“Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan...

97
i KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan nikmat, hidayah dan rahmat-Nya, sehingga penulisan skripsi dengan judul “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan Kebangsaan dan Khilafah Islamiyah”, dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat beserta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasululllah SAW. beserta keluarga dan sahabatnya. Munculnya berbagai hambatan dan kesulitan seakan terasa ringan berkat bantuan dan dorongan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis berkenan mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak tertentu, tanpa mengurangi penghormatan penulis bagi pihak-pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam pengantar yang singkat ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum beserta para pembantu Dekan. 2. Bapak Asmawi, M.Ag selaku ketua Jurusan Jinayah Siyasah beserta Ibu Sri Hidayati, M.Ag selaku Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah.

Transcript of “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan...

Page 1: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah

melimpahkan nikmat, hidayah dan rahmat-Nya, sehingga penulisan skripsi dengan

judul “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan Kebangsaan dan Khilafah

Islamiyah”, dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat beserta salam semoga

senantiasa tercurahkan kepada Rasululllah SAW. beserta keluarga dan sahabatnya.

Munculnya berbagai hambatan dan kesulitan seakan terasa ringan berkat

bantuan dan dorongan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis berkenan

mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak tertentu, tanpa mengurangi

penghormatan penulis bagi pihak-pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu

dalam pengantar yang singkat ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, penulis

sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan

Fakultas Syari’ah dan Hukum beserta para pembantu Dekan.

2. Bapak Asmawi, M.Ag selaku ketua Jurusan Jinayah Siyasah beserta Ibu Sri

Hidayati, M.Ag selaku Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah.

Page 2: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

ii

3. Bapak Prof. Dr. Masykuri Abdillah yang telah membimbing penulis dengan

penuh kesabaran sehingga tulisan ini dapat diselesaikan dengan baik.

4. Seluruh Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Syarif Hidayatullah, pimpinan dan

seluruh karyawan perpustakaan di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Kedua orang tua penulis Ayahanda Sagiman dan Ibunda Suparti yang telah

memberikan curahan kasih sayang dan pengorbanan mendalam, baik jiwa, raga

maupun materil dalam memperjuangkan penulis menggapai kesuksesan. Serta

kakak-kakakku Siti Isyaroh, Mursidah, Purwatun dan kakak-kakak iparku yang

selalu memberikan semangat di saat penulis jenuh.

6. Bapak Gun-gun Heryanto M.Si yang telah membantu dan memberikan pinjaman

buku motivasi kepada penulis

7. Kang Aslam, Kang Hanafi, Kang Dardiri kang Ali dan khususnya Mbah Liem

(Muslim) yang selalu memberikan dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini, dan

teman-teman IKAMARU Jakarta; Moullyn, @-Noer, Maman, Rina, Yayah terima

kasih atas do’a dan motivasinya

8. Rekan-rekan mahasiswa Siyasah Syar’iyyah angkatan 2003 khususnya; Nazir,

kosim, Ikrom, Fauzi dan temen Kosan; Said, Jiban, Ari, Hendra 46, I-Ve, Oga,

Ozie, Jabal, Yani, Syaem, Erna, Nana dan Noer. Tank’s ya bro’,,.

Mudah-mudahan jasa dan amal baik tersebut mendapatkan balasan yang

setimpal dari Allah SWT. Sebagai amal saleh dan senantiasa berada dalam

maghfirah-Nya.

Page 3: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

iii

Akhirnya, semoga skripsi yang sederhana ini dapat memenuhi harapan dalam

ikut serta membantu ke arah kemajuan pendidikan, khususnya masalah hukum Islam.

Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi orang banyak dan membawa keberkahan

di dunia dan akhirat. Semoga Allah SWT. memberikan petunjuk ke jalan yang benar

dan mencurahkan taufik serta hidayah-Nya kepada kita sekalian. Amin.

Jakarta, 15 Juni 2008

Penulis

Page 4: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

iv

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.........................................................................................i

KATA PENGANTAR.................................................................................................ii

DAFTAR ISI...............................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah...............................................................................1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...........................................................5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.....................................................................6

D. Tinjauan Pustaka ..........................................................................................6

E. Metode Penelitian..........................................................................................9

F. Sistematika Penulisan..................................................................................11

BAB II SEKILAS TENTANG NAHDLATUL ULAMA...................................13

A. Sejarah Berdirinya NU................................................................................13

B. Karakteristik Paham Keagamaan................................................................21

C. Kiprah NU dalam Kehidupan Bermasyarakat............................................33

BAB III WAWASAN KEBANGSAAN DAN KHILAFAH ISLAMIYAH..........39

A. Pengertian Wawasan Kebangsaan .............................................................39

B. Paradigma Pemikiran tentang Islam dan Politik.........................................43

C. Pengertian Khilafah Islamiyah ...................................................................48

D. Khilafah Islamiyah dalam Lintasan Sejarah ..............................................55

Page 5: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

v

E. Khilafah dalam Wacana Politik Islam Kontemporer..................................60

BAB IV PANDANGAN NU TERHADAP WAWASAN KEBANGSAAN DAN

KHILAFAH ISLAMIYAH.....................................................................65

A. Pandangan NU terhadap Azas Pancasila.................................................. 65

B. Pandangan NU terhadap Finalisasi Bentuk Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI)......................................................................................70

C. Pandangan NU terhadap Wawasan Kebangsaan dan Khilafah

Islamiyah.................................................................................................. 74

D. Analisa Penulis..........................................................................................83

BAB V PENUTUP.................................................................................................85

A. Kesimpulan.................................................................................................85

B. Saran-saran..................................................................................................86

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................86

Page 6: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

vi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam sering dipahami sebagai suatu ajaran yang lengkap, ia hadir di mana-

mana, serta memberikan panduan dalam berbagai segi kehidupan. Islam juga

memberikan panduan mengenai bagaimana kita bersikap, berakidah yang baik,

beribadah, bermuamalah dan termasuk dalam kehidupan bernegara. Tegasnya bahwa

kehadiran Islam selalu memberikan panduan moral yang baik dan benar dalam segala

macam tindakan.1

Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah mengurat nadi

dalam kehidupan masyarakat Indonesia tidak berfungsi sebagaimana dalam praktek

formalitas hukum. Menurut Abdul Manan, hukum Islam mempunyai tujuan (Maqasid

al-Syariah)2 yang memiliki aspek mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan

akhirat. Menurutnya, hukum Islam juga membawa manusia ke bawah naungan

hukum agar nantinya manusia terbebas dari belenggu hawa nafsu.3

1 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di

Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), Cet ke-1, h. 7. 2 Tujuan Maqasid al-Syariah yaitu Hifzh al-Din (menjaga agama), Hifzh an-Nafs (menjaga

kehidupan), Hifzh al-‘Aql (menjaga akal), Hifzh an-Nasl (menjaga keturunan), Hifzh al-Maal (menjaga harta benda).

3 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2006), h. 107.

Page 7: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

vii

Hukum Islam ini dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan perubahan dari

berbagai pergerakan. Gerakan Islam ini sejak zaman penjajahan memang telah

terlibat dalam aktivitas yang bersifat politis. Kondisi seperti ini lebih diakibatkan oleh

peranan Islam yang begitu menentukan dalam meraih kemerdekaan Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI). Gerakan dan peperangan ini dipelopori oleh Imam

Bonjol dalam Perang Paderi, Pangeran Diponegoro, Perang Aceh dan serentetan aksi-

aksi perjuangan Islam lainnya.4

Di masa kemerdekaan, Islam menjadi tolak ukur moralitas dan merupakan

kontribusi penting dalam setiap kebijakan publik serta mejadi alat legitimasi efektif

terhadap proses pembangunan. Akan tetapi dalam kenyataannya, kedudukan penting

Islam di atas ternyata tidak diimbangi oleh fungsionalisasi Islam dan umat Islam itu

sendiri, baik secara politik, hukum, ekonomi maupun sosio-kultural. Islam dan umat

Islam dalam perkembangannya selalu pada posisi yang marjinal.5 Pada masa Orde

Baru, hukum Islam mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Perkembangan

ini didorong oleh gerakan pembaruan pemikiran Islam serta perubahan sikap

pemerintah Orde Baru yang lebih akomodatif terhadap berbagai aspirasi umat Islam.

Pada hari Minggu 12 Agustus 2007 yang bertepatan dengan 28 Rajab lalu,

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menggelar acara Khilafah Internasional di Istora

Senayan. Ribuan umat Islam, tamu undangan, dan para pembicara dari dalam maupun

4 Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta: Logos, 1999), Cet ke-I, h. 155. 5 Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h.

120.

Page 8: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

viii

luar negeri menghadiri acara tersebut. Suatu hal yang menjadi catatan menarik antara

lain tampilnya pembicara dan bahkan para hadirin yang berlatar belakang berbeda

organisasi masyarakat (ormas), status pendidikan, sosial ekonomi, serta budaya.

Mereka tiba-tiba menjadi bersatu mengusung tema pentingnya menegakkan Khilafah

Islamiyah. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mempunyai pandangan untuk

mengampanyekan konsep Khilafah Islamiyah, seluruh keterpurukan umat terjadi

akibat tidak dilaksanakannya syari’at Islam secara penuh. Sistem dalam Islam hanya

diambil sebagian sesuai keinginan mereka yang mengamalkannya. Jika Indonesia

ingin baik pada masa mendatang, tidak ada cara lain selain dengan khilafah.6

Dalam konferensi khilafah yang diadakan HTI, ada perwakilan ormas yang

terkenal moderat secara terang-terangan tidak hadir dalam acara tersebut yaitu

perwakilan dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan alasan yang

prinsipil;7 berbeda dengan Pengurus Pusat Muhammadiyah yang pada waktu itu ikut

membantu memberikan orasi, dengan menyerukan agar umat Islam mengambil esensi

dari konsep kekhilafahan yaitu persatuan dan kebersamaan.8

Nahdlatul Ulama (NU) yang berdiri pada tahun 1926 telah tampil sebagai

organisasi terbesar yang banyak memberikan sumbangan bagi bangsa. Pengorbanan

6 Kompas, Selasa, 4 September 2007, h. 5. 7 Prinsipil yang dimaksud adalah Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)

menegaskan, bahwa konsep pemerintahan Islam (Khilafah Islamiyah) tidak pernah jelas bagaimana bentuk dan mekanisme pendiriannya. Kejelasan konsep tersebut hanyalah selalu mengganggu dan mempersoalkan keabsahaan sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. http://www. Pikiran-rakyat.com, Senin 13 Agustus 2007.

8 Media Indonesia, 13 Agustus 2007, h. 1.

Page 9: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

ix

NU dan organisasi lainnya pada masa itu baik berupa harta benda, keringat bahkan

jiwa ternyata tidak sia-sia karena telah berhasil mengantarkan Indonesia ke gerbang

kemerdekaan.9 Di awal kemerdekaan RI, Zuhairi Misrawi menegaskan NU

mempunyai arti penting bagi proklamasi kemerdekaan. Para kiai NU mempunyai

andil besar, bahkan ikut menegaskan kepemimpinan Bung Karno dengan fatwa

“pemimpin yang mempunyai otoritas penuh” (waliy al-amri al-dlarury bi al-syaukah)

demi terbentuknya negara yang adil dan berdaulat.10

Sejarah keterlibatan NU dalam berpolitik selalu ada benang merah yang

nampak bahwa pertimbangan politiknya senantiasa diambil berdasarkan konteks dan

situasi politik yang berkembang. Wajar jika kemudian relasi NU dan pemerintah

(negara) seringkali bersifat kompromis dan saling menopang. Misalnya, tokoh NU

terlibat secara aktif di dalam pemerintahan.11 Sedangkan pada perkembangan

kontemporer, pemikiran keagamaan (Islam) dalam komunitas NU menunjukkan

fenomena yang menarik, mereka mempunyai gagasan keagamaan progresif dalam

merespons modernitas dengan menggunakan basis pengetahuan tradisional yang

mereka miliki setelah dipersentuhkan dengan pengetahuan baru dari berbagai

9 Sudarno Shobron, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam Pentas Politik Nasional,

(Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2003), Cet. Ke-1, h. 43. 10 Zuhairi Misrawi, Menggugat Tradisi: Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU, (Jakarta:

Kompas, 2004), Cet. Ke-1, h. 1. 11 Faisal Ismail, Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik, (Jakarta: Departemen

Agama RI, 2004), Cet. Ke-1, h. 52.

Page 10: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

x

khazanah modern.12 Dewasa ini, ketika pembangunan sedang berjalan masih banyak

problematika yang masih memerlukan pemecahan. Di sana kiprah kelompok sosial

untuk menentukan perannya dalam memberikan jawaban terhadap persoalan-

persoalan dasar manusia. NU sebagai kekuatan sosial keagamaan ditentukan

ketepatannya dalam ikut serta menjawab tantangan-tantangan bangsa dan diperlukan

tindakan-tindakan nyata dalam menyelesaikan masalah.

Berdasarkan kerangka berpikir di atas, penulis merasa termotivasi untuk

meneliti lebih lanjut tentang wawasan bernegara Khilafah Islamiyah menurut sudut

pandang ormas Islam yang komunitasnya terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul

Ulama. Penelitian tersebut penulis kemas dalam bentuk skripsi dengan judul:

“Pandangan Nahdlatul Ulama terhadap Wawasan Kebangsaan dan Khilafah

Islamiyah".

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, untuk lebih

memfokuskan arah penelitian ini, penulis memberikan batasan masalah pada

pandangan Nahdlatul Ulama tentang wawasan kebangsaan dan khilafah Islamiyah.

Berkaitan dengan pembatasan masalah di atas, perlu dirumuskan beberapa

pokok masalah sebagai berikut:

12 Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Mazhab Negara, (Yogyakarta: Lkis, 2001), Cet. I, h.

138.

Page 11: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xi

1. Bagaimana konsep wawasan kebangsaan dan perkembangan pemahaman

Khilafah Islamiyah?

2. Bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama dengan masalah kebangsaan khususnya

dalam menyikapi Khilafah Islamiyah?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Secara rinci sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan khusus dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana mewujudkan wawasan kebangsaan

dan perkembangan khilafah Islamiyah. Kemudian bagaimana pandangan Nahdlatul

Ulama dengan masalah wawasan kebangsaan khususnya dalam menyikapi Khilafah

Islamiyah.

Selain penelitian ini memiliki tujuan, diharapkan dapat memberikan manfaat

sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan pemahaman, khususnya

menambah wacana baru seputar pandangan Nahdlatul Ulama terhadap wawasan

kebangsaan dan Khilafah Islamiyah.

2. Secara praktisi penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan bahan

diskusi.

D. Tinjauan Pustaka

Page 12: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xii

Penulisan skripsi ini perlu adanya beberapa literatur untuk mencapai

kesempurnaan, di antaranya bersumber dari tesis dan buku-buku yang berkaitan

dengan judul skripsi ini, yaitu :

1. “Fundamentalisme Islam Indonesia” (Studi Atas Gerakan dan Pemikiran Hizbut

Tahrir) Tesis, Rihlah Nur Aulia.

Dalam tesis ini, memberikan pandangan mengenai kefundamentalan Hizbut

Tahrir dapat dilihat dari aspek gerakan dan pemikirannya. Adapun bila dilihat dari

aspek gerakan, yaitu: (a) Hizbut Tahrir Indonesia mempunyai keterkaitan dengan

keagamaan yang berada di Timur Tengah. (b) Sebuah masa Islam/partai Islam,

yang tujuan pembentukan cenderung bersifat luas dan global, yakni untuk

menegakkan suatu tatanan sosial yang Islami. Sedangkan dilihat dari aspek

pemikirannya berkeyakinan bahwa, Islam adalah agama yang komprehensif dan

sempurna, di dalamnya tercakup seluruh aspek kehidupan yang harus

dilaksanakan dan dijalani pada setiap umatnya, baik dalam kehidupan pribadi,

masyarakat, maupun dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu, bagi Hizbut

Tahrir mendirikan Daulah Khilafah Islamiyah adalah suatu kewajiban bagi setiap

muslim. Bagi mereka Islam tidak dapat dipisahkan dengan negara (politik) al-

Islam al-Din wa al-Daulah. Kesatuan agama dan politik menjadi paradigma

politik mereka terhadap konsepsi negara.

2. “Ahlussunnah Wal-Jama’ah; Dalam Persepsi dan Tradisi NU” karya

Muhammad Tholhah Hasan.

Page 13: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xiii

Secara umum, buku ini membahas Nahdlatul Ulama sebagai organisasi

keagamaan (Jam’iyah Islamiyah) yang berhaluan “Ahlussunnah Wal-Jama’ah“

mempunyai ciri khas tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), dan tawazun

(harmoni). Organisasi NU sejak dulu mempunyai kepedulian terhadap kehidupan

bangsa dan negara (politik), dan partisipasinya telah diwujudkan dengan berbagai

macam manifestasi politik, sampai menjadi kekuatan moral bangsa yang ikut

mempengaruhi warna politik nasional. Semua sikap, prilaku dan kiprah, serta

perannya tidak lepas dari akar dan nilai-nilai teologis yang diyakini, dan norma-

norma syari’ah yang dijunjung tinggi, yakni keyakinan Ahlussunnah wal

Jama’ah, serta doktrin-doktrin dan metodologi pemahamannya. Untuk dapat

memahami Ahlussunnah wal Jama’ah secara utuh, tidak mungkin hanya

menggunakan pendekatan doktrinal saja, tetapi sedikitnya menggunakan tiga

pendekatan, yaitu pendekatan historis, pendekatan kultural, dan pendekatan

doktrinal.

3. “NU Studies; Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan

Fundamentalisme Neo-Liberal” Karya Ahmad Baso.

Buku ini memperkenalkan satu terobosan baru dalam pemikiran Islam di

Indonesia. NU Studies, demikian terobosan itu disebut, merupakan himpunan

tradisi, pencerahan dan kritisisme, yang berakar dalam khazanah kognitif dan

praksis mayoritas umat beragama di nusantara. Sebagai sebuah metodologi, NU

Studies, perpaduan antara hibrid dan tradisi ahli sunnah wal jama'ah (aswaja),

Page 14: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xiv

praksis kebangsaan dan ke-Indonesia-an, dan kritik post-kolonial. NU Studies

hadir dalam konteks kampanye “perang melawan terorisme”, “benturan

peradaban” dan “perang ide-ide” (war of ideas) yang dilancarkan imperium AS,

di satu pihak, dan dalam konteks “al-ghazw al-fikri (invasi pemikiran)” yang

diusung kelompok gerakan Islam kanan, dan di pihak lain. Muncul tarik menarik

di antara kedua kutub ini, yaitu menjadi moderat-liberal atau menjadi Islami

(plesetan dari fundamentalisme dan radikalisme). Di sini agama menjadi lahan

eksploitasi dan komodifikasi.

4. “Islam Ahlusunnah Waljama’ah di Indonesia; Sejarah Pemikiran dan Dinamika

NU” Aceng Abdul Azis Dy, dkk.

Buku ini membahas tentang munculnya Nahdlatul Ulama sebagai organisasi

sosial keagamaan terbesar di Indonesia, telah dengan sungguh-sungguh

melibatkan seluruh elemennya dalam pengembangan pendidikan di Indonesia.

Hal ini menunjukkan bukti bahwa NU telah berperan dan bertanggung jawab

terhadap berlangsungnya hidup bangsa dan negara Indonesia, bahkan jauh

sebelum negara ini merdeka. Ciri khas NU dalam mengembangkan paham

Ahlussunnah Waljama’ah terdapat dalam dua hal; keharusan bermazhab dan

berpegang pada akidah fiqhiyah “al-muhâfadzah ala qadim al-sâlih wa al-akhdzu

bil jadîd al-aslah” (menjaga kesinambungan tradisi lama yang baik, dan

mengambil tradisi baru yang lebih baik). Pentingnya bermazhab dalam

mengamalkan ajaran Islam, menurut NU dikarenakan akan (lebih) mendekatkan

umat Islam pada kebenaran dan mudah dijangkau.

Page 15: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xv

E. Metode Penelitian

Untuk dapat mencapai tujuan dari pembahasan ini, maka penulis

menggunakan metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan adalah jenis penelitian kualitatif, yang lebih

menekankan pada penjelasan data-data yang terkait dengan objek yang diteliti secara

deskriptif. Penelitian berupa studi empiris untuk menemukan teori-teori kebangsaan

Nahdlatul Ulama dan Khilafah Islamiyah melalui pendekatan kualitatif.

2. Sumber Data

Dalam penyusunan skripsi ini jenis data yang digunakan adalah data kualitaif

di mana pengumpulan data diperoleh dari berbagai sumber tertulis. Data tersebut

terbagi pada dua sumber yaitu: pertama, sumber primer meliputi buku-buku tentang

kebangsaan Nahdlatul Ulama, di antaranya: Ahlussunnah wal Jama’ah dalam

Persepsi dan Tradisi NU, NU Studies dan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur tentang

Khilafah Islamiyah. Sedangkan sumber yang kedua adalah sumber sekunder meliputi:

Artikel-artikel, majalah risalah serta situs-situs yang berkaitan di antaranya NU

online.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Library Research (kajian

kepustakaan). Studi pustaka antara lain melalui beberapa buku dan literatur yang

dipandang mewakili (representatif) dan berkaitan (relevan) dengan objek penelitian.

Page 16: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xvi

Objek penelitian yang dimaksud adalah pandangan Nahdlatul Ulama terhadap

wawasan kebangsaan dan Khilafah Islamiyah.

4. Analisis Data

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan

akurat mengenai pandangan Nahdlatul Ulama terhadap wawasan kebangsaan dan

Khilafah Islamiyah. Dalam menganalisa data, diterapkan tehnik analisis isi (content

analysis) secara kualitatif, kemudian data-data yang telah ada dibaca, diselektif dan

dianalisis mengikuti sesuai dengan bab-bab yang terkait.

5. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan skripsi ini menggunakan Buku Pedoman Penulisan

Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas

Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta terbitan tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Agar pembahasan dan penulisan skripsi ini terurai secara sistematis, maka

dalam hal ini terbagi menjadi lima bab, dengan susunan sebagai berikut:

Bab Pertama: Merupakan Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah,

Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat

Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, serta Sistematika

Penulisan.

Bab Kedua: Menjelaskan sekilas tentang Nahdlatul Ulama; Menjelaskan tentang

Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama, Karakteristik Faham

Page 17: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xvii

Keagamaan, Kiprah Nahdlatul Ulama dalam Kehidupan

Bermasyarakat.

Bab Ketiga: Menjelaskan Wawasan Kebangsaan dan Khilafah Islamiyah yang

meliputi: Pengertian Wawasan Kebangsaan, Paradigma Pemikiran

tentang Islam dan Politik, Pengertian Khilafah, Khilafah Islamiyah

dalam Lintasan Sejarah, Khilafah dalam Wacana Politik Islam

Kontemporer.

Bab Keempat: Menjelaskan tentang Pandangan Nahdlatul Ulama terhadap Wawasan

Kebangsaan dan Khilafah Islamiyah yang meliputi; Pandangan NU

terhadap Azas Pancasila, Pandangan NU terhadap Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI), Pandangan Nahdlatul Ulama terhadap

Wawasan Kebangsaan dan Khilafah Islamiyah.

Bab Kelima: Merupakan penutup yang berisi kesimpulan penelitian dari jawaban

atas persoalan-persoalan, juga terdiri dari saran-saran penulis

terhadap topik pembahasan yang diangkat dalam penelitian skripsi

ini.

Page 18: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xviii

BAB II

SEKILAS TENTANG NAHDLATUL ULAMA

A. Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi sosial keagamaan (Jam’iyah Diniyah

Islamiyah) yang berhaluan Ahlusunnah Wal Jama’ah (Aswaja).13 Organisasi ini

didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 M, atau 16 Rajab 1334 H.14 Nahdlatul Ulama

yang berarti “kebangkitan para ulama” oleh K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Abdul

Wahab Hasbulllah, sebagai wadah mempersatukan diri dan langkah di dalam tugas

memelihara, melestarikan, mengemban dan mengamalkan ajaran Islam ‘Ala

Ahlisunnah Wal jama’ah dan ‘Ala Ahadil Mazhabil Arba’ah dalam rangka

mewujudkan Islam sebagai rahmat alam semesta.15

Di samping itu, Nahdlatul Ulama didirikan untuk mewakili kepentingan para

kyai tradisionalis yang posisinya terancam dengan munculnya Islam reformis

(Muhammadiyah dan Sarekat Islam) yang semakin meluas sehingga

memarginalisasikan kyai, yang sebelumnya merupakan satu-satunya pemimpin dan

juru bicara komunitas Muslim. Nahdlatul Ulama juga bertujuan untuk vis-à-vis

13 Paham Ahlusunnah Wal Jama’ah yang dipelopori oleh Imam Asy’ari dan Imam Maturidi

digunakan oleh NU dalam hal aqidah. Badrun Alaena, NU, Kritisme dan Pergeseran Makna Aswaja (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000), Cet. Ke-1, h. 2.

14 Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, (Jakarta: Erlangga,

1992), Cet. Ke-1, h. 1. 15 Aceng Abdul Aziz Dy, dkk, Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia: Sejarah,

Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Pustaka Ma’arif NU, 2007), Cet. Ke-2, h. 124.

Page 19: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xix

pemerintahan Kolonial dan juga kaum pembaharu serta menghambat perkembangan

organisasi-organisasi yang telah ada. Pendapat ini dikemukakan beberapa penulis

seperti Benda, Wetheim dan Geertz.16

Pada tahun 1908 ketegangan timbul antara kalangan tradisional dan modernis

sebagian karena perbedaan yang menajam antara taqlid dan ijtihad,17 sebagian lagi

karena perkembangan di Jazirah Arab yang waktu itu dikuasai Ibnu Saud (1880-

1953). Dia menaklukkan tanah suci dan segera meruntuhkan kuburan dan tanda-tanda

kramat yang ada di sana. Kondisi ini berimbas ke tanah air dengan tersiar kabar

bahwa di Indonesia praktik bermazhab akan dilarang karena dianggap bid’ah. Untuk

mempertahankan dari paham para pembaharu di negeri sendiri, golongan tradisional

Islam di Jawa sepakat mendirikan Nahdlatul Ulama. Hanya saja, kemenangan

kalangan Wahabi di tanah Arab merupakan sebab langsung berdirinya NU.18

Di sisi lain, berdirinya NU dapat dikatakan sebagai ujung perjalanan dan

perkembangan gagasan-gagasan yang muncul di kalangan ulama pada perempat

pertama abad 20. Kelahirannya diawali dengan Nahdlatul Tujjar (1918) yang muncul

sebagai lambang ekonomi pedesaan, disusul dengan munculnya Tashwirul Afkar

(1922) ─dikenal juga dengan sebutan “Nahdlatul Fikri (kebangkitan pemikiran)”─

sebagai gerakan keilmuan dan kebudayaan, dan Nahdlatul Wathan (1924) merupakan

16 Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LKiS, 1997), Cet. Ke-1, h. 26.

17 Andre Feillard, NU Vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta:

LKiS, 1999), Cet. Ke-1, h. 6-7. 18 Delian Noer, Partai-partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Bandung: Mizan, 1999),

Cet. ke-2, h. 15.

Page 20: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xx

gerakan politik dalam bentuk pendidikan. Dengan demikian, bangunan NU didukung

tiga pilar utama yang bertumpu pada kesadaran keagamaan paham Ahlu Sunnah Wal

Jama’ah.19

Sebelum berdirinya ketiga organisasi tersebut yang sering disebut cikal bakal

berdirinya NU, sebenarnya K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah

pada waktu tinggal di Makkah pernah mendirikan semacam “paguyuban” yang

anggotanya terdiri dari kaum Nahdliyin yang sedang juga bermukim di Makkah.

Tujuan paguyuban tersebut adalah tolong-menolong dan saling membantu dalam hal

keuangan, ekonomi dan belajar. Dan jauh sebelum organisasi itu berdiri, telah

tersedia basis sosial dan basis masa berdirinya NU. Mereka terdiri dari masyarakat

yang berpaham Ahlu Sunnah Wal Jama’ah yang terkumpul di dalam pesantren,

kelompok pengajian, kelompok tahlilan, dan kelompok haul.20

Pada bulan Januari 1926, sebelum kongres al-Islam di Bandung, ada suatu

rapat antar organisasi pembaharu di Cianjur memutuskan untuk mengirim delegasi

yang terdiri dari dua orang ke Makkah. Satu bulan kemudian dalam kongres al-Islam

usulan K.H. Wahab Hasbullah agar usul-usul kaum tradisionalis mengenai praktek

keagamaan yang dibawa oleh delegasi Indonesia, tetapi usulan tersebut tidak

disambut dengan baik oleh peserta kongres. Penolakan itu, dalam pandangan kaum

modernis memang masuk akal karena sebagian dari mereka menyambut baik

19 Muajmil Qomar, NU Liberal Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam,

(Bandung: Mizan, 2002), Cet. Ke-1, h. 31. 20 Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana, h. 23.

Page 21: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xxi

pembersihan dalam kebiasaan ibadah agama di Arab Saudi. Hal ini telah

menyebabkan kaum tradisionalis semakin terpojok sehingga mereka

memperjuangkan kepentingan mereka dengan cara mereka sendiri, yakni membuat

sebuah komite yang dikenal dengan sebutan “Komite Hijaz” untuk mewakili mereka

di hadapan Raja Ibnu Saud. Untuk mempermudah tugas ini, pada tanggal 31 Januari

1926 diputuskan untuk membentuk suatu organisasi yang mewakili Islam

tradisionalis yang diberi nama “Nahdlatul Oelama (NO)”. Menurut Aula yang dikutip

Andrée Feillard, Muktamar pertama NU baru diadakan bulan Oktober 1926 dan

pengiriman delegasi tradisionalis ke Makkah dilakukan dua tahun kemudian. Pada

Muktamar ke-3 tahun 1928, NU menetapkan Anggaran Dasar (Statuen) untuk

mendapatkan pengakuan pemerintah Belanda, namun pengakuan akhirnya baru

diterima pada tanggal 6 Februari 1930. Anggaran Dasar ini tidak menyebut hubungan

dengan Hijaz yang merupakan “janin” berdirinya NU. Ia menyebutkan dengan sangat

eksplisit bahwa tujuan-tujuan NU adalah mengembangkan ajaran-ajaran Ahlusunnah

Wal Jama’ah.21

Pada awal pembentukan NU, Hasyim Asy’ari terpilih sebagai Rais Am, dan

Ahmad Dahlan sebagai wakilnya sedangkan Wahab Hasbullah menduduki posisi

tertinggi ketiga sebagai Katib Syuriah. Demikianlah Wahab Hasbullah dan Hasyim

Asy’ari tampil pada peran yang berbeda, tetapi secara mutualistik saling memerlukan

dalam keberhasilan membentuk NU. Wahab Hasbullah menawarkan konsep dan

21 Feillard, NU Vis-à-vis Negara; Pencarian, Isi, Bentuk dan Makna, h. 11-13.

Page 22: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xxii

kemampuan berorganisasi sedangkan Hasyim Asy’ari memberikan legitimasi

keagamaan.22

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, yaitu tanggal 17 Agustus

1945. Dalam perjalanan sejarahnya NU pernah bergabung dengan Ormas Islam lain

dan melebur ke dalam satu wadah partai politik Islam yaitu partai Masyumi (Majelis

Syura Muslimin Indonesia) pada tahun 1947, yang kemudian disusul oleh NU lima

tahun kemudian (1952).

Setelah keluar dari Masyumi, NU kemudian menyatakan diri sebagai partai

politik Nahdlatul Ulama. Dengan demikian telah berlangsung suatu perubahan yang

drastis pada diri NU yaitu dari gerakan ide dan pemikiran atau sosial keagamaan

menjadi gerakan politik. Sejak saat itu politik bagi NU menjadi tumpuan segalanya.

Sedangkan wilayah garapan sebelumnya seperti agama, pendidikan dan sosial

hanyalah disubordinatkan atau dicangkokkan kepada politik. Ini terlihat dari cara

tempuhnya yang paling mudah yaitu merubah nama Jam’iyah NU menjadi partai

politik NU. Perubahan tersebut dilakukan mulai dari tingkat PBNU sampai ke tingkat

ranting.23

Gerakan politik tersebut memperoleh dukungan dari lingkungan eksternal

NU, yaitu Presiden Soekarno dengan sistem politik yang dibangunnya, yang

menjadikan politik sebagai “Cultural Focus” atau panglimanya. Pada saat itulah NU

22 Greg Fealy dan Greg Barton (ed), Tradisonalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, (Yogyakarta: LkiS, 1996), Cet. Ke-1, h.10-11.

23 Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985), Cet. Ke-1,

h. 119.

Page 23: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xxiii

boleh dikatakan sukses dalam bidang politik, dimana kepemimpinan umat Islam di

Indonesia yang biasannya dipegang oleh Masyumi telah bergerak ke Nahdlatul

Ulama. Tetapi dibalik kesuksesan tersebut sebenarnya berlangsung pula proses

perubahan yang menyangkut pada tiga hal yang prinsipil, yang dalam

perkembangannya merugikan NU sendiri. Tiga hal tersebut adalah: Pertama,

kepemimpinan para ulama yang tercermin dalam lembaga Syuriah telah mengalami

perubahan. Disadari atau tidak, kepemimpinan NU yang seharusnya berada di tangan

Syuriah telah diambil oleh Tanfidziyah yang terdiri dari para politisi. Kedua, sejalan

dengan hal yang pertama, maka pimpinan Syuriah telah disubordinasikan kepada

kepentingan politik. Ketiga, terjadi perubahan pandangan terhadap organisasi yang

sejak awalnya dipandang sebagai segala-galanya, karena hanya organisasilah

kepentingan seseorang atau kelompok akan tercapai. Secara ringkas dapat

disimpulkan bahwa pada periode ini telah terjadi waktu yang tingkat kesuksesan

politik paling optimal saat itu. Dan pada saat itu pula, telah terkandung benih-benih

kerusakan di tubuh organisasi NU sendiri.24

Setelah melalui fase tersebut, termasuk di dalamnya adanya intervensi dari

Orde Baru saat itu, Pemerintahan Soeharto menerbitkan kebijakan fusi partai sebagai

upaya menata kehidupan politik (Ali Moertopo sebagai pimpinan yang merancang

kekuatan menjadi tiga partai saja). NU Parmusi, PSSI dan Perti memfusikan dirinya

24 Lampiran Khittah NU, Dasar-dasar Paham Keagamaan NU, dalam Implementasi

Nahdliyah Menuju Indonesia Mutamaddin, yang diterbitkan oleh panitia muktamar NU ke XXX di Surabaya, (Jakarta: Fatma Press, 1999), Cet. Ke-1, h. 4.

Page 24: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xxiv

ke dalam satu partai yaitu PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Sedangkan PNI,

Partindo, IPKI, Partai Katholik dan Murba memfusikan ke dalam PDI (Partai

Demokrasi Indonesia) pada tanggal 10 Februari 1973. Semua itu dilakukan atas

desakan pemerintah untuk melaksanakan program penyederhanaan partai politik.

Selama 10 tahun di dalam PPP tidak banyak yang dilakukan oleh NU dan sering kali

dirugikan. Seperti kita ketahui NU adalah partai terbesar di dalam PPP. Menurut hasil

pemilu 1971, NU mendapat 58 kursi, PSII 10 kursi, Perti 2 kursi dan Parmusi 24

kursi, sedangkan Golkar sendiri memperoleh 226 kursi. Maka muncullah kesadaran

pada NU, untuk memfungsikan kembali organisasi ini seperti pada awalnya ia

didirikan. Dari sinilah tersusun Khittah 1926.25

Munas yang digelar pada tahun 1983, mempertegas hubungan NU dan partai

politik. NU telah bersiteguh untuk keluar dari partai politik (PPP) dan menjadi

organisasi sosial keagamaan. Hal penting yang dicatat dalam Munas ini adalah

sebagai berikut:

“Hak berpolitik adalah salah satu hak asasi seluruh warga negara, termasuk warga negara yang menjadi anggota Nahdlatul Ulama. Tetapi Nahdlatul Ulama bukan merupakan wadah bagi kegiatan politik praktis. Penggunaan hak berpolitik dilakukan menurut ketentuan perundang-undangan yang ada dan dilaksanakan dengan akhlaqul karimah sesuai dengan ajaran Islam, sehingga tercipta kebudayaan politik yang sehat. Nahdlatul Ulama menghargai warga negara yang menggunakan hak politiknya secara baik, bersungguh-sungguh dan bertanggung jawab.”26

25 Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana, h. 103. 26 Ibid, h. 127-128.

Page 25: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xxv

Dengan diterimanya rumusan fundamental dan ideal di atas, maka segera

diadakan Muktamar di Situbondo yang berlangsung pada tanggal 8-12 Desember

1984 yang menghasilkan beberapa keputusan penting, yaitu:27

1) Penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal atau landasan dasar NU.

2) Pemulihan keutamaan kepemimpinan ulama dengan menegaskan supremasi

Syuriah dan Tanfidziyah dalam status hukum.

3) Penarikan diri dari ‘politik praktis’ dengan cara melarang pengurus NU secara

bersamaan memegang kepengurusan di dalam partai politik.

4) Pemilihan pengurus baru dengan usulan program baru yang lebih menekankan

pada bidang-bidang non-politik.

Dengan diputuskannya Khittah NU 1926, ini merupakan kilas balik NU

menjelaskan identitas dirinya kembali sebagai organisasi sosial kemasyarakatan

keagamaan yang tidak masuk dalam sekat politik praktis tertentu. Reposisi NU ini,

mejadikannya sebagai bagian dari kelompok gerakan yang berupaya melakukan

pemberdayaan warganya baik dalam persoalan pendidikan, dakwah, penyadaran

politik, peningkatan ekonomi, pemikiran dan lainnya yang mengusung terjadinya

masyarakat yang berdaya dalam berbagai aspek kehidupan.

Pada masa reformasi, para kyai, ulama dan tokoh-tokoh NU yang

mengadakan pertemuan di Rembang di Pondok Pesantren pimpinan K.H. Chalil Bisri

sepakat untuk mendirikan sebuah partai untuk warga NU. Partai tersebut diberi nama

27 Aziz Dy, dkk, Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia, h. 245.

Page 26: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xxvi

“Partai Kebangkitan Umat”. Dalam perkembangan selanjutnya partai tersebut yang

direstui oleh PBNU, diberi nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur waktu itu sebagai ketua umum PBNU

memandang gagasan ini adalah sah-sah saja sebagaimana sahnya kelompok lain

untuk mendirikan partai bagi kelompoknya, asal partai tersebut tidak

mengatasnamakan NU.

Walaupun NU telah memutuskan untuk berkonsentrasi pada bidang garapan

sosial keagamaan (sesuai dengan kembalinya ke Khittah 1926), namun godaan-

godaan politik selalu datang menerpanya. Godaan dan politik ini datang dari dua

arah. Pertama, dari partai-partai politik yang mempunyai kepentingan terhadap NU

dan massa NU yang besar untuk mendukung kepentingan partai politik tadi. Kedua,

dari tokoh-tokoh NU sendiri yang berkiprah di berbagai politik dengan cara

menggiring NU dan massanya untuk mendukung kepentingan politik mereka. NU,

secara langsung maupun tidak langsung, akan selalu terkena dampak politik. Sebab,

banyak tokoh NU yang secara aktif terjun sebagai politisi di berbagai partai politik.28

B. Karakteristik Paham Keagamaan

Kata ahlu al-sunnah wa al-jama’ah terdiri dari tiga suku kata, yaitu ahl yang

berarti kelompok atau golongan; sunnah yang berarti sunnah Nabi atau hadits; dan

28 Faisal Ismail, Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik, (Jakarta: Departemen

Agama RI, 2004), Cet. Ke-1, h. 54.

Page 27: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xxvii

jama’ah yang berarti mayoritas.29 Jadi, secara harfiah Ahlussunnah wal Jama’ah

berarti penganut Sunnah Nabi Muhammad dan jama’ah (sahabat-sahabatnya). Dalam

kajian ilmu kalam, istilah Ahlussunnah wal Jama'ah ini sudah banyak dipakai sejak

masa sahabat, sampai generasi-generasi berikutnya. Penyebutan Ahlussunnah wal

Jama'ah ini juga digunakan untuk membedakan kelompok ini dari kelompok lain

seperti Syi'ah, Khawarij, Murji'ah dan Mu'tazilah.

Istilah Aswaja (Ahlussunnah wal Jama’ah) bagi umat Islam pada umumnya

dan terutama di Indonesia khususnya, bukanlah istilah baru. Sekalipun demikian,

tidak jarang istilah ini dipahami secara berbeda. Yang pertama, dalam kaca mata

sejarah Islam, istilah ini merujuk pada munculnya wacana tandingan (Counter-

discours) terhadap membiaknya paham Muktazilah di dunia Islam, terutama pada

masa Abbasiyah. Pada akhir abad ke-3 Hijriyah, hampir bersamaan dengan masa

berkuasanya Khalifah al-Mutawakkil, muncul dua orang tokoh yaitu Abu Hasan al-

Asy’ari di Basrah dan Abu Manshur al-Maturidi di Samarkand. Dari kedua pemikir-

tokoh ini, secara bersama-sama bersatu membendung kuatnya gejala hegemoni

paham Muktazilah yang dilancarkan para tokoh dan pengikutnya. Bahkan, hal ini

menjadi mainstream (arus utama) pemikiran keagamaan di dunia Islam yang

kemudian mengkristal menjadi sebuah gelombang pemikiran keagamaan, atau yang

sering dinisbatkan dengan sebutan Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah yang kemudian

populer disebut Aswaja. Kedua, istilah Aswaja populer di kalangan umat Islam,

29 Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam (Jakarta: Kencana,

2003), Cet. Ke-I, h. 17.

Page 28: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xxviii

terutama didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, at-

Tirmidzi, dan Ibn Majah dari Abu Hurairah. 30

Sejak awal berdirinya NU menegaskan diri sebagai jam’iyyah yang

merupakan penganut Ahlussunnah wal Jama’ah yang bersumber pada: Al-Qur’an, as-

Sunnah, al-Ijma’, al-Qiyas (menyamakan suatu masalah yang tidak terdapat ketentuan

hukumnya dalam nash dengan masalah yang telah ada ketentuan hukumnya dalam

nash karena adanya persamaan motif hukum antara kedua masalah).31 Seperti pada

umumnya, NU memahami hakekat Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah ajaran Islam

yang murni sebagaimana yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw.

bersama para sahabatnya. Pengertian ini didasarkan pada hadits berikut:

تفرقت على ثنتين وسبعين ملة وتفترق امتي على ثالث إن بني إسرائيلومن هي يا رسول اهللا؟ : وسبعين ملة آلهم في النار إال ملة واحدة قالوا

)رواه الترمذي. (ما انا عليه واصحابي: قال Artinya: “Bahwasannya Bani Israil telah berfirqah-firqah sebanyak 72 millah

(firqah) dan akan berfirqah umatku sebanyak 73 firqah, semuanya masuk neraka kecuali satu”. Sahabat-sahabat yang mendengar ucapan ini bertanya: “Siapakah yang satu itu Ya Rasulullah?” Nabi menjawab: “Yang satu itu ialah orang yang berpegang (beri’tiqad) sebagai peganganku (i’tiqadku) dan pegangan-pegangan sahabatku”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi)32

30 Aziz Dy, dkk, Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia, h. 61-62. 31 Marijan, Quo Vadis NU, h. 21. 32 Imam Tirmizi, Shahih at-Tirmizi, (Kairo: Maktabah al-Mashriyyah, 1931), Jil.VII, Juz 13,

h. 109.

Page 29: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xxix

والذى نفس محمد بيده لتفترق امتى على ثالث وسبعين فرقة فواحدة فى اهل السنة : من هم يا رسول اهللا؟ قال: الجنة وثنتان وسبعون فى النار قيل

)رواه الطبرانى. (والجماعة

Artinya: Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad ditanganNya, akan berfirqah ummatku sebanyak 73 firqah yang satu masuk surga dan yang lain masuk neraka. Bertanya para sahabat: “Siapakah firqah (yang tidak masuk neraka) itu Ya Rasulullah?” Nabi menjawab: “Ahlussunnah Wal-Jama’ah”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Thabrani)33

Dalam kajian Ilmu kalam, masalah firqah (pengelompokan) yang

dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah dalam masalah akidah atau ushuluddin,

bukan dalam masalah fiqhiyah (furu'iyah) maupun masalah-masalah ijtima'iyah.

Meskipun demikian ada implikasinya (keterkaitannya) dengan masalah-masalah di

luar akidah. Sebagai contoh, Syi'ah yang meyakini supremasi kepemimpinan pada

keturunan Nabi Muhammad saw. menganggap bahwa para imam mereka itu ma'shum

(tidak bisa salah), ini jelas dapat berpengaruh pada ijtima'iyah, utamanya masalah

politik dan pemerintahan. Juga mereka hanya menerima hadits-hadits yang sanadnya

bersumber dari "ahlul bait" (lingkungan internal keluarga Nabi saw.), padahal

sebagian hadits justru dari sumber-sumber di luar ahlul bait. Akibatnya akan banyak

berpengaruh dalam pandangan fiqihnya. Tapi sering kali di lingkungan Nahdliyin,

terdapat pernyataan-pernyataan yang menggunakan masalah khilafiyah fiqhiyah

(perbedaan masalah fiqih) sebagai seseorang itu Ahlussunnah atau bukan. Misalnya,

orang yang membaca qunut pada shalat Subuh itu Ahlussunnah, dan kalau tidak itu

33 Syaharstani, al-Milal wa an-Nihal, (Kairo: Maktabah al-Halabi, 1968), Juz I, h. 11.

Page 30: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xxx

bukan Ahlussunnah. Atau mengatakan: Orang yang tarawihnya 20 rekaat itu

ahlusunnah, sedangkan yang tarawihnya 8 rekaat itu bukan. Pernyataan seperti itu,

jelas tidak valid (tidak tepat) dan di luar konteks ahlusunnah, karena hal tersebut

masuk dalam kajian "Madzâhib Fiqhiyah", bukan masalah ushuluddin.34

Dalam memahami dan menafsirkan Islam, NU mengikuti paham Ahlussunnah

Wal-Jama’ah dan menggunakan cara bermazhab. Hal ini ditegaskan dalam Muktamar

NU ke-26 di Semarang (1979) sebagai berikut:

Nahdlatul Ulama bertujuan (a). Menegakkan syari’at Islam menurut Ahlussunnah Wal-Jama’ah, ialah ahli mazhaibil arba’ah (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali); (b). Mengusahakan berlakunya ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah dalam masyarakat. 35 Anggaran Dasar NU sebagai berikut, “Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyah

Diniah Islamiyah menurut paham Ahlussunnah Wal-Jama’ah dan berpegang teguh

kepada tradisi sebagai berikut:

1) Bidang Akidah (Kalam)

Kata akidah merupakan masdar (infinitif) dari kata kerja ‘aqada yang

berarti “ikatan”. Dalam Islam akidah dimaknakan sebagai keyakinan-keyakinan

dasar Islam yang harus diyakini oleh setiap muslim. Secara umum keyakinan-

keyakinan itu terbagi kepada tiga kelompok, yaitu:

34 Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jama’ah: dalam Persepsi dan Tradisi NU,

(Jakarta: Lantabora Press, 2005), Cet. Ke-3, h. 8. 35 Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Lajnah Ta’lif

wan Nasyr Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ), h. 7.

Page 31: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xxxi

a. Pengenalan terhadap sumber keyakinan (ma’rifat al-mabda’), yaitu

keberadaan Tuhan.

b. Pengenalan terhadap hal-hal yang dijanjikan akan keberadaannya

(ma’rifat al-ma’ad) yaitu keberadaan hari kiamat, surga, neraka, shirat,

mizan, takdir dan lain-lain.

c. Pengenalan terhadap penyampai ajaran-ajaran agama (ma’rifat al-

wasithah), yaitu keberadaan Nabi dan Rasul, kitab suci, malaikat.

Ketiga bidang ini harus diyakini keberadaannya, kemudian dinyatakan

dalam bentuk ungkapan dan dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Dengan

demikian, akidah atau keimanan sangat menentukan posisi seorang muslim.

Akidahlah yang membedakan seorang muslim dan kafir, seorang yang

mengesakan Tuhan (muwahhid) dan menyekutukan Tuhan (musyrik). 36

Dalam bidang akidah (kalam), NU mengikuti Imam Asy’ari dan Imam

Maturidi. Mereka dikenal sebagai pelopor Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Al-Asy’ari

adalah pengikut Mazhab Syafi’i, sedangkan Al-Maturidi sebagai pengikut

Mazhab Hanafi.37 Dalam pemikiran kalamnya Asy’ari mendahulukan dalil naqli

daripada dalil aqli (taqdim al-naql ‘ala al-‘aql), sedangkan Maturidi sebaliknya,

mendahulukan dalil aqli daripada naqli (taqdim al-‘aql ‘ala al-naql). Paham

Ahlussunnah wal Jama’ah menempatkan nash al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai

36 Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam (Jakarta: Kencana, 2003), Cet. Ke-I, h. 37.

37 Siradjudin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal-Jama’ah, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2003),

Cet. Ke-25, h. 3.

Page 32: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xxxii

otoritas utama yang berfungsi sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam

memahami ajaran Islam. Dalam kaitan ini, akal yang mempunyai potensi untuk

membuat penalaran logika, filsafat, dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang

kemudian dijadikan sebagai alat bantu untuk memahami nash tersebut.38

2) Bidang Syari'ah atau Fiqih

Syari'ah atau fiqih merupakan aspek keagamaan yang berhubungan

dengan kegiatan ibadah dan mu'amalah. Ibadah merupakan tuntutan formal yang

berhubungan dengan tata cara seorang hamba dalam berhadapan dengan

Tuhannya, seperti yang tergabung dalam rukun Islam. Adapun mu'amalah

merupakan bentuk kegiatan ibadah (penghambaan kepada Allah atau pengamalan

ajaran agama) yang bersifat sosial, menyangkut hubungan manusia sesamanya

secara horizontal (habl min an-nas).

Di bidang syari'ah atau fiqih, warga Nahdlatul Ulama berpegang teguh

kepada al-Qur’an dan hadits dengan menggunakan metode yang dapat

dipertanggungjawabkan. Hanya saja untuk memahami dua sumber utama Islam

tersebut, menurut paham Ahlussunnah wal Jama'ah tidak semua orang akan dapat

menerjermahkan dan memahami secara langsung. Sebagaimana diketahui,

kebanyakan nash al-Qur'an maupun Sunnah berbicara tentang pokok dan prinsip-

prinsip (ashl; ushul) masalah. Hal ini membutuhkan penjabaran dengan metode

38 Aziz Dy, dkk, Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia, h. 150-151.

Page 33: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xxxiii

pengambilan hukum tertentu, sehingga dapat diperjelas apa saja yang menjadi

cabang-cabangnya (far'; furu').

Di kalangan ulama-ulama Nahdliyin untuk melakukan penetapan suatu

hukum diperlukan "istinbat" bukan menggunakan istilah ijtihad yang tidak semua

orang mampu melakuknnya, karena dalam prakteknya para ulama telah

melakukan aktifitas ijtihad secara kolektif dalam menetapkan pilihan hukum dari

pendapat para ulama mazhab yang mereka jadikan pedoman (walaupun dalam

kajian fiqih dan ushul fiqih kedua istilah antara ijtihad dan istinbat tersebut tidak

banyak berbeda). Itulah sebabnya mengapa kaum Ahlussunnah wal Jama'ah,

mengikuti mazhab tertentu dalam memahami ajaran agamanya menjadi penting.

Mazhab yang digunakan NU adalah mazhab empat, yaitu mazhab fiqih terbesar

yang dirintis oleh imam mazhab, yakni para mujtahid mutsaqil yang masing-

masing mempunyai konsep metodologi (nadhrah manhajiah) sendiri, melahirkan

fatwa-fatwa masalah fiqih yang relatif lengkap, dan kesemuanya ditulis secara

sistematis menjadi karya tulis yang dapat dipelajari dan dikaji oleh para

pengikutnya dan orang lain yang berminat. Para imam Mazhab Empat tersebut

adalah:39 pertama, Imam Abu Hanifah Nu'man bin Tsabit, lahir pada tahun 80 H.

dan wafat tahun 150 H. di Bagdad. Imam Abu Hanifah berdarah Persia, digelari

"al-Imam al-A'dhom", menjadi tokoh panutan di Irak, penganut aliran ahli ra'yu

dan menjadi tokoh sentralnya. Di antara metodologi/manhaj istinbatnya yang

terkenal adalah al-Istihân. Fiqih Abu Hanifah yang menjadi rujukan utama

39 Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jama’ah, h. 121-123.

Page 34: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xxxiv

mazhab Hanafi, ditulis dua orang murid utamanya, yaitu Imam Abu Yusuf bin

Ibrahim dan Imam Muhammad bin Hasan al-Syaibani.

Kedua, Imam Malik bin Anas, lahir pada tahun 93 H. dan wafat tahun 179

H. di Madinah. Imam Malik dikenal sebagai "Imam Ahl al-Madinah". Imam

Malik seorang ahli hadits yang sangat terkenal, sehingga kitab monumentalnya

yang dinamai 'al-Muwatha'" dinilai sebagai hadits hukum yang paling sahih,

sebelum adanya Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim. Imam Malik mempunyai

konsep manhaj istinbat yang berpengaruh sampai sekarang, yaitu: "al-Maslahah

al-Mursalah".

Ketiga, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi'i, lahir pada tahun 150 H. di

Ghozza dan wafat pada tahun 204 H. di Mesir. Imam Syafi'i mempunyai latar

belakang keilmuan yang memadukan antara ahl al-hadits dan ahl al-ra'yu, karena

cukup lama menjadi murid Imam Malik di Madinah dan cukup waktu belajar

kepada Imam Muhammad bin Hasan di Bagdad. Metodologi istinbatnya ditulis

menjadi buku pertama dalam ushul fiqih, yakni al-Risalah. Pendapat-pendapat

dan fatwa-fatwa fiqih Imam Syafi'i ada dua macam: (a) al-Qaul al-Qadîm (yang

disampaikan selama berada di Bagdad) dan (b) al-Qaul al-Jadîd (yang

disampaikan setelah berada di Mesir, pendapat ini terhimpun dalam kitab "al-

Um").

Dan keempat, Imam Ahmad bin Hanbal, lahir pada tahun 164 H dan wafat

pada tahun 241 H di Bagdad. Imam Ahmad terkenal sebagai tokoh ahl al-hadits.

Beliau adalah seorang murid Imam Syafi'i selama di Bagdad dan sangat

Page 35: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xxxv

menghormati kepada Imam Syafi'i. Beliau mewariskan sebuah kitab hadits yang

terkait dengan hukum-hukum Islam, yakni "Musnad ibn Hanbal".

Fiqih menempati posisi sentral dalam kehidupan masyarakat NU, baik

kerangka teoritisnya (ushul al-fiqh) maupun kaidah-kaidah fiqih (qawaid al-

fiqhiyyah). Segala perilaku sehari-hari, selalu dilihat berdasarkan kacamata fiqih.

Perhatian yang begitu besar terhadap fiqih sesungguhnya merupakan wujud dari

adanya sikap hati-hati yang sangat kuat di kalangan warga NU.40

Tidak aneh apabila para pendiri NU mengambil sikap bijksana atas dasar

moderatnya (tawasuth), yakni memadukan antara visi ahlu hadits dan visi ahlu

ra'yu dengan memilih Mazhab Empat sebagai rujukan pemahaman dan

pengalaman hukum fiqihnya. Dengan demikian ditegaskan sebagai Qanun Asasi

(Peraturan Dasar) dalam NU sampai sekarang. Hanya saja dalam praktek dan

realitas yang berlaku dalam komunitas Nahdliyin, mulai dari ulama-ulama

pesantren sampai ulama-ulama struktural NU (Syuriyah) sampai dengan kaum

awam warga Nahdliyin, 99 % mengikuti mazhab Syafi'i, atau lebih tegasnya

sebagai pengikut "Fuqaha'u al-Syafi'iyah" (Ulama-ulama fiqih mazhab Syafi'i)

terutama dalam masalah ibadah/ubudiyah.

3) Bidang Tasawuf

Secara bahasa para ulama berselisih pendapat tentang asal pengambilan

kata tasawuf, apakah kata itu diambil dari kata ash-shafa’ (jernih), ash-shuf (kain

40 Alaena, NU, Kritisme dan Pergeseran Makna Aswaja, h. 53-54.

Page 36: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xxxvi

wol), ash-shuffah (penghuni emper masjid), ash-shaf (barisan), atau yang lain.

Syaikh Abdul Qadir Jailani berpendapat bahwa kata tasawuf diambil dari kata

ash-shafa’ ar-ruhi (kejernihan jiwa) beralasan bahwa, kata ash-shufiyah

mengandung makna yang mendalam dan prinsip-prinsip yang tinggi. Abdul Qadir

Jailani mendefinisikan seorang sufi sebagai orang yang jernih batinnya dan secara

lahir mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Sedangkan al-Junaid bin Muhammad mengartikan tasawuf dengan dzikir

bersama-sama, cinta dengan mendengar, dan mengerjakan dengan mengikuti.41

Ibrahim Basyuni dalam kajian kritisnya setelah menelaah sekitar 40 macam

definisi yang ditemukan antara tahun 200-334 H, dan dirumuskan dalam kalimat:

“Tasawuf adalah kesadaran fitrah manusia (tayaqqudh fithriy) yang mengarahkan

jiwa tulus dan bersih untuk terus berupaya mencapai kenikmatan rasa

berhubungan dekat dengan Yang Maha Wujud (al-Wujud al-Muthlaq). Rumusan

tersebut mempunyai arti sebagai berikut:

a. Fitrah manusia merasakan dan menyadari bahwa apa yang terlihat dan

terdapat disekitarnya belumlah merupakan keseluruhan wujud. Dibelakang itu

masih ada wujud yang lain yang tidak terlihat oleh indera (ghoib), bahkan ada

terdapat kekuatan wujud Maha Besar (Tuhan) dimana jiwa manusia

merindukan untuk dapat menemukan-Nya, untuk mendekat dan

41 Said bin Musfir al-Qahthani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailan. Penerjemah

Munirul Abidin, (Jakarta: Darul Falah, 2003), Cet. Ke-3, h. 401.

Page 37: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xxxvii

berkomunikasi dengan-Nya. Kesadaran ini disebut sebagai “Fase al-Bidayah”

(tahap kesadaran awal).

b. Kesadaran diatas mendorong jiwa manusia melakukan pembersihan diri dari

selera nafsu, dari godaan kenikmatan duniawi, dan konsentrasi untuk selalu

ingat (dzikir) dan berkomunikasi (munajah) dengan Tuhan tahapan ini disebut

“Fase al-Mujahadah”. Rangkaian perjuangan dan latihan rohani (spiritual

exercise) yang umumnya para sufi memulai urutan dari: taubat42, zuhud,43

wara’,44 sampai kema’rifah. Capaian dan prestasi dari mujahadah ini akan

menentukan pada strata (maqam/maqamat) dimana seorang sufi berada, dan

pada masing-masing strata akan memberikan kondisi rohani (hal/ahwal) yang

dirasakan oleh sufi yang bersangkutan.

Tasawuf selalu berkaitan dengan disiplin moral, ketekunan beribadah,

ketahanan mental dari berbagai macam godaan duniawi, konsisten dalam latihan

spiritual (mujahadah), dan komitmen yang tidak terbatas untuk dapat sampai

kepada Allah yang benar (al-wujud al-haq). Untuk mencapai nilai-nilai ihsan,

maka tasawuf menjadi bagian penting dalam pengalaman agama menurut

Ahlussunnah wal Jama’ah. NU, dalam hal ini mengambil jalan untuk

42 Taubat adalah kemauan mengambil langkah nyata dalam perbuatan langkah nyata, dalam

perbuatan dan prilaku, dengan meninggalkan semua perbuatan penyimpangan/pelanggaran yang pernah dilakukan.

43 Zuhud adalah mendekatkan diri pada Tuhan dan membuang segala kenikmatan duniawi

karena kenikmatan duniawi dipandang lebih kecil dibandingkan kenikmatan akhirat. 44 Wara’ adalah mejauhkan diri dari segala perbuatan yang berbau subhat (yang tidak jelas

hukumnya halal atau haram).

Page 38: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xxxviii

memfokuskan wacana tasawuf yang dikembangkan oleh Abu Hamid al-Ghazali,

Abu Qasim al-Junaidi al-Baghdadi, dan imam-imam lainnya yang memadukan

antara syari’ah dan tasawuf. Ciri yang paling menonjol dari ajaran mereka adalah

bahwa ajaran tasawuf harus dibangun di atas landasan syariat, tasawuf harus

selalu menempel pada ketentuan syariat atau tasawuf merupakan tahap lanjut

kehidupan orang-orang yang telah mantap syariatnya. Alasan perpaduan kedua

unsur ini yang mendasari pilihan NU terhadap wacana tasawuf yang

dikembangkan oleh imam-imam tersebut. Nahdlatul ulama dan warganya

memang sangat perhatian (concern) terhadap tasawuf, baik secara kelembagaan

maupun secara pengalaman. Hal itu dibuktikan dengan adanya badan otonom

dalam NU yang bernama “Jami’iyah at-Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah”,

juga dalam kehidupan sehari-hari seperti: Tahlilan, istighosah, wirid, tirakat dan

lain-lain45

Dengan perkataan lain, apa yang menjadi ruang lingkup dari paham

Ahlussunnah wal Jama’ah tersebut pada dasarnya merupakan antara nilai-nilai iman,

Islam, dan ihsan. Iman menggambarkan suatu keyakinan, sedangkan Islam

menggambarkan syari’ah atau fiqih, dan ihsan menggambarkan kesempurnaan iman

dan Islam seseorang.46

C. Kiprah NU dalam Kehidupan Bermasyarakat

45 Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jama’ah, h. 200. 46 Aziz Dy, dkk, Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia, h. 153.

Page 39: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xxxix

Nahdlatul Ulama adalah termasuk salah satu organisasi yang sepanjang

perjalanan sejarahnya senantiasa mengalami perubahan orientasi. Ia lahir sebagai

organisasi sosial keagamaan, namun kemudian berkembang dan menjadi lebih besar

setelah terlibat aktif dalam politik praktis. Jika dicermati secara seksama, perubahan-

perubahan yang dilakukan itu ternyata bukan hanya menyangkut persoalan “identitas”

organisasi. Akan tetapi, perubahan-perubahan itu dapat dilihat pada sejumlah kasus

yang berhubungan dengan kebijakan-kebijakan yang diambil, terutama sekali yang

berhubungan dengan masalah politik. Pada saat itu NU tampak sebagai organisasi

yang akomodatif dan bahkan kompromistik dengan kekuasaan. Namun pada saat

yang berlainan ia justru memperlihatkan sosok yang begitu kritis dan militan.47

Di masa awal berdirinya, NU menitikberatkan perjuangannya di bidang

pendidikan, sosial dan perekonomian. Para ulama berbasis pesantren mulai berpikir

mengupayakan terwujudnya sarana prasarana mendasar masyarakat agar dapat

menjalankan aktivitas ritualnya dengan baik. Nahdlatul Ulama berupaya mendirikan

lembaga-lembaga sosial sebagai solusi atas problem kemasyarakatan. Sedangkan di

bidang pendidikan, Nahdlatul Ulama berupaya memperbanyak pendirian lembaga-

lembaga pendidikan yang berbasis Islam. Pada praktiknya, NU mendorong terjadinya

pembaruan pendidikan dan kerja-kerja karitatif. Sistem madrasah/sekolah

diperkenalkan dengan tetap melestarikan sistem pendidikan ala pesantren. Di bidang

perekonomian, Nahdlatul Ulama berusaha melakukan modernisasi di bidang

47 Alaena, NU, Kritisme dan Pergeseran Makna Aswaja, h. 65.

Page 40: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xl

pertanian, perdagangan dan industri. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan

mendirikan badan-badan usaha; misalnya koperasi.48

NU menyadari sepenuhnya, baik sebagai jam’iyah maupun jama’ah,

eksistensinya tidak bisa lepas dari masyarakat. Di samping mengadakan hubungan

secara vertikal (dengan para ulama) maupun horizontal (dengan masyarakat sekitar).

NU memiliki sikap yang jelas dan tegas dalam berhubungan dengan masyarakat

tersebut yang mendapat inspirasi dari dasar-dasar pendirian paham keagamaannya.

Sikap ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: tawassuth, i’tidal, tasamuh, tawazun, dan

amar ma’ruf nahi munkar.

1) Tawassuth dan i’tidal

Tawassuth berarti sikap tengah atau moderat yang mencoba menengahi di

antara dua kubu, pemikiran atau tindakan yang bertentangan secara ekstrem di

dalam kehidupan sosial masyarakat. Sikap ini selalu menumbuhkan sikap lain

yang berkaitan, yaitu sikap adil (i’tidal) dalam upaya mewujudkan keadilan,

suatu bentuk tindakan yang dihasilkan dari berbagai pertimbangan. Oleh

karena itu, NU tidak menggunakan patokan-patokan legal-formal semata

dalam memberikan pemecahan terhadap suatu masalah, tetapi juga

menggunakan pertimbangan-pertimbangan sosiologis, psikologis, dan

sebagainya. Melalui sikap tawassuth dan i’tidal ini, NU beriktikad menjadi

kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus serta selalu bersifat

48 Hilmi Muhammadiyah dan Sulthan Fatoni, NU: Identitas Islam Indonesia, (Jakarta: Elsas

2004), Cet. Ke-1, h. 122.

Page 41: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xli

membangun dan serta menghindari segala pendekatan yang bersifat ekstrem

(tatharruf). NU dapat mengakomodasi berbagai kepentingan dan pemikiran

masyarakat yang heterogen latar belakangnya, baik sosial, politik, maupun

budaya serta menjadi perekat untuk memperkukuh eksistensi masyarakat yang

bersatu, rukun, damai yang ditopang oleh kesadaran bersama. 49

2) Tasamuh (Toleran)

Sikap tasamuh ini berarti memberikan tempat dan kesempatan yang sama

pada siapa pun tanpa memandang perbedaan latar belakang apapun. Dasar

pertimbangannya murni karena integritas, kualitas dan kemampuan pribadi.

Sikap tasamuh juga nampak dalam memandang perbedaan pendapat baik

dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi

masalah khilafiah, serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan. NU

menyadari benar bahwa orang lain tidak bisa dipaksa mengikuti

pandangannya sehingga tidak perlu dihujat, dilecehkan dan dicaci maki,

melainkan pandangan orang lain itu dihargai dan dihormati.50

3) Tawazun (Seimbang)

Sikap tawazun adalah sikap seimbang dalam berkhidmah, khidmah kepada

Allah Swt. (habl min Allah), khidmah kepada sesama manusia (habl min al-

nas) maupun dengan alam lingkungannya. Termasuk sikap ini adalah

49 Qomar, NU Liberal dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, h. 91. 50 PBNU, Jati Diri Nahdlatul Ulama, (Jakarta: PBNU, 2002), h. 18.

Page 42: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xlii

seimbang dalam menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa

mendatang. Atas dasar sikap ini NU tidak membenarkan kehidupan yang berat

sebelah, misalnya seseorang rajin beribadah tetapi tidak mau bekerja sehingga

menyebabkan keluarganya terlantar. Jalinan berbagai hubungan ini

diupayakan membentuk suatu pribadi yang memiliki ketaqwaan mendalam

kepada Allah Swt., memiliki hubungan sosial yang harmonis dengan sesama

manusia termasuk dengan non-Muslim sekalipun, dan memiliki kepedulian

untuk menjaga kelestarian alam lingkungannya.51

4) Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Menurut Nurcholish Madjid, ma’ruf sering diterjemahkan dengan arti

kebaikan. Kalau kita dekati lagi dari segi bahasa itu satu akar dengan kata

‘arafa’-ya’rifu yang berarti tahu. Maka al-ma’ruf adalah yang diketahui

dengan baik. Sedangkan munkar menurutnya adalah fasaad fil ardh, yaitu

melakukan pengerusakan di bumi.52 Jadi sikap amar ma’ruf nahi munkar

adalah sikap yang mendorong amal perbuatan yang baik dan mencegah

kemungkaran. Sikap ini sebagai realisasi dari keterlibatan NU untuk

membangun masyarakat yang selalu memiliki kepekaan, keterlibatan dan

tanggung jawab untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan

bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta mewujudkan upaya preventif dalam

51 PBNU, Jati Diri Nahdlatul Ulama, h. 19. 52 Nurcholish Madjid, Pesan-Pesan Taqwa, (Jakarta: Paramadina, 2005), h.134.

Page 43: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xliii

semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.

Amar ma’ruf nahi munkar lebih memiliki makna dan fungsi ruh keagamaan

yang senantiasa memberikan motivasi, makna, arah dan kontrol agar manusia

dan masyarakatnya senantiasa tetap terjaga kemartabatan dirinya.53

Keempat kemasyarakatan NU ini selanjutnya diaktualisasikan ke dalam “lima

jaminan dasar kehidupan” atau yang dikenal dalam ilmu fiqih sebagai al-Kuliyat al-

Khamsah, dengan pemaknaan sebagai berikut:

(1) Jaminan hak terhadap keyakinan keagamaan atau Hifzh al-Din,

(2) Jaminan hak untuk hidup dan berkembang secara layak atau Hifzh an-Nafs,

(3) Jaminan hak berekspresi dan berpendapat secara bebas atau Hifzh al-‘Aql,

(4) Jaminan hak masa depan keturunan dan generasi yang baik serta berkalitas atau

Hifzh an-Nasl, dan

(5) Jaminan hak milik, harta benda, dan sejenisnya atau Hifzh al-Maal.

53 PBNU, Jati Diri Nahdlatul Ulama, h. 19

Page 44: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xliv

BAB III

WAWASAN KEBANGSAAN DAN KHILAFAH ISLAMIYAH

A. Pengertian Wawasan Kebangsaan

Kata wawasan berasal dari kata “wawas” yang mempunyai arti tinjauan,

pandangan, konsepsi cara pandang. Sedangkan term “bangsa” sebagai akar kata

“kebangsaan”. Menurut kamus besar bahasa Indonesia kata “bangsa” memiliki arti

kesatuan orang-orang yang mempunyai kesamaan sejarah, kesamaan cita-cita dan

perjuangan serta berpemerintahan sendiri meskipun kemungkinan di antaranya ada

perbedaan dalam asal-usul keturunan (ras), keyakinan (agama) maupun bahasa. Dan

kata “kebangsaan” memiliki makna sebagai ciri-ciri yang menandai golongan

bangsa.54

Dalam kosa kata Arab sering dipakai dengan kata “qaum”, “syu’ub”, atau

“ummat”. Dalam al-Qur’an Allah menyebut term “qaum” 283 kali, “syu’ub” 2 kali,

dan “ummat” 64 kali. Dari ratusan ayat tersebut, paling tidak ada empat pointers yang

dapat kita tarik sebagai karakter suatu bangsa, antara lain;

1. Bahwa bangsa berarti komunitas manusia secara keseluruhan, sebagaimana dalam

firman-Nya: “kânan nâsu ummatan wâhidatan”55, manusia adalah ummat

(bangsa) yang satu.

54 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-I, h. 76. 55 Q.S. Al-Baqarah ayat 213.

Page 45: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xlv

2. Bahwa bangsa berarti hanya khusus kaum muslimin saja, seperti firman-Nya “wa

kadzâlika ja’alnâkum ummatan wasathan li-takûnû syuhadâ ‘alan-nâs’...”56, dan

demikian kami telah menjadikan kamu (umat Islam), ummat yang adil dan pilihan

agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia.

3. Bahwa ummat berarti seorang diri saja, misalnya firman Allah “innâ Ibrâhîma

kâna ummatan qânitan hanifan”57, sesungguhnya Ibrahim adalah ummat (bangsa,

imam) yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif (seorang

yang selalu berpegang kepada kebenaran dan tak pernah meninggalkannya).

4. Bahwa bangsa (ummat) itu meliputi seluruh mahluk di muka bumi, sebagaimana

dalam firman Allah “wa mâ min dâbbatin fil ardli wa lâ thâirin yathîru bi

janâhaihi illâ umamun amtsâlukum”,58 dan tiadalah binatang-binatang yang ada

di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan

bangsa-bangsa (umat-umat) seperti kamu.

Dari keempat karakter bangsa di atas, dapat ditarik suatu benang merah bahwa

hakikat kebangsaan tidak terlepas dari suatu generasi (al-jiil) dan komunitas. Realitas

sikap kebangsaan dalam tubuh umat Islam merupakan implementasi dari misi

“rahmatan lil-‘alamin” sehingga eksklusifitas mereka harus diminimalkan. Sikap

kebangsaan ini diaplikasikan Rasulullah saw. dalam membangun masyarakat

Madinah di bawah panji “Madinah Charter” (Watsiqah Madinah atau Piagam

56 Q.S. Al-Baqarah ayat 143. 57 Q.S. An-Nahl ayat 120. 58 Q.S. Al-An’am ayat 38.

Page 46: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xlvi

Madinah). Dalam perjanjian luhur yang mengikat Yahudi, Kristiani, Muslim dan

Paganis tersebut kata Islam dan al-Qur’an sama sekali tidak pernah ditampilkan.

Karakter ini dikuatkan dengan risalah terakhir dalam Islam yang disampaikan Nabi

saw. dalam Haji Wada’. Satu-satunya ibadah haji yang pernah dilakukan Rasulullah

semasa hidup tersebut, beliau berpesan kepada seluruh umat manusia untuk selalu

menghormati hak-hak seseorang, mengangkat kehormatan wanita, menghindarkan

pertumpahan darah. Inti khutbah perpisahan Nabi saw jika diaktualisasikan, bahwa

ke-Islam-an seseorang belumlah sempurna tanpa pelaksanaan hak-hak asasi manusia

di muka bumi.59

Di antara pemikir Sunni yang memulai menyebut gagasan al-Wathan (tanah

air) dalam konteks berbangsa dan bernegara adalah At-Thahthowi, kemudian

Abdurrahman al-Kawakibi pada awal abad ke-20 mempopulerkan istilah Wathoniyah

ketika berbicara mengenai sesuatu yang dapat menyatukan antara komunitas Arab-

Muslim dengan Arab non-Muslim, kemudian masalah al-Wathaniyah (nasionalisme

dan kebangsaan) baru muncul secara politik praktis, setelah kekuasaan kesultanan

Utsmaniyah dibubarkan oleh Kemal Ataturk di Turki dan lahirnya Negara Bangsa

(Nation State) yang pertama dalam masyarakat Islam Turki pada tahun 1924 M.60

59 Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri, (Jakarta: Pustaka

Ciganjur: 1999), Cet. Ke-1, h. 194. 60 Ibid..

Page 47: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xlvii

Menurut Quraish Shihab bahwa unsur-unsur yang mendasari paham

kebangsaan adalah:

1. Persatuan dan kesatuan

2. Asal keturunan, dalam hal ini Quraish Shihab mengambil contoh yang dilakukan

Rasulullah ketika di Madinah, yaitu dengan adanya Piagam Madinah yang berisi

ketentuan/kesepakatan masyarakat Madinah dalam satu ikatan yang justru

mengelompokkan anggotanya pada suku-suku tertentu dan masing-masing

dinamai ummat. Kemudian mereka yang berbeda agama itu bersepakat menjalin

kesatuan ketika membela kota Madinah. Hanya saja pengelompokkan dalam suku

bangsa tidak boleh menyebabkan fanatisme buta, apalagi menimbulkan sikap

superioritas dan pelecehan.

3. Bahasa, menurut Quraish Shihab bahwa bahasa bukan sekedar untuk

menyampaikan pembicaraan yang diucapkan oleh lidah, tetapi bahasa merupakan

jembatan penyalur perasaan dan pikiran. Karena itu pula kesatuan bahasa dapat

memelihara identitasnya, sekaligus menjadi bukti keberadaannya.

4. Adat-istiadat. Pikiran dan perasaan satu kelompok umat tercermin antara lain

dalam adat-istiadatnya. Dalam Islam pakar-pakar hukum menetapkan bahwa adat

kebiasaan dalam suatu masyarakat selama tidak bertentangan dengan prinsip

ajaran Islam, dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan hukum (al-adat

muhakkamah).

5. Sejarah. Persamaan sejarah muncul sebagai unsur kebangsaan, karena unsur ini

merupakan salah satu yang terpenting demi menyatukan perasaan, pikiran dan

Page 48: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xlviii

langkah-langkah masyarakat. Sejarah menjadi penting karena umat, bangsa dan

kelompok-kelompok dapat melihat dampak positif atau negatif pengalaman masa

lalu, kemudian mengambil sejarah untuk melangkah ke masa depan.

6. Cinta tanah air. Rasa kebangsaan tidak dapat dinyatakan adanya, tanpa dibuktikan

oleh patriotisme dan cinta tanah air.61

Jadi wawasan kebangsaan secara umum adalah tuntutan suatu bangsa untuk

mewujudkan jati dirinya serta mengembangkan prilakunya sebagai bangsa yang

meyakini nilai-nilai luhur budayanya, yang lahir dan tumbuh subur sebagai

penjelmaan kepribadiannya62. Dalam negara Indonesia realitas konsep wawasan

kebangsaan ini direalisasikan untuk meng-counter konsep-konsep primordial,

sektarian dan paham-paham lain yang dapat merangsang timbulnya masalah-masalah

SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) yang dapat menimbulkan kerawanan

terhadap persatuan bangsa.

B. Paradigma Pemikiran tentang Islam dan Politik

Politik merupakan salah satu dimensi dari sekian banyak dimensi ajaran

Islam. Islam tidak hanya merupakan sistem kepercayaan dan sistem ibadah, tetapi

juga sistem kemasyarakatan. Sebagai salah satu bagian dari aspek kemasyarakatan,

politik yang diungkapkan dalam bentuk garis besar atau prinsip-prinsip umum saja,

61 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,

(Bandung: Mizan, 1997), Cet. Ke-4, h. 334-335. 62 Ginanjar Kartasasmita, Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan

Pemerataan (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1996).

Page 49: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xlix

menimbulkan perbedaan interpretasi yang mengakibatkan beragamnya pemikiran dan

aksi politik. Hal ini kemudian menjadi bahan perdebatan yang tak berkesudahan di

kalangan para pemikir muslim. Menurut Mumtaz Ahmad, masalah-masalah yang

mendapat sorotan tajam antara lain berkaitan dengan hakikat, karakteristik serta ruang

lingkup suatu negara Islam dan sistem politik Islam yang khas.63

Sementara menurut John L. Esposito, tidak adanya model yang konkrit

tentang apa yang disebut sebagai “Negara Islam” menjurus pada kebingungan dan

ketidak-sepakatan. Kebingungan tersebut menurut Esposito disebabkan oleh empat

faktor: (1) Negara yang didirikan oleh Nabi Muhammad Saw. di Madinah yang

dipandang ideal ternyata tidak memberikan suatu model terperinci; (2) Pelaksanaan

Khilafah pada Bani Ummayyah dan Bani Abbasiyyah hanya memberikan suatu

kerangka mengenai lembaga-lembaga politik dan perpajakan; (3) Pembahasan

mengenai rumusan ideal (hukum Islam dan teori politik) hanya menghasilkan

rumusan idealis dan teoritis dari suatu masyarakat yang utopian; dan (4) Hubungan

agama dan negara dari masa ke masa menjadi subjek bagi keragaman interpretasi. 64

Walaupun demikian, upaya untuk mencari rumusan ideal tentang negara

dalam Islam terus diupayakan oleh para pemikir Islam. Menurut Dien Syamsuddin,

bahwa upaya pencarian konsep ini mengandung dua maksud, yaitu: pertama, untuk

menemukan idealitas Islam tentang negara yang menekankan pada aspek teoritis dan

63 Mumtaz Ahmad, (ed.), Masalah-masalah Teori Politik Islam, Alih Bahasa: Ena Hadi,

(Bandung: Mizan, 1996), Cet. Ke-3, h. 15. 64 John L. Esposito, Islam dan Politik, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 308.

Page 50: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

l

formal. Pandangan ini bermaksud untuk mencoba menjawab pertanyaan tentang

bagaimana bentuk dari negara Islam. Menurut Dien, pendekatan ini berawal dari

asumsi bahwa Islam memiliki konsep tertentu tentang negara. Kedua, untuk

melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara

yang menekankan pada aspek praksis dan subtansial. Pandangan ini bermaksud untuk

menjawab pertanyaan tentang bagaimana isi negara menurut Islam. Pendekatan ini

didasarkan pada anggapan bahwa Islam tidak membawa konsep tertentu tentang

negara, tetapi hanya menawarkan prinsip-prinsip dasar berupa etika dan moral.65

Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh Bahtiar Effendy. Menurut

Bahtiar, bahwa pandangan tentang bentuk negara dalam Islam mengerucut pada dua

spektrum pemikiran. Pada spektrum pemikiran yang pertama, terdapat kalangan yang

beranggapan bahwa Islam harus menjadi dasar negara; bahwa syari’ah harus diterima

sebagai konstitusi negara; bahwa kedaulatan politik ada di tangan Tuhan; bahwa

gagasan tentang negara bangsa (nation state) bertentangan dengan konsep ummah

(komunitas Islam) yang tidak mengenal batasan-batasan politik dan kedaerahan, dan

bahwa aplikasi prinsip syura berbeda dengan gagasan demokrasi yang dikenal dalam

diskursus politik modern dewasa ini. Sementara spektrum pemikiran yang kedua,

beberapa kalangan intelektual muslim berpendapat bahwa Islam tidak meletakkan

65 M. Dien Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta:

Logos, 2001), Cet. Ke-1, h. 12.

Page 51: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

li

suatu pola baku tentang teori negara (sistem politik Islam) yang harus dijalankan oleh

umat.66

Dua hal pemikiran di atas selalu tarik-menarik. Di satu sisi sebuah tantangan

realitas politik harus dijawab, sebaliknya di sisi lain sebuah tantangan idealitas agama

yang harus dipahami juga sedang mencari jawaban. Subtansi pemikiran sebagai

akibat perbedaan metodologi dan interpretasi di atas, menimbulkan polarisasi

pemikiran politik Islam kontemporer.

Menurut Munawir Sjadzali berpendapat, bahwa ada tiga pendapat mengenai

hubungan antara Islam dan negara, yaitu:67

(1) Pendapat bahwa Islam adalah agama yang lengkap dan mencakup semua aspek

kehidupan, termasuk kehidupan bernegara. Pendapat ini merupakan pemikiran

kelompok tradisionalis;

(2) Pendapat bahwa Islam hanya memuat prinsip-prinsip umum tentang kehidupan

kenegaraan, sedangkan aturan-aturan operasionalnya bisa merupakan hasil

pemikiran umat Islam sendiri atau mengadopsi dari umat lain (dalam hal ini

Barat). Pendapat ini kemudian menjadi ciri khas kelompok modernis;

(3) Pendapat bahwa Islam, seperti halnya agama-agama lain, memisahkan persoalan-

persoalan agama dan negara. Pendapat ini diikuti oleh kelompok sekularis.

66 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Tranformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di

Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), Cet. Ke-1, h. 12. 67 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI

Press, 1990), h. 1.

Page 52: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lii

Istilah “Fundamentalisme Islam” yang memandang bahwa Islam sebagai

ajaran yang lengkap, mencakup bentuk dan sistem ketatanegaraan.68 Kaum

fundamentalis, menurut Montgomery Watt memandang bahwa “Islam bukanlah

menjadi dirinya yang sebenarnya, kecuali di dalam suatu negara Islam, yakni negara

yang diperintah oleh kaum muslimin yang menerapkan syari’ah sebagai hukum”.69

Sementara “Modernisme Islam” lebih memusatkan perhatiannya kepada

penafsiran kembali hukum Islam untuk mengakomodasi realitas modern tanpa

mengorbankan nilai-nilai etik, spiritualitas, dan sosial Islam. Islam dan modernisme

memang cenderung ke arah “sekularisme”, dimana gagasan sekular dan rasional ke

dalam masyarakat Islam, menggantikan pandangan keagamaan pada umumnya

sebagai akibat pengaruh Barat. Di samping itu, pengaruh umat Islam menurun, baik

elit agama (ulama) maupun elit hukum (fuqaha) dalam proses politik. Sedangkan

kaum sekular menekankan adanya keterpisahan yang nyata di antara keduanya, bagi

mereka Islam dan politik merupakan dua hal yang berbeda. Mendirikan negara

bukanlah suatu kewajiban agama, itu hanya kebutuhan duniawi yang lepas dari

pengaruh agama. Oleh karena itu, menempatkan agama di satu pihak dan politik di

pihak lain merupakan wujud dari tidak adanya hubungan antara Islam dan politik. 70

68 Lebih lengkap bisa dilihat rumusan al-Maududi tentang “Teori Khilafah” dalam Khilafah

dan Kerajaan: Evaluasi Kritis terhadap Sistem Pemerintahan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. Ke-4, h. 19-21.

69 W. Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, alih bahasa: Taufik Adnan

Amal, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), Cet. Ke-1, h. 184. 70 Michael C. Hudson, Islam dan Perkembangan Politik”, dalam John L. Esposito, (ed.),

Identitas Islam pada Perubahan Sosial-Politik, alih bahasa: Zainuddin Rahman, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), Cet. Ke-1, h. 29-30.

Page 53: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

liii

C. Pengertian Khilafah Islamiyah

Sebelum menguraikan definisi tentang khilafah, penulis merasa perlu untuk

memetakan beberapa kandungan al-Qur’an yang berkaitan dengan khilafah terlebih

dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui dasar-dasar normatif-teologisnya.

Di dalam al-Qur’an, terdapat tiga derivasi yang digunakan untuk kata

khalifah.

1. Dalam bentuk tunggal: Khalifah

☺ ⌧

⌧ ⌧ ☺

Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:

"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S. Al-Baqarah: 30).

⌧ ⌧ ☺

Artinya: “Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.

Page 54: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

liv

Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Q.S. Shaad: 26)

2. Dalam bentuk jamak: Khulafa’

Artinya: “Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum 'Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.” (Q.S. Shaad: 74)

⌧ ⌧

Artinya: “Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan, apabila ia berdoa kepada-Nya, dan menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khulafa’ di bumi…” (Q.S. An-Naml: 62)

3. Dalam bentuk Jamak Kasrat71: khalaif

71 Bentuk ini digunakan untuk konotasi kuantitatif tak terbatas, Abdul Muin Salim, Fiqh

Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-2, h. 111.

Page 55: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lv

⌧ ☺

Artinya: “Kemudian kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.” (Q.S. Yunus: 14)

☺ ⌧ ⌧

Artinya: “Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemakmuran pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.”(Q.S. Fathir: 39)

⌧ ⌧ ⌧ ⌧

Artinya: “Lalu mereka mendustakan Nuh, maka kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka itu pemegang kekuasaan dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu.” (Q.S. Yunus: 73)

Dari ayat di atas, kata khalifah ) خليفة ) dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 30 dan Q.S.

Shad [38]: 26 dihubungkan dengan Nabi Adam dan Nabi Daud yang diciptakan dan

diutus Tuhan untuk menjadi wakil-Nya di muka bumi. Khusus yang berkaitan dengan

Nabi Daud, Dien Syamsuddin menyatakan bahwa konsep khalifatullah membawa

Page 56: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lvi

implikasi makna yang bersifat universal, yaitu berlaku untuk setiap manusia.72

Sedang khulafa’ dalam Q.S. al-‘Araf [7]: 69 dan 74, dan Q.S. an-Naml [27]: 62,

dipergunakan dalam konteks pembicaraan orang-orang kafir. Sementara khalaif

( فالئخ ) dalam Q.S. Yunus [10]: 14 dan 73; Q.S. al-An’am [6]: 165; Q.S. Fathir [35]:

39, menurut Abdul Muin Salim, dipergunakan dengan merujuk kepada umat manusia

pada umumnya dan orang-orang beriman pada khususnya.73

Khalifah (خليفة) atau khalaif (خالئف) memiliki pengertian yang berbeda,74

terdapat tiga pengertian: (1) pengganti, (2) pemimpin, dan (3) penguasa. Kata

khalifah —yang berakar kata khalafa— mengandung kata dasar lain: menggantikan,

mengikuti, datang kemudian. Menurut Dien Syamsuddin, khalifah (خليفة) dalam al-

Qur’an menunjukkan arti “pengganti” atau “wakil”, seperti dalam ungkapan

khalifatullah fi al-ardl (wakil Tuhan di bumi).75

Baik dalam arti “pengganti”, “wakil Tuhan”, dan “penguasa”, kata khalifah

melahirkan beberapa kecenderungan penafsiran. Di satu pihak ada yang (خليفة)

menafsirkan hal-hal yang berkaitan dengan pengertian khalifah (خليفة) tertuju kepada

manusia secara keseluruhan tanpa ada kaitannya dengan politik. Sementara di pihak

lain, pengertian itu terkait erat dengan kekuasaan politik yang terwujud dalam bentuk

72 Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani.,h. 80. 73 Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an.,h. 110. 74 Bentuk jamak lainnya adalah khawalif (“wakil-wakil”). M. Said Syaikh, Kamus Filsafat

Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), Cet. Ke-1, h. 67. 75 M. Dien Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, h. 78.

Page 57: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lvii

lembaga kekuasaan negara. Berikut ini beberapa kecenderungan penafsiran dan

argumentasinya masing-masing:

Menurut Dawam Raharjo, khalifah (خليفة) yakni kepala negara dalam

pemerintahan Islam, memang merupakan istilah al-Qur’an. Tetapi dalam al-Qur’an

kata ini memiliki banyak arti atau interpretasi. Oleh karena itu, ayat-ayat yang

mengandung pengertian kata khalifah (خليفة) tersebut tidak dapat dijadikan dasar

hukum mengenai wajibnya mendirikan suatu khalifah (خليفة) atau kekuasaan politik.

Menurut Dawam, Allah telah mengisyaratkan suatu konsep tentang manusia, yaitu

sebagai khalifah (خليفة). Khalifah adalah sebuah fungsi yang diemban manusia

berdasarkan amanat yang diterimanya dari Allah Swt. Amanat ini pada intinya adalah

tugas mengelola bumi secara bertanggung jawab, dengan menggunakan akal yang

telah dianugrahkan Allah kepadanya.76

Al-Qur’an (Q.S. Al-Baqarah [2]: 30) menyebut perihal Nabi Adam AS.

sebagai perwujudan dari fitrah atau sifat primordial dan sebagai khilafah Allah di

muka bumi. Dengan demikian, manusia pada dasarnya berposisi sebagai khilafah

Allah Swt. Hal yang sama juga terjadi pada Nabi Muhammad Saw. Di satu sisi

Muhammad Saw adalah khalifah (penerus) fungsi kekhalifahan yang pertama kali

diberikan oleh Allah Swt. kepada Nabi Adam AS. Di kemudian hari, beberapa

sahabat juga mengklaim gelar ini setelah Muhammad Saw. wafat. Bahkan lebih jauh

76 M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep

Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), Cet. Ke-1, h. 363-364.

Page 58: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lviii

para sahabat mengaku sebagai wakil (pengganti) dan menjalankan fungsi sebagai

pimpinan spiritual dan sekaligus sebagai penguasa temporal sebuah pemerintahan

Islam.77

Senada dengan pendapat Dawam, Nurcholis Madjid juga mengemukakan

pendapat yang sama. Dengan ide “sekularisasi” -nya, ia berpendapat bahwa peran

kekhalifahan manusia, dimana ia sebagai pengganti Tuhan di bumi, mengandung arti

bahwa segala urusan bumi ini diserahkan kepada umat manusia. Pemberian beban

kekhalifahan kepada manusia ini didasari dengan pertimbangan bahwa manusia

memiliki daya intelektualitas, akal dan pikiran. Dengan daya rasio itulah, manusia

mengembangkan diri di dunia ini. Dalam kaitan ini yang dimaksud dengan

sekularisasi adalah memecahkan dan memahami masalah duniawi ini, dengan

mengerahkan kecerdasan atau rasio.78

Adapun khalifah yang sering digunakan dalam suatu konteks lembaga

kepemimpinan berarti: (1) penggantian terhadap Rasulullah saw. dalam upaya

menjaga dan memelihara agama serta mengatur urusan-urusan dunia; (2) suatu

lembaga kekuasaan yang menjalankan tugas Rasulullah saw. untuk memelihara,

77 Cyrill Glasse, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. Ke-1, h. 208-

209. 78 Nurcholis Madjid, Islam: Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1998), Cet.

Ke-11, h.228-229.

Page 59: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lix

mengurus, mengembangkan dan menjaga agama serta mengatur urusan duniawi

umat; (3) kepemimpinan atau pemerintahan. 79

Berkaitan dengan pengertian bahwa khalifah adalah suatu lembaga kekuasaan

yang menjalankan tugas Rasulullah saw., Abul ‘Ala al-Maududi menyatakan doktrin

tentang khalifah yang disebut dalam al-Qur’an menunjukkan bahwa segala sesuatu di

atas bumi ini, hanyalah karunia Allah Swt.80 Menurut Maududi, bentuk pemerintahan

yang benar adalah adanya pengakuan negara akan kepemimpinan dan kekuasaan

Allah dan Rasul-Nya di bidang perundang-undangan menyerahkan segala kekuasaan

legislatif dan kedaulatan hukum tertinggi kepda keduanya dan meyakini bahwa

khilafahnya itu mewakili sang-hakim yang sebenarnya, yaitu Allah Swt.81

Sementara Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya menyatakan bahwa khalifah

berarti “memerintah rakyat sesuai dengan petunjuk agama, baik untuk soal-soal

keakhiratan maupun soal-soal keduniawian. Sebab dalam pandangan pembuat

undang-undang, semua soal keduniaan, harus dihukumi dari segi kepentingan hidup

akhirat.82 Peranan manusia dalam berinteraksi menerapkan metodologi khilafah.

79 M. Abdul Mujieb, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995), Cet. Ke-2, h.

60. 80 Abul ‘Ala al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan

Islam, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. Ke-4, h. 64.. 81 Ibid, h. 63. 82 Ibn Khaldun, Muqaddimah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), Cet. Ke-2, h. 234.

Page 60: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lx

Menurut Abdul Majid an-Najar, mengacu pada wahyu ilahi dan akal kemanusiaan,

yaitu nash (petunjuk-petunjuk wahyu) dan ‘aqli (peranan akal).83

Beberapa pandangan di atas menunjukkan bahwa sebagian ulama berpendapat

bahwa konsep khilafah dalam al-Qur’an tidak ada hubungannya dengan khilafah

dalam arti lembaga kekuasaan politik. Sementara di sisi lain, berpendapat sebaliknya,

bahwa peran kekhalifahan manusia dalam mengatur segala urusan —agama dan

dunia akan tercapai jika ditegakkan dengan kekhalifahan yang bersandar pada wahyu

Ilahi.

D. Khilafah Islamiyah dalam Lintasan Sejarah

Konsep Khilafah Islamiyah dalam politik Islam tidak bisa lepas dari konteks

sejarahnya. Dalam sejarahnya, kekhalifahan dimulai dari wafatnya Nabi Muhammad

saw. Wafatnya Nabi Muhammad saw. meninggalkan kevakuman pemimpin yang

hampir tidak mungkin digantikan oleh orang lain. Sebab posisinya bukan saja

seseorang pemimpin negara, tetapi juga seorang nabi, pembuat undang-undang, guru

spiritual, dan pribadi yang mempunyai visi transendental.84 Para sahabat mulai sibuk

mencari pengganti beliau sebagai kepala negara. Alotnya proses mencari pengganti

Nabi sebagai kepala negara membuat penguburan Nabi menjadi soal yang kedua bagi

para sahabat dan sejak itu pula istilah khalifah atau khilafah timbul.85 Para sahabat

83 Abdul Majid an-Najar, Khilafah: Tinjauan Wahyu dan Akal, (Jakarta: Gema Insani Press,

1998), Cet. Ke-1, h. 33-34. 84 Ashgar Ali Engineer, Asal-usul dan Perkembangan Islam: Analisis Pertumbuhan Sosial-

Ekonomi, (Yogyakarta, Pustaka-Insist, 1999), Cat. Ke-1, h. 215. 85 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press,

1986), Cet. Ke-5, h. 3.

Page 61: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lxi

yang cukup dekat dengan Rasul dan cukup senior kemudian berkumpul disuatu

tempat yakni Saqifah Bani Saidah. Melalui perundingan yang cukup alot dan sengit,

para sahabat kemudian memilih Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah pasca

Rasulullah.86

Namun terpilihnya Abu Bakar tidak kemudian menyelesaikan persoalan

dalam politik Islam, terutama dalam hal pengganti Rasulullah sebagai kepala negara.

Terpilihnya Abu Bakar melalui proses perundingan itu, kemudian melahirkan dua

golongan besar Islam, yakni Sunni dan Syi’ah. Sebagian masyarakat muslim waktu

itu memandang bahwa proses pemilihan yang dilakukan para sahabat di Saqifah Bani

Saidah adalah tidak benar. Sebab mereka yakin bahwa Nabi sebenarnya telah

menunjukan Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya.87 Kelompok ini kemudian

digolongkan ke dalam kelompok Syiah. Sebaliknya, masyarakat yang setuju dan

menerima dengan proses pemilihan khalifah di Saqifah Bani Saidah berpendapat

bahwa Nabi Muhammad tidak menunjuk seorang pengganti sepeninggal beliau.

Kelompok ini kemudian digolongkan ke dalam kelompok Sunni. Adanya perselisihan

dalam kekhalifahan (kekuasaan politik), menurut Esposito, memiliki dua orientasi,

yaitu menyangkut isu tentang hak warisan pimpinan dan masalah tentang berbagi

86 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya

Media Pratama, 2001), Cet. Ke-1, h.45-46. 87 John L. Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?, alih bahasa: Alwiyyah

Abdurrahman, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. Ke-3, h. 41. Mereka yang meyakini Ali sebagai pengganti Nabi berdasarkan pendapat mereka pada peristiwa Ghadir Khumm, dimana Nabi pernah berwasiat: “Inilah Ali, wasiatku, khalifah untukmu. Dengarlah dan taati dia”.

Page 62: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lxii

kekuasaan atau perang saudara.88 Berkaitan dengan peristiwa ini, Harun Nasution

menilai, bahwa persoalan yang pertama-tama timbul dalam sejarah Islam, bukanlah

persoalan tentang keyakinan, tetapi masalah politik.89

Praktek kekhalifahan selama enam abad pertama Islam, dapat dibagi ke dalam

tiga periode utama: (1) Khulafa ar-Rasyidun di Madinah (632-661 M); (2)

Kekhalifahan Bani Umayyah (661-750 M) di Damaskus; dan (3) Kekhalifahan Bani

Abbasiyyah (750-1258 M) di Baghdad. Sedangkan sisanya adalah zaman Utsmaniyah

Turki di Istanbul (1299-1924 M).90

Pemerintahan Khulafa ar-Rasyidun dimulai dengan tampilnya Abu Bakar ash-

Shiddiq sebagai khalifah (11 H/632 M – 13 H/634 M). Kekhalifahan Abu Bakar

merupakan awal terbentuknya pemerintahan model khalifah dalam sejarah Islam yang

berpusat di Madinah. Sepeninggal Abu Bakar, Umar Ibn Khatab mendapat

kepercayaan sebagai khalifah kedua. Pada waktu itu Sayidina Umar merupakan

penasihat Abu Bakar. Tampilnya Umar sebagai khalifah (13 H/634 M – 23 H/644M)

tidak melalui proses yang sama seperti Abu Bakar, melainkan melalui penunjukan

atau wasiat oleh pendahulunya.91 Sementara itu, Utsman Ibn Affan menjadi khalifah

88 Esposito, Islam dan Politik, h. 8. 89 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), Cet.

Ke-5, h. 92. 90 Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?, h. 41. 91 Faisal Ismail, Momentum Historis Gerakan Pencerahan Islam: Peranan Nabi Muhammad

saw dan Para Khalifah al-Rasyidin Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Mitra Cendekia, 2004), Cet. Ke-2, h. 118-119.

Page 63: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lxiii

ketiga (23 H/644 M – 35 H/656 M) dipilih oleh sekelompok orang yang terdiri dari

enam orang yang ditentukan oleh Umar sebelum wafat.92

Setelah Umar wafat dibunuh oleh seorang hamba Parsi yang bernama Abu

Lu'lu'ah, keenam orang itu kemudian bermusyawarah. Atas inisiatif Abdurrahman,

terjadilah permusyawaratan yang akhirnya sepakat memilih Utsman ibn Affan dengan

pertimbangan usianya yang lebih tua dan sifatnya yang lebih lunak. Utsman

kemudian berakhir masa jabatannya setelah terbunuh di dalam rumahnya sendiri oleh

para pemberontak yang tidak puas hati dengan pemerintahannya. Pada waktu itu para

pemberontak dari berbagai daerah mencari beberapa sahabat senior seperti Thalhah,

Zubeir, dan Sa’ad ibn Waqqash untuk dibai’at menjadi khalifah. Namun di antara

mereka tidak ada yang bersedia. Akhirnya, mereka menoleh Ali ibn Abi Thalib

sebagai khalifah, namun Sayidina Ali menolak. Tetapi selepas didesak oleh

pengikutnya, beliau akhirnya menerima untuk menjadi khalifah. Pada masa

kepemimpinannya memerintah selama lima tahun (35 H/656 M – 40 H/661 M). Ali

pun berakhir masa jabatannya setelah terbunuh ketika beliau hendak bershalat subuh

oleh para pemberontak93.

Pasca berakhirnya masa Khulafa’ ar-Rasyidun, kekhalifahan dilanjutkan oleh

Dinasti Umayyah yang memerintah di Damaskus (661-750 M) dengan Muawiyah bin

Abu Sufyan sebagai khalifah pertama. Namun, kata “khalifah” pada masa Dinasti

92 Enam orang tersebut adalah Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Talhah, Zubair ibn

Awwam, Sa’ad ibn Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf. 93 Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. 75-76.

Page 64: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lxiv

Umaiyah mulai mengalami pergeseran makna. Pergeseran tersebut bisa dilihat dari

dua hal; Pertama, Pemilihan khalifah tidak lagi melalui cara yang “demokratis”, tapi

melalui pengangkatan putra mahkota (wilayatul ‘ahdi) yang ditentukan oleh khalifah

sebelumnya. Kedua, khalifah terfokus pada masalah politik, sementara agama

diserahkan kepada ulama yang menguasai masalah agama, berbeda dengan khalifah

sebelumnya yang merupakan ahli agama yang menetapkan hukum keagamaan

berdasarkan ijtihad mereka baik sendiri maupun bersama-sama.94 Sistem Monarki

dalam pemerintahan Islam dimulai pada khalifah Muawiyah yang mengangkat

putranya Yazid bin Muawiyah sebagai pewaris kepemimpinan sang ayah (khalifah).

Setelah berhasil menggulingkan marwan II, khalifah terakhir Bani Umaiyah

pada tahun 750 M, Abu al-Abbas al-Saffah memproklamirkan berdirinya kerajaan

Bani Abbas. Meskipun al-Saffah merupakan pendiri dinasti ini, orang yang berjasa

mengembangkannya adalah Abu Ja’far al-Mansur (754-775 M). Pada masa khalifah

al-Mansur kata khalifah mengalami perubahan makna yang cukup mendasar, khalifah

sudah berkonotasi Khaliffatullah yang berarti pengganti atau wakil Allah di muka

bumi, dan menamkan dirinya sebagai Sultanullah fi al-Ardh (penguasa Tuhan di

muka bumi). Berdasarkan prinsip ini, kekuasaan bersifat absolut dan tidak boleh

diganti kecuali setelah ia meninggal.95

94 Departemen Agama RI, “Khilafah” Ensiklopedi Islam, (Jakarta: CV. Anda Utama, 1993)

jilid kedua, h. 607. 95 Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, h. 86-88.

Page 65: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lxv

Proses pergantian kekhalifahan pada Dinasti Abbasiyah tidak jauh berbeda

dengan Umaiyah. Kekhalifahan ini kemudian berakhir ketika pasukan Hulagu Khan

dari Mongolia menghancurkan Baghdad dan membunuh khalifah terakhir, yakni al-

Mu’tashim.96 Setelah itu, jabatan khalifah dipegang oleh keturunan Mamluk

Abbasiyah di Kairo. Sementara itu, pusat kekuasan baru timbul di Istambul pada 699

H/1299 M yang dipimpin oleh Utsman I yang kemudian terkenal dengan sebutan

Dinasti Utsmaniyah. Dinasti ini memerintah sampai dengan tahun 1342 H/1924 M

dengan khalifah terakhir Abdul Hamid II. Kekhalifahan yang muncul pada akhir abad

ke-14 tersebut, secara formal dihapuskan oleh Republik Turki pada tahun 1924 M

oleh Mustafa Kemal Pasha. Keruntuhan kekhalifahan terakhir karena akibat

perseteruan antara kaum nasionalis dan agamais dalam masalah kemunduran ekonomi

Turki.

E. Khilafah dalam Wacana Politik Islam Kontemporer

Sejak berakhirnya lembaga khilafah di Turki pada 3 Maret 1924, timbul

perdebatan mengenai dasar-dasar pembentukan khilafah dalam wacana politik Islam.

Menurut Dawam Raharjo ada tiga teori utama dalam pembentukan khilafah: (1)

Pembentukan khilafah wajib hukumnya, berdasarkan syari’ah atau berdasarkan

wahyu. Para ahli fiqh Sunni, antara lain teolog Abu Hasan al-Asy’ari berpendapat

bahwa khalifah ini wajib hukumnya karena wahyu dan ijma’ para sahabat; (2)

96 Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam: Sejak Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta: Akbar

Media Eka Sarana, 2007), Cet. Ke-5, h. 259.

Page 66: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lxvi

Mendirikan sebuah khilafah hukumnya fardlu kifayah atau wajib kolektif berdasarkan

ijma atau konsensus. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Mawardi. Sementara al-

Ghazali menyatakan bahwa khilafah merupakan wajib syar’i berdasarkan ijma; dan

(3) Kaum Mu’tazilah yang menyatakan bahwa pembentukan khilafah ini memang

wajib tetapi berdasarkan pertimbangan akal.97

Tiga teori di atas pada akhirnya bisa dikerucutkan pada dua persepsi: (1)

Bahwa praktek tersebut merupakan contoh baku dalam Islam tentang sistem

ketanegaraan dan pemerintahan; (2) Praktek tersebut hanya berupa tradisi bangsa

Arab yang tidak ada hubungannya dengan perintah agama yang tidak wajib diikuti

untuk konteks modern.

Dua persepsi di atas kemudian terus memunculkan perdebatan dalam wacana

politik Islam. Menurut Abdul Wahab Effendi, menyatakan perdebatan seputar konsep

negara Islam sebagai “paradoks khaldunian”. Yakni ketegangan antara idealitas dan

realitas dalam kehidupan Islam, dan berusaha memecahkan isu tersebut dengan

mengadopsi realisme yang menjadi ciri pemikiran modern. Dia menundukkan yang

ideal kepada realitas yang benar kepada yang kemungkinan, dengan menyatakan

bahwa impian umat Islam untuk memiliki khalifah yang adil dan tidak mungkin

dicapai di dunia yang tidak sempurna ini.98

97 Raharjo, Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial berdasarkan konsep-konsep kunci., h. 362. 98 Abdul Wahab Effendi, Masyarakat Tak Beragama: Kritik atas Teori Politik Islam, (Jakarta:

Lkis, 2000), Cet. Ke-1, h. 4.

Page 67: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lxvii

Daulah Islam dengan sistem Khalifah, menurut Yusuf Qardhawi

menggunakan politik daulah internasional. Menurut Qardhawi daulah tersebut

tidaklah berdiri berdasarkan batasan-batasan tanah dan letak geografis melainkan

berisi pemikiran dan akidah. Khilafah Islam menurut Qardhawi berfungsi sebagai

penerap hukum Islam terhadap umat yang berlandaskan tiga prinsip; (1) Kesatuan

wilayah Islam. Dalam artian, sekalipun negara dan daerahnya berbeda, tetapi pada

prinsipnya merupakan satu wilayah untuk satu umat; (2) Kesatuan rujukan syariat

yang tertinggi, yang tercermin di dalam al-Qur’an dan Sunnah; dan (3) Kesatuan

kepemimpinan yang tersentral, dan tercermin di dalam diri pemimpin tertinggi atau

khalifah yang memimpin daulah orang-orang mukmin dengan ajaran Islam.99

Sedang pendapat lain menyatakan bahwa khilafah tidak ada kaitannya dengan

agama. Menurut Said Aqil Siradj, bahwa "nation Madinah" yang berada di bawah

payung Piagam Madinah, ternyata sama sekali tidak mencantumkan kata al-Qur’an,

Hadits serta Islam. Karenanya, Islam bukanlah nation atau institusi. Eksistensinya

lebih menjadi pondasi moralitas umat manusia yang mengontrol terhadap sesama lini

kehidupan. Dengan cara demikian, titik tekan misi “rahmatan lil ‘alamin” dapat

direalisasikan dengan tepat”.100

Pendapat yang hampir sama juga disampaikan Ali Abdur Raziq. Menurut

Raziq “Pemerintahan Rasaulullah itu merupakan tugas yang terpisah dari tugas

99 Yusuf Qardhawi, Fiqh Dawlah dalam Perspektif al-Qur’an dan Sunnah, alih bahasa: Kathur Suhudi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998), Cet. Ke-3, h. 45-46.

100 Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri, (Jakarta: Pustaka

Ciganjur: 1999), Cet. Ke-1, h. 210.

Page 68: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lxviii

dakwah Islamnya dan juga berada di luar batas kerisalahan”.101 Bagi Raziq, posisi

Rasulullah sama halnya dengan nabi-nabi yang telah mendahuluinya. Beliau

bukanlah raja, pendiri suatu negara, maupun penganjur berdirinya suatu pemerintahan

politik sebagaimana yang selama ini dipersepsikan.102 Pendapat Raziq ini kemudian

sampai pada kesimpulan bahwa “lembaga kekhalifahan sama sekali tidak ada

hubungannya dengan ajaran agama. Demikian pula halnya dengan masalah

pemerintahan dan fungsi-fungsi kenegaraan. Semua itu adalah masalah-masalah yang

berkenaan dengan politik, dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama.103

Di tengah ketidakkondusifan situasi dan kondisi negara pada masa pasca

jatuhnya rezim Orde Baru, serta carut-marutnya kehidupan ekonomi, sosial, politik

dan budaya pada saat itu telah memberikan ruang terbuka bagi setiap individu,

masyarakat, juga kelompok untuk mengisi, mengganti dan membentuk sebuah

tatanan baru bagi masyarakat Indonesia, termasuk munculnya wacana penegakkan

syariat Islam. Momentum inilah yang menjadikan Hizbut Tahrir yang awalnya

sebagai sebuah kelompok-kelompok kecil berubah menjadi sebuah organisasi

gerakan Islam yang berskala nasional dan internasional, untuk mengambil peran

dalam mengisi tatanan baru yaitu menawarkan solusi penegakkan syari’at Islam

dalam konteks berbangsa dan bernegara. Namun sebaliknya, organisasi ini perlu

101 Ali Abdur Raziq, Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam, alih bahasa: Afif Muhammad,

(Bandung: Pustaka, 1985), Cet. Ke-1, h. 85. 102 Ibid, h. 99. 103 Ibid, h. 163.

Page 69: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lxix

mendapatkan perhatian khusus dari semua pihak termasuk pemerintah, sebab Hizbut

Tahrir sebagai bagian dari gerakan Islam yang mempunyai ide dan pemikiran tentang

mendirikan Daulah Khilafah Islamiyah. Islam dalam pandangan Hizbut Tahrir adalah

sebuah sistem paripurna dan menyeluruh (comprehenship) bagi seluruh kehidupan

manusia. Karena itulah, kaum muslimin diwajibkan untuk memberlakukannya secara

total dalam sebuah negara yang memiliki bentuk tertentu dan khas yang terlukis

dalam sebuah sistem khilafah.104

Dari uraian di atas, menunjukkan keragaman pemikiran tentang bentuk dan

sistem pemerintahan dalam Islam terutama masalah khilafah. Para pemikir Muslim

berbeda pendapat mengenai doktrin al-Qur’an yang menyangkut masalah-masalah

kemasyarakatan. Begitu pula dengan fakta sejarah kekhalifahan yang pernah

berlangsung sejak generasi awal Islam sampai pada keruntuhannya. Dengan

demikian, bisa dikatakan bahwa sulit rasanya untuk membakukan sistem politik

Islam, karena perbedaan persepsi tersebut.

104 Mengenal Hizbut Tahrir; Partai Politik Islam Ideologis/Anonim, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002), Cet. Ke-3, h. 2.

Page 70: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lxx

BAB IV

PANDANGAN NU TERHADAP WAWASAN KEBANGSAAN DAN

KHILAFAH ISLAMIYAH

E. Pandangan NU terhadap Azas Pancasila

Paham nasionalisme modern sekarang mengacu pada pengertian nation atau

bangsa seperti, termasuk Indonesia yang dalam kebangsaannya terdiri dari beberapa

suku, asal ras, bahasa daerah, budaya dan tradisi lokal, tetapi mereka menyatukan diri

sebagai “Bangsa Indonesia” yang satu kesatuan (Tunggal Eka) di atas berbagai

macam perbedaan-perbedaan (Bhineka).105

Walisongo telah mengajarkan sebuah tradisi keagamaan yang transformatif.

Proses Islamisasi yang dilakukan Walisongo bukan hanya mengajak kepada

masyarakat untuk masuk Islam. Akan tetapi, juga mengubah struktur sosial

masyarakat menuju tata sosial yang lebih adil, manusiawi dan juga berakar pada

tradisi masyarakat setempat. Tradisi keagamaan itulah yang kini dikenal dengan

sebutan “Ahlussunnah wal Jama’ah” atau Aswaja dengan kekuatan basisnya pada

ulama dan pesantren. Ulama sebagai pilar keagamaan Aswaja memegang peran

penting dalam menguatkan ikatan kolektifitas bangsa. Sementara pesantren dikenal

sebagai pendidikan rakyat.

105 Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah: dalam Persepsi dan Tradisi NU,

(Jakarta: Lantabora Press, 2005), Cet. Ke-3, h. 339.

Page 71: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lxxi

Tradisi inilah muncul sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama pada

tahun 1926 dengan nama Nahdlatul Ulama (NU). NU dikenal sebagai organisasi ke-

Islam-an yang bercorak kebangsaan. Sikap kebangsaan NU bukan hanya dari segi

toleransinya dalam beragama, tetapi juga kontribusinya pada pembentukan identitas

kebangsaan setelah merdeka dari kolonialisme Belanda. NU lahir karena didorong

semangat kebangsaan yang tinggi. Yakni didorong oleh kepeduliannya untuk

mempertahankan Islam yang ramah pada nilai budaya setempat, serta menghargai

perbedaan agama, tradisi dan kepercayaan, yang merupakan warisan turun-menurun

dalam tradisi Nusantara.106

Sikap-sikap demikian menjadikan NU sering menerima tuduhan sebagai

"oportunistik", yang sangat bersifat akomodatif terhadap kepentingan pemerintah

pada saat itu. Sikap NU yang demikian itu, sering kali dijadikan sasaran kesalahan

bagi tidak konsistennya "perjuangan Islam" di Indonesia. Bagi NU tuduhan demikian

tentu dinilai tidak tepat, karena NU tidak berpedoman "strategi perjuangan politik"

atau "ideologi Islam" dalam artian yang abstrak, melainkan keabsahannya di mata

hukum fiqih. Dalam aturan fiqih Sunni antara lain dikatakan bahwa apabila

kekuasaan Kepala Negara (Presiden) diakui sahnya, maka ia harus dipatuhi dan

ditaati, selama tidak memerintahkan hal-hal yang jelas bersifat maksiat atau durhaka

kepada Allah.107

106 Ahmad Baso, NU Studies, Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan

Fundamentalisme Neo-Liberal, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 385. 107 Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah: dalam Persepsi dan Tradisi NU, h. 350.

Page 72: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lxxii

Ke-Islam-an bangsa Indonesia tidaklah harus dihadapkan dengan ide bahwa

negara kita berdasarkan Pancasila. Sebab, Pancasila adalah adalah ideologi bersama

(common platform), sebagaimana menjadi pandangan dasar tokoh-tokoh Islam seperti

Teuku Muhammad Hasan, Ahmad Wahid Hasyim, ki Bagus Hadikusumo dan lain-

lain merupakan prinsip-prinsip yang menjadi titik pertemuan dan persamaan antara

warga negara muslim Indonesia dengan warga negara non-muslim untuk mendukung

Republik Indonesia.

Masalah Pancasila sebagai asas tunggal merupakan ujian nyata terhadap

hubungan NU dengan pemerintah. Sebelum Munas, belum ada organisasi besar yang

menerima asas tunggal. Dalam responnya terhadap gagasan penerapan asas tunggal

ini, NU justru memperlihatkan sikap sangat akomodotif dan kooperatif dengan

mengeluarkan pernyataan bahwa ia akan menerima Pancasila sebagai asas tunggal

organisasinya. Pernyataan ini dikeluarkannya setelah musyawarah nasional di

pesantren Salafiyah Syafi’iyah (pimpinan KH. As’ad Syamsul Arifin) di Sukorejo,

Situbondo, Jawa timur, dari tanggal 13-16 Desember 1983, dengan memfokuskan

perhatian di antaranya gagasan asas tunggal yang dilontarkan pemerintah pada waktu

itu.

Persoalan penerimaan asas tunggal Pancasila pada mulanya tidak ada

persoalan. Kiai As'ad Syamsul Arifin telah mempertegas penerimaan NU terhadap

Pancasila sebagai satu-satunya asas. Perbincangan mulai ramai ketika Kiai Siddiq

yang membawakan makalah langsung memperoleh "serangan". Dari jumlah 36

peserta sub-komisi khittah (tentang Asas Pancasila) hanya terdapat dua peserta yang

Page 73: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lxxiii

mendukung, sementara 34 peserta lainnya mengacungkan tangan dan memberi

tanggapan. Alasan yang mereka kemukakan bukan semata-mata tepat waktunya atau

tidak. Mereka menginginkan agar AD/ART tidak diubah. Sebab mengubah apa yang

telah diciptakan oleh ulama terdahulu dikhawatirkan terjadi kehancuran golongan

Ahlussunnah wal Jama’ah. Ada pula yang menolak Pancasila sebagai asas tunggal

karena Pancasila bersifat nasionalis sedangkan Islam tidak demikian, karena itu asas

Islam tidak bisa diganti oleh asas Pancasila.108

Selain mendiskusikan tentang rencana kebijakan asas tunggal yang hendak

diberlakukan oleh pemerintah, pertemuan ulama NU di Situbondo ini berhasil

mengeluarkan deklarasi tentang hubungan Islam dengan Pancasila sebagai berikut:109

5. Pancasila, sebagai dasar dan falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia,

adalah bukan agama; ia tidak dapat menggantikan agama dan juga tidak dapat

dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama;

6. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai dasar Negara Republik Indonesia

menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar 1945, menjiwai sila-sila yang lain

dan mencerminkan jiwa tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam;

7. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam merupakan akidah dan syari’ah yang meliputi aspek

hubungan antara manusia dengan Allah dan hubungan antara manusia;

108 Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, (Jakarta: Erlangga,

1992), Cet. Ke-1, h. 144-146. 109 Faisal Ismail, Pijar-pijar Islam; Pergumulan Kultur dan Struktur, (Jakarta: Badan Litbang

Agama dan Diklat keagamaan, 2002), h. 96-97.

Page 74: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lxxiv

8. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat

Islam untuk menjalankan syari’at agamanya;

9. Sebagai konsekuensi logis dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban

mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan juga mengamankan

pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.

Deklarasi di atas inilah yang dipergunakan oleh elite politik dan ulama NU

sebagai dasar justifikasi doktrinal teologis (keagamaannya) dalam menerima asas

tunggal. Realitas historis ini terletak pada kenyataan bahwa salah seorang tokoh

perumus Pancasila adalah KH. Ahmad Wahid Hasyim (seorang figur penting NU).

Atas dasar argumen-argumen sebagaimana tersebut di atas, NU melihat Pancasila

bisa diterima Umat Islam sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara karena ia tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.

Penerimaan NU terhadap Pancasila bukan semata-mata karena situasi,

penerimaan itu benar-benar dipikirkan dari sudut pertimbangan keagamaan dan

pemahaman NU terhadap sejarah. Dalam pemahaman keagamaan NU terhadap suatu

nilai di dalam masyarakat, sepanjang nilai tersebut tidak bertentangan dengan Islam.

Maka, nilai tersebut mempunyai potensi untuk diarahkan atau dikembangkan agar

selaras dengan tujuan-tujuan Islam. Dalam pandangan NU, Islam itu bersifat

menyempurnakan sehingga bila ada sesuatu yang baik di dalam masyarakat dan tidak

bertentangan dengan Islam maka ia termasuk kategori Islami. Apalagi sila pertama

dari Pancasila, yang menjiwai sila-sila lainnya dipandang mengandung nilai-nilai

kehidupan. Di pihak lain, Pancasila yang digali dan dipilih merupakan kristalisasi

Page 75: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lxxv

dari nilai luhur kebudayaan Indonesia. Termasuk kebudayaan Islam yang dianut dan

dipeluk oleh sebagian besar bangsa Indonesia.110

F. Pandangan NU terhadap Finalisasi Bentuk Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI)

Sejak NU lahir sudah menyadari dan siap eksis di tengah-tengah

kemajemukan bangsa, bahkan banyak sekali ikut memberi andil dalam memecahkan

masalah bangsa di situasi yang kritis, antara lain:111

1. Pada bulan Oktober 1945, menghadapi tentara sekutu yang masuk ke wilayah

Republik Indonesia, NU melalui rois akbarnya KH. Hasyim Asy'ari

mengeluarkan "Fatwa Jihad", yang isinya menyerukan seluruh kaum lelaki

muslim yang mampu untuk terjun ke medan perang suci (jihad fi sabilillah)

sebagai suatu kewajiban setiap orang Islam (fardlu 'ain). Fatwa ini mengobarkan

semangat pasukan Republik Indonesia dalam pertempuran besar pertamanya di

Surabaya melawan sekutu pada November 1945. fatwa tersebut tidak lepas dari

pandangan agama, khusunya pandangan fiqih, yang mengatakan bahwa "Suatu

kewajiban yang tidak mungkin dapat dilakukan kecuali dengan suatu tindakan,

maka tindakan tersebut hukumnya menjadi wajib". Hal itu dilakukan demi

mempertahankan negara dari ancaman musuh yang merupakan suatu kewajiban

bagi umat Islam, mereka melakukan jihad untuk tujuan tersebut hukumnya wajib.

110 Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, h. 151. 111 Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah: dalam Persepsi dan Tradisi NU, h. 347-349.

Page 76: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lxxvi

2. Ketentuan NU menolak adanya "Darul Islam" (DI) yang didirikan oleh

Kartosuwirjo di Jawa Barat, atau "Negara Islam Indonesia" (NII) di Sulawesi

Selatan oleh Kahar Mudzakar, atau yang lain-lain seperti Perjuangan Rakyat

Semesta (Permesta) di Sulawesi, Republik Maluku Selatan (RMS) dan

Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat. Apapun

dasar ideologinya, karena semua aksi tersebut merupakan pemberontakan

terhadap pemerintah yang sah dengan menggunakan senjata, yang dalam fiqihnya

mereka disebut sebagai "bughat" (pemberontak terhadap pemerintah yang sah).

Ulama-ulama NU membolehkan pemerintah Republik Indonesia menindak

mereka. Sikap demikian juga diberlakukan terhadap pemberontak-pemberontak

yang lain seperti G-30-S PKI. Ulama-ulama Ahlussunnah sejak dulu memang

menolak pemberontakan bersenjata terhadap pemerintah yang sah, meskipun

memperbolehkan perbedaan pendapat dalam berpolitik dan membolehkan

melakukan kritik kepada penguasa, sehingga tradisi Ahlussunnah cenderung

berorientasi pada stabilitas (adanya ketentraman).

3. Penerimaan Pancasila sebagai "asas organisasi" dengan melalui Munas

(Musyawarah Nasional) Alim Ulama NU di Situbondo Jawa Timur pada tahun

1983 kemudian dikuatkan oleh Muktamar NU ke-27 di tempat yang sama pada

tahun 1984. Sikap demikian berangkat dari pandangan kemaslahatan nasional dan

menyelamatkan keutuhan bangsa dengan pendekatan fiqih

Pada tanggal 17 Desember 1959 diselenggarakan Resepsi Muktamar ke-32

NU di Gedung Pertemuan Umum Jakarta yang dibuka oleh Bung Karno Presiden RI

Page 77: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lxxvii

Pertama. Presiden menyampaikan amanat bahwa NKRI adalah wadah bagi seluruh

rakyat Indonesia. Pada hakikatnya negara-negara merdeka adalah wadah. Wadah ini

adalah wadah kita semua, meskipun rakyat Indonesia itu terdiri dari pelbagai suku,

berpuluh-puluh suku, juga rakyat Indonesia terdiri golongan-golongan agama, yang

golongan terbesar adalah menganut agama Islam, maka Republik Indonesia atau

wadah ini adalah milik seluruh rakyat Indoneisa. Wadah untuk di dalamnya

berduduk, berisikan segala suku Indonesia, segala umat agama Indonesia, dan segala

golongan Indonesia. Wadah ini milik kita semuanya dan kita pelihara bersama-sama

yang berdiri di atas prinsip musyawarah dan demokratis.112

Kemudian di tengah-tengah arus gelombang gencarnya pernyataan NU untuk

menerima asas Pancasila, KH. Ahmad Siddiq selaku Rois ‘Am pada waktu itu,

mengeluarkan fatwa politik pada tahun 1984 yang isinya semakin memantapkan

kebulatan niat NU untuk menerima asas tunggal itu. Dalam pandangan Kiai Ahmad

Siddiq, lima butir nilai luhur (Pancasila) merupakan konsensus maksimal yang

merupakan "kalimatin sawâin bainanâ wa bainakum"113 bagi bangsa dan negara

Indonesia di dalam tata kehidupan bernegara dan bermasyarakat dengan segala

kemajemukannya. Selain itu, Kiai Siddiq memandang Pancasila secara subtansial

112 Iman Toto K. Rahardjo & Suko Sudarso, Bung Karno, Islam, Pancasila & NKRI, (Jakarta:

Komunitas Nasionalis Religius Indonesia, 2006), h. 461. 113 "Suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu" QS. Ali

Imran ayat 64.

Page 78: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lxxviii

mampu menyatukan seluruh segmen masyarakat Indonesia yang bercorak pluralistik

baik dalam muatan agama, budaya, adat istiadat dan latar belakang sosial.114

Kebangsaan (wathaniyah) NU dibuktikan dari kepedulian dan komitmennya

dalam memperkokoh imajinasi umat Islam Nusantara tentang bangsa yang merdeka.

Komitmen ini ditunjukkan sejak Muktamar Banjarmasin tahun 1936, Resolusi Jihad

tahun 1945, pengukuhan Kepala Negara Republik Indonesia sebagai waliyul amri

adharuri bi as-syaukah, hingga penerimaan Pancasila dan NKRI sebagai tujuan akhir

perjuangan umat Islam tahun 1984 di Muktamar Situbondo.

Bagi NU, bangsa Indonesia merupakan anugerah Tuhan yang harus disyukuri

dan dibina. Mengingkari Negara Kesatuan Republik Indonesia di bawah perjanjian

luhur Pancasila dan UUD 1945 sama halnya mencampakkan pesan-pesan yang telah

diwariskan Nabi saw. Karena itu, semua upaya eksklusivitas agama yang telah

diproyeksikan untuk memudarkan perjajian luhur bangsa tersebut sebenarnya bukan

tindakan yang diridlai-Nya dan kontra-agama. Aktivitas semacam itu tidak lebih

upaya mendagangkan agama untuk kepentingan sesaat yang hanya menguntungkan

dirinya serta status quo.115

Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes)

Nahdlatul Ulama di Asrama Pondok Haji Sokolilo Surabaya bulan Juli, telah

meneguhkan kembali komitmen NU sebagai organisasi sosial keagamaan (jam’iyyah

114 Ismail, Pijar-pijar Islam; Pergumulan Kultur dan Struktur, h. 98. 115 Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri, (Jakarta: Pustaka

Ciganjur: 1999), Cet. Ke-1, h. 194.

Page 79: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lxxix

dinniyah wa ijtima’iyyah) pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang

berlandaskan Pancasila, seperti yang disampaikan oleh Rois ‘Am PBNU Sahal

Mahfudz dalam pidato iftitah di Pembukaan Munas dan Konbes NU tersebut. Dalam

pidato tersebut ditegaskan “Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan

Pancasila merupakan bentuk final bagi Bangsa Indonesia”. Komitmen ini dilakukan

NU sejak lama, sebelum bangsa ini merdeka.116

G. Pandangan NU terhadap Wawasan Kebangsaan dan Khilafah Islamiyah

Rasa kebangsaan adalah kesadaran berbangsa, yaitu rasa persatuan dan

kesatuan yang lahir secara alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh

dari kebudayaan, sejarah dan aspirasi perjuangan masa lampau, serta kebersamaan

dalam menghadapi tantangan sejarah masa kini. Dinamisasi rasa kebangsaan ini

dalam mencapai cita-cita bangsa berkembang menjadi wawasan kebangsaan.

Rasionalisasi rasa dan wawasan kebangsaan akan melahirkan suatu paham yang

disebut nasionalisme kebangsaan atau paham kebangsaan, yaitu pikiran-pikiran yang

bersifat nasional, bahwa suatu negara mempunyai ciri khas yaitu rela berkorban demi

kepentingan tanah air atau semangat patriotisme. Wawasan kebangsaan mengandung

pula tuntutan suatu bangsa untuk mewujudkan jati dirinya serta mengembangkan

prilakunya sebagai bangsa yang meyakini nilai-nilai luhur budayanya, yang lahir dan

tumbuh subur sebagai penjelmaan kepribadiannya.

116 Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan.,h. 71.

Page 80: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lxxx

Sejak K.H. Hasyim Asy’ari pulang dari Timur Tengah kondisi Indonesia

masih dalam keadaan terjajah. Sementara khalifah yang berkedudukan di Istanbul

Turki sebagai lambang kekuasaan kaum muslimin tidak mampu melindungi negara-

negara Islam baik negara-negara Arab, Afrika Utara, Asia Selatan maupun Asia

Tenggara dari penjajah negara-negara barat. Puncaknya sistem khilafah yang ketika

itu disakralkan oleh kaum muslimin dihapus oleh Kemal Attaturk (Mustafa Kemal)

pada tahun 1924. terhapusnya sistem khalifah meresahkan dan menghawatirkan para

tokoh agama dan politik di hampir seluruh dunia Islam. Mereka bermaksud

menghidupkan kembali sistem khalifah yang sudah dihapus itu.

Para pemimpin-pemimpin negara berkumpul di Kairo yang diprakarsai Raja

Fuad I untuk menegakkan kembali sistem khilafah yang dihapus itu sekaligus

memilih khalifah. Akan tetapi khilafah tersebut gagal ditegakkan kembali karena

beberapa faktor:117

1. Utusan dari negara-negara Islam sudah tidak tertarik pada sistem khilafah yang

dinilai tidak berbeda dengan kediktatoran dan kezaliman. Mereka lebih tertarik

menegakkan syariat Islam dalam negara yang menganut ideologi nasionalisme

dan demokrasi yang ditawarkan Barat.

2. Mereka menilai sudah lebih dari dua abad sistem khalifah tidak mampu

melindungi kaum muslimin.

117 Imam Ghazali Said, Syaikh Hasyim Asy’ari antara khilafah dan nasionalisme, Risalah

Nahdlatul Ulama, edisi ke- IV, h. 38.

Page 81: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lxxxi

3. Raja Fuad I sebagai pemrakarsa kongres berambisi untuk memegang jabatan

khalifah, sementara di internal Mesir Raja Fuad I ditentang Partai Dusturiyin yang

di antara pemikirnya adalah Syekh Ali Abdurraziq.

4. Rivalitas untuk jabatan khalifah antara Fuad I dari Mesir dan Raja Abdul Aziz

dari Saudi Arabia, yang tidak menghasilkan deklarasi politik apapun.

Menurut Wakil Rais 'Am PBNU Tolhah Hasan, jika periode khilafah telah

berakhir, maka kewajiban-kewajiban umat Islam adalah berusaha menemukan sistem

baru yang merekonstruksi sistem dan mereaktualisasi nilai-nilai fundamental yang

dilakukan pada masa khilafah pertama (musyawarah, keadilan, kejujuran, egaliter dan

lain-lain). Oleh sebab itu, yang penting bukanlah mempertahankan kata-kata khalifah

atau khilafah, tapi yang dipentingkan adalah subtansi dan isinya, yaitu kepemimpinan

yang mencerminkan persatuan dan kesejahteraan bersama.118

Suatu istilah yang populer belakangan ini di kalangan Nahdliyin adalah

"transnasionalisme". Istilah ini diperuntukkan bagi ideologi serta gerakan sosial

politik dan keagamaan yang lintas negara. Namun dalam konteks NU, istilah

"transnasionalisme" mengacu dan merujuk pada ideologi serta gerakan sosial politik

dan keagamaan yang tunggal dan mendunia dari Timur Tengah. Maka dari itu,

beberapa tahun terakhir NU kian mematangkan pemikiran dan gerakan untuk

menghadapi ancaman ideologis dan massal dari kelompok transnasional tersebut.119

118 KH. Tolhah Hasan, Relistiskah Khilafah di Milenium Perubahan?, Risalah Nahdlatul

Ulama, edisi ke- IV, h 62.

119 Muhyiddin Abdusshomad, "NU Vis A Vis Transnasionalisme", artikel diakses tanggal 10 Maret 2008 dari http://www.lakpesdam.or.id/index. php?id=185.

Page 82: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lxxxii

Ideologi transnasional dinilai PBNU potensial menghancurkan ideologi

negara Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi,

menyebut Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin, dan al-Qaeda sebagai bagian dari

international political movement (gerakan politik dunia) yang tak memiliki akar

budaya, visi kebangsaan, dan visi keumatan di Indonesia. Menurut Hasyim,

organisasi-organisasi tersebut telah menjadikan Islam sebagai ideologi politik. Lebih

jauh, Hasyim menengarai bermunculannya tendensi formalisasi agama sebagai

indikator dari gerakan mereka. Padahal, tegas Hasyim, yang dilakukan mestinya

bukan formalisasi melainkan substansialisasi agama, jika agama diformalkan dalam

konteks negara Indonesia hanya akan mengacaukan sistem yang telah ada, karena

tidak sesuai dengan kondisi negara Indonesia yang masyarakatnya heterogen.120

Warga Nahdliyyin sejak tahun 2006 sampai sekarang sudah merintis untuk

menyadarkan pengangkatan isu Islam transnasional dalam berbagai forum organisasi.

Salah satunya yang terakhir adalah Konferensi Wilayah PWNU Jawa Timur, 2-4

November 2007 yang mengangkat bahasan Khilafah Islamiyah dalam Bahtsul Masail

NU. Ada tiga fokus persoalan yang diangkat dalam forum ilmiah Konferensi Wilayah

PWNU Jawa Timur, 2-4 November 2007 yang mengangkat bahasan Khilafah

Islamiyah dalam Bahtsul Masail NU. Pertama, ada tidaknya dalil nash yang

mengharuskan pembentukan Khilafah Islamiyah. Kedua, hukum kelompok warga

negara Indonesia yang berusaha untuk mengubah bentuk dasar hukum negara. Ketiga,

120 Risalah Nahdlatul Ulama, edisi ke- IV, h. 22.

Page 83: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lxxxiii

apakah strategi integralisasi syariah Islam secara subtantif menyalahi prinsip tathbiq

(penerapan) syari'ah menempuh pola tadrij (bertahap). Para ulama NU sepakat bahwa

pembentukan Khilafah Islamiyah tidak ada dalil nash yang mengharuskan. Bahkan

mengubah bentuk dasar hukum negara bila diperkirakan menimbulkan mafsadah

yang lebih besar hukumnya tidak boleh. Apa yang dilakukan oleh NU dalam rangka

mengintegralisasikan syariah dalam hukum nasional, tidak menyalahi prinsip tathbiq

syariah, bahkan dinilai lebih tepat bagi Indonesia yang majemuk ini.121

Dari sini nampak bahwa gerakan Hizbut Tahrir dengan perjuangannya

menjadikan Islam sebagai dasar untuk mengatur tata sosial politik masyarakat serta

ide dan pemikiran untuk menyatukan kembali dunia Islam dalam satu kepemimpinan

khilafah dan membentuk Islam dalam Islamic global village. Sistem khilafah

dianggap sebagai trade mark politik Islam yang harus ditegakkan dalam sebuah tata

dunia yang tidak dibatasi oleh nasionalitas dan kebangsaan mulai terhimpit. Karena,

tidak semua penduduk Indonesia khususnya Islam dapat menerima. Hal tersebut

disebabkan karena Islam di Indonesia memiliki corak pemikiran yang

beranekaragam, termasuk agama Islam.

Penyebab perbedaan wawasan kebangsaan NU dengan Khilafah Islamiyah

adalah perbedaan sejarah. NU lahir karena didorong semangat kebangsaan yang

tinggi, yakni didorong dengan adanya kepedulian untuk mempertahankan Islam yang

ramah pada nilai budaya setempat, serta menghargai perbedaan agama, tradisi dan

121 Muhyiddin Abdusshomad, "NU Vis A Vis Transnasionalisme", artikel diakses tanggal 10

Maret 2008 dari http://www.lakpesdam.or.id/index. php?id=185.

Page 84: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lxxxiv

kepercayaan. Sedangkan konsep Khilafah Islamiyah tidak berdasarkan negara dan

bangsa, tetapi negara internasional yang disatukan oleh identitas Islam.

Menurut Said Aqil Siradj, NU tidak ingin mendirikan negara Islam. Said Aqil

Siradj menjelaskan pada tahun 1936 NU mengadakan Muktamar di Banjarmasin,

dalam muktamar itu dibahas tentang bentuk negara. Para kiai pada waktu itu merujuk

pada kitab Buhgyatu al-Mustarsyidin yang menjelaskan bentuk negara damai (daru

as-salam). Alasan pokok NU memilih Konsep Dâr as-Salâm adalah Piagam Madinah

(Mistaq Madinah) yang di dalamnya berisi tentang perjajian dari berbagai macam

suku dan kelompok agama untuk hidup bersama. Bahkan, dalam Piagam Madinah itu

tidak ada kata Islam, dan juga tidak ada satupun ayat yang dikutip dari al-Qur'an.

Piagam Madinah inilah yang cocok untuk Indonesia, sebab para tokoh pada waktu itu

sepakat bahwa negara ini adalah negara kebangsaan, yaitu negara religius yang

memberikan ruang terhadap ketuhanan.122 Setelah masa sepeninggal Rasul, model

pemerintahan yang dijalankan berbeda-beda di antaranya khalifah, imarah,

kesultanan. Islam tidak memberikan ketentuan yang baku tentang sistem

pemerintahan, yang penting pemimpinnya adil, jujur dan melayani masyarakatnya

dengan baik.

Perbedaan respons ke-Indonesia-an antara NU dan Islam transnasional dalam

konteks ini bisa dipahami. Masing-masing memiliki akar sejarahnya sendiri-sendiri.

NU berurat akar di Tanah Air, sedangkan Islam transnasional berurat akar di Timur

122 Said Aqil Siradj, Bukan Negara Islam tapi Negara Damai, Risalah Nahdlatul Ulama, edisi

ke- IV, h. 28-30.

Page 85: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lxxxv

Tengah. Perbedaan akar sejarah tersebut berimplikasi terhadap pandangan, sikap dan

tindakan eksistensi Indonesia. Menjadi hal yang wajar, apabila sense of belonging

NU lebih besar daripada Islam transnasional. Hal itu lantaran, NU mempunyai

investasi besar dalam merawat dan membesarkan Indonesia dengan segala dinamika

kehidupannya.123

Mengingat pluralnya kenyataan masyarakat Indonesia, maka masyarakat sipil

sangat menekankan pentingnya pluralitas dalam kehidupan sosial dan politik, karena

itu Nahdlatul Ulama menolak semua bentuk primordialisme, sektarianisme dan

fanatisme. Dalam prinsip politik kenegaraan, dengan tegas prinsip primordialisme

baik berdasarkan etnis, kelas atau agama ditolak, dan masyarakat sipil lebih

mengetengahkan prinsip kewarganegaraan. Dalam prinsip ini semua warga punya

kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. Dengan demikian, masyarakat sipil dapat

menghilangkan diskriminasi dalam habitat sosial. Oleh karena itu, menurut NU yang

terpenting adalah pemerintahan harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan

menerapkan prinsip-prinsip dasar yang dilakukan Rasulullah saw. dalam memimpin

masyarakat yang tertuang dalam Piagam Madinah, serta tercermin dalam

pengangkatan dan praktek kepemimpinan Khulafa al-Rasyidun. Prinsip-prinsip dasar

tersebut adalah sebagai berikut: 124

123 Muhyiddin Abdusshomad, NU Vis A Vis Transnasionalisme.

124 Hasil Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-XXX, (Jakarta: PBNU, 2000), h. 47.

Page 86: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lxxxvi

1. Asy-Syura (musyawarah): pengambilan keputusan dengan mengikutsertakan

pihak-pihak yang berkepentingan dalam urusan bersama, baik secara langsung

maupun melalui perwakilan. (Ali Imran: 159, Syura: 38).

2. Al-Musawa (kesetaraan/equality): pandangan bahwa setiap orang mempunyai

hak dan kedudukan yang sama tanpa adanya diskriminasi karena adanya

perbedaan suku, ras, agama, jenis kelamin, kedudukan, kelas sosial dan lain-

lain (al-Hujurat: 13).

3. Al-‘Adalah (keadilan/justice): menetapkan suatu keputusan baik berupa

hukum, peraturan maupun kebijakan sesuai dengan hakikat kebenaran

obyektif tanpa disadari pandangan dan kepentingan subyektif dan tidak

bertentangan dengan al-mabadi’ al-khamsah (an-Nisa’: 135, al-Maidah: 8).

4. Al-Hurriyah (kebebasan/freedom): adanya jaminan bagi setiap orang untuk

menyampaikan pendapatnya dengan cara yang baik, bertanggung jawab dan

al-akhlaq al-karimah (at-Taubah 105).

Menurut penulis dari keterangan-keterangan di atas bahwa wawasan

kebangsaan adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan bagi generasi penerus bangsa,

yang bertugas meneruskan perjuangan-perjuangan orang-orang yang terdahulu dalam

rangka membangun suatu negara menjadi negara yang maju, sejahtera dan tentram-

damai, serta untuk menjaga dan melestarikan kultur bangsa di era globalisasi ini, agar

kultur bangsa yang asli tidak tercampur dengan kultur bangsa luar yang dapat

menghilangkan jati diri bangsa. Wawasan kebangsaan Nahdlatul Ulama bukan hanya

dari segi toleransinya dalam beragama, tetapi juga kontribusinya pada pembentukan

Page 87: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lxxxvii

identitas suatu bangsa setelah merdeka dari penjajahan. Islam kebangsaan yang

dikembangkan NU merupakan langkah maju guna mengakomodasi Islam di satu sisi,

dan diskursus kebangsaan di sisi lain.

Dari paparan di atas, bahwa NU sebagai organisasi sosial keagamaan

(jam'iyyah diniyah wa-ijtima'iyyah) Islam terbesar di Indonesia memiliki komitmen

terhadap perjuangan para ulama-ulama untuk tetap menjaga NKRI dan asas

Pancasila. Seperti rekomendasi Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Surabaya Juli

2006; meneguhkan kembali Pancasila dan NKRI dilakukan karena ada upaya

pengkroposan dan penggrogotan yang melemahkan NKRI, ini dilihat dari menipisnya

komitmen ke-Indonesia-an di sebagian kalangan masyarakat, juga berkembang

sentiment dan perilaku keagamaan yang ekstrim. Pancasila sebagai kehidupan dasar

berbangsa dan bernegara mulai dikesampingkan. Dengan ini NU menegaskan

kembali NKRI dengan dasar Pancasila merupakan bentuk final dari jerih payah

perjuangan umat Islam Indonesia, sebagaimana diputuskan dalam Munas Alim

Ulama NU di Situbondo pada tahun 1983 dan dikukuhkan Muktamar NU ke-27 di

Situbondo pada tahun 1984.

H. Analisa Penulis

Menurut penulis dari keterangan-keterangan di atas bahwa wawasan

kebangsaan adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan bagi generasi penerus bangsa,

yang bertugas meneruskan perjuangan-perjuangan orang-orang yang terdahulu dalam

rangka membangun suatu negara menjadi negara yang maju, sejahtera dan tentram-

Page 88: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lxxxviii

damai, serta untuk menjaga dan melestarikan kultur bangsa di era globalisasi ini, agar

kultur bangsa yang asli tidak tercampur dengan kultur bangsa luar yang dapat

menghilangkan jati diri bangsa. Wawasan kebangsaan Nahdlatul Ulama bukan hanya

dari segi toleransinya dalam beragama, tetapi juga kontribusinya pada pembentukan

identitas kebangsaan setelah merdeka dari kolonialisme Belanda.

Penyebab utama adanya perbedaan wawasan kebangsaan NU dengan Khilafah

Islamiyah adalah perbedaan sejarah. NU lahir karena didorong semangat kebangsaan

yang tinggi. Yakni didorong oleh kepeduliannya untuk mempertahankan Islam yang

ramah pada nilai budaya setempat, serta menghargai perbedaan agama, tradisi dan

kepercayaan, sedangkan konsep Khilafah Islamiyah tidak berdasarkan negara bangsa,

tetapi negara internasional yang disatukan oleh identitas Islam.

Dari penjelasan pemikiran nasionalisme NU di atas, penulis berpendapat

bahwa NU yang tidak bisa lepas dari Negara Kesatuan ini dengan bukti:

1. Nahdlatul Ulama menjadi sponsor utama diterimanya Asas Tunggal Pancasila

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada tahun 1984.

2. Fatwa K.H. Ahmad Shiddiq yang menyatakan bahwa, kontitusi negara yang

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah bentuk final perjuangan kaum

muslimin.

3. Komitmen Nahdlatul Ulama bahwa NKRI yang berdasarkan Pancasila dan

UUD 1945 harus dipertahankan dengan cara “memerangi” semua bentuk

sparatisme di berbagai daerah (lihat hasil Munas dan Konbes NU 2006 di

Surabaya).

Page 89: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

lxxxix

Menurut analisis penulis, jika memang benar-benar semua bagian sistem yang

digunakan oleh para khalifah itu berasal dari Islam sendiri, tentu kita pasti bisa

menemukan di dalam al-Qur’an dan al-Hadits secara eksplisit, bahwa sistem

pemerintahan yang diridlahi Allah SWT itu bagaimana, serta tata cara pemilihan

khalifah seperti apa. Ternyata keterangan itu, tidak kita temukan, yang ada hanya

hasil ijtihad para ulama atau interpretasi dari teks al-Qur’an ataupun as-Sunnah bukan

teks itu sendiri yang bisa saja masih interpretible.

Dari keterangan-keterangan di atas bahwa NU dari masa ke masa menjadi

agen penting menentukan ikatan kebangsaan. Pandangan-pandangan keagamaannya

menjadi jangkar yang dapat mengokohkan berdirinya bangsa ini. Kekokohan visi

kebangsaan itu mencapai puncaknya pada tahun 1984 ketika NU menyatakan Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Pancasila sebagai dasarnya adalah

bentuk final.

Page 90: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xc

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Masalah sempitnya wawasan kebangsaan di dalam negeri telah menimbulkan

ideologi seseorang untuk kembali ingin menegakkan khilafah Islamiyah, kendatipun

banyak resiko yang harus dihadapi. Dari semua yang penulis uraikan pada bab-bab

terdahulu, maka kesimpulan yang dapat ditarik, adalah:

1. Konsep wawasan kebangsaan ini direalisasikan untuk meng-counter konsep-

konsep primordial, sektarian dan paham-paham lain yang dapat merangsang

timbulnya masalah-masalah SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) yang

dapat menimbulkan kerawanan terhadap persatuan bangsa. Sedangkan konsep

Khilafah Islamiyah adalah adanya satu ikatan untuk menegakkan hukum-hukum

syara’ dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Ikatan yang

mempersatukan kekhalifahan adalah Islam sebagai agama. Namun, sebagian

ulama berpendapat bahwa konsep khilafah dalam al-Qur’an tidak ada

hubungannya dengan khilafah dalam arti lembaga kekuasaan politik. Sementara

di sisi lain, berpendapat sebaliknya, bahwa peran kekhalifahan manusia dalam

mengatur segala urusan —agama dan dunia— akan tercapai jika ditegakkan

dengan kekhalifahan yang bersandar pada wahyu Ilahi.

Page 91: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xci

2. Nahdlatul Ulama beranggapan bahwa khilafah merupakan hasil ijtihadiyah karena

tidak adanya dalil nash syar’i baik al-Qur’an maupun Sunnah secara eksplisit

yang menjelaskan tentang kewajiban mendirikan khilafah Islamiyah. Sedangkan

dari segi wawasan kebangsaan, Nahdlatul Ulama memiliki pandangan bahwa

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila merupakan

bentuk final bagi Bangsa Indonesia bukan negara Islam atau khilafah Islamiyah,

tetapi negara nasional yang menempatkan agama sama di hadapan negara.

B. Saran-saran

Setelah membahas dan menganalisa tentang wawasan kebangsaan Nahdlatul

Ulama dan khilafah Islamiyah, maka penulis ingin menyampaikan saran-saran

sebagai berikut:

1. Untuk mengatasi perbedaan tentang wawasan kebangsaan dan khilafah Islamiyah,

hendaknya pemerintah untuk segera merespons ideologi-ideologi yang ingin

merubah bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

2. Mengingat kemajemukan serta pluralisme masyarakat Indonesia, maka

masyarakat harus menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan serta mengkaji

kembali sejarah-sejarah kemerdekaaan agar tidak mudah terpengaruh dengan

ideologi-ideologi transnasional yang bertentangan dengan hukum negara.

3. Perlu diselenggarakannya majelis atau forum temu wicara pemerintah dan ulama

untuk meneguhkan kembali semangat kebangsaan sehingga disintegrasi bangsa

dapat diantisipasi.

Page 92: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xcii

4. Untuk mengingat betapa pentingnya peranan ilmu ketatanegaraan Islam (fiqih

siyasah), diharapkan agar Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta memberikan pendidikan yang lebih mendalam.

Page 93: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xciii

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim dan terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 1992.

Abbas, Siradjudin, I’tiqad Ahlussunnah wal-Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah,

2003. Ahmad, Mumtaz, (ed.), Masalah-masalah Teori Politik Islam, Alih Bahasa: Ena

Hadi, Bandung: Mizan, 1996. Alaena, Badrun, NU, Kritisme dan Pergeseran Makna Aswaja, Yogyakarta: Tiara

Wacana Yogya, 2000.. Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme,

hingga Postmodernisme, Jakarta: Paramadina, 1996. Baso, Ahmad, NU Studies, Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam

dan Fundamentalisme Neo-Liberal, Jakarta: Erlangga, 2006. Bruinessen, Martin Van, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru

Yogyakarta: LKiS, 1997. Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, Jakarta: CV. Anda Utama, 1993. Dy, Aceng Abdul Aziz, dkk, Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia: Sejarah,

Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama, Jakarta: Pustaka Ma’arif NU, 2007.

Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik

Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998. Engineer, Ashgar Ali, Asal-usul dan Perkembangan Islam: Analisis Pertumbuhan

Sosial-Ekonomi, Yogyakarta, Pustaka-Insist, 1999. Esposito, John L., Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?, alih bahasa: Alwiyyah

Abdurrahman, Bandung: Mizan, 1996. ______________, Islam dan Politik, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

Page 94: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xciv

Fealy, Greg dan Greg Barton (ed), Tradisonalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, Yogyakarta: LkiS, 1996.

Feillard, Andre, NU Vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna,

Yogyakarta: LKiS, 1999. Glasse, Cyrill, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Hasan, Muhammad Tholhah, Ahlussunnah Wal-Jama’ah: dalam Persepsi dan Tradisi

NU, Jakarta: Lantabora Press, 2005. Hudson, Michael C., Islam dan Perkembangan Politik”, dalam John L. Esposito,

(ed.), Identitas Islam pada Perubahan Sosial-Politik, alih bahasa: Zainuddin Rahman, Jakarta: Bulan Bintang, 1986.

Ismail, Faisal, Dilema NU di Tengah Badai Pragmatisme Politik, Jakarta:

Departemen Agama RI, 2004. ____________, Momentum Historis Gerakan Pencerahan Islam: Peranan Nabi

Muhammad saw dan Para Khalifah al-Rasyidin Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Mitra Cendekia, 2004.

___________, Pijar-pijar Islam; Pergumulan Kultur dan Struktur, Jakarta: Badan

Litbang Agama dan Diklat keagamaan, 2002. Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta:

Gaya Media Pratama, 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988. Khaldun, Ibn, Muqaddimah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. Lampiran Khittah NU, Dasar-dasar Paham Keagamaan NU, dalam Implementasi

Nahdliyah Menuju Indonesia Mutamaddin, yang diterbitkan oleh Panitia Muktamar NU ke XXX di Surabaya, Jakarta: Fatma Press, 1999.

Maarif, Ahmad Syafi’i, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985. Madjid, Nurcholis, Islam: Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1998. Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2006.

Page 95: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xcv

Marijan, Kacung, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, Jakarta: Erlangga, 1992.

Al-Maududi, Abul ‘Ala, Khalifah dan Kerajaan: Evaluasi Kritis atas Sejarah

Pemerintahan Islam, Bandung: Mizan, 1994. Misrawi, Zuhairi, Menggugat Tradisi: Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU,

Jakarta: Kompas, 2004. Mujieb, M. Abdul, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995. Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1985. _____________, Teologi Islam: Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta: UI

Press, 1986. PBNU, Jati Diri Nahdlatul Ulama, Jakarta: PBNU, 2002. Al-Qahthani, Said bin Musfir, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailan. Penerjemah

Munirul Abidin, Jakarta: Darul Falah, 2003. Qomar, Muajmil, NU Liberal Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme

Islam, Bandung: Mizan, 2002. Qardhawi, Yusuf, Fiqh Dawlah dalam Perspektif al-Qur’an dan Sunnah, alih bahasa:

Kathur Suhudi, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998. Rahardjo, Iman Toto K. & Suko Sudarso, Bung Karno, Islam, Pancasila & NKRI,

Jakarta: Komunitas Nasionalis Religius Indonesia, 2006. Raharjo, M. Dawam, Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-

konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996. Rais, Dhiya’ ad-Din, Islam dan Khilafah, Kritik Terhadap Buku Khilafah dan

Pemerintahan dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1985. Raziq, Ali Abdur, Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam, alih bahasa: Afif

Muhammad, Bandung: Pustaka, 1985. Salim, Abdul Muin, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an,

Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

Page 96: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xcvi

Siradj, Said Aqil, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri, Jakarta: Pustaka Ciganjur: 1999.

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta:

UI Press, 1990. Syaharstani, al-Milal wa an-Nihal, Kairo: Maktabah al-Halabi, 1968. Syamsuddin, M. Dien, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani,

Jakarta: Logos, 2001. Tirmizi, Imam, Shahih at-Tirmizi, Kairo: Maktabah al-Mashriyyah, 1931. Watt, W. Montgomery, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, alih bahasa: Taufik

Adnan Amal, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997. Yatim, Badri, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, Jakarta: Logos, 1999. Artikel Media Massa dan Majalah Said, Imam Ghazali, Syaikh Hasyim Asy’ari antara Khilafah dan Nasionalisme,

Risalah Nahdlatul Ulama, edisi ke- IV Siradj, Said Aqil, Bukan Negara Islam tapi Negara Damai, Risalah Nahdlatul Ulama,

edisi ke- IV. Hasan, Muhammad Tholhah, Relistiskah Khilafah di Milenium Perubahan?, Risalah

Nahdlatul Ulama, edisi ke- IV. Hasil Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-XXX, Jakarta: PBNU, 2000. Media Indonesia, 13 Agustus 2007 Kompas, Selasa, 4 September 2007. Internet Abdusshomad, Muhyiddin, "NU Vis A Vis Transnasionalisme", artikel diakses

tanggal 10 Maret 2008 dari http://www.lakpesdam.or.id/index. php?id=185. http ://www. Pikiran-rakyat.com, Senin 13 Agustus 2007.

Page 97: “Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Wawasan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/10255/1/ABDUL... · Hukum Islam yang telah berlaku dalam adat istiadat dan telah

xcvii