Ototoksisitas Obat Antibiotik Topikal Telinga
-
Upload
meyamoy932 -
Category
Documents
-
view
125 -
download
9
Transcript of Ototoksisitas Obat Antibiotik Topikal Telinga
OTOTOKSISITAS OBAT ANTIBIOTIK TOPIKAL TELINGA
Sediaan obat topikal telinga dapat berupa serbuk, krim atau tetes. Sediaan
serbuk dapat menempel dipermukaan yang lembab, dapat bertahan lebih lama di
liang telinga luar, rongga telinga tengah atau rongga mastoid (dapat bertahan
sampai dengan 1 bulan). Sediaan serbuk untuk telinga luar dapat terdiri dari
chloramfenikol, sulfanamide, hidrokortisone. Sediaan serbuk untuk rongga
mastoid dapat terdiri dari ciprofloksasin, clotrimazole atau deksametasone.
Penelitian pada tikus membuktikan bahwa pemberian tetes telinga ciprofloksasin-
dexametasone intratimpani selama 21 hari tidak menimbulkan efek ototoksik. 3,6
Sediaan krim biasanya digunakan untuk kelainan di liang telinga luar.
Krim antibiotik biasanya terdiri dari neosporin atau tobramisin. Sediaan anti
jamur juga biasanya dalam bentuk krim. Sediaan terbanyak obat topikal telinga
adalah dalam bentuk tetes telinga. Tetes telinga dapat berupa agen tunggal atau
kombinasi. Sediaan tetes telinga topikal sangat banyak dan dapat dikelompokkan
berdasarkan ada tidaknya antibiotik, jenis antibiotik yang dikandung, pH,
kekentalan dan apakah agen tunggal atau kombinasi. 3
Pada pengobatan infeksi telinga, preparat antibiotik topikal telinga
memiliki kelebihan dibandingkan pemberian sistemik. Kelebihannya antara lain
konsentrasi antibiotik yang lebih tinggi di daerah infeksi, tidak berefek sistemik,
dapat memperbaiki keadaan sekitar daerah infeksi dan biasanya harganya lebih
murah bila dibandingkan pemberian obat secara sistemik. 3
Larutan antibiotik 0,3% mengandung 3000mcg/mL antibiotik. Sebagai
perbandingan berikut adalah konsentrasi antibiotik di telinga tengah setelah
pemberian antibiotik oral : 3
Amoksisilin dengan dosis 90 mg/kg (6-10 mcg/mL)
Cefuroxime dengan dosis 500 mg (2-4 mcg/mL)
Cefpodoxime dengan dosis 200 mg (1-2 mg/mL)
Clarithromycin dengan dosis 500 mg (2-5 mcg/mL)
Ceftriaksone intravena 35 mcg/mL
Konsentrasi yang tinggi di telinga tengah ini penting karena antibiotik
terutama golongan aminoglikosid dan quinolone adalah obat yang tergantung
pada konsentrasi. Sehingga kemampuan membunuh bakteri akan tergantung pada
konsentrasi obat di tempat infeksi yang harus lebih tinggi dari ambang Minimal
Inhibitory Concentration (MIC). 3
Sehingga hasil laporan laboratorium yang menyatakan resistensi suatu
kuman dapat menjadi suatu hal yang dapat diabaikan karena laboratorium
melaporkan hasil resistensi kuman berdasarkan konsentrasi yang dicapai pada
pemberian secara sistemik. Sebagai contoh pseudomonas dengan MIC 8mcg/mL
untuk ciprofloxacin sudah dianggap resisten, namun organisme yang sama bila
lokasinya berada di telinga akan dapat terbunuh dengan larutan antibiotik 0,3%
yang mengandung 3000 mcg/mL. 3
Kelebihan obat tetes telinga antara lain tidak diabsorbsi secara sistemik,
sehingga efek samping sistemik sangat sangat jarang dilaporkan. Penggunaan
tetes telinga juga dapat memperbaiki kondisi di dalam rongga telinga. Di saluran
telinga luar, pH normanya sedikit asam, sehingga pemberian antibiotik tetes
telinga dalam larutan yang sedikit asam dapat mengembalikan dan memperkuat
sistem pertahanan alami dari saluran telinga luar. Harga obat tetes telinga secara
umum lebih murah bila dibandingkan dengan obat sistemik. Dan obat sistemik ini
biasanya memiliki spektrum yang sempit terhadap patogen telinga. 3
Antibiotik tetes telinga juga memiliki beberapa kekurangan seperti
efektifitas pencapaian obat tetes ke daerah infeksi yang cukup sulit, dapat
menimbulkan efek toksik lokal di telinga tengah dan telinga dalam, dapat
menimbulkan reaksi sensitifitas lokal dan dapat merubah kondisi di telinga
tengah. 3
Apabila antibiotik tetes telinga tidak berhasil mencapai daerah infeksi
maka hasilnya tidak akan efektif. Hal ini dapat terjadi karena beberapa hal seperti
cara pemberian atau penetesan yang tidak benar, liang telinga luar tertutup oleh
serumen, sekret yang purulen, atau jaringan granulasi yang menghalangi
masuknya obat tetes telinga kedalam ruang telinga tengah. Efektifitas tetes telinga
dapat diperbaiki dengan pembersihan liang telinga luar dengan baik dengan irigasi
telinga dan penggunaan hidrogen peroksida. 3
Sudah diketahui bahwa penggunaan aminoglikosid secara sistemik dapat
menyebabkan toksisitas koklea dan vestibuler. Pertanyaan yang muncul kemudian
adalah apakah obat-obatan ini, yang sering digunakan secara topikal pada telinga
tengah, juga dapat menyebabkan ototoksisitas. Data yang diambil dari percobaan
binatang menunjukkan hasil yang seragam bahwa hampir semua antibiotik
golongan aminoglikosid yang digunakan sebagai preparat topikal telinga tengah
bersifat ototoksik. Sehingga penggunaan antibiotik topikal golongan makrolid
dibatasi pada kelainan di telinga luar saja dengan membran timpani yang intak
namun masih dengan risiko ototoksik1.
Efek toksisitas dari obat tetes telinga dapat mengenai struktur telinga
tengah dan telinga dalam. Pada telinga tengah efek yang terjadi dapat berupa
iritasi pada mukosa telinga tengah diikuti edema mukosa. Propylene glycol dan
hydrocortisone seringkali dapat menyebabkan iritasi dan inflamasi pada mukosa
telinga tengah. 3
Efek toksisitas pada telinga dalam dapat berupa toksisitas kokhlea atau vestibuler.
Pada percobaan binatang neomisin, polimiksin dan cloramfenikol bersifat sangat
ototoksik bila mencapai telinga dalam. Namun pada manusia efek ototoksik ini
jarang dilaporkan pada penggunaan tetes telinga yang mengandung neomisin. Hal
ini dapat disebabkan karena perbedaan struktur anatomis dari telinga dalam pada
hewan coba dan pada manusia. Ototoksik pada tetes telinga diperkirakan terjadi
melalui round window. Pada hewan round window ini lebih tipis dan terbuka,
sedangkan pada manusia lebih tebal dan lebih terlindungi serta tertutupi oleh
membran mukosa sehingga mencegah kontak langsung antara obat tetes telinga
dan round window. 3
Pada penelitian tercatat ada 54 kasus penggunaan gentamisin topikal
telinga, digunakan pada telinga tengah atau rongga mastoid yang terbuka, yang
menyebabkan ototoksisitas vestibuler. Dan 24 orang dari pasien-pasien ini
menderita juga ototoksisitas auditori yang berkaitan. Penelitian tersebut juga
menyebutkan 11 pasien yang mengalami ototoksisitas auditori akibat penggunaan
neomisinpolimiksin tetes telinga. 1
Oleh karena itu direkomendasikan untuk menggunakan preparat antibiotik
tetes telinga yang bebas dari efek samping ototoksik. Obat tetes telinga yang
mengandung aminoglikosid tidak disetujui oleh FDA untuk digunakan pada
telinga tengah atau rongga mastoid yang terbuka. Bahkan pada label informasi
obat terdapat peringatan bahwa obat-obatan ini tidak boleh digunakan jika
gendang telinga tidak utuh. Meskipun bukti-bukti yang menunjukkan adanya
kerusakan telinga dalam akibat pemakaian aminoglikosid yang bersifat ototoksik
masih jarang, namun juga dilaporkan bahwa tidak ada kelebihan dari
aminoglikosid yang ototoksik bila dibandingkan dengan aminoglikosid yang non
ototoksik. Sehingga apabila obatobatan yang ototoksik ini terpaksa digunakan
pada telinga tengah atau rongga mastoid maka penggunaannya harus diatasi pada
infeksi telinga akut dan harus segera dihentikan setelah infeksinya reda, dan
pasien atau keluarga pasien harus diberitahu tentang risikonya1.
Berikut adalah contoh obat sistemik yang bersifat ototoksik. Antibiotik
aminoglikosid ; streptomisin, gentamisin, neomisin, kanamisin, amikasin dan
tobramisin. Antibiotik lain ; eritromisin, azitromisin, clindamisin, vankomisin.
Obat lainnya ; diuretik, antineoplastik, salisilat dan kuinin. 2,8
4.1 Aminoglikosid
Sejak awal penemuannya tahun 1944, berbagai aminoglikosid telah
tersedia seperti streptomisisn, dihidrostreptomisisn, kanamisin, gentamisin,
neomisin, tobramisin, netilmisin dan amikasin. Aminoglikosid adalah antibiotik
yang bersifat bakterisidal yang terikat pada ribosom 30S dan menghambat proses
sintesis protein bakteri. 2
Meskipun efek ototoksik obat antibiotik golongan aminoglikosid sudah
terbukti, obat golongan ini masih dipakai secara luas hingga hari ini pada kasus
seperti septisemia, infeksi saluran kemih, infeksi saluran pernafasan, infeksi intra
abdominal dan osteomielitis yang disebabkan oleh kuman aerob batang gram
negatif. Efek ototoksik aminoglikosid dapat berupa kokhleotoksik dan atau
vestibulotoksik. Kanamisin, amikasin, neomisin dan dihidrostreptomisin lebih
cenderung kokhleotoksik. Gentamisin mempengaruhi sistem kokhlea dan
vestibuler. Streptomisin, tobramisin dan netilmisin lebih cenderung
vestibulotoksik. 2,5
4.1.1 Patofisiologi
Target utama efek toksisitas aminoglikosid adalah sistem renal dan
kokhleovestibuler. Namun tidak ada hubungan yang jelas antara derajat
nefrotoksiksitas dan ototoksisitas. Toksisitas kokhlea menyebabkan gangguan
pendengaran yang biasanya dimulai dari frekuensi tinggi dan adalah efek
sekunder dari kerusakan ireversibel sel rambut luar pada organ korti, terutama di
basal kokhlea. 2
Kadar aminoglikosid di cairan telinga dalam bertahan lebih lama dari
kadar di serum sehingga ada efek ototoksik aminoglikosid bersifat laten. Sehingga
gangguan pendengaran dapat dimulai atau bertambah parah setelah pemberian
aminoglikosid dihentikan. Untuk itu pemeriksaan pasien untuk efek ototoksik dan
vestibulotoksik sebaiknya tetap dilakukan sampai dengan 6 bulan setelah
pemberian aminoglikosid dihentikan. 2
Mekanisme ototoksisitas aminoglikosid terjadi melalui gangguan pada
proses sistesis protein di mitokodria dan terbentuknya radikal bebas. Pada level
seluler, gangguan dengar terjadi akibat kerusakan sel rambut kokhlea khususnya
sel rambut luar. Aminoglikosid dapat menghasilkan radikal bebeas di telinga
dalam dengan mengaktifkan nitric oxide synthetase sehingga meningkatkan
konsentrasi nitric oxide. Kemudian terjadi reaksi antara oksigen radikal dengan
nitric oxide membentuk peroxynitrite radical yang bersifat destruktif dan mampu
menstimulasi kematian sel secara langsung. Apoptosis adalah mekanisme
kematian sel yang utama dan terutama diperantarai oleh kaskade intrinsik yang
diperantarai oleh mitokondria. Tampaknya interaksi aminoglikosid dengan zat
besi dan tembaga semakin menambah pembentukan radikal bebas. Sebagai hasil
akhir dari kaskade tersebut terjadi kerusakan permanen sel rambut luar kokhlea
yang berakibat gangguan dengar permanen. 2
Ototoksisitas aminoglikosid bersifat multifaktorial dan penelitian lebih
lanjut masih diperlukan. Beberapa penelitian menyelidiki tentang pemberian iron
chelators dan antioksidan selama terapi aminoglikosid sebagai agen yang
mungkin dapat mencegah gangguan dengar. Sementara penelitian lain menyelidiki
kemungkinan terapi gen sebagai alternatif terapi. Namun sekarang ini belum ada
pilihan terapi yang ada selain amplifikasi dan implan kokhlea, maka dari itu
pencegahan adalah hal yang sangat penting. 2
4.1.2 Epidemiologi
Pada negara dimana antibiotik diresepkan secara luas atau bahkan dapat
dibeli tanpa resep, aminoglikosid menyebabkan kasus gangguan dengar sampai
dengan 66%. Dan pada pasien dewasa yang menerima terapi aminoglikosid terjadi
perubahan audiogram sampai 33%. Toksisitas vestibuler tercatat terjadi pada 4%
pasien dewasa. Sedangkan pada pasien neonatus toksisitas kokhlea sekitar 2%.
4.1.3 Faktor Risiko
Faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko ototoksik antara lain
pemberian terapi dengan dosis tinggi, konsentrasi serum tinggi, terapi dalam
waktu lama, pasien usia lanjut, pasien dengan insufisiensi renal, pasien dengan
kondisi gangguan dengar sebelumnya, riwayat keluarga yang mengalami
ototoksisitas dan pasien yang sedang menerima pengobatan loop diuretik. 2
4.1.4 Tanda dan Gejala
Secara klinis gejala yang muncul akibat kerusakan akut pada kokhlea
adalah tinitus. Pada tahap awal penurunan pendengaran mungkin tidak disadari
oleh pasien dan dapat berupa penurunan ambang dengar pada frekuensi tinggi
(>4.000Hz) yang dapat semakin memberat dan mempengaruhi frekuensi bicara
dan pasien dapat mengalami kurang dengar berat apabila terapi dilanjutkan.
Apabila terapi dihentikan pada tahap awal, kerusakan lebih lanjut dapat dicegah
dan perbaikan sebagian dari ambang dengar dapat terjadi meskipun sering kali
kerusakan bersifat permanen. 2
Gejala toksisitas vestibuler biasanya berupa gangguan keseimbangan dan
gejala gangguan visual. Gejala memberat pada keadaan gelap atau pada keadaan
dimana pijakan kaki tidak stabil. Gejala gangguan visual berupa oscillopsia
muncul ketika kepala bergerak yang berdampak pandangar kabur untuk sementara
waktu yang dapat meyebabkan gangguan melihat rambu lalulintas atau mengenali
wajah orang ketika sedang berjalan. 2
4.1.5 Pencegahan
Penelitian pada binatang menunjukkan adanya manfaat dari pemberian
antioksidan, vitamin E, alpha lipoic acid, ebselen, ginkgo biloba untuk mencegah
efek ototoksik. Namun penelitian lebih lanjut masih diperlukan. 2 Pencegahan
dilakukan dengan memonitor kadar obat dalam serum dan fungsi ginjal serta
pemeriksaan pendengaran sebelum, selama dan sesudah terapi. Identifikasi pasien
dengan faktor risiko dan gunakan obat alternatif pada pasien tersebut.
Aminoglikosid bertahan lama di kokhlea sehingga pasien harus diedukasi untuk
menghindari lingkungan yang bising sampai dengan 6 bulan sesudah terapi
dihentikan karena mereka lebih rentan terjadi kerusakan kokhlea akibat bising. 2
Pada penggunaan aminoglikosid pembersihannya sebagian besar oleh
ginjal, oleh karena itu gangguan fungsi ginjal akan memperlama pembersihan
aminoglikosid sehingga konsentrasi dalam jaringan akan lebih tinggi dan
meningkatkan risiko ototoksik. Maka fungi ginjal sebaiknya diawasi dengan
jadwal sebagai berikut : 8
1. Pasien dengan kadar kreatinin serum normal dan :
a. Terapi selama 14 hari atau kurang : periksa kadar kreatinin 2 kali
seminggu.
b. Terapi selama lebih dari 14 hari : periksa kadar kreatinin 3 kali
seminggu
2. Pasien dengan kadar kreatinin serum yang meningkat namun stabil : periksa
kadar kreatinin 2 hari sekali.
3. Pasien dengan kadar kreatinin serum yang naik dan turun secara tidak terduga :
periksa kadar kreatinin setiap hari.
4.1.6 Beberapa contoh aminoglikosid : 2
4.1.6.1 Streptomisin :
aminoglikosid yang pertama, efeknya terutama pada bakteri gram negatif. Efek
vestibulotoksik lebih dominan.kerusakan vestibuler lebih sering dijumpai
padapenggunaan jangka panjang dan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Sekarang sudah jarang digunakan.
4.1.6.2 Gentamisin :
efek vestibulotoksik lebih dominan. Bila kadar dalam serum masih dalam rentang
terapi 10-12mcg/mL masih dianggap aman namun mungkin masih bisa berefek
toksik pada beberapa pasien. Dosis harus disesuaikan dengan hati-hati bila
digunakan pada pasien dengan gangguan ginjal. 4
4.1.6.3 Neomisin :
Neomisin adalah aminoglikosid yang paling kokhleotoksik jika diberikan secara
oral dan dalam dosis tinggi, sehingga penggunaan secara sistemik tidak
dianjurkan. Neomisin sangat lambat hilang dari perilimf sehingga toksisitas
lambat setelah 1-2 minggu penghentian terapi dapat terjadi. Neomisin sekarang
digunakan terutama sebagai obat antibiotik tetes telinga yang efektif. Meskipun
neomisin dianggap aman untuk digunakan secara topikal pada telinga, alternatif
yang sama efektifnya banyak tersedia.
4.1.6.4 Kanamisin :
Meski efek toksiknya lebih rendah dibanding neomisin, efek ototoksik kanamisin
cukup tinggi. Kanamisin dapat menyebabkan kerusakan berat sel rambut kokhlea
dan penurunan pendengaran berat pada frekuensi tinggi. Kanamisin sekarang
sudah jarang digunakan, sebaiknya tidak diberikan secara parenteral.
4.1.6.5 Amikasin:
Amikasin adalah produk turunan kanamisin dan efek vestibulotoksiknya sangat
minimal dibandingkan gentamisin. Pada penanganan infeksi berat amikasin
diindikasikan apabila sesuai dengan hasil kultur dan resistensi dan respon pasien.
4.1.6.6 Tobramisin:
Efek ototoksik tobramisin mirip dengan amikasin, terjadi kurang dengar frekuensi
tinggi. Tobramisin sering digunakan sebagai preparat ototopikal dan secara umum
dianggap aman.
4.2 Antibiotik lain
4.2.1 Eritromisin
Eritromisin pertama kali dikenal dan digunakan secara luas sejak tahun 1952.
Secara umum eritromisin dianggap sebagai obat yang aman. Eritromisin sudah
digunakan sebagai pilihan utama pada kasus infeksi akibat streptokokus grup A
dan pneumokokus pada individu yang masih sensitif terhadap penisilin. Efek
ototoksik dari eritromisin pertama kali dilaporkan tahun 1973. Sejak itu hanya
beberapa kasus ototoksisitas eritromisin yang dilaporkan secara sporadis dan
umumnya bersifat reversibel. Pada kasus tersebut pasien umumnya memiliki
faktor risiko lainnya seperti penyakit ginjal kronis, penyakit hati kronis,
penggunaan dosis lebih dari 4 gram/hari dan pemberian intravena. Penurunan
pendengaran yang cukup berat pada frekuensi percakapan yang bersifat reversibel
juga dilaporkan pada pasien penerima operasi transplantasi ginjal yang menerima
terapi eritromisin intravena. Onset biasanya mulai sejak 3 hari setelah terapi
dimulai. 2
4.2.2 Azitromisin dan Clindamisin
Azitromisin dan clindamisin adalah antibiotik makrolid generasi yang lebih baru.
Antibiotik ini lebih luas dipakai secara klinis karena efek samping pada traktus
gastrointestinal yang lebih sedikit dan spektrum antibiotik yang lebih luas
daripada eritromisin. Namun demikian beberapa laporan yang menyebutkan
tentang efek ototoksiknya mulai muncul. Namun laporannya masih bersifat
sporadis dan penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan. 2
4.2.3 Vankomisin
Vankomisin adalah antibiotik glikopeptida yang pertama kali diperkenalkan tahun
1950. Sering digunakan pada kasus infeksi stafilokokus yang resiten terhadap
methisilin. Beberapa kasus ototoksisitas yang biasanya muncul sebagai tinitus
dilaporkan pada pasien dengan penginkatan kadar dalam serum akibat gagal ginjal
atau pada pasien yang menerima obat antibiotik golongan aminoglikosid pada saat
bersamaan. Data yang ada tidak lengkap namun pada beberapa kasus efek
ototoksisitasnya bersifat sementara. Belum ada laporan yang memberikan bukti
yang kuat bahwa pemberian vankomisin saja pada dosis terapeutik dapat
menyebabkan efek ototoksik. Tidak ada rekomendasi yang diberikan untuk
penggunaan vankomisin, namun perhatian harus diberikan pada pemberian
vankomisIn bersama obat ototoksik lainnya. 2