Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

106
Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam Masalah hubungan antara Islam dan Pancasila rupanya masih menarik perhatian banyak kalangan. Munculnya beragam peraturan daerah (perda) yang bernuansa syariat Islam di beberapa daerah di era refromasi sedikit banyak kembali memancing perdebatan lama mengenai hubungan antara Islam dan Pancasila atau wacana hubungan antara negara dan agama. Bagi sebagian kalangan, perdebatan ini mungkin membosankan. Dalam konteks sejarah Indonesia, polemik ini sudah ada sejak masa sebelum kemerdekaan. Perdebatan itu dilakoni para tokoh pergerakan nasional sebagai bagian dari proses pencaharian identitas bersama. Asumsi mendasari perdebatan mereka, bagaimana caranya menjalankan negara dan bangsa jika kelak kemerdekaan nasional diperoleh. Konflik Ideologis Pada pertengahan 1940-an, perdebatan berlangsung dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Asumsi perdebatan itu kembali berkisar pada persoalan prinsipil, yakni atas dasar apa negara Indonesia didirikan dan dioperasikan kelak? Dari sekian banyak unsur bangsa yang tergabung dalam panitia persiapan kemerdekaan itu, pada akhirnya mengerucut hanya menjadi dua kelompok utama (mainstream), yakni pendukung dasar negara Islam dan nasionalisme (kebangsaan) sekuler. Dari naskah sidang-sidang BPUPKI kelihatan, perdebatan mengenai dasar negara sangat keras, sekalipun prosesnya masih dalam batas-batas wajar dan civilized. Ini bisa dipahami karena The Founding Father and Mothers adalah generasi baru yang terpelajar, baik dari hasil pendidikan Barat, pendidikan Islam maupun kombinasi kedua sistem pendidikan. Sejarah mencatat, pada akhirnya, perdebatan itu berakhir pada satu titik “kompromi”. Pancasila yang kemudian menjadi dasar

Transcript of Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Page 1: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Masalah hubungan antara Islam dan Pancasila rupanya masih menarik perhatian banyak kalangan. Munculnya beragam peraturan daerah (perda) yang bernuansa syariat Islam di beberapa daerah di era refromasi sedikit banyak kembali memancing perdebatan lama mengenai hubungan antara Islam dan Pancasila atau wacana hubungan antara negara dan agama.

Bagi sebagian kalangan, perdebatan ini mungkin membosankan. Dalam konteks sejarah Indonesia, polemik ini sudah ada sejak masa sebelum kemerdekaan. Perdebatan itu dilakoni para tokoh pergerakan nasional sebagai bagian dari proses pencaharian identitas bersama. Asumsi mendasari perdebatan mereka, bagaimana caranya menjalankan negara dan bangsa jika kelak kemerdekaan nasional diperoleh.

Konflik Ideologis

Pada pertengahan 1940-an, perdebatan berlangsung dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Asumsi perdebatan itu kembali berkisar pada persoalan prinsipil, yakni atas dasar apa negara Indonesia didirikan dan dioperasikan kelak? Dari sekian banyak unsur bangsa yang tergabung dalam panitia persiapan kemerdekaan itu, pada akhirnya mengerucut hanya menjadi dua kelompok utama (mainstream), yakni pendukung dasar negara Islam dan nasionalisme (kebangsaan) sekuler.

Dari naskah sidang-sidang BPUPKI kelihatan, perdebatan mengenai dasar negara sangat keras, sekalipun prosesnya masih dalam batas-batas wajar dan civilized. Ini bisa dipahami karena The Founding Father and Mothers adalah generasi baru yang terpelajar, baik dari hasil pendidikan Barat, pendidikan Islam maupun kombinasi kedua sistem pendidikan. Sejarah mencatat, pada akhirnya, perdebatan itu berakhir pada satu titik “kompromi”. Pancasila yang kemudian menjadi dasar negara Indonesia dinilai sebagai hasil kompromi maksimal pada tokoh nasional saat itu.

Sekalipun demikian, secara prinsipil, hasil kompromi itu masih bersifat longgar. Dasar negara rupanya menjadi “kitab” terbuka untuk dipersoalkan lagi. Mungkin di masa revolusi (1945-1949) perdebatan itu agak terhenti, karena para tokoh avant garde itu harus menghadapi musuh bersama yakni upaya-upaya rekolonisasi Belanda, akan tetapi pada tahun 1950-an, polemik klasik itu mencuat lagi ke pemukaan dalam bentuknya yang lebih keras. Perseteruan antara kelompok pendukung ide Pancasila (nasionalisme sekuler)) dan Islam (nasionalisme-religius) kembali mendapatkan tempat.

Pada dasarnya perdebatan di Konstituante itu positif, sebagai manifetsasi demokrasi liberal, akan tetapi karena tidak pernah menemui ujung penyelesaian, proses perdebatan itu akhirnya memicu munculnya malapetaka baru dalam perpolitikan Indonesia. Bukan Islam atau Pancasila yang diimplementasikan

Page 2: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

sebagai dasar penyelenggaraan negara, akan tetapi justru sistem otoriterianisme. Islam maupun Pancasila dalam pengertiannya yang idealistik akhirnya harus “minggir” ke belakang.

Demokrasi Terpimpin (1959-1066) menjadi titik balik (the turning point) demokrasi paling krusial dalam sejarah Indonesia. Rezim mengikrarkan kembali ke UUD 1945, sebuah naskah historis yang di dalamnya termaktub butir-butir Pancasila, akan tetapi praktiknya justru despotisme. Pancasila dan UUD 1945 menjadi kredo belaka bagi kekuasaan absolut. Namun demikian, bagi sejumlah ahli tata negara, praktik antidemokrasi yang berlangsung sejak 1959 tidak mengherankan, karena secara prinsipil, UUD 1945 memang sangat mungkin untuk diselewengkan.

Dominasi Pancasila

Sejak saat itu, kalangan Islam ideologis tidak mendapatkan panggung yang sebanding untuk memperjuangkan kembali dasar negara Islam. Otoritarianisme membuat ekspresi politik kelompok ini “mati kutu”. Sebaliknya, sebagian kelompok nasionalis-sekuler mendapatkan panggung justru karena berlindung di balik otoriterianisme. Memang, muncul pula kelompok agama dalam formasi kekuatan politik saat itu, akan tetapi eksistensi mereka tak lebih sebagai “pelengkap” belaka untuk sebuah formalitas unsur kebangsaan. Mereka tidak mewakili arus utama kelompok Islam idiologis.

Pada masa Orde Baru, suasana politik berubah, karena pergantian rezim. Polemik Islam dan Pancasila kembali mendapatkan sedikit ruang, sekalipun di batasi dalam kerangka wacana belaka. Despotisme yang panjang, termasuk dalam bentuk deislamisasi dan depolitisasi, telah membuat kredibilitas kelompok Islam ideologis surut. Orde Baru yang pada awalnya dinilai berbaik hati kepada kelompok Islam idiologis, ternyata justru tak kalah kerasnya dibandingkan Orde Lama. Kelompok-kelompok idiologis ditekan.

Pada masa inilah Pancasila sebagai sebuah ideologi menjadi unsur determinan dalam wacana politik. Celakanya, Pancasila kembali berubah menjadi kredo untuk membenarkan perilaku otoriter penguasa. Pancasila menjadi “makhluk” yang menakutkan bagi banyak kalangan, termasuk kelompok Islam idiologis (juga kelompok kiri, mahasiswa dan kelompok pro-demokrasi yang jumlahnya minoritas). Perdebatan lama tadi pun akhirnya beralih tempat dari parlemen ke komunitas intelektual. Beberapa generasi intelektual malah memberikan “pembenaran” bagi eksistensi Pancasila, sekalipun idiologi ini telah dieksploitasi bagi kepentingan otoritarianisme.

Akan tetapi di balik itu, pada masa Orde Baru, juga terjadi transformasi lain, yakni munculnya kelompok dalam Islam yang mencari argumentasi untuk mensinergikan antara Islam dan Pancasila. Bagi mereka, tidak ada pertentangan antara Islam dan Pancasila. Sejarawan Kuntowijoyo, misalnya, melihat Pancasila sebagai objektivikasi Islam. Baginya, tidak ada sila dalam Pancasila yang bertentangan dengan Islam dan sebaliknya tidak ada ajaran dalam Islam yang tidak cocok dengan Pancasila.

Hanya saja, karena dikemukakan di zaman Orde Baru, muncul spekulasi bahwa pandangan para sarjana Islam itu memberikan pembenaran terhadap praktik otoriatanisme. Rezim ini justru menyelenggaraan

Page 3: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

otoritarianisme dengan klaim telah melaksanakan Pancasila. Karena itu masih menjadi pertanyaan, apakah pemikiran sarjana Islam perihal kesesuaian antara Islam dan Pancasila menjadi justifikasi intelektual bagi praktik otoriterianisme?

Ketika rezim otoriter runtuh dan reformasi menyeruak, pemikiran soal hubungan antara negara dan agama kembali mencuat ke permukaan. Hanya saja konteks sosio-politiknya sudah berbeda. Para sarjana pun harus mencari formula baru hubungan antara Islam dan kebangsaan dalam konteks demokrasi dan reformasi. Sebab aktualisasi hubungan keduanya bisa berbeda antara zaman otoriter dengan zaman demokrasi.

Di era reformasi dan demokrasi, bentuk hubungan antara Islam dan negara tak serta merta koheren satu sama lain. Demokrasi justru memungkinkan menyeruaknya segala macam aspirasi, termasuk aspirasi “laten” dari kalangan Islam idiologis, yakni memberlakukan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Aspirasi itu mungkin tidak lagi menjadi benchmark partai-partai Islam, karena reputasinya merosot drastis pasca-depolitisasi dan deparpolisasi Orde Baru.

Aspirasi syariat Islam justru lahir dari lembaga-lembaga demokrasi baru, seperti parlemen lokal. Lahirnya sejumlah perda bernuansa syariat Islam di beberapa daerah justru lahir dalam konteks demokrasi lokal. Persoalan sekarang, bagaimana mencari formula yang tepat supaya Islam, Pancasila dan demokrasi tidak berbenturan satu sama lain.

Secara prinsip, ketiga entitas mungkin bisa bersesuaian satu sama lain, akan tetapi jika politik kepentingan sudah mendominasi, maka ketiganya bisa dimanfaatkan hanya untuk kepentingan parsial perorangan atau kelompok atas nama publik. Di masa Orla dan Orba, Pancasila dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan otoriter, maka di masa reformasi, tidak hanya Pancasila sebagai idiologi, Islam dan demokrasi pun bisa diperkuda untuk kepentingan sempit segelintir elite atau kelompok yang mengatasnamakan kepentingan rakyat.(CMM)

Diposkan oleh Blogger Destroyed di 05.37

Label: MAKALAH

Page 4: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

2. DEFINISI FALSAFAH

Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسفة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".

Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa "filsafat" adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis.[1] ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.

Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, dan couriousity 'ketertarikan'. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sedikit sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.

Page 5: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

FILSAFAT PANCASILA

Pancasila adalah suatu sistem nilai yang merupakan kristalisasi nilai-nilai dari sari-sari kebudayaan bangsa sepanjang sejarah telah menjamin keselarasan dan kesejahteraan antar warga masyarakat. Kenyataan ini tampak dalam sikap hidup yang mengutamakan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME) dan interaksi yang baik pada lingkungan.

Adapun alasan Pancasila dianggap sebagai ajaran Filsafat :

1. Secara formal, yurudis konstitusional pancasila adalah dasar Negara Republik Indonesia.

2. Secara material, isi dan inti pancasila adalah nilai Filsafat.

3. Secara praktis, pancasila disebut pandangan hidup bangsa.

4. Secara potensial, nilai-nilai dalam pancasila adalah filsafat Negara RI yang tumbuh dan berkembang untuk menyongsong masa depan nasional.

5. Kewajiaban tiap warga negara untuk menyakini dan mengamalkan serta melestarikan nilai-nilai pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara RI.

5 Pokok Ajaran Filsafat

a. Paham Ketuhanan YME,

b. Paham Kemanusiaan dan Kebangsaan,

c. Paham Kerakyatan,

d. Paham Keadilan Sosial,

e. Pokok ajaran sebagai filsafah sosial.

Pengertian filsafah menurut Hasbulloh Bakri mengatakan bahwa Filsafah adalah sejenis pengetahuan uang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang hakikatnya sejauh yang dapat dibaca oleh akal manusia dan bagaimana sikap manusia setelah mencapai pengetahuan itu. Sedangkan menurut Aristoteles, Filsafat adalah pengetahuan mengenai kebenaran yang tergabung di dalamnyametafisika, logika, ekonomi, politik dan estetika.

Page 6: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu mempunyai tingkatan dalam hal kualitas maupun kuantitasnya, namun nilai-nilai itu merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan serta saling melengkapi.

Kedudukan Filsafat :

a. Filsafat sebagai sastra,

b. Filsafat berpersan dalam sosial politik,

c. Filsafat sebagai metologi,

d. Filsafat berfungsi untuk menganalisa bahasa.

Diantara fungsi filsafat antara lain :

a. Memberi kecerdasan berfikir bagi setiap insan serta menyadasarkan bagaimana pentingnya ilmu pengetahuan bagi umat manusia.

b. Di dalam memperoleh pengertian secara mandiri dapatlah kita mengembangkan diri, sehingga tidak hanya mau menerima begitu saja pendapat orang lain.

c. Mewajibkan kita untuk dapat menghargai pendapat orang lain, serta saling memanfaatkan pikiran dengan sesamanya.

d. Memberikan kesinambungan, keserasian yang harmonis dimana antara rohani dan jasmani pribadi dan warga masyarakatnya baik kepentingan dunia maupun akhirat.

e. Dapat memelihara peradaban manusia dalam berfikir, sehingga umat manusia dapat mengamalkan filsafat hudup, tujuan hidup untuk menuju kesejahteran dunia yang dicita-citakan.

Sifat Filsafat :

Sifat filsafat bisa dikatakan relatif, sebab orang lain akan berbeda pandangan melihat dari segi apa sesuatu itu di lihat. Tetapi kebenaran yang mutlak adalah dari sang pencipta (Allah SWT). Karena pemikiran manusia berkembang dan akan terus berbeda pandangan karena semakin meningkat ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sistematika, Cabang-cabang dan Aliran Filsafat

Page 7: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

A. Sistematika Filsafat

1. Bidang Ontologi

2. Bidang Epistimologis

a. Empirisme

b. Rasionalisme

3. Bidang Aksiologi

B. Cabang-Cabang Filsafat

Di zaman modern ini salah satu sistematika filsafat yang di pandang baik adalag yang disusun oleh staf redaksi ENSIE (Eerste Nederlandsche Sistematich Ingericchte Encyclopedia) yang mengemukakan pembagian filsafat menjadi sembila macam cabang, yaitu :

1. Metafisika

2. Logika

3. Filsafat Mengenal (Heater)

4. Filsafat Pengetahuan (Wetenchap Leer)

5. Filsafat Alam (Natur Philoshophie)

6. Filsafat Kebudayaan (Cultur Philoshophie)

7. Etika

8. Estetika

9. Antropologi

C. Aliran Filsafat

1. Aliran Materialisme

2. Aliran Idealisme

3. Aliran Realisme

Page 8: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

4. Filsafat Islam

a. Ya'qub bin Isaq Alkindi

b. Abu Hamid Muhammad Al Ghozali

c. Abu Al Wahid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Rosyid

Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia pada hakikatnya suatu nilai-nilai yang bersifat sistematik fundamental dan menyeluruh. Maka sila-sila Pancasila merupakan suatua kesatuan yang bulat dan utuh, hierarkis dan sistematis. Dalam inilah maka sila-sila Pancasila merupakan suatu sistem filsafat. Konsekuensinya kelima sila bukan terpisah-pisah dan memiliki makna sendiri-sendiri, melainkan memiliki esensi serta makna yang utuh.

Selain itu Pancasil adalah suatu sistem filsafat, maksudnya yaitu suatu keseluruhan sistem harus memenuhi lima persyaratan sebagai berikut :

1. Merupakan satu kesatuan,

2. Merupakan tata yang konsisten dan koherens, tidak memandang konktradiksi,

3. Ada kaitan antara bagian satu dengan lainnya,

4. Ada kerjasama yang serasi dan seimbang,

5. Segala sesuatunya mengabdi kepada tujuan bersama yaitu tujuan yang satu.

Secara Filosofis, Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat memiliki dasar ontologis, dasar epistimologis sendiri yang berbeda dengan sistem filsafat yang lainnya, misalnya materilisme liberalisme, pragmatisme, idealisme dan paham lain filsafat di dunia.

Page 9: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Terlahirnya Pancasila sebagaimana tercatat dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia, merupakan sublimasi dan kristalisasi dari pandangan hidup (way of life) dan nilai-nilai budaya luhur bangsa yang mempersatukan keanekaragaman bangsa kita menjadi bangsa yang satu, Indonesia. Berbeda dengan Jerman, Inggris, Perancis, serta negara-negara Eropa Barat lainnya, yang menjadi suatu negara bangsa (nation state) karena kesamaan bahasa. Atau negara-negara lainnya, yang menjadi satu bangsa karena kesamaan wilayah daratan. Latar belakang historis dan kondisi sosiologis, antropologis dan geografis Indonesia yang unik dan spesifik seperti, bahasa, etnik, atau suku bangsa, ras dan kepulauan menjadi komponen pembentuk bangsa yang paling fundamental dan sangat berpengaruh terhadap realitas kebangsaan Indonesia saat ini.

Dengan demikian, Pancasila sebagai dasar falsafah Negara Indonesia harus diketahui dan dipahami oleh seluruh bangsa Indonesia agar menghormati, menghargai, menjaga, dan menjalankan nilai-nilai serta norma-norma positif yang terkandung dalam sila-sila pancasila hingga menjadi bangsa yang kuat dalam menghadapi kisruh dalam berbagai aspek sosial, ekonomi, politik baik nasional maupun internasional seperti yang sedang kita alami belakangan ini.

BAB II

TINJAUAN UMUM

A. FILSAFAT PANCASILA

1. Filsafat

Secara etimologis istilah “filsafat” atau bahasa Inggrisnya disebut “philosophi” berasal dari bahasa Yunani “philien” (cinta) dan “sophos” (hikmah/kearifan) atau bisa juga diartikan “cinta kebijaksanaan”. Makna menurut beberapa tokoh filsafat yaitu :

• Socrates : peninjauan dalam diri yang bersifat reflektif atau berupa perenungan terhadap azas-azas dari kehidupan adil dan bahagia.

• Plato : filsuf adalah pencinta pandangan tentang kebenaran (vision of truth). Dalam pencarian dan menangkap pengetahuan mengenai ide yang abadi dan tak berubah.

Wawasan filsafat terdiri dari beberapa aspek, yaitu Aspek Ontologi (eksistensi), Epistemologi (Metode/cara), dan Aksikologi (nilai dan estetika). Aliran filsafat juga terbagi atas beberapa sifat yaitu Materialisme (kebendaan), Idealisme / Spiritualisme (ide dan spirit), Realisme (Realitas).

Page 10: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

2. Pancasila

Pancasila adalah dasar Filsafat Negara Republik Indonesia yang secara resmi disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum dalam UUD 1945, dundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tahun II No. 7 bersama dengan UUD 1945. Perkataan Pancasila mula-mula terdapat dalam Kitab Tripitaka milik ajaran moral agama Budha yang kemudian ajaran tersebut diadaptasi oleh orang Jawa. Secara etimologis kata Pancasila berasal dari bahasa Sansakerta yaitu “Panca” (lima) dan “Syila” (Dasar/Sendi). Istilah Pancasila pertama kali digunakan sebagai nama dari 5 unsur dasar negara oleh Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945.

Secara ringkas Filsafat Pancasila dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis dan rasional Pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya secara mendasar dan menyeluruh.

4. Selasa, 23 Februari 2010

PENGEMBANGAN/PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA MANUSIA INDONESIA : DITINJAU DARI ASPEK SOSIAL, POLITIK DAN BUDAYA (Oleh Ali Habiu)

Berbicara tentang pengembangan atau pemberdayaan sumber daya manusia Indonesia pada hakekatnya kita berbicara mengenai sejauhmana pemerintah memberikan pelayanan dan fasilitas pendidikan kepada warganya, dan sejauhmana ethnologis budaya bangsa dapat dipertahankan sebagai soko guru etika budaya dan moralitas manunsia yang dan berbudi pekerti dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perolehan peningkatan Sumber Daya Manusia melalui pendidikan formal, bukan merupakan satu-satunya sarana untuk mendidik manusia Indonesia menjadi manusia cerdas dan pandai, namun juga tak kalah pentingnya adalah bagaimana proses adaptasi pemberdayaan sosial budaya dimana manusia tersebut dibesarkan atau dibina oleh kedua orang tua atau sanak keluarga dapat mengembangkan kemampuan intelegensia dan moralitas sebagai manusia berbudaya, sehingga setiap individu memiliki identitas diri sebagai manusia Indonesia. Ciri khas manusia Indonesia sebagai manusia yang berahlak dan berbudaya yang amat tersohor pada zamannya, sekarang sudah semakin sirna ditelan oleh globalisasi perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang menjadikan manusia Indonesia saat ini menjadi homo ekonomikus (Suryadarminta,1982), mereka lupa akan budayanya yang begitu tersohor pada zamannya mengakibatkan prilaku manusia bangsa ini dewasa ini cenderung individualistik. Sejak dekade 1980-an kecenderungan sistem pendidikan kita lebih dominan mengadopsi muatan-muatan kurikulum sistem pendidikan negara Amerika Serikat dan Eropah Barat, padahal produk sistem pendidikan kita waktu itu yang merupakan adaptasi atau asimilasi dari kurikulum Eropah Timur, Eropah Tengah dan Belanda relatif sudah cukup baik dan memuaskan, tinggal saja bagaimana pemerintah menyesuaikan diri sesuai perkembangan zaman. Namun sistem pendidikan yang sudah baik

Page 11: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

itu dari tahun ke tahun mengalami perubahan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai akibat dari indoktrinasi pemikiran dari para menteri kita ketika itu yang dominan berasal dari lulusan universitas dari Amerika Serikat, sehingga pola-pola westernisasipun berjalan dengan sendirinya, merombak sedikit demi sedikit kurikulum sistem pendidikan nasional sampai mendapatkan kurikulum yang kita rasakan saat ini. Akibatnya para mahasiswa tidak mendapatkan link and match, setiap produk sarjana dari pendidikan tinggi, baik berasal universitas-universitas atau perguruan tinggi negeri/swasta menelorkan sarjana yang tidak siap pakai. Hal ini menandakan bahwa pembinaan Sumber Daya Manusia Indonesia melalui produk alumni pendidikan tinggi tidak dapat memberikan konstribusi secara signifikan terhadap pemberdayaan Sumber Daya manusia itu sendiri dalam memberikan konstribusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Samudro wibawa (2005), membagi masyarakat menjadi dua, masyarakat kapitalistik dan masyarakat pra kapitalistik. Pembagian ini tentu saja sedikit berbau “sara” : bahwa masyarakat itu berkembang kearah kapitalistik, atau bahwa masyarakat kapitalistik itulah masyarakat yang “baik”. Pengamat lain mempunyai kacamata yang agak lebih netral : bahwa masyarakat terbagi ke dalam mereka yang moderen dan mereka yang tradisional. Sekalipun penyebutan seperti ini agak netral, pastilah dia juga menyimpan asumsi, bahwa moderen itu lebih baik dari pada tradisional. Adapula orang yang membagi masyarakat kedalam mereka yang bekerja di sektor formal dan mereka yang bekerja di sektor informal. Lagi-lagi pernyataan inipun implisit mengandung pemahaman, bahwa formal itu bagus dan kedalam situasi itulah masyarakat pada akhirnya harus berada, sedangkan informal itu jelek, kelas dua atau malu-maluin. Karenanya tukang becak harus digusur, pedagang asongan harus ditertibkan. Keprihatinan tersebut di atas dapat dilanjutkan dengan pernyataan bahwa pilihan kebijakan pemerintah untuk mengembangkan ekonomi selama ini telah menyingkirkan perhatian terhadap pengembangan potensi Sumber Daya Manusia sebagai individu. Setiap masyarakat, setiap warga negara berhak maju. Hidup memang harus begitu, tidak boleh sebaliknya seperti air yang mengalis kebawa atau seperti uap panas yang mengalis ke atas. Tetapi apakah maju itu ?. Samudro Wibawa (2005), memberikan kriteria untuk dapat membangun dirinya (membangun sumber daya manusianya) atau agar dapat masyarakat kita disebut sebagai komunitas dalam proses memajukan dirinya, maka berdasarkan pengalaman sejarah----secara individual maupun kolektif, manusia bangsa ini harus mempunyai karakter sebagai berikut :

Berpikir dan bersikap logis, dalam arti bahwa kita dapat menjaga konsistensi antara tujuan dan cara, atau harus rasional, pragmatis. Sejak terbentuknya negara ini tahun 1945, hanya sedikit diantara warga bangsa ini yang mempunyai karakter seperti ini. Kebanyakan kita adalah orang-orang yang tidakk mempunyai tujuan, tidak punya rencana, membiarkan diri hanyut dalam arus dan mode kehidupan, yang saat ini sbagian besar ditentukan oleh negara-negara Amerika, Eropah dan Jepang. Ini harus kita tinggalkan. Setiap warga negara harus mempunyai tujuan dan bisa memikirkan secara sistematis bagaimana cara mencapainya, dengan dibarengi sikap serius dan pragmatis. Kita harus mampu mengevaluasi kerja kita dan harus mampu merubah tujuan sesuai dengan cita-cita bangsa,

Disiplin dan kerja keras. Termasuk dalam hal ini adalah hidup secara hemat, jujur, sabar dan bersikap lebih banyak ekstrovert dari pada pemalu dan introvert . Kita juga perlu selekasnya meninggalkan gaya hidup yang gengsi-gengsian, dan projo oriented, menggantinya dengan tujuan dan prestasi oriented.

Page 12: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Ada kesempatan berkreasi. Masyarakat harus dapat menciptakan suasana social yang memungkikan secara individu untuk menampilkan gagasan dan merealisasikan ide-idenya. Hal ini agak problematis : Ide baru sering kali melawan nilai dan norma sosial. Pada kondisi demikian ini masyarakat harus dapat kompromistis.

Terjaminnya kualitas. Kesempatan yang diberikan oleh masyarakat kepada individu haruslah diimbangi oleh setiap individu dengan menciptakan kreasi secara kualitas, tidak asal-asalan atau asal jadi. Disiplin, kerja keras dan kesungguhan hati pastilah menghasilkan karya-karya yang berkualitas.

Kepastian hukum. Masyarakat juga harus dapat menjamin kepastian hukum. Hukum adalah aturan bersama, yang dirumuskan secara bersama, baik berupa undang-undang maupun peraturan pemerintah pada semua tingkat dan antar kelompok masyarakat untuk dipakai buat kepentingan bersama.

Transparansi proses politik dan birokratik. Kepastian hukum akan lebih terjaga, jika proses pembuatan aturan dan proses pelaksanaannya berlangsung secara kasat mata. Setiap individu harus diberi hak untuk melihat jalannya proses itu, tidak peduli apakah dia akan menggunakan haknya atau tidak.

Teladan kelompok elit, baik elit politik, ekonomi maupun budaya. Dalam sebuah sistem sosial yang demokratis, transparan dan bebas, sebenarnya kelompok elit tidak memainkan peran yang dominan dalam membentuk dan mengarahkan perkembangan masyarakat.

Jaminan sosial----hari tua, kesehatan pendidikan. Selain adanya kepastian hukum dan jaminan keamanan bagi setiap warga negara, setiap individu dalam masyarakat kita akan terdorong untuk melakukan atau menciptakan karya-karya kreatif yang berkualitas, jika ada system reward and punishment yang bagus.

Proses sosial yang progressif tersebut di atas hanya dapat berlangsung secara relatif menyenangkan, jika persyaratan di bawah ini dapat dipenuhi, yakni :

Utang negara maupun utang swasta berada pada tingkat normal. Utang yang berkelebihan akan menyengsarakan masyarakat secara keseluruhan, termasuk rakyat yang tidak berhutang,

Kondisi sosial, politik dan ekonomi dalam keadaan stabil, tidak dalam arti bahwa kehidupan masyarakat tenang tetapi tertekan.

Sistem pendidikan dan penelitian yang mantap dengan menciptakan link and match antara pendidikan tinggi dan kerja, sehingga universitas atau perguruan tinggi tidak hanya menghasilkan sarjana berijazah, melainkan sarjana yang siap bekerja atau mampu menciptakan lapangan kerja sendiri

Diposkan oleh opinionpublikator.blogspot.com di 23.36

Label: sdm indonesia

Page 13: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

9. TINDAK PIDANA KORUPSI DI TINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Latar Belakang

Indonesia menurut lembaga survey internasional Political and Economic Risk Consultancy yang bermarkas di Hongkong merupakan negeri terkorup di Asia. Indonesia terkorup di antara 12 negara di Asia, diikuti India dan Vietnam.

Thailand, malaysia, dan Cina berada pada posisi keempat. Sementara negara yang menduduki peringkat terendah tingkat korupsinya adalah Singapura, Jepang, Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan. Pencitraan Indonesia sebagai negara paling korup berada pada nilai 9,25 derajat, sementara India 8,9; Vietman 8,67; Singapura 0,5 dan Jepang 3,5 derajat dengan dimulai dari 0 derajat sampai 10.

Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga, juga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini termasuk yang paling tinggi di dunia. Bahkan koran Singapura, The Straits Times, sekali waktu pernah menjuluki Indonesia sebagai the envelope country. Mantan ketua Bappenas, Kwik Kian Gie, menyebut lebih dari Rp.300 triliun dana dari penggelapan pajak, kebocoran APBN, maupun penggelapan hasil sumberdaya alam, menguap masuk ke kantong para koruptor. Di samping itu, korupsi yang biasanya diiringi dengan kolusi, juga membuat keputusan yang diambil oleh pejabat negara menjadi tidak optimal. Heboh privatisasi sejumlah BUMN, lahirnya perundang-undangan aneh semacam UU Energi, juga RUU SDA, impor gula dan beras dan sebagainya dituding banyak pihak sebagai kebijakan yang sangat kolutif karena di belakangnya ada motivasi korupsi. Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia, pejabat dan birokrat di negara ini dicap sebagai tukang rampok, pemalak, pemeras, benalu, self seeking, dan rent seeker, khususnya di hadapan pengusaha baik kecil maupun besar, baik asing maupun pribumi. Ini berbeda dengan, konon, birokrat Jepang dan Korea Selatan yang membantu dan mendorong para pengusaha untuk melebarkan sayapnya, demi penciptaan lapangan kerja alias pemakmuran warga negara.

Korupsi semakin menambah kesenjangan akibat memburuknya distribusi kekayaan. Bila sekarang kesenjangan kaya dan miskin sudah sedemikian menganga, maka korupsi makin melebarkan kesenjangan itu karena uang terdistribusi secara tidak sehat atau dengan kata lain tidak mengikuti kaedah-kaedah ekonomi sebagaimana mestinya. Koruptor makin kaya, yang miskin semakin miskin. Akibat lainnya, karena uang seolah mudah dipeoleh, sikap konsumtif menjadi semakin merangsang,

Page 14: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

tidak ada dorongan kepada pola produktif, akhirnya timbul inefisiensi dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi yang telah tersedia.

Korupsi juga dituding sebagai penyebab utama keterpurukan bangsa ini. Akibat perbuatan korup yang dilakukan segelintir orang maka kemudian seluruh bangsa ini harus menanggung akibatnya. Ironisnya kalau dulu korupsi hanya dilakukan oleh para pejabat dan hanya di tingkat pusat, sekarang hampir semua orang baik itu pejabat pusat maupun daerah, birokrat, pengusaha, bahkan rakyat biasa bisa melakukan korupsi. Hal ini bisa terjadi barangkali karena dahulu orang mengganggap bahwa yang bisa korupsi hanya orang-orang orde baru sehingga mumpung sekarang orde baru runtuh semua berlomba-lomba untuk ‘meniru’ perilaku korup yang dilakukan orang-orang Orde Baru. Alasan lain yang hampir sama barangkali seperti yang dipaparkan oleh Rieke Diyah Pitaloka dalam tesisnya bahwa kekerasan yang dilakukan masyarakat sipil bukan sesuatu yang otonom, tetapi ada disposisi antara aktor dan kekerasan itu sendiri. Artinya, antara si penguasa dan pelaku kekerasan itu ada timbal balik, contohnya adalah kasus

korupsi. Jadi ada semacam perpindahan kekerasan dari negara kepada masyarakat. Perilaku korupsi yang dilakukan oleh hanya segelintir pejabat negara akhirnya ‘berpindah’ dilakukan oleh masyarakat biasa. Hal yang lebih berbahaya lagi, korupsi ini tidak hanya dilakukan oleh per individu melainkan juga dilakukan secara bersama-sama tanpa rasa malu. Misalnya korupsi yang dilakukan seluruh atau sebagian besar anggota DPR/DPRD. Jadi korupsi dilakukan secara berjamaah. Yang lebih berbahaya lagi sebenarnya adalah korupsi sistemik yang telah merambah ke seluruh lapisan masyarakat dan sistem kemasyarakatan. Dalam segala proses kemasyarakatan, Korupsi bisa terjadi apabila karena faktor-faktor sebagai berikut:

a. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.

b. Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.

c. Kolonialisme.

d. Kurangnya pendidikan.

Page 15: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

e. Kemiskinan.

f. Tiadanya hukuman yang keras.

g. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.

h. Struktur pemerintahan.

i. Perubahan radikal.

j. Keadaan masyarakat

Sementara Soejono memandang bahwa faktor terjadinya korupsi, khususnya di Indonesia, adalah adanya perkembangan dan perbuatan pembangunan khususnya di bidang ekonomi dan keuangan yang telah berjalan dengan cepat, serta banyak menimbulkan berbagai perubahan dan peningkatan kesejahteraan. Di samping itu, kebijakan-kebijakan pemerintah, dalam upaya mendorong ekspor, peningkatan investasi melalui fasilitas-fasilitas penanaman modal maupun kebijaksanaan dalam pemberian kelonggaran, kemudahan dalam bidang perbankan, sering menjadi sasaran dan faktor penyebab terjadinya korupsi.

Sedangkan faktor yang menyebabkan merajalelanya korupsi di negeri ini menurut Moh. Mahfud MD adalah adanya kenyataan bahwa birokrasi dan pejabat-pejabat politik masih banyak didominasi oleh orang-orang lama. Lebih lanjut menurutnya orang-orang yang pada masa Orde Baru ikut melakukan korupsi masih banyak yang aktif di dalam proses politik dan pemerintahan. Upaya hukum untuk membersihkan orang-orang korup itu juga gagal karena para penegak hukumnya juga seharusnya adalah orang-orang yang harus dibersihkan. Faktor lainnya adalah hukum yang dibuat tidak benar-benar untuk kesejahteraan masyarakat (Rule of Law), tetapi justru hukum dijadikan alat untuk mengabdi kepada kekuasaan atau kepada orang-orang yang memiliki akses pada kekuasaan dan para pemilik modal (Rule by Law).

Page 16: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Sebaliknya masyarakat kecil tidak bisa merasakan keadilan hukum. Hukum menampakkan ketegasannya hanya terhadap orang-orang kecil, lemah, dan tidak punya akses, sementara jika berhadapan dengan orang-orang ‘kuat’, memiliki akses kekuasaan, memiliki modal, hukum menjadi lunak dan bersahabat. Sehingga sering terdengar ucapan, seorang pencuri ayam ditangkap, disiksa dan akhirnya dihukum penjara sementara para pejabat korup yang berdasi tidak tersentuh oleh hukum (untouchable) Namun demikian sebenarnya usaha-usaha pemberantasan korupsi di Indonesia sudah banyak dilakukan, tetapi hasilnya kurang begitu nampak. Walaupun begitu tidak boleh ada kata menyerah untuk memberantas penyakit ini.

Penulis melihat karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim penting dan logis kiranya untuk meneliti postulat hukum Islam kaitannya dengan korupsi dan bagaimana perspektif dan kontribusinya terutama terhadap kasus korupsi yang ada di Indonesia. Penulis sendiri berkeyakinan bahwa Islam datang untuk membebaskan dan memerangi sistem ketidakadilan bukan malah untuk melegalkan praktik-praktik yang melahirkan eksploitasi dan ketidakadilan. Tindak korupsi tentu termasuk hal yang harus diperangi Islam karena dapat menimbulkan masalah besar. Dengan kata lain, Islam harus ikut pula bertanggungjawab memikirkan dan memberikan solusi terhadap prilaku korupsi yang sudah menjadi epidemis ini. Tentunya Islam

tidak bisa berbicara sendiri, harus ada usaha-usaha untuk menyuarakan konsep-konsep Islam, salah satunya dengan membongkar dogma hukum Islam. Sejauh pengetahuan penulis, kata korupsi secara literer memang tidak

ditemukan dalam khasanah hukum Islam, tetapi substansi dan persamaannya bisa dicari dan ditelusuri dalam hukum Islam. Analogi tindakan korupsi bisa ke arah Ghulul, sariqoh, pengkhianatan dan lain-lain, tetapi terma-terma tersebut masih perlu dikaji lebih lanjut. Terlebih lagi kalau menelusuri konsep hukum Islam untuk ikut memberantas tindakan korupsi.

Maka pada titik inilah menurut penulis penelitian ini penting untuk dilakukan tidak saja untuk mengklarifikasi kegundahan-kegundahan sebagaimana yang dirasakan penulis di atas tetapi lebih dari itu diharapkan bisa memberikan jalan keluar terhadap mewabahnya tindakan korup ini dan bisa sama-sama ikut serta menegakkan supremasi hukum di negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini.

Page 17: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

5. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN

21 Januari, 2009 | Dalam Kategori Pelajaran

41 Komentar | dilihat: 38141 kali, 29 Hari ini

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN

Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan.

Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut

menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma.

Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi

pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, paradigma

sebagai alat bantu para illmuwan dalam merumuskan apa yang harus dipelajari, apa

yang harus dijawab, bagaimana seharusnya dalam menjawab dan aturan-aturan yang

bagaimana yang harus dijalankan dalam mengetahui persoalan tersebut.

Suatu paradigma mengandung sudut pandang, kerangka acuan yang harus dijalankan

oleh ilmuwan yang mengikuti paradigma tersebut. Dengan suatu paradigma atau

sudut pandang dan kerangka acuan tertentu, seorang ilmuwan dapat menjelaskan

sekaligus menjawab suatu masalah dalam ilmu pengetahuan.

Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu

pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan

ekonomi. Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir,

kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan

tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai

Page 18: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan.

Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam

melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia.

1. Pancasila sebagai paradigma pembangunan

Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif

menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional

yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan

penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi

nasional. Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar

negara Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup

manusia maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur

penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan.

Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat

manusia menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang

monopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain:

a. susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga

b. sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial

c. kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan.

Page 19: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan

harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga,pribadi, sosial, dan

aspek ketuhanan. Secara singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan

manusia secara totalitas.

Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia secara

keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang

mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi bidang politik,

ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Pancasila menjadi paradigma

dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.

a. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Politik

Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau

pelaku politik bukan sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari kodrat

manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat

manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek

harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari

rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai

pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter

Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas

kerakyatan (sila IV Pancasila). Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik

didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena

itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia dikembangkan atas moral

Page 20: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral

keadilan. Perilaku politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negara

dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik

yang santun dan bermoral.

b. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi

Sesuai dengan paradigma pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan

pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada pancasila. Secara khusus,

sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan (sila I

Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan

pada moralitas dam humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang

berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakikat manusia, baik selaku

makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun makhluk tuhan. Sistem ekonomi

yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang hanya

menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem

ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang

tidak mengakui kepemilikan individu.

Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek.

Oleh karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan

pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.

Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang

berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak dapat dipisahkan

dari nilai-nilai moral kemanusiaan. Pembangunan ekonomi harus mampu

Page 21: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk

lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan

kesengsaraan warga negara.

c. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya

Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak

dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana

tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu,

pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia,

yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang

menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas

bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil dan beradab. Manusia tidak

cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat

kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo

menjadi human.

Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas

dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam si

seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.

Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial

berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima

sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak

menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial.

Page 22: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

d. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Pertahanan Keamanan

Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia

dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan

tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat

Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan

keamanan adalah mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan

pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat

semesta (sishankamrata).

Sistem pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara,

wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh

pemerintah dan diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan berlanjut

untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap

bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan

pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada

kekuatan sendiri.

Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana

pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam

masalah pertahanan negara dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma

pembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana

tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan Negara. Dalam

undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada

falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap

Page 23: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945.

2. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi

Pada saat ini Indonesia tengah berada pada era reformasi yang telah

diperjuangkan sejak tahun 1998. ketika gerakan reformasi melanda Indonesia maka

seluruh tatanan kehidupan dan praktik politik pada era Orde Baru banyak

mengalami keruntuhan. Pada era reformasi ini, bangsa Indonesia ingin menata

kembali (reform) tatanan kehidupan yang berdaulat, aman, adil, dan sejahtera.

Tatanan kehidupan yang berjalan pada era orde baru dianggap tidak mampu memberi

kedaulatan dan keadilan pada rakyat.

Reformasi memiliki makna, yaitu suatu gerakan untuk memformat ulang, menata

ulang atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format

atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat.

Apabila gerakan reformasi ingin menata kembali tatanan kehidupan yang lebih

baik, tiada jalan lain adalah mendasarkan kembali pada nilai-nilai dasar

kehidupan yang dimiliki bangsa Indonesia. Nilai-nilai dasar kehidupan yang baik

itu sudah terkristalisasi dalam pancasila sebagai dasar dan ideologi negara.

Oleh karena itu, pancasila sangat tepat sebagai paradigma, acuan, kerangka, dan

tolok ukur gerakan reformasi di Indonesia.

Dengan pancasila sebagai paradigma reformasi, gerakan reformasi harus diletakkan

dalam kerangka perspektif sebagai landasan sekaligus sebagai cita-cita. Sebab

Page 24: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

tanpa suatu dasar dan tujuan yang jelas, reformasi akan mengarah pada suatu

gerakan anarki, kerusuhan, disintegrasi, dan akhirnya mengarah pada kehancuran

bangsa. Reformasi dengan paradigma pancasila adalah sebagai berikut :

a. Reformasi yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, gerakan reformasi

berdasarkan pada moralitas ketuhanan dan harus mengarah pada kehidupan yang baik

sebgai manusia makhluk tuhan.

b. Reformasi yang berperikemanusiaan yang adil dan beradab. Artinya, gerakan

reformasi berlandaskan pada moral kemanusiaan yang luhur dan sebagai upaya

penataan kehidupan yang penuh penghargaan atas harkat dan martabat manusia.

c. Reformasi yang berdasarkan nilai persatuan. Artinya, gerakan reformasi harus

menjamin tetap tegaknya negara dan bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan.

Gerakan reformasi yang menghindarkan diri dari praktik dan perilaku yang dapat

menciptakan perpecahan dan disintegrasi bangsa.

d. Reformasi yang berakar pada asas kerakyatan. Artinya, seluruh penyelenggaraan

kehidupan berbangsa dan bernegara harus dapat menempatkan rakyat sebagai subjek

dan pemegang kedaulatan. Gerakan reformasi bertujuan menuju terciptanya

pemerintahan yang demokratis, yaitu rakyat sebagai pemegang kedaulatan.

e. Reformasi yang bertujuan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Artinya, gerakan reformasi harus memiliki visi yang jelas, yaitu demi

terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Perlu disadari bahwa

Page 25: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

ketidakadilanlah penyeban kehancuran suatu bangsa.

Tagged as: Pancasila, paradigma, pembangunan, sebagai paradigma

« Belenggu di balik disahkannya UU BHP

PANCASILA SEBAGAI SUMBER NILAI »

2. Mayapadha

m a k e t h e h a y w h i l e t h e s u n r i s e

Double Coverku= Ansav + ashampoo »

Sejarah Lahirnya Pancasila.

Mari kita telusuri fakta-fakta sejarah tentang kelahiran pancasila. Dalam rapat BPUPKI pada tanggal 1 juni 1945, Bung Karno menyatakan antara lain:”Saya mengakui, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah H.B.S. di Surabaya, saya dipengaruhi seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya, – katanya : jangan berpaham kebangsaan, tetapi berpahamlah rasa kemanusiaan seluruh dunia, jangan mempunyai rasa kebangsaan sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 1917. akan tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, ia adalah Dr. Sun Yat Sen ! Di dalam tulisannya “San Min Cu I” atau “The THREE people’s Principles”, saya mendapatkan pelajaran yang membongkar kosmopolitanisme yang diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruh“The THREE people’s Principles” itu. Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah bahwasanya Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat dengan sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen, -sampai masuk ke liang kubur.”

Lebih lanjut ketika membicarakan prinsip keadilan sosial, Bung Karno, sekali lagi menyebutkan pengaruh San Min Cu I karya Dr. Sun Yat Sen:”Prinsip nomor 4 sekarang saya usulkan. Saya didalam tiga hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu kesejahteraan, prinsip: tidak ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka. Saya katakan tadi prinsipnya San Min Cu I ialah “Mintsu, Min Chuan , Min Sheng” : Nationalism, democracy, socialism. Maka prinsip kita …..harus …… sociale rechtvaardigheid.”

Page 26: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Pada bagian lain dari pidato Bung Karno tersebut, dia menyatakan:”Maka demikian pula jikalau kita mendirikan negara Indonesia merdeka, Paduka tuan ketua, timbullah pertanyaan: Apakah Weltanschaung” kita, untuk mendirikan negara Indonesia merdeka di atasnya?Apakah nasional sosialisme ? ataukah historisch-materialisme ? Apakah San Min Cu I, sebagai dikatakan oleh Dr. Sun Yat Sen ? Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tapi “Weltanschaung” telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak salah, dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku “The THREE people’s Principles” San Min Cu I,-Mintsu, Min Chuan , Min Sheng” : Nationalisme, demokrasi, sosialisme,- telah digunakan oleh Dr. Sun Yat Sen Weltanschaung itu, tapi batu tahun 1912 beliau mendirikan negara baru di atas “Weltanschaung” San Min Cu I itu, yang telah disediakan terlebih dahulu berpuluh-puluh tahun.” (Tujuh Bahan Pokok demokrasi, Dua – R. Bandung, hal. 9-14.)

Pengaruh posmopolitanisme (internasionalisme) kaya A. Baars dan San Min Cu I kaya Dr. Sun Yat Sen yang diterima bung Karno pada tahun 1917 dan 1918 disaat ia menduduki bangku sekolah H.B.S. benar-benar mendalam. Ha ini dapat dibuktikan pada saat Konprensi Partai Indonesia (partindo) di Mataram pada tahun 1933, bung Karno menyampaikan gagasan tentang marhaennisme, yang pengertiannya ialah :

(a) Sosio – nasionalisme, yang terdiri dari : Internasionalisme, Nasionalisme

(b) Sosio – demokrasi, yang tersiri dari : Demokrasi, Keadilan sosial.

Jadi marhaenisme menurut Bung Karno yang dicetuskan pada tahun 1933 di Mataram yaitu : Internasionalisme ; Nasionalisme ; Demokrasi : Keadilan sosial. (Endang Saifuddin Anshari MA. Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, Pustaka Bandung1981, hql 17-19.)

Dan jika kita perhatikan dengan seksama, akan jelas sekali bahwa 4 unsur marhainisme seluruhnya diambil dari Internasionalisme milik A. Baars dan Nasionalisme, Demokrasi serta keadilan sosial (sosialisme) seluruhnya diambil dari San Min Cu I milik Dr. Sun Yat Sen.

Sekarang marilah kita membuktikan bahwa pancasila yang dicetuskan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI adalah sama dengan Marheinisme yang disampaikan dalam Konprensi Partindo di Mataram pada tahun 1933, yang itu seluruhnya diambil dari kosmopolitanisme milik A. Baars dan San Min Cu I milik Dr. Sun Yat Sen. Di dalam pidato Bung Karno pada tanggal 1 juni 1945 itu antara lain berbunyi :”Saudara-saudara ! Dasar negara telah saya sebutkan, lima bilangannya. Inikah Panca

Page 27: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Dharma ? Bukan !Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar…..Namanya bukan Panca Dharma, tetaoi….saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa…..namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi. Kelima sila tadi berurutan sebagai berikut:

(a) Kebangsaan Idonesia;

(b) Internasionalisme atau peri-kemanusiaan;

(c) Mufakat atau domokrasi;

(d) Kesejahteraan sosial;

(e) Ke-Tuhanan.

(Pidato Bung Karno pada tanggal 1 juni 1945 dimuat dalam “20 tahun Indonesia Merdeka” Dep. Penerangan RI. 1965.)

Kelima sila dari Pancasila Bung Karno ini, kita cocokkan dengan marhaenisme Bung Karno adalah persis sama, Cuma ditambah dengan Ke Tuhanan. Untuk lebih jelasnya baiklah kita susun sebagai berikut:

(a) Kebangsaan Indonesia berarti sama dengan nasionalisme dalam marhaenisme, juga sama dengan nasionalisme milik San Min Cu I milik Dr. Sun yat Sen, Cuma ditambah dengan kata-kata Indonesia.

(b) Internasionalisme atau peri-kemanusiaan berarti sama dengan internasionalisme dalam marhaenisme, juga sama dengan internasionalisme (kosmopolitanisme) milik A. Baars.

Page 28: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

(c) Mufakat atau demokrasi berarti sama dengan demokrasi dalam marhaenisme, juga sama dengan demokrasi dalam San Min Cu I milik Dr. Sun Yat Sen;

(d) Kesejahteraan sosial berarti sama dengan keadilan sosial dalam marhaenisme, juga berarti sama dengan sosialisme dalam San Min Cu I milik Dr. Sun Yat Sen.

(e) Ke-Tuhanan yang diambil dari pendapat-pendapat para pemimpin Islam, yang berbicara lebih dahulu dari Bung Karno, di dalam sidang BPUPKI pada tanggal 1 juni 1945.

Dengan cara mencocokkan seperti ini, berarti nampak dengan jelas bahwa Pancasila yang dicetuskan oleh Bung Karno pada tanggal 1 juni 1945, yang merupakan”Rumus Pancasila I”, sehingga dijadikan Hari Lahirnya Pancasila, berasal dari 3 sumber yaitu:

a) Dari San Min Cu I Dr. Sun Yat Sen (Cina);

b) Dari internasionalisme (kosmopolitanisme A. Baars (Belanda).

c) Dari umat Islam.

Jadi Pancasila 1 juni 1945, adalah bersumber dari : (1) Cina; (2) Belanda; dan (3) Islam. Dengan begitu bahwa pendapat yang menyatakan Pancasila itu digali dari bumi Indonesia sendiri atau dari peninggalan nenek moyang adalah sangat keliru dan salah !

Sebagaimana telah dimaklumi bahwa sebelum sidang pertama BPUPKI itu berakhir, dibentuklah satu panitia kecil untuk :

a) Merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara, berdasarkan pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945.

Page 29: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

b) Menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk memproklamirkan Indonesia merdeka.

Dari dalam panitia kecil itu dipilih lagi 9 orang untuk menyelenggarakan tugas itu. Rencana mereka itu disetujui pada tanggal 22 Juni 1945, yang kemudian diberikan nama dengan “Piagam Jakarta”.

Piagam Jakarta berbunyi:

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri-keadilan.

Dan perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampai kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rahmat Alloh Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan bebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan ikut melasanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum Dasar Negara Indonesia yang berdasar kedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada : Ke- Tuhanan, dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk – kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indinesia.”

Jakarta, 22-6-1605.

Ir. SOEKARNO ;

Page 30: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Drs. Mohammad Hatta ;

Mr. A.A Maramis ;

Abikusno Tjokrosujoso ;

Abdul Kahar Muzakir ;

H.A. Salim ;

Mr. Achmad Subardjo ;

Wachid Hasjim ;

Mr. Muhammad Yamin

(Moh. Hatta dkk. Op.cit. hal. 30-32)

Dengan begitu, maka Pancasila menurut Piagam Jakarta 22 Juni 1945, dan ini merupakan Rumus Pancasila II, berbeda dengan Rumus Pancasila I. Lebih jelasnya Rumus Pancasila II ini adalah sebagai berikut ;

a) Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya;

b) Kemanusiaan yang adil dan beradab ;

Page 31: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

c) Persatuan Indonesia ;

d) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan ;

e) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rumus Pancasila II ini atau lebih dikenal dengan Pancasila menurut Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, baik mengenai sitimatikanya maupun redaksinya sangat berbeda dengan Rumus Pancasila I atau lebih dikenal dengan Pancasila Bung Karno tanggal 1 juni 1945. pada rumus pancasila I, Ke-Tuhanan yang berada pada sila kelima, sedangkan pada Rumus Pancasila II, ke-Tuhanan ada pada sila pertama, ditambah dengan anak kalimat – dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Kemudian pada Rumus Pancasila I, kebangsaan Indonesia yang berada pada sila pertama, redaksinya berubah sama sekali menjadi Persatuan Indonesia pada Rumus Pancasila II, dan tempatnyapun berubah yaitu pada sila ketiga. Demikian juga pada Rumus Pancasila I . Internasionalisme atau peri kemanusiaan, yang berada pada sila kedua, redaksinya berubah menjadi Kemanusiaan yang adil dan beradab. Selanjutnya pada Rumus Pancasila I, Mufakat atau Demokrasi, yang berbeda pada sila ketiga, redaksinya berubah sama sekali pada Rumus Pancasila II, yaitu menjadi Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan menempati sila keempat. Dan juga pada Rumus Pancasila I, kesejahteraan sosial yang berada pada sila keempat, baik redaksinya, maka Pancasila pada Rumus II ini, tentunya mempunyai pengertian yang jauh berbeda dengan Pancasila pada Rumus I.

Rumus Pancasila II ini atau yang lebih populer dengan nama Pancasila menurut Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945, yang dikerjakan oleh panitia 9, maka pada rapat terakhir BPUPKI pada tanggal 17 Juni 1945, secara bulat diterima rumus Pancasila II ini.

Sehari sesudah proklamasi, yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, terjadilah rapat “Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia” (PPKI). Panitia ini dibentuk sebelum proklamasi dan mulai aktip bekerja mulai tanggal 9 Agustus 1945 dengan beranggotakan 29 orang. Dengan mempergunakan rancangan yang telah dipersiapkan oleh BPUPKI, maka PPKI dapat menyelesiakan acara hari itu, yaittu:

a) Menetapkan Undang-Undang Dasar ; dan

Page 32: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

b) Memilih Presidan dan Wakil Presiden dalam waktu rapat selama 3 jam.

Dengan demikian terpenuhilah keinginan Bung Karno yang diucapkan pada waktu membuka rapat itu sebagai ketua panitia dengan kata-kata sebagai berikut ; “Tuan-tuan sekalian tentu mengetahui dan mengakui, bahwa kita duduk di dalam suatu zaman yang beralih sebagai kilat cepatnya. Maka berhubungan dengan itu saya minta sekarang kepada tuan-tuan sekalian, supaya kitapun bertindak di dalam sidang ini dengan kecepatan kilat.”

Sedangkan mengenai sifat dari Undang-Undang Dasarnya sendiri Bung Karno berkata:”Tuan-tuan tentu mengerti bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar sementara, Undang-Undang Dasar Kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutie grodwet. Nanti kita akan membuat undang-Undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap. Harap diingat benar-benar oleh tuan-tuan, agar kita ini harus bisa selesai dengan Undang-Undang Dasar itu.”

Dalam beberapa menit saja, tanpa ada perdebatan yang substansil disahkan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, dengan beberapa perubahan, khususnya dalam rumus pancasila. (Pranoto Mangkusasmito, Pancasila dan sejarahnya, Lembaga Riset Jakarta, 1972, hal. 9-11.)

Adapun Pembukaan undang-Undang Dasar, yang didalamnya terdapat Rumus Pancasila II, yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, adalah sebagai berikut :

PEMBUKAAN

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri-keadilan.

Page 33: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Dan perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampai kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat Rahmat Alloh Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan bebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melasanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam satu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada : Ke- Tuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Dengan demikian disahkannya Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, maka Rumus Pancasila mengalami perubahan lagi, yaitu:

a) Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

b) Kemanusiaan yang adil dan beradab ;

c) Persatuan Indonesia ;

d) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan ;

e) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Page 34: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Perubahan esensial dari Rumus Pancasila II atau Pancasila menurut Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 dengan Rumus Pancasila III atau Pancasila menurut Pembukaan Undang-Undang Dasar tanggal 18 Agustus 1945, yaitu pada sila pertama “Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” diganti dengan “Ke-Tuhanan Yang Maha Esa” . perubahan ini ternyata dikemudian hari menumbuhkan benih pertentangan sikap dan pemikiran yang tak kunjung berhenti sampai hari ini. Sebab umat Islam menganggap bahwa pencoretan anak kalimat pada sila pertama Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, oleh PPKI adalah suatu pengkhianatan oleh golongan nasionalis dan kristen. Karena Rumus Pancasila II telah diterima secara bulat oleh BBUPKI pada tanggal 17 Juli 1945.

Selanjutnya melalui aksi militer Belanda ke-I dan ke- II , dan dibentuknya negara-negara bagian oleh Belanda, pemberontakan PKI di Madiun, statemen Roem Royen yang mengembalikan Bung Karno dan kawan-kawannya dari Bangka ke Jogjakarta, sedangkan Presiden darurat RI pada waktu itu ialah Mr. Syafruddin Prawiranegara, sampailah sejarah negara kita kepada konfrensi meja bundar di Den Haag (Nederland). Konfrensi ini berlangsung dari tanggal 23 Agustus 1949 sampai tanggal 2 November 1949. dengan ditandatanganinya “Piagam Persetujuan” antara delegasi Republik Indonesia dan delegasi pertemmuan untuk permusyawaratan federal (B.F.O.) mengenai “Konstitusi Republik Indinesia Serikat” (RIS) di Seyeningen pada tanggal 29 Oktober 1949, maka ikut berubahlah Rumus Pancasila III menjadi Rumus Pancasila IV. Rumus Pancasila IV ini termuat dalam muqadimah Undang-Undang Dasar Republik Indinesia Serikat (RIS), yang bunyinya sebagai berikut:

Mukadimah

Kami bangsa Indonesia semenjak berpuluh-puluh tahun lamanya bersatu padu dalam perjuangan kemerdekaan, dengan senantiasa berhati teguh berniat menduduki hak hidup sebagai bangsa yang merdeka berdaulat.

Ini dengan berkat dan rahmat Tuhan telah sampailah kepada ringkatan sejarah yang berbahagia dan luhur.

Page 35: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam satu piagam negara yang berbentuk Republik Federasi berdasarkan pengakuan “Ketuhanan Yang Maha Esa, Peri kemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan keadilan sosial.”

Untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia Merdeka yang berdaulat sempurna.

Secara jelasnya Rumus Pancasila IV atau pancasila menurut mukadimah Undang-Undang Dasar RIS tanggal 29 Oktober 1949, adalah sebagai berikut;

a. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

b. Peri-Kemanusiaan.

c. Kebangsaan.

d. Kerakyatan dan

e. Keadilan sosia.

Perubahan yang terjadi antara Rumus Pancasila II dengan Rumus Pancasila IV adalah perubahan redaksional yang sangat banyak, yang sudah barang tentu akan membawa akibat pengertian pancasila itu menjadi berubah pula.

Republik Indinesia Serikat tidak berumur sampai 1 tahun. Pada tanggal 19 Mei 1950 ditanda tangani “Piagam Persetujuan” antara pemerintah RIS dan pemerintah RI. Dan pada tanggal 20 Juli 1950 dalam pernyataan bersama kedua pemerintah dinyatakan, antara lain menyetujui rencana Undang-Undang Dasar sementara negara kesatuan Republik Indonesia seperti yang dilampirkan pada pernyataan bersama”. Pembukaan Undang-Undang Dasar sementara negara kesatuan Repiblik Indonesia seperti

Page 36: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

yang dilampirkan pada pernyataan bersama. Pembukaan Undang-Undang Dasar sementara 1950, yang didalamnya terdapat rumus Pancasila, adalah sebagai berikut;

Mukadimah

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Dengan berkat dan rahmat Tuhan tercapailah tingkat sejarah yang berbahagia dan luhur.

Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu piagam negara yang berbentuk Republik Kesatuan, berdasarkan pengakuan ketuhanan yang maha esa, peri kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial, untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian, dan kemerdekaan yang berdaulat sempurna”.

Untuk jelasnya Rumus Pancasila di dalam mukadimah Undang-Undang Dasar sementara dapat disusun sebagai berikut;

a) Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

b) Peri-Kemanusiaan.

Page 37: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

c) Kebangsaan.

d) Kerakyatan dan

e) Keadilan sosial.

Rumus Pancasila dalam mukadimah Undang-Undang Dasar sementara adalah merupakan rumus pancasila V. dan ternyata antara Rumus Pancasila IV dan Rumus Pancasila V tidak ada perubahan baik sitimatikanya maupun redaksinya.

Tetapi setelah dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang menyatakan “Pembubaran kostituante dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar 1945”, Rumus Pancasila mengalami perubahan, baik redaksinya maupun pengertiannya secara esensial dan mendasar. Sebab setelah itu Bung Karno merumuskan Pancasila dengan menggunakan “ Teori Perasan” yaitu pancasila itu diperasnya menjadi tri sila ( tiga sila) : sosionasionalisme (yang mencakup kebangsaan Indonesia dan peri kemanusiaan); Sosio demokrasi (yang mencakup demokrasi dan kesejahteraan sosial dan ketuhanan. Trisila ini diperas lagi menjadi Ekasila (satu sila); Ekasila itu tidak lain ialah gotong-royong. Dan gotong royong diwujudkan oleh Bung Karno dalam bentuk nasakom (nasional, agama dan komunis).

Lebih jelasnya teori perasan Bung Karno dapat disusun sebagai berikut:

1. Pancasila itu diperasnya menjadi tri sila (tiga sila).

2. Trisila terdiri atas:

a) Sosionasionalisme

b) Sosio

Page 38: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

c) Ketuhanan.

3. Trisila diperas menjadi Ekasila

4. Ekasila yaitu gotong-royong.

Teori perasan Bung Karno ni bukan masalah baru, tetapi itulah hakekat Pancasila yang ia lahirkan pada tanggal 1 Juni 1945; dan hal ini dapat dilihat dari pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 di depan BPUPKI, yang antara lain berbunyi, “Atau barang kali ada saudara-saudara yang tidak senang adas bilangan itu ? Saya boleh peras sehingga tinggal tiga saja. Saudara Tanya kepada saya apakah perasan tiga perasan itu ? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia, Weltanschaung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme; kebangsaan dan peri kemanusiaan, saya peras menjadi satu : itulah yang dahulu saya namakan socio-nationalisme. Dan demokresi yang bukan demokrasi barat, tetapi pilitiek economiche democratie, yaitu pilitieke democratie dengan sociale rechtvaardigheid, demikrasi dengan kesejahteraan saya peraskan pula menjadi satu. Inilah yang dulu saya namakan socio democratie.

Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain.

Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socionationalisme, sociodemocratie dan ketuhanan. Kalau tuan senang dengan simbul tiga ambillah yang tiga ini. Tetapui barangkali tidak semua tuan-tuan senang kepada trisila ini, dan minta satu dasar saja ? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu ? ……Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan gotong-royong ! alangkah hebatnya ! negara gotong-royong.

Selain “teori perasan’ Pancasila, Bung Karno menjabarkan dan melengkapi Pancasila itu dengan Manifesto Politik ( Manipol ) dan USDEK ( Undang-Undang Dasar 45, Sosialisme Indonesis, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribaian Indonesia). Hal ini bisa kita jumpai di dalam “Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi”, ynag antara lain menyatakan : “Ada orang menanya : Kepada Manifesto Polotik ? Kan kita sudah mempunyai Pancasila? Manifesto Politik adalan pancaran dari Pancasila; USDEK adalah pemancaran dari pada Pancasila. Manifesto Politik, USDEK dan Pancasila adalah terjalin satu salam lain. Manifesto politik, USDEK dan pancasila tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Jika saya harus mengambil qiyas agama – sekadar qiyas – maka saya katakan : Pancasila adalah semacam Qur’annya dan Manifesto

Page 39: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Politik dan USDEK adalah semacam Hadits-haditsnya. Awas saya tidak mengatakan bahwa Pancasila adalah Qur’an dan Manifsesto Politik dan USDEK adalah hadits ! Qur’an dan Hadits shahih merupakan satu kesatuan, – maka pancasila dan Manifesto politik dan USDEK adalah merupakan satu kesatuan. Teori perasan Pancasila yang dilengkapi dengan manifesto Politik dan USDEK adalah merupakan Rumus Pancasila VI.

Dengan Naskaom memberi peluang yang besar kepada golongan komunis seperti Partai Komunis Indonesia ( PKI ) untuk memasuki berbagai instansi sipil dan militer. Dominasi komunis di dalam pemerintahan dan berbagai sektor kehidupan, memberikan kesempatan kepada mereka untuk melakukan kudeta dan perebutan kekuasaan; meletuslah Gerakan 30 September PKI.

Meletusnya G 30 S / PKI dari kandungan Nasakom, yang membawa runtuhnya rezim Orde Lama, menurut regim Orde baru disebabkan oleh penyelewengan pancasila dari rel yang sebenarnya. Oleh karena itu rezim Orde Baru mencanangkan semboyan “Laksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekwen”.

Menurut Orde baru, khususnya angkatan ’66, bahwa penyelewengan Pancasila oleh rezim orde Lama disebabkan “belum jelasnya filsafat Pancasila dan belum adanya tafsiran yang terperinci”. Pendapat ini bisa dilihat dari kesimpulan “Simposium Kebangkitan Generasi ’66 Menjelajah Tracee baru”, yang diselenggarakan pada tanggal 6 mei 1966, bertempat di Universitas Indonesia; yang isinya antara lain sebagai berikut :

Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang dasar ’45

pasal 1 ayat 2 yang berbunyi: “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR.”

Dan juga terdapat dalam pasal 3 yang berbunyi: “MPR menetapkan undang-undang dasar dan garis-garis besar pada haluan negara.”

Pasal 20 ayat 1 : “ DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.”

Page 40: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Pasal 22 ayat 2 berbunyi: “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dan persidangan yang berikut.”

Ayat 3 :”Jika tidak mendapatkan persetujuan, maka peraturan tersebut harus dicabut.”

Masukan ini dipos pada Juni 21, 2008 2:24 pm dan disimpan pada SEJARAH dengan kaitan (tags) bung karno, dpr, indonesia, jakarta, ketuhanan, lahir, mpr, Ni', pancasila, SEJARAH, sosialis, undang-undang. Anda dapat mengikuti semua aliran respons RSS 2.0 dari masukan ini Anda dapat memberikan tanggapan, atau trackback dari situs

Pendapat 2Sejarah Lahirnya Pancasila

Pidato Bung Karno 1 Juni 1945

Menjelang kekalahannya di akhir Perang Pasifik, tentara pendudukan Jepang berusaha menarik dukungan rakyat Indonesia dengan membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Badan ini mengadakan sidangnya yang pertama dari tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945, dengan acara tunggal menjawab pertanyaan Ketua BPUPKI, Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat, “Indonesia merdeka yang akan kita dirikan nanti, dasarnya apa?”

Hampir separuh anggota badan tersebut menyampaikan pandangan-pandangan dan pendapatnya. Namun belum ada satu pun yang memenuhi syarat suatu sistem filsafat dasar untuk di atasnya dibangun Indonesia Merdeka.

Pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mendapat giliran untuk menyampaikan gagasannya tentang dasar negara Indonesia Merdeka, yang dinamakannya Pancasila. Pidato yang tidak dipersiapkan secara tertulis terlebih dahulu itu diterima secara aklamasi oleh segenap anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai.

Page 41: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Selanjutnya BPUPKI membentuk Panitia Kecil untuk merumuskan dan menyusun Undang-Undang Dasar dengan berpedoman pada pidato Bung Karno itu. Dibentuklah Panitia Sembilan (terdiri dari Ir. Soekarno, Muhammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikusno Tjokrokusumo, Abdulkahar Muzakir, HA Salim, Achmad Soebardjo dan Muhammad Yamin) yang bertugas “merumuskan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara berdasar pidato yang diucapkn Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, dan menjadikan dokumen tiu sebagai teks untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.”

Demikianlah, lewat proses persidangan dan lobi-lobi akhirnya Pancasila penggalian Bung Karno tersebut berhasil dirumuskan untuk dicantumkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, yang disahkan dan dinyatakan sah sebagai dasar negara Indonesia Merdeka pada tanggal 18 Agustus 1945 (Diambil dari Pancasila Bung Karno, Paksi Bhinneka Tunggal Ika, 2005).

Inilah pidato yang bersejarah itu...

***

Paduka Tuan Ketua Yang Mulia!

Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka Tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pendapat saya. Saya akan menetapi permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia? Paduka Tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.

Maaf beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan di dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah – dalam bahasa Belanda – Philosofische grondslag (dasar filosofi-Ed.) dari Indonesia Merdeka. Philosofische grondslag itulah fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan, Paduka Tuan Ketua yang mulia. Tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberitahukan kepada Tuan-Tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan “merdeka”.

“Merdeka” buat saya adalah political independence, politieke onafhankelijkheid (kemerdekaan politik, dalam bahasa Inggris dan Belanda-Ed.). Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?

Page 42: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang saja saya berkata: Tatkala Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang – saya katakan di dalam bahasa asing, maafkan perkataan ini – zwaarwichtig (seolah-olah amat berat, dalam bahasa Belanda-Ed.) akan perkara-perkara kecil. Zwaarwichtig sampai – kata orang Jawa – jelimet (dengan teliti, rinci dan lengkap, dalam bahasa Jawa-Ed.). Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai jelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan.

Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu.

Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!

Alangkah bedanya isi itu! Jikalau kita berkata: Sebelum negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai, itu selesai, itu selesai sampai jelimet, maka say bertanya kepada Tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80 persen dari rakyatnya terdiri dari kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti akan hal ini atau itu.

Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Di situ ternyata, bahwa tatkalah Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu! Toh Saudi Arabia merdeka!

Lihatlah pula – jikalau Tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat – Sovyet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Sovyet, adakah rakyat Sovyet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia adal rakyat Musyik (golongan yang percaya adanya Tuhan, tetapi tak menganut suatu agama-Ed.) yang lebih dari 80 persen tidak dapat membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, Tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Sovyet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Sovyet itu. Dan kita sekarang di sini mau mendirikan Negara Indonesia Merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan!

Maaf, Paduka Tuan Zimukyokutyoo (Kepala Kantor Tata Usaha untuk Lembaga Tinggi, dalam bahasa Jepang, yang berada di bawah pemerintah militer Jepang untuk mengurus persiapan sidang-sidang BPUPKI-Ed.)! Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca Tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai jelimet hal ini dan itu dahulu

Page 43: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

semuany! Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai jelimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, Tuan tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka... sampai di lubang kubur!

(Tepuk tangan riuh)

Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun 1933 saya telah menulis satu risalah. Risalah yang bernama Mencapai Indonesia Merdeka. Maka di dalam risalah tahun 1933 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke onafhkelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan, satu jembatan emas. Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.

Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam satu malam – in one night only – kata Armstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi Arabia Merdeka di satu malam sesudah ia masuk kota Riyadh dengan 6 orang! Sesudah “jembatan” itu diletakkan Ibn Saud, maka di seberang jembatan – artinya kemudian dari pada itu – Ibn Saud barulah memperbaiki masyarakat Saudi Arabia. Orang yang tidak dapat membaca diwajibkan belajar membaca, orang yang tadinya bergelandangan sebagai nomade (suku yang berpindah-pindah tempat, atau pengembara, dalam bahasa Belanda-Ed.), yaitu orang Badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud jangan bergelandangan, dikasih tempat untuk bercocok-tanam. Nomade dirubah lagi oleh Ibn Saud menjadi kaum tani – semuanya di seberang jembatan.

Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Sovyet-Rusia Merdeka telah mempunyai Dneprprostoff, dam yang maha besar di sungai Dnepr? Apa ia telah mempunyiai radio-station, yang menyundul ke angkasa? Apa ia tel mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia? Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Sovyet-Rusia Merdeka telah dapat membaca dan menulis? Tidak, Tuan-tuan yang terhormat! Di seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio-station, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan creche (tempat penitipan bayi dan anak-anak pada waktu orangtua bekerja-Ed.), baru mengadakan Dneprprostoff! Maka oleh karena itu saya minta kepada Tuan-tuan sekalian, janganlah Tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini dan itu lebih dulu harus selesai dengan jelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka. Alangkah berlainannya Tuan-tuan punya semangat – jikalau Tuan-tuan demikian – dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2 milyun banyaknya. Dua milyun ini menyampaikan seruan pada saya, 2 milyun pemuda ini semua berhasra Indonesia Merdeka sekarang!

(Tepuk tangan-riuh)

Page 44: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, padahal semoboyan Indonesia Merdeka bukan sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah menyiarkan semboyan Indonesia Merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai semboyan “INDONESIA MERDEKA SEKARANG”. Bahkan 3 kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka sekarang, sekarang, sekarang!

(Tepuk tangan-riuh)

Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia Merdeka, kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar-hati! Saudara-saudara, saya peringatkan sekali lagi, Indonesia Merdeka, political independence, politieke onafhankelijkheid, tidak lain dan tidak bukan ialah satu jembatan! Jangan gentar!

Jikalau umpamanya kita pada saat sekarang ini diberikan kesempatan oleh Dai Nippon (Kekaisaran Jepang Raya-Ed.) untuk merdeka, maka dengan mudah Gunseik-kan (Kepala Pemerintahan Militer Tentara Pendudukan Jepang-Ed.) diganti dengan orang yang bernama Tjondro Asmoro, atau Soomubutyoo (Kepala Departemen Urusan Umum-Ed.) diganti dengan orang yang bernama Abdul Halim. Jikalau umpamanya Butyoo-Butyoo (Kepala Departemen-Ed.) diganti dengan orang-orang Indonesia, pada sekarang ini, sebenarnya kita telah mendapat political independence, politieke onafhankelijkheid – in one night, di dalam satu malam!

Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2 milsiyun, semuanya bersemboyan: Indonesia Merdeka, sekarang! Jikalau umpamanya Balatentara Dai Nippon, sekarang menyerahkan urusan negara kepada Saudara-saudara, apakah Saudara-saudara akan menolak, serta berkata: mangke rumiyin – tunggu dulu – minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan negara Indonesia Merdeka?

(Seruan: Tidak! Tidak!)

Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini Balatentara Dai Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menit pun kita tidak akan menolak, sekarang pun kita menerima urusan itu, sekarang pun kita mulai dengan negara Indonesia yang Merdeka!

(Tepuk tangan menggemparkan)

Saudara-saudara, tadi saya berkata, ada perbedaan antara Sovyet-Rusia, Saudi Arabia, Inggris, Amerika dan lain-lain, tentang isinya. Tetapi ada satu yang sama, yaitu rakyat Saudi Arabia sanggup mempertahankan negaranya. Musyik-musyik di Rusia sanggup

Page 45: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

mempertahankan negaranya. Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Inggris sanggup mempertahankan negaranya. Inilah yang menjadi minimum-eis (tuntutan minimum, dalam bahasa Belanda-Ed.). Artinya, kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, Saudara-saudara, semua siap sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk Merdeka.

(Tepuk tangan riuh)

Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia. Manusia pun demikian, Saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya bandingkan dengan perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin, ada yang takut kawin. Ada yang berkata: Ah, saya belum berani kawin, tunggu dulu gaji 500 gulden. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah ada permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur yang mentul-mentul (memantul, dalam bahasa Jawa-Ed.), sudah mempunyai meja-kursi yang selengkap-lengkapnya, sudah mempunyai sendok garpu perak satu kaset, sudah mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet (pakaian untuk anak-anak, dalam bahasa Belanda-Ed.), barulah saya berani kawin.

Ada orang lain yang berkata: Saya sudah berani kawin kalau saya sudah mempunyai meja satu, kursi empat – yaitu meja mkan, lantas satu zitje (tempat duduk untuk bersantai, dalam bahasa Belanda-Ed.) – lantas satu tempat tidur.

Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu Saudara-saudara Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengans satu tikar, dengan satu periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubug: kawin. Sang klerk (jurutulis, dalam bahasa Belanda-Ed.) dengan satu meja, empat kursi, satu zitje, satu tempat tidur: Kawin.

Sang Ndoro (atau Bandoro, berarti majikan atau tuan, dalam bahasa Jawa-Ed.) yang mempunyai rumah gedung, electrische-kookplaat (alat masak listrik, dalam bahasa Belanda-Ed.), tempat tidur, uang bertimbun-timbun: Kawin. Belum tentu mana yang lebih gelukkig (berbahagia, dalam bahasa Belanda-Ed.), belum tentu mana yang lebih bahagia, Sang Ndoro dengan tempat tidurnya yang mentul-mentul, atau Sarinem dan Samiun yang hanya mempunyai satu tikar dan satu periuk, Saudara-saudara!

(Tepuk tangan dan tertawa)

Page 46: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Tekad hatinya yang perlu, tekad hatinya Samiun kawin dengan satu tikar dan satu periuk, dan hati Sang Ndoro yang baru berani kawin kalau sudah mempunyai gerozilver (peralatan makan dari perak, dalam bahasa Belanda-Ed.) satu kaset plus kinder-uitzet – buat 3 tahun lamanya!

(Tertawa)

Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: Kita ini berani merdeka atau tidak? Inilah, Saudara-saudara sekalian, Paduka Tuan Ketua yang mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka. Saya mendengar uraian Paduka Tuan Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: Kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan. Saudara saudara, jika tiap-tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence... saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia Merdeka!

(Tepuk tangan riuh)

Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita! Di dalam Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud memerdekakan rakyat Arabia satu per satu. Di dalam Sovyet-Rusia Merdeka Stalin memerdekakan hati bangsa Sovyet-Rusia satu per satu.

Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata, kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak disentri, banyak penyakit hongerudeem (penyakit busung lapar, dalam bahasa Belanda-Ed.), banyak ini banyak itu. “Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka.”

Saya berkata, kalau ini pun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyatukan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan “jembatan”. Di seberang jembatan – jembatan emas – inilah baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi.

Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang maha penting. Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnya international recht – hukum internasional – menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu negara yang merdeka, tidak diadakan syarat

Page 47: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

yang neko-neko (macam-macam, dalam bahasa Jawa-Ed.), yang jelimet. Tidak! Syaratnya sekedar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untuk international recht. Cukup, Saudara-saudara. Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian diakui oleh salah satu negara lain yang merdeka, itulah yang sudah bernama: Merdeka. Tidak peduli rakyat dapat baca atau tidak, tidak peduli rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak peduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya dan ada pemerintahannya – sudahlah ia merdeka.

Janganlah kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih dulu 1001 soal yang bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka apa tidak? Mau merdeka apa tidak?

(Jawab hadirin: Mau!)

Saudara-saudara! Sesudah saya bicarakan tentang hal “merdeka”, maka sekarang saya bicarakan tentang hal “dasar”.

Paduka Tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang Paduka Tuan Ketua kehendaki! Paduka Tuan Ketua minta dasar, minta philosofische grondslag, atau – jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk – Paduka Tuan Ketua yang mulia meminta suatu Weltanschauung (pandangan hidup, dalam bahasa Jerman-Ed.), di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu.

Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak di antara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas suatu Weltanschauung. Hitler mendirikan Jermania di atas national sozialistische Weltanschauung – filsafat nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan negara Sovyet di atas satu Weltanschauung, yaitu Marxistische, Historisch-Materialistische Weltanschauung. Nippon mendirikan negara Dai Nippon di atas satu Weltanschauung, yaitu yang dinamakan Tenno Koodoo Seishin. Di atas Tenno Koodoo Seishin inilah negara Dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas suatu Weltanschauung – bahkan di atas satu dasar agama – yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh Paduka Ketua yang mulia: Apakah Weltanschauung kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?

Tuan-tuan sekalian, Weltanschauung ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam Weltanschauung, bekerja mati-matian untuk me-realiteit-kan Weltanschauung mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikoesno, bila beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut

Page 48: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

keadaan. Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed, “Sovyet-Rusia didirikan dalam 10 hari oleh Lenin cs.” – Reed di dalam kitabnya Ten days that shook the world, Sepuluh hari yang menggoncangkan dunia... walaupun Lenin mendirikan Rusia dalam 10 hari, tetapi Weltanschauung-nya telah tersedia berpuluh-puluh tahun. Terlebih dulu telah tersedia Weltanschauung-nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu di atas Weltanschauung yang sudah ada. Dari 1895 Weltanschauung itu telah disusun. Bahkan dalam revolusi 1905, Weltanschauung itu “dicobakan”, di-generale-repetitie-kan.

Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri generale-repetitie dari revolusi tahun 1917. Sudah lama sebelum tahun 1917, Weltanschauung itu disedia-sediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudan, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John Reed... hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan, ditaruh kekuasaan itu di atas Weltanschauung yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian?

Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung.

Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya Weltanschauung itu? Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini – Weltanschauung ini – dapat menjelma dengan dia punya Munchener Putsch, tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya beliau dapat merebut kekuasaan dan negara diletakkan oleh beliau di atas dasar Weltanschauung yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu.

Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka, Paduka Tuan Ketua, timbullah pertanyaan: Apakah Weltanschauung kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka di atasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisch-materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan oleh Doktor Sun Yat Sen?

Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi Weltanschauung-nya telah dalam tahun 1885 – kalau saya tidak salah – dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku The Three People's Principles, San Min Chu I – Mintsu, Minchuan, Min Sheng: Nasionalisme, demokrasi, sosialisme – telah digambarkan oleh Dr. Sun Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru di atas Weltanschauung San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun.

Page 49: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka di atas Weltanschauung apa? Nasional-sosialisme-kah? Marxisme-kah? San Min Chu I-kah, atau Weltanschauung apakah?

Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan – macam-macam – tetapi alangkah benarnya perkataan dr. Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadi-Koesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan paham. Kita bersama-sama mencarai persatuan philosofische grondslag, mencari satu Weltanschauung yang kita semua setuju. Saya katakan lagi “setuju”! Yang Saudara yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang Saudara Sanoesi setujui, yang Saudara Abikoesno setujui, yang Saudara Liem Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus. Tuan Yamin, ini bukan kompromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui. Apakah itu?

Pertama-tama, Saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?

Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik Saudara-saudara yang bernama kaum Kebangsaan yang di sini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah yang kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918... ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar Kebangsaan.

Kita mendirikan satu Negara Kebangsaan Indonesia.

Saya minta, Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Saudara-saudara Islam lain, maafkanlah saya memakai perkataan “kebangsaan” ini! Saya pun orang Islam. Tetapi saya minta kepada Saudara-saudara, janganlah Saudara-saudara salah paham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nationale staat (negara nasional, dalam bahasa Belanda-Ed.), seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka Tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak Tuan pun adalah orang Indonesia, nenek moyang Tuan pun bangsa Indonesia. Di atas satu

Page 50: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia.

Satu Nationale Staat! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempo sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?

Menurut Renan (Ernest Renan, pemikir orientalis Perancis-Ed.), syarat bangsa ialah “kehendak akan bersatu”. Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu.

Ernest Renan menyebut syarat bangsa: le desir d'etre ensemble, yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.

Kalau kita lihat definisi orang lain – yaitu definisi Otto Bauer (pemikir dan teoritikus Partai Sosial Demokrat Austria-Ed.) – di dalam bukunya, Die Nationalitatenfrage, di situ ditanyakan: Was ist eine Nation? Dan dijawabnya ialah: Eine Nation ist eine aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft (bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib-Ed.). Inilah menurut Otto Bauer satu natie.

Tetapi kemarin pun, tatkala – kalau tidak salah – Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan, maka anggota yang terhormat Mr.Yamin berkata: Verouderd! Sudah tua! Memang Tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah verouderd, sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Ernest Renan mengadakan definisinya itu, tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan geo-politik.

Kemarin – kalau tidak salah – Saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau Tuan Moenandar, mengatakan tentang “persatuan antara orang dan tempat”. Persatuan antara orang dan tempat, Tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!

Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan Gemeinschaft-nya (persamaan atau persatuannya, dalam bahasa Jerman-Ed.) dan perasaan orangnya, l'ame et le desir (jiwa dan kehendaknya, dalam bahasa Perancis-Ed.) Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu. Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah s.w.t membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana “kesatuan-kesatuan” di situ. Seorang anak kecil pun – jikalau ia melihat peta dunia – ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia

Page 51: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara 2 lautan yang besar, Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan. Demikan pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir timur Benua Asia sebagai golfbreker atau penghadang gelombang lautan Pasifik, adalah satu kesatuan.

Anak kecil pun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh Lautan Hindia yang luas dan Gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan.

Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai satu kesatuan pula. Itu ditaruhkan oleh Allah SWT demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athena saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athena plus Macedonia plus daeraha Yunani yang lain-lain – segenap kepulauan Yunani – adalah satu kesatuan.

Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat – bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah SWT menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera – itulah tanah air kita!

Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat – antara rakyat dan buminya – maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup le desir d'etre ensemble, tidak cukup definisi Otto Bauer aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft itu.

Maaf, Saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau. Di antara bangsa Indonesia, yang paling ada le desir d'etre ensemble adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2 milyun.Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuan, melainkan hanya satu bagian kecil dari satu kesatuan! Penduduk Yogya pun adalah merasa le desir d'etre ensemble, tetapi Yogya pun hanya satu bahagian kecil dari satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan le desir d'etre ensemble, tetapi Sunda pun haya satu bagian kecil dari satu kesatuan.

Pendek kata, bangsa Indonesia – Natie Indonesia – bukanlah sekadar contoh satu golongan orang yang hidup dengan le desir d'etre ensemble di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik, yang telah ditentukan oleh Allah

Page 52: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

SWT, tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian! Seluruhnya! Karena antara 70.000.000 ini sudah ada le desir d'etre ensemble, sudah terjadi Charaktergemeinschaft! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu!

(Tepuk tangan hebat)

Ke sinilah kita semua harus menuju: Mendirikan satu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan di antara Tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan “golongan kebangsaan”. Ke sinilah kita harus menuju semuanya.

Saudara-saudara, jangan mengira, bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Bayern, bukan Saksen (kerajaan lama di Jerman, lebih dikenal sebagai Prusia, Bavaria dan Saxony-Ed.) adalah nationale staat, tetapi seluruh Jermania-lah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italia-lah – yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang di utara dibatasi oleh pengunungan Alpen – adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segitiga India-lah nanti harus menjadi nationale staat.

Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka di jaman dahulu adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit. Di luar itu kita tidak mengalami nationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanyokrokoesoemo, bahwa Mataram – meskipun merdeka – bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtayasa, saya berkata, bahwa kerajaannya di Banten – meskipun merdeka – bukan suatu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanuddin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.

Nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri di zaman Sriwijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau Tua-tuan terima baik, marilah kita mengambil dasar Negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia.

Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat.

Page 53: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Maaf, Tuan Liem Koen Hian. Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan Fuku Kaityoo (Wakil Ketua, maksudnya Soeroso-Ed.), Tuan menjawab: “Saya tidak mau akan kebangsaan.”

(Liem Koen Hian menanggapi: “Bukan begitu. Ada sambungannya lagi.”)

Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena Tuan Liem Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk paham kosmopolitanisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitanisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya menschheid – perikemanusiaan!

Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa ada kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah HBS di Surabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya. Katanya: “Jangan berpaham kebangsaan, tetapi berpahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsaan sedikit pun.” Itu terjadi pada tahun '17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, ialah Dr. Sun Yat Sen! Di dalam tulisannya, San Min Chu I atau The Three People's Principles, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitanisme yang diajarkan oleh Baars itu. Dalam hati saya sejak itu, tertanamlah rasa kebangsaan oleh pengaruh The Three People's Principles itu. Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat, sehormat-hormatnya, merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen – sampai masuk ke lobang kubur.

(Anggota-anggota Tionghoa bertepuk tangan)

Saudara-saudara! Tetapi... tetapi... memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang-orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme (nasionalisme yang berlebihan, ekstrem-Ed.), sehingga berpaham “Indonesia uber Alles (Indonesia di atas semua bangsa-Ed.).” Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bagian kecil saja dari dunia! Ingatlah akan hal ini!

Gandhi berkata: “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan. My nationalism is humanity.”

Page 54: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropa, yang mengatakan Deutschland uber Alles. Tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya bangsanya minulyo, berambut jagung dan bermata biru – bangsa Arya – yang dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedang bangsa lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas asas demikian, Tuan-Tuan. Jangan berkata, bahwa bangsa Indonesia-lah yang terbagus dan termulia, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.

Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.

Justru inilah prinsip yang kedua. Inilah philosofische princiep yang nomor dua, yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan internasionalisme. Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitanisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya.

Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup di dalam taman sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, Saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2 – yang pertama-tama saya usulkan kepada Tuan-tuan sekalian – adalah bergandengan erat satu sama lain.

Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.

Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya pun, adalah orang Islam – maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna – tetapi kalau Saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, Tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat. Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan.

Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di sinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar

Page 55: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

supaya sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi badan perwakilan rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan-utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula.

Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60 persen, 70 persen, 80 persen, 90 persen utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru jikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan hanya Islam yang hanya di atas bibir saja. Kita berkata, 90 persen daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah di dalam sidang ini berapa persen yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf beribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada Saudara-saudara sekalian – baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam – setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan.

Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul, betul hidup, jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candaradimuka, kalau tidak ada perjuangan paham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjuangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat!

Di dalam perwakilan rakyat Saudara-saudara Islam dan Saudara-saudara Kristen bekerjalah sehebat-hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter (huruf, dalam bahasa Inggris-Ed.) di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar supaya, sebagian besar dari utusan-utusan yang masukn badan perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil, fair play! (permainan yang jujur, dalam bahasa Inggris-Ed.). Tidak ada negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjuangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjuangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah subhanahu wa ta'ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar daripadanya beras, dan beras itu akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah Saudara-saudara prinsip nomor 3, yaitu prinspi permusyawaratan!

Page 56: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Prinsip nomor 4, sekarang saya usulkan. Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Saya katakan tadi: Prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: Nationalism, Democracy, Sosialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, Saudara-saudara? Jangan Saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire demoratie. Tetapi tidakkah di Eropa justru kaum kapitalis merajalela?

Di Amerika ada suatu Badan Perwakilan Rakyat, dan tidakkah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah oleh karena badan-badan perwakilan yang diadakan di sana itu, sekedar menurut resepnya Fransche Revolutie (Revolusi Perancis, dalam bahasa Belanda-Ed.). Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan demokrasi di sana itu hanyalah politieke demoratie saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid – tidak ada keadilan sosial, tak ada economische democratie sama sekali.

Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures yang menggambarkan politieke demoratie. “Di dalam parlementaire demoratie,” kata Jean Jaures, “tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak politik yang sama, tiap-tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk dalam parlemen. Tetapi adakah sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat?”

Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi: “Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politik itu, di dalam Parlemen dapat menjatuhkan minister (menteri, dalam bahasa Belanda dan Inggris-Ed.). Ia seperti raja. Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja – di dalam pabrik – sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar ke luar jalan raya, dibikin werloos (menganggur, dalam bahasa Belanda-Ed.), tidak dapat makan suatu apa.”

Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?

Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimaksud dengan paham Ratu-Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan, kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada

Page 57: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

keadilan, di bawah pimpinan Ratu Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik, Saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.

Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang akan kita buat, hendaknya bukan bada permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid (keadilan politik dan keadilan sosial, dalam bahasa Belanda-Ed.).

Kita akan bicrakan hal ini bersama-sama, Saudara-Saudara, di dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan Kepala Negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarki. Apa sebab? Oleh karena monarki vooronderstelt erfe-lijkheid (pewarisan yang sudah diketahui terlebih dahulu, dalam bahasa Belanda-Ed.). Turun-temurun. Saya orang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya menghendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun Amirul mu'minin, harus dipilih oleh rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagoes Hadikoesoemo misalnya, menjadi Kepala Negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, janganlah anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya – dengan otomatis – menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu, saya tidak mufakat kepada prinsip monarki itu.

Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan 4 prinsip:

1.

Kebangsaan Indonesia

2.

Internasionalisme atau perikemanusiaan

3.

Mufakat atau demokrasi

4.

Kesejahteraan sosial.

Page 58: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!

Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.

(Tepuk tangan sebagian hadirin)

Nabi Muhammad SAW telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid (sifat dapat memahami pendapat yang lain, dalam bahasa Belanda-Ed.), tentang menghormati agama-agama lain, Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini – sesuai dengan itu – menyatakan: Bahwa prinsip kelima dari Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau Saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!

Di sinilah, dalam pangkuan asas yang kelima inilah, Saudara-saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula!

Ingatlah prinsip ketiga – permufakatan, perwakilan – di situlah tempatnya ktai mempropagandakan ide kita masing-masing dengan cara yang tidak onverdraagzaam (tidak sabar, memaksa, dalam bahasa Belanda-Ed.), yaitu dengan cara yang berkebudayaan!

Saudara-saudara! “Dasar-dasar Negara” telah saya usulkan Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai pancaindera. Apa lagi yang lima bilangannya?

(Seorang yang hadir: “Pendawa Lima.”)

Page 59: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Pendawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip – kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan – lima pula bilangannya.

Namanya bukan Panca Dharma, tetapi – saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman ahli bahasa -- namanya ialah Pancasila. Sila artinya “asas” atau “dasar”, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.

(Tepuk tangan riuh)

Atau, barangkali ada Saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah “perasan” yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme – kebangsaan dan perikemanusiaan – saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan Sosio-nasionalisme.

Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi politiek-economische demoratie – yaitu politieke demoratie dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan – saya peraskan pula menjadi satu: inilah yang dulu saya namakan Sosio-demokrasi.

Tinggal lagi Ketuhanan, yang menghormati satu sama lain.

Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: Sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan Ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada Trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja! Baiklah saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?

Sebagai tadi telah saya katakan: Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indoesia buat Indoesia. Semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”. Alangkah hebatnya! Negara Gotong-Royong!

(Tepuk tangan riuh-rendah)

“Gotong-royong” adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”, Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu paham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat

Page 60: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong-royong!

(Tepuk tangan riuh-rendah)

Prinsip gotong-royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah, Saudara-saudara, yang saya usulkan kepada Saudara-saudara.

Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Ekasila. Tetapi terserah kepada Tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: Trisila, Ekasila ataukah Pancasila? Isinya telah saya katakan kepada Saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada Saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu.

Tetapi jangan lupa, kita hidup di dalam masa peperangan, Saudarna-saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia. Di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wa ta'ala, bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan negara Indonesia yang lambat-laun menjadi bubur. Karena itulah saya mengucap syukur kepada Allah SWT.

Berhubungan dengan itu – sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara tadi – barangkali perlu diadakan noodmaat-regel (aturan darurat, dalam bahasa Belanda-Ed.), peraturan yang bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Pancasila. Sebagai dikatakan tadi, Saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung kita.

Entah Saudara-saudara memufakatinya atau tidak, tetapi saya berjuang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk membangun nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam perikemanusiaan; untuk permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid; untuk Ketuhanan. Pancasila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun. Tetapi, Saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah kepada Saudara-saudara. Tetapi saya sendiri mengerti seinsyaf-insyafnya, bahwa tidak ada satu Weltanschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan – menjadi realiteit – jika tidak dengan perjuangan!

Page 61: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Jangan pun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan oleh Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen!

De Mensch – manusia – harus perjuangkan itu. Zonder (tanpa, dalam bahasa Belanda-Ed.) perjuangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit zonder perjuangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder perjuangan bangsa Tionghoa, Saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: Zonder perjuangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit. Jangan pun buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur'an, zwart op wit (hitam di atas putih, dalam bahasa Belanda-Ed.), tertulis di atas kertas, tidak dapat menjelma menjadi realiteit zonder perjuangan manusia yang dinamakan umat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis di dalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perjuangan umat Kristen.

Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bansa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ketuhanan yang luas dan sempurna – janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan!

Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia Merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu-padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila.

Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu Saudara-saudara, bahwa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak berani mengambil resiko – tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya. Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekadkan mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai ke akhir zaman! Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad: Merdeka! “Merdeka atau mati!”

(Tepuk tangan riuh)

Saudara-saudara! Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka Tuan Ketua. Saya minta maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar, dan sudah meminta tempo yang

Page 62: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena saya telah mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya anggap verschrikkelijk zwaarwichtig (seolah-olah sangat berat, dalam bahasa Belanda-Ed.) itu.

Terima kasih!

(Tepuk tangan riuh-rendah dari segenap hadirin)

•http://bendemataram.blogsome.com/lahirnya-pancasila

9. Latar Belakang Pemikiran

Ada suatu hal yang unik dan menggelitik, sekaligus bisa kita jadikan sebagai bahan renungan

bersama ketika kita menyimak pidato Presiden AS Barrack Obama di hadapan petinggi negeri,

tokoh masyarakat, tokoh agama, kalangan intelektual terdidik di kampus Universitas

Indonesia Depok, (10/11/2010). Obama menyatakan kekagumannya terhadap Pancasila yang

dianggapnya telah mampu menyatukan kemajemukan dan pluralitas bangsa Indonesia.

Obama memberikan analogi semboyan yang dimiliki oleh negara masing-masing. E pluribus

unum – beragam tapi bersatu. Bhinneka Tunggal Ika – persatuan dalam keberagaman,

menurutnya kedua negara ini menunjukkan bahwa ratusan juta orang yang memiliki

kepercayaan yang berbeda mampu bersatu dengan merdeka di bawah semboyan tersebut.

Obama juga menyerukan agar semboyan ‘Bhinekka Tunggal Ika’ dan falsafah Pancasila benar-

benar dipraktekkan oleh bangsa Indonesia dan menyatakan bahwa Amerika mendukung

penuh pembangunan Indonesia dalam hubungan kerjasama di berbagai bidang.

Hal ini setidaknya menyentak alam bawah sadar kita bahwasanya nilai-nilai filosofis Pancasila

mendapat respect dan apresiasi yang mendalam dari seorang tokoh besar dunia, sementara

kita sebagai anak bangsa cenderung semakin meminggirkan Pancasila sebagai bahan

Page 63: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

perbincangan ringan maupun diskusi serius guna menemukan kembali nilai-nilai luhur yang

terkandung di dalamnya. Kita perlu kembali merenungkan hal ini secara lebih jernih, karena

dengan mempelajari Pancasila lebih dalam akan menjadikan kita sadar sebagai bangsa

Indonesia yang memiliki jati diri dan harus diwujudkan dalam pergaulan hidup sehari-hari

untuk menunjukkan identitas bangsa yang lebih bermartabat dan berbudaya tinggi. Jika

Soekarno, di jamannya mampu menyakinkan bahwa Pancasila adalah ideologi yang nyata

atau riil dan berkesesuaian dengan kebutuhan jaman untuk membangun kesadaran

nasionalisme, maka bangsa Indonesia saat ini pun perlu disadarkan dan ditumbuhkan

keyakinan bahwa Pancasila memiliki landasan empirik dan landasan ontologis yang nyata

bagi bangsa Indonesia.

Namun hal ini bukanlah sesuatu yang mudah, saat ini untuk mendiskusikan Pancasila, kiranya

akan menimbulkan pertanyaan yang cukup menggelitik; masih relevankah? bahkan sikap

apatis cenderung sinis akan muncul di sini. Memang harus diakui bahwa membicarakan

Pancasila, di era pasca reformasi, menjadi sesuatu hal yang langka, dan mungkin sedikit aneh.

Pancasila, seolah-olah tenggelam bersamaan dengan gegap gempita era reformasi yang

diikuti euphoria demokratisasi, Pancasila sangat kental aroma Orde Barunya (Suharto)

sedangkan pembicaraan mengenai Suharto dan rezim Orde Barunya adalah sebuah

perbincangan yang kurang popular di era reformasi, kecuali hal-hal yang berkaitan dengan

masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme yang ditinggalkannya. Terabaikannya Pancasila juga

dapat dilihat dari dicabutnya Tap MPR nomor 2/1978 tentang P4 dan dibubarkannya BP7,

yang berarti secara formal tidak ada lagi lembaga yang mengkaji dan mengembangkan

Pancasila. Selain itu UU nomor 20/2003 tentang pendidikan nasional tidak lagi menyebut

Pancasila sebagai pelajaran wajib. Sehingga ke depan generasi muda kita akan kehilangan

makna Pancasila, sebagai jati diri bangsa yang digali dari bumi sendiri. Nilai-nilai luhur

Pancasila dalam implementasinya antara harapan dan kenyataan masih jauh dari apa yang

diharapkan.

Page 64: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Pancasila sebagai Ideologi Bangsa

Setiap bangsa di era Negara modern saat ini selalu memiliki falsafah, baik yang dibakukan

secara tertulis maupun tidak tertulis, yang merupakan landasan bagi ideology negara, atau

pedoman dasar bagi system pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai bangsa

yang baru merdeka dan berdaulat Para founding fathers kita telah bersepakat secara politik

untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara. Pancasila dirumuskan dalam

persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat

membahas dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno

menyebut dasar negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran

yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno

juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup. Secara ideologis

kita sepakat untuk membangun Negara hukum versi Indonesia yaitu Negara hukum

berdasarkan Pancasila. Pancasila kita jadikan sebagai sumber dari segala sumber hukum.

Nilai-nilai Pancasila harus mewarnai secara dominan setiap produk hukum, baik pada tataran

pembentukan, pelaksanaan maupun penegakannya.

Pancasila sebagai ideologi diartikan sebagai keseluruhan pandangan, cita-cita, dan keyakinan

bangsa Indonesia mengenai sejarah, masyarakat, hukum dan negara Indonesia sebagai hasil

kristalisasi nilai-nilai yang sudah ada di bumi Indonesia bersumber pada adat-istiadat,

budaya, agama, dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pancasila sebagai ideologi

digali dan ditemukan dari kekayaan rohani, moral, dan budaya masyarakat Indonesia serta

bersumber dari pandangan hidup bangsa. Oleh karena itu, ideologi Pancasila milik semua

rakyat dan bangsa Indonesia. Dengan demikian, rakyat Indonesia berkewajiban untuk

mewujudkan ideologi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

(baca kembali naskah pidato Ir. Soekarno pada pengukuhan gelar guru besar oleh UGM).

Page 65: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Pada pidato tersebut, Soekarno menekankan pentingnya sebuah dasar negara. Istilah dasar

negara ini kemudian disamakan dengan fundamen, filsafat, pemikiran yang mendalam, serta

jiwa dan hasrat yang mendalam, serta perjuangan suatu bangsa senantiasa memiliki karakter

sendiri yang berasal dari kepribadian bangsa. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa

Pancasila secara formal yudiris terdapat dalam alinea IV pembukaan UUD 1945. Di samping

pengertian formal menurut hukum atau formal yudiris maka Pancasila juga mempunyai

bentuk dan juga mempunyai isi dan arti (unsur-unsur yang menyusun Pancasila tersebut),

sebagaimana tercermin dalam Mukaddimah Konstitusi 1945. Lima prinsip dasar untuk

mencapai atau mewujudkan empat tujuan bernegara. Lima prinsip dasar Pancasila itu

(dirumuskan kembali oleh Jimly Asshidqy: 2003 ) mencakup sila atau prinsip (i) Ketuhanan

Yang Maha Esa; (ii) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; (iii) Persatuan Indonesia; (iv)

Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan;

dan (v) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut dipakai sebagai

dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal bernegara,

yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii)

meningkatkan kesejahteraan umum; (ii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) ikut

melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi, dan

keadilan sosial.

Namun dalam perjalanan panjang kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila sering

mengalami berbagai deviasi dalam aktualisasi nilai-nilainya. Deviasi pengamalan Pancasila

tersebut bisa berupa penambahan, pengurangan, dan penyimpangan dari makna yang

seharusnya. Walaupun seiring dengan itu sering pula terjadi upaya pelurusan kembali.

Pancasila sebagai ideologi yang terbuka atau ideologi yang dinamis, akan senantiasa

berhadapan dengan berbagai masalah, dan oleh karena itu pula membutuhkan adanya

sebuah strategi baru dalam memperkokoh ideologi bangsa dan negara yang berlandaskan

nilai-nilai Pancasila. Pada titik inilah, membincangkan kembali Pancasila, terasa menjadi

Page 66: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

sangat unik, dan perlu untuk direspon oleh kalangan yang memiliki kecintaan terhadap masa

depan bangsa Indonesia.

Harapan Kita ke Depan

Dalam praktek kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, secara mendasar

(grounded, dogmatc) dimensi kultur seyogyanya mendahului dua dimensi lainnya, karena di

dalam dimensi budaya itu tersimpan seperangkat nilai (value system). Selanjutnya sistem

nilai ini menjadi dasar perumusan kebijakan (policy) dan kemudian disusul dengan

pembuatan hukum (law making) sebagai rambu-rambu yuridis dan code of conduct dalam

kehidupan masyarakat sehari-hari, yang diharapkan akan mencerminkan nilai-nilai luhur yang

dimiliki oleh bangsa yang bersangkutan (Solly Lubis: 2003).

Masyarakat kita sekarang ini tidak hanya mendambakan sekedar adanya peraturan hukum,

tetapi lebih dari itu, masalah yang kemudian mengemuka dan muncul ke permukaan ialah

apakah masih ada unsur keadilan dalam sistem hukum yang berlaku di semua sektor-sektor

dan bidang kehidupan bangsa ini. Masyarakat semakin merindukan suatu tatanan hukum

yang tidak hanya melayani hukum itu sendiri dalam hal penegakan hukum (law enforcement)

di semua lini kehidupan, namun juga penegakan hukum dalam rangka pelayanan bagi

masyarakat (public service), kemanfaatan hukum bagi kehidupan rakyat, serta keadilan social

bagi sebagaimana amanat konstitusi.

Saat ini di bidang hukum terjadi perkembangan yang ironis serta kontra produktif, di satu sisi

produk materi hukum, upaya pembinaan aparatur, sarana dan prasarana hukum

menunjukkan peningkatan. Namun, di pihak lain tidak diimbangi dengan peningkatan

integritas moral dan profesionalisme aparat hukum, serta rasa keadilan yang ibarat jauh

Page 67: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

panggang daripada api. Kita masih menyaksikan bahwa mata hukum begitu terasah dan

tajam ketika berlaku bagi orang kecil, namun hukum terasa sangat tumpul dan terkesan tidak

berdaya ketika berhadapan dengan pelanggar hukum dari kalangan yang memiliki uang dan

kuasa di negeri ini.

Hal ini perlu menjadi perhatian serius karena pada saat ini, kecenderungan masyarakat untuk

memercayai produk hokum, perilaku aparatur Negara, maupun hasil-hasil proses peradilan

formal (yang notabene bersumber dari Pancasila) terasa jauh dari rasa keadilan yang tumbuh

di tengah masyarakat. Dari sini kita bisa mengembalikan kepada (asas) falsafah keberadaan

hukum dalam fungsinya sebagai perlindungan manusia, hukum mempunyai tujuan;

menciptakan tatanan yang tertib dalam masyarakat yang tidak hanya mengedepankan asas

kepastian hukum semata, namun juga asas kemanfaatan dan juga asas keadilan yang harus

dipertimbangkan.

Hukum sebagai pengaturan perbuatan-perbuatan manusia oleh kekuasaan dikatakan sah

bukan hanya dalam keputusan (peraturan-peraturan yang dirumuskan) melainkan juga dalam

pelaksanaanya sesuai dengan hukum, harus sesuai dengan hukum kodrati. Dengan kata lain

hukum harus sesuai dengan ideologi bangsa sekaligus sebagai pengayom rakyat. Di sinilah

kita bisa menempatkan kembali Pancasila sebagai symbol pemersatu bangsa, semangat

Bhinneka Tunggal Ika perlu kita jewantahkan tidak hanya sebatas semboyan, namun

teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari.

Masyarakat kita semakin merindukan suatu tatanan keadilan social yang mereka dambakan

sebagai suatu tatanan kehidupan ekonomi, social budaya, politik, hukum yang bisa

memberikan rasa keadilan subtansif, tidak hanya sekedar retorika semata. Semoga.[]

Page 68: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Taufik Firmanto, Yogyakarta 14 November 2010

http://hukum.kompasiana.com/2010/11/15/menempatkan-kembali-pancasila-sebagai-

landasan-politik-hukum-nasional/

10. TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BULAN FEBRUARI

TENTANG NEGARA DAN BANGSA YANG MENEGARA

1.Pengertian Negara Dan Bangsa

Negara adalah suatu daerah atau wilayah yang ada di permukaan bumi di mana terdapat

pemerintahan yang mengatur ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan, dan

lain sebagainya. Di dalam suatu negara minimal terdapat unsur-unsur negara seperti rakyat,

wilayah, pemerintah yang berdaulat serta pengakuan dari negara lain.

Pengertian Negara Berdasarkan Pendapat Para Ahli :

- Roger F. Soltau : Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan

persoalan bersama atas nama masyarakat.

- Georg Jellinek : Negara merupakan organisasi kekuasaan dari kelompok manusia yang telah

berdiam di suatu wilayah tertentu.

- Prof. R. Djokosoetono : Negara adalah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia

yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.

Page 69: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berbentuk republik yang telah diakui oleh

dunia internasional dengan memiliki ratusan juta rakyat, wilayah darat, laut dan udara yang

luas serta terdapat organisasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang berkuasa.

Negara merupakan suatu organisasi dari rakyat negara tersebut untuk mencapai tujuan

bersama dalam sebuah konstitusi yang dijunjung tinggi oleh warga negara tersebut.

Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi cita-cita bangsa secara

bersama-sama.

Fungsi-Fungsi Negara :

1. Mensejahterakan serta memakmurkan rakyat

Negara yang sukses dan maju adalah negara yang bisa membuat masyarakat bahagia secara

umum dari sisi ekonomi dan sosial kemasyarakatan.

2. Melaksanakan ketertiban

Untuk menciptakan suasana dan lingkungan yang kondusif dan damani diperlukan

pemeliharaan ketertiban umum yang didukung penuh oleh masyarakat.

3. Pertahanan dan keamanan

Negara harus bisa memberi rasa aman serta menjaga dari segala macam gangguan dan

ancaman yang datang dari dalam maupun dari luar.

4. Menegakkan keadilan

Negara membentuk lembaga-lembaga peradilan sebagai tempat warganya meminta keadilan

di segala bidang kehidupan.

PENGERTIAN DAN HAKIKAT BANGSA

Page 70: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Bangsa (nation) atau nasional, nasionalitas atau kebangsaan, nasionalisme atau paham

kebangsaan, semua istilah tersebut dalam kajian sejarah terbukti mengandung konsep-

konsep yang sulit dirumuskan, sehingga para pakar di bidang Politik, Sosiologi, dan

Antropologi pun sering tidak sependapat mengenai makna istilah-istilah tersebut. Selain

istilah bangsa, dalam bahasa Indonesia, kita juga menggunakan istilah nasional, nasionalisme

yang diturunkan dari kata asing “nation” yang bersinonim dengan kata bangsa. Tidak ada

rumusan ilmiah yang bisa dirancang untuk mendefinisikan istilah bangsa secara objektif,

tetapi fenomena kebangsaan tetap aktual hingga saat ini.

Bangsa (nation) atau nasional, nasionalitas atau kebangsaan, nasionalisme atau paham

kebangsaan, semua istilah tersebut dalam kajian sejarah terbukti mengandung konsep-

konsep yang sulit dirumuskan, sehingga para pakar di bidang Politik, Sosiologi, dan

Antropologi pun sering tidak sependapat mengenai makna istilah-istilah tersebut. Selain

istilah bangsa, dalam bahasa Indonesia, kita juga menggunakan istilah nasional, nasionalisme

yang diturunkan dari kata asing “nation” yang bersinonim dengan kata bangsa. Tidak ada

rumusan ilmiah yang bisa dirancang untuk mendefinisikan istilah bangsa secara objektif,

tetapi fenomena kebangsaan tetap aktual hingga saat ini.

Dalam kamus ilmu Politik dijumpai istilah bangsa, yaitu “natie” dan “nation”, artinya

masyarakat yang bentuknya diwujudkan oleh sejarah yang memiliki unsur sebagai berikut :

1. Satu kesatuan bahasa ;

2. Satu kesatuan daerah ;

3. Satu kesatuan ekonomi ;

4. Satu Kesatuan hubungan ekonomi ;

5. Satu kesatuan jiwa yang terlukis dalam kesatuan budaya.

2. Hakikat bangsa dan Negara.

Page 71: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Bangsa adalah orang–orang yang

memiliki kesamaan asal keturunan, adat, bahasa dan sejarah serta berpemerintahan sendiri.

Atau bisa diartikan sebagai kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa

dan wilayah tertentu dimuka bumi.

Jadi Bangsa Indonesia adalah sekelompok manusia yang mempunyai kepentingan yang sama

dan menyatakan dirinya sebagai satu bangsa serta berproses di dalam satu wilayah

Nusantara/Indonesia.

Negara adalah suatu organisasi dari sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang

sama–sama mendiami satu wilayah tertentu dan mengetahui adanya satu pemerintahan

yang mengurus tata tertib serta keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia

tersebut.

Atau bisa diartikan sebagai satu perserikatan yang melaksanakan satu pemerintahan melalui

hukum yang mengikat masyarakat dengan kekuasaan untuk memaksa bagi ketertiban sosial.

1. Teori terbentuknya negara

a. Teori Hukum Alam (Plato dan Aristoteles).

Kondisi Alam => Berkembang Manusia => Tumbuh Negara.

b. Teori Ketuhanan

Segala sesuatu adalah ciptaan Tuhan, termasuk adanya negara.

c. Teori Perjanjian (Thomas Hobbes)

Manusia menghadapi kondisi alam dan timbullah kekerasan, manusia akan musnah bila ia

tidak mengubah cara–caranya. Manusia pun bersatu (membentuk negara) untuk mengatasi

tantangan dan menggunakan persatuan dalam gerak tunggal untuk kebutuhan bersama.

Di dalam prakteknya, terbentuknya negara dapat pula disebabkan karena :

a. Penaklukan.

Page 72: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

b. Peleburan.

c. Pemisahan diri

d. Pendudukan atas negara/wilayah yang belum ada pemerintahannya.

2. Unsur Negara

a. Konstitutif.

Negara meliputi wilayah udara, darat, dan perairan (unsur perairan tidak mutlak), rakyat atau

masyarakat, dan pemerintahan yang berdaulat

b. Deklaratif.

Negara mempunyai tujuan, undang–undang dasar, pengakuan dari negara lain baik secara de

jure dan de facto dan ikut dalam perhimpunan bangsa–bangsa, misalnya PBB.

3. Bentuk Negara

a. Negara kesatuan

1. Negara Kesatuan dengan sistem sentralisasi

2. Negara Kesatuan dengan sistem desentralisasi

b. Negara serikat, di dalam negara ada negara yaitu negara bagian.

Negara Dan Warga Negara Dalam Sistem Kenegaraan Di Indonesia

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara berdaulat yang mendapatkan pengakuan

dari dunia internasional dan menjadi anggota PBB. Dan mempunyai kedudukan dan

kewajiban yang sama dengan negara–negara lain di dunia, yaitu ikut serta memelihara dan

menjaga perdamaian dunia. Dalam UUD 1945 telah diatur tentang kewajiban negara

terhadap warga negaranya, juga tentang hak dan kewajiban warga negara kepada negaranya.

Negara wajib memberikan kesejahteraan hidup dan keamanan lahir batin sesuai dengan

sistem demokrasi yang dianutnya serta melindungi hak asasi warganya sebagai manusia

Page 73: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

secara individual berdasarkan ketentuan yang berlaku yang dibatasi oleh ketentuan agama,

etika moral, dan budaya yang berlaku di Indonesia dan oleh sistem kenegaraan yang

digunakan.

1. Proses Bangsa Yang Menegara

Proses bangsa yang menegara memberikan gambaran tentang bagimana terbentuknya

bangsa dimana sekelompok manusia yang berada didalamnya merasa sebagai bagian dari

bangsa. Bangsa yang berbudaya, artinya bangsa yang mau melaksanakan hubungan dengan

penciptanya (Tuhan) disebut agama ; bangsa yang mau berusaha untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya disebut ekonomi; bangsa yang mau berhubungan dengan lingkungan

sesama dan alam sekitarnya disebut sosial; bangsa yang mau berhubungan dengan

kekuasaan disebut politik; bangsa yang mau hidup aman tenteram dan sejahtera dalam

negara disebut pertahanan dan keamanan.

Di Indonesia proses menegara telah dimulai sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, dan terjadinya

Negara Indonesia merupakan suatu proses atau rangkaian tahap–tahapnya yang

berkesinambungan. Secara ringkas, proses tersebut adalah sebagai berikut :

a. Perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia.

b. Proklamasi atau pintu gerbang kemerdekaan.

c. Keadaan bernegara yang nilai–nilai dasarnya ialah merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan

makmur.

Bangsa Indonesia menerjemahkan secara terperinci perkembangan teori kenegaraan tentang

terjadinya Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai berikut :

a. Perjuangan kemerdekaan.

b. Proklamasi

c. Adanya pemerintahan, wilayah dan bangsa

Page 74: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

d. Pembangunan Negara Indonesia

e. Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Proses bangsa yang menegara di Indonesia diawali adanya pengakuan yang sama atas

kebenaran hakiki kesejarahan. Kebenaran hakiki dan kesejarahan yang dimaksud adalah :

a. Kebenaran yang berasal dari Tuhan pencipta alam semesta yakni; Ke-Esa-an Tuhan;

Manusia harus beradab; Manusia harus bersatu; Manusia harus memiliki hubungan sosial

dengan lainnya serta mempunyai nilai keadilan; Kekuasaan didunia adalah kekuasaan

manusia.

b. Kesejarahan. Sejarah adalah salah satu dasar yang tidak dapat ditinggalkan karena

merupakan bukti otentik sehingga kita akan mengetahui dan memahami proses

terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai hasil perjuangan bangsa.

Pendidikan pendahuluan bela negara adalah kesamaan pandangan bagi landasan visional

(wawasan nusantara) dan landasan konsepsional (ketahanan nasional) yang disampaikan

melalui pendidikan, lingkungan pekerjaan dan lingkungan masyarakat.

2. Pemahaman Hak Dan Kewajiban Warga Negara

a. Hak warga negara.

Hak–hak asasi manusia dan warga negara menurut UUD 1945 mencakup :

- Hak untuk menjadi warga negara (pasal 26)

- Hak atas kedudukan yang sama dalam hukum (pasal 27 ayat 1)

- Hak atas persamaan kedudukan dalam pemerintahan (pasal 27ayat 1)

- Hak atas penghidupan yang layak (pasal 27 ayat 2)

- Hak bela negara (pasal 27 ayat 3)

- Hak untuk hidup (pasal 28 A)

Page 75: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

- Hak membentuk keluarga (pasal 28 B ayat 1)

- Hak atas kelangsungan hidup dan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi bagi anak

(pasal 28 B ayat 2).

- Hak pemenuhan kebutuhan dasar (pasal 28 C ayat 1)

- Hak untuk memajukan diri (pasal 28 C ayat 2)

- Hak memperoleh keadilan hukum (pasal 28 d ayat 1)

- Hak untuk bekerja dan imbalan yang adil (pasal 28 D ayat 2)

- Hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (pasal 28 D ayat 3)

- Hak atas status kewarganegaraan (pasal 28 D ayat 4)

- Kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan

pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di

wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali (pasal 28 E ayat 1).

- Hak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai denga

hati nuraninya (pasal 28 E ayat 2)

- Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (pasal 28 E ayat 3)

- Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi (pasal 28 F)

- Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda (pasal

28 G ayat 1)

- Hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat

manusia (pasal 28 G ayat 2)

- Hak memperoleh suaka politik dari negara lain (pasal 28 G ayat 2)

- Hak hidup sejahtera lahir dan batin (pasal 28 H ayat 1)

Page 76: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

- Hak mendapat kemudahan dan memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama (pasal 28

H ayat 2)

- Hak atas jaminan sosial (pasal 28 H ayat 3)

- Hak milik pribadi (pasal 28 H ayat 4)

- Hak untuk tidak diperbudak (pasal 28 I ayat 1)

- Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (pasal 28 I ayat 1)

- Hak bebas dari perlakuan diskriminatif (pasal 28 I ayat 2)

- Hak atas identitas budaya (pasal 28 I ayat 3)

- Hak kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat baik lisan maupun

tulisan (pasal 28)

- Hak atas kebebasan beragama (pasal 29)

- Hak pertahanan dan keamanan negara (pasal 30 ayat 1)

- Hak mendapat pendidikan (pasal 31 ayat 1).

2. b. Kewajiban warga negara antara lain :

- Melaksanakan aturan hukum.

- Menghargai hak orang lain.

- Memiliki informasi dan perhatian terhadap kebutuhan–kebutuhan masyarakatnya.

-Melakukan kontrol terhadap para pemimpin dalam melakukan tugas– tugasnya

- Melakukan komuniksai dengan para wakil di sekolah, pemerintah lokal dan pemerintah

nasional.

- Membayar pajak

Page 77: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

- Menjadi saksi di pengadilan

- Bersedia untuk mengikuti wajib militer dan lain–lain.

c. Tanggung jawab warga negara

Tanggung jawab warga negara merupakan pelaksanaan hak (right) dan kewajiban (duty)

sebagai warga negara dan bersedia menanggung akibat atas pelaksanaannya tersebut.

Bentuk tanggung jawab warga negara :

- Mewujudkan kepentingan nasional

- Ikut terlibat dalam memecahkan masalah–masalah bangsa

- Mengembangkan kehidupan masyarakat ke depan (lingkungan kelembagaan)

- Memelihara dan memperbaiki demokrasi.

d. Peran warga negara

- Ikut berpartisipasi untuk mempengaruhi setiap proses pembuatan dan pelaksanaan

kebijaksanaan publik oleh para pejabat atau lembaga–lembaga negara.

- Menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan.

- Berpartisipasi aktif dalam pembangunan nasional.

- Memberikan bantuan sosial, memberikan rehabilitasi sosial, mela- kukan pembinaan

kepada fakir miskin.

- Menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan sekitar.

- Mengembangkan IPTEK yang dilandasi iman dan takwa.

- Menciptakan kerukunan umat beragama.

- Ikut serta memajukan pendidikan nasional.

Page 78: Pancasila Dan Dinamika Politik Umat Islam

- Merubah budaya negatif yang dapat menghambat kemajuan bangsa.

- Memelihara nilai–nilai positif (hidup rukun, gotong royong, dll).

- Mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negara.

- Menjaga keselamatan bangsa dari segala macam ancaman.

Referensi :

http://chaplien77.blogspot.com/2008/07/pengertian-dan-hakikat-bangsa.html

http://organisasi.org/arti-definisi-pengertian-negara-dan-fungsi-negara-pendidikan-kewarg

http://fandycz.blogdetik.com/2010/03/09/hakekat-bangsa-dan-negara-yang-menegara/

anegaraan-pkn