Osmoregulasi Ikan

24
OSMOREGULASI Oleh : Nama : Praditya Teguh Priambodo NIM : B1J013061 Rombongan : I Kelompok : 1 Asisten : Ade Winda Pradana LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN II

description

Laporan tentang osmoregulasi pada ikan nila dan ikan nilem

Transcript of Osmoregulasi Ikan

OSMOREGULASI

Oleh :

Nama: Praditya Teguh PriambodoNIM: B1J013061Rombongan: IKelompok: 1Asisten: Ade Winda PradanaLAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN II

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS BIOLOGI

PURWOKERTO

2015I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Osmoregulasi adalah mekanisme pengaturan air dan ion-ion dalam tubuh. Hewan air tawar memiliki cairan dalam tubuh yang pekat dari lingkungannya. Hewan ini bersifat hipoosmotik terhadap mediumnya dan menghadapi masalah fisiologis, yiatu air cenderung masuk kedalam tubuh hewan dan bahan terlarut cenderung hilang dan membawa bahan terlarut yang ada. Tingkat salinitas yang berbeda menyebabkan terjadi perubahan kadar garam antara media dengan plasma darah. Sejumlah mechanisme yang dilakukan untuk mengatasi masalah osmotik dan mengatur perbedaan diantara intrasel dan ekstrasel serta diantara diantara ekstrasel dengan lingkungannya secara kolektif disebut mekanisme osmoregulasi (Campbel et al, 2004). Ikan yang hidup dilingkungan laut dan perairan tawar dapat melakukan osmoregulasi, yaitu kemampuan untuk menjaga lingkungan internal yang sesuai dalam menghadapi tekanan osmotik, agar dapat mempertahankan kehidupannya. Pengaturan konsentrasi cairan tubuh ikan dilakukan dengan pengangkutan ion-ion dari luar kedalam tubuh (Yuwono, 2006).

Kehidupan suatu organisme sangat dipengaruhi oleh fakor lingkungan baik faktor fisika, kimia, dan biologi. Salah satu faktor yang mendukung kehidupan organisme diperairan adalah kadar salinitas dalam perairan. Tinggi rendahnya sainitas disuatu perairan baik itu air tawar, payau, maupun perairan asin akan mempengaruhi keadaan organisme yang ada di perairan tersebut, hal ini sangat terkait erat dengan tekanan osmotik dari ikan untuk melangsungkan kehidupannya. Ikan akan mengalami stress dan bahkan akan mengalami kematian akibat osmoregulasi yang tidak seimbang (Wulangi, 1993). Perubahan salinitas juga dapat mempengaruhi permeabilitas dinding sel ketika salinitas mengalami perubahan. Pada saat tersebut ikan akan mengalami kecenderungan untuk mampu atau tidaknya ikan untuk melakukan keseimbangan osmotiknya dalam rangka mengatur dan berfungsi dengan normal sesuai dengan kebutuhannya, salinitas dalam suatu perairan pada media yang berbeda juga akan mempengaruhi proses metabolisme untuk pertumbuhannya (Fahn, 1991).

Salinitas menjadi faktor pembatas bagi kehidupan akuatik. Osmoregulasi terjadi pada hewan perairan, karena adanya perbedaan tekanan osmosis (osmosis berasal dari bahasa Yunani yang berarti mendorong) antara larutan (biasanya kandungan garam-garam) di daam dan di luar tubuh. Sehingga osmoregulasi merupakan upaya hewan air untuk mengontrol keseimbangan air dan ion-ion yang terdapat di dalam tubuhnya dengan lingkungan melalui sel permeabel. Pengaturan osmoregulasi ini sangat mempengaruhi metabolisme tubuh hewan perairan dalam mengahsilkan energi (Lantu, 2010).

Air merupakan media hidup ikan. Medium suatu perairan berbeda-beda, ada perairan tawar, laut dan payau. Ikan-ikan yang hidup pada media-media ini telah mampu beradaptasi secara berkelanjutan sampai mengalami mortalitas atau kematian. Cara ikan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya berhubungan dengan kandungan kadar garam dalam perairan. Oleh karena itu ikan mempunyai daya osmoregulasi. Batas toleransi kadar garam berbeda-beda untuk setiap jenis ikan. Ikan yang mempunyai batas toleransi yang besar terhadap salinitas disebut euryhaline, sedangkan yang mempunyai batas toleransi sempit terhadap salinitas disebut stenohaline (Lesmana, 2001). Praktikum ini penting karena untuk mempelajari toleransi terhadap salinitas bagi organisme perairan khususnya ikan dan menegetahui bagaimana ikan menyeimbangkan tekanan yang ada di dalam tubuh ikan itu sendiri sehingga ikan tetap dapat melangsungkan kehidupannya.1.2 Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mempelajari osmoregulasi pada hewan eurihalin (hewan yang mampu hidup dalam perairan dengan salinitas yang cukup luas) yaitu ikan Nila (Oreochromis niloticus), serta hewan stenohalin yaitu ikan Nilem (Osteochilus hasselti) dan kepiting.II. MATERI DAN CARA KERJA2.1 Materi

Bahan yang digunakan adalah benih ikan Nila (Oreochromis niloticus), benih ikan Nilem (Osteocilus hasselti), kepiting bakau (Scylla serrata), EDTA, dan medium air dengan konsentrasi 0 ppt, 10 ppt, 20 ppt, dan 30 ppt.Alat yang digunakan adalah gelas plastic, gunting, pinset, pipa kapiler hematokrit, handrefrctometer, spuit injeksi, mikropipet, jarum, mikrosentrifuge, baki plastic, osmometer, penghitung waktu, kertas label, dan kertas cakram. 2.2 Cara Kerja2.2.1 Pengamatan Toleransi Salinitas

1. Medium air disiapkan dengan salinitas 0, 10, 20, 30 ppt, kemudian dimasukkan kedalam gelas plastic dan diberi label.

2. Benih ikan Nilem sebanyak 10 ekor dimasukkan kedalam masing masing gelas plastik secara direct transfer.

3. Pengamatan dilakukan, waktu kematian tiap ekor ikan dicatat dan dihitung ikan yang masih hidup pada masing-masing gelas plastik setelah 10, 20, 30, 40 menit dan 24, 48, 72, 96 jam.

4. Medium air disiapkan lagi dengan salinitas 10 ppt kemudian dimasukkan kedalam gelas plastik dan diberi label.

5. Benih ikan Nilem sebanyak 10 ekor dimasukkan ke dalam gelas plastik secara gradual transfer.

6. Pengamatan dilakukan, waktu kematian tiap ekor ikan dicatat dan dihitung ikan yang masih hidup pada masing-masing gelas plastik setelah 10, 20, 30, 40 menit dan 24, 48, 72, 96 jam.

7. Persentase sintasan dihitung menggunakan rumus.2.2.2 Pengukuran Osmolalitas Plasma dan Medium1. Sampel darah ikan Nila diambil dengan spuit injeksi yang telah dibasahi terlebih dahulu dengan EDTA.

2. Darah yang telah diambil dipindahkan dari spuit ke pipa kapiler hematokrit.

3. Darah disentrifugasi selama 5 menit pada kecepatan 3500 rpm.

4. Plasma darah diambil sebanyak 10 l menggunakan mikropipet.

5. Omolalitas plasma darah diukur menggunakan osmometer.

6. Kapasitas osmoregulasi dihitung.

2.2.3. Pengukuran Osmolalitas Hemolimfe pada Kepiting

1. Sampel hemolimfe kepiting diambil dari bagian ruas-ruas kaki yang paling dekat dengan tubuh kepiting dengan spuit injeksi yang telah dibasahi terlebih dahulu dengan EDTA.

2. Hemolimfe yang telah diambil dipindahkan dari spuit ke pipa kapiler hematokrit.

3. Hemolimfe diambil sebanyak 10 l menggunakan mikropipet.

4. Osmolalitas hemolimfe kepiting diukur menggunakan osmometer.

5. Kapasitas osmoregulasi dihitung.3.2 Pembahasan

Hewan uji yang digunakan untuk pengamatan toleransi salinitas adalah benih ikan Nilem (Osteochilus hasselti) dan ikan Nila (Oreochromis niloticus). Namun, ikan yang digunakan oleh kelompok 1 rombongan I yaitu ikan nila dengan uji toleransi salinitas yang digunakan adalah 0, 10, 20, 30 ppt secara direct transfer selama 10, 20, 30, 40 menit dan secara gradual transfer dengan salinitas 0, 10, 20, dan 30 ppt selama 24, 48, 72, dan 96 jam. Hasil pengamatan sintasan yang didapatkan dari ikan nila dengan menggunakan metode direct transfer pada 0 ppt pada waktu 10, 20, 30 dan 40 menit sintasan sebesar 100%, 10 ppt pada waktu 10, 20, 30, dan 40 ppt sintasan sebesar 100%, 20 ppt pada waktu 10 menit sintasan sebesar 80%, ketika 20 menit sintasan sebesar 70%, saat 30 menit berikutnya diperoleh sintasan sebesar 60%, dan menit ke 40 sintasan sebesar 50%. Pada salinitas 30 ppt, saat menit ke 10, 20, 30 dan 40, diperoleh nilai sintasan sebesar 100%, 80 %, 70%, dan 50%.

Percobaan terhadap ikan nila secara direct transfer dengan salinitas 0, 10, 20, 30 ppt juga dilakukan dengan hasil ; pada salinitas 0 dan 10 ppt dalam waktu 24 jam didapat sintasan sebesar 100%; namun, untuk salinitas 20 dan 30 ppt dalam waktu 24 jam didapat sintasan sebesar 0%. Hari ke-2 atau pada waktu 48 jam, untuk salinitas 0 ppt memiliki sintasan sebesar 100%; sedangkan untuk konsentrasi 10 ppt nilai sintasan sebesar 80%; tetapi, untuk ikan nila pada salinitas 20 dan 30 ppt diperoleh persentase sintasan sebesar 0%. Hari ke-3 atau 72 jam kemudian, ikan nila pada salinitas 0 ppt sintasannya sebesar 90%; untuk salinitas 10 ppt diperoleh sintasan 70%; sedangkan pada salinitas 20 dan 30 ppt sintasannya sebesar 0%. Hari terakhir untuk percobaan direct transfer di hari ke-4 atau setelah 96 jam, ikan pada salinitas 0 ppt sintasannya sebesar 80%; ikan pada salinitas 10 ppt nilai sintasannya sebesar 60%; sedangkan pada salinitas 20 dan 30 ppt persentase sintasannya sebesar 0%.

Percobaan selanjutnya dilakukan secara gradual transfer. Sintasan dari ikan nila pada waktu 24 jam sebesar 90%, 48, 72, dan 96 jam sebesar 0%. Berdasarkan hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa ikan nila tidak dapat lama bertahan hidup pada salinitas dengan waktu yang lama dalam air bersalinitas tinggi. Namun, seharusnya ikan nila tergolong ikan eurihalin, merupakan jenis ikan yang mampu hidup pada salinitas tertentu. Kematian yang dialami ikan nila pada percobaan kali ini, bisa dikarenakan kondisi ikan yang masih dalam fase benih (ikan nila kecil) sehingga berdampak juga pada daya tahan tubuh ikan nila tersebut. Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Susilo (2005) bahwaikan nila termasuk ikan yang dapat bertahan hidup dalam keadaan salinitas yang tinggi (termasuk eurihalin). Diterangkan bahwa saat terjadinya peningkatan salinitas medium secara signifikan akan meningkatkan pula konsentrasi osmotik darahnya.

Percobaan yang sama juga dilakukan pada ikan nilem dan didapatkan hasil yang berbeda. Pengamatan secara direct transfer pada 0 dan 10 ppt dalam waktu 10, 20, 30, dan 40 menit sintasan sebesar 100%, 20 ppt pada waktu 10 menit sintasan sebesar 80%, dan pada waktu 20, 30, 40 menit sintasannya sebesar 0%, 30 ppt pada waktu 10, 20, 30, dan 40 menit sintasan sebesar 0%. Percobaan kedua, dilakukan secara direct transfer dan diperoleh hasil ; ikan nilem pada salinitas 0 ppt dalam waktu 24, 48, 72, dan 96 jam nilai sintasannya 70%, 40%, 0%, dan 0%; pada slinitas 10 ppt diperoleh nilai sintasan sebesar 50% setelah 24 jam, sedangkan untuk salinitas 20 dan 30 ppt diperoleh nilai sintasan sebesar 0%. Untuk ikan nilem pada salinitas 20 dan 30 ppt diperoleh nilai sintasan 0% dalam kurun waktu 24 hingga 96 jam kemudian, atau sama artinya dengan tidak ada ikan nilem yang mampu hidup pada salinitas tersebut. Percobaan selanjutnya metode gradual transfer, didapatkan data sintasan pada waktu 24 jam sintasannya sebesar 100%, 48 jam sintasannya sebesar 70%, sedangkan pada 72 dan 96 jam nilai sintasannya 0%. Dari data yang diperoleh, dapat dinyatakan bahwa ikan nilem tidak mampu hidup pada salinitas yang tinggi jika dibandingkan dengan ikan nila, berdasarkan hal ini ikan nilem digolongkan kedalam Janis ikan stenohialin.

Hasil pengukuran osmolalitas pada ikan nila dengan salinitas 0, 5, 10, 15, 20, 25, dan 30 ppt diperoleh data osmolalitas plasma darah berturut-turut sebesar 623, 799, 936, 0, 959, 800, dan 789 (mmol/kg). Sedangkan nilai osmolalitas medium diperoleh data 393, 509, 685, 740, 806, 831, dan 857 (mmol/kg). Setelah didapat data osmolalitas plasma darah dan medium ikan nila, maka kita dapat menghitung kapasitas osmoregulasi dengan membagi antara data plasma darah ikan nila dengan data medium pada salinitas yang sama. Data kapasitas osmoregulasi dari ikan nila pada praktikum kali ini yaitu untuk salinitas 0 ppt sebesar 1,58 (mmol/kg); salinitas 5 ppt sebesar 1,56 (mmol/kg); salinitas 10 ppt sebesar 1,36 (mmol/kg); salinitas 15 ppt tidak diperoleh hasil kapasitas osmoregulasinya karena tidak didapat data osmolalitas plasma darahnya; salinitas 20 ppt sebesar 1,18 (mmol/kg); salinitas 25 ppt sebesar 0,96% (mmol/kg); dan salinitas 30 ppt sebesar 0,92 (mmol/kg).

Hasil pengukuran osmolalitas plasma dan medium ikan nilem salinitas 0, 5, 10, 15, 20, 25, dan 30 ppt didapatkan data osmolalitas plasma darah sebesar 864, 0, 521, 424, 774, 811, 0 (mmol/kg). Selain itu, diperoleh juga data os,olalitas medium ikan nilem sebesar 393, 509, 685, 740, 806, 831, dan 857 (mmol/kg). Kapasitas osmoregulasi yang terhitung yaitu untuk 0 ppt sebesar 2,19 (mmol/kg) ; dengan salinitas 5 ppt tidak didapat nilai kapasitas osmoregulasinya karena tidak diperoleh data plasma darah; dengan salinitas 10 ppt kapasitas osmoregulasinya sebesar 0,76 (mmol/kg); salinitas 15 ppt sebesar 0,57 (mmol/kg); salinitas 20 ppt sebesar 0,96 (mmol/kg); salinitas 25 ppt sebesar 0,97 (mmol/kg); dan untuk salinitas 30 ppt juga tidak diketahui hasil kapasitas osmoregulasinya karena tidak berhasil mendapat data osmolalitas plasma darah dari ikan nilem tersebut.

Hasil pengukuran osmolalitas hemolimfe dan medium kepiting dengan salinitas 0, 5, 10, 15, 20, 25, dan 30 ppt diperoleh data hemolimfe sebesar 563, 642, 685, 917, 899, 545, 680 (mmol/kg). Didapat pula data osmolalitas medium sebesar 393, 509, 685, 740, 806, 831, 857 (mmol/kg). Kapasitas osmoregulasi kepiting yang didapatkan mulai dari 0, 5, 10, 15, 20, 25, dan 30 ppt yaitu 1,43 (mmol/kg); 1,26 (mmol/kg); 1 (mmol/kg); 1,23 (mmol/kg); 1,11 (mmol/kg); 0,65 (mmol/kg); dan 0,79 (mmol/kg). Hemolimfe kepiting yang diukur dengan osmometer diperoleh dari bagian ruas kaki kepiting paling dekat dengan tuuh dan diambil dengan spuit injeksi 1 cc yang sebelumnya dilapisi larutan EDTA sebagai antikoagulan. Larutan EDTA berfungsi untuk menjaga agar hemolimfe kepiting tidak membeku. Dalam mengukur osmolalitas baik pada ikan nila, ikan nilem dan kepiting menggunakan alat ukur yang dinamakan osmometer.

Hasil percobaan menunjukkan bahwa semakin tinggi salinitas, semakin kecil kapasitas osmoregulasinya. Ikan nila dan kepiting bakau digolongkan dalam hewan perairan eurihalin. Hewan ini bersifat hipertonik terhadap air tawar, sehingga bila dimasukkan dalam air dengan salinitas tinggi maka akan bersifat hipotonik terhadap lingkungan barunya yang ditandai dengan semakin kecil kapasitas osmoregulasinya. Kapasitas osmoregulasi dapat diperoleh dari hasil bagi antara osmolalitas plasma darah dengan osmolalitas media (Harkat & Mathur, 1976). Osmolalitas plasma dan media dapat diukur dengan osmometer. Metode yang digunakan adalah metode pengukuran tekanan uap, yang merupakan metode tercepat dan termudah untuk menentukan osmolalitas. Alat ini bisa digunakan pada suhu kamar dengan sampel harus dalam keadaan keseimbangan alami, karena jika viskositas sampel tinggi atau dalam kondisi lain yang dapat menggangu penentuan titik beku dapat terjadi kesalahan pada data yang diperoleh (Lestari, 2010).

Menurut Schmidt & Nielson (1990), kematian ikan setelah melewati batas salinitasnya disebabkan oleh 3 kemungkinan, yaitu:

1. gagalnya mekanisme pengaturan yang akhirnya menyebabkan perubahan konsentrasi internal yang bersifat fatal.

2. gangguan fungsi respirasi insang.

3. kegagalan jantung sehingga ikan tidak dapat malakukan fungsi metabolis secara normal.

Osmoregulasi adalah upaya hewan air untuk mengontrol keseimbangan air dan ion antara tubuh dan lingkungannya, atau suatu proses pengaturan tekanan osmosis. Menurut Inaeni (2006), ososis adalah pergerakan air dari cairan yang mempunyai kandungan air lebih tinggi (yang lebih encer) menuju ke cairan yang mempunyai kandungan air lebih rendah (yang lebih pekat). Mekanisme osmoregulasi meliputi volume air, kandungan zat terlarut dan distribusi zat terlarut. Makhluk hidup mempertahankan kekonstanan volume air dalam tubuhnya melalui mekanisme dimana jumlah air yang masuk harus sama dengan jumlah air yang keluar (Soetarto, 1986).

Untung Susilo et al (2012), berpendapat bahwa pada umumnya ikan yang hidup di air tawar meregulasi cairan osmotik internal untuk selalu dipertahankan lebih tinggi daripada konsentrasi cairan osmotik lingkungannya (bersifat hiperosmoregulator). Untuk mengatasi masalah osmotiknya, pada umumnya ikan air tawar akan sedikit minum dengan menghasilkan urin yang encer dan aktif mengabsorbsi garam dari lingkungannya menggunakan insang. Untung Susilo et al menambahkan bahwa hasil dari penelitian yang mereka lakukan dapat ditarik kesimpulan kalau regulasi osmotik ikan nila yang tercermin dalam osmolalitas plasma dan kapasitas osmoregulasi mengalami mengalami perubahan signifikan berkaitan dengan perubahan salinitas medium. Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Kumai & Perry (2012), bahwa ikan air tawar akan aktif menyerap ion dari lingkunan untuk mempertahankan konsentrasi osmotiknya serta meminimalkan kehilangan ion via saluran paraselular yang ada didalam tubuh ikan. Selaras dengan hal ini, Jalaluddin (2014) berpendapat bahwa kondisi salinitas di perairan tidak selalu sesuai dengan kebutuhan ikan. Namun, ikan memiliki kemampuan untuk beradaptasi dalam keadaan yang tidak menguntungkan dengan memasukkan atau mengeluarkan ion dan air sehingga tekanan dalam sel tidak terganggu. Untuk melakukan aktivitas tersebut, ikan membutuhkan banyak energi sehingga semakin besar ketidaksesuaian akan meningkatkan kebutuhan energi tersebut. Kondisi NaCl yang terlalu tinggi diluar sel jika dibiarkan bisa menyebabkan dehidrasi sel dan berakhir pada kematian. Oleh karena itu dibutuhkan proses osmoregulasi.

Faktor yang mempengaruhi osmoregulasinya adalah salinitas, yaitu kadar ion-ion terlarut dalam air dan dinyatakan dalam g/lt (1/100) atau ppt. Semakin tinggi salinitas maka semakin tinggi tekanan osmotiknya. Hal ini membuktikan bahwa salinitas berhubungan dengan tekanan osmotik air. Tingkat osmotik yang diperlukan berbeda-beda. Ikan air tawar tidak mampu beradaptasi terhadap lingkungan dengan salinitas tinggi karena sifatnya yang hiperosmotik. Salinitas yang optimal bagi ikan air tawar adalah 20 ppt, karena pada salinitas ini konsentrasi cairan tubuh ikan mendekati isoosmotik dengan konsentrasi cairan lingkungan. Perubahan salinitas medium yang menyebabkan perubahan osmolalitas plasma juga menghasilkan perubahan kapasitas osmoregulasi (Fahn, 1991).

Menurut Fujaya (2004), organisme air dibagidibagi menjadi dua kategori sehubungan dengan mekanisme fisiologinya dalam menghadapi tekanan osmotik air media, yaitu :

1. Osmokonformer adalah organisme air yang secara osmotik labil dan mengubah-ubah tekanan osmotik cairan tubuhnya untuk menyesuaikan dengan tekanan osmotik air media hidupnya. Kebanyakan hewan avertebrata laut adalah hewan osmokonformer seperti ubur-ubur, rajungan, dan kerang-kerangan.2. Osmoregulator adalah organisme air yang secara osmotik stabil (mantap), selalu berusaha mempertahankan cairan tubuhnya pada tekanan osmotik yang relatif konstan, tidak perlu harus sama dengan tekanan osmotik air media hidupnya. Semua hewan air tawar dan hewan air laut adalah osmoregulator, misalnya ikan nilem dan ikan nila.

Batas toleransi kadar garam berbeda-beda untuk setiap jenis ikan. Ikan yang mempunyai batas toleransi yang besar terhadap salinitas disebut eurihalin, contohnya ikan nila (Lesmana, 2001). Menurut Tang et al (2009), hewan eurihalin mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup pada medium yang berkadar garam tinggi, sehingga kemampuan untuk bertahan hidup pada medium yang berkadar garam tinggi, sehingga dapat mengendalikan fungsi osmoregulasi yang berhubungan dengan komposisi cairan ekstraseluler dalam tubuhnya yaitu plasma, getah bening, dan cairan interestrial. Ginjal dan insang merupakan organ yang sangat penting untuk osmoregulasi pada ikan, insang, berhubungan langsung dengan lingkungan eksternal dan ginjal yang mengendalikan lingkungan internal. Sedangkan ikan yang mempunyai batas toleransi yang sempit terhadap salinitas tersebut disebut stenohialin, contohnya ikan nilem (Lesmana, 2001). Lantu (2010) menambahkan bahwa salinitas menjadi faktor pembatas bagi kehidupan akuatik. Osmoregulasi terjadi peda hewan perairan, karena adanya perbedaan tekanan osmosis (osmosis berasal dari bahasa Yunani yang berarti mendorong) antara larutan (biasanya kandungan garam-garam) di dalam tubuh dan di luar tubuh. Sehingga osmoregulasi merupakan upaya hewan air untuk mengontrol keseimbangan air dan ion-ion yang terdapat didalam tubuhnya dengan lingkungan melalui sel permeabel. Pengaturan osmoregulasi ini sangat mempengaruhi metabolisme tubuh hewan perairan dalam menghasilkan energi.

Menurut Evans (1997), ikan air tawar mempunyai osmolalitas plasma 230-330 mmol/kg sehingga hewan air tawar hipoosmotik terhadap lingkungannya. Menyebabkan air bergerak masuk kedalam tubuh dan ion-ion keluar tubuh secara difusi. Untuk menjaga keseimbangan cairan tubuhnya, hewan air tawar berosmoregulasi dengan meminum sedikit atau tidak minum sama sekali. Sedangkan untuk mengurangi kelebihan air dalam tubuh, ikan akan mengeluarkan banyak urin dalam bentuk urin yang encer. Selain itu, insang juga aktif mengambil garam-garam dari lingkungannya.

Kapasitas adaptif ikan nila untuk salinitas yang berbeda tergantung pada fungsi osmoregulatori yang terintegrasi pada berbagai organ, terutama insang, saluran pencernaan dan ginjal. Insang ikan teleostei memainkan peran penting dalam peraturan ion. Adaptasi Ikan nila untuk salinitas air melibatkan beberapa perubahan fungsional dalam epitel insang klorida sel (CCS), ATPase, NA, K, dan CCS pada ikan nila (Guner et al., 2004)

Mekanisme menjaga konsentrasi tubuh pada ikan dapat dilihat melalui osmoregulasi pada ikan bertulang sejati yang hidup di air laut dan air tawar. Seekor ikan laut, seperti ikan cod, adalah hipoosmotik terhadap air laut di sekitarnya dan dengan demikian secara konstan kehilangan air melalui osmosis. Ikan itu meminum banyak sekali air laut untuk menambah kadar air, insang pada permukaan tubuh umumnya membuang natrium klorida (sel-sel khusus yang disebut sel klorida secara aktif mengangkut Cl keluar dan Na mengikutinya secara pasif) dan ginjalnya mengeluarkan kelebihan ion-ion kalsium (Ca2+), magnesium (Mg2+), dan sulfat (SO42-), sementara mengekskresikan urin pekat yang mengandung kadar garam tinggi. Menghadapi situasi yang berlawanan, seekor ikan air tawar seperti ikan perch ini secara konstan mendapatkan air karena ia berada dalam keadaan hiperosmotik dibandingkan dengan sekelilingnya. Ikan itu menyeimbangkan perolehan air dengan cara mengekskresikan banyak sekali urin yang hipoosmotik terhadap cairan tubuhnya. Garam yang hilang dalam urin dipulihkan kembali melalui makanan dan melalui pengambilan melewati insang, sel-sel klorida pada insang secara aktif mentransport Cl masuk kedalam (Campbell et al., 2004).

Ikan bertulang rawan mempertahankan iso-plasmaosmotik atau sedikit hiperosmosis air laut ke daerah sekitarnya, terutama melalui retensi urea (ureosmotik) untuk mengatasi stress hyperosmotic di lingkungan laut. Sistem osmoregulatory awalnya dianggap unik pada ikan bertulang rawan, tetapi sebuah bukti menunjukkan bahwa ureosmotik merupakan strategi yang didistribusikan secara luas di seluruh spesies diseluruh spesies vertebrata. Misalnya, coelacanth adalah ikan bertulang yang melakukan osmoregulasi urea. Dalam ginjal mamalia, konsentrasi urea yang tinggi dijaga dalam medulla untuk menciptakan lingkungan osmolalitas tinggi di interestitium tersebut tersebut, air diserap kembali dari urin primer ke interestitium dengan gradient osmotik mengakibatkan retensi air dalam tubuh. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa strategi ureosmotik adalah mekanisme dasar dalam vertebrata untuk retensi air di lingkungan salinitas tinggi dan kering (Hyodo et al., 2007).

Salinitas menjadi faktor pembatas bagi kehidupan akuatik. Osmoregulasi terjadi pada hewan perairan, karena adanya perbedaan tekanan osmosis (osmosis berasal dari bahsa Yunani yang berarti mendorong) antara larutan (biasanya kandungan garam-garam) di dalam tubuh dan di luar tubuh. Sehingga osmoregulasi merupakan upaya hewan air untuk mengontrol keseimbangan air dan ion-ion yang terdapat di dalam tubuhnya dengan lingkungan melalui sel permeabel. Pengaturan osmoregulasi ini sangat mempengaruhi metabolisme tubuh hewan perairan dalam mengahasilkan energi (Lantu, 2010).

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa :1. Hewan eurihalin termasuk hewan yang bisa bertahan hidup pada air bersalinitas tinggi, contohnya ikan nila (Oreochromis niloticus) dan kepiting (Scylla serrata).

2. Hewan stenohialin merupakan hewan yang tidak bisa bertahan hidup pada air bersalinitas tinggi, contohnya ikan nilem (Osteochilus hasselti).DAFTAR REFERENSICampbell, N.A., Reece, J.B., & Mitchell, L.G. 2004. Biologi Edisi kelima Jilid III. Jakarta : Erlangga.Evans, D.H. 1997. The Physiology of Fishes Second Editions. New York : CRC Press.

Fahn, A. 1991. Anatomi Hewan Edisi Ketiga. Yogyakarta : Gajah Mada Universitas Press.

Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan. Jakarta : Asdimahasatya.

Guner, Y., Osman, O., Hasmet., Cagirgan, M.A., Volkan, K. 2005. Effects of Salinity on the Osmoregulatory Functions of the Gills in Nile Tilapia (Oreochromis niloticus).. Turkish Journal of Veterinary Animal Science 29 pp. 1259-1266. Departement of Aquaqulture, Faculty of Fisheries, Ege University, Uzmir Turkey received: 17.09.2004Hurkat, D.C & P.N Marthur. 1976. A Text Book of Animal Physiology. New Delhi : S. Chand and Co CPJ.

Hyodo, S., Bell, J.D., Healy, J.M., Kaneko, T., Hasegawa, Y., Takkei, J.A., Donald & Toop, T. 2007. Osmoregulation in Eephant Fish Callorhincus milii (Holocephali), with Special Reference to the Rectal Gland. The Journal of Experimental Biology. 210 pp. 1303-1310.

Isnaeni, W. 2006. Fisiology Hewan. Jakarta : Kanisius.

Jalaluddin. 2014. Pengaruh Salinitas Terhadap Fekuinditas Fungsional, Daya Tetas Telur dan Benih Ikan Nila Sahin. Jurnal Manajemen Perikanan dan Kelautan Vol. 1 No. 2, 2014.

Lantu, S. 2010. Osmoregulasi pada Hewan Akuatik. Jurnal Manajemen Perikanan dan Kelautan UNSRAT, Manado. VI (1) pp. 46-50.Lesmana, D. 2001. Kualitas Air Untuk Ikan Hias Air Tawar. Jakarta : Penebar Swadaya.

Lestari. 2010. http://lestari.blogspot .com/2010/alat-pengukur-osmolalitas. Diakses pada tanggal 24 Maret 2014.

Schmidth, N. K. 1990. Animal Physiology. Adaptation and Environment. London, UK : Cambridge University Press.

Soetarto. 1986. Biologi. Surakarta : Widya Duta.

Susilo, U & S. Sukmaningrum. 2005. Osmoregulasi Ikan Sidat Anguilla biscolor Mc Cleland Pada Media Dengan Salinitas Berbeda. Sains Akuatik 10 (2) pp. 111-119.

Susilo U., Miliana, W., & S, Sorta, B.i. 2012. Regulasi Osmotik dan Nilai Hematokrit Ikan Nila (Oreochromis sp.) Pada Medium Salinitas dan Temperatur Air Berbeda. Berk. Penel. Hayati : 18 pp. 51-55.

Tang, Cheng-Hao, Tzeng, Ching-San, Hwang, Lie-Yueh, & Tsung-han lee. 2009. Constant Muscle Water Content and Renal HSp 90 Expression Reflect Osmotic Homeostasis in Euryhalin Teleost Acclimated to Different Enviromental Salinities. Department of Live Science, National Chung-Hsing University, Taiwan. Zoological Studies 48 (4) pp. 435-441.

Vilee, C. A., Walker, W.I., & Barness, R.D. 1988. General Zoology. Philadelphia : W.B. Saunders Company.

Wulangi, K.S. 1993. Prinsip-prinsip Fisiologi Hewan. Jakarta : DepDikBud.Kumai, Y., Perry, S.F. 2012. Mechanism and regulation of Na Uptake by Freshwater Fish. Respiration Physiology & Neurology 184 (2012) pp. 249-256.