Pakar Pertanyakan Status Hukum Keuangan Ojk

5
 Seksi Informasi Hukum – Ditama Binbangkum PAKAR PERTANYAKAN STATUS HUKUM KEUANGAN OJK www.narotama.ac.id Anggaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) i  yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan pungutan dari penyelenggara jasa keuangan dinilai menjadikan tidak jelas status hukum keuangan otoritas tersebut. Hal itu dikatakan oleh Guru Besar Hukum Keuangan Publik dari Universitas Indonesia (UI), Arifin P Soeria Atmadja, dalam sebuah seminar di Jakarta, Selasa (23/4). Menurutnya, ketidakjelasan status keuangan OJK terletak pada penjelasan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Pasal tersebut mengamanatkan pembiayaan OJK mandiri berasal dari pungutan penyelenggara jasa keuangan, sedangkan pembiayaan dari APBN dibutuhkan hanya pada saat pungutan yang dilakukan tidak memenuhi pembiayaan operasional OJK. “Di lain pihak, dia (OJK) adalah suatu lembaga yang masih menggunakan APBN. Kalau dia independen, seharusnya dia berbadan hukum sendiri, jadi uang yang masuk ke sana adalah merupakan keuangan OJK, bukan lagi keuangan negara,” tutur Arifin. Menurut Arifin, jika OJK tidak diklasifikasikan sebagai badan hukum dan juga tak dipertegas sebagai lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan, maka perlu ditelaah status hukum keuangan pungutan OJK terhadap penyelenggara jasa keuangan. Dilihat dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011,  OJK dapat menerima, mengelola dan mengadministrasikan pungutan tersebut tanpa menyetorkan terlebih dahulu sesuai dengan asas kas.

description

Economy

Transcript of Pakar Pertanyakan Status Hukum Keuangan Ojk

  • Seksi Informasi Hukum Ditama Binbangkum

    PAKAR PERTANYAKAN STATUS HUKUM KEUANGAN OJK

    www.narotama.ac.id

    Anggaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK)i yang bersumber dari Anggaran Pendapatan

    Belanja Negara (APBN) dan pungutan dari penyelenggara jasa keuangan dinilai menjadikan

    tidak jelas status hukum keuangan otoritas tersebut. Hal itu dikatakan oleh Guru Besar Hukum

    Keuangan Publik dari Universitas Indonesia (UI), Arifin P Soeria Atmadja, dalam sebuah

    seminar di Jakarta, Selasa (23/4).

    Menurutnya, ketidakjelasan status keuangan OJK terletak pada penjelasan Pasal 34 ayat

    (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Pasal tersebut

    mengamanatkan pembiayaan OJK mandiri berasal dari pungutan penyelenggara jasa keuangan,

    sedangkan pembiayaan dari APBN dibutuhkan hanya pada saat pungutan yang dilakukan tidak

    memenuhi pembiayaan operasional OJK. Di lain pihak, dia (OJK) adalah suatu lembaga yang

    masih menggunakan APBN. Kalau dia independen, seharusnya dia berbadan hukum sendiri, jadi

    uang yang masuk ke sana adalah merupakan keuangan OJK, bukan lagi keuangan negara, tutur

    Arifin.

    Menurut Arifin, jika OJK tidak diklasifikasikan sebagai badan hukum dan juga tak

    dipertegas sebagai lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan, maka perlu ditelaah

    status hukum keuangan pungutan OJK terhadap penyelenggara jasa keuangan. Dilihat dari

    Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, OJK dapat menerima, mengelola dan

    mengadministrasikan pungutan tersebut tanpa menyetorkan terlebih dahulu sesuai dengan asas

    kas.

  • Seksi Informasi Hukum Ditama Binbangkum

    Namun, jika pungutan jasa keuangan tersebut terdapat kelebihan anggaran, OJK

    menyetorkannya ke kas negara. Jika di Indonesia dianut pola pengelolaan keuangan yang umum

    dan khusus dalam bentuk Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU), maka

    dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 terdapat pola pengelolaan khusus

    keuangan OJK (PK-OJK), ujar Arifin.

    Ia juga mengkritik laporan keuangan tahunan OJK yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (8)

    Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011. Pasal tersebut menyatakan bahwa laporan keuangan

    tahunan OJK diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau akuntan publik yang ditunjuk

    BPK. Arifin menyatakan, Jika pungutan yang dilakukan OJK merupakan penerimaan OJK,

    mengapa pemeriksaan tidak langsung dilakukan akuntan publik yang kemudian hasilnya

    disampaikan ke DPR dan BPK.

    Atas dasar itu, ia menyarankan agar OJK ditetapkan sebagai badan hukum publik seperti

    halnya Bank Indonesia (BI). Penetapan ini harus dimasukkan ke dalam revisi Undang-Undang

    Nomor 21 Tahun 2011. Selain itu, modal awal OJK sebagai badan hukum publik merupakan

    pinjaman yang nantinya akan dikembalikan ke APBN, sehingga sumber keuangan OJK

    seluruhnya dari pungutan jasa keuangan.

    Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tidak hanya mengecualikan beberapa hal OJK

    tidak terikat dengan paket Undang-Undang Keuangan Negara dan APBN, tapi juga harus

    menyatakan OJK sebagai badan hukum publik yang pengelolaan dan pertanggungjawaban

    keuangannya tidak termasuk keuangan negara, tutur Arifin.

    Sementara itu, Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis mengatakan bahwa

    sumber pendanaan OJK berasal dari APBN dan iuran penyelenggara jasa keuangan sudah

    mengkategorikan bahwa OJK sudah berbadan hukum yang independen. Tapi independensi OJK

    dinilainya tak seperti independensi BI.

    OJK agak independen, kalau BI independennya 100 persen, katanya kepada hukumonline,

    Rabu (24/4).

    Harry memaklumi kekhawatiran Arifin soal independensi OJK. Pasalnya, di jajaran

    pimpinan OJK terdapat ex officio yang berasal dari pemerintah, yakni Wakil Menteri Keuangan.

    Ia menduga, pejabat ex officio tersebut akan mementingkan kepentingan pemerintah saat

    pengambilan keputusan di OJK dilakukan. Karena ada ex officio wakil pemerintah di OJK,

    hasilnya independensi OJK hampir 80 persen, ujarnya.

  • Seksi Informasi Hukum Ditama Binbangkum

    Terkait sumber anggaran OJK, menurut Harry, diperlukan diskusi terlebih lebih dalam

    lagi. Apakah anggaran dari APBN akan bersifat permanen atau terjadwal. Permanen misalnya,

    APBN 70 persen dan pungutan iuran 30 persen. Atau terjadwal, untuk tahun 2013 APBN sebesar

    100 persen, dan di tahun-tahun berikutnya berkurang persentasenya. Ini harus didiskusikan

    lagi, katanya.

    Sebelumnya, saat mengikuti fit and proper test sebagai calon komisioner OJK, Ilya

    Avianti menilai bahwa iuran yang dipungut dari lembaga keuangan akan mengurangi

    independensi OJK. Menurut Ilya yang kini menjabat sebagai Anggota Dewan Komisioner bidang

    Auditor ini, lebih baik pendanaan OJK berasal dari APBN semata. Tidak boleh ada yang

    membiayai dan tidak boleh ada yang mensponsori agar OJK tetap independen, katanya.

    Sumber:

    www.hukumonline.com, 23 Desember 2012

    www.harianterbit.com, 23 Desember 2012

    Catatan:

    Kontroversi apakah keuangan OJK merupakan keuangan negara atau bukan, sebelumnya

    pernah terjadi pada status keuangan LPS karena ada yang berasal dari aset negara yang

    dipisahkan, dan ada yang berasal dari premi perbankan. Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang

    Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyatakan bahwa

    (1) Kekayaan LPS merupakan aset negara yang dipisahkan Modal awal LPS ditetapkan

    sekurang-kurangnya Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah) dan sebesar-besarnya

    Rp8.000.000.000.000,00 (delapan triliun rupiah).

    (2) Kekayaan LPS merupakan aset negara yang dipisahkan.

    (3) LPS bertanggung jawab atas pengelolaan dan penatausahaan semua asetnya.

    Sementara itu, LPS juga mendapatkan kekayaan dari premi perbankan, sesuai Pasal 6

    angka 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang

    menyatakan bahwa LPS mempunyai wewenang menetapkan dan memungut premi penjaminan;

    LPS dan OJK juga sama-sama lembaga independen. Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang

    Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, LPS adalah lembaga yang

    independen, transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

  • Seksi Informasi Hukum Ditama Binbangkum

    Namun demikian, telah disepakati oleh berbagai pihak bahwa keuangan LPS termasuk

    keuangan negara. Hal ini juga sesuai dengan definisi keuangan negara sebagaimana dimaksud

    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, yang meliputi:

    a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan

    pinjaman;

    b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan

    membayar tagihan pihak ketiga;

    c. Penerimaan Negara;

    d. Pengeluaran Negara;

    e. Penerimaan Daerah;

    f. Pengeluaran Daerah;

    g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang,

    surat berharga, piutang barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk

    kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;

    h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas

    pemerintahan dan/atau kepentingan umum;

    1. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan

    pemerintah.

    i OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011.