Panca Sila

30
Pancasila adalah merupakan kesepakatan para pendiri bangsa Indonesia dari segala suku, agama dan golongan dari Sabang sampai Merauke. Pancasila juga alat untuk keamanan dan kemakmuran bersama untuk masyarakat Indonesia. Hanya saja Implementasinya belum bisa dilaksanakan sebaik-baiknya, karena keadilan dan kemakmuran bagi Seluruh Rakyat Indonesia belum juga terwujud sampai saat ini. Pancasila juga merupakan kepribadian seluruh Rakyat Indonesia. Hanya saja nilai- nilai luhur itu sudah sangat pudar, terkikis oleh perilaku yang hanya mementingkan aspek Ekonomi dan gaya hidup modern yang buruk. https://id.answers.yahoo.com/question/index? qid=20100601020709AAm9xqK 08 May 2013 1 Pancasila Sebagai Alat Pemersatu Bangsa Indonesia sebagai Negara yang merdeka berlandaskan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945 sebagai pijakan serta filosofi bangsa, sesungguhnya menjamin perlindungan bagi setiap warga Negara didalam segala aspek kehidupannya, inilah yang melandasi kehendak mulai dari para pendiri Republik ini untuk membentuk Indonesia sebagai Negara Kesatuan. Reformasi sejak tahun 1998 bangsa kita mengalami cobaan dan ujian bertubi- tubi, krisis moneter dan ancaman disintegrasi bangsa

description

.

Transcript of Panca Sila

Pancasila adalah merupakan kesepakatan para pendiri bangsa Indonesia dari segala suku, agama dan golongan dari Sabang sampai Merauke. Pancasila juga alat untuk keamanan dan kemakmuran bersama untuk masyarakat Indonesia. Hanya saja Implementasinya belum bisa dilaksanakan sebaik-baiknya, karena keadilan dan kemakmuran bagi Seluruh Rakyat Indonesia belum juga terwujud sampai saat ini. Pancasila juga merupakan kepribadian seluruh Rakyat Indonesia. Hanya saja nilai-nilai luhur itu sudah sangat pudar, terkikis oleh perilaku yang hanya mementingkan aspek Ekonomi dan gaya hidup modern yang buruk.https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20100601020709AAm9xqK

08 May 2013

1 Pancasila Sebagai Alat Pemersatu Bangsa

Indonesia sebagai Negara yang merdeka berlandaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 sebagai pijakan serta filosofi bangsa, sesungguhnya menjamin perlindungan bagi setiap warga Negara didalam segala aspek kehidupannya, inilah yang melandasi kehendak mulai dari para pendiri Republik ini untuk membentuk Indonesia sebagai Negara Kesatuan. Reformasi sejak tahun 1998 bangsa kita mengalami cobaan dan ujian bertubi-tubi, krisis moneter dan ancaman disintegrasi bangsa sampai saat ini belum dapat diselesaikan dengan tuntas. Hal ini menimbulkan rasa frustasi dan ketidak percayaan rakyat kepada pemerintah, muncullah aneka ragam bentuk protes baik melalui demontrasi yang anarkis dan membuat parlemen tandingan. Permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan bangsa Indonesia tersebut menggambarkan bahwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar Negara, jiwa kepribadian bangsa menunjukkan adanya kecenderungan tidak lagi dijadikan pedoman hidup dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, kecenderungan tersebut diantaranya tindakan sadis dan anarkis mewarnai berita-berita media massa baik elektronik maupun cetak, bagaimana seorang ibu membunuh anak kandungnya, seorang ayah memperkosa anak perempuannya, pembantaian, begitu juga kelompok masyarakat bertindak anarkis dalam menyampaikan pendapat, sarana umum hancur, lalu lintas macet, kendaraan dinas maupun pribadi dibakar, para pelakunya bebas tidak dapat hukuman. Konflik SARA. Sentimen bernuansa SARA yang diawali kecemburuan sosial telah meracuni landasan persatuan dan kerukunan hidup beragama yang ditanamkan oleh pendahulu kita yang notabene, terdiri atas berbagai suku dan agama, misalnya peristiwa yang pernah terjadi di POSO dan AMBON

Permasalahan yang dialami oleh bangsa Indonesia dewasa ini, dengan berbagai kejadian-kejadian yang terjadi di sebagian daerah Indonesia sangatlah bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45 yang dijadikan pedoman hidup oleh masyarakat, berbangsa dan bernegara mengingat Pancasila merupakan azas mutlak bagi rakyat Indonesia dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari. Dengan melihat perkembangan kehidupan berbangsa dan bertanah air di Negara kita yang sering terjadi konflik maka menjadi suatu tantangan buat kita untuk bisa menjawab bagaimana penanganan atau pemecahan masalah konflik tersebut dan dalam penangan konflik tersebut berpedoman kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta langkah-langkah apa yang harus dilaksanakan.Kita ketahui bersama bahwa Negara Indonesia terdiri dari berbagai ragam suku, bahasa, agama, adat istiadat dan banyak lagi, hal itu akan bisa berdampak pada konflik apabila kita tidak memiliki jiwa kesatuan dan pesatuan. Untuk itu didalam menumbuhkan nilai persatuan dan kesatuan maka salah satu langkah pemecahan adalah perlu dihidupkan kembali penataran Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4) kepada setiap lapisan masyarakat, karena dengan penataran tersebut secara tidak langsung masyarakat akan memahami tentang dasar falsafah kita dan bagaimana pengaplikasiannya sehingga akan mengurangi konflik-konflik yang terjadi di Negara kita, seperti halnya kalau kita simak Sila-Sila yang ada pada Pancasila, Sila pertama Pancasila (Ketaqwaan terhadap Tuhan YME) yang mengandung nilai saling menghormati antar sesama penganut agama dan tidak memperuncing perbedaan cara-cara pendekatan diri kepada Tuhan. Kalau ini disimak dengan baik dan benar maka kemungkinan konflik yang terjadi di Ambon tidak akan terjadi atau tidak berlarut-larut sehingga tidak akan memakan korban yang sia-sia serta tidak ada kerugian harta benda. Hal ini tidak akan terjadi apabila kita memahami secara mendalam tentang Pancasila terutama pada Sila pertama.Pada Sila kedua Pancasila (Kemanusiaan yang adil dan beradab) terkandung nilai-nilai kemanusiaan antara lain. (1) Pengakuan terhadap adanya martabat manusia. (2) Perlakuan yang adil terhadap martabat manusia. (3) Pengertian manusia yang beradab memiliki daya cipta, rasa, karsa dan keyakinan sehingga jelas adanya perbedaan antara manusia dan hewan. Sehingga tumbuh nilai saling menyayangi dan mengasihi antar sesama serta menghormati nilai- nilai hidup setiap orang. Dengan memahami nilai-nilai ini maka tidak akan terjadi pelanggaran terhadap hak-hak manusia seperti pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan dan lain-lain. Pada Sila ketiga (Persatuan Indonesia) terkandung nilai-nilai sebagai berikut. (1) Persatuan Indonesia adalah persatuan bangsa yang mendiami wilayah Indonesia. (2) Bangsa Indonesia adalah persatuan suku-suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia dan memiliki satu tekad yang sama dalam pencapaian cita-cita. (3) Pengakuan terhadap Ke-Bhineka Tunggal Ika-an suku Bangsa (etis) dan kebudayaan Bangsa (berbeda-beda namun satu jiwa) yang memberikan arah dalam pembinaan kesatuan Bangsa. Dalam pengaplikasiannya sama halnya dengan sila pertama dan kedua, sila ketiga apabila kita memahami dan mecermati serta mengilhami secara benar dan menginginkan persatuan dan persatuan maka konflik di Aceh dan Papua serta Ambon yang ingin memisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia ini tidak akan terjadi. Sedangkan pada Pancasila Sila keempat (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan) terkandung nilai-nilai. (1) Kedaulatan negara adalah ditangan rakyat. (2) Pimpinan kerakyatan adalah hikmat kebijaksanaan yang ditempuh melalui jalan musyawarah dengan dilandasi akal sehat. (3) Manusia Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. (4) Musyawarah untuk mufakat dicapai dalam permusyawaratan wakil-wakil rakyat. Sila keempat ini kalau diaplikasakan oleh segenap lapisan masyarakat dengan setiap permasalahan atau konflik diselesaikan dengan musyawarah maka tidak akan terjadi konflik yang berkepanjangan seperti di Ambon dan Poso.Pada Sila kelima pada Pancasila (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia) terkandung nilai-nilai. (1) Perwujudan keadilan sosial dalam kehidupan sosial atau kemasyarakatan meliputi seluruh rakyat Indonesia dengan tidak memandang Suku, Agama, Ras dan golongan. (2) Keadilan dalam kehidupan sosial terutama meliputi bidang-bidang Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Kebudayaan dan Pertahanan/ keamanan nasional (Ipoleksosbudhankamnas). (3) Cita-cita masyarakat adil dan makmur material dan spritual yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. (4) Keseimbangan antara hak dan kewajiban dan menghormati hak orang lain.Dengan memahami bagaimana pengaplikasian dari butir-butir Pancasila yang merupakan sebagai pandangan hidup seperti tersebut diatas, maka bangsa Indonesia akan dapat memandang suatu persoalan yang dihadapinya dan menentukan arah serta dapat memecahkan persoalannya dengan tepat. Tanpa memiliki suatu pandangan hidup, bangsa Indonesia akan merasa terombang ambing dalam menghadapi suatu persoalan besar yang timbul baik persoalan masyarakat itu sendiri maupun persoalan besar umat manusia dalam pergaulan masyarakat bangsa-bangsa di dunia.Pandangan hidup bangsa haruslah berakar pada pandangan hidup masyarakat dengan kata lain bahwa pandangan hidup bangsa harus berakar dari nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh seluruh lapisan masyarakat yang menjadi unsur lapisan masyarakat itu. Setiap masyarakat yang mendiami suatu daerah di Indonesia pastilah mempunyai ciri kebudayaan dan pandangan hidup masyarakat yang perlu dilindungi, dihormati, serta dimajukan oleh negara. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa memperoleh dukungan dari rakyat Indonesia karena sila-sila serta nilai-nilai yang secara keseluruhan merupakan intisari dari nilai-nilai budaya masyarakat yang majemuk. Pancasila memberikan corak yang khas dalam kebudayaan masyarakat, oleh karena itu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia dan merupakan ciri khas yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Realisasi pelaksanaan Pancasila sebagai dasar falsafah negara, sehingga tertanam nilai-nilai Pancasilais dalam rangka mencegah terjadinya konflik antar suku, agama, dan daerah serta menghindari adanya keinginan pemisahan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia maka perlu dilakukan sesara berangsur-angsur kepada lapisan masyarakat tentang pemahaman lebih mendalam mengenai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45, sehingga akan timbul jiwa persatuan dan kesatuan. Oleh karena itulah Negara Kesatuan Republik Indonesia mencantumkan sesanti Bhineka Tunggal Ika pada lambang Negara, Persatuan dan Kesatuan tidak boleh mematikan keanekaragaman dan kemajemukan sebagaimana kemajemukan tidak boleh menjadi faktor pemecah belah, tetapi harus menjadi sumber daya yang kaya untuk memajukan kesatuan dan persatuan itu.

Dari tulisan diatas dapat disimpulkan bahwa Pancasila merupakan alat pemersatu Bangsa dari perpecahan, konflik yang terjadi ditengah lapisan masyarakat, dengan jalan setiap masyarakat harus mampu menjiwai secara mendalam dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, adapun untuk bisa menggalakkan lagi pemahaman tentang Pancasila dan Undang-Undang Dasar maka disarankan perlu dihidupkan kembali penataran Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila.

Read more at http://blekenyek.blogspot.com/2013/05/pancasila-sebagai-alat-pemersatu-bangsa.html#ch6eHqfO8GXySDd1.99Pancasila Sebagai Dasar NegaraPengertian Pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan sebagaimana tertuang dalam Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang menyatakan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan oleh PPKI atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia.

Memorandum DPR-GR itu disahkan pula oleh MPRS dengan Ketetapan No. XX/MPRS/1966.Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No. IX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tata tertib hukum di Indonesia.

Dengan keputusan ini pula, secara yuridis Pancasila sah menjadi Dasar Negara Republik Indonesia, sehingga seluruh komponen kehidupan bernegara maupun bermasyarakat haruslah wajib didasari oleh Pancasila. Landasan hukum Pancasila sebagai dasar Negara dapat memberi akibat hukum dan filosofis, yakni kehidupan bernegara bangsa ini haruslah berpedoman pada pancasila.

Namun,pada kenyataannya masih banyak terjadikekerasan di negara Pancasila dan itu bukanlah hal baru. Kekerasan di negara Pancasila merupakan kekerasan yang sarat makna. Kekerasan di negara Pancasila terutama di tanah Papua merupakan sebagian kekerasan dari sekian banyak kekerasan yang ada.

Konflikdi Tanah PapuaInti dari setiap konflik adalah perbedaan kepentingan dan pendapat. Pihak yang satu ingin mencari keuntungan sendiri tanpa memperhitungkan pihak lain. Perbedaan pendapat dan kepentingan ini bisa menjadi sebuah gangguan yang luar biasa dahsyat jika tidak ada suatu dasarkebersamaan yang membantu mengatasi masalah tersebut.

Konflik di Tanah Papua sudah dimulai sejak Indonesia menguasai Papua pada tanggal 1 Mei 1963. Konflik yang terjadi di Tanah Papua hingga kini belum dituntaskan secara komprehensif dan menyeluruh, kendati telah diupayakan penyelesaiannya melalui berbagai cara. Cara penyelesaian konflik di Tanah Papua selalu berakhir dengan kekerasan.

Fakta sejarah di Papua memperlihatkan secara jelas dan gamblang bahwa dalam rangka menyelesaikan konflik Papua, pemerintah telah melakukan sejumlah operasi militer secara besar-besaran di Tanah Papua, seperti Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Brathayudha (1967-1969), Operasi Wibawa (1969), Operasi militer di Kabupaten Jayawijaya (1977),Operasi Sapu Bersih I dan II (1981), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-1984), dan Operasi Sapu Bersih (1985).

Jalan kekerasan yang ditempuh pemerintah dalam menyelesaikan konflik Papua juga dinyatakan melalui operasi militer yang dilancarkan di Mapnduma (1996), dan peristiwa pelanggaran HAM di Wasior (2001). Kekerasan masih dipakai pula oleh militer sebagai jalan penyelesaian konflik seperti dinyatakan melalui operasi militer di Wamena (2003) dan di Kabupaten Puncak Jaya (2004), serta yang terjadi pada Kongres Rakyak Papua III di lapangan Zakeus Padang Bulan Abepura (2011), yang mana aparat militer masih menggunakan kekerasan hingga mengakibatkan korban luka.

Upaya penyelesaian konflik dengan jalan kekerasan ini telah mengakibatkan jatuhnya banyak korban di kedua belah pihak, terutama di pihakorang Papua. Kebanyakan konflik di Tanah Papua hanya dilihat sejauh mata memandang. Namun,dibalik apa yang terlihat tersimpan begitu banyak konflik yang seolah-olah terus ditutup-tutupi. Fakta menunjukkan bahwa penyelesaian konflik di Tanah Papua tidak bisa lagi diatasi melalui jalan kekerasan, karena kekerasan hanya menambah luka dan penderitaan, bahkan korban di masyarakat Papua.

Setelah jalan kekerasan yang ditempuh pemerintah untuk menyelesaikan konflik Papua tidak berhasil, maka pemerintah beralih ke Otonomi Khusus (Otsus). Pemerintah menetapkan Undang-Undang No. 12 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sebagai pengejawantahan dari ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1999, dan Ketetapan MPR RI No. IV/2000.

Hal ini dipandang sebagai sebuah komitmen nasional untuk dijadikan solusi yang realistis terhadap berbagai konflik yang melatarbelakangi tuntutan kemerdekaan orang Papua. Namun pemberlakuan Undang-Undang Otsus tersebut yang sudah berjalan 10 tahun tidak berhasil menyelesaikan konflik yang terjadi di tanah Papua. Otsus hanyalah sebuah dongeng yang dikisahkan pemerintah kepada rakyat Papua.

Seluruh komponen masyarakat Papua menyadari bahwa pemberlakuan Otsus hanya menambah derita dan ketidakpercayaan kepada pemerintah. Bahkan setelah pemberlakuan Otsus pun masih terjadi kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di berbagai daerah di Tanah Papua, seperti kasus Wasior (2003) yang menewaskan 4 orang, dan di Wamena (2005) yang mengorbankan 9 orang.

Hal ini menjadi bukti bahwa pemerintah telah gagal total dalam menangani konflik di Tanah Papua. Otsus yang dikumandangkan pemerintah telah gagal total dan tidakmemiliki arti lagi.

DialogLangkahAwalMenujuKedamaianTidak ada jalan lain untuk mengatasi konflik di Tanah Papua selain melalui dialog. Dialog merupakan jalan terakhir yang harus ditempuh bersama, antara pemerintah Indonesia dan segenap rakyat Papua dalam mengatasi konflik tersebut. Seperti yang telah ditegaskan diatas bahwa kekerasan tidak dapat lagi menjadi media untuk menyelesaikan masalah di tanah Papua, melainkan hanya menambah luka dan korban.

Sesungguhnya dialog sudah dicanangkan sejak lama, namun tidak pernah direalisasikan karena ada kemungkinan bahwa pemerintah Indonesia mencurigai akan adanya pembahasan tentang kemerdekaan dalam dialog tersebut.

Jika pemerintah sudah mempunyai sikap curiga terhadap orang Papua, maka perlu diketahui bahwa orang Papua juga memunyai sikap tidak percaya terhadap pemerintah Indonesia. Sikap ketidakpercayaan orang Papua terhadap pemerintah didasari pada janji-janji yang dilontarkan pemerintah kepada orang Papua dan jarang dipenuhi.

Sikap ketidakpercayaan ini sudah tercover pada setiap komponen masyarakat Papua dengan mengatakan, pemerintah baku tipu. Hal ini menunjukkan bahwa orang Papua memandang pemerintah sebagai pembual belaka yang sudah berkali-kali membohongi mereka. Sikap ketidakpercayaan ini merupakan suatu kendala besar yang perlu diatasi bila ingin menuju ke sebuah dialog damai.

Kita semua telah mengetahui bahwa dialog telah dikumandangkan oleh kedua belah pihak sudah sejak lama. Dari pihak pemerintah sendiri telah membuat sebuah komitmen untuk menyelesaikan konflik Papua melalui dialog. Hal ini telah dinyatakan secara publik oleh presiden Soesilo Bambang Yudhoyonobahwa konflik di Tanah Papua harus diselesaikan secara damai dengan mengutamakan dialog dan persuasi.

Presiden Yudhoyono menegaskan pula dalam pidato kenegaraan pada tahun 2005 bahwa"The government wishes to solve the issue in Papua in a peaceful, just and dignified manner by emphasizing dialogue and persuasion. The policy for the settlement of the issue in Papua is placed on the consistent implementation of the special autonomy, as just, comprehensive and dignified solution".Sejalan dengan komitmen pemerintah di bawah kepemimpinan Yudhoyono, Hassan Wirayuda selaku Menteri Luar Negeri (Menlu) menegaskan bahwa pemerintah Indonesia mengutamakan solusi tanpa kekerasan dalam mengatasi konflik Papua:"The sucessfull peace process in Aceh should inspire a similiar move for a non-violent solution in Papua".Pernyataan-pernyataan yang diungkapkan oleh pemerintah indonesia telah memperlihatkan sebuah sikap terbuka dan mau untuk berdialog dengan orang Papua secara damai.

Sedangkan dari pihak Papua yang telah diungkapkan oleh OPM dan ditegaskan kembali oleh West Papua National Coalition for Leberation (WPNCL) bahwa"WPNCL will continue to seek internationally mediated negotiation with the Republic of Indonesia as the best way resolving the angoing armed conflict promoted by the Indonesian security forces and reversing the disastrous human rights and spiraling health situation of the West Papuan people".Dengan demikian, diharapkan agar proses penyelesaian konflik di tanah Papua dengan cara dialog bisa berjalan dengan lancar dan damai karena sudah ada kemauan dari kedua belah pihak. Memang harus diakui bahwa konflik yang terjadi di Papua bukanlah konflik ringan dan sepeleh, melainkan sebuah konflik yang begitu besar dan berat, sehingga diperlukan kesepakatan dari kedua belah pihak untuk menyelesaikannya secara intensif dan menyeluruh.

Konflik yang terjadi di negara Pancasila Tanah Papua merupakan suatu proses pembelajaran agar kita membuka mata untuk melihat dan menyelesaikannya secara damai baik melalui dialog maupun yang lainnya tanpa harus ada kekerasan.

Negara yang bersumber pada Pancasila kiranya selalu berjalan searah dengan apa yang telah menjadi pedoman dasar seperti yang telah dikatakan olehErnest Renan melalui tulisannya yang amat terkenal"What is Nation?"yang mengatakan bahwa negara adalah jiwa dan prinsip spiritual yang menjadi sebuah ikatan bersama, baik dalam hal kebersamaan maupun pengorbanan.

Jika hal ini sungguh dihayati oleh semua komponen, maka kekerasan yang selama ini terjadi baik di Tanah Papua maupun di mana saja akan teratasi.

Andrio TemorubunadalahMahasiswa di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur' Abepura, Jayapura, Papua.Pancasila Sebagai Dasar NegaraPengertian Pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan sebagaimana tertuang dalam Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang menyatakan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan oleh PPKI atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia.

Memorandum DPR-GR itu disahkan pula oleh MPRS dengan Ketetapan No. XX/MPRS/1966.Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No. IX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tata tertib hukum di Indonesia.

Dengan keputusan ini pula, secara yuridis Pancasila sah menjadi Dasar Negara Republik Indonesia, sehingga seluruh komponen kehidupan bernegara maupun bermasyarakat haruslah wajib didasari oleh Pancasila. Landasan hukum Pancasila sebagai dasar Negara dapat memberi akibat hukum dan filosofis, yakni kehidupan bernegara bangsa ini haruslah berpedoman pada pancasila.

Namun,pada kenyataannya masih banyak terjadikekerasan di negara Pancasila dan itu bukanlah hal baru. Kekerasan di negara Pancasila merupakan kekerasan yang sarat makna. Kekerasan di negara Pancasila terutama di tanah Papua merupakan sebagian kekerasan dari sekian banyak kekerasan yang ada.

Konflikdi Tanah PapuaInti dari setiap konflik adalah perbedaan kepentingan dan pendapat. Pihak yang satu ingin mencari keuntungan sendiri tanpa memperhitungkan pihak lain. Perbedaan pendapat dan kepentingan ini bisa menjadi sebuah gangguan yang luar biasa dahsyat jika tidak ada suatu dasarkebersamaan yang membantu mengatasi masalah tersebut.

Konflik di Tanah Papua sudah dimulai sejak Indonesia menguasai Papua pada tanggal 1 Mei 1963. Konflik yang terjadi di Tanah Papua hingga kini belum dituntaskan secara komprehensif dan menyeluruh, kendati telah diupayakan penyelesaiannya melalui berbagai cara. Cara penyelesaian konflik di Tanah Papua selalu berakhir dengan kekerasan.

Fakta sejarah di Papua memperlihatkan secara jelas dan gamblang bahwa dalam rangka menyelesaikan konflik Papua, pemerintah telah melakukan sejumlah operasi militer secara besar-besaran di Tanah Papua, seperti Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Brathayudha (1967-1969), Operasi Wibawa (1969), Operasi militer di Kabupaten Jayawijaya (1977),Operasi Sapu Bersih I dan II (1981), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-1984), dan Operasi Sapu Bersih (1985).

Jalan kekerasan yang ditempuh pemerintah dalam menyelesaikan konflik Papua juga dinyatakan melalui operasi militer yang dilancarkan di Mapnduma (1996), dan peristiwa pelanggaran HAM di Wasior (2001). Kekerasan masih dipakai pula oleh militer sebagai jalan penyelesaian konflik seperti dinyatakan melalui operasi militer di Wamena (2003) dan di Kabupaten Puncak Jaya (2004), serta yang terjadi pada Kongres Rakyak Papua III di lapangan Zakeus Padang Bulan Abepura (2011), yang mana aparat militer masih menggunakan kekerasan hingga mengakibatkan korban luka.

Upaya penyelesaian konflik dengan jalan kekerasan ini telah mengakibatkan jatuhnya banyak korban di kedua belah pihak, terutama di pihakorang Papua. Kebanyakan konflik di Tanah Papua hanya dilihat sejauh mata memandang. Namun,dibalik apa yang terlihat tersimpan begitu banyak konflik yang seolah-olah terus ditutup-tutupi. Fakta menunjukkan bahwa penyelesaian konflik di Tanah Papua tidak bisa lagi diatasi melalui jalan kekerasan, karena kekerasan hanya menambah luka dan penderitaan, bahkan korban di masyarakat Papua.

Setelah jalan kekerasan yang ditempuh pemerintah untuk menyelesaikan konflik Papua tidak berhasil, maka pemerintah beralih ke Otonomi Khusus (Otsus). Pemerintah menetapkan Undang-Undang No. 12 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sebagai pengejawantahan dari ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1999, dan Ketetapan MPR RI No. IV/2000.

Hal ini dipandang sebagai sebuah komitmen nasional untuk dijadikan solusi yang realistis terhadap berbagai konflik yang melatarbelakangi tuntutan kemerdekaan orang Papua. Namun pemberlakuan Undang-Undang Otsus tersebut yang sudah berjalan 10 tahun tidak berhasil menyelesaikan konflik yang terjadi di tanah Papua. Otsus hanyalah sebuah dongeng yang dikisahkan pemerintah kepada rakyat Papua.

Seluruh komponen masyarakat Papua menyadari bahwa pemberlakuan Otsus hanya menambah derita dan ketidakpercayaan kepada pemerintah. Bahkan setelah pemberlakuan Otsus pun masih terjadi kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di berbagai daerah di Tanah Papua, seperti kasus Wasior (2003) yang menewaskan 4 orang, dan di Wamena (2005) yang mengorbankan 9 orang.

Hal ini menjadi bukti bahwa pemerintah telah gagal total dalam menangani konflik di Tanah Papua. Otsus yang dikumandangkan pemerintah telah gagal total dan tidakmemiliki arti lagi.

DialogLangkahAwalMenujuKedamaianTidak ada jalan lain untuk mengatasi konflik di Tanah Papua selain melalui dialog. Dialog merupakan jalan terakhir yang harus ditempuh bersama, antara pemerintah Indonesia dan segenap rakyat Papua dalam mengatasi konflik tersebut. Seperti yang telah ditegaskan diatas bahwa kekerasan tidak dapat lagi menjadi media untuk menyelesaikan masalah di tanah Papua, melainkan hanya menambah luka dan korban.

Sesungguhnya dialog sudah dicanangkan sejak lama, namun tidak pernah direalisasikan karena ada kemungkinan bahwa pemerintah Indonesia mencurigai akan adanya pembahasan tentang kemerdekaan dalam dialog tersebut.

Jika pemerintah sudah mempunyai sikap curiga terhadap orang Papua, maka perlu diketahui bahwa orang Papua juga memunyai sikap tidak percaya terhadap pemerintah Indonesia. Sikap ketidakpercayaan orang Papua terhadap pemerintah didasari pada janji-janji yang dilontarkan pemerintah kepada orang Papua dan jarang dipenuhi.

Sikap ketidakpercayaan ini sudah tercover pada setiap komponen masyarakat Papua dengan mengatakan, pemerintah baku tipu. Hal ini menunjukkan bahwa orang Papua memandang pemerintah sebagai pembual belaka yang sudah berkali-kali membohongi mereka. Sikap ketidakpercayaan ini merupakan suatu kendala besar yang perlu diatasi bila ingin menuju ke sebuah dialog damai.

Kita semua telah mengetahui bahwa dialog telah dikumandangkan oleh kedua belah pihak sudah sejak lama. Dari pihak pemerintah sendiri telah membuat sebuah komitmen untuk menyelesaikan konflik Papua melalui dialog. Hal ini telah dinyatakan secara publik oleh presiden Soesilo Bambang Yudhoyonobahwa konflik di Tanah Papua harus diselesaikan secara damai dengan mengutamakan dialog dan persuasi.

Presiden Yudhoyono menegaskan pula dalam pidato kenegaraan pada tahun 2005 bahwa"The government wishes to solve the issue in Papua in a peaceful, just and dignified manner by emphasizing dialogue and persuasion. The policy for the settlement of the issue in Papua is placed on the consistent implementation of the special autonomy, as just, comprehensive and dignified solution".Sejalan dengan komitmen pemerintah di bawah kepemimpinan Yudhoyono, Hassan Wirayuda selaku Menteri Luar Negeri (Menlu) menegaskan bahwa pemerintah Indonesia mengutamakan solusi tanpa kekerasan dalam mengatasi konflik Papua:"The sucessfull peace process in Aceh should inspire a similiar move for a non-violent solution in Papua".Pernyataan-pernyataan yang diungkapkan oleh pemerintah indonesia telah memperlihatkan sebuah sikap terbuka dan mau untuk berdialog dengan orang Papua secara damai.

Sedangkan dari pihak Papua yang telah diungkapkan oleh OPM dan ditegaskan kembali oleh West Papua National Coalition for Leberation (WPNCL) bahwa"WPNCL will continue to seek internationally mediated negotiation with the Republic of Indonesia as the best way resolving the angoing armed conflict promoted by the Indonesian security forces and reversing the disastrous human rights and spiraling health situation of the West Papuan people".Dengan demikian, diharapkan agar proses penyelesaian konflik di tanah Papua dengan cara dialog bisa berjalan dengan lancar dan damai karena sudah ada kemauan dari kedua belah pihak. Memang harus diakui bahwa konflik yang terjadi di Papua bukanlah konflik ringan dan sepeleh, melainkan sebuah konflik yang begitu besar dan berat, sehingga diperlukan kesepakatan dari kedua belah pihak untuk menyelesaikannya secara intensif dan menyeluruh.

Konflik yang terjadi di negara Pancasila Tanah Papua merupakan suatu proses pembelajaran agar kita membuka mata untuk melihat dan menyelesaikannya secara damai baik melalui dialog maupun yang lainnya tanpa harus ada kekerasan.

Negara yang bersumber pada Pancasila kiranya selalu berjalan searah dengan apa yang telah menjadi pedoman dasar seperti yang telah dikatakan olehErnest Renan melalui tulisannya yang amat terkenal"What is Nation?"yang mengatakan bahwa negara adalah jiwa dan prinsip spiritual yang menjadi sebuah ikatan bersama, baik dalam hal kebersamaan maupun pengorbanan.

Jika hal ini sungguh dihayati oleh semua komponen, maka kekerasan yang selama ini terjadi baik di Tanah Papua maupun di mana saja akan teratasi.

Andrio TemorubunadalahMahasiswa di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur' Abepura, Jayapura, Papua.Pancasila Sebagai Dasar NegaraPengertian Pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan sebagaimana tertuang dalam Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang menyatakan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan oleh PPKI atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia.

Memorandum DPR-GR itu disahkan pula oleh MPRS dengan Ketetapan No. XX/MPRS/1966.Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No. IX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tata tertib hukum di Indonesia.

Dengan keputusan ini pula, secara yuridis Pancasila sah menjadi Dasar Negara Republik Indonesia, sehingga seluruh komponen kehidupan bernegara maupun bermasyarakat haruslah wajib didasari oleh Pancasila. Landasan hukum Pancasila sebagai dasar Negara dapat memberi akibat hukum dan filosofis, yakni kehidupan bernegara bangsa ini haruslah berpedoman pada pancasila.

Namun,pada kenyataannya masih banyak terjadikekerasan di negara Pancasila dan itu bukanlah hal baru. Kekerasan di negara Pancasila merupakan kekerasan yang sarat makna. Kekerasan di negara Pancasila terutama di tanah Papua merupakan sebagian kekerasan dari sekian banyak kekerasan yang ada.

Konflikdi Tanah PapuaInti dari setiap konflik adalah perbedaan kepentingan dan pendapat. Pihak yang satu ingin mencari keuntungan sendiri tanpa memperhitungkan pihak lain. Perbedaan pendapat dan kepentingan ini bisa menjadi sebuah gangguan yang luar biasa dahsyat jika tidak ada suatu dasarkebersamaan yang membantu mengatasi masalah tersebut.

Konflik di Tanah Papua sudah dimulai sejak Indonesia menguasai Papua pada tanggal 1 Mei 1963. Konflik yang terjadi di Tanah Papua hingga kini belum dituntaskan secara komprehensif dan menyeluruh, kendati telah diupayakan penyelesaiannya melalui berbagai cara. Cara penyelesaian konflik di Tanah Papua selalu berakhir dengan kekerasan.

Fakta sejarah di Papua memperlihatkan secara jelas dan gamblang bahwa dalam rangka menyelesaikan konflik Papua, pemerintah telah melakukan sejumlah operasi militer secara besar-besaran di Tanah Papua, seperti Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Brathayudha (1967-1969), Operasi Wibawa (1969), Operasi militer di Kabupaten Jayawijaya (1977),Operasi Sapu Bersih I dan II (1981), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-1984), dan Operasi Sapu Bersih (1985).

Jalan kekerasan yang ditempuh pemerintah dalam menyelesaikan konflik Papua juga dinyatakan melalui operasi militer yang dilancarkan di Mapnduma (1996), dan peristiwa pelanggaran HAM di Wasior (2001). Kekerasan masih dipakai pula oleh militer sebagai jalan penyelesaian konflik seperti dinyatakan melalui operasi militer di Wamena (2003) dan di Kabupaten Puncak Jaya (2004), serta yang terjadi pada Kongres Rakyak Papua III di lapangan Zakeus Padang Bulan Abepura (2011), yang mana aparat militer masih menggunakan kekerasan hingga mengakibatkan korban luka.

Upaya penyelesaian konflik dengan jalan kekerasan ini telah mengakibatkan jatuhnya banyak korban di kedua belah pihak, terutama di pihakorang Papua. Kebanyakan konflik di Tanah Papua hanya dilihat sejauh mata memandang. Namun,dibalik apa yang terlihat tersimpan begitu banyak konflik yang seolah-olah terus ditutup-tutupi. Fakta menunjukkan bahwa penyelesaian konflik di Tanah Papua tidak bisa lagi diatasi melalui jalan kekerasan, karena kekerasan hanya menambah luka dan penderitaan, bahkan korban di masyarakat Papua.

Setelah jalan kekerasan yang ditempuh pemerintah untuk menyelesaikan konflik Papua tidak berhasil, maka pemerintah beralih ke Otonomi Khusus (Otsus). Pemerintah menetapkan Undang-Undang No. 12 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sebagai pengejawantahan dari ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1999, dan Ketetapan MPR RI No. IV/2000.

Hal ini dipandang sebagai sebuah komitmen nasional untuk dijadikan solusi yang realistis terhadap berbagai konflik yang melatarbelakangi tuntutan kemerdekaan orang Papua. Namun pemberlakuan Undang-Undang Otsus tersebut yang sudah berjalan 10 tahun tidak berhasil menyelesaikan konflik yang terjadi di tanah Papua. Otsus hanyalah sebuah dongeng yang dikisahkan pemerintah kepada rakyat Papua.

Seluruh komponen masyarakat Papua menyadari bahwa pemberlakuan Otsus hanya menambah derita dan ketidakpercayaan kepada pemerintah. Bahkan setelah pemberlakuan Otsus pun masih terjadi kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di berbagai daerah di Tanah Papua, seperti kasus Wasior (2003) yang menewaskan 4 orang, dan di Wamena (2005) yang mengorbankan 9 orang.

Hal ini menjadi bukti bahwa pemerintah telah gagal total dalam menangani konflik di Tanah Papua. Otsus yang dikumandangkan pemerintah telah gagal total dan tidakmemiliki arti lagi.

DialogLangkahAwalMenujuKedamaianTidak ada jalan lain untuk mengatasi konflik di Tanah Papua selain melalui dialog. Dialog merupakan jalan terakhir yang harus ditempuh bersama, antara pemerintah Indonesia dan segenap rakyat Papua dalam mengatasi konflik tersebut. Seperti yang telah ditegaskan diatas bahwa kekerasan tidak dapat lagi menjadi media untuk menyelesaikan masalah di tanah Papua, melainkan hanya menambah luka dan korban.

Sesungguhnya dialog sudah dicanangkan sejak lama, namun tidak pernah direalisasikan karena ada kemungkinan bahwa pemerintah Indonesia mencurigai akan adanya pembahasan tentang kemerdekaan dalam dialog tersebut.

Jika pemerintah sudah mempunyai sikap curiga terhadap orang Papua, maka perlu diketahui bahwa orang Papua juga memunyai sikap tidak percaya terhadap pemerintah Indonesia. Sikap ketidakpercayaan orang Papua terhadap pemerintah didasari pada janji-janji yang dilontarkan pemerintah kepada orang Papua dan jarang dipenuhi.

Sikap ketidakpercayaan ini sudah tercover pada setiap komponen masyarakat Papua dengan mengatakan, pemerintah baku tipu. Hal ini menunjukkan bahwa orang Papua memandang pemerintah sebagai pembual belaka yang sudah berkali-kali membohongi mereka. Sikap ketidakpercayaan ini merupakan suatu kendala besar yang perlu diatasi bila ingin menuju ke sebuah dialog damai.

Kita semua telah mengetahui bahwa dialog telah dikumandangkan oleh kedua belah pihak sudah sejak lama. Dari pihak pemerintah sendiri telah membuat sebuah komitmen untuk menyelesaikan konflik Papua melalui dialog. Hal ini telah dinyatakan secara publik oleh presiden Soesilo Bambang Yudhoyonobahwa konflik di Tanah Papua harus diselesaikan secara damai dengan mengutamakan dialog dan persuasi.

Presiden Yudhoyono menegaskan pula dalam pidato kenegaraan pada tahun 2005 bahwa"The government wishes to solve the issue in Papua in a peaceful, just and dignified manner by emphasizing dialogue and persuasion. The policy for the settlement of the issue in Papua is placed on the consistent implementation of the special autonomy, as just, comprehensive and dignified solution".Sejalan dengan komitmen pemerintah di bawah kepemimpinan Yudhoyono, Hassan Wirayuda selaku Menteri Luar Negeri (Menlu) menegaskan bahwa pemerintah Indonesia mengutamakan solusi tanpa kekerasan dalam mengatasi konflik Papua:"The sucessfull peace process in Aceh should inspire a similiar move for a non-violent solution in Papua".Pernyataan-pernyataan yang diungkapkan oleh pemerintah indonesia telah memperlihatkan sebuah sikap terbuka dan mau untuk berdialog dengan orang Papua secara damai.

Sedangkan dari pihak Papua yang telah diungkapkan oleh OPM dan ditegaskan kembali oleh West Papua National Coalition for Leberation (WPNCL) bahwa"WPNCL will continue to seek internationally mediated negotiation with the Republic of Indonesia as the best way resolving the angoing armed conflict promoted by the Indonesian security forces and reversing the disastrous human rights and spiraling health situation of the West Papuan people".Dengan demikian, diharapkan agar proses penyelesaian konflik di tanah Papua dengan cara dialog bisa berjalan dengan lancar dan damai karena sudah ada kemauan dari kedua belah pihak. Memang harus diakui bahwa konflik yang terjadi di Papua bukanlah konflik ringan dan sepeleh, melainkan sebuah konflik yang begitu besar dan berat, sehingga diperlukan kesepakatan dari kedua belah pihak untuk menyelesaikannya secara intensif dan menyeluruh.

Konflik yang terjadi di negara Pancasila Tanah Papua merupakan suatu proses pembelajaran agar kita membuka mata untuk melihat dan menyelesaikannya secara damai baik melalui dialog maupun yang lainnya tanpa harus ada kekerasan.

Negara yang bersumber pada Pancasila kiranya selalu berjalan searah dengan apa yang telah menjadi pedoman dasar seperti yang telah dikatakan olehErnest Renan melalui tulisannya yang amat terkenal"What is Nation?"yang mengatakan bahwa negara adalah jiwa dan prinsip spiritual yang menjadi sebuah ikatan bersama, baik dalam hal kebersamaan maupun pengorbanan.

Jika hal ini sungguh dihayati oleh semua komponen, maka kekerasan yang selama ini terjadi baik di Tanah Papua maupun di mana saja akan teratasi.

Andrio TemorubunadalahMahasiswa di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur' Abepura, Jayapura, Papua.http://papuapost.com/editorials/kekerasan-negara-pancasila-di-tanah-papua/