin; (4) isu sensori, meliputi tidak suka suara-suara tertentu, tekstur dan atau rasa tertentu, tidak suka disentuh, sangat pasif, menutup telinga terhadap gangguan suara yang keras, (5) kemampuan khusus meliputi menggambar, musik, matematika, (6)

Page 155: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

149 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

penanda biologis meliputi bermasalah pada makanan, beberapa anak menderita gangguan tidur. 4. Pendidikan Karakter Anak Autis melalui Dongeng

Pendidikan karakter kini diberikan di semua jenjang pendidikan termasuk anak berkebutuhan khusus. Hal ini dilakukan karena pemerintah melihat masyarakat Indonesia dari segi moral saat ini sangat memprihatinkan. Anak autis termasuk anak berkebutuhan khusus sehingga perlu mendapatkan pendidikan karakter. Pendidikan karakter perlu diberikan kepada anak autis dengan harapan mampu mewujudkan anak autis yang berkarakter sesuai dengan nilai-nilai budaya dan agama seperti halnya anak-anak normal.

Nilai agama diberikan kepada anak autis sebagai salah satu cara agar mengenal Tuhan. Anak autis akan mengetahui apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang Tuhan melalui pendidikan karakter penanaman nilai agama. Pendidikan karakter berkaitan dengan nilai budaya kepada anak autis lebih diarahkan untuk memberikan contoh pada nilai-nilai tertentu seperti kesetiakawanan, rasa hormat, disiplin, jujur, adil, peduli, dalam kehidupan sehari. Selain nilai agama dan budaya anak autis juga perlu pendidikan karakter berkaitan dengan nilai moral, misalnya sikap berani, tanggung jawab, tolong menolong, saling bahu membahu sesama teman.

Mengingat anak autis mengalami gangguan dalam komunikasi dan interaksi sosial maka penanaman nilai pendidikan karakter anak autis disesuaikan dengan kondisi mereka. Salah satu cara penanaman nilai pendidikan karakter anak autis dilakukan melalui dongeng. Dongeng merupakan media efektif untuk menanamkan nilai pendidikan karakter kepada anak autis.Dongeng merupakan bentuk sastra lama yang bercerita tentang suatu kejadian yang luar biasa yang penuh khayalan (fiksi) yang dianggap oleh masyarakat suatu hal yang tidak benar-benar terjadi. Dongeng merupakan bentuk cerita tradisional atau cerita yang disampaikan secara turun-temurun dari nenek moyang. Dongeng berfungsi untuk menyampaikan ajaran moral (mendidik), dan juga menghibur. https://id.wikipedia.org/wiki/Dongeng.

Mendongeng merupakan salah satu ketrampilan yang harus dikuasai oleh orang tua, guru dan juga terapis. Agar anak autis tertarik kepada dongeng yang dibacakan tentunya cara mendongeng harus menarik. Kalau mendongengnya dengan cara yang biasa, kaku, tidak berekspresi tentunya akan membosankan dan anak tidak tertarik dengan dongeng yang disampaikan. Kalau anak autis sudah tidak tertarik dengan dongeng yang dibacakan pesan moral yang terkandung dalam dongeng tidak akan sampai pada anak. Oleh karena itu agar pesan yang disampaikan dalam dongeng bisa dipahami anak autis, dongeng harus disampaikan dengan cara yang menarik, luwes, dan penuh ekspresi.

Semua anak senang mendengarkan dongeng atau dibacakan cerita, termasuk anak autisme. Saat mendengarkan dongeng atau dibacakan cerita, anak autis tampak seperti tidak peduli karena pada dasarnya mereka lebih tertarik kepada hal-hal yang bersifat visual. Oleh karena itu di dalam mendongeng atau bercerita kepada anak autis diperlupan teknik khusus agar mereka menaruh perhatian pada dongeng yang disampaikan. Melalui dongeng dilengkapi dengan media gambar sangat tepat untuk pendidikan karakter anak autis. Orang tua,

Page 156: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

150 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

guru, atau terapis bisa memodifikasi dongeng yang ingin disampaikan ke dalam beberapa bentuk fisik yang menarik, misalnya gambar berukuran besar. Agar lebih menarik bisa menggunakan gambar yang berwarna.

Selain menggunakan gambar akan lebih baik lagi kalau dalam mendongeng menggunakan media boneka, boneka jari atau media visual lainnya agar anak autis dapat melihat dengan jelas. Saat mendongeng menggunakan boneka sekaligus bisa melatih sensori sentuhan anak autis sehingga mereka bisa merasakan perbedaan benda yang bertekstur halus, kasar, lunak dank eras. Semua media fisik dan visual tersebut akan semakin efektif dan menarik bila dipresentasikan dengan penuh ekspresif oleh orang tua, guru, atau terapis.

Berdadarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter anak autis berupa nilai-nilai kepribadian dan moral bisa dilakukan melalui dongeng tentang kisah-kisah yang berisi keteladanan, sehingga mereka memiliki landasan untuk mengubah pribadi, bangsa, dan negara kearah yang lebih baik.

5. Simpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter sangat penting untuk membentuk kepribadian anak autis. Nilai-nilai pendidikan karakter yang perlu diberikan kepada anak autis meliputi nilai agama, nilai budaya, dan nilai moral. Dongeng merupakan salah satu media yang cocok untuk menanamkan nilai pendidikan karakter anak autis.

Daftar Rujukan

Baihaqi, MIF. 2006. Memahami dan Membantu Anak ADHD. Bandung: Refika Aditama.

Barnawi dan M. Arifin. 2012. Strategi dan Kebijakan Pembelajaran Pendidikan

Karakter. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Handojo. 2004. Autisma: Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi Untuk

Mengajar Anak Normal, Autis dan Perilaku Lain. Jakarta: Buana Ilmu Populer.

Kesuma, Dharma, dkk. 2011. Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktik di

Sekolah. Bandung: Rosdakarya Koesoema, A. 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman

Global. Jakarta: PT Grasindo Majid, A dan Andayani, D. 2011. Pendidikan Karakter Perspektif Islam.

Bandung: Remaja Rosda Karya. Maulana, M. 2007. Anak Autis: Mendidik Anak Autis dan Gangguan Mental

Lain Menuju Anak Cerdas dan Sehat. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media

Page 157: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

151 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Peeters, T. 2004. Autisme: Hubungan Pengetahuan Teoritis dan Intervensi

Pendidikan Bagi Penyandang Autis. Jakarta: Dian Rakyat. Peeters, T. 2009. Panduan Autisme: Hubungan Antara Pengetahuan Teoritis dan

Intervensi Pendidikan Bagi Penyandang Autis. Jakarta: Dian Rakyat. Prasetyono, D. S. 2008. Serba Serbi Anak Autisn (Autisme dan Gangguan

Psikologis Lainnya: mengenal, menangani, dan Mengatasinya dengan Tepat dan Baik). Jogjakarta: DIVA Press.

Priyatna, A. 2010. Amazing Autism: Memahami, Mengasuh, dan mendidik Anak

Autis. Jakarta: Gramedia. Puspita, D. 2004. Untaian Duka Tabuaran Mutiara (Hikmah Perjuangan Ibunda

Untuk Anak Autistik). Bandung: Qanita. Veskarisyanti, G. A. 2008. 12 Terapi Autis Paling Efektif dan Hemat: Untuk

Autisme, Hiperaktif, dan Retardasi Mental. Yogyakarta: Pustaka Anggrek.

Yatim, F. 2003. Autisme: Suatu Gangguan Jiwa pada Anak-anak. Jakarta:

Pustaka Populer Obor. Yuwono, J. 2009. Memahami Anak Autistik: Kajian Teori dan Empirik.

Bandung: Alfabeta. http://belajarpsikologi.com/pengertian-pendidikan-karakter/\ https://id.wikipedia.org/wiki/Dongeng

Page 158: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

152 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

TINDAKAN SIMBOLIS DALAM TRADISI LAKON WAYANG KULIT KARNA TANDING OLEH KI ENTHUS SUSMONO

Endang WaryantidanAnantaSusilaAdmaja FKIP Universitas Nusantara PGRI Kediri

[email protected] Abstrak

Penelitian ini dilatarbelakangi perkembangan ilmu pngetahuan tentang sastra yang kian tahun selalu meningkat. Sastra tidak hanya berisi tentang unsur unsur yang terkandung di dalam sastra itu sendiri, tetapi sastra juga dapat terkandung di dalam kehidupan sehari hari, mulai dari adat istiadat, agama, sosial, psikologi.

Permasalahan penelitian ini adalah Bagaimanakah tindakan simbolis dalam tradisi yang meliputi tingkat nilai budaya, nilai norma-norma, tingkat aturan khusus, dan panca-sila?

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan jenis penelitiannya deskriptif. Tahapan penelitian dibagi menjadi 3 yaitu tahap persiapan, pelaksanaan dan tahap pelaporan.Sumber data diperoleh dari rekaman video data berupa file kaset VCD yang berjumlah 6 keping dengan durasi waktu 60 menit per keping VCD. Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik dokumentasi dan observasi. Sedangkan teknik analisis data dilakukan dengan tehnik analisis dokumentasi, dan trianggulasi data. Pada penelitian ini dilakukan untuk mengecek kebsahan data, dapat dilakukan dengan dua cara yaitu trianggulasi sumber dan trianggulasi tehnik. Penelitian yang berjudul “Tindakan Simbolisdalam Tradisi Lakon Wayang Karna Tanding oleh Ki Enthus Susmono” mendeskripsikan tindakan simbolis dalam tradisi lakon Karna Tanding.

Di dalam naskah sastra drama ada beberapa strukutur baku yang menjadi ciri khas sebuah drama, diantaranya ada dialog, monolog, prolog, dan epilog. Dalam teknik dialog dalang juga terdapat istilah suluk. Suluk adalah tembang yang dilagukan oleh seorang dalang ketika menceritakan sebuah lakon wayang.

Deskripsi tindakan simbolis dalam tradisi meliputi tingkat nilai budaya, nilai norma-norma, tingkat aturan khusus, pancasila. Tingkatan nilai budaya adalah berupa ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat, dan biasanya berakar pada emosi dari alam jiwa manusia, misalnya gotong royong, atau sifat kerja sama berdasarkan solidaritas yang besar.

Tingkatan adat yang kedua, adalah sistem norma-norma yang berupa nilai-nilai budaya yang sudah terkait dengan peranan masing-masing anggota masyarakat dalam lingkungannya. Dalam tingkatan adat yang ketiga, aturan-aturan khusus yang mengatur kegiatan-kegiatan yang terbatas ruang lingkupnya dalam masyarakat. Simbol-simbol yang dipakai berupa ungkapan-ungkapan sapa gawe nganggo, sapa nandur ngunduh, tega larane ora tega patine, wong temen ketemu, wong salah seleh, ngono ya ngono nanging aja ngono.

Nilai Panca-Sila merupakan lima sikap hidup orang Jawa yang terdiri dari rila atau rela, narima atau menerima nasib yang diterimanya, temen atau setia pada janji, sabar atau lapang dada, dan budiluhur atau memiliki budi yang baik.

Page 159: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

153 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Penelitian ini sangat berguna untuk melatih, memahami, menghayati dan menerapkan teori-teori yang sudah dipelajari. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai renungan tentang berbagai persoalan kearah kearifan dan kebijaksanaan dalam menghadapi kehidupan. Serta dapat digunakan sebagai contoh atau teladan untuk bersikap dalam kehidupan sehari-hari. Kata Kunci : Tindakan simbolis dalam tradisi, lakon Karno Tanding

Karya sastra juga merupakan produk imajinasi pengarang, yaitu sebuah hasil proses pemikiran dan pengamatan intens pengarang terhadap kehidupan. Imajinasi itu tidak muncul tanpa adanya fakta yang dipikirkan. Puncak dari pemikiran memunculkan konsep yang kemudian dituangkan dalam bentuk karya sastra.

Pengarang merupakan anggota masyarakat dan merupakan bagian integral kolektivitas di tempat ia berdomisili (Ratna, 2010 : 321). Pengarang lewat karyanya mencoba mengungkapkan peristiwa kehidupan manusia yakni berbagai peristiwa dalam kehidupan ini. Karena karya sastra berisi catatan, rekaman, rekaan, dan ramalan kehidupan manusia, maka pada gilirannya, karya sastra sedikit banyak, sering kali mengandung fakta-fakta sosial.

Dalam mewujudkan imajinasinya seorang sastrawan dapat mewujudkan ke dalam genre sastra. Genre sastra adalah tipe atau kategori pengelompokan karya sastra yang biasanya berdasarkan atas stile, bentuk atau isi (Nurgiyantoro, 2005 : 13). Jadi genre merupakan istilah untuk menandai jenis sastra atau bentuk sastra.

Sedangkan genre sastra dapat berupa prosa, puisi, dan drama. Prosa sebagai cerita rekaan bukan berarti prosa adalah lamunan kosong. Prosa adalah perpaduan atau kerja sama antara pikiran dan perasaan. Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi (fiction). Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan (cerkan) atau cerita hayalan (Nurgiyantoro, 2012 : 2 ). Prosa selalu bersumber dari lingkungan kehidupan yang dialami, disaksikan, didengar, dibaca oleh pengarang (Rokhmansyah, 2014 : 30 ). Sedangkan drama menurut Rokhmansyah (2014 : 41) berarti perbuatan, tindakan atau beraksi. Drama berarti perbuatan, tindakan dan action.

Drama adalah karya yang memiliki daya rangsang cipta, rasa, dan karsa yang amat tinggi. Sesungguhnya, dalam drama juga terkandung aspek negatif, di antaranya drama yang memuat kekerasan, dan adegan seksual, kadang memicu penonton untuk meniru.

Drama di Indonesia mengalami beberapa tahap perkembangan, mulai dari jenis drama tradisional, drama klasik, drama transisi, dan drama modern.

Drama tradisional adalah drama yang berkembang pada zaman dahulu dan masih terpengaruh kuat dengan adat. Drama tradisional sering ditampilkan dengan lakon tanpa naskah. Keberhasilan pertunjukan sangat ditentukan oleh kepiawaian dan kreativitas para pemain. Semua pemain dituntut mampu memerankan lakonnya dengan baik. Contoh drama tradisional, yaitu Ketoprak dari Jawa Tengah, Ludruk dari Jawa Timur, dan Lenong dari Betawi.

Ciri khas tontonan drama adalah adanya cerita dan dialog. Oleh karena itu, banyak anggapan yang menyatakan semua bentuk tontonan yang mengandung cerita disebut drama, termasuk tontonan wayang kulit yang dimainkan oleh

Page 160: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

154 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

dalang. Wayang banyak bercerita tentang ajaran agama maupun epos (cerita kepahlawanan) yang mengedepankan sifat kesatria, keprajuritan, dan ajaran moralitas yang tinggi.

Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 1986:2).

Dalam bukunya James Danandjaja, folklor dapat dogolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya, yaitu folklor lisan (verbal folklor), folklor sebagian lisan (partly verbal folklor), dan folklor bukan lisan (non verbal folklor).

Wayang juga merupakan golongan dari folklor sebagian lisan. Wayang adalah sebuah wiracarita yang berpakem pada dua karya besar, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Teks asli kedua cerita itu ditulis dalam bahasa Sanskerta, dan setelah masuk ke Jawa kemudian disadur dan disunting ke dalam bahasa Jawa Kuna, sekaligus ditambah dan disesuaikan dengan cerita dan legenda yang telah merakyat pada waktu itu, maka jadilah cerita Mahabharata dan Ramayana versi Jawa (Nurgiyantoro, 2005 : 208).

Nilai cerita wayang dapat ditemukan dalam berbagai aspek pewayangan, baik yang menyangkut unsur-unsur cerita wayang maupun yang melibatkan aspek pementasannya sebagaimana terlihat dalam pentas wayang kulit. Unsur cerita wayang yang dimaksud antara lain dan terutama dapat dilihat dari aspek ajaran moral yang dikandung, alur cerita, dan karakter tokoh. Aspek pementasan wayang kulit itu misalnya yang menyangkut kelir, gedebok pisang, kotak penyimpan wayang, lampu blencong, anak wayang, dan lain-lain semuanya mempunyai simbolisasi dan filosofi terhadap proses kehidupan manusia (Nurgiyantoro, 2005 : 209).

Simbolisme dalam budaya manusia adalah bentuk yang menandai sesuatu yang lain di luar perwujudan bentuk simbolik itu sendiri (Alex 2009: 156). Budaya manusia penuh diwarnai dengan simbolisme, yaitu paham yang mengikuti pola-pola yang mendasarkan diri atas simbol-simbol (Herusatoto, 2003 : 26).

Lakon wayang yang dijadikan objek untuk penelitian kali ini yaitu Karna Tanding yang merupakan bagian dari serial lakon Barathayuda.

Karna tanding adalah peperangan terbesar dalam perang Barathayuda. Peperangan antara adipati Karna melawan Arjuna. Arjuna dan adipati Karna sebenarnya adalah saudara sekandung berlainan ayah. Dilahirkan dari ibu bernama Kunti Nalibronto, Arjuna merupakan anak dari Pandu Dewanata. Sedangkan adipati Karna lahir karena kesalahan Kunti dimasa mudanya yang telah menyalahgunakan ajian pameling untuk memanggil dewa Surya. Oleh dewa Surya, Kunti diberi seorang anak yang dititipkan ke rahimnya. Merasa malu karena hamil tanpa adanya suami, akhirnya anak yang lahir lewat telinga Kunti tersebut di larung ke sungai Gangga. Kelak anak yang bernama Basukarna tersebut ditemukan oleh seorang kusir kerajaan bernama Adiroto.

Karna tanding adalah peperangan dua saudara kandung berlainan ayah yang mempunyai kepandaian dan kesaktian yang seimbang. Sebelum peperangan barathayuda, Kunti telah mempertemukan keduanya dan memohon kepada

Page 161: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

155 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

adipati Karna agar mau bergabung dengan pandhawa untuk melawan kurawa. Namun permintaan tersebut ditolak oleh adipati Karna. Sebagai satriya yang telah dibesarkan dan diangkat derajatnya oleh Duryudana, tidak sepantasnya Karna berkhianat. Adipati Karna merasa telah banyak berhutang budi. Dan kewajiban dia sebagai satriya untuk membalasnya.

Akhirnya perang Barathayuda pecah. Adipati Karna muncul dengan kereta perangnya dengan prabu Salya sebagai kusirnya. Sementara di pihak lain, Arjuna muncul dengan kereta perang yang dikusiri prabu Kresna.

Wayang tidak hanya berfungsi sebagai seni pertunjukan yang biasanya dipentaskan oleh dalang dan berhubungan dengan lingkungannya, atau sekedar hiburan semata-mata. Lebih dari itu wayang merupakan seni pertunjukan yang sangat menarik karena di dalamnya terkandung makna yang tersirat, berisi pesan-pesan moral yang penting sebagai pembentuk karakter yang baik. Makna yang dimaksud antara lain adalah pesan moral kepada setiap manusia untuk memiliki sikap dan kepribadian yang baik, mengutamakan kebersamaan dan keselarasan dalam berhubungan dengan orang lain. Tidak malas atau sombong, rukun dengan sesama, dan senang membantu orang lain.

Paparan di atas menjelaskan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam lakon wayang sangat bermacam-macam. Lakon wayang merupakan simbolisme budaya Jawa, maka peneliti tertarik untuk membahas tindakan simbolis dalam tradisi lakonKarnaTandingyang meliputi tingkat nilai budaya, nilai norma-norma, tingkat aturan khusus, dan panca-sila.

Dari paparan diatas menarik untuk diteliti dari sudut pandang tindakan simbolis dalam tradisilakonKarnaTanding. I. Metode Penelitian A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

1. Pendekatan Penelitian Dalam penelitin ini, pendekatan yang

digunakanpendekatankualitatifmengacu pada teori moral dalam sastra. Pendekatan dalam penelitian mempunyai peranan penting, kerena pendekatan merupakan landasan untuk melakukan penelitian. Menurut Siswantoro (2008 : 47) pendekatan merupakan alat untuk menangkap realita atau fenomena sebelum dilakukan kegiatan analisis atas sebuah karya. Sedangkan menurut Arikunto (2006 : 9) pendekatan adalah cara untuk memandang terhadap suatu hal. Pendekatan (ancangan) sastra pada dasarnya adalah teori-teori untuk memahami jenis sastra tertentu sesuai dengan sifatnya.

2. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah metode

deskriptif dengan kajian tindakan simbolis dalam tradisi. Menurut Arikunto (2006 : 8), pengkajian deskriptif bertujuan untuk mengungkapkan berbagai informasi kualitatif dengan pendeskripsian yang teliti dan penuh nuansa untuk mengungkapkan secara cermat sifat-sifat suatu hal (individu atau kelompok), keadaan fenomena, dan tidak terbatas pada pengumpulan data, melainkan meliputi analisis dan interpretasi.

Page 162: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

156 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Pengkajian deskriptif menyarankan pada pengkajian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta atau fenomena yang secara empiris hidup pada penuturnya (sastrawan). Artinya, yang dicatat dan dianalisis adalah unsur-unsur dalam karya sastra seperti apa adanya.

B. Tahapan Penelitian Tahapan penelitian juga bisa dikatakan sebagai prosedur penelitian.

Setiap penelitian memuat pokok-pokok pikiran yang berhubungan dengan kegiatan tertentu secara sistematis dari awal sampai akhir (Siswantoro, 2010:83). Dalam penelitian terdapat empat tahapan, yaitu : (1) tahapan persiapan, (2) tahap perencanaan, (3) tahap pelaksanaan, (4) tahap penyelasian.

Pertama persiapan meliputi pemilihan judul, konsultasi judul, dan studi pustaka. Kedua, tahap perencanaan dengan kegiatan pembuatan proposal dan seminar proposal. Ketiga, tahap pelaksanaan meliputi kegiatan pengumpulan data, penganalisisan data, dan penarikan kesimpulan. Keempat, penyelesaian yakni pengkonsultasian, pembahasan laporan pengujuan skripsi dan terakhir adalah penggandaan laporan.

C. Data dan Sumber Data Penelitian Data

Data adalah sumber informasi yang akan diseleksi sebagai bahan analisis. Oleh karena itu, kualitas dan ketepatan pengambilan data tergantung pada ketajaman penyeleksi yang dipandu oleh penguasaan konsep atau teori (Siswantoro, 2008 : 70)

Data dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data kualitatif berupa kata-kata atau gambar, bukan berupa angka-angka. Adapun data dalam penelitian ini adalah data yang berwujud kata, frase, ungkapan, dan kalimat yang terdapat dalam pagelaran Wayang Kulit Lakon Karna Tanding oleh Ki Enthus Susmono.

Sumber data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data berupa rekaman video pementasan Wayang Kulit Lakon Karna Tanding yang dibawakan oleh Ki Enthus Susmono dari Tegal Jawa Tengah. Rekaman video data ini berupa file kaset VCD yang berjumlah 6 keping VCD dengan durasi waktu 60 menit per keping VCD.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu sumber data primer merupakan sumber utama yaitu data yang diseleksi atau diperoleh langsung dari sumbernya tanpa perantara (Siswantoro, 2008 : 70).

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah kutipan datarekaman video Wayang Kulit Lakon Karna Tanding yang dibawakan oleh Ki Enthus Susmono.

Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh secara tidak langsung atau lewat perantara tetapi masih bersandar kepada kategori atau parameter rujukan (Siswantoro, 2008 : 71).

Page 163: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

157 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Dalam penelitian ini sumber data sekundernya adalah teori kajian penelitian tindakan simbolis dalam tradisi.

Hasil penyimakan terhadap sumber data primer dan sumber data sekunder tersebut kemudian ditampung dan dicatat untuk digunakan dalam penyusunan laporan penelitian sesuai dengan maksud dan tujuan yang ingin dicapai.

D. Metode dan Teknik Penelitian 1. Metode

Metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian itu didasarkan pada ciri-ciri keilmuan yaitu rasional, empiris, dan sistematis (Moleong, 2014 : 3). Metode penelitian dibagi menjadi dua, yaitu penelitian kuantitatif dan

penelitian kualitatif. Penelitian kuantitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan

pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif atau statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2013 : 14). Sedangkan Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena penelitian ini tidak mengadakan perhitungan angka-angka tetapi menggunakan kata-kata tertulis dalam bentuk kalimat (uraian). Hal ini sesuai dengan pendapat Sugiyono (2012 : 3) bahwa metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat post positifisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah.

Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang memerlukan metode, yakni cara kerja yang sistematis dan prosedural, baik proses pengumpulan data maupun penganalisisan data (Arikunto, 2012:203).

Memperhatikan karakter data dan tujuan penelitian, metode penelitian ini berupa deskripsi kualitatif. Meskipun bertujuan mendeskripsikan fatka-fakta yang tampak pada data, penelitain ini tidak hanya berupa mengidentifikasi, yakni penyelarasan dengan data, tetapi merujukkan pada tindakan analisis interpretatif, yakni penelitian melakukan tafsir terhadap temuan data dari sudut fungsi atau peranya (Siswantoro, 2010:57). 2. Teknik Penelitian

Teknik pengumpulan data merupakan bagian penting dari proses penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Prosedur pengumpulan data penelitian ini yaitu dengan mengumpulkan data yang diperoleh dari berbagai sumber yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Adapun prosedur pengumpulan data penelitian ini adalah sebagai berikut: Adapun langkah-langkah pengumpulan data meliputi :

Page 164: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

158 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

1. Menyimak rekaman video (dalam hal ini adalah rekaman video wayang kulit Lakon Karna Tanding yang dibawakan oleh Ki Enthus Susmono).

2. Menganalisis unsur-unsur struktural yang ada dalam Lakon Wayang Kulit Karna Tanding, yaitu tema, penokohan dan perwatakan, teknik dialog (suluk), tipe drama, serta adegan (pakeliran).

3. Menganalisis unsur tindakan simbolis dalam tradisi yang ada dalam lakon wayang Karna Tanding yaitu tingkat nilai budaya, nilai norma-norma, tingkat aturan khusus, dan panca-Sila.

4. Mengevaluasi hasil analisis dan klarifikasi dari lakon wayang kulit yang telah diteliti.

Teknik Analisis data Setelah data terkumpul dari hasil pengumpulan data, maka perlu segera

dilakukan pengolahan data atau analisis data. Analisis dilakukan dengan pemaparan bentuk deskriptif terhadap masing-masing data secara fungsional dan relasional (Siswantoro 2008 : 81)

Analisis data adalah proses mencari atau menyusun secara sistematis data yang diperoleh dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesam menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat simpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.

Teknik analisis data yang digunakan dalam menganalisis data pada Lakon Wayang Karna Tanding yang ada adalah teknik analisis deskriptif. Teknik analisis deskriptif digunakan untuk mengolah data yang telah dikelompokkan berdasarkan tujuan penelitian dan mendeskripsikan teks-teks yang berhubungan dengan tindakan simbolis dalam tradisi. II. Hasil dan Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian “ Tindakan Simbolis dalam Tradisi Lakon Wayang Karna Tanding Oleh Ki Enthus Susmono” dapat diperoleh hasil yaitu Aspek tindakan simbolis dalam tradisi karena di dalam lakon wayang tersebut banyak mengandung nilai-nilai budaya jawa yang harus dibahas, diantaranya tingkatan nilai budaya meliputi: saiyeg saeko praya dan jer basuki mawa bea. Nilai norma-norma meliputi: sikap antara yang muda kepada yang lebih tua dan sikap antara yang tua kepada yang muda. Tingkatan aturan khusus meliputi: sapa gawe nganggo sapa nandur ngunduh, tega larane ora tega patine, wong temen ketemu wong salah seleh, ngono ya ngono nanging aja ngono. Panca-sila meliputi: rela, narima, temen atau jujur, sabar, dan luhur.

III. Daftar Pustaka Herusatoto, Budiono. 2003. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yokyakarta:

Hanindita Graha Widia. Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak, Pengantar Pemahaman Dunia Anak.

Yokyakarta: Gadjah Mada University Press. Adi, Ida Rohmani. 2011. Fiksi Populer Teori dan Metode Kajian. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar. Rokhmansyah, Alfian. 2014. Studi dan Pengkajian Sastra: Perkenalan Awal

Terhadap Ilmu Sastra. Yokyakarta: Graha Ilmu.

Page 165: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

159 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Semi, Atar. 2012. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa. Dananjaya, James. 1986. Foklor Indonesia.Jakarta: Pustaka Grafitipers. Moleong, lecy J. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya. Karmini, Ni Nyoman. 2011. Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama.

Denpasar: Pustaka Larasan. Endraswara, Suwardi. 2014. Metode Pembelajaran Drama. Yogyakarta: CAPS

(Center of Academic Publishing Service). Wellek, Rene & Warren, Austin. 2014. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama. Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press. Putra, Bintang Angkasa. 2012. Drama Teori dan Pementasan.Yogyakarta: Citra

Aji Pramana. Rif’an, Ali. 2010. Buku Pintar Wayang. Yogyakarta: Divapress. Kresna, Ardian.2012. Mengenal Wayang. Yogyakarta : Divapress. Mulyono, Sri. 1990. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press. Arikunto, Suharsimi.2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta: Rineka Cipta. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta: Bumi Aksara. Sumber Internet http://Suyantoska.blogspot.com/2013/09/pakeliran. Diunduh 25 Juli 2016 http://wonoderyo.blogspot.co.id/2014/01/unsur-intrinsik-drama-materi-

bahasa.html. Diunduh 27 Juli 2016 http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/ensiklo-

det.php?id=39&lang=id#sthash.Lsrkt91I.dpuf. Diunduh 25 Juli 2016 http://www.plengdut.com/suluk-wayang/691. Diunduh 25 Juli 2016 http://caritawayang.blogspot.co.id/2015/08/sastra-pedalangan-dialog-bahasa-

dalang-wayang.html. Diunduh 26 Juli 2016

Page 166: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

160 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

PEMANFAATAN SASTRA LISAN DALAM PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS PARADIGMA PEDAGOGI REFLEKTIF (PPR)

Oleh: Galih Kusumo

Mahasiswa Pascasarjana (S3) Universitas Negeri Malang

Email: [email protected]

ABSTRAK Perkembangan informasi dan teknologi saat ini telah berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan yang pesat telah mengubah perilaku peserta didik ke arah yang negatif.kurang kuatnya karakter yang ada dalam diri seseorang menjadi salah satu penyebab semakin merebaknya permasalahan-permasalahan tersebut. Dalam hal ini, pendidikan karakter menjadi salah satu cara yang efektif untuk mengatasi permasalahan tersebut.Pada kenyataannya, pendidikan karakter tidak diajarkan secara mandiri sebagai sebuah mata pelajaran. Melihat hal tersebut, Pengajar tentunya perlu memilih "bahan" dan "cara" yang tepat untuk dapat dikreasikan dalam mendidik, memupuk dan mengembangkan, serta membentuk karakter peserta didik. Bahan yang dapat digunakan dalam pendidikan karakter adalah sastra lisan dalam bentuk cerita rakyat. Untuk memaksimalkan bahan yang ada, Pengajar dapat menggunkan pendekatan Paradigma Pedagogi Reflektif (PPR) untuk mengembangkan peserta didik secara utuh. Kata Kunci: Pendidikan karakter, sastra lisan, Paradigma Pedagogi Reflektif (PPR)

Perkembangan informasi dan teknologi saat ini telah berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan yang pesat memberikan dampak baik positif maupun negatif dalam masyarakat, khususnya peserta didik.Dampak positif yang muncul adalah "membludaknya" informasi dan berita. melalui internet Peserta didik semakin mudah untuk mendapatkan berbagai macam informasi atau berita. bahkan muncul ungkapan "kalau mau tahu banyak, tanyakan mbah Google".Di satu sisi, apabila tidak disaring dengan baik, kemudahan tersebut terkadang akan menimbulkan berbagai macam pengaruh negatif dalam diri peserta didik. Hal ini dikarenakan tidak semua informasi ataupun berita tersebut benar adanya (Hoax) dan sesuai dengan usianya. Pada akhirnya, tanpa kita sadari hal terebut mengubah perilaku peserta didik ke arah yang negatif. Diantaranya, makin meningkatnya pergaulan bebas, narkoba, pencurian, bahkan angka kekerasan di kalangan anak dan remaja.

kurang kuatnya karakter yang ada dalam diri seseorang menjadi salah satu penyebab semakin merebaknya permasalahan-permasalahan tersebut. Karakter menjadi sebuah nilai yang nampak dari tingkah laku seseorang baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. dengan demikian, lemahnya karakter seseorang cenderung mendorong orang tersebut menjadi pribadi yang individualis dan kurang peduli pada lingkungan di sekitarnya. Permasalahannya, Karakter seseorang tidak terbentuk secara instan. Karakter seseorang terbentuk secara bertahap dan sistematis. Seorang anak yang bermasalah dalam karakter

Page 167: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

161 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

apabila tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa (Zubaedi, 2011: 45). Dengan demikian, pembentukan karakter bukan hanya menjadi tugas dari sekolah melainkan juga keluarga dan masyarakat. Secara harmoni, ketiga pihak tersebut perlu menunjukkan dan mengajarkan nilai-nilai dalam diri peserta didik sekaligus mengoreksi berbagai tingkah laku dari peserta didik yang tidak sesuai dengan harapan atau nilai-nilai tersebut.

kesadaran akan pentingnya pembentukan karakter tentunya perlu untuk selalu dikobarkan. Penanaman karakter yang kuat dalam diri seseorang akan mewujudkan terciptanya bangsa yang berkarakter dan berbudaya. Mengingat tidak mudahnya penanaman karakter dalam diri seseorang, pendidikan menjadi salah satu cara yang efektif untuk membentuk karakter seseorang. Pendidikan adalah upaya sadar kita untuk menyiapkan anak didik menjadi manusia yang lebih baik agar mampu menghadapi tantangan hidup yang cenderung berubah-ubah. Pendidikan tentunya bukan hanya sekedar menyiapkan peserta didik menjadi berubah menjadi lebih baik dari segi intelektual tetapi juga dari segi moralitas (Suwija, 2012:67).Oleh karena itu, pendidikan diharapkan dapat mengakomodasi dan berfokus pada nilai-nilai luhur dari suatu bangsa. Di Indonesia, Pemikiran tersebut semakin diperjelas oleh Sistem Pendidikan nasional yang dicanangkan pemerintah dalam UU No. 23 tahun 2003 pasal 3. UU tersebut menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Hal ini menggambarkan setiap program pendidikan disusun secara terpadu dan sistematis agar dapat mendukung usaha untuk membangun karakter yang baik dalam masyarakat.

Sebagai pembentuk karakter, pendidikan karakter tidak diajarkan secara mandiri sebagai sebuah mata pelajaran. Melihat hal tersebut, Pengajar tentunya perlu memilih "bahan" dan "cara" yang dapat dikreasikan untuk mendidik, memupuk dan mengembangkan, serta membentuk karakter peserta didik. Dalam hal ini, pengajar dapat mulai menggali lagi kearifan lokal yang ada, dimana kearifan lokal dapat berupa bahasa dan budaya di daerah masing-masing (Purbosasri, 2016). Dalam kearifan lokal pengajar dapat menemukan berbagai nilai luhur yang dapat dijakdikan suatu teladan bagi generasi masa kini untuk mengembangkan karakternya. Penggalian kearifan lokal akan membuat seseorang tidak "tercerabut" dari akar budayanya meskipun harus berhadapan dengan kemajuan teknologi dan perubahan budaya yang demikian pesat. Hal ini akan membuat peserta didik tidak menerima secara mentah-mentah informasi atau pengetahuan yang diperolehnya, tetapi dapat menyaring nilai-nilai yang negatif dan mengambil nilai-nilai yang positif.

Salah satu bentuk, kearifan lokal yang dapat digunakan pengajar di dalam kelas adalah kearifan lokal yang terdapat dalam dari sastra lisan. Sastra lisan merupakan salah satu bentuk kesastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan (Astika, 2014:2). Sastra lisan memberikan pengaruh dalam pembentukan budaya dan mempertahankannya. Melalui sastra lisan, nilai-nilai baru yang hidup dan berkembang di masyarakat dapat disampaikan secara lebih komunikatif dan partisipatoris.Oleh karena itu, sastra lisan sebenarnya diciptakan oleh

Page 168: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

162 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

masyarakat itu sendiri agar nilai-nilai yang ada dapat dipahami dengan lebih mudah oleh seseorang dan pada akhirnya dapat ditanamkan dalam dirinya menjadi suatu karakter.

Karya sastra lisan cukup beragam salah satunya adalah cerita rakyat. Cerita rakyat disampaikan turun temurun. Hampir semua orang dalam suatu daerah/wilayah mengenal cerita rakyat. Cerita rakyat menjadi milik bersama dan bukan milik pribadi, sehingga masyarakat tidak tahu siapa pengarang dari suatu cerita rakyat. Selain itu, Cerita rakyat biasanya disajikan oleh pencerita yang sudah hafal dengan alur ceritanya. Dalam masyarakat Jawa, cerita Rakyat tumbuh dengan subur. Cerita rakyat menjadi suatu manifestasi kehidupan jiwa masyarakat Jawa yang memiliki beragam nilai (Rifa'i, 2106). Cerita rakyat yang ada merupakan suatu karya imajinatif dari pengarang yang menggambarkan kehidupan masyarakat Jawa. Sehingga dapat dikatakan bahwa cerita rakyat mengandung berbagai nilai-nilai moral, etika, sosial, budaya, dan religi yang berasal dari penemuan suatu konsep yang baru atau menggali kembali konsep yang lama. Hal ini menyebabkan cerita rakyat perlu digali oleh para peserta didik agar nilai-nilai luhur didalamnya dapat dipahami dan diresapi dengan baik.

Dalam pembelajaran, penyampaian cerita rakyat tentunya tidak hanya sekedar cerita yang didengar oleh siswa tanpa ada usaha untuk menemukan, menanamkan, dan menerapkan nilai-nilai di dalamnya. Hal ini membuat pengajar perlu menemukan satu bentuk pembelajaran yang mampu membuat peserta didik tidak hanya memahami namun dapat menerapkan nilai-nilai karya sastra dalam kehidupan nyata. Salah satu bentuk pembelajaran yang dapat digunakan pengajar adalah pembelajaran dengan menggunakan Paradigma Pedagogi Reflektif (PPR). PPR merupakan salah satu pedagogi untuk membantu kebutuhan pendidikan yang utuh dan menyeluruh di dalam kelas. Melalui PPR, peserta didik akan berkembang bukan hanya dalam segi pengetahuan (paham nilai), tetapi juga menjadi pribadi yang peka dan menjadi manusia bagi orang lain (menerapkan nilai) (Suparno, 2015:6).

PEMBAHASAN 1. Cerita Rakyat sebagai Bahan Pembelajaran dalam Pendidikan Karakter

Pembentukan karakter bukanlah suatu hal mudah karena tidak dapat dilakukan secara instan. Pengajar perlu menyadari bahwa karakter seseorang bukanlah suatu warisan melainkan dibangun secara berkesinambungan hari demi hari melalui pikiran dan perbuatan, pikiran demi pikiran, tindakan demi tindakan (Samani, 2012: 41). Lebih lanjut lagi, Koesoema (2010: 80) mengungkapkan bahwa karakter dapat terbentuk dari pengaruh lingkungan baik itu keluarga ataupun masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pendidikan karakter pemberian contoh atau teladan bagi peserta didik secara terus menerus akan dapat membangun karakter positif dari para peserta didik. Permasalahannya, lingkungan (keluarga, sekolah, masyarakat) seringkali tidak dapat memberikan teladan yang positif bagi para peserta didik. Hal ini tentunya menantang pengajar agar mampu mengahadirkan sebuah bahan pembelajaran yang kaya akan suri tauladan yang baik. Salah satu bahan yang dapat digunakan adalah cerita rakyat.

Page 169: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

163 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Cerita rakyat bukan sesuatu yang asing bagi masyarakat di seluruh dunia. Setiap negara memiliki cerita rakyat yang berbeda-beda sesuai dengan kebudayaan dari negaranya. Sebagai negara kepulauan, Indonesia terdiri berbagai macam suku dan budaya. Keanekaragaman suku dan budaya membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki beragam cerita rakyat. Pada umumnya, cerita rakyat akan berisi hal-hal yang berhubungan dengan kepahlawanan, kebijaksanaan, moral, dan bekerja dengan dan melalui kombinasi berbagai kualitas suara manusia (Astika, 2015:7). Cerita rakyat secara sengaja dibiarkan berkembang dan diwariskan dalam masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar menjadi salah satu alat untuk mengajarkan nilai-nilai baik kepada anak-anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Gusneti (2015:184) yang mengungkapkan bahwa selain untuk hiburan cerita rakyat dapat dijadikan sebagai suri tauladan. Kekayaan nilai dari cerita rakyat tentunya menjadikannya salah satu bahan pembelajaran yang dapat menjadi sarana komunikasi untuk mengembangkan karakter yang positif dalam diri seseorang.

Berbeda dengan cerita yang lain, cerita rakyat disusun agar mudah dipahami oleh semua orang. oleh karena itu, cerita rakyat akan memiliki alur cerita yang jelas dan langsung yakni: bagian awal meliputi penokohan dan latar, bagian isi dikembangkan masalah dan berlanjut ke klimaks, dan bagian akhir berisi pemecahan masalah (Cullinan dalam Rifa'i, 2016). Dalam cerita rakyat, penggambaran tokoh seringkali dilakukan secara "hitam dan putih". Sifat ataupun karakter yang sudah ada dalam seorang tokoh cenderung menetap dan tidak berubah sepanjang jalannya cerita. Penggambaran sifat yang "hitam dan putih" seringkali mudah untuk ditebak dengan cara yang bisa diramalkan. Tema dalam cerita juga dimunculkan secara jelas meskipun tidak selalu eksplisit. Tema cenderung menggambarkan nilai-nilai dari dan falsafah hidup suatu masyarakat dimana cerita tesebut berkembang. Bahasa yang digunakan juga cenderung langsung, memunculkan dialek dari suatu daerah, bahasa cenderung "luwes". Hal ini seringkali membuat cerita rakyat memiliki suatu kesan yang menarik bagi seseorang. dalam hal waktu dan tempat, cerita rakyat tidak memiliki batasan. Cerita dapat terjadi kapan dan dimana saja. Penyampaian ciri-ciri fisik cenderung disampaikan seperlunya sesuai dengan peristiwa dalam cerita.

Seperti yang diungkapkan sebelumnya, cerita rakyat memiliki berbagai macam nilai di dalamnya. Nilai-nilai yang dapat kita temukan dalam cerita rakyat tidak akan selalu sama. Keberagaman nilai-nilai didasarkan pada keberagaman budaya tempat cerita rakyat tersebut berkembang. Pada hakikatnya, nilai-nilai tersebut menjadi sarana untuk membawa masyarakat menuju kehidupan yang mulia dan bermartabat.Ada beberapa cerita rakyat dari masyarakat Jawa yang dapat digali nilai-nilainya. sebagai contoh cerita "Legenda Candi Prambanan. Rangkuman cerita sebagai berikut. Rara Jonggrang adalah seorang putri dari Kerajaan Prambanan. kemudian, Kerajaan Prambanan berhasil dikalahkan oleh Kerajaan Pengging. Bandung Bondowoso penguasa Kerajaan Pengging tertarik dengan kecantikan Roro Jonggrang dan bermaksud untuk melamarnya. Roro Jonggrang tidak bisa menolak lamaran tersebut. Oleh karena itu, Roro Jonggrang mengajukan satu syarat, yaitu membuatkan candi sebanyak seribu buah dalam semalam apabila

Page 170: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

164 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

ingin lamaran Bandung Bondowoso diterima. Janji Rara Jonggrang tersebut ternyata diingkari. Ketika Bandung Bondowoso tinggal menyelesaikan satu candi, Rara Jonggrang menggunakan tipu muslihat untuk menggagalkannya. Akhirnya, karena marah Bandung Bondowoso mengutuk Rara Jonggarng menjadi batu dan Roro Jonggrang pun menjadi candi yang keseribu. Nilai yang dapat dipetik dalam cerita tersebut adalah memaksakan kehendak dan juga kecurangan akan membuahkan kerugian di kemudian hari. Dalam peribahasa jawa, ada istilah "idu didilat maneh". Peribahasa ini sering ditujukan kepada orang yang suka menipu, mengingkari janji, atau melanggar kata-katanya sendiri. Seharusnya, apa yang telah diucapkannya dipatuhi dan dijalankan dengan sungguh-sungguh. Tetapi, beberapa waktu kemudian janji tersebut sudah ditarik kembali. Perilaku ini tentunya sangat berbahaya apabila dimiliki oleh seorang pemimpin. Pemimpin tentunya perlu memiliki ketetapan terhadap janji yang sudah diucapkan. Janji yang cenderung berubah-ubah membuat dirinya tidak memiliki wibawa dan tidak akan dipercaya oleh orang lain. Cerita rakyat yang lain adalah Damar Wulan dan Menak Jinggo Diceritakan awalnya Damar Wulan mengabdi sebagai tukang rumput kepada Patih Loh Gender dari Majapahit. Karena kepandaiannya, Damar Wulan dapat menjadi abdi andalan Patih Loh Gender. Damar Wulan kemudian mendapat tugas dari raja putri Majapahit, yaitu Ratu Kencana Wungu, untuk menyamar dengan tujuan membantu mengalahkan Menak Jinggo penguasa Blambangan yang bermaksud memberontak kepada Majapahit. Damar Wulan yang tampan dapat menarik perhatian selir-selir Menak Jinggo, yaitu Waeta dan Puyengan. Dengan bantuan mereka, Damar Wulan berhasil memperoleh senjata sakti gada Wesi Kuning milik Menak Jinggo. Menak Jinggo kemudian berhasil dikalahkan dan Damar Wulan menjadi pahlawan. namun, pada saat perjalanan pulang, Damarwulan diikuti oleh dua anak patih Logender, yaitu Layang seta dan Layang Kumitir. Mereka kemudian mencuri kepala Menak Jinggo dan mengaku pada Ratu Ayu Kencana Wungu bahwa merekalah yang telah membunuh Menak Jinggo. Tidak bereselang lama, Damar Wulan datang dan mengaku bahwa dia yang sebenarnya membunuh Menak Jinggo. Untuk membuktikannya mereka diminta bertarung. Pada akhirnya, Layang Seta dan Layang Kumitir kalah dan mengaku bahwa mereka telah berbohong. Pada akhirnya, mereka berdua dihukum. Damar Wulan pun menikah dengan Ratu Ayu Kencana Wungu. Nilai dalam cerita tersebut adalah kebenaran pada akhirnya akan terbuka meski berusaha untuk ditutup-tutupi. Begitu pula dengan kejahatan akan tersingkap pula meski berusaha ditutupi serapat mungkin. Kebenaran akan mendapatkan kebaikan di kemudian hari. Orang dalam hidup perlu berbuat jujur dan tidak curang dalam segala situasi. Ketidak jujuran dan kecurangan para akhirnya akan menyengsarakan diri sendiri dan terkadang orang lain. Seperti pepatah dalam bahasa Jawa, "Ojo Cidra Mundak Ciloko" atau jangan berbuat curang daripada celaka. 2. Paradigma Pedagogi Reflektif dalam Pembelajaran Sastra Lisan Dalam pembelajaran, kekayaan nilai dalam sastra lisan seharusnya tidak berhenti pada tingkat pengetahuan. Artinya nilai-nilai tersebut tidak cukup hanya diketahui dan dihapalkan oleh peserta didik. Apabila ini terjadi, pendidikan

Page 171: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

165 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

karakter tidak akan dapat tidak akan memberikan perubahan yang berarti pada diri peserta didik. Pengajar perlu merancang atau memilih model atau cara untuk membelajarkan peserta didiknya secara utuh. Pendidikan yang utuh dan menyeluruh akan membantu peserta didik untuk menghayati dengan baik nilai-nilai dalam sastra lisan dan menggunakannya untuk menghadapi tantangan yang kompleks dengan kuat. Salah satu bentuk paradigma yang dapat digunakan oleh para pengajar adalah PPR. PPR membantu peserta didik untuk menjadi manusia Tuhan yang mengabdi pada Tuhan melalui pelayanan terhadap sesama dan ciptaanNya. Dalam mencapai tujuan manusia utuh, dipergunakanlah rumusan 3 C (Competence, conscience, dan Compassion). Competence dapat diartikan sebagai penguasaan pada pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan bidangnya. Conscience berarti mempunyai hai nurani yang dapat membedakan baik dan tidak baik. yang terakhir adalah compassion yang berarti kepekaan untuk berbuat baik bagi orang lain yang membutuhkan, punya kepedulian terhadap orang-orang kecil (Suparno, 2015:19) PPR merupakan pola pikir dalam menumbuhkembangkan pribadi siswa menjadi pribadi kemanusiaan. Pola pikir PPR dalam membentuk pribadi, peserta didik diberikan pengalaman-pengalaman akan suatu kemanusiaan. Kemudian, peserta didik akan merefleksikan pengalaman tersebut dan melakukan aksi agar peserta didik mampu bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan (Kanisius, 2008:40).Pola pikir ini tentunya mengajak peserta didik untuk mengalami sendiri dan bukan sekedar diberitahu, yakin pada diri sendiri bukan karena takut pada aturan, dan berbuat sesuatu atas kesadarannya sendiri. melalui hal tersebut, peserta didik akan memiliki komitmen untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang sudah ditanamkan pada dirinya. Berdasarkan penjelasan di atas, ada beberapa hal yang menjadi unsur utama dalam PPR, yaitu pengalaman, refleksi, dan aksi. ketiga unsur utama dijalankan dengan bantuan unsur sebelumnya yaitu konteks dan unsur setelahnya dengan evaluasi. Untuk lebih jelas dinamika PPR dapat dilihat dalam gambar di bawah ini. Konteks menjadi unsur pertama dalam PPR. Dalam konteks, beragam hal perlu diperhatikan mulai dari pemahaman akan peserta didik, lingkungan, dan juga tempatnya belajar. Dengan demikian, konteks dapat berubah dalam kelas satu ke kelas yang lain. Konteks yang berbeda tentunya akan berpengaruh pada pemilihan pengalaman, model pembelajaran, metode, ataupun pendekatan dalam

Konteks

Evaluasi

Competence,

Conscience, dan

compassion

Pengalaman

Aksi Refleksi

Page 172: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

166 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

suatu proses pengajaran. Sebagai contoh konteks peserta didik dilihat dari segi usia, tentunya akan mempengaruhi nantinya pada pemilihan jenis cerita, cara penyampaian, dan lain sebagainya. Konteks yang semakin dekat dengan peserta didik akan mempengaruhi pada kemudahan peserta didik dalam memahami sesuatu. Oleh karena itu, sebelum mulai mengajar pengajar hendaknya mulai melakukan sebuah “survei” untuk mendapatkan gambaran konteks yang tepat. Pengalaman (experience) diartikan sebagai semua kejadian yang sungguh dialami, dilakukan, dan dihayati yang kiranya mampu menyentuh kehendak, perasaan, dan hasrat peserta didik (Suparno, 2015:21). Ketiadaan pengalaman akan mendorong pada ketidakmampuan peserta didik dalam memahami bahan pembelajaran atau mendapat sesuatu dalam belajarnya. Pengajar akan mulai memikirkan “bagaimana” yang menunjukkan cara agar nilai-nilai dalam cerita rakyat dapat disampaikan kepada peserta didik tanpa melupakan gambaran konteks. Misalnya peserta didik yang tidak suka mendengarkan tentunya pemilihan pengalamannya akan berbeda dengan peserta didik yang suka mendengarkan. Dengan demikian, pengalaman dilakukan oleh peserta didik, tidak dapat diwakilkan, dan dirancang/ dipersiapkan oleh pengajar. Selama pengalaman, peserta didik dan pengajar perlu sadar bahwa segala kegiatan di dalamnya akan menjadi bahan untuk refleksi. Langkah selanjutnya adalah kegiatan refleksi. Refleksi dapat diartikan sebagai usaha untuk memaknai kembali semua pengalaman yang telah dilakukan oleh peserta didik. Kegiatan ini akan mendorong peserta didik untuk melihat berbagai macam nilai-nilai dalam cerita rakyat yang diperoleh melalui serangkaian pengalaman secara lebih mendalam. Seringkali, kegiatan refleksi dapat dilakukan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan dari pengajar. Hasil refleksi akan membantu siswa untuk melihat kebermaknaan nilai-nilai dalam hidupnya dan masyarakat. Hasil dari refleksi diwujudkan melalui kegiatan aksi. Dalam aksi, peserta didik diajak untuk membangun berbagai niat dan melakukan tindakan-tindakan yang didasarkan pada hasil refleksinya. Tidak semua aksi dilakukan dalam bentuk tindakan nyata, misal membantu orang yang sedang mengalami kesuliatan di jalan atau yang lainya, tetapi aksi dapat dilakukan dalam bentuk niat-niat yang nantinya akan dilakukan oleh peserta didik, misalnya setelah pulang sekolah, saya akan membantu orang tua untuk membersihkan halaman (Wahana, 2016 :23) . Aksi yang akan dilakukan oleh peserta didik bukan ditentukan oleh pengajar, melainkan oleh peserta didik itu sendiri. Dalam hal ini, pengajar hanya berperan sebagai pengontrol dan pengawas agar aksi berjalan dengan baik. Evaluasi menjadi langkah terakhir dalam pendekatan PPR. Evaluasi dilakukan untuk memberikan masukan tentang langkah-langkah sebelumnya dan meninjau kemajuan belajar pada pengajar ataupun peserta didik dalam bentuk penilaian. Fokus penilaian tidak hanya pada akademiknya, tetapi juga memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik secara menyeluruh sebagai makhluk pribadi maupun sosial. Oleh karena itu, penilaian tidak hanya dilakukan untuk mengukur segi competence (pengetahuan dan keterampilan) tetapi juga mengukur conscince (kepekaan hati nurani), serta compassion (kepedulian sosial). Dalam evalusai, Apabila langkah-langkah atau

Page 173: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

167 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

kemajuan belajar sudah berjalan dengan baik, maka perlu dikembangkan. Namun, bila tidak berjalan dengan baik, maka perlu diperbaiki. PENUTUP Nilai-nilai dalam karya sastra lisan khususnya cerita rakyat menjadi salah satu bentuk “bahan” yang dapat dimanfaatkan dalam pendidikan karakter. Nilai-nilai dalam cerita rakyat akan membantu peserta didik untuk menjadi manusia yang berkarakter dan menjadikannya siap untuk menghadapi segala macam tantangan yang semakin kompleks. Untuk menanamkan nilai-nilai tersebut, PPR dapat menjadi suatu “cara” yang baik bagi peserta didik. Melalui PPR, peserta didik akan dibentuk untuk menjadi manusia Tuhan. Manusia yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga cerdas dalam mengamalkan nilai-nilai untuk peduli pada orang lain. DAFTAR RUJUKAN Astika, I Made dan I Nyoman Yasa. 2104. Sastra Lisan: Teori dan Penerapan.

Yogyakarta: Graha Ilmu. Gusneti, Syofiani, dan Romi Isnanda. 2015. Struktur Nilai-Nilai Pendidikan

dalam Cerita Rakyat Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat. Jurnal Gramatika. Vol. 1 No.2.

Koesoema, Doni. 2010. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo.

Purboasri, Galih Dwi. 2016. Kearifan Lokal yang Terdapat Dalam Sastra Lisan Sebagai Pembentukan Karakter di Sekolah Menengah Atas. Prosiding Seminar Nasional “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”. Ponorogo.

Rifa’i, Syawludin Nur. 2016. Kearifan Lokal Cerita Rakyat Bulus Jimbung dan Relevansinya dengan Pendidikan Karakter. Prosiding Seminar Nasional “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”. Ponorogo.

Samani, Muchlas dan Hariyanto. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: Rosdakarya.

Suparno. 2015. Pembelajaran di Perguruan Tinggi Bergaya Paradigma Pedagogi Refleksi. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.

Suwija, I Nyoman. 2012. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran Bahasa Bali. Jurnal Pendidikan Karakter. Vol. 1 Tahun ke 2.

Tim Redaksi Kanisius. 2008. Paradigma Pedagogi Reflektif. Yogyakarta: Kanisius. Wahana, Paulus. 2016. Mengenal Pendekatan Paradigma Pedagogi Reflektif

dalam Pendidikan Untuk Membangun Manusia yang Cerdas dan Humanis. Jurnal Didaktika. Vol. 5, No. 1.

Zubaedi. 2012. Desain Pendidikan Karakter. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Page 174: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

168 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

PEWARISAN IKRAR KAJAT DI DESA JATIKERTO KROMEGAN Givari Jokowali

[email protected] Beta Tri Wicaksono

[email protected] Imam Rosyadi

[email protected]

Universitas Negeri Malang

ABSTRAK : penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pewarisan ikrar kajat pada pola pewarisan ikrarkajat, syarat-syarat ikrar kajat, dan tidak adanya sebuah pantangan untuk pengikrar kajat. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif dengan jenis penellitian deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pola ikrar kajat pola pewarisn vertikan dan horizontal, adanya syarat-syarat untuk menjadi pengikrar kajat dan juga tidak adanya pantangan untuk menjadi pengikrar kajat. Temuan tersebut membuktikan bahwa ikrar kajat mengalami pewarisan yang tidak begitu rumit, dan sederhana. Kata kunci : pewarisan, sastra lisan, ikrar kajat, teori difusi Nguri-nguri budaya jawa lan memayu hayuning sastra jowoatau diartikan dalam bahasa indonesia belajar budaya jawa dan melestarikan. Masyarakat yang mengalami penurunan dalam pengetahuan budaya membuat masyarakat lupa akan latar belakang orang tersebut kususnya orang jawa sendiri. Seperti yang di ungkapoleh rahayu, dkk (2014) bahwa dewasa ini terdapat fenomena nilai budaya lokal di Indonesia Kususnya budaya jawa kuarang dipahami dan internalisir oleh masyarakat. Akhir-akir ini terihat semakin mundurnya penguasaan secara baik dan benar bahasa jawa terutama ragam karama oleh sebagaian masyarakat jawa. Selain itu Salah satu alasanya karena perkembangan pola hidup masayarakat yang cenderung moderen. Maka muncul istilah dalam masyarakat jawa adalah wong jowo ilang jawane. Penelitian ini salah satu wujud untuk melestarikan budaya di era jaman sakarang yang cenderung ditinggalkan. Dengan melalui penelitian ini sabagi wujud untuk mendalami akan pemahaman atau pengetahuan budaya jawa kusunya pada sastra lisan di masayarakat.

Ikrar kajat atau salah satu bentuk sastra lisan yang diturun temurukan dalam masyarakat yang biasa di sebut folklore. Folklore merupakan kebudayaan yang kolektif tersebar dan diwariskan secara turun temurun (Djanandjaja, 1991:2). Dari pernyataan tersebut digarisbawahi adanya penyebaran dan pewarisan sastra lisan. Penyebaran dan pewarisan sastra lisan tersebut haruslah dimulai dari pengguna sastra lisan bahwa sastra lisan dibawakan dan ditampilkan oleh seniman sastra lisan (Amir, 2013:75). Seniman sastra tersebutlah penentu pewarisan dan penyebaran sastra lisan pada generasi selanjutnya.Pewarisan dalam penelitian ini sangatlah penting karena data dan pembahasan dapat digunakan sebagai wawasan tentang pewarisan ikrar kajat yang tersebar dan masih tumbuh segar dalam masyarakat. Dalam hal ini

Page 175: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

169 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

penelitian ini sebagai penggambaran tentang pembelajaran serta cara pewarisannya. Timbulnya pemikiran masyarakat yang cenderung mengatakan sulit atau rumit dalam pembelajaran kebudayaan. Salah satunya msayarakat yang enggan untuk beajar tardisi lisan atau salah satu produk sastra lisan. Terkadang masyarakat lebih memilih untuk tidak belajar karena alasan-alasan yang belum pasti benar. Selain itu perkembangan teknologi yang semakin maju membuaat masyarakat enggan untuk belajar kebudayaan, dan beralih ke hal-hal dirasa terlihat mudah dan tidak menyulitkan. Seperti yang dijelaskan Hasanudin (2015) usaha untuk mengali, mengenali, mendokumentasikan, serta meestarikan warisan positif dari kebudayaan nenek moyang bangsa indonesia diperukan karena ini salah satu upaya mncaai tujuan pembangunan nasional. Penelitian ini mencoba untuk menghilangkan pemikiran-pemikira yang beredar di masyarakat akan rumitya belajar budaya, salah satu nya budaya jawa yang berupa ikrar kajat. Ikrar kajat merupakan salah satu produk budaya jawa yang diwariskan turun temurun. Pewarisn tersebut mengalami banyak pengaruh- pengaruh dari beberapa aspek dalam masayarakat. Drout (2006) menjelaskan bahwa tradisi proto/induk pada tradisi lisan dapat dengan mudah muncul dalam budaya, dari percobaan dan menyebar luas karena kecenderungan umum manusia untuk mengajarkan informasih berharga ke generasi yang lebih muda. Cara mewariskan, atau kepentingan pewarisan menjadi salah satu contoh mempengaruhi pewarisanya. Menurut Endraswara dalm bukunya (2009:139) menjelaskan bahwa teori difusi digunakan oleh para antropologi untuk memahami persebaran budaya. Teori ini juga penting dalam penelitian folklore. Folklore sebagai bagian kebudayaan juga akan menyebar sesuai kepentingan. Berdasarkan uraian diatas sangat tepat bila teori difusi digunakan sebagai suatu cara mendeskriptifan pewarisan ikrar kajat di Desa Jatikerto Kabupaten Malang.

Penelitian semacam ini juga pernah dilakukan, yang masuk dalam ranah kajian terdahuluyaitu pada artikel oleh Afdal Agus, Bakhtaruddin, dan M. Ismail yang berjudul Sastra Lisan Mantra Pengobatan Di Kenagarian Talu Kecamatan Talamau Kabupaten Pasaman Barat yang membahas bagaiman pewarisan mantra dalam mantra pengobatan. Dalam artikel ini dapat digunakan acuan bagaiman proses pewarisan dalam sastra lisan yang ojeknya dari oral atau mulut dari mulut atau lisan. Penelitian yang lain dilakukan oleh Nuryani Tri Rahayu, Setyarto dan Agus Efendi yang berjudul Model pewarisan nilai-nilai budaya jawa melalui pemanfaatan upacara ritual yang membahas bagaimana pewarisan nilai budaya melalui ritual-ritual jawa dengan pendekatan bauran komunikasi. Dalam artikel ini dapat digunakan acuan untuk mengembalikan filosofi jawa yang telah ditinggal kan sabagian masayarakat sekarag dengan melalu sebuah konseptual yang telah dihasilkan. Berdasarkan permasalahn diatas, dilakukan penelitian dengan judul Pewarisan Ikrar Kajat Di Desa Jatikerto Kromegan. Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana pewarisan ikrar kajat di sautu desa Sehingga masyarakat tahu akan proses pewarisan dan juga mengetahu syarat-syarat belajar mengikrarkan dalam tradisi budaya jawa.

Page 176: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

170 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

METODE Penelitian ini menggunkan pendekatan deskriptif kualitiatif. Prastowo

(2014:21) menjelaskan bahwa istilah kualitatif tidak hanya lazim dimaknai sebagai jenis data, tetapi juga berhubungan dengan analisisdata dan interpretasi atas objek kajian. Penelitian ini dilakukan secara mendalam dan terperinci untuk mendeskripsikan yang jelas terhadap ruang lingkup pewarisan ikrar kajat di desa jatikerto, dan data pada penelitian ini di hasilkan dari peneliti yang merupakan bukan angka-angka tetapi berupa kata-kata atau gambaran sesuatu.

Data dalam penelitian ini adalah hasil wawancara yang dilakukan peneliti kepada orang yang mempunyai ikrar kajat di desa jatikerto. Ratna (2010:222) menjelaskan bahwa wawancara (interview) adalah cara-cara memperoleh data dengan berhadapan langsung, bercakap-cakap, baik antara individu dengan individu maupun individu dengan kelompok. Sumber data dalam penelitian ini adalah uraian dari pengikrar kajat itu sendiri sedangkan subjek dalam penelitian ini adalah bapak kardi salah satu warga Desa Jatikerto Kecamatan Kromengan Kabupaten Malang.

Pada penelitian ini data diperoleh dengan cara wawancara yaitu wawancara kepada bapak kardi selaku pengikrar kajat. Wawancara adalah tanya jawab dengan seseorang atau narasumber yang diperlukan untuk dimintai keterangan atau pendapatnya mengenai suatu hal yaitu tentang ruang ligkup ikrar kajat dari segi pewarisan. Oleh karena itu, instrumen atau alat yang digunakan dalam penelitia ini berupa pertanyaan, intrumen ke dua alat rekam, dan yang ketiga tabel kubus data untuk analisis data.

Tehnik analisis data,Pertama mengumpulkan data yakni data-data yang sudah dikumpulkan berdasarkan pertanyaan pertanyaan yang diajukan. kemudian yang ke dua, klasifikasi yaitu pengelompokan sesuai katagori pertanyaan yang diajukan.Kemudian yang ketiga mengidentifikasi yakni identifikasi terhadap data berupa jawaban hasil wawancara, yang terahir penyajian data yakni penyajian hasil analisis pada setiap kategori yang telah ditentukan setelah itu dapat dilakukan penarikan kesimpulan. Keapsahan data digunakan untuk memperoleh data dan kesimplan yang nantinya bersifat ilmiah. Keapsahan tersebut dapat dibuktikan pada pengacuan pengecekan para ahli dan pengecekan teori.

HASIL Pada bagian ini di paparkan data dan hasil temuan penelitian mencakup (1)data pola pewarisan ikrar kajat, (2) data syarat-syarat menjadi pengikrar, (3)data tidak adanya pantangan seorang pengikrar dalam sastra lisan ikrar kajat di desa Jatikerto Kabupaten Malang Pola Pewarisan Ikrar Kajat Di Desa Jatikerto Kabupaten Malang berdasarkan hasil wawancara, di temukan dua macam cara pewarisan ikrar kajat di desa Jatikerto Kabupaten Malang. pewarisan ikrar kajat tersebut meliputi pewarisan secara horisontal dan pewarisan secara vertikal. Pewarisan ikrar kajat secara horisontal di temukan cenderung untuk mewariskan sesuatu dengan menurunkan ke generasi keturunanya sendiri. Kalau pewarisan secara verikal memiliki kebebasan untuk mewariskan sesuatu ke

Page 177: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

171 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

orang lain. Di desa Jatikerto ini pola pewarisan ditemukan dengan mengunakan dua-duanya, mengunakan pewarisan secara horisontal dan vertikal. Syarat-Syarat Menjadi Pengikrar Di Desa Jatikerto Kabupaten Malang Berdasarkan hasil wawancara, di temukan beberapa syarat-syarat yang perlu dimiliki seorang pengikrar di desa Jatikerto Kabupaten Malang. syarat-syarat tersebut berupa rasa berani dan yakin, mendengarkan, dan menelitidan paham. Syarat pertama memiliki rasa berani dan yakin, rasa yang pertama atau awal yang harus dimiliki seorang pengikrar. Syarat yang kedua adalah mendengarkan, dalam pembelajaran satra lisan kita haru mengunakan indra pendegaran untuk belajar menjadi seorang pengikrar karena ikrar kajat ini salah satu produk sastra lisan. Syarat ke tiga adalah meneliti dan paham, meneliti dan paham ini dimaksud agar setiap pengikrar tahu maksud dan tujan yang di ucapkan atau yang di ikrarkan. Tidak Adanya Pantangan Seorang Pengikrar Di Desa Jatikerto Kabupaten Malang Berdasarkan hasil wawancara, ditemukan bahwa kepercayaan di masyarakat Jatikerto kususnya seorang pengikrar kajat tidak adanya sebuah pantangan. Dari segi pembelajaran, kesalahan pengucapan, kekurangan dalam pengucapan dan kekurangan dalam sayrat-syarat seorang pengikrar tidak adanya sebuah pantangan. Hal yang pasti di utamakan adalah kemauan dari serorang pengikrar tersebut. Hanya saja dulu pernah berlaku bahwa seorang pengikrar memiliki pantangan boleh mengirarkan setelah memiliki cucu. Tapi seiring perkembangan jaman pantangan ini dihilingkan. PEMBAHASAN

Pada bagian ini di paparkan pembahasan temuan penelitian mencakup (1) pola pewarisan ikrar kajat, (2) syarat-syarat menjadi pengikrar, (3) tidak adanya pantangan seorang pengikrar dalam sastra lisan ikrar kajat di desa Jatikerto Kabupaten Malang Pola Pewarisan Ikrar Kajat Di Desa Jatikerto Kabupaten Malang Pewarisan ikrar kajat di Desa Jatikerto ini ada yang diwariskan secara horisontal dan diwariskan secara vertikal. Berdasarkan hasil wawancara kedua macam pola pewarisan tersebut sama-sama masih berlaku. Dari jumlah pengikrar di Jatikerto delapan dari dua orang masih menggunakan pola pewarisan horisontal dan enam sisanya mengunakan pola pewarisan vertikal.

Pengikrar yang cenderung mengunakan pola pewarisan hisontal memilik dasar pemikiran yang berbeda dengan pengikrar yang mengunakan pola pewarisan vertikal. Dasar pemikirannya bahwa kemampuan untukpengikrar kajat itu harus diturun temurunkan kepada anak cucunya sebagai penerus pencipta ikrar kajat. Pernyataan itu memiliki unsur keharusan yang memiliki makna bahwa anak cucu keturunan harus bisa mengikrarkan kajat sesuai generasi diatasnya. Etika orang jawa yang cenderung memeiliki rasa kemaluan yang tinggi.Seperti yang dijelaskan Endraswara (2015:105) bahwa keluarga jawa cenderung menanamkan rasa malu (isin) kepada anak, karena perasaan ini membantu untuk melatih penguasaan diri, sekurag-kurangnya dalam ungkapan tingkah laku yang bisa dilihat. Selain itu sikap orang jawa yang cenderung tidak

Page 178: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

172 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

mau direndahkan orang lainmenjadi alasan juga pola pewarisan ini dilakukan.Endraswara (2015:105) mulder menyebutkan orang jawa cenderung untuk memunyai kesadaran tinggi terhadap keberdaan orang lain.

Berbeda dengan pola pewarisan horizontal yang mengutamakan pewarisan kepada hubungan darah, pola pewarisan vertikal memiliki unsur bebas yaitu siapa saja boleh belajar mengikrarkan yang terpeting kemauan seseorang yang di utamakan. Pola pewarisan vertikal dalam di desa Jatikerto lebih banyak digunakan dengan alasan bahwa jika ikrar kajat itu selalu diturunkan sebatas anak cucunya saja maka akan sulit ikrar kajat itu membudaya dalam masyarakat. Misalnya bahwa sekarang ini generasi keturunan belum tentu memiliki kemauan untuk belajar dan memahami pentingnya ikrar kajat itu sendiri. Maka dari itu ikrar kajat itu haruslah diwarisakan secara vertikal, karena dalam msayarakat itu sendiri banayak yang memiliki kemauan untuk belajar dan ingin mendalami ikrar kajat itu sendiri.dengan alasan ini pula menjadikan salah satu cara pelestarian sastra lisan dalam masayarakat kusunya ikrar kajat yang akan eksis terus-menerus didalam masyarkat. Syarat-Syarat Menjadi Pengikrar Di Desa Jatikerto Kabupaten Malang Seseorang yang mejadi pengikrar kajat di Jatikerto di temukan adanya beberapa syarat yang tidak begitu rumit. Syarat tersebut sangat mudah untuk dicapai sebagai calon pengikrar kajat. Seperti yang disebutkan diatas masayrakat cenderung memandang sulit atau berat dalam pembelajaran budaya itu pernyataan yang tidak benar. Sebagi contahnya menjadi seorang pengikrar kajat ini ditemukan sayarat-syarat yang tidak menyulitkan, syarat-syarat itu berupa rasa brani dan yakin dalam pengikrar, mendengarkan dan meneliti.

Syarat pertama bagi pengikrar yaitu rasa berani dan yakin. Rasa berani disini digambarkan berupa sikap berani dalam bertindak dan berani dalam mengucapkan. Berani dalam bertindak yaitu berani untuk malakukan pengikararan apapun. Sebagi contoh Ketika seorang pengikrar di suruh untuk mengkirar kajatkan dalam bentuk acara apapun barani melaksnakan. Dengan memeiliki rasa berani dalam bertindak ini menjadikan seorang pengikrar memiliki pengalaman karena seringnya melakukan pengikrarran yang menjadikan pembiasan. Pembiasaan ini meningkatkan keyakinan dan ilmu atau sesuatu yang kita ikrarkan pun akan muncul dengan sendirinya.

Berani dalam mengucapkan ini digambarkan biasanya pengikrar gugup dan tidak bisa bicara, serta pengikrar harus sanggup mengucapkan hal hal mudah atau yang sangat sulit juga. Kebanyakan faktor tersebut di sesbabkan kurangnya keyakinan seorang pengikrar karena menghadapi kalayak orang bnayak yang usianya lebih tua. Endraswara (2015:138) menjelaskan bahwa orang jawa memiliki sifat senantiasa ngajeni pada orang tua.

Syarat selanjutnya ialah yakin. Yakin dalam artian yakin lahir dan yakin batin. Yakin lahir dan batin ini ditujukan untuk diri sendiri dalam hal mengamalkan dan apa yang sudah dipelajari tentang ikrar kajat dan tujuan selanjutnya ialah sanggup melesatrikan ikrar kajat tersebut. Selain itu, Yakin disini diartikan bahwa ikrar kajat yang dimiliki dan akan diucapkan mengandung doa yang diyakini akan terkabul. Keyakinan ini harus muncul pada pengikrar dilihat dari segi pribadi itu sendiri harus mantap karena jika pengikrar itu

Page 179: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

173 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

sanggup mengikrarkan maka akan diminta tolong oleh sesama warga untuk mengikrarkan hajatan yang diinginkan oleh orang yang punya hajatan itu sendiri.

Syarat yang kedua berhubungan proses pembelajaran ikrar kajat ialah dengan mendengarkan. Menurut sulistyorini dan andalas (2017:11) sastra lisan sering disebut dengan oral literature. Artinya asebuah bentuk sastra yang dituturkan secara lisan termasuk dalam penyebaranya juga disampaikan secara lisan. Ikrar kajat sebagai salah satu produk sastra lisan harus dipelajari melalui pendengaran. Sebagai orang pengikrar sebenarnya tidak ada pentangan ketika orang itu akan mencatat apa yang di ikrarkan utuk di buat acaun pembelajaran. Tetapi seorang pengikrar memilki keyakinan ketika seorang itu belajar dengan melalui media tulis maka seorang tersebut meremehkan dan tidak memiliki rasa tanggung jawab tinggi saat mempelajarinya. Meremehkan disini dimaksud pengikrar selalu mengandalkan tulisanya ketika pengikrar itu lupa dengan ikrar-ikrar yang di gunakan. Berbeda dengan mendengarkan, maka seorang memeiliki rasa tanggung jawab lebih akan yang di dengarkan dan untuk di ingat.

Syarat yang ketiga Meneliti untuk memahami ini diwujudkan dengan kata kata yang diucapkan oleh pengikrar. Kata-kata yang telah terucap tersebut awalnya harus diteliti untuk kesesuaian dengan ikrar kajat yang akan dimaksud dari situlah pegikrar harus paham betul apa maksud kata yang diucapkan. Tujuan memahami tersebut ditujukan untuk ikrar kajat yang bermacam-macam yang menggunakan kata-kata yang berbeda juga antara ikrar kajat satu dengan ikrar kajat yang lain. Misal pada ikrar kajat brokoan atau ikrar doa kelahiran. Ikrar doa kelahiran dalam ikrar kajat Jawa itu dibedakan menjadi tiga yaitu kelahiran orang meninggal dunia, kelahiran bayi yang baru lahir, dan kelahiran harta benda yaitu kelahiran anak sapi bagi yang punya.pemahaman itu berarti pada kata yang akan diterapkan dalam ikrar kajat misal paham pada kta kintun dengan kata metri, kedua kata tersebut sama-sama digunakan pada ikrar kajat brokoan tetapi penerapankedua kata tersebut harus paham pada penerapannya . jika kata metri digunakan untuk ikrar kajat bagi ikrar orang yang masih hidup dan kata kintun digunakan untuk ikrar kajat orang meninggal. berkaitan dengan hal tersebut jika pengikrar kajat sudah bisa meneliti serta memahami penerapan kata serta tujuan dalam ikrar kajat secara merinci maka pengikrar harus sanggup mengembangkan ikrar kajat dari berbagai macam ikrar kajat tersebut, maka pengikrar harus bisa menerapkan pemahaman pada berbagai ikrar kajat sesuai hasil pengembangan ikrar kajat yang sudah dipelajari. Pengembangan ikrar kajat ini sangat membantu pengikrar untuk kelancaran saat pengikrar mengikrarkan apa saja yang akan di ikrarkan misalkan ikrar orang meninggal pengikrar bisa mengembangkan kata-kata yang terdapat pada ikrar tiga hari orang yang sudah meninggal, tujuh hari, empat puluh hari, seribu hari orang yang sudah meninggal.Selain itu juga, mempertanggungjawabkan apa yang diucapkan dalam ikrar kajat. Dalam artian kesesuaian doa yang di harapkan oleh yang memiliki hajat dan dapat merealisasikan antara doa dengan alat ikrar kajat. Misalkan alat sego kabuli harus di hubungkan dengan maksud terkabulnya apa yang diminta. Hal ini menjadi bekal seorang pengikrar kajat.

Syarat-syarat tersebut harus digunakan pengikrar kajat secara utuh dan berurutan hal ini ditujukan untuk kelancaran ikrar kajat dan dari segi tujuan maksud dari ikrar kajat menjadi tersampaikan. Syarat menjadi ikrar kajat ini

Page 180: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

174 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

tidak serumit mantra. Mantra cenderung memakai syarat yang rumit untuk bisa mengucapkan karena mantra bersifat khusus dan digunakan untuk melakukan sesuatu diluar batas manusia. Berbeda dengan ikrar kajat bersifat mengumumkan permintaan yang berupa doa, dan doa tersebut di ucapkan dalam sebuah simbol-simbol dalam bentuk alat pengikrar, maka syarat untuk bisa mengikrarkan bersifat sederhana yaitu berani, yakin, mndengarkan, dan meneliti serta memahami yang sudah dijelaskan diatas. Tidak Adanya Pantangan Seorang pengikrar Kajat Di Desa Jatikerto Kecamatan Kromengan Kabupaten Malang Ikrar kajat pada dasarnya yang merupakan sastra lisan yang diturunkan melalui mulut ke mulut ini tidak ada pantangan-pantangan apapun untuk bisa menjadi pengikrar. Pantangan yang serumit mantra tidak berlaku di dalam ikrar kajat karena ikrar kajat ini bertujuanhanya untuk mengumumkan dan tidak untuk sesuatu hal yang bersifat mistis. Tetapi dulu ada wawasan orang tua bahwa seorang pengikrar kajat dibolehkan mengikrarketika pengikrar ini sudah memiliki cucu atau berposisi sabagi mbah. Sebagai dasar nya mbah, yang berarti tambah, tambah ilmu, tambah disegani hal ini menjadi alasan orang sepuh dudlu membatasi seorang pengikrar harus sudah memiliki cucu. Di jaman sekarang pantangan tersebut sudah hilang karena masayarakat memilki pemikiran jika orang yang tua yang disebut mbah saja yang boleh mengikrarkan maka pewarisan ini mengalami kesulitan. Kesulitannya ketika maa muda belajar karne asifat orang tua yang daya ingatberkurang mengakibatkan kelupaan dalam kemampuan berikrar.

Alasan utama yang tepat bahwa ikrar kajat tidak ada pantangan sama sekali tujuannya haya untuk meminatkan serta menghilangkan paham orang awam bahwasanya ikrar memiliki pantangan yang berat untuk dapat mengikrarkan kajat. Alasan tersebut untuk memberikan pencerahan yang kemudian diharapkan untuk menumbuh kemabngkan minat untuk menjadi pengikrar sehingga ikrar kajat akan terus lestari dalam budaya jawa saat ini yang hampir tidak terjamah oleh genrasi sekarang ini. PENUTUP Simpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan diperoleh tiga simpulan penelitian sebagai berikut.

Pertama, ikrar kajat adalah hal yang masuk dalam ruang lingkup sastra lisan yang diturunkan dari mulut kemulut. Penurunan tersebut dalam ikrar kajat diwariskan dengan dua pola pewarisan yaitu ikrar kajat dapat diwariskan dengan pola vertikal yaitu ikrar kajat ini dapat diwariskan dari bapak ke anak atau hubungan darah dan yang kedua pola pewarisan horisontal yaitu ikrar kajat dapat di wariskan secara melebar atau meluas dalam artian dari pengikrar melebar ke orang lain.

Kedua, ikrar kajat dapat dipelajari oleh orang lain harus memenuhi syarat rasa brani dan yakin, dapat didengarkan, dan harus meneliti. Rasa berani dan yakin dalam artian yakin menjadi ikrar kajat dan brani mengikrarkan kajat dalam khalayak umum. Mendengarkan dalam artian calon pengikrar harus mendengarkan untuk diingat ingat jika ingin menjadi pengikrar. Meneliti dalam

Page 181: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

175 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

artian calon pengikrar harus bisa meneliti atau mengulas isi maupun makna yang terkandung dalam ikrar kajat serta harus dapat mengembangkannya dalam ragam ikrar kajat.

Ketiga, Pantangan dari ikrar kajat sangat berbeda dengan pantangan mantra. Pantangan yang terlihat dalam ikrar kajat tidak secara utuh terkadung dalam ikrar kajat. Kebanyakan dalam ikrar kajat tidak ada pantangan yang sifatnya secara khusu untuk menjadi pengikrar kajat. Saran

Berdasarkan kesimpulan, ada beberapa saran yang dapat diberikan oleh penulis. Beberapa saran dari penulis tersebut telah di paparkan dalam beberapa poin berikut.

Pertama, kepada masyarakat khususnya jawa disarankan untuk terus melestarikan ikrar kajat karena ikrar kajat sangat mudah untuk dilaksanakan tanpa syarat yang rumit.

Kedua, kepada peneliti disarankan untuk terus melestarikan dan mencoba ikrar kajat serta dapat merevitalisasi sastra lisan dalam bentuk ikrar kajat degan cara cara yang baru.

Ketiga, ikrar kajat ini yang terkandung dalam penelitian berikut sebagai bentuk upaya melestarikan sastra lisan yang tumbuh dan berkemang di budaya jawa. DAFTAR RUJUKAN Amir, Adriyetti. 2013. Sastra Lisan Indonesia. Yogykart: Andi Offset.

Dananjaya, Jemes. 1991(Cet III). Floklore Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng Dan Lain-Lain. Jakarta: Grafiti.

Endraswara, Suwardi. 2009. Metodologi penelitian folklore. Yogyakarta: medpress.

Endraswara, Suwardi. 2015. Etnologi Jawa Penelitian Perbandingan Dan Pemaknaan Budaya. Yogyakarta: CAPS (Center For Academc Publising Service).

Prastowo, Adi. 2014. Metode Penelitian Kualitatif Dalam Prespektif Rancanagn Penelitian.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya Dan Ilmu-Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sulistyorini Dan Andalas. 2017. Sastra Lisan: Kajian Teori Dan Penerpannya Dalam Penelitian. Malang: Madani.

Agus, dkk. 2017.Sastra Lisan Mantra Pengobatan Di Kenagarian Talu Kecamatan Talamau Kabupaten Pasaman Barat. https://media.neliti.com/media/publications/75912-ID-sastra-lisan-mantra-pengobatan-di-kenaga.pdf. Di akses pada tanggal 7 0ktober 2017.

Hasanudin WS. 2015. Jurnal Kembar Junal Keilmuan Bahasa,Sastra Dan Pengajaran : Kearifan Lokal Dalam Tradisi Lisan Kepercayaan Rakyat Ungkapan Larangan Tentang Kehamilan, Masa Bayi, Dan Kanak-Kanak

Page 182: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

176 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Mayarakat Minangkabau Wilayah Adat Luhak Nan Tigo. Dalm Jurnal. Malang : Universitas Muhammmadiyah Malang.

Rahayu, dkk. 2014. Model pewarisan nilai-nilai budaya jawa melalui pemanfaatan upacara ritual. https://www.google.com/url?sa=t&saurce=web&rct=j&url=http://jurnal.upnyk.ac.id/indekx.php/kounikasi/article/view/358&ved=0ahUKEwiFr_z03eLWAhXDNI8KHeiaAmoQFggjMAA&usg=AObVaw3yyVXqWxjCtZqulvG3gKy8. Diakses pada tanggal 9 Oktober 2017

Drout, Michael D.C. 2006. A Meme-Besed Approach To Oral Traditional Theory. http://citeseere.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.571.6842&rep1&type=pdf. Diakses tanggal 9 Oktober 2017.

Page 183: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

177 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT MINANGKABAU DALAM UNGKAPAN KEPERCAYAAN RAKYATDI DESA KAMPUNG LUAR SALIDO KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSISUMATERA

BARAT

Harry Andheska (Universitas Maritim Raja Ali Haji) email: [email protected]

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh hasil deskripsi tentang bentuk, kategori, makna, serta fungsiungkapan kepercayaan rakyat yang terdapat dalam masyarakat desa Kampung Luar Salido Kecamatan IV Jurai Kabupaten Pesisir SelatanProvinsi Sumatera Barat.Selain itu, juga memberikan gambaran bahwa ungkapan kepercayaan rakyat sebagai bentuk kearifan lokal bagi masyarakat Minangkabau. Jenis penelitian adalah kualitatif dengan metode deskriptif.Data dalam penelitian ini diperoleh melalui proses observasi dengan bantuan teknik rekam kepada tiga orang informan yang telah ditentukan sebelumnya. Kemudian data yang telah dikumpulkan dengan menggunakan teknik rekam.Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut.Pertama, struktur ungkapan kepercayaan rakyat yang di temukan dalam masyarakat desa Kampung Luar Salido terdiri dari struktur sebab-akibat, dan struktur sebab-konversi-akibat.Kedua, kategori ungkapan dalam masyarakat desa Kampung Luar Salido ini sebagai berikut: (1) masa kehamilan/kelahiran, masa bayi, kanak-kanak, (2) rumah dan pekerjaan rumah tangga (3) gejala alam (4) cuaca (5) makana, (6) tubuh manusia, dan (7) binatang dan peternakan.Ketiga, Makna dari ungkapan kepercayaan rakyat ini yaitu mempunyai maksud terselebung yang tersirat secara tidak langsung melalui hubungan antara realita dengan kiasan. Keempat, fungsi ungkapan kepercayaan rakyat yang terdapat di daerah ini seperti: mengingatkan, melarang, menyuruh, sebagai penebal emosi kepercayaan, sistem proyeksi khayalan suatu kolektif, hingga sebagai alat untuk memperjelas gejala alam yang sulit diterima logika.

Kata kunci: kearifan lokal, ungkapankepercayaan, masyakarat

Kebudayaan yang dimiliki manusia dalam kehidupannya mempunyai ciri khas dan karakter tersendiri yang berbeda-beda.Hal tersebut yang menjadikan negara Indonesia sebagai yang beraneka ragam budaya.Menurut Dundes (dalam Danandjaja, 1984) folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok lainnya. Ciri pengenal itu antara lain memiliki persamaan kulit, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa yang sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama yang sama.

Kebudayaan yang dimiliki ada yang dituangkan dalam bentuk lisan maupun tulisan.Salah satu bentuknya adalah folklor.Folklor merupakan bentuk kebudayaan tradisional masyarakat yang terbagi atas folklor lisan, folklor sebagian lisan, dan folklor bukan lisan.Folklor berasal dari istilah bahasa Inggris

Page 184: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

178 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

yaitu folklore yang terdiri dari dua kata dasar folk dan lore.Folk berarti kolektif, sedangkan lore berarti budaya atau kebudayaan.Folklor adalah suatu kebiasaan masyarakat yang disebarkan dari generasi ke generasi berikutnya. Danandjaja (1984:2) mengungkapkan bahwa folklore merupakan sebagian kebudayaan suatu kolektif yang disebarkan dan diwariskan secara turun-temurun di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu mengingat.Senada dalam hal berikut, menurut Chaer (1986:29) folklor adalah kepercayaan legenda dan adat-istiadat suatu bangsa yang sudah ada sejak lama yang diwariskan turun-temurun secara lisan maupun tertulis.Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa folklor adalah suatu kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun minimal dua generasi.

Folklor mempunyai beberapa ciri pengenal. Menurut Danandjaja (1984:4) ciri pengenal folklor terdiri atas sembilan, yaitu (1) penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan, (2) folklor bersifat tradisional, disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar, (3) folklor ada (exist) dalam beberapa versi bahkan dalam varian-varian yang berbeda. (4) folklore bersifat anonin, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi, (5) folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola, (6) folklor mempunyai kegunaan (funcition) dalam kehidupan bersama suatu kolektif, (7) folklor bersifat pralogis yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum, (8) folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu, (9) folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu sehingga seringkali kelihatannya kasar.

Ungkapan kepercayaan rakyat merupakan bagian dari tradisi masarakat yang penyebarannya dilakukan secara lisan. Ungkapan kepercayaan rakyat ini telah dikenal oleh masyarakat secara turun temurun sehingga tidak dikenal lagi siapa yang menciptakannya. Ungkapan tersebut disampaikan secara lisan pada situasi dan konteks tertentu. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa kepercayaan rakyat merupakan semacam ungkapan tradisional daerah-daerah yang termasuk ke dalam folklor. Hand (dalam Danandjaja, 1984:155) menggolongkan kepercayaan rakyat menjadi empat golongan yaitu; (1) takhyul atau kepercayaan di sekitar lingkaran hidup manusia, (2) takhyul atau kepercayaan mengenai alam gaib, (3) takhyul atau kepercayaan mengenai alam semesta atau dunia, dan (4) jenis tahyul lainnya.Menurut Hand (dalam Danandjaja, 1984:155—156), takhyul atau kepercayaan di sekitar lingkaran hidup manusia dibagi dalam tujuh kategori, yaitu (1) lahir, masa bayi, dan masa kanak-kanak, (2) tubuh manusia dan obat-obatan rakyat, (3) rumah dan pekerjaan rumah tangga, (4) mata pencaharian dan hubungan sosial, (5) perjalanan dan perhubungan, (6) cinta, pacaran, dan nikah, dan (7) kematian dan adat pemakaman. Menurut Danandjaja (1984:165), takhyul atau kepercayaan mengenai terciptanya alam semesta dibagi menjadi empat sub kategori, yaitu (1) fenomena kosmik (gejala alam), (2) cuaca, (3) binatang dan peternakan, (4) penangkapan ikan dan berburu, (5) tanaman dan pertanian.

Menurut Purwadarminta (dalam Danandjaja, 1984:153) bahwa kepercayaan rakyat atau yang sering disebut “takhyul” adalah kepercayaan yang

Page 185: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

179 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

oleh orang berpendidikan barat dianggap sederhana bahkan pandir, tidak berdasarkan logika sehingga secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kata “takhyul “ mengandung arti menghina atau merendahkan maka ahli folklor modern lebih senang memakai istilah kepercayaan rakyat (folk belief) karena takhyul hanyalah merupakan angan-angan atau khayalan belaka. Menurut Brunvarnd (dalam Danandjaja, 1984:153) takhyul mencakup bukan saja kepercayaan (belief) melainkan juga kelakuan (behavior), pengalaman-pengalaman (experience), ada kalanya juga alat dan biasanya juga ungkapan saja. Senada dengan hal tersebut, Barthes (2003: 14) mengatakan bahwa keyakinan terhadap sesuatu hal (mitos) yang terdapat di dalam karya sastra sebagai suatu unsur tradisi, bukanlah suatu benda, konsep, atau gagasan, melainkan suatu lambang dalam bentuk wacana. Lambang-lambang semacam ini tidak selalu dalam bentuk tertulis, tetapi dapat juga berupa tuturan, benda, atau peralatan-peralatan tertentu. Pada masyarakat urban lambang itu dapat dalam bentuk gambar, film, dan lain-lain. Unsur ini bukanlah benda, tetapi dapat dilambangkan dengan benda.

Ungkapan kepercayaan rakyat merupakan aset kebudayaan nasional yang tersimpan dalam kebudayaan daerah.Ungkapan mencerminkan sesuatu nilai-nilai budaya yang dianut atau yang diemban oleh pendukung daerah tersebut.Kepercayaan rakyat umumnya diwariskan melalui media tutur kata, (Danandjaja, 1984:154). Tutur kata diperjelas dengan struktur yang terdiri atas tanda atau sebab yang kemudian akan terjadi akibatnya. Misalnya jika kita membakar kain bekas (sebab), maka akan segera timbul bunyi petir (akibat). Kemudian ada juga strukturnya yang tiga bagian, yaitu yang terdiri dari tanda, perubahan dari suatu keadaan ke keadaan lain (converst) dan akibat misalnya “bila engkau melihat bintang jatuh (tanda), engkau harus menepuk-nepuk kantong sambil berkata “penuh-penuh” (konversi) dan engkau akan mendapat uang nantinya (akibat)” (Danandjaja, 1984:154). “Sebab akibat” selanjutnya disingkat dengan S, A sedangkan “sebab, konversi, akibat” selanjutnya disingkat dengan S, A, K

Fungsi utama kepercayaan rakyat bagi masyarakat adalah untuk menyampaikan isi hati, perasaan, keinginan si penutur dengan bahasa kiasan yang sifatnya tidak kasar, tidak menyinggung, tetap saling menyengani dan menghormati. Menurut Danandjaja (1984:169—170), fungsi kepercayaan rakyat terhadap kehidupan masyarakat pendukungnya, (1) sebagai penebal emosi keagamaan atau kepercayaan, (2) sebagai sistem proyeksi khayalan suatu kolektif yang berasal dari halusinasi seseorang yang mengalami gangguan jiwa dalam bentuk makhluk alam gaib, (3) sebagai alat pendidikan anak atau remaja, (4) sebagai “penjelas” yang dapat diterima akal suatu folk terhadap gejala alam yang sangat sukar dimengerti sehingga sangat menakutkan agar dapat diusahakan penanggulangannya, (5) menghibur orang yang sedang mengalami musibah.

Tujuan dari ungkapan kepercayaan rakyat ini salah satunya adalah untuk mendidik.Oleh sebab itu, ungkapan ini banyak berkembang di kalangan orang tua yang menggunakannya sebagai sarana dalam mendidik anak-anak mereka.Contohnya, Indak bulie bagandang malam hari, beko tibo ula.Sebenarnya tidak ada hubungannya antara bergendang dengan ular.Hal yang

Page 186: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

180 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

dimaksudkan di sini adalah supaya menjaga ketenangan di malam hari, karena malam hari itu merupakan waktu untuk beristirahat.

Zaman sekarang, ungkapan kepercayaan rakyat masih dikenal di lingkungan masyarakat yang sudah berfikiran maju. Betapapun canggihnya IPTEK yang berkembang saat ini, masyarakat tidak akan mampu terlepas dari ungkapan kepercayaan rakyat. Sesuai yang dikatakan oleh Brunvad (dalam Danandjaja, 1984:154) bahwa betapapun modernnya suatu masyarakat tidak akan terlepas dari kepercayaan rakyat. Hal ini masih ditemukan sebagian kecil orang-orang yang menggunakan ungkapan kepercayaan dalam kehidupan sehari-hari.Seperti halnya di Salido, kecamatan IV Jurai, Kabupaten Pesisir Selatan.

Dewasa ini, banyak generasi muda yang ada di Salido tidak mengerti dan tidak paham dengan ungkapan kepercayaan rakyat mereka.Hal ini diakibatkan karena pengaruh globalisasi yang cukup kuat masuk ke Indonesia, bahkan sampai ke daerah-daerah.Tidak ketinggalan daerah Minangkabau khususnya Salido.Generasi sekarang tidak mampu menahan dan menyaring kebudayaan asing yang masuk. Inilah yang nantinya akan mendesak dan meminggirkan kebudayaan daerah terutama folklor (ungkapan kepercayaan rakyat). Kelihatannya miris sekali dengan nasib folklor terutama ungkapan kepercayaan rakyat. Dikhawatirkan ungkapan kepercayaan rakyat ini akan hilang seiring berkembangnya zaman tadi.

Adapun sebagian dari generasi muda Salido yang masih mengetahui ungkapan kepercayaan rakyat ini, tetapi mereka tidak terlalu acuh dengan ungkapan kepercayaannya itu.Artinya ungkapan kepercayaan yang disampaikan itu tidak begitu ditanggapi, tidak adanya respon yang cukup signifikan dari mereka.Melihat gejala ini, diprediksi kekuatan sugesti yang ada dalam ungkapan itu sudah mulai luntur. Kalau hal ini dibiarkan maka daya tarik untuk sebuah ungkapan rakyat berangsur-angsur akan pudar. Generasi akan menganggap remeh sebuah kepercayaan rakyat. Padahal kalau dikaji, ungkapan kepercayaan rakyat ini merupakan sebuah tradisi yang patut untuk dilestarikan. Oleh sebab itu, rasa memiliki dan bangga akan budaya sendiri harus terus di pupuk dalam diri generasi muda.

Beranjak dari fenomena inilah penting dilakukan penelitian untuk mengetahui seberapa besar keeksistensian ungkapan kepercayaan rakyat yang terdapat di Salido ini.Di samping itu, penelitian ini penting untuk dilakukan guna mengetahui bagaimana daya sugesti yang tercipta dari ungkapan itu sendiri, sekaligus juga mengungkap dan melestarikan kebudayaan nasional terhadap folklor yang berjenis setengah lisan ini.Oleh sebab itu, tujuan penelitian ini, yakni untuk memperoleh hasil deskripsi tentang bentuk ungkapan kepercayaan rakyat yang terdapat di Salido, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Menurut Moleong (2002:2) penelitian kualitatif menunjukkan pada segi alamiah yang dipertentangkan dengan kuatum atau jumlah. Penelitian kualitatif juga diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan. Selanjutnya dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode yang digunakan adalah deskriptif. Tujuan dari metode deskriptif untuk mendeskripsikan secara akurat

Page 187: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

181 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat hubungan antara fenomena yang diselidiki.Dalam pelaksanaan penelitian, metode ini dilakukan dengan menempuh beberapa langkah, yaitu pengumpulan data, klasifikasi, dan pembuatan laporan.Pengumpulan data menggunakan alat bantu rekam. Informan penelitian merupakan penduduk pribumi yang menetap dengan ketentuan sangat jarang melakukan mobilisasi. Informan dalam penelitian ini berjumlah tiga orang yang merupakan penduduk asli Salido. Pengambilan informan ini didasarkan pada pertimbangan akan adanya variasi data. Menurut Kasim (1982:11) penentuan informan dilakukan dengan kriteria sebagai berikut. (1) Informan merupakan penduduk asli tempat dilakukan penelitian, (2) informan sudah dewasa, yaitu berumur sekitar 35-70 tahun, (3) informan berada di lokasi penelitian dan jarang meninggalkan daerahnya, (4) informan sehat jasmani dan rohani, (5) mempunyai kesediaan waktu yang cukup, (6) memiliki sifat yang terbuka, sabar, ramah, dan tidak mudah tersinggung.

Untuk memperoleh data tentang ungkapan kepercayaan rakyat, peneliti mengambil lokasi penelitian di Desa Kampung Luar Salido kecamatan IV Jurai Kabupaten Pesisir Selatan.Hal ini dikarenakan bahwa daerah Salido merupakan tempat peneliti berdomisili.Selain mudah dalam pengakraban nantinya dengan para informan karena sudah mengenal situasi serta kondisi masyarakat daerah sendiri, juga untuk melestarikan aset budaya yang berasal dari daerah Salido.Daerah Salido sendiri merupakan ibukota kecamatan dari Kecamatan IV Jurai, yang merupakan salah satu kecamatan yang terangkum dalam kabupaten Pesisir Selatan. Daerah ini berjarak ±72 Km sebelah Selatan dari kota Padang. Letak geografis berada di pinggiran pantai dengan rata-rata mata pencaharian penduduk adalah sebagai nelayan dan petani.Bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi sehari-harinya adalah bahasa Minangkabau.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Data yang dikumpulkan dalam bentuk bahasa Minangkabau.Selanjutnya, penulis mencatat dan merekam data tersebut lalu ditranskripsikan dalam bahasa tulis. Setelah itu, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Untuk mendapatkan data, penulis mewawancarai tiga orang informan.Waktu pengumpulan data penulis tidak menemui kendala karena penelitian ini dilakukan di daerah penulis berasal. Data yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kemudian diidentifikasi dan diklasifikasikan menurut kelompoknya.Dari hasil penelitian yang dilakukan di lapangan selama 1 hari telah ditemukan beberapa data tentang ungkapan kepercayaan rakyat di desa Kampung Luar Salido.Berikut akan diuraikan lebih lanjut mengenai struktur, makna, dan fungsi dari masing-masing ungkapak kepercayaan rakyat tersebut. 1. Struktur, Makna, dan FungsiUngkapanKepercayaan Rakyat a. Bentuk Ungkapan Kepercayaan Rakyat Kategori Kehamilan/Kelahiran,

Masa Bayi, dan Kanak-kanak Adapun ungkapan kepercayaan rakyat berkategori kehamilan/kelahiran

yang ditemukan sebagai berikut. Urang manganduang ndak buliah duduak di batu, beko lakek anak

(Orang yang sedang hamil tidak boleh duduk di atas batu, nanti anak dalam kandungan akan kembar siam)

Page 188: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

182 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Ungkapan ini juga mempunyai dua struktur, urang manganduang ndak buliah duduak di batu = S,beko lakek anak = A. Adapun makna sebenarnya bahwa orang hamil yang duduk di atas batu itu tidak bagus dipandang mata, Lagi pula hal itu akan membuat pantat terasa sakit nantinya dan perut akan tertekan oleh lutut. Ini akan mengakibatkan gangguan terhadap janin yang ada dalam rahim. Untuk fungsinya untuk mengingatkan agar orang yang hamil tersebut menjaga cabang bayi yang ada dalam kandungannya.Selain itu, bentuk ungkapan larangan yang berkaitan dengan kehamilan yang ditemukan sebagai berikut.

Urang manganduang makan jo piriang ketek-ketek, supayo ketek muncuang anak

(Orang hamil harus makan dengan piring kecil, supaya kecil mulut anaknya nanti)

Ungkapan ini merupakan kebalikan dari ungkapan sebelumnya. Dalam hal struktur masih sama, yakni sebab akibat: Urang manganduang makan jo piriang ketek-ketek= S,supayo ketek muncuang anak = A. Dari segi kategorinya juga dalam kategori pekerjaan yang dilakukan di rumah. Makna sebenarnya adalah bahwa kalau makan di piring kecil akan terlihat kesopanan sikap sewaktu makan. Sifat rakus tidak akan tergambar dalam diri kita bila makan dengan piring yang kecil. Fungsinya adalah sebagai penebal emosi dari kepercayaan terhadap orang sedang hamil dalam bersikap.Contoh lain ungkapan kepercayaan rakyat tentang kehamilan dapat dilihat berikut ini.

Urang manganduang kalau bajalan, jan bulak-baliak di muko pintu, beko tarusuik-suruik anak di dalam paruik

(Orang hamil kalau berjalan, jangan bolak-balik di depan pintu, anak yang ada dalam perutnanti akanterbolak-balik)

Ungkapan kepercayaan rakyat ini mempunyai struktur yang berbeda dari ungkapan kepercayaan yang dijelaskan sebelumnya. Perbedaan itu terletak dari segi strukturnya sebab konversi dan akibat, yakni :Urang manganduang kalau bajalan = S,jan bulak-baliak di muko pintu= K, beko tarusuik-suruik anak di dalam paruik = A. Maknanya adalah bahwa orang yang sedang hamil sebenarnya harus banyak beristirahat dan dilarang untuk bergerak-gerak. Hal ini dilakukan untuk menjaga cabang bayi yang ada di dalam kandungan supaya tidak mengalami gangguan.Fungsinya untuk mengingatkan para ibu-ibu hamil supaya tetap menjaga kandungannya dengan baik.Di samping itu juga berfungsi untuk menyuruh.Selain kehamilan, juga ada ditemukan ungkapan kepercayaan ketika melahirkan.

Wakatu malahiakan, jan kubuan kakak di bawah janjang, beko indak namuah anak pai marantau

(Waktu melahirkan, jangan menguburkan plasenta di bawah tangga rumah, nanti anak tidak akan bisa pergi merantau)

Ungkapan kepercayaan yang satu ini mempunyai tiga struktur, sebab konversi dan akibat, yakni: Wakatu malahiakan = S,jan kubuan kakak di bawah janjang = K,beko indak namuah anak pai marantau = A. Makna sebenarnya bahwa menguburkan kakak di bawah tangga rumah tersebut tidak tepat dan akan menimbulkan bau busuk nantinya. “Kakak” yang dimaksudkan di sini adalah berupa kumpulan daging yang di bawa keluar sewaktu bayi dilahirkan dari

Page 189: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

183 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

dalam perut. Apabila daging tersebut dikuburkan akan menimbulkan bau yang tidak enak nantinya. Jadi menguburkan daging tersebut hari jauh-jauh, kapan perlu jauh dari rumah.Fungsi ungkapan ini untuk mengingatkan sekaligus melarang supaya seseorang tidak menguburkannya di bawah tangga rumah.Selain tentang kehamilan atau kelahiran, berikut akan dijelaskan contoh ungkapan kepercayaan yang berkaitan dengan masa bayi.

Jan suko mandukuang anak mancengkang, beko kambang kaki anak (Jangan suka suka menggendong anak secara mengangkang, nanti kaki anak

akan mengembang) Ungkapan ini berstruktur sebab dan akibat, yakni: Jan suko mandukuang

anak mancengkang = Sbeko kambang kaki anak= A. Makna sebenarnya adalah bahwa menggendong anak di samping kiri/kanan itu tidak baik untuk pertumbuhan anak. Hal ini akan mengakibatkan gangguan pada kaki anak. Fungsi dari ungkapan ini sebagai penebal emosi kepercayaan pada suatu masyarakat. Di samping itu fungsinya juga untuk mengingatkan supaya tidak menggendong anak dengan cara yang seperti itu. b. Bentuk Ungkapan Kepercayaan Rakyat Kategori Rumah dan

Pekerjaan Rumah Tangga Adapun ungkapan kepercayaan rakyat yang berkategori rumah dan

pekerjaan rumah tangga yang ditemukan sebagai berikut. Jan mangambang payuang di ateh rumah, beko di tembak dek patuih

(Tidak boleh membuka payung di dalam rumah, nanti rumahnya akan disambar petir)

Stuktur dari ungkapan tersebut adalah sebab akibat, yakni: Jan mangambang payuang di ateh rumah= S,beko di tembak dek patuih= A. Ungkapan ini merupakan seputar kegiatan yang dilakukan di rumah. Adapun makna sebenarnya adalah bahwa mengembangkan payung di dalam rumah itu bukanlah suatu pekerjaan yang pantas.Kalau ada anak-anak yang bermain-main payung dalam rumah kelihatannya tidak enak dipandang mata.Payung digunakan di luar rumah dan bukan di dalam rumah.Payung adalah alat untuk melindungi tubuh dari hujan. Fungsinya juga tergolong dalam pendidikan, yakni mendidik anak-anak yang suka bermain-main payung di dalam rumah supaya mereka berhenti melakukan hal itu makanya dibuatlah sebuah alasan bahwa nanti akan disambar petir bila bermain-main payung tersebut. Selain itu, contoh ungkapan yang berkaitan dengan kegiatan yang sering dilakukan di dalam rumah lainnya, sebagai berikut.

Jan manjaik baju lakek di badan, ndak lapeh dari utang do (Tidak boleh menjahit baju yang sedang dipakai, nanti hutang kita tidak akan

lunas) Ditinjau dari segi strukturnya menyatakan sebab akibat, yaitu: Jan

manjaik baju lakek di badan = S,ndak lapeh dari utang do = A, sedangkan kategorinya termasuk ke dalam rumah dan pekerjaan seputar rumah tangga. Maknanya bahwa pekerjaan menjahit baju yang sedang dipakai di badan itu bukanlah pekerjaan yang tepat. Kalau hal itu dilakukan nanti badan akan tertusuk oleh jarum. Apabila baju yang dipakai robek, kalau kita ingin menjahitnya, sebaiknya di buka dahulu.Fungsinya juga untuk melarang agar suatu pekerjaan yang berbahaya terhadap diri kita tidak dilakukan. Selai itu,

Page 190: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

184 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

berikut ini juga diuraikan bentuk ungkapan kepercayaan rakyat lainnya yang berkaitan dengan kegiatan yang dilakukan di dalam rumah.

Jan mancotok samba di kuali, beko buruak jadi anak daro atau marapulai (Jangan suka mencicipi sambal yang ada dalam kuali, nanti akan terlihat kurang

bagus sewaktu menjadi pengantin) Berdasarkan ungkapan tersebut terlihat struktur sebab dan akibatnya, yakni: Jan mancotok samba di kuali= S,beko buruak jadi anak daro atau marapulai = A.Makna sebenarnya bahwa mencicipi sambal yang ada dalam kuali itu merupakan sikap yang tidak sopan dan tidak patut untuk ditiru. Sebaiknya sambal yang telah dimasak di dalam kuali itu dipindahkan terlebih dahulu ke dalam piring/tempat sambal.Dari sinilah baru kita diperbolehkan untuk mencicipinya.Fungsi juga untuk mendidik.Mendidik disini bertujuan untuk membentuk sikap seseorang itu supaya tidak berbuat yang tidak sesuai dengan yang semestinya. c. Bentuk Ungkapan Kepercayaan Rakyat Kategori Fenomena Kosmik

(Gejala Alam) Adapun ungkapan kepercayaan rakyat yang berkategori gejala alam yang

ditemukan sebagai berikut. Jan manunjuak pelangi, beko bengkok tangan

(Jangan menunjuk pelangi, nanti tangan akan bengkok) Berdasarkan ungkapan kepercayaan tersebut terlihat dua struktur sebab

akibat, seperti: Jan manunjuak pelangi = S,beko bengkok tangan = A. Kategori dari ungkapan ini adalah tubuh manusia. Adapun maknanya adalah bahwa tidak ada hubungan antara pelangi dengan tangan manusia.Bengkok tangan di sini hanyalah jawaban sementara dari pikiran manusia terhadap gejala alam yang sedang terjadi yang sulit dipahami oleh akal.Fungsinya adalah sebagai “penjelas” yang dapat diterima akal suatu folk terhadap gejala alam yang sangat sukar dimengerti sehingga sangat menakutkan agar dapat diusahakan penanggulangannya. Berikut ini juga disajikan contoh lain ungkapan kepercayaan rakyat yang berkaitan dengan fenomena kosmik. d. Bentuk Ungkapan Kepercayaan Rakyat Kategori Cuaca

Adapun ungkapan kepercayaan rakyat yang berkategori cuaca yang ditemukan sebagai berikut.

Baka garam, buliah taduah hujan (Bakar garam agar hujan berhenti)

Ungkapan di atas mempunyai struktur sebab akibat, yakni Baka garam = S,buliah taduah hujan = A. Makna sebenarnya adalah tidak ada hubungan antara membakar garam dengan hujan yang akan teduh. Ini hanya merupakan jawaban sementara dari teka-teki alam yang tidak terpecahkan oleh pikiran manusia.Fungsi dari ungkapan in adalah untuk mengingatkan sekaligus menyuruh. e. Bentuk Ungkapan Kepercayaan Rakyat Kategori Makanan

Adapun ungkapan kepercayaan rakyat berkategori kehamilan/kelahiran yang ditemukan sebagai berikut.

Jan suko makan kalang ayam, beko kareh basunek (Jangan suka makan ampela ayam, nanti akan kesusahan sewaktu disunat)

Page 191: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

185 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Ungkapan ini terdiri dari dua struktur sebab dan akibat, yaitu: Jan suko makan kalang ayam = S,beko kareh basunek = A. Adapun maknanya bahwa tidak ada hubungan antara makan perut ayam dengan keras sewaktu akan disunat, tetapi ini adalah perbandingan dari pikiran masyarakat terhadap sesuatu hal yang dilihat mereka. Fungsinya sebagai sistem proyeksi khayalan suatu kolektif yang berasal dari halusinasi seseorang. Berikut juga disajikan bentuk ungkapan kepercayaan rakyat lainnya yang berkaitan dengan makanan.

Jan suko manggatok padi, beko sakik talingo (Jangan suka memakan padi, nanti telinga akan sakit)

Ungkapan ini mempunyai struktur sebab akibat, yaitu: Jan suko manggatok padi= S,beko sakik talingo = A. Makna ungkapan ini bahwa kalau sering makan padi akan merusak gigi sekaligus gusi. Gusi akan luka dan sakit terkena sekam padi tersebut. Lebih baik makan beras yang sudah ditanak menjadi nasi.Fungsinya tergolong pada fungsi mengingatkan. f. Bentuk Ungkapan Kepercayaan Rakyat Kategori Tubuh Manusia

Adapun ungkapan kepercayaan rakyat berkategori tubuh manusia yang ditemukan sebagai berikut.

Jan suko maambiak muko, beko taambiak muko baruak (Jangan suka mengambil muka di depan orang, nanti akan dapat muka beruk)

Berdasarkan ungkapan di atas, terdapat dua struktur, yakni struktur sebab akibat: Jan suko maambiak muko = S,beko taambiak muko baruak = A. Makna sebenarnya adalah bahwa sifat yang mengambil muka di depan orang lain merupakan sikap yang tidak baik. Sifat mengambil muka yang buruk disamakan dengan wajah beruk yang buruk. Fungsinya adalah untuk mendidik agar masyarakat tidak suka over acting dalam bertingkah laku di depan orang banyak. Selain itu, juga ditemukan ungkapan kepercayaann tentang tubuh manusia lainnya.

Jan lalok bakaluak, beko cirik bungkuak (Jangan tidur membungkuk, nanti tai juga akan bungkuk)

Berdasarkan ungkapan tersebut strukturnya masih tetap sama yaitu sebab dan akibat, yakni: Jan lalok bakaluak = S,beko cirik bungkuak = A. Maknanya adalah bahwa tidur secara membungkuk tersebut tidak baik untuk kesehatan. Perkembangan tulang punggung tidak rata dan akan menjadi bungkuk. Tidur tersebut sebaiknya secara telentang dan lurus.Fungsinya adalah untuk mengingatkan agar seseorang menjaga kesehatannya dalam tidur. g. Bentuk Ungkapan Kepercayaan Rakyat Kategori Binatang dan

Peternakan Adapun ungkapan kepercayaan rakyat berkategori binatang dan

peternakan yang ditemukan sebagai berikut. Jan mandikan kuciang, beko hujan labek turun

(Jangan memandikan kucing, nanti akan turun hujan lebat) Ungkapan ini menyatakan struktur sebab dan akibat yaitu: Jan mandikan

kuciang = Sbeko hujan labek turun = A. Makna sebenarnya adalah bahwa pekerjaan yang memandikan kucing itu merupakan pekerjaan yang menyiksa binatang. Hewan peliharaan tersebut seharusnya di pelihara dengan baik dan bukan disakiti.Fungsinya untuk mendidik anak-anak yang suka usil terhadap hewan-hewan peliharaan yang ada di rumah.

Page 192: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

186 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

2. Ungkapan kepercayaan rakyat sebagai Bentuk Representasi Kearifan Lokal bagi Masyakarat Desa Kampung Luar Salido

Ungkapan kepercayaan rakyat merupakan salah satu bentuk folklor sebagian lisan yang mencerminkan suatu nilai budaya yang dianut oleh masyarakat di desa kampung Luar Salido. Fungsi utama kepercayaan rakyat adalah untuk mendidik.Selain itu, fungsi ungkapan kepercayaan rakyat di desa Kampung Luar Salido adalah untuk melarang, menghibur, menyuruh, mendidik, mengingatkan, dan mempertebal iman. Kebudayaan atau tradisi-tradisi mempunyai kegunaan tersendiri bagi masyarakat pendukungnya.Sesuai dengan yang dikatakan Hasanuddin WS (2015) bahwa tradisi sastra lisan merupakan salah satu sarana yang dapat mengukuhkan kepercayaan yang ada di dalam masyarakat. Sebaliknya, tidak tertutup pula kemungkinan justru karya sastra menciptakan kepercayaan baru di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat yang lebih modern, anggota masyarakat sering tidak menyadari telah berhadapan dengan mitos, padahal mitos itu berpengaruh terhadap perilaku hidupnya.

Ungkapan kepercayaan rakyat juga merupakan hasil kebudayaan atau tradisi masyarakat di desa Kampung Luar Salido, Kecamatan IV Jurai Kabupaten Pesisir Selatan yang sifatnya turun-temurun.Ungkapan tersebut berbahasa Minangkabau yang disampaikan sesuai dengan sifat dan tingkah laku masyarakat itu sendiri. Sifat dan tingkah laku itu tergambar dari cara mereka menuturkan atau mengucapkan sesuatu. Aneka sikap, perilaku, dan tindak tutur setiap penutur bahasa dapat dipersentasikan melalui ungkapan.

Ungkapan yang disampaikan tersebut secara lisan dalam bentuk santun yang telah dibuat dan diatur oleh masyarakat penuturnya.Dapat dikatakan bahwa sebagian besar ungkapan kepercayaan rakyat yang ditemukan di Desa Kampung Luar Salido merupakan ungkapan yang bersifat larangan. Ungkapan larangan ini mempunyai keunikan tersendiri. Seseorang takut untuk melanggar ungkapan larangan tersebut. Apabila larangan itu dilanggar maka masyarakat percaya bahwa yang ditakutinya tersebut akan mendapatkan akibatnya.

Dari hasil penelitian ini, kenyataan yang ditemukan bahwa dalam di Desa Kampung Luar Salido, suatu ungkapan kepercayaan tidak hanya mempunyai satu fungsi saja bahkan bisa lebih.Fungsi utama kepercayaan rakyat atau di sebut juga dengan pantangan-pantangan orang tua-tua bagi masyarakat dalam berkomunikasi sehari-hari adalah untuk menyampaikan pesan, maksud hati, perasaan dan keinginan si penutur pada lawan tuturnya yang menggunakan bahasa dengan mengandung arti kiasan atau magis yang sifatnya saling menghargai. Ungkapan ini disampaikan penutur agar lawan tuturnya dapat menangkap dan mengerti apa yang hendak diinginkan atau yang diungkapkan oleh penuturnya. SIMPULAN

Berdasarkan deskripsi data, analisis data, serta pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan dari penelitian sederhana ini dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, struktur ungkapan kepercayaan rakyat yang di temukan dalam masyarakat desa Kampung Luar Salido terdiri dari dua jenis. Pertama, struktur yakni struktur sebab akibat.Kedua, struktur sebab,

Page 193: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

187 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

konversi, dan akibat.Kedua, kategori ungkapan dalam masyarakat desa Kampung Luar Salido ini sebagai berikut: (1) masa kehamilan/kelahiran, masa bayi, kanak-kanak, (2) rumah dan pekerjaan rumah tangga (3) gejala alam (4) cuaca (5) makana, (6) tubuh manusia, dan(7) binatang dan peternakan. Ketiga, makna dari ungkapan kepercayaan rakyat ini yaitu mempunyai maksud terselebung yang tersirat secara tidak langsung melalui hubungan antara realita dengan kiasan. Seperti: pendidikan, peringatan, perintah, larangan, bahkan sampai kepada jawaban-jawaban sementara dari pikiran masyarakat terhadap gejala alam yang dilihatnya tetapi sukar dicerna oleh akalnya.Keempat, fungsi ungkapan kepercayaan rakyat di sini yang paling utama adalah mendidik. Di samping itu terdapat fungsi lain, seperti: mengingatkan, melarang, menyuruh, sebagai penebal emosi kepercayaan, sistem proyeksi khayalan suatu kolektif, hingga sebagai alat untuk memperjelas gejala alam yang sulit diterima logika.Adapun saran yang dapat disumbangkan dari penelitian ini sebagai berikut.Pertama, masyarakat Desa Kampung Luar Salido umumnya, terutama kepada para generasi muda agar lebih mengerti dan memahami ungkapan-ungkapan yang ada berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kedua, LKAM yang ada di Salido agar lebih giat lagi dalam menginvetarisasi ungkapan-ungkapan yang ada di masyarakat terutama ungkapan kepercayaan rakyat ini sehingga ungkapan tersebut tidak hilang dan terkikis oleh pergeseran zaman.

DAFTAR PUSTAKA Barthes, Roland. 2003. Mitologis (terjemahan Christian Ly). Bandung: Dian Aksara Press. Chaer, Abdul. 1986. Kamus Idiom Bahasa Indonesia. Jakarta:Grafitti Press. Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dll. Jakarta:

Pustaka Utama Grafitti. Depdiknas.2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen

Pendidikan Nasional. Hasanuddin WS. 2015. “Kearifan Lokal dalam Tradisi Lisan Kepercayaan

Rakyat Ungkapan Larangan tentang Kehamilan, Masa Bayi, dan Kanak-Kanak Masyarakat MinangkabauWilayah Adat Luhak Nan Tigo”. Kembara: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya (Volume 1, Nomor 2, hlm 198-204).

Kasim, Yuslina. Et al. 1982.“Pemetaan Bahasa Daerah di Sumatera Barat dan

Bengkulu”. Padang: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Moleong, L.J. 2002.Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Usaha Nasional.

Page 194: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

188 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

UNSUR-UNSUR EKOLOGI DALAM SASTRA LISAN MANTRA PENGOBATAN SAKIT GIGI MASYARAKAT KELURAHAN KURANJI

1) Iswadi Bahardur, 2) Suryo Ediyono

1) Program Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Pascasarjana UNS

[email protected] 2.Dosen Fakultas Pascasarjana Universitas Sebelas Maret

[email protected]

Abstrak Sastra sebagai bagian dari representasi kehidupan manusia selalu terikat dengan kultur dan lingkungan manusi. Permasalahan yang disampaikan oleh sastrawan dalam karya sastra merupakan bagian dari kenyataan yang terjadi di lingkungan tempatnya berada. Tidak terkecuali dengan sastra lisan. Sebagai sebuah genre sastra tradisional, sastra lisan memiliki ketergantungan dengan unsur-unsur ekologi yang terdapat di dalam alam semesta. Tumbuh-tumbuhan dan hewan, misalnya memiliki peran dalam konteks pembacaan teks-teks mantra saat proses pengobatan penyakit dilakukan oleh seorang dukun. Sastra lisan mantra pengobatan sakit gigi pada masyarakat Belimbing kelurahan Kuranji Kecamatan Kuranji kotamadya Padang, misalnya, dalam praktiknya oleh dukun selalu melibatkan unsur ekologi. Melalui kajian perspektif ekokritik dapat diketahui kehadiran sastra lisan mantra pengobatan sakit gigi pada masyarakat setempat dilatari oleh persyaratan pelengkap yaitu daun-daunan cocok bebek, air putih, sirih, gambir, kapur sirih, buah pinang, batang muda pohon pisang, daun beluntas, serta rokok. Keterlibatan unsur-unsur ekologi tersebut menunjukkan pencitraan yang kuat dari nature, nurture, dan culture masyarakat Belimbing. Kata kunci: culture, ekokritik, mantra, nature, nurture, sakit gigi

Manusia dan alam memiliki hubungan ketergantungan satu sama lain.

Manusia menjadi bagian dari organisme yang hidup di alam dan memanfaatkan berbagai unsur dan organisme lainnya yang terdapat di alam semesta. Sebagai bagian dari organisme alam, manusia tidak dapat hidup tanpa perbauran dan interaksi dengan organisme lainnya di lingkungan sekitarnya. Manusia membutuhkan alam atau lingkungan, baik lingkungan abiotik maupun lingkungan biotik. Tumbuh-tumbuhan, misalnya, menjadi sumber pangan utama bagi keberlangsungan kehidupan manusia.

Sebagai bagian dari organisme lingkungan alam, manusia dituntut paham dengan berbagai gejala atau fenomena yang terjadi di alam. Manusia juga dituntut mampu menjaga keutuhan lingkungan alam dimana dia berada. Keberlangsungan ekosistem kehidupan manusia di alam sangat tergantung pada cara yang dilakukan dalam menjaga keseimbangan lingkungan alam. Perlakuan perlindungan segala macam organisme yang menghuni ekosistem lingkungan adalah bagian dari tanggung jawab manusia. Persentuhan dan interaksi manusia dengan alam pada akhirnya akan memberikan pengalam-pengalaman fisik dan batin yang membawa kesadaran akan pentingnya menjaga ekosistem bumi.

Page 195: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

189 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Ernst Bloch (dalam Kaswadi) menyatakan manusia memiliki pengalaman-pengalaman yang berkiat dengan lingkungan yang disebut dengan rangkaian antropological constans, yaitu dorongan-dorongan dan orientasi tetap manusia. Ada sekurang-kuangnya enam antropological constans yang bisa ditarik dari pengalaman sejarah manusia. (1) Relasi manusia dengan kejasmanian, alam, dan lingkungan ekologis. (2) Keterlibatan dengan sesama. (3) Keterikatan dengan struktur sosial dan institusi. (4) Ketergantungan masyarakat dan kebudayaan pada waktu dan tempat. (5) Hubungan timbal balik antara teori dan praksis. (6) Kesadaran relegius atau parareligius. Relasi manusia dengan kejasmanian, alam, dan lingkunga ekologis tersebut pada akhirnya yang akan membawa manusia pada sikap menghargai alam dengan beragam tindak serta keinginan untuk menjaga keutuhannya. Di samping keinginan menjaga dan merawat keutuhannya, relasi manusia dengan lingkungan ekologis juga disebabkan adanya kebutuhan untuk menghadirkan organisme alam sebagai penyeimbang, penyelamat atau untuk kesehatan.

Dilihat dari sejarah kehidupan manusia mulai dari kebudayaan tradisional, segala macam tradisi dan kultur yang dihasilkan manusia selalu merupakan hasil dari persentuhan dengan lingkungan alam. Sebagai contoh, sastra tradisi atau sastra klasik, khususnya sastra lisan, bersumber dari ritual-ritual dan tradisi yang dilakukan oleh manusia untuk menjaga keseimbangan kehidupannya. Dalam tradisi-tradisi-tradisi da ritual tersebut selalu melibatkan alam dengan segala macam organismenya. Tujuannya tidak lain adalah untuk menjaga keharmonisan antara manusia dengan ekosistem lainnya. Tradisi dan ritual tersebut kemudian menjadi bagian tidak terpisahkan dari tradisi sastra lisan dan folklore yang anonim. Dalam sejarahnya, sastra lisan dan folklore di nusantara bersumber dari berbagai tradisi dan ritual kuno yang melibatkan unsur-unsur alam dalam praktiknya. Awalnya tradisi-tradisi yang menjadi bagian sastra lisan dan folklore tersebut diciptakan adalah untuk menjaga keselamatan manusia dari berbagai kejadian alam seperti banjir, petir, hujan badai dan berbagai fenomena kerusakan alam lainnya. Dari tradisi tersebut berkembang tradisi lisan yang anonim dengan persentuhan berbagai karakter manusia sehingga melahirkan berbagai mitos tentang anak durhaka, kutukan menjadi batu, kutukan menjadi batu menangis, penjelmaan menjadi ikan duyung, dan lainnya.

Sastra lisan adalah salah satu genre sastra yang sangat erat keterkaitannya dengan alam sekitar tempat dimana diciptakan. Unsur-unsur sastra lisan selalu menghadirkan unsur alam sebagai pendukungnya. Kehadiran unsur-unsur alam dalam sastra lisan salah satu tujuannya adalah untuk mengatasi berbagai gejala alam yang ada kaitan dengan keberlangsungan hidup manusia dan falsafah penerimaan batin sebagai bagian dari alam dan lingkungnnya. Seperti halnya dinyatakan oleh Endraswara (2016: 20) sastra lisan menjadi saksi bahwa lingkungan alam sangat kondusif bagi kehidupan manusia. Banyak karya sastra lisan yang menggambarkan tentang kondisi alam yang luar biasa indah dan memanjakan kehidupan manusia dan telah menjadi darah daging bagi kehidupannya. Lebih lanjut Endraswara mencontohkan dari falsafah sastra lisan masyarakat Jawa, ana dina ana upa, manan ra manan sing penting kumpul. Ungkapan sastra lisan ini menurut Endraswara menggambarkan keterkaitan

Page 196: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

190 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

sikap manusia, nrimo dalam masyarakat Jawa terhadap kondisi sosial-ekonomi di alam semesta.

Satu diantara genre sastra lisan yang bersentuhan sangat akrab dengan lingkungan alam adalah mantra. Sebagai sebuah genre sastra terdahulu dan tradisional, kehadiran sastra lisan sangat terikat kuat dengan berbagai fenomena kejadian yang terjadi di alam sekitar. Sama halnya dengan ketergantungan manusia tradisional dengan berbagai unsur alam, sastra lisan telah mewakili keterikatan manusia dengan alam tersebut. Mantra sebagai satu diantara genre dari sastra lisan secara jelas telah merepresentasikan bagaimana keterikatan manusia dengan alam dan lingkungan dimana dia berada. Teks-teks mantra serta konteks pendukung yang melatarbelakangi kehadirannya menunjukkan bahwa unsur-unsur alam tertentu seperti tumbuhan, hewan, kondisi cuaca, waktu dan manusia itu sendiri selalu menjadi unsur pendukung kelahiran sebuah mantra.

Dilihat dari sejarah kelahirannya, sastra lisan mantra merupakan kesusastraan paling tua di nusantara di nusantara. Awal kelahirannya, mantra digunakan sebagai bagian dari ritual upacara tradisi untuk kepentingan tertentu seperti pengobatan orang yang sakit, melindungi diri dari kejahatan, bahkan untuk tujuan negatif. Dalam praktiknya, mantra biasanya dirapalkan secara lisan oleh orang-orang yang dianggap memiliki kekuatan supranatural, orang yang dipandang pintar, mantra yang dirapalkannya dipandang mempan untuk mengobati suatu penyakit tertentu. Sukmawan (2011) dalam penelitiannya menjelaskan karya sastra yang berorientasi lingkungan memiliki kriteria yaitu (a) alam tidak hanya hadir sebagai bingkai tetapi sebagai sebuah kehadiran yang menunjukkan bahwa sejarah manusia terlibat dalam sejarah alam; (b) kepentingan manusia tidak dipahami sebagai satu-satunya kepentingan yang sah; © pertanggungjawaban manusia terhadap lingkungan merupakan bagian dari orientasi etis teks; (d) lingkungan sebagai suatu proses, bukan sebagai sesuatu yang konstan atau yang diberikan.

Banyak mantra yang berkembang pada sastra lisan suku bangsa di Indonesia. Sebagai contoh di dalam etnis masyarakat Minangkabau, mantra telah berkembang sejak zaman tradisionla sampai ke zaman kekinian. Dalam rentang sejarah tersebut mantra bagi masyarakat Minangkabau memiliki fungsi yang sangat dekat dan melebur dalam kehidupan sehari-hari, misalnya mantra yang digunakan untuk melindungi (memagar) rumah dari bahaya unsur-unsur negatif, mantra untuk mengusir roh-roh jahat, mantra untuk pengobatan sakit, mantra untuk percinntaan, atau mantra untuk melindungi diri dari hal-hal negatif dan berbau hitam. Mantra-mantra tersebut berkembang di berbagai daerah Minangkabau dengan berbagai penamaan, struktur, aspek-aspek pendukung, konteks yang melatari kehadirannya, serta sosok perapal mantranya. Sebagai contoh dalam masyarakat di kecamatan Sutera Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat terdapat mantra yang dikenal dengan nama mantra Pamanih. Mantra Pamanih bagi masyarakat di Kecamatan Sutera dianggap memiliki kekuatan magis yang berfungsi mempercantik atau mempergagah diri si pemiliknya. Sampai saat dalam masyarakat di daerah ini mantra Pamanih masih dikenal meskipun praktik pemakaiannya sudah jarang karena adanya perubahan pola pikir dan pola pendidikan. Terlepas dari eksistensi tersebut, patut diketahui bahwa dalam praktiknya mantra Pamanih tidak terlepas dari pengaruh unsur-

Page 197: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

191 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

unsur makhluk hidup yang terdapat di alam sekitar daerah tersebut. Konteks kehadiran mantra tersebut selalu didukung oleh ragam organisme tumbuh-tumbuhan dan hewan. Selain mantra Pamanih tersebut terdapat berbagai jenis mantra lain yang masih berkembang dalam sastra lisan di Minangkabau.

Terlepas dari berbagai fungsi dan ragam mantra tersebut, hal yang menarik untuk dikaji adalah dalam praktiknya mantra di dalam sastra lisan Minangkabau selalu bersinggungan dengan ekosistem yang terdapat di alam. Dari awal kajian-kajian terhadap mantra di daerah tersebut telah ditemukan kenyataan bahwa dalam bait-bait, lirik dan kalimat yang diucapkan oleh perapal mantra selalu mengandung maksud, tujuan, dan objek berupa benda-benda dan makhluk hidup yang terdapat di alam semesta. Hal ini memperkuat kenyataan bahwa dalam penciptaan sastra lisan mantra tersebut tergambar bagaimana hubungan dan saling ketergantungan antara manusia dengan segala komponen organisme yang terdapat dalam ekosistem alam.

Satu diantara mantra yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau adalah mantra pengobatan sakit gigi. Berdasarkan hasil penelusuran dan penelitian penulis, mantra ini ternyata telah lahir dan berkembang dalam salah satu kelurahan di kota Padang yaitu kelurahan Kuranji, tepatnya di daerah Belimbing. Pelaku aktif dari mantra tersebut adalah dukun. Dalam masyarakat tradisional di daerah Belimbing seorang dukun dipercaya memiliki kekuatan sakti dan magis sehingga dapat mengobati sakit tertentu. Kekuatan tersebut dipercayai bersumber dari mantra yang dimiliki oleh sang dukun.

Sastra lisan mantra pengobatan sakit gigi pernah berkembang dan dipraktikkan untuk pengobatan sakit gigi sejak zaman tradisional sampai sekarang. Namun jika dibandingkan dengan zaman tradsional, intensitas keyakinan masyarakat daerah setempa terhadap mantra pengobatan sakit gigi sudah sangat berkurang dikarenakan kemajuan faktor pendidikan, kemajuan teknologi medis, serta status kesejahteraan ekonomi. Saat ini memang masih terdapat anggota masyarakat yang mempraktikkan pengobatan kepada duun yang memiliki mantra pengobat sakit gigi, namun hanya terbatas pada anggota masyarakat yang berada di pesolok Belimbing dan terbelakang dalam pendidikan. Selain mantra pengobatan sakit gigi, di daerah Belimbing juga terdapat kepercayaan pada mantra pengobat terkena gigitan binatang buas seperti ular, mantra pejinak bisa, mantra pasak lidah, mantra banaik rumah, dan mantra meneruka lahan pertanian baru.

Terlepas dari keberadaan mantra pengobatan sakit gigi di daerah Belimbing pada saat ini, hal lain yang penting untuk dikaji adalah keterlibatan unsur-unsur ekologi dalam praktik mantra tersebut. Praktik mantra pengobatan sakit gigi yang dilakukan oleh dukun di daerah setempat melibatkan berbagai tumbuh-tumbuhan dan unsur abiotik lainnya, seperti daun Cocor Bebek, daun Sirih, batang pohon Pisang, buah Pinang, kapur sirih, gambir, air putih, dan juga rokok. Bahan-bahan yang bersumber dari ekosistem alam tersebut digunakan sebagai syarat pelengkap dalam proses pengobatan sakit gigi dengan menggunakan mantra dukun. Keberadaan unsur-unsur ekologi dalam mantra pengobatan sakit gigi di daerah Belimbing tersebut adalah bagian penting dalam khasanah sastra lisan dan kaitannya dengan lingkungan hidup. Kenyataan keterlibatan unsur ekologi dalam sastra lisan mantra masyarakat setempat

Page 198: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

192 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

menegaskan bahwa dalam ekosistem kehidupannya terdapat interaksi antara nature (alam), nurture (pengalaman dan kebiasaan), dan culture (kebudayaan).

Secara teoretis, menurut Djamaris (2002:10), Wojowarsito (1987:13), ,Amir (2013:67), mantra adalah puisi yang tertua dalam sastra Minangkabau yang bermakna doa atau permohonan, diciptakan untuk mendapatkan kekuatan gaib dan sakti, didaraskan seseorang pada tempat tertentu, teks dan lafalnya tidak jelas, kekuatan magis implisit di dalamnya, dan ada akibat riil atas pelaksanaannya.

Dalam mantra tercermin kepercayaan masyarakat pelakunya yaitu kepercayaan animisme dan dinamisme. Masyarakat tradisional percaya bahwa setiap benda mempunyai roh, seperti gunung, pohon besar, gua, dan lembah yang dalam. Benda-benda tertentu juga diyakini mempunyai kekuatan magis, kekuatan luar biasa yang dapat dimanfaatkan sesuai dengan keinginan pembaca mantra. Hal yang dinilai adalah mangkus (efektif) atau tidak mangkusnya mantra itu. Mantra yang mangkus akan membawa hasil nyata seperti yang diharapkan, misalnya orang yang dimantrai menjadi sembuh atau menjadi sakit. Di sini tidak timbul masalah indah atau tidak indah, yang penting adalah mangkus atau tidak.

Ahmadi (1986:145) menjelaskan mantra merupakan bagian dari magi yang memiliki tujuan: (a) produktif: (bertujuan menghasilkan, menambah kemakmuran, dan kebahagiaan seseorang); (b) protektif (bertujuan melindungi sesuatu dari hal-hal yang berbahaya atau merugikan); dan (c) destruktif (bertujuan menimbulkan kerusakan, kesusahan, dan bencana). Ahli lain, Amir (2013: 67-68) menyatakan mantra didaraskan atas permintaan seseorang, pendarasan itu mengandung niat yang praktis, seperti mengobati orang sakit, membuat orang lain sakit, untuk melariskan dagangan, atau melindungi diri dan rumah dari kekuatan jahat yang dikirim orang. Dalam beberapa kondisi, pendaras mantra (dukun, bomoh, orang pandai) ditakuti, bukan dihormati. Apalagi jika ia dikenal dengan mantra hitamnya (black magic). Pengamal mantra baik (white magic) lazimnya disegani dan dihormati.

Keberadaan mantra yang mencerminkan anismisme dan dinamisme masyarakat pemiliknya, serta keyakinan akan adanya benda tertentu yang mempunyai roh, seperti gunung, pohon besar, gua, dan lembah menjadi kajian yang layak disandingkan dengan paradigma ekologi.

Ekokritik (ecocritism) atau kritik ekologi sebenarnya bersumber dari pergerakan lingkungan modern sekitar tahun 1960-an di Eropa untuk menyikapi kondisi perubahan populasi. Dalam perjalanannya telaah ekologi tersebut dikaitkan dengan disiplin ilmu sastra sehingga melahirkan kajian ekologi sastra, sastra ekologis, atau ekokritik. Kajian interdisipliner ini cukup beralasan mengingat karya sastra tidak lahir dari sebuah kekosongan belaka. Teeuw (2013: 253) mengemukakan bahwa sistem sastra tertentu tidak tumbuh dan berkembang dalam isolasi mutlak. Pandangan tersebut didukung oleh Pujiharto (2010: 65) yang menyatakan kemunculan karakteristik tertentu pada karya fiksi bukan sesuatu yang khas milik dirinya sendiri, melainkan terdapat hubungan dengan aspek lain di luar sastra, seperti ekonomi, budaya, soal dan lingkungan. Istilah ekokritik sendiri berasal dari bahasa Inggris, ecocritism, ecology dan critism. Ecology diartikan sebagai kajian ilmiahtentang pola hubungan-hubungan tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, dan manusia terhadap satu sama lain dan

Page 199: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

193 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

terhadap lingkungannya. Istilah critism (kritik) bermakna penilaian terhadap kualitas baik dan buruknya sebuah karya. Jadi ekokritik adalah kritik berwawasan lingkungan.

Ekokritik memiliki paradigma dasra setiap objek dapat dilihat dalam jaringan ekologis dan ekologi dapat dijadikan ilmu bantu dalam pendekatan kritik tersebut. Dalam konteks ekokritik Amerika, dikotomi opoisi binner alam dan budaya (nature-culture) telah berganti dengan model triade trikotomis nature-nurture-culture (alam-pemeliharaan-budaya) yang menegaskan bahwa jaringan ekologis membentuk keterkaitan antara alam, pemeliharaan, dan budaya dalam suatu ekoster, (Harsono: 2008: 34). dalam aras teori sastra teori ekokritik dapat dirunut dalam paradigma teori mimetik yang memiliki anggapan bahwa sastra memiliki keterkaitan dengan kenyataan. Didasarkan pada asumsi tersebutlah maka dalam tulisan ini sastra lisan mantra dapat dikaji dalam kaitannya dengan unsur-unsur ekologi yang ada dalam lingkungan nyata. METODOLOGI PENELITIAN

Artikel ini merupakan hasil dari penelitian terhadap sastra lisan mantra yang bersifat kualitatif. Metode yang digunakan dalam olahan data penelitian adalah deskriptif analisis. Latar penelitian adalah daerah Belimbing yang termasuk ke dalam kelurahan Kuranji, Kecamatan Kuranji Kotamadya Padang, Provinsi Sumbar. Secara kependudukan kelurahan Kuranji yang berada di kecamatan Kuranji kotamadya Padang memiliki 25.679 jiwa yang tergabung ke dalam 6.013 kepala keluarga. Pada umumnya rata-rata pendidikan SMA. Entri penelitian adalah mantra pengobatan sakit gigi dengan fokus pada unsur-unsur ekologi yang terdapat dalam mantra pengobat sakit gigi serta unsur-unsur ekologi dalam konteks yang mensyarati kehadiran sastra lisan mantra pengobatan sakit gigi di Belimbing kelurahan Kuranji Kecamatan Kuranji kotamadya Padang.

Penelitian ini difokuskan pada, a) unsur-unsur ekologi dalam sastra lisan mantra pengobatan sakit gigi; b) unsur-unsur ekologi yang melatari konteks kehadiran sastra lisan mantra pengobatan sakit gigi di Belimbing kelurahan Kuranji kecamatan Kuranji kotamadya Padang. Dalam proses penelitian, peneliti terlibat (participant observation) sehingga dapat memberikan dengan baik rasa saling percaya antara peneliti dengan sumber data (rapport). Informan yang dipilih sebanyak 3 orang dan berasal dari daerah di kelurahan Kuranji serta merupakan pelaku aktif mantra pengobatan sakit gigi di daerah setempat. HASIL DAN PEMBAHASAN Unsur-unsur Ekologi dalam Sastra Lisan Mantra Pengobatan Sakit Gigi Masyarakat Belimbing Kelurahan Kuranji Kecamatan Kuranji Kotamadya Padang Bismillahirrahmanirrahiim Asa ulek dari banak Asa banak dari ulek Kalau angkau manggigik-gigik Kalau angkau mancotok-cotok

Page 200: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

194 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Sadang insan manusia Kalau angkau mancotok-cotok Angkau kanai sumpah manjadi ampiang Mati manggarebang Mati dicakiak darah Mati dicakiak tulang Mati dicakiak dagiang Ka teh indak bapucuak Ka bawah indak baurek Huuuu..............Allah

Pada bait pertama dalam struktur mantra pengobatan sakit gigi tersebut ada empat aspek lingkungan alam penting yang muncul, yaitu a) tuhan; b) manusia; c) hewan; dan d) tumbuhan; Tuhan semesta alam. Inti dari segala kehidupan di atas bumi adalah Tuhan, Sang pencipta. Kehadiran manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan adalah karena kekuatan dan kebesaran Tuhan, Allah SWT. Kenyataan itu adalah hal yang tidak dapat diingkati oleh siapapun. Kehidupan manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan diatur oleh Allah SWT. Siklus kehidupan yang dimulai dari kelahiran, kecil, dewasa, tua, meninggal; sakit, sehat, semua diatur oleh Allah SWT. Oleh karena itu kewajiban manusia adalah menghadirkan Tuhan Sang Pencipta tersebut dalam setiap aktifitas ruang geraknya. Kalimat Bismillahirrahmaniirrahiim yang membuka mantra tersebut adalah penggambaran dari nature, alam, sesuatu yang alamiah, kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, bahwa alam semesta dan segala isinya diatur oleh Tuhan Sang Pencipta. Oleh karena itu menjadi keharusan untuk memulai sesuatu pekerjaan dengan menyebut nama Allah SWT; dengan menyebut nama Allah, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia juga harus menyadari dan mengerti bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta telah diatur oleh Allah SWT sebagai Sang pencipta. Pencitraan nurture asal muasal segala penyakit, asal muasal hewan, asal muasal tubuh manusia adalah dari Tuhan.

Pada larik-larik mantra yang berbunyi Asa ulek dari banak, Asa banak dari ulek, Kalau angkau manggigik-gigik, Kalau angkau mancotok-cotok, Sadang insan manusia dimunculkan kesadaran tentang organisme dalam ekosistem kehidupan serta perilaku organisme penghuni ekosistem tersebut. Organisme tersebut adalah hewan (ulek, ulat; banak), manusia (otak; bagian paling penting dalam tubuh manusia), dan manggigik-gigik, menggigit-gigit (aktifitas laku dari hewan dan manusia). Pada larik-larik ini si perapal mantra telah memberikan pemahaman kepada manusia tentang pencitraan dari nurture. Pencitraan tersebut adalah bahwa suatu penyakit (dalam konteks yang dimaksud disini adalah penyakit gigi) yang dialami oleh manusia adalah dari perilaku dan pikirannya. Asa ulek dari banak memberikan pemahaman nurture bahwa penyakit manusia (penyakit gigi dikonotasikan dengan ulat) asalnya adalah dari pikiran (otak) manusia itu sendiri. Sebaliknya asal muasal Banak (otak, pikiran) manusia adalah dari ulek (ulat, hewan). dalam larik-larik ini

Page 201: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

195 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

perapal mantra memberikan pemahaman tentang citra nurture-pengalaman manusia tentang sakit, sebuah penyakit adakalanya bersumber dari pola hidup, cara berpikir dan cara memperlakukan diri. Apabila manusia tidak menjaga kebersihan, maka penyakit gigi tersebut akan menggerogoti tubuhnya. Konotasi penyakit gigi dengan kata ulat adalah untuk menggambarkan sesuatu yang tidak bersih.

Kembali pada pencitraan nurture, dalam penagalaman kehidupan masyarakat tradisional masyarakat akrab dengan mitos bahwa penyakit gigi disebabkan oleh ulat. Pandangan ini bertahan sampai sekitar tahun 1700-an. Dalam kenyataannya ulat yang dimaksud tersebut adalah pembusukan yang terjadi pada gigi berlubang akibat pertemuan antara bakteri dan asam gula.

Pada bait kedua dan ketiga mantra tersebut memberikan penjelasan yang masih berkait dengan bait sebelumnya, yakni ulat sebagai penyebab penyakit gigi. Perapal mantra menyatakan jika kamu (ulat) mematuk-matuk (menimbulkan rasa sakit pada gigi) maka akan dikutuk menjadi emping (emping sebenarnya adalah makanan ringan dari hasil olahan buah melinjo). lebih lanjut dijelaskan bahwa jika kamu (ulat) terus mengganggu, menyebabkan penyakit, maka akan menemukan ajal dengan cara yang tidak menyenangkan (dicekik darah, daging, dan tulang). Dalam larik dan bait ini ditemukan unsur-unsur dari ekosistem alam semesta. Unsur tersebut adalah nature, tumbuh-tumbuhan (emping, makanan yang terbuat dari buah melinjo), Pencipta alam semesta (Allah) , serta pencitraan culture (mematuk-matuk).

Dalam kultur masyarakat tradisional Minangkabau pengobatan penyakit sudah menjadi sebuah tradisi, sebuah kultur, dengan memanfaatkan unsur-unsur dalam ekosistem alam. Tumbuh-tumbuhan dan hewan dipandang menjadi bagian tidak terpisahkan dari penyakit manusia, baik sebagai penyebab sakit, maupun sebagai pengobat penyakit. Selaras dengan hal itu kultur masyarakatnya membiasakan sebuah upaya pemeliharaan diri (nurture) melalui pengobatan. Dalam konteks masyarakat tradisional, pengobatan yang paling dianggap ampuh adalah kepada orang pintar (dukun). Biasanya orang pintar atau dukun tersebut dipandang memiliki kekuatan lebih dari masyarakat awam serta memiliki mantra sebagai sumber pengobatannya. Dalam larik-larik mantra pengobatan penyakit gigi tersebut memberikan citra tentang bagaimana manusia menyikapi alam, menyikapi diri dan tubuhnya melalui serangkaian pengobatan, pemeliharaan agar terhindar dari penyakit tertentu. Mitos tentang ulat sebagai sumber penyakit gigi mencitrakan bahwa antara manusia dan hewan memiliki hubungan yang erat, bisa dalam konteks merugikan, bisa dalam konteks menguntungkan. Unsur-unsur Ekologi yang Melatari Konteks Kehadiran Mantra Pengobatan Sakit Gigi Masyarakat Belimbing Kelurahan Kuranji Kecamatan Kuranji Kotamadya Padang

Berdasarkan hasil wawancara dengan 3 orang informan, ketiganya menyatakan pengobatan dengan mantra untuk penyakit gigi harus dilengkapi dengan persyaratan sesuai dengan permintaan dukun. Informan 1 (Saban, 52 tahun) mensyaratkan pelengkap pengobatan dengan mantra penyakit gigi adalah rokok 1 bungku (digunakan untuk pengobatan awal). Rokok diyakini akan dapat

Page 202: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

196 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

membakar ulat yang bersarang dalam gigi yang si sakit. Syarat berikutnya adalah daun sitawa-daun sidingin (daun cocor bebek), umbut pisang (batang pisang yang masih muda), sekapur sirih, kemenyan, daun siamih, gambir, kapur sirih, dan air putih. Dedauan dari tumbuh-tumbuhan tersebut akan dipotong-potong dan di iris kecil, dimasukkan ke dalam air putih dan air rendaman daunan trsebut harus diminum oleh si sakit setelah dimantrai dukun.

Gambar 1, 2, 3. 4 daun gambir, kemenyan, kapur sirih, daun sirih

Dalam pengobatan sakit gigi dengan mantra, kemenyan digunakan

sebagai perantara pada saat dukun membacakan mantra. Kemenyan akan dibakar pada saat pembacaan mantra dimulai. Sementara daun sirih, gambir, pinang dan kapur sirih digunakan oleh dukun untuk dimantrai. Daun-daun dan kapur sirih yang telah dimantrai tersebut harus dijadikan satu dan dikunyah oleh si sakit. Air kunyahan tersebut harus ditelan dan sepah sirih boleh dibuang. Air kunyahan sirih yang berwarna merah tersebut juga dapa dioleskan pada bagian gigi yang mengalami sakit.

Dalam bidang ilmu Biologi dan pengobatan dijelaskan bahwa Sirih (Piper Bitle) merupakan tumbuhan yang digunakan sebagai obat-obatan antioksidan warisan turun temurun sejak masih nenek moyang. Daun sirih memiiki minyak atsiri, minyak terbang, seskuiterpen, pati, diatase, gula dan zat samak dan kavikol yang memiliki daya mematikan kuman, antioksidasi dan fungisida, anti jamur. Tumbuhan ini diyakini berkhasiat menghilangkan bau badan, bersifat menahan perdarahan, menyembuhkan luka pada kulit, dan gangguan saluran pencernaan.

Gambar 5. Pinang (Areca Catechu)

Menurut penuturan informan, Pinang (Areca catechu) digunakan secara turun temurun oleh masyarakat di daerah Belimbing sebagai campuran dalam mengunyah sirih. Dalam pengobatan sakit dengan mantra biji pinang digunakan bersama dengan gambir, sirih dan kapur sirih. Pinang yang dipilih haruslah yang telah dikupas dan dibuang kulitnya, kemudian buah Pinang tersebut dipecah menjadi bagian kecil untuk dikunyah bersama daun Sirih, Gambir, dan kapur sirih.

Page 203: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

197 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Gambar 6,7. Daun Cocor Bebek (Daun Sitawa- daun sidingin)

Secara citra culture pada masyarakat Minangkabau tradsional, dau cocor bebek dikenal dengan nama daun Sitawa-Sidingin. Kedua daun ini selalu digunakan secara bersamaan untuk mengobati berbagai penyakit. Sementara dalam bidang biologi daun cocor bebek atau daun suru bebek memiliki nama Latin Kalanchoe pinnata syn, briophyllum calychinum. Cocor bebek mengandung apperzuur, damar, zat lendir, magnesium malat, kalsium oksalat, asam formiat, dan tannin yang berkhasiat untuk menyembuhkan sakit kepala, panas dalam, luka, demam, sakit dada, serta penyakit kulit. Sitawa atau dalam bahasa latinnya Andrographis Paniculata juga termasuk spesies cocok bebek, memiliki kandungan apperzuur, damar, zat lendir, magnesium malat, kalsium oksalat, asam formiat, dan tannin yang berkhasiat untuk menyembuhkan panas dalam dan rasa sakit akibat peradangan.

Oleh informan kedua (Inur, 45 tahun) pengobatan sakit gigi dengan mantra hanya mensyaratkan pelengkap yaitu umbut pisang (batang pisang yang masih muda dan lunak). Umbuik Pisang (Umbut Pisang atau batang pisang muda yang masih lunak) fungsinya untuk menurunkan panas. Umbut Pisang yang diambil adalah pada bagian pangkalnya, dan diambil pada bagian isi tengahnya, supaya banyak getahnya. Semua ramuan tersebut diiris-iris, kemudian dicampurkan ke dalam air lalu dibacakan mantra oleh dukun. Air ramuan yang telah dibacakan mantra kemudian dikumur-kumur oleh si sakit. Dalam bidang Biologi diketahui beberapa jeni spesies Pisang, seperti Musa Acuminata, M. Balbisiana, dan M. Paradisiaca.

Gambar 8. Umbut Pisang (umbuik pisang atau batang pisang muda)

Informan III (Upik Manih, 50 tahun), menggunakan syarat perlengkapan yang sederhana dalam pengobatan sakit gigi dengan mantra. Syarat pelengkap adalah Daun Siamih. Upik Manih menjelaskan Siamih merupakan sejenis rerumputan yang tumbuh di tengah sawah, dipercaya masyarakat dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit, seperti luka, penyakit magh dan sakit gigi. Daun Siamih digunakan oleh Upik Manih untuk mengobati pasiennya dengan cara direbus. Air rebusan tersebut dikumur-kumur oleh pasien. Air rebusan daun siamih terasa asam, oleh sebab itu, bisa membantu membunuh kuman pada bagian gigi pasien yang sakit.

Page 204: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

198 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Gambar 9. daun Siamih (daun Beluntas)

Syarat pelengkap terakhir dalam pengobatan sakit gigi dengan mantra yang harus dipenuhi oleh si sakit adalah air putih. Dukun akan meminta si sakit membawakan air putih yang akan digunakan pada saat proses pengobatan dengan mantra dilakukan. Setelah semua ramuan daun-daunan selesai dipotong dan diiris, dukun akan memasukkan ke dalam air putih yang telah disediakan tersebut. Air putih yang disiapkan si sakit harus air putih yang berasal dari sungai yang jernih, air yang mengalir, bukan air sumur atau air tidak mengalir. Ada keyakinan yang dimiliki masyarakat di Belimbing bahwa air yang mengalir di sungai bersumber dari mata air yang bersih, murni, dan belum mengandung zat-zat kimia yang membuat kekuatan mantra dan ramuan menjadi hilang.

Munculnya unsur-unsur ekologi dalam sastra lisan mantra pengobatan sakit gigi di daerah Belimbing Kelurahan Kuranji Kota Padang menunjukkan kuatnya ketergantungan antara lingkungan dengan manusia. Pencitraan nature melalui daun Cocor Bebek, daun Sirih, air putih, daun beluntas merupakan penguatan tentang keberadaan kehidupan manusia dalam kondisi sehat ataupun sakit tidak bisa terlepas dari organisme makhluk hidup lainnya. Pencitraan culture pengobatan sakit gigi dengan mantra serta pencitraan nurture melalui proses pemanfaatan serta peramuan obat-obatan-daun Cocor bebek, batang Pisang muda dipotong-potong, dicincang, dan direndam bersama air putih merupakan penguatan tentang pelestarian sumber-sumber daya alam hayati untuk keberlangsungan kehidupan manusia. Habitat produktif di lingkungan alam memberikan manfaat untuk kesehatan tubuh manusia. Hal ini menunjukkan adanya keharmonisan antara organisme yang menghuni ekosistem besar di alam sebagai ciptaan Tuhan yang perlu dijaga dan dilestarikan.

PENUTUP Sastra lisan mantra pengobatan penyakit gigi pernah tumbuh dan

berkembang dalam lingkungan kehidupan masyarakat di desan Belimbing Kelurahan Kuranji Kotamadya Padang. Sebagai bagian dari suku bangsa Minangkabau yang kaya akan tradisi dan kebudayaan, sastra lisan mantra di daerah Belimbing telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari gerak laku kehidupan masyarakatnya. Dalam praktiknya, sastra lisan mantra ini selalu bersentuha dengan sumber-sumber hayati, penghuni ekosistem di lingkungan alam daerah tersebut. Dalam praktik pengobatan mantra ini dukun yang berperan sebagai pengobat si sakit telah menjembatani pencitraan nature, nurture, dan culture yang sangat kuat dari masyarakat setempat. Pengobatan dengan mantra tersebut telah menegaskan bahwa antara alam beserta isinya memiliki hubungan ketergantungan yang mendukung keberlangsungan kehidupan manusia dan sebaliknya. Perubahan kondisi alam dan geografis akibat teknologi baru

Page 205: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

199 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

sekiranya perlu diberi perhatian serius oleh masyarakat, termasuk di daerah Belimbing. Perubahan kondisi alam dan geografis akibat teknologi baru secara pelan akan mengikis keberlangsungan hidup ekosistem hayati yang secara tidak langsun juga berdampak pada keberlangsungan kehidupan manusia. Melalui kajian interdisipliner ekologi dan karya sastra upaya penelusuran kondisi alam, upaya pelestarian dan pemanfaatannya menjadi bagian yang penting untuk dilakukan.

KEPUSTAKAAN Ahmadi, Abu. 1986. Antropologi Budaya. Surabaya: CV Pelangi. Amir, Adriyetti. 2013. Sastra Lisan Indonesia. Yogyakarta: CV Andi Offset. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar. A. Teeuw. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta. PT Girimukti Pasaka. Djamaris, Edwar. 2002. Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau. Jakarta: Obor

Indonesia. Djamaris, Edwar.1990. Sastra Melayu Klasik. Jakarta: Balai Pustaka. Endraswara, Suwardi. 2016. Ekologi Sastra; Konsep, Langkah, dan Penerapan.

Jakarta. Penerbit CAPS. Harsono, Siswo. “Ekokritik: Kritik Sastra Berwawasan Lingkungan”. Artikel.

Jurnal kajian Sastra Vol. 32 No. 1 2008. http://e-journal.undip.ac.id/index.php/kajian sastra/article/view/2702. download 25 September 2017.

Hidayat, Moh. Fathul dan Endang Fardiansari. “Peranan Tradisi Lisan dalam Upaya Pelestarian Lingkungan: Studi Ekologi Budaya Goa Ngerong Rengel Tuban”. Makalah. Prosiding Seminar Nasional II tahun2016. Prodi Pendidikan Biologi dan Pusat Lingkungan dan kependuduka (pSLK) Univ. Muhammadiyah Malang, 26 Maret 2016.

Kaswadi. “Paradigma Ekologi dalam Kajian Sastra”. Artikel. Jurnal Paramasastra Vol. 2 No. 2 tahun 2015. http://e-journal.fbs.unes.ac.id/index.php/paramasastra/article/download/35/40. download tanggal 26 september 2017

Matondang, Ibnu Avena. 2013. “Udan Potir; Simbolik Ekologis Gordang dan Lingkungan Alam”. Artikel. Jurnal Lakon Vol. I No. 2 Edisi Juli 2013. http://e-journal.unair.ac.id/index.php/LAKON/article/view/1915. download 25 September 2017 Sukmawan, Sony. “Sastra (Lisan) Pastoral sebagai Sastra Lingkungan”. Artikel. Jurnal Penelitian 21 Januari 2015. Fib.ub.ac.id/?p=61328/ang=id

Page 206: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

200 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

BUDAYA LISAN SEBAGAI “PEMBAWA NILAI NORMATIF” MASYARAKAT SANTRI : ANALISIS KONTEN DIDAKTIK DAN

PENYUSUNAN CERGAM LEGENDA PARA ULAMA

M. Bayu Firmansyah,S.S.,M.Pd. Tristan Rokhmawan,S.S.,M.Pd

STKIP PGRI Pasuruan ABSTRAK: Penelitian ini berhasil menemukan, menganalisis, dan menyusun ulang cerita legenda Kiai di Kota Pasuruan. Peneliti mengumpulkan berbagai cerita terkait Kiai dengan fokus penelusuran pada cerita yang bernilai didaktik. Peneliti mendatangi delapan situs penleitian berupa makam Kiai. Peneliti mendapatkan sepuluh judul cerita bermuatan konten didaktik. Selanjutnya untuk membuktikan bahwa cerita-cerita yang dikumpulkan memiliki muatan konten didaktik, peneliti menganalisis isi cerita dengan pendekatan analisis konten. Analisis konten dilakukan untuk membuktikan keberadaan konten didaktik berupa penggambaran nilai baik-buruk, moral, dan sanksi. Dari hasil analisis ditemukan bahwa cerita legenda Kiai dalam budaya lisan masyarakat santri Kota Pasuruan memuat konten didaktik terkait nilai-nilai normatif dalam masyarakat. Pandangan hidup masyarakat santri mengenai nilai baik-buruk, moral, dan sanksi dicerimkan dalam isi legenda Kiai untuk diteruskan sebagai pesan bagi anak-anak, generasi penerus mereka. Budaya lisan berupa cerita legenda Kiai ini telah menjadi “pembawa nilai normatif” yang menjadi karakteristik kearifan masyarakat santri. Sebagai produk akhir penelitian, peneliti melakukan penelitian pengembangan dengan pendekatan metode 4D (define, design, develope, and disseminate) untuk membukukan cerita legenda Kiai dalam bentuk cerita bergambar/ cergam bergenre cerita anak. Penyusunan cergam legenda Kiai bergenre cerita anak disusun dengan mengikuti karakteristik sastra anak dan dikemas dengan desain yang cocok untuk anak-anak. Kata kunci : nilai normatif, santri, legenda Kiai, konten didaktik, cerita bergambar

Indonesia adalah negeri yang kaya akan budaya lisan. Budaya ini

menyebar di berbagai daerah di seluruh penjuru nusantara (Dananjaja,1994). Sebelum mengenal budaya aksara (writing culture) semua bangsa di dunia hidup dalam budaya lisan (oral culture). Salah satu wujud budaya lisan itu adalah prosa naratif lisan yang banyak beredar dalam kehidupan masyarakat. Salah satu prosa naratif lisan masyarakat yang sering dikaji adalah legenda. Legenda yang dituturkan secara lisan tergolong dalam bentuk folklore lisan, istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh William John Thoms (1846), seorang ahli benda-benda dan antropoligi kuno Inggris. Secara terminologis folklore bermakna kultur tradisional (lore) yang dutunjukkan / dituturkan rakyat / orang-orang (folk). Dengan begitu folklore lisan dapat diartikan sebagai sebuah kultur tradisional lisan yang dituturkan oleh masyarakat pada suatu tempat. Dundes dalam Dananjaja (2002) mendefinisikan folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan sehingga dapat

Page 207: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

201 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

dibedakan dengan kelompok-kelompok lainnya. Istilah lore merupakan tradisi folk yang berarti sebagian kebudayaan yang diwariskan secara turuntemurun, secara lisan, atau melalui contoh yang disertai gerak isyarat atau alat bantu mengingat. Jika folk adalah mengingat, lore adalah tradisinya.

Foklor lisan adalah foklor yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuk foklor yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain (a) bahasa rakyat seperti logat, julukan, pangkat trandisional, dan title kebangsawanan, (b) ungkapan tradisional seperti peribahasa, pepatah, dan pameo, (c) pertanyaan tradisional seperti tekateki, (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam dan syair, (e) cerita prosa rakyat, seperti: mite, legenda, dan dongeng, dan (f) nyanyian rakyat (Dananjaja, 2002). Dalam tulisan ini, legenda Kiai Sepuh digolongkan dalam bentuk cerita prosa rakyat. Beberapa rujukan lain menyebutnya pula dengan prosa naratif lisan.

Dari semua jenis folklor lisan, cerita rakyat (dalam bentuk prosa naratif lisan) adalah yang paling banyak mendapat perhatian dari para peneliti sastra lisan. Sebagaimana ciri-ciri yang dimiliki oleh jenis sastra lisan, cerita-cerita lisan ini bersifat anonim. Dalam perkembangan dan penuturannya, cerita rakyat cenderung menjadi milik kolektif dalam sebuah kelompok masyarakat. William R.Bascom, membagi cerita prosa rakyat atau prosa naratif lisan dalam tiga golongan besar, yaitu : 1) mite, 2) legenda, dan 3) dongeng (Bascom, 1965; Dananjaja, 2002).

Sebagai bagian dari hasil kebudayaan dalam sebuah kolektif masyarakat, setiap kolektif pasti memiliki sastra lisannya sendiri, termasuk pula masyarakat Pasuruan. Pasuruan sebagai masyarakat yang dikenal dengan simbol ‘Kota Santri’ adalah kota yang banyak memiliki tokoh pemuka agama, hingga kota Pasuruan juga seringkali dijuluki sebagai kotanya aulia (kota milik para ulama). Fenomena sosial ini, bila kita cermati dari sisi penciptaan hasil budaya sastra lisan, banyak mempengaruhi tumbuh suburnya sastra lisan yang berkaitan dengan legenda-legenda para ulama.

Budaya lisan mampu menciptakan citra khas sebuah kebudayaan lokal. Budaya lisan berlaku sebagai bentuk karya sastra yang dibangun dalam tuturan kolektif masyarakat tertentu. Seluruh unsur cerita, tema dan pesan di dalamnya, tidak terlepas dari karakter masyarakat yang menciptakan. Masyarakat layaknya pengarang yang mengungkapkan pandangannya terhadap dunia dalam sebuah karangan. Meminjam konsep strukturalisme genetik dalam proses perwujudan karya sastra oleh pengarang, penulis meyakini bahwa masyarakat juga banyak mencurahkan pandangannya tentang dunia melalui usaha perwujudan bentuk-bentuk tradisi lisan. Strukturalisme genetik memasukan faktor genetik dalam karya sastra, genetik sastra artinya asal usul karya sastra. Adapun faktor yang terkait dalam asal muasal karya sastra adalah pengarang dan kenyataan sejarah yang turut mengkondisikan saat karya sastra itu diciptakan (Faruk, 2014).

Sastra lisan merupakan ekspresi lisan sebuah komunitas budaya suatu kelompok masyarakat atau kolektif yang tersebar di berbagai kelompok suku bangsa yang beragam, maka konten dalam cerita lisan pun berbeda-beda sesuai dengan karakteristik dan kepribadian masyarakat penuturnya. Dalam masyarakat dengan latar budaya santri, narasi lisan yang bertema keagamaan dan cerita seputar tokoh-tokoh agama berkembang dengan subur. Kontennya sangat khas,

Page 208: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

202 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

masyarakat santri atau pesantren mengembangkan sastra lisan dengan konten ajaran agama dan norma baik-buruk yang berlaku secara umum dalam masyarakat pesantren.

Dalam kajian sebelumnya, penulis mengemukakan bahwa legenda rakyat bertajuk Kiai Sepuh yang berkembang di Kota Pasuruan mencerminkan kepercayaan irasional yang berkembang dalam imajinasi kolektif masyarakat penuturnya. Lebih dari sekadar memuat pandangan kolektif masyarakat, budaya lisan berfungsi pula sebagai sarana didaktif bagi masyarakat untuk mengajarkan nilai-nilai baik yang mereka kembangkan (Rokhmawan & Firmansyah,2015). Norma-norma kehidupan yang dimuat dalam cerita lisan adalah cermin pandangan masyarakat kolektif tentang nilai baik-benar yang harus ajarkan pada generasi penerusnya.

Legenda Kiai di Kota Pasuruan banyak dibacakan dalam acara-acara peringatan agama Islam seperti pada hari-hari besar Islam, mauludan (maulid Nabi Muhammad SAW), ataupun haul (peringatan meninggal) Kiai yang dirangkum dalam lembaran-lembaran manakib (rangkuman sejarah perjalanan dan biografi seorang ulama). Selain itu, legenda Kiai juga banyak berkembang dan hidup dalam masyarakat melalui penuturan lisan. Secara luas legenda Kiai diceritakan dalam kegiatan mengaji atau melalui tuturan orang-orang tua pada anak-anak di lingkup desa (Rokhmawan & Firmansyah,2015).

Melalui pendekatan analisis konten, penulis ingin mendalami konten didaktik dalam penuturan prosa-naratif lisan yang dituturkan dalam budaya lisan masyarakat Kota Pasuruan. Untuk membatasi cakupan penelitian, peneliti membatasi kajian pada cerita-cerita tentang ulama diKota Pasuruan. Penulis tertarik untuk menjabarkan berbagai bentuk pesan normatif yang ada dalam cerita dan menegaskannya sebagai bentuk pandangan hidup kolektif masyarakat kota pasuruan. Dengan bukti inilah penulis dapat mengungkapkan pentingnya membawa konten budaya lisan ini ke dalam lingkungan dunia pendidikan.

Konten didaktik yang dimaksud adalah bentuk-bentuk pandangan kolektif masyarakat mengenai nilai, norma, dan sanksi yang patut diajarkan untuk mengendalikan pranata sosial. Nilai pada dasarnya disebut sebagai standar penuntun dalam menentukan sesuatu itu baik, indah, berharga atau tidak (Fraenkel, dalam Soenarjati & Cholisin, 1989). Secara aksiologis, nilai itu dibagi macamnya menurut kualitas nilainya, yaitu ke dalam nilai baik dan buruk yang dipelajari oleh etika, dan nilai indah dan tidak indah yang dipelajari oleh estetika. Norma adalah petunjuk tingkah laku yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam hidup sehari-hari, berdasarkan suatu alasan (motivasi) tertentu dengan disertai sanksi. Sanksi adalah ancaman/akibat yang akan diterima apabila norma tidak dilakukan (Widjaja, 1985: 168). Dalam kehidupan umat manusia terdapat bermacam-macam norma, yaitu norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, norma hukum dan lain-lain. Norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum digolongkan sebagai norma umum. Selain itu dikenal juga adanya norma khusus, seperti aturan permainan, tata tertib sekolah, tata tertib pengunjung tempat bersejarah dan lain-lain. Sanksi diberikan ketika nilai baik dan norma yang dituntut tidak dipenuhi oleh seorang anggota masyarakat. Begitulah terminologi nilai, norma, dan sanksi. Ketiganya mempunyai hubungan yang erat, terutama dalam wacana pendidikan moral,

Page 209: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

203 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

pembentukan sikap-sikap, pembangunan watak bangsa (the character building) dan sebagainya.

Lebih dari tujuan analisis konten didaktik, tujuan utama penulisan artikel dan pelaksanaan penelitian budaya lisan ini adalah untuk menginventarisir prosa naratif lisan tentang kiai ini dalam bentuk tulis. Penulis berpendapat bahwa inilah tujuan utama dalam segala usaha penelusuran folklore lisan. Karena berkembang hanya secara lisan dan hanya dilisankan oleh beberapa orang yang terkait dengan keluarga kiai atau masyarakat asli, legenda Kiai lambat laun akan punah jika tidak terus diceritakan. Perpindahan masyarakat, masuknya pendatang dari daerah lain, dan hilangnya penutur-penutur asli karena meninggal atau pindah ke daerah lain akan semakin mendesak keberadaan legenda ini. Oleh karenanya, mentranskripsikan cerita lisan dalam bentuk tulisan untuk menjaga kelestarian cerita lisan adalah tugas utama pada penelitian folklore dan cerita lisan. Produk akhir penelitian ini adalah analisis konten didaktik dan penyusunan cergam bertajuk cerita legenda Kiai.

Dengan berbagai fakta dan permasalahan di atas, penulis merasa perlu untuk meneliti, mentranskripkan dalam bentuk tulis, dan menginterpretasi cerita legenda Kiai Sepuh. Tujuannya jelas agar cerita ini dapat terus lestari, dikenal, dan dapat dipahami maknanya oleh masyarakat umum. Di samping itu juga bertujuan keilmuan untuk mengembangkan kajian folklore lisan khususnya dalam bentuk folklore naratif atau cerita lisan. Melalui artikel ini, penulis menyampaikan hasil penelitiannya terhadap 1) bentuk cerita legenda Kiai, 2) bentuk-bentuk nilai didaktik yang tercermin melalui isi cerita legenda Kiai, dan 3) penyusunan cergam legenda Kiai.

METODE

Peneliti mendekati konten legenda Kiai di Kota Pasuruan dengan pendekatan analisis konten (content analysis). Pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk memahami legenda sebagai sebuah rangkaian sistematis yang dapat dianalisis untuk menemukan unit-unit pembentuk cerita / struktur dan kemudian menginterpretasi konten di dalamnya. Pada akhirnya, peneliti dapat menerjemahkan setiap konten didaktik berupa pesan normatif dan ajaran agama di dalam prosa naratif lisan bertajuk Kiai yang dituturkan masyarakat Kota Pasuruan. Selanjutnya dalam mengembangkan susunan cergam legenda Kiai, peliti menggunakan pendekatan berbasis proyek penelitian dan pengembangan / R&D.

Untuk mencapai tujuan-tujuan penelitian, tiga langkah penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini. Pertama, tahap pengumpulan data teks lisan naratif legenda-legenda Kiai di Kota Pasuruan. Kedua, tahap analisis isi terhadap fokus interpretasi konten didaktik berupa pesan normatif dan ajaran agama pada teks yang telah ditranskripsi dalam bentuk naskah tertulis. Kedua langkah penelitian dilakukan dengan dasar metode penelitian etnografi. Metode ini dilakukan dengan runtutan teknik pengumpulan data berupa observasi partisipasi, wawancara terbuka-mendalam, dan studi pustaka (untuk tujuan memahami dan menafsirkan objek penelitian secara intrinsik dan ekstrinsik). Metode etnografi dimanfaatkan untuk membangun suatu pengertian yang sistematik mengenai kebudayaan manusia dari perspektif orang yang telah

Page 210: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

204 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

mengalami atau mempelajari kebudayaan tersebut. Selain itu, metode etnografi digunakan sebagai upaya untuk menemukan bagaimana masyarakat setempat mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran mereka dan kemudian menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan (Spradley, 1997). Ketiga, peneliti mengembangkan hasil penelitian dalam wujud cergam / cerita bergambar bertajuk legenda Kiai. Untuk melaksanakan tahap ini peneliti menggunakan empat tahap penelitian dan pengembangan 4D : define, design, develope, and disseminate (Thiagarajan, Semmel, & Semmel, 1974).

Dalam pengumpulan data teks lisan naratif legenda Kiai Sepuh, penulis melakukan rangkaian metode perekaman dan transkripsi sastra lisan dalam bentuk tulis. Penulis sebagai peneliti mengumpulkan data cerita lisan legenda Kiai Sepuh dengan 11 langkah : 1) menetapkan cerita legenda Kiai Sepuh sebagai objek perekaman dan transkripsi, 2) menetapkan situs petilasan (makam) Kiai Sepuh sebagai pusat pencarian, 3) menentukan batas wilayah pencarian dengan menarik garis 1km melingkari situs sebagai pusat pencarian, 4) menetapkan narasumber dengan ketentuan usia diatas 50 tahun, warga asli / kelahiran desa Gentong, dan tidak pindah domisili atau menetap dalam kurun waktu hidupnya, 5) melakukan wawancara dengan narasumber, 6) merekam proses wawancara dalam bentuk video / rekam suara, 7) mentranskripsikan hasil wawancara lisan dalam bentuk tulisan, 8) mentransliterasikan beberapa bagian cerita, 9) menginventarisir cerita-cerita berikut variasi cerita yang serupa, 10) membandingkan dan menyelaraskan isi cerita dari setiap narasumber yang telah diinventarisir untuk menemukan runtut cerita yang berlaku dan diakui secara umum, dan 11) menyusun ulang / menyunting teks.

Pengumpulan data teks lisan naratif legenda Kiai Sepuh dilakukan dalam kurun waktu 6 minggu. Jumlah narasumber terbagi dalam narasumber utama dan sumber tambahan. Narasumber utama berfungsi sebagai sumber utama cerita. Narasumber ini dipilih berdasarkan kedekatannya dengan area situs. Sumber tambahan mendukung informasi dari narasumber utama misalnya dalam bentuk naskah. Semua narasumber utama berusia di atas 50 tahun dan lahir dan tinggal / berdomisili di sekitar situs hingga penelitian dilakukan.

Dalam analisis isi terhadap konten didaktik, penulis melakukan rangkaian metode interpretasi isi teks. Penulis sebagai peneliti menginterpretasi isi teks untuk menemukan bentuk-bentuk konten didaktik mencakup nilai, norma umum, dan sanksi yakni : 1) nilai baik, 2) nilai buruk, 3) norma agama, 4) norma kesusilaan, 5) norma kesopanan, 6) norma hukum, dan 7) sanksi. Produk akhir dikembangkan dalam bentuk cergam (cerita bergambar). Setelah dilakukan penetapan subjek tokoh, latar dan konten cerita, peneliti mendesain bentuk cergam.

HASIL DAN PEMBAHASAN Legenda Kiai

Legenda adalah jenis prosa naratif yang mirip dengan mitos. Legenda diperlakukan sebagai suatu kebenaran atau suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi oleh ‘si empunya cerita’ dan pendengarnya. Namun

Page 211: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

205 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

mereka diposisikan dalam sebuah periode yang lemah akan pertimbangan. Legenda seringkali lebih bersifat sekuler (duniawi) daripada menunjukkan kekeramatan, namun tidak menutup pula kemungkinan adanya beberapa legenda yang menunjukkan kekeramatan atas sesuatu yang memiliki kekuatan magis. Karakter utama legenda pada umumnya adalah manusia. Legenda seringkali menceritakan tengang migrasi, perang dan kemenangan, perbuatan seseorang atau pahlawan di masa lampau, seorang tokoh masyarakat, dan raja-raja, dan kesuksesan mereka dalam mengatur sebuah dinasti. Dalam hal ini pencerita dan pendengarnya seringkali menyesuaikan dengan tradisi verbal dalam sejarah tertulis. Oleh karenanya legenda seringali juga dipandang sebagai ‘sejarah’ kolektif (folk history), walaupun ‘sejarah’ itu karena tidak tertulis telah mengalami distorsi, sehingga seringkali dapat jauh berbeda dengan kisah aslinya. Hal ini dikarenakan selain sejarah nyata, legenda juga memasukkan unsur-unsur kisah lokal seperti harta terpendam, hantu, peri, dan orang-orang suci. Melalui bagian inilah unsur magis, kekeramatan dan kepercayaan irasional masuk dalam cerita legenda. Lebih lanjut, secara rinngkas legenda adalah cerita-cerita pada zaman dahulu yang bertalian dengan peristiwa-peristiwa sejarah. Legenda adalah cerita rakyat tentang tokoh, peristiwa, atau tempat tertentu yang mencampurkan fakta historis dan mitos / kepercayaan irasional (Dananjaja, 2002 ; Bascom, 1965 ; Panuti sudjiman dalam Lantini, 1996). Legenda termasuk salah satu bentuk folklore yang disebut cerita rakyat. Cerita biasanya dihubungkan dengan peristiwa dan benda yang berasal dari masa lalu, seperti peristiwa penyebaran agama Islam atau peristiwa lain yang terjadi di masa lalu. Para pelaku digambarkan sebagai pelaku yang benar-benar pernah hidup di masa lalu. mereka orang terkemuka, yaitu tokoh yang membangun kesejahteran masyarakatnya. Latar cerita legenda berupa tempat yang dapat diidentifiasi secara geografis. Dalam kajian folklore, Danandjaja mengemukakan legenda sebagai prosa cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi engan tokoh-tokoh orang yang luar biasa (keramat) yang terjadi di masa lampau (Dananjaja, 2002). Legenda seringkali dirancukan dengan mith (mite) dan folktale (dongeng). Ketiganya berbeda dalam bentuk dan isinya. Perbedaan tersebut dapat dilihat dalam tabel yang telah disusun oleh Bascom berikut (Bascom, 1965)

Page 212: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

206 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Tabel perbandingan jenis-jenis folklore mite, legenda, dan dongeng (Bascom, 1965)

Jan Harold Brunyand (dalam Dananjaja, 2002) menggolongkan legenda

menjadi empat kelompok yaitu : 1) Legenda keagamaan, yang termasuk dalam legenda ini antara lain adalah legenda orang-orang suci nasrani dan legenda orang-orang saleh. 2) Legenda alam gaib, legenda semacam ini biasanya berbentuk kisah yang dianggap benar-benar terjadi dan pernah dialami seseorang. Fungsi legenda semacam ini adalah untuk meneguhkan kebenaran takhayul atau kepercayaan rakyat. 3) Legenda perseorangan adalah cerita mengenai tokoh-tokoh tertentu yang dianggap oleh yang empunya cerita benar-benar pernah terjadi. 4) Legenda setempat yang termasuk ke dalam golongan legenda ini adalah cerita yang berhubungan dengan suatu tempat, nama tempat dan bentuk topografi, yakni bentuk permukaan suatu daerah, apakah berbukit-bukit, berjurang, dan sebagainya.

Legenda Kiai adalah jenis cerita prosa naratif lisan dengan unsur tokoh seorang kiai pimpinan pesantren, sejarah budaya, masyarakat, dan benda-benda peninggalan, dan unsur magis, kekeramatan dan kepercayaan irasional. Dalam penggolongan legenda oleh Brunyand, legenda ini tergolong legenda keagamaan, perseorangan, dan setempat. Hal ini dikarenakan legenda ini memuat sekaligus kisah orang-orang suci / saleh, kisah tokoh-tokoh tertentu yang dianggap oleh yang empunya cerita benar-benar pernah terjadi, dan kisah tentang keberadaan tempat-tempat dan bangunan.

Legenda Kiai berkembang di wilayah Kota Pasuruan. Kiai adalah sosok pemuka agama di Kota Pasuruan. Pada masa hidupnya, Kiai dihormati bahkan diagungkan oleh masyarakat muslim di Kota Pasuruan. Hal ini dikarenakan Kiai dianggap memiliki karisma dan banyak dibekali karomah (mukzizat / keajaiban) oleh Allah SWT. Legenda Kiai tidak hanya berisi kisah hidup kiai sebagai tokoh agama yang suci dan saleh, melainkan pula sejarah-sejarah di balik perjalanan hidup Kiai, sejarah bangunan di sekitarnya, hubungan dengan masyarakat, dan kisah keajaiban yang dimiliki Kiai Sepuh melalui karomah yang dimilikinya. Dalam cerita yang berkembang di masyarakat, selama hidupnya Kiai diceritakan banyak memiliki atau mendatangkan keajaiban bagi masyarakat baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam tujuan dakwah agama.

Legenda Kiai ini membawa serta pencitraan Kiai sebagai seorang khusus yang mendapatkan gelar kewalian dan memiliki kemampuan magis sebagai pertanda adanya karomah yang diijasahkan kepadanya. Dengan begitu, masyarakat sosial di sekitar Kiai, khususnya masyarakat pesantren, merasa perlu untuk menaruh hormat dan ketaatan pada Kiai. Dipandang dari sudut pandang sosialnya, kiai sebenarnya adalah seorang guru agama Islam sebagaimana guru agama pada umumnya. Namun karena peran sosial budayanya cukup luas, maka kiai memiliki peran yang besar bahkan mengandung pemaknaan mitologis tertentu seperti status kewalian yang memiliki kekuatan magis atau mistis (keramat). Persepsi terhadap kiai yang demikian tidak dapat dilepaskan dari penafsiran yang intersubjektif dalam dunia pondok pesantren (Romas, 2013 : 2).

Ahli waris, keluarga, santri, kuncen, atau masyarakat di sekitar situs makam Kiai selalu mengadakan haul yang rutin dilakukan setiap tahun dan

Page 213: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

207 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

dalam acara rebo pahingan yang diadakan sebulan sekali setiap hari rabu pahing dalam penanggalan Jawa. Dalam haul dan rebo pahingan ini, dibacakan manakib (naskah biografi ulama) yang berisikan biografi singkat, perjalanan hidup, dan karomah-karomah yang dimiliki oleh Kiai. Tidak hanya itu, dalam acara atau hari besar agama Islam seperi maulid nabi, Idul Adha, Idul Fitri, dan acara keagamaan yang lain yang diadakan di masjid Kiai Sepuh juga diselingi dengan pembacaan manakib.

Dalam masyarakat Kota Pasuruan, legenda Kiai banyak dituturkan dalam berbagai versi. Satu kesamaan isi cerita dari berbagai versi yang ada berkisah seputar karomah yang dimiliki oleh Kiai. Selain melalui manakib, legenda Kiai juga dituturkan melalui kegiatan mengaji anak yang seringkali diceritakan oleh ustadz, dan oleh para orang tua yang menceritakan legenda Kiai pada anak-anak untuk mengajarkan tentang agama dan kemuliaan-kemuliaan Allah SWT dan utusan-utusannya, termasuk para wali dan ulama.

Peneliti berhasil mendalami delapan lokasi situs penelitian untuk menemukan legenda / prosa naratif terkait Kiai yakni 1) kompleks makam Kiai Sepuh di Desa Gentong, 2) kompleks makam Kiai Hamid dan pesantren Salafiyah di Desa Kebonsari, 3) kompleks makam Mbah Slagah di Desa Pekuncen, 4) kompleks makam Mbah Dacin di Desa Ngemplakrejo, 5) kompleks makam Mbah Diran di Desa Bugul Lor, 6) kompleks makam Mbah Salim di Desa Pekuncen, 7) makam Mbah Mas Imam (di dalam kompleks makam Kiai Hamid) di Desa Kebonsari, dan 8) kompleks makam Mbah Thoyyib di Desa Bugul Lor. Sepuluh judul legenda telah terkumpul sebagai hasil penelitian. Judul-judul legenda tersebut adalah : 1) Kiai Sepuh dan Pedagang Nangka, 2) Kiai Sepuh dan Orang Kaya yang Ingin Membangun Masjid, 3) Doa dan Restu KH Abdul Ghofur (Kiai Sepuh), 4) Sandal Kiai Hamid, 5) Mbah Slagah dan Den Ayu Beri, 6) Kebaikan Hati Mbah Dacin, 7) Mbah Diran dan Anjingnya, 8) Mbah Salim dan Jin Sungai, 9) Kerendahan Hati dibalik Payung Mbah Mas Imam, dan 10) KH Thoyyi bin Abd. Salam, Pedagang Jamu yang Menjadi Tempat Orang Bertanya. Seluruh cerita yang terkumpul selanjutnya disusun dalam bentuk cerpen.

Cerita Kiai Sepuh dan Pedagang Nangka berisi tentang permintaan Kiai Sepuh kepada pedagang nangka untuk memberinya sebuah nangka, untuk mengingatkan agar pedagang tersebut tidak sombong. Cerita Kiai Sepuh dan Orang Kaya yang ingin Membangun Masjid berisi tentang peringata Kiai Sepuh kepada orang kaya yang berbuat riya’ dan keinginannya membangun masjid dengan bantuan semua warga. Cerita Doa dan Restu KH Abdul Ghofur (Kiai Sepuh) berisi tentang terkabulnya doa Kiai Sepuh agar seseorang mendapatkan kedudukan kehormatan di mata masyarakat. Cerita Sandal Kiai Hamid berisi tentang balasan bagi orang yang dengan baik meminjamkan sandalnya kepada Kiai Hamid hingga mampu berangkat haji. Cerita Mbah Slagah dan Den Ayu Beri berisi tentang keinginan Den Ayu Beri untuk dekat dengan makam ulama (Mbah Slagah) setelah menolong Mbah Slagah dari kejaran Belanda. Cerita Kebaikan Hati Mbah Dacin berisi tentang perilaku Mbah Dacin yang selalu bersodaqoh setelah mendapatkan rizki atas usahanya. Cerita Mbah Diran dan Anjingnya berisi tentang Mbah Diran yang selalu bersabar meski mendapat perlakuan buruk dari orang-orang di sekitarnya. Cerita Mbah Salim dan Jin

Page 214: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

208 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Sungai berisi tentang peran Mbah Salim dalam membantu masyarakat untuk terhindar dari gangguan Jin Sungai Gembong. Cerita Kerendahan Hati dibalik Payung Mbah Mas Imam berisi tentang perilaku unik Mbah Mas Imam yang selalu memakai payung demi terhindar dari hal buruk di sekitarnya. Cerita KH Thoyyi bin Abd. Salam berisi teladan KH Thoyyib yang berilmu dan menjadi tempat orang meminta jawaban/ pendapat.

Tradisi Lisan Pesantren

Seluruh cerita legenda Kiai terbentuk dalam tradisi lisan pesantren. Tradisi

lisan pesantren adalah semua tradisi lisan yang tumbuh dan berkembang di kalangan pondok pesantren dan masyarakat santri. Tradisi lisan ini cukup unik dibanding dengan tradisi lisan yang lain sebab tradisi tersebut sangat berkaitan erat dengan proses pembelajaran ajaran agama Islam. Di samping itu, peranan kiai atau ustad sangat kuat untuk mempengaruhi resepsi, tanggapan atau penerimaan kaum santri terhadap tradisi tersebut secara utuh baik nilai estetik maupun pragmatiknya. Sumber utama dalam penyebaran sastra lisan ini adalah kyai atau ustadz, yang oleh kaum santri diposisikan sebagai orang yang derajatnya sangat tinggi karena mereka adalah orang-orang suci yang telah menguasai ilmu-ilmu agama (sufi). Legenda Kiai yang tergolong sebagai folklore lisan adalah sebuah sastra lisan yang hidup pada budaya lisan masyarakat pesantren. Sastra lisan pesantren ini memiliki kekuatan kepercayaan masyarakat yang sangat besar. Oleh karena itu, meskipun pada perkembangannya legenda Kyai juga banyak digunakan untuk cerita hiburan pada anakanak di luar masyarakat santri /pesantren, hadirnya tradisi sastra lisan ini pun tidak dipandang sebagai hiburan di kala senggang tetapi hadirnya tradisi tersebut merupakan bagian dari sarana pembentukan perilaku masyarakat santri yang digunakan untuk penanaman ajaran yang bersifat dogmatis. Bahkan, beberapa kelompok masyarakat memandang legenda Kyai ini sakral dan harus dipercaya sebagaimana masyarakat pesantren percaya kepada Tuhan, Allah SWT.

Penulis menyebut kepercayaan masyarakat santri terhadap kebenaran legenda Kiai sebagai kepercayaan irasional. Dalam riset sebelumnya, penulis mencatat sembilan jenis kepercayaan irasional yang ditemukan dalam legenda Kiai Sepuh. Kesembilan kepercayaan tersebut adalah : 1) Jenis kepercayaan irasional yang terbentuk akibat pandangan klasik yang diyakini secara umum. 2) Jenis kepercayaan irasional yang terbentuk akibat pandangan fenomena umum yang sering terjadi. 3) Jenis kepercayaan irasional yang terbentuk akibat rasa atas identitas personal. 4) Jenis kepercayaan irasional yang terbentuk akibat rasa atas identitas kelompok. 5) Jenis kepercayaan irasional yang terbentuk untuk mendukung nilai moral yang berlaku kolektif. 6) Jenis kepercayaan irasional yang terbentuk akibat pengalihan konsep kognitif. 7) Jenis kepercayaan irasional yang terbentuk akibat kesadaran pada kekuatan gaib di luar manusia. 8) Jenis kepercayaan irasional yang dibentuk sebagai wujud perintah. 9) Jenis kepercayaan irasional yang dibentuk sebagai wujud larangan (Rokhmawan & Firmansyah,2015). Namun bukan tidak berarti, kesembilan kepercayaan

Page 215: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

209 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

irasional inilah yang akan mendukung pembentukan dan penguatan penyampaian pesan-pesan konten didaktik dalam legenda Kiai. Konten Didaktik Masyarakat Santri dalam Legenda Kiai

Konten didaktik mencakup nilai, norma umum, dan sanksi yakni : 1) nilai baik, 2) nilai buruk, 3) norma agama, 4) norma kesusilaan, 5) norma kesopanan, 6) norma hukum, dan 7) sanksi. Konten ini terdapat di dalam cerita baik secara eksplisit maupun implisit. Konten didaktik dapat diinterpretasi dari pikiran dan perilaku tokoh, tuturan, dan interaksi antar tokoh. Nilai, norma, dan sanksi dapat dimunculkan dengan memberikan penggambaran citra baik dari tokoh sebagai model pencitraan atau sebaliknya dengan mendatangkan tokoh yang berperilaku buruk untuk selanjutnya dilabeli sebagai contoh perangai buruk yang harus dihindari.

Nilai pada dasarnya disebut sebagai standar penuntun dalam menentukan sesuatu itu baik, indah, berharga atau tidak (Fraenkel, dalam Moehadjir & Cholisin, 1989). Secara aksiologis, nilai itu dibagi macamnya menurut kualitas nilainya, yaitu ke dalam nilai baik dan buruk. Pengertian nilai itu bersifat subyektif artinya bahwa nilai dari suatu obyek itu tergantung pada subyek yang menilainya. Dalam cerita legenda Kiai, nilai baik buruk yang terdapat di dalamnya berasal dari sudut pandang masyarakat santri.

Nilai baik dan buruk dapat diinterpretasi pada seluruh cerita yang diperoleh. masing-masing tokoh utama Kiai memiliki peran untuk menunjukkan model/ contoh praktik kebaikan. Kebaikan yang sangat menonjol pada karakterisasi tokoh ulama adalah usahanya untuk selalu menjadi pengayoman, menyampaikan doa untuk kebaikan, menjadi panutan, menjadi sumber yang sahih untuk memberikan saran dan petuah, hingga menunjukkan perilaku yang selalu ikhlas dan sabar. Gambaran nilai baik ini seringkali dibawa oleh tokoh utama yang mendukung (protagonis) penggambaran tema kebaikan. Gambaran nilai buruk banyak ditunjukkan oleh orang-orang yang berinteraksi secara antagonis dengan tokoh Kiai dalam cerita. Tidak semua cerita menerapkan pola penokohan protagonis-antagonis, artinya tidak semua memberikan pajanan kontras antara perbuatan tokoh baik dan buruk. Enam cerita menyajikan pola konflik antartokoh yang mempertentangkan perilaku baik dan buruk yakni cerita Kiai Sepuh dan Pedagang Nangka, Kiai Sepuh dan Orang Kaya yang Ingin Membangun Masjid, Mbah Slagah dan Den Ayu Beri, Kebaikan Hati Mbah Dacin, Mbah Diran dan Anjingnya, dan Mbah Salim dan Jin Sungai. Sedangkan empat cerita yang lain hanya memberikan pajanan perilaku baik seperti cerita Doa dan Restu KH Abdul Ghofur (Kiai Sepuh), Sandal Kiai Hamid, Kerendahan Hati dibalik Payung Mbah Mas Imam, dan KH Thoyyi bin Abd. Salam, Pedagang Jamu yang Menjadi Tempat Orang Bertanya.

Norma adalah petunjuk tingkah laku yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam hidup sehari-hari, berdasarkan suatu alasan (motivasi) tertentu dengan disertai sanksi. Sanksi adalah ancaman/akibat yang akan diterima apabila norma tidak dilakukan (Widjaja, 1985).

Norma agama adalah aturan-aturan hidup yang berupa perintah dan larangan, yang diyakini bersumber dari Tuhan YME. Aturan itu mengatur hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan (ibadah), juga hubungan

Page 216: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

210 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

horisontal antara manusia dengan sesama manusia. Norma agama terkait dengan bentuk-bentuk ajaran baik buruk dalam agama atau ajaran tertentu. Norma ini tampak secara implisit dalam tubuh cerita Kiai.

Pada cerita yang dituturkan oleh masyarakat, norma agama tercermin dari perilaku tokoh dalam cerita. Selanjutnya sambil bercerita, narasumber menyisipkan beberapa petuah norma agama sesuai dengan tema komplikasi cerita. Cerita Kiai Sepuh dan Pedagang Nangka berisi anjuran agama untuk bersodaqoh atas rizki yang diterima. Cerita Kiai Sepuh dan Orang Kaya yang Ingin Membangun Masjid berisi anjuran agama untuk tidak berbuat riya’ atau beramal hanya untuk dipandang orang lain. Cerita Doa dan Restu KH Abdul Ghofur (Kiai Sepuh) dan cerita Sandal Kiai Hamid berisi anjuran agama untuk menghormati ulama, setiap doa dan restu yang disampaikannya seringkali terwujud. Mbah Slagah dan Den Ayu Beri berisi anjuran agama untuk menjalin hubungan baik dengan ulama, agar turut mendapat kebaikan. Cerita Kebaikan Hati Mbah Dacin berisi anjuran agama untuk selalu bersodaqoh membersihkan harta yang didapat dari hasil bekerja. Cerita Mbah Salim dan Jin Sungai berisi ajaran agama tentang keberadaan makhluk ghaib yang harus diimani serta diwaspadai jika menimbulkan akibat buruk bagi ummat manusia. Cerita Kerendahan Hati dibalik Payung Mbah Mas Imam mberisi anjuran agama untuk menjaga diri dari berbuat zina, salah satunya zina mata, hati, dan mulut yang biasa terjadi ketika terlalu bersosialita. Cerita KH Thoyyi bin Abd. Salam, Pedagang Jamu yang Menjadi Tempat Orang Bertanya menunjukkan ajaran agama tentang keberadaan ulama sebagai orang yang berilmu dan patut dijadikan tauladan serta tempat untuk memohon saran.

Norma Kesusilaan terkait dengan aturan-aturan hidup tentang tingkah laku yang baik dan buruk berasal dari hati nurani manusia. Berdasar kodrat kemanusiaannya, hati nurani setiap manusia menyimpan nilai-nilai kesusilaan. Nurani ini bersumber dari kesadaran manusia akan hak-hak asasi atas dirinya dan orang lain. Karena potensi nilai-nilai kesusilaan itu tersimpan pada hati nurani setiap manusia (yang berbudi), maka hati nurani manusia dapat disebut sebagai sumber norma kesusilaan.

Pada cerita yang dituturkan oleh masyarakat, norma kesusilaan tercermin dari perilaku tokoh dalam cerita. Perilaku tokoh menunjukkan nurani manusia untuk saling memenuhi hak asai satu sama lain. Cerita legenda Kiai mencerminkan norma kesusilaan kesadaran manusia akan hak-hak yang dibutuhkan oleh orang lain seperti hak untuk mendapatkan bantuan. Cerminan kesadaran manusia akan hak orang lain terlihat pada cerita judul cerita Kebaikan Hati Mbah Dacin dan Mbah Salim dan Jin Sungai. Kedua cerita ini berisi ajaran normatif tentang hak orang lain untuk mendapatkan bantuan. Hal pelanggaran terhadap hak dasar manusia tampak pada cerita Mbah Diran dan Anjingnya. Dalam cerita ini, tampak pelanggaran kesusilaan yang dilakukan masyarakat terhadap Mbah Diran dan anjing peliharaannya. Mbah Diran mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan secara fisik dan verbal, serta anjing peliharaannya dibunuh.

Norma Kesopanan terkait dengan adalah aturan hidup bermasyarakat tentang tingkah laku yang baik dan tidak baik, yang berlaku dalam suatu lingkungan masyarakat atau komunitas tertentu. Norma ini biasanya bersumber

Page 217: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

211 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

dari adat istiadat, budaya, atau nilai-nilai masyarakat. Norma Kesopanan bersifat kultural dan temporal. Sanksi terhadap pelanggaran norma kesopanan adalah berupa celaan, cemoohan, atau diasingkan oleh masyarakat. Norma kesopanan yang baik muncul melalui penggambaran pribadi dan perilaku tokoh Kiai. Tokoh Kiai digambarkan sebagai pribadi yang mengedepankan kesopanan dengan menunjukkan kepedulian, pertolongan, berbagi rizki yang diperolehnya, menjaga diri untuk tidak menyakiti orang lain, menjaga diri untuk tidak berbuat buruk, dan menjadi pribadi yang berguna bagi masyarakat. Pelanggaran terhadap norma kesopanan ditunjukkan oleh beberapa tokoh yang berlawanan dengan Kiai (dalam posisi antagonis) seperti tokoh orang kaya yang tidak tahu adat berbagi rizki dalam cerita Kiai Sepuh dan tokoh warga yang melakukan perbuatan buruk dengan menghina dan membunuh anjing Mbah Diran.

Norma hukum adalah aturan-aturan yang dibuat oleh lembaga negara yang berwenang, yang mengikat dan bersifat memaksa, demi terwujudnya ketertiban masyarakat. Norma ini bersifat memaksa dengan sanksi yang tegas. Negara berkuasa untuk memaksakan aturan-aturan hukum guna dipatuhi dan terhadap orang-orang yang bertindak melawan hukum diancam hukuman. Ancaman hukuman itu dapat berupa hukuman bandan atau hukuman benda. Di samping itu masih dimungkinkan pula dijatuhkannya hukuman tambahan, yakni pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman keputusan pengadilan. Contoh baik maupun buruk tidak tampak secara jelas dalam cerita-cerita legenda Kiai. Namun jika diinterpretasi lebih dalam, beberapa hal pelanggaran norma hukum seperti perbuatan tidak menyenangkan dan penganiayaan terhadap hewan. Pelanggaran hukum pasal perbuatan tidak menyenangkan hingga terdapat unsur kekerasan dapat dikenai hukuman sesuai pasal 335 dengan hukuman paling lama 1 tahun penjara . Pelanggaran hukum pasal penganiayaan terhadap hewan hingga mati akibat kekerasan dapat dikenai hukuman sesuai pasal 302, 406, 335, 170, dan 540 KUHP dengan hukuman penjara paling lama 12 tahun penjara.

Sanksi adalah ancaman/ akibat/ konsekuensi yang akan diterima apabila norma tidak dilakukan. Sanksi atau hukuman ditetapkan sesuai dengan nilai atau norma yang dilanggar. Secara nyata tokoh-tokoh dalam cerita Kiai tidak disebutkan mendapatkan sanksi apapun. Dari seluruh cerita, sanksi terhadap pelanggar norma tidak dinyatakan, namun menjadi bahan renungan. Tokoh-tokoh yang melanggar norma diceritakan sadar dengan sendirinya akibat karomah yang dimiliki oleh para tokoh Kiai. Tokoh yang melanggar norma menyaksikan berbagai keajaiban mukzizat dan kebaikan yang yang dilakukan oleh tokoh Kiai sehingga membuat mereka sadar telah berbuat salah. Kemudian sebagai bentuk kesadaran atas kesalahan mereka, tokoh-tokoh antagonis ini kemudian memperbaiki perilaku dengan berbuat baik.

Hasil analisis pola penyajian nilai baik-buruk, norma, dan sanksi dalam cerita Kiai menunjukkan bahwa masyarakat santri memiliki cara yang bervariasi dalam menyampaikan konsep didaktik. Konsep nilai baik buruk tidak hanya diberikan dengan menunjukkan kontras dan pertentagan keduanya (baik-buruk). Masyarakat santri juga menyampaikan konsep nilai baik tanpa mempertentangkannya dengan konsep buruk. Begitulah kebaikan dapat disampaikan tanpa harus memaparkan sisi perlawanannya (buruk). Namun

Page 218: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

212 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

ketika ingin menyajikan konsep nilai yang buruk, maka perlu diimbangi dengan menyajikan konsep nilai baik.

Konsep norma dihadirkan dengan menciptakan tokoh Kiai sebagai sosok yang menunjukkan pengamalan norma secara benar dan tokoh lawan (antagonis) yang menunjukkan pengamalan norma secara salah. Norma yang banyak dimunculkan secara nyata dan jelas adalah norma agama, kesusilaan, dan kesopanan. Sedangkan norma hukum kurang ditunjukkan.

Terkait pemberian sanksi, penggambaran sanksi dalam cerita mencerminkan pandangan masyarakat santri bahwa manusia harus terus belajar dari dalam dirinya. Masyarakat santri dituntut untuk berbuat baik dan memperbaiki diri, salah satunya dengan meneladani perilaku ulama. Mukzizat dan perlakuan baik yang ditunjukkan oleh tokoh ulama akan mampu membuat masyarakat santri sadar akan kesalahannya. Penggambaran sanksi seperti ini sering kita jumpai pula dalam cerita kisan Nabi-dan-Rasul dalam cerita ummat Islam. Cergam Legenda Kiai

Setelah seluruh cerita Kiai yang diperoleh dalam penelitian ini sitranskripsi dalam bentuk teks tulisan, peneliti menyusun cerita dalam bentuk cergam / cerita bergambar. Cerita gambar dipilih karena peneliti ingin merevitalisasi fungsi cerita legenda Kiai sebagai alat penetapan tatanan normatif masyarakat lokal (Rokhmawan & Firmansyah, 2015).

Legenda Kiai telah lama digunakan masyarakat Kota Pasuruan untuk menyampaikan nilai-nilai, moral, dan sanksi sosial yang berlaku secara lokal di daerahnya. Masyarakat santri Kota Pasuruan memiliki seperangkat nilai, moral, dan sanksi adat yang dikembangkan dari ajaran agama Islam. Ajaran lokal ini sampaikan secara turun-temurun melalui budaya lisan bercerita legenda Kiai. Dalam buday lisan masyarakat, legenda Kiai disampaikan melalui berbagai kesempatan seperti ketika mengaji atau pada perhelatan acara keagamaan. Ddalam cakupan yang lebih sempit di lingkungan keluarga, legenda Kiai disampaikan oleh orang tua untuk memberikan nasihat petuah kepada anak mereka, misalnya menjelang tidur atau setelah sholat berjamaah. Budaya baik ini tentu harus dilestarikan. Problem yang muncul adalah hilangnya kesadaran atas petingnya menyampaikan legenda serta mulai berkurangnya penutur cerita akibat ketidaktahuan akan cerita-cerita legenda tersebut. Untuk itu peneliti menawarkan bentuk cerita bergambar untuk yang ditulis sekaligus menyimpan bentuk cerita legenda Kiai.

Cerita bergambar adalah bentuk cerita singkat (cerpen) dengan genre cerita anak, yang dilengkapi gambar sebagai bahan ilustrasi. Genre cerita anak memiliki ciri khas khusus di antaranya dalam hal penetapan topik atau tema cerita, pengondisian tokoh, penggambaran latar, pembentukan suasana, serta penyajian bahasa dalam mengembangkan barasi dan dialog. Genre cerita anak cenderung mengutamakan kosep yang konkret untuk disajikan ke hadapan anak-anak, dengan pertimbangan bahwa konsep yang konkret akan mudah dipahami oleh anak (Nurgiyantoro, 2010 ; Sutherland & Arbuthnot, 1991 ; Sarumpaet, 2010).

Page 219: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

213 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Topik atau tema yang diberikan adalah seputar kehidupan sehari-hari, konten / pesan didaktik yang disampaikan juga seputar perilaku yang layak untuk ditiru secara mudah dan sederhana seperti : berbagi, gotong royong, atau menolong orang lain yang mengalami kesulitan. Melalui topik seperti ini anak diajak untuk membedakan nilai baik dan buruk secara konkret. Tokoh dalam genre cerita anak dapat berupa tokoh konkret (seperti manusia dan hewan) maupun fantasi (makhluk astral, setan, peri, atau malaikat). Karakterisasi tokoh dalam cerita anak tidak mendalam dan cenderung penuh aksi, dengan ini diharapkan anak dengan mudah mampu mengimajinasikan sosok tokoh serta menarik untuk diikuti lakuannya. Pendeskripsian latar dan suasana yang dikembangkan dapat bersifat konkret / nyata maupun abstrak / khayalan, namun masih ringan untuk diimajinasikan oleh anak-anak. Oleh karenanya penggambaran latar dan setting cerita pun tidak terlalu spesifik. Dalam menyajikan bahasa, kemampuan berbahasa anak-anak masih terbatas dalam hal kosakata, panjang kalimat (dibuktikan dengan hasil pengukuran rata-rata kemampuan berujar / Mean Lenght Utterance / MLU), dan panjang wacana. Dalam hal kosakata, anak-anak tentu kesulitan untuk memahami ragam istilah asing, ilmiah, keilmuan, diksi dengan konsep rumit (misanya kata : /mengabdi/), atau bentuk leksem yang kompleks (kata berimbuhan, berulang, dan majemuk). Dalam hal panjang kalimat, anak-anak terbatas pada kemampuan memahami kalimat dengan panjang rata-rata lima sampai tujuh kata (Dardjowidjojo, 2003). Oleh karenanya dalam menuliskan narasi dan dialog, penulis perlu membatasi bahasa sesuai dengan kemampuan berbahasa pada anak-anak.

Produk Cergam dikembangkan dengan menganut struktur prosa naratif. Cergam disusun dengan struktur generik lengkap : abstrak, orientasi, komplikasi, evaluasi, resolusi, dan koda (Anderson & Anderson, 1997). Penulis memanfaatkan bagian abstrak untuk memperkuat unsur pesan didaktik melalui penyampaian dasar ajaran agama yang akan dibahas dalam cerita. Bagian orientasi berisi deskripsi tokoh dan latar. Komplikasi berisi rentetan peristiwa yang mengisi jalan cerita dan konflik antar tokoh. Evaluasi berisi penegasan ulang setiap peristiwa untuk tujuan memperjelas isi cerita. Resolusi berisi penetapak penyelesaian dari permasalahan di dalam cerita. Koda berisi penutup cerita berupa refleksi dan penetapan nilai-moral yang dapat diteladani oleh pembaca (anak-anak).

Cergam dilengkapi dengan ilustrasi cerita. Ilustrasi yang digunakan adalah ilustrasi anak bergenre kartun berwarna. Pewarnaan menggunakan pewarnaan digital RGB (Red-Green-Blue). RGB juga disebut dengan warna additive atau warna pencahayaan dengan karakter cerah, segar, dan menyenangkan, cocok untuk anak-anak. Font pada balon percakapan menggunakan font Arial Rounded MT Bold. Secara keseluruhan pengerjaan gambar dilakukan secara digital memanfaatkan software Adobe Photoshop CS 6. Cerita dikemas dalam bentuk buku cerita bergambar untuk anak-anak dengan dimensi landscape berukuran 13x19cm sesuai dengan standar buku cerita anak pada umumnya.

Penutup

Cerita legenda Kiai terbukti ada dalam kehidupan masyarakat Kota Pasuruan. Cerita ini berkembang dan dilisankan dari generasi-ke-generasi.

Page 220: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

214 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Selama ini cerita legenda Kiai dilisankan dalam kehidupan tradisi masyarakat Kota Pasuruan, dalam kehidupan sehari-hari hingga dalam acara-acara adat dan keagamaan. Namun sayangnya budaya lisan ini mulai hilang. Ketertarikan masyarakat terhadap bentuk budaya lisan ini mulai hilang hingga menyebabkan semakin berkurangnya kuantitas penutur dan intensitas penuturan cerita. Jika dibiarkan maka pada masa yang akan datang cerita legenda Kiai ini akan hilang.

Peneliti telah berhasil menelusuri dan mentranskripsi sepuluh judul cerita legenda Kiai dari delapan lokasi penelitian yang rata-rata merupakan situs makam Kiai. Kesepuluh judul cerita tersebut adalah : 1) Kiai Sepuh dan Pedagang Nangka, 2) Kiai Sepuh dan Orang Kaya yang Ingin Membangun Masjid, 3) Doa dan Restu KH Abdul Ghofur (Kiai Sepuh), 4) Sandal Kiai Hamid, 5) Mbah Slagah dan Den Ayu Beri, 6) Kebaikan Hati Mbah Dacin, 7) Mbah Diran dan Anjingnya, 8) Mbah Salim dan Jin Sungai, 9) Kerendahan Hati dibalik Payung Mbah Mas Imam, dan 10) KH Thoyyi bin Abd. Salam, Pedagang Jamu yang Menjadi Tempat Orang Bertanya.

Kesepuluh cerita ini terbukti menjadi pembawa (carrier) konten didaktik, yakni konten yang mengajarkan tentang nilai, norma, dan sanksi yang ditetapkan dalam adat dan kebudayaan masyarakat Kota Pasuruan. Konten didaktik dalam legenda Kiai mencerminkan pandangan hidup masyarakat santri di Kota Pasuruan. Masyarakat santri menetapkan tokoh Kiai sebagai panutan dalam menentukan perilaku baik-buruk dan pengamalan norma-norma secara baik. Pemberian sanksi tidak ditunjukkan secara langsung dalam cerita melainkan menjadi perenungan masyarakat. Sanksi sebaiknya tidak perlu diberikan jika orang yang bersalah dapat disadarkan dan mau memperbaiki perilakunya. Begitulah pandangan masyarakat santri tentang pranata sosial yang mereka ‘titipkan’ dalam cerita legenda Kiai.

Sebagai bentuk produk yang nyata, penulis telah ‘mengawetkan’ cerita legenda Kiai dalam bentuk cergam. Tidak hanya berfungsi sebagai wahana penyimpanan cerita, cergam juga akan mampu mendongkrak minat masyarakat khusunya generasi anak-anak untuk terus menggenal dan menuturkan cerota-cerita legenda Kiai di sekitarnya. Daftar Rujukan Anderson, Mark dan Kathryn Anderson. 1997. Text Types in English Vol. 1—3.

Australia : Macmillan Education. Bascom, W. 1954. Four Function of Folklore. The Journal of American

Folklore. Vol 67 No. 266, 333-349. Bascom, W. 1965. The Form of Folklore : Prose Narrative. The Journal of

American Folklore, Vol. 78 No. 307 , 3-20. Dananjaja, J. 2002. Folklore Indonesia : Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain.

Jakarta: Dardjowidjojo, Soendjono. 2003. Psikolinguistik : Pengantar Pemahaman

Bahasa Manusia. Jakarta : Yayasan Obor. David, D., Lynn, S. J., & Ellis, A. 2009. Rational and Irrational Beliefs:

Research, Theory, and Clinical Practice. Oxford University Pers.

Page 221: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

215 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Dharmojo. 1998. Sastra Lisan Ekagi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen P & K.

Geertz,Clifford. 1960. The Religion of Java. Chicago: The University of Chicago

Geertz,Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa.Terjemahan oleh Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya.

Haviland, W. A. 1985. Antropologi. Jakarta: Erlangga. Lantini, E. S. 1996. Refleksi Nilai-nilai Budaya Jawa Dalam Serat

Suryaraja.Jakarta: Depdikbud. Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Sastra Anak : Pengantar Pemahaman Dunia Anak.

Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Peursen, C. A. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Pustaka Utama Grafiti. Rokhmawan, Tristan dan Bayu Firmansyah. 2015. Bangunan “Kerajaan

Surgawi” : Kepercayaan Irasional dan Fungsi Sosial dalam Legenda Kiai Sepuh. Jurnal Ilmu-ilmu Humaniora. No. 1 Edisi 2015. Jember : FIB Universitas Jember.

Rokhmawan, Tristan. 2016. Mengakrabkan Budaya Lisan dan Penyelenggara Pendidikan sebagai Upaya Merevitasilasi Kesusastraan Lisan-Lokal. Prosiding Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia - Nitisastra 1. Malang: Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Romas, C. S. 2013. Kekerasan di Kerajaan Surgawi. Yogyakarta: LKPM. Sarapik, V. 2000. Artist and Myth. Electronic Journal of Folklore, Folklore Vol.

15 by the Folk Belief and Media Group of ELM . Sarumpaet, Riris Toha. 2010. Pedoman Penelitian Sastra Anak. Jakarta : Raja

Grafindo Persada. Soedjijono. 2002. Legenda Pulau Bawean (Kajian dengan Pendekatan

Arketipal). Prosiding Seminar Akademik, (p. Volume 2). Soenarjati, Moehadjir dan Cholisin. 1989. Konsep Dasar Pendidikan Moral

Pancasila. Yogyakarta : IKIP Yogyakarta. Spradley, J. P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana. Sutherland & Arbuthnot, 1991 Wellek, R., & Warren, A. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia. Widjaja, A.W. 1985. Kesadaran Hukum Manusia dan Masyarakat Pasncasila.

Jakarta : Era Swasta.

Page 222: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

216 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

KEARIFAN LOKAL SUKU BUGIS

M. Nurzin r. Kasau dan Nurcaya ([email protected] dan [email protected])

ABSTRAK : Tujuan makalah ini adalah menjawab permasalahan yang dirumuskan pada rumusan masalah. Dengan demikian, tujuan penelitian adalah kearifan lokal yang ada di Indonesia akan menemukan eksistensinya jika ditopang oleh usaha mengintegrasikan antara pendidikan dan kebudayaan, sehingga diharapkan mampu memberi kontribusi kepada masyarakat guna melestarikan dan mengembangkan local wisdomuntuk bersaing di era globalisasi. Hasil makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun secara praktis. Proses makalah ini berangkat dari minat untuk melakukan riset secara sederhana dalam lingkup literatur kepustakaan yang selanjutnya membentuk gagasan, konsep maupun teori. Untuk memperjelas arah makalah ini, maka penulis membatasi ruang lingkup pembahasan danMemberikan gambaran akan budaya yang seharusnya menjadi kekuatan untuk bersaing di dunia Internasional.Menjadikan kekuatan menulis sebagai kultur intelektual untuk membangun peradaban dalam masyarakat dan memposisikan peranan penting pendidikan dalam membangun kekuatan kebudayaan.Proses kreativitas dalam makalah ini adalah rangkaian kemampuan daya cipta (devinisi kearifan lokal, pulau Sulawesi, sistem pemerintahan, suku bugis, kearifan lokal suku bugis). Kata Kunci:definisi kearifan lokal, pulau Sulawesi, sistem pemerintahan, suku

bugis, kearifan lokal suku bugis

Masyarakat Indonesia memiliki kebudayaan yang multidimensi, begitu pula dengan aspek bahasa, agama, ras dan warna kulit sehingga aspek pluralitas menjadi karakter dari bangsa ini. Dimensi keragaman di atas adalah perwujudan dari integritas bangsa itu sendiri. Hal ini merupakan konsekuensi dari aspek pluralitas dan multi dimensi masyarakat Indonesia utamanya suku bugis, untuk itu transformasi kearifan lokal melalui wadah pendidikan menjadi sebuah alternatif untuk kembali membangun kemandirian bangsa di era global sekarang ini. Kearifan lokal sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious). Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmani, yang memberikan kepada komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana komunitas itu berada. Dengan kata lain kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal.

Menggali dan menanamkan kembali kearifan lokal secara inheren melalui pendidikan dapat dikatakan sebagai gerakan kembali pada basis nilai budaya daerahnya sendiri sebagai bagian upaya membangun identitas bangsa, dan sebagai semacam filter dalam menyeleksi pengaruh budaya lain. Nilai-nilai

Page 223: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

217 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

kearifan lokal itu meniscayakan fungsi yang strategis bagi pembentukan karakter dan identitas bangsa.

Peran pendidikan yang secara esensi mengandung upaya “manusia berpendidikan” merupakan sebuah perwujudan pembentukan karakter masyarakat yang lebih mandiri dengan berangkat dari kearifan lokal.

Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan bagi pembentukan jati diri bangsa secara nasional. Pendidikan dalam arti luas tidak hanya terjebak pada terminologi pendidikan formal, yang memiliki acuan perjenjangan yang jelas. Namun lebih dari itu pendidikan baik formal maupun non-formal harus mampu melakukan transformasi local wisdom dalam aktifitas pendidikan itu sendiri. Kerangka sederhana ini memungkinkan adanya hubungan relasional antara pendidikan dan kebudayaan. Dengan pendidikan orang dapat berbudaya, dan melalui budaya persaingan di era global menjadi lebih berarti. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan yang nantinya akan menjadi obyek kajian dalam perumusan makalah ini, yang mencakup: a). Memaknai kearifan lokal sebagai intisari dari kekayaan budaya.Mampukah kekuatan local wisdom menjadi kekuatan dalam persaingan di era global? b). Bisakah Indonesia bersaing di dunia Internasional? Membaca ulang peran masyarakat lokal dalam melestarikan pendidikan dan kebudayaan. Tujuan

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa kearifan lokal yang ada di Indonesia akan menemukan eksistensinya jika ditopang oleh usaha mengintegrasikan antara pendidikan dan kebudayaan, sehingga diharapkan mampu memberi kontribusi kepada masyarakat guna melestarikan dan mengembangkan local wisdomuntuk bersaing di era globalisasi.

Berangkat dari kerangka di atas maka tujuan penulisan makalah ini adalah: a). Memaknai intisari kearifan lokal sebagai khasanah kekayaan bangsa, sehingga kekuatan itu harus terus digali untuk membentuk kebudayaan yang mampu bersaing. b). Mengetahui konsistensi masyarakat Indonesia dalam melestarikan dan mengembangkankebudayaan nasional melalui aspek pendidikan. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah: a). Memberikan gambaran akan budaya yang seharusnya menjadi kekuatan untuk bersaing di dunia Internasional. b). Menjadikan kekuatan menulis sebagai kultur intelektual untuk membangun peradaban dalam masyarakat. c). Memposisikan peranan penting pendidikan dalam membangun kekuatan kebudayaan. Metode Penulisan

Proses penulisan makalah ini berangkat dari minat untuk melakukan riset secara sederhana dalam lingkup literatur kepustakaan yang selanjutnya

Page 224: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

218 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

membentuk gagasan, konsep maupun teori. Proses ini dilakukan melalui penelusuran dan menelaah referensi-referensi yang ada kaitannya dengan tema yang penulis angkat. Sebagai layaknya studi kualitatif.

Karena proses penulisan ini menggunakan pola riset yang sederhana maka pola pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan membaca serta mempelajari buku atau karya yang telah dikelompokkan menjadi sumber primer dan sekunder. Sumber primer merupakan buku-buku pendidikan dan kebudayaan yang kemudian dikorelasikan dengan tema yang diangkat.

Sedangkan sumber sekunder adalah buku penopang yang lain. Begitu juga dengan jurnal, dan data-data yang bisa dipertanggung jawabkan.

Dalam pengolahan data penulis menggunakan metode deskriptif-analitis. Deskriptif dalam artian metode yang digunakan memakai pencarian data yang berkaitan dengan tema yang diangkat dengan interpretasi yang jelas, tepat, akurat dan sistematis. Sedangkan analitis dimaksudkan untuk menguraikan data secara kritis, cermat, dan terarah.

Untuk memperoleh analisis yang komprehensif, berikut akan diurai komposisi penyusunan makalah ini yakni terdiri atas tiga bab yang terdiri dari: Bab Pertama, merupakan bab pendahuluan yang memuat tentang latar belakang, rumusan maslah, tujuan penulisan dan manfaat penulisan. Bab Kedua, menjelaskan tentang pembahasan dari tema yang sedang diangkat. Sedangkan Bab Ketiga, merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Pembahasan Definisi Kearifan Lokal

Kearifan lokal berasal dari dua kata yaitu kearifan (wisdom), dan lokal (local). Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat bugis maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.

Kearifan lingkungan atau kearifan lokal masyarakat sudah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu mulai dari zaman prasejarah hingga saat ini, kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya. Wietoler dalam Akbar (2006)

Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Sistem pemenuhan kebutuhan masyarakat tersebut meliputi seluruh unsur-unsur kehidupan Agama/Kepercayaan, Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Ekonomi, Organisasi Sosial (Hukum, Politik), Bahasa/Komunikasi serta Kesenian. Mereka mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, memperbaiki, mengembangkan

Page 225: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

219 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

unsur kebutuhan mereka itu dengan memperhatikan ekosistem (flora, fauna dan mineral) serta sumberdaya manusia yang terdapat pada warga mereka sendiri.

Kearifan lokal sesungguhnya mengandung banyak sekali keteladanan dan kebijaksanaan hidup. Pentingnya kearifan lokal dalam pendidikan kita secara luas adalah bagian dari upaya meningkatkan ketahanan nasional kita sebagai sebuah bangsa. Budaya nusantara yang plural dan dinamis merupakan sumber kearifan lokal yang tidak akan mati, karena semuanya merupakan kenyataan hidup (living reality) yang tidak dapat dihindari. a) Landasan Historis

Kearifan lokal dapat bersumber dari kebudayaan masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu. Dalam perspektif historis, kearifan lokal dapat membentuk suatu sejarah lokal. Sebab kajian sejarah lokal yaitu studi tentang kehidupan masyarakat atau khususnya komunitas dari suatu lingkungan sekitar tertentu dalam dinamika perkembangannya dalam berbagai aspek kehidupan. Wijda dalam (Koentjaraningrat, 1986). Awal pembentukan kearifan lokal dalam suatu masyarakat umumnya tidak diketahui secara pasti kapan kearifan lokal tersebut muncul. Pada umumnya terbentuk mulai sejak masyarakat belum mengenal tulisan (praaksara). Tradisi praaksara ini yang kemudian melahirkan tradisi lisan. Secara historis tradisi lisan banyak menjelaskan tentang masa lalu suatu masyarakat atau asal-usul suatu komunitas. Perkembangan tradisi lisan ini dapat menjadi kepercayaan atau keyakinan masyarakat. Dalam masyarakat yang belum mengenal tulisan terdapat upaya untuk mengabadikan pengalaman masa lalunya melalui cerita yang disampaikan secara lisan dan terus menerus diwariskan dari generasi ke genarasi. Pewarisan ini dilakukan dengan tujuan masyarakat yang menjadi generasi berikutnya memiliki rasa kepemilikan atau mencintai cerita masa lalunya. Tradisi lisan merupakan cara mewariskan sejarah pada masyarakat yang belum mengenal tulisan, dalam bentuk pesan verbal yang berupa pernyataan yang pernah dibuat di masa lampau oleh generasi yang hidup sebelum generasi yang sekarang ini. b) Landasan Psikologis

Secara psikologis pembelajaran berbasis kearifan lokal memberikan sebuah pengalaman psikologis kepada siswa selaku pengamat dan pelaksana kegiatan. Dampak psikologis bisa terlihat dari keberanian siswa dalam bertanya tentang ketidaktahuannya, mengajukan pendapat, persentasi di depan kelas, dan berkomunikasi dengan masyarakat. Dengan pemanfaatan lingkungan maka kebutuhan siswa tentang perkembangan psikologisnya akan diperoleh. Karena lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan perilaku individu, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosio-psikologis, termasuk didalamnya adalah belajar. Terhadap faktor lingkungan ini ada pula yang menyebutnya sebagai empirik yang berarti pengalaman. c) Landasan Politik dan Ekonomi

Secara politik dan ekonomi pembelajaran berbasis kearifan lokal ini memberikan sumbangan kompetensi untuk mengenal persaingan dunia kerja. Dari segi ekonomi pembelajaran ini memberikan contoh nyata kehidupan sebenarnya kepada siswa untuk mengetahui kegiatan untuk memenuhi

Page 226: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

220 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

kebutuhan hidup. Karena pada akhirnya siswa dididik dan disiapkan untuk menghadapi persaingan global yang menuntut memiliki ketrampilan dan kompetensi yang tinggi di lingkungan sosial. d) Landasan Yuridis

Secara yuridis pembelajaran berbasis kearifan lokal mengarahkan peserta didik untuk lebih menghargai warisan budaya. Sekolah Dasar tidak hanya memiliki peran membentuk peserta didik menjadi generasi yang berkualitas dari sisi kognitif, tetapi juga harus membentuk sikap dan perilaku peserta didik sesuai dengan tuntutan yang berlaku. Apa jadinya jika di sekolah peserta didik hanya dikembangkan ranah kognitifnya, tetapi diabaikan afektifnya. Tentunya akan banyak generasi penerus bangsa yang pandai secara akademik, tapi lemah pada tataran sikap dan perilaku. Hal demikian tidak boleh terjadi, karena akan membahayakan peran generasi muda dalam menjaga keutuhan bangsa dan Negara Indonesia. Nilai-nilai kearifan lokal yang ada di sekitar sekolah dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran di Sekolah Dasar. Tak terkecuali dalam pembelajaran untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme. Dengan diintegrasikannya nilai-nilai kearifan lokal dalam pembelajaran di Sekolah Dasar diharapkan siswa akan memiliki pemahaman tentang kerifan lokalnya sendiri, sehingga menimbulkan kecintaan terhadap budayanya sendiri. Pulau Sulawesi

Secara Etimologi, Sulawesi atau Pulau Sulawesi (atau sebutan lama dalambahasa Inggris: Celebes) adalah sebuah pulau dalam wilayah Indonesia yang terletak di antara PulauKalimantan disebelah barat dan Kepulauan Maluku disebelah timur. Dengan luas wilayah sebesar 174.600 km², Sulawesi merupakan pulau terbesar ke-11di dunia. Di Indonesia hanya luas pulau Sumatera, Kalimantan, dan pulau Papuasajalah yang lebih luas wilayahnya daripada pulau Sulawesi, sementara dari segi populasi hanya pulau Jawa dan Sumatera sajalah yang lebih besar populasinya daripada Sulawesi.

Nama Sulawesi diperkirakan berasal dari kata dalam bahasa-bahasa di Sulawesi Tengah yaitu kata sula yang berarti nusa (pulau) dan kata mesi yang berarti besi (logam), yang mungkin merujuk pada praktik perdagangan bijih besi hasil produksi tambang-tambang yang terdapat di sekitar Danau Matano, dekat Sorowako, Luwu Timur. Sedangkan bangsa/orang-orang Portugis yang datang sekitar abad 14-15 masehi adalah bangsa asing pertama yang menggunakan nama Celebes untuk menyebut pulau Sulawesi secara keseluruhan.

Sedangkan berdasarkan letak geografisnya Sulawesi merupakan pulau terbesar keempat di Indonesia setelah Papua, Kalimantan dan Sumatera dengan luas daratan 174.600 kilometer persegi. Bentuknya yang unik menyerupai bunga mawar laba-laba atau huruf K besar yang membujur dari utara ke selatan dan tiga semenanjung yang membujur ke timur laut, timur dan tenggara. Pulau ini dibatasi oleh Selat Makasar di bagian barat dan terpisah dari Kalimantan serta dipisahkan juga dari Kepulauan Maluku oleh Laut Maluku. Sulawesi berbatasan dengan Borneo di sebelah barat,Filipina di utara, Flores di selatan, Timor di tenggara dan Maluku di sebelah timur. Sistem Pemerintahan

Page 227: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

221 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Pemerintahan di Sulawesi dibagi menjadi enam provinsi berdasarkan urutan pembentukannya yaitu provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara,Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Sulawesi Barat. Sulawesi Tengah merupakan provinsi terbesar dengan luas wilayah daratan 68,033 kilometer persegi dan luas laut mencapai 189,480 kilometer persegi yang mencakup semenanjung bagian timur dan sebagian semenanjung bagian utara serta Kepulauan Togean di Teluk Tomini dan pulau-pulau di Banggai Kepulauan di Teluk Tolo. Sebagian besar daratan di provinsi ini bergunung-gunung (42.80% berada di atas ketinggian 500 meter dari permukaan laut) dan Katopasa adalah gunung tertinggi dengan ketinggian 2.835 meter dari permukaan laut. Suku Bugis

Suku Bugis, adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Sulawesi Selatan. Populasi suku Bugis ini adalah yang terbesar di Sulawesi Selatan, dan diperkirakan mencapai 6 juta orang pada sensus tahun 2000.

Orang Bugis adalah termasuk bangsa perantau dan pengembara. Populasi suku Bugis tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, selain di Sulawesi Selatan, suku Bugis juga tersebar di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Komunitas suku Bugis juga ditemukan ada di provinsi Riau, tapi pada umumnya sudah mengikuti adat-istiadat suku Melayu Riau, walaupun begitu mereka tetap mengaku sebagai orang Bugis. Keturunan orang Bugis juga ditemukan di Malaysia dan Brunei.

Agama Islam masuk ke kalangan orang Bugis pada abad 17, yang berkembang dengan cepat, sehingga saat ini menjadi agama rakyat bagi masyarakat Bugis. Orang Bugis mayoritas adalah pemeluk agama Islam.

Asal-usul suku Bugis pertama kali diperkirakan berasal dari daratan China Selatan, menurut para peneliti dikatakan dari Yunnan, China Selatan, sekitar awal abad Masehi, bersama kelompok deutro malayan, yang masuk dengan kelompok yang besar- ke wilayah kepulauan Asia Tenggara ini. Menurut dugaan lain, bahwa orang Bugis ini adalah penduduk penghuni daerah pesisir Indochina, di sekitar Burma dan Thailand, yang terdesak oleh bangsa Arya yang menginvasi daerah pesisir Indochina. Mereka sempat bertahan dan berperang melawan bangsa Arya ini, tapi karena mereka hanya terdiri dari para petani dan nelayan dan kalah dalam persenjataan, akhirnya mereka pun terpecah-pecah dan tersebar ke daerah kepulauan di Asia Tenggara dan salah satunya mendarat ke daerah Sulawesi Selatan sekarang ini.

Di daerah baru ini, mereka berbaur dengan penduduk asli yang terlebih dahulu berada di daerah ini. Tapi karena pertumbuhan mereka sangat pesat dengan budaya yang mereka bawa, akhirnya penduduk asli terdesak masuk lebih ke pedalaman dan menyingkir ke daerah lain.

Orang Bugis menyebut dirinya sebagai "To Ugi" yang berarti "orang Bugis". Nama "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang

Page 228: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

222 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

Seiring waktu berjalan, masyarakat Bugis purba ini tumbuh dan berkembang selama beberapa abad, dan menjadi beberapa kelompok-kelompok kecil yang tersebar ke segala penjuru pulau Sulawesi. Setelah beberapa abad berjalan, dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa kabupaten yaitu Luwu, Bone,Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan).

Secara sejarah asal-usul orang Bugis masih satu rumpun dengan orang Makassar dan orang Mandar. Banyak terdapat kemiripan dari segi adat-istiadat, budaya dan bahasa antara ketiga suku bangsa ini. Selain banyak terlibat hubungan kekerabatan di antara mereka.

Pemukiman masyarakat suku Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, kebanyakan masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan. Kearifan Lokal Suku Bugis

Pada masyarakat Bugis, kearifan lokal ternyata terdokumntasi dengan baik dalamkarya sastra mereka dan tertuang dalam karya sastra Bugis klasik. 1. Bawaan Hati yang Baik (Ati Mapaccing)

Dalam bahasa Bugis, Ati Mapaccing (bawaan hati yang baik) berarti nia’ madeceng (niat baik), nawa-nawa madeceng (niat atau pikiran yang baik) sebagai lawan dari kata nia’ maja’ (niat jahat), nawa-nawa masala (niat atau pikiran bengkok). Dalam berbagai konteks, kata bawaan hati, niat atau itikad baik juga berarti ikhlas, baik hati, bersih hati atau angan-angan dan pikiran yang baik.

Tindakan bawaan hati yang baik dari seseorang dimulai dari suatu niat atau itikad baik (nia mapaccing), yaitu suatu niat yang baik dan ikhlas untuk melakukan sesuatu demi tegaknya harkat dan martabat manusia. Bawaan hati yang baik mengandung tiga makna, yaitu a) menyucikan hati, b) bermaksud lurus, dan c) mengatur emosi-emosi. Pertama, manusia menyucikan dan memurnikan hatinya dari segala nafsu- nafsu kotor, dengki, iri hati, dan kepalsuan-kepalsuan. Niat suci atau bawaan hati yang baik diasosiasikan dengan

Page 229: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

223 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

tameng (pagar) yang dapat menjaga manusia dari serangan sifat-sifat tercela. Ia bagai permata bercahaya yang dapat menerangi dan menjadi hiasan yang sangat berharga. Ia bagai air jernih yang belum tercemar oleh noda-noda atau polusi. Segala macam hal yang dapat menodai kesucian itu harus dihindarkan dari hati, sehingga baik perkataan maupun perbuatan dapat terkendali dengan baik. 2. Konsep Pemerintahan yang Baik (good governance)

Istilah good governance tak bisa dilepaskan dari konteks perbincangan mengenai politik dan paradigma pembangunan yang berkembang di dunia. Bila dilacak agak teliti, penggunaan istilah ini belum lebih dari dua dekade. Diduga, good governance pertama kali diperkenalkan sekitar tahun 1991 dalam sebuah resolusi The Council of the European Community yang membahas Hak Asasi Manusia, Demokrasi, dan Pembangunan.. Di dalam resolusi itu disebutkan, diperlukan empat prasyarat lain untuk dapat mewujudkan Pembangunan yang berkelanjutan, yaitu mendorong penghormatan atas hak asasi manusia, mempromosikan nilai demokrasi, mereduksi budget pengeluaran militer yang berlebihan dan mewujudkan good governance. Sejak saat itu, good governance mulai diperbincangkan dan diakomodasi dalam berbagai konvensi dan resolusi yang berkaitan dengan pembangunan, baik dalam perbincangan pembangunan di UNDP maupun di Lome Convention, Bantuan Pembangunan yang bersifat Multilateral dan Bilateral.

Istilah good governance telah diterjemahkan menjadi penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tata pemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih (Effendi, 2005).

Dalam kepustakaan Bugis, untuk terwujudnya permerintahan yang baik, seorang pemimpin dituntut memiliki 4 kualitas yang tak terpisahkan antara satu dengan lainnya. Keempat kualitas itu terungkap dalam ungkapan Bugis.

Maccai na Malempu; Waraniwi na Magetteng (Cendekia lagi Jujur, Berani lagi Teguh dalam Pendirian.) Bila ungkapan di atas diurai maka ada empat karakteristik seorang

pemimpin yang diangap dapat memimpin suatu negeri, yaitu: cendekia, jujur, berani, dan teguh dalam pendirian. Ungkapan itu bermakna bahwa kepandaian saja tidak cukup. Kepandaian haruslah disertai dengan kejujuran, karena banyak orang pandai menggunakan kepandaiannya membodohi orang lain. Karerna itu, kepandaian haruslah disertai dengan kejujuran. Selanjutnya, keberanian saja tidak cukup. Keberanian haruslah disertai dengan keteguhan dalam pendirian. Orang yang berani tetapi tidak cendekia dan teguh dalam pendirian dapat terjerumus dalam kenekadan.

Syarat terselenggaranya pemerintahan negeri dengan baik terungkap dalam Lontarak bahwa pemimpin negeri haruslah: 1. Jujur terhadap Dewata Seuwae (Tuhan YME) dan sesamanya manusia.2. Takut kepada Dewata Seuwae (Tuhan YME) dan menghormati rakyatnya dan orang asing serta tidak membeda-bedakan rakyatnya.3. Mampu memperjuangkan kebaikan negerinya agar berkembang biak rakyatnya, dan mampu menjamin tidak terjadinya perselisihan antara pejabat kerajaan dan

Page 230: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

224 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

rakyat.4. Mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya.5. Berani dan tegas, tidak gentar hatinya mendapat berita buruk (kritikan) dan berita baik (tidak mudah terbuai oleh sanjungan).6. Mampu mempersatukan rakyatnya beserta para pejabat kerajaan.7. Berwibawa terhadap para pejabat dan pembantu-pembantunya.8. Jujur dalam segala keputusannya.

Kemudian, I Mangada’cina Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang membuat pesan yang isinya bahwa ada lima sebab yang menyebabkan negeri itu rusak, yaitu: 1. Kalau raja yang memerintah tidak mau diperingati.2. Kalau tidak ada cendekiawan dalam suatu negara besar.3. Kalau para hakim dan para pejabat kerajaan makan sogok.4. Kalau terlampau banyak kejadian-kejadian besar dalam suatu negara.5. Kalau raja tidak menyayangi rakyatnya. 3. Demokrasi (Amaradekangeng)

Kata amaradekangeng berasal dari kata maradeka yang berarti merdeka atau bebas. Pengertian tentang kemerdekaan ditegaskan dalam Lontarak sebagai berikut: Niaa riasennge maradeka, tellumi pannessai: Seuani, tenrilawai ri olona. Maduanna, tenriangkai’ riada-adanna. Matellunna, tenri atteanngi lao ma-niang, lao manorang, lao orai, lao alau, lao ri ase, lao ri awa.Demokrasi sebagai bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara terungkap dalam sastra Bugis sebagai berikut: Yang disebut merdeka (bebas) hanya tiga hal yang menentukannya: pertama, tidak dihalangi kehendaknya; kedua, tidak dilarang mengeluarkan pendapat; ketiga tidak dilarang ke Selatan, ke Utara, Ke Barat, ke Timur, ke atas dan ke bawah. Itulah hak-hak kebebasan. Rusa taro arung, tenrusa taro ade, Rusa taro ade, tenrusa taro anang, Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega. (Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat, Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan orang banyak).

Keamanaan, dan pelaksanaan pemerintahan negara (Said, 1998). Konsep di atas sejalan dengan konsep demokrasi yang dianut saat ini yang mana kedaulatan ada di tangan rakyat. Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.Dalam ungkapan itu, jelas tergambar bahwa kedudukan rakyat amat besar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Rakyat berarti segala-galanya bagi negara. Raja atau penguasa hanyalah merupakan segelintir manusia yang diberi kepercayaan untuk mengurus administrasi.Dari kutipan itu, jelas tergambar bahwa kekuatan berada di tangan rakyat, bukan di tangan raja. Jika hal ini dihubungkan dengan teori demokrasi Rousseau tentang volonte generale atau kehendak umum dan volonte de tous atau kehendak khusus, jelas tergambar bahwa teori Rousseau

Page 231: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

225 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

berkesesuaian dengan sistem pemerintahan yang dikembangkan di Tanah Bugis yaitu apabila dua kepentingan (antara penguasa dan rakyat) bertabrakan, kepentingan yang harus dimenangkan adalah kepentingan rakyat (umum).Dalam menjalankan pemerintahan, raja selalu berusaha untuk bertindak secara ekstra hati-hati. Sesuatu yang akan dibebankan kepada rakyat haruslah terlebih dahulu dipertimbangkan. Artinya, acuan utama dari setiap tindakan adalah rakyat. Hal tersebut tertuang dalam Getteng Bicara (undang-undang) sebagai berikut. “Takaranku kupakai menakar, timbanganku kupakai menimbang, yang rendah saya tempatkan di bawah, yang tengah saya tempatkan di tengah, yang tinggi saya tempatkan di atas.”

Ketetapan hukum yang tergambar dalam getteng bicara di tanah Bugis menunjukkan bahwa raja tidak akan memutuskan suatu kebijakan bila raja itu sendiri tidak merasa nyaman. Raja menjadikan dirinya sebagai ukuran dan selalu berusaha berbuat sepatutnya. Dari argumentasi itu, jelas tergambar bahwa negara adalah sepenuhnya milik rakyat dan bukan milik raja. Raja tidak dapat berbuat sekehendak hatinya kepada negara yang menjadi milik dari rakyat itu. Raja sama sekali tidak dapat membuat peraturan dengan seenaknya, terutama menyangkut kepentingan dirinya atau keluarganya. Semua peraturan yang akan ditetapkan oleh raja harus melalui persetujuan dari kalangan wakil rakyat yang telah mendapatkan kepercayaan dari rakyat. Jika raja melanggar ketentuan itu, berarti raja telah melanggar kedaulatan rakyat. Adat menjamin hak dan protes rakyat dengan lima cara sebagai berikut: 1. Mannganro ri ade’, memohon petisi atau mengajukan permohonan kepada raja untuk mengadakan suatu pertemuan tentang hal-hal yang mengganggu, seperti kemarau panjang karena dimungkinkan sebagai akibat kesalahan pemerintah. 2. Mapputane’, menyampaikan keberatan atau protes atas perintah-perintah yang memberatkan rakyat dengan menghadap raja. Jika itu menyangkut kelompok, maka mereka diwakili oleh kelompok kaumnya untuk menghadap raja, tetapi jika perseorangan, langsung menghadap raja. 3. Mallimpo-ade’, protes yang mendesak adat karena perbuatan sewenang-wenang raja, dan karena usaha melalui mapputane’ gagal. Orang banyak, tetapi tanpa perlengkapan senjata mengadakan pertemuan dengan para pejabat negara dan tidak meninggalkan tempat itu kecuali permasalahannya selesai. 4. Mabbarata, protes keras rakyat atau kaum terhadap raja, karena secara prinsipial masyarakat merasa telah diperlakukan tidak sesuai dengan panngadereng oleh raja, keluarga raja, atau pejabat kerajaan. Masyarakat atau kaum berkumpul di balai pertemuan (baruga) dan mendesak agar masalahnya segera ditangani. Kalau tidak, rakyat atau kaum bisa mengamuk yang bisa berakibat sangat fatal pada keadaan negara. 5. Mallekke’ dapureng, tindakan protes rakyat dengan berpindah ke negeri lain. Hal ini dilakukan karena sudah tidak mampu melihat kesewenang-wenangan di dalam negerinya dan protes-protes lain tidak ampuh. Mereka berkata: “Kamilah yang memecat raja atau adat, karena kami sekarang melepaskan diri dari kekuasaannya”.(Mattulada,1985). 4. Kesetiakawanan Sosial (assimellereng)

Page 232: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

226 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Konsep assimellereng mengandung makna kesehatian, kerukunan, kesatupaduan antara satu anggota keluarga dengan anggota keluarga lain, antara seorang sahabat dengan sahabat yang lain. Memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi, setia kawan, cepat merasakan penderitaan orang lain, tidak tega membiarkan saudaranya berada dalam keadaan menderita, dan cepat mengambil tindakan penyelamatan atas musibah yang menimpa seseorang, dikenal dengan konsep “sipa’depu-repu” (saling memelihara). Sebaliknya, orang yang tidak mempedulikan kesulitan sanak keluarganya, tetangganya, atau orang lain sekali pun disebut bette’ perru. Dalam kehidupan sehari-hari, manifestasi kesehatian dan kerukunan itu disebutkan dalam sebuah ungkapan Bugis: “tejjali tettappere , banna mase-mase”.

Ungkapan tersebut biasanya diucapkan ketika seorang tuan rumah kedatangan tamu. Maksunya adalah “kami tidak mempunyai apa-apa untuk kami suguhkan kepada tuan. Kami tidak mempunyai permadani atau sofa yang empuk untuk tuan duduki. Yang kami miliki adalah kasih sayang.Lontarak sangat menganjurkan manusia memiliki perasaan kemanusiaan yang tinggi, rela berkorban menghormati hak-hak kemanusiaan seseorang, demi kesetiakawanan atau solidaritas antara sesama manusia, berusaha membantu orang, suka menolong orang menderita, berkorban demi meringankan penderitaan dan kepedihan orang lain dan berusaha pula untuk membagi kepedihan itu ke dalam dirinya. Dalam Lontarak disebutkan: Iya padecengi assiajingeng, Sianrasa-rasannge nasiammase-maseie, Sipakario-rio, Tessicirinnaiannge ri sitinajae, Sipakainge’ ri gau’ patujue, Siaddappengeng pulanae. Yang memperbaiki hubungan kekeluargaan yaitu: Sependeritaan dan kasih-mengasihi, Gembira menggembirakan, Rela merelakan harta benda dalam batas-batas yang wajar, Ingat memperingati dalam hal-hal yang benar, Selalu memaafkan.

Dorongan perasaan solidaritas untuk membela, menegakkan, memperjuangkan harkat kemanusiaan orang lain atau perasaan senasib sepenanggungan di antara keluarga, kerabat, dan masyarakat dilukiskan dalam ungkapan-ungkapan Lontarak sebagai berikut: Eppai rupanna padecengi asseajingeng, Sialurusennge’ siamaseng masseajing, Siadampengeng pulanae masseajing, Tessicirinnaiannge warangparang masseajing, ri sesena gau’ sitinajae, Sipakainge’ pulannae masseajing ri sesena gau’ patujue sibawa winru’ madeceng. Empat hal yang mengeratkan hubungan kekeluargaan: Senantiasa kasih mengasihi sekeluarga, Maaf memaafkan sekeluarga, Rela merelakan sebagian harta benda sekeluarga dalam batas-batas yang layak, Ingat memperingati sekeluarga demi kebenaran dan tujuan yang baik. 5. Kepatutan (Mappasitinaja)

Mappasitinaja berasal dari kata sitinaja yang berarti pantas, wajar atau patut. Mappasitinaja berarti berkata atau berbuat patut atau memperlakukan seseorang secara wajar.Bahwa seseorang dikatakan bertindak patut atau wajar bila ia mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Seseorang yang bertindak wajar berarti ia mampu menempatkan dirinya sesuai dengan kedudukannya. Ia tidak menyerakahi hak-hak orang lain, melainkan memahami hak-haknya

Page 233: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

227 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

sendiri. Di samping itu, ia pula dapat memperlakukan orang lain pada tempatnya. Ia sadar bahwa orang lain mempunyai hak-hak yang patut dihormati.

Perbuatan wajar atau patut, dalam bahasa Bugis biasa juga disebut mappasikoa. Seorang yang berbuat wajar dalam arti mappasikoa berarti ia merasa cukup atas sesuatu yang dimilikinya. Ia bertindak sederhana. Dicontohkan oleh Rahim (1985), tentang sikap wajar Puang Rimaggalatung. Puang Rimaggalatung pernah berkali-kali menolak tawaran rakyat Wajo untuk diangkat menjadi Arung Matoa Wajo atas kematian Batara Wajo III yang bernama La Pateddungi Tosamallangi. Bukannya beliau tidak mampu memangku jabatan yang ditawarkan kepadanya, tetapi ia sadar bahwa jabatan itu sungguh sulit untuk diembannya. Namun, karena Adat (para wakil rakyat) dan rakyat Wajo sendiri merasa bahwa beliau pantas memimpin mereka, akhirnya tawaran itu diterima.

Dua hal saling mencari lalu bersua, yakni perbuatan baik dan yang pantas. Barulah baik bila keduanya berpadu. Cara memadukannya ialah: 1. Membiasakan diri berbuat baik meskipun sulit dilakukan.2. Rendahkanlah dirimu sepantasnya.3. Ambillah hati orang sepantasnya. 4. Menghadapi semak-semak ia surut langkah5. Melalui jalan ia berhati-hati dan menyandarkan diri kepada Tuhan6. Berusahalah dengan benar.

Sebaliknya, lawan dari kata patut adalah berlebih-lebihan dan serakah. Watak serakah diawali keinginan untuk menang sendiri. Keinginan untuk menang sendiri dapat menghasilkan pertentangan-pertentangan dan menutup kemungkinan untuk mendapatkan restu dari pihak lain. Manusia yang berbuat serakah, justru akan menghancurkan dirinya sendiri karena orang lain akan menjauhinya. Dan apabila hati manusia dipenuhi sifat serakah, maka tiada lagi kebaikan yang bisa diharapkan dari manusia itu. Penutup Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Kearifan Lokal dalam kepustakaan Bugis masih sangat relevan dengan perkembangan zaman. Karena itu, Kearifan Lokal sebagai jati diri bangsa perlu direvitalisasi, khususnya bagi generasi muda dalam percaturan global saat dan di masa datang. Dengan demikian, identitas sebagai bangsa baik secara fisik maupun non fisik akan tetap terjaga. Saran

Mengingat aspek kebudayaan yang ada di Indonesia begitu beragam, maka perlu kiranya Perguruan Tinggi sebagai representasi dari dunia pendidikan yang ada dimasing-masing daerah untuk lebih serius dalam melakukan eksperimen ilmiah mengenai kekayaan etnisitas daerah masing-masing. Kemudian perhatian secara serius dapat dilakukan dan dikampanyekan guna kembali menjadi kearifan lokal sebagai pilar kemajuan bangsa Indonesia. Sehingga aspek kebudayaan yang beragam tersebut mampu diketahui, dikembangkan serta menjadi karakter masyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam etnis dan latar belakang budaya.

Page 234: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

228 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Daftar Rujukan Ali, Lukman (Ed.). 1967.bahasa danKesusastraan Indonesia sebagaiTjermin

manusia Indonesia Baru. Jakarta: Gunung Agung. Aliana, Zainul Arifin et al. 1992. Sastra Lisan Bahasa

MelayuBelitung.Jakarta: DepartemenPendidikan dan Kebudayaan. Apituley, Leo A. et al. 1991. Struktur Sastra Lisan

TontemboanJakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Chairan, Tamin et al. 1981. Bunga Rampai Sastra Bugis: Bacaan

Sejarah Sulawesi Selatan. Jakarta: Proyek Penerbitan BukuSastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan danKebudayaan.

Fachruddin A.E. et al. 1981 Sastra Lisan Bugis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen pendidikan dan Kabudayaan.

Gaffar, Zainal Abidin eta11990. Strutur SastraLisan Musi. Jakarta: DepartemenPendidikan dan Kebudayaan.

Mattalitti, M. Arief 1989. SastraLisan Prosa Bugis. Jakarta: Proyek penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Parawansa P. et al. 1992. Satra Sinrilik Makassar Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sikki, Muhammad etal 1986Struktur Sastra Lisan Toraja. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus istilah Sastra. Jakarta: Penerbit UnivertasIndonesia.

Udin, Syamsuddin et al. 1989. Identifikasi Tema dan Amanat Kaba Minangkabau.Jakarta: Departemen Pendidikan danKebudayaan.

Zaidan, Abdul Rozak etal. 1991. Kamus Istilan Sastra. Jakarta: pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Page 235: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

229 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

PERSPEKTIF KEARIFAN LOKAL DALAM SASTRA LISAN

NYANYIAN TRADISIONAL ANAK MADURA DI SUMENEP

M. Ridwan

Dosen PGSD STKIP PGRI Sumenep

[email protected]

ABSTRAK: Tujuan penelitian ini adalah (1) mengenal bentuk folklor dan nilai kearifan lokal nyanyian tradisional anak madura; (2) menidentifikasi nyanyian tradisional anak yang ada di Madura khususnya di Sumenep; dan (3) mengkaji nyanyian tradisional anak dari perspektif kearifan lokal sebagai salah satu solusi mengentaskan kesenjangan sosial, menempa mental dan mensosialisasikan ulang bahwa nyanyian tradisional anak harus dirawat dan dilestarikan. Perspektif kearifan lokal harus dibangun melalui aktivitas dokumentasi yang dihasilkan melalui penelitian tentang nyanyian tradisional, mencoba mengakrabkan kehidupan keseharian anak di sekolah dan tempat-tempat bermain terhadap nyanyian anak adalah langkah strategis. Upaya ini untuk menyelamatkan generasi muda dari ketergantungannya yang ekstrim terhadap perkembangan teknologi yang gila.

Kata kunci: Kearifan Lokal, Nyanyian Tradisional Anak, dan Sumenep Madura

Menurut Koentjaraningrat (1985:200-201) kebudayaan dapat digolongkan atas tiga wujud yaitu; 1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, normanorma, peraturan dan sebagainya, selanjutnya disebut sistem budaya, 2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dan masyarakat atau disebut sistem sosial, 3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda dari hasil karya atau disebut kebudayaan fisik. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan budaya memiliki nilai-nilai yang berada dalam alam pikiran manusia mengenai aspek-aspek yang dianggap penting untuk dirujuk dan dipedomani dalam berpikir, berperilaku dan bertindak pada semua unsur kehidupan.

Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pengingat (mnemonic device). Folklor dapat berupa bahasa rakyat, ungkapan tradisional (peribahasa), teka-teki, prosa rakyat (mitos, legenda dan dongeng), nyanyian rakyat, teater rakyat, Nyanyian rakyat, arsitektur rakyat, musik rakyat dan sebagainya. (Danandjaja, 1984:2).

Salah satu keragaman budaya yang lahir di Sumenep Madura adalah Nyanyian rakyat tradisional anak dengan model dan keberagamannya. Sebagai komitmen, Sumenep masih cukup istiqomah merawat dan melestarikan warisan leluhur yang kaya akan kearifan lokal.

Nyanyian ti` titti` liya` liyu`, cong-koncong konce, ra-ra kotana mera, ko-soko bucang, tong ta`etong dan jang-kolajang, ker-tanongker dan pa’ opa’

Page 236: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

230 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

eling dinilai cukup relevan jika ditinjau dari sisi bentuk folklor dan pelestarian nilai kearifan lokal.

Nyanyian tradisional anak seperti di atas sudah jarang dimainkan, kini anak-anak berganti mainan, sebut saja game online, playstation, x-box, dan game portable yang bebas diakses anak-anak melalui gadgetnya masing-masing. Transformasi nilai-nilai yang biasa ditemukan di dalam nyanyin tradisonal anak sudah berganti peran, gadget (baca: android) menjadi pilihan dan halaman bermain anak-anak saat ini.

Oleh karena itu untuk menghindari sesuatu yang akan terus menyandra anak-anak sebagai generasi penerus, perlu adanya pengkajian khusus atau media pengajaran serta pendokumentasian terhadap kebudayaan khususnya jenis folklor nyanyian tradisional anak yang saat ini sudah ditinggal dan kurang diminati. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikiut: (1) mengenal bentuk folklor dan nilai kearifan lokal nyanyian tradisional anak; (2) menidentifikasi nyanyian tradisional anak dari perspektif kearifan lokal yang ada di Madura khususnya di Sumenep; dan (3) mengkaji nyanyian tradisional anak sebagai salah satu solusi mengentaskan kesenjangan sosial dan mensosialisasikan ulang bahwa nyanyian tradisional anak harus dirawat dan dilestarikan. METODE

Tempat penelitian ini difokuskan di beberapa Desa di Kabupaten Sumenep yaitu di Desa Saronggi Kecamatan Saronggi dan Desa Juruan Daya Kecamatan Batuputih berdasar pada aspek-aspek pendukungnya.

Penelitian ini berlangsung selama 5 bulan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juli 2016. Selama kegiatan penelitian, peneliti ikut serta ikut menjadi bagian dan berbaur dengan pelaku dengan harapan ada capaian maksimal dari proses identifikasi nilai-nilai kearifan lokal sebagai salah satu perspektif yang menjadi konsen dalam penelitian ini.

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif jenis etnografi. Penelitian ini merupakan merupakan penelitian lapangan, sedangkan pendekatan yang akan dipakai dalam penelitian ini ialah metode kualitatif dalam rangka menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari individu atau kelompok serta perilaku yang dapat diteliti. Dalam persoalan pengumpulan data, ada beberapa teknik yang digunakan oleh peneliti yaitu mendokumentasikan melalui foto dan video. HASIL PENELIAN DAN PEMBAHASAN

Jenis Nyanyian Tradisional Anak di Sumenep 1. Nyanyian Anak Di Desa Saronggi Kecamatan Saronggi

Nyanyian tradisional anak merupakan aktivitas yang dimainkan oleh anak-anak dengan pengelompokan berdasarkan umur, dahulu Nyanyian ini banyak dilakukan oleh anak-anak daerah pedesaan sebagai hiburan dan melepaskan diri kepenatan.

Jenis Nyanyian anak sangat beranika ragam dipengaruhi oleh tempat tinggal dan waktu di mana anak-anak dilahirkan. Hal ini terjadi pada setiap daerah termasuk di Desa Saronggi Kecamatan Saronggi.

Page 237: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

231 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Sesuai dengan data yang diperoleh dari informan di lapangan, ada sekitar enam jenis Nyanyian anak yang berkembang dan sering dimainkan oleh informan dan kawan-kawan semasa kecil. Meski pada dasarnya masih ada nyanyian-nyanyian lain yang tidak bisa dijabarkan oleh informan.

Dari hasil wawancara dengan informan, peneliti dapat menggolongkan enam jenis Nyanyian anak yang terdapat di Desa Saronggi Kecamatan Saronggi, antara lain: a. Ti' titi' liya liyu b. Cong-koncong konce c. Kotana mera d. Ko-soko bucang e. Tong-ta'etong f. Jang-kolajang

Menurut Judistira (2008:141) kearifan lokal adalah “merupakan bagian dari sebuah skema dari tingkatan budaya (hierakis bukan berdasarkan baik dan buruk).” Selain itu, menegaskan bahwa kebudayaan lokal adalah melengkapi kebudayaan regional, dan kebudayaan regional adalah bagian-bagian yang hakiki dalam bentukan kebudayaan nasional.

Hasil observasi nyanyian anak di Desa Saronggi Kecamatan Saronggi bersifat mendidik atau dengan kata lain ada nilai kearifan lokal dalam membentuk karakter anak memiliki peran strategis. Maka penting kiranya ada kegaiatan pemeliharaan dan pelestarian nyanyian tradisional anak tersebut; baik sebagai kekayaan budaya atau sebagai sarana pengembangan karakter pada anak yang tidak lain adalah generasi masa depan bangsa.

2. Nyanyian Anak Di Desa Juruan Daya Kecamatan Batuputih Sebagaimana di desa yang lain, menurut informan nyanyian

Tradisional Anak yang terdapat di desa Juruan Daya Kecamatan Batuputih adalah sebagai berikut; a. Ker-tanongker b. Pa’ Opa’ Eling/Pa’ Kopa’ Eling

Nyanyian anak yang diiringi dengan nyanyian sebagai hiburan mempunyai sifatnya mendidik. Justru karena sifat mendidik itulah pertimbangan secara psikologis, pedagogis dan memperhatikan segala keperluan dan lingkup kehidupan yang khas itu, ranah ini menjadi sangat istimewa (Sarumpaet, 2010:20).

Perseprektif Kearifan Lokal Nyanyian Tradisional Anak Madura The sum of the cultural characteristics which the vast majority of a

people have in common as a result of their experiences in early life (Wales dalam Ayatrohaedi, 1986:30). Selain itu, local genius menurut Wales adalah kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu berhubungan‟ (Rosidi, 2011:29). Paparan nyanyian tradisional anak di bawah ini adalah bagian dari kebudayaan yang memiliki hubungan langsung dengan kearifan lokal yang mesti dilestarikan keberadaannya.

Page 238: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

232 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

1. Nyanyian Ti'-Titi' Liya` Liyu Ti'-Titi' Liya` Liyu Ti'-titi' liya liyu Poceddha koddhu' Na'- kana' cara reya Esoddu'a malem senin Dika pagar penang Bula pagar bato Dika ana'na temang Bula ana'na rato Dika toju' lantai Bula toju' teker Dika se apangantan Bula se alengker

2. Nyanyian Cong-koncong konce Cong-Koncong Konce Cong-koncong konce Koncena lu'-ulu'an Sabanyong sabiteng Gik-enggik, rot-sorot Pangantang tao abajang Abajangnga keta' kedung Ondurragi jung baba'an "Nape so'on?" "Tamanco'" "hu, buwang, baji'" "Nape pekol?" "Geddhang" "Geddhang nape?" "Dhang canthel" "Minta'a ce'-once'na bagiya koceng edha'na tomang" "ten, mi' egigiri mama'" "mama'na entar dhe' emma?' "Entar muger perreng" "Perrenga gabay nape?" "gabay Cettheng" "Cettheng kabaddha nape?" "kabaddha nase'" "nase'na pancal koceng, kocengng buru ka pagar, pagarra esolet caceng" “ Nape so`on?” (orang pertama)

Page 239: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

233 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

"Tamanco'" (pemain lain serentak menjawab) "hu, buwang, baji'"

"Nape pekol?" "Geddhang" "Geddhang nape?" "Dhang canthel" "Minta'a ce'-once'na bagiya koceng edha'na tomang" "ten, mi' egigiri mama'" "mama'na entar dhe' emma?' "Entar muger perreng" "Perrenga gabay nape?" "gabay Cettheng" "Cettheng kabaddha nape?" "kabaddha nase'" "nase'na pancal koceng, kocengng buru ka pagar, pagarra esolet

caceng"

3. Permaianan Ra-ra kotana mera ra Ra-Ra Kotana Mera Ra Ra-ra kotana mera ra Rambut tarkolanter tar kocebung-bung Bungkel-kel buwana tar kolanter-ter Tergu' gu' buwana ta' neng teggu'-gu' Gumbing-bing sajikar-kar melli rambing-bing Bintang gu'-teggu'na berras palotan-tan Tandhu' manjamadin songkel sendho'-dho' Dho' nang-nang kabunang nangka-ka Kapor-por kaporra porron-ron Rondhang-dhang katabing jeddhat

4. Permaian Ko-soko bucang Ko-Soko Bucang Ko-soko bucang Bucangnga daja gunong Ke temang mate Mate esondep baringin Baringinna konco' emmas Saolor salaka Nyaba' pondhuk ka taraktak Taraktagga balang agung Salang genta' titting Kemma nyaba' kakan celeng

Page 240: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

234 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

5. Permaianan Tong-ta'etong Tong-Ta'etong Tong-ta'etong ta'etong tellorra kope' salaitong a'dhem pla'gupla' sidin bali'koko komel komella' meddem rek-komirek main dangga' danggarusan nyang-nyang maddu, kalambi sino' la'lorkong ca'bulanceng nemmo pesse saobang kabelli jaran se dhabuk etompa'nyai se oban gaggar jalbuk la'can, sebuthak ngeco' acan la'dem, se mella'meddem paseret.

6. Nyanyian Jang-kolajang Jang-Kolajang Jang-kolajang Kolajang ngekke' bunto' Jalto' rassa oto' Kalemmar matana tekko'

Tekko'........ Ker-tanongker dan Pa’ Kopa’ Eling ada yang menyebut Pa’ Opa’

Eling juga, merupakan Nyanyian tradisional anak yang memiliki lirik dengan arti dan maknanya yang kaya akan pembentukan sikap, etika dan menjadikan pribadi anak empatinya luar biasa serta mudah memaafkan apabila betul-betul salah . Nyanyian tradisional anak yang dijadikan sebagai pengiring permaianan tersebut liriknya sebagai berikut;

7. Nyanyian ker-tanongker

Ker-tanongker

Ker-tanongker, dimma bara’ dimma temor Ker-soker, sapa nyapa kaadha’ lanjang omor Ker-tanongker jambuna massa’ saseba’ Ker-tanongker lagguna nyapa kaadha’ Ker-tanongker jambuna massa’ sapennay Ker-tanongker lagguna nyapa e songay Ker-tanongker jambuna massa’ sacorong Ker-tanongker lagguna nyapa e lorong Ker-tanongker jambuna massa’ pagar Ker-tanongker lagguna nyapa e langgar

8. Nyanyian Pa’ Opa’ Eling

Page 241: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

235 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Pa’ Opa’ Eling Pa’ Kopa’ Eling Elingnga sakoranjhing Ana’ tambang tao ngajhi Ngajhiye daemma? Ngajhiye ka Lambhi Cabbhi Kemma leollena? Leollena sarabhi settong Versi lain dari Pa’ Opa’ Eling Pa’ Kopa’ Eling Pa’ kopa’ eling elingnga sakoranji eppa’na olle paparing ana’ tambang tao ngaji ngaji babana cabbi ka’angka’na sarabi potthon e cocco’ dhangdhang pote keba mole e cocco’ dhangdhang celleng keba melleng

Memahami nyanyian tradisional anak yang sebagian besar berbahasa Madura dengan segala bentuk, isi, ekspresi dan substansi sejalan dengan apa yang dikatan oleh Lubis (2008:40) bahwa jati diri bangsa adalah watak kebudayaan (cultural character) yang berfungsi sebagai pembangunan karakter bangsa (national and character building). Watak kebudayaan itu harus dijaga melalui segala aktivitas generasi muda dalam melestarikan nyanyian tradisional anak dengan cara mensosialisasikan terhadap kehidupan anak sebagai komitmen keberlangsungan.

Penegasan oleh Koentjaraningrat (2009:89) tentang budaya lokal yaitu suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan, dalam hal ini unsur bahasa adalah ciri khasnya, kesadaran ini merupakan bagian penting untuk mempribadikan identitas dan membaurkan komitmen kesatu-paduan dalam melestarikan kebudayaan nusantara yang mulai luntur.

Kearifan lokal berbasis permainan (nyanyian) tradisional anak sangat penting terhadap pembentukan karakter anak Indonesia khususnya di Sumenep Madura karena permainan anak tradisional yang ada di Sumenep memiliki makna dan kaya akan nilai-nilai karakter pembangun jiwa, sikap dan mental usia anak-anak. Nilai-nilai tersebut di antaranya; (a) nilai spritual, (b) nilai karakter disiplin dan menghargai, (c) nilai etika dan moral, (d) nilai peduli sosial, (e) nilai cinta damai, toleransi dan bersahabat. Selain dari nilai-nilai tersebut permainan anak tradisional ini merupakan saran hiburan yang dapat menjalin keakraban dan persaudaraan sesama teman (M. Ridwan, 2017: 60).

Page 242: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

236 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

PENUTUP Membangun perspektif kearifan lokal melalui aktivitas dokumentasi dari

hasil penelitian tentang nyanyian tradisional dalam kehidupan keseharian anak di sekolah dan tempat-tempat bermain adalah langkah strategis. Upaya ini untuk menyelamatkan generasi muda. Proses penempaan mental dan karakter anak tidak selalu lahir di ruang-ruang pengab dan bangku-bangku sekolah, adakalanya keteguhan mental dan kemapanan beretika, membentuk pola pikir yang estetis, bisa dilahirkan dalam suasana bermain dan bernyanyi dengan kawan sebayanya. DAFTAR PUSTAKA Ayatrohaedi. (1986). Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta:

Pustaka Pelajar. Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Graffiti Moleong, M.A. Judistira, K.G. (2008). Budaya Sunda: Melintasi Waktu Menentang Masa

Depan. Bandung: Lemlit UNPAD. Ridwan, M. 2017. Tradisi Nyanyian Anak terhadap Pembentukan Karakter

Anak Usia Sekolah Dasar. Jurnal Sekolah Dasar. Volume/Th 26 Nomor 1, Mei 2017: 49-61. Malang: Prodi PGSD FIP UM.

Koentjaraningrat. (2009). Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press. Rosidi, A. (2011). Kearifan Lokal dalam Perspektif Budaya Sunda. Bandung:

Kiblat Buku Utama. Lubis, B.Z. (2008). “Potensi Budaya dan Kearifan Lokal Sebagai Modal Dasar Membangun Jati Diri Bangsa”. Jurnal Ilmu- Ilmu Sosial. “vol” 9, (3), 339-346.

Page 243: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

237 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

UNSUR KEBAHASAAN DAN UNSUR KEBUDAYAAN DALAM PUJIAN

“NYUWUN PANGAPURA MARANG GUSTI ALLAH”

Malinda Fatmawati

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana Universitas Negeri Malang Email: [email protected]

Abstrak: Pujian merupakan salah satu budaya umat islam yang digunakan para wali sebagai salah satu cara menyiarkan agama islam. Budaya ini masih tetap dilestarikan hingga sekarang. Pujian sendiri merupakan lantunan doa yang dilagukan dan biasanya dilantunkan sebelum sholat berjamaah. Kalimat yang digunakan dalam pujian merupakan kalimat normal yang bersifat menjelaskan. Kalimat yang digunakan sangat sederhana perbarisnya tidak lebih dari sepuluh kalimat. Kata- kata yang digunakan juga mudah dipahami, hal tersebut bertujian agar makna dalam pujian dapat dipahami dengan mudah oleh pendengarnya. Kalimat pujian berupa doa, ada juga yang berupa sejarah islam, sejarah nabi dan pengetahuan tentang islam lainnya. Pujain selalu dilantunkan dengan nada-nada yang indah hal ini bertujuan untuk mengajak pendengar untuk datang ke masjid melaksanakan sholat berjamaah. Masyarakat desa Ponggok merupakan salah satu yang masih melestarikan tradisi pujian setiap hendak melaksanakan sholat berjamaah. Salah satu pujian yang dilantunkan adalah pujian Nyuwun Pangapura Marang Gusti Allah (NPMGA) yang mana pujian ini selalu dilantunkan setiap hendak menjelang sholat maghrib.

Kata kunci: pujian, kebahasaan, kebudayaan

Pujian merupakan sarana dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, ada empat prinsip dalam mendekatkan diri kepada Tuhan yaitu raga, cipta, jiwa dan karsa, bila semua telah tercapai itu merupakan pertanda kebesaran Tuhan (Rachmatullah, 2011:10). Dalam masyarakat desa ponggok pujian ini dimaknai sebagai lantunan doa yang dilantunkan setelah adzan dan sebelum sholat berjamaah. Pujian dikumandangkan guna mengajak masyarakat untuk pergi ke masjid melaksanakan sholat berjamaah. Pujian dilantunkan dengan nada yang sangat indah dan dilantunkan berulang ulang hingga jamaah dan imam telah berkumpul.

Pujian yang akan dikaji ialah pujian yang berjudul “Nyuwun Pangapura Marang Gusti Allah” di Masjid Al-istiqomah desa Ponggok, Kabupaten Blitar. Peneliti memilih pujian tersebut karena pujian tersebut dapat dikatakan sebagai pujian tertua di masyarakat sekitar masid Al-Istiqomah desa Ponggok yaitu sejak berdirinya masjid pada tahun 1995. Bahasa yang digunakan dalam pujian “Nyuwun Pangapura Marang Gusti Allah” adalah bahasa jawa krama karena ditujukan kepada Allah SWT dan juga bahasa jawa merupakan bahasa sehari-hari masyarakat desa ponggok, liriknya pendek hanya terdiri empat larik. Namun, maknanya sangat dalam yaitu permohonan ampun atas segala dosa yang diperbuatnya. Masyarakat desa Ponggok telah familiar dengan pujian ini karena

Page 244: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

238 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

setiap menjelang sholat magrib selalu dikumandangkan oleh santri-santri kecil. Lirik yang singkat dan kata-katanya mudah dipahami sehingga pujian ini mudah dihafal dan diingat. UNSUR KEBAHASAAN DAN KEBUDAYAAN

Menurut Arps (dalam Kadarisman, 2010:122) sebuah teks tembang dapat dibaca dengan dua cara: analytical reading atau phoetic reading. Cara pertama berusaha memahami isi teks, sedangkan cara kedua lebih bermaksud menikmati dan menghayati totalitas teks. Teori yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu teori analisis unsur kebudayaan dan unsur kebahasaan. Bahwa obyek kajian dalam teori ini adalah ragam sastra, yaitu sastra tulis yang kemudian dilisankan. Sastra tulis lazimnya berwujud tembang. tembang adalah sastra tulis yang penciptaan dan penghayatannya bergantung pada kelisanan begitu juga dengan pujian. Pujian ini merupakan salah satu bentuk foklor tulis kemudian dilisankan yang memiliki kekhususan bahwa kalimatnya tidak berbentuk bebas melainkan berbentuk terikat (Danandjaya, 2002:46). Pujian merupakan sastra lisan akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa dalam penciptaan pujian ini penulis pasti melagukan pujian yang ditulisnya untuk kemudian menjadi pujian yang indah ketika dilantunkan. Pujian juga akan bias dinikmati setelah pujian tersebut dilantunkan dengan nada yang khas dan indah, pujian tidak bias dinikmati ketika masih berwujud teks.

Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis data adalah pendekatan etnopuitika. Etnopuitika memfokuskan diri pada pentas sastra atau verbal art performance. Etnopuitika itu sendiri merupakan titik temu dari berbagai disiplin ilmu seperti linguistik, antropologi, sastra lisan dan folklor. Dalam etnopuitika harus terlebih dahulu memahami pengetahuan lokal dari data yang akan dikaji sebelum mengkaji data karena etnopuitika ini mengkaji puitika pentas yang bercirikan budaya lokal. UNSUR KEBAHASAAN DALAM PUJIAN

Jumlah kalimat dalam setiap baris pujian tidak lebih dari 5 kata dan jumlah suku katanya tidak lebih dari 10. Dengan kalimat yang singkat pujian ini akan mudah dihafal baik oleh orang tua maupun anak kecil, mengingat pujian ini dilantunkan oleh anak-anak kecil. Dengan kalimat yang singkat pujian juga langsung dapat dipahami maknanya oleh setiap orang yang mendengar, jadi makna didalam pujian dapat tersampaikan. Kata- kata yang digunanakan dalam pujian tersebut juga sangat mudah di pahami karena menggunakan bahasa jawa yang digunakan masyarakat desa Ponggok untuk berkomunikasi sehari-hari, maka dari itu pesan dalam pujian dapat tersampaikan kepada masyarakat yang mendengar.

Jumlah kata dan suku kata tiap baris hampir sama atau hanya bebeda tipis yaitu 5-3-4-4 dan 10-8-10-9 hal tersebut akan menimbulkan keindahan bunyi ketika pujian dilantunkan. Keindahan juga muncul dari huruf akhir pada tiap barisnya, keempat baris pada pujian tersebut memiliki huruf akhir yang sama yaitu huruf a [ͻ]. Ketika pujian terdengar indah orang akan senang mendengarkannya dan juga akan mudah menghafalkannya.

Berdasarkan budaya orang Jawa, ketika berkomunikasi dengan orang yang lebih tua atau orang yang kedudukannya lebih tinggi harus menggunakan

Page 245: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

239 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

bahasa jawa karma. Pujian Nyuwun Pangapura Marang Gusti Allah (NPMGA) sendiri berisi tentang doa, ketika berdoa secara tidak langsung berkomunikasi dengan Tuhan, maka harus menggunakan bahasa jawa krama karena Tuhan mempunyai kedudukan paling tinggi. Dalam pujian tersebut bahasa yang digunakan adalah bahasa jawa krama dang ngoko. Dari tabel diatas terlihat pujian Nyuwun Pangapura Marang Gusti Allah (NPMGA) terdiri dari 17 kata yang mana 9 kata merupakan bahasa jawa Krama dan 3 kata merupakan bahasa jawa ngoko sedangkan 5 kata yang lain adalah netral. Hal tersebut tentu menjadi pertanyaan kenapa ada dua kata yang menggunakan bahasa ngoko. Ngapura merupakan bahasa jawa ngoko, dalam pujian di atas tidak menggunakan bahasa krama dari ngapura yaitu ngapunten guna menyesuaikan rima akhir, karena ngapura memiliki rima akhir a [ͻ] yang sesuai dengan rima akhir dari baris-baris dibawahnya. Selain itu kata ngapura memiliki huruf akhir berupa vokal yang memberi kesan lebih indah daripada ngapunten yang memiliki huruf akhir konsonan. Selanjutnya adalah pada kata lan mengapa tidak menggunakan bahasa krama sekalian, karena suku kata pada kata sekalian terlalu panjang apabila digabung dengan kata-kata selanjutnya dalam satu baris akan terlalu panjang dan tidak sesuai dengan baris-baris lainnya yang pada akhirnya mengurangi keindahan bunyi dari pujian itu sendiri. Hal yang sam terjadi pada kata dosane , dalam pujian tidak menggunakan bahas jawa krama dosanipun karena kata tersebut memiliki suku kata yang terlalu panjang apabila digabung dengan kata-kata selanjutnya dalam satu baris akan terlalu panjang dan tidak sesuai dengan baris-baris lainnya yang pada akhirnya mengurangi keindahan bunyi dari pujian itu sendiri.

Kalimat dalam pujian Nyuwun Pangapura Marang Gusti Allah (NPMGA) tidak dapat dianalisis per barisnya melainkan dari ke empat baris menjadi satu kesatuan kalimat karena antara baris saling berhubungan dan memiliki konjungsi.

Ya Allah kula nyuwun ngapura sekatahing dosa kula lan I S P O K1 konj Dosane tiangsepah kula ugi umat islam sedaya K2 konj K3 Pola Kalimat : I – S – P – O – K1 – konjungsi – K2 – konjungsi

Kalimat yang digunakan dalam pujian Nyuwun Pangapura Marang Gusti Allah (NPMGA) merupakan kalimata normal, karena subjek mendahului predikat.

Ya Allah sebagai kalimat Interjeksi (I) yaitu kalimat yang berupa seruan perasaan. Kula memiliki fungsi sebagai subjek (S) yang mana subjek kula menyatakan pelaku. Nyuwun memiliki fungsi sebagai predikat (P), nyuwun menyatakan perbuatan. Ngapura memiliki fungsi sebagi objek (O), ngapura menyatakan hal. Sekatahing dosa kula memiliki fungsi sebagai keterangan pertama (K1) karena menerangkan objek ngapura, lan merupakan konjungsi yang menghubungkan klausa 1 dengan keterangan dua (K2) dosane tiang sepuh kula, dan ugi merupakan konjungsi yang menghubungkan keterangan kedua (K3) dengan keterangan ketiga (K3) islam sedaya. Dosane tiang sepuh kula merupakan keterangan kedua (K2) dari Ya Allah kula nyuwun ngapura dan

Page 246: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

240 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

islam sedaya merupakan keteranagn ketiga (K3) dari Ya Allah kula nyuwun ngapura.

UNSUR KEBUDAYAAN DALAM PUJIAN Unsur kebudayaan yang terkandung dalam Pujian Nyuwun Pangapura Marang Gusti Allah (NPMGA) adalah sebagai berikut: Niali Keagamaan Dari Pujian Nyuwun Pangapura Marang Gusti Allah (NPMGA) tersebut kita diperintahkan untuk selalu berdoa memohon ampunan kepada Allah SWT atas segala dosa yang telah diperbuat. Nilai Solidaritas Pujain merupakan sarana untuk mengingatkan bahwa waktu sholat telah tiba dan juga sebagai sarana untuk mengajak sholat berjamaah. Pujian dilantunkan guna mengajak orang-orang yang mendengar pujian untuk datang ke masjid dan melaksanakan sholat berjmaah, dari sini terlihat bahwa solidaritas sesama umat islam yang saling mengingatkan dan mengajak beribadah. Dalam pujian tersebut juga mengajarkan kepada kita untuk selalu mendoakan orang tua dan pemeluk agama islam lainnya sebagai wujud solidaritas. Nilai Keindahan Pujian Nyuwun Pangapura Marang Gusti Allah (NPMGA) memiliki jumlah kata dan suku kata yang hampir sama jumlahnya setiap baris dan ketika dilantunkan pujian ini dilantunkan dengan nada-nada yang sesuai hal tersebut menimbulkan keindahan dalam pujian ketika dilantunkan. Kesederhanaan Kesederhanan sangat terlihat dari pelantun pujian, yang mana dengan sarung dan kaos seadanya anak-anak kecil tetap pergi ke masjid untuk melantunkan pujian. PENUTUP

Pujian Nyuwun Pangapura Marang Gusti Allah (NPMGA) ini merupakan salah satu sastra lisan yang termasuk dalam kelompok folklore lisan. Pujian ini juga sudah menjadi salah satu kebudayaan lokal khususnya di desa Ponggok sendiri. Setelah menganalisis pujian ini telah ditemukan unsur kebudayaan dan unsur kebahasaan didalamnya. Aspek kebudayaan yang ditemukan berupa bahasa, kesenian, sistem religi, sistem teknologi, sistem matapencahariaan, organisasi sosial dan sistem ilmu pengetahuan. Aspek kebahasaan yang ditemukan seperti jumlah kata dan suku kata yang digunakan, tingkat tutur serta pola kalimat yang digunakan. DAFTAR PUSTAKA Danandjaya. James. 2002. Folklor Indonesia: Ilmu gosip, dongeng dan lain-lain.

Jakarta: Pustaka Umum Grafiti. Kadarisman, Effendi. 2010. Mengurai Bahasa Menyibak Budaya. Malang: UIN-

MALIKI Press. Rachmatullah, Asep. 2011. Filsafat Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Siasat Pustaka. Harjawiyana, Haryana dan Supriya. 2001. Kamus Unggah-ungguh Basa Jawa.

Yogyakarta: Kanisius.

Page 247: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

241 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

PANDANGAN DUNIA MASYARAKAT SUNDA TERHADAP NYI ITEUNG DALAM DONGENG-DONGENG SI KABAYAN

Mira Nuryanti1), Kholik2)

[email protected]), [email protected])

Universitas Negeri Malang, Unswagati1),Universitas Negeri Malang, Institut Agama Islam Al-Qolam 2)

ABSTRAK: Pandangan suatu masyarakat terhadap sesuatu persoalan seseorang bisa dikaji melalui teks sastra. Di kalangan akademik dikenal sebagai pandangan dunia. Masyarakat Sunda memandang tokoh Nyi Iteung sebagai perempuan Sunda ideal. Hal tersebut dicoba ditelusuri pada makalah ini. Makalah ini berusaha mendeskripsikan pandangan dunia masyarakat Sunda terhadap Nyi Iteung dalam dongeng-dongeng Si Kabayan? Kajian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra, yakni penelitian manusia yang berkaitan dengan masyarakat dan teks sastra. Berdasarkan hasil kajian, diperoleh jawaban bahwa pandangan, masyarakat Sunda memandang Nyi Iteung sebagai perempuan Sunda yang cantik, cerdas, cinta pada Kabayan, sederhana, pecemburu, dan materialistis. Kata kunci: pandangan dunia, masyarakat Sunda, Nyi Iteung, Dongeng Si Kabayan

Dongeng Si Kabayan tidak hanya populer di kalangan masyarakat

Pasundan, tetapi juga dikenal luas di nusantara, bahkan di ASEAN, khususnya di Malaysia dan Singapura (Durachman, 2016). Menurut Hourgronye (Coster-Wisman, 1929), dongeng Si Kabayan merupakan inti siklus cerita-cerita jenaka di nusantara karena memiliki ciri-ciri yang lengkap sebagai cerita jenaka. Selain itu, Hourgronye juga mengatakan dongeng Si Kabayan merupakan cerita jenaka yang kuat dibandingkan cerita jenaka lainnya. Pendapat Hourgronye tampaknya tepat karena sampai saat ini dongeng Si Kabayan masih tetap eksis sebagai cerita rakyat di tengah-tengah kemajuan teknologi dan informasi. Perkembangan zaman ternyata menjadikan cerita Si Kabayan lebih abadi dibanding cerita jenaka lainnya karena cerita Si Kabayan justru bertransformasi melalui berbagai media, misalnya komik dan film.

Transformasi dongeng Si Kabayan dapat berwujud ke dalam berbagai bentuk. Dongeng Si Kabayan juga mengalami alih wahana (Damono, 2012). Transformasi itu tidak hanya dari segi tradisi lisan ke tradisi tulis/cetak, tetapi bertransformasi kepada tradisi kelisanan kedua. Transformasi dongeng Si Kabayan terjadi juga dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia, bahkan ke dalam bahasa Inggris (Durachman, dkk., 2006; Durachman, 2008; Durachman, 2009).

Selain tokoh Si Kabayan, ada pemeran pendukung Si Kabayan yang bernama Nyi Iteung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Durachman (2011) terdapat beberapa hal yang tetap pada dongeng Si Kabayan, yakni hal yang masih ada dan dipertahankan pada teks-teks transformasi dongeng Si Kabayan. Hal-hal yang tetap tersebut di antaranya sebagai berikut. Pertama, tokoh pendukung Si Kabayan adalah istrinya yang bernama Nyi Iteung. Nyi Iteung adalah tokoh lain yang selalu mendukung Si Kabayan. Nyi Iteung

Page 248: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

242 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

terkadang marah, tetapi marahnya itu hanya sesaat, ia akan tetap mendukung Si Kabayan. Kedua, cinta antara Si Kabayan dan Nyi Iteung. Cerita mereka benar-benar abadi. Tidak pernah Nyi Iteung meminta cerai sekalipun hidup mereka sengsara. Si Kabayan dan Nyi Iteung benar-benar saling mencintai. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mendeskripsikan tokoh Nyi Iteung sebagai perempuan Sunda dengan pendekatan sosiologi sastra, yakni bagaimana masyarakat Sunda, sebagai pemilik Cerita Si Kabayan, memandang Nyi Iteung dalam dongeng-dongeng Si Kabayan (teori pandangan dunia). Pembahasan

Cerita rakyat termasuk kategori sastra lisan yang bernilai sastra (Sulystiorini dan Andalas, 2017: 11). Sementara itu, Taum (Sulystiorini dan Andalas, 2017: 12) memaparkan karakteristik sastra lisan, di antaranya, yakni sastra lisan hadir dalam berbagai bahasa daerah dan selalu hadir dalam versi-versi dan varian-varian yang berbeda-beda. Dongeng Si Kabayan (DSK) merupakan jenis cerita rakyat di daerah Pasundan, Jawa Barat. DSK abadi dan tampak hidup dalam masyarakat Sunda. Salah satu bukti ‘abadi’ dan ‘hidup’ adalah melalui bentuk transformasi dan revitalisasi DSK. Bentuk revitalisasi DSK terwujud dalam sebuah kumpulan buku Revitalisasi Cerita Kabayan: Perekaciptaan Dongeng melalui Budaya Literasi yang ditulis oleh 100 pengarang dari berbagai generasi dan digagas oleh Balai Bahasa Jawa Barat, tahun 2016.

Pendekatan penelitian sastra dapat dilakukan dengan sosiologi sastra. Endrasawara (2006: 77) menguraikan bahwa sosiologi sastra merupakan cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif, yakni sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat dan mampu merefleksikan zamannya. Salah satu konsep sosiologi sastra yang berkembang adalah teori pandangan dunia (vision du monde, word vision) dari Goldmann (Faruk, 2015: 70-71). Goldman menyatakan bahwa teori pandnagan dunia merujuk pada struktur global yang bermakna, suatu pemahaman total terhadap dunia yang mencoba menangkap maknanya – dengan segala kerumitan dan keutuhannya. Dalam hal ini, pandangan dunia adalah sebuah pandangan dengan dimensi menyeluruh, perspektif yang koheren, dan terpadu mengenai manusia, hubungan antarmanusia, dan alam semesta secara keseluruhan. Pandangan dunia tersebut dibangun dalam perspektif sebuah kelompok masyarakat yang berada dalam struktur sosial secara keseluruhan. Dalam hal ini, kelompok masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat Sunda atau orang Sunda yang memandang sosok perempuan Sunda, yakni tokoh Nyi Iteung, istri Si Kabayan. Pencipta dongeng Si Kabayan adalah orang-orang Sunda, sekaligus sebagai pemiliknya. Penulis tertarik menggambarkan sosok Nyi Iteung sebagai pendamping Si Kabayan dalam pandangan masyarakat Sunda. Apakah kemudian Nyi Iteung adalah representasi perempuan Sunda yang ideal pada tiap zaman penciptaannya, harus ada penelitian lanjutan mengenai hal tersebut. Dalam makalah ini, hanya memaparkan pandangan masyarakat Sunda (melalui transformasi dongeng Si Kabayan dalam bentuk tulisan) terhadap Nyi Iteung sebagai perempuan Sunda. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan pandangan dunia masyarakat Sunda (PDMS) terhadap Nyi Iteung yang digambarkan dalam DSK.

Page 249: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

243 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Berikut ini pandangan masyarakat Sunda terhadap Nyi Iteung sebagai perempuan Sunda.

a. Cinta pada Kabayan Pada dongeng ‘Si Kabayan Menangkap Rusa’, Nyi Iteung sangat

mencintai Kabayan. Perhatikan kutipan cerita di bawah ini. Waktu sarapan si Kabayan absen. “Ke mana Kang Kabayan? Ke mana suamiku?” Si Iteung, gelisah. Takut. Kuatir. Si Kabayan jatuh terperosok ke dalam perangkap. Atau dimakan macan. “Ke mana Kang Kabayan, Bapak? Dia tanya ayahnya. “Dia tidak sarapan pagi ini. Saya takut, dia diculik setan untuk dikirim ke tanah seberang, jadi kuli kontrak perkebunan di Deli.” Melihat anaknya nangis melolong-lolong, mertua Si Kabayan cepat-cepat menghabiskan sarapannya. Cepat-cepat lari masuk hutan...

Kabayan sangat dicintai oleh Nyi Iteung. Sikap kekhawatiran Nyi Iteung yang berlebihan sebagai simbol rasa cinta dan sayang yang sejati. Iteung takut kehilangan Kabayan. Abah pun sampai mencari Kabayan ke hutan demi Nyi Iteung. Sumber: Mihardja, 1997

b. Sederhana Kabayan terinspirasi oleh sebuah salon di kota. Para perempuan yang

keluar dari salon menjadi cantik dan menarik. Dia ingin menyulap penampilan Nyi Iteung dengan pergi ke salon tersebut. Awalnya Nyi Iteung menolak, tapi akhirnya Nyi Iteung menuruti keinginan Kabayan. Nyi Iteung perempuan sederhana, tidak tertarik pada program make over salon. Berikut kutipan cerita ‘Si Kabayan Ingin Si Iteung Cantik’. “Ah, malu Kang Kabayan. Saya kan orang kampung yang miskin dan tidak nyakolah. Buta hurup. Basa Malayu saja nggak bisa. Apalagi basa engkoh yang pake oeh-oeh itu. Toko itu kan punya oeh-oeh. Dan yang ke sana itu kan ibu-ibu yang kaya-kaya dan ayu-ayu. Ah, saya mah tahu diri, Kang Kabayan. Iteung mah malu.” Sumber: Mihardja, 1997

c. Cerdas dan Taat pada Kang Kabayan Pada cerita ‘Si Kabayan Ingin Si Iteung Cantik’, muncul juga sikap rendah diri Nyi Iteung ketika dia dipaksa Kabayan untuk pergi ke salon. Namun, rendah diri Nyi Iteung sebenarnya bentuk kecerdasan pola pikir Nyi Iteung dalam memahami status sosialnya. Dia menyadari bahwa kemiskinan dan kebodohannya tidak bisa bergaya hidup seperti perempuan kota. Nyi Iteung tidak memaksakan keadaan dan memanipulasi kenyataan. ...Si Iteung gelisah. Belum pernah dia duduk di atas kursi depan kaca sederetan dengan ibu-ibu yang menurut seleranya sudah cantik-cantik semuanya, tapi toh masih ingin lebih cantik. Entahlah, kenapa? Apa alasannya? Untuk apa? Pikirnya. Kalau aku jelas. Karena aku dipaksa Kang Kabayan. Dalam dongeng ‘Si Kabayan dan Lintah Darat’, tampak pula kecerdasan Iteung dalam berakting. Nyi Iteung pernah membantu Kabayan agar terbebas dari lintah darat. Kecerdasan Iteung dalam berakting tampak dalam kutipan berikut.

Page 250: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

244 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

“Aduh, Tuan!” kata Nyi Iteung sambil berpura-pura menangis. “Aduh! Apa nanti kata paduka tuan besar kepala polisi?! Tentu saya mesti bilang berterus terang kepada Kang Kabayan bahwa burung itu lepas karena Tuan. Dan Kang Kabayan tentu akan melaporkannya kepada paduka tuan besar kepala polisi. Wah, entah bagaimana paduka tuan besar yang galak seperti macan teler itu akan memarahi dan menghukum Tuan. Pasti tak kan tanggung-tanggung. Pasti Tuan bakal bocok-bocok digebukin, dan digantung kaki ke atas. Semua siksaan itu sakit. Tidak sehat, Tuan. Kasihan anak-bini Tuan! Juga kasihan badan Tuan sendiri yang sudah lama bukan pemuda lagi.” Dan Nyi Iteung pura-pura nangis lagi, melolong-lolong. Kecerdasan Nyi Iteung kembali digambarkan dalam dongeng ini. Nyi Iteung sangat pandai menjaga keharmonisan rumah tangganya meskipun dengan gayanya yang polos dan bersahaja. Hal tersebut tampak pada kutipan dongeng ‘Si Kabayan Ingin Si Iteung Cantik’. Ketika Nyi Iteung sedang dicat rambunya oleh pelayan salon, terdengar suara gonggongan anjing. “Entah ada apa anjing itu?” kata pegawai pramugeulis itu yang sedang mengecat rambut Si Iteung dengan warna pirang meniru rambut wanita bule: kehendak mati seni Si Kabayan. “Entah kenapa? Tiap sebentar dia menggonggong melolong-lolong seperti itu. Sedih amat kedengerannya.” Mungkin, ya Dik., dia memang lagi sedih,” kata Si Iteung. “Mungkin dia menangisi nasibnya sebagai seekor betina, yang takut ditinggalkan jantannya, satu-satunya penjamin hidupnya. Takut mata seni si jantan menjadi mata keranjang yang liar. Cuma kasihannya dengan binatang, ya Dik, dia kan tidak membikin wajahnya tambah cantik, karena toko sunglap seperti yang ada di dunia manusia, tidak ada di dunia mereka. Maklum binatang toh? Yah, rupanya memang demikianlah nasib anjing betina itu. Hidupnya bergantung pada jaminan dari luar dirinya sendiri.” Pada cerita di atas, Nyi Iteung merasa beruntung karena dilahirkan sebagai manusia. Kabayan menginginkan Iteung cantik karena mata seni Kabayan terganggu oleh penampilan Iteung yang kusam dan peot. Namun, Nyi Iteung tidak memberontak pada keinginan Kabayan. Nyi Iteung bersikap elegan. Dia rela mendatangi salon dan menjaga pandangan mata Kabayan dari perempuan lain. Kecerdasan Nyi Iteung dibingkai dalam konteks ketaatan pada suaminya. Sumber: Mihardja, 1997

d. Materialistis Sebagai perempuan biasa, Nyi Iteung pun memiliki angan-angan ingin

menjadi perempuan bahagia dengan sudut pandang kekayaan dan kemewahan. Berikut kutipan dongeng ‘Istri Si Kabayan Boros’. “Iteung, Iteung, kalau kita punya wang banyak, mau kamu apakan?” “Jajan, dong. Plesir. Beli pakaian yang bagus-bagus. Mahal-mahal. Makan yang enak di restoran-restoran yang mewah-mewah. Pokoknya, bergaya hidup seperti orang kota yang kaya, deh.” “Wah, itu tidak baik, Iteung. Kamu boros.” “Habis, kau mau apakan?” “Simpan.” “Simpan?! Simpan untuk dimakan tikus? Itu kan bodoh, Kang Kabayan. Lebih baik kita habiskan dengan bermewah-mewah, supaya kita gengsi, dihormati-

Page 251: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

245 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

dikagumi-dipuji orang seperti ibu-ibu yang cantik-cantik dan busananya bagus-bagus, berliannya berapi-api membakar mata dan hatiku.” Pada dongeng di atas, Nyi Iteung berangan-angan bergaya hidup mewah seperti perempuan kaya yang sering ia jumpai. Namun, sikap materialistis Nyi Iteung sebatas pada khayalan. Setidaknya Nyi Iteung menyukai ‘kebendaan’ di tengah-tengah himpitan kemiskinan hidupnya. Sumber: Mihardja, 1997

e. Cantik Dalam beberapa dongeng, digambarkan bahwa Nyi Iteung perempuan

cantik dari sebuah kampung di Garut. Pada dongeng Si Kabayan dan Baju Biru, ada pengkuan Kabayan atas kecantikan Nyi Iteung. ...“Aku ingat Si Iteung! Ki Silah! Aku ingat biniku, Si Iteung. Sekarang kan lumayan rupanya. Tapi nanti kalau sudah tua pasti rupanya seperti bungaok. Begitupun pada dongeng ‘Si Kabayan dan Si Bengal’, terungkap bahwa Nyi Iteung pernah menjadi perempuan tercantik sekampung. ...Dia teringat bahwa Si Iteung pernah menang dalam kontes kecantikan desa. Istriku, pikirnya, pasti tidak kalah cantik oleh yang disebut “Ibu bengal”, istri “Bapak Bengal!” Kabayan pernah menyesal membuat wajah Nyi Iteung seperti monyet, padahal Nyi Iteung cantik di mata Si Kabayan. Hal tersebut diungkap pada dongeng ‘Si Kabayan Berlagak Raja Jimbul’. Tapi begitu dia melihat muka istrinya menjadi kayak monyet, Si Kabayan sertamerta menangis meraung-raung. Dia menyesal. Langsung mohon sama sang Dewa Duit yang bersuara gaib itu supaya muka Si Iteung dikembalikan seperti sediakala lagi. Dikabulkan. Sekejap itu juga, Si Iteung sudah cantik kembali. Dan Si Kabayan lega kembali dadanya. Sumber: Mihardja, 1997

f. Pecemburu Sebagai istri, Nyi Iteung pernah dihadapkan pada persoalan cemburu.

Dalam mengekspresikan rasa cemburu, terkadang Nyi Iteung memberontak keras dan bersikap histeris. Berikut kutipan dongeng ‘Si Kabayan dan Baju Baru’ Tapi tiba-tiba Si Iteung ingat sama hak azasinya sendiri. Berteriak “Aku tidak mau dimadu, Kabayan! Aku tidak mau kamu ambil istri simpanan! Aku tidak mau! Itu melanggar hak azasi kaum sanggul! Biar aku nanti kayak bungaok! Aku tidak mauuuuuuuu! Kaum sanggul bukan mainan kaum brewosan!” Kutipan kedua mengungkapkan sikap cemburu Nyi Iteung yang membabi buta memukuli Kabayan. Dongen ‘Si Kabayan Tergila-gila pada Janda’ mengungkapkan hal tersebut. “ Itu Iteung! Nyi Ecoh itu! Janda Haji Toklok itu! Tahu toh?” “Tahu! Kenapa?” “Kepalaku dibikinnya pusing, nih.” “Kenapa, Kang Kabayan?” “Dia pernah bilang sama Akang, ‘ ay lap yu, darrrrling”. Akang jadi pusing kepala. Tergila-gila sama dia. Akang diguna-guna dia.”

Page 252: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

246 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Si Iteung yang mau memulai memijat-mijat kepala suaminya itu, sertamerta bertubi-tubi memukulinya dengan teko sampai kepala Si Kabayan benjol-benjol, dan tekonya penyok-penyok. Si Iteung dongkol. Cenburu, Curiga. Cari akal. Sumber: Mihardja, 1997 Simpulan

Tokoh Nyi Iteung sebagai perempuan Sunda dalam pandangan dunia masyarakat Sunda adalah sosok yang cantik, sederhana, cerdas dan taat pada suami, pecemburu, materialistis, dan cinta pada Kabayan. Orang Sunda sering berfokus pada tokoh Si Kabayan ketika menyimak dongeng Si Kabayan. Padahal, ada tokoh lain yang bernama Nyi Iteung. Tanpa Nyi Iteung, hidup Kabayan akan merana dan sengsara. Iteung digambarkan sebagai perempuan setia dan sederhana. Seringkali kepolosan dan keluguan Iteung adalah bentuk kecerdasan dan kecintaan pada suaminya. Para pendongeng Si Kabayan, pada umumnya menceritakan sosok Nyi Iteung yang lugu dan polos. Namun, di balik kepolosan dan keluguannya, tersimpan kepribadian lain yang selama ini kita lewatkan begitu saja. Ketika DSK ditransformasi dan direvitalisasi, Nyi Iteung tetaplah perempuan sederhana dan penuh cinta. Dia cerdas menghadapi masalah-masalah hidup. Nyi Iteung sering digambarkan taat pada suaminya meskipun suaminya sering malas dan aneh. Takpernah digambarkan Nyi Iteung ingin bercerai meskipun Kabayan beberapa kali berselingkuh. Di satu sisi, Nyi Iteung seorang perempuan materialistis yang ingin hidup mewah dan bahagia. Sebagai perempuan miskin, Nyi Iteung memiliki cita-cita memiliki banyak harta. Sebagai perempuan normal dan penuh cinta, Iteung pun sering merasa cemburu. Namun, dikisahkan, kecemburuan Iteung beralasan dan logis.

Daftar Rujukan Coster-Wijsman, Lina Maria. 1929. Uilespiegel Verhalen in Indonesie in Het

Biezonder in de Soendalanden. Disertasi tidak diterbitkan. Belanda: Universitas Leiden.

Damono, Joko Sapardi. 2012. Alih Wahana. Depok: Editum. Durachman, Memen. 2011. Keabadian Cerita Si Kabayan. Makalah disajikan

dalam International Seminar on Reformulating and Transforming Sundanese Culture. Faculty of Letters Universitas Padjadjaran, 9-10 Februari.

--------------------dkk. 2006. Cerita Si Kabayan: Transformasi, Proses

Penciptaan, Makna, dan Fungsi. Laporan Penelitian Hibah Kompetitif. UPI: Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

--------------------------2008. Cerita Si Kabayan: Transformasi, Penciptaan,

Makna, dan Fungsi. Jurnal Metasastra. 1 (1), hlm---. --------------------------2009. Cerita Si Kabayan: dari Kelisanan Pertama ke

Kelisanan Kedua. dalam Sumiyadi dan Dadang Anshori (Ed.). Kajian

Page 253: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

247 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Sastra dalam Perspektif Teori Kontemporer. UPI: Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi,

Model, Teori, dan Aplikasi. Malang. Yogyakarta: FBS UNY. Faruk. 2015. Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai

Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mihardja, Achdiat K. 1997. Si Kabayan, Manusia Lucu. Jakarta: Grasindo. Sulistyorini dan Eggy Fajar. 2017. Sastra Lisan: Kajian Teori dan Penerapannya dalam Penelitian. Malang: Madani.

Page 254: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

248 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

KEARIFAN LOKAL DALAM SASTRA LISAN SEBAGAI TUTORIAL PEMBELAJARAN KARAKTER DI SMA TERBUKA JARAK JAUH (SISTEM DOMON)

Moh. Ahsan Shohifur Rizal

Universitas Negeri Malang/ Pengelola SMA Terbuka Kepanjen [email protected]

ABSTRAK: Seiring perkembangan jaman dan teknologi, muncul berbagai macam media penyampaian bahasa. Sastra adalah contoh salah satu 'bahasa' yang di dalamnya terkandung suatu seni dan budaya. Bila pada jaman dulu, sastra disampaikan hanya secara lisan, maka padaperkembangannya sastra mulai dituangkan secara tertulis, dan karena kemajuan teknologi saat ini perkembangan sastra masing-masing budaya dapat diketahui dan diakses siapa saja.Sebagian besar masyarakat kita tidak mengetahui arti penting dari keberadaan folklore, dan pentingnya sastra lisan yang belakangan ini kian terlupakan. Apalagi dengan adanya perkembangan signifikan di bidang ilmu teknologi dan komunikasi yang menawarkan berbagai kemudahan telah menggiring masyarakat untuk berpikir serba praktis. Dalam keadaan seperti inilah masyarakat menjadi terasing dengan apa yang pernah diciptakannya sendiri, salah satunya ialah sastra lisan; sebuah produk kebudayaan yang perlahan ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya (folk). Padahal jika kita melihat jauh kebelakang, kelisanan berusia lebih tua dari keberaksaraan. Sastra sebenarnya tak hanya mengacu pada bentuk tulis, tetap harus ada dikotomi antara sastra lisan dan sastra tulis.Dengan hal demikian, Pendidikan karakter adalah pendidikan yang sangat penting bagi kita terutama bagi anak-anak yang masih dalam dunia pendidikan khususnya pada sekolah terbuka yakni jenjang SMA Terbuka Jarak Jauh, karena pendidikan karakter dalam dunia pendidikan ini dijadikan sebagai wadah atau proses untuk membentuk pribadi anak agar menjadi pribadi yang baik. Sebagai tenaga pendidik seorang guru juga perlu memberikan contoh perilaku yang baik kepada peserta didik, karena perilaku guru merupakan teladan bagi anak didik. Dalam dunia pendidikan memang pendidikan karakter sangat di butuhkan oleh peserta didik untuk membentuk pribadi yang baik, bijaksana, jujur, bertanggung jawab, dan bisa menghormati orang lain. Kata-kata Kunci: cerita rakyat, tutorial pembelajaran berkarakter

Pendidikan karakter bertujuan untuk membentuk manusia Indonesia yang bermoral, membentuk manusia Indonesia yang cerdas dan rasional, membentuk manusia yang inovatif dan suka bekerja keras, optimis dan percaya, dan berjiwa patriot. Dengan demikian pendidikan yang sangat dibutuhkan saat ini adalah pendidikan yang dapat mengintegrasikan pendidikan karakter dengan pendidikan yang dapat mengoptimalkan perkembangan seluruh dimensi anak baik dari ranah kognitif, fisik, sosial-emosi, kreativitas dan spiritual harus seimbang.

Pendidikan di Indonesia membutuhkan pendidikan yang membentuk karakter peserta didiknya sesuai dengan karakter yang telah diwariskan oleh budaya lokal yang telah ada sejak zaman dahulu. Maka dari itu, lembaga

Page 255: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

249 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

pendidikan di Indonesia dapat menerapkan pendidikan yang berbasis pada local wisdom (kearifan lokal). Kearifan lokal merupakanproduk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.Dengan menerapakan pendidikan berbasis pada kearifan lokal atau local wisdom maka peserta didik diharapkan akan mampu menciptakan pendidikan yang memberi makna bagi kehidupan manusia Indonesia. Artinya, pendidikan mampu menciptakan generasi-generasi muda yang mampu melestarikan dan mencintai budaya sendiri. Selain itu, pendidikan harus mampu membentuk karakter manusia yang berintegritas tinggi dan berkarakter sehingga mampu melahirkan tunas-tunas bangsa yang hebat dan bermartabat sesuai dengan spirit pendidikan yaitu memanusiakan manusia.

Kearifan lokal adalah nilai-nilai, pandangan masyarakat setempat yang bersifat bijaksana dan penuh pengertian. Yusri (2008) mengemukakan bahwa kearifan lokal adalah sistem ide dan makna yang dimiliki masyarakat secara matang yang merupakan hasil proses belajar dan seleksi sosial dalam berpikir, bersikap dan bertindak serta berprilaku yang berfungsi untuk penataaan lingku-ngan dalam berbagai aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, hukum dan lain-lain.Kearifan lokal adalah warisan masa lalu yang berasal dari leluhur, yang tidak hanya terdapat dalam sastra tradisional (sastra lisan atau sastra tulis) sebagai refleksi masyarakat penuturnya, tetapi terdapat dalam berbagai bidang kehidupan nyata, seperti filosofi dan pandangan hidup, kesehatan, dan arsitektur. Dalam dialektika hidup-mati (sesuatu yang hidup akan mati), tanpa pelestarian dan revitalisasi, kearifan lokal pun suatu saat akan mati. Bisa jadi, nasib kearifan lokal mirip pusaka warisan leluhur, yang setelah sekian generasi akan lapuk dimakan rayap. Sekarang pun tanda pelapukan kearifan lokal makin kuat terbaca. Kearifan lokal acap kali terkalahkan oleh sikap masyarakat yang makin pragmatis, yang akhirnya lebih berpihak pada tekanan dan kebutuhan ekonomi. Tutorial Pembelajaran Jarak Jauh

Dewasa ini, sistem PJJ/BJJ sudah menjadi keniscayaan di dunia, bahkan telah diakui sebagai ’disiplin ilmiah’ dengan landasan filosofi, teori, dan praktik yang sudahmapan (Holmberg, 1986; Keegan, 1990). Di Indonesia, secara yuridis-formal PJJ/BJJtelah diakui sebagai subsistem pendidikan nasional, melalui UU no. 20 tahun 2003tentang sistem pendidikan nasional.Salah satu faktor terpenting tingginya tingkat keberterimaan PJJ/BJJ di dunia, termasuk Indonesia, adalah karena fleksibilitasnya yang tinggi dalam mengeliminasiberbagai keterbatasan yang selama ini dihadapi oleh pendidikan tatap muka untuk menyediakan akses pendidikan bagi semua orang, seperti usia, lokasi geografis,keterbatasan waktu, dan situasi ekonomi (Gunawardena & McIsaac, 2001; Baggaley,Belawati, dan Malik, 2010). Adopsi PJJ/BJJ di Indonesia pertama kali dilaksanakan tahun 1997 untuk jenjangpendidikan dasar, melalui projek SMP Terbuka (open junior high school). Pada tahapawal ditetapkan 59 lokasi dengan jumlah peserta program sekitar 10.000 peserta didik(usia 12-17 tahun). 2.000,diperluas lagi ke 3.000 lokasi dengan jumlahpeserta mencapai 500.000 peserta didik (Miarso, 1997).antara dosen dan mahasiswa digambarkan terjadi secara langsung. Manakala mahasiswamenanyakan sesuatu kepada dosennya maka dosen yang

Page 256: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

250 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

bersangkutan dapat secara langsung pulamenjawab pertanyaan mahasiswanya.Pada tahun 2002, PJJ/BJJ dikembangkan pada jenjang pendidikan menengah, melalui SMU Terbuka. Untuk tahap awal ditetapkan 6 (enam) propinsi sebagai lokasiperintisan SMU Terbuka, yaitu: (1) Jawa Barat, (2) Jawa Tengah, (3) Jawa Timur, (5)Riau, (6) Kalimantan Timur, dan (7) Sulawesi Selatan (Siahaan & Simanjuntak, 2004).\

Berge dan Collins (1995) menyatakan bahwa perubahan paradigma dalam dunia pendidikan terkait erat dengan upaya manusia untuk membuka sekat-sekat ruang danwaktu pada akses peserta didik terhadap produksi dan distribusi materi pembelajaranmelalui pemanfaatan kemajuan teknologi. Dalam konteks historis inilah perubahan dariparadigma Pendidikan Tatap Muka (PTT) ke paradigma Pendidikan Jarak Jauh (PJJ)terjadi. Pergeseran Orientasi Nilai

Seiring berjalannya waktu, sedikit demi sedikit orientasi pendidikan mengalami pergeseran yang tajam, pendidikan berubah tujuan dan tidak mengindahkan hakikat pendidikan itu sendiri. Pendidikan diberikan bukan lagi berbasis pada kebutuhan masyarakat. Akan tetapi lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pasar. Sehingga setelah selesai mengecap pendidikan peserta didik bukan peka terhadap realitas sosial malah hilang dari realitas sosial.Pendidikan yang mempunyai peran sebagai motor penggerak mobilitas sosial, perlu memperhatikan dan meluruskan kembali orientasinya. Karena, pendidikan sebagai pembentuk intelektual peserta didiknya merupakan faktor yang sangat penting dalam perubahan yang terjadi di masyarakat. Bahkan boleh dikatakan, maju dan mundur mobilitas sosial dalam masyarakat tergantung pada pendidikan apa yang diterima oleh peserta didiknya. Sebagai contoh, apabila pendidikan mengajarkan tentang kekerasan, maka tak salah apabila pesetrta didik terbentuk menjadi pribadi yang keras. Sebaliknya, apabila pendidikan mengajarkan bahwa insan yang berpendidikan adalah insan yang peka terhadap realitas sosial, maka peserta didik akan mempersiapkan diri untuk menata pribadi mereka.

Sastra sebagai cerminan keadaan sosial budaya bangsa haruslah diwariskan kepada generasi mudanya. Menurut Herfanda (2008:131), sastra memiliki potensi yang besar untuk membawa masyarakat ke arah perubahan, termasuk perubahan karakter.Selain mengandung keindahan, sastra juga memiliki nilai manfaat bagi pembaca. Segi kemanfaatan muncul karena penciptaan sastra berangkat dari kenyataan sehingga lahirlah suatu paradigma bahwa sastra yang baik menciptakan kembali rasa kehidupan. Penciptaannya yang dilakukan bersama-sama dan saling berjalinan seperti terjadi dalam kehidupan kita sendiri. Namun, kenyataan tersebut di dalam sastra dihadirkan melalui berbagai tahap proses kreatif. Artinya bahan-bahan tentang kenyataan tersebut dipahami melalui proses penafsiran baru oleh pengarang. Adapun manfaat sastra bagi pembaca, adalah berkenaan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya agar pembaca lebih mampu menerjemahkan persoalan-persoalan dalam hidup melalui kebaikan jasmani dan kebaikan rohani.Lebih jauh dari itu sastra dalam kaitan dengan pendidikan karakter, yaitu sastra sebagai media pembentuk watak moral peserta didik, dengan sastra kita bisa mempengaruhi peserta didik. Karya sastra dapat menyampaikan pesan-pesan

Page 257: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

251 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

moral baik secara implisit maupun eksplisit. Dengan mengapresiasi cerpen, novel, cerita rakyat, dan puisi, kita bisa membentuk karakter peserta didik, sastra mampu memainkan perannya. Nilai-nilai kejujuran, kebaikan, persahabatan, persaudaraan, kekeluargaan, keikhlasan, ketulusan, kebersaman, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan pendidikan karakter, bisa kita terapkan kepada peserta didik melalui sastra. Tutorial Pembelajaran dengan memanfaatkan Sastra Lisan Konteks e-learning

Penggunaan contoh sastra lisan dalam hal ini cerita rakyat merupakan sarana yang baik untuk memberikan contoh kepada peserta didik di sekolah ternuka. Apalagi cerita yang disampaikan adalah cerita rakyat dari daerah peserta didik sendiri.Selain cara-cara di atas masih banyak cara-cara yang lainnya yang bisa digunakan oleh pendidik atau bahkan dikombinasikan untuk menyampaikan nilai-nilai dalam pendidikan karakter, namun jangan terlepas dari penyeleksian atau pemilihan bahan ajar yang tepat. Karena dengan memilih bahan ajar yang tepat, peserta didik akan merasakan kedalaman materi yang membuat mereka menyadari makna kehidupan. Kesadaran itulah yang akan membuat pembelajaran bukan sekadar mengajarkan materi, tetapi juga mendidik. Membaca Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dan membaca Belenggu karya Iwan Simatupang bagi peserta didik pasti memiliki dampak berbeda. Proses pemahaman novel Belenggu terasa lebih sulit jika dibandingkan novel Laskar Pelangi. Selain itu, isi Laskar Pelangi lebih cocok dalam pembelajaran, karena novel tersebut berbicara masalah pendidikan, pentingnya belajar, dan menghargai seorang pendidik. Sedangkan Belenggu berisi cerita yang terlalu dewasa, sehingga belum sesuai dengan usia peserta didik. Namun, bukan berarti salah satu novel itu jelek, hanya persoalan penempatannya. Dengan memahami hal tersebut, pembelajaran sastra bisa dijadikan sebagai instrumen pendidikan yang sebenarnya, yaitu mengubah karakter peserta didik menjadi lebih baik, bermoral, dan bermartabat. Semua demi generasi penerus yang lebih baik dari aspek kualitas maupun kuantitasnya. Pendidikan Karakter melalui Pembelajaran di SMA Terbuka

Dunia pendidikan di Indonesia belakangan ini diramaikan dengan wacana mengenai pendidikan karakter. Wacana ini muncul sebagai akibat dari ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem pendidikan nasional yang pada masa-masa sebelumnya dipandang gagal dalam membentuk manusia Indonesia yang bermartabat. Pada era reformasi sebetulnya terjadi upaya pembenahan di sana-sini seputar praktik dan kebijakan sistem pendidikan nasional dalam kaitannya dengan moral dan karakter. Akan tetapi fenomena mengenai degradasi moral masih tampak secara nyata, seperti fenomena tawuran antar pelajar, antar kampung, antar etnis, bahkan antar kelompok agama, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), demokrasi yang kebablasan, penyelewengan hukum, dan praktik kebohongan serta manipulasi yang dilakukan pejabat publik. Hal tersebut merupakan contoh langsung dari rendahnya karakter dan terkikisnya karakter anak bangsa ( Sutrisna, 2011).Pendidikan diperlukan sebagai sebuah sarana yang mampu membentuk manusia secara utuh meliputi jasmani maupun rohani. Pembentukan kepribadian ini harus bisa ditata dengan baik, dan disesuaikan dengan jenjang pendidikan yang ada. Pada kenyataanya, pendidikan yang

Page 258: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

252 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

harusnya digunakan sebagai wahana penempaan karakter hanya mengedepankan transfer of learning dalam penyampaian materi-materi pelajaran dan masih mengesampingkan pembentukan sikap dan perilaku peserta didik yang menjadi unsur penting dalam pembentukan karakter peserta didik di Indonesia

Karakter seorang individu terbentuk sejak dia kecil karena pengaruh genetik dan lingkungan sekitar. Proses pembentukan karakter, baik disadari maupun tidak, akan mempengaruhi cara individu tersebut memandang diri dan lingkungannya dan akan tercermin dalam perilakunya sehari-hari. SMA Terbuka sebagai lembaga pendidikan khusus tingkat lanjutan adalah salah satu sumber daya yang penting. Sambil mengevaluasi tujuan kita, sangatlah penting untuk menyusun kurikulum yang secara jelas memuat pendidikan karakter. Namun, semakin singkatnya waktu studi serta mahalnya biaya pendidikan mendorong siswa menjadi siswa yang pragmatis dalam mencapai cita-citanya. Kegiatan akademik sangat menuntut konsentrasi siswa sehingga porsi bagi kegiatan kegiatan sosial menjadi semakin sedikit. Dorongan untuk berinteraksi secara sosial dengan sesama sangat kurang, padahal hal ini sangat penting dalam pembentukan karakter.

Nilai-nilai sebagai materi pembelajaran dapat bersumber dari kearifan lokal masyarakat, yang tercermin dalam banyak cerita rakyat. Cerita rakyat dari berbagai kelompokmasyarakat potensial untuk digali dan menjadi sumber rujukan bagi para pendidik untukembentuk karakter yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Khasanah budaya dan adatistiadat masyarakat Indonesia yang sangat kaya, berbagai tradisi yang sangat lekat dimilikioleh setiap suku, serta nilai-nilai luhur yang diyakini dan dijadikan sebagai pedoman hidup(way of life) masyarakat merupakan kekayaan nilai yang sangat berharga. Nilai-nilai dalambudaya dan tradisi masyarakat tersebut dapat ditelusuri, dihidupkan, dan diinternalisasisebagai rujukan bagi para pendidik untuk membentuk karakter anak bangsa. Harapannyaadalah nilai-nilai kearifan lokal dapat diinternalisasi sehingga menjadi tuntunan untukmembangun kehidupan masyarakat yang lebih baik.Tutor perlu melihat efek pembelajaran dalam dunia batin anak. Oleh karena itu, perlu memperhatikan proses dalam pembelajaran. Jika anak diajarkan tentang cerita perjuangan, kepahlawanan, dan perlawanan terhadap kebatilan maka efek batin dari pengajaran itu adalahkeberanian, semangat, tidak mudah putus asa. Jika anak diajarkan cerita penderitaan makaefek batin dari pengajaran itu adalah empati, welas asih, dan seterusnya. Penutup Nilai-nilai kearifan lokal merupakan modal yang dapat dimanfaatkan melalui pembelajaran karakter di sekolah untuk mengimbangi maraknya tayangan dan bacaan yangcenderung sekuler. Nilai-nilai tersebut dapat mengantarkan anak didik menjadi manusia yangarif dalam kehidupan bermasyarakat dan memperoleh kebahagiaan hidup.Meskipun tradisi orang tua mendongengkan cerita sebelum tidur kepada anak sudah mulaiditinggalkan, setidaknya masih ada peluang menggantungkan harapan di pundak guru untukmemanfaatkan kearifan lokal di sekolah melalui cerita rakyat. Nilai-nilai karakter yangterkandung dalam cerita rakyat dapat terus dihidupkan dalam sanubari anak bangsa melaluipembelajaran dengan kegiatan apresiasi sastra.Cerita rakyat sebagai salah satu bentuk sastra lisan yang memuat nilai-nilai kebaikan, kejujuran, kesetiaan,

Page 259: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

253 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

perjuangan, kesabaran, dan sejenisnya dapat dimanfaatkan sebagai materi pembelajaran dan pembentukan karakter. Peran tutor dalam hal ini adalah mengintegrasikan materi pengetahuan (tentang unsur-unsur intrinsik sastra) dan nilai-nilaikearifan lokal dalam proses pembelajaran di kelas. Selain itu, tutor juga berperan memilihkanmateri cerita yang sesuai dengan tujuan dan tingkat perkembangan anak, sebagai penuturcerita yang mumpuni, dan yang lebih penting berperan menampilkan kearifan lokal melaluiketeladanan dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk meminimalkan dampak negatif media elektronik maka disarankan: (1) orangtua membatasi jam dan mendampingi anak menonton televisi; (2) memberikan penjelasanseperlunya bila menonton film cerita asing untuk disesuaikan dengan kehidupan di Indonesia;(3) menyediakan buku-buku cerita nusantara yang memuat nilai-nilai-nilai kemanusiaan.Dengan sinergi yang baik antara orang tua dan sekolah diharapkan mengurangi pengaruhnegatif media elektronik sehingga terwujud generasi penerus yang berkarakter unggul sesuaidengan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Indonesia. Daftar Rujukan Berge, Z., & Collins, M. (1995). Computer-mediated communication and the

online classroom in distance learning. Computer-Mediated Communication Magazine, 2(4). Diunduh dari http://www.ibiblio.org/cmc/mag/1995/apr/berge.html.

Herfanda, A.Y. 2008. Sastra Sebagai Agen Perubahan Budaya dalam

Bahasa dan Budaya dalam Berbagai Perspektif. Yogyakarta: FBS UNY dan Tiara Wacana.

Keegan, D. (1990). Foundations of distance education. 2nd ed. London:

Routledge. Miarso, Y.H. (1997). Educational technology and systemic change in education.

Makalah pada Third International Symposium on Open and Distance Learning, Bali, November.

Siahaan, S., & Simanjuntak, WBP. (2004). Studi tentang pengelolaan sekolah

menengah umum terbuka (SMU terbuka). Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, 5(1), h. 59-82.

Sutrisna. 2011. Peran Guru terhadap Pendidikan Karakter di Sekolah. Serambi

sekolah.blogspot.com/2011/04/peran-guru-terhadap-pendidikan-karakter.

Yusri, M. 2008. Prinsip Pendidikan Multikulturalisme dalam Ajaran Agama-

Agama di Indonesia. Kependidikan Islam, 3(2), 1-22.

Page 260: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

254 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

EKSPRESI SIMBOL MONOTEIS SASTRA LISAN KÈJHUNG MADURA (Telaah Semiotika Hjemslev)

Moh. Badrih

Universitas Islam Malang [email protected]

ABSTRAK: Manusia sebagai animal simbolicum selalu berupaya untuk mentransfer pengetahuan yang dimilikinya dalam berbagai bentuk simbol. Hal ini bertujuan agar pesan luhur yang terdapat dalam simbol dapat dimaknai sesuai dengan tingkat pengetahuan, waktu, dan lingkungannya. Bentuk simbol yang diciptakan dapat berupa pesan verbal dan non-verbal. Simbol verbal merupakan segala sesuatu yang disampaikan melalui lisan, sedangkan simbol non-verbal dapat berupa benda, gerakan, bahkan warna. Kedua bentuk simbol tersebut menjadi tradisi masyarakat setempat dan diklaim sebagai milik bersama. Pesan yang disampaikan dalam simbol tidak hanya diperuntukkan pada masyarakat sezaman melainkan juga untuk generasi sesudahnya. Sebagai bagian dari ekspresi verbal, kèjhung menjadi sebuah seni sastra lisan yang mengandung simbol intelektual, emosional, bahkan spiritual manusia Madura.

Kata kunci: semiotika, kèjhung, sastra lisan, simbol, manusia Madura

Manusia merupakan makhluk simbolis dalam berfikir, bertutur, bersikap,

dan berinteraksi dengan sesamanya atau dengan makhluk yang lain. Ketika berpikir, manusia cenderung menyimbolkan segala kesan yang dirasakan indera menjadi ‘meta simbol’ dan meyimpannya dalam pikiran. Dalam hal ini, pengetahuan manusia merupakan rekontruksi dari simbol-simbol yang telah ada (dunia) menjadi simbol mentalis yang dapat dimengerti dalam perspsektifnya sendiri. Simbol-simbol yang telah direkontruksi tersebut secara langsung memiliki relasi dengan dunia acuan (referen), sehingga pada saat bertutur, bersikap, bertindak, dan berinteraksi dengan manusia dan alam sekitar, manusia cenderung membuat simbol-simbol baru sebagai representasi dari meta simbol.

Menurut Cassirer (1990:40), manusia sebagai animal simbolicum dan homo estheticus. Animal simbolicum berarti manusia sebagai makhluk yang selalu bermain dengan simbol-simbol, dan sebagai homo estheticus manusia memiliki rasa indah untuk bermain dengan simbol yang sesuai dengan pengalaman keindahannya. Selain itu, manusia dapat dikategorikan sebagai pembuat simbol dan pemakna simbol. Bentuk pertama mengindikasikan pengetahuan manusia untuk membuat pengetahuan-pengatahuan baru secara simbolis, sedangkan bentuk kedua merupakan pengetahuan baru yang diperoleh dari hasil pemaknaan terhadap simbol-simbol yang ada. Baal (1986:46) mengatakan bahwa “menusia dapat membedakan mana yang indah dan yang jelek dan selalu menyatakan dirinya dengan simbol-simbol dalam perkataan, mitos, dan seni”.

Simbol-simbol yang dibuat dan dimaknai oleh manusia menjadi ‘tugu’ yang menandai proses belajar manusia. Tugu tersebut kemudian menjadi petunjuk ke arah pembaharuan dan penyusunan kembali nilai-nilai humanis

Page 261: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

255 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

secara sistemik (Peursen, 1993:149). Sebagai bentuk dari budi luhur, manusia kembali merepresentasikan nilai-niai humanistik ke dalam sebuah bentuk simbol agar selalu menjadi barometer hidup. Inilah yang akan menjadi dasar perilaku manusia di masa yang akan datang.

Simbol dari budi luhur manusia tersebut terimplementasi dalam lima hal yaitu: (1) agama dengan sistem releginya, (2) sistem budaya tertentu, (3) kebajikan dan ajaran tertentu, (4) paham kepercayaan dan mistisme, dan (5) alam semesta. Kelima hal tersebut sebagai tugu proses belajar manusia dan penyusunan kembali nilai-nilai kemanusiaan.

Pada ranah sistem kebudayaan, simbol tidak hanya berupa hal yang sifatnya sakral, akan tetapi juga dapat berupa kesenian tradisional yang dimiliki bersama oleh sebuah komunitas masyarakat. Di Madura terdapat kesenian kèjhung yang menjadi salah satu bagian dari sastra lisan yang dimiliki oleh masyarakat Madura. dalam kèjhung terdapat ungkapan-ungkapan simbolis yang ditempatkan pada bagian sampiran atau bagian isi. Hal ini menandakan bahwa kèjhung Madura merupakan jenis puisi lama yang dinyanyikan dengan berirama ab-ab. Adapun simbol-simbol yang terdapat di dalam kèjhung sebagai puisi yang dinyanyikan bertujuan untuk mengungkapkan gagasan, kekhasan, dan kebenaran kultural yang dimiliki oleh masyarakat Madura (Badrih, 2014).

Ekspresi verbal kèjhung selalu identik dengan suara nyaring dan melengking. Hal tersebut menandakan bahwa kèjhung hanya dilantunkan oleh perempuan. Namun seiring dengan perkembangan waktu, kèjhung yang terdapat di Madura telah mengalami pergeseran peran yang tidak hanya dilantunkan oleh perempuan, akan tetapi juga oleh laki-laki (Badrih, 2016:35). Laki-laki yang ikut melantunkan kèjhung hanya sebagai pelantun kedua setelah tandha’ (sinden). Walaupun laki-laki memiliki peran yang sama seperti tandha’, mereka tidak bisa disebut sebagai tandha’ karena panggilan tersebut hanya diperuntukkan untuk para wanita yang pandai ngèjhung dan menari, sedangkan untuk laki-laki yang memiliki kepandaian yang serupa biasanya disebut sebagai tokang tandhang.

Tokang tandhang (penendang laki-laki) dan tandha’ (sinden) dalam sebuah pertunjukan dapat menentukan sendiri irama yang akan mengiringi mereka pada saat ngejung. Irama tersebut selanjutkan akan menjadi pengiring kèjhung yang akan mereka lantunkan pada pendengar. Pada umumnya setiap topik kèjhung yang mereka bawakan diikuti oleh irama yang berbeda. Hal tersebut bertujuan agar kèjhung yang mereka lantunkan lebih menarik simpati para pendengar yang hadir di tempat penyelenggaraan kèjhung.

Pembawaan kèjhung yang dinyanyikan selang-seling antara laki-laki dan perempuan dapat mengubah bentuk kèjhung dari sastra lisan menjadi nyanyian. Hal inilah yang dapat menjadikan kèjhung diapresiasi berbeda oleh masyarakat setempat. Di satu sisi kèjhung dapat dikategorikan sebagai puisi lama, karena strukturnya yang hampir sama dengan pantun, di sisi yang lain kèjhung berfungsi sebagai nyanyian rakyat karena penyampaiannya yang harus dinyanyikan. Bagi para pemerhati sastra lisan Madura, kèjhung tidak dipandang sebagai sastra yang dikotomik, tetapi sebagai sastra lisan yang memiliki ciri khas dan komposisi utuh baik dari segi bentuk, isi, penyampaian, dan fungsinya.

Kèjhung Madura memiliki karakteristik seperti pantun atau puisi lama yaknik terdiri dari empat larik dalam satu bait dan berirama ab-ab. Isi kèjhung

Page 262: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

256 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

dapat berupa bhabulangan (pendidikan), pesan moral, ungkapan romantis, dan humor (Badrih, 2016). Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa penyampaian kèjhung dengan cara dinyanyikan, sedangkan fungsinya disamping sebagai hiburan juga berfungsi sebagai pengikat warga dan kelompok etnik Madura (Badrih, 2013b). Selain dari keempat hal tersebut, dalam kèjhung juga terdapat ungkapan-ungkapan yang sangat folosofis.

Bagi para budayawan Madura, ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam kèjhung merupakan simbol-simbol yang mengandung makna religi, seni, kontekstual dan kultural. Kèjhung-kèjhung yang dimaksud dapat dijumpai dalam kèjhung bhabulangan (kidung pendidikan), dan kèjhung tayubhan. Kedua kèjhung tersebut meskipun emiliki karakteristik yang berbeda, akan tetapi memiliki bentuk yang hampir sama. Adapun perbedaan dari kedua kèjhung tersebut dapat dilihat dari tujuan dan fungsinya bagi para pendengar.

Fungsi dari kèjhung bhabulangan untuk bebagai hal yang berkaitan dengan keyakinan, dan ketauhidan, sedangkan kèjhung tayuban hanya untuk hiburan dan pesan-pesan yang berkaitan dengan kehidupan sosial. Pada ranah inilah sebenarnya dapat dilihat bahwa cerminan dari kèjhung sebagai ekspresi verbal memiliki kebenaran kultural yang dimiliki oleh kelompok etnik Madura.

Dalam memandang diri sebagai manusia yang berbudaya, kelompok etnik Madura memiliki cara pandang terhadap kehidupan di masa lalu, sekarang dan yang akan datang (Busri, 2010:13). Wujud pencitraan tersebut salah satunya dapat dilihat dari ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam kèjhung. Dasar inilah yang diangkat oleh penulis bahwa dalam ekspresi verbal kèjhung terdapat simbol-simbol yang dapat mencerminkan manusia Madura. Simbol, dan Karakteristik Simbol dalam Sastra Lisan

Sebuah simbol adalah sesuatu yang terdiri atas sesuatu yang lain. Suatu konsep makna dapat ditunjukkan dengan simbol (cincin merupakan simbol perkawinan, seragam militer merupakan simbol kesatuan, dan bendera merupakan simbol bangsa). Seseorang juga merupakan simbol, presiden menunjukkan republik, raja atau ratu menunjukkan kerajaan.

Menurut Busri (2010:63), bahwa simbol-simbol merupakan prinsip utama untuk berinteraksi dengan manusia. Sebuah simbol dari setiap objek, kata ataupun kejadian memiliki arti tertentu yang dapat disepakati bersama. Hal ini mengindikasikan bahwa simbol merupakan konsensus sosial yang menjadi persetujuan kelompok untuk menjelaskan sesuatu yang diwakili oleh simbol tersebut. Selain itu Hasan juga menegaskan bahwa sebagai konsensus sosial simbol dibagi menjadi dua, yaitu (a) simbol presentasional, dan (b) simbol distruktif. Simbol presentasional merupakan simbol yang cara penafsirannya tidak memerlukan intelektualitas, dengan kata lain penafsiran simbol ini dengan cara spontan, sedangkan simbol distruktif merupakan simbol yang cara penafsirannya memerlukan intelektualitas, spontanitas dan berurutan. Dengan kata lain, simbol jenis distruktif dapat berupa bahasa verba.

Hubungan simbol dalam bahasa verba dengan sesuatu yang disimbolkan bersifat satu arah. Kata ‘bunga, tidak haya memiliki hubungan timbal balik antara gambaran yang disebut ‘bunga’, melainkan secara asosiatif juga dapat dihubungkan dengan ‘keindahan’, ‘kelembutan’, dan lain sebagainya.

Page 263: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

257 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Kesadaran simbolis selain dapat menampilkan gambaran objek yang diacu juga dapat menggambarkan ide citraan, maupun konfigurasi gagasan yang mengatasi bentuk simbolik maupun gambaran objeknya sendiri. Dengan demikian pembuaran makna dari sesuatu simbol pada dasarnya merupakan perepresentasian ciri semantis yang secara abstrak juga dapat membentuk seruan pengertian tertentu.

Dapat dinyatakan juga bahwa simbol merupakan gejala khusus dari tanda. Sebagai bagian dari tanda, meskipun tidak semua tanda adalah simbol. Simbol itu sendiri dapat disebut sebagai tanda. Simbol sebagai gejala khusus dari tanda karena keberadaan simbol berkaitan dengan tanda dan interpretasi, penggunaan, dan penikmatan, keikursertaan dan pamasukan ciri, seni dan metologi, serta gejala yang lain pengkreasian tanda (Sudaryono, 2002:101). Tanda merupakan ‘fakta’ yang dapat didudukkan secara isolatif terlepas dari hubungannya dengan penafsiran. Dapat dinyatakan bahwa tanda mengacu pada gelala yang lebih luas daripada simbol dan simbol hanya mengacu pada simbol verbal.

Pernyataan di depan, sejalan dengan pendepat Eco (1983:134), bahwa kreasi simbol bukan hanya menyangkut kreasi simbolik, tetapi juga berkaitan dengan tanda dalam komunikasi. Penyusunan dan penyampaian tanda itu selain berhubungan dengan untaian isi juga berhubungan dengan bentuk yang mewujudkan untaian isi sebagai bentuk ekspresi. Oleh karena itu, sebagai sistem, simbol selain terkait dengan dunia pengalaman, pengetahuan, dan intensi penuturnya juga terkait dengan konteks sosial budaya pemakainya. Pemakaian kata Adam sebagai nama pasangan Hawa, tidak dapat semata-mata disikapi sebagai nama tetapi sebagai simbol yang mengemban isi tertentu sejalan dengan intensi penuturnya. Apabila ditinjau dari karakteristiknya, simbol memiliki empat karakteristik utama, yaitu (1) simbol bersifat figuratif yang selalu menunjuk kepada sesuatu di luar dirinya sendiri, (2) simbol bersifat dapat dicerap baik sebagai bentuk objektif maupun sebagai konsep imajinatif, (3) simbol memiliki daya kekuatan yang melekat secara ghaib, mistis, relegius, dan rohaniah, (4) simbol mempunyai akar dalam masyarakat dan mendapat dukungan dari masyarakat (Dellistone, 1986:102). Kaitannya dengan sastra lisan maka deskripsi simbol tersebut dapat diurai sebagai berikut.

Pertama, konsep figuratif dalam simbol. Setiap ungkapan dalam sastra lisan selalu memiliki kandungan makna referensial. Misalnya, dalam sebuah ungkapan lisan terdapat ungkapan “rembulanku yang kini hilang”. Kata bulan yang terdapat dalam larik tersebut dapat diberi makna rembulan yang menjadi penerang bumi di malam hari, dan dapat diberi makna seorang gadis atau perempuan yang sudah tidak ada dalam kehidupan seseorang. Umumnya pemaknaan simbol dalama sastra lisan, selain melihat isi dari teks sastranya juga harus melihat konteks yang sedang terjadi pada saat sastra itu dibacakan atau dilantunkan.

Kedua, konsep objektif dan imajinatif dalam simbol. Karena sastra lisan tidak lahir dari ‘dunia yang kosong’ maka setiap karya sastra yang ada selalu sebagai imitasi dari sebuah realita. Namun tidak semuanya sastra lisan selalu memiliki objek atau sandaran dalam proses penciptaannya. Sastra lisan juga dapat dibentuk dari hasil imajinasi pengarang meskipun dalam dunia nyata tidak

Page 264: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

258 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

ada. Hal inilah yang perlu disadari bahwa dalam pemberian makna terhadap sastra lisan, pendengar harus memiliki kearifan lokal dalam menyerap pesan-pesan yang terdapat di dalamnya. Bentuk isi sastra lisan hanyalah kebenaran lokatif yang hanya dimiliki oleh sekelompok masyarakat dan tidak harus diterima oleh semua orang.

Ketiga, konsep daya simbol dalam sastra lisan. Keberadaan sismbol dalam sastra lisan tidak hanya sebatas dalam ranah imajinasi saja, tetapi pada bentuk-bentuk lain yang terlibat dalam pertunjukan sastra lisan. Apabila pertunjukan sastra lisan ‘harus disakralkan’ seperti pembaca yang harus dimasuki ‘roh halus’, maka segala bentuk yang terlibat dan dapat dilihat pada pementasan tersebut termasuk kategori simbol. Oleh karena itu, wujud pemaknaan simbol tidak hanya pada tataran fisik saja melainkan juga yang meta fisik. Selain itu, keutuhan pemaknaan simbol dalam sastra lisan dapat dikontruksi jika setiap komponen yang terlibat pembacaan sastra lisan saling dikaitkan satu dengan yang lain.

Keempat, konsep kepemilikan simbol dalam masyarakat. Simbol-simbol yang terdapat dalam sastra lisan sebagai perwujudan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat. Sebagai karya yang dimiliki bersama, masyarakat selalu menikmati, dan memelihara setiap bagian yang terdapat dalam sastra lisan. Perubahan yang terjadi pada sastra lisan di luar kehendak mereka biasanya akan mengundang perselisihan dan pertentangan. Di sinilah inti bahwa dalam sastra lisan memiliki akar di masyarakat dan dapat dukungan dari masyarakat.

Seluruh deskripsi di depan dapat dijadikan dasar untuk mengambil sebuah simpulan mengenai hakikat simbol yang sesuai dengan konteks kajian penulis. Dalam hal ini simbol merupakan kata atau sesuatu yang dapat dianalogikakan sebagai kata yang terkait dengan penafsiran pemakai, kaidah pemakaian sesuai dengan jenis wacananya, dan kreasi pemberian makna sesuai dengan intensi pemakainya yang bersifat tradisional dan konvensional. Makna Simbol

Simbol merupakan produk yang hanya dibuat dan digunakan untuk manusia. Tingkat pengetahuan manusia yang berbeda sangat berpotensi untuk memaknai simbol dengan cara yang berbeda, sehingga otomatis maknanya juga berbeda. Tidak hanya pada tataran pengetahuan yang ruang lingkupnya sangat luas, pada tataran sudut pandang dan teknik pemaknaan yang berbeda dalam menaknai simbol akan menghasilkan makna simbol yang berbeda.

Menurut Sudaryono (2002:163), pemaknaan terhadap simbol setidak-tidanya melibatkan tiga aspek, (1) assosiasi bentuk dan isi, (2) pengetahuan pembaca, dan (3) konteks. Penggunaan tiga aspek pemaknaan simbol tersebut diasumsikan akan mengungkap makna hakiki simbol dari perspektif sintaksis, semantik, dan pragmatik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa makna simbol merupakan upaya penggalian makna dari ranah isi dan ekspresi menuju substansi sampai pada purport simbol. METODE ANALISIS DATA

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan semiotika Hjemslev. Teknik ini dipilih untuk melihat kѐhung sebagai sastra

Page 265: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

259 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

lisan kelompok etnik Madura. Oleh karena itu, peneliti (penafsir) melakukan dekontekstualisasi (otomomi teks), dan rekontekstualisasi (mengembalikan teks pada latar belakang terjadinya teks) dengan cara mengaitkannya dengan realitas kehidupan etnik Madura. Denzin (2009:257) menyatakan bahwa penelitian kualitatif lebih terfokus pada penafsiran ‘realitas’ yang dibentuk oleh praktik-praktik interpretatif. Adapun upaya penafsiran teks tuturan kèjhung sebagai berikut.

RK = (T [T1{s + m}.T2{s + m}]) + (SS) + (Kd [KL{ctr}.KT{ctr}]) + ( R [R1{m +

s}.R2 {m + s}]) + (SL [K Id{s}.K In{s}]) + (Ks [Mw{ctr}.Pw{ctr}.Rlt{ctr}]) + PK{ctr}. (Badrih, 2016:33)

PEMBAHASAN Ekspresi Verbal dalam Kèjhung

Kèjhung sebagai sastra lisan tidak dapat dipisahkan dari pertunjukan dan khalayak. Adreyetti (2013:7) juga memiliki pendapat yang sama bahwa pertunjukan adalah persembahan atau perwujudan sastra lisan oleh penampil kepada khalayak di tempat yang sama dan waktu yang sama. Kondisi tersebut akan memudahkan penyampaian pesan-pesan yang terdapat dalam sastra lisan secara langsung. Indikator keberhasilan penyampaian pesan tersebut dapat dilihat dari jumlah dan kondusifitas khalayak yang datang ke tempat tersebut.

Pada saat pertunjukan dimulai para pelantun sastra lisan akan berupaya agar pesan-pesan yang disampaikannya dapat diterima secara utuh. Hal yang sama juga berlaku untuk khalayak, pada saat yang bersamaan akan mengkonstruk sebuah pemahaman ‘baru’ meskipun sebelumnya mareka telah mendengar perihal yang serupa. Situasi tersebut akan menjadikan khalayak berfungsi sebagai penikmat, penilai, dan sekaligus pengkritik apabila terdapat isi atau alur cerita yang tidak sama dengan pemahaman yang mereka terima sebelumnya. Cara pandang demikian dapat terjadi hanya dalam situasi dan waktu yang sama yakni saat pertunjukan sastra lisan berlangsung.

Setiap pertunjukan sastra lisan berlangsung tidak mustahil jika terdapat perubahan dalam hal penyajian pada khalayak. Sajian yang dimaksud dapat berupa ungkapan-ungkapan yang diekspresikan dengan maksud tertentu. Katika para pelantun menginginkan agar penonton yang hadir pada saat itu terbawa oleh nuansa kesedihan, maka seorang pembawa atau pelantun akan mengekspresikannya sedemikian rupa sehingga para penonton banyak yang menangis. Demikian juga saat para pelantun menginginkan penonton tertawa, mereka membawakan sastra lisan dengan berbagai ekspresi verbal sehingga para penonton banyak yang tertawa.

Ekspresi verbal dalam kèjhung dapat dijumpai pada masing-masing larik yang dialntunkan oleh seorang tandha’ (sinden) atau tokang kèjhung (laki-laki yang menjadi penyanyi sekaligus penari). Ekspresi verbal tersebut dapat berupa pujian, istilah, berbagai nama pohon dan buah, ungkapan, dan falsafah yang sudah dikenal oleh masyarakat Madura secara umum.

Berbagai bentuk ekspresi verbal tersebut dapat diungkapkan dalam satu bait kèjhung yang dilantunkan oleh seorang tandha’ atau tokang kèjhung. Keberadaanya dapat dijumpai dalam sampiran atau isi kèjhung. Dalam

Page 266: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

260 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

menyampaikan maksud tuturan, kadang-kadang sampiran kèjhung tidak menjadi perhatian utama, tetapi hanya dijadikan pengantar saja. Hal inilah yang membuat tandha’ menggunakan sampiran yang sama dari isi kèjhung yang berbeda. Misalnya kèjhung berikut.

Aéng gellâs berna méra Nompa ka tana tadhâ’ sakalé Dhinéng belles nesérra Allah Sapa bâi ta’ pelé `kasé

Air gelas warna merah Tumpah ke tanah habis tak tersisa Kasih dan sayang cintanya Allah Siapapun tak pernah pilih kasih Kéjhung 1

Kèjhung di tersebut hampir sama dengan kèjhung berikut yang

memiliki sampiran sama, namun isinya berbeda. Aéng gellâs berna méra Nompa ka tana tadhâ’ sakalé Rassa males ngibhâ sossa Ka abhâ’ bân kasé laén`

Air gelas warna merah Tumpah ke tanah habis tak tersisa Perasaan malas akan membawa susah untuk diri sendiri dan orang lain Kéjhung 2

Kedua sampiran kèjhung di atas memiliki kesamaan, tetapi kandungan

isinya memiliki kandungan yang berbeda. Inilah bagian ekspresi verbal kèjhung yang di dalamnya mengandung pernyataan, saran, dan falsafah. Ketiga hal bentuk ekspresi tersebut selain memiliki bentuk dan makna yang berbeda juga memiliki modus yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dijumpai pada saat kèjhung disampaikan pada khalayak.

Ekspresi verbal yang berupa pernyataan dapat dilihat pada kèjhung ke-2. Pernyataan ini memiliki makna sifat malas akan merugikan diri sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, secara tidak langsung kèjhung ini memberikan saran pada siapa saja yang hadir dan mendengar nyanyian kèjhung tersebut untuk tidak memiliki sifat-sifat pemalas. Demikian juga dengan kèjhung ke-1 yang memiliki kandungan falsafah.

Falsafah yang terdapat dalam kèjhung ke-1 tersebut tentang kasih sayang tuhan yang tidak pilih kasih. Siapapun hambanya, baik ataukah tidak tuhan tetap akan memberikan kasih sayangnya. Perihal tersebut dalam bahasa Madura dikenal dengan isi sampiran kèjhung ke-1. Ungkapan tersebut kadang dijadikan semboyan motivasi pada saat orang Madura akan merantau ke daerah lain. Salah satu tujuannya adalah agar mereka tetap optimis dalam bekerja dan mencari nafkah lahir.

D. Ekspresi Simbol Verbal dalam Kèjhung

Ekspresi simbol merupakan varian dari satu substansi simbol yang berbentuk beberapa simbol. Simbol-simbol yang terdapat dalam sastra lisan Madura dapat berupa suara yang melengking, suara panjang, pilihan diksi yang terdapat dalam kèjhung, dan rima akhir. Varian-varian simbol yang menjadi bagian dari ekspresi simbol tersebut tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan, keyakinan, dan cara penyajian pembuat simbol. Meskipun ada yang berasumsi bahwa ekspresi simbol hanyalah gaya pencitraan yang tidak

Page 267: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

261 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

memiliki arti, tetapi bagi penulis ekspresi simbol memiliki kandungan makna yang berbeda.

Hjelmslev (Noth, 2006:66) membedakan ekspresi (expression) dan isi (content) sebagai sebuh bidang dari tanda. Bidang ekspresi dan bidang isi selanjutnya dipilah ke dalam substansi dan bentuk semiotik yang menghasilkan enam strata: bidang isi, bidang ekspresi, substansi isi, substansi ekspresi, isi purport dan ekspresi purport.

Bidang isi merupakan konsep tanda yang terbentuk di dalam mental, sedangkan bidang ekspresi merupakan konsep tanda yang sudah terwujud dalam realita. Selain bidang isi, juga substansi isi dan substansi ekspresi. Substansi isi merupakan inti dari setiap tanda yang mengandung konsep makna, demikian juga dengan substansi ekspresi yang merupakan penggabungan dari benda dan bentuk. Konsep purport yang diperkenalkan Hjemslev merupakan pokok isi yang posisinya lebih substansial dalam sebuah tanda.

Bagan 1: Model tanda diadik bertingkat Hjemslev

Setiap purport menjadi sub pokok dari substansi dan keberadaannya dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan “pengujar”. Setelah berwujud substansi akan terbentuk sebuah tanda (simbol) yang merupakan penggabungan dari bentuk dan ekspresi. Bentuk dan ekspresi selalu saling tarik-menarik untuk mewujudkan sebuah tanda, dan hasil dari ini adalah sebuah varian tanda dari substansi yang sama.

Simbol-simbol ketuhanan dalam kèjhung Madura dapat dilihat pada kèjhung babhulangan atau kèjhung-kèjhung yang memiliki khazanah pendidikan. Umumnya kèjhung tersebut membicarakan kekuasaan tuhan yang terdapat dalam alam semesta dan cara menemukan tuhan yang dapat dilakukan oleh Manusia. Simbol-simbol verbal yang terdapat dalam kèjhung dapat dicermati pada teks berikut.

Ngella londhong jhâ’ lighâli Sé ngobhânghi lé samporna

Merebus londong jangan terlalu keras

Page 268: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

262 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Allah sèttong è kambuli Nangèng ta’ nguorangi kasoghianna

Yang membeli agar sempurna Allah satu untuk semua ciptaan-Nya Namun tidak mengurangi kekayaan-Nya Kèjhung 3

Kèjhung ke-3 di atas mengandung varian simbol verba yang terdapat

pada sampiran dan isi kèjhung. Apabila simbol-simbol tersebut dianalisis dengan mengguna-kan model Hjemslev, maka dapat diketahui bahwa di dalamnya terdapat tiga ranah yang saling berpasangan. Pasangan-pasangan tersebut, mulai dari bentukan semiotik (purport), isi, dan substansi. Ketiga bentuk tersebut mengekspresikan cara pandang masyarakat Madura terhadap masa lampau, sekarang, dan yang akan datang.

Masyarakat Madura memiliki sebuah keyakinan monoteisme yakni Allah Settong. Hal tersebut mengambarkan ketergantungan dan pengharapan segala hal yang berkaitan dengan kemanusiaan (insaniyah) kepada sebuah dzat yang menguasai alam semesta. Bentukan tanda semiotik ketuhanan dalam hal tersebut sudah terbentuk dalam pengalamannya yang bersandar pada keyakinan dan pengetahuan sebelumnya. Meski gambaran ketuhanan tersebut bersifat keyakinan, tetapi bentukan tanda semiotik yang dibuat bersifat mutlak.

Bentuk penghambaan pada dzat yang Maha Agung dalam hal ini dapat dilihat dari sebuah ungkapan simbolis kejhung ‘meske e kambuli’i nangèng ta’ nguorangi kasoghianna’ (Kejhung 3). Ungkapan ini sebagai perwujudan bahwa tidak ada hal yang perlu disikapi secara pesimis apabila sebuah keyakinan tentang sifat-sifat tuhan tersebut sudah dapat dimanifestasikan dalam kehidupan sehari. Selain itu, cara pandang orang Madura terhadap keberadaan tuhan dapat dilihat dalam kejhung berikut.

Ngala’ nangka aghundhungan É badhai soro ghibâ Allah nika ta’ akennengan Dimma bhâi ghânika bâdâ

Mengambil nangka satu brondong di bungkus dan suruh bawa Allah tidak memiliki tempat Meliputi segala sesuatu Kèjhung 4

Ekspresi simbol verbal mengenai keberadaan tuhan dapat dilihat dari

ungkapan simbolis kèjhung Allah nika ta’ akennengan (Tuhan tidak bertempat). Hal ini menyimbolkan bahwa setiap individu selalu diawasi oleh penciptanya. Bagi mereka setiap gerak-gerik yang dilakukan akan senantiasa dipantau oleh sang pencipta. Oleh karena itu, orang Madura tidak menjadikan sebuah tempat sebagai sesuatu yang khusus di dalam melakukan hal kebajikan karena bagaimanapun situasi dan kondisi tempat tersebut masih bagian dari kekuasaan-Nya.

Bagi sebagian orang Madura, cara pandang bahwa tuhan tidak memiliki sebuah tempat, akan tetapi meliputi semua tempat hanya dapat ditemui pada orang ‘saleh’ yang selalu berpikir kekuasaan tuhan. Merekalah orang Madura yang tidak lagi berpikir tentang kenikmatan ‘duniawiyah’

Page 269: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

263 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

semata, tetapi sudah berpikir tentang kenikmatan ‘ukhrowiyah’. Pengalaman-pengalaman mereka di dalam menemukan sosok tuhannya kemudian diekspresikan dalam sebuah simbol-simbol verbal seperti kèjhung 3 dan 4 di depan.

SIMPULAN

Pada dasarnya simbol merupakan sesuatu yang berdiri/ada untuk sesuatu yang lain. Sebuah simbol dapat berdiri sebagai sebuah ekspresi dari pola keyakinan, pola pikir, pola tindakan, instansi, dan maksud tertentu. Simbol verbal oreng odhi’ ta’ kera dadhi cangghana langgi’ (orang hidup tidak akan menjadi tiang langit) sebagai sebuah ekspresi bahwa semua manusia akan mati. Hal tersebut hanya dapat ditemukan apabila dalam menyikapi sebuah simbol selalu dipikirkan sebuah tanda apa yang melingkupinya, isi, substansi, sekaligus konteksnya. Dengan demikian simbol tidak dapat diinterpretasikan dalam waktu yang singkat dan hanya memiliki satu makna saja.

Ekspresi simbol dari suatu keyakinan, pikiran, tindakan, dan maksud dapat berwujud (a) kata-kata yang diucapkan, (b) sebuah objek tertentu, (c) gerakan tubuh, (d) sebuah tempat, dan (e) peristiwa. Satu substansi simbol yang diekspresikan dengan simbol-simbol yang berbeda memiliki makna yang berbeda. Oleh karena itu, intensitas pengetahuan pemakna simbol sangat diperlukan untuk melihat makna simbol dari berbagai ekspresi simbol. DAFTAR RUJUKAN Anderson, Benidict. 2000. Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di

Indonesia. Terjemahan Sanosa, Budi. Yogyakarta: Matabangsa. Baal, J. Van. 1986. Sejaran dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Badrih, Moh. 2016. Representasi Realitas Kehidupan Sosial dalam Sastra

Lisan Kejhung. Disertasi (tidak diterbitkan). Malang: Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Busri, Hasan. 2010. Simbol Budaya Madura dalam Cerita Rakya Madura. Disertasi tidak diterbitkan Malang: Universitas Negeri Malang.

Cassirer, Ernst A. 1990. Symbol, Meth, and Culture. New Heven: Yale Univ. Press.

Dillistone, F.W. 1986. The Power of Simbols. Terjemahan A. Widyamartaya, London: SCM Press Ltd.

Eco, Umberto. 1979. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press.

Mardiantono, Saleh. 2013. Tradisi Pernikahan Adat Jawa. (online), (http://komunitassastraugm.com/index.php/tradisi-pernikahan/42-susunan-acara-upacara-pernikahan-adat-jawa), diakses 28 April 2013.

Noth, Winfried. 2006. Semiotik. Surabaya: Airlangga University Press. Peursen. 1993. Susunan Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pengantar Filasafat

Ilmu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Page 270: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

264 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Pierce, Charles Sanders. 1992. Logic Semeotics: The Theori of Sigs. Dalam Robert E. Innis (ed.) Semiotic, An Introductory anthology. Bloomington: Indiana University Press.

Ricoeur, Paul. 1985. Hermeneutics and the Human Science. Dalam John B. Thompson (ed.) Cambridge: Cambridge University Press.

Spradley, James, P. 1997. Meode Etnografi. Terjemahan Misbah, dan Elizabeth, Zulfa. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sudaryono. 2002. “Pasemon” dalam Wacana Puisi Indonesia. Disertasi tidak diterbitkan Malang: Universitas Negeri Malang.

Page 271: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

265 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

SAPAAN BAHASA MELAYU MANADO DI KALANGAN ANAK MUDA

Nontje J. Pangemanan

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Manado

ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bentuk-bentuk dan fungsi kata sapaan bahasa Melayu Manado yang digunakan kalangan muda untuk usia lebih tua dan usia sebaya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, dengan teknik observasi dan wawancara. Penelitian ini menggunakan rancangan sosiolingusitik. Hasil penelitian yang diperoleh memperlihatkan bentuk kata sapaan bahasa Melayu Manado yang digunakan kalangan muda untuk usia lebih tua yakni: ajus, father, om, mam/mams, mather, mace, nona/cewek, nyong, pace, sebe, dan tanta. Bentuk-bentuk kata sapaan yang digunakan untuk usia sebaya, yang menunjukkan hubungan keakraban: anjing, babi, bos, bots/botak, bro, cak, fren, gocap, kambing, karapi, sob, tolek, uti, dan ungkek.

Kata kunci: sapaan, bahasa Melayu Manado, anak muda

Di daerah Sulawesi Utara terdapat beragam bahasa daerah yang digunakan sebagai bahasa pengantar dalam berinteraksi. Bahasa ini menjadi ciri penanda identitas para penuturnya, yang sering disebut dialeg regional. Salah satu dialek regional yang terdapat di Sulawesi Utara adalah Melayu Manado.Penggunaan istilahMelayu Manado didasarkanpada perspektifleksikonnyadimana bahasa Melayu Manado memperlihatkan banyak persamaan dengan bahasa Melayu. Terdapat kesamaan anasir leksikon antara kedua bahasa tersebut, sehingga memperkuat penamaan ini. Pemakaian nama bahasa Melayu Manado mengikuti istilah yang sering juga digunakan oleh penuturbahasa Melayu Manado.

Lalamentik dan Salea (1985) mengemukakan bahwa bahasa Melayu Manadomerupakan lingua francaantarberbagai etnis yang mendiami daerah Sulawesi Utara bahkan juga sebagian Sulawesi Tengah. Dominasi penggunaan bahasa ini mengalahkan bahkan mengancam keberadaan bahasa-bahasa daerah lainnya yang ada di Sulawesi Utara, seperti Minahasa, Sangihe dan Talaud, serta Bolaang Mongondow. Ragam bahasa Melayu Manado yang dikenal sebagai bahasa Melayu Pasar (Manoppo, 1983) berstatus regional sebagai bahasa provinsi karena penggunaannya menonjol di Sulawesi Utara (Lalamentik dan Salea 1985). Namun, di kota Manadolah ragam bahasa ini begitu dominan digunakan. Oleh sebab itu, kajian ini hanya dilakukan terhadap penutur bahasa Melayu Manado yang saat ini tinggal di kota Manado. Penggunaan bahasa Melayu Manado oleh penuturnya menunjukkan keunikan, misalnya penggunaan sapaanuntuk menyapa, yang sering digunakan di kalangan anak muda (remaja dan pemuda). Kaum muda di kota Manado menggunakan ragam tertentu untuk menyapa. Muncul penggunaan bentuk-bentuk tertentu yang begitu khas untuk menyapa lawan tutur. Mereka

Page 272: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

266 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

melakukan pilihan bahasa untuk menyapa bergantung pada situasi, siapa yang menjadi lawan bicara, dan topik yang dibicarakan.Sikap ini didasarkan pada pandangan Hymes (1979:51) bahwa masyarakat tutur menggunakan pilihan bahasa tertentu karena mereka memiliki pengetahuan mengenai aturan-aturan atau kaidah-kaidah untuk mengintepretasi suatu bahasa.Realisasinya bisa dilihat pada penggunaan saapan. Kridalaksana (dalam Amir, 2011:71) mengemukakan bahwa sistem sapaan adalah sistem yang mengikat unsur-unsur bahasa yang menandai perbedaan status dan peran partisipan dalam komunikasi dengan bahasa. Kridalaksana mengemukakan bahwa terdapat sembilan jenis kata sapaan dalam bahasa Indonesia untuk menyapa seseorang, yakni: (1) kata ganti orang (kamu, engkau), (2) nama diri (Tuti, Rijal), (3) istilah kekerabatan (bapak, ibu, kakak), (4) gelar dan pangkat (dokter, profesor, letnan, ustads, (5) bentuk pelaku nomina (penonton, pendengar, pemirsa), (6) bentuk nomina –ku (Tuhanku, anakku, sayangku), (7) kata deiksis (sini, situ, di situ), (8) bentuk nomina lain (awak, bung, tuan), dan (9) bentuk zero (penghilangan kata sapaan). Dalam peristiwa komunikasiantarpenutur bahasa Melayu Manado sering terjadi alih kode dan campur kode dari bahasa tertentu, karena lawan tutur dan situasi yang dihadapi. Fenomena ini begitu tampak dalam penggunaan kata sapaan yang sangat bervariasi. Kata sapaan dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Melayu Manado, dan berbagai etnis yang ada di Sulawesi Utara sering dikombinasikan dan digunakan untuk menyapa orang tertentu. Hal ini sejalan dengan pendapat Alwi, dkk. (2000:258) muncul kata-kata penyapa pada dasarnya dipengaruhi oleh (l) letak geografi, (2) bahasa daerah, (3) lingkungan sosial, dan (4) budaya bangsa. Penggunaan bentuk-bentuk sapaan di kalangan anak muda penutur bahasa Melayu Manado begitu unik dan menarik. Rombepayung (2012:3)menyatakan jikaditinjau dari aspek sosiolinguistik bentuk-bentuk sapaan bahasa Melayu Manado menunjukkan kekhasan, yang mengadopsi sapaan dari beragam bahasa dan dialek dan menciptakan sapaan tersendiri secara unik.Apa yang bagi penutur lain terdengar kasar dan tidak sopan, tetapi bagi penutur bahasa Melayu Manado, terutama di kalangan anak muda sapaan tersebut berterima dan tidak menimbulkan masalah. Bahkan sapaan yang digunakanmenunjukkan terjalinnya keakraban di antara mereka.Kata-kata sapaan seperti: anjing, babi, dan kambing, yang merupakan kata makian begitu lazim digunakan untuk menyapa. Perhatikan contoh percakapanyang dicontohkan berikut: Alo : Hei anjing da pi mana ngana so nyandak dapa-dapa lia? “Hei anjing, kamu ke mana, sudah tidak lagi kelihatan?” Boy : Da pi kampung babi, da lia pa kita pe oma saki! “Pergi ke kampung babi, mengunjungi nenek yang sakit! Dialog antara Alo dan Boy di atas, sangat kasar. Alo menyapa si Boy dengan anjing, tetapi si Boy balas menyapa Alo dengan babi.Akan tetapi, dari peristiwa tutur ini antara Alo dan Boy tidak merasa tersinggung atau terjadi kesalahpahaman di antara mereka, bahkan mereka melanjutkan percakapan dengan santainya. Bagi penutur lain, cara mereka menyapa mungkin sesuatu

Page 273: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

267 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

yang sulit diterima, karena kasar dan tidak menunjukkan rasa hormat. Akantetapi, begitulah realitas anak muda penutur bahasa Melayu Manado mengembangkan gaya tersendiri dalam menyapa. Fenomena penggunaan sapaan penutur bahasa Melayu Manado khususnya di kalangan anak muda begitu menarik.Sapaan di sini menurut Kridalaksana (2008:214, adalah morfem, kata, atau frase yang dipergunakan untuk saling merujuk dalam situasi pembicaraan dan yang berbeda-beda menurut hubungan antarpembicara.Munculnyapenggunaan kata sapaan dalam suatu peristiwa tutur bahasa Melayu Manadodi kalangan anak muda yang menggunakan kata-kata tertentu bisa dipengaruhi oleh sistuasi atau lawan bicara yang dihadapi.Bila dalam situasi yang santai (alami) dan lawan bicara yang dihadapi adalah usianya sebaya, maka sapaan menggunakan nama hewan antuk lawan tutur adalah hal yang berterima. Bila orang yang dihadapi atau lawan tutur usianya lebih tua, maka sapaan menggunakan nama hewan atau ciri-ciri fisik tidak akan digunakan. Mereka cenderung memilih sapaan-sapaan yang lebih halus atau sopan. Fenomena penggunaan kata sapaan kalangan anak muda di kota Manado dalam sebuah peristiwa tutur sehari-hari di tempat pangkalan ojek, lapangan bermain bola, ataupun tempat-tempat berkumpul anak muda menarik minat penulis untuk mengkajinya. Di tempat seperti inilah mereka bebas mengkepresikan diri menyapa orang yang lebih tua dan dan teman sebaya. Ruang lingkup pembahasan penelitian ini dibatasi pada interaksi verbal khususnya penggunaan sapaan dalam percakapan sehari-hari, yang meliputi: bentuk-bentuk kata sapaan dan fungsi kata sapaan bahasa Melayu manado di kalangan anak muda dari sudut pandang sosiolinguistik.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan sosiolinguistik. Penelitian ini akan menghasilkan data verbal mengenai bentuk sapaan anak muda penutur bahasa Melayu Manado. Penelitian ini akan dilakukan di kota Manado. Data penelitian diperoleh dari sejumlah informan.Untuk mengumpulkan data digunakan teknik observasi dan wawancara. Observasi digunakan untuk melakukan pengamatan secara langsung terhadap aktivitas anak muda di tempat-tempat biasa mereka berkumpul melalui penyimakan, pencatatan, dan perekaman. Wawancaradigunakan untuk mewawancarai secara langsung informan yang sudah ditentukan untuk mendapatkan data mengenai penggunaan bentuk-bentuk dan fungsi sapaan bahasa Melayu Manado di kalangan anak muda. Analisis data penelitian dilakukan menggunakan model analisis model alir yaitu analisis selama pengumpulan data dan setelah pengumpulan data berakhir. Langkah-langkah analisis yang dilakukan adalah (a) mendeskrispikan data berupa kata-kata penyapa bahasa Melayu Manado yang digunakan kalangan muda, (b) mengklasifikasikan bentuk-bentuk kata sapaan berdasarkan jenisnya, dan (c)melakukan analisis terhadap fungsi penggunaan bentuk-bentuk kata sapaan bahasa Melayu Manado di kalangan anak muda.

Page 274: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

268 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dari hasil penelitian diperoleh bentuk-bentukdan fungsi sapaan bahasa Melayu Manado yang sering digunakan anak muda dalam berinteraksi, baik terhadap orang yang lebih tua (orang tua) maupun yang seusia (sebaya). 1. Bentuk Sapaan terhadap Orang yang Lebih Tua

Dari data yang dikumpulkan memperlihatkanbahwa terdapat bentuk kata sapaan yang khas milik anak mudadalam bahasa Melayu Manado. Anak muda penutur bahasa Melayu Manado menggunakan sapaan tertentu untuk orang yang lebih tua sebagai penghormatan. Bentuk sapaan yang lazim digunakan anak muda penutur bahasa Melayu Manado untuk orang yang lebih tua sebagai berikut. 1) ajus

Kata ajus merupakan akronim dari ajudan setanyang bermakna mama/ibu. Kata sapaan ajus merupakan sapaan khas anak muda untuk wanita/perempuan yang sudah menikah atau terlihat tua, baik memiliki hubungan darah maupun tidak memiliki hubungan darah. Kata ini biasa digunakan untuk menunjukkan rasa hormat terhadap orang yang ebih tua termasuk lanjut usia.

(1) Ajus tunggu ju pa kita ndak lama. (Mama tunggu saja saya, tidak lama.)

(2) Ajus, secapat jo tu kukis ne. (Mama, itu kue dibuat lebih cepat.) 2) father

Kata ini diambil dari bahasa Inggris, yang bisa berarti ayah/papa sebutan, untuk pria yang sudah menikah/tua. Kata ini lazim digunakan anak mudah untuk menyapa meskipun tidak ada hubungan darah di tempat tertentu seperti pangkalan ojek.

(3) Father nanti jo kita antar, jangan tako. (Ayah biar saya yang mengantar, tidak usah khawatir.)

(4) Inga tu supik father, jangan golojo. (Ingat itu penyakit asam surat ayah, jangan rakus.)

3) om Bentuk ini diambil dari bahasa Indonesia, memiliki arti orang yang sudah terlihat tua/menikah. Kata ini menjadi sapaan umum, digunakan untuk semua pria yang sudah menikah atau terlihat tua. Kadang juga, kata ini digunakan untuk meledek.

(5) Ndak usah naik pa dia pe motor om. (Tidak usah naik motornya om.) (6) Ado, om pe mata karanjang dok e. (Aduh, om mata keranjang sekali.)

4) mam/mams Bentuk mam atau mamsdisingkat dari mami. Bentuk mam dan mams ini digunakan secara bergantian untuk menyebut perempuan yang sudah agak tua atau sudah menikah dan memiliki status sosial yang tinggi. Namun, sapaan ini digunakan anak muda bila wanita tersebut dikenalnya.

(7) Adoh mam pe gaga do’e tu baju. (Aduh mami, bagus sekali bajunya.) (8) Mams do‘e pe jaha. (Mami jahat sekali ya.)

5) mather

Page 275: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

269 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Bentuk ini diambil dari bahasa Inggris,mother yang berarti ibu. Kata mathermerupakan sapaan untuk wanita yang sudah menikah/tua secara umum.

(9) Bagitu jo mather, so murah itu. (Begitu saja ibu, itu sudah murah.) (10) E dodo‘ pa mather su pasung. (Aduh, ibu sudah kelihatan cantik.)

6) mace Mace merupakan apaan untuk perempuan yang sudah tua, maupun yang masih muda. Bentuk ini merupakan bentuk bahasa slang khas Melayu Manado. Biasanya digunakan untuk menyindir atau mengungkapkan kejengkelan.

(11) Adoh pa mace dang so klar tu ibadah baru datang. (Aduh mace baru tiba padahal ibadah sudah selesai.)

(12)He mace so pasung, so boleh jo basisir. (Hai mace sudah cantik, cukup sudah menyisir rambut.)

7) nona/cewek Bentuk ini diambil dari bahasa Indonesia, yang berarti gadis yang belum

menikah atau kawin. Nona dan cewek sering digunakan bergantian. (13) He nona dari mana do’e? (Hai gadis dari mana ya?) (14) Boleh jo cewek kita antar pulang? (Bolekah gadis saya antar

pulang?) 8) nyong

Bentuk ini digunakan untuk menyapa pria yang belum menikah, sapaan khas bahasa Melayu Manado, baik yang sudah dikenal maupun yang belum dikenal.

(15) Nyong mo pi pa sapa, naik ojek jo. (Cowok mau pergi ke rumah siapa, naik ojek saja.)

(16) Dasar ngana nyong langkoi. (Dasar kamu pria yang sudah berumur.) 9) pace

Sapaan pace ini digunakan bagiorang yang sudah tua atau sangat tua (kakek) dan sering digunakan untuk meledek dan menyindir. Bentuk ini merupakan bahasa slang padanan dari maceuntuk perempuan.

(17) So pace le masi suka bagaya. (Sudah pria tua masih suka bergaya.) (18) Itu pace bahugel denga anak SMA. (Pria tua itu berselingkuh dengan

anak SMA.) 10) sebe

Bentuk ini padanan dari ajus untuk perempuan. Kata sapaan sebe berarti lelaki yang sudah menikah atau terlihat tua, akronim dari setan besar. Bentuk ini sering digunakan menjadi sapaan umum untuk menunjukkan rasa hormat meskipun antara penutur dan lawan tutur tidak saling mengenal dan maknanya telah meluas menjadi om atau opa.

(19) Sudah jo macam-macam sebe so tua kasiang. (Tidak usah macam-macam sebe, usia sudah tua.)

(20) Kita pe sebe marah skali kalu kita ba mabo. (Sebe saya sangat marah kalau saya mabuk.)

11) tanta

Page 276: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

270 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Kata tantamerupakan variasi bentuk dari bahasa Indonesiatantesebagai sapaan umum, yang digunakan untuk menyapa perempuan yang sudah menikah atau kelihatan tua.

(21) Bagitu jo tanta, biaya ojek skrang so bagitu. (Begitu saja tante, biaya sewa ojek sudah seperti itu.)

(22) Kalu tanta mo pigi pasar, ndak usah naik mikro macet. (Kalau tante ke pasar tidak usah naik mikrolet, macet.)

2.Sapaan untuk Usia Sebaya Penutur bahasa Melayu Manado, khususnya kalangan anak muda begitu

muda menyerap kata-kata sapaan dari berbagai bahasa daerah lain, bahkan juga sapaan khas dialeg Jakarta. Kata-kata tersebut digunakan untuk menyapa sahabat dekat, bahkan orang yang belum dikenal sekalipun yang usianya sebaya. Sapaan ini digunakan untuk menunjukkan hubungan keakraban, rasa hormat, tetapi juga kejengkelan. Karena itu, bentuk sapaan antara anak muda penutur bahasa Melayu Manado, begitu beragam. Ada sapaan yang kedengaran sangat kasar, sering digunakan untuk memaki, yakni menggunakan nama hewan (anjing, babi, kambing), namun yang unik di sini di antara mereka tidak terjadi salah paham. Ada juga sapaan yang diadopsi dari dialeg jakarta, atau juga bahasa-bahasa daerah di wilayah Sulawesi Utara dan sekitarnya,dan juga sapaan berdasarkan ciri-ciri fisik, seperti diuraikan berikut.

1) anjing Anjing merupakan salah satu jenis hewan peliharaan masyarakat kota Manado yang bergama Kristen. Daging hewan ini menjadi salah satu santapan khas, yang banyak digemari dan dinamakan RW (rintek wuwuk/bulu halus). Namun, uniknya kata ini justeru sering digunakan oleh kalangan anak mudah untuk menyapa sahabat karibnya. Dalam situasi lain, kata ini sering digunakan untuk memaki atau mencemoh. Namun yang sangat unik, sapaan ini bisa diterima, bahkan lawan tutur bisa menyapa dengan kata yang sama terhadap penutur.

(23) Adoh, anjing kiapa ngana baru datang? Aduh, anjing mengapa kamu baru datang?

(24) Kita so bilang ndak usah pigi anjing. (Saya sudah katakan, tidak usah pergi anjing.)

2) babi Babi juga merupakan hewan peliharaan yang dagingnya dikonsumsi oleh sebagian masayarakat kota Manado yang beragama Kristen. Dalam setiap acara makan-makan, menu daging ini wajib disediakan. Uniknya, seperti kata anjing, kata babi bisa juga digunakan untuk menyapa di kalangan anak muda, meskipun terdengar sangat kasar, karena sering digunakan untuk makian. Akan tetapi, sapaan ini bisa diterima oleh para penutur yang memiliki hubungan keakraban, dan tidak menimbulkan masalah.

(25) Ngana sudah iko deng dorang babi. (Kamu tidak usah ikat mereka babi.)

(26) Ambe jo babi tu doi sewa ojek. (Ambil saja babi, itu uang ongkos ojek.)

Page 277: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

271 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

3) bos Sapaan ini sering digunakan oleh anak muda yang memiliki kesetaraan usia, terutama yang belum dikenal. Sapaan ini begitu khas bagi anak muda di kota Manado dalam pergaulan.

(27) Bos mo pi mana dok. (Bos mau pergi ke mana ya?) (28)Ya bos, ndak ada lima ribu se pulang. (Ya bos tidak ada uang

kembali lima ribu rupiah.)

4) bots / botak Botssebagai plesetan dari botaksering digunakan bergantian. Sapaan ini digunakan berdasarkan pada ciri-ciri fisik anak muda lelaki yang rambutnya digundul, sehingga kelihatan plontos.

(29) He botak/bots jang ngana lupa bawa itu HP. (Hei botak jangan lupa membawa HP).

(30) Bots/Botaksabantar tong pigi di latian koor. (Botak sebentar, kita pergi di latihan koor).

5) bro Bentuk ini merupakan bentuk slang yang disingkat dari brotherbahasa

Inggris yang berarti saudaralaki-laki. Bentuk ini merupakan serapan dari dialeg Jakarta, yang begitu sering menjadi sapaan di sinetron, bahkan acara komedi televisi. Sapaan ini begitu cepat menyebar digunakan juga oleh anak muda yang ada di kota Manado. Bentuk ini biasa digunakan untuk anak muda yang sudah saling mengenal dan belum saling mengenal. Sapaan ini digunakan untuk menunjukkan rasa persahabatan antara penutur dan mitratutur, yang sebaya.

(31)Sudah jo bro kita so ndak jadi mo pigi. (Tidak usah teman, saya tidak jadi pergi.)

(32)Pigi jo bro nanti ngana so ndak mo dapa tampa. (Pergi saja teman, nanti kamu tidak bisa mendapat tempat.)

6) cak

Cak sebenarnya merupakan kata sapaan yang digunakan di kalangan preman. Sapaan ini ditujukan kepadapria/laki-lai yang bertato dan suka berkelahi. Sapaan ini telah meluas, tidak hanya dikalangan preman tapi di kalangan anak muda secara umum.

(33) Cak kase kase pulang jo kita pe doi. (Cak kembalikan saja uangku.) (34) Hei, cak pi mana so gaga bagitu. (Hai, cak mau ke mana sudah

tampak gagah.)

7) ente Ente bisa bermakna anda, kamu, engkau, yang diadopsi dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Kata ini juga begitu populer digunakan anak muda di kota Manado untuk menyapa teman sebaya sebagai orang kedua, baik sahabat, kenalan atau pun orang tidak dikenal, yang baru pertama kali bertemu. (35) Ente pe motor do‘ so baru. (Motor kamu sudah baru.)

(36)Ente mo pi mana so? (Anda mau pergi ke mana ya?) 8) fren

Page 278: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

272 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Bentuk fren ini diadopsi dari bahasa Inggris friend yang bermakna kawan, sobat, teman, sahabat. Perubahan bentuk ini disesuaiakan dengan pelafalan bahasa Melayau Manado. Kata fren ini begitu dominan digunakan sebagai sapaan oleh kalangan anak muda di kota Manado baik yang saling mengenal dan tidak mengenal.

(37)Fren nanti kita mo pigi pa ngana pe rumah. (Kawan, nanti saya yang akan pergi ke rumahmu.

(38)Bagitu jo fren, so butul tu ngana da beking. (Begitu saja kawan, sudah benar yang kamu lakukan.

9)gocap Gocap merupakan bentuk akronim dari gondrong caparuni (rambut panjang jorok). Saapan ini digunakan berdasarkan ciri fisik seseorang , yakni pria muda yang berambut panjang tapi kelihatan norak atau jorok.

(39) Oh ngana gocap, rampas kita pe penumpnag. (Oh, kamu gocap, merampas penumpang saya.

(40) Hei gocap, mari jo ibadah so mo mulai. (Hei gocap mari saja, ibadah sudah dimulai.)

10) kambing Menyapa orang dengan kambing, secara etika tidak pantas, seperti anjing dan babi. Uniknya kata ini justeru sering digunakan oleh kalangan anak mudah untuk menyapa sahabat karibnya, seperti anjing dan babi. Uniknya juga sapaan ini, bisa diterima, bahkan lawan tutur bisa menyapa dengan kata yang sama terhadap penutur. Namun, sapaan ini hanya bisa digunakan oleh penutur dan lawan tutur yang saling mengenal dan bersahabat karib. Bila tidak, bisa menimbulkan kesalapamaan bahkan perkelahian. (41) Pigi jo kambing bili roko. (Pergi saja kambing membeli rokok.) (42) Napa itu kambing sue so muncul. (Itu kambing sialan sudah datang.) 11) karapi Karapi ini sebenarya berasal dari bahasa Tontemboan yang berarti teman, kawan, sahabat. Bentuk ini begitu dominan digunakan, karena jumlah penutur bahasa Tontemboan merupakan terbanyak di antara penutur-penutur bahasa di Minahasa dan banyak bermukim di kota Manado. Oleh sebab itu, sapaan karapi meluas penggunaannya di kalangan anak muda kota Manado. Sapaan ini digunakan untuk menyapa orang yang sudah dikenal dan belum dikenal.

(43)Karapi, so boleh jo brenti ba miras. (Sobat, berhenti saja minum miras)

(44)Tenang jo karapi, ngana pe doi kita kase pulang. (Tenang saja kawan, uangmu nanti saya kembalikan.)

12) sob Sob diadopsi dari kata sobat bahasa Indonesia, sebagai akibat pemendekan, mengambil tiga huruf awal, bukan suku. Sob bisa berarti teman,kawan, sobat. Bentuk ini juga merupakan bahasa slang yang diciptakan

Page 279: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

273 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

sendiri oleh anak muda untuk menyapa sahabat, kenalan, dan orang yang tidak dikenal.

(45) Boleh tanya sob, di mana kang tu palak pe rumah? (Boleh bertanya sobat, di mana ya rumah kepala lingkungan?)

(46) Sob datange pa kita pe acara HUT. (Sobat datang ya di acara HUT saya.)

13) tolek Kata ini berasal dari bahasa Tolour sebagai salah satu bahasa di Minahasa, sebagai sapaan untuk anak lelaki. Sapaan ini diadopsi juga oleh anak muda di kota Manado, meskipun maknanya berubah yakni untuk menyapa laki-laki/pria muda yang menunjukkan sifat kampungan atau juga udik. Oleh sebab itu, bentuk ini sering digunakan sebagai sapaan yang tujuannya untuk meledek sahabat. Sapaan ini agak sulit dicari padanannya dengan bahasa Indonesia. (47) Pigi jo tolek, tu penumpang so dari tadi ba tunggu. (Pergi saja tolek

itu penumpang sudah menunggu dari tadi.) (48) Aduh ngana tolek, ngana pe papak da cari. (Adu kamu tolek,

ayahmu sedang mencarimu.) 14) uti Bentuk ini berasal dari bahasa Gorontalo, yang digunakan sebagai sapaan untuk laki-laki/pria. Bentuk ini menjadi populer di kalangan anak muda kota Manado, karena di kota Manado, hampir semua pusat keramaian seperti pasar dan terminal pedagangnya berasal dari gorontalo. Oleh sebab itu, sapaan ini sering juga digunakan oleh anak muda kota Manado terhadap teman, yang wajah atau kulitnya menunjukkan kemiripan dengan pria dari Gorontalo, meskipun orang tersebut tidak berasal dari Gorontalo.

(49) Uti pi jo jemput jo kata ngana pe mamak. (Uti, pergilah menjemput ibumu.)

(50)Ngana uti, HP bekas bagi tu mo jual mahal. (Kamu uti, HP bekas mau dijual mahal.)

15) ungkek Sama halnya denga uti, bentuk ini juga diadopsi dari bahasa daerah Sangihe dan Talaud. Kata ini digunakan sebagai sapaan khas untuk laki/laki atau pria dalam bahasa Sangihe dan Talaud. Ungkesering digunakan karena warga dari Sangihe dan Talaud banyak juga yang bermukim di Manado, dengan ciri khas kulit hitam manis. Akan tetapi sapaan ini digunakan juga oleh anak muda kota Manado menyapa temannya, sekalipun orang tersebut bukan berasal dari Sangihe dan Talaud, hanya karena orang tersebut memiliki kulit yang agak hitam.

(51) Ungkek pi jemput jo kata pa om Toni. (Ungkek, pergi saja menjemput Bapak Toni.)

(52) Kita bilang pa ngana ungkekjangan ba miras. (Saya sudah katakan padamu ungkek, berhenti minum miras.)

Beragamnya sapaan yang digunakan kalangan anak muda di kota Manado merupakan fenomena berbahasa yang unik. Anak muda kota Manado

Page 280: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

274 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

mengembangkan bentuk-bentuk tersendiri untuk menyapa orang yang lebih tua atau teman sebaya. Bentuk-bentuk sapaan yang digunakan diadopsi dari bahasa Inggris, bahasa Indonesia, kemudian diubah sesuai pelafalan bahasa Melayu Manado, dari bahasa-bahasa daerah tertentu, nama hewan ataupun ciri-ciri fisik seseorang. Oleh sebab itu, sapaan bahasa Melayu Manado di kalangan anak muda tidak bisa kaitkan dengan etnis, tertentu di Sulawesi Utara, karena fleksibiltas bahasa Melayu Manado untuk menyerap kosa kata baru dari bahasa-bahasa lain. Temuan ini memperkuatpenelitian (Rombepajung, 2012) yang meneliti pknggunaan Kata sapaan bahasa Melayu Manado sebagai lingua franca di pasar Karombasan. Bentuk kata-kata sapaan dalam bahasa Melayu Manado yang digunakan kaum muda dalam interaksi dapat dilihat dari dua segi,yakni untuk orang yang lebih tua usianya dan sapaan yang digunakan untuk usia sebaya yang menunjukkan hubungan mkeakraban. Secara alami, terjadi kesepakatan antara kalangan anak mudah menggunakan sapaan dalam bahsa Melayu Manado. Apa yang bagi penutur bahasa daerah lain terdengar kasar dan tidak sopan, bagi anak muda penutur bahasa Melayu Manado biasa saja dan berterima. Inilah kreasi berbahasa anak muda kota Manado menciptakan styletersendiri dalam hal menyapa unik dan menarik. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukan oleh Hudson (1980:120) pembicaraan merefleksikan relasi antara pembicara dan pendengar. Relasi ini menyebakan terjalinnya saling pengertian di antara mereka. SIMPULAN Bentuk kata sapaan dalam bahasa Melayu Manado yang digunakan anak muda di kota Manado merupakan kombinasi antarberbagai bahasa, yakni bahasa Indonesia, Inggris, dialeg Jakarta, dan bahasa-bahasa daerah lainnya di Sulawesi Utara dan sekitarnya. Bentuk-bentuk kata sapaan bahasa Melayu Manado yang digunakan kalangan muda dapat dilihat dari dua segi, yakni: sapaan untuk orang yang usianya lebih tua dan sapaan untuk usia sebaya yang menunjukkan keakraban. Bentuk-bentuk sapaan untuk usia lebih tua yang digunakan: ajus, father, om, mam, mams, mather, mace, nona/cewek, nyong, pace, sebe, dan tanta. Bentuk-bentuk sapaan untuk usia sebaya, yang menunjukkan hubungan keakraban: anjing, babi, bos, bots/botak, bro, cak, fren, gocap, kambing, karapi, sob, tolek, uti, dan ungkek.

DAFTAR RUJUKAN Alwi, dkk.Tata Bahasa Indonesia Baku. Jakarta: Balai Pustaka. 2000. Amir, J. Sapaan dalam Bahasa Bugis Dialeg Sidrap.Linguistik Indonesia.Jurnal

Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia.Tahun ke-29, Nomor 1, Februari 2011. Halaman 69-83. Jakarta: MLI.

Chaer. A. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.2004. Hymes, D. H. 1979. On Communication Competence. Dalam J. B. Pride & Janet

Holmes (Eds.). Sosiolinguistic. New York: Penguin Books. Kridalaksana, H. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia. 2008.

Page 281: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

275 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Lalamentik, W dan Salea-W.Partikel Bahasa Melayu Manado: Proyek P2T UNSRAT. 1985.

Manoppo, W,G. Struktur Bahasa Melayu Manado.Hasil Penelitian Tim Kanwil P dan K Provinsi Sulawesi Utara. Fakultas Sastra Unsrat. 1983.

Rombepajung, P. A. 2012. Penggunaan Kata Sapaan Bahasa Melayu Manado sebagai Lingua Franca di Pasar Karombasan.Tesis, tidak diterbitkan.Program Pascasarjana Universitas Negeri Manado

Salea, W. Variasi Bahasa Melayu Manado: Duta Budaya no. 15 tahun 1981 Fakultas Sastra Unsrat. 1981.

Sudaryanto.Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Pengantar Penelititan Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Indonesia: Dutawacana. 1993.

Page 282: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

276 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

MAKNA TOLERANSI DALAM SASTRA LISAN TERNATE

Nurbaya* *Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Kie Raha Ternate

[email protected] ABSTRAK: Indonesia dikenal dengan masyarakat yang majemuk dan memiliki keberagaman suku, bahasa, agama dan budaya. Keberagaman itu dipersatukan dengan adanya nilai-nilai budaya yang terkandung dalam ungkapan bahasa berupa sastra lisan yang bermakna. Salah satunya adalah ungkapan sastra lisan Ternate yang memiliki nilai toleransi antra umat beragama dalam menjalin sikap persatuan, kesatuan dan kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat. Makalah ini akan membahas tentang sastra-sastra lisan Ternate yang mengandung makna toleransi. Kata kunci: Sastra lisan, Ternate, Toleransi,

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, masyarakat yang terdiri atas berbagai macam suku, ras, agama, budaya, dan adat istiadat. Kemajemukan masyarakat, menyebabkan Indonesia kaya akan nilai-nilai budaya, seni, bahasa dan sastra. Hampir setiap wilayah di Indonesia mulai dari sabang sampai merauke memiliki adat istiadat, seni, bahasa dan sastra yang berbeda-beda. Data menunjukkan bahwa keanekaragaman etnis di Indonesia cukup tinggi, terdapat sekitar 300 kelompok etnis dan 1340 suku yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Selain itu data badan pusat statistik tahun 2010 juga menunjukkan ada sekitar 1.211 bahasa daerah di Indonesia (BPS, 2010).

Kemajemukan bangsa Indonesia dan keanekaragaman suku, bahasa dan budaya menjadi ciri khas dan jati diri dalam membangun kebersamaan kehidupan bermasyarkat. Di sisi lain, kemajemukan masyarakat dan budaya ini seringkali dijadikan alat untuk memicu terjadinya konflik suku bangsa, agama, ras dan antar golongan (SARA). Keragaman dan kemajemukan bangsa Indonesia dipersatukan dengan berbagai semboyan yang dibuat dengan bahasa dan sastra yang memiliki makna mendalam. Semboyan-semboyan itu berakar dari warisan leluhur yang kemudian di tetapkan sebagai lambang Negara, yakni Bhineka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetap satu juga. Hampir diseluruh wilayah Indonesia memiliki warisan leluhur yang bermakna seperti Bhineka tunggal Ika. Misalnya pela gandong dari Ambon Maluku, Pela artinya suatu ikatan persatuan sedangkan gandong memilki arti saudara sehingga arti dari pela gandong adalah suatu ikatan persatuan dengan saling mengangkat saudara Ungkapan Mariomoi ngone futuru (bahasa Ternate Artinya bersatu kita teguh). Selain itu, ada ungkapan yang merupakan prinsip hidup suku Minahasa yakni Si mou timou tou. Ungkapan ini dapat dipandang sebagai suatu cara pandang Tou (manusia) tentang dirinya dan sesama manusia dalam dunianya yang selalu berubah dan menggambarkan sikap dan perilaku manusia minahasa timou (tumbuh dan berkembang) dan kata Tumou Tou (menjadi manusia).

Penjelasan di atas memberikan makna bahwa meskipun kita kaya akan keanekaragaman tetapi kita tetap satu, seperti lirik lagu satu nusa satu bangsa satu bahasa yakni Indonesia. Akan tetapi, jika kita tidak sungguh-sungguh untuk

Page 283: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

277 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

menggali kebudayaan masing-masing daerah maka nilai-nilai itu akan hilang. Pengaruh-pengaruh globalisasi dapat mengubah identitas budaya yang terjadi dalam masyarakat heterogen bahkan menjadi ancaman terhadap keberadaan tradisi lokal, warisan adat leluhur dan nilai-nilai lokalitas etnik yang awal mula tertanam kuat dalam kebudayaan masyarakat Indonesia.Menurut Bakhtiar Madjid, 2009: 1) Pengaruh globalisasi tidak hanya terkait dengan teknologi dan ekonomi tetapi juga mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Globalisasi, di satu sisi membawa kemudahan dalam berbagai aspek gerak kehidupan, namun di sisi lain memberikan pengaruh negatif yang signifikan pada aspek-aspek kebudayaan.

Kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat mempunyai fungsi yang sangat besar bagi kehidupan manusia karena mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat dan menentukan sikapnya. Untuk dapat memahami kebudayaan suatu bangsa diperlukan media yang berfungsi sebagai sarana. Media yang digunakan oleh manusia untuk mempelajari budaya adalah bahasa.

Menurut Koentjaraningrat (1985; 88-89) bahasa merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayaan yang bersifat universal. Sebagai salah satu unsur kebudayaan, bahasa memegang peranan penting dalam upaya memahami kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Dalam hal ini bahasa dapat menentukan nilai-nilai budaya yang menjadi tradisi atau kebiasaan dari suatu masyarakat yang diturunkan dari generasi ke generasi. Dengan demikian, bahasa dapat mengungkapkan pikiran yang mencerminkan pola pikir suatu masyarakat.

Bahasa Ternate merupakan bahasa induk dari berbagai bahasa daerah di Maluku Utara. Penyebaran bahasa Ternate meliputi wilayah yang sangat luas, bahkan pengaruhnya hingga sampai di pulau Mindanao, Kepulauan Sulu dan Sabah di Kalimantan Utara, sepanjang pantai Sulawesi Utara-Tengah-Tenggara, pulau Banggai, Kepulauan Sula, pulau Waigeo, pesisir barat dan utara pulau Halmahera serta pulau Morotai dan sekitarnya (Soelarto, 1978; 55).

Pada masa kejayaan dahulu, masyarakat adat Ternate ataupun yang berasal dari luar pulau selalu menggunakan bahasa daerah Ternate sebagai bahasa percakapan sehari-hari, bahkan bahasa Ternate pada jaman itu dinyatakan sebagai bahasa pengantar (lingua franca). Hal ini diperkuat dengan penjelasan Siokona, dkk (1994; 2-3) yang menyatakan bahwa bahasa Ternate berfungsi sebagai bahasa ‘negara’ dalam wilayah kesultanan Ternate dengan konfederasi Maluku Kie Raha ‘Maluku empat gunung’. Pencantuman bahasa Ternate sebagai bahasa Negara tertera pada Moti Verbond tahun 1322 dengan pernyataan bertuah:

Jou ngon ka dada ma dopo ‘Sultan’ ‘anda’ ‘seperti’ ‘nasi tumpeng’ ‘punya’ ‘puncak’ ‘Anda seperti telur di atas puncak nasi tumpeng’ Fangare ngom ka alam ma diki ‘Saya’ ‘kami’ ‘seperti’ ‘alam’ ‘punya’ ‘tongkat’ ‘Kami semua akan menjunjungnya’

Pernyataan kultural seperti di atas memungkinkan bahasa Ternate menjadi lingua franca di Maluku Utara pada masa kesultanan. Pernyataan di atas mengandung makna pengakuan masyarakat bahwa sultan kedudukannya

Page 284: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

278 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

lebih tinggi akan tetapi kedudukuannya ditopang oleh masyarakat jika masyarakatnya tidak bersatu atau bercerai berai maka kedudukan sultannya juga hancur. Selain itu, masyarakat diibartkan seperti dada (bahasa Ternate artinya nasi tumpeng) yang memiliki makna bahwa nasi tumpeng terdiri atas kumpulan butiran-butiran nasi yang bersatu membentuk puncak. Jika dilihat dari struktur kata yang digunakan lebih cenderung pada uangkapan sastra lisan yakni menjadikan istilah alam sebagai perumpamaan yang bermakna luas. Makna Toleransi

Sikap merupakan prilaku dalam diri seseorang dalam suatu masyarakat yang akan mencerminkan prilaku yang baik. Menurut Purwadarminta (2002) sikap adalah perbuatan yang didasari oleh keyakinan berdasarkan norma-norma yang ada dalam masyarakat dan biasanya norma agama. Dalam Kamus bahasa toleransi adalah bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan dan kelakuan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri (KBBI,1996).

Kata toleransi berasal dari bahasa Latin “tolerar”artinya menahan diri, bersikap sabar, membiarkan orang berpendapat lain dan berhati lapang dan tenggang rasa terhadap orang yang berlainan pandangan atau agama (abdullah,1993). Sementara dalam bahasa Arab toleransi disebut “tasamud” artinya kemurahan hati, saling mengijinkan, dan saling memudahkan (Humaidi,1980). Menurut Umar Hasyim (1997), toleransi diartikan pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau kepada semua warga untuk menjalankan keyakinan atau aturan hidupnya dalam menentukan nasibnya masing-masing, selama di dalam menjalankan dan menentukan sikapnya itu tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat asas terciptanya ketertiban dan perdamaian masyarakat.

Muhammad Yasir (2014) dalam artikelnya berjudul “makna toleransi dalam Al-Quran” menyimpulkan bahwa toleransi dalam Islam yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Tafsir adalah toleransi sebatas menghargai dan menghormat pemeluk agama lain, tidak sampai pada sinkretisme. Toleransi Islam dalam hal beragama adalah tidak adanya paksaan untuk memeluk agama Islam. Islam bersikap sangat terbuka dengan kemajemukan. Keanekaragaman yang telah menjadi kehendak Allah tersebut, tentu saja bukan untuk dipertentangkan dan membawa kepada perpecahan. Akan tetapi dengan mensikapi secara positif dan konstruktif, pluralisme justru akan membawa manfaat yang besar terhadap kemaslahatan kehidupan manusia.

Sementara Herlina (2010) dalam artikel berjudul “konsep toleransi dalam budaya Melayu” menyatakan toleransi adalah sikap saling menghormati, saling menghargai, dan saling menerima ditengah keragaman budaya, suku, agama dan kebebasan berekspresi. Dengan adanya sikap toleransi, warga suatu komunitas dapat hidup berdampingan secara damai, rukun, dan bekerja sama dalam mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi di lingkungannya. Melalui toleransi diharapkan terwujud ketenangan, ketertiban serta keaktifan menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing. Dengan sikap saling menghargai dan saling menghormati itu akan terbina peri kehidupan yang rukun, tertib, dan damai.

Page 285: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

279 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Dari beberapa pengertian dan penjelasan terkait dengan kata toleransi di atas dapat disimpulkan bahwa toleransi adalah sikap atau prilaku sabar dan menahan diri serta menghargai pendirian orang lain. Keberagaman suku, ras, agama, budaya dan bahasa di Indonesia menjadi satu dengan semboyan bhineka tunggal ika yang berarti berbeda-beda tetap satu dengan menjaga sikap toleransi agar tercipta kerukunan dalam hidup bermasyarakat dan beragama. Adapun semboyan seperti itu dalam masyarakat adat Ternate tercermin dalam bentuk sastra lisan daerah yang mampu menjaga keutuhan masyarakat adat hingga detik ini. Toleransi dalam Sastra Lisan Ternate Sastra merupakan gagasan kreatif seseorang atau sekelompok orang terhadap lingkungan sosial yang dituangkan ke dalam suatu karya yang mengandung nilai seni. Made Astika & Nyoman Yasa (2014) menyataka bahwa karya sastra adalah ungkapan pikiran dan perasaan seseorang pengarang dalam usahanya untuk menghayati kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya, baik yang dialaminya maupun yang terjadi pada orang lain pada kelompok masyarakatnya. Syahyunan (2014) dalam artikelnya menyatakan bahwa sastra adalah bagian kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pencipta serta refleksi terhadap gejala sosial yang terjadi di sekitarnya. Sastra merupakan uraian tentang fenomena yang terjadi dalam suatu masyarakat.

Dalam perkembangannya, sastra tidak hanya berbentuk tulisan sebagaimana banyak dipelajari dan ditemui pada literatur berupa tekstual, tetapi wacana yang bukan aksara dapat dikategorikan sebagai sastra lisan. Sastra lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan (dari mulut ke mulut). Sedangkan sastra tulis berupa karya sastra yang dicetak atau ditulis. Keduanya, baik lisan maupun tulisan, tetap mengandung nilai sastra (nilai estetik). Sebagai bagian dari kebudayaan, sastra lisan tidak lepas dari pengaruh nilai-nilai yang hidup dan berkembang pada masyarakat (Made Astika & Nyoman Yasa, 2014).

Sastra lisan berciri: (1) anonim; (2) materi cerita kolektif, tradisional, dan berfungsi khas bagi masyarakatnya; (3) mempunyai bentuk tertentu dan varian; (4) berkaitan dengan kepercayaan; dan (5) hidup pada masyarakat yang belum mengenal tulisan. Sementara Supratno (1990:18) menyatakan bahwa sastra lisan berciri: (1) anonim; (2) berversi atau bervariasi; (3) memunyai bentuk tertentu; (4) berguna bagi kehidupan bersama; (5) bersifat polos atau lugu; (6) milik kolektif; dan (7) tradisional (Hutomo, 1989).

Menurut Hutomo (1989, dalam W. Piris dkk; 2000) sastra Iisan atau kesusastraan lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebutkan dan diturunkan secara lisan (dari mulut ke mulut). Kebudayaan yang diturunkan dari generasi-ke generasi merupakan warisan budaya yang tetap dijaga dan dilestarikan.

Sastra lisan Ternate diklasifikasikan menjadi sastra yang bercorak cerita yaitu mite, legenda dan fabel sedangkan sastra yang bercorak bukan cerita yaitu dola bololo (sejenis gurindam), dalil moro (sejenis syair), dalil tifa (sejenis tali bun), cum-cum (teka-teki), mantra dan tamsil.

Page 286: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

280 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Masyarakat Ternate memiliki nilai-nilai toleransi yang terkandung dalam tradisi lisan yang mencerminkan pola pikir dan prilaku. Tradisi lisan Ternate menyiratkan nilai kebersamaan atau koeksistensi terhadap penghargaan atas keberagaman. Suatu bentuk kerjasama yang berlandaskan azas gotong royong adalah tradisi rorio, babari dan leleyan yang sampai sekarang masih dilakukan. Dalam tradisi ini masyarakat secara bersama-sama saling membantu baik secara fisik maupun material dalam acara pernikahan, sunatan, hajatan naik haji, kematian dan sebagainya. Masyarakatnnya selalu saling membantu meringankan pihak yang mempunyai hajatan tersebut. Sumbangan yang diberikan secara sukarela namun ada juga yang sifatnya menabung misalnya ketika seseorang membuat hajatan keluarga yang lain memberikan sesuatu berupa uang ataupun benda yang nantinya suatu ketika orang yang memberi mumpunyai hajatan maka secara tidak langsung orang yang disebut pihak kedua akan membalas apa yang pernah diberikannya.Sifat seperti ini masih terpelihara hingga sekarang.

Sastra lisan yang berbentuk dalil moro sejenis syair, yakni Ino fo makati nyinga Doka gosora se bualawa Om doro fo mamote fo magogoru, fo madodara artinya: mari kita bertimbang kasih bagai buah pala dan buah cengkih jatuh bangun kita bersama dilandasi kasih dan sayang. Gufran Ali Ibrahim dalam buku Mengelola Pluralisme, menafsir metafora gosora se bualawa (Pala dan cengkih) sebagai bentuk “kebersamaan”. Sedangkan makati nyinga “tenggang rasa” menjadi sumbu dari kebersamaan; yang tumbuh berdampingan tanpa saling mematikan (tumbuh bersama, matang dan gugur bersama). Itulah hakikat dari magogoru “asuh” dan madodara “asih” (syahyunan, dalam Ibrahim, 2004 :45).

Makna toleransi dalam untaian syair dalil moro tersebut menggunakan istilah tumbuhan-tumbuhan seperti buah pala dan buah cengkih yang merupakan tanaman khas masyarakat Maluku Utara khususnya masyarakat Ternate yang pada zaman dahulu menjadi rebutan bangsa lain terutama negara luar seperti Inggris, Belanda dan negara lainnya karena khasiatnya dan memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Sebagai tanaman khas buah pala dan buah cengkih oleh masyarakat Ternate dibuat dalam bentuk perumpamaan dalam syair sastra lisan Ternate sebagai bentuk saling mengasihi dilandasi kasih dan sayang. Sifat tenggang rasa dalam kehidupan orang Ternate disebut sifat tenggang dan merasa. Masyarakat Ternate memiliki sifat tenggang rasa yang ditandai dengan sifat rendah hati, sopan, berbudi luhur dan berpegang teguh pada adat dan agamanya. Sifat ini diyakini menjadi akar dari kebersamaan serta hidup berdampingan tanpa saling menjatuhnya satu dengan yang lain. Tumbuh bersama matang bersama dan jatuh bersama mengandung arti toleransi dalam kehidupan bermasyarakat hidup dengan saling mangasihi bersama kemudian mencapai apa yang diinginkan bersama dalam arti suka dan duka selalu dirasa bersama sehingga beban hidup akan terasa ringan jika selalu bersama. Disisi lain ada orang tertentu memiliki sifat sebaliknya dari sifat tenggang rasa seperti yang merasa dirinya lebih baik dari yang lain, tidak berperasaan, tidak tahu diri, tidak sopan dan bersifat angkuh dan orang seperti ini akan dijauhi oleh masyarakat dan akhirnya hidup menyendiri.

Dalam ungkapan lain seperti yang tersirat dalam semboyan masyarakat Maluku Utara berbahasa Ternate dengan bunyi “marimoi ngone futuru” yang berarti “bersatu kita kuat atau bersatu kita teguh”adalah ungkapan persatuan bagi

Page 287: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

281 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

masyarakat adat Ternate Maluku Utara. Makna dari semboyan tersebut bahwa bersatu merupakan sebuah kekuatan, apapun yang akan terjadi atau masalah apapun yang menimpa akan bisa diselesaikan jika secara bersama-sama. Semboyan ini hampir sama dengan pribahasa Indonesia yang berbunyi “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh” maknanya bahwa segala sesuatu akan berhasil apabila dikerjakan secara bersama-sama dan akan terpecah belah jika dikerjakan masing-masing. Masyarakat Ternate yang dikenal selalu memegang nilai-nilai persatuan dan kesatuan ini dibuktikan dengan keberagaman suku yang tersebar dari Ternate, Tidore, Kepulauan Sula, Moti, Batang Dua sampai ke Halmahera Utara, Halmahera Selatan, Halmahera Tengah dan Halmahera Timur memiliki bahasa dan budaya yang berbeda namun dari begitu banyak keberagaman masyarakatnya tetap bersatu dan hidup berdampingan. Walaupun tak bisa dipungkiran pernah terjadi konflik antar agama di tahun 1999 yang menelan banyak korban jiwa dan harta benda.

Konflik antar umat beragama sesungguhnya tidak pernah diinginkan oleh setiap orang. Namun semua itu telah berakhir dan kini masyarakatnya hidup damai dengan berlandaskan sifat toleransi antar umat beragama. Keyakinan dan prilaku kita sehari-hari sangat dipengaruhi oleh agama sebagai fondasi hidup. Agama apapun dan di manapun selalu mengajarkan umatnya untuk saling menghormati satu sama lain dan menjalin tali silaturahmi antar umat beragama. Toleransi antar umat beragama tercermin dalam falsafah masyarakat adat Ternate dengan ungkapan sastra lisan berbunyi jou se ngofa ngare. Menurut Mudaffar Syah, dalam artikel Rustam Hasyim (2017) dijelaskan bahwa ungkapan Jou se Ngofa Ngare mengandung dua makna yakni; unsur pemerintahan dan agama. Dalam pemerintahan kata jou berarti engkau, mengandung arti pemimpin negara/ pemerintahan, dan kata Ngofa Ngare yang mengandung arti rakyat. Ini berarti dalam sebuah negara harus ada pemerintah dan rakyat. Sementara dalam pengertian agama kata Jou mengandung makna Tuhan, sedangkan kata Ngofa Ngare berarti hamba.

Filsafah jou se ngofa ngare dipahami dalam beberapa konteks, misalnya dalam arti yang sederhana ungkapan filsafah jou se ngofa ngare adalah pemahaman sebagai aku dan engkau. Dalam konteks religius atau konteks agama jou dipahami sebagai Dzat tertinggi atau Tuhan sedangkan ngofa ngare adalah hambanya. Namum dalam konteks yang berhubungan dengan aspek sosial kemasyarakatan, jou di artikan sebagai pemimpin dan ngofa ngare sebagai rakyat. Filosofi ini menggambarkan hubungan toleransi antar sesama manusia, hubungan manusia dengan lingkungannya kemudian hubungan manusia dengan Tuhan sebagai penciptanya. Makna toleransi yang terkandung dalam filosofi jou se ngofangare mencakup beberapa aspek yang tercermin dari sikap masyarakatnya yang multikultural. Dalam aspek sosial sesama manusia selalu hidup berdampingan, bersifat terbuka, suka berbuat baik kepada orang, suka mengalah, menjaga perasaan orang lain, membantu orang lain tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, bahasa dan budaya. Dalam aspek keluargaada hubungan baik antara anak terhadap orang tua dan hubungan seorang adik dengan kakaknya tercipta dengan adanya rasa saling menghormati, saling mengasihi, saling menyayangi, saling menjaga, saling memberi dan saling

Page 288: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

282 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

mencintai. Dalam aspek lain rakyat memiliki rasa persatuan, kesatuan, dan menjunjung tinggi kebersamaan untuk mendukung pemimpin atau sultannya.

Masyarakat Ternate juga memiliki lambang kesultanan Ternate yang berbentuk burung berkepala dua, berbadan satu dan berhati satu yang disebut goheba dopolo romdidi (burung garuda berkepala dua) yang bermakna aku melihat engkau dan engkau melihat aku memiliki dua makna yakni makna ketuhanan dan makna toleransi. Makna ketuhanan tercipta dengan adanya hubungan seorang hamba dengan Tuhan sebagai penciptanya dan makna toleransinya yakni saling mengayomi, saling menghargai, saling menghormati antar umat beragama sehingga akan tercipta keharmonisan dan kerukunan antar umat beragama. Kesimpulan

Dari hasil kajian disimpulkan bahwa masyarakat Ternate masih menerapkan sikap toleransi antar umat beragama. Hal ini dapat dilihat dalam pandangan hidupnya yang tercermin dalam beberapa ungkapan sastra lisan dan falsafah adat Ternate yang sampai sekarang digunakan sebagai pedomana dalam menjalani hidup bermasyarakat dengan perbedaan suku, ras, agama, bahasa dan budaya. Dengan rasa peratuan dan kesatuan, memiliki sikap toleransi, saling mengerti, saling menghormati, saling menghargai, saling menjaga kerukunan antar umat beragama dan kerja sama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan tercipta kedamaian.

Makalah ini merupakan sebuah kajian pustaka yang hanya menyajikan beberapa ungkapan sastra lisan saja. Sesungguhnya masih banyak ungkapan-ungkapan sastra lisan Ternate lainnya yang mengandung nilai-nilai toleransi yang belum dikaji secara mendalam. Oleh karena itu pengkajian mendalam sangat diperlukan untuk melengkapi tulisan ini. Daftar Pustaka Abdullah bin Nuh, 1993. Kamus Baru. Jakarta: Pustaka Islam, Cet ke-1, hlm.

199. Astika Made & Yasa Nyoman, 2014. Sastra Lisan Teori dan Penerapan.

Yokyakarta: Graha Ilmu Badan Pusat Statistik, 2010.http://www.netralnews.com/news/rsn/read/71459/

diakses tanggal 2 Oktober 2017. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta: Balai Pustaka, Cet. ke-2, hlm. 1065. Hasyim Rustam, 2017. Dari Mitos Tujuh Putri hingga Legitimasi Agama:

Sumber Kekuasaan Sultan Ternate. SASDAYA Gadjah Mada Journal of Humanities, vol. 1, No 2, 144-163

Helina. 2010. Konsep Toleransi dalam Budaya Melayu. Jurnal Toleransi Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama. Vol. 2, 153-162

Humaidi Tatapangarsa. 1980. akhlak yang mulia. Surabaya: PT. Bina Ilmu, hlm. 168.

Koentjaraningrat, H. 1985. BeberapaPokokAntropologiSosial. Jakarta: Dian Rakyat.

Page 289: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

283 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Majid, Bakhtiar, 2009, Revitalisasi Tradisi Sastra Lisan Dola Bololo Dalam Masyarakat Kesultanan Ternate: Sebuah Kajian Budaya,Tesis, Program Studi Kajian Budaya, Universitas Udayana, Bali

Piris, P. W dkk. 2000. Sastra Lisan Ternate Analisis Struktur dan Nilai Budaya. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional

Pora Syahyunan. 2014. Tinjauan Filosofis Kearifan Lokal Sastra Lisan Ternate. Jurnal UNIERA Vol. 3, 112-121

Siokona, Ibrahim dan Abdulrahman. 1994. Struktur Bahasa Ternate. Laporan Penelitian Pemerintah Propinsi Maluku Utara, Lembaga Kebudayaan Kie Raha Propinsi Maluku Utara dan Universitas Khairun Ternate.

Soelarto, B. 1978. Sekelumit Monografi Daerah Ternate. Jakarta: Pusat Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Umar Hashim, 1997. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama. Surabaya: PT. Bina Ilmu, hlm. 22.

W.J.S. Purwadarminta. 2002. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Yasir, M. 2014. Makna Toleransi dalam Al-Qur’an. Jurnal Ushuluddin, 22(2), 170–180.

Page 290: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

284 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

EKOKRITIK SASTRA: SEBUAH PARADIGMA BARU PENGKAJIAN SASTRA LISAN

Rayi Oktafiani Utomo & Taufik Dermawan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Pascasarjana Universitas Negeri Malang

E-mail: [email protected], [email protected]

ABSTRAK: ekokritik adalah teori mutakhir,yang masih sangat baru di Indonesia. Teori ekokritik menitikberatkan kajian hubungan antara organisme dan lingkungan sekitarnya. Bidang kajian ekokritik ini memiliki tujuan utama konservasi, yakni penyelamatan dan perlindungan lingkungan hidup. Ekokritik ini kemudian dikaitkan dengan sastra. Tujuan pengaitan antara ekokritik dengan sastra yakni sastra diharapkan mampu memberikan kontribusi pada konservasi lingkungan. Hal ini berlaku juga pada sastra lisan. Sastra lisan merupakan karya sastra yang berbasis oral atau tuturan langsung. Sastra lisan ini merupakan bagian dari tradisi lisan, yang juga merupakan bagian dari budaya lisan. Budaya lisan ini berupa pesan-pesan, cerita-cerita, atau kesaksian-kesaksian ataupun yang diwariskan secara lisan dari satu generasi ke generasi lainnya. Kata Kunci: ekokritik, sastra lisan

Di Indonesia, teori ekokritik sedang hangat-hangatnya dibicarakan.

Banyak artikel dan skripsi yang mencoba memanfaatkan teori ekokritik ini. Ekokritik sastra merupakan salah satu jenis teori kritik baru yang digunakan untuk mengkaji suatu karya sastra. Teori ini mengkaji tentang bagaimana hubungan sastra, manusia, dan lingkungannya. Asumsi dasar yang muncul dari ekokritik yaitu manusia selalu hidup dalam lingkungannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ekokrtitik sastra adalah ilmu yang membedah sastra dengan berwawasan lingkungan.

Perkembangan kajian ekologi ini tidak terlepas dari kondisi terkini di masyarakat. Kondisi alam yang kian memprihatinkan menggugah pemikiran sastrawan untuk berkontribusi terhadap kesadaran terhadap lingkungan. Hal ini karena selama ini manusia cenderung tidak peduli, tidak bertanggung jawab, serta mementingkan diri sendiri, tanpa memperhatikan aspek lingkungan yang semakin rusak (Keraf, 2010:2). Kerusakan alam yang semakin parah ini mendorong manusia untuk lebih peduli dan menyadari perlunya menjaga alam (Junaidi, 2016:51). Prinsip ekologi sastra yakni karya sastra diharapkan ikut berkontribusi terhadap kesadaran lingkungan, yang pada akhirnya adalah upaya untuk konservasi lingkungan.

Dalam kaitannya dengan dengan kesastraan, suatu perubahan lingkungan alam juga akan dapat sekaligus membuat manusia (sastrawan) menyesuaikan berbagai gagasan mereka. Sastra dapat hidup di lingkungan apa pun. Sastra dapat dikaji dari perspektif apa saja. Kebebasan menafsirkan sastra akan melahirkan kesuburan makna. Oleh karena itu dalam hal ini sastra akan menyumbang pemikiran ekologis.

Page 291: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

285 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

EKOKRITIK SASTRA Istilah ecocritism berasal dari bahasa Inggris yang merupakan bentukan

kata ecology dan critism. Ekologi merupakan bentukan kata oikos dan logos. Dalam bahasa Yunani, oikos berarti rumah-tempat tinggal: tempat tinggal semua perempuan dan laki-laki, hewan, tumbuhan, air, tanah, udara, dan matahari. Sedangkan ‘kritik’ berasal dari kata ‘krinein’ dalam bahasa Yunani, yang diartikan sebagai bentuk ‘menghakimi’ dan ‘ekspresi penilaian’ tentang kualitas-kualitas baik atau buruk. McNaughton dan Wolf (1998:1) menyatakan bahwa ekologi adalah ilmu pengetahuan antara organisme dan lingkungannya. Dapat disimpulkan bahwa secara sederhana ekokritik dapat diartikan sebagai kritik sastra yang berwawasan dan mempertimbangkan unsur lingkungan.

Konsep ekokritik banyak digunakan untuk meneliti hubungan antara sastra dan lingkungan hidup. Lingkungan tidak hanya hadir sebagai perangkat tetapi kehadirannya juga menunjukkan keterlibatan manusia dalam sejarah alam. Dalam hal ini secara tidak langsung ekokritik menyalurkan tanggapan manusia terhadap lingkungannya. Istilah ekokritik atau ekoritisisme dapat ditemukan atau ditelusuri dari berbagai buku. Menurut Greg Garrard (2004), ekokritisisme mengeklporasi cara-cara mengenai bagaimana kita membayangkan dan menggambarkan hubungan antara manusia dan lingkungan dalam segala bidang hasil budaya. Ketidakseimbangan dominasi budaya yang terlalu eksploitatif terhadap alam sehingga terjadinya kerusakan alam tampaknya menjadi alasan utama kemunculan ekokritik ini.

Ekokritiksisme berbeda bentuk dengan pendekatan kritik-kritik yang sebelumnya. Dalam mengkaji atau menghadapi konsep-konsep ekologi lokal, kritik sastra membutuhkan tafsir sastra yang khas yang tentunya berhubungan dengan pengetahuan lokal. Ekokritik satsra dapat dijalankan melalui dua versi, yaitu (1) versi sastra ekologis, yaitu menggali muatan lingkungan ke dalam sastra, dilacak estetika ekologisnya, kemudian dicari makna yang melekat, (2) versi ekologi sastra, yaitu kritik yang menitik beratkan pada bidang yang mengitari lingkungan sastra (Endraswara, 2016:43). Lingkungan sastra dikembangkan atas dasar kehidupan sekelilingnya, termasuk lingkungan politik dan budaya.

Sudikan (2016:7) menyebutkan bahwa ekokritik sastra memiliki urgensi untuk ditelaah lebih lanjut. Pertama, ekokritik menunjukkan representasi alam dalam karya sastra. Kedua, ekokritik mengungkap peranan alam dalam karya sastra. Ketiga, nilai-nilai yang diungkapkan dalam karya sastra konsisten dengan prinsip kearifan ekologis. Keempat, penggambaran-penggambaran bumi dalam karya sastra memengaruhi manusia memandangnya. Kelima, manusia dapat mengkarakterisasi tulisan tentang alam ke dalam genre sastra. Keenam, ekokritik berposisi sebagai kritik baru dalam kaitan dengan ras, gender, dan kelas. Ketujuh, cara dan efek kritik lingkungan memasuki sastra kontemporer dan sastra populer. Dan kedelapan, pertimbangan-pertimbangan hubungan antara alam dan sastra.

Ekokritik sastra menitikberatkan pada karya sastra yang berwawasan lingkungan. Karya sastra yang berwawasan lingkungan ini menurut Buell (2005:7-8) memiliki beberapa karakteristik. Pertama, lingkungan nonmanusia hadir bukan hanya sebagai perangkat yang tersusun, tetapi hadir sebagai hal

Page 292: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

286 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

yang menunjukkan bahwa manusia terlibat dalam sejarah alam. Kedua, kepentingan manusia tidak dipandang sebagai satu-satunya kepentingan yang sah. Artinya, manusia juga harus memperhatikan kepentingan-kepentingan lain di luar kepentingannya sendiri. Ketiga, tanggung jawab manusia terhadap lingkungan merupakan bagian utama ekokritik. Keempat, nilai rasa terhadap lingkungan sebagai proses dan bukan halkonstan yang tersirat dalam ekokritik.

Ekokritik memandang bahwa setiap objek dapat dilihat dari jaringan ekologis. Ekologi dapat dijadikan sebagaii ilmu bantu dalam kajian kritik sastra. Kemunculan ekokritik ini merupakan sebuah konsekuensi logis dari ketidakseimbangan budaya yang terlalu eksploitatif pada alam (Sudikan, 2016:7-8). Berangkat dari permasalahan ini, sastra yang ingin berkontribusi pada lingkungan memunculkan paradigma baru dalam pengkajian kritik sastra, yakni ekologi sastra atau ekokritik.

Teori ekokritik bersifat multidisiplin. Di satu sisi ekokritik menggunakan teori sastra dan di sisi lain menggunakan teori ekologi. Teori sastra merupakan teori yang multidisiplin begitu pula teori ekologi. Multidisipliner ekokritik sastra (ekologi dan sastra) menyaratkan kehadiran, kebersamaan, dan kesatu-paduan berbagai teori yang relevan dan konsen terhadap masalah kajian sastra dan lingkungan, diantaranya adalah teori kritis, kritik sastra, teori kebudayaan, dan teori etika lingkungan (ekologi). Teori ekologi dapat digunakan sebagai alat kritik, maka pertemuannya dengan teori sastra melahirkan ekokritik.

Ekokritik bertujuan untuk menunjukkan bagaimana karya sastra mempunyai kepedulian terhadap lingkungan dan berperan memecahkan masalah ekologi. Ekokritisisme mempertanyakan beberapa pertanyaan yaitu (1) Bagaimana alam direpresantasikan dalam sebuah puisi? (2) Apa peranan lingkungan hidup dalam plot sebuah novel atau cerpen? (3) Apakah nilai-nilai yang diekspresikan dalam suatu drama sesuai dengan kearifan ekologi? (4) Dengan cara apa sastra berpengaruh pada hubungan antara manusia dan alam? (Endraswara, 2016:34). Selain itu, Garrard (2004:4) juga menyatakan bahwa ekokritik dapat membantu menentukan, mengekplorasi, dan bahkan menyelesaikan masalah ekologi dalam pengertian yang lebih luas.

Objek kajian ekokritik berkembang menjadi luas dalam kaitannya dengan lingkungan kebudayaan. Dalam kaitannya dengan lingkungan kebudayaan ekokritik berkembang menjadi ecofeminism, ecopolitic, ecososial, ecoculture, dan ecological imperalism. Perkembangan kajian ini berkaitan dengan interdisipliner dalam kajian ekokritik sastra. Kajian interdisipliner ini pada akhirnya menghasilkan kajian-kajian baru dalam upaya pengkajian karya sastra.

Perkembangan kajian ekokritik pertama adalah ekofeminisme. Ekofiminisme tidak hanya mengaitkan perempuan dengan alam tapi juga mengaitkan perempuan dengan aspek spiritualis. Perempuan dan bumi dianggap sebagai suatu objek yang harus dieksploitasi. Para ekofiminisme sepakat bahwa fokus dari wacana lingkungan dan perempuan bukan terletak pada kedekatan antara perempuan dan lingkungan melainkan meihat budaya perempuan yang dekat dengan alam sebagai model yang lebih baik daripada budaya laki-laki (Sudikan, 2016 : 152). Perempuan dianggap memainkan peran yang sangat

Page 293: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

287 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

penting dalam menciptakan lingkungan alam yang nyaman dan asri serta dalam mencegah terjadinya kerusakan alam.

Perkembangan kajian ekokritik berikutnya adalah kajian ekopolitik. Ekopolitik memandang persoalan sumberdaya alam sebagai persoalan sosial-politik. Pendekatan ekologi politik merupakan pendekatan yang multimetode dan multidimensi yang mencakup sejarah, ekonomi, sosial, politik, dan ekologi ( Sudikan, 2016 :162).

Kajian interdisipliner ekokritik berikutnya adalah ekososial. Lingkungan hidup sosial yaitu suatu wilayah yang di dalamnya berlangsung hubungan manusia dengan sesamanya dengan ciri dan sistem di mana berkembang hubungan struktural dan fungsional antara mereka yang disebut sosiosistem (Sudikan, 2016:165). Hubungan struktural disini yaitu bagaimana manusia berhubungan dengan sesamanya. Sebagai contoh hubungan manusia dengan masyarakat dilingkungan sekitarnya atau dengan pasangannya. Sedangkan hubungan fungsional disini yaitu bagaimana manusia memanfaatkan sumber daya alam untuk kebutuhan ekonomi, kesehatan, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya.

Kajian interdisipliner ekokritik berikutnya adalah ekologi budaya. Ekologi budaya atau ecoculture secara etimologis berasal dari dua kata yaitu, yaitu ekologi dan budaya. Ekologi berfokus pada kajian sumber daya alam. Sementara itu budaya pada konteks ini membahas pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial. Sudikan (2016:167) menyatakan bahwa ekologi budaya yaitu sistem pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial dalam memahami dan menginterpretasi lingkungan alam.

Kajian interdisipliner ekokritik berikutnya adalah ekologi imperialisme. Kajian imperialisme ekologi ini berkaitan dengan paradigma pemikiran manusia yang berpandangan antroposentris dan mengabaikan lingkungan (Huggan dan Tiffin, 2010:3). Kecenderungan ini menjadi pusat kajian ekologi imperialisme sebagai upaya untuk penyadaran terhadap konservasi lingkungan.

SASTRA LISAN

Perkembangan sastra tidak dapat dilepaskan dari sastra lisan. Sastra lisan dapatdikatakan sebagai cikal bakal perkembangan sastra modern. Sesuai namanya, sastra lisan merupakan bentuk karya sastra berbasis oral atau lisan dan tidak dituliskan. Sastra lisan hidup di tengah masyarakat tradisional, bentuknya tetap, dan menggunakan ungkapan klise. Sastra lisan sering kali disebut dengan istilah folklore. Astika dan Yasa (2014:2) menyatakan bahwa sastra lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan sastra lisan (dari mulut ke mulut). Sebagai bagian dari kebudayaan, sastra lisan tidak lepas dari pengaruh nilai-nilai yang hidup dan berkembang pada masyarakat.

Sastra lisan (oral literature) juga merupakan bagian dari tradisi lisan (oral tradition) atau yang biasanya dikembangkan dalam kebudayaan lisan (oral culture) berupa pesan-pesan, cerita-cerita, atau kesaksian-kesaksian ataupun yang diwariskan secara lisan dari satu generasi ke generasi lainnya. Hal inilah yang menyebabkan keberadaan sastra lisan bergantung pada masyarakat yang memilikinya dan upaya melestarikan tradisi tersebut. Sastra lisan yang terdapat

Page 294: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

288 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

di daerah pelosok/terpencil, biasanya lebih murni karena mereka belum mengenal teknologi dan juga buta aksara, dibandingkan dengan sastra lisan yang berada ditengah masyarakat kota yang justru hanya terdengar gaungnya saja dikarenakan mulai tergeser dengan kecanggihan teknologi dan pengaruh dari budaya luar.

Astika dan Yasa (2014:4) menyatakan ciri-ciri sastra lisan sebagai berikut.

1. Cara penyampaian dan penyebarannya dilakukan dengan cara dituturkan dari mulut ke mulut atau secara lisan.

2. Bersifat kolektif, sastra lisan menjadi milik bersama suatu masyarakat bukan individu / perorangan yang menggambarkan pemikiran/budaya masyrakatnya.

3. Anonim, penciptanya tidak dapat diketahui. 4. Bersifat tradisional 5. Memiliki berbagai versi, hal ini terjadi karena penyebarannya yang

secara lisan sangat mungkin menyebabkan perbedaan atau variasi sastra lisan terjadi.

6. Memiliki kegunaan atau fungsi tertentu dalam masyarakat. 7. Memiliki bentuk/ pola/ formula tertentu. 8. Memiliki sifat-sifat sastra, yakni bermedium bahasa, fiksi atau tidak

nyata, imajinatif, bahasa yang indah dan berguna. Sastra lisan pun memiliki jenis-jenis atau corak yang sangat beragam.

Menurut Huttomo (1991:62), jenis-jenis sastra lisan yang bisa menjadi bahan kajian sastra lisan (folklore) dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yakni sebagai berikut.

1. Bahan yang bercorak ceritera, (a) ceritera-ceritera biasa (tales), (b) mitos (myths), (c) legenda (legends), (d) epik (epics), (e) cerita tutur (ballads), (f) memori (memories).

2. Bahan yang bercorak bukan cerita, (a) ungkapan (folk speech), (b) nyanyian (songs), (c) peribahasa (proverbs), (d) teka-teki (riddles), (e) puisi lisan (rhymes), (f) nyanyian sedih pemakaman (dirge), (g) undang-undang atau peraturan adat (law).

3. Bahan yang bercorak tingkah laku (drama), (a) drama panggung, dan (b) drama arena.

SASTRA LISAN DAN ALAM

Lingkungan hidup, dalam hal ini ekologi sebagai studi yang menghubungkan antara organisme dan lingkungannya, memang melintasi banyak sektor. Banyak bidang-bidang di kehidupan manusia yang dipengaruhi oleh lingkungan. Bidang-bidang yang dipengaruhi oleh lingkungan hidup memiliki tujuan pokok yaitu konservasi (penyelamatan dan perlindungan) lingkungan hidup.

Sastra tanpa terkecuali juga ikut serta dalam konservasi lingkungan hidup ini. Peran sastra dalam konsevarsi lingkungan hidup ini diwujudkan dalam bentuk sebuah karya sastra. Karya sastra adalah ungkapan pikiran dan perasaan seorang pengarang dalam usahanya untuk menghayati kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya, baik yang dialaminya maupun yang terjadi pada orang lain

Page 295: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

289 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

atau pada kelompok masyarakatnya (Astika dan Yasa, 2014:1). Segala peristiwa yang terjadi di bumi ini menjadi sumber inspirasi para sastrawan terutama lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup yang sering kali dijadikan sumber ide para sastrawan diantaranya adalah masalah pencemaran laut dan udara, penggundulan hutan, dan punahnya spesies tertentu akibat rusaknya ekosistem.

Dalam kesusastraan Indonesia, sering kali menunjukkan bagaimana sikap sastrawan terhadap alam. Laut, hutan, awan, gunung, burung, ikan, pohon, dan beberapa benda atau makhluk alam yang paling sering digunakan untuk ekspresi kreatifnya.

Sastra lisan yang merupakan hasil kebudayaan turun-temurun suatu daerah mempunyai nilai-nilai luhur yang perlu dikembangkan dan dimanfaatkan untuk berperan serta dalam konservasi lingkungan hidup. Kearifan lokal menjadi pijakan utama masyarakat untuk membangun dirinya tanpa merusak tatanan sosial yang adaptif dengan lingkungan alam sekitarnya. Setiap tradisi lisan yang muncul dan berkembang dalam masyarakat selalu mempunyai nilai-nilai kearifan lokal yang erat hubungannya dengan lingkungan yang ada pada masyarakat tersebut. Nilai-nilai yang ada pada sastra lisan tersebut tidak jarang berhubungan dengan lingkungan hidup disekitarnya.

EKOKRITIK DALAM PENGKAJIAN SASTRA LISAN

Kajian ekokritik terhadap sastra lisan mempertemukan ekologi dengan sastra lisan. Ekokritik merupakan teori kritis dalam pendekatan mutakhir sastra. Secara sederhana ekokritik dapat dipahami sebagai kritik berwawasan lingkungan. Dalam sastra lisan, ekokritik digunakan untuk mengkaji sastra lisan dari sudut pandang lingkungan. Ekokritisisme atau ekokritik dalam mengkaji sastra lisan akan mempertanyakan beberapa pertanyaan yaitu (1) Bagaimana alam direpresantasikan dalam sebuah sastra lisan? (2) Apa peranan sastra lisan terhadap lingkungan hidup? (3) Apakah nilai-nilai yang diekspresikan dalam suatu sastra lisan sesuai dengan kearifan ekologi?

Telaah ekokritik secara sastra dan bahasa pada sastra lisan dapat mengonstruksi paras sastra lisan dalam konservasi lingkungan hidup. Pengkajian sastra lisan secara ekokritik juga mampu menjelaskan bahwa sastra lisan beserta kekayaan nilainya merupakan produk kreatif alam (dengan berbagai macam kehadirannya) karena manusia menjadi bagian yang tidak terpisahkan di dalamnya (mantra alam/ekologis) (Endraswara, 2016:215). Dengan demikian, pesan-pesan kearifan dalam sastra lisan akan menjangkau keseluruh kehidupan di alam semesta.

Banyak sastra lisan atau tradisi lisan di Indonesia yang sangat erat kaitannya dengan lingkungan hidup. Sebagai contoh sastra lisan yang bisa dikaji menggunakan ekokritik yakni mitos. Mitos memperlihatkan kepada kita bagaimana ras manusia berpikir dan mengatasi zamannya di masa lampau. Istilah mitos berasal dari bahasa Yunani yakni mite, yang berarti cerita prosa rakyat yang menceritakan kisah berlatar masa lampau, mengandung penafsiran tentang alam semesta dan keberadaan maklhuk di dalamnya, serta dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita penganutnya.

Mitos biasanya dilekatkan dengan fenomena-fenomena alam. Seperti misalnya di Indonesia, fenomena gempa bumi di daerah Bantul, Yogyakarta

Page 296: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

290 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

yang dilekatkan dengan mitos mengamuknya Ratu Kidul karena ketidakharmonisan tingkah laku manusia dengan alam. Mitos tercipta untuk menjelaskan ketidakharmonisan alam, meskipun ada juga mitos yang lahir tidak untuk menjelaskan apa-apa. Contoh mitos lain yang erat hubungannya dengan lingkungan adalah mitos Dewi Sri. Dewi Sri merupakan dewi kesuburan. Mitos Dewi Sri selalu mewarnai lingkungan hidup para petani. Inti dari mitos ini adalah bahwa hidup harus selalu menjaga keseimbangan dengan alam semesta.

Dari mitos yang lekat hubungannya dengan fenomena alam, membuat masyarakat kemudian berpikir dan mencari tahu apa yang salah perilakunya terhadap lingkungan atau alam. Dari situ, masyarakat kemudian akan mencoba menyelaraskan kembali perilakunya dengan alam semesta melalui ritual tertentu. Fakta inilah yang menunjukkan bagaimana mitos yang menjadi bagian dari sastra lisan dapat berfungsi untuk menjaga perilaku manusia terhadap lingkungannya.

Sastra lisan tidak dapat terlepas dari lingkungan yang mengiringinya. Konsep sastra lisan selalu berkaitan dan menonjolkan kearifan lingkungan pengiringnya tersebut. Hal ini membuat konsep ekokritik menjadi sangat penting dalam sastra lisan. Representasi alam dalam sastra lisan ini menimbulkan konsekuensi logis yakni sastra lisan sebagai sarana konservasi lingkungan. Sastra lisan yang berpedoman pada kearifan lingkungan mendorong manusia agarlebih perhatian dan peduli terhadap lingkungan. Terkadang, dalam sastra lisan juga terdapat nilai moral serta hukuman-hukuman moralitas bagi mereka yang tidak mengindahkan aspek lingkungan. Bagi manusia yang memperhatikan ini, maka sastra lisan ini dijadikan sebagai pedoman berkehidupan yang lebih berwawasan lingkungan dalam upaya konservasi lingkungan. Inilah bentuk kontribusi sastra lisan dalam upaya konservasi lingkungan.

PENUTUP

Konsep ekokritik banyak digunakan untuk meneliti hubungan antara sastra dan lingkungan hidup. Lingkungan tidak hanya hadir sebagai perangkat tetapi kehadirannya juga menunjukkan keterlibatan manusia dalam sejarah alam. Objek kajian ekokritik berkembang menjadi luas dalam kaitannya dengan lingkungan kebudayaan. Dalam kaitannya dengan lingkungan kebudayaan ekokritik berkembang menjadi ecofeminism, ecopolitic, ecososial, ecoculture, dan ecological imperalism. Telaah ekokritik secara sastra dan bahasa pada sastra lisan dapat mengonstruksi paras sastra lisan dalam konservasi lingkungan hidup. Banyak sastra lisan atau tradisi lisan di Indonesia yang sangat erat kaitannya dengan lingkungan hidup. Sastra lisan tidak dapat terlepas dari lingkungan yang mengiringinya. Konsep sastra lisan selalu berkaitan dan menonjolkan kearifan lingkungan pengiringnya tersebut. Hal ini membuat konsep ekokritik menjadi sangat penting dalam sastra lisan. Representasi alam dalam sastra lisan ini menimbulkan konsekuensi logis yakni sastra lisan sebagai sarana konservasi lingkungan.

DAFTAR RUJUKAN Astika, I Made dan Yasa, I Nyoman. 2014. Sastra Lisan Teori dan

Penerapannya. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Page 297: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

291 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Buell, Lawrence. 2005. The Future of Enviromental Criticism: Enviromental Crisis and Literary Imagination. USA: Blackwell Publishing.

Endraswara, S. 2016. Metodologi Penelitian Ekologi Sastra : Konsep, langkah, dan penerapan. Jakarta : CAPS (Center for Academic Publishing Service).

Garrard, Greg. 2004. Ecocritism. London and New York:Routledge. Huttomo, S.S. 1991. Mutiara Yang Terlupakan: Pengantar Studi Lisan. Jatim:

Hiski. Keraf, A. Soni. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. McNaughton, S.J. dan Wolf, Larry L. 1989. Ekologi Umum. New York: World

Bank Educaation IX Project. Sudikan, S.Y. 2016. Ekologi Sastra. Lamongan: CV. Pustaka Ilalang. Junaidi. 2016. Penyelamatan Alam dan Lingkungan dalam Ungkapan Melayu.

Dalam Suwardi Endraswara (Ed.). Sastra Ekologis Teori dan Praktik Pengkajian. Jakarta: CAPS.

Page 298: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

292 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

CERITA MAKAM GANTUNG PATIH DJOJODIGDO DAN AJI PANCASONANYA DI BLITAR

Reni Maisatus Sagita

(Mahasiswa Pascasarjana Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia) [email protected]

Universitas Negeri Malang

ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan digantungnya makam patih Djojodigdo dan menetapnya patih Djojodigdo di Blitar serta alasan patih Djojodigdo menguasai aji Pancasona. Selain itu, untuk mengetahui dan memahami alasan tidak diturunkannya makam patih Djojodigdo setelah sekian lama meninggal, kemudian untuk mengetahui sikap masyarakat terhadap makam gantung dan fungsi cerita makam gantung ditinjau dari teori fungsi struktural folklor William R. Bascom, Alan Dundes, dan Ruth Finnegan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang menghasilkan data deskripsi berupa untuk menunjukkan pada cerita Makam Gantung Patih Djojodigdo. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada fungsi sosial folklor william r. bascom dan alan dundes cerita makam gantung patih Djojodigdo ini sebagai sarana hiburan, Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, sebagai alat pendidikan anak, Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolekifnya, Sebagai sarana kritik sosial memiliki peran untuk memberikan kritikan. Pada analisis teori fungsi sosial folklor ruth finnegan menunjukkan hasil terdapat penggalan cerita tentang kepercayaan masyarakat yang masih percaya terhadap sesuatu yang berbau mistis.

Kata Kunci : Makam Gantung Patih Djojodigdo, teori william r. bascom dan alan

dundes, teori ruth finnegan.

Tradisi lisan merupakan segala wacana yang disampaikan secara turun-temurun meliputi lisan dan aksara. Tradisi lisan merupakan pesan-pesan verbal berupa pernyataan-pernyataan yang pernah dibuat di masa lampau dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi lisan dapat ditinjau dari dua aspek. Aspek proses berupa warisan pesan melalui mulut ke mulut sepanjang waktu hingga hilangnya pesan itu, dan aspek produk karena pesan lisan dalam tradisi lisan didasarkan pada pesan generasi sebelumnya. Pesan tersebut biasanya disampaikan melalui susunan kata, syair, dan tembang atau lagu. Tipe tradisi lisan sendiri meliputi: petuah atau nasihat, kisah tentang peristiwa di sekitar, cerita kepahlawanan, dan cerita dongeng. Sebuah tradisi lisan juga memiliki peran penting dalam penulisan suatu sejarah mengenai kisah seseorang, peristiwa, ataupun sejarah suatu daerah. Tradisi lisan sendiri memuat informasi yang sangat luas tentang kehidupan suatu komunitas dengan berbagai aspek dan informasi tertentu terutama informasi dari dalam (Internal information).

Sejatinya kehidupan dalam masyarakat tidak hanya sastra dan seni, tetapi juga pertuturan adat, mantera, lagu permainan anak-anak, bahkan lagu-lagu pujian bagi orang yang baru meninggal (Amir, 2013:4). Akan tetapi, sebagian tradisi tersebut mulai tergeser seiring berkembangnya zaman sehingga bersifat kurang produktif akibat dari modernisasi dan menipisnya rasa cinta terhadap budaya lokal. Oleh karena itu, penelitian terhadap tradisi lisan yang beredar pada

Page 299: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

293 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

masyarakat sangat diperlukan guna keutuhan tradisi itu sendiri dan untuk menanamkan rasa cinta terhadap budaya lokal kepada para pemuda.

Mengingat pentingnya tradisi lisan dalam penulisan suatu sejarah mengenai kisah seseorang, melalui penelitian tradisi lisan jawa timur ini kami melakukan penelitian pada Pesanggrahan Djojodigdan yang berada di jalan Melati nomor 43 Kota Blitar. Pemilihan topik dan tempat penelitian berdasarkan keanehan atau keunikan yang ada pada makam. Makam tersebut berbeda dengan makam lain pada umumnya karena makam yang berada di jalan Melati nomor 43 Blitar ini sengaja digantung. Penggantungan makam bukan tanpa alasan, melainkan melalui pertimbangan karena penguasaan aji Pancasona oleh patih Djojodigdo Penelitian ini mengedepankan penerapan konsep kausalitas dalam cerita.

Penelitian menggunakan teori fungsi pernah dilakukan oleh Ling Suniarti dengan judul “Cerita Rakyat Lampung ‘Wakhahan’ Analisis Struktur, Fungsi, dan Manfaatnya Bagi Pengajaran Sastra” dengan hasil simpulan cerita tersebut memiliki fungsi: (1) sebagai hiburan, (2) sarana pendidikan, (3) pembangkit rasa keindahan, (4) pembangkit semangat patriotis, (5) media pemahaman rakyat, dan (6) media mengumpulkan masyarakat, Suniarti dkk. (dalam Simanullang, 2010).

Penelitian lain oleh Dewi Kartika Wati dengan judul “Cerita Dewi Rengganis dalam Tradisi Lisan Masyarakat Probolinggo” dengan hasil simpulan cerita tersebut memiliki fungsi: (1) system proyeksi atau cerminan, (2) alat legitimasi pranata-pranata kebudayaan, (3) sarana pendidikan, dan (4) menjadikan alat pemaksa atau pengontrol norma-norma. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata tertulis pada cerita Makam Gantung Patih Djojodigdo. Subjek dalam penelitian ini merupakan seorang informan yakni Bapak Lasiman dan Ibu Rusmiati selaku juru kunci makam gantung, mereka memiliki pengetahuan mendalam terhadap cerita patih Djojodigdo serta dalam keadan sehat jasmani dan rohaninya. Teknik pengumpulan data yang digunakan yakni observasi, perekaman, pencatatan, dan wawancara. Teknik analisis data dalam penelitian ini yang pertama, data penelitian yang didapat dari teknik pengumpulan data akan dipilih, diklasifikasikan sesuai keperluan penulisan, kedua data akan dianalisis dengan teori struktur naratif ala Maranda. Ketiga, penganalisisan menggunakan teori fungsi sosial folklor William R. Bascom, dan Alan Dundes. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Teori Fungsi Sosial Folklor William R. Bascom dan Alan Dundes

Sebagai sarana hiburan cerita makam gantung menyuguhkan cerita yang bisa menghibur setelah pembaca mengetahui isinya, sedangkan makamnya sebagai tempat untuk berziarah atau tempat rekreasi. Makam yang terletak di jalan Melati no.43 ini terlihat cantik dengan empat payung yang menghiasinya. Selain itu, di kompleks makam juga terdapat rumah atau yang lebih dikenal dengan nama “pesanggrahan Djojodigdan” dan sekarang ini berfungsi sebagai museum yang menyimpan kenangan hidup eyang Djojodigdo.

Page 300: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

294 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan. Adanya makam patih Djojodigdo yang dikenal dengan makam gantung menjadi aset atau lembaga kebudayaan yang patut untuk terus dilindungi karena selain makam proklamator Soekarno makam ini juga menarik banyak perhatian dari para peziarah di kota Blitar. Meskipun popularitas makam gantung ini kalah dengan makam Soekarno tapi eksistensinya harus tetap dijaga. Makam gantung lebih banyak dikunjungi oleh peziarah dengan alasan spiritual.

Sebagai alat pendidikan anak-anak. Cerita yang terjadi dimakam gantung memberikan nilai pendidikan kepada masyarakat dan anak-anak untuk tidak berbuat jahat, mencuri, ataupun membangkang nasihat orang tua. Kasus cerita menurut juru kunci, pernah kejadian ada warga sekitar rumah Eyang yang mempunyai hobi menembak burung. Padahal mereka sudah diberitahu oleh menantu Eyang bahwa jangan pernah menembak burung di makam Eyang. Akan tetapi mereka membangkang langsung saja menembak burung yang ada dimakam Eyang. Sesampainya dirumah mereka masukkan kandang dan mereka tidur. Karna disitu apabila burung mati maka orang tersebut juga ikut mati. Akhirnya orang tersebut ikut dengan burung sama-sama meninggal. Ada juga cerita disudut tanah milik Eyang tedapat pohon besar yang dibawahnya terdapat mata air yang konon apabila orang ingin mengambil air tersebut akan muncul penampakan ular pada air tersebut. Cerita lain pernah kejadian ada orang yang mengambil seng atap makam Eyang. Akan tetapi ketika orang tersebut ingin keluar dari lahan tersebut yang ada dia malah dibuat bingung oleh Eyang dengan terus berkeliling di lahan Eyang tanpa dia bisa keluar dari tempat tersebut. Akhirnya Eyang menampakkan diri dan bertanya kepada orang tersebut apa alasan dia mencuri. Lalu pencuri tersebut menjawab bahwa dia mencuri karna tak punya uang untuk membeli beras. Kemudian Eyang menyuruh orang tersebut untuk mengambil beras yang ada di gentong dalam kamar Eyang seberapa banyak yang dia butuhkan. Intinya lebih baik meminta daripada mencuri. Lebih baik makan makanan yang halal daripada makan barang curian. Cerita kehidupan eyang Djojodigdo juga mengajarkan sikap berani memerangi musuh dan setia kepada pemimpin dengan tetap meneruskan perjuangan meskipun pemimpin sudah mati serta mengajarkan untuk menahan nafsu atau melakukan tirakat untuk mendapatkan keinginannya seperti tirakat puasa Senin Kamis yang dilakukan eyang Djojodigdo untuk mendapat aji Pancasona. Selain itu peran cerita makam gantung dalam ranah formal, cerita adanya makam gantung dapat dijadikan objek penelitian yang akan membantu kegiatan belajar mengajar, juga nantinya akan menjadikan pemuda khususnya mahasiswa lebih mengenal budaya sendiri dan mencintai kebudayaan lokal.

Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolekifnya. Peran cerita makam gantung dalam kehidupan bermasyarakat atau berkelompok adalah sebagai pemaksa agar masyarakat tidak melakukan hal-hal negatif, hal ini hampir sama dengan fungsinya sebagai alat pendidikan. Tetapi lebih bersifat memaksa guna mematuhi peraturan. Meningkatkan perasaan solidaritas suatu kelompok. Cerita hidup eyang Djojodigdo dalam memerangi kejahatan yang dilakukan oleh Belanda akan meningkatkan solidaritas suatu kelompok. Memberi sangsi sosial agar orang berperilaku baik atau memberi hukuman, cerita pencurian yang

Page 301: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

295 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

terjadi di kompleks pemakaman eyang Djojodigdo memberi sangsi sosial kepada masyarakat agar tidak melakukan hal yang sama untuk menghindari nasib buruk serupa.

Sebagai sarana kritik sosial memiliki peran untuk memberikan kritikan terhadap ketimpangan, penyelewengan, dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat yang dipimpinnya, memberikan kritikan atau sindiran terhadap masalah-masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat serta memberikan masukan atau nasihat kepada pemimpin dalam menjalankan amanah yang diberikan oleh rakyat. Pada kisah makam gantung eyang Djojodigdo ini kritik sosial yang ada adalah kondisi sebagaian masyarakat yang kurang percaya akan kemampuan diri sendiri dan lebih memilih untuk menempuh jalan pintas dengan cara meminta kelancaran pada makam eyang Djojodigdo. Fungsi lainnya yakni sebagai suatu pelarian yang menyenangkan dari kenyataan serta mengubah pekerjaan yang membosankan menjadi permainan, kedua fungsi ini memiliki kesamaan bentuk dengan fungsi hiburan milik bascom. Analisis Teori Fungsi Sosial Folklor Ruth Finnegan

Hasil analisis menggunakan teori Finnegan pada cerita masyarakat primitif dalam penelitian kami yang berjudul “Cerita Makam Gantung Patih Djojodigdo dan Aji Pancasonanya di Blitar,” mempunyai penggalan cerita tentang kepercayaan masyarakat yang masih percaya terhadap sesuatu yang berbau mistis. Dalam penelitian ini, kami menemukan bahwa masyarakat masih banyak yang mendatangi makam tersebut bukan untuk berziarah melainkan untuk meminta agar segala urusannya dimudahkan. Walaupun juru kunci makam tersebut sudah menjelaskan pada dasarnya eyang Djojodigdo hanya bisa membantu atau sebagai perantara dan yang bisa menentukan hanya Tuhan. Hal tersebut dapat dibuktikan seperti pada kutipan berikut ini.

“Dimakam Eyang tersebut selalu ada bunga sesaji yang diletakkan diatas makam Eyang. Konon cerita dari juru kunci makam tersebut mengatakan bahwa apabila seseorang ingin ada hajat ritual, permohonan, misalnya saja permohonan ingin lulus ujian nasional maka datang ke makam Eyang tersebut lalu mengambil tiga bunga lalu bunga tersebut diberi air kemudian usapkan kewajah. Insyaallah Eyang akan mengabulkan segala permintaan dan permohonan seseorang tersebut. Disini yang dapat ditekankan bahwa Eyang hanya membantu saja tetapi tetap Allah yang menentukan.”

Pada kutipan diatas dapat diketahui bahwa masyarakat masih mempercayai cerita primitif seperti mitos dan hal yang tidak rasional. Secara akal sehat anjuran bagi mereka agar kemauannya dikabulkan untuk mengambil tiga bunga lalu dimasukkan wadah yang berisi air, lalu diusapkan kewajah tentu tidak wajar.

Sedangkan ciri masyarakat industrial, yaitu sekuler dan rasional, heterogen, didominasi budaya tulis, berorientasi pada keberhasilan dan perkembangan individual, termekanisasi dan mengutamakan spesialisasi, terutama mereka terikat oleh hal-hal yang bersifat ‘artifisial’ daripada yang

Page 302: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

296 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

bersifat ‘alami’ dan ‘organik.’ Atas dasar pembagian masyarakat tersebut, sastra lisan hanya mungkin tumbuh dan berkembang dalam masyarakat primitif.

Pada masyarakat modern mempunyai ciri sekuler dan rasional yaitu masyarakat dapat menerima dengan akal sehat bahwa Eyang Djojodigdo yang memiliki aji Pancasona pun adalah manusia biasa yang bisa meninggal dan dikubur di dalam tanah seperti manusia lainnya.

Pada cerita masyarakat modern dalam penelitian kami yang berjudul “Tradisi Lisan Pada Makam Gantung Patih Djojodigdo dan Aji Pancasonanya di Blitar,” bercerita tentang masyarakat industrial mempercayai bahwa Eyang Djojodigdo yang mempunyai ilmu pancasona dapat bangkit lagi jikalau beliau meninggal dan jasadnya menempel tanah. Hal ini dikarenakan Aji Pancasona merupakan ilmu yang bila pemiliknya mati, dia akan hidup kembali dengan catatan jasadnya menyentuh tanah. Selain itu, suatu ketika eyang pernah bangkit lagi sebanyak tujuh kali dalam sehari. Konon Joyodigdo tak hanya sekali tertangkap dan dieksekusi mati oleh Belanda. Namun, karena mempunyai Aji Pancasona, begitu jasadnya dibuang (dan menyentuh tanah), dia hidup kembali tanpa sepengetahuan kompeni. Hal tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut ini.

“Cerita makam gantung mengungkapkan bahwa Eyang mempunyai ilmu pancasona yangmana apabila jasadnya tersentuh oleh tanah dia akan dapat bangkit lagi. Eyang pernah bangkit selama tujuh kali dalam sehari. Lalu agar Eyang dapat meninggal dengan tanang akhirnya ilmu tersebut diambil oleh guru Eyang yang berasal dari gunung Kawi. Ilmu pancasona tersebut awalnya juga diperoleh Eyang dari gunung Kawi. Setelah ilmunya dapat dipisahkan oleh Eyang dan ilmu pancasona itu dikubur sendiri dengan peti yang digantung tersebut.”

Maka dari itu, karena merasa kasihan dengan kondisi eyang yang sudah tua. Akhirnya para kerabat berpikiran agar jasad dan ilmunya dipisahkan, agar eyang dapat meninggal. Hal ini dapat dibuktikan pada kutipan berikut ini.

“Lalu agar Eyang dapat meninggal dengan tanang akhirnya ilmu tersebut diambil oleh guru Eyang yang berasal dari gunung Kawi. Ilmu tersebut awalnya juga diperoleh Eyang dari gunung Kawi. Setelah ilmu tersebut dapat dipisahkan oleh Eyang dan ilmu tersebut dikubur sendiri dengan peti yang digantung tersebut. Kemudian jasad Eyang sudah mulai dapat dimakamkan.”

PENUTUP Simpulan

Makam gantung eyang Djojodigdo merupakan makam seorang patih Blitar yang memiliki aji Pancasona. Alasan dari digantungnya makam beliau adalah karena aji Pancasona yang dimilikinya. Aji Pancasona merupakan ilmu yang menjadikan pemiliknya tidak dapat meninggal selagi masih menyentuh tanah. Meskipun demikian, sesungguhnya jasad beliau tetap dikubur dalam tanah layaknya makam pada umumnya, yang digantung adalah ilmu, pusaka, serta semua pakaian yang dimiliki oleh eyang. Beliau menetap di Blitar karena beliau

Page 303: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

297 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

merupakan patih dari kota Blitar. Salah satu tujuan dari menguasai aji Pancasona adalah untuk melindungu kota Blitar dari para penjajah.

Walaupun sudah ratusan tahun lamanya, tidak ada seorangpun yang bisa dan berani untuk menurunkannya. Menurut penjelasan dari juru kuncinya dari awal memang tidak diperbolehkan untuk menurunkan makam tersebut. Keberadaan makam tersebut di kota Blitar sangat memengaruhi kehidupan masyarakat sekitar, hal ini dapat dilihat dari banyaknya peziarah yang sekedar ingin nyekar ataupun bertujuan mencari aji Pancasona, selain hal itu keberadaan makam juga sebagai sarana hiburan. Sedangkan dilihat dari segi fungsi sesuai analisis yang telah dilakukan keberadaan makam berfungsi sebagai sarana hiburan, pendidikan, pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, serta masih banyak lagi fungsinya. Saran

Penelitian mengenai “Cerita Makam Gantung Patih Djojodigdo dan Aji Pancasonanya di Blitar” masih fokus menggunakan teori fungsi. Bagi para peneliti selanjutnya diharapkan untuk bisa mengkaji lebih dengan teori lainnya.

Semoga penelitian ini bermanfaat bagi penulis, pembaca, dan peneliti selanjutnya. Terutama untuk mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang nantinya akan menjadi seorang pendidik sebagai sarana apresiasi terhadap tradisi yang ada di sekitar. Selain itu penelitian ini dapat dijadikan referensi dalam kegiatan penelitian sastra selanjutnya. DAFTAR PUSTAKA Amir, Ardiyetti. 2013. Sastra Lisan Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Andi. Danandjaya, James. 1991. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Endraswara, S. 2009. Metodologi Penelitian Folklor: Konsep, teori, dan

Aplikasi. Yogyakarta: Media Pressindo. Simanullang, Daniel. 2010. Analisis Struktural dan Fungsi Terhadap Cerita

Rakyat Batak Toba. [Online]. Tersedia (http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/16563?mode=full&submit_simple=Show+full+item+record). Diakses tanggal 27 November 2013.

Sudikan, Setya, Y. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana.

Wati, Kartika D. 2013. Cerita Dewi Rengganis dalam Tradisi Lisan Masyarakat Probolinggo. [Online]. Tersedia (repository.unej.ac.id/.../Dwi%20Kartika%20Wati%20%2009021040201). Diakses tanggal 27 November 2013.

Page 304: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

298 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

PARADIGMA PSIKOLOGI SOSIAL DALAM SASTRA LISAN

Ririeh Yusmarani Universitas Negeri Malang

Jalan Semarang No 5 Malang pos_mail: [email protected]

ABSTRAK: Sastra lisan merupakan produk budaya yang berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Kebudayaan sangat berpengaruh hal ini. Ketika berbecira mengenai sastra lisan, maka karya tersebut hadir di masyarakat secara cepat dan menjadi sebuah peristiwa yang tidak dapat begitu saja hilang dari pola pikir maupun tingkah laku masyarakat. Suatu teori psikologi sosial yang diakitkan dengan sastra lisan, maka jelas sekali bahwa tumpuan utama tetaplah cerita-cerita yang diyakini secara turun temurun tersebut. Sebuah cerita sastra lisan menurut pandangan psikologi sosial hakikatnya adalah sebuah naskah tertulis yang mengandung sejarah dan tidak dapat dibuktikan oleh logika namun berpengaruh terhadap kehidupan psikologi maupun sosiologis. Psikologi sosial secara umum mempelajari tiga halyaitu (1)pikiran sosial, (2) pengaruh sosial dan (3) hubungan sosial. Sastra lisan yang hadir di tengah kehidupan masyarakat, telah memengaruhi pola pikir masyarakat, sehingga berpengaruh pula terhadap budaya dan perilaku sehari-hari. Kata kunci: sastra lisan, budaya, psikologi sosial

Sebagai produk budaya dengan bahasa sebagai mediumnya, karya sastra selalu dihubungkan dengan kehidupan manusia. Jalinan kehidupan manusia yang kompleks, membuat objek karya sastra tidak pernah surut dari cerita dan kisah. Hal tersebut disebabkan oleh karya sastra yang diartikan sebagai sebuah sketsa tentang bagaimana masyarakat bergaul, beraktivitas, menghadapi masalah, melalui penggambaran yang ada dalam cerita. Dari beberapa proses imaji, sastra bekembang dengan dua tradisi mendasar, yaitu lisan dan tulis. Dalam tradisi lisan, sastra menyebar keseluruh masyarakat melalui tuturan yang berangsur-angsur dan turun-temurun.

Sastra memiliki fungsi sesuai sifatnya. Karya sastra sebagai proses kreatif yang diproses oleh pengarang, membuat apa yang ada dalam cerita terkadang dipandang sebagai cuarahan hati pengarang. Seperti yang dijelaskan oleh Wellek dan Warren (2013: 83), bahwa karya sastra memang bukanlah tiruan kehidupan, namun cerita yang hadir merupakan ide yang tercermin dari persoalan kehidupan dengan aktivitas imajinasi pengarang. Sastra harus memiliki fungsi estetik dan fungsi seni. Fungsi seni tersebut harus dikaitkan pada konsep dulce maupun utile.

Di setiap sisi kehidupan, banyak peristiwa yang selalu menjadi sorotan. Hal tersebut membuat karya sastra berperan dalam perilaku emosinal masyarakat dan kritik sosial. Sebuah karya sastra dapat mewakili apa yang terjadi di lingkungan dimana karya sastra tersebut dibuat. Misalnya sebuah legenda yang mewakili asal usul sebuah tempat yang sampai saat ini cerita tersebut masih mistis dan tidak dapat dijangkau oleh logika akal manusia. Cerita tersebut hanya

Page 305: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

299 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

disampaikan secara turun menurun tanpa dapat dibuktikan kebenaranya, tapi dapat dirasakan keberadaannya. Mendengar sebuah cerita lisan, dapat diibaratkan seperti melihat potongan kajadian kecil masa lalu dan lingkungan masyarakat. Permasalahan fisik maupun permasalahan sosial tanpa disadari seringkali muncul di dalam cerita, tak tekecuali masalah psikologis dan sosiologis yang sering dikaitkan dengan keadaan mental dan lingkungan. Meski apa yang terjadi dalam cerita tersebut tidak sesuai dengan realita masyarakat saat ini, namun cerita-cerita lisan tersebut terus berkembang dan dipercayai tanpa mengenal usia zaman.

Menyadari begitu berperannya sastra lisan di kehidupan masyarakat, sudah sewajarnya dalam rangka memahaminya perlu dilakukan upaya kreatif dengan selalu menggali dan menemukan berbagai teori sesuai dengan fenomena dan karakteristiknya. Hal itu yang menyebabkan dari waktu ke waktu selalu muncul teori-teori sastra yang baru sebagai upaya memahami karya sastra, khususnya sastra lisan. Dengan pemikiran seperti itu, dalam makalah ini diajukan cara pandang psikologi sosial terhadap kajian sastra lisan. PEMBAHASAN 1) Sastra Lisan dan Psikologi Sosial

Evolusi manusia yang cukup berarti adalah lahirnya makhluk berfikir sebagai homo sapiens, yang diduga berlangsung selama 35.000 hingga 50.000 tahun yang lalu sanderson, 1993:33-40;Ong, 1982:82-83). Dengan adanya kemampuan manusia untuk berfikir maka berkembanglah sisitem simbol, yang diikuti dengan penemuan beberapa aksara (ideograf) yang berkembang secara independen. Aksara tertua diberitakan ditemukan di lembah Mesomotamia sekitar 3.500 SM, disusul kemudian oleh aksara mesir kuno 3.000 SM dan lain-lain.Manusia pada gilirannnya kehilangan akan tradisinya, bahkan identitasnya sendiri, sehingga yang tersisa hanyalah cerita mengenai manusia. Dalam kondisi inilah kita timbul kesadaran untuk meraih kembali dunia yang hilang, dunia yang pernah di miliki bahkan sejak manusia diciptakan untuk pertama kali. Salah satu caranya dengan menghargai kembali aspek keindahan.

Karya sastra membangun dunia melalui kata-kata sebab kata-kata memiliki energi. Melalui energi itulah terbentuk citra dengan dunia tertentu, sebagai dunia yang baru. Melalui kualitas hubungan paradikmatis, sistem tanda dan sistem simbol, kata-kata menunjuk sesuatu yang lain diluar dirinya sehingga peristiwa hadir secara terus menerus. Dari segi apa pun maupun pendekatan pendekatan dilakukan maka yang dianalisis adalah bahasa sebab satu-satunya alat yaitu medium yang membentuk karya sastra adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan. Berbeda dengan medium karya seni yang lain. Dengan adanya medium bahasa, maka membaca karya sastra harus memecahkan dua gejala sekaligus, yaitu bahasa dan sastra itu sendiri (Ratna, 2007).

Salah satu kajian sastra yang hingga saat ini masih drasakan adalah sastra lisan. Kesusastraan lisan adalah cerita sastra yang disampaikan secara turun menurun dan biasanya, pengarang bersifat anonim atau tidak diketahui. Kajian sastra lisan termasuk dalam kajian folklor. Folk berarti kolektif (collectitity) yakni sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok lainnya. Jadi folk merupakan kolektif yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik atau kebudayaan yang

Page 306: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

300 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

sama dan mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan masyarakat. Kemudian lore merupakan tradisi dari folk, yaitu dari sebagian dari kebudayaanya yang diwariskan secara turun temurun secara lisan disertai gerak isyarat atau alat bantu pengingat (Pusposari, 2014:1-2).

Jadi kesimpulan dari penyataan tersebut yaitu secara umum folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun di antara kolektif apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat atau alat bantu pengingat (mnemonic device). Dalam perkembangannya, sastra lisan hadir di masyarakat secara cepat dan telah membaur dalam kehidupan masyarakat. Proses penyebarannya dilakukan secara turun temurun dari mulut ke mulut, mengarah pada interaksi sosial dan pengaruh hubungan sosial masyarakat. Dari segi isi cerita, sastra lisan dilingkupi tindakan agresif maupul altruistik yang berimbas pada lingkungan dan menjadi sejarah suatu tempat maupun kepercayaan di suatu daerah. Hal tersebut membuat sastra lisan sarat akan aspek psikologis maupun psikologis.

Pada tahun 1900-an, ada tiga perspektif utama yang dikembangkan oleh para psikolog, masing-masing warisan tersebut meninggalkan warisan penting pada psikolog sosial kotemporer. Tiga perspektif tersebut adalah teori psikoanalisis dari Sigmund Freud, behaviorisme dari Pavlov dan Skinner serta psikologi Gestalt. Para tokoh perintis tersebut mendasarkan teorinya pada ilmu alam. Banyak dari teori tersebut yang kemudian diaplikasikan untuk analisis perilaku sosial. Warisan psikologi Gestalt yang semakin mendukung dengan kajian kognisis sosial yang membahas tentang bagaimana seseorang memandang dan memahami dunia sosialnya. Psikologi sosial menjadi satu ilmu yang mandiri baru sejak tahun 1908. Pada tahun itu ada dua buku teks yang terkenal yaitu "Introduction to Social Psychology" ditulis oleh William McDougall. Psikologi sosial juga merupakan pokok bahasan dalam sosiologi karena dalam sosiologi dikenal ada dua perspektif utama, yaitu perspektif struktural makro yang menekankan kajian struktur sosial, dan perspektif mikro yang menekankan pada kajian individualistik dan psikologi sosial dalam menjelaskan variasi perilaku manusia(Taylor dkk., 2009:3-6).

Perspektif mikro psikologi sosial terdiri dari beberapa hal yang di jelaskan oleh David O. Sears maupun Myers. Menurut (Myers, 2012:4), psikologi sosial secara umum mempelajari tiga halyaitu (1)pikiran sosial, (2) pengaruh sosial dan (3) hubungan sosial. Pikiran sosial membahas tentang, (1) cara manusia mempersipsikan orang lain, (2) apa yang diyakini dan (3) penilaian yang kita buat dan sikap. Pengaruh sosial membahas tentang (1) budaya, (2) konformitas, (3) persuasi dan (4) kelompok-kelompok manusia. Terakhir, hubungan sosial membahas tentang (1) prasangka, (2) agresi (perilaku antisosial), (3) altruistik dan bantuan (perilaku prososial). Interaksi sosial selalu menjadi awal munculnya pikiran sosial, pengaruh sosial dan hubungan sosial. Hadirnya interaksi sosial selalu mengikuti setiap peristiwa sosial yang dilakukan seseorang. Hubungan insani merupakan hubungan yang terjadi antar individu setelah mereka mengalami interaksi sosial, hubungan ini dilandasi rasa cinta, kasih dan sayang. 2) Hubungan Psikologi Sosial dengan Sastra Lisan

Page 307: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

301 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Psikologi sosial adalah ilmu yang mempelajari pengaruh situasi-situasi indiividu, khususnya bagaimana kita memandang dan mempengaruhi diri sendiri maupun orang lain. Dapat dikatakan, bahwa psikologi sosial adalah ilmu yang mempelajari bagaimana orang berpikir, memengaruhi, dan saling berhubungan satu sama lain. Ada tiga hal pokok yang diulas dalam psikologi sosial, yaitu pikiran sosial, pengaruh sosial, dan hubungan sosial.

Atkinson dan Atkinson, (2010:351) menjelaskan bahwa psikologi sosial mendasarkan pendekatannya pada topik tentang dua pengamatan fundamental mengenai perilaku manusia. Pertama, perilaku merupakan fungsi dari orang dan situsasinya. Jadi, psikologi sosial berfokus pada telaah tentang pengaruh sosial yang memunculkan berbagai perilaku terhadap individu. Kedua, hal yang mendasari psikologi sosial adalah jika orang menentukan situasi sebagai hal yang nyata, mereka akan bersifat nyata terhadap akibatnya. Hal tersebut berarti bahwa orang tidak hanya akan bereaksi pada ciri objek suatu situasi, tetapi juga pada penafsiran objektifnya sendiri. Itulah yang menyebabkan mengapa orang yang berbeda tidak berperilaku sama dalam situasi objektif yang serupa. Hal yang membedakan psikologi sosial dengan disiplin lainnya terletak pada pendekatannya. Pendekatan psikologi sosial berbeda dengan disiplin lain yang memelajari perilaku sosial dari perspektif kemasyarakatan yang luas.

Menurut Mercer dan Clayton, (2012:158) ketika membahas suatu perilaku manusia dalam studi psikologi sosial, maka yang kita lihat adalah kita menulis berdasarkan perspektif psikologi sosial, bukan biologi seperti yang ada pada psikologi kepribadian. Psikologi sosial terletak diperbatasan antara psikologi dan sosiologi, namun dibandingkan dengan ilmu sosiologi, psikologi sosial fokus pada individu dan lebih banyak menggunakan eksperimentasi. Jika dibandingkan dengan psikologi kepribadian, psikologi sosial tidak memfokuskan diri pada perbedaan individu dan justru lebih berfokus pada bagaimana individu secara umum, memandang dan mempengaruhi satu sama lain.

Uraian tersebut secara garis besar menjelaskan tentang psikologi sosial yang secara murni diterapkan dalam kehidupan nyata. Dalam penelitian sastra, ilmu psikologi maupun psikologi sosial dapat diterapkan dalam sastra. Jabrohim (2014:185), menjelaskan bahwa perhatian pada konsumen sastra berangkat dari sisi komunikasi dari sastra. Pengarang membawakan karya dengan cara mereka masing-masing. Saat ini sastra memiliki ciri khas yang bebas. Analisis dan berbgai kajian tentang sastra pun semakin banyak. Banyak studi sastra yang dikaitkan dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Humaniora mencakup berbagai subjek yang sangat luas terkait kajian kebudayaan manusia, misalnya arkeologi, kajian keagamaan (teologi), sejarah, filosofi, sastra dan bahasa. Ilmu tersebut terkadang juga digabungkan dengan ilmu diluar disiplin ilmu terkait misalnya psikologi dan filsafat.

Meskipun apa yang ada dalam sebuah karya tidak mewakili bentuk psikologi sosial secara menyeluruh, akan tetapi dalam sebuah karya sastra terwujud suatu kompleksitas cerita yang tercermin dari kehidupan nyata. Sastra pada dasarnya akan mengungkapkan kejadian melalui fakta dari mental penciptanya. Karya sastra yang dijadikan subjek penelitian perlu diberlakukan secara manusiawi, karena karya sastra bukanlah barang mati yang lumpuh, melainkan penuh dengan daya imajinasi yang hidup. Oleh sebab itu penggunaan

Page 308: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

302 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

metode dan teori yang tepat menghasilkan penelitian yang tidak bias data. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, konsusmsi masyarakat tentang sastra juga semakin bertambah. Semakin hari banyak sekali pengarang dan sastrawan muda yang bermunculan. Cara kerja psikologi sosial sama dengan sosiopsikologis. Psikologi sosial akan lebih mewadahi muatan sastra secara komperhensif (Endraswara, 2013:22).

Ketika berbecira mengenai sastra lisan, maka karya tersebut hadir di masyarakat secara cepat dan menjadi sebuah peristiwa yang tidak dapat begitu saja hilang dari pola pikir maupun tingkah laku masyarakat. Suatu teori psikologi sosial yang diakitkan dengan sastra lisan, maka jelas sekali bahwa tumpuan utama tetaplah cerita-cerita yang diyakini secara turun temurun tersebut. Sebuah cerita sastra lisan menurut pandangan psikologi sosial hakikatnya adalah sebuah naskah tertulis yang mengandung sejarah dan tidak dapat dibuktikan oleh logika namun berpengaruh terhadap kehidupan psikologi maupun sosiologis. Psikologi sosial juga membahas mengenai kegiatan manusia dalam hubungannya dengan situasi situasi soasial yang akan berpengaruh pada kondisi individu dari cerita tersebut, maupun isi cerita yang sarat akan kejadian yang bersifat agresif maupun altruistik. 3) Kajian Psikologi Sosial dalam Sastra Lisan

Menurut Esten (1984:53) sastra Indonesia adalah suatu bentuk sastra yang baru dan sebelumnya belum dikenal dalam tradisi sastra nusantara. Sastra Indonesia tumbuh bersamaan dengan tumbuh kembangnya kesadaran yang baru dalam kehidupan bangsa. Bentuk sastranya menggunakan bahasa Indonesia yang sebelumnya berasal dari bahasa Melayu. Penggunaan bahasa Indonesia inilah yang mampu merekat berbagai nilai dan kesadaran kedaerahan menjadi suatu nilai kesadaran baru, yaitu kesadaran Nasional.

Konsep sastra berdasarkan alternatif tersebut tidak hanya terbatas pada struktur karya sastra-karya sastra tradisional tetapi yang lebih penting adalah menangkap jiwa dan makna tradisi sastra sub kultur yang lama dapat dipertahankan, namun dapa dikembangkan atau makan dan fungsi yang lama diberi struktur yang telah dikembangkan. Bentuk sastra yang berdasarkan alternatif tersebut bukanlah belum mulai.

Tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan sastra daerah di Indonesia sangatlah erat hubunganya dengan sastra nasional yang baru berkembang sejak diputuskanya bahwa bahasa melayu menjadi bahsa nasional dinegara ini, bahasa dan sastra melayu kemudian tampil sebagai media seluruh rakyat Indonesia dan merupakan alat pengucapan hati nurani karya pengarangnya, sepeti juga bahasa dan sastra daerah lainya. Poer (1989) menjelaskan, keadaan sastra jawapun mengalami proses perkembangan bagi suku jawa yang telah mewarisi sastra lamanya harus pula mengikuti aliran zamanya. Tidak seperti sastra nasiomal yang mempunyai ruang lingkup seluruh Indonesia maka sastra jawa bergerak terbatas diwilayahnya sesuai dengan kondisi yang dimilikinya. Arti kebebasan dan kemerdekaan memperoleh bentuk pasti dalam pernyataan-pernyataan karya penulis jawa karyawan pengarang jawa ankatan baru dengan meminjam istilah salah satu kritisi nasional sebagai sastra majalah, sebab ternyata majalah jawa sampai sekarang ini menjadi bukti.

Page 309: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

303 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Begitupun dengan sastra lisan, sastra lisan sebagai sebuah warisan budaya nenek moyang sangat penting untuk dipelajari. Walaupun kini perkembangan teknologi sudah begitu pesatnya, kesusastraan lisan tidak sepantasnya tertinggal oleh arus yang ada. Astika (2014) secara umum menjelaskan bahwa ketika seseorang belajar tentang sastra lisan, maka seseorang juga belajar budaya dan nilai kehidupan. Di Indonesia, banyak sekali budaya atau kebiasaan yang tercermin dari berbagai suku. Budaya tersebut sangat berpengaruh terhadap keberadaan dan penyebaran kesusastraan lisan.

Menurut Boscom dalam (Danandjaja 1997:19) bahwa budaya daerah memiliki empat peranan yaitu: (1) sebagai sistem proyeksi adalah pencerminan angan-angan suatu kolektif; (2) sebagai pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan; (3) sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device), dan (4) sebagai alat kontrol agar normanorma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.

Contoh yang dapat dilihat melalui penelitian Zekriady (2008) yang berkaitan tradisi khas masyarakat Nusa Tenggara Barat khususnya di kabupaten Sumbawa. Di kabupaten tersebut, baik dari adat pakaian, adat perkawinan, makanan, kesenian dan maupun prilaku kehidupan sehari-hari jauh berbeda dengan tradisi khasnya kebudayaan yang ada di masyarakat Jawa. Hal itu menandakan beraneka ragamnya kebudayaan masing-masing daerah di Indonesia memiliki ciri khas tersendiri. Etnis Samawa di Sumbawa memiliki tradisi lisan, bahkan disebut-sebut sebagai pilar budaya yang masih ada dari semenjak berabad-abad lamanya sampai sekarang. Tradisi lisan pada mulanya berinduk pada bahasa Samawa dalam syair-syair yang di tembangkan sebagai bentuk pengungkapan rasa cinta, sedih, kritik, nasehat, dalam kehidupan masyarakat, karena sudah menjadi bagian dari cara mengekspresikan isi hatinya, apalagi disampaikan dengan cara dilagukan (temung) dalam tradisi upacara adat etnis Samawa.

Seperti halnya mantra dan beberapa jimat yang hadir dalam kehidupan masyarakat Jawa. Hingga saat ini, masih banyak masyarakat Jawa yang percaya tentang manfaat mantra tersebut untuk kekuatan, kesembuhan maupun tolak bala. Hal tersebut tentunya akan mempengaruhi kondisi pikologi maupun sosiologi masyarakatnya. Ketika hal tersebut dipercayai, maka apa yang hadir akan membawa pengaruh terhadap interaksi sosial maupun hubungan sosial masyarakat seperti, mantra pemikat wanita, di dalam Serat Primbon Mangkuprajan dan juga mantra untuk pengobatan. Salah satu mantra untuk pengobatan tersebut adalah mantra untuk mengobati sakit gigi. Secara akal sehat manusia, obat adalah bentuk dari alternatif pilihan untuk penyembuhan baik itu herbal maupun kimia. Akan tetapi, ternyata masyarakat Jawa juga percaya tentang adanya mantra (yang hanya dilisankan) dapat menyembuhkan.

Telah dijelaskan oleh Myers(2012:4), bahwa psikologi sosial secara umum mempelajari tiga halyaitu (1)pikiran sosial, (2) pengaruh sosial dan (3) hubungan sosial. Mantra-mantra yang hadir di tengah kehidupan masyarakat tersebut, telah memengaruhi pola pikir masyarakat, sehingga berpengaruh pula terhadap budaya dan perilaku sehari-hari.Pikiran sosial yang hadir oleh sebab mantra tersebut akan berpengaruh terhadap cara manusia mempersipsikan orang lain, apa yang diyakini dan sikap. Hal tersebut juga berpengaruh terhap pengaruh

Page 310: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

304 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

sosial yang berkaita dengan budaya, konformitas dan persuasidari kelompok-kelompok manusia. Dampak selanjutnya adalah terhadap hubungan sosial dari prasangka masyarakat yang akhirnya menimbulkan sikap menentang (kontra) dan tidak menentang atau percaya (pro). SIMPULAN

Ada hubungan antara fenomena sastra lisan dan perilaku serta aktivitas diri manusia. Oleh karena itu, paradigma psikologi sosial dapat diterapkan dalam kajian sastra lisan. Walaupun sudah banyak penelitian karya sastra dari segi sosiologi maupun psikologi, tetapi psikologi sosial sebagai teori baru yang hadir dalam karya sastralisan belum banyak disadari atau paling tidak belum populer sebagaimana penelitian interdisiplin sastra lainnya seperti sosiologi sastra, psikologi sastra, antropologi sastra, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sampai saat ini paradigma psikologi sosial sebagai kajian sastra lisan belum jelas sosoknya. Penelitian-penelitian teoritis dan uji coba-uji coba dalam kajian sastra selanjutnya diperlukan agar kelak dapat dirumuskan menjadi sebuah pendekatan psikologi sosial terhadap sastra lisan yang mapan.

Paradigma psikologi sosial terhadap cerita sastra lisan akan memperlihatkan unsur pengaruh masyarakat terhadap cerita dan pengaruh cerita terhadap masyarakat. Oleh karena itu, pendekatan psikologi sosial terhadap sastra lisan bukan hanya untuk memahami isi cerita sastra lisan, tetapi juga untuk memahami masyarakat yang membangun suatu cerita. DAFTAR RUJUKAN Astika, I Made dan Yasa, I Nyoman. 2014. Sastra Lisan: Teori dan

Penerapannya. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Atkinson, Rita L. dan Atkinson, Richard C. 2010. Pengantar Psikologi. Jakarta: Erlangga.

Danandjaja, J. 1997. Folklor Indonesia. Jakarta: Grafiti.

Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS (Center of Academic Publishing Service).

Esten, Mursal. 1984. Sastra Indonesia dan Tradisi Sub Kultur. Bandung: Angkasa.

Jabrohim. 2014. Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mercer, Jenny dan Clayton, Debbie. 2012. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.

Myers, David G. 2012. Psikologi Sosial. Edisi 10. Buku 1. Jakarta: Salemba Humanika.

Myers, David G. 2012. Psikologi Sosial. Edisi 10. Buku 2. Jakarta: Salemba Humanika.

Poer, Adhie. 1989. Kritik Esai Kesusasteraan Jawa Modern. Bandung: Angkasa.

Pusposari, Dewi. 2014. Mitos dalam Kajian Sastra Lisan. Malang: Pustaka Kaiswaran.

Page 311: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

305 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Ratna, Kutha Nyoman. 2007. Sastra dan Cultural Studies. Yogyakarta: PT. Pustaka Pelajar.

Taylor dkk., 2009. Psikologi Sosial. Jakarta: Kencana Perdana Media Groub.

Wellek, Rene dan Weren, Austin. 2013. Teori Kesusastraan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Zekriady. 2008. Jurnal Artikulasi. Analisis Bentuk dan Makna Sastra Lisan Sumbawa Sakeco Suku Samawa di Kabupaten Sumbawa dengan Pendekatan Foklor. Vol:2/No:2. Hal: 295-309

Page 312: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

306 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

ANALISIS STRUKTUR DAN NILAI BUDAYA CERITA RAKYAT FAT FINA KOWA KABUPATEN SULA, MALUKU UTARA

Sidik D. Siokona & Masayu Gay [email protected] dan [email protected]

STKIP Kie Raha Ternate, Maluku Utara Jl. Stkip Kie Raha Ternate, Ternate Selatan, Phone/fax (0921) 3120022

ABSTRAK: Penelitian bertujuan mendeskripsikan struktur cerita rakyat fat fina kowa dan nilai budayanya. Penelitian menggunakan metode deskriptif analisitik. Data penelitian dikumpulkan melalui wawancara, rekaman, dan observasi. Analisis data menggunakan model yang ditawarkan Endraswara, yakni pertama, open coding; axial coding, dan display coding. Teknik validasi data, yakni triangulasi data/sumber, metode, teori, dan informan review. Hasil analisis diketahui cerita fat fina kowa, ‘batu gadis’ merupakan sebuah cerita rakyat di Kepulauan Sula, Pulau Mangole yang menggambarkan kejadian suatu tempat, berawal dari kehidupan suatu keluarga dengan keluarga lain. Alur cerita adalah alur maju atau alur lurus. Tokoh yang dominan dalam cerita rakyat Siti Kamaya yang digambarkan sebagai tokoh protagonis berwatak baik dan penurut. Latar tempat lebih banyak digunakan (dominan) dalam cerita rakyat daripada latar waktu. Hal ini sesuai ciri dari folklor. Dalam cerita rakyat tersebut juga terkandung amanat yang cukup bervariasi. Sisi kehidupan budaya tercermin pada sistem patriarki dan nilai moral. Kata Kunci: cerita rakyat, fat fina kowa, struktur, nilai budayaS Indonesia adalah negara yang kaya akan kebudayaan. Salah satu jenis produk budaya tersebut adalah cerita rakyat. Sebagai produk budaya, cerita rakyat merupakan warisan leluhur yang berkembang dari mulut ke mulut, dan bersifat anonym. Cerita rakyat memberikan gambaran kehidupan masyarakat pada zamannya. Dapat dikatakan bahwa cerita rakyat adalah gambaran prilaku budaya, sehingga mengkaji cerita rakyat sama halnya dengan mengkaji seluk-beluk kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Menurut Olajide (2010), cerita rakyat merupakan bagian integral dari budaya apapun. Budaya mempersiapkan pikiran, sementara cerita rakyat berfungsi sebagai pengingat budaya. Pengalaman budaya, terutama dari cerita rakyat (Olajide, 2007b) dan item budaya populer (Cheung, 2001) harus digunakan dalam perawatan pembelajar muda untuk kepemimpinan masa depan. Sebagai kekayaan, sastra daerah tidak hanya berfungsi sebagai alat hiburan saja, melainkan juga dapat menjadi alat untuk memelihara dan menurunkan buah pikiran suatu suku atau bangsa pemilik sastra itu (Jayawati, et al, 1997). Sarjana seperti Adeyemi (1998) dan Olajide percaya bahwa media penulisannya mungkin telah mengurangi yang asli rasa cerita rakyat, jika dibandingkan dengan cerita saat keberadaannya. Para orang tua kala itu bermaksud menghibur dan menasehati anak-anaknya melalui cerita-cerita. Cerita-cerita (cerita rakyat) memiliki keuntungannya, seperti (1) mereka

Page 313: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

307 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

menyadarkan anak-anak ke lingkungan sekitar; (2) mereka membantu anak mengembangkan rasa percaya diri; (3) mereka juga mempertajam insting bertahan anak-anak; (4) cerita rakyat meningkatkan patriotisme anak-anak; dan (5) mereka meningkatkan perkembangan moral. Cerita rakyat umumnya mengacu pada ekspresi budaya, seperti narasi, lelucon, kepercayaan, peribahasa, legenda, mitos, musik, lagu, tarian, kostum, makanan, dan festival, di mana individu dan kelompok membentuk dan menyebarkan identitas bersama. Namun, tidak ada konsensus di antara para folklorists tentang bagaimana menentukan cerita rakyat atau bagaimana menjelaskan masalah dengan makna dan fungsinya (Magdalenic, 2010). Cerita rakyat pada 1990-an didefinisikan sebagai "bentuk ekspresif, proses, dan perilaku" yang dipelajari dan dimanfaatkan dalam interaksi tatap muka dan dinilai untuk menjadi tradisional (Klein, 2015). Sebagai ekspresi budaya, cerita rakyat mewarisi budaya masyarakat setempat. Menurut Brunvand, cerita rakyat adalah bagian budaya tradisional, tidak resmi, dan non-institusional (tradisi rakyat bergantung pada sirkulasi lisan atau kebiasaan). Bascom berpendapat bahwa budaya terdiri dari segala bentuk perilaku yang diperoleh melalui pembelajaran, dan yang berpola sesuai dengan norma- norma yang disetujui tertentu (Popescu, 2011). Davis (2010) Ben Botkin (1938) mendefinisikan cerita rakyat sebagai satu ciptaan tradisional dalam satu komunitas dan dibawa turun sebagai budaya mereka dari satu generasi ke generasi lainnya. Ini adalah identitas masyarakat (Rahim, 2014). Dahulu, cerita rakyat diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam masyarakat tertentu, tradisi lisan (oral tradition) ini hampir sering disamakan dengan folklore, karena di dalamnya tercakup pula tradisi lisan (Endraswara, 2005:3). Menurut William R. Bascom, cerita prosa rakyat dapat dibagi menjadi tiga gelongan besar, yaitu (1) mite (myth), legenda (legend), dan (3) dongeng (folktale) (Bascom, 1965b:4). Mite, adalah prosa cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Salah satu cerita rakyat pada masyarakat Pulau Mangoli Kabupaten Kepulauan Sula, Provinsi Maluku Utara adalah Fat Fina Kowa, yang merupakan salah satu legenda yang lahir dan berkembang di kalangan masyarakat Kepulauan Sula, khususnya masyarakat yang berdomisili di Pulau Mangole. Jenis folklor ini nyaris tidak lagi terwarisi dari generasi ke generasi. Melalui bahasa apa cerita ini berkembang, belum diketahui secara pasti. Hal ini disebabkan masyarakat Pulau Mangoli memiliki tiga bahasa, yakni Bahasa Mangoli, Bahasa Sula dengan beragam dialeknya, dan Bahasa Melayu sebagai lingua franca. Oleh karena itu, data cerita rakyat tersebut peneliti menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia, guna memudahkan proses analisis. Cerita mengisahkan perkawinan paksa hingga terbentuknya beberapa objek (batu dan tanjung) di Pulau Mangoli. Cerita rakyat tersebut mengandung nilai- nilai positif yang mngedukasi, walupun juga negatif. Namun, dalam kajian sastra nilai-nilai yang tidak mengedukasi juga menjadi suatu pesan tabu. Perlu dihilangkan dalam kehidupan sehari-hari.

Page 314: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

308 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Folklor Sesuai dengan pendekatan yang digunakan, yakni pendekatan folklor maka perlu diuraikan istilah tersebut. Kata folklor adalah pengindonesiaan kata Inggris folklor. Kata itu adalah kata majemuk, yang berasal dari dua kata dasar folk dan lore. Folk yang sama artinya dengan kata kolektif (collectivity). Menurut Alan Dundes, folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dengan kelompok-kelompok yang lain. Namun, yang lebih penting adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yakni kebudayaan yang mereka warisi turun temurun, sedikitnya dua generasi yang dapat mereka akui sebagai milik bersamanya. Di samping itu, yang paling penting adalah bahwa mereka sadar akan identitas mereka sendiri (Dundes, 1965:2; 1977:17–35; 1978:7). Yang dimaksud dengan lore adalah tradisi folk, yaitu sebagai kebudayaannya, yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu atau pengingat. Definisi folklor secara keseluruhan: folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic divice). Endraswara (2009:28), folklor adalah karya agung masa lalu, baik lisan maupun tertulis yang amat berharga bagi generasi mendatang. Dari pendapat tersebut dapat diartikan bahwasanya folklor mengandung cakupan makna yang luas. Cerita rakyat merupakan bagian dari subkajian folklor yang disampaikan secara turun temurun dan bersifat lisan. (Danandjaja, 1986:3–4). Berdasarkan makna leksikalnya, tradisi lisan dapat diartikan sebagai sebagian kebudayaan suatu kolektif macam apa saja, secara tradisional tampil dalam versi berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device) (Danandjaja,1986:2). Bertolak dari batasan pengertian itu, beberapa ciri utama tradisi lisan adalah sebagai berikut: (1) penyebaran dan pewarisan secara lisan; (2) bersifat tradisional; (3) ada dalam versi-versi dan varian berbeda; (4) bersifat anonim; (5) mempunyai bentuk berumus atau berpola; (6) mempunyai kegunaan (fungsi) dalam kehidupan bersama kolektifnya; (7) bersifat pralogis, artinya mempunyai logikanya sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum; (8) menjadi milik bersama suatu masyarakat; dan (9) bersifat polos dan lugu Fungsi dan Struktur Cerita Rakyat Pandangan secara umum tentang isi cerita rakyat atau folklor merupakan suatu gambaran masyarakat pemiliknya. Artinya, folklor atau cerita rakyat dapat dijumpai di seluruh daerah atau suku di Indonesia dengan segala jenis dan variasinya. Dalam budaya adat kebiasaan atau pola-pola kehidupan masyarakat daerah tersebut tidak terlalu jauh dan yang ada dalam cerita rakyat yang ada dan berkembang di daerah itu. Cerita rakyat pada suatu daerah biasanya tidak hanya

Page 315: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

309 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

mengungkapkan hal-hal yang bersifat permukaan. Cerita rakyat merupakan sendi- sendi kehidupan secara lebih mendalam. Kehadiran atau keberadaannya sering merupakan jawaban atas tekateki alam yang terdapat di seputar kita. Namun, saat ini penutur cerita rakyat sudah jarang dijumpai atau sudah langka. Hal ini menuntut adanya penginventarisasian cerita rakyat agar isi ceritanya dapat kita nikmati. Nilai-nilai yang ada di dalamnya dapat kita tanamkan kepada generasi muda serta dapat dilestarikan keberadaannya. Terkait dengan hal itu, Dundes (1965:270) mengemukakan pula bahwa fungsi-fungsi folklor yang bersifat umum adalah sebagai berikut (1) membantu pendidikan anak muda; (2) meningkatkan perasaan solidaritas suatu kelompok; (3) memberi sanksi sosial agar berperilaku baik atau memberi hukuman; (4) menjadi sarana kritik sosial; (5) memberikan suatu pelarian yang menyenangkan dari kenyataan, dan (6) mengubah pekerjaan yang membosankan menjadi permainan. Sama seperti karya sastra, cerita rakyat dibangun dari struktur, baik eksternal maupun internal. Srtuktur tersebutlah yang membentuk sebuah cerita. Unsur intrinsik meliputi tema, alur, tokoh dan penokohan, latar (tempat, waktu, sosial), amanat atau pesan. METODE Penelitian ini menggunakan metode dekriptif analitik. Data dikumpulkan melalui wawancara, rekaman, dan observasi. Informan penelitian ini terdiri dari informan kunci dan informan biasa. Analisis data menggunakan model yang ditawarkan Endraswara, dilakukan dengan tahapan, yakni pertama, open coding, dalam tahapan ini peneliti melakukan proses merinci (breaking down), memilah (cheking), memeriksa (examining), membandingkan (comparing), mengkonseptualisasikan (conceptualizing), Kedua, axial coding, yaitu pengorganisasian data. Ketiga, display coding Eendraswara (2009:223). Teknik validasi data, yakni triangulasi data/sumber, metode, teori, dan informan review. Tahapan penelitian, meliputi (1) prapenelitian lapangan. Tahap ini dilakukan dengan beberapa hal, (a) menyusun rancangan yang menggambarkan permasalahan jelas, terfokus, dan bermanfaat; (b) memahami sastra lisan dan kebudayaan; (c) menguasai psikososial, psikobudaya, dan latarbelakang informan; (d) penguasaan bahasa. (2) penelitian lapangan, (3) transkripsi data (Eendraswara (2009:227). Data cerita rakyat diseleksi dari bentuk lisan ke dalam bentuk tertulis dalam bentuk tertulis. Data dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode induksi. PEMBAHASAN Bagian pembahasan diuraikan dua masalah, yakni struktur dan nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat Fat Fina Kowa. Analisis struktur meliputi, tema; tokoh dan penokohan; latar (waktu, tempat, sosial); alur, dan amanat/pesan. Analisis nilai budaya cerita rakyat, meliputi nilai nilai sosial dan nilai moral.

Page 316: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

310 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Pengertian Fat Fina Kowa Secara etimologis, judul cerita rakyat Fat Fina Kowa berasal dari kata fat berarti ‘batu’, fina ‘perempuan’, atau ‘wanita’, kowa ‘wanita yang belum menikah’, atau ‘gadis’. Secara leksikal, Fat Fina Kowa, berarti ‘Batu Berbentuk Gadis’. Hal ini sesuai nama sebuah batu yang terletak di Desa Kou. Konon katanya batu tersebut menyerupai seorang gadis, tidak mengenakan baju (bugi) sambil memegang seekor ayam putih. Konon batu tersebut dahulunya menghadap ke laut, tetapi karena warga ketika melewati tempat tersebut sering menertawai, mengelok-elok karena tidak berbusana, sehingga batu itu pun sudah membelakangi. Peristiwa terbentuknya batu tersebut diceritakan dalam cerita rakyat, Fat Fina Kowa. Hingga kini secara bentuk batu itu tidak lagi nampak lagi sebagai seorang gadis. Menurut pengakuan warga karena olokan warga tersebut. Analisis Struktur Cerita Rakyat Fat Fina Kowa 1. Tema Menurut Nurgiyantoro (2010:25) tema adalah sesuatu yang menjadi dasar sebuah cerita. Tema selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, dan religius. Dalam hal tertentu, sering tema dapat disinonimkan dengan ide atau tujuan utama cerita. Cerita rakyat ‘Fat Fina Kowa’ menggambarkan peristiwa terjadinya atau asal-usul nama beberapa objek (tempat) di Pulau Mangole, yakni Fat Fina Kowa “Batu Gadis”, atau batu nona dalam sebutan masyarakat lokal Fat Mit, “Batu Hitam”, Fat Bot, “Batu Putih”, Fat Nahu, “Batu Panjang”, dan ‘Tanjung Kemaya” di desa Kemaya. Oleh karena itu, tema yan terdapat pada cerita rakyat tersebut adalah “Kawin Paksa dan Hingga Asal-usul Kejadian Beberapa Tempat di Pulau Mangoli”. Berdasarkan inti tema pada cerita rakyat tersebut, maka beberapa tempat tersebut di atas merupakan jelmaan dari manusia, menurut kepercayaan masyarakat lokal. Akibat dari perkawinan paksa. Dengan demikian, cerita rakyat ‘Fat Fina Kowa’ adalah diklasifikasikan sebagai legenda tempat dan perkawinan paksa’. Tema dalam cerita tersebut dikategorikan sebagai tema nontradisional, yakni tema tidak sesuai dengan harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengejutkan, bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan, atau berbagai reaksi efektif yang lain. 2. Tokoh dan Penokohan Pelaku yang mengemban tugas terhadap suatu peristiwa atau kejadian dalam sebuah novel disebut tokoh. Penokohan menurut Aminudin (1987:79) adalah cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku, sedangkan menurut Nurgiyantoro (2010), istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Berdasarkan fungsinya, tokoh dibedakan menjadi tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh yang berperan penting disebut tokoh protagonis, yakni tokoh

Page 317: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

311 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

yang menjadi sentral dalam alur cerita. Bahkan menjadi pusat sorotan dalam kisahan. Berdasarkan penjelasan di atasn, maka tokoh sentral cerita rakyat Fat Fina Kowa memang muncul sangat tersirat. Selain karena, ceritanya yang singkat, cerita yang terjadi dalam sepasang keluarga hampir mendominasi setiap alur cerita. Namun, jika dilihat dari laur cerita ada tokoh yang dominan dalam cerita. Artinya, tokoh tersebut menjadi objek permasalahan setiap detil cerita. Dengan kata lain, tokoh tersebut melakukan interaksi dengan tokoh-tokoh yang lain. Apabila dilihat dari bentuk interaksi, maka tokoh yang lebih dominan pada cerita adalah Siti Kamaya dan Nurmaya. Kedua tokoh ini menjadi aktor yang mendominasi alur cerita. Tagalaya, Baimayang, Fina Kaipa, Kolano, seekor Ikan Hiu merupakan tokoh bawahan. Tokoh sentral dan tokoh bawahan adalah tokoh protagonis, sedangkan tokoh antagonis pada cerita rakyat Fat Fina Kowa diperankan oleh seekor Ikan Tuna, dalam bahasa lokal disebut Ikan Cakalang jelmaan dari seorang laki-laki bernama Jelman. Karakter yang muncul pada tokoh-tokoh cerita rakyat tersebut sangat beragaman, yakni egois, tidak penurut, dendam, dan penyayang. Karakter egois ini muncul pada tokoh Tagalaya, walaupun sebagai seorang ayah dalam keluarga. Namun juga penuh kasih sayang terhadap anak dan keluarganya. Tagalaya, yakni sikap otoritas yang tinggi, memaksa kehendak. Sikap tidak penurut ini terdapat pada Siti Kamaya dan Nurmaya, keduanya menolak dijodohkan, kecuali mengikuti kehendak mereka. 3. Alur Tuloli (2000:20) mengemukakan plot dapat dikembangkan menjadi, peristiwa pertama (awal): Eksposisi (paparan, perkenalan tempat kejadian, waktu, dan tokoh-tokoh); inciting moment (pengembangan masalah-masalah dalam peristiwa; rasing action, (gawatan), terjadinya konflik. Kedua, peristiwa kedua (tengah): complication (rumitan), konflik semakin ruwet; klimaks, kerumitan mencapai puncak. Ketiga, peristiwa (akhir); falling action (leraian) konflik menurun, emosi berkurang; denoument (penyelesaian) masalah, ada yang berakhir dengan kebahagiaan. Cerita rakyat Fat Fina Kowa menggunakan alur maju. Ekposisi cerita tidak tergambar secara baik. Secara ekposisi cerita sudah tergambar, kecuali aspek waktunya kejadian. Hal ini tentu sangat wajar, sebab sesuai dengan ciri anonimnya. Secara rasing action telah muncul, sebab adanya peristiwa awal yang penuh kekhawatiran menuju hingga pada konflik. Secara falling action (leraian) dalam cerita memang tidak muncul, sebab cerita berakhir dengan kesedihan, emosi tidak seakan menurun. 4. Latar Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial dimana terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1981:175)

Page 318: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

312 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Latar terbagi menjadi tiga, yakni latar tempat, mengacu pada tempat terjadi cerita, berwujud fisik bangunan, tempat/daerah; latar waktu mengacu pada kapan suatu cerita itu ada. Latar sosial, mengacu kepada kondisi kehidupan masyarakat, kelompok-kelompok sosial tertentu, sikap, dan adat istiadat (Sudjiman, 1988:44– 45). Latar cerita rakyat pada penelitian ini, meliputi tempat, waktu, dan sosial. Pulau Manggoli, Desa Kou, Waitamela, Waitina, dan Desa Kamaya adalah tempat berlangsung peristiwa cerita. Awal mula tempat kejadian pada cerita tidak tergambar jelas. Adapun beberapa tempat yang disebutkan merupakan keberlanjutan dari peristiwa dalam cerita. Latar waktu pun tidak tergambar pada cerita, kaitanya dengan ‘kapan’ cerita rakyat tersebut terjadi. Namun demikian, dapat diidentifikasi ‘suasana’ sebagai unsur ‘waktu’, yakni mencekang, sedih, penuh dengan kekhawatiran. Suasana ini dapat ditafsirkan pada kejadian yang dialami dan dilakukan oleh tokoh. Unsur ‘mencekang’ terlihat pada pemaksanaan perkawinan oleh Tagalaya kepada anaknya Siti Kamaya; Nurmaya yang diculik Ikan Tuna, jelmaan dari Jelman untuk dinikahi. 5. Amanat atau Pesan Amanat merupakan unsur cerita berupa sesuatu yang ingin disampaikan. Sesuatu tersebut berupa pelajaran atau hikmah dari suatu kejadian. Sesuatu nilai tentang hal yang dilarang dan sebaiknya tidak dilakukan, ditiru, dan diajdikan sebagai pandangan hidup dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat. Terdapat dua amanat atau pesan pada cerita rakyat, yakni (1) Orang tua harus terus memberikan didikan kepada anaknya. Pola didikan orang tua yang baik akan membentuk karakter positif bagi pertumbuhan dan perkembangan anaknya; (2) Perkawinan hendaknya atas dasar saling mencintai. Pemaksaan kehendak harus mempertimbangkan aspek-aspek lain; (3) berbuatlah yang terbaik dalam kehidupan, sebab penyesalan selalu menghampiri setiap orang di saat semuanya sudah terlanjur. Nilai Budaya Cerita Rakyat Fat Fina Kowa Nilai budaya adalah nilai yang berkaitan dengan segala bentuk prilaku dan sikap kepada orang lain. Nilai budaya pada penelitian ini adalah nilai kepribadian. Menurut Simorangkir (1987:14), nilai kepribadian adalah nilai yang mendasari dan menjadi panduan hidup pribadi setiap manusia. Nilai itu merupakan arah dan aturan yang perlu dilakukan sebagai hidup pribadi manusia. Wellek dan Werren (1989:141–142 ), di dalam sastra terdapat nilai-nilai kehidupan yang beragam. Hal demikian bisa dilihat dalam sastra rakyat atau folklor lisan, seperti teka- teki, cerita rakyat dan bentuk-bentuk humor, biasa terdapat norma-norma hidup. Danandjaja (2002) telah banyak meneliti folklor lisan Indonesia. Dengan demikian, setiap cerita rakyat pada setiap daerah mencerminkan ciri khas kehidupan budaya, sosial, dan moral daerahnya.

Page 319: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

313 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Gambaran sistem budaya yang terdapat pada cerita rakyat Fat Fina Kowa salahnya satunya terlihat pada sistem perkawinan yang menganut sistem patriarki dan nilai moral. https://id.wikipedia.org/wiki/patriark, patriarki yakni sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang otoritas utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. Dalam domain keluarga, sosok yang disebut ayah memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak dan harta benda. Gamabaran budaya yang berkaitan dengan sistem patriarki pada cerita rakyat Fat Fina Kowa dapat dilihat pada sistem perkawinan. Di mana adanya dominasi keluarga, terutama sang ayah dalam menentukan calon suami bagi anak perempuannya. Perempuan dalam keluarga yang menganut sistem patriarki tidak memiliki hak untuk menolak kehendak orang tuanya. Praktik sistem patriarki di zaman modern sekarang masih banyak ditemui. Di mana pihak keluarga terkadang memiliki dominasi yang kuat dalam mengambil setiap kebijakan tentang perkawinan penentuan jodoh anaknya. Terkadang dominasi itu, berlandaskan pada aspek material dan status sosial dalam masyarakat. Nilai budaya berupa aspek moral, yakni nilai yang berkaitan dengan sikap baik dan buruk. Kedua nilai sosial pada cerita tersebut muncul secara nyata. Hal ini dapat dilihat pada tokoh utama yang membela dirinya dari sikap egois orang tua terhadap anaknya. Tindakan membunuh yang dilakukan tokoh protagonis pada tokoh antagonis dalam dunia nyata dianggap tindakan salah, membuat kehilangan nyawa orang lain dan melanggarkan hukum. Namun, dalam cerita fiksi tindakan tersebut merupakan tindakan yang dapat dibenarkan, sebab berhubungan dengan sikap membela diri. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data, disimpulkan bahwa cerita rakyat Fat Fina Kowa merupakan salah satu jenis folklor kategori legenda. Cerita rakyat tersebut berkisar kehidupan seorang keluarga dengan anak-anaknya, hingga terbentuknya beberapa tempat. Tempat-tempat tersebut merupakan perwujudan dari satu keluarga dalam cerita. Cerita Fat Fina Kowa menggunakan alur maju. Cerita ini mengangkan tema kehidupan budaya yang terlihat pada sistem patriaiki dalam perkawinan. Cerita Fat Fina Kowa menampakkan urutan secara ekposisi, walaupun paparan tempat awal permulaan cerita tidak disebutkan. Peristiwa cerita berakhir dengan ketidakbahagiaan, sebab tokoh-tokoh dalam keluarga tersebut menjemput ajalnya masing-masing sebelum terkumpul lagi sebagai keluarga yang utuh. Namun, demikianlah alur ceritanya, sebab kalau saja cerita tersebut berakhir dengan bahagia, maka beberapa tempat yang dipercayai tidak akan ada hingga sekarang. DAFTAR RUJUKAN Abrams, M.H. (1981). A Glosary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart

and Winson.

Page 320: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

314 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Adeyemi. O. (1981). Nigerian Folktales and Their Contributions to Early Child- care Development and Education. Centrepoint: A Journal of Intellectual, Scientific and Cultural Interest, 7(2), 109-123.

Aminudin. (1987). Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru. Endraswara, Suwardi. (2009). Metodologi Penelitian Folklor. Yogyakarta: Media Pressindo.

Jayawati, Trisna, M, dkk. (1997). Analisis Struktural dan Nilai Budaya Cerita Rakyat Sumatera Utara, Sastra Melayu. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Dandjaja, James. (2002). Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, dongeng, dan lain-lain.

Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Davis, S. G. (2010). Ben Botkin’s FBI Files. Journal of American Folklore. 487,

122.

Dundes, A. (ed). 1965. The Study of Folklore. Englewood Cliff: Prentice Hall. Klein, B. (2015). Folklore. In International Encyclopedia of the Social &

Behavioral Sciences (hal. 280–284). Elsevier. https://doi.org/10.1016/B978-

0-08-097086-8.12074-4.

Miller, S. (2013). The County Folk-Lore Series of the Folk-Lore Society. Journal of the Folklore Society. 124 (3), 327-344.

Nurgiyantoro, Burhan. (2010). Teori Pengkajian Fiksi. Gajah Mada Universitas

Press: Yogjakarta.

Olajide, S. B. (2010). Folklore and culture as literacy resources for national emancipation. International Education Studies, 3 (2), 200.

Olajide, S. B. (2007b). The Place of Folklore and Culture in Revitalizing Literacy for National Liberation Paper Presented at the 5th Pan-African Reading for All Conference, Held at the University of Ghana, Legon, Accra Ghana, 6th-

10th August, 2007.

Popescu, Crinuta. (2011) The Importance of Regional Folklore in Ascertaining

Aspects of World View. Geopolitics, History, and International Relations.

3.2 (July 2011): p266.

Rahim, N. A. (2014). The Nearly Forgotten Malay Folklore: Shall We Start with the Software? TOJET: The Turkish Online Journal of Educational Technology, 13 (3). Diambil dari http://search.proquest.com/openview/66ddcfab0da2b31edfdc9c2f66d55417/

1?pq-origsite=gscholar&cbl=1576361.

Page 321: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

315 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Rahim, N. A. (2014). The Nearly Forgotten Malay Folklore: Shall We Start with the Software? TOJET: The Turkish Online Journal of Educational Technology, 13(3). Diambil dari http://search.proquest.com/openview/66ddcfab0da2b31edfdc9c2f66d55417/

1?pq-origsite=gscholar&cbl=1576361.

Simorangkir, O. P. (1987). Etika Jabatan. Jakarta: Aksara Persada Press.

Suwardi Endraswara. (2005). Tradisi Lisan Jawa: Warisan Abadi Budaya

Leluhur. Yogyakarta: Narasi.

Sudjiman, Panuti. (1988). Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jakarta.

Teeuw, A. (1984). Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tol, Roger dan Prudentia M.P.P.S. (1995). ”Tradisi Lisan Nusantara; Oral Traditions from the Indonesia Archiplago, A Three Directional Approach”, dalam Warta Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) (edisi pertama);101Maret 1995, hal.1216.

Tololi, Nani. (2000). Kajian Sastra. Gorontalo: Nurul Jannah.

Wellek, Rene dan Austin Warren. (1989). Teori Kesusasteraan. Jakarta: Gramedia.

https://id.wikipedia.org/wiki/Patriarki, diakses 05 Aktober 2017.

Page 322: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

316 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

SASTRA LISAN SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN KARAKTER DI ERA DIGITAL

Oleh: Siti Nur Afifatul Hikmah

[email protected] ABSTRAK: Sastra sebagai media pembelajaran dapat dimanfaatkan secara reseptif (bersifat menerima) dan ekspresif (kemampuan mengungkapkan) dalam pendidikan karakter. Sastra lisan yang merukapan awal dari kesusastraan dan sebuah tradisi semakin menghilang dan terabaikan tergantikan dengan perangkat-perangkat teknologi yang lebih modern. Perekembangan era digital telah menggeser tradisi dan sastra lisan yang berkembang dalam masyarakat. Tantangan era digital menuntut adanya upaya perlindungan, penyelamatan, perekaman dan digitalisasi sastra lisan. Media elektronik menawarkan berbagai informasi pengetahuan dan budaya tanpa adanya filter. Kemajuan teknologi komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tidak berguna. Kata kunci: sastra lisan dan pendidikan karakter

Ilmu sastra menunjukkan keistimewaan, barangkali juga keanehan yang

mungkin tidak dapat dilihat pada banyak cabang ilmu penegtahuan lainnya. Era digitalisasi berpengaruh pula pada perkembangan kesastraan dalam masyarakat. Pada kesastraan yang berbasis tulis, era digitalisasi tidak membawa dampak yang signifikan dalam perkembangannya. Namun, era ini membawa dampak yang cukup signifikan dalam perkembangan sastra lisan. Sastra lisan yang masih kental akan bentuk tradisional yang membutuhkan kehadiran pencerita telah ditinggalkan secara perlahan.

Tantangan terhadap eksistensi sastra lisan di era digitalisasi ini merupakan hal yang tidak dapat diabaikan. Keberadaan sastra lisan merupakan sebuah nilai budaya yang banyak memuat nilai-nilai moral. Pendidikan karakter merupakan suatu usaha yang disengaja untuk membantu anak didik sehingga ia dapat memahami, memperhatikan dan menerapkan nilai-nilai etika atau budi pekerti dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi manusia yang lebih baik. Perlu dipahami, bahwasanya pendidikan karakter dalam dunia pendidikan mengambil peranan yang penting yaitu sebagai penyeimbang dari kecakapan kognitif dari peserta didik.

1. Sastra Lisan

Sastra lisan disebut literature transmitted orally atau unwritten literature yang dikenal dengan istilah folklore. Sastra lisan merupakan bagian kebudayaan yang tersebar dan diwariskan turun-temurun baik yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat (Danandjaja,1994). Sastra lisan adalah kesusasraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan sastra lisan (dari mulut ke mulut). Sebagai bagian dari kebudayaan, sastra lisan tidak lepas dari pengaruh nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat. Adapun ciri-ciri sastra lisan, yaitu; (a) penyampaian atau penyebarannya (b) bersifat kolektif (c) anonim (d) bersifat tradisional (e) memiliki berbagai versi (f) memiliki kegunaan/fungsi tertentu

Page 323: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

317 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

dalam masyarkat (g) memiliki bentuk/pola/formula (h) memiliki sifat-sifat sastra. Sebelum berkembangan sastra tulis di Indonesia, sastra lisan memegang peranan penting dalam perkembangan kesastraan Indonesia. Sastra lisan merupakan sastra dengan perantara utama berupa tuturan. Dalam masyarakat sastra itu dikarang, digubah, lalu disampaikan di depan khalayak secara lisan (Amir, 2013:74). Ada beberapa manfaat mempelajari sastra lisan, yaitu; (a) mengetahui sruktur masyarakat pemilik, (b) pelestarian budaya dan kesastraan, (c) memberikan beragam nilai-nilai spiritual dan pendidikan kepada pembaca.

2. Sastra Lisan Sebagai Media Pendidikan Berkarakater Merebaknya sikap hidup yang buruk telah ikut melemahkan karakter anak-

anak bangsa. Nilai etika dan estetika terkerdilkan oleh gaya hidup instan. Pendidikan berbasis karakter di negeri ini memang telah lama hilang. Karakter dalam konteks ini diartikan sebagai ciri khas atau keperibadian yang dimiliki oleh seseorang yang berupa watak, tabiat, akhlak, perilaku, personalitas, atau budi pekerti yang membedakan antara orang satu dengan orang lain.

Pola indoktrinasi yang demikian lama dalam ranah pendidikan kita, disadari atau tidak, telah mengubah mindset anak-anak cenderung menjadi egois, baik terhadap dirinya sendiri maupun sesamanya. Mereka tidak lagi memiliki kepekaan terhadap sesamanya, kehilangan nilai kasih sayang, dan sibuk dengan dunianya sendiri yang cenderung agresif dengan tingkat degradasi moral yang sudah berada pada titik ambang batas yang tidak bisa dimaklumi.

Berbagai masalah sosial telah mewarnai negeri ini. Tawuran pelajar, pesta narkoba, pengedar pil-pil ekstasi, minuman keras, sikap serakah, dan mau menang sendiri, justru menjadi tontonan masif di tengah massa yang demikian gampang disaksikan melalui layar kaca. Sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya, situasi semacam itu jelas sangat tidak menguntungkan bagi masa depan bangsa, khususnya dalam melahirkan generasi masa depan yang cerdas, baik secara intelektual, emosional, spiritual, maupun sosial.

Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 pada Bab I pasal 1 ditandaskan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya tampak dalam tindakan nyata dalam perilaku baik, jujur, bertanggung jawab.

Sastra bisa menjadi medium yang strategis untuk mewujudkan tujuan mulia. Melalui sastra anak-anak dapat berkreasi sejak dini bisa melakukan olah rasa, olah batin, dan olah budi secara intens sehingga secara tidak langsung anak-anak memiliki perilaku dan kebiasaan positif melalui proses apresiasi dan berkreasi melalui karya sastra. Sastra memiliki potensi yang besar untuk membawa masyarakat ke arah perubahan, termasuk perubahan karakter. Segi kemanfaatan muncul karena penciptaan sastra berangkat dari kenyataan sehingga

Page 324: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

318 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

lahirlah suatu paradigma bahwa sastra yang baik menciptakan kembali rasa kehidupan.Penciptaannya yang dilakukan bersama-sama dan saling berjalinan seperti terjadi dalam kehidupan kita sendiri. Kenyataan tersebut di dalam sastra dihadirkan melalui berbagai tahap proses kreatif. Artinya bahan-bahan tentang kenyataan tersebut dipahami melalui proses penafsiran baru oleh pengarang.

Sebagai sarana pendidikan, untuk sosialisasi nilai-nilai. Ketika semua khalayak hadir dan berhimpun disekitar pertunjukan, terjadi saling memberi dan menerima informasi. Terjadi proses pendidikan yang tua menasehati yang muda memberi contoh yang baik, orang yang dipandang cendekia dapat memberi pesan kearifan, memberi teladan yang mulia. Pendidikan yang dimaksudkan agar seorang anak mengetahui (sosialisasi), memahami, menghayati (internalisasi) nilai yang ditetapkan dan digunakan. Pertunjukan sastra lisan dapat menjadi suasana untuk mendapatkan penegtahuan, mendapatkan pendidikan dalam arti luas, yaitu pendidikan nilai sosial bagi khalayaknya.

Banyak genre sastra yang dapat dijadikan sebagai materi ajar dalam membangun karakter siswa, salah satunya dalalah cerita rakyat. Cerita rakyat merupakan bentuk sastra lisan. Sastra lisan yang berupa cerita rakyat merupakan salah satu cerminan suatu masyarakat. Hal ini karena sastra memiliki peranan yang sangat penting dan sekaligus merupakan kebudayaan daerah. Majunya kebudayaan nasional tentunya sangat berkaitan dengan kebudayaan daerahnya, termasuk di dalamnya adalah sastra lisan (cerita rakyat). Seperti “Keong Mas”, “Cindelaras” dan “Malin Kundang”. Dalam tulisan ini mencoba menggali nilai-nilai yang terkadung melalui cerita rakyat. Misalnya cerita “Malin Kundang”. Sinopsis cerita sebagai berikut:

Pada suatu hari, hiduplah sebuah keluarga kecil di wilayah Sumatra Barat. Sang ayah pergi melaut untuk mencari nafkah. Ibu dan sang anak tinggal di gubug. Sang anak bernama Malin. Ayah Malin tidak kunjung pulang sehingga Ibu harus tutur mencari nafkah. Malin adalah anak yang pandai, meski ia sedikit nakal. Melihat ibunya bekerja keras, Malin merasa kasihan dan akhirnya memutuskan untuk pergi ke pulau seberang untuk bekerja. Meski awalnya tidak setuju, ibu Malin mengizinkan Malin pergi merantau dengan berat hati. Sang ibu mengatar Malin dengan linangan air mata. Ibu berpesan agar Malin tidak melupakannya apabila ia sudah jadi orang kaya raya. Karena kegigihannya dalam bekerja Malin merantau dengan sukses dan menjadi orang yang kaya raya. Penantian yang ditunggu ibu malin akhirnya datang juga. Suatu hari kapal malin berlabuh didermaga kampungnya. Ia berlayar bersama istri dan seluruh anak buahnya. Ibu malin sangat yakin bahwa ia adalah malin anak yang dilahirkanya. Malin menyadari bahwa wanita renta itu adalah ibunya, tetapi karena wanita itu berpakaian sangat lusuh malin merasa sangat malu kepada istri dan anak buahnya. Malin kundang akhirnya tidak mau mengakui ibunya. Ibu malin kundang sangat syok mendengar perlakuan anaknya. Ia merasa sangat marah. Ia tidak pernah menduga malin akan menjadi anak yang durhaka. kemarahan ibu malin tidak terbendung lagi hingga dia menyumpah maka ku kutuk kau jadi batu..!!!" Petir tiba-tiba menyambar dahsyat dan tubuh malin kundang secara berlahan kaku dan sedikit demi sedikit berubah bentuk menjadi batu karang. Sampai sekarang batu karang jelmaan dari malin kundang

Page 325: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

319 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

masih berdiri kokoh di pantai air manis kota padang. Batu ini dijadikan cerminan betapa posisi seorang ibu sangat mulia.

Ketika berbicara tentang pembangunan karakter bangsa, mestinya sastra lisan menjadi salah satu sumber karakter bangsa karena karakter yang tersimpan didalam sastra lisan itu sesuai dengan konteks sosial, agama, dan lingkungan kita. Contoh yang sangat mudah adalah pantun-pantunyang dikenal secara umum oleh masyarakat kita, seperti:

Pisang emas bawa berlayar Masak sebuah diatas peti Hutang emas boleh dibayar Hutang budi dibawa mati

Dalam masyarakat kita, pantun ini lazim diberi makna pesan agar seseorang tidak melupakan jasa dan budi baik orang sekecil apapun. Paling tidak, peliharalah komunikasi dengan orang yang sudah berjasa kepada Anda. Orang yang melupakan jasa orang lain adalah orang yang rendah budi. Lagi pula, bukan tidak mungkin pada masa yang lain Anda memerlukan bantuan orang itu. Baik pantun maupun cerita rakyat ini menyimpan pesan penting untuk membangun karakter bangsa, yaitu membangun, memakaikan, dan meningkatkan budi bahasa agar menjadi orang yang yang mulia dalam pergaulan.

3. Sastra Lisan di Era Digital Karya sastra, sebagai salah satu bentuk kreativitas kultural, merupakan

sebuah gejala komunikasi yang kompleks, tidak hanya melibatkan individu dengan individu, melainkan lebih dari itu melibatkan masyarakat kebudayaan satu dengan masyarakat kebudayaan yang lain dalam suatu relasi komunikasi yang unik.Ceritaselaluadadalamkehidupanmanusia, namuncaramanusiaberceritaserta media dalampenyampaiannyaberbedadariwaktukewaktu. Jikadilihatdaribagaimanasastra di sampaikan, yaitu media yang digunakanuntukbercerita, makaevolusiperkembanganduniasastradapatdikelompokkankedalamempatperiode, yaituperiodeprasejarah,sejarah,cetak,dan internet.Keempatperiodesastratersebut di dalamnyaditandaidenganperalihanteknologidaribagaimanasastradibuatdandipresentasikankepembacanyaataukhalayakumum.

Demikianjugahalnyadengankaryasastra yang dikembangkandalam media eletronik seperti, handphone dan internet jugadidasarkanpada proses linking(menautkan) dankinibahkanlebihkompleksdanbebasdalam media internet. Perkembangan era digital menuntut segalanya serba digital. Sastra lisan pun tidak luput dari pengaruh era ini. Munculnya teknologi digital adalah anugerah bagi upaya untuk melestarikan tradisi lisan. Teknologi digital telah membuat pengumpulan, kompilasi, pengarsipan dan membuat berbagai hal. Sastra lisan tidak serta merta hanya dikenalkan dalam bentuk teks trankripsi saja.

Page 326: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

320 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Dalam era digital, proses perekaman sastra lisan, maupun visualisasi sastra lisan dapat menjadi sarana yang akan lebih menarik minat para generasi muda dalam mempelajari sastra lisan. Sastra lisan bisa ditansformasikan dalam bentuk film animasi, seperti film animasi mengenai Legenda Candi Prambanan, Malin Kundang, Si Kancil atau dapat pula dalam bentuk visual lainnya yang dapat disebarkan melalui internet.

4. Simpulan

Sastra lisan merupakan sastra yang disampaikan secara lisan oleh masyarakat yang disebar luaskan dari mulut ke mulut. Sastra lisan termasuk cerita rakyat, merupakan warisan budaya yang pada dasarnya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Sastra lisan diharapkan mampu menjadi medium pendidikan berkarakater. Nilai yang terkandung dalam sastra lisan menjadi acuan dalam pembelajaran etika dan moral. Perlindungan sastra lisan dalam era digital adalah hal yang perlu dilakukan demi mencegah hilangnya sastra lisan. Pada era digital, proses perekaman sastra lisan, maupun memvisualisasi sastra lisan menjadi sarana yang akan lebih menarik minat para generasi muda dalam mempelajari sastra lisan.

Daftar Rujukan Teeuw.2017.Sastra dan Imu Sastra.Bandung:Pustaka Jaya. Danandjaja.1994.Floklor Indonesia.Jakarta:Grafiti Pers. Astika, I made&Yasa, I Nyoman.2014.Sastra Lisan.Yogyakarta:Graha Ilmu. Amir.2013.Sastra Lisan Indonesia.Yogayakarta:ANDI OFFSET.

Page 327: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

321 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

KOMPLEKS MITOS KANJENG RATU KIDUL (Kajian Dengan Pendekatan Kearifan Lokal)

Soedjijono & Suryantoro

Universitas Kanjuruhan Malang

ABSTRAK: Mitos Kanjeng Ratu Kidul (KRK) telah menjadi kompleks mitos, dalam arti bukan hanya hadir sebagai cerita suci, tetapi sudah diresepsi dan menginspirasi masyarakat pemiliknya serta komunitas lainnya berkreasi melahirkan: sistem kepercayaan, tempat sakral, upacara religius-magis, lukisan, tarian, silsilah dinasti raja, pesugihan, film, video, yang semuanya berbasis mitos KRK. Cerita mitos ini tersebar luas di wilayah pantai selatan dan pedalaman Jawa Timur, Jawa Tengah,dan Jawa Barat.Makalah ini mengkaji kompleks mitos KRK dengan perspektif kearifan lokal, dengan menggunakan 4 (empat) elemen kearifan lokal: (1) penanda identitas, (2) perekat kohesi, (3) pendorong kebersamaan, (4) pikiran kolektif dalam analisis data. Hasil analisis: penanda identitas: KRK sebagai penguasa Laut Selatan; perekat kohesi: pernikahan gaib KRK dengan Panembahan Senapati, pendiri dinasti raja-raja Mataram; pendorong kebersamaan:upacara religius-magispenghormatan dan pemujaanKRK; pikiran kolektif: KRK sebagai sosok adil dan bijaksana dapat dimohon bantuan mencari solusi segala masalah yang dihadapi Keraton Mataram dan masyarakat yang percaya dan meyakininya. Kata kunci: kompleks mitos Kanjeng Ratu Kidul; pendekatan kearifan lokal

Cerita Panji telah melahirkan kompleks budaya Panji. Cerita Panji bukan

hanya ber-henti sebagai sebuah cerita legenda, tetapi telah diresepsi oleh masyarakat dan komunitas lain untuk berkreasi dan menciptakan seni topeng panji, pernik-pernik panji, batik panji, seni tari panji, wayang panji, yang semuanya berbasis pada cerita Panji. Hal ini juga terjadi pada mitos Kanjeng Ratu Kidul (KRK).Cerita sakral itu telah menginspirasi masyarakat pemiliknya dan komunitas lain melahirkan sistem kepercayaan,upacara religius magis, tempat sakral, lukisan, tarian, silsilah dinasti raja-raja Mataram, pesugihan, film, video, yang semua berbasis pada mitos KRK.

Mitos merupakan salah bentuk cerita rakyat (folktale) selain dongeng dan legenda. Menurut William Bascom, mitos memiliki ciri: masyarakat pemiliknya meyakini cerita itu benar-benar terjadi (fact), waktu terjadinya cerita pada masa lampau yang sudah jauh (remote past), tempat terjadinya cerita di dunia lain (different world), masyarakat pemiliknya menganggapnya sebagai cerita suci (sacred), dan tokoh utamanya bukan manusia (non-human) (dalam Dundes, [ed], 1984: 9). Bascom mendefinisikan mitos sebagai, “prose narratives which, in the society in which they are told, are considered to be truthful accounts of what happened in the remote past” (dalam Dundes [ed], 1984: 9). Sementara itu, bahwa mitos berkisah tentang aktivitas para dewa saat dunia diciptakan dan merupakan cerita suci datang dari Hultkrantz, “The myth, …, is a narrative of gods and divine being, whose actions take place inthe period when the present

Page 328: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

322 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

world was formed. … The myth is often sacred in itself, and it is always an object of belief.” (dalam Dundes [ed], 1984: 24)

Dari semua paparan di atas, jelaslah bahwa mitos KRK termasuk jenis cerita suci (sakral).Sebagai folklor lisan, mitos banyak versinya.(Danandjaja, 1984: 4). Mitos KRK juga banyak versi, di antaranya versi masyarakat Banten, versi Keraton Yogyakarta, versi Keraton Surakarta, versi KPH Haryo Dipowinoto, versi di wilayah pantai selatan Jawa (Subiyanto, tt). Dalam makalah ini objek kajian adalah mitosKRK versi KPH Dipowinoto.

Pemilihan mitos KRK sebagai objek kajian dipandang tepat. Secara geografis,mitos KRK tersebar luas di wilayah pantai selatan Pulau Jawamulai dari pantai Banyuwangi hingga pantai selatan Jawa Barat. Mitos KRK dapat eksis dalam berbagai komunitas masya-rakat, di kelas masyarakat nelayan, kelas menengah pebisnis, dan keluarga dinasti Raja Mataram (Kasunanan Surakarta membangun Panggung Sanggabuwana untuk KRK).Masyarakat yang tinggal di wilayah Gunung Merapi, Gunung Lawudan beberapa tempat wilayah pantai selatan Jawa juga mempercayaikeberadaan KRK baik sebagai Dzat Gaib pembawa berkah, tetapi sekaligus pembawa musibah.

Mitos sebagai salah satu wujud kebudayaan, keberadaannyatidak dapat dilepaskan dari latar belakang alam fisik sekitar (habitat) tempat masyarakat tinggal.Menurut Herskovits, alam sekitar atau habitat adalah, “the natural setting of human existence, the physical features of the inhabited by group of people” (dalam Bakker, 1984: 64).Demikian eratnya pengaruh alam fisik sekitar terhadap kebudayaan manusia, digambarkan secara indah oleh Bakker.“Gunung-gemunung, laut, dan hutan dilihat sebagai simbol-simbol alam gaib.Dalam daerah sukar, kebudayaan merupakan suatusimbiose antara manusia dan alam.Hubungan manusia dan alam sekitar membawa banyak oranguntuk memperlakukan ketergantungan manusia dari alam dan memutlakannya.Teoriyang disusun oleh mereka disebut determinisme geografis atau environmentalis” (Bakker, 1984: 64). Akhirnya, perlu diperhatikan, bahwa kajian terhadap mitos tidak dapat dilepaskan dari kehidupan batin masyarakat.Barbour, misalnya, menyatakan, “But if myths are not true when taken literally, what kind of truth can they be said to have? One possibility would be to take themas symbols of man’s inner life” (Barbour, 1976: 25). PENDEKATAN KEARIFAN LOKAL

C.A.van Peursen menyatakan, menilik sejarahnya, kebudayaan manusia dibagi dalam 3 (tiga) tahap: tahap mitis, tahap ontologis, dan tahap fungsional (Peursen, 1985: 18).Dalam kenyataannya, ketiga tahapan tersebut tidak bersifat meniadakan, melainkan dapat hidup berdampingan bahkan serempak. Dalam teori evolusi mitos, munculnya mitos merupakan petunjuk kehidupan manusia dalam alam pemikiran primitif, alam mental pralogis atau mythopoeic. Meskipun menandai tahap pemikiran pralogis, mitos bukan berarti tidak memiliki nilai.Ada 2 (dua) pemikiran yang perlu diperhatikan terkait dengan keberadaan mitos.Arnold van Gennep menyatakan, “Primitive myths and tales, … always taught a lesson of conduct or they were helpful to the tribe in bringing about ends which were desired.” (dalam Thompson, 1967: 386). Koentjaraningrat menyatakan, “Dalam mitos suatu suku bangsa, … penuh

Page 329: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

323 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

peristiwa keajaiban yang jauh dari fakta sejarah. Namun seorang ahli antropologi harus mampu menginterpretasi dongeng-dongeng ajaib itu, mencari artinya, serta indikasi-indikasi tertentu yang dapat menunjuk ke arah fakta sejarah yang benar” (Koentjaraningrat, 1986: 337).

Dari pemikiran-pemikiran di atas, kajian terhadap mitos patut dilakukan. Karena, dari kajian tersebut dapat diungkapkan dan dipahami hal-hal yang menyangkut kehidupan masyarakat pemiliknya, seperti pemikirannya, cita-cita yang diinginkan, ajaran tentang hidup dankehidupan manusia, fakta historis, hingga nilai praktis dari sebuah mitos. Menilik dan mengacu kepada semua paparan di atas, pendekatan kajian yang sesuai adalah pendekatan kearifan lokal.

Dalam kajian ini, yang dimaksud dengan pendekatan (approach) adalah, “perlakuan terhadap objek sebagai sudut pandang etik, demikian juga sebaliknya, bagaimana memahami objek sebagai sudut pandang emik. Dalam pendekatan terjadi hubungan timbal balik antara cara pandang etik dan emik” (Ratna, 2013: 340).

Kearifan lokalmerupakan bagian dari konstruksi budaya.Menurut John Haba, kearifan lokal “mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat, dikenal, dipercayai, dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di antara warga masyarakat” (dalam Abdullah [eds], 2008: 7).

Berdasarkan inventarisasi Haba, kearifan lokal memiliki 6 (enam) fungsi sebagai berikut. (1) Sebagai penanda identitas sebuah komunitas. (2) Sebagai elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama, dan kepercayaan.(3)Tidak bersifat memaksa dari atas (top down)tetapi merupakan sebuah unsur kultural yang ada dan hidup di masyarakat.(4) Memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas. (5) Akan mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok dengan meletakkannya di atas common groundkebudayaan yang dimiliki.(6) Berfungsi mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi, sekaligus sebagai mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang meredusir, bahkan merusak solidaritas komunal yang dipercayai berasal dan tumbuh di atas kesadaran bersama dari sebuah komunitasterintegrasi (dalam Abdullah [eds], 2008: 8). Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa elemen-elemen kearifan lokal yang berfungsi mempertebal kohesi sosial itu adalah (1) penanda identitas; (2) perekat kohesi; (3) pendorong kebersamaan; dan (4) pikiran kolektif. Empat elemen kearifan lokal ini akandigunakan sebagai sarana untuk menganalisis kompleks mitos KRK. Dengan kata lain, kajian ini akan mendeskripsikan perwujudan 4 (empat) elemen kearifan lokal dalam kompleks mitos KRK. Strategi analisis dalam kajian ini dibagankan berikut ini.

Page 330: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

324 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

KAJIAN KOMPLEKS MITOS KANJENG RATU KIDUL DENGAN PENDEKATAN KEARIFAN LOKAL

ELEMEN KEARIFAN LOKAL

PENANDA PEREKAT PENDORONG PIKIRAN IDENTITAS KOHESI KEBERSAMAAN KOLEKTIF

KOMPLEKS MITOS KRK

(KMKRK)

HASILDAN PEMBAHASAN

PENANDA PEREKAT PENDORONG PIKIRAN IDENTITAS KOHESI KEBERSAMAAN KOLEKTIF DALAM DALAM DALAM DALAM KMKRK KMKRK KMKRK KMKRK

HASIL DAN PEMBAHASAN Sinopsis Mitos KRK Prabu Banjaransari dari Kerajaan Pajajaran(Pasundan) mempunyai seorang putra (Mundingsari) dan 3 (tiga) putri: Putri Bisu, Putri Burik, dan Dewi Angin-Angin (selanjutnya disingkat DAA). Di antara ketiga putrinya, yang paling cantik adalah DAA.Sayang, DAA mempunyai sifat kurang terpuji sebagai putri raja, ialah suka bermain cinta dengan lelaki yang tampan.dan dilakukannya secara sembunyi-sembunyi.

Pada suatu saat, Prabu Banjaransari mengetahui kebiasaan tak terpuji DAA. Maka, Sang Prabu pun mengusir DAA untuk meninggalkan keraton. DAA keluar dari keraton, berjalan ke arah timur, dan sampailah di Gunung Kombang untuk bertapa sehingga menjadi pertapa yang sakti. Sepeninggal DAA, Prabu Banjaransari sakit, bersedih hati, dan meninggal. Raja yang

Page 331: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

325 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

menggantikannya adalah Mundingsari, adik DAA.Prabu Mundingsari tidak lama bertakhta, kemudian meninggal.Raja yang naik takhta berikutnya Prabu Mundingwangi, putra Prabu Mundingsari.Pada saat Prabu Mundingwangi naik takhta, di wilayah Pajajaran ada padepokan terkenal dipimpin Pendeta Hajar yang sakti. Takut kewibawaannya disaingi sang pendeta, Prabu Mundingwangi menguji kesaktian Sang Pendeta. Isteri selir Sang Prabu yang tidak hamil, diberi busana seolah-olah hamil. Sang pendeta disuruh menebak isteri Sang Prabu akan melahirkan putra laki-laki atau perempuan. Sang pendeta menebak bahwa isteri Sang Prabu akan melahirkan bayi laki-laki. Karena isteri Sang Prabu tidak hamil, maka Sang Prabu marah dan Pendeta Hajar dihukum mati. Sebelum meninggal, Pendeta Hajar mengutuk Ptabu Mundingwangi, bahwa kelak isteri selir Sang Prabu akan melahirkan bayi lelaki dan setelah besar akan membunuh Sang Prabu Ajaib, isteri selir Sang Prabu benar-benar hamil. Takut akan kutukan Sang Pendeta, Prabu Mundingwangi menugasi patih kerajaan untuk membunuh isteri selirnya yang sedang hamil. Sang Patih membawa isteri selir Sang Prabu ke tengah hutan, tetapi tidak tega membunuhnya.Beberapa bulan kemudian, isteri Sang Prabu melahirkan bayi lelaki yang tampan bernama Ciung Wanara. Setelah besar, Ciung Wanara menyerang keraton serta membunuh Sang Prabu Mundingwangi. Ciung Wanara kemudian naik takhta di Kerajaan Pajajaran.

Sementara itu, Jaka Suruh, putra Prabu Mundingwangi dari permaisuri, menuntut balas kematian ayahnya.Sayang dalam melawan Ciung Wanara,Jaka Suruh kalah.Kemudian,dia harus menyelamatkan diri meninggalkan keraton.Dalam pelariannya Jaka Suruh sampai di pertapaan Gunung Kombang bertemu DAA (nenek Jaka Suruh) yang sudah menjadi pertapa sakti. Jaka Suruh dinasehati agar pergi ke arah timur ke Gunung Merapi, dankelak keturunannyaakan menjadi raja Mataram. Sepeninggal Jaka Suruh, DAA pergi ke laut selatan dan menjadi ratu dengan menguasai semua mahkluk halus di sana. Dalam perjalanan hidupnya, Jaka Suruh menjadi Ki Ageng Pemanahan, berputera Danang Sutawijoyo, juga bernama Panembahan Senopati sebagai pendiri dinasti raja-raja Mataram. Kisah selanjutnya, untuk memperkuat kerajaan Mataram, mulai dari Panembahan Senapati hingga semua keturunan Sang Panembahan yang bertakhta di Mataram harus melakukan pernikahan gaib dengan DAA yang sudah bergelar Kanjeng Ratu Kidul.

Page 332: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

326 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Diagram Silsilah Kanjeng Ratu Kidul dan Raja Mataram

PRABU BANJARANSARI

PUTRI BISU PUTRI BURIK DEWI ANGIN-ANGIN PRABU MUNDINGSARI

(KANJENG RATU KIDUL)

PERMAISURI + PR. MUNDINGWANGI+ ISTERI SELIR

JAKA SURUH

CIUNG WANARA (KI AGENG PEMANAHAN)

SUTOWIJOYO (PANGERAN NGABEHI LORING

PASAR) Nikah gaib (PANEMBAHAN SENAPATI)

(pendiri dinasti raja Mataram)

Penanda Identitas: KRK sebagai Penguasa Laut Selatan Penanda identitas adalah sebutan yang sudah melegenda di masyarakat.Kota pahlawan adalah sebutan melegenda untuk Surabaya, gudheg adalah penanda identitas Yogyakarta.Penanda identitas KRK adalah penguasa Laut Selatan (Samudra Hindia). Sebutan penguasa (ratu) Laut Selatan itu telah tumbuh, berkembang, dikenal, dipercayai dan diakui oleh masyarakat yang tinggal di wilayah pantai selatan Jawa yang pantainya bertebing curam membahayakan, serta wilayah pedalaman Jawa Tengah yang topografinya bergunung, berjurang mengerikan.

Demikianlah, lahirnya kepercayaan Dzat Gaib sebagai penguasa di wilayah mengerikan atau membahayakan yang menjadi tempat tinggal suatu komunitas atau masyarakat dapat dikaitkan dengan teori determinisme geografis seperti dikemukakan Herskovits dan Bakker di atas.Artinya secara psikologis, komunitas atau masyarakat yang tinggal di wilayah berbahaya atau lingkungan alam yang mengerikan membutuhkan hadirnya Dzat Gaib penguasa dan sekaligus pelindung hidup mereka.Sebaliknya, pada komunitas atau masyarakat yang tinggal diwilayah aman atau alam yang ramah, jarang ditemui adanya mitos Dzat Gaib sebagai penguasa alam dan pelindung. KRK sebagai Dzat Gaib penguasa dan pelindung tentu saja dihormati dan dipuja masyarakatnya, sehingga masyarakat tidak berani memakai pakaian warna hijau lumut saat berada di pantai Laut Selatan, karena itulah warna pakaian Sang Ratu.Masyarakat tidak ingin membuat Sang Ratu jadi marah.Jika terjadi musibah ada korban nyawa di pantai atau di Laut Selatan, masyarakat

Page 333: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

327 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

ikhlas menerima musibah tersebut, karena kepercayaan korban memang dipilih dan dibutuhkan Sang Ratu sebagai bala tentara atau punggawa keraton gaib. Sementara itu, timbulnyamitos KRK sebagai penguasa Laut Selatan dapat dipahami sebagaiekspresi bawah sadar psikologiskaum wanita dalam warisan leluhur konflik laki-laki versus wanita. Bawah sadar DAA memberontak, karena sebagai anak perempuan dia tidak mungkin menduduki singgasana Kerajaan Pajajaran. Padahal, dia merasa mampu menjadi raja, karena kecantikan, kecerdasan, dan ketinggian potensi spiritualnya. Itulah sebabnya, setelah terusir dari keraton, DAA bersemedi di Gunung Kombang dan berhasil menjadi pertapa yang sakti.Obsesi DAA menjadi penguasa berhasil, setelah dengan kemampuan spiritualnya yang tinggi dia mampu menaklukkan makhluk halus di Laut Selatan untuk menjadi bala tentara dan punggawanya. DAAyang bergelar Kanjeng Ratu Kidul menjadi penguasa kerajaan di laut yang tidak mungkin dihuni manusia dengan rakyatnya para makhluk halus,bukan menjadi penguasa kerajaan di darat dengan rakyatnya para manusia. Perekat Kohesi: Pernikahan Gaib KRK dan Panembahan Senopati Franz Magnis-Suseno (1985: 84) menyatakan bahwa ciri pandangan hidup Jawa adalah penghayatan terhadap masyarakat, alam, dan alam adikodrati sebagai kesatuan yang tak terpecah belah. Dari kelakuan yang tepat terhadap kesatuan itu tergantung keselamatan manusia.

“Tata alam serba dua namun bersatu mengarah kepada suatu unifikasi atau penyatuan, tetapi bukan kesatuan. Corak dwitunggal dalam melaksanakan tugas hidup itu adalah khas Indonesia” (Subagya, 1981: 117).

Dalam mitos KRK, pernikahan gaib antara KRK dan Panembahan Senapati merupakan lambang perekat kohesi, unifikasi antara kerajaan di laut dan kerajaan di darat, antara penguasa wanita dan penguasa laki-laki, antara rakyat makhluk halus dan rakyat makhluk manusia, antara leluhur masa lalu dan generasi masa kini, antara alam mitis dan alam nyata.

Pertemuan antara KRK dan Panembahan Senapati dimulai saat Panembahan Senapati sedang melakukan semedi di hutan Khayangan.Dampak dari semedi itu adalah suasana panas dan mencekam yang sampai ke kerajaan Laut Selatan.KRK mencari sumber kekuatan yang menyebabkan suasana panas dan para makhluk halus menderita.KRK bermaksud menghukum dan menuntut balas.Ternyata KRK kalah wibawa dari Panembahan Senapati, dan bahkan KRK berada di bawah kekuasaan Panembahan Senapati.Sejak saat itu, KRK menjadi kekasih dan isteri Sang Panembahan. Selanjutnya, ada perjanjian sakral bahwa keturunan Panembahan Senapati yang menduduki takhta kerajaan Mataram menjadi kekasih dan sekaligus suami KRK (Subiyanto, tt: 36-39).

Kehebatan Panembahan Senapati sebagai pendiri dinasti raja-raja Mataram, diabadikan dalam Serat Wedhatama karya KGPAA Mangkunegara IV (naik takhta 1852-1888) di Surakarta Hadiningrat. Pada tembang Sinom pupuh 15, KGPAA Mangkunegara IV berpesan, agar orang Jawa mencontoh perilaku utama Panembahan Senapati, tokoh besar dari Mataram. Beliau mampu mengendalikan hawa nafsu, dengan cara bertapabrata baik siang maupun

Page 334: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

328 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

malam. Beliau berusaha membangun kebahagiaan hati semua orang(Mangkunegara IV, 1989: 22-23)

Perjanjian sakral ini tentu saja mempengaruhi sistem politik di Kerajaan Mataram. Bahwa keturunan Sang Panembahan yang menduduki takhta Kerajaan Mataram haruslah seorang laki-laki, karena harus beristerikan KRK.

Dalam perkembangannya setelah Kerajaan Mataram berdiri, raja Mataram tidak saja menjalin hubungan gaib dengan penguasa Laut Selatan (KRK), tetapi juga dengan penguasa gaib di Gunung Lawu (Kanjeng Sunan Lawu), Gunung Merapi (Kyai Sapujagad), Khayangan, Dlepih (Sang Hyang Pramoni). Demikianlah, pernikahan dan perjanjian gaib raja Mataram dengan para penguasa gaib di 4 (empat) penjuru (utara, timur, selatan, barat) merupakan tindakan perekat kohesi agar wilayah Mataram aman dan tenteram. Sesuai dengan konsep “keblat papat lima pancer” keraton Mataram menjadi pusat pengendali mitis geografis tersebut (Triyoga, 1991: 94).

Pendorong Kebersamaan: Upacara Religius-Magis Berbasis Mitos KRK Komunikasi gaib dengan KRK bukan hanya dilaksanakan oleh keraton Mataram, tetapi juga dilaksanakan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah pantai selatan Jawa serta tempat-tempat tertentu di pedalaman Jawa Tengah. Meskipun secara silsilah, KRK adalah leluhur raja-raja Mataram, namun masyarakat juga merasa memiliki KRK sebagai penguasa dan pelindung hidup mereka. Itulah sebabnya, komunikasi gaib dengan KRK dilakukan dengan berbagai cara. Komunikasi yang bersifat pribadi dilaksanakan di tempat khusus, baik tempat yang alamiah maupun tempat yang sengaja dibangun untuk maksud tersebut, seperti di Goa Langse, Goa Kalak, kamar nomor 308 Samodra Beach Hotel di Pelabuhan Ratu, Panggung Sanggabuwana di dalam kompleks Keraton Kasunanan Surakarta. (Subiyanto, tt: 55, 57). Ritual untuk berkomunikasi bersifat pribadi tersebut tidak melibatkan banyak orang. Sementara itu, komunikasi gaib juga dilakukan secara massal, berupa upacara religius-magis.Upacara yang bersifat massal dan melibatkan banyak orang inilah yang menjadi pendorong kebersamaan.Sebagai kearifan lokal, pelaksanaan upacara tersebut telah menjadi milik dan kebutuhan bersama masyarakat, tumbuh, berkembang, dikenal, dipercayaiuntuk mendapatkan berkah keselamatan, keberhasilan dalam kerja, dan kemakmuran. Pihak keraton Mataram sebagai pusat pengendali mitis geografis melaksanakan upacara labuhan.Kata labuhan berarti membuang barang-barang tertentu di laut atau kawah gunung sebagai sesaji (Sudaryanto & Pranowo, 2001: 485).Keraton Kasultanan Yogyakarta mengadakan upacara labuhan setahun sekali di laut Pantai Parangkusumo, bertepatan dengan hari ulang tahun Sultan yang sedang naik takhta. Barang yang dilabuh terdiri dari seperangkat pakaian sebagai ganti untuk KRK yang diyakini sebagai permaisuri Sultan dan sebagai leluhur raja-raja Mataram. Pakaian dan kebutuhan wanita itu berupa kain panjang, semekan atau kain tutup dada, tusuk konde dan berbagai macam pakaian wanita beserta perlengkapan lain seperti param, ratus, minyak cendana dan kepingan uang logam. Perlengkapan upacara labuhan tadi ditaruh di atas ancak dibawa ke tengah laut, dan diberi bandul batuyang berat agar dapat tenggelam.Sebelumnya, sudah dilakukan ritual dipimpin juru kunci di tempat

Page 335: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

329 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

khusus yang diyakini sebagai pintu gerbang Keraton KRK.Perlengakapan labuhan yang terbawa ombak kembali ke pantai, dipercaya masyarakat bahwa KRK sengaja menghadiahkan kepada para peserta upacara. Upacara pesta laut (petik laut) dalam menghormati dan memuja KRK dilakukan oleh masyarakat nelayan di Pantai Ngliyep (Jawa Timur) dan Pantai Pelabuhan Ratu (Jawa Barat). Pikiran Kolektif: KRK sebagai Sosok Adil dan Bijaksana Pikiran kolektif (representation collective) adalah uraian tentang konsep berpikir melalui aktivitas-aktivitas dan proses-proses rohaniah seperti penangkapan pengalaman, rasa, sensasi, kemauan, keinginan dan lain-lain” (Suyono, 1985: 323). Akal manusia mempunyai kemampuan untuk menghubung-hubungkan proses rohaniah tadi menjadi bayangan-bayangan, dan jumlah dari semua bayangan mengenai suatu hal yang khas menjadi gagasan. Gagasan-gagasan tersebut dapat dimiliki oleh individu atau sebagain besar dari warga masyarakat. Untuk yang terakhir ini disebut gagasan umum atau gagasan masyarakat atau gagasan kolektif atau pikiran kolektif. Pikiran kolektif yang menjadi milik masyarakat ini dapat menjadi kompleks gagasan yang berada di luar individu dan menjadi pedoman bagi tingkah laku atau tindakan para warga masyarakat.(Koentjaraningrat, 1986: 211, 212). Komunitas atau masyarakat Jawa yang akrab dengan mitos KRK telah memilikigagasan yang khas tentang sosok KRK.Gagasan khas tentang KRK itulah yang menjadi pedoman bertindak bagi masyarakat. Sebagai pengkaji, pikiran kolektif tersebut dapat ditafsirkan atau dipahami lewat perilaku masyarakat dalam kaitannya dengan KRK. Sebagaimana telah dipaparkan pada nomor 3.4 di atas, bahwa terhadap KRK masyarakat mengadakan upacara religius-magis baik dilakukan secara individual di tempat-tempat khusus maupun secara massal di area publik. Apapun keragaman uba rampe dan prosesinya, namun tujuannya sama, yakni memohon sesuatu. Sebagai contoh, wacana baku yang diucapkam juru kunci dalam upacara labuhan di pantai Parangkusumo seperti berikut.

“Awit saking kersa Dalem Ingkang Sinuwun caos lelabuhan Dalem mugi kunjuk Kanjeng Ratu Kidul.Ingkang punika, wayah Dalem nyuwun lulusing keprabon Dalem, harjakartining Negari Dalem Ngayogyakarta Hadiningrat, sugenging salira Dalem, panjang yuswa Dalem.” (Subiyanto, tt: 42).

Intinya, Sri Sultan Hamengkubuwono menghaturkan labuhan, semoga

diterima dengan senang hati oleh KRK. Selanjutnya Sri Sultan sebagai cucu KRK memohon kelestarian takhta kerajaan, kemakmuran Negara Ngayogyakarta serta semoga Sri Sultan dikaruniai panjang usia.

Menurut babad, Pangeran Diponegoro bersemedi di Goa Langse untuk memohon petunjuk dan kekuatan kepada KRK dalam rangka mengusir penjajah Belanda dari Jawa (Subiyanto, tt: 57). Upacara-upacara religius-magis terkait KRK yang dilakukan masyarakat di beberapa tempat tujuannya sama, memohon sesuatu kepada KRK. Semua tindakan masyarakat tadi mengacu pada pikiran kolektif bahwa KRK sosok yang adil dan bijaksana.

Page 336: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

330 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

PENUTUP Kajian kompleks mitos KRK dengan pendekatan kearifan lokal ini

menghasilkan pemahaman: (1) penanda identitas: KRK sebagai penguasa Laut Selatan ditaati perintah dan larangannya oleh masyarakat pemiliknya; (2) perekat kohesi: pernikahan KRK dengan Panembahan Senapati untuk membina hubungan akrab Kerajaan Mataram dan Kerajaan Laut Selatan yang dalam perkembangannya Keraton Mataram menjadi pusat pengendali mitis geografis dalam mewujudkan konsep keblat papat lima pancer; (3) pendorong kebersamaan: upacara religius-magis terkait KRK dilakukan secara individual di tempat-tempat khusus, dan juga dilaksanakan di area publik dengan uba rampe dan prosesi yang beragam, untuk memotivasi partisipasi dan kebersamaan masyarakat; (4) pikiran kolektif: KRK adalah sosok yang adil dan bijaksana sehingga dapat dimohon bantuannya dalam mencari solusi segala masalah yang dihadapi Keraton Mataram atau masyarakat yang percaya dan meyakininya.

Keempat elemen kearifan lokal di atas tidak bersifat final. Pengkaji lain dapat mencoba mengidentifikasi elemenkearifan lokalyang berbeda, sehingga acuan teoretis untuk menganalisis data menjadi lebih lengkap. Masih banyak masalah laindalam kompleks mitos KRK yang belum dibahas di sini, misalnya tari Bedhaya Ketawang yang terkait dengan KRK.

DAFTAR RUJUKAN Abdullah, Irwan [eds]. 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan

Global. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Bakker S.J. , JWM. 1984. Filsafat Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Barbour, Iang. 1976. Myths, Models, and Paradigms. New York: Harper & Row

Publishers. Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia. Jakarta: Grafiti Pers. Dundes, Alan [ed]. 1984. Sacred Narrative. California: University California

Press. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa Jakarta: Balai Pustaka. Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Mangkunegara IV, KGPAA. 1989. Serat Wedhatama. Semarang: Effhar &

Dahara Prize. Peursen, C.A. van. 1985. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Glosarium: 1250 Entri Kajian Sastra, Seni, dan

Sosial Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Subagya, Rachmat. 1981. Agama Asli Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan. Subiyanto.Tt. Misteri Nyai Lara Kidul. Solo: Mayasari. Sudaryanto & Pranowo.2001, Kamus Pepak Basa Jawa. Yogyakarta: Badan

Pekerja Kongres Bahasa Jawa. Suyono, Ariyono. 1985. Kamus Antropologi. Jakarta: Akademika Pressindo. Thompson, Stith. 1967. The Folktale. New York: Holt, Rinehart & Winston. Triyoga, Lucas Sasongko. 1991. Manusia Jawa dan Gunung Merapi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Page 337: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

331 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

EKSISTENSI MPAMA PEHE

DALAM INTERAKSI SOSIAL MASYARAKAT ETNIK DONGGGO

DI KABUPATEN BIMA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

1Sri Maryani, 2Erwin

Dosen Program Srudi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah Mataram

[email protected], [email protected]

ABSTRAK: Tulisan ini adalah hasil penelitian yang memotret eksistensi tradisi lisan suatu kelompok etnik. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) Mendeskripsikan kedudukan/keberadaan mpama pehe; (2) bentuk mpama pehe; dan (3) manfaat/kegunaan mpama pehe bagi masyarakat etnik Donggo di kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini dirancang menggunakan metode kualitatif, dengan pendekatan fenomenologi. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik observasi, perekaman dan wawancara. Hasil penelitian ini menjukkan, bahwa nampaknya eksistensi mpama pehe kedepan terancam punah jika tidak ada upaya-upaya serius dan sistematis untuk membangun kembali kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap kebudayannya, khusunya tradisi lisan seperti mpama pehe. Bentuk mpama pehe terdiri dari; (1) sifat dan prilaku manusi, (2) anggota tubuh/organ manusia, (3) sifat dan prilaku binatang, (4) sifat dan bentuk tumbuh-tumbuhan, dan (5) sifat dan jenis benda-benda mati serta lingkungan sekitarnya. Fungsi mpama pehe bagi masyarakat etnik Donggo diantaranya adalah sebagai; (1) media hiburan, (2) media pendidikan, (3) media untuk mengingatkan/pengingat, dan (4) sebagai media untuk memperkenalkan khasanah kearifan budaya dan identitas lokal.

Kata kunci: eksistensi, mpama pehe, bentuk, fungsi, dan masyarakat etnik Donggo

Indonesia adalah Negara kesatuan yang memiliki keanekaragaman kelompok, suku dan etnik. Jika dipetakan teritorial wilayahnya, maka bangsa ini terbagi menjadi tiga belahan, yaitu; Indonesia bagian barat, tengah dan timur. Namun jika dilirik pemetaan wilayah teritorial hukum secara garis besar, maka akan ditemukan bahwa bangsa ini dibentuk oleh 34 provinsi yang memiliki potensi yang beragam. Kesatuan wilayah hukum provinsi sesungguhnya adalah satuan kelompok etnik dan suku bangsa yang memiliki corak dan ciri yang khas sebagai penanda dan pembeda dengan provinsi lain.

Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah salah satu provinsi yang terletak pada zona wilayah Indonesia bagian tengah. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) bukanlah satuan wilayah yang tunggal, melainkan satuan wilayah yang dibentuk oleh dua pulau, yaitu Pulau Lombok dan Sumbawa dan terdiri dari 10 kabupaten dan kota, yaitu kabupaten Lombok Barat, Kota Mataram, Kabupaten Lombok Utara, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Sumbawa Besar, Kabupaten Sumbawa Barat, Kabupaten Dompu, Kabupaten Bima, dan Kota Bima.

Page 338: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

332 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Walau terdiri dari dua pulau dan 10 kabupaten dan kota, namun masyarakat NTB terdiri dari tiga kelompok suku bangsa, yaitu; Sasak, Samawa, dan Mbojo. Suku Sasak adalah entitas yang melekat pada masyarakat pulau Lombok, suku Samawa adalah entitas yang dimiliki oleh masyarak Sumbawa, sedangkan suku Mbojo adalah sebutan bagi masyarakat yang berdomisili di kabupaten Bima, Dompu, dan kota Bima. Setiap suku tentu memiliki sub sistem terkecil yang juga kita kenal dengan etnik, dan salah satu etnik yang dimiliki oleh suku Mbojo adalah etnik Donggo.

Setiap kelompok etnik pada dasarnya memiliki ciri sebagai penanda identitas yang relatif unik dan khas. Ciri yang dimaksud dapat berupa bahasa, tradisi, dan kebudayaan serta kekhasan lainya. Kekhasan dan keunikan dari suatu kelompok etnik sesungguhnya adalah bagian dari fakta kekayaan bangsa yang harus mendapatkan apresiasi dari segenap kelompok masyarakat pemilik dan pewaris kebudayaan/tradisi tersebut. Sikap apresiatif yang terbangun di lingkungan masyarakat pengguna, pemilik, dan pewaris suatu tradisi/kebudayaan sesungguhnya memberikan kontribusi positif terhadap upaya pelestarian dan menjaga keaslian (originalitas) suatu tradisi dan kebudayaan. Dengan demikian, maka keterjagaan dan keterjaminan transformasi kebudayaan dari generasi yang satu kegenerasi berikutnya berlangsung dengan baik.

Tradisi dan kebudayaan masyarakat yang kini diwariskan secara turun-temurun melalui media lisan kini dikenal dengan istilah folklor. Istilah folklor dapat diterjemahkan sebagai bagian kebudayaan suatu kolektif yang terbesar dan diwariskan secara turun-temurun di antara berbagai macam kolektif, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan, maupun contoh yang disertai dengan gerak, isyarat, atau alat pembatu pengingat (Dananjaja, 2009: 3).

Sebagai karya kolektif suatu kelompok, maka tradisi dan kebudayaan (folklor) tidak hanya dapat dipandang sebagai salah satu bentuk karya sastra yang mencerminkan nilai estetik semata, melainkan di dalamnya terintegrasi profil dan identitas pemilik, pengguna dan pewarisnya, yaitu ada muatan sikap, etika, nilai dan norma yang berlaku dalam kehidupan sosial suatu kelompok etnik. Sebagaimana yang dikatakan oleh Koentjaraningrat (2000: 9), bahwa segala kebudayaan adalah mencerminkan nilai teori atau nilai ilmu, nilai ekonomi, nilai agama, nilai seni, nilai kuasa, dan nilai solidaritas. Pradopo (2012: 2) juga berpendapat, bahwa sebagai salah satu aspek budaya, maka karya sastra daerah merupakan cerminan ide dan kreasi yang di dalamnya mengandung nilai-nilai, norma-norma dan benda-benda sebagai hasil karya daerah masyarakat tersebut.

Jika demikian, maka tradisi (folklor) yang telah hidup dan berkembang dalam realitas sosial suatu kelompok etnik haruslah dijamin keberlangsunganya, dan dapat secara terus menerus diwariskan secara turun-temurun dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini dilakukan agar suatu kelompok etnik tersebut tetap mengenal, dan menjalankan kebiasaan/tradisi tersebut sebagai wujud identitas dan karya kolektif, sehingga dapat menyelamatkan nilai dan norma yang terintegrasi di dalamnya.

Seiring dengan bergesernya suatu peradaban dari peradaban lama (primitif) menuju peradaban baru (modernitas) kini memaksa suatu kelompok

Page 339: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

333 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

etnik untuk meninggalkan warisan tradisi leluhurnya. Dengan kata lain, kini generasi muda sebagai pewaris dan penjamin masa depan identitas dan tradisi suatu kelompok etnik kini menujukkan sikap yang cenderung negatif. Mereka sudah tidak lagi memiliki motivasi dan mengapresiasi kebuyaan tradisional, melainkan beralih dan termotivasi untuk mengapresiasi kebudayaan baru (modern). Nampaknya telah terjadi kesalah pahaman (salah persepsi) tentang modernitas. Modern dianggap sebagai sebuah paradigma baru yang yang tidak boleh berdampingan dengan tradisi leluhur, sehingga hal ini dapat dimaknai sebagai akibat dari upaya untuk menghilangkan status sosial dan identitas primitif yang melekat pada diri mereka.

Kondisi semacam ini telah mewabah dan dirasakan oleh berbagai kelompok etnik di nusantara. Salah satunya adalah kelompok etnik Donggo yang kini nampaknya sedang beranjak menuju identetas baru (memasuki peradaban modern). Dengan demikian, maka fakta sosial ini memiliki implikasi yang cukup luas, diantaranya adalah terancamnya eksistensi tradisi dan kebudayaan (folklor) disertai dengan hilanganya nilai dan norma yang terkandung di dalamnya.Guna mengatasi hal itu, maka harus ada upaya strategis untuk menyelamatkan tradisi folklor yang dimiliki oleh masyarak etnik Donggo. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah melakukan penelitian dan menginventarisir kebudayaan tersebut, sehingga dapat menjadi dokumen dan referensi bagi generasi yang akan datang untuk mengenal tradisi folklor yang dimiliki kelompok etnik Donggo sebagai bagian dari kekayaan tradisi folklor nusantara. KERANGKA TEORI

Pertanyaan tradisional atau yang lebih akrap dikenal dengan istilah teka-teki tradisonal adalah pertanyaan yang bersifat tradisional dam mempunyai jawaban yang tradisional pula. Pertanyaan dibuat sedemikian rupa, sehingga jawabanya sukar, bahkan seringkali juga baru dapat dijawab setelah mengetahui lebih dahulu jawabanya (Danandjaja, 2009: 33). Teka-teki tradisional juga berarti ungkapan lisan tradisional yang mengandung satu atau lebih unsur pelukisan (deskriptif), antara keduanya dapat saling bertentangan dan jawabnya (referen) harus diterka (Georges & Dundes, 1963: 113). Dalam perspektif lokal teka-teki tradisional adalah pertanyaan yang bersifat taradisional yang berupa kalimat untuk mengasah pikiran, yang dalam kontek kearifan tradisi lisan serawai disebut dengan ‘Pemuningan’ (Gaffar dkk, 1991: 16). Jika dikontekstualkan dalam kehidupan sosial masyarakat etnik Donggo, maka teka-teki tradisional atau pertanyaan tradisional adalah Mpama Pehe atau mpama hepe.

Menurut Taylor (dalam Danandjaja, 2009: 36-38) berdasarkan sifat yang digambarkan dalam pertanyaan, teka-teki tradisional dikategorikan menjadi 7 (tujuh) bentuk, yaitu; 1) persamaan dengan mahluk hidup, 2) persamaan dengan binatang, 3) persamaan dengan beberapa binatang, 4) persamaan dengan manusia, 5) persamaan dengan beberapa orang, 6) persamaan dengan tanaman, 7) persamaan dengan benda, 8) pertambahan keterangan perumpamaan, 9) pertambahan keterangan pada bentuk dan fungsi, 10) pertambahan keterangan pada waktu, dan 11) pertambahan dalam tindakan.

Page 340: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

334 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Jika berangkat dari teori fungsi folklor secara umum, maka fungsi teka-teki tradisional dapat diformulasikan berdasarkan berbagai pandangan. Diantaranya adalah pendapat, Bascon (dalam Endraswara, 2009: 126), yaitu; (a) sebagai sebuah bentuk hiburan, (b) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (c) sebagai alat pendidikan anak-anak, dan (d) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi oleh anggota kolektifnya. Menurut Dundes (1965:277) adalah untuk; (1) membantu pendidikan anak muda, (2) meningkatkan perasaan solidaritas suatu kelompok, (3) memberikan sanksi sosial agar orang berperilaku baik atau memberi hukuman, (4) sebagai sarana kritik sosial, (5) memberiakan suatu pelarian yang menyenangkan dari kenyataan, dan (6) mengubah pekerjaan yang membosankan menjadi permainan.

Penelitian ini berangkat dari fenomena sosial menurunya apresiasi suatu kelompok masyarakat terhadap karya kolektif yang disebut dengan tradisi folklor. Tradisi folklor yang dimaksud dalam konteks ini adalah Mpama Pehe etnik Donggo. Sebagai bentuk refleksi terhadap fenomena tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kedudukan/keberadaan, menginventarisir, dan upaya mengetahui fungsi Mpama Pehe bagi masyarakat etnik Donggo di kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Kerangka berpikir yang dibangun dalam penelitian ini didasari oleh konsep teori, bahwa penelitian ini adalah penelitian tentang folklor, yaitu folklor bentuk lisan berupa teka-teki tradisional yang dalam konteks kearifan budaya etnik Donggo dikenal dengan Mpama Pehe. Untuk lebih gampang memahami kerangka berpikir dalam penelitian ini, maka berikut akan disajikan dalam bentuk bagan/grafik.

Bagan 2.6 Kerangka Berpikir

METODE Sebagaimana yang tertera pada judul, penelitian ini dilaksanakan di

lingkungan masyarakat etnik Donggo yang berada di kecamatan Donggo dan Soromandi kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Lokasi penelitian terletak di bagian barat kabupaten Bima dengan gambaran; sebelah utara, selatan, dan barat berbatasan dengan Dompu, dan sebelah utara berbatasan

Page 341: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

335 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

dengan teluk Bima. Rancangan penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dan pragmatik. Dengan demikian, maka dapat dijelaskan bahwa penelitian ini berlangsung alamiah, sehingga data yang dikumpul dan hasil analisis dalam bentuk deskripsi yang bersifat kualitatif. Oleh karena itu penelitian ini adalah sebuah tindakan analisis terhadap fenomena dan fakta sosial secara objektif mengenai eksistensi kedudukan, dan bentuk Mpama Pehe sebagai bukti autentik empiris yang diperoleh dengan menggunakan pendekan fenomenologi. Disamping itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan pragmatik untuk mengungkapkan aspek kegunaan atau manfaat Mpama Pehe bagi masyarakat etnik Donggo sebagai pemilik, pengguna, sekaligus pewaris jenis folklor tersebut. HASIL DAN PEMBAHASAN Mpama Pehe dalam Interaksi Sosial Masyarakat Etnik Donggo

Sebagai karya kolektif masyarakat penggunanya (masyarakat etnik Donggo), Mpama Pehe tentu memiliki peran di dalam realitas kehidupan sosial. Ada nilai dan norma yang tersirat dibalik keindakan kata-kata tersebut, sehingga kebermaknaan suatu karya kolektif kelak menjadi corak dan keunikan bagi komunikat etnik penggunanya. Dengan demikian, maka Mpama Pehe/Mpama Hepe adalah salah satu wujud corak dan keunikan yang dimiliki oleh masyarakat etnik Donggo. Sebagai gambaran keberlanjutan eksistensi Mpama Pehe dalam realitas interaksi sosial masyarakat etnik Donggo, maka pada bagaian ini akan dipaparkan temuan dan hasil analisis mengenai kedudukan/keberadaan Mpama Pehe dalam interaksi sosial masyarakat etnik Donggo; dulu, kini, dan dimasa yang akan datang.

Dulu, Mpama Pehe begitu sangat dekat dengan masyarakat baik yang tua, maupun yang muda. Mpama Pehe selalu mengisi waktu senggang baik pada siang hari, maupun pada malam hari. Masyarakat etnik Donggo menggunakan Mpama Pehe saat istrahat di gubuk ketika musim tanam dan musim penen di kebun, ladang dan sawah. Ada begitu banyak nilai yang dapat dipetik yang terkandung dalam MpamaPehe, sehingga nilai-nilai tersebut tercermin pada sikap dan prilaku sosial masyarakat penggunanya.

Sekarang, nampaknya ada pergeseran sikap dan perilaku yang disebabkan oleh adanya akulturasi kebudayaan yang berlahan-lahan menggeser khasanah kebudayaan lokal, sehingga generasi muda/generasi etnik Donggo masa kini tidak lagi giat dan bangga mempelajari, apalagi mempertahankan tradisi lisan Mpama Pehe. Mpama Pehe masih menunjukkan eksistensinya di tengah-tengah hiruk-pikuk kehidupan sosial masa kini, namun hanya pada generasi lama. Sementara sebagian besar generasi baru tidak mentradisikan, bahkan ada juga yang tidak mengenal/tidak tahu.

Di masa yang akan datang, nampak jelas eksistensi Mpama Pehe atau tradisi lisan lainya yang mesti menjadi identitas masyarakat etnik Donggo akan mengalami pergeseran, bahkan berpotensi mengalami kepunahan. Bentuk Mpama Pehe dalam Interaksi Sosial Masyarakat Etnik Donggo

Page 342: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

336 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Sebagaimana ungkapan tradisional pada umumnya, Mpama Pehe memiliki beberapa bentuk yang pada umunya berhubungan dengan hal-hal mengenai persamaan dengan; (1) sifat dan perilaku manusia, (2) anggota tubuh/organ manusia, (3) sifat dan perilaku binatang, (4) sifat dan bentuk tumbuh-tumbuhan, dan (5) sifat dan jenis benda-benda mati serta lingkungan sekitarnya. Bentuk-bentuk Mpama Pehe tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

1) Sifat dan perilaku manusia Beberapa mpama pehe dalam interaksi sosila masyarakat etnik Donggo yang berkaitan dengan perilaku manusi adalah sebagai berikut

2) Sifat dan perilaku binatang Beberapa mpama pehe dalam interaksi sosila masyarakat etnik Donggo yang berkaitan dengan sifat dan prilaku binatang adalah sebagai berikut.

kamau manonto doro ‘ular piton melintasi gunung’

mbao/panggalari uma

losa-losa ana kani kababu ndeko ‘keluar-kelur memakai sarung dengan

cara dililit’ kando ‘tunas/anak bambu’

ulu lao ulu lowa ‘maju mundur secara bergantian’

Edi ‘kaki yang silih berganti saat berjalan’

nteli dou loa eda, nteli ndai ti loa eda ‘pagar orang dapat dilihat, pagar sendiri tidak dapat dilihat'

woi ‘gigi’

ina na ma tunti ama na ma baca ‘ibunya yang tulis, anaknya yang baca’

Ina janga ma keha ngaha ana na ‘iduk ayam yang cari makanan untuk anaknya’

na nee si uma ndai kani na mee, laona di uma dou na kala ‘masuk rumah sendidri hitam, musuk rumah orang merah’

Kapanto ‘udang’

hengga ku ro tada in, hengga ku in tada mon ‘buka rok kelihan in, buka in kelihatan mon’

jago ‘jagung’

ina ndi sarere piu, ana ndi tonda ‘ibunya dielus-elus, anaknya di injak-injak’

a'u ‘tangga rumah panggung’

ina na ma nggao, ana na ma lao ‘ibunya yang teriak, anaknya kabur’

bedi ‘senjata/senapan’

ana na ma mabu, ina na mahari dodo ‘anaknya yang jatuh, ibunya tertawa’

isi wawu ‘tumbuhan wuwu, jika buahnya kering maka bijinya jatuh dan kulitnya terbuka seperti orang tertawa’

losa ta loki ina, losa barsila ‘Keluar dari pantar ibunya dalam keadaan tersusun seperti orang duduk lipat kaki’

ta'i sahe ‘kotoran sapi’

Page 343: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

337 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

‘kayu yang melintasi dua sisi rumah

panggung’

janga bura salona peke ‘ayam putih satu tulang’

kisi ‘alat tenun’

janga mee ma daloa eda mai ‘ayam hitam yang tidak dapat dilihat

kedatanganya’ angi ‘udara/angin’

jara bura rante ta loki ‘kuda hitam pasang rantai di pantat’

landau ‘jarum’

kontu rontu, ade na duna ‘punggung berduri, dalamnya seperti belut’

nangga ‘nangka’

sahe ma makanca angi sanai-nai ‘kerbau yang bertarung dengan angin setiap hari'

wanga uma ‘tanduk rumah/hiasan di atas atap rumah yang dipasang seperti tanduk’

dudu mboto wudu ‘berduri dan banyak telur’

nangga ‘nangka’

jara sabua nente ba dou lima na ‘satu ekor kuda ditunggangi oleh 5 orang’

ciru ‘sendok’

sahe makanca ncau-ncau angi ‘kerbau yang selalu ditetupuk-tepuk angin’

wua tula ‘buah tula’

3) Sifat dan bentuk tumbuh-tumbuhan Beberapa mpama pehe dalam interaksi sosila masyarakat etnik Donggo yang berkaitan dengan sifat dan bentuk tumbuh-tumbuhan adalah sebagai berikut.

ro'o na kapenta, wua na wanga ‘daunnya papan, buahnya tanduk’

kalo ‘pohon pisang’

ro'o na kakare, wuana biji-bajo ‘daunnya mungil, buahnya panjang’

parongge ‘pohon kelor’

ndi mantasa wati mou, ma moro na mou ‘yang matang tidak jatuh, yang mentah jatuh’

ta’i jara ‘kotoran kuda’

ro'o na mancanga paju, wuana biji bajo ‘daunya bercabang, buahnya lonjong dan menggantung’

Panja ‘pepaya’

fu'u haju au ma mbunta ta elona, mbua ta awa dana ‘pohon apa yang berbunga di ujung, berbuah di di bawah tanah’

kaca nggore ‘kacang tanah’

wara wouna tiwara ndaina ‘ada bau tak ada rupa’

Pocu ‘pocu’

ro'o na ma lembo, wuana bune wanga ‘daunya yang lebar, buahnya seperti tanduk’

Kalo ‘pisang’

cacoro dua mobo woko kengge doro ‘dua jomur tunggu dipinggir gunung’

fiko ‘telinga’

4) Sifat dan Jenis benda-benda mati serta lingkungan sekitarnya

Page 344: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

338 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Beberapa mpama pehe dalam interaksi sosila masyarakat etnik Donggo yang berkaitan dengan sifat dan jenis benda-benda mati serta lingkungan sekitarnya adalah sebagai berikut.

maci ma moro, maci ma ntasa ‘manis yang muda, manis yang matang’

saha ‘cabe’

samo-samo kalo wati dipuru ‘cuci-cuci pisang tidak dibakar’

dou ma made ‘mayat ’

kani si na bou, wi'i si na nci'I ‘digunakan menjadi baru, tidak digunakan menjadi bekas dan kotor’

ncai ‘jalan setapak’

oi saciri tiloa eda ba sahe ra jara ‘air secuil yang tidak terlihat oleh kerbau dan kuda’

oi ni'u ‘air kelapa’

kapenta sadompo tiwau waa ba mbere ‘papan satu lembar tidak hanyut oleh banjir’

rera ‘lidah’

mbobo mbalu da wau di bila ‘sesuatu yang tidak terhitung’

honggo ‘rambut’

wara sabua nggaro ra kuta heko, mbo'o sampu’u mbo'o riu ‘ada sebua kebun yang dipagar keliling, tumbang satu tumbang semua’

dou ma sambea jamaa ‘orang yang shalat jumaat’

doro sabua kalili ba dou tolu na ‘gunung satu dikeliling oleh tiga orang’

jam ‘jam dinding’

raba ta awana, tolo ta esena ‘bendungan di bawah, sawah di atas’

dou ma danda oha ‘orang yang dandang nasi’

niu nipa nipi rope ‘kelapa tipis kulitnya’

dolu janga ‘telur ayam’

Fungsi Mpama Pehe Bagi Masyarakat Etnik Donggo Sebagai produk kolektif masyarakat etnik Donggo, Mpama Pehe begitu sangat berarti dan dirasakan memiliki peran dan fungsi strategis dalam kehidupan sosial masyarakat penggunanya. Fungsi Mpama Pehe bagi masyarakat etnik Donggo diantaranya adalah sebagai berikut. 1) Sebagai media hiburan

Dalam hal mengemban peran sebagai media hiburan bagi masyarakat penggunanya, Mpama Pehe dalam interaksi sosial masyarakat etnik Donggo dapat mengisi aktifitas luang di tengah-tengah kesibukan dan rutinitas sosial, seperti saat istrahat ketika bekerja di ladang, sawah dan kebun. Dengan Mpama Pehe, masyarakat dapat mengisi waktu istrahat untuk saling menghibur diri dengan aksi menebak teka-teki yang dilontarkan secara bergantian. Tradisi ini dipandang efektif sebagai media hiburan yang dapat menghilangkan rasa capek dan lelah karena seharian bekerja dibawa teri matahari.

2) Sebagai media pendidikan Tradisi lisan Mpama Pehe sebagaisalah satu karya kolektif masyarakat etnik Donggo juga digunakan untuk melatih kepekaan sosial. Perwujudan dari

Page 345: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

339 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

peran Mpama Pehe sebagai media pendidikan, nampak pada saat dilontarkan kepada peserta tutur untuk ditebak jawabanya, maka dibutuhkan pemikiran yang serius dan sungguh-sungguh sehingga tebakanya tepat. Dengan demikian, maka semakin sering berinteraksi dengan Mpama Pehe akan berefek pada peningkatan produktifitas berpikir. Hal ini juga berarti, bahwa Mpama Pehe dapat berperan sebagai stimulus bagi pihak-pihak yang terlibat untuk dapat terus belajar dalam rangka mengasah sensitifitas logika berpikir yang bersifat filosofis.

3) Sebagai media untuk saling mengingatkan Seringkali terjadi salah kaprah atau salah paham dalam interaksi sosial masyarakat. Bagi masyarakat etnik Donggo, salah satu peran penting Mpama Pehe sebagai media untuk saling mengingatkan, agar tidak selalu berpikir yang bukan-bukan (jorok/mesum). Misalnya saja, Mpama Pehe kancobo ma ngge'e di woha doro kola ‘sumur yang berada di tengah gunung yang gundul’. Menanggapi/menebak teka-teki tersebut terkadang dijawab “kelamin perempuan”. Dengan jawaban seperti itu, maka terkesan si pemberi jawaban berpikir mesum, sehingga yang bersangkutan akan diingatkan dengan jawaban yang benar, yaitu ‘pusar’.

4) Sebagai media memperkenalkan khasanah kearifan budaya dan identitas lokal

Secara umum dan praktis, sebagai suatu bentuk karya sastra lokal Mpama Pehe dapat menjadi salah satu media untuk memperkenalkan khasanah kearifan budaya dan identitas masyarakat etnik Donggo. Pembahasan

Potret eksistensi Mpama Pehe sebagai salah satu karya kolektif masyarakat etnik Donggo yangtelah diulas sebagai temuan penelitian ini adalah salah satu realitas sosial yang menggambarkan, bahwa kini folklor sudah tidak lagi banyak generasi yang mengamalkanya sebagaimana yang terjadi pada masa yang lampau. Kondisi ini dapat menjadi suatu peringatan bagi kita generasi sekarang untuk terus berupaya menginfentarisir dan mendokumentasikanya, sihingga warisan-warisan suku/etnik yang menjadi bagian dari kekayaan bangsa ini dapat diselamatkan.

Sebagaimana yang telah dipaparkan pada hasil penelitian, bahwa kini telah terjadi pergeseran paradigma sosial dari paradigma klasik/tradisional ke arah paradigma moderen yang dapat menyebabkan terancamnya nilai-nilai luhur bangsa. Hal ini, dapat kita cermati melalui adanya sikap negatif masyarakat yang sudah tidak lagi dapat kita bendung. Mpama Pehe atau juga oleh sebagian masyarakat Donggo mengenalnya dengan sebutan Mpama Hepe dulu begitu sangat dekan dengan kehidupan sosial masyarakat, tetapi seiring dengan berjalanya waktu masyarakat Donggo generasi sekarang sudah tidak lagi mentradisikan, bahkan tidak mengenalnya.

Mpama Hepe/Mpama Pehe dalam realitas sosial masyarakat etni Donggo selalu dikemas dengan menggunakan bahasa-bahasa yang kental dengan nilai-nilai filosofis. Sehingga untuk memahaminya, dibutuhkan peran pengetahuan dan insting agar jawabannya dapat ditebak dengan tepat dan benar. Perwujudan dari penggunaan Mpama Pehe adalah berupa deretan kata-kata yang berhubungan dengan (1) sifat dan perilaku manusia, (2) anggota tubuh/organ

Page 346: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

340 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

manusia, (3) sifat dan perilaku binatang, (4) sifat dan bentuk tumbuh-tumbuhan, dan (5) sifat dan jenis benda-benda mati serta lingkungan sekitarnya.

Sebagai nilai guna dari suatu tradisi yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi, Mpama Pehe mengemban fungsi-funsi strategis bagi masyarakat penggunaya. Fungsi-fungsi yang dimaksud adalah sebagai (1) media pendidikan, (2) media pengingat, (3) media hiburan, dan (4) media untuk memperkenalkan khasanah kearifan budaya dan identitas lokal masyarakat etnik Donggo. Hasil penelitian tentang “Eksistensi Mpama Pehe”, dengan masalah pokok kedudukan, bentuk dan fungsi ini semoga dapat menjadi informasi dan sekaligus strategi untuk dapat menyelematkan tradisi lisan yang dimiliki masyarakat etnik Donggo. Sehingga, walau Mpama Pehe sudah tidak digunakan lagi, tetapi masih dapat dikenal oleh generasi yang akan datang. Dengan demikian, maka tindakan serupa dapat dilakukan untuk menjaga eksistensi tradisi-tradis lisan yang lainya. PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian yang telah disajikan pada bagian sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. 1) Masyarakat etnik Donggo masih mentradisikan penggunaan Mpama Pehe

dalam interaksi sosialnya, namun telah terjadi pergeseran sikap pada generasi muda. Sehingga, nampaknya eksistensi Mpama Pehe kedepan terancam punah jika tidak ada upaya-upaya serius dan sistematis untuk membangun kembali kesadaran dan apresiasi masyarakat terhadap kebudayannya, khususnya tradisi lisan seperti Mpama Pehe.

2) Bentuk Mpama Pehe terdiri dari; (1) sifat dan perilaku manusia, (2) anggota tubuh/organ manusia, (3) sifat dan perilaku binatang, (4) sifat dan bentuk tumbuh-tumbuhan, dan (5) sifat dan jenis benda-benda mati serta lingkungan sekitarnya.

Fungsi Mpama Pehe bagi masyarakat etnik Donggo diantaranya adalah sebagai; (1) media hiburan, (2) media pendidikan, (3) media untuk mengingatkan/pengingat, dan (4) sebagai media untuk memperkenalkan khasanah kearifan budaya dan identitas lokal. DAFTAR RUJUKAN

Danandjaja, James. 2002. Pendekatan Folklor dalam Penelitian Bahan-Bahan

Tradisi Lisan; Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

_______________. 2009. Folklor Indonesia (Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain). Jakarta: Pustaka Utama Grafika.

Dundes, Alan (Ed.). 1965. The Study of Folklore. Englewood Cliff: Prentice Hall Inc.

Endraswara, Suwardi. 2009. Metodologi Penelitian Folklor: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Jakarta: Med Press.

Gaffar, Zainal Abidin, dkk. 1991. Struktur Sastra Lisan Serawai. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.

Page 347: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

341 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Koentjaraningrat. 2000. Sejarah Teori Antropologi (Jilid 1). Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2012. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Tajib, Abdullah. 1995. Sejarah Bima Dana Mbojo. Raba- Bima: PT Harapan Masa PGRI.

Page 348: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

342 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

TINJAUAN KOREOGRAFIS DAN KEBERADAAN TARI KABELA DI BOLAANG MONGONDOW

Sri Sunarmi

[email protected] ABSTRAK: Tari Kabela, merupakan tarian penyambutan tamu serta menunjukkan Bagaimana Keberadaan Tari Kabela di Bolaang Mongondow. Tujuannya menginventarisasi karya seni-budaya lokal, Sehingga dengan adanya wujud tersebut maka, Mahasiswa Seni Tari akan mudah dan terpacu untuk dapat belajar serta mencintai budaya miliknya khususnya seni tari tradisional daerah sebagai tari Daerah Setempat. Jenis penelitian kwalitatif dengan beberapa pendekatan, yaitu Etno Art, Fungsi keberadaan, dipakai untuk menggambarkan wujud koreografi dengan memahami fenomena yang menjadi kesadaran masyarakat Bolaang Mongondow, kaitannya denganFungsi keberadaan Tari Kabela ditengah-tengah masyarakatnya.Pendekatan ini dapat melihat dan mengungkap dua jawaban yang diajukan dalam pnelitian ini. Tari Kabela sebagai bentuk tari kreasi kerakyatan, yang dilakukan oleh para penari putri, dan biasanya dilakukan secara berkelompok, atau lebih dari satu penari.Penyajiannya dilaksanakan dengan gerak, yang diiringi alat music rebana dan suling.Medium-medium yang digunakan sangat sederhana.Penyajian terdiri dari beberapa vokabuler gerak yang sederhana.Tari Kabela disajikan sebagai tari penyambutan sebagai rasa penghormatan kepada para tamu yang datang baik secara individual dalam acara resmi kenegaraan.

Kebudayaan adalah suatu bentuk kehidupan dari sekelompok orang yang disebut masyarakat, keberadaannya merupakan hasil dari proses kehidupan masyarakat sebelumnya yang berkembang menurut tuntutan sejarahnya sendiri- sendiri (Umar Kayam, 1981:16 ). Oleh karena itu, tiap-tiap daerah memiliki karakteristik sosial-budaya yang berbeda-beda.Budaya masing-masing daerah memberikan gambaran umum kehidupan masyarakat di tiap-tiap daerah.Seperti halnya budaya dan kesenian yang ada didaerah Bolaang Mongondow.

Bolaang Mongondow merupakan salah satu suku / etnik daerah yang ada di propinsi Sulawesi Utara. Bolaang Mongondow juga sama dengan daerah-daerah lain yang memiliki budaya yang berbeda dengan daerah atau suku etnik lainya. Budaya agama, perilaku maupun budaya berkesenian juga berbeda dengan budaya daerah yang lain. Namun dalam perkembangan budaya di Bolaang Mongondow, kesenian, moralitas dan agama, serta perilaku pada hakekatnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.Salah satu bagian dari kebudayaan adalah kesenian, itulah sebabnya kesenian tidak dapat dipisahkan dari perjalanan kehidupan masyarakat Indonesia.

Kesenian adalah salah satu unsur yang menyangga kebudayaan.(Umar Kayam, 1981:38).Kesenian yang merupakan warisan turun temurun secara berkesinambungan adalah kesenian tradisional.Kesenian tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat.Sebagai salah satu bagian yang penting dari kebudayaan, karena, kesenian merupakan ungkapan kreativitas dari masyarakatnya itu

Page 349: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

343 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

sendiri..Kesenian di Indonesia dapat di kelompokkan menjadi beberapa bagian seperti; Seni Rupa, Seni Tari, Seni Musik, Seni Drama, dan lain sebagainya.Setiap daerah di Indonesia memiliki jenis kesenian masing-masing, dan ekspresi kesenian di tiap-tiap daerah itu merupakan pencitraan atau merupakan cerminan dari kondisi perkembangan kebudayaan daerah tersebut.Kesenian, (Seni atau karya seni ) pada umumnya secara tidak langsung dipakai sebagai sarana untuk pengembangan budaya masyarakat setempat dalam hubungannya dengan sistem budaya itu sendiri (Sri sunarmi,2004.1).Salah satu bagian dari kesenian adalah Seni Tari..Seni Tari ada bermacam-macam jenisnya, salah satu dari jenis tari adalah Tari Tradisional.

Tari Tradisional merupakan jenis tarian yang tumbuh dan berkembang karena tradisi lingkungannya serta yang bersifat turun temurun secara berkesinambungan. Tari tradisional mempunyi ciri dan karakteristik yang berbeda-beda sesuai daerah-daerah dimana tumbuh dan berkembang. Sehingga Tari Tradisional dapat mencerminkan kehidupan daerah serta mencerminkan kekayaan harta warisan budaya bangsa Indonesia. Tarian tradisonal dapat terungkap ciri-ciri tertentu khas daerah yang bersangkutan, yang berbeda dengan daerah–daerah yang lain. Oleh sebab itu tari tradisional merupakan tari yang sangat memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakatnya, karena karakteristik atau ciri-ciri khas tersebut dapat dimengerti untuk mencerminkan suatu daerahnya. Salah satu wujud seni atau kesenian yang ada di suku/etnikBolaang Mongondow, sebagai sarana dalam pengembangan budaya tersebut adalah Tari Kabela

Tari Kabela merupakan tari tradisional yang dipergakan secara berkelompok. Tari kelompok ini dipergakan oleh beberapa putri-putri cantik yang membawa kotak berisikan buah pinang dan bunga-bunga tabur. Tari Kabela merupakan tari kelompok yang diperagakan sebagai sarana Penyambutan atau sebagai sarana pengucapan selamat datang kepada para tamu dalam berbagai acara atau hajatan. Setiap acara atau hajatan baik formal maupun non formal didaerah Sulawesi Utara, apalagi di daerah Bolaang Mongondow, penampilan Tari Kabela selalu mengawali acara atau hajatan dimulai.

Sampai pada dewasa ini, Tari Kabela merupakan tari tradisional sebagai warisan dari pendahulu yang secara turun temurun, serta masih eksis dan masih selalu ditampilkan dalam setiap acara-acara atau hajatan didaerahnya. Sepertinya tari Kabela mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat di daerah Bolaang Mongondow. Selain hal tersebut tari Kabela juga merupakan tari yang dapat mencerminkan ciri khas daerah Bolaang Mongondow.

Namun dengan adanya, kemajuan tehnologi di jaman Globalisasi sekarang ini telah banyak menjanjikan dan memberikan pesona yang baru kepada masyarakat, sehingga banyak seni-seni atau tari-tari yang hilang atau punah karena telah dipengaruhi globalisasi tersebut. Pola perubahan hidup yang baru lebih menawarkan cita-rasa yang terkesan lebih maju dibandingkan dengan cita-rasa ekspresi budaya lokal. Sehingga, anak-anak muda khususnya anak-anak sekolah karena berbagai macam sebab lebih terpesona dengan aneka gaya,

Page 350: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

344 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

pola dan cara hidup global, dan tidak tertarik dengan budayanya sendiri. Pernyataan ini mengindikasikan adanya suatu kecemasan masyarakat dalam menatap kelangsungan hidup tari tari tradisional, sebagai tradisi budaya miliknya.

Oleh sebab itu dengan kemajuan tehnologi dijaman yang telah modern atau jaman globalisasi sekarang ini, sebagai bangsa Indonesia berkewajiban untuk menjaga, melestarikan serta mengembangkannya kedunia yang lebih luas. Artinya, demi kemajuan jaman tidak menampik kemajuan tehnologi namun perlu adanya usaha atau sikap yang lebih selektif mungkin serta, berkewajibanuntuk menjaga seni-seni tradional khususnya tari-tari tradisional yang ada di Indonesia ini. Seperti dijelaskan oleh Kartodirjo, dalam buku penelitian dan pengembangan Historiografi Indonesia suatu Alternatif, bahwa : ”Modernisasi bukan berarti keharusan untuk membuang atau menghilangkan nilai-nilai masa lampau atau tradisonal, karena masih banyak yang relevan dan telah diuji secara empiris sehingga tidak lapuk olah jaman ” . ( Kartodirjo, 1982:124 )

Berdasarkan hal tersebut, tampak gejala yang menarik untuk dicermati, serta dijadikan permasalahan yang menjadi pokok perhatian penelitian. Adapun masalah tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana wujud koreografi TariKabela.? Bagaimana keberadaan TariKabela di Bolaang Mongondow?

Penelitian bersifat kwalitatif dengan beberapa pendekatan pada tari Kabela ini dibingkai pada “literatur lisan.” Dan dipahami sebagai suatu teks, untuk memunculkan verbalitas dengan berbagai konsepsi Etno Art, keberadaan fungsi tari Kabela ditengah-tengah kehidupan masyarakat Bolaang Mongondow.Pendekatan tersebut dipakai untuk memahami fenomena yang menjadi kesadaran untuk mengungkap koreografis serta Keberadaan Tari Kabela.Informasi seniman Kabela ataupun data-data audio dan/atau audio-visual akan dipahami sebagai suatu dokumen yang terbuka untuk didiskrepsikan. Keberadaan atau kehidupan sebuah kebudayaan atau kesenian sangat di tentukan oleh kondisi lingkungan masyarakat pendukunganya (Umar Kayam,1981: 38). Pemikiran umar Kayam tersebut untuk melihat keberadaan Tari Kabela serta untuk mendapatkan gambaran Tari Kabela dalam kehidupan masyarakat Bolaang Mongondow dikarenakan adanya tuntutan jaman yang selalu berubah. Koentjaraningrat mengatakan bahwa manusia sebagai pendukung kebudayaan, terdiri dari latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda. Mereka saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama sehingga kebudayaan-kebudayaan tersebut berubah sifatnya yang khas serta berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran.

Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan diatas, dapat digunakan sebagai acuan atau landasan serta sebagai pendukung dalam penelitian ini. Selain itu dalam penelitian ini juga lebih memperhatikan kesadaran dan minat masyarakat tehadap Tari Kabela yang merupakan salah satu kesenian tradisional daerah Bolaang Mongondow. Hal ini juga dengan memperhatikan bagaimana munculnya Tari Kabela ditengah-tengah masyarakatnya, serta bagaimana Tari Kabela itu digunakan oleh masyarakat Bolaang Mongondow.

Page 351: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

345 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Metode Penelitian

Penelitian terhadap koreografi tari Kabela menggunakan kajian terhadap teks koreografi dengan menguraikan secara detail medium yang melekat. Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian kualitatif dengan melaporkan penelitian dalam bentuk etno art. Untuk itu deskripsi terhadap teks pertunjukan tari Kabela dalam kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Pebdekatan Etno Art dalam penelitian ini berusaha, mendskripsikan Fungsi keberadaan, dipakai untuk menggambarkan wujud koreografi dengan memahami fenomena yang menjadi kesadaran masyarakat Bolaang Mongondow, kaitannya dengan Fungsi keberadaan Tari Kabela ditengah-tengah masyarakatnya.

Tinjauan Koreografis Tari Kabela.

Nama dari tari Kabela diambil dari property yang digunakan dalam tarian tersebut, yaitu Kabela.Property adalah alat perlengkapan yang dipergunakan oleh penari diatas pentas, yang digunakan untuk memperjelas tema serta maksud yang akan disampaikan. Namun pada tari Kabela, alat ini selain untuk memperjelas tema dan maksud dari tariannya, dan bukan merupakan busana melainkan Propery tersebut merupakan sesuatu alat yang digunakan untuk menari sebagai alat yang ditarikan. Alat atau property dalam tari Kabela ini sebagai simbol yang mempunyai fungsi dan makna yang ada padanya.( Wawancara, Roy Kumaat, Pelatih Tari Kabela: 16 agustus 2011). Dipertegas lagi oleh Ginupit26, bahwa, property yang digunakan dalam tari Kabela yaitu menggunakan Kabela. Kabela adalah benda berbentuk kotak atau berbentuk kubus yang merupakan suatu wadah atau tempat ramuan – ramuan kinang.

Tari Kabela merupakan salah satu wujud seni tari tradisional rakyatBolaang Mongondow. Di samping karena tumbuh dan berkembang pada masyarakat juga karena merupakan hasil kreativitas masyarakat Bolaang mongondow., Wujud fisik dari Tari Kabela adalah tari yang yang diperankan atau dimainkan oleh sekelompok penari putri, dengan jumlah penari tergantung pada kebutuhan. Seperti diungkapkan di dalam EnsiklopediUmum, yang menyatakan bahwa tari Kabela adalah tarian rakyat yang sangat populer di daerahBolaang Mongondow,Sulawesi Utara.Di dalam ensiklopedi disebutkan bahwa tarian ini di bawakan oleh penari-penari putri.Tari kabela biasa disajikan pada acara atau hajatan penyambutan tamu.(Pringgodigdo, 1977: 649).

Penyajian tari Kabela dilakukan hanya dengan menggunakan peralatan yang sangat sederhana.Ini sesuai dengan pengertian tari rakyat yang pernah dirumuskan oleh Humardani (1983:6) yang mengatakan bahwa “Seni rakyat tidak memerlukan gerak medum [sic!]27yang jauh, hingga tidak menuntut persiapan dan latihan yang lama untuk perwujudan atau peragaan atau hayatan yang wajar”. Berdasarkan perspektif di atas, maka Tari Kabela dapat dikatakan sebagai suatu wujud seni tradisional rakyat.Eksistensinya tampak dan hidup secara turun temurun dari generasi ke generasi hingga sekarang.Tari Kabela juga telah dikembangkan sedemikian rupa, dan bahkan berkembang menjadi suatu

26Ginupit, wawancara tanggal 15 Juli 2011. 27 Maksud dari medum yang tersebut adalah medium., jadi yang kata medum hanyalah salah cetak pada buku kutipan.

Page 352: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

346 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

bentuk kesenian yang mepresentasikan ciri kultural masyarakatBolaang Mongondow ”( Pringgodigdo, 1977:649).

Wujud Tari Kabela merupakan tari yang ditarikan oleh beberapa penari wanita dengan membawa property atau sarana yang dinamakan kabela yang berbentuk kubus persegi panjang dengan berisikan ramuan-ramuan kinang.Biasanya jumlah penari berjumlah tergantung atau sesuai dengan kebutuhan, namun biasanya selalu berkelompok.Penar-penari wanita atau putri dalam tampilannya menggunakan tata busana maupun tatariasnya selalu sama atau seragam. Sehingga nampak seperti wanita kembar.Penari-penari tersebut menampilkan gerakan- gerakan yang sama dengan lemah gemulai berputar-putar sambil membuat formasi-fomasiatau pola lantai .Adapun formasi-formasi diantaranya formasi lingkaran, segi tiga, garis sejajar, formasi berbentuk V,dan juga berbaris sejajar.

Adapun gerak-gerak yang ditampilkan sangat lembut dan mengalir mengikuti irama musik tarinya. Gerak-gerak yang ditampilkan seolah-seolah gerak yang bermakna para wanita-wanita sedang melakukan bersolek atau sedang berias diri. Selain itu disela-sela tampilan gerak, ada gerakan yang seolah-olah gerak akrobatik, yaitu gerak duduk dengan atraksi kayang.

Tampilan tari Kabela ini biasanya ditampilkan ditengah-tengah para tamu atau dimuka para tamu-tamu disetiap acara atau hajatan baik formal maupun non formal. Mereka bergerak-gerak secara serempak, bersama-sama, dengan gerakan-gerakan seragam mengikuti irama musikiiringan tarinya. Gerakannya dilakukan dengan cara yang sangat sederhana. Namun, pengamatan sehari-hari menunjukkan bahwa anggota badan yang digunakan sebagai medium paling dominan adalah tangan sambil memegang Kabela dibandingkan dengan kaki. Sebabdominasi gerak yang paling menonjol adalah gerak tangan dari pada gerakan kaki. Gerakan kaki seolah-olah cuma bergerak silang-silang dan lebih banyak gerak jalan dengan langkah kecil-kecil dan jinjit-jinjit.

Volume gerak yang digunakan banyak menggunakan volume yang luas tetapi pada gerakan tangan yang diputar-putar atau ukel-ukel ebih banyak menggunakan volume yang sempit.28 Namun, menurut Damopilii sebagai orang yang mencipta tari Kabela bahwa bentuk-bentuk gerak yang lebih bersifat dinamis serta bersifat artistik sering kali sangat dipertimbangkan. Gerak kaki, tangan, maupun ungkapan-ungkapan verbal yang terekspresi lewat gerakan maknawi yang terangkai dalam tempo dan irama yang tetap, ajeg, yang ditentukan oleh irama musik iringan tarinya.

Dalam kaitannya dengan musik, tanpa vokal, terdengar suara iringan instrument yang disebut kulintang dan suara suling sebagai melodi, juga suara alat perkusi rebana. Irama yang digunakan dalam tari Kabela sepertinya mengalun lembut, mengalir serta sedikit ada tekanan-tekanan dan sepertinya kelihatan monoton dan beriramakan melankolis. Tempo yang ada pada tari

28Volume gerak adalah jauh dan dekatnya jarak jangkauan gerakan, baik gerak tangan maupun gerakan kaki yang dihitung dari jarak badan penari. Volume gerak yang luas berarti jangkauan geraknya jauh dengan jarak badan penari itu sendiri, sedangkan volume gerak yang sempit berarti jangkauan geraknya dekat dengan jarak badan penari itu sendiri.

Page 353: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

347 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Kabela kelihatan teratur mengikuti irama yang melankolis namun selalu tampak ceria

Pada tari Kabela juga menggunakan vokabuler-vokabuler29 gerak yang disesuaikan dengan maksud dan isi dari tema yang ada padanya, yaitu merupakan sambutan penghormatan kepada tamu.Adapun alur bentuk sambutan dan penghormatan tersebut adalah dimulai dengan persiapan bersolek atau berdandan merias diri untuk menyambut para tamu-tamu. Setelah merias diri juga mempersiapkan sarana penyambutan yaitu ramuan-ramuan kinang yang akan diberikan kepada para tamu. Sifat dan bentuk vokabuler gerak itu pun sedemikian rupa spesifik pada masing-masing adegan, sesuai adegan per adegannya, atau sesuai dengan alur tema isi tari Kabela sebagai tari penyambutan,atau penghormatan..

Namun pada prinsipnya bahwa dalam tari Kabela menggunakan vokabuler gerak atau istilah kesatuan gerak yang dirangkai menjadi satu.vokabuler yang digunakan dalam tari Kabela dapat terinventarisir terdiri dari vokabuler gerak tangan, kaki serta vokabuler gerak kepala. Adapun vokabuler-vokabuler tersebut yaitu gerak pembuka, gerak hormat pada tamu, gerak mempersilahkan tamu masuk, mempersilahkan tamu duduk, gerak mengelilingi Kabela, gerak kayang, gerak merias diri yang diantaranya gerak menyisir rambut, gerak memakai bedak, memakai pencil alis, dan juga bercermin atau gerak seolah-olah lagi berkaca dimuka cermin. Selain itu juga gerak persiapan untuk memakan kinang, yang dimulai dengan mengupas buah pinang, memakan daun sirih.

Gerak-gerak pembuka ini terdiri dari gerak kedua tangan memegang Kabelanya. Kabela diletakkan diatas telapak tangan kiri sejajar bahu dan tangan kanan diatas kabela dengan posisi telapak tangan menghadap kedepan, dan jari-jari tengah dan ibu jari kanan dijepit, atau bentuk ngithing. Selain itu juga gerak tangan diukel, atau diputar-putar diatas kabela., selanjutnya juga gerak lembehan yaitu gerak tangan kanan yang diputar atau diukel dismping bawah sejajar pinggul, dan pandangan kepala mengikuti gerak tangan kanan.. Dengan posisi kaki sejajar badab berusaha naik turun-naik turun.,

Vokabuler gerak hormat sepertinya merupakan gerak kabela yang diayun-ayun kesamping kiri dan samping kanan sambil diputar-putr diatas kepala, yang kemudian kabela juga dilepas yaitu diletakkan dilantai.Selain vokabuler hormat tersebut juga ada vokabuler hormat yang lain, yaitu kedua tangan silang didepan dada, kedua tangan ditarik kesamping kiri, dilanjutkan kedua tangan sejajar bahu badan naik dan lurus kedepan, yng dilanjutkan kedua tangan diangkat diatas kepala secara bersmaan. Dengan posisi kedua telapak tangan menghadap keatas dan semua ujung jari saling bersentuhan.Selanjutnya kedua tangan perlahan-lahan turun diletakan diatas paha diikuti badan juga turun.Kemudian dilanjutkan kedua telapak tangan bertemu didepan dada seperti posisi sembah sambil posisi badan dan kepala tunduk dan hormat.30

29Pengertian vokabuler didalam dunia tari pada umumnya merupakan beberapa gerak yang dirangkai menjadi satu kesatuan gerak. 30 Lihat, Diktat Kumpulan Tari Daerah Sulawesi Utara, Taman Budaya Propinsi Sulawesi Utara. Manado: 1993. p. 57.

Page 354: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

348 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Vokabuler dengan makna mempersilahkan tamu masuk, dimulai kedua tangan silang didepan dada, dilanjutkan kedua tangan ditarik, tangan kanan ditarik keatas samping kanan dan diikuti pandangan keatas dengan posisi badan miring kekanan sambil badan agak miring dengan gerakan badan naik turun. Sedangkan tangan kiri ditarik kesamping bawah sejajar dengan pinggul sebelah kiri.

Vokabuler dengan makna mempersilahkan tamu duduk, dimulai poosisi duduk berlutut.Kemudian tangan kanan ditarik kesamping kanan belakang, sedangkan tangan kiri kedepan sejajar dada dengan kedua tangan di ukel-ukel sambil badan digerak-gerak naik turun.Dan sebaliknya tangan kiri juga ganti ditarik kesamping kiri belakang tangan kanan didepan dada diukel-ukel sambil badan digerak-gerakan naik turun.Secara bergantian.Selanjutnya tangan kanan bergerak diatas lutut, dan tangan kiiri ditarik keatas sejajar kepala dengan ukel-ukel.

Masih dalam vokabuler ini, dilanjutkan gerak mengelilingi kabela.Gerak ini dimulai dengan posisi berdiri menghadap kabela, kaki kanan melangkah serong kiri diikuti kaki kiri melangkah kebelakang kaki kanan. Tumit kaki kiri diangkat dan tangan kanan sejajar lutut sambil gerakan ukel-ukel. Sedangkan tangan kiri sejajar kepala juga diukel-ukel dilanjutkan kaki kana melangkah ditempat sambil badan bergerak naik turun.Kemudian kaki kiri melangkah dengan putar kekanan, dan tangan kiri ditarik kebawah sejajar lutut dan posisi tangan kiri diatas kabela.Kemudian tangan kanan ditarik sejajar kepala dan digerak-gerak ukel didikuti kakai kanan melangkah kebelakang arah akaki kiri. Posisi tumit diangkat dan selanjutnya kaki kiri melangkah ditempat sambil badannya digerak naik turun.

Berikutnya adalah vokabuler gerak atraksi, yaitu gerakan kayang. Vokabuler gerak ini dimulai dengan poosisi duduk dan gerakan badan yang kayang atau melengkung posisi seperti gerak senam rol belakang, disertai kedua tangan memegang kabela secara perlahan-lahan badan melengkung kebelakang sambil meletakkan kabela kearah belakang badan.. Selanjutnya divariasi dengan gerakan badan miring dan kedua tangan gerak ukel didepan dada, dan ditarik kearah lutut sambil bergerak ukel-ukel. Selanjutnya gerak mengambil kabela lagi dengan posisi duduk sambil kayang. Yang kemudian diletakkan diatas lantai lagi didepan badan.

Berikutnya adalah Vokabuler gerak dengan makna meyisir rambut. Vokabuler gerak ini dimulai denga tangan kiri didepan sejajar bahu telapak tangan menghadap kerah mata,. Tangan kanan digerakan diatas kepala bagian depan kearah belakang kepala. Tangan kanan didepan sejajar bahu, dan telapak tangan menghadap kearah mata. Sedangkan tangan kiri digerak kearah kepala dari depan kebelakang kepala. Demikian juga vokabuler gerak dengan makna gerak memakai bedak, yang dmulai dengan gerakan layaknya gadis-gadis sedang berbedak.Yaitu memakai bedak sama dengan gerakan pada gerakan menyisir rambut, namun gerakan tangan kanan atau kiri posisinya diarahkan kearah pipi. Dan bukan kearah kepala.

Vokabuler gerak dengan makna gerak mengupas kulit buah pinang. Vokabuler gerak ini dimulai dengan tangan kiri ditekuk didepan dada, dengan telapak tangan mengahadap kearah dada. Selanjutnya tangan kanan dari depan

Page 355: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

349 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

dada bergerak melingkar kearah atas tangan kiri. Kemudian bergerak kebawah sambil diikuti badan menunduk. Tangan kanan diangkat dengan melewati tangan kiri dan telapak tangan mengahdap kearah depan.

Vokabuler gerak dengan makna gerak makan daun sirih. Vokabuler gerak ini dimulai gerakan kedua tangan bergerak didepan dada, dan tangan kanan ditarik kearah depan mulut disebelah samping kiri. Sedangkan tangan kiri kedepan sejajar bahu dan digerak-gerakan , kemudian tangan kanan seolah-olah membuang kearah belakang.

Vokabuler gerak dengan makna gerak memakai pencil alis untuk mempertegas bulu alis. Gerakan ini dimulai dengan posisi duduk dan gerakan jari-jari tangan dan ibu jari kedua tangan dijepit serta digerak-gerakan, dan tangan kanan mendekati alis sebelah kanan, dan badan sambil bergerak agak miring. Tangan kiri bergerak didepan sejajar bahu. Demikian juga bergantian gerak tangan kiri mendekati alis sebelah kiri, dan badannya dimiringkan kearah kiri pula. Tangan kanan bergerak didepan sejajar bahu pula.

Vokabuler gerak dengan makna gerak sedang bercermin.Vokabuler gerak ini dimulai masih dalan keadaan posisi duduk, berlutut. Kedua tangan diangkat kedepan dada dan tangan diputar-putar atau diukel-ukel didepan dada perlahan-lahan bergerak kearah serong kanan dan pandangan kearah ketelapak kedua tangan sambil kepala digeleng-kekanan dan geleng kekiri.

Vokabuler gerak tabur bunga, dimulai dengan gerakan penutup kabela dibuka, dan kedua tangan menjepit bunga yang ada didalam kabela.Selanjutnya tangan diangakat dan mehyentuh bahu kanan, dengan posisi duduk serong kearah kiri sambil badan miring kearah kanan.Berikutnya adalah kedua tangan dipindah dibahu sebelah kiri dan badan agak miring kekiri.Dan kedua tangan digerakan kedepan dada sambil badan tunduk, dan melempar bunga kearah atas, dengan cara jari-jari digerak-gerakkan sambil melebar. Berikutnya kedua tangan ditarik kedepan dada, telapak tangan dipertemukan sambil tunduk.Selanjutnya secara perlahan-lahan bergerak serong kanan, dan menaburkan bunga kedepan, dan badan perlahan-lahan menghadap kedepan juga.Selanjutnya adalah gerak dengan menutup kabela dan tangan diposisi diatas penutup kabela.

Berikutnya adalah Vokabuler gerak penutup. Vokabuler ini dimulai dengan badan menunduk dan puatar kanan kira 180 derajad, kemudian kabela diayun=ayun kesampng kanan ayun kesamping kiri dengan badab digerakan naik turun sambil lari-lari kecil ditempat dan selanjutnya adalah gerak lari seperti gerak trisik keluar pentas. Keberadaan Tari Kabela di Bolaang Mongondow

Keberadaan Tari Kabela pada waktu dulu dan sekarang tidak ada perbedaannya. Hal ini bisa dikatakan demikian karena menurut bebrapa pihak yang telah diwawancarai bahwa Tari Kabela dahulu sampai sekarang masih tetap eksis dalam kehidupan bermasyarakat di Bolaang Mongondow.Artinya bahwa, Tari Kabela di Bolaang Mongondow selalu ditampilkan pada setiap acara atau hajatan apapun. Penampilan tari Kabela ini selalu ditampilkan pada awal acara atau biasa sebagai pembuka acara. Untuk itu perlu adanya pembahasan

Page 356: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

350 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

mengenai keberadaan fungsi tari Kabela pada waktu dahulu31 dan pada dewasa ini 1. Tari Kabela Pada Waktu Dulu

Tari Kabela pada waktu dahulu sampai sekarang sangat menjadi idola serta menjadi kebanggaan masyarakat daerah Bolaang Mongondow. Hal ini dikarenakan setiap ada penampilan tari Kabela itu akan menunjukkan atau sudah dapat dimengerti olleh orang-orang bahwa itu Tarian yang berasal dari daerah Bolaang Mongondow. Selain hal tersebut, bahwa Tari Kabela merupakan cirri khas serta sudah menjadi suatu identitas daerah Bolaang Mongondow.. Artinya bahwa bagi siapa saja yang menyaksikan tari kabela dengan pasti orang itu bisa mengetaui bahkan seolah- olah melihat masyarkat Bolaang Mongondow.

Tari Kabela di Bolaang Mongondow dari dahulu sampai sekarang memiliki peranan yang sangat penting. Tari Kabela pada waktu dahulu digunakan pada ivent-ivant penting seperti ; penyambutan tamu baik secara formal maupun non formal, acara resepsi kenegaraan, serta dipakai atau ditampilkan untuk acara hiburan masyarakat sampai pada tingkat ivent-ivent perlombaan. Dalam acara penyambutan tamu dan resepsi kenegaraan Tari Kabela ditampilkan sebagai sarana untuk memberikan penghormatan kepada para tamu-tamu dengan rasa da suasana keakraban dan dan penuh pergaulan. Dalam acara penyambutan tersebut seolah – olah para tamu yang datang merasa diberikan penghargaan serta penghormatan yang agung. Para tamu merasa dipersilahkam untuk masuk, untuk duduk, serta disuguhi ramuan-ramuan kinang sebagai tanda penyambutan dan keakraban penuh dengan rasa penghormatan yang tinggi. Sehingga dapat menarik perhatian bagi orang yang menyaksikannya. Apalagi didukung dengan kostum atau pakaian yang digunakan juga sangat menarik perhatian karena lebih kelihatan sangat megah dengan assesories dan warna-warna yang kontras penuh keemasan.

Tari Kabela di Bolaang Mongondow sudah menjadi identitas masyarakat daerah Bolaang Mongondow, karena sajian tari Kabela sudah mentradisi badi masyarkatnya. ( Wawanacara, Mamonto: 3 September 2011 ). Dikatakan demikian karena di jaman yang sudah modern dan jaman yang Globalisasi yang penuh dengan tantangan pola hidup yang serba baru, tari Kabela tetap dan selalu menjadi tampilan yang paling utama. Padahal pola hidup yang serba baru selalu memberikan suatu yang lebih, namun tari Kabela tidak berpengaruh atau bergeser sedikitpun. Karena ini dapatlah dilihat disetiap ada acara atau hajatan apapun selalu diadakan penampilan dan pementasan tari Kabela. 2. Tari Kabela Pada Saat dewasa Ini Dengan adanya suatu perkembangan pada masyarakat di Bolaang Mongondow dalam sistem informasi, tehnologi, maupun hiburan, maka timbulah suatu perubahan yang membuat masyarakat ingin mencoba hal-hal baru. Hal ini merupakan hal yang sangat normal dalam suatu perubahan kebudayaan. Namun dengan datangnya pola-pola yang baru bagi masyarakat Bolaang Mongondow

31

Pada waktu dulu, Yang dimaksukan adalah tidak terbatas dulu dan tidak pasti kapan.

Page 357: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

351 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

tidak merasa terpengaruh dengan sesuatu yang baru, hal ini bukan berarti masyarakat daerah Bolaang Mongondow tidak meneriama hal–hal yang lebih baru, namun bagi masyarakat setiap bertindak harus selalu mengadakan kegiatan lebih selektif.

Sehingga kebudayaan yang lama merasa tidak bisa digeser oleh apapun. Oleh sebab itulah Tari Kabela didaerah Bolaang Mongondow masih tetap dominan peranannya dalam kehidupan masyarakat Bolaang Mongondow. (Wawancara: Damopolii, 5 Maret 2011 ) Namun di jaman yang telah modern ini juga sangat mempengaruhi tari Kabela. Tetapi pengaruh tersebut bukanlah pengaruh dari peranan tari Kabela dalam kehidupan masyarakat Bolaang Mongodow, namun lebih pengaruh yang lebih untuk menuju ke sesuatu yang lebih baik. Artinya, bahwa perubahan-perubahan itu adalah demi kebaikan pada bobot kwalitas dari tari Kabela sebagai pertunjukan yang lebih artistik. Sesuatu yang baru itu dalam segi penyajian, atau penampilannya, yaitu para kreator, para penari lebih memperhatikan bobot kwalitas penampilannya baik secara fisik maupun secara dinamik. Hal ini dapat dilihat dari penampilan yang secara tehnik kesenian lebih diperhatikan.

Adapun tehnik-tehnik kesenian tersebut diantaranya yaitu dari segi gerak sebagai medium pokok sangat diperhatikan dalam hal elemen-elemen geraknya Seperti misalkan kejelasan pada, bentuk, volume, garis, irama serta ekspresi dalam vokabuler gerak sangat diperhatikan. Selain hal tersebut juga dari segi medium pendukungnya, diantaranya dari segi tata rias serta serta penataan busana sebagai kostum tari Kabela. Dalam segi penampilan kostum yang mengalami beberapa perubahan, artinya busana yang dulu sangat sederhana sekarang lebih didesain baik dari bahan yang digunakan, maupun dalam penataan desain model baju sebagai kostumnya. Penataan –penataan tersebut dibuat lebih bisa menarik perhatian, baik bagi yang melihat maupun yang memekainya,

Jadi, Perubahan tersebut merupakan perubahan pada tingkat perkembangan kreatifitas tehnik kesenian. Hal ini dapat dilihat dalam penggarapan pada gerakan-gerakan tari. Pada gerakan tari sekarang lebih menarik serta lebih kelihatan lincah serta atraktif. Sehingga membuat lebih manarik dalam penyajiannya. Mengenai fungsi seni pertunjukan atau penampilan tari Kabela dari dahulu hingga sekarang sebenarnya masih sama. Kesimpulan.

Tari Kabela merupakan jenis tarian yang tumbuh dan berkembang karena tradisi lingkungannya serta yang bersifat turun temurun secara berkesinambungan. Tari Kabela di Bolaang Mongondow dari dahulu sampai sekarang memiliki peranan yang sangat penting bagi masyarakat pendukungnya. Artinya, bahwa Tari Kabela pada waktu dahulu sampai pada dewasa ini digunakan pada ivent-ivant penting seperti ; penyambutan tamu baik secara formal maupun non formal, acara resepsi kenegaraan, serta dipakai atau ditampilkan untuk acara hiburan masyarakat sampai pada tingkat ivent-ivent perlombaan.

Page 358: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

352 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Dalam acara penyambutan tamu dan resepsi kenegaraan Tari Kabela ditampilkan sebagai sarana untuk memberikan penghormatan kepada para tamu-tamu dengan rasa dan suasana keakraban serta penuh pergaulan. Dalam acara penyambutan tamu tersebut seolah – olah para tamu yang datang merasa diberikan penghargaan serta penghormatan yang agung. Para tamu merasa dipersilahkam untuk masuk, untuk duduk, serta disuguhi ramuan-ramuan kinang sebagai tanda penyambutan dan keakraban penuh dengan rasa penghormatan yang tinggi. Sehingga dapat menarik perhatian bagi orang yang menyaksikannya. Apalagi didukung dengan kostum atau pakaian yang digunakan juga sangat menarik perhatian karena lebih kelihatan sangat megah dengan assesories dan warna-warna yang kontras penuh keemasan.

Tari Kabela di Bolaang Mongondow sudah menjadi identitas masyarakat daerah Bolaang Mongondow, karena sajian tari Kabela sudah mentradisi badi masyarkatnya. Tari Kabela sebagai tari tradisional mempunyi ciri dan karakteristik yang berbeda dengan daerah-daerah yang lain. Penampilan Tari Kabela selalu ditampilkan pada awal atau pembukaan acara atau hajatan.

Secara koreografis tari Kabela merupakan tari yang ditampilkan oleh beberapa penari wanita dengan membawa property Kabela yang berbentuk Kubus. Tari Kabela ditampilkan secara berkelompok, biasanya jumlah penari selalu ganjil, atau lima orang penari. Adapun pola –pola gerak yang digunakan sangat sederhana, yaitu menggunakan vokabuler-gerak yang gampang dilakukan artinya, tidak mempunyai tingkat kesulitan. Adapun vokabuler-vokabuler gerak tersebut antara lain: yaitu, gerak masuk pentas atau pembuka, gerak hormat, mempersilahkan tamu mengelilingi kabela, gerak atraksi kayang, vokabiler nerias diri dan gerak penghormatan atau pengahrgaaan serta gerak penutup.

DAFTAR RUJUKAN

Ahimsa Putra, H. S.2004“Ethno Art Fenomenologi Seni Untuk Indiginasi Seni dan ilmu” Makalah Seminar Internasional Seni Pertunjukan dan ilmu Pengetahuan Seri II 2002-2004 di STSI Surakarta.

---------------.2003.“Etno Art Fenomenologi Seni Untuk Indiginasi Seni”, Dewa

Ruci, Jurnal Pengkajian & Penciptaan Seni. Program Pendidikan Pascasarjana STSI Surakarta,Vol. I, No.3, April 2003.

Anneke J. Suoth, 2008. Seni Pertunjukan Etnis Bolaang Mongondow, Manado:

Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai tradisional. Cahyono Dwi, M. 1994. Urgensi Kajian Fungsi Seni Dalam Studi Sejarah

Kesenian. Jakarta : depdikbud. KayamUmar. 1981. Seni Tradisi Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan. Kartodirjo, Sartono. 1982. Penelitian dan Pengembangan Historiografi

Indonesia Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia.

Page 359: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

353 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Koentjaraningrat.1999. Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta:

Djambatan -----------. 1987Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: PT.

Gramedia. Mamonto. Herindra. 2006. SKRIPSI. “ Musik Gambus Di Moyongkota

Kecamatan Modayag” . Sendratasik. UNIMA. Mejaan, A. Dkk, “Sejarah Bolaang Mongondow”, Kotamobagu. Tanpa penerbit Murgiyanto, Sal. 1983. Koreografi. Jakarta : Depdikbud. Moleong, L. J., 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Keempat.

Bandung : PT. Remaja Roesdakarya. Mokolanot Indrus, Dkk, Sejarah Bolaang Mongondow , Materi Pelajaran SMP

Semester I, Jakarta : CV Cakra Media. Nusantara Yayat .2006. “ Seni Budaya SMA” PT. Erlangga. Pangkey, J.A. 1986. Peralatan Hiburan Dan Kesenian Tradisional Daerah

Sulawesi Utara.Sulawesi Utara: Depdikbud Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokementasi Kebudayaan Daerah.

Pristiwanto, 2007. Peranan Elite Lokal Dalam Keteraturan Sosial Budaya

Masyarakat Bolaang MOngondow.Jurnal Esagenang Volume 5, No. 10 Agustus 2007. Manado: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional.

Sri Sunarmi, 2004. Tari Maengket : Perpsektif Pemikiran Dibalik Ritual

Pergaulan Di Minahasa Suleman. Mantori.2000.“Budaya Daerah Sulawesi Utara”Manado : PT. Pabelan. Sedyawati, Edy. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan. -----------.1984.Tari. Tinjauan dari berbagai segi.. Jakarta: Pustaka Jaya ...............1986. Pengetahuan Elementer Tari dan Beberapa masalah

tari.Jakarta : Depdikbud. ................2007. Budaya Indonesia kajian Arkeologi, seni, dan sejarah, Jakarta:

PT RAJAGRAHAFINDO Soerjono Soekanto. 1990. Sosiologi Suatu Pengatar . Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada.

Page 360: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

354 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Suanda Sumaryano Endo, 2006. Tari Tontonan, Jakarta: lembaga Pendidikan

Seni Nusantara. Susanto Astrid. 1993. “Sejarah Kesenian Tari Dan Musik “ Seminar, Jakarta :

Pustaka Sinar Harapan. Soedarsono. 1978. Pengantar Komposisi dan Pengetahuan Tari. Yogyakarta:

ASTI. Tim Penyusun. ...............1989 Pakaian Adat Tradisional Daerah Propinsi Sulawesi Utara.

Sulawesi Utara: Depdikbud. ...............1979Ensiklopedi Musik dan Tari Daerah Sulawesi Utara. Manado:

Proyek Penelitian dan pencatatan kebudayaan Daerah. ...............1993Kumpulan Tari Daerah Sulawesi Utara. Manado: Taman Budaya

PropinsiSulawesi Utara. Watimena J,R. “ Analisis Ragam Hias Rumah tradisional Minahasa di Desa

Woloan I” Tondano: Pendidikan Seni Rupa Dan Kerajinan UNIMA.

Watupongo – Manopo. Y.T Geraldine.1997/1998.“Ensiklopedia Musik dan Tari Daerah SULUT” Manado :Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

Page 361: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

355 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

TRADISI PANJI DALAM SENI PERTUNJUKAN JARANAN JOR DAN WAYANG TIMPLONG DI JAWA TIMUR

Trisna Kumala Satya Dewi

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga [email protected]

ABSTRAK: Masyarakat Jawa Timur masih mengenal dengan baik tradisi Panji sebagai memori kolektifnya. Tradisi Panji tersebut kemudian diaktualisasikan dalam bentuk seni petunjukan, seperti pada Jaranan Jor (Blitar) dan Wayang Timplong (Nganjuk). Baik Jaranan Jor maupun Wayang Timplong keduanya masih sering dipentaskan dalam berbagai keperluan, sehingga dapat dikatakan kedua seni pertunjukan tersebut masih fungsional dalam masyarakat. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan tradisi Panji dalam seni pertunjukan yang ada di Jawa Timur, khususnya Jaranan Jor (Blitar) dan Wayang Timplong (Nganjuk). Di samping itu, juga mengungkapkan fungsi kedua seni pertunjukan tersebut berdasarkan aktualisasinya dalam masyarakat masa kini. Dengan demikian, dapat dilihat apakah ada perubahan (pergeseran) fungsinya dalam masyarakat masa kini. Seni pertunjukan Jaranan Jor telah mengalami pergeseran fungsinya dalam masyarakat, yaitu dari fungsi upacara ritual menjadi fungsi hiburan (tontonan)dalam masyarakat. Wayang Timplong sebagai seni pertunjukan masih berfungsi sebagi sarana upacara ritual Nyadran (bersih desa). Di samping itu, Wayang Timplong juga berfungsi sebagai hiburan (tontonan). Dalam kaitannya sebagai sarana hiburan, Wayang Timplong juga berfungsi dalam berbagai hajatan sosial kemasyarakatan seperti pernikahan, khitanan, nadar, dan lain-lain Kata kunci: tradisi panji, seni pertunjukan, jaranan jor, wayang timplong,

Jawa Timur Di Jawa Timur tradisi cerita Panji masih banyak ditemukan dalam masyarakat seperti dalam seni pertunjukan Wayang Topeng Malangan, Wayang Krucil (Ngawi), Wayang Beber (Pacitan), Wayang Tengul (Bojonegoro), Kethek Ogleng dan Andhe-Andhe Lumut (Tuban), dan sebagainya. Di samping yang telah disebutkan, tradisiPanji di Jawa Timur juga terdapat dalam seni pertunjukan Jaranan Jor (Blitar) dan Wayang Timplong (Nganjuk). Kedua jenis seni pertunjukkan tersebut masih hidup di masyarakat, baik di daerah Blitar maupun Nganjuk. Jaranan Jor adalah kesenian yang dilestarikan oleh masyarakat Desa Sukorejo, Kecamatan Surojayan, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Tarian yang dibawakan oleh 17 orang personal ini dibagi-bagi menjadi empat sesi (bagian). Masing-masing bagian menggambarkan pesan dan simbol yang dibawakan oleh para penarinya. Pertunjukan Jaranan Jor, yaitu tarian kuda lumping yang dibawakan oleh para penari yang merupakan kesenian rakyat ini penuh makna filosofis. Wayang Timplong adalah salah satu kesenian khas daerah Nganjuk. Kesenian wayang Timplong ini berasal dari daerah Nganjuk, yang merupakan

Page 362: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

356 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

kesenian asli dan hanya ada di daerah Nganjuk, Jawa Timur. Berbeda dengan lakon-lakon wayang purwa (kulit) yang mengambil dari sumber sastra Mahabarata dan Ramayana, wayang Timplong mengambil lakon-lakon lokal yang ditimba dari sejarah, babad, atau tradisi lisan. Lakon wayang Timplong yang sangat digemari diambil dari cerita-cerita Panji seperti Sekartaji Kembardan lakon Panji lainnya. Wayang Timplong dipagelarkan oleh masyarakat Nganjuk dan sekitarnya pada acara-acara pernikahan, khitanan, syukuran, ritual adat bersih desa, dan lain-lain. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan tradisi Panji dalam seni pertunjukan di Jawa Timur, yaitu Jaranan Jor (Blitar) dan Wayang Timplong (Nganjuk). Di samping itu, juga melihat fungsi seni pertunjukan Jaranan Jor dan Wayang Timplong dalam masyarakat pendukungnya.Ditinjau dari sisi historis, dapat dilihat apakah fungsi kedua seni pertunjukan tersebut bergeser atau tetap—sebagai fungsi upacara (ritual), fungsi tontonan (hiburan) dalam masyarakat masa kini. Teori dan Metode Penelitian

Dalam sebuah kata pengantar disertasi Prof.Dr.Edi Sediyawati dikatakan bahwa kajian yang berkaitan dengan seni pertunjukan rakyat Jawa adalah sebuah pemutakhiran data tentang suatu kelompok seni pertunjukan rakyat Jawa. Karya (disertasi, tesis, skripsi, penelitian) dari satu segi dapat dilihat sebagai suatu pemfokusan terhadap suatu survei luas yang meliputi seluruh daerah budaya Jawa, yang pernah dilakukan oleh Th.Pigeaud yang pada tahun 1938 menerbitkan Javaanche Volksvertoningen. Sebagai suatu kajian yang lebih terfokus kepada apa yang disebut “pertunjukan rakyat”, yaitu dalam arti golongan pertunjukan yang tidak hanya berstandar tunggal dan tidak”dibina” oleh suatu pusat budaya yang sekaligus juga suatu pusat politik, maka yang disajikan dalam suatu survei adalah suatu bentangan variasi yang luas dari pertunjukan-pertunjukan rakyat tersebut (Prihatini, 2008:vii-viii).

Seni pertunjukan rakyat (tradisional) mempunyai kekhasan masing-masing. Koentjaraningrat (1984) mengatakan bahwa setiap subkultur budaya Jawa memiliki ciri khas tersendiri, hal ini menunjukkan adanya garis transformasi sosial budaya yang menarik untuk dilihat karakteristik pertunjukan rakyat tersebut (lihat pula Prihatini, 2008:11).Kesenian sebagai ungkapan rasa keindahan sekaligus merupakan kebutuhan hidup masyarakatnya. Bagaimana kesenian itu lahir dan dilestarikan merupakan cerminan gagasan, angan-angan masyarakat pendukungnya (pemiliknya). Kayam (1981:60) mengatakan bahwa seni rakyat pada awalnya dimulai oleh pencipta yang tidak lain anggota masyarakat dan seterusnya masyarakat setempat mengklaim sebagai pemiliknya. Seni rakyat adalah fungsional bagi masyarakatnya. Dengan demikian, yang berkaitan dengan pengungkapan seni tersebut, tidak bisa dilepaskan dari kepentingan menyeluruh sang kosmos. Pernyataan tersebut menceminkan bahwa fungsi kesenian rakyat (seni pertunjukan) pada masyarakat pendukungnya sebagi hiburan yang disajikan sebagai ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta semesta (Kayam, 1981; Prihatini, 2008:12).

Pigeaud (1938) seorang sarjana Belanda pecinta kebudayaan Jawatelah menerbitkan buku tentang “Seni Pertunjukan Rakyat Jawa“ (Javaanse Volksvertoningen) pada masa lampau. Buku tersebut berisi informasi tentang

Page 363: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

357 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

bentuk seni-seni pertunjukan rakyat yang berkembang di Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur) dan Madura sekitar tahun-1930-an. Pigeaud menggolongkan seni pertunjukan rakyat menjadi tujuh, yaitu sebagai berikut. (1) Drama tari topeng, (2) Pertunjukan topeng makhluk menakutkan, (3) Kuda kepang, (4) Taledhek, (5) Tari dan nyanyi yang bertemakan Islam, (6) pertunjukan tukang cerita (resitasi wiracarita), dan (7) wayang kulit (Soedarsono, 1985b:47; Pigeaud, 1938).

Soedarsono (1985a:18) mengatakan bahwa seni pertunjukan itu jika dikaji secara historis secara garis besar mempunyai tiga fungsi bagi kehidupan manusia. Pertama, sebagai sarana upacara (ritual).Kedua, sebagai hiburan (pribadi). Ketiga, sebagai tontonan. Meskipun dalam sejarah fungsi tertua adalah untuk upacara (ritual), kemudian disusul fungsi sebagai hiburan (pribadi), dan yang terakhir adalah sebagai tontonan. Namun, pada zaman modern yang penuh perubahan ini, seni pertunjukan yang paling tua masih lestari. Seni pertunjukan ada yang fungsinya bergeser namun bentuknya tidak begitu bergeser. Ada yang fugsinya bergeser dan bentuknya berubah atau tumpang tindih. Di sisi lain, terdapat bentuk-bentuk baru akibat kebutuhan dan kreativitas manusia.Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan penulis dapat dinyatakan bahwa pendapat Soedarsono (1985a) tersebut ternyata masih relevan dengan era masa kini. Sebagai contoh penelitian Dewi (2009) dalam disertasi berjudul, “Transformasi Mitos Dewi Sri dalam Masyarakat Jawa” bahwa pertunjukan wayang purwa dengan lakon “Sri Mulih”, “SriSadana” hingga kini masih dipagelarkan sebagai upacara ritual bersih desa.

Fungsi sosial kesenian---ungkapan-ungkapan seni, baik yang “seni adiluhung” maupun yang “hiburan”, di samping nilai estetik atau nilai hiburannya, tentulah mempunyai fungsi-fungsi sosialnya.Kebutuhan-kebutuhan sosial apakah yang dipenuhi dengan pembuatan atau penyajian karya-karya seni tertentu. Kegiatan berkesenian itu sendiri adalah pemenuhan atas tuntutan-tuntutan sosial apa, bagaimana hubungan-hubungan kesenian tertentu telah “memberi arah” kepada kegiatan seni (Sedyawati, 2007: 131).

Metode penelitian dalam tradisi lisan (tradisi Panji) dalam seni pertunjukan Jaranan Jor dan Wayang Timplong sebagai berikut. (a) Lokasi. Lokasi yang dimaksud adalah Jawa Timur, khususnya Desa

Sukorejo, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar dan Dusun Besuk, Desa Sukorejo, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk.Sasaran penelitian adalah orang-orang yang ditetapkan sebagi informan. Sydow (dalam Dundes, 1965:216) mengatakan bahwa dalam masyarakat terdapat active bearers of tradition and passive bearers of tradition (pewaris budaya aktif dan pewaris budaya pasif).

(b) Pengumpulan data. Data penelitian adalah seni pertunjukan di Jawa Timur khususnya Jaranan Jor, di Desa Sukorejo, Kecamatan Surojayan, Kabupaten Nganjuk dan Wayang Timplong lakon Sekartaji Kembar, Dusun Besuk, Desa Sukorejo, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk. Data penelitian ini diperoleh dari sumber data, yaitu orang-orang yang telah ditetapkan sebagai informan. Data penelitian dikumpulkan dengan teknik-teknik sebagai berikut. (1) studi pustaka; konsep dasar yang bersifat teoretis dan metodologis dapat diperoleh dari pengkajian dan pembacaan

Page 364: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

358 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

buku, jurnal, dan bahan-bahan yang berhubungan dengan sasaran penelitian (Sutarto, 1997:20; Dewi, 2017a:136). (2) Studi lapangan, data dikumpulkan dari lokasi penelitian yang telah ditetapkan, yaitu Desa Sukorejo, Kecamatan Surojayan, Kabupaten Blitar dan Dusun Besuk, Desa Sukorejo, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk. (3) Dokumentasi. Penelitian tradisi lisan (seni pertunjukan) pendokumentasian amat penting dilakukan. Peneliti tradisi lisan perlu menyediakan data berupa teks tulis atau yang telah didokumentasikan. Penelitian dengan tujuan pendokumentasian ini bersifat penelitian di tempat (field work). Ada tiga tahapan yang harus dilalui oleh peneliti di tempat, yaitu tahap prapenelitian, tahap penelitian di tempat (penelitian yang sesungguhnya), dan pembuatan naskah untuk pendokumentasian serta analisis (Danandjaja, 1991: 191-209; lihat pula Dewi, 2017a:136).

Hasil dan Pembahasan

1. Pertunjukan Jaranan Jor Jaranan Jor merupakan seni pertunjukan tradisional yang masih

dilestarikan oleh masyarakat Blitar khususnya Desa Sukorejo, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Seni pertunjukkan Jaranan Jor diperkirakan ada sejak sekitar tahun 1900-an. Kesenian ini sebenarnya berasal dari Tulungagung, namun dilestarikan oleh masyarakat Blitar dan merupakan milik masyarakat Desa Sukorejo.

Tarian Jaranan Jordimainkan oleh 17 orang personal termasuk pemain alat musik dan penari. Pementasan Jaranan Jor dibagi menjadi tiga bagian, yaitu tari tayungan, tari barongan, tari dedet melet.Durasi waktu tampil sekitar 7-- 8 jam, namun dalam situasi tertentu atau berdasarkan permintaan hajatan bisa ditampilkan sebagai pagelaran padat sekitar 3 jam.

(1) Tari Tayungan

Bagian pertama, yaitu tari tayungan.Gerakan tari ini menceritakan prajurit Kerajaan Jenggala (Kediri) yang diutus oleh rajanya yang bernama Prabu Amiluhur untuk mencari putrinya yang hilang bernama Dewi Sekartaji. Konon Dewi Sekartaji melarikan diri ke hutan.Dalam tarian tersebut digambarkan para prajurit Jenggala berkuda, yaitu dengan menarikan kuda lumping. Dalam perjalanan ke hutan, prajurit Jenggala akhirnya bertemu dengan prajurit lain dan terjadilah peperangan. Akhirnya, prajurit Jenggala berhasil mengalihkan peperangan dengan cara menjauh dan dapat menghindarkan diri dari serangan prajurit lain.

(2) Tari Barongan

Dalam tarian barongan digambarkan para prajurit Jenggala yang berkuda sudah bejalan semakin menjauh ke hutan. Pada bagian ini digambarkan munculnya sosok singa berkepala naga, yang disebut Singo Barong. Singo Barong adalah sosok perampok yang keluar dari sarangnya. Sosok Singo Barong digambarkan baru bangun dari tidurnya yang nyenyak atau dari sarangnya untuk mencari mangsa. Singo Barong lalu memasuki desa dan mengganggu penduduk desa. Musim kemarau yang

Page 365: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

359 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

berkepanjangan, tidak segera berganti dengan musim hujan menyebabkan mulut Singo Barong selalu menganga menggambarkan“kehausan” untuk mencari mangsa. Singo Barong keluar masuk desa untuk mencari mangsa, merampok hasil panen para petani, dan mengganggu penduduk desa.

Di tengah perjalanan Singo Barong bertemu dengan enam prajurit Kerajaan Jenggala dan terjadilah peperangan. Terjadilah pertempuran yang sengit antara Singo Barong dan keenam prajurit Jenggala.Dalam pertempuran itu, akhirnya satu persatu prajurit Jenggala tewas. Seorang prajurit Jenggala yang bertahan, akhirnya melarikan diri dan berhasil lolos dari serangan Singo Barong.

(3) Tari Dedet Melet

Bagian ketiga pertunjukkan Jaranan Jor adalah tarian dedet melet. Tarian ini merupakan puncak pertunjukan Jaranan Jor.Dalam tarian ini diceritakan seekor anjing dan seekor babi yang selalu bertengkar ketika mencari makan. Seekor anjing dalam tarian ini mempunyai seorang pawang yang selalu dipatuhi oleh sang anjing, sehingga selalu mengikuti kehendak sang pawang.

Pada bagian akhir pertunjukan Jaranan Jor diceritakan anjing dan babi berebut makanan. Ketika sang pawang memberi makanan kepada anjing, babi tidak diberi makanan. Babi akhirnya mengamuk penuh amarah karena tidak mendapatkan makanan dari sang pawang. Akhirnya, babi membabibuta memakan apa saja semua yang di hadapannya, tidak tersisa sedikitpun.

(4) Alat Musik, Sesaji, dan Kostum Jaranan Jor

Alat musik yang digunakan dalam pertunjukan Jaranan Jor untuk mengiringi tarian terdiri atas beberapa instrumen, yaitu gong, gendang, angklung, kempul, kenong, angkrik, slompret. Penembang lagu-lagu juga diperlukan dalam pertunjukan Jaranan Jor.

Sesaji dalam seni tradisional biasanya diperlukan sebagai kelengkapan ritual sebuah pertunjukan. Demikian pula halnya dengan Jaranan Jor. Kelengkapan sesajen dalam pertunjukan Jararan Jor adalah ayam hitam (hidup), nasi putih, bunga, buah pisang raja, kelapa, bunga setaman, air nira (badeg), beras kencur, dan kacang hijau. Rupa-rupa sesaji ini bermakna agar pertunjukan Jaranan Jor lancar terhindar dari malapetaka (celaka).

Alunan musik ditabuh sebelum para penari Jaranan Jor keluar di arena pertunjukan—terdengar alunan irama gendang oleh sang pengendang yang berperan sebagai pemandu alunan orkestra musik. Suara gendang tersebut merupakan isyarat bagi para penari untuk mengubah bentuk tariannya. Suara musik kendang pada pertunjukan Jaranan Jor bergema mengeluarkan bunyi suara (nada datar), “tung tak tung dor, tung tak tung dor, tang, tang, dor, tang, tang, dor”.

Para prajurit Kerajaan Jenggala yang berjumlah enam orang dengan kompak mengikuti alunan musik sekaligus sebagai pembuka tarian pertunjukan. Para penari mengenakan kostum khas Jaranan Jor, yaitu

Page 366: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

360 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

udeng sebagai pengikat kepala, sapu tangan merah yang dikalungkan pada leher, baju kaos berwarna putih, sabuk (Jawa: setagen) warna hitam yang dibalut dengan ikat pinggang. Komposisi tiga warna, yaitu putih, merah, dan hitam ini mewarnai pertunjukkan Jaranan Jor. Para penari Jaranan Jor berkostum celana panjang sebatas lutut, kain (Jawa: jarik) bermotif barong. Para penari menaiki kuda lumping yang terbuat dari anyaman bambu dan menggunakan asesoris kaca mata hitam. Penari Jaranan Jor menggambarkan prajurit berkuda yang tampak gagah.

Setelah tarian pembuka selesai kemudian pawang memasuki area pertunjukan dengan membawa perapian (Jawa: anglo) yang berisi arang yang ditaburi kemenyan. Perapian ini menggambarkan simbol anasir warna putih, merah, dan hitam---seperti yang dipakai dalam kostum Jaranan Jor. Simbol-simbol warna dalam pertunjukan, yaitu warna putih (seto) menggambarkan manusia lahir dalam keadaan suci dan tidak berdosa. Warna merah (wreto) menggambar bahwa bayi yang lahir di dunia kelak akan menjalani kehidupan di dunia yang mengalami banyak masalah dan tantangan. Warna hitam adalah simbol keburukan bahwa hidup di dunia manusia tidak terlepas dari hal-hal yang buruk yang harus dihadapi dan harus diperangi agar bisa mencapai kesempurnaan hidup.

2. Pertunjukan Wayang Timplong

Wayang Timplong adalah kesenian rakyat yang merupakan seni tradisi khas daerah Nganjuk dan hanya tumbuh dan dilestarikan oleh masyarakat Nganjuk dan sekitarnya. Wayang Timplong dipagelarkan dalam berbagai acara sosial kemasyarakatan seperti upacara bersih desa atau nyadran, ruwatan, melepas nadar, dan acara di tempat tertentu atau dianggap keramat (Harimintaji, dkk.1994:213).

Lakon-lakon cerita dalam pertunjukan wayang Timplong berbeda dengan lakon-lakon wayang lainnya, seperti wayang purwa (wayang kulit) yang bersumber dari cerita Mahabharata dan Ramayana. Lakon-lakon dan tema cerita wayang Timplong bersumber pada cerita-cerita sejarah (historis) seperti babad dan tradisi lokal. Di antara lakon-lakon yang cukup terkenal dan digemari oleh masyarakat adalah cerita Panji dalam berbagai variasinya atau versinya.

Seni pertunjukan dan seni sastra dalam kebudayaan Jawa telah berkembang berdampingan dan saling mempengaruhi di antara keduanya. Banyak karya sastra yang lahir dan mengacu pada cerita sebagai lakon yang dipentaskan dalam seni pertunjukan yang berasal dari karya sastra tertentu. Cerita Panji menjadi repertoar beberapa seni pertunjukan, baik di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur, antara lain Topeng Dalang (wayang Topeng)Malangan, Wayang Beber Pacitan, Wayang Krucil, Wayang Tengul, dan seni tari (beksa), Kethek Ogleng, dan Andhe-Andhe Lumut (Tuban) (Sudikan, 2013:3). Jenis wayang lainnya adalah wayang Timplong, yang berasal dari daerah Nganjuk, Jawa Timur.

Wayang Timplong yang bertema cerita Panji masih sering dipagelarkan oleh dalang wayang Timplong yang semuanya berasal dari daerah Nganjuk. Lakon-lakon Panji dalam pagelaran wayang Timplong

Page 367: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

361 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

antara lain, Sekartaji Kembar, Sekartaji Murco, Semoro Bangun Murco (Asmara BangunMurco). Di samping lakon Panji, lakon-lakon yang lain bersumber dari babad (Babad Tanah Jawi) seperti Masjid Demak. Lakon wayang Timplong yang bersumber dari peristiwa sejarah (historis) yang disebut lakon Majapahitan seperti Damarwulan, Jaka Umbaran, Bujang Ganong. Lakon yang bersumber dari tradisi lokal misalnya, Laire Baru Klinthing, Jaran Tandang, Laire Jaka Slewah, Jaka Ombak, Jaka Lara, dan lain-lain.

(1) Wayang Timplong dan Tradisi Nyadran

Wayang Timplong selain dipagelarkan dalam berbagai hajatan sosial seperti pernikahan, khitanan, nadar juga dipagelarkan dalam upacara ritual nyadran atau bersih desa. Masyarakat daerah Nganjuk setiap tahun melaksanakan tradisi nyadranbiasanya jatuh pada bulan Sura (Muharam). Upacara nyadran adalah tradisi turun-temurun yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa, Pencipta alam semesta.

Pigeaud (1960-1963) menghubungkan istilah sraddha dengan istilah dalam bahasa Jawa Baru, “nyadran”. Istilah ini untuk mnyebut ziarah ke kuburan keluarga setahun sekali dalam tradisi muslim. Nyadran adalah bentuk yang tidak sempurna dari “sraddha”. Ritual ini berasal dari pemujaan leluhur yang mendalam dan tersebar luas di wialyah kepulauan Indonesia (lihat juga Kieven, 2014:106). Sraddha lainnnya dalam puisi Banawa Sekar, yang juga menampilkan bunga(Zoetmulder, 1985:449-50). Tradisi nyadran pada bulan Sura (Muharam) masih dilaksanakan oleh masyarakat daerah Nganjuk. Pertunjukan wayang Timplong merupakan kesenian yang diwjibkan sebagai pelengkap ritual nyadran sebagaimana yang dilaksanakan oleh masyarakat Dusun Besuk, Desa Sukorejo, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk (Jumat, 6 November 2016) (Purwaningsih, 2016:17). Ritual nyadran masyarakat Dusun Besuk, Desa Sukorejo, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk biasanya dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut mulai dari kegiatan bersih-bersih di rumah masing-masing warga sampai dengan lingkungan dusun (desa). Kegiatan yang bersifat spiritual, yaitu tahlil di salah satu rumah warga, dan pengajian di mushola.

Pada hari akhir tradisi nyadran, biasanya masyarakat mengadakan tradisi di sebuah tempat yang telah ditentukan. Misalnya, pada suatu area yang dianggap sebagai tempat “dahnyang” atau tempat makam, petilasan, tempat yang dikeramatkan untuk berdoa bersama. Semua masyarakat Dusun Besuk berbondong-bondong dengan membawa makanan dan diserahkan kepada panitia. Makanan yang dibawa pada ritual nyadran, berupa nasi, gudangan, lauk-pauk berupa telur, sambal goreng, tahu, tempe. Ingkung ayam (ayam utuh yang telah dimasak) dan pisang raja menjadi pelengkap makanan ritual. Pada tradisi tersebut para sesepuh, modin, kepala desa (lurah), berkumpul bersama warga masyarakat untuk berdoa bersama-sama dipimpin oleh seorang modin. Doa bersama dipanjatkan oleh masyarakat

Page 368: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

362 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Dusun Besuk agar diberi rezeki, kesehatan, kesejahteraan, dan dijauhkan dari marabahaya.

Pada hakikatnya nyadran (bersih desa) sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat Dusun Besuk atas karunia Tuhan Yang Mahaesa, berupa kelimpahan rezeki dan kesejahteran, keselamatan masyarakat. Doa bersama masyarakat (Dusun Besuk) mengakhiri ritual nyadran. Makanan yang telah dikumpulkan kepada panita dan telah didoakan oleh Modin kemudian dibagi-bagikan kepada warga. Warga masyarakat Dusun Besuk menikmati makanan dalam suasana kebersamaan dan sebagian warga membawa pulang makanan masing-masing.

(2) Lakon Sekartaji Kembar

Dalam upacara ritual nyadran Dusun Besuk dipagelarkan lakon Panji,yaitu Sekartaji Kembar.Pagelaran wayang Timplongdilaksanakan di tempat warga yang dituakan (Kamitua) Dusun Besuk, Desa Sukarejo, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk. Sebelum pertujukanwayang Timplong dimulai, masyarakat Dusun Besuk mengadakan acara syukuran di depan panggung. Tumpeng yang berisi nasi, lauk-pauk yang lengkap segera dinikmati bersama-sama warga desa, dalang, dan pemain wayang Timplong.

Setelah seleasi tumpengan dan syukuran di depan panggung, kemudian gamelan ditabuh menandakan pertunjukan wayang Timplong dengan lakon Sekartaji Kembar segera dimulai. Dalang yang membawakan lakon tersebut bernama Ki Suyadi, berasal dari Dusun Bongkal, Desa Kepanjen, Kecamatan Pace, Kabupaten Nganjuk.Durasi waktu pertunjukan wayang Timplong sekitar 7--8 jam, yaitu dimulai sekitar pukul 09.30 – pukul 17.00 dengan jeda waktu istirahat untuk melakukan ibadah sholat (dzuhur dan ashar).

Cerita Sekartaji Kembar32

Lakon Sekartaji Kembar merupakan salah satu versi cerita Panji. Lakon ini diawali dengan latar kerajaan-kerajaan di Jawa Timur, yaitu Kerajaan Kediri yang diperintah oleh seorang raja bernama Lembu Amijaya. Dia mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Sekartaji. Pada suatu hari datanglahn seseorang bernama Danyang Bramingjaya yang berasal dari negeri Sebrang hendak melamar putri Sekartaji. Kedatangannya membawa segala upeti berupa emas picis dan harta benda (Jawa: rajabrana) dengan maksud agar lamarannya diterima. Sebaliknya jika lamarannya ditolak di Kediri akan terjadi peperangan.

Raja Lembu Amijaya amatlah gundah dan mengumpulkan semua patihnya. Keputusannnya Lembu Amijaya menolak lamaran Danyang Braminjaya dan terjadilah peperangan antara Kediri dan negeri Sebrang. Patih Kenaka yang merupakan patih Kerajaan Kediri menyuruh tumenggung Peksi Raga untuk menghadang parajurit dan Prabu Jaka dari negeri Sebrang. Prabu Jaka akhirnya kalah dan kembali ke negeri Sebrang.

Danyang Bramingjaya mempunyai cara lain untuk mewujudkan kemauan Prabu Jaka dan Dewi Rara Sumekar. Danyang Bramingjaya

32 lihat Purwaningsih (2016: 213-217)

Page 369: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

363 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

menggunakanaji-ajinya,yaitu dapat mengubah Dewi Rara Sumekar menjadi Dewi Sekartaji atau Sekartaji palsu.Akhirnya Prabu Jaka dapat membawa Sekartaji yang asli ke negaranya dan menukar dengan Sekartaji yang palsu di Kediri.

Prabu Jaka dan Dewi Rara Sumekar berhasil mengelabuhi Panji Asmara Bangun dengan Sekartaji yang palsu.Namun, kecurangan tersebut diketahui oleh Kedrah dan Gepuk Miri—yang akhirnya diusir dari Kediri. Kedrah mempunyai rencana menemukan Sekartaji yang asli dengan cara bersemedi di hutan dengan meminta pertolongan Kanjeng Pinulun di Kahyangan. Setelah sampai di Kahyangan Kedrah diberi pusaka yeng bernama “lapdha jiwa” dan disuruh menjelajah desa Milangkori. Di negeri Sebrang Prabu Jaka meminta Sekartaji asli untuk menjadi permaisurinya. Dewi Sekartaji meminta syarat agar ditanggapkan dalang Sapa Nyana. Akhirnya Prabu Jaka memerintahkann patihnya yang bernama Patih Pratala untuk mencari Dalang Sapa Nyana.

Patih Pratala akhirnya menemukan Dalang Sapa Nyana dan Gepuk Miri anaknya. Dalang Sapa Nyana diajak ke negeri Sebrang dan bertemu dengan Sekartaji asli. Prabu Jaka kembali memaksa agar Sekartaji asli dapat menerima lamarannya. Sekartaji mengelak dengan cara mengulur waktu, mau diperistri Dalang Sapa Nyana. Kemudian ditolong Hyang Pikulun yang membuat tertidur seluruh prajurit, para patih, dan Prabu Jaka. Gepuk Miri mengajak Sekartaji melarikan diri ke hutan.

Di tengah hutan tersebut menjadi tempat persembunyian, Kedrah, Gepuk Miri dan Sekartaji asli. Di tengah hutan Sekartaji merasakan perutnya sakit, ternyata dia sedang mengandung, dan tidak berapa lama ia melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Panji Laras. Alkisah di Kediri, Sekartaji palsu juga sudah masanya melahirkan jabang bayi—anaknya lahir tetapi berujud seorang raksasa (Jawa:buta). Panji Asmara Bangun amat terkejut ketika melihat anak yang dilahirkan Sekartaji palsu seorang raksasa, kemudian diberi nama Jaka Sembada.

Pada suatu ketika Jaka Sembada yang telah menginjak dewasa menginginkan perlombaan “adu jago” (beradu ayam). Panji Laras mendengar pengumuman tersebut dan mengikuti perlombaan “adu jago” di alun-alun. Ayam jago milik Jaka Sembodo akhirnya mati dikalahkan oleh ayam jago Panji Laras. Jaka Sembada mengingkari janjinya , tidak memberikan hadiah kepada pemenangnya, yaitu Panji Laras. Akhirnya terjadi pertarungan sengit di antara keduanya---hingga kematian Jaka Sembada karena kalah bertarung (lihat pula Dewi, 2017b).

Setelah pertarungan usai, Kedrah, Gepuk Miri, dan Sekartaji asli menghampiri Panji Asmara Bangun. Panji Asmara Bangun sangat terkejut melihat ada dua orang Sekartaji (Sekartaji kembar), yaitu yang asli dan palsu. Akhirnya Kedrah membuka kebenaran bahwa yang berada di samping Panji Asmara Bangun sebanarnya, Dewi Rara Sumekar. Panji Asmara Bangun kemudian meminta maaf kepada Kedrah dan Dewi Sekartaji karena telah dibutakan dan tidak dapat melihat ”kebenaran”. Panji Asmara Bangun akhirnya mengetahui bahwa Panji Laras adalah putranya. Mereka akhirnya berkumpul, berbahagia di Negara Kediri yang aman.

Page 370: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

364 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Pembahasan Di Jawa Timur tradisi Panji masih banyak terekam dan

teraktualisasikan dalam seni-seni pertunjukan. Contohnya, ialah Jaranan Jor dan Wayang Timplong dengan lakon-lakon Panji dalam hal ini Sekartaji Kembar. Tema dasar cerita adalah petualangan dan penderitaan yang harus dilalui oleh Raden Panji, putra Kauripan sebelum kawin dengan saudara sepupunya, Putri Candra Kirana dari Daha. Tema ini ada dalam semua cerita Panji adalah sama, tetapi dalam setiap cerita selalu digarap dengan berbeda (Ras, 2014: 223-224).

Jaranan Jor jika dikaitkan dengan penelitian Pigeaud (1938) tentang pertunjukan rakyat di Jawa (Jawa Timur) termasuk dalam jenis pertunjukan kuda kepang atau jathilan. Wayang Timplong termasuk dalam jenis kategori Wayang Kulit—kategori ini mungkin sedikit “kurang pas”. Namun, baik Wayang Timplong maupun Wayang Kulitsama-sama dimainkan oleh seorang dalang, ada media wayang, gamelan (nayaga), sinden. Yang membedakan Wayang Timplong dan Wayang Kulit adalah media wayangnya, yaitu boneka. Boneka Wayang Timplong terbuat dari kayu dan tidak memakai kelir (bolong), sedangkan boneka Wayang Kulit terbuat dari kulit binatang (sapai) dan memakai kelir kain putih—jadi terlihat bayangannya. Seni pertunjukan di Jawa Timur, baik Wayang Timplong maupun Jaranan Jor tidak terdapat dalam penelitian Pigeaud (1938). Namun demikian, dari sisi historis kedua jenis kesenian tersebut tetap menjadi bagiankeragaman dari seni pertunjukan Jawa Timur.

Tradisi Panji di Jawa Timur berbeda dengan tradisi Panji di Jawa Tengah dalam hal penciptaan karya dan genre-nya. Di Jawa Timur tradisi Panji lebih teraktualisasikan pada seni-seni pertunjukan, sedangkan tradisi Panji di Jawa Tengah banyak terekam dalam tradisi tulis naskah. Namun demikian, diaktualkisaskan juga dalam seni-seni pertunjukan seperti kethoprak,wayang orang (wayang wong), wayang beber. Ras (2014:224) mengatakan bahwa cerita Panji Jawa Tengahan digubah dalam matra tengahan. Terdapat juga varian-varian yang lebih muda dalam matramacapat, cerita-cerita tersebut tidak bertanggal. Dari lukisan-lukisannya, terlihat bahwa para penyair bekerja dalam lingkungan keraton dengan tradisi Jawa. Dalam hal ini, Ras berpendapat bahwa berkaitan dengan penyusunan alur, terlihat penulis kurang paham akan geografi dan kronologi Jawa. Kisah selalu berlaku di Jawa dan Kerajaan-kerajaan Koripan (Janggala) dan Daha (Kediri) senantiasa muncul , maka dapat disimpulkan bahwa asal-usul tema Panji memang dari Jawa dan dalam kurun waktu ketika kedua kerajaan ini diperintah oleh raja yang satu keturunan. Dengan demikian, tradisi Panji di Jawa lebih menarik daripada tradisi Panji di Bali.

Jaranan Jor atau Jathilan dan sejenisnya semula berfungsi sebagai tari upacara untuk memanggil binatang totem. Pada era masa kini berubah menjadi tontonan sekuler yang menonjolkan perbuatan-perbuatan supranatural yang dilakukan oleh penari yang sedang dalam keadaan ndadi. Istilah Jathilan sendiri ada sangkut pautnya dengan kuda.Kata njathil berarti “menari-nari dan berlari” khusus untuk kuda (lihat Soedarsono, 1985b:54-55). Penyebutan Jaranan Jor (termasuk kelompok Jathilan atau Kuda Kepang) untuk seni pertunjukan rakyat di Blitar, Jawa Timur adalah penyebutan istilah yang khas, seperti halnya oglek

Page 371: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

365 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

(Bantul), Incling (Kulonprogo), Jathilan Pitik Walik (Magelang),Jelantur (Boyolali), Ebleg atau Embleg (Banjarnegara). Reog termasuk jenis seni pertunjukan rakyat yang ada tari Jathilan-nya.

Dalam perkembangannya lebih lanjut, terdapat interpretasi dan perkembangan baru pertunjukan rakyat Jathilan. Jathilan semula merupakan pertunjukan upacara uantuk keselamatan desa, kemudian menjadi tontonan yang mengetengahkan perbuatan-perbuatan supra natural dan akhirnya berkembang pula menjadi tari perang. Dalam perkembangannya Jathilan dianggap sebagai tari yang menggambarkan ksatria yang menunggang kuda. Dan untuk menonjolkan ciri kesatriaanya, para penari penunggang kuda itu bersenjatakan pedang. Klimaks dari pertunjukan ini adalah “ndadi”pada adegan perang-perangan. Kemudian tema cerita ditempelkan ke dalam pertunjukan. Pada umumnya di desa-desa yang memiliki tradisi Jathilan, yang menggambarkan ksatria penunggang kuda adalah para prajurit dari tema cerita Panji. Pemilihan cerita Panji ini bisa dilihat pada penampilan dua orang panakawan Panji, yaitu Penthul (bertopeng putih) dan Tembem (bertopeng hitam) (Soedarsono, 1985b: 55).

Dalam pertunjukan rakyat Jaranan Jor diawali dengan tari-tarian yang disebut Tayungan, yaitu tarian kuda lumping yang menggambarkan prajurit Kerajaan Janggala yang diutus oleh rajanya bernama Prabu Amiluhur untuk mencari putrinya, Dewi Sekartaji yang melarikan diri ke hutan. Kemudian pertunjukan dilanjutkan dengan tarian Barongan, yaitu munculnya Singo Barong, sosok perampok yang kahausan dan kelaparan yang ingin memangsa apa saja yang ditemuinya.Singo Barong kemudian keluar masuk hutan dan memangsa hasil pertanian para petani desa. Para prajurit yang berjumlah enam orang itu, akhirnya bertemu dengan Singo Barong dan terjadilah pertempuran yang sengit. Akhirnya keenam prajurit Jenggala bisa meloloskan diri dari kejaran Singo Barong. Pertunjukan terakhir Jaranan Jor adalah tarian Dedet Melet--- tarian ini merupakan puncak pertunjukan Jaranan Jor-- menggambarkan pertarungan yang sengit antara seekor anjing dan babi. Anjing mempunyai seorang Pawang yang sangat dipatuhinya, sehingga apa yang diperintahkan Sang Pawang selalu diikuti oleh anjing. Pada suatu ketika Sang Pawang memberi makan anjingnya dan babi tidak diberi makanan. Akhirnya babi mengamuk dan memakan apa saja yang ditemuninya.

Berdasarkan kesejarahannya, Jaranan Jor yang sekarang menjadi kesenian milik masyarakat Blitar (Desa Sukorejo, Kecamatan Sutojayan) berasal dari daerah Tulungagung, Jawa Timur. Sekitar tahun 1900-an, konon Desa Ngasinan (Tulungagung) daerahnya mengalami kekeringan yang berkepanjangan, maka untuk meminta hujan diadakan upacara meninta hujan yang disertai dengan pertunjukan kesenian Jaranan Jor. Dapat dikatakan bahwa seni pertunjukan Jaranan Jor semula adalah kesenian sebagai sarana upacara (ritual)untuk meminta hujan. Kesenian upacara (ritual) ini pada era masa kini (modern) kemudian bergeser menjadi seni pertunjukan sebagai tontonan atau hiburan dalam masyarakat daerah Blitar. Dengan demikian, seni pertunjukan Jaranan Jor berubah fungsinya dari seni ritual menjadi seni tontonan, namun bentuknya masih tetap.

Page 372: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

366 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Tradisi Panji dalam pertunjukan Wayang Timplongyang merupakan kesenian masyarakat Nganjuk dipakai sebagai sarana upacara adat bersih desa atau nyadran.Kapan atau waktu terjadinya cerita Panji telah dilakukan penelitian oleh CC Berg dalam bukunya, “Inleiding tot de Stuidie van het Oud-Javaansch” dan dikemukakan sebagai tahun penyebaran cerita-cerita Panji di Nusantara (bukan tahun penciptaannya). Sebagai tahun permulaan adalah Pamalayu (1277M) dan sebagai tahun akhir adalah kurang lebih tahun 1400 M. Berg berpendapat bahwa cerita-cerita Panji dalam bahasa Jawa Kuna diterjemahkan atau disadur dalam bahasa Melayu (Poerbatjaraka, 1968:493).

Pada tahun 1930 Berg mengemukakan bahwa cerita-cerita pahlawan (cerita Panji) yang berasal dari Jawa kemungkinan sudah populer di lingkungan istana raja-raja Jawa Timur, tetapi oleh pendukung Hindu tradisi ini terdesak dan baru berkembang di Bali. Namun, pendapat Berg ini dibantah oleh Poerbatjaraka sebagai sesuatu yang terlalu cepat disimpulkan. Peristiwa Pamalayu untuk menentukan tradisi Panji masih terlalu cepat sebab ingatan akan Singasari, Kediri-Daha masih lekat, sehingga apabila tradisi ini sudah ditulis maka tidak akan berterima dalam masyarakat. TradisiPanji ditulis justru ketika ingatan akan Singasari sudah samar-samar. Pada suatu masa ketika ingatan orang kepada Singasari agak samar-samar dan dikatakan tidak janggal apabila Singasari sezaman dengan Kediri-Daha dalam cerita Panji dan Candra Kirana (Poerbatjaraka, 1968:404). Jadi, dalam hal ini Poerbatjaraka (1968) berpendapat bahwa masa penulisan cerita Panji yang awal adalah pada zaman kejayaan Majapahit. Penyebaran cerita Panji ke pulau-pulau atau daerah lain terjadi jauh kemudian hari.

Lakon Sekartaji Kembar dalam Wayang Timplong adalah bagian tradisi Panji yang masih hidup di Jawa Timur, khususnya daerah Nganjuk. Lakon-lakon Panji lainnya, yaitu LakonSemoro Bangun (Asmoro Bangun), Lakon Sekartaji Murca. Tradisi Panji dalam Wayang Timplong ini disimpan dalam ingatan kolektif dalang Wayang Timplong di daerah Nganjuk, yaitu Ki Suyadi (Dusun Bongkal, Desa Pace), Ki Sutikno (Dusun Jetis, Desa Pace), Ki Jikan (Dusun Jetis, Desa Pace), Ki Mursito (Desa Getas), Ki Budi (Dusun Banaran, Desa Getas) (Purwaningsih, 2016:22-23).

Tradisi Panji dalam seni pertunjukan rakyat Wayang Timplong berfungsi dalam masyarakat daerah Nganjuk sebagai upacara ritual nyadran (bersih desa). Dalam era sekarang, fungsi seni pertunjukan tersebut masih tetap, yaitu seni pertunjukan upacara (ritual)nyadran.Bentuk seni pertunjukan ini juga tetap—namun tetap dengan varian-variannya. Dengan demikian, fungsi dan bentuk pertunjukannya pun tetap. Di sampingsebagai seni pertunjukan dan sebagai sarana upacara, Wayang Timplong juga berfungsi sebagai tontonan, yaitu sebagai sarana hiburan dalam masyarakat. Lakon Sekartaji Kembar menceritakan petualangan dan pertemuan kembali Panji Asmoro Bangun dengan Dewi Sekartaji, istrinya. Dalam pertemuan kembali keduanya pun, akhirnya juga dipertemukan dengan sang putra, yaitu Panji Laras yang berhasil memenangkan sayembara adu ayam.

Page 373: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

367 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Simpulan Tradisi Panji dalam seni pertunjukan di Jawa Timur masih aktual dan

fungsional di masyarakat daerah Blitar dengan Jaranan Jor dan masyarakat daerah Nganjuk dengan Wayang Timplong khususnya lakon-lakon Panji (Sekartaji Kembar). Tradisi Panji atau tema-tema cerita Panji masih lekat sebagai memori kolektif masyarakat Jawa Timur dan diaktualisasikan dalam bentuk seni pertunjukan seperti Jaranan Jor (Blitar) dan Wayang Timplong (Nganjuk).

Jaranan Jor sebagai seni pertunjukan di daerah Blitar dan sekitarnya semula berfungsi sebagai sarana upacara ritual.Namun, pada era masa kini lebih berfungsi sebagai tontonan atau hiburan masyarakat. Dalam hal ini , seni pertunjukan Jaranan Jor dari sisi bentuk kesenian tidak berubah, tetapi dari sisi fungsinya mengalami perubahan.

Wayang Timplong sebagai seni pertunjukan di daerah Nganjuk dan sekitarnya berfungsi sebagai sarana upacara ritual nyadran (bersih desa). Di samping sebagai sarana upacara ritual,Wayang Timplong (lakon Sekartaji Kembar) juga berfungsi sebagai hiburan pada hajatan sosial kemasyarakatan seperti hajatan pernikahan, khitanan, nadar, dan sebagainya. Dalam hal ini, seni pertunjukan Wayang Timplong secara historis dan masa kini tetap berfungsi sebagai sarana upacara ritual. Seiring dengan perkembangan zaman, maka Wayang Timplong dari sisi bentuk keseniannya tidak mengalami perubahan, tetapi tetap menyesuaikandengan perkembangan zaman. Di samping berfungsi sebagai upacara ritual, Wayang Timplong juga berfungsi sebagai hiburan atau tontonan. WayangTimplong dalam fungsinya sebagai tontonan ini dapat dikatakan juga sebagai seni yang mengemban fungsi sosial kemasyarakatan—sebagai perekat sosial kemasyarakatan. Daftar Rujukan Danandjaja, James. 1991. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-

Lain. Jakarta: Grafiti Pers. Dewi, Trisna Kumala Satya. 2009.” Transformasi Mitos Dewi Sri dalam

Masyarakat Jawa”. Disertasi. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Dewi, Trisna Kumala Satya. 2017a. Menelusuri Jejak Tradisi Lisan Jawa Timur.

Prosiding. Seminar NasionalPerspektif Bahasa, Sastra, dan Budaya Indonesia Dalam Menghadapi Tantangan Global. Surakarta: Keluarga Alumni Prodi Sastra Indonesia dan Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret.

Dewi, Trisna Kumala Satya.2017b. “Reconstruction of Tradisional Art of

Wayang Timplong as Local Wisdom of Nganjuk East Java Community” dalam Local Wisdom for Sustainable Development. International

Page 374: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

368 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Conference on Sumatera’s Local Wisdom. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dundes, Alan. 1965. The Study of Folklore. Engelewood Clifts, N.J.,Prentice-

Hall Inc. Harimintaji, dkk. 1994. Nganjuk dan Sejarahnya. Nganjuk: Penerbit Keluarga. Kayam, Umar. 1984. Seni ,Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan. Kieven, Lidya. 2014. Menelusuri Figur Bertopi dalam Relief Candi Zaman

Majapahit. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Koentjaraningrat, 1984. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama. Pigeaud, Th. 1938. Javaanse Volksvertoningen. Batavia: Volkslectuur. Pigeaud, Th.1960-63. Java in the 14th Century: A Study in Cultural History. (5

jilid) The Haque: Nijhoff . Poerbatjaraka, 1968. Tjerita Pandji dalam Perbandingan. Jakarta:Gunung

Agung. Prihatini, Nanik Sri.2008. Seni Pertunjukan Rakyat Kedu. Surakarta: ISI Press

dan CV Cendrawasih. Purwaningsih, Lia. 2016. “Wayang Timplong Lakon Sekartaji Kembar dalam

Tradisi Nyadran Desa Sukorejo Kabupaten Nganjuk: Sebuah Analisis Struktur dan Fungsi bagi Masyarakat Pendukungnya”. Skripsi. Surabaya: Fakultas Ilmu Budaya.

Pigeaud, Th. 1938. Javaanse Volksvertoningen. Batavia: Volkslectuur. Ras, J.J.2014. Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa. Terjemahan Achadiati

Ikram. Jakarta:Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Yayasan Naskah Nusantara (Yanassa), Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Sedyawati, Edi. 2007. Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah.

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Soedarsono, R.M. 1985 a. “Peranan Seni Budaya dalam Sejarah Kehidupan

Manusia Kontinuitas dan Perubahannya”. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Soedarsono, R.M. 1985b. “Pola Kehidupan Seni Pertunjukan Masyarakat

Pedesaan” Dalam Gaya HidupMasyarakat Jawa di Pedesaan: Pola

Page 375: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

369 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Kehidupan Sosial Ekonomi dan Budaya. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Sudikan, Yowono. 2013. “Kearifan Lokal dalam Cerita Panji (Resepsi Pembaca”

Dalam dan Luar Negeri terhadap cerita Panji)” .Makalah. Seminar Bahasa dan Sastra. Bangkalan: Universitas Trunojoyo.

Sutarto,Ayu. 2007. Legenda Kasada dan Karo Orang Tengger dan Lumajang

.(Disertasi). Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indopnesia. Zoetmulder, P.J. 1985.Kalangwan: Sastra Jawa Kuno: Selayang

Pandang.Jakarta: Djambatan.

Page 376: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

370 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

POLA REVITALISASI KESENIAN TRADISI LISAN: STUDI KASUS DI SANGGAR SENI GEDHANG GODOG

TULUNGAGUNG

Wing Setiawan Email: [email protected]

Pusat Studi Peradaban Universitas Brawijaya ABSTRAK: Kesenian kentrung yang diasumsikan tergolong langka dalam kancah kesenian lisan Jawa dan kini mengalami kemunduran. Faktor generasi penerus kesenian ini menjadi salah satu penyebab dari kelangkaan kesenian ini. Salah satu kesenian kentrung yang mengalami faktor regenerasi adalah kesenian kentrung Sedyo Rukun yang berada di Tulungagung, Jawa Timur. Sebagai sebuah tradisi, kentrung tidak hanya memberikan bentuk hiburan namun juga kearifan lokal dan pembelajaran. Oleh karena itu penting sekali untuk merevitalisasi keberadaan kesenian lisan ini. Salah satu tindakan yang sudah dilakukan untuk merevitalisasi kesenian ini telah dilakukan oleh Sanggar Seni Gedhang Godhong yang berada di desa Nggigas, kecamatan Campurdarat. Sanggar seni Gedhang Godog telah berhasil melakukan inveted tradition pada kesenian kentrung dengan cara merevitalisasi kesenian kentrung dan telah berhasil memberikan model pembelajaran baru pada kesenian tutur kentrung. Kata Kunci: Kentrung, Revitalisasi, Sanggar Seni

Kesenian tradisional diposisikan sebagai sumber sejarah yang penting dan

menyimpan keberlangsungan dan dinamika serta identitas budaya pemiliknya. Sementara secara kultural, kesenian tradisional biasanya menjadi wahana transmisi pewarisan nila-nilai dari generasi ke generasi. Pentingya keberadaan seni tradisional ini sangatlah penting posisinya dalam suatu peradaban masyarakat agar dapat menjaga berlangsungnya transfer nilai-nilai luhur ke generasi selanjutnya. Namun pada masa kini kesenian tradisional kalah bersaing dengan kesenian populer modern. Hal ini dibuktikan dengan semakin menurunnya minat masyarakat untuk menyaksikan ataupun mempelajari kesenian tradisional. Sejalan dengan semakin majunya suatu masyarakat, semakin besar pula pengaruh dari luar yang diterima oleh masyarakat. Salah satu faktor penting adalah pengaruh teknologi informasi.

Dari sisi pemeritah daerah juga kurangnya upaya untuk kembali menggairahkan keberadaan kesenian tradisional padahal jika bercermin dari Instruksi Presiden RI Nomor 16 Tahun 2005 tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata menegaskan agar pemerintah daerah mengambil langkah nyata guna mengoptimalkan akselerasi pembangunan kebudayaan dan pariwisata dalam upaya tidak hanya melestarikan tetapi juga menyejahterakan masyarakat, membuka lapangan kerja, dan memeratakan pembangunan. Namun pada praktik lapangannya pemerintah seakan lepas tangan akan keberadaan dan kelestarian kesenian tradisional.

Salah satu kesenian tradisional yang juga ikut tergerus arus modernisasi adalah kesenian tutur kentrung. Kesenian ini mengalami keadaan yang

Page 377: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

371 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

memprihatinkan akibat tergerus arus modernisasi yang luar biasa pada masyarakat pemiliknya. Jika dari data Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo antara tahun 1975-1978 dan 1986 –1987 berhasil mendokumentasikan persebaran kentrung di Jawa Timur yang jumlahnya masih cukup merata kala itu di Jawa Timur. Menurut Koentraraningrat 1984, kesenian kentrung dibagi menjadi dua daerah yakini Pesisir wetan yaitu Kabupaten Tuban, sedangkan satu daerah bernama Mancanegari yakni termasuk daerah Blitar, Kediri, Tulungagung, dan Ponorogo.

Tulisan ini dikhususkan pada kesenian kentrung yang berada di Tulungagung, dengan menimbang bahwa di Tulungagung kini kesenian ini kembali direvitalisasi oleh salah satu Sanggar Seni yang bergerak dalam seni teater dan Kentrung. Menurut Sudikan (2001, di dalam Sumitri 2016:20 ) revitalisasi sangat bermanfaat dalam penghidupan kembali perangkat makna budaya yang sudah mengalami keroposan, baik dalam kandungan ajaran maupun dalam jumlah dan intensitasnya, demi penciptaan kembali suatu tatanan kehidupan masyarakat yang serasi, selaras, dan seimbang.

Bertolak dari paparan tersebut, penelitian ini berusaha untuk mencari pola revitalisasi tradisi lisan kentrung di Tulungagung sebagai usaha awal menemukan cara revitailisasi tradisi lisan kentrung yang tepat untuk dapat diimplementasikan baik kesenian kentrung di daerah lain maupun kesenian tutur lainnya. Oleh karena itu, masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah revitalisasi dalam kesenian tradisi lisan Kentrung yang dirumuskan secara khusus sebagai berikut.

1. Bagaimana pola revitalisasi kesenian kentrung di Tulungagung? 2. Hal baru apakah yang muncul dalam upaya revitalisasi tersebut? 3. Bagaimanakah makna revitalisasi tersebut bagi kesenian kentrung dan

Sanggar Kesenian tersebut? Landasan Teori Kentrung Sebagai Sastra Lisan

Sastra lisan sebagai bagian dari tradisi lisan merupakan salah satu gejala kebudayaan yang terdapat pada masyarakat terpelajar dan belum terpelajar. Tiap-tiap ragam itu mempunyai banyak variasi dengan esensi dan orientasi isinya berkenaan dengan berbagai peristiwa yang terjadi atau kebudayaan masyarakat pemilik sastra lisan tersebut (Finnegan, 1979:3 di dalam Sumitri 2016)

Sastra lisan merupakan bagian dari masyarakat yang dapat kita temukan sewajarnya pada masyarat yang memiliki kebudayaan awal berupa komunikasi lisan dan kemudian secara turun temurun disampaikan ke generasi selanjutnya. Pendapat Vansina tentang tradisi lisan adalah (2014:1)sebuah proses dan kepada hasil dari proses tersebut. Hasilnya berupa pesan-pesan lisan yang berdasarkan pada pesan-pesan lisan terdahulu, yang berusia setidaknya satu generasi. Pendapat Vansina yang menguraikan bahwa tradisi lisan adalah sebuah proses penyampaian hasil yang berupa pesan-pesan yang dimiliki masyarakat di masa lalu yang hasilnya untuk disampaikan kepada generasi selanjutnya.

Pesan-pesan yang dimiliki masyarakat terdahulu yang tujuannya untuk generasi selanjutnya ini yang akhirnya berubah menjadi tradisi lisan. Membicarakan tentang tradisi lisan ciri khas kesenian tutur sangatlah kuat

Page 378: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

372 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

dikategorikan sebagai suatu tradisi lisan yang isinya berupa sastra lisan berupa cerita dari pendahulu. Menurut Utomo (1987) di dalam masyarakat Jawa sastra lisan terdapat di kota dan desa. Salah satu jenis sastra lisan itu oleh orang Jawa disebut cerita kentrung. Cerita kentrung kentrung pada umumnya terdapat di daerah pedesaan. Kentrung yang merupakan bentuk dari kesenian lisan memiliki pesan-pesan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Vansina dalam buku berjudul Tradisi Lisan Sebagai Sejarah (2014:16) mendefinisikan kesenian lisan sebagai berikut,

Setiap kesenian adalah metafora dan bentuk. Kesenian lisan seperti puisi, lagu, pepatah, peribahasa dan kisah tunduk pada aturan ini. Mereka menyatakan pengalaman situasi atau kejadian masa kini, pesan moral yang dipetik dari kejadian atau situasi tersebut, atau menyatakan perasaan mendalam yang berhubungan dengan mereka.

Dari definisi tentang kesenian kesenian lisan diatas dapat disimpulkan bahwa kesenian lisan kentrung memuat sejumlah pesan moral tentang kejadian masa lalu dan dapat dijadikan suatu yang merefleksikan keadaan saat ini. Pesan moral tersebut tersimpan dalam kisah/lakon yang dimiliki kesenian kentrung. Dalam desertasi yang berjudul Cerita Kentrung Sarahwulan di Tuban, Hutomo (1987:2) menguraikan tentang cerita kentrung yang belum pernah diteliti sebelumnya dan berfokus mencari fungsi cerita kentrung yang memiliki fungsi sebagai pendidikan. Fungsi cerita kentrung yang berfungsi sebagai pendidikan tersebut merupakan salah satu ciri dari folklor. Folklor memiliki fungsi yang sangat penting dan berlaku di dalam masyarakat pemilik folklor tersebut menurut Danandjaja (1983) mengutip pendapat dari Bascom menyatakan bahwa bentuk-bentuk folklor mempunyai fungsi sebagai berikut :1) sebagai sistem proyeksi; 2) sebagai alat pengesahan budaya; 3) sebagai alat paedagogik; dan4) sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma masyarakat dan pengendalian masyarakat. Folklor yang terkandung yang berbentuk cerita kentrung merupakan salah satu media yang tepat sebagai sarana pendidikan karena para leluhur menanamkan banyak nilai-nilai moral di dalam berbagai macam bentuk folklor. Inveted Tradition Pandangan Hobsbawn mengenai ‘invented tradition’ dijelaskan sebagai suatu tindakan pengembalian tradisi pada kelompok masyarakat tertentu. Pada pemaparan teorinya, Hobsbawn menjelaskan bahwa:

'Invented tradition' [which] is taken to mean a set ofpractices, normally governed by overtly or tacitly accepted rules and of a ritual or symbolic nature, which seek to inculcate certain values and norms of behaviour by repetition, which automatically implies continuity with the past....[it] isessentially a process of formalization and ritualization, characterized by reference to the past, if only by imposing repetition (Hobsbawn, 2000, hal.1-14)

Page 379: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

373 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Skema pemunculkan kembali kebudayaan pada ranah kesenian kentrung di Tulungagung dengan mengkreasikan beberapa bagian dari kesenian tradisi tersebut kemudian telah mewakili tindakan ‘invented tradition’. Namun, pola ‘invented tradition’ yang diangkat tidak hanya menyangkut bentuk traditional kesenian kentrung melainkan telah terinversi dalam bentuk revitalisasi yang terbarukan. Lewat revitalisasi, ranah ‘invented tradition’ tidak hanya dibenturkan pada proses pemunculan saja, melainkan juga melalui proses kreatif bertahap. Proses kreatif tersebut menghasilkan kesenian kentrung yang telah direvitalisasi menggunakan acuan kesenian aslinya yang masih ada saat ini. Hibridasi Budaya Pieterse (2004), dalam tulisannya Globalization as Hybridization, mengemukakan pendapatnya bahwa globalisasi adalah suatu proses hibridisasi yang berdampak pada munculnya global melange. Pieterse berpandangan bahwa definisi mengenai globalisasi sebagai suatu proses homogenisasi dan standarisasi adalah salah karena sesungguhnya globalisasi dan globalisme tidak mengaburkan heterogenitas masyarakat itu sendiri. Perkembangan baru atas heterogenitas yang ada bahkan muncul akibat hibridisasi yang terdorong di era globalisasi ini, yang pada akhirnya memunculkan global melange. Dalam aspek budaya dan identitas, hibridisasi didefinisikan sebagai “the ways in which forms become separated from existing practice and recombining with new forms in new practice” (Rowe & Scheilling, 1991 dalam Pieterse, 2004: 64). Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa hibridisasi merupakan suatu proses dimana terjadi peleburan bentuk dari yang lama ke bentuk yang baru. Hibridisasi disini menekankan pada peleburan unsur-unsur unggul yang bisa saja berasal dari masa lalu, yang kemudian membentuk sesuatu yang baru dan unggul pula. METODE Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode etnografi untuk mengungkapkan dan memahami pola revitalisasi kentrung. Metode penelitian etnografi dianggapmampu menggali informasi secara mendalam dengan sumber-sumber yang luas.Dengan teknik “observatory participant”, etnografi menjadi sebuah metodepenelitian yang unik karena mengharuskan partisipasi peneliti secara langsungdalam sebuah masyarakat atau komunitas sosial tertentu.Teknik pengumpulan datanya adalah wawancara dengan narasumber, dan studi kepustakaan. Teknik wawancara terbuka dan mendalam disebut juga wawancara tak terstruktur, yang artinya wawancara yang bebas, di mana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan data. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan (Sugiyono, 2015: 318).Studi kepustakaan bertujuan untuk menarik benang merah dari sumber data yang telah diperoleh. TEMUAN DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Cerita Sastra Lisan Kentrung di Tulungagung Kesan miris timbul ketika saya mencoba menelusuri kesenian kentrung ini

di kota kelahiran saya, Tulungagung. Mengumpulkan beberapa informasi baik dari mulut ke mulut maupun dari instansi pemerintah dalam hal ini dinas

Page 380: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

374 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Pendidikan dan Kebudayaan untuk menelisik lebih jauh tentang kesenian tutur ini yang konon sempat populer di Tulungagung pada tahun 1970 sampai akhir tahun 1999.Pada penelitian awal tentang Kesenian Kentrung di Tulungagung pada 2013 didapati bahwa kesenian mengalami ancaman yang serius yakni tidak adanya penerus/regenerasi. Saat ini hanya satu mestro kentrung yang masih bertahan. Menurut penelurusan sebelumnya memang ada satu group kentrung namun telah mengalami ketidak-aktifan lagi sebagai seniman kentrung.

Upaya regenerasi untuk saat ini tidak ada baik dari maestro/penutur asli maupun dari pihak pemerintah daerah. Jika melihat kesejarahannya, kesenian ini lebih memberatkan pewarisan secara turun-temurun. Sehingga, yang menjadi permasalahannya adalah jika keturunan tersebut tidak mau meneruskan usaha pewarisan tersebut. Sebenarnya untuk mengupayakan regenerasi sangat dimungkinkan. Kini regenerasi tidak seolah-olah dari garis keturunan namun juga dari mereka yang mau belajar lebih dari sang mestro.

Dari hasil observasipertunjukan kentrung dan wawancara diketahui kesenian kentrung memiliki beberapa kekhasan sastra lisan yang berupa cerita rakyat kini semakin hari sastra lisan tersebut hilang dan tidak lagi dituturkan oleh masyarakat. Menurut Hutomo (1987:8) seni kentrung mengandung cerita yang belum pasti dapat ditentukan. Dari penelitian 1975 – 1978 dapat diketahui bahwa judul cerita kentrung bermacam-macam. Berikut ini adalah sebagian data tentang macam-macam cerita kesenian kentrung Sedyo Rukun Tulungagung yang diperoleh dari wawancara dan observasi.

Tabel 1. Macam dan Jenis Cerita Kentrung Tradisi

Cerita Babad Cerita Keagamaan Cerita Lisan Masyarakat Umum

Babad Tanah Jawa versi Syeikh Subakir

Nabi Yusuf Panji Semirang

Babad Tanah Jawa versi Ajisaka

Babad Adeg Masjid Demak Laire Joko Kandung

Babad Surabaya Sungging Probingkoro

Ciung Wanoro

Babad Trenggalek Joko Tarub

Joko Tingkir

Sri Aji Joyoboyo

Joko Kisworo

Joko Umbaran

Page 381: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

375 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Sawunggaling

B. Sanggar Seni sebagai Penggerak Revitalisasi

Awalnya Sanggar Seni Gedhang Godog dirintis sejak Januari2012 awalnya merupakan sebuah group teater milik SMP 2 Campurdarat, Tulungagungyang melaksanakan kegiatan berupa pelatihan dan pengembangan teater untuk pelajar. Kemudian pada 5 Agustus 2017, berdiriliah secara resmi Sanggar Seni Gedhang Godog yang mengambil tempat di desa Ngingas, Kecamatan Campurdarat, Tulungagung. Sanggar Seni ini juga mengembangkan sebuah kesenian yang sebenarnya merupakan kesenian tradisi lisan Jawa yaitu kesenian Kentrung. Sanggar Seni Gedhang Godog tidak hanya melestarikan kesenian kentrung saja akan tetapi berusaha untuk merevitalisasi kesenian tersebut agar dapat diterima oleh keadaan kekinian.

Sejak dirintis pada beberapa tahun silam, group teater Gedhang Godog terus menggali potensi-poteni kesenian kentrung dan mengadaptasinya ke dalam kesenian teater. Yayak Priasmara selaku pendiri dan pendamping Gedhang Godog terus mengembangkan kreasi-kreasi dalam kesenian kentrung dengan tujuan untuk mengangkat kesenian kentrung khas Tulungagung kembali dikenal oleh masyarakat. Di bawah bimbingan langsung sang maestro Kentrung Tulungagung yakni Gimah, sanggar seni ini terus berjuang melestarikan kesenian Kentrung agar tidak punah dimakan jaman.

Dari hasil observasi pertunjukan dan wawancara, kentrung revitalisasi Sanggar Kesenian Gedhang Godog telah menghasilkan beberapa cerita kentrung yang mengadaptasi dari cerita kentrung tradisional. Berikut ini adalah data tentang macam-macam cerita dari Kentrung Revitalisasi Sanggar Kesenian Gedhang Godog yang diperoleh dari wawancara dan observasi.

Tabel 2. Macam dan Jenis Cerita Kentrung Revitalisasi

Cerita Babad Cerita Keagamaan Cerita Rakyat Umum Laire Joko Baru Klinthing

Adeging Masjid Demak Cucak Ijo Pancawarna

Joko Kisworo Panji Semirang Laire Joko Tarub Joko Tarub Nawang

Wulan

C. Kentrung Tradisi dan Kentrung hasil Revitalisasi Penting untuk mengetahui bagaimana bentuk dari kesenian kentrung, baik

dari kentrung tradisi dan kentrung hasil revitalisasi. Dari hasil wawancara dan observasi didapatkan data sebagai berikut. Data ini kemudian akan dielaborasikan ke dalam sub pembahasan yang menghasilkan pola revitalisasi kesenian kentrung.

Tabel 2.

Pola Revitalisasi Kesenian Kentrung

Page 382: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

376 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Kentrung Tradisional Perbedaan Kentrung Sanggar Seni Gedhang Godog

Group kesenian / Seniman Kentrung

“Sedyo Rukun”

Bentuk Sanggar Seni “Gedhang Godog”

2 orang yang terdiri dari dua Dalang dan Panjak

Jumlah anggota 14 orang terdiri dari 1 dalang utama

Nyantrik / berguru Metode Pembelajaran kesenian

Metode: Story Telling / Bercerita, Cara mendongeng,

Janturan, Parikan , Lakon Unsur Pembentuk kesenian

Janturan, Parikan, Lakon

Dipentaskan pada hari-hari tertentu seperti Syuro, acara

pernikahan, syukuran

Waktu Pentas kesenian khusus pelajar maupun di acara kesenian di

dalam dan luar kota Tulungagung

Pada tempat si penanggap kentrung, tempat-tempat

bersejarah seperti Petilasan, di Balai Desa

Tempat Di Sekolah,

Kendang, terbang, Kempling, Instrumen pengiring Kendang, Terbang, Kempling, Saron, Demung, Kenong

Menggunakan Sajen pada cerita tertentu

Syarat Khusus Tidak ada syarat khusus pada saat pementasan

Dari Tabel diatas telah banyak kita pahami beberapa perbedaan yang dapat

kita lihat sejauh mana kesenian kentrung tradisional dan kentrung revitalisasi Sanggar Seni Gedhang Godog ini terbentuk, sehingga kita dapat melihat adanya sela-sela diantara keduanya yang harus dipertahankan dan dapat dikembangkan. Bentuk Kentrung

Berkaitan dengan bentuk kesenian itu sendiri, Jika kesenian kentrung tradisional masih berbentuk group/kelompok kesenian yang terdiri dari seniman itu sendiri. Dalam kentrung tradisional terdiri dari dua orang pelaku yakni satu orang Dalang utama dan satu orang Panjak Dalang. Pada kesenian kentrung tradisional Dalang memegang peranan penting sebagai sutradara dari berjalannya cerita yang dipentaskan. Sementara itu sang Panjak berperan sebagai pembantu Dalang pada saat penokohan karakter terdiri dari dua orang Semisal Dalang menjadi Raja dan Panjak menjadi Patih.

Perlu diketahui bersama bahwa Sanggar Seni Gedhang Godog adalah suatu tempat berkumpulnya para seniman muda yang berlatar belakang pelajar. Yang Disini sanggar menjadi wadah tidak hanya satu seniman melainkan berisi banyak anggota. Dari Kentrung Sanggar Seni Gedhang Godhong sendiri terdiri dari 14 Orang. Satu Dalang yang perannya sama dengan kentrung tradisi yakni berfungsi sebagai sutradara dalam berjalannya pementasan. Sedangkan yang sisa dari anggota kentrung Gedhang Godog berperan sebagai panjak.

Dengan menambahkan jumlah pemain kentrung di dalam kentrung revitalisasi sebenarnya tidak begitu berdampak negatif untuk kesenian aslinya,

Page 383: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

377 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

justru akan semakin banyak muncul bibit-bibit baru yang semakin tertarik mempelajari kesenian ini. Metode Pembelajaran

Metode pembelajaran, metode pembelajaran yang diterapkan oleh kesenian tradisional menerapakan metode lama yakni dengan nyantrik dengan seorang guru. Hutomo (1987:55) menyebutkan bahwa cara seorang dalang kentrung memiliki cerita kentrung adalah didapat dengan cara berguru pada seorang dalang kentrung yang sudah berpengalaman dengan cara nyantrik. Sistem nyantrik sebagai jalan untuk memperoleh suatu keahlian atau ilmu dalam kentrung. Cara nyantrik ada tiga macam yaitu: (1) menjadi pembantu biasa ; (2) menjadi panjak ; (3) sengaja dilatih. Dalam kentrung tradisi Sedyo Rukun menurut penuturan Gimah, sang Dalang bahwa dia memang berasal dari keluarga yang silsilah nya merupakan Dalang Kentrung. Dia belajar kentrung dari ayahnya sejak berumur 6 tahun dan sejak saat itu sudah nyantrik dengan diajak mengamen ke satu tempat ke tempat lain. Jadi menurut Hutomo (1987:63) metode pengajaran cerita kentrung di dalam sistem nyantrik berfokus pada beberapa hal berikut:

1. Penghafalan kerangka (balungan) cerita. Diperoleh ketika mendengarkan pertunjukan-pertunjukan sang guru yang bervariasi dari satu cerita sehingga unsur-unsur yang tetap hadir dapat ditangkap dan dipahami sebagai kerangka carita.

2. Penghafalan cakepan blangkon, yaitu bagian- bagian tetap yang mengandung pelukisan kurang lebih sama di dalam segala cerita.

3. Penguasaan unsur-unsur perhiasan yaitu: musik, tingkahan dan selingan.

Sedangkan di Sanggar lebih menerapkan metode yang terbarukan dengan menyesuaikan keadaan sekarang yakni dengan menerapkan metode story telling/ bercerita. Menurut pembina Sanggar Seni Gedhang Godog Yayak Priasmara, metode story telling memang metode yang sangat efektif. Apalagi para anggota kentrungnya merupakan pelajar sehingga mereka harus dibekali dengan ketrampilan bercerita. Dengan mengajarkan bagaimana cara bercerita yang baik dan benar meraka akan semakin terampil dalam mengolah cerita kentrung. menurutnya penyampaian cerita yang baik adalah salah satu modal utama dalam kesenian kentrung karena semua orang bisa bercerita namun hanya sedikit yang mampu membawakan cerita tersebut dengan baik dan dapat menarik pendengar. Metode yang juga diterapkan adalah dengan menugasi para anggotanya untuk belajar mencari referensi kesejarahan dari cerita yang akan mereka bawakan. Sehingga mereka dapat memilah-milah mana kejadian yang terjadi berdasarkan fakta kesejarahan dan yang mana hanya fiksi. Yang terakhir adalah dengan mengajari ketukan musik, pembelajaran ini ditaruh di paling akhir dalam proses pembelajaran dikarenakan sebuah proses akhir. Peranan instrumen musuik pengiring sebenarnya berfungsi untuk menandai perpindahan suatu alur cerita.

Dari kedua metode yang dapat kita pahami bahwa metode nyantrik sudah tidak pas lagi diterapkan dalam revitalisasi kesenian kentrung, karena membutuhkan waktu yang sangat lama. Sedangkan metode bercerita merupakan metode yang dapat menarik minat banyak pelajar karena hanya dibutuhkan keberanian untuk bercerita.

Page 384: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

378 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Unsur Pembentuk Baik dalam kesenian kentrung tradisi dan kentrung revitalisasi ada tiga hal

yang harus diperhatikan dalam pembentukannya yakni Janturan, Parikan , Lakon. Ketiga unsur ini sangat penting ada karena merupakan nyawa dari kesenian kentrung. Janturan merupakan pembuka dari sebuah pementasan kentrung. Janturan berfungsi untuk memperkenalkan siapa, dimana dan kisah apa yang akan dibawakan. Parikan adalah unsur kedua, parikan disini merupakan suatu hal yang wajib di dalam kentrung. Parikan ini biasa digunakan untuk menekankan pesan-pesan dari setiap kejadian yang dialami oleh tokoh cerita. Lakon sendiri adalah cerita yang dibawakan oleh kesenian kentrung. Antara lain ada lakon bercerita tentang babad, tentang keagamaan berupa cerita Nabi dan cerita sastra lisan umum yang tidak hanya dimiliki oleh kesenian kentrung. Ketiga elemen pembentuk kesenian kentrung ini harus dimiliki baik kentrung tradisional maupun kentrung yang telah direvitalisasi. Waktu dan Tempat

Waktu pementasan, jika berkaitan dengan waktu pementasan pada hari apa saja. Kentrung bentuk tradisi kini yang dahulu masih melakukan mengamen justru pada dekade 1990 an telah berubah menjadi kesenian yang ditanggap untuk keperluan tertentu semisal pada waktu syuro yakni hari pergantian tahun Islam dan Jawa. Untuk waktu pementasan biasa dimulai pukul 21.00 sampai selesai. Sedangkan untuk durasi pertunjukan bisa memakan waktu dari 3 sampai 6 jam. Berbicara tentang tempat biasanya kentrung tradisional ditanggap pada tempat-tempat penanggap seperti di Balai desa ketika diundang dalam acara bersih desa.

Sedangkan untuk kentrung revitalisasi Gedhang Godog berkenaan dengan waktu tidak ada waktu yang dikhususkan seperti halnya kentrung tradisional. Untuk durasi pementasan sendiri berkirasan antara 1 hingga 2 jam. Sedangkan tempat pementasannya adalah paling utama berada pada lingkungan sekolah, acara kesenian di daerah lokal maupun di luar kota.

Kesenian kentrung yang telah direvitalisai kini tidak terlalu berfokus pada lamanya durasi pertunjukan yang dimainkan. Kentrung Sanggar Seni Gedhang Godog lebih mengedepankan aspek pertunjukan yang diringkas dalam durasi singkat namun tidak meninggalkan kekhasan kentrung sebagai kesenian yang memiliki unsur Tontonan, Tuntunan dan Tatanan. Instumen Pengiring

Instrumen pengiring, Kesenian Kentrung tradisi masih menggunakan alat-alat tradisional yakni Kendang, Terbang dan Templing. Intrumen ini terdapat pada kesenian kentrung Tulungagung. Instrumen ini sampai sekarang tetap dipertahankan sebagai ciri khas musik kesenian ini. Kendang sendiri dimainkan oleh Dalang, sedangkan untuk terbang dan templing digunakan oleh panjak. Fungsi dari instrumen musik ini adalah untuk mengiringi jalannya alur cerita sebagai penanda tiap-tiap kejadian dalam cerita.

Sedangkan pada kesenian kentrung revitalisasi maka instrument tradisional tersebut ditambahkan dengan beberapa alat musik yakni Saron, Demung, Kenong. Fungsi dari penambahan alat musik tersebut semakin membuat warna baru dalam kesenian kentrung. Syarat Khusus

Page 385: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

379 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

Dalam pementasan kesenian kentrung tradisional ada beberapa syarat khusus dalam pementasannya contohnya menggunakan sesaji pada cerita tertentu yang dianggap cerita sakral dan hanya boleh dimainkan untuk tujuan tertentu. Semisal cerita kentrung Syeikh Subakir, cerita ini harus menggunakan sesaji lengkap cok bakal dan dikhususkan dipentaskan sebagai sarana pindah rumah ataupun pada saat bersih desa. Berbeda dengan kentrung revitalisasi Gedhang Godog yang dimana pada setiap pementasannya tidak menggunakan sesaji khusus. KESIMPULAN DAN SARAN Makna Revitalisasi kesenian tradisi Lisan Kentrung

Makna revitalisasi pemali dalam tradisi lisan ini merujuk pada pendapat Sari (2011:160) tentang makna identitas, edukasi, inovasi, dan pelestarian budaya dalam kaitannya dengan ketahanan budaya. Berikut ini akan dipaparkan makna revitalisasi kesenian tradisional kentrung. Makna Identitas

Setiap daerah pasti memiliki ciri khas sendiri sebagai penganda bahwa daerah tersebut memiliki keunikan. Ciri khas tersebut bisa berupa makanan khas atau kesenian yang dimilikinya. Dengan Revitalisasi kesenian tradisional ini bermakna untuk mengembalikan identitas kesenian kentrung khususnya di Tulungagung yang akan mendorong rasa banga akan kepemilikan kesenian ini. Tulungagung sebagai kota kecil di Jawa Timur kelak akan dikenal dengan kota Kentrung, seperti halnya Ponorogo yang telah melekat kesenian reyog Ponorogo. Makna Edukasi

Prosess Revitalisasi tradisi lisan kentrung juga memiliki makna edukasi bagi generasi muda. Proses edukasi dalam revitalisasi kesenian tradisi lisan kentrung ini berfungsi untuk penanaman nilai dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat dalam kesenian tersebut Hal ini juga akan memberikan pemahaman yang berbeda kepada generasi muda yang selama ini menganggap kesenian kentrung hanya sebuah kesenian yang membosankan ternyata bisa dikreasikan dengan jiwa muda. Makna edukasi dalam revitalisasi kesenian kentrung ini memberikan peran yang luas bagi generasi muda untuk turut melestarikan budaya lokal meskipun terjadi perkembangan-perkembangan budaya yang sangat pesat. Makna Inovasi

Inovasi dalam kesenian kentrung diperlukan agar nilai-nilai yang berkaitan dengan kearifan lokal masih dapat dipertahankan dan tetap dipakai oleh generasi muda sampai kapanpun. Apalagi kearifan lokal tersebut tersimpan dalam sastra lisan / cerita lisan yang digunakan dalam setiap pementasan kesenian kentrung. Inovasi dalam kesenian tradisi lisan kentrung bisa kita pahami sebagai bentuk lain dari hibridasi budaya. Dari hasil pola revitalisasi diatas didapatkan bahwa kentrung Sanggar Seni Gedhang Godog berhasil melakukan inovasi yang berfungsi untuk menarik peminat sebagai pelestari maupun penonton. Makna Pelestarian Budaya

Revitalisasi kesenian kentrung merupakan upaya yang bermakna bagi pelestarian kesenian yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal. Upaya ini memang harus dilakukan untuk mencegah punahnya kesenian lokal yang ada dalam masyarakat. Akan tetapi dalam upaya revitalisasi suatu budaya tidak

Page 386: Panitia Seminar Nasionalsemnasjsi.um.ac.id/public/conferences/2/schedConfs/3/...GUGON TUHON SEBAGAI MEDIA UNTUK MENGENALKAN PENDIDIKAN KARAKTER 5 Asyifa Alifia & Fatima Tuzzaroh Universitas

Prosiding Seminar Nasional Sastra Lisan, Tema: Potensi Sastra Lisan di Era Global

Malang, 18 Oktober 2017

380 | Diselenggarakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UM

cukup hanya sekedar diwacanakan saja akan tetapi diperlukan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini peran Sanggar Kesenian Gedhang Godog sangatlah penting karena telah berhasil merevitalisasi kesenian kentrung. Usaha yang telah dilakukan sanggar ini merupakan salah satu usaha inveted traditon. Proses inveted tradition yang mereka ciptakan tidak hanya sebatas bagaiaman memunculkan kembali kesenian tradisional ini melainkan sudah ke tahapan membentuk sebuah proses kreatif. Lewat revitalisasi kesenian kentrung, Sanggar ini berhasil membentuk metode-metode baru pembelajaran kentrung yang dikenal sulit untuk dipelajari. Fungsi dari pembentukan proses revitalisasi yang kreatif ini akan memudahkan siapapun untuk belajar kesenian ini. SARAN

Kesenian Tradisi Lisan Kentrung sebagai salah satu bentuk expresi seni masyarakat selaknya mendapatkan perhatian khusus tidak hanya pada pemerintah namun masyarakat juga harus ikut merasa memiliki dan menjaga keberadaan kesenian ini dengan terus ikut menyumbangkan ide-ide kreatif dalam bidang revitalisasi kesenian. Kesenian tradisi lisan akan terus terjaga keberadaanya jika masyarakat pemilik sekaligus pendukungnya terus melibatkan diri dalam upaya pengembangan dan pelestariannya. DAFTAR RUJUKAN Danandjaja, James (1983). Folklor sebagai Bahan Penelitian Antropologi

Psikologi, dalam Analisasi Kebudayaan. Th IV No. 3 1983/1984. Jakarta: Depdikbud. Halaman 61-71.

Hobsbwan, Eric. (2000). The Invention of Tradition. Cambridge. Cambridge University Press.

Hutomo, Suripan Sadi. (1987). Cerita Kentrung Sarahwulan di Tuban. Disertasi Pasca Sarjana, tidak diterbitkan. Jakarta. Universitas Indonesia.

Pieterse, Jan Nederveen. (2004). “Gloablization as Hybridization”, dalam Globalization and Culture : Global Mélange, Lanham : Rowman & Littlefield Publisher, Inc. pp. 59-83.

Sari, Darwan. 2011. Revitalisasi Tradisi Lisan Kantola Masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada Era Globalisasi (tesis tidak diterbitkan). PPS: Universitas Udayana

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: CV. Alfabeta.

Sumitri, Ni Wayan. (2016). Tradisi Lisan Vera: Jendela Bahasa, Sastra, dan Budaya Etnik Rongga. Jakarta. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Vansina, Jan. (1985). Tradisi Lisan Sebagai Sejarah. Terjemahan oleh Astrid Reza, dkk, 2014. Yogyakarta. Penerbit Ombak