“Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan...
Transcript of “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan...
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan nikmat, hidayah dan rahmat-Nya, sehingga penulisan skripsi dengan
judul “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan Kebangsaan dan Khilafah
Islamiyah”, dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat beserta salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada Rasululllah SAW. beserta keluarga dan sahabatnya.
Munculnya berbagai hambatan dan kesulitan seakan terasa ringan berkat
bantuan dan dorongan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis berkenan
mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak tertentu, tanpa mengurangi
penghormatan penulis bagi pihak-pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu
dalam pengantar yang singkat ini.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, penulis
sampaikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan
Fakultas Syari’ah dan Hukum beserta para pembantu Dekan.
2. Bapak Asmawi, M.Ag selaku ketua Jurusan Jinayah Siyasah beserta Ibu Sri
Hidayati, M.Ag selaku Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah.
ii
3. Bapak Prof. Dr. Masykuri Abdillah yang telah membimbing penulis dengan
penuh kesabaran sehingga tulisan ini dapat diselesaikan dengan baik.
4. Seluruh Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Syarif Hidayatullah, pimpinan dan
seluruh karyawan perpustakaan di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Kedua orang tua penulis Ayahanda Sagiman dan Ibunda Suparti yang telah
memberikan curahan kasih sayang dan pengorbanan mendalam, baik jiwa, raga
maupun materil dalam memperjuangkan penulis menggapai kesuksesan. Serta
kakak-kakakku Siti Isyaroh, Mursidah, Purwatun dan kakak-kakak iparku yang
selalu memberikan semangat di saat penulis jenuh.
6. Bapak Gun-gun Heryanto M.Si yang telah membantu dan memberikan pinjaman
buku motivasi kepada penulis
7. Kang Aslam, Kang Hanafi, Kang Dardiri kang Ali dan khususnya Mbah Liem
(Muslim) yang selalu memberikan dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini, dan
teman-teman IKAMARU Jakarta; Moullyn, @-Noer, Maman, Rina, Yayah terima
kasih atas do’a dan motivasinya
8. Rekan-rekan mahasiswa Siyasah Syar’iyyah angkatan 2003 khususnya; Nazir,
kosim, Ikrom, Fauzi dan temen Kosan; Said, Jiban, Ari, Hendra 46, I-Ve, Oga,
Ozie, Jabal, Yani, Syaem, Erna, Nana dan Noer. Tank’s ya bro’,,.
Mudah-mudahan jasa dan amal baik tersebut mendapatkan balasan yang
setimpal dari Allah SWT. Sebagai amal saleh dan senantiasa berada dalam
maghfirah-Nya.
iii
Akhirnya, semoga skripsi yang sederhana ini dapat memenuhi harapan dalam
ikut serta membantu ke arah kemajuan pendidikan, khususnya masalah hukum Islam.
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi orang banyak dan membawa keberkahan
di dunia dan akhirat. Semoga Allah SWT. memberikan petunjuk ke jalan yang benar
dan mencurahkan taufik serta hidayah-Nya kepada kita sekalian. Amin.
Jakarta, 15 Juni 2008
Penulis
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN.........................................................................................i
KATA PENGANTAR.................................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah...............................................................................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...........................................................5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.....................................................................6
D. Tinjauan Pustaka ..........................................................................................6
E. Metode Penelitian..........................................................................................9
F. Sistematika Penulisan..................................................................................11
BAB II SEKILAS TENTANG NAHDLATUL ULAMA...................................13
A. Sejarah Berdirinya NU................................................................................13
B. Karakteristik Paham Keagamaan................................................................21
C. Kiprah NU dalam Kehidupan Bermasyarakat............................................33
BAB III WAWASAN KEBANGSAAN DAN KHILAFAH ISLAMIYAH..........39
A. Pengertian Wawasan Kebangsaan .............................................................39
B. Paradigma Pemikiran tentang Islam dan Politik.........................................43
C. Pengertian Khilafah Islamiyah ...................................................................48
D. Khilafah Islamiyah dalam Lintasan Sejarah ..............................................55
v
E. Khilafah dalam Wacana Politik Islam Kontemporer..................................60
BAB IV PANDANGAN NU TERHADAP WAWASAN KEBANGSAAN DAN
KHILAFAH ISLAMIYAH.....................................................................65
A. Pandangan NU terhadap Azas Pancasila.................................................. 65
B. Pandangan NU terhadap Finalisasi Bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI)......................................................................................70
C. Pandangan NU terhadap Wawasan Kebangsaan dan Khilafah
Islamiyah.................................................................................................. 74
D. Analisa Penulis..........................................................................................83
BAB V PENUTUP.................................................................................................85
A. Kesimpulan.................................................................................................85
B. Saran-saran..................................................................................................86
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................86
vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam sering dipahami sebagai suatu ajaran yang lengkap, ia hadir di mana-
mana, serta memberikan panduan dalam berbagai segi kehidupan. Islam juga
memberikan panduan mengenai bagaimana kita bersikap, berakidah yang baik,
beribadah, bermuamalah dan termasuk dalam kehidupan bernegara. Tegasnya bahwa
kehadiran Islam selalu memberikan panduan moral yang baik dan benar dalam segala
macam tindakan.1
Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah mengurat nadi
dalam kehidupan masyarakat Indonesia tidak berfungsi sebagaimana dalam praktek
formalitas hukum. Menurut Abdul Manan, hukum Islam mempunyai tujuan (Maqasid
al-Syariah)2 yang memiliki aspek mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan
akhirat. Menurutnya, hukum Islam juga membawa manusia ke bawah naungan
hukum agar nantinya manusia terbebas dari belenggu hawa nafsu.3
1 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di
Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), Cet ke-1, h. 7. 2 Tujuan Maqasid al-Syariah yaitu Hifzh al-Din (menjaga agama), Hifzh an-Nafs (menjaga
kehidupan), Hifzh al-‘Aql (menjaga akal), Hifzh an-Nasl (menjaga keturunan), Hifzh al-Maal (menjaga harta benda).
3 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2006), h. 107.
vii
Hukum Islam ini dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan perubahan dari
berbagai pergerakan. Gerakan Islam ini sejak zaman penjajahan memang telah
terlibat dalam aktivitas yang bersifat politis. Kondisi seperti ini lebih diakibatkan oleh
peranan Islam yang begitu menentukan dalam meraih kemerdekaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Gerakan dan peperangan ini dipelopori oleh Imam
Bonjol dalam Perang Paderi, Pangeran Diponegoro, Perang Aceh dan serentetan aksi-
aksi perjuangan Islam lainnya.4
Di masa kemerdekaan, Islam menjadi tolak ukur moralitas dan merupakan
kontribusi penting dalam setiap kebijakan publik serta mejadi alat legitimasi efektif
terhadap proses pembangunan. Akan tetapi dalam kenyataannya, kedudukan penting
Islam di atas ternyata tidak diimbangi oleh fungsionalisasi Islam dan umat Islam itu
sendiri, baik secara politik, hukum, ekonomi maupun sosio-kultural. Islam dan umat
Islam dalam perkembangannya selalu pada posisi yang marjinal.5 Pada masa Orde
Baru, hukum Islam mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Perkembangan
ini didorong oleh gerakan pembaruan pemikiran Islam serta perubahan sikap
pemerintah Orde Baru yang lebih akomodatif terhadap berbagai aspirasi umat Islam.
Pada hari Minggu 12 Agustus 2007 yang bertepatan dengan 28 Rajab lalu,
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menggelar acara Khilafah Internasional di Istora
Senayan. Ribuan umat Islam, tamu undangan, dan para pembicara dari dalam maupun
4 Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta: Logos, 1999), Cet ke-I, h. 155. 5 Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h.
120.
viii
luar negeri menghadiri acara tersebut. Suatu hal yang menjadi catatan menarik antara
lain tampilnya pembicara dan bahkan para hadirin yang berlatar belakang berbeda
organisasi masyarakat (ormas), status pendidikan, sosial ekonomi, serta budaya.
Mereka tiba-tiba menjadi bersatu mengusung tema pentingnya menegakkan Khilafah
Islamiyah. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mempunyai pandangan untuk
mengampanyekan konsep Khilafah Islamiyah, seluruh keterpurukan umat terjadi
akibat tidak dilaksanakannya syari’at Islam secara penuh. Sistem dalam Islam hanya
diambil sebagian sesuai keinginan mereka yang mengamalkannya. Jika Indonesia
ingin baik pada masa mendatang, tidak ada cara lain selain dengan khilafah.6
Dalam konferensi khilafah yang diadakan HTI, ada perwakilan ormas yang
terkenal moderat secara terang-terangan tidak hadir dalam acara tersebut yaitu
perwakilan dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan alasan yang
prinsipil;7 berbeda dengan Pengurus Pusat Muhammadiyah yang pada waktu itu ikut
membantu memberikan orasi, dengan menyerukan agar umat Islam mengambil esensi
dari konsep kekhilafahan yaitu persatuan dan kebersamaan.8
Nahdlatul Ulama (NU) yang berdiri pada tahun 1926 telah tampil sebagai
organisasi terbesar yang banyak memberikan sumbangan bagi bangsa. Pengorbanan
6 Kompas, Selasa, 4 September 2007, h. 5. 7 Prinsipil yang dimaksud adalah Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
menegaskan, bahwa konsep pemerintahan Islam (Khilafah Islamiyah) tidak pernah jelas bagaimana bentuk dan mekanisme pendiriannya. Kejelasan konsep tersebut hanyalah selalu mengganggu dan mempersoalkan keabsahaan sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. http://www. Pikiran-rakyat.com, Senin 13 Agustus 2007.
8 Media Indonesia, 13 Agustus 2007, h. 1.
ix
NU dan organisasi lainnya pada masa itu baik berupa harta benda, keringat bahkan
jiwa ternyata tidak sia-sia karena telah berhasil mengantarkan Indonesia ke gerbang
kemerdekaan.9 Di awal kemerdekaan RI, Zuhairi Misrawi menegaskan NU
mempunyai arti penting bagi proklamasi kemerdekaan. Para kiai NU mempunyai
andil besar, bahkan ikut menegaskan kepemimpinan Bung Karno dengan fatwa
“pemimpin yang mempunyai otoritas penuh” (waliy al-amri al-dlarury bi al-syaukah)
demi terbentuknya negara yang adil dan berdaulat.10
Sejarah keterlibatan NU dalam berpolitik selalu ada benang merah yang
nampak bahwa pertimbangan politiknya senantiasa diambil berdasarkan konteks dan
situasi politik yang berkembang. Wajar jika kemudian relasi NU dan pemerintah
(negara) seringkali bersifat kompromis dan saling menopang. Misalnya, tokoh NU
terlibat secara aktif di dalam pemerintahan.11 Sedangkan pada perkembangan
kontemporer, pemikiran keagamaan (Islam) dalam komunitas NU menunjukkan
fenomena yang menarik, mereka mempunyai gagasan keagamaan progresif dalam
merespons modernitas dengan menggunakan basis pengetahuan tradisional yang
mereka miliki setelah dipersentuhkan dengan pengetahuan baru dari berbagai
9 Sudarno Shobron, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam Pentas Politik Nasional,
(Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2003), Cet. Ke-1, h. 43. 10 Zuhairi Misrawi, Menggugat Tradisi: Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU, (Jakarta:
Kompas, 2004), Cet. Ke-1, h. 1. 11 Faisal Ismail, Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik, (Jakarta: Departemen
Agama RI, 2004), Cet. Ke-1, h. 52.
x
khazanah modern.12 Dewasa ini, ketika pembangunan sedang berjalan masih banyak
problematika yang masih memerlukan pemecahan. Di sana kiprah kelompok sosial
untuk menentukan perannya dalam memberikan jawaban terhadap persoalan-
persoalan dasar manusia. NU sebagai kekuatan sosial keagamaan ditentukan
ketepatannya dalam ikut serta menjawab tantangan-tantangan bangsa dan diperlukan
tindakan-tindakan nyata dalam menyelesaikan masalah.
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, penulis merasa termotivasi untuk
meneliti lebih lanjut tentang wawasan bernegara Khilafah Islamiyah menurut sudut
pandang ormas Islam yang komunitasnya terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul
Ulama. Penelitian tersebut penulis kemas dalam bentuk skripsi dengan judul:
“Pandangan Nahdlatul Ulama terhadap Wawasan Kebangsaan dan Khilafah
Islamiyah".
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, untuk lebih
memfokuskan arah penelitian ini, penulis memberikan batasan masalah pada
pandangan Nahdlatul Ulama tentang wawasan kebangsaan dan khilafah Islamiyah.
Berkaitan dengan pembatasan masalah di atas, perlu dirumuskan beberapa
pokok masalah sebagai berikut:
12 Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Mazhab Negara, (Yogyakarta: Lkis, 2001), Cet. I, h.
138.
xi
1. Bagaimana konsep wawasan kebangsaan dan perkembangan pemahaman
Khilafah Islamiyah?
2. Bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama dengan masalah kebangsaan khususnya
dalam menyikapi Khilafah Islamiyah?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Secara rinci sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan khusus dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana mewujudkan wawasan kebangsaan
dan perkembangan khilafah Islamiyah. Kemudian bagaimana pandangan Nahdlatul
Ulama dengan masalah wawasan kebangsaan khususnya dalam menyikapi Khilafah
Islamiyah.
Selain penelitian ini memiliki tujuan, diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut:
1. Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan pemahaman, khususnya
menambah wacana baru seputar pandangan Nahdlatul Ulama terhadap wawasan
kebangsaan dan Khilafah Islamiyah.
2. Secara praktisi penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan bahan
diskusi.
D. Tinjauan Pustaka
xii
Penulisan skripsi ini perlu adanya beberapa literatur untuk mencapai
kesempurnaan, di antaranya bersumber dari tesis dan buku-buku yang berkaitan
dengan judul skripsi ini, yaitu :
1. “Fundamentalisme Islam Indonesia” (Studi Atas Gerakan dan Pemikiran Hizbut
Tahrir) Tesis, Rihlah Nur Aulia.
Dalam tesis ini, memberikan pandangan mengenai kefundamentalan Hizbut
Tahrir dapat dilihat dari aspek gerakan dan pemikirannya. Adapun bila dilihat dari
aspek gerakan, yaitu: (a) Hizbut Tahrir Indonesia mempunyai keterkaitan dengan
keagamaan yang berada di Timur Tengah. (b) Sebuah masa Islam/partai Islam,
yang tujuan pembentukan cenderung bersifat luas dan global, yakni untuk
menegakkan suatu tatanan sosial yang Islami. Sedangkan dilihat dari aspek
pemikirannya berkeyakinan bahwa, Islam adalah agama yang komprehensif dan
sempurna, di dalamnya tercakup seluruh aspek kehidupan yang harus
dilaksanakan dan dijalani pada setiap umatnya, baik dalam kehidupan pribadi,
masyarakat, maupun dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu, bagi Hizbut
Tahrir mendirikan Daulah Khilafah Islamiyah adalah suatu kewajiban bagi setiap
muslim. Bagi mereka Islam tidak dapat dipisahkan dengan negara (politik) al-
Islam al-Din wa al-Daulah. Kesatuan agama dan politik menjadi paradigma
politik mereka terhadap konsepsi negara.
2. “Ahlussunnah Wal-Jama’ah; Dalam Persepsi dan Tradisi NU” karya
Muhammad Tholhah Hasan.
xiii
Secara umum, buku ini membahas Nahdlatul Ulama sebagai organisasi
keagamaan (Jam’iyah Islamiyah) yang berhaluan “Ahlussunnah Wal-Jama’ah“
mempunyai ciri khas tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), dan tawazun
(harmoni). Organisasi NU sejak dulu mempunyai kepedulian terhadap kehidupan
bangsa dan negara (politik), dan partisipasinya telah diwujudkan dengan berbagai
macam manifestasi politik, sampai menjadi kekuatan moral bangsa yang ikut
mempengaruhi warna politik nasional. Semua sikap, prilaku dan kiprah, serta
perannya tidak lepas dari akar dan nilai-nilai teologis yang diyakini, dan norma-
norma syari’ah yang dijunjung tinggi, yakni keyakinan Ahlussunnah wal
Jama’ah, serta doktrin-doktrin dan metodologi pemahamannya. Untuk dapat
memahami Ahlussunnah wal Jama’ah secara utuh, tidak mungkin hanya
menggunakan pendekatan doktrinal saja, tetapi sedikitnya menggunakan tiga
pendekatan, yaitu pendekatan historis, pendekatan kultural, dan pendekatan
doktrinal.
3. “NU Studies; Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan
Fundamentalisme Neo-Liberal” Karya Ahmad Baso.
Buku ini memperkenalkan satu terobosan baru dalam pemikiran Islam di
Indonesia. NU Studies, demikian terobosan itu disebut, merupakan himpunan
tradisi, pencerahan dan kritisisme, yang berakar dalam khazanah kognitif dan
praksis mayoritas umat beragama di nusantara. Sebagai sebuah metodologi, NU
Studies, perpaduan antara hibrid dan tradisi ahli sunnah wal jama'ah (aswaja),
xiv
praksis kebangsaan dan ke-Indonesia-an, dan kritik post-kolonial. NU Studies
hadir dalam konteks kampanye “perang melawan terorisme”, “benturan
peradaban” dan “perang ide-ide” (war of ideas) yang dilancarkan imperium AS,
di satu pihak, dan dalam konteks “al-ghazw al-fikri (invasi pemikiran)” yang
diusung kelompok gerakan Islam kanan, dan di pihak lain. Muncul tarik menarik
di antara kedua kutub ini, yaitu menjadi moderat-liberal atau menjadi Islami
(plesetan dari fundamentalisme dan radikalisme). Di sini agama menjadi lahan
eksploitasi dan komodifikasi.
4. “Islam Ahlusunnah Waljama’ah di Indonesia; Sejarah Pemikiran dan Dinamika
NU” Aceng Abdul Azis Dy, dkk.
Buku ini membahas tentang munculnya Nahdlatul Ulama sebagai organisasi
sosial keagamaan terbesar di Indonesia, telah dengan sungguh-sungguh
melibatkan seluruh elemennya dalam pengembangan pendidikan di Indonesia.
Hal ini menunjukkan bukti bahwa NU telah berperan dan bertanggung jawab
terhadap berlangsungnya hidup bangsa dan negara Indonesia, bahkan jauh
sebelum negara ini merdeka. Ciri khas NU dalam mengembangkan paham
Ahlussunnah Waljama’ah terdapat dalam dua hal; keharusan bermazhab dan
berpegang pada akidah fiqhiyah “al-muhâfadzah ala qadim al-sâlih wa al-akhdzu
bil jadîd al-aslah” (menjaga kesinambungan tradisi lama yang baik, dan
mengambil tradisi baru yang lebih baik). Pentingnya bermazhab dalam
mengamalkan ajaran Islam, menurut NU dikarenakan akan (lebih) mendekatkan
umat Islam pada kebenaran dan mudah dijangkau.
xv
E. Metode Penelitian
Untuk dapat mencapai tujuan dari pembahasan ini, maka penulis
menggunakan metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilaksanakan adalah jenis penelitian kualitatif, yang lebih
menekankan pada penjelasan data-data yang terkait dengan objek yang diteliti secara
deskriptif. Penelitian berupa studi empiris untuk menemukan teori-teori kebangsaan
Nahdlatul Ulama dan Khilafah Islamiyah melalui pendekatan kualitatif.
2. Sumber Data
Dalam penyusunan skripsi ini jenis data yang digunakan adalah data kualitaif
di mana pengumpulan data diperoleh dari berbagai sumber tertulis. Data tersebut
terbagi pada dua sumber yaitu: pertama, sumber primer meliputi buku-buku tentang
kebangsaan Nahdlatul Ulama, di antaranya: Ahlussunnah wal Jama’ah dalam
Persepsi dan Tradisi NU, NU Studies dan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur tentang
Khilafah Islamiyah. Sedangkan sumber yang kedua adalah sumber sekunder meliputi:
Artikel-artikel, majalah risalah serta situs-situs yang berkaitan di antaranya NU
online.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Library Research (kajian
kepustakaan). Studi pustaka antara lain melalui beberapa buku dan literatur yang
dipandang mewakili (representatif) dan berkaitan (relevan) dengan objek penelitian.
xvi
Objek penelitian yang dimaksud adalah pandangan Nahdlatul Ulama terhadap
wawasan kebangsaan dan Khilafah Islamiyah.
4. Analisis Data
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan
akurat mengenai pandangan Nahdlatul Ulama terhadap wawasan kebangsaan dan
Khilafah Islamiyah. Dalam menganalisa data, diterapkan tehnik analisis isi (content
analysis) secara kualitatif, kemudian data-data yang telah ada dibaca, diselektif dan
dianalisis mengikuti sesuai dengan bab-bab yang terkait.
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini menggunakan Buku Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta terbitan tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan
Agar pembahasan dan penulisan skripsi ini terurai secara sistematis, maka
dalam hal ini terbagi menjadi lima bab, dengan susunan sebagai berikut:
Bab Pertama: Merupakan Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah,
Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, serta Sistematika
Penulisan.
Bab Kedua: Menjelaskan sekilas tentang Nahdlatul Ulama; Menjelaskan tentang
Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama, Karakteristik Faham
xvii
Keagamaan, Kiprah Nahdlatul Ulama dalam Kehidupan
Bermasyarakat.
Bab Ketiga: Menjelaskan Wawasan Kebangsaan dan Khilafah Islamiyah yang
meliputi: Pengertian Wawasan Kebangsaan, Paradigma Pemikiran
tentang Islam dan Politik, Pengertian Khilafah, Khilafah Islamiyah
dalam Lintasan Sejarah, Khilafah dalam Wacana Politik Islam
Kontemporer.
Bab Keempat: Menjelaskan tentang Pandangan Nahdlatul Ulama terhadap Wawasan
Kebangsaan dan Khilafah Islamiyah yang meliputi; Pandangan NU
terhadap Azas Pancasila, Pandangan NU terhadap Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), Pandangan Nahdlatul Ulama terhadap
Wawasan Kebangsaan dan Khilafah Islamiyah.
Bab Kelima: Merupakan penutup yang berisi kesimpulan penelitian dari jawaban
atas persoalan-persoalan, juga terdiri dari saran-saran penulis
terhadap topik pembahasan yang diangkat dalam penelitian skripsi
ini.
xviii
BAB II
SEKILAS TENTANG NAHDLATUL ULAMA
A. Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama
Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi sosial keagamaan (Jam’iyah Diniyah
Islamiyah) yang berhaluan Ahlusunnah Wal Jama’ah (Aswaja).13 Organisasi ini
didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 M, atau 16 Rajab 1334 H.14 Nahdlatul Ulama
yang berarti “kebangkitan para ulama” oleh K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Abdul
Wahab Hasbulllah, sebagai wadah mempersatukan diri dan langkah di dalam tugas
memelihara, melestarikan, mengemban dan mengamalkan ajaran Islam ‘Ala
Ahlisunnah Wal jama’ah dan ‘Ala Ahadil Mazhabil Arba’ah dalam rangka
mewujudkan Islam sebagai rahmat alam semesta.15
Di samping itu, Nahdlatul Ulama didirikan untuk mewakili kepentingan para
kyai tradisionalis yang posisinya terancam dengan munculnya Islam reformis
(Muhammadiyah dan Sarekat Islam) yang semakin meluas sehingga
memarginalisasikan kyai, yang sebelumnya merupakan satu-satunya pemimpin dan
juru bicara komunitas Muslim. Nahdlatul Ulama juga bertujuan untuk vis-à-vis
13 Paham Ahlusunnah Wal Jama’ah yang dipelopori oleh Imam Asy’ari dan Imam Maturidi
digunakan oleh NU dalam hal aqidah. Badrun Alaena, NU, Kritisme dan Pergeseran Makna Aswaja (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000), Cet. Ke-1, h. 2.
14 Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, (Jakarta: Erlangga,
1992), Cet. Ke-1, h. 1. 15 Aceng Abdul Aziz Dy, dkk, Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia: Sejarah,
Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Pustaka Ma’arif NU, 2007), Cet. Ke-2, h. 124.
xix
pemerintahan Kolonial dan juga kaum pembaharu serta menghambat perkembangan
organisasi-organisasi yang telah ada. Pendapat ini dikemukakan beberapa penulis
seperti Benda, Wetheim dan Geertz.16
Pada tahun 1908 ketegangan timbul antara kalangan tradisional dan modernis
sebagian karena perbedaan yang menajam antara taqlid dan ijtihad,17 sebagian lagi
karena perkembangan di Jazirah Arab yang waktu itu dikuasai Ibnu Saud (1880-
1953). Dia menaklukkan tanah suci dan segera meruntuhkan kuburan dan tanda-tanda
kramat yang ada di sana. Kondisi ini berimbas ke tanah air dengan tersiar kabar
bahwa di Indonesia praktik bermazhab akan dilarang karena dianggap bid’ah. Untuk
mempertahankan dari paham para pembaharu di negeri sendiri, golongan tradisional
Islam di Jawa sepakat mendirikan Nahdlatul Ulama. Hanya saja, kemenangan
kalangan Wahabi di tanah Arab merupakan sebab langsung berdirinya NU.18
Di sisi lain, berdirinya NU dapat dikatakan sebagai ujung perjalanan dan
perkembangan gagasan-gagasan yang muncul di kalangan ulama pada perempat
pertama abad 20. Kelahirannya diawali dengan Nahdlatul Tujjar (1918) yang muncul
sebagai lambang ekonomi pedesaan, disusul dengan munculnya Tashwirul Afkar
(1922) ─dikenal juga dengan sebutan “Nahdlatul Fikri (kebangkitan pemikiran)”─
sebagai gerakan keilmuan dan kebudayaan, dan Nahdlatul Wathan (1924) merupakan
16 Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LKiS, 1997), Cet. Ke-1, h. 26.
17 Andre Feillard, NU Vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta:
LKiS, 1999), Cet. Ke-1, h. 6-7. 18 Delian Noer, Partai-partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Bandung: Mizan, 1999),
Cet. ke-2, h. 15.
xx
gerakan politik dalam bentuk pendidikan. Dengan demikian, bangunan NU didukung
tiga pilar utama yang bertumpu pada kesadaran keagamaan paham Ahlu Sunnah Wal
Jama’ah.19
Sebelum berdirinya ketiga organisasi tersebut yang sering disebut cikal bakal
berdirinya NU, sebenarnya K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah
pada waktu tinggal di Makkah pernah mendirikan semacam “paguyuban” yang
anggotanya terdiri dari kaum Nahdliyin yang sedang juga bermukim di Makkah.
Tujuan paguyuban tersebut adalah tolong-menolong dan saling membantu dalam hal
keuangan, ekonomi dan belajar. Dan jauh sebelum organisasi itu berdiri, telah
tersedia basis sosial dan basis masa berdirinya NU. Mereka terdiri dari masyarakat
yang berpaham Ahlu Sunnah Wal Jama’ah yang terkumpul di dalam pesantren,
kelompok pengajian, kelompok tahlilan, dan kelompok haul.20
Pada bulan Januari 1926, sebelum kongres al-Islam di Bandung, ada suatu
rapat antar organisasi pembaharu di Cianjur memutuskan untuk mengirim delegasi
yang terdiri dari dua orang ke Makkah. Satu bulan kemudian dalam kongres al-Islam
usulan K.H. Wahab Hasbullah agar usul-usul kaum tradisionalis mengenai praktek
keagamaan yang dibawa oleh delegasi Indonesia, tetapi usulan tersebut tidak
disambut dengan baik oleh peserta kongres. Penolakan itu, dalam pandangan kaum
modernis memang masuk akal karena sebagian dari mereka menyambut baik
19 Muajmil Qomar, NU Liberal Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam,
(Bandung: Mizan, 2002), Cet. Ke-1, h. 31. 20 Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana, h. 23.
xxi
pembersihan dalam kebiasaan ibadah agama di Arab Saudi. Hal ini telah
menyebabkan kaum tradisionalis semakin terpojok sehingga mereka
memperjuangkan kepentingan mereka dengan cara mereka sendiri, yakni membuat
sebuah komite yang dikenal dengan sebutan “Komite Hijaz” untuk mewakili mereka
di hadapan Raja Ibnu Saud. Untuk mempermudah tugas ini, pada tanggal 31 Januari
1926 diputuskan untuk membentuk suatu organisasi yang mewakili Islam
tradisionalis yang diberi nama “Nahdlatul Oelama (NO)”. Menurut Aula yang dikutip
Andrée Feillard, Muktamar pertama NU baru diadakan bulan Oktober 1926 dan
pengiriman delegasi tradisionalis ke Makkah dilakukan dua tahun kemudian. Pada
Muktamar ke-3 tahun 1928, NU menetapkan Anggaran Dasar (Statuen) untuk
mendapatkan pengakuan pemerintah Belanda, namun pengakuan akhirnya baru
diterima pada tanggal 6 Februari 1930. Anggaran Dasar ini tidak menyebut hubungan
dengan Hijaz yang merupakan “janin” berdirinya NU. Ia menyebutkan dengan sangat
eksplisit bahwa tujuan-tujuan NU adalah mengembangkan ajaran-ajaran Ahlusunnah
Wal Jama’ah.21
Pada awal pembentukan NU, Hasyim Asy’ari terpilih sebagai Rais Am, dan
Ahmad Dahlan sebagai wakilnya sedangkan Wahab Hasbullah menduduki posisi
tertinggi ketiga sebagai Katib Syuriah. Demikianlah Wahab Hasbullah dan Hasyim
Asy’ari tampil pada peran yang berbeda, tetapi secara mutualistik saling memerlukan
dalam keberhasilan membentuk NU. Wahab Hasbullah menawarkan konsep dan
21 Feillard, NU Vis-à-vis Negara; Pencarian, Isi, Bentuk dan Makna, h. 11-13.
xxii
kemampuan berorganisasi sedangkan Hasyim Asy’ari memberikan legitimasi
keagamaan.22
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, yaitu tanggal 17 Agustus
1945. Dalam perjalanan sejarahnya NU pernah bergabung dengan Ormas Islam lain
dan melebur ke dalam satu wadah partai politik Islam yaitu partai Masyumi (Majelis
Syura Muslimin Indonesia) pada tahun 1947, yang kemudian disusul oleh NU lima
tahun kemudian (1952).
Setelah keluar dari Masyumi, NU kemudian menyatakan diri sebagai partai
politik Nahdlatul Ulama. Dengan demikian telah berlangsung suatu perubahan yang
drastis pada diri NU yaitu dari gerakan ide dan pemikiran atau sosial keagamaan
menjadi gerakan politik. Sejak saat itu politik bagi NU menjadi tumpuan segalanya.
Sedangkan wilayah garapan sebelumnya seperti agama, pendidikan dan sosial
hanyalah disubordinatkan atau dicangkokkan kepada politik. Ini terlihat dari cara
tempuhnya yang paling mudah yaitu merubah nama Jam’iyah NU menjadi partai
politik NU. Perubahan tersebut dilakukan mulai dari tingkat PBNU sampai ke tingkat
ranting.23
Gerakan politik tersebut memperoleh dukungan dari lingkungan eksternal
NU, yaitu Presiden Soekarno dengan sistem politik yang dibangunnya, yang
menjadikan politik sebagai “Cultural Focus” atau panglimanya. Pada saat itulah NU
22 Greg Fealy dan Greg Barton (ed), Tradisonalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, (Yogyakarta: LkiS, 1996), Cet. Ke-1, h.10-11.
23 Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985), Cet. Ke-1,
h. 119.
xxiii
boleh dikatakan sukses dalam bidang politik, dimana kepemimpinan umat Islam di
Indonesia yang biasannya dipegang oleh Masyumi telah bergerak ke Nahdlatul
Ulama. Tetapi dibalik kesuksesan tersebut sebenarnya berlangsung pula proses
perubahan yang menyangkut pada tiga hal yang prinsipil, yang dalam
perkembangannya merugikan NU sendiri. Tiga hal tersebut adalah: Pertama,
kepemimpinan para ulama yang tercermin dalam lembaga Syuriah telah mengalami
perubahan. Disadari atau tidak, kepemimpinan NU yang seharusnya berada di tangan
Syuriah telah diambil oleh Tanfidziyah yang terdiri dari para politisi. Kedua, sejalan
dengan hal yang pertama, maka pimpinan Syuriah telah disubordinasikan kepada
kepentingan politik. Ketiga, terjadi perubahan pandangan terhadap organisasi yang
sejak awalnya dipandang sebagai segala-galanya, karena hanya organisasilah
kepentingan seseorang atau kelompok akan tercapai. Secara ringkas dapat
disimpulkan bahwa pada periode ini telah terjadi waktu yang tingkat kesuksesan
politik paling optimal saat itu. Dan pada saat itu pula, telah terkandung benih-benih
kerusakan di tubuh organisasi NU sendiri.24
Setelah melalui fase tersebut, termasuk di dalamnya adanya intervensi dari
Orde Baru saat itu, Pemerintahan Soeharto menerbitkan kebijakan fusi partai sebagai
upaya menata kehidupan politik (Ali Moertopo sebagai pimpinan yang merancang
kekuatan menjadi tiga partai saja). NU Parmusi, PSSI dan Perti memfusikan dirinya
24 Lampiran Khittah NU, Dasar-dasar Paham Keagamaan NU, dalam Implementasi
Nahdliyah Menuju Indonesia Mutamaddin, yang diterbitkan oleh panitia muktamar NU ke XXX di Surabaya, (Jakarta: Fatma Press, 1999), Cet. Ke-1, h. 4.
xxiv
ke dalam satu partai yaitu PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Sedangkan PNI,
Partindo, IPKI, Partai Katholik dan Murba memfusikan ke dalam PDI (Partai
Demokrasi Indonesia) pada tanggal 10 Februari 1973. Semua itu dilakukan atas
desakan pemerintah untuk melaksanakan program penyederhanaan partai politik.
Selama 10 tahun di dalam PPP tidak banyak yang dilakukan oleh NU dan sering kali
dirugikan. Seperti kita ketahui NU adalah partai terbesar di dalam PPP. Menurut hasil
pemilu 1971, NU mendapat 58 kursi, PSII 10 kursi, Perti 2 kursi dan Parmusi 24
kursi, sedangkan Golkar sendiri memperoleh 226 kursi. Maka muncullah kesadaran
pada NU, untuk memfungsikan kembali organisasi ini seperti pada awalnya ia
didirikan. Dari sinilah tersusun Khittah 1926.25
Munas yang digelar pada tahun 1983, mempertegas hubungan NU dan partai
politik. NU telah bersiteguh untuk keluar dari partai politik (PPP) dan menjadi
organisasi sosial keagamaan. Hal penting yang dicatat dalam Munas ini adalah
sebagai berikut:
“Hak berpolitik adalah salah satu hak asasi seluruh warga negara, termasuk warga negara yang menjadi anggota Nahdlatul Ulama. Tetapi Nahdlatul Ulama bukan merupakan wadah bagi kegiatan politik praktis. Penggunaan hak berpolitik dilakukan menurut ketentuan perundang-undangan yang ada dan dilaksanakan dengan akhlaqul karimah sesuai dengan ajaran Islam, sehingga tercipta kebudayaan politik yang sehat. Nahdlatul Ulama menghargai warga negara yang menggunakan hak politiknya secara baik, bersungguh-sungguh dan bertanggung jawab.”26
25 Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana, h. 103. 26 Ibid, h. 127-128.
xxv
Dengan diterimanya rumusan fundamental dan ideal di atas, maka segera
diadakan Muktamar di Situbondo yang berlangsung pada tanggal 8-12 Desember
1984 yang menghasilkan beberapa keputusan penting, yaitu:27
1) Penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal atau landasan dasar NU.
2) Pemulihan keutamaan kepemimpinan ulama dengan menegaskan supremasi
Syuriah dan Tanfidziyah dalam status hukum.
3) Penarikan diri dari ‘politik praktis’ dengan cara melarang pengurus NU secara
bersamaan memegang kepengurusan di dalam partai politik.
4) Pemilihan pengurus baru dengan usulan program baru yang lebih menekankan
pada bidang-bidang non-politik.
Dengan diputuskannya Khittah NU 1926, ini merupakan kilas balik NU
menjelaskan identitas dirinya kembali sebagai organisasi sosial kemasyarakatan
keagamaan yang tidak masuk dalam sekat politik praktis tertentu. Reposisi NU ini,
mejadikannya sebagai bagian dari kelompok gerakan yang berupaya melakukan
pemberdayaan warganya baik dalam persoalan pendidikan, dakwah, penyadaran
politik, peningkatan ekonomi, pemikiran dan lainnya yang mengusung terjadinya
masyarakat yang berdaya dalam berbagai aspek kehidupan.
Pada masa reformasi, para kyai, ulama dan tokoh-tokoh NU yang
mengadakan pertemuan di Rembang di Pondok Pesantren pimpinan K.H. Chalil Bisri
sepakat untuk mendirikan sebuah partai untuk warga NU. Partai tersebut diberi nama
27 Aziz Dy, dkk, Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia, h. 245.
xxvi
“Partai Kebangkitan Umat”. Dalam perkembangan selanjutnya partai tersebut yang
direstui oleh PBNU, diberi nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur waktu itu sebagai ketua umum PBNU
memandang gagasan ini adalah sah-sah saja sebagaimana sahnya kelompok lain
untuk mendirikan partai bagi kelompoknya, asal partai tersebut tidak
mengatasnamakan NU.
Walaupun NU telah memutuskan untuk berkonsentrasi pada bidang garapan
sosial keagamaan (sesuai dengan kembalinya ke Khittah 1926), namun godaan-
godaan politik selalu datang menerpanya. Godaan dan politik ini datang dari dua
arah. Pertama, dari partai-partai politik yang mempunyai kepentingan terhadap NU
dan massa NU yang besar untuk mendukung kepentingan partai politik tadi. Kedua,
dari tokoh-tokoh NU sendiri yang berkiprah di berbagai politik dengan cara
menggiring NU dan massanya untuk mendukung kepentingan politik mereka. NU,
secara langsung maupun tidak langsung, akan selalu terkena dampak politik. Sebab,
banyak tokoh NU yang secara aktif terjun sebagai politisi di berbagai partai politik.28
B. Karakteristik Paham Keagamaan
Kata ahlu al-sunnah wa al-jama’ah terdiri dari tiga suku kata, yaitu ahl yang
berarti kelompok atau golongan; sunnah yang berarti sunnah Nabi atau hadits; dan
28 Faisal Ismail, Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik, (Jakarta: Departemen
Agama RI, 2004), Cet. Ke-1, h. 54.
xxvii
jama’ah yang berarti mayoritas.29 Jadi, secara harfiah Ahlussunnah wal Jama’ah
berarti penganut Sunnah Nabi Muhammad dan jama’ah (sahabat-sahabatnya). Dalam
kajian ilmu kalam, istilah Ahlussunnah wal Jama'ah ini sudah banyak dipakai sejak
masa sahabat, sampai generasi-generasi berikutnya. Penyebutan Ahlussunnah wal
Jama'ah ini juga digunakan untuk membedakan kelompok ini dari kelompok lain
seperti Syi'ah, Khawarij, Murji'ah dan Mu'tazilah.
Istilah Aswaja (Ahlussunnah wal Jama’ah) bagi umat Islam pada umumnya
dan terutama di Indonesia khususnya, bukanlah istilah baru. Sekalipun demikian,
tidak jarang istilah ini dipahami secara berbeda. Yang pertama, dalam kaca mata
sejarah Islam, istilah ini merujuk pada munculnya wacana tandingan (Counter-
discours) terhadap membiaknya paham Muktazilah di dunia Islam, terutama pada
masa Abbasiyah. Pada akhir abad ke-3 Hijriyah, hampir bersamaan dengan masa
berkuasanya Khalifah al-Mutawakkil, muncul dua orang tokoh yaitu Abu Hasan al-
Asy’ari di Basrah dan Abu Manshur al-Maturidi di Samarkand. Dari kedua pemikir-
tokoh ini, secara bersama-sama bersatu membendung kuatnya gejala hegemoni
paham Muktazilah yang dilancarkan para tokoh dan pengikutnya. Bahkan, hal ini
menjadi mainstream (arus utama) pemikiran keagamaan di dunia Islam yang
kemudian mengkristal menjadi sebuah gelombang pemikiran keagamaan, atau yang
sering dinisbatkan dengan sebutan Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah yang kemudian
populer disebut Aswaja. Kedua, istilah Aswaja populer di kalangan umat Islam,
29 Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam (Jakarta: Kencana,
2003), Cet. Ke-I, h. 17.
xxviii
terutama didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, at-
Tirmidzi, dan Ibn Majah dari Abu Hurairah. 30
Sejak awal berdirinya NU menegaskan diri sebagai jam’iyyah yang
merupakan penganut Ahlussunnah wal Jama’ah yang bersumber pada: Al-Qur’an, as-
Sunnah, al-Ijma’, al-Qiyas (menyamakan suatu masalah yang tidak terdapat ketentuan
hukumnya dalam nash dengan masalah yang telah ada ketentuan hukumnya dalam
nash karena adanya persamaan motif hukum antara kedua masalah).31 Seperti pada
umumnya, NU memahami hakekat Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah ajaran Islam
yang murni sebagaimana yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw.
bersama para sahabatnya. Pengertian ini didasarkan pada hadits berikut:
تفرقت على ثنتين وسبعين ملة وتفترق امتي على ثالث إن بني إسرائيلومن هي يا رسول اهللا؟ : وسبعين ملة آلهم في النار إال ملة واحدة قالوا
)رواه الترمذي. (ما انا عليه واصحابي: قال Artinya: “Bahwasannya Bani Israil telah berfirqah-firqah sebanyak 72 millah
(firqah) dan akan berfirqah umatku sebanyak 73 firqah, semuanya masuk neraka kecuali satu”. Sahabat-sahabat yang mendengar ucapan ini bertanya: “Siapakah yang satu itu Ya Rasulullah?” Nabi menjawab: “Yang satu itu ialah orang yang berpegang (beri’tiqad) sebagai peganganku (i’tiqadku) dan pegangan-pegangan sahabatku”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi)32
30 Aziz Dy, dkk, Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia, h. 61-62. 31 Marijan, Quo Vadis NU, h. 21. 32 Imam Tirmizi, Shahih at-Tirmizi, (Kairo: Maktabah al-Mashriyyah, 1931), Jil.VII, Juz 13,
h. 109.
xxix
والذى نفس محمد بيده لتفترق امتى على ثالث وسبعين فرقة فواحدة فى اهل السنة : من هم يا رسول اهللا؟ قال: الجنة وثنتان وسبعون فى النار قيل
)رواه الطبرانى. (والجماعة
Artinya: Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad ditanganNya, akan berfirqah ummatku sebanyak 73 firqah yang satu masuk surga dan yang lain masuk neraka. Bertanya para sahabat: “Siapakah firqah (yang tidak masuk neraka) itu Ya Rasulullah?” Nabi menjawab: “Ahlussunnah Wal-Jama’ah”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Thabrani)33
Dalam kajian Ilmu kalam, masalah firqah (pengelompokan) yang
dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah dalam masalah akidah atau ushuluddin,
bukan dalam masalah fiqhiyah (furu'iyah) maupun masalah-masalah ijtima'iyah.
Meskipun demikian ada implikasinya (keterkaitannya) dengan masalah-masalah di
luar akidah. Sebagai contoh, Syi'ah yang meyakini supremasi kepemimpinan pada
keturunan Nabi Muhammad saw. menganggap bahwa para imam mereka itu ma'shum
(tidak bisa salah), ini jelas dapat berpengaruh pada ijtima'iyah, utamanya masalah
politik dan pemerintahan. Juga mereka hanya menerima hadits-hadits yang sanadnya
bersumber dari "ahlul bait" (lingkungan internal keluarga Nabi saw.), padahal
sebagian hadits justru dari sumber-sumber di luar ahlul bait. Akibatnya akan banyak
berpengaruh dalam pandangan fiqihnya. Tapi sering kali di lingkungan Nahdliyin,
terdapat pernyataan-pernyataan yang menggunakan masalah khilafiyah fiqhiyah
(perbedaan masalah fiqih) sebagai seseorang itu Ahlussunnah atau bukan. Misalnya,
orang yang membaca qunut pada shalat Subuh itu Ahlussunnah, dan kalau tidak itu
33 Syaharstani, al-Milal wa an-Nihal, (Kairo: Maktabah al-Halabi, 1968), Juz I, h. 11.
xxx
bukan Ahlussunnah. Atau mengatakan: Orang yang tarawihnya 20 rekaat itu
ahlusunnah, sedangkan yang tarawihnya 8 rekaat itu bukan. Pernyataan seperti itu,
jelas tidak valid (tidak tepat) dan di luar konteks ahlusunnah, karena hal tersebut
masuk dalam kajian "Madzâhib Fiqhiyah", bukan masalah ushuluddin.34
Dalam memahami dan menafsirkan Islam, NU mengikuti paham Ahlussunnah
Wal-Jama’ah dan menggunakan cara bermazhab. Hal ini ditegaskan dalam Muktamar
NU ke-26 di Semarang (1979) sebagai berikut:
Nahdlatul Ulama bertujuan (a). Menegakkan syari’at Islam menurut Ahlussunnah Wal-Jama’ah, ialah ahli mazhaibil arba’ah (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali); (b). Mengusahakan berlakunya ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam masyarakat. 35 Anggaran Dasar NU sebagai berikut, “Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyah
Diniah Islamiyah menurut paham Ahlussunnah Wal-Jama’ah dan berpegang teguh
kepada tradisi sebagai berikut:
1) Bidang Akidah (Kalam)
Kata akidah merupakan masdar (infinitif) dari kata kerja ‘aqada yang
berarti “ikatan”. Dalam Islam akidah dimaknakan sebagai keyakinan-keyakinan
dasar Islam yang harus diyakini oleh setiap muslim. Secara umum keyakinan-
keyakinan itu terbagi kepada tiga kelompok, yaitu:
34 Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jama’ah: dalam Persepsi dan Tradisi NU,
(Jakarta: Lantabora Press, 2005), Cet. Ke-3, h. 8. 35 Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Lajnah Ta’lif
wan Nasyr Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ), h. 7.
xxxi
a. Pengenalan terhadap sumber keyakinan (ma’rifat al-mabda’), yaitu
keberadaan Tuhan.
b. Pengenalan terhadap hal-hal yang dijanjikan akan keberadaannya
(ma’rifat al-ma’ad) yaitu keberadaan hari kiamat, surga, neraka, shirat,
mizan, takdir dan lain-lain.
c. Pengenalan terhadap penyampai ajaran-ajaran agama (ma’rifat al-
wasithah), yaitu keberadaan Nabi dan Rasul, kitab suci, malaikat.
Ketiga bidang ini harus diyakini keberadaannya, kemudian dinyatakan
dalam bentuk ungkapan dan dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Dengan
demikian, akidah atau keimanan sangat menentukan posisi seorang muslim.
Akidahlah yang membedakan seorang muslim dan kafir, seorang yang
mengesakan Tuhan (muwahhid) dan menyekutukan Tuhan (musyrik). 36
Dalam bidang akidah (kalam), NU mengikuti Imam Asy’ari dan Imam
Maturidi. Mereka dikenal sebagai pelopor Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Al-Asy’ari
adalah pengikut Mazhab Syafi’i, sedangkan Al-Maturidi sebagai pengikut
Mazhab Hanafi.37 Dalam pemikiran kalamnya Asy’ari mendahulukan dalil naqli
daripada dalil aqli (taqdim al-naql ‘ala al-‘aql), sedangkan Maturidi sebaliknya,
mendahulukan dalil aqli daripada naqli (taqdim al-‘aql ‘ala al-naql). Paham
Ahlussunnah wal Jama’ah menempatkan nash al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai
36 Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam (Jakarta: Kencana, 2003), Cet. Ke-I, h. 37.
37 Siradjudin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal-Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2003),
Cet. Ke-25, h. 3.
xxxii
otoritas utama yang berfungsi sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam
memahami ajaran Islam. Dalam kaitan ini, akal yang mempunyai potensi untuk
membuat penalaran logika, filsafat, dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang
kemudian dijadikan sebagai alat bantu untuk memahami nash tersebut.38
2) Bidang Syari'ah atau Fiqih
Syari'ah atau fiqih merupakan aspek keagamaan yang berhubungan
dengan kegiatan ibadah dan mu'amalah. Ibadah merupakan tuntutan formal yang
berhubungan dengan tata cara seorang hamba dalam berhadapan dengan
Tuhannya, seperti yang tergabung dalam rukun Islam. Adapun mu'amalah
merupakan bentuk kegiatan ibadah (penghambaan kepada Allah atau pengamalan
ajaran agama) yang bersifat sosial, menyangkut hubungan manusia sesamanya
secara horizontal (habl min an-nas).
Di bidang syari'ah atau fiqih, warga Nahdlatul Ulama berpegang teguh
kepada al-Qur’an dan hadits dengan menggunakan metode yang dapat
dipertanggungjawabkan. Hanya saja untuk memahami dua sumber utama Islam
tersebut, menurut paham Ahlussunnah wal Jama'ah tidak semua orang akan dapat
menerjermahkan dan memahami secara langsung. Sebagaimana diketahui,
kebanyakan nash al-Qur'an maupun Sunnah berbicara tentang pokok dan prinsip-
prinsip (ashl; ushul) masalah. Hal ini membutuhkan penjabaran dengan metode
38 Aziz Dy, dkk, Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia, h. 150-151.
xxxiii
pengambilan hukum tertentu, sehingga dapat diperjelas apa saja yang menjadi
cabang-cabangnya (far'; furu').
Di kalangan ulama-ulama Nahdliyin untuk melakukan penetapan suatu
hukum diperlukan "istinbat" bukan menggunakan istilah ijtihad yang tidak semua
orang mampu melakuknnya, karena dalam prakteknya para ulama telah
melakukan aktifitas ijtihad secara kolektif dalam menetapkan pilihan hukum dari
pendapat para ulama mazhab yang mereka jadikan pedoman (walaupun dalam
kajian fiqih dan ushul fiqih kedua istilah antara ijtihad dan istinbat tersebut tidak
banyak berbeda). Itulah sebabnya mengapa kaum Ahlussunnah wal Jama'ah,
mengikuti mazhab tertentu dalam memahami ajaran agamanya menjadi penting.
Mazhab yang digunakan NU adalah mazhab empat, yaitu mazhab fiqih terbesar
yang dirintis oleh imam mazhab, yakni para mujtahid mutsaqil yang masing-
masing mempunyai konsep metodologi (nadhrah manhajiah) sendiri, melahirkan
fatwa-fatwa masalah fiqih yang relatif lengkap, dan kesemuanya ditulis secara
sistematis menjadi karya tulis yang dapat dipelajari dan dikaji oleh para
pengikutnya dan orang lain yang berminat. Para imam Mazhab Empat tersebut
adalah:39 pertama, Imam Abu Hanifah Nu'man bin Tsabit, lahir pada tahun 80 H.
dan wafat tahun 150 H. di Bagdad. Imam Abu Hanifah berdarah Persia, digelari
"al-Imam al-A'dhom", menjadi tokoh panutan di Irak, penganut aliran ahli ra'yu
dan menjadi tokoh sentralnya. Di antara metodologi/manhaj istinbatnya yang
terkenal adalah al-Istihân. Fiqih Abu Hanifah yang menjadi rujukan utama
39 Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jama’ah, h. 121-123.
xxxiv
mazhab Hanafi, ditulis dua orang murid utamanya, yaitu Imam Abu Yusuf bin
Ibrahim dan Imam Muhammad bin Hasan al-Syaibani.
Kedua, Imam Malik bin Anas, lahir pada tahun 93 H. dan wafat tahun 179
H. di Madinah. Imam Malik dikenal sebagai "Imam Ahl al-Madinah". Imam
Malik seorang ahli hadits yang sangat terkenal, sehingga kitab monumentalnya
yang dinamai 'al-Muwatha'" dinilai sebagai hadits hukum yang paling sahih,
sebelum adanya Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim. Imam Malik mempunyai
konsep manhaj istinbat yang berpengaruh sampai sekarang, yaitu: "al-Maslahah
al-Mursalah".
Ketiga, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi'i, lahir pada tahun 150 H. di
Ghozza dan wafat pada tahun 204 H. di Mesir. Imam Syafi'i mempunyai latar
belakang keilmuan yang memadukan antara ahl al-hadits dan ahl al-ra'yu, karena
cukup lama menjadi murid Imam Malik di Madinah dan cukup waktu belajar
kepada Imam Muhammad bin Hasan di Bagdad. Metodologi istinbatnya ditulis
menjadi buku pertama dalam ushul fiqih, yakni al-Risalah. Pendapat-pendapat
dan fatwa-fatwa fiqih Imam Syafi'i ada dua macam: (a) al-Qaul al-Qadîm (yang
disampaikan selama berada di Bagdad) dan (b) al-Qaul al-Jadîd (yang
disampaikan setelah berada di Mesir, pendapat ini terhimpun dalam kitab "al-
Um").
Dan keempat, Imam Ahmad bin Hanbal, lahir pada tahun 164 H dan wafat
pada tahun 241 H di Bagdad. Imam Ahmad terkenal sebagai tokoh ahl al-hadits.
Beliau adalah seorang murid Imam Syafi'i selama di Bagdad dan sangat
xxxv
menghormati kepada Imam Syafi'i. Beliau mewariskan sebuah kitab hadits yang
terkait dengan hukum-hukum Islam, yakni "Musnad ibn Hanbal".
Fiqih menempati posisi sentral dalam kehidupan masyarakat NU, baik
kerangka teoritisnya (ushul al-fiqh) maupun kaidah-kaidah fiqih (qawaid al-
fiqhiyyah). Segala perilaku sehari-hari, selalu dilihat berdasarkan kacamata fiqih.
Perhatian yang begitu besar terhadap fiqih sesungguhnya merupakan wujud dari
adanya sikap hati-hati yang sangat kuat di kalangan warga NU.40
Tidak aneh apabila para pendiri NU mengambil sikap bijksana atas dasar
moderatnya (tawasuth), yakni memadukan antara visi ahlu hadits dan visi ahlu
ra'yu dengan memilih Mazhab Empat sebagai rujukan pemahaman dan
pengalaman hukum fiqihnya. Dengan demikian ditegaskan sebagai Qanun Asasi
(Peraturan Dasar) dalam NU sampai sekarang. Hanya saja dalam praktek dan
realitas yang berlaku dalam komunitas Nahdliyin, mulai dari ulama-ulama
pesantren sampai ulama-ulama struktural NU (Syuriyah) sampai dengan kaum
awam warga Nahdliyin, 99 % mengikuti mazhab Syafi'i, atau lebih tegasnya
sebagai pengikut "Fuqaha'u al-Syafi'iyah" (Ulama-ulama fiqih mazhab Syafi'i)
terutama dalam masalah ibadah/ubudiyah.
3) Bidang Tasawuf
Secara bahasa para ulama berselisih pendapat tentang asal pengambilan
kata tasawuf, apakah kata itu diambil dari kata ash-shafa’ (jernih), ash-shuf (kain
40 Alaena, NU, Kritisme dan Pergeseran Makna Aswaja, h. 53-54.
xxxvi
wol), ash-shuffah (penghuni emper masjid), ash-shaf (barisan), atau yang lain.
Syaikh Abdul Qadir Jailani berpendapat bahwa kata tasawuf diambil dari kata
ash-shafa’ ar-ruhi (kejernihan jiwa) beralasan bahwa, kata ash-shufiyah
mengandung makna yang mendalam dan prinsip-prinsip yang tinggi. Abdul Qadir
Jailani mendefinisikan seorang sufi sebagai orang yang jernih batinnya dan secara
lahir mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Sedangkan al-Junaid bin Muhammad mengartikan tasawuf dengan dzikir
bersama-sama, cinta dengan mendengar, dan mengerjakan dengan mengikuti.41
Ibrahim Basyuni dalam kajian kritisnya setelah menelaah sekitar 40 macam
definisi yang ditemukan antara tahun 200-334 H, dan dirumuskan dalam kalimat:
“Tasawuf adalah kesadaran fitrah manusia (tayaqqudh fithriy) yang mengarahkan
jiwa tulus dan bersih untuk terus berupaya mencapai kenikmatan rasa
berhubungan dekat dengan Yang Maha Wujud (al-Wujud al-Muthlaq). Rumusan
tersebut mempunyai arti sebagai berikut:
a. Fitrah manusia merasakan dan menyadari bahwa apa yang terlihat dan
terdapat disekitarnya belumlah merupakan keseluruhan wujud. Dibelakang itu
masih ada wujud yang lain yang tidak terlihat oleh indera (ghoib), bahkan ada
terdapat kekuatan wujud Maha Besar (Tuhan) dimana jiwa manusia
merindukan untuk dapat menemukan-Nya, untuk mendekat dan
41 Said bin Musfir al-Qahthani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailan. Penerjemah
Munirul Abidin, (Jakarta: Darul Falah, 2003), Cet. Ke-3, h. 401.
xxxvii
berkomunikasi dengan-Nya. Kesadaran ini disebut sebagai “Fase al-Bidayah”
(tahap kesadaran awal).
b. Kesadaran diatas mendorong jiwa manusia melakukan pembersihan diri dari
selera nafsu, dari godaan kenikmatan duniawi, dan konsentrasi untuk selalu
ingat (dzikir) dan berkomunikasi (munajah) dengan Tuhan tahapan ini disebut
“Fase al-Mujahadah”. Rangkaian perjuangan dan latihan rohani (spiritual
exercise) yang umumnya para sufi memulai urutan dari: taubat42, zuhud,43
wara’,44 sampai kema’rifah. Capaian dan prestasi dari mujahadah ini akan
menentukan pada strata (maqam/maqamat) dimana seorang sufi berada, dan
pada masing-masing strata akan memberikan kondisi rohani (hal/ahwal) yang
dirasakan oleh sufi yang bersangkutan.
Tasawuf selalu berkaitan dengan disiplin moral, ketekunan beribadah,
ketahanan mental dari berbagai macam godaan duniawi, konsisten dalam latihan
spiritual (mujahadah), dan komitmen yang tidak terbatas untuk dapat sampai
kepada Allah yang benar (al-wujud al-haq). Untuk mencapai nilai-nilai ihsan,
maka tasawuf menjadi bagian penting dalam pengalaman agama menurut
Ahlussunnah wal Jama’ah. NU, dalam hal ini mengambil jalan untuk
42 Taubat adalah kemauan mengambil langkah nyata dalam perbuatan langkah nyata, dalam
perbuatan dan prilaku, dengan meninggalkan semua perbuatan penyimpangan/pelanggaran yang pernah dilakukan.
43 Zuhud adalah mendekatkan diri pada Tuhan dan membuang segala kenikmatan duniawi
karena kenikmatan duniawi dipandang lebih kecil dibandingkan kenikmatan akhirat. 44 Wara’ adalah mejauhkan diri dari segala perbuatan yang berbau subhat (yang tidak jelas
hukumnya halal atau haram).
xxxviii
memfokuskan wacana tasawuf yang dikembangkan oleh Abu Hamid al-Ghazali,
Abu Qasim al-Junaidi al-Baghdadi, dan imam-imam lainnya yang memadukan
antara syari’ah dan tasawuf. Ciri yang paling menonjol dari ajaran mereka adalah
bahwa ajaran tasawuf harus dibangun di atas landasan syariat, tasawuf harus
selalu menempel pada ketentuan syariat atau tasawuf merupakan tahap lanjut
kehidupan orang-orang yang telah mantap syariatnya. Alasan perpaduan kedua
unsur ini yang mendasari pilihan NU terhadap wacana tasawuf yang
dikembangkan oleh imam-imam tersebut. Nahdlatul ulama dan warganya
memang sangat perhatian (concern) terhadap tasawuf, baik secara kelembagaan
maupun secara pengalaman. Hal itu dibuktikan dengan adanya badan otonom
dalam NU yang bernama “Jami’iyah at-Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah”,
juga dalam kehidupan sehari-hari seperti: Tahlilan, istighosah, wirid, tirakat dan
lain-lain45
Dengan perkataan lain, apa yang menjadi ruang lingkup dari paham
Ahlussunnah wal Jama’ah tersebut pada dasarnya merupakan antara nilai-nilai iman,
Islam, dan ihsan. Iman menggambarkan suatu keyakinan, sedangkan Islam
menggambarkan syari’ah atau fiqih, dan ihsan menggambarkan kesempurnaan iman
dan Islam seseorang.46
C. Kiprah NU dalam Kehidupan Bermasyarakat
45 Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jama’ah, h. 200. 46 Aziz Dy, dkk, Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia, h. 153.
xxxix
Nahdlatul Ulama adalah termasuk salah satu organisasi yang sepanjang
perjalanan sejarahnya senantiasa mengalami perubahan orientasi. Ia lahir sebagai
organisasi sosial keagamaan, namun kemudian berkembang dan menjadi lebih besar
setelah terlibat aktif dalam politik praktis. Jika dicermati secara seksama, perubahan-
perubahan yang dilakukan itu ternyata bukan hanya menyangkut persoalan “identitas”
organisasi. Akan tetapi, perubahan-perubahan itu dapat dilihat pada sejumlah kasus
yang berhubungan dengan kebijakan-kebijakan yang diambil, terutama sekali yang
berhubungan dengan masalah politik. Pada saat itu NU tampak sebagai organisasi
yang akomodatif dan bahkan kompromistik dengan kekuasaan. Namun pada saat
yang berlainan ia justru memperlihatkan sosok yang begitu kritis dan militan.47
Di masa awal berdirinya, NU menitikberatkan perjuangannya di bidang
pendidikan, sosial dan perekonomian. Para ulama berbasis pesantren mulai berpikir
mengupayakan terwujudnya sarana prasarana mendasar masyarakat agar dapat
menjalankan aktivitas ritualnya dengan baik. Nahdlatul Ulama berupaya mendirikan
lembaga-lembaga sosial sebagai solusi atas problem kemasyarakatan. Sedangkan di
bidang pendidikan, Nahdlatul Ulama berupaya memperbanyak pendirian lembaga-
lembaga pendidikan yang berbasis Islam. Pada praktiknya, NU mendorong terjadinya
pembaruan pendidikan dan kerja-kerja karitatif. Sistem madrasah/sekolah
diperkenalkan dengan tetap melestarikan sistem pendidikan ala pesantren. Di bidang
perekonomian, Nahdlatul Ulama berusaha melakukan modernisasi di bidang
47 Alaena, NU, Kritisme dan Pergeseran Makna Aswaja, h. 65.
xl
pertanian, perdagangan dan industri. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan
mendirikan badan-badan usaha; misalnya koperasi.48
NU menyadari sepenuhnya, baik sebagai jam’iyah maupun jama’ah,
eksistensinya tidak bisa lepas dari masyarakat. Di samping mengadakan hubungan
secara vertikal (dengan para ulama) maupun horizontal (dengan masyarakat sekitar).
NU memiliki sikap yang jelas dan tegas dalam berhubungan dengan masyarakat
tersebut yang mendapat inspirasi dari dasar-dasar pendirian paham keagamaannya.
Sikap ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: tawassuth, i’tidal, tasamuh, tawazun, dan
amar ma’ruf nahi munkar.
1) Tawassuth dan i’tidal
Tawassuth berarti sikap tengah atau moderat yang mencoba menengahi di
antara dua kubu, pemikiran atau tindakan yang bertentangan secara ekstrem di
dalam kehidupan sosial masyarakat. Sikap ini selalu menumbuhkan sikap lain
yang berkaitan, yaitu sikap adil (i’tidal) dalam upaya mewujudkan keadilan,
suatu bentuk tindakan yang dihasilkan dari berbagai pertimbangan. Oleh
karena itu, NU tidak menggunakan patokan-patokan legal-formal semata
dalam memberikan pemecahan terhadap suatu masalah, tetapi juga
menggunakan pertimbangan-pertimbangan sosiologis, psikologis, dan
sebagainya. Melalui sikap tawassuth dan i’tidal ini, NU beriktikad menjadi
kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus serta selalu bersifat
48 Hilmi Muhammadiyah dan Sulthan Fatoni, NU: Identitas Islam Indonesia, (Jakarta: Elsas
2004), Cet. Ke-1, h. 122.
xli
membangun dan serta menghindari segala pendekatan yang bersifat ekstrem
(tatharruf). NU dapat mengakomodasi berbagai kepentingan dan pemikiran
masyarakat yang heterogen latar belakangnya, baik sosial, politik, maupun
budaya serta menjadi perekat untuk memperkukuh eksistensi masyarakat yang
bersatu, rukun, damai yang ditopang oleh kesadaran bersama. 49
2) Tasamuh (Toleran)
Sikap tasamuh ini berarti memberikan tempat dan kesempatan yang sama
pada siapa pun tanpa memandang perbedaan latar belakang apapun. Dasar
pertimbangannya murni karena integritas, kualitas dan kemampuan pribadi.
Sikap tasamuh juga nampak dalam memandang perbedaan pendapat baik
dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi
masalah khilafiah, serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan. NU
menyadari benar bahwa orang lain tidak bisa dipaksa mengikuti
pandangannya sehingga tidak perlu dihujat, dilecehkan dan dicaci maki,
melainkan pandangan orang lain itu dihargai dan dihormati.50
3) Tawazun (Seimbang)
Sikap tawazun adalah sikap seimbang dalam berkhidmah, khidmah kepada
Allah Swt. (habl min Allah), khidmah kepada sesama manusia (habl min al-
nas) maupun dengan alam lingkungannya. Termasuk sikap ini adalah
49 Qomar, NU Liberal dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, h. 91. 50 PBNU, Jati Diri Nahdlatul Ulama, (Jakarta: PBNU, 2002), h. 18.
xlii
seimbang dalam menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa
mendatang. Atas dasar sikap ini NU tidak membenarkan kehidupan yang berat
sebelah, misalnya seseorang rajin beribadah tetapi tidak mau bekerja sehingga
menyebabkan keluarganya terlantar. Jalinan berbagai hubungan ini
diupayakan membentuk suatu pribadi yang memiliki ketaqwaan mendalam
kepada Allah Swt., memiliki hubungan sosial yang harmonis dengan sesama
manusia termasuk dengan non-Muslim sekalipun, dan memiliki kepedulian
untuk menjaga kelestarian alam lingkungannya.51
4) Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Menurut Nurcholish Madjid, ma’ruf sering diterjemahkan dengan arti
kebaikan. Kalau kita dekati lagi dari segi bahasa itu satu akar dengan kata
‘arafa’-ya’rifu yang berarti tahu. Maka al-ma’ruf adalah yang diketahui
dengan baik. Sedangkan munkar menurutnya adalah fasaad fil ardh, yaitu
melakukan pengerusakan di bumi.52 Jadi sikap amar ma’ruf nahi munkar
adalah sikap yang mendorong amal perbuatan yang baik dan mencegah
kemungkaran. Sikap ini sebagai realisasi dari keterlibatan NU untuk
membangun masyarakat yang selalu memiliki kepekaan, keterlibatan dan
tanggung jawab untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan
bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta mewujudkan upaya preventif dalam
51 PBNU, Jati Diri Nahdlatul Ulama, h. 19. 52 Nurcholish Madjid, Pesan-Pesan Taqwa, (Jakarta: Paramadina, 2005), h.134.
xliii
semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.
Amar ma’ruf nahi munkar lebih memiliki makna dan fungsi ruh keagamaan
yang senantiasa memberikan motivasi, makna, arah dan kontrol agar manusia
dan masyarakatnya senantiasa tetap terjaga kemartabatan dirinya.53
Keempat kemasyarakatan NU ini selanjutnya diaktualisasikan ke dalam “lima
jaminan dasar kehidupan” atau yang dikenal dalam ilmu fiqih sebagai al-Kuliyat al-
Khamsah, dengan pemaknaan sebagai berikut:
(1) Jaminan hak terhadap keyakinan keagamaan atau Hifzh al-Din,
(2) Jaminan hak untuk hidup dan berkembang secara layak atau Hifzh an-Nafs,
(3) Jaminan hak berekspresi dan berpendapat secara bebas atau Hifzh al-‘Aql,
(4) Jaminan hak masa depan keturunan dan generasi yang baik serta berkalitas atau
Hifzh an-Nasl, dan
(5) Jaminan hak milik, harta benda, dan sejenisnya atau Hifzh al-Maal.
53 PBNU, Jati Diri Nahdlatul Ulama, h. 19
xliv
BAB III
WAWASAN KEBANGSAAN DAN KHILAFAH ISLAMIYAH
A. Pengertian Wawasan Kebangsaan
Kata wawasan berasal dari kata “wawas” yang mempunyai arti tinjauan,
pandangan, konsepsi cara pandang. Sedangkan term “bangsa” sebagai akar kata
“kebangsaan”. Menurut kamus besar bahasa Indonesia kata “bangsa” memiliki arti
kesatuan orang-orang yang mempunyai kesamaan sejarah, kesamaan cita-cita dan
perjuangan serta berpemerintahan sendiri meskipun kemungkinan di antaranya ada
perbedaan dalam asal-usul keturunan (ras), keyakinan (agama) maupun bahasa. Dan
kata “kebangsaan” memiliki makna sebagai ciri-ciri yang menandai golongan
bangsa.54
Dalam kosa kata Arab sering dipakai dengan kata “qaum”, “syu’ub”, atau
“ummat”. Dalam al-Qur’an Allah menyebut term “qaum” 283 kali, “syu’ub” 2 kali,
dan “ummat” 64 kali. Dari ratusan ayat tersebut, paling tidak ada empat pointers yang
dapat kita tarik sebagai karakter suatu bangsa, antara lain;
1. Bahwa bangsa berarti komunitas manusia secara keseluruhan, sebagaimana dalam
firman-Nya: “kânan nâsu ummatan wâhidatan”55, manusia adalah ummat
(bangsa) yang satu.
54 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-I, h. 76. 55 Q.S. Al-Baqarah ayat 213.
xlv
2. Bahwa bangsa berarti hanya khusus kaum muslimin saja, seperti firman-Nya “wa
kadzâlika ja’alnâkum ummatan wasathan li-takûnû syuhadâ ‘alan-nâs’...”56, dan
demikian kami telah menjadikan kamu (umat Islam), ummat yang adil dan pilihan
agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia.
3. Bahwa ummat berarti seorang diri saja, misalnya firman Allah “innâ Ibrâhîma
kâna ummatan qânitan hanifan”57, sesungguhnya Ibrahim adalah ummat (bangsa,
imam) yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif (seorang
yang selalu berpegang kepada kebenaran dan tak pernah meninggalkannya).
4. Bahwa bangsa (ummat) itu meliputi seluruh mahluk di muka bumi, sebagaimana
dalam firman Allah “wa mâ min dâbbatin fil ardli wa lâ thâirin yathîru bi
janâhaihi illâ umamun amtsâlukum”,58 dan tiadalah binatang-binatang yang ada
di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan
bangsa-bangsa (umat-umat) seperti kamu.
Dari keempat karakter bangsa di atas, dapat ditarik suatu benang merah bahwa
hakikat kebangsaan tidak terlepas dari suatu generasi (al-jiil) dan komunitas. Realitas
sikap kebangsaan dalam tubuh umat Islam merupakan implementasi dari misi
“rahmatan lil-‘alamin” sehingga eksklusifitas mereka harus diminimalkan. Sikap
kebangsaan ini diaplikasikan Rasulullah saw. dalam membangun masyarakat
Madinah di bawah panji “Madinah Charter” (Watsiqah Madinah atau Piagam
56 Q.S. Al-Baqarah ayat 143. 57 Q.S. An-Nahl ayat 120. 58 Q.S. Al-An’am ayat 38.
xlvi
Madinah). Dalam perjanjian luhur yang mengikat Yahudi, Kristiani, Muslim dan
Paganis tersebut kata Islam dan al-Qur’an sama sekali tidak pernah ditampilkan.
Karakter ini dikuatkan dengan risalah terakhir dalam Islam yang disampaikan Nabi
saw. dalam Haji Wada’. Satu-satunya ibadah haji yang pernah dilakukan Rasulullah
semasa hidup tersebut, beliau berpesan kepada seluruh umat manusia untuk selalu
menghormati hak-hak seseorang, mengangkat kehormatan wanita, menghindarkan
pertumpahan darah. Inti khutbah perpisahan Nabi saw jika diaktualisasikan, bahwa
ke-Islam-an seseorang belumlah sempurna tanpa pelaksanaan hak-hak asasi manusia
di muka bumi.59
Di antara pemikir Sunni yang memulai menyebut gagasan al-Wathan (tanah
air) dalam konteks berbangsa dan bernegara adalah At-Thahthowi, kemudian
Abdurrahman al-Kawakibi pada awal abad ke-20 mempopulerkan istilah Wathoniyah
ketika berbicara mengenai sesuatu yang dapat menyatukan antara komunitas Arab-
Muslim dengan Arab non-Muslim, kemudian masalah al-Wathaniyah (nasionalisme
dan kebangsaan) baru muncul secara politik praktis, setelah kekuasaan kesultanan
Utsmaniyah dibubarkan oleh Kemal Ataturk di Turki dan lahirnya Negara Bangsa
(Nation State) yang pertama dalam masyarakat Islam Turki pada tahun 1924 M.60
59 Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri, (Jakarta: Pustaka
Ciganjur: 1999), Cet. Ke-1, h. 194. 60 Ibid..
xlvii
Menurut Quraish Shihab bahwa unsur-unsur yang mendasari paham
kebangsaan adalah:
1. Persatuan dan kesatuan
2. Asal keturunan, dalam hal ini Quraish Shihab mengambil contoh yang dilakukan
Rasulullah ketika di Madinah, yaitu dengan adanya Piagam Madinah yang berisi
ketentuan/kesepakatan masyarakat Madinah dalam satu ikatan yang justru
mengelompokkan anggotanya pada suku-suku tertentu dan masing-masing
dinamai ummat. Kemudian mereka yang berbeda agama itu bersepakat menjalin
kesatuan ketika membela kota Madinah. Hanya saja pengelompokkan dalam suku
bangsa tidak boleh menyebabkan fanatisme buta, apalagi menimbulkan sikap
superioritas dan pelecehan.
3. Bahasa, menurut Quraish Shihab bahwa bahasa bukan sekedar untuk
menyampaikan pembicaraan yang diucapkan oleh lidah, tetapi bahasa merupakan
jembatan penyalur perasaan dan pikiran. Karena itu pula kesatuan bahasa dapat
memelihara identitasnya, sekaligus menjadi bukti keberadaannya.
4. Adat-istiadat. Pikiran dan perasaan satu kelompok umat tercermin antara lain
dalam adat-istiadatnya. Dalam Islam pakar-pakar hukum menetapkan bahwa adat
kebiasaan dalam suatu masyarakat selama tidak bertentangan dengan prinsip
ajaran Islam, dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan hukum (al-adat
muhakkamah).
5. Sejarah. Persamaan sejarah muncul sebagai unsur kebangsaan, karena unsur ini
merupakan salah satu yang terpenting demi menyatukan perasaan, pikiran dan
xlviii
langkah-langkah masyarakat. Sejarah menjadi penting karena umat, bangsa dan
kelompok-kelompok dapat melihat dampak positif atau negatif pengalaman masa
lalu, kemudian mengambil sejarah untuk melangkah ke masa depan.
6. Cinta tanah air. Rasa kebangsaan tidak dapat dinyatakan adanya, tanpa dibuktikan
oleh patriotisme dan cinta tanah air.61
Jadi wawasan kebangsaan secara umum adalah tuntutan suatu bangsa untuk
mewujudkan jati dirinya serta mengembangkan prilakunya sebagai bangsa yang
meyakini nilai-nilai luhur budayanya, yang lahir dan tumbuh subur sebagai
penjelmaan kepribadiannya62. Dalam negara Indonesia realitas konsep wawasan
kebangsaan ini direalisasikan untuk meng-counter konsep-konsep primordial,
sektarian dan paham-paham lain yang dapat merangsang timbulnya masalah-masalah
SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) yang dapat menimbulkan kerawanan
terhadap persatuan bangsa.
B. Paradigma Pemikiran tentang Islam dan Politik
Politik merupakan salah satu dimensi dari sekian banyak dimensi ajaran
Islam. Islam tidak hanya merupakan sistem kepercayaan dan sistem ibadah, tetapi
juga sistem kemasyarakatan. Sebagai salah satu bagian dari aspek kemasyarakatan,
politik yang diungkapkan dalam bentuk garis besar atau prinsip-prinsip umum saja,
61 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan, 1997), Cet. Ke-4, h. 334-335. 62 Ginanjar Kartasasmita, Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan
Pemerataan (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1996).
xlix
menimbulkan perbedaan interpretasi yang mengakibatkan beragamnya pemikiran dan
aksi politik. Hal ini kemudian menjadi bahan perdebatan yang tak berkesudahan di
kalangan para pemikir muslim. Menurut Mumtaz Ahmad, masalah-masalah yang
mendapat sorotan tajam antara lain berkaitan dengan hakikat, karakteristik serta ruang
lingkup suatu negara Islam dan sistem politik Islam yang khas.63
Sementara menurut John L. Esposito, tidak adanya model yang konkrit
tentang apa yang disebut sebagai “Negara Islam” menjurus pada kebingungan dan
ketidak-sepakatan. Kebingungan tersebut menurut Esposito disebabkan oleh empat
faktor: (1) Negara yang didirikan oleh Nabi Muhammad Saw. di Madinah yang
dipandang ideal ternyata tidak memberikan suatu model terperinci; (2) Pelaksanaan
Khilafah pada Bani Ummayyah dan Bani Abbasiyyah hanya memberikan suatu
kerangka mengenai lembaga-lembaga politik dan perpajakan; (3) Pembahasan
mengenai rumusan ideal (hukum Islam dan teori politik) hanya menghasilkan
rumusan idealis dan teoritis dari suatu masyarakat yang utopian; dan (4) Hubungan
agama dan negara dari masa ke masa menjadi subjek bagi keragaman interpretasi. 64
Walaupun demikian, upaya untuk mencari rumusan ideal tentang negara
dalam Islam terus diupayakan oleh para pemikir Islam. Menurut Dien Syamsuddin,
bahwa upaya pencarian konsep ini mengandung dua maksud, yaitu: pertama, untuk
menemukan idealitas Islam tentang negara yang menekankan pada aspek teoritis dan
63 Mumtaz Ahmad, (ed.), Masalah-masalah Teori Politik Islam, Alih Bahasa: Ena Hadi,
(Bandung: Mizan, 1996), Cet. Ke-3, h. 15. 64 John L. Esposito, Islam dan Politik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 308.
l
formal. Pandangan ini bermaksud untuk mencoba menjawab pertanyaan tentang
bagaimana bentuk dari negara Islam. Menurut Dien, pendekatan ini berawal dari
asumsi bahwa Islam memiliki konsep tertentu tentang negara. Kedua, untuk
melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara
yang menekankan pada aspek praksis dan subtansial. Pandangan ini bermaksud untuk
menjawab pertanyaan tentang bagaimana isi negara menurut Islam. Pendekatan ini
didasarkan pada anggapan bahwa Islam tidak membawa konsep tertentu tentang
negara, tetapi hanya menawarkan prinsip-prinsip dasar berupa etika dan moral.65
Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh Bahtiar Effendy. Menurut
Bahtiar, bahwa pandangan tentang bentuk negara dalam Islam mengerucut pada dua
spektrum pemikiran. Pada spektrum pemikiran yang pertama, terdapat kalangan yang
beranggapan bahwa Islam harus menjadi dasar negara; bahwa syari’ah harus diterima
sebagai konstitusi negara; bahwa kedaulatan politik ada di tangan Tuhan; bahwa
gagasan tentang negara bangsa (nation state) bertentangan dengan konsep ummah
(komunitas Islam) yang tidak mengenal batasan-batasan politik dan kedaerahan, dan
bahwa aplikasi prinsip syura berbeda dengan gagasan demokrasi yang dikenal dalam
diskursus politik modern dewasa ini. Sementara spektrum pemikiran yang kedua,
beberapa kalangan intelektual muslim berpendapat bahwa Islam tidak meletakkan
65 M. Dien Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta:
Logos, 2001), Cet. Ke-1, h. 12.
li
suatu pola baku tentang teori negara (sistem politik Islam) yang harus dijalankan oleh
umat.66
Dua hal pemikiran di atas selalu tarik-menarik. Di satu sisi sebuah tantangan
realitas politik harus dijawab, sebaliknya di sisi lain sebuah tantangan idealitas agama
yang harus dipahami juga sedang mencari jawaban. Subtansi pemikiran sebagai
akibat perbedaan metodologi dan interpretasi di atas, menimbulkan polarisasi
pemikiran politik Islam kontemporer.
Menurut Munawir Sjadzali berpendapat, bahwa ada tiga pendapat mengenai
hubungan antara Islam dan negara, yaitu:67
(1) Pendapat bahwa Islam adalah agama yang lengkap dan mencakup semua aspek
kehidupan, termasuk kehidupan bernegara. Pendapat ini merupakan pemikiran
kelompok tradisionalis;
(2) Pendapat bahwa Islam hanya memuat prinsip-prinsip umum tentang kehidupan
kenegaraan, sedangkan aturan-aturan operasionalnya bisa merupakan hasil
pemikiran umat Islam sendiri atau mengadopsi dari umat lain (dalam hal ini
Barat). Pendapat ini kemudian menjadi ciri khas kelompok modernis;
(3) Pendapat bahwa Islam, seperti halnya agama-agama lain, memisahkan persoalan-
persoalan agama dan negara. Pendapat ini diikuti oleh kelompok sekularis.
66 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Tranformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), Cet. Ke-1, h. 12. 67 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI
Press, 1990), h. 1.
lii
Istilah “Fundamentalisme Islam” yang memandang bahwa Islam sebagai
ajaran yang lengkap, mencakup bentuk dan sistem ketatanegaraan.68 Kaum
fundamentalis, menurut Montgomery Watt memandang bahwa “Islam bukanlah
menjadi dirinya yang sebenarnya, kecuali di dalam suatu negara Islam, yakni negara
yang diperintah oleh kaum muslimin yang menerapkan syari’ah sebagai hukum”.69
Sementara “Modernisme Islam” lebih memusatkan perhatiannya kepada
penafsiran kembali hukum Islam untuk mengakomodasi realitas modern tanpa
mengorbankan nilai-nilai etik, spiritualitas, dan sosial Islam. Islam dan modernisme
memang cenderung ke arah “sekularisme”, dimana gagasan sekular dan rasional ke
dalam masyarakat Islam, menggantikan pandangan keagamaan pada umumnya
sebagai akibat pengaruh Barat. Di samping itu, pengaruh umat Islam menurun, baik
elit agama (ulama) maupun elit hukum (fuqaha) dalam proses politik. Sedangkan
kaum sekular menekankan adanya keterpisahan yang nyata di antara keduanya, bagi
mereka Islam dan politik merupakan dua hal yang berbeda. Mendirikan negara
bukanlah suatu kewajiban agama, itu hanya kebutuhan duniawi yang lepas dari
pengaruh agama. Oleh karena itu, menempatkan agama di satu pihak dan politik di
pihak lain merupakan wujud dari tidak adanya hubungan antara Islam dan politik. 70
68 Lebih lengkap bisa dilihat rumusan al-Maududi tentang “Teori Khilafah” dalam Khilafah
dan Kerajaan: Evaluasi Kritis terhadap Sistem Pemerintahan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. Ke-4, h. 19-21.
69 W. Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, alih bahasa: Taufik Adnan
Amal, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), Cet. Ke-1, h. 184. 70 Michael C. Hudson, Islam dan Perkembangan Politik”, dalam John L. Esposito, (ed.),
Identitas Islam pada Perubahan Sosial-Politik, alih bahasa: Zainuddin Rahman, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), Cet. Ke-1, h. 29-30.
liii
C. Pengertian Khilafah Islamiyah
Sebelum menguraikan definisi tentang khilafah, penulis merasa perlu untuk
memetakan beberapa kandungan al-Qur’an yang berkaitan dengan khilafah terlebih
dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui dasar-dasar normatif-teologisnya.
Di dalam al-Qur’an, terdapat tiga derivasi yang digunakan untuk kata
khalifah.
1. Dalam bentuk tunggal: Khalifah
☺ ⌧
⌧ ⌧ ☺
☺
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S. Al-Baqarah: 30).
⌧
⌧ ⌧ ☺
Artinya: “Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
liv
Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Q.S. Shaad: 26)
2. Dalam bentuk jamak: Khulafa’
⌧
Artinya: “Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum 'Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.” (Q.S. Shaad: 74)
☺
⌧
⌧ ⌧
Artinya: “Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan, apabila ia berdoa kepada-Nya, dan menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khulafa’ di bumi…” (Q.S. An-Naml: 62)
3. Dalam bentuk Jamak Kasrat71: khalaif
71 Bentuk ini digunakan untuk konotasi kuantitatif tak terbatas, Abdul Muin Salim, Fiqh
Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-2, h. 111.
lv
⌧ ☺
Artinya: “Kemudian kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.” (Q.S. Yunus: 14)
☺ ⌧ ⌧
Artinya: “Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemakmuran pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.”(Q.S. Fathir: 39)
⌧ ⌧ ⌧ ⌧
Artinya: “Lalu mereka mendustakan Nuh, maka kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka itu pemegang kekuasaan dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu.” (Q.S. Yunus: 73)
Dari ayat di atas, kata khalifah ) خليفة ) dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 30 dan Q.S.
Shad [38]: 26 dihubungkan dengan Nabi Adam dan Nabi Daud yang diciptakan dan
diutus Tuhan untuk menjadi wakil-Nya di muka bumi. Khusus yang berkaitan dengan
Nabi Daud, Dien Syamsuddin menyatakan bahwa konsep khalifatullah membawa
lvi
implikasi makna yang bersifat universal, yaitu berlaku untuk setiap manusia.72
Sedang khulafa’ dalam Q.S. al-‘Araf [7]: 69 dan 74, dan Q.S. an-Naml [27]: 62,
dipergunakan dalam konteks pembicaraan orang-orang kafir. Sementara khalaif
( فالئخ ) dalam Q.S. Yunus [10]: 14 dan 73; Q.S. al-An’am [6]: 165; Q.S. Fathir [35]:
39, menurut Abdul Muin Salim, dipergunakan dengan merujuk kepada umat manusia
pada umumnya dan orang-orang beriman pada khususnya.73
Khalifah (خليفة) atau khalaif (خالئف) memiliki pengertian yang berbeda,74
terdapat tiga pengertian: (1) pengganti, (2) pemimpin, dan (3) penguasa. Kata
khalifah —yang berakar kata khalafa— mengandung kata dasar lain: menggantikan,
mengikuti, datang kemudian. Menurut Dien Syamsuddin, khalifah (خليفة) dalam al-
Qur’an menunjukkan arti “pengganti” atau “wakil”, seperti dalam ungkapan
khalifatullah fi al-ardl (wakil Tuhan di bumi).75
Baik dalam arti “pengganti”, “wakil Tuhan”, dan “penguasa”, kata khalifah
melahirkan beberapa kecenderungan penafsiran. Di satu pihak ada yang (خليفة)
menafsirkan hal-hal yang berkaitan dengan pengertian khalifah (خليفة) tertuju kepada
manusia secara keseluruhan tanpa ada kaitannya dengan politik. Sementara di pihak
lain, pengertian itu terkait erat dengan kekuasaan politik yang terwujud dalam bentuk
72 Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani.,h. 80. 73 Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an.,h. 110. 74 Bentuk jamak lainnya adalah khawalif (“wakil-wakil”). M. Said Syaikh, Kamus Filsafat
Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), Cet. Ke-1, h. 67. 75 M. Dien Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, h. 78.
lvii
lembaga kekuasaan negara. Berikut ini beberapa kecenderungan penafsiran dan
argumentasinya masing-masing:
Menurut Dawam Raharjo, khalifah (خليفة) yakni kepala negara dalam
pemerintahan Islam, memang merupakan istilah al-Qur’an. Tetapi dalam al-Qur’an
kata ini memiliki banyak arti atau interpretasi. Oleh karena itu, ayat-ayat yang
mengandung pengertian kata khalifah (خليفة) tersebut tidak dapat dijadikan dasar
hukum mengenai wajibnya mendirikan suatu khalifah (خليفة) atau kekuasaan politik.
Menurut Dawam, Allah telah mengisyaratkan suatu konsep tentang manusia, yaitu
sebagai khalifah (خليفة). Khalifah adalah sebuah fungsi yang diemban manusia
berdasarkan amanat yang diterimanya dari Allah Swt. Amanat ini pada intinya adalah
tugas mengelola bumi secara bertanggung jawab, dengan menggunakan akal yang
telah dianugrahkan Allah kepadanya.76
Al-Qur’an (Q.S. Al-Baqarah [2]: 30) menyebut perihal Nabi Adam AS.
sebagai perwujudan dari fitrah atau sifat primordial dan sebagai khilafah Allah di
muka bumi. Dengan demikian, manusia pada dasarnya berposisi sebagai khilafah
Allah Swt. Hal yang sama juga terjadi pada Nabi Muhammad Saw. Di satu sisi
Muhammad Saw adalah khalifah (penerus) fungsi kekhalifahan yang pertama kali
diberikan oleh Allah Swt. kepada Nabi Adam AS. Di kemudian hari, beberapa
sahabat juga mengklaim gelar ini setelah Muhammad Saw. wafat. Bahkan lebih jauh
76 M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), Cet. Ke-1, h. 363-364.
lviii
para sahabat mengaku sebagai wakil (pengganti) dan menjalankan fungsi sebagai
pimpinan spiritual dan sekaligus sebagai penguasa temporal sebuah pemerintahan
Islam.77
Senada dengan pendapat Dawam, Nurcholis Madjid juga mengemukakan
pendapat yang sama. Dengan ide “sekularisasi” -nya, ia berpendapat bahwa peran
kekhalifahan manusia, dimana ia sebagai pengganti Tuhan di bumi, mengandung arti
bahwa segala urusan bumi ini diserahkan kepada umat manusia. Pemberian beban
kekhalifahan kepada manusia ini didasari dengan pertimbangan bahwa manusia
memiliki daya intelektualitas, akal dan pikiran. Dengan daya rasio itulah, manusia
mengembangkan diri di dunia ini. Dalam kaitan ini yang dimaksud dengan
sekularisasi adalah memecahkan dan memahami masalah duniawi ini, dengan
mengerahkan kecerdasan atau rasio.78
Adapun khalifah yang sering digunakan dalam suatu konteks lembaga
kepemimpinan berarti: (1) penggantian terhadap Rasulullah saw. dalam upaya
menjaga dan memelihara agama serta mengatur urusan-urusan dunia; (2) suatu
lembaga kekuasaan yang menjalankan tugas Rasulullah saw. untuk memelihara,
77 Cyrill Glasse, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. Ke-1, h. 208-
209. 78 Nurcholis Madjid, Islam: Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1998), Cet.
Ke-11, h.228-229.
lix
mengurus, mengembangkan dan menjaga agama serta mengatur urusan duniawi
umat; (3) kepemimpinan atau pemerintahan. 79
Berkaitan dengan pengertian bahwa khalifah adalah suatu lembaga kekuasaan
yang menjalankan tugas Rasulullah saw., Abul ‘Ala al-Maududi menyatakan doktrin
tentang khalifah yang disebut dalam al-Qur’an menunjukkan bahwa segala sesuatu di
atas bumi ini, hanyalah karunia Allah Swt.80 Menurut Maududi, bentuk pemerintahan
yang benar adalah adanya pengakuan negara akan kepemimpinan dan kekuasaan
Allah dan Rasul-Nya di bidang perundang-undangan menyerahkan segala kekuasaan
legislatif dan kedaulatan hukum tertinggi kepda keduanya dan meyakini bahwa
khilafahnya itu mewakili sang-hakim yang sebenarnya, yaitu Allah Swt.81
Sementara Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya menyatakan bahwa khalifah
berarti “memerintah rakyat sesuai dengan petunjuk agama, baik untuk soal-soal
keakhiratan maupun soal-soal keduniawian. Sebab dalam pandangan pembuat
undang-undang, semua soal keduniaan, harus dihukumi dari segi kepentingan hidup
akhirat.82 Peranan manusia dalam berinteraksi menerapkan metodologi khilafah.
79 M. Abdul Mujieb, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995), Cet. Ke-2, h.
60. 80 Abul ‘Ala al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan
Islam, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. Ke-4, h. 64.. 81 Ibid, h. 63. 82 Ibn Khaldun, Muqaddimah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), Cet. Ke-2, h. 234.
lx
Menurut Abdul Majid an-Najar, mengacu pada wahyu ilahi dan akal kemanusiaan,
yaitu nash (petunjuk-petunjuk wahyu) dan ‘aqli (peranan akal).83
Beberapa pandangan di atas menunjukkan bahwa sebagian ulama berpendapat
bahwa konsep khilafah dalam al-Qur’an tidak ada hubungannya dengan khilafah
dalam arti lembaga kekuasaan politik. Sementara di sisi lain, berpendapat sebaliknya,
bahwa peran kekhalifahan manusia dalam mengatur segala urusan —agama dan
dunia akan tercapai jika ditegakkan dengan kekhalifahan yang bersandar pada wahyu
Ilahi.
D. Khilafah Islamiyah dalam Lintasan Sejarah
Konsep Khilafah Islamiyah dalam politik Islam tidak bisa lepas dari konteks
sejarahnya. Dalam sejarahnya, kekhalifahan dimulai dari wafatnya Nabi Muhammad
saw. Wafatnya Nabi Muhammad saw. meninggalkan kevakuman pemimpin yang
hampir tidak mungkin digantikan oleh orang lain. Sebab posisinya bukan saja
seseorang pemimpin negara, tetapi juga seorang nabi, pembuat undang-undang, guru
spiritual, dan pribadi yang mempunyai visi transendental.84 Para sahabat mulai sibuk
mencari pengganti beliau sebagai kepala negara. Alotnya proses mencari pengganti
Nabi sebagai kepala negara membuat penguburan Nabi menjadi soal yang kedua bagi
para sahabat dan sejak itu pula istilah khalifah atau khilafah timbul.85 Para sahabat
83 Abdul Majid an-Najar, Khilafah: Tinjauan Wahyu dan Akal, (Jakarta: Gema Insani Press,
1998), Cet. Ke-1, h. 33-34. 84 Ashgar Ali Engineer, Asal-usul dan Perkembangan Islam: Analisis Pertumbuhan Sosial-
Ekonomi, (Yogyakarta, Pustaka-Insist, 1999), Cat. Ke-1, h. 215. 85 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press,
1986), Cet. Ke-5, h. 3.
lxi
yang cukup dekat dengan Rasul dan cukup senior kemudian berkumpul disuatu
tempat yakni Saqifah Bani Saidah. Melalui perundingan yang cukup alot dan sengit,
para sahabat kemudian memilih Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah pasca
Rasulullah.86
Namun terpilihnya Abu Bakar tidak kemudian menyelesaikan persoalan
dalam politik Islam, terutama dalam hal pengganti Rasulullah sebagai kepala negara.
Terpilihnya Abu Bakar melalui proses perundingan itu, kemudian melahirkan dua
golongan besar Islam, yakni Sunni dan Syi’ah. Sebagian masyarakat muslim waktu
itu memandang bahwa proses pemilihan yang dilakukan para sahabat di Saqifah Bani
Saidah adalah tidak benar. Sebab mereka yakin bahwa Nabi sebenarnya telah
menunjukan Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya.87 Kelompok ini kemudian
digolongkan ke dalam kelompok Syiah. Sebaliknya, masyarakat yang setuju dan
menerima dengan proses pemilihan khalifah di Saqifah Bani Saidah berpendapat
bahwa Nabi Muhammad tidak menunjuk seorang pengganti sepeninggal beliau.
Kelompok ini kemudian digolongkan ke dalam kelompok Sunni. Adanya perselisihan
dalam kekhalifahan (kekuasaan politik), menurut Esposito, memiliki dua orientasi,
yaitu menyangkut isu tentang hak warisan pimpinan dan masalah tentang berbagi
86 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2001), Cet. Ke-1, h.45-46. 87 John L. Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?, alih bahasa: Alwiyyah
Abdurrahman, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. Ke-3, h. 41. Mereka yang meyakini Ali sebagai pengganti Nabi berdasarkan pendapat mereka pada peristiwa Ghadir Khumm, dimana Nabi pernah berwasiat: “Inilah Ali, wasiatku, khalifah untukmu. Dengarlah dan taati dia”.
lxii
kekuasaan atau perang saudara.88 Berkaitan dengan peristiwa ini, Harun Nasution
menilai, bahwa persoalan yang pertama-tama timbul dalam sejarah Islam, bukanlah
persoalan tentang keyakinan, tetapi masalah politik.89
Praktek kekhalifahan selama enam abad pertama Islam, dapat dibagi ke dalam
tiga periode utama: (1) Khulafa ar-Rasyidun di Madinah (632-661 M); (2)
Kekhalifahan Bani Umayyah (661-750 M) di Damaskus; dan (3) Kekhalifahan Bani
Abbasiyyah (750-1258 M) di Baghdad. Sedangkan sisanya adalah zaman Utsmaniyah
Turki di Istanbul (1299-1924 M).90
Pemerintahan Khulafa ar-Rasyidun dimulai dengan tampilnya Abu Bakar ash-
Shiddiq sebagai khalifah (11 H/632 M – 13 H/634 M). Kekhalifahan Abu Bakar
merupakan awal terbentuknya pemerintahan model khalifah dalam sejarah Islam yang
berpusat di Madinah. Sepeninggal Abu Bakar, Umar Ibn Khatab mendapat
kepercayaan sebagai khalifah kedua. Pada waktu itu Sayidina Umar merupakan
penasihat Abu Bakar. Tampilnya Umar sebagai khalifah (13 H/634 M – 23 H/644M)
tidak melalui proses yang sama seperti Abu Bakar, melainkan melalui penunjukan
atau wasiat oleh pendahulunya.91 Sementara itu, Utsman Ibn Affan menjadi khalifah
88 Esposito, Islam dan Politik, h. 8. 89 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), Cet.
Ke-5, h. 92. 90 Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?, h. 41. 91 Faisal Ismail, Momentum Historis Gerakan Pencerahan Islam: Peranan Nabi Muhammad
saw dan Para Khalifah al-Rasyidin Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Mitra Cendekia, 2004), Cet. Ke-2, h. 118-119.
lxiii
ketiga (23 H/644 M – 35 H/656 M) dipilih oleh sekelompok orang yang terdiri dari
enam orang yang ditentukan oleh Umar sebelum wafat.92
Setelah Umar wafat dibunuh oleh seorang hamba Parsi yang bernama Abu
Lu'lu'ah, keenam orang itu kemudian bermusyawarah. Atas inisiatif Abdurrahman,
terjadilah permusyawaratan yang akhirnya sepakat memilih Utsman ibn Affan dengan
pertimbangan usianya yang lebih tua dan sifatnya yang lebih lunak. Utsman
kemudian berakhir masa jabatannya setelah terbunuh di dalam rumahnya sendiri oleh
para pemberontak yang tidak puas hati dengan pemerintahannya. Pada waktu itu para
pemberontak dari berbagai daerah mencari beberapa sahabat senior seperti Thalhah,
Zubeir, dan Sa’ad ibn Waqqash untuk dibai’at menjadi khalifah. Namun di antara
mereka tidak ada yang bersedia. Akhirnya, mereka menoleh Ali ibn Abi Thalib
sebagai khalifah, namun Sayidina Ali menolak. Tetapi selepas didesak oleh
pengikutnya, beliau akhirnya menerima untuk menjadi khalifah. Pada masa
kepemimpinannya memerintah selama lima tahun (35 H/656 M – 40 H/661 M). Ali
pun berakhir masa jabatannya setelah terbunuh ketika beliau hendak bershalat subuh
oleh para pemberontak93.
Pasca berakhirnya masa Khulafa’ ar-Rasyidun, kekhalifahan dilanjutkan oleh
Dinasti Umayyah yang memerintah di Damaskus (661-750 M) dengan Muawiyah bin
Abu Sufyan sebagai khalifah pertama. Namun, kata “khalifah” pada masa Dinasti
92 Enam orang tersebut adalah Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Talhah, Zubair ibn
Awwam, Sa’ad ibn Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf. 93 Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. 75-76.
lxiv
Umaiyah mulai mengalami pergeseran makna. Pergeseran tersebut bisa dilihat dari
dua hal; Pertama, Pemilihan khalifah tidak lagi melalui cara yang “demokratis”, tapi
melalui pengangkatan putra mahkota (wilayatul ‘ahdi) yang ditentukan oleh khalifah
sebelumnya. Kedua, khalifah terfokus pada masalah politik, sementara agama
diserahkan kepada ulama yang menguasai masalah agama, berbeda dengan khalifah
sebelumnya yang merupakan ahli agama yang menetapkan hukum keagamaan
berdasarkan ijtihad mereka baik sendiri maupun bersama-sama.94 Sistem Monarki
dalam pemerintahan Islam dimulai pada khalifah Muawiyah yang mengangkat
putranya Yazid bin Muawiyah sebagai pewaris kepemimpinan sang ayah (khalifah).
Setelah berhasil menggulingkan marwan II, khalifah terakhir Bani Umaiyah
pada tahun 750 M, Abu al-Abbas al-Saffah memproklamirkan berdirinya kerajaan
Bani Abbas. Meskipun al-Saffah merupakan pendiri dinasti ini, orang yang berjasa
mengembangkannya adalah Abu Ja’far al-Mansur (754-775 M). Pada masa khalifah
al-Mansur kata khalifah mengalami perubahan makna yang cukup mendasar, khalifah
sudah berkonotasi Khaliffatullah yang berarti pengganti atau wakil Allah di muka
bumi, dan menamkan dirinya sebagai Sultanullah fi al-Ardh (penguasa Tuhan di
muka bumi). Berdasarkan prinsip ini, kekuasaan bersifat absolut dan tidak boleh
diganti kecuali setelah ia meninggal.95
94 Departemen Agama RI, “Khilafah” Ensiklopedi Islam, (Jakarta: CV. Anda Utama, 1993)
jilid kedua, h. 607. 95 Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. 86-88.
lxv
Proses pergantian kekhalifahan pada Dinasti Abbasiyah tidak jauh berbeda
dengan Umaiyah. Kekhalifahan ini kemudian berakhir ketika pasukan Hulagu Khan
dari Mongolia menghancurkan Baghdad dan membunuh khalifah terakhir, yakni al-
Mu’tashim.96 Setelah itu, jabatan khalifah dipegang oleh keturunan Mamluk
Abbasiyah di Kairo. Sementara itu, pusat kekuasan baru timbul di Istambul pada 699
H/1299 M yang dipimpin oleh Utsman I yang kemudian terkenal dengan sebutan
Dinasti Utsmaniyah. Dinasti ini memerintah sampai dengan tahun 1342 H/1924 M
dengan khalifah terakhir Abdul Hamid II. Kekhalifahan yang muncul pada akhir abad
ke-14 tersebut, secara formal dihapuskan oleh Republik Turki pada tahun 1924 M
oleh Mustafa Kemal Pasha. Keruntuhan kekhalifahan terakhir karena akibat
perseteruan antara kaum nasionalis dan agamais dalam masalah kemunduran ekonomi
Turki.
E. Khilafah dalam Wacana Politik Islam Kontemporer
Sejak berakhirnya lembaga khilafah di Turki pada 3 Maret 1924, timbul
perdebatan mengenai dasar-dasar pembentukan khilafah dalam wacana politik Islam.
Menurut Dawam Raharjo ada tiga teori utama dalam pembentukan khilafah: (1)
Pembentukan khilafah wajib hukumnya, berdasarkan syari’ah atau berdasarkan
wahyu. Para ahli fiqh Sunni, antara lain teolog Abu Hasan al-Asy’ari berpendapat
bahwa khalifah ini wajib hukumnya karena wahyu dan ijma’ para sahabat; (2)
96 Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam: Sejak Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta: Akbar
Media Eka Sarana, 2007), Cet. Ke-5, h. 259.
lxvi
Mendirikan sebuah khilafah hukumnya fardlu kifayah atau wajib kolektif berdasarkan
ijma atau konsensus. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Mawardi. Sementara al-
Ghazali menyatakan bahwa khilafah merupakan wajib syar’i berdasarkan ijma; dan
(3) Kaum Mu’tazilah yang menyatakan bahwa pembentukan khilafah ini memang
wajib tetapi berdasarkan pertimbangan akal.97
Tiga teori di atas pada akhirnya bisa dikerucutkan pada dua persepsi: (1)
Bahwa praktek tersebut merupakan contoh baku dalam Islam tentang sistem
ketanegaraan dan pemerintahan; (2) Praktek tersebut hanya berupa tradisi bangsa
Arab yang tidak ada hubungannya dengan perintah agama yang tidak wajib diikuti
untuk konteks modern.
Dua persepsi di atas kemudian terus memunculkan perdebatan dalam wacana
politik Islam. Menurut Abdul Wahab Effendi, menyatakan perdebatan seputar konsep
negara Islam sebagai “paradoks khaldunian”. Yakni ketegangan antara idealitas dan
realitas dalam kehidupan Islam, dan berusaha memecahkan isu tersebut dengan
mengadopsi realisme yang menjadi ciri pemikiran modern. Dia menundukkan yang
ideal kepada realitas yang benar kepada yang kemungkinan, dengan menyatakan
bahwa impian umat Islam untuk memiliki khalifah yang adil dan tidak mungkin
dicapai di dunia yang tidak sempurna ini.98
97 Raharjo, Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial berdasarkan konsep-konsep kunci., h. 362. 98 Abdul Wahab Effendi, Masyarakat Tak Beragama: Kritik atas Teori Politik Islam, (Jakarta:
Lkis, 2000), Cet. Ke-1, h. 4.
lxvii
Daulah Islam dengan sistem Khalifah, menurut Yusuf Qardhawi
menggunakan politik daulah internasional. Menurut Qardhawi daulah tersebut
tidaklah berdiri berdasarkan batasan-batasan tanah dan letak geografis melainkan
berisi pemikiran dan akidah. Khilafah Islam menurut Qardhawi berfungsi sebagai
penerap hukum Islam terhadap umat yang berlandaskan tiga prinsip; (1) Kesatuan
wilayah Islam. Dalam artian, sekalipun negara dan daerahnya berbeda, tetapi pada
prinsipnya merupakan satu wilayah untuk satu umat; (2) Kesatuan rujukan syariat
yang tertinggi, yang tercermin di dalam al-Qur’an dan Sunnah; dan (3) Kesatuan
kepemimpinan yang tersentral, dan tercermin di dalam diri pemimpin tertinggi atau
khalifah yang memimpin daulah orang-orang mukmin dengan ajaran Islam.99
Sedang pendapat lain menyatakan bahwa khilafah tidak ada kaitannya dengan
agama. Menurut Said Aqil Siradj, bahwa "nation Madinah" yang berada di bawah
payung Piagam Madinah, ternyata sama sekali tidak mencantumkan kata al-Qur’an,
Hadits serta Islam. Karenanya, Islam bukanlah nation atau institusi. Eksistensinya
lebih menjadi pondasi moralitas umat manusia yang mengontrol terhadap sesama lini
kehidupan. Dengan cara demikian, titik tekan misi “rahmatan lil ‘alamin” dapat
direalisasikan dengan tepat”.100
Pendapat yang hampir sama juga disampaikan Ali Abdur Raziq. Menurut
Raziq “Pemerintahan Rasaulullah itu merupakan tugas yang terpisah dari tugas
99 Yusuf Qardhawi, Fiqh Dawlah dalam Perspektif al-Qur’an dan Sunnah, alih bahasa: Kathur Suhudi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998), Cet. Ke-3, h. 45-46.
100 Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri, (Jakarta: Pustaka
Ciganjur: 1999), Cet. Ke-1, h. 210.
lxviii
dakwah Islamnya dan juga berada di luar batas kerisalahan”.101 Bagi Raziq, posisi
Rasulullah sama halnya dengan nabi-nabi yang telah mendahuluinya. Beliau
bukanlah raja, pendiri suatu negara, maupun penganjur berdirinya suatu pemerintahan
politik sebagaimana yang selama ini dipersepsikan.102 Pendapat Raziq ini kemudian
sampai pada kesimpulan bahwa “lembaga kekhalifahan sama sekali tidak ada
hubungannya dengan ajaran agama. Demikian pula halnya dengan masalah
pemerintahan dan fungsi-fungsi kenegaraan. Semua itu adalah masalah-masalah yang
berkenaan dengan politik, dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama.103
Di tengah ketidakkondusifan situasi dan kondisi negara pada masa pasca
jatuhnya rezim Orde Baru, serta carut-marutnya kehidupan ekonomi, sosial, politik
dan budaya pada saat itu telah memberikan ruang terbuka bagi setiap individu,
masyarakat, juga kelompok untuk mengisi, mengganti dan membentuk sebuah
tatanan baru bagi masyarakat Indonesia, termasuk munculnya wacana penegakkan
syariat Islam. Momentum inilah yang menjadikan Hizbut Tahrir yang awalnya
sebagai sebuah kelompok-kelompok kecil berubah menjadi sebuah organisasi
gerakan Islam yang berskala nasional dan internasional, untuk mengambil peran
dalam mengisi tatanan baru yaitu menawarkan solusi penegakkan syari’at Islam
dalam konteks berbangsa dan bernegara. Namun sebaliknya, organisasi ini perlu
101 Ali Abdur Raziq, Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam, alih bahasa: Afif Muhammad,
(Bandung: Pustaka, 1985), Cet. Ke-1, h. 85. 102 Ibid, h. 99. 103 Ibid, h. 163.
lxix
mendapatkan perhatian khusus dari semua pihak termasuk pemerintah, sebab Hizbut
Tahrir sebagai bagian dari gerakan Islam yang mempunyai ide dan pemikiran tentang
mendirikan Daulah Khilafah Islamiyah. Islam dalam pandangan Hizbut Tahrir adalah
sebuah sistem paripurna dan menyeluruh (comprehenship) bagi seluruh kehidupan
manusia. Karena itulah, kaum muslimin diwajibkan untuk memberlakukannya secara
total dalam sebuah negara yang memiliki bentuk tertentu dan khas yang terlukis
dalam sebuah sistem khilafah.104
Dari uraian di atas, menunjukkan keragaman pemikiran tentang bentuk dan
sistem pemerintahan dalam Islam terutama masalah khilafah. Para pemikir Muslim
berbeda pendapat mengenai doktrin al-Qur’an yang menyangkut masalah-masalah
kemasyarakatan. Begitu pula dengan fakta sejarah kekhalifahan yang pernah
berlangsung sejak generasi awal Islam sampai pada keruntuhannya. Dengan
demikian, bisa dikatakan bahwa sulit rasanya untuk membakukan sistem politik
Islam, karena perbedaan persepsi tersebut.
104 Mengenal Hizbut Tahrir; Partai Politik Islam Ideologis/Anonim, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002), Cet. Ke-3, h. 2.
lxx
BAB IV
PANDANGAN NU TERHADAP WAWASAN KEBANGSAAN DAN
KHILAFAH ISLAMIYAH
E. Pandangan NU terhadap Azas Pancasila
Paham nasionalisme modern sekarang mengacu pada pengertian nation atau
bangsa seperti, termasuk Indonesia yang dalam kebangsaannya terdiri dari beberapa
suku, asal ras, bahasa daerah, budaya dan tradisi lokal, tetapi mereka menyatukan diri
sebagai “Bangsa Indonesia” yang satu kesatuan (Tunggal Eka) di atas berbagai
macam perbedaan-perbedaan (Bhineka).105
Walisongo telah mengajarkan sebuah tradisi keagamaan yang transformatif.
Proses Islamisasi yang dilakukan Walisongo bukan hanya mengajak kepada
masyarakat untuk masuk Islam. Akan tetapi, juga mengubah struktur sosial
masyarakat menuju tata sosial yang lebih adil, manusiawi dan juga berakar pada
tradisi masyarakat setempat. Tradisi keagamaan itulah yang kini dikenal dengan
sebutan “Ahlussunnah wal Jama’ah” atau Aswaja dengan kekuatan basisnya pada
ulama dan pesantren. Ulama sebagai pilar keagamaan Aswaja memegang peran
penting dalam menguatkan ikatan kolektifitas bangsa. Sementara pesantren dikenal
sebagai pendidikan rakyat.
105 Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah: dalam Persepsi dan Tradisi NU,
(Jakarta: Lantabora Press, 2005), Cet. Ke-3, h. 339.
lxxi
Tradisi inilah muncul sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama pada
tahun 1926 dengan nama Nahdlatul Ulama (NU). NU dikenal sebagai organisasi ke-
Islam-an yang bercorak kebangsaan. Sikap kebangsaan NU bukan hanya dari segi
toleransinya dalam beragama, tetapi juga kontribusinya pada pembentukan identitas
kebangsaan setelah merdeka dari kolonialisme Belanda. NU lahir karena didorong
semangat kebangsaan yang tinggi. Yakni didorong oleh kepeduliannya untuk
mempertahankan Islam yang ramah pada nilai budaya setempat, serta menghargai
perbedaan agama, tradisi dan kepercayaan, yang merupakan warisan turun-menurun
dalam tradisi Nusantara.106
Sikap-sikap demikian menjadikan NU sering menerima tuduhan sebagai
"oportunistik", yang sangat bersifat akomodatif terhadap kepentingan pemerintah
pada saat itu. Sikap NU yang demikian itu, sering kali dijadikan sasaran kesalahan
bagi tidak konsistennya "perjuangan Islam" di Indonesia. Bagi NU tuduhan demikian
tentu dinilai tidak tepat, karena NU tidak berpedoman "strategi perjuangan politik"
atau "ideologi Islam" dalam artian yang abstrak, melainkan keabsahannya di mata
hukum fiqih. Dalam aturan fiqih Sunni antara lain dikatakan bahwa apabila
kekuasaan Kepala Negara (Presiden) diakui sahnya, maka ia harus dipatuhi dan
ditaati, selama tidak memerintahkan hal-hal yang jelas bersifat maksiat atau durhaka
kepada Allah.107
106 Ahmad Baso, NU Studies, Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan
Fundamentalisme Neo-Liberal, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 385. 107 Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah: dalam Persepsi dan Tradisi NU, h. 350.
lxxii
Ke-Islam-an bangsa Indonesia tidaklah harus dihadapkan dengan ide bahwa
negara kita berdasarkan Pancasila. Sebab, Pancasila adalah adalah ideologi bersama
(common platform), sebagaimana menjadi pandangan dasar tokoh-tokoh Islam seperti
Teuku Muhammad Hasan, Ahmad Wahid Hasyim, ki Bagus Hadikusumo dan lain-
lain merupakan prinsip-prinsip yang menjadi titik pertemuan dan persamaan antara
warga negara muslim Indonesia dengan warga negara non-muslim untuk mendukung
Republik Indonesia.
Masalah Pancasila sebagai asas tunggal merupakan ujian nyata terhadap
hubungan NU dengan pemerintah. Sebelum Munas, belum ada organisasi besar yang
menerima asas tunggal. Dalam responnya terhadap gagasan penerapan asas tunggal
ini, NU justru memperlihatkan sikap sangat akomodotif dan kooperatif dengan
mengeluarkan pernyataan bahwa ia akan menerima Pancasila sebagai asas tunggal
organisasinya. Pernyataan ini dikeluarkannya setelah musyawarah nasional di
pesantren Salafiyah Syafi’iyah (pimpinan KH. As’ad Syamsul Arifin) di Sukorejo,
Situbondo, Jawa timur, dari tanggal 13-16 Desember 1983, dengan memfokuskan
perhatian di antaranya gagasan asas tunggal yang dilontarkan pemerintah pada waktu
itu.
Persoalan penerimaan asas tunggal Pancasila pada mulanya tidak ada
persoalan. Kiai As'ad Syamsul Arifin telah mempertegas penerimaan NU terhadap
Pancasila sebagai satu-satunya asas. Perbincangan mulai ramai ketika Kiai Siddiq
yang membawakan makalah langsung memperoleh "serangan". Dari jumlah 36
peserta sub-komisi khittah (tentang Asas Pancasila) hanya terdapat dua peserta yang
lxxiii
mendukung, sementara 34 peserta lainnya mengacungkan tangan dan memberi
tanggapan. Alasan yang mereka kemukakan bukan semata-mata tepat waktunya atau
tidak. Mereka menginginkan agar AD/ART tidak diubah. Sebab mengubah apa yang
telah diciptakan oleh ulama terdahulu dikhawatirkan terjadi kehancuran golongan
Ahlussunnah wal Jama’ah. Ada pula yang menolak Pancasila sebagai asas tunggal
karena Pancasila bersifat nasionalis sedangkan Islam tidak demikian, karena itu asas
Islam tidak bisa diganti oleh asas Pancasila.108
Selain mendiskusikan tentang rencana kebijakan asas tunggal yang hendak
diberlakukan oleh pemerintah, pertemuan ulama NU di Situbondo ini berhasil
mengeluarkan deklarasi tentang hubungan Islam dengan Pancasila sebagai berikut:109
5. Pancasila, sebagai dasar dan falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
adalah bukan agama; ia tidak dapat menggantikan agama dan juga tidak dapat
dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama;
6. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai dasar Negara Republik Indonesia
menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar 1945, menjiwai sila-sila yang lain
dan mencerminkan jiwa tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam;
7. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam merupakan akidah dan syari’ah yang meliputi aspek
hubungan antara manusia dengan Allah dan hubungan antara manusia;
108 Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, (Jakarta: Erlangga,
1992), Cet. Ke-1, h. 144-146. 109 Faisal Ismail, Pijar-pijar Islam; Pergumulan Kultur dan Struktur, (Jakarta: Badan Litbang
Agama dan Diklat keagamaan, 2002), h. 96-97.
lxxiv
8. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat
Islam untuk menjalankan syari’at agamanya;
9. Sebagai konsekuensi logis dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban
mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan juga mengamankan
pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
Deklarasi di atas inilah yang dipergunakan oleh elite politik dan ulama NU
sebagai dasar justifikasi doktrinal teologis (keagamaannya) dalam menerima asas
tunggal. Realitas historis ini terletak pada kenyataan bahwa salah seorang tokoh
perumus Pancasila adalah KH. Ahmad Wahid Hasyim (seorang figur penting NU).
Atas dasar argumen-argumen sebagaimana tersebut di atas, NU melihat Pancasila
bisa diterima Umat Islam sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara karena ia tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.
Penerimaan NU terhadap Pancasila bukan semata-mata karena situasi,
penerimaan itu benar-benar dipikirkan dari sudut pertimbangan keagamaan dan
pemahaman NU terhadap sejarah. Dalam pemahaman keagamaan NU terhadap suatu
nilai di dalam masyarakat, sepanjang nilai tersebut tidak bertentangan dengan Islam.
Maka, nilai tersebut mempunyai potensi untuk diarahkan atau dikembangkan agar
selaras dengan tujuan-tujuan Islam. Dalam pandangan NU, Islam itu bersifat
menyempurnakan sehingga bila ada sesuatu yang baik di dalam masyarakat dan tidak
bertentangan dengan Islam maka ia termasuk kategori Islami. Apalagi sila pertama
dari Pancasila, yang menjiwai sila-sila lainnya dipandang mengandung nilai-nilai
kehidupan. Di pihak lain, Pancasila yang digali dan dipilih merupakan kristalisasi
lxxv
dari nilai luhur kebudayaan Indonesia. Termasuk kebudayaan Islam yang dianut dan
dipeluk oleh sebagian besar bangsa Indonesia.110
F. Pandangan NU terhadap Finalisasi Bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI)
Sejak NU lahir sudah menyadari dan siap eksis di tengah-tengah
kemajemukan bangsa, bahkan banyak sekali ikut memberi andil dalam memecahkan
masalah bangsa di situasi yang kritis, antara lain:111
1. Pada bulan Oktober 1945, menghadapi tentara sekutu yang masuk ke wilayah
Republik Indonesia, NU melalui rois akbarnya KH. Hasyim Asy'ari
mengeluarkan "Fatwa Jihad", yang isinya menyerukan seluruh kaum lelaki
muslim yang mampu untuk terjun ke medan perang suci (jihad fi sabilillah)
sebagai suatu kewajiban setiap orang Islam (fardlu 'ain). Fatwa ini mengobarkan
semangat pasukan Republik Indonesia dalam pertempuran besar pertamanya di
Surabaya melawan sekutu pada November 1945. fatwa tersebut tidak lepas dari
pandangan agama, khusunya pandangan fiqih, yang mengatakan bahwa "Suatu
kewajiban yang tidak mungkin dapat dilakukan kecuali dengan suatu tindakan,
maka tindakan tersebut hukumnya menjadi wajib". Hal itu dilakukan demi
mempertahankan negara dari ancaman musuh yang merupakan suatu kewajiban
bagi umat Islam, mereka melakukan jihad untuk tujuan tersebut hukumnya wajib.
110 Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, h. 151. 111 Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah: dalam Persepsi dan Tradisi NU, h. 347-349.
lxxvi
2. Ketentuan NU menolak adanya "Darul Islam" (DI) yang didirikan oleh
Kartosuwirjo di Jawa Barat, atau "Negara Islam Indonesia" (NII) di Sulawesi
Selatan oleh Kahar Mudzakar, atau yang lain-lain seperti Perjuangan Rakyat
Semesta (Permesta) di Sulawesi, Republik Maluku Selatan (RMS) dan
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat. Apapun
dasar ideologinya, karena semua aksi tersebut merupakan pemberontakan
terhadap pemerintah yang sah dengan menggunakan senjata, yang dalam fiqihnya
mereka disebut sebagai "bughat" (pemberontak terhadap pemerintah yang sah).
Ulama-ulama NU membolehkan pemerintah Republik Indonesia menindak
mereka. Sikap demikian juga diberlakukan terhadap pemberontak-pemberontak
yang lain seperti G-30-S PKI. Ulama-ulama Ahlussunnah sejak dulu memang
menolak pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah yang sah, meskipun
memperbolehkan perbedaan pendapat dalam berpolitik dan membolehkan
melakukan kritik kepada penguasa, sehingga tradisi Ahlussunnah cenderung
berorientasi pada stabilitas (adanya ketentraman).
3. Penerimaan Pancasila sebagai "asas organisasi" dengan melalui Munas
(Musyawarah Nasional) Alim Ulama NU di Situbondo Jawa Timur pada tahun
1983 kemudian dikuatkan oleh Muktamar NU ke-27 di tempat yang sama pada
tahun 1984. Sikap demikian berangkat dari pandangan kemaslahatan nasional dan
menyelamatkan keutuhan bangsa dengan pendekatan fiqih
Pada tanggal 17 Desember 1959 diselenggarakan Resepsi Muktamar ke-32
NU di Gedung Pertemuan Umum Jakarta yang dibuka oleh Bung Karno Presiden RI
lxxvii
Pertama. Presiden menyampaikan amanat bahwa NKRI adalah wadah bagi seluruh
rakyat Indonesia. Pada hakikatnya negara-negara merdeka adalah wadah. Wadah ini
adalah wadah kita semua, meskipun rakyat Indonesia itu terdiri dari pelbagai suku,
berpuluh-puluh suku, juga rakyat Indonesia terdiri golongan-golongan agama, yang
golongan terbesar adalah menganut agama Islam, maka Republik Indonesia atau
wadah ini adalah milik seluruh rakyat Indoneisa. Wadah untuk di dalamnya
berduduk, berisikan segala suku Indonesia, segala umat agama Indonesia, dan segala
golongan Indonesia. Wadah ini milik kita semuanya dan kita pelihara bersama-sama
yang berdiri di atas prinsip musyawarah dan demokratis.112
Kemudian di tengah-tengah arus gelombang gencarnya pernyataan NU untuk
menerima asas Pancasila, KH. Ahmad Siddiq selaku Rois ‘Am pada waktu itu,
mengeluarkan fatwa politik pada tahun 1984 yang isinya semakin memantapkan
kebulatan niat NU untuk menerima asas tunggal itu. Dalam pandangan Kiai Ahmad
Siddiq, lima butir nilai luhur (Pancasila) merupakan konsensus maksimal yang
merupakan "kalimatin sawâin bainanâ wa bainakum"113 bagi bangsa dan negara
Indonesia di dalam tata kehidupan bernegara dan bermasyarakat dengan segala
kemajemukannya. Selain itu, Kiai Siddiq memandang Pancasila secara subtansial
112 Iman Toto K. Rahardjo & Suko Sudarso, Bung Karno, Islam, Pancasila & NKRI, (Jakarta:
Komunitas Nasionalis Religius Indonesia, 2006), h. 461. 113 "Suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu" QS. Ali
Imran ayat 64.
lxxviii
mampu menyatukan seluruh segmen masyarakat Indonesia yang bercorak pluralistik
baik dalam muatan agama, budaya, adat istiadat dan latar belakang sosial.114
Kebangsaan (wathaniyah) NU dibuktikan dari kepedulian dan komitmennya
dalam memperkokoh imajinasi umat Islam Nusantara tentang bangsa yang merdeka.
Komitmen ini ditunjukkan sejak Muktamar Banjarmasin tahun 1936, Resolusi Jihad
tahun 1945, pengukuhan Kepala Negara Republik Indonesia sebagai waliyul amri
adharuri bi as-syaukah, hingga penerimaan Pancasila dan NKRI sebagai tujuan akhir
perjuangan umat Islam tahun 1984 di Muktamar Situbondo.
Bagi NU, bangsa Indonesia merupakan anugerah Tuhan yang harus disyukuri
dan dibina. Mengingkari Negara Kesatuan Republik Indonesia di bawah perjanjian
luhur Pancasila dan UUD 1945 sama halnya mencampakkan pesan-pesan yang telah
diwariskan Nabi saw. Karena itu, semua upaya eksklusivitas agama yang telah
diproyeksikan untuk memudarkan perjajian luhur bangsa tersebut sebenarnya bukan
tindakan yang diridlai-Nya dan kontra-agama. Aktivitas semacam itu tidak lebih
upaya mendagangkan agama untuk kepentingan sesaat yang hanya menguntungkan
dirinya serta status quo.115
Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes)
Nahdlatul Ulama di Asrama Pondok Haji Sokolilo Surabaya bulan Juli, telah
meneguhkan kembali komitmen NU sebagai organisasi sosial keagamaan (jam’iyyah
114 Ismail, Pijar-pijar Islam; Pergumulan Kultur dan Struktur, h. 98. 115 Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri, (Jakarta: Pustaka
Ciganjur: 1999), Cet. Ke-1, h. 194.
lxxix
dinniyah wa ijtima’iyyah) pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang
berlandaskan Pancasila, seperti yang disampaikan oleh Rois ‘Am PBNU Sahal
Mahfudz dalam pidato iftitah di Pembukaan Munas dan Konbes NU tersebut. Dalam
pidato tersebut ditegaskan “Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan
Pancasila merupakan bentuk final bagi Bangsa Indonesia”. Komitmen ini dilakukan
NU sejak lama, sebelum bangsa ini merdeka.116
G. Pandangan NU terhadap Wawasan Kebangsaan dan Khilafah Islamiyah
Rasa kebangsaan adalah kesadaran berbangsa, yaitu rasa persatuan dan
kesatuan yang lahir secara alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh
dari kebudayaan, sejarah dan aspirasi perjuangan masa lampau, serta kebersamaan
dalam menghadapi tantangan sejarah masa kini. Dinamisasi rasa kebangsaan ini
dalam mencapai cita-cita bangsa berkembang menjadi wawasan kebangsaan.
Rasionalisasi rasa dan wawasan kebangsaan akan melahirkan suatu paham yang
disebut nasionalisme kebangsaan atau paham kebangsaan, yaitu pikiran-pikiran yang
bersifat nasional, bahwa suatu negara mempunyai ciri khas yaitu rela berkorban demi
kepentingan tanah air atau semangat patriotisme. Wawasan kebangsaan mengandung
pula tuntutan suatu bangsa untuk mewujudkan jati dirinya serta mengembangkan
prilakunya sebagai bangsa yang meyakini nilai-nilai luhur budayanya, yang lahir dan
tumbuh subur sebagai penjelmaan kepribadiannya.
116 Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan.,h. 71.
lxxx
Sejak K.H. Hasyim Asy’ari pulang dari Timur Tengah kondisi Indonesia
masih dalam keadaan terjajah. Sementara khalifah yang berkedudukan di Istanbul
Turki sebagai lambang kekuasaan kaum muslimin tidak mampu melindungi negara-
negara Islam baik negara-negara Arab, Afrika Utara, Asia Selatan maupun Asia
Tenggara dari penjajah negara-negara barat. Puncaknya sistem khilafah yang ketika
itu disakralkan oleh kaum muslimin dihapus oleh Kemal Attaturk (Mustafa Kemal)
pada tahun 1924. terhapusnya sistem khalifah meresahkan dan menghawatirkan para
tokoh agama dan politik di hampir seluruh dunia Islam. Mereka bermaksud
menghidupkan kembali sistem khalifah yang sudah dihapus itu.
Para pemimpin-pemimpin negara berkumpul di Kairo yang diprakarsai Raja
Fuad I untuk menegakkan kembali sistem khilafah yang dihapus itu sekaligus
memilih khalifah. Akan tetapi khilafah tersebut gagal ditegakkan kembali karena
beberapa faktor:117
1. Utusan dari negara-negara Islam sudah tidak tertarik pada sistem khilafah yang
dinilai tidak berbeda dengan kediktatoran dan kezaliman. Mereka lebih tertarik
menegakkan syariat Islam dalam negara yang menganut ideologi nasionalisme
dan demokrasi yang ditawarkan Barat.
2. Mereka menilai sudah lebih dari dua abad sistem khalifah tidak mampu
melindungi kaum muslimin.
117 Imam Ghazali Said, Syaikh Hasyim Asy’ari antara khilafah dan nasionalisme, Risalah
Nahdlatul Ulama, edisi ke- IV, h. 38.
lxxxi
3. Raja Fuad I sebagai pemrakarsa kongres berambisi untuk memegang jabatan
khalifah, sementara di internal Mesir Raja Fuad I ditentang Partai Dusturiyin yang
di antara pemikirnya adalah Syekh Ali Abdurraziq.
4. Rivalitas untuk jabatan khalifah antara Fuad I dari Mesir dan Raja Abdul Aziz
dari Saudi Arabia, yang tidak menghasilkan deklarasi politik apapun.
Menurut Wakil Rais 'Am PBNU Tolhah Hasan, jika periode khilafah telah
berakhir, maka kewajiban-kewajiban umat Islam adalah berusaha menemukan sistem
baru yang merekonstruksi sistem dan mereaktualisasi nilai-nilai fundamental yang
dilakukan pada masa khilafah pertama (musyawarah, keadilan, kejujuran, egaliter dan
lain-lain). Oleh sebab itu, yang penting bukanlah mempertahankan kata-kata khalifah
atau khilafah, tapi yang dipentingkan adalah subtansi dan isinya, yaitu kepemimpinan
yang mencerminkan persatuan dan kesejahteraan bersama.118
Suatu istilah yang populer belakangan ini di kalangan Nahdliyin adalah
"transnasionalisme". Istilah ini diperuntukkan bagi ideologi serta gerakan sosial
politik dan keagamaan yang lintas negara. Namun dalam konteks NU, istilah
"transnasionalisme" mengacu dan merujuk pada ideologi serta gerakan sosial politik
dan keagamaan yang tunggal dan mendunia dari Timur Tengah. Maka dari itu,
beberapa tahun terakhir NU kian mematangkan pemikiran dan gerakan untuk
menghadapi ancaman ideologis dan massal dari kelompok transnasional tersebut.119
118 KH. Tolhah Hasan, Relistiskah Khilafah di Milenium Perubahan?, Risalah Nahdlatul
Ulama, edisi ke- IV, h 62.
119 Muhyiddin Abdusshomad, "NU Vis A Vis Transnasionalisme", artikel diakses tanggal 10 Maret 2008 dari http://www.lakpesdam.or.id/index. php?id=185.
lxxxii
Ideologi transnasional dinilai PBNU potensial menghancurkan ideologi
negara Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi,
menyebut Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, dan al-Qaeda sebagai bagian dari
international political movement (gerakan politik dunia) yang tak memiliki akar
budaya, visi kebangsaan, dan visi keumatan di Indonesia. Menurut Hasyim,
organisasi-organisasi tersebut telah menjadikan Islam sebagai ideologi politik. Lebih
jauh, Hasyim menengarai bermunculannya tendensi formalisasi agama sebagai
indikator dari gerakan mereka. Padahal, tegas Hasyim, yang dilakukan mestinya
bukan formalisasi melainkan substansialisasi agama, jika agama diformalkan dalam
konteks negara Indonesia hanya akan mengacaukan sistem yang telah ada, karena
tidak sesuai dengan kondisi negara Indonesia yang masyarakatnya heterogen.120
Warga Nahdliyyin sejak tahun 2006 sampai sekarang sudah merintis untuk
menyadarkan pengangkatan isu Islam transnasional dalam berbagai forum organisasi.
Salah satunya yang terakhir adalah Konferensi Wilayah PWNU Jawa Timur, 2-4
November 2007 yang mengangkat bahasan Khilafah Islamiyah dalam Bahtsul Masail
NU. Ada tiga fokus persoalan yang diangkat dalam forum ilmiah Konferensi Wilayah
PWNU Jawa Timur, 2-4 November 2007 yang mengangkat bahasan Khilafah
Islamiyah dalam Bahtsul Masail NU. Pertama, ada tidaknya dalil nash yang
mengharuskan pembentukan Khilafah Islamiyah. Kedua, hukum kelompok warga
negara Indonesia yang berusaha untuk mengubah bentuk dasar hukum negara. Ketiga,
120 Risalah Nahdlatul Ulama, edisi ke- IV, h. 22.
lxxxiii
apakah strategi integralisasi syariah Islam secara subtantif menyalahi prinsip tathbiq
(penerapan) syari'ah menempuh pola tadrij (bertahap). Para ulama NU sepakat bahwa
pembentukan Khilafah Islamiyah tidak ada dalil nash yang mengharuskan. Bahkan
mengubah bentuk dasar hukum negara bila diperkirakan menimbulkan mafsadah
yang lebih besar hukumnya tidak boleh. Apa yang dilakukan oleh NU dalam rangka
mengintegralisasikan syariah dalam hukum nasional, tidak menyalahi prinsip tathbiq
syariah, bahkan dinilai lebih tepat bagi Indonesia yang majemuk ini.121
Dari sini nampak bahwa gerakan Hizbut Tahrir dengan perjuangannya
menjadikan Islam sebagai dasar untuk mengatur tata sosial politik masyarakat serta
ide dan pemikiran untuk menyatukan kembali dunia Islam dalam satu kepemimpinan
khilafah dan membentuk Islam dalam Islamic global village. Sistem khilafah
dianggap sebagai trade mark politik Islam yang harus ditegakkan dalam sebuah tata
dunia yang tidak dibatasi oleh nasionalitas dan kebangsaan mulai terhimpit. Karena,
tidak semua penduduk Indonesia khususnya Islam dapat menerima. Hal tersebut
disebabkan karena Islam di Indonesia memiliki corak pemikiran yang
beranekaragam, termasuk agama Islam.
Penyebab perbedaan wawasan kebangsaan NU dengan Khilafah Islamiyah
adalah perbedaan sejarah. NU lahir karena didorong semangat kebangsaan yang
tinggi, yakni didorong dengan adanya kepedulian untuk mempertahankan Islam yang
ramah pada nilai budaya setempat, serta menghargai perbedaan agama, tradisi dan
121 Muhyiddin Abdusshomad, "NU Vis A Vis Transnasionalisme", artikel diakses tanggal 10
Maret 2008 dari http://www.lakpesdam.or.id/index. php?id=185.
lxxxiv
kepercayaan. Sedangkan konsep Khilafah Islamiyah tidak berdasarkan negara dan
bangsa, tetapi negara internasional yang disatukan oleh identitas Islam.
Menurut Said Aqil Siradj, NU tidak ingin mendirikan negara Islam. Said Aqil
Siradj menjelaskan pada tahun 1936 NU mengadakan Muktamar di Banjarmasin,
dalam muktamar itu dibahas tentang bentuk negara. Para kiai pada waktu itu merujuk
pada kitab Buhgyatu al-Mustarsyidin yang menjelaskan bentuk negara damai (daru
as-salam). Alasan pokok NU memilih Konsep Dâr as-Salâm adalah Piagam Madinah
(Mistaq Madinah) yang di dalamnya berisi tentang perjajian dari berbagai macam
suku dan kelompok agama untuk hidup bersama. Bahkan, dalam Piagam Madinah itu
tidak ada kata Islam, dan juga tidak ada satupun ayat yang dikutip dari al-Qur'an.
Piagam Madinah inilah yang cocok untuk Indonesia, sebab para tokoh pada waktu itu
sepakat bahwa negara ini adalah negara kebangsaan, yaitu negara religius yang
memberikan ruang terhadap ketuhanan.122 Setelah masa sepeninggal Rasul, model
pemerintahan yang dijalankan berbeda-beda di antaranya khalifah, imarah,
kesultanan. Islam tidak memberikan ketentuan yang baku tentang sistem
pemerintahan, yang penting pemimpinnya adil, jujur dan melayani masyarakatnya
dengan baik.
Perbedaan respons ke-Indonesia-an antara NU dan Islam transnasional dalam
konteks ini bisa dipahami. Masing-masing memiliki akar sejarahnya sendiri-sendiri.
NU berurat akar di Tanah Air, sedangkan Islam transnasional berurat akar di Timur
122 Said Aqil Siradj, Bukan Negara Islam tapi Negara Damai, Risalah Nahdlatul Ulama, edisi
ke- IV, h. 28-30.
lxxxv
Tengah. Perbedaan akar sejarah tersebut berimplikasi terhadap pandangan, sikap dan
tindakan eksistensi Indonesia. Menjadi hal yang wajar, apabila sense of belonging
NU lebih besar daripada Islam transnasional. Hal itu lantaran, NU mempunyai
investasi besar dalam merawat dan membesarkan Indonesia dengan segala dinamika
kehidupannya.123
Mengingat pluralnya kenyataan masyarakat Indonesia, maka masyarakat sipil
sangat menekankan pentingnya pluralitas dalam kehidupan sosial dan politik, karena
itu Nahdlatul Ulama menolak semua bentuk primordialisme, sektarianisme dan
fanatisme. Dalam prinsip politik kenegaraan, dengan tegas prinsip primordialisme
baik berdasarkan etnis, kelas atau agama ditolak, dan masyarakat sipil lebih
mengetengahkan prinsip kewarganegaraan. Dalam prinsip ini semua warga punya
kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Dengan demikian, masyarakat sipil dapat
menghilangkan diskriminasi dalam habitat sosial. Oleh karena itu, menurut NU yang
terpenting adalah pemerintahan harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan
menerapkan prinsip-prinsip dasar yang dilakukan Rasulullah saw. dalam memimpin
masyarakat yang tertuang dalam Piagam Madinah, serta tercermin dalam
pengangkatan dan praktek kepemimpinan Khulafa al-Rasyidun. Prinsip-prinsip dasar
tersebut adalah sebagai berikut: 124
123 Muhyiddin Abdusshomad, NU Vis A Vis Transnasionalisme.
124 Hasil Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-XXX, (Jakarta: PBNU, 2000), h. 47.
lxxxvi
1. Asy-Syura (musyawarah): pengambilan keputusan dengan mengikutsertakan
pihak-pihak yang berkepentingan dalam urusan bersama, baik secara langsung
maupun melalui perwakilan. (Ali Imran: 159, Syura: 38).
2. Al-Musawa (kesetaraan/equality): pandangan bahwa setiap orang mempunyai
hak dan kedudukan yang sama tanpa adanya diskriminasi karena adanya
perbedaan suku, ras, agama, jenis kelamin, kedudukan, kelas sosial dan lain-
lain (al-Hujurat: 13).
3. Al-‘Adalah (keadilan/justice): menetapkan suatu keputusan baik berupa
hukum, peraturan maupun kebijakan sesuai dengan hakikat kebenaran
obyektif tanpa disadari pandangan dan kepentingan subyektif dan tidak
bertentangan dengan al-mabadi’ al-khamsah (an-Nisa’: 135, al-Maidah: 8).
4. Al-Hurriyah (kebebasan/freedom): adanya jaminan bagi setiap orang untuk
menyampaikan pendapatnya dengan cara yang baik, bertanggung jawab dan
al-akhlaq al-karimah (at-Taubah 105).
Menurut penulis dari keterangan-keterangan di atas bahwa wawasan
kebangsaan adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan bagi generasi penerus bangsa,
yang bertugas meneruskan perjuangan-perjuangan orang-orang yang terdahulu dalam
rangka membangun suatu negara menjadi negara yang maju, sejahtera dan tentram-
damai, serta untuk menjaga dan melestarikan kultur bangsa di era globalisasi ini, agar
kultur bangsa yang asli tidak tercampur dengan kultur bangsa luar yang dapat
menghilangkan jati diri bangsa. Wawasan kebangsaan Nahdlatul Ulama bukan hanya
dari segi toleransinya dalam beragama, tetapi juga kontribusinya pada pembentukan
lxxxvii
identitas suatu bangsa setelah merdeka dari penjajahan. Islam kebangsaan yang
dikembangkan NU merupakan langkah maju guna mengakomodasi Islam di satu sisi,
dan diskursus kebangsaan di sisi lain.
Dari paparan di atas, bahwa NU sebagai organisasi sosial keagamaan
(jam'iyyah diniyah wa-ijtima'iyyah) Islam terbesar di Indonesia memiliki komitmen
terhadap perjuangan para ulama-ulama untuk tetap menjaga NKRI dan asas
Pancasila. Seperti rekomendasi Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Surabaya Juli
2006; meneguhkan kembali Pancasila dan NKRI dilakukan karena ada upaya
pengkroposan dan penggrogotan yang melemahkan NKRI, ini dilihat dari menipisnya
komitmen ke-Indonesia-an di sebagian kalangan masyarakat, juga berkembang
sentiment dan perilaku keagamaan yang ekstrim. Pancasila sebagai kehidupan dasar
berbangsa dan bernegara mulai dikesampingkan. Dengan ini NU menegaskan
kembali NKRI dengan dasar Pancasila merupakan bentuk final dari jerih payah
perjuangan umat Islam Indonesia, sebagaimana diputuskan dalam Munas Alim
Ulama NU di Situbondo pada tahun 1983 dan dikukuhkan Muktamar NU ke-27 di
Situbondo pada tahun 1984.
H. Analisa Penulis
Menurut penulis dari keterangan-keterangan di atas bahwa wawasan
kebangsaan adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan bagi generasi penerus bangsa,
yang bertugas meneruskan perjuangan-perjuangan orang-orang yang terdahulu dalam
rangka membangun suatu negara menjadi negara yang maju, sejahtera dan tentram-
lxxxviii
damai, serta untuk menjaga dan melestarikan kultur bangsa di era globalisasi ini, agar
kultur bangsa yang asli tidak tercampur dengan kultur bangsa luar yang dapat
menghilangkan jati diri bangsa. Wawasan kebangsaan Nahdlatul Ulama bukan hanya
dari segi toleransinya dalam beragama, tetapi juga kontribusinya pada pembentukan
identitas kebangsaan setelah merdeka dari kolonialisme Belanda.
Penyebab utama adanya perbedaan wawasan kebangsaan NU dengan Khilafah
Islamiyah adalah perbedaan sejarah. NU lahir karena didorong semangat kebangsaan
yang tinggi. Yakni didorong oleh kepeduliannya untuk mempertahankan Islam yang
ramah pada nilai budaya setempat, serta menghargai perbedaan agama, tradisi dan
kepercayaan, sedangkan konsep Khilafah Islamiyah tidak berdasarkan negara bangsa,
tetapi negara internasional yang disatukan oleh identitas Islam.
Dari penjelasan pemikiran nasionalisme NU di atas, penulis berpendapat
bahwa NU yang tidak bisa lepas dari Negara Kesatuan ini dengan bukti:
1. Nahdlatul Ulama menjadi sponsor utama diterimanya Asas Tunggal Pancasila
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada tahun 1984.
2. Fatwa K.H. Ahmad Shiddiq yang menyatakan bahwa, kontitusi negara yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah bentuk final perjuangan kaum
muslimin.
3. Komitmen Nahdlatul Ulama bahwa NKRI yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945 harus dipertahankan dengan cara “memerangi” semua bentuk
sparatisme di berbagai daerah (lihat hasil Munas dan Konbes NU 2006 di
Surabaya).
lxxxix
Menurut analisis penulis, jika memang benar-benar semua bagian sistem yang
digunakan oleh para khalifah itu berasal dari Islam sendiri, tentu kita pasti bisa
menemukan di dalam al-Qur’an dan al-Hadits secara eksplisit, bahwa sistem
pemerintahan yang diridlahi Allah SWT itu bagaimana, serta tata cara pemilihan
khalifah seperti apa. Ternyata keterangan itu, tidak kita temukan, yang ada hanya
hasil ijtihad para ulama atau interpretasi dari teks al-Qur’an ataupun as-Sunnah bukan
teks itu sendiri yang bisa saja masih interpretible.
Dari keterangan-keterangan di atas bahwa NU dari masa ke masa menjadi
agen penting menentukan ikatan kebangsaan. Pandangan-pandangan keagamaannya
menjadi jangkar yang dapat mengokohkan berdirinya bangsa ini. Kekokohan visi
kebangsaan itu mencapai puncaknya pada tahun 1984 ketika NU menyatakan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Pancasila sebagai dasarnya adalah
bentuk final.
xc
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masalah sempitnya wawasan kebangsaan di dalam negeri telah menimbulkan
ideologi seseorang untuk kembali ingin menegakkan khilafah Islamiyah, kendatipun
banyak resiko yang harus dihadapi. Dari semua yang penulis uraikan pada bab-bab
terdahulu, maka kesimpulan yang dapat ditarik, adalah:
1. Konsep wawasan kebangsaan ini direalisasikan untuk meng-counter konsep-
konsep primordial, sektarian dan paham-paham lain yang dapat merangsang
timbulnya masalah-masalah SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) yang
dapat menimbulkan kerawanan terhadap persatuan bangsa. Sedangkan konsep
Khilafah Islamiyah adalah adanya satu ikatan untuk menegakkan hukum-hukum
syara’ dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Ikatan yang
mempersatukan kekhalifahan adalah Islam sebagai agama. Namun, sebagian
ulama berpendapat bahwa konsep khilafah dalam al-Qur’an tidak ada
hubungannya dengan khilafah dalam arti lembaga kekuasaan politik. Sementara
di sisi lain, berpendapat sebaliknya, bahwa peran kekhalifahan manusia dalam
mengatur segala urusan —agama dan dunia— akan tercapai jika ditegakkan
dengan kekhalifahan yang bersandar pada wahyu Ilahi.
xci
2. Nahdlatul Ulama beranggapan bahwa khilafah merupakan hasil ijtihadiyah karena
tidak adanya dalil nash syar’i baik al-Qur’an maupun Sunnah secara eksplisit
yang menjelaskan tentang kewajiban mendirikan khilafah Islamiyah. Sedangkan
dari segi wawasan kebangsaan, Nahdlatul Ulama memiliki pandangan bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila merupakan
bentuk final bagi Bangsa Indonesia bukan negara Islam atau khilafah Islamiyah,
tetapi negara nasional yang menempatkan agama sama di hadapan negara.
B. Saran-saran
Setelah membahas dan menganalisa tentang wawasan kebangsaan Nahdlatul
Ulama dan khilafah Islamiyah, maka penulis ingin menyampaikan saran-saran
sebagai berikut:
1. Untuk mengatasi perbedaan tentang wawasan kebangsaan dan khilafah Islamiyah,
hendaknya pemerintah untuk segera merespons ideologi-ideologi yang ingin
merubah bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
2. Mengingat kemajemukan serta pluralisme masyarakat Indonesia, maka
masyarakat harus menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan serta mengkaji
kembali sejarah-sejarah kemerdekaaan agar tidak mudah terpengaruh dengan
ideologi-ideologi transnasional yang bertentangan dengan hukum negara.
3. Perlu diselenggarakannya majelis atau forum temu wicara pemerintah dan ulama
untuk meneguhkan kembali semangat kebangsaan sehingga disintegrasi bangsa
dapat diantisipasi.
xcii
4. Untuk mengingat betapa pentingnya peranan ilmu ketatanegaraan Islam (fiqih
siyasah), diharapkan agar Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta memberikan pendidikan yang lebih mendalam.
xciii
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim dan terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 1992.
Abbas, Siradjudin, I’tiqad Ahlussunnah wal-Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah,
2003. Ahmad, Mumtaz, (ed.), Masalah-masalah Teori Politik Islam, Alih Bahasa: Ena
Hadi, Bandung: Mizan, 1996. Alaena, Badrun, NU, Kritisme dan Pergeseran Makna Aswaja, Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 2000.. Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme,
hingga Postmodernisme, Jakarta: Paramadina, 1996. Baso, Ahmad, NU Studies, Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam
dan Fundamentalisme Neo-Liberal, Jakarta: Erlangga, 2006. Bruinessen, Martin Van, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru
Yogyakarta: LKiS, 1997. Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, Jakarta: CV. Anda Utama, 1993. Dy, Aceng Abdul Aziz, dkk, Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia: Sejarah,
Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama, Jakarta: Pustaka Ma’arif NU, 2007.
Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik
Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998. Engineer, Ashgar Ali, Asal-usul dan Perkembangan Islam: Analisis Pertumbuhan
Sosial-Ekonomi, Yogyakarta, Pustaka-Insist, 1999. Esposito, John L., Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?, alih bahasa: Alwiyyah
Abdurrahman, Bandung: Mizan, 1996. ______________, Islam dan Politik, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
xciv
Fealy, Greg dan Greg Barton (ed), Tradisonalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, Yogyakarta: LkiS, 1996.
Feillard, Andre, NU Vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna,
Yogyakarta: LKiS, 1999. Glasse, Cyrill, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Hasan, Muhammad Tholhah, Ahlussunnah Wal-Jama’ah: dalam Persepsi dan Tradisi
NU, Jakarta: Lantabora Press, 2005. Hudson, Michael C., Islam dan Perkembangan Politik”, dalam John L. Esposito,
(ed.), Identitas Islam pada Perubahan Sosial-Politik, alih bahasa: Zainuddin Rahman, Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Ismail, Faisal, Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik, Jakarta:
Departemen Agama RI, 2004. ____________, Momentum Historis Gerakan Pencerahan Islam: Peranan Nabi
Muhammad saw dan Para Khalifah al-Rasyidin Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Mitra Cendekia, 2004.
___________, Pijar-pijar Islam; Pergumulan Kultur dan Struktur, Jakarta: Badan
Litbang Agama dan Diklat keagamaan, 2002. Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988. Khaldun, Ibn, Muqaddimah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. Lampiran Khittah NU, Dasar-dasar Paham Keagamaan NU, dalam Implementasi
Nahdliyah Menuju Indonesia Mutamaddin, yang diterbitkan oleh Panitia Muktamar NU ke XXX di Surabaya, Jakarta: Fatma Press, 1999.
Maarif, Ahmad Syafi’i, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985. Madjid, Nurcholis, Islam: Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1998. Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2006.
xcv
Marijan, Kacung, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, Jakarta: Erlangga, 1992.
Al-Maududi, Abul ‘Ala, Khalifah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah
Pemerintahan Islam, Bandung: Mizan, 1994. Misrawi, Zuhairi, Menggugat Tradisi: Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU,
Jakarta: Kompas, 2004. Mujieb, M. Abdul, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995. Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1985. _____________, Teologi Islam: Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta: UI
Press, 1986. PBNU, Jati Diri Nahdlatul Ulama, Jakarta: PBNU, 2002. Al-Qahthani, Said bin Musfir, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailan. Penerjemah
Munirul Abidin, Jakarta: Darul Falah, 2003. Qomar, Muajmil, NU Liberal Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme
Islam, Bandung: Mizan, 2002. Qardhawi, Yusuf, Fiqh Dawlah dalam Perspektif al-Qur’an dan Sunnah, alih bahasa:
Kathur Suhudi, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998. Rahardjo, Iman Toto K. & Suko Sudarso, Bung Karno, Islam, Pancasila & NKRI,
Jakarta: Komunitas Nasionalis Religius Indonesia, 2006. Raharjo, M. Dawam, Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996. Rais, Dhiya’ ad-Din, Islam dan Khilafah, Kritik Terhadap Buku Khilafah dan
Pemerintahan dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1985. Raziq, Ali Abdur, Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam, alih bahasa: Afif
Muhammad, Bandung: Pustaka, 1985. Salim, Abdul Muin, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
xcvi
Siradj, Said Aqil, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri, Jakarta: Pustaka Ciganjur: 1999.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta:
UI Press, 1990. Syaharstani, al-Milal wa an-Nihal, Kairo: Maktabah al-Halabi, 1968. Syamsuddin, M. Dien, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani,
Jakarta: Logos, 2001. Tirmizi, Imam, Shahih at-Tirmizi, Kairo: Maktabah al-Mashriyyah, 1931. Watt, W. Montgomery, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, alih bahasa: Taufik
Adnan Amal, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997. Yatim, Badri, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, Jakarta: Logos, 1999. Artikel Media Massa dan Majalah Said, Imam Ghazali, Syaikh Hasyim Asy’ari antara Khilafah dan Nasionalisme,
Risalah Nahdlatul Ulama, edisi ke- IV Siradj, Said Aqil, Bukan Negara Islam tapi Negara Damai, Risalah Nahdlatul Ulama,
edisi ke- IV. Hasan, Muhammad Tholhah, Relistiskah Khilafah di Milenium Perubahan?, Risalah
Nahdlatul Ulama, edisi ke- IV. Hasil Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-XXX, Jakarta: PBNU, 2000. Media Indonesia, 13 Agustus 2007 Kompas, Selasa, 4 September 2007. Internet Abdusshomad, Muhyiddin, "NU Vis A Vis Transnasionalisme", artikel diakses
tanggal 10 Maret 2008 dari http://www.lakpesdam.or.id/index. php?id=185. http ://www. Pikiran-rakyat.com, Senin 13 Agustus 2007.
xcvii