Ototoksisitas Obat Antibiotik Topikal Telinga

17
OTOTOKSISITAS OBAT ANTIBIOTIK TOPIKAL TELINGA Sediaan obat topikal telinga dapat berupa serbuk, krim atau tetes. Sediaan serbuk dapat menempel dipermukaan yang lembab, dapat bertahan lebih lama di liang telinga luar, rongga telinga tengah atau rongga mastoid (dapat bertahan sampai dengan 1 bulan). Sediaan serbuk untuk telinga luar dapat terdiri dari chloramfenikol, sulfanamide, hidrokortisone. Sediaan serbuk untuk rongga mastoid dapat terdiri dari ciprofloksasin, clotrimazole atau deksametasone. Penelitian pada tikus membuktikan bahwa pemberian tetes telinga ciprofloksasin-dexametasone intratimpani selama 21 hari tidak menimbulkan efek ototoksik. 3,6 Sediaan krim biasanya digunakan untuk kelainan di liang telinga luar. Krim antibiotik biasanya terdiri dari neosporin atau tobramisin. Sediaan anti jamur juga biasanya dalam bentuk krim. Sediaan terbanyak obat topikal telinga adalah dalam bentuk tetes telinga. Tetes telinga dapat berupa agen tunggal atau kombinasi. Sediaan tetes telinga topikal sangat banyak dan dapat dikelompokkan berdasarkan ada tidaknya antibiotik, jenis antibiotik yang dikandung, pH, kekentalan dan apakah agen tunggal atau kombinasi. 3

Transcript of Ototoksisitas Obat Antibiotik Topikal Telinga

Page 1: Ototoksisitas Obat Antibiotik Topikal Telinga

OTOTOKSISITAS OBAT ANTIBIOTIK TOPIKAL TELINGA

Sediaan obat topikal telinga dapat berupa serbuk, krim atau tetes. Sediaan

serbuk dapat menempel dipermukaan yang lembab, dapat bertahan lebih lama di

liang telinga luar, rongga telinga tengah atau rongga mastoid (dapat bertahan

sampai dengan 1 bulan). Sediaan serbuk untuk telinga luar dapat terdiri dari

chloramfenikol, sulfanamide, hidrokortisone. Sediaan serbuk untuk rongga

mastoid dapat terdiri dari ciprofloksasin, clotrimazole atau deksametasone.

Penelitian pada tikus membuktikan bahwa pemberian tetes telinga ciprofloksasin-

dexametasone intratimpani selama 21 hari tidak menimbulkan efek ototoksik. 3,6

Sediaan krim biasanya digunakan untuk kelainan di liang telinga luar.

Krim antibiotik biasanya terdiri dari neosporin atau tobramisin. Sediaan anti

jamur juga biasanya dalam bentuk krim. Sediaan terbanyak obat topikal telinga

adalah dalam bentuk tetes telinga. Tetes telinga dapat berupa agen tunggal atau

kombinasi. Sediaan tetes telinga topikal sangat banyak dan dapat dikelompokkan

berdasarkan ada tidaknya antibiotik, jenis antibiotik yang dikandung, pH,

kekentalan dan apakah agen tunggal atau kombinasi. 3

Pada pengobatan infeksi telinga, preparat antibiotik topikal telinga

memiliki kelebihan dibandingkan pemberian sistemik. Kelebihannya antara lain

konsentrasi antibiotik yang lebih tinggi di daerah infeksi, tidak berefek sistemik,

dapat memperbaiki keadaan sekitar daerah infeksi dan biasanya harganya lebih

murah bila dibandingkan pemberian obat secara sistemik. 3

Larutan antibiotik 0,3% mengandung 3000mcg/mL antibiotik. Sebagai

perbandingan berikut adalah konsentrasi antibiotik di telinga tengah setelah

pemberian antibiotik oral : 3

Amoksisilin dengan dosis 90 mg/kg (6-10 mcg/mL)

Cefuroxime dengan dosis 500 mg (2-4 mcg/mL)

Cefpodoxime dengan dosis 200 mg (1-2 mg/mL)

Page 2: Ototoksisitas Obat Antibiotik Topikal Telinga

Clarithromycin dengan dosis 500 mg (2-5 mcg/mL)

Ceftriaksone intravena 35 mcg/mL

Konsentrasi yang tinggi di telinga tengah ini penting karena antibiotik

terutama golongan aminoglikosid dan quinolone adalah obat yang tergantung

pada konsentrasi. Sehingga kemampuan membunuh bakteri akan tergantung pada

konsentrasi obat di tempat infeksi yang harus lebih tinggi dari ambang Minimal

Inhibitory Concentration (MIC). 3

Sehingga hasil laporan laboratorium yang menyatakan resistensi suatu

kuman dapat menjadi suatu hal yang dapat diabaikan karena laboratorium

melaporkan hasil resistensi kuman berdasarkan konsentrasi yang dicapai pada

pemberian secara sistemik. Sebagai contoh pseudomonas dengan MIC 8mcg/mL

untuk ciprofloxacin sudah dianggap resisten, namun organisme yang sama bila

lokasinya berada di telinga akan dapat terbunuh dengan larutan antibiotik 0,3%

yang mengandung 3000 mcg/mL. 3

Kelebihan obat tetes telinga antara lain tidak diabsorbsi secara sistemik,

sehingga efek samping sistemik sangat sangat jarang dilaporkan. Penggunaan

tetes telinga juga dapat memperbaiki kondisi di dalam rongga telinga. Di saluran

telinga luar, pH normanya sedikit asam, sehingga pemberian antibiotik tetes

telinga dalam larutan yang sedikit asam dapat mengembalikan dan memperkuat

sistem pertahanan alami dari saluran telinga luar. Harga obat tetes telinga secara

umum lebih murah bila dibandingkan dengan obat sistemik. Dan obat sistemik ini

biasanya memiliki spektrum yang sempit terhadap patogen telinga. 3

Antibiotik tetes telinga juga memiliki beberapa kekurangan seperti

efektifitas pencapaian obat tetes ke daerah infeksi yang cukup sulit, dapat

menimbulkan efek toksik lokal di telinga tengah dan telinga dalam, dapat

menimbulkan reaksi sensitifitas lokal dan dapat merubah kondisi di telinga

tengah. 3

Page 3: Ototoksisitas Obat Antibiotik Topikal Telinga

Apabila antibiotik tetes telinga tidak berhasil mencapai daerah infeksi

maka hasilnya tidak akan efektif. Hal ini dapat terjadi karena beberapa hal seperti

cara pemberian atau penetesan yang tidak benar, liang telinga luar tertutup oleh

serumen, sekret yang purulen, atau jaringan granulasi yang menghalangi

masuknya obat tetes telinga kedalam ruang telinga tengah. Efektifitas tetes telinga

dapat diperbaiki dengan pembersihan liang telinga luar dengan baik dengan irigasi

telinga dan penggunaan hidrogen peroksida. 3

Sudah diketahui bahwa penggunaan aminoglikosid secara sistemik dapat

menyebabkan toksisitas koklea dan vestibuler. Pertanyaan yang muncul kemudian

adalah apakah obat-obatan ini, yang sering digunakan secara topikal pada telinga

tengah, juga dapat menyebabkan ototoksisitas. Data yang diambil dari percobaan

binatang menunjukkan hasil yang seragam bahwa hampir semua antibiotik

golongan aminoglikosid yang digunakan sebagai preparat topikal telinga tengah

bersifat ototoksik. Sehingga penggunaan antibiotik topikal golongan makrolid

dibatasi pada kelainan di telinga luar saja dengan membran timpani yang intak

namun masih dengan risiko ototoksik1.

Efek toksisitas dari obat tetes telinga dapat mengenai struktur telinga

tengah dan telinga dalam. Pada telinga tengah efek yang terjadi dapat berupa

iritasi pada mukosa telinga tengah diikuti edema mukosa. Propylene glycol dan

hydrocortisone seringkali dapat menyebabkan iritasi dan inflamasi pada mukosa

telinga tengah. 3

Efek toksisitas pada telinga dalam dapat berupa toksisitas kokhlea atau vestibuler.

Pada percobaan binatang neomisin, polimiksin dan cloramfenikol bersifat sangat

ototoksik bila mencapai telinga dalam. Namun pada manusia efek ototoksik ini

jarang dilaporkan pada penggunaan tetes telinga yang mengandung neomisin. Hal

ini dapat disebabkan karena perbedaan struktur anatomis dari telinga dalam pada

hewan coba dan pada manusia. Ototoksik pada tetes telinga diperkirakan terjadi

Page 4: Ototoksisitas Obat Antibiotik Topikal Telinga

melalui round window. Pada hewan round window ini lebih tipis dan terbuka,

sedangkan pada manusia lebih tebal dan lebih terlindungi serta tertutupi oleh

membran mukosa sehingga mencegah kontak langsung antara obat tetes telinga

dan round window. 3

Pada penelitian tercatat ada 54 kasus penggunaan gentamisin topikal

telinga, digunakan pada telinga tengah atau rongga mastoid yang terbuka, yang

menyebabkan ototoksisitas vestibuler. Dan 24 orang dari pasien-pasien ini

menderita juga ototoksisitas auditori yang berkaitan. Penelitian tersebut juga

menyebutkan 11 pasien yang mengalami ototoksisitas auditori akibat penggunaan

neomisinpolimiksin tetes telinga. 1

Oleh karena itu direkomendasikan untuk menggunakan preparat antibiotik

tetes telinga yang bebas dari efek samping ototoksik. Obat tetes telinga yang

mengandung aminoglikosid tidak disetujui oleh FDA untuk digunakan pada

telinga tengah atau rongga mastoid yang terbuka. Bahkan pada label informasi

obat terdapat peringatan bahwa obat-obatan ini tidak boleh digunakan jika

gendang telinga tidak utuh. Meskipun bukti-bukti yang menunjukkan adanya

kerusakan telinga dalam akibat pemakaian aminoglikosid yang bersifat ototoksik

masih jarang, namun juga dilaporkan bahwa tidak ada kelebihan dari

aminoglikosid yang ototoksik bila dibandingkan dengan aminoglikosid yang non

ototoksik. Sehingga apabila obatobatan yang ototoksik ini terpaksa digunakan

pada telinga tengah atau rongga mastoid maka penggunaannya harus diatasi pada

infeksi telinga akut dan harus segera dihentikan setelah infeksinya reda, dan

pasien atau keluarga pasien harus diberitahu tentang risikonya1.

Berikut adalah contoh obat sistemik yang bersifat ototoksik. Antibiotik

aminoglikosid ; streptomisin, gentamisin, neomisin, kanamisin, amikasin dan

tobramisin. Antibiotik lain ; eritromisin, azitromisin, clindamisin, vankomisin.

Obat lainnya ; diuretik, antineoplastik, salisilat dan kuinin. 2,8

Page 5: Ototoksisitas Obat Antibiotik Topikal Telinga

4.1 Aminoglikosid

Sejak awal penemuannya tahun 1944, berbagai aminoglikosid telah

tersedia seperti streptomisisn, dihidrostreptomisisn, kanamisin, gentamisin,

neomisin, tobramisin, netilmisin dan amikasin. Aminoglikosid adalah antibiotik

yang bersifat bakterisidal yang terikat pada ribosom 30S dan menghambat proses

sintesis protein bakteri. 2

Meskipun efek ototoksik obat antibiotik golongan aminoglikosid sudah

terbukti, obat golongan ini masih dipakai secara luas hingga hari ini pada kasus

seperti septisemia, infeksi saluran kemih, infeksi saluran pernafasan, infeksi intra

abdominal dan osteomielitis yang disebabkan oleh kuman aerob batang gram

negatif. Efek ototoksik aminoglikosid dapat berupa kokhleotoksik dan atau

vestibulotoksik. Kanamisin, amikasin, neomisin dan dihidrostreptomisin lebih

cenderung kokhleotoksik. Gentamisin mempengaruhi sistem kokhlea dan

vestibuler. Streptomisin, tobramisin dan netilmisin lebih cenderung

vestibulotoksik. 2,5

4.1.1 Patofisiologi

Target utama efek toksisitas aminoglikosid adalah sistem renal dan

kokhleovestibuler. Namun tidak ada hubungan yang jelas antara derajat

nefrotoksiksitas dan ototoksisitas. Toksisitas kokhlea menyebabkan gangguan

pendengaran yang biasanya dimulai dari frekuensi tinggi dan adalah efek

sekunder dari kerusakan ireversibel sel rambut luar pada organ korti, terutama di

basal kokhlea. 2

Kadar aminoglikosid di cairan telinga dalam bertahan lebih lama dari

kadar di serum sehingga ada efek ototoksik aminoglikosid bersifat laten. Sehingga

gangguan pendengaran dapat dimulai atau bertambah parah setelah pemberian

aminoglikosid dihentikan. Untuk itu pemeriksaan pasien untuk efek ototoksik dan

Page 6: Ototoksisitas Obat Antibiotik Topikal Telinga

vestibulotoksik sebaiknya tetap dilakukan sampai dengan 6 bulan setelah

pemberian aminoglikosid dihentikan. 2

Mekanisme ototoksisitas aminoglikosid terjadi melalui gangguan pada

proses sistesis protein di mitokodria dan terbentuknya radikal bebas. Pada level

seluler, gangguan dengar terjadi akibat kerusakan sel rambut kokhlea khususnya

sel rambut luar. Aminoglikosid dapat menghasilkan radikal bebeas di telinga

dalam dengan mengaktifkan nitric oxide synthetase sehingga meningkatkan

konsentrasi nitric oxide. Kemudian terjadi reaksi antara oksigen radikal dengan

nitric oxide membentuk peroxynitrite radical yang bersifat destruktif dan mampu

menstimulasi kematian sel secara langsung. Apoptosis adalah mekanisme

kematian sel yang utama dan terutama diperantarai oleh kaskade intrinsik yang

diperantarai oleh mitokondria. Tampaknya interaksi aminoglikosid dengan zat

besi dan tembaga semakin menambah pembentukan radikal bebas. Sebagai hasil

akhir dari kaskade tersebut terjadi kerusakan permanen sel rambut luar kokhlea

yang berakibat gangguan dengar permanen. 2

Ototoksisitas aminoglikosid bersifat multifaktorial dan penelitian lebih

lanjut masih diperlukan. Beberapa penelitian menyelidiki tentang pemberian iron

chelators dan antioksidan selama terapi aminoglikosid sebagai agen yang

mungkin dapat mencegah gangguan dengar. Sementara penelitian lain menyelidiki

kemungkinan terapi gen sebagai alternatif terapi. Namun sekarang ini belum ada

pilihan terapi yang ada selain amplifikasi dan implan kokhlea, maka dari itu

pencegahan adalah hal yang sangat penting. 2

4.1.2 Epidemiologi

Page 7: Ototoksisitas Obat Antibiotik Topikal Telinga

Pada negara dimana antibiotik diresepkan secara luas atau bahkan dapat

dibeli tanpa resep, aminoglikosid menyebabkan kasus gangguan dengar sampai

dengan 66%. Dan pada pasien dewasa yang menerima terapi aminoglikosid terjadi

perubahan audiogram sampai 33%. Toksisitas vestibuler tercatat terjadi pada 4%

pasien dewasa. Sedangkan pada pasien neonatus toksisitas kokhlea sekitar 2%.

4.1.3 Faktor Risiko

Faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko ototoksik antara lain

pemberian terapi dengan dosis tinggi, konsentrasi serum tinggi, terapi dalam

waktu lama, pasien usia lanjut, pasien dengan insufisiensi renal, pasien dengan

kondisi gangguan dengar sebelumnya, riwayat keluarga yang mengalami

ototoksisitas dan pasien yang sedang menerima pengobatan loop diuretik. 2

4.1.4 Tanda dan Gejala

Secara klinis gejala yang muncul akibat kerusakan akut pada kokhlea

adalah tinitus. Pada tahap awal penurunan pendengaran mungkin tidak disadari

oleh pasien dan dapat berupa penurunan ambang dengar pada frekuensi tinggi

(>4.000Hz) yang dapat semakin memberat dan mempengaruhi frekuensi bicara

dan pasien dapat mengalami kurang dengar berat apabila terapi dilanjutkan.

Apabila terapi dihentikan pada tahap awal, kerusakan lebih lanjut dapat dicegah

dan perbaikan sebagian dari ambang dengar dapat terjadi meskipun sering kali

kerusakan bersifat permanen. 2

Gejala toksisitas vestibuler biasanya berupa gangguan keseimbangan dan

gejala gangguan visual. Gejala memberat pada keadaan gelap atau pada keadaan

dimana pijakan kaki tidak stabil. Gejala gangguan visual berupa oscillopsia

muncul ketika kepala bergerak yang berdampak pandangar kabur untuk sementara

waktu yang dapat meyebabkan gangguan melihat rambu lalulintas atau mengenali

wajah orang ketika sedang berjalan. 2

4.1.5 Pencegahan

Page 8: Ototoksisitas Obat Antibiotik Topikal Telinga

Penelitian pada binatang menunjukkan adanya manfaat dari pemberian

antioksidan, vitamin E, alpha lipoic acid, ebselen, ginkgo biloba untuk mencegah

efek ototoksik. Namun penelitian lebih lanjut masih diperlukan. 2 Pencegahan

dilakukan dengan memonitor kadar obat dalam serum dan fungsi ginjal serta

pemeriksaan pendengaran sebelum, selama dan sesudah terapi. Identifikasi pasien

dengan faktor risiko dan gunakan obat alternatif pada pasien tersebut.

Aminoglikosid bertahan lama di kokhlea sehingga pasien harus diedukasi untuk

menghindari lingkungan yang bising sampai dengan 6 bulan sesudah terapi

dihentikan karena mereka lebih rentan terjadi kerusakan kokhlea akibat bising. 2

Pada penggunaan aminoglikosid pembersihannya sebagian besar oleh

ginjal, oleh karena itu gangguan fungsi ginjal akan memperlama pembersihan

aminoglikosid sehingga konsentrasi dalam jaringan akan lebih tinggi dan

meningkatkan risiko ototoksik. Maka fungi ginjal sebaiknya diawasi dengan

jadwal sebagai berikut : 8

1. Pasien dengan kadar kreatinin serum normal dan :

a. Terapi selama 14 hari atau kurang : periksa kadar kreatinin 2 kali

seminggu.

b. Terapi selama lebih dari 14 hari : periksa kadar kreatinin 3 kali

seminggu

2. Pasien dengan kadar kreatinin serum yang meningkat namun stabil : periksa

kadar kreatinin 2 hari sekali.

3. Pasien dengan kadar kreatinin serum yang naik dan turun secara tidak terduga :

periksa kadar kreatinin setiap hari.

4.1.6 Beberapa contoh aminoglikosid : 2

4.1.6.1 Streptomisin :

aminoglikosid yang pertama, efeknya terutama pada bakteri gram negatif. Efek

vestibulotoksik lebih dominan.kerusakan vestibuler lebih sering dijumpai

Page 9: Ototoksisitas Obat Antibiotik Topikal Telinga

padapenggunaan jangka panjang dan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

Sekarang sudah jarang digunakan.

4.1.6.2 Gentamisin :

efek vestibulotoksik lebih dominan. Bila kadar dalam serum masih dalam rentang

terapi 10-12mcg/mL masih dianggap aman namun mungkin masih bisa berefek

toksik pada beberapa pasien. Dosis harus disesuaikan dengan hati-hati bila

digunakan pada pasien dengan gangguan ginjal. 4

4.1.6.3 Neomisin :

Neomisin adalah aminoglikosid yang paling kokhleotoksik jika diberikan secara

oral dan dalam dosis tinggi, sehingga penggunaan secara sistemik tidak

dianjurkan. Neomisin sangat lambat hilang dari perilimf sehingga toksisitas

lambat setelah 1-2 minggu penghentian terapi dapat terjadi. Neomisin sekarang

digunakan terutama sebagai obat antibiotik tetes telinga yang efektif. Meskipun

neomisin dianggap aman untuk digunakan secara topikal pada telinga, alternatif

yang sama efektifnya banyak tersedia.

4.1.6.4 Kanamisin :

Meski efek toksiknya lebih rendah dibanding neomisin, efek ototoksik kanamisin

cukup tinggi. Kanamisin dapat menyebabkan kerusakan berat sel rambut kokhlea

dan penurunan pendengaran berat pada frekuensi tinggi. Kanamisin sekarang

sudah jarang digunakan, sebaiknya tidak diberikan secara parenteral.

4.1.6.5 Amikasin:

Amikasin adalah produk turunan kanamisin dan efek vestibulotoksiknya sangat

minimal dibandingkan gentamisin. Pada penanganan infeksi berat amikasin

diindikasikan apabila sesuai dengan hasil kultur dan resistensi dan respon pasien.

4.1.6.6 Tobramisin:

Page 10: Ototoksisitas Obat Antibiotik Topikal Telinga

Efek ototoksik tobramisin mirip dengan amikasin, terjadi kurang dengar frekuensi

tinggi. Tobramisin sering digunakan sebagai preparat ototopikal dan secara umum

dianggap aman.

4.2 Antibiotik lain

4.2.1 Eritromisin

Eritromisin pertama kali dikenal dan digunakan secara luas sejak tahun 1952.

Secara umum eritromisin dianggap sebagai obat yang aman. Eritromisin sudah

digunakan sebagai pilihan utama pada kasus infeksi akibat streptokokus grup A

dan pneumokokus pada individu yang masih sensitif terhadap penisilin. Efek

ototoksik dari eritromisin pertama kali dilaporkan tahun 1973. Sejak itu hanya

beberapa kasus ototoksisitas eritromisin yang dilaporkan secara sporadis dan

umumnya bersifat reversibel. Pada kasus tersebut pasien umumnya memiliki

faktor risiko lainnya seperti penyakit ginjal kronis, penyakit hati kronis,

penggunaan dosis lebih dari 4 gram/hari dan pemberian intravena. Penurunan

pendengaran yang cukup berat pada frekuensi percakapan yang bersifat reversibel

juga dilaporkan pada pasien penerima operasi transplantasi ginjal yang menerima

terapi eritromisin intravena. Onset biasanya mulai sejak 3 hari setelah terapi

dimulai. 2

4.2.2 Azitromisin dan Clindamisin

Azitromisin dan clindamisin adalah antibiotik makrolid generasi yang lebih baru.

Antibiotik ini lebih luas dipakai secara klinis karena efek samping pada traktus

gastrointestinal yang lebih sedikit dan spektrum antibiotik yang lebih luas

daripada eritromisin. Namun demikian beberapa laporan yang menyebutkan

tentang efek ototoksiknya mulai muncul. Namun laporannya masih bersifat

sporadis dan penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan. 2

4.2.3 Vankomisin

Page 11: Ototoksisitas Obat Antibiotik Topikal Telinga

Vankomisin adalah antibiotik glikopeptida yang pertama kali diperkenalkan tahun

1950. Sering digunakan pada kasus infeksi stafilokokus yang resiten terhadap

methisilin. Beberapa kasus ototoksisitas yang biasanya muncul sebagai tinitus

dilaporkan pada pasien dengan penginkatan kadar dalam serum akibat gagal ginjal

atau pada pasien yang menerima obat antibiotik golongan aminoglikosid pada saat

bersamaan. Data yang ada tidak lengkap namun pada beberapa kasus efek

ototoksisitasnya bersifat sementara. Belum ada laporan yang memberikan bukti

yang kuat bahwa pemberian vankomisin saja pada dosis terapeutik dapat

menyebabkan efek ototoksik. Tidak ada rekomendasi yang diberikan untuk

penggunaan vankomisin, namun perhatian harus diberikan pada pemberian

vankomisIn bersama obat ototoksik lainnya. 2