PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA DAN MUHAMMADIYAH …
Transcript of PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA DAN MUHAMMADIYAH …
PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA DAN MUHAMMADIYAH
TERHADAP TRADISI UPAH PELAYAT
(Studi Kasus di Desa Haur Gajrug, Kec Cipanas, Kab Lebak Banten)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Dian Hasanah
NIM: 1110043100033
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIKIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015M
iv
ABSTRAK
Dian Hasanah, NIM: 110043100033, Pandangan Nahdlatul Ulama Dan
Muhammadiyah Terhadap Tradisi Upah Pelayat (Studi Kasus Di Desa Haur Gajrug,
Kec Cipanas, Kab Lebak Banten), program Studi Perbandingan Madzhab dan
Hukum, Konsentrasi Perbandingan Madzhab Fikih, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2015M.
Skripsi ini merupakan upaya untuk memaparkan hukum dari tradisi yang
terjadi di desa haur gajrug yakni tradisi memberikan upah yang dilakukan oleh
keluarga berkabung kepada para pelayat yang datang, serta memaparkan pendapat
dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah Kab Lebak.
Tujuan dari penelitian ini adalah agar mukallaf memahami mengenai hukum
dari tradisi tersebut. Selain itu untuk mengetahui hukum mengambil ujrah (upah) dari
pekerjaan yang berhubungan dengan ibadah seperti berta’ziah, mengaji Al-Qur’an,
mengumandangkan adzan dan lain sebagainya. Juga untuk mengetahui pendapat
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah Kab Lebak.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif
yang menghasilkan data deskriptif dan tertulis dengan menggunakan jenis penelitian
analisis komperatif yakni metode analisis dengan perbandingan antara Al-Qur’an,
Hadis, pendapat ulama’ dan cendekiawan muslim yang mengkaji tentang
permasalahan yang terdapat dalam skripsi ini, serta penelitian kepustakaan (library
research) yaitu dengan mengambil referensi pustaka dan dokumen yang relevan
dengan masalah ini.
Berdasarkan hasil penelitian yang didapat dalam penulisan skripsi ini ialah
bahwa adanya ikhtilāf antara Ulama Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah Kab
Lebak mengenai hukum dari pelaksanaan tradisi tersebut.
Pembimbing : Dr. H. Fuad Thohari, M. Ag.
H. A. Bisyri Abd. Somad, M.Ag.
Daftar Pustaka : Tahun 1993-2013
v
لرحيمٱ لرحمنٱ للهٱ بسم
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur yang tiada hentinya dipanjatkan kepada sang Penguasa
Allah Swt, yang telah memberikan nikmat dan petunjukNya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Salawat serta salam selalu tercurahkan kepada
Nabi Muhammad Saw beserta keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya
hingga akhir zaman.
Berkat rahmat dan hidayah dari Allah Swt, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiah dengan judul PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA
DAN MUHAMMADIYAH TERHADAP TRDISI UPAH PELAYAT (Studi Kasus di
Desa Haur Gajrug, Kec Cipanas, Kab Lebak Banten). Semoga skripsi ini bermanfaat
bagi penulis dan bagi yang membacanya.
Selama penulisan skripsi ini penulis banyak kesulitan dan hambatan untuk
mencapai data dan refrensi. Namun berkat kesungguhan hati dan bantuan dari
berbagai pihak, sehingga segala kesulitan itu dapat teratasi. Untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
vi
2. Bapak Fahmi Ahmadi, M.Si, Ketua Program Studi Perbandingan Madzhab
Hukum dan Ibu Siti Hanna, S.Ag, Lc, MA Sekretaris Program Studi
Perbandingan Madzhab Hukum.
3. Dr. H. Fuad Thohari, M. Ag dan H. A. Bisyri Abd. Somad, M. Ag selaku
pembimbing skripsi yang telah banyak memberi arahan, saran serta petunjuk
dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Dr. Khamami Zada, MA dan Dr. Muhammad Taufiki, M. Ag, yang telah menjadi
bagian dari Program Studi Perbandingan Madzhab Hukum dalam masa jabatan
sebelum Program Studi Perbandingan Madzhab Hukum periode baru.
5. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis semasa kuliah,
semoga amal kebaikannya mendapatkan balasan dari Allah Swt.
6. Seluruh staf dan karyawan Perpustakaan Utama dan staf karyawan fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanan yang baik
dikala penulis mengumpulkan data dan materi skripsi.
7. Kepada keluarga tercinta terutama kepada ayahanda dan ibunda tercinta (Suhandi
dan Sugiwati), serta kakak-kakak penulis terutama Jali Subrata yang tiada pernah
berhenti untuk selalu berdoa serta memberi nasihat dan motivasi kepada penulis
sehingga skripsi ini selesai.
8. Sahabat dan rekan mahasiswa PMH (Perbandingan Mazhab Hukum) angkatan
2010, yang selalu memberikan semangat, dukungan, saran dan masukan kepada
penulis. Terima kasih teman-teman, dengan kebersamaan kita selama ini dalam
vii
suka dan duka. Bagi penulis itu adalah pengalaman berharga yang takkan pernah
terlupakan.
9. Seluruh pihak yang terkait dengan penyusunan skripsi ini yang penulis tidak bisa
sebutkan satu persatu. Semoga Allah Swt membalas kebaikan yang telah
diberikan dengan balasan yang berlipat ganda, Amin.
Semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat khususnya
bagi penulis dan bagi para pembaca pada umumnya. Semoga Allah Senantiasa
meridhoi setiap langkah kita. Aamin
Jakarta, 5 Oktober 2015 M
Dian Hasanah
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .............................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii
ABSTRAK ........................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ......................................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ............................................. 5
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ....................................................... 6
D. Review Study Terdahulu ................................................................. 7
E. Metode Penelitian ............................................................................ 10
F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 11
BAB II UJRAH DALAM PEKERJAAN IBADAH DALAM PERSPEKTIF
FIQIH
A. Pengertian Ujrah .............................................................................. 12
B. Dasar Hukum Ijarah ........................................................................ 14
C. Rukun dan Syarat Ijarah .................................................................. 15
D. Upah Dalam Pekarjaan Ibadah........................................................ 17
E. Gambaran Umum Tentang Pengurusan Jenazah Dalam Prespektif
Fikih ................................................................................................ 22
1. Pengertian Jenazah ...................................................................... 22
2. Hal-hal yang Berkaitan Dengan Pengurusan Jenazah ................. 23
a) Memandikan Jenazah ............................................................ 23
b) Mengkafani Jenazah.............................................................. 26
c) Menshalatkan Jenazah........................................................... 28
ix
d) Mengiringi Jenazah............................................................... 30
e) Menguburkan Jenazah........................................................... 31
BAB III KONDISI OBJEKTIF DESA HAUR GAJRUG, KEC CIPANAS,KAB
LEBAK BANTEN SERTA PRAKTEK TRADISI UPAH PELAYAT di
DESA HAUR GAJRUG, KEC CIPANAS, KAB LEBAK BANTEN
A. Letak Dan Keadaan Wilayah ............................... ...................... 33
B. Kondisi Masyrakat.......................................................................... 34
1. Keadaan Penduduk ...................................................................... 34
2. Pendidikan................................................................................... 35
3. Agama......................................................................................... 37
4. Mata Pencaharian........................................................................ 37
C. Praktek Tradisi Upah Pelayat di Desa Haur Gajrug Kec Cianas Kab
Lebak Banten ................................................................................... 38
BAB IV ANALISIS PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA DAN
MUHAMMADIYAH TERHADAP UPAH PELAYAT
A. Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Tradisi Upah Pelayat ......... 40
B. Pandangan Muhammadiyah Terhadap Tradisi Upah Pelayat .......... 43
C. Analisis Pendapat Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah Terhadap
Tradisi Upah Pelayat..... ................................................................. 48
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................... 58
B. Saran-saran ....................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 61
LAMPIRAN – LAMPIRAN.............................................................................. 64
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bagi manusia, kematian adalah proses berpisahnya ruh dari badan seseorang.
Dalam Al-Quran Allas Swt menjelaskan bahwa jika ajal seseorang sudah datang
maka, tidak ada seorang pun yang dapat mengulurnya.1
Petunjuk Rasulullah Saw, dalam masalah penanganan jenazah adalah
petunjuk dan bimbingan yang terbaik dan berbeda dengan petunjuk umat-umat yang
lainnya, meliputi perlakuan atau aturan yang dianut umat kebanyakan.2 Bimbingan
Rasulullah Saw, dalam hal mengurus jenazah, di dalamnya mencakup hal yang
memperhatikan sang mayat, yang kelak bermanfaat baginya baik ketika berada di
dalam kubur maupun saat tiba hari Kiamat. Termasuk memberi tuntunan, yaitu
bagaimana sebaiknya keluarga dan kerabat memperlakukan mayat.
Di dalam petunjuk Rasulullah Saw juga mengatur bagaimana tata cara yang
terbaik dalam mengiring jenazah sehingga mengantarnya ke dalam kubur sebagai
penghormatan terakhir baginya. Kemudian para pengantarnya yang terdiri atas
keluarga dan orang-orang terdekat berdoa kepada Allah Swt agar menganugerahkan
bagi yang meninggal apa yang paling dibutuhkannya, yaitu keteguhan bagi kehidupan
1Achmad Mufid, Risalah Kematian, (Yogyakarta: Total Media 2007), hal. 1.
2Nashiruddin Al-Albani, Tuntunan Lengkap Mengurus Jenazah, penerjamah: Abbas
Muhammad Basalamah, (Jakarta: Gema Insan Pres,1999), hal. 11.
2
di alam barzah. Mereka juga diajarkan untuk menziarahi kuburnya, memberinya
salam, dan mendoakanya. Ini sama halnya dengan aturan yang menuntun orang yang
masih hidup mengikrarkan tekad untuk berlaku demikian terhadap sesamanya yang
masih hidup di dunia.
Dengan demikian, petunjuk dan bimbingan Rasulullah Saw. dalam
mengurus jenazah ini merupakan potret aturan yang paling sempurna bagi sang
mayat, baik dalam mu‟amalahnya secara vertikal maupun horizontal. Aturan yang
sangat sempurna dalam mempersiapkan seseorang yang telah meninggal untuk
bertemu dengan Rabbnya dengan kondisi yang paling baik lagi afdhal. Bukan hanya
itu, keluarga dan orang-orang terdekat sang mayat pun disiapkan sebagai barisan
orang-orang yang memuji Allah Swt dan memintakan ampunan serta rahmat-Nya
bagi yang meninggal.3
Aturan lain yang tidak kalah esensialnya adalah larangan bagi keluarga yang
ditinggalkan, menangis secara berlebihan. Larangan ini berdasarkan sabda Rasulullah
Saw:
Artinya: “Abdullah bin Abi Ziyad menyampaikan hadits kepada kami,
Ya‟kub bin Ibrahim bin Saad menyampaikan hadits kepada kami,
ayahku dari Shalih bin Kisan dari Az-Zuhri dari Salim Abdillah
3Nashiruddin Al-Albani, Tuntunan Lengkap Mengurus Jenazah, penerjamah: Abbas
Muhammad Basalamah,....Hal. 12.
4Muhammad bin Isa Abu Isa Al-Tirmidzi, Al-Jami‟ Al-Shahih Sunnan Al-Tirmidzi, (Beirut:
Daar Ihya Al-Turats Al-A‟rabi, T.th), Juz III, Hal. 326.
3
dari bapaknya berkata: Umar bin Khattab berkata: Rasulullah
Saw bersabda: “mayit disiksa sebab tangisan keluarga yang
berlebihan kepadanya”. (HR. At-Tirmidzi)
Islam sangat responsif terhadap fenomena ini. Bukan hanya komunikasi
yang bertema dan berskala besar saja yang diperhatikannya, tetapi hubungan yang
sangat kecil pun tak luput dari pantauannya. Ini tiada lagi karena demi kemaslahatan
manusia, sebagai makhluk yang berkepribadian mulia. Islam telah memberikan
peraturan dalan masalah mu‟āmalah semacam ini, agar dalam pergaulan, manusia
tidak melampaui batas-batas koridor yang telah ditentukan syariat. Sehingga
pergaulan tersebut tidak merugikan salah satu pihak.
Salah satu dari bentuk mu‟āmalah tersebut adalah ta‟ziah. Ta‟ziah berasal
dari kata al-azza yang berarti sabar.5 Ta‟ziah merupakan sesuatu yang disunnahkan,
yaitu berta‟ziah atau melayat kepada keluarga orang yang meninggal, baik laki-laki
atau perempuan. Sebelum dimakamkan ataupun sesudahnya sampai tiga hari, kecuali
jika salah seorang pelayatnya itu sedang tidak berada ditempat atau dia berada di
tempat yang jauh.6
Makna ta‟ziah yang sesungguhnya adalah untuk memberikan nasehat
bersabar kepada keluarga yang ditinggalkan dan menyebutkan sesuatu yang dapat
meringankan musibahnya, dan menghilangkan kesedihannya.7Bagi orang yang
5 Http://www. Masnuntholabhin/2011/07/ta‟ziah.html. diakses pada 14 September 2015
pukul 23.33 WIB
6Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim Pedoman Hidup Ideal Seorang Muslim,
(Solo: Insan Kamil), hal. 474.
7Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim Pedoman Hidup Ideal Seorang
Muslim,......hal. 474.
4
berta‟ziah, ia diperbolehkan mengungkapkan dengan ungkapan apapun asal dapat
menghibur dan meringankan kesedihan keluarga orang yang meninggal dunia.
Dalam hal ini Muhammadiyah berpendapat bahwa merupakan kewajiban
masyarakat, artinya wajib kifayah bagi masyarakat untuk memandikan jenazah,
mengkafani, menshalatkan, dan menguburkan, dalam pada itu menjadi kewajiban
pula bagi anggota masyarakat untuk membantu keluarga yang dapat musibah
khususnya kematian keluarganya, jangan sampai menambah kesusahan keluarga yang
sedang berkabung.8
Sedangkan dalam pandangan Nahdlatul Ulama menyikapi fenomena yang
terjadi dimasyarakat terkait tradisi memberikan upah kepada para pelayat yang hadir
untuk berta‟ziah dijadikan sebagai amal jariah yang pahalanya ditujukan kepada
orang yang meninggal. Mereka berpendapat bahwa tradisi tersebut merupakan bid‟ah
akan tetapi tidak diharamkan (makruh). Tradisi tersebut bisa menjadi haram apabila
bertujuan untuk meratapi kesedihan secara berlebihan, atau bertujuan untuk
menangkal ocehan warga yang disebabkan karena keluarga si mayat tidak
melaksanakan tradisi tersebut.9
Akan tetapi fenomena tradisi yang terjadi di desa Haur Gajrug, kec Cipanas,
kab Lebak Banten tidak mencerminkan makna yang sesungguhnya dari pelaksanaan
ta‟ziah. Tujuan dari berta‟ziah adalah untuk meringankan beban kesedihan keluarga
8Abdurrahman Asjmuni dkk, Fatwa-Fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama 3, (Yogyakarta:
Suara Muhammadiyah, 2004), hal. 194.
9http://Abufahmiabdullah.Wordpress.com/2013/02/11/tahlilan-dalam-pandangan-Nu-
Muhammadiyah.
5
yang sedang berkabung, memberi hiburan agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan,
serta memberikan ungkapan nasehat yang diajarkan Rasulullah Saw.
“Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula” itulah ungkapan yang tepat bagi
keluarga di Desa Haur Gajrug ketika ada warga di Desa tersebut yang anggota
keluarganya meninggal dunia, setiap warga yang datang untuk berta‟ziah diberikan
upah, bahkan dalam semua kegiatan pengurusan jenazah diberikan amplop yang
berisikan uang. Mereka beranggapan bahwa tradisi tersebut sebagai bentuk amal
Jariyah, yang mana pahalanya ditujukan kepada yang meninggal. Yang lebih
memperihatinkan lagi ketika salah satu keluarga ada yang sedang sakit parah bahkan
sudah mau mendekati ajalnya, seluruh keluarganya sudah harus memikirkan uang
yang harus dikeluarkan untuk warga yang hadir untuk berta‟ziah. Bahkan ketika yang
meninggal bukan dari keluarga yang mampu sampai mencari pinjaman sana sini
untuk dibagikan kepada orang-orang yang datang. Segala apa pun yang dimiliki oleh
keluarga yang ditinggalkan baik Sawah, tanah atau apa pun itu, siap untuk dijual.
Berdasarkan data wawancara yang penulis dapat, penulis tertarik untuk
menulis skripsi dengan berjudul “Pandangan Nahdlatul Ulama Dan Muhammadiyah
Terhadap Tradisi Upah Pelayat (Studi Kasus di Desa Haur Gajrug Kec. Cipanas Kab.
Lebak Banten)”.
B. Pembatasan Masalah Dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembatasan perumusan masalah ini fokus dan tidak melebar, maka
permasalahan pada penelitian ini dibatasi hanya membahas pada kasus upah pelayat
6
di Desa Haur Gajruk Kec. Cipanas Kab. Lebak Banten serta membahas pandangan
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah terhadap tradisi tersebut.
2. Perumusan Masalah
Melalui pembatasan masalah di atas, maka untuk mempermudah penulisan
skripsi ini, penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana praktek tradisi upah pelayat di desa Haur Gajruk kec.
Cipanas?
b. Bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah terhadap
tradisi upah pelayat di desa HaurGajrug Kec.Cipanas Kab.Lebak
Banten?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian skripsi ini adalah :
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui praktek dari tradisi upah pelayat di desa Haur gajruk kec.
Cipanas kab. Lebak banten.
b. Untuk mengetahui bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah
(ulama setempat) terhadap tradisi upah pelayat yang terjadi di desa Haur Gajrug
Kec.Cipanas Kab.Lebak Banten.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat penulisan skripsi ini secara akademisi adalah :
7
a. Secara Akademis
Manfaat penelitian ini secara akademisi adalah untuk menambah pengetahuan dan
penjelasan bagi masyarakat pada umumnya, terutama pengetahuan terhadap
hukum tradisi upah pelayat.
b. Secara Praktis
Manfaat penelitian skripsi ini secara praktis adalah untuk memberi penjelasan
kepada masyarakat terhadap hukum memberi upah bagi para pelayat khususnya
masyarakat di desa Haur Gajrug, Kec.Cipanas, kab. Lebak Banten.
D. Studi Review
Untuk memudahkan penyusunan penulisan skripsi ini, penulis memberikan
rujukan terhadap tema-tema yang hampir sama dengan pembahasan judul skripsi ini,
meskipun tema yang hampir sama dengan penulisan skripsi ini sangat sedikit.
Adapun sumber-sumber yang penulis dapatkan ialah berasal dari buku-buku dan
kitab-kitab yang berkaitan serta karya ilmiah yang berupa skripsi.
Skripsi Fahrul Ilmi, Sampainya Hadiah Pahala Terhadap Orang Yang
Meninggal Dunia (Studi Kritik Sanad Dan Matan). Fakultas Ushuludin UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2008. Skripsi ini menjelaskan tentang Kehujjahan Hadits
Tentang Sampainya Hadiah Pahala Terhadap Orang Yang Meninggal Dunia. Penulis
menyatakan bahwa setelah melakukan penelitian terhadap hadits riwayat al-Tirmizi
tentang sampainya pahala terhadap orang yang meninggal dunia, dilihat dari segi
sanad shahih, dari segi matan juga shahih. Jadi penulis menyatakan bahwa hadits
8
tersebut boleh dijadikan hujjah, tentang sampainya hadiah pahala terhadap orang
yang meninggal dunia.
Skripsi Dani Kamaludin, Menghadiahkan Pahala Untuk Orang Meninggal
(Studi Komparatif Penafsiran Ibn Katsir dan Ibn „Asyur). Fakultas Ushuludin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014. Skripsi ini menjelaskan tentang penafsiran dua
tokoh mufassir lintas generasi yang berbeda dalam mazhab fiqihnya yaitu Ibn Katsir
dan Ibn „Asyur. Penulis menyatakan setelah melakukan penelitian terhadap kedua
pendapat tersebut terdapat ikhtilaf. Menurut Ibnu Katsir, doa dan pahala sedekah yang
dihadiahkan kepada orang meninggal akan sampai, namun pahala membaca Al-
Qur‟an tidak akan sampai, karena pada dasarnya setiap praktek Ibadah telah lebih
dahulu dicontohkan dari Rasulullahdan para sahabat. Adapun menghadiahkan pahala
bacaan Al-Qur‟an adalah tidak ada contohnya dari Rasulullah saw dan para
sahabatnya, sehingga pahalanya tidak akan sampai kepada orang meninggal.
Sedangkan menurut Ibn „Asyur, doa dan pahala sedekah yang dihadiahkan kepada
orang yang meninggal akan sampai. Begitupun pahala bacaan Al-Qur‟an akan
sampai.
Tesis Muhammad Noor, Persepsi Ulama Tentang Ijarah Jamaah Shalat
Jenazah Di Kecamatan Tamban Catur Km 20 Kabupaten Kapuas. Fakultas Syariah
dan Ekonomi Islam IAIN Antasari Banjarmasin, 2015. Tesis ini mengemukakan
Persepsi Ulama di Kecamatan Catur Km 20 Kabupaten Kapuas terhadap Ijarah yang
diberikan kepada orang-orang yang ikut serta dalam shalat jenazah. Dalam hasil
penelitiannya Ulama setempat ada yang berpendapat bahwa tradisi tersebut dihukumi
9
boleh dan sunah dengan niat bersedekah untuk mayit dengan catatan uang yang
diberikan bukan merupakan uang peninggalan simayit. Ulama yang lainnya juga
berpendapat, tradisi memberikan upah dan menerima upah dalam melaksanakan
shalat jenazah Kitabullah maupun dari As-Sunnah yang memerintahkan kita untuk
membayar atau menerima bayaran dalam melaksanakan shalat jenazah. Setiap
sesuatu hal yang berkaitan dengan ibadah adalah harus sesuai dengan perintah.
Skripsi Muhammad Iqbal Fauzi, Tradisi Tahlilan Dalam Kehidupan
Masyarakat Desa Tegalagus. Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2014. Skripsi ini memaparkan tentang motivasi masyarakat
desa Tegal agus dalam menghadiri pelaksanaan tahlilan di tempat orang yang
meninggal, serta kurangnya pemahaman masyarakat Desa Tegal agus dalam
menyikapi nilai-nilai positif yang terdapat dalam tradisi tahlilan. Berdasarkan hasil
penelitian penulis, dalam menghadiri pelaksanaan tahlilan, masyarakat desa Tegal
agus memiliki perbedaan motivasi. Seperti, masyarakat akan lebih termotivasi untuk
hadir dan mengikuti pelaksanaan tahlilan jika orang yang meninggal atau keluarga
yang tertimpa musibah adalah temannya, keluarga temannya atau bahkan seorang
tokoh masyarakat. Perbedaan motovasi juga dapat dilihat dari jumlah jamaah tahlilan
pada hari pertama, ketiga dan ketujuh disbanding dengan keempat hari lainnya
(kedua, keempat, kelima dan keenam). Biasanya hari ketiga dan ketujuh akan lebih
banyak dihadiri jama‟ah disbanding dengan hari lainnya karena ada ceramah agama
dan berkat (nasi bungkus dengan berbagai macam lauk). Masyarakat desa Tegal agus
juga kurang memahami bahwa dalam pelaksanaan tahlilan pun memiliki banyak nila
10
ipositif, diantaranya mempererat tali silaturrahim antar warga, adanya nilai solidaritas
social dan nilai positif lainnya adalah bertambahnya pengetahuan agama lewat
ceramah agama dalam acara tahlilan tersebut.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kualitatif, dengan
menggunakan instrumen penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan yang
didasarkan pada suatu pembahasan dengan menggunakan studi
kepustakaan.Sedangkan metode yang penulis gunakan adalah metode deskriptif.
2. Sumber Data
a. Data primer, teknik pengumpulan data meliputi wawancara dan observasi dengan
para tokoh ulama (Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah) di Desa Saung Gajruk,
Kec. Cipanas, Kab. Lebak Banten.
b. Data sekunder berupa: buku-buku, makalah tertulis maupun dari internet yang
mempunyai hubungan dengan tema ini.
3. Teknik Penulisan Skripsi
Dalam penulisan skripsi penulis mengacu pada buku “ Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum, Universitas Negeri Syarif Hidayatullah 2012‟‟
11
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini agar lebih sistematis, maka penulis
membagi pembahasan ini menjadi beberapa bab, yaitu:
BAB I, dalam bab ini memuat latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat, study review, kerangka teori, metode
penelitian, teknik pengumpilan data, subjek dan objek penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II, dalam bab ini memuat pembahasan tentang upah dalam pekerjaan
ibadah dan pengurusan jenazah dalam perspektif fikih.
BAB III, dalam bab ini membahas mengenai kondisi Objektif Desa Saung
Gajruk Kec. Cipanas Kab. Lebak Banten:
a. Kondisi Objek Desa Saung Gajrug Kec. Cipanas Kab. Lebak Banten, terdiri dari:
Letak dan Keadaan Wilayah, Kondisi Masyarakat Meliputi: Keadaan penduduk,
pendidikan, agama, Ekonomi, dan kebiasaan sehari-hari.
b. Praktek tradisi upah pelayat di Desa Saung Gajruk Kec. Cipanas Kab. Lebak
Banten.
BAB IV, dalam bab ini membahas mengenai analisis pendapat ulama
Nahdlatul ulama dan Muhammadiyah terhadap tradisi upah pelayat pada Desa Saung
Gajrug, Kec.Cipanas, Kab.Lebak Banten.
BAB V, berisi penutup yang memuat: kesimpulan dan saran
12
BAB II
UJRAH (UPAH) DALAM PEKERJAAN IBADAH
A. Pengertian Ujrah
Dalam kaca mata Islam, upah dimasukan ke dalam wilayah fikih mu‟amalah,
yakni dalam pembahasan tentang Ijarah. Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru, menurut
bahasa artinya al-iwad, sedangkan dalam arti bahasa Indonesia ialah ganti dan upah.
Menurut MA. Tihami, al-ajru (sewa- menyewa) ialah suatu akad yang berkenaan
dengan pengambilan kemanfaatan dari sesuatu tertentu, sehingga sesuatu itu
dibolehkan untuk diambil manfaatnya, dengan memberikan pembayaran (sewa)
tertentu.1
Ujrah atau upah diartikan sebagai kepemilikan jasa dari seorang ajir (orang
yang dikontrak tenaganya) oleh musta‟zir (orang yang mengontrak tenaga). Ijarah
merupakan transaksi terhadap jasa tertentu dengan disertai kompensasi.2 Kompensasi
imbalan inilah yang kemudian disebut ujrah )أجشج( ajrun )أجش(. Term ini dapat kita
temukan dalam surat At-Talaq ayat 6 yakni :
Artinya: “Apabila mereka menyusukan (anak-anak) mu maka berikanlah
kepada mereka upahnya.” (QS. At-Talaq/ 65:6)
1MA. Tihami, Kamus Istilah-istilah dalam Studi Keislaman menurut Syaikh Muhammad
Nawawi al-Bantani, (Serang: Suhud Sentra Utama, 2003), hal. 35.
2Taqyudin An-Nabahani, Membangun Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, (Surabaya:
Risalah Gusti, 1996), hal. 83.
13
Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan
makna ijarah, diantaranya adalah sebagai berikut :
Menurut Ulama Hanafiyah bahwa ijarah ialah :
ض غرأجشج تع ان انع دج ي يح يقص فعح يعه هك ي ذ ذ عقذ ف3
Artinya:“Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan
disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.”
Menurut Ulama Malikiyah, ijarah ialah :
لاخ ق تعط ان فعح الادي ح انرعاقذ عان ي ذغ4
Artinya:“Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi
dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan.”
Menurut Ulama As-Syafi’iyah, ijarah ialah:
و ض يعه يح يثاحح قا تهح نهثز ل الاتاحح تع دج يعه فعح يقص عقذ عه ي5
Artinya:“Akad atas sesuatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu
dan mubah serta menerima pengganti atau kebolehan dengan
pengganti tertentu.”
Menurut Idris Ahmad, upah artinya mengambil manfaat dari sesuatu yang
berupa barang atau tenaga orang lain dengan jalan memberi ganti menurut syarat-
syarat tertentu.
Dalam arti luas, Ijarah atau upah bermakna aqad yang berisi penukaran
manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Sedangkan
3Abdurrahman Al-Jazairy, Al-Fiqh Ala Madzhabi Al-Arba‟ah, (Beirut: Daar Al-Kutub Al-
Ilmiah, 1996), Juz. III, hal. 86.
4Abdurrahman Al-Jazairy, Al-Fiqh Ala Madzhabi Al-Arba‟ah.........., hal. 88.
5Abdurrahman Al-Jazairy, Al-Fiqh Ala Madzhabi Al-Arba‟ah.........., hal. 89.
14
Sayyid Sabiq berpendapat, al-ijarah adalah suatu akad atau transaksi untuk
mengambil manfaat dengan jalan memberi penggantian.
Adapun mengenai bentuk upah tidak harus selalu berbentuk uang. Makanan,
pakaian dan sejenisnya dapat pula dijadikan upah. Seorang ajir boleh dikontrak
dengan kompensasi atau upah berupa makanan dan pakaian. Sebab praktek semacam
ini diperbolehkan terhadap wanita yang menyusui, seperti yang telah disebutkan ayat
di atas.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, kiranya dapat dipahami bahwa ijarah
adalah menukar sesuatu dengan adanya imbalan. Jika diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia berarti sewa-menyewa. Sewa-menyewa )افع ع ان adalah menjual manfaat )ت
dan upah mengupah )ج ع انق .adalah menjual tenaga atau kekuatan )ت6
B. Dasar Hukum Ijarah
Dasar-dasar atau rujukan ijarah dalam Al-Qur’an adalah:
Artinya: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah
ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya
orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita)
ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". (QS. Al-Qashash
/28:26)7
6Sohari Sohran dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah untuk Mahasiswa, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2011), cet.1, hal. 168.
7 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Diponegoro, 2000),
hal. 389.
15
Artinya: “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak
ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut
yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa
Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-
Baqarah/2:233)8
Artinya: “jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah
kepada mereka upahnya. (QS. At-Thalaq/65:6)
C. Rukun dan Syarat Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun ijarah hanya ada dua yaitu ijab dan qabul,
dengan menggunakan kalimat al-ijarah. al-isti‟jar. al-iktira, al-ikra. Sedangkan
menurut Jumhur Ulama rukun ijarah ada empat, yaitu :9
a) Aqid (orang yang berakad), yaitu mu‟jir/muajir (orang yang menyewakan atau
orang yang memberikan upah) dan musta‟jir (orang yang disewakan atau orang
yang menerima upah).
b) Siqhat akad, yaitu ijab qabul antara mu‟jir dan muajir.
c) Ujrah (upah atau imbalan).
d) Ma‟qud „alaih/manfaah (manfaat/ barang yang disewakan atau sesuatu yang
dikerjakan).
8 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, hal...... 38.
9Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqih Muamalah dan Aplikasinya pada LKS, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), cet.1, hal. 159.
16
Adapun yang menjadi syarat ijarah yang harus ada agar terpenuhi ketentuan-
ketentuan hukum Islam, adalah:
a) Syarat aqid
Menurut ulama Hanafiyah. Syarat untuk aqid (orang yang berakad) harus berakal
dan mumayyiz, tidak disyaratkan harus baligh. Sedangkan ulama Malikiyah
berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijarah dan jual beli, sedangkan baligh
adalah syarat penyerahan. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan aqid
harus mukallaf yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum
dikatakan ahli akad. Syarat selanjutnya adalah cakap dalam melakukan tasharruf
(mengendalikan harta) serta saling meridhai diantara kedua belah pihak.
b) Sighat
Sighat adalah berupa pernyataan antara mu‟jir dan musta‟jir, ijab qabul sewa-
menyewa dan upah mengupah, ijab qabul sewa-menyewa, misalnya : “Aku
sewakan mobil ini kepadamu setiap hari RP.5000,00”. Maka musta‟jir
menjawab”Aku terima sewa mobil tersebut denga harga demikian setiap hari”.
Ada pun ijab qabul upah mengupah, misalnya mu‟ajir berkata “Kuserahkan kebun
ini kepadamu untuk dicangkuli dengan upah setiap hari Rp.5.000,00”, kemudian
musta‟jir menjawab “Aku akan kerjakan pekerjaan itu sesuai dengan apa yang
telah engkau ucapkan”.
c) Ujrah (upah)
Dalam hal upah disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik
dalam sewa-menyewa maupun dalam upah mengupah dan tidak boleh sejenis
17
dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa rumah dengan
menempati rumah tersebut.
d) Ma‟qud „alaih
Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah-mengupah,
disyaratkan barang yang disewakan dengan beberpa syarat, yaitu:
1) Hendaklah barang yang menjadi objek akad sewa-menyewa dan upah-
mengupah dapat dimanfaatkan kegunaanya.
2) Hendaklah barang yang menjadi objek sewa-menyewa dan upah-mengupah
dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut kegunaanya (khusus
dalam sewa-menyewa).
3) Manfaat dari perkara benda yang disewa adalah perkara yang dibolehkan
menurut syara’, dan bukan hal-hal yang diharamkan.
4) Benda yang disewakan disyaratkan tidak mudah rusak hingga waktu yang
ditentukan menurut perjanjian dalam akad.
D. Upah dalam Pekerjaan Ibadah
Mengenai upah yang diberikan kepada orang yang melakukan suatu ibadah,
diperselisihkan kebolehannya oleh para ulama karena berbedanya cara pandang
terhadap pekerjaan-pekerjaan ini, sehingga berbeda pula pendapat mereka mengenai
ketetapan hukumnya. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa al-ijarah dalam perbuatan
ibadah atau ketaatan kepadah Allah Swt seperti menyewa orang lain untuk sholat,
puasa, haji, atau membaca al-Qur’an yang mana pahalanya dihadiahkan kepada orang
tertentu seperti kepada arwah haram hukumnya, termasuk pekerjaan ibadah menjadi
18
muadzin, menjadi imam sholat haram hukumnya mengambil upah dari pekerjaan
tersebut.10
Amal dari suatu pekerjaan ibadah akan menjadi pahala bagi orang yang
mengerjakannya, karna itu dia tidak dibolehkan mengambil upah atas ibadah yang
dikerjakannya dari orang lain.
Menurut madzhab Hanbali tidak dibolehkan mengambil upah untuk
pekerjaan seperti adzan, iqamah, mengajar al-Qur’an dll. Semua pekerjaan itu tidak
dicatat kecuali sebagai ibadah orang yang mengerjakannya dan diharamkan baginya
mengambil upah dari pekerjaan ibadah yang dia kerjakan. Namun demikian
diperbolehkan mengambil upah dari baitul mal, pengadilan, perwakilan dalam haji.
Karena semua ini terdapat kemaslahatan bersama. Dan dalam hal ini bukan
merupakan upah melainkan membantu dalam pelaksanaan ibadah.11
Ulama yang berpendapat tidak boleh mengambil upah dalam hal ini
berpegang pada beberapa hadits nabi, diantaranya:
ععذ ع صاس ش الأ يع ت عثذ انشح ت انح عثذ انه أت ط شج قال ع ش أت غاس ع ت
إلا » -صه الله عه عهى-قال سعل انه جم لا رعه عض انه ج ا ثرغ ت ا ي ذعهى عه ي
ا نى جذ عشف انذ عشظا ي و انقايح نصة ت (سا اتدد)انجح 12
Artinya: “Dari Abi Thawalah ibn Abdi al-Rahman ibn Ma‟mari al-Anshari
dari Sa‟id dari Yasar dari Abi Hurairah, telah berkata Rasulullah
Saw, barang siapa yang mempelajari ilmu yang seharusnya untuk
10
Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2012), hal. 280.
11Al-Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, penerjemah: Abdurrahim dan Masrukhin, (Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2009), cet. 1, hal. 264.
12Sulaiman bin Al-Asy’as bin Syidad bin amar, Sunan Abu Daud, (Beirut: Daar al-Fikr,
t.th), Juz. 11, hal 68, No. 3666.
19
mencari ridha Allah Azza wa Jalla, kemudian dia tidak
mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan harta duniawi, maka
dia tidak akan menemukan bau surga padahari kiamat.” (HR. Abu
Daud)
Sedangkan Syaikh Al-Albani berpendapat dibolehkan menerima upah bagi
seorang muadzin yang tidak meminta imbalan dan tidak melampaui batas. Sebab
menurutnya itu merupakan rezeky yang diberikan Allah SWT kepadanya,
berdasarkan hadits Rasulullah Saw:
فإ لا شد قثه لا إششاف فظ فه ش يغأ نح غ ي أخ ع تهغ ي انه ا سصق عا ق
)أخشج احذ( جم إن عض 13
Artinya :“Abu Ya‟la mengabarkan kepada kami, ia berkata: Ahmad bin
Ibrahim Al-Daruqy menyampaikan hadits kepada kami, ia
berkata: Said bin Abi Ayub menyampaikan hadits kepada kami, ia
berkata Abu Aswad menyampaikan hadits dari Bakir bin Abdillah
bin Al-Asyj dari Bisr bin Said dari Kholid bin Adi Al-Juhani, ia
berkata: aku mendengar Rasulullah Saw bersabda “Barang siapa
yang diberi saudaranya tanpa meminta-minta dan tidak
melampaui batas, maka hendaklah ia terima dan tidak perlu
dikembalikan. Hal itu merupakan rezeky yang diberikan Allah
Saw kepadanya.” (HR.Ahmad)
Terkait dengan pembahasan terhadap upah pelayat, yang mana berta‟ziah
merupakan suatu bentuk pekerjaan ibadah yang disunahkan, dan berta‟ziah sendiri
bertujuan untuk menghibur keluarga yang sedang berkabung. Menurut Hendi Suhendi
dalam hukum Islam suatu pekerjaan ibadah yang bertujuan mengharapkan imbalan
tidak dibolehkan.14
Adaapun alasan pemberian upah kepada para pelayat yang datang
13
Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim Al-Tamimi, Shahih bin Hibban Bitartib
Hibn Baliyan, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1993), Juz, VIII, hal. 195.
14Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah,....... hal.119.
20
sebagai sedekah yang pahalanya ditujukan kepada orang yang meninggal tanpa
disertai dengan menyampaikan permohonan kepada mereka baik untuk urusan dunia
maupun akhirat, cara ini tentu tidak termasuk perbuatan yang membawa kepada
kemusyrikan. Namun ada beberapa hal yang harus kita perhatikan antara lain :15
1) Ruh manusia, apabila terpisah dari jasad akan kembali kepada Allah Swt. Apakan
ruh dapat menerima kiriman atau tidak, sebenarnya tiada yang mengetahui urusan
ruh selain Allah Swt.
Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh
itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-Isra/17:85)16
2) Semua amal manusia tidak dapat menyelamatkan dirinya dari siksa neraka dan
tidak pula dapat memasukkannya ke dalam surga selain karena rahmat Allah Swt.
Karena itu yang ditunggu orang yang sudah meninggal adalah rahmat, ampunan,
dan ridha Allah Swt.
3) Apabila kita ingin menyampaikan kiriman pahala amal orang yang sudah
meninggal, perlu kita bertanya kepada diri kita masing-masing, apakah kita
memiliki bukti bahwa amal kita pasti diterima Allah, lalu kita kirimkan kepada
orang lain, sementara para nabi dan para shalihin apabila telah melakukan amal
15
Saiful Islam Mubarak, Fikih Kontroversi : Menjawab Berbagai Kontroversi dalam Ibadah
Sosial dan Ibadah Sehari-hari, (Bandung: Syamil, 2007), hal. 318-320.
16 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya.........,hal. 291.
21
kebaikan, mereka tidak merasa sudah diterima. Karena itu, mereka sering
memohon kepada Allah agar amal ibadahnya diterima dengan ungkapan :
Artinya: "Ya Tuhan Kami terimalah daripada Kami (amalan kami),
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui".(QS. Al-Baqarah/2:127)17
Rasulullah Saw telah mengajarkan kepada kita agar senantiasa memohon
ampun dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, baik yang masih hidup maupun
yang telah tiada. Al-Qur’an pun telah mengajarkan kalimat yang wajib kita amalkan
demi kepentingan kita dan sangat berguna bagi orang yang sudah meninggal, yaitu :
Artinya: "Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami
yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau
membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang
yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hasyr/59:10)18
Hadiah yang pasti benar dan berguna bagi orang-orang yang telah wafat
adalah berdoa memohon rahmat dan ampunan. Adapun tempat dan waktu berdoa
dapat dilaksanakan sesuai dengan keperluan. Berdoa yang paling utama adalah
17
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya,..... hal. 21.
18
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,.....hal. 548.
22
dilakukan setelah berdzikir. Dzikir yang paling utama adalah tilawah dan taddabur
Al-Qur’an, karena Allah Swt telah memberi nama “dzikir” untuk Al-Qur’an.19
E. Gambaran Umum Tentang Pengurusan Jenazah Dalam Perspektif Fiqih
1. Pengertian Jenazah
Jenazah berasal dari kata bahasa arab “Janazah” artinya “tubuh mayit”
sedangkan kata “Jinazah” yang artinya “keranda mayat” berasal dari kata “Janaza”
yang berarti “menutupi”. Dinamakan jenazah karena tubuh mayit haruslah ditutupi.20
Arti jenazah dalam ensiklopedia Islam yaitu segala yang berkaitan dengan proses
pemakaman dan pengkafanan bagi si mayit.21
Sedangkan kata mayat, selanjutnya
disebut jenazah, berasal dari bahasa arab “al-mayyit” yang berarti orang yang telah
meninggal dunia, sebagaimana ungkapan di dalam Al-Qur’an:
Artinya: “Kemudian, sesudah itu sesungguhnya kalian semua benar-benar
akan mati”(QS. Al-Mu’minun/23:15)22
Pada ayat tersebut kata al-mayyit digunakan untuk manusia yang telah
meninggal dunia, meski demikian dalan bahasa Indonesia kata “mayat” yang lebih
sering digunakan.
19
Saiful Islam Mubarak, Fikih Kontroversi : Menjawab Berbagai Kontroversi dalam Ibadah
Sosial dan Ibadah Sehari-hari, (Bandung: Syamil, 2007), hal. 323.
20Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progesif. 2002), cet. Ke-25, hal. 214.
21Cepil Glasse, Ensiklopedia Islam: Ringkas, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999),
hal. 192.
22 Departemen Agama RI, Al-Qura‟an dan Terjemahnya,..... hal. 343.
23
Menurut Hasby Ash-Shiddiqie kata jenazah dalam bahasa arab bersifat
umum artinya kata jenazah tidak hanya digunakan untuk manusia yang meninggal
dunia saja, tetapi digunakan pula untuk binatang yang mati. Berbeda halnya dalam
bahasa Indonesia yang mana kata jenazah hanya dikhususkan untuk manusia yang
meninggal dunia saja.23
2. Hal-Hal Yang Berkaitan Dengan Pengurusan Jenazah
Hukum pengurusan jenazah adalah fardhu kifayah24
atau kewajiban sebagian
bukan seluruhnya, artinya jika sudah ada sebagian muslim yang mengurus jenazah
maka muslim lainnya dibolehkan untuk tidak ikut serta dalam pengurusan jenazah.
Adapun hal-hal yang berkaitan dengan pengurusan jenazah dalam agama
Islam adalah meliputi memandikan jenazah, mengkafankan, menshalatkan,
menguburkan.
a) Memandikan Jenazah
Memandikan jenazah hukumnya fardhu kifayah, sebagai mana yang telah
diketahui apabila telah dilaksanakan oleh yang memadai, maka gugurlah
kewajiban dari yang lain.25
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memandikan jenazah
salah satunya adalah orang yang berhak dalam memandikan jenazah. Adapun
23
Hasby Ash Shiddiqie, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), hal. 245.
24Othman Mukim Hassan, Khulasah Kifayah Himpunan 600 Masalah Jenazah, (Malaysia:
Pustaka Ilmi, 1995), cet. 1, hal. 2.
25Fahd bin Nashir bin Ibrahim as-Sulaiman, Fatwa-Fatwa Lengkap Seputar Jenazah Oleh:
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Penerjemah: Muhammad Iqbal Ghazali, (Jakarta: Darul
Haq, 2006), cet. 1, hal. 81.
24
orang yang berhak dalam memandikan jenazah menurut syariat agama Islam
adalah sebagai berikut:
a. Apabila jenazah itu laki-laki, yang memandikannya harus laki-laki. Perempuan
tidak boleh memandikan jenazah laki-laki, kecuali istri dan mahramnya. Begitu
pula sebaliknya jenazah perempuan tidak boleh dimandikan oleh laki-laki,
kecuali suami dan mahramnya.
b. Apabila jenazah itu seorang suami, sementara istri dan mahramnya ada semua,
istrinya lah yang lebih berhak untuk memandikannya. Begitu pula sebaliknya.
c. Apabila jenazahnya adalah anak laki-laki masih kecil, perempuan boleh
memandikannya. Begitu juga apabila jenazahnya adalah anak perempuan yang
masih kecil, laki-laki boleh memandikannya.
Dari setiap orang yang berhak memandikan jenazah, mereka diwajibkan
menutupi aib jenazah tersebut. Dri Abu Umamah, ia berkata Rasulullah Saw
bersabda:
عر غغم يرا فغرش طي ذ انغ انه ي كغا كف ي ب انز انه ي ش26
Artinya:“Barangsiapa yang memandikan mayat, lalu menutupi aibnya
maka Allah akan menutupi dosa-dosanya. Dan barangsiapa
yang mengkafaninya maka Allah akan mengenakan pakaian dari
kain sutra halus kepadanya.
Dalam proses memandikan jenazah ada hal-hal yang disunahkan dalam
pelaksanaannya. Diantaranya adalah sebagai berikut:
26
Abdul Latif Al-Ghamidi, Mengasihi Orang Mati, Penerjemah: Mutsanna Abdul Qahhar,
(Solo: Mumtazah, 2013), hal. 30.
25
a. Mewudhukan Jenazah sebagaimana berwudha ketika hendak melaksanakan
shalat.
b. Menggunakan air yang dicampur daun bidara dan sabun pada semua basuhan,
serta menggunakan kapur pada basuhan terakhir.
c. Mengganjilkan basuhan dan mendahulukan anggota badan jenazah bagian
kanan. Dari Ummu Athiyyah r.a, dia berkata : “Rasulullah Saw bersabda
kepada para wanita yang memandikan putri beliau:
أو عطح أ ع د عش حفصح ت خانذ ع ى ع ش ح أخثشا حذثا ح ت -سعل انه
ا -صه الله عه عهى قال ن ر ذغغم ات ا أ ث أيش ا» ح ت ااتذأ ظء ي اظع ان ي ا ي
سا انثخاس((27
Artinya:“Telah meriwayatkan hadits kepada kamu Yahya bin Yahya, telah
mengabarkan kepada kami Husyaim dari Kholid dari Habsah
binti Sirrin dari Ummi Atiyah, bahwasanya Rasululah Saw
ketika menyuruhnya untuk memandikan putrinya, ia bersabda :
Mulailah dengan anggota tubuh bagian kanan dan anggota-
anggota wudhunya.” (HR.Al-Bukhari)
d. Menekan perut Jenazah ketika memandikannya secara lembut untuk
mengeluarkan kotoran dalam perutnya.
e. Mengalirkan air yang banyak pada bagian qubul dan dubur untuk
membersihkan kotoran yang keluar.
f. Memakai sarung tangan bagi orang yang memandikannya.
27
Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih Al-Bukhori, (Beirut: Daar Al-Fikr,
t.th), hal. 9.
26
b) Mengkafani Jenazah
Setelah jenazah dimandikan, langkah berikut adalah mengkafaninya.
Disunnahkan kain kafan yang berwarna putih dan tidak terlalu mahal atau mewah.
Sebagaimana dijelaskan pada Hadits Nabi Saw:
اع إع ع ث اشى أت يانك انج ش ت حذثا ع حاست ذ ان عث ذ ت أت خانذ حذثا يح م ت
ع عد سعل انه فإ ع أت طانة قال لا ذغال ن ف كف ت عه صه الله - عايش ع
عهثا عشعا قل -عه عهى غهث فإ ا ف انكف )سا ات داد( لا ذغان28
Artinya:“Dari Ali ibn Abi Thalib r.a. Rasulullah Saw bersabda,
janganlah kamu berlebih-lebihan memilik kain yang mahal-
mahal untuk kain kafan, karena sesungguhnya kafan itu akan
hancur dengan segera.”(HR.Abu Dawud)
Hikmah dari mengkafani jenazah adalah untuk menutupi dari pandangan
mata serta sebagai penghormatan padanya. Karena menutupi auratnya dan
menghormatinya adalah wajib selagi ia masih hidup, begitu pula ketika ia telah
meninggal dunia.
Adapun hal-hal yang disunahkan dalam mengkafankan adalah sebagai
berikut:29
a. Membaguskan kafan, yaitu dengan menggunakan kafan yang bersih, wangi,
bisa menutupi seluruh anggota badan, bukan yang diharamkan seperti sutera
dan penggunaannya tidak berlebihan. Berdasarkan hadits Rasulullah Saw.
b. Berwarna putih, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
c. Bagi jenazah laki-laki kain kafan tiga helai.
28
Abu Daud Sulaiman bin al-Asyats al-Sajistani, Sunan Abu Daud, (Beirut: Daar Al-Kitab
Al-Arabi,.t.th), Juz. 3, hal. 170.
29Syatiri Matrais, Pesan Nabi Tentang Kematian, (Jakarta: Cendekia, 2001), hal. 89.
27
d. Bagi jenazah perempuan, sediakan lima lapis kain kafan, yang terdiri dari: dua
lapis kain kafan, sebuah baju kurung, dan sebuah sarung beserta kerudungmya.
e. Hendaknya salah satu dari kain-kain tersebut adalah kain yang bergaris-garis
jika hal itu memungkinkan.30
Hal-hal yang dimakruhkan dalam masalah kafan adalah berlebih-lebihan,
misalnya membeli kain yang mahal harganya atau membebani orang dalam hal itu
dengan kewajiban-kewajiban yang di luar kemampuannya dan adat kebiasaanya.
Sedangkan hal-hal yang diharamkan dalam masalah kafan adalah
menggunakan sutera untuk laki-laki. Untuk perempuan sutera tersebut pada
dasarnya diperbolehkan, tetapi para ulama memandangnya makruh karena
terkatagori berlebih-lebihan.31
Dalam hal harga kafan, jika jenazah memiliki harta,
maka diambil dari hartanya sendiri, jika tidak, maka harga tersebut terbeban
kepada orang yang berkewajiban memikul nafkahnya di waktu ia masih hidup.
c) Menshalatkan Jenazah
a. Hukum shalat jenazah
Shalat jenazah hukumnya fardhu kifayah sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya. Disyaratkan jenazah yang dishalatkan memenuhi tiga
hal, yaitu: orang yang meninggal beragama Islam dan tidak mati syahid.
30
Abu Ahmad Arif Fathul Ulum, Satu Jam Belajar Mengurus Jenazah Panduan Praktis
Cara Penyelengaraan Jenazah dan Hukumnya, (t.t.,: Pustaka Darul Ilmi, 2009), hal. 38.
31Baihaqi, Fiqih Ibadah, (Bandung: M2S Bandung, 1996), hal. 191.
28
Seandainya orang muslim menemukan mayat yang tidak diketahui identitasnya
dan tidak diketahui pula sebab kematiannya, hendaknya tidak dishalatkan.32
Akan tetapi jika orang muslim mengetahui sebab kematiannya,
hendaknya dia dishalatkan sekalipun sedikit jumlah orang yang
menshalatkannya.
Hukum dari menshalatkan jenazah berdasarkan perintah Rasulullah Saw,
yang dikemukakan dalam banyak hadits diantaranya:
ل الله ركش نشع أ ثش تخ ف ذ غه ان سجلا ي أ خا نذ انج ذ ت ص ع صه الله عه
صا حثكى عهى فقا ل: صه ى قا ل: إ ا سأ انز ت و نزنك فه انق ج عه صاحثكى فرغشخ
دس د يا غا خشص ان جذ ا ف ف م الله ففرشا يرا ع )سا انخغح الا غم ف عث
ز(انرشي33
Artinya: “Dari Zaid ibn Khalid al-Juhni, ia berkata, “Seseorang dari
sahabat Nabi Saw gugur ketika Perang Khaibar, kemudian
para sahabat memberitahukan hal ini kepada Rasulullah Saw.
Beliau bersabda, “Shalatilah kawan kalian, seketika itu juga
berubahlah raut wajah orang-orang yang mendengar ucapan
Nabi Saw. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya teman kalian
telah melakukan kecurangan dalam jihad fi sabilillah. Lalu
kami periksa perbekalannya dan kami dapati kain sulaman
milik orang yahudi yang harganya tidak lebih dari dua
dirham.” (HR. Lima kecuali Tirmidzi)
b. Syarat-Syarat Shalat Jenazah
Syarat dalam shalat jenazah sama seperti halnya shalat pada umumnya
yaitu: dalam keadaan suci, menghadap kiblat, menutup aurat, terhindar dari
haid dan nifas. Perbedaannya shalat jenazah dengan shalat pada umumnya
32
Syaraf An-Nawawi As-Dimasyqi dan Abu Zakariyya Yahya, Penerjemah: Muhyiddin
Mas Rida,dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), cet. 1, hal, 911.
33Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Nail Al-Authar, (Kairo:
Maktabah Al- Imam), jilid III-IV, hal, 56.
29
adalah waktu pelaksanaanya tidak disyaratkan artinya bisa kapan saja. Hanya
saja Imam Ahmad, Ibn al-Mubarak, dan Ishaq. Mereka tidak menyukai shalat
jenazah dilakukan pada waktu matahari terbit atau pada waktu matahari
tebenam, kecuali bila dikhawatirkan ada perubahan pada jenazah.
Tentang tata cara pelaksanaan shalat jenazah, paling sedikitnya terdiri
dari tujuh rukun yaitu:34
Rukun Pertama niat,waktu berniat sama seperti semua shalat.
Rukun kedua berdiri, tidak diperbolehkan duduk padahal dia mampu
untuk berdiri menurut pendapat Imam As-Syafi’i.
Rukun Ketiga, bertakbir empat kali. Seandainya dia bertakbir lima kali
karena lupa, maka shalatnya tidak batal dan tidak perlu melakukan sujud sahwi.
Rukun Keempat, membaca surat Al-Fatihah
Rukun Kelima, membaca shalawat atas Rasulullah Saw dengan ucapan
apa saja, seandainya mengucap:
ذ ذ عه ال عذ ا يح انهى صم عه عذ ا يح
Rukun Keenam, dilanjutkan membaca doa untuk jenazah, ini merupakan
rukun kesepakatan Ulama.
Adapun doanya adalah:
أعف ع / اعف ع ا عاف / عا ف ا سح / سح ا / ن ى اغفشن اانه
Artinya: “Ya Allah, ampunilah dia (laki-laki atau perempuan) berilah dia
rahmat dan keselamatan, dan ampunilah dia.
34Syaraf An-Nawawi As-Dimasyqi dan Abu Zakariyya Yahya, Penerjemah: Muhyiddin Mas
Rida,dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), cet. 1, hal, 920-922.
30
Rukun Ketujuh, mengucap salam
d) Mengiring Jenazah
Seusai dishalatkan, langkah selanjutnya adalah mengantar jenazah
menuju pemakaman yakni, mengiring dan mengikutinya hingga dimakamkan.
Inilah salah satu hak orang muslim atas saudara-saudara muslim yang lain.
Berjalan mengiringi jenazah artinya mengiringinya sampai ke tempat pemakaman.
Dari Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah Saw bersabda :
ة حذث ع ض حذثا حاذى حذثا ت ذ ت حذث يح انث شج ع ش أت ع أت م ع -
» قال -صه الله عه عهى قشاطا ا فه ذثع قشاط فإ ا فه نى رثع صه عه جاصج «. ي
قال يا انقشاطا ا يثم أحذ» قم ا يغهى()س أصغش35
Artinya:“Barang siapa yang tidak menshalati jenazah dan tidak
mengiringinga sampai ke pemakamannya, maka ia mendapatkan
pahala satu qirath dan apabila dia ikut mengiringnya sampai ke
pemakaman maka dia dapat dua qirath. Ditanya kepada
Rasulullah Saw apa yang dimaksud dengan dua qirath,
Rasulullah Saw bersabda: “yang terkecil dari keduanya seperti
gunung uhud” (HR. Muslim )
Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengiring jenazah
adalah:36
a. Tidak mengiringi dengan ratapan.
b. Cukup lelaki yang membawa jenazah.
c. Pengiring berjalan di depan atau di belakang jenazah.
d. Mempercepat jalan saat membawa jenazah.
35
Abu al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi Al-Naisyaburi, Shahih
Muslim, (Beirut: Daar Al-Afaq al-Jadidah,t,.th), Juz. 3, hal. 51
36Achmad Mufid, Risalah Kematian Merawat Jenazah, Tahlil, Tawasul, Ta‟ziah, dan
Ziarah Kubur,...... hal. 42-44
31
e. Tidak duduk sebelum jenazah diletakkan.
f. Menghibur yang ditinggal.
e) Menguburkan Jenazah
Kewajiban menguburkan ini ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an berikut :
Artinya: “Kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam
kubur.”(QS. Abasa/ 80:21)37
Tujuan dari menguburkan adalah menjaga agar jangan timbul bau busuk
dari jenazah dan juga keamanannya dari kemungkinan ada binatang buas yang
akan membongkarnya. Menggali kubur lebih dalam dan lebih luas lebih baik.38
Menguburkan jenazah juga memberikan hikmah yaitu agar kemuliaan dan
kehormatannya sebagai manusia dapat terpelihara dan tidak menyerupai bangkai
hewan, karena Allah SWT telah menjadikan manusia sebagai makhluknya yang
mulia.39
Selain itu agar manusia yang hidup tidak merasa terganggu oleh bau yang
tidak baik yang timbul dari jasadnya.
Hal-hal yang disyari’atkan ketika akan menyelenggarakan penguburan
jenazah adalah :
Untuk memasukan jenazah ke dalam kubur yang telah dipersiapkan, satu
atau dua orang turun ke dalam kubur untuk menyambut dan mengatur posisi
37
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,.... hal. 586. 38
Oemar Bakry, Merawat Orang Sakit dan Menyelenggarakan Jenazah, (Jakarta: Mutiara
Sumber Widya), hal. 38. 39
Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqih Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), hal.
145.
32
jenazah di dalamnya. Kemudian pengantar yang berada di atas memasukkan
jenazah ke dalam kubur dengan memulai dari bagian kaki kemudian menyusul
bagian kepalanya. Orang yang lebih baik memasukkannya ke dalam kubur adalah
keluarganya, jika mereka tidak ada kerabat dibolehkan untuk menggantikannya.
Dikarenakan kerabat didasarkan pertimbangan bahwa secara kejiwaan memiliki
rasa kasih yang melebihi dari yang lain, sehingga permohonan keampunannya
untuk jenazah yang sedang dikuburkan itu lebih besar harapannya untuk
dikabulkan.40
Jika jenazahnya perempuan yang lebih utama menguburkannya ialah
mahramnya.
Setelah meletakkan jenazah di dalam kubur, posisinya diatur dengan
memiringkan tubuhnya sehingga menghadap kiblat. Setelah itu menutupnya
dengan papan pelindung dan selanjutnya menimbuninya dengan tanah. Tanah
penimbunannya dianjurkan memiliki ketinggian lebih kurang 20 cm dari kedataran
tanah. Hal seperti ini diisyaratkan dalam hadits Nabi Saw :
سض قذس شثش )سا انشا فع( ا ع انث صه انه عه عهى : سفع قثش جا تش أ ع41
Artinya: “Dari Jabir ra, diceritakan bahwa kubur Nabi SAW ditinggikan
dari tanah sekadar satu jengkal. (HR. Al-Syafi’i).
Alangkah baiknya bila telah selesai menguburkan, kaum muslimin berdiri
dekat kubur, kemudian mendoakan dan memintakan ampunan kepada Allah Saw
untuk jenazah dengan ikhlas.
40
Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqih Ibadah,..... hal. 145
41Abu Zakariyah Muhyi Al-Din bin Syaraf Al-Nawawi, Khalasah Al-Ahkam Fi Muhimmat
Al-Sunan Wa Qowaid Al-Islam, (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 1997), Juz, II, hal. 1023.
34
BAB III
KONDISI OBJEKTIF DESA HAUR GAJRUG KEC. CIPANAS KAB.
LEBAK BANTEN SERTA PRAKTEK TRADISI UPAH PELAYAT
di DESA HAUR GAJRUG KEC. CIPANAS KAB. LEBAK BANTEN
A. Letak dan Keadaan Wilayah
Luas wilayah Desa Haur Gajrug1 adalah 252.113 KM2. Dengan batas-
batas wilayah sebagai berikut :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Sajira Mekar Kecamatan Sajira.
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Sukasari Kecamatan Cipanas.
3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Bintang Resmi Kecamatan
Cipanas.
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Sajira Kecamatan Sajira.
Secara umum topografi Kabupaten Lebak berupa dataran rendah dan
aliran sungai. Di Kecamatan Cipanas Kabupaten Lebak Banten beriklim tropis
dengan curah hujan yang relatif rendah yakni hanya 4 bulan.
Di kabupaten Lebak Banten sarana transportasi dan alat komunikasi
sudah sangat memadai. Sehingga warga yang ingin mengunjungi Kecamatan
Cipanas, Lebak-Banten bisa menggunakan kendaraan bermotor yang hanya
memerlukan waktu 20 menit, untuk jarak tempuh ke Kecamatan Cipanas dengan
berjalan kaki membutuhkan waktu 30 menit.Sedangkan jika ingin mengunjungi
Kabupaten Lebak Banten dengan menggunakan kendaraan bermotor, jarak
1Profil Kelurahan Haur Gajrug Kecamatan Cipanas Kabupaten Lebak Banten, tahun
2011, hal. 3
35
tempuh yang dibutuhkan untuk sampai ke sana adalah 60 menit, dan apabila
mengunjunginya dengan berjalan kaki membutuhkan waktu 2 jam untuk sampai.
B. Kondisi Masyarakat
1. Keadaan Penduduk
Penduduk keseluruhan menurut hasil pendataan sanpai dengan Bulan
Januari 2011 berjumlah 4578 jiwa terdiri dari laki-laki 2367 jiwa dan perempuan
19.885 jiwa. Kelurahan Cipanas terdiri dalam 1231 KK. Dibandingkan dengan
tahun 2010 jumlah penduduk di tahun 2011 mengalami perkembangan
kependudukan, yang mana pada tahun 2010 jumlah penduduk sebanyak 4240
jiwa, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 2177 jiwa dan perempuan sebanyak 2063
jiwa. Untuk jelasnya Jumlah penduduk Desa Haur Gajrug pada tahun 2011
berdasarkan usia diuraikan sebagai berikut :
Usia Laki-laki Perempuan Usia Laki-laki Perempuan
1 50 orang 67 orang 39 37 orang 35 orang
2 49 orang 40 orang 40 22 orang 18 orang
3 40 orang 50 orang 41 15 orang 25 orang
4 44 orang 44 orang 42 20 orang 20 orang
5 43 orang 55 orang 43 18 orang 22 orang
6 50 orang 62 orang 44 15 orang 25 orang
7 35 orang 40 orang 45 22 orang 13 orang
8 65 orang 60 orang 46 15 orang 20 orang
9 49 orang 55 orang 47 20 orang 15 orang
10 52 orang 50 orang 48 17 orang 18 orang
11 45 orang 45 orang 49 15 orang 20 orang
12 30 orang 40 orang 50 13 orang 13 orang
13 50 orang 60 orang 51 16 orang 10 orang
14 65 orang 65 orang 52 15 orang 11 orang
15 45 orang 46 orang 53 14 orang 12 orang
16 48 orang 53 orang 54 16 orang 11 orang
17 35 orang 45 orang 55 8 orang 10 orang
18 45 orang 55 orang 56 9 orang 9 orang
19 40 orang 43 orang 57 7 orang 11 orang
20 35 orang 36 orang 58 8 orang 10 orang
36
21 30 orang 35 orang 59 7 orang 9 orang
22 40 orang 37 orang 60 7 orang 10 orang
23 38 orang 30 orang 61 9 orang 8 orang
24 30 orang 47 orang 62 5 orang 12 orang
25 36 orang 30 orang 63 8 orang 9 orang
26 30 orang 31 orang 64 10 orang 9 orang
27 36 orang 35 orang 65 4 orang 6 orang
28 20 orang 40 orang 66 5 orang 4 orang
29 35 orang 35 orang 67 3 orang 6 orang
30 35 orang 41 orang 68 6 orang 3 orang
31 21 orang 22 orang 69 4 orang 8 orang
32 30 orang 40 orang 70 5 orang 6 orang
33 40 orang 41 orang 71 5 orang 4 orang
34 45 orang 50 orang 72 3 orang 6 orang
35 45 orang 45 orang 73 4 orang 5 orang
36 45 orang 50 orang 74 6 orang 3 orang
37 45 orang 50 orang 75 15 orang 24 orang
38 50 orang 53 orang > 75 6 orang 9 orang
Total 2367 orang 2211 orang
2. Pendidikan
Pendidikan mempunyai peran penting bagi bangsa dan merupakan sarana
untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan manusia. Untuk
mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, maka pendidikan
merupakan faktor yang penting untuk ditingkatkan, baik oleh pemerintah maupun
oleh masyarakat secara keseluruhan. Pembangunan yang sedang dilaksanakan di
Indonesia, tidak akan terwujud bila sumber daya manusianya tidak disiapkan
dengan baik. Disisi lain pendidikan merupakan sarana yang ampuhdalam
mempersiapkan tenaga kerja yang profesional. Dengan tingkat pendidikan yang
semakin baik, setiap orang akan dapat secara langsung memperbaiki tingkat
kehidupan yang layak, sehingga kesejahteraan masyarakat akan semakin cepat
terwujud.
37
Berdasarkan profil Desa Haur Gajrug Kecamatan Cipanas Kabupaten
Lebak Banten Tahun 2011 adalah sebagai berikut :
Jumlah penduduk yang berusia 3-6 tahun yang belum masuk TK Laki-
laki sebanyak (177), sedangkan perempuan sebanyak (170). Jumlah penduduk
yang berusia 3-6 tahun yang sedang TK/play group Laki-laki sebanyak (7),
sedangkan perempuan sebanyak (13). Jumlah penduduk dengan usia 7-18 tahun
yang tidak pernah sekolah Laki-laki sebanyak (2), sedangkan perempuan
sebanyak (1). Usia 7-18 tahun yang sedang sekolah Laki-laki sebanyak (283),
sedangkan perempuan sebanyak (280). Jumlah penduduk dengan usia 18-56 tahun
yang tidak pernah sekolah laki-laki sebanyak (68), sedangkan perempuan
sebanyak (65). Usia 18-56 yang pernah SD tapi tidak tamat laki-laki sebanyak
(103), sedangkan perempuan sebanyak (130). Jumlah yang tamat SD/sederajat
Laki-laki sebanyak (33), perempuan sebanyak (75). Jumlah usia 12-56 tahun yang
tidak tamat SLTP Laki-laki sebanyak (175), sedangkan perempuan sebanyak
(125). Jumlah usia 18-56 tahun yang tidak tamat SLTA Laki-laki sebanyak (203),
perempuan sebanyak (223). Jumlah yang tamak SMP/sederajat Laki-laki
sebanyak (30), perempuan sebanyak (35). Sedangkan yang tamat SMA/sederajat
laki-laki sebanyak (35), perempuan sebanyak (25).
Berdasarkan data di atas dan jika dilihat dari kualitas angkatan kerja.
Maka dapat disimpulkan bahwa laki-laki lebih mendominasi tingkat
pendidikannya dibanding perempuan, artinya laki-laki yang ada di Desa Haur
Gajrug jumlahnya lebih banyak yang bersekolah atau bisa menyelesaikan
pendidikan sampai tingkat yang lebih atas. Hal ini dikarenakan perempuan yang
38
ada di Kelurahan Haur Gajrug lebih mengutamakan bekerja secepatnya, adapula
yang kelurganya memang tidak mampu untuk membiayai pendidikan anak
perempuannya tersebut.
3. Agama
Masyarakat Kelurahan Haur gajrug yang mayoritas beragama Islam
memiliki pandangan tersendiri mengenai agama. Bagi mereka agama merupakan
pemersatu antar sesama, dan hidup terasa lebih mudah untuk mencapai keinginan
bersama. Sebab agamalah yang menjadi faktor mereka dapat saling bertemu
dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Berdasarkan data profil Desa Haur Gajruk
Jumlah masyarakat yang memeluk agama Islam berjumlah Laki-laki sebanyak
(2367) dan perempuan sebanyak (2211).
4. Mata pencaharian
Wilayah Kelurahan Haur Gajrug terdiri dari tanah persawahan dan tanah
perkebunan yang digunakan sebagai mata pencaharian warga Kelurahan Haur
Gajrug lebih mendominasi dibandingkan dengan mata pencaharian yang lainnya.
Banyaknya tanah yang tidak dirawat oleh pemiliknya menjadi faktor pendukung
banyaknya mata pencaharian sebagai buruh tani. Banyak warga di Desa Haur
Gajrug yang bekerja disawah atau kebun milik orang lain. Berikut rincian mata
pencaharian2 di Kelurahan Haur Gajrug :
Jenis Pekerjaan Laki-laki Perempuan
Buruh Tani 110 21
Pegawai Negeri Sipil 15 17
Pengrajin Industri
Rumah Tangga - 3
2Profil Kelurahan Haur Gajrug Kecamatan Cipanas Kabupaten Lebak Banten, tahun
2011, hal, 19-20
39
Pedagang Keliling 7 25
Montir 3 -
Pembantu Rumah
Tangga - 17
TNI 1 -
Polri 2 -
Pensiunan
PNS/TNI/POLRI 2 -
Pengusaha Kecil dan
Menengah 104 150
Pengusaha Besar 3 -
Karyawan Perusahaan
Swasta 34 -
Jumlah 281 233
Selain beberapa pekerjaan yang disebutkan di atas, ada beberapa
pekerjaan lain yang ditekuni oleh warga Desa Haur Gajrug yang berupa usaha jasa
keterampilan, seperti tukang kayu, tukang cukur, tukang service elektronik,
tukang besi dan tukang gali kubur.
C. Praktek Tradisi Upah Pelayat di Desa Haur Gajrug Kec Cipanas Kab Lebak
Banten
Praktek tradisi memberikan upah kepada para pelayat yang datang
merupakan tradisi yang hingga saat ini masih dilakukan di Desa Haur Gajrug,
sama halnya yang terjadi di kota apabila terdengar pengeras suara dari masjid
sekitar yang memberi berita bahwa ada yang meninggal dunia, semua tetangga
datang untuk menyelawat. Tentang tata cara menyelawat di kota dan di Desa
Haur Gajrug adalah di kota orang yang datang untuk menyelawat mereka semua
datang dengan membawa sesuatu berupa beras, gula, kopi dan lain sebagainya, hal
ini juga sama dilakukan oleh warga Desa Haur Gajrug yang membawa sesuatu.
40
Bedanya adalah di Kota para warga yang datang menyelawat ketika mereka
hendak berpamitan meninggalkan rumah keluarga yang sedang berduka, mereka
pulang dengan tidak diberikan apa-apa. Sedangkan yang terjadi di Desa Haur
Gajrug warga yang datang menyelawat dan ketika hendak pulang diberikan
amplop, yang berisikan uang. Yang mana uang tersebut di niatkan sebagai
sedekah yang pahalanya ditujukan kepada yang meninggal dunia, dan jumlah
uang yang diberikan kepada setiap orang yang datang menyelawat minimal 5000
rupiah.3
Tradisi memberikan upah kepada pelayat yang terjadi di Desa Haur
Gajrug pun seperti dijadikan objek dalam mencari uang, ketika diketahui bahwa
yang meninggal merupakan keluarga orang yang berada banyak warga yang
datang untuk menyelawat tak tanggung-tanggung seluruh anak-anaknya pun
diajak untuk ikut menyelawat. Akan tetapi jika yang meninggal merupakan warga
yang tidak mampu, hanya beberapa saja dari mereka yang datang berkunjung
untuk menyelawat. Ketika keluarga yang berduka mengadakan tahlilan selama
seminggu pun, para warga yang datang masih diberikan uang dan beberapa
kantong yang berisi makanan untuk di bawa pulang.
3Wawancara dengan ibu Qomar (warga di Desa Haru Gajrug), pada 12 Februari 2015
tempat di kediaman narasumber.
40
BAB IV
ANALISIS PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA DAN MUHAMMADIYAH
TERHADAP TRADISI UPAH PELAYAT
A. Pandangan Nahdlatul Ulama Terhadap Tradisi Upah Pelayat
Dalam struktur organisasinya, NU memiliki suatu Lembaga Bahtsul Masail
(LBM), yang berarti pengkajian terhadap masalah-masalah agama. Di sinilah posisi
penting dari LBM, yakni untuk menjawab berbagai permasalahan keagamaan.
Munculnya lembaga ini karena adanya kebutuhan masyarakat terhadap hukum Islam
paktis („amali) bagi kehidupan sehari-hari yang mendorong para Ulama dan
Intelektual NU untuk mencari solusinya dengan melakukan bahtsul masail.1
Menanggapi setiap pelaksanaan tradisi upacara kematian, dalam Ahkam Al-
Fuqaha hasil Bahtsul Masail NU meyatakan bahwa setiap tradisi kematian yang
dilaksanakan dengan tujuan hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk
setempat sehingga bagi yang tidak melaksanakan akan dibenci bahkan akan dianggap
beda. Maka tradisi tersebut termasuk bid‟ah yang tercela tetapi tidak sampai haram
(makruh).2
Sebuah adat tradisi yang dikatakan baik harus diteruskan selama tidak
bertentangan dengan syari’at. Banyaknya tradisi yang masih dilakukan dalam suatu
1Http://www.nu.or.id. diakses pada 18 September 2015 pukul 16.25 WIB.
2Nahdlatul Ulama, Ahkam Al-Fuqaha Hasil-Hasil Keputusan Muktamar Dan
Permusyawaratan Lainnya, (Jakarta: Lajnah Takfil Wan Nasyr Pengurus Besar Nahdlatul Ulama,
2010), cet 1, hal. 15.
41
masyarakat di desa memang perlu mendapatkan perhatian yang lebih khusus lagi,
agar pelaksanaan dari tradisi tersebut tidak menyimpang dari syari’at.
KH. Mas’ud, ketua Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kab. Lebak
berpendapat bahwasanya tradisi memberikan upah kepada pelayat yang melayat tidak
hanya terjadi di desa Haur Gajrug saja. Tradisi ini dianggap sebagai sedekah yang
dilakukan oleh keluarga si mayit yang pahala dari sedekah tersebut ditujukan kepada
mayit. Beliau pula berpendapat sedekah yang diniatkan untuk mayit dapat bermanfaat
untuknya dan pahala dari sedekah tersebut juga akan sampai. Karena orang yang
sudah meninggal itu seperti sedang tenggelam di lautan, mereka mengharapkan
pertolongan kiriman doa dan pahala yang dikirimkan oleh keluarga mereka yang
masih hidup.3
Menurut Muhib Al-Thabari, segala ibadah baik wajib maupun sunah yang
diperuntukan untuk mayit, maka hal tersebut sampai kepadanya. Dalam kitab Syarah
Al-Mukhtar menurut madzhab ahli sunnah wal jamaah, apabila seseorang menjadikan
pahala kebaikan baik sholatnya atau pun yang lainnya untuk si mayit maka amalan-
amalan tersebut akan sampai kepada mayit.4
ر صه انه ل انه رجلا قا ل نرس عباس أ اب ا أ فع فث أ أي قذ ج سهى : إ عه
ا ؟ فقا ل عى قا ل ن يخرفا فأشذك إ قذأجصذق ع ا فإ جصذقث ب ع5
3Wawancara dengan Kyai Mas’ud (Ketua Nahdlatul Ulama Kab Lebak), pada senin, 25 Mei
2015. Pukul 13.30, tempat Kediaman Narasumber.
4Abu Bakar bin Muhammad Syatha Al-Dimyati, I‟anah al-Thalibin, (Mauqi’ Yu’sub, t.th.),
Juz 1, hal. 33.
5Imam Abu Ishaq Asy-Syirazi, Al-Muhadzab, (Mesir: Maktabah Isa Al-Halabi, t.th.), Jilid 1,
hal. 464.
42
Artinya:“Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa ada seseorang bertanya pada
Rasulullah Saw: “Sesungguhnya ibuku sudah meninggal, apakah
bermanfaat baginya (jika) aku bersedekah atas (nama) nya ?
“Rasulullah Saw menjawab: “ya” orang itu kemudian berkata:
“sesungguhnya aku memiliki sekeranjang buah, maka aku ingin
engkau menyaksikan bahwa sesungguhnya aku menyedekahkan atas
(nama) nya. (HR. Ibnu Abbas)
Pembolehan sedekah untuk mayit juga dikutip dari pendapat Ibnu Qayyim
Al-Jawziyah yang dengan tegas mengatakan bahwa sebaik-baik amal yang
dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, doa, dan haji.
Tradisi NU dalam memberi jamuan makan atau memberikan upah kepada
para pelayat yang datang tidaklah sesuatu yang wajib. Dalam Ahkam Al-Fuqaha hasil
Bahtsul Masa‟il NU menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari
ketujuh itu hukumnya makruh, sedangkan hukum makruh tersebut tidak
menghilangkan pahala sedekah itu.6 Orang yang tidak mampu secara ekonomi,
semestinya tidak memaksakan diri untuk memberikan jamuan atau upah kepada
pelayat, apalagi sampai berhutang atau mengambil harta anak yatim dan ahli waris
yang lain, demikian dikatakan KH. Mas’ud. Beliau pun menambahkan bahwa perlu
ada klarifikasi pada masyarakat, bahwa dengan adanya tradisi tersebut bukan
menjadikan tradisi itu merupakan suatu ibadah yang wajib dilaksanakan, di sini perlu
ada penekanan bahwa itu hanyalah sebuah tradisi, yang tidak harus dilaksanakan oleh
keluarga yang berkabung. Hakikatnya kewajiban masyarakat adalah membantu
6Nahdlatul Ulama, Ahkam Al-Fuqaha Hasil-Hasil Keputusan Muktamar Dan
Permusyawaratan Lainnya,.... cet 1, hal. 13.
43
meringankan beban kesedihan keluarga yang ditinggalkan, memberi bantuan dalam
apapun bentuknya.
B. Pandangan Muhammadiyah Terhadap Tradisi Upah Pelayat
Dalam tubuh Muhammadiyah terdapat satu lembaga yang khusus menangani
persoalan-persoalan menyangkut ibadah dan mu’amalah. Lembaga tersebut bernama
Lembaga Majlis Tarjih atau Lajnah Tarjih.7
Sebagaimana sudah dikenal, bahwa ajaran Muhammadiyah cenderung ingin
memurnikan syari’at Islam (tajdid). Islam yang menyebar luas di Indonesia,
khususnya di Jawa, tidak dipungkiri merupakan dari para pendakwa Islam pertama, di
antaranya adalah Wali Sanga. Dalam meyebarkan agama Islam, Wali Sanga
menggunakan pendekatan kultur yang tidak membuang keseluruhan tradisi dan
kepercayaan Hindu Budha. Salah satu tradisi agama Hindu, yaitu ketika ada orang
yang meninggal adalah kembalinya ruh orang yang meninggal itu ke rumahnya pada
hari pertama, ketiga, ketujuh, empat puluh, seratus, dan seterusnya. Dari tradisi itulah
kemudian muncul tradisi yang dikenal dengan tahlil.8
Dalam Fatwa Majlis Tarjih Muhammadiyah, yang dilarang menurut
Muhammadiyah dalam pelaksanaan tahlilan adalah upacaranya yang dikaitkan
7http://www.muhammadiyah.or.id. Diakses pada senin, 22 september 2015 pukul 14.00
WIB.
8http://www.muhammadiyah.or.id. Diakses pada selasa, 22 september 2015 pukul 14.00
WIB.
44
dengan tujuh hari kematian, atau empat puluh hari, atau seratus hari dan sebagainnya.
Apalagi upacara semacam itu harus mengeluarkan biaya besar, yang terkadang harus
pinjam kepada tetangga atau saudaranya, sehingga terkesan tabzir (berbuat
mubadzir). Begitu juga dengan upacara atau tradisi lainnya seperti memberikan uang
kepada pelayat yang datang, kepada orang yang ikut serta dalam shalat jenazah dan
lain sebagainnya. Seharusnya ketika ada yang meninggal dunia kita harus bertakziah
atau melayat dan mendatangi keluarga yang terkena musibah kematian sambil
membawa bantuan atau makanan seperlunya sebagai wujud bela sungkawa. Bukan
datang untuk mengharapkan uang dan lain sebagainya.9
Sedangkan menanggapi alasan diadakannya tradisi tersebut bertujuan
sebagai sedekah yang pahalanya ditujukan kepada yang meninggal dunia. Majlis
Tarjih Muhammadiyah dalam Fatwanya menyatakan bahwa seorang manusia itu
tidak akan mendapatkan pahala dari Allah Swt, selain pahala dari apa yang telah
diusahakannya sebelum dia meninggal dunia. Oleh karena itu dia tidak akan
mendapatkan pahala apa-apa dari Allah Swt karena dia tidak lagi bisa beramal
shaleh.10
Menanggapi tradisi semacam ini Endang Herdiana, Ketua Umum Pemuda
Muhammadiyah Kab Lebak berpendapat bahwa tradisi tahlil, memberikan upah
kepada pelayat yang datang melayat, dan tradisi lainnya semacam ini memang pada
9http://www.fatwatarjih.com/2011/12/upacara-tahlilan.html. Diakses pada selasa, 22
september 2015 pukul 14.40 WIB.
10http://www.fatwatarjih.com/2013/10/hadits-maulid-nabi.html. Diakses pada rabu 23
september 2015 pukul 11.25 WIB.
45
dasarnya sudah mengakar di desa-desa yang kondisi dari pengetahuan khususnya
dalam pengetahuan agama dari warga di desa tersebut sangatlah kurang. Mereka
hanya mengikuti apa yang dicontohkan pemuka agama. Mereka beranggapan bahwa
apa yang dilakukan oleh tokoh agama merupakan suatu ibadah yang wajib diikuti.
Kedua tradisi ini merupakan salah satu contoh tradisi yang masih sangat
kental dilakukan di desa-desa. Seharusnya pelaksanaan dari setiap tradisi harus
mengikuti dan sesuai dengan syari’at. Sejatinya keluarga yang berkabung itu dibantu
agar menjadi ringan segala kesedihannya.11
Adapun alasan pemberian upah kepada para pelayat yang datang sebagai
sedekah yang pahalanya ditujukan kepada orang yang meninggal, Muhammadiyah
sangat menolak, apapun alasan dari tujuan tradisi itu. Berikut beberapa Argumentasi
penolakan Muhammadiyah: 12
1. Bahwa mengirirm hadiah pahala untuk orang yang sudah meninggal dunia tidak
ada tuntunannya dari ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits Rasul. Muhammadiyah
berpendapat bahwa ketika dalam suatu masalah tidak ada tuntunannya, maka yang
harus dipegang adalah sabda Rasulullah Saw:
أخبر أب عه ثا يذذ ب بكر الإسا عه أخبرا أبعر يذذ ب عبذالله ادب أبأ أب
انصباح ع انذلاب ثا إبراى ب سعذ ثا أب ع انقا سى ب يذذ عه سهى : ي أدذخ ف
أيرا يا نس ي ف رد )را انبخار(13
11
Wawancara dengan Endang Herdiana ( Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah) pada
Senin, 25 Mei 2015 pukul 10.30 tempat Kantor pengurus Muhammadiyah Kab Lebak.
12Saiful Islam Mubarak, Fikih Kontroversi : Menjawab Berbagai Kontroversi dalam Ibadah
Sosial dan Ibadah Sehari-hari, (Bandung: Syamil, 2007), hal. 323.
13Ahmad bin Husain bin Ali bin Musa Abu Bakar Al-Baihaqi, Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra,
(Makkah Al-Mukarramah: Maktabah Daar al-Bas, 1994), Juz. 10, hal. 119.
46
Artinya: “Memberi kabar kepada kami Amr bin Muhammad bin Abdillah al-
abid, memberi kabar kepada kami Abu Bakar al-Ismail Abu Ya‟la,
berhadits kepada kami Muhammad bin Shabah al-Dulabi,
berhadits kepada kami Ibrahim bin Sa‟ad, berhadits kepada kami
ayahku dari Qasim bin Muhammad dari sayyidah Aisyah r.a
beliau berkata: Rasulullah Saw bersabda: barang siapa yang
melakukan suatu perbuatan (agama) yang tidak ada perintah di
dalamnya, paka perbuatan itu tertolak.’’ (HR. Baihaqi)
2. Bahwa manusia ketika ia telah meninggal hanya akan mendapatkan pahala atas
perbuatan yang mereka kerjakan sendiri. Allah Swt berfirman:
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah
Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya
Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban
yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang
sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan
kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri
ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah
penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir."
(Q.S. al-Baqarah/2: 286)
Artinya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa
yang telah diusahakannya” (Q.S. An-Najm/53: 39)
47
3. Ruh manusia, apabila terpisah dari jasad akan kembali kepada Allah SAW.
Apakan ruh dapat menerima kiriman atau tidak, sebenarnya tiada yang mengetahui
urusan ruh selain Allah Swt.
4. Semua amal manusia tidak dapat menyelamatkan dirinya dari siksa neraka dan
tidak pula dapat memasukkannya ke dalam surga selain karena rahmat Allah SWT.
Karena itu yang ditunggu orang yang sudah meninggal adalah rahmat, ampunan,
dan ridha Allah SWT.
5. Apabila kita ingin menyampaikan kiriman pahala amal orang yang sudah
meninggal, perlu kita bertanya kepada diri kita masing-masing, apakah kita
memiliki bukti bahwa amal kita pasti diterima Allah, lalu kita kirimkan kepada
orang lain, sementara para nabi dan para shalihin apabila telah melakukan amal
kebaikan, mereka tidak merasa sudah diterima.
Pada hakikatnya orang yang sudah meninggal hanya membutuhkan doa,
bukan kiriman pahala amal perbuatan yang diniatkan untuknya, si mayit masuk
syurga atau tidak tergantung amal perbuatannya sewaktu masih hidup, demikian yang
dikatakan Endang Herdiana. Beliau pun menambahkan bahwa tradisi tersebut
hanyalah suatu kebiasaan yang apabila tidak dilaksanakan akan dibicarakan oleh
tetangga atau bahkan dianggap berbeda aliran. Ini merupakan pemikiran yang salah
dimasyarakat, dengan tradisi semacam ini mereka beranggapan bahwa tradisi tersebut
wajib dilakukan, tidak menjadi masalah apabila si mayit memiliki keluarga yang
mampu untuk melakukan tradisi ini, tetapi bagi keluarga mayit yang masih hidup
48
apabila mereka memiliki ekonomi yang tidak mampu, tradisi tersebut hanya akan
menambah beban duka yang dirasakan keluarga mayit.
C. Analisis Pendapat Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah terhadap Tradisi
Upah Pelayat.
Perbedaan pendapat dalam masalah fiqih bukan lagi masalah baru,
melainkan sudah ada sejak Rasulullah Saw wafat. Perbedaan masalah fiqih terus
berkembang seiring dengan perkembangann zaman dan timbulnya masalah-masalah
baru dalam kehidupan. Pacsa Rasulullah Saw wafat timbul perbedaan pendapat yang
kemudian melahirkan madzhab-madzhab, yang di antara madzhab-madzhab itu saling
berdebat dan perdebatan mereka yang tidak mungkin menemukan kesepakatan karna
masing-masing memiliki dasar hukum sendiri, yang terkadang muncul perselisihan.
Itulah fenomena di dunia Islam. Sebagian dari kita bukan tidak tahu sabda
Rasulullah Saw bahwa “perbedaan adalah rahmat”. Perbedaan adalah hal yang sangat
niscaya, sesuatu yang tidak bisa dihindarkan, lebih lagi dalam masalah fiqih yang
mana dasar utamanya al-qur’an dan as-sunnah. Sementara cara pengambilan hukum
(istimbath) Fuqaha satu dengan yang lainnya terkadang terdapat perbedaan. Belum
lagi jika bicara masalah kondisi dan situasi (sosial dan politik) di mana hukum Islam
tersebut ditetapkan, serta ayat-ayat al-Qur’an dan hadits apa yang dijadikan sebagai
sumber hukum.
Dalam konteks Indonesia, fenomena di atas sudah dipahami bersama. Di
negeri yang warganya merupakan pemeluk Islam terbesar di dunia ini, ternyata sangat
banyak orang yang mengamalkan ajaran Islam dengan hanya melihat dan mendengar
49
dari orang lain, yakni pemuka agama, guru, kyai, tokoh masyarakat, atau bahkan
tetangga di sebelah rumahnya, tanpa kemudian berusaha menyibukkan diri sejenak
untuk mempelajarinya sebelum bertaklid.
Taklid buta tentu saja membawa dampak besar yaitu mundurnya tradisi
pemikiran umat Islam. Maraknya taklid buta menandakan kemalasan umat Islam
untuk mendalami masalah-masalah keagamaan yang ia praktekkan sehari-hari. Selain
itu taklid buta juga sangat rentan menimbulkan konflik antar pemeluk agama Islam
yang memiliki pandangan fiqih yang berbeda. Taklid buta mengakibatkan umat Islam
kurang khusuk dan kurang meresapi amalan ibadah yang ia kerjakan.
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah merupakan Ormas (organisasi
masyarakat) yang bertugas mengeluarkan fatwa-fatwa yang berkaitan dengan hukum
Islam (fiqh), yang mana dari masyarakat di desa maupun kota ada yang mengikuti
fatwa-fatwa tersebut. Di dalam NU lembaga yang bertugas mengeluarkan fatwa-
fatwa disebut dengan Bahtsul Masa’il, sementara di Muhammadiyah disebut Majlis
Tarjih. Semua keputusan dari kedua lembaga fatwa tersebut tidak ada paksaan untuk
dijalankan. Kedua lembaga tersebut hanya merasa berkewajiban menjawab setiap
kegelisahan masyarakat atas munculnya masalah fiqhiyah yang baru atau untuk
menjelaskan secara sistematik kepada publik, baik kelompok dari salah satu ormas
tersebut maupun diluar kelompok, yang berkaitan dengan pandangan atas suatu
praktek keagamaannya.
Banyaknya tradisi yang masih dijalankan oleh warga, khususnya warga yang
berada di desa, salah satunya adalah tradisi memberikan upah kepada pelayat yang
50
datang melayat merupakan salah satu tradisi yang mendapatkan perhatian dari NU
dan Muhammadiyah karena kedua ormas ini memiliki pandangan yang berbeda
menanggapi tradisi semacam ini.
Salah satu dosen Fakultas Syariah dan Hukum, Dr Ahmad Sudirman Abbas
MA, berpendapat bahwa dalam Qa‟idah Fiqhiyyah ( انعا دة يذكة ) yaitu adat kebiasaan
yang dijadikan dasar oleh masyarakat setempat untuk kemudian diteladani dan adat
kebiasaan tersebut dianggap seakan-akan hukum agama. Tetapi adat kebiasaan yang
dimaksud adalah adat kebiasaan yang tidak bertentangan dengan agama. Kebiasaan
(tradisi) adalah salah satu hal yang memiliki kontribusi besar terhadap terjadinya
transformasi hukum syar’i.14
Kebiasaan (tradisi) yang disebutkan oleh agama baik dalam Al-Qur’an atau
As-Sunnah adalah kebiasaan (tradisi) yang dapat menjaga agama (Hifdz Ad-Din),
menjaga jiwa (Hifdz An-Nafs), menjaga akal (Hifdz Al-akal), menjaga keturunan
(Hifdz Al-„Nasl), dan yang terakhir menjaga harta benda (Hifdz Al-Mal). Lima
tingkatan ini yang harus tetap terjaga dan yang harus diperhatikan dari ke lima hal
tersebut adalah : pertama, apabila dengan adanya kebiasaan (tradisi) tersebut tidak
mengurangi hal-hal yang ditentukan agama, maka kebiasaan (tradisi) tersebut
diperbolehkan. Kedua, apakah kebiasaan (tradisi) itu membahayakan jiwa atau tidak.
Ketiga, apakah kebiasaan (tradisi) tersebut membahayakan akal atau tidak. Keempat,
apakah membahayakan keturunan dan yang kelima,apakahmembahayakanharta.
14
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa‟id Fiwhiyyah dalam Prespektif Fiqh, (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 2004), cet. 1, hal. 155.
51
Harta peninggalan mayit harus terlebih dahulu digunakan untuk pengurusannya, dan
apabila keluarga yang berkabung tidak merasa keberatan untuk melakukan tradisi itu,
maka tradisi itu diperkenankan. Jangan sampai kebiasaan (tradisi) tersebut membuat
keluarga yang berkabung merasa terbebani dan membuatnya pinjam uang untuk
mengadakan tradisi semacam itu.15
Beliau pun menambahkan, seharusnya keluarga
yang berkabung tidak perlu memikirkan hal-hal yang akan diberikan kepada pelayat
yang datang, ini merupakan tanggung jawab warga sekitar yang berkewajiban
membantu meringankan beban kesedihan keluarga yang ditinggal.
Selanjutnya beliau menambahkan apabila tradisi tersebut diyakini sebagai
sedekah yang pahalanya ditujukan kepada si mayit, maka hal ini dikembalikan lagi
pada niatnya. Sebagaimana dalam syariat agama Islam, tujuan dan niat sangat
diperlukan dalam suatu pekerjaan. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam sebuah
hadits nabi Muhammad saw :
نكم ايرء يا ف كا ث جرج إن الله رسن فجرج إن الله إا الأعا ل با انات إا
رسن ي كاث جرج نذ ا صبا أ ايرأة كذا فجرج إن يا ا جر إن
Artinya: “Sahnya beberapa amal perbuatan itu hanyalah dengan niat, dan
setiap orang hanya mendapatkan apa yang diniatkannya, orang
yang perginya diniati hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, berarti
mendapat pahala pergi karena Allah dan Rasul-Nya, orang yang
perginya diniati karena harta benda (dunia) yang hendak dicapai,
maka ia akan mendapatkannya, atau diniati karena wanita untuk
menikahinya, maka perginya sesuai dengan tujuan pergi”.
Begitu juga dijelaskan dalam kaidah fikih yaitu :
15
Wawancara dengan Ahmad Sudirman Abbas (Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum), pada
selasa, 26 Mei 2015 pukul 16.30 tempat Kediaman Narasumber.
52
الأير بقا صذا
“Hukum semua perkara itu sesuai dengan tujuan atau niatnya”
Kaidah dan hadits diatas menjelaskan bahwa semua amal dan tindakan
perbuatan manusia itu satu sama lain berbeda-beda hukumnya, dikarenakan
perbedaan maksud dari masing-masing orang dalam melakukan tindakan dan
perbuatannya.16
Hadits dan kaidah diatas juga menunjukkan secara jelas bahwa niat
merupakan rukun asasi atas diterima dan sahnya amal, yaitu ketika Allah menuturkan
bahwa pahala sadaqah tergantung pada niat dan tujuan yang menjadi maksud dari
hati.
Fungsi dari niat itu sendiri adalah untuk memurnikan tujuan ibadah. Bahwa
seluruh ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba, hanyalah semata-mata ditujukan
kepada Allah. Untuk bisa sampai kepada tujuan itu, hanyalah dengan niat.
Dua dasar hukum diatas secara eksplisit menggambarkan segala macam
bentuk sikap, aktifitas, dan tasharrufnya seseorang tidak akan pernah dianggap oleh
syar’i, kecuali dilandasi dengan niat. Apabila niatnya tidak baik, maka nilai amal
perbuatannya pun menjadi tidak baik. Oleh karena itu, niat adalah syarat sah dari
suatu amal. Tanpa ada niat, sebuah amal diilustrasikan sebagai tubuh tanpa jiwa yang
tidak ada artinya.17
Jadi pada intinya segala sesuatu itu digantungkan kepada niatnya, apabila
memang tradisi tersebut diniatkan sebagai sedekah maka pahala sedekah akan
16
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa‟id Fiqhiyyah dalam Prespektif Fiqh, (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 2004), cet. 1, hal. 3. 17
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa‟id Fiqhiyyah dalam Prespektif Fiqh, hal. 9.
53
didapat, dan jika memang tradisi tersebut bertujuan sebagai sedekah yang mana
pahalanya ditujukan kepada si mayit, maka apabila masih keluarga dan masih ada
hubungan dengan si mayit, semisal anak dari si mayit yang memberikan sedekah dan
harta tersebut adalah hasil upayah orang tuanya yang telah membesarkan dan
mendidiknya maka pahala sedekah tersebut akan sampai. Persoalan sampai atau tidak
ada tiga hal yang mana pahala dari amalan tersebut tidak akan terputus walaupun
seseorang itu telah meninggal.18
Rasulullah Saw bersabda :
ع أب ررة رض الله ع أ رسل الله صه الله عه سهى قا ل : إرا يا ت اب ادو اقطع عه
إلا ي ثلا خ : صذقة جارة ا عهى حفع ب ا نذ صا نخ ذع ن
) را يسهى ( 19
Artinya: “Dari Abu Hurairah Radhiallahu „Anhu berkata, Rasulullah Saw
bersabda:“Jika anak adam meninggal, maka semua amalannya
terputus kecuali dari tiga perkara, sedekah jariyah, ilmu yang
bermanfaat dan anak sholeh yang selalu mendoakannya.” (HR.
Muslim)
Pendapat senada dikemukakan oleh Siti Hana, dosen Fakultas Syari’ah dan
Hukum, bahwa seharusnya keluarga yang berkabung tidak perlu memiliki hajat baik
memberi upah atau memberi makanan kepada para pelayat yang datang melayat.
Dikisahkan bahwa Rasulullah Saw ketika Ja’far bin Abi Thalib meninggal dunia,
Ja’far merupakan sepupunya Rasulullah Saw, saat itu Rasulullah memerintahkan
kepada seluruh warga sekitar untuk membuat masakan bagi keluarga Ja’far. Dari
18
Wawancara dengan Ahmad Sudirman Abbas (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum) pada
Selasa, 26 Mei 2015 pukul 16.30 tempat Kediaman Narasumber.
19Ibnu Al-Mulaqqin Siraj Ad-Din Abu Hafs Umar bin Ali bin Ahmad As-Syafi’i Al-Mishri,
Al-Badr Al-Munir Fi Tahrij Al-Hadits Wal Atsar Al-Waqiah Fi Al-Syarhi Al-Kabir, (Riyadh: Daar Al-
Hijrah, 2004), Juz, VII. Hal, 281.
54
kisah ini jelas bahwa seharusnya orang-orang yang ada disekelilinglah yang harus
membantu, bukan sebaliknya. Kecuali apabila memang keluarga si mayit merupakan
keluarga yang kaya raya, yang tidak keberatan untuk melakukana tradisi tersebut.
Akan tetapi terkadang yang menjadi masalah adalah ketika keluarga si mayit yang
kaya raya itu merupakan tokoh agama, yang menjadi panutan warga. Sehingga
apapun yang dilakukannya dianggap warga sebagai ketentuan agama, terlebih lagi
warga tersebut memang masih awam ilmu keagamaannya. Jadi sebenarnya bukan
memberinya yang salah karna dalam Islam konsep memberi itu lebih baik. Akan
tetapi ketika tradisi memberikan upah itu dijadikan sebuah kewajiban yang mana
Allah Saw tidak memerintahkan untuk melakukannya itulah yang menjadi salah.
Mengenai tujuan dari tradisi tersebut yaitu sebagai sedekah yang pahalanya
ditujukan kepada si mayit, beliau menambahkan bahwa sedekah dalam Islam
merupakan wujud dari pemberian yang sangat baik dan pasti akan mendapatkan
pahala. Semua itu dilihat dari kondisi keluarga yang berkabung, karena tidak semua
warga itu keluarga yang mampu. Bahkan jika yang terjadi adalah keluarga yang
berkabung memaksakan diri menjual tanah, sawah untuk melakukan tradisi tersebut
inilah yang salah. Jika seperti itu yang terjadi berarti mendahulukan yang sunnah dari
yang wajib, sedekah merupakan sesuatu yang sunnah dilakukan, yang menjadi wajib
dilakukan terlebih dahulu oleh keluarga si mayit adalah pembayaran hutangnya
55
apabila si mayit memiliki hutang dan sisa dari hartanya merupakan warisan bagi
anak-anaknya.20
Dari berbagai uraian dan pendapat yang telah dikemukakan di atas, maka
penulis menganalisis bahwa dalam tradisi memberikan upah kepada pelayat yang
datang melayat ada beberapa point yang harus dibahas.
Pertama, tradisi memberikan upah kepada pelayat yang datang melayat
hanyalah sebuah kebiasaan dan bukan merupakan sesuatu yang diperintahkan oleh
agama, yang pelaksanaannya dari tradisi tersebut tidak diwajibkan melainkan
dibolehkan. Karena yang terjadi di Desa Haur Gajrug Kec Cipanas Kab Lebak Banten
adalah tradisi memberikan upah kepada pelayat yang datang melayat oleh warga
dianggap sebagai tradisi yang harus dilaksanakan oleh keluarga yang berkabung.
Bahkan berdasarkan hasil wawancara penulis dengan warga di desa tersebut
mengatakan bahwa ketika warga yang meninggal dari keluarga yang tidak mampu,
uang amal yang ada di masjid sekitar pun bisa dipinjam untuk dipakai keluarga yang
berkabung apabila mengalami kekurangan dalam menyiapkan hal-hal yang sudah
menjadi tradisi ketika ada warga yang meninggal.21
Di sinilah sikap warga yang salah
memahami tradisi tersebut.
Kedua, dalam Islam tradisi (kebiasaan) merupakan salah satu hal yang
memiliki peran besar terhadap terjadinya ketetapan hukum syar’i. Jika tradisi tersebut
20
Wawancara dengan Siti Hana (Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum) pada Selasa 08 Juni
2015 pukul 09.30 tempat Ruang Prodi PMH. 21
Wawancara dengan ibu Qomar (warga di Desa Haru Gajrug), pada hari Kamis, 12
Februari 2015 pukul 14.45 tempat Kediaman Narasumber.
56
tidak bertentangan dengan hukum syar’i dan tidak merusak tujuan-tujuan dalam
setiap hukum dari keseluruhan hukum-hukum Allah, maka tradisi tersebut
dibolehkan. Akan tetapi apabila yang terjadi adalah seperti apa yang dilakukan oleh
warga di desa Haur Gajrug, maka tradisi tersebut tidak diperbolehkan karena hanya
akan menimbulkan beban berat bagi keluarga yang berkabung.
Ketiga, dari pendapat Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah pun sepakat
bahwa hal-hal yang akan menimbulkan bertambahnya beban keluarga yang
berkabung harus dihindari. Ketua Nahdlatul Ulama Kab Lebak pun memang
mengakui bahwa tradisi tersebut memang tradisi NU, akan tetapi kewajiban warga
sekitar yang harus membantu meringankan beban kesedihan keluarga yang berkabung
harus lebih diutamakan. Beliau pun menengaskan bahwa tradisi tersebut bukan
menjadi sesuatu yang harus dilaksanakan.22
Melainkan hanya sebagai sesuatu yang
sunah untuk dilakukan.
Tujuan dari tradisi tersebut sebenarnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai
agama Islam, karena tujuan dari tradisi tersebut ingin mencari keridhaan Allah atas
sedekah yang diberikan keluarga mayit, dan keridhaan yang diharap itu bukan hanya
untuk orang yang sudah meninggal saja. Yang salah dalam tradisi ini adalah cara dan
prakteknya sehingga merusak tujuan dari tradisi tersebut. Dalam Islam, tidak
dibenarkan segala hal untuk melakukan kebaikan. Adanya aturan dan batasan yang
22
Wawancara dengan Kyai Mas’ud (Ketua Nahdlatul Ulama Kab Lebak) pada hari Senin.
25 Mei 2015 pukul 13.30 tempat Kediaman Narasumber.
57
harus diperhatikan agar dapat terwujudnya nilai-nilai kebaikan yang berdasarkan
syari’at Islam.
Dalam agama Islam perbuatan dengan tujuan yang baik haruslah ditunjang
dengan cara dan praktek yang benar. Tidak bisa menghalalkan segala cara untuk
melakukan perbuatan yang baik.
Dari berbagai urauian di atas maka dapat ditarik benang merahnya bahwa
apa pun itu tujuan dan niat suatu pekerjaan jika tidak diikuti dengan cara dan
prosedur yang benar dan sesuai dengan syari’at agama Islam, maka tidak dapat
dibenarkan sekalipun pekerjaan tersebut mengandung unsur kebajikan. Seperti halnya
dengan tradisi ini, tidak ada perbedaan di kalangan ulama bahwa bersedakah itu
merupakan sesuatu yang sunah dan semestinya tidak ada unsur paksaan dalam
melakukannya.
58
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis paparkan mengenai Pandangan Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah Terhadap Tradisi Upah Pelayat (Studi Kasus di Desa
Haur Gajrug Kec Cipanas Kab Lebak Banten), maka ada beberapa hal yang dapat
disimpulkan, yang penulis jadika sebagai inti dari bahan skripsi.
1. Pedoman yang dimiliki umat Islam adalah Al-qur’an dan Hadits, semua hukum
dari segala sesuatu harus dikembalikan kepada kedua pedoman itu. Kedua
pedoman itulah yang menjadi dasar hukum utama dalam menetapkan hukum dari
sesuatu. Tradisi merupakan suatu kebiasaan yang masih diikuti oleh masyarakat,
akan tetapi perlu diperhatikan tradisi yang seperti apa yang diperbolehkan itu,
apakah tradisi tersebut tidak bertentangan dengan hukum syar’i atau tidak?
Apabila bertentangan maka tradisi tersebut tidak diperbolehkan. Praktek tradisi
memberikan upah kepada pelayat yang terjadi di desa Haur Gajrug, jika dilihat
dari tujuannya adalah untuk memberikan sedekah, telah kita ketahui bahwa
memberikan sedekah adalah suatu kebaikan yang akan mendapatkan pahala dari
Allah Swt. Bagi warga di Desa HaurGajrug, tradisi itu dijadikan sesuatu yang
harus diadakan oleh warga di Desa tersebut, di sinilah perlu adanya pemberi
tahuan kepada masyarakat bahwa tradisi itu bukan menjadi sesuatu yang harus
diusahan pelaksanaanya. Karena setiap warga yang ada di desa tersebut bukan
59
merupakan keluarga yang kaya raya, tidak semua warga disana mampu untuk
mengadakan tradisi itu. jika memang tujuan dari tradisi itu sebagai sedekah,
sedekah itu merupakan perkara yang sunah, yang boleh jika tidak dilakukan.
Apabila tradisi tersebut dilakukan hanya untuk menghindari ocehan warga, itu
hanya akan mempengaruhi nilai keikhlasan keluarga yang mengadakan tradisi itu.
2. Terdapat ikhtilaf dikalangan Ulama NU dan Muhammadiyah Kab Lebak.
Berbedanya pendapat disebabkan berbedanya dasar hukum yang digunakan.
Ulama NU membolehkan tradisi tersebut diadakan, dengan alasan jika keluarga
yang berkabung tidak berkeberatan untuk mengadakan tradisi itu. Tradisi itu juga
bukan suatu keharusan yang masti diadakan. Berbeda dengan pendapat Ulama
Muhammadiyah bahwa tidak ada dasar hukum dalam Al-qur’an dan Hadist
mengenai tradisi tersebut, jadi tradisi tersebut tidak bisa dilaksanakan karena
memang tidak ada perintahnya. Mengenai tujuan sedekah itu apakah pahalanya
akan sampai kepada yang meninggal itu atau tidak. NU berkeyakinan bahwa
pahala sedekah itu pasti akan sampai jika diniatkan untuk itu, sedangkan
Muhammadiyah berpendapat bahwa seseorang hanya akan mendapatkan apa yang
dia kerjakan. Kesamaan pendapat dari keduanya adalah sedekah merupakan
perkara sunah pelaksanaanya dan seluruh warga sekitar yang berada satu
lingkungan dengan keluarga yang berkabung berkewajiban untuk membantu
menghibur, membantu meringankan segala beban kesedihannya.
60
B. Saran-Saran
Setelah penulis membaca, meneliti, menganalisi dan menyimpulkan maka
penulis memberikan saran-saran sebagai berikut:
1. Bagi seorang muslim mengerjakan suatu ibadah yang sudah jelas perintahnya
dalam Al-qur’an dan Hadits merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan.
Dan hukum dari segala perkara harus dikembalikan kepada kedua sumber hukum
yaitu Al-qur’an dan Hadits.
2. Nilai keikhlasan merupakan point yang sangat penting dan harus diutamakan
dalam menjalani kehidupan sosial di tengah-tengah masyarakat. dengan demikian,
dalam menjalani kehidupan sebaiknya harus memperhatikan keihklasan, agar
segala hal yang dilakukan akan mendapatkan nilai di hadapan Allah swt.
3. Bagi teman-teman yang membaca skripsi ini, disarankan ketika akan
menyelengarakan suatu tradisi adat kebiasaan jangan hanya memperhatikan,
bahwa hal tersebut merupakan suatu kebiasaan yang memang sudah turun temurun
pelaksanaanya. Melainkan hukum dari pelaksanaan tersebut dan prakteknya juga
perlu diperhatikan. Karena dengan demikian akan menyempurnakan nilai kebaikan
dari pelaksanaan tradisi tersebut.
61
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Ahmad Sudirman, Qawa’id Fiwhiyyah dalam Prespektif Fiqh, Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 2004.
Albani, Al, Nashiruddin, TuntunanLengkapMengurusJenazah, penerjamah: Abbas
Muhammad Basalamah, Jakarta: Gema Insan Pres, 1999.
Asjmuni, Abdurrahman dkk, Fatwa-Fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama 3,
Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2004.
Baihaqi, Al, Ahmad bin Husain bin Ali bin Musa Abu Bakar, Sunan Al-Baihaqi Al-
Kubra, Makkah Al-Mukarramah: Maktabah Daar al-Bas, 1994.
Baihaqi, Fiqih Ibadah, Bandung: M2S Bandung, 1996.
Bakry, Oemar, Merawat Orang Sakit dan Menyelenggarakan Jenazah, Jakarta:
Mutiara Sumber Widya, t.th.
Dimasyqi, As, Syaraf An-Nawawi dan Abu ZakariyyaYahya, Penerjemah:
Muhyiddin Mas Rida,dkk, Jakarta: PustakaAzzam, 2007.
Dimyati, Al, Abu Bakar bin Muhammad Syatha, I’anah Al-Thalibin, Mauqi’ Yu’sub,
t.th.
Fahd bin Nashir bin Ibrahim as-Sulaiman, Fatwa-Fatwa Lengkap Seputar Jenazah
Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Penerjemah: Muhammad
Iqbal Ghazali, Jakarta: Darul Haq, 2006.
Ghamidi, Al, Abdul Latif, Mengasihi Orang Mati,Penerjemah: Mutsanna Abdul
Qahhar, Solo: Mumtazah, 2013.
Ghazaly, Abdul Rahman, dkk, FiqhMuamalah, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2012.
Glasse, Cepil, Ensiklopedia Islam: Ringkas, Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 1999.
Hassan, Othman Mukim, Khulasah Kifayah Himpunan 600 Masalah Jenazah,
Malaysia: Pustaka Ilmi, 1995.
Ibrahim, Abdullah Muhammad bin Ismail, Shahih Al-Bukhari, Beirut: Daar Al-Fikr,
t.th.
Jazairi, Al, Abu Bakar Jabir, Minhajul Muslim PedomanHidup Ideal Seorang
Muslim, Solo: Insan Kamil, t.th.
62
Mishri, Al, Ibnu Al-Mulaqqin Siraj Ad-Din Abu Hafs Umar bin Ali bin Ahmad As-
Syafi’i, Al-Badr Al-Munir Fi Tahrij Al-Hadits Wal Atsar Al-Waqiah Fi Al-
Syarhi Al-Kabir, Riyadh: Daar Al-Hijrah, 2004.
Mubarak, Saiful Islam, Fikih Kontroversi :Menjawab Berbagai Kontroversi dalam
Ibadah Sosial dan Ibadah Sehari-hari, Bandung: Syamil, 2007.
Mufid, Achmad, Risalah Kematian,Yogyakarta: Total Media 2007.
Muhammad, Al-Imam bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Nail Al-Authar, Kairo:
Maktabah Al- Imam. T,th.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, Surabaya:
Pustaka Progesif, 2002.
Muslim, Abu Al-Husain bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi al-Naisyaburi, Shahih
Muslim, Beirut: Daar al-Afaq al-Jadidah,t,.th.
Nabahani, An, Taqyudin, Membangun Ekonomi Alternatif Perspektif Islam,
Surabaya: RisalahGusti, 1996.
Naisyaburi, Al, Abu Al-Husain Muslim bin Al-Hijjaj bin Muslim Al- Qusyairi,
Shahih Muslim, Beirut: Daar Al-Afaq Al-Jadidah, t.th.
Nawawi, Al, Abu Zakariya Muhyi Al-Din bin Ibnu Syaraf, Khalasah Al-Ahkam Fi
Muhimmat Al-Sunan Wa Qowaid Al-Islam, Beirut: Muassasah Al-Risalah,
1997.
Profil Kelurahan Desa Haur Gajrug Kecamatan Cipanas Kabupaten Lebak Banten.
Rais, Isnawati dan Hasanudin, Fiqih Muamalah dan Aplikasinya pada LKS, Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011.
Ritonga, Rahman dan Zainuddin, Fiqih Ibadah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997.
Sabiq, Al-Sayid ,Fikih Sunnah ,penerjemah: Abdurrahim dan Masrukhin, Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2009.
Sahrani, Sohari dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah Untuk Mahasiswa, Bogor:
Ghalia Indonesia, 2011.
Shiddiqie, Hasby Ash, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1971.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Sulaiman bin Al-Asy’as bin Syidad bin amar, Sunan Abu Daud, Beirut: Daar Al-Fikr,
t.th.
63
Syafi’I, Rahmat, Fikih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Syaukani, Al, Subul al-salam, jilid IV, Bandung: Maktabah Dahlan, t.th.
Syaukani, Asy, Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad, Nail Al-Authar, Kairo:
Maktabah Al-Imam, t.th.
Syiraji, Asy, Imam Abu Ishaq, Al-Muhadzab, (Mesir: Maktabah Isa Al-Halabi, t.th.),
Jilid 1, hal. 464.
Tamimi, Al, Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim, Shahih bin Hibbah
Bitartib Hibn Baliyan, Beirut: Muassasah: Ar-Risalah, 1993.
Tihami, MA, Kamus Istilah-istilah dalam Studi Keislaman menurut Syaikh
Muhammad Nawawi Al-Bantani, Serang: Suhud Sentra Utama, 2003.
Tirmidzi, Al, Muhammad bin Isa Abu Isa, Al-Jami’ As-Shahih Sunnan Al-Tirmidzi,
Beirut: Daar Ihya Al-Turats Al-‘Arabi, t.th.
Ulama Nahdalatul, Ahkam Al-Fuqaha Hasil-Hasil Keputusan Muktamar Dan
Permusyawaratan Lainnya, Jakarta: Lajnah Takfil Wan Nasyr Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama, 2010.
http://Abufahmiabdullah.Wordpress.com/2013/02/11/tahlilan-dalam-pandangan-Nu-
Muhammadiyah. diakses pada 13 maret 2015, pukul 13.40
http://kisahmuslim./2014/08/tata-cara-memandikan-jenazah-menurut.htm. diakses
pada 13 maret 2015, pukul 13.16
http://www.muhammadiyah.or.id. diakses pada senin, 22 september 2015 pukul
14.00.
http://www.nu.or.id. diakses pada 18 september 2015 pukul 16.25
Wawancara dengan Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bapak Dr. Ahmad
Sudirman Abbas. MA, Selasa, 26 Mei 2015 pukul 16.30
Wawancara dengan Ketua Syuriah Nahdlatul Ulama Kabupaten Lebak, Senin, 25 Mei
2015 Pukul 13.30
Wawancara dengan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Lebak, Senin,
25 Mei 2015 pukul 10.30
Wawancara dengan Sekertaris Jurusan PMF Ibu Hj. Siti Hanna, S. Ag., Lc, MA,
Senin, 8 Juni 2015 pukul 09.30
64
LAMPIRAN
64
65
Narasumber : H. Mas’ud
Jabatan : Ketua Nahdlatul Ulama Kab Lebak Banten
Tempat Wawancara : Kediaman narasumber
Waktu Wawancara : Senin, 25 Mei 2015 pukul 13:30 WIB
1. Menurut bapak bagaimana mengambil upah dari pekerjaan ibadah?
Tidak mengapa, hal itu diperbolehkan. Hanya saja jangan sampai mengurangi nilai
keikhlasan.
2. Dari referensi yang say abaca, ada ikhtilaf dikalangan ulama mengenai ujrah alal ibadah.
Menurut bapak bagaimana yang dibolehkan dalam Islam?
Setiap pekerjaan yang mengharapkan keberkahan dari Allah Swt itu merupakan
ibadah. Ketika seseorang keluar rumah untuk bekerja dan dalam hatinya berniat
lillahi ta’ala mencari berkah rezeky dari Allah Swt itu juga merupakan ibadah. Jadi
pekerjaannya pantas untuk mendapat upah .
3. Apakah bapak pernah mendengar atau tau tentang tradisi memberikan upah kepada pelayat
yang datang untuk berta’ziah?
Iya tau, itu memang tradisi NU
4. Lalu bagaimana pendapat bapak mengenai tradisi semacam ini?
Adat tradisi yang baik harus diteruskan, akan tetapi harus didahulukan terlebih
dahulu untuk pengurusan jenazah. Jangan tradisinya yang diutamakan, dalam arti
NU tidak melarang tradisi itu diadakan dan tidak pula mewajibkannya. Perlu diingat
pula bahwa keluarga yang berkabung mereka perlu dibantu, agar kesedihannya dapat
berkurang.
66
5. Apa tanggapan bapak terhadap para warga yang masih melakukan tradisi tersebut, yang mana
mereka beranggapan bahwa upah tersebut merupakan bentuk sedekah yang pahalanya
ditujukan kepada si mayit?
NU sendiri memang berpendapat bahwa setiap perbuatan baik (sedekah) yang pahala
dari kebaikan tersebut diniatkan untuk si mayit itu pasti akan sampai kepada si mayit.
67
67
Narasumber : Endang Herdiana
Jabatan : Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Kab Lebak Banten
Tempat Wawancara : Kantor Pengurus Muhammadiyah Lebak
Waktu Wawancara : 25 Mei 2015, pukul 10:30 WIB
1. Apakah bapak pernah mendengar tentang tradisi memberikan upah kepada pelayat yang
dilakukan oleh keluarga yang berkabung?
Iya, tradisi itu memang ada.
2. Lalu bagaimana pendapat bapak mengenai tradisi semacam itu?
Sejatinya dan seharusnya keluarga yang berkabung dibantu, akan tetapi dengan tradisi
semacam ini menjadi kebalikan. Kenyataanya memang di desa-desa Kab Lebak sendiri
banyak yang melakukan tradisi tersebut. Yang lebih memprihatinkan lagi ada yang
menjadikan tradisi tersebut sebagai objek mencari uang, apabila yang meninggal dunia
keluarga yang kaya raya banyak warga yang datang untuk berta’ziah, lain halnya
apabila yang meninggal dunia dari keluarga yang tidak berkecukupan hanya beberapa
orang saja yang datang.
3. Apa tanggapan bapak terhadap pendapat para warga yang masih melakukan tradisi tersebut,
yang mana mereka beranggapan bahwa upah tersebut merupakan bentuk sedekah yang
pahalanya ditujukan kepada yang meninggal dunia?
Orang yang meninggal itu hanya membutuhkan doa dari keluarga yang masih hidup, si
mayit masuk syurga atau tidak itu tergantung amal perbuatannya sewaktu masih
hidup. Sebatulnya tradisi tersebut hanya sebuah kebiasaan yang apabila tidak
dilaksanakan akan dibicarakan oleh tetangga atau bahkan dianggap beda. Hal ini lah
68
yang perlu mendapat perhatian khusus, bagaimana memberi pemahaman kepada
warga bahwa tradisi tersebut bukan menjadi sesuatu yang wajib untuk dilaksanakan.
4. Menurut bapak bagaimana hukum mengambil upah dari pekerjaan ibadah?
Semua pekerjaan yang mengandung nilai kebaikan tentu pantas mendapatkan upah.
Akan tetapi jika upah tersebut berkaitan dengan tradisi memberikan upah kepada
pelayat itu tidak diperkenankan.
69
69
Narasumber : Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA
Jabatan : Dosen UIN Syarif Hidayatullah
Tempat Wawancara : Kediaman Narasumber
Waktu Wawancara : Selasa, 26 Mei 2015 pukul 16.30
1. Dari referensi yang saya baca , ada ikhtilaf dikalangan ulama mengenai ujrah alal ibadah.
Menurut bapak ujrah yang seperti apa yang diperbolehkan dalam Islam?
Memang ada ikhtilaf di ulama empat mazhab. Imam syafi’i yang memperbolehkan dan
memberi kelonggaran untuk mengambil upah karena beliau sendiri hidup dari belas
kasih orang lain, tapi tidak berarti beliau memberikan kelonggaran yang sebebas-
bebasnya. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang tidak membolehkan, yang di
larang oleh Imam Abu Hanifah yaitu upah yang diperoleh dari pekerjaan (berdakwah)
yang tidak membutuhkan banyak waktu. Karena di saat itu komunitasnya terbatas dan
hanya sedikit orang-orang yang tidak mengerti mengenai masalah, jadi hanya sekedar
informasi saja yang diberikan ketika mereka bertanya mengenai permasalahan agama.
Berbeda dengan di zaman sekarang, dimana banyak orang yang tidak begitu mengerti
tentang permasalahan agama. Sehingga pendakwah-pendakwah di zaman sekarang ini
benar-benar menempatkan seluruh waktunya untuk menggeluti dunia tersebut.
2. Di Desa Haur Gajrug Banten ada sebuah tradisi yang sampai saat ini masih terus dilakukan
yaitu tradisi memberikan upah kepada pelayat yang datang melayat. Bagaimana tanggapan
bapak mengenai tradisi tersebut?
Dalam Qa’idah Fiqhiyyah ( انعا دة محكمة ) adalah adat kebiasaan yang dijadikan dasar
hukum oleh masyarakat setempat untuk kemudian diteladani dan adat kebiasaan
tersebut dianggap seakan-akan hukum agama. Tetapi adat kebiasaan yang dimaksud
adalah adat kebiasaan yang tidak bertentangan dengan agama. Tradsi atau adat
kebiasaan yang disebut oleh agama baik dalam Al-Qur’an atau As-Sunnah adalah
tradisi yang dapat menjaga agama (Hifdz Ad-Din), menjaga jiwa (Hifdz An-Nafs),
menjaga akal (Hifdz Al-Akal), menjaga keturunan (Hifdz Al-Nasl), dan menjaga harta
70
benda (Hifdz Al-Mal). Apabila kelima hal tersebut terpenuhi maka tradisi tersebut boleh
untuk dilaksanakan. Tradsi memberikan upah kepada pelayat apabila keluarga yang
berkabung tidak berkeberatan maka tradisi itu diperkenankan. Seharusnya dan
semestinya keluarga yang berkabung tidak perlu memikirkan hal-hal yang akan
diberikan kepada pelayat yang datang, hal ini merupakan tanggung jawab warga
sekitar yang berkewajiban membantu meringankan beban kesedihan keluarga yang
ditinggal.
3. Dari hasil wawancara saya dengan warga, mereka berpendapat bahwa tujuan dari tradisi
tersebut adalah sebagai bentuk sedekah yang pahala dari sedekah tersebut ditujukan untuk si
mayit, bagaimana tanggapan bapak mengenai hal ini?
Tujuan dalam suatu pekerjaan itu sangat penting. Namun jika tujuannya baik bukan
semata-mata cara apapun boleh ditempuh untuk mewujudkan tujuan tersebut. Ada tata
cara dan prosedur yang harus diikuti dan ditaati sesuai dengan yang telah ditentukan
dalam syari’at Islam. Ini sesuai dengan الأ مىر بهقا صدها (hukum semua perkara adalah
sesuai dengan tujuan dan niatnya), sabda Rasulullah انما الأعمال بااننيات وانما نكم امرء مانىي
(sahnya beberapa amal perbuatan itu hanyalah dengan niat, dan setiap orang hanya akan
mendapatkan apa yang diniatkannya).
Selasa, 26 Mei 2015
Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA
71
71
Narasumber : Hj. Siti Hanna, S. Ag., Lc, MA
Jabatan : Sekertaris Jurusan PMF
Tempat Wawancara : Ruang Prodi PMH
Waktu Wawancara : Senin, 8 Juni 2015 pukul 09.30
1. Bagaimana hukum memberikan upah atau menyediakan makanan bagi para pelayat yang
datang melayat?
Pada dasarnya bagi setiap keluarga yang sedang berkabung tidak perlu memiliki hajat
baik berupa memberi upah atau menyediakan makanan kepada para pelayat yang
datang melayat. Karena dikisahkan bahwa Rasulullah Saw ketika Ja’far bin Abi Thalib
meninggal dunia, saat itu Rasulullah Saw memerintahkan kepada seluruh warga sekitar
untuk membuat masakan bagi keluarga Ja’far. Dari kisah ini jelas bahwa seharusnya
orang-orang yang ada disekelilinglah yang harus membantu, bukan sebaliknya. Kecuali
apabila memang keluarga si mayit merupakan keluarga yang kaya dan tidak
berkeberatan untuk melakukan tradisi tersebut.
2. Dari hasil wawancara saya dengan warga menyatakan bahwa tujuan dari tradisi tersebut yaitu
sebagai sedekah?
Dalam Islam segala perbuatan baik harus ditunjang dengan cara dan praktek yang
baik. Kita tidak bias menghalalkan segala cara untuk melakukan perbuatan baik.
Sedekah dalam Islam merupakan wujud dari pemberian yang sangat baik dan pasti
akan mendapatkan pahala. Akan tetapi semua itu dilihat dari kondisi keluarga yang
berkabung, karena tidak semua warga itu keluarga yang mampu. Bahkan jika yang
terjadi adalah keluarga yang berkabung memaksakan diri menjual tanah, sawah untuk
melakukan tradisi tersebut inilah yang salah. Jika seperti itu yang terjadi berarti
mendahulukan yang sunnah dari yang wajib, sedekah merupakan perkara yang sunnah
dilakukan, yang wajib dilakukan terlebih dahulu oleh keluarga mayit adalah
pembayaran hutangnya, apabila mayit memiliki hutang.
72
3. Bagaimana pendapat ibu dengan sedekah mayit, apakah pahala dari sedekah yang diniatkan
kepada mayit akan sampai?
Iya, pahala tersebut akan sampai. Karena berdasarkan hadits Rasulullah Saw yang
menyatakan bahwa tiga perkara yang amalan pahalanya tidak akan pernah terputus,
yaitu anak sholeh yang selalu berdoa untuk kedua orang tuanya, ilmu yang bermanfaat
dan sedekah atau amal jariah.
Senin, 8 Juni 2015
Sekretaris PMH
Hj. Siti Hanna, S. Ag., Lc, MA