PANDANGAN PAKAR HUKUM DAN ULAMA KOTA MALANG …etheses.uin-malang.ac.id/7798/1/11780014.pdfPEMBAGIAN...
Transcript of PANDANGAN PAKAR HUKUM DAN ULAMA KOTA MALANG …etheses.uin-malang.ac.id/7798/1/11780014.pdfPEMBAGIAN...
PANDANGAN PAKAR HUKUM DAN ULAMA KOTA
MALANG TERHADAP ASAS LEGALITAS DALAM
PEMBAGIAN HARTA
ABDUL KADIR JAILANI PULUNGAN
PROGRAM STUDI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBARHIM MALANG
PANDANGAN PAKAR HUKUM DAN ULAMA KOTA
MALANG TERHADAP ASAS LEGALITAS DALAM
PEMBAGIAN HARTA WARIS GONO GINI
TESIS
Oleh
ABDUL KADIR JAILANI PULUNGAN
11780014
PROGRAM STUDI MAGISTER AL-AHWAL AL- SYAKHSHIYYAH
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBARHIM MALANG
2013
i
PANDANGAN PAKAR HUKUM DAN ULAMA KOTA
MALANG TERHADAP ASAS LEGALITAS DALAM
GONO GINI
SYAKHSHIYYAH
ii
PANDANGAN PAKAR HUKUM DAN ULAMA KOTA
MALANG TERHADAP ASAS LEGALITAS DALAM
PEMBAGIAN HARTA WARIS GONO GINI
TESIS
Diajukan Kepada Program Pascasarjan
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Untuk Memenuhi Beban Studi Pada
Program Magister Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah
Oleh
ABDUL KADIR JAILANI PULUNGAN
11780014
PROGRAM STUDI MAGISTER AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBARHIM MALANG
2013
iii
PANDANGAN PAKAR HUKUM DAN ULAMA KOTA
MALANG TERHADAP ASAS LEGALITAS DALAM
PEMBAGIAN HARTA WARIS GONO GINI
TESIS
Diajukan Kepada Program Pascasarjan
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Untuk Memenuhi Beban Studi Pada
Program Magister Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah
Oleh
ABDUL KADIR JAILANI PULUNGAN
11780014
Pembimbing
Dr. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag Dr. H. Saifullah, SH, M.Hum NIP. 19590423198603 2 003 NIP. 1965120520003 1 001
PROGRAM STUDI MAGISTER AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBARHIM MALANG
2013
iv
PENGESAHAN TESIS
Tesis saudara Abdul Kadir Jailani Pulungan, NIM 11780014, Mahasiswa
Pascasarjana Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang ini telah diuji & dipertahankan di depan sidang
dewan penguji pada tanggal 21 September 2013 dengan judul:
Pandangan Pakar Hukum Dan Ulama Kota Malang Terhadap Asas Legalitas
Dalam Pembagian Harta Waris Gono Gini
Dinyatakan LULUS.
Dewan Penguji
Ketua, Penguji Utama,
Dr. H. Fadil Sj, M.Ag Dr. Zaenul Mahmudi, M.A NIP. 19651219 9203 1 046 NIP. 19730603 199903 1 001
Sekretaris/Pembimbing I Penguji/Pembimbing II
Dr. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag Dr. H. Saifullah, SH, M.Hum NIP. 1959042 3198603 2 003 NIP. 19651205 20003 1 001
Mengetahui Direktur PPs,
Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A NIP 19561211 1983031 1 005
v
PERSEMBAHAN
Ku persembahkan tugas akhir ini untuk orang tercinta dan tersayang
atas kasihnya yang berlimpah.
Teristimewa Ayahanda, Ibunda dan keluarga tercinta, tersayang
dan yang terhormat. Kupersembahkan sebuah tulisan dari didikan
kalian yang ku aplikasikan dengan ketikan hingga menjadi barisan
tulisan dengan beribu kesatuan, berjuta makna kehidupan, tidak
bermaksud yang lain hanya ucapan TERIMA KASIH yang setulusnya
tersirat dihati yang ingin ku sampaikan atas segala usaha dan jerih
payah pengorbanan untuk anakmu selama ini. Hanya sebuah kado kecil
yang dapat ku berikan dari bangku kuliahku yang memiliki sejuta makna,
sejuta cerita, sejuta kenangan, pengorbanan, dan perjalanan untuk
dapatkan masa depan yang ku inginkan atas restu dan dukungan yang
kalian berikan. Sekali lagi ananda ucapkan......TERIMA KASIH.
vi
PERSEMBAHAN
Dua tahun sudah kita menjalani perkuliahan di kampus Pascasarjana UIN
Malang tercinta, tentu banyak pula kenangan suka maupun duka yg kita lalui
bersama. Tiada yang dapatku balas atas kasih sayang serta bantuan teman-
teman yang telah kalian berikan kepadaku baik dalam bentuk motivasi dan
semangat untuk menjalani hidup hingga tugas akhir ini pun terselesaikan.
Rindu dan salamku kepada teman-temanku angkatan 2011 dan angkatan 2012,
kalian telah memberikan sesuatu yg melebihi dari yang kuharapkan di kota ini,
yakni kasih sayang kalian.............semoga Allah membalas kebaikan kalian dan
kita dijadikan orang yang sukses di dunia & akhirat.
vii
MOTTO
ب ا� �ت � � � � ا� � � �
� � � ا� و � � � ا� � � � ا� � � � و “ Sungguh sedih anak yatim yang mati ibu bapaknya
Akan tetapi, lebih sedih lagi yatim ilmu & yatim amal”
viii
SURAT KETERANGAN
ORIGINALITAS PENELITIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Abdul Kadir Jailani Pulungan
NIM : 11780014
Program Studi : Magister Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah
Alamat : Jl. Pemudi Gg. Masjid No. 2 Kel. Tampan
Kec. Payung Sekaki Kota Pekanbaru Provinsi
Riau
Judul Penelitian : Pandangan Pakar Hukum Dan Ulama Kota
Malang Terhadap Asas Legalitas Dalam
Pembagian Harta Waris Gono Gini
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa dalam hasil penelitian saya ini tidak
terdapat unsur-unsur penjiplakan karya penelitian atau karya ilmiah yang
pernah dilakukan atau dibuat oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis
dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar
pustaka
Bahwa jika dikemudian hari ternyata hasil penelitian ini terbukti terdapat
unsur-unsur penjiplakan dan ada klaim dari pihak lain. Maka saya bersedia
untuk diproses sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan tanpa
paksaan dari siapapun.
Malang, 11 September 2013
Hormat Saya,
Abdul Kadir Jailani Pulungan NIM: 11780014
ix
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah penulis ucapkan atas limpahan rahmat, hidayah dan
bimbingan Allah SWT, tesis yang berjudul “Pandangan Pakar Hukum Dan
Ulama Kota Malang Terhadap Azaz Legalitas Dalam Pembagian Waris Harta
Gono Gini” dapat terselesaikan dengan baik semoga ada guna dan manfaatnya.
Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjugan kita Nabi
Muhammad SAW yang telah membimbing manusia kearah jalan kebenaran dan
kebaikan.
Banyak pihak yang membantu dalam menyelesaikan tesis ini. Untuk itu,
penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya dengan
ucapan jazakumullah ahsanul jaza’ khususnya kepada:
1. Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Bapak Prof. Dr. H. Mudjia
Rahardjo dan para pembantu Rektor atas segalan layanan dan fasilitas yang
telah diberikan selama penulis menempuh studi.
2. Direktur Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Bapak Prof.
Dr. H. Muhaimin, M.A dan para asisten direktur atas segala layanan dan
fasilitas yang telah diberikan selama penulis menempuh studi.
3. Ketua Program studi Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah, Bapak Dr. H. Fadil Sj,
M.Ag dan Dr. H. Dahlan Tamrin atas motivasi, koreksi dan kemudahan
pelayanan selama studi
4. Dosen Pembimbing 1, Dr. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag atas bimbingan, kritik
dan koreksinya dalam penulisan tesis
5. Dosen Pembimbing II, Dr. H. Saifullah, M.Hum atas bimbingan, kritik dan
koreksinya dalam penulisan tesis
x
6. Semua staf pengajar atau dosen dan semua staf TU Pascasarjana UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang yang tidak mungkin disebutkan satu persatu
yang telah banyak memberikan wawasan keilmuan dan kemudahan selama
menyelesaikan program studi
7. Semua Pakar Hukum dan Ulama Kota Malang khususnya yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan informasi dalam penelitian.
8. Kedua orang tua, ayahanda Bapak H. Sahudlan Pulungan dan Ibunda Hj.
Tumini yang tiada henti-hentinya memberikan motivasi, bantuan materiil
dan doa sehingga menjadi dorongan dalam menyelesaikan studi, semoga
menjadi amal yang diterima di sisi Allah.
9. Semua teman-teman dan adik-adik mahasiswa/i Riau yang ada di malang
yang terkabung dalam organisasi Ikatan Keluarga Pelajar dan Mahasiswa
Riau Malang (IKPMR) yang selalu mendukung dan menyemangati penulis
sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan.
10. Semua keluarga dan teman-teman yang ada di Kota Pekanbaru maupun
yang ada di Kota Malang yang selalu menjadi inspirasi dalam menjalani
hidup khususnya selama studi.
Malang, 11 September 2013
Penulis,
Abdul Kadir Jailani Pulungan
xi
DAFTAR ISI
SAMPUL ......................................................................................................... i JUDUL ............................................................................................................ ii LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................... iii PENGESAHAN TESIS .................................................................................. iv PERSEMBAHAN ........................................................................................... v MOTTO .......................................................................................................... vii SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS PENELITIAN ....................... viii KATA PENGANTAR .................................................................................... ix DAFTAR ISI ................................................................................................... xi DAFTAR TRANSLITERASI ....................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xv ABSTRAK ...................................................................................................... xvi BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Kontek Penelitian ................................................................... 1 B. Batasan Masalah..................................................................... 6 C. Fokus Penelitian ..................................................................... 6 D. Tujuan Penelitian ................................................................... 6 E. Manfaat Penelitian ................................................................. 7 F. Originalitas Penelitian ............................................................ 7 G. Defenisi Operasional .............................................................. 11 H. Sistematika Pembahasan ........................................................ 12
BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................... 14 A. Konsep Asas Legalitas ........................................................... 14 B. Konsep Waris Dalam Litaratur Islam .................................... 17
1. Pengertian Waris ............................................................. 17 2. Dasar Hukum Waris ........................................................ 19 3. Asas-Asas Hukum Waris ................................................ 23
C. Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam .......................... 26 D. Hak-Hak Yang Wajib Ditunaikan Sebelum Pembagian
Waris ...................................................................................... 30 E. Harta Gono Gini/ Harta Bersama Suami Istri Di Indonesia ... 39
1. Harta Gono Gini/ Harta Bersama menurut UU No.1 tahun 1974 ....................................................................... 39
2. Harta Gono Gini/ Harta Bersama Menurut KUHPerdata 40 3. Harta Gono Gini/ Harta Bersama Menurut Hukum Adat 41
F. Pemilikan Bersama Dalam Harta Warisan Menurut Hukum Islam ....................................................................................... 43 1. Konsep Kepemilikan Harta Bersama/Perkongsian ......... 43 2. Pemilikan Harta Bersama/Perkongsian Menurut Ulama
Hanafiah .......................................................................... 50 3. Pemilikan Harta Bersama.Perkongsian Menurut Ulama
Malikiyah ........................................................................ 52 4. Pemilikan Harta Bersama.Perkongsian Menurut Ulama
Syafi’iyah ........................................................................ 54 5. Pemilikan Harta Bersama.Perkongsian Menurut Ulama
Hanabilah ........................................................................ 55
xii
G. Pencatatan Harta Peninggalan Menurut Teori Kemaslahatan Dan Dzari’ah .......................................................................... 58
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................... 69 A. Paradigma Penelitian .............................................................. 69 B. Jenis Penelitian ....................................................................... 69 C. Pendekatan Penelitian ............................................................ 70 D. Lokasi Penelitian .................................................................... 71 E. Kehadiran Peneliti .................................................................. 71 F. Data dan Sumber Data ........................................................... 72 G. Pengumpulan Data ................................................................. 75 H. Tehnik Pengolahan Data ........................................................ 76 I. Pengecekan Keabsahan Data.................................................. 78 J. Analisis Data .......................................................................... 79
BAB IV PAPARAN DATA DAN ANALISA DATA .............................. 81 A. PAPARAN DATA ................................................................. 81
1. Pandangan Pakar Hukum dan Ulama Kota Malang Terhadap Asas Legalitas Dalam Pembagian Waris Harta Gono Gini .............................................................. 82
2. Pandangan Pakar Hukum dan Ulama Kota Malang Terhadap Surat Keterangan Pembagian Waris Sebagai Syarat Perkawinan Bagi Duda/Janda Mati ...................... 89
B. ANALISA DATA .................................................................. 95 1. Asas Legalitas Dalam Pelaksanaan Pembagian Waris
Harta Gono Gini Menurut Pakar Hukum Dan Ulama Kota Malang .................................................................... 95
2. Surat Keterangan Pembagian Waris Sebagai Syarat Perkawinan Bagi Duda/Janda Mati Menurut Pakar Hukum Dan Ulama Kota Malang ................................... 106
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN` .................................................. 114 A. Kesimpulan ............................................................................ 114 B. Saran ....................................................................................... 115
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... BIOGRAFI .....................................................................................................
xiii
TRANSLITERASI
A. Umum
Transliterasi yang dimaksud di sini adalah pemindahalihan dari bahasa arab ke
dalam tulisan indonesia (latin), bukan terjemahan bahasa arab ke dalam bahasa
indonesia
B. Konsonan
dl ض tidak ditambahkan ا
th ط b ب
zh ظ t ت
(koma menghadap ke atas) ع th ث
gh غ j ج
f ف h ح
q ق kh خ
k ك d د
l ل dz ذ
m م r ر
n ن z ز
w و s س
h ه sy ش
y ي sh ص
C. Vokal, panjang dan diftong
Pada dasaranya, dalam setiap penulisan bahasa arab dalam bentuk tulisan latin
vocal fathah ditulis dengan “a”, kasroh dengan “i”, dhommah dengan “u”,
sedangkan bacaan panjang masing-masing ditulis dengan cara berikut:
xiv
Vokal (a) panjang = a misalnya: ل�� menjadi : qala
Vokal (i) panjang = 1 misalnya: � � menjadi : qila
Vokal (u) panjang = u misalnya: دون menjadi : duna
Khusus bacaan ya’ nisbat, maka tidak boleh digantikan dengan “I”, melainkan
tetap ditulis dengan “iy” supaya mampu menggambarkan ya’ nisbat diakhirnya.
Sama halnya dengan suara diftong, wawu dan ya’ setelah fathah ditulis dengan
“aw” dan “ay” sebagaimana contoh berikut:
Diftong (aw) = و misalnya: ل!� menjadi : qawlun
Diftong (ay) = ي misalnya: " # menjadi : khayrun
D. Ta’ marbuthah
Ta’ marbuthah ditransliterasikan dengan “t”, jika berada ditengah-tengah
kalimat, namun jika seandainya ta’ marbuthah tersebut berada diakhir kalimat,
maka ditransliterasikan dengan menggunakan “h”, misalnya $%ا("%)$ ()'&ر
menjadi al-risalatu lil mudarrisah.
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
3.1 Model Alir Miles Dan Huberman ........................................................ 79
xvi
ABSTRAK
Pulungan, Abdul Kadir Jailani. 2013. Pandangan Pakar Hukum Dan Ulama Kota Malang Terhadap Asas Legalitas Dalam Pembagian Harta Waris Gono Gini. Tesis, Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Pembimbing: (1). Dr. Tutik Hamidah, M.Ag. (2). Dr. Saifullah, M.Hum.
Kata Kunci: Asas Legalitas, Harta Waris, Gono Gini.
Islam telah mengatur umatnya untuk menjalankan aturan yang telah ditegakkan seperti halnya pelaksanaan waris. Di Indonesia pelaksanaan tersebut tidak teralisasi dengan baik. Dari segi antropologis, dimana Indonesia memiliki adat dan budaya yang juga menghambat pelaksanaan tersebut. Daru segi sosiologisnya, ini juga disebabkan oleh faktor manusia itu sendiri. Dari segi yuridis, aturan yang ada tidak memiliki kekuatan yang memaksa warganya untuk melaksanakan aturan tersebut bahkan ketika seseorang janda/duda cerai matipun yang hendak menikah hanya mempersyaratkan surat kematian saja dari Kepala Desa atau Lurah setempat. Faktor-faktor di atas tadilah, baik dari segi sosiologis, antropologis atau dari segi lemahnya aturan yang ada menyebabkan kemudharatan terhadap hak dari ahli waris.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan pakar hukum dan ulama Kota Malang terhadap asas legalitas dalam pelaksanaan pembagian harta waris gono gini. Sehingga diharapkan nantinya dari penelitian ini dapat memperluas khazanah keilmuan kita serta memunculkan pemikiran baru dalam menjawab permasalahan hukum.
Penelitian ini menggunakan paradigma naturalistik, pendekatan kualitatif dengan menggunakan analisis data deskriptif kualitatif, sedangkan pengumpulan data dilakukan melalui teknik wawancara. Lokasi penelitian ini berada di Kota Malang dengan objek penelitiannya adalah pakar hukum dan ulama Kota Malang dengan standarisasi bagi pakar hukum sebagai akademisi yang berprofesi sebagai dosen dan praktisi hukum yang menjabat sebagai Hakim Pengadilan Agama. Sedangkan standarisasi ulama dengan pendidikan minimal S1 dan berbasis organisasi Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan MUI Kota Malang.
Hasil penelitian ini adalah (1). Dimana pendapat Pakar Hukum dan Ulama Kota Malang mengenai asas legalisasi dalam pembagian harta waris gono gini adalah bahwa legalitas sangat penting terhadap pembagian harta waris gono gini dalam bentuk tertulis dimana hal itu dapat dibuatkan surat keterangan dari pejabat notaris atau dapat pula dibuat melalui permohonan kepada Pengadilan Agama untuk menetapkan ahli waris sehingga nantinya akan memudahkan pembagian harta waris, jika ahli warisnya memiliki pendapatan yang rendah maka mereka dapat mengajukan permohonan penetapan ahli waris di Pengadilan Agama dengan mengajukan proses persidangan dengan biaya perkara secara cuma-cuma. (2).Terkait dijadikan surat keterangan pembagian harta waris gono gini ini sebagai syarat perkawinan bagi duda/janda cerai mati terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan ini dilandasi cara berpikir yang berbeda dengan melihat situasi dan kondisi yang ada, baik dari segi antropologis, sosiologis maupun yuridis.
xvii
ABSTRACT
Pulungan, Abdul Kadir Jailani. 2013. Legal Experts and Scholars Malang View Against Treasure Principle of Legality in Inheritance Community property division. Thesis, Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah Postgraduate Program of State Islamic University Maulana Malik Ibrahim Malang, Supervisor : (1) Dr. Tutik Hamidah, M.Ag. (2) Dr. Saifullah, M. Hum.
Keywords : Legality Principle , Inheritance, Community property .
Islam has set his people to run the rules that have been established as well as implementation inheritance. In Indonesia, the implementation is not implemented well . Anthropological terms , which Indonesia has a tradition and culture that also hinder the implementation . From sociological terms, this is also caused by the human factor itself. Juridical terms, the existing rules don’t have the power to force citizens to implement these rules even when one widow / widower divorcee death who want to marry only require death certificate course from the local village chief or headman . The factors above these have happened , both in terms of sociological , anthropological or in terms of the weakness of the existing rules cause harm to the rights of heirs .
This study aims to determine how the views of legal experts and scholars Malang against the principle of legality in the implementation of the division of the estate community property. So expect future of this research can expand our realm of knowledge and bring new thinking in answering legal problems.
This study uses a naturalistic paradigm with qualitative approach using qualitative descriptive analysis of the data, while the data collection is done through interview techniques . The study site is located in Malang, with the object of research is the legal experts and scholars Malang with standards for law as an academic expert who is a legal practitioner and lecturer , who served as Justice of Religious Court . While the scholars with minimal education S1 and based on Nahdhatul Ulama organization ( NU ) , Muhammadiyah organization and the Indonesian Scholars Council ( MUI ) Malang .
This result showed that : ( 1 ) The opinion of Legal Experts and Scholars Malang on the principle of the division of the estate legalization Community property is very important that the legality of the division of the estate Community property in written form where it can be made official letter from the notary or can also be made through an application to the Religious to establish an heir so that will facilitate the distribution of the estate , if the beneficiary has a low income then they can apply for a determination of the heirs to the courts for legal proceedings filed with the court fee free of charge . ( 2 ) Related serve letter Community property estate division as a condition of marriage to a widower / divorcee death occurred dissent . This distinction is based on a different way of thinking by looking at the circumstances that exist, both in terms of anthropological, sociological and juridical .
xviii
البحث ملخص
مشروعيةفقهاء وعلماء مدينة ماالنج على أساس آراء، ۲۰۱۳، فولوجنانعبد القادر جيالين
كلية الدراسات العليا ،شخصيةالقسم أحوال ، رسالة لنيل درجة ماجستري ،تقسيم الوراثة
كتور احلاجهد ال) ۱: املشرف، ماالنج، مالك إبراهيم للجامعة اإلسالمية احلكومية موالنا
.املاجستري، سيف اهللا كتور احلاجد ال) ۲ . املاجستري،توتيك محيدة
. الوارثة، اساس مسروعية : الكلمة الرئيسية
تنفيذ شريعة الوراثة يف مسري ا وأم ، قد شرع اإلسالم ألمته على تنفيذ الشريعة كشريعة الوراثة
إلندونيسيا عادات وثقافة مانعة على تنفيذ األنثروبولوجيةهة اجل نظرا من .جيدا مل يكنإندونيسيا
أن ، وأما من اجلهة القانونية. ومن جهة علم اإلجتماع السبب يأيت من شخص نفسه. هذه الشريعة
حىت شروط زواج األرمل أو مطلقة ، النظام القائم مل يقدر على إجبار السكان على هذا التنفيذ
إما من علم ، وهذه العوامل. لى وفاة الزوجامليت بتقدمي الرسالة من الزعيم فحسب داللة ع
. أو من ضعف النظام ضرارة حلقوق الوريث، األنثروبولوجية ،اإلجتماع
والغرض من هذا البحث معرفة آراء فقهاء وعلماء مدينة ماالنج على أساس مشروعية
اجلديدة لتحليل زيادة لنا يف الكنوز العلمية حىت تظهر اآلراء ويرجى من هذا البحث ، تقسيم الوراثة
.املسائل القانونية
منوذج طبيعي هلذا البحث و يستخدم الباحث املنهج البحث الكيفي استخدم هذا البحث
مكان . ومجع احلقائق باحلوار و يف حتليل البيانات يستخدم الباحث حتليل البيانات الوصفي الكيفي
وتقييسا للفقهاء . البحث يف مدينة ماالنج مع موضوع البحث فقهاء و علماء مدينة ماالنج
، وأما من العلماء كالطالب يف مرحلة باكالو ريوس. كاحملاضر يف اجلامعة واحلاكم يف احملاكم الدينية
. علماء إندونيسيا مدينة ماالنجمنظمة حممدية وجملس ، املستند إىل منظمة حنضة العلماء
رأى فقهاء وعلماء مدينة ماالنج أن املشروعية املكتوبة مهمة ) ۱، والنتيجة من هذ البحث
أو تعيني الوريث من احملاكم الدينية لتيسري يف تقسيم ، يف تقسيم الوراثة كالشهادة من كاتب العدل
ضة لتعيني الوريث يف احملاكم الدينية بتقدمي وإذا كان الوريث من الفقري ميكن تقدمي العري، الوراثة
كون شهادة تقسيم الوراثة شروط الزواج لألرمل أو مطلقة ) ۲. راءات مع احلر يف رسوم احملاكماإلج
إما من اجلهة ، وسبب هذا اإلختالف يف طريقة التفكري نظرا ألحوال خمتلفة. امليت يف إختالف
.ة القانونيةأو اجله، علم اإلجتماع، األنثروبولوجية
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Konteks Penelitian
Hukum kewarisan Islam telah diatur sedemikian rupa di dalam Al-Quran
dan Hadits Nabi, hal ini bertujuan agar ahli waris mengetahui dengan
sebenar-benarnya tentang bagian pusaka yang berhak diterimanya, agar
seseorang tidak terjadi pengambilan hak orang lain dengan jalan tidak halal.1
Sehingga dengan begitu, rasa keadilan dan keamanan diantara ahli waris
dapat terjaga tanpa ada yang harus memonopoli harta waris. Selain itu, bila
hukum ini dijalankan dengan jujur dan benar, maka kekhawatiran adanya
dampak negatif dari pengaruh harta yang ditinggal si mati bisa dihindari atau
bisa diminimalisir. Artinya, dengan terlaksananya hukum faraid disamping
hak warisan dapat dikembalikan secara benar kepada yang punya hak, juga
yang sangat mendasar adalah mampu membuat keluarga yang bersangkutan
hidup dengan damai.
Di Indonesia prinsip harta waris dapat diambil dari harta bawaan dan
harta selama perkawinan atau yang lebih sering kita kenal dengan harta gono
gini.2 Dengan demikian, ada 3 kedudukan harta selama berumah tangga,
yakni harta bawaan suami, harta bawaan istri dan harta milik bersama suami
dan istri.3 Sehingga apabila salah satu pasangan dari suami istri meninggal
dunia, maka pasangan yang hidup lebih lama akan mendapatkan separoh dari
harta bersama, begitupula dengan separoh hartanya lagi dari pasangan yang
1 Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana Pranada
Media Group, 2011), Hlm. 80 2 Suhrawadi, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika. 2004), Hlm 50 3 Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil (Surabaya: Airlangga, 2003), Hlm. 92
2
meninggal dunia akan manjadi harta waris ditambah dengan harta
bawaannya. Hal ini dituangkan dalam pasal 96 ayat 1 KHI, “apabila terjadi
cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup
lebih lama”.4
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan peneliti terhadap
prakteknya, masih saja ditemukan penyimpangan terhadap pelaksanaan waris.
Seperti tidak adanya pembagian harta waris ketika salah satu dari pasangan
suami istri meninggal. Hal ini bisa saja dipengaruhi oleh adat dan kebudayaan
yang bermuara kepada etika seorang anak kepada orang tuanya yang berat
hati untuk menuntut haknya atau kurangnya pengetahuan oleh pasangan yang
masih hidup, dimana harta yang seharusnya dibagi dianggap sebagai milik
pribadinya. Akan tetapi hal ini semakin parah, ketika duda/janda tersebut
hendak melakukan pernikahan tanpa didahului adanya pembagian waris atau
diisyaratkan adanya surat keterangan hak waris terhadap harta waris yang
ditinggalkan. Sehingga menimbulkan asumsi akan terjadinya percampuran
harta ahli waris yang didapat dari harta waris berupa harta pribadi/bawaan
serta harta bersama dari salah seorang dari orang tua meraka yang telah
meninggal dengan calon ayah/ibu tiri meraka, sehingga nantinya akan
menyebabkan ketidakjelasan berapa bagian hak mereka terhadap harta waris.
Selain itu, hal ini juga menyebabkan harta ahli waris tersebut juga
dipertanyakan akan keamanan dari kemungkinan dipindahtangankan,
dibebani sesuatu sebagai jaminan, dirusak atau dimusnahkan oleh ayah dan
4 Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam, Hlm. 94
3
istri ayahnya sebagai pemegang atau pihak yang menguasai barang-barang
tersebut.
Dilihat dari segi hukum terhadap pelaksanaannya, hal ini sudah
diaplikasikan dalam bentuk pengkodifikasian, yakni dalam kompilasi hukum
Islam yang terdapat pada pasal 187 ayat 1 yang berbunyi:5
“Bilamana pewaris meninggalkan harta peninggalan, maka oleh pewaris
selama hidupnya atau oleh para ahli waris dapat ditunjukkan beberapa
orang sebagai pelaksana pembagian harta waris dengan tugas.
a. Mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baik berupa benda
bergerak maupun tidak bergerak yang kemudian disahkan oleh para ahli
waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan mata
uang.”
Bila diamati dengan seksama, pada pasal di atas tersebut terdapat kata
dapat, hal ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan pembagian waris hanya
bersifat anjuran, dalam arti tidak adanya unsur paksaan. Selain itu, Harta
waris dapat dibagi bila terjadi pengajuan dari ahli waris kepada pihak yang
menguasai harta waris atau dapat pula mengajukan permohonan terhadap
pengadilan untuk membagi harta waris kepada pihak yang berhak menerima.6
Tindakan tidak dibaginya harta waris ini bisa saja diasumsikan sebagai
penundaan pembagian harta berdasarkan pada kearifan lokal atau dalam
istilah fiqh “adat al-Muhakkamah”. Di Indonesia kebiasaan penundaan itu
sampai pada hari ke 100 dalam rangka peringatan hari kematiannya. Atau
masih terdapat salah seorang dari orang tuanya yang masih hidup. Akan tetapi
5 Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam, Hlm. 317 6 Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam (KHI Pasal 188), Hlm. 318
4
terhadap persoalan ini hanya sampai pada batas sejauh mana hak kepemilikan
harta warisan itu tidak melibatkan orang lain.7
Fenomena yang terjadi bahwa ditemukan adanya pernikahan duda/janda
mati yang menikah tanpa terlebih dahulu melaksanakan pembagian harta
waris. Seperti keluarga Pak Pairi, keluarga Pak Syairan yang beralamatkan di
Desa Mulyoagung dan keluarga Buk Mukid di Tlogomas,8 serta Buk Gatot di
Kedung Kandang,9 dimana keharmonisan rumah tangga yang diinginkan
kurang dapat dirasakan, hal ini disebabkan selama berumah tangga selalu
dihiasi dengan sikap saling curiga dan kurang hormat yang didasari pada
prasangka negatif terhadap harta waris yang belum dibagikan. Selain itu, di
Pengadilan Agama pun pada tahun 2012 hanya 12 perkara yang diajukan ke
PA, dimana 10 merupakan kasus permohonan dan 2 yang bersifat gugatan.10
Berdasarkan fakta yang terjadi, ketika seseorang duda/janda mati hendak
melakukan perkawinan tanpa membagi harta waris, yang dimungkinkan
adanya pengaruh adat dan budaya. Apalagi perkawinan ini hanya didasari
surat kematian dari desa sebagai syarat untuk menikah, sebagaimana yang
tertuang dalam pasal 6 ayat 2 huruf f PP. Nomor 9 Tahun 1975 huruf ( f )
yang berbunyi:
“Surat keterangan kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam
hal perceraian surat keterangan perceraian bagi perkawinan untuk kedua
kalinya atau lebih”.
7 Syakroni, Konflik Harta Warisan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Hlm. 68 8 Pak Selamat, Wawancara, 16 Maret 2013 9 Fadh Ahmad, Wawancara, 16 Maret 2013 10 Munasik, Hakim Pa Kota Malang, Wawancara, Malang, 12 September 2013
5
Atau lebih lengkapnya aturan ini dapat dilihat dari syarat administrasi di
Kantor Urusan Agama (KUA)11, yang mempersyaratkan nikah bagi warga
negara Indonesia pada poin no. 7 yang berbunyi:
“Surat keterangan kematian suami/isteri bagi janda/duda mati dari
desa”
Dengan demikian, hal ini akan membuka kemungkinan-kemungkinan
yang telah dijelaskan di atas. Oleh sebab itu, perlu adanya suatu jaminan
terhadap harta tersebut dengan menjadikan surat keterangan pembagian harta
waris sebagai syarat bagi duda/janda mati yang hendak melakukan
perkawinan. Selain itu, fungsi hukum yang essensial adalah untuk menjamin
stabilitas dan kepastian. Dua hal ini merupakan tujuan utama daripada
hukum. Sebagimana diketahui umum, fungsi hukum sebagai mekanisme
pengendalian sosial. Mekanisme pengendalian sosial yang bersifat
preventif,12 dan pengendalian sosial yang bersifat represif,13 bahkan pada
pengendalian sosial yang bersifat preventif represif. Sehingga dengan
menjadikan surat keterangan pembagian harta waris gono gini sebagai upaya
untuk melegalitaskan perkawinan bagi duda/janda mati menurut undang-
undang dapat berfungsi sebagai pengayoman dan pengawasan agar tidak
terjadi pembagian waris yang nantinya merugikan salah satu pihak yang akan
melangsungkan pernikahan ataupun pihak-pihak yang berkaitan dengannya.
Berdasarkan permasalahan yang telah peneliti ungkapkan diatas, maka
peneliti berinisiatif untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam karena
11Data Dari Kua Kota Batu, Http://Www.Kuabatukcm.0fees.Net/Layanan.Php 12 Pencegahan Terhadap Gangguan Pada Keseimbangan, Stabilitas Dan Fleksibilitas Masyarakat. 13 Pengembalian Keseimbangan Yang Mengalami Gangguan
6
melihat akan kemaslahatannya dengan meminta pandangan para pakar hukum
dan ulama sebagai pihak yang lebih memahami persoalan agama dan hukum.
B. Batasan Masalah
Untuk menghindari melebarnya pembahasan yang berakibat kurang
fokusnya pokok permasalahan penelitian sehingga membuat kesulitan dalam
mendapatkan kesimpulan yang jelas. Maka perlu adanya batasan terhadap
penelitian ini. Dimana penelitian ini membatasi pada pokok persoalan asas
legalitas terhadap pembagian harta waris gono gini dengan meminta
pandangan pakar hukum serta ulama Kota Malang yang kemudian nantinya
akan dianalisa berdasarkan teori yang digunakan oleh penulis.
C. Fokus Penelitian
Berdasarkan konteks penelitan di atas dan untuk memperjelas arah
penelitian ini, maka peneliti memberikan fokus penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan pakar hukum dan ulama Kota Malang terhadap
asas legalitas dalam pembagian harta waris gono gini?
2. Bagaimana Pandangan pakar hukum dan ulama Kota Malang terhadap
Surat pembagian harta waris sebagai persyaratan Perkawinan Bagi
Duda/Janda Cerai Mati ditinjau dari kemaslahatan dan saad dzari’ah ?
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitan ini adalah peneliti mencoba mendiskripsikan
serta menganalisis fokus penelitian yakni:
1. Untuk mengetahui dan memperoleh jawaban yang berkaitan, melalui
pandangan pakar hukum dan ulama Kota Malang terhadap asas legalitas
dalam pembagian harta waris gono gini
7
2. Untuk mengetahui dan memperoleh jawaban dari pandangan pakar
hukum dan ulama Kota Malang terhadap Surat pembagian harta waris
gono gini sebagai persyaratan Perkawinan Bagi Duda/Janda Mati dari
segi kemaslahatan dan saad dzari’ah
E. Manfaat Penelitian
Setelah melakukan penelitian ini, maka hasilnya diharapkan dapat
mempunyai manfaat baik secara teoritis maupun praktis dalam rangka
memperluas pengetahuan pendidikan di masyarakat. Adapun manfaatnya
sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Memberikan perluasan wawasan terhadap kesempurnaan pelaksanaan
pembagian harta waris gono gini tanpa meninggalkan akibat hukum yang
lain yang dapat juga berpengaruh dan dapat pula merugikan orang lain.
serta dengan penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai ide baru terhadap
kesempurnaan syarat dalam kewarisan islam.
2. Secara Praktis
Dengan adanya penelitian ini, dapat memberikan sumbangan
pemikiran tentang asas legalitas dalam pembagian harta waris gono gini
sebagai upaya pencegahan tercampurnya harta waris terhadap
Perkawinan Bagi Duda/Janda Mati yang bertujuan untuk menuju rumah
tangga yang lebih baik dan harmonis
F. Original Penelitian
Pentingnya originalitas penelitan adalah untuk mengetahui permasalahan
yang sudah dilakukan oleh penelitian terkait dengan permasalahan asas
8
legalitas pembagian harta waris gono gini sebagai upaya pencegahan
tercampurnya harta waris terhadap Perkawinan Bagi Duda/Janda Mati.
Adapun mengenai originalitas penelitian sebagai berikut:
1. Penelitian yang dilakukan Nur Chotimah Aziz,14 nim 02409109 Jurusan
Hukum Islam Pascasarjana IAIN Sunan Ampel dengan judul Pandangan
Masyarakat Kelurahan Bancaran Terhadap Penyelesaian Perkara Waris Di
Pengadilan Agama Dalam Tinjauan Fikih Dan Kompilasi Hukum Islam
yang diuji tahun 2012.
Tesis ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dalam bentuk
penelitian lapangan (Field Research). Dengan pendekatan metode case
study model (studi kasus), dan teknik pengumpulan data berupa angket,
wawancara mendalam, dan dokumentasi.
Dari penelitian tesis ini, ditemukan bahwa secara umum terdapat dua
jenis pandangan masyarakat Kelurahan Bancaran terhadap penyelesaian
perkara waris di Pengadilan agama, yaitu: masyarakat yang mau
menyelesaikan pembagian harta waris di Pengadilan Agama sebanyak 14
%, dan masyarakat yang tidak mau menyelesaikan pembagian harta waris
di Pengadilan Agama sebanyak 86 %. Sedangkan pandangan masyarakat
Kelurahan Bancaran jika seandainya mengalami sengketa dalam
pembagian harta waris ada tiga jenis pandangan, yaitu: Masyarakat yang
mau menyelesaikan sengketa ke Pengadilan Agama sebanyak 33 %,
masyarakat yang lebih memilih menyelesaikan sengketa ke tokoh
14 Nur Chotimah Aziz, Pandangan Masyarakat Keluraga Bancaran Terhadap Penyelesaian
Perkara Waris Di Pengadilan Agama Dalam Tinjauan Fikih Dan Kompilasi Hukum Islam, (Surabaya: Iain Sunan Ampel, 2012), Tesis, Tidak Diterbitkan
9
masyarakat sebanyak 44 %, dan masyarakat yang lebih memilih
membiarkan saja sengketa yang terjadi sebanyak 23 %.
Sedangkan tinjauan fikih dan KHI Terhadap Pandangan Masyarakat
Kelurahan Bancaran dalam Penyelesaian Perkara Waris di Pengadilan
Agama Bangkalan, adalah sebagai berikut: Bagi masyarakat yang mau
menyelesaikan pembagian harta waris di Pengadilan Agama dapat
dibenarkan. Bagi masyarakat yang tidak mau menyelesaikan pembagian
harta waris di Pengadilan Agama, namun mereka tetap menyelesaikannya
di luar Pengadilan Agama sesuai dengan fikih waris dan KHI juga dapat
dibenarkan. Bagi masyarakat yang tidak mau menyelesaikan pembagian
harta waris di Pengadilan Agama, namun mereka tidak menyelesaikan
pembagian tersebut di luar Pengadilan Agama sesuai dengan fikih waris
dan KHI, tidak dapat dibenarkan
Adapun persamaan dengan tesis ini adalah dimana yang dibahas
adalah tentang pelaksanaan pembagian waris. akan tetapi tampak sekali
perbedaannya dimana pembahasan tesis ini bermuara pada prihal
penyelesaian sengketa yang terjadi di masyarakat sementara pembahasan
tesis yang akan dilakukan membahas pandangan tokoh terhadap upaya
pencegahan terjadinya sengketa kewarisan.
2. Penelitian ini dilakukan oleh Fitriani,15 mahasiswa pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Malang 2004, dengan judul Problematika
Pembagian Harta Suami Menikah Lebih Dari Satu Kali (Studi
Perbandingan Antara Hukum Islam Dengan Hukum Perdata BW ). 15Fitriani, Problematika Pembagaina Harta Suami Menikah Lebih Dari Satu Kali (Studi
Perbandingan Antara Hukum Islam Dengan Hukum Perdata Bw), ( Malang, Universitas Muhammadiyah Malang, 2004), Tesis, Tidak Diterbitkan
10
Adapun pendekatan yang dipakai dalam penulisan ini adalah yuridis
normatif dengan sumbar data dan analisis data yang berbentuk penelitian
pustaka ( library reseach ) yaitu al-Quran dan Hadist, KUHPerdata, KHI
dan peraturan hukum lainnya
Dalam penelitian ini, membedakan antara penerimaan harta warisan
antara hukum Islam yang membagi rata atau sama bagi para istri, hal ini
berbeda dengan pembagian waris terhadap pewaris yang berpoligami
dimana BW menentukan bahwa istri kedua tidak boleh lebih besar
daripada isteri pertama begitu juga berikutnya.
Saran yang diberikan adalah hendaknya pembagian waris ini diberikan
kepada institusi yang berwenang dimana dalam hal ini bila menyangkut
keluarga, maka hendaklah pengadilan agama bagi orang Islam sebagai
institusi yang berhak mengadili perkara seperti ini agar menjamin hak-hak
dari para istri pewaris. Adapun persamaannya adalah mengkaji pembagian
waris yang diberikan kepada pewaris dan melindungi haknya. Sementara
perbedaannya adalah dimana mereka hanya mengkaji bagi mereka yang
berpoligami serta menjamin harta istri yang telah diceraikan. Melihat hal
ini, peneliti tidak menemukan penelitian terdahulu yang memeiliki
persamaan judul ataupun rumusan masalah, sehingga dengan demikian
tesis ini merupakan penelitian terbaru dalam studi hukum keluarga Islam.
3. Tesis ini dibuat oleh Rahadyan Setiawan, mahasiswa Program Magister
Kenotariatan Universitas Diponegoro dengan judul Penelitian Pelaksanaan
Pembagian Kewarisan Menurut Hukum Islam (Study Pada Pengadilan
Agama Sleman).
11
Dalam penelitian ini metode pendekatan yang digunakan yaitu yuridis
normatif yang ditunjang dengan sosiologi yaitu didasarkan pada peraturan-
peraturan serta hukum yang berkaitan erat dengan permasalahan serta
berdasarkan dengan kenyataan di dalam masyarakat.
Dari hasil penelitian dan pembahasan diketahui bahwa: (1). Tatacara
pelaksanaan pembagian waris di pengadilan agama bermula dari suatu
penetapan dan putusan perkara yang sebelumnya telah melalui hukum
acara yang berlaku di pengadilan agama. (2). Hambatan yang terjadi dalam
pelaksanaan warisan datang dari pihak terhukum yang tidak segera
melaksanakan putusan hakim serta hambatan-hambatan dalam
mengeksekusiannya serta jenis dan sifat objek yang disengketakan yanga
akan dibagikan. (3). Timbunlnya permasalahan dalam penerapan undang-
undang nomor 7 tahun 1989 berkaitan dalam maslaah warisan adalah
adanya hak opsi dan sengketa hak milik yang dapat menimbulkan sengketa
kewenangan mengadili antar lingkungan peradilan.
G. Defenisi Operasional
Harta Waris: Harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama
sesudah digunakan keperluan pewaris selama
sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan
jenazah, dan pembayaran utang serta wasiat
pewaris.16
Harta Gono Gini Harta yang diperoleh suami isteri secara bersama
selama perkawinan.17
16 Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), Hlm. 46 17 Sudarsono , Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), Hlm. 160
12
Asas Hukum dasar/dasar sesuatu yang menjadi
tumpuan berpikir atau berpendapat.18
Legalitas Landasan yang menjadi dasar untuk pelegalan
atau pengesahan menurut undang-undang.19
H. Sistematika Pembahasan
Agar pembahasan ini terstruktur dengan baik serta untuk lebih
memudahkan pemahaman pembaca dan memenuhi persyaratan ilmiah yang
sistematis, maka penulis memaparkan sistematika pembahasan sebagai
berikut:
Pada BAB I, tentang pendahuluan yang berisikan penjelasan
problematika “asas legalitas pembagian harta waris gono gini”. Dalam Bab
ini juga mencakup terkait dengan konteks penelitian, dimana hal ini juga
menjelaskan tentang does sollen dan does sain bahkan kesenjangan diantara
keduanya. kemudian identifikasi masalah, batasan masalah, fokus penelitian,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, defenisi operasional, originalitas
penelitian dan sistematika pembahasan
Pada BAB II ini, untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan untuk
menemukan yang baru, maka peneliti memasukkan kajian teori sebagai salah
satu perbandingan dari penelitian ini. Dari kajian teori ini diharapkan
memberikan gambaran umum dalam pembahasan yang ditemukan dalam
objek penelitian. Adapun kajian pustaka ini yang meliputi tentang landasan
teoritis dari asas legalitas dalam Islam, harta warisan dan harta bersama
dalam perkawinan beserta hal yang terkait dengannya
18 Sudarsono , Kamus Hukum, Hlm. 37 19 Sudarsono , Kamus Hukum, Hlm. 244
13
Pada BAB III, adapun komposisi yang diambil dalam penilitian ini
sebagai berikut: jenis penelitian yang disesuaikan dengan penelitian,
paradigma penelitian ini digunakan sebagai alat untuk memandu pendekatan
dan menganalisis data teoritik, sedangkan pendekatan penelitian merupakan
alat untuk memandu metode pengumpulan data dan menganalisis material
data. Di bab ini juga dikemukakan lokasi penelitian, kehadiran peneliti, data
dan sumber data, pengumpulan data, tehnik pengolahan data, pengecekan
keabsahan data dan analisa data
Pada BAB IV ini, setelah data diperoleh dan diolah pada bab-bab
sebelumnya, pada bab ini akan disajikan dalam bentuk mendiskripsikan
tentang Pandangan Pakar Hukum Dan Ulama Kota Malang Asas Legalitas
Pembagian Harta Waris Gono Gini.sehingga hasil yang diperoleh benar-benar
akurat dan tidak diragukan lagi.
Sedangkan BAB V, akan memuat kesimpulan dan saran. Kesimpulan
memberikan gambaran konkrit tentang Pandangan Pakar Hukum dan Ulama
Kota Malang Terhadap Asas Legalitas Pembagian Harta Waris Gono Gini
melalui data-data yang diperoleh. Sedangkan saran adalah merupakan
rekomendasi terhadap berbagai pihak yang berhubungan dengan penegakkan
hukum di Indonesia.
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Asas Legalitas
Salah satu asas pokok dalam negara hukum demokrasi adalah adanya
wewenang atau kekuasaan istimewa administrasi negara yang diperoleh atas
dasar undang-undang. Asas ini dinamakan asas wetmatigheid atau asas
legalitas. Di Prancis asas ini disebut le principle de la legalite de
I’administrasition. Di Jerman disebut dengan Gesetzmassioheit der
verwaltung, dan di Inggris disebut rule of low.1
Pada mulanya asas legalitas ini dikenal dalam penarikan pajak oleh
negara, di Inggris dikenal dengan no taxation without representation yang
artinya tidak ada pajak tanpa persetujuan parlemen atau di Amerka ada
ungkapan taxation without representation is robberyi yang artinya pajak
tanpa persetujuan parlemen adalah perampokan. Asas ini dinamakan juga
dengan kekuasaan undang-undang (de heerschappij van de wet). Istilah
legalitas juga dikenal dalam hukum pidana yakni nullum delictum sine
pravia lege poenali yang artinya tidak ada hukuman tanpa undang-undang
Atau dalam hukum Islam pada surat al-Isra’ ayat 15
3 $ tΒ uρ $Ζä. t Î/Éj‹yè ãΒ 4®L ym y]yè ö6 tΡ Zωθß™u‘ ∩⊇∈∪
“Kami tidak menjatuhkan siksa sebelum kami mengutus seroang rasul”.
Selanjutnya ayat ini menghasilkan kaidah hukum yang berbunyi “tidak
ada hukum bagi orang berakal sebelum ada ketentuan nash”. Kemudian
1 Sf. Marbun, Deno Kamelus. Dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara,
(Yogyakarta: UII Press, 2001), Hlm. 211
15
asas ini digunakan dalam bidang administrasi negara yang memiliki makna
“dat heet bestuur ann de wet is onderworpen” yang artinya bahwa
pemerintah tunduk pada undang-undang, atau het leglaiietsbeginsel houdt in
dat alle (algemene) de burges bindende bepalingen op de wet moeten
berusten yang artinya bahwa semua ketentuan yang mengikat warga negara
harus didasarkan pada undang-undang.2
Dengan demikian, asas legalitas dihubungkan dengan aktivitas dan
tindak-tindak administrasi mengajarkan bahwa setiap aktivitas dan tindak-
tindak administrasi harus didasarkan pada ketentuan undang-undang
(hukum) baik secara langsung maupun tidak langsung. Maksudnya adalah
untuk mencegah tindakan-tindakan sewenang-wenang dari pejabat
administrasi sehingga mereka hanya boleh bertindak berdasarkan
hukum/instruksi saja dan tindakan mereka selebihnya adalah menjadi
tanggung jawab sendiri.3
Secara historis, asas ini berasal dari pemikiran hukum abad ke-19 yang
berjalan seiring dengan keberadaan hukum klasik atau negara liberal dimana
pemikiran hukum legalistik-positivistik berkembang. Secara normatif,
bahwa setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan
perundang-undangan dianut oleh setiap negara hukum namun praktik
penerapannya berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain. Artinya
untuk tindakan-tindakan pemerintah yang tidak begitu fundamental,
penerapan tersebut dapat diabaikan.
2 Ridwan, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), Hlm. 94-95 3 Kansil, Christine, Modul Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT. Kresna Prima Persada,
2005), Hlm. 186
16
Asas legalitas berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dimana
menuntut setiap bentuk undang-undang dan berbagai keputusan
mendapatkan persetujuan dari wakil rakyat dan sebanyak mungkin
memerhatikan kepentingan rakyat sebagai mana yang dikatakan oleh
Rousseau, “ undang-undang merupakan personifikasi dari akal sehat
manusia, aspirasi masyarakat” yang pengejawantahannya harus dapat dalam
prosedur pembentukan undang-undang yang melibatkan atau memperoleh
persetujuan rakyat melalui wakilnya di parlemen.4
Penerapan asas legalitas, menurut Indroharto, akan menunjang
berlakunya kepastian hukum dan kesamaan perlakuan. Kesamaan perlakuan
terjadi karena setiap orang yang berada dalam situasi seperti yang
ditentukan dalam ketentuan undang-undang tersebut sementara kepastian
hukum akan terjadi karena suatu peraturan dapat membuat semua tindakan
yang akan dilakukan pemerintah itu dapat diramalkan atau diperkirakan
lebih dahulu dengan melihat kepada peraturan-peraturan yanag berlaku,
maka pada asasnya lalu dapat dilihat atau diharapkan apa yang akan
dilakukan oleh aparat pemerintah yang bersangkutan. Dengan demikan
warga masyarakat dapat menyesuaikan dengan keadaan tersebut.5
Sebaliknya, asas legalitas ini dalam praktiknya tidak memadai apalagi
di tengah masyarakat yang memiliki tingkat dinamika yang tinggi. Hal ini
karena hukum tertulis senantiasa mengandung kelemahan-kelemahan.
Menurut Bagir Manan, kesulitan yang dihadapi oleh hukum tertulis adalah
(1). Hukum sebagai bagian dari kehidupan masyarakat mencakup semua
4 Ridwan, Hukum Administrasi, Hlm. 96-97 5 Ridwan, Hukum Administrasi, Hlm. 97
17
aspek kehidupan yang sangat luas dan kompleks sehingga tidak mungkin
seluruhnya dijelmakan dalam peraturan perundang-undangan. (2). Peraturan
perundang-undangan sebagai hukum tertulis sifatnya statis (pada
umumnya), tidak dapat dengan cepat mengikuti gerak pertumbuhan,
perkembangan dan perubahan masyarakat yang harus diembannya. Adanya
kelemahan dalam hukum tertulis berarti adanya kelemahan dalam penerapan
asas legalitas. Oleh karena itu diperlukan persyaratan lain agar kehidupan
negara, pemerintah dan masyarakat dapat berjalan dengan baik dan
bertumpu pada keadilan. Dimana persyaratan itu menurut Prajudi
Atmusodirdjo adalah efektifitas, legimitas, yuridikitas, legalitas, moralitas,
efisensi dan teknik dan teknologi.6
Bentuk asas legalitas ini dapat dibedakan pada sumbernya yakni sumber
hukum materiil dan sumber hukum formil, dimana materiilnya dipengaruhi
isi dari aturan itu misalnya sejarah, sosiologi atau antropologi. Sedangkan
sumber hukum formal adalah berbagai bentuk aturan yang ada dalam hal ini
hirarki perundang-undangan di Indonesia yakni UUD 1945, Ketetapan
MPR, Undang-undang, perpu atau peraturan permerintah, kepres dan
peraturan perlaksana lainnya.7
B. Konsep Waris Dalam Literatur Islam
1. Pengertian Waris
Waris adalah bentuk isim fa’il dari kata warits, yaritsu, irtsan,
fahuwa waritsun yang bermakna orang yang menerima waris. kata-kata
itu berasal dari kata waritsa yang bermakna perpindahan harta milik atau
6 Ridwan, Hukum Administrasi, Hlm. 97-98 7 Sf. Marbun, Deno Kamelus. Dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum, Hlm. 212
18
perpindahan pusaka.8 Dengan begitu ada beberapa kata yang dapat
diambil dari kata waris yakni warits adalah orang yang mewarisi,
muwarrits adalah orang yang memberikan waris (mayit). Al-Irts adalah
harta warisan yang siap dibagi. Lebih lengkapnya harta waris adalah
sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang setelah ia meninggal, berupa
harta benda, hak-haknya, atau yang bukan bersifat kebendaan.9 Waratsah
adalah harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris. Tirkah adalah
semua harta peninggalan orang yang meninggal baik berupa harta benda,
tanah maupun suatu hak dari hak-hak syara’.10
Dalam referensi hukum Islam, ilmu waris sinonim dengan faraid.
Kata faraid merupakan bentuk jamak dari kata faridhah yang menurut
bahasa berarti ketentuan yang telah ditetapkan kadarnya. Sedangkan
menurut pengertian istilah faraid merupakan satu disiplin ilmu dalam
hukum Islam yang berarti pengetahuan yang berkaitan dengan pewaris,
ahli waris, harta waris, bagian dari masing-masing ahli waris serta cara
menghitung bagian-bagian tersebut.11
Sehingga ilmu faraid atau ilmu waris didefenisikan oleh para ulama
sebagai berikut:
ا��� ا����� ���رث و ����� ا���ب ا� �� ����� ذ� و �����
�� ذ ��ى $�#"ر ا ا! �� ا��
“Ilmu fiqh yang berkaitan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan
8 HasbiyAllah, Belajar Mudah Ilmu Waris ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), Hlm. 1 9 Muhammad Ali Ash Shabuni, Hukum Waris Menurut Al-Quran Dan Hadits, Ahli Bahasa Dra.
Zaini Dahlan ( Bandung: Trigenda Karya, 1995), Hlm. 40 10 HasbiyAllah, Belajar Mudah 11 Kasuwi Saiban, Hukum Waris Islam ( Malang: Universitas Negeri Malang, 2007), Hlm. 1
19
kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik harta pusaka”.12
Al-Syarbiny dalam kitab Mughni al-Muhtaj juz 3 mengatakan bahwa
fiqh mawaris adalah fiqh yang berkaitan dengan pembagian harta
warisan, mengetahui perhitungan agar sampai kepada mengetahui bagian
harta warisan dan bagian-bagian yang wajib diterima dari harta
peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.13 Prof. Hasby ash-
Shiddieqy mendefenisikan fiqh mawaris sebagai ilmu yang mempelajari
tentang orang-orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, kadar yang
diterima oleh setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya.14
Beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, dapat ditegaskan
bahwa pengertian fiqh mawaris adalah fiqh yang mempelajari tentang
siapa-siapa orang yang termasuk ahli waris, bagian-bagian yang diterima
mereka, siapa-siapa yang tidak termasuk ahli waris dan bagaimana cara
penghitungannya.
2. Dasar Hukum Waris
a. Al-Quran
Dasar hukum waris Islam adalah ayat-ayat al-Quran dan Hadits.
ayat al-Quran yang terkait dengan hukum waris antara lain surat an-
Nisa’ ayat 11, 12 dan 176. Sebagai berikut:
ÞΟä3ŠÏ¹θ ムª!$# þ’ Îû öΝà2ω≈ s9 ÷ρr& ( Ì� x.©%#Ï9 ã≅ ÷VÏΒ Åeáym È ÷ u‹sVΡW{ $# 4 βÎ* sù £ä.
[ !$ |¡ÎΣ s− öθsù È÷ tGt⊥ øO$# £ ßγ n=sù $ sVè=èO $ tΒ x8t� s? ( βÎ)uρ ôM tΡ% x. Zοy‰Ïm≡ uρ $ yγ n=sù ß# óÁÏiΖ9 $# 4 12 HasbiyAllah, Belajar Mudah, Hlm. 2 13 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris ( Jakarta: Rajagrafindo Persasda, 2001), Hlm. 3 14 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Hlm.3
20
ϵ÷ƒ uθ t/L{ uρ Èe≅ä3Ï9 7‰Ïn≡uρ $ yϑåκ÷]ÏiΒ â ߉�¡9 $# $£ϑÏΒ x8t� s? βÎ) tβ% x. … çµs9 Ó$s!uρ 4 βÎ* sù
óΟ©9 ä3tƒ … ã& ©! Ó$ s!uρ ÿ…çµ rOÍ‘uρuρ çν#uθ t/r& ϵ ÏiΒT|sù ß]è=›W9 $# 4 βÎ* sù tβ% x. ÿ…ã& s! ×οuθ ÷zÎ) ϵ ÏiΒT|sù
â ߉�¡9 $# 4 . ÏΒ Ï‰÷èt/ 7π§‹ Ï¹uρ Å»θム!$ pκÍ5 ÷ρr& Aø yŠ 3 öΝä.äτ !$t/# u öΝä.äτ !$ oΨö/r&uρ Ÿω
tβρâ‘ ô‰s? öΝß㕃 r& Ü>t� ø%r& ö/ ä3s9 $ Yè ø&tΡ 4 ZπŸÒƒ Ì� sù š∅ÏiΒ «!$# 3 ¨βÎ) ©!$# tβ% x. $ ¸ϑŠÎ=tã
$ VϑŠÅ3ym ∩⊇⊇∪ Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separoh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.15
* öΝà6 s9 uρ ß# óÁ ÏΡ $ tΒ x8t� s? öΝà6ã_≡ uρø— r& βÎ) óΟ ©9 ä3tƒ £ ßγ©9 Ó$s!uρ 4 βÎ* sù
tβ$ Ÿ2 ∅ßγ s9 Ó$s!uρ ãΝà6 n=sù ßìç/”�9 $# $£ϑÏΒ zò2t� s? 4 . ÏΒ Ï‰÷èt/ 7π§‹ Ï¹uρ
šÏ¹θ ム!$yγ Î/ ÷ρr& &ø yŠ 4 ∅ßγ s9 uρ ßìç/”�9$# $£ϑÏΒ óΟçF ø.t� s? βÎ) öΝ©9 à6tƒ
öΝä3©9 Ó‰s9 uρ 4 βÎ* sù tβ$ Ÿ2 öΝà6 s9 Ó$s!uρ £ßγ n=sù ß ßϑ›V9 $# $ £ϑÏΒ Λä ò2t� s? 4 . ÏiΒ Ï‰÷èt/
7π§‹ Ï¹uρ šχθ ß¹θè? !$yγ Î/ ÷ρr& & ø yŠ 3 βÎ)uρ šχ%x. ×≅ã_ u‘ ß u‘θ ム»' s#≈ n=Ÿ2 Íρr&
×οr& t�øΒ $# ÿ…ã& s!uρ îˆ r& ÷ρr& ×M÷zé& Èe≅ä3Î=sù 7‰Ïn≡ uρ $yϑßγ ÷ΨÏiΒ â ߉�¡9 $# 4 βÎ* sù (# þθçΡ%Ÿ2
15 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), Hlm. 342
21
u�sYò2r& ÏΒ y7 Ï9≡sŒ ôΜßγ sù â !% Ÿ2u�à° ’ Îû Ï]è=›W9 $# 4 .ÏΒ Ï‰÷èt/ 7π§‹ Ï¹uρ 4 |»θム!$pκÍ5
÷ρr& A øyŠ u�ö� xî 9h‘ !$ ŸÒ ãΒ 4 Zπ §‹Ï¹uρ z ÏiΒ «! $# 3 ª!$#uρ íΟŠÎ=tæ ÒΟŠÎ=ym ∩⊇⊄∪ Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu) sebagai syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.16
y7 tΡθ çF ø&tGó¡o„ È≅ è% ª!$# öΝà6‹ÏF ø&ム’ Îû Ï' s#≈ n=s3ø9 $# 4 ÈβÎ) (# îτ â÷ö∆$# y7 n=yδ }§øŠs9 …çµs9
Ó$s!uρ ÿ… ã& s!uρ ×M÷zé& $ yγ n=sù ß# óÁ ÏΡ $tΒ x8t� s? 4 uθ èδ uρ !$ yγ èOÌ�tƒ βÎ) öΝ©9 ä3tƒ $ oλ °; Ó$s!uρ 4 βÎ* sù $ tF tΡ% x. È÷ tF uΖøO$# $ yϑßγ n=sù Èβ$ sVè=›V9 $# $ ®ÿÊΕ x8t� s? 4 βÎ)uρ (# þθ çΡ% x. Zοuθ ÷zÎ) Zω% y Íh‘
[ !$ |¡ÎΣ uρ Ì�x.©%#Î=sù ã≅÷W ÏΒ Åeáym È ÷ u‹s[ΡW{ $# 3 ß Îi t6ムª!$# öΝà6 s9 βr& (#θ>=ÅÒ s? 3 ª!$#uρ
Èe≅ä3Î/ > óx« 7ΟŠÎ=tæ ∩⊇∠∉∪ Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
16 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Hlm. 347
22
perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.17
b. Hadits
1) Riwayat Imam Muslim
ل ج ر ىل و ال ف ي ق ا ب م ا ف ه ل ه ا ب ض ائ ر ف وا ال ق حل ا م ل س و ه ي ل ع ى اهللا ل ص يب الن ال ق )مسلم ( ر ك ذ
“Nabi SAW bersabda: Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama (dekat kekerabatannya)”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).18
2) Riwayat Imam Muslim
)رواه مسلم ( م ل س م ال ر اف ك ال ال و ر اف ك ال م ل س م ال ث ر ي ال
Orang muslim tidak berhak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak berhak mewarisi orang muslim”. (HR. Muslim).19
c. Ijma’
Yaitu kesepakatan kaum muslimin menerima ketentuan hukum
warisan yang terdapat di dalam al-Quran dan al-Sunnah, sebagai
ketentuan hukum yang harus dilaksanakan dalam upaya mewujudkan
keadilan dalam masyarakat. Karena ketentuan tersebut telah diterima
secara sepakat, maka tidak ada alasan untuk menolaknya.20 Para
ulama mendefenisikan ijma’ adalah kesepakatan seluruh ulama
17 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Hlm. 654 18 Imam Al-Mundziri, Ringkasan Hadis Shahih Muslim, (Jakarta: Pustaka Aman, 2003), Hlm. 545 19 Imam Al-Mundziri, Ringkasan Hadis, Hlm. 545 20 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Hlm.27
23
mujtahid tentang suatu ketentuan hukum syara’ mengenai suatu hal
pada suatu masa setelah wafatnya rasulullah.21
d. Ijtihad
Yaitu pemikiran sahabat atau ulama yang memiliki cukup syarat
dan kriteria sebagai mujtahid, untuk menjawab persoalan-persoalan
yang muncul, termasuk di dalamnya tentang persoalan pembagian
warisan. Yang dimaksud di sini adalah ijtihad dalam menerapkan
hukum (tathbiq al-ahkam), bukan untuk mengubah pemahaman atau
ketentuan yang ada seperti aul dan radd.22
3. Asas-Asas Hukum Waris
Beberapa asas dalam hukum kewarisan Islam sebagai berikut:
a. Ijbari
Ijbari adalah peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia
kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya.23 Dalam hukum
kewarisan Islam, dijalankannya asas ijbari ini berarti bahwa peralihan
harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya,
berlaku dengan sendirinya sesuai dengan kehendak Allah, tanpa
bergantung kepada kehendak pewaris atau ahli waris. ditegaskannya
asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam tidak dalam arti yang
memberatkan ahli waris. Jika pewaris mempunyai hutang lebih besar
daripada warisan yang ditinggalkannya, ahli waris tidak dibebani
membayar semua hutang pewaris itu. Berapapun besarnya hutang
21 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Hlm.27 22 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Hlm.27-28 23 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau
( Jakarta: Gunung Agung, 1984), Hlm 18
24
pewaris, hutang itu hanya akan dibayar sebesar warisan yang
ditinggalkan oleh pewaris teresbut. Kalau seluruh warisan sudah
dibayarkan hutang kemudian masih ada sisa hutang maka ahli waris
tak diwajibkan membayar sisa hutang tersebut. Kalaupun ahli waris
hendak membayar sisa hutang itu maka pembayaran itu bukan
merupakan suatu kewajiban yang diletakkan oleh hukum, melainkan
karena akhlak Islam ahli waris yang baik.24
b. Individual
Asas individual adalah warisan dapat dibagi-bagikan kepada ahli
waris untuk dimiliki secara perorangan. Ini berarti setiap ahli waris
berhak atas bagian warisan yang didapatkan tanpa terikat oleh ahli
waris yang lain. Ketentuan mengenai asas induvidual ini dalam hukum
kewarisan Islam terdapat dalam al-Quran surat an-Nisa’ ayat 7.
Pengertian berhak atas warisan tidak berarti warisan itu harus dibagi-
bagikan, asal hal ini dikehendaki oleh ahli waris yang bersangkutan
atau keadaan menghendakinya.25
Menghilangkan bentuk individual dengan jalan
mencampuradukkannya dengan sifat kolektif, menyalahi ketentuan
yang ditegaskan oleh al-Quran surat an-Nisa’ ayat 2.
(#θ è?#u uρ #’ yϑ≈ tF u‹ø9 $# öΝæηs9≡ uθ øΒ r& ( Ÿωuρ (#θä9 £‰t7 oKs? y]ŠÎ7 sƒø: $# É=Íh‹ ©Ü9$$ Î/ ( Ÿωuρ (# þθ è=ä.ù' s?
öΝçλ m;≡uθ øΒ r& #’n<Î) öΝä3Ï9≡ uθ øΒr& 4 …çµ ¯ΡÎ) tβ% x. $ \/θãm #Z�� Î6 x. ∩⊄∪
24 Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia ( Bandung: Pt Citra
Aditya Bakti, 1999), Hlm. 2-3 25 Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan, Hlm. 3
25
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar”.26
Oleh karena itu, bentuk kewarisan kolektif tidak sesuai dengan
hukum kewarisan Islam. Sebab dengan bentuk kolektif tersebut
dikhawatirkan akan terjadi tercampurnya antara harta seseorang
dengan harta anak yatim. Percampuran itu, tentu akan menyebabkan
tertukarnya dan termakannya harta anak yatim tersebut. Jika ini
terjadi, maka hal ini merupakan suatu dosa besar.27
c. Asas Bilateral
Ini dimaksudkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan dapat
mewaris dari kedua belah pihak garis kekerabatan, yakni pihak
kerabat laki-laki dan pihak kerabat perempuan. Dalam arti, bahwa
jenis kelamin bukan merupakan penghalang untuk mewaris atau
diwarisi. Asas ini dinyatakan dalam al-Quran surat an-Nisa’ ayat 7,
11, 12 dan 176.28
d. Kematian
Hukum kewarisan Islam menetapkan bahwa peralihan harta
seseorang kepada orang lain dalam sebutan kewarisan, berlaku setelah
yang mempunyai harta tersebut meninggal dunia. Dengan demikian ,
tidak ada pembagian warisan sepanjang pewaris masih hidup. Segala
bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup, baik secara
26 Imam Al-Mundziri, Ringkasan Hadis, Hlm. 320 27 Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan, Hlm. 4 28 Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan, Hlm. 5
26
langsung maupun tidak langsung tidak termasuk ke dalam persoalan
kewarisan menurut hukum kewarisan Islam. Hukum kewarisan Islam
hanya mengenal satu bentuk kewarisan yaitu kewarisan akibat
kematian yang dalam KUH Perdata disebut ab intestato.29
e. Asas Keadilan Berimbang
Asas keadilan berimbang maksudnya adalah keseimbangan antara
hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan
keperluan dan kegunaan. Dengan perkataan lain dapat dikemukakan
bahwa faktor jenis kelamin tidaklah menentukan dalam hak kewarisan
(kebalikan dari asas keseimbangan ini dijumpai dalam masyarakat
yang menganut sistem garis keturunan patrilinial, yang ahli waris
tersebut hanyalah keturunan laki-laki saja (garis kebapakan). Dasar
hukum asas ini dapat dijumpai antara lain dalam ketentuan surat an-
Nisa’ ayat 7, 11, 12 dan 176.30
C. Kewarisan Dalam KHI
Kompilasi Hukum Islam ini meskipun oleh banyak pihak tidak diakui
sebagai hukum perundang-undangan, namun pelaksananya di peradilan-
peradilan agama telah bersepakat untuk menjadikannya sebagai pedoman
dalam berpekara di pengadilan.31 Dengan demikian Kompilasi Hukum Islam
bidang kewarisan telah menjadi buku hukum di lembaga peradilan agama.
Maka saat ini, kompilasi telah tertuang dalam format perundang-undangan.
29 Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan, Hlm. 6 30 Suhrawadi K Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam ( Jakarta: Sinar Grafika, 2007 ),
Hlm. 41 31 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisn Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), Hlm. 327
27
Hal ini dilakukan untuk mempermudah hakim di Pengadilan Agama dalam
merujuknya.
Kompilasi Hukum Islam mengatur kewarisan terdiri dari 23 pasal, dari
pasal 171 sampai dengan pasal 193 sedangkan dari pasal 194 sampai 214
menjelaskan tentang wasiat dan hibah yang juga dimasukkan ke dalam buku
kewarisan. Dari 23 pasal tersebut dibentuk dan dijelaskan per bab, dimana
pada Bab I menjelaskan ketentuan umum terdiri dari pasal 171, kemudian
dilanjutkan pada Bab II yang menjelaskan bahwa ahli waris terdiri dari
pasal-pasal (172 sampai 175) tentang keislaman ahli waris, sebab-sebab
yang menghalangi seseorang menjadi ahli waris, kelompok-kelompok ahli
waris, kewajiban ahli waris terhadap pewaris.32
Pada Bab III, menjelaskan besarnya bagian, terdiri dari pasal-pasal (176
sampai 191) tentang bagian anak perempuan, bagian ayah, bagian ibu,
bagian duda, bagian janda, bagian saudara laki-laki dan saudara perempuan
seibu, bagian saudara perempuan kandung atau seayah, kesepakatan
perdamaian dalam pembagian harta warisan, status ahli waris yang belum
dewasa, penggantian ahli waris apabila meninggal lebih dulu dari sipewaris
oleh anaknya dengan beberapa pengecualian, status anak yang lahir di luar
perkawinan, kebolehan menunjuk pelaksana pembagian harta waris kepada
ahli waris yang lain, ketentuan pembagian harta warisan berupa lahan
pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, pembagian harta waris yang
beristeri lebih dari seorang dan status harta pewaris yang tidak
32 Malthuf Siroj, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2012),
Hlm. 198
28
meninggalkan ahli waris sama sekali atau ahli warisnya tidak diketahui ada
atau tidaknya.33
Pada pasal 190 dari Bab ini mengandung unsur pembaharuan hukum
Islam. Pasal ini mempekenalkan harta bersama atau gono gini yang
berdampak kepada pembagian warisan. Istilah gono gini di Jawa Timur
dikenal dengan istilah harta campur kaya, di Jawa Barat dikenal dengan
guna kaya. Harta gono gini adalah harta kekayaan yang diperoleh oleh
suami istri selama berlangsungnya perkawinan dari hasil mereka bekerja
untuk kepentingan hidup bersama dalam sebuah rumah tangga.
Sebelum berlakunya Kompilasi Hukum Islam, istilah harta gono gini
atau harta bersama kurang dikenal dalam sistem kewarisan Islam. Kompilasi
Hukum Islam memberi perhatian kepada harta gono gini ini karena
dilandasi fakta yang berkembang dewasa ini, bahwa perempuan (istri) sudah
banyak membantu laki-laki (suami) dalam mencari nafkah untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Bahkan tidak tertutup kemungkinan bahwa
penghasilan si istri seimbang, atau bahkan kemungkinan lebih besar
daripada penghasilan suami. Dapatlah dipahami bahwa sistem kewarisan
Kompilasi Hukum Islam menganut sistem legiteme portie (bagian mutlak),
yakni memperhitungkan terlebih dahulu harta gono gini (bagian dari harta
bersama), lalu kemudian sisanya itulah yang dibagi secara bersama kepada
masing-masing ahli waris sesuai dengan ketentuan, termasuk istri berhak
kembali menerima bagian warisan dari suaminya sebagai ahli waris
bersama-sama ahli waris lainnya.34
33 Malthuf Siroj, Pembaharuan Hukum. 34 Malthuf Siroj, Pembaharuan Hukum, Hlm. 207
29
Pengaturan harta gono gini atau harta bersama ini dalam sistem
kewarisan Islam merupakan hasil modifikasi dari sistem hukum adat,
hukum barat dan realitas sosial kehidupan kaum perempuan Indonesia
dewasa ini. Sekiranya lembaga harta gono gini atau harta bersama ini
dicampakkan dengan alasan tidak ditemukannya nash dalam al-Quran dan
al-Sunnah, maka diperkirakan akan dapat merusak tatanan keseimbangan,
atau persamaan hak dan kedudukan suami istri. bahkan akan menimbulkan
madharat berupa tindakan diskriminatif terhadap istri dalam berbagai
bentuknya. Atas dasar untuk mewujudkan rasa keadilan dalam sistem
kewarisan, maka pasal 190 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa
bagi pewaris yang beristri lebih dari seorang maka masing-masing istri
berhak mendapat bagian atas harta gono gini dari rumah tangga dengan
suaminya, sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para
ahli warisnya.35
Sedangkan pada Bab IV menjelaskan ‘aul dan rad, yang terdiri dari
pasal-pasal dari 192 dan 193 tentang pembagian harta warisan secara ‘aul
dan rad.36
Adapun pada Bab V menjelaskan wasiat, terdiri dari pasal-pasal 194
sampai dengan 204 tentang syarat-syarat orang dapat mewasiatkan harta
bendanya, tata cara pelaksanaan wasiat, batas maksimal harta wasiat, wasiat
kepada ahli waris, hal-hal yang mengakibatkan batalnya wasiat, pembatasan
jangka waktu wasiat atas hasil atau pemanfaatan suatu benda, pencabutan
wasiat, wasiat atas barang tak bergerak yang mengalami penyusutan atau
35 Malthuf Siroj, Pembaharuan Hukum. 36 Malthuf Siroj, Pembaharuan Hukum.
30
kerusakan, wasiat yang melebihi sepertiga dari harta warisan, wasiat untuk
kegiatan kebaikan dan harta wasiatnya tidak mencukupi, penyimpanan surat
wasiat yang tertutup dan dalam hal si pewasiat meninggal dunia, wasiat
dalam waktu perang dan perjalanan jauh, larangan wasiat kepada orang-
orang tertentu, pembagian harta peninggalan anak angkat dari washiat
wajibah bagi anak dan orang tua angkat yang tidak menerima wasiat.37
Dan pada Bab VI menjelaskan hibah, terdiri dari pasal-pasal (210
sampai dengan 214) tentang syarat orang dapat menghibahkan harta
bendanya, hibah yang dapat diperhitungkan sebagai warisan, penarikan
kembali hibah, hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam
keadaan sakit yang mendekati kematian, hibah yang dilakukan di negara
asing.
D. Hak-hak Yang Wajib Ditunaikan Sebelum Pembagian Waris
Apabila dianalisa ketentuan-ketentuan hukum yang ada, terdapat 4 hal
yang harus diperhatikan (dikeluarkan dari harta peninggalan tersebut)
sebelum dibagikan atau pembagian waris boleh ditunda, yaitu:
1. Biaya-Biaya Perawatan Pewaris
Perawatan yang dimaksud disini adalah biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk keperluan si mayit mulai dari saat meninggalnya
sampai dikuburkan (biaya pelaksanaan fardhu kifayah). Para ahli hukum
Islam sependapat bahwa biaya yang diperlukan untuk hal tersebut
dikeluarkan dari harta peninggalannya menurut ukuran yang wajar
karena hal itu termasuk kategori mubadzir yang dilarang agama.38
37 Malthuf Siroj, Pembaharuan Hukum. 38 Suhrawadi K Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris, Hlm. 42
31
Menurut Imam Ahmad, biaya perawatan harus didahulukan dari
pada membayar hutang. Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan
Syafi’i mengatakan, bahwa pelunasan hutang harus didahulukan.
Alasannya, jika hutang tidak dilunasi terlebih dahulu, jenazah itu ibarat
tergadai.39
Adapun dasar hukum biaya perawatan jenazah hendaknya dilakukan
secara wajar adalah firman Allah surat al-Furqon ayat 67:
tÏ% ©!$#uρ !#sŒ Î) (#θà)x&Ρr& öΝs9 (#θ èùÌ� ó¡ç„ öΝs9 uρ (#ρç�äIø)tƒ tβ% Ÿ2uρ š÷t/ š�Ï9≡ sŒ $ YΒ#uθ s% ∩∉∠∪
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.40
Termasuk dalam pengertian biaya perawatan ini adalah semua biaya
yang dikeluarkan semasa muwarris sakit menjelang kematiannya. Tentu
saja apabila harta yang ditinggalkannya mencukupi untuk membiayai
perawatan ketika sakit. Persoalannya adalah, bagaimana jika harta
peninggalannya tidak mencukupi atau bahkan tidak ada sama sekali dan
dari mana biaya tersebut harus diambi!
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Apabila harta yang
ditinggalkan si mati tidak mencukupi, maka harta yang ada itu
dimanfaatkan, kekurangannya menjadi tanggungan keluarga. Ulama
Hanifiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah membatasi pada keluarga yang
menjadi tanggungannya ketika mewarris masih hidup. Alasannya, karena
semasa si muwarris hidup, merekalah yang memperoleh kenikmatan
39 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Hlm. 47 40 Departeman Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahannya, (Surabaya: Mekar Surabaya, 2002),
Hlm. 511
32
dibiayai hidupnya oleh muwarris, mereka pula yang akan menerima harta
warisan jika ada kelebihan. Karena itulah, wajar jika mereka juga harus
bertanggung jawab untuk memikul biaya perawatan. Sementara pendapat
Malikiyah, bahwa biaya perawatan tersebut diambilkan dari Bait al-Mal,
tanpa harus membebani keluarga atau kaum muslimin. Pendapat ini
mempunyai celah kelemahan. Karena boleh jadi, keluarga akan lebih
leluasa untuk tidak bertanggung jawab terhadap perawatan keluarganya
yang meninggal dunia.41
2. Hibah Pewaris
Hibah berarti melewatkan atau menyalurkan, dengan demikian
berarti telah disalurkan dari tangan orang yang memberi kepada tangan
orang yang diberi. Makna hibah ini hampir sama dengan makna wasiat,
namun yang membedakannya adalah bahwa wasiat dipandang sebagai
hibah yang digantungkan pada kejadian terentu, yakni matinya seseorang
(pewasiat).42 Dalam hal ini apabila penghibahan telah dilakukan semasa
hidupnya (si muwarris) dan pada ketika itu belum sempat dilakukan
penyerahan barang, maka sebelum harta dibagikan kepada ahli waris,
terlebih dahulu harus dikeluarkan hibah tersebut.
Di Indonesia dikenal juga apa yang disebut dengan hibah wasiat,
yakni penetapan pembagian harta benda milik seseorang semasa
hidupnya dan pembahagian itu baru berlaku sejak saat matinya si
pemberi hibah. Hibah wasiat ini oleh si pemberi hibah sampai saat ini
mengembuskan napasnya yang penghabisan setiap waktu dapat ditarik
41 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Hlm. 48 42 Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan, Hlm. 183
33
kembali. Lazimnya hibah wasiat ini diistilahkan dengan surat hibah
wasiat dan biasanya dibuat atas persetujuan ahli waris dan sebagai bukti
persetujuan, mereka ikut mencantumkan tanda tangannya dalam surat
hibah wasiat tersebut.43
3. Kewajiban Membayar Zakat
Setelah menyelenggarakan jenazah selesai, maka ahli waris harus
menghitung besaran zakat yang harus dikeluarkan dari harta peninggalan
yang ada jika memang sudah memenuhi syarat dan belum dibayarkan
zakatnya. Jumlah pembayaran zakat ini harus disesuaikan dengan
persentase yang telah ditentukan oleh syariat, misalnya untuk zakat padi
yang diairi sebesar 5 %, padi tadah hujan 10% dan zakat perdagangan
sebesar 2,5%. Zakat harta peninggalan ini wajib ditunaikan karena pada
hakikatnya merupakan hutang kepada Allah yang harus dibayar.44
Menurut Mazhab Hanafi, hutang kepada Allah yang tidak ada
tagihannya dari sesama manusia seperti zakat, kifarat atau nazar tidak
dibayarkan dengan harta warisan, sedangkan menurut jumhur harus
dibayar dan dikeluarkan dari harta warisan sebelum warisan itu dibagikan
kepada ahli waris. alasan yang dikemukakan oleh pengikut Imam Hanafi
adalah melunasi hutang kepada Allah merupakan ibadah, sedangkan
kewajiban ibadah gugur setelah kematian. Selain itu, melakukan ibadah
tentunya harus dengan niat dan usaha, sedangkan orang yang sudah
meninggal tidak bisa melakukannya. Akan tetapi, sekalipun kewajiban
itu gugur dengan kematian, seseorang tetap berdoa dan nanti di akhirat
43 Suhrawadi K Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris, Hlm. 44 44 Kasuwi Saiban, Hukum Waris, Hlm. 12
34
akan dihukum karena dia belum memenuhi kewajiban pada masa
hidupnya dan masalahnya diserahkan kepada Allah.45
Jumhur ulama menyatakan bahwa hutang-hutang kepada Allah wajib
dibayar seperti halnya hutang-hutang kepada sesama manusia dan hal ini
tidak memerlukan perbuatan dan niat karena ini bukan ibadah murni
melainkan kewajiban-kewajiban yang sama dengan harta. Dengan
demikian hutang-hutang si muwarris tersebut harus dibayar, sekalipun
sebelumnya tidak berwasiat. Bahkan, menurut Syafi’i, hutang kepada
Allah harus dilunasi sebelum melunasi hutang kepada manusia.
Sebaliknya menurut pendapat Maliki, hutang kepada Allah dilunasi
sesudah melunasi hutang-hutang kepada sesama manusia. Sedangkan
menurut pendapat Ahmad Bin Hambal, tidak ada ketentuan mengenai
perkara yang wajib didahulukan.46
4. Wasiat Pewaris
Wasiat adalah pemberian hak kepada seseorang atau badan tertentu
untuk memiliki atau memanfaatkan sesuatu yang realsisasinya menunggu
wafatnya si pewasiat. Pemberian hak tersebut tanpa disertai dengan
imbalan ataupun penggantian dalam bentuk apa pun dari pihak penerima
pemberian itu. Karena wasiat itu merupakan kehendak dari pewaris maka
pelaksanaannya harus didahulukan sebelum harta tersebut dibagi-bagikan
kepada ahli waris. hanya saja yang perlu diingat bahwa jumlah maksimal
wasiat adalah sepertiga dari harta yang ada.47
45 Muhammad Ali Ash Shabuni, Hukum Waris, Hlm 41 46 Muhammad Ali Ash Shabuni, Hukum Waris, Hlm. 42 47 Kasuwi Saiban, Hukum Waris, Hlm. 12
35
Adanya sistem wasiat ini merupakan salah satu indikator bahwa
perekonomian Islam berbeda dengan sistem kapitalis dan sosialis. Islam
bukan kapitalis karena pemilik harta dibebaskan untuk memindahkan
hartanya kepada orang lain melalui wasiat sesuai dengan kehendaknya
atas dasar sosial. Namun demikian, Islam juga bukan sosialis karena
sekalipun seseorang dibebaskan untuk memberikan wasiat kepada
siapapun namun jumlahnya dibatasi maksimal sepertiga dari hartanya.
Merealisasikan wasiat yang tidak lebih dari sepertiga harta merupakan
kewajiban para ahli waris tanpa harus minta izin kepada siapa pun.
Sedangkan kalau wasiatnya melebihi sepertiga harta maka realisasinya
tidak dibenarkan kecuali ada izin dari semua ahli waris.48
5. Menentukan Besaran Harta Pewaris
Di Indonesia, sebelum ahli waris membagikan harta waris yang juga
perlu diperhatikan adalah adanya harta gono gini, yaitu harta yang
diperoleh secara bersama-sama selama perkawinan. Status harta gono
gini ini sebagai milik bersama antara suami istri, sebagaimana yang
tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 1 huruf f sebagai
berikut49:
“Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun”.
48 Kasuwi Saiban, Hukum Waris, Hlm. 13 49 Kasuwi Saiban, Hukum Waris, Hlm. 13
36
Selanjutnya dalam pasal 96 ayat 1 disebutkan mengenai yang berhak
atas harta bersama, sebagai berikut:
“Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama milik suami atau istri harus disisihkan terlebih dahulu”.
Dari dua ayat tersebut jelaslah bahwa harta yang diperoleh selama
perkawinan merupakan harta bersama atau harta gono gini yang menjadi
hak suami istri, sehingga apabila salah sau dari mereka meninggal maka
separoh dari harta tersebut menjadi hak dari salah satu dari mereka
meninggal maka separoh dari harta tersebut menjadi hak dari salah satu
yang masih hidup. Oleh karena itu, sebelum waris dibagikan, bagian
separuh dari harta bersama milik suami atau istri harus disisihkan terlebih
dahulu.
Selain harta gono gini, yang harus juga diperhatikan sebelum
pembagian waris adalah harta bawaan, hadiah atau harta lain yang
dikuasai penuh oleh suami atau istri. status harta tersebut tetap milik
suami atau istri selama tidak ada perjanjian khusus dalam
perkawinan,sebagaimana yang diatur dalam KHI pasal 87 ayat 150.
“Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.
6. Hutang Pewaris
Melunasi semua hutang si mayat yang berkaitan dengan sesama
manusia karena merupakan tanggungan si mayat. Dengan demikian harta
50 Kasuwi Saiban, Hukum Waris, Hlm. 13
37
warisan tidak boleh langsung dibagi-bagikan kepada ahli waris sebelum
hutang si mayat dilunasi.51 Sabda Nabi:
ه ن ى ع ض ق يـ ىت ح ه ن ي د ب ة ق ل ع م ن م ؤ م ال س ف نـ “ Jiwa seorang mukmin (yang meninggal) tergantung pada hutangnya sampai hutang tersebut dilunasi”. (HR. Ahmad)
Hutang dari seseorang yang telah meninggal tidak menjadi beban
ahli waris, karena hutang itu dalam pandangan Islam tidak diwarisi.
Hutang tetap menjadi tanggung jawab yang meninggal yang dibebankan
kepada harta yang ditinggalkannya. Kewajiban ahli waris atau orang
yang ditinggal hanya sekedar menolong membayarkan hutang tersebut
dari harta yang ditinggalkan itu. Tidak dibebankannya hutang kepada ahli
warisnya itu dapat dipahami dari firman Allah dalam al-Quran surat al-
An’am ayat 164, al-Isra’ ayat 15 yang menjelaskan bahwa beban
seseorang tidaklah dipikul di pundak orang lain.52 Karena hutang pewaris
itu harus dibebankan kepada harta yang ditinggalkannya, untuk tidak
membebani yang meninggal dengan hutangnya itu, maka tindakan
pembayaran hutang itu harus dilaksanakan sebelum pembagian harta
warisan. Oleh karena itu, Allah berkali-kali menekankan pembayaran
hutang itu sebelum dibagikan harta untuk ahli warisnya. Ayat-ayat
tersebut juga mengisyaratkan pembayaran hutang itu dihubungkan
kepada harta yang ditinggalkannya.53
Bila hutang cukup besar sehingga menghabiskan semua harta
peninggalan, maka semua harta dikeluarkan untuk melunasinya. Bila
51 Muhammad Ali Ash Shabuni, Hukum Waris, Hlm. 41 52 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan, Hlm. 280 53 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan, Hlm. 281
38
harta peninggalannya tidak cukup untuk membayar hutang, karena
sekedar peninggalan yang ada dibagikan kepada pemberi hutang sesuai
dengan kadar piutangnya tanpa memberatkan kekurangan itu kepada ahli
warisnya.
Bila diperhatikan riwayat al-Bukhari dan Muslim yang mengatakan
bahwa beliau akan membayarkan hutang orang yang tidak sanggup
membayarnya, maka dapat dipahami bahwa kekurangan harta pembayar
hutang itu dibebankan kepada Baitul Mal, ini adalah ajaran paling baik
yang diberikan nabi untuk tidak merugikan para pemberi hutang dan juga
tidak memberatkan kepada ahli waris sedangkan yang meninggal telah
bebas dari tanggung jawab hutangnya, akan tetapi ahli waris juga tidak
bebas begitu saja karena hal itu akan merugikan pemberi hutang. Dalam
keadaan yang demikian maka tindakan yang paling bijaksana untuk tidak
memberati orang yang mati dan tidak merugikan orang yang berpihutang
ialah adanya kerelaan dari pihak ahli waris untuk melunasi hutang
pewaris, atau adanya kerelaan pihak pemberi hutang untuk merelakan
kekurangan pembayaran hutang tersebut.54
E. Harta Gono Gini/Harta Bersama Suami Istri Di Indonesia
1. Harta Gono Gini/Harta Bersama Menurut Undang-Undang No. 1
Tahun 1974
Diantara ketentuan –ketentuan yang telah diatur oleh undang-undang
no. 1 tahun 1974 ialah mengenai harta benda dalam perkawinan. Ini
termuat dalam Bab VII yang terdiri dari tiga pasal, yaitu pasal 35, 36 dan
54 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan, Hlm. 282-283
39
pasal 37. Pasal 35 ayat 1 menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh
selama perkawinan manjadi harta bersama/gono gini. Ayat 2 menjelaskan
bahwa harta bersama/gono gini dari masing-masing suami dan istri dan
harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan
di bawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.55
Pasal 36 ayat 1 menetapkan bahwa mengenai harta bersama/ gono
gini, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
Ayat 2 menjelaskan bahwa mengenai harta bersama/ gono gini masing-
masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Sedangkan pasal 37
menetapkan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian, maka
harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing.56
Jadi pasal 35 dan 36 mengatur masalah harta benda suami istri
selama dalam perkawinan, sedang pasal 37 mengatur khusus mengenai
harta bersama suami isteri bila terjadi perceraian antara keduanya.
Mengenai harta benda suami isteri selama perkawinan diberi patokan
yang pasti oleh pasal 35 dan 37. Tetapi, mengenai harta bersama pada
waktu terjadi perceraian antara suami isteri, pasal 37 tidak memberi
patokan penyelesaian yang pasti.
55 Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Istri Di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Hlm.
37 56 Ismuha, Pencaharian Bersama, Hal. 37
40
2. Harta Gono Gini/Harta Bersama Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
Menurut pasal 119 KUHP, mulai saat perkawinan dilangsungkan,
demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan
isteri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan
perjanjian perkawinan dan tidak boleh diubah dengan persetujuan kedua
suami isteri. Jika orang ingin menyimpang dari ketentuan umum itu, ia
harus menempuh jalan perjanjian kawin yang diatur dalam pasal 139
sampai dengan pasal 154 KUHP. Perjanjian yang demikian harus
diadakan sebelum berlangsungnya pernikahan, dan harus dicantumkan
dalam suatu akta notaris. Pembuat undang-undang menghendaki supaya
keadaan kekayaan di dalam suatu perkawinan itu tetap, untuk melindungi
kepentingan-kepentingan pihak ketiga.57
Undang-undang hanya mengecualikan dalam satu hal, yaitu dalam
hal melindungi si isteri terhadap kekuasaan si suami yang telah diberikan
sangat luas atas kekayaan bersama yang di dalamnya termasuk kekayaan
si isteri pribadi tadinya. Dalam hal ini undang-undang memberikan hak
kepada si isteri untuk meminta kepada hakim supaya diadakan pemisahan
kekayaan dengan tetap melangsungkan perkawinan. Tiap keputusan
hakim yang mengabulkan permintaan isteri untuk pemisahan harta
kekayaan bersama suami isteri, harus diumumkan lebih dahulu sebelum
dilaksanakan (pasal 189).58
57 Ismuha, Pencaharian Bersama, Hlm 40 58 Ismuha, Pencaharian Bersama, Hlm. 40
41
Selain dari pemisahan kekayaan, keputusan hakim mengakibatkan
pula isteri memperoleh kembali haknya untuk mengurus kekayaannya
sendiri selanjutnya dan berhak mempergunakan segala penghasilannya
sendiri sebagaimana yang dikehendakinya. Akan tetapi oleh karena
perkawinan belum diputuskan, maka isteri masih tetap tidak cakap
menurut undang-undang untuk bertindak sendiri dalam hukum.
Pemisahan kekayaan dapat diakhiri atas persetujuan kedua belah pihak
dengan mencantumkan persetujuan itu dalam suatu akte notaris yang
harus ditentukan untuk pengumuman keputusan hakim yang mengadakan
perjanjian itu. 59
Bila terjadi perceraian, maka dalam pasal 128 dan 129 B.W, yang
menyatakan bahwa harta bersama ini dibagi dua antara suami isteri tanpa
perlu memperhatikan dari pihak mana barang-barang itu dahulu
diperoleh. Hanya pakaian, perhiasan dan perkakas yang sangat rapat
hubungannya dengan salah satu pihak dari suami isteri, dapat diberikan
kepadanya dengan memperhitungkan harganya dalam pembagian.
Demikian pula dengan hak pungut hasil dari sesuatu barang.60
3. Harta Gono Gini/Harta Bersama Menurut hukum adat.
Sebenarnya materi yang termuat dalam pasal 35 dan 36 UU no. 1
tahun 1974 adalah berasal dari hukum adat yang pada pokoknya sama di
seluruh wilayah indonesia yaitu adanya prinsip bahwa masing-masing
suami dan isteri masih berhak menguasai harta bendanya sendiri sebagai
halnya sebelum mereka menjadi suami isteri kecuali harta bersama yang
59 Ismuha, Pencaharian Bersama, Hlm. 41 60 Subekti, Pokok-Pokok Dari Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1975), Hlm. 29
42
tentunya dikuasai bersama. Oleh karena itu harta keluarga dapat
dibedakan dalam empat macam: (1). Harta yang diperoleh dari warisan,
baik sebelum mereka menjadi suami isteri maupun sesudahnya. (2).
Harta yang diperoleh dengan keringat sendiri sebelum mereka menjadi
suami isteri. (3). Harta yang diperoleh bersama oleh suami isteri selama
perkawinan. (4). Harta yang ketika menikah diberikan kepada kedua
penganten.
Mengenai harta yang dikuasai masing-masing dari suami isteri,
persoalannya sudah jelas, baik dalam waktu perceraian maupun dari
salah seorang dari suami isteri meninggal. Tetapi mengenai harta
bersama apabila terjadi perceraian antara suami isteri, cara
penyelesainnya berbeda satu daerah dengan daerah lainnya di Indonesia.
Oleh karena itu adanya perbedaan ini maka di dalam UU No. 1 tahun
1974 diadakan pasal 37 yang berbunyi “bila perkawinan putus karena
perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”.
Dengan adanya pasal 35, 36 dan 37 UU No. 1 tahun 1974 meningkatkan
hukum adat mengenai pencaharian harta bersama suami isteri menjadi
hukum tertulis.61
F. Pemilikan Harta Bersama/Perkonsian Menurut Menurut Hukum Islam
1. Konsep Pemilikan Harta Bersama/ Perkonsian
Dalam kitab fiqh, pemilikan bersama disebut syirkah, atau syarikah.
Kata syirkah berasal dari bahasa arab secara etimologi diambil dari
masdar رك�' yaitu: رك�() - ���'– ���' yang berarti penyatuan '�رك -
61 Ismuha, Pencaharian Bersama, Hlm. 41-45
43
dua dimensi atau lebih menjadi satu kesatuan. Kata ini juga berarti
bagian bersyarikat.62
Syirkah dalam pengertian istilah fuqaha terbagi kepada tiga macam.
Pertama, syirkat al-Ibadah. Ialah suatu perkongsian yang membolehkan
manusia untuk mengambil manfaat secara bersama-sama terhadap suatu
objek yang belum diusahakan oleh orang lain. Seperti padang rumput, air
dan api yang telah diusahakan oleh seseorang, objek itu milik orang yang
mengusahakannya.
Hal ini didasarkan pada rasulullah saw:
ىب الن ع م ت و ز غ ال ق م ل س و ه ي ل ع ى اهللا ل ص ىب الن ا ب ح ص ا ن م ل ج ر ن ع اش ر خ يب ا ن ع اء م ال و ء ال ك ال يف ث ال ث يف اء ك ر ش ن و م ل س م ال ل و ق يـ ه ع مس ا ا ث ل اث م ل س و ه ي ل ع ى اهللا ل ص )رواه امحد و ابو داود . ( ار الن و
“Dari Khara’sy sahabat Rasulullah saw, bahwa manusia itu berkongsi pada tiga hal yaitu, padang rumput, air dan api.” (HR, Ahamad dan abu daud)
Kedua, syirkat al-Milk, ialah perkongsian yang terjadi antara dua
orang atau lebih atas sesuatu sebab dari beberapa sebab pemillikan harta
seperti pembelian, penerimaan, hibah, wasiat, shadaqah atau penerimaan
warisan di antara beberapa orang ahli waris. Pada syirkah al-Milk ini
tidak dibolehkan salah seorang yang berkongsi mengalihkan dan
bermanfaatkan suatu hak perkongsian saudaranya tanpa seizinnya.63
Ketiga, syirkat al-Uqud, ialah perkongsian yang dibentuk
berdasarkan ‘aqad antara dua orang atau lebih terhadap modal dan
62 Ismuha, Pencaharian Bersama, Hlm. 66 63 Gufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2002), Hlm.
193
44
keuntungan, atau hanya berdasarkan keuntungan saja, dan tidak
berdasarkan modal. Pada syirkat al-Ibahah dan syirkat al-Milk tanpa
adanya persyaratan atau perjanjian terlebih dahulu.64
Syirkat al-Milk, disebut juga syirkat al-Mal atau syirkat al-Irth.
Syirkah pada harta warisan masuk pada syirkat al-Jabari. Syirkah al-
Jabari merupakan suatu bentuk perkongsian terhadap dua orang atau
lebih atas benda yang tersedia tanpa adanya usaha. Syirkat al-Milk terjadi
tanpa keinginan masing-masing orang yang bersangkutan tetapi terjadi
dengan kekuatan hukum. syirkat al-Milk seperti ini disebut syirkat al-
Milk al-Jabari, misalnya pemilikan bersama para ahli waris pada harta
warisan yang belum dibagi.65
Syirkat al-Milk dapat terjadi juga atas keinginan masing-masing
orang yang bersangkutan dengan suka rela, syirkat al-Milk seperti ini
disebut syirkat al-Milk al-Ikhtiariyah; misalnya beberapa orang memiliki
bersama-sama sebidang tanah untuk ditanami dan sebagainya. Dapat pula
terjadi seseorang membeli bagian dari suatu benda yang tidak mungkin
dipisah-pisahkan bagiannya yang satu dari yang lainnya, sehingga
dengan demikian akan terjdadi syirkat al-Milk atara pembeli dan penjual.
Misalnya, dua orang atau lebih bersama-sama menangkap ikan dengan
satu macam alat yang hasilnya menjadi milik bersama.66
Dasar hukum kepemilikan bersama pada harta warisan yang belum
dibagi dapat dikaji dari keumuman beberapa ayat al-Quran dan al-Hadits.
hal ini dapat dilakukan antara lain terhadap: 64 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007), Hlm. 129 65 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Hlm. 130 66 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah
45
a) Surat Al-Maidah Ayat 2
¢ (#θçΡuρ$ yès?uρ ’n? tã Îh�É9 ø9 $# 3“uθ ø)−G9 $#uρ ( “Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan..”.67
Kata al-Bir adalah lafaz ‘am, karena ia adalah isim mufrad yang
dimakrifahkan dengan alif lam jinsiyah, maka ia mencakup semua
yang baik. Menurut al-Raghib, al-Bir meliputi semua perbuatan yang
baik secara luas. Dengan demikian prinsip tolong-menolong dalam
ayat di atas dapat menjadi dasar umum hukum syirkah. Sebab syirkah
merupakan salah satu bentuk pelaksanaan perintah tolong-menolong
dalam kebaikan di bidang penghidupan. Ayat ini dapat pula
menunjukkan kebolehan atas persekutuan milik antara para ahli waris
terhadap harta waris yang belum dibagi.68
b) Surat An-Nisa’ Ayat 5
Ÿωuρ (#θè?÷σè? u !$ yγ x&�¡9$# ãΝä3s9≡ uθ øΒ r& “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta mereka (yang ada dalam kekuasaanmu)...:69
Ayat ini menyatakan tidak boleh menyerahkan harta kepada orang
yang belum dewasa. Jika ayat ini dihubungkan kepada ahli waris yang
masih anak-anak maka dapat dipahami, kita boleh menunda
pembagian harta warisan sampai para ahli waris sempurna akalnya
atau sampai mereka mencapai dewasa.
67 Departeman Agama Ri, Al-Quran Dan Terjemahannya, Hlm. 142 68 M. Syakroni, Konflik Harta Warisan, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Hlm. 65 69 Departeman Agama Ri, Al-Quran Dan Terjemahannya, Hlm. 99
46
c) Surat An-Nisa’ Ayat 12
βÎ* sù (# þθçΡ% Ÿ2 u�sYò2r& ÏΒ y7 Ï9≡sŒ ôΜßγ sù â !% Ÿ2u�à° ’Îû Ï]è=›W9 $# 4 “Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga itu.”.70
Ayat di atas dapat juga menunjukkan kepada adanya persekutuan
milik antara para ahli waris terhadap harta warisan yang belum
dibagi.71
d) Hadits Qudsi
)راوه ابو داود ( ه ب اح ا ص مه د ح ا ن خي امل م ني ك ي ر الش ث ل اا ث ن ا اىل ع تـ اهللا ل و ق يـ
“Allah swt berfirman: Aku adalah kongsi ketiga dari dua orang yang berkongsi selama salah seorang tidak mengkhianati kongsinya. Apabila ia mengkhianatinya, maka aku keluar dari perkongsian itu.”
Hadits di atas mengajarkan kepada kita bahwa persekutuan yang
dilakukan dengan penuh kejujuran akan diberkahi Allah, dan yang
dilakukan tanpa kejujuran akan mendapat murka-Nya.72
Dengan demikian, dapat disimpulkan di dalam syirkah al-Milk ada
beberapa prinsip umum, yaitu: menolong dalam kebaikan, kejujuran, dan
adanya kerelaan. Pada dasarnya, hukum asal setiap muamalah dalam
masalah keduniaan adalah mubah, dan dipandang haram setelah ada nash
al-Quran atau Hadits yang mengharamkannya. Dengan demikian,
pemilikan atas harta warisan yang belum dibagi hukumnya adalah mubah
sepanjang sesuai dengan prinsip umum dari ayat-ayat dan hadits di atas.
70 Departeman Agama Ri, Al-Quran Dan Terjemahannya, Hlm. 102 71 M. Syakroni, Konflik Harta, Hlm. 66 72 M. Syakroni, Konflik Harta
47
Namun, sejauh mana harta warisan itu dapat dipertahankan. Hal itu
tampaknya masih tergantung pada sejauh mana hak kepemilikan harta
warisan itu tidak melibatkan orang lain. Usaha penyelesaian pembagian
harta waris sebagai pemilik harta. Kesepakatan bersama inilah yang
menentukan, apakah harta itu akan dibagi, kalau dibagi, kapan
dilaksanakan pembagian itu. dibolehkan semua ahli waris sepakat untuk
tidak membagi selama mereka menghendakinya, karena membagi itu
adalah hak mereka. Maka mereka dapat mempergunakan hak tersebut
atau tidak mempergunakannya.
Berkaitan dengan hal ini, ayat 1 pasal 189 Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia, yaitu: bila harta warisan yang akan dibagi berupa lahan
pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan
kesatuannya, sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan
bersama para ahli waris yang bersangkutan.
Dalam sifatnya sebagai harta syirkah, setiap anggota dapat bertindak
atas harta itu bila telah disetujui oleh pihak lain atau atas kuasa dari
anggota syirkah yang lain, setiap anggota tidak dapat bertindak sendiri-
sendiri karena dalam harta itu ada hak orang lain. Salah satu dari
argumen yang lebih leluasa bahwa kesenjangan besar atas kekayaan dan
pendapatan diperlukan untuk akumulasi modal yang memadai dalam
masyarakat modern dewasa ini. Pada umumnya tidak diragukan lagi
bahwa pelembagaan pemilikan sah ini dalam perusahaan yang saham
atau modalnya dimiliki oleh bermacam-macam individu sebagai bentuk
pemilikan harta benda yang lebih memudahkan pembagian harta warisan
48
ketika si pemilik meninggal, dan tidak pula menimbulkan keberatan
ekonomi.73
Takhrujj ialah suatu perjanjian yang diadakan oleh para ahli waris
untuk mengundurkan diri salah seorang ahli waris untuk menerima harta
warisan, dengan cara memberikan imbalan, baik imbalan itu berasal dari
harta orang yang mengundurkannya, maupun harta itu berasal dari harta
warisan yang akan dibagikan. Takhrujj itu merupakan suatu perjanjian
dua pihak. Salah satu pihak menyerahkan sesuatu sebagai imbalan
kepada pihak lain, dan pihak lain menyerahkan bagian harta
warisannya.74
Imbalan yang diserahkan pihak pertama seolah-olah merupakan
harga pembelian dan imbalan yang diserahkan pihak kedua merupakan
barang yang dibeli. Dengan demikian takhrujj ini merupakan perjanjian
jual beli. Jika imbalan yang diserahkan itu sebagai alat tukar terhadap
imbalan yang akan diterimanya, maka takhrujj tersebut merupakan
perjanjian tukar menukar. Di samping itu, jika imbalan yang akan
diserahkan kepada pihak yang diundurkan itu diambil dari harta warisan,
maka perjanjian takhrujj itu dinamakan pembagian harta warisan.
Perjanjian takhrujj itu mempunyai tiga bentuk, yaitu:
a) Seorang ahli waris yang mengundurkan seorang ahli waris yang lain
dengan cara memberikan uang pengganti atau harta yang dikeluarkan
dari miliknya. Oleh karena ia telah memberikan suatu imbalan kepada
ahli waris yang diundurkan, maka ia berhak menerima imbalan yang
73 M. Syakroni, Konflik Harta, Hlm. 68 74 M. Syakroni, Konflik Harta, Hlm. 69
49
diberikan oleh orang yang diundurkan. Imbalan itu dapat berupa
bagian dari harta warisan yang bakal diterimanya. Pihak pertama telah
membeli bagian harta warisan pihak kedua dengan sejumlah uang.
Dengan demikian pihak pertama di samping mendapatkan saham
sendiri, ia juga memperoleh saham dari orang yang telah
diundurkannya.75
b) Beberapa ahli waris mengundurkan seorang ahli waris dengan
memberikan imbalan yang diambil dari harta warisan. Bentuk takhrujj
yang kedua ini merupakan bentuk yang sangat umum dan sering
terjadi dalam pembagian harta warisan. Setelah sempurna perjanjian
takhrujj dipenuhi, maka pihak yang diundurkan segera memperoleh
imbalan yang diberikan oleh para hali waris yang mengundurkannya.
Dan selanjutnya mereka menerima sisa harta warisan. Jumlah sisa
harta warisan tersebtu mereka bagi bersama sesuai dengan
perbandingan saham mereka masing-masing.76
c) Beberapa ahli waris mengundurkan seorang ahli waris dengan
memberikan imbalan yang diambil dari harta milik mereka masing-
masing secara urunan. Dalam hal ini orang yang mengundurkan diri,
seolah-olah ia telah menjual haknya yang berupa harta warisan,
dengan imbalan yang telah diterimanya dari para ahli waris yang
mengundurkannya. Selanjutnya ia tidak memperoleh apa-apa lagi dari
bagian harta warisannya. Besar kecilnya urunan yang harus dibayar
75 M. Syakroni, Konflik Harta, Hlm. 70 76 M. Syakroni, Konflik Harta, Hlm. 70
50
oleh masing-masing ahli waris yang mengundurkannya adalah sesuai
dengan yang telah mereka sepakati bersama.77
2. Pemilikan Harta Bersama/ Perkonsian Menurut Ulama Hanafiah
Ulama hanafiah membagi syarikah lebih dahulu kepada dua bahagian.
Pertama syarikah milk (perkongsian mengenai milik). Kedua syarikah
‘uquud (perkonsian dengan aqad atau kontrak).78
a) Syarikah milk
Syarikah milk ialah perkongsian antara dua orang atau lebih
terhadap sesuatu tanpa adanya sesuatu aqad atau perjanjian. Kemudian
mereka membagi lagi syarikah milk kepada dua macam: 1). Syarikah
dengan terpaksa. 2). Syarikah dengan pilihan.
b) Syarikah uquud
Syarikah ‘uquud menurut mereka ada 3 macam yakni syirkah bil
amwal (perkongsian modal), syirkah bil abdan (perkongsian tenaga),
syirkah bil wujuh (perkongsian dengan kepercayaan). Kemudian
masing-masing dari tiga macam syirkah uquud dapat dibagi dua lagi
yaitu syirkah mufawadlah dan syirkah ‘inan. Sehingga dengan
demikian syirkah uquud itu berjumlah enam macam, yaitu:79
1) Syirkah mufawadlah bil amwal ialah perkongsian antara dua orang
atau lebih tentang sesuatu macam perniagaan dengan syarat (I).
Modal, wewenang dan agama mereka sama.(II). Masing-masing
para kongsi menjadi penanggung terhadap tindakan kongsinya
yang lain. 77 M. Syakroni, Konflik Harta, Hlm. 71 78 Ismuha, Pencaharian Bersama, Hlm. 56 79 Ismuha, Pencaharian Bersama, Hlm. 59
51
2) Syirkah ‘inan bil amwal ialah perkongsian antara dua orang atau
lebih tentang sesuatu macam perniagaan atau dalam segala macam
perniagaan.
3) Syirkatul abdan muwafadlah ialah perkongsian yang bermodalkan
tenaga dan dalam aqadnya disebutkan lafal muwafadlah atau lafal
lain yang pengertiannya sama.
4) Syirkatul abdan ‘inan ialah perkongsian tenaga tadi diisyaratkan
perbedaan tenaga kerja dan perbedaan tentang upah. Demikian pula
apabila dalam aqad disebut perkataan ‘inan atau perkataan lain
yang artinya sama.
5) Syirkatul wujuh muwafadlah ialah perkongsian yang bermodalkan
kepercayaan orang saja dengan syarat: (I). Masing-masing anggota
perkongsian harus berwenang untuk menjadi penanggung. (2).
Barang-barang yang dibeli itu dianggap dibagi sama antara para
kongsi dan masing-masing menanggung harganya. (3). Keuntungan
dibagi sama antara para peserta perkongsian. (6). Masing-masing
anggota perkongsian mengucapkan perkataan muwafadlah atau
perkataan lain yang sama maksudnya, sehingga dengan demikian
masing-masing anggota itu menjadi wakil dari yang lainnya.
6) Syirkatul ujuh ‘inan ialah perongsian kepercayaan tanpa syarat-
syarat tersebut di atas.
3. Pemilikan Harta Bersama/ Perkonsian Menurut Ulama Malikiyah
Menurut ulama malikiyah syarikah ada bebarapa macam:80
80 Ismuha, Pencaharian Bersama, Hlm. 63
52
a) Syarikatul irtsi (perkongsian warisan). Yaitu berkongsinya para ahli
waris memiliki sesuatu barang dengan jalan menerima warisan
b) Syarikatul ghanimah (perkongsian pada harta rampasan). Yaitu
perkongsian anggota tentara dalam peperangan terhadap barang
rampasan perang
c) Perkongsian bebarapa orang yang membeli sesuatu barang.
Ketiga macam syarikah inilah yang oleh ulama hanifiyah disebut
syarikah milk (perkongsian milik). Selain itu macam-macam syarikah
yang masyhur selain dari tiga macam di atas ada enam macam:81
a) Syarikah mufawadlah
Syarikah mufawadlah ialah persekutuan dua orang atau lebih
tentang berniaga dengan modal dari para peserta dengan ketentuan
bahwa masing-masing peserta akan mendapat keuntungan sesuai
dengan banyak tanpa ada perbedaan dan masing-masing peserta bebas
bertindak atas nama perkongsian mengenai jual beli, sewa menyewa
baik di waktu hadirnya kongsi yang lain maupun waktu ia tidak di
tempat.
b) Syarikah inaan
Yaitu perkongsian antara dua orang dengan ketentuan bahwa
masing-masing hanya boleh bertindak dengan seizin yang lain.
c) Syarikah amal
Syarikah ini dinamakan juga syarikah abdaan menurut istilah
mazhab-mazhab lain dan dapat juga diterjemahkan dengan
81 Ismuha, Pencaharian Bersama, Hlm. 64
53
perkongsian tenaga, yaitu perkongsian antara dua orang tukang atau
lebih untuk bekerja bersama-msama dan masing-masing mendapat
hasil sesuai dengan pekerjaan yang dilaksanakannya.82
d) Syarikah dzimam
Yaitu perkongsian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih tanpa
menggunakan modal, melainkan membeli barang-barang apa saja
dengan cara kredit, kemudian barang-barang itu dijual kembali dan
keuntungannya dibagai antara para kongsi. Perkongsian ini tidak syah
menurut mazhab maliki kecuali jika mengenai jual beli satu macam
barang saja.83
e) Syarikah Jabar
Seseorang pedangang membeli sesuatu barang dagangan di
hadapan pedagang lain yang juga berdagang barang itu dan ia tidak
berbicara apa-apa maka kalau ia mau, ia berhak turut serta dalam
pembelian barang itu. Tetapi dengan 6 syarat. Tiga syarat mengenai
barang dan tiga syarat mengenai orang. Tiga syarat mengenai barang
ialah (1). Barang itu dibeli di pasar yang biasanya diperdagangkan
barang itu. (2). Pembelian itu untuk dijual lagi, bukan untuk dipakai
sendiri. (3). Penjualan lagi akan dilakukan di dalam negeri tempat
barang itu dibeli. Sedangkan syarat mengenai orang yang berhak turut
serta adalah: (1). Ia hadir pada waktu pembelian barang itu. (2). Ia
82 Ismuha, Pencaharian Bersama, Hlm. 65 83 Ismuha, Pencaharian Bersama, Hlm. 65
54
memang pedagang barang itu. (3). Ia tidak bicara apa-apa mengenai
barang itu pada waktu barang itu dibeli oleh saudagar lain.84
f) Syarikah mudhaarabah
Ini disebut juga qiraadl ialah suatu perkongsian yang diadakan
antara orang yang mempunyai modal dan orang yang tidak
mempunyai modal untuk berdagang, dengan cara orang yang
mempunyai modal menyerahkan modalnya kepada yang tidak
mempunyai modal untuk berdagang.
4. Pemilikan Harta Bersama/ Perkonsian Menurut Ulama Syafi’iyah
Ulama syafi’iyah membagi syirkah itu kepada empat macam, yaitu:85
a) Syirkah ‘inan (perkongsian berbatas)
b) Syirkah abdan (perkongsian tenaga)
c) Syirkah mufawadlah (perkongsian tidak terbatas)
d) Syirkah al-wujuh (perkongsian kepercayaan)
Diantara empat macam syirkah ini, hanya syirkah ‘inan saja yang
boleh menurut ulama syafi’iyah. Selain itu tidak syah. Menurut imam
syafi’iy modal itu harus dicampurkan sebelum aqad, sedangkan mazhab
lain membolehkan percampuran modal setelah aqad.
5. Pemilikan Harta Bersama/ Perkonsian Menurut Ulama Hanabilah
Ulama hanabilah mula-mula membagi syarikah kepada dua macam,
yaitu syarikath fil maal (perkongsian kekayaan) dan syarikah fil uquud
(perkongsian dengan kontrak).86 Syirkah fil mall adalah perkongsian dua
orang atau lebih dalam memiliki sesuatu benda dengan jalan warisan, 84 Ismuha, Pencaharian Bersama, Hlm. 66 85 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), Hlm. 346 86 Ismuha, Pencaharian Bersama, Hlm. 67
55
pemberian, pembelian dan sebagainya. Syirkah fil uquud ialah
perkongsian antara dua orang atau lebih untuk mengadakan suatu usaha
di mana mereka masing-masing akan mendapat keuntungan. Kemudian
syirkah uquud itu dibagi menjadi lima macam yaitu:87
a) Syirkah inan, ialah perkongsian antara dua orang atau lebih yang
masing-masing mempunyai modal dan sama-sama bekerja
menjalankan usaha perkongsian itu, kemudian keuntungan antara
mereka menurut perjanjian yang mereka adakan pada waktu aqad.
b) Syirkatu mufawadlah, ialah perkongsian dalam menjalankan modal,
dengan ketentuan bahwa masing-masing anggota perkongsian
memberikan hak penuh kepada anggota lain untuk bertindak membeli
barang-barang, menjualnya, memberi kuasa, berdua laba, menjual
dengan kredit, menggadaikan, menerima gadai dan sebagainya.88
c) Syirkatul wujuh, ialah perkongsian dua orang atau lebih dengan
bermodalkan kepercayaan orang saja, sehingga mereka dapat membeli
barang-barang dengan cara kredit, kemudian menjaul lagi dengan
mendapat keuntungan dan keuntungan itu dibagi antara mereka
menurut perjanjian pada waktu aqad.89
d) Syirkatul abdan, ialah perkongsian dua orang tukang atau lebih untuk
sama-sama bekerja, dan upah yang mereka peroleh dari perkerjaan itu
akan dibagi di antara mereka menurut perjanjian semula.
87 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, Hlm. 345 88 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah.Jilid 13, (Bandung: Al Ma’arif, 1987), Hlm. 176 89 Sayyid sabiq, fiqih sunnah, Hlm. 178
56
Dari uraian tersebut di atas, dapatlah kita ambil kesimpulan pendapat-
pendapat para ulama mengenai bermacam-macam syirkah sebagai berikut:
1) Syirkah ‘inan atau perkongsian terbatas disepakati para ulama tentang
bolehnya, asal memenuhi syarat-syarat menurut ulama mereka masing-
masing.
2) Syirkah mufawadlah atau perkongsian tak terbatas, hukumnya boleh
menurut mazha hanafi, maliki dan hambali. Tetapi tidak boleh menurut
mazhab syafi’i. Hanya beda antara hanifah dan maliki ialah abu hanifah
mensyaratkan sama banyak modal masing-masing para peserta,
sedangkan imam malik berpendapat bahwa itu tidak menjadi syarat.
3) Syirkah abdan atau perkongsian tenaga, boleh menurut mazhab hanafi,
maliki dan hambali dan tidak boleh menurut mazhab syafi’i. Hanya
bedanya antara abu hanifah dan imam malik ialah imam malik
mempersyaratkan pekerjaan yang mereka berkongsi itu, harus sejenis dan
setempat sedangkan abu hanifah tidak mempersyaratkan itu.
4) Syirkah wujuh atau perkongsian kepercayaan, boleh menurut ulama
hanafiyah dan ulama hanabilah dan tidak boleh menurut ulama malikiyah
dan ulama syafi’iyah.
Alasan imam syafi’i tidak membolehkan syirkah mufawadlah ialah
karena nama perkongsian itu percampuran modal dan keuntungan itu adalah
cabang. Cabang tidak dapat diperkongsikan kecuali sesudah pokoknya
diperkongsikan lebih dahulu. Pokok dalam hal ini adalah modal.90
90 Ismuha, Pencaharian Bersama, Hlm. 75
57
Imam malik berpendapat, bahwa dalam syirkah mufawadlah dimana
masing-masing kongsi telah menjualkan sebahagian dari hartanya kepada
kongsinya kemudian masing-masing mewakilkan kepada kongsinya untuk
menjaga bahagian yang berada dalam tangan kongsi itu. Tetapi imam syafi’i
menolak pendapat ini dengan alasan bahwa perkongsian itu bukan jual beli
dan bukan pula pemberi kuasa (wakalah).91
Alasan imam syafi’i tidak membolehkan perkongsian tenaga ialah karena
perkongsian hanya berlaku pada harta. Tidak pada tenaga. Karena tenaga
tidak dapat diketahui dengan pasti sebagaimana halnya pada modal harta
dan oleh karena itu perkongsian tenaga berarti penipuan.92
Alasan imam malik membolehkan perkongsian tenaga karena orang yang
berperang sabil juga berkongsi tentang ghanimah. Mereka berkongsi itu
hanya semata-mata karena tenaga. Demikian pula imam malik
mengqiyaskan perkongsian tenaga kepada mudlarabah (perkongsian berdua
laba). Sebagaimana diketahui bahwa perkongsian berdua laba atau qiradl itu
disepakati para ulama tentang bolehnya, asal saja memenuhi syarat-syarat
yang ditentukan. Sedangkan pada perkongsian berdua laba (mudlarabah) itu
pun salah seorang peserta hanya mempunyai tenaga saja.93
Tetapi imam syafi’i berpendapat bahwa persekutuan orang yang
berperang sabil terhadap ghanimah tidak termasuk perkongsian atau syirkah.
Alasan imam malik dan imam syafi’i tidak membolehkan perkongsian yang
hanya bermodalkan kepercayaan orang saja (syirkah wujuh) ialah karena
perkongsian hanya dapat dengan modal atau dengan tenaga menurut mazhab 91 Ismuha, Pencaharian Bersama, Hlm. 75 92 Ismuha, Pencaharian Bersama, Hlm. 75 93 Ismuha, Pencaharian Bersama, Hlm. 75
58
maliki. Sedang pada perkongsian kepercayaan itu kedua-dua hal ini tidak
ada. Sebaliknya abu hanifah berpendapat, bahwa pada perkongsian
kepercayaan pun ada tenaga yang diberikan oleh para peserta dan oleh
karenanya juga boleh.
G. Pencatatan Harta Peninggalan Menurut Teori Kemaslahatan dan
Dzari’ah
Menurut Satria, dalam hukum Islam ada istilah yang disebut kewajiban
untuk hiyazah al-Amal. Kata hiyazah berasal dari kata hawzun yang berarti
terkumpul atau sebidang tanah yang memakai sempadan yang jelas.94 Kata
hiyazah bila dihubungkan dengan al-Mal (harta) berarti mengumpulkan dan
menyisihkan harta serta memberikan batas-batas yang jelas. Dengan hiyazah
berarti harta seseorang tersisih dari harta orang lain dan tidak bercampur,
sehingga akan dapat diketahui batas dan jumlah harta miliknya.
Dengan mengetahui sempadan tanah miliknya dan milik orang lain,
akan dapat diketahui jika adanya pelanggaran hak dari pihak lain terhadap
haknya, dan sebaliknya ia sendiri dapat membatasi diri supaya tidak
mengambil hak bagian orang lain. Selain itu, hiyazat al-Mal juga akan
memudahkan untuk menyelesaikan harta warisan di saat pewaris meninggal.
tidak jelasnya batas dan jumlah harta yang ditinggalkan seseorang akan
mengakibatkan persengketaan di kalangan ahli waris.95
Dengan demikian, harta warisan yang tadinya diharapkan sebagai
rahmat bagi ahli waris dan sebagai suatu yang bisa mengingatkan seseorang
kepada orang yang meninggalkan harta itu. Dengan terjadinya sengketa, 94 Satria Effendi M. Zein,” Analisa Fiqh Terhadap Yurisprudensi Tentang Kewarisan”Dalam
Mimbar Hukum, No. 20 Tahun 1995, Hlm. 131 95 M. Syakroni, Konflik Harta, Hlm. 72
59
akan merusak silaturrahim. Hal seperti ini sudah jelas bertentangan dengan
tujuan hukum kewarisan Islam. Hiyazat al-Mal bukan saja bermanfaat untuk
memudahkan penyelesaian harta warisan, soal jual beli, bertetangga, hibah,
sewa menyewa, wakaf dan lain sebagainya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pada pasal 187 ayat 1
disebutkan: {1} bilamana pewaris meninggalkan harta peninggalan, maka
oleh pewaris dapat ditunjuk bebarapa orang sebagai pelaksana pembagian
harta warisan dengan tugas (a). Mencatat dalam suatu daftar harta
peninggalan, baik berupa harta bergerak maupun tidak bergerak yang
kemudian disahkan oleh para ahli waris yang bersangkutan, bila perlu
dinilai dengan harganya uang, (b). Menghitung jumlah pengeluaran untuk
kepentingan pewaris sesuai dengan pasala 175 ayat (1) sub a dan b dan c.96
Konsep hiyazat al-Mal dan pasal 187 ayat 1 sub a dan b Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia, dapat kita pahami bahwa perlu adanya
pencatatan harta peninggalan, guna menghindari pertikaian ketika akan
diadakan pembagian harta warisan. Namun bila diperhatikan dari aturan
yang mengatur ini, tidaklah bersifat memaksa dan mengikat sehingga
memberi peluang adanya kemudaratan yang akan ditimbulkan. Oleh karena
itu penulis merasa perlu untuk memandang pencatatan pembagian waris ini
ditelaah melalui ijtihad, salah satunya adalah dengan menggunakan teori
mashlahah. Secara etimologi, al-Mashlahah diartikan kebaikan,
kebermanfaatan, kepantasan, kelayakan, keselarasan, kepatuhan.97 Kata al-
96 Depag. Ri, Kompilasi Hukum Islam, Hlm. 95 97 Rasyad Hasaan Khalil, Tarikhu Al-Islami, Sejarah Legislasi Hukum Islam (Tt, T, Th) Cet Ii,
Terj,, Nadirsyah Hawari, Tarikhu Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam (Jakarta: Amza, 2010), Hlm 165
60
mashlahah adakalanya dibenturkan kata al-Mufsadah dan ada juga kata al-
Madarrah, yang mengandung arti kerusakan. Secara terminologi,
memelihara dan mewujudkan tujuan hukum Islam (syariah) yang berupa
memelihara agama, jiwa, akal budi, keturunan dan harta kekayaan.98
Diantara tokoh-tokoh ulama pemikir muslim yang telah memperkenalkan
teori maslahah adalah Imam al-Syathibi dan Imam al-Ghazali.
Imam al-Syathibi menjelaskan teori mashlahah dengan karyanya,
al-Muwafaqat. Pemahaman Maqasid al-Syariah porsi yang cukup besar
dalam karya al-Syathibi. Sebab tidak satupun hukum Allah swt tidak
mempunyai tujuan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan.
Perumusan tujuan syariat Islam bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan
umum, dengan cara menjadikan aturan hukum syariah yang paling utama
dan sekaligus menjadi shalihah li kulli al-Zaman wa al-Makan, untuk
kehidupan manusia yang adil, martabat dan maslahah. Berdasarkan teori ini,
pencatatan pembagian waris harta gono gini dapat diterima sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip, asas-asas dan tujuan dari hukum
syara’.
Memang dalam kitab-kitab fiqh klasik tidak ditemukan pembahasan
tentang pencatatan pembagian harta waris. hal ini boleh jadi karena pada
waktu kitab-kitab itu ditulis ditingkat amanah orang Islam relatif tinggi,
sehingga kemungkinan akan terjadinya penyimpangan terhadap pembagian
harta waris kepada ahli waris relatif kecil. sungguh demikian, sejak periode
98 Asmawi, Diskursus Teori Mashlahah , Makalaah Disampaikan Pada Forum Seminar Karya
Ilmiah Dosen Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, 13 September 2009
61
awal Islam, umat Islam sebenarnya sudah mengenal pencatatan dalam
transaksi (muamalah) berdasarkan al-Quran surat al-Baqarah ayat 282:99
$ yγ •ƒ r'≈ tƒ šÏ%©!$# (# þθ ãΖtΒ#u #sŒÎ) ΛäΖtƒ#y‰s? A øy‰Î/ #’n<Î) 9≅y_ r& ‘wΚ |¡•Β çνθç7 çF ò2$$sù 4 =çGõ3u‹ ø9 uρ öΝä3uΖ÷�−/ 7=Ï?$ Ÿ2 ÉΑô‰yè ø9 $$ Î/ 4
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu mencatatnya, dan hendaklah seorang pencatat itu di antara kamu mencatatkannya dengan benar...”.100
Pencatatan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi
pihak-pihak terkait agar tidak terjadi suatu yang dapat merugikan masing-
masing pihak. Selain itu, untuk memberikan jaminan terhadap pelaksanaan
pembagian waris, dapat juga digunakan pendekatan qaidah fiqhiyyah yakni
“sesuatu yang menentukan sempurna tidaknya suatu kewajiban maka
hukumnya wajib”. Penggunaan kaidah ini dalam pencatatan pembagian
waris bertitik tolak dari anggapan bahwa pencatatan pembagian waris
merupakan suatu aturan yang sengaja dibuat dalam rangka
menyempurnakan pelaksanaan pembagian waris. penyempurnaan ini
berkaitan erat dengan pelaksanaan pembagian waris sebagai bagian dari
syariat Islam yang sangat penting dalam rangka beribadah kepada Allah.
Karena tujuannya yang luhur itu, maka segala aturan yang dapat
menyempurnakan pelaksanaan pembagian waris wajib diadakan.101
99 Depag Ri, Al-Quran Dan Terjemahan, Hlm 23 100 Departeman Agama Ri, Al-Quran Dan Terjemahannya, Hlm. 59 101Malthuf Siroj, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia Telaah Kompilasi Hukum Islam
(Yogyakarata: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2012), Hlm. 188
62
Selain itu, pencatatan pembagian waris ini merupakan suatu langkah
pencegahan terhadap sesuatu yang akan menimbulkan kemufsadatan, hal ini
sesuai dengan salah satu metode hukum Islam yakni saad al-dzariaah.
Dzari’ah dari segi bahasa berarti jalan menuju sesuatu. Lebih khususnya
adalah sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan
mengandung kemadharatan. Akan tetapi pendapat ditentang oleh sebagian
ulama seperti Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang menyatakan bahwa dzari’ah
itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang
dianjurkan.102 Kata dzari’ah itu biasanya didahului dengan saddu yang
artinya menutup, maksudnya adalah menutup jalan terjadinya kerusakan.103
Dengan demikian dzari’ah terbagi kepada dua: Pertama, Saad adz-
Dzari’ah. Menurut Imam asy-Syatibi bahwa saad dzari’ah adalah
melaksanakan suatu suatu pekerjaan yang semula mengandung
kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan). menurutnya
ada 3 kriteria yang menjadikan perbuatan itu dilarang,1). Perbuatan yang
tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan. 2). Kemafsadatan lebih
kuat dari pada kemaslahatan. 3). Perbutan yang dibolehkan oleh syara’ lebih
banyak mengandung usur kemafsadatannya.104 Kedua, fath adz dzari;ah.
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah dan Imam al-Qarafi, mengatakan bahwa
dzariah itu ada dianjurkan dan bahkan diwajibkan seperti meninggalkan
segala aktifitas untuk melaksanakan shalat jum’at yang hukumnya wajib.
Akan tetapi Wahbah Zuhaili membantah pendapat ini dan mengatakan
102Rahcmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), Hlm. 132 103 Kutbuddin Aibak, Metodologi Pembaruan Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),
Hlm. 220 104 Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul, Hlm. 132-133
63
bahwa itu dikategorikan sebagai Muqaddimah (pendahuluan) dari sebuah
pekerjaan.
Dzariah dapat dibagi berdasarkan dua segi, yakni segi kualitas
kemafsadatan dan dari segei jenis kemafsadatan. dari segi kualitas
kemafsadatan, asy Syatibi membagi kepada empat macam: Pertama.
Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti.
Kedua, perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung
kemafsadatan. Ketiga, perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan
membawa kemafsadatan. Keempat, perbuatan yang pada dasarnya boleh
dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tetapi memungkinkan
kemafasadatan.105
Bila ditinjau dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan, Ibnu Qayyim al-
Jauziyah membagi kepada dua, yakni perbuatan yang membawa kepada
suatu kemafsadatan dan perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau
dianjurkan tetapi dijadikan sebagai jalan untuk melakukan suatu perbuatan
yang haram baik disengaja ataupun tidak. Dari kedua ini lebih dirincikan
lagi pembagiannya menjadi empat bentuk. Yakni. 1). Sengaja melakukan
perbuatan yang mafsadat. 2). Perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau
dianjurkan tetapi dijalankan jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang
haram baik sengaja atupun tidak. 3). Perbuatan yang hukumnya boleh dan
pelakunya tidak bertujuan untuk melakukan suatu kemafasadatan, tetapi
berakibat timbulnya suatu kemafasadatan. 4). Suatu pekerjaan yang pada
dasarnya dibolehkan tetapi adakalanya menimbulkan kemafsadatan.106
105 Kutbuddin Aibak, Metodologi Pembaruan, Hlm. 229 106 Rahcmat Syafe’i, Ilmu Ushul, Hlm. 133-135
64
Seperti halnya pelaksanaan pembagian hartawaris gono gini ini, maka
untuk memberikan kepastian hukum untuk menjamin hak dari para ahli
waris serta memberikan keadilan kepada mereka, maka penulis mengira
perlu dilegalitaskannya aturan pencatatan pembagian waris sebagai saad
dzariah, mengingat bahwa tingginya pengaruh adat dan istiadat yang dianut
oleh masyarakat Indonesia yang menyebabkan pelaksanaan pembagian
waris ini tertunda, maka perbuatan yang menunda-nunda ini justru
memberikan peluang untuk tidak berkeadilan terhadap hak-hak manusia.
Maka pelegalitasan pencatatan harta waris gono gini merupakan langkah
untuk menghambat terjadinya kerusakan di kemudian hari. Teori saad
dzariah yang dikemukakan oleh Ibnu Qayyim mengindikasikan bahwa
selama perbuatan tersebut mengandung unsur kemafsadatan maka perbuatan
tersebut harus dihambat, salah satu yang dapat menghambat
ketidakterlaksanaanya pembagian waris ini adalah dengan adanya legalitas,
bentuk legalitas yang dimaksud disini berupa hukum tertulis.
Bentuk legalitas yang dimaksud disini bisa berupa surat otentik yang
dibuat atau dihadapan pejabat notaris ataupun bisa langsung melakukan
permohonan kepada pengadilan agama untuk melakukan penetapan ahli
waris sehingga bila nantinya pelaksanaan tersebut tidak berjalan, maka
pengadilan agama dapat melakukan eksekusi terhadap amar putusan yang
telah dikeluarkan. Bagi para ahli waris yang tidak memeliki kemampuan
ekonomi yang rendah, mengingat pembuatan surat otentik dari pejabat
notaris memerlukan biaya yang cukup besar, mereka dapat mengajukan
65
surat permohonan kepada pengadilan agama agar dilaksanakan penetapan
tersebut dengan biaya yang bersifat Cuma-Cuma.
Legalitas yang ada saat ini masih bersifat hibauan atau pasif. Oleh
karena itu, perlu untuk segera dilegalitaskannya aturan pencatatan
pembagian waris ini. Selain itu, dengan adanya legalitas hukum ini akan
memberi dampak bahwa seseorang harus taat terhadap hukum yang telah
dibuat.
Prinsip ini menerangkan bahwa seseorang tidak akan boleh menghukum
seseorang hanya atas dasar kehendak hatinya, lebih jauh lagi, teks hukum
yang diterapkan sudah harus ada pada saat pelanggaran tersebut dilakukan.
Dengan kata lain, hukum tidak boleh diterapkan secara retroaktif. Hal ini
juga berarti bahwa hanya pelaku dan bukan orang lain yang boleh dikenakan
tanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukan.107
Teori konstitusional Islam menyatakan dengan jelas prinsip pembatasan
kekuasaan negara di bawah kekuasaan hukum, maka dari itu, pemerintah
Islam harus menerapkan dan menegakkan syariah sehingga dengan
demikian bahwa tugas pemerintah adalah mengimplementasikan syariah.
Hal ini menjadi indikasi bagaimana Islam memberikan prioritas tinggi pada
kekuasaan hukum sehingga dengan demikian pembagian waris benar-benar
dapat terlaksana di masyarakat, sebab salah satu terjadinya penyimpangan
adalah ketidakadanya sanksi atau hukuman terhadap mereka yang
menyimpang dari ketentuan yang telah ditetapkan. Prinsip ini
mengindikasikan bahwa hukum yang menimbulkan suatu kewajiban atau
107 Muhammad Hashim Kamali, Membumikan Syariah, Pergulatan Mengaktualkan Islam,
(Jakarta: Mizan Publika, 2008), Hlm. 236
66
pelanggaran hanya bisa ditujukan kepada orang kompeten yang mampu
untuk memahaminya dan secara fisik memungkinkan baginya untuk taat
dengan hukum ketika ia mengetahuinya. Untuk memungkinkan warga tahu
akan suatu hukum maka teks hukum tersebut harus dipublikasikan dan
aksesnya dibuka kepada semua.108
Menurut Bambang Poernomo, bahwa terdapat empat macam sifat
ajaran yang dikandung oleh asas legalistas. Pertama, asas legalitas hukum
pidana yang bertitik berat pada perlindungan induvidu untuk memperoleh
kepastian dan persamaan hukum. Perlindungan induvidu diwujudkan
dengan adanya keharusan lebih dahulu untuk menentukan perbuatan pidana
dan pemindanaan dalam undang-undang. Kedua, asas legalitas hukum
pidana bertitik berat pada dasar dan tujuan pemidanaan agar dengan sanksi
pidana itu hukum pidana bermanfaat bagi masyarakat sehingga tidak ada
lagi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat. Ketiga, asas
legalitas hukum pidana bertitik berat tidak hanya pada ketentuan tentang
perbuatan pidana saja agar orang menghindari perbuatan tersebut, tetapi
juga pada ancaman pidananya, agar penguasa tidak sewenang-wenang
dalam manjatuhkan pidana. Keempat, asas legalitas hukum pidana bertitik
berat pada perlindungan hukum kepada negara dan masyarakat.109
Asas legalitas adalah istilah dalam hukum modern yang dipinjam oleh
hukum Islam karena prinsip yang mirip dengan itu ditemukan pula dalam
hukum Islam. Dalam hukum Islam pengertian asas legalitas adalah suatu
prinsip di mana suatu perbuatan baru dapat dianggap melanggar hukum jika
108 Muhammad Hashim Kamali, Membumikan Syariah, Hlm. 237 109 Eddy, O.S. Hiariej, Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum, Hlm. 18
67
waktu peristiwa itu terjadi sudah ada peraturan yang melarang.110 Perlunya
legalitas dalam pembagian waris ini mengingat bahwa persoalan waris
merupakan salah satu dari lima kategori yang perlu dijaga dalam Islam
yakni harta selain dari agama, jiwa, keturunan dan akal. Menurut M. Shokry
El-Dakkak, asas legalitas dalam hukum Islam secara implisit terdapat dalam
al-Quran surat al-Isra’ ayat 15:
ÇΒ 3“ y‰tF ÷δ $# $ yϑΡÎ* sù “ωtGöκu‰ ϵš ø&uΖÏ9 ( tΒuρ ¨≅|Ê $ yϑΡÎ* sù ‘≅ÅÒ tƒ $ pκö� n=tæ 4 Ÿωuρ â‘ Ì“s?
×οu‘ Η# uρ u‘ ø— Íρ 3“ t� ÷zé& 3 $ tΒuρ $ ¨Ζä. t Î/Éj‹yè ãΒ 4 ®Lym y]yè ö6 tΡ Zωθ ß™u‘ ∩⊇∈∪
Siapa yang mengikuti petunjuk, maka perbuatan itu adalah untuk dirinya sendiri. Siapa yang berbuat salah, dirinya sendirilah yang akan menderita. Seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain. Kemi tidak menghukum sebelum kami mengutus seseorang rasul.111
Berdasarkan ayat tersebut, hukum Islam tidak hanya mengakui asas
legalitas, tetapi juga memberi dasar bagi asas pertanggungjawaban pribadi
dalam hukum pidana. Asas legalitas dalam al-Quran menyatakan bahwa
Allah tidak akan menghukum hambanya kecuali apabila telah sampai risalah
kepadanya melalui hambanya, kecuali apabila telah sampai risalah
kepadanya melalui para rasulnya yang memberikan peringatan tentang
adanya siksa apabila peraturannya tidak ditaati dan akan mendatangkan
nikmat apabila aturannya dipatuhi.112 Tuhan tidak menjatuhkan hukuman
kepada manusia sebelum memberitahukan kepada mereka melalui rasulnya,
maka mengikuti nash-nash di atas jelaslah bahwa dalam Islam tidak ada
kejahatan tanpa pemberitahuan jelas, dan tiada pidana tanpa
110 Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kotemporer, (Jakarta: Kencana, 2004),
Hlm. 266-267 111 Departeman Agama Ri, Al-Quran Dan Terjemahannya, Hlm. 386 112 Eddy, O.S. Hiariej, Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum, Hlm. 12-13
68
pemberitahuan.113 Dalam kaidah fiqh ditegaskan pula bahwa “tidak ada
hukum bagi perbuatan sebelum adanya aturan”, serta “hukum asal
sesuatu itu adalah boleh sampai datang petunjuk yang melarangnya”
113 Topo Santoso, Mengagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Asy Syaamil Press & Grafika,
2001), Hlm. 114
69
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Paradigma Penelitian
Paradigma menentukan pandangan dunia peneliti.1 Sehingga paradigma yang
digunakan dalam penelitian ini adalah naturalistik paradigm atau paradigma
alamiah. Penelitian ini memang terjadi secara alamiah, dalam situasi normal yang
tidak dimanipulasi keadaan dan kondisinya.2 Menurut Cik Hasan Bisri, paradigma
naturalistik juga tepat sebagai model penelitian fiqih.3
Paradigma alamiah bersumber pada pandangan fenomenologis. Fenomenologis
berusaha memahami prilaku manusia dari segi kerangka berfikir maupun bertindak,
atau senantiasa masuk ke dalam dunia konseptual para manusia pelaku yang
menjadi subjek peneliti.4 Sebab apa yang tampak di permukaan (tingkah laku)
sesungguhnya pantulan dari dunia ide atau makna yang tersembunyi di bagian
dalam, maka untuk memahaminya diperlukan penghayatan.5
B. Jenis penelitian
Dilihat dari jenisnya penelitian ini adalah penelitian pengembangan dari
penelitian sebelumnya yakni skripsi peneliti dengan judul akibat penundaan
pembagian waris. Oleh karena itu, dalam hal ini penelitian ini menggunakan
penelitian field research (penelitian lapangan), yang mana penelitian ini menitik
1 K, Denzin Dan Yunonns S.Linconln, Handbook Of Qualitative Research (Terj) Darianato (Jakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), Hlm. 123 2 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006), Hlm. 12 3 Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqih, Cet 1 (Bogor: Kencana, 2003), Hlm 24 4 Sanapiah Faisal, Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar Dan Aplikasi, (Malang: YA3 Malang, 1990), Hlm.
13 5 Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001),Hlm. 59
70
beratkan pada hasil pengumpulan data dari informan yang ditentukan.6 Penelitian
lapangan (field research) dapat juga dianggap sebagai metode untuk
mengumpulkan data kualitatif, yang dimaksudkan untuk mempelajari secara
mendalam mengenai suatu cara unit sosial tersebut.
Penelitian lapangan (field research) adalah penelitian yang dilakukan secara
langsung di mana objek yang diteliti yaitu Pakar Hukum dan Ulama Kota Malang,
untuk memperoleh data-data yang berkaitan dengan pembahasan yakni “Asas
Legalitas Dalam Pembagian Harta Waris Gono Gini Sebagai upaya pencegahan
tercampurnya harta waris terhadap perkawinan bagi duda/janda mati.
C. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif.
Penggunaan metode kualitatif dilakukan karena metode ini lebih mudah untuk
menyesuaikan apabila berhadapan dengan kenyataan ganda, selain itu, metode ini
juga menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dengan
informan, dan metode ini juga lebih peka dan dapat cepat menyesuaikan diri
dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola yang dihadapi.
Penelitian yang menggunakan perspektif kualitatif lebih memusatkan diri untuk
memahami persepsi individu mengenai dunia, dan berupaya mencari wawasan.7
Alasan peneliti memilih pendekatan kualitatif ini dikarenakan data-data yang
dibutuhkan berupa sebaran-sebaran informasi yang tidak perlu dikuantifikasikan.
Dalam hal ini, mendapatkan data yang akurat dan otentik, dikarenakan peneliti
langsung mewancarai dan berdialog dengan informan. Kemudian peneliti
6Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian, Hlm. 50 7Judith Belib, Melakukan Proyek Penelitian Secara Mandiri, Cet. IV (Jakarta: PT Indeks, 2006), Hlm. 4
71
mendeskripsikan tentang objek yang diteliti secara sistematis dan mencatat semua
hal yang berkaitan dengan objek yang diteliti yaitu asas legalitas dalam pembagian
harta waris gono gini sebagai upaya pencegahan tercampurnya harta waris terhadap
perkawinan bagi duda/janda mati.
D. Lokasi Penelitian
Penelitian tentang pandangan pakar hukum dan ulama terhadap asas legalitas
dalam pembagian harta waris gono gini sebagai upaya pencegahan tercampurnya
harta waris terhadap perkawinan duda/janda mati dilakukan di Kota Malang. Hal ini
dikarenakan Kota Malang merupakan Kota yang mempunyai masyarakat yang
heterogen dan agamis yang ditampakkan dengan tumbuhnya pondok pesantren
ditengah masyarakat. Selain itu, kota ini merupakan basis pendidikan yang cukup
tinggi dengan adanya berbagai macam perguruan tinggi yang dapat memberikan
warna pemikiran terhadap para ilmuan dan masyarakatnya serta ada sebagian dari
masyarakat muslim yang ada di Kota Malang yang berstatus duda/janda mati,
melakukan perkawinan tanpa disyaratkan adanya surat keterangan pembagian
waris.
E. Kehadiran Peneliti
Kehadiran peneliti sangat diperlukan dalam penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif lebih banyak ditunjukkan pada pembentukan toeri subtantif berdasarkan
konsep-konsep yang timbul dari data empiris.8 Dalam penilitian kualitatif, biasanya
menggunakan diri mereka sebagai instrument, mengikuti asumsi-asumsi kultural
sekaligus mengikuti data. Konsekuensi dari pendekatan ini adalah metode kualitatif
8Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial Dan Pendidikan (Jakrata: Bumi Aksara, 2006), Hlm. 91-92
72
par excellence merupakan observasi parispatoris (pengamatan terlibat).9 Dalam
melakukan penelitian ini, peneliti turun sendiri kelapangan untuk mewawancarai
informan sehingga diharapkan data yang dihasilkan nantinya benar-benar sesuai
dengan harapan peneliti.
F. Data dan Sumber Data
Sumber data penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a) Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama, yaitu
perilaku masyarakat melalui penelitian.10 Data yang diperoleh , berupa hasil
wawancara dengan orang-orang yang berhubungan dengan penelitian ini yakni
Pakar Hukum dan Ulama Kota Malang. Pakar Hukum disini adalah Para
Akademisi Perguruan Tinggi yang ada kaitan keilmuannya terhadap
permasalahan yang diteliti yakni Ustad Kasuwi Suaiban, Ustad Zaenul Mahmudi
dan juga praktisi hukum dalam hal ini menjabat sebagai hakim di Pengadilan
Agama, mereka adalah bapak Drs. Munasik, M.H dan bapak Dr. M. Faisal
Hasanuddin, S.H, M.H. Sedangkan ulama disini adalah pemuka agama atau
pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing
umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupum masalah sehari hari
yang diperlukan baik dari sisi keagamaan, pendidikan maupun sosial
kemasyarakatan.11 Yakni, KH Chamzawi, KH Abdullah Hasyim, Dr. Isroqun
najah dan Dr. Saad ibrahim
9Julia Brannen, Memadu Metode Penelitian: Kualitatif Dan Kuantitatif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005), Hlm. 11 10 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian, Hlm. 112 11 Http://Www.Artikel.Majlisasmanabawi.Net/Kamus-Spiritual/Arti-Ulama-Pengertian-Ulama
73
Adapun kualifikasi keilmuan mereka sebagai informan adalah:
1) KH. Chamzawi, dalam struktur kepengurusan PCNU Malang, menduduki
jabatan Rois Syuriah NU. Selain itu, beliau juga menjadi Ketua Komisi
Fatwa MUI Kota Malang. Pendidikan terakhir KH. Chamzawi adalah
Pascasarjana Program Magister Hukum Islam di UNISMA Malang, dan
merupakan dewan kyai di Pondok Pesantren Ma’had Ali UIN Maulana
Malik Ibrahim Malang.
2) Dr. Isroqun Najah, beliau merupakan ulama nahdatul ulama, beliau
merupakan pengurus ma’had ali kampus UIN malang, selain itu beliau juga
pengajar di UIN malang dan beliau adalah ketua HIPPSI kota malang.
Beliau juga pengajar di pondok pesantren nurul huda mergosono yang
diasuh oleh ayah beliau sendiri.
3) Ustad Saad Ibrahim, beliau merupakan pengajar di fakultas syariah dan
pascasarjana uin malang, selain itu beliau merupakan anggota dari tarjih
muhammadiyah kota malang. Selain itu beliau juga aktif memberikan
pengajian umum di kota malang.
4) KH. Abdullah Hasyim adalah penasehat sekaligus tim ahli majelis Tarjih
dan Tajdid Muhammadiyah. Pendidikan tinggi yang ditempuhnya adalah
Fakultas Tarbiyah STAIN Malang. Kini, beliau menjabat sebagai pengasuh
Pondok Pesantren Program Pendidikan Ulama Tarjih
5) Ustad Kasuwi Suaiban, beliau merupakan pengajar di berbagai universitas
seperti Pascasarjanah UIN Malang dan Universitas Merdeka Malang. dan
juga merupakan anggota MUI Kota Malang. Beliau mempunyai beberapa
74
buah karya ilmiah berbentuk buku, diantaranya membahas tentang hukum
waris dan metodologi hukum Islam.
6) Ustad Zaenul Mahmudi, beliau merupakan staf dan pengajar di UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang sejak tahun 1999, beliau lulusan
Pascasarjana/ S2 di UIN Syarif Hidayatullah pada tahun 2009 dan lulusan
S3 di IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2012. Saat ini beliau mengajarkan
hukum faraid atau hukum waris di Fakultas Syariah UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang.
7) Drs. Munasik, M.H, beliau merupakan praktisi hukum yang saat ini
menjabat sebagai hakim di Pengadilan Agama Kota Malang. Beliau
diangkat manjadi hakim pada tahun 1994 sampai saat ini, artinya beliau
telah menjabat sebagai hakim pengadilan agama selama 19 tahun.
8) Dr. H. Muhammad Faisal Hasanuddin, S.H, M.H, beliau juga seorang
praktisi hukum yang saat ini menjabat sebagai hakim di Pengadilan Agama
Kota Malang. Beliau menjabat sebagai hakim selama 19 tahun dimana
beliau diangkat menjadi hakim pada tahun 1994.
Berdasarkan keterangan diatas, peneliti mengganggap bahwa mereka pantas
untuk menjadi nara sumber terhadap penelitian yang akan dilakukan.
b) Data Sekunder
Sumber sekunder ialah data-data yang diperoleh dari sumber kedua dan
merupakan pelengkap dari data utama atau primer.12 Dalam hal ini yang menjadi
12Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial: Format-Format Kuantitatif dan Kualitatif, (Surabaya:
Airlangga Universitypress, 2001), Hlm 129
75
data sekunder adalah berupa undang-undang, buku, karya ilmiah dan literatur
lain serta informasi-informasi yang berkaitan dengan topik penelitian
G. Pengumpulan Data
Adapun metode pengumpulan data yang dipakai oleh peneliti sebagai berikut:
a) Wawancara
Yaitu suatu bentuk komunikasi verbal yang bertujuan memperoleh
informasi.13 Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
menyebabkan defenisi interview mengalami perubahan dan penyempurnaan,
dimana proses tanya-jawab dapat dilakukan dalam jarak jauh.14 Dalam hal ini,
ada kontak hubungan pribadi antara pengumpul data dengan sumber data.
Komunikasi tersebut dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung,
secara tidak langsung biasanya peneliti memberi pertanyaan kepada responden
melalui telephone dan lain-lainnya. sedangkan secara langsung dilakukan
dengan cara “face to face” (bertemu langsung).
Metode ini dipergunakan untuk mendata hal-hal yang berkenaan dengan
penelitian dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang disusun dalam
suatu daftar pertanyaan yang telah disiapkan terlebih dahulu. Jenis wawancara
yang digunakan dalam penelitian ini adalah semi terstruktur.15 Dimana peneliti
akan mewawancarai Pakar Hukum dan Ulama Kota Malang, dalam proses
wawancara ini peneliti menfokuskan untuk memperoleh data berupa pandangan
mereka tentang Asas Legalitas Dalam Pembagian Harta Waris gono gini Sebagai
13S. Nasution, Metode Research, Hlm. 113 14Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian Petunjuk Praktis, Hlm. 88 15 M. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghimia Indonesia, 2003), Hlm. 193-194
76
upaya pencegahan tercampurnya harta waris terhadap Perkawinan Bagi
Duda/Janda Mati.
b) Dokumentasi
Metode dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk membaca atau
mempelajari catatan atau dokumen, buku dan semacamnya yang berkaitan
dengan pendangan para Pakar Hukum dan Ulama Kota Malang terhadap Asas
Legalitas Dalam Pembagian Harta Waris Sebagai upaya pencegahan
tercampurnya harta waris gono gini terhadap Perkawinan Bagi Duda/Janda Mati.
Sedangkan obyeknya sebagian besar adalah benda mati.16 Dalam proses ini
peneliti menggunakan foto-foto, rekaman wawancara, tulisan-tulisan wawancara
dan buku-buku yang digunakan untuk mencari data.
H. Teknik Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan dengan lengkap dari lapangan melalui
dokumentasi dan wawancara selanjutnya diolah dan disusun melalui beberapa tahap
untuk menyimpulkan ke dalam sebuah analisis yang tepat. Tahapan-tahapan
pengolahan dan analisis data yang peneliti lakukan yaitu:
a) Pengeditan
Pengeditan merupakan tahapan pertama yang peneliti lakukan dalam proses
pengolahan data ini. Dalam tahapan ini, peneliti melihat kembali data hasil
wawancara dengan Pakar Hukum dan Ulama Kota Malang. Hal ini dilakukan
untuk mengetahui lengkap dan tidaknya data yang sebelumnya telah peneliti
16Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarata: Rineka Cipta, 2006), Hlm. 231
77
peroleh untuk mengetahui apakah masih ada hal-hal yang belum dimengerti dari
data tersebut.
b) Klasifikasi
Peneliti melakukan pengelompokkan seluruh data-data penelitian, baik data
yang diperoleh dari hasil observasi maupun data hasil wawancara dengan Pakar
Hukum dan Ulama Kota Malang berdasarkan kategori tertentu, sehingga data
yang diperoleh benar-benar memuat permasalahan yang ada. Selanjutnya
peneliti mengelompokkan data tersebut berdasarkan rumusan masalah.
c) Analisis
Peneliti melakukan analisis data-data penelitian dengan tujuan agar data
yang telah diperoleh bisa lebih mudah untuk dipahami. Adapun analisis data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif, yaitu
analisis yang menggambarkan keadaan atau status fenomena dengan kata-kata
atau kalimat, kemudian dipisah-pisahkan menurut kategori untuk memperoleh
kesimpulan, sehingga pada akhirnya dapat diperoleh gambaran yang jelas
mengenai pendangan Pakar Hukum dan Ulama Kota Malang terhadap Asas
Legalitas Dalam Pembagian Harta Waris Gono Gini Sebagai upaya pencegahan
tercampurnya harta waris terhadap Perkawinan Bagi Duda/Janda Mati.
d) Kesimpulan
Tahapan terakhir adalah kesimpulan. Pada tahapan ini peneliti menemukan
jawaban dari hasil penelitian. Selanjutnya peneliti membuat kesimpulan yang
kemudian menghasilkan gambaran secara ringkas, jelas dan tepat tentang
analisis terhadap pandangan Pakar Hukum dan Ulama Kota Malang mengenai
78
Asas Legalitas Dalam Pembagian Harta Waris Gono Gini sebagai upaya
pencegahan tercampurnya harta waris terhadap Perkawinan Bagi Duda/Janda
Mati.
I. Pengecekan Pengesahan Data
Dalam pengecekan keabsahan data, penelitian ini menggunakan tehnik
triangulasi, yaitu tehnik pemeriksaan data memanfaatkan sesuatu yang lain di luar
data tersebut bagi keperluan pengecekan atau sebagian data dan pembadingan
terhadap data dari sumber lain.17 Jadi triangulasi dilakukan dengan cara
membandingkan dan mengecek suatu informasi yang diperoleh dari informan yang
satu ke informan lainnya.
Dalam memperoleh kevaliditasan data dengan tehnik triangulasi, Peneliti
melakukan dengan cara:
a) Mengajukan berbagai pertanyaan kepada nara sumber terkait data yang telah
diperoleh berupa fenomena-fenomena yang terjadi dimasyarakat serta
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan substansi yang akan diteliti.
b) Mengeceknya dengan berbagai sumber data
c) Memanfaatkan berbagai metode agar pengecekan keabsahan data dilakukan.
Pada intinya, terkait dengan hal ini peneliti berusaha mengecek ulang hasil
penelitian dengan jalan membandingkannya dengan berbagai sumber, metode atau
teori.
17M.B Miles & A.M Hubermen, An Ekpended Source Book Qualitatif Data Analisys, Analisis Data
Kualitatif, Tej. Tjejep R. Rohidi (Jakarta: UI Press, 1992), Hlm. 330
79
J. Analisis Data
Analisa data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,
mensintesiskannya, mencari dan menentukan pola, menemukan apa yang penting
dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang
lain.18 Dalam hal ini peneliti memakai analisis data kualitatif miles dan huberman.
Sebagaimana gambar diagram di bawah ini, diagram ini merupakan bentuk analisis
data model alir dari Miles dan Huberman:19
Gambar 3.1 Model Analisis Alir Miles Dan Huberman
Masa Pengumpulan Data
----------------------------------------------------- REDUKSI DATA
Adaptasi Selama Pasca
PENYAJIAN DATA
Selama Pasca
PENARIKAN KESIMPULAN/VERIFIKASI
Selama Pasca
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan, perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data mentah atau data kasar yang
muncul di lapangan.20 Dengan kata lain reduksi data adalah proses penyederhanaan
data, memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus penelitian. Reduksi data 18Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, Cet VII, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), Hlm. 248 19 Matthew B. Miles, A Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, ( Jakarta: UI-Press, 1992), Hlm. 18 20Tjetep R.R, Analisis Data Kualitatif, Terjemah (Jakarta: UI Press, 1992), Hlm. 16
A
N
A
L
I
S
I
S
80
dalam penelitian kualitatif berlangsung secara simultan selama proses pengumpulan
data berlangsung. Baik dalam bentuk ringkasan, mengkode, menelusuri tema dan
membuat gugus-gugus. Dalam penelitian kualitatif, reduksi data merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari analisis data. Pada dasarnya analisis data merupakan data
melalui tahapan: kategorisasi dan klasifikasi, perbandingan dan pencarian
hubungan antar data yang secara sprsifik tentang hubungan antar peubah.21
Dalam hal ini, data tersebut berbentuk wawancara yakni pandangan Pakar
Hukum dari Perguruan Tinggi dan Instansi Hukum di Kota Malang dan pandangan
Ulama yang mengasuh pondok pesantren yang selalu mengayomi masyarakat serta
MUI Kota Malang. Dari setiap pandangan tersebut dipisahkan sesuai dengan
kategorisasi pemahaman tentang asas legalitas dalam pembagian harta waris gono
gini, kemudian dipilah lagi sesuai dengan pandangan yang sama.
Dalam penyajian data, penulis berusaha untuk memecahkan permasalahan
yang tertuang dalam rumusan masalah dengan menggunakan analisis data deskriptif
kualitatif, yaitu menggambarkan suatu keadaan atau status fenomena, dalam hal ini
berupa pandangan informan tentang asas legalitas dalam pembagian harta waris
gono gini di Kota Malang dengan kata-kata atau kalimat, kemudian dipisahkan
menurut kategori tertentu untuk memperoleh kesimpulan berupa pandangan
informan terhadap asas legalitas dalam pembagian harta waris gono gini dan
pandangan informan terhadap surat keterangan pembagian waris sebagai syarat
perkawinan bagi duda/janda cerai mati.22
21Cik Hasan Bisri, Penuntutan Penyusunan Rencana Penelitian (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2003),
Hlm. 66 22Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, Hlm. 23
81
BAB IV
PAPARAN DATA DAN ANALISIS DATA
A. Paparan Data
Dalam Islam, waktu pembagian harta waris berawal sejak wafatnya si pewaris,
petunjuk ini dapat dipahami dari maksud surat an-Nisa’ ayat 11, 12 dan 176.
Menurut adat kebiasaan di Indonesia sebagian masyarakat Islam menyelesaikan
pembagian harta waris setelah peringatan hari kematian yang ke tujuh, empat puluh
dan yang seratus hari. Dengan pertimbangan pada waktu itu diharapkan ahli waris
dapat berkumpul ditempat pewaris. Dalam Islam adat kebiasan dikenal dengan istilah
‘urf, ‘urf adalah kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan.1
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua yaitu: al-‘Urf al-
Shahih (kebiasaan yang shahih) dimana kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah
masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash, tidak menghilangkan kemaslahatan
mereka, dan tidak pula membawa madarat kepada mereka. dan al-‘Urf al-Fasid
(kebiasaan yang dianggap rusak) dimana kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-
dalil syara’.2
Kebiasaan seperti ini tidak terlalu menjadi persoalan selama harta tersebut tidak
tercampur dengan harta orang lain. Akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya,
terjadinya konflik antar ahli waris bahkan tercampurnya harta ahli waris yang dahulu
dengan harta ahli waris yang baru disebabkan adanya hubungan pernikahan yang
baru, menyebabkan ketidakjelasan bagian dari harta. Kebiasaan ini menjadi suatu
yang lumrah dan menjadi suatu momok atau aib jika permasalahan ini dikemukakan
1 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Hlm. 138 2 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Hlm. 141
82
di tengah masyarakat. Anggapan rakus, durhaka atau anggapan negatif akan
menyelubungi ahli waris yang menuntut haknya dari salah seorang dari orang tua
mereka yang masih hidup. Padahal ini merupakan ketentuan allah yang sudah
seharusnya sebagai hamba yang beriman untuk melaksanakannya.
Negara yang menjadi pelindung bagi warga negaranya dari tindakan yang
merugikan warganya harus turut andil untuk mencegah perbuatan ini dengan
memberikan aturan yang penerapannya benar-benar dapat direalisasikan. Selama ini
peraturan yang ada hanya bersifat himbauan, maka apakah perlu untuk
melegislasikan aturan yang baru agar benar-benar penerapan pembagian waris ini
terlaksana dengan baik. Dalam hal ini menurut pakar hukum dan ulama Kota Malang
memiliki pendapat yang beragam.
Dibawah ini merupakan argumentasi dari para informan terkait persoalan yang
telah dikemukakan. Ada beberapa pertanyaan yang diajukan yaitu: Pertama,
bagaimana Pandangan Pakar Hukum Dan Ulama Kota Malang Terhadap Asas
Legalitas Pada Pembagian Harta Waris Gono Gini. Kedua, bagaimana Pandangan
Pakar Hukum dan Ulama Kota Malang Terhadap Surat Keterangan Pembagian Harta
Waris Gono Gini Sebagai Syarat Perkawinan Bagi Duda/Janda Cerai Mati.
1. Pandangan Pakar Hukum dan Ulama Kota Malang Terhadap Asas Legalitas
Pada Pembagian Harta Gono Gini.
Harta merupakan salah satu ensesial dalam kehidupan, oleh karena itu ia
menjadi salah satu dari lima bentuk yang menjadi kebutuhan dharuriyah. Dalam
Islam harta merupakan amanah yang diberikan Allah kepada manusia, apakah itu
berbentuk makhluk hidup maupun benda mati. Oleh karena itu, harta merupakan
83
hak milik yang dilindungi. Dalam kewarisan Islam, harta sangat menjadi prioritas
yang mesti dilindungi bahkan hal ini menjadi rawan ketika harta itu terdapat hak
yang juga dimiliki oleh sesama saudara atau keluarga seperti halnya harta waris
gono gini sehingga pelaksanaannya menjadi sebuah permasalahan sendiri.
Maka untuk menfokuskan penelitian ini, maka peneliti akan membagi kepada
beberapa sub bab yang akan dibahas agar memperoleh penjelasan yang lebih
konkrit terhadap tema besar dari bab ini
a. Pandangan Pakar Hukum dan Ulama Kota Malang Terhadap
Pelaksanaan Pembagian Harta Waris Gono Gini
Menurut kyai Chamzawi, dia mengatakan3:
Pembagian waris dari harta gono goni didasari pada tanggung jawab dan jasa yang telah diberikan oleh suami istri. Apabila harta sudah dibagi, maka otomatis hak dari ahli waris sudah bisa ditetapkan dan ini harus dilaksanakan, sebab apabila ditunda akan menimbulkan konflik dikemudian hari. Apa yang terjadi di masyarakat pelaksanaan ini tidak berjalan dengan baik, hanya sebagian kecil yang melaksanakannya. Hal ini mungkin disebabkan kepada ketidak tahuan mereka atau memang kebiasaan-kebiasaan yang mereka ketahui tidak menjalankan aturan tersebut seperti adat istiadat setempat
Begitu juga menurut Bapak Zainal Mahmudi, beliau mengatakan4:
Pada prinsipnya, harta waris yang akan dibagi itu harus terlebih dahulu dibersihkan dari hak-haknya. Mana harta waris dan mana pula harta milik dari haknya ahli waris. seperti itu juga terhadap harta gono gini, harus jelas mana harta suami dan mana harta istri. apabila harta gono gini ini telah jelas maka otomatis dapatlah diketahui mana harta yang akan diwarisi tersebut, kemudian pelaksanaannya harus disegerakan, sebab banyaknya terjadi konflik disebabkan tertundanya pelaksanaan pembagian waris ini, adakalanya harta itu habis dijual dan adakalanya ahli warisnya meninggal dunia sementara harta belum dibagi yang dikhawatirkan keluarga dari ahli waris yang meninggal tidak mendapatkan atau berkurang dari bagian haknya. Dan ini banyak terjadi ditengah masyarakat kita sendiri.
3 Chamzawi, Wawancara, Malang, 15 Mei 2013 4 Zainal Mahmudi, Wawacara, Malang, 25 April 2013
84
KH Abdullah Hasyim yang juga tidak terlalu berbeda pendapat,
mengatakan5:
Dari beberapa pengalaman saya terhadap kasus kewarisan yang saya hadapi, maka sesungguhnya orang Islam itu harus konsekuen, maksudnya adalah apabila ada pewaris yang telah meninggal dunia, maka harta waris itu harus segera dilaksanakan pembagiannya, sebab bisa saja dalam waktu dua menit setelah pewaris meninggal ahli warisnya pun juga bisa meninggal, sedangkan pembagian harta waris belum dibagi maka ini akan menimbulkan konflik antar ahli waris, sehingga bila kita benar-benar konsekuen, seharusnya sebelum mayat itu dikuburkan harta itu telah dibagi kepada ahli warisnya. Apa yang terjadi saat ini, mayoritas umat Islam tidak konsekuen terhadap aturan yang telah diatur oleh hukum Islam.
Ketiga pendapat tersebut mewakili dari pendapat informan yang lain yang
tidak berbeda sama sekali. Intinya adalah bahwa pelaksanaan pembagian harta
waris gono gini yang terjadi saat ini tidak terealisasi dengan baik sehingga
menimbulkan dampak negatif seperti kerancuan bagian harta waris untuk ahli
waris, rusaknya tali silaturrahmi antar sesama ahli waris. Penyebab terjadinya
hal seperti ini difaktori antara lain dari segi budaya, emosi dalam bentuk etika
dan moral ataupun prilaku dari salah seorang ahli waris yang memang tidak
baik. Selain itu, mereka berpendapat bahwa harta dalam Islam terutama harta
waris merupakan sesuatu yang harus dijaga dan diberikan kepada hak
pemiliknya sekalipun memiliki hubungan darah atau keluarga, mereka tidak
berhak untuk merampas hak saudaranya. Seperti halnya harta gono gini dimana
saat salah seorang pasangan suami istri meninggal maka pada saat itu harta
gono gini tersebut harus dibagi agar tidak menimbulkan kemudharatan baik
bagi ahli waris pada saat itu dan waktu yang akan datang.
5 Abdullah Hasyim, Wawancara, Malang, 9 Juni 2013
85
b. Pandangan Pakar Hukum dan Ulama Kota Malang Mengenai Asas
Legalitas Terhadap Pelaksanaan Pembagian Waris Harta Gono Gini
Sebagai mana penjelasan pada sub di atas dimana pelaksanaan pembagian
harta waris gono gini tidak terlaksana dengan baik, bahkan sudah banyak
terjadi konflik yang tentunya tidak hanya memperkeruh berapa bagian harta
melainkan juga akan berdampak pada rusaknya tali silaturrahmi antara sesama
keluarga. Untuk itu bagaimana solusi yang diharapkan agar pelaksanaan
pembagian waris benar-benar terlaksana, terutama dalam hal ini berkaitan
dengan harta yang merupakan salah satu dari lima esensi kehidupan. Sehingga
apakah perlu untuk melegalitaskan aturan terhadap pelaksanaan pembagian
waris mengingat aturan yang ada sekarang masih bersifat himbaun.
Dalam hal ini, menurut pak Zainal Mahmudi mengatakan6:
Saya setuju dengan adanya legalitas, ini merupakan kepastian hukum. Namun sebaiknya jika orang tersebut baik seperti orang dahulu yang tidak materealistis dapat dilakukan dengan musyawarah. Namun Adanya legalitas ini untuk melindungi mereka yang dirugikan sehingga mereka dapat menuntut jika mereka dirugikan. Ini lebih baik dan lebih maslahah. Tanpa adanya legalitas, maka pelaksanaan tidak berjalan. dengan adanya sanksi tentu akan memantapkan pelaksanaan pembagian ini. Seperti mahkamah syariah yang juga menangani pidana ringan.. Kalau tidak salah, Pasal 2 UU No 3 Tahun 2006 sudah memberikan peluang kedepan bahwa PA dapat mempidana perkara tertentu karena disebutkan pada pasal tersebut bahwa kehakiman mempunyai kewenangan untuk memberikan keadilan dalam penyelesaian perkara tertentu, padahal sebelumnya UU No. 7 tahun 1989 dimana kata tersebut hanya berbunyi “masalah perkara perdata tertentu”.ini berarti telah ada perubahan makna dan maksud sehingga ini dapat dijadikan pijakan bagi hakim PA kedepannya untuk dapat menyelesaikan perkara pidana.
6 Zinal Mahmudi, Wawancara, Malang, 25 April 2013
86
Sedangkan menurut pendapat Bapak Kyai Abdullah Hasyim mengatakan,7
Pelaksanaan pembagian harta waris sebaiknya dibuatkan suatu aturan yang lebih mengikat sehingga jika ada ahli waris merasa dicurangi dengan sikap ahli waris yang lain maka aturan ini dapat dijadikan pijakan hukum. Aturan yang ada saa ini masih kurang dari yang diharapkan sebab hukum ini masih dari hukum belanda. Sedangkan kehidupan dan perkembangan masyarakat selalu berubah. Maka perlu diadakan suatu aturan yang mengikat bahkan sudah memasukkan ke tingkat perkara pidana. Sehingga pelaksanaan kewarisan dapat terlaksana dengan baik. Sebab selama ini, adat selalu menjadi faktor tidak terlaksananya ketentuan allah ini, dengan adanya legalitas maka masyarakat akan dipaksa untuk melaksanakannya karena memang dari awal ini merupakan perintah allah yang wajib dilaksanakan.
Pendapat yang juga semakna diutarakan oleh Bapak Kasuwi Saiban, beliau
mengatakanap8:
Saya kira perlu untuk melegalitaskan aturan tentang pelaksanaan pembagian waris, sebab aturan yang ada saat ini baru hanya kompilasi hukum Islam (KHI) yang masih ada yang merinci persoalan waris dan itupun harus diamandemenkan mengingat KHI itu merupakah produk hukum yang sudah lama. Mengingat bahwa masyarakat kita sekarang sudah cerdas, karena faktor yang terbesar menghambat pelaksanaan ini adalah disebabkan berbenturnya dengan adat istiadat daerah setempat, sehingga dengan adanya aturan yang telah dilegaltaskan ini nantinya akan memberi daya paksa kepada umat Islam untuk menjalankan pembagian waris ini, akan tetapi aturan yang dibuat nantinya hendaknya menggabungkan kearifan lokal dengan undang-undang formal sehingga benar-benar menyentuh aspek sosial dan hukumnya.
Selain itu, Bapak Saad Ibrahim juga memberikan tanggapan terhadap
persoalan ini, beliau mengatakan9:
Ya ini perlu, bahkan bagi mereka yang tidak melaksanakannya harus diberi aturan yang memaksa. Sebab ini perkara yang menyangkut hutang piutang, harta yang belum dibagi itu kan masih berada ditangan orang tua mereka sehingga secara tidak langsung orang tua mereka menggunakan harta tersebut berarti meraka mempunyai hutang terhadap ahli waris lainnya. Apabila harta tersebut habis atau hilang maka orang tua mereka harus bertanggung jawab, oleh sebab itu pelaksanaan pembagian waris harus dilegalitaskan secepat mungkin mengingat banyaknya persoalan seperti ini di tengah masyarakat.
7 Abdullah Hasyim, Wawancara, Malang, 9 Juni 2013 8 Kasuwi Saiban, Wawancara, Malang, 28 April 2013 9 Saad Ibrahim, Wawancara, Malang, 8 Juni 2013
87
Hal yang senada juga diutarakan oleh Kyai Chamzawi, beliau
mengatakan10:
Negara kita adalah negara yang pelaksanaan aturannya yang masih lemah, menurut saya ini perlu, cuman aturan yang memaksanya belum ada. Seperti hal zina, tidak ada hukum yang mengaturnya. Maka perlu ini untuk dibentuk. Sebab dengan adanya kematian maka akan ada hak ahli waris. Hukum perdata ini yang diharapkan dapat dapat direalisasikan dan mereka yang melanggar akan mendapat efek jera. Namun apakah ada yang berani menuntutnya. Jika ada pihak yang dirugikan maka silahkan menuntut tapi adat yang kuat akan membuatnya dicerca oleh masyarakat yang memanag teguh adat istiadat yang ada. Oleh karena itu, aturan ini harus segera dilegalitaskan sehingga tidak perlu lagi untuk melakukan pengajuan atau tuntutan tapi sudah diatur oleh aturan yang memaksa seseorang untuk melaksanakan pembagian waris ini. Biasanya orang agama itu takut akan siksaan neraka sebab mereka akan ditanya tentang hartanya, sehingga mereka mau melaksanakannya. Ini sangat perlu, karena itu merupakan kepastian hukum bagi ahli waris. bahkan dengan menotariskannya akan lebih bagus lagi demi menghindari persoalan dibelakang hari.
Pendapat yang senada juga disampaikan juga oleh Gus Is, beliau
mengatakan11:
Memberikan legalitas dalam persoalan pelaksanaan waris ini memang perlu, akan tetapi tentu tidak semudah itu diterapkan maka perlu dilakukan secara bertahap yang dimulai dengan mensosialisasikan aturan ini sehingga nantinya masyarakat sudah mengetahui dan memahaminya, hal ini mengingat bahwa persoalan harta memang menjadi kendala sampai saat ini, aturan sendiri di KHI masih defenitif terhadap persoalan pelaksanaan waris ini, hanya menyebutkan di pasal 188 bahwa ahli waris dapat mengajukan permintaan pembagian waris ke pengadilan akan tetapi kebanyakan mereka menjaga nama keluarga, kesopanan pada orang tua padahal mereka sebenarnya ingin menggunakan harta tersebut. Kasus-kasus yang terjadi sekarang ini akibat harta waris yang ditunda pembagiannya menyebabkan antar saudara saling mendzolimi dan silaturrahmi diantara mereka menjadi buruk, maka menurut saya bahwa legalitas ini memang perlu tapi dengan cara bertahap dulu.
10 Chamzawi, Wawancara, Malang, 15 Mei 2013 11 Isroqun Najah, Wawancara, Malang, 14 Juni 2013
88
Kemudian Bapak Munasik juga menanggapi persoalan ini, beliau
mengatakan:
Bagi kami para hakim tentu melihat dari segi aturan yang dipedomani oleh kami, dalam hal ini persoalan waris memang harus dilegalitaskan mengingat bahwa pelaksanaan pembagian waris dari harta gono gini terbentur oleh adat atau kebiasaan setempat yang juga dipengaruhi oleh emosi berupa sikap negatif bagi mereka yang menuntut pembagian harta waris tersebut. Padahal itu telah diatur dalam aturan bahwa pengadilan agama menerima permohonan untuk menetapkan bagian waris yang diterima oleh ahli waris bahkan jika dari segi ekonomi jika pemohon tersebut memiliki harta yang sedikit dapat mengajukan permohonan biaya perkara secara Cuma-Cuma.12
Pendapat di atas juga tidak berbeda dengan pendapat Bapak Faisal, beliau
mengatakan:
Legalitas disini bermakna adanya regulasi tentang pelaksanaan pembagian waris yang selama ini di masyarakat pelaksanaannya tidak berjalan dengan semestinya. Terjadinya fenomena dimana kurang teralisasinya pelaksanaan pembagian waris harta gono gini dimungkin masyarakat mengikuti tradisi ataupun kebiasaan lokal, saya kurang mengetahui dengan pasti apakah mereka telah memahami aturan yang telah ada. Seharusnya setelah terjadinya kematian maka sebaiknya harta itu dibagi kepada ahli waris, andaikata mereka tidak bisa membaginya maka mereka dapat melakukan permohonan kepada pengadilan sehingga apabila nantinya amar putusan yang dikeluarkan tidak dijalankan, maka pengadilan dapat melakukan eksekusi putusan yang telah dikeluarkan dengan demikian legalitas ini memang perlu agar pelaksanaan pembagian waris harta gono gini dapat berjalan sebagaimana mestinya.13
Dari kesemua informan menjawab persoalan ini dengan maksud yang sama,
artinya mereka sepakat untuk melegalitaskan aturan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pembagian waris gono gini ditengah masyarakat melihat kondisi
dan konflik yang terjadi. Hal ini di dorong oleh keinginan untuk melaksanakan
12 Munasik, Wawancara, Malang, 12 Sepetember 2013 13 M. Fasial Hasanuddin, Wawancara, Malang, 12 Sepetember 2013
89
perintah Allah yang telah ditetapkan dalam al-Quran dan juga untuk memenuhi
keadilan diantara manusia itu sendiri.
2. Pandangan Pakar Hukum dan Ulama Kota Malang Terhadap Surat
Keterangan Pembagian Waris Sebagai Syarat Perkawinan Bagi Duda/Janda
Cerai Mati.
Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh peneliti pada bab 1 tentang
persoalan yang dibahas dimana penundaan pembagian harta waris ini masih bisa
dipertahankan jika harta ini tidak dicampuri dengah hak orang lain, salah satu
fakor yang menyebabkan terjadinya percampuran itu adalah adanya perkawinan
yang dilakukan oleh duda atau janda dengan pasangan barunya. Persoalan yang
menarik adalah ketika mereka melakukan perkawinan di Balai Nikah setempat
tanpa terlebih dahulu melakukan pembagian harta waris sehingga konflik yang
terjadi dimasyarakat berawal dari pernikahan tersebut yang menyebabkan
tercampurnya harta waris sehingga tidak diketahui berapa besar bagian setiap ahli
waris yang akan terima. Selain itu harta tersebut mengalami penambahan atau
pengurangan, ada lagi yang menjadi persoalan adalah timbulnya ahli waris baru
dari hasil perkawinan baru.
Selama ini perkawinan duda atau janda hanya mempersyaratkan surat
kematian dari kepala desa setempat tanpa ada kejelasan harta masing-masing
pihak yang hendak menikah, kalaupun dibuat suatu cara untuk menetapkan berapa
besar bagian harta suami ataupun duda, maka kebanyakan yang terjadi adalah
bahwa suami atau duda menganggap bahwa harta yang ada setelah suami atau istri
yang telah meninggal merupakan hartanya sehingga hal itu membuat suatu
90
keyakinan oleh pasangan yang akan dinikahi tersebut mengira bahwa harta itu
murni milik suaminya tanpa ada hak orang lain termasuk anak-anaknya dari
pasangan yang terdahulu. Oleh karena itu, apakah persyaratan yang berupa surat
kematian tersebut telah mencukupi atau perlu untuk merevisi PP. 9 Tahun 1975
pasal 6 huruf f tersebut dengan menambahkan surat keterangan pembagian waris
gono gini terhadap perkawinan duda atau janda cerai mati mengingat pentingnya
pelaksanaan pembagian waris.
Terhadap ini ada bebarapa argumen informan yang berbeda-beda. Menurut
pak Zainal Mahmudi bahwa persyaratan berupa surat keterangan pembagian waris
terhadap mereka duda atau janda yang akan menikah lagi belum saatnya
mengingat bahwa harta itu masih bisa dibagi. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan
beliau sebagai berikut14:
Memang ada hubungan antara perkawinan dan kewarisan, akan tetapi masih bisa dibagi. Dalam hal ini sebelum nikah hendaknya diperjelas harta seseorang yang hendak menikah. Saya yakin harta itu bisa dilacak. Sehingga belum saatnya diperlukan surat keterangan pembagian waris ini. Akan tetapi memang lebih baik jika melakukan hubungan perkawinan dengan adanya surat pembagian waris. Karena ini akan memamilisir terjadinya resiko atau menghilangkan konflik dikemudian hari.
Menurut saya ini hanya kondisional dalam hal ini belum mendesak. Karena ini berkaitan dengan budaya, apalagi budaya dari jawa. Karena kalau orang tua masih ada maka ini dianggap saru/jelak. Jadi sebaiknya para KUA untuk memberi tahu kepada yang akan menikah untuk membagi harta waris. jadi tidak sampai kepada syarat. Jika ini dijadikan sebagai syarat ini akan menjadi berat dan berbentrokan dengan budaya. Jadi harus disarankan saja kepada KUA agar mereka yang akan menikah untuk melakukan pembagian waris.
Selain itu, menanggapi persoalan tersebut Kyai Chamzawi berpendapat15:
Kalau persoalan perkawinan tidak perlu ditambahkan tentang pembagian waris gono gini sebagai syaratnya, saya pikir yang ada sekarang sudah
14 Zainal Mahmudi, Wawancara, Malang, 25 April 2013 15 Chamzawi, Wawancara, Malang, 15 Mei 2013
91
cukuplah. Akan tetapi sebelum perkawinan harusnya menunjukkan terlebih dahulu stasus hartanya. Tindakan seperti ini tentu memerlukan usaha yakni perlu menjelaskan kepada masyarakat, yang penting membumikan al-Quran. Karena persoalan waris ini sudah tertera dalam al-Quran, oleh karena itu sudah sepantasnya orang beriman untuk melaksanakannya, cuman apakah mereka mau melaksanakannya, tentu itu kembali kepada faktor manusia itu sendiri.
Melihat kedua pendapat diatas yakni pendapat pak Zainal Mahmudi dan kyai
Chamzawi dapatlah diambil kesimpulan bahwa surat keterangan pembagian waris
sebagai syarat perkawinan bagi duda atau janda cerai belum perlu sama sekali,
mengingat bahwa harta yang akan diperselisihkan itu masih bisa dilacak.
Kemudian apabila surat keterangan pembagian waris ini dijadikan sebagai syarat
bolehnya seseorang untuk melangsungkan perkawinan di depan pejabat resmi
negara akan menambah atau mempersulit seseorang untuk berumah tangga.
Selain itu mereka memberikan saran bahwa sebaiknya persoalan ini adalah
dengan cara bahwa ketika seseorang itu meninggal dan pewaris mempunyai harta,
maka hendaklah ahli waris segera membuat pencatatan harta waris dan bila perlu
untuk menotariskan harta ini agar benar-benar harta itu terjamin dan terpelihara
dari orang-orang yang bukan haknya serta menjelaskan status harta mereka
sebelum melaksanakan perkawinan.
Sebagaimana yang diutarakan oleh Kyai Chamzawi sebagai berikut16:
Hukum waris yang ada sekarang sudah cukup bagus, oleh karena itu hanya perlu disosialisasikan,. Sebab di Indonesia ini telah memberikan hukuman sosial, hukum Islam dan hukum yang telah dilegal formalkan bahkan ini sangat bagus, namun tetap akan mengarah kepada perbaikan tapi dengan cara bertahap. Selain itu perlu untuk membuat pencatatan kewarisan ini, karna itu merupakan kepastian hukum bagi ahli waris. bahkan dengan menotariskannya akan lebih bagus lagi demi menghindari persoalan dibelakang hari dan ini perlu dijelaskan kepada masyarakat, dan yang penting adalah membumikan
16 Chamzawi, Wawancara, Malang, 15 Mei 2013
92
al-Quran sedangkan pembagian waris merupakan bagian dari hukum yang terdapat dalam al-Quran. Biasanya orang agama itu takut akan siksaan neraka sebab mereka akan ditanya tentang hartanya, sehingga mereka mau melaksanakannya.
Namun berbeda dengan pak Zainal Mahmudi, dimana beliau merasa bahwa
dalam pembagian waris tidak terlalu penting untuk menotariskan pembagian harta
waris, karena yang diinginkan oleh pengadilan itu adalah saksi dan saksi berupa
manusia sudah cukup. Sebagaimana yang ia utarakan sebagai berikut17:
Yang dibutuhkan oleh pengadilan itu adalah bahwa pelaksanaan pembagian waris ini telah terjadi, dan dan untuk membuktikannya dibutuhkan saksi dan saksi berupa orang yang hadir saat pembagian itu sudah cukup. Sehingga notaris tidak terlalu penting.
Namun informan yang lain berbeda pendapat dengan 2 informan yang ada di
atas, mereka memiliki alur pikiran yang berbeda. Menurut pak Kasuwi Saiban,
bahwa adanya surat keterangan pembagian waris terhadap berlangsungnya
perkawinan duda atau janda cerai mati akan mencegah terjadinya pelanggaran
terhadap pelaksanaan pembagian waris serta menjaga atau memelihara harta waris
dari tercampurnya harta dari hak orang lain. Dan ini juga sebagai langkah
pencegahan andaikata terdapat pasangan yang akan menikah belum melakukan
kewajibannya dalam hal pelaksanaan pembagian waris. Selain itu bahwa PP. No.
9 Tahun 1975 tentang syarat perkawinan itu sudah lama dan memang harus segera
direvisi karena banyak aturan yang didalamnya tidak lagi dapat mencerminkan
perubahan masyarakat yang sangat cepat.
Pendapat beliau di atas dapat dilihat dari pernyataan beliau sebagai berikut18:
17 Zainal Mahmudi, Wawancara, 25 April 2013 18 Kasuwi Saiban, Wawancara, 29 April 2013
93
Menurut saya memang harus ditambah, sehingga dengan adanya ini maka seseorang akan dipaksa untuk melakukan pembagian waris bila hendak melakukan perkawinan yang baru, karena memang kewarisan di Indonesia ini sangat dipengaruhi oleh adat dan budaya sehingga pelaksanaannya akan berbenturan dengan nash. Oleh karena itu, dengan adanya surat keterangan ini tentu akan memberikan kekuatan yang memaksa seseorang untuk melakukannya. Selain itu, untuk mengharapkan aturan kewarisan yang dapat dilegalisasikan akan memerlukan waktu yang sangat lama, nah, dengan ditambahnya surat keterangan pembagian waris ini sebagai syarat duda atau janda yang hendak menikah kembali merupakan langkah yang tepat dan ini merupakan tahapan menuju dilegalitasnya pelaksanaan pembagian waris.
Hal senada juga diutarakan oleh kyai Abdullah Hasyim, beliau berpendapat
bahwa perlunya surat keterangan pembagian waris ini sebagai syarat untuk
melangsungkan pernikahan bagi duda atau janda cerai mati, sebab dengan adanya
ini akan memberikan kejelasan harta. Dia berpendapat bahwa seharusnya sebelum
melaksanakan pernikahan pejabat pemerintah atau calon yang akan menikah harus
meminta untuk memberikan kejelasan harta mereka masing-masing, akan tetapi
adat dan kebiasaan yang terjadi menyebabkan kejujuran seseorang itu perlu
dipertanyakan. Permasalahan tidak hanya sampai pada apa itu urusan hamba
kepada tuhan tapi melainkan juga mempertimbangkan akibat yang
ditimbulkannya yakni hak ahli waris yang ditinggalkan. hal dapat dilihat dari
ungkapan beliau terhadap persoalan ini, beliau mengatakan19:
Terhadap persyaratan ini saya setuju, dengan adanya kejelasan harta. Hal ini disebabkan pembuktian yang memang sangat sulit melihat kepada adat dan kebiasaan yang terjadi, padahal seharusnya jika seorang meninggal dunia maka harta waris langsung dibagi. Karena melihat yang seharusnya dilakukan tetapi disebabkan kebiasaan yang bertentangan dengan nash sehingga perlu untuk meminta surat pembagian waris agar pelaksanaan waris betul-betul telah dilaksanakan. Sedangkan kehidupan dan perkembangan masyarakat selalu berubah. Maka perlu diadakan suatu aturan yang mengikat bahkan sudah memasukkan ke tingkat perkara pidana. Seharusnya seseorang yang
19 Abdullah Hasyim, Wawancara, 9 Juni 2013
94
hendak menikah terlebih dahulu menjelaskan status hartanya, tapi faktor manusia menyebabkan persoalan menjadi rumit, harta yang seharusnya dibagi malah dikuasai dan menyebabkan konflik dikemudian hari dengan keluarga dari orang tua tiri mereka. Oleh karena itu saya pikir bahwa surat keterangan ini memang harus dijadikan sebagai syarat perkawinan. Begitu juga menurut gus is, beliau berpendapat bahwa surat keterangan pada
perkawinan duda atau janda cerai mati ini sangat diperlukan mengingat akan ada
hak ahli waris yang belum dibagikan. Sebagaimana beliau mengatakan20:
Terhadap perkawinan apabila diminta surat keterangan ketika hendak poligami itu memang diperlukan dan ini sudah tertera di putusan pengadilan dimana. Bahkan lebih jauh lagi, waris merupakan sebuah materi yang perlu disampaikan bagi mereka yang hendak menikah, sebab adanya unsur emosi akan merusak perkawinan sehingga dengan adanya aturan maka yang memaksa adalah aturan bukan lagi harus dibagi disebabkan oleh tuntutan ahli waris hal ini dilakukan utk menjadi hubungan kekeluargaan. Apalagi perkawinan tersebut dilakukan oleh janda atau duda cerai mati tentu lebih membutuhkan surat keterangan pembagian ini yang tidak cukup hanya melampirkan surat kematian saja, sebab ada hak ahli waris yang harus dibuatkan. Kalau untuk poligami saja mempersyaratkan surat keterangan harta gono gini apalagi perkawinan duda atau janda cerai mati tentu lebih diutamakan.
Selain itu adanya surat ini sebagai langkah pencegahan jika ada diantara calon
yang akan menikah itu belum melaksanakan pembagian waris. Sebagimana
pendapat yang diutarakan oleh Bapak munasik, beliau mengatakan:
Persoalan bahwa dijadikan surat keterangan ini sebagai syarat perkawinan bagi duda/janda disebabkan bahwa ketika seseorang itu meninggal tidak langsung dilakukan pembagian harta waris tersebut, sehingga menyebabkan kerancuan dalam menetapkan bagian-bagian yang akan diterima oleh ahli waris. Hal ini disebabkan budaya yang mempengaruhi masyarakat sehingga masyarakatpun tidak dapat merealisasikan aturan yang terdapat dalam al-Quran tentang pelaksanaan waris. Dengan begitu sebagai antisipasi agar permasalahan tersebut tidak semakin rumit, menurut saya boleh-boleh saja hal itu dilakukan dengan melihat kemaslahatannya.21
20 Israqun Najah, Wawancara, 14 Juni 2013 21 Munasik, Wawancara, Malang, 12 September 2013
95
Bapak faisal hasanuddin juga mengutarakan pendapatnya sebagai berikut:
Persoalan ini memang menjadi rumit jika pelaksanaannya ditunda-tunda sejak awal yang mengakibatkan dampak yang tidak diinginkan. Adanya surat ini dijadikan sebagai syarat perkawinan bagi duda/ janda adalah sebagai antisipasi jika calon yang akan menikah itu belum melaksanakan pembagian warisnya. Maka menurut saya, ini dibolehkan. Mengingat bahwa masyarakat itu sendiri yang memang tidak melakukan tindakan berupa pembagian waris dari harta gono gini.
B. Analisis Data
1. Pandangan Pakar Hukum dan Ulama Kota Malang Terhadap Asas Legalitas
Pada Pembagian Harta Gono Gini.
Hakikatnya, hukum kewarisan Islam diikuti dan dijalankan oleh umat Islam
seluruh dunia terlepas dari perbedaan bangsa, negara maupun latar belakang
budayanya. Namun realitanya, pelaksanaannya agak mengalami kendala
disebabkan kondisi budaya tertentu. Hal ini disebabkan, bahwa sebelum Islam
masuk, mereka biasanya telah memakai dan melaksanakan aturan tertentu
berkenaan dengan pembagian warisan berdasarkan adat istiadat yang menjadi
hukum tak tertulis diantara mereka. Hukum tak tertulis ini dirancang oleh nenek
moyang mereka berdasarkan apa yang baik dan adil menurut mereka dan disampai
kepada generasi berikutnya secara lisan dari mulut ke mulut.
Aturan –aturan yang ditetapkan allah atau yang disebut juga dengan hukum
syara’ termasuk kewarisan diturunkan allah sebagai rahmat bagi umat manusia.
Rahmat dalam bahasa hukum disebut juga dengan kemaslahatan umat baik dalam
bentuk memberikan kemanfaatan atas manusia atau menghindari manusia dari
96
kemudharatan.22 Hal ini sering disebutkan Allah dalam al-Quran dimana dalam
pelaksanaannya umat dituntut untuk melaksanakan berbagai aturan tersebut
semampunya sebagaimana Allah terangkan dalam banyak ayat bahwa kemudahan
bukan kesulitan yang dianugerahkan-Nya bagi umat Islam.
Dalam asas kewarisan sebenarnya telah memberikan aturan yang jelas bahwa
pelaksanaan pembagian waris harus dilaksanakan, salah satu asas yang
memerintahkan hal itu adalah asas ijabari. Dalam asas ijbari bahwa peralihan
harta dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup berlaku
dengan sendirinya tanpa usaha dari yang akan meninggal atau kehendak yang
akan menerima. Dengan demikian peralihan harta seseorang yang telah meninggal
kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak allah tanpa
tergantung kepada kehendak dari pewaris atau permintaan dari ahli warisnya.23
Asas ijbari ini dapat dilihat dari firman Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 7:
ÉΑ% y Ìh�=Ïj9 Ò=ŠÅÁ tΡ $£ϑÏiΒ x8t� s? Èβ#t$Î!≡ uθ ø9 $# tβθ ç/t�ø%F{ $#uρ Ï !$ |¡ ÏiΨ=Ï9 uρ Ò=ŠÅÁ tΡ $ £ϑÏiΒ x8t� s? Èβ#t$Î!≡ uθ ø9 $#
šχθç/t� ø%F{ $#uρ $£ϑÏΒ ¨≅ s% çµ÷ΖÏΒ ÷ρr& u�èYx. 4 $Y7ŠÅÁ tΡ $ZÊρã� ø�Β ∩∠∪
Ayat ini menjelaskan bahwa bagi seseorang laki-laki maupun perempuan ada
“nasib” dari harta peninggalan orang tua dan karib kerabat. Kata “nasib” berarti
bagian, saham atau jatah dalam bentuk sesuatu yang diterima dari pihak lain.
Aturan yang ditetapkan Allah pada umumnya mudah dipahami dan dijalankan
umat Islam yang berlatar belakang budaya dan bangsa yang berbeda. Maka dalam
22 Amin Farih, Kemaslahatan & Pembaharuan Hukum Islam, (Semarang: Walisongo Press, 2008), Hlm.
23 23 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Hlm. 17-18
97
penerapan, penyesuaian dari aturan kewarisan menuntut adat lama kepada
ketentuan baru yang disebut faraid itu semestinya tidak mengalami kesulitan.
Namun, kenyataannya tetap mengalami kesulitan dalam melaksanakannya. Salah
satu bentuk kesulitan itu adalah pelaksanaan pembagian waris yang memang
seharusnya dibagi, tapi disebabkan pribadi manusia itu sendiri dan kebiasaan yang
ada di daerah tertentu yang memaksakan pelaksanaan tersebut ditunda atau malah
tidak ada pembagian sama sekali.
Di Indonesia, adat sangat kuat mempengaruhi ketentuan kewarisan bahkan
berdampak pada terhambatnya pelaksanaan kewarisan Islam. Oleh karena itu
perlu adanya kontrol sosial (sosial control). Salah satu alat kontrol sosial itu
adalah hukum. Kinerja hukum meliputi pembuatan norma-norma untuk mengatur
perbuatan dan interaksi sosial, penyelesaian sengketa-sengketa dan menjamin
kelangsungan hidup masyarakat ketika terjadi perubahan-perubahan. Maka
berdasarkan hal ini, hukum dapat dikatakan berfungsi sebagai alat kontrol sosial.
Soerjono Soekanto mengutip Roucek, menulis bahwa yang dimaksud dengan
kontrol sosial adalah segala sesuatu yang dilakukan untuk sebuah proses yang
direncanakan maupun yang tidak direncanakan untuk mendidik, mengajak bahkan
memaksa para warga masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kebiasaan-
kebiasaan dan nilai kehidupan masyarakat yang bersangkutan.24 Fungsi ini
dilakukan oleh hukum dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang melibatkan
kekuasaan negara sebagai sebuah institusi yang diorganisir secara politis melalui
lembaga-lembaga yang dibentuknya.
24 Malthuf Siroj, Pembaharuan Hukum Islam, Hlm. 111
98
Saat ini aturan yang mengatur tentang kewarisan umat Islam di Indonesia
hanya dalam bentuk Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kompilasi Hukum Islam
yang mengatur tentang kewarisan ini terdiri dari 23 pasal dari pasal 171 sampai
dengan pasal 193. Akan tetapi sesungguhnya walaupun sudah diatur dalam KHI,
masih tetap saja terjadi penyelewengan dalam bentuk tidak terlaksananya
pelaksanaan pembagian waris ini. Hal ini disebabkan adanya faktor manusia itu
sendiri, ada juga faktor adat dan faktor aturan positif yang masih begitu lemah dan
tidak jelas.
Dari segi faktor manusia, menurut Kyai Abdullah Hasim dan Kyai Chamzawi
dapat dilihat bahwa adanya ketidaktahuan tentang adanya hukum ini dan
adakalanya dalam bentuk keengganan dalam melaksanakan pembagian waris.
namun menurut mereka bahwa faktor keengganan lebih dominan daripada
ketidaktahuan tentang adanya aturan pembagian waris di Indonesia terutama
dalam hukum Islam
Dari segi faktor adat, menurut pak Kasuwi Saiban dan Zainal Mahmudi serta
pak Saad Ibarahim, bahwa adat lebih mendominasi ketidaklaksanaan pembagian
warisan ini, hal ini bisa dilihat ketika harta itu dijadikan konflik kemudian hari
oleh mereka para ahli waris. bahkan ketidaktepatan pelaksanaan pembagian waris
ini disebabkan adanya image atau stigma bahwa ketidaksopanan dimata
masyarakat bila harta dibagi ketika salah seorang dari orang tua mereka masih
hidup.
99
Sedangkan dari segi faktor aturan sendiri, dimana pelaksanaan pembagian
waris hanya berupa aturan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam yakni
pada pasal 187 ayat 1 yang berbunyi:25
“Bilamana pewaris mengninggalkan harta peninggalan, maka oleh pewaris
selama hidupnya atau oleh para ahli waris dapat ditunjukkan beberapa orang
sebagai pelaksana pembagian harta waris dengan tugas.
a. Mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baik berupa benda
bergerak maupun tidak bergerak yang kemudian disahkan oleh para ahli
waris yang bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan mata uang.”
Bila diamati dengan seksama, pada pasal di atas tersebut terdapat kata dapat,
hal ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan pembagian waris hanya bersifat
anjuran atau permintaan, dalam arti tidak adanya unsur paksaan bahwa harta itu
dicatat atau ditentukan bagian para ahli waris.
Melihat dari segi faktor yang menyebabkan tidak terlaksananya pembagian
waris ini tentu menimbukan suatu sikap kedzoliman terhadap para ahli waris dan
sebagai pencegahan untuk menghindari terjadinya konflik dikemudian hari, maka
ini akan menimbulkan kemaslahatan umat, oleh karena itu dibutuhkan suatu solusi
yang dapat memperbaiki permasalahan ini mengingat bahwa persoalan harta
termasuk kemaslahatan dalam kategori dharuriyah.
Dari prinsip kemaslahatan, Al-Syathibi melihat kemaslahatan sebagai
maqashid al-Syari’ah dari dua perspektif, yaitu maqashid al-Syari’ (tujuan tuhan)
25 Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam, Hlm 317
100
dan maqashid al-Mukallaf (tujuan mukallaf). Maqashid al-Syari’ah dalam
perpektif ini mengandung empat aspek yaitu26:
a) Tujuan awal dari syariat adalah mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia
dan akhirat. Aspek ini berkaitan dengan substansi dan essensi maqashid al-
Syari’ah.
b) Syari’ah sebagai sesuatu yang harus dipahami. Ini berkaitan dengan dimensi
bahasa agar syariat dapat dipahami sehingga dicapai kemaslahatan yang
terkandung didalamnya.
c) Syariat sebagai hukum taklif. Ini berkaitan dengan tujuan pemberian beban
hukum bagi manusia dalam rangka mewujudkan kemaslahatan.
d) Tujuan syariat untuk dilaksanakan. Aspek terakhir ini berkaitan dengan
kepatuhan manusia terhadap hukum allah.
Empat aspek ini merupakan susbtansi dan esensi maqashid al-Syariah yakni
mewujudkan kemaslahatan manusia. Al-Syathibi membagi maqashid ini kedalam
tiga tingkatan yakni maqashid al-Dlaruriyyat, maqashid al-Hajjiyyat dan
maqashid al-Tahsiniiyyat. Maka maqashid al-Dharuriyyat dimaksudkan untuk
menjaga eksistensi kehidupan manusia baik kehidupan jangka pendek di dunia
maupun jangka panjang di akhirat. Kemaslahatan kategori ini meliputi
pemeliharaan lima unsur pokok yaitu agama, jiwa, keturunan, akal dan harta.27
Dengan begitu, harta warisan termasuk kategori maqashid al-Dharuriyyat, maka
untuk mewujudkan kemaslahatan terkait harta, maka Islam mensyariatkan segala
bentuk transaksi. Selain itu, Islam melarang perusakan harta orang lain dan 26
Kutbuddin Aibak, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), Hlm. 59
27 Malthuf Siroj, Pembaharuan Hukum Islam, Hlm. 49
101
menghukum pelakunya, serta mencegah orang lain berbuat pelanggaran melalui
tindakan hukum atas harta kekayaannya.
Bila ditinjau dari saad dzari’ah, maka perbuatan yang tadinya diperbolehkan
untuk menunda pelaksanaan disebabkan prilaku ahli waris yang patuh dan baik
sehingga tidak diperlukannya legalitas yang mengatur secara rinci, akan tetapi
seiringan dengan perkembangan zaman dan banyaknya tuntutan ekonomi
menyebabkan perbuatan penundaan tersebut memberikan dampak yang negatif
atau kemudaratan bagi para ahli waris, maka untuk menghambat lebih besarnya
kemudaratan yang lebih besar maka melegalitaskan pembagian harta waris gono
gini ini menjadi suatu yang wajib sebagai langkah preventif terhadap
penyimpangan yang akan terjadi.
Untuk itu perlu memberikan suatu aturan yang lebih kuat dari yang ada
sekarang dimana aturan ini berisikan sesuatu yang dapat memaksa orang untuk
melaksanakannya. Dalam hal ini menegakkan prinsip asas legalitas merupakan
solusi yang terbaik dan harus diterapkan melihat fenomena yang terjadi dan
kemaslahatan yang ditimbulkannya. Hal ini disebabkan harta merupakan sesuatu
yang esensial bagi kehidupan manusia begitu juga harta warisan yang menjadi
esensial dari kehidupan para ahli waris, sedangkan aturan yang ada sekarang tidak
memberikan kontribusi yang cukup terhadap perlindungan hak dari para ahli
waris. Maka adanya asas legalitas ini akan memberikan daya dorong seseorang
untuk melakukannya sebab hukum merupakan kontrak sosial dimana masyarakat
yang ada harus taat pada ketentuan yang telah diterapkan oleh institusi hukum dan
mereka terikat padanya.
102
Dalam hal ini, bentuk legalitas yang ditawarkan dari informan ada dua:
Pertama, berupa surat otentik yang dibuat atau dihadapan pejabat notaris. Hal ini
akan memberikan kekuatan hukum pada pembagian waris dari harta gono gini
yang dapat dipertanggung jawabkan dikemudian hari. Kedua, permohonan kepada
Pengadilan Agama agar menetapkan ahli waris dari harta waris yang akan
diberikan. Bahkan jika pemohon tersebut hanya memiliki harta yang seadanya
atau kategori orang kurang mampu dapat melakukan permohonan agar biaya
perkara dilakukan secara cuma-cuma. Sehingga dengan demikian tidak ada lagi
alasan dari segi materi untuk tidak melaksanakan pembagian harta waris gono gini
bagi umat Islam. Namun yang menjadi persoalan lain adalah bagaimana agar
masyarakat itu mau malaksanakannya. Maka perlu untuk mengadakan aturan
tambahan yang bersifat memaksa kepada masyarakat agar melaksanakan
kewajibannya sebagai warga negara dan umat Islam yang tentunya aturan ini
disesuaikan dengan kearifan lokal yang ada.
Asas legalitas adalah suatu perbuatan atau sikap tidak boleh dipandang sebagai
perbuatan yang salah kecuali karena adanya nash (ketentuan) yang jelas dan yang
melarang perbuatan dan sikap. Apabila tidak ada nash yang demikian sifatnya,
maka tidak ada tuntutan ataupun hukuman atas pelakunya.28 Adanya aturan yang
bersifat memaksa sebagai sarana agar aturan tersebut dapat berjalan sebagaimana
mestinya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Remelink, bahwa adanya sanksi,
pada asasnya hanya akan dijatuhkan apabila mekanisme penegakan hukum
lainnya yang lebih ringan telah tidak berdaya guna atau sudah dipandang tidak
28 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam,{ Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Hlm. 53
103
cocok.29 Begitupula sebaliknya bahwa hukum pidana tidak diperlukan jika
masyarakat telah mematuhi hukum perdata. Perlu adanya sanksi terhadap hukum
perdata tersebut karena hukum pidana tidak mengandung kaidah tersendiri,
misalnya kaidah yang mengatakan: Jangan engkau mencuri atau mengambil
barang orang lain, padahal itu merupakan kaidah hukum perdata yaitu
perlindungan terhadap hak milik. Pelanggaran atas perbuatan tersebut dianggap
sedemikian jahatnya dan pelanggaran atas norma tersebut dianggap kejahatan.
Dalam hal ini penyimpangan terhadap pelaksanaan kewarisan tidak ditentukan
jarimahnya dalam al-Quran, hanya ancaman yang bersifat ukhrowi padahal
perkara ini menyangkut persoalan harta dimana seharusnya ini bukan hanya
perkara yang bersifat ukhrowi namun juga duniawi karena ini menyangkut pada
perintah Allah swt dan eksistensi terhadap kehidupan manusia. Menurut aturan
pokok dalam syara’ Islam ialah bahwa hukum ta’zir hanya dikenakan terhadap
perbuatan maksiat, yaitu perbuatan yang dilarang karena perbuatan itu sendiri.
Akan tetapi sebagai penyimpangan dari aturan pokok tersebut syariat Islam
membolehkan menjatuhkan hukuman atas perbutan tersebut apabila dikehendaki
oleh kepentingan umum. Untuk memenuhinya bahwa ia telah melakukan
perbuatan yang mengganggu kepentingan dan ketertiban umum haruslah dapat
dibuktikan dan telah diundang-undangkan sehingga hakim tidak boleh
membebaskan si pembuatnya melainkan menjatuhkan hukuman.
Akan tetapi dalam hukum normatif, dimana ketentuan pembagian waris di
Indonesia merupakan perkara perdata yang tidak mungkin dapat dimasukkan ke
29 Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2011), Hlm. 2
104
dalam perkara pidana. Oleh karena itu aturan yang ada mengatur agar setiap ahli
waris yang merasa dirugikan dapat meminta pengadilan untuk menetapkan
pembagian ahli waris bahkan dapat meminta untuk melakukan eksekusi terhadap
harta waris tersebut.
Proses kriminalisasi terhadap pelanggaran berupa tidak dilaksanakannya
pembagian waris ini tentu akan menimbulkan suatu keharusan bagi masyarakat
yakni pembuktian. Dalam hal ini, membutuhkan surat otentik atau surat
keterangan sebagai bentuk bahwa mereka telah membagi harta warisan tersebut
sehingga masyarakat mesti melaksanakannya karena negara telah mengikat
mereka dengan undang-undang demi kemaslahatan umum, demi keadilan bagi
para ahli waris dan demi kepastian hukum serta kemanfaatannya sebagai bentuk
perlindungan terhadap kebutuhan manusia tersebut dan menghindari kerusakan
terhadap manusia itu sendiri.
Proses pembuktian ini, menurut pak Saad Ibrahim dapat dilihat dalam bentuk
adanya surat keterangan ataupun surat otentik dari pihak yang berwenang dan ini
dapat diambil dari penqiyasan terhadap surat al-Baqarah ayat 282:
$ yγ •ƒ r'≈ tƒ š Ï%©!$# (# þθãΖtΒ#u #sŒ Î) ΛäΖtƒ#y‰s? A øy‰Î/ #’n<Î) 9≅ y_ r& ‘wΚ |¡•Β çνθ ç7 çFò2$$ sù 4 =çGõ3u‹ ø9 uρ
öΝä3uΖ÷�−/ 7=Ï?$ Ÿ2 ÉΑô‰yè ø9 $$ Î/ 4
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah secara tidak tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu mencatatnya, dan hendaklah seorang pencatat diantara kamu mencatatakannya dengan benar.30
30
Departeman Agama Ri, Al-Quran Dan Terjemahannya, Hlm. 59
105
Dengan pencatatan ini akan mewujudkan kemaslahatan bagi pihak-pihak
terkait agar tidak terjadi suatu yang dapat merugikan masing-masing pihak.
Adanya upaya melegalitaskan aturan yang berkaitan dengan pelaksanaan
pembagian waris, maka kesemua informan dari penelitian ini menyetujui dan
mendukung adanya upaya untuk melegalitaskan pelaksanaan pembagian harta
waris gono gini dan tentunya pelegalitasan ini menuntut adanya pencatatan resmi
dalam pembagian waris dalam bentuk surat keterangan yang dibuat oleh para
pejabat pemerintah atau yang bersifat otentik atau yang lebih jauh lagi telah
dinotariskan sehingga mempunyai kekuatan hukum dan dapat dipergunakan
sewaktu-waktu sebagai bukti jika itu diperlukan dikemudian hari. Sementara itu,
terhadap bentuk aturan yang hendak diinginkan adalah adanya penggabungan
antara hukum Islam dan adat dimana adat dapat dipakai selama tidak bertentangan
dengan hukum Islam dan pelaksanaannya harus disegerakan untuk
meminimalkan kemungkinan-kemungkinan yang ditimbulkannya dibelakang hari.
Terkait persoalan surat keterangan ini yang hanya perlu dimateraikan atau
diketahui oleh kepala desa atau lurah, nampaknya terlalu sederhana bahkan juga
menimbulkan suatu persoalan lagi. Dalam hal ini adalah apakah harta yang tertera
didalam surat keterangan itu benar-benar harta yang diwariskan, dalam arti bahwa
bisa saja terjadi penipuan yang dilakukan oleh pihak tertentu tentang apa saja dan
berapa jumlah harta yang diwariskan. Penipuan ini bisa saja terjadi mengingat
bahwa pejabat negara atau kepala desa/lurah biasanya hanya mengajukan
pertanyaan terhadap ahli waris dalam hal ini duda atau janda yang merupakan
orang tua ahli waris yang masih hidup, sehingga dengan demikian tidaklah cukup
106
hanya berupa surat keterangan pembagian waris yang diketahui oleh kepala desa
atau lurah tapi perlu mengotentikkan surat tersebut ke pejabat akta notaris agar
surat tersebut mempunyai kekuatan hukum yang kuat, sebab akta notaris yang
dibuat sama kekuatannya dengan keputusan hakim di pengadilan.31 Atau para
pemohon dapat melakukan penetapan ahli waris kepada Pengandilan Agama, bagi
yang tidak memiliki ekonomi yang memadai dengan mengajukan proses perkara
dengan biaya cuma-cuma dengan menunjukkan surat ketidak mampuannya
Pencatatan dalam bentuk surat keterangan pembagian waris ini adalah untuk
memelihara hak-hak dan kewajiban para pihak dalam perkawinan, yakni hak-hak
suami/isteri dan anak-anak atau keturunan, serta pemeliharaan harta warisan
berupa harta gono gini. Pencatatan ini juga sebagai usaha mengantisipasi semakin
menipisnya iman seorang muslim. Sebab menurut Shaltut, salah satu akibat
menipisnya iman orang muslim adalah semakin banyak terjadi pengingkaran-
pengingkaran janji yang mengakibatkan dalih untuk lari dari kewajiban. Karena
ukuran iman itu adalah sesuatu yang tersembunyi (abstrak) sebagai salah satu
jalan keluarnya sebagai usaha prefentif agar orang tidak lari dari tanggung jawab,
dan juga dengan membuat bukti tertulis.
2. Pandangan Pakar Hukum dan Ulama Kota Malang Terhadap Surat
Keterangan Pembagian Waris Gono Gini Sebagai Syarat Perkawinan Bagi
Duda/Janda Cerai Mati.
Pembaharuan hukum dalam Islam merupakan sesuatu yang memang harus
dilakukan, mengingat perbedaan waktu dan kondisi antar daerah yang berbeda-
31 Syarifuddin Arief, Seminar: Dialog Dan Diskusi Notariat Syariah, Uin Maulana Malik Ibrahim
Malang, Tgl 5 Juli 2013
107
beda. Perbedaan tersebut menjadi sunnahtullah dan rahmat bagi manusia.
Termasuk perbedaan pendapat. Hal ini disebabkan kondisi dan waktu merubah
pola pikir manusia itu yang didasari pada latarbelakang pendidikan dan kondisi
sosialnya, sehingga dalam menganalisa terhadap bidang hukum serta memberikan
produk hukum pun akan berbeda pula bahkan dalam memberikan argumen
ataupun alasan-alasan hukum .
Bila diperhatikan dengan seksama, akan ditemukakan jawaban sementara atas
begitu sulitnya beberapa umat dalam lingkungan budaya tertentu untuk
menyesuaikan diri dan menerima faraid sebagai hukum warisan yang mengurus
penyeselaian warisan dan mengapa hukum tersebut sulit dibaca dan dipahami oleh
mayoritas umat. Diantara kesulitan dalam penerapan itu faktor yang
mempengaruhi perbuatan seseorang oleh lingkungan budaya. meskipun dasar
hukum kewarisan Islam adalah firman Allah dan Hadits Nabi, namun interpretasi
dalam kitab-kitab fiqh dilaksanakan oleh mujtahid dengan daya nalar yang tidak
bebas dari pengaruh budaya lokal dan lingkungan dimana ayat tersebut
diturunkan. Oleh karena itu, umat yang hidup dalam lingkuang budaya non arab
dan dalam kurung waktu yang berbeda mengalami kesulitan dalam
menjalankannya. Termasuk dalam kategori mempersoalkan terhadap pasal No. 9
Tahun 1975 pada pasal f yang menerangkan bahwa “seseorang yang telah
berstatus duda atau janda cerai mati dapat melakukan perkawinan dengan hanya
menunjukkan surat kematian dari pasangannya yang berlaku”. Syarat ini
merupakan syarat administrasi dan menjadi pegangan semua kepala Kantor
Urusan Agama apabila seseorang itu hendak menikah.
108
Persoalannya adalah terhadap eksistensi harta yang ditinggalkan oleh
pasangannya yang terdahulu bagi para ahli waris mengingat fenomena yang telah
terjadi banyaknya konflik yang terjadi disebabkan pembagian waris yang belum
terjadi, terutama terhadap harta gono gini. Selain itu, dari kejadian yang terjadi
bahwa tidak diketahuinya berapa jumlah harta yang diterima oleh waris ketika
harta itupun habis dipakai atau harta itu tercampur dengan harta dari perkawinan
dari orang tua mereka yang berstatus duda atau janda cerai mati dengan orang
lain. Hal ini semakin sulit ketika orang tua mereka yang masih hidup meninggal
dunia sementara jumlah harta waris selama hidup berumah tangga dari orang tua
mereka terdahulu/telah meninggal belum diketahuni.
Dalam menanggapi persoalan ini, informan yang diteliti memiliki perbedaan
pendapat. Tipologi perbedaan dibedakan kepada dua yakni mereka yang menolak
dan mereka yang menerima adanya surat keterangan pembagian waris dijadikan
sebagai syarat perkawinan terhadap duda atau janda cerai mati.
1. Terhadap informan yang menolak ataupun masih ragu-ragu, maka peneliti
menganggap bahwa pemikiran mereka beralurkan konservatif. Dimana mereka
masih menginginkan atau mempertahankan aturan yang ada saat ini yakni
cukup menyediakan surat keterangan kematian pasangan mereka yang
terdahulu yang dapat dibuktikan dari lurah atau kepala desa setempat. Mereka
adalah bapak Zainal Mahmudi dan kyai Chamzawi.
Mereka berpendapat bahwa persoalan perkawinan tidak dapat dicampuri
oleh persoalan yang lain seperti halnya dengan kewarisan, sebab dengan
menjadikan syarat pembagian waris ini sebagai syarat perkawinan bagi duda
109
atau janda cerai mati akan menimbulkan atau menambah kesulitan bahkan
dianggap memberikan kesukaran terhadap seseorang yang hendak menikah.
Padahal menikah merupakan salah satu anjuran bagi mereka yang dewasa agar
dapat menundukkan keinginan mereka.
Selain itu, harta tersebut pasti akan dapat ditemukan dan ditentukan
besarannya walaupun itu telah berpuluh tahun sehingga dengan demikian tidak
perlukan surat keterangan untuk pembagian waris terhadap syarat perkawinan
duda atau janda cerai mati. Seharusnya pembagian waris ini telah dibagi pada
waktu pewaris telah meninggal dunia, dan persoalan apakah pembagian itu
dieksekuis, itu semua dapat dibicarakan berdasarkan kesepakatan semua ahli
waris yang penting mereka dapat mengetahui bagian masing-masing yang akan
diterima oleh setiap ahli waris.
Mereka menambahkan, bahwa persoalan tidak dijadikan surat keterangan ini
sebagai syarat disebabkan bahwa ada cara lain yang lebih baik untuk
digunakan yakni dengan memberikan sebuah perjanjian perkawinan sebelum
mereka menikah sehingga nanti akan memudahkan bagi mereka membagi harta
peninggalan tersebut. Bahkan bila perlu perjanjian perkawinan ini nantinya
akan dinotariskan sehingga ketetapan bagian harta ahli waris tidak dapat lagi
digangu gugat oleh pihak lain dalam hal ini adalah istri dari ayah mereka
termasuk keturunan yang dihasilkan oleh mereka.
2. Kemudian terhadap informan yang menerima untuk menjadikan surat
keterangan pembagian waris sebagai syarat perkawinan bagi duda atau janda
cerai mati. Mereka adalah pak Kasuwi Saiban, kyai Abdullah Hasyim, Saad
110
Ibrahim dan Isroqun Najah. Dalam hal ini penulis menganggap sebagai
pemikiran modernis dimana mereka menghendaki adanya perubahan dalam
pasal 6 tahun 1975 tentang syarat perkawinan bagi umat Islam di Indonesia.
Alasan mereka adalah bahwa persoalan kewarisan mempunyai hubungan
terhadap persoalan yang lain seperti halnya perkawinan sebab adanya
kewarisan disebabkan adanya kaitan hukum salah satunya adalah adanya
hubungan perkawinan. Dalam perkawinan yang dilakukan oleh duda atau janda
cerai mati tentu akan membawa kepada persoalan ahli waris, sebab ada
kemungkinan bahwa harta yang mereka peroleh atau yang mereka miliki saat
akan melaksanakan perkawinan, ada hak dari ahli waris dari pasangan mereka
terdahulu.
Selain itu, adanya surat keterangan ini dijadikan sebagai syarat perkawinan
bagi duda atau janda cerai mati menyebabkan adanya kejelasan harta yang ada
pada duda atau janda dimana harta yang mereka miliki terdapat harta ahli waris
yang belum dibagi sehingga perlu adanya tindakan apakah harta itu akan dibagi
atau hanya sebagai pemberitahuan tertulis kepada pasangan yang hendak
menikah. Mengingat bahwa kepala KUA selama ini hanya memandang surat
kematian sudah cukup untuk menjadikan duda atau janda cerai mati yang
hendak melakukan perkawinan sehingga tidak ada nasehat ataupun himbauan
terhadap pasangan yang hendak menikah untuk terlebih dahulu membagi atau
memberitahukan kepada ahli waris dari harta gono gini yang didapat dari istri
terdahulu atau ibu dari ahli warisnya karena biasanya bahwa kepala KUA
111
hanya memperhatikan apa yang tertulis diaturan yang telah dibuat yakni PP.
No. 9 tahun 1975 pasal 6 huruf f.
Jika sewaktu pernikahan akan mengadakan perjanjian perkawinan maka itu
merupakan penjelasan mana harta pribadi calon suami dan istri, sehingga akan
memudahkan dikemudian hari terhadap berapa besar bagian harta suami atau
istri yang diperoleh selama perkawinan. Akan tetapi persoalannya tidak sampai
seperti itu, persoalannya adalah sewaktu hendak menikah calon suami atau istri
merasa bahwa harta yang ada pada suami juga merupakan harta milik istrinya
karena mereka menganggap bahwa perkawinan bukan hanya saling
menyatukan hati tapi juga menyatukan semua yang ada pada suami dan juga
pada istri. Artinya bahwa perjanjian perkawinan hanyalah sebuah permintaan
yang dilakukan oleh pasangan yang hendak menikah dalam arti jika tidak ada
permintaan maka otomatis harta mereka selama perkawinan adalah harta
bersama atau harta gono gini. Dengan demikian, perjanjian perkawinan tidak
diperlukan oleh mereka, padahal kebanyakan yang terjadi tidaklah demikian.
Oleh karena itu perlu melakukan pencegahan atau antisipasi terhadap hal
tersebut. Salah satunya adalah dengan menunjukkan bukti berupa pelaksanaan
pembagian waris oleh kepala KUA terhadap duda atau janda yang hendak
melakukan pernikahan. Selain itu sikap dari para ahli waris yang tidak berani
meminta haknya disebabkan pertimbangan moral yang telah dianut ataupun
merupakan streotip dari masyarakat yang menganggap bahwa hal itu bersifat
negatif sehingga memberikan rasa segan dan takut untuk melakukannya.
112
Dalam hal ini teori sa’ad dzariah dapat dijadikan sumber hukum
menetapkan surat keterangan pembagian harta waris sebagai upaya untuk
menjamin hak ahli waris yang ditinggal mati oleh orang tua meraka yang telah
meninggal. Ibn ar-Rif’ah dan Imam asy-Syaukani memberikan bentuk saad
dzariah yakni menutup sesuatu apabila sesuatu itu mengandung kemungkinan
membawa kepada yang haram. Perbuatan itu ditetapkan sebagai wasilah bagi
suatu perbuatan yang dilarang secara jelas maka hal itu menjadi petunjuk atau
dalil bahwa hukum wasilah itu adalah sebagaimana hukum yang ditetapkan
syara’ terhadap perbuatan pokok.32
Selain itu Ibnu Qayyim mengatakan bahwa adanya saad dzariah ini
memberikan motivasi yang mendorong seseorang melakukan perbuatan, baik
itu bertujuan yang halal maupun yang haram.33 Dengan melihat kebiasaan-
kebiasaan yang terjadi di masyarakat dalam bentuk berbagai alasan sehingga
pelaksanaan pembagian waris tidak terjadi atau ditunda-tunda, merupakan
kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan perbuatan itu menjadi haram
sehingga dengan demikian diperlukan surat keterangan pembagian waris
sebagai syarat terhadap perkawinan duda atau janda cerai mati ini sebagai
langkah preventif atau menuntup kemungkinan-kemungkinan yang
menyebabkan keharamannya dalam bentuk adanya perampasan harta atau
kerugian bagi ahli waris. Selain itu teori kemaslahatan juga dapat dipakai
mengingat kemanfaatan yang diberikannya serta menutup perbuatan seseorang
yang akan melakukan kesalahan ataupun kelalaian dalam menjalankan perintah 32 Kutbuddin Aibak, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), Hlm,
225 33 Nasrun Haroen, Usul Fiqih I, Hlm. 169
113
Allah yang nantinya akan mendatang kemudharatan baginya dan orang lain.
Sebagaimana yang diutarakan oleh asy-Syathibi, dimana dia memandang
bahwa maslahah itu sesuatu yang kembali kepada tegaknya kehidupan
manusia, sempurna hidupnya, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat
syahwati dan akli secara mutlak.34
Dengan demikian adanya surat keterangan ini akan memberikan kepastian
dari segi akli dan memberikan keamanan terhadap harta yang diwariskan
sebagai salah satu keinginan dari syahwatinya manusia.
Dengan melihat dari kedua alasan informan tersebut, peneliti melihat
adanya perbedaan tersebut disebabkan karena informan melihat kondisi dan
situasi yang ada baik dari segi antropologi, sosiologi maupun yuridisnya.
Dimana juga diperlukannya langkah sosialisasi sebelum melakukan hal
tersebut sebab pernyataan semua informan menyepakati akan adanya
pelegalitasan dalam bentuk tertulis terhadap pelaksanaan pembagian waris.
Tentu dalam persoalan menjadikan ini sebagai syarat perkawinan tidaklah
menjadi hal yang sulit bahkan ini merupakan langkah pencegahan terhadap
mereka yang belum melaksanakan pembagian waris. Dalam hal ini, bila
dijadikan surat keterangan ini menjadi syarat bagi perkawinan duda.janda cerai
mati, maka legalitas terhadap pelaksanaan pembagian waris tidak hanya
bersifat dibuat diatas kerta saja berdasarkan permohonan saja tetapi menjadi
Peraturan Pemerintah yang akan memaksa masyarakat untuk
melaksanakannya.
34
Kutbuddin Aibak, Metodologi Pembaharuan, Hlm. 190
114
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti dapat mengambil
kesimpulan bahwa:
1. Pakar Hukum dan Ulama Kota Malang sepakat bahwa asas legalitas dalam
pembagian harta waris gono gini sangat penting untuk menjamin kepastian hukum.
Dalam hal ini ada 2 bentuk yakni membuat surat otentik yang dibuat atau dihadapan
pejabat notaris dan yang kedua dapat melakukan permohonan penetapan ahli waris
di Pengadilan Agama dan bagi mereka yang tidak memiliki pendapatan yang cukup
dapat melakukan biaya perkara secara cuma-cuma.
2. Salah satu aspek yang menjadi persoalan waris adalah permasalahan waris dari harta
gono gini. Ketika seorang duda atau janda yang hendak menikah kembali maka
sesuai pasal 6 huruf f PP. 9 tahun 1975 yang hanya mempersyaratkan surat
kematian kepada duda atau janda cerai mati apabila hendak menikah. Dalam hal ini
Pakar Hukum dan ulama yang dijadikan sebagai informan berbeda pendapat.
Informan yang menolak mengemukakan bahwa persoalan perkawinan dan waris
adalah hal yang berbeda dan surat keterangan ini akan mempersulit seseorang duda
atau janda hendak menikah kembali serta menyarankan untuk memberikan kejelasan
status harta sebelum menikah. Sementara informan yang menerima mengemukakan
bahwa surat keterangan diperlukan sebagai syarat duda/janda cerai mati yang hendak
menikah untuk mengantisipasi agar seseorang dapat melaksanakan perintah Allah
SWT berupa pelaksanaan pembagian waris.
115
B. Saran
1. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan kontribusi terhadap pelaksanan
kewarisan yang ada di Indonesia, sehingga diharapkan tidak hanya berupa surat
keterangan yang dilegalitaskan oleh pejabat notaris atau pengadilan tapi dapat juga
dimasukkan ke dalam tingkatan hukum yang lebih tinggi
2. Adanya penelitian ini hendaknya memberikan kontribusi pemikiran yang lebih
mengarah kepada penerapan hukum Islam yang selama ini hanya bersifat dorongan
tanpa memiliki daya paksa.
3. Dengan adanya penelitian ini akan menjadi pengetahuan bagi kita semua agar asas
legalitas dalam bentuk surat keterangan dipersyaratkan lebih awal dalam penetapan
ahli waris pada saat harta waris gono gini dibagikan.
4. diperlukan adanya regulasi atau aturan untuk menjalankannya dengan
mempertimbangkan kemaslahatan yang ditimbulkannya. Adanya aturan yang dibuat
hendaklah disesuaikan dengan adat yang telah ada tanpa harus meninggalkan semua
namun tetap kembali kepada penerapan hukum kewarisan Islam sehingga nantinya
konflik yang terjadi akan dapat teratasi.
C. Rekomendasi
1. Apabila terjadi kematian, maka hendaklah steakholder setempat melaporkan kepada
lurah/kepala desa ataupun pencatatan sipil tentang adanya kematian dilingkungan
tempat ia berwenang.
2. Lurah/kepala desa memberitahukan kepada ahli waris untuk melakukan penetapan
ahli waris sesegera mungkin
3. pelaksanaan pembagian harta waris gono gini tersebut dilakukan dengan segera
untuk menetapkan bagian ahli waris yang dituangkan melalui akta notaris ataupun
surat keputusan penetapan ahli waris dari pengadilan agama.
116
4. Sebelum dilaksanakan perkawinan yang baru bagi duda/janda cerai mati, hendaklah
dipersyaratkan juga surat keterangan pembagian ahli waris atau surat keterangan
penetapan ahli waris dari pengadilan agama oleh KUA untuk menghindari kerugian
dari pihak ahli waris serta menjaga keharmonisan keluarga yang akan dibina.
Daftar Pustaka
A. Buku
Satria Effendi. 2004. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. Jakarta:
Kencana.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Dan Kompilasi Hukum Islam. 2011. Bandung: Citra Umbara.
Abdul Rahman Ghazaly. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana.
Ahmad Rofiq. 2002. Fiqh Mawaris. Edisi Revisi. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
Http://Www.Kuabatukcm.Net/Layanan.Php
Zainuddin Ali. 2010. Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika.
Nasrun Haroen. 1997. Usul Fiqih 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Kutbuddin Aibak. 2008. Metodologi Pembaharuan Hukum Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Saifudin Zuhri. 2011. Ushul Fiqih. Akal Sebagai Sumber Hukum Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Asmawi. 2011. Perbandingan Ushul Fiqih. Jakarta: Bumi Aksara.
Wil Kymlicka. 2004. Filsafat Politik Kontemporer Kajian Atas Teori-Teori
Keadilan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
John Rawls. 2006. A Theory Of Justice Teori Keadilan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Darji Dharmodiharjo Dan Shindaria. 2006. Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa Dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: Iramedia Pustaka Umum.
Dahlan Thamrin. 2007. Filsafat Hukum Islam. Malang: Uin Malang Press.
Lexi J. Moleong. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosda Karya.
Judith Belib. 2006. Melakukan Proyek Penelitian Secara Mandiri. Cet. Iv. Jakarta:
PT Indeks.
Burhan Bungin. 2001. Metodologi Penelitian Sosial: Format-Format Kuantitatif
Dan Kualitatif. Surabaya: Airlangga Universitypress.
M.B Miles & A.M Hubermen. 1992. An Ekpended Source Book Qualitatif Data
Analisys. Analisis Data Kualitatif. Tej. Tjejep R. Rohidi. Jakarta: UI Press.
S. Nasution. 2007. Metode Research (Penelitian Ilmiah) . Jakarta: Bumi Aksara.
Sukandarrumidi. 2004. Metodologi Penelitian Petunjuk Praktis Untuk Penelitian
Pemula. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Eriyanto. 1999. Metodologi Polling Memberdayakan Suara Rakyat. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Suhrawadi, Komis Simanjuntak. 2004. Hukum Waris Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Suparman Usaman. Yusuf Somawinata. 2008. Fiqih Mawaris. Jakarta: Gaya Media
Pertama.
Abdul Manan. 2006. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta:
Kencana.
Wahbah Zuhailiy. 1980. Ushul Al-Fiqh Al-Islamiy. Beirut: Dar Al-Fikr.
Hasbiyallah. 2007. Belajar Mudah Ilmu Waris, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Muhammad Ali Ash Shabuni. 1995. Hukum Waris Menurut Al-Quran Dan Hadits,
Ahli Bahasa Dra. Zaini Dahlan, Bandung: Trigenda Karya.
Kasuwi Saiban. 2007. Hukum Waris Islam. Malang: Universitas Negeri Malang.
Ahmad Rofiq. 2001. Fiqh Mawaris. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Amir Syarifuddin. 1984. Pelaksanaan Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat
Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Rachmad Budiono. 1999. Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia,
Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Suhrawadi K Lubis, Komis Simanjuntak. 2007. Hukum Waris Isla., Jakarta: Sinar
Grafika.
Amir Syarifuddin. 2004. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana.
Rasyad Hasaan Khalil, 2010. Tarikhu Al-Islami, Sejarah Legislasi Hukum Islam
(Tt, T, Th) Cet Ii, Terj, Nadirsyah Hawari, Tarikhu Tasyri’ Sejarah
Legislasi Hukum Islam. Jakarta: Amza.
Malthuf Siroj. 2012. Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia Telaah Kompilasi
Hukum Islam. Yogyakarata: Pustaka Ilmu Yogyakarta.
Muhammad Hashim Kamali. 2008. Membumikan Syariah, Pergulatan
Mengaktualkan Islam. Jakarta: Mizan Publika.
Eddy, O.S. Hiariej. 2009. Asas Legalitas Dan Penemuan Hukum Dalam Hukum
Pidana. Jakarta: Erlangga.
Topo Santoso. 2001. Mengagas Hukum Pidana Islam. Bandung: Asy Syaamil Press
& Grafika.
Habiburrahman. 2011. Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia.
Jakarta: Kencana Pranada Media Group.
Afdol. 2003. Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil. Surabaya: Airlangga.
Syakroni. 2007. Konflik Harta Warisan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Data Dari Kua Kota Batu, Http://Www.Kuabatukcm.0fees.Net/Layanan.Php
Sudarsono . 2005. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
Sf. Marbun, Deno Kamelus. Dkk. 2001. Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum
Administrasi Negara. Yogyakarta: Uii Press.
Ridwan. 2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Kansil, Christine. 2005. Modul Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT. Kresna
Prima Persada.
Sf. Marbun, Deno Kamelus. Dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum,
M. Quraish Shihab. 2000. Tafsir Al-Misbah. Ciputat: Lentera Hati.
Imam Al-Mundziri. 2003. Ringkasan Hadis Shahih Muslim. Jakarta: Pustaka
Aman.
Departeman Agama Ri. 2002. Al-Quran Dan Terjemahannya. Surabaya: Mekar
Surabaya.
Ismuha. 1978. Pencaharian Bersama Suami Istri Di Indonesia. Jakarta: Bulan
Bintang.
Subekti. 1975. Pokok-Pokok Dari Hukum Perdata. Jakarta: PT Intermasa.
Gufron A. Mas’adi. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: Rajagrafindo
Persada.
Hendi Suhendi. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
M. Syakroni. 2007. Konflik Harta Warisan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ahmad Wardi Muslich. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.
Sayyid Sabiq. 1987. Fiqih Sunnah.Jilid 13. Bandung: Al Ma’arif.
Satria Effendi M. Zein,” Analisa Fiqh Terhadap Yurisprudensi Tentang
Kewarisan”Dalam Mimbar Hukum, No. 20 Tahun 1995
Rahcmat Syafe’i. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
K, Denzin Dan Yunonns S.Linconln. 2009. Handbook Of Qualitative Research
(Terj) Darianato. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Suharsimi Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Cik Hasan Bisri. 2003. Model Penelitian Fiqih, Cet 1. Bogor: Kencana.
Sanapiah Faisal. 1990. Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar Dan Aplikasi. Malang:
Ya3 Malang.
Nurul Zuriah. 2006. Metodologi Penelitian Sosial Dan Pendidikan. Jakrata: Bumi
Aksara.
Julia Brannen. 2005. Memadu Metode Penelitian: Kualitatif Dan Kuantitatif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
M. Nazir. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghimia Indonesia.
Suharsimi Arikunto. 2005. Manajemen Penelitian, Cet Vii. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Tjetep R.R. 1992. Analisis Data Kualitatif, Terjemah. Jakarta: UI Press
Cik Hasan Bisri, 2003. Penuntutan Penyusunan Rencana Penelitian. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada.
Amin Farih. 2008. Kemaslahatan & Pembaharuan Hukum Islam. Semarang:
Walisongo Press.
Ahmad Hanafi. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Erdianto Effendi. 2011. Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Refika Aditama.
Syarifuddin Arief, Seminar: Dialog Dan Diskusi Notariat Syariah, Uin Maulana
Malik Ibrahim Malang, Tgl 5 Juli 2013
B. Internet
Http://Www.Artikel.Majlisasmanabawi.Net/Kamus-Spiritual/Arti-Ulama-
Pengertian -Ulama
C. Karya ilmiah
Asmawi, Diskursus Teori Mashlahah , Makalaah Disampaikan Pada Forum
Seminar Karya Ilmiah Dosen Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Syarif
Hidayatullah Jakarta, 13 September 2009